SGA 2021 - Negeri Senja.pdf

126
ROMAN KUSALA KHATULISTIWA KATEGORI FIKSI 2004 SENO GUMIRA AJIDARMA MAKA PENGEMBARA itu pun tiba di Negeri Senja, yang selalu berada dalam keadaan senja, karena matahari tersangkut di cakrawala, dan tidak pernah terbenam selama-lamanya. Bagi sang pengembara, yang selalu memburu senja terindah ke berbagai pelosok bumi, pemandangan itu merupakan hal terbaik dalam hidupnya. Namun bukan hanya pesona senja ditemukannya. Di balik keindahan senja terdapat drama manusia dalam permainan kekuasaan: intrik dan teror, perlawanan dan pemberontakan, penculikan dan pembantaian. Mampukah Negeri Senja melepaskan diri dari penindasan Tirana, perempuan penguasa yang buta dan tiada pernah terlihat wajahnya? Roman petualangan tentang cinta yang berdenyar di antara kilau belati, cipratan darah, dan pembebasan iman. “Hidupku penuh dengan kesedihan– karena itu aku selalu mengembara.” SENO GUMIRA AJIDARMA KPG (KEPUSTAKAAN POPULER GRAMEDIA) Gedung Kompas Gramedia, Blok 1 Lt. 3, Jl. Palmerah Barat 29-37, Jakarta 10270 Telp. 021-53650110, 53650111 ext. 3359; Fax. 53698044, www.penerbitkpg.id KepustakaanPopulerGramedia; @penerbitkpg; penerbitkpg ROMAN Harga P. Jawa Rp 75.000,- 9 7 8 6 0 2 4 8 1 5 2 0 2 U 15+ ISBN Digital: 978-602-481-521-9 CETAKAN KELIMA

Transcript of SGA 2021 - Negeri Senja.pdf

r o m a n

Kusala Khatulistiwa Kategori FiKsi

2004

s e n o g u m i r a a j i d a r m a

Maka pengeMbara itu pun tiba di negeri Senja, yang selalu berada

dalam keadaan senja, karena matahari tersangkut di cakrawala, dan

tidak pernah terbenam selama-lamanya. bagi sang pengembara, yang

selalu memburu senja terindah ke berbagai pelosok bumi, pemandangan

itu merupakan hal terbaik dalam hidupnya.

namun bukan hanya pesona senja ditemukannya. Di balik keindahan

senja terdapat drama manusia dalam permainan kekuasaan: intrik dan

teror, perlawanan dan pemberontakan, penculikan dan pembantaian.

Mampukah negeri Senja melepaskan diri dari penindasan Tirana,

perempuan penguasa yang buta dan tiada pernah terlihat wajahnya?

roman petualangan tentang cinta yang berdenyar di antara kilau belati,

cipratan darah, dan pembebasan iman.

“Hidupku penuh dengan kesedihan– karena itu aku selalu mengembara.”

se

no

gu

mir

a a

jida

rm

a

KPG (KEPUSTAKAAN POPULER GRAMEDIA)Gedung Kompas Gramedia, Blok 1 Lt. 3, Jl. Palmerah Barat 29-37, Jakarta 10270Telp. 021-53650110, 53650111 ext. 3359; Fax. 53698044, www.penerbitkpg.id KepustakaanPopulerGramedia; @penerbitkpg; penerbitkpg

ROMAN

Harga P. Jawa Rp 75.000,-

592101879

978

6024

8152

02

U 15+

ISB

N D

igita

l: 97

8-60

2-48

1-52

1-9CETAKAN KELIMA

Jakarta:KPG (Kepustakaan Populer Gramedia)

Undang-Undang Republik Indonesia

Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta

Lingkup Hak Cipta

Pasal 1Hak Cipta adalah hak eksklusif pencipta yang timbul secara otomatis berdasarkan prinsip deklaratif setelah suatu ciptaan diwujudkan dalam bentuk nyata tanpa mengurangi pembatasan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Ketentuan Pidana

Pasal 113(1) Setiap Orang yang dengan tanpa hak melakukan pelanggaran hak ekonomi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf

i untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp100.000.000 (seratus juta rupiah).

(2) Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf c, huruf d, huruf f, dan/atau huruf h untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

(3) Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang Hak Cipta mela kukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf e, dan/atau huruf g untuk Penggu-naan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

(4) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang dilakukan dalam bentuk pembajakan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah).

s e n o g u m i r a a j i d a r m a

Negeri Senja

© seno gumira ajidarma

KPg 592101882

Cetakan Pertama, agustus 2003Cetakan Kedua, september 2015 Cetakan Ketiga, Desember 2017 Cetakan Keempat, november 2018Cetakan Kelima, Februari 2021

Desain SampulTeguh erdyan

Tata LetakWendie artswenda

Ilustrasi SampulWidiyatno dan margarita maridina Chandra

Ilustrasi IsiWidiyatno

ajidarma, seno gumiraNegeri Senjajakarta; KPg (Kepustakaan Populer gramedia), 2021xx + 227 hlm.; 14 cm x 21 cmISBN: 978-602-481-520-2isBn digital: 978-602-481-521-9

Dicetak oleh Grafika Mardi Yuana, Bogor.Isi di luar tanggung jawab percetakan.

cerita kecil

untuk almarhumah Ibu

Poestika Kusuma Sudjana

(1923-2002)

d a f t a r i s i

Daftar Isi viPara Tokoh Roman ix

Prolog Matahari Tidak Pernah Terbenam di Negeri Senja 3

Bagian 1 Penunggang Kuda dari Se latan 13

Peristiwa di Kedai 20 Penginapan Para Leluhur 27 Rumah Bordil di Padang Pasir 34 Perempuan dari Balik Cahaya 40

Bagian 2 Komplotan Pisau Belati 49 Usaha Pembunuhan Tirana 56 Tirana, Perempuan Penguasa yang Buta 64 Kaum Cendekiawan dalam Kegelapan 71 Suatu Ketika di Pasar 78 Penangkapan Tokoh Perlawanan 86 Penjara 94 Gerakan Bawah Tanah 101 Proklamasi Partai Hitam 108

Bagian 3 Pengembara di Tepi Sungai 117 Seorang Pembicara 124 Para Pelajar Sekolah Bebas 131 Mazhab Pasar Malam 138

Bagian 4 Kisah Cinta Tirana, Jika Memang Benar Adanya 147 Perempuan dengan Anting-anting di Puting Kiri 154 Perempuan dengan Rajah Ular yang Membelit

Tu buhnya 161 Perempuan di Bawah Menara 168 Antara Alina dan Maneka 175

Bagian 5 Pemberontakan 183 Usaha Pembunuhan Tirana II 191 Pembantaian 198 Para Kekasih yang Terbunuh 206 Khotbah di Kuil Matahari 213

Epilog Ketika Pengembara Itu Pergi, Matahari

Belum Juga Terbenam di Negeri Senja 223

P a r a To k o h r o m a n

Puan Tirana Sang Penguasa yang Buta

Guru Besar Komplotan Pisau Belati

Pasukan BerkudaPengawal Kembar

Penduduk Negeri Senja Kaum FakirPengawal Kembar

Pembicara di Tepi Sungai Pelajar Sekolah Bebas

Rajawali Muda

P r o l o g

1

Matahari Tidak Pernah Terbenam

di Negeri Senja

HIDUPKU penuh dengan kesedihan—karena itu aku selalu mengem bara. Aku selalu berangkat, selalu pergi, selalu berada dalam perjalanan, menuju ke suatu tempat entah di mana, namun kesedihanku tidak pernah hilang. Kesedihan, ternyata, memang bukan sesuatu yang bisa ditinggalkan, karena kese dihan berada di dalam diri kita. Aku selalu mengira kalau melakukan perjalanan jauh maka kesedihan itu akan bisa hilang karena tertinggal jauh di belakang, tapi itu tidak pernah terjadi. Ada segaris luka dalam hatiku yang telah mendorong aku pergi jauh dari kampung halamanku dan sampai sekarang belum pernah kembali.

Mungkin aku tidak akan pernah kembali meskipun kese-dihanku suatu hari akan hilang. Aku sudah terlanjur tidak pernah merasa punya rumah, dan tidak pernah merasa harus pulang ke mana pun dan aku menyukainya. Barangkali kese-dihanku tidak akan pernah hilang tapi sudahlah, aku tidak ingin memanjakan perasaan. Aku sudah selalu membiasakan diriku hidup bersama dengan kesedihan—apa salahnya dengan kese-dihan? Apa salah nya dengan duka? Apa salahnya dengan luka?

4 5

Setelah mengembara bertahun-tahun lamanya aku belajar hidup bersama dengan kesedihan, kesepian, dan keterasingan. Semua itu ti dak lah mudah, tapi apalah yang bisa diperbuat oleh sese-orang dalam perantauan? Aku ini seorang pengembara, cuma seorang musafir lata yang tiada bersanak dan tiada berkawan, pergi dari satu tempat ke tempat lain tanpa tujuan—sia-sia mencoba meng hilangkan kesedihan.

Kemudian, setelah bertahun-tahun melakukan perjalanan, akhirnya aku mempunyai juga tujuan, atau semacam tujuan, setidaknya suatu alasan yang membuat aku terus-menerus me-lakukan perjalanan nyaris tanpa berhenti kecuali untuk mengum-pulkan tenaga kembali. Aku selalu pergi, selalu ber jalan, karena selalu ingin mengenal sesuatu yang lain, yang belum kukenal, dan betapa banyak keindahan yang terdapat di dunia yang luas terbentang. Aku telah berjalan dari negeri yang satu ke negeri yang lain. Dari kota ke kota, dari kampung ke kampung, keluar-masuk hutan, mengarungi wilayah dan men dapat pengalaman. Aku selalu melakukan perjalanan sendirian, dan ka rena itu aku ba nyak me renung. Sam bil melihat peman dangan yang tidak pernah kusaksikan, aku berpikir tentang kehidupan. Mem bayang-kan bumi terbentang yang dulu tidak dihuni manusia, aku merenungkan makna kebudayaan. Mele wati padang salju mem-beku, padang rumput menghijau, dan pantai-pantai membiru, aku memikirkan manusia dan alam.

Aku telah menyeberangi tujuh lautan, mendaki duapuluh gunung, menjelajahi tiga gurun, dan menyuruk ke perkam -pungan suku-suku terpencil, namun aku tidak pernah merasa bisa tinggal di suatu tempat agak lebih lama. Di tempat yang paling nyaman, makmur, dan indah pun aku selalu merasa gelisah. Selalu ada cakrawala baru yang ingin kurengkuh, dari ujung dunia yang satu ke ujung dunia yang lain. Barangkali rumahku adalah per jalanan itu sendiri. Aku senang tidur di bawah pohon di padang terbuka, berselimut jerami di dalam gerobak, terkantuk-

kantuk di atas keledai, atau telentang me natap rem bulan di dalam sampan yang dibawa arus perlahan. Betapa berumah aku dalam pengembaraan.

Begitulah, suatu ketika dalam perjalananku tibalah aku di Negeri Senja, yang seperti tiba-tiba saja muncul di hadapanku setelah menyeberangi sebuah gurun selama dua minggu. Dari jauh, Negeri Senja cuma bayangan hitam tembok-tembok beku perbentengan yang tua. Benteng semacam itu sudah tidak ada artinya lagi sekarang, apalagi benteng itu pun nyaris merupakan reruntuhan, menjadi warisan sejarah yang tidak terurus. Dari jauh, Negeri Senja hanya tampak sebagai bayangan hitam karena di latar belakangnya tampak lempengan bola matahari raksasa yang jingga dan membara memenuhi ruang, menyebabkan langit di atas semburat jingga dengan tepian mega-mega yang telah menjadi keemasan.

Aku masih jauh dari kota ketika sejumlah orang bersorban mencegat aku di balik bukit pasir. Seseorang bicara dengan bahasa Antarbangsa yang fasih.

“Tuan, apakah Tuan yang selama ini kami tunggu?”“Pasti bukan, siapakah yang kalian tunggu?”“Kami menunggu Penunggang Kuda dari Selatan.”“Siapakah itu?”“Dia adalah orang yang akan menyelamatkan kami.”“Menyelamatkan? Dari apa?”“Dari segalanya.”Aku perhatikan mereka. Apakah mereka sudah kehilangan

akal? Sudah jelas aku menunggang unta, bukan kuda. “Kalian lihat, aku tidak menunggang kuda.”“Barangkali saja Tuan mengganti kuda Tuan dengan unta

sebelum menyeberangi gurun.”“Yah, itu memang mungkin, tapi aku bukan Penunggang

Kuda dari Selatan, aku datang dari Timur Jauh.”

6 7

“Oh, maafkan kami Tuan, kami sudah bertahun-tahun me-nanti di sini, dan kami sudah gelisah. Kami menanyai setiap orang yang datang dari selatan.”

Ketika aku berlalu, kulihat sejumlah orang itu memandang ke selatan kembali. Di mata mereka terpancar harapan, tapi harapan yang sudah memudar. Apakah gerangan yang mereka alami sehingga begitu berharap seperti itu? Menunggu se seorang yang bisa menyelamatkan mereka entah dari apa, sampai ber-tahun-tahun lama nya, bukanlah peristiwa biasa. Siapa pula Pe nunggang Kuda dari Selatan yang sangat diharap-harapkan itu? Siapakah orangnya yang begitu perkasa sehingga begitu di-harapkan akan pasti bisa me nyelamat kan sejumlah orang dari sesuatu yang aku belum tahu apa?

Segalanya serba keemasan ketika aku memasuki kota itu, serba merah keemas-emasan karena siraman cahaya matahari separuh yang bertengger di cakrawala itu. Kulihat cahaya senja seperti jalinan lembut benang-benang emas yang terpancang, dari matahari langsung ke jendela, ke dinding, ke pohon, dan ke daun-daun. Seperti garis-garis, seperti balok-balok, seperti ti ang- tiang yang direbahkan. Rasanya baru sekali ini aku melihat cahaya berleret-leret begitu nyata, seolah-olah benda padat yang bisa dipegang. Tapi tentu saja cahaya bukan benda padat, dan orang-orang berkerudung, bersorban, dan bersarung mele watinya se-hingga cahaya itu seperti riak kolam yang ter sibak-sibak. Cahaya itu menjadi terang dan gelap karena orang-orang yang lewat dan karena itu Negeri Senja seperti sebuah kota yang tenggelam dalam lautan cahaya sepenuhnya. Aku hanya seperti sebuah bayang-bayang yang berjalan. Kulihat bayang-bayangku sendiri menung-gangi unta di tembok-tembok kota.

Aku berjalan menyusuri kota menunggang seekor unta tua yang telah membawaku menyeberangi gurun bersama rom-bongan kafilah para pedagang garam. Menoleh ke kiri, menoleh ke kanan, memang hampir segalanya berwarna keemasan. Aku tidak

melihat warna biru, aku tidak melihat warna hijau, apalagi warna merah jambu—segalanya adalah warna-warna senja. Warna, cahaya, dan suasana yang hanya ada apabila matahari akan terbenam. Dinding-dinding keemasan, tapi banyak juga ruang yang gelap dan temaram. Lorong-lorong suram dan teng gelam dalam bayangan hitam.

“Mau ke manakah Tuan? Mencari penginapan? Marilah saya antar. Saya tahu penginapan yang murah dan menyediakan makan untuk unta Tuan. Marilah saya antar, supaya hari ini ada sepotong roti yang bisa saya makan.”

Aku sudah begitu lelah. Menyeberangi gurun pasir selama dua minggu bukanlah pengalaman yang menyenangkan. Aku menyerah saja kepada anak kecil yang bicara dengan bahasa Antarbangsa terpatah-patah itu. Ia menghela tali untaku menuju ke sebuah penginapan sementara aku menoleh ke kiri dan ke kanan dengan lesu. Angin berpasir yang sudah dua minggu terus-menerus menimpaku belum juga hilang sampai di dalam kota ini. Wajahku penuh dengan debu dan begitu pula wajah banyak orang di kota ini. Semua orang seperti memakai bedak tapi jelas itu bukan bedak. Mereka menutupi wajah dengan kain yang juga melindungi rambut mereka dari angin yang berpasir. Jadi di mana-mana aku cuma melihat mata. Itulah mata yang me mandang dengan tajam, dengan suram, atau dengan ber tanya-tanya. Apalah yang bisa kita katakan dari sebuah pan dangan mata?

Kuhirup aroma setanggi yang mengalir dari sebuah jen-dela. Ketika aku menengok ke jendela itu, muncul wajah seorang wanita bercadar. Dari balik cadarnya yang tipis kulihat ia ter-senyum. Bibirnya begitu merah tertimpa cahaya, dan ia me-megang batang-batang dupa. Jadi kini aroma setanggi bercampur aroma dupa, dan aroma itu makin lama makin tajam karena agaknya aroma itu mengalir dari setiap jendela dan pintu. Angin yang berpasir akan selalu membuyarkannya tetapi aroma itu akan

8 9

selalu mengalir kembali. Aku tenggelam dalam sebuah suasana yang menekan. Orang-orang di jalanan tak banyak berbicara, dan di jalanan itu pun kepala mereka lebih sering tertunduk. Kepala-kepala tertunduk itu kadang-kadang terangkat melihatku dan aku hanya akan melihat mata kepala-kepala itu. Aku merasa gagal membaca sesuatu dari mata mereka. Apakah kiranya yang mereka baca dari mataku. Aku pun menundukkan kepalaku supaya tidak tampak terlalu asing karena selalu menoleh ke kiri dan ke kanan. Apakah cahaya senja yang temaram meski keemas-emasan itu yang membuat su asana tampak menekan? Aku telah mengalami seribu senja di seribu kota dan memang senja selalu memberikan kepada kita perasaan yang rawan, namun agaknya ada sesuatu yang lain di kota ini entah apa, sesuatu yang berat dan menekan.

Sebenarnyalah aku tidak pernah mengenal Negeri Senja sebelumnya. Aku hanya pernah mendengar namanya di sebuah kedai, ketika seorang musafir yang pandai bercerita dalam bahasa yang kukenal dikerumuni para pengunjung. Ia men ceritakan suatu hal yang sangat sulit dipercaya, yakni bahwa matahari tidak pernah terbenam di Negeri Senja.

“Bagaimana itu mungkin?”“Itulah yang juga menjadi pertanyaanku, bagaimana itu

mungkin, sedangkan di sini matahari timbul dan tenggelam seperti biasa. Bukankah matahari itu-itu juga yang tampak di setiap negeri di muka bumi? Kalau matahari di Negeri Senja itu memang tersangkut di cakrawala, mestinya di negeri lain ke-adaannya juga tidak pernah berubah. Tapi ini tidak, hanya di Negeri Senja matahari tidak pernah terbenam.”

“Kenapa bisa begitu?”“Itulah pertanyaanku juga, kenapa bisa begitu?”Negeri Senja memang tidak terdapat di dalam peta, ia ada

tapi tiada—hanya para pengembara yang kebetulan kesasar saja yang mengenalnya, dan mereka pun tidak pernah menganjurkan untuk datang ke sana.

“Tidak ada apa-apa di sana,” katanya, “selain kemiskinan, kejahatan, dan penindasan.”

“Tentang matahari yang tidak pernah terbenam itu?”“Kenapa?”“Tidak ada yang tertarik menyelidikinya?”“Wah, orang-orang Negeri Senja menganggapnya biasa.”“Biasa?”“Ya, biasa. Mereka sudah biasa hidup seperti itu.”“Hidup dengan matahari tidak pernah terbenam?”“Hidup dengan matahari tidak pernah terbenam.”“Apakah negeri seperti itu memang benar-benar ada?”“Para ahli ilmu alam juga tidak percaya. Mereka tidak mau

membuang waktu mencari Negeri Senja. Tapi aku pernah ke sana. Percayalah bahwa ceritaku ini bukan karangan.”

Aku juga tidak ingin percaya ketika mendengarnya. Para musafir yang kadang-kadang kujumpai memang ada juga yang suka membual. Namun pada suatu hari, ketika aku sedang duduk beristirahat di bawah sebatang pohon, datanglah kafilah para pedagang garam itu. Mereka mengisi kantung-kantung air yang terbuat dari kulit. Dari jumlahnya tampak mereka akan meng-adakan perjalanan jauh.

“Mau ke mana Sahib?”“Mau ke Negeri Senja.”Kini aku berada di Negeri Senja. Karena lelah dan lesu, aku

lupa persoalan matahari tersebut. Nanti, ketika aku terbangun, dan membuka jendela penginapan yang kumal itu, barulah aku akan menyadari, matahari ternyata memang tidak pernah ter-benam di Negeri Senja.

“Kita sudah sampai,” kata anak kecil berambut keriting itu. Aku sampai di depan penginapan. Matahari membara seperti lempengan besi di tungku pembakaran. Matahari itu terbenam separuh, cahayanya membakar langit begitu rupa sehingga langit itu betul-betul membara. Aku menghela nafas. Aku sudah berada

10

di Negeri Senja. Aku membayangkan wajah-wajah yang tidak akan pernah percaya jika aku menceritakannya. Aku tidak tahu apakah kau akan percaya padaku Alina—kurasa aku tidak akan pernah tahu, karena kau tidak pernah berbicara apa-apa ke-padaku, hanya mendengarkan dengan mata penuh ingin tahu. Tapi kapankah aku akan pernah bertemu lagi denganmu Alina, jika aku tak pernah tahu apakah akan pernah kembali? Seperti juga aku tak pernah tahu, atau takut untuk tahu, apakah dikau menunggu atau tidak menunggu.

B a g i a n 1

2

Penunggang Kuda dari Se latan

AKU sedang makan roti keras yang diolesi madu ketika se seorang berlari dari arah luar kota.

“Dia datang! Dia datang!”“Siapa?”“Penunggang Kuda dari Selatan!”Terus-terang, waktu itu sebenarnya aku belum mengerti

bahasa Negeri Senja, aku memahami ucapan orang-orang itu karena pemilik penginapan menjelaskannya kepadaku dalam bahasa Antarbangsa. Aku baru saja bangun, mestinya hari masih pagi, tapi di Negeri Senja sepanjang hari adalah senja, hari ketika matahari hampir terbenam. Namun, begitulah, matahari tidak pernah terbenam di Negeri Senja. Di antara permainan cahaya senja kulihat orang-orang berlari serabutan, sebagian segera melompat ke atas kuda atau untanya, dan melaju ke luar kota. Aku ikut beranjak.

“Penunggang Kuda dari Selatan telah datang!”Sudah berapa lama mereka menunggu? Sambil menelan

roti tanpa minum aku ikut bergegas bersama orang banyak yang

14 15

berbondong-bondong itu. Namun karena aku tidak suka berada dalam kerumunan, di luar kota aku mendaki sebuah bukit pasir. Apalah selain pasir yang ada di sini? Dari atas bukit aku bisa menyaksikan semua peristiwa itu. Orang-orang yang ber bon-dong-bondong menerbitkan debu, tapi debu bukanlah apa-apa di sini dibandingkan harapan bernama Penunggang Kuda dari Selatan.

Dari setiap pintu, dari setiap lorong, orang-orang mengalir menuju ke luar kota. Orang-orang mengalir menyibak genangan cahaya yang jingga dan di sana-sini berkilauan. Kemudian, beberapa orang membawa pula bunyi-bunyian. Mereka mem bawa terban, mereka membawa tambur, mereka membawa seruling, dan mereka membawa terompet. Suasana menjadi semakin meriah ketika entah siapa yang mulai mereka me nyanyikan pula lagu-lagu puja.

Kota yang kemarin begitu lesu itu seakan-akan bangkit. Wajah-wajah bukan hanya memancarkan harapan, melainkan seolah harapan mereka sudah dikabulkan. Dari arah selatan, terlihat Penunggang Kuda dari Selatan itu berhenti. Aku berlari turun dari bukit. Terdengar percakapan dalam bahasa Antar-bangsa.

“Tuan, Tuankah Penunggang Kuda dari Selatan yang kami tunggu-tunggu?”

“Ya, akulah orangnya.”“Mengapa lama sekali Tuan baru tiba, kami sudah ber tahun-

tahun menunggu.”“Maafkan aku, aku hanyalah orang yang mendapat tugas.

Selama ini aku pergi dari satu kota ke kota lain menjalankan tugasku.”

“Jadi Tuan telah membebaskan semuanya?”“Ya.”“Apakah Tuan juga akan membebaskan kami?”“Tentu saja, kalian kira aku siapa?”

“Jadi benar Tuan adalah Penunggang Kuda dari Selatan yang kami tunggu-tunggu?”

Lelaki bersorban yang berewokan dan menunggang kuda putih itu merentangkan tangannya. Ia tampak begitu yakin dengan dirinya. Di pinggangnya terlihat sebuah pedang besar dengan sarung kulit yang bagus. Tiba-tiba ia mencabut pe dangnya itu dan memutarnya pada pergelangan tangan dan men dadak saja pedang yang mengkilap bagaikan cermin itu ber kilatan me-mantulkan cahaya. Kilatan cahaya senja yang keemas an dari pedangnya itu begitu penuh dengan pesona se hingga entah kenapa lantas orang-orang di sekitarnya merendah, mene kuk -kan kaki, dan bersujud. Harus kuakui bahwa cara pedangnya itu memantulkan kembali cahaya sangatlah luar biasa. Pedang itu berputar-putar membentuk angka delapan dan dari gerakan seperti itulah cahaya terpantul bagaikan aliran sebatang sungai. Pedang itu bagaikan begitu sakti dan memberi pengaruh yang besar kepada pemegangnya. Rupa-rupanya pe ristiwa ini mem-buat banyak orang itu tidak bertanya-tanya lagi. Bahkan kini mereka menyembahnya.

Namun di antara orang-orang yang bersujud itu muncul seorang tua berbaju hitam yang bertongkat. Seluruh alis, kumis, dan janggutnya sudah putih. Penunggang Kuda dari selatan itu menghentikan permainannya.

“Ada apa orang tua? Apakah tidak percaya dengan ke-ampuhan pe dangku?”

“Maafkanlah saya yang hina-dina ini Tuan,” ujar orang tua itu, “kami memang mengagumi permainan pedang Tuan, namun kami harus membawa Tuan kepada Guru Besar di Kuil Matahari untuk memberikan sambutan kepada Tuan secara resmi.”

Penunggang Kuda dari Selatan itu tampak tidak terlalu senang.

Orang tua berbaju hitam itu menangkap gelagat, dan maju ke depan, lantas membungkuk.

16 17

“Maafkanlah kami Tuan, berilah kami kesempatan.”Penunggang Kuda dari Selatan itu pun tampak sungkan.“Kalau begitu baiklah.”“Kami bahkan sudah menyiapkan tandu bagi Tuan.”Penunggang Kuda dari Selatan itu terkejut, tapi terlihat juga

merasa sangat tersanjung. Pedangnya disarungkan kembali ketika tandu itu datang. Dari kudanya ia langsung pindah ke tandu itu. Begitu tandu berjalan, orang-orang menyanyi kem bali. Lagu-lagu itu sungguh penuh dengan rasa syukur.

Aku terseret oleh arus itu menuju ke Kuil Matahari. Kulihat kuil itu begitu megah, bentuknya seperti piramid, tetapi me miliki dua teras yang mengelilinginya, dan sebuah altar menjelang puncaknya sehingga kuil itu tampak seperti piramid yang di-bentuk kembali. Matahari senja berada di belakang kuil yang menjulang ke langit itu. Ada tigaribu anak tangga yang harus didaki sebelum mencapai altar, namun orang-orang itu tidak menuju ke altar, mereka menuju ke belakang kuil, dan ternyata di belakang kuil itu terdapat sebuah pintu raksasa yang jika dibuka memperlihatkan bagian dalam kuil.

Pintu sudah dibuka oleh orang-orang berseragam yang kelak akan kuketahui sebagai para Guru Muda. Cahaya senja menerpa ruang dalam dan segalanya di dalam kuil itu menjadi keemasan. Dari dalam kuil ini terdapat kerekan untuk membawa Guru Besar ke atas menuju ke altar jika akan me nyampaikan khotbah. Namun Guru Besar tampak duduk di sebuah kursi goyang. Di sebelahnya terletak meja marmer, dan di meja marmer itu terdapat sebuah jambangan yang berisi dupa. Dari balik punggung orang-orang kulihat Guru Besar itu. Ram butnya putih, panjang, dan beran-takan. Ia mengisap pipa.

Kudengar suara yang sangat pelan di belakangku, berbisik-bisik nyaris tak terdengar, tapi aku mengenali suara dan ba-hasanya.

“Menyeramkan….”

Ternyata pemilik penginapan itu juga ikut menonton. Aku juga berbisik pelan sekali.

“Apa yang menyeramkan?”Aku memang tidak mengerti. Aku mengira pemilik pe-

nginapan itu berbicara tentang ruangan yang penuh aroma dupa. Cahaya senja keemasan yang berpantulan di ruangan itu ber-keredap-keredap, karena mata hari senja yang besar itu rupanya juga bergetar-getar me maksakan dirinya ter benam meski tetap saja tersangkut di cakrawala. Aku tidak meng anggap hal semacam ini me nye ramkan. Namun agaknya pemilik penginapan itu ber-maksud lain. Ia tersenyum.

“Tuan belum tahu apa yang akan terjadi nanti.”Orang-orang menurunkan tandu di depan Guru Besar.

Terlihat Penunggang Kuda dari Selatan itu agak kikuk. Apakah ia harus menghormat, apakah ia harus bersikap sebagai orang yang mestinya mendapat penghormatan. Semua orang yang berada di dalam kuil duduk di lantai. Kuil itu bagaikan sebuah bangsal yang luas sekali.

Guru Besar mengangkat tangan, dan suasana mendadak hening.

Orang tua bertongkat dan berbaju hitam itu maju ke depan dan mengucapkan sesuatu. Aku tidak mengerti bahasanya. Agak-nya ia menggunakan bahasa Negeri Senja.

Kemudian Guru Besar menatap Penunggang Kuda dari Selatan dengan tajam, sambil mengelus-elus jenggotnya. Ia meng ucapkan sesuatu kepada Penunggang Kuda dari Selatan. Tam paknya Pe nungg ang Kuda dari Selatan juga tidak mengerti bahasa Negeri Senja. Ia kebingungan. Malah bicara dalam bahasa Antar bangsa.

“Anda bicara apa? Saya tidak mengerti.”Guru Besar berdiri. Menatapnya sejenak dengan tajam.

Mengibaskan jubahnya. Lantas mengibaskan tangan. Mendadak sejumlah orang di barisan depan meringkus

18 19

Penunggang Kuda dari Selatan. Merampas pedangnya. Me re-bahkannya ke lantai. Semua orang mendadak berdiri dan be-rebutan menuju ke depan. Suasana jadi serabutan sementara kulihat Guru Besar berbalik menuju ke ruang dalam dan me ng-hilang di balik sebuah pintu batu yang segera ditutup para Guru Muda.

Kudengar suara jeritan, seperti suara kesakitan dan minta tolong. Kulihat orang-orang mengeluarkan senjata tajam dari balik bajunya. Aku tidak bisa melihat apa-apa. Pemilik peng-inapan menarik tanganku, mengajak aku keluar.

“Negeri Senja adalah tempat yang berbahaya,” katanya sambil berjalan kembali ke dalam kota, “para petualang itu tidak mengerti betapa berbahayanya mencoba menipu kami. Mereka mengira kami ini sangat bodoh, dan akan selalu percaya saja kepada setiap orang yang mengaku sebagai Penunggang Kuda dari Selatan. Banyak petualang sudah mencoba peruntungannya dan tidak pernah berhasil. Mungkin sudah lebih dari tigapuluh orang selama bertahun-tahun ini yang mengaku sebagai Pe nunggang Kuda dari Selatan karena mengharapkan harta-benda, namun mereka segera tewas sebelum sempat menjalankan tu gasnya. Mereka terbunuh oleh orang-orang yang ia kira bisa ditipunya.”

“Siapakah Penunggang Kuda dari Selatan yang ditunggu-tunggu itu, dan apa tugasnya?”

“Dia adalah orang yang sudah ditentukan oleh takdir untuk membebaskan kami. Kitab tentang Kejadian yang Akan Datang telah menyebutkan kedatangannya. Kami wajib me nyambut dan menghormatinya, namun selama ini yang datang adalah para petualang.”

“Apakah yang dikatakan Guru Besar tadi kepada orang itu?”“Ia menyuruh orang itu mengucapkan namanya dalam

bahasa Negeri Senja.”“Hanya itu?”“Ya, tapi bahasa Negeri Senja tingkat ketiga.”

“Tingkat ketiga?”“Sudah dituliskan dalam Kitab tentang Kejadian yang Akan

Datang bahwa Penunggang Kuda dari Selatan menguasai bahasa Negeri Senja tingkat ketiga yang sudah sangat sedikit sekali pemakainya. Di Negeri Senja saja cuma Guru Besar dan beberapa Guru Muda yang menguasainya. Jadi kalau ia tidak bisa meng-gunakan bahasa itu, ia pasti Penunggang Kuda dari Selatan yang palsu.”

“Dan karena itu ia harus dibunuh?”Pemilik penginapan itu hanya mengangguk satu kali.Aku menoleh ke belakang. Orang-orang sudah keluar dari

kuil. Penipu itu dilempar keluar. Ia sudah jadi mayat, dan mayatnya itu dicincang seperti perkedel. Orang-orang mengelap darah di golok dan tombak mereka.

“Apakah orang-orang yang mengaku sebagai Penunggang Kuda dari Selatan itu tidak mempelajari dulu apa yang akan dihadapinya?”

Pemilik penginapan itu menatapku, dengan senyuman an-tara mengejek dan penuh pengertian.

“Aku juga heran, selalu ada orang yang cukup bodoh untuk melakukan hal itu. Tapi barangkali kami juga tidak lebih pintar. Kita hidup di dunia yang bodoh.”

Senja begitu cemerlang di atas kota. Cahaya bagaikan sayap malaikat yang mengembang dari Timur ke Barat. Langit yang keemasan membuatku terpesona. Mega-mega berarak seperti armada raksasa. Aku lupa bertanya, Negeri Senja itu harus dibebas kan dari apa. Kutatap langit dan semburat cahayanya yang berdenyar-denyar, sehingga jalanan dan dinding-dinding kota berkilat keemas-emasan. Aku masih tidak habis pikir, aku berada di Negeri Senja di mana senja tidak pernah berubah menjadi malam.

21

3

Peristiwa di Kedai

KEDAI itu selalu berada dalam suasana temaram. Ruangan dalamnya gelap dan diterangi lampu-lampu minyak. Cahaya senja yang menerobos jendela mencetak sebuah lempengan emas di dinding. Aku sering pergi ke kedai itu untuk makan, karena letaknya di depan penginapan. Hari itu pun aku me nyeberangi jalan, yang selalu berat dilangkahi karena cuma terdiri dari pasir, memasuki kedai itu. Di luar sedang ber langsung badai pasir yang bertiup dari gurun. Orang-orang yang berada di dalam kedai harus menunggu lama untuk keluar lagi.

Pemilik kedai yang gemuk sudah menghafaliku. Ia lang sung mengantar seteko teh dengan cangkirnya.

“Makan?”“Ya, makan.”“Seperti biasa?”“Ya, seperti biasa.”Sudah sebulan aku berada di Negeri Senja, jadi kalau hanya

untuk percakapan sehari-hari, aku sudah bisa menggunakan bahasa Negeri Senja. Apalagi bahasa Negeri Senja itu sebenarnya

tidak terlalu sulit. Hanya saja Negeri Senja ini adalah negeri yang tidak terdapat di dalam peta maupun di dalam sejarah. Ini membuat terlalu banyak hal di Negeri Senja tidak dikenal. Aku belajar dengan cepat. Di ujung jalan terdapat seorang tua yang menjual kitab-kitab usang. Kudapati di sana kamus bahasa Antarbangsa–Negeri Senja dan Negeri Senja–Antarbangsa. Ku-temukan juga buku lain dalam bahasa Antarbangsa, Belajar Cepat Bahasa Negeri Senja. Buku-buku itu sudah sangat lapuk. Tahun terbitnya saja sudah seratus tahun yang lalu. Dengan modal buku-buku itu aku bicara sedapat-dapatnya, sampai bisa menyusun kalimat sendiri. Aku terbiasa belajar cepat seperti itu karena selalu mengembara dari negeri satu ke negeri lain.

Biasanya aku tidak tahan tinggal terlalu lama di suatu tempat, karena aku tidak pernah merasa berumah di mana pun. Aku selalu tidak betah, ingin segera pergi menuju ke tempat-tempat baru. Namun setelah sebulan, ternyata aku masih berada di Negeri Senja. Hal semacam ini belum pernah kulakukan. Aku bahkan telah menjual untaku, dan menggantinya dengan seekor keledai, supaya punya cukup uang untuk bertahan. Karena aku tinggal lama, pemilik penginapan memberi aku potongan harga. Meski kupikir ia juga harus berterimakasih karena ternyata cuma akulah yang tinggal di penginapannya. Terlalu sedikit orang asing melewati Negeri Senja rupanya.

Aku tak tahu pasti apa yang menahanku. Di sini waktu seolah-olah tidak bergerak, selalu berada dalam keadaan senja. Matahari tertahan terus di cakrawala dan langit bergetar-getar seperti kemah sutra berwarna jingga. Apakah senja itu yang membuat aku betah? Ada suatu masa dalam hidupku di mana aku selalu memburu senja ke mana-mana, seperti memburu cinta. Aku memburu senja ke pantai, memburu senja ke balik gunung, memburu senja yang membias di gedung-gedung ber tingkat. Namun itu sudah lama sekali berlalu. Aku sudah lama menerima kenyataan betapa senja yang menggetarkan memang dihadirkan

22 23

untuk segera lenyap kembali. Kebahagiaan adalah saat-saat sesaat yang hanya terjamin abadi dalam kenangan, sehingga hanya mereka yang mampu menghidupkan kenangan bisa memper-tahankan kebahagiaan itu. Tapi aku muak dengan kenangan-kenanganku—aku mengembara untuk mengarungi kenyataan meski tidak mendapatkan apa-apa kecuali peng alaman baru yang akan berakhir ke dalam kenangan.

Kini aku berada di Negeri Senja di mana senja tak usah diburu-buru lagi. Aku tidur pada senja hari dan bangun pada senja hari. Aku selalu hidup dalam genangan cahaya jingga yang seperti aroma parfum mengalir di jalan-jalan kota. Cahaya jingga menggenangi jalanan dan lorong-lorong. Aku suka menatap cahaya matahari yang jatuh di dinding tanah liat rumah-rumah orang Negeri Senja yang selalu tertutup sehingga dinding itu menjadi keemas-emasan.

Telah kukirimkan sebuah kartupos kepada Maneka.

Maneka,Kamu tidak akan pernah mengira.Aku berada di sebuah negara,yang tidak ada di dunia.

Negeri Senja tidak mempunyai hubungan dengan dunia luar. Jadi surat-surat dikirim dengan keledai atau dititipkan kafilah unta dari negeri tetangga. Entahlah kapan Maneka akan me nerima kartupos yang perangkonya cukup sidik jari petugas kantorpos itu. Aku pun tak tahu apakah Maneka masih berada di tempat yang sama. Dunia sekarang berubah dengan cepat—kecuali, tampaknya, Negeri Senja.

Ada orang-orang lain di kedai ini. Mereka berkumpul di sebuah meja panjang dan berbicara dengan berbisik-bisik. Di sudut lain, terlihat seseorang duduk sendirian memunggungi mereka. Ia tampak mencatat. Aku jarang melihat orang ini.

Mereka yang berkumpul di meja panjang kadang-kadang ku lihat, dan tentunya mereka pun melihatku. Namun kalau boleh aku berterus-terang, di negeri yang selalu berada dalam keadaan senja begini aku sulit memastikan bahwa aku telah memandang wajah seseorang dengan jelas. Senja selalu temaram, penuh dengan bayang-bayang, bagaikan selalu ada cadar hitam di wajah setiap orang. Sekali-kalinya wajah itu kena cahaya, maka wajah itu akan berwarna jingga keemas-emasan. Begitulah pandanganku tentang wajah setiap orang di Negeri Senja. Wajah mereka tidak pernah betul-betul jelas. Apalagi busana mereka yang serba berjubah dan berkerudung kepala itu semakin membuat segalanya menjadi samar.

Percakapan dalam bisik-bisik itu tampak seru dan serius sekali. Setiap orang berwajah tegang. Mereka tidak makan apa-apa tapi di meja mereka tampak beberapa teko teh dengan cangkir-cangkir berisi daun. Teh di Negeri Senja ini sangat manis dan daun-daun itu membuat teh Negeri Senja terasa menye-garkan.

Bisik-bisik itu makin lama makin keras. Setiap kali meng-eras seseorang mengucap: “Ssssttt!“ Tapi setiap kali pem bicaraan mereka meninggi kembali, sampai akhirnya orang yang selalu mengatakan: “Ssssttt!” itu berteriak sendiri. Tampaknya keadaan semakin tidak terkendali. Mereka saling berteriak, saling meng-gebrak meja, dan akhirnya berdiri sambil menunjuk-nunjuk. Dengan pengetahuan bahasa Negeri Senja yang se adanya, aku hanya bisa menangkap pembicaraan mereka se potong-sepotong.

“Aku lihat kamu terima uang itu!”“Pembohong!”“Aku lihat dengan mata kepalaku sendiri!”“Itu bukan uang!”“Memang bukan uang! Itu pundi-pundi berisi emas!”“Berisi emas!”“Najis!”

24 25

“Kalian pembohong semua! Kalian pemabuk!”“Mabuk bagaimana? Kita cuma minum teh!”“Sekarang teh! Tadi arak!”“Pengkhianat!”“Mata-mata!”“Berapa kamu dibayar?”“Pantas semua gerakan kita bisa dipatahkan.”“Keparat!”Segalanya berlangsung cepat sekali. Seorang di antara me-

reka melompat ke atas meja, menuju ke arah seseorang yang berada di ujung meja. Dalam sekejap tangannya sudah meng-genggam pisau belati yang segera diayunkan ke atas untuk dibacokkan. Orang yang berada di ujung meja itu sebetulnya bisa menghindar. Ia bahkan sudah berdiri. Tapi dua orang di kiri dan kanannya menahan ia di sana, memegangi kedua tangannya.

Pisau itu menancap di dada kanannya. Ia jatuh ter te lungkup di atas meja. Sejumlah orang di sekitarnya segera membacok punggungnya pula. Suasana kacau sekali. Tiba-tiba seseorang yang lain sudah terbanting ke atas meja. Teko dan cangkir teh bertebaran. Dengan cepat orang yang terkapar di meja itu pun dibacok. Rupa-rupanya orang-orang ini sangat mahir meng-gunakan pisau belati. Satu di antara mereka lari menuju ke pintu, tapi di pintu ia berteriak keras. Sebilah pisau telah menancap di punggungnya.

Ia tidak langsung jatuh. Ia masih bisa berjalan terhuyung-huyung keluar. Namun di luar kulihat ia terjatuh. Badai pasir masih bertiup menggiriskan. Suaranya bersiut-siut. Pasir be-terbangan menabrak kaca jendela. Seseorang menyusul ke luar. Dalam temaram kulihat belati itu dicabut. Darahnya belum diseka ketika masuk kembali. Menetes di lantai kayu.

“Kamu yakin dia mati?”“Apalagi?”“Dasar pengkhianat.”

“Kamu yakin mereka memang melaporkan kita?”“Ah, kalaupun mereka tidak melakukannya, aku memang

benci kepada mereka, dan sudah sejak lama ingin mem bu nuhnya.”Baru kusadari sekarang bahwa orang yang duduk di sudut

sudah lenyap.“Ke mana orang yang duduk di sini tadi?”Mereka saling berpandangan. Lantas berteriak hampir ber-

samaan.“Pasti dia!”Orang-orang itu keluar mengejar. Sosok-sosok tubuh me-

reka yang berjubah lenyap di balik badai pasir. Kedai itu men-dadak sepi. Angin masih bersiut seperti nyanyian maut.

Ketika makananku tiba, aku sudah kehilangan selera. Dua mayat terkulai di meja. Satu lagi di luar sana. Pemilik kedai menyeret satu per satu kedua mayat itu keluar sambil meng-gerutu. Meletakkannya di tengah jalan. Dari lorong-lorong di sekitar tempat itu muncul orang-orang seperti ajag meng erumuni bang kai. Satu orang mulai meraba-raba kantong baju mayat-mayat itu.

“Mau menjarah apa? Tidak ada apa-apa! Kita semua miskin di tempat ini!”

Pemilik kedai itu berteriak dengan kesal dari dalam kedai. Lantas, tanpa ditanya, ia berkata kepadaku.

“Bagaimana mau menggulingkan kekuasaan, kalau begitu mudah diadu domba? Dasar bodoh. Sudah miskin, bodoh pula!”

Di luar, dalam badai pasir itu, orang-orang masih meraba kantong. Mereka membolak-balikkan mayat itu, memeriksa jari, pergelangan tangan, menyingsingkan lengan baju, memasukkan jari ke dalam mulutnya dan mengangakannya. Pemilik kedai merasa bisa membaca pikiranku.

“Mereka mencari gigi emas,” katanya.Tapi aku memikirkan perkara lain. Siapa orang yang berada

di sudut itu? Dia menghilang ke mana? Apa yang dicatatnya?

26

Selama ini aku selalu mengira tiada yang lebih indah selain pemandangan senjakala. Namun di negeri di mana matahari senja tiada pernah terbenam ini ternyata keindahan bukanlah segala-galanya. Baru semalam saja aku berada di negeri ini, sudah kusaksikan bagaimana seseorang dicincang seperti per kedel. Sebulan ke mudian, hari ini, sekali lagi kusaksikan betapa keke-rasan ter nyata merupakan bahasa yang lazim. Apakah aku harus segera pergi lagi? Aku telah mendapatkan keindahan yang selalu kuinginkan, yakni senja abadi yang tidak akan pernah ada di bagian bumi manapun. Apakah aku harus tetap tinggal? Aku tak tahu. Seorang pengembara yang tidak mempunyai ikatan kepada apapun seperti aku hampir selalu menurutkan kata hati. Ia bisa bangun pada suatu pagi dan begitu saja berangkat untuk tidak pernah kembali, atau ia tetap tinggal di suatu tempat dan tidak pernah pergi lagi, meski tidak mempunyai rencana yang pasti.

Aku sedang memikirkan diriku, bagaimana kiranya akhir riwayatku, ketika di sebuah lorong yang suram berpapasan dengan orang yang tadi duduk di sudut itu. Aku tertegun dan ia juga tertegun. Aku terkesiap melihat ia meraba sesuatu di ping-gangnya. Kuduga ia siap melemparkan pisau. Aku meraba caping-ku, siap menangkisnya jika pisau itu dilemparkan ke arahku. Sejenak kami berdua hanya berdiri seperti patung.

Tapi kemudian terdengar suara anak-anak kecil yang ber-nyanyi-nyanyi mendekat, dan kemudian begitu saja muncul dari belakangnya. Ia melangkah sebentar mengikuti anak-anak kecil itu, lantas menghilang di kelokan.

Anak-anak masih bernyanyi ketika melewatiku.

4

Penginapan Para Leluhur

AKU hanya tinggal sendirian di penginapan ini, sebuah peng-inapan yang dindingnya tebal, terbuat dari tanah liat sehingga berwarna kecoklatan, atapnya pendek meski aku tak harus mem-bungkuk, dan pintu-pintu di dalamnya hanya sebuah tirai. Tetapi meskipun aku hanya sendiri di penginapan ini, aku merasa banyak orang lain di sekitarku. Aneh sekali. Dari dalam kamar, aku selalu mendengar suara-suara kehidupan: orang berjalan, orang bercakap-cakap, orang tertawa, orang berteriak, atau juga orang menggerutu dan bergumam, bahkan tak jarang kudengar suara orang tidur mendengkur. Namun setiap kali aku keluar kamar, tidak ada siapapun yang bisa kutemui. Di sekitar peng inapan hanya terdapat keluarga pemilik penginapan, se jumlah pengurus penginapan, yang membersihkan dan me layani segala sesuatu, yang nyaris tak pernah dilakukan karena tamu di penginapan itu hanyalah diriku.

Kalau aku sedang duduk sendiri di dalam kamar, membuka tirai jendela agar cahaya senja masuk dan menyepuh dinding, sering juga kudengar bisik-bisik di dalam kamar. Sudah ku-

28 29

katakan aku belum terlalu menguasai bahasa Negeri Senja, sehingga aku tidak paham sepenuhnya apakah yang dibisikkan suara-suara itu. Suara-suara itu seperti memperbincangkan se-suatu dengan sungguh-sungguh. Kadangkala aku begitu pe-nasaran ingin mengetahuinya, apa daya perbendaharaan kata dalam bahasa Negeri Senja yang kuketahui sangat terbatas. Kadang-kadang seperti kudengar kata semacam “Pem bu nu han…” tapi aku tidak begitu yakin. Malam-malam tak jarang terdengar suara orang menangis. Suara itu masih terdengar jika aku keluar kamar dan menyelidikinya. Namun apabila aku sampai ke ruang depan, tempat di mana tamu-tamu pemilik penginapan itu suka berkumpul tanpa suara, menjauhlah suara tangis itu, berpindah ke tempat lain. Pernah suara tangis itu bahkan terdengar dari dalam kamarku, tapi aku tak mencoba menengoknya karena tahu pasti akan menjauh atau menghilang.

Suara tangis itu kadangkala memang lirih saja, tapi sangat memilukan. Tangis itu tidak pernah terdengar cengeng, seperti yang meminta perhatian dan menunjuk-nunjukkan diri sedang sedih, sama sekali tidak, tangis itu memang seperti penjelmaan kembali kesedihan, duka nestapa yang sudah sepantasnya di-tangiskan, bukan karena tidak tahan atas penderitaan me lainkan karena tangisan yang seperti itu adalah bahasa yang paling mungkin dari luka kemanusiaan. Tangis itu juga lirih sekali sebetulnya, tidak seperti ingin didengar. Itu sebuah tangis ter-tahan-tahan, dari sebuah derita yang di tinggalkan….

“Ditinggalkan? Bagaimana maksudnya?”Pemilik penginapan itu bercerita tentang suatu peristiwa

yang dialami seorang gadis, mungkin sekitar lima abad yang lalu, ketika penginapan itu masih merupakan penginapan yang ramai dan selalu menjadi tempat tujuan. Pada masa lalu Negeri Senja adalah sebuah negeri yang dikunjungi banyak orang dari negeri-negeri sekitarnya, untuk berdagang maupun untuk menuntut ilmu, karena memang merupakan pusat kebudayaan di tengah

padang pasir yang kering-kerontang. Sisa kejayaan masa lalu memang bisa kulihat di kota ini. Mulai dari benteng yang runtuh, tempat ibadah seperti Kuil Matahari, maupun arsitektur kota tua yang sebenarnya megah, cantik, dan anggun—hanya saja yang sekarang sungguh tidak terurus. Gadis itu juga datang ke sana untuk menuntut ilmu, meski perempuan di masa itu dianggap tidak lazim menuntut ilmu terlalu tinggi, karena tak pernah diandaikan perempuan akan berperan lebih dalam kehidupan selain menjadi istri, pelayan, atau pelacur. Gadis itu telah me-nentang nasihat dan larangan keluarganya untuk merantau, dan tetap memaksa pergi ke Negeri Senja, tanpa cadar dan busana seperti yang biasa. Gadis itu mengenakan busana pria, menung-gang unta, dan mampu mengatasi marabahaya se panjang gurun pasir sampai akhirnya tiba di Negeri Senja.

Ia tidak pernah menutupi kenyataan bahwa dirinya adalah seorang perempuan. Usianya baru 20, semangatnya tinggi, dan ia berbusana seperti seorang pria. Ia tampak begitu meng getarkan, apabila melangkah di jalanan Negeri Senja bahkan kaum pria merasa gentar, dan kaum perempuan terpesona. Padahal sudah jelas ia seorang gadis meski berbusana pria. Itulah persoalan bagi pemuka-pemuka pria di Negeri Senja. Seorang perempuan ber-busana pria masih bisa diterima, tapi bahwa kaum perempuan mendambakan kasih sayangnya terasa sungguh menghina. Sejak kapan, demikian pikir mereka, kaum pria harus dikalahkan perempuan dalam urusan cinta? Pe rempuan boleh unggul dalam apapun kemauan mereka, tapi jika perempuan hanya bercinta dengan perempuan, kaum pria tinggal mendapat apa?

Di kelasnya ia bagaikan bintang cemerlang, karena segala ilmu dalam kitab dengan mudah dikuasainya. Para pengajar tak mampu mengalahkannya dalam perdebatan di segala wacana. Di luar kelas ia mempelajari segenap kemahiran olah senjata, dan semua pria dikalahkannya dalam pertarungan pedang, panah, pisau terbang, maupun senjata-senjata rahasia. Dengan segera

30 31

menjadi jelas, bahwa masa depannya cerah dan gemilang. Dalam usia begitu belia ia telah dicalonkan menjadi Guru Muda. Ini semua mengagumkan sekaligus menggelisahkan. Seorang asing datang ke Negeri Senja hanya untuk mengacaukan segalanya? Gadis itu telah mempunyai pengikut yang banyak pula, bukan hanya sesama perempuan tetapi juga pria. Sudah bisa ditebak, jika ia berminat menjadi pemimpin negara, pada saatnya ia punya pendukung lebih dari cukup banyaknya.

Tapi ia orang asing, dan orang asing adalah orang luar, orang lain. Bagaimanakah bisa dibayangkan seorang asing memimpin negara, betapapun hebat dan layaknya? Namun jika ia tinggal cukup lama, bukankah ia berhak menjadi war ga negara? Bukan-kah ia lebih dari cerdas untuk menggalang su asana agar mendu-kungnya? Jika dalam usia 20 tahun saja, pe sonanya terpancar begitu rupa di kalangan muda, bagai manakah bisa dibayangkan perubahan yang akan terjadi setelah ia semakin matang dan dewasa? Syahdan golongan yang me namakan diri Kaum Pembela Negeri menentang seluruh ga gasannya, tapi tidak mendapatkan pe ngikut di mana-mana. Lebih malang lagi nasib mereka karena Raja Muda juga ter pesona oleh kecerdasan sang perempuan muda. Apakah yang bisa dilakukan untuk menghalangi datangnya masa depan yang penuh dengan perubahan menggelisahkan? Keadaan makin meng erikan bagi Kaum Pembela Negeri yang fanatik setelah diketahui betapa Raja Muda yang baru saja menikah itu ternyata jatuh cinta kepada sang perempuan muda dari mancanegara. Kaum Pem bela Ne geri kehilangan pegangan, bukan hanya karena kaum pe rem puan memuja sang gadis manca, namun kaum pria muda yang terpesona oleh kecemerlangan pikiran penuh pem bong karan juga membelanya, bahkan Raja Muda yang sudah beristri pun jatuh cinta. Apa yang bisa dilaku kan untuk menolak per ubahan serba mencemaskan dengan niscaya?

Pada suatu pagi, 500 tahun yang lalu, di Negeri Senja yang sudah selalu dalam keadaan senja seperti sekarang Raja Muda

ditemukan di tempat peraduannya dengan mulut berleleran darah hitam yang menetes ke tilam dan ke lantai batu. Para tabib istana menyatakan dengan jelas bahwa Raja Muda meninggal karena racun yang ditaburkan dalam makan malamnya. Pe rempuan yang baru dinikahinya dituduh sebagai pembunuh, dan dihukum penjara dengan tuduhan yang tidak masuk akal, yakni melanggar tata susila karena menjalin hubungan badan dengan gadis ce-merlang mancanegara berusia 20 tahun yang selalu berbusana pria, yang pada kenyataannya saling jatuh cinta dengan Raja Muda.

Lantas bagaimana nasib gadis pemberani yang telah me-nyebarkan gagasan tentang pembebasan dari segala belenggu dan ikatan?

Pemilik penginapan itu terdiam, menghela nafas, dan me-natapku. Ia menunjuk kamarku.

“Dia dulu tidur di situ,” katanya.Aku menunjukkan wajah tidak mengerti.“Para pelajar mancanegara dulu banyak yang menyewa

kamar di sini, sehingga tempat ini menjadi tempat pertukaran pengetahuan antara mereka. Banyak pelajar asal Negeri Senja yang juga ke sini, dan ruang tempat kita bicara sekarang adalah ruang perdebatan.”

Aku masih memandanginya saja, belum tahu arah pem-bicaraannya.

“Di kamar itulah…” katanya.“Di kamarku? Apa yang terjadi?”“Di kamar itu ia dulu tinggal dan menekuni semua kitabnya

selama beberapa lama, sampai pada suatu malam yang sepi, ketika semua pelajar sedang pergi menyaksikan balapan unta di luar kota, ia disergap sejumlah orang dan diperkosa….”

Aku tercekat. Pemilik penginapan itu bercerita dengan meyakinkan, sehingga segenap gambaran itu muncul di benakku seperti aku menyaksikannya sendiri.

32 33

Gadis itu sedang membaca Kitab Terjadinya Kaidah ketika mendadak dari jendela dan pintu masuk segerombolan manusia yang seperti telah terlatih melakukannya, me re bah kannya ke tempat tidur, memegangi kedua tangan dan kakinya, merobek-robek busana pria yang dikenakannya, lantas ia di perkosa. Tak kurang dari duapuluh orang berada di kamar itu. Pemerkosaan ini dilanjutkan dengan penyiksaan yang ber langsung cepat, rapi, dan lagi-lagi seperti telah dilatih lebih dulu. Gadis itu disayat-sayat wajahnya sehingga wajah yang semula begitu anggun dan penuh pesona itu tidak bisa dikenali lagi. Konon tak sepatah rintihan pun keluar dari mulut gadis itu. Ia dicampakkan begitu saja di tempat tidur yang tilamnya segera basah-kuyup oleh darah.

Namun ketika para pelajar pulang dari pesta rakyat ba lapan unta di luar kota, gadis itu sudah tidak ada. Hanya darahnya berlepotan pada tilam, sebagian jadi bercak yang terinjak-injak di lantai.

“Ke mana?”“Tidak ada yang tahu.”Ia hilang lenyap seperti ditelan bumi. Kisah ini bisa dike-

tahui orang banyak konon karena salah satu anggota regu pemer kosa itu tidak tahan untuk membuka mulutnya. Namun ini juga berarti ia telah melanggar sumpahnya sebagai anggota Komplotan Pisau Belati, suatu organisasi rahasia yang di andaikan bisa melaksanakan tugas penyusupan dengan sem purna. Di masa perang tugasnya adalah menerobos wilayah musuh, tetapi di masa damai mereka melaksanakan permintaan apapun oleh siapapun yang sanggup membayarnya. Termasuk tugas untuk menculik, membunuh, memperkosa, dan meng aniaya. Masa damai artinya tidak mempunyai musuh, namun bertarung diam-diam dan tetap menumpahkan darah di antara bangsa sendiri.

Angin bertiup dari luar, menggoyang tirai di pintu, dan menghembuskan pasir yang menimbulkan bunyi gemerisik di lantai batu. Bersama dengan terlambainya tirai melesat masuk

pula cahaya senja keemasan yang bersemu jingga kemerah-merahan, seolah-olah matahari sebentar lagi memang akan teng gelam. Ketika tirai tertutup kembali, cahaya itu tetap di situ, seperti bisa memisahkan diri dari sumbernya. Inilah yang ku-kagumi di Negeri Senja, segalanya serba berbeda.

Dari jendela kulihat kubah langit yang membara kemerah-merahan itu. Aku masih tercekat oleh kenyataan yang ber-langsung tepat di dalam kamarku 500 tahun yang lalu, di bawah senja penuh pesona yang sama. Aku bertanya-tanya dalam diriku, apakah yang dipikirkan gadis berotak cemerlang yang meng-hilang, setelah mengalami peristiwa semacam itu?

“Apa hubungannya kisah ini dengan suara-suara itu?”“Di Negeri Senja,” kata pemilik penginapan tersebut, “orang

mati tidak pernah benar-benar pergi.”Kenapa tidak, pikirku, di sebuah negeri di mana matahari

termungkinkan untuk tidak pernah terbenam….

35

5

Rumah Bordil di Padang Pasir

saja yang merupakan pemandangan sebenarnya, sedangkan senja dan malam hari hanyalah pemandangan yang semu saja? Benar-kah segala sesuatu dalam cahaya terang lebih benar dibanding segala sesuatu dalam cahaya remang-remang? Mungkinkah se-muanya benar atau semuanya semu—bukankah cahaya itu sendiri mengubah penampakan suatu benda ke mudian hilangnya cahaya itu mengubahnya lagi sampai tak tampak pula? Manakah yang lebih benar, pemandangan dengan cahaya atau peman dangan tanpa cahaya? Aku sudah lama meng embara dan aku sudah menjelajahi berbagai sudut bumi untuk mem pertim bang kan senja, dan aku tahu serumit itulah per tanyaan tentang kebenaran. Dalam cahaya terang segala sesuatu memang keli hatan, tapi sebetulnya kita hanya melihat pantulan cahaya; sementara dalam kegelapan segala sesuatu tidak ke lihatan. Maka aku tidak pernah lagi mempertimbangkan pe mandangan senja kala dalam hu-bung annya de ng an ke be naran, melainkan cukup melihatnya saja dengan perasaan ra wan, karena was-was akan perasaan kehi-langan yang akan segera menyusul setelah matahari senja teng-gelam. Namun matahari tidak pernah tenggelam di Negeri Senja dan aku sedang me natapnya.

Aku sedang menatapnya sembari berjalan menuju ke sebuah rumah bordil yang terpencil. Selepas dari deretan ru mah-rumah yang jendelanya membiaskan cahaya itu hanyalah padang pasir yang terhampar. Rumah bordil itu memang ter letak di luar kota, dipencilkan begitu rupa seolah-olah peng huninya berpenyakit kusta. Dari jauh sudah kudengar suara seruling meliuk-liuk dan lampu-lampu merah bergelantungan. Aku melangkah di atas pasir lembut yang kali ini juga berwarna ungu muda. Aku menuju ke tempat pelacuran ini karena rasa penasaran yang mendalam, benarkah semua orang tidak bisa kita lihat wajahnya di Negeri Senja? Bukan hanya karena di senja hari segalanya remang-remang, namun busana orang-orang di Negeri Senja yang ber-kerudung kepala seperti para rahib yang selalu membisu mem-

DARI sebuah sudut jalan, kulihat rumah-rumah yang se luruh jen dela nya dibuka. Daun pintu jendela-jendela itu se muanya meng hadap ke arah matahari, jadi daun-daun jendela itu se mua-nya membiaskan cahaya keemas-emasan, sementara la ng it jingga dan jalanan itu sendiri berwarna ungu muda. Matahari di Negeri Senja memang tidak pernah meneruskan perjalanannya namun tetap memberikan berbagai macam nu ansa. Matahari itu sendiri bila kuperhatikan tidaklah diam se penuhnya. Matahari bagai kan berusaha mendesak turun, tetapi cakra wala bagaikan me nahan-nya. Matahari yang separuh teng gelam di cakrawala itu bukanlah gambar yang hanya terlihat jika terdapat cahaya, me lainkan matahari seperti yang dikenal ma nusia, yang me man car kan cahaya sehingga manusia bisa melihat sesuatu dengan lebih meyakinkan. Matahari yang ada di Negeri Senja sekarang memang separuh tenggelam di cakrawala, sehingga segala sesuatu memang terlihat, namun seolah-olah bukan pemandangan yang sebenarnya.

Tapi benarkah pemandangan senjakala bukan pe man dangan yang sebenarnya? Benarkah hanya pemandangan pagi dan siang

36 37

buat wajahnya semakin sulit dilihat. Me mang aku sering melihat wajah-wajah, namun itu sebenarnya hanya seolah-olah sebuah wajah, lewat berkelebat, begitu saja seperti bayang-bayang ber-kelebat melintas. Orang-orang di Negeri Senja lebih tepat dikata-kan sebagai sosok-sosok, mung kin bahkan lebih tepat bayang-bayang. Mereka selalu tampil sebagai sosok-sosok hitam yang berkelebat begitu cepat lantas menghilang. Jalanan Negeri Senja yang selalu berpasir hanyalah kesunyian dan kekosongan dengan angin yang mendesirkan pasir. Setiap kali kulihat sesosok bayang-bayang selalu kulihat berjalan begitu cepat dan begitu cepat meng hilang. Setiap kali aku mencoba membayangkan sebuah wajah selalu gagal, karena selalu diliputi bayangan se hingga wajah di dalam kerudung itu seperti timbul-tenggelam antara kelihatan dan tak kelihatan.

Jadi aku berjalan menuju ke rumah bordil untuk meng enali sebuah wajah, karena selama berada di Negeri Senja aku tidak seperti merasa tinggal di sebuah negeri manusia. Tidakkah para penghuni rumah bordil itu akan memberikan segala-galanya, kecuali cinta, dan tentu saja akan terlihat wajahnya? Aku berjalan dengan sebuah ingatan tentang hari pertamaku di negeri ini. Bukankah ini bukan negeri yang mati? Memang tidak bisa dikata-kan negeri ini kosong, kadang-kadang kulihat pasar di bagian utara kota juga penuh dengan manusia, tapi segera kurasakan begitu banyak orang bukan hanya pendiam melainkan takut berbicara. Sehingga begitu banyak orang di jalanan suatu ketika tetapi tidak ada yang berbicara. Kalau aku mencoba menatap wajah mereka yang selalu samar-samar itu mereka cepat-cepat menundukkan kepala. Me reka pun tentu ingin me negaskan siapakah diriku yang pada hari-hari pertama masih mengenakan busana yang berbeda dengan mereka, tetapi setiap kali aku mencoba me natapnya kembali segera saja mereka me noleh ke arah lain atau lagi-lagi me nundukkan kepala. Kalau aku masih tetap mencoba mem per hatikannya, mereka menatap lang sung ke

mataku deng an tangan meraba pinggang di balik jubah, seperti siap me lem parkan pisau belatinya. Dalam keremangan hanya kulihat se pasang mata menyala seperti mata harimau di tengah ke gelapan rimba.

Kemudian aku berbusana seperti orang-orang di Negeri Senja, dengan kerudung menutup kepala. Semenjak itu memang tiada lagi pasir di rambutku dan barangkali wajahku pun tak kelihatan pula dan aku pun lantas merasa tak seorang pun menganggap aku sedang mengawasinya. Keadaan ini membuat aku semakin was-was, tidakkah aku ternyata diawasi juga? Aku berjalan di padang pasir pada senja hari yang membuat langit merah membara. Kukira aku betul-betul sendiri kali ini, tiada lorong-lorong berkelok atau tirai di balik jendela dengan mata yang mengawasi di sebaliknya. Tentunya aku betul-betul sendiri, karena sejauh mata memandang hanya pasir. Jauh di selatan kulihat bayangan hitam tembok per bentengan dari masa lalu, sedangkan di utara terlihat rumah bordil yang memanggil-manggil. Kulihat lampu-lampu merahnya dan berpikir, apakah mereka harus memasang lampu merah hanya karena berada di daerah lampu merah? Sebuah rumah bordil di tempat terpencil seperti ini, apalagi yang masih harus memberi tanda berbeda? Para penghuninya bagaikan dianggap spesies yang berbeda, ber-gelimang penyakit maupun noda, sepanjang sejarah ke hidupan manusia selalu ditempatkan terpisah dari anggota masyarakat lainnya—tapi mengapa mereka bisa ada kalau bukan karena ada yang membutuhkannya, orang baik-baik dari dunia baik-baik yang tidak mempunyai nyali untuk mengakuinya? Dunia me mang tidak pernah adil karena hanya para pelacur yang terkucil dan bukan mereka yang mendatanginya.

Kudengar seruling itu dan hatiku bergelora. Aku me langkah dengan cepat di atas pasir yang berat. Seruling itu bagai melan-tunkan lagu senja yang hanya ada di Negeri Senja, kisah tentang lempengan matahari raksasa yang berjuang keras untuk terbenam

38 39

namun tak pernah berhasil melewati benang cak rawala dan semesta bergetar karenanya. Lagu seruling itu seperti bisa ber-kisah tentang kesunyian para petarung, yang sudah berabad-abad mengadu tenaga tanpa kesudahan dalam kebisuan semesta. Aku melangkah dan teringat Alina, betapa berbinar matanya tanpa suara jika bisa kuceritakan semuanya, tapi bagaimanakah aku akan menyampaikannya? Masih dari jauh kulihat sejumlah unta, agaknya ada serombongan kafilah yang baru tiba. Tam-paknya mereka akan bermalam di sana. Kukira memang bordil itu terutama melayani kepentingan orang-orang asing, karena aku tidak bisa melihat orang-orang Negeri Senja sebagai manusia biasa. Mereka begitu berbeda, begitu diam, tapi juga begitu keras dan kejam, itu semua masih biasa, namun jika mereka ternyata begitu tertutup, aku tak tahu bagaimana me reka akan bisa datang ke rumah bordil dengan agak sedikit gembira.

Ketika aku tiba di tempat itu, aku tidak melihat apa-apa. Aku mendengar seruling yang meliuk-liuk dan tentunya jauh lebih keras dari sebelumnya, tapi aku tidak melihat apa-apa. Aku tidak melihat peniup seruling, aku tidak melihat pemain musik yang lain, dan aku juga tidak melihat para penghuninya. Di tempat itu hanya ada kekosongan dan kesepian. Aku berada di sebuah ruang remang-remang di mana hanya ada sedikit cahaya se-hingga membuat suasana sangat menekan, hanya aroma parfum saja yang membuat tempat ini menambah rasa penasaran. Aku hanya ingin melihat sebuah wajah yang jelas, setidaknya aku bisa melihatnya dengan cahaya lentera, tapi tak sesosok manusia pun kujumpai di sini.

Aku berdiri dan menunggu. Dari perbincangan yang ku-dengar di kedai, rumah bordil di Negeri Senja memang tidak bisa disamakan dengan rumah-rumah bordil di tempat lain di mana pun tempatnya. Aku hanya seorang musafir lata, seorang pe ng embara, rumah bordil bukanlah tempat yang asing bagiku. Memang di rumah bordil kita hanya akan menemukan ke-hangatan yang semu, namun untuk seorang pengembara yang

selalu kesepian sepanjang hidupnya, kehangatan yang paling semu pun adalah hiburan yang sangat bisa dimaklumkan. Selama di Negeri Senja aku menemui orang-orang yang jangan kan membuka hatinya untuk persahabatan sedangkan wajahnya pun aku tidak pernah bisa memandang dengan tegas. Ini membuat aku selalu merasa gagal untuk mengenal seseorang. Sampai aku mendengar cerita tentang rumah bordil itu. Se belumnya kukira memang tak ada rumah bordil di Negeri Senja, karena memang tidak pernah kudengar seorang pun mem bicarakannya.

Seruling itu memberi perasaan pilu, aku mendekati jen dela. Kulihat unta-unta yang berada di luar. Matahari yang rendah membuat bayang-bayang mereka terhampar sejauh-jauhnya. Ke mu dian sebuah pintu terbuka, dan sebuah pintu lain lagi juga terbuka, lantas beberapa pintu sekaligus terbuka. Beberapa orang keluar, dan saling menyapa. Mereka berbicara dengan bahasa yang kukenal. Mereka bukan orang Negeri Senja, tapi mereka juga mengenakan busana yang melindungi tubuh dari debu dan pasir. Dari pembicaraan mereka, kuketahui mereka masih menanti se jumlah orang yang berada di dalam kamar. Mereka duduk ber-gerombol dan minum arak yang tersedia di meja tanpa mem-perhatikan aku. Di jendela aku masih berpura-pura me nik mati pemandangan. Betapapun senja masih merupakan hal ter baik di negeri ini. Sebentar kemudian be berapa orang lagi menyusul keluar, dan semua orang lantas berdiri, langsung menuju ke unta-unta mereka.

Aku tinggal sendirian dalam kesunyian. Kamar-kamar itu kosong. Aku hanya ingin melihat sebuah wajah yang jelas, tapi sekarang aku ragu apakah akan mampu hanya melihat sebuah wajah dan pergi. Aroma parfum menguasai ruang setelah pintu-pintu tadi ter buka dan sekarang semuanya sudah tertutup kem-bali. Aku teringat Alina, dan juga Maneka. Kupikir se baiknya aku pergi saja, barangkali memang sudah nasibku untuk tidak melihat sebuah wajah sampai aku melanjutkan per ja lananku.

Namun sebuah pintu tiba-tiba terbuka.

41

6

Perempuan dari Balik Cahaya

AKU melangkah menuju ke pintu terbuka itu seperti di ken dalikan oleh sesuatu di luar kekuasaanku. Aku melangkah masuk tanpa kesadaran penuh ke dalam suatu dunia yang meruapkan semesta senja. Kudengar pintu tertutup, tapi aku tidak berada di dalam kamar, kudengar tapak kaki melangkah, tapi aku tidak berpijak di bumi, kuhirup parfum yang semestinya meruap dari tubuh perempuan, tapi hanya kulihat perempuan yang timbul-teng-gelam di antara cahaya senja keemasan yang kali ini me mancar dan melesat-lesat seolah begitu cepatnya sehingga membuat aku silau luar biasa. Jendela yang rendah di dalam kamar itu terbuka dan langsung menghadap matahari separuh tenggelam yang di padang pasir tadi menghamparkan ke kelaman dan kesenduan tapi kini seperti memberi caha ya tersendiri bagi kamar ini, cahaya keemasan, nyaris putih me nyilaukan, yang sebentar-sebentar dilewati tubuh sang pe rempuan sehingga cahaya itu terhalang dan akibatnya mem beri gambaran keindahan yang timbul-tenggelam.

Seperti itukah berlakunya keindahan, sesuatu yang tidak harus terlalu jelas dan barangkali saja timbul-tenggelam? Se-

perti keindahan lukisan bukan dalam warna melainkan dalam kesan, seperti keindahan musik bukan dalam nada melainkan dalam buaian, seperti keindahan sandiwara bukan dalam kata-kata melainkan dalam dongengan, seperti keindahan tarian bukan dalam gerak melainkan dalam aliran, seperti keindahan puisi bukan dalam sastra melainkan dalam ke akraban, seperti ke indahan gambar hidup yang bukan dalam tiruan melainkan dalam perenungan? Tidak ada sesuatu yang bisa dikatakan sebagai keindahan yang menetap, karena ke indahan memang ada di mana-mana, bagi mereka yang bisa melihatnya. Aku telah me-ng em bara ke seluruh penjuru bumi untuk menemukan keindahan tapi keindahan hanya bisa dilihat timbul-tenggelam di antara keburukan.

Di tempat ini, di kamar yang meruapkan semesta senja ini, aku seperti ditelikung oleh cahaya senja, kehilangan daya dan hanya bisa terpesona, oleh bayangan seorang perempuan te rindah yang timbul-tenggelam di balik cahaya senja ke emas -emasan. Senja ternyata juga punya sisi berkilauan selain ke remangan. Senja menyimpan kilau-kilau keemasan untuk ber bagai ke-pen tingan tertentu yang merupakan rahasia alam. Ada kalanya perempuan itu seperti bercadar di antara cahaya ber keredap tak jelas tertatap, di kala lain seperti tak bercadar meski semakin tak jelas tertatap karena kesilauan cahaya yang me ningkat begitu cepat meninggalkan kegelapan mendadak berku nang-kunang sebelum kembali meremang dalam kelam senja kemerah-me-rahan. Bercadar atau tak bercadarkah itu pe rem puan? Dalam remang hanya ada sosok perempuan yang seperti memeluk sebelum dipegang, tapi hanya bayangan ketika di rasakan, meski tetap terasa bibir mengecup kadang ganas kadang perlahan. Bagaimana mungkin aku bisa menegaskan wajahnya, jika aku berada dalam suasana impian? Kesilauan dan keremangan yang timbul-tenggelam seperti berusaha meng hancurkan kesiagaan dan kesadaran. Sudah pernah ku katakan, sebagai orang yang

42 43

selalu hidup mengembara, aku terbiasa hidup dalam ke terasing-an, tapi tidak pernah sampai membuat kesiagaanku terguncang. Aku tetap menjaga kesadaran dalam kesilauan dan keremangan yang timbul-tenggelam, namun tan pa kesiagaan cukup untuk menghayatinya tanpa kegalauan.

Kemudian perempuan itu bersuara, antara desah dan le-nguhan, dalam berbagai macam bahasa, karena aku meng e-nalnya, dan tentunya lebih banyak dari yang kukenal karena lebih banyak lagi kata yang tidak terpahamkan. Barangkali ia berkata tentang cinta, barangkali ia berucap tentang duka, tapi mungkin saja ia bergumam tentang luka. Aku tidak bisa men ce ritakannya dengan suatu kepastian karena mes kipun ba hasanya barangkali kukenal cara mengucapkannya seperti meng hin dari penegasan. Arti cinta, duka, dan luka, bisa dengan mudah saling bertukar makna. Ini membuatku semakin mel ayang-layang. Kata-kata yang tidak kukenal bagiku ke mudian hanya menjelma menjadi suara-suara. Mendengarkan suara-suara tak bermakna, antara desah dan lenguhan tertahan-tahan, di antara suara seruling meliuk-liuk yang masih saja terdengar entah dari mana, dalam kesilauan dan keremangan yang timbul-tenggelam, mem bawa aku kepada suatu kerisauan mencekam. Aku tidak bisa me-negaskan kelengkapan sebuah wajah, karena ingatan akan wajah yang berkelebat hanyalah suatu potongan. Kadang perem puan itu terlihat dari sisi kiri dalam kesilauan, di saat lain dari sisi kanan dalam keremangan, segalanya dalam kesesaatan, tiada yang memberi peluang kepastian.

Ternyata pengalaman tidak bisa menjadi ukuran. Aku telah mengalami tapi tidak bisa menceritakan. Bahkan aku tak mam-pu memastikan apakah yang terbayang di wajah perem puan itu suatu senyuman atau bentuk kesakitan, seperti menahan luka tak tersembuhkan. Aku masih bisa mengingat aroma parfum di kamar itu, basah bibirnya di leherku, tapi aku tidak pernah mampu mengingat wajah yang juga tidak pernah kulihat secara

utuh, meskipun aku kemudian merasa mengenal perempuan itu—bukan dalam wajah, bukan dalam nama, tapi dalam pe ristiwa yang aku sendiri mengalaminya. Seperti meraga suk ma ia menjadi bagian diriku untuk selamanya.

Cahaya keemasan yang menyilaukan itu kemudian me-mudar, meninggalkan keremangan senja dalam kamar yang sunyi. Senja memang tidak pernah berarti kegelapan, namun keremangan itu tetap saja membuat aku tidak bisa memastikan aku me lihat sebuah sosok atau bayangan sebuah sosok, seperti perempuan, antara bercadar dan tidak bercadar, antara ter-senyum dan tidak tersenyum, timbul-tenggelam dalam ca haya senja yang bergelombang seperti riak danau yang ber pendar. Pemandangan senja yang bening dalam ke ke lama nnya ter kadang tinggal nuansa jingga tanpa kita tahu berada di mana, kecuali ketika sebuah tangan yang lentik memegang tanganku, tapi yang dengan sangat sulit tak bisa kita lacak pemiliknya.

Di luar kamar kudengar suara seruling yang meliuk-liuk itu kini diiringi suara manusia yang juga meliuk-liuk seperti ber kejar-kejaran dengan suara seruling. Itulah suara manusia yang tam-paknya sudah tua, seperti berkisah tentang sesuatu yang sudah lama berlalu. Aku memejamkan mataku, tahu tak akan melihat apa-apa, meski masih merasakan usapan tangan di lengan. Aku rebah tak berusaha melihat apa-apa, terbawa oleh suara orang tua yang meski tak kukenal bahasanya membawaku ke sebuah dunia yang bisa kubayangkan. Suara orang tua itu membawaku ke tepi jalan di mana orang-orang berkerumun seperti menanti pawai. Ketika kemudian yang dinanti lewat kulihat barisan tentara dengan tombak dan perisai berkilat berjalan mengiringi sebuah tandu bertirai beludru yang ketika disingkap menampil-kan se orang perempuan. Ia melempar-lemparkan uang emas, dan orang-orang yang berdiri di pinggir jalan berebutan meng ambil uang itu. Sepanjang jalan tak henti-hentinya ia melempar uang emas dan sepanjang jalan itu pula orang-orang berebutan dengan hiruk-pikuk sehingga suasana menjadi riuh-rendah.

44 45

Ketika melewati tempatku berdiri kurasa perempuan itu selintas memandangku. Wajahnya ditutupi cadar tipis sehingga samar-samar terlihat bibirnya yang merah, matanya yang tak tertutupi menatap dengan tajam dan meski selintas tapi sangat mencekam. Sepanjang jalan ia tersenyum-senyum namun ketika menatapku serasa senyumnya sekejap menghilang. Busananya serba merah dengan renda-renda emas dan penutup rambutnya yang ikal mayang diikat oleh rantai zamrud, sementara leng an-nya putih dan terbuka dengan bulu-bulu halus tapi terlihat nyata berhiaskan gelang-gelang mutiara. Aku hanya men deng arkan suara nyanyian orang tua yang tak kukenal ba hasanya, pun bukan bahasa Negeri Senja yang sedikit demi sedikit mulai kukenal, tapi dengan itu aku bisa melihat sesuatu dengan jelas. Semenjak aku tiba di Negeri Senja mataku bekerja keras untuk melihat segala sesuatu dengan semangat pengamatan yang tinggi, tetapi tidak ada sesuatu pun yang bisa kuceritakan dengan penuh kepastian. Tandu dan barisan tentara itu meng hilang di balik gerbang perbentengan.

Aku tercekat. Itu seperti perbentengan Negeri Senja yang hanya kulihat reruntuhannya. Apakah orang tua itu bercerita tentang Negeri Senja? Kota yang kulihat berada dalam keadaan terang-benderang, dengan penampakan berbagai sudut kota yang seperti pernah kulihat. Adegan menyebar uang emas itu ber langsung di siang hari bolong, apakah Negeri Senja pernah mengalami masa-masa terang? Ketika kubuka mataku kembali aku ditelan keremangan.

“Diminum tehnya,” ujar sebuah suara dalam bahasa Negeri Senja.

Hmm. Baru sekarang dia bicara. Aku bangkit dari tempat tidur, pakaianku masih rapi, atau kembali rapi, aku tak tahu pasti. Senja sungguh bukan kegelapan, bahkan langit semburat keemas-emasan, namun senja selalu kelam karena senja bu kanlah senja tanpa kekelaman dan kesenduan. Kamar itu tak berlampu, jendela

terbuka, semesta senja merasuk ke dalam dengan garis-garis lurus cahaya yang melesat secepat kilat. Perempuan itu berada di bagian gelap dalam bayangan dinding di samping jendela, me-mang terlihat tapi tidak jelas, karena timbul-tenggelam di antara kegelapan dan cahaya.

Kuminum teh panas itu, manis sekali, seolah gulanya sete-ngah cangkir. Karena cangkirnya kecil, cepat sekali teh itu habis, tinggal daun yang memberikan semacam rasa pedas tertinggal di dalamnya. Kemudian sebuah teko terulur mengisi cangkir, dan sesosok tubuh yang meruapkan parfum beraroma melati men-dekat. Dalam kegelapan kulihat kilatan mata yang melesat lang-sung ke dalam jantungku. Wajahnya bercadar, dan karena cadar itu tipis senyumannya samar-samar membayang. Hatiku ber-kembang secara tersamar meski kurasa aku tidak terlalu menya-darinya. Seorang pengembara dalam sunyi sangat sering terkecoh perasaan sendiri, sehingga dengan perempuan mana pun aku bergaul, selalu kujaga jarakku dari suasana hati yang semu. Aliran teh dari teko yang mengisi cangkir mem biaskan cahaya senja dari jendela. Penuangan itu ber langsung sangat singkat, tapi suara kericik alirannya seperti akan tetap tertinggal dalam waktu yang lama.

Aku siap mengangkat cangkir, tapi tangan itu telah meng-ambilnya lebih dulu.

“Oh, ini untukku,” katanya. Ia mengangkat cangkir itu dan menghirupnya di balik cadar.

Ia berdiri menghadapiku dan menghadap jendela, se hingga pada cadar itu hanya samar-samar kulihat wajahnya karena tampak juga di sana pemandangan senjakala dengan langit yang semburat kemerah-merahan. Cahaya keemasan menyepuh tepian cadar itu bagaikan bingkai untuk sebuah lukisan, yang tersusun dari gambaran samar wajah seorang perempuan berbibir merah yang tersenyum dan bias pe man dangan senjakala.

46

Cadar itu berkilat dalam keremangan. Aku samar-samar mengenali wajahnya. Hanya samar-samar. Wajah yang hanya samar-samar itu terbayang ketika aku kembali melangkah di padang pasir meninggalkan rumah bordil itu kembali ke kota. Aku berjalan pelan menjejaki pasir yang berwarna ungu muda, ba ngunan-bangunan tanah liat di kota yang kutuju tampak keemas-emasan. Sekilas seperti sebuah kota yang bermandi cahaya meski kutahu hanya ada keremangan senja di sebaliknya. Sembari melangkah aku teringat Maneka, dan tentu juga kamu Alina—aku tak tahu apakah harus merasa bersalah kepada kalian berdua, atau membiarkan semuanya berlalu begitu saja, seperti waktu yang berlalu.

Namun di sebuah negeri di mana matahari tidak pernah terbenam, bagaimana caranya waktu berlalu? B a g i a n 2

7

Komplotan Pisau Belati

KOMPLOTAN Pisau Belati adalah suatu organisasi rahasia yang pernah memegang peran begitu penting dalam sejarah Negeri Senja. Pada zaman bahari, ketika anak-anak bangsa antarnegeri lebih sering saling memerangi karena berebut ke kuasaan, Kom-plotan Pisau Belati selalu diandalkan untuk melakukan pe-nyusupan ke wilayah musuh. Tugas mereka di mulai dengan pengintaian gerak pasukan lawan, sampai pen curian dokumen, sabotase persenjataan, penculikan sandera, dan kalau perlu pembunuhan para panglima. Lebih dari sekadar menyusup, dalam penyamaran mereka juga bertugas meng galang kekacauan di wilayah musuh, misalnya dengan menyebar desas-desus, merekayasa pemberontakan, atau meng adu domba kelompok-kelompok yang bersaing dan ber tikai. Intinya, tugas Komplotan Pisau Belati adalah me lemahkan kekuatan musuh, mengacaukan kewaspadaannya, mengalihkan perhatiannya, te rutama di wila-yah musuh itu sendiri selama berada dalam semesta Negeri Senja.

Tugas mereka adalah tugas di bawah tanah, artinya jika tertangkap, maka keterkaitan mereka dengan pemberi tugas tidak

50 51

akan diakui. Bahkan keberadaan Komplotan Pisau Belati secara resmi sebagai organisasi tidak pernah dinyatakan. Mes kipun begitu, secara turun-temurun organisasi ini terus-me nerus ada, selalu siap bekerja sesuai dengan keahlian tra disionalnya. Tidak per nah jelas siapa yang menjadi anggota Komplotan Pisau Belati, karena para anggotanya memegang kode etik kerahasiaan deng an teguh. Tidak diketahui dengan pasti bagaimana anggota direkrut, bagaimana guru mendapat murid, dan bagaimana murid mencari guru. Tidak bisa di pastikan juga bagaimana cara organisasi ini bekerja, apakah mempunyai markas, apakah mempunyai sistem komando, apa kah terdapat peringkat tugas sesuai dengan ke-pangkatan, dan bagaimanakah caranya suatu penghargaan di-berikan. Bahkan mereka juga tidak mungkin dihubungi secara langsung jika negara membutuhkan jasanya. Mereka hanya bisa dihubungi oleh orang-orang yang secara tradisional juga menjadi pe rantara. Adapun para perantara turun-temurun ini juga sudah disumpah untuk setia kepada kode etik kerahasiaan Komplotan Pisau Belati.

Ini berarti banyak cerita mengenai Komplotan Pisau Belati dan kita tidak pernah tahu mana yang lebih bisa dipercaya dari yang lain. Konon, demikianlah disebutkan, di Negeri Senja sekarang ini pun organisasi itu masih dimanfaatkan oleh si-apapun yang membutuhkan jasanya. Tak hanya negara, tapi juga perorangan, golongan-golongan tertentu, siapapun yang mampu membayarnya. Sehingga memang berlangsung suatu pe ru ba han, jika semula Komplotan Pisau Belati menjalankan tugas dengan azas kesetiaan kepada bangsa dan negara, sekarang organisasi itu menjalankan tugas dari siapapun yang mampu mem bayarnya, atau setidaknya sepaham dalam kepentingan sosial politiknya. Dengan perubahan ini, sekarang Komplotan Pisau Belati bisa dimanfaatkan untuk merongrong kekuasaan negara.

Komplotan Pisau Belati memang memanfaatkan pisau belati sebagai senjata andalan dalam penyusupan. Setiap ang gotanya

piawai dalam penggunaan pisau belati, sebagai alat serbaguna mulai dari pembongkaran peti-peti besi terkunci sampai pencabut nyawa dalam tugas-tugas penghancuran. Se tiap anggota dileng-kapi dengan duabelas pisau belati yang melingkar di pinggangnya, di balik busana mereka yang me nutup seluruh tubuh. Ke isti-mewaan para anggotanya adalah kemampuan melepaskan dua-belas pisau itu untuk melesat terbang ke arah duabelas korban pada duabelas jurusan dalam waktu bersamaan. Mereka melatih keahlian seperti itu dengan mata tertutup di sebuah tempat rahasia yang tak mungkin diketahui orang.

Senjata mereka yang lain adalah tali berkait untuk me rayapi tembok, bubuk mesiu dan bola peledak untuk mem bakar, meng-alihkan perhatian dan menghancurkan pintu gerbang; pipa untuk bernafas dalam air jika terpaksa bersembunyi dalam kejaran lawan; dan senjata rahasia berupa jarum beracun, kelereng, dan biji-biji besi yang digunakan ketika penyusupan tanpa suara dipergoki para penjaga malam, sehingga para penjaga yang malang itu harus dilumpuhkan dengan cara menotok jalan darah, melemaskan otot, atau dibunuh sekalian. Para anggota Kom plotan Pisau Belati bisa berlari di tembok yang tipis, merayap di langit-langit rumah seperti cicak, berayun ke sana-kemari seperti wanara, dan menyergap tanpa suara seperti macan kumbang. Ilmu beladiri mereka berbeda sama sekali dari yang sudah di kenal, karena selalu mengandaikan diri di tengah penyusupan dan keterkepungan. Busana yang mereka kenakan, apapun war na nya, selalu gelap, yang tergelap dari setiap warna, disesuaikan ke pen tingan tipu daya dalam penyusupan dan penyamaran. Di Negeri Senja yang selalu berada dalam keadaan senja, busana mere ka tersesuaikan untuk berbagai nuansa, mulai dari ungu muda, keemasan, sampai jingga kemerah-merahan. Apabila me reka terbang dan berkelebat dari pagar ke pagar, dari tembok ke tembok, dari genting ke genting, orang hanya akan melihat warna, semacam makhluk, dengan sedikit mungkin suara, dan bukan sosok manusia.

52 53

Dalam kehidupan sehari-hari para anggota Komplotan Pisau Belati tidak dikenal karena jenis pekerjaan mereka me mang menuntut untuk hidup dalam kerahasiaan. Organisasi itu bisa dibicarakan tetapi tidak pernah kelihatan. Menjadi anggota ber arti siap untuk tidak menjadi siapa-siapa di tengah masya-rakat, tidak terkenal dan tidak dikenal, tidak mengenal dan tidak berkenal. Di tengah orang banyak mereka adalah orang lain, bahkan di antara sesama anggota masing-masing hanya ter-hubungkan oleh kerja bersama, dan bukan persahabatan. Setiap anggota hanya mengenal dirinya sendiri, di tengah masyarakat maupun organisasi, sehingga mereka yang menjadi anggota memang dijamin akan hidup dalam kesunyian. Barangkali kehi-dupan tanpa keluarga adalah yang terbaik bagi mereka, namun dalam kenyataannya di tengah masyarakat setiap ang gota orga-nisasi adalah orang biasa. Berkeluarga adalah hal yang jamak, dengan tiga kemungkinan: (1) keluarganya tidak tahu sama sekali profesi mereka sebenarnya; (2) apabila kemudian anak seorang anggota komplotan mewarisi profesi ayahnya, maka seorang istri, seorang ibu, dan anggota keluarga lain, tidak akan mengetahuinya sama sekali; (3) seluruh keluarga adalah anggota Komplotan Pisau Belati, namun jika ini yang terjadi, mereka tidak akan pernah saling mengetahui tugas masing-masing, kecuali jika kebetulan dihubungkan oleh kerja bersama. Pada dasarnya setiap anggota tidak membicarakan tentang dirinya kepada siapapun.

Konon, dan memang hanya konon, kehidupan sehari-hari mereka serba bertolak belakang dengan tugas mereka yang penuh kerahasiaan. Alih-alih sangat mahir membunuh, dengan jarum beracun maupun pisau terbang, dalam kehidupan sehari-hari mungkin mereka hanyalah seorang pembuat roti, penjual tahu, juragan kerupuk, tukang minyak, atau pengrajin keramik. Konon, dan memang hanya konon, ada pula anggota Komplotan Pisau Belati yang pernah menjadi menteri, tentu tanpa seorang pun mengetahuinya. Lantas bisa dibayangkan sendiri bahwa bisa

saja seseorang yang dalam kehidupan sehari-hari adalah seorang guru, seorang pedagang, seorang akuntan, seorang tukang emas, atau penjual arum manis, ternyata adalah anggota organisasi rahasia tersebut. Konon, dan memang hanya konon, para anggota juga dibekali pil-pil beracun untuk membunuh diri sendiri, bukan hanya bila tertangkap ketika melakukan penyu supan, tapi bahkan hanya jika secara kebetulan diketahui iden titasnya. Pernah terjadi bahwa seorang istri menemukan sen jata-senjata rahasia yang disembunyikan di sebuah tempat rahasia di balik dinding, dan suaminya yang tentunya anggota Komplotan Pisau Belati lang-sung menelan pil beracun dan tewas saat itu juga, karena belum tega membunuh istrinya sendiri. Dengan cara ini mata rantai jaringan Komplotan Pisau Belati tidak mudah dilacak, karena jika dilakukan risikonya juga tidak kecil.

Dikisahkan bahwa seseorang yang mencurigai tetangganya sebagai anggota Komplotan Pisau Belati telah mengikuti te-tangganya tersebut dari lorong ke lorong menembus ke kelaman senja dengan penasaran. Demikianlah diceritakan bahwa te-tangga yang merasa diikuti itu telah berusaha keras meng hindar dengan berkelebat ke balik cahaya keemasan na mun tetap diikuti ke balik cahaya keemasan; tetangga yang merasa diikuti itu lantas melesat ke balik cahaya yang kemerah-merahan, namun orang yang curiga dan penasaran itu mengikutinya pula ke balik cahaya yang kemerah-merahan, langsung menuju ke arahnya. Dari kekelaman ke kekelaman, dari keremangan ke keremangan, dari bayangan ke bayangan kedua bayang-bayang itu saling ber kejaran, sampai sang pengejar terhenti di tengah sebuah la-pangan. Dari balik pilar-pilar bangunan kuno yang sudah runtuh muncul orang-orang berjubah dan berkerudung yang wajahnya timbul-tenggelam.

Konon, dan memang hanya konon, sang pengejar itu ter-henyak karena ternyata setiap wajah itu dikenalnya. Para anggota organisasi rahasia itu adalah orang-orang yang setiap hari berada

54 55

di sekitarnya. Ia terkesiap dan ternganga—tapi sudah terlambat. Orang-orang itu membuka jubahnya dan tampak jelas deretan duabelas pisau belati di pinggang mereka masing-masing. Mereka semua tidak bicara, hanya meng ge rakkan tangan secara ber-samaan, dan melesatlah pisau-pisau belati dari enam jurusan ke satu tujuan. Nasib orang itu sungguh malang. Ia segera menjadi mayat dengan enam pisau menancap di tubuhnya, ambruk di antara puing-puing bangunan tua. Segera tertutup pasir yang terus-menerus beredar diterbangkan angin. Orang-orang yang muncul dari balik pilar itu tidak saling berbicara. Mereka hanya melangkah bersamaan setelah meng enakan jubahnya kembali menuju ke mayat itu, mencabut pisau belatinya masing-masing. Mereka menyeka darah pada belati dengan pakaian orang yang mati itu, yang wajahnya sendiri juga masih tertutup bayang-bayang kerudung. Kemudian orang yang diikuti datang dari belakang. Apakah ia juga harus menelan pil karena penya-marannya nyaris terbuka? Ataukah masalah itu ditutup karena penghapusan kecurigaan telah dilakukan?

Tidak ada yang mengetahui dengan persis peraturan dalam organisasi yang diselimuti rahasia itu. Namun diketahui bahwa keanggotaan kaum perempuan bukanlah tabu. Memang bisa dibayangkan bahwa seorang perempuan akan sangat berguna dalam tugas-tugas penyamaran, bahkan mereka bisa men jangkau kedalaman dalam penyusupan yang akan sangat terlalu sulit jika ditugaskan kepada lelaki. Jika penyusup lelaki harus me lum-puhkan penjaga dan membongkar genting untuk me masuki se-buah ruangan, maka penyusup perempuan bisa me nyamar seba-gai pelayan, dayang, wanita penghibur, atau kekasih para pejabat penting di jantung pusat pemerintahan lawan, untuk melakukan tugas-tugas pengintaian mereka dengan lebih leluasa. Bahwa para anggota perempuan memperlakukan tu buhnya juga sebagai alat penyamaran, misalnya dengan mem berikan permai n an cinta yang menggairahkan di ranjang lawan, sudah tidak lagi menjadi

pertanyaan. Konon, dan memang hanya konon, seorang anggota perempuan pernah menarik hati panglima lawan, se hingga di-ambil sebagai selir, dan setiap malam bisa membong kar rahasia pertahanan lawan, sebelum akhirnya me nikam panglima perang itu di ranjangnya sendiri. Tapi ini tentu cerita dari masa ketika Negeri Senja masih mempunyai musuh ber sama di masa lalu, di masa kini Kom plotan Pisau Belati seolah-olah hanya di manfaat-kan oleh ber bagai macam golongan di dalam negeri.

Namun tidak berarti perempuan dalam Komplotan Pisau Belati hanya diandalkan keperempuanannya. Kaum perempuan anggota organisasi rahasia ini tidak jarang mengalahkan kaum lelaki dalam kecekatan memainkan senjata, dan tak jarang men-duduki peringkat teratas dalam laporan penilaian prestasi kerja. Bahkan ada satu masa dalam sepuluh tahun organisasi rahasia ini dipimpin seorang perempuan, yang menunjukkan bahwa bukan tubuh dan kemampuan membunuh saja menjadi ukuran, me-lainkan juga otak dan wibawa dalam kepemimpinan.

Itulah sedikit catatanku tentang Komplotan Pisau Belati, yang kudengar sedikit demi sedikit secara terpisah-pisah di kedai, di pasar, dan di mana saja orang sedikit-sedikit berbicara. Aku tidak bisa memisahkan mana yang boleh dipercaya sebagai kenyataan dan mana yang lebih baik dianggap berlebihan. Di Negeri Senja memang tidak mudah untuk melihat sesuatu dengan tegas, segalanya serba tersamar di balik kelam senja yang masih selalu membuat perasaan menjadi rawan.

57

8

Usaha Pembunuhan Tirana

BERSAMA orang banyak yang melangkah berduyun-du yun, aku mengikuti arus manusia yang mengalir dari berbagai lorong menuju ke jalan utama. Tembok-tembok dan jendela rumah-rumah bertingkat, bahkan atap genting, juga sudah penuh dengan manusia. Orang-orang muncul dari rumah-rumah, dari lorong-lorong, dari luar kota, tumpah-ruah ke jalan utama mencari tempat kosong dan menunggu, namun seolah-olah tiada tempat kosong lagi ke mana pun aku melangkah dan menuju. Orang banyak membentuk arus yang mengalir, sen dirian maupun be-rombongan, dengan anak-anak kecil yang digandeng maupun digendong. Arus manusia mengalir tanpa suara, dalam cahaya kelam senja, melangkah di atas pasir dengan busana yang juga serba kelam, kusam, bagaikan suasana perkabungan yang sung-guh-sungguh muram.

Orang-orang berdiri dan menunggu di tepi jalan, berderet-deret memanjang dari istana sampai ke luar kota. Tidak jelas sebenarnya Tirana, penguasa Negeri Senja, datang dari mana dan menuju entah ke mana. Aku juga tidak mengerti sama sekali adat

istiadat atau kebiasaan di Negeri Senja, yang merasa harus berada di tepi jalan dan menyaksikan apabila Tirana Sang Penguasa keluar dari istana dan lewat. Aku juga tidak mengerti bagaimana akan lewatnya Tirana Sang Penguasa itu sampai ke telinga banyak orang yang pada dasarnya sangat jarang ber bicara satu sama lain itu. Bahkan di pasar, tempat paling ramai di Negeri Senja, orang-orang saling menawar nyaris seperti berbisik-bisik dengan sangat perlahan. Pengalamanku melihat orang terbunuh di kedai waktu itu, kurasa adalah satu dari sedikit peristiwa di mana aku bisa mendengar suara-suara keras, bukan hanya karena yang ber-langsung adalah suatu per teng karan, tapi mungkin juga karena arak.

Adalah pemilik penginapan yang berkata kepadaku.“Kalau ingin melihat Tirana Sang Penguasa, ikutilah orang-

orang itu,” katanya.Kulihat di luar pintu memang banyak orang berduyun-

duyun, seperti mau pergi ke pasar malam, tapi wajah mereka yang selintas dan sepintas terlihat dalam cahaya senja sama sekali tidak riang.

“Kalau tidak riang, kenapa pergi keluar ruangan,” pikirku.Jalanan Negeri Senja yang biasanya lengang kini penuh

dengan orang-orang yang keluar dari rumahnya masing-masing, menyusuri lorong-lorong, sampai akhirnya tiba di tepi jalan. Sepanjang jalan kuperhatikan mereka juga hanya diam, anak-anak yang dipanggul di pundak memang bermain-main dengan kerudung bapaknya, tapi juga tidak tampak tertawa-tawa, se perti tertawa bukan sesuatu yang suka mereka lakukan dengan rasa senang. Di jalan utama mereka menunggu tanpa suara, seperti tidak ada lagi yang perlu dibicarakan.

Tidak terlalu jelas juga sebetulnya bagi mereka, Tirana akan keluar dari istana atau datang menuju ke istana. Di antara berbagai bisikan, dengan bahasa Negeri Senja terbatas yang kupahami, kudengar Tirana akan menuju ke Kuil Matahari, menemui Guru

58 59

Besar yang sudah 50 tahun tak ditemuinya. Aku tercenung, bukankah Kuil Matahari adalah tempat orang-orang menunggu Penunggang Kuda dari Selatan yang diharapkan men jadi juru selamat dan membereskan persoalan? Istana Tirana adalah pusat kuasa pemerintahan, namun Kuil Matahari adalah pusat kuasa keagamaan—jika Tirana sudah 50 tahun tidak menyambangi Kuil Matahari, tentu antara dua lembaga penjaga keseimbangan ini telah terjadi suatu ketegangan. Di negeri di mana orang jarang berbicara, dan sekali berbicara tidak mudah kutangkap maknanya pula, apakah yang bisa kuketahui di balik pemandangan?

Orang-orang masih mengalir. Ke mana pun aku menoleh kulihat sosok-sosok berdatangan dengan kepala tertunduk. Apa-kah kiranya yang membuat mereka datang? Dalam ke remangan senja masih juga sulit kubaca pancaran yang terdapat pada wajah. Bukan hanya karena bayang-bayang kerudung maupun tembok-tembok kota menutupinya, tapi juga karena wajah-wajah itu tak pernah tampil secara utuh dalam ke remangan. Di antara wajah-wajah yang lewat selintas pintas itu terkadang kulihat juga mata yang menatap tajam, sehingga memberi akibat rasa tidak enak di dada—namun itu pun segera lenyap di antara kerumunan. Siapakah mereka yang masih menatap dengan tajam di Negeri Senja yang muram? Aku sungguh-sungguh merasakan suatu ketegangan, semacam fi rasat, tapi tidak terlalu jelas, karena suasana ini bagiku sama sekali baru. Ke mana orang sebanyak ini dalam kehidupan sehari-hari? Jika mereka berdiam dalam ru mah, apa yang mereka kerjakan di dalam rumah selama ini? Rumah mereka itu selalu remang-remang tapi jika mereka keluar rumah ke mana pun hanya menemui keremangan. Aku masih berada di Negeri Senja karena merasa tidak ada yang lebih indah dari keabadian senja gemilang yang langitnya semburat kemerah-merahan, namun bagi orang-orang Negeri Senja keindahan itu tidak ada artinya. Keindahan tidak bermakna apapun bagi kehi-dupan mereka. Kehidupan seperti apa?

Pertanyaan itulah, antara lain, yang membuat aku terseret arus sampai ke tempat ini. Aku berdiri di bawah menara yang juga sudah penuh manusia. Bersama semua orang menanti sesuatu yang aku sendiri belum tahu. Apakah keuntungannya menyaksi-kan Tirana Sang Penguasa lewat? Orang-orang masih juga meng-alir, begitu perlahan seperti betul-betul enggan tapi tetap juga berjalan. Pelan-pelan, perlahan-lahan, sebagai siluet hitam dalam keremangan. Tembok-tembok dan dinding-dinding tanah liat membiaskan cahaya keemasan, menyiratkan suasana yang sudah lama kuakrabi sebagai kesenduan.

Sampai kemudian terdengar suatu gumam, yang mengalir sampai ke tempatku berdiri. Aku menengok ke arah asal gumam itu, yang tiba-tiba saja menjadi senyap seperti gelombang lautan yang datang mengempas, dan lantas sepi sejenak, sebelum datang bergulung kembali. Namun kesenyapan ini mengakhiri semuanya—di sana terlihat suatu barisan yang membawa tandu. Di bagian depan barisan tampaklah para rahib, setidak-tidaknya aku me ngira mereka adalah para rahib dengan untaian tasbih di leher-nya. Rahib berjumlah sekitar duapuluh orang, berjalan di muka tandu dengan telapak tangan saling menangkup dan mulutnya komat-kamit seperti membaca mantra. Sebenarnya memang hanya mulut itulah yang bisa dilihat orang dalam keremangan. Tandu itu dibawa oleh delapan budak belian yang tegap, dan tandu itu hanya setengah terbuka, terlihat samar-samar di dalam-nya Tirana, Perempuan Penguasa Negeri Senja yang berbusana serba hitam menutupi seluruh tubuhnya. Di belakang tandu berbaris sekitar duapuluh anggota pasukan berkuda, dengan busana siap tempur. Di samping kiri-kanan barisan itu terdapat lagi empat pengawal berkuda yang juga siap tempur. Mereka berbaju kulit dan rantai tipis yang tak mungkin ditebas senjata tajam, lingkaran pisau berderet di pinggang dan di punggung masing-masing terdapat sebilah pedang panjang. Mereka adalah pasukan pengawal istana yang terdiri dari para prajurit pilihan.

60 61

Kepala mereka terlindungi kerudung rantai yang ringan tapi juga tak mempan tebasan. Barangsiapa hendak membunuh mereka niscaya sulit mencari kelemahan dari busana siap tempur ini. Di depan dan di ekor barisan, masing-masing terdapat mereka yang disebut Pengawal Kembar. Keduanya adalah peng awal pribadi Tirana yang setia. Tidak seperti yang lain, busana mereka hanya-lah sebatas pinggang ke bawah, dan tidak seperti busana tempur, bahkan sepintas tampak seperti gaun, meski memang tampak tidak menghalangi gerak jika bertarung. Sepatu mereka, berbeda dengan yang lain, hanya terbuat dari kain, dengan lapisan kulit di telapaknya. Di punggung dan dadanya terdapat rajah kala-jengking. Mereka tidak mengenakan ke rudung tetapi wajahnya ditutupi topeng putih yang eks presinya sangat dingin. Rambut mereka panjang, lurus, dan halus seperti perempuan, jatuh dengan lembut sampai ke bahunya.

Di antara pilar-pilar cahaya senja barisan itu berjalan ber-kelok-kelok sampai tiba di dekat menara. Barisan penguasa itu tidak dielu-elukan tapi orang-orang Negeri Senja tidak berani bersuara. Suasana sepi dan senyap. Orang-orang seperti men coba melihat ke dalam tandu secara diam-diam, tapi mereka hanya samar-samar melihat sebuah sosok yang diliputi kain hitam. Di dekat menara aku berdiri di tempat yang tinggi, dan seperti semua orang juga diam-diam mencoba melihat ke dalam kerudung, tapi aku hanya melihat kegelapan, seolah-olah di balik kerudung itu hanya ada kekosongan. Barisan itu melangkah dengan bunyi tapak yang terdengar jelas, karena khalayak seperti menahan nafas.

Pengawal Kembar yang bertopeng itu meski sulit ditebak gerak tubuhnya tampak waspada, dan itu memang dibuktikan, ketika nyaris tanpa suara seberkas jarum-jarum rahasia melesat ke arah tandu. Pengawal Kembar pertama melayang bersalto ke belakang dengan ringan seperti burung langsung ke depan tandu dan dengan sebatnya menangkap seluruh jarum-jarum beracun itu dengan tangan kosong.

Ia berdiri pada pegangan tandu yang di depan.“Tutup tirainya Puanku,” ujarnya, sembari melempar kem-

bali jarum itu ke arah sebaliknya, sambil berseru.“Terima kembali jarummu!”Jarum itu melesat sangat cepat, tapi di bawah cahaya senja

yang keemasan membias juga cahaya itu sekejap, sehingga ter-lihat keredap secepat kilat. Namun sementara jarum-jarum itu meluncur kembali ke arah pemiliknya, dari berbagai penjuru telah melesat berbagai senjata ke arah tandu Tirana. Pengawal Kembar yang di belakang kini melompat ringan ke arah tandu, untuk menangkap dan mengembalikan semua senjata itu. Ja rum-jarum, piauw, dan pisau terbang berkeredapan datang dan pergi dalam sekejap.

“Pembunuh! Keluarlah!”Senjata-senjata yang dikembalikan dengan segera telah

meluncur kembali ke arah para pengawal yang tidak mampu menahannya. Duapuluhempat pengawal jatuh seketika dengan senjata di titik lemah tubuhnya yang terlindung itu. Mereka jatuh dari kuda dengan piauw menancap pada dahi, jarum beracun menembus mata, dan pisau terbang menembus le hernya.

“Komplotan Pisau Belati….” Kudengar orang-orang ber desis.Tapi mereka gagal membunuh Tirana. Suasana riuh-ren dah.

Kuda-kuda yang kehilangan penunggangnya meringkik, dan salah satu Pengawal Kembar itu terbang ke arah menara. Tak seorang pun ia temukan di sana.

“Mereka sudah hilang!” Ia berseru dari atas menara, dan mengawasi keadaan di sekitarnya. Tiba-tiba ia berteriak dan melesat kembali ke bawah.

Duapuluh rahib yang sebelumnya tampak hanya bisa ber-komat-kamit telah melayang mendekati tandu. Hanya ada satu Pengawal Kembar di sana, dan ini berarti Tirana dalam keadaan bahaya.

Pengawal Kembar di bawah bergerak secepat kilat me lawan

62 63

pengepungan yang sangat efisien. Dengan seketika telah dilum-puhkannya lima rahib yang segera terkapar dengan mulut me-muntahkan darah. Lima rahib lain lolos dan melayang serentak ke dalam tandu yang tertutup. Aku terkesiap. Tak seorang pun melindungi Tirana.

Tapi lima rahib yang busananya telah diisi Komplotan Pisau Belati itu nyaris bertumbukan sendiri, karena delapan budak belian yang memanggul tandu itu rupanya juga tidak diam saja. Mereka serentak merendah, dengan satu kaki ber lutut, sehingga senjata-senjata yang terlanjur dilepaskan bahkan saling me-nancap di tubuh para anggota Komplotan Pisau Belati sendiri. Ketika Pengawal Kembar yang melayang dari atas menara itu tiba, suasana sudah sepi, karena sisa sepuluh rahib itu menghilang di antara kerumunan. Tinggal busana mereka tergeletak di pinggir jalan. Organisasi rahasia itu tidak mungkin dilacak di antara khalayak.

Semua ini berlangsung dalam sekejap. Kedua Pengawal Kembar itu berdiri dengan sikap waspada, masing-masing mem-belakangi tandu. Mayat-mayat bergeletakan di sekitarnya.

“Bubar kalian! Minggir!” Maka rahayat mengundurkan dirinya dengan patuh. Ma-

nusia yang begitu banyak dengan serentak seperti disedot lorong-lorong di sekitarnya, kembali masuk ke dalam rumahnya masing-masing. Aku ingin sekali tetap tinggal di tempatku. Tapi apa yang harus kulakukan jika berhadapan dengan Pengawal Kembar yang perkasa itu? Aku tidak siap berurusan dengan sesuatu yang sama sekali tidak kukenal. Aku ikut mengundurkan diri. Tidak bisa menceritakan kejadian selanjutnya.

Aku hanya teringat, sebagai orang terakhir yang meng hilang ke balik lorong, tirai tandu itu tersibak, dan dalam keremangan senja kulihat sosok hitam Tirana, dengan busana berjubah yang begitu tertutup, keluar dari tandu, dan Pengawal Kembar itu

berlutut di hadapannya. Mereka hanya tampak sebagai bayangan hitam, di bawah cahaya kemerah-merahan yang berdenyar mem-bakar langit.

65

9

Tirana, Perempuan Penguasa

yang Buta

NAIKNYA Tirana ke puncak kekuasaan diselaputi misteri. Tidak seorang pun saksi hidup yang bisa berkisah tentang bagaimana perempuan itu bisa berkuasa. Ketika mereka di lahirkan, Tirana sudah menjadi penguasa Negeri Senja, dan di negeri itu catatan sejarah yang bisa dibaca tidak ada sama sekali. Para penguasa negeri itu mempunyai kebiasaan menghapus peranan penguasa sebelumnya, dengan cara menghapus jejak-jejak sejarahnya, sehingga tidak seorang pun bisa membaca catatan sejarah negeri itu. Setiap penguasa baru boleh dipastikan mengganti semua catatan sejarah yang dihapus itu, dengan catatan sejarah baru yang bisa sangat bertentangan, sehingga setelah ratusan tahun kejelasan sejarah Negeri Senja sudah semakin sulit dilacak. Bukan hanya karena catatan dan bukti-bukti sejarah lama telah musnah, namun karena sejarah lisan turun-temurun dari mulut ke mulut telah semakin meng acau kannya. Pada saat Tirana naik tahta, ia juga meng hapus jejak para pendahulunya—namun ia sendiri tidak memerintahkan untuk menulis apapun. Ia mem biarkan sejarah dan masa lalu gelap, seperti dunianya yang juga gelap.

Tirana adalah seorang perempuan buta. “Kalau aku bisa hidup dalam kegelapan, maka semua orang

juga harus bisa,” katanya, melalui seorang juru bicara, karena Tirana tidak pernah bicara secara langsung kepada siapapun kecuali kepada para Pengawal Kembar. Adapun Pengawal Kem-bar ini memang tidak hanya terdiri dari dua orang, me lainkan diperkirakan seratus orang yang semuanya serupa. Juru Bicara Istana juga diambil dari salah satu Pengawal Kembar dan tidak seorang pun akan tahu apakah selalu merupakan orang yang sama atau berganti-ganti.

Maka bagi Tirana tidak diperlukan sejarah. Ia seperti tiba-tiba saja sudah berada di dalam istana. Orang hanya tahu betapa ia sangat ditakuti. Istana merupakan pusat pemerintahan mau-pun kediaman Tirana dan istana itu disebut Istana Pasir. Seperti semua bangunan di Negeri Senja, istana itu juga terbuat dari tanah liat dan dasarnya hanyalah pasir. Di Negeri Senja memang tidak ada bangunan baru, semuanya sudah berusia lebih dari 500 tahun, bangunan-bangunan itu tidak pernah berubah dan juga tidak pernah bertambah, karena jumlah penduduk memang tidak pernah bertambah melainkan berkurang. Orang-orang Negeri Senja seolah-olah dan memang demikianlah adanya berpendapat tidak perlu mempunyai keturunan yang akan hidup di negeri itu. Para penduduk semakin banyak yang tidak mem bentuk keluarga, sehingga lambat-laun jumlah penduduk men jadi berkurang.

Istana Pasir sejauh bisa kulihat dikelilingi tembok yang sangat tinggi, sehingga dari bukit yang tertinggi di luar kota maupun dari atas menara tetap tidak ada yang bisa dilihat. Konon, dan memang hanya konon, apa yang disebut Istana Pasir itu sama sekali tidak bertaburkan kemewahan, dan bang unan-nya lebih mirip kubu pertahanan daripada sebuah istana. Istana Pasir, demikianlah cerita yang beredar, adalah sebuah labirin lorong-lorong gelap yang tidak berujung dan tidak berpangkal, dengan suatu jalan tembus di bawah tanah ke luar istana yang

66 67

tidak pernah diketahui tempatnya. Ada sebuah bangsal dengan tiang-tiang besar di mana para menteri bertemu pada saat-saat tertentu. Para Pengawal Kembar telah mengatur agar ke mun culan dan kepergian Tirana tak pernah diketahui. Ketika para menteri tiba Tirana sudah berada di sana dan ketika para menteri pergi Tirana masih berada di sana.

Dunia Tirana adalah dunia kegelapan, namun tidak ada yang gelap bagi Tirana karena ia sendiri buta. Dalam ke butaannya ia mengenal segalanya dengan baik menembus se mua kegelapan, sehingga meskipun dunianya gelap tidak ada yang lebih jelas bagi Tirana selain segala sesuatu di balik kegelapan itu. Ini men jadikannya penguasa yang jauh lebih mengerikan dari yang pernah ada, karena Tirana tidak meng izinkan satu suara pun menentangnya, dan meskipun suara menentang itu seperti bisik-an, ia selalu bisa mendengarnya, dan dengan mudah segera membungkamnya. Itulah yang selalu disebutkan orang: telinga-nya seolah bermata. Namun jika mata mudah dikelabui oleh kegelapan, maka kegelapan yang mana pun hanya mempertajam pendengarannya.

Tidak ada yang tahu apakah dia buta sejak lahir ataukah pernah mempunyai kemampuan melihat. Tirana tidak mem-perkenankan segala sesuatu tentang dirinya diketahui oleh siapa-pun. Tidak pernah diketahui apakah ada yang pernah mendengar suaranya. Juru Bicara memang dianggap me nyam paikan apa yang dipikirkan Tirana, namun tidak pernah jelas bagaimana pikiran itu disampaikan. Jika Tirana tidak berkenan suaranya didengar oleh siapapun, mengapa pula Juru Bicara harus men-dengar suaranya? Tidak ada sesuatu yang bisa di pastikan dari Tirana selain busananya yang hitam legam dan menutup seluruh tubuhnya, bahkan wajahnya pun tanpa harus menutupinya tidak pernah kelihatan. Konon, dan memang hanya konon, tiada seorang pun pernah melihat wajahnya. Seperti juga yang pernah kulihat, di balik kerudung hitam itu hanya terdapat kegelapan

yang kosong. Tidak suaranya, tidak wajahnya, tidak pula riwayat hidupnya—namun betapa besar kekuasaannya.

Ia hanya dikenal dengan namanya, yakni Tirana. Tidak seorang pun yakin apa yang bisa dipastikan dari nama itu—nama itu bisa saja bukan namanya, dan namanya sendiri entah siapa karena memang tidak ada yang tahu riwayatnya. Siapakah orang-tuanya, dari suku apakah ia, bersaudarakah dia, ber suamikah dia, beranakkah dia—tidak ada suatu cara untuk mengetahuinya. Bahkan penerimaan bahwa ia seorang pe rempuan juga tidak pernah dilandasi suatu pengetahuan yang meyakinkan—di balik tumpukan kain hitam legam itu bisa terdapat sosok siapapun, entah itu lelaki atau perempuan. Entah bagaimana caranya seperti sudah disepakati bahwa Tirana adalah seorang perem puan. Aku juga tidak mengerti, bagaimana seseorang yang tidak pernah terdengar suaranya, tidak pernah terlihat wajahnya, bahkan disebut-sebut sebagai buta, mampu bertahta di kursi kekuasaan sebuah negeri yang begitu sulit dipahami.

Tirana juga dikatakan mampu membaca pikiran, dan inilah yang membuat siapapun yang berusaha melawan dan meng-gulingkannya harus mengembangkan suatu cara meng galang kekuatan dengan cara yang bisa mengecoh ke mampuan itu—sekarang aku mengerti, mengapa orang-orang Negeri Senja sa-ngat jarang bicara. Jika pikiran pun bisa dibaca Tirana dari dalam istananya yang penuh rahasia, suatu perlawanan ter hadapnya tidak bisa mengandalkan kata-kata. Ibarat kata pi kiran yang tersusun harus dihapuskan dari dalam kepala, digantikan oleh kesamaan semangat, niat, dan kata hati, dan ini tentu saja rumit sekali, karena sangat sulitlah manusia meng hindar dari kecen-derungan untuk berpikir. Tentu saja hal ini juga simpang-siur, karena bagaimana caranya orang tahu bahwa Tirana mampu membaca pikiran? Namun hal ini sudah cukup menjadi alasan untuk melakukan apapun yang dikehendaki pemegang kekuasaan.

68 69

Pada awal masa kekuasaannya Tirana melakukan pem-bersihan besar-besaran. Lawan-lawan politiknya dari semua golongan disapu bersih, nyaris tanpa sisa. Atas nama ke mampuan membaca pikiran, siapapun bisa ditangkap, di tahan, dan di-hukum mati dalam keadaan apapun. Para Peng awal Kembar menggerebek rapat-rapat dan diskusi, per temuan lebih dari lima orang sudah dianggap sebagai per sekongkolan untuk melakukan pengkhianatan. Tidak ada hukum yang bisa di pegang. Orang-orang yang sedang berjalan di luar rumah dengan mudah di-angkut dengan tuduhan memikirkan perlawanan. Ada sebuah alun-alun di depan istana tempat penggantungan biasa dilak sa-nakan. Ada suatu masa di mana setiap hari bisa lima puluh orang digantung begitu saja oleh para Pengawal Kembar, sambil me-wajib kan agar orang banyak termasuk anak-anak menyaksikan. Aku menyimpulkan sendiri dari keterangan yang bisa kukum-pulkan sepotong demi sepotong, bahwa orang-orang Negeri Senja berjuang keras untuk tidak mempunyai pikiran. Sebetulnya sangat sulit untuk membendung pikiran, tapi Tirana telah me-maksa orang-orang Negeri Senja bahkan untuk meng hapus pi-kirannya sendiri—seandainya berpikir pun me reka menghindar untuk berpikir tentang negara dan ke kuasaan.

Namun tidak ada kekuasaan tanpa kelemahan. Konon, dan memang hanya konon, Tirana mampu membaca pikiran siapa pun hanya selama terdapat cahaya. Tirana membaca pi kiran melalui cahaya, dan di Negeri Senja artinya Tirana membaca pikiran melalui cahaya senja. Maka siapapun yang ingin mem per tahan-kan kebebasan pikirannya dan tidak bisa meng hindar dari kecen-derungan untuk berpikir melawan pe nindasan harus menghindari cahaya, dan begitulah per lawanan untuk tetap berpikir bebas diberlangsungkan. Itu kah sebabnya kadang ku lihat orang-orang Negeri Senja selalu berjalan di bawah bayang-bayang kegelapan? Apabila setiap kali terkena cahaya suatu pikiran dianggap bisa terbaca oleh Tirana, hidup dan berpikir dalam kegelapan adalah

suatu cara menghindarkan diri dari pembacaan pikiran. Se-andainya semua perkiraanku ini tidak terlalu keliru, karena semua hal di Negeri Senja tidak bisa dipastikan, aku bisa meng-anggap diriku mengerti kenapa orang-orang Negeri Senja selalu memilih kegelapan dan seperti tidak tertarik sama sekali dengan cahaya senja yang keemas-emasan.

Aku menghela nafas, kusaksikan matahari yang separuh terbenam, seperti piringan raksasa yang membara kemerah-merahan. Orang-orang Negeri Senja seperti sudah melatih dirinya untuk tidak berpikir di bawah cahaya, dan hanya mengem bangkan pikirannya dalam kegelapan, karena bahkan cahaya yang remang-remang yang hanya membuat pe man dangan tampak samar-samar sudah cukup terang bagi Tirana yang buta untuk membaca pikiran. Mungkinkah kerudung yang membuat wajah orang tidak kelihatan itu dimaksudkan untuk melindungi pikiran? Aku merasa takjub atas usaha perlawanan tak kunjung padam, yang tidak pernah berhenti dilakukan untuk melawan penin dasan.

Sebetulnya tidak pernah terpahamkan, atas nama apa Tirana melakukan penindasan. Negeri Senja adalah negeri miskin, se-hing ga nafsu akan kekayaan tidaklah dimungkinkan, dan se-panjang masa kekuasaannya yang sudah mencapai dua ratus tahun sampai ketika aku datang, tidak ada suatu pe rubahan yang bisa dilakukan. Kepuasan apakah yang di dapatkan Tirana di Negeri Senja untuk mengangkangi ke bebasan? Tidak seorang pun mengerti dan tidak seorang pun bisa menjelaskan. Dari tahun ke tahun orang-orang Negeri Senja hidup tanpa kebebasan di mana hidup hanya berarti melanjutkan hidup, tapi dari tahun ke tahun semangat perlawanan tetap dipertahankan, dari kegelapan ke kegelapan.

“Jika anak-anak tidak diberi pelajaran, mereka akan meng-ira kehidupan tertindas adalah suatu kewajaran,” ujar pemilik peng inapan kepadaku, berbisik-bisik sangat perlahan, dalam ke-gelapan.

70

Bisik-bisik seperti ini, meskipun dalam kegelapan, se be-tulnya bisa didengar oleh Tirana; yang tidak terbaca dan ter-dengar dalam kegelapan adalah pikiran. Tetapi karena aku di negeri ini adalah orang asing yang baru tiba, aku belum tahu caranya memahami pikiran tanpa melalui bahasa dalam ke-gelapan. Aku tak tahu kenapa pemilik penginapan itu meng ambil risiko kematian—mungkinkah karena kegeraman yang tidak tertahankan?

Keremangan senja menjadi suatu permainan, bagaimana mengelabui penguasa yang membaca pikiran melalui cahaya, dan bagaimana kegelapan akan menyembunyikan pikiran itu. Di antara bayang-bayang dan cahaya, pembungkaman di ber lang-sungkan; di antara bayang-bayang dan cahaya, per lawanan di-kobarkan dalam diam. Tirana bukan tak sering mengalami usaha pembunuhan, bahkan seluruh hidupnya adalah rangkaian usaha meloloskan diri dari pembunuhan—namun kebebasan pikiran adalah satu-satunya hal yang ia takutkan. Sejarah kekuasaan Tirana adalah usaha menindas kebebasan pikiran itu, karena dengan pikiran kita bisa menolak kekuasaan.

Angin gurun yang berpasir menderu di luar kedai. Ku habis-kan kopiku, kurapatkan kerudung menutupi kepala, lantas keluar, menyeberang jalan pulang ke penginapan, sambil meng o songkan pikiran. Debu-debu halus membiaskan cahaya senja, antara keredupan dan kecemerlangan tertahan.

10

Kaum Cendekiawan dalam Kegelapan

TIRANA menghendaki Negeri Senja hidup dalam ke gelapan, tanpa masa lalu dan tanpa masa depan, tanpa sejarah dan tanpa pengetahuan; namun dari kegelapan jua perlawanan tumbuh di bawah payung kekuasaannya yang muram. Makin lama aku tinggal di Negeri Senja, makin aku sadari bahwa Negeri Senja memang negeri ajaib, bukan hanya karena matahari senja tidak pernah terbenam, terkatung-katung di cakrawala begitu lama dan terus-menerus mendesak turun dalam kesia-siaan, namun juga karena di sini aku mengenal bagaimana orang me nyam-paikan pikiran tanpa bahasa. Bagaimanakah suatu bahasa bisa di jabarkan tanpa sarana lisan maupun tulisan? Barangkali suatu gagasan memang membentuk suatu susunan terbahasakan da lam pikiran, namun selama pikiran itu tidak terucapkan atau tidak tertuliskan, bagaimanakah akan bisa diterima tanpa suatu bahasa yang menyampaikan gagasan? Namun orang-orang Negeri Senja rupa-rupanya mampu me lakukannya, mereka mampu mencapai saling pengertian tanpa harus mengucapkan atau menuliskan gagasannya, itu pun dalam kegelapan—dan itu memang me-rupakan satu-satunya jalan.

72 73

Demikianlah Negeri Senja menjadi suatu negeri yang sunyi, tetapi penuh pergolakan. Dalam suatu cuaca di mana senja selalu berubah-ubah nuansa, kegelapan terkadang men dadak diliputi bias cahaya jingga, dan cahaya yang menimpa terlanjur membaca pikiran tanpa bahasa di dalam kepala. Sedangkan pikiran-pikiran dalam cahaya begitu jelasnya bagi Tirana yang buta yang dengan cepat segera mengirimkan para Pengawal Kembar meniti cahaya. Dengan cara ini, gerakan perlawanan sudah sangat sering dihan-curkan, namun tetap juga para cendekiawan menyebarkan pikir-an-pikiran bebas dalam kegelapan setiap kali ada kesempatan. Inilah yang membuat gerakan perlawanan dalam duaratus tahun tak pernah hilang, meskipun Tirana bukanlah Tirana jika tak mampu memburu dan melakukan pengejaran. Dikerahkannya pasukan Mata-mata Istana yang telah mempelajari cara berpikir dalam kegelapan, sehingga setiap kepentingan perlawanan me-mang berada dalam ancaman pengintaian.

Keberadaan Mata-mata Istana jelas menambah ke te gang-an, ka rena kepandaian mereka untuk menyamar se bagai orang ke banyak an, bahkan juga sebagai cendekiawan yang bijak dan luas pandangan, tapi yang memberi pengarahan menyesatkan, se-hingga kegelapan yang terhitam tak cukup aman lagi bagi gerakan perlawanan untuk me nyebar kan gagasan. Di pojok-pojok gelap yang sepi sering ber langsung pertarungan antara hidup dan mati. Mata-mata Istana mempunyai ketrampilan yang sebanding de-ngan Komplotan Pisau Belati. Pada saat pikiran yang ber lawan an terbaca dalam kegelapan pada saat itu pula jarum-jarum beracun melesat sebagai usaha menuntaskan pem bung kam an. Sebalik nya jika penyamaran Mata-mata Istana terungkap dalam berbagai cara, dengan segera berbagai macam senjata akan menancap di tubuh sang aparat keamanan.

Di pojok-pojok gelap kadang ditemukan seseorang tewas dalam keadaan mengenaskan, dari pihak Mata-mata Istana mau-pun kelompok perlawanan—tanpa pertanyaan mereka se gera

akan dikuburkan tanpa nisan. Tiada kuburan dalam arti sebe-narnya di Negeri Senja, semuanya dikebumikan dalam pasir yang mengesahkan ketiadaan.

Apabila aku berjalan-jalan dengan keledaiku ke luar kota, kadang-kadang tersembul mayat dari balik pasir yang sedikit demi sedikit diterbangkan angin. Apabila aku menyusuri lorong-lorong di dalam kota yang beraroma setanggi bercampur asap dupa, kadang-kadang kakiku tersandung mayat baru yang ber-geletakan. Bahkan pernah suatu ketika aku masih sempat melihat bagaimana pembunuhan itu berlangsung. Kulihat sen diri betapa dalam sekejap tiga manusia menusuk-nusuk manusia lain dengan belati di pojok itu dengan brutal.

“Hei!”Aku berlari mendekat, dan ketiga orang itu menghilang.

Sosok tubuh yang malang itu melorot dengan tangan mencoba berpegang pada dinding sehingga di dinding itu terlihat bekas darah dari tubuhnya yang luka parah. Cahaya senja yang mene-rangi ujung lorong masih menyisakan cahaya samar-samar yang memperlihatkan duapuluh tusukan di tubuhnya. Ia masih meng-erang, tapi aku tidak bisa melihat wajahnya.

Aku baru mau membungkuk untuk membuka ke ru dung nya ketika terdengar derap kaki-kaki kuda di kejauhan. Di lorong itu sebuah pintu tiba-tiba terbuka.

“Ssssstttt!” Aku menoleh. Kulihat se seorang yang juga tidak kelihatan

wajahnya, hanya bibir merah delima yang tampak coklat tua dalam keremangan senja.

“Sini cepat! Masuk! Mereka akan membunuh kamu! Ce pat!”Aku meninggalkan mayat itu, masuk ke dalam dengan sebat.

Bau setanggi makin tajam, tapi aku tidak sempat mem perhati-kannya. Kulihat seorang perempuan yang ter se nyum di balik cadar. Ia memberi tanda diam dan menutup pintu, lantas meng-intip dari balik tirai jendela.

74 75

Derap kaki-kaki kuda mendekat. Mereka menemukan mayat itu. Kulihat tangan perempuan bercadar itu memegang belati pada ujungnya, seperti siap dilemparkan.

Aku tidak ikut mengintip, tak bisa membayangkan apa yang akan terjadi seandainya masih di luar. Benarkah orang-orang ber-kuda itu akan membunuhku? Tak ada yang bisa diketahui dengan jelas di Negeri Senja. Kudengar mayat itu seperti di angkat, dan dibawa pergi. Terdengar hembusan nafas kesal dan jengkel. Ke-mu dian derap kaki-kaki kuda itu menjauh lagi. Kemu dian sunyi.

Perempuan itu membuka pintu, cahaya keemasan me nyerbu masuk. Pintu-pintu lain di lorong itu yang biasanya tertutup juga terbuka. Orang-orang keluar dari dalam rumah, aku ikut keluar. Mereka mendekati dinding tempat darah itu terlihat. Seseorang datang dengan ember berisi air dan me nyiramkannya, tapi darah itu tidak mudah dihapus. Orang itu mengambil sikat bergagang panjang dari dalam rumah.

“Darah mata-mata,” desisnya, tapi semua orang yang tidak bersuara itu mendengarnya, “maunya melekat terus….”

Kulihat perempuan itu melihatku sambil tersenyum di antara kerumunan. Ia sudah tidak menggenggam pisaunya. Lan-tas berbalik, mengajakku masuk rumah lagi. Aku ikut saja, seperti tersihir, padahal selama di Negeri Senja aku sangat berhati-hati memilih lawan bicara.

Kami duduk di atas tikar yang digelar di atas pasir. Udara di dalam ruangan terasa sejuk. Cahaya senja menembus jendela yang dibukanya, ruangan segera bersemu jingga. Ia menyingkap kerudung kepalaku.

“Kamu bukan orang sini,” katanya, “darimana asalmu?”Kami pun berbasa-basi.“Terimakasih atas pertolonganmu,” kataku, “kalau tidak,

mungkin aku sudah mati.”“Orang asing yang tidak tahu apa-apa memang suka ber-

tindak bodoh.”

Siapa yang tidak akan menjadi bodoh di negeri ini, pikirku, sebuah negeri di mana tidak ada sesuatu pun boleh dianggap pasti.

“Ya, tapi seorang pengembara biasanya cepat belajar,” kata-nya.

Aku lupa, mereka bisa membaca pikiran dalam kegelapan. Kukosongkan pikiranku. Tapi sia-sia. Aku berpikir dia cantik.

Dia tertawa di balik cadarnya. Lantas memegang tanganku. Hmm. Tangannya selembut kapas. Seperti ada suara berbisik dalam diriku, tapi itu bukan suara—kalau suara aku men-dengarnya, sedangkan ini tidak ada suara, hanya peng ertian, ya, pengertian yang tiba-tiba seperti menjelma begitu saja. Inikah pengertian yang menancap begitu saja tanpa melalui bahasa ke dalam pikiran? Tentu tidak begitu saja, karena ada seseorang yang menancapkan pengertian itu dalam kegelapan.

Kalau memang begini cara pengertian disampaikan, bagai-mana caraku menyampaikan pikiranku?

Ia memegang tanganku, membimbingnya agar memegang tangannya, lantas mengangguk, seperti mempersilakan. Aku pun mencoba memusatkan pikiran, dan lambat-laun entah bagai mana caranya otakku menjadi terasa jernih. Saling ber tatapan mata dan berpegangan segera menimbulkan saling pengertian tanpa me-lalui bahasa. Tentu saja ini sukar diterima oleh pe nalaran, namun dalam hal ini penalaran memang tidak di andalkan. Saling penger-tian yang dibangun oleh kedekatan dan kebersamaan, di mana peleburan jiwa lebih berbicara dibanding penalaran dengan akal yang penuh keterbatasan.

Kemudian yang tadinya gelap terasa terang, artinya gelap bagi mataku tapi terang bagi pikiranku. Sekarang aku bisa membaca pikiran tanpa harus melalui bahasa, aku hanya harus mempunyai kepekaan. Maka, meskipun bahasa Negeri Senja yang kukuasai masih seadanya, kesediaan dan kerelaan untuk menjadi peka mengatasi keterbatasan bahasa dalam suatu pengertian

76 77

yang meraga sukma. Di Negeri Senja kecendekiaan beredar dalam kegelapan—inilah agaknya yang membuat orang-orang tetap bertahan dalam kebisuan.

Sangat jarang terdengar tawa ceria dan nyanyi anak-anak, karena kehidupan ibarat kata diberlangsungkan dalam kebisuan. Segala sesuatu yang masih tampak sebagai kehidupan yang wajar bagaikan sisa dari suatu masa yang sudah lama berlalu—kewajaran dianggap sebagai sesuatu yang semu. Di Negeri Senja tiada lagi kehidupan kecuali dalam kegelapan—meskipun hal itu jelas bagiku, namun tetap merupakan sesuatu yang baru. Di pojok-pojok gelap para cendekiawan memusatkan pikiran, se-genap pengertian disebarkan sembari menghindari cahaya, se-perti bayangan yang bersembunyi di balik bayang-bayang.

Sekarang aku mengerti, kebisuan dan kegelapan adalah bagian yang sangat penting dalam kehidupan Negeri Senja—yang tidak memahaminya tidak ambil bagian dalam permainan. Aku pergi ke luar setelah perempuan itu melepaskan tanganku, masih dengan senyuman dari bibirnya yang merah delima. Di negeri ini, bagaimana caranya menyatakan cinta? Tidak. Aku tidak akan pernah menyatakan cinta kepadanya, Alina—karena pernyataan cinta hanyalah untukmu, meski aku pun tak tahu apakah harus menyatakannya kepadamu. Tapi aku ingin ber terus-terang betapa wajah di balik cadar itu penuh pesona. Bibirnya yang merah delima selalu terbayang, dan ini mudah sekali dibaca. Padahal aku bukan orang yang suka diketahui orang banyak apabila jatuh cinta kepada seseorang—dan me mang tidak, setidaknya sekarang.

Sembari berjalan dari lorong ke lorong kuhindari ke gelapan, karena aku tidak suka pikiranku dibaca seseorang, namun ber-jalan dalam terpaan cahaya artinya pikiranku terbaca oleh ke kua-saan, dan sedikit saja terdapat kesalahan di sana, para Pengawal Kembar akan segera meniti cahaya dan tiba. Aku tidak peduli. Aku menunggangi kembali keledaiku, menuju ke tempat ter buka. Kalau aku tidak mempunyai pikiran jahat, kenapa aku harus

merasa pepat? Namun aku gagal untuk tidak berpikir tentang berbagai peristiwa yang disampaikan perempuan deng an wajah samar-samar di balik cadar. Bahwa dari tahun ke tahun Mata-mata Istana selalu berhasil menemukan para cendekiawan di balik kegelapan. Mereka berhasil menyamar sebagai anggota kaum oposan atau bahkan sebagai cendekiawan gadungan, yang sembari mengacau strategi perlawanan dari dalam, melacak jejak para cendekiawan yang sebenarnya, dan segera mem bunuhnya pada kesempatan pertama ketika ditemukan.

Mayat-mayat para cendekiawan bergelimpangan di ber bagai pojok gelap dengan luka tusukan. Pisau yang me lengkung me-nancap di dada, di punggung, atau merobek lambung se hingga usus, hati, empedu, dan ginjalnya berhamburan di jalanan. Semua itu memang disengaja agar menjadi peringatan. Dalam kegelapan dan kebisuan, para cendekiawan dilarikan, agar selalu jauh dari pengejaran. Namun Mata-mata Istana terus-menerus disebarkan dan memang berada di mana-mana, karena Tirana lebih takut kepada kecendekiaan daripada ke kerasan.

Di atas keledai, di bawah kubah langit yang semburat keemas-emasan, aku berpikir tentang kekuasaan. Biarlah pi-kiranku dibaca siapapun yang penuh dengan prasangka dalam dirinya. Aku hanyalah seorang pengembara, seorang musafir lata yang selalu berjalan tanpa tujuan kecuali menjauhi ke sedihan—dengan kekuasaan aku sama sekali tidak mem punyai kepen tingan.

79

11

Suatu Ketika di Pasar

DALAM keadaan yang paling sulit, para pedagang selalu bisa mencari keuntungan, kalau tidak tentu namanya bukan pe-dagang—mereka bisa saja suatu ketika bangkrut, namun se-mangat untuk mendapat keuntungan membuat mereka tetap hidup. Bukan keuntungan dan bukan kekayaan yang membuat mereka tetap hidup, melainkan semangat itu sendiri. Ini mem-buat pasar menjadi tempat yang paling menggairahkan. Kini aku berjalan di tengah pasar kota itu, tapi aku tidak ingin membeli apapun—pasar yang terbenam dalam cahaya senja dan terletak di tepi sebuah lapangan itu tidak pernah terlalu hiruk-pikuk, karena hampir setiap orang mencoba berdiam diri. Namun suasana perdagangan tetap merebak. Dari sebuah pasar aku selalu teringat aromanya apakah itu rempah-rempah, apakah itu buah-buahan, apakah itu parfum para pembeli

Pasar itu terletak di sebuah lorong yang berkelok-kelok dan mendaki, satu dari sedikit tempat yang agak kurang berpasir. Di kiri dan kanan lorong itu terdapat rumah penduduk, yang kemu dian juga memanfaatkan pintu dan jendela mereka sebagai

tempat untuk berdagang. Pasar kebutuhan bahan pokok terletak di bawah, sedangkan di bagian atas dijual kain, peralatan rumah-tangga, senjata, cenderamata, dan apapun yang dipikir oleh para pedagang akan menarik minat orang yang lewat. Negeri Senja adalah negeri yang miskin, selama tinggal di sana aku tak bisa menyebut sesuatu yang bisa disebut kemewahan, tapi itu tidak berarti tidak ada yang bisa disebut keindahan. Di pasar ini aku melihat manik-manik yang terbuat dari batu berwarna-warni. Tak hanya berwarna, batu-batu kecil itu ka dang masih dilukis. Cara mereka menyusunnya sebagai gelang atau kalung begitu cermat dan berselera, sehingga aku me mandangnya begitu lama. Segala sesuatu di tempat ini tidak pernah kulihat di negeri lain, sehingga rasanya aku ingin membelinya semua, tapi aku tidak mempunyai cukup uang untuk melakukannya.

Setiap kali melihat barang bagus, hatiku terbelah dua, apakah akan membelikannya untuk Alina atau Maneka. Bi asanya aku membeli untuk kedua-duanya, kadang-kadang ba rangnya persis sama. Kalung, anting-anting, gelang, dan entah apa lagi, selalu harus mempertimbangkan dua orang; kalau benda yang terindah hanya ada satu hatiku penuh dengan pergulatan. Kepada siapakah persembahan ini harus diberikan? Sebenarnya aku tidak pernah bertemu lagi dengan kedua pe rempuan itu, dan kurasa tidak akan pernah, karena sampai masa hidupku selesai kupikir bumi belum akan habis kujelajahi. Keliling dunia barangkali mudah, tapi menginjakkan kaki ke setiap pelosok kukira tak akan bisa dipenuhi seorang peng embara miskin seperti aku. Sudah tigapuluh tahun aku meng embara tanpa pernah kembali lagi ke suatu tempat, namun apabila kubuka peta maka kulihat betapa masih luas wilayah yang belum kujejaki, bahkan belum pernah diinjak manusia. Jika manusia sepanjang jutaan tahun riwayatnya belum habis juga menjelajahi permukaan bumi, maka apalah yang bisa kulakukan dalam sisa umurku?

80 81

Demikianlah aku selalu membeli sesuatu yang tampak se-perti kenang-kenangan akan suatu tempat dan meng irim kannya tanpa pernah tahu barang itu sampai atau tidak, tanpa pernah tahu orang yang menerimanya senang atau tidak, dan tanpa pernah tahu juga apakah ada gunanya, selain semacam tindakan mengelabui diri bahwa aku seolah-olah memiliki seseorang, yang mungkin juga hanya semu saja. Kini aku berada di tengah pasar yang hanya ada di Negeri Senja, yakni pasar yang menawarkan pemandangan senja. Di pasar itu memang dijual apa yang disebut Kotak Senja. Apabila seseorang membuka kotak itu akan ter dengar suara seruling, yang mengiringi pe mandangan matahari terbenam. Ya, matahari yang sedang terbenam, bukan tersangkut di cakrawala. Jadi di negeri di mana matahari tidak pernah terbenam ini pengetahuan tentang ma tahari terbenam itu ada. Terdapat sederet pedagang menjual Kotak-kotak Senja. Ada bermacam-macam ukurannya. Apabila kulihat Kotak Senja yang sengaja dibuka untuk menarik minat pembeli, memang terlihat pemandangan matahari terbenam yang sebenarnya, dengan la-ngit membara kemerah-merahan, yang kemudian menggelap dan menjadi malam. Setelah menjadi malam kita harus menutup kotak itu, dan apabila dibuka kembali maka tampaklah matahari separuh terbenam itu lagi, dengan cahaya yang menyepuh mega-mega menjadi keemasan.

Mereka mengatakan, senja yang berada di dalam kotak itu adalah senja yang sebenarnya, bukan tiruan—senja itu me-rupakan suatu penggandaan, jadi semuanya asli. Tentu saja aku bertanya-tanya, seandainya cerita itu bisa diterima, dari mana kah mereka menggandakan matahari terbenam itu, jika ma tahari di Negeri Senja seperti yang kusaksikan sendiri tidak pernah ter-benam. Bagaimanakah masalah ini akan dijawab? Namun apabila aku mencoba menanyakannya, setiap orang Negeri Senja hanya tersenyum sambil saling berpandangan. Apakah kiranya yang sama-sama mereka ketahui dan tidak kuketahui? Semua orang

tampaknya menyukai Kotak Senja itu, baik orang Negeri Senja maupun orang asing. Pernah kulihat seorang anak kecil duduk menyendiri di sebuah sudut gelap, diam-diam membuka Kotak Senja ukuran kecil. Bisa kudengar suara seruling yang meliuk-liuk, dan bias cahaya jingga dari dalam kotak menerpa wajahnya. Kulihat matanya yang berbinar-binar, karena ia menyingkapkan kerudungnya, terlihat pe rubahan nuansa senja yang membias dari wajahnya, kukira ia sedang melihat matahari menghilang ke balik cakrawala, yang menyisakan semburat cahaya keemasan yang menyapu kubah langit lantas tenggelam, mengelam, dan menjadi malam yang dikuasai kegelapan. Namun apabila ia menutup kotak itu, dan mengangkat wajahnya, maka akan terpandang kembali olehnya pemandangan senja yang abadi, matahari yang mem-benamkan dirinya dengan sia-sia, karena tertahan oleh cakrawala.

Pernah juga kulihat seorang nenek tua duduk di depan pintu rumahnya, tersenyum bahagia menatap kotak yang ter-buka, meski kerudungnya tertutup tapi bias cahaya me nerangi se nyuman nya. Matahari tentunya juga sedang ter benam dalam kotak itu, kudengar suara seruling yang meliuk-liuk. Aku akhir-nya hafal hubungan antara lagu seruling itu dan pe man dangan matahari terbenam. Hanya mendengarnya saja aku sudah seperti bisa tahu sampai di mana matahari terbenam yang sedang dipandang itu. Aku sudah sering melihat Kotak Senja terbuka yang dipamerkan di pasar, mulai dari yang kecil sampai yang besar. Ada kotak yang begitu kecil seukuran liontin, ada juga yang diperlakukan sebagai hiasan di pergelangan tangan. Aku pernah melihat seseorang membuka Kotak Senja pipih di pergelangan tangan itu di kedai, dan betapa terpesona orang itu memandang matahari. Di negeri di mana matahari tidak bisa terbenam, pemandangan matahari terbenam adalah pesona luar biasa. Aku sendiri juga bermaksud membelinya. Meski pe mandangan mata-hari terbenam bagiku bukanlah sesuatu yang meng he rankan, tetap saja pemandangan itu bagiku luar biasa. Aku selalu takjub

82 83

menyaksikan bagaimana langit berubah ke merah-merah an, ke-emas-emasan, dan membakar langit se hingga me rah padam, dengan permainan cahaya dan warna antara mega-mega dan kubah biru di atasnya, sebelum akhirnya melemah jadi ungu muda, dengan berkas cahaya jingga di kejauhan, lantas meng-gelap, menyisakan kekelaman.

Adakah yang lebih memesona selain senja? Di Negeri Senja, di mana senja menjadi pemandangan abadi dengan berbagai perubahan nuansa, pemandangan matahari tenggelam menjadi andalan perdagangan. Di pasar itu aku melangkah, melewati deretan Kotak Senja segala ukuran. Konon, di Istana Pasir terdapat Kotak Senja berukuran raksasa yang tidak perlu ditutup dan dibuka untuk mendapatkan pemandangan matahari ter-benam, sehingga tampaklah pemandangan matahari ter benam di dinding yang terus-menerus berulang. Semua orang di Istana Pasir tentu bisa melihatnya, kecuali Tirana yang buta, meski ia mengetahuinya. Barangkali setiap rumah memiliki Kotak Senja itu, satu-satunya cara untuk melihat matahari terbenam. Dalam kotak itu tidak hanya terdapat matahari terbenam, melainkan semesta yang lengkap, dan meskipun suara serulingnya selalu sama, kehidupan yang tampak di dalamnya tidak pernah sama, karena—demikianlah di se but kan—senja yang tampak dalam kotak itu adalah selalu dari hari yang berbeda, sehingga kadang-kadang mendung, matahari tak kelihatan dan berhujan pula sehingga bisa melihat camar meng epak, perahu lewat, atau unta berlalu, dan orang-orang berlarian di dalamnya. Pantas mereka betah memandanginya lama-lama.

Dengan pemahaman bahasa Negeri Senja yang terbatas, aku belum tahu persis bagaimana semua ini bisa dijelaskan, bukan hanya karena persoalan bahasa, tapi juga karena cara berpikir dan cara orang-orang Negeri Senja memandang dunia ternyata cukup berbeda. Aku hanya melihat, berjalan, dan melihat, kadang-kadang dengan penuh kebingungan. Begitulah di pasar ini aku

berjalan mendaki, sembari memikirkan Kotak Senja macam apa yang akan kukirimkan kepada Alina maupun Maneka. Sepanjang lorong itu, di sebelah kiri dan kanan Kotak-kotak Senja itu terbuka. Dalam cahaya senja yang lemah di dalam lorong itu terlihat kotak-kotak ajaib yang me nayangkan peristiwa senja aneka rupa. Pemandangan senja itu berasal dari berbagai penjuru dunia dengan nuansanya masing-masing yang tidak pernah sama. Orang-orang memandanginya dengan ter nganga tanpa suara, bahkan para pedagang sendiri bagaikan tak pernah bosan dengan pemandangan senja dagangannya.

Di berbagai sudut berlangsung jual-beli, aku sudah be berapa kali melewati pasar ini, sekadar karena ingin meng hayati suasana. Negeri Senja adalah negeri yang sulit diterima akal, negeri ini seperti puisi, hanya bisa dipahami jika dihayati. Maka aku selalu menggunakan waktuku dengan berjalan dan berjalan, melahap dan menghayati segala pemandangan, meski tetap saja banyak hal sulit kumengerti. Dengan sangat terlambat kemudian kusadari, ternyata ada satu sosok yang semenjak tadi seperti selalu me-ngun tit aku ke mana-mana. Siapakah dia? Aku merasa sering melihatnya.

Ketika kulihat seorang fakir meminta sedekah, aku ke-mudian teringat sosok fakir yang berada di depan penginapan. Sudah beberapa hari ini sosok itu hanya duduk dengan tubuh yang seolah-olah tenggelam dalam tumpukan kain lusuh. Ia selalu berada di sana dalam bayang-bayang dinding, dengan hanya kelihatan bibirnya yang seperti menggumamkan doa di balik kerudung yang bertambal-tambal. Bibir itu tampak ber koreng di sudut-sudutnya, dan di depannya terdapat mang kuk kosong tempat sedekah. Namun selama berhari-hari tak pernah kulihat seorang pun melemparkan uang ke dalam mangkuk itu.

Aku tak selalu mengawasinya, sehingga aku tak pernah tahu apakah ia pernah beranjak dari tempat itu. Pemilik peng inapan kulihat sempat memperhatikannya, tapi tidak per nah mengata-

84 85

kan sesuatu. Di Negeri Senja, sosok fakir adalah pe mandangan jamak, dan sosok mereka juga nyaris serupa, suatu sosok ter-bungkus tumpukan kain lusuh yang bertebaran di mana-mana. Di depan penginapan, di depan kedai, di sudut-sudut lorong, mereka tampak di berbagai tempat dengan mang kuknya yang kosong. Rasanya aku tak pernah melihat seseorang melempar uang untuk mengisi mangkuk-mangkuk itu. Ba gaimana caranya mereka ma-kan? Bagaimana caranya mereka bertahan hidup? Bila mengan-tuk mereka rebahkan saja tubuh di tempat mereka mengharap sedekah.

Kadang-kadang mereka berjalan bergerombol, mencari se-dekah dari rumah ke rumah. Kadang-kadang juga sendiri saja, mengulurkan mangkuk kosong itu kepada setiap orang yang ditemuinya di jalan. Kalau berdiri di perempatan, mereka bisa bertahan seperti patung yang mengulurkan sebuah mangkuk. Sebenarnya tidak seorang pun juga tahu bagaimana kaum fakir ini bisa tetap hidup. Jumlah mereka katanya tiap tahun makin bertambah, dan memang kulihat kaum fakir yang masih kanak-kanak tak kurang banyaknya.

Aku berhenti, memperhatikan fakir yang kukira mengikuti aku. Fakir itu juga berhenti, ia berhenti tepat dalam terpaan cahaya senja, sehingga busananya yang tampak seperti tum pukan kain lusuh kali ini tampak keemas-emasan. Fakir itu sepintas lalu tampak sebagai orang suci.

Aku masih terpaku ketika ia mendekatiku.“Beri saya sedekah Sihdi, beri saya Kotak Senja.”Aku bermaksud meninggalkannya, tapi tangannya yang juga

berkoreng dengan cepat memegang bajuku, dan ia berkata lagi dengan suatu tekanan tertentu.

“Berilah saya Kotak Senja, Sihdi—tak ada waktu lagi.”Orang-orang tidak memperhatikan kami, namun kulihat

semua fakir di sekitar mengawasi kami. Mereka semua me megang tongkat. Aku merasa diriku terancam, dan kurasa tak seorang pun bisa melindungiku. Aku tidak melihat jalan untuk lari.

Dengan perasaan sangat terpaksa, aku membeli sebuah Kotak Senja yang termurah, dan memberikannya kepada tangan berkoreng itu. Ketika aku meletakkan Kotak Senja itu di telapak tangannya, tiba-tiba terasa sebuah benda berada di telapak tanganku.

87

12

Penangkapan Tokoh Perlawanan

PADA detik benda itu berpindah ke tanganku, dengan kecepatan laksana kilat tibalah para Pengawal Kembar yang meniti cahaya. Mereka meringkus fakir yang meminta sedekah itu, dan meng-gelandangnya pergi lewat cahaya juga. Topeng mereka yang putih dan dingin tanpa senyum bersemu jingga dalam cahaya senja. Mereka berkelebat pergi dan menghilang secepat datang nya. Kemudian tibalah pasukan berkuda yang berderap dari segenap mulut lorong, langsung menyerang para fakir. Mereka membawa cambuk, dan kuda yang mereka tung gangi meng injak-injak para fakir itu. Suara cambuk me ledak-ledak meng hajar para fakir yang tidak mengaduh meski tetap ter dengar juga desah menahan keluh. Para fakir itu mundur dan berguling-guling di antara tenda-tenda di tengah pasar, sehingga ketika pasukan berkuda itu merangsek maju dengan kaki-kaki kuda terangkat siap meng-injak, ambruklah tenda-tenda, ber ge lim pangan lah barang-barang dagangan, kacau-balau pasar itu, khalayak lari kian-kemari, dalam sekejap pasar itu centang-perenang—namun tidak ter-dengar teriakan apa-apa kecuali ringkik kuda.

Aku terdorong mundur dan menghilang di antara orang banyak yang meskipun tidak mengeluarkan suara tetap saja panik. Orang-orang fakir itu didesak mundur sampai ke dinding. Para prajurit itu turun dari kuda dengan cambuknya, lantas melecut-lecutkannya ke tubuh orang-orang fakir dengan ganas sedangkan kudanya masih terus menginjak-injak pula. Orang-orang fakir itu tidak ada yang melawan, hanya berusaha me nutupi kepala mereka dengan lengan. Cambuk itu sampai mencabik busana mereka yang memang sudah cabik-cabik dan bertambal-tambal. Dalam cahaya remang-remang sempat ku lihat pula kulit yang tercabik di balik busana yang tercabik. Darah menjadi garis hitam dalam kelam.

Lantas bersama cahaya merah membara para Pengawal Kembar datang lagi.

“Benda yang kita cari tidak ada,” kata salah seorang, “dia tidak membawanya.”

Pasukan berkuda itu menghentikan pencambukannya.“Tidak ada?”“Ya, tidak ada.”“Pasti tercecer di sini.”Suasana mendadak hening.“Pasti orang lain membawanya.”Aku terkesiap.“Siapapun yang membawanya, lebih baik tidak menyim-

pannya, kecuali tak takut mati dengan roh terpenjara.”Roh terpenjara. Aku pernah mendengarnya sebagai ke-

kejaman Tirana yang tiada duanya. Bahkan kematian bukan pembebasan dari kekuasaannya—konon, dan memang hanya konon, ia mampu memenjarakan dan menyiksa roh.

Senja begitu kelam. Orang-orang di pasar ber desak-desakan tanpa suara. Pasukan berkuda telah me rapatkan semua orang ke dinding. Tenda-tenda telah am bruk, dan barang dagangan ber ceceran sepanjang lorong. Kalau semua orang di pasar itu

88 89

digele dah satu per satu, maka benda yang diberikan fakir itu, yang kini kumasukkan ke kantung di sebelah dalam bajuku, akan bisa mereka dapatkan. Semua orang berusaha berlindung di balik bayang-bayang agar pikirannya tidak ter baca. Aku bersandar pada tumpukan Kotak Senja yang be rantakan.

Aku tak tahu benda apa yang diberikan fakir itu kepadaku, namun tampaknya benda itulah yang dicari-cari. Sebagai orang asing aku secara resmi terlarang untuk terlibat dalam urusan dalam negeri mereka, tapi apakah aku harus menyia-nyiakan kepercayaan orang yang berkorban? Kulihat bagaimana orang-orang diperiksa. Ujung pedang mengangkat dagu mereka, se-mentara orang lain menggeledah dengan teliti. Terhadap pe-rempuan penggeledahan ini diiringi dengan pelecehan. Se orang perempuan yang menampel tangan pemeriksa ketika tangan itu meremas dada langsung kehilangan lengannya karena sabetan pedang. Perempuan itu rubuh tanpa jeritan. Sekarang aku tahu bagaimana kebencian rakyat Negeri Senja terhadap penguasa. Jika Tirana memang benar seorang perempuan, apakah benar ia tidak punya perasaan?

Pemeriksaan itu berlangsung dari dua ujung sekaligus, makin lama makin ke tengah. Semua orang yang lolos langsung disuruh pergi, sehingga orang yang tinggal makin lama makin sedikit. Aku berada di tengah. Pada saat pemeriksaan sampai ke tengah, aku akan tinggal sendiri. Pasti mereka akan tahu aku menyimpan benda yang dicari-cari itu. Kalau ingin selamat, aku harus membuangnya. Kulirik ke kiri dan ke kanan, kulihat ujung pedang yang mengangkat dagu setiap orang itu begitu tajam dan begitu tipis sehingga bisa mengiris bawang. Digerakkan begitu saja ke bawah akan membelah leher menjadi luka yang meng e rikan. Hampir semua perempuan melawan ketika di lecehkan, dan mereka membayar kehormatan itu dengan nyawanya. Darah yang mengalir segera mengering pada pasir. Mayat ber ge lim pangan. Aku malu jika harus menyerahkan benda itu, tapi bagaimana jika tertangkap tangan? Tirana mampu

membaca pikiran, dan aku berdiri dalam terpaan cahaya, siapa bisa men jamin aku akan mampu menyembunyikan? Keringat dingin mengalir di dahiku. Aku tak habis pikir bisa terlibat persoalan tepat di tengah-tengahnya. Sebagai pengembara aku terbiasa menjadi orang yang berdiri di pinggiran, menyaksikan ke hidupan di kiri dan kanan tanpa mempunyai suatu kewajiban, tapi kini mendadak saja aku men dapat beban.

Aku masih tidak tahu apa yang harus kulakukan, ketika terdengar bisikan sangat lirih dari sebelah kanan, dari seorang fakir yang tersembunyi dalam kegelapan.

“Serahkan padaku Sihdi, cepat, sekarang….”Dengan cepat, benda itu berpindah tangan—meski aku

masih tak tahu bagaimana benda itu akan diselamatkan.Di sebelah kiriku terdapat seorang fakir lain yang juga

berdiri di kegelapan. Cahaya senja menerpaku, tapi kedua fakir di kiri dan kananku terlindung bayang-bayang. Akhirnya pe me-riksaan itu tinggal menyisakan kami bertiga. Ketika ujung pedang mengangkat dagu fakir di sebelah kananku, fakir di sebelah kiriku berlutut memeluk kaki pemeriksanya sembari berteriak.

“Ampuni aku! Ampun! Aku telah menelannya, ampun!”Fakir di sebelah kananku dilepaskan, dan aku bahkan tidak

diperhatikan sama sekali. Aku masih ingin melihat apa yang terjadi, namun fakir di sebelah kanan itu menggamit tanganku. Aku masih sempat menengok ketika fakir di sebelah kiri itu didorong pundaknya dengan kaki dan diinjak sehingga terkapar tanpa bisa bergerak. Masih kudengar seorang Pengawal Kembar memberi perintah.

“Bongkar perutnya.”Seorang anggota pasukan mengarahkan pedang ke pe-

rutnya. Tapi kelanjutannya tak kusaksikan karena aku telah sampai ke balik lorong. Fakir itu menyeretku sepanjang lorong yang pintu-pintunya sudah tertutup. Lorong itu berkelok-kelok mem bi ngung kan. Kami berjalan di antara pilar-pilar cahaya

90 91

senja yang bias keemasannya menghalangi pandangan. Kami berjalan ter gesa-gesa di antara bias keemasan yang samar dan kegelapan sehingga aku merasa berenang dalam kedip-kedipan cahaya yang membuat aku sulit memperhatikan sedang berada di mana. Rupanya itu memang suatu jalan rahasia. Aku tak akan bisa menemukan tempat itu lagi.

Kami berjalan menyaruk-nyaruk pasir, tapi aku merasa mengambang dan melayang, meluncur dan berpusing-pusing dari lorong ke lorong sampai tiba-tiba sebuah pintu terbuka dan kami ditelan kegelapan yang begitu pekat sehingga tak ada sesuatu pun yang bisa kulihat.

Aku terengah-engah, rasanya gerah sekali dan ingin mem-buka baju, keringat memenuhi tubuhku. Ruang kegelapan itu sendiri terasa sejuk.

“Minumlah, Sahib.”Tadi aku dipanggil sihdi, sekarang aku dipanggil sahib—tapi

ini hanya terjemahan, karena huruf Negeri Senja tak bisa dialih-hurufkan ke huruf ini, sedangkan bunyinya begitu unik sehingga tak mungkin dituliskan. Dengan pergantian panggilan itu aku menjadi tahu, apa yang tampak sebagai fakir hanyalah suatu penyamaran, karena fakir yang sesungguhnya akan me manggil yang bukan fakir sebagai sihdi.

Sebuah tangan membimbingku untuk memegang cangkir yang terasa dingin. Aku minum dengan cepat dan cangkir itu segera kosong. Sebuah tangan mengambilnya.

“Terimakasih atas pertolongannya Sahib, pemimpin kami tertangkap, tapi benda itu selamat, terimakasih Sahib.”

Aku tidak tahu harus menjawab apa. Sebetulnya segala sesuatu yang kuketahui tentang Negeri Senja tidak pernah bisa kupastikan. Aku hanya mencatat apa yang kudengar atau kubaca dengan kemampuan bahasa seadanya, tanpa pernah mempunyai kesempatan mengkaji secara teliti seperti seorang ilmuwan. Segala sesuatu yang kuketahui belum bisa disebut pengetahuan,

tapi mendadak aku berada di tengah persoalan, yang hanya bisa kuhayati dengan penuh keraguan.

Aku berpikir tentang fakir yang ditinggalkan.“Dia tidak menelan apa-apa.”Tentu saja pikiranku terbaca.“Tapi dia tahu apa akibat pengakuannya.”Rupanya hal ini yang memberi kami waktu untuk lari. Para

Pengawal Kembar yang perkasa itu telah terkecoh.“Sebentar lagi akan berlangsung pembantaian kaum fakir.”Dan itu berarti mereka akan berganti penyamaran.“Sudah lama mereka mencurigai kami, tapi karena tidak bisa

membedakannya dengan kaum fakir yang sebenarnya, mereka lebih suka membantai semua fakir. Namun mereka juga tahu negeri ini terdiri dari fakir, sehingga tidak mungkin semua fakir adalah para penyamar—kebingungan membuat mereka putus asa. Hari ini Sahib bisa melihat tindakannya.”

“Pemimpin kami tertangkap, tapi itu tidak ada artinya, karena pemimpin akan selalu ada, namun benda yang dicari-cari penguasa itu hanya satu adanya.”

Sudah kudengar bahwa gerakan perlawanan tidak meng-andalkan satu pemimpin. Setiap kali ada yang tertangkap atau terbunuh, selalu ada yang akan menggantikannya. Inilah yang sudah berlangsung ratusan tahun. Siapapun penguasa Negeri Senja, ia selalu menindas—dan selalu menghadapi perlawanan yang akan berhasil menggulingkannya.

Tirana telah berkuasa selama duaratus tahun. Para Peng awal Kembar yang dahulu membantunya menggulingkan ke kuasaan, telah mempelajari dengan baik setiap taktik gerakan bawah tanah, tapi pada saat yang sama para tokoh gerakan perlawanan mem-pelajari dan memanfaatkan siasat-siasat baru.

Aku ingin bertanya tentang benda itu, tapi fakir itu telah mendahuluiku.

92 93

“Sahib, bisakah kami menitipkan benda itu kepada Sahib kembali?”

Aku ingin bertanya kenapa, tapi fakir itu kembali telah mendahuluiku.

“Sahib bukan penduduk Negeri Senja, dianggap tidak punya kepentingan, dan cenderung lolos dari kecurigaan….”

Aku diam—alasan semacam itu tidak bisa dipegang, dan akan terbukti bahwa aku tidak keliru. Namun aku merasa tidak bisa menolak. Kuterima saja barang itu ketika kurasakan benda itu di telapak tanganku.

“Kami tidak akan melupakan budi Sahib.”Sekelilingku masih saja kegelapan. Aku telah membuat

keputusan dalam kegelapan. Ceritaku ini tampaknya saja lancar, namun apa yang terjadi tidaklah bisa dipahami selancar ini. Bahasa Negeri Senja tadinya kukira akan mudah kukuasai, ternyata bahasa ini sangat mengandalkan kelisanan dalam pem-bermaknaannya, sehingga perbedaan nada dan tekanan saja sudah mengakibatkan perubahan arti. Belum lagi bahwa huruf mereka juga sangat pelik dalam membedakan berbagai bunyi. Ini membuat aku diliputi keraguan yang besar tentang apa saja yang kuandaikan telah kuketahui, dan sekarang kuceritakan kembali. Aku sering merasa hidup dalam keadaan samar-samar, antara tahu dan tidak tahu, yakin dan tidak yakin, pasti dan tidak pasti—yang jelas aku memang tetap hidup.

“Terimakasih, Sahib.”Mereka telah menutup mataku dengan kain dan mem-

bawaku berjalan entah ke mana. Kubuka kain penutup mata itu setelah aku ditinggal sendiri, dan kudengar ucapan terimakasih tadi. Aku berada di bawah pohon palem di sebuah lapangan. Keledaiku ada di situ. Setelah mengalami kegelapan yang begitu pekat, keremangan senja tampak begitu terang—tapi aku tidak ingin terkecoh oleh pemandangan yang kukira saja serba terang, karena senja adalah permainan antara gelap dan terang.

Aku masih teringat mayat-mayat yang bergelimpangan di pasar, perempuan-perempuan yang tewas karena menjaga ke-hormatan.

95

13

Penjara

AKU menunggangi keledaiku sepanjang kota yang selalu dan selalu bertabur cahaya senja. Apa yang harus kulakukan dengan benda itu? Sebuah kotak pipih, seperti Kotak Senja yang pipih—tapi aku tidak merasa punya hak untuk membukanya. Ku-masukkan benda itu ke dalam kantung kulit yang tergantung di leher keledai. Aku menunggangi keledai itu di tengah kota, tanpa melihat ke kiri dan ke kanan, karena aku sibuk dengan pikiranku sendiri. Di tempat terpencil seperti ini, berlangsung penindasan yang seolah tiada batas, bagaimanakah cara dunia meng etahui-nya? Negara-negara besar sering dikecam karena ceng keram an penguasaannya atas negara-negara kecil, dan negara-negara kecil mendapatkan citra sebagai negara tak berdaya, namun di dalam negerinya para penguasa negara-negara kecil menindas kebe-basan rakyatnya sendiri. Negeri Senja tidak terdapat pada peta, dan tidak seorang pun di dunia ini akan bermimpi betapa terdapat suatu negeri yang mem punyai mataharinya sendiri, itu pun selalu separuh ter benam di cakrawala.

Mereka yang ingin pergi ke Negeri Senja harus mengan-dalkan petunjuk para pengembara yang pernah me lewatinya, dengan keterangan dari setiap orang yang terdengar berlainan. Jalan termudah adalah menggabungkan diri dengan kafilah yang me lewati Negeri Senja dan membawa barang-barang dagangan. Negeri Senja yang terletak di tepi padang pasir tidak mempunyai hasil bumi, mereka membutuhkan tepung terigu untuk mem-buat roti, begitu juga garam, dan sayur-sayuran. Di atas pasir itu ternyata bisa tumbuh semangka, sehingga semangka sering di makan bukan sebagai buah melainkan makanan pokok. Tidak selalu orang bisa membuat apalagi membeli roti, aku juga tidak bisa membayangkan kaum fakir yang sesungguhnya makan apa di sana. Kemungkinan besar mereka makan tiga hari sekali. Kalau bukan sisa makanan, yang merupakan sedekah, mereka akan melahap apa saja yang bisa dimasukkan ke mulut. Keluarga yang dianggap paling berkecukupan saja yang masih mempunyai pembantu rumahtangga, yang ditugaskan mencari kadal untuk dimakan.

Terdapat tiga jenis mata uang di Negeri Senja, yakni mata uang emas, perak, dan perunggu. Satu keping mata uang emas bernilai sepuluh keping mata uang perak, dan satu keping mata uang perak bernilai sepuluh keping mata uang perunggu, se-hingga satu keping mata uang emas bernilai seratus keping mata uang perunggu. Namun di rumah-rumah Negeri Senja sangat sulit dijumpai keping-keping uang emas itu. Hanya akan di temukan sedikit keping perak, dan lebih banyak lagi keping perunggu. Setiap orang asing yang memasuki Negeri Senja harus me nukarkan uangnya dengan mata uang Negeri Senja, dan mata uang Negeri Senja dianggap terlalu tinggi nilainya, karena bukan saja tidak berlaku, namun bahkan negerinya saja tidak diketahui sebagai pernah ada. Negeri tetangga tentu mengetahui ke ber-adaan Negeri Senja, tapi sebenarnya mereka tidak terlalu peduli negeri miskin itu ada atau tidak ada, kecuali di masa lalu ketika

96 97

negeri-negeri masih saling menyerang dan berbunuh-bunuhan dengan hati riang. Tetapi kehidupan tetap berlangsung di negeri yang tidak ada tersebut. Kelahiran, perkawinan, dan kematian berlangsung seperti di berbagai bagian dunia lain.

Aku dan keledaiku mulai memasuki deretan kedai di ping-giran kota. Kulihat sosok-sosok yang tidak terlihat wa jahnya. Apakah itu pemilik kedai, apakah itu orang yang datang untuk minum teh, selalu dan selalu sulit ditegaskan wajahnya. Aku begitu penasaran dengan wajah mereka, sehingga ingin rasanya aku membuka kerudung yang menyatu dengan busana mereka itu, tapi aku berjuang keras menahan diri—aku belum rela mati dibantai hanya karena tidak mengenal adat di negeri orang. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana kehidupan akan ber-lang sung tanpa pengenalan akan suatu wajah. Di Negeri Senja, begitulah, segala sesuatu tidak bisa ditegaskan, begitu pula wajah-wajah orang, yang hanya kelihatan sekilas pintas keluar-masuk antara kegelapan dan keremangan. Samar-samar adalah ke-jelasan yang paling dimungkinkan, seperti juga senja yang kelam merupakan satu-satunya kenyataan.

Kedai-kedai itu dihiasi lentera yang tampak cantik dalam keremangan senja. Aku merasa sebagian orang melirikku meski di balik bayang-bayang kerudung itu aku hanya bisa melihat ke-gelapan. Keledaiku mendengus seperti memberi petunjuk ada sesuatu yang mencurigakan. Aku mengangkat kepala, di depan terlihat dua anggota pasukan berkuda menghalangi jalanku. Aku menoleh ke belakang dan dua anggota lain menutup ke mung-kinan untuk menghindar. Aku sudah terjepit. Aku pun berhenti, dan turun dari keledai. Selama berada di Negeri Senja, keledai itu sudah kulatih untuk mengenal jalan pulang ke penginapan. Aku mencoba untuk tidak memikirkan apa-apa selain hal itu.

Mereka menanyakan pasporku, dan mereka bertanya ke napa tidak ada cap dari petugas imigrasi di dalamnya. Ku katakan aku tidak tahu kalau hal semacam itu diperlukan, karena tidak pernah

kulihat semacam batas negara dengan penjaga yang memeriksa surat-surat ketika aku tiba di Negeri Senja. Lagipula di negara mana pula kita bisa mendapat visa dari sebuah negeri yang tidak ada di dalam peta? “Negeri ini hanya seperti sebuah kota tua,” kataku. Mereka saling berpandangan ketika aku mengatakan hal itu, lantas mereka tertawa terbahak-bahak, dan menirukan kata-kataku. “Negeri ini seperti sebuah kota tua, hahahahaha!” Aku tidak ikut tertawa. Kami bicara dalam bahasa Negeri Senja, sehingga aku takut ada sesuatu yang salah dengan kata-kataku. Kuingat, aku sangat jarang mendengar suara orang tertawa.

“Jangan takut, Sahib, tapi kau harus ikut kami. Mana tungganganmu?”

Keledaiku sudah menghilang. Aku berjuang keras untuk tidak memikirkan sesuatu yang akan sangat berbahaya jika pikiran itu terbaca.

Aku disuruh naik ke salah satu kuda itu, dan perjalananku berakhir di sebuah gedung penjara.

“Kau tidak dipenjarakan, Sahib, kau harus menjawab banyak pertanyaan.”

Maka aku menjawab begitu banyak pertanyaan yang se telah habis akan terus diulang-ulang. Aku tidak diberi minum dan aku juga tidak diberi makan. Aku diperiksa di sebuah ruang bawah tanah yang sangat lembab. Hampir tidak ada cahaya di tempat itu, kecuali dari sebuah lentera. Ada banyak sekali ruangan di bawah tanah dan segenap kegiatan di dalamnya dipantulkan dinding-dinding menjadi sebuah gema. Terdengar suara-suara penyiksaan—aku tidak mempunyai kemampuan menceritakannya kembali. Namun siapapun yang mempunyai gambaran apapun tentang penyiksaan akan mendapatkan ke nyataannya di tempat ini. Maka sembari menjawab dan me nyiasati semua pertanyaan yang de ngan sengaja menjebak, kepalaku dipenuhi gambaran berbagai jenis penyiksaan yang paling mungkin dibayangkan. Gambaran itu begitu jelas dan begitu mengerikan sehingga

98 99

kuputuskan untuk tidak meng gambarkannya kembali, karena cukup sekali aku meng gam barkan bagaimana siksaan itu dilakukan, kehi dupan se seorang yang membayangkannya untuk selamanya akan ter ganggu. Penyiksaan itu begitu kejam sehingga hanya mem bayangkannya saja sudah akan sangat menyiksa.

Entah berapa lama aku terus-menerus menjawab per tanya-an secara berulang-ulang dalam bahasa Negeri Senja yang harus kudengar ketika aku berusaha keras mengenyahkan gam bar-gambar penyiksaan yang berkelebat tanpa henti, terus-menerus dan tiada pernah berhenti. Aku seperti berada dalam sebuah mimpi buruk yang tidak memberi kesempatan untuk lari, tidak memberi peluang untuk menolak, dan hanya bisa meng alami seperti yang dikehendaki siapapun yang berusaha meng uasai jiwa. Aku tidak menyembunyikan apa-apa kecuali sesuatu yang sedang tidak kupikirkan, tepatnya sengaja tidak ku pikir kan, karena aku tak mau apapun yang kusembunyikan itu terbaca oleh kemampuan membaca pikiran.

Mendadak aku teringat, Tirana mampu memenjarakan roh. Bagaimana caranya roh bisa dipenjara? Tentu saja bukan terali besi, bukan tembok raksasa, dan bukan juga penjara bawah tanah seperti ini, yang akan mampu memenjarakan roh, melainkan ke-mampuan meng uasai dan menundukkan pikiran. Jika melalui cahaya Tirana bisa membaca pikiran, menurut pen dapatku yang bodoh ini, dengan suatu cara tentu ia bisa memenjara kan roh—bukan hanya sebagai jiwa yang meng hidupkan tubuh, tapi sebagai setan gentayangan yang mampu mengarahkan pikiran kepada gagasan pem berontak an. Ternyata Tirana bukan hanya gelisah mengawasi pikiran mereka yang masih hidup, tetapi juga pe-nasar an kepada gagasan yang ter bawa mati, maka ia mem buru musuh-musuh nya ke alam ke matian dan melakukan pe menjara-an roh. Tidak cukup me menjarakannya, roh itu di siksa nya pula. Aku terkesiap di teng ah-tengah hujan per tanya an—apakah aku

mendengar ba gai mana roh disiksa? Roh yang disucikan kembali dan di is tira hatkan dari tugas ke manu sia an, kini harus menerima dan menahan beban pen deritaan.

Aku ditinggalkan dengan kepala yang sakit. Mimpi bu rukku belum juga berlalu. Seluruh pengalaman burukku seolah-olah terpancing keluar kembali karena peristiwa ini. Aku makin merasa sendiri. Apakah sudah waktunya aku meninggalkan negeri ini? Anehnya perasaan ingin pergi itu belum ada—aku masih terpukau bukan hanya oleh lempengan matahari raksasa yang menguasai ruangan langit dan terus-menerus separuh terbenam sehingga langit hampir selalu semburat kemerahan-merahan seperti sedang terbakar, melainkan juga oleh bayang-bayang ke-kelaman di bumi yang diakibatkannya. Negeri ini memang seperti kota tua yang dari waktu ke waktu seperti meriwayatkan seja-rahnya. Negeri ini seperti terdiri dari lapisan-lapisan waktu yang hadir bersama, sehingga selalu ada yang baru dari ruang yang sama. Di ruangan bawah tanah ini, setiap roh yang ter penjara memindahkan pengalamannya tanpa sengaja ke dalam sekat-sekat ingatanku. Aku baru akan menyadarinya kemudian, ketika akan menjadi semakin sering pengalaman orang lain itu terpancar ke dalam benakku.

Roh itu dipenjarakan karena gagasan yang dibawa mati. Pikiran Tirana menjaganya agar gagasan-gagasan yang tak pernah diketahuinya itu, di dunia orang mati, tetap terpenjara, karena sekali gagasan akan kebebasan merasuki pikiran orang-orang Negeri Senja yang masih hidup, maka pada saat itulah kekuasa-annya atas gagasan sudah hilang. Aku berusaha keras untuk tidak berpikir, tapi betapa sulit untuk tidak berpikir—apakah pikiran-ku sekarang terbaca? Pengalaman orang-orang yang rohnya terpenjara itu, roh-roh kaum pemberontak se panjang sejarah kekuasaan berkelebat seperti mimpi. Sejarah ratusan tahun menampakkan diri ke dalam sukmaku.

100

Kemudian aku membuka mata dan telah berada di bawah sebuah pohon palem. Seperti bangun tidur aku memicingkan mataku yang tertimpa cahaya keemas-emasan yang memantul dari langit. Orang-orang yang tidak terlihat wajahnya seperti menoleh sebentar sebelum meneruskan langkah. Pakaianku su dah begitu kusam karena kelembaban penjara bawah tanah itu, kurasa orang-orang yang lewat tidak bisa membedakan aku dengan kaum fakir, tapi benarkah aku telah mengalami sesuatu yang nyata? Benarkah aku telah melihat dan mendengar bagai-mana roh dipenjara dan di sana pikiranku diperiksa? Kurasakan pasporku di dalam kantung di balik baju. Ketika kuperiksa, terdapat cap imigrasi Negeri Senja.

14

Gerakan Bawah Tanah

AKU terbangun di kamar penginapan dengan kelebat ke sadaran bahwa penindasan akan selalu mendapat per la wanan—mes kipun perlawanan itu hanya akan berada di dalam pikiran. Tirana yang menyadari keadaan berusaha memburu lawan sampai ke dalam pikiran, bahkan memenjarakan rohnya bila mereka sudah mati, untuk meyakinkan bahwa kekuasaannya adalah mutlak. Kekuasaan Tirana seperti Tuhan, tapi Tuhan yang jahat dan suka mempermainkan korbannya—ba gaima nakah caranya melawan? Aku merasa sangat lelah, ba danku luluh-lantak dan otakku begitu lemah, seperti tak berdaya membangun sebuah dunia, di mana aku biasa berlindung dan membentengi diriku dari anasir-anasir yang meruntuhkan se mangat. Maka kudorong jendela dan mem biarkan cahaya senja menguasai kamarku. Kubiarkan semesta senja membangun dunia untukku, menyepuh dinding dengan cahaya keemasan, tapi yang tetap selalu kelam dalam kere mangan. Di luar jendela, kulihat sosok-sosok hitam berjalan dengan kepala tertunduk. Dalam keremangan, mereka hanya tampak seperti bayang-bayang. Aroma setanggi memenuhi ruang.

102 103

Negeri Senja selalu berada dalam keadaan senja, aku harus menentukan sendiri kapan aku menganggap hari sudah malam dan tidur, untuk bangun lagi pagi harinya, yang tentu saja adalah senja. Di Negeri Senja, setiap orang juga menentukan waktunya sendiri, dan hanya kesepakatan yang membuat sejumlah orang bangun dan tidur dalam saat yang seolah-olah bisa dianggap pagi, siang, sore, atau malam—karena dalam kamus Negeri Senja sendiri, seingatku istilah pagi, siang, sore, atau malam tidak ada. Ensiklopedi Negeri Senja memang menyebutnya, tapi untuk menunjukkan waktu di negeri lain. Sehingga ada juga orang-orang yang bangun dan tidur tanpa harus menyesuaikan diri dengan kesepakatan orang banyak. Betapapun, kesepakatan orang banyak itulah yang berlaku untuk menentukan apakah suatu saat disebut hari ini atau besok. Untuk itu mereka meminjam cara menentukan waktu dari negeri-negeri tetangganya, yakni sehari adalah 24 jam, untuk menjamin agar para pedagang dari negeri lain tidak terlalu kebingungan. Dari sebuah negeri seperti ini, harus kumaklumi betapa diriku terlalu sering mengalami peris-tiwa yang sulit dimengerti.

Cahaya keemasan itu tiba-tiba mengabur, dan kudengar deru yang mengerikan dari gurun. Kulihat orang-orang berlari sambil merapatkan kerudung, dan sebentar kemudian ber hem buslah badai pasir menyapu seluruh kota. Kututup jendela dan kudengar pasir beterbangan, bergantian merayap pada daun jendela, sebelum diterbangkan kembali entah ke mana. Ini bukan badai gurun pertama yang kualami, tapi aku tidak kunjung terbiasa. Bagi orang-orang Negeri Senja yang terletak di tepi padang pasir, badai seperti ini adalah bagian dari kehidupan sehari-hari. Pasir yang beterbangan itu membuat dunia jadi gelap. Senja selalu keremangan karena cahaya yang hanya tersisa dan pasir yang beterbangan ini membuat sisa cahaya itu semakin pudar. Dunia memang menjadi gelap, namun tidak menjadi malam, karena yang masih tersisa dari sisa cahaya menggelap itu masih juga menerobos

badai pasir, membuat suasana berubah-ubah antara terang dan gelap. Angin dari gurun itu kemudian terdengar bagaikan siulan, tapi siulan yang menjanjikan ancaman mengerikan.

Di antara suara badai yang menderu dan pasir yang meng-geser-geser daun jendela, telingaku mendengar suara lang kah dan orang bicara setengah berteriak. Hanya mendengar suara, aku tidak berani memastikan apa-apa—namun apabila kubuka jendela, pasir akan segera memenuhi kamarku. Se dangkan dari suara langkah dan suara orang setengah ber teriak, kutafsirkan orang-orang itu bukan kebetulan sedang berada di luar ketika badai gurun tiba. Orang-orang Negeri Senja sudah tahu kapan badai gurun akan lewat hanya dari hembusan angin beberapa jam, bahkan beberapa hari sebelumnya, karena me reka memang sudah begitu terbiasa. Apa yang dilakukan orang-orang yang sengaja keluar dalam badai gurun seperti itu?

Akhirnya kubuka jendela itu sedikit, karena aku memang sangat ingin tahu. Pasir melewati jendela itu, dan sebagian masuk. Di luar, dalam keremangan, kulihat orang-orang ber gerak meng-endap-endap. Badai pasir membuat pe man dang an itu terlihat semakin samar-samar dalam ke re mangan. Mereka mengendap-endap, tapi gerakannya sangat cepat sehingga aku mengatakan gerak mereka mengendap-endap itu hanyalah taf siran. Sosok-sosok itu se betulnya lebih merupakan bayang-bayang berkelebat. Aku membuka jendela lebih lebar, dan melihat, atau merasa melihat, dalam kekaburan yang amat sangat, seorang penunggang kuda ditarik ke bawah oleh tiga bayang-bayang berbaju hitam dan begitu jatuh ke atas pasir langsung ditikam, dengan pisau me-lengkung yang berkilat tajam.

Aku tercekat. Ketiga bayang-bayang itu langsung meng-hilang, seperti menyatu dengan pasir yang beterbangan. Lantas hanya tersisa badai pasir, dengan pasir beterbangan yang seperti hidup, seperti makhluk yang berjalan terhuyung-huyung dan terseok-seok, meraba-raba dinding, berhembus sepanjang lo-

104 105

rong, terjatuh, sebelum akhirnya melesat dan menyatu dengan makhluk-makhluk sejenisnya, melesat ke luar kota. Kulihat lapisan-lapisan pasir yang bergeser, yang terbawah merayap lamban, yang teratas terbang melayang-layang. Kemudian ter-lihat para Pengawal Kembar yang datang meniti cahaya se adanya. Badai pasir yang membuat keremangan nyaris men jadi kegelapan yang pekat menyebabkan sedikit Pengawal Kembar yang bisa dimuat. Mereka tidak datang serentak melainkan satu per satu, itu pun berwujud sosok kelabu lebih dahulu sebelum akhirnya menjadi tubuh yang tegas dan padat. Rupa-rupanya tubuh itu memecah diri dan lebur bersama cahaya sebelum tiba di tempat tujuannya. Semakin sedikit cahaya, semakin sedikit ruang yang mampu memuat tubuhnya.

Topeng-topeng mereka yang putih seperti wajah-wajah yang melayang tanpa tubuh karena badai pasir itu. Mereka mem bungkuk ke arah tubuh yang nyaris terkubur pasir, samar-samar kulihat salah seorang mengambilnya dengan satu tangan dan perlahan-lahan meng hilang. Kulihat kuda yang masih ter-tinggal itu, melangkah se panjang lorong dan menjauh sampai tidak kelihatan lagi ditelan badai pasir di luar kota. Kututup jendela, dan teringat kisah pemilik kedai pada suatu ketika, bahwa gerakan bawah tanah yang melakukan perlawanan ter-hadap kekuasaan Tirana selalu mengambil peluang untuk men-curi kesempatan dalam berbagai keadaan. Semenjak Tirana men duduki kursi kekuasaan duaratus tahun lalu, sebenarnya ber langsung per tempuran terus-menerus dan diam-diam antara pasukan pe merin tah dan gerakan bawah tanah. Sejauh bisa kutangkap, dengan per ben daharaan kata dalam bahasa Negeri Senja yang terbatas, selalu ber langsung teror yang dibalas dengan teror. Dari saat ke saat gerakan bawah tanah diburu, dan dari saat ke saat pasukan pemerintah disergap. Kekuatan yang tidak seimbang membuat gerakan bawah tanah hanya bisa mencuri-curi kesempatan, untuk melakukan pem bunuhan.

Namun setelah duaratus tahun, gerakan tampaknya se-makin matang dalam perlawanan. Usaha pembunuhan Tirana adalah bukti terjalinnya suatu jaringan, yang bagaikan benalu telah menjalar ke setiap sendi kehidupan. Sementara Mata-mata Istana berusaha menyusup ke setiap sendi organisasi gerakan per-la wanan, sebaliknya jaringan Mata-mata Istana di berbagai posisi berhasil disusupi anggota gerakan. Peta pertempuran diam-diam ini sudah menjadi jalinan yang begitu rumit tanpa bisa diper-kirakan. Tirana barangkali bisa membaca pikiran, namun bagai-mana jika pikiran yang dibacanya sengaja di kacaukan? Bisakah ia membaca pikiran di balik pikiran?

Gerakan bawah tanah sendiri mempunyai masalah yang bisa menjurus ke arah perpecahan, karena terdiri dari berbagai macam golongan yang tidak selalu sependirian tentang arah dan tujuan pergerakan. Golongan terbesar adalah Perhimpunan Cahaya yang dipimpin Rajawali Muda. Konon, dan memang hanya konon, Rajawali Muda menyimpan rohnya dalam tubuh seekor burung rajawali, sehingga bila ia tertangkap dan ter bunuh, maka rohnya bisa melesat dan meraga sukma ke dalam tubuh burung rajawali itu, sebelum mencari tubuh lainnya sebagai penjelmaan. Sudah beberapa kali Mata-mata Istana maupun Komplotan Pisau Belati berhasil menikamnya dengan pisau melengkung, tetapi Per-himpunan Cahaya segera saja kembali mempunyai pimpinan. Dari kelam ke kelam Tirana memburu rohnya, namun burung rajawali yang mengemban rohnya selalu terbang meninggi me-nuju matahari di cakrawala yang tiada kunjung terbenam.

Terdapat lima golongan lain yang besar, meski jumlah anggotanya kurang dari separuhnya dibanding Perhimpunan Cahaya. Itulah (1) Gerak Kesadaran yang didirikan oleh para bekas guru, karena sekolah-sekolah sudah dihancurkan; (2) Kerudung Perempuan, yang menampung semangat ke pe rem puanan; (3) Sabetan Pedang yang terdiri dari bekas-bekas anggota tentara; (4) Wira Usaha, yang digalang para pedagang; dan (5) Lorong Hitam

106 107

yang menampung orang-orang dunia hitam, yakni para penjahat, para pelacur, dan bekas narapidana. Di luar keenam golongan ini, masih terdapat duabelas golongan kecil-kecil, yang kadang mewakili kepentingan kelompok masya rakat tertentu, seperti (1) Persatuan Mawar dan Kuda, yang me nampung kaum pecinta sesama jenis; (2) Persatuan Pe minum Arak, yang dari namanya tentu sudah jelas; (3) Bantai, yang berpendapat kekerasan adalah satu-satunya jalan meng gulingkan kekuasaan; (4) Persatuan Perdamaian, yang ber pendapat se baliknya; (5) Daya Pembalasan, yang terdiri dari keluarga tahanan politik dan korban kekejaman Tirana; (6) Melati Hati, yang mewakili kepentingan aliran-aliran ke pe rcayaan yang sudah dihapuskan; (7) Pancaran Sinar Fil safat, yang terdiri dari para filsuf; (8) Suku Biru, yang memang sebuah suku di Negeri Senja, tapi hampir punah karena pembantaian massal penguasa; (9) Teratai Muda, yang terdiri dari kaum pemikir muda; (10) Sem bilan Matahari, yang hanya memikirkan lingkungan hidup; (11) Nafas Emas, sebuah perkumpulan me-ditasi; maupun (12) Naga Melingkar, yang begitu campur-aduk sehingga sulit dirumuskan. Ada juga golongan yang tidak ber-gabung dalam gerakan bawah tanah, meski selalu tertindas dan anggotanya banyak, yakni Perhimpunan Kaum Fakir.

Gerakan bawah tanah itu sudah memiliki suatu dewan perwakilan yang bekerja seperti lembaga resmi, darimana se luruh gerak perlawanan dikendalikan. Aku tidak bisa mem bayangkan seberapa jauh Tirana mengetahui atau justru mem biarkannya demi berbagai siasat yang tidak bisa ku per kirakan. Seperti biasa, aku sendiri ragu akan kesahihan pengetahuanku, karena aku tidak mempunyai perangkat bahasa yang menjamin ketepatan pe mahaman. Apa yang kuceritakan itu hanyalah suatu susunan tambal-sulam dari berbagai cerita yang kudengar di kedai, di pasar, dan di jalanan. Sepotong kalimat di sana, sepotong kalimat di sini, kutafsirkan dari hari ke hari, dengan pemahaman yang sangat terbatas, tapi masih memberi ke mungkinan yang ter-

kadang mengejutkan. Di negeri yang begitu kelam, diam, hanya terdengar suara langkah dan gumam dalam kesenyapan, ber-langsung suatu persiapan pemberontakan dan ancaman pem-bantaian yang mengerikan. Tak bisa kubayangkan, tapi aku seperti sudah mendengar suara jeritan….

Suara-suara badai pasir menghilang, di kejauhan terdengar badai ini melanjutkan perjalanannya. Aku mendengarnya se perti siulan yang pedih di tengah gurun. Seperti siulan jin raksasa yang sendirian dan merasa sepi.

109

15

Proklamasi Partai Hitam

SEORANG asing memasuki kedai dan meminta makan. Aku mendekatinya dan berbicara dengan bahasa Antarbangsa. Ia seorang kurir yang bertugas mengambil sesuatu di Negeri Senja dan membawanya keluar lagi. Ia menunggang kuda hitam yang tampak gagah dan mampu berlari cepat. Kepadaku ia berkata sering melakukan tugas ini, tetapi ia tidak pernah tinggal lama di Negeri Senja, karena begitu sulit baginya menyesuaikan diri dengan dunia yang selalu berada dalam keadaan senja. Lelaki bersorban itu makan dengan cepat lantas berangkat lagi. Kulihat lelaki bersorban itu menunggang kuda ke arah Istana Pasir, menghilang di balik lorong. Ia akan segera mengambil sesuatu di istana itu, dan segera pergi lagi. Negeri Senja adalah sebuah tempat terpencil, dan ia telah menempuh perjalanan yang pan-jang, tetapi ia lebih suka menginap di berbagai pos per hentian di tempat lain, karena mengaku tidak tahan dengan keadaan senja yang tiada pernah berubah.

Setelah lelaki itu menghilang, aku masih menatap ke ujung lorong. Dengan secangkir teh di atas meja, aku melihat pe-mandangan senja. Langit kemerah-merahan menyepuh awan-

gemawan, dan sosok-sosok hitam yang berjalan keluar-masuk lorong. Mereka yang selalu diam, mereka yang selalu melawan, berjalan diam-diam, tertunduk, dan perlahan-lahan. Seleret ca-haya senja membuat pasir keemasan, masih selalu lembut meski penuh kemuraman. Aku tidak pernah menghitung hari berapa lama aku sudah berada di Negeri Senja. Mula-mula kucoba menghitungnya dengan perhitungan 24 jam sehari, namun lama-lama aku letih mengingatnya. Sekarang kubiarkan saja waktu mengalir namun yang seperti tidak pernah mengalir karena matahari separuh terbenam yang tidak pernah beranjak itu. Waktu mengalir, namun seperti berputar-putar di Negeri Senja, memberikan suatu perasaan yang tidak bisa kujabarkan. Seperti ada kesunyian yang kosong dan memberikan perasaan terasing di mana cahaya yang tersisa dalam senja bisa terdengar sebagai bunyi yang sepi—seperti denging, tapi bukan denging, seperti gumam, tapi bukan gumam, seperti desah, tapi bukan desah, hanya sepi, tapi berbunyi. Mungkinkah itu bunyi ke kosongan?

Aku tahu tidak ada yang bisa begitu saja dipercaya di Negeri Senja, apalagi hanya dengan melihat dan mendengarnya. Ke-adaan senja yang selalu memberikan keremangan dan ke kelaman tidak bisa di anggap memberi pemandangan yang sebenarnya, sehingga aku tidak tahu bagaimana segala sesuatu yang kulihat harus ditafsirkan. Ke remangan dan kekelaman menjadi bagian tiada terpisahkan dari segala keadaan, tiada sesuatu yang cukup jelas untuk mencapai suatu keadaan yang bisa dipastikan. Bahkan Tirana yang berkuasa tiada pernah bisa memberikan kepada dirinya sendiri suatu kepastian, sampai ingin memastikan se-galanya dengan cara membaca pikiran, memenjarakan roh, dan memusnahkan gagasan.

Kurir itu telah menceritakan kepadaku bahwa gerakan bawah tanah akan bergabung di bawah bendera Partai Hitam yang keberadaannya akan diumumkan. Dari seorang asing aku memang bisa mendapat keterangan lebih banyak, meski ke-

110 111

benarannya harus selalu diterima dengan suatu penundaan. Ia telah berkata bahwa pernyataan berdirinya Partai Hitam akan ditandai oleh berkibarnya bendera dan umbul-umbul berwarna hitam di mana-mana. Lelaki yang telah menghilang di balik lorong itu mendengarnya dari Mata-mata Istana, dan tidak pernah jelas benar baginya apakah Tirana mengetahuinya. Segala kemungkinan memang terbuka dalam keremangan senja. Mata-mata Istana seringkali tidak melaporkan semua hal yang dike-tahuinya, tapi menceritakannya ke mana-mana; dan bisa pula Tirana telah mengetahui segalanya tapi dengan sengaja mem-biarkannya; lantas gerakan bawah tanah membiarkan Ti rana merasa mengetahui segalanya, tapi sebenarnya meng elabuinya; sedangkan Tirana juga akan membiarkan ge rakan bawah tanah merasa telah mengelabuinya padahal ia meng etahui segalanya lebih daripada yang bisa diduga.

Pikiranku menjadi ruwet membayangkan sulitnya menge -tahui apakah sesuatu bisa dipercaya atau tidak. Menurut kurir asing yang dalam waktu singkat telah bercerita banyak dalam bahasa Antarbangsa, sehingga aku bisa menangkapnya lebih baik daripada bahasa Negeri Senja, banyak di antara Mata-mata Istana juga me mainkan peran sebagai mata-mata rangkap, karena ge-rakan bawah tanah telah menyuapnya dengan mata uang emas. Di Negeri Senja, di mana keping mata uang emas sangat jarang terlihat, pantulan cahaya senja dari uang itu besar pengaruhnya kepada mata yang memandang dari balik ke rudung, seolah-olah kilatan cahaya itu telah menembus ke gelapan dan kekosongan di balik kerudung dan membuat se pasang mata yang berada di dalamnya berkilat. Demikianlah dikisahkan secara singkat oleh kurir itu, tetapi dengan sangat mengesankan, betapa mata se-orang Mata-mata Istana bisa memancarkan kilat sekejap apabila memandang keping mata uang emas. Di sebuah negeri yang selalu tenggelam dalam keremangan, sekilas cahaya sangat banyak artinya dan keping-keping mata uang emas yang sangat jarang

terlihat itu memang akan berkilat-kilat meski ditimpa cahaya yang hanya sedikit saja. Dikatakan oleh kurir itu, barangkali bukan nilai uangnya yang membuat keping emas itu membuat mata dalam kegelapan berkilat-kilat, melainkan kilat itu sendiri yang seolah-olah tidak membutuhkan cahaya untuk memantul dalam gelap.

Keping-keping mata uang emas yang sangat jarang terlihat itu berpengaruh besar dalam pergerakan kaum perlawanan, karena kemampuannya untuk mengubah kesetiaan; di satu pihak bisa membuat para Mata-mata Istana menjadi mata-mata rang-kap, yakni bekerja untuk istana maupun untuk gerakan bawah tanah, di lain pihak bisa juga membuat anggota per gerakan menjadi petualang yang memperdagangkan ke setiaan. Sangat sedikit keping emas yang beredar di sebuah negeri yang miskin seperti Negeri Senja, karena memang tidak ada suatu barang dagangan yang bisa begitu mahal sehingga mem bu tuhkan keping emas untuk membelinya. Di pasaran lebih banyak dijumpai uang perak, dan paling banyak perunggu, karena uang emas hampir semua terkumpul di Istana Pasir. Namun, de mikianlah kurir itu menyampaikan dengan singkat tapi meng esankan, darimana datangnya keping-keping emas be lakangan ini, yang beredar di antara kaum pergerakan, jika bukan dari istana jua adanya? Kurir itu sudah pergi jauh, aku tidak bisa bertanya apakah ada se seorang membongkar dan mencuri dari gudang penyimpanan keping emas di Istana Pasir, ataukah memang menjadi kebijakan untuk mengedarkannya dan meng acaukan keadaan? Di negeri yang remang-remang, segala se suatu yang berkilat-kilat lebih dari berharga.

Aku menghabiskan tehku dan menuangnya lagi dari teko keramik. Aku masih saja belum terbiasa dengan rasa manis yang luar biasa, tapi aku meminumnya juga. Darimana datangnya teh ini, pikirku, sudah pasti tidak ditanam di negeri ini karena sepanjang mata memandang hanya terlihat pasir, pasir, dan pasir.

112 113

Sampai sekarang aku juga belum mengerti bagaimana semangka dan pohon palem bisa tumbuh dalam cahaya senja. Keberadaan matahari sangat menentukan pertumbuhan ta naman, tetapi di Negeri Senja terdapat semak-semak, se mangka, dan pohon palem di sana-sini. Tentu tidak bisa dikatakan subur, tetapi tanaman adalah tanaman, dari tanaman yang ada di sekitarnya para tabib bisa membuat obat-obatan dan begitu manjurnya obat-obatan ini sehingga banyak pedagang yang membeli dan menjualnya ke negeri lain. Di tempat yang paling terpencil pun terkadang bersembunyi seorang empu. Dari dunia yang hanya berpasir berlangsung suatu permainan kekuasaan yang sudah berlangsung ratusan tahun. Uang emas, kitab-kitab, dan belati, betapa pe-rangkat ini telah dimainkan dalam pe radaban.

Di luar, kulihat para Pengawal Kembar melompat-lompat di antara cahaya. Kadang terdengar gemerisik busana mereka yang seperti gaun. Mereka mungkin mengejar seseorang yang pikir-annya terbaca oleh Tirana, karena tetap berpikir tentang perla-wanan di bawah cahaya. Di atas atap, jauh di langit, kulihat seekor burung rajawali. Sudah lama para Pengawal Kembar melesat beterbangan memburu burung rajawali, tetapi sampai hari ini mereka tak pernah bisa menangkap Rajawali Muda yang rohnya bisa keluar-masuk tubuh dengan leluasa. Bahkan Tirana yang bisa menangkap dan memenjarakan roh belum bisa me nangkapnya, karena setiap kali terlacak Rajawali Muda selalu berhasil meraga sukma ke tubuh siapa saja.

Apakah yang akan terjadi setelah Partai Hitam berdiri? Apakah penguasa yang tidak pernah mengizinkannya akan me-laku kan pembantaian? Ataukah Partai Hitam berani nekat untuk merebut kekuasaan? Dalam duaratus tahun pemerintahan Tirana setiap usaha pemberontakan bukan hanya dibungkam, tapi juga dimusnahkan. Suatu suku yang menguasai sebuah oase di padang pasir, dan karena itu berpeluang mendirikan kota baru, telah dibantai habis tak menyisakan seorang manusia pun. Bangunan di

sekitar oase dihancurkan kembali menjadi pasir, kebudayaannya dimusnahkan, dan tidak satu mulut pun di izinkan menyebut nama suku itu maupun menggunakan ba hasanya. Barangsiapa melanggar larangan ini, nasibnya tidak usah dipertanyakan lagi. Konon, dan memang hanya konon, Tirana tak pernah mem-biarkan roh orang yang berani me lawannya beristirahat dengan tenang. Konon, dan memang hanya konon, ia bisa mencacah-cacah suatu roh dan me masukkannya dalam botol-botol terpisah, sehingga se lama nya roh itu akan tersiksa. Tentang bagaimana caranya roh bisa dipisah-pisah seperti benda padat, tentu hanya Tirana yang tahu, dan kukira aku tidak akan pernah bisa me-ngerti. Seperti juga begitu banyak hal yang kudengar, kulihat, dan kualami di negeri ini yang begitu sulit dimengerti. Aku hanya mencoba mencatat, dan menceritakannya kepadamu, Alina. Telah begitu lama kita tidak bertemu, dan kurasa memang tidak akan pernah bertemu lagi, tapi aku selalu memikirkan kamu, seperti juga aku memikirkan Maneka.

Aku melangkah keluar untuk membersihkan keruwetan di kepalaku. Kemudian kulihat di ujung lorong sudah terpancang umbul-umbul hitam, pertanda penduduk lorong itu mendukung Partai Hitam. Aku melangkah ke ujung lorong itu, dan keluar ke jalan besar—ternyata hampir di setiap lorong telah terpancang umbul-umbul hitam dan dari atap-atap rumah di sekitarnya terpancanglah tiang-tiang bendera hitam. Di negara manapun di seluruh dunia, hitam adalah lambang kematian, dan segenap bendera dan umbul-umbul yang berkibar karena angin yang bertiup dari gurun itu bagaikan lambang kematian Tirana.

Bendera itu berkibar tenang pada senja yang kelam. Tak ada sorak-sorai, tak ada pawai, dan tak ada pidato berapi-api. Hanya bendera hitam yang dikibarkan, tenang tapi mengancam. Aku berjalan di antara rumah-rumah yang pintu dan jendelanya selalu tertutup. Aku tidak pernah tahu bagaimana kehidupan di dalam rumah, sedangkan di luar rumah hanya kujumpai orang-

114

orang yang tidak pernah berbicara. Sosok-sosok hitam bergegas dari lorong ke lorong, kepala mereka masih selalu berkerudung sehingga wajahnya tidak pernah tampak. Bendera yang berkibar itu hitam, berkibar sendiri dalam sunyi, dalam keremangan senja yang temaram….

B a g i a n 3

16

Pengembara di Tepi Sungai

SETELAH lebih dari tiga bulan tinggal di Negeri Senja, aku baru menyadari terdapat sebuah sungai di luar perbentengan, agak jauh di barat daya. Dulu aku tiba dari tenggara, setelah menye berangi gurun pasir yang begitu luas bagaikan tiada bertepi, sehingga aku tidak pernah melihat sungai itu. Tetapi seharusnya aku tahu bahwa sumber air merupakan salah satu alasan ber dirinya sebuah kota. Dari jauh, dari atas punggung keledaiku, ketika menjelajah wilayah baru di barat daya itu, kulihat sebuah perahu.

Pemandangan di bawah langit senja itu membuatku ter-nganga, karena sungai dan perahunya mula-mula tidak ke lihatan di balik tebing, hanya atapnya, dan kepala para pe numpang seperti meluncur di atas pasir. Baru kemudian kulihat betapa latar belakangnya adalah sebuah sungai, berkelok di antara dataran pasir, memantulkan langit senja. Di antara perbukitan pasir yang berwarna ungu muda, terpantul cahaya jingga dari permukaan sungai.

“Benarkah itu sebuah sungai, wahai keledai?”

118 119

Keledai itu tidak menjawab, dan tidak akan pernah men-jawab, karena rupanya keajaiban Negeri Senja belum ter masuk membuat binatang berbicara. Namun aku mempunyai kebiasaan mengajak keledaiku bicara, karena aku nyaris sangat jarang berbicara di Negeri Senja, dan juga sangat jarang mendengar orang berbicara. Ibarat kata aku hanya berbicara dengan diriku dalam hati saja—lama-kelamaan kebisuanku menjadi denging yang mengganggu. Aku harus berbicara, dengan siapapun, pokok-nya berbicara. Sampai aku berpikir betapa berbicara kepada seekor keledai pun tidak ada salahnya.

Aku tidak akan pernah tahu seandainya keledai itu ternyata tahu bahasa manusia—barangkali ia akan berpikir manusia penunggangnya gila. Tapi aku tidak sedang memikirkannya, aku sedang melihat munculnya sebuah sungai seiring dengan se makin mendekatnya aku ke tebing itu. Kulihat sungai yang berkelok-kelok di tanah landai, mengantarkan siapapun keluar-masuk Negeri Senja. Kukira lebih banyak orang yang datang dan pergi lewat sungai ini daripada melalui padang pasir, meski tentu hanya dari jurusan di mana sungai ini melaluinya entah di mana. Hanya satu perahu yang menepi, bahkan di tepi sungai itu tidak ada dermaga—kulihat perahu lain melewatinya saja, dan kulihat orang-orang di dalam perahu melihat keluar seperti menyaksikan suatu pemandangan yang jarang mereka jumpai.

Mereka memandang bola matahari merah raksasa yang separuh terbenam itu, tapi yang tidak pernah berhasil melesak lebih dalam lagi. Segalanya merah di langit senja, merahnya langit yang terbakar dan berkobar-kobar dalam kekelaman yang sendu. Orang-orang yang muncul dan menghilang di balik kelokan itu hanya lewat saja. Sepertinya perahu itu melewati terowongan atau gua yang tinggi kubahnya, setinggi kubah langit yang megah, tapi yang memang hanya lewat dan akan keluar lagi. Pada kubah langit kelam mereka saksikan langit yang kemerah-merahan, mereka saksikan cahaya keemas-emasan berdenyar semburat pada ham-

paran mega-mega. Kulihat pe mandangan langit yang terpantul di atas sungai.

“Kau lihatkah semua itu, wahai keledai?”Telinga keledai itu bergerak-gerak seperti mengerti, tapi ia

hanyalah seekor keledai—bagaimana caranya ia mengerti? Kemudian kulihat seorang pengembara. Bagaimanakah ki-

ra nya kita mengerti seseorang itu pengembara dan bukan pe-ngem bara? Aku sendiri selalu mengembara, namun kurasa tidak ada ciri-ciri tertentu pada diri seseorang yang bisa me nunjukkan dirinya seorang pengembara, kecuali mungkin pada sikap yang terpancar dari matanya. Di dunia ini ada bermacam-macam pengembara. Ada yang mengembara lebih karena ke betulan, misalnya saja karena ia harus bepergian untuk meng hadiri pesta adat di suatu tempat yang jauh; ada yang meng embara karena pekerjaan, misalnya ia seorang kurir, petugas pos, atau pedagang yang harus pergi dari kota ke kota, dari negeri satu ke negeri lain; ada yang mengembara karena peng embaraan baginya merupakan suatu tujuan. Pengembara yang menjadikan pengembaraan se-bagai suatu tujuan, dengan begitu justru tidak mempunyai tujuan tertentu dalam peng emba raannya. Ia mengembara dari kota ke kota, dari negeri ke negeri, demi peng embaraan itu sendiri. Inilah pengembara yang se benarnya, se seorang yang selalu menjelajah untuk mencari pengalaman, meng enal dunia, dan menemukan cakrawala baru. Seorang peng embara yang selalu menjelajah akan mempunyai cakrawala yang luas, hanya jika ia men jadikan penjelajahannya sebagai tujuan. Tanpa sikap seperti itu, per-jalanan yang panjang dan jauhnya seperti apapun hanya menjadi pengalaman tanpa makna, bahkan dirasakan sebagai beban. Namun ini tidak berarti seorang pengembara bisa bebas dari ikatan perasaan atas kampung halaman, akar kebudayaan, dan orang-orang tercinta yang ditinggalkan. Seorang pengembara akan selalu berada dalam keadaan gamang, antara kerinduan yang meruyak dan kehendak menjelajah yang tiada tertahankan—

120 121

seorang peng embara akan selalu mengalami keterasingan dan kesepian, namun setiap kali ia berhenti dan mengenal ling kungan akan segera dilanda kebosanan.

Para pengembara yang telah mengatasi masalah ini ke-mudian akan memasuki kesunyian dan keheningan. Pada saat itu penjelajahannya tidak terikat kepada ruang dan waktu dunia yang fana, karena bahkan semesta baginya tiada lebih dan tiada kurang telah menjadi rumahnya—tinggal tersisa perenungan yang meneruskan perjalanan di belantara makna.

Pemahaman ini membuatku merasa iba kepada orang-orang Negeri Senja. Dikatakan dalam Ensiklopedi Negeri Senja bahwa orang-orang Negeri Senja tidak mungkin hidup di tempat lain, karena lingkungan hidup mereka yang selalu berada dalam keadaan senja. Ada suatu tabir di negeri itu yang hanya orang-orang Negeri Senja bisa melihatnya dan tabir itu adalah suatu batas yang tidak boleh dilewati. Demikianlah disebutkan dalam Ensiklopedi Negeri Senja, barangsiapa melewati tabir itu akan terbakar matanya dan melepuh kulitnya dan rohnya tidak akan pernah kembali ke asal, gentayangan selamanya di dunia fana tanpa ketenteraman alam baka. Disebutkan juga dalam akhir catatan perihal Tirai Senja yang merupakan tabir pembatas antara Negeri Senja dan dunia selebihnya itu, bahwa pernah suatu ketika seseorang, bahkan beberapa orang dari berbagai masa peme-rintahan, karena penindas an penguasa pada za mannya, berusaha keluar dari Negeri Senja dan memang ke mudian dikisahkan betapa matanya terbakar, kulitnya me lepuh dan mengelupas, serta rohnya gentayangan di dunia fana se lamanya tanpa bisa kembali ke asalnya—roh-roh itulah yang suka berbisik dan memasuki mimpi para pengembara yang sedang menuju Negeri Senja.

Apabila mata orang-orang Negeri Senja itu terbakar, de-mikianlah mimpi yang merasuki para pengembara, maka mata itu benar-benar terbakar oleh api bagaikan mata itu kapas di bawah

suryakanta yang berada di bawah matahari membara. Keadaan tubuh orang-orang Negeri Senja hanya bisa sesuai bagi keadaan yang selalu senja seperti di Negeri Senja yang ma taharinya selalu separuh terbenam di cakrawala. Apabila mata itu menatap mata-hari di luar dunia mereka maka segera mata itu berubah menjadi seberkas api yang berkobar seperti himpunan korek api yang mendadak menyala bersama. Sebaliknya, ke adaan selalu senja itu tidak merupakan gangguan apapun bagi orang-orang dari luar Negeri Senja seperti aku dan siapapun pengembara yang telah melaluinya, kecuali betapa mata kami harus berusaha mem biasa-kan diri dengan keadaan yang selalu remang-remang. Aku tidak bisa membayangkan seandainya aku adalah penduduk Negeri Senja yang tidak bisa pergi ke mana-mana kecuali tetap di sana dengan penguasa yang selamanya bagaikan selalu bengis dan kejam tiada terkira. Betapapun indah suatu dunia, bukankah kita selalu ingin memperluas cakrawala? Bahkan keindahan dunia bagiku adalah dalam keluasan cak rawala.

Tapi, begitulah aku menghanyutkan diri dalam lamunan di atas punggung keledai sambil menatap sungai, Negeri Senja adalah suatu negeri dengan cakrawala yang berbeda. Cakrawala pan dangan mata Negeri Senja memang dibatasi oleh Tabir Senja yang tiada tertembus, namun berbagai ruang dan lapisan dunia di dalam Negeri Senja lebih dari tiada terbatas sebagai semesta yang terbuka bagi sebuah penjelajahan dengan cakra walanya sendiri. Nuansa senja yang selalu berubah-ubah dalam ke abadian kelam bukan hanya mengubah dunia bagi pandangan mata, tapi mem buka lapisan dunia berbeda-beda meski tem patnya sama. Di Negeri Senja yang dibatasi oleh Tabir Senja terdapat lapisan dunia yang tiada terhingga banyaknya setiap kali senja berganti nuansa, sehingga meskipun berjalan di tempat yang sama tetapi dunianya sudah berbeda. Aku tidak pernah tahu dan tidak akan pernah mampu keluar-masuk lapisan-lapisan itu, karena aku bukan orang Negeri Senja. Aku dan setiap pengembara yang memasuki

122 123

Negeri Senja hanya bisa bergerak di lapisan pertama, yang sedikit-banyak terhubungkan dengan dunia di luarnya di bumi yang sama darimana para pengembara itu berasal, namun orang-orang asing ini tidak akan pernah bisa memasukinya.

Untunglah Ensiklopedi Negeri Senja menyediakan banyak catatan, yang dengan susah-payah bisa kubaca dari sebuah penjualan buku gelap, karena di Negeri Senja secara resmi penyebaran pengetahuan yang memperluas cakrawala pe mi kiran dilarang. Dalam Ensiklopedi Negeri Senja terdapat pen jelasan betapa orang-orang Negeri Senja bisa melanglang di dalam negara dari dunia ke dunia, dan dalam Ensiklopedi Negeri Senja itu juga catatan tentang lapisan-lapisan dunia itu bukan alang kepalang banyaknya, boleh dikatakan nyaris tiada ber hingga meskipun tentunya berhinggalah kiranya selama ter dapat cakra-wala. Barangkali bisa kuceritakan kepadamu Alina, dan juga jika dikau mengikutinya, Maneka, betapa Negeri Senja itu bagaikan sebuah kepala, yang begitu terbatas ukurannya, dan bisa ditim-bang berapa berat otaknya, tetapi yang dalam pi kirannya me-nyim pan berbagai-bagai lapisan dunia tiada ter batas, meski tentunya lagi-lagi berhingga. Bisakah dikau ba yangkan hal itu Alina, dan dikau juga Maneka?

Kulihat ia turun dari perahu yang langsung meneruskan perjalanannya. Seperti semua orang yang sedang berada dalam perjalanan, ia membawa tongkat bercabang yang digantungi sebuah buntalan. Ia mengenakan busana yang tidak dikenakan oleh orang-orang Negeri Senja, tanpa kerudung dan penutup kepala, sehingga parasnya terlihat jelas. Ia tampak cerdas, baik hati, namun tatapannya tajam dan keras. Rambutnya yang keri-ting tampak memutih karena debu dan pasir. Dalam ke remangan senja, wajahnya tetap tampak jelas. Ia memandangi cakrawala yang bergetar menahan tekanan matahari sambil mengusap-usap dagunya. Apakah yang sedang dipikirkannya? Aku teringat hari-

hari pertamaku yang penuh dengan ke bing ungan, yang rasanya belum sirna sepenuhnya sampai se karang.

Ia memandang sungai dan aku memandanginya sedang memandang sungai. Sungai itu lebar, berkericik seolah dangkal, tapi kurasa tidak terlalu dangkal, bisa kupandang dari tempatku duduk di atas punggung keledai berkelok-kelok menghanyutkan perahu yang membawanya tadi pergi dari Negeri Senja. Terlihat siluet sosok-sosok mengambil air di tepi sungai, lantas ber iringan sepanjang tepi sungai membawa kendi air di atas kepala. Mereka juga melihat perahu itu pergi. Apakah yang dipikirkan orang-orang di dalam perahu itu melihat orang-orang Negeri Senja? Apakah yang dipikirkan orang-orang Negeri Senja itu melihat perahu itu memasuki dunia mereka, dan pergi lagi ke dunia lain? Aku masih sibuk dengan pikiranku sendiri, ketika kulihat pe ng em-bara itu mendirikan tenda, dan siap tinggal di dalamnya. Ia tentu mempunyai perasaan sebentar lagi hari akan malam—seperti aku dulu, ia ingin tidur dengan perasaan akan bangun besok pagi. Ia memang akan terbangun besok, ketika hari masih juga senja.

Aku membalikkan keledaiku, kembali ke kota. Padang pasir mengertap keemas-emasan dalam cahaya senja.

125

17

Seorang Pembicara

KEMUDIAN, entah berapa lama setelah peristiwa itu, karena aku lelah menghitung hari dalam keadaan senja se panjang masa, aku kembali menunggangi keledaiku di se panjang tepi sungai. Dari kejauhan, di atas gundukan pasir, kulihat pengembara itu ber-bicara di hadapan sejumlah orang yang mendengarkan dengan tekun. Keremangan senja membuat para pendengar hanya tam-pak sebagai sosok-sosok hitam yang me meluk lutut, namun seberkas cahaya keemasan menimpa wajah pembicara itu, mem-buat pipinya memerah bagai tembaga.

Pengembara itu tampaknya seorang pembicara yang pan dai, dari kejauhan aku tidak mendengar kata-katanya deng an jelas, tapi para pendengarnya seperti terhanyut dengan per soalan yang diceritakannya. Ia berdiri di gundukan tertinggi, memberikan khotbah, dalam latar suara kericik air sungai. Sampai di dekat kerumunan itu, aku turun dari keledaiku, mendekat dan duduk bersama mereka. Ternyata ia begitu fasih berbicara dalam bahasa Negeri Senja—apakah ia telah mem pelajari bahasa negeri ini jauh sebelumnya? Bahkan sampai hari ini, aku tidak menganggap

diriku telah mengerti bahasa Negeri Senja yang sepintas lalu mudah, namun ternyata sangat rumit. Aku tidak mampu meng-ingat apalagi menghafal kata-katanya agar bisa menyalinnya dengan lengkap. Kefasihannya justru membuat aku tidak berdaya mengutipnya dan hanya bisa ter pesona.

Aku hanya bisa mengingat ketenangannya yang tampaknya dianggap menyejukkan, dan kata-kata yang seperti membawa pendengarnya ke dunia lain karena melawan ketaklukan kepada kekuasaan. Di Negeri Senja, meski cahaya keemasan selalu melukis pemandangan yang menakjubkan dalam keremangan, para penduduknya selalu hidup dalam ketegangan. Cerita ten tang kemampuan Tirana untuk membaca pikiran dan mem buru roh setelah kematian telah membuat setiap orang menyuruk-nyuruk dalam kegelapan. Sejak bayi setiap warga Negeri Senja telah dilatih untuk menghindari tangan-tangan kekuasaan yang men-celakakan, dan kehidupan semacam itu telah menjauhkan setiap orang dari kewajaran. Kegelapan dan kerahasiaan men jadi bagian dari kehidupan yang merumitkan, sehingga mem perlihatkan wajah dan berkata-kata menjadi tindakan yang dilakukan dengan penuh pertimbangan.

Pembicara itu membangun sebuah dunia yang penuh ke-damaian. Para pendengarnya bagaikan terbangun dari tidur yang panjang dan baru menyadari betapa dunia ini penuh dengan makna. Betapa tak terberkahi hidup dalam kecemasan, betapa tanpa rahmat hidup dalam kegelisahan. Setiap orang harus mampu menguak tempurung kegelapannya, setiap orang harus berjuang menguak ketakutannya. Pembicara itu berada di se berang sungai, mereka yang telah menyeberangi sungai dan mendengar pembicara itu berkhotbah sebagian besar tidak kem bali lagi. Mereka mendirikan tenda di seberang sungai dan menjalani kehidupan yang baru. Mereka ingin hidup dalam kedamaian, mereka ingin hidup dalam ketenangan, dalam kese-derhanaan yang tiada pernah terbayangkan bisa dijalani bersama.

126 127

Dengan kata-kata yang meyakinkan dan suara yang me-neduhkan, pembicara itu membawakan suatu kepercayaan akan harapan. Dari tempatku ia tampak membelakangi matahari separuh terbenam, menjadi sosok hitam dengan jubah me lambai-lambai. Ia telah mengganti busana pengembaranya de ng an bu-sana seorang pendeta, namun tidak pernah jelas pendeta dari latar kebudayaan apa, bahkan yang disampaikannya pun tidak seperti ajaran agama. Tetapi ia berjubah dan kini meng enakan ikat kepala. Ia berdiri di sana dan berkata-kata tanpa harus meyakinkan pendengarnya betapa pendapatnya harus diterima, sehingga justru menciptakan kesan betapa yang di sampaikannya memang merupakan kebenaran. Ia hanya ber bicara dan ber-bicara, dengan fasih tapi lirih, tapi meski lirih sangatlah jelas terdengar di antara deru angin berpasir dan kericik air sungai yang tiada pernah berhenti.

Kebenaran selamanya merupakan sesuatu yang muskil—seperti terang yang bukan kenyataan, tetapi dalam gelap yang tak bisa memberi penglihatan, tiada kepastian yang bisa dipegang. Namun rupanya yang dibutuhkan banyak orang adalah ke-yakinan, dan dalam keyakinan itu penalaran lebih sering di-singkirkan. Bagaimanakah bunyi dan suara yang membentuk arti kata-kata bisa begitu meyakinkan? Orang-orang Negeri Senja sudah lama tidak mendengar seseorang berbicara panjang dengan tenang tanpa merasa takut. Orang-orang Negeri Senja sudah terlalu lama terbiasa dengan kebisuan, saling pengertian tanpa ucapan, dan pemahaman dalam selintas tatapan. Se dangkan ia berbicara seperti sungai mengalir, angin ber hembus, dan cahaya melesat berkelebatan. Dalam pesona orang-orang mendengar debur ombak, melihat naga menggeliat, dan me rasakan embun menetes ke telapak tangan. Orang-orang gurun pasir ini tiba-tiba bagaikan berada di tengah hutan yang rimbun, danau mengkilat, dan gerimis rintik-rintik yang tiada pernah terbayangkan. Begitu

meyakinkan penggambaran sang pem bicara, dan begitu meme-sona, tanpa seorang pun me ra gu kannya.

Kedamaian yang terindah telah merasuki jiwa orang-orang yang datang ke seberang sungai sehingga sebagian besar tidak ingin kembali, sedangkan mereka yang kembali ke kota datang lagi mengajak orang-orang lain menyeberangi sungai untuk mendengarkan kata-kata sang pembicara. Tidak ada jembatan di sungai itu, maka menyeberangi sungai artinya berjalan me-masuki sungai dengan air sampai ke dada dan anak-anak kalau ada harus dipanggul pula sehingga mereka semua basah-kuyup ketika sampai di seberang. Dalam cahaya senja semakin banyak orang berduyun-duyun menjadi bayang-bayang hitam ber iring-an dalam latar lempengan matahari raksasa separuh ter benam yang merah membara. Perahu-perahu yang biasa lewat kali ini melihat pe mandangan berbeda selain matahari yang tiada kun jung ter benam itu, pemandangan seorang pembicara di atas bukit pasir yang dikelililingi lingkaran-lingkaran pendengar yang semakin lama semakin melebar. Orang-orang Negeri Senja yang tidak pernah keluar dari batas negaranya sebetulnya tidak pernah menyeberangi sungai ini karena tidak pernah mem punyai ke per luan di seberangnya selain mengambil air tanpa harus menye berang. Hanya mereka yang pergi berburu elang akan menye berang dengan kuda atau unta dan tidak pernah ada penye-berangan yang begitu sering dan begitu banyak seperti sekarang.

Ketika aku datang kembali setelah sekian lama maka tempat itu telah menjadi tempat perkemahan para peziarah yang enggan pulang karena lebih suka membuaikan diri dalam harapan dan keyakinan. Perkemahan yang telah menjadi per kampungan yang melebar ke sepanjang tepi sungai itu membuat perahu-perahu yang semula hanya lewat saja di Negeri Senja menepi sebentar karena penumpang dan pemilik perahunya ingin men dengarkan kata-kata sang pembicara. Banyak di an tara yang turun dari perahu

128 129

itu bahkan tetap tinggal dan tidak meneruskan perjalanannya. Bahkan ada juga di antara pemilik perahu itu yang tidak bersedia me neruskan perjalanannya setelah mendengarkan kata-kata sang pembicara yang me yakinkan.

Hanya aku saja sepertinya yang bisa meninggalkan ke-rumunan ketika sang pembicara berkhotbah karena aku bukan orang yang bisa menjadi seorang pengikut, seorang anggota, seorang peserta, seorang yang tergabung dalam apapun yang berada bersama orang banyak. Aku sudah terbiasa untuk selalu pergi dan selalu sendiri meskipun kali ini aku suka tinggal berlama-lama di Negeri Senja hanya untuk mengikuti per kem-bangan. Aku telah menulis sejumlah catatan seperti telah kau baca Alina, dan maafkan aku karena barangkali saja kau temukan betapa kalau dibaca sangat membosankan. Maklumlah aku bukan seorang penulis yang berbakat, bukan pencerita yang memikat, dan sangat tidak mempunyai kemampuan untuk menggambarkan segalanya dengan tepat. Namun meskipun aku hanyalah seorang musafir lata, aku tetap ingin mencatat peng alaman, barangkali saja dikau akan membacanya suatu ketika di suatu tempat entah kapan.

Pembicara itu memandangku sepintas lalu ketika aku ber-diri dan meninggalkan lingkaran untuk kembali me nye berang. Sambil menunggangi keledai kuseberangi kem bali sung ai yang memantulkan cahaya kemerah-merahan, di tengah-tengah sungai aku berpapasan dengan suatu regu pasukan berkuda yang di-pimpin salah seorang Pengawal Kembar. Aku telah lama mem-perkirakan bahwa kehadiran pembicara di seberang sungai itu akan menarik perhatian Istana Pasir. Per damaian barangkali bukan berarti perlawanan, tetapi pem bebasan jiwa dan pikiran hanya berarti kekalahan bagi Tirana yang mengukur kekua-saannya dengan ketertundukan dan ke taklukan. Adanya warga Negeri Senja yang mendapatkan pem bebasan dalam kata-kata seorang pendatang merupakan tan tangan. Menurut orang-orang

yang kemudian mulai ber bicara tanpa takut pikirannya dibaca, Tirana tidak akan pernah mem biarkan pikiran siapapun menjadi pedoman tan ding an.

Demikianlah ketika aku tiba kembali di seberang, pasukan berkuda itu sudah tiba pula di seberang darimana aku datang. Dari seberang sungai kulihat pasukan berkuda itu mengelilingi para peziarah yang telah datang dari tempat-tempat yang jauh, dari dalam maupun dari luar Negeri Senja. Orang tua, pe rempuan, dan anak-anak tanpa kecuali, duduk dalam ling karan yang sudah menjadi semakin berlapis-lapis. Banyak di antara mereka yang mulai membuka kerudungnya meski belum semua. Wajah-wajah mereka tampak damai dan pasrah dalam ke re mangan senja. Warna tembaga kulit wajah mereka karena sapuan sisa cahaya membuat mereka bagaikan sekelompok arca yang membisu tetapi mata mereka kini hidup dan menyala. Pasukan berkuda mengelilingi mereka sambil ikut men dengar kan juga. Tidak jelas apa yang mereka pikirkan sembari men dengarkan pengembara itu berbicara. Bahkan mereka juga sangat jarang mendengar manusia berkata-kata, dan kehidupan mereka juga jauh dari kedamaian karena memang selalu berada dalam an caman bahaya.

Betapapun kehadiran mereka membuat suasana menjadi tegang. Sementara pasukan berkuda itu mengelilingi lingkaran, Pengawal Kembar bertopeng yang ditakuti itu berjalan mondar-mandir di atas kuda tanpa bersuara. Bagian atas tubuhnya yang tanpa busana juga tampak tembaga dalam cahaya senja. Rajah kalajengking di dada dan punggung itu pun berkilat keemasan seolah-olah suatu hiasan yang tertatah di sana. Pembicara itu tidak mempedulikan kedatangan mereka, seperti dianggapnya mereka itu juga datang untuk mendengarkan dirinya. Demi kianlah ia terus berbicara ibarat sungai yang meng hanyut kan selembar daun dengan seekor semut di atasnya. Ia bisa membuat selembar daun itu menjelajah tanpa pernah tenggelam dan semut itu bisa menikmati pemandangan yang men cerahkan. Sungai itu menghanyutkan daun menuju ke

130

sebuah dunia dengan seribu matahari dan seribu senja tenggelam di kejauhan. Mata para pendengarnya berbinar-binar, pembicara itu telah mem bawa mereka ke sebuah dunia yang menakjubkan. Dari jauh, ku dengar suaranya yang dibawa angin, betapa semesta bagaikan tanah liat di tangannya, bisa dibentuknya menjadi apapun yang disukainya. Siapakah dia?

“Siapakah dia, Sahib?”Di sebelahku terdapat seseorang menunggang kuda, yang

tadinya kukira Mata-mata Istana, karena hanya mereka yang selalu suka bertanya-tanya.

“Dia seorang pengembara,” kataku, “selebihnya tak ada yang kutahu.”

“Sahib juga seorang pengembara kukira,” katanya, “dan Sahib tahu banyak sebetulnya.”

Aku menoleh. Seperti orang Negeri Senja lain, aku tidak bisa melihat wajahnya di dalam kerudung, namun dari ruang gelap dan kosong itu terpancar kilat dari sepasang mata.

“Aku Rajawali Muda,” katanya.Belum selesai ia menutup mulutnya, Pengawal Kembar telah

melesat berusaha melumpuhkannya. Sebuah pu kulan telapak tangan membakar tubuh orang yang mengaku bernama Rajawali Muda itu. Tubuhnya menyala kebiruan lantas menjadi abu.

Tapi Pengawal Kembar itu mendongak ke atas dan ber teriak kesal.

“Lolos lagi!”Di langit kulihat seekor burung rajawali yang hanya ada di

dalam dongeng kini terbang dalam kenyataan, berkepak pergi terbang menjauh, barangkali pulang ke alam dongeng.

Angin membawa suara sang pengkhotbah di tepi sungai. Ia menatap burung rajawali yang melintas di angkasa. Lantas berbicara tentang jiwa merdeka.

18

Para Pelajar Sekolah Bebas

AKU sering datang ke tepi sungai bukan karena ingin men-dengarkan khotbah, melainkan karena aku sangat menyukai sungai. Aku senang melihat aliran sungai dan mendengar suara air di tepian yang berkericik dengan lirih dan kadang terdengar seperti sedang bercerita. Mem bayangkan betapa air yang meng-alir di depanku itu datang dari tempat yang jauh dan akan sampai ke tempat yang juga jauh, memberikan aku semacam perasaan iri yang menyenangkan, ke terasingan yang dirindu kan, perjalanan yang menggairahkan. Aku tidak mendekati tempat para peziarah mendengarkan khotbah, karena meskipun aku menganggap pem-bicara itu menguraikan gagasannya dengan penuh pesona, aku lebih suka mendengar sungai berbicara.

Sungai memang tidak mempunyai bahasa yang bisa di-sepakati bersama, tetapi aku bisa menafsirkannya seolah-olah dia bercerita. Melihat aliran dan mendengar gemericik suaranya seseorang bisa merasa mendapat perluasan cakrawala, bahwa sungai itu dari ujung ke ujung mempersembahkan sebuah dunia. Memandang perahu yang lewat, berhenti, dan berangkat lagi itu

132 133

saja juga telah memberikan perasaan ditinggalkan di sebuah tem-pat terpencil, namun yang tidak kurasakan sebagai pen derita an, melainkan permainan rasa dalam perenungan yang lebih dari sekadar penalaran. Aku bisa meninggalkan Negeri Senja setiap saat, tetapi aku senang menghayati ke ter pen cilannya, sampai pengetahuan yang kudapatkan se adanya lebih banyak berbicara.

Permukaan sungai yang memantulkan langit senja ke jingga-jinggaan itu berkilat dan berkelok-kelok bagaikan menuju ke arah matahari terbenam, seolah-olah matahari separuh terbenam yang merah membara itu semacam terowongan, semacam muara, semacam akhir tujuan sungai itu meskipun sebetulnya tidak demikian. Di ujung yang tidak terlihat oleh mataku sungai itu membelok ke luar Negeri Senja, dan saat itu para penumpang perahu akan melihat matahari separuh ter benam yang tiada pernah membenam selama-lamanya untuk terakhir kalinya mung -kin dengan perasaan belum tentu akan kembali lagi me lihatnya. Perjalanan ke Negeri Senja bukanlah perjalanan yang terlalu mudah, karena melalui gurun pasir maupun sungai akan selalu menghadapi badai gurun yang tidak pernah bisa di ramalkan.

Dulu ketika aku mengikuti kafilah para pedagang dari arah tenggara, hampir selama seminggu terus-menerus kami dilanda angin berpasir yang begitu kencang sehingga tidak bisa melihat ke depan. Kupercayakan saja keselamatanku kepada untaku yang beriringan dengan unta-unta lain dalam kafilah itu. Se dangkan ketika badai berhenti terik matahari yang menggila nyaris tiada tertahankan panasnya.

Ketika memasuki wilayah Negeri Senja, senja tak pernah beranjak lagi untuk selamanya. Demikian pula keadaan Negeri Senja apabila seseorang datang melalui sungai, ia akan meng-alami senja secara wajar seperti yang sudah seharusnya dalam perjalanan waktu dari pagi menuju siang menjadi sore dan menjelang malam, untuk menyaksikan betapa senja itu tak per-nah beranjak. Matahari yang biasanya timbul dan tenggelam

sebagai fajar dan senja bagaikan melebur dengan matahari Negeri Senja, yang sudah ada di sana sejak masa yang tiada diketahui untuk selama-lamanya. Susah dibayangkan, tapi di alami oleh setiap orang yang memasuki Negeri Senja.

Di sungai itu aku memandang senja, dan melihat pem bicara itu mendapatkan pendengar yang semakin lama semakin banyak. Melihat orang banyak itu diriku bertanya-tanya, jika kedamaian begitu menyejukkan dan menenteramkan apakah itu berarti setiap orang dan semua orang boleh menenggelamkan dirinya da lam kesejukan dan ketenteraman untuk selama-lamanya? Orang-orang yang telah tiba di sana menyeberang sungai dan menjadi pendengar yang mulia, tiada pernah kembali ke asalnya. Tenda-tenda semakin banyak seolah-olah telah terbentuk tempat pengungsian dari berbagai negara untuk mendapatkan suaka kedamaian yang menghindarkan setiap orang dari kenyataan dunia. Aku bertanya kepada diriku sendiri apakah di antara orang banyak ini tidak ada satu pun yang mempunyai pendapat ber-beda? Di antara begitu banyak orang yang datang dari berbagai tempat di berbagai pelosok bumi, tidak adakah yang mempunyai pendapat berbeda dengan orang yang berkhotbah itu dan berani mengutarakannya?

Pasukan berkuda yang dikirim dari Istana Pasir dan para Pengawal Kembar tidak pernah muncul lagi untuk mengelilingi lingkaran para pendengar, kecuali mendekat sampai ke tepi sungai dan tidak menyeberang seperti hanya untuk berpatroli saja, dan mereka memang hanya berpatroli saja karena aku percaya begitu banyak Mata-mata Istana sudah di selun dupkan di sana. Tiada seorang pun akan bisa menduga siapakah kiranya di antara orang banyak yang berdatangan itu adalah Mata-mata Istana. Keahlian mereka untuk membaur dan me lebur telah begitu terlatih, apalagi tak hanya penduduk Negeri Senja yang ada di sana, sehingga makin rumit untuk mem bedakan adanya se orang Mata-mata Istana di antara begitu banyak orang yang

134 135

tidak dikenal di tempat terbuka. Apakah dia mewujudkan dirinya sebagai seorang fakir? Apakah dia seorang tukang perahu? Apakah dia seorang perempuan tua? Apakah dia meminjam mata binatang-binatang di balik kelam? Dalam keremangan senja dengan sejuta bayang-bayang, betapa susahnya menemukan seseorang, apalagi seseorang yang meng hindar untuk ditemukan.

Sehingga tiada seorang pun yang merasa perlu memper-tanyakan ketika muncul duabelas orang dari duabelas titik yang secara bergantian atau secara bersama-sama men debat hampir semua perkataan sang pengkhotbah yang sudah berbulan-bulan selalu didengarkan. Duabelas orang yang berasal dari duabelas penjuru bertemu secara kebetulan saja di tepi sungai di Negeri Senja sebagai orang-orang yang meng elilingi segenap penjuru bumi mencari seorang guru yang bisa mencerahkan pemikiran. Masing-masing duabelas orang ini telah melatih diri dalam menyusun penalaran dan olah perdebatan. Dari tempat satu ke tempat lain mereka masing-masing mencari cendekiawan yang bisa menjawab pertanyaan tentang dunia, tentang hidup, tentang manusia, dan segala sesuatu di sekitar mereka dengan tuntas—namun mereka tidak pernah terpuaskan. Dari kota satu ke kota lain, dari kampung satu ke kampung lain, dari negeri satu ke negeri lain, mereka mencari buku-buku pintar, sekolah-sekolah filsafat, dan orang-orang pandai yang bisa men jelaskan, tetapi sementara mereka menjadi semakin mendapat banyak penge-tahuan, semakin per tanyaan mereka tidak bisa dijawab dengan meyakinkan. Padahal pertanyaan-per tanyaan mereka sangat se-der hana, meski ter nyata tidak terjawab juga.

Setiap orang dalam perjalanannya kemudian menyusun penalaran sendiri. Mereka berusaha menjawab sendiri per ta-nyaan-pertanyaan mereka, namun akhirnya meski usaha men-jawab pertanyaan-pertanyaan itu tersusun dengan pe na laran yang telah menjelajah segenap kemungkinan dan per soalan pada akhirnya tetap berujung dengan pertanyaan-pertanyaan, se men-

tara pertanyaan semula ternyata belum terjawab pula. Dari ruang ke ruang dari waktu ke waktu mereka masing-masing merenungi dunia dan memeriksa kehidupan sampai secara kebetulan tiba di Negeri Senja. Telah mereka dengar dari para pengembara dalam perbincangan di berbagai kedai di setiap persimpangan jalan tentang munculnya seorang pembicara, seorang pengkhotbah, yang menyampaikan kata-katanya dari atas sebuah gundukan pasir di tepi sebuah sungai di suatu negeri di mana matahari tidak pernah terbenam dan hanya bertengger saja di cakrawala separuh terbenam selama-lamanya.

Bahwasanya duabelas orang itu selalu mendebat, justru membuat pembicara itu rupa-rupanya bahagia. Sudah bertahun-tahun ia mengembara dan berbicara di berbagai tempat, tapi ia tidak pernah mendapat tanggapan. Ia memang mempunyai ga gasan, yang merupakan suatu kesimpulan atas berbagai ma-salah, dengan suatu susunan penalaran yang memang ber usaha me yakinkan, namun penalarannya itu ia susun karena ingin men dapat tanggapan. Dengan mengungkapkan caranya ber pikir, ia inginkan agar setiap orang dengan mudah me nemukan ke-lemahan dan memperbaikinya, namun orang banyak selalu men-dengarkannya dengan terpesona dan tidak pernah bicara apa-apa, dengan pandangan mata yang percaya bahwa ia mem bawakan kabar kebenaran, padahal sebetulnya ia mem per tanyakan ke-benaran.

Pendapat ini baru kuketahui kemudian, setelah dengan lebih hati-hati aku memperhatikan kata-katanya. Bukan hanya karena aku tidak terlalu menguasai bahasa Negeri Senja, dalam bahasa yang paling kukuasai pun suatu jaringan makna bisa sangat mengecoh karena kemungkinan atas keragaman dalam menaf sirkannya. Tafsiranku semula mungkin tidak keliru, na mun ternyata aku juga bisa menafsirkannya secara sangat berbeda. Duabelas pelajar yang telah mengembara ke segenap pelosok bumi itu juga menafsirkannya dengan berbeda-beda, sehingga

136 137

menyulut per bincangan yang terdengar sebagai per debatan. Me mang itu merupakan perdebatan dan apa sa lahnya dengan per debatan karena perbincangan yang berapi-api tetapi jernih dan cerdas itu telah menyentakkan kesadaran begitu banyak pen-dengarnya akan maknanya hidup dalam dunia yang bebas.

Duabelas pelajar itu telah mengubah khotbah satu arah menjadi perbincangan simpang-siur yang menyulut gairah di seluruh perkemahan. Bagi orang-orang Negeri Senja suasana seperti ini membebaskan jiwa mereka yang sudah lama tertekan dalam kegelapan. Seperti terbangun mereka dari tidur yang lelap dan tersadar betapa kedamaian tiada bisa didapatkan tanpa perjuangan. Segala sesuatu harus diperjuangkan, dan ke mer-dekaan tidak mempunyai arti jika hanya merupakan pem berian. Perbincangan hangat di tepi sungai itu menjadi sebuah sekolah bebas. Tiada lagi seorang pembicara yang menguraikan kata-kata sendirian tanpa habis-habisnya dengan begitu banyak orang yang hanya diam terbuai dalam ketenteraman karena duabelas orang yang mempertanyakan telah mendorong semua orang di tepi sungai itu menjadi para pelajar sekolah bebas.

Aku menyaksikan semua perkembangan itu dari seberang sungai dengan penuh rasa takjub. Bukan hanya orang-orang Negeri Senja, tetapi banyak orang dari berbagai tempat lain telah melakukan perjalanan yang bukan hanya jauh tetapi juga ber-bahaya untuk mencapai pencerahan dalam dunia mereka yang gelap. Bukan hanya Negeri Senja yang dikuasai oleh kebisuan dan kegelapan, tetapi juga negeri-negeri dengan matahari ter-ang-benderang tidak memberikan pencerahan bagi manusia yang bermukim di dalamnya, hanya demi kekuasaan. Di Negeri Senja yang kelam, yang suasananya selalu remang-remang, masih tersisa cahaya untuk membaca makna. Kulihat perahu-perahu yang masuk ke Negeri Senja, memasuki genangan cahaya yang selalu jingga. Semakin banyak pendatang, semakin banyak pe-

ziarah yang telah mendengar tentang pencerahan yang me rebak dalam kegelapan Negeri Senja.

Di tepi sungai, kehidupan menjadi lain, karena telah ber-ubah menjadi pasar malam meski hari tak pernah menjadi malam. Orang-orang tidak hanya berdebat, mereka juga ber-gembira ria. Tenda-tenda menjadi panggung hiburan. Di antara orang-orang Negeri Senja yang sebagian telah membuka ke-rudung, memperlihatkan wajah mereka yang tetap samar-samar dalam keremangan, terlihat badut berjalan-jalan, pemain ak robat jungkir-balik di salah satu tenda, seperti juga tukang sulap, orang kuat yang mengangkat bola besi dengan gigi, tukang obat, penjual makanan aneka warna, bunyi-bunyian, gemerincing dan ledakan-ledakan, kembang api, bunga kertas, balon warna-warni, per mainan catur dengan mata tertutup, kios buku, sandiwara bo-neka, dan begitu banyak tontonan di berbagai macam tenda yang telah dilengkapi panggung kayu sederhana, bangku papan, len-tera, dan obor penerangan. Terlihat orang menari dan menyanyi di mana-mana, bersorak-sorai, melompat-lompat, tertawa-tawa, riang gembira….

Aku tidak bisa membayangkan, apakah kiranya yang akan dilaporkan oleh para Mata-mata Istana. Aku hanya bisa me-nyaksikan pasar malam gemerlapan di bawah langit senja yang merah membara.

139

19

Mazhab Pasar Malam

KEMUDIAN kudengar cerita, sepotong demi sepotong, ten tang apa yang terjadi dengan para Mata-mata Istana, setelah di-tugaskan memata-matai kegiatan yang berlangsung di tepi sungai. Di Istana Pasir yang kelam, mereka menghadapi Tirana yang tiada berani mereka tatap, namun jika mereka menatap pun tidak akan melihat apa-apa. Tirana yang buta tidak bisa melihat dan tidak bisa dilihat, auranya menguasai segenap ruang yang gelap. Di antara tiang-tiang terdapat para Pengawal Kem bar yang begitu kembar sehingga sama sekali tidak ter bedakan.

Sekitar duabelas Mata-mata Istana yang masing-masing mengawasi duabelas pelajar sekolah bebas di tepi sungai yang berani berbicara itu merasa ngeri dengan laporan mereka sendiri. Tirana yang dikatakan bisa membaca pikiran masih meminta laporan Mata-mata Istana. Tidakkah menjadi sangat celaka jika terdapat sedikit kesalahan saja dalam laporannya?

Demikianlah mereka bersimpuh di atas pasir, masing-masing dengan tafsirannya, was-was akan nasibnya jika Tirana sang penguasa tiada berkenan.

Mata-mata Istana yang pertama mulai bercerita, bahwa pelajar sekolah bebas yang dimata-matainya berpendapat, be-tapa kebebasan adalah sesuatu yang mungkin dicapai siapa pun yang memperjuangkannya. Kebebasan bukanlah se macam la-pangan tempat siapapun bisa bermain. Kebebasan bukanlah sebuah rumah besar di mana seekor burung pun bisa terbang di da lamnya. Kebebasan bukanlah suatu suaka di mana seekor hari-mau kumbang yang berjalan dengan tatapan mengancam bisa merasa dirinya berkuasa. Kebebasan adalah suatu keadaan yang sudah berada di dalam diri setiap orang, dipenjara atau merdeka. Kebebasan adalah sesuatu yang terus-menerus di perjuangkan—dalam gerak perjuangan itulah terletak ke be basannya yang tiada tertakar hanya oleh ukurannya, tiada ternilai oleh berhasil dan tidaknya, tiada terhargai hanya oleh yang dicapainya. Suatu perjuangan bisa dihalangi, dihentikan, dan dihancurkan, tetapi perjuangan adalah kebebasan itu sen diri. Kebebasan adalah milik mereka yang berjuang.

Kemudian dikisahkan betapa Puan Tirana Sang Penguasa yang Buta menghela nafasnya. Lantas majulah Mata-mata Istana yang kedua, yang memata-matai pelajar sekolah bebas kedua, yang berpendapat bahwa kekuasaan yang mengandalkan ke-jayaannya dalam pengekangan kebebasan orang lain adalah kekuasaan yang kerdil. Kekuasaan yang diterima menggerakkan tanpa perintah, disegani tanpa teror, dihormati tanpa upacara, dan membahagiakan tanpa hadiah. Kekuasaan dalam arti se-benarnya adalah suatu kuasa tanpa kekuasaan, yang me ner-tibkan setiap orang bagaikan suatu kebutuhan. Kekuasaan yang di paksakan adalah kesia-siaan, pemborosan dalam kebodohan, pembangkit kebencian yang membalikkan keadaan.

Sampai di sini Tirana yang Buta menyuruhnya berhenti, dan duabelas Mata-mata Istana merasa gentar hatinya. Apapun yang tiada berkenan di hati Tirana hukum gantung ganjarannya. Ini masih lebih baik daripada duabelas pisau terbang yang melayang

140 141

untuk merajam. Di dalam Istana Pasir yang sejuk, dengan pasir selembut serbuk, setiap orang menahan nafas. Tirana yang Buta, yang bisa membaca pikiran melalui cahaya, maklum belaka pemikiran para pelajar sekolah bebas yang tersisa—mereka meno-lak untuk tenggelam dalam ketertakdiran. Dalam kekuasaan Tirana yang menentukan takdir manusia bagaikan Tuhan, peno-lakan ini adalah suatu tantangan.

Tirana menunjuk ke luar, dan salah seorang Pengawal Kembar berkelebat meniti cahaya. Di angkasa Negeri Senja yang ungu muda, terlihat ia memburu seekor rajawali dari dalam dongeng dan berusaha menangkapnya, tetapi rajawali itu meng-hilang kembali ke alam dong eng.

“Maafkan hamba, Puanku,” kata Pengawal Kembar itu, “rajawali itu kembali ke alam dongeng.”

Maka Tirana mengirimkannya ke alam dongeng. Rajawali yang semakin hari semakin menjadi lambang kebebasan, telah semakin menggelisahkan para pejabat negara. Hanya dengan menampakkan dirinya saja, rajawali itu seolah-olah telah meng-guncangkan segenap sendi kekuasaan Tirana.

Rajawali Muda sebenarnya tidak ada, ujar Tirana melalui Juru Bicara Istana, Rajawali Muda hanyalah suatu impian.

Namun Pengawal Kembar itu tidak pernah kembali dari alam dongeng. Di dalam Istana Pasir para Pengawal Kembar yang lain melihat duabelas Mata-mata Istana bersimpuh di atas pasir dengan kepala tertunduk. Cerita betapa banyak di antara mereka menjadi mata-mata rangkap, yang menerima upah dari kedua belah pihak demi upah itu sendiri, yakni keping-keping mata uang emas, telah diketahui semua orang, dan telah di ketahui betapa hukuman gantung adalah setimpal dengan peng khianatan yang tidak bisa diterima.

Duabelas Mata-mata Istana menanti nasibnya, meskipun seandainya mereka tidak melakukan pengkhianatan apa-apa. Mereka menahan diri untuk berpikir karena takut Tirana bisa

membaca keterpesonaan mereka atas perkembangan ajaib di tepi sungai. Setelah beratus-ratus tahun selalu tertekan dalam penin-dasan berbagai macam penguasa, yang selalu melarang mereka bicara, akhirnya Negeri Senja mengenal apa artinya kebebasan, meski hanya berlaku di tepi sungai saja.

Mata-mata Istana yang ketiga, yang memata-matai pelajar sekolah bebas yang ketiga, tidak bisa melepaskan pikiran betapa hidup memang jauh lebih menyenangkan dalam pertukaran gagas-an yang menggairahkan. Sembari mematai-matai, dan mencatat segala kata-kata di dalam kepala, mata-mata ini disadarkan oleh suasana yang membebaskan, cara berpikir yang mencerdaskan, dan sikap yang mencerahkan. Di Negeri Senja, sudah terlalu lama manusia hidup dalam keremang-remangan tanpa tahu kemung-kinan lain, bahwa negara mempunyai ke kuasaan yang mutlak terhadap kehidupan warganya. Per la wanan memang dilakukan, namun itu tidak mengusir ke takutan. Para cendekiawan memang menyebarkan gagasan dan meng galang perlawanan dalam kege-l apan, namun pertarungan diam-diam itu berlangsung lirih seperti gumam, meski tetap ber simbah darah yang bercipratan. Kefasihan dan pesona kepri badian merdeka yang memancar dalam perbin cangan di tepi sungai menjadi terobosan yang tidak pernah diper kirakan. Orang-orang tidak lagi berbisik, orang tidak lagi berbicara dengan lirih, apalagi hanya mengandalkan saling pengertian dalam tatapan—orang-orang mulai berbicara dalam keterbukaan.

Semangat perlawanan yang telah lama tergalang bagaikan seribu satu mata air yang membentuk anak sungai kecil di berbagai tempat dan menemukan arus serta gelombangnya dalam pembahasaan para pelajar, yang bukan hanya duabelas, karena setiap orang dari duabelas pelajar itu mem per bin cangkan ga-gasan-gagasannya kepada duabelas orang lagi di sekitarnya, dan demikianlah menggelinding untuk seterusnya. Duabelas dikali-kan duabelas dikalikan duabelas dikalikan dua belas dikalikan

142 143

duabelas dikalikan duabelas dikalikan dua belas untuk seterusnya bagaikan anak sungai mengalir dan bergabung menjadi debur ombak dan hempasan gelombang.

Tirana yang membaca pikiran itu tertawa lirih, terdengar sangat lirih, namun bagi orang-orang Negeri Senja yang dua ratus tahun berada di bawah kekuasaan Tirana tawa lirih itu mengeri-kan maknanya karena sebelumnya tiada pernah ber suara. Tirana yang berkuasa, yang mampu membaca pikiran, memenjarakan roh, dan menentukan takdir, bagaikan Tuhan yang jahat, bagai-mana tidak akan tertawa melihat usaha per lawanan terhadapnya? Bagaimanakah kiranya ia akan me nunjukkannya? Suatu ketika dalam masa pemerintahannya, ia menggerebek sebuah seminar tentang politik dan kekuasaan di perguruan tinggi terakhir yang pernah ada di Negeri Senja. Saat itu juga ia menggantung semua orang yang hadir, kebetulan atau tidak kebetulan, di lapangan di depan Istana Pasir. Tidak kurang dari 319 orang, termasuk kaum perempuan, digantungnya di bawah langit senja yang merah membara begitu rupa, sehingga langit seperti sungguh-sungguh terbakar. Tidak kurang dari 319 mayat dalam siluet senja, ter-gantung-gantung dan bergoyang karena angin, dan angin yang berpasir segera membuat tubuh-tubuh malang itu seperti karung. Konon, dan memang hanya konon, roh 319 orang ini betul-betul dimasukkannya ke dalam karung, dan disuruhnya letakkan diam-diam di antara barang-barang kafilah yang kebetulan berlalu. Apabila kafilah ini tiba di luar Negeri Senja, dan ada di antara anggota rombongan kafilah me nemukan karung itu, dan mem-bukanya dalam terik matahari biasa, maka roh-roh itu akan berlejitan keluar karung hanya untuk terbakar menjadi api yang menyala di udara. Kenyataan bahwa roh itu tidak bisa mati lagi membuat siksaan itu tidak bisa diketahui kapan berakhirnya.

Mata-mata Istana yang keempat, yang memata-matai pe-lajar sekolah bebas keempat, tanpa melaporkan apa yang di-perbuat pelajar sekolah bebas yang keempat, menyampaikan

kemungkinan lahirnya suatu mazhab yang telah diperkenalkan oleh orang-orang asing. Pada mulanya yang tiba adalah seorang pengembara, yang tampaknya semula seperti pengembara biasa, tapi kemudian ia ternyata berbicara dengan fasih dan penuh pesona tentang berbagai penampakan di dunia. Ia berbicara tentang makna di balik segala penampakan dan betapa dunia dengan mudah menjadi tempat yang layak untuk hidup bahagia, seandainya manusia mampu membebaskan dirinya dari beban kungkungan yang membelenggu. Pembicara itu bagaikan peng-khotbah yang terpercaya, kata-katanya membuai dan pe na-larannya meyakinkan. Banyak orang dari Negeri Senja mau pun dari mancanegara berdatangan atas nama ketenangan dan ke-damaian, namun pembebasan yang sebenarnya baru dimulai ketika duabelas pelajar menjadikan perkemahan ibarat sekolah melalui perdebatan dengan sang pembicara.

Mata-mata Istana yang kelima, yang memata-matai pelajar se kolah bebas yang kelima, menambahkan betapa orang-orang yang tadinya diam dan merasa diam adalah terbaik dalam kehidupan, sehingga merasa hidup dalam kebisuan bukanlah keajaiban, kemudian mengakui pentingnya menyatakan gagasan melalui berbagai cara. Jika tidak pandai berbicara dengan mulut-nya, seseorang bisa berbicara melalui tangannya. Jika tidak pandai berbahasa dengan kata-kata, seseorang bisa ber bahasa dengan cara apa saja. Seseorang bisa menari saja, mengungkap-kan perasaannya, seseorang bisa menyanyi saja, seseorang bisa meniup seruling saja, seseorang bisa berbuat apa saja selama mewakili kehendak dan gagasan-gagasannya.

“Itulah yang membuat perkemahan di tepi sungai menjadi pasar malam,” ujar Mata-mata Istana yang keenam, yang ber tugas memata-matai pelajar sekolah bebas keenam.

Pasar malam mewakili kegembiraan hidup di dunia, mem-perlihatkan kemungkinan betapa hidup bisa dirayakan bersama. Orang-orang Negeri Senja yang datang ke tepi sungai men-

144

dadak-sontak bagaikan disambar halilintar kesadaran, bah-wa hidup tidak harus selalu berlangsung dalam suasana ke re-mangan dan kekelaman yang menekan, yang sisa cahayanya meskipun ke emasan tidak memberi peluang penegasan dalam keser ba sa maran. Dalam suatu pasar malam, duka tidak menjadi sirna, tetapi hidup bisa lebih ceria. Mata-mata Istana ketujuh, kedelapan, kesembilan, kesepuluh, kesebelas dan keduabelas, yang masing-masing memata-matai pelajar sekolah bebas ketujuh, kedelapan, kesembilan, kesepuluh, kesebelas, dan keduabelas, dengan caranya masing-masing sependapat bahwa arus pikiran yang mengalir di tepi sungai telah menjadi suatu mazhab yang mendapat kesepakatan para pendukungnya—telah dilahir kan mazhab di tepi sebuah sungai di Negeri Senja, dengan satu juru bicara dan duabelas wali yang tak ditahbiskan si apapun.

“Mazhab Pasar Malam,” ujar Juru Bicara Istana, dengan nada suara yang bisa diandaikan tidak tersenyum sama sekali.

Hari selamanya senja, dan memang hanya senja, yang terasa begitu muram di dalam Istana Pasir yang sepi.

Tirana menengadah, seolah mendengar sendiri bunyi se-ruling dan berbagai tetabuhan di tepi sungai, dan ia tentu mempunyai kesaktian untuk mendengarnya. Negeri Senja yang sunyi, kini mem punyai sebuah pasar malam—aneh, hari tak akan pernah menjadi malam di Negeri Senja, tapi telah berdiri Mazhab Pasar Malam. Tidak pernah mungkin diketahui, apa sebenarnya yang berada di dalam pikiran Tirana, perempuan penguasa Negeri Senja yang buta.

Konon, dan memang hanya konon, ia mengulurkan tang-an nya ke depan, dan saat itu duabelas Mata-mata Istana itu langsung menjadi patung; setelah itu ia menggerakkan tangan-nya turun, maka duabelas Mata-mata Istana yang telah menjadi patung bersimpuh itu melesak bersama ke dalam pasir, sampai lenyap tanpa bekas sama sekali.

Setelah itu, hanya kesunyian yang tertinggal di Istana Pasir.

B a g i a n 4

20

Kisah Cinta Tirana, Jika Memang Benar Adanya

DALAM Kamus Negeri Senja—Antarbangsa mau pun Antar­bangsa—Negeri Senja tidak terdapat kata cinta. Dalam bahasa Antarbangsa memang ada kata cinta namun kata itu tidak terdapat padanannya dalam bahasa Negeri Senja, sehingga baris-nya dikosongi saja. Dalam Ensiklopedi Negeri Senja, ketika aku mencoba mencarinya, kata cinta juga tidak ada. Ba gai manakah hal ini bisa dijelaskan? Apakah itu berarti cinta memang tidak ada, ataukah karena cinta tidak mungkin di jelaskan? Bukan hanya kata cinta sebetulnya, kata kasih dan sayang pun tidak ada. Apakah ke budayaan Negeri Senja me mang tidak mengenal cinta dan kasih sayang?

Sebagai orang yang datang dari negeri manca, musafir lata yang mengembara ke berbagai pelosok bumi untuk memburu senja dan mencari makna di sebaliknya, kemungkinan itu tidak masuk ke dalam akal. Di sebuah negeri seperti Negeri Senja yang selalu berada dalam keadaan senja, tidak terbayangkan manusia bisa hidup dengan hati tanpa cinta. Senja dengan langit yang selalu kemerah-merahan, dengan sisa cahaya keemas-emasan

148 149

yang semburat menyepuh mega-mega ungu yang berarakan, yang membuat kekelaman tidak hanya kelam dan keremangan tidak hanya remang, niscaya bukanlah suatu keadaan yang membuat manusia mati rasa.

Apakah hamparan pasir yang menjadi ungu muda dengan kertap keemasan di sini dan di sana tiada artinya bagi orang-orang Negeri Senja? Siluet pohon-pohon palem, bayang-bayang sosok hitam dengan kendi di atas kepala yang berjalan melewati lem pengan matahari raksasa yang separuh terbenam—apakah semua itu tidak lagi menakjubkan? Bagaimanakah caranya di negeri di mana setiap orang tampaknya akan selalu saling jatuh cinta bisa tak mengenal cinta dalam kamus bahasanya? Bu kankah terdapat su sunan keluarga, terdapat pria dan wanita, terdapat bayi dan gadis, serta terdapat mata yang menyala dan menatap tajam, seperti keajaiban cinta, dalam kelam dan ke kosongan di balik kerudung di mana-mana?

Konon, dan memang hanya konon, adalah Tirana jua adanya yang telah menghapuskan kata cinta, kasih, dan sayang dari kamus bahasa Negeri Senja, sebelum akhirnya melarang ber-edarnya kamus itu sendiri—kecuali sejumlah kecil yang dibagi-kan untuk kepen tingan perdagangan. Demikianlah di riwayatkan dari mulut ke mulut dalam kegelapan, sepotong demi sepotong kudengar kisah cinta yang telah membuat kata cinta terhapus dari kamus Negeri Senja. Peristiwa besar macam apakah kiranya yang telah membuat kata cinta harus dihapus untuk selama-lamanya?

Demikianlah kudengar riwayat dari tempat gelap yang satu ke tempat gelap yang lain, bahwa Puan Tirana Sang Penguasa yang Buta pada masa remajanya telah menjalin hubungan cinta dengan seorang pria yang kelak akan menjadi Guru Besar di Kuil Matahari. Mereka bersua pada masa remaja yang gemilang ketika keduanya mempelajari berbagai ilmu tentang dunia bersama-sama di Kuil Matahari di mana segala macam ilmu pengetahuan diajarkan dengan terbuka. Bersama-sama mereka berdua meng-

galang gerakan perlawanan terhadap penindasan penguasa dan secara bersama-sama pula keduanya pernah ditangkap dan di pen jarakan serta mengalami penyiksaan, dan hanya setelah penguasa saat itu digulingkan maka Tirana yang sudah buta dan sejak dulu memang tidak pernah terlihat wajahnya bisa kembali menghirup udara.

Namun saat itu didengarnya berita menyakitkan betapa sang kekasih telah mengkhianatinya. Tidak cukup meng khi-anatinya, perempuan yang telah membuat kekasihnya ber paling itulah yang ternyata telah merebut kekuasaan dan mengangkat kekasihnya itu sebagai Guru Besar di Kuil Ma tahari. Guru Besar sebelum itu konon, dan memang hanya konon, telah terbunuh dalam ke kacauan pemberontakan. Pe rem puan yang telah me-rebut kekua saan itu kemudian men jadi sangat berkuasa, dan seperti juga penguasa sebelum nya men jadi sangat menindas dan kejam tiada terkira. Namun yang lebih menyakitkan hati Tirana adalah kenyataan betapa Guru Besar di Kuil Matahari tidak pernah memberi peringatan kepada penguasa. Sejak lama ke beradaan Guru Besar dan para Guru Muda di Kuil Matahari adalah menjaga keseimbangan—apabila penguasa di Istana Pasir bertindak dengan semena-mena, Guru Besar harus me nunjuk kesalahan nya, dan rakyat akan membaca, apakah mereka harus mem berontak, atau diam saja.

Sejak perempuan yang merebut kekasihnya itu berkuasa, kekasihnya yang telah menjadi Guru Besar itu diam seribu bahasa. Tirana yang dalam kegelapan mampu mengetahui segala sesuatu selama itu menahan perasaannya—betapapun me nya-kit kan per buatan kekasih yang telah mengkhianatinya, cin tanya tiada per nah berkurang. Sampai semua orang men desaknya untuk mela ku k an sesuatu yang berarti, dengan sebuah cerita yang sampai di telinga nya: perempuan yang telah merebut kekasihnya itu, dan kini menjadi penguasa Negeri Senja, telah bermain cinta dengan Guru Besar, kekasihnya, di altar pemujaan Kuil Matahari.

150 151

Peng uasa Negeri Senja telah menodai kesucian Kuil Matahari, dan rahayat tidak bisa menerima lagi. Tirana mengerti apa artinya perbuatan itu. Perempuan yang telah merebut kekasihnya itu ti-dak merasa cukup menjadi penguasa dunia, ia juga ingin menjadi penguasa di balik dunia, setidaknya di mata rakyat Negeri Senja. Maka tak cukup bercinta dengan manusia di ranjang istana, ia bercinta dengan Guru Besar di altar Kuil Matahari yang menjadi tempat rahayat Negeri Senja me muja penguasa alam semesta.

Atas nama rakyat, maupun atas nama sakit hatinya sendiri, Tirana berhasil menggulingkan kekuasaan dan menghukum peng hinaannya kepada agama dengan kekejaman yang setimpal, seperti termaktub dalam Kitab Hukuman Para Penghina Tu han. Perempuan yang telah merebut kekasihnya itu dibakar di altar itu juga, dan ketika rohnya melejit dari tubuhnya, Tirana menangkap roh itu dan membekukan roh yang liat itu sebagai patung es. Konon, dan memang hanya konon, patung es ber wujud pe-rempuan telanjang itu masih terdapat di salah satu sudut gelap di Istana Pasir. Meskipun berwujud patung es, roh perempuan yang telah merebut kekasihnya itu bisa mengikuti semua peristiwa dalam Istana Pasir tetapi tidak bisa berbuat apa-apa, dan ke-dinginan selamanya. Bagi mereka yang di lahirkan di Negeri Senja, suhu kebekuan es adalah siksaan tiada terkira, dan perempuan itu terus-menerus merasakannya tanpa kemungkinan meninggal pula. Cerita yang lepas ke luar Istana Pasir menyatakan, patung itu kadang-kadang mengeluarkan airmata.

Begitu kejamnya sikap Tirana terhadap perempuan yang tadinya sangat berkuasa, tapi kemudian bernasib sangat malang itu, sikapnya terhadap Guru Besar tidak bisa dimengerti, karena ternyata ia tidak menghukumnya sama sekali. Guru Besar tetap mengajar bersama para Guru Muda, meski orang-orang yang beribadah menjadi sangat berkurang. Kuil Matahari seolah-olah dianggap telah kehilangan kesuciannya. Bahkan Tirana sebagai penguasa Negeri Senja yang wajib menyatakan pengakuan atas

keberadaan agama dan kekuasaan Tuhan, semenjak 50 tahun terakhir tak pernah lagi berziarah ke sana. Pada 150 tahun pertama kekuasaannya, setidaknya setahun sekali Tirana datang ke Kuil Matahari untuk berdoa, demi kesahihannya sebagai penguasa, maupun demi ketenangan rakyat yang masih ber harap kepadanya—namun ia tak sudi Guru Besar itu men jumpainya.

Demikianlah cerita yang beredar, dari mulut ke mulut, dari telinga ke telinga, dan tidak pernah bisa diketahui bersama apakah ini memang benar. Cerita semacam ini sebenarnya hanya diketahui sangat sedikit orang, itu pun kesahihannya sangat tidak bisa dipastikan. Semenjak segala bentuk catatan dilarang, segala bentuk cerita lisan bisa dianggap kebenaran yang di percaya meskipun kemungkinan besar bukan kebenaran sama sekali. Di Negeri Senja, sangatlah sulit berurusan dengan ke nyataan, apa-lagi semenjak diketahui betapa Tirana mampu menjelmakan khayalan apapun sebagai kenyataan yang me yakinkan. Kepada sejumlah dutabesar mancanegara yang menyerahkan mandat kepala negara mereka, Tirana sering ber main-main dengan apa yang mereka pikirkan, dengan cara mewujudkan apa yang di-pikirkan para dutabesar itu di depan mata, seperti keluar lang-sung dari kepala mereka.

Maka tidaklah pernah menjadi jelas apakah cerita tentang Tirana adalah sesuatu yang nyata, ataukah disebarkan Tirana sendiri sebagai hiburan, atau alat menakut-nakuti lawan, kalau memang ada lawan; ataukah disebarkan lawan-lawan politik Tirana sebagai cara berperang; ataukah menjadi sebuah cerita begitu saja tanpa bisa diketahui cara melacak kebenarannya. Misalnya, bagaimanakah bisa diketahui betapa Tirana memang mengetahui bahwa perempuan yang telah merebut kekasihnya bermain cinta dengan kekasihnya itu di altar pemujaan Kuil Matahari?

Namun aku tetap berusaha menyusun sesuatu seperti cerita, sebagai suatu cara untuk menghasilkan sesuatu yang belum ku-

152 153

ketahui untuk apa, karena cerita itu sendiri, sebagai dongeng maupun kenyataan, seperti tetap meminta untuk di catat segera sebelum hilang lenyap selamanya dan tergantikan oleh cerita lisan selanjutnya. Setidak-tidaknya di Negeri Senja, barangkali hanya aku seorang yang mencatat segenap cerita dari mulut ke mulut dan dari telinga ke telinga dalam keremangan senja.

Diceritakan juga betapa Tirana meskipun tiada pernah berbicara, sebetulnya masih mencintai kekasih yang berkhianat itu dengan seluruh jiwanya. Tidak pernah jelas peristiwa apa yang membuat ziarah tahunannya terputus selama 50 tahun, tetapi setelah 50 tahun berlalu, seperti kulihat sendiri, jelas Tirana masih berangkat lagi mengunjunginya—sebelum menjadi batal karena usaha pembunuhan oleh Komplotan Pisau Belati.

Adapun Guru Besar tampaknya memilih untuk bersikap sebagai lawan, terbukti dengan usahanya mencari Penunggang Kuda dari Selatan yang disebut-sebut Kitab tentang Kejadian yang Akan Datang bisa menyelamatkan keadaan. Usaha pen-carian Sang Juru Selamat itu tentu telah diketahui pula oleh Tirana dan ternyata didiamkan saja, bukan hanya karena ba ginya kitab-kitab semacam itu hanya berisi omong-kosong, tapi karena kemungkinan besar ia terlalu mencintai bekas kekasih yang telah mengkhianatinya. Puan Tirana Sang Penguasa yang Buta, tiada berdaya melawan cinta yang membara meski telah disakiti begitu rupa. Tirana yang sangat berkuasa ternyata bertekuk lutut kepada cinta.

Tetapi, mungkinkah cinta Tirana memang cinta yang buta? Yang tiada ingin melihat betapa kekasihnya penuh tipu daya? Yang menolak kenyataan betapa cinta itu sendiri memang ada, sehingga dititahkannya hapus dari kamus Negeri Senja? Apakah pe perangan cinta dalam diri Tirana yang buta telah meng acaukan pertimbangannya? Apalah yang tidak bisa di lakukan Tirana? Pikiran orang dibacanya, roh manusia di penjarakannya, dan bayi yang belum lahir bisa ia tentukan takdirnya—namun cinta telah

membuatnya tiada bijaksana, sehingga tindakannya penuh per-tentangan dalam dirinya, karena penolakan dan pengakuan cinta yang menguak hatinya bersama-sama.

Kuil Matahari menjadi lambang kekuasaan yang setara de-ngan Istana Pasir, karena Tirana telah membiarkannya. Deng an mudah para Pengawal Kembar bisa menghabisi para Guru Muda, atau bisa juga Komplotan Pisau Belati dibayar untuk mem beres-kannya. Namun cinta Tirana dalam selubung senja, yang tiada juga memudar setelah dua ratus tahun berkuasa, telah menjadikan Guru Besar sebagai peng uasa agama masih ada—namun hanya dengan janji bahwa akan datang Penunggang Kuda dari Selatan yang akan menyelamatkan Ne geri Senja. Orang-orang Negeri Senja sendiri sudah tidak peduli kepada agama, penindasan tak berkesudahan selama beratus-ratus tahun, jauh sebelum Tirana berkuasa, telah membuat harapan mereka kepada agama untuk memberi pen cerahan semakin lama semakin ter kikis dan akhir-nya me mudar dalam kelam senja.

Setelah mereka dengar perilaku Guru Besar yang bermain cinta di altar pemujaan Kuil Matahari, tiada lagi yang percaya betapa agama resmi negara mereka begitu pentingnya. Jika ia bisa melakukannya sekali, mungkin ia pernah dan masih bisa me-lakukannya berkali-kali. Guru Besar seperti itu bukan hanya tidak bisa dipercaya, melainkan sebaiknya dibunuh saja….

155

21

Perempuan dengan Anting-anting

di Puting Kiri

KISAH cinta Tirana mengingatkan aku kepada hubungan ku dengan sejumlah perempuan di Negeri Senja. Perempuan yang pertama, kulihat pertama kali ketika aku membaur ke dalam arena pasar malam di tepi sungai. Pasar malam itu memang bersuasana malam, meski hari selalu senja sepanjang masa. Sambil menuntun keledaiku, kuarungi pasar malam yang mem-perkenalkan apa artinya kegembiraan di Negeri Senja yang selalu muram. Sampailah aku kemudian di sebuah lingkaran di mana orang bernyanyi-nyanyi dan menari-nari. Semua orang boleh bergabung di situ dan memang banyak orang meng gabungkan diri sehingga lingkaran itu makin lama makin besar. Di tengah-tengah lingkaran akan selalu ada pasangan, lelaki dan perem-puan, yang menari berganti-gantian. Pasangan satu di ganti pa-sangan lain dan seterusnya, bagaikan tiada hentinya. Mereka meloncat-loncat, mengangkat lutut kakinya tinggi-ting gi, dengan iringan berbagai bunyi-bunyian dari alat-alat musik yang tidak bisa kusebutkan namanya. Bisa kukatakan aku baru pertama kali melihat alat-alat semacam itu. Seperti seruling tapi bukan

se ruling, seperti sitar tapi bukan sitar, seperti terban tapi bukan terban, seperti gendang tapi bukan gendang, namun suara yang diperdengarkannya seperti menyarankan setiap orang untuk jatuh cinta, mempunyai kekasih, dan bercinta.

Inikah maksudnya betapa cinta tidak bisa dikatakan tetapi dinyanyikan? Perempuan yang kutatap ketika cahaya senja yang muram memudar oleh permainan cahaya buatan manusia, bu-kanlah perempuan Negeri Senja. Di perkemahan di tepi sungai itu, yang telah menjadi sekolah bebas di mana setiap orang bisa menyatakan perasaan dan pikirannya dengan bebas, memang banyak orang asing, seperti juga aku sendiri, yang datang dari berbagai negeri lain. Sampai saat ini, aku tidak pernah melihat orang-orang dari negeri asalku dan aku maklum saja dengan keadaan itu. Orang-orang di negeri asalku lebih suka tetap tinggal di kampung mereka dengan perasaan nyaman, karena orang-orang negeri asalku memang tidak terbiasa untuk hidup secara terasing, hidup di perantauan dalam kesendirian. Orang-orang di negeri asalku hidup seperti bebek, ke mana pun pergi harus dalam jumlah yang banyak dan harus bersama-sama, jika tidak mereka akan amat sangat menderita. Namun barangkali di setiap negeri memang terdapat watak anak suku yang demikian. Terdapat suku-suku pengembara, dan terdapat suku-suku pemukim, dan di antara suku-suku pe mukim itu terdapat orang-orang yang se-umur hidup tidak pernah keluar dari kampungnya dan ter dapat para pengembara.

Aku tidak bisa mengatakan betapa mereka yang menetap di perkemahan ini adalah para pengembara, meski sebagian besar dari mereka telah melakukan perjalanan yang jauh. Mereka adalah orang-orang yang mencari sesuatu yang tidak mereka dapatkan di negerinya sendiri. Mereka adalah para pencari, para peziarah yang mencari-cari tempat suci namun yang tiada pernah terpuaskan oleh seribusatu tempat suci yang telah mereka kun jungi. Tepi sungai itu bukan tempat suci, tapi memberikan

156 157

apa yang mereka cari, sesuatu yang tidak di hubungkan dengan kesucian, melainkan kemurnian; tidak ber hubungan dengan surga melainkan ke gembiraan di bumi. Bah kan orang-orang Negeri Senja, yang hanya mempunyai satu tempat suci bernama Kuil Matahari, mengakui apa yang bisa didapati di tepi sungai di batas negeri, yang selama ini hanya dilewati para pedagang berperahu yang pulang-pergi. Banyak dari mereka yang datang, juga belum pernah keluar dari kam pungnya sendiri, namun agaknya pang-gil an gairah ke bebasan telah disebarkan angin gurun ke berbagai penjuru bumi. Dari hari ke hari selalu ada saja kafilah atau perahu yang datang membawa orang-orang baru.

Seperti apakah kiranya dunia ini, sehingga hidup me-lahirkan orang-orang yang menetap tiada pernah pergi dan orang-orang yang tiada pernah menetap karena selalu pergi? Aku sempat mempunyai perasaan untuk menetap dan tak pergi lagi, ketika menatap mata perempuan yang meloncat-loncat di tengah lingkaran itu, dengan pasangan lelaki yang berganti-ganti. Pe rempuan itu tidak mengenakan kerudung, rambutnya diikat, dan senyumannya yang cerah menebarkan perasaan jatuh cinta ke pada siapapun yang memandangnya. Setelah sekian lama aku selalu gagal melihat sebuah wajah dalam kerudung kegelapan di Negeri Senja, melihat wajah cantik yang berseri-seri membuat aku merasakan sesuatu yang lama tidak kualami.

Dari saat ke saat, setiap kali usai menari, ia selalu di kerumuni lelaki. Apakah ia begitu sadar akan kecantikannya, ataukah ia begitu naïf sehingga merasa kaum lelaki yang meng erumuninya sungguh hanya ingin mengajaknya bicara? Sepintas saja kulihat mata para lelaki itu, segera kulihat mata serigala yang mengintai anak kelinci. Bersandar pada suatu tiang, sambil memilin-milin rambutnya, melayani semua tipu daya per bin cangan lelaki, kulihat dalam senyuman dan tatapan mata pe rempuan itu kecemerlangan rembulan yang terindah dari semua kecemerlangan rembulan dalam diri perempuan yang pernah kusaksikan. Sembari membimbing

keledaiku aku berpikir dan me nyadari tidak akan pernah punya harapan, bahkan sekadar agar perempuan itu melirikku sahaja, di antara para pembicara yang begitu fasih, memukau, dan memikat, seperti tampak dalam caha ya mata perempuan itu, yang semakin lama seperti semakin berdaya.

Bagaimanakah cara menariknya keluar dari kerumunan itu? Kiranya aku tiada akan pernah tahu, sampai suatu ketika saat aku berniat kembali, kulihat perempuan itu berjalan sendiri di tepi sungai. Aku menegurnya dalam bahasa Antarbangsa.

“Puan, sendirian sajakah Puan, berjalan dari mana hendak ke mana dalam senja yang kelam?”

“Ah, Sahib, aku suka berjalan sendirian, jauh dari ke-rumunan, mengarungi kekelaman.”

“Naiklah ke keledaiku Puan, kita berjalan ke satu jurusan, tak ada yang harus dikhawatirkan.”

“Tak ada yang khawatir terhadap dirimu Sahib, yang selalu berada di luar lingkaran, memandangi aku dari kejauhan.”

Aku tertunduk dan malu. Ia tahu aku selalu me man danginya bagaikan mataku lekat dengan matanya dari ke jauhan—apakah begitu kentara perasaan dalam diri seseorang terpancar dalam pandangan? Bagaimanakah caranya ia, yang seingatku tiada pernah melirikku meski untuk sekali saja, bisa menandai mataku di antara seribusatu mata yang me man dangnya, itu pun dari kejauhan pula?

“Mata seorang perempuan membaca lebih dari mata se-orang pria, Sahib—mana keledai itu, biar aku me nung gang i nya dan dikau menuntunku.”

Caranya bicara, cara matanya memandang diiringi se nyum-an, membuatku lupa segala sesuatu yang tidak boleh dilupakan tetapi selalu kulupakan dan kulupakan lagi, bahwa peristiwa jatuh cinta adalah keajaiban sekejap, yang akan segera memudar. Setiap kali jatuh cinta aku selalu merasa akan hidup bersama seorang perempuan selama-lamanya, namun hal itu tidak pernah terjadi.

158 159

Meskipun selalu kujaga perhatianku ke pada Alina, dan kupelihara kasih sayangku kepada Maneka, namun selalu terbuka kemung-kinan untuk jatuh cinta, yang hanya akan berakhir dengan perpisahan—dan perpisahan itulah yang akan terjadi untuk selama-lamanya.

Perempuan itu melompat naik ke keledaiku, karena bu-sananya tidak memungkinkan, ia menunggangi keledai itu de-ngan dua kaki di samping, dan aku menuntunnya sepanjang sungai. Di sepanjang sungai itulah kami berbincang, sembari menatap arus sungai yang mengalir pelan, dengan permukaan yang memantulkan langit senja kejingga-jinggaan. Sepanjang tepi sungai adalah pasir yang disepuh cahaya lembut keemasan, dan di sungai itu sesekali lewat perahu, dengan orang-orang yang menatap matahari merah raksasa separuh terbenam. Dari pe-rahu-perahu yang lewat di sungai itu, kami tentu tampak sebagai siluet. Karena aku tidak bisa melihat diriku sendiri, kubayangkan saja siluet seorang lelaki menuntun keledai dengan seorang perempuan yang menunggangi keledai itu. Aku senang mem-bayangkan diri kami akan tampak di tebing sungai seperti itu, seperti sosok-sosok hitam yang melewati cakrawala dengan mata-hari senja yang tidak juga kunjung terbenam.

Kami berjalan sampai sungai itu sepi dari perahu. Di sebuah kelokan, ada sebuah sampan dengan dayungnya—si apakah yang meninggalkannya di sana?

“Itu perahuku Sahib, sudikah mengembara ke ujung du nia?”“Sekehendak hatimulah, Puan, biar keledai itu mengikuti

kita di tepian.”Kami sudah tahu apa yang kami inginkan, tak perlu kata-

kata untuk menjelaskan. Kuturunkan perempuan itu dari ke ledai, dan ia berlari dengan kaki telanjang ke tepian. Di dorongnya sampan, dan melompat ke atasnya dengan busana separuh basah. Ketika aku tiba di atas sampan itu, dibukanya seluruh busana itu.

Sampan mengikuti arus perlahan tanpa didayung me nem-

bus remang senja yang bisu. Terdengar suara air ter belah, dan nafasnya yang memburu di atas tubuhku. Aku tidur te lentang, memandang kubah langit senja yang membentang, tapi aku tidak melihat kubah langit yang membentang. Kulihat mega-mega yang bergulung membentuk sosok tubuh-tubuh yang sedang berse-tubuh. Segalanya serba tertutup di Negeri Senja, namun kini kami bercinta di bawah alam terbuka. Angin sepan jang sungai mem basuh tubuh kami dan kami berbisik kepada angin tentang gelombang yang berdebur dan berhempas di dalam tubuh kami, tentang api yang menyala dan berkobar-kobar dengan garang dalam jiwa kami, tentang lahar mengalir yang menghancurkan segalanya dari gua-gua birahi kami, serta magma yang siap menghambur bagaikan gunung meletus dari tubuh kami yang bersenyawa bagaikan tidak akan pernah lepas lagi.

Tidak ada perahu di sekitar kami, tidak ada seorang pun di tepi sungai kecuali keledai yang terus mengikuti perahu ini. Ruang dan waktu sungguh berpihak kepada kami—tapi sampai kapan? Aku yang sudah mengalami banyak perpisahan, namun tak kunjung bisa terbiasa, mencoba tidak memikirkannya. Cinta dan birahi adalah suatu rumusan terpisah yang sulit dipisahkan. Di Negeri Senja, di mana tidak ada kata cinta dalam kamusnya, segala sesuatu berjalan tanpa perlu diperbincangkan—sampai sekolah bebas di tepi sungai membongkarnya, dan segala sesuatu diperbincangkan sampai ke akar-akarnya.

Tapi di atas sampan ini, sebelum dan sesudah permainan cinta, tak ada yang kami perbincangkan tentang diri kami. Ketika ia mau mengenakan busananya kembali, baru aku sadari ke-beradaan anting-anting di putingnya yang kiri.

“Ke manakah Sahib kiranya akan kembali?”“Ke sebuah penginapan di dalam kota, apakah kiranya Puan

akan ikut ke sana?”“Tidak Sahib, aku akan kembali, dan jika Sahib datang lagi,

janganlah aku dicari-cari.”

160

Perempuan itu terkapar lagi di sebelahku, tangannya ber-gerak seperti menggambar pada kubah langit, sambil ber senan-dung lirih. Kulihat dari samping, dalam polesan cahaya senja, rasanya dia bertambah cantik; dalam geletar cahaya keemas-emasan bersemu jingga, bibirnya menjadi coklat, dan ia sungguh bagaikan perempuan impian. Tetapi kami akan segera berpisah. Sungguh pertemuan yang terlalu singkat. Apalah yang bisa kulakukan sekarang, selain mengucapkan selamat ber pisah?

Aku turun dari sampan, menuju ke keledaiku di tepi sungai, sementara ia mendayung pergi. Ketika aku menoleh, sampan itu sudah menghilang di balik kelokan. Tinggal ke remangan senja yang mencekam diriku seorang. Aku seperti mendapat jawaban, kenapa dalam kamus Negeri Senja tidak ada kata cinta.

22

Perempuan dengan Rajah Ular

yang Membelit Tu buhnya

SALAH satu keajaiban Negeri Senja adalah lorong-lorong nya yang saling berhubungan satu sama lain dengan per cabangan luar biasa, ibarat sebuah labirin yang tidak meng embalikan siapapun ke tempat asalnya. Setiap hari aku menye lusuri lorong-lorong ini, dengan atau tanpa keledai, dengan harapan betapa suatu hari akan menjadi hafal dan meng uasainya, namun aku tidak pernah berhasil dan selalu tersesat ke tempat yang tiada pernah kulewati sebelumnya. Satu-satunya pedoman yang bisa membuatku keluar dari lorong-lorong Ne geri Senja adalah menara. Dari bagian lorong manapun, aku bisa memandang puncak menara yang memang begitu tinggi itu, sehingga aku bisa keluar ke jalan besar dan menuju ke alun-alun. Dari sini aku dengan mudah bisa kembali ke penginapan, atau bagian-bagian kota yang lainnya. Namun pada dasarnya kota ini adalah jaringan lorong-lorong, yang tidak pernah bisa dipetakan karena Tirana melarang ber-edarnya semua bentuk pengetahuan.

Lorong-lorong itu dindingnya dibentuk oleh tembok ru-mah yang terbuat dari tanah liat sehingga selalu berwarna

162 163

coklat, namun lebih sering menjadi kehitaman-hitaman dalam ke re mang an senja yang selalu muram. Di bagian kota lain, sisa cahaya senja menyepuh dinding-dinding lorong itu sampai ber-kilat keemas-emasan sepanjang masa. Begitu dahsyatnya cahaya ke emas-emasan itu sehingga aku pernah berpikir setiap daun jendela yang terbuka itu terbuat dari emas. Demikianlah wilayah kota ini terbagi menjadi wilayah yang lorong-lorongnya serba kehitaman dan wilayah yang lorong-lorongnya serba keemasan meski tetap tenggelam dalam keremangan yang selalu kelam. Di wilayah yang lorong-lorongnya serba kehitaman suasananya nyaris seperti malam karena sangat gelap meski tidaklah pernah segelap malam; di wilayah yang lorong-lo rongnya keemasan terdapat sedikit terang dari bias cahaya di tembok, dinding, dan daun jendela, meski seterang-terangnya bias cahaya senja tiada-lah akan pernah seterang cahaya jika matahari di atas kepala. Langit di atas lorong masih selalu semburat jingga dan kemerah-merahan, mega-mega disapu warna ungu dan dari balik mega cahaya keemasan membias dalam semesta Negeri Senja yang selalu muram.

Di antara lorong yang kehitaman terdapatlah wilayah yang tergelap karena bayangan menara menimpa wilayah mereka. Apabila aku melewatinya aku bagai berjalan dalam gua yang gelap tapi tiada segelap gua yang gelap karena sisa cahaya yang begitu samar-samar masih membias pada tiap titik debu di udara sehingga kegelapan lebih berarti kesamaran yang mem buatku masih bisa melihat tetapi dalam kesamaran yang amat sangat. Bayangan menara yang dahsyat itu begitu luas, yang meng-akibatkan wilayah kesamarannya juga sangat luas sehingga men-jadi lebih mustahil bagiku mengenali setiap lekuk dan liku dengan kerincian yang meyakinkan. Di wilayah di mana ba yangan menara itu jatuh, terdapat lentera di mana-mana seolah hari menjelang malam, meski tiada pernah seumur hidupnya orang-orang Negeri Senja mengalami malam.

Meski kukenali wilayah tergelap di lorong yang kehitaman, kurasa aku tidak pernah mampu mengenalinya secara utuh karena setiap kali aku memasuki wilayah itu selalu terasa ada sesuatu yang baru. Selalu berpapasan dengan orang-orang ber-kerudung yang selalu tidak terlihat wajahnya semakin meng-hilangkan minat untuk lebih peduli, meski aku selalu suka dengan sengaja melewatinya, antara lain karena ada fakir yang selalu meniup serulingnya di balik bayang-bayang. Tetapi mes kipun fakir itu selalu ada di sana, aku tidak yakin tempat dia duduk bersila meniup seruling itu juga sama. Kukira ia selalu berpindah-pindah, tapi aku juga selalu bisa menemuinya. Bah kan aku sering sengaja duduk untuk mendengarkannya. Di lorong-lorong Negeri Senja memang selalu terdapat kaum fakir yang bergelimpangan di mana-mana, namun kehadirannya tidak pernah terlalu menarik perhatian, karena mereka seperti tiada atau menjadi bagian saja dari kekelaman senja. Negeri Senja adalah negeri yang miskin, kaum fakir hanyalah bagian yang sah dari cahaya kemerah-merahan yang semburat se panjang kubah langit, menjadi sosok-sosok terkapar di setiap sudut yang tidak pernah didatangi dan dipandang.

Aku selalu mencari suara seruling itu karena kesenduannya yang pedih, namun membuat orang terus mendengarkannya. Betapapun setiap orang yang mendengarkannya akan merasa sedih dan mungkin karena itu pula fakir itu selalu meniup serulingnya di tempat yang terpencil dan tersembunyi—mung-kinkah ia tahu betul lagu serulingnya bisa membuat setiap orang sedih pada saat tidak seharusnya bersedih? Tetapi Negeri Senja adalah sebuah negeri di mana selalu terbuka peluang untuk bersedih, meskipun orang-orang sudah tidak mem per-lihat kannya lagi. Lagu seruling itu seperti menyalurkan segenap kesedihan, segenap kepedihan, dan segenap keperihan se pan jang sejarah kekuasaan yang dipenuhi mayat ber gelim pangan. Setiap kali kulewati lorong dan sudut gelap di mana fakir itu meniup

164 165

serulingnya sambil bersembunyi, aku bertanya-tanya dalam hati apakah di balik jendela yang tertutup maupun terbuka tapi hanya terdapat kegelapan di dalamnya, orang diam-diam mendengar-kannya dengan kekhusukan lebih dari bi asa? Negeri Senja bu-kanlah tempat orang bergembira dan sekali terdengar suara yang dihasilkan manusia tentulah harus ter dapat sebuah alasan untuk tetap mendengarkannya. Apakah lagu seruling itu menyalurkan riwayat hidup mereka maupun riwayat hidupku yang penuh dengan duka yang berlarat-larat dan berkepanjangan?

Suatu ketika aku berjalan dalam keremangan yang ter-samar di Negeri Senja dan di sebuah sudut fakir peniup seruling itu seperti sudah menantiku. Aku menahan langkah, karena aku memang tidak pernah mendekat, tapi fakir itu menegurku.

“Mendekatlah Sahib….”Aku terkesiap, karena suara fakir ini adalah suara perem-

puan. Begitu banyak fakir bergelimpangan di sepanjang lorong, dan jikapun akan kuketahui seorang fakir adalah perempuan, maka mereka tidak akan menjadi makhluk yang akan terlalu menarik perhatian, namun fakir ini mempunyai suara yang begitu halus, dengan desah yang sangat basah, sehingga di tempat yang gelap dan sepi seperti itu terasa menggetarkan. Apakah yang harus kulakukan?

Aku mendekat, dan tercium aroma yang memabukkan, seperti ganja tapi bukan ganja, yang pasti aroma itu sejenak membuatku lupa berada di mana.

“Dikau selalu mengikuti aku Sahib….”Aku tidak mengatakan apapun, karena saat itu ia membuka

kerudungnya, dan kulihat wajah seorang perempuan dalam senja. Wajah itu begitu jelas, begitu cantik, dan matanya begitu me nantang—mungkinkah seseorang tidak akan tergetarkan oleh pemandangan bibir merekah dari balik kelam yang menyergap tiba-tiba? Di Negeri Senja setiap orang mengenakan busana kain yang menutup seluruh tubuhnya, hanya saja karena perempuan

ini seorang fakir, maka kain itu begitu lusuh dan bertambal-tambal. Namun aroma parfum yang meruap dan merayu itu membuat aku sudah bisa membayangkan tubuhnya.

Dengan cepat tangannya menarikku sepanjang lorong, mem buat dinding-dinding lorong itu berkelebat ke belakang. Negeri Senja adalah negeri yang penuh bahaya, hampir setiap hari darah tertumpah di atas pasir karena adu senjata antara Mata-mata Istana dan gerakan perlawanan di mana-mana, tetapi aroma parfum perempuan itu membuat aku lupa segala bahaya. Di negeri ini aku tidak pernah bisa begitu dekat dengan siapapun, segalanya harus kupikirkan dan kuperbincangkan sendirian, dan tiba-tiba saja seorang perempuan dengan aroma menggoda dan suara berdesah basah menggandeng tanganku—aku tak pernah memikirkan kefakirannya, barangkali saja ia juga bukan seorang fakir sama sekali. Bukankah gerakan perlawanan pernah me-nyusup dan menyamar sebagai kaum fakir? Namun aku juga tidak memikirkan gerakan perlawanan itu. Seorang perempuan telah menggandeng tanganku dalam keremangan senja. Ketika ia menarikku sambil berlari, aku merasa melayang dalam kelam dan kelebat cahaya jingga.

Demikianlah seperti terbang aku ditarik menembus ruang yang kelam. Di dalam kelam aku merasa mengambang dan merasa terbalut aroma tubuh seorang perempuan. Di ruang kosong, dalam kegelapan, tiada yang bisa kulihat selain aroma yang membangkitkan berbagai gambaran. Aku membayangkan segala sesuatu yang mungkin dibayangkan, dari aroma parfum yang mengabdi kepada kepentingan tubuh dalam percintaan. Siapakah ia yang merasa bisa menggairahkan percintaan dengan segala aroma? Aku tidak melihat sesuatu dan hanya merasakan tubuhnya, aku tidak melihat tubuhnya dan hanya menghirup baunya; kemudian aku mendengar desahnya yang begitu basah, seperti lidah ombak yang terserap pasir, mendesah dan me-rintih….

166 167

Permainan cinta tidak selalu berhubungan dengan pe ristiwa cinta, bahkan kadangkala sama sekali tidak ada hu bungannya. Permainan cinta kadang seperti sebuah per tem puran, siapa berhasil mengalahkan siapa; permainan cinta menjadi suatu perkelahian, di mana erang menjadi raungan dan lenguh menjadi auman binatang buas yang menerjang-nerjang. Permainan cinta, terlalu sering berlangsung tanpa cinta, di mana tubuh menemu-kan bahasanya sendiri, dan cinta menguap entah ke mana.

Aku hanyalah seorang pengembara, seorang musafir lata yang selalu pergi dan pergi lagi tanpa membawa cinta. Aku pernah mengenal cinta, tapi sekarang semakin jauh dari pa danya, teng-gelam dalam pelukan perempuan yang satu ke perempuan lain, tanpa pernah membawa-bawa cinta. Cinta bagiku hanyalah suatu permainan sementara, jika tenggelam terlalu dalam, kita akan terluka—cinta adalah permainan untuk tidak terluka.

Perempuan fakir tidak mengenal ranjang. Mereka bercinta di atas jerami, di balik tiang, atau di pojok-pojok gelap yang sepi di antara bayangan. Perempuan fakir, seperti juga kaum le lakinya, tidak mengenal seorang kekasih dan karenanya me reka bercinta dengan siapapun yang mereka kehendaki pada pan dangan per-tama. Bagi mereka berlaku nilai yang sama: per mainan cinta adalah permainan tanpa cinta. Permainan cinta hanyalah suatu cara mengusir sepi, menahan dingin, dan meng isi waktu di dalam dunia.

Jika seorang pengembara sunyi seperti aku bertemu pe-rempuan fakir seperti dia, apakah yang akan terjadi? Di sebuah negeri tanpa harapan seperti Negeri Senja, cinta hanya menjadi impian yang menyakitkan. Bisa kumaklumi sekarang betapa kuat alasan menghapus kata cinta dari kamus Negeri Senja: barangkali saja cinta memang sudah tidak ada. Namun apakah yang bisa diterima dari suatu permainan cinta tanpa jiwa? Aku tidak bisa bernafas karena merasa seperti dibelit ular raksasa.

Ruangan ini sungguh gelap, teramat gelap, sehingga aku merasa lebih terang ketika mataku terpejam. Lidah perempuan itu menyapu tubuhku seperti beruang menjilati madu. Aku merasa sangat bersalah kepada Alina, dan juga Maneka—ter nyata cinta masih juga terbawa-bawa dengan suatu cara. Apa daya, barangkali aku terlalu mudah untuk jatuh cinta, tapi pasti tidak berbakat untuk setia.

Kemudian angin membuka jendela, cahaya senja sekilas memperlihatkan seluruh tubuh perempuan itu yang begitu me-nge jutkanku karena rajah ular di seluruh tubuhnya bagaikan ular sesungguhnya yang sedang membelitnya.

Tubuhku terbanting ke pasir, kemudian pakaianku me-nimpa punggungku. Di luar kulihat badai pasir. Tiada se orang pun di kandang hewan ini.

Aku merasa sangat terhina—dan aku tidak akan menyebut peristiwa ini sebagai kisah cinta.

169

23

Perempuan di Bawah Menara

MENARA yang telah kusebut-sebut ternyata juga harus di anggap ajaib. Konon, dan memang hanya konon, menara ini dibangun 5.000 tahun yang lampau jauh sebelum kota-kota di Negeri Senja dibangun 4.500 tahun kemudian. Telah ku sebut kan, kota ini berumur 500 tahun dan dalam masa itu Tirana berkuasa selama 200 tahun. Semuanya adalah hitungan ber dasarkan kesepakatan di luar Negeri Senja di mana matahari terbit dan tenggelam dan waktu dalam sehari adalah 24 jam. Di Negeri Senja, waktu seolah-olah nisbi karena tiada tanda per gantian waktu, kecuali bahwa orang-orang me mang ber tambah tua. Namun ruang dan waktu di Negeri Senja sebenarnya tidak bisa diukur dengan cara-cara yang terlanjur dikenal di luar, seperti yang terjadi dengan menara itu.

Apabila seseorang memandang puncak menara, maka ia akan mengira tinggi menara itu bisa diukur dengan jangkauan manusia. Seseorang bisa memperkirakan tingginya 100 meter, bisa pula memperkirakannya 1.000 meter, namun apabila sese-orang akan mengukurnya maka menara itu menembus langit dan tak terukur, meskipun jika seseorang mencoba memanjat

dan me rayap seperti manusia-cicak mungkin saja bisa mencapai pun caknya. Pada peris tiwa usaha pembunuhan Tirana seperti yang telah kusaksikan dengan mata kepalaku sendiri, seseorang me lemparkan jarum-jarum beracun dari puncak menara itu, dan Pengawal Kembar melesat terbang ke atas menara untuk men cari pembunuh yang dianggapnya anggota Komplotan Pisau Belati. Tetapi mata kepalaku saja ternyata kurang bisa di andalkan untuk memastikan, karena Pengawal Kembar meniti cahaya dengan pertolongan Tirana, dan keberadaan pembunuh di atas menara itu ternyata mengungkap sesuatu yang baru kuketahui kemudian.

Adalah sebuah pintu di bawah menara itu yang tiada pernah dibuka dan tidak akan pernah dibuka lagi selamanya. Konon, dan memang hanya konon, menara itu sebetulnya telah dijadikan penjara oleh para penguasa sebelum Tirana bagi para penjahat dan pembunuh. Undang-undang Negeri Senja sebelum Tirana ber kuasa tidak memberlakukan hukuman mati bagi para pelaku kejahatan, hukuman mati hanya diberikan kepada pe nentang kekuasaan negara—jadi kepada para oposan. Setelah Tirana ber-kuasa undang-undang itu dihapuskan dan segala sesuatu diatur seperti kehendak Tirana yang tidak pernah diketahui seperti apa karena Tirana menolak pikirannya dibaca.

Para penjahat sebelum Tirana berkuasa dimasukkan ke dalam menara dan ketika lantai bawah sudah penuh mereka harus mem bentuk ruang untuk duduk, berdiri, dan berjalan dengan meng andalkan dinding-dinding menara. Setelah 300 tahun, me-nara itu menjadi sebuah kota tanpa seorang pun bisa keluar dari dalamnya. Para penjahat segala kelamin dimasukkan ke dalam menara yang dijadikan penjara dan beranak pinak di dalamnya dan terpaksa hidup selamanya di dalamnya karena mereka yang masuk tidak akan pernah bisa keluar lagi untuk selamanya. Konon, dan memang hanya konon, di menara empat persegi yang tingginya menembus langit itu orang-orang bisa berjalan miring di dinding-dindingnya, seolah dinding-dinding itu merupakan

170 171

dasar mereka berdiri. Dengan kata lain, hukum gaya berat di dalam menara itu berbeda dengan hukum di luarnya. Para penjahat di dalam menara itu kemudian me nemukan cara untuk bertahan hidup, meng hasilkan bahan makanan, mengatur hu-kum, dan membangun peradaban sen diri, dan setelah 500 tahun, yakni sekarang ini, para penjahat itu semuanya sudah mati dan tinggal generasi yang dilahirkan di dalam menara yang konon, dan memang hanya konon, tidaklah jahat sama sekali.

Namun karena segala cerita yang keluar dari menara, atau beredar di luar menara tidak seorang pun merasa betapa pintu di bawah menara itu sebaiknya dibuka. Tidak seorang pun tahu apa yang berlangsung di dalam menara itu selama 500 tahun dan tidak seorang pun merasa perlu untuk mencoba mengetahuinya. Di khawatirkan betapa manusia di dalam menara yang dilahirkan dari peradaban berbeda itu, karena tidak ada keluarga, dan siapapun boleh kawin dengan siapa saja tanpa ikatan ke ke-luargaan, telah menjadi makhluk berbeda yang cerdas, karena mampu mengatasi kepunahan selama 500 tahun, berjalan miring di dinding-dinding, dan tidak seorang pun tahu apa yang telah mereka pelajari di puncak menara yang me nembus langit. Satu hal yang disyukuri orang-orang Negeri Senja adalah kenya-taan betapa para penghuni menara itu tidak mampu keluar dari puncak menara. Barangkali saja karena di luar puncak menara itu udara sudah hampa, namun orang-orang Negeri Senja lebih suka menduga, betapa udara di dalam menara sudah begitu berbeda dengan udara di luar menara sehingga seandainya pun pintu bawah dibuka, dan orang-orang di dalam menara ber hamburan keluar, mereka juga akan langsung mati.

Tiada seorang pun mengetahui, ketika didirikan 5.000 tahun yang lampau, menara ini dibuat untuk apa. Konon, dan memang hanya konon, menara itu dibangun sebagai usaha menembus langit, meraih bintang, dan bertemu dengan makh luk-makhluk lain yang barangkali saja ada di luar angkasa. Tidak seorang pun

di masa kini bisa membayangkan bagaimana menara yang hanya terbuat dari tanah liat itu dibangun di tengah padang pasir dan berhasil menembus langit mengatasi angin, gempa bumi, maupun ke retakannya sendiri. Tujuan yang meng agumkan dengan hasil me nara di luar ukuran itu menjadi muspra oleh berbagai macam perebutan kekuasaan di bumi semenjak 500 tahun lampau, ketika orang-orang Negeri Senja yang hanya peduli kepada urusan bumi dan isi kepalanya sendiri terus-menerus saling berebut kekuasaan dari saat ke saat sampai Puan Tirana Sang Penguasa yang Buta menghentikan kekacauan itu dan berkuasa bagaikan untuk sel-ama-lamanya. Setelah 200 tahun ia tak mati-mati, orang-orang Negeri Senja tak berharap ia akan mati 1.000 tahun lagi. Sudah dikatakan Tirana bagaikan Tuhan yang Jahat di Negeri Senja, yakni berkuasa seperti Tuhan tapi tanpa sifat-sifat kebaikan sama sekali, dan ia seperti menakdirkan kehidupan di Negeri Senja harus berlangsung seperti kehendak perempuan yang patah hati karena kekasihnya bercinta dengan seorang perempuan lain di altar pemujaan Kuil Matahari itu.

Hanya dari puncak menara itulah isi langit bisa disaksikan seperti apa adanya, karena konon, dan memang hanya konon, puncak menara itu berujung di pusat semesta, yakni tempat yang paling sahih untuk melihat dunia seperti apa adanya. Cerita ini membuat aku jadi bingung karena jika aku bisa melihat puncak menara dari sini, apakah itu berarti aku melihat sesuatu yang semu sahaja? Telah kulihat jarum-jarum beracun berkilat me luncur dari atas yang diraup oleh Pengawal Kembar, yang kemu dian melesat memburu pelemparnya yang telah meng hilang. Apakah pan-dangan mata memang berbeda dengan kenyata annya? Menara itu dalam pandangan mataku seperti bisa diukur, namun apabila diukur maka tinggi menara itu tak pernah bisa digapai. Puncak itu kelihatan tetapi tiada pernah dicapai. Bahkan pikiran Tirana yang tak terbatas hanya akan selalu melihat puncak menara itu dari bawahnya. Lantas ma nusia macam apakah kiranya yang mampu

172 173

membangun menara semacam itu 5.000 tahun yang lampau? Ataukah menara itu dibuat oleh bukan-manusia? Catatan yang tersisa di pasar buku gelap Negeri Senja hanya menyebutkan menara itu sudah berdiri se menjak 5.000 tahun yang lampau. Berarti ia bisa saja sudah ada jauh sebe lumnya. Sedangkan dalam Ensiklopedi Negeri Senja hanya ter dapat data-data teknis tentang komposisi tanah liat dan pasir dan lain sebagainya dan sama sekali tidak me nyebut se jarahnya.

Cerita ini kudengar dari seorang perempuan di bawah menara dan kepadanyalah aku jatuh cinta sehingga berpikir untuk tetap tinggal di Negeri Senja. Perempuan itu selalu ada di bawah menara karena ia menjual cerita. Di Negeri Senja tidak bisa ditemukan lagi suatu huruf yang bisa dibaca semenjak Tirana menghapus penge tahuan, sehingga segala sesuatu seperti peng-etahuan hanya bisa beredar dalam kegelapan, dan karena itu bahasa lisan menjadi sangat penting, meski dengan itu segala sesuatu menjadi sangat sulit dikukuhkan.

Demikianlah perempuan itu selalu berada di bawah me nara dengan kepala tertutup kerudung sehingga dalam ke remangan tiada terlihat wajahnya. Ia bersila di bawah bayang-bayang menara yang memanjang tanpa batas dan ini mem buatnya berada di tempat yang tergelap di antara yang gelap meski segelap-gelapnya bayang-bayang menara tak akan pernah membuat senja menjadi malam. Dalam bayang-bayang tergelap orang-orang datang untuk men dengar cerita yang disampaikan dengan cara sepelan-pe lannya, begitu pelan sehingga harus diperdengarkan dari mulut langsung ke telinga, yang lebih tepat disebutkan sebagai langsung mem bisik kannya. Orang-orang datang ke ha-dapan sang juru cerita dan perempuan itu pun berbisik dengan cara menempelkan mulut di telinga. Ia tidak bercerita dengan cara menceritakan riwayat menara dari awal sampai akhirnya, karena jika hal itu dilakukan pasti akan lama sekali waktunya. Ia hanya membisikkan beberapa patah kata, bahkan barangkali

hanya membisikkan bunyi-bunyi tak ber makna, namun itu sudah mengungkap seluruh riwayat me nara yang paling mungkin dike-tahui orang-orang Negeri Senja karena memang demikianlah cara mereka bertukar kata di bawah penindasan negara.

Aku juga datang ke sana, dan kulihat orang terakhir telah meninggalkannya. Kulihat ia bersila dan bersandar di tembok menara dan terliput bayang-bayang menara yang berasal dari sisa cahaya lemah matahari yang separuh terbenam. Aku semula ragu-ragu mendekatinya karena menyadari bahasa Negeri Senja yang kupahami masih seadanya. Namun dari dalam kerudung yang gelap dan kosong itu terlihat cahaya seperti kilat, seperti mata kucing tapi bukan kucing, menatap nyalang dalam ke gelapan.

“Orang asing, apa yang bisa kubantu?”“Aku ingin mendengar cerita tentang menara.”“Aku mempunyai banyak cerita, mengapa engkau memilih

cerita tentang menara?”Suaranya serak dan basah.Aku menjelaskan tentang kebingunganku atas menara itu,

yang ketika dipandang memberi kesan yang tidak sama dengan kenyataannya.

“Orang asing, mungkinkah kau pikir menara yang pun caknya berada di pusat semesta bisa dibikin oleh manusia? Mungkinkah kau pikir di dalam menara yang terdapat bahan makanan yang membuat manusia dari generasi ke generasi mampu hidup ratusan tahun sampai hari ini dibikin oleh manusia biasa?”

Aku tertegun.“Tidakkah kau pikir yang membuatnya adalah semacam

Tuhan?”Tuhan?Seperti biasa, pikiranku terbaca.“Bukan Tuhan—semacam Tuhan.”Ada bermacam-macamkah Tuhan?

174

“Aku tidak akan memberi jawaban, wahai orang asing yang mencari, tapi akan kubawa engkau masuk ke dalam ceritaku.”

Maka aku pun bisa bercerita kepadamu tentang menara itu, Alina—tapi jangan sampaikan kepada Maneka betapa aku telah jatuh cinta dengan seketika. Aku tidak pernah menganggap perem puan penjual cerita itu mencintaiku seperti aku men-cintainya, sampai pada suatu senja di antara keabadian senja ia tiba-tiba saja sudah berada di dalam kamarku, dan langsung tidur di sampingku tanpa busana. Di tubuhnya tidak terdapat rajah bahkan setitik tahi lalat pun tak ada, tetapi ia mengenakan kalung mutiara. Seluruh tubuhnya beraroma melati dan tidak ada yang akan lebih menyen tuh hatiku selain harum melati—bunga cinta dari masa laluku.

Maafkan aku Alina, dan juga maafkan aku Maneka—meski dikau tidak, dan tidak akan pernah, mengetahuinya.

24

Antara Alina dan Maneka

DALAM percintaan, aku mewajibkan diriku untuk setia kepada dua perempuan; bersama Alina aku berada dalam hubungan cinta abadi di mana bisa diharapkan jiwa dalam ketenangan, bersama Maneka aku berada dalam hubungan cinta meng gelisahkan di mana kehilangan selalu merupakan an caman—kepada keduanya kulimpahkan cinta, namun ter nyata kepada keduanya tidak bisa kuberikan apa-apa. Bagai mana caranya cinta kupersembahkan selama aku hanya seorang peng embara, musafir lata yang selalu pergi dari satu tempat ke tempat lain dengan kemungkinan yang sangat kecil untuk kembali ke tempat yang sama?

Aku tidak pernah tahu apakah akan bertemu kembali de ngan Alina, atau juga Maneka, pengembaraan bukanlah pekerjaan yang membuat kita menjumpai seseorang dua kali dalam ke sempatan hidup satu kali di dunia, tetapi aku tidak pernah melepaskan pikiranku dari mereka berdua. Dengan caranya masing-masing, keduanya telah menghancurkan hatiku, sampai hancur-lebur jadi debu, namun itu bukanlah alasannya mengapa aku harus tidak setia; seandainya pun hubungan cinta kami mulus seperti

176 177

porselen, kokoh seperti marmer, dan ber denyar seperti sinyal, dengan mudah ternyata aku selalu tergoda.

Menjadi setia artinya aku tidak akan pernah melepaskan cintaku kepada mereka, namun itu tidak menutupi kenyataan betapa aku selalu jatuh cinta kepada siapapun dengan seketika dan untuk sementara, bagaikan kutukan pengembara yang selalu terpesona kepada senja, suatu peristiwa alam terindah yang hanya berlangsung sebentar saja. Ini berarti aku mem punyai dua cinta, yakni cinta untuk selamanya dan cinta untuk sementara; cinta untuk selamanya mengendap sekali untuk tidak pernah pergi karena memang selalu dijaga agar tetap ada di sana, cinta untuk sementara adalah gelombang perasaan sesaat yang terpaksa atau tidak terpaksa harus dibiarkan berlalu dengan segala keindahan dan keajaibannya, karena memang akan tetap berlalu meski kita berusaha keras menjaga.

Antara Alina dan Maneka, kepada keduanya perasaan cinta-ku tidak pernah kulepaskan, namun sepanjang peng em baraan, dalam kesepian dan keterasingan, aku terlalu sering bertemu dengan seseorang yang hampir selalu berhasil mem buat kita jatuh cinta, yang jika tidak kutinggalkan akan me menjarakan hatiku selamanya dalam pengabdian ber ke pan jangan. Peng abdian ada-lah bagian dari keindahan cinta, tetapi bagi seorang pengembara ikatan apapun lebih baik dibatalkan. Biarlah cinta berkelebat, tapi jangan biarkan dia menetap, dan akhirnya berkuasa. Mereka yang dikuasai cinta akan lebih mudah men derita dan terluka daripada mereka yang meng uasainya; namun siapapun harus melepaskan pikiran mampu menguasai cinta dan mempermainkannya, karena siapapun yang begitu jumawa merasa bisa menguasai cinta justru akan terbakar dipermainkan cinta.

Demikianlah aku mengembara bersama Alina dan Maneka dalam hatiku yang cenderung selalu berada dalam keadaan duka. Sepanjang perjalanan kubagi kesaksianku kepada mereka berdua, kubagi penglihatanku, kubagi pendengaranku, kubagi seluruh

daya pencerapan duniaku, termasuk bila kualami per cintaan membara karena aku akan merasa sangat bersalah jika tidak melakukannya. Mataku adalah mata mereka, telingaku adalah telinga mereka, hatiku mudah-mudahan juga hati me reka—jika aku boleh mengembara, mengapa setiap orang tak boleh juga melakukannya, dalam pikiran maupun dalam cinta? Aku selalu mengharapkan mereka mencintai aku, seperti aku mencintai mereka, tetapi kata orang luasnya padang pasir bisa diduga siapa bisa memastikan hati manusia? Sebegitu jauh aku merasa bahagia dengan apa yang telah kulalui bersama masing-masing dari mereka. Bahagia artinya percintaan yang lengkap dengan kepe-dihannya—di dunia orang dewasa, bukankah kita harus selalu berdamai dengan luka?

Setiap kali berjumpa dengan seorang perempuan yang membuat aku jatuh cinta, aku selalu merasa dia juga hanya akan lewat dan berkelebat seperti siapapun yang pernah kujumpai sebelumnya, tapi kemudian melekat dan mengancam seperti akan menjadi orang ke tiga setelah Alina dan Maneka—ternyata aku tak pernah cukup dingin untuk tidak terpesona oleh pelangi cinta dan tak pernah cukup siap untuk tidak hancur ketika pelangi itu memudar dan menghilang selama-lamanya. Setiap kali berpisah dengan orang-orang tercinta, demikianlah kata pepatah, aku seperti merasa mengalami kematian kecil yang begitu menyiksa, karena dalam kematian besar tentunya kita tidak merasakan apa-apa. Sering kupandang langit di malam gulita sebelum tiba di Negeri Senja dan menyadari betapa diriku yang miliaran kali lebih kecil dari bintang-bintang di atas sana begitu kecil untuk merasa berhak menderita—namun ternyata aku selalu berlarat-larat dengan duka berkepanjangan tiada terkira.

Alina dan Maneka, keduanya perempuan sempurna dengan kekayaan masing-masing yang tiada dimiliki oleh lain nya; Alina yang matang dalam kehidupan, tangkas dalam keseharian, penuh pesona dalam senyuman, bijak dalam meng atasi pe rasaan;

178 179

Maneka yang mengatasi ruang, lincah dalam pe mikiran, mata bercahaya penuh ketakjuban, hati yang penuh dengan keharuan—sepasang kekuatan dan sepasang kelemahan yang tiada satu pun bisa kutinggalkan. Tak bisa kubayangkan jika aku harus menghadapi pilihan, hanya kehancuran kuberikan jika kulakukan dan hanya kehancuran kudapatkan jika keduanya kutinggalkan. Tidak memilih dan tidak meninggalkan bukanlah pilihan, tetapi suatu keadaan yang menjadi kenyataan. Suatu keadaan yang membuatku mem pertimbangkan, apakah aku mengembara ka-rena pergi mencari ataukah lari dari kenyataan?

Aku berjumpa dengan Alina jauh di masa muda yang silam, ketika dalam kematangannya aku terbuai dalam haribaan yang menenangkan, tanpa gelora cinta yang berlebihan namun arus nya yang perlahan penuh dengan kepastian. Alina indah seperti segala sesuatu yang bisa dikatakan indah, mata yang cemerlang, dalam segala sesuatu yang justru tidak dikatakan; Maneka juga indah, matanya juga cemerlang, namun ia mengatakan apa yang ingin dikatakan dan tidak mengatakan apa yang tidak ingin dikatakan. Maneka bagaikan angin musim yang selalu berbeda arah, namun yang setiap musimnya memberi keindahan. Alina sepintas lalu lebih dewasa dari Maneka, dan jauh lebih tenang, tapi bukan tanpa persoalan—bukankah cinta adalah sesuatu yang menjadi begitu indah, tetapi juga begitu penuh dengan persoalan?

Keduanya sering terasa sebagai satu pilihan berhadapan dengan banyak pilihan lain yang selalu kuabaikan, sehingga aku sering lupa betapa mereka adalah dua perempuan. Terlalu sering aku merasa bersalah dan berdosa kepada salah satu dari mereka berganti-gantian. Aku merasa bersalah terhadap Alina karena ada Maneka, dan aku merasa bersalah terhadap Maneka karena ada Alina—padahal aku pun jauh dari keduanya, jauh di tengah padang bersalju, sendirian di puncak gunung, atau hilang di antara sejumlah penumpang di sebuah kapal di lautan luas tak bernama.

Dalam pengembaraan aku sering berbicara dengan salah

satu dari mereka, tapi tidak pernah bersama-sama, karena keha-diran yang satu memang membuat yang lain tiada, dan sungguh aku sulit untuk memeriksa diriku sendiri siapa yang lebih kucintai dari mereka berdua. Alina sudah kukenal lama, dan terlalu banyak alasan untuk memilihnya, tapi meski me rasakan ke-tenangan bersamanya ia tidak pernah mengatakan apa-apa; Maneka me nyata kan kedalaman cinta, dan mem perlihatkannya, tapi meski aku sungguh percaya terlalu banyak hal di muka dunia menak jubkan baginya—pada keduanya ter dapat alasan yang bisa kutakutkan, tetapi aku sendiri sering bertanya kepada diriku, apa yang telah kuberikan kepada me reka? Aku merasa belum mem-berikan apa-apa. Aku selalu berada di tempat yang jauh, dan tidak pernah tahu apakah surat-suratku sampai kepada mereka.

Biasanya aku menceritakan apa saja kepada Alina, dan tentu juga Maneka, tetapi catatan ini adalah tentang mereka berdua—jadi aku sebetulnya tidak tahu, catatan ini kutujukan kepada siapa, mungkin kepada siapa saja, atau bukan untuk siapa-siapa. Namun bagi siapapun yang membacanya, aku harapkan dia percaya betapa aku tidak bermaksud mem per mainkan keduanya, dan juga tidak perempuan mana pun di dunia—kuberikan apapun yang bisa kuberikan kepada mereka, dan kulakukan apapun yang bisa kulakukan kepada siapapun yang kucinta. Aku selalu meng-hindari cinta, yang mengancam untuk jadi mapan maupun yang sementara, namun sekali terlibat betapa sulit melepaskan diri daripadanya. Setiap kali memasuki kota, kampung, dan warung—dan seorang pe rem puan tersenyum meski tanpa kata, aku tidak berusaha mem balasnya, karena tahu betapa aku akan terluka.

Namun siapakah kiranya di dunia yang fana bisa terhindar dari pesona dan petaka cinta? Begitu sering aku sempat seolah-olah merasa bahagia tanpa cinta yang hiruk-pikuk dan me-repotkan dunia namun dengan segera merasa betapa kosong dan tiada bermakna hidup adanya. Tentu saja cinta banyak ma camnya, dan sebegitu jauh cintaku kepada alam terbuka dan

180

keluasan dunia sedikit-banyak membuat aku merasa hidup secara penuh dan bermakna, meski itu tidak berarti bisa meng gantikan kehi dupanku bersama Alina, dan tentu juga Maneka. Sepanjang perjalanan, di mana pun aku berada, aku selalu teringat kepada mereka. Aku selalu ingin bercerita tentang elang yang menyambar ikan di dalam danau dari udara, tentang sebatang pohon tanpa daun yang meranggas sendirian di padang rumput, atau tentang senja luar biasa yang selalu saja ada di berbagai sudut dunia, dengan keluasan langit yang memerah begitu merah sehingga membakar angkasa.

Di Negeri Senja, dari saat ke saat aku juga selalu teringat mereka, namun ternyata aku terlibat peristiwa cinta yang ber-bahaya. Perempuan dengan anting-anting di puting kiri dari pasar malam di tepi kali pergi begitu saja, perempuan dengan rajah ular yang membelit tubuhnya bahkan bisa kuanggap menghina, tapi perempuan di bawah menara yang menjual cerita sungguh ber-bahaya. Kecantikan dan permainan cinta bisa dan boleh di lupa-kan, tetapi tidak dengan kecerdasan di dalam kepala—perem puan yang menjual cerita di bawah menara itu mempunyai kecerdasan yang membuat setiap perempuan menjadi indah, sedangkan perem puan ini tanpa kecerdasan pun sudah terlalu indah, meski dalam kere mangan yang amat sangat tidak bisa kuceritakan sama sekali macam apa ke indahannya.

Untuk pertama kalinya dalam pengembaraanku aku ber pikir bahwa aku bisa menetap di suatu tempat, mencari nafkah, dan barangkali berkeluarga. Pengalamanku dengan urusan cinta yang selalu gagal membuat aku tidak membuat keputusan apapun. Namun setelah lama hidup dalam suasana tertekan, perempuan di bawah menara yang tiba-tiba muncul di kamar penginapanku itu bagai menjelmakan segala sesuatu yang di miliki Alina maupun Maneka dalam diri satu orang saja—apakah aku masih mem-punyai pilihan? Aku sedang berpikir, apakah kiranya yang bisa kukerjakan, jika harus hidup seterusnya, dan mungkin meninggal dunia, di sebuah negeri seperti Negeri Senja, negeri yang sama sekali tidak terdapat di dalam peta.

B a g i a n 5

25

Pemberontakan

DI BAWAH langit senja yang merah membara, semakin lama semakin banyak bendera Partai Hitam yang hanya berwarna hitam berkibar di atap-atap rumah. Bendera-bendera hitam berkibar di atap, di tiang, di jendela, di mana saja bisa di-tempatkan sebuah tiang untuk mengikatkan bendera yang me-lambai-lambai dalam tiupan angin senja. Angin bertiup dari gurun dengan kencang memperdengarkan suara kibaran ben dera itu yang dari hari ke hari semakin menggetarkan perasaan. Negeri Senja semakin berada dalam keadaan yang menegangkan karena bencana yang tiada terbayangkan. Apakah orang-orang Negeri Senja itu lupa betapa tiada seorang pun bisa menghalangi Puan Tirana Sang Penguasa yang Buta jika kemarahannya menjelma petaka? Siapakah kiranya bisa menyelamatkan dunia dari ke-murkaan Tirana, yang begitu berkuasa seperti Tuhan yang Jahat, jika bahkan Tuhan yang Maha Baik pun tidak berbuat apa-apa?

Apabila pasukan berkuda melewati jalan utama kota, dari lorong-lorong sering terlihat orang yang seperti sengaja mem-perlihatkan bendera itu sebentar, tapi kemudian meng hilang.

184 185

Sering pasukan berkuda itu pun berderap meng ejarnya sampai masuk ke dalam lorong, namun siapakah kiranya bisa me nemu-kan seseorang yang sengaja menghilang dalam labirin lorong-lorong Negeri Senja yang tidak mengembalikan seorang pun ke tempat asalnya? Seringkali anggota pasukan ber kuda itu kembali tanpa hasil, tetapi lebih sering lagi ia meng hilang dan tak pernah kembali. Kadang-kadang hanya kudanya yang kem bali, atau kembali juga bersama penunggangnya, tetapi dalam keadaan mati. Apabila penunggangnya mati di atas kuda yang keluar dari lorong itu perlahan-lahan, maka jangan di harapkan kematiannya akan ang gun bak pahlawan. Se tidak nya duabelas pisau terbang akan me nancap di berbagai tempat mematikan. Lebih sering tubuh itu terbantai begitu rupa se hingga tiadalah pantas kiranya untuk diperjelas lagi dalam cerita yang di sebar luaskan.

Anak-anak kecil paling sering menggoda pasukan serdadu berkuda yang berpatroli di dalam kota maupun di mana-mana dan jangan dikira bahwa anak kecil dan orang dewasa dibedakan oleh pemerintahan Puan Tirana Sang Penguasa yang Buta. Bah-kan bagi anak-anak gerakan perlawanan bisa berakibat kematian. Para Pengawal Kembar yang bertopeng bagaikan makhluk tak bermata yang sangat peka terhadap segala bentuk ancaman namun tak bisa membeda-bedakan. Bila bendera hitam merupa-kan lambang Partai Hitam maka siapapun yang mengibarkan bendera hitam tiadalah harus dianggap berbeda, apalagi sengaja berlari-lari mengejek mereka—pemandangan anak kecil terkapar sambil memegang bendera dengan pisau terbang di jantungnya adalah biasa di Negeri Senja.

Partai Hitam yang terdiri dari begitu banyak golongan telah semakin banyak mendapat dukungan. Semenjak berbagai go-longan digabungkan, Partai Hitam semakin banyak mendapat pendukung dengan diam-diam maupun terang-terangan. Per-himpunan Kaum Fakir, meskipun tetap tidak bergabung, me-nyatakan dukungan atas setiap kebijakan Partai Hitam. Du-

kungan kaum fakir sangat menentukan, karena kaum paria inilah sebetulnya yang telah bertahan dari zaman ke zaman tanpa pernah berhasil ditaklukkan siapapun yang berada di kursi kekuasaan. Hanya Puan Tirana Sang Penguasa yang Buta yang dengan kesadaran penuh memusuhi mereka, bukan hanya karena tahu belaka betapa kaum fakir memegang segala rahasia sejarah Negeri Senja, tetapi juga karena terlalu sering disusupi gerakan perlawanan yang bahkan mampu memata-matai Mata-mata Istana.

Jika Tirana mampu membaca pikiran manapun dalam kepala yang tertimpa cahaya, maka Rajawali Muda berusaha meruwetkan pikiran apapun yang akan dibaca. Telah terjadi perpecahan dalam Partai Hitam ketika pemungutan suara untuk melaksanakan pemberontakan bersenjata dilakukan. Tiada ku-rang dari golongan-golongan seperti Gerak Kesadaran, Ke rudung Perempuan, Persatuan Perdamaian, Pancaran Sinar Filsafat, Teratai Muda, Sembilan Matahari, dan Nafas Emas berbeda pendapat dalam cara bagaimana perlawanan harus dilakukan. Konon, dan memang hanya konon, golongan yang menolak kekerasan melepaskan diri dari koalisi Partai Hitam, namun tiada seorang pun yang tahu kebenarannya karena sudah terlalu sering Mata-mata Istana terkecoh oleh Rajawali Muda yang tampaknya begitu mahir akan tipu daya dan penyamaran.

Mungkinkah Rajawali Muda ingin mengelabui Tirana yang barangkali saja mengira perpecahan telah melanda? Namun bagaimana bisa dipastikan betapa Tirana telah dipermainkan oleh Rajawali Muda? Di Negeri Senja, di mana segala sesuatu selalu disamarkan oleh keremangan dan kekelaman, tidak ada sesuatu yang bisa diketahui bersama—tiada seorang pun tahu apakah sesuatu juga diketahui oleh lainnya. Tetapi seandainya pun terjadi perpecahan, dukungan Perhimpunan Kaum Fakir lebih dari cukup untuk menggantikannya, apalagi jika kekerasan sudah dinyatakan sebagai satu-satunya jalan. Aku sendiri tak tahu

186 187

apa yang bisa diyakini di negeri ini sebagai pegangan kejelasan. Meskipun aku juga percaya betapa kaum fakir ini sangat berdaya melawan tekanan dalam penindasan, karena apakah yang masih bisa ditindas lagi dari kaum paria tiada berkasta yang tidak memiliki apa-apa?

Di negeri yang miskin seperti Negeri Senja, kaum fakir merajalela di mana-mana. Bergelimpangan, merayap, dan tidur-tiduran di berbagai sudut kota dalam kerumunan lalat—dan kini kaum fakir itu membawa bendera hitam. Lebih dari berbagai macam golongan yang tergabung dalam Partai Hitam, kaum fakir diandalkan sebagai kunci kekuatan. Adalah Rajawali Muda yang merasa terlambat dan menyadari belakangan, betapa kerahasiaan dalam ke kerabatan kaum fakir jauh lebih ter selubung daripada Komplotan Pisau Belati yang seolah di ketahui setiap orang. Siapa-kah kiranya yang bisa menguasai peta lorong-lorong Negeri Senja jika bukan kaum fakir yang telah men jadikan lorong-lorong itu bagaikan kediaman? Lorong-lorong telah menjadi rumah bayang-bayang di mana kekuatan pikiran Tirana tiada mampu menem-busnya—dan setiap kali mengirim Mata-mata Istana kalau tidak pulang sebagai mayat justru mengubah mereka sebagai mata-mata rangkap yang sulit di duga.

Demikianlah dari hari ke hari semangat semakin meninggi. Bendera hitam tidak hanya tampak di atap rumah, tapi juga di ujung setiap lorong dan di jalan utama yang menjadi jalan resmi negara. Di depan Istana Pasir mulai sering terlihat rombongan berjalan membawa bendera itu, yang berkibar-kibar dilam baikan angin, hanya lewat saja, seolah-olah tidak sengaja pada hal me-mang bermaksud memamerkannya. Negeri Senja sendiri tidak punya bendera. Memang banyak umbul-umbul, panji-panji, dan bendera juga, tetapi tidak ada bendera negara. Setiap penguasa memang memiliki bendera tanda kekuasaannya ma sing-masing, tetapi itu bukan bendera negara sehingga setiap kali berganti penguasa berganti pula benderanya—kecuali Puan Tirana Sang

Penguasa yang Buta. Perempuan penguasa ini tidak mempunyai dan tidak pernah menghendaki suatu bendera sebagai tanda pengukuhan kekuasaannya. Tidak ada suatu tanda atau lambang atau apapun di Istana Pasir yang menandakan keberadaan suatu kekuasaan di sana—namun siapakah di Negeri Senja yang tidak percaya betapa ia berkuasa? Seolah-olah Tirana menyatakan betapa mutlak kekuasaannya karena Negeri Senja itu sendiri adalah Tirana dan Tirana adalah Negeri Senja.

Namun di depan Istana Pasir orang-orang mulai berpawai, semakin hari semakin banyak sambil membawa bendera hitam. Memang tidak ada suara dan tidak ada tulisan, segalanya ber-langsung dalam diam. Seperti Tirana, orang-orang Negeri Senja hampir semuanya berbusana hitam yang menyelimuti seluruh badan; seperti Tirana, orang-orang Negeri Senja selalu ber-keru dung dan wajahnya tidak pernah kelihatan; seperti Tirana, orang-orang Negeri Senja tidak pernah berbicara dan hidup dalam kebisuan, karena segala sesuatu berlangsung me lalui saling penger tian. Di bawah langit senja orang-orang Negeri Senja berjalan pelan sebagai sosok-sosok hitam yang seperti hanya terdiri dari bayang-bayang dan bukan orang. Bayang-bayang yang diam, bayang-bayang yang diam-diam mengancam kekuasaan.

Dari bawah menara, dalam pelukan perempuan di bawah menara, kusaksikan bendera-bendera hitam yang dibawa ba risan dalam rombongan-rombongan tak beraturan berkibar mengge-tarkan. Segalanya serba hitam sebagai bayang-bayang yang ber-gerak pelan semakin lama semakin banyak memenuhi jalanan. Dari lorong-lorong dan dari luar kota banyak orang berbondong-bondong dengan gerakan yang lamban dengan langkah terseret-seret seperti memikul beban mengalir dan menjadi gelombang yang memenuhi kota. Dengan latar ma tahari jingga raksasa yang separuh terbenam, sosok-sosok hitam berjalan mengelilingi Is-tana Pasir dengan bendera hitam setiap rombongan yang ber-kibar-kibar mendebarkan.

188 189

Di Negeri Senja yang tiada mengenal pagi dan tiada menge-nal malam pengibaran bendera hitam terus berjalan. Di angkasa, Rajawali Muda menjelma menjadi rajawali yang ter bang mela-yang melihat-lihat keadaan dan tiada satu jarum beracun yang meluncur untuk membunuhnya. Dengan segenap kebisuannya, peristiwa ini bisa dianggap pemberontakan karena bendera hitam adalah lambang sebuah partai terlarang, dan di Negeri Senja tidak ada partai yang tidak dilarang, bahkan partai milik negara atau pemerintah yang memegang kekuasaan pun tidak diperkenankan Puan Tirana Sang Penguasa yang Buta. Mengibarkan bendera hitam, meskipun tidak pernah dinyatakan sebagai bendera Partai Hitam, tetap merupakan tanda per lawanan. Partai Hitam tidak pernah diresmikan, tetapi apa kah yang akan bisa resmi dan didaftarkan di Negeri Senja yang hanya mengenal satu kekuasaan saja, yakni kekuasaan Tirana? Tidak ada yang perlu ditanda-tangani atau direstui di Negeri Senja, karena Tirana tidak akan pernah setuju terhadap apapun kecuali kepada kemauannya sendiri.

Di mana-mana kulihat bendera, yang berkibar di tiang maupun yang dibawa berjalan. Di Negeri Senja, di mana tiada siang dan tiada malam, tak ada kepastian berapa lama ini akan terus berjalan. Aku tidak tahu sudah berapa lama aku berdiri di bawah menara yang bayang-bayangnya memanjang sampai ke balik cakrawala. Kusaksikan rombongan demi rombongan yang berjalan lamban seperti membawa beban dengan kepala ter tunduk berkerudung hitam, semakin lama semakin memadati jalanan dan menjadi gelombang menyesakkan. Semula aku bisa menyaksikan rombongan demi rombongan membawa bendera hitam dalam latar belakang langit yang kemerah-merahan dari kejauhan, tapi kini mereka yang berkeliling melewatiku dengan begitu dekat sehingga bisa kudengar getar kain bendera itu dalam kebisuan.

Menjadi pertanyaan besar bagiku mengapa dari Istana Pasir tidak ada tanggapan Tirana. Biasanya bahkan pikiran yang salah

dalam benak pun telah membuat Tirana mengirim Peng awal Kembar melalui cahaya untuk memenggal kepala. Namun dalam gelombang demi gelombang manusia yang memadati alun-alun di depan Istana Pasir tanpa suara, yang sudah berjalan sekian lama, tiada sesuatu pun yang tampak akan berlangsung. Apakah Tirana menahan diri atas sesuatu yang diharapkan Rajawali Muda? Mungkinkah Rajawali Muda salah perhitungan atas kemampuan Tirana membaca tipu daya?

Seorang fakir mendekat tiba-tiba, berbicara dalam bahasa Antarbangsa.

“Apakah Sahib masih membawa benda itu?”Aku tertegun.“Peristiwa di pasar….”Aku ingat, masih membawa benda pipih seperti Kotak Senja.Apakah benda itu masih ada?”“Ya, tentu saja,” kataku, berharap masih tergantung di leher

keledaiku.“Benda itu tidak boleh keluar dari Negeri Senja,” katanya.“Apakah Sahib akan mengambilnya? Atau lebih baik ku-

serahkan saja?”“Jangan, belum saatnya—hanya saja Sahib harus me-

mastikan tidak membawanya ke luar Negeri Senja,” sahut fakir yang langsung menghilang itu.

Perempuan di bawah menara itu memandang tepat ke mataku.

“Dikaulah kiranya yang membawa benda itu.”“Benda apa?”“Sesuatu yang membuat Negeri Senja selalu berada dalam

keadaan senja.”Aku hanya seorang asing, dan tentu saja aku tidak tahu

apa-apa, apalagi di Negeri Senja yang segala sesuatunya sungguh berbeda. Aku tidak tahu apa-apa dan tidak ingin tahu apa-apa. Dunia yang makin lama seperti makin menghitam oleh bendera-

190

bendera kematian membuatku tidak ingin bertanya. Bendera-bendera kematian….

Perempuan itu mengajakku beranjak, memasuki ke re mang-an di balik bayang-bayang menara.

“Lupakan semuanya,” katanya.Dalam remang senja yang membuat segalanya tersamar,

kurasakan sepasang tangan menarik leherku.

26

Usaha Pembunuhan Tirana II

AKU terbangun oleh suara gumam yang menggelombang, yang meskipun hanya gumam tapi karena disuarakan oleh berjuta-juta orang yang datang dari seluruh penjuru negeri memenuhi kota maka suara itu bagaikan hempasan ombak yang menembus mimpi. Aku terbangun dan bangkit berdiri. Aku masih di bawah menara, tetapi perempuan dengan siapa aku berkencan di bawah menara itu tidak kelihatan lagi. Orang-orang yang membawa bendera hitam masih mengalir dan masih berjalan dengan lam-ban bagaikan membawa beban, namun kulihat lautan ma nusia di alun-alun itu telah tersibak menjadi begitu lapang karena di tiang gantungan itu seseorang telah tergantung dan bergoyang karena angin perlahan-lahan.

Kutegaskan mataku dan aku segera mengerti makna gu mam itu. Aku tidak bisa menceritakan dengan rinci ba gaimana peris-tiwanya terjadi, namun aku masih ingat hari-hari per tamaku di Negeri Senja, terutama pembantaian seseorang yang mengaku-aku sebagai Penunggang Kuda dari Selatan di Kuil Matahari, sehingga masih kuingat siapa yang tergantung dan bergoyang

192 193

karena angin dari gurun itu. Rambutnya masih putih dan masih panjang dan busananya yang serba putih tampak kusam dan ber-lumuran darah karena peng aniayaan. Setidaknya duapuluh pisau terbang menancap di ber bagai titik mematikan.

Telah tergantung di tiang gantungan itu Guru Besar sen diri. Tiang-tiang gantungan di depan Istana Pasir itu biasa digunakan untuk menghukum gantung musuh-musuh Tirana, namun kini tiang gantungan itu dipergunakan untuk meng gantung kekasih Tirana oleh orang-orang yang me nem patkan diri sebagai mu-suhnya. Apakah orang-orang ini, yang muncul dari berbagai lorong dan dari berbagai penjuru negeri menjadi berani karena banyak jumlahnya? Hubungan Tirana dengan Guru Besar dari Kuil Mata hari memang tiada baik adanya. Bahkan 50 tahun terakhir Tirana tiada pernah berkunjung ke piramida dengan dua teras di tengah nya itu sebagai pengakuan atas kekuasaan agama.

Para cendekiawan dalam kegelapan memperbincangkan suatu peta persaingan kekuasaan: apakah Puan Tirana Sang Penguasa yang Buta ingin merengkuh pula kuasa atas agama ke dalam tangannya; ataukah Guru Besar yang bertugas memberi pengarahan atas jalan terang ke dunia sana lebih tertarik kepada kuasa atas negara. Namun desas-desus yang berkembang dari mulut ke mulut dan dari telinga ke telinga seolah-olah lebih bisa dipercaya, betapa kisah cinta antara keduanya telah meruncing dan terwujudkan dalam perseteruan yang mengorbankan ne gara. Seandainya Tirana mengakui keberadaan agama dan Guru Be-sar merelakan Tirana memberlangsungkan pemerintahan tanpa gang guan, barangkali saja rakyat yang hanya bisa mencari kete-ladanan dalam perilaku para pimpinan negara tidak akan terlalu kecewa, tetapi rakyat Negeri Senja bukan hanya kecewa melain-kan juga terluka.

Cinta yang berantakan telah menghancurkan hubungan ke-dua pilar negara; Guru Besar tidak mendapatkan lagi ke percayaan umat, kecuali dari janji penyingkiran Tirana deng an mencari juru

selamat bernama Penunggang Kuda dari Selatan, tetapi yang semakin tidak bisa dipercaya; sedangkan Tirana bagai me lam-piaskan derita cinta dalam penindasan ber ke panjangan yang tiada pernah memuaskan hatinya. Kepada Sang Guru Besar yang mem peralat gagasan tentang Tuhan sebagai bahan per bincangan dan tipu daya, ditunjukkannya betapa ia bisa berkuasa seperti Tuhan, tetapi Tuhan yang Jahat, tanpa sifat-sifat kebaikan, yang me nakdirkan seluruh rakyatnya ber nasib malang—dalam 200 ta-hun kekuasaannya sulit bagi orang-orang Negeri Senja mendapat kebahagiaan, kecuali dalam per lawanan pikiran yang mengendap di antara bayang-bayang dan kegelapan. Dalam penindasan yang seolah tak terlawan, agama menjadi satu-satunya pilihan, tetapi Guru Besar sebagai pe megang kuasa keagamaan telah me-nabur kan kekecewaan se menjak skandal permainan cinta di altar pemujaan Kuil Ma tahari, bahkan se belum Tirana naik ke jenjang kekuasaan. Di Negeri Senja, dengan bisikan lirih dan perlahan-lahan, kadang-kadang kudengar ucapan dalam keremangan, “Ketika ber lang sung ke biadaban tiada terlawan, di manakah kiranya Tu han?” Te tapi Guru Besar dan para Guru Muda yang se harusnya menjelaskan kepada siapapun yang bertanya tentang makna keberadaan Tuhan telah kehilangan ruang perbincangan, karena Guru Besar selalu membelokkan semua pikiran ke arah pem berontakan dan tum bangnya ke kuasaan.

Kini kulihat Guru Besar yang berbaju serba putih, yang ram-butnya panjang dan putih, telah tergantung di depan Istana Pasir. Ini berarti Guru Besar tiada mendapat tempat dalam gerakan perlawanan. Sudah lama gagasannya tentang Tuhan digugurkan para pemikir Teratai Muda yang jernih, tajam, dan terbuka bagi perbedaan penafsiran, dan karena itu kehilangan gagasan yang bisa diperjualbelikan, namun tiada seorang pun mengira betapa ia akan dikorbankan. Guru Besar sudah ke hilangan peran dalam pertarungan kekuasaan, tetapi bagi Puan Tirana Sang Penguasa yang Buta ia masih seorang kekasih tercinta, yang betapapun

194 195

pedih luka telah ditorehkannya, te taplah rindu dendam cinta Ti-rana terarah kepadanya.

Hanya Guru Besar yang bisa membuat Tirana keluar dari Istana Pasir, dan saat itu Komplotan Pisau Belati telah berusaha membunuhnya, entah siapa yang membayar mereka, dan kini Guru Besar telah menjadi mayat yang tergantung dan bergoyang perlahan dihembus angin di depan istananya. Peristiwa ini tidak pernah masuk dalam perhitungan para cendekiawan dalam ke-gelapan, para pengamat dalam keremangan, para pemikir dalam kekelaman, para ahli pertempuran dalam kesamaran, di Negeri Senja yang selalu berada dalam keadaan senja yang lindap dan muram sehingga tiada sesuatu pun bisa tampak dalam kepastian.

Dari bawah menara kulihat tembok Istana Pasir bagaikan bayang-bayang hitam memanjang, dihiasi siluet pohon-pohon palem, tiang-tiang tanpa bendera, dan tombak-tombak tajam di atasnya. Kemudian, gerbang raksasa itu perlahan-lahan ter-buka. Cahaya senja yang semula tertahan di balik pintu bagai ter bebaskan dan menghamparkan diri sebagai permadani ca haya kemerah-merahan dari Istana Pasir ke alun-alun di mana Guru Besar itu tergantung.

Tidak seorang pun ternyata telah membuka pintu itu. Tam-pak Puan Tirana Sang Penguasa yang Buta yang berbusana hitam menutupi seluruh badan di balik pintu yang terbuka itu berjalan perlahan-lahan. Ia telah membuka pintu gerbang rak sasa itu den-gan pikirannya dan berjalan perlahan-lahan tanpa peng awalan sepanjang permadani cahaya kemerahan-merahan di atas pasir ungu muda menuju ke tempat penggantungan Guru Besar keka-sihnya. Lautan manusia di lapangan tersibak demi berlalunya Tirana yang berjalan perlahan menghayati setiap langkah menuju ke tiang gantungan. Gumam yang berasal dari lautan manusia itu menghilang dan suasana menjadi sunyi dan senyap, tiada suara apapun di tengah lautan manusia yang diam tak bergerak selain

angin berpasir dari gurun yang nyanyiannya memang tidak per-nah bisa dihentikan.

Aku berdiri di bawah menara, dan menara ini terletak di gundukan yang tinggi sehingga aku bisa melihat semuanya. Kuli-hat seorang perempuan berbusana hitam menutupi seluruh badan dengan kerudung, yang membuat wajahnya tiada terlihat, berjalan perlahan-lahan menapak pasir ungu muda dengan ker tap keema-san. Tirana memang buta, namun bagi makhluk yang berkuasa seperti Tuhan, mungkinkah kebutaan menjadi ha langan? Tanpa melihat ia berjalan lurus ke depan. Di dalam kerudung itu tidak terlihat sebuah wajah, dan tidak ada cahaya sepasang mata yang menyorot dengan tajam, hanya sesosok hitam, berjalan perlahan menuju tiang gantungan di mana keka sihnya tewas mengenaskan.

Suasana begitu hening, hanya terdengar siulan angin gurun, dan ketika Tirana berada dalam separuh perjalanan bersama angin itu meluncurlah ribuan jarum beracun ke arah nya. Jarum-jarum beracun itu mengertap selintas tapi lebih dari cukup bagi Tirana untuk mendengar desaunya yang begitu halus tapi juga begitu mematikan. Perempuan itu hanya menggeser tubuhnya dan jarum-jarum beracun itu lewat berlesatan me nyambar korban di lapangan yang langsung terpuruk tanpa suara bagaikan karung tak bernyawa. Tanpa jeda datanglah serangan berikutnya, datang dari segala arah, berlesatan ke satu tujuan. Seribu anak panah, dua belas ribu pisau terbang, dan dua juta jarum beracun melesat ke seluruh pori-pori tubuh Tirana dan bisalah dibayangkan be-tapa nyawa akan tercerabut seketika meski hanya segores saja terjadi luka. Namun Tirana yang tidak bisa melihat tetapi men-dengar semuanya hanya memutar tu buhnya, dan busana hitam-nya yang menutupi seluruh tubuh itu ikut berputar dan berkibar, dan udara yang tersibak karenanya telah menjatuhkan senjata-senjata tajam nan beracun tiada terkira. Tiada henti-hentinya serangan semacam itu datang dan Tirana hanya berputar-putar

196 197

di tempat seperti penari dan seindah tarian dalam keredap ca-haya dan bayangan yang selalu berputar mementahkan semua se rangan mematikan.

Senjata-senjata tajam beracun itu setiap kali terpental selalu memakan korban, terutama mereka yang berada di barisan terde-pan. Mereka roboh tanpa nyawa bersama bendera-bendera hitam tanpa jeritan dan tanpa keluhan, sementara mereka yang masih hidup hanya bergumam tertahan untuk kemudian segera terdiam meski tetap berusaha mencari tempat yang aman. Dari balik angin menjelmalah seorang jago pedang yang mengenakan sera-gam hitam Komplotan Pisau Belati. Pedangnya lurus dan tajam berkilat ketika dihunusnya, namun Tirana hanya mengi baskan lengan dan seluruh tubuh jago pedang itu lebur menjadi tepung yang langsung lenyap diter bangkan angin. Sebelum orang-orang sempat terpesona seratus tombak terasah tajam dan ber lumur racun meluncur dari ber bagai jurusan, tetapi Puan Tirana Sang Penguasa yang Buta hanya terus berjalan dan ternyata tidak satu mata tombak pun menembus tubuhnya, meski tampak banyak tombak meng enainya. Tubuh dan busananya bagaikan hanya bayangan yang bisa menembus kepadatan dan kembali tombak-tombak beracun itu salah sasaran.

Seratus orang dari barisan kiri dan kanan kemudian muncul mengepung perempuan yang sudah berkuasa 200 tahun di Negeri Senja itu—sepanjang sejarah kekuasaannya belum pernah usaha pembunuhan terjalin rapi begini rupa: bahwa ia akan keluar dari istananya tanpa pengawal untuk menjemput mayat kekasihnya, meski kekasih itu sudah mengkhianatinya. Seratus orang pem-bunuh bayaran pilihan, yang telah dilatih dengan segala jenis senjata dan dilatih khusus untuk peristiwa ini saja, menggunakan seratus jenis senjata yang ada di muka bumi sebagai usaha yang paling mungkin dilakukan untuk membunuhnya, tetapi terhadap Tirana yang merupakan ba yangan tiada senjata yang ternyata bisa melukainya.

Bagaimanakah caranya membunuh bayangan? Sepanjang hamparan permadani cahaya yang kemerah-merahan di atas bubuk pasir ungu muda, Tirana menggerakkan tangan bagaikan penari sambil berjalan. Langkah kakinya pelan, tapi mem berikan rasa keindahan. Seratus pembunuh bayaran pi lihan segera men-jadi serbuk halus yang diterbangkan angin seperti juga jaring dan jerat yang telah dipilih dari yang paling liat untuk menjadikan Tirana hewan tangkapan. Lima anggota kelompok Bantai bergan-dengan memeluk Tirana dengan bahan-bahan peledak di tubuh-nya dan betapa membahana suaranya dalam kebisuan senja, tetapi bayangan Tirana tiada bergetar seinci jua, dan sebaliknya ledakan itu menewaskan semakin banyak orang salah sasaran selain para pelaku yang telah menyabung nyawa.

Di bawah tiang gantungan, mayat Guru Besar jatuh den-gan sendirinya ke arah Tirana yang kemudian memondongnya. Ke pala nya tertunduk bagaikan memandang wajah Guru Besar yang tergolek di kedua lengannya. Ia melangkah kembali ke arah Istana Pasir. Semua orang hanya bisa memandangnya—dan entah karena pengaruh apa, semua orang menurunkan bendera yang dibawanya. Angin dari gurun masih bertiup dan bersiul membawa debu pasir. Tirana mengangkat wajah, melangkah perlahan de-ngan menyaruk pasir ungu muda sepanjang per madani cahaya kemerah-merahan, menuju Istana Pasir yang dilatari matahari separuh terbenam di cakrawala.

Di antara desau angin dan kebisuan berjuta-juta orang, kemudian terdengar suara tangisan, yang lirih, seperti rintihan, dan sangat memilukan. Itulah suara tangisan Puan Tirana Sang Penguasa yang Buta, yang melangkah tersaruk-saruk sepanjang jalan yang bercahaya keemasan.

Semua orang mendengarnya, dengan jantung berdegup karena tidak bisa membayangkan pembalasan.

199

27

Pembantaian

TIRANA memang berkuasa seperti Tuhan, tapi dia bukan lah Tuhan—meski usianya sudah ratusan tahun, ia meng hadapi masalah cinta seperti seorang remaja. Setelah gerbang Istana Pasir tertutup dengan sendirinya, dan hamparan permadani cahaya di lapangan hilang lenyap bersamanya, masih terdengar rintihan tangis Tirana yang memilukan, disusul keheningan yang panjang, begitu panjang, sehingga bahkan angin tidak bertiup dari manapun bagaikan tenggelam dalam perkabungan. Tanpa angin yang bertiup, bendera dan umbul-umbul tidak berkibar dan suasana menjadi lesu dan udara menjadi panas dan orang-orang menjadi gelisah. Tanpa angin dalam senja yang kelam orang-orang seperti berhenti bergerak dan keheningan yang mencekam itu terasa mengerikan. Hanya cahaya jingga menggenang, seperti sungai mengalir di antara lorong dan jalanan. Hanya kesamaran di atas pasir ungu muda sepanjang kota yang remang.

Kemudian terdengar jeritan yang dahsyat, dan Rajawali Muda yang berwujud rajawali terbang di atas Istana Pasir itu tiba-tiba menyala oleh api dan terbakar. Rajawali Muda jatuh

dari langit seperti benda mati yang hangus, langsung masuk ke halaman Istana Pasir dan tidak ada seorang pun tahu nasib yang akan dialaminya. Kemudian dari dalam tanah pintu-pintu ra hasia terbuka dan dari pintu-pintu itu mengalir pasukan ber-kuda Istana Pasir yang menghambur seperti air bah langsung membantai setiap orang tanpa membeda-bedakan. Dari balik kerumunan orang-orang muncul anggota gerakan perlawanan yang dian dalkan merebut kekuasaan dengan jalan kekerasan. Mereka melompat ke atas kuda, mencoba merebutnya, maka berlang sung lah pertempuran seru di seluruh penjuru kota. Pintu-pintu rahasia di luar kota juga terbuka dan dari sana mengalir keluar balatentara pasukan berkuda mengepung kota. Angin gurun bertiup kembali seperti digerakkan oleh kekuatan yang luar biasa, kali ini membawa debu-debu pasir panas membara yang bisa membuat mata menjadi buta, dengan suara siulan yang berubah menjadi suara benturan di lorong-lorong dan tembok-tembok kota.

Pasukan berkuda dengan sepasang kelewang di tangan kiri dan kanan menyambar-nyambar dengan membabi buta karena begitu banyaknya orang di mana-mana sehingga sabetannya pasti mengenai sasaran. Dalam remang senja yang kelam darah me mercik di mana-mana tanpa jeritan namun kalau menjerit pun tidak akan ada yang mendengarnya karena suara angin yang bersiut dan bersuit memekakkan. Pasukan berkuda dengan ganas mengejar orang-orang yang lari ke lorong dan membantai mereka tanpa ampun di mana pun mereka bisa ditamatkan. Dengan segera kota penuh mayat ber gelimpangan dan bau anyir darah tercium di mana-mana. Pasir menjadi hitam karena bercak-bercak darah yang mengalir dari tubuh-tubuh terbantai tanpa belas kasihan. Dari balik cahaya berloncatan para Peng awal Kembar yang telah digandakan Tirana sebanyak-banyak nya, sebanyak kehendaknya dalam pikiran, yang mem bawa obor-obor untuk membakar perkampungan.

200 201

Lorong-lorong Negeri Senja yang selalu berselimut ke-remangan dan kesamaran kini menjadi lautan api yang me nyala berkobar-kobar. Seluruh kota telah dibakar oleh para Pengawal Kembar yang sudah berlipat ganda tiada terhitung jumlahnya. Asap hitam memenuhi angkasa menutupi cahaya senja yang keemasan sehingga cahaya hanya datang dari api kebakaran yang menjilat-jilat awan. Angin yang bertiup keras mengalirkan ko-baran api dari rumah ke rumah. Suara kebakaran berderak-derak mengerikan dan pemandangan bencana yang tiada pernah diper-kirakan oleh gerakan perlawanan tampak amat sangat memilu-kan. Para Pengawal Kembar bagaikan dewa api yang menari-nari, topeng mereka yang putih dan dingin me man tulkan cahaya api, sementara rajah kalajengking di dada dan punggung seperti bergerak-gerak, serta busana mereka yang seperti gaun dan rambut panjang yang lurus berkilauan menjadi sosok mengerikan karena cipratan darah pembantaian. Mereka berlarian dan be-terbangan di atas lautan manusia yang berlari kian-kemari dengan panik, mencabut nyawa seenaknya.

Gerakan perlawanan dipukul habis, segenap taktik dan strategi mereka hancur berantakan tanpa sisa, menghadapi ke-kuatan Tirana yang dahsyat dan kekejamannya yang tiada ter-bayangkan. Kemarahan Tirana dipancing karena dianggap titik kelemahan, namun daya kemarahannya yang berkobar tanpa pengampunan di luar perhitungan gerakan perlawanan. Ke kua-saan Tirana begitu mutlaknya dalam penghancuran. Kota yang berumur 500 tahun dibakarnya tanpa keraguan untuk meng-gulung habis gerakan perlawanan dalam lorong-lorong kegelapan. Tirana sebetulnya tidak ingin menghancurkan ba ng u n an kota, ia ingin menghancurleburkan budaya per lawanan sampai tidak ada sisa, dan hanya pembakaran lorong-lorong seisinya bisa dianggap memastikan pembersihan. Pasukan ber kuda bukan hanya mem-bunuhi setiap orang yang berlarian di mana-mana, kuda-kuda mereka mengangkat kakinya untuk me rubuhkan tembok-tembok

rumah yang terbakar. Kuda-kuda me ring kik, mulut mereka bersimbah darah hasil gigitan.

Perlawanan hebat yang marak membuat pertempuran ma kin seru tetapi tidak menunda apapun selain melengkapi pemus nahan. Banyak orang mencoba berlari dan bersembunyi ke lorong-lorong bawah tanah yang dipersiapkan untuk pem beron takan, namun Pengawal Kembar yang kesaktiannya tak ter tandingi memu-puskan seluruh harapan. Mereka mengejar siapa pun ke setiap pojok perlindungan dan meledakkan mereka tanpa belas sehingga potongan-potongan tubuh beterbangan di udara. Bahkan orang-orang yang pingsan karena kengerian tak ter tahankan tidak diberi pengampunan, diinjak-injak kuda dan ditusuk tombak sehingga tewas tanpa jeritan. Orang-orang bah kan sudah mati sambil berlari ketika pisau-pisau terbang yang seperti bermata me nembus tubuh mereka dari belakang. Orang-orang ambruk ber gelimpangan dan kuda-kuda ber lom patan meng gilasnya.

Kota yang berumur 500 tahun itu terbakar, kobaran api menyala-nyala menjilat angkasa, asap hitam menutupi langit, orang-orang berlari ke sana kemari tanpa suara dengan putus asa. Kuda-kuda melayang mengejar setiap orang dan pe nung gangnya melakukan pembasmian dengan penuh ke pastian. Kelewang di kiri kanan berkelebatan dan setiap kali digerakkan lebih dari satu nyawa berlesatan. Orang-orang yang berlari di atas atap dan tembok-tembok kota, orang-orang yang sedikit tahan api dan berusaha menghindar ke balik kebakaran diburu oleh para Pe-ngawal Kembar yang bahkan gaunnya tidak akan terbakar oleh api yang berkobar. Para Pengawal Kembar melenting-lenting dengan ringan, gerakan mereka bagaikan tarian, setiap kali melompat dan melayang tubuh mereka berputar perlahan, tetapi turun hanya untuk menikam. Para Pengawal Kembar tidak bersenjata, jadi mereka menikam dengan tangan telanjang. Kedua lengan para Pengawal Kembar telah berlumuran darah yang bertetesan.

202 203

Para Pengawal Kembar juga terbang di antara api yang menyala-nyala untuk mengejar mereka yang berlarian. Mewakili pikiran Tirana mereka, melesat dan menyambar-nyambar untuk melaksanakan pembunuhan. Kadangkala orang yang malang itu dibawanya terbang ke angkasa kemudian dijatuhkan. Para Pe ngawal Kembar menari-nari di celah api, yang jika dilakukan tanpa pembunuhan, akan tampak sebagai keindahan—apakah keindahan sebetulnya, tanpa kedamaian? Namun tiada kata damai untuk selamanya bagi Puan Tirana Sang Penguasa yang Buta, dengan dendam dan kemarahan berkobar-kobar di ke-rahkannya segenap kemampuan untuk menunjukkan ke beng isan. Dalam pembantaian ini setiap roh tiada di izin kannya melayang pulang, mereka masih ditahan, ke mung kinan besar untuk disiksa entah sampai kapan. Langit senja yang dikuasai Tirana menjerat setiap nyawa yang melayang. Betapa tiada jalan pelarian dari Tirana yang berkuasa seperti Tuhan, tapi karena dia bukan Tuhan, maka kemarahan tiada pernah ditahan-tahan. Betapa Negeri Senja tiada bisa menghindar dari petaka meng enaskan.

Seluruh kota telah menjadi puing menyala, kota menjadi kelabu karena asap mengepul di mana-mana. Angin yang ber-tiup dari gurun dengan siulan tidak pernah bisa meng enyahkan asap yang menyesakkan nafas. Pembantaian masih terus ber-langsung karena perlawanan rupanya berlangsung sampai titik darah penghabisan. Komplotan Pisau Belati yang sebetulnya tidak berpihak dan hanya menyewakan kemampuan kepada siapapun yang membayarnya tak luput dari pengejaran—dari merekalah gelora perlawanan semakin memanaskan keadaan. Tirana ingin menghapuskan keremangan yang penuh dengan rahasia kaum perlawanan. Maka pembakaran, penghancuran, dan pembunuhan dianggap satu-satunya jalan. Negeri Senja yang hanya terdiri dari pasir dan tanpa penduduk barangkali dianggapnya sebagai ke-adaan yang paling aman.

Orang-orang masih terus berlarian ke segala arah dan ke segala jurusan, tapi masih juga terus diburu dari semua arah dan semua jurusan. Dari balik kabut asap dan kobaran api masih selalu muncul kuda yang melompat menerjang dengan pe nung-gang mengobat-abitkan sepasang kelewang yang setiap kali di-gerak kan membuat darah menyembur dan kepala meng gelinding di jalanan. Orang-orang yang mempunyai ilmu cicak merayapi menara yang puncaknya menembus langit, namun para Pengawal Kembar tentu tidak akan membiarkannya men cari suaka di dalam menara. Masih di dinding menara itu orang ditancap punggung-nya dengan tombak dan darahnya mengalir turun ke bawah sampai ke tanah. Darah mengalir di tanah berpasir dan orang-orang menengadah ke menara mengharap pertolongan. Pasukan berkuda telah mengepung kota sehingga pelarian tidak dimung-kinkan. Tubuh-tubuh tertancap di dinding menara tanpa nyawa, beberapa yang masih hidup bergerak lemah menanti ajal tiba.

Banyak orang berkumpul di dekat menara berharap pintu akan dibuka. Lupa sudah bahwa seluruh isi menara berisi sejarah kejahatan Negeri Senja, namun cerita tentang perubahan di dalam nya membuat orang punya harapan, meski harapan itu ternyata memang tinggal harapan ketika pasukan berkuda me -ng e pung menara itu dan menuntaskan pembantaian. Dari atas menara kemudian terulur tali-tali pertolongan, siapa yang bisa menyambar dan berpegang pada tali-tali yang terjalin dengan pegangan dan pijakan itu bisa mengharap ke hidupan. Tetapi para Pengawal Kembar me layang dan ber langsung per tempuran se-panjang dinding menara sementara tali itu dikerek ke atas menara menjulang. Para Pengawal Kembar berusaha memotong tali-tali itu tapi mereka mendapat per lawan an. Ber langsung pertarungan dengan para pelarian ber senjata pe dang yang bergelantungan, tetapi ketika Pengawal Kembar berhasil memutuskan tali tidak ada lagi yang bisa dilakukan. Orang-orang melayang ke bawah tanpa jeritan.

204 205

Dari dinding menara kemudian terbuka berbagai jendela yang selama ini merupakan rahasia di balik dindingnya. Dari balik jendela terlihat berbagai makhluk yang tidak pernah dikenal ujudnya. Mereka keluar dari jendela dan ternyata memang bisa melangkah pada dinding yang miring. Mereka tidak berbuat apa-apa hanya melihat-lihat saja, namun para Pengawal Kembar tidak membiarkannya. Jarum-jarum beracun berhamburan ke arah makhluk-makhluk yang tidak pernah dikenal ujudnya itu. Makh luk-makhluk itu menggeram ter tancap jarum dan melayang jatuh ke bawah. Siapapun kiranya yang melihat bentuk makhluk-makhluk itu akan merasa lebih baik mati dalam perlawanan terhadap Tirana. Bahkan Puan Tirana Sang Penguasa yang Buta dengan kekejamannya yang tiada tara kiranya tiada pernah akan rela mengenal makhluk seburuk dan sebusuk itu—dan inilah untuk pertama kalinya, dalam kekacauan luar biasa dan kobaran api membara, orang-orang Negeri Senja mengetahui isi menara yang pintunya tidak pernah terbuka.

Kiranya tiada yang lebih merasa terancam selain Tirana yang segera mengambil tindakan pembasmian tak terduga karena barangkali memang diinginkannya sebuah negeri tanpa pen-duduk dan hanya terdiri dari pasir saja. Syahdan dari Istana Pasir yang pintunya telah membuka dengan sendirinya meng alirlah gelombang api biru yang bergulung langsung me nuju ke menara itu. Menara mahadahsyat yang 5.000 tahun lalu sudah ada di sana dan karena itu mungkin sudah ada jauh sebelumnya itu kemudian dirambati api biru dari bawah merayap ke atas, menembus langit, kiranya sampai ke luar angkasa. Tiada ter perikan azab macam apa yang terasa oleh para makhluk yang tertambus di dalam menara karena sayup-sayup terdengar jeritan di antara berbagai ledakan yang membuat menara itu bergetar-getar. Api biru bukan hanya menghanguskan menara itu, ia meleburkannya begitu rupa se-hingga ketika angin kencang bertiup dari gurun maka menara yang tinggal serbuk halus itu terhembus dan menara itu hilang lenyap entah ke mana.

Aku melihat semuanya dari bawah menara itu, dan aku menyembunyikan diri di bawah tumpukan mayat yang mem bukit, karena pasukan berkuda dan para Pengawal Kembar seperti tidak membiarkan satu makhluk hidup pun tertinggal.

Kemudian, yang tersisa hanyalah kesunyian.

207

28

Para Kekasih yang Terbunuh

ASAP masih mengepul di mana-mana ketika akhirnya aku keluar dari balik tumpukan mayat-mayat yang membukit. Angin ber tiup sangat perlahan dan cahaya senja yang jingga seolah-olah ikut mengalir disapu angin itu sehingga aku merasa melayang, pada-hal jelas aku menginjak pasir yang menghitam karena genangan darah orang-orang yang terbunuh. Apabila asap kemudian ka-dang-kadang tersingkir ketika angin bertiup ken cang maka tam-paklah lautan puing menghampar kemerah-merahan karena bara yang belum padam bahkan sisa api masih menyala di sana-sini. Namun ketika angin itu hanya bertiup perlahan, pelan-pelan seperti terhenti oleh pemandangan kota yang mengenaskan, kembali mataku tertutup oleh kabut asap itu, yang tidak hanya membuat kabur pandangan tetapi juga menyesakkan dan sangat mengganggu pernafasan.

Demikianlah kota yang telah menjadi hamparan re run tuhan itu timbul-tenggelam dalam mataku yang pedih setiap kali angin bertiup kencang sebentar untuk menjadi perlahan kem bali. Sisa kebakaran masih berderak-derak ketika dengan susah-payah aku

mencari jalan di antara begitu banyak mayat yang berge lim pangan. Apakah yang harus dilakukan dengan mayat-mayat ini? Apakah mayat-mayat ini harus membusuk di sini tanpa pengu buran? Tetapi meskipun orang-orang Negeri Senja biasa dikubur hanya dalam pasir siapakah kiranya yang akan mengubur berjuta-juta mayat tiada terhitung yang menumpuk bagai tumpukan karung? Mayat-mayat tergeletak dan terlantar, tergolek di semua tempat dalam keadaan telentang maupun telungkup, terbakar, setengah terbakar, maupun tidak terbakar bergelimpangan di mana-mana tanpa gerak sama sekali. Ka dangkala terlihat mayat yang terbakar menghitam dan me leleh tetapi duduk atau berdiri memeluk tiang seperti patung, bahkan di sana-sini terlihat mayat-mayat yang seolah sedang duduk saling berhadapan dan ber bincang dalam keadaan hangus dan tertusuk senjata tajam, dengan senjata itu masih menancap di sana, ikut terbakar dan merah membara.

Di balik kesunyian sesekali terdengar bunyi erangan ter-tahan, teredam, seolah tersumbat di balik mayat-mayat yang rebah. Kenyataan betapa Tirana bukanlah Tuhan telah membuat pembantaiannya tidak mencapai kesempurnaan. Di antara tum-pukan berjuta-juta mayat, masih sering terdapat tangan-tangan menguak keluar dan menyingkirkan mayat, sering masih dengan luka-luka bacokan, tetapi terdapat pula yang muncul dari balik mayat tanpa luka sama sekali. Dalam hamparan berjuta-juta mayat yang sebagian masih menyala seperti bara dan terbakar karena api ternyata ada orang-orang yang masih hidup. Namun meski aku tidak mem punyai kemampuan lagi untuk menghitung dalam selintas pandang kulihat jumlahnya tidak akan cukup untuk melakukan penguburan. Orang-orang yang bangkit ber-jalan tertatih-tatih, terpincang-pincang, sebagian bahkan hanya merayap-rayap karena terluka parah maupun terluka jiwanya hingga lupa ingatan dan menjadi gila di antara hamparan mayat yang bergeletakan di mana-mana sepanjang mata memandang.

208 209

Jika kemudian angin bertiup kencang untuk kembali per-lahan, terlihatlah sosok-sosok hitam yang berjalan tertatih-tatih dan tersaruk-saruk itu di balik asap seperti bayangan yang timbul-tenggelam. Di seluruh kota hanya Istana Pasir dengan tembok dan gerbang yang tiada pernah memperlihatkan istana itu masih tegak seperti semula. Sisanya hanyalah hamparan puing yang memilu-kan apabila kemudian terdengar pula rin tihan dan erang kesa kitan yang semakin lama semakin keras untuk kemudian meng hilang. Bahkan semua pohon palem di lapangan itu juga terbakar, tinggal tiang-tiang hangus meng epulkan sisa asap dengan de sisan. Tidak terlihat apapun yang memberi harapan kecuali sesekali mayat masih terkuak juga dan orang yang bersembunyi keluar dengan perasaan sangat ke takutan. Wajah mereka semua tetap tidak kelihatan, namun bahasa tubuhnya menunjukkan kengerian tiada tertahankan. Tetapi orang-orang yang baru keluar dari balik mayat itu, yang lebih banyak hanya duduk terdiam di atas tumpukan dengan pikiran seperti tercerabut dari badan, kembali menjadi korban karena orang-orang yang lebih kuat bertahan ternyata me lakukan penjarahan.

Di berbagai tempat, kulihat sosok hitam mengendap-endap dengan lincah. Pikiran dan tubuh mereka bergerak dengan cepat dari mayat ke mayat, memeriksa dan melucuti segala sesuatu yang masih bisa dianggap berharga. Keping uang emas dari saku, gelang, kalung, cincin, anting-anting atau gigi emas tidak luput dari penjarahan. Para penjarah ini membawa pisau belati tajam untuk mengiris anggota tubuh di mana anting-anting ini ter-pasang karena tidak sabar untuk melepaskannya pelan-pelan. Potongan hidung, telinga, puting, bibir, dan pusar tersebar karena dilemparkan begitu saja setelah anting-antingnya ditarik dengan kasar tanpa perasaan. Tidak jarang para penjarah ini mendekati orang-orang yang belum mati dan mem per la ku kannya seperti orang yang sudah mati. Mereka juga meng iris telinga dan lain-lainnya dari orang-orang yang masih hidup dan tiada berdaya lagi

untuk memberikan perlawanan. Kadangkala memang ada yang masih bisa melawan, sehingga berlangsung perkelahian, namun sang penjarah kemudian melakukan pem bunuhan. Dalam ke-jadian yang sangat jarang, orang-orang yang masih hidup dengan luka bacokan bisa bertahan dan melawan, bahkan berhasil mem-bunuh sang penjarah dalam pertarungan. Laki-laki maupun perempuan bisa menjadi penjarah maupun korban. Suasana sunyi dan senyap namun penuh sesak dengan ketegangan.

Tidak semua orang menjadi penjarah dan orang-orang yang masih kuat mencari keluarga mereka di antara tumpukan mayat, jika tidak untuk melindungi harta yang melekat di badan juga untuk menguburkannya. Di berbagai tempat orang-orang me meriksa, memilih, dan menyeret mayat, lantas ada pula yang sudah mulai menguburkannya di atas pasir yang masih meng-hitam oleh genangan darah. Di antara mereka yang meng erang, termenung, menjarah, atau bertarung, aku berjalan pelan-pelan melangkahi mayat-mayat bergelimpangan. Apakah yang masih bisa kucari di antara mayat-mayat ini? Apakah yang masih bisa kulakukan? Aku mungkin hanya seorang asing di negeri ini, tapi aku merasa diriku menjadi bagian dari kehancuran.

Di sekelilingku dengan tergesa-gesa terus berlangsung pen-jarahan. Dengan pisau di tangan para penjarah bergerak seperti bayangan. Aku tidak peduli, tetapi memungut sebilah kelewang untuk melakukan perlawanan jika dijarah, karena kulihat para penjarah ini mulai berkelompok dan menjarah orang-orang yang hanya sendirian. Begitulah aku berjalan, berjalan, dan berjalan terseok dan perlahan. Negeri ini telah hancur dan hatiku semakin hancur ketika kemudian kutemukan mereka yang kukenal.

Di balik asap yang tertiup angin kulihat perempuan yang kujumpai di seberang sungai itu telah terkapar di tepi jalan ketika seorang penjarah membungkuk di dekatnya, barangkali bersiap mengiris anting-anting di puting kirinya. Aku membawa ke lewang, tapi aku melempar pisau belati di balik bajuku yang

210 211

langsung menancap ke lengan kirinya. Ketika ia menoleh ku-lemparkan kelewangku dan menancaplah di dadanya. Ia rubuh ke depan tanpa suara sehingga kelewang itu menembus pung-gungnya.

Kudekati perempuan yang bahkan tak kukenal namanya, tetapi apakah perlu nama untuk merasakan kehilangan atas sesuatu yang pernah begitu dekat tanpa perkenalan? Kulihat perempuan penari yang cantik dan begitu menggetarkan itu. Mengapa ia tidak tetap tinggal di seberang sungai? Apakah yang dilakukannya di kota yang malang ini? Menembus kabut asap yang pekat dan menyesakkan nafas, aku memondongnya ke tempat yang lapang dan menguburkannya diam-diam tanpa upacara. Aku memang tidak mengenal upacara karena ke hidupan itu sendiri bagiku sudah merupakan upacara. Hatiku gundah dan gulana. Puan Tirana Sang Penguasa yang Buta telah mengham burkan kekejaman begini rupa, namun Tuhan yang Maha Baik seperti tidak berbuat apa-apa. Apakah Tirana seperti utusan Tuhan untuk menguji iman, sehingga jika ia me lak sanakan tugasnya dengan baik maka akan mendapat peng hargaan? Tapi siapakah mereka yang merasa perlu diuji iman nya dan merelakan diri jadi korban?

Mereka yang terbantai tidak akan pernah bisa memberi kesaksian apakah mereka itu beriman atau tidak beriman. Ba-rang kali sebagian beriman dan bahagia ketika dikorbankan seba gai bagian dari rencana Tuhan, tapi sebagian lagi barangkali sudah tidak beriman dan tidak lagi berurusan dengan ada tidak-nya keberadaan Tuhan, sehingga tidak bisa dilibatkan dalam pengujian iman, meski tetap ikut jadi korban. Di Negeri Senja, di mana kepastian pandangan tidak bisa diharapkan, aku tahu tidak akan mendapat jawaban dengan tuntas—lagipula ini bukan waktu untuk perbincangan. Pemandangan bencana yang terham par telah menghancurkan begitu banyak kepercayaan.

Kemudian kutemukan perempuan fakir yang pernah mem-beriku perasaan terhina namun yang tidak pernah kuingat lagi

ketika melihatnya terkapar bersimbah darah sehingga tidak segaris pun dari rajah ular yang membelit tubuhnya terlihat. Ia masih hidup ketika aku mendekatinya, diraihnya wajahku dan saat itulah nyawanya lepas dari badan. Kutangkap tangannya yang terkulai, masih hangat terasa di telapak tanganku, dan kualami betapa merasa dekat aku kepadanya dengan kehilangan yang begitu menghempaskan. Aku pun tidak mengenalnya seba-gai suatu nama tetapi kurasakan sesuatu yang berada dalam diriku telah pergi bersamanya, meninggalkan aku di antara mayat-mayat bergelim pangan, terserak dan terlantar dalam an caman burung-burung nazar yang mulai beterbangan.

Langit senja telah dipenuhi burung-burung nazar ketika ku pondong perempuan fakir itu ke tempat yang lapang—semua orang yang terkapar dan terlantar itu akan mengisi perut burung-burung nazar yang menjijikkan, tetapi perempuan ini meski juga tanpa upacara akan kukuburkan dengan penghormatan. Kalau manusia masih bisa tidak melibatkan Tuhan dalam ke hidupan-nya, ia tetap harus bisa menghormati manusia sebagai bagian dari harkatnya, karena manusia hanya menjadi manusia ketika ia melakukan segala sesuatu dengan penuh martabat. Di se keliling-ku kulihat penjarahan masih terus berlangsung, sosok-sosok hitam membawa karung membongkar puing-puing re runtuhan dengan harapan menemukan sesuatu yang ber kilauan. Aku me-mondong perempuan dengan rajah ular yang membelit tubuhnya itu, yang kini sudah tidak tampak karena bersimbah darah. Busana fakirnya yang kusam lengket ke badannya karena darah yang mengalir dari lukanya sendiri maupun dari sem buran darah entah siapa ketika berlangsung pembantaian.

Aku baru saja selesai menguburkannya ketika kudengar seseorang berdiri di belakangku. Aku berbalik dan masih sempat menangkap tubuhnya yang jatuh terduduk, perempuan yang kujumpai di bawah menara itu tewas dengan luka-luka bacokan dalam keadaan bersimpuh. Airmataku tak tertahan lagi ketika

212

memeluknya—setiap perjumpaan adalah awal perpisahan, tetapi inilah perempuan yang memberi janji akan kemapanan. Sebagai pengembara aku sangat mengenal makna perjumpaan dan per-pisahan, tapi kukira tidak seorang pengembara pun akan siap berpisah dengan orang-orang tercinta dengan seketika, yang terbunuh secara mengenaskan tiada terkira.

Aku tidak ingin menguburkannya, aku ingin membawanya ke mana pun aku pergi, tapi di antara asap yang tertiup angin, dan cahaya jingga yang masih menggenang aku menancapkan nisan tanpa nama di perbukitan.

Ketika kubalikkan badan, dan terpandang kota yang han cur luluh dengan mayat-mayat memenuhi ruang, kurasa aku tidak pernah akan tahu apakah suatu hari duka ini akan pupus.

29

Khotbah di Kuil Matahari

KIRA-KIRA sebulan menurut waktu bumi setelah pem ban taian itu aku mengunjungi Kuil Matahari. Aku masih tinggal di Negeri Senja untuk menyelesaikan catatan-catatanku karena kurasa aku tidak bisa mengakhirinya di tempat lain. Setelah peristiwa itu seluruh kota menjadi puing dan mayat-mayat membusuk begitu rupa sehingga bahkan burung-burung nazar me ninggal kannya. Hanya badai gurun yang suatu ketika bertiup membawa berjuta-juta kubik pasir akhirnya menghapus pe mandangan bencana yang mengeri kan itu. Kota yang telah berdiri selama 500 tahun itu kini tinggal padang pasir yang sunyi dan menara yang telah berada di tempat itu 5.000 tahun sebelumnya sekarang tidak kelihatan lagi.

Hanya Istana Pasir yang dilingkungi tembok tinggi dan gerbang yang tiada pernah terbuka masih berada di sana dengan segala keremangannya bagaikan bangunan kosong yang tidak berpenghuni lagi. Tidak pernah terlihat kegiatan apapun di dalam dan dari istana itu dan tiada seorang pun yang selamat dari pem-bantaian itu ingin mengetahuinya. Sisa warga kota bergabung dengan orang-orang yang selama ini mendirikan perkemahan dan pasar malam di seberang sungai sedangkan sisanya lagi, yang tetap tinggal di antara puing-puing, hilang lenyap tertimbun pa-

214 215

sir yang dibawa badai gurun itu. Bekas kota itu menjadi dataran pasir yang membukit yang dari hari ke hari semakin menghilang-kan bentuk kota itu dan menjadi padang pasir dalam arti yang sebenarnya.

Aku mengikuti rombongan orang-orang yang pergi ke se-berang sungai. Mereka yang pergi ke seberang sungai tam paknya adalah mereka yang masih mampu menjaga akalnya, tidak men jadi penjarah, dan masih mempunyai sisa semangat untuk ber tahan hidup—aku mengatakan tampaknya, karena setelah mengalami bencana seperti itu orang-orang Negeri Senja semakin tidak pernah berbicara; sementara yang tinggal di antara puing-puing adalah para penjarah yang tidak tahu apa yang bisa mereka perbuat dengan hasil penjarahan mereka yang membukit. Setiap hari mereka hanya bisa memandanginya karena dalam sebuah dunia yang terdiri dari puing hasil pen jarahan itu sama sekali tidak berguna. Tidak usah di ceritakan bagaimana mereka yang tinggal di antara re run tuhan dan mayat-mayat membusuk itu bisa bertahan hidup, karena bahkan dengan semangat memberi la poran yang rinci aku pun tidak akan mampu menahan muntah jika harus menceritakannya. Bahkan setelah reruntuhan kota itu menjadi dataran pasir yang sunyi aku masih sering terganggu oleh mimpi buruk karena keadaan yang sempat kusaksikan itu.

Di tengah jalan ketika aku menuju ke seberang sungai aku bertemu dengan keledaiku, masih dengan kantong yang ter-gantung di lehernya. Aneh sekali betapa sebagian besar hewan-hewan di Negeri Senja ternyata bertahan hidup. Aku pun me-nung gang keledaiku ke seberang sungai, dan sebagian yang lain menaiki unta-unta yang sudah tidak ada pemiliknya lagi.

Di seberang sungai, ternyata orang-orang masih terus ber-pesta. Meskipun tidak sedikit orang-orang yang berkemah di tepi sungai itu juga menjadi korban pembantaian karena sedang berada di kota, namun mereka seperti tidak ingin larut dalam duka yang berkepanjangan. Bersama orang-orang Negeri Senja yang kini menjadi pengungsi di negerinya sendiri, aku meng alami

bagaimana rasanya menjadi korban di tengah begitu banyak orang yang bersenang-senang. Badut jungkir-balik, pemain akro bat meniti tali dengan mata tertutup, musik meng entak-entak, para penari berjingkrak-jingkrak, kembang api di mana-mana, dan ba-lon warna-warni melayang. Dalam diam, dalam kebisuan, orang-orang Negeri Senja memasuki ke ramai an. Tiada terba yangkan bagaimana perasaan orang-orang yang baru saja digen tarkan oleh pembantaian penuh kekejaman memasuki suasana yang be-gitu meriah—bukan pawai ke gem biraan menghibur orang-orang dalam kesedihan, me lainkan pawai perkabungan melewati dunia penuh ke gem biraan. Orang-orang Negeri Senja berjalan memasu-ki su asana pasar malam yang riang dengan kepala tertunduk dan wajah gelap tiada kelihatan dengan lang kah-langkah berat bagai membawa beban, tetapi tidak seorang pun peduli kepada mereka. Di benak mereka masih tergambar bayangan pembantaian yang membakar kota dan membinasakan banyak orang dan kini me-masuki dunia yang riang tanpa beban menawarkan kebahagiaan.

Aku tidak bisa membayangkan bagaimana orang-orang Ne-geri Senja yang telah mengalami kehancuran dengan seketika menerima keadaan, namun aku tertegun merasakan kesakitan dan kepahitan. Bagaimanakah bisa diterima berada dalam sua sana ri-ang gembira ketika minat atas kehidupan nyaris terpa damkan? Dunia pasar malam yang terbangun sepanjang tepian di seberang sungai itu menampung begitu banyak orang dari ber bagai bangsa sehingga ketika para pengungsi Negeri Senja itu tiba langsung menjadi larut ke dalamnya seolah-olah tidak terjadi apa-apa pada diri mereka, ketika rombongan perlahan-lahan berjalan di antara keramaian. Dunia yang riang gembira menyambut mereka tanpa pemahaman betapa mereka tenggelam dalam perkabungan yang dalam namun tiada lagi yang bisa mereka katakan. Tiada seorang pun dari mereka yang datang dari kota yang dihancurkan itu bisa melupakan—untuk selamanya ba yangan malapetaka itu terus membuntuti mereka. Bayangan bencana, bayangan petaka, sep-erti api yang berkobar mem bayangi kehidupan.

216 217

Kemudian orang-orang yang berkemah di tepi sungai itu berkemas untuk berpindah. Mereka menyeberangi sungai, me-nyusuri tepian, dan mengitari bekas kota yang hancur-lebur itu sampai melihat puncak piramida di balik cakrawala, dan de mikianlah orang-orang di tepi sungai itu menduduki Kuil Ma tahari yang telah menjadi kosong tanpa penghuni. Bersama dengan Guru Besar telah dibantai pula para Guru Muda dan mu-rid-muridnya, sehingga setelah pembantaian itu bisa di katakan agama yang pernah tumbuh di Negeri Senja lenyap seperti ditelan bumi. Aku tidak mengikuti perpindahan itu dan tetap tinggal di dalam sebuah tenda di tepi sungai karena aku membutuhkan kesunyian itu untuk menyelesaikan catatan-catatanku. Ada be-berapa orang yang juga memilih tinggal, dan sebagian memang para pengungsi yang masih dirundung per kabungan. Demikian-lah setiap kali terbangun aku mencoba mengingat dan menuliskan sesuatu, setidaknya di dalam pi kiranku. Sering aku pergi ke tepi sungai, menatap bayangan langit senja pada permukaannya, dan bertanya-tanya apakah kiranya cerita sungai ini tentang Negeri Senja setelah ia sampai ke tempat-tempat yang jauh. Sungai-sungai mungkin abadi dan mungkin tidak, tetapi kota yang penuh dengan lorong-lorong bercahaya keemasan itu tiada lagi, dan orang-orang juga akan mati, sehingga aku merasa perlu menulis sesuatu tentang segalanya yang telah menghilang itu.

Namun setelah beberapa saat aku menjadi jenuh dan ingin melihat perkembangan, maka kutunggangi keledaiku dan me-lakukan perjalanan menyusuri tepi sungai sambil melihat-lihat pemandangan. Sejauh mata memandang ternyata hanya pasir dengan angin bertiup yang selalu mengubah pemandangan pa-dang pasir itu. Tepian sungai juga sering berubah bentuknya karena angin datang dan pergi membawa pasir sehingga me mang tidak ada yang bisa tetap tinggal seperti semula selama-lamanya. Segala sesuatu selalu berubah meski sepintas lalu tidak ada yang berubah karena memang hanya terdapat pasir dan pasir dan pa-sir di negeri yang berada dalam keadaan senja selama-lamanya.

Perahu-perahu masih juga sesekali menyusuri sungai itu. Para penumpang di dalamnya mengangkat kepala bila melewati negeri ini, mencoba memandang matahari se paruh terbenam yang tidak pernah tenggelam. Aku tak tahu apakah mereka tahu akan ben-cana itu. Ketika kota itu dibakar sampai hangus tentunya nyala api yang berkobar menjilat langit bisa disaksikan dari tepi sungai ini maupun dari perahu yang me lewatinya, namun aku tidak per-nah tahu apakah cerita yang akan tersebar mengundang semakin banyak pendatang ataukah mem buat banyak orang lebih suka menjauhinya.

Ketika aku tiba di Kuil Matahari, tempat ibadah itu sudah berubah menjadi pasar malam. Tigaribu anaktangga yang me nuju ke puncak piramida dipenuhi cahaya lilin yang tidak mati tertiup angin dan tidak pernah leleh berapa lama pun dipasang. Selama piramida itu masih ada lilin itu akan menyala selamanya di sana. Pada dua teras yang melingkarinya terlihat berbagai macam per-angkat ibadah dari agama lama, yang semenjak Tirana ber kuasa semakin lama semakin ditinggalkan orang-orang Negeri Senja. Perangkat ibadah itu masih di sana, ketika pertama kali aku me-lihatnya tampak kusam tapi sekarang tampak mengkilap meski tiada lagi digunakan. Tigaribu anak tangga yang harus dilalui tidak menghalangi niat orang untuk mendaki pulang dan pergi. Banyak sekali orang menapaki anaktangga setiap saat untuk sampai di altar dan turun kembali. Kerekan yang biasa digunakan untuk mengangkut Guru Besar ke puncak altar masih ada dan siapapun kini bisa menggunakannya asal membayar.

Terdapat dua teras yang mengelilingi piramida itu dan pada setiap teras masing-masing terdapat enam pelajar sekolah bebas. Demikianlah duabelas pelajar berdiri pada duabelas titik yang menghadap ke duabelas penjuru mengucapkan khotbah mereka masing-masing. Adapun di puncak piramida, yang harus di-panjat dari altar, pembicara fasih yang dulu pertama kali kulihat di tepi sungai itu berdiri mementangkan tangan dan berputar sangat-sangat-sangat amat perlahan, seperti perputaran bola

218

bumi, untuk tidak pernah berhenti lagi. Apabila orang-orang menge lilingi piramida itu dan mendengarkan khotbah duabelas pelajar sekolah bebas satu per satu dari titik ke titik sampai genap duabelas, maka mereka yang tidak usah terlalu cerdas akan paham betapa khotbah-khotbah itu sebetulnya merupakan satu khotbah dalam duabelas bagian. Dari arah manapun orang berputar untuk mendengar khotbah-khotbah itu, kesim pulan nya akan sampai kepada satu gagasan: manusia manapun di dunia ini tidak perlu mendengarkan khotbah untuk mencapai pencerahan.

Teras-teras itu terdapat di tempat yang tinggi, teras yang pertama baru bisa dicapai setelah anaktangga yang ke-1.500 dis-elesaikan, dan yang kedua berada di anaktangga ke-2.500. Masih perlu 500 anaktangga yang semakin menyempit untuk mencapai altar dan puncaknya. Sementara duabelas pelajar sekolah be-bas berkhotbah tentang tidak perlunya khotbah, di puncaknya pengembara yang dulu kulihat di tepi sungai itu berputar sangat amat perlahan dengan wajah cerah dan bahagia. Ketika meng-hadap matahari separuh terbenam wajahnya itu akan berwarna keemas-emasan, ketika terus berputar makin lama makin meng-gelap tenggelam dalam kelam untuk kemudian kem bali keemas-emasan. Konon, dan memang hanya konon, per buatannya ini merupakan suatu pengorbanan, karena ia tidak mati melainkan tetap hidup untuk berputar selama se mesta masih beredar.

Selama khotbah diudarakan ke duabelas jurusan, di se-keliling kaki piramida terus berlangsung pasar malam yang penuh dengan keceriaan. Di berbagai mimbar di celah pang gung-pang-gung hiburan berlangsung debat tentang segala ma salah yang disaksikan sebagai tontonan. Aku tidak tinggal lama di sana, karena merasa masih mempunyai banyak pekerjaan. Namun ku-tangkap pesan para pelajar sekolah bebas yang me nolak khot bah tetapi menawarkan perbincangan—tidak ada kebenaran selain perbincangan dalam berbagai perbedaan pe nafsiran dari zaman ke zaman.

e p i l o g

30

Ketika Pengembara Itu Pergi,Matahari Belum Juga

Terbenam di Negeri Senja

KESALAHAN seorang penulis adalah memandang dunia ini sebagai suatu cerita. Aku bukan seorang penulis, namun ketika aku ingin bercerita kepadamu tentang Negeri Senja, aku ter-pengaruh untuk menuliskannya sebagai suatu cerita, seperti begitu banyak cerita yang pernah kudengar sepanjang peng-embaraanku Alina. Padahal Negeri Senja bukanlah suatu cerita, Negeri Senja adalah suatu dunia, cara bercerita macam apapun akan sulit mewakilinya. Jika aku mampu, aku harus men jelmakan dunia itu untukmu, dan hanya untukmu Alina, se hingga dikau mengalami seperti aku telah mengalaminya, tetapi aku tidak mempunyai kemampuan melakukannya. Hanya inilah yang bisa kulakukan untukmu, menulis catatan-catatan seingat nya—teri-ma lah sebagai suatu cara mengingat dirimu, karena aku memang bercerita kepadamu Alina.

Memandang dunia sebagai suatu cerita, artinya aku tidak bisa menceritakan segala-galanya, padahal aku ingin men cerita-kan se muanya. Terlalu banyak hal juga belum terlalu jelas bagiku, dan aku tidak mempunyai kesempatan melakukan penyelidikan

222 223

se dalam-dalamnya, namun aku sudah harus me nye lesai kannya, sebelum aku lupa dan kehilangan minat se lamanya. Misalnya saja aku tidak akan pernah tahu, yang mana di antara cerita-cerita yang beredar tentang Tirana bisa diakui kesahihannya. Pertama, bahwa Tirana ternyata adalah pe rempuan terindah yang pernah diperkosa dan wajahnya telah disayat-sayat Komplotan Pisau Belati di kamar penginapanku 500 tahun yang lalu; ataukah kedua, bahwa Tirana ternyata seorang pria yang telah berkasih-kasihan dengan Guru Besar dan lantas merana ketika Guru Besar saling jatuh cinta dengan seorang pe rempuan yang akhirnya merebut kekuasaan. Aku tidak akan pernah tahu cerita yang mana di antara keduanya lebih mendekati ke nyataan, mungkin tidak dua-duanya, mung kin pula sebaliknya—tidak ada cara untuk mengetahuinya.

Aku merasa harus menutup catatan ini, meskipun merasa sangat bersalah karena tidak mampu memindahkan dunia Negeri Senja sampai kepada fakta yang sekecil-kecilnya. Aku hanya bisa bercerita, namun betapa terbatasnya kemampuanku bercerita, dan juga betapa terbatasnya kemampuanku untuk mengamati dunia. Aku tidak mempunyai cukup pengetahuan untuk bisa menunjukkan Negeri Senja terletak di mana, se tidaknya kira-kira di sebelah mana, dalam peta dunia, karena negeri itu sepertinya saja berada di bumi, tapi lain dimensi adanya—bisa didatangi dari mana saja, tapi tidak mungkin dipastikan tempatnya.

Negeri Senja yang selalu berada dalam keremangan senja mempunyai nuansa yang tiada terkira banyaknya namun aku juga tidak mampu menuliskan rinciannya seperti apa. Jika kukatakan kekelaman di Negeri Senja selalu berada di antara keremangan dan kesuraman, atau di antara kemuraman dan kesamaran, dengan bias cahaya jingga yang keemas-emasan sepanjang kubah langit, maka itu bisa mewakili berjuta-juta suasana senja yang kualami namun betapa terbatasnya per bendaharaan kata-kataku untuk menggambarkannya. Maaf kanlah kemiskinan bahasaku

Alina. Maklumlah, aku hanya seorang pengembara, seorang musafir lata kurang terpelajar, yang mengandalkan pemahaman hanya dari pengalaman, se hingga betapa lambat caraku men-dapatkan pengetahuan ten tang dunia. Memang dalam Kamus Besar Bahasa Negeri Senja yang kudapatkan dari pasar gelap, kutemukan setidaknya 500 ungkapan untuk menyatakan kata senja, yang bagi mereka sudah menyatakan seluruh ketika yang ada, sehingga meng habiskan ratusan halaman—namun aku tak mampu men cari padanannya dalam bahasa kita.

Ini belum termasuk berbagai fakta yang hampir selalu kulupakan jika bercerita tentang berbagai pengalaman dalam perjalananku, meski yang satu ini kuingat sekali: kalau orang-orang Negeri Senja ini mau kencing, laki-laki maupun pe rem-puan, mereka hanya berjongkok tanpa mengangkat bu sananya yang begitu lebar menutupi tubuhnya. Jadi di balik kain lebar itu, laki-laki maupun perempuan tidak mengenakan apa-apa lagi, air kencing mereka langsung terserap pasir dan tidak menyengatkan aroma. Tetapi aku tidak pernah tahu bagaimana dan di mana mereka membuat setanggi. Aku melihat tungku-tungku pemba-karan untuk membuat roti, namun aku tidak tahu bagaimana mereka bisa membuat bola-bola cahaya di tangannya untuk permainan anak-anak mereka. Bahkan aku juga lupa mencerita-kan kepadamu bagaimana aku bisa mendapat uang untuk sekadar bertahan hidup dan membayar penginapan. Betapa sedikit yang mampu kuketahui dan lebih sedikit lagi yang bisa kuceritakan kepadamu Alina—apakah aku telah menyia-nyiakan kehi dupanku yang hanya satu kali di dunia? Namun aku telah menulis tentang dirimu, Alina, dan juga Maneka, dalam suatu catatan yang tidak ditujukan kepada siapapun jua.

Di tepi sungai kuhayati saat-saat terakhirku di Negeri Senja yang sudah tidak memiliki kota. Kudengar kemudian dari orang-orang yang berhasil menyelamatkan diri, Tirana tidak hanya memusnahkan kota yang kudiami, tapi juga semua kota yang ada

224 225

di Negeri Senja. Para Pengawal Kembar dikirimkannya meniti cahaya untuk menghancurleburkan segalanya di mana-mana. Kemudian kutunggangi keledaiku dan berjalan pelan-pelan me-nyu suri sungai. Setelah berjalan beberapa lama aku menuju ke barat sehingga dari kejauhan bisa kulihat Kuil Matahari. Seperti juga menara yang sudah tidak bisa dilihat lagi, Kuil Matahari sudah ada semenjak orang pertama membangun kota-kota di Negeri Senja. Jika menara itu sudah ada di sana 5.000 tahun sebelumnya, konon Kuil Matahari itu berusia lebih tua. Kitab-kitab tentang kedua monumen itu telah dimusnahkan Tirana menjadi abu tanpa seorang juru tulis pun sempat mem buat salinannya. Aku sangat sering merasa penasaran dengan apa saja yang pernah terjadi di masa lalu, namun bahkan Tirana yang sakti mandraguna kurasa tidak akan mampu mengarungi waktu me-nuju masa yang telah berlalu.

Dari jauh terdengar keramaian di Kuil Matahari, semakin lama semakin banyak orang mendirikan perkemahan di sana, kurasa lama-lama akan terbangun juga sebuah kota yang terdiri dari para pendatang, sementara keturunan para pemukim per-tama akan terdesak dan tersingkirkan. Barangkali kelak aku akan kembali. Barangkali. Aku memang ingin mengetahui apa yang akan terjadi, tetapi pengalamanku dengan bencana itu bukanlah tanpa arti sama sekali—setiap kali tertidur aku ter ganggu oleh mimpi buruk yang tidak berkesudahan. Ba yangan pembantaian terus-menerus berkelebat tanpa ha rapan ter ha pus kan. Telah kutumpahkan semuanya dalam catatan sebagai usaha penun-tasan, tetapi mimpi buruk itu tetap datang dan semakin mengeri-kan. Kurasa sudah waktunya aku pergi dari negeri ini. Betapapun indah selalu pemandangan senja itu untukku, betapapun senja selalu merupakan keindahan yang kuburu, namun rupanya kein-dahan bukanlah sekadar soal pandangan. Dalam pandangan terdapat kuasa pengalaman, dan pengalaman yang menguasaiku telah menghancurkan ke in dahan itu.

Jauh di selatan, ternyata sisa perbentengan tua yang per-tama kali kulihat ketika memasuki Negeri Senja masih berdiri, terlihat bagaikan setumpuk onggokan hitam tipis ter golek di cakrawala. Lantas di barat daya di mana kota itu telah menjadi rata kulihat Istana Pasir dengan tembok tinggi yang memantulkan cahaya keemas-emasan. Dalam kekosongan pa dang pasir yang kelam dan sunyi, memandang Istana Pasir itu kurasakan ke-sendirian Puan Tirana Sang Penguasa yang Buta di lorong-lorong dalam istananya yang muram. Keramaian di sekeliling Kuil Matahari telah dibiar kannya, barangkali sebagai kenangan atas kekasihnya—kenangan atas cinta dan segala kepahitannya. Lagi-pula para pendatang itu tidak mempunyai minat atas tampuk kekuasaan negara. Di Negeri Senja yang telah menjadi padang pasir, apalagi yang masih bisa ditindas dan dikuasai? Aku tidak tahu. Apabila kelak masyarakat di sekeliling Kuil Matahari tum-buh dan berkembang, dan terbangun pe rmukiman di se kitarnya, sehingga suatu ketika akhirnya berdiri sebuah negara-kota, ba-rang kali memang akan timbul persoalan-persoalan baru—tapi lebih baik aku tidak memikirkannya se karang.

Aku hanya ingin berjalan ke utara. Dulu aku datang dari tenggara, dan aku tidak pernah kembali ke tempat dari mana aku datang. Agak ke barat laut, kulihat puing reruntuhan bekas rumah bordil. Kemurkaan Tirana sampai pula ke tempat ini, namun langkah keledaiku tidak kutahan. Angin bertiup mem bawa pasir dari belakang punggungku, dan segera berubah menjadi badai, sehingga kulihat pemandangan di depanku sangat kabur. Sebe-narnya aku menginginkan perpisahan yang mengesankan dengan negeri yang penuh pesona senja tapi tidak terdapat dalam peta ini, namun segalanya tidak selalu ber langsung seperti kita harapkan. Aku ingin mengandaikan diriku sebagai tokoh pada akhir sebuah cerita yang menggetarkan, tetapi aku bukan tokoh cerita ini, dan aku tidak bisa bercerita dengan meng getarkan—misalnya betapa aku dan keledaiku menjadi titik yang makin lama makin mengecil

226 227

sampai hilang di balik cakrawala, tapi aku tidak bisa melihat diriku sendiri, bahkan aku tidak bisa melihat apa-apa.

Kuraba kantong yang tergantung di leher keledai itu, dan kutemukan benda yang pernah dipercayakan kepadaku—apakah benda itu masih ada gunanya? Di tanganku tergenggam benda seperti Kotak Senja, tetapi jika benda itu adalah Kotak Senja tentulah tidak akan menjadi masalah seperti yang telah kualami. Apakah aku akan membawa benda itu keluar dari Negeri Senja? Meski tidak mengetahui sesuatu pun tentang benda itu, aku merasa takut jika bersamanya kubawa kutukan Tirana ke se-luruh dunia—dan rupanya memang aku tidak perlu mem bawanya karena dari balik badai pasir yang mengaburkan pandangan muncul gardu penjagaan di perbatasan Negeri Senja.

Terdapat sepasang Pengawal Kembar yang memimpin satu pe leton pasukan berkuda. Rasanya aneh melihat mereka masih ada. Mereka meminta aku berhenti dan memeriksa pasporku, dan setelah melihat fotoku di paspor itu salah seorang dari mereka memanggil Pengawal Kembar itu. Mereka berbisik-bisik dalam bahasa Negeri Senja, kemudian salah seorang Pengawal Kembar itu bicara kepadaku dalam bahasa Antarbangsa.

“Sahib, agaknya Sahib masih membawa suatu benda yang tidak boleh keluar dari Negeri Senja, Sahib….”

Kuserahkan benda itu kepadanya.“Kami tahu mereka menyamar sebagai kaum fakir, dan

atas nama Puan Tirana Sang Penguasa yang Buta kami ucapkan terima kasih Sahib telah menjaga dan tidak pernah mem bu kanya. Benda ini sangat penting bagi Negeri Senja.”

“Benda apakah itu kiranya?”“Kami tidak bisa mengatakannya kepada seorang asing

Sahib, karena hanya kami dari bangsa Negeri Senja bisa mema ha-mi nya–sekali lagi kami ucapkan terimakasih dan selamat jalan.”

Ia meletakkan telapak tangannya di pasporku, dan terli hat-lah cap tanda keluar dari Negeri Senja di situ–satu-satunya cap

yang berwarna senja dalam pasporku. Aku teringat, ketika aku pergi, matahari belum juga terbenam.

Aku melanjutkan perjalanan menembus badai pasir yang masih juga bertiup dengan sangat kencang. Aku tidak membawa kompas dan tidak membawa peta karena aku memang tidak pernah peduli perjalananku akan sampai ke mana. Aku hanya seorang pengembara, seorang musafir lata tanpa tujuan pasti selain melakukan perjalanan. Tersesat atau tidak tersesat bagiku bukanlah suatu persoalan, selama aku tidak kembali ke tempat dari mana aku datang.

Aku berjalan dan terus berjalan dan betapa kuat keledaiku membawa aku mengarungi gurun perlahan-lahan. Aku tak tahu berapa lama tertidur di atas keledai yang terus berjalan tapi rasanya betapa panjang aku tenggelam dalam impian.

Ketika aku terbangun, badai telah berhenti dan keadaan sangat tenang. Aku sudah berada di luar Negeri Senja, kulihat matahari senja terbenam di cakrawala meninggalkan langit yang semburat kemerah-merahan.

Aku menunggu hari menggelap dan menjadi malam–tiba-tiba saja aku merasa sangat kehilangan.

Pondok Aren, Maret–Mei 2003

(dengan kenangan atas Timbuktu, sebuah kota di tepi Gurun Sahara,

Mali—Desember 1996)