MUHAMMAD RAFI IRWANZAH-FSH.pdf - Institutional ...

108
SILARIANG SEBAGAI AKIBAT DUI MENRE’ DALAM ADAT BUGIS (Tinjauan Hukum Islam Terhadap Perkawinan Adat Bugis di Kecamatan Pammana Sengkang Sulawesi Selatan) Skripsi Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.) Oleh : Muhammad Rafi Irwanzah NIM. 11140440000033 PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A 2018 M/1440 H

Transcript of MUHAMMAD RAFI IRWANZAH-FSH.pdf - Institutional ...

SILARIANG SEBAGAI AKIBAT DUI MENRE’ DALAM ADAT BUGIS

(Tinjauan Hukum Islam Terhadap Perkawinan Adat Bugis di Kecamatan

Pammana Sengkang Sulawesi Selatan)

Skripsi

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)

Oleh :

Muhammad Rafi Irwanzah

NIM. 11140440000033

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

J A K A R T A

2018 M/1440 H

i

SILARIANG SEBAGAI AKIBAT DUI MENRE’ DALAM ADAT BUGIS

(Tinjauan Hukum Islam Terhadap Perkawinan Adat Bugis di Kecamatan Pammana

Sengkang Sulawesi Selatan)

Skripsi

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)

Oleh :

Muhammad Rafi Irwanzah

NIM. 11140440000033

Dibawah Bimbingan :

Dr. Hj. Mesraini, S.H.,M.Ag.

NIP. 197602132003122001

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

J A K A R T A

2018 M/1440 H

ii

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa :

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi

salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Universitas Islam Negeri

(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan

sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN)

Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya

atau merupakan hasil penjiplakan karya orang lain, maka saya bersedia

menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif

Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 24 Juni 2018

10 Syawwal 1439 H

Muhammad Rafi Irwanzah

iii

PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI

Skripsi yang berjudul “SILARIANG SEBAGAI AKIBAT DUI MENRE’ DALAM

ADAT BUGIS” (Tinjauan Hukum Islam Terhadap Perkawinan Adat Bugis di

Kecamatan Pammana Sengkang Sulawesi Selatan) telah diujikan dalam sidang

munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif

Hidayatullah Jakarta pada tanggal 20 Agustus 2018. Skripsi ini telah diterima

sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Strata Satu (S1) Sarjana Hukum (S.H)

pada Program Studi Hukum Keluarga (Ahwal al-Syakhshiyyah).

Dekan Fakultas Syariah dan Hukum

Jakarta, 3 Oktober 2018

Mengesahkan,

Dr. Asep Saepudin Jahar, M.A.

NIP. 196912161996031001

PANITIA UJIAN SKRIPSI

Ketua : Dr. H. Abdul Halim, M.A. (……………………...)

NIP. 19670608 1994031005

Sekertaris : Indra Rahmatullah, SH.I.,MH. (……………………...)

NIP.

Pembimbing : Dr. Hj. Mesraini, S.H.,M.Ag. (……………………...)

NIP. 19760213 2003122001

Penguji 1 : Dr. Muchtar Ali, M.Hum. (……………………...)

NIP. 19570408 1986031002

Penguji 2 : Dr. Moh. Ali Wafa, S.Ag.,M.Ag. (……………………...)

NIP. 19730424 2002121007

iv

ABSTRAK

Muhammad Rafi Irwanzah. NIM 11140440000033. Silariang Sebagai

Akibat Dui Menre’ dalam Adat Bugis (Tinjauan Hukum Islam Terhadap Perkawinan

Adat Bugis di Kecamatan Pammana Sengkang Sulawesi Selatan). Skripsi, Program

Studi Hukum Keluarga, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri

(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, 1439 H/2018 M (x halaman + 81 halaman + 17

halaman lampiran).

Skripsi ini bertujuan untuk menganalisis a) Apa landasan yang digunakan

oleh masyarakat Bugis di Kecamatan Pammana, Sengkang, Sulawesi Selatan dalam

penetapan Dui Menre’, b) Bagaimana praktik Silariang sebagai akibat Dui Menre’

yang dilakukan oleh masyarakat Bugis di Sengkang, c) Bagaimana tinjauan hukum

Islam dan peraturan di Indonesia terhadap tradisi Dui Menre’ dan Silariang pada adat

Bugis Sengkang, d) Alasan masyarakt Bugis masih mempertahankan Dui Menre’

padahal menimbulkan dampak negatif yang sangat beresiko.

Penelitian ini termasuk dalam penelitian lapangan (field research), yang

bersifat analitik dan merupakan kelanjutan dari penelitian deskriptif yang memiliki

tujuan bukan hanya memaparkan karakteristik tertentu, tetapi juga meneliti,

menganalisa dan menjelaskan mengapa atau bagaimana itu semua terjadi.

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian antropologis. Data

yang digunakan terdiri dari data primer dan data sekunder. Teknik pengumpulan

datanya adalah dengan melakukan wawancara pribadi mendalam dengan pelaku

Silariang dan beberapa masyarakat Pammana serta melakukan studi pustaka.

Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa a) yang mendasari dilakukannya

Dui menre’ pada masyarakat Bugis Sengkang adalah strata sosial, keturunan dari

keluarga perempuan dan pencapaian pendidikan si perempuan. b) Silariang yang

mana sebagai akibat dari Dui Menre’ ini telah dipraktikan sejak lama oleh

masyarakat Bugis, yang mana Silariang itu adalah kawin lari atas persetujuan kedua

belah pihak (laki-laki & perempuan) yang tidak direstui oleh keluarga pihak

perempuan. Pada proses silariang itu diadakan dengan mahar yang seadanya dan

dihadiri oleh saksi yang biasanya teman dari pelaku silariang itu sendiri serta wali

hakim yang ditunjuk oleh imam adat yang merangkap KUA. c) Praktik Dui Menre’

ini dinilai kurang sesuai dengan ketentuan hukum Islam bahwa jumlah mahar tidak

boleh memberatkan suami, karena dalam Islam kadar mahar tersebut diukur

berdasarkan kesanggupan suami. Sedangkan pelaksanaan akad nikah dalam praktik

Silariang juga dinilai tidak sesuai dengan ketentuan perkawinan yang diatur dalam

Kompilasi Hukum Islam (KHI) di Indonesia, karena dalam KHI disebutkan

penetapan wali adhal harus dilakukan melalui Pengadilan Agama, sementara dalam

Silariang hal tersebut tidak dilakukan. d) Alasan masyarakat Bugis masih

mempertahankan Dui Menre’ dikarenakan Siri’ (harga diri), harga diri yang sangat

dijunjung tinggi ini adalah ciri khas masyarakat Bugis, Sulawesi Selatan.

Kata Kunci : Dui Menre’, Silariang, Adat Bugis, Sengkang.

Pembimbing : Dr. Hj. Mesraini, S.H., M. Ag

Daftar Pustaka : 1981 – 2017

v

KATA PENGANTAR

حيم حمن الر بسم هللا الر

Segala puji bagi Allah SWT Tuhan semesta alam yang mana selalu

melimpahkan kita semua nikmat, kasih sayang dan perlindungan, khususnya kepada

penulis pribadi. Shalawat serta salam kepada Kekasih Allah, Nabiyullah Muhammad

SAW yang mana membawa umat manusia dari zaman kebodohan hingga zaman yang

penuh dengan kedamaian.

Dalam proses penulisan skripsi ini, penulis menerima banyak sekali bantuan

dari berbagai pihak, sehingga dapat terselesaikan atas izin Allah SWT. Maka dari itu,

dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan rasa terima kasih yang sebesar-

besarnya kepada semua pihak yang telah membantu proses penyelesaian skripsi ini,

baik secara moril maupun materil, terkhusus kepada :

1. Dr. Asep Saepudin Jahar, M.A. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum

Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta beserta wakil

Dekan I, II dan III Fakultas Syariah dan Hukum.

2. Dr. H. Abdul Halim, M.A. Ketua Program Studi Hukum Keluarga beserta

Indra Rahmatullah , S.HI, M.H. Sekretaris Program Studi Hukum Keluarga,

yang terus mendukung dan memotivasi penulis agar segera menyelesaikan

skripsi ini.

3. Dr. Hj. Mesraini, S.H.,M.Ag. Kepala Laboratorium Hukum Fakultas Syariah

dan Hukum, sebagai dosen penasehat akademik sekaligus dosen

pembimbing skripsi penulis, tidak pernah lelah menemani penulis dari

semester 1 sampai semester 8 ini, yang selalu mengingatkan agar tidak diam,

membimbing penulis, mengarahkan penulis dalam penyelesaikan skripsi ini

dengan segera dan baik agar segera di wisuda dengan baik.

4. Terima kasih kepada Dra. Azizah, M.A., dan Dr. Yayan Sopyan, S.H.,

M.Ag., dosen penguji dalam munaqasyah, para dosen yang telah

vi

memberikan ilmunya kepada penulis, beserta seluruh staff dan karyawan

yang telah memberikan pelayanan yang baik dan maksimal.

5. Para narasumber yang telah meluangkan waktunya untuk memberikan data-

data terkait penelitian ini, Dr. H, Muhammad Adlin Sila, M.A., Ph.D

(Ilmuwan dari Bugis), Dr. H. Andi Akram, S.H., M.H (Ilmuwan dari Bugis),

Andi Jumrah (Pelaku Silariang), H. Sakka (Pelaku Silariang), beserta

beberapa elemen masyarakat, Irwanzah dan La Massi.

6. Teruntuk guruku tercinta Dr. Tubagus Wahyudi, S.T., M.Si., MCHT., CHI.

yang biasa penulis panggil dengan Om Bagus dan Istrinya tercinta, ibundaku

Mba Wie. Kepribadian, ilmu, akhlak, leadership, nasehat dan semuanya

yang berkaitan dengan menjadi manusia yang sesungguhnya telah engkau

ajarkan kepadaku, sehingga penulis sangat dapat merasakan apa sebenarnya

hakikat kehidupan ini sebenarnya. Engkau tidak pernah lelah dan pamrih

dalam mendidikku, terima kasih guruku, terima kasih ayahku, terima kasih

ibundaku. Semoga Om Bagus, Mba Wie dan seluruh keluarga selalu

dilindungi oleh Allah dan sehat selalu.

7. Paling istimewa untuk kedua orang tua penulis, ayahanda Irwanzah

Makassau dan ibunda Zakiah Hisyam Wakid, yang tidak pernah lelah

mengurus penulis dari kecil hingga sekarang, doanya yang selalu penulis

rasakan di setiap detik kehidupan ini sehingga penulis mendapatkan

pendidikan yang baik dan menjadi manusia seperti sekarang ini. Papah

mamah adalah malaikatku. Adikku tersayang Muhammad Zulfiqar Irwanzah,

Salsabilla Irwanzah, saudara-saudaraku, serta seluruh Keluarga Besar

Makassau di Sengkang dan Keluarga Besar Wakid di Kampung Arab

Manado.

8. Sahabat terbaikku di Kampus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Fabian, Adli,

Uly, Irsyad, Sidik Padang, Herman, Yunita, Sayyidah, M. Ilham R, Qhoffal,

Hilman Faisal, Riski Apu, Zaki Aceh. Kepada seluruh teman-teman Hukum

Keluarga angkatan 2014, semoga silaturahmi kita tetap terjaga.

vii

9. Sahabatku yang cantik, baik, periang, selalu senyum, tidak pernah menyerah,

ramah, saling mengingatkan akan kebaikan yaitu Almarhumah Indy Zuhrotul

Istifaiyah binti Mujahidin (Indy). Insya Allah, Allah ampunkan segala dosa-

dosamu, Allah terima segala amal kebaikan yang pernah Indy lakukan di

muka bumi, dijadikan kubur Indy menjadi taman-taman surga-Nya.

10. Sahabat, saudara, guru dan keluarga ku di Kahfi BBC Motivator School, Ka

Icha, Ka Syarif Keren, Ka Boogie, Ka Iyang, Ka Tiar, Ka Mamduh, Ka Ojie,

Ka Milki, Prof. Syarif, Ka Munir, Ka Hambali, Ka Rajesh, Ka Uyun, Ka

Unyun, Bang Tauhid, Bang Andi, Bang Maul, Bang Agus, Bang Fitrah,

Bang Andika, Bang Ucup, Bang Priyo, Bang Tiflen, Ka Intarn, Ka Hilda, Ka

Rafida, Ka Fida, Dinda Kelsi, Bang Fadlur, Bang Desta, Ka Nisa, Ka Acha,

Mery, Ka Faizah, Bang Tadho, Bang Dimas, Bang Pian, Faisal, Akbar,

Fahmi, Bombom, Rifki, Ridho, Zaki Roja, Bang Choki, Ka Amel, Ka Tari,

Ka Ames, Pendi, Wakil, Bang Tomi, Bagus, Anzah, Yeni, Ira, Eef, Qory,

Eka, Alfi, Cicha, Bang Gum, Rafi, Jao, Acong, Tajul, Gege, Tiwi, Beki,

Aisyah, Habibah, Gilang, Said, Ambar, Andre, Sari, Pak Sukandar, Ust.

Amir, Nurul Wahidah, Kartika, Ojik, Mpok Pia, Wisnu, Lala, Faiz, Alfarabi,

Azis, Bunda Yanti, Chiquita, Abu, Cumcum, Dani, Depoy, Dewo, Dina,

Faridatun Nuha, Kholida, Akbar, Harby, Intan, Iwan KP, Kia, Lita, Nita,

RAN, Rey, Rara, Kinoy, Rozan, Syifa, Tapleng, Vitha, Jali, Bang Irwin,

Yuzer, Ka Ayu, Bintang dan seluruh keluarga Kahfi BBC Motivator School

yang tidak bisa penulis tulis satu persatu.

Akhir kata, semoga kita semua menjadi pribadi yang lebih baik setiap harinya

dan bermanfaat untuk Agama, Bangsa dan Negara serta selalu di ridhoi oleh Allah

SWT. Kemudian penulis menyadari bahwa skripsi ini masih perlu mendapatkan

perbaikan. Oleh karena itu, saran dan kritik akan penulis perhatikan dengan baik.

Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis pribadi khususnya, pembaca pada

umumnya serta menjadi catatan amal baik di sisi Allah SWT., Amin.

viii

Depok, 06 Juli 2018

Ttd.

Muhammad Rafi Irwanzah

Penulis

ix

DAFTAR ISI

PERSETUJUAN PEMBIMBING ............................................................................. i

LEMBAR PERNYATAAN ....................................................................................... ii

PENGESAHAN PANITIA UJIAN .......................................................................... iii

ABSTRAK ................................................................................................................ iv

KATA PENGANTAR ................................................................................................ v

DAFTAR ISI .............................................................................................................. ix

BAB I PENDAHULUAN ................................................................................... 1

A. Latar Belakang ..................................................................................... 1

B. Identifikasi Masalah ............................................................................. 6

C. Pembatasan dan Perumusan Masalah ................................................... 6

D. Tujuan dan Manfaat Penilitian ............................................................. 7

E. Metode Penelitian .................................................................................. 8

F. Review Studi Terdahulu ..................................................................... 11

G. Sistematika Penulisan ......................................................................... 12

BAB II PERKAWINAN DALAM HUKUM ISLAM DAN PERATURAN DI

INDONESIA ........................................................................................... 14

A. Pengertian Perkawinan ....................................................................... 14

B. Hukum Perkawinan ............................................................................ 18

C. Rukun dan Syarat Sah Perkawinan...................................................... 20

D. Kedudukan Wali .................................................................................. 24

E. Pengertian Mahar................................................................................. 27

F. Biaya Perkawinan ................................................................................ 31

x

BAB III BUDAYA PERKAWINAN MASYARAKAT BUGIS SENGKANG

DI SULAWESI SELATAN ................................................................... 34

A. Deskripsi Singkat Masyarakat Bugis Sengkang .................................. 34

B. Gambaran Umum Perkawinan Adat Bugis ......................................... 41

BAB IV PRAKTIK DUI MENRE’ DAN SILARIANG DI KECAMATAN

PAMMANA SENGKANG SULAWESI SELATAN .......................... 51

A. Praktik Dui Menre’ dan Silariang di Kecamatan Pammana Sengkang

Sulawesi Selatan .................................................................................. 51

B. Alasan Masyarakat Bugis Mempertahankan Dui Menre’ yang

Berdampak Terjadinya Silariang ....................................................... 68

BAB V PENUTUP .............................................................................................. 74

A. Kesimpulan ......................................................................................... 74

B. Saran-Saran.......................................................................................... 75

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................... 77

LAMPIRAN ............................................................................................................... 81

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Perkawinan merupakan hidup bersama antara seorang laki-laki dan perempuan

yang memenuhi syarat-syarat peraturan untuk hidup bersama. Pasal 1 Undang-

Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 menyebutkan, Perkawinan ialah ikatan

lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan

tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan

Ketuhanan Yang Maha Esa.1

Pelaksanaan perkawinan biasanya tidak hanya mengikuti peraturan perundang-

undangan semata tetapi juga diiringi dengan pelaksanaan tradisi adat yang berlaku di

suatu daerah (hukum adat). Hukum adat merupakan hukum asli yang hidup dan eksis

dalam masyarakat di wilayah Nusantara sejak lama. Dalam perjalanan waktu, hukum

asli tersebut berturut-turut mendapat pengaruh dari agama Hindu pada abad ke-7,

agama Islam pada abad ke-14, agama Kristen dan bangsa asing terutama Belanda

pada abad ke-17. Hukum asli ini terus berkembang dan berlaku yang oleh Snouck

Hurgronje pada tahun 1893 disebut sebagai hukum adat. Istilah hukum adat ini

selanjutnya oleh van Vollenhoven dipandang sebagai hukum positif bagi masyarakat

adat yang tersebar di seluruh wilayah Nusantara.2

Van Vollenhoven dalam penelitian pustakanya pernah menyatakan bahwa

masyarakat-masyarakat asli yang hidup di Indonesia, sejak ratusan tahun sebelum

kedatangan bangsa Belanda, telah memiliki dan hidup dalam tata hukumnya sendiri.

Tata hukum masyarakat asli tersebut dikenal dengan sebutan Hukum Adat.

1 Abdul Qodir, Pencatatan Pernikahan dalam Perspektif Undang-Undang dan Hukum Islam,

(Depok : Azza Media, 2014), h. 11 2 I Made Widnyana, Hukum Pidana Adat dalam Pembaharuan Hukum Pidana, (Jakarta : PT.

Fikahati Aneska, 2013), h. 1

2

Selain itu, menurut Snouck Hurgronje, hukum adat pun dijalankan sebagaimana

adanya (taken for granted) tanpa mengenal bentuk-bentuk pemisahan, seperti dikenal

dalam wacana hukum barat bahwa individu merupakan entitas yang terpisah dari

masyarakat. Dengan kata lain, hukum adat diliputi dengan semangat kekeluargaan,

individu tunduk dan mengabdi pada dominasi aturan masyarakat secara keseluruhan.

Corak demikian mengindikasikan bahwa kepentingan masyarakat lebih utama

daripada kepentingan individu.3

Apabila ditinjau sejarah perkembangan hukum di Indonesia, pada awalnya

hanya berlaku Hukum Adat yang asli beserta segenap tatanan dan kelembagaannya.

Orang Minangkabau memiliki sistem Hukum Adatnya sendiri dengan asas-asas dan

filsafah yang dianggap benar di daerah tersebut. Asas-asas dan filsafah ini berbeda

dengan asas dan filsafah di Jawa Timur (Maja Pahit), berbeda dengan asas-asas dan

filsafah di Sulawesi, atau di Bali, atau di Flores, atau di Mentawai, atau di Aceh, atau

di Alor, atau di Papua. Pada saat itu hanya ada 2 (dua) unsur saja yang sama dari

semua sistem Hukum Adat yang ada, yaitu sifat kekeluargaan (komunitas) dan sifat

tidak tertulis (kecuali Hukum Majapahit, Hukum Adat Bali, Hukum Wajo, dan

beberapa daerah lainnya).4

Seorang orientalis, S. R. Reiber, mencatat : “Agama dan Keluarga mempunyai

hubungan yang erat. Satu dengan lainnya saling mempengaruhi. Jika satu sama lain

dipisahkan, sulit bisa dimengerti.” Intimitas hubungan antara agama dan keluarga

seperti itu sudah berlaku sejak awal sejarah manusia.5 Jadi antara agama, keluarga

dan hukum adat tidak dapat dipisahkan karena sangatlah berhubungan. Ibaratkan

sebuah pohon, Agama itu adalah akarnya, hukum adalah batangnya dan keluarga

3 H.R. Otje Salman Soemadiningrat, Rekonseptualisasi Hukum Adat Kontemporer: Telaah

Kritis terhadap Hukum Adat sebagai Hukum yang Hidup dalam Masyarakat, (Bandung : PT. Alumni

Bandung, 2001), h. 8 4 I Made Widnyana, Hukum Pidana Adat Dalam Pembaharuan Hukum Pidana, (Jakarta : PT.

Fikahati Aneska, 2013), h. 38 5 Hammudah „Abd Al „Ati, The Family Structure in Islam (Keluarga Muslim), (Surabaya : PT.

Bina Ilmu, 1984), h. 3

3

adalah daun atau bunganya. Ketika pondasi atau akar sebuah pohon rusak maka

rusaklah semua organ pohon tersebut.

Dapat dikatakan, bahwa menurut hukum adat perkawinan itu adalah urusan

kerabat, urusan keluarga, urusan masyarakat, urusan derajat dan urusan pribadi satu

sama lain dalam hubungannya yang sangat berbeda.6 Dengan jalan perkawinan yang

tepat itu juga maka kelas dan derajat di dalam dan di luar masyarakat dipertahankan,

dengan demikian maka perkawinan itu adalah urusan derajat atau kelas.7

Pada masyarakat Bugis-Makassar, dalam hal mencari jodoh, adat menetapkan

bahwa sebagai perkawinan yang ideal ialah :8

1) Perkawinan yang disebut Assialang Marola (Makassar = passialeang baji‟na)

ialah perkawinan antara saudara sepupu derajat kesatu baik dari pihak ayah

maupun ibu.9

2) Perkawinan yang disebut Assialanna Memang (Makassar = passialleanna) ialah

perkawinan antara saudara sepupu sederajat kedua, baik dari pihak ayah

maupun ibu.10

3) Perkawinan antara Ripaddeppe‟mabelae (Makassar = nipakambani bellaya)

ialah perkawinan antara saudara sepupu sederajat ketiga, juga dari kedua belah

pihak.11

Perkawinan antara saudara-saudara sepupu tersebut diatas walaupun dianggap

ideal, bukan merupakan suatu kewajiban. Dengan demikian seseorang dapat saja

kawin dengan gadis yang bukan saudara sepupunya.

6 Mr. B. Ter Haar Bzn. Terjemahan K. Ng. Soebakti Pesponoto, Asas-Asas dan Susunan

Hukum Adat, (Jakarta : PT. Balai Pustaka, 2013), h. 159 7 Mr. B. Ter Haar Bzn. Terjemahan K. Ng. Soebakti Pesponoto, Asas-Asas dan Susunan

Hukum Adat, h. 160 8 Simanjuntak, Hukum Perdata Indonesia, (Jakarta : PT. Fajar Interpratama Mandiri, 2015), h.

117 9 Sepupu sederajat yang dimaksud adalah anak dari paman atau bibi

10 Sepupu sederajat kedua yang dimaksud adalah anak dari anaknya paman atau bibi

11 Sepupu sederajat ketiga yang dimaksud adalah anak dari anaknya anak paman atau bibi,

begitu seterusnya

4

Cara-cara yang berlaku dalam masyarakat ntuk dapat melangsungkan

perkawinan pada dasarnya telah menetapkan cara-cara tertentu untuk dapat

melangsungkan perkawinan. Pada prinsipnya cara yang paling umum dilakukan oleh

masyarakat adalah melalui pelamaran atau peminangan. Namun demikian, selain dari

pelamaran atau peminangan, masyarakat-masyarakat tertentu mengakui pula cara

yang lain, yang dimaksudkan disini adalah dengan cara yang disebut “kawin lari”12

,

ini biasanya disebabkan mahalnya uang mahar yang ditetapkan oleh keluarga dari

pihak calon istri, sehingga keluarga atau calon suami tidak mampu untuk

memenuhi/membayar uang mahar tersebut.

Bila calon suami istri melakukan lari bersama dengan tiada peminangan atau

pertunangan secara formal, maka terjadi perkawinan lari bersama atau sama-sama

melarikan diri. Rupanya cara yang demikian ini merupakan cara yang umum dalam

melakukan perkawinan di dalam wilayah-wilayah masyarakat yang menganut sistem

patrilineal, dan juga terdapat dalam wilayah-wilayah masyarakat yang menganut

sistem kekeluargaan. Perkawinan dengan cara lari bersama ini dilakukan, untuk

menghindarkan diri dari berbagai keharusan sebagai akibat perkawinan dengan cara

pelamaran atau peminangan, atau juga untuk menghindarkan diri dari rintangan-

rintangan dari pihak orang tua dan sanak saudara, yang terutama datangnya dari pihak

orang tua dan sanak saudara pihak perempuan. Alasan yang terakhir inilah kiranya

yang merupakan alasan prima mengapa dilakukannya perkawinan dengan cara lari

bersama.13

Pada masyarakat Bugis-Makassar, kawin lari atau dalam Bahasa daerah di sana

disebut Silariang, merupakan hal yang tidak direstui oleh masyarakat. Mengenai

silariang ini, kawin lari biasanya dilakukan karena berbagai alasan yang antara lain

jumlah mahar ataupun jumlah belanja perkawinan yang ditentukan oleh keluarga si

gadis terlampau tinggi. Apabila terjadi perkawinan lari, maka oleh pihak keluarga si

gadis akan dilakukan pengejaran. Para kerabat si gadis yang melakukan pengejaran

12

Soerjono Soekanto, Hukum Adat Indonesia, (Jakarta : CV. Rajawali-Jakarta, 1981), h. 246 13

Soerjono Soekanto, Hukum Adat Indonesia, h. 248

5

pada kedua pelarian itu disebut Tomasiri, dan kalau mereka berhasil menemukan

kedua pelarian itu, maka kemungkinan bahwa laki-laki itu dibunuh.14

Kerabat atau keluarga dari gadis yang melakukan silariang, akan merasakan

Siri‟ Na Pacce15

, yang mengakibatkan permusuhan dan dendam antara keluarga

laki-laki dan perempuan. Jika tidak segera diselesaikan ini bisa berlanjut hingga turun

menurun karena siri‟ ini adalah suatu hal yang tabu dan sangat pantang untuk

dilanggar karena taruhannya adalah nyawa.

Dari mahar yang tinggi (Dui Menre‟) atau uang perkawinan yang tinggi

tersebut akan mengakibatkan silariang dan menimbulkan siri‟ antar keluarga yang

mana apabila si laki-laki tertangkap akan dibunuh. Hal ini dapat tidak terjadi apabila

dilakukan Mappadeceng.16

Sebagai salah satu fenomena adat yang terjadi di Indonesia, dan salah satu adat

di Bugis-Makassar yang sangat fenomenal, Dui Menre‟ ini memberikan efek yang

cukup rumit kepada pasangan laki-laki dan perempuan yang ingin menikah sehingga

terjadilah Silariang dan mengakibatkan dendam antar keluarga yang cara

penyelesaiannya pun biasanya melalui Mappadeceng. Karena banyaknya dampak

yang muncul dari dui menre‟ ini, lalu bagaimanakah dui menre‟ dalam adat Bugis

saat ini?, apakah masih perlu dipertahankan? Kemudian bagaimana tinjauan hukum

Islam mengenai dui menre‟? Apakah dui menre‟ dan silariang sesuai dengan ajaran

Islam tentang perkawinan dan mahar? Bagaimana juga dengan Silariang yang

dilakukan oleh pasangan yang tidak dapat memenuhi Dui Menre‟ tersebut? Apakah

perkawinan yang mereka lakukan itu sah menurut hukum Islam dan Peraturan

Perkawinan di Indonesia?. Hal inilah yang ingin dibahas oleh penulis melalui karya

ilmiah dalam bentuk skripsi dengan judul: “Silariang Sebagai Akibat Dui Menre’

14

Soerjono Soekanto, Hukum Adat Indonesia, (Jakarta : CV. Rajawali-Jakarta, 1981), h. 253 15

Siri‟ NaPacce adalah secara lafdziyah Siri‟ berarti : Rasa Malu (harga diri), sedangkan Pacce

berarti : Pedih/Pedas (Keras, Kokoh Pendirian) 16

Mappadeceng adalah proses permintaan maaf dengan keluarga yang telah siri‟ agar dapat

diterima kembali sebagai anggota keluarga.

6

dalam Adat Bugis (Tinjauan Hukum Islam Terhadap Perkawinan Adat Bugis di

Sengkang Sulawesi Selatan)”.

B. Identifikasi Masalah

Identifikasi masalah merupakan permasalahan yang berkaitan dengan tema

yang sedang dibahas. Beberapa permasalahan yang akan muncul dari latar belakang

diatas, penulis akan memaparkan beberapa diantaranya, yaitu :

1. Apa makna filosofi dari pemahaman masyarakat Bugis dalam Dui Menre‟?

2. Bagaimana proses kesepakatan Dui Menre‟ antar keluarga mempelai laki-laki

dan perempuan?

3. Bagaimana sejarah fenomena Dui Menre‟ dan Silariang?

4. Apa penyebab pasangan melakukan Silariang?

5. Bagaimana proses adat yang dilakukan dalam penyelesaian perkara antar

keluarga dalam kasus Silariang?

6. Mengapa harus diselesaikan dengan saling membunuh?

7. Bagaimana Dui Menre‟ dan Silariang ditinjau dari hukum Islam?

8. Apa peran imam atau pemerintah setempat terhadap hukum adat ini?

C. Pembatasan dan Perumusan Masalah

1. Batasan Masalah

Untuk dapat terciptanya suatu penelitian yang baik diperlukan adanya

pembatasan dan perumusan masalah yang tepat agar masalah yang akan dibahas

dapat fokus dan tidak melebar. Adapun fokus penelitian ini hanya terbatas pada

akibat dari mahalnya uang mahar (Dui Menre‟) berupa terjadinya Silariang (Kawin

Lari) yang berlaku di Sengkang Sulawesi Selatan. Peneliti tidak mengkaji akibat Dui

Menre‟ lainnya, seperti Sigajang Laleng Lipa‟, sanksi bunuh untuk pasangan yang

tertangkap dan lain-lain.

7

2. Rumusan Masalah

Dari batasan masalah di atas, maka penulis fokus pada beberapa rumusan

masalah yaitu:

1. Apa yang mendasari dilakukannya dui menre‟ pada masyarakat Bugis

Sengkang Sulawesi Selatan?

2. Bagaimana praktik Silariang sebagai akibat Dui Menre‟ dilakukan oleh

masyarakat Bugis di Sengkang?

3. Bagaimana tinjauan hukum Islam dan Peraturan di Indonesia terhadap tradisi

Dui Menre‟ dan Silariang dalam adat Bugis di Sengkang Sulawesi Selatan?

4. Apa yang menjadi alasan masyarakat Bugis masih mempertahankan Dui

Menre‟ padahal menimbulkan dampak negatif yang sangat beresiko?

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian skripsi ini adalah sebagai berikut:

a. Untuk mengetahui apa yang mendasari dilakukannya dui menre‟ pada

masyarakat Bugis di Sengkang Sulawesi Selatan.

b. Uuntuk mengetahui bagaimana praktik Silariang sebagai akibat Dui Menre‟

dilakukan oleh masyarakat Bugis di Sengkang.

c. Untuk menjelaskan tinjauan hukum Islam dan peraturan di Indonesia terhadap

Dui Menre‟ dan Silariang dalam adat Bugis di Sengkang.

d. Untuk mengetahui apa uang menjadi alasan masyarakat Bugis masih

mempertahankan Dui Menre‟ padahal menimbulkan dampak negatif.

2. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat dalam penelitian skripsi ini adalah:

a. Sebagai sumbangsih ilmu dan kepustakaan bagi mahasiswa, akademisi,

pembaca lainnya terhadap hukum adat.

8

b. Menambah pengetahuan dan wawasan dalam mengembangkan potensi menulis

karya-karya ilmiah khususnya mengenai studi lapangan terhadap hukum-hukum

adat sehingga dapat menjadi pelajaran untuk masa yang akan datang.

c. Mengetahui bagaimana penyebab dan akibat terjadinya suatu hukum adat di

suatu daerah, agar lebih menghayati sebagai warga negara Indonesia.

d. Manfaat untuk masyarakat yang akan menikahkan anaknya agar berjalan

dengan baik, benar dan bagus.

e. Manfaat penelitian ini juga untuk para Tokoh Adat yang mana berhadapan

langsung dengan masyarakat yang akan menikah.

E. Metode Penelitian

Dalam membahas masalah-masalah dalam penelitian ini, dibutuhkan suatu

metode atau cara untuk memperoleh data yang berhubungan dengan masalah-masalah

yang dibahas dengan baik, benar dan bagus. Terdapat beberapa metode yang penulis

gunakan antara lain :

1. Pendekatan Penelitian

Penelitian ini termasuk jenis penelitian lapangan (field research) yang sumber

datanya terutama diambil dari obyek penelitian (masyarakat atau sekumpulan

masyarakat) secara langsung di daerah tempat penelitian. Pendekatan yang dilakukan

dalam penelitian ini adalah pendekatan historis, sosiologis dan antropologis dan juga

penelitian ini memakai corak penelitian kualitatif. Penelitian ini merupakan penelitian

etnografi yang merupakan studi tentang sekelompok orang untuk menggambarkan

kegiatan dan pola sosiobudaya mereka. Etnografi bukan deskripsi tentang kehidupan

masyarakat dalam keberagaman situasinya, melainkan menyajikan pandangan hidup

subjek, cara mereka memandang kehidupannya, cara mereka memandang perilakunya

keseharian, cara mereka berinteraksi dan sebagainya.17

17

A. Muri Yusuf, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif & Penelitian Gabungan, (Jakarta :

PT. Fajar Interpratama Mandiri, 2014), h. 359

9

2. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah penelitian

yang berjenis Kualitatif.

3. Sifat Penelitian

Penelitian ini bersifat analitik yaitu merupakan kelanjutan dari penelitian

deskriptif yang bertujuan bukan hanya sekedar memaparkan karakteristik tertentu,

tetapi juga menganalisa dan menjelaskan mengapa atau bagaimana hal itu terjadi.

4. Objek Penelitian

Objek penelitian penulis adalah masyarakat Sengkang Sulawesi Selatan yang

menerapkan Dui Menre´ termasuk juga mereka yang sampai melakukan Silariang.

5. Sumber Data dan Teknik Pengumpulan Data

Dalam penelitian sosial metode pengumpulan data yang lazim digunakan

adalah angket (questionnaire), wawancara (interview), observasi (observation),

dokumenter (secondary sources), dan tes (test).18

Dalam penelitian ini data yang digunakan dapat dibagi ke dalam dua sumber,

yaitu :

1. Sumber data primer (pokok) yang menjadi sumber data adalah hasil

wawancara. Wawancara dilakukan dengan masyarakat Bugis di Sengkang,

masyarakat pelaku Silariang dan juga para Ilmuwan Bugis. Penentuan orang

atau subyek yang akan di wawancarai adalah dengan cara mendatangi Tokoh

Adat setempat, kemudian Tokoh Adat tersebut yang memberitahu penulis

siapa-siapa saja pelaku Dui Menre‟ dan Silariang yang dapat penulis

wawancarai.

2. Sumber data sekunder dari penelitian ini adalah melalui studi pustaka yang

berkaitan buku-buku sejarah, fiqh, dan data-data lain yang mempunyai kaitan

dan hubungan dengan tema ini.

18

Sanapiah Faisal, Format-Format Penelitian Sosial, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada,

2003), h. 51

10

6. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Wajo dengan ibu kotanya Sengkang,

terletak dibagian tengah Provinsi Sulawesi Selatan dengan jarak 242 km dari ibukota

provinsi, memanjang pada arah laut Tenggara dan terakhir merupakan selat, dengan

posisi geografis antara 3º 39º - 4º 16º LS dan 119º 53º-120º 27 BT. Salah satu alasan

mengapa penulis memilih Sengkang yaitu karena adanya alasan subyektif (subjective

reason) dan alasan objektif (objective reason). Subjective reason nya adalah penulis

merupakan bagian dari masyarakat Bugis yang berdomisili di Sengkang, penelitian

ini adalah untuk menjelaskan bagaimana pola pikir dan mindset para masyarakat di

Bugis.

Kemudian objective reason nya adalah Kabupaten Wajo terbagi menjadi 14

wilayah Kecamatan, selanjutnya dari keempat belas wilayah Kecamatan di dalamnya

terbentuk wilayah-wilayah yang lebih kecil, yaitu secara keseluruhan terbentuk 44

wilayah yang berstatus Kelurahan dan 132 wilayah yang berstatus Desa. Masing-

masing wilayah kecamatan tersebut mempunyai potensi sumber daya alam dan

sumber daya manusia yang berbeda meskipun perbedaan itu relatif kecil, sehingga

pemanfaatan sumber-sumber yang ada relatif sama untuk menunjang pertumbuhan

pembangunan di wilayahnya.19

7. Metode Analisis Data

Analisis data penelitian ini menggunakan metode sebagai berikut:

a. Metode induktif yaitu metode atau cara berpikir untuk menarik kesimpulan

yang bersifat khusus ke kesimpulan yang bersifat umum.

b. Metode analisis data kualitatif yaitu suatu metode penelitian yang mengungkap

makna dari data penelitian baik wawancara, dokumen maupun pengamatan di

lapangan.

19

Profil Kabupaten Wajo, gatoetn.blogspot.co.id/konten/2010/02/25/profil-kabupaten-

wajo.html

11

8. Pendekatan Penelitian

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Etnografi-refleksif,

yaitu suatu bentuk penelitian yang terfokus pada makna sosiologis diri individu dan

konteks sosial budayanya yang dihimpun melalui observasi lapangan sesuai dengan

fokus penelitian.20

9. Teknik Penulisan

Teknik penulisan penelitian ini merujuk pada pedoman penulisan skripsi

Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang diterbitkan oleh

Fakultas Syariah dan Hukum Tahun 2017.

F. Review Studi Terdahulu

Kajian terhadap akibat-akibat dari mahalnya Dui Menre‟ penulis belum pernah

menemukannya. Terlebih terhadap kajian akibat-akibat dari Dui Menre‟ itu sendiri

yaitu Silariang dan Sigajang Lale Lipa. Sebagaimana yang penulis temukan pada

beberapa skripsi diantaranya adalah :

1. Karya Susilawati dengan judul “Fenomena Silariang di Desa Bululoe

Kecamatan Turatea Kabupaten Jeneponto”, UIN Alauiddin Makassar pada

tahun 2016 dengan temuan penelitiannya yaitu pilihan berbeda orang tua yang

disebabkan karena orang tua memilih pasangan untuk anaknya sesuai dengan

keinginannya tanpa memandang keinginan anaknya sendiri.

2. Karya Abdlu Gafur dengan judul “Peran Imam Dalam Penyelesaian Sengketa

Perkawinan Lari di Makassar, UIN Sunan Kalijaga pada tahun 2010 dengan

temuan penelitiannya yaitu peran imam dalam kasus kawin lari mampu

menyatukan antara tiga sistem hukum yang berbeda yaitu adat, Islam dan

hukum Nasional. Melalui koordinasi KUA sebagai lembaga pemerintah yang

mengurusi perkawinan orang Islam di Indonesia, Imam mengatasai konflik

kawin lari sesuai dengan norma-norma yang berlaku di masyarakat.

20

A. Muri Yusuf, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif & Penelitian Gabungan, (Jakarta :

PT. Fajar Interpratama Mandiri, 2014), h. 359

12

3. Karya Sinarti dengan judul “Legalitas Wali Nikah Silariang (Kawin Lari)

Perspektif Hukum Islam dan Kompilasi Hukum Islam”, UIN Alaudiin

Makassar pada tahun 2017 dengan temuan penelitiannya yaitu apabila pelaku

Silariang (kawin lari) mendapat izin dari orang tua untuk menggunakan wali

hakim maka pernikahannya itu tetap sah.

Perbedaannya dengan penelitian penulis adalah penelitian ini lebih difokuskan

kepada akibat-akibat dari Dui Menre‟, mahalnya uang mahar sehingga

mengakibatkan Silariang (kawin lari) dan timbul permushan diantara pihak keluarga,

sehingga penyelesaiannya bisa melalui yang disebut Mapadecceng, penyelesaian

akhir pada adat Bugis.

G. Sistematika Penulisan

Penelitian skripsi ini terdiri dari lima bab, dimana masing-masing bab

berisikan pembahasan yang berkesinambungan sebagai berikut:

Bab Pertama yaitu pendahuluan yang berisikan latar belakang masalah,

identifikasi masalah, pembatasan dan perumusan masalah,tujuan dan manfaat

penelitian, metodologi penelitian, review studi terdahulu dan sistematika penelitian.

Bab Kedua, membahas perkawinan dan mahar dalam islam dan peraturan

Indonesia yang berisikan perkawinan (pengertian perkawinan, hukum perkawinan,

rukun dan syarat sah perkawinan, pernikahan yang diharamkan), mahar (pengertian

mahar, hukum mahar, jenis, jumlah dan syarat mahar, tujuan dan hikmah mahar).

Bab Ketiga, menjelaskan mengenai budaya masyarakat bugis di sengkang

Sulawesi selatan yang berisikan deskripsi masyarakat bugis sengkang (potret daerah

bugis sengkang Sulawesi selatan, sistem kemasyarakatan dalam masyarakat bugis,

masyarakat Islam bugis), sistem perkawinan adat bugis (dui menre‟, silariang dan

mapadeceng).

Bab Keempat, meneliti tentang silariang dalam perspektif hukum Islam dan

peraturan perkawinan di Indonesia (dui menre‟ dan silariang ditinjau dari perspektif

13

hukum Islam dan peraturan di Indonesia dan alasan masyarakat bugis

mempertahankan dui menre‟ yang berdampak terjadinya silariang).

Bab Kelima, merupakan bab akhir dalam penelitian ini. Terdiri dari penutup

yang berisi kesimpulan dan saran-saran yang bersifat membangun bagi

penyempurnaan penelitian ini.

14

BAB II

PERKAWINAN DALAM HUKUM ISLAM DAN

PERATURAN DI INDONESIA

A. Pengertian Perkawinan

Perkawinan merupakan suatu ketentuan dari ketentuan-ketentuan Allah di

dalam menjadikan dan menciptakan alam ini. Perkawinan bersifat umum,

menyeluruh, berlaku tanpa kecuali baik bagi manusia, hewan, dan tumbuh-

tumbuhan.1 Ketentuan-ketentuan telah di tuangkan di dalam firman Allah swt antara

lain berbunyi:

ٱز ذ ض سأ ٱلأ و شا أ أ س ف١اس جع ثٱث ش ج١أ أ ف١اص جع

١أ شٱثأ ٠غأ اس ٱ١أ ٱ ش ٠خفى أ جم هل٠فر ٣إ

Artinya : “Dan Dia-lah Tuhan yang membentangkan bumi dan menjadikan gunung-

gunung dan sungai-sungai padanya. dan menjadikan padanya semua buah-buahan

berpasang-pasangan” (Q.S. Ar-Ra‟ad : 3).

Kata perkawinan menurt istilah hukum Islam sama dengan kata “nikah” dan

kata “zawaj”. Nikah menurut Bahasa mempunyai arti sebenarnya (haqiqat) yakni

“dham” yang berarti menghimpit, menindih atau berkumpul. Nikah mempunyai arti

kiasan yakni “wathaa” yang berarti “setubuh” atau “aqad” yang berarti mengadakan

perjanjian pernikahan. Dalam kehidupan sehari-hari nikah dalam arti kiasan lebih

banyak dipakai dalam arti sebenarnya jarang sekali dipakai saat ini.

Secara terminology (istilah) “nikah” atau “zawaj” adalah :

1. Aqad yang mengandung kebolehan memperoleh kenikmatan biologis dari

seorang wanita dengan jalan ciuman, pelukan dan bersetubuh.

2. Aqad yang ditetapkan Allah bagi seorang lelaki atas diri seorang perempuan

atau sebaliknya untuk dapat menikmati secara biologis antar keduanya.

1 Abdul Qodir Djaelani, Keluarga Sakinah, (Surabaya : PT. Bina Ilmu, 1995), h. 41

15

Aqad nikah yang telah dilakukan akan memberikan status kepemilikan bagi

kedua belah pihak (suami isteri), dimana status kepemilikan akibat akad tersebut bagi

si lelaki (suami) berhak memperoleh kenikmatan biologis dan segala yang terkait

dengan itu secara sendirian tanpa dicampuri atau diikuti oleh lainnya yang dalam

term fiqih disebut “Milku al-Intifa”, yaitu hak memiliki penggunaan atau pemakaian

terhadap suatu benda (isteri), yang digunakan untuk dirinya sendiri.2

Menurut Sajuti Thalib, perkawinan ialah suatu perjanjian yang suci kuat dan

kokoh untuk hidup bersama secara sah antara seorang laki-laki dengan seorang

perempuan membentuk keluarga yang kekal, santun menyantuni, kasih mengasihi,

tenteram dan bahagia. Kemudian, perkawinan menurut Kompilasi Hukum Islam

adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau miitsaqon ghaliizhan untuk

menaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah. Dan perkawinan

bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan

rahmah. 3

Perkawinan menurut pendapat para ulama Madzhab berbeda-beda, golongan

ulama Syafi‟iyah berpendapat bahwa kata nikah itu berarti akad dalam arti yang

sebenarnya (hakiki), dapatnya berarti juga untuk hubungan kelamin, namun dalam

arti tidak sebenarnya (arti majazi). Sebaliknya, menurut ulama Hanafiyah

berpendapat bahwa kata nikah itu mengandung arti secara hakiki untuk hubungan

kelamin. Bila berarti juga untuk lainnya seperti untuk akad adalah dalam arti majazi.4

Syaikh Ibnu Manzhur berkata mengenai kosakata nakaha : ”Nakaha yankihu”

juga bisa berarti badha‟a atau damaha atau khaja‟a (menggauli, menyetubuhi). Ibnu

Sayyidah berkata bahwa pernikahan adalah al-budh‟u (persetubuhan), khususnya

bagi manusia. Namun Tsa‟lab menganggap pengertian ini juga bisa dipakai untuk

2 Ahmad Sudirman Abbas, Pengantar Pernikahan, (Jakarta : PT. Prima Heza Lestari, 2006), h.

1 3 Mohd. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam, (Jakarta : PT. Bumi Aksara, 1999), h. 1 - 4

4 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta : Kencana, 2007), h. 37

16

hewan seperti lalat. Adapun bentuk kosakatanya adalah nakaha, yankihu, nakhan wa

nikahan. Abu Hanifah telah menjelaskannya : Akad yang dikukuhkan untuk

memperoleh kenikmatan dari seorang wanita, yang dilakukan secara sengaja.5

Jika kita mengintip sedikit sejarah perkawinan, sejarah perkawinan telah

tercatat semenjak Nabi Adam as turun ke bumi dan menjalani kehidupan bersama-

sama dengan anak cucunya. Sedangkan perkawinan merupakan satu hal yang paling

mendasar dan sangat dibutuhkan dalam kehidupan manusia. Awal mulanya terjadi

perkawinan di dunia ini ketika Nabi Adam mengawini Hawa. Keduanya hidup

sebagai suami istri yang kemudian menurunkan anak-anaknya baik laki-laki maupun

wanita. Dari perkawinan putra putri Adam dan Hawa itu lahirlah cucu-cucu Adam

yang kemudian berkembang menjadi kumpulan keluarga yang banyak. Syariat yang

mengatur perkawinan pada zaman Nabi Adam dikenal dengan istilah kawin silang,

atau dengan mengawini saudaranya sendiri, dari pihak laki-laki dan wanita. Begitulah

peraturan yang berlaku pada waktu itu, sampai datang syariat yang menyempurnakan

kemudian.6

Usaha-usaha pertama yang dirombak oleh Islam adalah mengikis habis tradisi

dan anggapan kaum Jahiliyah, bahwa wanita itu makhluk hina dan rendah. Mereka

menganggap wanita tak ubahnya seperti boneka yang bebas diperlakukan menurut

sekehendak hati. Kaum wanita tidak memiliki hak dan memilih sama sekali, hidup

mereka terbelenggu dalam sebuah tradisi yang menghinakan dan menyesatkan.7

Karena berkat dari datangnya Islam itu, wanita memiliki hak dan dapat memilih

untuk apa dan menjadi apa wanita tersebut dalam kehidupan, bahkan wanita dapat

mengangkat derajatnya dan juga wanita di seluruh dunia ini sudah di lindungi oleh

hukum.

5 Syaikh Muhammad bin Abdul Aziz Al-Humaidhy, Kawin Campur dalam Syariat Islam,

(Riyadh : Darul Humaidy, 1991), h. 14 6 Abdul Aziz bin Abdurrahman Al-Musnad, Perkawinan dan Masalahnya, (Jakarta : Pustaka

Al-Kautsar, 1993), h. 17 7

Abdul Aziz bin Abdurrahman Al-Musnad, Perkawinan dan Masalahnya, (Jakarta : Pustaka

Al-Kautsar, 1993), h. 19

17

Wanita pada era sekarang ini sangat diberikan kebebasan dalam berekspresi dan

menggapai impian-impiannya, sehingga banyak di era sekarang ini wanita yang

memiliki jenjang karir yang tinggi, mempunyai power atau kekuatan untuk

memperoleh haknya, bahkan menjadi seorang pemimpin. Akan tetapi di dalam

perkawinan yang di mana didalamnya sudah terjadi akad atau perjanjian yang

menghubungkan antara pria dan wanita, wanita harus mentaati laki-laki yang telah

dipilihnya untuk menjadi seorang suami yang dapat memimpinnya dan membawanya

kepada kebaikan dan kebenaran, sehingga terciptanya keluarga yang harmonis,

sakinnah, mawaddah dan rahmah, karena laki-laki adalah pemimpin keluarga,

bukanlah wanita yang menjadi pemimpin keluarga.

Seperti kita ketahui, akad adalah sesuatu yang dengannya akan sempurna

perpaduan antara dua macam kehendak, baik dengan kata atau yang lain, dan

kemudian karenanya timbul ketentuan atau kepastian pada dua sisinya.8 Di dalam

fiqih juga kita ketahui bahwa terdapat fiqih yang mengatur tentang pernikahan yaitu

Fiqih Munakahat, ilmu yang membahas tentang hukum atau perundang-undangan

Islam yang khusus membahas pernikahan (perkawinan), dan yang berhubungan

dengannya, seperti cara meminang, walimatul arsy, thalaq, rujuk, tanggung jawab

suami istri dan lain-lain yang berdasarkan Al-Qur‟an, Hadist, ijma‟, dan qiyas.9

Menurut KHI (Kompilasi Hukum Islam) bab II Dasar-Dasar Perkawinan pasal

2 bahwa perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang

sangat kuat atau miitsaaqan ghaliizhan untuk menaati perintah Allah dan

melakukannya merupakan ibadah.10

Pada pasal 4, perkawinan adalah sah, apabila

8 Achmad Kuzari, Nikah Sebagai Perikatan, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 1995), h. 1

9 Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat :Kajian Fikih Nikah Lengkap, (Jakarta : PT.

Raja Grafindo Persada, 2009), h. 6 10

Abdul Gani Abdullah, Pengantar Kompilasi Hukum Islam Dalam Tata Hukum Indonesia,

(Jakarta : Gemani Insani Press, 1994), h. 78

18

dilakukan menurut hukum Islam sesuai dengan Pasal 2 Ayat (1) Undang-Undang No.

1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.11

Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pada Pasal 1

disebutkan bahwa perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan

seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah

tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa.12

Hukum

Islam dengan Undang-Undang Perkawinan di Indonesia sangatlah sesuai dan jelas

karena sesuai dengan Bhineka Tunggal Ika dan Pancasila.

B. Hukum Perkawinan

Hukum nikah (perkawinan), yaitu hukum yang mengatur hubungan antara

manusia dengan sesamanya yang menyangkut penyaluran kebutuhan biologis antar

jenis, dan hak serta kewajiban yang berhubungan dengan akibat perkawinan tersebut.

Perkawinan adalah sunnatullah, hukum alam di dunia. Perkawinan dilakukan oleh

manusia, hewan, bahkan oleh tumbuh-tumbuhan, karenanya menurut para Sarjana

Ilmu Alam mengatakan bahwa segala sesuatu kebanyakan terdiri dari dua pasangan.

Misalnya, air yang kita minum (terdiri dari Oksigen dan Hidrogen), listrik, ada positif

dan negatifnya dan sebagainya. Perkawinan, yang merupakan sunnatullah pada

dasarnya adalah mubah tergantung kepada tingkat kemaslahatannya.13

Hukum perkawinan itu ada lima yaitu mubah, Sunnah, wajib, makhruh dan

haram sebagaimana penjelasan berikut :14

1. Mubah (Jaiz)

11

Abdul Gani Abdullah, Pengantar Kompilasi Hukum Islam Dalam Tata Hukum Indonesia,

(Jakarta : Gemani Insani Press, 1994), h. 78 12

Pasal 1 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, kemenag.go.id

/dokumen/1974/01/02/UUPerkawinan 13

Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat :Kajian Fikih Nikah Lengkap, (Jakarta : PT.

Raja GrafindoPersada, 2009), h. 9 14

Zurinal dan Aminuddin, Fiqih Ibadah, (Jakarta : Lembaga Penelitian Universitas Islam

Negeri Syarif Hidayatullah, 2008), h. 210 - 212

19

Hukum asal perkawinan adalah mubah atau boleh, asalkan sudah memenuhi

syarat dan rukun nikah. Syeikh Abu Syuja‟ menyatakan bahwa nikah itu

mustahab (mubah) bagi orang yang sudah butuh menikah.

أىحا ٠ ٱلأ أ ى ح١ ٱص ٠غأ فمشاء ٠ىا إ أ ائى إ أ عبادو أ

ٱلل فضأ ۦ ٱلل سعع١ ٣٣

Artinya : “Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian diantara kamu dan

orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki

dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin maka Allah

akan memampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah maha luas

(pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (QS. An-Nur : 32).

2. Sunnah

Bagi orang yang nafsunya mendesak dan mampu menikah, sedang dia masih

dapat menahan diri dari berbuat zina. Bagi dia menikah lebih utama dari pada

tekun beribadah, karena hidup membujang atau tidak menikah seperti pendeta

dalam agama Nasrani, tidak dibenarkan dalam Islam.

3. Wajib

Bagi yang telah mampu dan takut terjerumus dalam perzinaan. Bagi pemuda

yang sudah mampu nikah, dan takut terjerumus dalam perzinaan, sedangkan dia

tidak dapat menahan nafsunya misalnya dengan berpuasa, dia wajib menikah,

karena menjauhkan diri dari yang haram hukumnya wajib. Maka untuk

menghindarkan diri dari zina tidak ada jalan lain kecuali menikah.

فف خعأ ١سأ أ ىاح ٱز٠ ٠جذ ل ١ ٠غأ حخ ا ٱلل فضأ ۦ ٱز٠ خغ ٠بأ

ب ىخ أ ٱ اي ءاح شا خ١أ أ ف١ أ خ أ ع أ إ أ فىاحب أ ى أ٠أ ىجأ ا ٱلل

أ ءاحىٱز ى ع أ خى فخ١ شا حىأ ل بأ عشضغاءٱ خغا خبأ ا ححص أسدأ أ إ

ة ح١ أ ١ا ٱ أ ٱذ فئ ش ٠ىأ ٱلل ح١ غفسس ش ذإوأ بعأ ٣٣

Artinya : “Dan orang-orang yang tidak mampu kawin hendaklah menjaga

kesucian (diri)nya, sehingga Allah memampukan mereka dengan karunia-

Nya.dan budak-budak yang kamu miliki yang menginginkan perjanjian,

hendaklah kamu buat perjanjian dengan mereka, jika kamu mengetahui ada

20

kebaikan pada mereka dan berikanlah kepada mereka sebahagian dari harta

Allah yang dikaruniakan-Nya kepadamu. Dan janganlah kamu paksa budak-

budak wanitamu untuk melakukan pelacuran, sedang mereka sendiri

mengingini kesucian, Karena kamu hendak mencari keuntungan duniawi. Dan

barangsiapa yang memaksa mereka, maka sesungguhnya Allah adalah Maha

Pengampun lagi Maha Penyayang (kepada mereka) sesudah mereka dipaksa

itu.” (QS. An-Nur : 33)

4. Haram

Bagi seseorang yang berniat untuk menganiaya calon isterinya.

5. Makhruh

Bagi seseorang yang tidak mampu memenuhi nafkah batin dan lahir kepada

isterinya, serta nafsunya tidak mendesak untuk menikah. Apabila seorang laki-

laki menyadari bahwa dia tidak mampu membelanjai isterinya atau membayar

maharnya atau memenuhi hak-hak isterinya, maka lelaki tersebut makhruh

menikah dengan seorang wanita calon isterinya, sebelum dia menjelaskan

keadaannya kepada calon isterinya, atau sampai datang saatnya dia mampu

memenuhi hak-hak isterinya. Sebaliknya, seorang wanita calon isteri, apabila

dia menyadari bahwa dirinya tidak mampu untuk memenuhi hak-hak suaminya,

atau ada hal-hal yang menyebabkan dia tidak dapat melayani kebutuhan batin

calon suaminya, maka dia tidak boleh mendustai calon suaminya, tetapi dia

wajib menerangkan semuanya kepada calon suaminya.

C. Rukun dan Syarat Sah Perkawinan

Rukun, yaitu sesuatu yang mesti ada yang menentukan sah atau tidaknya suatu

pekerjaan (ibadah), dan sesuatu itu termasuk dalam rangkaian pekerjaan itu, seperti

membasuh muka untuk wudhu dan takbiratul ihram untuk shalat atau adanya calon

pengantin laki-laki/perempuan dalam perkawinan.15

Syarat, yaitu sesuatu yang harus ada yang menentukan sah dan tidaknya suatu

pekerjaan (ibadah), tetapi sesuatu itu tidak termasuk dalam rangkaian pekerjaan itu,

seperti menutup aurat untuk shalat atau menurut Islam calon pengantin laki-

15

Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat :Kajian Fikih Nikah Lengkap, (Jakarta : PT.

Raja GrafindoPersada, 2009), h. 12

21

laki/perempuan itu harus beragama Islam.16

Untuk merealisasikan pernikahan yang

sakinah, mawaddah dan rahmah perlu diatur dengan syarat dan rukun tertentu agar

tujuan disyariatkannya perkawinan dapat tercapai. Adapun syarat dan rukun nikah

ada 4 yaitu :17

1. Adanya calon suami dan isteri yang akan melakukan pernikahan

Syarat calon mempelai laki-laki :

a. Beragama Islam

b. Laki-laki

c. Jelas orangnya

d. Dapat memberikan persetujuan

e. Tidak terhalang pernikahan

Syarat calon mempelai perempuan :

a. Beragama Islam

b. Perempuan

c. Jelas orangnya

d. Dapat dimintai persetujuannya

e. Tidak terhalang pernikahan

2. Adanya wali dari pihak calon pengantin perempuan

Syarat wali adalah sebagai berikut :

a. Laki-laki

b. Dewasa

c. Mempunyai hak perwalian

d. Tidak terdapat halangan perwaliannya18

3. Adanya dua orang saksi

Adapun syarat saksi nikah adalah :

16

Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat :Kajian Fikih Nikah Lengkap, h. 12 17

Sri Mulyati, Editor, Relasi Suami Istri dalam Islam, (Jakarta : Pusat Studi Wanita (PSW)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2004), h. 4 18

Sri Mulyati, Editor, Relasi Suami Istri dalam Islam, h. 5

22

a. Minimal dua orang laki-laki

b. Hadir dalam ijab qabul

c. Dapat mengerti maksud akad

d. Islam

e. Dewasa19

4. Adanya sighat akad nikah :

Adapun syarat ijab qabul adalah :

a. Adanya pernyataan menikahkan dari wali (ijab)

b. Adanya pernyataan penerimaan dari calon mempelai pria (qabul)

c. Memakai kata nikah, atau tazwij, atau terjemahan dari kedua kata tersebut

d. Antara ijab dan qabul bersambungan

e. Antara ijab dan qabul jelas maksudnya

f. Orang yang berkaitan dengan ijab qabul tidak dalam keadaan ihram

haji/umrah

g. Majelis ijab dan qabul harus dihadiri minimal empat orang, yaitu calon

mempelai laki-laki atau wakilnya, wali dan dua orang saksi.20

Dalam KHI (Kompilasi Hukum Islam) juga diatur mengenai rukun dan syarat

sah perkawinan yaitu pada Bab IV Rukun dan Syarat Perkawinan Pasal 14 yaitu,

untuk melakukan perkawinan harus ada :21

a. Calon Suami

b. Calon Isteri

c. Wali Nikah

d. Dua Orang Saksi, dan

e. Ijab dan Kabul

19

Sri Mulyati, Editor, Relasi Suami Istri dalam Islam, h. 7 20

Sri Mulyati, Editor, Relasi Suami Istri dalam Islam, h. 8 21

Abdul Gani Abdullah, Pengantar Kompilasi Hukum Islam dalam Tata Hukum Indonesia,

(Jakarta : Gemani Insani Press, 1994), h. 81

23

Di dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 juga mengatur mengenai syarat-

syarat perkawinan yang mana terdapat beberapa pasal dan penulis akan memaparkan

1 pasal yang terdapat pada Bab syarat perkawinan tersebut, yaitu pada pasal 6 yang

berbunyi :22

1) Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai.

2) Untuk melangsungkan perkawinan seseorang yang belum mencapai umur 21

(dua puluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua.

3) Dalam hal salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal dunia atau

dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin dimaksud

ayat (2) pasal ini cukup diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau dari

orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya.

4) Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak

mampu untuk menyatakan kehendaknya maka izin diperoleh oleh wali,

orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah

dalam garis keturunan, lurus ke atas selama mereka masih hidup dan dalam

keadaan dapat menyatakan kehendaknya.

5) Dalam hal ada perbedaan antara orang-orang yang dalam ayat (2), (3) dan

(4), pasal ini atau salah seorang atau di antara mereka tidak menyatakan

pendapatnya, maka pengadilan dalam daerah hukum tempat tinggal orang

yang melangsungkan perkawinan atas permintaan orang tersebut

memberikan izin setelah lebih dahulu mendengar orang-orang tersebut

dalam ayat (2), (3) dan (4) pasal ini.

6) Ketentuan tersebut ayat (1) sampai dengan ayat (5) pasal berlaku sepanjang

hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dari yang

bersangkutan tidak menentukan lain.

22

Pasal 1 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, kemenag.go.id

/dokumen/1974/01/02/UUPerkawinan, h. 2

24

D. Kedudukan Wali

Kedudukan wali adalah suatu kedudukan yang sangat penting dalam proses

perkawinan dalam Islam. Wali dalam perkawinan biasa disebut dengan wali nikah.

Orang yang paling berhak menjadi wali nikah adalah ayah kandung, kemudian kakek

dari ayah, dan seterusnya ke atas. Apabila semua sudah tidak ada lagi atau tidak dapat

melaksanakan karena uzur dan lain-lain maka wali nikah baru dapat dilaksanakan

oleh saudara kandung (kakak dan lain-lain). Apabila kakak kandung bertindak

sebagai wali atas izin dan sepengetahuan wali yang lebih berhak atau karena wali

yang lebih berhak dalam keadaan uzur syar‟i (bisu, tuli, dan lain-lain) maka

pernikahan yang walinya kakak kandung seayah tersebut tentu dibolehkan.23

Akan

tetapi, kalau kakak/saudara sekandung seayah bertindak sebagai wali nikah tanpa izin

dan sepengetahuan wali yang lebih berhak, maka yang bersangkutan telah mengambil

hak orang lain dan dapat dikategorikan sebagai salah satu perbuatan „uququl

walidain‟ berbuat dosa kepada orang tua. Walaupun demikian, kondisi darurat,

seperti wali yang lebih berhak itu mempersulit perkawinan karena pertimbangan yang

tidak Islami, maka perkawinan (ijab Kabul) yang dilakukan saudara kandung seayah

sebagai wali tersebut, dibolehkan.24

Para Fuqaha membagi wali itu kepada dua macam yaitu Wali Ijbar dan Wali

Ikhtiar. Wali Ijbar ialah perwalian yang disebabkan adanya hubungan turunan

dengan mempelai wanita. Hubungan yang bisa jadi wali semacam ini adalah

hubungan nasab (turunan) yang termasuk „ashabah dalam hukum waris seperti ayah,

kakek, saudara laki-laki, paman dan anak laki-laki. Wali nasab tersebut dapat dibagi

2 macam, yaitu wali Aqrab (ayah dan kakek) serta wali Ab‟ad (saudara laki-laki,

paman dan anak laki-laki). Sedangkan Wali Ikhtiar ialah wali yang diusahakan

dengan melalui pengangkatan, baik pengangkatan melalui jabatannya seperti hakim

atau sulthan maupun melalui tahkim atau diangkat oleh mempelai. Bolehnya

23

Miftah Faridl, 150 Masalah Nikah & Keluarga, (Jakarta : Gema Insani Press, 1999), h. 113 24

Miftah Faridl, 150 Masalah Nikah & Keluarga, h. 113

25

menggunakan wali terakhir ini tatkala urutan pertama dan kedua tidak ada. Artinya,

wali yang mempunyai hak adalah wali nasab. Jika tidak adawali nasab baru sulthan,

dan jika tidak ada baru bisa wali muhakkam.25

Selama masih ada Wali Akrab (dekat) tidak boleh dipindahkan ke Wali Ab‟ad

(jauh), berikut penjabarannya :26

1. Wali Akrab boleh dipindah pada Wali Ab‟ad apabila :

a. Tidak beragama islam.

b. Fasik (suka berbuat maksiat/dosa).

c. Belum baligh (masih-kanak-kanak).

d. Tidak berakal (gangguan jiwa).

e. Rusak pikiran (linglung/pikun).

f. Bisu, tuli, tidak bisa dengar isyarat/menulis.

2. Wali Nasab boleh pindah pada wali hakim apabila :

a. Tidak ada garis wali nasab.

b. Walinya maqfud (hilang).

c. Walinya sendiri mau menikah dengan perempuan itu (tidak ada yang

sederajat).

d. Walinya ghaib (jauh) sejauh musafatul qosri -/+ 92,5 km.

e. Sedang sakit pitam/ayan.

f. Walinya tidak boleh dihubungi.

g. Walinya dicabut haknya oleh negara.

h. Walinya sedang ihrom haji/umroh.

i. Walinya Tawarro‟ (bersembunyi).

25

Saifuddin ASM, Membangun Keluarga Sakinah (Tanya Jawab Seputar Masalah Keluarga

dan Solusinya), (Tanggerang : Qultum Media, 2008 ), h. 48 26

Nurul Huda Haem, Awas! Ilegal Wedding dari Penghulu Liar Hingga Perselingkuhan,

(Jakarta : PT. Mizan Publika, 2007), h. 266

26

j. Walinya ta‟azzuz (membangkang).

k. Walinya adhol (enggan menikahkan).

Wali adhol adalah wali yang tidak mau menikahkan perempuan yang berada di

bawah perwaliannya. Apabila seseorang menolak untuk menikahkan tanpa ada alasan

yang dapat diterima, maka perempuan itu berhak untuk mengadukan perkara ini

kepada hakim dan meminta hakim untuk menikahkannya.27

Disinilah terjadinya

perpindahan dari wali adhal ke wali hakim dikarenakan sebab-sebab pertimbangan

yang tidak Islami.

Terjadi perbedaan pendapat dikalangan Imam Madzhab mengenai kedudukan

wali, Imam Syafi‟I, Maliki dan Hambali berpendapat bahwa wali penting dan menjadi

penentu sahnya perkawinan. Sedangkan menurut Hanafi wali tidak penting dan tidak

menjadi unsur sahnya perkawinan bagi wanita yang berakal dan sudah dewasa.28

Madzhab Hanafi, wali dalam perkawinan adalah Sunnah, karena wanita berakal dan

balig memiliki hak langsung melakukan akad untuk dirinya, sah secara mutlak, baik

ia masih perawan maupun janda. Ia dianjurkan (sunnah) mewakilkan akad

perkawinannya kepada walinya sebagai penjagaan (dikhawatirkan) grogi bila

melakukan akad (sendiri) dihadapan laki-laki lainnya.29

Kedudukan wali dalam KHI terdapat pada pasal 19 sampai pasal 23. Pasal 19

berbunyi “Wali nikah dalam perkawinan merupakan rukun yang harus dipenuhi bagi

calon mempelai wanita yang bertindak untuk menikahkannya.” Selanjutnya Pasal 20

menjelaskan “(1) Yang bertindak sebagai wali nikah ialah seorang laki-laki yang

memenuhi syarat hukum Islam yakni muslim, aqil dan baligh. (2) Wali nikah terdiri

dari wali nasab dan wali hakim.” Pada pasal 23 diuraikan mengenai wali adhal

27

agama.galihpamungkas.com/2013/10/05/macam-macam-wali-pernikahan/ 28

Zainudiin dan Afwan Zainuddin, Kepastian Hukum Perkawinan Siri dan Permasalahannya

Ditinjau dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, (Yogyakarta : CV. Budi Utama, 2017), h. 7 29

Mughniyah, Muhammad Jawad, Fiqih Lima Madzhab : Ja‟fari, Hanafi, Maliki, Syafi‟I,

Hambali Cet. 27, (Jakarta : Lentera, 2011), h. 309

27

sebagaimana berbunyi “(1) Wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah

apabila wali nasab tidak ada atau tidak mungkin menghadirkannya atau tidak

diketahui tempat tinggalnya atau gaib atau adhal atau enggan. (2) Dalam hal wali

adhal atau enggan maka wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah setelah

ada putusan pengadilan Agama tentang wali tersebut.30

E. Pengertian Mahar

Secara bahasa, shadaq berasal dari kata “shidq” (jujur), karena penyerahannya

kepada wanita menunjukkan ketulusan keinginan suami kepadanya. Ia disebut juga

shihr, dan banyak lagi nama lain dari mahar. Menurut istilah definisinya adalah harta

yang dikeluarkan atau manfaat yang dikeluarkan untuk akad nikah atau kewajiban

untuk melakukan akad nikah dan apa-apa yang memiliki kaitan dengannya.31

Sunnah dalam mahar yaitu disunnahkan agar jumlahnya sedikit. Setiap yang

sedikit maka ia lebih bermanfaat dan lebih berkah. Dalam hadist Rasulullah SAW

yang diriwayatkan oleh imam Ahmad bahwa nikah yang paling besar berkahnya

adalah yang paling sedikit maharnya.

Mahar (mas kawin) merupakan salah satu syarat sah dalam pernikahan.

Rasulullah saw sering menanyakan kepada para sahabat mengenai apa yang akan

diberikan seorang mempelai pria kepada calon isterinya sebagai mahar. Mahar

memiliki makna yang cukup mendalam. Hikmah dari disyariatkannya mahar ini

menjadi pertanda tersendiri bahwa seorang wanita memang harus dihormati dan

dimuliakan. Mahar juga dibayarkan sebagai tanda “dibelinya” sebuah cinta kasih.

Oleh sebab itu, pemberian mahar juga harus ikhlas dan tulus serta benar-benar

diniatkan untuk memuliakan seorang wanita. Ada banyak istilah lain dari mahar yang

digunakan untuk menyebut harta pemberian suami kepada istri ini, yaitu shadaq,

nihlah, faridhah, thaul, hiba‟, „aqr, „ajr dan „alaiq.32

30

Kompilasi Hukum Islam pasal 19 – 23. 31

Muhammad bin Shalih al-„Utsaimin, Shahih Fiqih Wanita Menurut Al-Qur‟an dan As-

Sunnah, (Jakarta : Akbarmedia, 2009), h. 319 32

Abu Bilal Juli Dermawan, “Mahar”, Majalah As-Sunnah Baituna, XIX, 09(2016), h. 1

28

Pada pernyataan diatas, penulis sangat tidak setuju dengan kalimat “mahar juga

dibayarkan sebagai tanda “dibelinya” sebuah cinta kasih.” Karena bukan itu esensi

sebenarnya dalam mahar. Esensi mahar yang sesungguhnya bahwa mahar itu adalah

simbol kesanggupan menafkahi oleh suami kepada isteri, karena proses perkawinan

itu bukanlah proses jual beli seperti di pasar akan tetapi proses perkawinan adalah

proses ibadah kepada Allah SWT.

Dan juga, diantara manfaat sedikitnya mahar adalah jika ada perselisihan di

antara pasangan suami isteri, maka mudah baginya untuk menceraikannya. Tetapi

jika dia menjalin hubungan dengannya dengan mahar yang besar, maka ini akan

membuat istrinya benar-benar sangat kelelahan hingga menyerahkan kembali mahar

yang telah diberikannya kepadanya. Kemudian dalam kondisi seperti ini, sangat sulit

bagi wanita untuk mendapatkan mahar yang telah diserahkan kepadanya ini. Jumlah

mahar juga tidak ada ketentuan syariat terkait jumlahnya, tetapi sesuai dengan

kesepakatan pasangan suami isteri dengan jumlah yang mencukupi baik itu sedikit

maupun banyak hingga sekalipun dia menikahi isterinya hanya dengan uang satu

dirham.33

Di dalam KHI (Kompilasi Hukum Islam) pada Bab Mahar telah dijelaskan apa

itu mahar. Pasal 30 dikatakan bahwa “Calon mempelai pria wajib membayar mahar

kepada calon mempelai wanita yang jumlah, bentuk dan jenisnya disepakati oleh

kedua belah pihak”. Pada pasal 31 “Penentuan mahar berdasarkan atas kesederhanaan

dan kemudahan yang dianjurkan oleh ajaran Islam”. Pasal 34 terdapat 2 (dua) ayat :

1) Kewajiban menyerahkan mahar bukan merupakan rukun dalam perkawinan.

2) Kelalaian menyebut jenis dan jumlah mahar pada waktu akad nikah, tidak

menyebabkan batalnya perkawinan. Begitu pula halnya dalam keadaan

mahar masih terhutang, tidak mengurangi sahnya perkawinan.

33

Muhammad bin Shalih al-„Utsaimin, Shahih Fiqih Wanita Menurut Al-Qur‟an dan As-

Sunnah, (Jakarta : Akbarmedia, 2009), h. 319

29

Pada pasal 37 juga disebutkan bahwa “Apabila terjadi selisih pendapat mengenai

jenis dan nilai mahar yang ditetapkan, penyelesaian diajukan ke Pengadilan

Agama.”34

1. Hukum Mahar

Fuqaha berpendapat bahwa memberikan mahar hukumnya wajib.35

Adapun

dasar hukum wajibnya mahar dalam suatu perkawinan, yaitu sebagaimana Allah swt

berfirman :

ءاحا سافى١ٱساء فأ أ ء أ عش أ ى فئطبأ ت حأ خ

ش٠ صذل ٤ا ا

Artinya : “Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai

pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada

kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah)

pemberian itu (sebagai makanan yang sedap lagi baik akibatnya).” (QS. An-Nisa :

4).

Sebenarnya, dalam konsep hukum Islam, mahar bukan merupakan “harga:

dari seseorang perempuan yang dinikahi, sebab pernikhan bukanlah akad jual beli.

Oleh karenanya, tidak ada ukuran dan jumlah yang pasti dalam mahar, ia bersifat

relatif disesuaikan dengan kemampuan dan kepantasan dalam suatu masyarakat.

Rasulullah saw mengajarkan kepada umatnya agar tidak berlebihan di dalam

menentukan besarnya mahal. Hal ini dimaksudkan agar tidak menimbulkan kesulitan

bagi para pemuda yang bermaksud untuk menikah, karena mempersulit pernikahan

akan berdampak negatif bagi mereka yang sudah memiliki keinginan untuk

menjalankannya.36

Dalam sebuah hadist, Rasulullah saw bersabda :

خ١ش ٠سشا لاصذا

34

Abdul Gani Abdullah, Pengantar Kompilasi Hukum Islam Dalam Tata Hukum Indonesia,

(Jakarta : Gemani Insani Press, 1994), h. 86-87 35

Mahar dalam Hukum Islam, syulhadi.wordpress.com/konten/mahar-dalam-hukum-islam 36

Mahar dalam Hukum Islam, syulhadi.wordpress.com/konten/mahar-dalam-hukum-islam

30

Artinya : “Sebaik-baik perempuan adalah yang paling mudah (ringan)

maskawinnya.” (HR. Ibnu Hibban).

Dalam KHI (Kompilasi Hukum Islam) selanjutnya disebut KHI dan Undang-

Undang No. 1 Tahun 1974 memang tidak diatur mengenai hukum mahar itu sendiri,

akan tetapi di dalam KHI dan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 menjelaskan

tentang Mahar yaitu adalah kesepakatan antara kedua belah pihak, pihak suami dan

pihak isteri.

2. Jenis, Jumlah dan Syarat Mahar

Jenis mahar dapat dilihat dari dua sisi, kualifikasi dan klasifikasi mahar.

Dari sisi kualifikasi, mahar dapat dibagi dua, yaitu :37

1. Mahar yang berasal dari benda-benda yang konkret seperti dinar, dirham atau

emas.

2. Mahar dalam bentuk jasa seperti mengajarkan membaca Al-Quram, bernyanyi,

dan sebagainya.

Dilihat dari segi klasifikasi, mahar dapat dibagi menjadi dua, yaitu :

1. Mahar musamma, yaitu mahar yang besarnya disepakati kedua belah pihak dan

dibayarkan secara tunai atau ditangguhkan atas persetujuan calon istri.

2. Mahar mitsil, yaitu mahar yang jumlahnya tidak disebutkan secara eksplisit

pada waktu akad. Biasanya mahar jenis ini mengikut kepada mahar yang pernah

diberikan kepada keluarga isteri seperti adik atau kakaknya yang telah terlebih

dahulu menikah.

Mahar dalam KHI pasal 30 menunjukkan bahwa pihak laki-laki berkewajiban

untuk menyerahkan sejumlah mahar kepada calon mempelai perempuan. Namun

untuk mengenai jumlah, bentuk dan jenisnya diatur berdasarkan kesepakatan antara

kedua belah pihak. Hal ini berarti ketentuan hukum yang ada di dalam Al‟Qur‟an dan

37

Mardani, Hukum Keluarga Islam di Indonesia, (Jakarta : PT Fajar Inteprama Mandiri, 2017,

Cet. Kedua), h, 48

31

Al-Hadist mengenai berapa besar kadar jumlah maksimal dan jumlah minimal

pemberian mahar dari calon mempelai tidak ada ketentuannya.38

3. Tujuan dan Hikmah Mahar

Tujuan dan hikmah mahar sebagai berikut :39

1. Merupakan jalan yang menjadikan istri berhati senang dan ridha menerima

kekuasaan suaminya kepada dirinya.

2. Untuk memperkuat hubungan dan menumbuhkan tali kasih saying dan cinta

mencintai.

3. Sebagai usaha memperhatikan dan menghargai kedudukan wanita yaitu

memberikan hak untuk memegang urusannya.

F. Biaya Perkawinan

Di antara kendala-kendala perkawinan yang membuat terhambatnya pemuda

pemudi menikah adalah mahalnya biaya perkawinan, sejak proses peminangan

sampai walimahan (resepsi) dan bulan madu. Selain maskawin, orang tua calon isteri

juga biasanya berharap ada pemberian-pemberian lain, termasuk nafkah pada tahap

berikutnya yang terlalu berat untuk dipikul calon suami. Misalnya, pemberian yang

harus diserahkan dalam proses melamar. Biasanya berupa hadiah-hadiah sebagai

ikatan pertunangan, hadiah akad nikah, hadiah resepsi, dan menyembelih sembelihan.

Semua itu harus menjadi perhitungan setiap orang yang hendak berangkat menuju

dunia perkawinan.40

38

Hukum Perkawinan di Indonesia : Mahar, dwiprasetiyawati.wordpress.com

/dokumen/2017/06/22/ hukum-perkawinan-di-indonesia-mahar 39

Mardani, Hukum Keluarga Islam di Indonesia, (Jakarta, PT Fajar Inteprama Mandiri, 2017,

Cet. Kedua), h, 47 40

Abdullah Nasikh „Ulwan. ed, Aqabaatuz Zawaaj wa Thuruqu Mu‟aalajatiha „alaa Dlaulil

Islam. Penerjemah Moh. Nurhakim. Perkawinan Masalah Orang Muda, Orang Tua dan Negara,

(Jakarta : Gema Insani Press, 1992), h. 44

32

Di negara-negara Arab seperti Arab Saudi, Kuwait, Uni Emirat Arab, dan lain-

lain, calon pengantin laki-laki harus menyediakan dana minimal Rp. 500.000.000

(lima ratus juta rupiah) atau setengah miliar untuk perkawinannya. Uang sebanyak itu

sudah termasuk biaya mahar, biaya perkawinan yang ditanggung pengantin laki-laki,

biaya rumah, beli mobil dan biaya bulan madu. Di sebagian masyarakat Arab,

semakin tinggi mahar semakin bangga mereka karena itu seakan sebagai bukti bahwa

anak perempuan mereka mendapat calon suami dengan status sosial tinggi.

Konsekuensinya, tidak sedikit pria Arab yang kurang mampu kemudian terpaksa

menunda rencana perkawinannya atau menikah dengan wanita dari negara lain. Hal

ini berakibat pada banyaknya perempuan Arab yang menjadi perawan tua karena

sulitnya mencari suami. Bagi pemuda kurang mampu yang nekat menikah, mereka

harus berutang ke bank dan membayar kredit bulanan.41

Sebenarnya banyak pemuda yang ingin menjaga dirinya dari dekadensi moral

ketergelinciran hidup dengan jalan menikah sesuai dengan yang disyariatkan Allah

SWT. Tetapi karena begitu banyak kendala dan tuntutan maka mereka berbalik

memilih hidup secara frustatif, cepat atau lambat akan menyebabkan tersebarnya

perzinaan, kemungkaran, serta menambah penyakit moral. Tidak diragukan,

kehidupan sosial masyarakat akan membuka peluang “semua halal”. Jika sudah

demikian maka bangsa pun akan terkena getah kemungkaran.42

Sesuatu yang sangat disayangkan, biaya pesta peresmian perkawinan juga

ditentukan status sosial orang tua pengantin. Juga ditentukan oleh status pengantin

perempuan. Bila dia ada pendidikan, misalnya, dokter, doctor, maka biaya pesta

perkawinannya akan diminta lebih besar oleh orang tuanya. demikian juga bila pihak

laki-laki adalah keluarga berpunya, berjabatan tinggi, pengusaha besar, maka mereka

41

A. Fatih Syuhud, Keluarga Sakinah (Cara Membina Rumah Tangga Harmonis, Bahagia

dan Berkualitas), (Malang : Pustaka Alkhoirot, 2013), h. 70-71 42

Abdullah Nasikh „Ulwan. ed, Aqabaatuz Zawaaj wa Thuruqu Mu‟aalajatiha „alaa Dlaulil

Islam. Penerjemah Moh. Nurhakim. Perkawinan Masalah Orang Muda, Orang Tua dan Negara,, h.

45

33

senang bila maharnya tinggi misalnya, sampai dua ratusan juta rupiah bahkan lebih.

Berita mahar itu akan terdengar ke khalayak dan itu membuat mereka semakin terpuji

dan terhormat.43

Kepada orang tua, ketahuilah, Islam tidak pernah mengajarkan mensyariatkan

pembiayaan-pembiayaan waktu akan nikah maupun ketika bulan madu, kecuali mas

kawin untuk isteri, walimah dan pemuliaan tamu yang disesuaikan dengan keadaan.

Tradisi-tradisi yang seakan sekarang ini sudah menjadi suatu keharusan, tidak

termasuk syarat akad nikah yang disyariatkan Allah. Semua itu dikembalikan kepada

calon suami sesuai dengan kemampuan ekonomi dan materinya.44

Agar cinta tidak

kalap, bahkan buta, ia membutuhkan tuntunan. Hanya Allah SWT yang memang

Maha Baik. Ia menurunkan sejumlah risalah soal percintaan ini. Pilihan dalam

menikah, tak ada yang lain kecuali karena seiman. Bukan suku bangsa, kedaerahan,

atau pun status sosial yang menjadi ukuran. Seorang muslim, bagaimanapun

keadaannya, sekufu atau setara dengan muslimah.45

43

Bungaran Antonius Simajuntak, et.al, ed. Harmonious Family (Upaya Membangun Keluarga

Harmonis). (Jakarta : Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2013), h. 19 44

Abdullah Nasikh „Ulwan. ed, Aqabaatuz Zawaaj wa Thuruqu Mu‟aalajatiha „alaa Dlaulil

Islam. Penerjemah Moh. Nurhakim. Perkawinan Masalah Orang Muda, Orang Tua dan Negara,, h.

46 45

Iwan Januar, Bukan Pernikahan Cinderella (Hanya Untuk Pasangan Muda), (Depok : Gema

Insani, 2007), h. 53

34

BAB III

BUDAYA PERKAWINAN MASYARAKAT

BUGIS DI SENGKANG SULAWESI SELATAN

A. Deskripsi Singkat Masyarakat Bugis Sengkang

1. Potret Daerah Bugis Sengkang Sulawesi Selatan

Kabupaten Wajo dengan ibukota Sengkang, terletak dibagian tengah Provinsi

Sulawesi Selatan dengan jarak 242 km dari Makassar Ibukota Provinsi Sulawesi

Selatan, memanjang pada arah laut Tenggara dan terakhir merupakan selat, degan

posisi gepgrafis antara 3o

39o – 4

o 16

o LS dan 119

o 53

o – 120

o 27 BT. Luas wilayahnya

adalah 2.506, 19 Km2 atau 4,01% dari luas Provinsi Sulawesi Selatan dengan rincian

penggunaan lahan terdiri dari lahan sawah sebesar 86.297 Ha (34,43%) dan lahan

kering sebesar 164.322 Ha (65,57%). Pada tahun 2007 Kabupaten Wajo telah terbagi

menjadi 14 kecamatan. Batas wilayah Kabupaten Wajo sebagai berikut :1

Sebelah Utara : Kabupaten Luwu dan Kabupaten Sidrap.

Sebelah Selatan : Kabupaten Bone dan Kabupaten Soppeng.

Sebelah Timur : Teluk Bone.

Sebelah Barat : Kabupaten Soppeng dan Kabupaten Sidrap.

Secara morfologi, Kabupaten Wajo mempunyai ketinggian lahan di atas permukaan

laut (dpl) dengan perincian sebagai berikut :

0 – 7 meter, luas 57,263 Ha atau sekitar 22,85%.

8 – 25 meter, luas 94,539 Ha atau sekitar 37,72%.

26 – 100 meter, luas 87,419 Ha atau sekitar 34,90%.

101 – 500 meter, luas 11,231 Ha atau sekitar 4,50% di atas 500 meter luasnya

hanya 167 Ha atau sekitar 0,66%.

1 Letak Geografis, wajokab.go.id /konten/2017/09/20/letak-geografis

35

Kalau kota Sengkang sendiri berbatasan dengan daerah daerah :2

Sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Tanasitolo.

Sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Sabbangparu dan Kecamatan

Pammana.

Sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Majauleng.

Sebelah Barat berbatasan dengan Danau Tempe.

Bugis adalah salah satu suku bangsa yang mendiami wilayah bagian selatan

pulau Sulawesi yang saat ini dikenal dengan Sulawesi selatan. Orang Bugis

nerupakan etnis terbesar dengan prosentase 41.90% dari jumlah penduduk Sulawesi

Selatan. Wilayah yang didiami oleh orang Bugis meliputi Kabupaten/Kota Bone,

Soppeng, Wajo, Sidenreng Rappang, Pinrang, Luwu, Pare-Pare, Barru dan Sinjai.

Sementara kabupaten seperti Maros, Pangkajene Kepulauan, Bantaeng dan

Bulukumba didiami oleh orang Bugis dan sebagian Makassar. Adapun daerah seperti

Tana Toraja, orang Bugis merupakan etnis minoritas. Bagi suku-suku bangsa yang

tinggal di sekitar orang Bugis, mengenal mereka sebagai orang yang berkarakter

keras dan menjunjung tinggi kehormatan. Bahkan demi kehormatan (siri‟), orang

Bugis rela melakukan tindakan kekerasan karena siri‟ merupakan harga diri yang

mesti dipertahankan. Karakter keras menjadi label orang Bugis karena keteguhan

mempertahankan sesuatu dan keberanian menghadapi tantangan.3

Sulawesi Selatan dikenal sebagai salah satu daerah lumbung padi Indonesia.

Luas panenan tahun 1974, 464.000 ha dengan produksi 1.683.000 ton padi kering.

Luas sawah seluruhnya 515.000 ha diantaranya 115.600 ha dengan pengairan teknis,

59.500 ha dengan pengairan setengah teknis dan selebihnya kurang lebih 300.000 ha

sawah tadah hujan. Produksi pertanian lainnya adalah hasil-hasil perkebunan antara

lain kelapa dan kopi. Keduanya merupakan hasil-hasil eksport. Juga produksi

2 Batas Wilayah, id.wikipedia.org /konten/2017/06/19/ Sengkang_(kota)

3 Jabal Hikmah, repository.umy.ac.id/handle/2014/07/20/konformitas-islam-dan-adat-potret-

fanatisme-keagamaan-di-kalangan-muslim-bugis

36

perikanan darat dan perikanan laut, cukup potensiil. Sulawesi Selatan juga baik untuk

peternakan, terutama untuk sapi dan kerbau. Sumber-sumber mineral di Sulawesi

Selatan hampir seluruhnya masih merupakan sumber-sumber mineral potensiil yang

baru berada pada tahap eksplorasi. Bahan-bahan pertambangan yang terpenting

diantaranya besi, nickel, minyak bumi, tembaga, gips dan timah hitam.4

Sulawesi selatan mempunyai 4 buah danau, yaitu:

5

1. Danau Tempe, dengan luas 15.000 ha yang dari hari ke hari mengalami

pendangkalan. Banyak menghasilkan ikan tawas, udang, sepat siam, tambakan

gabus dan betek.

2. Danau Sindenreng, dengan luas 12.500 ha. Keadaan dan hasil ikannya sama

dengan Danau Tempe.

3. Danau Towuti, dengan luas 60.000 ha. Danau ini airnya jernih, tidak

mengandung lumpur lagi dalam. Akan tetapi tidak mengandung ikan.

4. Danau Matana, dengan luas 15.000 ha. Keadaannya sama dengan danau

Towuti, juga tidak menghasilkan ikan.

2. Sistem Kemasyarakatan dalam Masyarakat Bugis

Masyarakat bugis memiliki tatanan pemaknaan atas adat, yaitu :6

a. Ade‟ Pura Onro

Adat yang sudah tetap dan tidak dapat diubah lagi. Adat ini merupakan

ketetapan atas dasar sepakat antara raja dan rakyat yang dipersaksikan ke

hadapan Tuhan Yang Maha Esa. Perubahan terhadap adat ini sama saja berarti

mengingkari kejujuran dan kodrat sehingga akan membuat negeri runtuh.

b. Ade‟ Assituruseng

4 Mattulada, Bugis-Makassar (Manusia dan Kebudayaannya), (Jakarta : Perpustakaan Pusat

Universitas Indonesia, 1993), h. 3 5 Mattulada, Bugis-Makassar (Manusia dan Kebudayaannya), h. 3

6 I Gede A. B. Wiranata, Hukum Adat Indonesia Perkembangannya dari Masa ke Masa,

(Bandung : Citra Aditya Bakti, 2005), h. 8

37

Adat yang telah ditetapkan, tetapi terbuka untuk penyempurnaan atas dasar

bulat mufakat karena memang dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan

masyarakat.

c. Ade‟ Maraja ri Arunggo

Adat yang berlandaskan kepatutan yang secara khusus dapat dilaksanakan di

kalangan raja dan para bangsawan meskipun ada halur yang tidak patut menjadi

dasar, misalnya penyembelihan kerbau, bertentangan dengan kepatutan, tetapi

dipergunakan untuk upacara dan memberi makan untuk orang banyak adalah

kebolehan.

d. Ade‟ Abiasane Wanuae

Adat yang berlaku di kalangan seluruh rakyat atas dasar persetujuan bersama

dan tidak bercacat serta harus dilaksanakan seterusnya oleh seluruh rakyat.

e. Ade‟ Tanro Anang

Adat yang lahir dari tua-tua desa. Secara inti dapat dikatakan bahwa

perombakan dan penyempurnaan tatanan adat yang telah mapan dapat

dilaksanakan bila mengacu pada prinsip penetapan keputusan rakyat di atas

keputusan yang lain.

Orang Sulawesi Selatan pada umumnya sangat emosional. Hal ini memang

karakter yang sulit dihilangkan dalam kehidupan masyarakat Sulawesi Selatan,

terutama di kalangan suku Bugis dan Makassar. Bagaimana pun inteleknya seorang

Bugis atau Makassar, jika disinggung perasaannya, seketika itu juga dia akan sangat

marah dan melupakan bahwa ia mempunyai pendidikan tinggi. Ia akan berbuat

tindakan di luar kesadarannya. Mempertahankan kehormatan adalah menjadi bagian

dari kehidupannya. Di mata orang Bugis dan Makassar, harta kekayaan dapat dibeli,

tetapi harga diri dan Siri‟ itu hilang, tak ada gunanya untuk hidup lagi. Siri‟ dan harga

diri adalah pemberian Tuhan kepada seseorang yang harus dibela dan dipertahankan

sepanjang hidup kita sebagai umat manusia. Seseorang yang tidak lagi begitu

menghargai Siri‟ dan harga diri, maka kehidupannya menjurus kepada sifat

38

kehewanan. Dalam Bahasa Bugis, Siri‟ na Pesse. Sedangkan dalam Bahasa Makassar

Siri‟ na Pacce. Bahkan, bagi orang Sulawesi Selatan, seluruh kehidupan kita harus

berlandaskan Siri‟ na Pesse itu.7

Sistem kekerabatan dalam kalangan orang Bugis-Makassar dapat dianggap

sampai sekarang satu sitem yang masih dipertahankan. Sistem itu disebut Ade‟

Asseajirigeng (Bugis) atau Ada‟ Passibijaeng (Makassar). Sistem ini menyatakan

peranannya dalam hal pencaharian jodoh atau perkawinan untuk membentuk keluarga

baru. Hal ini penting karena dalam hubungan sistem inilah banyak timbul kejadian-

kejadian seperti pembunuhan-pembunuhan yang menyangkut tentang Siri‟.8

Di kalangan orang Bugis dan Makassar, dikenal suatu budaya yang dinamakan

dalam bahasa Belanda Standen Stelsel, terjemahan bebasnya adalah asal-usul. Dalam

Bahasa Bugis disebut Assaleng, istilah Makassarnya Kabattuang. Untuk

mempermudah susunan kata Standen Stelsel, di kalangan orang Bugis dibagi dalam

18 kasta atau asal-usul yakni :9

1. Arung Matase atau Arung Mattola atau Arung Maddara Takku, golongan

berdarah biru. Ini berarti ayah dan ibunya berasal dari keturunan bangsawan

tinggi.

2. Arung Sengngeng : Bangsawan tinggi.

3. Arung Mattola Menre : Bangsawan yang naik derajat kebangsawanannya

karena menjadi raja di satu kerajaan.

4. Anak Arung Manrapi : Anak raja yang ayahnya bangsawan tinggi , tetapi

ibunya dari golongan bangsawan biasa.

5. Anak Arung Sipuwe : Anak raja yang ayahnya bangsawan tinggi, tetapi ibunya

dari golongan Tau Deceng atau orang baik-baik.

7 Andi Mattalatta, Meniti Siri‟ dan Harga Diri, h. 5

8 Mattulada, Bugis-Makassar (Manusia dan Kebudayaannya), h. 20

9 Andi Mattalatta, Meniti Siri‟ dan Harga Diri, h. 33-34

39

6. Anak Sipuwe : Anak yang ayahnya bangsawan tinggi tetapi ibunya dari

golongan Tau Maradeka atau orang merdeka.

7. Anak Arung : Bangsawan.

8. Rajeng Matase : Bangsawan yang sudah turun derajatnya menjadi Rajeng,

tetapi ayahnya masih berstatus Anak Arung.

9. Rajeng Malebbi‟ : Bangsawan yang sudah turun derajatnya menjadi Rajeng

ayahnya masih berstatus Anak Arung dan ibunya dari golongan Tau Deceng.

10. Anak Urung Maddapi : Ayahnya Anak Arung Sipuwe dan ibunya dari golongan

Tau Maradeka.

11. Anak Cera‟ : Ayahnya bangsawan tinggi tetapi ibunya dari golongan Ata.

12. Anak Arung Sala : Ayahnya bangsawan tetapi ibunya dari golongan Ata.

13. Tau Deceng : Orang baik-baik.

14. Tau Maradeka : Orang Merdeka.

15. Tau Sama : Rakyat Jelata.

16. Ata Riabbeang : Budak karena terkena hukum adat.

17. Ata Mana : Budak turun-temurun.

18. Ata Rielli : Budak yang dibeli.

Pada zaman kejayaan kerajaan-kerajaan Bugis-Makassar adalah kecenderungan

untuk mencari jodoh dalam lingkungan keluarga yang lebih dekat, baik keluarga dari

pihak ayah, maupun dari lingkungan keluarga dekat pihak ibu. Didalam menentukan

anggota-anggota dalam pelampiasan sosial ternyata kedua orang tua (bapak dan ibu)

ikut diperhitungkan. Demikian juga yang diperhitungkan menjadi anggota keluarga

dalam jaringan kekeluargaan yang mempunyai posisi yang harus diperhitungkan

dalam Ade‟ Akkalabinengeng adalah keluarga dari kedua orang tua. Oleh karena itu

maka selaku sistem kekeluargaan orang Bugis-Makassar adalah sesuai dengan sistem

parental atau bilineal.10

10

Mattulada, Bugis-Makassar (Manusia dan Kebudayaannya), h. 21

40

3. Masyarakat Islam Bugis

Religi orang Bugis – Makassar dalam zaman pra-Islam seperti al yang disebut

dalam Sure‟ Galigo, sebenarnya telah mengandung suatu kepercayaan kepada satu

dewa yang tunggal, yang disebut dengan beberapa nama seperti :11

Patoto‟E (Dia yang menentukan nasib);

To-palanroE (Dia yang menciptakan);

Dewata SeuaE (Dewa yang Tunggal);

Turi‟E A‟ra‟na (Kehendak yang tertinggi);

Puang Matua (Tuhan yang tertinggi).

Waktu agama Islam masuk ke Sulawesi Selatan pada permulaan abad ke-17,

maka ajaran Tauhid (Ke-esaan Allah) dalam Islam, dapat mudah diterima dan proses

itu dipercepat dengan adanya kontak terus menerus dengan pedagang-pedagang

Melayu Islam yang sudah menetap di Makassar, maupun dengan kunjungan-

kunjungan niaga orang Bugis-Makassar ke negeri-negeri lain yang penduduknya

sudah beragama Islam.

Dipandang dari sudut kepercayaan, seolah-olah terjadi Islam-campuran satu

kepercayaan sinkritis. Akan tetapi apabila dilihat dari segi yang lain, yaitu terutama,

dari sudut ilmu kebudayaan, maka cara-cara penyebaran yang dilakukan oleh

muballig-muballig Islam ketika itu, adalah tepat, karena melakukan pendekatan

melalui pemahaman atas struktur social dan dari adaptasi kulturil (bukan adaptasi

iman), dapat dengan mudah apa yang dimilikinya berkembang menurut jalan

sebenarnya. Apa yang dicapai dalam adaptasi kulturil itu, ialah orang Bugis-Makassar

telah merasakan identitasnya sebagai Islam, Bugis-Makassar Islam. Gerakan-gerakan

pemurnian ajaran Islam, seperti dilakukan oleh Muhammadiyah, sejak tahun 1930-an,

lambat laun dapat menyusun keseluruh daerah pedalaman Sulawesi Selatan, dan

11

Mattulada, Bugis-Makassar (Manusia dan Kebudayaannya), h. 35

41

kegiatan-kegiatan itu berjalan terus dalam rangka program sosialisasi kegiatan Islam,

untuk membangun masyarakat Islam yang bersendi kepada Iman Tauhid yang

berdasarkan Al-Qur‟an, Hadits, Qias dan Ijma‟. Pada waktu ini, terdapat kira-kira

90% penduduk Sulawesi Selatan yang menjadi pemeluk agama Islam. Kira-kira 10%

lainnya memeluk agama Kristen baik Katholik maupun Protestan dan kepercayaan-

kepercayaan lama, seperti Aluk Todolo, patuntung dan kepercayaan Tolotang

(Hindu). Pengabar-pengabar Injil kebanyakan beroperasi dikalangan orang Toraja

yang masih menganut kepercayaan lama.12

B. Gambaran Umum Perkawinan Adat Bugis

Tahapan acara perkawinan dan istilah-istilah pada upacara adat perkawinan

orang Bugis adalah sebagai berikut:13

Pemilihan jodoh.

Ma‟manu-manu yang berarti masa penjajakan.

Ma‟duta atau massuro masa meminang.

Mappasiarekeng proses pengukuhan kesepakatan.

Mappaisseng dan mattampa yakni menyebarkan undangan kepada famili dan

kerabat.

Mappatettong saravo/walasuji/baruga yakni mendirikan bangnan pelaminan.

Mappassau botting dan cemme pasili yakni proses memandikan pengantin atau

merawat pengantin.

Mappanre temme bagi calon pengantin yang pernah khatam dalam membaca

Al-Qur‟an dan dilanjutkan dengan pembacaan barzanji.

Mappacci atau tudammpenni proses mensucikan diri.

Resepsi atau pesta perkawinan.

12

Mattulada, Bugis-Makassar (Manusia dan Kebudayaannya), h. 36-37 13

Mengenal Keunikan Tradisi Mappabotting Adat Suku Bugis :

bloggersbugis.com/blog/2015/07/mengenal-keunikan-tradisi-mappabotting-adat-suku-bugis

42

Mappenre botting yakni proses mengantar pengantin.

Madduppa botting proses menyambut kedatangan pengantin.

Akad nikah.

Mappasiluka atau mappasikarawa yakni persentuhan pertama.

Upacara/ceramah nasehat perkawinan dan dilanjutkan dengan acara perjamuan.

Mapparola/marola adalah kegiatan kunjungan balasan dari pihak mempelai

wanita ke rumah mempelai pria.

Mallukka botting proses melepas pakaian pengantin.

Ziarah kubur mengunjungi makam.

Massita baiseng proses bertemu besan.

Dui Menre‟ atau Dui Balanca, yaitu sejumlah uang belanja dari pihak

mempelai pria merupakan syarat sah peminangan dalam suku Bugis. Uang

tersebut sebagai uang biaya pesta mempelai wanita.

Sompa, yaitu mas kawin atau mahar dalam bentuk uang real adalah salah satu

syarat sah yang digunakan dalam peminangan menurut Islam.

Cicing passiok adalah berupa cincin emas yang diberikan mempelai pria

kepada mempelai wanita.

Sarung sutera sebagai hadiah untuk kedua belah pihak keluarga mempelai.

Seperangkat peralatan dalam acara mappacing seperti bantal, ma‟daung, pucuk

pisang, daun nangka, baki, lilin, wenno/benno (emping dari padi yang

disangrai).

Berbagai macam kue-kue tradisional Bugis dan makanan seperti badda-

baddang, nennu-nennu, beppa puteh, palopo, paloleng, barongko, lapisi,

sanggarak, cangkueng, dll.

Bosara, yaitu tempat menyimpan kue-kue tradisional Bugis dan sebagainya.

43

1. Dui Menre’

Dalam adat Bugis terdapat dua unsur yang tidak dapat dipisahkan dalam proses

perkawinan, yaitu pihak laki-laki tidak hanya memberikan dui menre‟ dalam bentuk

mahar, akan tetapi menurut ketentuan adat juga harus memberi Dui Menre‟ (uang

hantaran) lainnya. Dui Menre‟ dalam perkawinan adat Bugis adalah penyerahan harta

yang mana terdiri dari uang atau harta yang berupa passiok (cincin pengikat)14

, Dui

Balanca (uang pesta)15

, Sompa (mas kawin)16

, yang besarnya diukur sesuai dengan

stratifikasi sosial dalam masyarakat.17

Jumlah dui menre‟ yang diberikan itu bertingkat-tingkat sesuai dengan derajat

sosial dari gadis yang dipinang dan dihitung dalam nilai Rella‟ (real). Dui Menre‟

dalam bentuk Dui Balanca (Uang pesta) dan Sompa (mas kawin) diberi nilai nominal

menurut jumlah real itu, dapat saja terdiri atas sawah, kebun, keris pusaka dan lain

sebagainya, yang mana semuanya mempunyai makna yang penting dalam

perkawinan. Dahulu kala Sompa (mahar) dan Dui Menre‟ (uang hantaran/uang pesta)

menurut derajat-derajat sosial gadis yang dipinang itu, diperhitungkan dengan sangat

teliti, karena sangat menyangkut tentang derajat social keluarganya. Garis besar

keadaan itu diikuti juga sampai saat ini, walaupun tidak diperhitungkan seteliti dahulu

kala. Tingkatan Sompa atau Sunrangi pada Tellumpaccoe18

(Bone, Wajo dan

Soppeng). Patron orang Bugis.

a. Sompa Bocco, diberikan kepada raja-raja puteri ketiga raja (Tellumpoccoe)

yang memegang kekuasaan kerajaan. Jumlah Sunrang, ialah 14 kati doi lama.

14

Passiok adalah seperangkat cincin pengikat yang diantar oleh keluarga calon mempelai pria

kepada calon mempelai wanita disertai dengan kosmetik serta kain pelengkap untuk calon mempelai

wanita. 15

Dui Balanca adalah uang yang diserahkan oleh pihak laki-laki pada acara mepettu ada

(terjadinya kesepakatan antara pihak laki-laki dan pihak perempuan) untuk dipakai dalam acara pesta

yang akan dilangsungkan. 16

Sompa adalah pemberian berupa uang atau harta yang diberikan oleh pihak laki-laki untuk

sahnya perkawinan yang disebutkan dalam akad. 17

Ahmad Pattiroy dan Idrus Salam, “Tradisi Doi Menre‟ Dalam Pernikahan Adat Bugis di

Jambi”, (Yogyakarta : Artikel UIN Sunan Kali Jaga, 2008), h. 91 18

Tellumpoccoe adalah persekutuan tiga kerajaan Bugis, yaitu Bone, Soppeng dan Wajo pada

tahun 1582.

44

Nilai nominal 1 kati doi lama = 88 real + 8 oang + 8 doi‟. Bersama itu,

diserahkan pula seorang Ata‟ dan seekor kerbau.

b. Sompa Ana‟ Bocco, diberikan kepada puteri-puteri (darah penuh) dari tiga raja,

atau bangsawan tinggi. Jumlah mahar itu, ialah 7 kati doi‟ lama.

c. Sompa Kati, diberikan kepada puteri-puteri raja-raja bawahan. Jumlahnya 1 kati

doi‟ lama, atau 88 real + 8 oang + 8 doi‟. Bersama itu seorang Ata‟. (Kecuali di

Wajo, Ata‟ ditiadakan).

d. Sompa Ana‟ Mattola, diberikan kepada puteri-puteri Ana‟ Mattola, jumlahnya,

3 kati doi‟ lama.

e. Sompa Rajeng, untuk anak-anak Rajeng, 2 kati doi‟ lama.

f. Sompa Cera‟ Sawi, untuk Cera‟ Sawi, 1 kati doi‟ lama.

g. Sompa Tau Deceng, untuk Tau Deceng, ½ kati doi‟ lama.

Demikianlah mengenai uang mahar atau Sompa yang berlaku pada perkawinan

orang Bugis-Makassar. Sesungguhnya nilai nominal Sunrang atau Sompa ini pada

waktu sekarang tidaklah banyak, karena ukurannya adalah tetap. Pada waktu ini yang

amat mahal adalah uang belanja, untuk dipergunakan membiayai pesta perkawinan.

Makin besar pesta perkawinan itu, makin mempertinggi derajat sosial seseorang,

walaupun harus dibelinya dengan kebangkrutan, atau hutang-hutang yang sukar

dilunasi.19

Jika Dui Menre‟ (Passiok, Sompa dan Dui Balanca) ini tidak terlaksana

yang terjadi adalah batalnya perkawinan dan yang lebih parahnya akan menyebabkan

suatu hal yang sangat memalukan yaitu Silariang (kawin lari).

2. Silariang

Silariang atau kawin lari tidak hanya dikenal oleh suku atau adat Makassar,

Bugis, Mandar dan Toraja di Sulawesi Selatan, juga suku lainnya di Indonesia. Hanya

saja yang membedakan adalah sanksi adat yang diterapkan pada kedua pelaku

Silariang. Kalau pada suku lainnya, biasanya sanksi tidak begitu berat, tetapi pada

19

Mattulada, Bugis-Makassar (Manusia dan Kebudayaannya), (Jakarta : Perpustakaan Pusat

Universitas Indonesia, 1993), h. 25-26

45

suku Bugis dan Makassar, biasanya berakhir dengan pembunuhan terhadap pelaku.

Perkawinan Silariang ini adalah suatu bentuk perkawinan yang tidak dibenarkan oleh

adat Bugis atau Makassar. Itulah sebabnya, para pelaku Silariang ini disebut

Tumannyala20

. Kawin Silariang ini biasanya terjadi karena salah satu pihak keluarga

tak menyetujui hubungan asmara dari kedua pasangan ini. Mungkin karena perbedaan

strata sosial, atau karena wanita yang menjadi kekasihnya itu hamil di luar nikah,

sehingga mereka mengambil jalan pintas, yakni melakukan Silariang. Walaupun

kedua pasangan Silariang ini menyadari, bahwa tindakan Silariang ini penuh resiko,

tetapi itulah jalan terbaik baginya untuk membina rumah tangga dengan kekasihnya

kelak.21

Menurut Zainuddin Tika berpendapat bahwa Silariang adalah perkawinan yang

dilakukan antara sepasang laki-laki dan perempuan setelah sepakat lari bersama,

perkawinan mana menimbulkan Siri‟ bagi keluarganya khususnya bagi keluarga

perempuan, dan kepadanya dikenakan sanksi adat. Dapat disimpulkan bahwa

Silariang itu unsur-unsurnya sebagai berikut :22

1. Dilakukan sepasang laki-laki dan perempuan.

2. Sepakat lari bersama untuk menikah.

3. Menimbulkan Siri‟ dan dikenakan sanksi.

Para pelaku Silariang biasanya pada zaman dulu lebih banyak dilakukan di

waktu malam hari. Dalam perjalanan menuju rumah Imam pada suatu kampung yang

dituju, banyak tantangan yang mungkin dihadapi. Karena itu, laki-laki yang

membawa perempuan tersebut, minta tolong dengan temannya, agar diantarkan ke

tempat tujuan. Nanti setelah sampai di tempat dimaksud, baru mereka pulang.

Kemudian, perkawinan Silariang ini, juga tidak hanya terbatas pada jejaka atau gadis,

juga orang yang sudah bersuami atau beristripun telah banyak melakukan Silariang.

Khusus pada laki-laki yang sudah beristri ini melakukan kawin lari dengan gadis atau

20

Tumannyala adalah orang yang perkawinannya menyalahi aturan atau adat yang berlaku. 21

Z.Tika & M. Ridwan Syam, Silariang, (Makassar : Pustaka Refleksi, 2005), h. 1 22

Z.Tika & M. Ridwan Syam, Silariang, h. 2

46

janda atau bahkan orang yang sudah punya suami melakukan Silariang, karena

berbagai hal diantaranya. Mereka terlanjur sama-sama cinta dan bahkan sudah

melakukan hubungan suami isteri. Karena takut hubungan mereka tidak direstui oleh

keluarganya, sehingga mereka mengambil jalan pintas, yakni melakukan Silariang.23

Apalagi kalau orang yang masih berstatus isteri dari suaminya, bila mereka menjalin

hubungan asmara dengan seorang laki-laki, baik jejaka mapun sudah beristeri, jelas

sangat sulit baginya untuk mendapatkan restu dari keluarganya apalagi suaminya.

Demikian halnya, bila mereka mau dinikahkan dengan laki-laki yang membawanya,

jelas mengalami kesulitan, karena setidaknya harus ada surat cerai dari suaminya,

juga harus ada restu dari orang tua, wali atau wali hakim, baru pernikahan boleh

dilakukan. Silariang yang dilakukan antara laki-laki dan wanita yang berstatus isteri

dan suami pertamanya itu, resikonya memang sangat berat. Sebab yang dihadapi

bukan hanya keluarga dari pihak perempuan, juga pihak keluarga suaminya. Untuk

wanita yang berstatus janda, bila mereka Silariang, prosesnya tak begitu sulit, karena

hanya mohon restu dari pihak keluarganya saja. Kalaupun melakukan Silariang,

umumnya pihak keluarga janda itu sangat memakluminya dan biasanya proses untuk

berdamai (abbaji/mapadeceng) bisa berlangsung lebih cepat.24

Menurut adat perkawinan suku Bugis Makassar, sebelum melakukan suatu

perkawinan, terlebih dahulu pihak laki-laki melamar yang disertai dengan persyaratan

berupa uang belanja (Dui Menre‟) berikut mahar dan mas kawinnya serta beberapa

persyaratan lainnya. Bilamana persyaratan yang ditetapkan oleh pihak wanita tak bisa

dipenuhi oleh pihak laki-laki, karena kondisi ekonominya memang tidak

memungkinkan, yang bisa menyebabkan perkawinannya batal. Sedang disisi lain,

keduanya sudah saling mencintai, maka mereka bisa saja menempuh Silariang.

Pemberian Dui Menre‟ terlalu tinggi itu, biasanya dijadikan sebagai alasan untuk

menolak pinangan laki-laki yang melamar anak gadisnya itu. Sebab dengan

23

Z.Tika & M. Ridwan Syam, Silariang dan Kisah-Kisah Siri‟, h. 3 24

Z.Tika & M. Ridwan Syam, Silariang dan Kisah-Kisah Siri‟, h. 4

47

memasang tarif yang tinggi bisa membuatnya mundur. Tetapi bila cinta sudah

menyatu, apapun rintangan di depannya pasti akan dilabrak. Kalau tak mampu

memenuhi persyaratan pinangan yang terlalu tinggi, mereka bisa mengambil jalan

pintas dengan jalan Silariang. Kadang memang ada orang tua yang tak mau mengerti

dengan perasaan anaknya. Mereka lebih mencintai uang dari pada masa depan

anaknya. Dui Menre‟ yang tinggi itu dianggapnya sebagai suatu kebanggaan bagi diri

dan keluarganya. Permintaan uang atau mas kawin yang tinggi memang tak ada

masalah sepanjang pihak laki-laki mampu. Tapi kalau tidak, apa yang terjadi,

Silariang.25

Karena menyalahi aturan atau adat yang berlaku, maka orang yang

dipermalukan, terutama dari pihak keluarga perempuan yang disebut Tumasiri‟

membenci pelaku tersebut dan bila ditemukan di suatu tempat, akan memberinya

sanksi adat. Penegakkan Siri‟ oleh suku Bugis-Makassar inilah sering membawa

resiko yang cukup berat. Karena bila Tumasiri‟ melakukan penganiayaan atau bahkan

pembunuhan, maka yang bersangkutan bisa dikenakan sanksi pidana yakni penjara

bertahun-tahun lamanya.tindakan Tumasiri‟ untuk melakukan penyerangan terhadap

Tumannyala ini oleh adat dianggap sebagai suatu kewajiban moral baginya. Itu

dimaksudkan untuk menghilangkan sifat kebinatangan dari Tumannyala, supaya

mereka tidak berbuat seperti binatang.26

Orang tua zaman dahulu biasanya mencarikan jodoh anaknya. Anak tinggal

terima saja apa yang menjadi keinginan orang tuanya. biasanya dicarikan dari

keluarga dekat, misalnya sepupu satu kali, dua kali dan tiga kali atau sahabat karib

orang tua. Tujuannya agar harta benda tidak lari keluar. Namun begitu, terkadang ada

juga anak yang membandel. Anak itu mencari jodohnya sendiri, tetapi bila

hubungannya tidak direstui, itulah yang menyebabkan suatu masalah dan pastinya

mereka akan melakukan Silariang. Bilamana keduanya ingin melakukan Silariang,

25

Z.Tika & M. Ridwan Syam, Silariang, h. 29 26

Z.Tika & M. Ridwan Syam, Silariang, h. 7

48

pemuda itu mengutus duta ke rumah pacarnya, biasanya kawan dekatnya. Kemudian

ia menyampaikan maksudnya untuk Silariang. Bila pacarnya menyetujui Silariang,

maka terjadilah pelarian itu. Untuk kabur dari rumah, perempuan memang susah.

Sebab bisa ketahuan dengan masyarakat sekitarnya. Berbagai taktik dilakukan

diantaranya, pakaian yang akan dibawa itu dibungkus terlebih dahulu, adakalanya

pakaian itu pura-pura dibawa ke kali atau sungai dengan alasan mau dicuci, tetapi

hanya disembunyikan disuatu tempat atau dititip di rumah temannya. Bila tengah

malam tiba, pemuda itupun datang menghampiri rumah pacarnya. Kedatangannya

tentu memberi kode, seperti bersiul atau bertepuk tangan yang mana hanya

dimengerti oleh pacarnya sendiri. Bila pelariannya itu tidak diketahui warga, maka

muluslah rencanyanya, tetapi bila ada yang tahu, maka bahaya bisa menghadangnya.

Sebab kalau sampai ketahuan, maka keduanya diburuh seperti pencuri yang bisa

merenggut jiwanya. Cara lain untuk melakukan Silariang, bila pemuda itu orang

berada, cukup menyuruh kawan dekatnya untuk menjemput pacarnya di waktu

malam. Laki-laki yang akan Silariang itu cukup menunggu di rumah imam (kepala

adat). Cara ini banyak dilakukan orang. Keesokan harinya, setelah kedua orang

tuanya membangunkan anak gadisnya, ternyata tidak menyahut. Orang tuapun curiga,

jangan sampai anaknya kabur bersama pacarnya. Kecurigaan itupun makin timbul

setelah melihat pintu belakang tidak terkunci dan isi lemarinyapun kosong dan

keesokan harinya mendapat kabar dari Imam (kepala adat) yang dituju bahwa

anaknya sekarang sudah ada di suatu kampung dengan status Silariang dengan

pemuda pujaannya. 27

Pada saat proses Silariang, mereka dinikahkan oleh imam adat yang mana

merangkap sebagai petugas KUA. Dalam proses ijab qabul tetap ada mahar, akan

tetapi jumlah maharnya itu sesuai dengan kemampuan laki-laki tersebut. Pihak-pihak

yang hadir ketika proses perkawinan pasangan yang Silariang yaitu calon pengantin,

27

Z.Tika & M. Ridwan Syam, Silariang, h. 57-58

49

imam adat yang biasanya merangkap sebagai petugas KUA, wali hakim dan biasanya

dihadiri teman atau saudara jauh dari calon mempelai untuk menjadi saksi.

3. Mapadeceng

Salah satu realitas sosial yang paling banyak bersinggungan dengan masalah

Siri‟ adalah perkawinan. Masyarakat suku Bugis-Makassar memandang perempuan

dalam kehidupan masyarakat menyebutnya sebagai Baine.28

Masyarakat

menempatkan perempuan sebagai puncak martabat kemanusiaannya. Bukan sekedar

hanya sebatas simbol, melainkan merupakan esensi luhur yang menandai derajat dan

martabat dalam suatu rumpun keluarga.29

Ketika Silariang itu terjadi, si ayah atau

ibunya atau keluarga dekatnya, mendatangi sanak keluarganya untuk menyampaikan

Buritta (berita) untuk Appassiriki (minta dukungan Siri‟). Bila sudah memberitahu,

maka dengan sendirinya keluarga tersebut menjadi Tumasiri‟ dan Tumanyala (pelaku

Silariang). Appassiriki pada keluarga ini sangat penting, disamping sebagai suatu

penghargaan dan menjalin hubungan silaturahmi, juga keluarga merasa Nipakatau

(dimanusiakan) serta mencegah timbulnya perasaan tidak enak dari kalangan

keluarga. Setelah beberapa bulan atau tahun lamanya di pelarian, maka ada hasrat

untuk Abbaji/Mapadeceng, maka pihak keluarga pemudapun mendatangi orang tua

perempuan itu untuk menyampaikan maksudnya Abbaji/Mapadeceng. Saat pihak

keluarga laki-laki itu minta acara Mapadeceng, biasanya orang tua perempuan masih

emosi, maka ia mewakilkan pada saudaranya untuk berembuk. Bila terjadi kata

sepakat untuk datang Mapadeceng, juga ditetapkan Uang Passala (Uang Denda).

Bila telah sepakat untuk Mapadeceng, maka pihak keluarga perempuan juga harus

melakukan Buritta pada sanak keluarganya seperti halnya saat Silariang untuk minta

Appassiriki. Kedatangannya bukan minta Appassiriki, tetapi untuk merubah status

Tumasiri‟ menjadi suatu keluarga yang utuh dengan pelaku Silariang itu. Bila semua

sudah siap, maka keluarga perempuan melakukan persiapan pesta kecil-kecilan untuk

28

Baine adalah benih atau cikal bakal, sehingga dapat dimaknai sebagai asal atau permulaan. 29

Silariang dalam Perspektif Budaya Siri‟ pada Suku Makassar, Jurnal Pustaka, (Makassar),

Januari – Juni 2015, h. 54

50

menyambut kedatangan anaknya itu. Pasangan yang datang itu langsung sembah

sujud pada kedua orang tuanya serta sanak keluarganya sebagai tanda keduanya

diterima kembali menjadi keluarga yang utuh.30

Praktik silariang ini apabila tidak diselesaikan dengan mappadeceng akan

mengakibatkan dampak negative yang sangat tidak diinginkan. Mappadeceng ini

adalah salah satu bentuk penyelesaian permasalahan dalam adat Bugis. Ada juga cara

penyelesaian permasalahan dalam adat Bugis yaitu Sigajang Laleng Lipa‟. Sigajang

Laleng Lipa‟ adalah penyelesaian adat Bugis dengan cara baku tusuk dengan badik

dalam satu sarung. Apabila permasalahan tidak terselesaikan maka dendam yang akan

menguasai diri masyarakat Bugis, apalagi kalau menyangkut Siri‟ (harga diri).

30

Z.Tika & M. Ridwan Syam, Silariang, h. 59-60

51

BAB IV

PRAKTIK DUI MENRE’ DAN SILARIANG

DI KECAMATAN PAMMANA SENGKANG

SULAWESI SELATAN

A. Praktik Dui Menre’ dan Silariang di Kecamatan Pammana Sengkang

Sulawesi Selatan

Sompa, Mahar atau Dui Menre‟ adalah pemberian pihak laki-laki kepada

perempuan yang dinikahinya, berupa uang atau benda, sebagai salah satu syarat

sahnya pernikahan. Jumlah Dui Menre‟ sebagaimana yang diucapkan oleh mempelai

laki-laki pada saat perkawinan (akad nikah), menurut ketentuan adat jumlahnya

bervariasi menurut tingkatan strata sosial atau simbol status sosialnya seseorang.

Adapun menurut masyarakat setempat berpendapat bahwa, mahar merupakan salah

satu unsur yang wajib ada dalam pernikahan, tidak boleh tidak ada.1

Sebenarnya terdapat tiga arti pada Dui Menre‟ ini, yaitu dui balanca (uang

belanja/uang pesta), sompa (mas kawin) atau passiok (cincin kawin), kebanyakan

masyarakat Bugis memahami Dui Menre‟ itu hampir hampir menyamakan biaya

pesta dengan uang mahar, akan tetapi sebenarnya yang disebut Dui Menre‟ itu adalah

biaya pesta. Biaya pesta itu adalah kesepakatan antara kedua belah pihak, biasanya

pihak perempuan yang memberi penawaran terlebih dahulu, bahwa berapa banyak

keluarga laki-laki menyiapkan biaya pesta. Semakin tinggi status sosial keluarga

perempuan di mata masyarakat, maka semakin tinggi pula Dui Menre‟ itu. Inilah

salah satu sebab dari terjadinya Silariang pada adat Bugis.2

1 Asmat Riady Lamallongeng, Dinamika Perkawinan Adat Dalam Masyarakat Bugis Bone,

(Makassar : Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Bone, 2007), h. 16 2 Wawancara Pribadi dengan Andi Akram (Ilmuwan dari Bugis). Depok, Senin, 21 Mei 2018.

52

Pada zaman dahulu, memang sompa atau dui menre‟ yang berlaku sejak lama di

daerah Bugis dinilai dengan mata uang lama (orang Bugis menyebutnya rella). Bagi

bangsawan tinggi maharnya dinyatakan dengan kati senilai 88 Real, ditambah satu

orang hamba (ata‟) senilai 40 real dan satu ekor kerbau senilai 25 Real. Sompa bagi

perempuan dari kalangan bangsawan tinggi disebut sompa bocco (sompa puncak)

yang biasa mencapai 14 kati. Sedangkan bagi perempuan dari kalangan bangsawan

menengah kebawah hanya satu kati, bagi orang baik-baik (to deceng) setengah kati,

kalangan orang biasa seperempat kati.3

Orang Bugis dan Makassar itu sama dalam arti dalam melihat strata sosial

seorang perempuan akan tetapi yang terpenting adalah strata sosial keluarga

perempuan tersebut. Semakin tinggi strata sosial keluarga perempuan, maka akan

semakin tinggi pula uang mahar yang harus dibayarkan. Kalau yang melamar laki–

laki itu statusnya sama dengan keluarga perempuan maka lebih flexibel harga mahar

yang akan ditentukan. Akan tetapi kalau status sosialnya laki-laki lebih rendah dari

keluarga perempuan maka akan semakin tinggi uang mahar tersebut. Karena sistem

kekerabatan orang Bugis itu adalah harta itu tidak boleh keluar dari lingkup keluarga.

Karena jika dipegang oleh orang diluar dari keluarga yang ditakutkan adalah dibawa

lari atau dibawa pergi harta atau aset keluarga perempuan dan tidak kembali. Maka

dari itu salah satu untuk melindungi harta tersebut yaitu dengan menaikkan harga

dengan setinggi-tingginya, agar laki-laki tidak sanggup untuk membayar kemudian

batal menikah dengan perempuan yang ingin dipinangnya. Dalam arti menolak

lamaran dengan cara halus. Maka perempuan di Bugis maupun di Makassar

cenderung menikah itu ke atas4, akan tetapi kalau laki-laki cenderung menikah itu ke

3 Asmat Riady Lamallongeng, Dinamika Perkawinan Adat Dalam Masyarakat Bugis Bone,

(Makassar : Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Bone, 2007), h. 17 4 Yang dimaksud ke atas adalah yang mana status sosialnya itu minimal sama dengannya atau

lebih tinggi darinya.

53

bawah5, agar mudah dalam proses peminangan ataupun perkawinan.

6 Memang kalau

dilihat dari segi ekonomi sangatlah materialis. Inilah sebabnya terjadinya Silariang.

Silariang adalah jenis perkawinan yang sangat dibenci oleh masyarakat Bugis

yang mana akibat dari Silariang ini akhirnya menimbulkan permusuhan, pertengkaran

bahkan sampai bunuh-bunuhan. Semua itu terjadi karena orang Bugis itu sangat

menjunjung tinggi Siri‟, yang mana apabila orang Bugis tidak hidup dengan adanya

Siri‟ maka hidupnya tak lebih dari binatang. Silariang itu adalah ketika laki-laki dan

perempuan sepakat untuk pergi bersama tanpa ada paksaan dari salah satu pihak.

Karena memang sudah kepalang cinta dan orang tua tidak merestui, sehingga

menyalahi aturan perkawinan baik yang ada di dalam agama maupun peraturan di

Indonesia.7

Terjadinya hukuman adalah karena adanya pelanggaran terhadap hukum

tertama dalam kasus ini Silariang pada adat Bugis, ini sangat melanggar hukum

kekerabatan. Maka dari itu anak perempan di Bugis sudah ditunangkan, itu dilarang

untuk tampil dimuka umum karena ditakutkan dia akan suka dengan laki-laki lain

diluar laki-laki yang sudah menjadi tunangannya. Bahkan ketika laki-laki melihat

tubuh atau bentuk tubuh yang dianggap aurat perempuan itu merupakan Siri‟. Siri‟

dapat diartikan menjadi dua makna yaitu harga diri (Self Estimed) dan dipermalukan

atau malu (Shame). Cara untuk merestorasi harga dirinya yang sudah tercoreng yaitu

dengan membunuh kedua pasangan, karena pembunuhan itulah yang menjadi obat

harga dirinya yang kemudian akan membaik setelah dilakukannya pembunuhan.8

Di Pammana, Dui Menre‟ diminta besarannya berdasarkan status keluarga,

status perempuan yang ingin dilamar itu dilihat dari segi pendidikan, pencapaian dan

keturunan (status Andi). Status tersebut sangat mempengaruhi jumlah permintaan Dui

5 Yang dimaksud ke bawah adalah yang mana status sosialnya itu minimal sama dengannya

atau lebih rendah darinya. 6 Wawancara Pribadi dengan M. Adlin Sila (Ilmuwan dari Bugis). Ciputat, Jumat, 18 Mei 2018.

7 Wawancara Pribadi dengan M. Adlin Sila (Ilmuwan dari Bugis). Ciputat, Jumat, 18 Mei 2018.

8 Wawancara Pribadi dengan M. Adlin Sila (Ilmuwan dari Bugis). Ciputat, Jumat, 18 Mei 2018.

54

Menre‟. Salah satu tujuan Dui Menre‟ itu besar nilainya dikarenakan untuk dipakai

mengadakan acara tradisi adat Mandre Sifulung9, yang mana ketika diadakan mandre

sifulung itu disediakan Bozara‟10

, yang mana bozara‟ tersebut dipakai untuk

menempati makanan-makanan khas kerajaan.11

Hal yang sangat diperhatikan saat ingin melakukan perkawinan masyarakat

Pammana adalah gelar atau keturunan. Andi adalah merupakan salah satu gelar

kerajaan di tanah Bugis yang mana yang mendapat gelar itu adalah orang yang

merupakan keturunan raja dan punya tata krama dan sopan santun yang sangat tinggi.

Itulah salah satu cerminan keturunan Andi. Tingkat Dui Menre‟ dilihat dari status

pendidikan perempuan Bugis, apabila perempuan Bugis telah menyelesaikan studinya

di bangku perkuliahan seperti contohnya Strata 1, maka Dui Menre‟nya bisa

mencapai Rp. 500.000.000,-. Begitu seterusnya baik Strata 2 (bisa mencapai Rp.

700.000.000,-) maupun Strata 3(lebih tinggi lagi, bisa sampai 1 Miliar) . Kemudian

dilihat dari segi pencapaian perempuan Bugis, seperti contohnya naik Haji (Rp.

500.000.000,-). Maka akan semakin tinggi dan mahal Dui Menre‟ yang nantinya akan

disampaikan kepada keluarga laki-laki. Inilah tradisi adat Bugis Sengkang dalam

mengadakan perkawinan. Bilamana ada seorang laki-laki yang berencana ingin

mempersunting perempuan gadis Bugis maka dilakukanlah ma‟manumanu12

. Proses

ma‟manumanu tersebut maka keluarga perempuan memberi informasi kepada utusan

keluarga laki-laki tentang status atau kondisi keluarga perempuan dan perempuan itu

sendiri, termasuk bayangan Dui Menre‟. Setelah proses ma‟manumanu selesai, maka

dilaporkanlah semua informasi yang diterima dari pihak keluarga perempuan kepada

keluarga laki-laki. Bilamana pihak laki-laki mampu dan sanggup memenuhi

9 Mandre Sifulung adalah makan bersama keluarga besar mempelai perempuan.

10 Bozara‟ adalah tempat makanan raja-raja Bugis, begitu juga tempat seserahan kepada lawan

mempelai. 11

Wawancara Pribadi dengan La Masi (Masyarakat Bugis). Calodo, Jumat, 11 Mei 2018. 12

Ma‟manumanu adalah datang ke rumah keluarga perempuan untuk mencari informasi

tentang status keluarga perempuan dan perempuan itu sendiri dengan maksud ingin meminang

perempuan tersebut.

55

persyaratan yang diberikan pihak keluarga perempuan maka utusan ma‟manumanu

tadi datang kembali kepada pihak keluarga perempuan untuk menginformasikan

kepada keluarga perempuan bahwa keluarga pihak laki-laki akan datang

bermusyawarah dengan pihak keluarga perempuan yang biasa orang Bugis sebut

dengan Ma‟duta13

. Dalam proses ma‟duta diadakan pembicaraan secara detail tentang

Dui Menre‟ yang berupa uang tunai dan pemberian harta berupa tanah, sawah, kebun,

ladang, sapi dan lain-lain. Pada saat terjadinya proses ma‟duta dilakukanlah dengan

bahasa-bahasa kiasan yang sangat sopan dan santun seperti tradisi adat Bugis yaitu

Ma‟lontara14

.15

Setelah prosesi ma‟duta yang dilakukan oleh pihak keluarga laki-laki dan

perempuan dengan segala kesepakatan didalamnya termasuk tanggal berlangsungnya

prosesi pernikahan dan pesta adat, keluarga perempuan melakukan pengundangan

kepada masyarakat dan keluarga perempuan dengan cara dua pasang berpakaian adat

baju Bodo mendatangi rumah satu persatu. Ini adalah salah satu tradisi wajib untuk

penghormatan kepada calon tamu.

Sebelum pesta berlangsung maka masyarakat sekitar datang bergotong royong

untuk membuat Saravo16

. Setelah saravo selesai maka berdatanganlah keluarga dan

masyrakat membantu prosesi pemotongan hewan sapi minimal 3 ekor17

untuk

persiapan penyajian makanan pesta. Selain dipakai untuk makan saat pesta

berlangsung, juga dipakai untuk dimakan para masyarakat dan keluarga yang datang

membantu persiapan, biasanya satu minggu sebelum acara. Masing-masing keluarga

baik keluarga laki-laki ataupun perempuan melaksanakan persiapan pesta pernikahan.

13

Ma‟duta adalah prosesi lamaran yang didalamnya terdapat musyawarah tentang hal-hal yang

menyangkut Dui Menre‟. 14

Ma‟lontara adalah pembukaan pembicaraan dengan pantun dan dibalas pula dengan pantun

yang dihasilkan adalah titik temu dan mufakat. 15

Wawancara Pribadi dengan Irwanzah (Masyarakat Bugis). Calodo, 11 Mei 2018. 16

Saravo adalah rumah panggung yang dibesarkan untuk menyambut tamu yang datang untuk

membantu mensukseskan pesta adat tersebut. 17

3 ekor sapi adalah ukuran status keluarga diatas rata-rata. Itulah pembeda dengan masyarakat

biasa.

56

Jadi pelaksanaan persiapan selama satu minggu itu dilakukan secara terpisah antara

keluarga laki-laki dan perempuan. Ketika tiba hari pernikahan, barulah pihak laki-laki

membawa seluruh keluarganya datang ke rumah perempuan. Tiba pada hari acara

pesta adat pernikahan, ada yang melangsungkan acara pada saravo yang telah dibuat

dan ada juga yang melaksanakan di gedung. Ketika acara pesta berlangsung maka

pengantin laki-laki datang ke rumah pesta perempuan untuk menyerahkan seserahan

yang berupa bozara‟18

yang berisikan sesuai kesepakatan yang telah disepakati ketika

proses ma‟duta (tidak termasuk uang tunai).

Setelah pihak keluarga laki-laki datang ke rumah pesta perempuan untuk

menyerahkan bozara‟ dan melaksanakan pesta duduk di pelaminan selama waktu

yang telah di tentukan19

dalam rangka menyambut tamu undangan dan seluruh

keluarga, pihak keluarga perempuan dan pihak keluarga laki-laki yang berada pada

rumah pesta perempuan selanjutnya melakukan yang namanya Mapparola.20

Pada penentuan dui menre‟ yang dilakukan oleh keluarga Andi Jumrah dan

H.Sakka yang penulis wawancarai bahwa tidak bertemunya titik mufakat ketika

perundingan atau penentuan jumlah dui menre‟. Sehingga proses-proses perkawinan

yang sesuai adat Bugis yang mana penulis sudah paparkan juga sebelumnya tidak

terpenuhi semua karena keluarga H. Sakka tidak memenuhi permintaan dari keluarga

Andi Jumrah. Jadi dengan adat yang biasanya berlaku berbeda dengan fakta yang ada

karena terjadinya ketidakmufakatan yang mana akan menimbulkan efek yang sangat

fatal.

Andi Jumrah dan H.Sakka memiliki pengalaman yang kurang baik dalam

perjalanan perkawinannya karena perkawinannya berlangsung tidak sesuai dengan

hukum adat yang ada, yang mana terjadi perbedaan antara keluarga laki-laki dan

18

Isi dari bozara‟ tersebut adalah pakaian dalam, sepatu, kosmetik serta barang-barang

berharga lainnya. 19

Tergantung kesepatakatan antara kedua belah pihak keluarga. 20

Wawancara Pribadi dengan Irwanzah (Masyarakat Bugis). Calodo, Jumat, 11 Mei 2018.

57

keluarga wanita. Pada kasus ini wanita (Andi Jumrah) merupakan keturunan darah

biru (Andi / Arung Matase) dan laki-lakinya (H.Sakka) bukan merupakan keturunan

darah biru. Dalam perjalanannya kedua pasangan ini terjalin hubungan asmara yang

mana seorang laki-laki (H.Sakka) berniat baik untuk menikahi wanita (Andi Jumrah).

Sebenarnya jika dilihat dari perspektif hukum Islam sangatlah dibolehkan, bahkan

Rasulullah SAW menganjurkan untuk mencari pasangan yang jauh jaraknya baik dari

segi tempat tinggal maupun darah (keturunan). Akan tetapi adat dan tradisi Bugis

yang selalu mengutamakan tahta, keturunan maupun yang sederajat menyebabkan

masalah dalam proses perkawinan.21

Inilah rintangan yang dihadapi Andi Jumrah dan

H.Sakka. Pada perjalannnya kedua pasang ini sudah saling mencintai yang mana rasa

cinta itu menimbulkan niat baik, sehingga ingin sekali H.Sakka langsung pergi

melamar Andi Jumrah pada tahun 1988. Pada saat keluarga H.Sakka datang melamar

(Ma‟duta), terjadilah penolakkan dikarenakan keturunan, tahta dan permintaan Dui

Menre‟ yang tidak terpenuhi. Pada saat itu keluarga perempuan meminta Dui Menre‟

sebesar Rp. 200.000.000,- tunai dan belum termasuk non tunai yang berupa sawah.

Karena keluarga H.Sakka tidak sanggup memenuhi Dui Menre‟ dan juga sudah saling

mencintai maka keduanya mengambil jalan pintas dengan Silariang.22

Sebelum adanya proses Silariang ini memang kediaman Andi Jumrah dan

H.Sakka berdekatan. Pada proses Silariang itu, Andi Jumrah dan H.Sakka lari ke

kampung sebelah yaitu ke Kabupaten Bulukumba (Sinjai) yang mana terdapat rumah

keluarga atau saudara dari H.Sakka untuk meminta perlindungan sekaligus meminta

untuk dinikahkan. Pada saat itu juga terjadilah pengejaran dan pengepungan oleh

keluarga perempuan di kediaman H.Sakka di Pammana, akan tetapi ketika terjadi

pengepungan di kediaman keluarga H.Sakka, pihak keluarga laki-laki tetap

melindungi dan menyembunyikan keberadaan Andi Jumrah dan H.Sakka agar tidak

diketahui keberadaannya, karena apabila diketahui keberadaannya oleh keluarga Andi

21

Wawancara Pribadi dengan Andi Jumrah dan H.Sakka (Pelaku Silariang). Pammana, Jumat,

11 Mei 2018. 22

Wawancara Pribadi dengan Andi Jumrah dan H.Sakka (Pelaku Silariang). Pammana, Jumat,

11 Mei 2018.

58

Jumrah maka akan dibunuh Andi Jumrah dan H.Sakka. Setelah selesai pengepungan

dan pembongkaran rumah kediaman H.Sakka di Pammana yang di duga tempat

persembunyiannya tidak diketemukan maka pulanglah keluarga Andi Jumrah dengan

rasa kecewa dan dendam. Setelah itu pihak keluarga laki-laki melangsungkan

perkawinan Andi Jumrah dan H.Sakka di Bulukumba (Sinjai) dengan mahar

semampunya (uang senilai Rp. 1.500.000,- dan cincin kawin 5 gram) dan

dilaksanakan di tempat tinggal imam adat (Mappalewa).23

Maka terjadilah

perkawinan itu yang mana prosesnya melalui imam adat (Mappalewa). Setelah

perkawinan berjalan sekitar 3 tahun, barulah keluarga H.Sakka mencoba untuk datang

ke keluarga Andi Jumrah untuk mencoba memperbaiki hubungan keluarga kembali

dan memberi tahu kabar keberadaan dari Andi Jumrah dan H.Sakka agar bisa

diterima kembali di keluarga Andi Jumrah. Proses inilah yang disebut dengan proses

Mappadeceng. Berbahagialah Andi Jumrah dan H.Sakka karena keluarga Andi

Jumrah memaafkan dan menerima Andi Jumrah dan H.Sakka sebagai anggota

keluarga kembali. Setelah itu diadakanlah proses Mappadeceng di rumah kediaman

H.Sakka di Pammana yang mana sebelumnya pernah di kepung oleh keluarga Andi

Jumrah. Proses Mappadeceng ini berjalan dengan lancar disertai dengan makan-

makan bersama untuk mempererat kembali hubungan kekeluargaan.24

Jadi ketika Andi Jumrah dan H.Sakka itu lari untuk pergi menikah tidak ada

lagi mahar yang tinggi akan tetapi sesuai dengan kemampuan si laki-laki tersebut.

Karena yang menjadi syarat perkawinan itu bukanlah mahar, akan tetapi syarat

sahnya perkawinan itu adalah adanya kedua mempelai, wali, ada 2 orang saksi, ijab

qabul dan imam. Ketika pasangan itu lari maka terkendala pada wali. Biasanya pada

umumnya di sana, imam adat itu merangkap kepala KUA (penghulu) mengirim surat

kepada orang tua perempuan agar mengizinkan anaknya menikah. Apabila tidak

diizinkan maka kepala KUA akan menunjuk wali hakim.

23

Wawancara Pribadi dengan Andi Jumrah dan H.Sakka (Pelaku Silariang). Pammana, Jumat,

11 Mei 2018. 24

Wawancara Pribadi dengan Andi Jumrah dan H.Sakka (Pelaku Silariang). Pammana, Jumat,

11 Mei 2018.

59

Allah SWT berfirman :

ءاحا سافى١ٱساء فأ أ ء أ عش أ ى فئطبأ ت حأ خ

ش٠ صذل ٤ا ا

Artinya : “Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai

pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada

kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah)

pemberian itu (sebagai makanan yang sedap lagi baik akibatnya).” (QS. An-Nisa :

4).

Firman Allah ءاحا ٱساء ت حأ خ

صذل “Berikanlah mas kawin (mahar)

kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan”. Ali

bin Abi Thalib mengatakan dari Ibnu Abbas : ت adalah mahar. Muhammad bin حأ

Ishaq berkata dari „Aisyah : ت ت : adalah kewajiban. Ibnu Zaid berkata حأ dalam حأ

bahasa Arab adalah suatu yang wajib, ia berkata : “Janganlah engkau nikahi dia

kecuali dengan sesuatu yang wajib baginya.” Kandungan pembicaraan mereka itu

adalah, bahwa seorang laki-laki wajib menyerahkan mahar kepada wanita sebagai

suatu keharusan dan keadaannya rela. Sebagaimana ia menerima pemberian dan

memberikan hadiah dengan penuh kerelaan, begitu pula kewajiban ia memberikan

mahar kepada wanita dengan penuh kerelaan. Dan jika si isteri secara sukarela

menyerahkan sesuatu dari maharnya setelah disebutkan jumlahnya, maka suami boleh

memakannya dengan halal dan baik.25

Sampai-sampai Rasulullah SAW bersabda

bahwa :26

أبشاة

Artinya : “Adakan Walimah walaupun dengan satu kambing” (HR. Bukhari).

25

Muhammad, Abdullah bin. ed, Lubaabut Tafsir Min Ibni Katsiir. Penerjemah M. Abdul

Ghoffar. Tafsir Ibnu Katsir Jilid 2, (Bogor : Pustaka Imam Syafi‟I, 2004), h. 234 26

Wawancara Pribadi dengan Andi Akram (Ketua PA Depok). Depok, Senin, 21 Mei 2018.

60

Penulis dapat memahami dari ayat Al-Qur‟an dan Hadist tersebut bahwa Islam

sendiri sama sekali tidak memberatkan pemeluknya dalam segala aspek ibadah,

terutama dalam aspek mahar dalam perkawinan. Dikatakan dalam Surah An-Nisa

ayat 4 itu bahwa berilah mas kawin (mahar) kepada wanita yang kamu nikahi sebagai

pemberian yang penuh dengan kerelaan dan Rasul SAW mengatakan adakan walimah

walaupun dengan satu kambing. Jika kita pahami secara dalam arti dari kerelaan

adalah suatu kondisi manusia memasrahkan pikiran,hati dan perasaannya hanya

kepada Allah, sehingga timbul lah keikhlasan didalam diri manusia. Pada adat Bugis

Sengkang memang mayoritas muslim, akan tetapi terkadang, menurut penulis pribadi

bahwa masyrakat masih sangat menjunjung tinggi nilai-nilai adat terkhusus dalam

masalah perkawinan yang mana didalamnya ada mahar. Kalau kita lihat secara

sekilas memang sangatlah bertentangan antara Al-Quran surah An-Nisa ayat 4

dengan tradisi penentuan mahar yang ada di dalam adat Bugis. Niat sebenarnya

adanya mahar yang tinggi adalah memang untuk menjaga harga diri, strata sosial dan

tidak mau menikahkan anak perempuannya dengan sembarang laki-laki.

Sebagaimana yang juga penulis bahas sebelumnya bahwa diadakannya mahar yang

tinggi adalah cara untuk menolak calon suami dengan cara halus agar harta yang

dimiliki keluarga perempuan tersebut tidak keluar dari lingkup keluarga.

أىحا ٠ ٱلأ أ ى ح١ ٱص إ٠ىافمشاء٠غأ أ ائى إ أ عبادو أ ٱلل

ۦ فضأ ٱلل سعع١ ٣٣

Artinya : “Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian diantara kamu, dan orang-

orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-

hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan

mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha

Mengetahui.” (QS. An-Nur : 32).

Firman Allah فمشاء٠غأ إ٠ىا ٱلل فضأ “Jika mereka miskin, Allah

akan memampukan mereka dengan karunia-Nya”, dan ayat seterusnya. „Ali bin Abi

Thalhah meriwayatkan perkataan „Abdullah bin „Abbas : “Allah mendorong mereka

61

untuk menikah dan memerintahkan orang-orang merdeka maupun budak untuk

melaksanakannya serta menjanjikan kekayaan bagi mereka. Allah berfirman ٠ىا

فمشاء٠غأ ٱلل فضأ Jika mereka miskin, Allah akan memampukan mereka“ إ

dengan karunia-Nya”.27

Jika kita melihat surat di atas yaitu surat An-Nur ayat ke 32, bahwa Allah akan

memampukan mereka yang ingin menikah akan tetapi miskin. Tidak boleh ada

sedikit keraguan didalam diri untuk melakukan ibadah. Dan jika kita melihat pada

hadist berikut :

يهللاص: فمايسس ججعع١ بفضاسةحض شأة ا سب١عتا شب عا ع

.فاجاص ؟لاج:ع اهبع١ فسه احذاباجاخشز .اسض١ج

صحح

Artinya : “Dari „Amir bin Rabi‟ah, bahwa sesungguhnya pernah ada seorang wanita

dari Bani Fazarah yang dinikah dengan (mahar) sepasang sandal, lalu Rasulullah

SAW bertanya, “Ridhakah kamu atas dirimu dan hartamu dengan (mahar) sepasang

sandal?” Ia menjawab, “Ya”. Maka Rasulullah SAW memperkenankannya”. (HR.

Ahmad, Ibnu Majah dan Tirmidzi, dan Tirmidzi mengesahkannya).

Agama Islam adalah agama Rahmatan lil „Alamin, agama yang sangat

menjunjung tinggi perdamaian dan ketenangan. Tujuan beribadah adalah untuk

mendekatkan diri kepada Allah SWT agar menjadi pribadi yang baik dan tenang. Jika

kita lihat pada ayat dan hadist di atas bahwa sebenarnya Allah SWT menurunkan

Agama Islam bukan untuk mempersulit pemeluknya, akan tetapi pemeluknya

sendirilah yang terkadang menyulitkan hal-hal ibadah tersebut. Rasul mengatakan

barang siapa yang tidak mengikuti ketentuan Allah dan ketentuan Rasul, maka

buatlah ketentuan-ketentuan sendiri dan ajak penolong-penolongmu, sesungguhnya

27

Muhammad, Abdullah bin. ed, Lubaabut Tafsir Min Ibni Katsiir. Penerjemah M. Abdul

Ghoffar. Tafsir Ibnu Katsir Jilid 6, (Bogor : Pustaka Imam Syafi‟I, 2004), h. 51

62

kamu tidak akan mampu. Terlalu sering membuat syarat-syarat atau ketentuan-

ketentuan baru, padahal Allah SWT dan Rasul-Nya sudah memiliki ketentuan-

ketentuan yang seharusnya diikuti oleh umat manusia. Ketentuan-ketentuan dan

syarat-syarat yang dibuat semdiri itulah yang menjadi suatu penghambat untuk

melakukan ibadah.

Pesta perkawinan itu seharusnya diadakan sesederhana mungkin, sehingga tidak

ada kesan mempersulit, bukan berarti dengan mempermudah perkawinan itu lalu

memudah-mudahkan, akan tetapi memudahkan disini adalah agar niat untuk

menjalankan ibadah atau Sunnah Rasul itu tidak terhalang karena persoalan pesta

pernikahan yang terkesan foya-foya.

Banyak sekali sebenarnya faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya

Silariang. Penulis akan memaparkan faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya

Silariang, antara lain : 28

1. Berbeda pilihan dengan orang tua.

2. Status sosial ekonomi.

3. Pergaulan bebas.

Pada skripsi penulis ini, penulis meneliti langsung ke lapangan bertemu dengan

pelaku Silariang. Berbeda pilihan dengan orang tua dan status sosial dan ekonomilah

yang menjadi faktor yang menyebabkan pasangan yang penulis teliti dan wawancarai

melakukan Silariang.

Dari kasus diatas yang penulis paparkan bahwa sebenarnya yang menjadi

pokok inti permasalahan adalah tidak terpenuhinya Dui Menre‟ dan perbedaan derajat

keturunan. Derajat Andi di Bugis itu sangatlah tinggi karena itu adalah gelar yang

tidak dapat dimiliki semua masyarakat di Bugis. Rasulullah SAW bersabda :

ع ش٠شةأب هللاسض ع هللاصابع ع١ س ىح:لاي شأةح ا

اا،:لسبع اا،حسبا، ج ذ٠ا، بزاثفاظفش ٠ .٠ذانحشبجاذ

28

Susilawati, “Fenomena Silariang Di Desa Bululoe Kecamatan Turatea Kabupaten

Jeneponto”, (Makassar : Skripsi UIN Alauddin Makassar, 2016), h. 62

63

Artinya : “Dari Abu Hurairah ra. Bahwa Nabi SAW bersabda : “Seorang wanita

dinikahi karena empat perkara : (1) karena hartanya, (2) karena keturunannya, (3)

karena kecantikannya, (4) karena agamanya. Karena itu nikahilah (wanita) karena

agamanya, niscaya engkau bahagia.” (HR. Mttafaq „Alaih).

Jika melihat kepada hadist diatas bahwa Rasulullah SAW bersabda bahwa

nikahilah wanita karena 4 perkara, yaitu :

1) Karena hartanya.

2) Karena keturunannya.

3) Karena kecantikannya.

4) Karena agamanya.

Akan tetapi Rasulullah SAW bersabda pada hadist tersebut bahwa menikahlah kamu

karena agamanya maka niscaya kamu akan bahagia. Jika seseorang menikah

dikarenakan harta, keturunan dan kecantikannya sudah bisa dipastikan bahwa

seseorang itu akan mudah sekali merasakan kekecewaan. Mengapa demikian? Karena

yang dilihat dan yang menjadi landasan dalam melangsungkan perkawinan adalah

harta, keturunan bahkan kecantikannya. Apabila seseorang tersebut tidak

mendapatkan harta, wanita yang keturunannya baik maupun kecantikannya, maka

tunggulah rasa kekecewaan akan tinggal didalam diri seseorang tersebut.

Apabila yang selalu ditanamkan dalam diri adalah kepatuhan kepada Allah

dan hanya mencari ridho Allah, maka bahagialah seseorang tersebut dalam menjalani

perkawinan untuk menuju kehidupan yang bahagia. Ini semua dikarenakan

orentasinya Agama, hanya mencari ridho Allah SWT yang mana itulah yang

menentukan bagaimana perjalanan seseorang dalam menjalani perkawinannya.

Pada adat Bugis Sengkang yang penulis teliti, memang sudah menjadi adat

yang sangat paten untuk melakukan perkawinan menggunakan Dui Menre‟, kalau

dilihat sekilas memang semua daerah semua adat pasti selalu ada yang namanya

biaya pesta, akan tetapi yang membedakan adat Bugis dengan adat lainnya adalah

sistem keturunan (darah biru) dari wanita yang akan dikawini dan jumlah biaya yang

sangat tinggi. Karena sangat sensitif sekali apabila seorang wanita keturunan darah

64

biru menikah dengan laki-laki rakyat biasa. Siri‟ lah yang selalu dikedepankan orang

Bugis dalam melakkan segala hal, termasuk dalam urusan perkawinan.

Harga diri dan malu adalah ciri khas makhluk Allah yang paling mulia,

manusia. Yang mana telah diatur dalam Al-Qur‟an dan Hadist mengenai harga diri

dan rasa malu yang harus dijaga. Rasulullah SAW bersabda :

ا بضعاإل٠ سبع بضعأ سخ يفضافأشعبت ، أدااهللا،إلإلل

اطت الرإ ح١اءاطش٠ك،ع ا شعبت ا اإل٠

Artinya : “Iman memiliki lebih dari tujuh puluh atau enam puluh cabang. Cabang

yang paling tinggi adalah perkataan “La ilaha illallah”, dan yang paling rendah

adalah menyingkirkan duri (gangguan) dari jalan. Dan malu adalah satu cabang

iman.”

Jika dikorelasikan ayat ini dengan harga diri masyarakat Bugis, sangatlah

benar menjaga dan melindungi harga diri agar tidak tercoreng dan perbuatan menjaga

harga diri dan rasa malu adalah merupakan dari iman. Didukung lagi oleh hadist

Rasulullah SAW yang berbunyi :

إ ى خكخم اد٠ ـح١اءاإلسال ا

Artinya : “Sesungguhnya setiap agama memiliki akhlak, dan akhlak Islam adalah

malu.”

Agama menganjurkan setiap pemeluknya untuk memiliki akhlak yang baik

dan akhlaknya orang Islam yang baik adalah malu, memiliki rasa malu yang tinggi.

Akan tetapi yang terjadi ditengah-tengah masyarakat Bugis adalah rasa malu dan

menjaga harga diri dari sesuatu yang berlebih-lebihan (Dui Menre‟) yang

menyebabkan Silariang, yang mana Allah tidak menyukai segala sesuatu yang

berlebihan. Allah SWT berfirman :

اششباوا ل حسشفا ٠حبلإ سشف١ ا

Artinya : “Makan dan minumlah kalian, dan janganlah berlebih-lebihan.

Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.” (QS. Al-

A‟raaf : 31).

65

Jika melihat dari hadist diatas, sampai makan dan minum diatur oleh Allah

untuk tidak berlebih-lebihan, apalagi dalam melaksanakan ibadah-ibadah yang

lainnya. Pernikahan adalah ibadah yang telah ditetapkan dan diperintahkan oleh Allah

dan Rasul-Nya, jika terdapat suatu ketetapan yang telah Allah dan Rasul-Nya

sepakati, maka ikutilah. Jangan sebaliknya, membangkang dan membuat ketetapan-

ketepan baru dan itu sangat berlebihan. Allah tidak suka orang-orang yang

berlebihan.

Dalam mencintai sesuatu di muka bumi ini juga tidak boleh berlebihan.

Mencintai pasangan tidak boleh berlebihan, mencintai anak tidak boleh berlebihan,

mencintai harta tidak boleh berlebihan. Karena Allah berfirman :

أ٠ا ٠ فٱز٠ أ اى عذ أ ذو أ أ أ جى أصأ أ اإ أ ءا زس فحاٱحأ حصأ فا إحعأ

فشافئ حغأ ٱلل ح١ ا٤٤غفسس إ ت فخأ أ ذو أ أ أ ى أ أ ۥعذٱلل شعظ١ ٤٥أجأ

Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya di antara isteri-isterimu

dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu, maka berhati-hatilah kamu

terhadap mereka, dan jika kamu memaafkan dan tidak memarahi serta mengampuni

(mereka) maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan (bagimu), dan di sisi

Allah-lah pahala yang besar.” (QS. At-Taghabun : 14-15).

Jelas sekali Allah mengingatkan dan memperingatkan kita agar selalu sadar

dalam melakukan segal aktifitas di muka bumi ini. Isteri, anak dan harta itu adalah

ujian bagi semua umat Islam. Terutama dalam masyarakat Islam di Bugis, Allah

memberikan ujian kepada masyarakat Bugis dengan pasangan, anak dan harta. Inilah

yang harus segera disadari oleh masyarakat Bugis. Terutama orang tua yang ingin

menikahkan anaknya. Karena jika terus terpaku dengan Dui Menre‟ yang tinggi itu

sangatlah dapat berdampak besar. Dapat berdampak positif dan dapat berdampak

negatif. Berdampak positif itu kalau misalkan semua kesepakatan dan syarat-syarat

terpenuhi. Akan tetapi apabila tidak terpenuhi kemudian yang akan dilakukan adalah

66

ibadah kepada Allah, maka Allah akan sangat marah jika tidak tercapai suatu ibadah

yang mana hanya bisa dilakukan oleh kedua mempelai dan tidak bisa diwakilkan oleh

siapapun (perkawinan). Maka dari itu perlu sekali toleransi antara pihak keluarga

perempuan kepada pihak keluarga laki-laki, apabila keluarga laki-laki mampu , tidak

masalah untuk dilakukan, kalau sekiranya tidak terpenuhi Dui Menre‟ nya tetaplah

dilanjutkan perkawinan tersebut agar tidak terjadi dampak yang sangat negatif yaitu

Silariang.

Proses perkawinan pada praktik Silariang ini jika dilihat melalui perspektif

Jumhur Ulama tidak lah sah perkawinan mereka karena tidak adanya wali nasb di

dalam perkawinan mereka. Akan tetapi ada wali hakim. Jika kita melihat kepada

madzhab Hanafi, perkawinan mereka sah karena menurut madzhab Hanafi

perempuan yang sudah dewasa dan berakal dapat menikahkan dirinya sendiri tanpa

membutuhkan wali. Jika dilihat dari perspektif Jumhur Ulama bahwa memang

perkawinan yang dilakukan ketika praktik Silariang ini adalah tidak sah karena laki-

laki yang akan meminangnya tidak sepadan/sekufu, atau maharnya kurang dari mahar

mitsil. Akan tetapi, yang biasanya dilakukan dalam praktik dui menre‟ ini terlalu

berlebihan sehingga mengakibatkan terhentinya suatu niatan ibadah seseorang.

Sebagaimana dijelaskan pada KHI pasal 61disebutkan “Tidak sekufu tidak dapat

dijadikan alasan untuk mencegah perkawinan, kecuali tidak sekufu karena perbedaan

agama atau ikhtilaafu al dien.”

Jika kita melihat kepada KHI (Kompilasi Hukum Islam) yaitu pada bab II

Dasar-Dasar Perkawinan pasal 2 bahwa perkawinan menurut hukum Islam adalah

pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau miitsaaqan ghaliizhan untuk menaati

perintah Allah dan melakukannya merupakan ibadah.29

Disebutkan juga dalam KHI

pada pasal 23 ayat (2) disebutkan bahwa “Dalam hal wali adhal atau enggan maka

wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah setelah ada putusan pengadilan

Agama tentang wali tersebut.” Akan tetapi terdapat kesalahan dalam praktik silariang

29

Abdul Gani Abdullah, Pengantar Kompilasi Hukum Islam Dalam Tata Hukum Indonesia,

(Jakarta : Gemani Insani Press, 1994), h. 78

67

itu adalah tidak memproses terlebih dahulu penetapan wali adhal ke pengadilan

Agama setempat sebelum dinikahkan oleh wali hakim. Intinya perkawinan itu adalah

ibadah, maka seluruh prosesnya harus selalu dilandasi atas nama ibadah yaitu Lillahi

Ta‟aala. Jika dilakukan semuanya karena Allah, pasti tidak akan terjadi hal-hal yang

negatif yang tidak diinginkan seperti Silariang. Jadi pada perturan-peraturan yang

disebutkan diatas bertentangan dengan praktik Silariang.

Proses pernikahan yang ada pada adat Bugis khususnya di Pammana. Terdapat

banyak sekali acara adat yang terdapat pada pra nikah sampai acara pernikahannya.

Penulis merujuk kepada KHI (Kompilasi Hukum Islam) pada Bab mahar. Pada pasal

30 disebutkan bahwa “Calon mempelai pria wajib membayar mahar kepada calon

mempelai wanita yang jumlah, bentuk, dan jenisnya disepakati oleh kedua belah

pihak.”

Pada pasal diatas sangat jelas sekali, bahwa mahar itu sesuai dengan

kesepakatan kedua belah pihak. Akan tetapi menurut penulis, terdapat suatu misteri

didalamnya, yaitu kembali kepada niat perkawinan tersebut, apakah perkawinan

tersebut dilakukan karena harta? Apakah karena derajat? Jikalau perkawinan tersebut

dilakukan dengan niatan karena Allah maka kedua belah pihak akan saling

memudahkan dan akan saling mencari titik temu untuk melangsungkan perkawinan.

KHI (Kompilasi Hukum Islam) Bab Mahar pasal 31, disebutkan bahwa

“Penentuan mahar berdasarkan asas kesederhanaan dan kemudahan yang dianjurkan

oleh ajaran Islam. Pada pasal ini sangatlah jelas bahwa mahar itu harus berdasarkan

asas kesederhanaan dan kemudahan sebagaimana yang dianjurkan oleh ajaran Islam.

Jadi, Islam sama sekali tidak memberatkan pemeluknya untuk melakukan ibadah,

terutama dalam hal perkawinan. Penulis menafsirkan bahwa kesederhanaan itu adalah

suatu kondisi dimana mengerti dan memahami keadaan yang ada saat ini dan

mengaplikasikannya untuk mewujudkan suatu hal yang menuju kepada prestasi dan

kemaslahatan.

68

Kemudian KHI (Kompilasi Hukum Islam) pada Bab Mahar pasal 34 terdapat 2

butir ayat yang berbunyi :

(1) Kewajiban penyerahan mahar bukan merupakan rukun dalam pernikahan.

(2) Kelalaian menyebut jenis dan jumlah mahar pada waktu akad nikah, tidak

menyebabkan batalnya pernikahan. Begitu pula halnya dalam keadaan mahar

masih terutang, tidak mengurangi sahnya pernikahan.

Jika kita lihat pada pasal 34 diatas, pada pasal 1 dapat penulis simpulkan bahwa

penyerahan mahar adalah wajib akan tetapi itu bukanlah merupakan rukun dalam

perkawinan. Akan tetapi sebenarnya yang wajib membayar mahar itu bukanlah calon

mempelai laki-laki, akan tetapi mempelai laki-laki karena kewajiban itu baru ada

setelah berlangsung akad nikah. Demikian pula yang menerima bukanlah calon

mempelai wanita, akan tetapi mempelai wanita karena dia baru berhak menerima

mahar setelah adanya akad nikah.

B. Alasan Masyarakat Bugis Mempertahankan Dui Menre’ yang Berdampak

Terjadinya Silariang

Dui Menre‟ dalam perkawinan seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa

uang belanja yang diserahkan kepada pihak perempuan. Uang belanja tersebut

berguna untuk dipakai keperluan upacara perkawinan seperti pesta menjelang

perkawinan dua mempelai tersebut sebagaimana yang sudah dijelaskan sebelumnya.

Bahwa sepuluh hari atau satu minggu sebelum hari pernikahan dilaksanakan pesta

perkawinan dengan seluruh kerabat baik yang jauh atau yang dekat dan tetangga

sekitarnya sudah berada di rumah calon mempelai perempuan serta seluruh makan

dan minumnya sudah menjadi tanggung jawab pihak perempuan tersebut dan begitu

69

juga dengan uang untuk membiayai ongkos bagi yang mempunyai kerabat jauh agar

datang untuk menghadiri pernikahan tersebut.30

Sebenarnya alasan yang selalu diungkapkan oleh masyarakat Bugis terutama di

Sengkang dalam masalah mengapa Dui Menre‟ masih dipertahankan sampai sekarang

yaitu Siri‟. Nilai (value) harga diri dan rasa malu itulah yang sangat dijunjung tinggi

oleh masyarakat Bugis sehingga tidak bisa ditawar untuk masalah Siri‟ tersebut dan

sudah pasti Siri‟ itu obatnya adalah nyawa.31

Nilai yang sudah pasti terkandung dalam Dui Menre‟ bukan hanya materi yang

terlihat akan tetapi masih ada nilai ideal yang terkandung dari Dui Menre‟, yaitu :32

1. Untuk menjaga kehormatan seorang laki-laki yang mau menikahi di hadapan

seorang perempuan, supaya tidak disebut sebut sebagai laki-laki yang tidak

mempunyai rasa cinta dan tanggung jawab pada istrinya. Dalam kebutuhan

sehari-hari baik kebutuhan rumah tangga dan juga kebutuhan istrinya dan juga

tidak mau dibilang laki-laki pengangguran alias numpang makan tidur tidak

mau memperhatikan istrinya.

2. Untuk menjaga nama baik keluarga, karena di dalam masyarakat Bugis

perkawinan bukan hanya urusan suami isteri, tetapi melibatkan kedua belah

pihak atau keluarga kedua belah mempelai Dui Menre‟ tidak ditanggung oleh

laki-laki saja yang akan kawin tetapi oleh semua keluarga laki-laki hal ini

dilakukan agar tidak dipandang rendah oleh pihak keluarga perempuan.

Nilai-nilai inilah yang sebenarnya menimbulkan masalah yang sangat besar jika

calon mempelai laki-laki tidak sesuai dengan kriteria keluarga mempelai wanita dan

yang paling utama dalam masalah penentuan Dui Menre‟. Semuanya ini

dilatarbelakangi atas dasar harga diri dan rasa malu sehingga orang Bugis tidak mau

menikahkan anaknya dengan jumlah Dui Menre‟ yang rendah. Karena rendahnya Dui

30

Ahmad Pattiroy dan Idrus Salam, “Tradisi Doi Menre‟ Dalam Pernikahan Adat Bugis di

Jambi”, h. 102 31

Wawancara Pribadi dengan La Masi (Masyarakat Bugis). Calodo, Jumat, 11 Mei 2018. 32

Wawancara Pribadi dengan M. Adlin Sila (Ilmuwan Bugis). Ciputat, Jumat, 18 Mei 2018.

70

Menre‟ yang diberikan kepada keluarga perempuan otomatis membuat keluarga itu

Siri‟ dan akan menjadi bahan pembicaraan masyarakat Bugis yang tinggal

disekitarnya. Orang Bugis yang sangat terkenal dengan kehalusan dan

kesopansantunannya dalam perilaku akan menjadi sangat menyeramkan ketika

masalah harga dirinya disentuh.33

Maka dari itu perlulah adanya pemahaman

keseimbangan antara adat dengan agama.

Pemahaman masyarakat Bugis mengenai Dui Menre‟ yang menyebabkan

Silariang ini juga terpaku dengan Sifaufau34

. Di mana keluarga dari mempelai laki-

laki dan mempelai perempuan menyebarkan nominal besarnya Dui Menre‟ yang

keluarga mempelai laki-laki berikan kepada keluar perempuan.35

Membanggakan

nominal Dui Menre‟ yang besar untuk disebarkan kepada masyarakat bahwa

perkawinan tersebut berjalan dengan mewah dan megah. Sebenarnya tidak ada

salahnya melakukan perkawinan dengan mewah dan megah akan tetapi Allah sangat

membenci hambanya yang berlebih-lebihan dan menyombongkan kekayaan agar

dipuji oleh manusia lainnya. Allah SWT berfirman :

ل شف أ ضح سأ شقٱلأ اإهحخأ شح ض سأ غٱلأ حبأ جباي أ ٣٣طلٱ

Artinya : “dan janganlah kamu berjalan di muka bumi ini dengan sombong, karena

sesungguhnya kamu sekali-kali tidak dapat menembus bumi dan sekali-kali kamu

tidak akan sampai setinggi gunung.” (QS. Al-Isra‟ : 37).

Didukung lagi dengan Surah As-Sajadah ayat 15 yang berbunyi :

ا بإ ٠ؤأ خا ا٠ لٱز٠ أ أ سب ذ أ بح سبحا ذا سج

ا خش با شا رو إرا

بش خىأ ٠سأ

33

Wawancara Pribadi dengan Andi Jumrah dan H.Sakka (Pelaku Silariang). Pammana, Jumat,

11 Mei 2018. 34

Sifaufau adalah pembicaraan (gosip) mengenai besarnya Dui Menre‟ yang ada pada proses

perkawinan kedua mempelai. 35

Wawancara Pribadi dengan Irwanzah (Masyarakat Bugis). Calodo, Jumat, 11 Mei 2018.

71

Artinya : “Sesungguhnya orang yang benar benar percaya kepada ayat ayat kami

adalah mereka yang apabila diperingatkan dengan ayat-ayat itu mereka segera

bersujud seraya bertasbih dan memuji Rabbnya, dan lagi pula mereka tidaklah

sombong.” (QS. As-Sajadah : 15).

Perbuatan Sifaufau ini juga dapat dikatakan sebagai perbuatan ria yang mana

Rasulullah SAW bersabda :33

ش٠شةأبع عج:لاي يس يهللاسس :٠م يإ ٠مضااطا ت٠ م١ا ا ع١

ذسج اسخش فأح فب فعش ا:لاي,فعشفعاع جف ج:لايف١ا؟ع ف١هلاح

ذثحخ ىوزبج:لاياسخش جه لاح ء٠مايل فمذ,جش ،ل١ شث أ فسحبب

ع ج حخ م ا ,ااسف سج حع ع ا ع لشأ امشآ فأح فب فعش

ا:لاي,فعشفعاع جف ج:لايف١ا؟ع حع ع خا ع لشأث ف١ه ,امشآ

ىه,وزبج:لاي ج حع ع :١مايا لشأثعا ١مايامشآ فمذ،لاسء ،ل١

شث أ عفسحبب ج حخ م ا ,ااسف سج سع هللا اعطاع١

اياصاف ا و فأح فب فعش ا:لاي,فعشفاع جف احشوج:لايف١ا؟ع

ححبسب١ فكأ فمجإلف١ا٠ ىه،وزبج:لاي,هف١اأ ج ١مايفع

اد فمذج ,ل١ شث أ عفسحبب ج ث م غ١شسسا.ااسفأ

Artinya : “Dari Abi Hurairah Radhiyallahu „anhu, ia berkata, aku mendengar

Rasulullah SAW bersabda : “Sesungguhnya manusia pertama yang diadili pada hari

kiamat adalah orang yang mati syahid di jalan Allah. Dia didatangkan dan

diperlihatkan kepadanya kenikmatan-kenikmatan (yang diberikan di dunia), lalu ia

pun mengenalinya. Allah bertanya kepadanya : Amal apakah yang engkau lakukan

dengan nikmat-nikmat itu? Ia menjawab : Aku berperang semata-mata karena

Engkau sehingga aku mati syahid. Allah berfirman : Engkau dusta! Engkau

berperang supaya dikatakan seorang yang gagah berani. Memang demikianlah yang

telah dikatakan (tentang dirimu). Kemudian diperintahkan (malaikat) agar menyeret

orang itu atas mukanya (tertelungkup), lalu dilemparkan ke dalam neraka.

Berikutnya orang (yang diadili) adalah seorang yang menuntut ilmu dan

mengajarkannya serta membaca Al-Qur‟an. Ia didatangkan dan diperlihatkan

33

https://almanhaj.or.id/2724-riya-dan-bahayanya.html

72

kepadanya kenikmatan-kenikmatannya, maka ia pun mengakuinya. Kemudian Allah

menanyakannya : Amal apakah yang telah engkau lakukan dengan kenikmatan-

kenikmatan itu? Ia menjawab : Aku menuntut ilmu dan mengajarkannya, serta aku

membaca Al-Qur‟an hanyalah karena engkau. Allah berkata : Engkau dusta! Engkau

menuntut ilmu agar dikatakan seorang „alim (yang berilmu) dan engkau membaca

Al-Qur‟an supaya dikatakan sebagai qari‟ (pembaca Al-Qur‟an yang baik). Memang

begitulah yang dikatakan (tentang dirimu). Kemudian diperintahkan (malaikat) agar

menyeret atas mukanya dan melemparkannya ke dalam neraka. Berikutnya (yang

diadili) adalah orang yang diberikan kelapangan rezeki dan berbagai macam harta

benda, ia didatangkan dan diperlihatkan kepadanya kenikmatan-kenikmatan, maka ia

pun mengenalinya (mengakuinya). Allah bertanya : Apa yang engkau telah lakukan

dengan nikmat-nikmat itu? Dia menjawab : Aku tidak pernah meninggalkan

shadaqah dan infaq pada jalan yang Engkau cintai, melainkan pasti aku

melakukannya semata-mata karena Engkau. Allah berfirman : Engkau dusta! Engkau

berbuat yang demikian itu supaya dikatakan seorang dermawan (murah hati) dan

memang begitulah yang dikatakan (tentang dirimu). Kemudian diperintahkan

(malaikat) agar menyeretnya atas mukanya dan melemparkannya ke dalam neraka.”

(HR. Muslim dan An-Nasa‟i). Dalam hadist diatas sudah sangat jelas bagaimana

perbuatan ria itu dibenci dan dimurkai Allah SWT.

Suatu adat kebiasaan yang belum jelas kedudukan maslahat yang harus

dijadikan dasar pemikiran, artinya suatu kebiasaan yang sudah berlaku sebelum

datangnya Islam atau terjadi dan dibiasakan kemudian, selama tidak mendatangkan

kerusakan atau menyalahi norma umum ajaran agama, pada dasarnya tetap berlaku

seterusnya. Hanya beberapa yang ada pada adat yang dimasukkan ke dalam hukum

Islam, diantaranya apabila ada antara nas, secara tegas yang bertentangan dengan

kebiasaan itu maka kebiasaan yang sudah berbentuk adat dapat diterima oleh hukum

Islam. Jadi selama adat itu tidak menyalahi aturan agama sah sah saja untuk

diberlakukan, akan tetapi jika adanya adat tersebut kemudian menimbulkan sesuatu

yang dibenci agama maka itu dapat tidak diberlakukan adat tersebut.34

Adat yang ada pada Bugis ini sangatlah melekat pada setiap insan Bugis dan

sangatlah sulit untuk dihapuskan adat tersebut. Jalan keluar yang terbaik adalah

melihat situasi dan kondisi dan juga fleksibilitas antara adat, hukum Islam dan

kondisi masyarakat terkini. Pesan yang sangat ingin penulis sampaikan adalah untuk

34

Wawancara Pribadi dengan Andi Akram (Ilmuwan dari Bugis). Depok, Senin, 21 Mei 2018.

73

orang tua-orang tua yang ingin menikahkan anaknya atau siapapun yang ingin

menikahkan seseorang yang dibawah perwaliannya agar tidak mempersulit proses

perkawinan anaknya. Jangan melihat seseorang hanya dari harta maupun

keturunannya. Jika memang betul pernikahan itu diniatkan karena semata-mata

karena Allah dan Rasul-Nya maka tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Jangan

berpikir bagaimana anak tersebut akan menafkahi pasangannya. Allah sudah

menjanjikan dari sebelum ruh kita diciptakan. Allah SWT telah menjanjikan tempat

tinggal, rezeki bahkan jodoh seseorang. Karena ketika seseorang masih berpikir

(khawatir dan takut) bagaimana anaknya menafkahi pasangannya, akan tinggal

dimana mereka itu sama saja menafikkan dan menghina kebesaran dan janji-janji

Allah SWT. Boleh diadakan pernikahan dengan adanya Dui Menre‟ asalkan tetap

melihat asas kemampuan dari pihak keluarga laki-laki.

74

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan penjelasan dan pemaparan yang terdapat pada bab sebelumnya

maka penulis dapat menyimpulkan sebagai berikut, yaitu :

1. Masyarakat Bugis di Sengkang, Sulawesi Selatan memahami bahwa Dui

Menre‟ itu adalah sebuah kewajiban yang mana harus diadakan di setiap proses

perkawinan untuk biaya pesta (dui balanca), cincin kawin (passiok) dan mas

kawin (sompa). Pesta tersebut dilakukan dari sepuluh hari atau satu minggu

sebelum hari perkawinan dilaksanakan. Dui Menre‟ inilah yang menjadi ciri

khas masyarakat Bugis dibandingkan dengan adat-adat yang lain karena

nilainya yang sangat tinggi. Nilai Dui Menre‟ itu tergantung dari keluarga calon

mempelai perempuan. Apabila keturunan, pencapaian dan status sosialnya

tinggi maka tinggi pula Dui Menre‟ nya. Jadi, alasan mempertahankan harga

diri dan simbol status sosial lah yang mendasari masyarakat Bugis mengadakan

Dui Menre‟.

2. Fenomena Silariang (kawin lari) yang terjadi pada adat Bugis Sengkang ini

disebabkan oleh besarnya Dui Menre‟. Dui Menre‟ adalah salah satu penyebab

terjadinya Silariang. Karena besarnya Dui Menre‟ dan keluarga laki-laki tidak

dapat memenuhi dan juga laki-laki tersebut sudah kepalang cinta dengan wanita

yang ingin dipinangnya, akhirnya mereka mengambil jalan keluar dengan

melakukan Silariang. Praktik Silariang ini sangat dikecam oleh masyarakat

Bugis, karena menyangkut Siri‟. Perbuatan Silariang ini akan mencoreng Siri‟

suatu keluarga yang mana akan menimbulkan permusuhan dan dendam antar

keluarga, sehingga dapat menimbulkan perbuatan pidana. Meskipun demikian,

masyarakat Sengkang tetap masih banyak yang melakukan Silariang tersebut.

Adapun praktik Silariang yang mereka lakukan adalah dengan cara kedua

75

pasangan ini memutuskan melakukan perkawinan di kampung lain atau tempat

lain, yang mana akan dinikahkan oleh imam adat yang biasanya merangkap

sebagai KUA, dengan mahar seadanya saja dan dihadiri juga oleh saksi yang

biasanya teman dari pelaku silariang serta wali hakim yang ditunjuk langsung

oleh imam adat. Biasanya yang menjadi wali hakim tersebut adalah petugas

dari KUA setempat.

3. Tradisi Dui Menre‟ dalam adat Bugis tidak sesuai dengan Hukum Islam,

sebagaimana dijelaskan pada Al-Qur‟an, yaitu QS. An-Nisa : 14 mengenai

pemberian mahar yang harus dilandasi dengan kerelaan bukan dilandasi dengan

berlebihan dan menyulitkan (Dui Menre‟). Sedangkan praktik silariang apabila

dikaji dari segi peraturan yang berlaku di Indonesia, penolakan wali dengan

alasan dui menre‟ itu tidak dibenarkan, karena dalam KHI pasal 61 disebutkan

“Tidak sekufu tidak dapat dijadikan alasan untuk mencegah perkawinan,

kecuali tidak sekufu karena perbedaan agama atau ikhtilaafu al dien.” Hanya

saja, kesalahan dalam praktik silariang itu adalah tidak memproses terlebih

dahulu penetapan wali adhal ke pengadilan Agama setempat sebelum

dinikahkan oleh wali hakim. Sedangkan dalam KHI pasal 23 ayat (2)

disebutkan bahwa “Dalam hal wali adhal atau enggan maka wali hakim baru

dapat bertindak sebagai wali nikah setelah ada putusan pengadilan Agama

tentang wali tersebut.”

4. Makna filosofis masyarakat Bugis Sengkang masih mempertahankan Dui

Menre‟ meskipun dapat menyebabkan Silariang adalah untuk mempertahankan

Siri‟, harga diri dan rasa malu yang sangat tinggi apabila melakukan prosesi

perkawinan dengan nilai dan nominal uang yang rendah. Jadi harus melakukan

pesta dengan mewah dan megah sesuai dengan status sosial perempuan.

Disinilah sebenarnya dipraktikkan ajaran menikah haruslah antar orang yang

sekufu. Obat penawar jika Siri‟ orang Bugis tercoreng adalah dengan

membunuh.

B. Saran-Saran

76

1. Bagi masyarakat Bugis, agar selalu mempertahankan budaya dan kebisaan yang

sudah diberlakukan. Menjaga suatu kebudayaan adalah suatu hal yang baik dan

mulia. Akan tetapi harus tetap diseimbangi antara pemahaman adat budaya

dengan pemahaman Agama yaitu hukum Islam, yang mana Allah menurunkan

Agama Islam bukan untuk menyulitkan atau menyusahkan pemeluknya akan

tetapi pemeluknya sendirilah yang membuat dirinya sendiri sulit dan susah.

2. Bagi orang tua-orang tua yang akan menikahkan anaknya, agar lebih

memperhatikan situasi dan kondisi yang ada dan sesuai dengan anjuran yang

sudah dianjurkan oleh Rasulullah SAW. Jangan menyulitkan perkawinan

karena tidak sanggupnya membayar Dui Menre‟ atau karena bukan dari

keturunan raja (darah biru). Karena sesungguhnya manusia itu semua sama,

yang membedakan hanyalah kondisi maka dari itu janganlah melihat dari

kondisi sesuatu atau seseorang dari saat ini atau waktu sekarang ini, karena

belum tentu di hari yang akan datang seseorang tersebut masih sama seperti

sebelumnya. Allah sudah menjanjikan banyak kebaikan kepada hambanya yang

beriman dan memenangkan Allah SWT.

3. Bagi seluruh mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta, agar lebih banyak meneliti dan menulis di bidang etnografis agar

mendapatkan jawaban-jawaban korelasi antar hukum adat-adat atau

pemahaman yang berlaku dengan hukum Islam dan pemahaman-pemahaman

Islam. Terutama dalam tradisi perkawinan yang ada pada berbagai macam suku

adat di Indonesia. Sehingga menciptakan suatu karya yang baru dan tinggi

nilainya.

77

DAFTAR PUSTAKA

„Ulwan, Abdullah Nasikh. ed, Aqabaatuz Zawaaj wa Thuruqu Mu‟aalajatiha „alaa

Dlaulil Islam. Penerjemah Moh. Nurhakim. Perkawinan Masalah Orang

Muda, Orang Tua dan Negara, Jakarta : Gema Insani Press, 1992.

Abbas, Ahmad Sudirman, Pengantar Pernikahan, Jakarta : PT. Prima Heza Lestari,

2006.

Abdullah, Abdul Gani, Pengantar Kompilasi Hukum Islam Dalam Tata Hukum

Indonesia, Jakarta : Gemani Insani Press, 1994.

Al-„Utsaimin, Muhammad bin Shalih, Shahih Fiqih Wanita Menurut Al-Qur‟an dan

As-Sunnah, Jakarta : Akbarmedia, 2009.

Al‟Ati, Hammudah „Abd, The Family Structure in Islam (Keluarga Muslim),

Surabaya : PT. Bina Ilmu, 1984.

Al-Humaidhy, Muhammad bin Abdul Aziz, Kawin Campur dalam Syariat Islam,

Riyadh : Darul Humaidhy, 1991.

Al-Musnad, Abdul Aziz bin Abdurrahman, Perkawinan dan Masalahnya, Jakarta :

Pustaka Al-Kautsar, 1993.

ASM, Saifuddin, Membangun Keluarga Sakinah (Tanya Jawab Seputar Masalah

Keluarga dan Solusinya),Tanggerang : Qultum Media, 2008.

Bungaran Antonius Simajuntak, et.al, ed. Harmonious Family (Upaya Membangun

Keluarga Harmonis), Jakarta : Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2013.

Djaelani, Abdul Qodir, Keluarga Sakinah, Surabaya : PT. Bina Ilmu, 1995.

Faisal, Sanapiah, Format-Format Penelitian Sosial, Jakarta : PT. Raja Grafindo

Persada, 2003.

Faridl, Miftah, 150 Masalah Nikah & Keluarga, Jakarta : Gema Insani Press, 1999.

HAAR, TER, di terjemahkan oleh K. Ng. Soebakti Pesponoto, Asas-Asas dan

Susunan Hukum Adat, Jakarta : PT. Balai Pustaka 2013.

Haem, Nurul Huda, Awas! Ilegal Wedding dari Penghulu Liar Hingga

Perselingkuhan, Jakarta : PT. Mizan Publika, 2007.

78

Iwan Januar, Bukan Pernikahan Cinderella (Hanya Untuk Pasangan Muda), Depok :

Gema Insani, 2007.

Kuzari, Ahmad, Nikah Sebagai Perikatan, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 1995.

Lamallongeng, Asmat Riady, Dinamika Perkawinan Adat Dalam Masyarakat Bugis

Bone, Makassar : Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Bone, 2007.

Manshur, Shaleh bin Abdul Aziz Alu, Nikah Dengan Niat Talak?, Surabaya : Pustaka

Progressif, 2004.

Mardani, Hukum Keluarga Islam di Indonesia Cet. 2; Jakarta : PT. Fajar Inteprama

Mandiri, 2017.

Mattalatta, Andi, Meniti Siri‟ dan Harga Diri Cet. 2; Jakarta : Khasanah Manusia

Nusantara, 2014.

Matuladda, Bugis-Makassar (Manusia dan Kebudayaannya), Jakarta : Perpustakaan

Pusat Universitas Indonesia, 1993.

Mughniyah, Muhammad Jawad, Fiqih Lima Madzhab : Ja‟fari, Hanafi, Maliki,

Syafi‟I, Hambali Cet. 27; Jakarta : Lentera, 2011.

Muhammad, Abdullah bin. ed, Lubaabut Tafsir Min Ibni Katsiir. Penerjemah M.

Abdul Ghoffar. Tafsir Ibnu Katsir Cet. 2; Bogor : Pustaka Imam Syafi‟I,

2004.

Mulyati, Sri, et.al, eds., Relasi Suami Istri dalam Islam, Jakarta : Pusat Studi Wanita

(PSW) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2004.

Pattiroy, Ahmad dan Idrus Salam. “Tradisi Doi Menre‟ DAlam Pernikahan Adat

Bugis di Jambi”. Artikel Universitas Islam Negeri Sunan Kali Jaga, 2008.

Profil Kabupaten Wajo, gatoetn.blogspot.co.id/konten/2010/02/25/profil-kabupaten-

wajo.html

Qodir, Abdul, Pencatatan Pernikahan dalam Prespektif Undang-Undang dan Hukum

Islam, Depok: Azza Media, 2014.

Ramulyo, Mohd. Idris, Hukum Perkawinan Islam, Jakarta : PT. Bumi Aksara, 1999.

Sahrani, Sohari dan Tihami, Fikih Munakahat : Kajian Fikih Nikah Lengkap, Jakarta

: PT. Raja Grafindo Persada, 2009.

79

Silariang dalam Perspektif Budaya Siri‟ pada Suku Makassar, Jurnal Pustaka,

(Makassar), Januari – Juni 2015, h. 54.

Simanjuntak, Hukum Perdata Indonesia, Jakarta : PT. Fajar Interpratama Mandiri,

2015.

Soekanto, Soerjono, Hukum Adat Indonesia, Jakarta: CV. Rajawali Jakarta, 1981.

Soemadiningrat, Otje Salman, Rekonseptualisasi Hukum Adat Kontemporer: Telaah

Kritis terhadap Hukum Adat sebagai Hukum yang Hidup dalam Masyarakat,

PT. Alumni Bandung, 2001.

Soemadiningrat, Otje Salman, Rekonsiptualisasi Hukum Adat Kontemporer, Bandung

: PT. Alumni Bandung, 2001.

Susilawati. “Fenomena Silariang di Desa Bululoe Kecamatan Turatea Kabupaten

Jeneponto.” Skripsi S1, Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar, 2016.

Syarifuddin, Amir, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Jakarta : Kencana, 2007.

Syuhud, A. Fatih, Keluarga Sakinah (Cara Membina Rumah Tangga Harmonis,

Bahagia dan Berkualitas), Malang : Pustaka Alkhoirot, 2013.

Tika, Z dan M. Ridwan Syam, Silariang dan Kisah-Kisah Siri‟, Makassar : Pustaka

Rfleksi, 2005.

Widnyana, I Made, Hukum Pidana Adat dalam Pembaharuan Hukum Pidana, PT.

Fikahati Aneska, 2013.

Wiranata, I Gede A. B., Hukum Adat Indonesia Perkembangannya dari Masa ke

Masa, Bandung : Citra Aditya Bakti, 2005.

Yusuf, Ahmad Muri, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan Penelitian

Gabungan, Jakarta: PT. Fajar Interpratama Mandiri, 2014.

Zainuddin, Afwan dan Zainuddin, Kepastian Hukum Perkawinan Siri dan

Permasalahannya Ditinjau dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974,

Yogyakarta : CV. Budi Utama, 2017.

Zurinal dan Aminuddin, Fiqih Ibadah, Jakarta : Lembaga Penelitian Universitas

Islam Negeri Syarif Hidayatullah, 2008.

Artikel dan Wawancara

Batas Wilayah, id.wikipedia.org /konten/2017/06/19/ Sengkang_(kota).

80

Dermawan, Abu Bilal Juli, “Mahar”. Majalah As-Sunnah Baituna, Vol. 2016, 9,

(2016) : 1.

https://almanhaj.or.id/2724-riya-dan-bahayanya.html

Hukum Perkawinan di Indonesia : Mahar, dwiprasetiyawati.wordpress.com

/dokumen/2017/06/22/ hukum-perkawinan-di-indonesia-mahar.

Jabal Hikmah, repository.umy.ac.id/handle/2014/07/20/konformitas-islam-dan-adat-

potret-fanatisme-keagamaan-di-kalangan-muslim-bugis.

Letak Geografis, wajokab.go.id /konten/2017/09/20/letak-geografis.

Mahar dalam Hukum Islam, syulhadi.wordpress.com/konten/mahar-dalam-hukum-

islam.

Pasal 1 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, kemenag.go.id

/dokumen/1974/01/02/UUPerkawinan.

Pasal 1 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, kemenag.go.id

/dokumen/1974/01/02/UUPerkawinan, h. 2.

Pasal 1 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, kemenag.go.id

/dokumen/1974/01/02/UUPerkawinan, h. 3.

Wawancara Pribadi dengan Andi Akram, Ketua PA Depok & Ilmuwan Bugis, Depok,

21 Mei, 2018.

Wawancara Pribadi dengan Andi Jumrah dan H.Sakka, Pelaku Silariang, Pammana,

11 Mei 2018.

Wawancara Pribadi dengan Irwanzah, Masyarakat Bugis, Calodo, 11 Mei 2018.

Wawancara Pribadi dengan La Masi, Masyarakat Bugis, Calodo, 11 Mei 2018.

Wawancara Pribadi dengan M. Adlin Sila, Ilmuwan Bugis, Ciputat, 17 Mei, 2018.

www.bloggersbugis.com/2015/07/mengenal-keunikan-tradisi-mappabotting-adat-

suku-bugis.html

81

Wawancara Pribadi

Wawancara pribadi dengan Dr. M. Adlin Sila., MA., Ph.D

Saya : Pak Adlin Sila, judul skripsi saya adalah “Silariang Sebagai Akibat

Dui Menre‟ dalam adat Bugis Sengkang Sulawesi Selatan”.

Adlin Sila : Silariang itu kan bareng bareng larinya, kalau ilariang perempuan di

bawa lari sedangkan erang kale adalah perempuan yang lari ke

rumah laki-laki. Silariang berarti sepakat untuk lari bersama karena

orang tua yang tidak menyetujui atau tidak sesuai dengan kemauan

orang tua.

Saya : Bagaimana menurut bapak, proses perkawinan pada adat Bugis?

Adlin Sila : Intinya orang bugis makassar itukan sama ya, status sosial keluarga

perempuan yang menentukan, bukan perempuannya, malah

keluarganya. Semakin tinggi status sosial keluarga perempuan maka

semakin pula uang mahar/mas kawin yang akan dibayarkan oleh laki-

laki. Kalau yang melamar itu status nya sama atau lebih maka relative

lebih flexibel dan dapat di negosiasi. Akan tetapi jika lebih rendah

maka biasanya akan diberikan harga yang tinggi, apalagi yang

melamar orang luar bugis makassar maka akan bisa lebih mahar lagi,

karena prinsip sistem kekerabatan orang Bugis Makassar itu harta

tidak boleh keluar dari lingkungan keluarga/di protect. Jika orang luar

dikhawatirkan akan membawa pergi harta/aset. Maka di proteksi

dengan mahar yang tinggi, dengan harapan tidak terpenuhi. Kalau bisa

dipenuhi berarti dianggap kekayaannya lebih besar maka dapat

diterima. Memang kalau dilihat dari segi ekonomi sangatlah

materialistis. Dalam penemuan tesis saya, perempuan bugis makassar

itu cenderung menikah ke atas, maksudnya menikah dengan laki-laki

yang status sosialnya minimal sama atau lebih tinggi. Kalau laki-laki

82

menikah kebawah, dia menikahi perempuan yang sama atau yang lebih

di bawah status sosialnya.

Saya : Kalau sejarahnya Silariang bagaimana pak?

Adlin Sila : Silariang itu memang karena ada pelanggaran pada hukum. Makanya

anak perempuan itu apalagi kalau sudah ditunangkan dilarang untuk

tampil di depan umum, karena dikhawatirkan akan tertarik dengan

laki-laki lain. Bahkan melihat bentuk tubuhnya yang dianggap aurat itu

dianggai siri. siri itu terdapat dua makna yaitu harga diri dan

dipermalukan. Jadi bisa self estimed bisa juga shame. Ketika anank

perempuan itu kawin lari itu menjadi malu keluarga perempuannya

dan secara bersamaan harga dirinya tercoreng. Cara untuk merestorasi

tercorengnya harga diri ini adalah dengan cara membunuh. Membunuh

dua-duanya. Karena pembunuhan itulah yang menjadi obat. Kalau kata

orang Malaysia dipulakan. Ada istilah proses abbaji, yaitu keluarga

perempuan sudah memaafkan akan tetapi harus diresmikan seperti

resepsi. Biasanya itu setelah mereka punya anak. Mereka mengirimkan

wakil ke keluarga perempuan untuk menyampaikan niat abbaji.

Saya : Bagaimana proses kawin lari itu sendiri pak? Yang kita ketahui kan

bahwa mereka dinikahkan oleh imam adat, kemudian bagaimana

maharnya?

Adlin Sila : Mahar jadinya tidak ada lagi, hanya semampunya si laki-laki. Karena

syarat pernikahan itu kan bukan mahar. Syarat sah nikah itu kan ada

kedua mempelai, wali, dua saksi dan ijab qabul. Nah, wali ini lah yang

masalah biasanya kalau terjadi kawin lari. Biasanya imam yang

merangkap KUA mengirim surat ke orang tua perempuan agar orang

tua perempuan mengizinkan. Apabila orang tua perempuan tidak

mengizinkan atau tidak mau menjadi wali, KUA dapat menunjuk wali

hakim. Kepala KUA juga biasanya kan penghulu.

83

Saya : Berarti memang konsekuensinya setelah silariang adalah saling bunuh

membunuh?

Adlin Sila : Iya, makanya mereka menghindar, ga boleh ketemu sama keluarganya.

Saya ada kasus pernah, rumah itu hanya ada 1 pintu 2 lantai, ketika

menantunya datang mereka menghindar padahal bukan keluarga

langsung, dia menghindar dengan lompat dari balkon lantai 2.

Ketika keluarga kedua belah pihak bertemu juga bisa bunuh-bunuhan.

Biasanya keluarga perempuan mendelegasikan untuk bicara baik-baik

agar menjadi keluarga utuh dan baik lagi akan tetapi dendam itu lah

yang menjadi penghalang. Intinya untuk abbaji itu kesepakatan antara

kedua belah pihak (keluarga).

Saya : Kenapa tokoh masyarakat di Bugis itu masih mempertahankan Dui

Menre‟ itu sendiri yang menyebabkan Silariang?

Adlin Sila : Agak sulit ya, karena dalam ilmu sosial itu kan namanya fakta sosial,

fakta sosial itu kan adalah nilai. Nilai norma yang tidak kelihatan

(invisible hand) tapi semua menganggap ini normal. Kalau kita

melanggar kita akan di cap bukan sebagai orang Bugis Makassar. Ada

pepatah mengatakan orang Bugis Makassar kalau menikah tidak

memakai adat Dui Menre‟ maka tidak bsa dikatakan sebagai orang

Bugis-Makassar, yang ada orang jawa, dll. Stigmanya kalau tidak

pakai Dui Menre aka nada external constrain atau faktor luar yang

memaksa dia kalau mau jadi orang Bugis Makassar ya harus memakai

Dui Menre‟. Adat ini yang menjadi penanda bahwa kami adalah

muslim Bugis. Adat itu adalah penanda eksistensi dia.

Saya : Bagaimana pandangan masyarakat kepada orang yang melakukan

Silariang?

Adlin Sila : Iya sangat buruk bahkan sampai nanti keturunannya.

Saya : Apakah pihak aparat kepolisian ikut andil dalam maslaha ini?

Adlin Sila : Tidak, selama tidak ada tindak pidana.

84

Wawancara Pribadi

Wawancara pribadi dengan Andi Akram., SH., MH

Saya : Pak Andi Akram, judul skripsi saya adalah “Silariang Sebagai Akibat

Dui Menre‟ dalam adat Bugis Sengkang Sulawesi Selatan”.

Andi Akram : Dui Menre‟ itu kan adat. Dui Menre‟ itu adalah duit pesta yang mana

kesepakatan antara kedua belah pihak keluarga yang ditentukan

keluarga perempuan. biaya pesta ini bukan hanya di Bugis Makassar

saja, di sunda, jawa juga ada, akan tetapi kalau Bugis Makassar itu

memiliki ciri khas sendiri. Pemahaman masyarakat kita di Bugis

Makassar, semakin tinggi derajat seseorang maka semakin tinggi biaya

pestanya (Dui Menre‟). Padahal itu sangat bertentangan dengan Hadist

Rasulullah “Adakanlah pestamu dengan seekor kambing”. Anjuran

Rasulullah lakukanlah perkawinan dengan sesederhana mungkin.

Bukan berarti dengan mempermudah perkawinan itu memudah-

mudahkan. Akan tetapi maksudnya niat menjalankan sunnah Rasullah

tidak terhalang hanya karena persioalan pesta perkawinan yang

mungkin dikesankan foya-foya. Sehingga tidak sedikit terjadi

perceraian, masalah Dui Menre‟ itu minta dikembalikan. Ketika malam

pertama tidak berhasil rukun, tidak ada dukhul. Jadi Dui Menre‟ itu di

tuntut balik. Sebenarnya yang bisa dituntut balik adalah mahar akan

tetapi apabila belum di dukhul.kita dapat melihat status sosial

seseorang dari Dui Menre‟ yang dihitung berdasarkan real. Yang harus

di pahami oleh masyarakat adalah yang harus dinaikkan adalah

maharnya bukan Dui Menre‟ nya. Memang sekarang sangat

diperhitungkan jika ingin melakukan pesta. Kalau di Bugis itu

membuat pesta dilakukan di tempat kedua belah pihak. Kalau dari segi

pengertian umum Dui Menre‟ itu kan adalah sumbangan atau bantuan

untuk dana pesta. Kenapa harus ada? Karena ketika pada saat

85

mengantar penganten laki-laki ke pihak perempuan kan banyak bawa

pasukan, nah untuk transportasi dan makan, dll itu yang menanggung

adalah pihak laki-laki sehingga tidak menyusahklan pihak perempuan.

Saya : Kalau untuk Silariang nya itu sendiri pak?

Andi Akram : Silariang itu di dalam hukum Islam itu kan tidak ada, ada tradisi dalam

masyarakat kita bahwa ketika anaknya dibawa oleh seorang laki-laki

maka timbllah Siri‟. Siri‟ itu adalah rasa malu. Akan tetapi pemahaman

masyarakat Bugis bahwa Siri‟ itu harus sampai terjadi adanya korban.

Silariang itu terjadi karena tidak ada restu dari orang tua untuk

sementara si anak ini sudah kenal lama dan mereka mau memasuki

jenjang pernkahan tetapi orang tua tidak memberi restu mereka nekat.

Kalau di dalam hukum Islam itu ada jalan keluar bagi mereka yang

tidak mendapat restu yaitu dengan ke pengadilan dengan mengajukan

wali hakim karena walinya adhal. Wali hakim adalah jalan keluar bagi

mereka yang walinya tidak dapat menjadi wali. Akan tetapi yang harus

disadarkan kepada masyarakat kita adalah bukan semata-mata karena

tidak mendapat restu orang tua kemudian ujuk-ujuk langsung melapor

ke KUA, tapi harus ada dulu putusan pengadilan. Kalau itu terjadi apa

bedanya dengan germo, germo itu yang saya pahami di masyarakat

luas, germo itu adalah orang yang kemudian menyiapkan perempuan

yang tidak benar kepada lelaki hidung belang yang hanya ingin

melampiaskan nafsu syahwatnya. Jangan sampai kesan orang kepala

KUA ketika seorang wali adhal, lalu kemudian kedua mempelai

langsung datang ke KUA, meminta kepada KUA untuk diminta

dinikahkan. memang dalam beberapa madzhab juga bahwa memang

wali hakim dapat menikahkan seorang wanita. Sekarang sudah ada

pengadilan, haruslah terlebih dahulu ke Pengadilan untuk mendapatkan

putusan bahwa walinya adhal, walaupun nanti juga yang ditunjuk

adalah kepala KUA tersebut.

86

Saya : Apakah nilai Dui Menre‟ karena strata sosial bisa di cegah pak?

Andi Akram : Nah itulah yang saya perhatikanm sekarang ini ada juga yang tidak

melihat kepada keturunan bangsawannya, tapi dia ada pemaknaan

yang lebih luas yaitu dia anak orang kaya, jadi lebih kepada gengsi.

Kalau zaman saya, kalau ada orang biasa melamar kepada anak

bangsawan, dia itu terkadang harus menyiapkan uang untuk meli dara

istilah bahasa Bugisnya. Jadi bukan lagi dilihat dari segi

bangsawannya, tetapi dari kekayaannya seperti anaknya pembisnis

yang kaya, sarjana, umroh dll. Kesannya jadi seperti menjual. Jadinya

intinya perluasan makna adat.

Saya pernah ada saudara yang pernah menikah dengan orang

Gorontalo, dia minta biaya pesta itu besar, padahal Gorontalo bukan

Bugis, alasannya dia mau mengundang pejabat-pejabat dan lain-lain.

Padahal tidak ada kewajiban mengundang mereka, hanya mereka mau

memperlihatkan status juga. Tidak terjadinya pelamaran itu karena

terlalu besarnya uang pesta itu sendiri. Mereka mereka yang

melakukan Silariang rata rata yang melakukan itu maksimal yang

pendidikannya SMA, jarang sekali yang sarjana melakukan itu.

Saya : Bagaimana proses dan syarat-syarat Mappadeceng?

Andi Akram : Ada syarat-syarat tertentu yaitu harus ada penghubung antara keluarga

laki-laki dan perempuan. ketika acara Mappadeceng itu tetap ada

pesta. Akan tetapi pesta Mappadeceng ini bukan lah rangkaian dari

perkawinan. Hanya silaturahmi dan makan-makan antar keluarga.

Untuk memperingati kedatangan seluruh keluarga dan nantinya akan

sadar bahwa oh ini anak saya, saya harus memaafkan dsb. Apalagi

kalau mereka sudah punya anak dan si laki-laki sudah punya pekerjaan

yang tetap.

Saya : Apakah dalam penyelesaian adat bisa dicampuri oleh pihak yang

berwajib?

87

Andi Akram : Ya ketika terjadi tindak pidana, wajib polisi masuk. Polisi tidak mau

tau menau kalau itu masalah adat. Jadi, tidak dengan alasan Silariang,

keluarga saya dimalukan, itu namanya main hakim sendiri. Kenapa

tidak langsung melapor saja bahwa ada kasus penculikan.

88

Wawancara Pribadi

Wawancara pribadi dengan Andi Jumrah & H. Sakka

Saya : Andi Jumrah dan H. Sakka, judul skripsi saya adalah “Silariang

Sebagai Akibat Dui Menre‟ dalam adat Bugis Sengkang Sulawesi

Selatan”. Mungkin bisa diceritakan bagaimana proses ketika terjadi

Silariang?

H. Sakka : Awalnya silariang itu saya bertemu dengan Andi Jumrah karena ada

hubungan bisnis. Ketika saling suka dan orang tua Andi Jumrah tidak

menerima dan tidak mau menikahi maka terjadilah Silariang, akhirnya

terpaksa lari untuk mencari aman yaitu menikah. Akan tetapi kalau

kesaksian dari pemerintah memang belum ada, yang penting menikah

dulu, akan tetapi yang dihindari adalah zina, maka apabila sudah kawin

kan tidak dapat disebut zina.

Saya : Bagaimana ketika tidak di terimanya H. Sakka?

H. Sakka : Pada intinya saya tidak resmi dengan keluargamu karena berbeda

keturunan sehingga timbullah jumlah Dui Menre‟ yang sangat besar.

Karena sudah cinta dan harus bersatu maka ya harus lari dari

kampungnya untuk mencari tempat aman.

Saya : Bagaimana prosesi Silariang itu?

H. Sakka : Ya kami pergi ke kampung Sinjai di daerah Bulukumba kemudian

kami pergi ke pemuka adat atau imam adat yang mana menunjuk wali

hakim. Bisa disebut wali hakim atau mereka disini menyebutnya

dengan penghulu liar. Untuk wali perempuan disebut wali malebang,

artinya ssegala permasalahn hanya dia yang memiliki power dan

didengar untuk menyelesaikan masyarakat.

Saya : Bagaimana dengan Dui Menre‟ nya?

H. Sakka : Inilah rintangan yang dihadapi Andi Jumrah dan H.Sakka. Pada

perjalannnya kedua pasang ini sudah saling mencintai yang mana rasa

89

cinta itu menimbulkan niat baik, sehingga ingin sekali H.Sakka

langsung pergi melamar Andi Jumrah pada tahun 1988. Pada saat

keluarga H.Sakka datang melamar (Ma‟duta), terjadilah penolakkan

dikarenakan keturunan, tahta dan permintaan Dui Menre‟ yang tidak

terpenuhi. Pada saat itu keluarga perempuan meminta Dui Menre‟

sebesar Rp. 200.000.000,- tunai dan belum termasuk non tunai yang

berupa sawah. Karena keluarga H.Sakka tidak sanggup memenuhi Dui

Menre‟ dan juga sudah saling mencintai maka keduanya mengambil

jalan pintas dengan Silariang

Saya : Bagaimana Proses Mappadeceng nya?

H. Sakka : Sesudah kawin di kampung sana maka uang dikirim ke rumah

perempuan untuk Mappadeceng untuk persiapan keluarga yang akan

hadir. Bahwa kami yang telah melakukan kesalahan meminta maaf dan

ingin meminta agar dapat diterima kembali oleh keluarga besar.

Saya : Apakah sampai terjadi kerusuhan?

H. Sakka : Waktu kami pergi, rumah kami ini di kepung, untuk menangkap kami,

entah mau menangkap, entah mau memperbaiki, tapi yang pasti

minimal ditangkap karena kondisi mereka sangatlah emosi.

Saya : Bagaimana dengan pihak berwajib?

H. Sakka : Terkadang, pada waktu itu terjadi pihak kepolisian tidak ada, kala

masalah adat tidak bisa polisi ikut campur tangan, kecuali ada yang

pergi melapor, barulah dapat di berikan sanksi yang melakukan main

hakim sendiri. Selama tidak ada korban maka polisi pun tidak akan

turun tangan.

Saya : Apakah ada syarat-syarat yang harus di penuhi ketika Mappadeceng?

H. Sakka : TIdak ada, hanya silaturahmi dan makan-makan saja.