We Belong Bestfriend
Hari minggu pagi pukul 05.00 tepat, bunyi alarm yang berada di
meja samping tempat tidur Gabby terdengar sangat memekakkan telinga.
Matanya yang semula terpejam dalam sekejap terbuka saat mendengar
bunyi nyaring tersebut. Dengan cepat gadis itu menekan tombol yang
ada pada jam berwarna pink tersebut untuk mematikan bunyi alarm yang
telah sukses mengganggu tidurnya. Dalam hati, Gabby bersumpah
serapah merutuki bunyi alarm yang hampir setiap pagi merusak mimpi
indahnya itu.
Tiba-tiba saja rasa haus menyerang tenggorokannya. Tanpa
komando, tangan Gabby terulur berusaha mengambil gelas yang ada di
samping jam mejanya. Hampir setengah gelas air dia teguk dalam
hitungan detik. Setelah mengembalikan gelas tersebut ke tempat
semula, gadis itu kembali menarik selimut. Badannya masih terasa
sangat lemas. Gabby dapat merasakan suhu tubuhnya yang belum juga
turun sejak tadi malam. Dia memejamkan kedua matanya, berusaha
kembali mengistirahatkan tubuhnya. Tepat sedetik sebelum dia mencoba
kembali tidur, ponselnya berbunyi. Sebuah email yang masuk ke
inboxnya membuat kedua matanya kembali terbuka lebar.
Date : May, 25th 2014
From : itsFarrel [[email protected]]
To : LadySmith [[email protected]]
Subject: Please Come >_<
GDMorning Ms. Smith
Kamu tidak lupa kan hari ini pertandingan finalku?
Aku harap kamu datang tepat waktu, aku punya kejutan untukmu!
XOXO
Dengan cepat Gabby membalas email tersebut.
Date : May, 25th 2014
From : LadySmith [[email protected]]
To : itsFarrel [[email protected]]
Subject: I’m Sorry :(
Hi Farrel, aku harap kamu tidak kecewa jika aku tidak datang untuk melihat kamu
bertanding. Tapi ku pikir aku benar-benar tidak bisa bangun dari kasurku!
Aku merasa kalau kondisi tubuhku akhir-akhir ini agak kurang baik.
Sukses untuk pertandingannya! Goodluck!
Setelah mengirimkan pesan tersebut, dengan cepat dia mematikan
ponselnya. Gadis itu tidak bermaksud untuk membuat sahabatnya
khawatir, tetapi dia tahu Farrel akan nekat membatalkan
pertandingannya jika dia menelponnya dan mengetahui kondisi gadis
tersebut hanya dengan mendengar suaranya. Gabby memutuskan untuk
tidak memikirkan apapun dan menarik selimut untuk kembali tidur.
Sudah berkali-kali Gabby mengubah posisi, tetapi tetap saja dia
belum juga dapat melanjutkan tidurnya. Terang saja, pikirannya
terusik akan pertandingan itu. Farrel sudah lama mengidamkan
kemenangan ini, tetapi dengan mudahnya dia merusak impian sahabatnya
dengan mengatakan tidak bisa hadir untuk melihatnya bertanding.
Gabby bergulat dengan pikirannya sendiri. Dia takut tubuhnya
tidak akan mampu untuk menghadiri pertandingan itu, tetapi dia juga
sadar dirinya tidak boleh egois dan menghancurkan impian Farrel
begitu saja. Setelah beberapa saat mengumpulkan tekadnya, gadis itu
segera mengirim email untuk Farrel dan mengatakan bahwa dia akan
datang ke pertandingannya. Dengan cepat dia bangkit dari tempat
tidurnya, menyambar handuk lalu masuk ke kamar mandi. Oke Gabby, aku
yakin kamu bisa pergi kali ini, ujarnya pada dirinya sendiri.
***
Gabby agak telat sesampainya di tempat pertandingan Farrel.
Setelah berupaya membujuk Ayah dan Bundanya dengan meyakinkan mereka
bahwa dirinya akan baik-baik saja, Gabby akhirnya diijinkan pergi ke
pertandingan Farrel. Bundanya sangat khawatir jika Gabby membawa
sepeda motor sendiri. Akhirnya Gabby mengalah dan setuju untuk
berangkat dengan taksi demi diperbolehkan pergi.
Para supporter terlihat sudah berkumpul memenuhi tribun-tribun
di stadion itu. Masing-masing dari mereka menggunakan atribut sesuai
dengan tema sekolahnya dan menyanyikan yel-yel dengan semangat.
Gabby segera berjalan menuju salah satu tribun yang terlihat lumayan
sepi lalu memilih duduk di bagian tengah. Dengan begitu, dia dapat
dengan jelas menyaksikan Farrel yang sedang bermain basket dengan
semangatnya.
Tiba-tiba ponselnya berdering, sebuah panggilan masuk.
“Hallo?”
“Hey Gabby? Kamu di mana?”
“Aku duduk di tribun kiri.”
“Aku sangat senang kamu datang.”
“Haha, sudahlah. Cepat sana cetak poin sebanyak-banyaknya,
goodluck!”
Gabby mengakhiri perbincangannya setelah melihat para pemain
memasuki lapangan. Dia menangkap sosok laki-laki bertubuh jangkung
menggunakan seragam basket berwarna merah sedang membuang
pandangannya ke seluruh penjuru stadion. Gabby tahu Farrel sedang
mencari dirinya. Setelah mata mereka bertemu, Farrel melambaikan
tangannya pada Gabby. Gadis itu membalas dengan mengepalkan
tangannya dan mengucapkan kata SE-MA-NGAT tanpa bersuara. Interaksi
mereka diakhiri dengan senyum manis di bibir Farrel yang segera
masuk ke lapangan sesuai instruksi pelatihnya.
Pertandingan tersebut berlangsung sangat meriah. Para penonton
terlihat sangat antusias dan para pendukung tidak henti-hentinya
menyanyikan yel-yel untuk menyemangati teman-teman mereka yang
bertanding di lapangan. Gabby melirik arlojinya, sudah pukul 12.30.
Dia merasa agak sesak berada di tengah-tengah kerumunan banyak
orang. Gadis itu tidak sadar bahwa wajahnya saat ini terlihat sangat
pucat. Berkali-kali dia memijat pelipisnya yang terasa nyeri, tapi
dia menepiskan semua rasa sakitnya itu demi menyelesaikan melihat
pertandingan Farrel.
Setelah melalui perjuangan yang cukup berat dan pertandingan
yang sangat keras, akhirnya keinginan Farrel terwujud berkat kerja
keras tim nya. Gabby langsung saja meneteskan air matanya karena
terharu melihat Farrel yang tersenyum bangga di tengah lapangan.
Dengan segera Gabby menuruni tribun dan langsung memeluk Farrel
sesampainya di pinggir lapangan. Dia sangat bangga dengan kerja
keras sahabatnya itu.
“Selamat ya Farrel! Akhirnya impian kamu tercapai. Aku sangat
senang melihatmu saat tersenyum seperti itu.” Ucap Gabby setelah
melepas pelukannya dan menghapus air matanya.
“Terima kasih Gabby, ini semua berkat kamu. Aku sangat senang
kamu bisa datang. Oh ya, aku punya sesuatu untukmu. Tunggu di sini!”
Farrel pergi mengambil tasnya dan kembali membawa sesuatu untuk
Gabby. Dia kembali dengan mengulurkan sebuah kalung berwarna perak
dengan inisial ‘G’. Farrel memasangkan kalung tersebut ke leher
Gabby yang terlihat sangat terkejut bercampur haru. Gabby lalu
kembali memeluk sahabatnya itu lebih erat.
“Aku menyayangimu Gabby..” bisik Farrel. Kalimat Farrel seolah
menohok hati Gabby. Ekpresinya seketika berubah. Dengan segera gadis
itu melepaskan pelukannya dari Farrel dan menatap tepat di kedua
matanya.
“Farrel? Kamu sedang bercanda kan? Aku tahu kamu menyayangiku
hanya sebagai sahabat, tidak lebih.” Gabby mencoba untuk
menghilangkan pikiran negatifnya. Tapi ternyata Gabby tidak
menemukan sedikitpun keraguan yang tersirat di kedua mata Farrel.
“Maafkan aku Gabby. Aku tidak bermaksud..”
Farrel tidak berhasil menyelesaikan kalimatnya. Lidahnya
terasa kelu. Gabby semakin terpojok dalam situasi tersebut. Dia
tidak percaya bahwa sahabatnya telah menyatakan perasaannya
kepadanya. Gadis itu tidak pernah membayangkan hal ini akan terjadi.
Dengan ragu Gabby melepas kalung pemberian Farrel dan
mengembalikannya pada laki-laki tersebut.
“Aku tidak percaya kamu tega merusak persahabatan kita.” Gabby
lalu pergi meninggalkan Farrel yang terdiam di tempatnya berdiri.
Gadis itu terlalu shock menerima hal-hal yang terjadi di luar
dugaannya. Beberapa detik kemudian tiba-tiba dia merasakan nyeri
yang amat sangat di kepalanya. Lututnya terasa lemas kemudian dia
terjatuh. Farrel seketika panik melihat sahabatnya terbaring tak
sadarkan diri.
“Gabby! Bangun Gabby!! Gabby..”
***
Aroma obat-obatan yang menyengat menyeruak masuk ke hidung
Gabby yang perlahan siuman. Dia sudah tidak asing dengan tempat itu.
ICU. Hampir setiap bulan dia mengunjungi tempat tersebut dengan
keadaan memakai selang oksigen dan tangan terpasang infus serta
berbagai alat-alat medis terpasang di tubuhnya saat ia sadarkan
diri. Gadis itu sudah tidak kebingungan seperti pertama kali dia
divonis oleh dokter menderita radang selaput otak dan harus menetap
di ICU selama tiga bulan penuh. Dia sudah mulai terbiasa dengan
kondisi tubuhnya yang tiba-tiba drop jika sudah kelelahan.
Farrel yang sangat khawatir dengan keadaan sahabatnya dengan
setia menunggu Gabby siuman sambil menggenggam tangannya dengan
erat, berusaha memberi kekuatan untuk sahabatnya. Sedikit lega
karena dia mendengar dari dokter bahwa sahabatnya pingsan bukanlah
karena penyakitnya yang kambuh, melainkan karena Gabby kekurangan
oksigen di otak dan terlalu banyak pikiran.
Dengan perlahan Gabby berusaha membuka kedua matanya. Gabby
merasa seseorang sedang menggenggam tangannya dengan erat. Dia yakin
itu bukan Ayah ataupun Bundanya. Suara khas yang tak asing baginya
perlahan menyadarkan Gabby sepenuhnya.
“Gabby? Kamu sudah sadar? Kamu tidak apa? Aku sangat
mengkhawatirkanmu. Maafkan aku, ini semua salahku. Seharusnya aku
tidak melakukan hal itu. Maafkan aku.”
Farrel semakin mempererat genggaman tangannya. Laki-laki itu
merasa sangat bersalah. Kalau saja dia sadar resiko yang akan
diterimanya, mungkin dia akan berpikir ulang untuk tidak menyatakan
perasaannya pada Gabby. Tetapi ucapannya tadi benar-benar reflek, di
luar akal sehatnya. Pikirannya terlalu dipengaruhi oleh perasaan
posesif terhadap Gabby. Dia hanya ingin menjaga gadis itu sepenuhya,
meski dia sadar bahwa selama ini tidak ada satupun laki-laki lain
yang bersama Gabby. Hanya dia, dirinya seorang.
Sejauh ini sudah 8 tahun Farrel bersahabat dengan Gabby,
seorang gadis yang telah membuatnya berjanji memberikan seluruh
hidupnya untuk menjaga gadis itu. Berawal dari lamaran seorang anak
laki-laki berumur delapan tahun kepada seorang gadis yang asyik
bermain ayunan sendirian di taman. Anak laki-laki yang belum
mengerti sepenuhnya mengenai arti sebuah pernikahan itu hanya bisa
mengatakan bahwa mereka akan hidup bahagia selamanya, seperti akhir
cerita dongeng Cinderella ataupun Snow White. Dia hanya ingin
bersama dengan gadis tersebut.
Gadis itu nampak terkejut saat anak laki-laki itu mengajaknya
menikah saat dewasa nanti. Tetapi dengan senyum tipisnya yang
lembut, dia berhasil menolak lamaran anak laki-laki itu dan
membuatnya berjanji tidak akan pernah mengucapkan kalimat seperti
itu lagi. Anak laki-laki yang terlalu terpesona dengan senyuman
gadisnya itu malah berjanji memberikan seluruh hidupnya untuk
menjaga gadis tersebut. ‘Sahabat selamanya’, janji yang diucapkan
mereka berdua, di bawah ribuan bintang, disaksikan sebuah lampu
taman yang menyala redup. Entah bagaimana janji mereka sebagai anak
umur delapan tahun tetap berlaku hingga mereka berdua beranjak
dewasa.
“Maafkan aku, mari kita berpura-pura hal tadi tidak pernah
terjadi. Hanya melanjutkan persahabatan kita.” Sesal Farrel.
Jujur saat ini Gabby merasa sangat kecewa dengan sahabatnya.
Sahabat yang telah dipercayainya selama ini. Gabby tidak menyangka
Farrel akan merusak perjanjian yang dibuatnya sendiri. Saat ini
sulit baginya memikirkan bagaimana seharusnya dia bersikap di
hadapan Farrel. Haruskah dia memaafkan Farrel, melupakan semua yang
telah terjadi, dan melanjutkan hubungannya dengan Farrel sebagai
sepasang sahabat. Atau malah mempertahankan prinsip dan egonya.
Gabby berusaha meraih tangan Farrel yang sedang menggenggam
tangannya.
“Selama ini aku tahu kalau kamu memang menyayangiku, lebih
dari perasaan seorang sahabat. Tapi bisakah kamu berjanji untuk
melupakan perasaanmu padaku dan mulai mencari gadis lain untuk
menjadi pasanganmu? Aku hanya tidak ingin persahabatan kita selama
ini hancur akibat ego salah seorang dari kita. Aku mohon kamu
mengerti Farrel..” dengan suara lirih Gabby berusaha menyelesaikan
kalimatnya tanpa sedikitpun keraguan.
“Baiklah aku mengerti Gabby, aku akan berusaha menjadi sahabat
terbaik untukmu dan melupakan perasaanku.” Farrel mengakhiri
ucapannya dengan berat jauh di dalam lubuk hatinya.
Gadis yang dicintainya dengan terang mengatakan bahwa dia
harus melupakan perasaannya dan mulai mencintai gadis lain, itu sama
saja bunuh diri baginya, batin Farrel. Hal bodoh macam apa ini?
Bagaimana dia harus melupakan Gabby jika yang ada di matanya hanya
gadis itu seorang? Perasaannya tidak pernah berubah sejak pertama
kali mereka menyunggingkan senyum satu sama lain. Hatinya hanya
untuk Gabby, satu-satunya. Bagaimana dia akan hidup bahagia jika
harus mencintai orang lain dengan terpaksa? Yang ada hanyalah Farrel
yang harus menyiapkan hatinya sedikit demi sedikit hancur karena
harus menahan perasaannya terhadap gadis itu.
Setelah mendengarkan penuturan Farrel, mereka berdua bungkam.
Terlalu sibuk dengan pikiran masing-masing untuk sekedar membahas
tentang keadaan Farrel yang masih setia dengan seragam basket yang
dikenakannya.
***
Setelah seminggu penuh dirawat di rumah sakit serta menjalani
berbagai macam tes yang membuatnya merasa muak, Gabby akhirnya
diijinkan pulang oleh dokter. Dia merasa bersyukur karena seminggu
yang membosankan di rumah sakit, Farrel tak pernah absen untuk
menjenguknya dan menemaninya dari sepulang sekolah hingga malam. Dia
dengan setia merawat sahabatnya tersebut hingga akhirnya bisa
kembali pulih dan keluar dari rumah sakit.
“Sayang, kamu di sini dulu dengan Farrel ya, Bunda dan Ayah
akan mengurus administrasi untuk kepulanganmu. Farrel, tolong bantu
Gabby membereskan barang-barangnya.” Perintah Bunda Gabby.
“Baik tante.” Jawab Farrel.
Bundanya kemudian meninggalkan Farrel dan Gabby di kamarnya.
“Kelihatannya kamu senang sekali akan keluar dari rumah
sakit?” tanya Farrel.
Gabby yang sedang melipat pakaiannya tersenyum mendengar
pertanyaan Farrel.
“Sebenarnya aku sudah sangat bosan harus keluar masuk rumah
sakit seperti ini. Aku sangat iri denganmu yang tidak pernah sakit
bahkan pilek sekalipun.”
“Hmm, apa kamu mau aku pura-pura sakit setiap kamu dirawat
agar aku bisa menemanimu?”
Wajah Gabby langsung berubah mendengar pertanyaan Farrel
berikutnya.
“Tidak. Jangan. Tetaplah sehat. Maksudku, jangan pernah sakit.
Kamu tidak tahu bagaimana rasanya harus hidup dengan penyakit
seperti ini.”
“Hei, aku tidak bermaksud membuatmu sedih.”
Farrel khawatir mendengar nada bicara Gabby yang berubah.
“Tidak. Tenang saja. Aku baik-baik saja.”
“Gab, kamu satu-satunya wanita paling tegar yang pernah aku
kenal. Aku tahu hanya kamu yang bisa melewati semua cobaan ini.
Percayalah Tuhan telah menyiapkan hadiah terindah untuk kamu di masa
depan. Aku percaya kamu kuat, aku percaya Gabby sanggup.” Farrel
berusaha menghibur Gabby dan memberinya semangat.
Tanpa disangka, Gabby malah tertawa dengan keras di hadapan
Farrel yang terlihat kebingungan.
“Apa.. ada yang salah dengan kata-kataku?” tanya Farrel heran
“Kata-katamu seperti sedang membujuk orang yang akan melompat
dari atas gedung.” Sergah Gabby.
“Salahmu kenapa membuatku khawatir dengan ucapanmu. Seperti
seseorang yang putus asa saja.”
“Tidak Farrel. Aku tidak putus asa, tidak akan. Aku tidak akan
menyerah. Bahkan aku telah berjanji padamu untuk tidak mengucapkan
hal itu. Aku hanya sepertimu yang bosan dengan fotografi lalu
berpindah ke basket. Aku hanya... ingin kehidupan yang baru.”
Farrel yang sepertinya sudah paham hanya angguk-angguk
mendengar penjelasan Gabby. Lalu ia teringat suatu hal saat dirinya
dipanggil oleh kepala sekolah kemarin siang.
“Gabby, ada yang ingin aku bicarakan denganmu.”
“Kamu ini kenapa? Apa yang ingin kamu bicarakan? Kelihatannya
serius sekali.”
“Kemarin.. kemarin kepala sekolah memanggilku. Dia bilang aku
harus pergi ke Aussie untuk mengikuti pertukaran pelajar, mau tidak
mau.” Farrel terlihat sangat gugup saat menekankan kalimat terakhir.
Gabby bingung harus berekspresi seperti apa saat ini. Dia
sangat terkejut mendengar hal ini. Itu artinya dia harus berpisah
selama setahun dengan Farrel. Hati kecilnya langsung memberontak,
menolak akan hal itu. Gadis itu tidak pernah sekalipun membayangkan
harus berpisah dengan Farrel untuk waktu yang lama. Gabby tidak akan
sanggup jauh dari Farrel. Tetapi Gabby sadar, dia bukan siapa-siapa
yang bisa semaunya mengatur hidup Farrel. Dia tidak bisa seenaknya
menahan Farrel untuk tidak pergi. Ini juga demi masa depan Farrel.
Demi kebahagiaan laki-laki itu.Gabby berusaha menahan air matanya
agar tidak keluar, tidak di hadapan Farrel.
“Kenapa? Bukankah itu hal yang bagus? Kamu bisa belajar lebih
banyak di sana. Kenapa malah kamu terlihat tidak senang dengan hal
ini?” ujar Gabby menolak untuk jujur.
“Aku akan pergi jauh, untuk waktu yang lama. Kenapa kamu tidak
menahanku? Apa kamu senang jika kita berpisah?”
“Tidak! Bukan seperti itu. Tentu saja aku tidak ingin berpisah
denganmu. Tapi ini demi masa depanmu. Kamu tidak boleh melewatkan
kesempatan ini. Bukankah kamu yang selalu mengajariku untuk tidak
pernah melewatkan kesempatan berharga? Kenapa kamu yang mengguruiku
malah tidak menepati ucapanmu?”
“Aku hanya... khawatir karena harus meninggalkanmu.” Ujar
Farrel.
“Farrel dengar ya, aku bukan lagi anak TK yang harus selalu
ditemani kemanapun aku pergi. Lihat aku sudah besar, bahkan tinggiku
hampir sama denganmu. Umur kita juga sama. Jika kamu bisa menjaga
diri, maka aku juga bisa. Pergilah.. pergunakan kesempatan ini
dengan baik. Belajarlah dengan lebih baik di sana. Aku berjanji akan
menunggumu di sini.”
Setelah Gabby mengakhiri ucapannya, Farrel langsung memeluknya
dengan erat.
“Gabby, berjanjilah padaku kalau kamu akan baik-baik saja
selama aku pergi. Berjanjilah kamu tidak akan membuatku khawatir.
Berjanjilah untuk menungguku sampai aku kembali. Aku
menyayangimu...sahabatku.” Farrel berusaha menekankan kata terakhir
agar tidak terjadi lagi kesalahpahaman antara dirinya dengan Gabby.
“Aku juga menyayangimu Farrel, sangat.” Ucapnya dalam hati.
***
Sudah dua bulan sejak kepergian Farrel ke Aussie. Rasanya saat
ini Gabby benar-benar menyesali keputusannya saat mengijinkan Farrel
untuk pergi. Dia benar-benar tidak bisa hidup dengan benar tanpa
adanya Farrel. Rasanya ada yang kurang setiap dia ingin melakukan
sesuatu. Rasanya semua yang dia lakukan tanpa Farrel adalah sebuah
kesalahan. Ingin rasanya dia menarik semua ucapannya dan menyuruh
Farrel kembali saat ini juga.
Tapi itu semua tidak mungkin. Tidak mungkin dia bisa hidup
dengan benar lagi. Tidak mungkin dia akan merasa bahagia lagi. Tidak
mungkin dia menarik ucapannya kembali. Tidak mungkin dia bisa
bertahan sampai Farrel kembali, tidak mungkin. Apalagi semenjak dia
mendengar kondisinya dari dokter. Itu semua rasanya mustahil.
Gabby hanya bisa menyesali semua keadaannya dan menangis
tersedu. Dia hanya berharap keajaiban datang saat itu juga.
***
Farrel terlihat tengah sibuk di depan sebuah layar laptop di
kamar flatnya. Jari-jarinya dengan cekatan mengetik sebuah makalah
yang harus dikumpulkan esok hari. Farrel menyadari selama dia berada
di Aussie, waktu dan pikirannya terkuras dengan banyaknya tugas yang
materinya tidak sebanding dengan di Indonesia. Dia terus bekerja
keras demi bisa menepati janjinya pada Gabby.
Di sela-sela pekerjaannya, muncul notifikasi email masuk di
layarnya.
Date : November, 12th 2014
From : LadySmith [[email protected]]
To : itsFarrel [[email protected]]
Subject: Dasar Pria Jahat!
Dasar tidak tahu diri! Kemana saja kamu selama dua minggu ini?
Apa kamu sesibuk itu hingga tidak punya waktu satu menit saja untuk mengirimiku email?
Aku sangat mengkhawatirkanmu di sini kau tahu?! TT.TT
Farrel tersenyum saat membaca email dari Gabby. Seketika dia
merasa sangat merindukan gadis itu. Sepertinya sikap Gabby belum
juga berubah setelah 5 bulan berpisah dengan Farrel. Sampai kapan
gadis itu bisa bersikap lebih dewasa, pikir Farrel.
Date : November, 12th 2014
From : itsFarrel [[email protected]]
To : LadySmith [[email protected]]
Subject: Sorry :)
Hey Gabby, maaf aku benar-benar sangat sibuk di sini.
Banyak sekali tugas yang harus ku kerjakan, kau tahu kan materi pelajaran di sini tidak
sama dengan sekolah kita-_-
Akan ku usahakan untuk mengirimimu email seminggu sekali.
Haha, ayolaah jangan cemberut seperti itu!
Nah, begitu lebih baik :)
Tunggu aku yaa, aku sudah menyiapkan banyak sekali oleh-oleh untukmu^^
XOXO
Farrel tidak sabar ingin segera kembali ke Indonesia dan
memeluk gadisnya itu. Dia sudah sangat merindukan Gabby. Ingin
sekali dia mencubit pipi gadis itu dan melihatnya cemberut seperti
anak kecil. Ia sangat merindukan hal-hal yang dilaluinya bersama
Gabby.
***
Setelah enam bulan berlalu, akhirnya Farrel dapat
menyelesaikan studinya di Aussie dengan nilai yang sangat baik.
Bulan depan ia akan segera kembali ke Indonesia. Farrel merasa
sangat antusias bisa kembali lagi ke tanah airnya. Sebenarnya dia
sangat senang karena bisa bertemu Gabby lagi secepatnya.
Tapi akhir-akhir ini Gabby jarang sekali mengirimi email
bahkan tidak membalas emailnya minggu lalu. Dia menjadi sangat
khawatir, takut terjadi sesuatu pada Gabby.
Date : May, 15th 2015
From : LadySmith [[email protected]]
To : itsFarrel [[email protected]]
Subject: -
Jika sudah selesai dengan belajarmu di sana segeralah kembali ke Indonesia.
Aku sangat merindukanmu
Salam,
Gabby
Email yang ia terima dari Gabby mengejutkannya. Setelah sekian
lama menunggu, akhirnya Gabby mengiriminya email. Tapi email Gabby
terlihat sedikit aneh, tidak biasanya dia menuliskan salam di
akhir.Tanpa pikir panjang Farrel segera membalas email tersebut
Date : May, 15th 2015
From : itsFarrel [[email protected]]
To : LadySmith [[email protected]]
Subject: Wait me!
Hi Ms.Smith
Bagaimana kabarmu? Kamu baik-baik saja kan?
Aku akan kembali ke Indonesia bulan depan karena masih banyak keperluan yang harus
kuselesaikan terlebih dulu
Ah, kamu pasti sudah tidak sabar bertemu denganku, iya kan?!
Tenang, aku akan langsung mampir ke rumahmu sesampainya di sana. Sabarlah sedikit
nona Smith^^
Sampai jumpa di Indonesia!
XOXO
Farrel segera meninggalkan meja belajarnya dan mengambil
jaket. Ia pikir mungkin lebih baik jika dia pergi berjalan-jalan
sebentar. Mungkin saja dia bisa menemukan sesuatu yang bisa
dijadikan oleh-oleh untuk Gabby.
***
Pesawat yang ditumpangi Farrel akhirnya mendarat di Indonesia.
Dengan perasaan lega dia mengucap syukur karena bisa sampai
Indonesia dengan selamat. Setelah turun dari pesawat, Farrel
langsung menuju bagian money changer untuk menukarkan uangnya yang
masih berupa dollar Australia serta mengurus visa dan paspornya.
Farrel lalu menemui keluarganya yang sudah menunggu di tempat
penjemputan.
“Hai nak, bagaimana sekolahmu?” tanya ayah Farrel.
“Baik yah, semuanya oke meskipun agak sedikit sulit
menyesuaikan diri di sana.” Jawab Farrel
“Kak Farrel, mana oleh-oleh buat Karin?” adik perempuan Farrel
menagih janji kakaknya tersebut sambil menarik-narik tangan Farrel.
“Kamu sabar sedikit dong, aku baru saja sampai. Seharusnya
kamu menanyakan keadaanku.” Farrel yang gemas lalu mencubit pipi
Karin.
“Ish, sakit tau.” Gerutunya. Karin mengelus pipinya yang
terasa sakit.
“Sudah-sudah ayo kita segera pulang, hari sudah semakin sore.”
Ibu Farrel mengajak mereka semua segera pulang
Sesampainya di rumah, Farrel segera menuju kamarnya di lantai
atas. Dia sangat merindukan kamarnya tersebut. Setelah satu tahun di
tinggalkan Farrel, ternyata tidak ada yang berubah dari kamar
tersebut. Dia memang berpesan pada Ibunya agar tidak mengubah
kamarnya sedikitpun.
Setelah makan malam bersama keluarganya, Farrel pamit pergi ke
rumah Gabby. Dia ingin memberi kejutan untuk gadis itu akan
kedatangannya. Farrel sangat tidak sabar ingin melihat reaksi Gabby.
Dengan berbekal jaket dia berjalan kaki ke rumah Gabby yang berjarak
dua blok dari rumahnya.
Farrel langsung mengetuk pintu rumah Gabby sesampainya di
sana. Rumah minimalis bernuansa kayu itu memang selalu terlihat
tenang. Farrel mengira Gabby yang akan membukakan pintu untuknya,
ternyata Bunda Gabby yang ada di hadapannya.
“Oh Farrel, kamu sudah kembali ke Indonesia. Ada apa malam-
malam kesini?” tanya Bunda Gabby.
“Iya Tante, aku baru saja sampai tadi sore. Boleh aku bertemu
Gabby?”
Raut wajah Bunda Gabby sedikit berubah, namun Farrel tidak
menyadarinya.
“Masuklah dulu.” Perintah Bunda Gabby
Farrel lalu masuk ke rumah itu dan duduk di ruang tamu. Farrel
agak bingung melihat sikap Bunda Gabby yang meninggalkannya masuk ke
dalam begitu saja. Alhasil Farrel hanya bisa menunggu dengan cemas.
Beberapa menit kemudian Bunda Gabby kembali dengan membawa sebuah
kotak kardus besar berwarna cokelat. Sepertinya dia mengenali kotak
itu, pikirnya.
“Gabby menitipkan ini untukmu.” Ujar Bunda Gabby.
“Tapi Gabby mana Tante?” Farrel yang masih kebingungan melihat
kotak tersebut.
“Gabby sudah pergi...”
“Maaf?” Farrel pikir salah dengar.
“Gabby.., Gabby sudah meninggal Farrel...”
DEG!
Kalimat Bunda Gabby mengejutkan saraf di otaknya sehingga dia
tidak bisa berpikir apapun. Beberapa detik berselang Farrel terlihat
seperti orang bodoh, pandangannya kosong. Detik berikutnya barulah
dia sadar. Kejutan yang dia rencanakan untuk Gabby berbalik ke
dirinya sendiri.
Saat ini Farrel bukan lagi sekedar terkejut. Dia dapat
merasakan jantungnya berhenti berdetak selama beberapa saat.
Napasnya tercekat, lidahnya kelu. Air matanya seakan terdesak
keluar, namun ia tidak mungkin menangis sekarang. Harga dirinya
sebagai laki-laki masih tetap ia pertahankan.
“Gabby meninggal sebulan yang lalu, tepat setelah Gabby
meminta tante mengirimkan email terakhir untukmu. Dia sangat lemah
saat itu, tapi Tante masih bisa mengingat dengan jelas wajah Gabby
yang berusaha untuk tetap kuat. Gabby bilang dia hanya ingin bertemu
dengan kamu sekali saja. Tante berusaha memeluknya dan memberinya
semangat untuk bertahan. Dia setuju untuk bertahan demi menunggu
kamu, tanpa air mata. Tetapi beberapa menit kemudian dia sudah tidak
sadarkan diri dalam pelukan tante. Dokter mengatakan tidak bisa
menangani Gabby lebih lanjut lagi. Tante berusaha untuk ikhlas dan
menerima kepergian Gabby. Dia memang gadis yang kuat, dia tidak
pernah menyerah akan apapun. Dia hanya menerima ketetapan dan takdir
Tuhan untuknya. Maafkan tante tidak memberitahumu karena tante takut
hal ini akan mengganggu sekolahmu di sana.”
Setelah menjelaskan semuanya pada Farrel, Bunda Gabby
meninggalkan laki-laki yang masih terlihat kebingungan itu. Farrel
berusaha mencerna penjelasan Bunda Gabby tadi. Semua ini terasa
seperti mimpi baginya. Mungkin saja dia akan terbangun di kamar
flatnya setelah ini, pikirnya. Tapi semua ini terasa begitu nyata
untuk dinamakan mimpi. Dia tidak dapat berfikir sehat untuk saat
ini. Bahkan ia tidak sadar ketika pulang membawa kotak tersebut dan
kembali ke kamarnya.
Ibunya cemas melihat kepulangan anaknya dengan sikap yang
aneh. Apalagi Farrel langsung mengunci pintu kamarnya yang membuat
ibunya semakin khawatir.
“Farrel? Kamu kenapa? Kamu tidak apa-apa sayang?” tanya Ibunya
“Tidak bu, aku tidak apa-apa. Tinggalkan aku, aku mengantuk.”
Sangkalnya.
Tidak apa-apa? Kebohongan macam apa itu. Farrel memang tidak
pandai untuk berbohong dengan perasaannya, terlebih saat ini. Dia
masih berusaha menata perasaannya yang campur aduk saat ini. Ada apa
dengan Gabby? Ada apa dengan semua ini? Mengapa begitu cepat?
Semua pertanyaan di otaknya membuat kepalanya sakit. Yang bisa
dia lakukan saat ini hanya menangis. Masa bodoh dengan harga diri,
batinnya. Terkadang manusia juga butuh menangis untuk meluapkan
perasaannya, begitu juga dengan laki-laki. Dia memilih untuk
menangis semalaman dan mungkin mengunci dirinya untuk beberapa hari.
Dia perlu untuk menjernihkan pikirannya dan menata hatinya sekarang.
***
Seminggu berlalu. Hari-hari menyedihkan itu ia lalui dengan
berusaha tegar. Menerima semua yang telah terjadi. Kotak peninggalan
Gabby juga belum sanggup untuk dibukanya. Saat ini dia masih belum
ingin mengingat akan gadis itu dan mengeluarkan air matanya lagi.
Tapi sepertinya keberuntungan tidak berpihak padanya akhir-akhir
ini. Semua yang ia inginkan kenyataannya berbanding terbalik.
Karin datang mengganggu kakaknya yang sedang membaca buku di
pinggir kolam renang belakang rumahnya.
“Kak Farrel, nonton yuk! Ada film bagus di bioskop.” rayu
Karin.
“Pergi saja sendiri. Aku sedang tidak mood.” Jawab Farrel
tanpa melepaskan matanya dari buku yang ia baca.
Karin menggerutu sejenak lalu pergi meninggalkannya begitu
saja. Namun beberapa menit kemudian ia kembali lagi membawa sesuatu.
“Dari pada kakak baca buku tebel ngga jelas itu mending baca
ini.” Karin menyodorkan sebuah buku yang menghalangi pandangan
Farrel dari buku sebelumnya.
Farrel yang penasaran lalu menutup buku yang ia baca dan
segera mengambil buku dari tangan Karin.
“Kamu dapet darimana?” tanya Farrel.
“Tadinya Karin mau pinjem komputer kakak, tapi Karin nemuin
ini di meja kak Farrel, di samping kotak cokelat itu.” Jelasnya.
“Yaudah kamu main komputer saja sana.” Perintah Farrel.
Setelah Karin meninggalkannya sendirian, ia mulai membuka buku
berwarna putih tersebut. Dugaan Farrel benar, itu buku diary milik
Gabby. Farrel mulai membaca diary itu satu halaman demi satu
halaman.
July, 8th 2013
Dear diary,
Ternyata yang dikatakan banyak orang mengenai hari senin itu tidak benar. Banyakyang bilang hari senin adalah hari yang paling membosankan, tapi menurutku
tidak. Itu semua karena Farrel. Dia tiba-tiba datang ke kelasku dan memberiku kejutan. Coba tebak!Yeahh, dia membawakan dua tiket konser Jazz Nite yang sangat ku tunggu-tunggu. Aku jadi tidak sabar menunggu untuk malam minggu besok^^
August, 19th2013
Dear diary,
Hari ini tepat hari ke 40 setelah pertama aku dirawat di rumah sakit ini, lebih tepatnya hari ketiga aku bangun dari tidur panjangku setelah mengalami koma berminggu-minggu. Aku tidak ingat sepenuhnya mengapa aku bisa di sini, tetapi Ayah dengan senang hati menjelaskannya padaku. Dia berkata menemukanku pingsan saat sedang di kamar mandi. Ayah juga bilang saat itu Bunda sangat panikketika aku dilarikan ke rumah sakit. Bunda juga sempat pingsan saat mendengar diagnosa dokter mengenai penyakitku. Aku menderita radang selaput otak dan harus dioperasi dan dikemoterapi. Aku merasa sangat bersalah membuat kedua orang tuaku sangat khawatir. Maka aku mencoba meyakinkan mereka bahwa kondisiku sudah tidak apa-apa dan menyuruh mereka untuk tidak terlalu mengkhawatirkan aku. Yah, aku memang tidak apa-apa, setidaknya untuk sekarang...
August, 25th2013
Dear diary,
Sudah seminggu penuh Farrel tidak pernah absen untuk menjengukku. Aku sangat senang. Setidaknya aku tidak akan mati kebosanan berada di rumah sakit ini. Dia juga sangat baik selalu membelikan aku makanan apapun yang aku minta. Karena hari ini hari minggu, dia datang pagi sekali dan membawakan aku sekotak brownies kesukaanku. Sungguh sahabat kesayanganku. Kami berdua menghabiskan sekotak brownies tersebut dengan menonton belasan film hingga malam. Aku agak sedih ketika dia harus pulang, tetapi dia berjanji akan selalu menjengukku setiap hari sepulang sekolah seperti biasanya.
Sekarang keinginanku hanyalah secepatnya keluar dari rumah sakit ini...
December, 10th2013
Dear diary,
Dua hari ini aku menginap di ruang ICU rumah sakit, lagi. Aku tidak mengerti dengan kondisi tubuhku saat ini. Bisa saja seharian aku sehat dan segar, tapi besoknya aku langsung di larikan ke rumah sakit. Bahkan aku harus rela meninggalkan ujianku minggu ini karena kondisi tubuhku yang tidak tentu ini. Aku sangat bosan harus berada di ruangan berbau obat-obatan ini. Ah, Farrel pasti sangat khawatir denganku. Tidak, tidak boleh. Dia harus fokus dengan ujiannya. Tuhan, tolong beri aku kekuatan untuk bisa keluar dari rumah sakit ini. Setidaknya seminggu ini, biarkan aku mengikuti ujian sekolah. Aku tidak ingin Farrel khawatir denganku...
May, 25th 2014
Dear diary,
Aku tidak pernah menyangka hal ini akan terjadi. Kamu tahu apa? Tadi siang Farrel menyatakan cintanya padaku. Aku bahkan tidak pernah sekalipun membayangkan hal ini terjadi. Tidak, tidak pernah. Karena aku tahu jika dia mencintaiku, maka hal itu hanya akan menghancurkan dirinya sendiri.
Kamu tahu dokter tadi berkata apa padaku. Dia bilang radang selaput di otakku kini berubah menjadi tumor. Dia bilang umurku sudah tidak lama lagi. Aku berniat untuk merahasiakan hal ini dari Farrel bahkan Ayah dan Bunda. Karena jika merekatahu tentang kondisiku, itu sama saja menghancurkan harapan mereka perlahan-lahan. Aku tidak ingin itu terjadi. Terutama pada Farrel. Aku tidak ingin dia terluka karena aku. Aku terlalu menyayangi Farrel, aku selalu menyayanginya, tapi aku tidak ingin dia tahu tentang hal itu. Aku tidak ingin menghancurkan dirinya karena penyakitku. Biarkan hubungan kita selalu sebagai sahabat hingga waktu yang akanmengungkapkan segalanya...
June, 1st 2014
Dear diary,
Tadi siang Farrel berkata padaku bahwa dia akan pergi ke Aussie untuk melakukan pertukaran pelajar. Dia sempat berpikir untuk menolak tawaran itu dari kepala sekolah karena tidak ingin meninggalkanku. Aku juga tidak ingin Farrel pergi, tapi aku malah membuatnya berubah pikiran dan memutuskan untuk pergi. Aku tidak tahu apakah keputusanku ini sudah benar atau malah sebaliknya. Tapi aku tetap harus merelakan Farrel pergi. Aku sadar ini demi kebaikannya. Tidak mungkin aku mencegahnya pergi hanya untuk memuaskan egoku. Kamu tahu betapa sulitnya menahan air mata di depan Farrel tadi? Rasanya lebih buruk dibanding harus berbaring di atas meja operasi. Aku benar-benar tidak bisa membohongi diriku sendiri bahwa aku sangat membutuhkan Farrel. Aku hanya berharap dia akan kembali tepat pada waktunya, sebelum aku pergi...
August, 8th 2014
Dear diary,
Hari ini hari paling buruk yang pernah aku alami. Kenapa semua hal yang aku lakukan tidak ada yang benar. Bahkan saat aku bernapas pun rasanya tidak benar. Kenapa? Kenapa sejak Farrel pergi hidupku menjadi seperti ini? Padahal aku sudah berjanji padanya bahwa aku akan baik-baik saja. Kenapa selalu ingkar yang aku lakukan saat di belakangnya. Aku tidak pernah baik-baik saja selama ini. Bahkan aku mungkin tidak sanggup bertahan sampai Farrel kembali. Oh Tuhan, sampaikanmaafku padanya jika aku tidak diberi kesempatan untuk bertemu dengannya...
Perasaan Farrel campur aduk saat membaca diary tersebut.
Terkejut, senang, sedih, bercampur menjadi satu. Saat Farrel membuka
halaman berikutnya, dia menemukan sebuah surat lengkap dengan
amplopnya yang berwarna merah hati. Penasaran, Farrel membuka amplop
tersebut dan menemukan surat dengan tulisan tangan Gabby.
TO : Mr. Farrel Fergusson^^
Hi Farrel,
Bagaimana sekolahmu di Aussie? Nilaimu bagus kan? Pasti menyenangkan sekali bisa sekolah di luar negeri sepertimu. Itu sebabnya aku selalu iri denganmu. Mulai dari prestasimu, keberuntunganmu, hingga dirimu yang selalu diidolakan banyak gadis-gadis di sekolah. Aku bahkan tidak pernah sekalipun mendapat surat cinta seperti milikmu.
Tahukah kamu bagaimana keadaanku saat aku menulis surat ini? Aku benar-benar sangat merindukanmu, setengah mati rasanya. Aku tidak tahu berapa banyak tisu yang ku habiskan karena takut air mataku membasahi surat ini. Aku bahkan sempat menyesal saat merelakan dirimu pergi ke Aussie. Tapi aku tidak tahan harus terus menerus bergantung denganmu. Ingin sesekali aku hidup dengan jalanku sendiri. Mencoba mencari peruntunganku tanpa hadirmu di sini. Dan ternyata aku sadar bahwa hidupku tidak sepenuhnya benar sejak saat kamu pergi. Semua yang aku lakukan rasanya tidak benar. Bahkan bernapas pun rasanyasulit sekali. Kenapa? Kenapa kamu membuatku begitu bergantung padamu?
Aku sudah mencoba bertahan, setidaknya sampai hari ini. Tapi aku tidak terlalu optimis dengan diagnosa dokter. Maka aku memutuskan untuk menulis surat ini jika suatu saat aku tidak diberi kesempatan bertemu denganmu. Seandainya masih diberi waktu untuk bertahan, aku tidak akan menyia-nyiakannyalagi. Aku ingin sekali menjemputmu di bandara, memelukmu erat, dan berbisik di telingamu. Mengatakan semua yang selama ini aku simpan, semua yang aku sembunyikan darimu. Mengatakan bahwa aku sangat mencintaimu dan aku merindukanmu Farrel. Mengatakan bahwa aku ingin melanjutkan hubungan kita, dengan kisah yang berbeda, dari awal. Lalu mengatakan maaf bahwa selama ini aku berpura-pura tidak mencintaimu dan menyuruhmu melupakan perasaanmu padaku, yang aku tahu bahwa hal itu tidak mungkin. Maafkan aku sudah menyulitkan dirimu. Aku tahu kamu pasti sangat tidak nyaman dengan keegoisanku. Tapi itu semua demi kebaikanmu. Aku tidak ingin kamu hancur karenamencintaiku. Aku tidak ingin kamu merasa kehilangan atas diriku. Biarkan aku saja yang selalu menyayangimu, hingga waktu tidak lagi berjalan.
Terima kasih Farrel, atas semua yang kamu beri untukku. Atas semua hal baik dan buruk yang kita alami bersama. Semua hal yang dapat dijadikan kenangan. Terima kasih telah hadir dalam hidupku. Aku tidak akan tahu bagaimana kehidupanku tanpa sebuah lamaran di taman bermain waktu itu, yang belum sempat terjawab bahkan sampai saat ini. Yang aku tahu saat ini aku merindukanmu Farrel, sangat merindukanmu. Mungkin rindu ini akan terus
menyiksaku hingga aku tidak sanggup lagi bertahan. Semoga kamu akan baik-baik saja di sana. Semoga kamu selalu menjadi Farrel, sahabatku yang aku idolakan selama ini. Jangan jadikan kepergianku sebuah penderitaan untukmu. Ingatlah aku sebagai seorang gadis yang pernah berjanji padamu untuk tidak pernah menyerah menjalani hidup. Berjanjilah padaku untuk mengingatku dengan senyum, bukan dengan air mata.
Sekali lagi maafkan aku jika aku pergi terlalu cepat dan tidak sempat berpamitan denganmu. Tapi ingatlah satu hal bahwa matahari tidak akan pernah meninggalkan sinarnya, seperti halnya diriku yang tidak akan pernah berhenti mencintaimu. Dan kamu akan menjadi sahabat terbaikku, untuk selamanya.
Aku menyayangimu Farrel, sangat...
Mataharimu,Gabby
Kini Farrel tahu alasan Gabby selama ini menyuruhnya untuk melupakan perasaannya. Menyembunyikan perasaannya selama bertahun-tahun sangat sulit bagi Farrel. Namun ternyata Gabby juga melakukan hal yang sama. Farrel merasa benar-benar dibodohi untuk saat ini. Tapi rasa marahnya tidak sanggup mengalahkan rasa rindunya pada Gabby. Seandainya gadis itu ada di sini, pasti situasinya tidak akansesulit ini. Tapi Farrel yakin bahwa Gabby akan lebih bahagia di surga sana.
“Aku juga menyayangimu Gabby, sangat...”
-END-
Top Related