We Belong Bestfriend

25
We Belong Bestfriend Hari minggu pagi pukul 05.00 tepat, bunyi alarm yang berada di meja samping tempat tidur Gabby terdengar sangat memekakkan telinga. Matanya yang semula terpejam dalam sekejap terbuka saat mendengar bunyi nyaring tersebut. Dengan cepat gadis itu menekan tombol yang ada pada jam berwarna pink tersebut untuk mematikan bunyi alarm yang telah sukses mengganggu tidurnya. Dalam hati, Gabby bersumpah serapah merutuki bunyi alarm yang hampir setiap pagi merusak mimpi indahnya itu. Tiba-tiba saja rasa haus menyerang tenggorokannya. Tanpa komando, tangan Gabby terulur berusaha mengambil gelas yang ada di samping jam mejanya. Hampir setengah gelas air dia teguk dalam hitungan detik. Setelah mengembalikan gelas tersebut ke tempat semula, gadis itu kembali menarik selimut. Badannya masih terasa sangat lemas. Gabby dapat merasakan suhu tubuhnya yang belum juga turun sejak tadi malam. Dia memejamkan kedua matanya, berusaha kembali mengistirahatkan tubuhnya. Tepat sedetik sebelum dia mencoba kembali tidur, ponselnya berbunyi. Sebuah email yang masuk ke inboxnya membuat kedua matanya kembali terbuka lebar. Date : May, 25 th 2014 From : itsFarrel [[email protected]] To : LadySmith [[email protected]] Subject: Please Come >_< GDMorning Ms. Smith Kamu tidak lupa kan hari ini pertandingan finalku? Aku harap kamu datang tepat waktu, aku punya kejutan untukmu! XOXO

Transcript of We Belong Bestfriend

We Belong Bestfriend

Hari minggu pagi pukul 05.00 tepat, bunyi alarm yang berada di

meja samping tempat tidur Gabby terdengar sangat memekakkan telinga.

Matanya yang semula terpejam dalam sekejap terbuka saat mendengar

bunyi nyaring tersebut. Dengan cepat gadis itu menekan tombol yang

ada pada jam berwarna pink tersebut untuk mematikan bunyi alarm yang

telah sukses mengganggu tidurnya. Dalam hati, Gabby bersumpah

serapah merutuki bunyi alarm yang hampir setiap pagi merusak mimpi

indahnya itu.

Tiba-tiba saja rasa haus menyerang tenggorokannya. Tanpa

komando, tangan Gabby terulur berusaha mengambil gelas yang ada di

samping jam mejanya. Hampir setengah gelas air dia teguk dalam

hitungan detik. Setelah mengembalikan gelas tersebut ke tempat

semula, gadis itu kembali menarik selimut. Badannya masih terasa

sangat lemas. Gabby dapat merasakan suhu tubuhnya yang belum juga

turun sejak tadi malam. Dia memejamkan kedua matanya, berusaha

kembali mengistirahatkan tubuhnya. Tepat sedetik sebelum dia mencoba

kembali tidur, ponselnya berbunyi. Sebuah email yang masuk ke

inboxnya membuat kedua matanya kembali terbuka lebar.

Date : May, 25th 2014

From : itsFarrel [[email protected]]

To : LadySmith [[email protected]]

Subject: Please Come >_<

GDMorning Ms. Smith

Kamu tidak lupa kan hari ini pertandingan finalku?

Aku harap kamu datang tepat waktu, aku punya kejutan untukmu!

XOXO

Dengan cepat Gabby membalas email tersebut.

Date : May, 25th 2014

From : LadySmith [[email protected]]

To : itsFarrel [[email protected]]

Subject: I’m Sorry :(

Hi Farrel, aku harap kamu tidak kecewa jika aku tidak datang untuk melihat kamu

bertanding. Tapi ku pikir aku benar-benar tidak bisa bangun dari kasurku!

Aku merasa kalau kondisi tubuhku akhir-akhir ini agak kurang baik.

Sukses untuk pertandingannya! Goodluck!

Setelah mengirimkan pesan tersebut, dengan cepat dia mematikan

ponselnya. Gadis itu tidak bermaksud untuk membuat sahabatnya

khawatir, tetapi dia tahu Farrel akan nekat membatalkan

pertandingannya jika dia menelponnya dan mengetahui kondisi gadis

tersebut hanya dengan mendengar suaranya. Gabby memutuskan untuk

tidak memikirkan apapun dan menarik selimut untuk kembali tidur.

Sudah berkali-kali Gabby mengubah posisi, tetapi tetap saja dia

belum juga dapat melanjutkan tidurnya. Terang saja, pikirannya

terusik akan pertandingan itu. Farrel sudah lama mengidamkan

kemenangan ini, tetapi dengan mudahnya dia merusak impian sahabatnya

dengan mengatakan tidak bisa hadir untuk melihatnya bertanding.

Gabby bergulat dengan pikirannya sendiri. Dia takut tubuhnya

tidak akan mampu untuk menghadiri pertandingan itu, tetapi dia juga

sadar dirinya tidak boleh egois dan menghancurkan impian Farrel

begitu saja. Setelah beberapa saat mengumpulkan tekadnya, gadis itu

segera mengirim email untuk Farrel dan mengatakan bahwa dia akan

datang ke pertandingannya. Dengan cepat dia bangkit dari tempat

tidurnya, menyambar handuk lalu masuk ke kamar mandi. Oke Gabby, aku

yakin kamu bisa pergi kali ini, ujarnya pada dirinya sendiri.

***

Gabby agak telat sesampainya di tempat pertandingan Farrel.

Setelah berupaya membujuk Ayah dan Bundanya dengan meyakinkan mereka

bahwa dirinya akan baik-baik saja, Gabby akhirnya diijinkan pergi ke

pertandingan Farrel. Bundanya sangat khawatir jika Gabby membawa

sepeda motor sendiri. Akhirnya Gabby mengalah dan setuju untuk

berangkat dengan taksi demi diperbolehkan pergi.

Para supporter terlihat sudah berkumpul memenuhi tribun-tribun

di stadion itu. Masing-masing dari mereka menggunakan atribut sesuai

dengan tema sekolahnya dan menyanyikan yel-yel dengan semangat.

Gabby segera berjalan menuju salah satu tribun yang terlihat lumayan

sepi lalu memilih duduk di bagian tengah. Dengan begitu, dia dapat

dengan jelas menyaksikan Farrel yang sedang bermain basket dengan

semangatnya.

Tiba-tiba ponselnya berdering, sebuah panggilan masuk.

“Hallo?”

“Hey Gabby? Kamu di mana?”

“Aku duduk di tribun kiri.”

“Aku sangat senang kamu datang.”

“Haha, sudahlah. Cepat sana cetak poin sebanyak-banyaknya,

goodluck!”

Gabby mengakhiri perbincangannya setelah melihat para pemain

memasuki lapangan. Dia menangkap sosok laki-laki bertubuh jangkung

menggunakan seragam basket berwarna merah sedang membuang

pandangannya ke seluruh penjuru stadion. Gabby tahu Farrel sedang

mencari dirinya. Setelah mata mereka bertemu, Farrel melambaikan

tangannya pada Gabby. Gadis itu membalas dengan mengepalkan

tangannya dan mengucapkan kata SE-MA-NGAT tanpa bersuara. Interaksi

mereka diakhiri dengan senyum manis di bibir Farrel yang segera

masuk ke lapangan sesuai instruksi pelatihnya.

Pertandingan tersebut berlangsung sangat meriah. Para penonton

terlihat sangat antusias dan para pendukung tidak henti-hentinya

menyanyikan yel-yel untuk menyemangati teman-teman mereka yang

bertanding di lapangan. Gabby melirik arlojinya, sudah pukul 12.30.

Dia merasa agak sesak berada di tengah-tengah kerumunan banyak

orang. Gadis itu tidak sadar bahwa wajahnya saat ini terlihat sangat

pucat. Berkali-kali dia memijat pelipisnya yang terasa nyeri, tapi

dia menepiskan semua rasa sakitnya itu demi menyelesaikan melihat

pertandingan Farrel.

Setelah melalui perjuangan yang cukup berat dan pertandingan

yang sangat keras, akhirnya keinginan Farrel terwujud berkat kerja

keras tim nya. Gabby langsung saja meneteskan air matanya karena

terharu melihat Farrel yang tersenyum bangga di tengah lapangan.

Dengan segera Gabby menuruni tribun dan langsung memeluk Farrel

sesampainya di pinggir lapangan. Dia sangat bangga dengan kerja

keras sahabatnya itu.

“Selamat ya Farrel! Akhirnya impian kamu tercapai. Aku sangat

senang melihatmu saat tersenyum seperti itu.” Ucap Gabby setelah

melepas pelukannya dan menghapus air matanya.

“Terima kasih Gabby, ini semua berkat kamu. Aku sangat senang

kamu bisa datang. Oh ya, aku punya sesuatu untukmu. Tunggu di sini!”

Farrel pergi mengambil tasnya dan kembali membawa sesuatu untuk

Gabby. Dia kembali dengan mengulurkan sebuah kalung berwarna perak

dengan inisial ‘G’. Farrel memasangkan kalung tersebut ke leher

Gabby yang terlihat sangat terkejut bercampur haru. Gabby lalu

kembali memeluk sahabatnya itu lebih erat.

“Aku menyayangimu Gabby..” bisik Farrel. Kalimat Farrel seolah

menohok hati Gabby. Ekpresinya seketika berubah. Dengan segera gadis

itu melepaskan pelukannya dari Farrel dan menatap tepat di kedua

matanya.

“Farrel? Kamu sedang bercanda kan? Aku tahu kamu menyayangiku

hanya sebagai sahabat, tidak lebih.” Gabby mencoba untuk

menghilangkan pikiran negatifnya. Tapi ternyata Gabby tidak

menemukan sedikitpun keraguan yang tersirat di kedua mata Farrel.

“Maafkan aku Gabby. Aku tidak bermaksud..”

Farrel tidak berhasil menyelesaikan kalimatnya. Lidahnya

terasa kelu. Gabby semakin terpojok dalam situasi tersebut. Dia

tidak percaya bahwa sahabatnya telah menyatakan perasaannya

kepadanya. Gadis itu tidak pernah membayangkan hal ini akan terjadi.

Dengan ragu Gabby melepas kalung pemberian Farrel dan

mengembalikannya pada laki-laki tersebut.

“Aku tidak percaya kamu tega merusak persahabatan kita.” Gabby

lalu pergi meninggalkan Farrel yang terdiam di tempatnya berdiri.

Gadis itu terlalu shock menerima hal-hal yang terjadi di luar

dugaannya. Beberapa detik kemudian tiba-tiba dia merasakan nyeri

yang amat sangat di kepalanya. Lututnya terasa lemas kemudian dia

terjatuh. Farrel seketika panik melihat sahabatnya terbaring tak

sadarkan diri.

“Gabby! Bangun Gabby!! Gabby..”

***

Aroma obat-obatan yang menyengat menyeruak masuk ke hidung

Gabby yang perlahan siuman. Dia sudah tidak asing dengan tempat itu.

ICU. Hampir setiap bulan dia mengunjungi tempat tersebut dengan

keadaan memakai selang oksigen dan tangan terpasang infus serta

berbagai alat-alat medis terpasang di tubuhnya saat ia sadarkan

diri. Gadis itu sudah tidak kebingungan seperti pertama kali dia

divonis oleh dokter menderita radang selaput otak dan harus menetap

di ICU selama tiga bulan penuh. Dia sudah mulai terbiasa dengan

kondisi tubuhnya yang tiba-tiba drop jika sudah kelelahan.

Farrel yang sangat khawatir dengan keadaan sahabatnya dengan

setia menunggu Gabby siuman sambil menggenggam tangannya dengan

erat, berusaha memberi kekuatan untuk sahabatnya. Sedikit lega

karena dia mendengar dari dokter bahwa sahabatnya pingsan bukanlah

karena penyakitnya yang kambuh, melainkan karena Gabby kekurangan

oksigen di otak dan terlalu banyak pikiran.

Dengan perlahan Gabby berusaha membuka kedua matanya. Gabby

merasa seseorang sedang menggenggam tangannya dengan erat. Dia yakin

itu bukan Ayah ataupun Bundanya. Suara khas yang tak asing baginya

perlahan menyadarkan Gabby sepenuhnya.

“Gabby? Kamu sudah sadar? Kamu tidak apa? Aku sangat

mengkhawatirkanmu. Maafkan aku, ini semua salahku. Seharusnya aku

tidak melakukan hal itu. Maafkan aku.”

Farrel semakin mempererat genggaman tangannya. Laki-laki itu

merasa sangat bersalah. Kalau saja dia sadar resiko yang akan

diterimanya, mungkin dia akan berpikir ulang untuk tidak menyatakan

perasaannya pada Gabby. Tetapi ucapannya tadi benar-benar reflek, di

luar akal sehatnya. Pikirannya terlalu dipengaruhi oleh perasaan

posesif terhadap Gabby. Dia hanya ingin menjaga gadis itu sepenuhya,

meski dia sadar bahwa selama ini tidak ada satupun laki-laki lain

yang bersama Gabby. Hanya dia, dirinya seorang.

Sejauh ini sudah 8 tahun Farrel bersahabat dengan Gabby,

seorang gadis yang telah membuatnya berjanji memberikan seluruh

hidupnya untuk menjaga gadis itu. Berawal dari lamaran seorang anak

laki-laki berumur delapan tahun kepada seorang gadis yang asyik

bermain ayunan sendirian di taman. Anak laki-laki yang belum

mengerti sepenuhnya mengenai arti sebuah pernikahan itu hanya bisa

mengatakan bahwa mereka akan hidup bahagia selamanya, seperti akhir

cerita dongeng Cinderella ataupun Snow White. Dia hanya ingin

bersama dengan gadis tersebut.

Gadis itu nampak terkejut saat anak laki-laki itu mengajaknya

menikah saat dewasa nanti. Tetapi dengan senyum tipisnya yang

lembut, dia berhasil menolak lamaran anak laki-laki itu dan

membuatnya berjanji tidak akan pernah mengucapkan kalimat seperti

itu lagi. Anak laki-laki yang terlalu terpesona dengan senyuman

gadisnya itu malah berjanji memberikan seluruh hidupnya untuk

menjaga gadis tersebut. ‘Sahabat selamanya’, janji yang diucapkan

mereka berdua, di bawah ribuan bintang, disaksikan sebuah lampu

taman yang menyala redup. Entah bagaimana janji mereka sebagai anak

umur delapan tahun tetap berlaku hingga mereka berdua beranjak

dewasa.

“Maafkan aku, mari kita berpura-pura hal tadi tidak pernah

terjadi. Hanya melanjutkan persahabatan kita.” Sesal Farrel.

Jujur saat ini Gabby merasa sangat kecewa dengan sahabatnya.

Sahabat yang telah dipercayainya selama ini. Gabby tidak menyangka

Farrel akan merusak perjanjian yang dibuatnya sendiri. Saat ini

sulit baginya memikirkan bagaimana seharusnya dia bersikap di

hadapan Farrel. Haruskah dia memaafkan Farrel, melupakan semua yang

telah terjadi, dan melanjutkan hubungannya dengan Farrel sebagai

sepasang sahabat. Atau malah mempertahankan prinsip dan egonya.

Gabby berusaha meraih tangan Farrel yang sedang menggenggam

tangannya.

“Selama ini aku tahu kalau kamu memang menyayangiku, lebih

dari perasaan seorang sahabat. Tapi bisakah kamu berjanji untuk

melupakan perasaanmu padaku dan mulai mencari gadis lain untuk

menjadi pasanganmu? Aku hanya tidak ingin persahabatan kita selama

ini hancur akibat ego salah seorang dari kita. Aku mohon kamu

mengerti Farrel..” dengan suara lirih Gabby berusaha menyelesaikan

kalimatnya tanpa sedikitpun keraguan.

“Baiklah aku mengerti Gabby, aku akan berusaha menjadi sahabat

terbaik untukmu dan melupakan perasaanku.” Farrel mengakhiri

ucapannya dengan berat jauh di dalam lubuk hatinya.

Gadis yang dicintainya dengan terang mengatakan bahwa dia

harus melupakan perasaannya dan mulai mencintai gadis lain, itu sama

saja bunuh diri baginya, batin Farrel. Hal bodoh macam apa ini?

Bagaimana dia harus melupakan Gabby jika yang ada di matanya hanya

gadis itu seorang? Perasaannya tidak pernah berubah sejak pertama

kali mereka menyunggingkan senyum satu sama lain. Hatinya hanya

untuk Gabby, satu-satunya. Bagaimana dia akan hidup bahagia jika

harus mencintai orang lain dengan terpaksa? Yang ada hanyalah Farrel

yang harus menyiapkan hatinya sedikit demi sedikit hancur karena

harus menahan perasaannya terhadap gadis itu.

Setelah mendengarkan penuturan Farrel, mereka berdua bungkam.

Terlalu sibuk dengan pikiran masing-masing untuk sekedar membahas

tentang keadaan Farrel yang masih setia dengan seragam basket yang

dikenakannya.

***

Setelah seminggu penuh dirawat di rumah sakit serta menjalani

berbagai macam tes yang membuatnya merasa muak, Gabby akhirnya

diijinkan pulang oleh dokter. Dia merasa bersyukur karena seminggu

yang membosankan di rumah sakit, Farrel tak pernah absen untuk

menjenguknya dan menemaninya dari sepulang sekolah hingga malam. Dia

dengan setia merawat sahabatnya tersebut hingga akhirnya bisa

kembali pulih dan keluar dari rumah sakit.

“Sayang, kamu di sini dulu dengan Farrel ya, Bunda dan Ayah

akan mengurus administrasi untuk kepulanganmu. Farrel, tolong bantu

Gabby membereskan barang-barangnya.” Perintah Bunda Gabby.

“Baik tante.” Jawab Farrel.

Bundanya kemudian meninggalkan Farrel dan Gabby di kamarnya.

“Kelihatannya kamu senang sekali akan keluar dari rumah

sakit?” tanya Farrel.

Gabby yang sedang melipat pakaiannya tersenyum mendengar

pertanyaan Farrel.

“Sebenarnya aku sudah sangat bosan harus keluar masuk rumah

sakit seperti ini. Aku sangat iri denganmu yang tidak pernah sakit

bahkan pilek sekalipun.”

“Hmm, apa kamu mau aku pura-pura sakit setiap kamu dirawat

agar aku bisa menemanimu?”

Wajah Gabby langsung berubah mendengar pertanyaan Farrel

berikutnya.

“Tidak. Jangan. Tetaplah sehat. Maksudku, jangan pernah sakit.

Kamu tidak tahu bagaimana rasanya harus hidup dengan penyakit

seperti ini.”

“Hei, aku tidak bermaksud membuatmu sedih.”

Farrel khawatir mendengar nada bicara Gabby yang berubah.

“Tidak. Tenang saja. Aku baik-baik saja.”

“Gab, kamu satu-satunya wanita paling tegar yang pernah aku

kenal. Aku tahu hanya kamu yang bisa melewati semua cobaan ini.

Percayalah Tuhan telah menyiapkan hadiah terindah untuk kamu di masa

depan. Aku percaya kamu kuat, aku percaya Gabby sanggup.” Farrel

berusaha menghibur Gabby dan memberinya semangat.

Tanpa disangka, Gabby malah tertawa dengan keras di hadapan

Farrel yang terlihat kebingungan.

“Apa.. ada yang salah dengan kata-kataku?” tanya Farrel heran

“Kata-katamu seperti sedang membujuk orang yang akan melompat

dari atas gedung.” Sergah Gabby.

“Salahmu kenapa membuatku khawatir dengan ucapanmu. Seperti

seseorang yang putus asa saja.”

“Tidak Farrel. Aku tidak putus asa, tidak akan. Aku tidak akan

menyerah. Bahkan aku telah berjanji padamu untuk tidak mengucapkan

hal itu. Aku hanya sepertimu yang bosan dengan fotografi lalu

berpindah ke basket. Aku hanya... ingin kehidupan yang baru.”

Farrel yang sepertinya sudah paham hanya angguk-angguk

mendengar penjelasan Gabby. Lalu ia teringat suatu hal saat dirinya

dipanggil oleh kepala sekolah kemarin siang.

“Gabby, ada yang ingin aku bicarakan denganmu.”

“Kamu ini kenapa? Apa yang ingin kamu bicarakan? Kelihatannya

serius sekali.”

“Kemarin.. kemarin kepala sekolah memanggilku. Dia bilang aku

harus pergi ke Aussie untuk mengikuti pertukaran pelajar, mau tidak

mau.” Farrel terlihat sangat gugup saat menekankan kalimat terakhir.

Gabby bingung harus berekspresi seperti apa saat ini. Dia

sangat terkejut mendengar hal ini. Itu artinya dia harus berpisah

selama setahun dengan Farrel. Hati kecilnya langsung memberontak,

menolak akan hal itu. Gadis itu tidak pernah sekalipun membayangkan

harus berpisah dengan Farrel untuk waktu yang lama. Gabby tidak akan

sanggup jauh dari Farrel. Tetapi Gabby sadar, dia bukan siapa-siapa

yang bisa semaunya mengatur hidup Farrel. Dia tidak bisa seenaknya

menahan Farrel untuk tidak pergi. Ini juga demi masa depan Farrel.

Demi kebahagiaan laki-laki itu.Gabby berusaha menahan air matanya

agar tidak keluar, tidak di hadapan Farrel.

“Kenapa? Bukankah itu hal yang bagus? Kamu bisa belajar lebih

banyak di sana. Kenapa malah kamu terlihat tidak senang dengan hal

ini?” ujar Gabby menolak untuk jujur.

“Aku akan pergi jauh, untuk waktu yang lama. Kenapa kamu tidak

menahanku? Apa kamu senang jika kita berpisah?”

“Tidak! Bukan seperti itu. Tentu saja aku tidak ingin berpisah

denganmu. Tapi ini demi masa depanmu. Kamu tidak boleh melewatkan

kesempatan ini. Bukankah kamu yang selalu mengajariku untuk tidak

pernah melewatkan kesempatan berharga? Kenapa kamu yang mengguruiku

malah tidak menepati ucapanmu?”

“Aku hanya... khawatir karena harus meninggalkanmu.” Ujar

Farrel.

“Farrel dengar ya, aku bukan lagi anak TK yang harus selalu

ditemani kemanapun aku pergi. Lihat aku sudah besar, bahkan tinggiku

hampir sama denganmu. Umur kita juga sama. Jika kamu bisa menjaga

diri, maka aku juga bisa. Pergilah.. pergunakan kesempatan ini

dengan baik. Belajarlah dengan lebih baik di sana. Aku berjanji akan

menunggumu di sini.”

Setelah Gabby mengakhiri ucapannya, Farrel langsung memeluknya

dengan erat.

“Gabby, berjanjilah padaku kalau kamu akan baik-baik saja

selama aku pergi. Berjanjilah kamu tidak akan membuatku khawatir.

Berjanjilah untuk menungguku sampai aku kembali. Aku

menyayangimu...sahabatku.” Farrel berusaha menekankan kata terakhir

agar tidak terjadi lagi kesalahpahaman antara dirinya dengan Gabby.

“Aku juga menyayangimu Farrel, sangat.” Ucapnya dalam hati.

***

Sudah dua bulan sejak kepergian Farrel ke Aussie. Rasanya saat

ini Gabby benar-benar menyesali keputusannya saat mengijinkan Farrel

untuk pergi. Dia benar-benar tidak bisa hidup dengan benar tanpa

adanya Farrel. Rasanya ada yang kurang setiap dia ingin melakukan

sesuatu. Rasanya semua yang dia lakukan tanpa Farrel adalah sebuah

kesalahan. Ingin rasanya dia menarik semua ucapannya dan menyuruh

Farrel kembali saat ini juga.

Tapi itu semua tidak mungkin. Tidak mungkin dia bisa hidup

dengan benar lagi. Tidak mungkin dia akan merasa bahagia lagi. Tidak

mungkin dia menarik ucapannya kembali. Tidak mungkin dia bisa

bertahan sampai Farrel kembali, tidak mungkin. Apalagi semenjak dia

mendengar kondisinya dari dokter. Itu semua rasanya mustahil.

Gabby hanya bisa menyesali semua keadaannya dan menangis

tersedu. Dia hanya berharap keajaiban datang saat itu juga.

***

Farrel terlihat tengah sibuk di depan sebuah layar laptop di

kamar flatnya. Jari-jarinya dengan cekatan mengetik sebuah makalah

yang harus dikumpulkan esok hari. Farrel menyadari selama dia berada

di Aussie, waktu dan pikirannya terkuras dengan banyaknya tugas yang

materinya tidak sebanding dengan di Indonesia. Dia terus bekerja

keras demi bisa menepati janjinya pada Gabby.

Di sela-sela pekerjaannya, muncul notifikasi email masuk di

layarnya.

Date : November, 12th 2014

From : LadySmith [[email protected]]

To : itsFarrel [[email protected]]

Subject: Dasar Pria Jahat!

Dasar tidak tahu diri! Kemana saja kamu selama dua minggu ini?

Apa kamu sesibuk itu hingga tidak punya waktu satu menit saja untuk mengirimiku email?

Aku sangat mengkhawatirkanmu di sini kau tahu?! TT.TT

Farrel tersenyum saat membaca email dari Gabby. Seketika dia

merasa sangat merindukan gadis itu. Sepertinya sikap Gabby belum

juga berubah setelah 5 bulan berpisah dengan Farrel. Sampai kapan

gadis itu bisa bersikap lebih dewasa, pikir Farrel.

Date : November, 12th 2014

From : itsFarrel [[email protected]]

To : LadySmith [[email protected]]

Subject: Sorry :)

Hey Gabby, maaf aku benar-benar sangat sibuk di sini.

Banyak sekali tugas yang harus ku kerjakan, kau tahu kan materi pelajaran di sini tidak

sama dengan sekolah kita-_-

Akan ku usahakan untuk mengirimimu email seminggu sekali.

Haha, ayolaah jangan cemberut seperti itu!

Nah, begitu lebih baik :)

Tunggu aku yaa, aku sudah menyiapkan banyak sekali oleh-oleh untukmu^^

XOXO

Farrel tidak sabar ingin segera kembali ke Indonesia dan

memeluk gadisnya itu. Dia sudah sangat merindukan Gabby. Ingin

sekali dia mencubit pipi gadis itu dan melihatnya cemberut seperti

anak kecil. Ia sangat merindukan hal-hal yang dilaluinya bersama

Gabby.

***

Setelah enam bulan berlalu, akhirnya Farrel dapat

menyelesaikan studinya di Aussie dengan nilai yang sangat baik.

Bulan depan ia akan segera kembali ke Indonesia. Farrel merasa

sangat antusias bisa kembali lagi ke tanah airnya. Sebenarnya dia

sangat senang karena bisa bertemu Gabby lagi secepatnya.

Tapi akhir-akhir ini Gabby jarang sekali mengirimi email

bahkan tidak membalas emailnya minggu lalu. Dia menjadi sangat

khawatir, takut terjadi sesuatu pada Gabby.

Date : May, 15th 2015

From : LadySmith [[email protected]]

To : itsFarrel [[email protected]]

Subject: -

Jika sudah selesai dengan belajarmu di sana segeralah kembali ke Indonesia.

Aku sangat merindukanmu

Salam,

Gabby

Email yang ia terima dari Gabby mengejutkannya. Setelah sekian

lama menunggu, akhirnya Gabby mengiriminya email. Tapi email Gabby

terlihat sedikit aneh, tidak biasanya dia menuliskan salam di

akhir.Tanpa pikir panjang Farrel segera membalas email tersebut

Date : May, 15th 2015

From : itsFarrel [[email protected]]

To : LadySmith [[email protected]]

Subject: Wait me!

Hi Ms.Smith

Bagaimana kabarmu? Kamu baik-baik saja kan?

Aku akan kembali ke Indonesia bulan depan karena masih banyak keperluan yang harus

kuselesaikan terlebih dulu

Ah, kamu pasti sudah tidak sabar bertemu denganku, iya kan?!

Tenang, aku akan langsung mampir ke rumahmu sesampainya di sana. Sabarlah sedikit

nona Smith^^

Sampai jumpa di Indonesia!

XOXO

Farrel segera meninggalkan meja belajarnya dan mengambil

jaket. Ia pikir mungkin lebih baik jika dia pergi berjalan-jalan

sebentar. Mungkin saja dia bisa menemukan sesuatu yang bisa

dijadikan oleh-oleh untuk Gabby.

***

Pesawat yang ditumpangi Farrel akhirnya mendarat di Indonesia.

Dengan perasaan lega dia mengucap syukur karena bisa sampai

Indonesia dengan selamat. Setelah turun dari pesawat, Farrel

langsung menuju bagian money changer untuk menukarkan uangnya yang

masih berupa dollar Australia serta mengurus visa dan paspornya.

Farrel lalu menemui keluarganya yang sudah menunggu di tempat

penjemputan.

“Hai nak, bagaimana sekolahmu?” tanya ayah Farrel.

“Baik yah, semuanya oke meskipun agak sedikit sulit

menyesuaikan diri di sana.” Jawab Farrel

“Kak Farrel, mana oleh-oleh buat Karin?” adik perempuan Farrel

menagih janji kakaknya tersebut sambil menarik-narik tangan Farrel.

“Kamu sabar sedikit dong, aku baru saja sampai. Seharusnya

kamu menanyakan keadaanku.” Farrel yang gemas lalu mencubit pipi

Karin.

“Ish, sakit tau.” Gerutunya. Karin mengelus pipinya yang

terasa sakit.

“Sudah-sudah ayo kita segera pulang, hari sudah semakin sore.”

Ibu Farrel mengajak mereka semua segera pulang

Sesampainya di rumah, Farrel segera menuju kamarnya di lantai

atas. Dia sangat merindukan kamarnya tersebut. Setelah satu tahun di

tinggalkan Farrel, ternyata tidak ada yang berubah dari kamar

tersebut. Dia memang berpesan pada Ibunya agar tidak mengubah

kamarnya sedikitpun.

Setelah makan malam bersama keluarganya, Farrel pamit pergi ke

rumah Gabby. Dia ingin memberi kejutan untuk gadis itu akan

kedatangannya. Farrel sangat tidak sabar ingin melihat reaksi Gabby.

Dengan berbekal jaket dia berjalan kaki ke rumah Gabby yang berjarak

dua blok dari rumahnya.

Farrel langsung mengetuk pintu rumah Gabby sesampainya di

sana. Rumah minimalis bernuansa kayu itu memang selalu terlihat

tenang. Farrel mengira Gabby yang akan membukakan pintu untuknya,

ternyata Bunda Gabby yang ada di hadapannya.

“Oh Farrel, kamu sudah kembali ke Indonesia. Ada apa malam-

malam kesini?” tanya Bunda Gabby.

“Iya Tante, aku baru saja sampai tadi sore. Boleh aku bertemu

Gabby?”

Raut wajah Bunda Gabby sedikit berubah, namun Farrel tidak

menyadarinya.

“Masuklah dulu.” Perintah Bunda Gabby

Farrel lalu masuk ke rumah itu dan duduk di ruang tamu. Farrel

agak bingung melihat sikap Bunda Gabby yang meninggalkannya masuk ke

dalam begitu saja. Alhasil Farrel hanya bisa menunggu dengan cemas.

Beberapa menit kemudian Bunda Gabby kembali dengan membawa sebuah

kotak kardus besar berwarna cokelat. Sepertinya dia mengenali kotak

itu, pikirnya.

“Gabby menitipkan ini untukmu.” Ujar Bunda Gabby.

“Tapi Gabby mana Tante?” Farrel yang masih kebingungan melihat

kotak tersebut.

“Gabby sudah pergi...”

“Maaf?” Farrel pikir salah dengar.

“Gabby.., Gabby sudah meninggal Farrel...”

DEG!

Kalimat Bunda Gabby mengejutkan saraf di otaknya sehingga dia

tidak bisa berpikir apapun. Beberapa detik berselang Farrel terlihat

seperti orang bodoh, pandangannya kosong. Detik berikutnya barulah

dia sadar. Kejutan yang dia rencanakan untuk Gabby berbalik ke

dirinya sendiri.

Saat ini Farrel bukan lagi sekedar terkejut. Dia dapat

merasakan jantungnya berhenti berdetak selama beberapa saat.

Napasnya tercekat, lidahnya kelu. Air matanya seakan terdesak

keluar, namun ia tidak mungkin menangis sekarang. Harga dirinya

sebagai laki-laki masih tetap ia pertahankan.

“Gabby meninggal sebulan yang lalu, tepat setelah Gabby

meminta tante mengirimkan email terakhir untukmu. Dia sangat lemah

saat itu, tapi Tante masih bisa mengingat dengan jelas wajah Gabby

yang berusaha untuk tetap kuat. Gabby bilang dia hanya ingin bertemu

dengan kamu sekali saja. Tante berusaha memeluknya dan memberinya

semangat untuk bertahan. Dia setuju untuk bertahan demi menunggu

kamu, tanpa air mata. Tetapi beberapa menit kemudian dia sudah tidak

sadarkan diri dalam pelukan tante. Dokter mengatakan tidak bisa

menangani Gabby lebih lanjut lagi. Tante berusaha untuk ikhlas dan

menerima kepergian Gabby. Dia memang gadis yang kuat, dia tidak

pernah menyerah akan apapun. Dia hanya menerima ketetapan dan takdir

Tuhan untuknya. Maafkan tante tidak memberitahumu karena tante takut

hal ini akan mengganggu sekolahmu di sana.”

Setelah menjelaskan semuanya pada Farrel, Bunda Gabby

meninggalkan laki-laki yang masih terlihat kebingungan itu. Farrel

berusaha mencerna penjelasan Bunda Gabby tadi. Semua ini terasa

seperti mimpi baginya. Mungkin saja dia akan terbangun di kamar

flatnya setelah ini, pikirnya. Tapi semua ini terasa begitu nyata

untuk dinamakan mimpi. Dia tidak dapat berfikir sehat untuk saat

ini. Bahkan ia tidak sadar ketika pulang membawa kotak tersebut dan

kembali ke kamarnya.

Ibunya cemas melihat kepulangan anaknya dengan sikap yang

aneh. Apalagi Farrel langsung mengunci pintu kamarnya yang membuat

ibunya semakin khawatir.

“Farrel? Kamu kenapa? Kamu tidak apa-apa sayang?” tanya Ibunya

“Tidak bu, aku tidak apa-apa. Tinggalkan aku, aku mengantuk.”

Sangkalnya.

Tidak apa-apa? Kebohongan macam apa itu. Farrel memang tidak

pandai untuk berbohong dengan perasaannya, terlebih saat ini. Dia

masih berusaha menata perasaannya yang campur aduk saat ini. Ada apa

dengan Gabby? Ada apa dengan semua ini? Mengapa begitu cepat?

Semua pertanyaan di otaknya membuat kepalanya sakit. Yang bisa

dia lakukan saat ini hanya menangis. Masa bodoh dengan harga diri,

batinnya. Terkadang manusia juga butuh menangis untuk meluapkan

perasaannya, begitu juga dengan laki-laki. Dia memilih untuk

menangis semalaman dan mungkin mengunci dirinya untuk beberapa hari.

Dia perlu untuk menjernihkan pikirannya dan menata hatinya sekarang.

***

Seminggu berlalu. Hari-hari menyedihkan itu ia lalui dengan

berusaha tegar. Menerima semua yang telah terjadi. Kotak peninggalan

Gabby juga belum sanggup untuk dibukanya. Saat ini dia masih belum

ingin mengingat akan gadis itu dan mengeluarkan air matanya lagi.

Tapi sepertinya keberuntungan tidak berpihak padanya akhir-akhir

ini. Semua yang ia inginkan kenyataannya berbanding terbalik.

Karin datang mengganggu kakaknya yang sedang membaca buku di

pinggir kolam renang belakang rumahnya.

“Kak Farrel, nonton yuk! Ada film bagus di bioskop.” rayu

Karin.

“Pergi saja sendiri. Aku sedang tidak mood.” Jawab Farrel

tanpa melepaskan matanya dari buku yang ia baca.

Karin menggerutu sejenak lalu pergi meninggalkannya begitu

saja. Namun beberapa menit kemudian ia kembali lagi membawa sesuatu.

“Dari pada kakak baca buku tebel ngga jelas itu mending baca

ini.” Karin menyodorkan sebuah buku yang menghalangi pandangan

Farrel dari buku sebelumnya.

Farrel yang penasaran lalu menutup buku yang ia baca dan

segera mengambil buku dari tangan Karin.

“Kamu dapet darimana?” tanya Farrel.

“Tadinya Karin mau pinjem komputer kakak, tapi Karin nemuin

ini di meja kak Farrel, di samping kotak cokelat itu.” Jelasnya.

“Yaudah kamu main komputer saja sana.” Perintah Farrel.

Setelah Karin meninggalkannya sendirian, ia mulai membuka buku

berwarna putih tersebut. Dugaan Farrel benar, itu buku diary milik

Gabby. Farrel mulai membaca diary itu satu halaman demi satu

halaman.

July, 8th 2013

Dear diary,

Ternyata yang dikatakan banyak orang mengenai hari senin itu tidak benar. Banyakyang bilang hari senin adalah hari yang paling membosankan, tapi menurutku

tidak. Itu semua karena Farrel. Dia tiba-tiba datang ke kelasku dan memberiku kejutan. Coba tebak!Yeahh, dia membawakan dua tiket konser Jazz Nite yang sangat ku tunggu-tunggu. Aku jadi tidak sabar menunggu untuk malam minggu besok^^

August, 19th2013

Dear diary,

Hari ini tepat hari ke 40 setelah pertama aku dirawat di rumah sakit ini, lebih tepatnya hari ketiga aku bangun dari tidur panjangku setelah mengalami koma berminggu-minggu. Aku tidak ingat sepenuhnya mengapa aku bisa di sini, tetapi Ayah dengan senang hati menjelaskannya padaku. Dia berkata menemukanku pingsan saat sedang di kamar mandi. Ayah juga bilang saat itu Bunda sangat panikketika aku dilarikan ke rumah sakit. Bunda juga sempat pingsan saat mendengar diagnosa dokter mengenai penyakitku. Aku menderita radang selaput otak dan harus dioperasi dan dikemoterapi. Aku merasa sangat bersalah membuat kedua orang tuaku sangat khawatir. Maka aku mencoba meyakinkan mereka bahwa kondisiku sudah tidak apa-apa dan menyuruh mereka untuk tidak terlalu mengkhawatirkan aku. Yah, aku memang tidak apa-apa, setidaknya untuk sekarang...

August, 25th2013

Dear diary,

Sudah seminggu penuh Farrel tidak pernah absen untuk menjengukku. Aku sangat senang. Setidaknya aku tidak akan mati kebosanan berada di rumah sakit ini. Dia juga sangat baik selalu membelikan aku makanan apapun yang aku minta. Karena hari ini hari minggu, dia datang pagi sekali dan membawakan aku sekotak brownies kesukaanku. Sungguh sahabat kesayanganku. Kami berdua menghabiskan sekotak brownies tersebut dengan menonton belasan film hingga malam. Aku agak sedih ketika dia harus pulang, tetapi dia berjanji akan selalu menjengukku setiap hari sepulang sekolah seperti biasanya.

Sekarang keinginanku hanyalah secepatnya keluar dari rumah sakit ini...

December, 10th2013

Dear diary,

Dua hari ini aku menginap di ruang ICU rumah sakit, lagi. Aku tidak mengerti dengan kondisi tubuhku saat ini. Bisa saja seharian aku sehat dan segar, tapi besoknya aku langsung di larikan ke rumah sakit. Bahkan aku harus rela meninggalkan ujianku minggu ini karena kondisi tubuhku yang tidak tentu ini. Aku sangat bosan harus berada di ruangan berbau obat-obatan ini. Ah, Farrel pasti sangat khawatir denganku. Tidak, tidak boleh. Dia harus fokus dengan ujiannya. Tuhan, tolong beri aku kekuatan untuk bisa keluar dari rumah sakit ini. Setidaknya seminggu ini, biarkan aku mengikuti ujian sekolah. Aku tidak ingin Farrel khawatir denganku...

May, 25th 2014

Dear diary,

Aku tidak pernah menyangka hal ini akan terjadi. Kamu tahu apa? Tadi siang Farrel menyatakan cintanya padaku. Aku bahkan tidak pernah sekalipun membayangkan hal ini terjadi. Tidak, tidak pernah. Karena aku tahu jika dia mencintaiku, maka hal itu hanya akan menghancurkan dirinya sendiri.

Kamu tahu dokter tadi berkata apa padaku. Dia bilang radang selaput di otakku kini berubah menjadi tumor. Dia bilang umurku sudah tidak lama lagi. Aku berniat untuk merahasiakan hal ini dari Farrel bahkan Ayah dan Bunda. Karena jika merekatahu tentang kondisiku, itu sama saja menghancurkan harapan mereka perlahan-lahan. Aku tidak ingin itu terjadi. Terutama pada Farrel. Aku tidak ingin dia terluka karena aku. Aku terlalu menyayangi Farrel, aku selalu menyayanginya, tapi aku tidak ingin dia tahu tentang hal itu. Aku tidak ingin menghancurkan dirinya karena penyakitku. Biarkan hubungan kita selalu sebagai sahabat hingga waktu yang akanmengungkapkan segalanya...

June, 1st 2014

Dear diary,

Tadi siang Farrel berkata padaku bahwa dia akan pergi ke Aussie untuk melakukan pertukaran pelajar. Dia sempat berpikir untuk menolak tawaran itu dari kepala sekolah karena tidak ingin meninggalkanku. Aku juga tidak ingin Farrel pergi, tapi aku malah membuatnya berubah pikiran dan memutuskan untuk pergi. Aku tidak tahu apakah keputusanku ini sudah benar atau malah sebaliknya. Tapi aku tetap harus merelakan Farrel pergi. Aku sadar ini demi kebaikannya. Tidak mungkin aku mencegahnya pergi hanya untuk memuaskan egoku. Kamu tahu betapa sulitnya menahan air mata di depan Farrel tadi? Rasanya lebih buruk dibanding harus berbaring di atas meja operasi. Aku benar-benar tidak bisa membohongi diriku sendiri bahwa aku sangat membutuhkan Farrel. Aku hanya berharap dia akan kembali tepat pada waktunya, sebelum aku pergi...

August, 8th 2014

Dear diary,

Hari ini hari paling buruk yang pernah aku alami. Kenapa semua hal yang aku lakukan tidak ada yang benar. Bahkan saat aku bernapas pun rasanya tidak benar. Kenapa? Kenapa sejak Farrel pergi hidupku menjadi seperti ini? Padahal aku sudah berjanji padanya bahwa aku akan baik-baik saja. Kenapa selalu ingkar yang aku lakukan saat di belakangnya. Aku tidak pernah baik-baik saja selama ini. Bahkan aku mungkin tidak sanggup bertahan sampai Farrel kembali. Oh Tuhan, sampaikanmaafku padanya jika aku tidak diberi kesempatan untuk bertemu dengannya...

Perasaan Farrel campur aduk saat membaca diary tersebut.

Terkejut, senang, sedih, bercampur menjadi satu. Saat Farrel membuka

halaman berikutnya, dia menemukan sebuah surat lengkap dengan

amplopnya yang berwarna merah hati. Penasaran, Farrel membuka amplop

tersebut dan menemukan surat dengan tulisan tangan Gabby.

TO : Mr. Farrel Fergusson^^

Hi Farrel,

Bagaimana sekolahmu di Aussie? Nilaimu bagus kan? Pasti menyenangkan sekali bisa sekolah di luar negeri sepertimu. Itu sebabnya aku selalu iri denganmu. Mulai dari prestasimu, keberuntunganmu, hingga dirimu yang selalu diidolakan banyak gadis-gadis di sekolah. Aku bahkan tidak pernah sekalipun mendapat surat cinta seperti milikmu.

Tahukah kamu bagaimana keadaanku saat aku menulis surat ini? Aku benar-benar sangat merindukanmu, setengah mati rasanya. Aku tidak tahu berapa banyak tisu yang ku habiskan karena takut air mataku membasahi surat ini. Aku bahkan sempat menyesal saat merelakan dirimu pergi ke Aussie. Tapi aku tidak tahan harus terus menerus bergantung denganmu. Ingin sesekali aku hidup dengan jalanku sendiri. Mencoba mencari peruntunganku tanpa hadirmu di sini. Dan ternyata aku sadar bahwa hidupku tidak sepenuhnya benar sejak saat kamu pergi. Semua yang aku lakukan rasanya tidak benar. Bahkan bernapas pun rasanyasulit sekali. Kenapa? Kenapa kamu membuatku begitu bergantung padamu?

Aku sudah mencoba bertahan, setidaknya sampai hari ini. Tapi aku tidak terlalu optimis dengan diagnosa dokter. Maka aku memutuskan untuk menulis surat ini jika suatu saat aku tidak diberi kesempatan bertemu denganmu. Seandainya masih diberi waktu untuk bertahan, aku tidak akan menyia-nyiakannyalagi. Aku ingin sekali menjemputmu di bandara, memelukmu erat, dan berbisik di telingamu. Mengatakan semua yang selama ini aku simpan, semua yang aku sembunyikan darimu. Mengatakan bahwa aku sangat mencintaimu dan aku merindukanmu Farrel. Mengatakan bahwa aku ingin melanjutkan hubungan kita, dengan kisah yang berbeda, dari awal. Lalu mengatakan maaf bahwa selama ini aku berpura-pura tidak mencintaimu dan menyuruhmu melupakan perasaanmu padaku, yang aku tahu bahwa hal itu tidak mungkin. Maafkan aku sudah menyulitkan dirimu. Aku tahu kamu pasti sangat tidak nyaman dengan keegoisanku. Tapi itu semua demi kebaikanmu. Aku tidak ingin kamu hancur karenamencintaiku. Aku tidak ingin kamu merasa kehilangan atas diriku. Biarkan aku saja yang selalu menyayangimu, hingga waktu tidak lagi berjalan.

Terima kasih Farrel, atas semua yang kamu beri untukku. Atas semua hal baik dan buruk yang kita alami bersama. Semua hal yang dapat dijadikan kenangan. Terima kasih telah hadir dalam hidupku. Aku tidak akan tahu bagaimana kehidupanku tanpa sebuah lamaran di taman bermain waktu itu, yang belum sempat terjawab bahkan sampai saat ini. Yang aku tahu saat ini aku merindukanmu Farrel, sangat merindukanmu. Mungkin rindu ini akan terus

menyiksaku hingga aku tidak sanggup lagi bertahan. Semoga kamu akan baik-baik saja di sana. Semoga kamu selalu menjadi Farrel, sahabatku yang aku idolakan selama ini. Jangan jadikan kepergianku sebuah penderitaan untukmu. Ingatlah aku sebagai seorang gadis yang pernah berjanji padamu untuk tidak pernah menyerah menjalani hidup. Berjanjilah padaku untuk mengingatku dengan senyum, bukan dengan air mata.

Sekali lagi maafkan aku jika aku pergi terlalu cepat dan tidak sempat berpamitan denganmu. Tapi ingatlah satu hal bahwa matahari tidak akan pernah meninggalkan sinarnya, seperti halnya diriku yang tidak akan pernah berhenti mencintaimu. Dan kamu akan menjadi sahabat terbaikku, untuk selamanya.

Aku menyayangimu Farrel, sangat...

Mataharimu,Gabby

Kini Farrel tahu alasan Gabby selama ini menyuruhnya untuk melupakan perasaannya. Menyembunyikan perasaannya selama bertahun-tahun sangat sulit bagi Farrel. Namun ternyata Gabby juga melakukan hal yang sama. Farrel merasa benar-benar dibodohi untuk saat ini. Tapi rasa marahnya tidak sanggup mengalahkan rasa rindunya pada Gabby. Seandainya gadis itu ada di sini, pasti situasinya tidak akansesulit ini. Tapi Farrel yakin bahwa Gabby akan lebih bahagia di surga sana.

“Aku juga menyayangimu Gabby, sangat...”

-END-