VARIASI KEDALAMAN DISKONTINUITAS MOHO DI JAWA TENGAH DAN YOGYAKARTA BERDASARKAN DATA RECEIVER...

99
i SKRIPSI VARIASI KEDALAMAN DISKONTINUITAS MOHO DI JAWA TENGAH DAN YOGYAKARTA BERDASARKAN DATA RECEIVER FUNCTION MOHO DEPTH VARIATION IN CENTRAL OF JAVA AND YOGYAKARTA BASED ON RECEIVER FUNCTION DATA NOOR ACHID YUNARTHA 09/283652/PA/12652 PROGRAM STUDI GEOFISIKA JURUSAN FISIKA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS GADJAH MADA YOGYAKARTA 2013

Transcript of VARIASI KEDALAMAN DISKONTINUITAS MOHO DI JAWA TENGAH DAN YOGYAKARTA BERDASARKAN DATA RECEIVER...

i

SKRIPSI

VARIASI KEDALAMAN DISKONTINUITAS MOHO DI JAWA TENGAH DAN YOGYAKARTA BERDASARKAN DATA RECEIVER FUNCTION

MOHO DEPTH VARIATION IN CENTRAL OF JAVA AND YOGYAKARTA BASED ON RECEIVER FUNCTION DATA

NOOR ACHID YUNARTHA 09/283652/PA/12652

PROGRAM STUDI GEOFISIKA JURUSAN FISIKA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS GADJAH MADA

YOGYAKARTA

2013

i

SKRIPSI

VARIASI KEDALAMAN DISKONTINUITAS MOHO DI JAWA TENGAH DAN YOGYAKARTA BERDASARKAN DATA RECEIVER FUNCTION

MOHO DEPTH VARIATION IN CENTRAL OF JAVA AND YOGYAKARTA BASED ON RECEIVER FUNCTION DATA

Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh derajat Sarjana Sains Ilmu Fisika

NOOR ACHID YUNARTHA 09/283652/PA/12652

PROGRAM STUDI GEOFISIKA JURUSAN FISIKA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS GADJAH MADA

YOGYAKARTA

2013

ii

iii

iv

HALAMAN PERSEMBAHAN

Skripsi ini penulis persembahkan untuk : 1. Allah Subhanallahu wa ta’ala yang telah memberikan kesempatan

menimba ilmu di Universitas Gadjah Mada ini. 2. Rasulullah Muhammad bin Abdullah yang telah memberikan suri teladan

yang terbaik bagi penulis khususnya dan ummat Islam di dunia. 3. Bapak Wiwit Suryanto yang telah memberikan waktu luangnya untuk

membimbing penulis hingga dapat menyelesaikan skripsi ini. 4. Papa dan Mama yang selalu memberikan dorongan untuk dapat

memberikan yang terbaik di setiap waktu dan bisa lulus tepat waktu. 5. Mas Afies dan Mbak Fera yang sudah ikut membantu hingga penulis bisa

menyelesaikan skripsi ini dengan lancar. 6. Keluarga besar Alif Firdaus, utamanya si kecil Fatah dan Rafif yang selalu

lucu, dan si kecil Habibi. 7. Pristy, yang selalu memberi semangat dan mengingatkan untuk selesaikan

skripsi. 8. Teman – teman Sembilan, geofisika angkatan 2009, SMA 1 Kudus, SMP 4

Kudus, SD 2 Wergu Wetan yang menjadi motivasi untuk cepat menyelesaikan skripsi.

9. Teman kontrakan Garda (yang udah minjemin printer), Bowo(sahabat PES), Rama (yang udah minjemin modem) dan Regi (yang suka pulang malam ) yang sudah membantu meramaikan suasana jadi tidak merasa galau ketika mengerjakan skripsi.

10. Mas Ryan (geofisika S2), yang sudah membantu dalam instalasi program dan partner diskusi.

11. Mas Fatur (kakaknya Raras GF 09) yang sudah mengirim program stacking H-κ.

12. Pihak – pihak lain seperti bu yanto (warung langganan nasi sayur + tempe goreng 2), bu kontrakan (maaf belum bayar listrik), pak Lotek, pak Marjo, pak Jiyo dan semuanya yang sudah memberikan kesenangan dan kebahagiaan bagi penulis.

v

Man Jadda Wajada,

“barang siapa bersungguh-sungguh maka dia akan mendapatkan hasilnya,

bukan pisau yang tajam yang dapat mematahkan kayu, akan tetapi usaha yang keras

itulah kuncinya” diinspirasi dari film “Negeri 5 Menara

vi

PRAKATA

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat, karunia, serta

petunjuk-Nya sehingga tugas akhir berupa penyusunan skripsi ini telah terselesaikan dengan baik.

Dalam penyusunan tugas akhir ini penulis telah banyak mendapatkan arahan, bantuan, serta dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis mengucapan terima kasih kepada:

1. Dr. rer. nat. Wiwit Suryanto, M.Si selaku Dosen Pembimbing yang telah berkenan meluangkan waktu, dan pikiran dalam penyelesaian tugas akhir ini.

2. Drs. Imam Suyanto, M.Si selaku Dosen Wali Akademik penulis. 3. Segenap Dosen dan civitas akademik di lingkungan Program Studi

Geofisika, Jurusan Fisika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Gadjah Mada.

4. Kedua Orang Tua, kakak dan teman-teman yang selalu memberikan arahan selama belajar dan menyelesaikan tugas akhir ini. Akhir kata penulis berharap semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat

bagi kita semua, terutama bagi perkembangan ilmu pengetahuan serta perkembangan Ilmu Geofisika dan Seismologi pada khususnya.

Yogyakarta, 26 September 2013

Penulis

vii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ..................................................................................... i HALAMAN PENGESAHAN ......................................................................... ii HALAMAN PERNYATAAN ........................................................................ iii HALAMAN PERSEMBAHAN ..................................................................... iv HALAMAN MOTTO .................................................................................... v PRAKATA .................................................................................................... vi DAFTAR ISI ................................................................................................. vii DAFTAR TABEL ......................................................................................... viii DAFTAR GAMBAR ..................................................................................... ix INTISARI ...................................................................................................... xii ABSTRACT .................................................................................................... xiii BAB I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah ............................................................... 1 1.2 Tujuan dan Manfaat Penelitian ..................................................... 2 1.3 Batasan Masalah ........................................................................... 3

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perkembangan Metode Receiver Function ..................................... 4 2.2 Implementasi Teknik Stacking H-� ................................................ 7

BAB III. LANDASAN TEORI 3.1 Rotasi Komponen Seismogram ..................................................... 11 3.2 Perhitungan Receiver Function ..................................................... 12 3.3 Iterative Time Deconvolution ......................................................... 14 3.4 Perhitungan Waktu Tiba Fase Gelombang ..................................... 14 3.5 Teknik Stacking H- � ..................................................................... 18

BAB IV. METODOLOGI PENELITIAN 4.1 Data Penelitian .............................................................................. 20 4.2 Perangkat Lunak/Software/Program untuk Penelitian ..................... 21 4.3 Prosedur Penelitian ........................................................................ 21

BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Pengolahan Receiver Function ...................................................... 26 5.2 Uji Validitas Program Stacking H- � ............................................. 29 5.3 Hasil Pengolahan Data .................................................................. 32 5.4 Variasi Kedalaman Batas Diskontinuitas Moho ............................. 38

BAB VI. KESIMPULAN 6.1 Kesimpulan .................................................................................. 40 6.2 Saran ............................................................................................ 40

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 42 LAMPIRAN LAMPIRAN A : Koordinat Stasiun MERAMEX Daerah Penelitian ............... 45 LAMPIRAN B : Listing Program Stacking H-κ ............................................. 47 LAMPIRAN C : Radial Receiver Function Tiap Stasiun

Seismik MERAMEX ........................................................... 49 LAMPIRAN D : Hasil Stacking H-κ .............................................................. 57

viii

DAFTAR TABEL

Tabel 4.1 Daftar event gempa bumi ................................................................ 20 Tabel 5.1 Model kecepatan lapisan bumi data sintetik .................................... 29 Tabel 5.2 Hasil stacking H-κ pada tiap stasiun seismik MERAMEX ............... 33

ix

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Sampel data seismogram stasiun LON ......................................... 4 Gambar 2.2 Receiver function radial dan tangensial dari seismogram

gambar (2.1). Sumber: Langston, 1979. ........................................ 5 Gambar 2.3 (a) Solusi “sebenarnya” (garis tebal) dan model awal (garis

tipis) untuk diinversi selama 12 kali dengan level smoothness yang berbeda-beda. (b) Hasil model kecepatan setelah 3 kali iterasi dari inversi. Catatan mengalami pengurangan bertahap pada perturbasi kecepatan rendahnya sebagai hasil dari peningkatan nilai smoothness. (c) waveform “sebenarnya” dan waveform bersesuaian dengan model yang ditunjukkan pada gambar 2.3 b. ............................................................................... 6

Gambar 2.4 Estimasi receiver function menggunakan sebuah sinyal short-period dari penelitian PASSCAL Basin dan Range tahun 1988 – 1989. Sinyal asli dari gempa dengan kedalaman 500 km, magnitudo gempa 5.2 mb ditunjukkan gambar sebelah kiri atas; estimasi receiver function menggunakan water-level -domain frekuensi dibandingkan dengan iterative domain waktu ditunjukkan pada gambar paling bawah. Sinyal horisontal terprediksi (iterative dekonvolusi dikonvolusikan dengan vertikal observasi) dibandingkan dengan sinyal horisontal observasi pada gambar kanan atas. ............................... 6

Gambar 2.5 (a) Hasil s(H,κ) untuk stasiun PAS, California Selatan. Estimasi ketebalan keraknya adalah 28 km dengan rasio Vp/Vs adalah 1,73. (b) profil receiver function dan prediksi waktu tiba dari fase Moho yang terkonversi menggunakan estimasi ketebalan kerak dan rasio Vp/Vs. ................................... 7

Gambar 2.6 (a) Receiver function radial dengan 65 sinyal observasi. (b) Receiver function radial dengan 13 sinyal observasi. Pemodelan maju (forward modelling) pada receiver function radial hasil observasi ditunjukkan gambar paling bawah. .............. 8

Gambar 2.7 Variasi kedalaman batas diskontinuitas Moho di California Selatan. Angka menunjukkan kedalaman dalam skala kilometer pada tiap stasiun. Pemetaan hasil kedalaman ini dikombinasikan dengan metode kriging. Tanda “+” tidak dapat dijelaskan kedalamannya, karena sedikitnya rekaman atau respon yang kompleks. ......................................................... 9

Gambar 2.8 Kedalaman terestimasi H1, H2, H3, dan HMoho untuk stasiun TDCB dengan parameter gelombang (p) = 0,065 s/km. Titik putih menunjukkan hasil stack maksimum. (a) Hasil untuk profil RRF dan disertai fase gelombangnya. (b), (c), (d), dan (e) adalah hasil stacking fungsi S untuk H1, κ1; H2, κ2; H3, κ3; HMoho dan κm. ............................................................................... 10

x

Gambar 2.9 (e) Receiver function prediksi. (f) Receiver function hasil seismogram observasi. (g) Hasil stacking H-κ stasiun KUM dengan kedalaman batas diskontinuitas Moho adalah 33 km. ....... 10

Gambar 3.1 Ilustrasi rotasi komponen seismogram sesuai arah datangnya gempa (a) komponen seismogram sebelum dirotasi. (b) Komponen seismogram yang dirotasi ke dalam koordinat 2-D RTZ. (c) Komponen seismogram yang dirotasi ke dalam koordinat 3-D LQT. ..................................................................... 11

Gambar 3.2 Kiri : Skema perambatan gelombang teleseismik saat mencapai stasiun seismik. Kanan: Hasil receiver function dari perambatan gelombang teleseismik. ............................................. 12

Gambar 3.3 Respon medium pada komponen vertikal dan radial terhadap gelombang datang dan receiver function yang dihasilkan. Gambar diambil dari Ammon (1991) ............................................ 13

Gambar 3.4 Ilustrasi perhitungan gelombang Ps (kasus tidak ideal)................. 15 Gambar 3.5 Ilustrasi perhitungan gelombang Ps (kasus ideal) ......................... 16 Gambar 3.6 Kiri : Skema slowness untuk gelombang-P, kanan : slowness

gelombang-S ................................................................................ 16 Gambar 3.7 Penjalaran gelombang PpPs ......................................................... 17 Gambar 3.8 Penjalaran gelombang PsPs (kiri) dan PpSs (kanan) ..................... 17 Gambar 3.9 Perkiraan waktu tempuh gelombang Ps, PpPs dan PpSs+PsPs

dalam receiver function ................................................................ 18 Gambar 4.1 Sebaran event gempa. Tanda bintang menunjukkan episenter

gempa bumi, persegi menunjukkan area penelitian. ...................... 20 Gambar 4.2 Diagram alir pengolahan receiver function ................................... 21 Gambar 4.3 Diagram alir pengolahan stacking H-κ ......................................... 23 Gambar 5.1 (a) Seismogram utara-selatan (N). (b) Seismogram timur-barat

(E). (c) Seismogram vertikal (Z). .................................................. 26 Gambar 5.2 Seismogram komponen vertikal. (a) sebelum difilter. (b)

sesudah difilter ............................................................................. 27 Gambar 5.3 Hasil windowing data. (a) Seismogram komponen utara-

selatan. (b) Seismogram komponen timur-barat. (c) Seismogram komponen vertikal ................................................... 27

Gambar 5.4 Rotasi seismogram komponen utara-selatan (a) menjadi komponen radial (b) ..................................................................... 27

Gambar 5.5 Receiver function radial .............................................................. 28 Gambar 5.6 Perbandingan seismogram radial sebenarnya (observasi) dan

prediksi. ....................................................................................... 28 Gambar 5.7 Receiver function radial terbaik. Event gempa secara

berurutan dari atas ke bawah : 05 September 2004, 06 September 2004, 08 September 2004 dan 11 Juli 2004. ................ 29

Gambar 5.8 Receiver function radial hasil stacking. ........................................ 29 Gambar 5.9 (a) seismogram radial sintetik. (b) seismogram vertikal

sintetik ......................................................................................... 30 Gambar 5.10 Receiver function radial sintetik. ................................................ 30 Gambar 5.11 Hasil stacking H-κ menggunakan data sintetik. .......................... 31

xi

Gambar 5.12 Hasil pengolahan data sintetik menggunakan stacking H-κ (Zhu dan Kanamori, 2000) ........................................................... 31

Gambar 5.13 Hasil stacking H-κ stasiun BJ2 ................................................... 32 Gambar 5.14 Estimasi waktu tiba fase gelombang Ps, PpPs dan

PsPs+PpSs stasiun BJ2 ................................................................. 36 Gambar 5.15 Receiver function radial stasiun AF2.......................................... 37 Gambar 5.16 Hasil stacking H-κ stasiun AF2 .................................................. 37 Gambar 5.17 Peta kedalaman batas diskontinuitas Moho di Pulau Jawa

bagian tengah. .............................................................................. 38 Gambar 5.18 Peta ketebalan kerak bumi global ............................................... 39

xii

INTISARI

VARIASI KEDALAMAN DISKONTINUITAS MOHO DI JAWA TENGAH DAN YOGYAKARTA BERDASARKAN DATA RECEIVER FUNCTION

Noor Achid Yunartha 09/283652/PA/12652

Diskontinuitas Mohorovičić atau sering disebut dengan Moho, merupakan batas antara lapisan kerak bawah dengan lapisan atas mantel. Batas ini memiliki karakteristik tersendiri yaitu meningkatnya kecepatan gelombang-P yang melewati batas tersebut meningkat dari 6,75 km/s menjadi 8 km/s. Perbedaan kecepatan antara kerak dan mantel dapat digunakan untuk mengestimasikan ketebalan kerak bumi. Tiap daerah memiliki ketebalan kerak yang berbeda. Proses tektonik merupakan salah satu faktor yang menyebabkan perbedaan ini.

Penelitian ini telah memetakan kedalaman batas diskontinuitas Moho di bawah 110 stasiun seismik MERAMEX (MERapi AMphibian EXperiment) di Jawa Tengah dan Yogyakarta. Pemetaan ini menggunakan teknik stacking H-κ (Zhu dan Kanamori, 2000) dari data receiver function stasiun MERAMEX. Teknik ini memanfaatkan perbedaan waktu penjalaran antara gelombang-P langsung dengan fase gelombang Ps, PpPs dan PsPs+PpSs. Perbedaan waktu ini dapat dihitung dengan mengestimasikan nilai kedalaman (H) batas diskontinuitas Moho dan nilai ��/�� (�) di bawah stasiun penerima.

Kedalaman batas diskontinuitas Moho rata-rata yang dihasilkan adalah 33,54 km dengan nilai � sekitar 1,65. Kedalaman dangkal berkisar 25 – 33 km berada di sekitar Yogyakarta dan Semarang. Sedangkan batas diskontinuitas Moho yang dalam berkisar 39 – 43 km berada di sekitar Gunung Sindoro, Sumbing, Lawu dan Ungaran.

xiii

ABSTRACT

MOHO DEPTH VARIATION IN CENTRAL OF JAVA AND YOGYAKARTA BASED ON RECEIVER FUNCTION DATA

Noor Achid Yunartha 09/283652/PA/12652

Mohorovičić discontinuity or Moho is a boundary between the crust and upper mantle. This boundary has a characteristic that P wave velocity increased from 6,75 km/s up to 8 km/s. The velocity contrast between crust and mantle can be used to estimate the crustal thickness. Tectonic process is a factor that caused different value of the crustal thickness at every region.

This research has mapped the Moho depth under 110 MERAMEX (MERapi AMphibian EXperiment) seismic stations in central of Java and Yogyakarta. We use stacking H-κ technique (Zhu and Kanamori, 2000) from receiver function data of MERAMEX stations to map the depth. This technique uses the different travel-time between the direct P wave with the Ps, PpPs and PsPs+PpSs phase. This different travel-time can be computed using estimation of the depth value of Moho discontinuity boundary (H) and ��/�� (�) under receiver station.

The average value of Moho depth from this research is 33,54 km and � value approximately 1,65. The shallow Moho depth values are found at Yogyakarta and Semarang with approximately value between 25 – 33 km. But, the deep ones are found at Sindoro, Sumbing, Lawu and Ungaran Mountain with approximately value between 39 – 43 km.

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Struktur Bumi dibagi dalam 3 lapisan utama yaitu inti, mantel dan kerak. Di

antara kerak bagian bawah dengan mantel bagian atas dibatasi oleh batas

diskontinuitas yang dikenal dengan diskontinuitas Mohorovičić atau Moho. Batas

diskontinuitas ini ditemukan pertama kali pada tahun 1909 oleh Andrija

Mohorovičić. Batas ini ditemukan pada kedalaman 30 km di bawah permukaan.

Karakteristik dari diskontinuitas ini adalah kecepatan gelombang-P yang

meningkat secara signifikan dari kerak bagian bawah dengan kecepatan 6,75 km/s

menjadi 8,0 km/s pada mantel bumi bagian atas.

Setiap daerah di muka bumi memiliki kedalaman batas diskontinuitas Moho

yang berbeda-beda. Salah satu penyebabnya adalah pergerakan antarlempeng

tektonik yang menghasilkan produk berupa gunung. Menurut Airy (1855), suatu

tubuh gunung memiliki “akar” sebagai proses kesetimbangan isostasi pada kerak

bumi. “Akar” merupakan istilah untuk bagian kerak bumi yang mengalami

penurunan pada mantel bagian atas.

Kedalaman batas diskontinuitas Moho global secara tidak langsung sudah

dipaparkan dalam situs U.S. Geological Survey melalui pemetaan ketebalan kerak

bumi di seluruh daerah di muka bumi. Dalam situs tersebut telah dipetakan

sebaran ketebalan kerak bumi di seluruh wilayah berdasarkan model kerak

CRUST 5.1. Pada peta tersebut terlihat variasi ketebalan dari tiap daerah. Kerak

yang paling tebal ditunjukkan pada daerah Himalaya dengan ketebalan kerak

mencapai 70 km. Sedangkan Indonesia, khususnya di daerah Sumatera, Jawa dan

Kalimantan memiliki ketebalan 30 km. Oleh sebab itu, penelitian ini akan dicari

variasi kedalaman batas diskontinuitas Moho di Jawa Tengah dan Yogyakarta.

Jawa Tengah dan Yogyakarta, pada tahun 2004 pernah digunakan sebagai

objek penelitian MERAMEX (MERapi AMphibian EXperiment). Tujuan utama

dari penelitian tersebut adalah menemukan hubungan antara proses zona subduksi

dengan proses pembentukan busur vulkanik. Dalam penelitian tersebut, telah

2

dipasang 99 stasiun perekam gempa short period tiga komponen dan 13 stasiun

broadband dengan frekuensi sampling 100 Hz. Gempa direkam selama 150 hari

dimulai dari bulan Mei sampai Oktober 2004.

Beberapa penelitian yang menggunakan data penelitian ini adalah analisa

struktur kerak di Jawa Tengah berdasarkan gabungan inversi antara seismik pasif

dan aktif (Wagner et al, 2007) dan analisa struktur anisotropi di kerak Jawa

Tengah (Koulakov et al, 2009). Selain penelitian yang telah dilakukan

sebelumnya, dapat dilakukan beberapa penelitian penunjang sehingga

memperoleh informasi yang lengkap mengenai struktur kerak di bawah

permukaan Pulau Jawa. Salah satunya mengenai pemetaan variasi kedalaman

batas diskontinuitas Moho di Jawa Tengah dan Yogyakarta.

Kedalaman batas diskontinuitas Moho dapat diketahui dengan berbagai

macam analisis salah satunya adalah teknik stacking H-κ (Zhu dan Kanamori,

2000). Teknik ini menggunakan data receiver function radial yang merupakan

hasil pengolahan 3 komponen seismogram pada stasiun perekam gempa. Receiver

function merupakan metode yang digunakan untuk menghilangkan informasi

mengenai sumber gempa dan lintasan yang dilalui oleh gelombang sehingga

hanya menyisakan efek dari struktur dangkal di bawah stasiun penerima. Menurut

Zhu dan Kanamori, teknik stacking H-κ cocok untuk menganalisa kedalaman

batas diskontinuitas Moho di bawah stasiun penerima karena tidak terpengaruh

oleh heterogenitas ke arah lateral.

1.2 Tujuan dan Manfaat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan dengan tujuan sebagai berikut :

a. Mengetahui variasi kedalaman batas diskontinuitas Moho di Jawa Tengah

dan Yogyakarta.

b. Membuat program stacking H-κ dengan menggunakan aplikasi Matlab.

Selain tujuan yang telah dipaparkan sebelumnya, penelitian ini juga

diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut :

a. Sebagai kontribusi untuk studi tektonik di Indonesia. Pada khususnya untuk

memperkaya informasi mengenai struktur kerak di Pulau Jawa.

b. Sebagai referensi tambahan dalam implementasi dari teknik stacking H-κ.

3

1.3 Batasan Masalah

Batasan atau cakupan permasalahan pada penelitian ini adalah sebagai

berikut :

1. Daerah penelitian mencakup 110 stasiun MERAMEX yang meliputi Pulau

Jawa bagian tengah dengan cakupan luas 150 x 200 km2.

2. Teknik yang digunakan untuk mengetahui variasi kedalaman diskontinuitas

Moho pada area penelitian adalah teknik stacking H-κ.

4

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Perkembangan Metode Receiver Function

Receiver function adalah suatu cara untuk menghilangkan pengaruh sumber

gempa dan lintasan yang dilalui oleh gelombang, sehingga hanya menyisakan

informasi mengenai struktur di bawah stasiun penerima/receiver. Metode ini

cocok digunakan untuk mengetahui struktur internal dari Bumi terutama kerak

bumi. Metode ini bisa menjadi alternatif dari metode tomografi. Hal ini

dikarenakan hanya dengan satu stasiun perekam gempa 3 komponen, dapat

memetakan struktur kerak di bawahnya. Sedangkan, tomografi memerlukan

banyak stasiun untuk memodelkan hal yang sama.

Metode receiver function mengalami perkembangan dalam pengolahan

datanya. Langston (1979) menggunakan dekonvolusi waterlevel untuk mengolah

data 3 komponen seismogram menjadi receiver function radial dan tangensial.

Data gempa yang digunakan merupakan gempa teleseismik yang terekam pada

World-Wide Standarized Seismograph Network stasiun LON (Longmire,

Washington). Hasil pengolahan tersebut dapat dilihat pada gambar (2.1 dan 2.2).

Gambar 2.1 Sampel data seismogram stasiun LON

5

Gambar 2.2 Receiver function radial dan tangensial dari seismogram gambar (2.1) (Sumber: Langston, 1979)

Ammon et al. (1990) memperkenalkan teknik inversi yang bertujuan untuk

studi lebih lanjut mengenai struktur di bawah stasiun penerima gelombang

teleseismik. Konsep dari teknik ini adalah mendapatkan model sintetik dengan

cara menginversi waveform dalam domain waktu berdasarkan model inisial yang

telah ditentukan. Tujuan dari proses ini adalah untuk mengestimasi rentang nilai

kecepatan strukturnya. Teknik ini menggunakan algoritma yang

diimplementasikan oleh Randall (1989) dan untuk memperoleh hasil yang smooth

digunakan teknik inversi “jumping” yang diperkenalkan oleh Shaw dan Orcutt

(1985). Hasil dari pengolahan menggunakan teknik ini dapat dilihat pada gambar

(2.3).

Ligorria dan Ammon (1999) menggunakan iterasi pada dekonvolusi domain

waktu sehingga menghasilkan estimasi receiver function-nya. Teknik ini dimulai

dengan seismogram observasi dalam fungsi waktu, kemudian dilakukan

dekonvolusi sebagai penjumlahan dari pulsa Gaussiannya. Hasil dari teknik ini

dapat dilihat pada gambar (2.4).

Zhu dan Kanamori (2000) memperkenalkan teknik stacking H-κ untuk

mengetahui kedalaman batas diskontinuitas Moho di bawah stasiun penerima.

Dasar dari teknik ini adalah menjumlahkan amplitudo sinyal pada fase Ps, PpPs

dan PsPs+PpSs. Waktu tiba dari masing-masing fase dapat dihitung dengan

mengestimasi nilai kedalaman batas diskontinuitas Moho-nya (H) beserta nilai

��/�� (κ) pada keraknya. Hasil stacking/penjumlahan amplitudo yang paling

tinggi nilainya, dapat diindikasikan sebagai keberadaan dari Moho, yang dapat

dilihat pada gambar (2.5).

P Tangensial P Radial

6

Gambar 2.3 (a) Solusi “sebenarnya” (garis tebal) dan model awal (garis tipis) untuk diinversi selama 12 kali dengan level smoothness yang berbeda-beda. (b) Model kecepatan setelah 3 kali iterasi dari inversi. Catatan : terjadi pengurangan secara bertahap pada nilai perturbasi kecepatan rendahnya yang disebabkan oleh adanya peningkatan nilai smoothness. (c) waveform “sebenarnya” dan waveform “model” yang ditunjukkan pada gambar 2.3 b

Gambar 2.4 Estimasi receiver function menggunakan sebuah sinyal short-period dari penelitian PASSCAL Basin dan Range tahun 1988 – 1989. Sinyal asli dari gempa dengan kedalaman 500 km, magnitudo gempa 5.2 mb ditunjukkan gambar sebelah kiri atas; estimasi receiver function menggunakan water-level domain frekuensi dibandingkan dengan iterative domain waktu ditunjukkan pada gambar paling bawah. Sinyal horisontal terprediksi (iterative dekonvolusi dikonvolusikan dengan vertikal observasi) dibandingkan dengan sinyal horisontal observasi pada gambar kanan atas.

(c)

7

Gambar 2.5 (a) Hasil s(H,κ) untuk stasiun PAS, California Selatan. Estimasi ketebalan keraknya adalah 28 km dengan rasio ��/�� adalah 1,73. (b) profil receiver function dan prediksi waktu tiba dari fase Moho yang terkonversi menggunakan estimasi ketebalan kerak dan rasio ��/��

Tkalčić et al.(2006) menggunakan pemodelan maju (forward modelling)

untuk menghasilkan estimasi receiver function dari seismogram 3 komponen.

Dasar dari teknik ini adalah mengubah parameter-parameter pada model sintetik.

Parameter tersebut adalah Vs, kedalaman dan nilai Vp/Vs. Apabila parameter

tersebut mendekati kondisi sebenarnya dari struktur di bawah stasiun penerima,

maka model sintetik yang dipunyai akan menyerupai dengan receiver function

radial observasinya yang dapat dilihat pada gambar (2.6).

Gambar 2.6 (a) Receiver function Receiver function radial dengan 13 sinyal observasi. Pemodelan maju (forward modelling) pada gambar paling bawah

2.2 Implementasi Teknik

Zhu dan Kanamori (2000), memetakan kedalaman batas diskontinuitas

Moho di daerah California Selatan. Variasi kedalaman yang

21-37 km. Moho yang terdalam ditemukan di Pegunungan melintang bagian

timur, Pegunungan Semenanjung

melintang bagian tengah, tidak mempunyai akar kerak. Kerak yang tipis

ditemukan pada Inner Calif

km). Sementara Moho terlihat lebih datar di bagian barat dan tengah gurun

Mojave dan menjadi rendah di timur bawah dari

(ECSW). Nilai ��/��

nilai tertinggi antara 1,8

Mesozoic dan nilai terendah di Blok Mojave kecuali ECSZ, dimana nilainya

meningkat. Hasil dari penelitian tersebut dapat dil

Receiver function radial dengan 65 sinyal observasi. (b) radial dengan 13 sinyal observasi. Pemodelan maju

) pada receiver function radial hasil observasi ditunjukkan

Implementasi Teknik Stacking H-κ

Zhu dan Kanamori (2000), memetakan kedalaman batas diskontinuitas

di daerah California Selatan. Variasi kedalaman yang didapatkan adalah

37 km. Moho yang terdalam ditemukan di Pegunungan melintang bagian

Pegunungan Semenanjung dan Pegunungan Sierra-Nevada. Pegunungan

melintang bagian tengah, tidak mempunyai akar kerak. Kerak yang tipis

Inner California Borderland (21 km) dan Lembah Salton (22

km). Sementara Moho terlihat lebih datar di bagian barat dan tengah gurun

Mojave dan menjadi rendah di timur bawah dari Eastern California Shear Zone

di California Selatan ini memiliki rata-rata 1,78 dengan

nilai tertinggi antara 1,8 – 1,85 pada deretan pegunungan dengan

Mesozoic dan nilai terendah di Blok Mojave kecuali ECSZ, dimana nilainya

meningkat. Hasil dari penelitian tersebut dapat dilihat pada gambar (2.7).

8

radial dengan 65 sinyal observasi. (b)

radial dengan 13 sinyal observasi. Pemodelan maju ditunjukkan

Zhu dan Kanamori (2000), memetakan kedalaman batas diskontinuitas

didapatkan adalah

37 km. Moho yang terdalam ditemukan di Pegunungan melintang bagian

Nevada. Pegunungan

melintang bagian tengah, tidak mempunyai akar kerak. Kerak yang tipis

(21 km) dan Lembah Salton (22

km). Sementara Moho terlihat lebih datar di bagian barat dan tengah gurun

Eastern California Shear Zone

rata 1,78 dengan

1,85 pada deretan pegunungan dengan basement

Mesozoic dan nilai terendah di Blok Mojave kecuali ECSZ, dimana nilainya

ihat pada gambar (2.7).

9

Gambar 2.7 Variasi kedalaman batas diskontinuitas Moho di California Selatan. Angka menunjukkan kedalaman dalam skala kilometer pada tiap stasiun. Pemetaan hasil kedalaman ini dikombinasikan dengan metode kriging. Tanda “+” tidak dapat dijelaskan kedalamannya, karena sedikitnya rekaman atau respon yang kompleks

Tang et al. (2008) memperkenalkan stacking H-κ untuk 3 lapisan. Dasar

penelitian ini adalah penelitian yang dilakukan oleh Zhu dan Kanamori (2000).

Penelitian ini mengandaikan ada 2 batas diskontinuitas sebelum diskontinuitas

Moho, sehingga batas ini membagi kerak menjadi 3 lapisan. Sampel yang

dijadikan objek penelitian ini adalah rekaman gempa teleseismik di Taiwan. Hasil

dari penelitian ini dapat dilihat pada gambar (2.8).

Kieling et al. (2010) menggunakan teknik stacking H-κ untuk

menginvestigasi struktur di bawah stasiun seismik yang terletak di Busur Sunda

sebagai akibat proses subduksi antara Lempeng Indo-Australia di bawah Lempeng

Sunda. Objek penelitian ini berada di Sumatra Utara dan Semenanjung Malaysia.

Salah satu hasil dari teknik stacking H-κ di stasiun KUM, dapat dilihat pada

gambar (2.9).

10

Gambar 2.8 Kedalaman terestimasi H1, H2, H3, dan HMoho untuk stasiun TDCB dengan parameter gelombang (p) = 0,065 s/km. Titik putih menunjukkan hasil stack maksimum. (a) Hasil untuk profil RRF dan disertai fase gelombangnya. (b), (c), (d), dan (e) adalah hasil stacking fungsi S untuk H1, κ1; H2, κ2; H3, κ3; HMoho dan κm

Gambar 2.9 (e) Receiver function prediksi. (f) Receiver function hasil seismogram observasi. (g) Hasil stacking H-κ stasiun KUM dengan kedalaman batas diskontinuitas Moho adalah 33 km

Berdasarkan penelitian-penelitian sebelumnya, maka pada penelitian ini

akan digunakan teknik stacking H-κ untuk mengetahui variasi kedalaman batas

diskontinuitas Moho di Jawa Tengah dan Yogyakarta.

11

BAB III

LANDASAN TEORI

3.1 Rotasi Komponen Seismogram

Rotasi merupakan salah satu langkah yang harus dilakukan terlebih dahulu

sebelum melakukan perhitungan receiver function. Seperti yang diketahui, metode

receiver function menggunakan 3 komponen seismogram yaitu horisontal utara-

selatan (north-south), horisontal timur-barat (east-west) dan vertikal (sumbu-Z).

Ketiga komponen seismogram ini lebih sering dikenal dengan singkatan untuk

masing-masing komponen adalah N, E dan Z. Komponen horisontal tersebut perlu

dirotasi ke arah radial dan tangensial untuk mendapatkan seismogram yang sesuai

dengan arah datangnya gelombang gempa bumi.

Rotasi dikenal ada 2 macam yaitu rotasi 3-D LQT dan rotasi 2-D RTZ.

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan rotasi 2-D RTZ yaitu hanya merotasi

komponen horisontal seismogram sesuai dengan azimuth arah datangya gempa.

Ilustrasi dari rotasi 3 komponen seismogram dapat dilihat pada gambar (3.1).

Gambar 3.1 Ilustrasi rotasi komponen seismogram sesuai arah datangnya gempa (a) komponen seismogram sebelum dirotasi. (b) Komponen seismogram yang dirotasi ke dalam koordinat 2-D RTZ. (c) Komponen seismogram yang dirotasi ke dalam koordinat 3-D LQT. (Sumber : Ozakin, 2008)

12

3.2 Perhitungan Receiver Function

Gelombang teleseismik yang merambat dari sumber gempa menuju ke

stasiun pencatat gempa membawa informasi mengenai struktur lapisan bumi yang

dilewatinya. Analisis receiver function merupakan suatu cara untuk mendapatkan

informasi struktur dangkal di bawah stasiun pencatat gempa. Skema perambatan

gelombangnya dapat dilihat pada gambar (3.2).

Gambar 3.2 Kiri : Skema perambatan gelombang teleseismik saat mencapai stasiun seismik. Kanan: Hasil receiver function dari perambatan gelombang teleseismik

Model umum dari tiap rekaman seismogram dapat dipahami pada persamaan

berikut :

��(�) = �(�) ∗ ℎ�(�) + ��(�) (3.1)

��(�) merupakan data time series yang terekam pada stasiun –j; �(�) adalah

sumber gempa; ℎ�(�) adalah impuls respon pada perambatan gelombang menuju

stasiun –j; ��(�) adalah gangguan; * adalah operator konvolusi (Clayton dan

Wiggins, 1976).

Dalam hal ini ��(�) diasumsikan sebagai komponen radial seismogram �(�)

yang tercatat pada stasiun pengamatan, �(�) merupakan sumber gempa dalam hal

ini digunakan komponen vertikal �(�), dan ℎ�(�) merupakan respon impuls dari

struktur lapisan di bawah stasiun seismik. Kemudian diberikan asumsi nilai

gangguan pada seismogram mendekati 0, respon impuls ini dapat diperoleh

dengan mendekonvolusikan �(�) dengan �(�) seperti pada persamaan (3.2).

ℎ�(�) =�(�)

�(�) (3.2)

P

Ps PpPs

PsPs

+PpSs

PsSs

V2

V1

V2 >> V1

Stasiun Seismik 3 komponen

PpPs PsPs +PpSs

PsSs Pp Ps

S

P

13

Analisis receiver function dapat dilihat pada gambar (3.3).

Gambar 3.3 Respon medium pada komponen vertikal dan radial terhadap gelombang datang dan receiver function yang dihasilkan. (Sumber: Ammon, 1991)

Analisis transformasi fourier digunakan untuk menyederhanakan operator

dekonvolusi ke dalam kawasan frekuensi , sehingga menjadi persamaan (3.3).

ℎ(�) =�(�)

�(�) (3.3)

Pada persamaan (3.3) fungsi �(�) merupakan bilangan kompleks sehingga

untuk mempermudah perhitungan maka dikalikan dengan konjugatnya, sehingga

dapat dituliskan sebagai �

�=

��

��� dengan indeks � � � menyatakan konjugat

kompleks, receiver function dapat ditulis kembali menjadi:

ℎ(�) =�(�)��(�)

�(�)��(�) (3.4)

Metode water-level (Clayton dan Wiggins, 1976) menggantikan persamaan

(3.4)

ℎ(�) =�(�)��(�)

�(�)�(�) (3.5)

dengan,

�(�) = ���[�(�)Z�(�). � ���{�(�)Z�(�)}] (3.6)

dan,

�(�) = ���

���

��� � (3.7)

Dalam hal ini, � mengontrol water-level atau amplitudo minimum receiver

function pada kawasan frekuensi, � adalah konstanta normalisasi, �(�) adalah

Seismogram vertikal

Seismogram radial

Receiver function

Zo

ro

��

��

14

filter Gaussian dengan lebar � dan dipilih sedemikian rupa sehingga lebarnya

cocok dengan lebar dari gelombang-P langsung (Langston, 1979). Filter Gaussian

merupakan low pass filter yang biasa digunakan untuk “menghilangkan” derau

atau noise berfrekuensi tinggi pada receiver function.

3.3 Iterative Time Deconvolution

Teknik yang dibuat berdasarkan algoritma Kikuchi dan Kanamori (1982) dan

Ligorria dan Ammon (1999), yang mana receiver function dibuat dengan

dekonvolusi secara iterasi. Teknik ini merupakan hasil dari fungsi kros-korelasi,

yang mencari kesamaan antara dua waveform dalam fungsi waktu. Kros-korelasi

pada domain waktu sama dengan perkalian dengan konjugat kompleks pada

domain frekuensi.

(� ⋆ �)(�) = ∫ �∗��

���(�)�(� + �)�� = ℱ����∗(�) ∗ �(�)� (3.8)

Teknik ini dimulai dengan mengkros-korelasi antara seismogram komponen

vertikal dengan horisontal. Amplitudo estimasi receiver function dihasilkan dari

nilai maksimum kros-korelasi. Kemudian estimasi receiver function

dikonvolusikan dengan wavelet sumber (seismogram komponen vertikal) untuk

memprediksikan seismogram observasi (komponen horisontal), hasil ini kemudian

dikurangi dengan seismogram observasi sebenarnya sehingga menghasilkan

misfit. Proses ini diiterasi/diulangi terus menerus sampai mencapai nilai misfit

yang kecil (Ligorria dan Ammon, 1999).

3.4 Perhitungan Waktu Tiba Fase Gelombang

Pada metode receiver function, terdapat fase-fase gelombang yang

menggambarkan struktur kerak di bawah stasiun penerima. Fase-fase ini

menggambarkan keberadaan dari batas diskontinuitas Moho dikarenakan terdapat

kontras kecepatan yang cukup signifikan. Fase-fase tersebut adalah Ps, PpPs, PsPs

dan PpSs.

Fase Ps adalah fase dimana gelombang langsung P yang dibiaskan menjadi

gelombang-S yang kemudian ditangkap oleh stasiun penerima/receiver. Fase PpPs

adalah gelombang langsung P yang mengalami pembiasan menjadi gelombang-P

15

kemudian dipantulkan oleh permukaan tetap dalam gelombang-P kemudian pada

batas diskontinuitas dipantulkan menuju stasiun penerima dalam bentuk

gelombang-S. Sedangkan fase PsPs adalah fase dimana gelombang langsung P

dibiaskan menjadi gelombang-S kemudian dipantulkan oleh permukaan menjadi

gelombang-P dan dipantulkan kembali sehingga diterima oleh stasiun penerima

dalam bentuk gelombang-S. Sedangkan fase gelombang PpSs adalah gelombang

langsung P yang dibiaskan menjadi gelombang-P kemudian dipantulkan oleh

permukaan menjadi gelombang-S dan dipantulkan pada batas diskontinuitas

Moho tetap dalam gelombang-S.

Masing-masing fase gelombang memiliki waktu tiba yang berbeda-beda di

stasiun penerima. Hal ini dikarenakan pola lintasan penjalaran gelombangnya

yang berbeda. Perbedaan waktu penjalaran antara gelombang-P langsung dengan

fase-fase tersebut dipengaruhi oleh kedalaman batas diskontinuitas Moho (H) dan

nilai ��/�� (�) di bawah stasiun penerima serta parameter gelombang (�).

Perbedaan waktu penjalaran antara gelombang-P langsung dengan fase Ps disebut

���. Ilustrasi dari penjalaran gelombang ini dapat dilihat pada gambar (3.4) untuk

kasus tidak ideal. Sementara untuk kasus ideal atau sesuai dengan kondisi seperti

gambar (3.2) dapat diilustrasikan pada gambar (3.5).

Gambar 3.4 Ilustrasi perhitungan gelombang Ps (kasus tidak ideal)

Perumusan dari ��� adalah sebagai berikut :

��� = ∫ ��

��−

���

� �� (3.9)

��� = � ��

��−

��� (3.10)

�� dan

�� adalah �������� gelombang − S dan gelombang − P

Pp Ps H

16

Sementara untuk kasus yang sebenarnya adalah sebagai berikut :

Gambar 3.5 Ilustrasi perhitungan gelombang Ps (kasus ideal)

Masing-masing slowness untuk gelombang-P dan S dapat diilustrasikan seperti

gambar (3.6).

Gambar 3.6 Kiri : Skema slowness untuk gelombang-P, kanan : slowness gelombang-S

Ilustrasi pada gambar (3.6) didapatkan dari persamaan berikut ini :

��� �

��= � dan

��� �

��= � (3.11)

Sehingga,

sin � =�

����

dan sin � =�

����

(3.12)

Slowness ke arah vertikal untuk gelombang-P (A) dan S (B) dapat dihitung

berdasarkan persamaan (3.13) dan (3.14)

� = ��

��� − �� (3.13)

� = ��

��� − �� (3.14)

Jadi, ��� dapat dicari berdasarkan persamaan berikut ini:

��� = � ���

��� − �� − �

��� − ��� (3.15)

H

Pp

Ps i

i j

� �

1

�� 1

��

� �

17

Perbedaan waktu penjalaran antara gelombang langsung P dan fase PpPs

dapat diilustrasikan seperti gambar (3.7)

Gambar 3.7 Penjalaran gelombang PpPs

Berdasarkan konsep perhitungan yang sama dengan fase Ps, didapatkan �����

sebagai berikut :

����� = ∫ ��

��+

��+

��−

���

� �� (3.16)

T���� = H ��

��+

��� (kasus tidak ideal) (3.17)

����� = � ���

��� − �� + ��

��� − ��� (kasus ideal) (3.18)

Perbedaan waktu penjalaran antara gelombang langsung P dan fase PsPs dan

PpSs dapat diilustrasikan seperti gambar (3.8)

Gambar 3.8 Penjalaran gelombang PsPs (kiri) dan PpSs (kanan)

Berdasarkan konsep perhitungan yang sama dengan fase Ps, didapatkan �����

dan ����� sebagai berikut :

����� = ∫ ��

��+

��+

��−

���

� �� (3.19)

����� = 2� ��

��� (kasus tidak ideal) (3.20)

i j

i j j

18

����� = 2� ���

��� − ��� (kasus ideal) (3.21)

����� = ����� (3.22)

3.5 Teknik Stacking H-κ

Receiver function dapat kita ibaratkan sebagai wavelet yang mana dari

wavelet ini tidak bisa secara langsung didapatkan informasi mengenai kondisi di

bawah stasiun penerima. Ada beberapa teknik untuk mendapatkan informasi

berdasarkan data receiver function yang sudah didapat yaitu inversi (Ammon et

al, 1990) dan stacking H-κ (Zhu dan Kanamori, 2000).

Konsep dari teknik stacking H-κ adalah mendapatkan informasi kedalaman

(�) dan ��/��(�) di bawah stasiun penerima dengan cara memperkirakan estimasi

perbedaan waktu penjalaran gelombang Ps, PpPs dan PpSs+PsPs terhadap

gelombang-P langsung, kemudian dicocokkan dengan data receiver function yang

ada. Kecocokan yang paling tinggi antara estimasi waktu (�, �) dengan amplitudo

receiver function yang akan dipilih sebagai titik dimana diindikasikan sebagai

batas diskontinuitas. Lebih lanjut akan dijelaskan dalam gambar (3.9).

Gambar 3.9 Perkiraan waktu tempuh gelombang Ps, PpPs dan PpSs+PsPs dalam receiver function

Zhu dan Kanamori (2000) merumuskan hubungan antara selang waktu

kedatangan fase gelombang-P dan Ps (���) dengan kedalaman bidang batas

kecepatan di bawah permukaan (�) dengan persamaan :

� =���

��

��������

������

(3.23)

Ps

PpPs PpSs

+

PsPs Amplitudo

Waktu (s)

19

Dengan � adalah parameter gelombang (s/km), �� dan �� masing-masing adalah

kecepatan gelombang-P dan S (km/s).

Dalam kenyataannya, untuk data pengamatan (observed data), penentuan

gelombang Ps ini tidak mudah karena biasanya fase ini bercampur dengan koda

dari gelombang-P dan fase – fase dari perlapisan – perlapisan di dekat permukaan

bumi, serta derau dari latar dan juga hamburan. Untuk itu digunakan juga fase

gelombang PpPs dan PpSs+PsPs untuk memperkuat perolehan fungsi �(�, �).

Hubungan waktu tiba kedua fase gelombang tersebut dengan ketebalan adalah

� =�����

��

��������

������

(3.24)

� =����������

���

������

(3.25)

Estimasi ketebalan kerak, dilakukan stacking data receiver function dalam

domain H-κ, dengan menggunakan persamaan (3.26)

�(�, �) = ���(��) + ���(��) − ���(��) (3.26)

dengan �(�) adalah amplitudo receiver function pada ��, �� dan �� dimana � secara

berurutan adalah perbedaan waktu penjalaran fase gelombang Ps, PpPs dan

PpSs+PsPs terhadap gelombang-P langsung (Persamaan 3.15, 3.18 dan 3.21)

untuk model kecepatan dengan kedalaman H dan ��/�� (κ). Σwi adalah faktor

pembobot dengan syarat ��� = 0. Nilai �(�, �) akan tinggi pada saat ketiga fase

gelombang tersebut memiliki koherensi maksimum ketika di-stack pada saat nilai

� dan � yang bersesuaian dengan kondisi nyata.

20

BAB IV

METODE PENELITIAN

4.1 Data Penelitian

Penelitian ini menggunakan data seismogram dari event gempa bumi

teleseismik. Kriteria dari event yang digunakan adalah memiliki jarak antara

stasiun penerima ke episenter (∆) lebih dari 30o (1o = 111,1 km) dan memiliki

magnitudo lebih dari 5 skala gempa bumi. Daftar event yang digunakan dalam

penelitian ini dapat dilihat pada tabel (4.1) dan gambar (4.1).

Tabel 4.1 Daftar event gempa bumi

No. DOJ Tanggal Magnitudo Kedalaman

(km) Lintang (derajat)

Bujur (derajat)

1 137 5/16/2004 5.9 10 -11.963 166.345

2 150 5/29/2004 6.5 16 34.251 141.406

3 162 6/10/2004 6.15 187.4 55.6982 159.993

4 193 7/11/2004 6.17 8.1 30.719 83.6663

5 197 7/15/2004 6.37 560 -17.704 -178.767

6 249 9/5/2004 6.67 18.7 33.0706 136.735

7 249 9/5/2004 7.17 10 33.2055 137.073

8 250 9/6/2004 6.28 16.6 33.2004 137.294

9 252 9/8/2004 6 30.4 33.1967 137.188

Gambar 4.1 Sebaran event gempa. Tanda bintang menunjukkan episenter gempa bumi, persegi menunjukkan area penelitian.

21

4.2 Perangkat Lunak/Software/Program untuk Penelitian

Dalam penelitian ini digunakan beberapa software dan program yaitu :

1. Geopsy. Software ini digunakan untuk mengkonversi data radial receiver

function dari format (.SAC) menjadi format (ASCII).

2. Mseed2sac. Program ini digunakan untuk mengkonversi data seismogram

format mseed menjadi format SAC. Dalam menjalankan program ini

diperlukan Operating System LINUX.

3. SAC. Program ini digunakan untuk mengolah data seismogram seperti filter,

cut, taper dan rotasi komponen seismogram.

4. Matlab R2008a. Software digunakan untuk pengolahan teknik stacking H-κ.

5. Ms. Excel 2007. Software ini digunakan untuk mendata hasil stacking berupa

koordinat stasiun MERAMEX, nilai kedalaman (H) dan nilai Vp/Vs (κ).

6. Surfer 10. Software ini digunakan untuk memetakan sebaran nilai kedalaman

diskontinuitas Moho daerah penelitian.

7. Respknt dan Pwaveqn. Program ini digunakan untuk membuat model sintetik.

8. Iterdecon. Program ini untuk proses iterative deconvolution.

4.3 Prosedur Penelitian

Prosedur yang akan dilakukan pada penelitian ini adalah pengolahan

receiver function dan penggunaan teknik stacking H-κ yang digambarkan pada

diagram alir yang tertera pada gambar (4.2) dan (4.3). Adapun parameter-

parameter yang digunakan dalam teknik stacking H-κ adalah Vp dan Vs

merupakan kecepatan gelombang-P dan S pada lapisan kerak bumi bagian bawah.

p merupakan parameter gelombang. H merupakan kedalaman batas diskontinuitas

Moho dan κ merupakan nilai Vp/Vs atau Poisson Ratio.

Mulai

Pemilihan data gempa

Sinyal gempa terpilih (.mseed)

Konversi

22

Gambar 4.2 Diagram alir pengolahan receiver function

Header

ditambahkan

Sinyal gempa

terpilih (.SAC)

Bandpass Filter 0,03-2 Hz

Windowing 10 s < P >30 s

Rotasi

Sinyal Gelombang- P-S Konversi

Faktor Gaussian a=2,5

Iterative deconvolution

Receiver function radial Receiver function tangensial

Receiver function Radial (Gempa 1)

Receiver function Radial (Gempa 2)

Receiver function Radial (Gempa n)

Stacking data

Receiver function radial (hasil stacking)

selesai

23

Gambar 4.3 Diagram alir pengolahan stacking H-κ

Konversi

Pers. (3.26)

Informasi

geologi

regional

Kesimpulan

W1 = 7,0; W2 = 2,0; W3

= 1,0

S(H,κ) maksimum

Estimasi kedalaman

Moho

Selesai

Mulai

Data Radial Receiver Function (format

ASCII)

Data Radial Receiver Function (.SAC)

Vp = 6,3 km/s p= 0,06 s/km

H = (15; …; 45) κ = (1,45; ..; 1,90)

Vs = Vp/κ

Pers. (3.15)

Pers. (3.18)

Pers. (3.21)

TPs, TPpPs TPsPs+PpSs

24

Prosedur pengolahan receiver function yang telah terpaparkan pada gambar

(4.2) dapat diuraikan sebagai berikut :

1. Event gempa dipilih mempunyai jarak ke stasiun penerima (∆) lebih dari

30o dan magnitudonya lebih dari 5 skala gempa bumi.

2. Data seismogram dikonversi dari format mseed menjadi SAC dengan

program mseed2sac.

3. Pada program SAC, data kemudian ditambahkan beberapa header seperti

koordinat posisi stasiun penerima dan episenter (lintang dan bujur),

komponen azimuth dan komponen incident angle. Dua komponen terakhir

digunakan untuk merotasi komponen seismogram.

4. Data difilter dengan bandpass filter antara 0,03 – 2 Hz. Tujuan dari

pemfilteran ini untuk mengetahui waktu tiba dari gelombang-P.

5. Data dipotong (windowing) dari 10 s sebelum waktu tiba gelombang-P

hingga 30 s setelahnya.

6. Data yang telah dipotong kemudian dirotasi menjadi komponen radial,

tangensial dan vertikal (RTZ). Langkah ini dilakukan untuk mendapatkan

gelombang-P yang terkonversi menjadi gelombang-S, yang mana tiba pada

stasiun penerima bersama koda dari gelombang-P setelah gelombang

langsung P.

7. Pada program iterdecon diinputkan nilai faktor Gaussian (�) sebesar 2,5.

Kemudian dilakukan proses dekonvolusi.

8. Proses dekonvolusi menghasilkan receiver function radial dan tangensial.

Dalam penelitian ini yang digunakan adalah komponen radialnya.

9. Receiver function radial dari tiap gempa, kemudian dipilih yang terbaik,

lalu dilakukan stacking. Hasil stacking inilah yang kemudian digunakan

untuk proses selanjutnya yaitu stacking H-κ.

Proses selanjutnya dalam penelitian ini adalah analisis receiver function

dengan menggunakan teknik stacking H-κ yang mana telah dipaparkan dalam

25

bentuk diagram alir pada gambar (4.3). Proses stacking H-κ dapat diuraikan

sebagai berikut:

1. Format receiver function radial diubah ke dalam format ASCII dengan

menggunakan aplikasi Geopsy.

2. Dalam penelitian ini digunakan �� = 6,3 km/s dan �=0,06 s/km.

3. Fungsi (�, �) yang digunakan memiliki grid data H (15;15,1;…;45) dalam

km, untuk nilai κ (1,45; 1,451;…;1,90).

4. Dihitung waktu tiba dari fase gelombang Ps, PpPs dan PpSs+PsPs

berdasarkan persamaan (3.15, 3.18 dan 3.21)

5. Waktu tiba dari tiap fase tersebut, kemudian di-stacking dengan

ditambahkan faktor pembobot wi pada masing-masing fase. Dalam

penelitian ini digunakan faktor pembobot secara berurutan yaitu 7,0; 2,0

dan 1,0 (Zhu dan Kanamori, 2000).

6. Menghasilkan koherensi maksimum �(�, �) yang mana ditunjukkan oleh

skala warna maksimum. Inilah yang digunakan untuk mengestimasi

kedalaman diskontinuitas Moho di bawah stasiun seismik.

26

BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Pengolahan Receiver Function

Pada awal bab pembahasan ini, penulis akan memaparkan proses pengolah-

an receiver function secara berurutan. Pada subbab ini, penulis memaparkan

pengolahan pada stasiun BJ2. Tahap pertama adalah pembacaan salah satu data

seismogram stasiun BJ2, yaitu data gempa pada DOJ (Day Of Jullian) 249 atau

tepatnya tanggal 05 September 2004 jam 10.00 WIB. Lokasi episenter berada di

koordinat lintang (33,0706o) dan bujur (136,7349o). Jarak antara stasiun penerima

dengan episenter adalah 47,6o. Berikut data seismogram dapat dilihat pada gambar

(5.1).

Gambar 5.1 (a) Seismogram utara-selatan (N). (b) Seismogram timur-barat (E). (c) Seismogram vertikal (Z).

Tahap selanjutnya adalah konversi format data dari mseed ke SAC.

Dilanjutkan dengan penambahan header untuk masing-masing komponen.

Adapun untuk koordinat stasiun penerima dapat dilihat pada lampiran A. Setelah

itu dilakukan pemfilteran menggunakan bandpass filter 0,03 – 2 Hz dengan tujuan

untuk mendapatkan waktu tiba gelombang-P. Dapat dilihat pada gambar (5.2).

Data yang telah difilter kemudian dipotong (windowing) dari 10 s sebelum

waktu tiba gelombang-P dan 30 s setelahnya. Adapun hasil windowing dapat

dilihat pada gambar (5.3). Setelah itu, tiap komponen seismogram dirotasi

menjadi komponen radial, tangensial dan vertikal (RTZ). Hasil rotasi dapat dilihat

(a) (b)

(c)

27

pada gambar (5.4). Data inilah yang merupakan sinyal yang didekonvolusi

sehingga menghasil respon struktur di bawah stasiun penerima.

Gambar 5.2 Seismogram komponen vertikal. (a) sebelum difilter. (b) sesudah difilter

Gambar 5.3 Hasil windowing data. (a) Seismogram komponen utara-selatan. (b) Seismogram komponen timur-barat. (c) Seismogram komponen vertikal

Gambar 5.4 Rotasi seismogram komponen utara-selatan (a) menjadi komponen radial (b)

Sinyal gelombang-P yang sudah didapatkan kemudian dilakukan iterative

deconvolution sehingga menghasilkan receiver function radial seperti pada

gambar (5.5). Receiver function radial yang diperoleh merupakan hasil estimasi

(a) (b)

(c)

(a) (b)

(a)

waktu

Amplitudo

(b)

28

dari kros-korelasi seismogram komponen vertikal dan radial. Hasil estimasi

tersebut kemudian dikonvolusi dengan komponen vertikal (wavelet sumber)

menjadi seismogram komponen radial prediksi. Proses iterasi selesai sampai

misfit-nya kecil antara seismogram sebenarnya dengan hasil prediksi.

Perbandingan antara seismogram sebenarnya dengan prediksi dapat dilihat pada

gambar (5.6). Receiver function radial dari tiap event gempa, kemudian dipilih

yang terbaik. Setelah itu dilakukan stacking sehingga hasil receiver function radial

menampilkan respon struktur yang lebih baik, seperti yang terlihat pada gambar

(5.7) dan (5.8).

Gambar 5.5 Receiver function radial

Gambar 5.6 Perbandingan seismogram radial sebenarnya (observasi) dan prediksi.

observasi

prediksi

29

Gambar 5.7 Receiver function radial terbaik. Event gempa secara berurutan dari atas ke bawah : 05 September 2004, 06 September 2004, 08 September 2004 dan 11 Juli 2004.

Gambar 5.8 Receiver function radial hasil stacking.

5.2 Uji Validitas Program Stacking H-κ

Sebelum melakukan pengolahan data dengan menggunakan listing program

stacking H-κ (pada lampiran B) yang dalam penelitian ini menggunakan aplikasi

Matlab R2008a, maka perlu diketahui validitas dari listing program tersebut.

Untuk pengujian validasinya, penulis menggunakan data sintetik yang

sebelumnya juga digunakan oleh Zhu dan Kanamori (2000). Data sintetik yang

diujikan tersaji pada tabel (5.1).

Tabel 5.1. Model kecepatan lapisan bumi data sintetik Lapisan Ketebalan (km) Vs (km/s) Vp/Vs

1 5,5 3,18 1,73

2 10,5 3,64 1,731

3 16,0 3,87 1,731

4 - 4,50 1,733

Kedalaman diskontinuitas Moho pada model ini adalah 32 km. Hal ini

ditinjau dari kecepatan gelombang

empat dibandingkan dengan kenaikan pada lapisan di atasnya. Dari model ini

kemudian diolah dengan menggunakan aplik

menghasilkan seismogram radial dan vertikal sintetik seperti pada gambar (5.9)

kemudian dilakukan dekonvolusi

(Ammon, 1991) sehingga menghasilkan

pada gambar (5.10).

Gambar 5.9 (a) seismogram radial sintetik. (b) seismogram vertikal sintetik

Gambar 5.10

(a)

(b)

diskontinuitas Moho pada model ini adalah 32 km. Hal ini

ditinjau dari kecepatan gelombang-S (��) yang naik secara drastis pada lapisan ke

empat dibandingkan dengan kenaikan pada lapisan di atasnya. Dari model ini

kemudian diolah dengan menggunakan aplikasi respknt (Kennett, 1983) untuk

menghasilkan seismogram radial dan vertikal sintetik seperti pada gambar (5.9)

kemudian dilakukan dekonvolusi water-level menggunakan program pwaveqn

(Ammon, 1991) sehingga menghasilkan receiver function radial sintetik se

Gambar 5.9 (a) seismogram radial sintetik. (b) seismogram vertikal sintetik

Gambar 5.10 Receiver function radial sintetik.

30

diskontinuitas Moho pada model ini adalah 32 km. Hal ini

) yang naik secara drastis pada lapisan ke

empat dibandingkan dengan kenaikan pada lapisan di atasnya. Dari model ini

asi respknt (Kennett, 1983) untuk

menghasilkan seismogram radial dan vertikal sintetik seperti pada gambar (5.9)

menggunakan program pwaveqn

sintetik seperti

Gambar 5.9 (a) seismogram radial sintetik. (b) seismogram vertikal sintetik

31

Kemudian data radial receiver function yang sudah didapatkan diolah

menggunakan listing program stacking H-κ. Hasilnya dapat dilihat pada gambar

(5.11).

Gambar 5.11 Hasil stacking H-κ menggunakan data sintetik.

Pada gambar (5.11) koherensi maksimum pada kedalaman 32 km. Hasil ini

kemudian dibandingkan dengan hasil pengolahan Zhu dan Kanamori (2000)

berdasarkan data tabel (5.1) dan gambar (5.12).

Berikut hasil stacking H-κ oleh Zhu dan Kanamori (2000).

Gambar 5.12 Hasil pengolahan data sintetik menggunakan stacking H-κ (Zhu dan Kanamori, 2000)

32

Hasil dari pengujian data sintetik yang telah dilakukan dan perbandingan

dengan hasil penelitian sebelumnya, penulis memastikan listing program stacking

H-κ dapat digunakan pada data receiver function radial dari stasiun seismik

MERAMEX.

5.3 Hasil Pengolahan Data

Penelitian ini menggunakan �� sebesar 6,3 km/s. Hal ini dapat ditinjau dari

penelitian sebelumnya mengenai kecepatan gelombang-P di lapisan kerak Jawa.

Salah satunya oleh Ben-Avraham dan Emery (1973) yang menjelaskan bahwa

kecepatan gelombang-P di Paparan Sunda dan Samudera Indonesia paling dalam

berkisar 6,2 – 6,8 km/s. Kemudian oleh Raitt (1967), melalui survey seismik

refraksi memaparkan bahwa kecepatan gelombang seismik pada lapisan basaltik

di bawah pantai selatan Jawa berkisar 6,6 dan 7,1 km/s.

Data receiver function radial pada lampiran C, kemudian diolah dengan

teknik stacking H-κ menggunakan listing program seperti yang tertera pada

lampiran B. Hasil yang didapatkan akan berupa estimasi kedalaman Moho beserta

nilai ��/��(�). Contoh hasil stacking H-κ pada stasiun BJ2 sebagai berikut :

Gambar 5.13 Hasil stacking H-κ stasiun BJ2

33

Pada gambar (5.13) estimasi kedalaman Moho di bawah stasiun BJ2 sekitar

37,5 km dengan nilai � sekitar 1,66. Tanda bintang “ “ menunjukkan nilai

estimasinya. Hasil perhitungan nilai kedalaman (H) dan κ dari tiap stasiun

ditunjukkan pada tabel (5.2).

Tabel 5.2 Hasil stacking H-κ pada tiap stasiun seismik MERAMEX

No. Stasiun Lintang Bujur � (km) �

1 AE1 -7.7362 109.6564 43 1.62

2 AE2 -7.6763 109.4866 38 1.55

3 AE3 -7.5556 109.5844 39 1.73

4 AF1 -7.82125 109.8334 30 1.45

5 AF2 -7.6511 109.8954 - -

6 AF4 -7.79738 109.745 41 1.73

7 AFB -7.62696 109.7751 - -

8 AG1 -7.83642 110.0464 38.5 1.69

9 AG2 -7.63401 109.9957 - -

10 AG3 -7.84336 109.9403 40 1.73

11 AG4 -7.84247 110.139 34 1.73

12 AH1 -7.98167 110.2929 30 1.45

13 AH2 -7.92381 110.2226 39 1.73

14 AH3 -7.74756 110.1749 27.5 1.75

15 AH4 -7.81151 110.2939 38 1.76

16 AH5 -7.74402 110.281 39 1.63

17 AHB -7.87747 110.3119 - -

18 AI1 -7.9955 110.487 23 1.55

19 AI2 -8.00531 110.356 - -

20 AI3 -7.86492 110.5643 22.5 1.66

21 AI4 -7.91245 110.5222 25 1.73

22 AJ1 -8.0925 110.5718 - -

23 AJ2 -7.96585 110.6495 38 1.5

24 AJB -8.05935 110.6565 41 1.6

25 AK1 -7.97297 110.8344 22 1.54

26 AK2 -8.14749 110.7756 28 1.77

27 AK6 -8.03797 110.7436 - -

28 AK7 -8.08392 110.8384 40 1.73

29 BE1 -7.3784 109.5666 34 1.63

30 BE2 -7.46213 109.6021 37.5 1.66

31 BE3 -7.33705 109.7087 30 1.65

34

No. Stasiun Lintang Bujur � (km) �

32 BEB -7.42463 109.7421 35 1.63

33 BF1 -7.37186 109.8565 45 1.73

34 BF2 -7.49034 109.8246 40 1.45

35 BF3 -7.47501 109.9537 43 1.75

36 BG1 -7.42543 110.1027 42.5 1.75

37 BG2 -7.48676 110.0444 33 1.5

38 BG3 -7.3893 109.9938 34 1.65

39 BGB -7.49944 110.1721 34 1.46

40 BH1 -7.6315 110.1807 22.5 1.73

41 BH2 -7.52649 110.4107 26 1.5

42 BH3 -7.43732 110.337 35 1.73

43 BI2 -7.53275 110.5535 - -

44 BI4 -7.60581 110.5296 20 1.45

45 BJ1 -7.76979 110.6387 27 1.55

46 BJ2 -7.84295 110.7601 37.5 1.66

47 BK1 -7.86135 110.8459 22 1.45

48 BK2 -7.65885 110.8809 - -

49 BK3 -7.72834 110.986 33 1.75

50 CE1 -7.2426 109.7201 41 1.66

51 CE2 -7.25089 109.6025 45 1.72

52 CE3 -7.10009 109.5816 31 1.77

53 CF1 -7.27323 109.9087 30 1.74

54 CF3 -7.19959 109.8073 23 1.45

55 CFB -7.13705 109.9557 40 1.75

56 CG1 -7.26988 109.9903 - -

57 CG2 -7.17724 110.0377 - -

58 CG4 -7.35985 110.138 30 1.73

59 CH1 -7.27396 110.2406 37.5 1.73

60 CH2 -7.22458 110.353 34 1.73

61 CHB -7.33484 110.4 37 1.73

62 CI1 -7.45 110.5023 23 1.45

63 CI2 -7.4174 110.6216 27 1.73

64 CI3 -7.29246 110.561 29 1.56

65 CJ1 -7.51903 110.6924 36 1.45

66 CJ2 -7.35847 110.7383 38 1.72

67 CJ3 -7.45577 110.834 36 1.82

68 CJB -7.45577 110.834 40 1.73

35

No. Stasiun Lintang Bujur � (km) �

69 CK1 -7.63768 111.1336 32.5 1.56

70 CK2 -7.35486 110.9214 26 1.67

71 CK3 -7.49162 111.1096 21 1.45

72 CK4 -7.48169 110.958 42.5 1.62

73 CK6 -7.59042 111.0306 45 1.72

74 DE1 -6.96582 109.8032 26 1.7

75 DEB -7.03357 109.7357 - -

76 DG1 -7.09002 110.0825 45 1.73

77 DGB -7.05743 110.2144 45 1.73

78 DH1 -7.11215 110.4296 35 1.84

79 DH2 -7.14759 110.3202 37 1.82

80 DH3 -7.2077 110.4725 23 1.73

81 DI1 -7.17086 110.6002 45 1.74

82 DI2 -7.03794 110.6746 29 1.45

83 DI3 -7.0383 110.6722 - -

84 DIB -7.08947 110.5544 35 1.77

85 DJ1 -7.23831 110.7372 27 1.6

86 DJ2 -7.10987 110.7648 25 1.72

87 DJ3 -7.27839 110.8593 33 1.45

88 DK1 -7.32878 111.1287 27 1.73

89 DK2 -7.20901 111.0991 34 1.55

90 DK3 -7.1508 110.9261 35 1.55

91 DKB -7.3227 111.0345 42.5 1.73

92 DL1 -7.2053 111.2319 35 1.5

93 NJ1 -6.51162 110.7507 - -

94 NJ3 -6.58776 110.9629 - -

95 NJ4 -6.60751 110.7843 26 1.47

96 NJ5 -6.95383 110.8601 - -

97 NJ6 -6.86953 110.6082 25 1.62

98 NJ7 -6.77616 110.9593 - -

99 NJ8 -6.72561 110.8114 - -

100 NK1 -6.94875 111.2267 25 1.77

101 NK2 -6.71399 111.2117 27.5 1.78

102 NK3 -7.07123 111.0024 38 1.65

103 NK4 -6.87811 111.0865 32.5 1.82

104 NK5 -7.0524 111.1243 - -

105 NK6 -6.75551 111.2273 22 1.53

36

No. Stasiun Lintang Bujur � (km) �

106 NL1 -7.06147 111.3414 41 1.73

107 NL2 -6.78878 111.5207 - -

108 NL3 -6.66574 111.503 37.5 1.74

109 NL4 -6.83338 111.3756 40 1.73

110 NL5 -6.95196 111.4796 34 1.83

Pada stasiun BJ2, estimasi kedalaman batas diskontinuitas Moho (H) adalah

37,5 km dan κ adalah 1,66. Kemudian dihitung secara manual perbedaan waktu

penjalaran dari tiap fase terhadap gelombang langsung P secara berurutan

berdasarkan persamaan (3.15, 3.18 dan 3.21) adalah :

TPs = 4,11 s ;

TPpPs= 15,13 s ;

TPsPs+PpSs= 19,24 s.

Perbedaan waktu penjalaran tiap fase tersebut, kemudian dicocokkan dengan

amplitudo pada receiver function radial BJ2, seperti pada gambar (5.14). Hasil

perhitungan secara manual ini sesuai dengan konsep dari stacking H-κ yaitu

melakukan stacking pada amplitudo-amplitudo tinggi pada tiap fase.

Gambar 5.14 Estimasi waktu tiba fase gelombang Ps, PpPs dan PsPs+PpSs stasiun BJ2

Ps PpPs PsPs + PpSs

37

Sementara itu terdapat 20 stasiun seismik yang tidak dapat diestimasikan

nilai kedalaman diskontinuitas Moho-nya yaitu AF2, AFB, AG2, AHB, AI2, AJ1,

AK6, BI2, BK2, CG1, CG2, DEB, DI3, NJ1, NJ3, NJ5, NJ7, NJ8, NK5 dan NL2.

Hal ini dikarenakan receiver function yang dihasilkan tidak menunjukkan fase-

fase gelombang Ps, PpPs dan PsPs+PpSs secara jelas. Seperti gambar (5.15) yang

merupakan receiver function radial dari stasiun AF2 dan hasil stacking H-κ pada

gambar (5.16).

Gambar 5.15 Receiver function radial stasiun AF2

Gambar 5.16 Hasil stacking H-κ stasiun AF2

38

5.4 Variasi Kedalaman Batas Diskontinutas Moho

Berdasarkan hasil stacking H-κ pada tabel (5.2), diperoleh kedalaman rata–

rata di Jawa Tengah dan Yogyakarta sekitar 33,54 km dengan nilai ��/�� (κ) rata

–rata sekitar 1,65. Sementara itu kedalaman batas diskontinuitas Moho dangkal

yaitu 25 – 33 km dan terdalam berkisar antara 39 – 43 km. Peta kedalaman

diskontinuitas Moho di daerah penelitian dapat dilihat pada gambar (5.17). Pada

gambar (5.17), batas diskontinuitas Moho yang dangkal terletak di daerah

Semarang dan Yogyakarta. Sementara batas yang dalam tampak di daerah seperti

Gunung Lawu (LW), Ungaran (UNG), Sumbing (SMB) dan Sindoro (SND).

Hasil yang didapatkan dalam penelitian ini, tidak jauh beda dengan yang

dipaparkan oleh situs U.S. Geological Survey dalam bentuk peta ketebalan kerak

bumi global berdasarkan model kerak CRUST 5.1. Dalam peta pada gambar

(5.18), ditunjukkan kedalaman rata–rata di Sumatra, Jawa dan Kalimantan sekitar

30 km.

Gambar 5.17 Peta kedalaman batas diskontinuitas Moho di Pulau Jawa bagian tengah. Gunungapi dalam peta di atas: SMB, Sumbing; SND, Sindoro; DNG, Dieng; MRP, Merapi; MRB, Merbabu; UNG, Ungaran; LW, Lawu; MUR, Muria. Bulat abu-abu : sebaran stasiun pengukuran.

Yogyakarta

Semarang

39

Gambar 5.18 Peta ketebalan kerak bumi global. Sumber : http://quake.usgs.gov/ research /structure/ CrustalStructure/index.html (diakses Juli 2013)

Kendala yang dihadapi selama penelitian ini adalah sedikit event atau

kejadian gempa yang dapat diolah menjadi receiver function radial. Sedikitnya

event dikarenakan waktu perekaman gempa pada stasiun MERAMEX yang

singkat yaitu hanya 150 hari dari bulan Mei hingga Oktober 2004. Kendala

berikutnya adalah sulitnya mengestimasi kedalaman pada beberapa stasiun

dikarenakan radial receiver function yang dihasilkan selama proses pengolahan

tidak menampilkan secara jelas amplitudo pada tiap fase gelombang Ps, PpPs dan

PsPs+PpSs.

40

BAB VI

KESIMPULAN

6.1 Kesimpulan

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan dapat diberikan kesimpulan

sebagai berikut:

a. Kedalaman batas diskontinuitas Moho rata-rata di Jawa Tengah dan

Yogyakarta (H) sekitar 33,54 km dengan nilai � rata-rata sekitar 1,65.

Kedalaman dangkal berkisar antara 25-33 km berada di daerah Semarang dan

Yogyakarta. Sedangkan yang dalam sekitar 39-43 km terletak di sekitar

Gunung Lawu, Ungaran, Sindoro dan Sumbing.

b. Telah dibuat program stacking H-κ berbasis matlab.

6.2 Saran

Dalam penelitian ini ditemukan beberapa kendala yang mana juga akan

disampaikan saran yaitu sebagai berikut :

a. Diusahakan pada penelitian selanjutnya menggunakan lebih banyak event

gempa sehingga dapat memperoleh hasil receiver function yang lebih bagus.

Hal ini sangat penting, karena dalam penggunaan stacking H-κ amplitudo

yang ada pada receiver function sangat berpengaruh pada hasil estimasinya

atau dapat dikatakan teknik ini sangat sensitif dengan amplitudo dari fase-

fase gelombang yang ada.

b. Komponen receiver function radial yang dihasilkan, usahakan memiliki deret

waktu dari -5s hingga 30s. Hal ini perlu dilakukan agar dalam pengeplotan

grafik stacking H-κ tidak terpotong-potong pada sistem griddingnya. Pada

penelitian kali ini, penulis tidak dapat memplotkan gridding pada kedalaman

40-45 dengan nilai κ berkisar 1,75 – 1,90. Hal ini dikarenakan waktu pada

fase gelombang PpSs+PsPs mencapai lebih dari 25 sekon, padahal data

receiver function radial yang dimiliki penulis hanya 25 sekon.

41

c. Karena teknik stacking H-κ teruji untuk mengestimasikan kedalaman Moho,

disarankan untuk peneliti selanjutnya memetakan kedalaman Moho di

beberapa daerah di Indonesia dengan menggunakan stasiun-stasiun

seismograf perekam gempa yang tersebar di beberapa daerah. Hal ini penting

untuk memperkaya informasi mengenai struktur lapisan di bawah permukaan

bumi Indonesia.

42

DAFTAR PUSTAKA

Airy, G.B., 1855. On the computation of the effect of the attraction of mountain

masses, as disturbing the apparent astronomical latitude of stations in

geodetic surveys. Phil. Trans. R. Soc., Lond., Ser. B, 145: 101-104

Ammon, C.J., Randall, G.E. dan Zandt, G., 1990, On The Nonuniqueness of

Receiver Function Inversion, J. geopys. Res. 95, pp. 15303-15318

Ammon. C.J, 1991, The Isolation of Receiver Effects From Teleseismic P

Waveforms, Bulletin of the Seismological Society of America, Vol 81. 2504-

2510

Ben-Avraham, Z. dan Emery, K.O, 1973, Structural Framework of Sunda Shelf

Amer.Assoc. Petrol. Geol.Bull., Vol. 57, p. 2323-2366

Clayton, R. dan Wiggins, R., 1976, Source Shape Estimation and Deconvolution

of Teleseimic Body Waves. Geophys. JR Astron. Soc, 47:151-177

Kennet, B. L. N., 1983, Seismic Wave Propagation in Stratified Media.

Cambridge University Press

Kieling, K., Roessler. D., Krueger. F., 2010, Receiver Function Study in Northern

Sumatra and The Malaysian Peninsula, J Seismol, 15:235-259

Kikuchi, M., dan H. Kanamori, 1982, Inversion of Complex Body Waves, Bull.

Seism. Soc. Am. 72, 491-506

Koulakov, I., Jakovlev, A., Luehr, B.G.,2009, Anisotropic Structure Beneath

Central Java from Local Earthquake Tomography, G3, Vol. 10 No. 2

Langston, C., 1979, Structure Under Mount Rainier, Washington, Inferred From

Teleseismic Body Waves, Journal of Geophysical Research, Vol 84, 4749-

4762

43

Ligorria, J. and Ammon, C.,1999, Iterative Deconvolution and Receiver-Function

Estimation, Bulletin of the Seismological Society of America, Vol 89, 1395-

1400

Özakin, Y., 2008, Crustal Structure of Southwestern Anatolia Using P-Receiver Function

Analysis,Thesis, Boğaziçi University

Randall, G.E., 1989, Efficient calculation of differential seismograms for

lithospheric receiver functions, Geophys. J. Int., 99, 469-481

Raitt, R.W., 1967, Marine Seismic Studies of the Indonesian Island Arc, Paper

dipresentasikan pada American Geophysical Union Meeting (tidak

dipublikasikan)

Shaw, P. R., dan J. A. Orcutt, 1985, Waveform inversion of seismic refraction

data and applications to young Pacific crust, Geophys. J. R. Astron. Soc.,

82, 375-414

Tang, Chi-Chia, Chen, Chau-Huei dan Teng, Ta-Liang, 2008, Receiver Function

for Three-Layer Media, Pure appl. Geophys. 165, 1249-1262

Tkalčić, H., Pasyanos, M.E., Rodgers, J.A., Gok, R., Walter, R.W., dan Al-Amri,

A., 2006, A Multistep Approach for Joint Modelling of Surface Wave

Dispersion and Teleseismic Receiver Function: Implication for Lithospheric

Structure of The Arabian Peninsula. Journal of Geophysical Research, 111,

B11311

U.S. Geological Survey, 2001, How Thick Is The Earth’s Crust?,

http://quake.usgs.gov/ research /structure/ CrustalStructure/index.html

(diakses Juli 2013)

Wagner, D., I. Koulakov, W. Rabbel, B.-G. Luehr, A. Wittwer, H. Kopp, M.

Bohm, G. Asch dan para peneliti MERAMEX, 2007, Joint Inversion of

Active and Passive Seismic Data in Central Java, J. Int. Geophys, 170, 923-

932

44

Zhu, L. dan Kanamori, H., 2000, Moho Depth Variation in Southern California

From Teleseismic Receiver Functions, Journal of Geophysical Research,

105 (B2)

45

LAMPIRAN A

Koordinat Stasiun MERAMEX Daerah Penelitian

No. Stasiun Lintang Bujur

1 AE1 -7.7362 109.6564

2 AE2 -7.6763 109.4866

3 AE3 -7.5556 109.5844

4 AF1 -7.82125 109.8334

5 AF2 -7.6511 109.8954

6 AF4 -7.79738 109.745

7 AFB -7.62696 109.7751

8 AG1 -7.83642 110.0464

9 AG2 -7.63401 109.9957

10 AG3 -7.84336 109.9403

11 AG4 -7.84247 110.139

12 AH1 -7.98167 110.2929

13 AH2 -7.92381 110.2226

14 AH3 -7.74756 110.1749

15 AH4 -7.81151 110.2939

16 AH5 -7.74402 110.281

17 AHB -7.87747 110.3119

18 AI1 -7.9955 110.487

19 AI2 -8.00531 110.356

20 AI3 -7.86492 110.5643

21 AI4 -7.91245 110.5222

22 AJ1 -8.0925 110.5718

23 AJ2 -7.96585 110.6495

24 AJB -8.05935 110.6565

25 AK1 -7.97297 110.8344

26 AK2 -8.14749 110.7756

27 AK6 -8.03797 110.7436

28 AK7 -8.08392 110.8384

29 BE1 -7.3784 109.5666

30 BE2 -7.46213 109.6021

31 BE3 -7.33705 109.7087

32 BEB -7.42463 109.7421

33 BF1 -7.37186 109.8565

34 BF2 -7.49034 109.8246

35 BF3 -7.47501 109.9537

No. Stasiun Lintang Bujur

36 BG1 -7.42543 110.1027

37 BG2 -7.48676 110.0444

38 BG3 -7.3893 109.9938

39 BGB -7.49944 110.1721

40 BH1 -7.6315 110.1807

41 BH2 -7.52649 110.4107

42 BH3 -7.43732 110.337

43 BI2 -7.53275 110.5535

44 BI4 -7.60581 110.5296

45 BJ1 -7.76979 110.6387

46 BJ2 -7.84295 110.7601

47 BK1 -7.86135 110.8459

48 BK2 -7.65885 110.8809

49 BK3 -7.72834 110.986

50 CE1 -7.2426 109.7201

51 CE2 -7.25089 109.6025

52 CE3 -7.10009 109.5816

53 CF1 -7.27323 109.9087

54 CF3 -7.19959 109.8073

55 CFB -7.13705 109.9557

56 CG1 -7.26988 109.9903

57 CG2 -7.17724 110.0377

58 CG4 -7.35985 110.138

59 CH1 -7.27396 110.2406

60 CH2 -7.22458 110.353

61 CHB -7.33484 110.4

62 CI1 -7.45 110.5023

63 CI2 -7.4174 110.6216

64 CI3 -7.29246 110.561

65 CJ1 -7.51903 110.6924

66 CJ2 -7.35847 110.7383

67 CJ3 -7.45577 110.834

68 CJB -7.45577 110.834

69 CK1 -7.63768 111.1336

70 CK2 -7.35486 110.9214

46

No. Stasiun Lintang Bujur

71 CK3 -7.49162 111.1096

72 CK4 -7.48169 110.958

73 CK6 -7.59042 111.0306

74 DE1 -6.96582 109.8032

75 DEB -7.03357 109.7357

76 DG1 -7.09002 110.0825

77 DGB -7.05743 110.2144

78 DH1 -7.11215 110.4296

79 DH2 -7.14759 110.3202

80 DH3 -7.2077 110.4725

81 DI1 -7.17086 110.6002

82 DI2 -7.03794 110.6746

83 DI3 -7.0383 110.6722

84 DIB -7.08947 110.5544

85 DJ1 -7.23831 110.7372

86 DJ2 -7.10987 110.7648

87 DJ3 -7.27839 110.8593

88 DK1 -7.32878 111.1287

89 DK2 -7.20901 111.0991

90 DK3 -7.1508 110.9261

91 DKB -7.3227 111.0345

92 DL1 -7.2053 111.2319

93 NJ1 -6.51162 110.7507

94 NJ3 -6.58776 110.9629

95 NJ4 -6.60751 110.7843

96 NJ5 -6.95383 110.8601

97 NJ6 -6.86953 110.6082

98 NJ7 -6.77616 110.9593

99 NJ8 -6.72561 110.8114

100 NK1 -6.94875 111.2267

101 NK2 -6.71399 111.2117

102 NK3 -7.07123 111.0024

103 NK4 -6.87811 111.0865

104 NK5 -7.0524 111.1243

105 NK6 -6.75551 111.2273

106 NL1 -7.06147 111.3414

107 NL2 -6.78878 111.5207

108 NL3 -6.66574 111.503

109 NL4 -6.83338 111.3756

110 NL5 -6.95196 111.4796

47

LAMPIRAN B

Listing Program Stacking H-κ

(Diadaptasi dari Suryanto, 2010)

clear all; clc; %Membuat data GRIDDING %untuk mengaktifkan hapus (%) sebelum listing 'proses' %pada direktori akan muncul sampel1,2,3.. %sampel itu dibuka di excel langsung dibuat menjadi bil. bulat %disave dalam s1.txt, s2.txt dan s3.txt %for n = 1:251 % for m=1:301 % H(m,n)=14.9+(n*0.1); % end; %end; %for n = 1:251 % for m=1:301 % k(m,n)=1.599+(m*0.001); % end; %end; %estVp=6.0; %estp=0.06; %vs=estVp./k; %t1 = H.*(sqrt(1./(vs.^2)-estp^2) - sqrt(1/estVp^2-estp^2)); %t2 = H.*(sqrt(1./(vs.^2)-estp^2) + sqrt(1/estVp^2-estp^2)); %t3 = H.* 2 .* (sqrt(1./(vs.^2)-estp^2)); %n1=t1*100; %n2=t2*100; %n3=t3*100; %dlmwrite ('sampel1.txt',n1, 'delimiter', '\t', ... % 'precision', 4) %dlmwrite ('sampel2.txt',n2, 'delimiter', '\t', ... % 'precision', 4) %dlmwrite ('sampel3.txt',n3, 'delimiter', '\t', ... % 'precision', 4) %PROSES STACKING H-K RECEIVER FUNCTION rfdata=load ('NL5.txt'); %data receiver function yang diload

48

w1 = 0.7; w2 = 0.2; w3 = 0.1; c=load ('s1.txt'); d=load ('s2.txt'); e=load ('s3.txt'); rf1 = rfdata(c); rf2 = rfdata(d); rf3 = rfdata(e); S =w1*rf1+ w2*rf2 - w3*rf3; axis = 15:0.1:40; ordinat = 1.60:0.001:1.90; imagesc (axis,ordinat,S) set (gca, 'YDir','normal'); Title ('Grafik Stacking H-k','fontweight','bold',... 'fontsize',12); xlabel ('H (km)', 'fontweight','bold'); ylabel ('vp/vs', 'fontweight','bold'); colorbar('location','southoutside')

Radial Receiver Function Tiap Stasiun Seismik MERAMEX

StasiunSeismik

49

LAMPIRAN C

Receiver Function Tiap Stasiun Seismik MERAMEX

Radial Receiver Function

Receiver Function Tiap Stasiun Seismik MERAMEX

StasiunSeismik Radial Receiver Function

50

StasiunSeismik

Radial Receiver Function

51

StasiunSeismik

Radial Receiver Function

52

StasiunSeismik

AH5

Radial Receiver Function

53

StasiunSeismik

Radial Receiver Function

54

Stasiun Seismik

Radial Receiver Function

55

StasiunSeismik

Radial Receiver Function

56

57

58

LAMPIRAN D

Hasil Stacking H-κ

Keterangan : tanda “ ” menunjukkan titik dengan koherensi maksimum,

Gambar kiri : gridding = H (15;…;40) dan κ (1,60;…;1,90)

Gambar Kanan : gridding = H (20;…;45) dan κ (1,45;…;1,75)

AE1

AE2

AE3

59

AF1

AF2

AF4

AFB

60

AG1

AG2

AG3

AG4

61

AH1

AH2

AH3

AH4

62

AH5

AHB

AI1

AI2

63

AI3

AI4

AJ1

AJ2

64

AJB

AK1

AK2

AK6

65

AK7

BE1

BE2

BE3

66

BEB

BF1

BF2

BF3

67

BG1

BG2

BG3

BGB

68

BH1

BH2

BH3

BI2

69

BI4

BJ1

BJ2

BK1

70

BK2

BK3

CE1

CE2

71

CE3

CF1

CF3

CFB

72

CG1

CG2

CG4

CH1

73

CH2

CHB

CI1

CI2

74

CI3

CJ1

CJ2

CJ3

75

CJB

CK1

CK2

CK3

76

CK4

CK6

DE1

DEB

77

DG1

DGB

DH1

DH2

78

DH3

DI1

DI2

DI3

79

DIB

DJ1

DJ2

DJ3

80

DK1

DK2

DK3

DKB

81

DL1

NJ1

NJ3

NJ4

82

NJ5

NJ6

NJ7

NJ8

83

NK1

NK2

NK3

NK4

84

NK5

NK6

NL1

NL2

85

NL3

NL4

NL5