The Development of Scientific Tradition in India and Indonesia: Critical Analysis of the Paradigm...

28
Perkembangan Tradisi Keilmuan di India dan Indonesia: Analisis kritis Terhadap Pergeseran Paradigma Pendidikan Islam By Muhammad Mujab Abstract (205 words) As a religion with over than 2 billion adherents across the globe Islam has left a variety of different cultures because the natures of Islam are flexible, accommodating and eclectic. No doubt then Islam spread rapidly and easily to all corners of the world including India and Indonesia. Islam in these countries has been growing with similarities in many things, namely knowledge, science, cultural traditions and more others that flourished in the community. Both countries equally been dominated by Hindu kingdoms and has its own uniqueness that is different from the nature of Islam in the Middle East. Movement of purification, accommodating, and Islamic moderation equally strong thrive in these two countries, only distinguishes Islam in India as a minority, whereas in Indonesia majority. From this side of the lead character of Islam in the two countries to be slightly different, because of the political economy, and intrigue among communities causing new problems, especially in the aspect of educational tradition that developed in recent decades. This paper delineates how the tradition of Islamic education that emerged and developed in both countries of various aspects, the goal is to finding out the ideal model of Islamic education in accordance with the demands of the global era. Keywords: Nature of Islam, Science and Knowledge Traditions, Islamic movement, Islamic Education Sebagai agama yang memiliki pemeluk sekitar 2 milyard yang tersebar di seluruh dunia, Islam telah mewariskan berbagai budaya yang berbeda-beda karena watak Islam yang lentur, akomodatif, namun eklektik. Tidak heran Islam menyebar begitu mudah ke berbagai tempat di seluruh pelosok dunia tidak terkecuali di India dan Indonesia.

Transcript of The Development of Scientific Tradition in India and Indonesia: Critical Analysis of the Paradigm...

Perkembangan Tradisi Keilmuan di India danIndonesia: Analisis kritis Terhadap Pergeseran

Paradigma Pendidikan Islam

By Muhammad Mujab

Abstract (205 words)

As a religion with over than 2 billion adherents across the globeIslam has left a variety of different cultures because the naturesof Islam are flexible, accommodating and eclectic. No doubt thenIslam spread rapidly and easily to all corners of the worldincluding India and Indonesia.

Islam in these countries has been growing with similarities inmany things, namely knowledge, science, cultural traditions andmore others that flourished in the community. Both countriesequally been dominated by Hindu kingdoms and has its ownuniqueness that is different from the nature of Islam in theMiddle East.

Movement of purification, accommodating, and Islamic moderationequally strong thrive in these two countries, only distinguishesIslam in India as a minority, whereas in Indonesia majority. Fromthis side of the lead character of Islam in the two countries tobe slightly different, because of the political economy, andintrigue among communities causing new problems, especially in theaspect of educational tradition that developed in recent decades.

This paper delineates how the tradition of Islamic education thatemerged and developed in both countries of various aspects, thegoal is to finding out the ideal model of Islamic education inaccordance with the demands of the global era.

Keywords: Nature of Islam, Science and Knowledge Traditions,Islamic movement, Islamic Education

Sebagai agama yang memiliki pemeluk sekitar 2 milyard yangtersebar di seluruh dunia, Islam telah mewariskan berbagai budayayang berbeda-beda karena watak Islam yang lentur, akomodatif,namun eklektik. Tidak heran Islam menyebar begitu mudah keberbagai tempat di seluruh pelosok dunia tidak terkecuali di Indiadan Indonesia.

Islam yang berkembang di dua negara ini memiliki banyak kemiripandalam banyak hal, baik dalam tradisi keilmuan dan budaya yangberkembang di masyarakatnya, maupun dalam hal lain. Kedua negaraini sama-sama pernah dikuasai oleh kerajaan-kerajaan Hindu danmemiliki keunikan-keunikan tersendiri yang berbeda dengan watakIslam di Timur Tengah.

Gerakan purifikasi, akomodatif, dan moderasi Islam sama-samakuatnya berkembang di dua negara ini, hanya yang membedakan Islamdi India sebagai minoritas, sedangkan di Indonesia mayoritas. Darisisi ini menyebabkan watak Islam di dua negara tersebut menjadisedikit berbeda, karena dari sisi ini ekonomi politik, dan intrikantar komunitas menyebabkan timbulnya persoalan-persoalan barukhususnya pada aspek tradisi pendidikan yang berkembang dalamdekade belakangan ini.

Tulisan ini berupaya mengungkap bagaimana tradisi pendidikan Islamyang muncul dan berkembang di kedua negera tersebut dari berbagaiaspek, tujuannya adalah untuk menemukan model pendidikan Islamyang ideal sesuai dengan tuntutan era global.

I. LATAR BELAKANG

Gagasan yang melatari tema pembahasan dalam makalah iniadalah berawal dari pengamatan penulis terhadap fenomena dimana berdirinya lembaga pendidikan tradisional Islam(pesantren) yang digagas oleh masyarakat berawal darikeinginan untuk melestarikan ajaran Islam. Dalam hal inipenulis yang pernah cukup lama tinggal di India sangat akrabdengan fenomena ini di samping itu penulis juga memilikipergulatan yang intens dengan lembaga-lembaga pendidikanIslam baik pesantren maupun lembaga pendidikan tinggi diIndonesia di mana hal serupa juga terjadi di India. Olehsebab itu penulis bermaksud untuk menyumbangkan beberapakonsep ilmiah pola hubungan masyarakat Islam dengan duniapendidikan khususnya pendidikan pesantren dan pendidikantinggi Islam yang digagas dan dikembangkan oleh masyarakatuntuk mengeksplorasi secara mendalam tentang pola hubunganantara pendidikan dan otoritas agama yang bersifat khas lokal.

Kajian sosiologi pendidikan tentang hubungan masyarakatdengan lembaga-lembaga pendidikan sudah banyak dilakukan parapakar seperti Zamakhsahri Dhofir, Mastuhu, Ridwan Nasirdll., merupakan sedikit contoh dari kajian serupa yangmembahas pola hubungan masyarakat dan pesantren. Polahubungan ini juga sangat manarik jika dihubungkan denganmunculnya lembaga-lembaga pendidikan ala Barat yang kemudiandilegitimasi dengan pemerintah sebagai pendidikan Nasionalyang mengakibatkan tumbuhnya beragam model pendidikan dikedua negara; yaitu India dan Indonesia.

Pengenalan terhadap sistem pendidikan Barat ke dalam duniaIslam terkadang membawa ketegangan dalam masyarakat Islam dansekaligus mendapat respon yang berbeda di kalangan SarjanaMuslim dan tokoh-tokoh agama yang puritan dan tokoh-tokohagama yang memiliki pandangan moderat. Sistem pendidikanBarat di satu sisi telah membawa pencerahan di dunia Islam,tetapi pada saat yang sama sistem pendidikan Barat jugamembawa ancaman terhadap tereduksinya nilai-nilai ajaranagama dalam sistem baru tersebut. Selanjutnya benturan inimembawa pada terbantuknya dua sistem pendidikan diIndonesia dan India. Dari dua sistem pendidikan ini lahirlahpolarisasi hubungan antar lembaga pendidikan di kalanganmasyarakat Islam yang selanjutnya menjadikan dua kubu modelpendidikan, yaitu pendidikan Nasional dan pendidikantradisional. Mereka lahir dan hidup dalam satu negara, tetapitidak bisa saling memahami karena menggunakan referensi, ide,dan tujuan yang berbeda.

II. TINJAUAN TEORITIS

1. DIKOTOMI VS INTEGRASI KEILMUAN ISLAM

Al-Qur’an dan Hadist sebagai sumber utama ilmu pengetahuantidak terbantahkan. Dari kedua sumber inilah umat Islam daridahulu hingga sekarang menjadikan kedua kitab tersebutsebagai rujukan dalam urusan dunia dan akhirat. Al-Qur’ansebagai wahyu tidak bisa dipungkiri telah menjadi sumberinspirasi lahirnya ilmu-ilmu agama murni, maupun ilmu-ilmumodern.

Sesungguhnya al-Qur’an tidak saja bicara tentang hukum-hukumtetapi juga bicara banyak hal misalnya tentang fisika, kimia,astronomi, biologi, dan masalah sosial. Al-Qur’an tidakditurunkan untuk bangsa Arab saja, dan juga bukan hanya untukumat di abad 21 ini, tetapi al-Qur’an diturunkan secaramutlak, sesuai dengan segala kondisi sampai kapanpun.

Jika umat Islam berpedoman kepada Al-Qur’an dan Hadist,niscaya akan menemukan ayat-ayat untuk berpikir tentangfenomena fenomena di atas, lebih lebih lagi jika mau berpikirbahwa al-Qur’an itulah yang dulu menyebabkan umat Islammengalami kemajuan puncak pada abad pertengahan. Akan tetapikebanyakan umat Islam hanya menitik beratkan pada aspek hukumsaja, sehingga pesan-pesan al-Qur’an yang universal terkadangkurang mendapat perhatian yang serius dari kalangan umatIslam sendiri, akibatnya umat Islam mengalami kemunduran yangberkepanjangan.

Al-Qur’an bukan hanya memberi berita tentang yang ghaib saja,tetapi Al-Qur’an juga mengisyaratkan tentang realitas yangdapat dicerna oleh indera manusia. Misalnya perintah untukberibadah disertai dengan persyaratan waktu yang bisadiketahui melalui pengindraan dan pengamatan terhadapfenomena alam, hal ini mendorong manusia berpikir untukmengamati fenomena alam agar diketahui kapan waktumenjalankan perintah itu dan kapan mengakhiri suatu kewajibanharus ditunaikan menurut pandangan Al-Qur’an. Tetapi padasaat lain Al-Qur’an bicara soal-soal yang masih misteri,sulit dicerna oleh akal manusia, seperti penciptaan jagatraya, penciptaan bumi, penciptaan manusia dan proses-prosesyang saat ini sedang berlangsung dan semua itu menjadirahasia Allah semata (Tafsir Ilmi;2010)

Sementara di pihak lain, ilmu pengetahuan manusia terusberkembang, karena para ilmuan secara terus menerus bekerjamelalui metodologi, baik melalui eksperimen, pengindraan,pengamatan, maupun dengan rasio. Dari capaian ilmupengetahuan itu kemungkinan memahami ayat-ayat kauniyah dalamAl-Qur’an yang selama ini masih menjadi misteri menjadisemakin terbuka.

Oleh sebab itu, tidaklah mengherankan jika seorang Einsteindengan temuan-temuannya yang spektakuler pada masanya itumenyatakan bahwa ‘ sains tanpa agama lumpuh, dan agama tanpasains buta’. Para ulama menerima pandangan itu karena antarasains dan agama bisa saling menunjang dan memiliki titiktemu, karena sesungguhnya para ulama dan saintis muslimsecara terus menerus telah menggali rahasia-rahasia Allahyang termaktub dalam ayat-ayat kawniyah. Bahkan para saintismuslim sejak abad ke 9 telah menemukan teori-teori yangspektakuler dalam berbagai bidang, misalnya astronomi,fisika, kimia biologi, matematika dan ilmu kedokteran,sehingga mereka mampu membangkitkan bangsa-bangsa Eropa yangpada puncaknya disebut sebagai zaman Renaissance, hal inikarena jasa-jasa para saintis muslim.(Tafsir Ilmi:2010)

Dengan demikian bisa disimpulkan bahwa Islam sejak lamatelah mengembangkan tradisi keilmuan yang memungkinkanmemahami fenomena kealam-semestaan karena memiliki tradisiiqra’ dengan paradigma bayani, burhani dan irfani. Bayaniartinya paradigma ini bertumpu pada pemahaman terhadap teks,dari sini tumbuh ilmu-ilmu bantu seperti ilmu tafsir, ushulfikih, balaghah, ilmu hadist dirayah, ilmu hadist riwayah,dan banyak lagi lainnya. Lalu dilanjutkan dengan pendekatanburhani, sebuah kajian yang bertumpu pada pembuktian empiris,sehingga lahirlah ilmu-ilmu pengetahuan seperti fisika,astronomi, kedokteran dan lain-lain.

Sedangkan paradigma ‘irfani’ memberikan ruang berkembangnyapengetahuan berbasis intuisi yang memperkaya manusia denganspiritual batiniyah sehinggal lahirlah ilmu tasawuf yangmenjadikan manusia memahami sifat-sifat dasarnya sehinggamanusia mampu mengendalikan hasrat nafsunya untuk mencapaiketinggian derajat di sisi Allah sehingga tidak terjerumusdalam mengarungi kehidupan dunia yang penuh tipu daya.(Tafsir ilmi; 2010)

Dari uraian di atas setidaknya bisa difahami, bahwa Al-Qur’ansebagai sumber ilmu pengetahuan tidak memisahkan antara ilmusekuler dan ilmu agama, antara yang fardhu ain dan fardukifayah, antara ilmu dunia dan ilmu akhirat. Oleh sebab itujika umat Islam tetap berpegang kepada Al-Qur’an niscayatidak akan terjadi pemisahan antara ilmu agama dan sains, hal

ini karena semuanya telah disinggung dan diisyaratkan olehAl-Qur’an.

Sosiologi modern mengenalkan tiga konsep kemajuan (modern).pertama, bahwa kemajuan menurut pemikiran kuno, didasarkanpada kekuatan supranatural, bertolak dari paham ini segalakemajuan yang dicapai oleh sebuah masyarakat adalah semata-mata karena kehendak Tuhan. keduas; kemajuan di masyarakatbisa terjadi karena adanya perubahan potensi secara alamiahdari organisme bawaan masyarakat itu sendiri. Ketiga; kemajuanterjadi karena ditimbulkan oleh perubahan perilaku kolektifmaupun individu dari anggota masyarakat dengan kata lain jikamasyarakat ingin maju berati harus ada elite-group yangmemperjuangkan masyarakat itu sendiri agar menjadi maju,artinya kemajuan harus diperjuangkan dan diusahakan olehanggota masyarakt itu sendiri. Bertolak dari pandangan diatas, jika masyarakat Islam ingin melakukan perubahanberarti harus berusaha dan mencari upaya-upaya serius untukmencapai cita-citanya dengan mengerahkan segenap kemampuandan modal yang dimiliki. Pemikiran ini sejalan denganpandangan Al-Qur’an.

Sedangkan teori tentang tradisi menurut sosiologi lahirmelalui dua cara, pertama; tradisi muncul dari bawah melaluimekanisme spontan yang karena alasan tertentu menimbulkanperhatian, ketakziman, kecintaan, dan kekaguman yang kemudiandisebarkan melalui berbagai cara, sehingga memperngaruhimasyarakat untuk bertindak dan berperilaku tertentu hinggaperilaku itu menjadi milik bersama selanjutnya perilaku itumenjadi fakta sosial yang sesungguhnya.kedua; tradisi munculmelalui mekanisme paksaan, di mana sesuatu yang dianggapsebagai tradisi dipilih dan dijadikan perhatian umum ataudipaksakan oleh individu yang berpengaruh, misalnya penguasa,panglima militer, atau tokoh kharismatik. (Piotr Sztompka;2007)

Bertolak dari pandangan di atas, tumbuhnya “sebuah tradisi”di sebuah masyarakat adalah karena adanya tindakan atauperilaku yang membuat orang banyak menjadi kagum, cinta,takzim, dan sikap menghargai terhadap perilaku tertentusehingga menimbulkan minat bagi yang lain untuk mencontohnya.Namun tradisi juga bisa dibentuk melalui rekayasa oleh sebuah

alat kekuasaan, tergantung sejauh mana kekuatan paksaanmemilki daya pengaruh pada masyarakat/komunitas tertentu.

Dengan demikian tradisi keilmuan masa lampau umat Islamataupun masa kini jika dilihat dari perspektif teori di ataskarena adanya hal-hal yang membuat kagum, lalu dari kekagumanitu muncul sikap ingin meniru tradisi yang dikaguminya itu.Dari situlah lalu timbul perubahan perilaku masyarakat.Sebaliknya dari paandangan teori di atas bisa jadi sebuahtradisi akan menguat, menyusut, bahkan bisa hilang samasekali karena kuatnya desakan dari tradisi yang lebih baru.

2. ILMU –ILMU ISLAM DIBAWA KE BARAT

Bukti-bukti sejarah menjelaskan bahwa tradisi keilmuan Islamawal sangatlah tinggi, salah satu bukti yang perludikemukakan disini adalah betapa Barat telah melakukan usahasejak awal baik secara individu maupun kerja kolektif untukmentransfer ilmu-lmu Islam ke Eropa melalui tiga fase;

(I) Fase pertama; pada akhir abad ke 10Masihi terjadi penerjemahan buku-buku Arab ke dalambahasa latin secara individu, di antaranya adalah bukutentang astrologi, sains, logika, dan kedokteran;

(II) Fase kedua; abad ke 11-14 Masihi.Pada masa kurang lebih tiga abad ini buku-buku Islamditerjemahkan ke dalam bahasa Latin dan hasil dariterjemahan itu langsung diajarkan di sekolah-sekolahyang didirikan oleh mereka dan memberi nama sekolahdengan nama pengajar sains itu dalam hal ini merekamengikuti tradisi Muslim. Pada fase ini hampir semuacabang ilmu yang ditulis dalam bahasa Arab diterjemahkandan dipelajari dengan serius. Buku buku itu terdiri daritujuh kategori (1) logika, (2) geometri, optik, danteknik sipil (3) Astonomi dan Astrologi (4) filsafat (5)pengobatan, (6) alchemy (7) geometri. Masing-masingjenis ilmu jumlahnya antara tiga sampai 17 buku.

(III) Fase ketiga; pada fase iniberlangsung antara abad 16-17 Masihi. Fase ini bolehdibilang fase paling monumental, karena tidak terhitungberapa jumlah buku yang diterjemahkan secara pasti dan

fase ini digambarkan sebagai the golden age of Arabic studies inEurope. Di samping itu upaya penerjemahan lebih mudahkarena buku-buku Arab itu telah dibawa ke universitas-universitas di Eropa sehingga mempermudah bagipenerjemah untuk melakukan kerja itu. Sebuah catatanpenting bahwa pada fase kedua adalah bersamaan denganjatuhnya Spanyol sebagai pusat peradaban Islam wilayahbarat akibat perang Salib. Usaha penerjemahan tidakberhenti sampai di situ dan setelah buku-buku sainstelah mereka kuasai disusul dengan penerjemahan kitab-kitab agama seperti Qur’an Hadist, dan kitab-kitabcabang agama lain. Dari situ umat Kristen baru menyadariternyata citra Islam dan Muslim yang dikesankan kejam,sadis, dan membahayakan itu jadi sirna setelah merekamengetahui inti ajaran-ajaran Islam yang humanis, cintaperdamaian, dan menghargi ilmu pengetahuan. (MuzaffarIqbal, 2007:114-1170

Pertanyaan selanjutnya adalah, mengapa terjadi dikotomiantara agama dan ilmu?. Menurut Ian G Barbour dalam bukunyaWhen sciences meet Religion (2000) bahwa hubungan agama dan sainsada empat tipe; 1. Konflik, 2. Independen, 3. Dialog, dan 4.Integrasi. Dalam tulisannya Ian menyimpulkan bahwa agama danilmu merupakan bidang yang berdiri sendiri karena metode daneksistensi mereka berbeda sehingga sulit dipertemukan. Agamamengekspresikan dengan bentuk-bentuk ritual dan praktekberagama dalam komunitas religi. Agama mengatur secarapraktis menjalani kehidupan berdasarkan keyakinan, sebaliknyailmu berkembang dari pertanyaan yang spesifik untukmenginterpretasi fenomena dan proses yang kemudian dianalisisdengan pendekatan dan teori-teori baru. (Zainal Abidin, 2006,93)

Dari tradisi Barat inilah kemudian keilmuan sekulerberkembang dan menjadi tradisi yang mempengaruhi terhadapsistem pendidikan modern yang dikotomik. Selanjutnya tradisiini dikembangkan oleh sekolah-sekolah yang didirikan olehkolonial baik di negara-negara Timur Tengah, Asia selatan danAsia Tenggara, termasuk Indonesia. Padahal tradisi Islamsebelumnya tidak mempermasalahkan antara ilmu agama dan ilmu

non agama, dan tidak ada larangan untuk mempelajari semuailmu pengetahuan, berbeda dengan tradisi kristen di masalalu, karena Gereja memiliki otoritas untuk melakukan kontrolterhadap hal-hal yang di luar, sebagaimana diungkap olehMuzaffar;

“ Furthermore, the particular history of the relationship between modern scienceand Christianity is especially in applicable to Islam, since there is no church inIslam, no ecclesiastic authority that could have entered into interaction withscientists and scientific institutions in any formalized concentrate form. There isno Pope who could have established the “Holy Office of the inquisition,” as PopePaul II did in 1542, or who could have issued an Index Probihited Books orencyclic on Islam and science” (muzaffar; 2007;XVII)

Di samping itu dalam rekomendasi Konferensi Dunia IIpendididikan Islam, pengorganisasian materi pendidikan dibagimenjadi; (1) perenial knowledge, yaitu ilmu pengetahuan yangpada masa klasik dikenal dengan sebutan ulum naqliyyah, (2)acquired knowledge, disebut dengan ulum aqliyah (al-muktasab)selanjutnya dari hasil rekomendasi itu sebagai berikut;

I. Rumpun ilmu perennial (ilmu-ilmu abadi)a. Al-Qur’an, membaca, menghafal, interpretasi

(tafsir)b. As-Sunnah, c. Sirah Nabawi, para sahabat, dan umat Islam

priode awal, d. Tauhid, e. Ushul fiqh dan fiqh, f. f. Bahasa Arab (fonologi, sintaksis, dan

semantik.

II. Rumpun ilmu Aquired (muktasab; ilmu-ilmu hasilpencarian manusia);a. Imajinatif (seni); seni Islam, arsitektur,

bahasa dan sasterab. Ilmu-ilmu sosial, filsafat, pendidikan,

ekonomi, ekonomi, ilmu politik sejarah, sejarahperadaban Islam, geografi psikologi, danantropologi,

c. Ilmu-ilmu pengetahuan alam, (teoritik) filsafatilmu, matematika, statistik, fisika, kimia dll.

d. Ilmu-ilmu terapan; rekayasa teknologi kedoktean,pertanian, dan kehutanan,

e. Praktek; perdaganan, ilmu-ilmu administrasi,ilmu perpustakaan, dan ilmu komunikasi. (MunzirHaitami, 2004, 103)

Sementara pendekatan ‘dialog’ antara ilmu dan agama dimanailmu mengungkap pertanyaan sepesifik, dalam hal inimemungkinkan pola hubungan yang paralel antara teoripengetahuan yang spesifik dan kepercayaan teologis yangspesifik, sehingga terjadi interaksi kreatif antar keduadisiplin. Sedangkan pendekatan ‘integratif’ dilakukan denganmenanyakan bagaimana kepercayaan dirumuskan kembali dalamkonteks ilmu modern. Meskipun ilmu dan agama menurutnyadipandang sebagai susuatu yang berdiri sendiri karenaperbedaan sumber maupun metodologinya akan tetapi Kitab suciagama menuntun umatnya untuk menemukan fenomena alam yangmenjadi perhatian ilmu, karena fenomena alam ini menjadiperhatian utama para ilmuan, maka lahirlah bidang-bidangdisiplin keilmuan yang beragam seperti bidang fisika, kimia,biologi, antropologi, matematika, astronomi dan seterusnya,karena beragamnya perhatian para ilmuan terhadap objek-objekyang dikaji.

Selanjutnya muncul tawaran alternatif, yaitu gagasanIslamisasi sains yang dipelopori oleh Sayid Naquib al-Attasyang berupaya untuk merumuskan tradisi baru yang disebutindigenization of science & technology sebuah upaya untuk membangunsains dan teknologi yang disesuaikan dengan agama, tradisi,dan budaya Islam. (Mohd. Zaidi Ismail & Wan Suhaimi WanAbdullah, 2012,367). Keseriusan kajian Islamisasi ilmu inibukan sekedar menyandingkan antara sains dan teks-teks Al-Qur’an dan Hadist, sebagai sumber utama dalam Islam, tetapiusaha ini berupaya menawarkan sains alternatif berdasarkanparadigma Islam, sebuah sains yang dikembangkan bukan sajaberdasarkan tata nilai moral dan tata nilai ilmu Islam tetapibagaimana ilmu yang dibangun di atas tatanan nilai-nilaiIslam itu mampu mengembangkan kesadaran baru akan pentingnyanilai-nilai Rabbani.

III. MODERNISASI MADRASAH (PESANTREN)

Pendidikan Islam di Indonesia diawali dengan lahirnyapesantren yang didirikan oleh para ulama di masa masa sulitjauh sebelum kemerdekaan Republik Indonesia. Sebagai lembagapendidikan tertua, pesantren telah mengalami perubahan yangluar biasa karena tuntutan situasi dan kondisi yangmengharuskan pesantren melakukan modernisasi dalam sistempendidikannya. Meskipun demikian pesantren sebagai lembagapendidikan mempunyai ciri-ciri tertentu, karena pesantrenmemiliki tradisi keilmuan yang berbeda dengan tradisikeilmuan lembaga-lembaga pendidikan lainnya. Dalam hal inimisalnya pesantren mengajarkan kitab kuning yang ditulisdalam bahasa Arab di mana kitab-kitab itu ditempatkan padaposisi istimewa dalam kurikulum pesantren.

Demikian pula dalam tradisi metode pembelajarannya terdapatperbedaan dengan tradisi pembelajaran di lembaga pendidikanlain. Di pesantren pembelajaran dilakukan dengan sistembandongan dan sorogan dengan corak yang tersendiri. Diawalidengan kitab-kitab mukhtasarat yang berisi teks-teks ringkasdan sederhana, kemudian dilanjutkan dengan kitab mutawassithat,dan dilanjutkan dengan kitab-kitab tingkat lanjut.(Abdurrahman Wahid, 2007)

Pesantren pada umumnya ada pada sebuah komplek terdiri daribeberapa buah bangunan, rumah kiyai, masjid, dan tempatpengajaran yang disebut dalam bahasa Arab madrasah, dan asramatempat tinggal para santri. Dari sini pengertian madrasah danpesantren terkadang menjadi saling tumpang tindih, karenadalam pesantren pada umumnya terdapat madrasah dan adamadrasah sebagai lembaga pendidikan independen yang berdirisendiri di luar pesantren.

TRADISI KEILMUAN DI PESANTREN

Untuk melacak tradisi keilmuan di pesantren perlu dilihatpada perkembangan ilmu-ilmu keIslaman sejak awal generasipertama, di mana salah satu watak utama dari ajaran Islamadalah penekanan pada aspek pendidikan sebagaimana bisa

dilihat dari sumber-sumber al-Qur’an dan Hadist yangmenggambarkan pentingnya ilmu dalam pandangan Allah.

Menurut Wahid, atas dasar itulah Islam mengembangkanperangkat keilmuannya sendiri sejak dini, di mana hal itubisa dibuktikan dengan adanya kelompok-kelompok spesialisasiseperti Abdullah ibn Abbas yang ahli tafsir, Abdullah IbnuMas’ud yang ahli dalam hukum, dan Zaid bin Tsabit yangpenghafal al-Qur’an, demikian seterusnya.

Tradisi itu selanjutnya berkembang pada bidang fikih,muncullah orang seperti Qadhi Abdurrahma ibnu Abi laila, padabidang ilmu baca Al-Qur’an muncul Imam Ashim karena merekatelah memperlakukan al-Qur’an dan Hadist sebagai objek ilmubukan sebagai wadah pengamalan. Lalu dengan kelenturannyaIslam mampu menerima dan menyerap tradisi Hellenisme,filsafat Yunani, dan mistisme sampai kemudian terjadibenturan peradaban yang hebat antara budaya Islam dan budayalain. Lalu ketika dirasa adanya kebutuhan pengembangankeilmuan yang tidak hanya bertumpu kepada Al-Qur’an danHadist , yaitu kajian ilmu-ilmu bahasa, lalu memunculkan ilmuilmu kebahasaan hingga dikenal tokoh semacam Imam kholil binAhmad, Imam Sibawaih dan seterusnya.

Tradisi kemampuan untuk menyerap secara masif terhadap ilmupengetahuan dan mengembangkan untuk kesejahteraan bersamaserta meluaskan wawasan dan pandang hidup mereka, tetapi padasaat yang bersamaan mereka tetap berpegang pada norma-normasemula yang mereka yakini sebenarnya merupakan sendi-sendiperadaban Islam yang agung. Mereka adalah para sarjana(scholars) yang memiliki reputasi ilmu yang hebat tetapi padasaat yang sama mereka tetap merupakan hamba-hamba Allah yangtaat beribadah kepada Allah dan tidak luntur keimanannyaketika menyerap ilmu-ilmu sekuler yang berasal dari luar.

Namun kemudian berangsur-angsur semua itu menjadi kendurketika kendala normatif menjadi terlalu besar fungsinyasedangkan penyerapan semakin kian mengecil fungsinya.Penyerapan dari luar dikalahkan oleh pengawasan dari dalam,hingga akhirnya yang tinggal hanyalah ilmu-ilmu yang sangatnormatif yang tidak memberikan tempat dan perhatian padakebutuhan penciptaan rasionalitas ilmiah yang tersendiri.

Menurut Wahid dari sinilah sebetulnya asal usul sumbertradisi keilmuan pesantren itu sesungguhnya. (AbdrurrahmanWahid; 2007; 127)

Setidaknya ada tiga gelombang masuknya tradisi keilmuanpesantren; pertama, masuknya ilmu-ilmu keislaman pada abad ke13 Masehi. Ke-dua , keberangkatan para ulama Nusantara kesemenajung Arabia pada sekitar abad ke 17, dan ke-tiga, padaabad ke 19 ketika itu generasi - generasi Syekh Nawai Banten,KH. Mahudz Termas, KH. Arsyad Banjar, KH. Khalil Bangkalan,KH. Hasyim Asy’ari Tebuireng, KH. Abdus Shamad Palembang, danterus berkembang sampai sekarang ini tidak pernah terhenti.

Adapun kitab-kitab yang dikaji di pesantren di Indonesia padaumumnya lebih menonjol dalam bidang fikih dan tasawuf, halini menurut Martin Bruinessen disebabkan adanya sebuah prosespembaharuan atau pemurnian yang muncul pada abad ke 17. Padaawalnya memang lebih menonjol tasawuf ketimbang fikih, tetapiakibat gerakan Islamic revival disusul dengan munculnya gerakanmodernis seperti Al-Irsyad, Muhammadiyah, tarikatNaqshabandiyah, dan Persis fikih menjadi primadona di antarasemua mata pelajaran di pesanten.(Martin; 1994:112) Disamping itu dalam tradisi pesantren terdapat kegiatan bahsulmasail secara rutin untuk memecahkan masalah-masalah yangmemerlukan jawaban dari literatur kitab kuning. Tentu kitab-kitab fikihlah yang lebih tepat untuk dijadikan rujukanutama. Tradisi bahsul masail ini membahas masalah-masalah yangaktual seperti ‘praktek suap’ yang marak terjadi diIndonesia, kasus bom bunuh diri yang mengatasnamakan jihad,dan seterusnya.(KH. Mitahul Ahyar 2013)

TATA NILAI PESANTREN

Nilai-nilai luhur tradisi di pesantren yang dikembangkandalam seluruh tata kehidupan sampai saat ini masih tejagadengan baik, hal itu karena sistem pendidikan yang khaspesantren meskipun beragam dalam tingkat dan jenjangnyaadalah sebagai berikut;

Pertama, orientasi transendental, para ulama pesantrenmemiliki komitmen yang kuat terhadap cita-cita yang mulia,

bahwa segala perjuangan dan aktivitasnya adalah sebagaipengabdian kepda Allah swt.

Kedua, mentransmisikan ajaran Islam adalah sebagai kewajibanbagi setiap muslim

Ketiga, kesederhanaan sebagai implementasi ketaqwaan kepadaAllah swt.

Keempat, keteguhan dalam memegang prinsip moderasi (( وس�ط ت��Kelima, solidaritas kemanusiaan yang tinggi

Tata nilai yang melandasi tradisi pesantren di atas berhasilmembentuk nilai tawasuth, moderat, tawazun, menjagakeseimbangan dan harmoni, serta tasamuh, atau jiwa toleransiyang tinggi dan adil, memiliki prinsip keadilah yang teguh.(Suryadharma Ali, 2013, 86)

Lebih lanjut tata nilai yang terbangun di pesantren secara lebihlengkap bisa dijelaskan sebagai berikut:

(1) twassuth, yaitu berada dalam posisi tengah diantara dua posisiyang bersebrangan. Kedua titik tidak dipertentangkan ataudibenturkan tetapi dipertemukan pada posisi tengah. Yaituberada pada posisi antara iftath. (berlebihan) dan tafrigh(mengabaikan)

(2) Mulazamtul- ‘adli wa al-i’tidal, merpertahankan keseimbangan dan sikapyang proporsional. Sehingga semua persoalan yang dihadapidisikapi secara wajar. Memberi porsi yang wajar kepada “ta’aqqul” rasionalitas dan “ta’abbud” kepatuhan yang tinggikepada para masyayikh.

(3) Afdhaliyat, yaitu memilih sikap dan posisi yang afdhal, tidakmenegasi sama sekali pendapat-pendapat yang berlawanan secaraberlebihan, tetapi mengambil sisi positif atau keunggulandari semuanya.

(4) Istiqamah ‘ala al-tharaiqah, konsisten di jalan yang lurus, karenaposisi moderat memberikan kestabilan dan kamantapan dalammenunjukkan tingkat konsistensi dalam merespon berbagaitantangan yang muncul, tidak cenderung berlebihan atau overacting.

(5) Al-mana’ah al-khususiyah, menjaga hal-hal yang bersifat privacy.Yaitu menjaga hak orang lain sebagai individu atau kelompok,sebagaimana kode etik profesi kedokteran, seorang dokterdilarang membuka rahasia penyakit pasiennya kepada public.

(6) Taufir- izzat – al-syakhsi wa- karomatihi, menjaga kehormatan orang lain,baik terhadap sesama muslim maupun yang lain. Dalam hal ini

harus dijaga agar terhidar dari penyampaian kritik pribadi,mencaci, membuka aib seseorang.

(7) Khurriyat ghairi al-muslim, menjaga kebebasan beragama bagi pemelukagama lain, termasuk dalam pendidikan dan pendirian rumahibadah sesuai dengan hukum dan Undang-Undang yang berlaku.(Mujab; 2007)

Selanjutnya modernisasi pensantren ditandai oleh terbitnyaSKB tiga menteri tahun 1975. (Menteri Agama, MenteriPendididikan dan kebudayaan, Menteri Dalam Negeri) yangmenggariskan agar madrasah pada semua jenjang disamakanposisinya dengan sekolah umum dengan mengharuskan kurikulummadrasah 70 persen pelajaran umum dan 30 persen pelajaranagama.

Namun jika yang dimaksud modernisasi pesantren itu adalahterbentuknya tradisi klasikal, sesungguhnya model ini pertamakali dikenalkan oleh pemerintah Belanda pada paruh abad ke-19, yaitu dengan dikenalkannya pendidikan sekolah rakyat atausekolah desa, volkshoolen dengan masa belajar tiga tahun diberbagai tempat mulai tahun 1870-an dan pada tahun 1892jumlahnya mencapai 515 dengan jumlah murid sekitar 52, 685.

Munculnya sekolah-sekolah Belanda waktu itu direspon olehumat Islam dengan mendirikan sekolah serupa dengan muatankurikulum agama, secara perlahan tapi pasti pesantren-pesantren di Jawa melakukan tindakan serupa, akan tetapipaling tidak telah tumbuh kesadaran untuk melakukanperubahan. Dalam kaitan ini Karel Steenbrink sebagaimana yangdikutip oleh Azra menyebutnya sebagai “menolak sambilmengikuti”(Azra; 2012,121)

Dengan masuknya madrasah ke dalam subsistem pendidikanNasional, maka banyak konsekwensi yang harus dilakukan,terutama pada standar yang mengharuskan madrasah untukmengikuti sekolah-sekolah umum yang berada di bawah naungankemendikbud baik dalam standar pendidik, standar proses, danstandar-standar lain diatur sesuai dengan undang-undang yangberlaku.

Meskipun telah terjadi perubahan kebijakan pemerintah, tetapipesantren dengan madrasahnya tidak serta merta mau menerimakebijakan itu dikhawatirkan oleh para kyai akan mengakibatkan

krisis identitas pesantren karena perubahan itu mengakibatkanhilangnya sebagian besar misi, substansi dan karakterpesantren selama ini. Pergulatan identitas itu mengakibatkantumbuhnya model-model pesantren di Indonesia menjadi beragam.

Jika dahulu pesantren ditipologikan pada karakteristik dankeunggulan dalam bidang-bidang takhassusnya, kini telahbergeser, pesantren dikategorisasikan dari muatan kurikulumdan sekolah-sekolah yang berada di dalamnya. Sehingga banyakpesantren yang mengelola lembaga pendidikan dari tingkat PAUDsampai Sekolah Tinggi.

Pergulatan pendidikan pesantren saat ini masih banyakdiwarnai oleh antara academic expectation, yaitu keinginanuntuk meningkatkan mutu sebagai lembaga pendidikan di satusisi dengan sosial expectation, harapan umat Islam bahwa lembagapendidikan Islam memikul tugas pembinaan umat sebagai lembagadakwah. (Azra;133, 2012)

sementara tuntutan globalisasi mengharuskan pesantren agarberperan aktif dalam mempersiapkan peserta didik dalamkonstelasi masyarakat global yang tidak mengenal batas (globalstate) di satu sisi dan sisi lain pendidikan Nasional menuntutuntuk agar pendidikan ikut melestarikan karakter nasionalsebagi nation state yang berorientasi pada rekonstruksi sosialagar pendidikan dalam rangka pemberdayaan bangsa mampumenciptakan kemandirian, kunggulan, dan iklim toleransi dalamkemajemukan suku, bahasa, dan budaya lokal yang beragam.(Azra; 2012)

Selanjutnya pesantren juga dituntut agar melakukan tugaspokoknya sebagai pusat transmisi keilmuan agama, pemeliharaanterhadap tradisi amaliyah keIslaman, dan tempat produksikader-kader ulama. Dengan demikian pesantren memiliki tugasyang tidak ringan karena pesantren dituntut untuk:

1. Melestarikan tradisinya sebagai tempat transfer ofknowledge dalam keilmuan agama sebagai pusat tafaqquh fial-din

2. Mengikuti kurikulum Kemendikbud, atau3. Mengikuti kurikulum Kemenag4. Melakukan pendidikan vokasional (vocational training)

Dengan demikian pesantren bisa menjadi pusat pendidikan agamaplus, karena para santri di samping dididik ilmu agama merekajuga diajarkan life skill agar siap memasuki alam globalisasi.

Bertolak dari urain di atas setidaknya bisa ditarikkesimpulan bahwa pergeseran orientasi pendidikan pesantrenmengalami never ending process dan belum sampai pada titik finalsesuai dengan hukum sunnatullah, dari yang semula deduktif-dogmatik menuju induktif-rasional, karena pesantren selalu dituntutuntuk memperhatikan selera masyarakat. oleh sebab itupesantren bukan saja harus mampu membaca tapi jugamenerjemahkan kecenderungan masyarakat yang terus berubahakibat perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi maupunbudaya. Sehingga kini di Indonesia banyak tumbuh pesantrenmodern yang telah berhasil menyerap unsur-unsur baru yangdipandang penting, meskipun masih tetap menjaga tradisinyayang lama. Karena dalam hal ini ada prinsip yang berlaku dikalangan pesantren yaitu;

د الاص�لح دي�� ال�ج� م ال�صال�ح والاح�د� ي�� دي�� ة� ع�لي� ال�ق� ظ$ ال�مجاف��“menjaga tradisi lama yang baik, dan mengambil hal baru yanglebih baik”

Agaknya dari prinsip inilah para kyai pimpinan pesantrenbersikap lentur dan akomodatif dalam menyerap berbagaiperubahan yang terjadi di masyarakat, karena pesantrenmemiliki fungsi religius (diniyah), fungsi sosial(ijtima’iyah), dan fungsi edukasi (tarbawiyah) yang masing-masing ketiga fungsi ini masih tetap dijaga secara konsistensampai sekarang.

Dari fungsi religius pesantren telah melahirkan banyak tokoh-tokoh semacam syekh Mahfud al-Turmusi (Pesantren Tremas),syekh Hasyim Asy’ari (pesantren Tebuireng), syekh Abul Fadhol(Pesantren Sendangsenori Tuban), mereka adalah tokoh-tokohreligius yang memiliki banyak karangan kitab-kitab yangsampai sekarang dikaji di lingkungan pesantren.

Dari fungsi sosial, pesantren telah melahirkan tokoh semacamkyai Wahab Hasbullah (pesanten Tambak Beras, Jombang) kyaiSahal Mahfudz (pesantren Kajen, Pati), Abdurrahman Wahid

(Presiden Indonesia ke 4, Prof. Mukti Ali, Ali Yafi dan lain-lain yang telah banyak berkiprah di dunia sosial dan politikdi Indonesia

Dari fungsi tarbawi, pesantren telah melahirkan banyakpendidik seperti KH. A. Zarkasi (pesantren modern Gontor)pendiri dan penggagas pesantren modern di Indonesia yangmenerapkan sistem pendidikan modern dengan bilingual, Arab danInggris sebagai bahasa sehari-hari di pesantren, KyaiSaifudin Zuhri pernah menjadi Menteri Agama pada era PresidenSukarno dan banyak kyai-kyai lain yang memiliki reputasinasional dalam pendidikan tidak disebutkan disini. Memangagak sulit memisahkan keahlian para tokoh lulusan pesantrenkarena ketokohan mereka yang multi dimensi.

Yang jelas kini banyak pesantren yang memasukkan “sekolahumum” dan sekolah tinggi, bahkan universitas di dalamnya.Dengan model ini artinya pesantren kembali pada fungsinyayang pertama, yaitu tempat belajar imu-ilmu agama murni diluar bangku sekolah/kuliah.

IV. TRADISI KEILMUAN DI PERGURUAN TINGGI ISLAM

Perkembangan perguruan Tinggi Islam di Indonesia padadasawarsa terakhir ini telah mengalami lompatan kemajuan yangsangat pesat, baik secara kelembagaan maupun dalamkeilmuannya. Jika dulu orientasi pengembangan keilmuan murni(fikih, tafsir, hadist dan seterusnya) lebih menonjol, kinitradisi pengembangan keilmuan di perguruan Tinggi Islamberdasarkan wider mandate pola integratif, agar para parasantri yang melanjutkan ke perguruan tinggi tidak menghadapihambatan psikologis karena meninggalkan tradisi keislaman.Dalam kasus UIN Maliki Malang misalnya, pengembanganuniversitas didasarkan pada model integrated curriculum, denganmemadukan tradisi pesantren dan tradisi universitas modern.Oleh sebab itu gagasan modernisasi pendidikan tinggi Islamtidak boleh tercabut dari akar tradisi keislamannya sehinggadi UIN Maliki dikenal apa yang disebut sebagai “empat pilar”sebagai dasar pengembangan institusi maupun dalam tradisikeilmuannya. Empat pilar itu menurut Imam Suprayogo sebagaipenggagas awalnya ialah; (1) kedalaman spiritual, spiritual

deepness (2) Keagungan akhlaq, etical conduct (3) keluasan ilmu,science broadness dan (4) keluasan ilmu, profesional maturity(Suprayogo; 2011).

Untuk mewujudkan gagasan empat pilar itu di UIN Malikidikembangkan apa yang disebut sebagai “Ma’had al-Jami’ah”,pesantren universitas. Dengan adanyanya ma’had al-jami’ahitu diharapkan kebutuhan masyarakat luas yang selama inimenginginkan model universitas alternatif yang menggabungkanantara tradisi pesantren dan universitas bisa terpenuhi.Sedangkan pada bidang keilmuan yang dikembangkan universitasmengikuti pola integratif-holistik, yaitu sebuah modelpengembangan keilmuan non-dikotomik dengan meletakkan wahyusebagai ajaran yang tidak saja mengajarkan ritual ibadah,tetapi juga menyeru kepada manusia untuk memperhatikan danmelakukan penyelidikan terhadap fenomena alam secara mendalamsebagai bentuk ayat-ayat kawniyah Allah yang harus dipelajarisecara serius. Dengan upaya ini diharapkan ke depan tidakakan ada lagi dikotomi keilmuan karena semua ilmu diyakinibersumber dari Alloh, baik dari ayat-ayat qawliyah (Qur’an danHadist) maupun dari ayat-ayat kawniyah (hasil observasi,eksperiment, dan pemikiran logis)

Untuk memperkokoh basis keilmuan integratif itu UIN Malikijuga melakukan langkah-langkah strategis, yaitu denganmejadikan bahasa baik Arab dan Inggris sebagai bahasapengantar di perkuliahan karena dengan penguasaan pada keduabahasa itu diharapkan mahasiswa akan mampu membuka horizonbaru bidang sains dan peradaban Islam klasik sekaligussebagai media komunikasi dengan dunia luar. Usaha-usahasebagimanan di atas rupanya tidaklah sia-sia karena kini UINMaliki kini menjadi inspiring ide sekaligus menjadi salah satumodel percontohan pengembangan bagi universitas-universitasIslam lain di Indonesia baik dalam bidang pengembangantradisi keilmuan maupun kelembagaannya.

V. MODERNISASI (MADRASAH) PENDIDIKAN ISLAM DI INDIA

a. Latar belakang

Berbeda dengan tradisi pendidikan Islam di Indonesia, diIndia karena Islam masuk lebih awal, maka warna tradisipendidikan Islam telah terbentuk sejak awal dengan pengalamanyang lama, maka pendidikan Islam juga mengalami berbagaiperubahan. Istilah populer pendidikan Islam di India disebutmadrasah atau maktab. Menurut sumber resmi pemerintah jumlahmadrasah di India sekitar 30 ribuan, dari yang kecil hinggamadrasah yang memiliki ribuan siswa.

Kebanyakan madrasah di India hanya mengajarkan ilmu-ilmuagama sebagai warisan tradisi masa lampau, tetapi tidaksedikit yang memasukkan kurikulum pemerintah di dalam sistempendidikannya. Meskipun demikian jika dilihat dari latarbelakang sejarahnya madrasah mulai didirikan sejak awalkedatangan Islam di India selatan, wilayah Malabar sejakakhir abad ke 7 ketika para pedagang muslim dari Arabbermukim di wilayah itu. Kemudian pada abad ke 9-10 madrasahmengalami peningkatan yang signifikan ketika Sindi (sekarangPakistan) di bawah kekuasaan Arab (dinasti Amawiyah), yangkemudian berkembang secara lebih luas sejak kesultanan Delhiberdiri pada awal abad ke 13. Pada masa kekuasaan kerajaanMughal (1576-1857) pendirian madrasah mengalami puncaknya,karena di hampir setiap wilayah di seluruh India didirikanmadrasah lengkap dengan masjid di mana para ulama mengajarkanilmu-ilmu agama.

Jauh Sebelum kerajaan Mughal berdiri, dinasti Tughlq (1351-1388) telah memberikan perhatian serius terhadap pendidikan,dimana madrah pada saat itu tidak hanya menjadi pusat kajianilmu-ilmu agama, tetapi juga menjadi tempat training untukteknologi tepat guna seperti pembuatan kerajinan dan tekniksipil. (Zafarul Islam, the Milli Gazette, 2010)

b. Tradisi keilmuan

Setidaknya ada tiga model pengembangan tradisi keilmuanIslam di India yang menarik untuk dicermati, pertama daripengembangan institusinya, ke dua dari pengembangankeilmuannya, dan ke tiga dari kontribusi para alumninya.

Sebagaimana di Indonesia latar belakang pendirian institusipendidikan Islam di India pasca kejatuhan dinasti Islam padaumumnya karena ada politik melawan penjajah, karenapemerintah Inggris tidak menyiapkan pendidikan bagi orangIslam, jika lembaga pendidikan didirikan oleh pemerintahBritish itu hanya menyiapkan pendidikan model Barat yangdipersiapkan untuk mengisi institusi pemerintah dankepentingan pemerintah kolonial. Kondisi pendidikan danekonomi umat Islam pada masa kolonial amat memprihatinkan,oleh karena umat Islam waktu itu berinisiatif untukmendirikan lembaga pendidikan khusus untuk anak-anak umatIslam yang sangat membutuhkan pengetahuan agama sebagaimanahal tersebut sudah menjadi tradisi yang mapan pada masakekuasaan dinasti-dinasti Islam yang berkuasa di Indiasebelumnya.

Menurut Arshad Alam, bukunya (inside a Madrasa 2011), bahwalahirnya madrasah-madrasah di India pada masa kolonial adalahdisebabkan pemerintah telah menghapus sistem itu dan tidakmengakui sebagai sistem pendidikan yang berlaku, padahalsebelum kedatangan kolonial lembaga-lembaga pendidikan Islamitu menjadi model sistem pendidikan satu-satunya bagi umatIslam. Kondisi seperti ini menurut Arshad menyebabkan umatIslam berinisiatif untuk membangun institusi pendidikan yangkhusus untuk melayani kebutuhan pengetahuan agama bagi putra-putri mereka dengan menggalang dana dari masyarakat. Sebagaicontoh misalnya pendirian Darul Ulum Deoband yang didirikanpada pada tahun 1867 sekaligus menjadi salah satu pusatpendidikan Islam di India pada saat ini dana operasionalnyabergantung dari para donatur dan tidak bergantung padabantuan pemerintah sama sekali (Arshad; 2011: 14)

Reputasi Darul Ulum Deoband sebagai salah satu pusat studiilmu agama tidak diragukan lagi, bahkan mereka mengklaimsebagai Al-Azharnya India dalam konteks pengembangan keilmuanIslam. Hal ini tidaklah mengherankan karena dari lembagapendidikan ini telah melahirkan tokoh-tokoh berkaliber dunia.Dari sisi jumlah alumni tercatat lebih dari 34.000, padatahun 2005, itu belum termasuk yang kelas Al-Qur’an dan kelasmufti, bila dikalkulasikan semua jumlah keseluruhan alumnimencapai lebih dari 106 ribu karena dalam setiap tahunnya

Darul Ulum rata-rata meluluskan 2.000 alumni (http:www.inter-Islam. Org/Pastevent/Deoband.html). hal yang unik dariinstitusi ini adalah tidak dimasukkannya mata pelajaran umumsama sekali, karena para alumni bisa mendapatkan pengetahuanitu pada tingkat studi lanjut di luar. Jenjang tertinggi darilulusan institusi ini disejajarkan dengan lulusan strata 1(sarjana) baik di dalam maupun di luar negeri setelahmenempuh pendidikan selama 5 tahun, sehingga para alumninyabisa melanjutkan ke tingkat universitas pada jurusan tertentudi tingkat magister.

Berbeda dengan Darul Ulum Deoband yang menghususkan padabidang palajaran agama, Darul Ulum Nadwatul Ulama sedikitagak lebih modern dalam mengakomodasi perkembangan pendidikandi India. Institusi ini didirikan pada tahun 1892 di kotaLucknow ibu kota negara Bagian Uttar Pradesh. Ide pokokpendirian institusi pendidikan ini salah satunya bertujuanmelakukan “reforming the methodology of education” sehinggatidaklah aneh jika dalam kurikulumnya ada mata kuliah bahasaInggris, ekonomi, dan ilmu-ilmu lain yang dianggap sekuler,seperti filasafat dan geografi. Meskipun demikian NadwatulUlama tetap mengutamakan pendidikan Agama, seperti Qur’anHadist, Fikih, dan Bahasa Arab. Justru dibidang yang bahasaArab Nadwatul Ulama lebih menonjol dibanding denganinstitusi-instusi pendidikan Islam lain.

Dalam hal modernisasi Nadwatul Ulama mendeklarasikan sebagaiinstitusi pendidikan yang bersikap moderat dan menjadipenyeimbang antara tradisi pendidikan agama murni denganperubahan-perubahan yang terjadi di luar, maka pendidikanharus disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat. (www.waag-Azhar.org/en/Makalat) Dengan alasan itu maka tidaklah heranjika bahasa Arab menjadi bahasa pengantar dalam pembelajarandi kelas maupun menjadi bahasa tulis dalam surat-menyurat danpenulisan karya ilmiah, tujuannya agar para lulusan institusiini dapat dengan mudah menyebarkan dakwah dan berkomunikasidengan komunitas muslim di negara-negara luar dengan bahasaArab dan Inggris. Sehingga tidak aneh jika para ustadz disini rata-rata memiliki kemampuan 4 bahasa, Arab, Inggris,Urdu, dan Parsi.

Di samping itu madarasah-madrasah yang berkembang di Indiasaat ini telah mengalami perubahan yang signifikan baik dalamadminstrasi maupun dalam materi yang diajarkan, khususnyapada dua dekade terakhir ini. Kritik yang disampaikan olehArshad, bahwa sekarang telah banyak madrasah tumbuh danberkembang di India, tetapi masing masing madrasah seolahberdiri sendiri, tidak ada organisasi yang menjadi wadah bagimadrasah-madrasah itu. Lebih dari itu, untuk studi lanjutyang dilakukan oleh lulusan madrasah dengan sistem belajarindividu (sorogan, red.), di mana masing-masing syaikhmengajar secara privat pada murid-muridnya di tempat/rumahmasing-masing. Pertanyannya yang sangat mengganggu baginyaialah jika kepada siswa diajukan pertanyaan; ‘ kepada siapaanda belajar, bukan di mana anda belajar’, hal ini menurutArshad sebuah pertanyaan yang janggal, karena menunjukkantidak adaya keseragaman sistem dan kurikulum pada madrasah.(Arshad; 88). Lain halnya dengan sistem yang dikembangkanDarul Uloom Deoband, institusi ini melakukan kontrol danpengawasan ketat pada madrasah-madrasah yang dibawahafiliasinya. Dengan sistem ini kontrol kualitas madrasahbisa terjaga baik pada kurikulum maupun pada sistempembelajarannya.

Di sisi lain ternyata banyak juga madrasah yang menerapkandual sistem kurikulum, yaitu NCRT (National Council for EducationalResearch and Training) di mana standar kurikulum yang dipakaisama dengan standar yang dipakai pada kurikulum di sekolah-sekolah pemerintah dengan tambahan materi Bahasa Arab,Inggris, Urdu, dan materi Qur’an Hadist, fikih dan sirahNabawi. Bahkan di madrasah Jamiatus Salihah yang berlokasi diState Maharstra telah dilengkapi dengan pembelajaran komputerdan mengikuti standar kurikulum Nasional setingkat SMA (grade8). Di madrasah yang berdiri sejak 1950 ini dilengkapi denganberbagai fasilitas smart class, rumah sakit, dan bank. Modelmadrasah terakhir ini telah menginspirasi banyak madrasahuntuk melakukan modernisasi pendidikan serupa diberbagaiwilayah India di antaranya adalah Madrasah Jamiatus SalihatRanpur (1970) dan banyak lagi lainnya. (Mareike JuleWinkelmann, 2005)

PERUBAHAN ORIENTASI PENDIDIKAN ISLAM

Perkembangan pendidikan Islam tingkat tinggi di India diawalidengan munculnya gerakan Aligarh Movement (1857) sebuah gerakanyang menyadarkan akan pentingnya perubahan orientasipendidikan Islam dari tradisional menuju modern. Sir SayidAhmad Khan dan kawan-kawan adalah tokoh yang paling berjasadibalik reformasi pendidikan Islam di India. Yang dilakukanKhan pertama-tama adalah membuat scientific society , gerakanpenerjemahan buku-buku Inggris ke dalam bahasa Urdu agar umatIslam tertarik mempelajari bahasa Inggris. Gerakan ini terlahberhasil menterjemahkan buku-buku Agrikultur, politik, danpendidikan, intinya Khan yang baru kembali dari England agarumat Islam belajar tentang kemajuan Barat dalam berbagaicabang keilmuan.

Selain itu Khan juga menerbitkan jurnal Tahzib-ul-Akhlaq yangbertujuan untuk membangkitkan umat Islam dari keterpurukanmasa lalu dan sadar akan tantangan-tantangan yang dihadapi dimasa itu. Baru kemudian dia dengan segala upaya mengumpulkandonasi dari umat Islam untuk membangun sebuah universitasyang kemudian menjadi cikal-bakal pendidikan Islam modern diIndia, dengan segala upaya yang ditempuh, temasuk memintabantuan Inggris. Akhirnya terbentuklah sebuah sekolah yangdisebut Anglo Muhammadan school lalu berubah menjadi AligarhMuslim University.

Tujuan pendirian universitas hanya satu, yaitu ”to bridgebetween the old and new, the East and the West” menjadi jembatanpenghubung antara lama dan Baru, antara Timur dan Barat. (K.A. Nizami 2002; 69) dengan berdirinya A.M.U, agar Inggristidak mengontrol universitas itu dan memiliki kebebasan untukmengatur adminstrasinya maupun kurikulumnya. Tetapi impianKhan yang utama umat Islam bisa memiliki universitas megahseperti Oxfort University yang pernah dikunjunginya selamadua bulan lamanya. Dalam upaya membangun universitas itu Khantidak segan-segan meminta bantuan kepada kawan-kawannya dariHindu, maka tercatat nama seperti Vizyanagram, Patiala, RajaDev Narain Sing dan sejumlah nama Hindu lain tercatat sebagaidonatur pada awal pendirian universitas itu. Maka tidak anehjika kemudian pada tahun 1898 tercatat sebanyak 285 Muslim

dan 64 Hindu tercatat sebagai mahasiswa Aligarh MuslimUniveristy. (K.A.Nizami: 2002; 70)

Ada beberapa catatan penting dari perjuangan Khan dalamreformasi pendidikan di India;

(1) To develop freedom of thought and get out of therut of custom and tradition. “so long as freedom ofthought is not developed, there can be no civilizedlife”

(2) To get rid of those religious beliefs wich had noreal religious sanction behind them but stood as anobstacle to the growth of culture;

(3) To get rid of all religious and other supersitions;(4) To educate women and to teach them handcrafts, etc(5) To make collective efforts for providing

educational facilities and;(6) To develop various arts and industries. (K.A.

Nizami; 76)

Bagi Khan, agama tidak pernah akan mandeg, tetapi agamaadalah akan bergerak dinamis, melayani kebutuhan-kebutuhansosial manusia sesuai dengan perjalanan waktu sepanjangmanusia mampu menggunakan logika dan rasional secara sehat.Mempelajari perbandingan agama baginya sangatlah pentingkarena agar tidak tidak memiliki pandangan yang sempit danmembuka cakrawala intelektual.

Akhirnya dari Aligarh Muslim Univeristy inilah kemudianlahir Universas Jamia Millia Islamia di New Delhi, sebuahuniveristas Islam modern yang didirikan oleh para alumniAligarh sebagai lambang dari Nasionalisme Muslim India.Inilah salah kontribusi Muslim di India dalam pergeseranparadigma pendidikan Islam yang lebih akomodatif dan moderatmeski secara faktual umat Islam pada posisi minoritas,sehingga sulit beraktualisasi diri.

VI. PENUTUP DAN KESIMPULAN

Dari uraian dan hasil pemaparan di atas dapat disimpulkanbahwa modernisasi pendidikan Islam baik di India maupun diIndonesia masih mengalami banyak hambatan. Hambatan-hambatanitu pada umumnya terletak pada ketidak siapan umat Islam

menerima kondisi kekinian yang telah membawa arus perubahandalam berbagai bidang. Persoalan hambatan ini diantaranyadisebabkan oleh semangat menuntut ilmu umat Islam belumsepenuhnya terpulihkan sebagaimana dimasa kejayaan umat Islam(the golden age of Islam) pada masa abad pertengahan.

Baik di Indonesia maupun India yang sama-sama mengalamikolonialisasi pihak Barat sesungguhnya sudah memiliki tradisikeilmuan sejak dulu. Dalam alam penjajahan, Barat senyatanyatelah membuat ilmu menjadi terpisah (dikotomi) antara ilmuumum dan ilmu agama. Padahal sejarah Islam membuktikan bahwaera kejayaan umat Islam terwujud manakala ayat-ayat qawliiyahdan kauniyyah mendapat tempat dan perhatian penuh paracendekiawan (ulama) Islam.

Dari situlah kemudian Islam berhasil meletakkan dasar-dasarilmu murni (pure sciences) yang bermanfaat bagi pengembanganilmu pengetahuan dan teknologi. Perkembangan tradisi keilmuandikalangan umat Islam di Indonesia dan India pada dasarnyatidak jauh berbeda dimana pengaruh budaya dan peradaban lokalsangat kuat berinteraksi dengan kaum Muslim disana.

Kedua negara ini sama-sama pernah dikuasai oleh kerajaan-kerajaan Hindu dan memiliki keunikan-keunikan tersendiri yangberbeda dengan watak Islam di Timur Tengah.Islam yangberkembang di dua negara ini memiliki banyak kemiripan dalambanyak hal, baik dalam tradisi keilmuan dan budaya yangberkembang di masyarakatnya, maupun dalam hal lain. Dalampengembangan keilmuan bahkan India telah lebih dulumenggeliat dibanding Indonesia. Dalam banyak aspek pergulatandalam mengembangkan lembaga pendidikan Islam tidaklah mudahterutama di India yang secara kuantitas merupakan kaumminoritas, sedangkan di Indonesia secara kuantitas mayoritasdan sesungguhnya menguntungkan bagi pengembangan kualitaskeilmuan. Dari sisi ini menyebabkan watak Islam di dua negaratersebut menjadi sedikit berbeda, karena dari sisi iniekonomi politik, dan intrik antar komunitas menyebabkantimbulnya persoalan-persoalan baru khususnya pada aspektradisi pendidikan yang berkembang dalam dekade belakanganini.

Pergeseran paradigma pendidikan mulai terjadi di kedua Negaraterutama semenjak merdeka dari cengkeraman penjajah. Gaungintegrasi keilmuan semakin menguat dan memberikan harapanakan kebangkitan umat Islam. India pada masa lalu cukup kuatdalam mengembangkan tradisi ilmu (agama), namun kondisiminoritas umat Islam di India menjadikan kendala dalammeningkatkan keunggulan tradisi tersebut di masa depan.

Sementara itu dengan didukung keunggulan mayoritas dantradisi-tradisi keilmuan yang telah berlangsung cukup lama dipesantren Indonesia serta munculnya kesadaran cendekiawanMuslim untuk tidak lagi memisahkan ilmu umum dan agama(Islam) maka diharapkan Indonesia bisa menjadi tumpuan danharapan masa depan umat Islam. Oleh karena itu dalam konteksini tepat bila dikatakan bahwa “India was the past and Indonesia isthe future hope in line with the revival of Islamic Education”.

DAFTAR PUSTAKA

- Tafsir ilmi, Penciptaan Manusia dalam prespektif Al-qur’an dan Sains, Balitbang, Kemenag RI, Jakarta, 2010

- Imam Suprayogo, Membangun Pendidikan dalam bingkai Islam Lintas Batas, UIN-Maliki Press, Malang, 2011.

- Azyumardi Azra, Pendidikan Islam, Prenada Media Group, Jakarta 2012

- Martin Van Bruinessen, Kitab Kuning Pesantren dan Tarekat, Mizan, Bandung, 1994

- Suryadharma Ali, Paradigma Al-Qur’an; Reformasi Epistemologi keilmuan Islam, UIN Press, Malang2013

- Abdurrahman Wahid, Islam Kosmolitan, The Wahid Institute, Jakarta, 2007

- Zamahsari Dhofier, Tradisi Pesantren, LP3ES, Jakarta, 1982

- Mohd. Zaidi Ismail & Wan Suhaimi Wan Abdullah(penyunting), Adab dan Peradaban, MPH Group Printing (M) Kuala lumpur, Malaysia, 2012

- Munzir Haitami, Mengonsep kembali pendidikan Islam, LkiS, Yogyakarta, 2004,

- K.A. Nizami, Sayid Ahmad Khan, Ministry of Information &Broadcasting, Governmen of India, New Delhi, India, 202

- Muzaffar Iqbal, Science and Islam, Greenwood Press, London, 2007

- Mareike Jule Winkelmann, From Behind the Curtain; A study of a Girls’ Madrasa in India, Amsterdam UniversityPress, 2007

- Barbara Daly Metcalf, Islamic Revival in British India, Princeton University Press, UK, 2002

- Miftahul Ahyar, NU menjawab problematika umat, Bina Aswaja, Surabaya, 2013

- Mujamil Qomar, Pesantren dari Transformasi Metodologi menuju Demokratisasi Institusi, Erlangga, Jakarta, 2002

- Piotr Sztomka, The Sociology of Social Change, alih bahasa Alimandan, Predana Media Group, Jakarta, 2007

- Mujab, Pluralitas masyarakat sebagai Sunnatullah, Makalah dipresentasikan, Kemenag, Batu, 2007.