riba

38
Riba berarti menetapkan bunga /melebihkan jumlah pinjaman saat pengembalian berdasarkan persentase tertentu dari jumlah pinjaman pokok, yang dibebankan kepada peminjam. Riba secara bahasa bermakna: ziyadah (tambahan). Dalam pengertian lain, secara linguistik riba juga berarti tumbuh dan membesar . Sedangkan menurut istilah teknis, riba berarti pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal secara bathil. Ada beberapa pendapat dalam menjelaskan riba, namun secara umum terdapat benang merah yang menegaskan bahwa riba adalah pengambilan tambahan, baik dalam transaksi jual-beli maupun pinjam-meminjam secara bathil atau bertentangan dengan prinsip muamalat dalam Islam. Daftar isi 1 Riba dalam pandangan agama o 1.1 Riba dalam agama Islam o 1.2 Jenis-Jenis Riba o 1.3 Riba dalam agama Yahudi o 1.4 Konsep Bunga di Kalangan Kristen 1.4.1 Pandangan Para Pendeta Awal Kristen (Abad I - XII) 1.4.2 Pandangan Para Pendeta awal Kristen dapat disimpulkan sebagai berikut 1.4.3 Pandangan Para Sarjana Kristen (Abad XII - XVI) 1.4.4 Pandangan Para Reformis Kristen (Abad XVI - Tahun 1836) 1.4.4.1 Pandangan Gereja Katolik o 1.5 Perbedaan Investasi dengan Membungakan Uang o 1.6 Perbedaan Hutang Uang dan Hutang Barang o 1.7 Perbedaan antara Bunga dan Bagi Hasil Riba dalam pandangan agama Riba bukan cuma persoalan masyarakat Islam, tapi berbagai kalangan di luar Islam pun memandang serius persoalan riba. Kajian terhadap masalah riba dapat dirunut mundur hingga lebih dari 2.000 tahun silam. Masalah riba telah menjadi bahasan kalangan Yahudi, Yunani, demikian juga Romawi. Kalangan Kristen dari masa ke masa juga mempunyai pandangan tersendiri mengenai riba. Riba dalam agama Islam Dalam Islam, memungut riba atau mendapatkan keuntungan berupa riba pinzaman adalah haram . Ini dipertegas dalam Al-Qur'an Surah Al-Baqarah ayat 275 : ...padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.... Pandangan ini juga yang mendorong maraknya perbankan syariah dimana konsep keuntungan bagi penabung didapat dari sistem bagi hasil bukan dengan bunga seperti pada bank konvensional, karena menurut sebagian pendapat (termasuk Majelis Ulama Indonesia ), bunga bank termasuk ke dalam riba. bagaimana suatu akad itu dapat dikatakan riba? hal yang mencolok dapat diketahui bahwa bunga bank itu termasuk riba adalah ditetapkannya akad di awal. jadi ketika kita sudah menabung dengan tingkat suku bunga tertentu, maka kita akan mengetahui hasilnya dengan pasti. berbeda dengan prinsip bagi hasil yang hanya memberikan nisbah bagi hasil bagi deposannya. dampaknya akan sangat panjang pada transaksi selanjutnya. yaitu bila akad ditetapkan di awal/persentase yang didapatkan penabung sudah diketahui, maka yang menjadi sasaran untuk menutupi jumlah bunga tersebut adalah para pengusaha yang meminjam modal dan apapun yang terjadi, kerugian pasti akan ditanggung oleh peminjam. berbeda dengan bagi hasil yang hanya memberikan nisbah tertentu pada deposannya. maka yang di bagi adalah keuntungan dari yang didapat kemudian dibagi sesuai dengan nisbah yang disepakati oleh kedua belah pihak. contoh nisbahnya adalah 60%:40%, maka bagian deposan 60% dari total keuntungan yang didapat oleh pihak ban. Jenis-Jenis Riba Secara garis besar riba dikelompokkan menjadi dua.Yaitu riba hutang-piutang dan riba jual-beli.Riba hutang-piutang terbagi lagi menjadi riba qardh dan riba jahiliyyah. Sedangkan riba jual-beli terbagi atas riba fadhl dan riba nasi’ah. Riba Qardh o Suatu manfaat atau tingkat kelebihan tertentu yang disyaratkan terhadap yang berhutang (muqtaridh). Riba Jahiliyyah

Transcript of riba

Riba berarti menetapkan bunga/melebihkan jumlah pinjaman saatpengembalian berdasarkan persentase tertentu dari jumlah pinjaman pokok, yang dibebankan kepada peminjam. Riba secara bahasa bermakna: ziyadah (tambahan). Dalam pengertian lain, secara linguistik riba juga berarti tumbuh dan membesar . Sedangkan menurut istilah teknis, riba berarti pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal secara bathil. Ada beberapa pendapat dalam menjelaskan riba, namun secara umum terdapat benang merah yang menegaskan bahwa riba adalah pengambilan tambahan, baik dalam transaksi jual-beli maupun pinjam-meminjam secara bathil atau bertentangan dengan prinsip muamalat dalam Islam.Daftar isi

1 Riba dalam pandangan agama o 1.1 Riba dalam agama Islamo 1.2 Jenis-Jenis Ribao 1.3 Riba dalam agama Yahudio 1.4 Konsep Bunga di Kalangan Kristen

1.4.1 Pandangan Para Pendeta Awal Kristen (Abad I - XII)1.4.2 Pandangan Para Pendeta awal Kristen dapat disimpulkan sebagai berikut1.4.3 Pandangan Para Sarjana Kristen (Abad XII - XVI)1.4.4 Pandangan Para Reformis Kristen (Abad XVI - Tahun 1836)1.4.4.1 Pandangan Gereja Katolik

o 1.5 Perbedaan Investasi dengan Membungakan Uango 1.6 Perbedaan Hutang Uang dan Hutang Barango 1.7 Perbedaan antara Bunga dan Bagi Hasil

Riba dalam pandangan agamaRiba bukan cuma persoalan masyarakat Islam, tapi berbagai kalangan di luar Islam pun memandang serius persoalan riba. Kajian terhadap masalah riba dapat dirunut mundur hingga lebih dari 2.000 tahun silam. Masalah riba telah menjadi bahasan kalangan Yahudi, Yunani, demikian juga Romawi. Kalangan Kristen dari masa ke masa juga mempunyai pandangan tersendiri mengenai riba.Riba dalam agama Islam

Dalam Islam, memungut riba atau mendapatkan keuntungan berupariba pinzaman adalah haram. Ini dipertegas dalam Al-Qur'an Surah Al-Baqarah ayat 275 : ...padahal Allah telah menghalalkan jual belidan mengharamkan riba.... Pandangan ini juga yang mendorong maraknya perbankan syariah dimana konsep keuntungan bagi penabung didapat dari sistem bagi hasil bukan dengan bunga seperti pada bank konvensional, karena menurut sebagian pendapat (termasuk Majelis Ulama Indonesia), bunga bank termasuk ke dalam riba. bagaimana suatu akad itu dapat dikatakan riba? hal yang mencolok dapat diketahui bahwa bungabank itu termasuk riba adalah ditetapkannya akad di awal. jadi ketika kita sudah menabung dengan tingkat suku bunga tertentu, maka kita akan mengetahui hasilnya dengan pasti. berbeda dengan prinsip bagi hasil yang hanya memberikan nisbah bagi hasil bagi deposannya. dampaknya akan sangat panjang pada transaksi selanjutnya. yaitu bila akad ditetapkan di awal/persentase yang didapatkan penabung sudah diketahui, maka yang menjadi sasaran untuk menutupi jumlah bunga tersebut adalah para pengusaha yang meminjam modal dan apapun yang terjadi, kerugian pasti akan ditanggung oleh peminjam. berbeda dengan bagi hasil yang hanya memberikan nisbah tertentu pada deposannya. maka yang di bagi adalah keuntungan dari yang didapat kemudian dibagi sesuai dengan nisbah yang disepakati oleh kedua belah pihak. contoh nisbahnya adalah 60%:40%, maka bagian deposan 60% dari total keuntungan yang didapat oleh pihak ban.Jenis-Jenis RibaSecara garis besar riba dikelompokkan menjadi dua.Yaitu riba hutang-piutang dan riba jual-beli.Riba hutang-piutang terbagilagi menjadi riba qardh dan riba jahiliyyah. Sedangkan riba jual-beli terbagi atas riba fadhl dan riba nasi’ah.

Riba Qardh o Suatu manfaat atau tingkat kelebihan tertentu

yang disyaratkan terhadap yang berhutang (muqtaridh).

Riba Jahiliyyah

o Hutang dibayar lebih dari pokoknya, karena si peminjam tidak mampu membayar hutangnya pada waktu yang ditetapkan.

Riba Fadhl o Pertukaran antarbarang sejenis dengan kadar atau

takaran yang berbeda, sedangkan barang yang dipertukarkan itu termasuk dalam jenis barang ribawi.

Riba Nasi’ah o Penangguhan penyerahan atau penerimaan jenis

barang ribawi yang dipertukarkan dengan jenis barang ribawi lainnya. Riba dalam nasi’ah muncul karena adanya perbedaan, perubahan, atau tambahan antara yang diserahkan saat ini dengan yang diserahkan kemudian.

Riba dalam agama YahudiAgama Yahudi melarang praktik pengambilan bunga. Pelarangan ini banyak terdapat dalam kitab suci agama Yahudi, baik dalamPerjanjian Lama maupun undang-undang Talmud. Kitab Keluaran 22:25 menyatakan:“Jika engkau meminjamkan uang kapada salah seorang ummatku, orang yang miskin di antaramu, maka janganlah engkau berlaku sebagai penagih hutang terhadap dia, janganlah engkau bebankan bunga terhadapnya.” Kitab Ulangan 23:19 menyatakan:“Janganlah engkau membungakan kepada saudaramu, baik uang maupun bahan makanan, atau apa pun yang dapat dibungakan.” Kitab Ulangan 23:20 menyatakan:“Dari orang asing boleh engkau memungut bunga, tetapi dari saudaramu janganlah engkau memungut bunga … supaya TUHAN, Allahmu, memberkati engkau dalam segala usahamu di negeri yang engkau masuki untuk mendudukinya."Kitab Imamat 35:7 menyatakan:“Janganlah engkau mengambil bunga uang atau riba darinya, melainkan engkau harus takut akan Allahmu, supaya saudara-mu bisa hidup di antaramu. Janganlah engkau memberi uang-mu

kepadanya dengan meminta bunga, juga makananmu janganlah kau berikan dengan meminta riba.”Konsep Bunga di Kalangan KristenKitab Perjanjian Baru tidak menyebutkan permasalahan ini secara jelas. Namun, sebagian kalangan Kristiani menganggap bahwa ayat yang terdapat dalam Lukas 6:34-5 sebagai ayat yangmengecam praktik pengambilan bunga. Ayat tersebut menyatakan : “Dan jikalau kamu meminjamkan sesuatu kepada orang, karena kamu berharap akan menerima sesuatu daripadanya, apakah jasamu? Orang-orang berdosa pun meminjamkan kepada orang berdosa, supaya mereka menerima kembali sama banyak. Tetapi, kasihilah musuhmu dan berbuatlahbaik kepada mereka dan pinjamkan dengan tidak mengharapkan balasan, maka upahmu akan besar dan kamu akan menjadi anak-anak Tuhan Yang Mahatinggi, sebab Ia baik terhadap orang-orang yang tidak tahu berterimakasih dan terhadap orang-orangjahat.” Ketidaktegasan ayat tersebut mengakibatkan munculnya berbagai tanggapan dan tafsiran dari para pemuka agama Kristen tentang boleh atau tidaknya orang Kristen mempraktikkan pengambilan bunga. Berbagai pandangan di kalangan pemuka agama Kristen dapat dikelompokkan menjadi tiga periode utama, yaitu pandangan para pendeta awal Kristen(abad I hingga XII) yang mengharamkan bunga, pandangan para sarjana Kristen (abad XII - XVI) yang berkeinginan agar bungadiperbolehkan, dan pandangan para reformis Kristen (abad XVI - tahun 1836) yang menyebabkan agama Kristen menghalalkan bunga. Kitab Ulangan 23:20 menyatakan:“Dari orang asing boleh engkau memungut bunga, tetapi dari saudaramu janganlah engkau memungut bunga … supaya TUHAN, Allahmu, memberkati engkau dalam segala usahamu di negeri yang engkau masuki untuk mendudukinya.“Pandangan Para Pendeta Awal Kristen (Abad I - XII)Pada masa ini, umumnya pengambilan bunga dilarang. Mereka merujuk masalah pengambilan bunga kepada Kitab Perjanjian Lama yang juga diimani oleh orang Kristen. St. Basil (329 - 379) menganggap mereka yang memakan bunga sebagai orang yang

tidak berperi-kemanusiaan. Baginya, mengambil bunga adalah mengambil keuntungan dari orang yang memerlukan. Demikian juga mengumpulkan emas dan kekayaan dari air mata dan kesusahan orang miskin.St. Gregory dari Nyssa (335 - 395) mengutuk praktik bunga karena menurutnya pertolongan melalui pinzaman adalah palsu. Pada awal kontrak seperti membantu tetapi pada saat menagih dan meminta imbalan bunga bertindak sangat kejam. St. John Chrysostom (344 - 407) berpendapat bahwa larangan yang terdapat dalam Perjanjian Lama yang ditujukan bagi orang-orang Yahudi juga berlaku bagi penganut Perjanjian Baru. St. Ambrose mengecam pemakan bunga sebagai penipu dan pembelit (rentenir). St. Augustine berpendapat pemberlakuan bunga padaorang miskin lebih kejam dibandingkan dengan perampok yang merampok orang kaya. Karena dua-duanya sama-sama merampok, satu terhadap orang kaya dan lainnya terhadap orang miskin. St. Anselm dari Centerbury (1033 - 1109) menganggap bunga sama dengan perampokan. Larangan praktik bunga juga dikeluarkan oleh gereja dalam bentuk undang-undang (Canon): Council of Elvira (Spanyol tahun 306) mengeluarkan Canon 20 yang melarang para pekerja gereja mem-praktikkan pengambilan bunga. Barangsiapa yang melanggar, maka pangkatnya akan diturunkan. Council of Arles (tahun 314) mengeluarkan Canon 44 yang juga melarang para pekerja gereja mempraktikkan pengambilan bunga. First Council of Nicaea (tahun 325) mengeluarkan Canon 17 yang mengancam akan memecat para pekerja gereja yang mempraktikkan bunga. Larangan pemberlakuan bunga untuk umum baru dikeluarkan pada Council of Vienne (tahun 1311) yang menyatakan barangsiapa menganggapbahwa bunga itu adalah sesuatu yang tidak berdosa maka ia telah keluar dari Kristen (murtad).Pandangan Para Pendeta awal Kristen dapat disimpulkan sebagaiberikutBunga adalah semua bentuk yang diminta sebagai imbalan yang melebihi jumlah barang yang dipinjamkan. Mengambil bunga adalah suatu dosa yang dilarang, baik dalam Perjanjian Lama

maupun Perjanjian Baru. Keinginan atau niat untuk mendapat imbalan melebihi apa yang dipinjamkan adalah suatu dosa. Bunga harus dikembalikan kepada pemiliknya. Harga barang yangditinggikan untuk penjualan secara kredit juga merupakan bunga yang terselubung.Pandangan Para Sarjana Kristen (Abad XII - XVI)Pada masa ini terjadi perkembangan yang sangat pesat di bidang perekonomian dan perdagangan. Pada masa tersebut, uangdan kredit menjadi unsur yang penting dalam masyarakat. Pinzaman untuk memberi modal kerja kepada para pedagang mulaidigulirkan pada awal Abad XII. Pasar uang perlahan-lahan mulai terbentuk. Proses tersebut mendorong terwujudnya suku bunga pasar secara meluas. Para sarjana Kristen pada masa initidak saja membahas permasalahan bunga dari segi moral sematayang merujuk kepada ayat-ayat Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru, mereka juga mengaitkannya dengan aspek-aspeklain. Di antaranya, menyangkut jenis dan bentuk undang-undang, hak seseorang terhadap harta, ciri-ciri dan makna keadilan, bentuk-bentuk keuntungan, niat dan perbuatan manusia, serta per-bedaan antara dosa individu dan kelompok.Mereka dianggap telah melakukan terobosan baru sehubungan dengan pendefinisian bunga. Dari hasil bahasan mereka untuk tujuan memperhalus dan melegitimasi hukum, bunga dibedakan menjadi interest dan usury. Menurut mereka, interest adalah bunga yang diperbolehkan, sedangkan usury adalah bunga yang berlebihan. Para tokoh sarjana Kristen yang memberikan kontribusi pendapat yang sangat besar sehubungan dengan bungaini adalah Robert of Courcon (1152-1218), William of Auxxerre(1160-1220), St. Raymond of Pennaforte (1180-1278), St. Bonaventure (1221-1274), dan St. Thomas Aquinas (1225-1274). Kesimpulan hasil bahasan para sarjana Kristen periode tersebut sehubungan dengan bunga adalah sebagai berikut : Niat atau perbuatan untuk mendapatkan keuntungan dengan memberikan pinzaman adalah suatu dosa yang bertentangan dengan konsep keadilan. Mengambil bunga dari pinzaman

diperbolehkan, namun haram atau tidaknya tergantung dari niatsi pemberi hutang.Pandangan Para Reformis Kristen (Abad XVI - Tahun 1836)Pendapat para reformis telah mengubah dan membentuk pandanganbaru mengenai bunga. Para reformis itu antara lain adalah John Calvin (1509-1564), Charles du Moulin (1500 - 1566), Claude Saumaise (1588-1653), Martin Luther (1483-1546), Melanchthon (1497-1560), dan Zwingli (1484-1531).Beberapa pendapat Calvin sehubungan dengan bunga antara lain:

Dosa apabila bunga memberatkan. Uang dapat membiak (kontra dengan Aristoteles). Tidak menjadikan pengambil bunga sebagai profesi. Jangan mengambil bunga dari orang miskin.

Du Moulin mendesak agar pengambilan bunga yang sederhana diperbolehkan asalkan bunga tersebut digunakan untuk kepentingan produktif. Saumise, seorang pengikut Calvin, membenarkan semua pengambilan bunga, meskipun ia berasal dariorang miskin. Menurutnya, menjual uang dengan uang adalah seperti perdagangan biasa, maka tidak ada alasan untuk melarang orang yang akan menggunakan uangnya untuk membuat uang. Menurutnya pula, agama tidak perlu repot-repot mencampuri urusan yang berhubungan dengan bunga.Pandangan Gereja KatolikMenurut Gereja katolik pandangan mengenai Riba tidaklah berubah dengan pendapat para pendiri gereja seperti St.Gregorius dan St. John Chrysostom. tetapi prinsip dari riba(bunga) itulah yang berubah, karena bila zaman dahulu uang tidak bisa memberikan hasil kalau tidak dijalankan seperti yang disebutkan oleh kitab matius 27:27 menyatakan:"Karena itu sudahlah seharusnya uangku itu kauberikan kepada orang yang menjalankan uang, supaya sekembaliku aku menerimanya serta dengan bunganya.”Namun, pada zaman sekarang, uang dapat memberikan hasil, karena uang dapat dibungakan atau di investasikan.Dengan demikian, meminjamkan uang dengan “bunga yang pantas” bukanlah tindakan yang tidak adil. Namun, kalau memberikan

pinjaman dengan bunga yang terlalu tinggi, maka telah dianggap berdosa karena melawan keadilan.Namun,prinsip ini pun harus di laksanakan dengan bijaksana.Misal,seseorang mempunyai uang 1 milyar dan seseorang meminjam dari orang tersebut 1 juta rupiah, maka janganlah menarik bunga, apalagi kalau orang yang meminjam benar-benar miskin. Bahkan kalau perlu,pemilik uang itu harusmemberikannya dengan rela. Namun bila berada dalam situasi bisnis, maka adalah pantas, kalau menarik bunga dari pinjamanyang diberikan sebab sudah adanya persetujuan dari kedua pihak mengenai akan adanya bunga dari pinjaman tersebut. Seperti yang dilalukan oleh pihak perbankan dan nasabahnya.Perbedaan Investasi dengan Membungakan UangAda dua perbedaan mendasar antara investasi dengan mem-bungakan uang. Perbedaan tersebut dapat ditelaah dari definisi hingga makna masing-masing.

1. Investasi adalah kegiatan usaha yang mengandung risiko karena berhadapan dengan unsur ketidakpastian. Dengan demikian, perolehan kembaliannya (return) tidak pasti dan tidak tetap.

2. Membungakan uang adalah kegiatan usaha yang kurang mengandung risiko karena perolehan kembaliannya berupa bunga yang relatif pasti dan tetap.

Islam mendorong masyarakat ke arah usaha nyata dan produktif.Islam mendorong seluruh masyarakat untuk melakukan investasi dan melarang membungakan uang. Sesuai dengan definisi di atas, menyimpan uang di bank Islam termasuk kategori kegiataninvestasi karena perolehan kembaliannya (return) dari waktu ke waktu tidak pasti dan tidak tetap. Besar kecilnya perolehan kembali itu ter-gantung kepada hasil usaha yang benar-benar terjadi dan dilakukan bank sebagai mudharib atau pengelola dana.Dengan demikian, bank Islam tidak dapat sekadar menyalurkan uang. Bank Islam harus terus berupaya meningkatkan kembalian atau return of investment sehingga lebih menarik dan lebih memberi kepercayaan bagi pemilik dana.

Perbedaan Hutang Uang dan Hutang BarangAda dua jenis hutang yang berbeda satu sama lainnya, yakni hutang yang terjadi karena pinjam-meminjam uang dan hutang yang terjadi karena pengadaan barang. Hutang yang terjadi karena pinjam-meminjam uang tidak boleh ada tambahan, kecualidengan alasan yang pasti dan jelas, seperti biaya materai, biaya notaris, dan studi kelayakan. Tambahan lainnya yang sifatnya tidak pasti dan tidak jelas, seperti inflasi dan deflasi, tidak diperbolehkan. Hutang yang terjadi karena pembiayaan pengadaan barang harus jelas dalam satu kesatuan yang utuh atau disebut harga jual. Harga jual itu sendiri terdiri dari harga pokok barang plus keuntungan yang disepakati. Sekali harga jual telah disepakati, maka selamanya tidak boleh berubah naik, karena akan masuk dalam kategori riba fadl. Dalam transaksi perbankan syariah yang muncul adalah kewajiban dalam bentuk hutang pengadaan barang,bukan hutang uang.Perbedaan antara Bunga dan Bagi HasilSekali lagi, Islam mendorong praktik bagi hasil serta mengharamkan riba. Keduanya sama-sama memberi keuntungan bagipemilik dana, namun keduanya mempunyai perbedaan yang sangat nyata. Perbedaan itu dapat dijelaskan sebagai berikut:

Bunga : Penentuan bunga dibuat pada waktu akad dengan asumsi harus selalu untungBagi Hasil : Penentuan besarnya rasio/ nisbah bagi hasil dibuat pada waktu akad dengan berpedoman padakemungkinan untung rugi

Bunga : Besarnya persentase berdasarkan pada jumlahuang (modal) yang dipinjamkanBagi Hasil : Besarnya rasio bagi hasil berdasarkan pada jumlah keuntungan yang diperoleh

Bunga : Pembayaran bunga tetap seperti yang dijanjikan tanpa pertimbangan apakah proyek yang dijalankan oleh pihak nasabah untung atau rugiBagi hasil : tergantung pada keuntungan proyek yang

dijalankan. Bila usaha merugi, kerugian akan ditanggung bersama oleh kedua belah pihak.

Bunga : Jumlah pembayaran bunga tidak meningkat sekalipun jumlah keuntungan berlipat atau keadaan ekonomi sedang “booming”Bagi hasil : Jumlah pembagian laba meningkat sesuaidengan peningkatan jumlah pendapatan.

Bunga : Eksistensi bunga diragukan (kalau tidak dikecam) oleh beberapa kalanganBagi hasil : Tidak ada yang meragukan keabsahan bagi hasil

  from <http://id.wikipedia.org/wiki/Riba>

02 November 2008Riba Dalam Islam Istilah dan persepsi mengenai riba begitu hidupnya di dunia Islam. Oleh karenanya, terkesan seolah-olah doktrin riba adalah khas Islam. Orang sering lupa bahwa hukum larangan riba, sebagaimana dikatakan oleh seorang Muslim Amerika, Cyril Glasse, dalam buku ensiklopedinya, tidak diberlakukan di negeri Islam modern manapun. Sementara itu, kebanyakan orang tidak mengetahui bahwa di dunia Kristenpun, selama satumilenium, riba adalab barang terlarang dalam pandangan theolog, cendekiawan maupun menurut undang-undang yang ada. Di sisi lain, kita dihadapkan pada suatu kenyataan bahwa praktek riba yang merambah ke berbagai negara ini sulit diberantas, sehingga berbagai penguasa terpaksa dilakukan pengaturan dan pembatasan terhadap bisnis pembungaan uang. Perdebatan panjang di kalangan ahli fikih tentang riba belum menemukan titik temu. Sebab mereka masing-masing memiliki alasan yang kuat. Akhirnya timbul berbagai pendapat yang bermacam-macam tentang bunga dan riba. 

Pengertian RibaKata Ar-Riba adalah isim maqshur, berasal dari rabaa yarbuu, yaitu akhir kata ini ditulis dengan alif. Asal arti kata ribaadalah ziyadah ‘tambahan’; adakalanya tambahan itu berasal dari dirinya sendiri, seperti firman Allah swt: (ihtazzat wa rabat) “maka hiduplah bumi itu dan suburlah.” (QS Al-Hajj: 5).Dan, adakalanya lagi tambahan itu berasal dari luar berupa imbalan, seperti satu dirham ditukar dengan dua dirham. Hukum RibaRiba, hukumnya berdasar Kitabullah, sunnah Rasul-Nya dan ijma’ umat Islam: “Hai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah dan tinggalkanlah sisariba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Jika kamu tidakmengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka permaklumkanlah bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba),maka bagimu pokok hartamu; kami tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.” (QS Al-Baqarah: 278-279). “Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri, melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila.” (QS Al-Baqarah: 275). “Allah memusnahkan riba dan menyuburkan shadaqah.” (QS Al-Baqarah: 276). Dari Abu Hurairah ra bahwa Nabi saw bersabda, “Jauhilah tujuh hal yang membinasakan.” Para sahabat bertanya, “Apa itu, ya Rasulullah?” Jawab Beliau, “(Pertama) melakukan kemusyrikan kepada Allah, (kedua) sihir, (ketiga) membunuh jiwa yang telah haramkan kecuali dengan cara yang haq, (keempat) makan riba, (kelima) makan harta anak yatim, (keenam)melarikan diri pada hari pertemuan dua pasukan, dan (ketujuh) menuduh berzinaperempuan baik-baik yang tidak tahu menahu tentang urusan ini dan beriman

kepada Allah.” (Muttafaqun ‘alaih: Fathul Bari V: 393 no: 2766, Muslim I: 92 no: 89, ‘Aunul Ma’bud VIII: 77 no: 2857 dan Nasa’i VI: 257). Dari Jabir ra, ia berkata. “Rasulullah saw melaknat pemakan riba, pemberi makan riba, dua saksinya dan penulisnya.” Dan Beliau bersabda, “Mereka semua sama.” (Shahih: Mukhtasar Muslim no: 955, Shahihul Jami’us Shaghir no: 5090 dan Muslim III: 1219 no: 1598). Dari Ibnu Mas’ud ra bahwa Nabi saw bersabda, “Riba itu mempunyai tujuh puluh tiga pintu, yang paling ringan (dosanya) seperti seorang anak menyetubuhi ibunya.” (Shahih: Shahihul Jami’us Shaghir no: 3539 dan Mustadrak Hakim II: 37). Dari Abdullah bin Hanzhalah ra dari Nabi saw bersabda, “Satu Dirham yang riba dimakan seseorang padahal ia tahu, adalah lebih berat daripada tiga puluh enam pelacur.” (Shahih: Shahihul Jami’us Shaghirno: 3375 dan al-Fathur Rabbani XV: 69 no: 230). Dari Ibnu Mas’ud ra dari Nabi saw, Beliau bersabda, “Tak seorang pun memperbanyak (harta kekayaannya) dari hasil riba, melainkan pasti akibat akhirnya ia jatuh miskin.” (Shahih: Shahihul Jami’us Shaghir no: 5518 dan Ibnu Majah II: 765 no: 2279). Klasifikasi RibaRiba ada dua macam yaitu riba nasiah dan riba fadhl.Adapun yang dimaksud riba nasiah ialah tambahan yang sudah ditentukan di awal transaksi, yang diambil oleh si pemberi pinjaman dari orang yang menerima pinjaman sebagai imbalan dari pelunasan bertempo. Riba model ini diharamkan oleh Kitabullah, sunnah Rasul-Nya, dan ijma’ umat Islam. Sedangkan yang dimaksud riba fadhl adalah tukar menukar barang yang sejenis dengan ada tambahan, misalnya tukar

menukar uang dengan uang, menu makanan dengan makanan yang disertai dengan adanya tambahan. Riba model kedua ini diharamkan juga oleh sunnah Nabi saw danijma’ kaum Muslimin, karena ia merupakan pintu menuju riba nasiah. Beberapa Barang yang padanya Diharamkan Melakukan RibaRiba tidak berlaku, kecuali pada enam jenis barang yang sudahditegaskan nash-nash syar’i berikut: Dari Ubaidah bin Shamir ra bahwa Rasulullah saw bersabda, “(Boleh menjual emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, sya’ir (sejenis gandum) dengan sya’ir, kurma dengan kurma, garam dengan garam, sebanding, sama dan tunai, tetapi jika berbeda jenis, maka juallah sesukamu, apabila tunai dengan tunai.” (Shahih: Mukhtashar Muslim no: 949, dan Muslim III: 1211 no: 81 dan 1587). Dengan demikian, apabila terjadi barter barang yang sejenis dari empat jenis barang ini, yaitu emas ditukar dengan emas, tamar dengan tamar, maka haram tambahannya baik secara riba fadhl maupun secara riba nasiah, harus sama baik dalam hal timbangan maupun takarannya, tanpa memperhatikan kualitasnya bermutu atau jelek, dan harus diserahterimakan dalam majlis. Dari Abi Sa’id al-Khudri ra bahwa Rasulullah saw bersabda, “Janganlah kamu menjual emas kecuali sama, janganlah kamu tambah sebagiannya atas sebagian yang lain, janganlah kamu menjual perak dengan perak kecuali sama, janganlah kamu tambah sebagiannya atas sebagian yang lain, dan janganlah kamu menjual emas dan perak yang barang-barangnya belum ada dengan kontan.” (Muttafaqun ‘alaih: Fathul Bari IV: 379 no: 2177, Muslim III: 1208 no: 1584, Nasa’i VII: 278 dan Tirmidzi II: 355 no: 1259 sema’na). Dari Umar bin Khattab ra bahwa Rasulullah saw bersabda. “Emasdengan emas adalah riba kecuali begini dengan begini (satu pihak mengambil

barang, sedang yang lain menyerahkan) bur dengan bur (juga) riba kecuali beginidengan begini, sya’ir dengan sya’ir riba kecuali begini dengan begini, dan tamar dengan tamar adalah riba kecuali begini dengan begini.” (Muttafaqun’alaih: Fathul Bahri IV: 347 no: 2134, dan lafadz ini bagi Imam Bukhari, Muslim III: 1209 no: 1586, Tirmidzi II: 357 no: 1261, Nasa’i VII: 273 dan bagi mereka lafadz pertama memakai adz-dzahabu bil wariq (emas dengan perak) danAunul Ma’bud IX: 197 no: 3332 dengan dua model lafadz). Dari Abu Sa’id ra, ia bertutur: Kami pada masa Rasulullah sawpernah mendapat rizki berupa tamar jama’, yaitu satu jenis tamar, kemudian kami menukar dua sha’ tamar dengan satu sha’ tamar. Lalu kasus ini sampai kepada Rasulullah saw maka Beliau bersabda, “Tidak sah (pertukaran) dua sha’ tamar dengan satu sha’ tamar, tidak sah (pula) dua sha’ biji gandum dengan satu sha’ biji gandum, dan tidak sah (juga) satu Dirham dengan dua Dirham.” (Muttafaqun ’alaih: Muslim III: 1216 no: 1595 dan lafadz ini baginya, Fathul BariIV: 311 no: 2080 secara ringkas dan Nasa’i VII: 272). Manakala terjadi barter di antara enam jenis barang ini dengan lain jenis, seperti emas ditukar dengan perak, bur dengan sya’ir, maka boleh ada kelebihan dengan syarat harus diserahterimakan di majlis:Berdasar hadits Ubadah tadi: “…tetapi jika berlainan jenis maka juallah sesukamu, apabila tunai dengan tunai.”Dalam riwayat Imam Abu Daud dan lainnya dari Ubadah ra Nabi saw bersabda: “Tidak mengapa menjual emas dengan perak dan peraknya lebih besar jumlahnya daripada emasnya secara kontan, dan adapun secara kredit, maka tidak boleh; dan tidak mengapa menjual bur dengan sya’ir dan sya’irnya lebih banyak daripada burnya secara kontan dan adapun secara kredit, maka tidak boleh.” (Shahih: Irwa-ul Ghalil V: 195 dan ‘Aunul Ma’bud IX: 198 no: 3333). 

Apabila salah satu jenis di antara enam jenis ini ditukar dengan barang yang berlain jenis dan ‘illah ‘sebab’, seperti emas ditukar dengan bur, atau perak dengan garam, maka boleh ada kelebihan atau secara bertempo, kredit:Dari Aisyah ra bahwa Nabi saw pernah membeli makanan dari seorang Yahudi secara bertempo, sedangkan Nabi saw menggadaikan sebuah baju besinya kepada Yahudi itu. (Shahih: Irwa-ul Ghalil no: 1393 dan Fathul Bari IV: 399 no: 2200). Dalam kitab Subulus Salam III: 38, al-Amir ash-Sha’ani menyatakan. “Ketahuilah bahwa para ulama’ telah sepakat atas bolehnya barang ribawi (barang yang bisa ditakar atau ditimbang, edt) ditukar dengan barang ribawi yang berlainan jenis, baik secara bertempo meskipun ada kelebihan jumlah atau berbeda beratnya, misalnya emas ditukar dengan hinthah (gandum), perak dengan gandum, dan lain sebagainya yang termasuk barang yang bisa ditakar.” Namun, tidak boleh menjual ruthab (kurma basah) dengan kurma kering, kecuali para pemilik ‘ariyah, karena mereka adalah orang-orang yang faqir yang tidak mempunyai pohon kurma, yaitu mereka boleh membeli kurma basah dari petani kurma, kemudian mereka makan dalam keadaan masih berada di pohonnya,yang mereka taksir, mereka menukarnya dengan kurma kering. Dari Abdullah bin Umar ra, bahwa Rasulullah saw melarang muzabanah. Muzabanah ialah menjual buah-buahan dengan tamar secara takaran, dan menjual anggur dengan kismis secara takaran. (Muttafaqun ‘alaih: Fathul Bari IV: 384 no: 2185, Muslim III: 1171 no: 1542 dan Nasa’i VII: 266) Dari Zaid bin Tsabit ra bahwa Rasulullah saw memberi kelonggaran kepada pemilik ‘ariyyah agar menjualnya dengan tamar secara taksiran. (Muttafaqun‘alaih: Muslim III: 1169 no: 60 dan 1539 dan lafadz ini baginya dan sema’na dalam Fathul Bari IV: 390 no: 2192, ‘Aunul Ma’bud IX: 216 no: 3346,

Nasa’i VII: 267, Tirmidzi II: 383 no: 1218 dan Ibnu Majah II:762 no: 2269).Sesungguhnya Nabi saw melarang menjual kurma basah dengan tamar hanyalah karena kurma basah kalau kering pasti menyusut. Dari Sa’ad bin Abi Waqqash ra bahwa Nabi saw pernah ditanya perihal menjual kurma basah dengan tamar. Maka Beliau (balik)bertanya, “Apakah kurma basah itu menyusut apabila telah kering?” Jawab para sahabat, “Ya, menyusut.” Maka Beliaupun melarangnya. (Shahih: Irwa-ul Ghalil no: 1352, ‘Aunul Ma’bud IX: 211 no: 3343, IbnuMajah II: 761 no: 2264, Nasa’i VII: 269 dan Tirmidzi II: 348 no: 1243). Dan, tidak sah jual beli barang ribawi dengan yang sejenisnyasementara keduanya atau salah satunya mengandung unsur lain. Riwayat Fadhalah bin Ubaid yang menjadi landasan kesimpulan ini dimuat juga dalam Mukhtashar Nailul Authar hadits no: 2904. Imam Asy-Syaukani, memberi komentar sebagai berikut, “Hadits ini menunjukkan bahwa tidak boleh menjual emas yang mengandung unsur lainnya dengan emas murni hingga unsur lain itu dipisahkan agar diketahui ukuran emasnya, demikian juga perak dan semua jenis barang ribawi lainnya, karena ada kesamaan illat, yaitu haram menjual satu jenis barang dengan sejenisnya secara berlebih.” Dari Fadhalah bin Ubaid ia berkata: “Pada waktu perang Khaibar aku pernah membeli sebuah kalung seharga dua belas Dinar sedang dalam perhiasan itu ada emas dan permata, kemudian aku pisahkan, lalu kudapatkan padanya lebih dari duabelas Dinar, kemudian hal itu kusampaikan kepada Nabi saw, Maka Beliau bersabda, ‘Kalung itu tidak boleh dijual hingga dipisahkan.’”(Shahih: Irwa-ul Ghalil no: 1356, Muslim III: 1213 no: 90 dan1591, Tirmidzi II: 363 no: 1273, ‘Aunul Ma’bud IX: 202 no: 3336 dan Nasa’i VII: 279).

 Islam bersikap sangat keras dalam persoalan riba semata-mata demi melindungi kemaslahatan manusia, baik dari segi akhlak, masyarakat maupun perekonomiannya.Kiranya cukup untuk mengetahui hikmahnya seperti apa yang dikemukakan oleh Imam ar-Razi dalam tafsir Qurannya sebagai berikut: 1. Riba adalah suatu perbuatan mengambil harta kawannya tanpaganti. Sebab orang yang meminjamkan uang 1 dirham dengan 2 dirham, misalnya, maka dia dapat tambahan satu dirham tanpa imbalan ganti. Sedang harta orang lain itu merupakan standardhidup dan mempunyai kehormatan yang sangat besar, seperti apayang disebut dalam hadis Nabi Muhammad SAW: 2. "Bahwa kehormatan harta manusia, sama dengan kehormatan darahnya."Oleh karena itu mengambil harta kawannya tanpa ganti, sudah pasti haramnya. 3. Bergantung kepada riba dapat menghalangi manusia dari kesibukan bekerja. Sebab kalau si pemilik uang yakin, bahwa dengan melalui riba dia akan beroleh tambahan uang, baik kontan ataupun berjangka, maka dia akan memudahkan persoalan mencari penghidupan, sehingga hampir-hampir dia tidak mau menanggung beratnya usaha, dagang dan pekerjaan-pekerjaan yang berat. Sedang hal semacam itu akan berakibat terputusnyabahan keperluan masyarakat. Satu hal yang tidak dapat disangkal lagi bahwa kemaslahatan dunia seratus persen ditentukan oleh jalannya perdagangan, pekerjaan, perusahaan dan pembangunan.(Tidak diragukan lagi, bahwa hikmah ini pastidapat diterima, dipandang dari segi perekonomian). 4. Riba akan menyebabkan terputusnya sikap yang baik (ma'ruf)antara sesama manusia dalam bidang pinjam-meminjam. Sebab kalau riba itu diharamkan, maka seseorang akan merasa senang meminjamkan uang satu dirham dan kembalinya satu dirham juga.Tetapi kalau riba itu dihalalkan, maka sudah pasti kebutuhan

orang akan menganggap berat dengan diambilnya uang satu dirham dengan diharuskannya mengembalikan dua dirham. Justru itu, maka terputuslah perasaan belas-kasih dan kebaikan. (Inisuatu alasan yang dapat diterima, dipandang dari segi etika). 5. Pada umumnya pemberi piutang adalah orang yang kaya, sedang peminjam adalah orang yang tidak mampu. Maka pendapat yang membolehkan riba, berarti memberikan jalan kepada orang kaya untuk mengambil harta orang miskin yang lemah sebagai tambahan. Sedang tidak layak berbuat demikian sebagai orang yang memperoleh rahmat Allah. (Ini ditinjau dari segi sosial). Ini semua dapat diartikan, bahwa dalam riba terdapat unsur pemerasan terhadap orang yang lemah demi kepentingan orang kuat (exploitasion de l'home par l'hom) dengan suatu kesimpulan: yang kaya bertambah kaya, sedang yang miskin tetap miskin. Hal mana akan mengarah kepada membesarkan satu kelas masyarakat atas pembiayaan kelas lain, yang memungkinkan akan menimbulkan golongan sakit hati dan pendengki; dan akan berakibat berkobarnya api pertentangan diantara anggota masyarakat serta membawa kepada pemberontakan oleh golongan ekstrimis dan kaum subversi.  from <http://de-kill.blogspot.com/2008/11/riba-dalam-islam.html>  Apakah setiap riba dalam bentuk apapun pasti diharamkan secara mutlak atas kedua belah pihak (pemberi piutang/rentenir dan yang berhutang)? Ataukah hanya diharamkan atas rentenir saja, sedangkan yang berhutang terbebas? Dan bila yang berhutang tidak berdosa, apakah halini hanya bila sedang membutuhkan kepada piutang saja, terjepit dan kemiskinan, ataukah kebutuhan tidak menjadi persyaratan bagi bolehnya berhutang dengan membayar riba? Bila dibolehkan bagi orang yang membutuhkan/terjepit,

apakah bagi orang yang kebutuhannya tidak terlalu mendesak boleh untuk berhutang dari bank yang bertransaksi dengan bunga/riba 15 % setiap tahun –misalnya-. Dengan demikian, ia dapat berusaha dengan modal uang hutang tersebut, dan menghasilkan keuntungan yang lebih besar dari bunga/riba yang ditetapkan, misalnya keuntungannya sebesar 50 % setiaptahun. Dengan cara ini, berarti ia berhasil memperoleh hasil dari piutang tersebut sebesar 35 % yang merupakan sisa keuntungan dikurangi bunga yang ditetapkan, sebagaimana pada kasus yang dicontohkan, ataukah riba tetaptidak boleh dengan cara apapun?Jawaban:Pertama: Riba diharamkan dalam keadaan apapun dan dalam bentuk apapun. Diharamkan atas pemberi piutang dan juga atas orang yang berhutang darinya dengan memberikan bunga, baik yang berhutang itu adalah orang miskin atau orang kaya. Masing-masing dari keduanya menanggung dosa, bahkan keduanya dilaknati (dikutuk). Dan setiap orang yang ikut membantu keduanya, dari penulisnya, saksinya juga dilaknati. Berdasarkan keumuman ayat-ayat dan hadits-haditsshahih yang-nyata mengharamkan riba. Allah Ta’ala berfirman,

لون� ك� أ � ن� ي ي�� ذ� ه ال ط ب� خ� �ت � ي� ي ذ� وم ال �ق � ما ي لا ك ون� ا( وم �ق � أ لا ي ي,� ما ال ر � ن وا ا( ال � هم ق � ن أ � ك5 ي ل مس ذ� ن� ال ان� م ط ب� أ ال ش< ي,� ل ال ر ث< ع م ي� Fب الأ ي,� م ال ر ر ع وح ي� Fب ل اهلل ال ح لف� وا أ س له م � هى ق �ت U اي � ه ق � ب ن� ر ه� م Yط ع و اءه م � اب� ف �من� ح ح ص ك5 ا ـث ل و ا � اذ ق ن� ع لى اهلل وم ره ا( م وا

ار ى� ال ث� ب�� ر ي,� أ و ي,� ر ق� اهلل ال ح م � ذون� . ن ال � ها ح ت� � م ف م ه ي� ي,< ار ا ف� ل ك ب� ك خ � واهلل لا ي �اب � ذق ق�ره� ال ص 276-275: ال ي�“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba. Orang-orang yangtelah sampai kepadanya larangan dari Rabb-nya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang mengulangi (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya. Allah memusnahkan riba dan melipat-

gandakan sedekah. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang senantiasa berbuat kekafiran / ingkar, dan selalu berbuat dosa.” (Qs. al-Baqarah: 275-276).Sahabat Ubadah bin Shamit radhiallahu ‘anhu meriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

�ه ض� أل ف� � ه� ي ض� ه ب� وال ف� أل ذ� � ه ب� ي ل، س واء ال ذ� مث< � لا ن أل ملح م ث< � مر وال ملح ي �أل ت � مر ي �ر وال ت عي� أل ش< � ر ي عي� ر وال ش< ألي� � ر ي ذا والي� � ب �شواء، يى. رواه م سلم ب�� ر ذ ا �ف � اذ ف و اسي�ر� اذ ا ذ، ف �من� ر� ث� F ي

“Emas dijual dengan emas, perak dijual dengan perak, gandum dijual dengan gandum, sya’ir (salah satu jenis gandum) dijual dengan sya’ir, kurma dijual dengan kurma, dan garam dijual dengan garam, (takaran / timbangannya) harus sama dan kontan. Barangsiapa yang menambah atau meminta tambahan, maka ia telah berbuat riba.” (HR. Muslim dalam kitabnya as-Shahih).Sahabat Abu Sa’id al-Khudri radhiallahu ‘anhu menuturkan bahwasannya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لا ه ب� ا( أل ذ� � ه ب� ي عوا ال ذ� ي� Fب � لا لا ت لا م ث< أل ورق� ا( � عوا ال ورق� ي ي� Fب � ، ولا ت عض� � ها ع لى ي عض� � وا ي ق� ش< � ل، ولا ب مث< � لا ن ل، ولا م ث< مث< � نر� � اح ث� � ا ي ث� ي, ا � ها ع عوا م ت� ي� Fب � ، ولا ت عض� � ها ع لى ي عض� � وا ي ق� ش< � اري� وم سلم رواه. ب ح� ال ب�

“Janganlah engkau jual emas ditukar dengan emas melainkan sama dengan sama, dan janganlah engkau lebihkan sebagiannya di atas sebagian lainnya. Janganlah engkau jual perak ditukar dengan perak melainkan sama dengan sama, dan janganlah engkau lebihkan sebagiannya di atas sebagian lainnya. Dan janganlah engkau jual sebagiannya yang diserahkan dengan kontan ditukar dengan lainnya yang tidak diserahkan dengan kontan.” (HR. al-Bukhary dan Muslim).Imam Ahmad dan al-Bukhary meriwayatkan, bahwasannya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

�ه ض� أل ف� � ه� ي ض� ه ب� وال ف� أل ذ� � ه ب� ي ل، س واء ال ذ� مث< � لا ن أل ملح م ث< � مر وال ملح ي �أل ت � مر ي �ر وال ت عي� أل ش< � ر ي عي� ر وال ش< ألي� � ر ي ذا والي� � ب �شواء، يه س واء. رواه ي� � ذ� وال معطى� ف � ح ى، الا¢ ب�� ر ذ ا �ف � اذ ف و اسي�ر� اذ ا ذ، ف �من� ر� ث� F م سلم ي

“Emas dijual dengan emas, perak dijual dengan perak, gandum dijual dengan gandum, sya’ir (salah satu jenis gandum) dijual dengan sya’ir, kurma dijual dengan kurma, dan garam dijual dengan garam, harus sama dan sama dan

kontan. Barangsiapa yang menambah atau meminta tambahan, maka ia telah berbuat riba, pemungut dan yang memberikannya dalam hal ini sama.” (HR. Muslim).Dan telah tetap dari sahabat Jabir bin Abdillah radhiallahu ‘anhu bahwasannya ia menuturkan,

ال: )ه م س واء(. رواه م سلم � ه، وق � اه ذب > ه وس ي� �ي, أ وم وك له وك ا ك,ل ال ري,� ه وس لم ا¢ ل عن� رس ول ال له ص لى ال له ع لي�“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melaknati pemakan riba (rentenir), orang yang memberikan / membayar riba (nasabah), penulisnya (sekretarisnya), dan juga dua orang saksinya. Dan beliau juga bersabda, ‘Mereka itu sama dalam hal dosanya’.” (HR. Muslim).Dan uang kertas yang berlaku pada zaman sekarang ini kedudukannya sama dengan emas dan perak yang berfungsi sebagai alat jual beli, oleh karena itu hukumnya adalah sama dengan hukum emas dan perak. Dengan sebab itulah, hendaknya setiap orang muslim untuk mencukupkan diri denganhal-hal yang dihalalkan dan menjauhkan dirinya dari segala yang diharamkan Allah ‘Azza wa Jalla. Dan Allah sungguh telah memberikan kelapangan kepada umat Islam dalam hal pekerjaan di dunia ini guna mengais rezeki. Sehingga, bisa saja orang yang fakir bekerja sebagai tenaga kerja (kuli) atau pelaku usaha dengan menggunakan modal orang lain dengan sistem mudharabah dengan perjanjian bagi hasil, misalnya fifty-fifty atau yang semisalnya dari keuntungan, dan bukan dari modal, tidak juga dengan jumlah / nominal uang tertentu dari keuntungan. Dan barang siapa yang tidak mampu berusaha padahal ia fakir, maka halal baginya untuk meminta-minta, menerima zakat, dan juga jaminan sosial.Kedua: Tidak boleh bagi seorang muslim, baik kaya atau fakir untuk berhutang kepada bank atau lainnya dengan bunga5 % atau 15 % atau lebih atau kurang dari itu. Karena itu adalah riba, dan termasuk dosa besar. Dan Allah telah mencukupkan baginya dengan jalan-jalan mengais rezeki yang dihalalkan sebagaimana disebutkan di atas, baik menjadi tenaga kerja di tempat orang yang memiliki pekerjaan atau mendaftarkan diri menjadi pegawai negeri pada jabatan yang halal, atau berdagang dengan modal orang lain dengan sistem

mudharabah dengan bagi hasil dalam persentase tertentu, sebagaimana dijelaskan di atas.Wabillahit taufiq, dan semoga shalawat dan salam senantiasadilimpahkan kepada Nabi Muhammad, keluarga dan sahabatnya.”Sumber: Majmu’ Fatawa al-Lajnah ad-Da’imah 13/268-271, fatwa no. 3630Penulis: Ustadz Dr. Muhammad Arifin Badri, MA.Artikel: www.PengusahaMuslim.comDipublikasikan oleh: KonsultasiSyariah.com Baca selengkapnya: http://www.konsultasisyariah.com/riba-haram/#ixzz2BUrjUvcK  from <http://www.konsultasisyariah.com/riba-haram/>  

 Riba Kategori: Majalah AsySyariah Edisi 028 (ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Abdillah Muhammad Afifuddin)Pada beberapa edisi sebelumnya telah dibahas syarat-syarat jual beli yang sesuai dengan tuntunan Nabi n. Dari situ diketahui beberapa sistem jual beli yang dilarang dalam Islam.Pada edisi kali ini akan dibahas secara khusus seputar masalah riba, karena tema ini tergolong paling sulit dalam bab jual beli. Juga karena terlalu banyak praktik riba di kalangan kaum muslimin, khususnya di Indonesia ini.Definisi RibaSecara bahasa, riba berarti bertam-bah, tumbuh, tinggi, dan naik. Adapun menurut istilah syariat, para fuqaha sangat beragam dalam mendefinisikannya. Sementara definisi yang tepat haruslah bersifat jami’ mani’ (mengumpulkan dan mengeluarkan), yaitu mengumpulkan hal-hal yang termasuk di dalamnya dan mengeluarkan hal-hal yang tidak termasuk darinya.Definisi paling ringkas dan bagus adalah yang diberikan oleh Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin t dalam Syarah

Bulughul Maram, bahwa makna riba adalah: “Penambahan pada duaperkara yang diharamkan dalam syariat adanya tafadhul (penambahan) antara keduanya dengan ganti (bayaran), dan adanya ta`khir (tempo) dalam menerima sesuatu yang disyaratkan qabdh (serah terima di tempat).” (Syarhul Buyu’, hal. 124)Definisi di atas mencakup riba fadhl dan riba nasi`ah. Permasalahan ini insya Allah akan dijelaskan nanti.Faedah penting: Setiap jual beli yang diharamkan termasuk dalam kategori riba. Dengan cara seperti ini, dapat diuraikanmakna hadits Abdullah bin Mas’ud z:“Riba itu ada 73 pintu.” (HR. Ibnu Majah, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi dalam Shahihul Musnad, 2/42)Bila setiap sistem jual beli yang terlarang masuk dalam kategori riba, maka akan dengan mudah menghitung hingga bilangan tersebut. Namun bila riba itu hanya ditafsirkan sebagai sistem jual beli yang dinashkan sebagai riba atau karena ada unsur penambahan padanya, maka akan sulit mencapaibilangan di atas. Wallahu a’lam.Madzhab ini dihikayatkan dari sekelompok ulama oleh Al-Imam Muham-mad bin Nashr Al-Marwazi t dalam kitab As-Sunnah (hal. 164). Lalu beliau berkata (hal. 173): “Menurut madzhab ini, firman Allah I:“Dan Allah menghalalkan jual beli.” (Al-Baqarah: 275)memiliki makna umum yang mencakup semua sistem jual beli yangtidak disebut riba. Dan setiap sistem jual beli yang diharamkan Nabi n masuk dalam firman Allah I:“Dan Allah mengharamkan riba.” (Al-Baqarah: 275)Juga dihikayatkan oleh As-Subuki dalam Takmilah Al-Majmu’, bahwa madzhab ini disandarkan kepada ‘Aisyah x dan ‘Umar bin Al-Khaththab z.Hal ini juga diuraikan oleh Ibnu Hajar, Al-Imam Ash-Shan’ani,Al-Imam Asy-Syaukani, dan sejumlah ulama lainnya. Madzhab inishahih dengan dalil-dalil sebagai berikut:1.    Atsar Ibnu Mas’ud z. Beliau berkata:

“Tidak boleh ada dua akad dalam satu akad jual beli. Sesungguhnya Rasulullah n melaknat pemakan riba, yang memberimakan orang lain dengan riba, dua saksinya, dan pencatatnya.”(HR. Ibnu Hibban no. 1053, Al-Bazzar dalam Musnad-nya no. 2016 dan Al-Marwazi dalam As-Sunnah (159-161) dengan sanad hasan)Al-Marwazi dalam Sunnah-nya (hal. 166) menyatakan: “Pada ucapan Abdullah bin Mas’ud z ini ada dalil yang menunjukkan bahwa setiap jual beli yang dilarang adalah riba.”2.    Hadits Ibnu Abbas z, bahwa Rasulullah n bersabda:“Salaf (sistem salam) pada hablul habalah adalah riba.” (HR. An-Nasa`i dengan sanad shahih, semua perawinya tsiqah (terpercaya))Al-Imam As-Sindi dalam Hasyiyatun Nasa‘i (7/313, cetakan Darul Fikr) menjelaskan: “Sistem salaf (salam) dalam hablul habalah adalah sang pembeli menyerahkan uang (harga barang) kepada seseorang yang mempunyai unta bunting. Sang pembeli berkata: ‘Bila unta ini melahirkan kemudian yang ada di dalamperutnya (janin) telah melahirkan (pula), maka aku beli anaknya darimu dengan harga ini.’ Muamalah seperti ini diserupakan dengan riba sebab hukumnya haram seperti riba, dipandang dari sisi bahwa ini adalah menjual sesuatu yang tidak dimiliki oleh si penjual dan dia tidak mampu untuk menyerahkan barang tersebut. Sehingga ada unsur gharar (penipuan) padanya.”Hukum RibaRiba dengan segala bentuknya adalah haram dan termasuk dosa besar, dengan dasar Al-Qur`an, As-Sunnah, dan ijma’ ulama.Dalil dari Al-Qur`an di antaranya adalah:“Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (Al-Baqarah: 275)Juga dalam firman-Nya:“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan

(meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu.” (Al-Baqarah: 278-279)Dalil dari As-Sunnah di antaranya:a. Hadits Abu Hurairah z:“Jauhilah tujuh perkara yang menghan-curkan –di antaranya– memakan riba.” (Muttafaqun ‘alaih)b. Hadits Abu Juhaifah z riwayat Al-Bukhari:“Semoga Allah melaknat pemakan riba.”(HR. Al-Bukhari)Dalam hadits Jabir z yang diriwayatkan Al-Imam Muslim, yang dilaknat adalah pemakan riba, pemberi makan orang lain denganriba, penulis dan dua saksinya, lalu Nabi n menyatakan:“Mereka itu sama.”Para ulama sepakat bahwa riba adalah haram dan termasuk dosa besar. Keadaan-nya seperti yang digambarkan oleh Ibnu Taimiyah t sebagai berikut: “Tidak ada suatu ancaman hukuman atas dosa besar selain syirik yang disebut dalam Al-Qur`an yang lebih dahsyat daripada riba.”Kesepakatan ini dinukil oleh Al-Mawardi t dan An-Nawawi t dalam Al-Majmu’ (9/294, cetakan Dar Ihya’ At-Turats Al-‘Arabi).Faedah: Para ulama sepakat bahwa riba adalah haram di negara Islam secara mutlak, antara muslim dengan muslim, muslim dengan kafir dzimmi, muslim dengan kafir harbi.Mereka berbeda pendapat tentang riba yang terjadi di negeri kafir antara muslim dengan kafir. Pendapat yang rajih tanpa ada keraguan lagi adalah pendapat jumhur yang menyatakan keharamannya secara mutlak dengan keumuman dalil yang tersebut di atas. Yang menyelisihi adalah Abu Hanifah dan dalil yang dipakai adalah lemah. Wallahu a’lam.Para ulama juga berbeda pendapat tentang riba yang terjadi antara orang kafir dengan orang kafir lainnya. Pendapat yang rajih adalah bahwa hal tersebut juga diharamkan atas mereka, sebab orang-orang kafir juga dipanggil untuk melaksanakan hukum-hukum syariat Islam, sebagaimana yang dirajihkan oleh jumhur ulama. Wallahul muwaffiq.Barang-barang yang Terkena

Hukum RibaDari Abu Sa’id Al-Khudri z, bahwa Rasulullah n bersabda:“Emas dengan emas, perak dengan perak, burr dengan burr, sya’ir dengan sya’ir, kurma dengan kurma dan garam dengan garam harus sama (timbangannya), serah terima di tempat (tangan dengan tangan). Barangsiapa menambah atau minta tambah maka dia terjatuh dalam riba, yang meng-ambil dan yangmemberi dalam hal ini adalah sama.” (HR. Muslim)Demikian pula hadits ‘Umar z yang muttafaq ‘alaih dan hadits ‘Ubadah bin Ash-Shamit dalam riwayat Muslim hanya menyebutkan6 jenis barang yang terkena hukum riba, yaitu:1. Emas2. Perak3. Burr (suatu jenis gandum)4. Sya’ir (suatu jenis gandum)5. Kurma6. GaramPara ulama berbeda pendapat, apakah barang yang terkena riba hanya terbatas pada enam jenis di atas, ataukah barang-baranglain bisa diqiyaskan dengannya?Untuk mengetahui lebih detail masalah ini, perlu diklasifikasikan pemba-hasan para ulama menjadi dua bagian:Pertama: kurma, garam, burr, dan sya’ir.Para ulama berbeda pendapat sebagai berikut:1.    Pendapat Zhahiriyyah, Qatadah, Thawus, ‘Utsman Al-Buthi, dan dihikayat-kan dari Masruq dan Asy-Syafi’i, juga dihikayatkan oleh An-Nawawi dari Syi’ah dan Al-Kasani. Ini adalah pendapat Ibnu ‘Aqil Al-Hambali, dikuatkan oleh Ash-Shan’ani dan beliau sandarkan kepada sejumlah ulama peneliti.Dan ini adalah dzahir pembahasan Asy-Syaukani dalam Wablul Ghamam dan As-Sail, serta pendapat ini yang dipilih oleh Asy-Syaikh Muqbil t, Syaikhuna Yahya Al-Hajuri, Syaikhuna Abdurrahman Al-’Adani, dan para masyayikh Yaman lainnya; bahwa riba hanya terjadi pada enam jenis barang ini dan tidakdapat diqiyaskan dengan yang lainnya.

2.    Pendapat jumhur ulama, bahwa barang-barang lain dapat diqiyaskan dengan enam barang di atas, bila ‘illat (sebab hukumnya) sama.Kemudian mereka berbeda pendapat mengenai batasan ‘illat-nya sebagai berikut:a.    An-Nakha’i, Az-Zuhri, Ats-Tsauri, Ishaq bin Rahawaih, Al-Hanafiyyah dan pendapat yang masyhur di madzhab Hanabilah bahwa riba itu berlaku pada barang yang ditakar dan atau ditimbang, baik itu sesuatu yang dimakan seperti biji-bijian,gula, lemak, ataupun tidak dimakan seperti besi, kuningan, tembaga, platina, dsb. Adapun segala sesuatu yang tidak ditimbang atau ditakar maka tidak berlaku hukum riba padanya,seperti buah-buahan karena ia diperjualbelikan dengan sistem bijian.Sehingga menurut mereka, tidak boleh jual beli besi dengan besi secara tafadhul (beda timbangan), sebab besi termasuk barang yang ditimbang. Menurut mereka, boleh jual beli 1 penadengan 2 pena, sebab pena tidak termasuk barang yang ditimbang atau ditakar. Mereka berdalil dengan lafadz yang tersebut dalam sebagian riwayat:“Kecuali timbangan dengan tim-bangan… kecuali takaran dengan takaran.”b. Pendapat terbaru Asy-Syafi’i, juga disandarkan oleh An-Nawawi kepada Ahmad bin Hambal, Ibnul Mundzir, dan yang lainnya, bahwa riba itu berlaku pada semua yang dimakan dan yang diminum, baik itu yang ditimbang/ditakar maupun tidak. Menurut mereka, tidak boleh menjual 1 jeruk dengan 2 jeruk, 1kg daging dengan 1,5 kg daging. Semua itu termasuk barang yang dimakan. Juga tidak boleh menjual satu gelas jus jeruk dengan dua gelas jus jeruk, sebab itu termasuk barang yang diminum.c. Pendapat Malik bin Anas t dan dirajihkan oleh Ibnul Qayyimt, bahwa riba berlaku pada makanan pokok yang dapat disimpan.d. Pendapat Az-Zuhri dan sejumlah ulama, bahwa riba berlaku pada barang-barang yang warna dan rasanya sama dengan kurma, garam, burr, dan sya’ir.

e. Pendapat Rabi’ah, bahwa riba berlaku pada barang-barang yang dizakati.f. Pendapat Sa’id bin Al-Musayyib, Asy-Syafi’i dalam pendapatlamanya, satu riwayat dari Ahmad, dan yang dipilih oleh Ibnu Qudamah, Ibnu Taimiyyah, Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin, Al-Lajnah Ad-Da`imah yang diketuai Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz bin Abdullah bin Baz, wakilnya Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz Alu Syaikh, anggota: Asy-Syaikh Shalih Fauzan, Asy-Syaikh Bakr Abu Zaid, mereka berpendapat bahwa riba berlaku pada setiap barang yang dimakan dan diminum yang ditakar atauditimbang.Sehingga segala sesuatu yang tidak ditakar atau ditimbang, tidak berlaku hukum riba padanya. Begitu pula segala sesuatu yang dimakan dan diminum namun tidak ditimbang atau ditakar, maka tidak berlaku hukum riba padanya.Yang rajih –wallahu a’lam– adalah pendapat Azh-Zhahiriyyah dan yang sepaham dengan mereka yaitu bahwa tidak ada qiyas dalam hal ini, dengan argu-mentasi sebagai berikut:1.    Hadits-hadits yang tersebut dalam masalah ini, yang menyebutkan hanya enam jenis barang saja.2.    Kembali kepada hukum asal. Hukum asal jual beli adalah halal kecuali ada dalil yang mengharamkannya. Allah I berfirman:“Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (Al-Baqarah: 275)Sementara yang dikecualikan dalam hadits hanya enam barang saja.3.    ‘Illat yang disebutkan oleh jumhur tidak disebutkan secara nash dalam sebuah dalil. ‘Illat-’illat tersebut hanyalah hasil istinbath melalui cara ijtihad. Oleh sebab itulah, mereka sendiri berbeda pendapat dalam menentukan batasan-batasannya.“Kalau kiranya bukan dari sisi Allah tentulah mereka mendapati pertentangan yang banyak di dalamnya.” (An-Nisa`: 82)

Untuk itulah kita tetap berpegang dan merujuk kepada dzahir hadits. Wallahul muwaffiq.Adapun mereka yang beralasan dengan lafadz  (takaran dengan takaran) dan (timbangan dengan timbangan) yang tersebut dalamsebagian riwayat, maka jawabannya adalah bahwa hadits tersebut dibawa pada pengertian yang ditimbang adalah emas dan perak, bukan barang yang lain, dalam rangka mengompromikan dalil-dalil yang ada.Atau dengan bahasa lain, yang dimaksud dengan lafadz-lafadz di atas adalah kesamaan pada sisi timbangan pada barang-barang yang terkena hukum riba yang tersebut dalam hadits-hadits lain. Wallahu a’lam.Adapun pengertian sha’ atau takaran atau hitungan (bijian) pada sebagian riwayat, maka dijawab oleh Ash-Shan’ani dan Asy-Syaukani, yang kesimpulannya adalah bahwa penyebutan hal-hal di atas hanyalah untuk menunjukkan kesamaan dari sisi takaran atau timbangan pada barang-barang yang terkena hukum riba yang disebut dalam hadits-hadits lain. Wallahu a’lam.Adapun masalah muzabanah1 yang dijadikan dalil oleh jumhur, maka jawabannya adalah sebagai berikut:1.    Asy-Syaikh Muqbil t ditanya tentang masalah ini, beliaumenjawab: “Tidak masalah kalau anggur termasuk barang yang terkena riba.”2.    Jawaban Ibnu Rusyd t: “Muza-banah masuk dalam bab riba dari satu sisi dan masuk dalam bab gharar dari sisi yang lain. Pada barang-barang yang terkena riba maka masuk pada bab riba dan gharar sekaligus. Namun pada barang-barang yang tidak terkena riba maka dia masuk pada sisi gharar saja. Wallahul musta’an.”Kedua: Emas dan perakPara ulama berbeda pendapat tentang ‘illat (sebab) emas dan perak dimasukkan sebagai barang riba.1.    Pendapat Azh-Zhahiriyyah dan yang sepaham dengan mereka, berpendapat bahwa perkaranya adalah ta’abuddi tauqifi, yakni demikianlah yang disebut dalam hadits, ‘illat-nya adalah bahwa dia itu emas dan perak.

Atas dasar ini, maka riba berlaku pada emas dan perak secara mutlak, baik itu dijadikan sebagai alat bayar (tsaman) untuk barang lain maupun tidak. Pendapat ini dipegangi oleh Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin t dalam sebagian karyanya.2. Pendapat Al-Hanafiyah dan yang masyhur dari madzhab Hanabilah, bahwa ‘illat-nya adalah karena emas dan perak termasuk barang yang ditimbang. Sehingga setiap barang yang ditimbang seperti kuningan, platina, dan yang semisalnya termasuk barang yang terkena riba, yaitu diqiyaskan dengan emas dan perak.Namun pendapat ini terbantah dengan kenyataan adanya ijma’ ulama yang membolehkan adanya sistem salam2 pada barang-barang yang ditimbang. Seandainya setiap barang yang ditimbang terkena riba, niscaya tidak diperbolehkan sistem salam padanya.3. Pendapat Malik, Asy-Syafi’i, dan satu riwayat dari Ahmad, bahwa ‘illat-nya adalah tsamaniyyah (sebagai alat bayar) untuk barang-barang lainnya. Namun menurut mereka, ‘illat inikhusus pada emas dan perak saja, tidak masuk pada barang yanglainnya.Yang rajih, wallahu a’lam, adalah pendapat pertama dan tidak bertentangan dengan pendapat ketiga. Sebab, yang ketiga termasuk pada pendapat pertama, wallahu a’lam. Dalilnya adalah hadits Fudhalah bin Ubaid z tentang jual beli kalung emas. Wallahu a’lam.Mata Uang KertasPara ulama berbeda pendapat dalam masalah ini: apakah mata uang kertas sekarang yang dijadikan alat bayar resmi terkena riba fadhl dan riba nasi`ah? Pendapat yang rajih insya Allah adalah bahwa mata uang kertas adalah sesuatu yang berdiri sendiri sebagai naqd seperti emas dan perak. Sehingga mata uang kertas itu berjenis-jenis, sesuai dengan perbedaan jenispihak yang mengeluarkannya.Ini adalah pendapat Malik, Asy-Syafi’i, satu riwayat dari Ahmad, dan yang dipilih oleh Ibnu Taimiyyah, Ibnul Qayyim,

mayoritas Ha`iah Kibarul Ulama. Dan ini yang kebanyakan dipilih oleh seminar-seminar fiqih internasional semacam Rabithah ‘Alam Islami, dikuatkan oleh Asy-Syaikh Muhammad binShalih Al-’Utsaimin, Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi. Dan inilah fatwa ulama kontemporer.Mereka mengatakan bahwa mata uang kertas disamakan dengan emas dan perak karena hampir mirip (serupa) dengan ‘illat tsamaniyyah (sebagai alat bayar) yang ada pada emas dan perak.Mata uang kertas sekarang berfungsi sebagai alat bayar untuk barang-barang lain, sebagai harta benda, transaksi jual beli,pembayaran hutang piutang dan perkara-perkara yang dengan dasar itu riba diharamkan pada emas dan perak.Atas dasar pendapat di atas, maka ada beberapa hukum syar’i yang perlu diperhatikan berkaitan dengan masalah ini. Disebutkan dalam Fatawa Al-Lajnah Ad-Da`imah (13/442-444) diketuai Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz bin Abdullah bin Baz, anggotaAsy-Syaikh Abdur-razaq ‘Afifi, Asy-Syaikh Abdullah Al-Ghudayyan, Asy-Syaikh Abdullah bin Qu’ud, sebagai berikut:1.    Terjadi dua jenis riba (fadhl dan nasi`ah) pada mata uang kertas sebagai-mana yang terjadi pada emas dan perak.2.    Tidak boleh menjual satu jenis mata uang dengan jenis yang sama atau dengan jenis mata uang yang lain secara nasi`ah (tempo) secara mutlak. Misal, tidak boleh menjual 1 dolar dengan 5 real Saudi secara nasi`ah (tempo).3.    Tidak boleh menjual satu jenis mata uang dengan jenis yang sama secara fadhl (selisih nominal), baik secara tempo maupun serah terima di tempat. Misalnya, tidak boleh menjual Rp. 1000 dengan Rp. 1.100.4.    Dibolehkan menjual satu jenis mata uang dengan jenis mata uang yang berbeda secara mutlak, dengan syarat serah terima di tempat. Misal, menjual 1 dolar dengan Rp. 10.000.5.    Wajib mengeluarkan zakatnya bila mencapai nishab dan satu haul. Nishabnya adalah nishab perak.6.    Boleh dijadikan modal dalam syirkah atau sistem salam.Wallahu a’lam bish-shawab.

Catatan Kaki:1 Muzabanah yaitu membeli burr yang masih di pohonnya dengan burr yang sudah dipanen, atau membeli anggur yang masih di pohonnya dengan zabib (anggur kering/ kismis). (ed)2 Sistem salam: seseorang menyerahkan uang pembayaran di mukadalam majelis akad untuk membeli suatu barang yang diketahui sifatnya, tidak ada unsur gharar padanya, dengan jumlah yang diketahui, takaran/timbangan yang diketahui, dan waktu penyerahan yang diketahui.  from <http://asysyariah.com/riba.html>  

Riba Karena PenundaanKategori: Fiqh dan Muamalah10 Komentar // 3 Februari 2012Selanjutnya pada posting kali ini kita melanjutkan pembahasansebelumnya yaitu mengenai macam-macam riba. Sekarang yang kita bahas adalah dua macam riba yaitu riba an nasi’ah dan riba dalam utang-piutang. [Kedua] Riba An Nasi’ah (riba karena adanya penundaan)Riba nasi’ah adalah riba yang terjadi karena adanya pembayaran yang tertunda pada akad tukar menukar dua barang yang tergolong komoditi ribawi (emas, perak, kurma, gandum dan garam), baik satu jenis atau berlainan jenis dengan menunda penyerahan salah satu barang yang dipertukarkan atau kedua-duanya.Dari enam komoditi ribawi dapat kita kelompokkan menjadi dua.Kelompok pertama adalah emas dan perak. Sedangkan kelompok kedua adalah empat komoditi lainnya (kurma, gandum, sya’ir dan garam).Jika sesama jenis komoditi di atas dibarter -misalnya adalah emas dan emas- maka di sini harus terpenuhi dua syarat, yaitukontan dan timbangannya harus sama. Jika syarat ini tidak

terpenuhi dan kelebihan timbangan atau takaran ketika barter,maka ini masuk riba fadhl.Jika komoditi di atas berbeda jenis dibarter, namun masih dalam satu kelompok -misalnya adalah emas dan perak atau kurma dan gandum- maka di sini hanya harus terpenuhi satu syarat, yaitu kontan, sedangkan timbangan atau takaran boleh berbeda. Jadi, jika beda jenis itu dibarter, maka boleh ada kelebihan timbangan atau takaran –misalnya boleh menukar emas2 gram dengan perak 5 gram-. Maka pada point kedua ini berlaku riba nasi’ah jika ada penundaan ketika barter dan tidak terjadi riba fadhl.Jika komoditi tadi berbeda jenis dan juga kelompok dibarter –misalnya emas dan kurma-, maka di sini tidak ada syarat, boleh tidak kontan dan boleh berbeda timbangan atau takaran.Contoh riba nasi’ah sudah kami berikan sebagian di atas. Contoh lainnya adalah barter emas. Misalnya emas 24 karat ingin dibarter dengan emas 21 karat dengan timbangan yang sama. Akan tetapi emas 24 karat baru diserahkan satu minggu lagi setelah transaksi dilaksanakan. Ini yang dimaksud riba nasi’ah karena sebab adanya penundaan.Misalnya lagi adalah dalam masalah tukar menukar uang –karenauang dapat dianalogikan dengan emas dan perak-. Sufyan ingin menukarkan uang kertas Rp.100.000,- dengan pecahan Rp.1000,- kepada Ahmad. Akan tetapi karena Ahmad pada saat itu hanya memiliki 60 lembar Rp.1000,- , maka 40 lembarnya lagi dia serahkan satu jam kemudian setelah terjadinya akad. Penundaanini termasuk dalam riba nasi’ah.Riba nasi’ah juga disebut riba jahiliyah. Riba ini adalah riba yang paling berbahaya dan paling diharamkan.[Ketiga] Riba Al Qardh (riba dalam hutang piutang)Riba dalam hutang piutang di sini sebenarnya dapat digolongkan dalam riba nasi’ah. Yang dimaksud dengan riba al qardh dapat dicontohkan dengan meminjamkan uang seratus ribu lalu disyaratkan mengambil keuntungan ketika pengembalian. Keuntungan ini bisa berupa materi atau pun jasa. Ini semua adalah riba dan pada hakekatnya bukan termasuk mengutangi.

Karena yang namanya mengutangi adalah dalam rangka tolong menolong dan berbuat baik. Jadi –sebagaimana dikatakan oleh Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di-, jika bentuk utang piutang yang di dalamnya terdapat keuntungan, itu sama saja dengan menukar dirham dengan dirham atau rupiah dengan rupiahkemudian keuntungannya ditunda. (Lihat Fiqh wa Fatawa Al Buyu’, 10)Para ulama telah memberikan sebuah kaedah yang mesti kita perhatikan berkenaan dengan hutang piutang. Kaedah yang dimaksud adalah:

أ ي,� هو ر � عه� ف ق� ي� ر م � ح ض� �ر ل ق ك“Setiap piutang yang mendatangkan kemanfaatan (keuntungan), maka itu adalah riba.” (Lihat Al Majmu’ Al Fatawa, 29/533; Fathul Wahaab, 1/327; Fathul Mu’in, 3/65; Subulus Salam, 4/97)Ibnu Qudamah membawakan sebuah fasal:

لاف� � ر ح ي� ع� � رام ، ي هو ح � ذه ، ف ي�� Uر � ن� ي ه ا ي� � رط ف ش< ض� �ر ل ق . وك“Setiap piutang yang mensyaratkan adanya tambahan, maka itu adalah haram. Hal ini tidak ada perselisihan di antara para ulama.”Lalu Ibnu Qudamah kemudian membawakan perkataan Ibnul Mundzir. Beliau mengatakan,“Para ulama sepakat bahwa jika orang yang memberikan utang mensyaratkan kepada orang yang berutang agar memberikan tambahan, hadiah, lalu dia pun memenuhi persyaratan tadi, maka pengambilan tambahan tersebut adalah riba.”Lalu kenapa bentuk pengambilan keuntungan dalam utang piutangini terlarang? Ibnu Qudamah mengatakan, “Karena yang namanya utang piutang adalah bentuk tolong menolong dan berbuat baik. Jika dipersyaratkan adanya tambahan ketika pengembalian utang, maka itu sudah keluar dari tujuan utama mengutangi (yaitu untuk tolong menolong).” (Lihat Al Mughni, 9/104). Hal yang serupa juga dikatakan oleh Imam Asy Syairazi Asy Syafi’i. Beliau mengatakan, “Diriwayatkan dari Abu Ka’ab, Ibnu Mas’ud, dan Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhum, mereka

semua melarang piutang yang di dalamnya terdapat keuntungan. Alasannya, karena utang piutang adalah untuk tolong menolong (berbuat baik). Jika dipersyaratkan adanya keuntungan, maka akad utang piutang berarti telah keluar dari tujuannya (yaituuntuk tolong menolong).” (Al Muhadzdzab, 2/ 81)Begitu pula kenapa mengambil keuntungan dalam utang piutang itu terlarang? Hal ini dikarenakan ada sebuah hadits, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ع ي� F²ي لف� و ل س ح � لا ي“Tidak boleh ada piutang bersamaan dengan jual beli (mencari keuntungan).” (HR. Tirmidzi, Abu Daud dan An Nasaa’i. At Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini shahih. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan)Dalam lafazh lain dikatakan,

ع ي� F و ي لف� ن� س هى ع � ن“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang adanya piutang dan jual beli bersamaan dalam satu akad.” (HR. Tirmidzi dan An Nasaa’i. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan shahih)Kami Sudah Saling RidhoJika ada yang mengatakan, “Kami diberi tambahan dalam pengembalian hutang sebagai yang kami syaratkan karena sudah sama-sama ridho (alias suka sama suka). Lalu kenapa mesti dilarang?”Ada dua sanggahan mengenai hal ini:Pertama, ini sebenarnya masih tetap dikatakan suatu kezholiman karena di dalamnya terdapat pengambilan harta tanpa melalui jalur yang dibenarkan. Jika seseorang yang berhutang telah masuk masa jatuh tempo pelunasan dan belum mampu melunasi hutangnya, maka seharusnya orang yang menghutangi memberikan tenggang waktu lagi tanpa harus ada tambahan karena adanya penundaan. Jika orang yang menghutangimengambil tambahan tersebut, ini berarti dia mengambil sesuatu tanpa melalui jalur yang dibenarkan. Jika orang yang berhutang tetap ridho menyerahkan tambahan tersebut, maka ridho mereka pada sesuatu yang syari’at ini tidak ridhoi

tidak dibenarkan. Jadi, ridho dari orang yang berhutang tidaklah teranggap sama sekali.Kedua, pada hakikat senyatanya, hal ini bukanlah ridho, namunsemi pemaksaan. Orang yang menghutangi (creditor) sebenarnya takut jika  orang yang berhutang tidak ikut dalam mu’amalah riba semacam ini. Ini adalah ridho, namun senyatanya bukan ridho. (Lihat penjelasan Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di –rahimahullah- dalam Fiqh wa Fatawa Al Buyu’, 10) PenutupJika seseorang meninggalkan berbagai bentuk muamalah riba di atas dan menggantinya dengan jual beli yang diridhoi oleh Allah, pasti dia akan mendapat ganti yang lebih baik.Saudaraku, cukup nasehat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut sebagai wejangan bagi kita semua.

ه ي� ك5 م ر ل ي� و خ� أ ه ه م � ب ك5 اهلل ل ذ � لا ي ل ا( � ر� وح ع ا هلل ث ب� > ذع س � ك5 لن� ي ت�� ا(“Sesungguhnya jika engkau meninggalkan sesuatu karena Allah, niscaya Allah akan memberi ganti padamu dengan sesuatu yang lebih baik.” (HR. Ahmad. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih)Semoga tulisan ini bermanfaat bagi kaum muslimin sekalian. Semoga Allah selalu memberikan kita ketakwaan dan memberi kita taufik untuk menjauhkan diri dari yang haram.Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat. Wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shohbihi wa sallam.****Selesai disusun di shubuh hari, 19 Rajab 1430 HPenulis: Muhammad Abduh Tuasikal Dari artikel Riba Karena Penundaan — Muslim.Or.Id by null  from <http://muslim.or.id/fiqh-dan-muamalah/riba-karena-penundaan.html>  Riba dalam Emas, dll (Riba Fadhl)Kategori: Fiqh dan Muamalah

14 Komentar // 2 Februari 2012Pada pembahasan ini dan pembahasan selanjutnya kita akan melihat tentang macam-macam riba.Riba itu ada dua macam bahkan lebih lengkapnya lagi kita dapat bagi menjadi tiga macam.[Pertama] Riba Fadhl (riba karena adanya penambahan)Keterangan mengenai riba fadhl terdapat dalam hadits berikut.

ر ي� وال �ه ض� ف� أل � ه� ي ض� ف� ب� وال ه أل ذ� � ب� ي ه ح ال ذ� مل ر وال م �أل ت � ر ي م �ر وال ت عي� أل ش< � ر ي عي� ر وال ش< ي� أل � و ي اذ ا ذ ف �من� ر� ث� F ذا ي � ل ي مث< � لا ن ث< ح م مل أل � ياذ ي�ر� واء اس ه س ي� � ى ف ط مع ذ� وال � ح ى الا¢ ب�� ر ذ ا �ف � ف

“Jika emas dijual dengan emas, perak dijual dengan perak, gandum dijual dengangandum, sya’ir (salah satu jenis gandum) dijual dengan sya’ir, kurma dijual dengan kurma, dan garam dijual dengan garam, maka jumlah (takaran atau timbangan) harus sama dan dibayar kontan (tunai). Barangsiapa menambah atau meminta tambahan, maka ia telah berbuat riba. Orang yang mengambil tambahan tersebut dan orang yang memberinya sama-sama berada dalam dosa.” (HR. Muslim no. 1584)

ر ي� وال �ه ض� ف� أل � ه� ي ض� ف� ب� وال ه أل ذ� � ب� ي ه ح ال ذ� مل ر وال م �أل ت � ر ي م �ر وال ت عي� أل ش< � ر ي عي� ر وال ش< ي� أل � ذ ي ث� F ذا ي � شواء ي � واء ب ل س مث< � لا ن ث< ح م مل أل � يا ذ� ا( � ان� ق ا ك ذ� م ا( �ي ب > ف� س ي� عوا ك ي� Fب � اف� ق ث� ص ه الا ذ� ب� ه لف� �ت � ذ اخ ث� F ذا ي � ي

“Jika emas dijual dengan emas, perak dijual dengan perak, gandum dijual dengangandum, sya’ir (salah satu jenis gandum) dijual dengan sya’ir, kurma dijual dengan kurma, dan garam dijual dengan garam, maka jumlah (takaran atau timbangan) harus sama dan dibayar kontan (tunai). Jika jenis barang tadi berbeda, maka silakan engkau membarterkannya sesukamu, namun harus dilakukan secara kontan (tunai).” (HR. Muslim no. 1587)Para ulama telah menyepakati bahwa keenam komoditi (emas, perak, gandum, sya’ir, kurma dan garam) yang disebutkan dalamhadits di atas termasuk komoditi ribawi. Sehingga enam komoditi tersebut boleh diperjualbelikan dengan cara barter asalkan memenuhi syarat. Bila barter dilakukan antara komoditi yang sama -misalnya kurma dengan kurma, emas dengan emas, gandum dengan gandum-, maka akad tersebut harus memenuhi dua persyaratan.

Persyaratan pertama, transaksi harus dilakukan secara kontan (tunai). Sehingga penyerahan barang yang dibarterkan harus dilakukan pada saat terjadi akad transaksi dan tidak boleh ditunda seusai akad atau setelah kedua belah pihak yang mengadakan akad barter berpisah, walaupun hanya sejenak.Misalnya, kurma kualitas bagus sebanyak 2 kg ingin dibarter dengan kurma lama sebanyak 2 kg pula, maka syarat ini harus terpenuhi. Kurma lama harus ditukar dan tanpa boleh ada satu gram yang tertunda (misal satu jam atau satu hari) ketika akad barter. Pembahasan ini akan masuk riba jenis kedua yaituriba nasi’ah (riba karena adanya penundaan).Persyaratan kedua, barang yang menjadi objek barter harus sama jumlah dan takarannya, walau terjadi perbedaan mutu antara kedua barang.Misalnya, Ahmad ingin menukar emas 21 karat sebanyak 5 gram dengan emas 24 karat. Maka ketika terjadi akad barter, tidak boleh emas 24 karat dilebihkan misalnya jadi 7 gram. Jika dilebihkan, maka terjadilah riba fadhl.Jika dua syarat di atas tidak terpenuhi, maka jual beli di atas tidaklah sah dan jika barangnya dimakan, berarti telah memakan barang yang haram.Catatan:Apakah riba hanya berlaku pada enam komoditi ribawi (yaitu emas, perak, gandum, sya’ir, kurma dan garam) atau bisa juga berlaku pada komoditi yang lain?Menurut jumhur (mayoritas ulama), riba juga berlaku pada selain enam komoditi tadi. Komoditi lain berlaku hal yang sama jika memiliki kesamaan ‘illah (alasan). Namun para ulama berselisih mengenai apa ‘illah dari masing-masing komoditi. Yangjelas mereka sepakat bahwa emas dan perak memiliki kesamaan ‘illah. Sedangkan kurma, gandum, sya’ir dan garam juga memiliki kesamaan ‘illah tersendiri.Di antara pendapat yang ada mengatakan bahwa alasan berlakunya riba pada emas dan perak adalah karena keduanya ditimbang, sedangkan empat komoditi lainnya adalah karena ditakar. Jadi setiap barang yang ditimbang dan ditakar,

berlaku hukum riba fadhl. Inilah pendapat Hanafiyah dan Hambali. (Lihat Al Mughni, 7/495)Pendapat yang lain mengatakan bahwa alasan berlakunya riba pada emas dan perak adalah karena keduanya merupakan alat tukar jual beli, sedangkan empat komoditi lainnya adalah karena sebagai makanan pokok yang dapat disimpan. Jadi setiapbarang yang memiliki kesamaan seperti ini berlaku hukum riba fadhl semacam beras, jagung, dan sagu. Inilah pendapat Malikiyah. (Lihat Bidayatul Mujtahid, 7/182-183)Pendapat yang lain mengatakan bahwa alasan berlakunya riba pada emas dan perak adalah karena keduanya adalah alat tukar jual beli, sedangkan komoditi lain adalah sebagai bahan makanan. Jadi setiap barang yang termasuk bahan makanan pokokatau bukan, berlaku pula hukum riba. Inilah pendapat Syafi’iyah dan salah satu pendapat Imam Ahmad. (Lihat MughnilMuhtaj dan Al Mughni)Sedangkan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan juga salah satu pendapat dari Imam Ahmad berpendapat bahwa emas dan perak berlaku hukum riba karena keduanya adalah alat tukar jual beli, sedangkan empat komoditi lainnya adalah karena termasukbahan makanan yang ditakar atau ditimbang.Namun ada pendapat yang lebih bagus lagi sebagaimana yang dipilih oleh Syaikh Muhammad bin Sholeh Al Utsaimin dalam Syarhul Mumthi’. Alasan berlakunya riba pada emas dan perak yaitu karena keduanya adalah emas dan perak, baik sebagai alat untuk jual beli atau tidak. Sedangkan empat komoditi lain termasuk komoditi riba karena merupakan bahan makanan yang ditakar atau ditimbang. Jadi jika kalung emas ingin ditukar dengan kalung emas –misalnya-, berlaku juga hukum riba, walaupun kalung bukan alat untuk jual beli.Sebagaimana terdapat dalam hadits Fadholah bin ‘Ubaid Al Anshori, bahwa beliau pernah didatangi Rasulullah shallallahu‘alaihi wa sallam pada saat peperangan Khaibar. Fadholah ketika itu memiliki kalung yang terdapat permata dan emas. Kalung ini berasal dari ghonimah yang akan dijual. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk

memisahkan emas yang ada di kalung tersebut. Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ن� ور� � أ ب � ي ب� ور� ه أل ذ� � ب� ي ه ال ذ�“Jika emas ingin ditukar dengan emas, maka harus sama timbangannya.” (HR.Muslim no. 1591)Lalu bagaimanakah dengan uang kertas (mata uang)? Apakah juga berlaku hukum riba?Jawabannya: Iya, keduanya dihukumi sama dengan emas dan perak. Sehingga ada beberapa ketentuan yang berlaku tatkala ingin menukar mata uang sebagaimana berlaku pada emas dan perak. Ketentuan tersebut adalah:1. Tidak dibolehkan sama sekali untuk menukarkan uang kertas yang sama –seperti menukar rupiah dan rupiah- atau menukarkanuang kertas dengan yang beda jenis –seperti menukar dolar danrupiah- dengan cara pembayaran diutang (kredit).2. Tidak dibolehkkan untuk menukarkan uang yang sama dengan cara melebihkan sebagian dari yang lain, seperti menukarkan seratus ribu rupiah dengan seratus sepuluh ribu rupiah, ini tidak diperbolehkan.3. Boleh menukarkan uang kertas yang berbeda jenis -misal dolar dan rupiah- dengan melebihkan salah satunya, asalkan dilakukan secara kontan (tunai). (Lihat penjelasan Fatwa Al Lajnah Ad Da’imah, 13/442, no. 3291) Dari artikel Riba dalam Emas, dll (Riba Fadhl) — Muslim.Or.Idby null  from <http://muslim.or.id/fiqh-dan-muamalah/riba-dalam-emas-dll-riba-fadhl.html>  

Memakan Satu Dirham dari Hasil Riba …Kategori: Fiqh dan Muamalah13 Komentar // 1 Februari 2012

Di akhir zaman sekarang ini, telah nampak praktek riba tersebar di mana-mana. Dalam ruang lingkup masyarakat yang kecil hingga tataran negara, praktek ini begitu merebak baik di perbankan, lembaga perkreditan, bahkan sampai yang kecil-kecilan semacam dalam arisan warga. Entah mungkin kaum muslimin tidak mengetahui hakekat dan bentuk riba. Mungkin pula mereka tidak mengetahui bahayanya. Apalagi di akhir zaman seperti ini, orang-orang begitu tergila-gila dengan harta sehingga tidak lagi memperhatikan halal dan haram. Sungguh, benarlah sabda Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam,

رام ن� ح م م لال ا ن� ح م مال ، ا ذ� ال � ح ما ا � ء ن مر الى ال ث� Ã أن� لا ي م اس ر� لى ال ث� ن� ع Ãي Æ ت ا ث� ل“Akan datang suatu zaman di mana manusia tidak lagi peduli dari mana mereka mendapatkan harta, apakah dari usaha yang halal atau haram.” (HR. Bukhari no. 2083)Oleh karena itu, sangat penting sekali materi diketengahkan agar kaum muslimin apa yang dimaksud dengan riba, apa saja bentuknya dan bagaimana dampak bahanya. Allahumma yassir wa a’in. Ya Allah, mudahkanlah kami dan tolonglah kami dalam menyelesaikan pembahasan ini.Seorang Pedagang Haruslah Memahami Hakekat RibaAs Subkiy dan Ibnu Abi Bakr mengatakan bahwa Malik bin Anas mengatakan,

ب� حر أل � ه ي ي� � ن� ف ذ� عالى ا � ي ن� اهلل أ ، لا ي,� ن� ال ر ر م ش< ا ا ت ب� > ر س لم ا � ق“Aku tidaklah memandang sesuatu yang lebih jelek dari riba karena Allah Ta’ala menyatakan akan memerangi orang yang tidak mau meninggalkan sisa riba yaitu pada firman-Nya,

وله ورس ن� اهلل ب� م حر � وا ي ب,� ذ� ا � ق“Maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu (disebabkan tidak meninggalkan sisa riba).” (QS. Al Baqarah: 279)‘Umar radhiyallahu ‘anhu berkata,

أ ي,� ل ال ر ك ه ا �ق � ن� ف ا م ل ا ا( ت� � وف ى� س ح�ر ف� �ب � . لا ي

“Janganlah seseorang berdagang di pasar kami sampai dia paham betul mengenai seluk beluk riba.”‘Ali bin Abi Tholib mengatakan,

م ط �ت, م ار > م ث ط �ت, م ار > أ ث ي,� ى� ال ر م ف� ط �ت, ه ار �ق ق� �ي � ن� ي ل ا ت� � ر ف ح� � ن� اي م“Barangsiapa yang berdagang namun belum memahami ilmu agama, maka dia pasti akan terjerumus dalam riba, kemudian dia akan terjerumus ke dalamnya dan terus menerus terjerumus.” (Mughnil Muhtaj, 6/310)Apa yang Dimaksud dengan Riba?Secara etimologi, riba berarti tambahan (al fadhl waz ziyadah). (Lihat Al Mu’jam Al Wasith, 350 dan Al Misbah Al Muniir, 3/345). Juga riba dapat berarti bertambah dan tumbuh (zaada wa namaa). (Lihat Al Qomus Al Muhith, 3/423)Contoh penggunaan pengertian semacam ini adalah pada firman Allah Ta’ala,

��ت ب, ب� ور ي�ر� ماء اه ها ال لت� ا ع ث� ل Uر � ي ا ا ذ� ا( � ق“Maka apabila Kami turunkan air di atasnya, niscaya ia bertambah dan tumbuh subur.” (QS. Fushilat: 39 dan Al Hajj: 5)Sedangkan secara terminologi, para ulama berbeda-beda dalam mengungkapkannya.Di antara definisi riba yang bisa mewakili definis yang ada adalah definisi dari Muhammad Asy Syirbiniy. Riba adalah:

ى� ل ف� ت,< ما �لوم ال ت ع ر م ي� وض غ� ص خ� م لى عوض� ذ ع �ف ى� ع ر ف� ي� خ� أ � ع ي و م ذ ا �عف اله� ال ع ح ر ار ال ش< ث� ع ما م ذه ح و ا ا ن� ي� ذل ث� ال“Suatu akad/transaksi pada barang tertentu yang ketika akad berlangsung tidak diketahui kesamaannya menurut ukuran syari’at, atau adanya penundaan penyerahan kedua barang atau salah satunya.” (Mughnil Muhtaj, 6/309)Ada pula definisi lainnya seperti yang dikemukakan oleh Ibnu Qudamah, riba adalah:

�وصه ص خ� اء م ث� > ش ى� ا أذه� ف� ي�� ال ر�“Penambahan pada barang dagangan/komoditi tertentu.” (Al Mughni, 7/492)Hukum Riba

Seperti kita ketahui bersama dan ini bukanlah suatu hal yang asing lagi bahwa riba adalah sesuatu yang diharamkan dalam syari’at Islam. Ibnu Qudamah mengatakan,

ماع � ج ا( ، وال �ه ي� اب� ، وال ش �كث أل � م ي حر و م وه“Riba itu diharamkan berdasarkan dalil Al Qur’an, As Sunnah, dan Ijma’ (kesepakatan kaum muslimin).” (Al Mughni, 7/492)Bahkan tidak ada satu syari’at pun yang menghalalkan riba. AlMawardiy mengatakan, “Sampai dikatakan bahwa riba sama sekalitidak dihalalkan dalam satu syari’at pun. Hal ini berdasarkanfirman Allah Ta’ala,

ه ي� هوا ع � ذ ن � أ وق ي,� م ال ر ه ذ� � ح وا“Dan disebabkan mereka memakan riba, padahal Sesungguhnya mereka Telah dilarang daripadanya.” (QS. An Nisaa’: 161). Maksudnya adalah riba ini sudah dilarang sejak dahulu pada syari’at sebelum Islam. (Mughnil Muhtaj, 6/309)Di antara dalil Al Qur’an yang mengharamkan bentuk riba adalah firman Allah Ta’ala,

ون� لح ف� � م ي ك عل ل وا اهلل �ق � ه� واي ق� اع ص� ا م � عاق � ض أ ا ي,� لوا ال ر ك� أ � وا لا ي ن� م ن� ا¢ ي�� ذ� ها ال ن,� أ ا � ي“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.” (QS. Ali Imron: 130)

أ ي,� م ال ر ر ع وح ي� Fب ال ل اهلل ح وا“Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (QS. Al Baqarah: 275)Di antara dalil haramnya riba dari As Sunnah adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menunjukkan bahwa memakan riba termasuk dosa besar.Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

« �اب �ف � موي ع ال ي� وا ال ش ن� Uب �ت � ول« . اخ أ رس � وا ي ال � ال ق � ن� ق أ ه ، وم حر ،» اهلل ، وال س أهلل � ك 5 ي ر م ال ش< ر ى ح �ت س ال ف� ل ال ي� �ت � وفل ك ، وا �ق ح أل � لا ي ا( ، اهلل ف� ح م ال ر� و � ى ب ول �م ، وال ن ي� Æب ث� أل ال ل م ك أ ، وا ي,� ال ر �لاب � اق ع� ال �اب ث� م مو ال �اب ث� ص مخ ف� ال Uذ � وق »

“Jauhilah tujuh dosa besar yang akan menjerumuskan pelakunya dalam neraka.”Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, apa saja dosa-dosa tersebut?”Beliau mengatakan, “[1] Menyekutukan Allah, [2] Sihir, [3] Membunuh jiwa yang diharamkan oleh Allah kecuali dengan alasan yang dibenarkan, [4] Memakan harta anak yatim, [5] memakan riba, [6] melarikan diri dari medan peperangan, [7] menuduh wanita yang menjaga kehormatannya lagi (bahwa ia dituduh berzina).” (HR. Bukhari no. 2766 dan Muslim no. 89)Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun melaknat para rentenir(pemakan riba), yang mencari pinjaman dari riba, bahkan setiap orang yang ikut menolong dalam mu’amalah ribawi juga ikut terlaknat.Dari Jabir bin ‘Abdillah, beliau berkata,

ول اهلل عن� رس واء -ل م س ال ه � ه وق � ذب اه > ه وس ي� Æي� ا له وك وك أ وم ي,� ل ال ر ك, ه وس لم- ا¢ ص لى ال له ع لي�“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat pemakan riba (rentenir), orang yang menyerahkan riba (nasabah), pencatat riba (sekretaris) dan dua orang saksinya.” Beliau mengatakan,“Mereka semua itu sama.”(HR. Muslim no. 1598)Maksud perkataan “mereka semua itu sama”, Syaikh ShafiyurraahmanAl Mubarakfury mengatakan, “Yaitu sama dalam dosa atau sama dalam beramal dengan yang haram. Walaupun mungkin bisa berbeda dosa mereka atau masing-masing dari mereka dari yang lainnya.” (Minnatul Mun’im fi Syarhi Shohihil Muslim, 3/64)Dampak Riba yang Begitu MengerikanSungguh dalam beberapa hadits disebutkan dampak buruk dari memakan riba. Orang yang mengetahui hadits-hadits berikut ini, tentu akan merasa jijik jika harus terjun dalam lembah riba.[Pertama] Memakan Riba Lebih Buruk Dosanya dari Perbuatan ZinaRasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

�ه ي� U,ي ن� ر� Ãي ë لات > وي �ه �ي ن� ش ذ م > س لم ا ع � و ي ل وه � ح له ال ر ك� أ � أ ي ي,� م ر ه ذر“Satu dirham yang dimakan oleh seseorang dari transaksi riba sedangkan dia mengetahui, lebih besar dosanya daripada melakukan perbuatan zina sebanyak 36 kali.” (HR. Ahmad dan Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman. Syaikh Al

Albani dalam Misykatul Mashobih mengatakan bahwa hadits ini shahih)[Kedua] Dosa Memakan Riba Seperti Dosa Seseorang yang Menzinai Ibu Kandungnya SendiriRasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ن� ل ا ث< ا م شره � ب أ ا � أي � ن� ي عو ي� ه� وش ب,< لا > أ ي ي,� ل ال ر � ح ض� ال ر ر أ ع ي,� ى ال ر ب�� ر ن� ا ه وا( م ل ا � ح كح ال ر ث� � لم ي مس ال“Riba itu ada 73 pintu (dosa). Yang paling ringan adalah semisal dosa seseorang yang menzinai ibu kandungnya sendiri. Sedangkan riba yang paling besar adalah apabila seseorang melanggar kehormatan saudaranya.” (HR. Al Hakim danAl Baihaqi dalam Syu’abul Iman. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih dilihat dari jalur lainnya)[Ketiga] Tersebarnya riba merupakan “pernyataan tidak langsung” dari suatu kaum bahwa mereka berhak dan layak untukmendapatkan adzab dari Allah Ta’alaTersebarnya riba merupakan “pernyataan tidak langsung” dari suatu kaum bahwa mereka berhak dan layak untuk mendapatkan adzab dari Allah ta’ala. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

اب� ال له ذ� سهم ع ف� � ي أ � ا ي و ل ح ذ ا �ف � ف �ه ب,� �ر ى� ق أ ف� ي,� أ وال ر � ي هر ال ر� Y ا ظ ذ� ا(“Apabila telah marak perzinaan dan praktek ribawi di suatu negeri, maka sungguh penduduk negeri tersebut telah menghalalkan diri mereka untuk diadzaboleh Allah.” (HR. Al Hakim. Beliau mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan lighoirihi) Dari artikel Memakan Satu Dirham dari Hasil Riba … — Muslim.Or.Id by null  from <http://muslim.or.id/fiqh-dan-muamalah/memakan-satu-dirham-dari-hasil-riba.html>  Riba dan Dampaknya (1)Kategori: Fiqh dan Muamalah21 Komentar // 18 Maret 2009Muqaddimah

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memperingatkan umatnya akan fitnah harta yang akan menimpa mereka. Bukanlah kefakiran yang beliau takutkan, namun sebaliknya beliau justru khawatir jika fitnah harta duniawi menimpa umatnya sehingga melalaikan mereka dari urusan akhirat.Tengoklah peringatan beliau tatkala mengucapkan,

اس ن� ع لى ال ث� ي� � ت ا ن� ال حرام ل ث� م م ن� ال حلال ا م ذ� ال مال ا � ح ما ا � الى� ال مرء ن ث� à م أن� لا ي ر�“Akan datang suatu zaman di mana manusia tidak lagi peduli darimana mereka mendapatkan harta, apakah dari usaha yang halal atau haram.” (HR. Bukhari-Al Fath 4/296 nomor 2059; 4/313 nomor 2083)Ibnu At Tiin mengatakan, “Sabda beliau ini merupakan peringatan terhadap fitnah harta sekaligus salah satu bukti kenabian beliau, karena memberitakan sesuatu yang tidak terjadi di masa beliau. Segi celaan dari hadits ini adalah penyamaan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap dua perkara (yaitu perkara halal dan haram -pen), jika tidak demikian, tentunya memperoleh harta dari jalan yang halal tidaklah tercela. Wallahu a’lam.” (Fathul Baari 6/362)Kenyataan pun membenarkan apa yang beliau sabdakan di atas, bukankah tidak sedikit kaum muslimin yang terfitnah dengan harta sehingga melegalkan segala cara demi mendapatkan kenikmatan duniawi yang mereka inginkan. Salah satu bukti adalah maraknya praktek ribawi yang dilakukan oleh komunitas muslim, lagi-lagi alasannya berujung pangkal pada ketamakan terhadap dunia.Permasalahan riba inilah yang akan kita bahas pada kesempatankali ini. Hal ini mengingat betapa pentingnya masalah ini. Kaum muslimin perlu mengetahui hakikat riba serta keburukan yang terkandung di dalamnya sehingga dapat membentengi dan tidak menjerumuskan diri ke dalam berbagai transaksi ribawi. Risalah ini juga merupakan penjelasan dan peringatan bagi mereka yang telah bergelut dan pernah berinteraksi dengan riba agar segera menyadari kesalahannya, bertaubat dan “mencuci tangan” dari transaksi ribawi.Definisi Riba

Secara etimologi riba berarti tambahan, baik yang terdapat pada sesuatu atau tambahan tersebut sebagai ganti terhadap sesuatu tersebut, seperti menukar satu dirham dengan dua dirham. Lafadz ini juga digunakan atas segala bentuk jual beli yang diharamkan (Syarh An Nawawi ‘alaa Shahih Muslim 11/8, Fathul Baari 4/312)Adapun secara terminologi, riba berarti adanya tambahan dalamsuatu barang yang khusus dan istilah ini digunakan pada dua bentuk riba, yaitu riba fadl dan riba nasiah (Lihat Al Mughni 6/52, Fathul Qadir 1/294; dinukil dari Ar Ribaa Adraruhu wa Atsaruhu fii Dlauil Kitabi was Sunnah). Al Ustadz Aunur Rofiq Ghufron mengatakan, “Maksud tambahan secara khusus,ialah tambahan yang diharamkan oleh syari’at Islam, baik diperoleh dengan cara penjualan, atau penukaran atau peminjaman yang berkenaandengan benda riba.” (Majalah As Sunnah edisi 3 tahun VII)Dalil-dalil yang Mengharamkan Riba Riba haram berdasarkan al-Qur’an, sunnah, ijma’ dan qiyas. Bahkan seluruh agama samawi selain Islam pun mengharamkannya.Disebutkan dalam kitab Perjanjian Lama, “Jika engkau meminjamkan harta kepada salah seorang dari kalangan bangsaku, janganlah engkau bersikap seperti rentenir dan janganlah engkau mengambil keuntungan dari piutangmu.” (SafarulKhuruj pasal 22 ayat 25; dinukil dari Fiqhus Sunnah 3/130)Masih dalam kitab yang sama disebutkan, “Apabila saudara kalian sedang kesulitan, maka bantulah ia. Janganlah dirimu mengambil keuntungan dan manfaat darinya.” (Safarul Khuruj pasal 25 ayat 35; dinukil dari Fiqhus Sunnah 3/130)Dalam Perjanjian Baru disebutkan, “Jika kalian memberikan pinjaman kepada orang yang kalian harapkan imbalan darinya, maka keutamaan apakah yang akan kalian peroleh? Lakukanlah kebajikan dan berilah pinjaman tanpa mengharapkan adanya imbalan sehingga kalian memperoleh pahala yang besar.” (InjilLukas pasal 6 ayat 34-35; dinukil dari Fiqhus Sunnah 3/131)Bahkan para ahli agama mereka telah sepakat akan keharaman riba,

Sakubar mengatakan, “Sesungguhnya orang yang mengatakan riba tidak termasuk kemaksiatan, maka dia termasuk kafir dan keluar dari agama.”Di kesempatan lain Pastur Buni mengatakan, “Sesungguhnya orang-orang yang melakukan transaksi ribawi tidak memiliki kehormatan di dunia dan mereka tidak layak dikafani ketika mereka mati.” (Fiqhus Sunnah 3/131-132)Demikianlah perkataan kaum kuffar yang menyatakan akan keharaman riba.Adapun islam, maka agama yang mulia ini melarangnya dengan berdasarkan dalil-dalil dari al-Qur’an, sunnah, ijma dan qiyas.Dalil dari al-Qur’an, Allah ta’ala berfirman,

أ ي,� م ال ر ر وح“Dan Allah telah mengharamkan riba.” (Qs. Al Baqarah: 275)Dalil dari As-Sunnah:

ول عن� رس ل ى اهلل ل ص له اهلل ك و أ وم ي,� ل ال ر ك, م ا¢ ل ه وس لي� ه ع ي� Æي� ا واء وك م س ال ه � ه وق � ذب اه > وس“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat pemakan riba, orang yang memberi makan dengan riba, juru tulis transaksi riba dan dua orang saksinya. Kedudukan mereka itu semuanya sama.” (HR. Muslim nomor 2995)Kaum muslimin pun telah sepakat untuk mengharamkannya dan meyakini bahwa hal tersebut termasuk dosa besar.Di sisi lain, riba merupakan salah satu bentuk kezhaliman sedangkan keadilan yang terkandung dalam syari’at yang adil tentunya mengharamkan kezhaliman (Taudhihul Ahkam 4/367)Jika ada yang mengatakan, “Bagaimana bisa transaksi ribawi dikatakan sebagai bentuk kezhaliman padahal mereka yang berhutang, ridha terhadap bentuk muamalah ini?”Maka jawabannya adalah sebagai berikut:Pertama, sesungguhnya bentuk kezhaliman dalam bentuk muamalahribawi sangat nyata, yaitu mengambil harta milik orang lain secara batil. (Karena) sesungguhnya kewajiban bagi orang yangmenghutangi adalah memberikan kelonggaran dan tambahan waktu bagi pihak yang berhutang tatkala kesulitan untuk melunasi hutangnya (sebagaimana firman Allah dalam surat al Baqarah

ayat 280-pen). Apabila terdapat tambahan dalam transaksi tersebut lalu diambil, maka hal ini merupakan salah satu bentuk tindakan mengambil harta orang lain tanpa hak. Yang patut diperhatikan pula, bahwa seluruh hamba di bawah aturan yang telah ditetapkan Allah, mereka tidak boleh ridha terhadap sesuatu yang tidak diridhai oleh Allah. Oleh karenanya, ridha dari pihak yang berhutang terhadap transaksiribawi tidak dapat dijadikan alasan untuk melegalkan praktek ribawi.Kedua, jika ditilik lebih jauh, sebenarnya pihak yang berhutang tidak ridla terhadap transaksi tersebut sehingga statusnya layaknya orang yang tengah dipaksa, karena dirinya takut kepada pihak yang menghutangi apabila tidak menuruti dan mengikuti bentuk mu’amalah ini, mereka akan memenjarakan dan melukai dirinya atau menghalanginya dari bentuk mu’amalahyang lain. Maka secara lisan (dirinya) menyatakan ridla, namun sebenarnya dirinya tidaklah ridla, karena seorang yang berakal tentunya tidak akan ridla hutangnya dinaikkan tanpa ada manfaat yang dia peroleh (Fiqh wa Fatawal Buyu’ hal. 10 dengan beberapa penyesuaian)Dampak Negatif RibaSelayaknya bagi seorang muslim untuk taat dan patuh tatkala Allah dan rasul-Nya melarang manusia dari sesuatu. Bukanlah sifat seorang muslim, tatkala berhadapan dengan larangan Rabb-nya atau rasul-Nya dirinya malah berpaling dan memilih untuk menuruti apa yang diinginkan oleh nafsunya.Tidak diragukan lagi bahwasanya riba memiliki bahaya yang sangat besar dan dampak yang sangat merugikan sekaligus sulituntuk dilenyapkan. Tentunya tatkala Islam memerintahkan umatnya untuk menjauhi riba pastilah disana terkandung suatu hikmah, sebab dinul Islam tidaklah memerintahkan manusia untuk melakukan sesuatu melainkan disana terkandung sesuatu yang dapat menghantarkannya kepada kebahagiaan di dunia dan akhirat. Demikian pula sebaliknya, bila syari’at ini melarangakan sesuatu, tentulah sesuatu tersebut mengandung kerusakan

dan berbagai keburukan yang dapat menghantarkan manusia kepada kerugian di dunia dan akhirat.Dalam permasalahan riba ini pun tidak jauh berbeda, cukuplah nash-nash yang telah lewat menggambarkan keburukan riba. Namun, tatkala kesadaran mulai melemah dan rendahnya keinginan untuk merenungi nash-nash syar’i telah menyebar di kalangan kaum muslimin, perlu kiranya menjelaskan berbagai keburukan dan dampak negatif yang dihasilkan oleh berbagai transaksi ribawi.-bersambung insya Allah-***Penulis: Muhammad Nur Ichwan Muslim Dari artikel Riba dan Dampaknya (1) — Muslim.Or.Id by null  from <http://muslim.or.id/fiqh-dan-muamalah/riba-dan-dampaknya-1.html>  

Riba dan Dampaknya (2)Kategori: Fiqh dan Muamalah60 Komentar // 18 Maret 2009Berikut ini diantara dampak negatif riba yang kami sarikan dari Ar Riba Adlraruhu wa Atsaruhu fii Dlauil Kitabi was Sunnah karya Dr. Sa’id bin Wahf Al Qahthani.a. Dampak Negatif Bagi Individu

Riba memberikan dampak negatif bagi akhlak dan jiwa pelakunya. Jika diperhatikan, maka kita akan menemukanbahwa mereka yang berinteraksi dengan riba adalah individu yang secara alami memiliki sifat kikir, dada yang sempit, berhati keras, menyembah harta, tamak akan kemewahan dunia dan sifat-sifat hina lainnya.

Riba merupakan akhlaq dan perbuatan musuh Allah, Yahudi. Allah ta’ala berfirman:

ه ي� هوا ع � ذ ن � أ وق ي,� م ال ر ه ذ� � ح أ وا ي,� ذ �ث ع ل وا اط ث� أل � اس ي وال ال ث� م لهم ا ك� ن�ô وا ي,� �ر اق ك ل ما ل ت� ل أ ا � اي ذ� هم ع ت� م

“Dan disebabkan mereka memakan riba, padahal Sesungguhnya mereka Telah dilarang daripadanya, dan Karena mereka memakan harta benda orang dengan jalan yang batil. kami Telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir di antara mereka itu siksa yang pedih.” (QS. An Nisaa’: 161)

Riba merupakan akhlak kaum jahiliyah. Barang siapa yang melakukannya, maka sungguh dia telah menyamakan dirinya dengan mereka.

Pelaku (baca: pemakan) riba akan dibangkitkan pada hari kiamat kelak dalam keadaan seperti orang gila. Allah ta’ala berfirman:

أ لا ي,� لون� ال ر ك� أ � ن� ي ي�� ذ� ن� ال ان� م ط ب� ه ال ش< ط ب� خ� �ت � ي� ي ذ� وم ال �ق � ما ي لا ك ون� ا( وم �ق � مس ي ع ال ي� Fب ما ال � ن وا ا( ال � هم ق � ن أ � ك5 ي ل ذ�أ ي,� ل ال ر ث< م ل اهلل ح اءه وا � أ ف �من� ح ي,� م ال ر ر ع وح ي� Fب هى ال �ت U اي � ه ق � ن� رب ه� م Yط ع و لى م ره ا( م لف� وا أ س له م � ن� ق وم اهلل

اب� ح ص ك5 ا ث ول ا � اذ ق ها ع ت� � م ف ار ه ذون� ال ث� ال � ح“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), Maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. orang yang kembali (mengambil riba), Maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal didalamnya.” (QS. Al-Baqarah: 275)

Seseorang yang bergelut dan berinteraksi dengan riba berarti secara terang-terangan mengumumkan dirinya sebagai penentang Allah dan rasul-Nya dan dirinya layak diperangi oleh Allah dan rasul-Nya. Allah ta’ala berfirman:

وا �ق � وا اي ن� م ن� ا¢ ي�� ذ� ها ال ن,� أ ا � يÃن� ي ث� م و م م �ي ب� ن� ك أ ا( ي,� ن� ال ر ى� م �ق F أ ي روا م وذ� ن� . اهلل ا( � وله ق ورس ن� اهلل ب� م حر � وا ي ب,� ذ� ا � علوا ق ق� � م ي لم �ي ب� Æ ن� ت لمون� ولا وا( Yط � م لا ت ك وال م م رءوس ا ك ل � لمون� ق Yط � ت

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), Maka Ketahuilah, bahwa Allah dan rasul-Nya akan memerangimu. dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), Maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.” (QS. Al-Baqarah: 278-279). Maka keuntungan apakah yang akan diraih bagi mereka yang telah mengikrarkan dirinya sebagai musuh Allah dan akankah mereka meraih kemenangan jika yang mereka hadapi adalah Allah dan rasul-Nya?!

Memakan riba menunjukkan kelemahan dan lenyapnya takwadalam diri pelakunya. Hal ini menyebabkan kerugian di dunia dan akhirat. Allah ta’ala berfirman:

وا لا ن� م ن� ا¢ ي�� ذ� ها ال ن,� أ ا � ي وا اهلل �ق � ه� واي ق� اع ص� ا م � عاق � ض أ ا ي,� لوا ال ر ك� أ � م ي ك عل ب� ل ذ ع ى� ا �ت ار ال وا ال ث� �ق � ون� . واي لح ف� � ن� . ي ي,� �ر اق ك ل لعوا ي� ط م وا ك عل ول ل س وال ر مون� اهلل رج � ي

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan. Dan peliharalah dirimu dari api neraka, yang disediakan untuk orang-orang yang kafir. Dan taatilah Allah dan rasul, supaya kamu diberi rahmat.” (QS. Ali Imran: 130-132)

Memakan riba menyebabkan pelakunya mendapat laknat dandijauhkan dari rahmat Allah. Rasulullah pun melaknat pemakan riba, yang memberi riba, juru tulisnya dan kedua saksinya, beliau berkata, “Mereka semua sama saja.” (HR. Muslim: 2995)

Setelah meninggal, pemakan riba akan di adzab dengan berenang di sungai darah sembari mulutnya dilempari dengan bebatuan sehingga dirinya tidak mampu untuk keluar dari sungai tersebut, sebagaimana yang ditunjukkan dalah hadits Samurah radliallahu ‘anhu (HR. Bukhari 3/11 nomor 2085)

Memakan riba merupakan salah satu perbuatan yang dapatmenghantarkan kepada kebinasaan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jauhilah tujuh perkara yang

membinasakan!” Para sahabat bertanya, “Apa sajakah perkara tersebut, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Syirik, sihir, membunuh jiwa yan diharamkan Allah kecuali dengan cara yang hak, memakan riba, memakan harta anak yatim, lari dari medan pertempuran dan menuduh wanita mukminah berzina.” (HR. Bukharinomor 2615, Muslim nomor 89)

Riba merupakan perbuatan maksiat kepada Allah dan rasul-Nya. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,

ول س اء ال ر علوا ذع ح� � ن� لا ي ي�� ذ� ال لم اهلل ع � ذ ي � ا ق ص� ع � م ي ك ص� ع � اء ي ذع م ك ك ت� Ãب F ون� ت ق� ال ح� � ن� ي ي�� ذ� ر ال ذ� ح ت� ل � ا ق واذ� م ل ك ث� لون� م سل Æت � تن� اب� ع ذ� هم ع ت� Ãب ص � و ت ه� ا ي� �ب U هم ق ت� Ãب ص � ن� ت ره ا م م ا ي� ل ا

“Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah-Nya takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih.” (QS. An Nuur: 63)

ض ع � ن� ي ها وم ت� � ذا ف ال � أرا ح � ه ي ل � ذح � ذوذه ي عذ ح �ي � وله وي ورس ن� اهلل هي� اب� م ذ� وله ع Dan barangsiapa yang mendurhakai Allah dan rasul-Nya dan melanggar

ketentuan-ketentuan-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam api neraka sedang ia kekal di dalamnya; dan baginya siksa yang menghinakan. (QS. An Nisaa: 14)

�ه ي� م و ولا م ن� م مو ان� ل أ ك ره� وم ي� خ� هم ال ون� ل ك � ن� ي را ا م وله ا ورس ى اهلل ض� � ا ق ذ� ن� ا( م ض اهلل ع � ن� ي م وم ره م الالا � ل ص � ذ ص �ف � وله ف ا ورس ث� Ãب ث� م

“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan rasul-Nya Telah menetapkansuatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. dan barangsiapa mendurhakai Allah dan rasul-Nya Makasungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata.” (QS. Al Ahzaab: 36)

ض ع � ن� ي ذا وم ي,� ها ا ت� � ن� ف ي�� ذ ال � م ح هي� � أر ج � ن� له ي ا( � وله ق ورس اهلل “Dan barangsiapa yang mendurhakai Allah dan rasul-Nya Maka

Sesungguhnya baginyalah neraka Jahannam, mereka kekal di dalamnya selama-lamanya.” (QS. Al Jin: 23)

Pemakan riba diancam dengan neraka jika tidak bertaubat. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,

أ لا ي,� لون� ال ر ك� أ � ن� ي ي�� ذ� ن� ال ان� م ط ب� ه ال ش< ط ب� خ� �ت � ي� ي ذ� وم ال �ق � ما ي لا ك ون� ا( وم �ق � مس ي ع ال ي� Fب ما ال � ن وا ا( ال � هم ق � ن أ � ك5 ي ل ذ�أ ي,� ل ال ر ث< م ل اهلل ح اءه وا � أ ف �من� ح ي,� م ال ر ر ع وح ي� Fب هى ال �ت U اي � ه ق � ن� رب ه� م Yط ع و لى م ره ا( م لف� وا أ س له م � ن� ق وم اهلل

اب� ح ص ك5 ا ث ول ا � اذ ق ها ع ت� � م ف ار ه ذون� ال ث� ال � ح padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.

orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), Maka baginya apa yang Telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. orang yang kembali (mengambil riba), Maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.” (QS. Al Baqarah: 275)

Allah tidak akan menerima sedekah yang diperoleh dari riba, karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah itu baik dan tidak akan menerima sesuatu kecuali yang baik.” (HR. Muslim 2/3 nomor 1014)

Do’a seorang pemakan riba tidak akan terkabul. Rasullullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menceritakan bahwa ada seorang yang bersafar kemudian menengadahkantangannya ke langit seraya berdo’a, “Ya Rabbi, ya Rabbi!” Akan tetapi makanan dan minumannya berasal dari yang haram, pakaiannya haram dan dikenyangkan oleh barang yang haram. Maka bagaimana bisa do’anya akan dikabulkan?! (HR. Muslim nomor 1014)

Memakan riba menyebabkan hati membatu dan memasukkan “ar raan” ke dalam hati. Allah ta’ala berfirman,

ل ران� � لا ت ون� ك شن� ك � وا ي � اب أ ك هم م � لون � لى ق ع “Sekali-kali tidak (demikian), Sebenarnya apa yang selalu mereka

usahakan itu menutupi hati mereka.” (QS. Al Muthaffifin: 14) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ketahuilah di

dalam jasad terdapat sepotong daging. Jika ia baik, maka baiklah seluruhbadan. Namun jika ia rusak, maka rusaklah seluruh badan. Ketahuilah sepotong daging itu adalah hati.” (HR. Bukhari 1/19 nomor 52, Muslim nomor 1599)

Memakan riba adalah bentuk kezhaliman dan kezhaliman merupakan kegelapan di hari kiamat. Allah ta’ala berfirman,

ا م لا ع � اق � ع ن� اهلل سي� خ � ه ولا ي ي� � ض ف خ� س< � م ب و ن� م ل ره � ح و � ما ب � ن مون� ا( ال Yط مل ال ع � هم ي ت� ل ذ ا( � ري � هم لا ي عى� رءوس ي� �ف ن� م عي� ط ه ار . م ص � ت الاهم � ف ر واء ط هم ه � ذن ت � ف وا

“Dan janganlah sekali-kali kamu (Muhammad) mengira, bahwa Allah lalaidari apa yang diperbuat oleh orang-orang yang zalim. Sesungguhnya Allah memberi tangguh kepada mereka sampai hari yang pada waktu itu mata (mereka) terbelalak. Mereka datang bergegas-gegas memenuhi panggilan dengan mangangkat kepalanya, sedang mata mereka tidak berkedip-kedip dan hati mereka kosong.” (QS. Ibrahim: 42-43)

Pelaku riba biasanya jarang melakukan berbagai kebajikan, karena dirinya tidak memberikan pinjaman dengan cara yang baik, tidak memperhatikan orang yang kesulitan, tidak pula meringankan kesulitannya bahkan dirinya mempersulit dengan pemberian pinjaman yang disertai tambahan bunga. Padahal Allah telah menerangkan keutamaan seorang yang meringankan kesulitan seorang mukmin, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa meringankan satu kesulitan seorang mukmin dari berbagai kesulitannya di dunia , maka Allah akan meringankan kesulitan dari berbagai kesulitan yang akan dihadapinya pada hari kiamat kelak. Barangsiapa yang memeri keringanan bagi orang yang kesulitan, maka Allah akan memberi keringanan baginya di dunia dan akhirat. Barangsiapa menyembunyikan aib seorang muslim, maka Allah akan menutupi aibnya di hari kiamat.” (HR. Muslim nomor 2699)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda, “Barangsiapa memperhatikan orang yang ditimpa kesulitan dan menghilangkannya, maka Allah akan menaunginya dalam naungan-Nya.” (HR. Muslim nomor 3006)

Riba melunturkan rasa simpati dan kasih sayang dari diri seseorang. Karena seorang rentenir tidak akan ragu untuk mengambil seluruh harta orang yang

berhutang kepadanya. Oleh karena itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لا مه� ا( ع ال رج ي�ر� Æ ى� لا ب �ق > م ن� س “Tidaklah sifat kasih sayang itu diangkat kecuali dari seorang yang

celaka.” (HR. Abu Dawud nomor 4942, Tirmidzi nomor 1923 dan hadits ini dishahihkan oleh al ‘Allamah Al Albani dalam Shahih Tirmidzi, 2/180)

Rasulullah juga bersabda, “Allah tidak akan menyayangi seseorang yang tidak sayang kepada sesama manusia.” (HR. Bukhari nomor 7376, Muslim nomor 2319)

Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda, “Orang yang memiliki sifat kasih sayang akan disayangi oleh Ar-Rahman. Sayangilah makhluk yang ada di bumi, niscaya Dzat yang ada di langit akan menyayangi kalian.” (HR. Abu Dawud nomor 1941, Tirmidzi nomor 924 dan hadits ini dishahihkan oleh Imam Al Albani dalam Shahih Tirmidzi 2/180)

b. Dampak Negatif Bagi Masyarakat dan Perekonomian Riba menimbulkan permusuhan dan kebencian antar

individu dan masyarakat serta menumbuhkembangkan fitnah dan terputusnya jalinan persaudaraan.

Masyarakat yang berinteraksi dengan riba adalah masyarakat yang miskin, tidak memiliki rasa simpatik. Mereka tidak akan saling tolong menolong dan membantu sesama manusia kecuali ada keinginan tertentu yang tersembunyi di balik bantuan yang mereka berikan. Masyarakat seperti ini tidak akan pernah merasakan kesejahteraan dan ketenangan. Bahkan kekacauan dan kesenjangan akan senantiasa terjadi di setiap saat.

Perbuatan riba mengarahkan ekonomi ke arah yang menyimpang dan hal tersebut mengakibatkan ishraf (pemborosan).

Riba mengakibatkan harta kaum muslimin berada dalam genggaman musuh dan hal ini salah satu musibah terbesar yang menimpa kaum muslimin. Karena, mereka telah menitipkan sebagian besar harta mereka kepada bank-bank ribawi yang terletak di berbagai negara

kafir. Hal ini akan melunturkan dan menghilangkan sifat ulet dan kerajinan dari kaum muslimin serta membantu kaum kuffar atau pelaku riba dalam melemahkankaum muslimin dan mengambil manfaat dari harta mereka.

Tersebarnya riba merupakan “pernyataan tidak langsung”dari suatu kaum bahwa mereka berhak dan layak untuk mendapatkan adzab dari Allah ta’ala. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أ أ وال ري,� � ي هر ال ر� Y ا ظ ذ� اب� ال له ا( سهم ع ذ� ف� � ي أ � ح لوا ي ذ ا �ف � ه� ف �رب,� ى� ق ف�“Apabila telah marak perzinaan dan praktek ribawi di suatu negeri, maka sungguh penduduk negeri tersebut telah menghalalkan diri mereka untukdiadzab oleh Allah.” (HR. Al Hakim 2/37, beliau menshahihkannya dan disetujui oleh Adz Dzahabi. SyaikhAl Albani menghasankan hadits ini dalam Ghayatul Maram fii Takhrij Ahaditsil Halal wal Haram hal. 203 nomor 344)

Riba merupakan perantara untuk menjajah negeri Islam, oleh karenanya terdapat pepatah,

ر وراء سي� � عمار ب �س الاش ي ست� � و ف ر ا � أح � ي“Penjajahan itu senantiasa berjalan mengikuti para pedagang dan tukang fitnah.”Kita pun telah mengetahui bagaimana riba dan dampak yang ditimbulkannya telah merajalela dan menguasai berbagai negeri kaum muslimin.

Memakan riba merupakan sebab yang akan menghalangi suatu masyarakat dari berbagai kebaikan. Allah ta’ala berfirman,

اذوا ن� ه ي�� ذ� ن� ال م م ل Yط ب� � ن� ف م ع ه ذ ص � هم وت ت� ل ل ح ا �اب ث� Ãب هم ط لت� ا ع ث� م ر ل ح ث� Fب أ س ي,� م ال ر ه ذ� � ح را . وا ي� ث< ك اهلله ي� هوا ع � ذ ن � لهم وق ك� أ وا ي,� ذ �ث ع ل وا اط ث� أل � اس ي وال ال ث� م أ ا � اي ذ� هم ع ت� ن� م ي,� �ر اق ك ل ما ل ت� ل ا

Maka disebabkan kezaliman orang-orang Yahudi, kami haramkan atas mereka (memakan makanan) yang baik-baik (yang dahulunya) dihalalkanbagi mereka, dan karena mereka banyak menghalangi (manusia) dari jalan Allah. Dan disebabkan mereka memakan riba, padahal sesungguhnya mereka telah dilarang daripadanya, dan karena mereka

memakan harta benda orang lain dengan jalan yang batil. Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir di antara mereka itu siksa yang pedih.” (QS. An Nisaa’: 160-161)

Maraknya praktek riba sekaligus menunjukkan rendahnya rasa simpatik antara sesama muslim, sehingga seorang muslim yang sedang kesulitan dan membutuhkan lebih “rela” pergi ke lembaga keuangan ribawi karena sulit menemukan saudara seiman yang dapat membantunya.

Maraknya praktek riba juga menunjukkan semakin tingginya gaya hidup konsumtif dan kapitalis di kalangan kaum muslimin, mengingat tidak sedikit kaum muslimin yang terjerat dengan hutang ribawi disebabkanmenuruti hawa nafsu mereka untuk mendapatkan kebutuhanyang tidak mendesak.

Tinggalkan Riba! Setelah memperhatikan berbagai dalil yang mengharamkan ribadan berbagai dampak negatif yang ditimbulkan olehnya, selayaknya kaum muslimin untuk menjauhi dan segera meninggalkan transaksi yang mempraktekkan riba. Bukankah keselamatan dan kesuksesan akan diperoleh ketika menaati Allah dan rasul-Nya. Ketahuilah tolok ukur kesuksesan bukanterletak pada kekayaan! Anggapan yang keliru semacam inilahyang mendorong manusia melakukan berbagai macam penyimpangan dalam agama demi mendapatkan kekayaan, walau itu diperoleh dengan praktek ribawi misalnya.Bukankah telah cukup laknat Allah dan rasul-Nya sebagai peringatan bagi kaum muslimin? Tentu akal yang sehat dan fitrah yang lurus akan menggiring pemiliknya untuk menjauhidan meninggalkan transaksi ribawi. Suatu keanehan jika ternyata di antara kaum muslimin yang mengetahui keharaman dan keburukan riba kemudian nekat menjerumuskan diri ke dalamnya demi memperoleh bagian dunia yang sedikit, renungilah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut,

ل � ك�له ال رح أ � أ ي ه� ذره م ري,� ي� ي,� ن� ر� ي� > لات > ذ م ن� ش ب� وي > س علم ا � وه و ي“Satu dirham yang diperoleh oleh seseorang dari transaksi riba sedangkan dia mengetahui, lebih besar dan buruk dosanya daripada melakukan perbuatan

zina sebanyak 36 kali.” (HR. Ahmad 5/225. Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani mengatakan, “Sanad hadits ini shahih berdasarkan syarat syaikhain.” Lihat Silsilah Al Ahadits Ash Shahihah 2/29 nomor 1033. Syaikh Syu’aib Al Arnauth berkata dalam catatan kaki Syarhus Sunnah karya Al Baghawi 2/55, “Shahihul Isnad.”Demikianlah apa yang bisa kami hadirkan pada kesempatan kali ini. Semoga bermanfaat bagi kami pribadi dan kaum muslimin. Semoga Allah ‘azza wa jalla menolong kaum muslimin untuk terlepas dari jeratan riba dan beralih kepada bentuk-bentuk muamalah yang sesuai dengan syariat. Amin. Shalawat dan salam semoga tercurah kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarga beliau, para sahabat dan mereka yang berjalan di atas sunnahnya.-bagian terakhir dari 2 tulisan-***Penulis: Muhammad Nur Ichwan Muslim Dari artikel Riba dan Dampaknya (2) — Muslim.Or.Id by null  from <http://muslim.or.id/fiqh-dan-muamalah/riba-dan-dampaknya-2.html>  

02 November 2008Riba Dalam Islam Istilah dan persepsi mengenai riba begitu hidupnya di dunia Islam. Oleh karenanya, terkesan seolah-olah doktrin riba adalah khas Islam. Orang sering lupa bahwa hukum larangan riba, sebagaimana dikatakan oleh seorang Muslim Amerika, Cyril Glasse, dalam buku ensiklopedinya, tidak diberlakukan di negeri Islam modern manapun. Sementara itu, kebanyakan orang tidak mengetahui bahwa di dunia Kristenpun, selama satumilenium, riba adalab barang terlarang dalam pandangan theolog, cendekiawan maupun menurut undang-undang yang ada.

 Di sisi lain, kita dihadapkan pada suatu kenyataan bahwa praktek riba yang merambah ke berbagai negara ini sulit diberantas, sehingga berbagai penguasa terpaksa dilakukan pengaturan dan pembatasan terhadap bisnis pembungaan uang. Perdebatan panjang di kalangan ahli fikih tentang riba belum menemukan titik temu. Sebab mereka masing-masing memiliki alasan yang kuat. Akhirnya timbul berbagai pendapat yang bermacam-macam tentang bunga dan riba. Pengertian RibaKata Ar-Riba adalah isim maqshur, berasal dari rabaa yarbuu, yaitu akhir kata ini ditulis dengan alif. Asal arti kata ribaadalah ziyadah ‘tambahan’; adakalanya tambahan itu berasal dari dirinya sendiri, seperti firman Allah swt: (ihtazzat wa rabat) “maka hiduplah bumi itu dan suburlah.” (QS Al-Hajj: 5).Dan, adakalanya lagi tambahan itu berasal dari luar berupa imbalan, seperti satu dirham ditukar dengan dua dirham. Hukum RibaRiba, hukumnya berdasar Kitabullah, sunnah Rasul-Nya dan ijma’ umat Islam: “Hai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah dan tinggalkanlah sisariba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Jika kamu tidakmengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka permaklumkanlah bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba),maka bagimu pokok hartamu; kami tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.” (QS Al-Baqarah: 278-279). “Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri, melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila.” (QS Al-Baqarah: 275). 

“Allah memusnahkan riba dan menyuburkan shadaqah.” (QS Al-Baqarah: 276). Dari Abu Hurairah ra bahwa Nabi saw bersabda, “Jauhilah tujuh hal yang membinasakan.” Para sahabat bertanya, “Apa itu, ya Rasulullah?” Jawab Beliau, “(Pertama) melakukan kemusyrikan kepada Allah, (kedua) sihir, (ketiga) membunuh jiwa yang telah haramkan kecuali dengan cara yang haq, (keempat) makan riba, (kelima) makan harta anak yatim, (keenam)melarikan diri pada hari pertemuan dua pasukan, dan (ketujuh) menuduh berzinaperempuan baik-baik yang tidak tahu menahu tentang urusan ini dan beriman kepada Allah.” (Muttafaqun ‘alaih: Fathul Bari V: 393 no: 2766, Muslim I: 92 no: 89, ‘Aunul Ma’bud VIII: 77 no: 2857 dan Nasa’i VI: 257). Dari Jabir ra, ia berkata. “Rasulullah saw melaknat pemakan riba, pemberi makan riba, dua saksinya dan penulisnya.” Dan Beliau bersabda, “Mereka semua sama.” (Shahih: Mukhtasar Muslim no: 955, Shahihul Jami’us Shaghir no: 5090 dan Muslim III: 1219 no: 1598). Dari Ibnu Mas’ud ra bahwa Nabi saw bersabda, “Riba itu mempunyai tujuh puluh tiga pintu, yang paling ringan (dosanya) seperti seorang anak menyetubuhi ibunya.” (Shahih: Shahihul Jami’us Shaghir no: 3539 dan Mustadrak Hakim II: 37). Dari Abdullah bin Hanzhalah ra dari Nabi saw bersabda, “Satu Dirham yang riba dimakan seseorang padahal ia tahu, adalah lebih berat daripada tiga puluh enam pelacur.” (Shahih: Shahihul Jami’us Shaghirno: 3375 dan al-Fathur Rabbani XV: 69 no: 230). Dari Ibnu Mas’ud ra dari Nabi saw, Beliau bersabda, “Tak seorang pun memperbanyak (harta kekayaannya) dari hasil riba, melainkan pasti akibat akhirnya ia jatuh miskin.” (Shahih: Shahihul Jami’us Shaghir no: 5518 dan Ibnu Majah II: 765 no: 2279). Klasifikasi Riba

Riba ada dua macam yaitu riba nasiah dan riba fadhl.Adapun yang dimaksud riba nasiah ialah tambahan yang sudah ditentukan di awal transaksi, yang diambil oleh si pemberi pinjaman dari orang yang menerima pinjaman sebagai imbalan dari pelunasan bertempo. Riba model ini diharamkan oleh Kitabullah, sunnah Rasul-Nya, dan ijma’ umat Islam. Sedangkan yang dimaksud riba fadhl adalah tukar menukar barang yang sejenis dengan ada tambahan, misalnya tukar menukar uang dengan uang, menu makanan dengan makanan yang disertai dengan adanya tambahan. Riba model kedua ini diharamkan juga oleh sunnah Nabi saw danijma’ kaum Muslimin, karena ia merupakan pintu menuju riba nasiah. Beberapa Barang yang padanya Diharamkan Melakukan RibaRiba tidak berlaku, kecuali pada enam jenis barang yang sudahditegaskan nash-nash syar’i berikut: Dari Ubaidah bin Shamir ra bahwa Rasulullah saw bersabda, “(Boleh menjual emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, sya’ir (sejenis gandum) dengan sya’ir, kurma dengan kurma, garam dengan garam, sebanding, sama dan tunai, tetapi jika berbeda jenis, maka juallah sesukamu, apabila tunai dengan tunai.” (Shahih: Mukhtashar Muslim no: 949, dan Muslim III: 1211 no: 81 dan 1587). Dengan demikian, apabila terjadi barter barang yang sejenis dari empat jenis barang ini, yaitu emas ditukar dengan emas, tamar dengan tamar, maka haram tambahannya baik secara riba fadhl maupun secara riba nasiah, harus sama baik dalam hal timbangan maupun takarannya, tanpa memperhatikan kualitasnya bermutu atau jelek, dan harus diserahterimakan dalam majlis. Dari Abi Sa’id al-Khudri ra bahwa Rasulullah saw bersabda, “Janganlah kamu menjual emas kecuali sama, janganlah kamu tambah

sebagiannya atas sebagian yang lain, janganlah kamu menjual perak dengan perak kecuali sama, janganlah kamu tambah sebagiannya atas sebagian yang lain, dan janganlah kamu menjual emas dan perak yang barang-barangnya belum ada dengan kontan.” (Muttafaqun ‘alaih: Fathul Bari IV: 379 no: 2177, Muslim III: 1208 no: 1584, Nasa’i VII: 278 dan Tirmidzi II: 355 no: 1259 sema’na). Dari Umar bin Khattab ra bahwa Rasulullah saw bersabda. “Emasdengan emas adalah riba kecuali begini dengan begini (satu pihak mengambil barang, sedang yang lain menyerahkan) bur dengan bur (juga) riba kecuali beginidengan begini, sya’ir dengan sya’ir riba kecuali begini dengan begini, dan tamar dengan tamar adalah riba kecuali begini dengan begini.” (Muttafaqun’alaih: Fathul Bahri IV: 347 no: 2134, dan lafadz ini bagi Imam Bukhari, Muslim III: 1209 no: 1586, Tirmidzi II: 357 no: 1261, Nasa’i VII: 273 dan bagi mereka lafadz pertama memakai adz-dzahabu bil wariq (emas dengan perak) danAunul Ma’bud IX: 197 no: 3332 dengan dua model lafadz). Dari Abu Sa’id ra, ia bertutur: Kami pada masa Rasulullah sawpernah mendapat rizki berupa tamar jama’, yaitu satu jenis tamar, kemudian kami menukar dua sha’ tamar dengan satu sha’ tamar. Lalu kasus ini sampai kepada Rasulullah saw maka Beliau bersabda, “Tidak sah (pertukaran) dua sha’ tamar dengan satu sha’ tamar, tidak sah (pula) dua sha’ biji gandum dengan satu sha’ biji gandum, dan tidak sah (juga) satu Dirham dengan dua Dirham.” (Muttafaqun ’alaih: Muslim III: 1216 no: 1595 dan lafadz ini baginya, Fathul BariIV: 311 no: 2080 secara ringkas dan Nasa’i VII: 272). Manakala terjadi barter di antara enam jenis barang ini dengan lain jenis, seperti emas ditukar dengan perak, bur dengan sya’ir, maka boleh ada kelebihan dengan syarat harus diserahterimakan di majlis:Berdasar hadits Ubadah tadi: “…tetapi jika berlainan jenis maka juallah sesukamu, apabila tunai dengan tunai.”

Dalam riwayat Imam Abu Daud dan lainnya dari Ubadah ra Nabi saw bersabda: “Tidak mengapa menjual emas dengan perak dan peraknya lebih besar jumlahnya daripada emasnya secara kontan, dan adapun secara kredit, maka tidak boleh; dan tidak mengapa menjual bur dengan sya’ir dan sya’irnya lebih banyak daripada burnya secara kontan dan adapun secara kredit, maka tidak boleh.” (Shahih: Irwa-ul Ghalil V: 195 dan ‘Aunul Ma’bud IX: 198 no: 3333). Apabila salah satu jenis di antara enam jenis ini ditukar dengan barang yang berlain jenis dan ‘illah ‘sebab’, seperti emas ditukar dengan bur, atau perak dengan garam, maka boleh ada kelebihan atau secara bertempo, kredit:Dari Aisyah ra bahwa Nabi saw pernah membeli makanan dari seorang Yahudi secara bertempo, sedangkan Nabi saw menggadaikan sebuah baju besinya kepada Yahudi itu. (Shahih: Irwa-ul Ghalil no: 1393 dan Fathul Bari IV: 399 no: 2200). Dalam kitab Subulus Salam III: 38, al-Amir ash-Sha’ani menyatakan. “Ketahuilah bahwa para ulama’ telah sepakat atas bolehnya barang ribawi (barang yang bisa ditakar atau ditimbang, edt) ditukar dengan barang ribawi yang berlainan jenis, baik secara bertempo meskipun ada kelebihan jumlah atau berbeda beratnya, misalnya emas ditukar dengan hinthah (gandum), perak dengan gandum, dan lain sebagainya yang termasuk barang yang bisa ditakar.” Namun, tidak boleh menjual ruthab (kurma basah) dengan kurma kering, kecuali para pemilik ‘ariyah, karena mereka adalah orang-orang yang faqir yang tidak mempunyai pohon kurma, yaitu mereka boleh membeli kurma basah dari petani kurma, kemudian mereka makan dalam keadaan masih berada di pohonnya,yang mereka taksir, mereka menukarnya dengan kurma kering. Dari Abdullah bin Umar ra, bahwa Rasulullah saw melarang muzabanah. Muzabanah ialah menjual buah-buahan dengan tamar secara takaran, dan menjual anggur dengan kismis secara

takaran. (Muttafaqun ‘alaih: Fathul Bari IV: 384 no: 2185, Muslim III: 1171 no: 1542 dan Nasa’i VII: 266) Dari Zaid bin Tsabit ra bahwa Rasulullah saw memberi kelonggaran kepada pemilik ‘ariyyah agar menjualnya dengan tamar secara taksiran. (Muttafaqun‘alaih: Muslim III: 1169 no: 60 dan 1539 dan lafadz ini baginya dan sema’na dalam Fathul Bari IV: 390 no: 2192, ‘Aunul Ma’bud IX: 216 no: 3346,Nasa’i VII: 267, Tirmidzi II: 383 no: 1218 dan Ibnu Majah II:762 no: 2269).Sesungguhnya Nabi saw melarang menjual kurma basah dengan tamar hanyalah karena kurma basah kalau kering pasti menyusut. Dari Sa’ad bin Abi Waqqash ra bahwa Nabi saw pernah ditanya perihal menjual kurma basah dengan tamar. Maka Beliau (balik)bertanya, “Apakah kurma basah itu menyusut apabila telah kering?” Jawab para sahabat, “Ya, menyusut.” Maka Beliaupun melarangnya. (Shahih: Irwa-ul Ghalil no: 1352, ‘Aunul Ma’bud IX: 211 no: 3343, IbnuMajah II: 761 no: 2264, Nasa’i VII: 269 dan Tirmidzi II: 348 no: 1243). Dan, tidak sah jual beli barang ribawi dengan yang sejenisnyasementara keduanya atau salah satunya mengandung unsur lain. Riwayat Fadhalah bin Ubaid yang menjadi landasan kesimpulan ini dimuat juga dalam Mukhtashar Nailul Authar hadits no: 2904. Imam Asy-Syaukani, memberi komentar sebagai berikut, “Hadits ini menunjukkan bahwa tidak boleh menjual emas yang mengandung unsur lainnya dengan emas murni hingga unsur lain itu dipisahkan agar diketahui ukuran emasnya, demikian juga perak dan semua jenis barang ribawi lainnya, karena ada kesamaan illat, yaitu haram menjual satu jenis barang dengan sejenisnya secara berlebih.” 

Dari Fadhalah bin Ubaid ia berkata: “Pada waktu perang Khaibar aku pernah membeli sebuah kalung seharga dua belas Dinar sedang dalam perhiasan itu ada emas dan permata, kemudian aku pisahkan, lalu kudapatkan padanya lebih dari duabelas Dinar, kemudian hal itu kusampaikan kepada Nabi saw, Maka Beliau bersabda, ‘Kalung itu tidak boleh dijual hingga dipisahkan.’”(Shahih: Irwa-ul Ghalil no: 1356, Muslim III: 1213 no: 90 dan1591, Tirmidzi II: 363 no: 1273, ‘Aunul Ma’bud IX: 202 no: 3336 dan Nasa’i VII: 279). Islam bersikap sangat keras dalam persoalan riba semata-mata demi melindungi kemaslahatan manusia, baik dari segi akhlak, masyarakat maupun perekonomiannya.Kiranya cukup untuk mengetahui hikmahnya seperti apa yang dikemukakan oleh Imam ar-Razi dalam tafsir Qurannya sebagai berikut: 1. Riba adalah suatu perbuatan mengambil harta kawannya tanpaganti. Sebab orang yang meminjamkan uang 1 dirham dengan 2 dirham, misalnya, maka dia dapat tambahan satu dirham tanpa imbalan ganti. Sedang harta orang lain itu merupakan standardhidup dan mempunyai kehormatan yang sangat besar, seperti apayang disebut dalam hadis Nabi Muhammad SAW: 2. "Bahwa kehormatan harta manusia, sama dengan kehormatan darahnya."Oleh karena itu mengambil harta kawannya tanpa ganti, sudah pasti haramnya. 3. Bergantung kepada riba dapat menghalangi manusia dari kesibukan bekerja. Sebab kalau si pemilik uang yakin, bahwa dengan melalui riba dia akan beroleh tambahan uang, baik kontan ataupun berjangka, maka dia akan memudahkan persoalan mencari penghidupan, sehingga hampir-hampir dia tidak mau menanggung beratnya usaha, dagang dan pekerjaan-pekerjaan yang berat. Sedang hal semacam itu akan berakibat terputusnyabahan keperluan masyarakat. Satu hal yang tidak dapat disangkal lagi bahwa kemaslahatan dunia seratus persen

ditentukan oleh jalannya perdagangan, pekerjaan, perusahaan dan pembangunan.(Tidak diragukan lagi, bahwa hikmah ini pastidapat diterima, dipandang dari segi perekonomian). 4. Riba akan menyebabkan terputusnya sikap yang baik (ma'ruf)antara sesama manusia dalam bidang pinjam-meminjam. Sebab kalau riba itu diharamkan, maka seseorang akan merasa senang meminjamkan uang satu dirham dan kembalinya satu dirham juga.Tetapi kalau riba itu dihalalkan, maka sudah pasti kebutuhan orang akan menganggap berat dengan diambilnya uang satu dirham dengan diharuskannya mengembalikan dua dirham. Justru itu, maka terputuslah perasaan belas-kasih dan kebaikan. (Inisuatu alasan yang dapat diterima, dipandang dari segi etika). 5. Pada umumnya pemberi piutang adalah orang yang kaya, sedang peminjam adalah orang yang tidak mampu. Maka pendapat yang membolehkan riba, berarti memberikan jalan kepada orang kaya untuk mengambil harta orang miskin yang lemah sebagai tambahan. Sedang tidak layak berbuat demikian sebagai orang yang memperoleh rahmat Allah. (Ini ditinjau dari segi sosial). Ini semua dapat diartikan, bahwa dalam riba terdapat unsur pemerasan terhadap orang yang lemah demi kepentingan orang kuat (exploitasion de l'home par l'hom) dengan suatu kesimpulan: yang kaya bertambah kaya, sedang yang miskin tetap miskin. Hal mana akan mengarah kepada membesarkan satu kelas masyarakat atas pembiayaan kelas lain, yang memungkinkan akan menimbulkan golongan sakit hati dan pendengki; dan akan berakibat berkobarnya api pertentangan diantara anggota masyarakat serta membawa kepada pemberontakan oleh golongan ekstrimis dan kaum subversi.  from <http://de-kill.blogspot.com/2008/11/riba-dalam-islam.html>  

Minggu, 04 April 2010AYAT- AYAT AL-QURAN TENTANG PRODUKSI AYAT- AYAT AL-QURAN TENTANG PRODUKSI A. Ayat dan Terjemah Al-Quran tentang Produksia. Q.S An-Nahl : 65 – 69 Dan Allah menurunkan dari langit air (hujan) dan dengan air itu dihidupkan-Nya bumi sesudah matinya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaranTuhan) bagi orang-orang yang mendengarkan (pelajaran). (65) Dan Sesungguhnya pada binatang ternak itu benar-benar terdapat pelajaran bagi kamu. Kami memberimu minum dari pada apa yang berada dalam perutnya (berupa) susu yang bersih antara tahi dan darah, yang mudah ditelan bagi orang-orang yang meminumnya. (66) Dan dari buah korma dan anggur, kamu buat minimuman yang memabukkan dan rezki yang baik. Sesunggguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kebesaran Allah) bagi orang yang memikirkan.(67) Dan Tuhanmu mewahyukan kepada lebah: "Buatlah sarang-sarang di bukit-bukit, di pohon-pohon kayu, dan di tempat-tempat yang dibikin manusia",(68) Kemudian makanlah dari tiap-tiap (macam) buah-buahan dan tempuhlah jalan Tuhanmu yang telah dimudahkan (bagimu). dari perut lebah itu ke luar minuman (madu) yang bermacam-macam warnanya, di dalamnya terdapat obat yang menyembuhkan bagi manusia. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kebesaran Tuhan) bagi orang-orang yang memikirkan.(69) { Q.S An-Nahl : 65 – 69} b. Q.S An-Nahl : 80 – 81Dan Allah menjadikan bagimu rumah-rumahmu sebagai tempat tinggal dan Dia menjadikan bagi kamu rumah-rumah (kemah-kemah) dari kulit binatang ternak yang kamu merasa ringan (membawa)nya di waktu kamu berjalan dan waktu kamu bermukim

dan (dijadikan-Nya pula) dari bulu domba, bulu onta dan bulu kambing, alat-alat rumah tangga dan perhiasan (yang kamu pakai) sampai waktu (tertentu).(80) Dan Allah menjadikan bagimu tempat bernaung dari apa yang telah Dia ciptakan, dan Dia jadikan bagimu tempat-tempat tinggal di gunung-gunung, dan Dia jadikan bagimu pakaian yang memeliharamu dari panas dan pakaian (baju besi) yang memelihara kamu dalam peperangan. Demikianlah Allah menyempurnakan nikmat-Nya atasmu agar kamu berserah diri (kepada-Nya).(81) {Q.S An-Nahl: 80 – 81} c. Q.S Hud : 37 Dan buatlah bahtera itu dengan pengawasan dan petunjuk wahyu Kami, dan janganlah kamu bicarakan dengan aku tentang orang-orang yang zalim itu; Sesungguhnya mereka itu akan ditenggelamkan. {Q.S Huud: 37} B. Tafsir a. Q.S An-Nahl: 65-69Menurut Ahmad Mushtafa Al-Maroghi dalam tafsir Al-Maroghi, dalam ayat-ayat ini Allah menyajikan beberapa dalil tauhid, mengingat ia merupakan poros segala permasalahan di dalam agama Islam dan seluruh agama samawi. Maka diterangkan bahwa Dia telah menurunkan hujan dari langit agar dengan hujan itu bumi yang tadinya mati menjadi hidup, kemudian mengeluarkan susu dari binatang ternak, menjadikan khamar,cuka dan manisandari anggur dan buah kurma, serta mengeluarkan madu dari lebah yang di dalamnya terdapat obat yang menyembuhkan manusia. Seiring dengan penjelasan itu, Allah menjelaskan bahwa Dia mengilhamkan kepada lebah agar membuat sarang dan mencari rezekinya dari segala penjuru bumi.  b. Q.S An-Nahl: 80-81Menurut Ahmad Mushtafa Al-Maroghi dalam tafsir Al-Maroghi, menafsirkan ayat-ayat ini bahwa Allah telah menyebutkan

nikmat-nikmat yang Dia limpahkan kepada para hamba-Nya. Dimulai dengan nikmat yang dikhususkan bagi orang-orang yang bermukim, dengan Firman-Nya : “menjadikan bagimu rumah-rumahmu sebagai tempat tinggal” kemudian nikmat yang dikhususkan bagi para musafir yang mampu mendirikan kemah, dengan Firman-Nya : “menjadikan bagi kamu rumah-rumah (kemah-kemah) dari kulit binatang ternak”. Kemudian bagi orang yang tidak mampu melakukan hal itu, tidak pula mempunyai naungan selain daripada tempat bernaung, dengan Firman-Nya : “menjadikan bagimu tempat bernaung dari apa yang telah Dia ciptakan” . selanjutkan menyebutkan nikmat yang dibutuhkan oleh setiap orang, dengan Friman-Nya: “dan Dia jadikan bagimupakaian”. Lalu, menyebutkan apa yang diperlukan di dalam peperangan, dengan Firman-Nya: “dan pakaian (baju besi) yang memelihara kamu dalam peperangan”.  c. Q.S Huud: 37Menurut Ahmad Mushtafa Al-Maroghi dalam tafsir Al-Maroghi, menafsirkan ayat ini bahwa Allah memerintah Nuh untuk membuatsebuah kapal yang akan menyelamatkan kamu bersama orang yang beriman yang ikut naik kapal itu, sedang kamu akan dipeliharadan diawasi dengan perhatian Kami. Maksudnya, sesungguhnya Kami menjagamu pada setiap saat, sehingga taka nada seorang pun yang menghalangimu dari pemeliharaan Kami, dan Kami member ilham dan mengajarimu dengan wahyu Kami, sebagaimana cara kamu membuat kapal. Sehingga, kamu takkan salah dalam membuatnya, termasuk sifat kapal itu. Serupa dengan ayat tersebut, ialah Firman Allah kepada Musa: “Dan supaya kamu diasuh di bawah pengawasan-Ku” (Q.S Thaha: 39).  C. Analisis Produksi menurut Al-Qurana. Pengertian Produksi menurut Al-QuranDr. Muhammad Rawwas Qalahji memberikan padanan kata “produksi” dalam bahasa Arab dengan kata al-intaj yang secaraharfiyah dimaknai dengan ijadu sil’atin (mewujudkan atau mengadakan sesuatu) atau khidmatu mu’ayyanatin bi istikhdami

muzayyajin min ‘anashir al-intaj dhamina itharu zamanin muhaddadin (pelayanan jasa yang jelas dengan menuntut adanya bantuan pengabungan unsur-unsur produksi yang terbingkai dalam waktu yang terbatas). Pandangan Rawwas di atas mewakilibeberapa definisi yang ditawarkan oleh pemikir ekonomi lainnya.Hal senada juga diutarakan oleh Dr. Abdurrahman Yusro Ahmad dalam bukunya Muqaddimah fi ‘Ilm al-Iqtishad al-Islamiy. Abdurrahman lebih jauh menjelaskan bahwa dalam melakukan proses produksi yang dijadikan ukuran utamanya adalah nilai manfaat (utility) yang diambil dari hasil produksi tersebut. Produksi dalam pandangannya harus mengacu pada nilai utility dan masih dalam bingkai nilai ‘halal’ serta tidak membahayakan bagi diri seseorang ataupun sekelompok masyarakat. Dalam hal ini, Abdurrahman merefleksi pemikirannya dengan mengacu pada Q.S An-Nahl: 69 “Dari perut lebah itu ke luar minuman (madu) yang bermacam-macam warnanya, di dalamnya terdapat obat yang menyembuhkan bagi manusia”Dari pendapat pendapat diatas penulis dapat mendefinisikan bahwa produksi menurut Al Quran adalah mengadakan atau mewujudkan sesuatu barang atau jasa yang bertujuan untuk kemaslahatan manusia b. Etika Produksi dalam IslamNilai dan akhlak dalam ekonomi dan mu’amalah Islam, maka akantampak secara jelas di hadapan kita empat nilai utama, yaitu:Rabbaniyah (Ketuhanan), Akhlak, Kemanusiaan dan Pertengahan. Nilai-nilai ini menggambarkan kekhasan (keunikan) yang utama bagi ekonomi Islam, bahkan dalam kenyataannya merupakan kekhasan yang bersifat menyeluruh yang tampak jelas pada segala sesuatu yang berlandaskan ajaran Islam. Makna dan nilai-nilai pokok yang empat ini memiliki cabang, buah, dan dampak bagi seluruh segi ekonomi dan muamalah Islamiah di bidang harta berupa produksi, konsumsi, sirkulasi, dan distribusi.

Raafik Isaa Beekun dalam bukunya yang berjudul Islamic Bussines Ethics menyebutkan paling tidak ada sejumlah parameter kunci system etika Islam yang dapat dirangkum Sebagai Berikut:• Berbagai tindakan ataupun keputusan disebut etis bergantungpada niat individu yang melakukannya. Allah Maha Kuasa an mengetahui apapun niat kita sepenuhnya secara sempurna.• Niat baik yang diikuti tindakan yang baik akan dihitung sebagai ibadah. Niat yang halal tidak dapat mengubah tindakanyang haram menjadi halal.• Islammemberikan kebebasan kepada individu untuk percaya danbertindakberdasarkan apapun keinginannya, namun tidak dalam hal tanggungjawab keadilan.• PercayakepadaAllah SWT memberi individu kebebasan sepenuhnya dari hal apapun atau siapapun kecuali Allah.• Keputusan yang menguntungkan kelompok mamyoritas ataupun minoritas secara langsung bersifat etis dalam dirinya.etis bukanlahpermainan mengenai jumlah.• Islam mempergunakan pendekatan terbuka terhadap etika, bukan sebagai system yang tertutup, dan berorientasi diri sendiri. Egoisme tidak mendapat tempat dalam ajaran Islam.• Keputusan etis harus didasarkan pada pembacaan secara bersama-sama antara Al-Qur’an dan alam semesta.• Tidak seperti system etika yang diyakini banyak agama lain,Islam mendorong umat manusia untuk melaksanakan tazkiyah melalui partisipasi aktif dalam kehidupan ini. Dengan berprilaku secara etis di tengah godaan ujian dunia, kaum Muslim harus mampu membuktikan ketaatannya kepada Allah SWT. Surat An Nahl ayat 67 menjelaskan manfaat buah buahan yang dapat dimakan dan dapat menghasilkan minuman. Hanya saja minuman tersebut dapat beralih menjadi sesuatau yang buruk,karena memabukan. Dari sisi lain,karena wujudnya minuman tersebut di perlukan usaha manusia maka ayat ini menegaskan upaya manusia dengan menyatakan bahwa : dan disamping susu yang yang merupakan minuman lezat,dari buah

kurma dan buah anggur,kamu juga dapat membuat yang sesuatu darinya yakni dari hasil perasannya ,sejenis minuman yang dapat memabukkan dan rezeki yang baik dan tidak memabukkan,seperti perasan anggur atua kurma yang segar atau cuka.Ayat ini menegaskan bahwa kurma adan anggur dapat menghasilkan dua hal yang berbeda,yaitu minuman memabukkan dan rezeki yang baik. Jika demikian,minuman keras(yang memabukkan),baik yang terbuat dari anggur maupun kurma,bukanlah rezeki yang baik dan tidak layak untuk diproduksi apalagi diedarkan. Ayat ini adalah isyarat pertamalagi sepintas tentang keburukan minuman keras dan larangan memproduksi hal hal yang memudharatkan. Jadi yang diproduksi hendaknya yang bermanfaat saja bagi mausia.Peningkatan nilai guna barang adalah salah satu prinsip dalamproduksi akan tetapi dalam hal ini perlu di ketahui apa papa yang harus dijaduikan rambu rambu dalam memproduksi barang.Secara umum dapat dikatakan bahwa nilai nilai Islam terangkumdalam empat pokok: tauhid, keseimbangan, kehendak bebas, dan tanggug jawab.Keempat prinsip diatas harusnya mewarnai aktivitas setiap muslim dalam kegiatan ekonominya. Prinsip tauhid mengantarkanmanuisa dalam kegiatan produksi barang untuk meyakini bahwa segala sesuatu adalah nilik Alloh. Memang jika diamati secara,hasil hasil produksi yang dapat menghasilkan uang atauharta kekayaan,tidak lain kecuali hasil rekayasa manusia daribahan mentah yang telah disiapkan Alloh.Di sisi lain keberhasilan para pengusaha bukankan hanya disebabkan oleh hasil usahanya sendiri tetapi juga partisipasi orang lain atau masyrakat. Bukankah para pedagangmisalnya membutuhkan pembelinya agar hasil produksinya terjual? Kalau demikian pantas Alloh memerintahkan manusia untuk menysihkan sebagian yang berada dalam genggamannya(miliknya) demi kepentingan masyarakat umum. Darisini agama menetapkan keharusan adanya fungsi sosial bagi harta kekayaan.

Prinsip tauhid yang menghasilkan pandangan tentang kesatuan umat manusia mengantar seorang pengusaha muslim untuk menghindari segala bentuk eksploitasi terhadap sesama manusia. Prinsip keseimbangan mengantar kepada pencegahan segala bentuk monopoli dan pemusatan kekuatan ekonomi pada satu tangan atau satu kelompok. Atas dasar ini Al Qur’an menolak dengan amat tegas daur sermpit yang hanya berkisar pada orang orang atau kelompok tertentu. c. Modal dalam Al Qur’anDalam pandangan Al qur’an, uang merupakan modal serta salah satu faktor produksi yang penting, tapi bukan yang terpenting. Manusia menduduki tempat diatas modal disusul dengan sumber daya alam. Modal tidak boleh diabaikan,manusia berkewajiban menggunakannya agar terus produksif dan tidak habis digunakan. Karena itu seoarang wali yang menguasai harta orang orang yang tidak atau belum mampu mengurus hartanya agar mengembangkan harta yang berada di dalam kekuasaanya dan membiayai kebutuhan pemiliknya yang tidak mampu itu,dari keuntungan perputaran modal,bukan dari pokok modal. Ini di pahami dari redaksi surat An Nisa ayat 5:“Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. berilah mereka belanja dan pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik.”Orang yang belum sempurna akalnya ialah anak yatim yang belumbalig atau orang dewasa yang tidak dapat mengatur harta bendanya. d. Usaha Produksi yang baik “Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu menafkahkan

daripadanya, Padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memincingkan mata terhadapnya. dan ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji.” kata “yang baik” itu menurut keterangan jamaah adalah yang halal. Menurut keterangan jumhur yang terbaik diantara sebagian hasil usaha yang telah kamu dapat. Dari ayat ini dapat di istinbatkan hukum yaitu berusaha itu adalah satu pekerjaan yang boleh dikerjakan,bukan diwajibkan. Meriwayatkan Bhukhori dari hadis misdan Nabi Muhammad bersabda, Tidak ada makanan yang paling baik yang dimakan oleh seseorang selain daripada yang diusahakan oleh tangannyasendiri.Selain dari usaha tangan, juga dibolehkan usaha pertambangan,seperti mengeluarkan barang barang logam dan mineral dari tanah,atau bertindak sebagai petani. Itulah yang dimaksud oleh firman Alloh, “dari papa apa yang telah kami keluarkan dari dalam bumi untukmu” sangat pantas Imam Syafi’I mengatakan bahwa usaha yang paling baik adalah dari pertanian. Artinya langsung dari bumi.  D. SimpulanDari uraian di atas Penulis dapat menyimpulkan ayat-ayat Al-Quran tentang produksi sebagai berikut:• Produksi menurut Al Quran adalah mengadakan atau mewujudkansesuatu barang atau jasa yang bertujuan untuk kemaslahatan manusia.• Nilai-nilai pokok yang empat ini memiliki cabang, buah, dandampak bagi seluruh segi ekonomi dan muamalah Islamiah di bidang harta berupa produksi, konsumsi, sirkulasi, dan distribusi.• Manusia menduduki tempat diatas modal disusul dengan sumberdaya alam. Modal tidak boleh diabaikan,manusia berkewajiban menggunakannya agar terus produksif dan tidak habis digunakan. 

E. Referensi a. Ahmad Mushtaf Al-Maroghi. 1987. Penerjemah Anshori Umar Sitanggal dkk. Terjemah Tafsir Al-Maroghi. Semarang: Tohaputra Semarang.b. Faisal Badroen, dkk. 2005. Etika Bisnis dalam Islam. Jakarta: UIN Jakarta Press.c. Hasan Al-Banna. 2002. Risalah Pergerakan Jilid I. Jakarta:Gema Insani Press.d. Hasan Binjai, H. Abdul Halim. 2006. Tafsir Al Ahkam. Jakarta: kencana.e. Lajnah Pentashih Mushaf Al Qur’an. 1985. Al Qur’an dan Tafsirnya. Jakarta: Menara kudus.f. Qurays Shihab. 2002. Tafsir Al Misbah. Jakarta: Lentera Hati. from <http://hamz-sazied.blogspot.com/2010/04/ayat-ayat-al-quran-tentang-produksi.html>