Perang Dipanegara 1825-1830

24
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Kesultanan Mataram adalah kesultanan yang didirikan oleh Panembahan Senapati pada tahun 1582. Dalam perkembangannya, kesultanan ini kemudian runtuh lewat perjanjian Giyanti pada tahun 1755 1 . Isi perjanjian Giyanti adalah Kesultanan Mataram dibagi menjadi dua yaitu Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat yang dipimpin Pangeran Aria Mangkubumi yang kemudian bergelar Hamengku Buwono I dan Kasunanan Surakarta yang dipimpin oleh Pakubuwono III. Pada saat meninggalnya Sultan Hamengku Buwono III penerus kekuasaan saat itu masih berumur 14 tahun sehingga sesuai dengan keinginan Raffles maka Paku Alam I duduk menempati posisi yang ditinggalkan oleh Sultan Hamengku Buwono III. Sifat Paku Alam yang kooperatif kepada Inggris dan Belanda, sedangakan ada golongan warga Ngayogyakarta hadiningrat tidak 1 Suratmin dkk . Sejarah Perlawanan terhadap imperialism adan kolonilaisme di daerah istimewa Yogyakarta. Th 1990 hlm.87 1

Transcript of Perang Dipanegara 1825-1830

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Kesultanan Mataram adalah kesultanan yang

didirikan oleh Panembahan Senapati pada tahun 1582.

Dalam perkembangannya, kesultanan ini kemudian runtuh

lewat perjanjian Giyanti pada tahun 17551. Isi

perjanjian Giyanti adalah Kesultanan Mataram dibagi

menjadi dua yaitu Kesultanan Ngayogyakarta

Hadiningrat yang dipimpin Pangeran Aria Mangkubumi

yang kemudian bergelar Hamengku Buwono I dan

Kasunanan Surakarta yang dipimpin oleh Pakubuwono

III.

Pada saat meninggalnya Sultan Hamengku Buwono

III penerus kekuasaan saat itu masih berumur 14 tahun

sehingga sesuai dengan keinginan Raffles maka Paku

Alam I duduk menempati posisi yang ditinggalkan oleh

Sultan Hamengku Buwono III. Sifat Paku Alam yang

kooperatif kepada Inggris dan Belanda, sedangakan ada

golongan warga Ngayogyakarta hadiningrat tidak

1 Suratmin dkk . Sejarah Perlawanan terhadap imperialism adan kolonilaisme di daerah istimewa Yogyakarta. Th 1990 hlm.87

1

menyukai orang Eropa. Yang paling terlihat di

golongan ini adalah Pangeran Dipanegara.

Pangeran Dipanegara yang memiliki nama asli

pangeran Antawirya itu adalah putra Sultan yang

paling tua akan tetapi dari Selir sehingga tidak

dapat hak untuk menjadi sultan. Pangeran Dipangera

tidak menerima karena tidak memiliki kuasa apapun

dalam pemerintahan. Terlebih lagi ketika Sultan IV

naik tahta, sultan tunduk pada penguasa eropa.Karena

Sultan Sepuh (Hamengkubowono II) dulu juga tidak suka

kepada bangsa Eropa,maka golongan Dipanegara ini

disebut juga Golongan kasepuhan2

Sultan Hamengku Buwono IV naik tahta tidak

lama,hanya dua tahun kemudian dia meninggal. Saat itu

ahli warisnya masih berusia dua tahun. Para petinggi

keraton meminta pemerintah tinggi di Batavia supaya

Pangreh Praja jangan diberikan Paku Alam I.

Permintaan itu dituruti oleh pemerintah Hindia

Belanda di Batavia, masalah Pangreh Praja dan Pepatih

dalem diangkat Rijksbestuurder dan segala tindakanya

diawasi oleh Residen.

2 L. Van Rijkevorsel . Babad tanah Jawi. Th 1925 hlm.73

2

Sedangkan saat Prabu Timur naik tahta pada saat

usianya baru berumur 3 tahun sehingga dibentuk dewan

perwalian yang terdiri dari Kanjeng Ratu Ageng,

Kanjeng Ratu Kencana, Pangeran Mangkubumi, dan

Pangeran Dipanegara. Pangeran Dipanegara yang

notabene adalah bagian dari dewan perwalian sering

tidak diajak berdiskusi dalam rapat dewan perwalian.

Terlebih lagi sikap pepatih dalem yang sangat tunduk

kepada belanda membuat Pangeran Dipanegara semakin

tidak nyaman berada di keraton.

Selain itu peraturan Belanda yang menyewa tanah

yang ada di Ngayogyakarta saat itu memang tidak baik.

Pada tahun 1774 kekuasaan ada 677.000 cacah dan opada

tahun 1820 hanya disisakan 52.300 cacah3. Sejak tanah

kesultanan di tahun 1812 setelah wilayah kedu

terpisah dari kekuasaan Ngayogyakarta.

Peraturan ini ditentang oleh golongan Kasepuhan

yang dipimpin oleh Pangeran Dipanegara,karena tidak

tahan dengan perlakuan para pemegang kekuasaan maka

Pangeran Dipanegara meninggalkan Keraton dan

berpindah ke desa Tegalrejo.

3 L. Van Rijkevorsel . Babad tanah Jawi. Th 1925 hlm.73

3

Bagaimana Proses perlawanan Pangeran Dipanegara

bersama golongan kasepuhan menghadapi kekuatan

Belanda ,Kraton Ngayogyakarta dan Mangkunegran? Akan

dibahas dalam makalah ini

1.2 Rumusan Masalah

Bagaimana jalannya pertempuran antara Pangeran

Dipanegara dengan Belanda?

Bagaimana akhir perlawanan Pangeran Dipanegara?

Apa akibat dari perang Dipanegara terhadap

kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat?

1.3 Ruang Lingkup

Makalah ini membahas tentang Perang Jawa beserta

keadaan di keraton Ngayogyakarta Hadiningrat dan

wilayah wilayah lain di Kedu,Bagelen dan Klaten,

Ruang lingkup spasial makalah ini adalah wilayah

Kerajaan Ngayogyakarta Hadiningrat pada masa

kepimpinan Sultan Hamengku Buwono V yang meliputi

Yogyakarta, Kedu dan Bagelen.

Ruang lingkup temporal makalah ini adalah selama

berlangsungnya Perang Jawa. yaitu pada kurun waktu

1825 hingga 1830

1.4 Tujuan Penulisan

4

Tujuan dari penulisan makalah ini adalah

mengetahui tentang perjuangan Pangeran Dipanegara dan

golongan Kasepuhan dalam melawan Belanda beserta

dinamika yang ada di Keraton Ngayogyakarta

Hadiningrat. Juga adalah untuk menambah pengetahuan

kami atas sejarah.

1.5 Metode Penulisan

Metode yang dipakai dalam penulisan makalah ini

adalah studi pustaka. Saya mengumpulkan sumber di

perpustakaan pusat Universitas Indonesia dan

menggunakan buku buku koleksi pribadi yang berkaitan

dengan tema makalah ini.

Setelah menemukan sumber saya mengolah sumber

tersebut dengan cara memverifikasi sumber sumber yang

telah ditemukan. Dari sember tersebut saya menyusun

makalah ini sesuai tema yang saya angkat.

1.6 Tinjauan Pustaka

L Van Rijckevorsel dan R.D.S Hadiwidjana .

Babad tanah djawi. 1925

Babad ini menceritakan tentang raja raja di

jawa sejak zaman Tarumanegara hingga perang

Dipanegara

5

Muhammad Yamin . Sejarah Peperangan

Dipanegara. 1998.

Buku ini bercerita tentang sejarah perang

Dipanegara yang terjadi sejak 1825 hingga

1830

Suratmin dkk. Sejarah Perlawanan terhadap

Imperialisme dan Kolonialisme di Daerah

Istimewa Yogyakarta. 1999.

Nugroho Notosusanto. Sejarah Nasional

Indonesia IV .Jakarta. Buku ini berisi

tantang sejarah di Indonesia pada masa

kolonial

Buku Ini menjelaskan tentang sejarah

perseteruan antara Tokoh tokoh di wilayah

kesultanan Mataram dan Ngayogyakarta

hadiningrat sejak 1628 ketika Sultan Agung

menyerang Batavia hingga Pertempuran

Kotabaru

6

BAB II

2.1 Keadaan Ngayogyakarta sebelum Perang Jawa

Kesultanan Ngayogyakarta dulunya adalah

Kesultanan Mataram yang kemudian dibagi menjadi dua

pada perjanjian Giyanti pada tahun 1755. Kesultanan

Ngayogyakarta Hadiningrat pada tahun 1822 dipimpin

oleh Sultan Hamengku buwono V atau Sultan Menol.

Karena usianya yang masih sangat muda maka dibentuk

dewan perwalian yaitu Kanjeng Ratu Agung yang

merupakan permaisuri dari Sultan Hamengku buwono

III , Kanjeng Ratu Kencana yang merupakan Permaisuri

Sultan Hamengku buwono IV , Pangeran Mangkubumi yang

adalah putra Sultan Hamengku Buwono I dan Pangeran

Dipanegara.

Akan tetapi kemudian Pangeran Dipanegara

mengundurkan diri karena sering tidak diajak

bermusyawarah dan masalah internal dalam Kraton yang

terlalu dipengaruhi oleh Belanda yang menurut

pangeran Dipanegara sangat bertentangan dengan ajaran

islam.

Karena Sultan yang masih muda maka urusan

kerajaan banyak yang dilakukan oleh Patih Danurejo IV

yang berhubungan dekat dengan Belanda. Adat istiadat

7

ala barat telah masuk kedalam keraton . Para pembesar

dan petinggi Belanda sering mengadakan pesta hingga

tengah malam dan minum minuman keras yang menurut

Pangeran Dipanegara bertentangan dengan Islam dan

juga merupakan pemborosan.

2.2 Awal Perang Jawa

Residen Belanda di Yogyakarta waktu itu , A.H

Smissaert bersama Patih Danurejo IV berencana

membangun Jalan raya yang kebetulan melintasi tanah

milik Pangeran Dipanegara di Tegalrejo. Kemudian

Patih Danurejo dan anak buahnya memasang patok patok

di tanah Pangeran Dipanegara. Pangeran Dipanegara

kemudian tidak terima mengutus anak buahnya untuk

mencopot patok patok yang dipasang oleh Danurejo.

Kemudian setiap Patih Danurejo memancangkan patok

patok itu maka setiap itu pulalah Pangeran Dipanegara

mencabutnya. Inilah awal pertentangan antara Pangeran

Dipanegara dengan Patih Danurejo IV dan Belanda.

Akhirnya terdengar kabar bahwa Belanda akan

menyerang Tegalrejo dan menangkap Pangeran

Dipanegara. Pangeran Dipanegara kemudian mengadakan

rapat dengan para keluarga dan pengikutnya seperti

Kyai Maja dan Sentot Ali Basha untuk mengambil

8

tindakan tindakan yang perlu diambil jika Belanda

benar benar menyerang Tegalrejo.

Kemudian Sultan Hamengku buwono V mengutus

Pangeran Mangkubumi untuk datang ke Tegalrejo dan

menanyakan mengapa pangeran Dipanegara mengumpulkan

rakyat di desanya. Pangeran Dipanegara kemudian

menjawab bahwa mereka berkumpul untuk mengahadapi

serangan Belanda. Kemudian dari kraton mengutus Patih

Danurejo IV untuk mengundang Pangeran Dipanegara

menghadap Sultan di kraton tapi Pangeran Dipanegara

menolak. Datang lagi Pangeran Mangkubumi sebagai

utusan dari residen Yogyakarta untuk mengundang

Pangeran Dipanegara untuk datang ke Loji residen.

Atas keinginan dari rakyat maka pangeran Dipanegara

kembali menolak ajakan itu dan rakyat bersedia

menanggung akibatnya. Pangeran Dipanegara bahkan

berbalik mendukung Pangeran Dipanegara dan tidak

bersedia kembali ke kraton maupun ke residen.

Pangeran Mangkubumi kemudian menyarakan agar

wanita,anak anak dan orang tua dipindahkan ke

Selarong daerah Bantul. Datanglah utusan dari

residen untuk menjemput Pangeran Mangkubumi kembali

ke kraton. Utusan itu juga membawa surat bagi

9

pangeran Dipanegara yang isinya menanyakan kehendak

pangeran Dipanegara mengumpulkan rakyat. Ketika

Pangeran Mangkubumi sedang menulis surat balasan tiba

tiba terdengar letusan senjata tentara Belanda yang

menyerang Tegalrejo. Mulailah perlawanan Pangeran

Dipanegara pada tanggal 20 Juli 1825.

Ketika dea Tegalrejo dibakar oleh tentara

Belanda, Pangeran Dipanegara bersama pengikutnya

menyingkir ke Bantul di daerah Kalisoka. Di desa

Kalisoka Pangeran Dipanegara disambut oleh pasukan

rakyat yang telah menunggu kedatangan Pangeran

Dipanegara.

Anak anak, Wanita dan Orang tua tetap tinggal di

Kalisoka dan Pangeran Mangkubumi ditunjuk sebagai

pelindungnya. Pangeran Dipanegara bermarkas di

Selarong. Di markas besar Selarong ini berkumpul para

Pangeran dan Pangeran Dipanegara menyusun strategi di

markas Selarong.

Di Selarong Pangeran Dipanegara mambagi tugas

untuk melakukan perlawanan. Pangeran Dipanegara

Anom ,putra pangeran Dipanegara, dan Tumenggung

Danukusuma diberi tugas untuk melakukan perlawanan di

daerah Bagelen. Pangeran Adiwinono dan Mangundipuro

10

mendapat tugas mengadakan perlawanan di daerah Kedu

dan sekitarnya . Pangeran Abu Bakar dan Tumenggung

Jaya Mustopo mengadakan perlawanan di daerah Lowano.

Pangeran Adisurya dan Pangeran Sumonegoro mengadakan

perlawanan di Kulon Progo Tumenggung Cokronegoro

memimpin pasukan di Godean. Pangeran Joyokusumo

( Pangeran Bei ) memimpin pasukan di utara Yogyakarta

dibantu Tumenggung Suradilogo. Yogyakarta bagian

timur diserahkan kepada Tumenggung Suryonegoro dan

Tumenggung Suronegoro. Pertahanan di Selarong

diberikan kepada Joyonegoro,pangeran Suryodiningrat

dan Pangeran Joyowinoto. Gunung Kidul diberikan

kepada pangeran Singosari dan Pangeran Warakusumo.

Perlawanan di daerah Pajang dipegang oleh Pangeran

Mertoloyo Pangeran Wiryokusumo, Tumenggung Sindurejo

dan Pangeran Diporejo. Perlawanan di Sukawati

dipimpin oleh Kertonegara , Bupati Mangunnegara

memimpin perlawanan di Madiun Magetan dan Kediri.

Insiden Tegalrejo dengan cepat terdengar oleh

Van der Capellen mengirim Jenderal De Kock untuk

mengambil tindakan dan memulikan kemanan, Jenderal de

Kock sampai di Semarang tanggal 29 Juli 1825 dan tiba

di Surakarta pada tanggal 30 Juli 1825 . Susuhan

Pakubuwana VI menyatakan kesediaanya untuk membantu

11

Jendral de Kock memadamkan perlawanan Pangeran

Dipanegara.

2.3 Jalannya Perang Jawa

Untuk memadamkan perlawanan rakyat di Yogyakarta

Belanda mengirim pasukan bantuan dari Semarang.

Sesampainya di lembah Logerok (Lembah Pisangan) bala

bantuan yang dipimpin kapten Keemsius tadi disergap

oleh pasukan Dipanegara dibawah pimpinan

Musyosentika. Sebagian besar pasukan itu yang

berjumlah 200 orang tewas,senjata senjata mereka

dirampas beserta uang 50.000 gulden yang akan

disampaikan kepada residen Yogyakarta. Barang

rampasan ini kemudian dibawa ke Selarong kemenangan

pertama ini terjadi pada akhir Juli 1825.

Bala bantuan dari timur terdiri dari legiun

Mangkunegaran yang dipimpin Raden mas Suwongso,

menantu Mangkunegoro disergap di desa Randugunting

(Kalasan) . Hampir seluruh prajurit Mangkunegaran

tewas. Pemimpinnya Raden Mas Suwongso tertawan dan

dibawa ke Selarong,tetapi kemudian dibebaskan kembali

oleh Pangeran Dipanegara.

Mendengar berita kemenangan pasukan Dipanegara

di logorok dan Randugunting dan di lain lain tempat,

12

rakyat semakin bergerak dan kuat. Keluarga Keraton

Yogyakarta ketakutan dan bersembunyi di benteng

Belanda. Banyak alim ulama kraton yang meninggalkan

kraton dan bergabung dengan pasukan Dipanegara.

Pertempuran di daerah kedu berlangsung sengit.

Pasukan Belanda dibantu Bupati Magelang Tumenggung

Dnuningrat. Pasukan rakyat yang disebut “Bulkiya”

menyerang pasukan Belanda dan Danuningrat. Pasukan

Bulkiya yang terkenal sebagai pasukan berani mati ini

dipimpin oleh Haji Usaman Alibasah dan Haji

Abdulkabir. Bersama pasukan yang dipimpin Tumenggung

Seconegara, pasukan Dipanegara dapat memukul mundur

pasukan Belanda dan menewaskan Bupati Magelang,

Tumenggung Danuningrat.

Didaerah Menoreh Pasukan Dipanegara juga

mendapat kemenangan. Pasukan Belanda mendapat pukulan

hebat. Bupati Menoreh Ario Sumodilogo tewas dalam

pertempuran melawan tentara Dipanegara.

Pertempuran terus berkobar dimana mana dan

kemenangan demi kemenangan diadapat oleh Pasukan

Dipanegara. Jenderal de Kock dan pihak kraton ingin

berunding dengan Pangeran Dipanegara. Pada Tanggal 7

Agustus 1825 jenderal de Kock mengirim surat sampai

13

dua kali dari Surakarta. De Kock juga berjanji akan

memeberi jaminan mau mengadakan perundingan dengan

pihak Belanda dan kraton.

Agar kedudukanya sejajar dengan pihak lawan

dalam perundingan itu maka Pangeran Dipanegara

mengangkat dirinya sebagai raja dengan gelar Sultan

Ngbdulhamid Amirul Mukminin Khalifatullah Jawa.

Kenyataanya jenderal de Kock tidak datang ke

Selarong.

Perlwanan rakyat terus berkobar , upaya de Kock

untuk mengatasi perlawanan rakyat adalah degan cara

memanggil opsir opsir yang bertugas diluar Jawa untuk

menghadapi Dipanegara. Jenderal Van Geen yang

bertugas memadamkan perlawanan di Sulawesi ditarik ke

Jawa, selama berminggu minggu dia harus bertempur

melawan rakyat Semarang yang dipimpin oleh Pangeran

Serang. Pangeran Serang kemudian menuju ke Sukawati

diselatan bergabung dengan pasukan Kartodirja.

Kemudian mereka memimpin perlawanan rakyat di

Rembang, Blora dan Bojonegara. Tumenggung Kartadirja

tertembak kakinya kemudian ditawan di Semarang.

Kemudian Pangeran Serang bergabung ke Madiun dan

14

selanjutnya bergabung dengan Pangeran Dipanegara di

Yogyakarta.

Jenderal de Kock berusaha mengepung markas

pangeran Dipanegara di Selarong akan tetapi untuk

mengepung Selarong de Kock terlebih dahulu harus

menghadapi perlawanan rakyat di

Semarang,Bagelen,Kedu, Banyumas Madiun dan

Surakarta. Untuk itu de Kock menugaskan tangan

kanannya yaitu Letkol Diell dan Letkol Cleerens.

Letkol Diell menghadapi perlawanan rakyat di Banyumas

dan Letkol Cleerens di Tegal dan Pekalongan.

Pasukan Belanda mengadakan serangan besar

besaran ke Selarong pada 2 dan 4 Oktober 1825 namun

Selarong sudah kosong karena Pangeran Dipanegara

memindahkan markasnya ke Dekso. Para wanita,anak anak

dan orang tua dipindahkan ke Suwela. Di situ Pangeran

Dipanegara memperkuat dan memperbaiki pasukannya. Ia

membentuk kesatuan pasukan baru dengan Senapati

tangguh dan berpengalaman.

Pada akhir tahun 1825 Pasukan Dipanegara

berhasil memukul mundur pasukan Belanda yang

menyerang Imogiri. Di Yogya timur Tumenggung

Suronegoro berhasil menggempur pertahanan Belanda dan

15

mampu mengambil banyak senapan dan meriam dari

Belanda.

Hanya di Yogya bagian barat pasukan Belanda

mampu mengepung Dekso,markas pangeran Dipanegara.

Kemudian pada tanggal 16 April 1826 pasukan gabungan

Belanda dan Mangkunegaran menyerang pertahanan

Pasukan Dipangera di Plered,tapi kemudian

ditinggalkan dan diduduki kembali oleh pasukan

Dipanegara. Pada 6 Juni dibawah pimpinan Kol Cochius,

Pangeran Suria mataram dan pangeran Suriadiningrat.

Kraton Tua Plered kembali dikuasai oleh Pasukan

Belanda dan Mangkunegaran.

Pada 8 Juli 1826 Dekso diserang akan tetapi

pangeran dipanegara telah berpindah ke desa Kasuran.

Kemudian tanggal 28 Juli pasukan Belanda kembali

bergerak menuju Yogyakarta,di Kasuran pasukan Belanda

disergap oleh Pasukan Dipanegara Van Geen kabur dan

Kol Cochius dan dua orang bangsawan kraton tewas.

Selama tahun 1826 Pangeran Dipanegara selalu

memenangkan pertempuran melawan Belanda dan

Mangkunegaran. Perlawanan rakyat di Bagelen berhasil

memukul mundur Belanda. Pangeran Bei memenangkan

pertempuran di Kejiwan. Dalam pertempuran di Delanggu

16

pasukan Dipanegara berhasil memenangkan pertempuran

sengit, dan mendapatkan berpuluh senapan dan dua

belas meriam, pertempuran di Delanggu adalah

kemenangan terbesar bagi pihak Pangeran Dipanegara.

Karena mengalami kekalahan berturut turut sejak

awal perang de Kock kemudian mengangkat kembali

Sultan Hamengkubuwono II pada 1826. Pengangkatan ini

bermaksud agar pimpinan perjuangan rakyat yang dulu

setia kepada Sultan Sepuh mau meninggalkan perjuagan

dan kembali ke kraton. Akan tetapi pemimpin pasukan

tetap setia kepada Pangeran Diponegoro, dan tetap

melanjutkan perlawanan.

Pada tahun 1827 karena telah menelan kekalahan

bertubi tubi sejak dua tahun berperang. Jenderal de

Kock mengubah siasat perang menjadi Benteng Stelsel,

yaitu dengan mendirikan benteng di tempat yang

diduduki. Siasat ini untuk mengimbangi siasat perang

gerilya yang dilakukan oleh Pangeran Dipanegara yang

selalu berpindah tempat. Sehingga pasukan de Kock

tidak perlu mencari Dipanegara. Total 200 benteng

dibangun untuk mengatasi perlawanan Pangeran

Dipanegara.

17

Strategi benteng stelsel ini tidak langsng

behasil karena pasukan Dipanegara masih memenangkan

pertempuran pertempuran di Kedu. Di Banyumas pasukan

Belanda bahkan harus kehilangan letkol Diels dan

letkol de Bost. Hanya pasukan di daerah yogya selatan

yang mamp dimenangkan oleh pasukan Belanda dimana

Pangeran Notonegoro dan Pangeran Serang menyerah pada

tanggal 21 Juni 1827 atas bujukan residen Yogya, van

Lowick. Itu merupakan pukulan telak bagi pasukan

Dipanegara.

Pada 1828 Belanda memindahkan markasnya ke

Magelang Karena dinilai leih strategis.,sebab

lokasinya yang strategis untuk memadamkan perlawanan

rakyat. Belanda terus memperkuat jaringan

bentengnya, mereka mempersempit ruang gerak pasukan

Dipanegara. Pada 1828 tepatnya pada tanggal 18 April

Pangeran Natadiningrat putra Pangeran Mangkubumi

menyerah. Penyerahan ini sangat menggembirakan bagi

Belanda karena Belanda berharap Pangeran Mangkubumi

juga ikut menyerah ke Belanda.

Disamping persenjataan yang lengkap dan modern.

Belanda juga melancarkan cara lain untuk mempengaruhi

18

para pemimpin pasukan Dipanegara untuk menyerahkan

diri denagn iming iming posisi di kraton.

Pada akhir 1828 terjadi pertempuran di

Penangguhan. Disini jatuh banyak korban dari Belanda

maupun dari pasukan pangeran Dipanegara. Kapten Van

Ingen dan Pangeran Prangwedana tewas dan di pihak

Dipanegara komandan pasukan Mantirejon meninggal.

Kedua belah pasukan menarik diri dari pertempuran

ini.

BAB III

3.1 Akhir perang Jawa

Pada awal tahun 1829 terjadi pergantian pimpinan

dalam pemerintahan Kolonial Belanda di Indonesia.

Komiaris Dus Bus akan diganti oleh Johannes van Den

Bosch sebagai Gubernur Jenderal. Jenderal Marcus de

Kock diganti oleh Mayor Jendral Benyamin Bisschof.

Mayor Bisshof tiba di Jakarta tanggal 13 Mei

1939. Jenderal ini kondisinya lemah dan ia meninggal

di Cianjur Jawa barat pada 7 Juni 1939. Sehingga

Jendeeral de Kock minta memimpin pasukan Belanda

melawan Dipanegara.

19

Sementara terjadi pergantian kekuasaan di

Belanda Pangeran Dipanegara terus melanjutkan

perlawanan di Bagelen dan Banyumas. Yogyakarta

selatan perlawanan rakyat dibawah Pangeran Bei

mengadakan perlawanan terhadap pos pos pertahanan

Belanda. Karena kewalahan Belanda mendatangakan bala

bantuan dari Sulawesi, Maluku, Bali dan Eropa.

Perundingan perundingan gagal terwujud antara

dua pihak. Ketika Belanda berusaha menangkap

Mangkubumi yang menjaga wanita dan anak anak di

Kulur,pasukajn belanda tiba tiba diserang oleh Sentot

Prawiradirja. Markas pertahanan Pangeran Bei diserang

oleh Belanda, Pangeran Bei terluka dalam penyerangan

itu, R Joyonegara yang datang membantu tidak mampu

menahan pasukan Belanda.

Pada 1829 diluar Yogyakarta banyak Tumenggung

yang menyerah kepada Belanda. Istri pangeran

Mangkubumi juga menyerah pada tahun yang sama.

Kemudian karena usia yang tua Pangeran Mangkubumi

kembali ke Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat.

Keadaan semakin memburuk bagi Pangeran

Dipanegara, Sentot Prawiradirja menyerah ke Belanda.

Para Pangeran juga menyerah kepada Belanda dan

20

kembali ke kraton Ngayogyakarta. Akan tetepi Pangeran

Dipanegara tetap mengadakan perlawanan di daerah

Kedu.

Pada 17 Februari Letkol Cleerens mengahadap

Pangeran Dipanegara untuk mengajak berunding di

Karesidenan. Pada 18 Maret Pangeran Dipanegara tiba

di Magelang dengan berkuda tepat pada bulan Ramadhan.

Dipanegara kemudian mengusulkan agar perundingan baru

diadakan setelah Idul Fitri yang jatuh pada 27 maret

1830.

Sehari setelah Idul Fitri pada tanggal 28 Maret

1830 perundingan dilaksanakan. Tuntutan pangeran

Dipanegara agar mendirikan negara merdeka yang

bersendikan syariat dan Islam. Karena tuntutan

Dipanegara dinilai berlebihan kemudian Pangeran

Dipanegara ditangkap kemudian dibuang ke Manado.

Dengan demikian berakhirlah Perang Jawa yang

dipimpin oleh Pangeran Dipanegara melawan kraton dan

Belanda.

2.3 Dampak Perang Jawa

Akibat dari perang Jawa adalah Belanda harus

membayar biaya perang sebesar 20 Juta Gulden. Jumlah

21

yang sangat banyak pada waktu itu. Sehingga untuk

menutupi kerugian itu Den Bosch menciptakan Cuultur

stelsel.

Sehingga bencana kelaparan melanda tanah

jawa, di Demak 65% penduduknya meninggal karena

kelaparan. Di Grobogan rakyatnya hanya tinggal 9000

orang saja karena penduduknya 90% menjadi korban.

Sultan Pakubuwana yang tadinya mendukung belanda

kemudian berbalik menentang belanda dan kemudian

memberontak,hal ini dikarenakan Belanda mencaplok

wilayah milik kesultanan Surakarta. Sultan Pakubuwana

yang melakukan perlawanan kemudian dibuang ke Ambon.

BAB IV

PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Perang Jawa yang dipimpin oleh Pangeran

Dipanegara dan golongan kasepuhan sebenarnya adalah

perang antara Rakyat dan Punggawa Kraton

22

Ngayogyakarta melawan Belanda dan Dalem

Mangkunegaran.

Perang yang dimulai oleh pada 1825 ini

melibatkan keluarga kesultanan yang loyal kepada

Sultan Hamengku Buwana II atau Sultan Sepuh. Perang

ini berkobar nyaris diseluruh wilayah kekuasaan

Kesultanan Ngayogyakarta hadiningrat dan juga

sebagian Surakarta.

Pada dua tahun awal perang ini pasukan

Dipanegara mendpatkan kemenangan nyaris diseluruh

pertempuran. Akan tetapi strategi Benteng stelsel

membuat pasukan Dipanegara kesulitan. Belanda yang

mengiming imingi para pemimpin pasukan Dipanegara

untuk kembali ke kraton membuat pasukan Dipanegara

semakin lemah. Sehingga pada tahun 1830 pasukan

Dipanegara melemah dan Pangeran Dipanegara menerima

ajakan perundingan yang ditawarkan de Kock.Pada

perundingan tersebut Pangeran Dipanegara ditangkap

dan berakhirlah perlawanan Pangeran Dipanegara

Dampak yang ditimbulkan dari perang sendiri

adalah kebijakan kebijakan pemerintah Belanda yang

memeras rakyat untuk mengganti biaya perang

Dipanegara yang sangat besar.

23

24