MUHAMMAD RAFI IRWANZAH-FSH.pdf - Institutional ...
-
Upload
khangminh22 -
Category
Documents
-
view
2 -
download
0
Transcript of MUHAMMAD RAFI IRWANZAH-FSH.pdf - Institutional ...
SILARIANG SEBAGAI AKIBAT DUI MENRE’ DALAM ADAT BUGIS
(Tinjauan Hukum Islam Terhadap Perkawinan Adat Bugis di Kecamatan
Pammana Sengkang Sulawesi Selatan)
Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)
Oleh :
Muhammad Rafi Irwanzah
NIM. 11140440000033
PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
2018 M/1440 H
i
SILARIANG SEBAGAI AKIBAT DUI MENRE’ DALAM ADAT BUGIS
(Tinjauan Hukum Islam Terhadap Perkawinan Adat Bugis di Kecamatan Pammana
Sengkang Sulawesi Selatan)
Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)
Oleh :
Muhammad Rafi Irwanzah
NIM. 11140440000033
Dibawah Bimbingan :
Dr. Hj. Mesraini, S.H.,M.Ag.
NIP. 197602132003122001
PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
2018 M/1440 H
ii
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa :
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Universitas Islam Negeri
(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya
atau merupakan hasil penjiplakan karya orang lain, maka saya bersedia
menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 24 Juni 2018
10 Syawwal 1439 H
Muhammad Rafi Irwanzah
iii
PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI
Skripsi yang berjudul “SILARIANG SEBAGAI AKIBAT DUI MENRE’ DALAM
ADAT BUGIS” (Tinjauan Hukum Islam Terhadap Perkawinan Adat Bugis di
Kecamatan Pammana Sengkang Sulawesi Selatan) telah diujikan dalam sidang
munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta pada tanggal 20 Agustus 2018. Skripsi ini telah diterima
sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Strata Satu (S1) Sarjana Hukum (S.H)
pada Program Studi Hukum Keluarga (Ahwal al-Syakhshiyyah).
Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
Jakarta, 3 Oktober 2018
Mengesahkan,
Dr. Asep Saepudin Jahar, M.A.
NIP. 196912161996031001
PANITIA UJIAN SKRIPSI
Ketua : Dr. H. Abdul Halim, M.A. (……………………...)
NIP. 19670608 1994031005
Sekertaris : Indra Rahmatullah, SH.I.,MH. (……………………...)
NIP.
Pembimbing : Dr. Hj. Mesraini, S.H.,M.Ag. (……………………...)
NIP. 19760213 2003122001
Penguji 1 : Dr. Muchtar Ali, M.Hum. (……………………...)
NIP. 19570408 1986031002
Penguji 2 : Dr. Moh. Ali Wafa, S.Ag.,M.Ag. (……………………...)
NIP. 19730424 2002121007
iv
ABSTRAK
Muhammad Rafi Irwanzah. NIM 11140440000033. Silariang Sebagai
Akibat Dui Menre’ dalam Adat Bugis (Tinjauan Hukum Islam Terhadap Perkawinan
Adat Bugis di Kecamatan Pammana Sengkang Sulawesi Selatan). Skripsi, Program
Studi Hukum Keluarga, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri
(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, 1439 H/2018 M (x halaman + 81 halaman + 17
halaman lampiran).
Skripsi ini bertujuan untuk menganalisis a) Apa landasan yang digunakan
oleh masyarakat Bugis di Kecamatan Pammana, Sengkang, Sulawesi Selatan dalam
penetapan Dui Menre’, b) Bagaimana praktik Silariang sebagai akibat Dui Menre’
yang dilakukan oleh masyarakat Bugis di Sengkang, c) Bagaimana tinjauan hukum
Islam dan peraturan di Indonesia terhadap tradisi Dui Menre’ dan Silariang pada adat
Bugis Sengkang, d) Alasan masyarakt Bugis masih mempertahankan Dui Menre’
padahal menimbulkan dampak negatif yang sangat beresiko.
Penelitian ini termasuk dalam penelitian lapangan (field research), yang
bersifat analitik dan merupakan kelanjutan dari penelitian deskriptif yang memiliki
tujuan bukan hanya memaparkan karakteristik tertentu, tetapi juga meneliti,
menganalisa dan menjelaskan mengapa atau bagaimana itu semua terjadi.
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian antropologis. Data
yang digunakan terdiri dari data primer dan data sekunder. Teknik pengumpulan
datanya adalah dengan melakukan wawancara pribadi mendalam dengan pelaku
Silariang dan beberapa masyarakat Pammana serta melakukan studi pustaka.
Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa a) yang mendasari dilakukannya
Dui menre’ pada masyarakat Bugis Sengkang adalah strata sosial, keturunan dari
keluarga perempuan dan pencapaian pendidikan si perempuan. b) Silariang yang
mana sebagai akibat dari Dui Menre’ ini telah dipraktikan sejak lama oleh
masyarakat Bugis, yang mana Silariang itu adalah kawin lari atas persetujuan kedua
belah pihak (laki-laki & perempuan) yang tidak direstui oleh keluarga pihak
perempuan. Pada proses silariang itu diadakan dengan mahar yang seadanya dan
dihadiri oleh saksi yang biasanya teman dari pelaku silariang itu sendiri serta wali
hakim yang ditunjuk oleh imam adat yang merangkap KUA. c) Praktik Dui Menre’
ini dinilai kurang sesuai dengan ketentuan hukum Islam bahwa jumlah mahar tidak
boleh memberatkan suami, karena dalam Islam kadar mahar tersebut diukur
berdasarkan kesanggupan suami. Sedangkan pelaksanaan akad nikah dalam praktik
Silariang juga dinilai tidak sesuai dengan ketentuan perkawinan yang diatur dalam
Kompilasi Hukum Islam (KHI) di Indonesia, karena dalam KHI disebutkan
penetapan wali adhal harus dilakukan melalui Pengadilan Agama, sementara dalam
Silariang hal tersebut tidak dilakukan. d) Alasan masyarakat Bugis masih
mempertahankan Dui Menre’ dikarenakan Siri’ (harga diri), harga diri yang sangat
dijunjung tinggi ini adalah ciri khas masyarakat Bugis, Sulawesi Selatan.
Kata Kunci : Dui Menre’, Silariang, Adat Bugis, Sengkang.
Pembimbing : Dr. Hj. Mesraini, S.H., M. Ag
Daftar Pustaka : 1981 – 2017
v
KATA PENGANTAR
حيم حمن الر بسم هللا الر
Segala puji bagi Allah SWT Tuhan semesta alam yang mana selalu
melimpahkan kita semua nikmat, kasih sayang dan perlindungan, khususnya kepada
penulis pribadi. Shalawat serta salam kepada Kekasih Allah, Nabiyullah Muhammad
SAW yang mana membawa umat manusia dari zaman kebodohan hingga zaman yang
penuh dengan kedamaian.
Dalam proses penulisan skripsi ini, penulis menerima banyak sekali bantuan
dari berbagai pihak, sehingga dapat terselesaikan atas izin Allah SWT. Maka dari itu,
dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan rasa terima kasih yang sebesar-
besarnya kepada semua pihak yang telah membantu proses penyelesaian skripsi ini,
baik secara moril maupun materil, terkhusus kepada :
1. Dr. Asep Saepudin Jahar, M.A. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta beserta wakil
Dekan I, II dan III Fakultas Syariah dan Hukum.
2. Dr. H. Abdul Halim, M.A. Ketua Program Studi Hukum Keluarga beserta
Indra Rahmatullah , S.HI, M.H. Sekretaris Program Studi Hukum Keluarga,
yang terus mendukung dan memotivasi penulis agar segera menyelesaikan
skripsi ini.
3. Dr. Hj. Mesraini, S.H.,M.Ag. Kepala Laboratorium Hukum Fakultas Syariah
dan Hukum, sebagai dosen penasehat akademik sekaligus dosen
pembimbing skripsi penulis, tidak pernah lelah menemani penulis dari
semester 1 sampai semester 8 ini, yang selalu mengingatkan agar tidak diam,
membimbing penulis, mengarahkan penulis dalam penyelesaikan skripsi ini
dengan segera dan baik agar segera di wisuda dengan baik.
4. Terima kasih kepada Dra. Azizah, M.A., dan Dr. Yayan Sopyan, S.H.,
M.Ag., dosen penguji dalam munaqasyah, para dosen yang telah
vi
memberikan ilmunya kepada penulis, beserta seluruh staff dan karyawan
yang telah memberikan pelayanan yang baik dan maksimal.
5. Para narasumber yang telah meluangkan waktunya untuk memberikan data-
data terkait penelitian ini, Dr. H, Muhammad Adlin Sila, M.A., Ph.D
(Ilmuwan dari Bugis), Dr. H. Andi Akram, S.H., M.H (Ilmuwan dari Bugis),
Andi Jumrah (Pelaku Silariang), H. Sakka (Pelaku Silariang), beserta
beberapa elemen masyarakat, Irwanzah dan La Massi.
6. Teruntuk guruku tercinta Dr. Tubagus Wahyudi, S.T., M.Si., MCHT., CHI.
yang biasa penulis panggil dengan Om Bagus dan Istrinya tercinta, ibundaku
Mba Wie. Kepribadian, ilmu, akhlak, leadership, nasehat dan semuanya
yang berkaitan dengan menjadi manusia yang sesungguhnya telah engkau
ajarkan kepadaku, sehingga penulis sangat dapat merasakan apa sebenarnya
hakikat kehidupan ini sebenarnya. Engkau tidak pernah lelah dan pamrih
dalam mendidikku, terima kasih guruku, terima kasih ayahku, terima kasih
ibundaku. Semoga Om Bagus, Mba Wie dan seluruh keluarga selalu
dilindungi oleh Allah dan sehat selalu.
7. Paling istimewa untuk kedua orang tua penulis, ayahanda Irwanzah
Makassau dan ibunda Zakiah Hisyam Wakid, yang tidak pernah lelah
mengurus penulis dari kecil hingga sekarang, doanya yang selalu penulis
rasakan di setiap detik kehidupan ini sehingga penulis mendapatkan
pendidikan yang baik dan menjadi manusia seperti sekarang ini. Papah
mamah adalah malaikatku. Adikku tersayang Muhammad Zulfiqar Irwanzah,
Salsabilla Irwanzah, saudara-saudaraku, serta seluruh Keluarga Besar
Makassau di Sengkang dan Keluarga Besar Wakid di Kampung Arab
Manado.
8. Sahabat terbaikku di Kampus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Fabian, Adli,
Uly, Irsyad, Sidik Padang, Herman, Yunita, Sayyidah, M. Ilham R, Qhoffal,
Hilman Faisal, Riski Apu, Zaki Aceh. Kepada seluruh teman-teman Hukum
Keluarga angkatan 2014, semoga silaturahmi kita tetap terjaga.
vii
9. Sahabatku yang cantik, baik, periang, selalu senyum, tidak pernah menyerah,
ramah, saling mengingatkan akan kebaikan yaitu Almarhumah Indy Zuhrotul
Istifaiyah binti Mujahidin (Indy). Insya Allah, Allah ampunkan segala dosa-
dosamu, Allah terima segala amal kebaikan yang pernah Indy lakukan di
muka bumi, dijadikan kubur Indy menjadi taman-taman surga-Nya.
10. Sahabat, saudara, guru dan keluarga ku di Kahfi BBC Motivator School, Ka
Icha, Ka Syarif Keren, Ka Boogie, Ka Iyang, Ka Tiar, Ka Mamduh, Ka Ojie,
Ka Milki, Prof. Syarif, Ka Munir, Ka Hambali, Ka Rajesh, Ka Uyun, Ka
Unyun, Bang Tauhid, Bang Andi, Bang Maul, Bang Agus, Bang Fitrah,
Bang Andika, Bang Ucup, Bang Priyo, Bang Tiflen, Ka Intarn, Ka Hilda, Ka
Rafida, Ka Fida, Dinda Kelsi, Bang Fadlur, Bang Desta, Ka Nisa, Ka Acha,
Mery, Ka Faizah, Bang Tadho, Bang Dimas, Bang Pian, Faisal, Akbar,
Fahmi, Bombom, Rifki, Ridho, Zaki Roja, Bang Choki, Ka Amel, Ka Tari,
Ka Ames, Pendi, Wakil, Bang Tomi, Bagus, Anzah, Yeni, Ira, Eef, Qory,
Eka, Alfi, Cicha, Bang Gum, Rafi, Jao, Acong, Tajul, Gege, Tiwi, Beki,
Aisyah, Habibah, Gilang, Said, Ambar, Andre, Sari, Pak Sukandar, Ust.
Amir, Nurul Wahidah, Kartika, Ojik, Mpok Pia, Wisnu, Lala, Faiz, Alfarabi,
Azis, Bunda Yanti, Chiquita, Abu, Cumcum, Dani, Depoy, Dewo, Dina,
Faridatun Nuha, Kholida, Akbar, Harby, Intan, Iwan KP, Kia, Lita, Nita,
RAN, Rey, Rara, Kinoy, Rozan, Syifa, Tapleng, Vitha, Jali, Bang Irwin,
Yuzer, Ka Ayu, Bintang dan seluruh keluarga Kahfi BBC Motivator School
yang tidak bisa penulis tulis satu persatu.
Akhir kata, semoga kita semua menjadi pribadi yang lebih baik setiap harinya
dan bermanfaat untuk Agama, Bangsa dan Negara serta selalu di ridhoi oleh Allah
SWT. Kemudian penulis menyadari bahwa skripsi ini masih perlu mendapatkan
perbaikan. Oleh karena itu, saran dan kritik akan penulis perhatikan dengan baik.
Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis pribadi khususnya, pembaca pada
umumnya serta menjadi catatan amal baik di sisi Allah SWT., Amin.
ix
DAFTAR ISI
PERSETUJUAN PEMBIMBING ............................................................................. i
LEMBAR PERNYATAAN ....................................................................................... ii
PENGESAHAN PANITIA UJIAN .......................................................................... iii
ABSTRAK ................................................................................................................ iv
KATA PENGANTAR ................................................................................................ v
DAFTAR ISI .............................................................................................................. ix
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................... 1
A. Latar Belakang ..................................................................................... 1
B. Identifikasi Masalah ............................................................................. 6
C. Pembatasan dan Perumusan Masalah ................................................... 6
D. Tujuan dan Manfaat Penilitian ............................................................. 7
E. Metode Penelitian .................................................................................. 8
F. Review Studi Terdahulu ..................................................................... 11
G. Sistematika Penulisan ......................................................................... 12
BAB II PERKAWINAN DALAM HUKUM ISLAM DAN PERATURAN DI
INDONESIA ........................................................................................... 14
A. Pengertian Perkawinan ....................................................................... 14
B. Hukum Perkawinan ............................................................................ 18
C. Rukun dan Syarat Sah Perkawinan...................................................... 20
D. Kedudukan Wali .................................................................................. 24
E. Pengertian Mahar................................................................................. 27
F. Biaya Perkawinan ................................................................................ 31
x
BAB III BUDAYA PERKAWINAN MASYARAKAT BUGIS SENGKANG
DI SULAWESI SELATAN ................................................................... 34
A. Deskripsi Singkat Masyarakat Bugis Sengkang .................................. 34
B. Gambaran Umum Perkawinan Adat Bugis ......................................... 41
BAB IV PRAKTIK DUI MENRE’ DAN SILARIANG DI KECAMATAN
PAMMANA SENGKANG SULAWESI SELATAN .......................... 51
A. Praktik Dui Menre’ dan Silariang di Kecamatan Pammana Sengkang
Sulawesi Selatan .................................................................................. 51
B. Alasan Masyarakat Bugis Mempertahankan Dui Menre’ yang
Berdampak Terjadinya Silariang ....................................................... 68
BAB V PENUTUP .............................................................................................. 74
A. Kesimpulan ......................................................................................... 74
B. Saran-Saran.......................................................................................... 75
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................... 77
LAMPIRAN ............................................................................................................... 81
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perkawinan merupakan hidup bersama antara seorang laki-laki dan perempuan
yang memenuhi syarat-syarat peraturan untuk hidup bersama. Pasal 1 Undang-
Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 menyebutkan, Perkawinan ialah ikatan
lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan
tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa.1
Pelaksanaan perkawinan biasanya tidak hanya mengikuti peraturan perundang-
undangan semata tetapi juga diiringi dengan pelaksanaan tradisi adat yang berlaku di
suatu daerah (hukum adat). Hukum adat merupakan hukum asli yang hidup dan eksis
dalam masyarakat di wilayah Nusantara sejak lama. Dalam perjalanan waktu, hukum
asli tersebut berturut-turut mendapat pengaruh dari agama Hindu pada abad ke-7,
agama Islam pada abad ke-14, agama Kristen dan bangsa asing terutama Belanda
pada abad ke-17. Hukum asli ini terus berkembang dan berlaku yang oleh Snouck
Hurgronje pada tahun 1893 disebut sebagai hukum adat. Istilah hukum adat ini
selanjutnya oleh van Vollenhoven dipandang sebagai hukum positif bagi masyarakat
adat yang tersebar di seluruh wilayah Nusantara.2
Van Vollenhoven dalam penelitian pustakanya pernah menyatakan bahwa
masyarakat-masyarakat asli yang hidup di Indonesia, sejak ratusan tahun sebelum
kedatangan bangsa Belanda, telah memiliki dan hidup dalam tata hukumnya sendiri.
Tata hukum masyarakat asli tersebut dikenal dengan sebutan Hukum Adat.
1 Abdul Qodir, Pencatatan Pernikahan dalam Perspektif Undang-Undang dan Hukum Islam,
(Depok : Azza Media, 2014), h. 11 2 I Made Widnyana, Hukum Pidana Adat dalam Pembaharuan Hukum Pidana, (Jakarta : PT.
Fikahati Aneska, 2013), h. 1
2
Selain itu, menurut Snouck Hurgronje, hukum adat pun dijalankan sebagaimana
adanya (taken for granted) tanpa mengenal bentuk-bentuk pemisahan, seperti dikenal
dalam wacana hukum barat bahwa individu merupakan entitas yang terpisah dari
masyarakat. Dengan kata lain, hukum adat diliputi dengan semangat kekeluargaan,
individu tunduk dan mengabdi pada dominasi aturan masyarakat secara keseluruhan.
Corak demikian mengindikasikan bahwa kepentingan masyarakat lebih utama
daripada kepentingan individu.3
Apabila ditinjau sejarah perkembangan hukum di Indonesia, pada awalnya
hanya berlaku Hukum Adat yang asli beserta segenap tatanan dan kelembagaannya.
Orang Minangkabau memiliki sistem Hukum Adatnya sendiri dengan asas-asas dan
filsafah yang dianggap benar di daerah tersebut. Asas-asas dan filsafah ini berbeda
dengan asas dan filsafah di Jawa Timur (Maja Pahit), berbeda dengan asas-asas dan
filsafah di Sulawesi, atau di Bali, atau di Flores, atau di Mentawai, atau di Aceh, atau
di Alor, atau di Papua. Pada saat itu hanya ada 2 (dua) unsur saja yang sama dari
semua sistem Hukum Adat yang ada, yaitu sifat kekeluargaan (komunitas) dan sifat
tidak tertulis (kecuali Hukum Majapahit, Hukum Adat Bali, Hukum Wajo, dan
beberapa daerah lainnya).4
Seorang orientalis, S. R. Reiber, mencatat : “Agama dan Keluarga mempunyai
hubungan yang erat. Satu dengan lainnya saling mempengaruhi. Jika satu sama lain
dipisahkan, sulit bisa dimengerti.” Intimitas hubungan antara agama dan keluarga
seperti itu sudah berlaku sejak awal sejarah manusia.5 Jadi antara agama, keluarga
dan hukum adat tidak dapat dipisahkan karena sangatlah berhubungan. Ibaratkan
sebuah pohon, Agama itu adalah akarnya, hukum adalah batangnya dan keluarga
3 H.R. Otje Salman Soemadiningrat, Rekonseptualisasi Hukum Adat Kontemporer: Telaah
Kritis terhadap Hukum Adat sebagai Hukum yang Hidup dalam Masyarakat, (Bandung : PT. Alumni
Bandung, 2001), h. 8 4 I Made Widnyana, Hukum Pidana Adat Dalam Pembaharuan Hukum Pidana, (Jakarta : PT.
Fikahati Aneska, 2013), h. 38 5 Hammudah „Abd Al „Ati, The Family Structure in Islam (Keluarga Muslim), (Surabaya : PT.
Bina Ilmu, 1984), h. 3
3
adalah daun atau bunganya. Ketika pondasi atau akar sebuah pohon rusak maka
rusaklah semua organ pohon tersebut.
Dapat dikatakan, bahwa menurut hukum adat perkawinan itu adalah urusan
kerabat, urusan keluarga, urusan masyarakat, urusan derajat dan urusan pribadi satu
sama lain dalam hubungannya yang sangat berbeda.6 Dengan jalan perkawinan yang
tepat itu juga maka kelas dan derajat di dalam dan di luar masyarakat dipertahankan,
dengan demikian maka perkawinan itu adalah urusan derajat atau kelas.7
Pada masyarakat Bugis-Makassar, dalam hal mencari jodoh, adat menetapkan
bahwa sebagai perkawinan yang ideal ialah :8
1) Perkawinan yang disebut Assialang Marola (Makassar = passialeang baji‟na)
ialah perkawinan antara saudara sepupu derajat kesatu baik dari pihak ayah
maupun ibu.9
2) Perkawinan yang disebut Assialanna Memang (Makassar = passialleanna) ialah
perkawinan antara saudara sepupu sederajat kedua, baik dari pihak ayah
maupun ibu.10
3) Perkawinan antara Ripaddeppe‟mabelae (Makassar = nipakambani bellaya)
ialah perkawinan antara saudara sepupu sederajat ketiga, juga dari kedua belah
pihak.11
Perkawinan antara saudara-saudara sepupu tersebut diatas walaupun dianggap
ideal, bukan merupakan suatu kewajiban. Dengan demikian seseorang dapat saja
kawin dengan gadis yang bukan saudara sepupunya.
6 Mr. B. Ter Haar Bzn. Terjemahan K. Ng. Soebakti Pesponoto, Asas-Asas dan Susunan
Hukum Adat, (Jakarta : PT. Balai Pustaka, 2013), h. 159 7 Mr. B. Ter Haar Bzn. Terjemahan K. Ng. Soebakti Pesponoto, Asas-Asas dan Susunan
Hukum Adat, h. 160 8 Simanjuntak, Hukum Perdata Indonesia, (Jakarta : PT. Fajar Interpratama Mandiri, 2015), h.
117 9 Sepupu sederajat yang dimaksud adalah anak dari paman atau bibi
10 Sepupu sederajat kedua yang dimaksud adalah anak dari anaknya paman atau bibi
11 Sepupu sederajat ketiga yang dimaksud adalah anak dari anaknya anak paman atau bibi,
begitu seterusnya
4
Cara-cara yang berlaku dalam masyarakat ntuk dapat melangsungkan
perkawinan pada dasarnya telah menetapkan cara-cara tertentu untuk dapat
melangsungkan perkawinan. Pada prinsipnya cara yang paling umum dilakukan oleh
masyarakat adalah melalui pelamaran atau peminangan. Namun demikian, selain dari
pelamaran atau peminangan, masyarakat-masyarakat tertentu mengakui pula cara
yang lain, yang dimaksudkan disini adalah dengan cara yang disebut “kawin lari”12
,
ini biasanya disebabkan mahalnya uang mahar yang ditetapkan oleh keluarga dari
pihak calon istri, sehingga keluarga atau calon suami tidak mampu untuk
memenuhi/membayar uang mahar tersebut.
Bila calon suami istri melakukan lari bersama dengan tiada peminangan atau
pertunangan secara formal, maka terjadi perkawinan lari bersama atau sama-sama
melarikan diri. Rupanya cara yang demikian ini merupakan cara yang umum dalam
melakukan perkawinan di dalam wilayah-wilayah masyarakat yang menganut sistem
patrilineal, dan juga terdapat dalam wilayah-wilayah masyarakat yang menganut
sistem kekeluargaan. Perkawinan dengan cara lari bersama ini dilakukan, untuk
menghindarkan diri dari berbagai keharusan sebagai akibat perkawinan dengan cara
pelamaran atau peminangan, atau juga untuk menghindarkan diri dari rintangan-
rintangan dari pihak orang tua dan sanak saudara, yang terutama datangnya dari pihak
orang tua dan sanak saudara pihak perempuan. Alasan yang terakhir inilah kiranya
yang merupakan alasan prima mengapa dilakukannya perkawinan dengan cara lari
bersama.13
Pada masyarakat Bugis-Makassar, kawin lari atau dalam Bahasa daerah di sana
disebut Silariang, merupakan hal yang tidak direstui oleh masyarakat. Mengenai
silariang ini, kawin lari biasanya dilakukan karena berbagai alasan yang antara lain
jumlah mahar ataupun jumlah belanja perkawinan yang ditentukan oleh keluarga si
gadis terlampau tinggi. Apabila terjadi perkawinan lari, maka oleh pihak keluarga si
gadis akan dilakukan pengejaran. Para kerabat si gadis yang melakukan pengejaran
12
Soerjono Soekanto, Hukum Adat Indonesia, (Jakarta : CV. Rajawali-Jakarta, 1981), h. 246 13
Soerjono Soekanto, Hukum Adat Indonesia, h. 248
5
pada kedua pelarian itu disebut Tomasiri, dan kalau mereka berhasil menemukan
kedua pelarian itu, maka kemungkinan bahwa laki-laki itu dibunuh.14
Kerabat atau keluarga dari gadis yang melakukan silariang, akan merasakan
Siri‟ Na Pacce15
, yang mengakibatkan permusuhan dan dendam antara keluarga
laki-laki dan perempuan. Jika tidak segera diselesaikan ini bisa berlanjut hingga turun
menurun karena siri‟ ini adalah suatu hal yang tabu dan sangat pantang untuk
dilanggar karena taruhannya adalah nyawa.
Dari mahar yang tinggi (Dui Menre‟) atau uang perkawinan yang tinggi
tersebut akan mengakibatkan silariang dan menimbulkan siri‟ antar keluarga yang
mana apabila si laki-laki tertangkap akan dibunuh. Hal ini dapat tidak terjadi apabila
dilakukan Mappadeceng.16
Sebagai salah satu fenomena adat yang terjadi di Indonesia, dan salah satu adat
di Bugis-Makassar yang sangat fenomenal, Dui Menre‟ ini memberikan efek yang
cukup rumit kepada pasangan laki-laki dan perempuan yang ingin menikah sehingga
terjadilah Silariang dan mengakibatkan dendam antar keluarga yang cara
penyelesaiannya pun biasanya melalui Mappadeceng. Karena banyaknya dampak
yang muncul dari dui menre‟ ini, lalu bagaimanakah dui menre‟ dalam adat Bugis
saat ini?, apakah masih perlu dipertahankan? Kemudian bagaimana tinjauan hukum
Islam mengenai dui menre‟? Apakah dui menre‟ dan silariang sesuai dengan ajaran
Islam tentang perkawinan dan mahar? Bagaimana juga dengan Silariang yang
dilakukan oleh pasangan yang tidak dapat memenuhi Dui Menre‟ tersebut? Apakah
perkawinan yang mereka lakukan itu sah menurut hukum Islam dan Peraturan
Perkawinan di Indonesia?. Hal inilah yang ingin dibahas oleh penulis melalui karya
ilmiah dalam bentuk skripsi dengan judul: “Silariang Sebagai Akibat Dui Menre’
14
Soerjono Soekanto, Hukum Adat Indonesia, (Jakarta : CV. Rajawali-Jakarta, 1981), h. 253 15
Siri‟ NaPacce adalah secara lafdziyah Siri‟ berarti : Rasa Malu (harga diri), sedangkan Pacce
berarti : Pedih/Pedas (Keras, Kokoh Pendirian) 16
Mappadeceng adalah proses permintaan maaf dengan keluarga yang telah siri‟ agar dapat
diterima kembali sebagai anggota keluarga.
6
dalam Adat Bugis (Tinjauan Hukum Islam Terhadap Perkawinan Adat Bugis di
Sengkang Sulawesi Selatan)”.
B. Identifikasi Masalah
Identifikasi masalah merupakan permasalahan yang berkaitan dengan tema
yang sedang dibahas. Beberapa permasalahan yang akan muncul dari latar belakang
diatas, penulis akan memaparkan beberapa diantaranya, yaitu :
1. Apa makna filosofi dari pemahaman masyarakat Bugis dalam Dui Menre‟?
2. Bagaimana proses kesepakatan Dui Menre‟ antar keluarga mempelai laki-laki
dan perempuan?
3. Bagaimana sejarah fenomena Dui Menre‟ dan Silariang?
4. Apa penyebab pasangan melakukan Silariang?
5. Bagaimana proses adat yang dilakukan dalam penyelesaian perkara antar
keluarga dalam kasus Silariang?
6. Mengapa harus diselesaikan dengan saling membunuh?
7. Bagaimana Dui Menre‟ dan Silariang ditinjau dari hukum Islam?
8. Apa peran imam atau pemerintah setempat terhadap hukum adat ini?
C. Pembatasan dan Perumusan Masalah
1. Batasan Masalah
Untuk dapat terciptanya suatu penelitian yang baik diperlukan adanya
pembatasan dan perumusan masalah yang tepat agar masalah yang akan dibahas
dapat fokus dan tidak melebar. Adapun fokus penelitian ini hanya terbatas pada
akibat dari mahalnya uang mahar (Dui Menre‟) berupa terjadinya Silariang (Kawin
Lari) yang berlaku di Sengkang Sulawesi Selatan. Peneliti tidak mengkaji akibat Dui
Menre‟ lainnya, seperti Sigajang Laleng Lipa‟, sanksi bunuh untuk pasangan yang
tertangkap dan lain-lain.
7
2. Rumusan Masalah
Dari batasan masalah di atas, maka penulis fokus pada beberapa rumusan
masalah yaitu:
1. Apa yang mendasari dilakukannya dui menre‟ pada masyarakat Bugis
Sengkang Sulawesi Selatan?
2. Bagaimana praktik Silariang sebagai akibat Dui Menre‟ dilakukan oleh
masyarakat Bugis di Sengkang?
3. Bagaimana tinjauan hukum Islam dan Peraturan di Indonesia terhadap tradisi
Dui Menre‟ dan Silariang dalam adat Bugis di Sengkang Sulawesi Selatan?
4. Apa yang menjadi alasan masyarakat Bugis masih mempertahankan Dui
Menre‟ padahal menimbulkan dampak negatif yang sangat beresiko?
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian skripsi ini adalah sebagai berikut:
a. Untuk mengetahui apa yang mendasari dilakukannya dui menre‟ pada
masyarakat Bugis di Sengkang Sulawesi Selatan.
b. Uuntuk mengetahui bagaimana praktik Silariang sebagai akibat Dui Menre‟
dilakukan oleh masyarakat Bugis di Sengkang.
c. Untuk menjelaskan tinjauan hukum Islam dan peraturan di Indonesia terhadap
Dui Menre‟ dan Silariang dalam adat Bugis di Sengkang.
d. Untuk mengetahui apa uang menjadi alasan masyarakat Bugis masih
mempertahankan Dui Menre‟ padahal menimbulkan dampak negatif.
2. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dalam penelitian skripsi ini adalah:
a. Sebagai sumbangsih ilmu dan kepustakaan bagi mahasiswa, akademisi,
pembaca lainnya terhadap hukum adat.
8
b. Menambah pengetahuan dan wawasan dalam mengembangkan potensi menulis
karya-karya ilmiah khususnya mengenai studi lapangan terhadap hukum-hukum
adat sehingga dapat menjadi pelajaran untuk masa yang akan datang.
c. Mengetahui bagaimana penyebab dan akibat terjadinya suatu hukum adat di
suatu daerah, agar lebih menghayati sebagai warga negara Indonesia.
d. Manfaat untuk masyarakat yang akan menikahkan anaknya agar berjalan
dengan baik, benar dan bagus.
e. Manfaat penelitian ini juga untuk para Tokoh Adat yang mana berhadapan
langsung dengan masyarakat yang akan menikah.
E. Metode Penelitian
Dalam membahas masalah-masalah dalam penelitian ini, dibutuhkan suatu
metode atau cara untuk memperoleh data yang berhubungan dengan masalah-masalah
yang dibahas dengan baik, benar dan bagus. Terdapat beberapa metode yang penulis
gunakan antara lain :
1. Pendekatan Penelitian
Penelitian ini termasuk jenis penelitian lapangan (field research) yang sumber
datanya terutama diambil dari obyek penelitian (masyarakat atau sekumpulan
masyarakat) secara langsung di daerah tempat penelitian. Pendekatan yang dilakukan
dalam penelitian ini adalah pendekatan historis, sosiologis dan antropologis dan juga
penelitian ini memakai corak penelitian kualitatif. Penelitian ini merupakan penelitian
etnografi yang merupakan studi tentang sekelompok orang untuk menggambarkan
kegiatan dan pola sosiobudaya mereka. Etnografi bukan deskripsi tentang kehidupan
masyarakat dalam keberagaman situasinya, melainkan menyajikan pandangan hidup
subjek, cara mereka memandang kehidupannya, cara mereka memandang perilakunya
keseharian, cara mereka berinteraksi dan sebagainya.17
17
A. Muri Yusuf, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif & Penelitian Gabungan, (Jakarta :
PT. Fajar Interpratama Mandiri, 2014), h. 359
9
2. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah penelitian
yang berjenis Kualitatif.
3. Sifat Penelitian
Penelitian ini bersifat analitik yaitu merupakan kelanjutan dari penelitian
deskriptif yang bertujuan bukan hanya sekedar memaparkan karakteristik tertentu,
tetapi juga menganalisa dan menjelaskan mengapa atau bagaimana hal itu terjadi.
4. Objek Penelitian
Objek penelitian penulis adalah masyarakat Sengkang Sulawesi Selatan yang
menerapkan Dui Menre´ termasuk juga mereka yang sampai melakukan Silariang.
5. Sumber Data dan Teknik Pengumpulan Data
Dalam penelitian sosial metode pengumpulan data yang lazim digunakan
adalah angket (questionnaire), wawancara (interview), observasi (observation),
dokumenter (secondary sources), dan tes (test).18
Dalam penelitian ini data yang digunakan dapat dibagi ke dalam dua sumber,
yaitu :
1. Sumber data primer (pokok) yang menjadi sumber data adalah hasil
wawancara. Wawancara dilakukan dengan masyarakat Bugis di Sengkang,
masyarakat pelaku Silariang dan juga para Ilmuwan Bugis. Penentuan orang
atau subyek yang akan di wawancarai adalah dengan cara mendatangi Tokoh
Adat setempat, kemudian Tokoh Adat tersebut yang memberitahu penulis
siapa-siapa saja pelaku Dui Menre‟ dan Silariang yang dapat penulis
wawancarai.
2. Sumber data sekunder dari penelitian ini adalah melalui studi pustaka yang
berkaitan buku-buku sejarah, fiqh, dan data-data lain yang mempunyai kaitan
dan hubungan dengan tema ini.
18
Sanapiah Faisal, Format-Format Penelitian Sosial, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada,
2003), h. 51
10
6. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Wajo dengan ibu kotanya Sengkang,
terletak dibagian tengah Provinsi Sulawesi Selatan dengan jarak 242 km dari ibukota
provinsi, memanjang pada arah laut Tenggara dan terakhir merupakan selat, dengan
posisi geografis antara 3º 39º - 4º 16º LS dan 119º 53º-120º 27 BT. Salah satu alasan
mengapa penulis memilih Sengkang yaitu karena adanya alasan subyektif (subjective
reason) dan alasan objektif (objective reason). Subjective reason nya adalah penulis
merupakan bagian dari masyarakat Bugis yang berdomisili di Sengkang, penelitian
ini adalah untuk menjelaskan bagaimana pola pikir dan mindset para masyarakat di
Bugis.
Kemudian objective reason nya adalah Kabupaten Wajo terbagi menjadi 14
wilayah Kecamatan, selanjutnya dari keempat belas wilayah Kecamatan di dalamnya
terbentuk wilayah-wilayah yang lebih kecil, yaitu secara keseluruhan terbentuk 44
wilayah yang berstatus Kelurahan dan 132 wilayah yang berstatus Desa. Masing-
masing wilayah kecamatan tersebut mempunyai potensi sumber daya alam dan
sumber daya manusia yang berbeda meskipun perbedaan itu relatif kecil, sehingga
pemanfaatan sumber-sumber yang ada relatif sama untuk menunjang pertumbuhan
pembangunan di wilayahnya.19
7. Metode Analisis Data
Analisis data penelitian ini menggunakan metode sebagai berikut:
a. Metode induktif yaitu metode atau cara berpikir untuk menarik kesimpulan
yang bersifat khusus ke kesimpulan yang bersifat umum.
b. Metode analisis data kualitatif yaitu suatu metode penelitian yang mengungkap
makna dari data penelitian baik wawancara, dokumen maupun pengamatan di
lapangan.
19
Profil Kabupaten Wajo, gatoetn.blogspot.co.id/konten/2010/02/25/profil-kabupaten-
wajo.html
11
8. Pendekatan Penelitian
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Etnografi-refleksif,
yaitu suatu bentuk penelitian yang terfokus pada makna sosiologis diri individu dan
konteks sosial budayanya yang dihimpun melalui observasi lapangan sesuai dengan
fokus penelitian.20
9. Teknik Penulisan
Teknik penulisan penelitian ini merujuk pada pedoman penulisan skripsi
Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang diterbitkan oleh
Fakultas Syariah dan Hukum Tahun 2017.
F. Review Studi Terdahulu
Kajian terhadap akibat-akibat dari mahalnya Dui Menre‟ penulis belum pernah
menemukannya. Terlebih terhadap kajian akibat-akibat dari Dui Menre‟ itu sendiri
yaitu Silariang dan Sigajang Lale Lipa. Sebagaimana yang penulis temukan pada
beberapa skripsi diantaranya adalah :
1. Karya Susilawati dengan judul “Fenomena Silariang di Desa Bululoe
Kecamatan Turatea Kabupaten Jeneponto”, UIN Alauiddin Makassar pada
tahun 2016 dengan temuan penelitiannya yaitu pilihan berbeda orang tua yang
disebabkan karena orang tua memilih pasangan untuk anaknya sesuai dengan
keinginannya tanpa memandang keinginan anaknya sendiri.
2. Karya Abdlu Gafur dengan judul “Peran Imam Dalam Penyelesaian Sengketa
Perkawinan Lari di Makassar, UIN Sunan Kalijaga pada tahun 2010 dengan
temuan penelitiannya yaitu peran imam dalam kasus kawin lari mampu
menyatukan antara tiga sistem hukum yang berbeda yaitu adat, Islam dan
hukum Nasional. Melalui koordinasi KUA sebagai lembaga pemerintah yang
mengurusi perkawinan orang Islam di Indonesia, Imam mengatasai konflik
kawin lari sesuai dengan norma-norma yang berlaku di masyarakat.
20
A. Muri Yusuf, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif & Penelitian Gabungan, (Jakarta :
PT. Fajar Interpratama Mandiri, 2014), h. 359
12
3. Karya Sinarti dengan judul “Legalitas Wali Nikah Silariang (Kawin Lari)
Perspektif Hukum Islam dan Kompilasi Hukum Islam”, UIN Alaudiin
Makassar pada tahun 2017 dengan temuan penelitiannya yaitu apabila pelaku
Silariang (kawin lari) mendapat izin dari orang tua untuk menggunakan wali
hakim maka pernikahannya itu tetap sah.
Perbedaannya dengan penelitian penulis adalah penelitian ini lebih difokuskan
kepada akibat-akibat dari Dui Menre‟, mahalnya uang mahar sehingga
mengakibatkan Silariang (kawin lari) dan timbul permushan diantara pihak keluarga,
sehingga penyelesaiannya bisa melalui yang disebut Mapadecceng, penyelesaian
akhir pada adat Bugis.
G. Sistematika Penulisan
Penelitian skripsi ini terdiri dari lima bab, dimana masing-masing bab
berisikan pembahasan yang berkesinambungan sebagai berikut:
Bab Pertama yaitu pendahuluan yang berisikan latar belakang masalah,
identifikasi masalah, pembatasan dan perumusan masalah,tujuan dan manfaat
penelitian, metodologi penelitian, review studi terdahulu dan sistematika penelitian.
Bab Kedua, membahas perkawinan dan mahar dalam islam dan peraturan
Indonesia yang berisikan perkawinan (pengertian perkawinan, hukum perkawinan,
rukun dan syarat sah perkawinan, pernikahan yang diharamkan), mahar (pengertian
mahar, hukum mahar, jenis, jumlah dan syarat mahar, tujuan dan hikmah mahar).
Bab Ketiga, menjelaskan mengenai budaya masyarakat bugis di sengkang
Sulawesi selatan yang berisikan deskripsi masyarakat bugis sengkang (potret daerah
bugis sengkang Sulawesi selatan, sistem kemasyarakatan dalam masyarakat bugis,
masyarakat Islam bugis), sistem perkawinan adat bugis (dui menre‟, silariang dan
mapadeceng).
Bab Keempat, meneliti tentang silariang dalam perspektif hukum Islam dan
peraturan perkawinan di Indonesia (dui menre‟ dan silariang ditinjau dari perspektif
13
hukum Islam dan peraturan di Indonesia dan alasan masyarakat bugis
mempertahankan dui menre‟ yang berdampak terjadinya silariang).
Bab Kelima, merupakan bab akhir dalam penelitian ini. Terdiri dari penutup
yang berisi kesimpulan dan saran-saran yang bersifat membangun bagi
penyempurnaan penelitian ini.
14
BAB II
PERKAWINAN DALAM HUKUM ISLAM DAN
PERATURAN DI INDONESIA
A. Pengertian Perkawinan
Perkawinan merupakan suatu ketentuan dari ketentuan-ketentuan Allah di
dalam menjadikan dan menciptakan alam ini. Perkawinan bersifat umum,
menyeluruh, berlaku tanpa kecuali baik bagi manusia, hewan, dan tumbuh-
tumbuhan.1 Ketentuan-ketentuan telah di tuangkan di dalam firman Allah swt antara
lain berbunyi:
ٱز ذ ض سأ ٱلأ و شا أ أ س ف١اس جع ثٱث ش ج١أ أ ف١اص جع
١أ شٱثأ ٠غأ اس ٱ١أ ٱ ش ٠خفى أ جم هل٠فر ٣إ
Artinya : “Dan Dia-lah Tuhan yang membentangkan bumi dan menjadikan gunung-
gunung dan sungai-sungai padanya. dan menjadikan padanya semua buah-buahan
berpasang-pasangan” (Q.S. Ar-Ra‟ad : 3).
Kata perkawinan menurt istilah hukum Islam sama dengan kata “nikah” dan
kata “zawaj”. Nikah menurut Bahasa mempunyai arti sebenarnya (haqiqat) yakni
“dham” yang berarti menghimpit, menindih atau berkumpul. Nikah mempunyai arti
kiasan yakni “wathaa” yang berarti “setubuh” atau “aqad” yang berarti mengadakan
perjanjian pernikahan. Dalam kehidupan sehari-hari nikah dalam arti kiasan lebih
banyak dipakai dalam arti sebenarnya jarang sekali dipakai saat ini.
Secara terminology (istilah) “nikah” atau “zawaj” adalah :
1. Aqad yang mengandung kebolehan memperoleh kenikmatan biologis dari
seorang wanita dengan jalan ciuman, pelukan dan bersetubuh.
2. Aqad yang ditetapkan Allah bagi seorang lelaki atas diri seorang perempuan
atau sebaliknya untuk dapat menikmati secara biologis antar keduanya.
1 Abdul Qodir Djaelani, Keluarga Sakinah, (Surabaya : PT. Bina Ilmu, 1995), h. 41
15
Aqad nikah yang telah dilakukan akan memberikan status kepemilikan bagi
kedua belah pihak (suami isteri), dimana status kepemilikan akibat akad tersebut bagi
si lelaki (suami) berhak memperoleh kenikmatan biologis dan segala yang terkait
dengan itu secara sendirian tanpa dicampuri atau diikuti oleh lainnya yang dalam
term fiqih disebut “Milku al-Intifa”, yaitu hak memiliki penggunaan atau pemakaian
terhadap suatu benda (isteri), yang digunakan untuk dirinya sendiri.2
Menurut Sajuti Thalib, perkawinan ialah suatu perjanjian yang suci kuat dan
kokoh untuk hidup bersama secara sah antara seorang laki-laki dengan seorang
perempuan membentuk keluarga yang kekal, santun menyantuni, kasih mengasihi,
tenteram dan bahagia. Kemudian, perkawinan menurut Kompilasi Hukum Islam
adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau miitsaqon ghaliizhan untuk
menaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah. Dan perkawinan
bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan
rahmah. 3
Perkawinan menurut pendapat para ulama Madzhab berbeda-beda, golongan
ulama Syafi‟iyah berpendapat bahwa kata nikah itu berarti akad dalam arti yang
sebenarnya (hakiki), dapatnya berarti juga untuk hubungan kelamin, namun dalam
arti tidak sebenarnya (arti majazi). Sebaliknya, menurut ulama Hanafiyah
berpendapat bahwa kata nikah itu mengandung arti secara hakiki untuk hubungan
kelamin. Bila berarti juga untuk lainnya seperti untuk akad adalah dalam arti majazi.4
Syaikh Ibnu Manzhur berkata mengenai kosakata nakaha : ”Nakaha yankihu”
juga bisa berarti badha‟a atau damaha atau khaja‟a (menggauli, menyetubuhi). Ibnu
Sayyidah berkata bahwa pernikahan adalah al-budh‟u (persetubuhan), khususnya
bagi manusia. Namun Tsa‟lab menganggap pengertian ini juga bisa dipakai untuk
2 Ahmad Sudirman Abbas, Pengantar Pernikahan, (Jakarta : PT. Prima Heza Lestari, 2006), h.
1 3 Mohd. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam, (Jakarta : PT. Bumi Aksara, 1999), h. 1 - 4
4 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta : Kencana, 2007), h. 37
16
hewan seperti lalat. Adapun bentuk kosakatanya adalah nakaha, yankihu, nakhan wa
nikahan. Abu Hanifah telah menjelaskannya : Akad yang dikukuhkan untuk
memperoleh kenikmatan dari seorang wanita, yang dilakukan secara sengaja.5
Jika kita mengintip sedikit sejarah perkawinan, sejarah perkawinan telah
tercatat semenjak Nabi Adam as turun ke bumi dan menjalani kehidupan bersama-
sama dengan anak cucunya. Sedangkan perkawinan merupakan satu hal yang paling
mendasar dan sangat dibutuhkan dalam kehidupan manusia. Awal mulanya terjadi
perkawinan di dunia ini ketika Nabi Adam mengawini Hawa. Keduanya hidup
sebagai suami istri yang kemudian menurunkan anak-anaknya baik laki-laki maupun
wanita. Dari perkawinan putra putri Adam dan Hawa itu lahirlah cucu-cucu Adam
yang kemudian berkembang menjadi kumpulan keluarga yang banyak. Syariat yang
mengatur perkawinan pada zaman Nabi Adam dikenal dengan istilah kawin silang,
atau dengan mengawini saudaranya sendiri, dari pihak laki-laki dan wanita. Begitulah
peraturan yang berlaku pada waktu itu, sampai datang syariat yang menyempurnakan
kemudian.6
Usaha-usaha pertama yang dirombak oleh Islam adalah mengikis habis tradisi
dan anggapan kaum Jahiliyah, bahwa wanita itu makhluk hina dan rendah. Mereka
menganggap wanita tak ubahnya seperti boneka yang bebas diperlakukan menurut
sekehendak hati. Kaum wanita tidak memiliki hak dan memilih sama sekali, hidup
mereka terbelenggu dalam sebuah tradisi yang menghinakan dan menyesatkan.7
Karena berkat dari datangnya Islam itu, wanita memiliki hak dan dapat memilih
untuk apa dan menjadi apa wanita tersebut dalam kehidupan, bahkan wanita dapat
mengangkat derajatnya dan juga wanita di seluruh dunia ini sudah di lindungi oleh
hukum.
5 Syaikh Muhammad bin Abdul Aziz Al-Humaidhy, Kawin Campur dalam Syariat Islam,
(Riyadh : Darul Humaidy, 1991), h. 14 6 Abdul Aziz bin Abdurrahman Al-Musnad, Perkawinan dan Masalahnya, (Jakarta : Pustaka
Al-Kautsar, 1993), h. 17 7
Abdul Aziz bin Abdurrahman Al-Musnad, Perkawinan dan Masalahnya, (Jakarta : Pustaka
Al-Kautsar, 1993), h. 19
17
Wanita pada era sekarang ini sangat diberikan kebebasan dalam berekspresi dan
menggapai impian-impiannya, sehingga banyak di era sekarang ini wanita yang
memiliki jenjang karir yang tinggi, mempunyai power atau kekuatan untuk
memperoleh haknya, bahkan menjadi seorang pemimpin. Akan tetapi di dalam
perkawinan yang di mana didalamnya sudah terjadi akad atau perjanjian yang
menghubungkan antara pria dan wanita, wanita harus mentaati laki-laki yang telah
dipilihnya untuk menjadi seorang suami yang dapat memimpinnya dan membawanya
kepada kebaikan dan kebenaran, sehingga terciptanya keluarga yang harmonis,
sakinnah, mawaddah dan rahmah, karena laki-laki adalah pemimpin keluarga,
bukanlah wanita yang menjadi pemimpin keluarga.
Seperti kita ketahui, akad adalah sesuatu yang dengannya akan sempurna
perpaduan antara dua macam kehendak, baik dengan kata atau yang lain, dan
kemudian karenanya timbul ketentuan atau kepastian pada dua sisinya.8 Di dalam
fiqih juga kita ketahui bahwa terdapat fiqih yang mengatur tentang pernikahan yaitu
Fiqih Munakahat, ilmu yang membahas tentang hukum atau perundang-undangan
Islam yang khusus membahas pernikahan (perkawinan), dan yang berhubungan
dengannya, seperti cara meminang, walimatul arsy, thalaq, rujuk, tanggung jawab
suami istri dan lain-lain yang berdasarkan Al-Qur‟an, Hadist, ijma‟, dan qiyas.9
Menurut KHI (Kompilasi Hukum Islam) bab II Dasar-Dasar Perkawinan pasal
2 bahwa perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang
sangat kuat atau miitsaaqan ghaliizhan untuk menaati perintah Allah dan
melakukannya merupakan ibadah.10
Pada pasal 4, perkawinan adalah sah, apabila
8 Achmad Kuzari, Nikah Sebagai Perikatan, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 1995), h. 1
9 Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat :Kajian Fikih Nikah Lengkap, (Jakarta : PT.
Raja Grafindo Persada, 2009), h. 6 10
Abdul Gani Abdullah, Pengantar Kompilasi Hukum Islam Dalam Tata Hukum Indonesia,
(Jakarta : Gemani Insani Press, 1994), h. 78
18
dilakukan menurut hukum Islam sesuai dengan Pasal 2 Ayat (1) Undang-Undang No.
1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.11
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pada Pasal 1
disebutkan bahwa perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan
seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah
tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa.12
Hukum
Islam dengan Undang-Undang Perkawinan di Indonesia sangatlah sesuai dan jelas
karena sesuai dengan Bhineka Tunggal Ika dan Pancasila.
B. Hukum Perkawinan
Hukum nikah (perkawinan), yaitu hukum yang mengatur hubungan antara
manusia dengan sesamanya yang menyangkut penyaluran kebutuhan biologis antar
jenis, dan hak serta kewajiban yang berhubungan dengan akibat perkawinan tersebut.
Perkawinan adalah sunnatullah, hukum alam di dunia. Perkawinan dilakukan oleh
manusia, hewan, bahkan oleh tumbuh-tumbuhan, karenanya menurut para Sarjana
Ilmu Alam mengatakan bahwa segala sesuatu kebanyakan terdiri dari dua pasangan.
Misalnya, air yang kita minum (terdiri dari Oksigen dan Hidrogen), listrik, ada positif
dan negatifnya dan sebagainya. Perkawinan, yang merupakan sunnatullah pada
dasarnya adalah mubah tergantung kepada tingkat kemaslahatannya.13
Hukum perkawinan itu ada lima yaitu mubah, Sunnah, wajib, makhruh dan
haram sebagaimana penjelasan berikut :14
1. Mubah (Jaiz)
11
Abdul Gani Abdullah, Pengantar Kompilasi Hukum Islam Dalam Tata Hukum Indonesia,
(Jakarta : Gemani Insani Press, 1994), h. 78 12
Pasal 1 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, kemenag.go.id
/dokumen/1974/01/02/UUPerkawinan 13
Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat :Kajian Fikih Nikah Lengkap, (Jakarta : PT.
Raja GrafindoPersada, 2009), h. 9 14
Zurinal dan Aminuddin, Fiqih Ibadah, (Jakarta : Lembaga Penelitian Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah, 2008), h. 210 - 212
19
Hukum asal perkawinan adalah mubah atau boleh, asalkan sudah memenuhi
syarat dan rukun nikah. Syeikh Abu Syuja‟ menyatakan bahwa nikah itu
mustahab (mubah) bagi orang yang sudah butuh menikah.
أىحا ٠ ٱلأ أ ى ح١ ٱص ٠غأ فمشاء ٠ىا إ أ ائى إ أ عبادو أ
ٱلل فضأ ۦ ٱلل سعع١ ٣٣
Artinya : “Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian diantara kamu dan
orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki
dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin maka Allah
akan memampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah maha luas
(pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (QS. An-Nur : 32).
2. Sunnah
Bagi orang yang nafsunya mendesak dan mampu menikah, sedang dia masih
dapat menahan diri dari berbuat zina. Bagi dia menikah lebih utama dari pada
tekun beribadah, karena hidup membujang atau tidak menikah seperti pendeta
dalam agama Nasrani, tidak dibenarkan dalam Islam.
3. Wajib
Bagi yang telah mampu dan takut terjerumus dalam perzinaan. Bagi pemuda
yang sudah mampu nikah, dan takut terjerumus dalam perzinaan, sedangkan dia
tidak dapat menahan nafsunya misalnya dengan berpuasa, dia wajib menikah,
karena menjauhkan diri dari yang haram hukumnya wajib. Maka untuk
menghindarkan diri dari zina tidak ada jalan lain kecuali menikah.
فف خعأ ١سأ أ ىاح ٱز٠ ٠جذ ل ١ ٠غأ حخ ا ٱلل فضأ ۦ ٱز٠ خغ ٠بأ
ب ىخ أ ٱ اي ءاح شا خ١أ أ ف١ أ خ أ ع أ إ أ فىاحب أ ى أ٠أ ىجأ ا ٱلل
أ ءاحىٱز ى ع أ خى فخ١ شا حىأ ل بأ عشضغاءٱ خغا خبأ ا ححص أسدأ أ إ
ة ح١ أ ١ا ٱ أ ٱذ فئ ش ٠ىأ ٱلل ح١ غفسس ش ذإوأ بعأ ٣٣
Artinya : “Dan orang-orang yang tidak mampu kawin hendaklah menjaga
kesucian (diri)nya, sehingga Allah memampukan mereka dengan karunia-
Nya.dan budak-budak yang kamu miliki yang menginginkan perjanjian,
hendaklah kamu buat perjanjian dengan mereka, jika kamu mengetahui ada
20
kebaikan pada mereka dan berikanlah kepada mereka sebahagian dari harta
Allah yang dikaruniakan-Nya kepadamu. Dan janganlah kamu paksa budak-
budak wanitamu untuk melakukan pelacuran, sedang mereka sendiri
mengingini kesucian, Karena kamu hendak mencari keuntungan duniawi. Dan
barangsiapa yang memaksa mereka, maka sesungguhnya Allah adalah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang (kepada mereka) sesudah mereka dipaksa
itu.” (QS. An-Nur : 33)
4. Haram
Bagi seseorang yang berniat untuk menganiaya calon isterinya.
5. Makhruh
Bagi seseorang yang tidak mampu memenuhi nafkah batin dan lahir kepada
isterinya, serta nafsunya tidak mendesak untuk menikah. Apabila seorang laki-
laki menyadari bahwa dia tidak mampu membelanjai isterinya atau membayar
maharnya atau memenuhi hak-hak isterinya, maka lelaki tersebut makhruh
menikah dengan seorang wanita calon isterinya, sebelum dia menjelaskan
keadaannya kepada calon isterinya, atau sampai datang saatnya dia mampu
memenuhi hak-hak isterinya. Sebaliknya, seorang wanita calon isteri, apabila
dia menyadari bahwa dirinya tidak mampu untuk memenuhi hak-hak suaminya,
atau ada hal-hal yang menyebabkan dia tidak dapat melayani kebutuhan batin
calon suaminya, maka dia tidak boleh mendustai calon suaminya, tetapi dia
wajib menerangkan semuanya kepada calon suaminya.
C. Rukun dan Syarat Sah Perkawinan
Rukun, yaitu sesuatu yang mesti ada yang menentukan sah atau tidaknya suatu
pekerjaan (ibadah), dan sesuatu itu termasuk dalam rangkaian pekerjaan itu, seperti
membasuh muka untuk wudhu dan takbiratul ihram untuk shalat atau adanya calon
pengantin laki-laki/perempuan dalam perkawinan.15
Syarat, yaitu sesuatu yang harus ada yang menentukan sah dan tidaknya suatu
pekerjaan (ibadah), tetapi sesuatu itu tidak termasuk dalam rangkaian pekerjaan itu,
seperti menutup aurat untuk shalat atau menurut Islam calon pengantin laki-
15
Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat :Kajian Fikih Nikah Lengkap, (Jakarta : PT.
Raja GrafindoPersada, 2009), h. 12
21
laki/perempuan itu harus beragama Islam.16
Untuk merealisasikan pernikahan yang
sakinah, mawaddah dan rahmah perlu diatur dengan syarat dan rukun tertentu agar
tujuan disyariatkannya perkawinan dapat tercapai. Adapun syarat dan rukun nikah
ada 4 yaitu :17
1. Adanya calon suami dan isteri yang akan melakukan pernikahan
Syarat calon mempelai laki-laki :
a. Beragama Islam
b. Laki-laki
c. Jelas orangnya
d. Dapat memberikan persetujuan
e. Tidak terhalang pernikahan
Syarat calon mempelai perempuan :
a. Beragama Islam
b. Perempuan
c. Jelas orangnya
d. Dapat dimintai persetujuannya
e. Tidak terhalang pernikahan
2. Adanya wali dari pihak calon pengantin perempuan
Syarat wali adalah sebagai berikut :
a. Laki-laki
b. Dewasa
c. Mempunyai hak perwalian
d. Tidak terdapat halangan perwaliannya18
3. Adanya dua orang saksi
Adapun syarat saksi nikah adalah :
16
Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat :Kajian Fikih Nikah Lengkap, h. 12 17
Sri Mulyati, Editor, Relasi Suami Istri dalam Islam, (Jakarta : Pusat Studi Wanita (PSW)
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2004), h. 4 18
Sri Mulyati, Editor, Relasi Suami Istri dalam Islam, h. 5
22
a. Minimal dua orang laki-laki
b. Hadir dalam ijab qabul
c. Dapat mengerti maksud akad
d. Islam
e. Dewasa19
4. Adanya sighat akad nikah :
Adapun syarat ijab qabul adalah :
a. Adanya pernyataan menikahkan dari wali (ijab)
b. Adanya pernyataan penerimaan dari calon mempelai pria (qabul)
c. Memakai kata nikah, atau tazwij, atau terjemahan dari kedua kata tersebut
d. Antara ijab dan qabul bersambungan
e. Antara ijab dan qabul jelas maksudnya
f. Orang yang berkaitan dengan ijab qabul tidak dalam keadaan ihram
haji/umrah
g. Majelis ijab dan qabul harus dihadiri minimal empat orang, yaitu calon
mempelai laki-laki atau wakilnya, wali dan dua orang saksi.20
Dalam KHI (Kompilasi Hukum Islam) juga diatur mengenai rukun dan syarat
sah perkawinan yaitu pada Bab IV Rukun dan Syarat Perkawinan Pasal 14 yaitu,
untuk melakukan perkawinan harus ada :21
a. Calon Suami
b. Calon Isteri
c. Wali Nikah
d. Dua Orang Saksi, dan
e. Ijab dan Kabul
19
Sri Mulyati, Editor, Relasi Suami Istri dalam Islam, h. 7 20
Sri Mulyati, Editor, Relasi Suami Istri dalam Islam, h. 8 21
Abdul Gani Abdullah, Pengantar Kompilasi Hukum Islam dalam Tata Hukum Indonesia,
(Jakarta : Gemani Insani Press, 1994), h. 81
23
Di dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 juga mengatur mengenai syarat-
syarat perkawinan yang mana terdapat beberapa pasal dan penulis akan memaparkan
1 pasal yang terdapat pada Bab syarat perkawinan tersebut, yaitu pada pasal 6 yang
berbunyi :22
1) Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai.
2) Untuk melangsungkan perkawinan seseorang yang belum mencapai umur 21
(dua puluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua.
3) Dalam hal salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal dunia atau
dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin dimaksud
ayat (2) pasal ini cukup diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau dari
orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya.
4) Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak
mampu untuk menyatakan kehendaknya maka izin diperoleh oleh wali,
orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah
dalam garis keturunan, lurus ke atas selama mereka masih hidup dan dalam
keadaan dapat menyatakan kehendaknya.
5) Dalam hal ada perbedaan antara orang-orang yang dalam ayat (2), (3) dan
(4), pasal ini atau salah seorang atau di antara mereka tidak menyatakan
pendapatnya, maka pengadilan dalam daerah hukum tempat tinggal orang
yang melangsungkan perkawinan atas permintaan orang tersebut
memberikan izin setelah lebih dahulu mendengar orang-orang tersebut
dalam ayat (2), (3) dan (4) pasal ini.
6) Ketentuan tersebut ayat (1) sampai dengan ayat (5) pasal berlaku sepanjang
hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dari yang
bersangkutan tidak menentukan lain.
22
Pasal 1 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, kemenag.go.id
/dokumen/1974/01/02/UUPerkawinan, h. 2
24
D. Kedudukan Wali
Kedudukan wali adalah suatu kedudukan yang sangat penting dalam proses
perkawinan dalam Islam. Wali dalam perkawinan biasa disebut dengan wali nikah.
Orang yang paling berhak menjadi wali nikah adalah ayah kandung, kemudian kakek
dari ayah, dan seterusnya ke atas. Apabila semua sudah tidak ada lagi atau tidak dapat
melaksanakan karena uzur dan lain-lain maka wali nikah baru dapat dilaksanakan
oleh saudara kandung (kakak dan lain-lain). Apabila kakak kandung bertindak
sebagai wali atas izin dan sepengetahuan wali yang lebih berhak atau karena wali
yang lebih berhak dalam keadaan uzur syar‟i (bisu, tuli, dan lain-lain) maka
pernikahan yang walinya kakak kandung seayah tersebut tentu dibolehkan.23
Akan
tetapi, kalau kakak/saudara sekandung seayah bertindak sebagai wali nikah tanpa izin
dan sepengetahuan wali yang lebih berhak, maka yang bersangkutan telah mengambil
hak orang lain dan dapat dikategorikan sebagai salah satu perbuatan „uququl
walidain‟ berbuat dosa kepada orang tua. Walaupun demikian, kondisi darurat,
seperti wali yang lebih berhak itu mempersulit perkawinan karena pertimbangan yang
tidak Islami, maka perkawinan (ijab Kabul) yang dilakukan saudara kandung seayah
sebagai wali tersebut, dibolehkan.24
Para Fuqaha membagi wali itu kepada dua macam yaitu Wali Ijbar dan Wali
Ikhtiar. Wali Ijbar ialah perwalian yang disebabkan adanya hubungan turunan
dengan mempelai wanita. Hubungan yang bisa jadi wali semacam ini adalah
hubungan nasab (turunan) yang termasuk „ashabah dalam hukum waris seperti ayah,
kakek, saudara laki-laki, paman dan anak laki-laki. Wali nasab tersebut dapat dibagi
2 macam, yaitu wali Aqrab (ayah dan kakek) serta wali Ab‟ad (saudara laki-laki,
paman dan anak laki-laki). Sedangkan Wali Ikhtiar ialah wali yang diusahakan
dengan melalui pengangkatan, baik pengangkatan melalui jabatannya seperti hakim
atau sulthan maupun melalui tahkim atau diangkat oleh mempelai. Bolehnya
23
Miftah Faridl, 150 Masalah Nikah & Keluarga, (Jakarta : Gema Insani Press, 1999), h. 113 24
Miftah Faridl, 150 Masalah Nikah & Keluarga, h. 113
25
menggunakan wali terakhir ini tatkala urutan pertama dan kedua tidak ada. Artinya,
wali yang mempunyai hak adalah wali nasab. Jika tidak adawali nasab baru sulthan,
dan jika tidak ada baru bisa wali muhakkam.25
Selama masih ada Wali Akrab (dekat) tidak boleh dipindahkan ke Wali Ab‟ad
(jauh), berikut penjabarannya :26
1. Wali Akrab boleh dipindah pada Wali Ab‟ad apabila :
a. Tidak beragama islam.
b. Fasik (suka berbuat maksiat/dosa).
c. Belum baligh (masih-kanak-kanak).
d. Tidak berakal (gangguan jiwa).
e. Rusak pikiran (linglung/pikun).
f. Bisu, tuli, tidak bisa dengar isyarat/menulis.
2. Wali Nasab boleh pindah pada wali hakim apabila :
a. Tidak ada garis wali nasab.
b. Walinya maqfud (hilang).
c. Walinya sendiri mau menikah dengan perempuan itu (tidak ada yang
sederajat).
d. Walinya ghaib (jauh) sejauh musafatul qosri -/+ 92,5 km.
e. Sedang sakit pitam/ayan.
f. Walinya tidak boleh dihubungi.
g. Walinya dicabut haknya oleh negara.
h. Walinya sedang ihrom haji/umroh.
i. Walinya Tawarro‟ (bersembunyi).
25
Saifuddin ASM, Membangun Keluarga Sakinah (Tanya Jawab Seputar Masalah Keluarga
dan Solusinya), (Tanggerang : Qultum Media, 2008 ), h. 48 26
Nurul Huda Haem, Awas! Ilegal Wedding dari Penghulu Liar Hingga Perselingkuhan,
(Jakarta : PT. Mizan Publika, 2007), h. 266
26
j. Walinya ta‟azzuz (membangkang).
k. Walinya adhol (enggan menikahkan).
Wali adhol adalah wali yang tidak mau menikahkan perempuan yang berada di
bawah perwaliannya. Apabila seseorang menolak untuk menikahkan tanpa ada alasan
yang dapat diterima, maka perempuan itu berhak untuk mengadukan perkara ini
kepada hakim dan meminta hakim untuk menikahkannya.27
Disinilah terjadinya
perpindahan dari wali adhal ke wali hakim dikarenakan sebab-sebab pertimbangan
yang tidak Islami.
Terjadi perbedaan pendapat dikalangan Imam Madzhab mengenai kedudukan
wali, Imam Syafi‟I, Maliki dan Hambali berpendapat bahwa wali penting dan menjadi
penentu sahnya perkawinan. Sedangkan menurut Hanafi wali tidak penting dan tidak
menjadi unsur sahnya perkawinan bagi wanita yang berakal dan sudah dewasa.28
Madzhab Hanafi, wali dalam perkawinan adalah Sunnah, karena wanita berakal dan
balig memiliki hak langsung melakukan akad untuk dirinya, sah secara mutlak, baik
ia masih perawan maupun janda. Ia dianjurkan (sunnah) mewakilkan akad
perkawinannya kepada walinya sebagai penjagaan (dikhawatirkan) grogi bila
melakukan akad (sendiri) dihadapan laki-laki lainnya.29
Kedudukan wali dalam KHI terdapat pada pasal 19 sampai pasal 23. Pasal 19
berbunyi “Wali nikah dalam perkawinan merupakan rukun yang harus dipenuhi bagi
calon mempelai wanita yang bertindak untuk menikahkannya.” Selanjutnya Pasal 20
menjelaskan “(1) Yang bertindak sebagai wali nikah ialah seorang laki-laki yang
memenuhi syarat hukum Islam yakni muslim, aqil dan baligh. (2) Wali nikah terdiri
dari wali nasab dan wali hakim.” Pada pasal 23 diuraikan mengenai wali adhal
27
agama.galihpamungkas.com/2013/10/05/macam-macam-wali-pernikahan/ 28
Zainudiin dan Afwan Zainuddin, Kepastian Hukum Perkawinan Siri dan Permasalahannya
Ditinjau dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, (Yogyakarta : CV. Budi Utama, 2017), h. 7 29
Mughniyah, Muhammad Jawad, Fiqih Lima Madzhab : Ja‟fari, Hanafi, Maliki, Syafi‟I,
Hambali Cet. 27, (Jakarta : Lentera, 2011), h. 309
27
sebagaimana berbunyi “(1) Wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah
apabila wali nasab tidak ada atau tidak mungkin menghadirkannya atau tidak
diketahui tempat tinggalnya atau gaib atau adhal atau enggan. (2) Dalam hal wali
adhal atau enggan maka wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah setelah
ada putusan pengadilan Agama tentang wali tersebut.30
E. Pengertian Mahar
Secara bahasa, shadaq berasal dari kata “shidq” (jujur), karena penyerahannya
kepada wanita menunjukkan ketulusan keinginan suami kepadanya. Ia disebut juga
shihr, dan banyak lagi nama lain dari mahar. Menurut istilah definisinya adalah harta
yang dikeluarkan atau manfaat yang dikeluarkan untuk akad nikah atau kewajiban
untuk melakukan akad nikah dan apa-apa yang memiliki kaitan dengannya.31
Sunnah dalam mahar yaitu disunnahkan agar jumlahnya sedikit. Setiap yang
sedikit maka ia lebih bermanfaat dan lebih berkah. Dalam hadist Rasulullah SAW
yang diriwayatkan oleh imam Ahmad bahwa nikah yang paling besar berkahnya
adalah yang paling sedikit maharnya.
Mahar (mas kawin) merupakan salah satu syarat sah dalam pernikahan.
Rasulullah saw sering menanyakan kepada para sahabat mengenai apa yang akan
diberikan seorang mempelai pria kepada calon isterinya sebagai mahar. Mahar
memiliki makna yang cukup mendalam. Hikmah dari disyariatkannya mahar ini
menjadi pertanda tersendiri bahwa seorang wanita memang harus dihormati dan
dimuliakan. Mahar juga dibayarkan sebagai tanda “dibelinya” sebuah cinta kasih.
Oleh sebab itu, pemberian mahar juga harus ikhlas dan tulus serta benar-benar
diniatkan untuk memuliakan seorang wanita. Ada banyak istilah lain dari mahar yang
digunakan untuk menyebut harta pemberian suami kepada istri ini, yaitu shadaq,
nihlah, faridhah, thaul, hiba‟, „aqr, „ajr dan „alaiq.32
30
Kompilasi Hukum Islam pasal 19 – 23. 31
Muhammad bin Shalih al-„Utsaimin, Shahih Fiqih Wanita Menurut Al-Qur‟an dan As-
Sunnah, (Jakarta : Akbarmedia, 2009), h. 319 32
Abu Bilal Juli Dermawan, “Mahar”, Majalah As-Sunnah Baituna, XIX, 09(2016), h. 1
28
Pada pernyataan diatas, penulis sangat tidak setuju dengan kalimat “mahar juga
dibayarkan sebagai tanda “dibelinya” sebuah cinta kasih.” Karena bukan itu esensi
sebenarnya dalam mahar. Esensi mahar yang sesungguhnya bahwa mahar itu adalah
simbol kesanggupan menafkahi oleh suami kepada isteri, karena proses perkawinan
itu bukanlah proses jual beli seperti di pasar akan tetapi proses perkawinan adalah
proses ibadah kepada Allah SWT.
Dan juga, diantara manfaat sedikitnya mahar adalah jika ada perselisihan di
antara pasangan suami isteri, maka mudah baginya untuk menceraikannya. Tetapi
jika dia menjalin hubungan dengannya dengan mahar yang besar, maka ini akan
membuat istrinya benar-benar sangat kelelahan hingga menyerahkan kembali mahar
yang telah diberikannya kepadanya. Kemudian dalam kondisi seperti ini, sangat sulit
bagi wanita untuk mendapatkan mahar yang telah diserahkan kepadanya ini. Jumlah
mahar juga tidak ada ketentuan syariat terkait jumlahnya, tetapi sesuai dengan
kesepakatan pasangan suami isteri dengan jumlah yang mencukupi baik itu sedikit
maupun banyak hingga sekalipun dia menikahi isterinya hanya dengan uang satu
dirham.33
Di dalam KHI (Kompilasi Hukum Islam) pada Bab Mahar telah dijelaskan apa
itu mahar. Pasal 30 dikatakan bahwa “Calon mempelai pria wajib membayar mahar
kepada calon mempelai wanita yang jumlah, bentuk dan jenisnya disepakati oleh
kedua belah pihak”. Pada pasal 31 “Penentuan mahar berdasarkan atas kesederhanaan
dan kemudahan yang dianjurkan oleh ajaran Islam”. Pasal 34 terdapat 2 (dua) ayat :
1) Kewajiban menyerahkan mahar bukan merupakan rukun dalam perkawinan.
2) Kelalaian menyebut jenis dan jumlah mahar pada waktu akad nikah, tidak
menyebabkan batalnya perkawinan. Begitu pula halnya dalam keadaan
mahar masih terhutang, tidak mengurangi sahnya perkawinan.
33
Muhammad bin Shalih al-„Utsaimin, Shahih Fiqih Wanita Menurut Al-Qur‟an dan As-
Sunnah, (Jakarta : Akbarmedia, 2009), h. 319
29
Pada pasal 37 juga disebutkan bahwa “Apabila terjadi selisih pendapat mengenai
jenis dan nilai mahar yang ditetapkan, penyelesaian diajukan ke Pengadilan
Agama.”34
1. Hukum Mahar
Fuqaha berpendapat bahwa memberikan mahar hukumnya wajib.35
Adapun
dasar hukum wajibnya mahar dalam suatu perkawinan, yaitu sebagaimana Allah swt
berfirman :
ءاحا سافى١ٱساء فأ أ ء أ عش أ ى فئطبأ ت حأ خ
ش٠ صذل ٤ا ا
Artinya : “Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai
pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada
kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah)
pemberian itu (sebagai makanan yang sedap lagi baik akibatnya).” (QS. An-Nisa :
4).
Sebenarnya, dalam konsep hukum Islam, mahar bukan merupakan “harga:
dari seseorang perempuan yang dinikahi, sebab pernikhan bukanlah akad jual beli.
Oleh karenanya, tidak ada ukuran dan jumlah yang pasti dalam mahar, ia bersifat
relatif disesuaikan dengan kemampuan dan kepantasan dalam suatu masyarakat.
Rasulullah saw mengajarkan kepada umatnya agar tidak berlebihan di dalam
menentukan besarnya mahal. Hal ini dimaksudkan agar tidak menimbulkan kesulitan
bagi para pemuda yang bermaksud untuk menikah, karena mempersulit pernikahan
akan berdampak negatif bagi mereka yang sudah memiliki keinginan untuk
menjalankannya.36
Dalam sebuah hadist, Rasulullah saw bersabda :
خ١ش ٠سشا لاصذا
34
Abdul Gani Abdullah, Pengantar Kompilasi Hukum Islam Dalam Tata Hukum Indonesia,
(Jakarta : Gemani Insani Press, 1994), h. 86-87 35
Mahar dalam Hukum Islam, syulhadi.wordpress.com/konten/mahar-dalam-hukum-islam 36
Mahar dalam Hukum Islam, syulhadi.wordpress.com/konten/mahar-dalam-hukum-islam
30
Artinya : “Sebaik-baik perempuan adalah yang paling mudah (ringan)
maskawinnya.” (HR. Ibnu Hibban).
Dalam KHI (Kompilasi Hukum Islam) selanjutnya disebut KHI dan Undang-
Undang No. 1 Tahun 1974 memang tidak diatur mengenai hukum mahar itu sendiri,
akan tetapi di dalam KHI dan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 menjelaskan
tentang Mahar yaitu adalah kesepakatan antara kedua belah pihak, pihak suami dan
pihak isteri.
2. Jenis, Jumlah dan Syarat Mahar
Jenis mahar dapat dilihat dari dua sisi, kualifikasi dan klasifikasi mahar.
Dari sisi kualifikasi, mahar dapat dibagi dua, yaitu :37
1. Mahar yang berasal dari benda-benda yang konkret seperti dinar, dirham atau
emas.
2. Mahar dalam bentuk jasa seperti mengajarkan membaca Al-Quram, bernyanyi,
dan sebagainya.
Dilihat dari segi klasifikasi, mahar dapat dibagi menjadi dua, yaitu :
1. Mahar musamma, yaitu mahar yang besarnya disepakati kedua belah pihak dan
dibayarkan secara tunai atau ditangguhkan atas persetujuan calon istri.
2. Mahar mitsil, yaitu mahar yang jumlahnya tidak disebutkan secara eksplisit
pada waktu akad. Biasanya mahar jenis ini mengikut kepada mahar yang pernah
diberikan kepada keluarga isteri seperti adik atau kakaknya yang telah terlebih
dahulu menikah.
Mahar dalam KHI pasal 30 menunjukkan bahwa pihak laki-laki berkewajiban
untuk menyerahkan sejumlah mahar kepada calon mempelai perempuan. Namun
untuk mengenai jumlah, bentuk dan jenisnya diatur berdasarkan kesepakatan antara
kedua belah pihak. Hal ini berarti ketentuan hukum yang ada di dalam Al‟Qur‟an dan
37
Mardani, Hukum Keluarga Islam di Indonesia, (Jakarta : PT Fajar Inteprama Mandiri, 2017,
Cet. Kedua), h, 48
31
Al-Hadist mengenai berapa besar kadar jumlah maksimal dan jumlah minimal
pemberian mahar dari calon mempelai tidak ada ketentuannya.38
3. Tujuan dan Hikmah Mahar
Tujuan dan hikmah mahar sebagai berikut :39
1. Merupakan jalan yang menjadikan istri berhati senang dan ridha menerima
kekuasaan suaminya kepada dirinya.
2. Untuk memperkuat hubungan dan menumbuhkan tali kasih saying dan cinta
mencintai.
3. Sebagai usaha memperhatikan dan menghargai kedudukan wanita yaitu
memberikan hak untuk memegang urusannya.
F. Biaya Perkawinan
Di antara kendala-kendala perkawinan yang membuat terhambatnya pemuda
pemudi menikah adalah mahalnya biaya perkawinan, sejak proses peminangan
sampai walimahan (resepsi) dan bulan madu. Selain maskawin, orang tua calon isteri
juga biasanya berharap ada pemberian-pemberian lain, termasuk nafkah pada tahap
berikutnya yang terlalu berat untuk dipikul calon suami. Misalnya, pemberian yang
harus diserahkan dalam proses melamar. Biasanya berupa hadiah-hadiah sebagai
ikatan pertunangan, hadiah akad nikah, hadiah resepsi, dan menyembelih sembelihan.
Semua itu harus menjadi perhitungan setiap orang yang hendak berangkat menuju
dunia perkawinan.40
38
Hukum Perkawinan di Indonesia : Mahar, dwiprasetiyawati.wordpress.com
/dokumen/2017/06/22/ hukum-perkawinan-di-indonesia-mahar 39
Mardani, Hukum Keluarga Islam di Indonesia, (Jakarta, PT Fajar Inteprama Mandiri, 2017,
Cet. Kedua), h, 47 40
Abdullah Nasikh „Ulwan. ed, Aqabaatuz Zawaaj wa Thuruqu Mu‟aalajatiha „alaa Dlaulil
Islam. Penerjemah Moh. Nurhakim. Perkawinan Masalah Orang Muda, Orang Tua dan Negara,
(Jakarta : Gema Insani Press, 1992), h. 44
32
Di negara-negara Arab seperti Arab Saudi, Kuwait, Uni Emirat Arab, dan lain-
lain, calon pengantin laki-laki harus menyediakan dana minimal Rp. 500.000.000
(lima ratus juta rupiah) atau setengah miliar untuk perkawinannya. Uang sebanyak itu
sudah termasuk biaya mahar, biaya perkawinan yang ditanggung pengantin laki-laki,
biaya rumah, beli mobil dan biaya bulan madu. Di sebagian masyarakat Arab,
semakin tinggi mahar semakin bangga mereka karena itu seakan sebagai bukti bahwa
anak perempuan mereka mendapat calon suami dengan status sosial tinggi.
Konsekuensinya, tidak sedikit pria Arab yang kurang mampu kemudian terpaksa
menunda rencana perkawinannya atau menikah dengan wanita dari negara lain. Hal
ini berakibat pada banyaknya perempuan Arab yang menjadi perawan tua karena
sulitnya mencari suami. Bagi pemuda kurang mampu yang nekat menikah, mereka
harus berutang ke bank dan membayar kredit bulanan.41
Sebenarnya banyak pemuda yang ingin menjaga dirinya dari dekadensi moral
ketergelinciran hidup dengan jalan menikah sesuai dengan yang disyariatkan Allah
SWT. Tetapi karena begitu banyak kendala dan tuntutan maka mereka berbalik
memilih hidup secara frustatif, cepat atau lambat akan menyebabkan tersebarnya
perzinaan, kemungkaran, serta menambah penyakit moral. Tidak diragukan,
kehidupan sosial masyarakat akan membuka peluang “semua halal”. Jika sudah
demikian maka bangsa pun akan terkena getah kemungkaran.42
Sesuatu yang sangat disayangkan, biaya pesta peresmian perkawinan juga
ditentukan status sosial orang tua pengantin. Juga ditentukan oleh status pengantin
perempuan. Bila dia ada pendidikan, misalnya, dokter, doctor, maka biaya pesta
perkawinannya akan diminta lebih besar oleh orang tuanya. demikian juga bila pihak
laki-laki adalah keluarga berpunya, berjabatan tinggi, pengusaha besar, maka mereka
41
A. Fatih Syuhud, Keluarga Sakinah (Cara Membina Rumah Tangga Harmonis, Bahagia
dan Berkualitas), (Malang : Pustaka Alkhoirot, 2013), h. 70-71 42
Abdullah Nasikh „Ulwan. ed, Aqabaatuz Zawaaj wa Thuruqu Mu‟aalajatiha „alaa Dlaulil
Islam. Penerjemah Moh. Nurhakim. Perkawinan Masalah Orang Muda, Orang Tua dan Negara,, h.
45
33
senang bila maharnya tinggi misalnya, sampai dua ratusan juta rupiah bahkan lebih.
Berita mahar itu akan terdengar ke khalayak dan itu membuat mereka semakin terpuji
dan terhormat.43
Kepada orang tua, ketahuilah, Islam tidak pernah mengajarkan mensyariatkan
pembiayaan-pembiayaan waktu akan nikah maupun ketika bulan madu, kecuali mas
kawin untuk isteri, walimah dan pemuliaan tamu yang disesuaikan dengan keadaan.
Tradisi-tradisi yang seakan sekarang ini sudah menjadi suatu keharusan, tidak
termasuk syarat akad nikah yang disyariatkan Allah. Semua itu dikembalikan kepada
calon suami sesuai dengan kemampuan ekonomi dan materinya.44
Agar cinta tidak
kalap, bahkan buta, ia membutuhkan tuntunan. Hanya Allah SWT yang memang
Maha Baik. Ia menurunkan sejumlah risalah soal percintaan ini. Pilihan dalam
menikah, tak ada yang lain kecuali karena seiman. Bukan suku bangsa, kedaerahan,
atau pun status sosial yang menjadi ukuran. Seorang muslim, bagaimanapun
keadaannya, sekufu atau setara dengan muslimah.45
43
Bungaran Antonius Simajuntak, et.al, ed. Harmonious Family (Upaya Membangun Keluarga
Harmonis). (Jakarta : Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2013), h. 19 44
Abdullah Nasikh „Ulwan. ed, Aqabaatuz Zawaaj wa Thuruqu Mu‟aalajatiha „alaa Dlaulil
Islam. Penerjemah Moh. Nurhakim. Perkawinan Masalah Orang Muda, Orang Tua dan Negara,, h.
46 45
Iwan Januar, Bukan Pernikahan Cinderella (Hanya Untuk Pasangan Muda), (Depok : Gema
Insani, 2007), h. 53
34
BAB III
BUDAYA PERKAWINAN MASYARAKAT
BUGIS DI SENGKANG SULAWESI SELATAN
A. Deskripsi Singkat Masyarakat Bugis Sengkang
1. Potret Daerah Bugis Sengkang Sulawesi Selatan
Kabupaten Wajo dengan ibukota Sengkang, terletak dibagian tengah Provinsi
Sulawesi Selatan dengan jarak 242 km dari Makassar Ibukota Provinsi Sulawesi
Selatan, memanjang pada arah laut Tenggara dan terakhir merupakan selat, degan
posisi gepgrafis antara 3o
39o – 4
o 16
o LS dan 119
o 53
o – 120
o 27 BT. Luas wilayahnya
adalah 2.506, 19 Km2 atau 4,01% dari luas Provinsi Sulawesi Selatan dengan rincian
penggunaan lahan terdiri dari lahan sawah sebesar 86.297 Ha (34,43%) dan lahan
kering sebesar 164.322 Ha (65,57%). Pada tahun 2007 Kabupaten Wajo telah terbagi
menjadi 14 kecamatan. Batas wilayah Kabupaten Wajo sebagai berikut :1
Sebelah Utara : Kabupaten Luwu dan Kabupaten Sidrap.
Sebelah Selatan : Kabupaten Bone dan Kabupaten Soppeng.
Sebelah Timur : Teluk Bone.
Sebelah Barat : Kabupaten Soppeng dan Kabupaten Sidrap.
Secara morfologi, Kabupaten Wajo mempunyai ketinggian lahan di atas permukaan
laut (dpl) dengan perincian sebagai berikut :
0 – 7 meter, luas 57,263 Ha atau sekitar 22,85%.
8 – 25 meter, luas 94,539 Ha atau sekitar 37,72%.
26 – 100 meter, luas 87,419 Ha atau sekitar 34,90%.
101 – 500 meter, luas 11,231 Ha atau sekitar 4,50% di atas 500 meter luasnya
hanya 167 Ha atau sekitar 0,66%.
1 Letak Geografis, wajokab.go.id /konten/2017/09/20/letak-geografis
35
Kalau kota Sengkang sendiri berbatasan dengan daerah daerah :2
Sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Tanasitolo.
Sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Sabbangparu dan Kecamatan
Pammana.
Sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Majauleng.
Sebelah Barat berbatasan dengan Danau Tempe.
Bugis adalah salah satu suku bangsa yang mendiami wilayah bagian selatan
pulau Sulawesi yang saat ini dikenal dengan Sulawesi selatan. Orang Bugis
nerupakan etnis terbesar dengan prosentase 41.90% dari jumlah penduduk Sulawesi
Selatan. Wilayah yang didiami oleh orang Bugis meliputi Kabupaten/Kota Bone,
Soppeng, Wajo, Sidenreng Rappang, Pinrang, Luwu, Pare-Pare, Barru dan Sinjai.
Sementara kabupaten seperti Maros, Pangkajene Kepulauan, Bantaeng dan
Bulukumba didiami oleh orang Bugis dan sebagian Makassar. Adapun daerah seperti
Tana Toraja, orang Bugis merupakan etnis minoritas. Bagi suku-suku bangsa yang
tinggal di sekitar orang Bugis, mengenal mereka sebagai orang yang berkarakter
keras dan menjunjung tinggi kehormatan. Bahkan demi kehormatan (siri‟), orang
Bugis rela melakukan tindakan kekerasan karena siri‟ merupakan harga diri yang
mesti dipertahankan. Karakter keras menjadi label orang Bugis karena keteguhan
mempertahankan sesuatu dan keberanian menghadapi tantangan.3
Sulawesi Selatan dikenal sebagai salah satu daerah lumbung padi Indonesia.
Luas panenan tahun 1974, 464.000 ha dengan produksi 1.683.000 ton padi kering.
Luas sawah seluruhnya 515.000 ha diantaranya 115.600 ha dengan pengairan teknis,
59.500 ha dengan pengairan setengah teknis dan selebihnya kurang lebih 300.000 ha
sawah tadah hujan. Produksi pertanian lainnya adalah hasil-hasil perkebunan antara
lain kelapa dan kopi. Keduanya merupakan hasil-hasil eksport. Juga produksi
2 Batas Wilayah, id.wikipedia.org /konten/2017/06/19/ Sengkang_(kota)
3 Jabal Hikmah, repository.umy.ac.id/handle/2014/07/20/konformitas-islam-dan-adat-potret-
fanatisme-keagamaan-di-kalangan-muslim-bugis
36
perikanan darat dan perikanan laut, cukup potensiil. Sulawesi Selatan juga baik untuk
peternakan, terutama untuk sapi dan kerbau. Sumber-sumber mineral di Sulawesi
Selatan hampir seluruhnya masih merupakan sumber-sumber mineral potensiil yang
baru berada pada tahap eksplorasi. Bahan-bahan pertambangan yang terpenting
diantaranya besi, nickel, minyak bumi, tembaga, gips dan timah hitam.4
Sulawesi selatan mempunyai 4 buah danau, yaitu:
5
1. Danau Tempe, dengan luas 15.000 ha yang dari hari ke hari mengalami
pendangkalan. Banyak menghasilkan ikan tawas, udang, sepat siam, tambakan
gabus dan betek.
2. Danau Sindenreng, dengan luas 12.500 ha. Keadaan dan hasil ikannya sama
dengan Danau Tempe.
3. Danau Towuti, dengan luas 60.000 ha. Danau ini airnya jernih, tidak
mengandung lumpur lagi dalam. Akan tetapi tidak mengandung ikan.
4. Danau Matana, dengan luas 15.000 ha. Keadaannya sama dengan danau
Towuti, juga tidak menghasilkan ikan.
2. Sistem Kemasyarakatan dalam Masyarakat Bugis
Masyarakat bugis memiliki tatanan pemaknaan atas adat, yaitu :6
a. Ade‟ Pura Onro
Adat yang sudah tetap dan tidak dapat diubah lagi. Adat ini merupakan
ketetapan atas dasar sepakat antara raja dan rakyat yang dipersaksikan ke
hadapan Tuhan Yang Maha Esa. Perubahan terhadap adat ini sama saja berarti
mengingkari kejujuran dan kodrat sehingga akan membuat negeri runtuh.
b. Ade‟ Assituruseng
4 Mattulada, Bugis-Makassar (Manusia dan Kebudayaannya), (Jakarta : Perpustakaan Pusat
Universitas Indonesia, 1993), h. 3 5 Mattulada, Bugis-Makassar (Manusia dan Kebudayaannya), h. 3
6 I Gede A. B. Wiranata, Hukum Adat Indonesia Perkembangannya dari Masa ke Masa,
(Bandung : Citra Aditya Bakti, 2005), h. 8
37
Adat yang telah ditetapkan, tetapi terbuka untuk penyempurnaan atas dasar
bulat mufakat karena memang dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan
masyarakat.
c. Ade‟ Maraja ri Arunggo
Adat yang berlandaskan kepatutan yang secara khusus dapat dilaksanakan di
kalangan raja dan para bangsawan meskipun ada halur yang tidak patut menjadi
dasar, misalnya penyembelihan kerbau, bertentangan dengan kepatutan, tetapi
dipergunakan untuk upacara dan memberi makan untuk orang banyak adalah
kebolehan.
d. Ade‟ Abiasane Wanuae
Adat yang berlaku di kalangan seluruh rakyat atas dasar persetujuan bersama
dan tidak bercacat serta harus dilaksanakan seterusnya oleh seluruh rakyat.
e. Ade‟ Tanro Anang
Adat yang lahir dari tua-tua desa. Secara inti dapat dikatakan bahwa
perombakan dan penyempurnaan tatanan adat yang telah mapan dapat
dilaksanakan bila mengacu pada prinsip penetapan keputusan rakyat di atas
keputusan yang lain.
Orang Sulawesi Selatan pada umumnya sangat emosional. Hal ini memang
karakter yang sulit dihilangkan dalam kehidupan masyarakat Sulawesi Selatan,
terutama di kalangan suku Bugis dan Makassar. Bagaimana pun inteleknya seorang
Bugis atau Makassar, jika disinggung perasaannya, seketika itu juga dia akan sangat
marah dan melupakan bahwa ia mempunyai pendidikan tinggi. Ia akan berbuat
tindakan di luar kesadarannya. Mempertahankan kehormatan adalah menjadi bagian
dari kehidupannya. Di mata orang Bugis dan Makassar, harta kekayaan dapat dibeli,
tetapi harga diri dan Siri‟ itu hilang, tak ada gunanya untuk hidup lagi. Siri‟ dan harga
diri adalah pemberian Tuhan kepada seseorang yang harus dibela dan dipertahankan
sepanjang hidup kita sebagai umat manusia. Seseorang yang tidak lagi begitu
menghargai Siri‟ dan harga diri, maka kehidupannya menjurus kepada sifat
38
kehewanan. Dalam Bahasa Bugis, Siri‟ na Pesse. Sedangkan dalam Bahasa Makassar
Siri‟ na Pacce. Bahkan, bagi orang Sulawesi Selatan, seluruh kehidupan kita harus
berlandaskan Siri‟ na Pesse itu.7
Sistem kekerabatan dalam kalangan orang Bugis-Makassar dapat dianggap
sampai sekarang satu sitem yang masih dipertahankan. Sistem itu disebut Ade‟
Asseajirigeng (Bugis) atau Ada‟ Passibijaeng (Makassar). Sistem ini menyatakan
peranannya dalam hal pencaharian jodoh atau perkawinan untuk membentuk keluarga
baru. Hal ini penting karena dalam hubungan sistem inilah banyak timbul kejadian-
kejadian seperti pembunuhan-pembunuhan yang menyangkut tentang Siri‟.8
Di kalangan orang Bugis dan Makassar, dikenal suatu budaya yang dinamakan
dalam bahasa Belanda Standen Stelsel, terjemahan bebasnya adalah asal-usul. Dalam
Bahasa Bugis disebut Assaleng, istilah Makassarnya Kabattuang. Untuk
mempermudah susunan kata Standen Stelsel, di kalangan orang Bugis dibagi dalam
18 kasta atau asal-usul yakni :9
1. Arung Matase atau Arung Mattola atau Arung Maddara Takku, golongan
berdarah biru. Ini berarti ayah dan ibunya berasal dari keturunan bangsawan
tinggi.
2. Arung Sengngeng : Bangsawan tinggi.
3. Arung Mattola Menre : Bangsawan yang naik derajat kebangsawanannya
karena menjadi raja di satu kerajaan.
4. Anak Arung Manrapi : Anak raja yang ayahnya bangsawan tinggi , tetapi
ibunya dari golongan bangsawan biasa.
5. Anak Arung Sipuwe : Anak raja yang ayahnya bangsawan tinggi, tetapi ibunya
dari golongan Tau Deceng atau orang baik-baik.
7 Andi Mattalatta, Meniti Siri‟ dan Harga Diri, h. 5
8 Mattulada, Bugis-Makassar (Manusia dan Kebudayaannya), h. 20
9 Andi Mattalatta, Meniti Siri‟ dan Harga Diri, h. 33-34
39
6. Anak Sipuwe : Anak yang ayahnya bangsawan tinggi tetapi ibunya dari
golongan Tau Maradeka atau orang merdeka.
7. Anak Arung : Bangsawan.
8. Rajeng Matase : Bangsawan yang sudah turun derajatnya menjadi Rajeng,
tetapi ayahnya masih berstatus Anak Arung.
9. Rajeng Malebbi‟ : Bangsawan yang sudah turun derajatnya menjadi Rajeng
ayahnya masih berstatus Anak Arung dan ibunya dari golongan Tau Deceng.
10. Anak Urung Maddapi : Ayahnya Anak Arung Sipuwe dan ibunya dari golongan
Tau Maradeka.
11. Anak Cera‟ : Ayahnya bangsawan tinggi tetapi ibunya dari golongan Ata.
12. Anak Arung Sala : Ayahnya bangsawan tetapi ibunya dari golongan Ata.
13. Tau Deceng : Orang baik-baik.
14. Tau Maradeka : Orang Merdeka.
15. Tau Sama : Rakyat Jelata.
16. Ata Riabbeang : Budak karena terkena hukum adat.
17. Ata Mana : Budak turun-temurun.
18. Ata Rielli : Budak yang dibeli.
Pada zaman kejayaan kerajaan-kerajaan Bugis-Makassar adalah kecenderungan
untuk mencari jodoh dalam lingkungan keluarga yang lebih dekat, baik keluarga dari
pihak ayah, maupun dari lingkungan keluarga dekat pihak ibu. Didalam menentukan
anggota-anggota dalam pelampiasan sosial ternyata kedua orang tua (bapak dan ibu)
ikut diperhitungkan. Demikian juga yang diperhitungkan menjadi anggota keluarga
dalam jaringan kekeluargaan yang mempunyai posisi yang harus diperhitungkan
dalam Ade‟ Akkalabinengeng adalah keluarga dari kedua orang tua. Oleh karena itu
maka selaku sistem kekeluargaan orang Bugis-Makassar adalah sesuai dengan sistem
parental atau bilineal.10
10
Mattulada, Bugis-Makassar (Manusia dan Kebudayaannya), h. 21
40
3. Masyarakat Islam Bugis
Religi orang Bugis – Makassar dalam zaman pra-Islam seperti al yang disebut
dalam Sure‟ Galigo, sebenarnya telah mengandung suatu kepercayaan kepada satu
dewa yang tunggal, yang disebut dengan beberapa nama seperti :11
Patoto‟E (Dia yang menentukan nasib);
To-palanroE (Dia yang menciptakan);
Dewata SeuaE (Dewa yang Tunggal);
Turi‟E A‟ra‟na (Kehendak yang tertinggi);
Puang Matua (Tuhan yang tertinggi).
Waktu agama Islam masuk ke Sulawesi Selatan pada permulaan abad ke-17,
maka ajaran Tauhid (Ke-esaan Allah) dalam Islam, dapat mudah diterima dan proses
itu dipercepat dengan adanya kontak terus menerus dengan pedagang-pedagang
Melayu Islam yang sudah menetap di Makassar, maupun dengan kunjungan-
kunjungan niaga orang Bugis-Makassar ke negeri-negeri lain yang penduduknya
sudah beragama Islam.
Dipandang dari sudut kepercayaan, seolah-olah terjadi Islam-campuran satu
kepercayaan sinkritis. Akan tetapi apabila dilihat dari segi yang lain, yaitu terutama,
dari sudut ilmu kebudayaan, maka cara-cara penyebaran yang dilakukan oleh
muballig-muballig Islam ketika itu, adalah tepat, karena melakukan pendekatan
melalui pemahaman atas struktur social dan dari adaptasi kulturil (bukan adaptasi
iman), dapat dengan mudah apa yang dimilikinya berkembang menurut jalan
sebenarnya. Apa yang dicapai dalam adaptasi kulturil itu, ialah orang Bugis-Makassar
telah merasakan identitasnya sebagai Islam, Bugis-Makassar Islam. Gerakan-gerakan
pemurnian ajaran Islam, seperti dilakukan oleh Muhammadiyah, sejak tahun 1930-an,
lambat laun dapat menyusun keseluruh daerah pedalaman Sulawesi Selatan, dan
11
Mattulada, Bugis-Makassar (Manusia dan Kebudayaannya), h. 35
41
kegiatan-kegiatan itu berjalan terus dalam rangka program sosialisasi kegiatan Islam,
untuk membangun masyarakat Islam yang bersendi kepada Iman Tauhid yang
berdasarkan Al-Qur‟an, Hadits, Qias dan Ijma‟. Pada waktu ini, terdapat kira-kira
90% penduduk Sulawesi Selatan yang menjadi pemeluk agama Islam. Kira-kira 10%
lainnya memeluk agama Kristen baik Katholik maupun Protestan dan kepercayaan-
kepercayaan lama, seperti Aluk Todolo, patuntung dan kepercayaan Tolotang
(Hindu). Pengabar-pengabar Injil kebanyakan beroperasi dikalangan orang Toraja
yang masih menganut kepercayaan lama.12
B. Gambaran Umum Perkawinan Adat Bugis
Tahapan acara perkawinan dan istilah-istilah pada upacara adat perkawinan
orang Bugis adalah sebagai berikut:13
Pemilihan jodoh.
Ma‟manu-manu yang berarti masa penjajakan.
Ma‟duta atau massuro masa meminang.
Mappasiarekeng proses pengukuhan kesepakatan.
Mappaisseng dan mattampa yakni menyebarkan undangan kepada famili dan
kerabat.
Mappatettong saravo/walasuji/baruga yakni mendirikan bangnan pelaminan.
Mappassau botting dan cemme pasili yakni proses memandikan pengantin atau
merawat pengantin.
Mappanre temme bagi calon pengantin yang pernah khatam dalam membaca
Al-Qur‟an dan dilanjutkan dengan pembacaan barzanji.
Mappacci atau tudammpenni proses mensucikan diri.
Resepsi atau pesta perkawinan.
12
Mattulada, Bugis-Makassar (Manusia dan Kebudayaannya), h. 36-37 13
Mengenal Keunikan Tradisi Mappabotting Adat Suku Bugis :
bloggersbugis.com/blog/2015/07/mengenal-keunikan-tradisi-mappabotting-adat-suku-bugis
42
Mappenre botting yakni proses mengantar pengantin.
Madduppa botting proses menyambut kedatangan pengantin.
Akad nikah.
Mappasiluka atau mappasikarawa yakni persentuhan pertama.
Upacara/ceramah nasehat perkawinan dan dilanjutkan dengan acara perjamuan.
Mapparola/marola adalah kegiatan kunjungan balasan dari pihak mempelai
wanita ke rumah mempelai pria.
Mallukka botting proses melepas pakaian pengantin.
Ziarah kubur mengunjungi makam.
Massita baiseng proses bertemu besan.
Dui Menre‟ atau Dui Balanca, yaitu sejumlah uang belanja dari pihak
mempelai pria merupakan syarat sah peminangan dalam suku Bugis. Uang
tersebut sebagai uang biaya pesta mempelai wanita.
Sompa, yaitu mas kawin atau mahar dalam bentuk uang real adalah salah satu
syarat sah yang digunakan dalam peminangan menurut Islam.
Cicing passiok adalah berupa cincin emas yang diberikan mempelai pria
kepada mempelai wanita.
Sarung sutera sebagai hadiah untuk kedua belah pihak keluarga mempelai.
Seperangkat peralatan dalam acara mappacing seperti bantal, ma‟daung, pucuk
pisang, daun nangka, baki, lilin, wenno/benno (emping dari padi yang
disangrai).
Berbagai macam kue-kue tradisional Bugis dan makanan seperti badda-
baddang, nennu-nennu, beppa puteh, palopo, paloleng, barongko, lapisi,
sanggarak, cangkueng, dll.
Bosara, yaitu tempat menyimpan kue-kue tradisional Bugis dan sebagainya.
43
1. Dui Menre’
Dalam adat Bugis terdapat dua unsur yang tidak dapat dipisahkan dalam proses
perkawinan, yaitu pihak laki-laki tidak hanya memberikan dui menre‟ dalam bentuk
mahar, akan tetapi menurut ketentuan adat juga harus memberi Dui Menre‟ (uang
hantaran) lainnya. Dui Menre‟ dalam perkawinan adat Bugis adalah penyerahan harta
yang mana terdiri dari uang atau harta yang berupa passiok (cincin pengikat)14
, Dui
Balanca (uang pesta)15
, Sompa (mas kawin)16
, yang besarnya diukur sesuai dengan
stratifikasi sosial dalam masyarakat.17
Jumlah dui menre‟ yang diberikan itu bertingkat-tingkat sesuai dengan derajat
sosial dari gadis yang dipinang dan dihitung dalam nilai Rella‟ (real). Dui Menre‟
dalam bentuk Dui Balanca (Uang pesta) dan Sompa (mas kawin) diberi nilai nominal
menurut jumlah real itu, dapat saja terdiri atas sawah, kebun, keris pusaka dan lain
sebagainya, yang mana semuanya mempunyai makna yang penting dalam
perkawinan. Dahulu kala Sompa (mahar) dan Dui Menre‟ (uang hantaran/uang pesta)
menurut derajat-derajat sosial gadis yang dipinang itu, diperhitungkan dengan sangat
teliti, karena sangat menyangkut tentang derajat social keluarganya. Garis besar
keadaan itu diikuti juga sampai saat ini, walaupun tidak diperhitungkan seteliti dahulu
kala. Tingkatan Sompa atau Sunrangi pada Tellumpaccoe18
(Bone, Wajo dan
Soppeng). Patron orang Bugis.
a. Sompa Bocco, diberikan kepada raja-raja puteri ketiga raja (Tellumpoccoe)
yang memegang kekuasaan kerajaan. Jumlah Sunrang, ialah 14 kati doi lama.
14
Passiok adalah seperangkat cincin pengikat yang diantar oleh keluarga calon mempelai pria
kepada calon mempelai wanita disertai dengan kosmetik serta kain pelengkap untuk calon mempelai
wanita. 15
Dui Balanca adalah uang yang diserahkan oleh pihak laki-laki pada acara mepettu ada
(terjadinya kesepakatan antara pihak laki-laki dan pihak perempuan) untuk dipakai dalam acara pesta
yang akan dilangsungkan. 16
Sompa adalah pemberian berupa uang atau harta yang diberikan oleh pihak laki-laki untuk
sahnya perkawinan yang disebutkan dalam akad. 17
Ahmad Pattiroy dan Idrus Salam, “Tradisi Doi Menre‟ Dalam Pernikahan Adat Bugis di
Jambi”, (Yogyakarta : Artikel UIN Sunan Kali Jaga, 2008), h. 91 18
Tellumpoccoe adalah persekutuan tiga kerajaan Bugis, yaitu Bone, Soppeng dan Wajo pada
tahun 1582.
44
Nilai nominal 1 kati doi lama = 88 real + 8 oang + 8 doi‟. Bersama itu,
diserahkan pula seorang Ata‟ dan seekor kerbau.
b. Sompa Ana‟ Bocco, diberikan kepada puteri-puteri (darah penuh) dari tiga raja,
atau bangsawan tinggi. Jumlah mahar itu, ialah 7 kati doi‟ lama.
c. Sompa Kati, diberikan kepada puteri-puteri raja-raja bawahan. Jumlahnya 1 kati
doi‟ lama, atau 88 real + 8 oang + 8 doi‟. Bersama itu seorang Ata‟. (Kecuali di
Wajo, Ata‟ ditiadakan).
d. Sompa Ana‟ Mattola, diberikan kepada puteri-puteri Ana‟ Mattola, jumlahnya,
3 kati doi‟ lama.
e. Sompa Rajeng, untuk anak-anak Rajeng, 2 kati doi‟ lama.
f. Sompa Cera‟ Sawi, untuk Cera‟ Sawi, 1 kati doi‟ lama.
g. Sompa Tau Deceng, untuk Tau Deceng, ½ kati doi‟ lama.
Demikianlah mengenai uang mahar atau Sompa yang berlaku pada perkawinan
orang Bugis-Makassar. Sesungguhnya nilai nominal Sunrang atau Sompa ini pada
waktu sekarang tidaklah banyak, karena ukurannya adalah tetap. Pada waktu ini yang
amat mahal adalah uang belanja, untuk dipergunakan membiayai pesta perkawinan.
Makin besar pesta perkawinan itu, makin mempertinggi derajat sosial seseorang,
walaupun harus dibelinya dengan kebangkrutan, atau hutang-hutang yang sukar
dilunasi.19
Jika Dui Menre‟ (Passiok, Sompa dan Dui Balanca) ini tidak terlaksana
yang terjadi adalah batalnya perkawinan dan yang lebih parahnya akan menyebabkan
suatu hal yang sangat memalukan yaitu Silariang (kawin lari).
2. Silariang
Silariang atau kawin lari tidak hanya dikenal oleh suku atau adat Makassar,
Bugis, Mandar dan Toraja di Sulawesi Selatan, juga suku lainnya di Indonesia. Hanya
saja yang membedakan adalah sanksi adat yang diterapkan pada kedua pelaku
Silariang. Kalau pada suku lainnya, biasanya sanksi tidak begitu berat, tetapi pada
19
Mattulada, Bugis-Makassar (Manusia dan Kebudayaannya), (Jakarta : Perpustakaan Pusat
Universitas Indonesia, 1993), h. 25-26
45
suku Bugis dan Makassar, biasanya berakhir dengan pembunuhan terhadap pelaku.
Perkawinan Silariang ini adalah suatu bentuk perkawinan yang tidak dibenarkan oleh
adat Bugis atau Makassar. Itulah sebabnya, para pelaku Silariang ini disebut
Tumannyala20
. Kawin Silariang ini biasanya terjadi karena salah satu pihak keluarga
tak menyetujui hubungan asmara dari kedua pasangan ini. Mungkin karena perbedaan
strata sosial, atau karena wanita yang menjadi kekasihnya itu hamil di luar nikah,
sehingga mereka mengambil jalan pintas, yakni melakukan Silariang. Walaupun
kedua pasangan Silariang ini menyadari, bahwa tindakan Silariang ini penuh resiko,
tetapi itulah jalan terbaik baginya untuk membina rumah tangga dengan kekasihnya
kelak.21
Menurut Zainuddin Tika berpendapat bahwa Silariang adalah perkawinan yang
dilakukan antara sepasang laki-laki dan perempuan setelah sepakat lari bersama,
perkawinan mana menimbulkan Siri‟ bagi keluarganya khususnya bagi keluarga
perempuan, dan kepadanya dikenakan sanksi adat. Dapat disimpulkan bahwa
Silariang itu unsur-unsurnya sebagai berikut :22
1. Dilakukan sepasang laki-laki dan perempuan.
2. Sepakat lari bersama untuk menikah.
3. Menimbulkan Siri‟ dan dikenakan sanksi.
Para pelaku Silariang biasanya pada zaman dulu lebih banyak dilakukan di
waktu malam hari. Dalam perjalanan menuju rumah Imam pada suatu kampung yang
dituju, banyak tantangan yang mungkin dihadapi. Karena itu, laki-laki yang
membawa perempuan tersebut, minta tolong dengan temannya, agar diantarkan ke
tempat tujuan. Nanti setelah sampai di tempat dimaksud, baru mereka pulang.
Kemudian, perkawinan Silariang ini, juga tidak hanya terbatas pada jejaka atau gadis,
juga orang yang sudah bersuami atau beristripun telah banyak melakukan Silariang.
Khusus pada laki-laki yang sudah beristri ini melakukan kawin lari dengan gadis atau
20
Tumannyala adalah orang yang perkawinannya menyalahi aturan atau adat yang berlaku. 21
Z.Tika & M. Ridwan Syam, Silariang, (Makassar : Pustaka Refleksi, 2005), h. 1 22
Z.Tika & M. Ridwan Syam, Silariang, h. 2
46
janda atau bahkan orang yang sudah punya suami melakukan Silariang, karena
berbagai hal diantaranya. Mereka terlanjur sama-sama cinta dan bahkan sudah
melakukan hubungan suami isteri. Karena takut hubungan mereka tidak direstui oleh
keluarganya, sehingga mereka mengambil jalan pintas, yakni melakukan Silariang.23
Apalagi kalau orang yang masih berstatus isteri dari suaminya, bila mereka menjalin
hubungan asmara dengan seorang laki-laki, baik jejaka mapun sudah beristeri, jelas
sangat sulit baginya untuk mendapatkan restu dari keluarganya apalagi suaminya.
Demikian halnya, bila mereka mau dinikahkan dengan laki-laki yang membawanya,
jelas mengalami kesulitan, karena setidaknya harus ada surat cerai dari suaminya,
juga harus ada restu dari orang tua, wali atau wali hakim, baru pernikahan boleh
dilakukan. Silariang yang dilakukan antara laki-laki dan wanita yang berstatus isteri
dan suami pertamanya itu, resikonya memang sangat berat. Sebab yang dihadapi
bukan hanya keluarga dari pihak perempuan, juga pihak keluarga suaminya. Untuk
wanita yang berstatus janda, bila mereka Silariang, prosesnya tak begitu sulit, karena
hanya mohon restu dari pihak keluarganya saja. Kalaupun melakukan Silariang,
umumnya pihak keluarga janda itu sangat memakluminya dan biasanya proses untuk
berdamai (abbaji/mapadeceng) bisa berlangsung lebih cepat.24
Menurut adat perkawinan suku Bugis Makassar, sebelum melakukan suatu
perkawinan, terlebih dahulu pihak laki-laki melamar yang disertai dengan persyaratan
berupa uang belanja (Dui Menre‟) berikut mahar dan mas kawinnya serta beberapa
persyaratan lainnya. Bilamana persyaratan yang ditetapkan oleh pihak wanita tak bisa
dipenuhi oleh pihak laki-laki, karena kondisi ekonominya memang tidak
memungkinkan, yang bisa menyebabkan perkawinannya batal. Sedang disisi lain,
keduanya sudah saling mencintai, maka mereka bisa saja menempuh Silariang.
Pemberian Dui Menre‟ terlalu tinggi itu, biasanya dijadikan sebagai alasan untuk
menolak pinangan laki-laki yang melamar anak gadisnya itu. Sebab dengan
23
Z.Tika & M. Ridwan Syam, Silariang dan Kisah-Kisah Siri‟, h. 3 24
Z.Tika & M. Ridwan Syam, Silariang dan Kisah-Kisah Siri‟, h. 4
47
memasang tarif yang tinggi bisa membuatnya mundur. Tetapi bila cinta sudah
menyatu, apapun rintangan di depannya pasti akan dilabrak. Kalau tak mampu
memenuhi persyaratan pinangan yang terlalu tinggi, mereka bisa mengambil jalan
pintas dengan jalan Silariang. Kadang memang ada orang tua yang tak mau mengerti
dengan perasaan anaknya. Mereka lebih mencintai uang dari pada masa depan
anaknya. Dui Menre‟ yang tinggi itu dianggapnya sebagai suatu kebanggaan bagi diri
dan keluarganya. Permintaan uang atau mas kawin yang tinggi memang tak ada
masalah sepanjang pihak laki-laki mampu. Tapi kalau tidak, apa yang terjadi,
Silariang.25
Karena menyalahi aturan atau adat yang berlaku, maka orang yang
dipermalukan, terutama dari pihak keluarga perempuan yang disebut Tumasiri‟
membenci pelaku tersebut dan bila ditemukan di suatu tempat, akan memberinya
sanksi adat. Penegakkan Siri‟ oleh suku Bugis-Makassar inilah sering membawa
resiko yang cukup berat. Karena bila Tumasiri‟ melakukan penganiayaan atau bahkan
pembunuhan, maka yang bersangkutan bisa dikenakan sanksi pidana yakni penjara
bertahun-tahun lamanya.tindakan Tumasiri‟ untuk melakukan penyerangan terhadap
Tumannyala ini oleh adat dianggap sebagai suatu kewajiban moral baginya. Itu
dimaksudkan untuk menghilangkan sifat kebinatangan dari Tumannyala, supaya
mereka tidak berbuat seperti binatang.26
Orang tua zaman dahulu biasanya mencarikan jodoh anaknya. Anak tinggal
terima saja apa yang menjadi keinginan orang tuanya. biasanya dicarikan dari
keluarga dekat, misalnya sepupu satu kali, dua kali dan tiga kali atau sahabat karib
orang tua. Tujuannya agar harta benda tidak lari keluar. Namun begitu, terkadang ada
juga anak yang membandel. Anak itu mencari jodohnya sendiri, tetapi bila
hubungannya tidak direstui, itulah yang menyebabkan suatu masalah dan pastinya
mereka akan melakukan Silariang. Bilamana keduanya ingin melakukan Silariang,
25
Z.Tika & M. Ridwan Syam, Silariang, h. 29 26
Z.Tika & M. Ridwan Syam, Silariang, h. 7
48
pemuda itu mengutus duta ke rumah pacarnya, biasanya kawan dekatnya. Kemudian
ia menyampaikan maksudnya untuk Silariang. Bila pacarnya menyetujui Silariang,
maka terjadilah pelarian itu. Untuk kabur dari rumah, perempuan memang susah.
Sebab bisa ketahuan dengan masyarakat sekitarnya. Berbagai taktik dilakukan
diantaranya, pakaian yang akan dibawa itu dibungkus terlebih dahulu, adakalanya
pakaian itu pura-pura dibawa ke kali atau sungai dengan alasan mau dicuci, tetapi
hanya disembunyikan disuatu tempat atau dititip di rumah temannya. Bila tengah
malam tiba, pemuda itupun datang menghampiri rumah pacarnya. Kedatangannya
tentu memberi kode, seperti bersiul atau bertepuk tangan yang mana hanya
dimengerti oleh pacarnya sendiri. Bila pelariannya itu tidak diketahui warga, maka
muluslah rencanyanya, tetapi bila ada yang tahu, maka bahaya bisa menghadangnya.
Sebab kalau sampai ketahuan, maka keduanya diburuh seperti pencuri yang bisa
merenggut jiwanya. Cara lain untuk melakukan Silariang, bila pemuda itu orang
berada, cukup menyuruh kawan dekatnya untuk menjemput pacarnya di waktu
malam. Laki-laki yang akan Silariang itu cukup menunggu di rumah imam (kepala
adat). Cara ini banyak dilakukan orang. Keesokan harinya, setelah kedua orang
tuanya membangunkan anak gadisnya, ternyata tidak menyahut. Orang tuapun curiga,
jangan sampai anaknya kabur bersama pacarnya. Kecurigaan itupun makin timbul
setelah melihat pintu belakang tidak terkunci dan isi lemarinyapun kosong dan
keesokan harinya mendapat kabar dari Imam (kepala adat) yang dituju bahwa
anaknya sekarang sudah ada di suatu kampung dengan status Silariang dengan
pemuda pujaannya. 27
Pada saat proses Silariang, mereka dinikahkan oleh imam adat yang mana
merangkap sebagai petugas KUA. Dalam proses ijab qabul tetap ada mahar, akan
tetapi jumlah maharnya itu sesuai dengan kemampuan laki-laki tersebut. Pihak-pihak
yang hadir ketika proses perkawinan pasangan yang Silariang yaitu calon pengantin,
27
Z.Tika & M. Ridwan Syam, Silariang, h. 57-58
49
imam adat yang biasanya merangkap sebagai petugas KUA, wali hakim dan biasanya
dihadiri teman atau saudara jauh dari calon mempelai untuk menjadi saksi.
3. Mapadeceng
Salah satu realitas sosial yang paling banyak bersinggungan dengan masalah
Siri‟ adalah perkawinan. Masyarakat suku Bugis-Makassar memandang perempuan
dalam kehidupan masyarakat menyebutnya sebagai Baine.28
Masyarakat
menempatkan perempuan sebagai puncak martabat kemanusiaannya. Bukan sekedar
hanya sebatas simbol, melainkan merupakan esensi luhur yang menandai derajat dan
martabat dalam suatu rumpun keluarga.29
Ketika Silariang itu terjadi, si ayah atau
ibunya atau keluarga dekatnya, mendatangi sanak keluarganya untuk menyampaikan
Buritta (berita) untuk Appassiriki (minta dukungan Siri‟). Bila sudah memberitahu,
maka dengan sendirinya keluarga tersebut menjadi Tumasiri‟ dan Tumanyala (pelaku
Silariang). Appassiriki pada keluarga ini sangat penting, disamping sebagai suatu
penghargaan dan menjalin hubungan silaturahmi, juga keluarga merasa Nipakatau
(dimanusiakan) serta mencegah timbulnya perasaan tidak enak dari kalangan
keluarga. Setelah beberapa bulan atau tahun lamanya di pelarian, maka ada hasrat
untuk Abbaji/Mapadeceng, maka pihak keluarga pemudapun mendatangi orang tua
perempuan itu untuk menyampaikan maksudnya Abbaji/Mapadeceng. Saat pihak
keluarga laki-laki itu minta acara Mapadeceng, biasanya orang tua perempuan masih
emosi, maka ia mewakilkan pada saudaranya untuk berembuk. Bila terjadi kata
sepakat untuk datang Mapadeceng, juga ditetapkan Uang Passala (Uang Denda).
Bila telah sepakat untuk Mapadeceng, maka pihak keluarga perempuan juga harus
melakukan Buritta pada sanak keluarganya seperti halnya saat Silariang untuk minta
Appassiriki. Kedatangannya bukan minta Appassiriki, tetapi untuk merubah status
Tumasiri‟ menjadi suatu keluarga yang utuh dengan pelaku Silariang itu. Bila semua
sudah siap, maka keluarga perempuan melakukan persiapan pesta kecil-kecilan untuk
28
Baine adalah benih atau cikal bakal, sehingga dapat dimaknai sebagai asal atau permulaan. 29
Silariang dalam Perspektif Budaya Siri‟ pada Suku Makassar, Jurnal Pustaka, (Makassar),
Januari – Juni 2015, h. 54
50
menyambut kedatangan anaknya itu. Pasangan yang datang itu langsung sembah
sujud pada kedua orang tuanya serta sanak keluarganya sebagai tanda keduanya
diterima kembali menjadi keluarga yang utuh.30
Praktik silariang ini apabila tidak diselesaikan dengan mappadeceng akan
mengakibatkan dampak negative yang sangat tidak diinginkan. Mappadeceng ini
adalah salah satu bentuk penyelesaian permasalahan dalam adat Bugis. Ada juga cara
penyelesaian permasalahan dalam adat Bugis yaitu Sigajang Laleng Lipa‟. Sigajang
Laleng Lipa‟ adalah penyelesaian adat Bugis dengan cara baku tusuk dengan badik
dalam satu sarung. Apabila permasalahan tidak terselesaikan maka dendam yang akan
menguasai diri masyarakat Bugis, apalagi kalau menyangkut Siri‟ (harga diri).
30
Z.Tika & M. Ridwan Syam, Silariang, h. 59-60
51
BAB IV
PRAKTIK DUI MENRE’ DAN SILARIANG
DI KECAMATAN PAMMANA SENGKANG
SULAWESI SELATAN
A. Praktik Dui Menre’ dan Silariang di Kecamatan Pammana Sengkang
Sulawesi Selatan
Sompa, Mahar atau Dui Menre‟ adalah pemberian pihak laki-laki kepada
perempuan yang dinikahinya, berupa uang atau benda, sebagai salah satu syarat
sahnya pernikahan. Jumlah Dui Menre‟ sebagaimana yang diucapkan oleh mempelai
laki-laki pada saat perkawinan (akad nikah), menurut ketentuan adat jumlahnya
bervariasi menurut tingkatan strata sosial atau simbol status sosialnya seseorang.
Adapun menurut masyarakat setempat berpendapat bahwa, mahar merupakan salah
satu unsur yang wajib ada dalam pernikahan, tidak boleh tidak ada.1
Sebenarnya terdapat tiga arti pada Dui Menre‟ ini, yaitu dui balanca (uang
belanja/uang pesta), sompa (mas kawin) atau passiok (cincin kawin), kebanyakan
masyarakat Bugis memahami Dui Menre‟ itu hampir hampir menyamakan biaya
pesta dengan uang mahar, akan tetapi sebenarnya yang disebut Dui Menre‟ itu adalah
biaya pesta. Biaya pesta itu adalah kesepakatan antara kedua belah pihak, biasanya
pihak perempuan yang memberi penawaran terlebih dahulu, bahwa berapa banyak
keluarga laki-laki menyiapkan biaya pesta. Semakin tinggi status sosial keluarga
perempuan di mata masyarakat, maka semakin tinggi pula Dui Menre‟ itu. Inilah
salah satu sebab dari terjadinya Silariang pada adat Bugis.2
1 Asmat Riady Lamallongeng, Dinamika Perkawinan Adat Dalam Masyarakat Bugis Bone,
(Makassar : Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Bone, 2007), h. 16 2 Wawancara Pribadi dengan Andi Akram (Ilmuwan dari Bugis). Depok, Senin, 21 Mei 2018.
52
Pada zaman dahulu, memang sompa atau dui menre‟ yang berlaku sejak lama di
daerah Bugis dinilai dengan mata uang lama (orang Bugis menyebutnya rella). Bagi
bangsawan tinggi maharnya dinyatakan dengan kati senilai 88 Real, ditambah satu
orang hamba (ata‟) senilai 40 real dan satu ekor kerbau senilai 25 Real. Sompa bagi
perempuan dari kalangan bangsawan tinggi disebut sompa bocco (sompa puncak)
yang biasa mencapai 14 kati. Sedangkan bagi perempuan dari kalangan bangsawan
menengah kebawah hanya satu kati, bagi orang baik-baik (to deceng) setengah kati,
kalangan orang biasa seperempat kati.3
Orang Bugis dan Makassar itu sama dalam arti dalam melihat strata sosial
seorang perempuan akan tetapi yang terpenting adalah strata sosial keluarga
perempuan tersebut. Semakin tinggi strata sosial keluarga perempuan, maka akan
semakin tinggi pula uang mahar yang harus dibayarkan. Kalau yang melamar laki–
laki itu statusnya sama dengan keluarga perempuan maka lebih flexibel harga mahar
yang akan ditentukan. Akan tetapi kalau status sosialnya laki-laki lebih rendah dari
keluarga perempuan maka akan semakin tinggi uang mahar tersebut. Karena sistem
kekerabatan orang Bugis itu adalah harta itu tidak boleh keluar dari lingkup keluarga.
Karena jika dipegang oleh orang diluar dari keluarga yang ditakutkan adalah dibawa
lari atau dibawa pergi harta atau aset keluarga perempuan dan tidak kembali. Maka
dari itu salah satu untuk melindungi harta tersebut yaitu dengan menaikkan harga
dengan setinggi-tingginya, agar laki-laki tidak sanggup untuk membayar kemudian
batal menikah dengan perempuan yang ingin dipinangnya. Dalam arti menolak
lamaran dengan cara halus. Maka perempuan di Bugis maupun di Makassar
cenderung menikah itu ke atas4, akan tetapi kalau laki-laki cenderung menikah itu ke
3 Asmat Riady Lamallongeng, Dinamika Perkawinan Adat Dalam Masyarakat Bugis Bone,
(Makassar : Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Bone, 2007), h. 17 4 Yang dimaksud ke atas adalah yang mana status sosialnya itu minimal sama dengannya atau
lebih tinggi darinya.
53
bawah5, agar mudah dalam proses peminangan ataupun perkawinan.
6 Memang kalau
dilihat dari segi ekonomi sangatlah materialis. Inilah sebabnya terjadinya Silariang.
Silariang adalah jenis perkawinan yang sangat dibenci oleh masyarakat Bugis
yang mana akibat dari Silariang ini akhirnya menimbulkan permusuhan, pertengkaran
bahkan sampai bunuh-bunuhan. Semua itu terjadi karena orang Bugis itu sangat
menjunjung tinggi Siri‟, yang mana apabila orang Bugis tidak hidup dengan adanya
Siri‟ maka hidupnya tak lebih dari binatang. Silariang itu adalah ketika laki-laki dan
perempuan sepakat untuk pergi bersama tanpa ada paksaan dari salah satu pihak.
Karena memang sudah kepalang cinta dan orang tua tidak merestui, sehingga
menyalahi aturan perkawinan baik yang ada di dalam agama maupun peraturan di
Indonesia.7
Terjadinya hukuman adalah karena adanya pelanggaran terhadap hukum
tertama dalam kasus ini Silariang pada adat Bugis, ini sangat melanggar hukum
kekerabatan. Maka dari itu anak perempan di Bugis sudah ditunangkan, itu dilarang
untuk tampil dimuka umum karena ditakutkan dia akan suka dengan laki-laki lain
diluar laki-laki yang sudah menjadi tunangannya. Bahkan ketika laki-laki melihat
tubuh atau bentuk tubuh yang dianggap aurat perempuan itu merupakan Siri‟. Siri‟
dapat diartikan menjadi dua makna yaitu harga diri (Self Estimed) dan dipermalukan
atau malu (Shame). Cara untuk merestorasi harga dirinya yang sudah tercoreng yaitu
dengan membunuh kedua pasangan, karena pembunuhan itulah yang menjadi obat
harga dirinya yang kemudian akan membaik setelah dilakukannya pembunuhan.8
Di Pammana, Dui Menre‟ diminta besarannya berdasarkan status keluarga,
status perempuan yang ingin dilamar itu dilihat dari segi pendidikan, pencapaian dan
keturunan (status Andi). Status tersebut sangat mempengaruhi jumlah permintaan Dui
5 Yang dimaksud ke bawah adalah yang mana status sosialnya itu minimal sama dengannya
atau lebih rendah darinya. 6 Wawancara Pribadi dengan M. Adlin Sila (Ilmuwan dari Bugis). Ciputat, Jumat, 18 Mei 2018.
7 Wawancara Pribadi dengan M. Adlin Sila (Ilmuwan dari Bugis). Ciputat, Jumat, 18 Mei 2018.
8 Wawancara Pribadi dengan M. Adlin Sila (Ilmuwan dari Bugis). Ciputat, Jumat, 18 Mei 2018.
54
Menre‟. Salah satu tujuan Dui Menre‟ itu besar nilainya dikarenakan untuk dipakai
mengadakan acara tradisi adat Mandre Sifulung9, yang mana ketika diadakan mandre
sifulung itu disediakan Bozara‟10
, yang mana bozara‟ tersebut dipakai untuk
menempati makanan-makanan khas kerajaan.11
Hal yang sangat diperhatikan saat ingin melakukan perkawinan masyarakat
Pammana adalah gelar atau keturunan. Andi adalah merupakan salah satu gelar
kerajaan di tanah Bugis yang mana yang mendapat gelar itu adalah orang yang
merupakan keturunan raja dan punya tata krama dan sopan santun yang sangat tinggi.
Itulah salah satu cerminan keturunan Andi. Tingkat Dui Menre‟ dilihat dari status
pendidikan perempuan Bugis, apabila perempuan Bugis telah menyelesaikan studinya
di bangku perkuliahan seperti contohnya Strata 1, maka Dui Menre‟nya bisa
mencapai Rp. 500.000.000,-. Begitu seterusnya baik Strata 2 (bisa mencapai Rp.
700.000.000,-) maupun Strata 3(lebih tinggi lagi, bisa sampai 1 Miliar) . Kemudian
dilihat dari segi pencapaian perempuan Bugis, seperti contohnya naik Haji (Rp.
500.000.000,-). Maka akan semakin tinggi dan mahal Dui Menre‟ yang nantinya akan
disampaikan kepada keluarga laki-laki. Inilah tradisi adat Bugis Sengkang dalam
mengadakan perkawinan. Bilamana ada seorang laki-laki yang berencana ingin
mempersunting perempuan gadis Bugis maka dilakukanlah ma‟manumanu12
. Proses
ma‟manumanu tersebut maka keluarga perempuan memberi informasi kepada utusan
keluarga laki-laki tentang status atau kondisi keluarga perempuan dan perempuan itu
sendiri, termasuk bayangan Dui Menre‟. Setelah proses ma‟manumanu selesai, maka
dilaporkanlah semua informasi yang diterima dari pihak keluarga perempuan kepada
keluarga laki-laki. Bilamana pihak laki-laki mampu dan sanggup memenuhi
9 Mandre Sifulung adalah makan bersama keluarga besar mempelai perempuan.
10 Bozara‟ adalah tempat makanan raja-raja Bugis, begitu juga tempat seserahan kepada lawan
mempelai. 11
Wawancara Pribadi dengan La Masi (Masyarakat Bugis). Calodo, Jumat, 11 Mei 2018. 12
Ma‟manumanu adalah datang ke rumah keluarga perempuan untuk mencari informasi
tentang status keluarga perempuan dan perempuan itu sendiri dengan maksud ingin meminang
perempuan tersebut.
55
persyaratan yang diberikan pihak keluarga perempuan maka utusan ma‟manumanu
tadi datang kembali kepada pihak keluarga perempuan untuk menginformasikan
kepada keluarga perempuan bahwa keluarga pihak laki-laki akan datang
bermusyawarah dengan pihak keluarga perempuan yang biasa orang Bugis sebut
dengan Ma‟duta13
. Dalam proses ma‟duta diadakan pembicaraan secara detail tentang
Dui Menre‟ yang berupa uang tunai dan pemberian harta berupa tanah, sawah, kebun,
ladang, sapi dan lain-lain. Pada saat terjadinya proses ma‟duta dilakukanlah dengan
bahasa-bahasa kiasan yang sangat sopan dan santun seperti tradisi adat Bugis yaitu
Ma‟lontara14
.15
Setelah prosesi ma‟duta yang dilakukan oleh pihak keluarga laki-laki dan
perempuan dengan segala kesepakatan didalamnya termasuk tanggal berlangsungnya
prosesi pernikahan dan pesta adat, keluarga perempuan melakukan pengundangan
kepada masyarakat dan keluarga perempuan dengan cara dua pasang berpakaian adat
baju Bodo mendatangi rumah satu persatu. Ini adalah salah satu tradisi wajib untuk
penghormatan kepada calon tamu.
Sebelum pesta berlangsung maka masyarakat sekitar datang bergotong royong
untuk membuat Saravo16
. Setelah saravo selesai maka berdatanganlah keluarga dan
masyrakat membantu prosesi pemotongan hewan sapi minimal 3 ekor17
untuk
persiapan penyajian makanan pesta. Selain dipakai untuk makan saat pesta
berlangsung, juga dipakai untuk dimakan para masyarakat dan keluarga yang datang
membantu persiapan, biasanya satu minggu sebelum acara. Masing-masing keluarga
baik keluarga laki-laki ataupun perempuan melaksanakan persiapan pesta pernikahan.
13
Ma‟duta adalah prosesi lamaran yang didalamnya terdapat musyawarah tentang hal-hal yang
menyangkut Dui Menre‟. 14
Ma‟lontara adalah pembukaan pembicaraan dengan pantun dan dibalas pula dengan pantun
yang dihasilkan adalah titik temu dan mufakat. 15
Wawancara Pribadi dengan Irwanzah (Masyarakat Bugis). Calodo, 11 Mei 2018. 16
Saravo adalah rumah panggung yang dibesarkan untuk menyambut tamu yang datang untuk
membantu mensukseskan pesta adat tersebut. 17
3 ekor sapi adalah ukuran status keluarga diatas rata-rata. Itulah pembeda dengan masyarakat
biasa.
56
Jadi pelaksanaan persiapan selama satu minggu itu dilakukan secara terpisah antara
keluarga laki-laki dan perempuan. Ketika tiba hari pernikahan, barulah pihak laki-laki
membawa seluruh keluarganya datang ke rumah perempuan. Tiba pada hari acara
pesta adat pernikahan, ada yang melangsungkan acara pada saravo yang telah dibuat
dan ada juga yang melaksanakan di gedung. Ketika acara pesta berlangsung maka
pengantin laki-laki datang ke rumah pesta perempuan untuk menyerahkan seserahan
yang berupa bozara‟18
yang berisikan sesuai kesepakatan yang telah disepakati ketika
proses ma‟duta (tidak termasuk uang tunai).
Setelah pihak keluarga laki-laki datang ke rumah pesta perempuan untuk
menyerahkan bozara‟ dan melaksanakan pesta duduk di pelaminan selama waktu
yang telah di tentukan19
dalam rangka menyambut tamu undangan dan seluruh
keluarga, pihak keluarga perempuan dan pihak keluarga laki-laki yang berada pada
rumah pesta perempuan selanjutnya melakukan yang namanya Mapparola.20
Pada penentuan dui menre‟ yang dilakukan oleh keluarga Andi Jumrah dan
H.Sakka yang penulis wawancarai bahwa tidak bertemunya titik mufakat ketika
perundingan atau penentuan jumlah dui menre‟. Sehingga proses-proses perkawinan
yang sesuai adat Bugis yang mana penulis sudah paparkan juga sebelumnya tidak
terpenuhi semua karena keluarga H. Sakka tidak memenuhi permintaan dari keluarga
Andi Jumrah. Jadi dengan adat yang biasanya berlaku berbeda dengan fakta yang ada
karena terjadinya ketidakmufakatan yang mana akan menimbulkan efek yang sangat
fatal.
Andi Jumrah dan H.Sakka memiliki pengalaman yang kurang baik dalam
perjalanan perkawinannya karena perkawinannya berlangsung tidak sesuai dengan
hukum adat yang ada, yang mana terjadi perbedaan antara keluarga laki-laki dan
18
Isi dari bozara‟ tersebut adalah pakaian dalam, sepatu, kosmetik serta barang-barang
berharga lainnya. 19
Tergantung kesepatakatan antara kedua belah pihak keluarga. 20
Wawancara Pribadi dengan Irwanzah (Masyarakat Bugis). Calodo, Jumat, 11 Mei 2018.
57
keluarga wanita. Pada kasus ini wanita (Andi Jumrah) merupakan keturunan darah
biru (Andi / Arung Matase) dan laki-lakinya (H.Sakka) bukan merupakan keturunan
darah biru. Dalam perjalanannya kedua pasangan ini terjalin hubungan asmara yang
mana seorang laki-laki (H.Sakka) berniat baik untuk menikahi wanita (Andi Jumrah).
Sebenarnya jika dilihat dari perspektif hukum Islam sangatlah dibolehkan, bahkan
Rasulullah SAW menganjurkan untuk mencari pasangan yang jauh jaraknya baik dari
segi tempat tinggal maupun darah (keturunan). Akan tetapi adat dan tradisi Bugis
yang selalu mengutamakan tahta, keturunan maupun yang sederajat menyebabkan
masalah dalam proses perkawinan.21
Inilah rintangan yang dihadapi Andi Jumrah dan
H.Sakka. Pada perjalannnya kedua pasang ini sudah saling mencintai yang mana rasa
cinta itu menimbulkan niat baik, sehingga ingin sekali H.Sakka langsung pergi
melamar Andi Jumrah pada tahun 1988. Pada saat keluarga H.Sakka datang melamar
(Ma‟duta), terjadilah penolakkan dikarenakan keturunan, tahta dan permintaan Dui
Menre‟ yang tidak terpenuhi. Pada saat itu keluarga perempuan meminta Dui Menre‟
sebesar Rp. 200.000.000,- tunai dan belum termasuk non tunai yang berupa sawah.
Karena keluarga H.Sakka tidak sanggup memenuhi Dui Menre‟ dan juga sudah saling
mencintai maka keduanya mengambil jalan pintas dengan Silariang.22
Sebelum adanya proses Silariang ini memang kediaman Andi Jumrah dan
H.Sakka berdekatan. Pada proses Silariang itu, Andi Jumrah dan H.Sakka lari ke
kampung sebelah yaitu ke Kabupaten Bulukumba (Sinjai) yang mana terdapat rumah
keluarga atau saudara dari H.Sakka untuk meminta perlindungan sekaligus meminta
untuk dinikahkan. Pada saat itu juga terjadilah pengejaran dan pengepungan oleh
keluarga perempuan di kediaman H.Sakka di Pammana, akan tetapi ketika terjadi
pengepungan di kediaman keluarga H.Sakka, pihak keluarga laki-laki tetap
melindungi dan menyembunyikan keberadaan Andi Jumrah dan H.Sakka agar tidak
diketahui keberadaannya, karena apabila diketahui keberadaannya oleh keluarga Andi
21
Wawancara Pribadi dengan Andi Jumrah dan H.Sakka (Pelaku Silariang). Pammana, Jumat,
11 Mei 2018. 22
Wawancara Pribadi dengan Andi Jumrah dan H.Sakka (Pelaku Silariang). Pammana, Jumat,
11 Mei 2018.
58
Jumrah maka akan dibunuh Andi Jumrah dan H.Sakka. Setelah selesai pengepungan
dan pembongkaran rumah kediaman H.Sakka di Pammana yang di duga tempat
persembunyiannya tidak diketemukan maka pulanglah keluarga Andi Jumrah dengan
rasa kecewa dan dendam. Setelah itu pihak keluarga laki-laki melangsungkan
perkawinan Andi Jumrah dan H.Sakka di Bulukumba (Sinjai) dengan mahar
semampunya (uang senilai Rp. 1.500.000,- dan cincin kawin 5 gram) dan
dilaksanakan di tempat tinggal imam adat (Mappalewa).23
Maka terjadilah
perkawinan itu yang mana prosesnya melalui imam adat (Mappalewa). Setelah
perkawinan berjalan sekitar 3 tahun, barulah keluarga H.Sakka mencoba untuk datang
ke keluarga Andi Jumrah untuk mencoba memperbaiki hubungan keluarga kembali
dan memberi tahu kabar keberadaan dari Andi Jumrah dan H.Sakka agar bisa
diterima kembali di keluarga Andi Jumrah. Proses inilah yang disebut dengan proses
Mappadeceng. Berbahagialah Andi Jumrah dan H.Sakka karena keluarga Andi
Jumrah memaafkan dan menerima Andi Jumrah dan H.Sakka sebagai anggota
keluarga kembali. Setelah itu diadakanlah proses Mappadeceng di rumah kediaman
H.Sakka di Pammana yang mana sebelumnya pernah di kepung oleh keluarga Andi
Jumrah. Proses Mappadeceng ini berjalan dengan lancar disertai dengan makan-
makan bersama untuk mempererat kembali hubungan kekeluargaan.24
Jadi ketika Andi Jumrah dan H.Sakka itu lari untuk pergi menikah tidak ada
lagi mahar yang tinggi akan tetapi sesuai dengan kemampuan si laki-laki tersebut.
Karena yang menjadi syarat perkawinan itu bukanlah mahar, akan tetapi syarat
sahnya perkawinan itu adalah adanya kedua mempelai, wali, ada 2 orang saksi, ijab
qabul dan imam. Ketika pasangan itu lari maka terkendala pada wali. Biasanya pada
umumnya di sana, imam adat itu merangkap kepala KUA (penghulu) mengirim surat
kepada orang tua perempuan agar mengizinkan anaknya menikah. Apabila tidak
diizinkan maka kepala KUA akan menunjuk wali hakim.
23
Wawancara Pribadi dengan Andi Jumrah dan H.Sakka (Pelaku Silariang). Pammana, Jumat,
11 Mei 2018. 24
Wawancara Pribadi dengan Andi Jumrah dan H.Sakka (Pelaku Silariang). Pammana, Jumat,
11 Mei 2018.
59
Allah SWT berfirman :
ءاحا سافى١ٱساء فأ أ ء أ عش أ ى فئطبأ ت حأ خ
ش٠ صذل ٤ا ا
Artinya : “Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai
pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada
kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah)
pemberian itu (sebagai makanan yang sedap lagi baik akibatnya).” (QS. An-Nisa :
4).
Firman Allah ءاحا ٱساء ت حأ خ
صذل “Berikanlah mas kawin (mahar)
kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan”. Ali
bin Abi Thalib mengatakan dari Ibnu Abbas : ت adalah mahar. Muhammad bin حأ
Ishaq berkata dari „Aisyah : ت ت : adalah kewajiban. Ibnu Zaid berkata حأ dalam حأ
bahasa Arab adalah suatu yang wajib, ia berkata : “Janganlah engkau nikahi dia
kecuali dengan sesuatu yang wajib baginya.” Kandungan pembicaraan mereka itu
adalah, bahwa seorang laki-laki wajib menyerahkan mahar kepada wanita sebagai
suatu keharusan dan keadaannya rela. Sebagaimana ia menerima pemberian dan
memberikan hadiah dengan penuh kerelaan, begitu pula kewajiban ia memberikan
mahar kepada wanita dengan penuh kerelaan. Dan jika si isteri secara sukarela
menyerahkan sesuatu dari maharnya setelah disebutkan jumlahnya, maka suami boleh
memakannya dengan halal dan baik.25
Sampai-sampai Rasulullah SAW bersabda
bahwa :26
أبشاة
Artinya : “Adakan Walimah walaupun dengan satu kambing” (HR. Bukhari).
25
Muhammad, Abdullah bin. ed, Lubaabut Tafsir Min Ibni Katsiir. Penerjemah M. Abdul
Ghoffar. Tafsir Ibnu Katsir Jilid 2, (Bogor : Pustaka Imam Syafi‟I, 2004), h. 234 26
Wawancara Pribadi dengan Andi Akram (Ketua PA Depok). Depok, Senin, 21 Mei 2018.
60
Penulis dapat memahami dari ayat Al-Qur‟an dan Hadist tersebut bahwa Islam
sendiri sama sekali tidak memberatkan pemeluknya dalam segala aspek ibadah,
terutama dalam aspek mahar dalam perkawinan. Dikatakan dalam Surah An-Nisa
ayat 4 itu bahwa berilah mas kawin (mahar) kepada wanita yang kamu nikahi sebagai
pemberian yang penuh dengan kerelaan dan Rasul SAW mengatakan adakan walimah
walaupun dengan satu kambing. Jika kita pahami secara dalam arti dari kerelaan
adalah suatu kondisi manusia memasrahkan pikiran,hati dan perasaannya hanya
kepada Allah, sehingga timbul lah keikhlasan didalam diri manusia. Pada adat Bugis
Sengkang memang mayoritas muslim, akan tetapi terkadang, menurut penulis pribadi
bahwa masyrakat masih sangat menjunjung tinggi nilai-nilai adat terkhusus dalam
masalah perkawinan yang mana didalamnya ada mahar. Kalau kita lihat secara
sekilas memang sangatlah bertentangan antara Al-Quran surah An-Nisa ayat 4
dengan tradisi penentuan mahar yang ada di dalam adat Bugis. Niat sebenarnya
adanya mahar yang tinggi adalah memang untuk menjaga harga diri, strata sosial dan
tidak mau menikahkan anak perempuannya dengan sembarang laki-laki.
Sebagaimana yang juga penulis bahas sebelumnya bahwa diadakannya mahar yang
tinggi adalah cara untuk menolak calon suami dengan cara halus agar harta yang
dimiliki keluarga perempuan tersebut tidak keluar dari lingkup keluarga.
أىحا ٠ ٱلأ أ ى ح١ ٱص إ٠ىافمشاء٠غأ أ ائى إ أ عبادو أ ٱلل
ۦ فضأ ٱلل سعع١ ٣٣
Artinya : “Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian diantara kamu, dan orang-
orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-
hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan
mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha
Mengetahui.” (QS. An-Nur : 32).
Firman Allah فمشاء٠غأ إ٠ىا ٱلل فضأ “Jika mereka miskin, Allah
akan memampukan mereka dengan karunia-Nya”, dan ayat seterusnya. „Ali bin Abi
Thalhah meriwayatkan perkataan „Abdullah bin „Abbas : “Allah mendorong mereka
61
untuk menikah dan memerintahkan orang-orang merdeka maupun budak untuk
melaksanakannya serta menjanjikan kekayaan bagi mereka. Allah berfirman ٠ىا
فمشاء٠غأ ٱلل فضأ Jika mereka miskin, Allah akan memampukan mereka“ إ
dengan karunia-Nya”.27
Jika kita melihat surat di atas yaitu surat An-Nur ayat ke 32, bahwa Allah akan
memampukan mereka yang ingin menikah akan tetapi miskin. Tidak boleh ada
sedikit keraguan didalam diri untuk melakukan ibadah. Dan jika kita melihat pada
hadist berikut :
يهللاص: فمايسس ججعع١ بفضاسةحض شأة ا سب١عتا شب عا ع
.فاجاص ؟لاج:ع اهبع١ فسه احذاباجاخشز .اسض١ج
صحح
Artinya : “Dari „Amir bin Rabi‟ah, bahwa sesungguhnya pernah ada seorang wanita
dari Bani Fazarah yang dinikah dengan (mahar) sepasang sandal, lalu Rasulullah
SAW bertanya, “Ridhakah kamu atas dirimu dan hartamu dengan (mahar) sepasang
sandal?” Ia menjawab, “Ya”. Maka Rasulullah SAW memperkenankannya”. (HR.
Ahmad, Ibnu Majah dan Tirmidzi, dan Tirmidzi mengesahkannya).
Agama Islam adalah agama Rahmatan lil „Alamin, agama yang sangat
menjunjung tinggi perdamaian dan ketenangan. Tujuan beribadah adalah untuk
mendekatkan diri kepada Allah SWT agar menjadi pribadi yang baik dan tenang. Jika
kita lihat pada ayat dan hadist di atas bahwa sebenarnya Allah SWT menurunkan
Agama Islam bukan untuk mempersulit pemeluknya, akan tetapi pemeluknya
sendirilah yang terkadang menyulitkan hal-hal ibadah tersebut. Rasul mengatakan
barang siapa yang tidak mengikuti ketentuan Allah dan ketentuan Rasul, maka
buatlah ketentuan-ketentuan sendiri dan ajak penolong-penolongmu, sesungguhnya
27
Muhammad, Abdullah bin. ed, Lubaabut Tafsir Min Ibni Katsiir. Penerjemah M. Abdul
Ghoffar. Tafsir Ibnu Katsir Jilid 6, (Bogor : Pustaka Imam Syafi‟I, 2004), h. 51
62
kamu tidak akan mampu. Terlalu sering membuat syarat-syarat atau ketentuan-
ketentuan baru, padahal Allah SWT dan Rasul-Nya sudah memiliki ketentuan-
ketentuan yang seharusnya diikuti oleh umat manusia. Ketentuan-ketentuan dan
syarat-syarat yang dibuat semdiri itulah yang menjadi suatu penghambat untuk
melakukan ibadah.
Pesta perkawinan itu seharusnya diadakan sesederhana mungkin, sehingga tidak
ada kesan mempersulit, bukan berarti dengan mempermudah perkawinan itu lalu
memudah-mudahkan, akan tetapi memudahkan disini adalah agar niat untuk
menjalankan ibadah atau Sunnah Rasul itu tidak terhalang karena persoalan pesta
pernikahan yang terkesan foya-foya.
Banyak sekali sebenarnya faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya
Silariang. Penulis akan memaparkan faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya
Silariang, antara lain : 28
1. Berbeda pilihan dengan orang tua.
2. Status sosial ekonomi.
3. Pergaulan bebas.
Pada skripsi penulis ini, penulis meneliti langsung ke lapangan bertemu dengan
pelaku Silariang. Berbeda pilihan dengan orang tua dan status sosial dan ekonomilah
yang menjadi faktor yang menyebabkan pasangan yang penulis teliti dan wawancarai
melakukan Silariang.
Dari kasus diatas yang penulis paparkan bahwa sebenarnya yang menjadi
pokok inti permasalahan adalah tidak terpenuhinya Dui Menre‟ dan perbedaan derajat
keturunan. Derajat Andi di Bugis itu sangatlah tinggi karena itu adalah gelar yang
tidak dapat dimiliki semua masyarakat di Bugis. Rasulullah SAW bersabda :
ع ش٠شةأب هللاسض ع هللاصابع ع١ س ىح:لاي شأةح ا
اا،:لسبع اا،حسبا، ج ذ٠ا، بزاثفاظفش ٠ .٠ذانحشبجاذ
28
Susilawati, “Fenomena Silariang Di Desa Bululoe Kecamatan Turatea Kabupaten
Jeneponto”, (Makassar : Skripsi UIN Alauddin Makassar, 2016), h. 62
63
Artinya : “Dari Abu Hurairah ra. Bahwa Nabi SAW bersabda : “Seorang wanita
dinikahi karena empat perkara : (1) karena hartanya, (2) karena keturunannya, (3)
karena kecantikannya, (4) karena agamanya. Karena itu nikahilah (wanita) karena
agamanya, niscaya engkau bahagia.” (HR. Mttafaq „Alaih).
Jika melihat kepada hadist diatas bahwa Rasulullah SAW bersabda bahwa
nikahilah wanita karena 4 perkara, yaitu :
1) Karena hartanya.
2) Karena keturunannya.
3) Karena kecantikannya.
4) Karena agamanya.
Akan tetapi Rasulullah SAW bersabda pada hadist tersebut bahwa menikahlah kamu
karena agamanya maka niscaya kamu akan bahagia. Jika seseorang menikah
dikarenakan harta, keturunan dan kecantikannya sudah bisa dipastikan bahwa
seseorang itu akan mudah sekali merasakan kekecewaan. Mengapa demikian? Karena
yang dilihat dan yang menjadi landasan dalam melangsungkan perkawinan adalah
harta, keturunan bahkan kecantikannya. Apabila seseorang tersebut tidak
mendapatkan harta, wanita yang keturunannya baik maupun kecantikannya, maka
tunggulah rasa kekecewaan akan tinggal didalam diri seseorang tersebut.
Apabila yang selalu ditanamkan dalam diri adalah kepatuhan kepada Allah
dan hanya mencari ridho Allah, maka bahagialah seseorang tersebut dalam menjalani
perkawinan untuk menuju kehidupan yang bahagia. Ini semua dikarenakan
orentasinya Agama, hanya mencari ridho Allah SWT yang mana itulah yang
menentukan bagaimana perjalanan seseorang dalam menjalani perkawinannya.
Pada adat Bugis Sengkang yang penulis teliti, memang sudah menjadi adat
yang sangat paten untuk melakukan perkawinan menggunakan Dui Menre‟, kalau
dilihat sekilas memang semua daerah semua adat pasti selalu ada yang namanya
biaya pesta, akan tetapi yang membedakan adat Bugis dengan adat lainnya adalah
sistem keturunan (darah biru) dari wanita yang akan dikawini dan jumlah biaya yang
sangat tinggi. Karena sangat sensitif sekali apabila seorang wanita keturunan darah
64
biru menikah dengan laki-laki rakyat biasa. Siri‟ lah yang selalu dikedepankan orang
Bugis dalam melakkan segala hal, termasuk dalam urusan perkawinan.
Harga diri dan malu adalah ciri khas makhluk Allah yang paling mulia,
manusia. Yang mana telah diatur dalam Al-Qur‟an dan Hadist mengenai harga diri
dan rasa malu yang harus dijaga. Rasulullah SAW bersabda :
ا بضعاإل٠ سبع بضعأ سخ يفضافأشعبت ، أدااهللا،إلإلل
اطت الرإ ح١اءاطش٠ك،ع ا شعبت ا اإل٠
Artinya : “Iman memiliki lebih dari tujuh puluh atau enam puluh cabang. Cabang
yang paling tinggi adalah perkataan “La ilaha illallah”, dan yang paling rendah
adalah menyingkirkan duri (gangguan) dari jalan. Dan malu adalah satu cabang
iman.”
Jika dikorelasikan ayat ini dengan harga diri masyarakat Bugis, sangatlah
benar menjaga dan melindungi harga diri agar tidak tercoreng dan perbuatan menjaga
harga diri dan rasa malu adalah merupakan dari iman. Didukung lagi oleh hadist
Rasulullah SAW yang berbunyi :
إ ى خكخم اد٠ ـح١اءاإلسال ا
Artinya : “Sesungguhnya setiap agama memiliki akhlak, dan akhlak Islam adalah
malu.”
Agama menganjurkan setiap pemeluknya untuk memiliki akhlak yang baik
dan akhlaknya orang Islam yang baik adalah malu, memiliki rasa malu yang tinggi.
Akan tetapi yang terjadi ditengah-tengah masyarakat Bugis adalah rasa malu dan
menjaga harga diri dari sesuatu yang berlebih-lebihan (Dui Menre‟) yang
menyebabkan Silariang, yang mana Allah tidak menyukai segala sesuatu yang
berlebihan. Allah SWT berfirman :
اششباوا ل حسشفا ٠حبلإ سشف١ ا
Artinya : “Makan dan minumlah kalian, dan janganlah berlebih-lebihan.
Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.” (QS. Al-
A‟raaf : 31).
65
Jika melihat dari hadist diatas, sampai makan dan minum diatur oleh Allah
untuk tidak berlebih-lebihan, apalagi dalam melaksanakan ibadah-ibadah yang
lainnya. Pernikahan adalah ibadah yang telah ditetapkan dan diperintahkan oleh Allah
dan Rasul-Nya, jika terdapat suatu ketetapan yang telah Allah dan Rasul-Nya
sepakati, maka ikutilah. Jangan sebaliknya, membangkang dan membuat ketetapan-
ketepan baru dan itu sangat berlebihan. Allah tidak suka orang-orang yang
berlebihan.
Dalam mencintai sesuatu di muka bumi ini juga tidak boleh berlebihan.
Mencintai pasangan tidak boleh berlebihan, mencintai anak tidak boleh berlebihan,
mencintai harta tidak boleh berlebihan. Karena Allah berfirman :
أ٠ا ٠ فٱز٠ أ اى عذ أ ذو أ أ أ جى أصأ أ اإ أ ءا زس فحاٱحأ حصأ فا إحعأ
فشافئ حغأ ٱلل ح١ ا٤٤غفسس إ ت فخأ أ ذو أ أ أ ى أ أ ۥعذٱلل شعظ١ ٤٥أجأ
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya di antara isteri-isterimu
dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu, maka berhati-hatilah kamu
terhadap mereka, dan jika kamu memaafkan dan tidak memarahi serta mengampuni
(mereka) maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan (bagimu), dan di sisi
Allah-lah pahala yang besar.” (QS. At-Taghabun : 14-15).
Jelas sekali Allah mengingatkan dan memperingatkan kita agar selalu sadar
dalam melakukan segal aktifitas di muka bumi ini. Isteri, anak dan harta itu adalah
ujian bagi semua umat Islam. Terutama dalam masyarakat Islam di Bugis, Allah
memberikan ujian kepada masyarakat Bugis dengan pasangan, anak dan harta. Inilah
yang harus segera disadari oleh masyarakat Bugis. Terutama orang tua yang ingin
menikahkan anaknya. Karena jika terus terpaku dengan Dui Menre‟ yang tinggi itu
sangatlah dapat berdampak besar. Dapat berdampak positif dan dapat berdampak
negatif. Berdampak positif itu kalau misalkan semua kesepakatan dan syarat-syarat
terpenuhi. Akan tetapi apabila tidak terpenuhi kemudian yang akan dilakukan adalah
66
ibadah kepada Allah, maka Allah akan sangat marah jika tidak tercapai suatu ibadah
yang mana hanya bisa dilakukan oleh kedua mempelai dan tidak bisa diwakilkan oleh
siapapun (perkawinan). Maka dari itu perlu sekali toleransi antara pihak keluarga
perempuan kepada pihak keluarga laki-laki, apabila keluarga laki-laki mampu , tidak
masalah untuk dilakukan, kalau sekiranya tidak terpenuhi Dui Menre‟ nya tetaplah
dilanjutkan perkawinan tersebut agar tidak terjadi dampak yang sangat negatif yaitu
Silariang.
Proses perkawinan pada praktik Silariang ini jika dilihat melalui perspektif
Jumhur Ulama tidak lah sah perkawinan mereka karena tidak adanya wali nasb di
dalam perkawinan mereka. Akan tetapi ada wali hakim. Jika kita melihat kepada
madzhab Hanafi, perkawinan mereka sah karena menurut madzhab Hanafi
perempuan yang sudah dewasa dan berakal dapat menikahkan dirinya sendiri tanpa
membutuhkan wali. Jika dilihat dari perspektif Jumhur Ulama bahwa memang
perkawinan yang dilakukan ketika praktik Silariang ini adalah tidak sah karena laki-
laki yang akan meminangnya tidak sepadan/sekufu, atau maharnya kurang dari mahar
mitsil. Akan tetapi, yang biasanya dilakukan dalam praktik dui menre‟ ini terlalu
berlebihan sehingga mengakibatkan terhentinya suatu niatan ibadah seseorang.
Sebagaimana dijelaskan pada KHI pasal 61disebutkan “Tidak sekufu tidak dapat
dijadikan alasan untuk mencegah perkawinan, kecuali tidak sekufu karena perbedaan
agama atau ikhtilaafu al dien.”
Jika kita melihat kepada KHI (Kompilasi Hukum Islam) yaitu pada bab II
Dasar-Dasar Perkawinan pasal 2 bahwa perkawinan menurut hukum Islam adalah
pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau miitsaaqan ghaliizhan untuk menaati
perintah Allah dan melakukannya merupakan ibadah.29
Disebutkan juga dalam KHI
pada pasal 23 ayat (2) disebutkan bahwa “Dalam hal wali adhal atau enggan maka
wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah setelah ada putusan pengadilan
Agama tentang wali tersebut.” Akan tetapi terdapat kesalahan dalam praktik silariang
29
Abdul Gani Abdullah, Pengantar Kompilasi Hukum Islam Dalam Tata Hukum Indonesia,
(Jakarta : Gemani Insani Press, 1994), h. 78
67
itu adalah tidak memproses terlebih dahulu penetapan wali adhal ke pengadilan
Agama setempat sebelum dinikahkan oleh wali hakim. Intinya perkawinan itu adalah
ibadah, maka seluruh prosesnya harus selalu dilandasi atas nama ibadah yaitu Lillahi
Ta‟aala. Jika dilakukan semuanya karena Allah, pasti tidak akan terjadi hal-hal yang
negatif yang tidak diinginkan seperti Silariang. Jadi pada perturan-peraturan yang
disebutkan diatas bertentangan dengan praktik Silariang.
Proses pernikahan yang ada pada adat Bugis khususnya di Pammana. Terdapat
banyak sekali acara adat yang terdapat pada pra nikah sampai acara pernikahannya.
Penulis merujuk kepada KHI (Kompilasi Hukum Islam) pada Bab mahar. Pada pasal
30 disebutkan bahwa “Calon mempelai pria wajib membayar mahar kepada calon
mempelai wanita yang jumlah, bentuk, dan jenisnya disepakati oleh kedua belah
pihak.”
Pada pasal diatas sangat jelas sekali, bahwa mahar itu sesuai dengan
kesepakatan kedua belah pihak. Akan tetapi menurut penulis, terdapat suatu misteri
didalamnya, yaitu kembali kepada niat perkawinan tersebut, apakah perkawinan
tersebut dilakukan karena harta? Apakah karena derajat? Jikalau perkawinan tersebut
dilakukan dengan niatan karena Allah maka kedua belah pihak akan saling
memudahkan dan akan saling mencari titik temu untuk melangsungkan perkawinan.
KHI (Kompilasi Hukum Islam) Bab Mahar pasal 31, disebutkan bahwa
“Penentuan mahar berdasarkan asas kesederhanaan dan kemudahan yang dianjurkan
oleh ajaran Islam. Pada pasal ini sangatlah jelas bahwa mahar itu harus berdasarkan
asas kesederhanaan dan kemudahan sebagaimana yang dianjurkan oleh ajaran Islam.
Jadi, Islam sama sekali tidak memberatkan pemeluknya untuk melakukan ibadah,
terutama dalam hal perkawinan. Penulis menafsirkan bahwa kesederhanaan itu adalah
suatu kondisi dimana mengerti dan memahami keadaan yang ada saat ini dan
mengaplikasikannya untuk mewujudkan suatu hal yang menuju kepada prestasi dan
kemaslahatan.
68
Kemudian KHI (Kompilasi Hukum Islam) pada Bab Mahar pasal 34 terdapat 2
butir ayat yang berbunyi :
(1) Kewajiban penyerahan mahar bukan merupakan rukun dalam pernikahan.
(2) Kelalaian menyebut jenis dan jumlah mahar pada waktu akad nikah, tidak
menyebabkan batalnya pernikahan. Begitu pula halnya dalam keadaan mahar
masih terutang, tidak mengurangi sahnya pernikahan.
Jika kita lihat pada pasal 34 diatas, pada pasal 1 dapat penulis simpulkan bahwa
penyerahan mahar adalah wajib akan tetapi itu bukanlah merupakan rukun dalam
perkawinan. Akan tetapi sebenarnya yang wajib membayar mahar itu bukanlah calon
mempelai laki-laki, akan tetapi mempelai laki-laki karena kewajiban itu baru ada
setelah berlangsung akad nikah. Demikian pula yang menerima bukanlah calon
mempelai wanita, akan tetapi mempelai wanita karena dia baru berhak menerima
mahar setelah adanya akad nikah.
B. Alasan Masyarakat Bugis Mempertahankan Dui Menre’ yang Berdampak
Terjadinya Silariang
Dui Menre‟ dalam perkawinan seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa
uang belanja yang diserahkan kepada pihak perempuan. Uang belanja tersebut
berguna untuk dipakai keperluan upacara perkawinan seperti pesta menjelang
perkawinan dua mempelai tersebut sebagaimana yang sudah dijelaskan sebelumnya.
Bahwa sepuluh hari atau satu minggu sebelum hari pernikahan dilaksanakan pesta
perkawinan dengan seluruh kerabat baik yang jauh atau yang dekat dan tetangga
sekitarnya sudah berada di rumah calon mempelai perempuan serta seluruh makan
dan minumnya sudah menjadi tanggung jawab pihak perempuan tersebut dan begitu
69
juga dengan uang untuk membiayai ongkos bagi yang mempunyai kerabat jauh agar
datang untuk menghadiri pernikahan tersebut.30
Sebenarnya alasan yang selalu diungkapkan oleh masyarakat Bugis terutama di
Sengkang dalam masalah mengapa Dui Menre‟ masih dipertahankan sampai sekarang
yaitu Siri‟. Nilai (value) harga diri dan rasa malu itulah yang sangat dijunjung tinggi
oleh masyarakat Bugis sehingga tidak bisa ditawar untuk masalah Siri‟ tersebut dan
sudah pasti Siri‟ itu obatnya adalah nyawa.31
Nilai yang sudah pasti terkandung dalam Dui Menre‟ bukan hanya materi yang
terlihat akan tetapi masih ada nilai ideal yang terkandung dari Dui Menre‟, yaitu :32
1. Untuk menjaga kehormatan seorang laki-laki yang mau menikahi di hadapan
seorang perempuan, supaya tidak disebut sebut sebagai laki-laki yang tidak
mempunyai rasa cinta dan tanggung jawab pada istrinya. Dalam kebutuhan
sehari-hari baik kebutuhan rumah tangga dan juga kebutuhan istrinya dan juga
tidak mau dibilang laki-laki pengangguran alias numpang makan tidur tidak
mau memperhatikan istrinya.
2. Untuk menjaga nama baik keluarga, karena di dalam masyarakat Bugis
perkawinan bukan hanya urusan suami isteri, tetapi melibatkan kedua belah
pihak atau keluarga kedua belah mempelai Dui Menre‟ tidak ditanggung oleh
laki-laki saja yang akan kawin tetapi oleh semua keluarga laki-laki hal ini
dilakukan agar tidak dipandang rendah oleh pihak keluarga perempuan.
Nilai-nilai inilah yang sebenarnya menimbulkan masalah yang sangat besar jika
calon mempelai laki-laki tidak sesuai dengan kriteria keluarga mempelai wanita dan
yang paling utama dalam masalah penentuan Dui Menre‟. Semuanya ini
dilatarbelakangi atas dasar harga diri dan rasa malu sehingga orang Bugis tidak mau
menikahkan anaknya dengan jumlah Dui Menre‟ yang rendah. Karena rendahnya Dui
30
Ahmad Pattiroy dan Idrus Salam, “Tradisi Doi Menre‟ Dalam Pernikahan Adat Bugis di
Jambi”, h. 102 31
Wawancara Pribadi dengan La Masi (Masyarakat Bugis). Calodo, Jumat, 11 Mei 2018. 32
Wawancara Pribadi dengan M. Adlin Sila (Ilmuwan Bugis). Ciputat, Jumat, 18 Mei 2018.
70
Menre‟ yang diberikan kepada keluarga perempuan otomatis membuat keluarga itu
Siri‟ dan akan menjadi bahan pembicaraan masyarakat Bugis yang tinggal
disekitarnya. Orang Bugis yang sangat terkenal dengan kehalusan dan
kesopansantunannya dalam perilaku akan menjadi sangat menyeramkan ketika
masalah harga dirinya disentuh.33
Maka dari itu perlulah adanya pemahaman
keseimbangan antara adat dengan agama.
Pemahaman masyarakat Bugis mengenai Dui Menre‟ yang menyebabkan
Silariang ini juga terpaku dengan Sifaufau34
. Di mana keluarga dari mempelai laki-
laki dan mempelai perempuan menyebarkan nominal besarnya Dui Menre‟ yang
keluarga mempelai laki-laki berikan kepada keluar perempuan.35
Membanggakan
nominal Dui Menre‟ yang besar untuk disebarkan kepada masyarakat bahwa
perkawinan tersebut berjalan dengan mewah dan megah. Sebenarnya tidak ada
salahnya melakukan perkawinan dengan mewah dan megah akan tetapi Allah sangat
membenci hambanya yang berlebih-lebihan dan menyombongkan kekayaan agar
dipuji oleh manusia lainnya. Allah SWT berfirman :
ل شف أ ضح سأ شقٱلأ اإهحخأ شح ض سأ غٱلأ حبأ جباي أ ٣٣طلٱ
Artinya : “dan janganlah kamu berjalan di muka bumi ini dengan sombong, karena
sesungguhnya kamu sekali-kali tidak dapat menembus bumi dan sekali-kali kamu
tidak akan sampai setinggi gunung.” (QS. Al-Isra‟ : 37).
Didukung lagi dengan Surah As-Sajadah ayat 15 yang berbunyi :
ا بإ ٠ؤأ خا ا٠ لٱز٠ أ أ سب ذ أ بح سبحا ذا سج
ا خش با شا رو إرا
بش خىأ ٠سأ
33
Wawancara Pribadi dengan Andi Jumrah dan H.Sakka (Pelaku Silariang). Pammana, Jumat,
11 Mei 2018. 34
Sifaufau adalah pembicaraan (gosip) mengenai besarnya Dui Menre‟ yang ada pada proses
perkawinan kedua mempelai. 35
Wawancara Pribadi dengan Irwanzah (Masyarakat Bugis). Calodo, Jumat, 11 Mei 2018.
71
Artinya : “Sesungguhnya orang yang benar benar percaya kepada ayat ayat kami
adalah mereka yang apabila diperingatkan dengan ayat-ayat itu mereka segera
bersujud seraya bertasbih dan memuji Rabbnya, dan lagi pula mereka tidaklah
sombong.” (QS. As-Sajadah : 15).
Perbuatan Sifaufau ini juga dapat dikatakan sebagai perbuatan ria yang mana
Rasulullah SAW bersabda :33
ش٠شةأبع عج:لاي يس يهللاسس :٠م يإ ٠مضااطا ت٠ م١ا ا ع١
ذسج اسخش فأح فب فعش ا:لاي,فعشفعاع جف ج:لايف١ا؟ع ف١هلاح
ذثحخ ىوزبج:لاياسخش جه لاح ء٠مايل فمذ,جش ،ل١ شث أ فسحبب
ع ج حخ م ا ,ااسف سج حع ع ا ع لشأ امشآ فأح فب فعش
ا:لاي,فعشفعاع جف ج:لايف١ا؟ع حع ع خا ع لشأث ف١ه ,امشآ
ىه,وزبج:لاي ج حع ع :١مايا لشأثعا ١مايامشآ فمذ،لاسء ،ل١
شث أ عفسحبب ج حخ م ا ,ااسف سج سع هللا اعطاع١
اياصاف ا و فأح فب فعش ا:لاي,فعشفاع جف احشوج:لايف١ا؟ع
ححبسب١ فكأ فمجإلف١ا٠ ىه،وزبج:لاي,هف١اأ ج ١مايفع
اد فمذج ,ل١ شث أ عفسحبب ج ث م غ١شسسا.ااسفأ
Artinya : “Dari Abi Hurairah Radhiyallahu „anhu, ia berkata, aku mendengar
Rasulullah SAW bersabda : “Sesungguhnya manusia pertama yang diadili pada hari
kiamat adalah orang yang mati syahid di jalan Allah. Dia didatangkan dan
diperlihatkan kepadanya kenikmatan-kenikmatan (yang diberikan di dunia), lalu ia
pun mengenalinya. Allah bertanya kepadanya : Amal apakah yang engkau lakukan
dengan nikmat-nikmat itu? Ia menjawab : Aku berperang semata-mata karena
Engkau sehingga aku mati syahid. Allah berfirman : Engkau dusta! Engkau
berperang supaya dikatakan seorang yang gagah berani. Memang demikianlah yang
telah dikatakan (tentang dirimu). Kemudian diperintahkan (malaikat) agar menyeret
orang itu atas mukanya (tertelungkup), lalu dilemparkan ke dalam neraka.
Berikutnya orang (yang diadili) adalah seorang yang menuntut ilmu dan
mengajarkannya serta membaca Al-Qur‟an. Ia didatangkan dan diperlihatkan
33
https://almanhaj.or.id/2724-riya-dan-bahayanya.html
72
kepadanya kenikmatan-kenikmatannya, maka ia pun mengakuinya. Kemudian Allah
menanyakannya : Amal apakah yang telah engkau lakukan dengan kenikmatan-
kenikmatan itu? Ia menjawab : Aku menuntut ilmu dan mengajarkannya, serta aku
membaca Al-Qur‟an hanyalah karena engkau. Allah berkata : Engkau dusta! Engkau
menuntut ilmu agar dikatakan seorang „alim (yang berilmu) dan engkau membaca
Al-Qur‟an supaya dikatakan sebagai qari‟ (pembaca Al-Qur‟an yang baik). Memang
begitulah yang dikatakan (tentang dirimu). Kemudian diperintahkan (malaikat) agar
menyeret atas mukanya dan melemparkannya ke dalam neraka. Berikutnya (yang
diadili) adalah orang yang diberikan kelapangan rezeki dan berbagai macam harta
benda, ia didatangkan dan diperlihatkan kepadanya kenikmatan-kenikmatan, maka ia
pun mengenalinya (mengakuinya). Allah bertanya : Apa yang engkau telah lakukan
dengan nikmat-nikmat itu? Dia menjawab : Aku tidak pernah meninggalkan
shadaqah dan infaq pada jalan yang Engkau cintai, melainkan pasti aku
melakukannya semata-mata karena Engkau. Allah berfirman : Engkau dusta! Engkau
berbuat yang demikian itu supaya dikatakan seorang dermawan (murah hati) dan
memang begitulah yang dikatakan (tentang dirimu). Kemudian diperintahkan
(malaikat) agar menyeretnya atas mukanya dan melemparkannya ke dalam neraka.”
(HR. Muslim dan An-Nasa‟i). Dalam hadist diatas sudah sangat jelas bagaimana
perbuatan ria itu dibenci dan dimurkai Allah SWT.
Suatu adat kebiasaan yang belum jelas kedudukan maslahat yang harus
dijadikan dasar pemikiran, artinya suatu kebiasaan yang sudah berlaku sebelum
datangnya Islam atau terjadi dan dibiasakan kemudian, selama tidak mendatangkan
kerusakan atau menyalahi norma umum ajaran agama, pada dasarnya tetap berlaku
seterusnya. Hanya beberapa yang ada pada adat yang dimasukkan ke dalam hukum
Islam, diantaranya apabila ada antara nas, secara tegas yang bertentangan dengan
kebiasaan itu maka kebiasaan yang sudah berbentuk adat dapat diterima oleh hukum
Islam. Jadi selama adat itu tidak menyalahi aturan agama sah sah saja untuk
diberlakukan, akan tetapi jika adanya adat tersebut kemudian menimbulkan sesuatu
yang dibenci agama maka itu dapat tidak diberlakukan adat tersebut.34
Adat yang ada pada Bugis ini sangatlah melekat pada setiap insan Bugis dan
sangatlah sulit untuk dihapuskan adat tersebut. Jalan keluar yang terbaik adalah
melihat situasi dan kondisi dan juga fleksibilitas antara adat, hukum Islam dan
kondisi masyarakat terkini. Pesan yang sangat ingin penulis sampaikan adalah untuk
34
Wawancara Pribadi dengan Andi Akram (Ilmuwan dari Bugis). Depok, Senin, 21 Mei 2018.
73
orang tua-orang tua yang ingin menikahkan anaknya atau siapapun yang ingin
menikahkan seseorang yang dibawah perwaliannya agar tidak mempersulit proses
perkawinan anaknya. Jangan melihat seseorang hanya dari harta maupun
keturunannya. Jika memang betul pernikahan itu diniatkan karena semata-mata
karena Allah dan Rasul-Nya maka tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Jangan
berpikir bagaimana anak tersebut akan menafkahi pasangannya. Allah sudah
menjanjikan dari sebelum ruh kita diciptakan. Allah SWT telah menjanjikan tempat
tinggal, rezeki bahkan jodoh seseorang. Karena ketika seseorang masih berpikir
(khawatir dan takut) bagaimana anaknya menafkahi pasangannya, akan tinggal
dimana mereka itu sama saja menafikkan dan menghina kebesaran dan janji-janji
Allah SWT. Boleh diadakan pernikahan dengan adanya Dui Menre‟ asalkan tetap
melihat asas kemampuan dari pihak keluarga laki-laki.
74
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan penjelasan dan pemaparan yang terdapat pada bab sebelumnya
maka penulis dapat menyimpulkan sebagai berikut, yaitu :
1. Masyarakat Bugis di Sengkang, Sulawesi Selatan memahami bahwa Dui
Menre‟ itu adalah sebuah kewajiban yang mana harus diadakan di setiap proses
perkawinan untuk biaya pesta (dui balanca), cincin kawin (passiok) dan mas
kawin (sompa). Pesta tersebut dilakukan dari sepuluh hari atau satu minggu
sebelum hari perkawinan dilaksanakan. Dui Menre‟ inilah yang menjadi ciri
khas masyarakat Bugis dibandingkan dengan adat-adat yang lain karena
nilainya yang sangat tinggi. Nilai Dui Menre‟ itu tergantung dari keluarga calon
mempelai perempuan. Apabila keturunan, pencapaian dan status sosialnya
tinggi maka tinggi pula Dui Menre‟ nya. Jadi, alasan mempertahankan harga
diri dan simbol status sosial lah yang mendasari masyarakat Bugis mengadakan
Dui Menre‟.
2. Fenomena Silariang (kawin lari) yang terjadi pada adat Bugis Sengkang ini
disebabkan oleh besarnya Dui Menre‟. Dui Menre‟ adalah salah satu penyebab
terjadinya Silariang. Karena besarnya Dui Menre‟ dan keluarga laki-laki tidak
dapat memenuhi dan juga laki-laki tersebut sudah kepalang cinta dengan wanita
yang ingin dipinangnya, akhirnya mereka mengambil jalan keluar dengan
melakukan Silariang. Praktik Silariang ini sangat dikecam oleh masyarakat
Bugis, karena menyangkut Siri‟. Perbuatan Silariang ini akan mencoreng Siri‟
suatu keluarga yang mana akan menimbulkan permusuhan dan dendam antar
keluarga, sehingga dapat menimbulkan perbuatan pidana. Meskipun demikian,
masyarakat Sengkang tetap masih banyak yang melakukan Silariang tersebut.
Adapun praktik Silariang yang mereka lakukan adalah dengan cara kedua
75
pasangan ini memutuskan melakukan perkawinan di kampung lain atau tempat
lain, yang mana akan dinikahkan oleh imam adat yang biasanya merangkap
sebagai KUA, dengan mahar seadanya saja dan dihadiri juga oleh saksi yang
biasanya teman dari pelaku silariang serta wali hakim yang ditunjuk langsung
oleh imam adat. Biasanya yang menjadi wali hakim tersebut adalah petugas
dari KUA setempat.
3. Tradisi Dui Menre‟ dalam adat Bugis tidak sesuai dengan Hukum Islam,
sebagaimana dijelaskan pada Al-Qur‟an, yaitu QS. An-Nisa : 14 mengenai
pemberian mahar yang harus dilandasi dengan kerelaan bukan dilandasi dengan
berlebihan dan menyulitkan (Dui Menre‟). Sedangkan praktik silariang apabila
dikaji dari segi peraturan yang berlaku di Indonesia, penolakan wali dengan
alasan dui menre‟ itu tidak dibenarkan, karena dalam KHI pasal 61 disebutkan
“Tidak sekufu tidak dapat dijadikan alasan untuk mencegah perkawinan,
kecuali tidak sekufu karena perbedaan agama atau ikhtilaafu al dien.” Hanya
saja, kesalahan dalam praktik silariang itu adalah tidak memproses terlebih
dahulu penetapan wali adhal ke pengadilan Agama setempat sebelum
dinikahkan oleh wali hakim. Sedangkan dalam KHI pasal 23 ayat (2)
disebutkan bahwa “Dalam hal wali adhal atau enggan maka wali hakim baru
dapat bertindak sebagai wali nikah setelah ada putusan pengadilan Agama
tentang wali tersebut.”
4. Makna filosofis masyarakat Bugis Sengkang masih mempertahankan Dui
Menre‟ meskipun dapat menyebabkan Silariang adalah untuk mempertahankan
Siri‟, harga diri dan rasa malu yang sangat tinggi apabila melakukan prosesi
perkawinan dengan nilai dan nominal uang yang rendah. Jadi harus melakukan
pesta dengan mewah dan megah sesuai dengan status sosial perempuan.
Disinilah sebenarnya dipraktikkan ajaran menikah haruslah antar orang yang
sekufu. Obat penawar jika Siri‟ orang Bugis tercoreng adalah dengan
membunuh.
B. Saran-Saran
76
1. Bagi masyarakat Bugis, agar selalu mempertahankan budaya dan kebisaan yang
sudah diberlakukan. Menjaga suatu kebudayaan adalah suatu hal yang baik dan
mulia. Akan tetapi harus tetap diseimbangi antara pemahaman adat budaya
dengan pemahaman Agama yaitu hukum Islam, yang mana Allah menurunkan
Agama Islam bukan untuk menyulitkan atau menyusahkan pemeluknya akan
tetapi pemeluknya sendirilah yang membuat dirinya sendiri sulit dan susah.
2. Bagi orang tua-orang tua yang akan menikahkan anaknya, agar lebih
memperhatikan situasi dan kondisi yang ada dan sesuai dengan anjuran yang
sudah dianjurkan oleh Rasulullah SAW. Jangan menyulitkan perkawinan
karena tidak sanggupnya membayar Dui Menre‟ atau karena bukan dari
keturunan raja (darah biru). Karena sesungguhnya manusia itu semua sama,
yang membedakan hanyalah kondisi maka dari itu janganlah melihat dari
kondisi sesuatu atau seseorang dari saat ini atau waktu sekarang ini, karena
belum tentu di hari yang akan datang seseorang tersebut masih sama seperti
sebelumnya. Allah sudah menjanjikan banyak kebaikan kepada hambanya yang
beriman dan memenangkan Allah SWT.
3. Bagi seluruh mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, agar lebih banyak meneliti dan menulis di bidang etnografis agar
mendapatkan jawaban-jawaban korelasi antar hukum adat-adat atau
pemahaman yang berlaku dengan hukum Islam dan pemahaman-pemahaman
Islam. Terutama dalam tradisi perkawinan yang ada pada berbagai macam suku
adat di Indonesia. Sehingga menciptakan suatu karya yang baru dan tinggi
nilainya.
77
DAFTAR PUSTAKA
„Ulwan, Abdullah Nasikh. ed, Aqabaatuz Zawaaj wa Thuruqu Mu‟aalajatiha „alaa
Dlaulil Islam. Penerjemah Moh. Nurhakim. Perkawinan Masalah Orang
Muda, Orang Tua dan Negara, Jakarta : Gema Insani Press, 1992.
Abbas, Ahmad Sudirman, Pengantar Pernikahan, Jakarta : PT. Prima Heza Lestari,
2006.
Abdullah, Abdul Gani, Pengantar Kompilasi Hukum Islam Dalam Tata Hukum
Indonesia, Jakarta : Gemani Insani Press, 1994.
Al-„Utsaimin, Muhammad bin Shalih, Shahih Fiqih Wanita Menurut Al-Qur‟an dan
As-Sunnah, Jakarta : Akbarmedia, 2009.
Al‟Ati, Hammudah „Abd, The Family Structure in Islam (Keluarga Muslim),
Surabaya : PT. Bina Ilmu, 1984.
Al-Humaidhy, Muhammad bin Abdul Aziz, Kawin Campur dalam Syariat Islam,
Riyadh : Darul Humaidhy, 1991.
Al-Musnad, Abdul Aziz bin Abdurrahman, Perkawinan dan Masalahnya, Jakarta :
Pustaka Al-Kautsar, 1993.
ASM, Saifuddin, Membangun Keluarga Sakinah (Tanya Jawab Seputar Masalah
Keluarga dan Solusinya),Tanggerang : Qultum Media, 2008.
Bungaran Antonius Simajuntak, et.al, ed. Harmonious Family (Upaya Membangun
Keluarga Harmonis), Jakarta : Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2013.
Djaelani, Abdul Qodir, Keluarga Sakinah, Surabaya : PT. Bina Ilmu, 1995.
Faisal, Sanapiah, Format-Format Penelitian Sosial, Jakarta : PT. Raja Grafindo
Persada, 2003.
Faridl, Miftah, 150 Masalah Nikah & Keluarga, Jakarta : Gema Insani Press, 1999.
HAAR, TER, di terjemahkan oleh K. Ng. Soebakti Pesponoto, Asas-Asas dan
Susunan Hukum Adat, Jakarta : PT. Balai Pustaka 2013.
Haem, Nurul Huda, Awas! Ilegal Wedding dari Penghulu Liar Hingga
Perselingkuhan, Jakarta : PT. Mizan Publika, 2007.
78
Iwan Januar, Bukan Pernikahan Cinderella (Hanya Untuk Pasangan Muda), Depok :
Gema Insani, 2007.
Kuzari, Ahmad, Nikah Sebagai Perikatan, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 1995.
Lamallongeng, Asmat Riady, Dinamika Perkawinan Adat Dalam Masyarakat Bugis
Bone, Makassar : Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Bone, 2007.
Manshur, Shaleh bin Abdul Aziz Alu, Nikah Dengan Niat Talak?, Surabaya : Pustaka
Progressif, 2004.
Mardani, Hukum Keluarga Islam di Indonesia Cet. 2; Jakarta : PT. Fajar Inteprama
Mandiri, 2017.
Mattalatta, Andi, Meniti Siri‟ dan Harga Diri Cet. 2; Jakarta : Khasanah Manusia
Nusantara, 2014.
Matuladda, Bugis-Makassar (Manusia dan Kebudayaannya), Jakarta : Perpustakaan
Pusat Universitas Indonesia, 1993.
Mughniyah, Muhammad Jawad, Fiqih Lima Madzhab : Ja‟fari, Hanafi, Maliki,
Syafi‟I, Hambali Cet. 27; Jakarta : Lentera, 2011.
Muhammad, Abdullah bin. ed, Lubaabut Tafsir Min Ibni Katsiir. Penerjemah M.
Abdul Ghoffar. Tafsir Ibnu Katsir Cet. 2; Bogor : Pustaka Imam Syafi‟I,
2004.
Mulyati, Sri, et.al, eds., Relasi Suami Istri dalam Islam, Jakarta : Pusat Studi Wanita
(PSW) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2004.
Pattiroy, Ahmad dan Idrus Salam. “Tradisi Doi Menre‟ DAlam Pernikahan Adat
Bugis di Jambi”. Artikel Universitas Islam Negeri Sunan Kali Jaga, 2008.
Profil Kabupaten Wajo, gatoetn.blogspot.co.id/konten/2010/02/25/profil-kabupaten-
wajo.html
Qodir, Abdul, Pencatatan Pernikahan dalam Prespektif Undang-Undang dan Hukum
Islam, Depok: Azza Media, 2014.
Ramulyo, Mohd. Idris, Hukum Perkawinan Islam, Jakarta : PT. Bumi Aksara, 1999.
Sahrani, Sohari dan Tihami, Fikih Munakahat : Kajian Fikih Nikah Lengkap, Jakarta
: PT. Raja Grafindo Persada, 2009.
79
Silariang dalam Perspektif Budaya Siri‟ pada Suku Makassar, Jurnal Pustaka,
(Makassar), Januari – Juni 2015, h. 54.
Simanjuntak, Hukum Perdata Indonesia, Jakarta : PT. Fajar Interpratama Mandiri,
2015.
Soekanto, Soerjono, Hukum Adat Indonesia, Jakarta: CV. Rajawali Jakarta, 1981.
Soemadiningrat, Otje Salman, Rekonseptualisasi Hukum Adat Kontemporer: Telaah
Kritis terhadap Hukum Adat sebagai Hukum yang Hidup dalam Masyarakat,
PT. Alumni Bandung, 2001.
Soemadiningrat, Otje Salman, Rekonsiptualisasi Hukum Adat Kontemporer, Bandung
: PT. Alumni Bandung, 2001.
Susilawati. “Fenomena Silariang di Desa Bululoe Kecamatan Turatea Kabupaten
Jeneponto.” Skripsi S1, Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar, 2016.
Syarifuddin, Amir, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Jakarta : Kencana, 2007.
Syuhud, A. Fatih, Keluarga Sakinah (Cara Membina Rumah Tangga Harmonis,
Bahagia dan Berkualitas), Malang : Pustaka Alkhoirot, 2013.
Tika, Z dan M. Ridwan Syam, Silariang dan Kisah-Kisah Siri‟, Makassar : Pustaka
Rfleksi, 2005.
Widnyana, I Made, Hukum Pidana Adat dalam Pembaharuan Hukum Pidana, PT.
Fikahati Aneska, 2013.
Wiranata, I Gede A. B., Hukum Adat Indonesia Perkembangannya dari Masa ke
Masa, Bandung : Citra Aditya Bakti, 2005.
Yusuf, Ahmad Muri, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan Penelitian
Gabungan, Jakarta: PT. Fajar Interpratama Mandiri, 2014.
Zainuddin, Afwan dan Zainuddin, Kepastian Hukum Perkawinan Siri dan
Permasalahannya Ditinjau dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974,
Yogyakarta : CV. Budi Utama, 2017.
Zurinal dan Aminuddin, Fiqih Ibadah, Jakarta : Lembaga Penelitian Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah, 2008.
Artikel dan Wawancara
Batas Wilayah, id.wikipedia.org /konten/2017/06/19/ Sengkang_(kota).
80
Dermawan, Abu Bilal Juli, “Mahar”. Majalah As-Sunnah Baituna, Vol. 2016, 9,
(2016) : 1.
https://almanhaj.or.id/2724-riya-dan-bahayanya.html
Hukum Perkawinan di Indonesia : Mahar, dwiprasetiyawati.wordpress.com
/dokumen/2017/06/22/ hukum-perkawinan-di-indonesia-mahar.
Jabal Hikmah, repository.umy.ac.id/handle/2014/07/20/konformitas-islam-dan-adat-
potret-fanatisme-keagamaan-di-kalangan-muslim-bugis.
Letak Geografis, wajokab.go.id /konten/2017/09/20/letak-geografis.
Mahar dalam Hukum Islam, syulhadi.wordpress.com/konten/mahar-dalam-hukum-
islam.
Pasal 1 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, kemenag.go.id
/dokumen/1974/01/02/UUPerkawinan.
Pasal 1 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, kemenag.go.id
/dokumen/1974/01/02/UUPerkawinan, h. 2.
Pasal 1 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, kemenag.go.id
/dokumen/1974/01/02/UUPerkawinan, h. 3.
Wawancara Pribadi dengan Andi Akram, Ketua PA Depok & Ilmuwan Bugis, Depok,
21 Mei, 2018.
Wawancara Pribadi dengan Andi Jumrah dan H.Sakka, Pelaku Silariang, Pammana,
11 Mei 2018.
Wawancara Pribadi dengan Irwanzah, Masyarakat Bugis, Calodo, 11 Mei 2018.
Wawancara Pribadi dengan La Masi, Masyarakat Bugis, Calodo, 11 Mei 2018.
Wawancara Pribadi dengan M. Adlin Sila, Ilmuwan Bugis, Ciputat, 17 Mei, 2018.
www.bloggersbugis.com/2015/07/mengenal-keunikan-tradisi-mappabotting-adat-
suku-bugis.html
81
Wawancara Pribadi
Wawancara pribadi dengan Dr. M. Adlin Sila., MA., Ph.D
Saya : Pak Adlin Sila, judul skripsi saya adalah “Silariang Sebagai Akibat
Dui Menre‟ dalam adat Bugis Sengkang Sulawesi Selatan”.
Adlin Sila : Silariang itu kan bareng bareng larinya, kalau ilariang perempuan di
bawa lari sedangkan erang kale adalah perempuan yang lari ke
rumah laki-laki. Silariang berarti sepakat untuk lari bersama karena
orang tua yang tidak menyetujui atau tidak sesuai dengan kemauan
orang tua.
Saya : Bagaimana menurut bapak, proses perkawinan pada adat Bugis?
Adlin Sila : Intinya orang bugis makassar itukan sama ya, status sosial keluarga
perempuan yang menentukan, bukan perempuannya, malah
keluarganya. Semakin tinggi status sosial keluarga perempuan maka
semakin pula uang mahar/mas kawin yang akan dibayarkan oleh laki-
laki. Kalau yang melamar itu status nya sama atau lebih maka relative
lebih flexibel dan dapat di negosiasi. Akan tetapi jika lebih rendah
maka biasanya akan diberikan harga yang tinggi, apalagi yang
melamar orang luar bugis makassar maka akan bisa lebih mahar lagi,
karena prinsip sistem kekerabatan orang Bugis Makassar itu harta
tidak boleh keluar dari lingkungan keluarga/di protect. Jika orang luar
dikhawatirkan akan membawa pergi harta/aset. Maka di proteksi
dengan mahar yang tinggi, dengan harapan tidak terpenuhi. Kalau bisa
dipenuhi berarti dianggap kekayaannya lebih besar maka dapat
diterima. Memang kalau dilihat dari segi ekonomi sangatlah
materialistis. Dalam penemuan tesis saya, perempuan bugis makassar
itu cenderung menikah ke atas, maksudnya menikah dengan laki-laki
yang status sosialnya minimal sama atau lebih tinggi. Kalau laki-laki
82
menikah kebawah, dia menikahi perempuan yang sama atau yang lebih
di bawah status sosialnya.
Saya : Kalau sejarahnya Silariang bagaimana pak?
Adlin Sila : Silariang itu memang karena ada pelanggaran pada hukum. Makanya
anak perempuan itu apalagi kalau sudah ditunangkan dilarang untuk
tampil di depan umum, karena dikhawatirkan akan tertarik dengan
laki-laki lain. Bahkan melihat bentuk tubuhnya yang dianggap aurat itu
dianggai siri. siri itu terdapat dua makna yaitu harga diri dan
dipermalukan. Jadi bisa self estimed bisa juga shame. Ketika anank
perempuan itu kawin lari itu menjadi malu keluarga perempuannya
dan secara bersamaan harga dirinya tercoreng. Cara untuk merestorasi
tercorengnya harga diri ini adalah dengan cara membunuh. Membunuh
dua-duanya. Karena pembunuhan itulah yang menjadi obat. Kalau kata
orang Malaysia dipulakan. Ada istilah proses abbaji, yaitu keluarga
perempuan sudah memaafkan akan tetapi harus diresmikan seperti
resepsi. Biasanya itu setelah mereka punya anak. Mereka mengirimkan
wakil ke keluarga perempuan untuk menyampaikan niat abbaji.
Saya : Bagaimana proses kawin lari itu sendiri pak? Yang kita ketahui kan
bahwa mereka dinikahkan oleh imam adat, kemudian bagaimana
maharnya?
Adlin Sila : Mahar jadinya tidak ada lagi, hanya semampunya si laki-laki. Karena
syarat pernikahan itu kan bukan mahar. Syarat sah nikah itu kan ada
kedua mempelai, wali, dua saksi dan ijab qabul. Nah, wali ini lah yang
masalah biasanya kalau terjadi kawin lari. Biasanya imam yang
merangkap KUA mengirim surat ke orang tua perempuan agar orang
tua perempuan mengizinkan. Apabila orang tua perempuan tidak
mengizinkan atau tidak mau menjadi wali, KUA dapat menunjuk wali
hakim. Kepala KUA juga biasanya kan penghulu.
83
Saya : Berarti memang konsekuensinya setelah silariang adalah saling bunuh
membunuh?
Adlin Sila : Iya, makanya mereka menghindar, ga boleh ketemu sama keluarganya.
Saya ada kasus pernah, rumah itu hanya ada 1 pintu 2 lantai, ketika
menantunya datang mereka menghindar padahal bukan keluarga
langsung, dia menghindar dengan lompat dari balkon lantai 2.
Ketika keluarga kedua belah pihak bertemu juga bisa bunuh-bunuhan.
Biasanya keluarga perempuan mendelegasikan untuk bicara baik-baik
agar menjadi keluarga utuh dan baik lagi akan tetapi dendam itu lah
yang menjadi penghalang. Intinya untuk abbaji itu kesepakatan antara
kedua belah pihak (keluarga).
Saya : Kenapa tokoh masyarakat di Bugis itu masih mempertahankan Dui
Menre‟ itu sendiri yang menyebabkan Silariang?
Adlin Sila : Agak sulit ya, karena dalam ilmu sosial itu kan namanya fakta sosial,
fakta sosial itu kan adalah nilai. Nilai norma yang tidak kelihatan
(invisible hand) tapi semua menganggap ini normal. Kalau kita
melanggar kita akan di cap bukan sebagai orang Bugis Makassar. Ada
pepatah mengatakan orang Bugis Makassar kalau menikah tidak
memakai adat Dui Menre‟ maka tidak bsa dikatakan sebagai orang
Bugis-Makassar, yang ada orang jawa, dll. Stigmanya kalau tidak
pakai Dui Menre aka nada external constrain atau faktor luar yang
memaksa dia kalau mau jadi orang Bugis Makassar ya harus memakai
Dui Menre‟. Adat ini yang menjadi penanda bahwa kami adalah
muslim Bugis. Adat itu adalah penanda eksistensi dia.
Saya : Bagaimana pandangan masyarakat kepada orang yang melakukan
Silariang?
Adlin Sila : Iya sangat buruk bahkan sampai nanti keturunannya.
Saya : Apakah pihak aparat kepolisian ikut andil dalam maslaha ini?
Adlin Sila : Tidak, selama tidak ada tindak pidana.
84
Wawancara Pribadi
Wawancara pribadi dengan Andi Akram., SH., MH
Saya : Pak Andi Akram, judul skripsi saya adalah “Silariang Sebagai Akibat
Dui Menre‟ dalam adat Bugis Sengkang Sulawesi Selatan”.
Andi Akram : Dui Menre‟ itu kan adat. Dui Menre‟ itu adalah duit pesta yang mana
kesepakatan antara kedua belah pihak keluarga yang ditentukan
keluarga perempuan. biaya pesta ini bukan hanya di Bugis Makassar
saja, di sunda, jawa juga ada, akan tetapi kalau Bugis Makassar itu
memiliki ciri khas sendiri. Pemahaman masyarakat kita di Bugis
Makassar, semakin tinggi derajat seseorang maka semakin tinggi biaya
pestanya (Dui Menre‟). Padahal itu sangat bertentangan dengan Hadist
Rasulullah “Adakanlah pestamu dengan seekor kambing”. Anjuran
Rasulullah lakukanlah perkawinan dengan sesederhana mungkin.
Bukan berarti dengan mempermudah perkawinan itu memudah-
mudahkan. Akan tetapi maksudnya niat menjalankan sunnah Rasullah
tidak terhalang hanya karena persioalan pesta perkawinan yang
mungkin dikesankan foya-foya. Sehingga tidak sedikit terjadi
perceraian, masalah Dui Menre‟ itu minta dikembalikan. Ketika malam
pertama tidak berhasil rukun, tidak ada dukhul. Jadi Dui Menre‟ itu di
tuntut balik. Sebenarnya yang bisa dituntut balik adalah mahar akan
tetapi apabila belum di dukhul.kita dapat melihat status sosial
seseorang dari Dui Menre‟ yang dihitung berdasarkan real. Yang harus
di pahami oleh masyarakat adalah yang harus dinaikkan adalah
maharnya bukan Dui Menre‟ nya. Memang sekarang sangat
diperhitungkan jika ingin melakukan pesta. Kalau di Bugis itu
membuat pesta dilakukan di tempat kedua belah pihak. Kalau dari segi
pengertian umum Dui Menre‟ itu kan adalah sumbangan atau bantuan
untuk dana pesta. Kenapa harus ada? Karena ketika pada saat
85
mengantar penganten laki-laki ke pihak perempuan kan banyak bawa
pasukan, nah untuk transportasi dan makan, dll itu yang menanggung
adalah pihak laki-laki sehingga tidak menyusahklan pihak perempuan.
Saya : Kalau untuk Silariang nya itu sendiri pak?
Andi Akram : Silariang itu di dalam hukum Islam itu kan tidak ada, ada tradisi dalam
masyarakat kita bahwa ketika anaknya dibawa oleh seorang laki-laki
maka timbllah Siri‟. Siri‟ itu adalah rasa malu. Akan tetapi pemahaman
masyarakat Bugis bahwa Siri‟ itu harus sampai terjadi adanya korban.
Silariang itu terjadi karena tidak ada restu dari orang tua untuk
sementara si anak ini sudah kenal lama dan mereka mau memasuki
jenjang pernkahan tetapi orang tua tidak memberi restu mereka nekat.
Kalau di dalam hukum Islam itu ada jalan keluar bagi mereka yang
tidak mendapat restu yaitu dengan ke pengadilan dengan mengajukan
wali hakim karena walinya adhal. Wali hakim adalah jalan keluar bagi
mereka yang walinya tidak dapat menjadi wali. Akan tetapi yang harus
disadarkan kepada masyarakat kita adalah bukan semata-mata karena
tidak mendapat restu orang tua kemudian ujuk-ujuk langsung melapor
ke KUA, tapi harus ada dulu putusan pengadilan. Kalau itu terjadi apa
bedanya dengan germo, germo itu yang saya pahami di masyarakat
luas, germo itu adalah orang yang kemudian menyiapkan perempuan
yang tidak benar kepada lelaki hidung belang yang hanya ingin
melampiaskan nafsu syahwatnya. Jangan sampai kesan orang kepala
KUA ketika seorang wali adhal, lalu kemudian kedua mempelai
langsung datang ke KUA, meminta kepada KUA untuk diminta
dinikahkan. memang dalam beberapa madzhab juga bahwa memang
wali hakim dapat menikahkan seorang wanita. Sekarang sudah ada
pengadilan, haruslah terlebih dahulu ke Pengadilan untuk mendapatkan
putusan bahwa walinya adhal, walaupun nanti juga yang ditunjuk
adalah kepala KUA tersebut.
86
Saya : Apakah nilai Dui Menre‟ karena strata sosial bisa di cegah pak?
Andi Akram : Nah itulah yang saya perhatikanm sekarang ini ada juga yang tidak
melihat kepada keturunan bangsawannya, tapi dia ada pemaknaan
yang lebih luas yaitu dia anak orang kaya, jadi lebih kepada gengsi.
Kalau zaman saya, kalau ada orang biasa melamar kepada anak
bangsawan, dia itu terkadang harus menyiapkan uang untuk meli dara
istilah bahasa Bugisnya. Jadi bukan lagi dilihat dari segi
bangsawannya, tetapi dari kekayaannya seperti anaknya pembisnis
yang kaya, sarjana, umroh dll. Kesannya jadi seperti menjual. Jadinya
intinya perluasan makna adat.
Saya pernah ada saudara yang pernah menikah dengan orang
Gorontalo, dia minta biaya pesta itu besar, padahal Gorontalo bukan
Bugis, alasannya dia mau mengundang pejabat-pejabat dan lain-lain.
Padahal tidak ada kewajiban mengundang mereka, hanya mereka mau
memperlihatkan status juga. Tidak terjadinya pelamaran itu karena
terlalu besarnya uang pesta itu sendiri. Mereka mereka yang
melakukan Silariang rata rata yang melakukan itu maksimal yang
pendidikannya SMA, jarang sekali yang sarjana melakukan itu.
Saya : Bagaimana proses dan syarat-syarat Mappadeceng?
Andi Akram : Ada syarat-syarat tertentu yaitu harus ada penghubung antara keluarga
laki-laki dan perempuan. ketika acara Mappadeceng itu tetap ada
pesta. Akan tetapi pesta Mappadeceng ini bukan lah rangkaian dari
perkawinan. Hanya silaturahmi dan makan-makan antar keluarga.
Untuk memperingati kedatangan seluruh keluarga dan nantinya akan
sadar bahwa oh ini anak saya, saya harus memaafkan dsb. Apalagi
kalau mereka sudah punya anak dan si laki-laki sudah punya pekerjaan
yang tetap.
Saya : Apakah dalam penyelesaian adat bisa dicampuri oleh pihak yang
berwajib?
87
Andi Akram : Ya ketika terjadi tindak pidana, wajib polisi masuk. Polisi tidak mau
tau menau kalau itu masalah adat. Jadi, tidak dengan alasan Silariang,
keluarga saya dimalukan, itu namanya main hakim sendiri. Kenapa
tidak langsung melapor saja bahwa ada kasus penculikan.
88
Wawancara Pribadi
Wawancara pribadi dengan Andi Jumrah & H. Sakka
Saya : Andi Jumrah dan H. Sakka, judul skripsi saya adalah “Silariang
Sebagai Akibat Dui Menre‟ dalam adat Bugis Sengkang Sulawesi
Selatan”. Mungkin bisa diceritakan bagaimana proses ketika terjadi
Silariang?
H. Sakka : Awalnya silariang itu saya bertemu dengan Andi Jumrah karena ada
hubungan bisnis. Ketika saling suka dan orang tua Andi Jumrah tidak
menerima dan tidak mau menikahi maka terjadilah Silariang, akhirnya
terpaksa lari untuk mencari aman yaitu menikah. Akan tetapi kalau
kesaksian dari pemerintah memang belum ada, yang penting menikah
dulu, akan tetapi yang dihindari adalah zina, maka apabila sudah kawin
kan tidak dapat disebut zina.
Saya : Bagaimana ketika tidak di terimanya H. Sakka?
H. Sakka : Pada intinya saya tidak resmi dengan keluargamu karena berbeda
keturunan sehingga timbullah jumlah Dui Menre‟ yang sangat besar.
Karena sudah cinta dan harus bersatu maka ya harus lari dari
kampungnya untuk mencari tempat aman.
Saya : Bagaimana prosesi Silariang itu?
H. Sakka : Ya kami pergi ke kampung Sinjai di daerah Bulukumba kemudian
kami pergi ke pemuka adat atau imam adat yang mana menunjuk wali
hakim. Bisa disebut wali hakim atau mereka disini menyebutnya
dengan penghulu liar. Untuk wali perempuan disebut wali malebang,
artinya ssegala permasalahn hanya dia yang memiliki power dan
didengar untuk menyelesaikan masyarakat.
Saya : Bagaimana dengan Dui Menre‟ nya?
H. Sakka : Inilah rintangan yang dihadapi Andi Jumrah dan H.Sakka. Pada
perjalannnya kedua pasang ini sudah saling mencintai yang mana rasa
89
cinta itu menimbulkan niat baik, sehingga ingin sekali H.Sakka
langsung pergi melamar Andi Jumrah pada tahun 1988. Pada saat
keluarga H.Sakka datang melamar (Ma‟duta), terjadilah penolakkan
dikarenakan keturunan, tahta dan permintaan Dui Menre‟ yang tidak
terpenuhi. Pada saat itu keluarga perempuan meminta Dui Menre‟
sebesar Rp. 200.000.000,- tunai dan belum termasuk non tunai yang
berupa sawah. Karena keluarga H.Sakka tidak sanggup memenuhi Dui
Menre‟ dan juga sudah saling mencintai maka keduanya mengambil
jalan pintas dengan Silariang
Saya : Bagaimana Proses Mappadeceng nya?
H. Sakka : Sesudah kawin di kampung sana maka uang dikirim ke rumah
perempuan untuk Mappadeceng untuk persiapan keluarga yang akan
hadir. Bahwa kami yang telah melakukan kesalahan meminta maaf dan
ingin meminta agar dapat diterima kembali oleh keluarga besar.
Saya : Apakah sampai terjadi kerusuhan?
H. Sakka : Waktu kami pergi, rumah kami ini di kepung, untuk menangkap kami,
entah mau menangkap, entah mau memperbaiki, tapi yang pasti
minimal ditangkap karena kondisi mereka sangatlah emosi.
Saya : Bagaimana dengan pihak berwajib?
H. Sakka : Terkadang, pada waktu itu terjadi pihak kepolisian tidak ada, kala
masalah adat tidak bisa polisi ikut campur tangan, kecuali ada yang
pergi melapor, barulah dapat di berikan sanksi yang melakukan main
hakim sendiri. Selama tidak ada korban maka polisi pun tidak akan
turun tangan.
Saya : Apakah ada syarat-syarat yang harus di penuhi ketika Mappadeceng?
H. Sakka : TIdak ada, hanya silaturahmi dan makan-makan saja.