Perang Dipanegara 1825-1830
-
Upload
independent -
Category
Documents
-
view
0 -
download
0
Transcript of Perang Dipanegara 1825-1830
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Kesultanan Mataram adalah kesultanan yang
didirikan oleh Panembahan Senapati pada tahun 1582.
Dalam perkembangannya, kesultanan ini kemudian runtuh
lewat perjanjian Giyanti pada tahun 17551. Isi
perjanjian Giyanti adalah Kesultanan Mataram dibagi
menjadi dua yaitu Kesultanan Ngayogyakarta
Hadiningrat yang dipimpin Pangeran Aria Mangkubumi
yang kemudian bergelar Hamengku Buwono I dan
Kasunanan Surakarta yang dipimpin oleh Pakubuwono
III.
Pada saat meninggalnya Sultan Hamengku Buwono
III penerus kekuasaan saat itu masih berumur 14 tahun
sehingga sesuai dengan keinginan Raffles maka Paku
Alam I duduk menempati posisi yang ditinggalkan oleh
Sultan Hamengku Buwono III. Sifat Paku Alam yang
kooperatif kepada Inggris dan Belanda, sedangakan ada
golongan warga Ngayogyakarta hadiningrat tidak
1 Suratmin dkk . Sejarah Perlawanan terhadap imperialism adan kolonilaisme di daerah istimewa Yogyakarta. Th 1990 hlm.87
1
menyukai orang Eropa. Yang paling terlihat di
golongan ini adalah Pangeran Dipanegara.
Pangeran Dipanegara yang memiliki nama asli
pangeran Antawirya itu adalah putra Sultan yang
paling tua akan tetapi dari Selir sehingga tidak
dapat hak untuk menjadi sultan. Pangeran Dipangera
tidak menerima karena tidak memiliki kuasa apapun
dalam pemerintahan. Terlebih lagi ketika Sultan IV
naik tahta, sultan tunduk pada penguasa eropa.Karena
Sultan Sepuh (Hamengkubowono II) dulu juga tidak suka
kepada bangsa Eropa,maka golongan Dipanegara ini
disebut juga Golongan kasepuhan2
Sultan Hamengku Buwono IV naik tahta tidak
lama,hanya dua tahun kemudian dia meninggal. Saat itu
ahli warisnya masih berusia dua tahun. Para petinggi
keraton meminta pemerintah tinggi di Batavia supaya
Pangreh Praja jangan diberikan Paku Alam I.
Permintaan itu dituruti oleh pemerintah Hindia
Belanda di Batavia, masalah Pangreh Praja dan Pepatih
dalem diangkat Rijksbestuurder dan segala tindakanya
diawasi oleh Residen.
2 L. Van Rijkevorsel . Babad tanah Jawi. Th 1925 hlm.73
2
Sedangkan saat Prabu Timur naik tahta pada saat
usianya baru berumur 3 tahun sehingga dibentuk dewan
perwalian yang terdiri dari Kanjeng Ratu Ageng,
Kanjeng Ratu Kencana, Pangeran Mangkubumi, dan
Pangeran Dipanegara. Pangeran Dipanegara yang
notabene adalah bagian dari dewan perwalian sering
tidak diajak berdiskusi dalam rapat dewan perwalian.
Terlebih lagi sikap pepatih dalem yang sangat tunduk
kepada belanda membuat Pangeran Dipanegara semakin
tidak nyaman berada di keraton.
Selain itu peraturan Belanda yang menyewa tanah
yang ada di Ngayogyakarta saat itu memang tidak baik.
Pada tahun 1774 kekuasaan ada 677.000 cacah dan opada
tahun 1820 hanya disisakan 52.300 cacah3. Sejak tanah
kesultanan di tahun 1812 setelah wilayah kedu
terpisah dari kekuasaan Ngayogyakarta.
Peraturan ini ditentang oleh golongan Kasepuhan
yang dipimpin oleh Pangeran Dipanegara,karena tidak
tahan dengan perlakuan para pemegang kekuasaan maka
Pangeran Dipanegara meninggalkan Keraton dan
berpindah ke desa Tegalrejo.
3 L. Van Rijkevorsel . Babad tanah Jawi. Th 1925 hlm.73
3
Bagaimana Proses perlawanan Pangeran Dipanegara
bersama golongan kasepuhan menghadapi kekuatan
Belanda ,Kraton Ngayogyakarta dan Mangkunegran? Akan
dibahas dalam makalah ini
1.2 Rumusan Masalah
Bagaimana jalannya pertempuran antara Pangeran
Dipanegara dengan Belanda?
Bagaimana akhir perlawanan Pangeran Dipanegara?
Apa akibat dari perang Dipanegara terhadap
kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat?
1.3 Ruang Lingkup
Makalah ini membahas tentang Perang Jawa beserta
keadaan di keraton Ngayogyakarta Hadiningrat dan
wilayah wilayah lain di Kedu,Bagelen dan Klaten,
Ruang lingkup spasial makalah ini adalah wilayah
Kerajaan Ngayogyakarta Hadiningrat pada masa
kepimpinan Sultan Hamengku Buwono V yang meliputi
Yogyakarta, Kedu dan Bagelen.
Ruang lingkup temporal makalah ini adalah selama
berlangsungnya Perang Jawa. yaitu pada kurun waktu
1825 hingga 1830
1.4 Tujuan Penulisan
4
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah
mengetahui tentang perjuangan Pangeran Dipanegara dan
golongan Kasepuhan dalam melawan Belanda beserta
dinamika yang ada di Keraton Ngayogyakarta
Hadiningrat. Juga adalah untuk menambah pengetahuan
kami atas sejarah.
1.5 Metode Penulisan
Metode yang dipakai dalam penulisan makalah ini
adalah studi pustaka. Saya mengumpulkan sumber di
perpustakaan pusat Universitas Indonesia dan
menggunakan buku buku koleksi pribadi yang berkaitan
dengan tema makalah ini.
Setelah menemukan sumber saya mengolah sumber
tersebut dengan cara memverifikasi sumber sumber yang
telah ditemukan. Dari sember tersebut saya menyusun
makalah ini sesuai tema yang saya angkat.
1.6 Tinjauan Pustaka
L Van Rijckevorsel dan R.D.S Hadiwidjana .
Babad tanah djawi. 1925
Babad ini menceritakan tentang raja raja di
jawa sejak zaman Tarumanegara hingga perang
Dipanegara
5
Muhammad Yamin . Sejarah Peperangan
Dipanegara. 1998.
Buku ini bercerita tentang sejarah perang
Dipanegara yang terjadi sejak 1825 hingga
1830
Suratmin dkk. Sejarah Perlawanan terhadap
Imperialisme dan Kolonialisme di Daerah
Istimewa Yogyakarta. 1999.
Nugroho Notosusanto. Sejarah Nasional
Indonesia IV .Jakarta. Buku ini berisi
tantang sejarah di Indonesia pada masa
kolonial
Buku Ini menjelaskan tentang sejarah
perseteruan antara Tokoh tokoh di wilayah
kesultanan Mataram dan Ngayogyakarta
hadiningrat sejak 1628 ketika Sultan Agung
menyerang Batavia hingga Pertempuran
Kotabaru
6
BAB II
2.1 Keadaan Ngayogyakarta sebelum Perang Jawa
Kesultanan Ngayogyakarta dulunya adalah
Kesultanan Mataram yang kemudian dibagi menjadi dua
pada perjanjian Giyanti pada tahun 1755. Kesultanan
Ngayogyakarta Hadiningrat pada tahun 1822 dipimpin
oleh Sultan Hamengku buwono V atau Sultan Menol.
Karena usianya yang masih sangat muda maka dibentuk
dewan perwalian yaitu Kanjeng Ratu Agung yang
merupakan permaisuri dari Sultan Hamengku buwono
III , Kanjeng Ratu Kencana yang merupakan Permaisuri
Sultan Hamengku buwono IV , Pangeran Mangkubumi yang
adalah putra Sultan Hamengku Buwono I dan Pangeran
Dipanegara.
Akan tetapi kemudian Pangeran Dipanegara
mengundurkan diri karena sering tidak diajak
bermusyawarah dan masalah internal dalam Kraton yang
terlalu dipengaruhi oleh Belanda yang menurut
pangeran Dipanegara sangat bertentangan dengan ajaran
islam.
Karena Sultan yang masih muda maka urusan
kerajaan banyak yang dilakukan oleh Patih Danurejo IV
yang berhubungan dekat dengan Belanda. Adat istiadat
7
ala barat telah masuk kedalam keraton . Para pembesar
dan petinggi Belanda sering mengadakan pesta hingga
tengah malam dan minum minuman keras yang menurut
Pangeran Dipanegara bertentangan dengan Islam dan
juga merupakan pemborosan.
2.2 Awal Perang Jawa
Residen Belanda di Yogyakarta waktu itu , A.H
Smissaert bersama Patih Danurejo IV berencana
membangun Jalan raya yang kebetulan melintasi tanah
milik Pangeran Dipanegara di Tegalrejo. Kemudian
Patih Danurejo dan anak buahnya memasang patok patok
di tanah Pangeran Dipanegara. Pangeran Dipanegara
kemudian tidak terima mengutus anak buahnya untuk
mencopot patok patok yang dipasang oleh Danurejo.
Kemudian setiap Patih Danurejo memancangkan patok
patok itu maka setiap itu pulalah Pangeran Dipanegara
mencabutnya. Inilah awal pertentangan antara Pangeran
Dipanegara dengan Patih Danurejo IV dan Belanda.
Akhirnya terdengar kabar bahwa Belanda akan
menyerang Tegalrejo dan menangkap Pangeran
Dipanegara. Pangeran Dipanegara kemudian mengadakan
rapat dengan para keluarga dan pengikutnya seperti
Kyai Maja dan Sentot Ali Basha untuk mengambil
8
tindakan tindakan yang perlu diambil jika Belanda
benar benar menyerang Tegalrejo.
Kemudian Sultan Hamengku buwono V mengutus
Pangeran Mangkubumi untuk datang ke Tegalrejo dan
menanyakan mengapa pangeran Dipanegara mengumpulkan
rakyat di desanya. Pangeran Dipanegara kemudian
menjawab bahwa mereka berkumpul untuk mengahadapi
serangan Belanda. Kemudian dari kraton mengutus Patih
Danurejo IV untuk mengundang Pangeran Dipanegara
menghadap Sultan di kraton tapi Pangeran Dipanegara
menolak. Datang lagi Pangeran Mangkubumi sebagai
utusan dari residen Yogyakarta untuk mengundang
Pangeran Dipanegara untuk datang ke Loji residen.
Atas keinginan dari rakyat maka pangeran Dipanegara
kembali menolak ajakan itu dan rakyat bersedia
menanggung akibatnya. Pangeran Dipanegara bahkan
berbalik mendukung Pangeran Dipanegara dan tidak
bersedia kembali ke kraton maupun ke residen.
Pangeran Mangkubumi kemudian menyarakan agar
wanita,anak anak dan orang tua dipindahkan ke
Selarong daerah Bantul. Datanglah utusan dari
residen untuk menjemput Pangeran Mangkubumi kembali
ke kraton. Utusan itu juga membawa surat bagi
9
pangeran Dipanegara yang isinya menanyakan kehendak
pangeran Dipanegara mengumpulkan rakyat. Ketika
Pangeran Mangkubumi sedang menulis surat balasan tiba
tiba terdengar letusan senjata tentara Belanda yang
menyerang Tegalrejo. Mulailah perlawanan Pangeran
Dipanegara pada tanggal 20 Juli 1825.
Ketika dea Tegalrejo dibakar oleh tentara
Belanda, Pangeran Dipanegara bersama pengikutnya
menyingkir ke Bantul di daerah Kalisoka. Di desa
Kalisoka Pangeran Dipanegara disambut oleh pasukan
rakyat yang telah menunggu kedatangan Pangeran
Dipanegara.
Anak anak, Wanita dan Orang tua tetap tinggal di
Kalisoka dan Pangeran Mangkubumi ditunjuk sebagai
pelindungnya. Pangeran Dipanegara bermarkas di
Selarong. Di markas besar Selarong ini berkumpul para
Pangeran dan Pangeran Dipanegara menyusun strategi di
markas Selarong.
Di Selarong Pangeran Dipanegara mambagi tugas
untuk melakukan perlawanan. Pangeran Dipanegara
Anom ,putra pangeran Dipanegara, dan Tumenggung
Danukusuma diberi tugas untuk melakukan perlawanan di
daerah Bagelen. Pangeran Adiwinono dan Mangundipuro
10
mendapat tugas mengadakan perlawanan di daerah Kedu
dan sekitarnya . Pangeran Abu Bakar dan Tumenggung
Jaya Mustopo mengadakan perlawanan di daerah Lowano.
Pangeran Adisurya dan Pangeran Sumonegoro mengadakan
perlawanan di Kulon Progo Tumenggung Cokronegoro
memimpin pasukan di Godean. Pangeran Joyokusumo
( Pangeran Bei ) memimpin pasukan di utara Yogyakarta
dibantu Tumenggung Suradilogo. Yogyakarta bagian
timur diserahkan kepada Tumenggung Suryonegoro dan
Tumenggung Suronegoro. Pertahanan di Selarong
diberikan kepada Joyonegoro,pangeran Suryodiningrat
dan Pangeran Joyowinoto. Gunung Kidul diberikan
kepada pangeran Singosari dan Pangeran Warakusumo.
Perlawanan di daerah Pajang dipegang oleh Pangeran
Mertoloyo Pangeran Wiryokusumo, Tumenggung Sindurejo
dan Pangeran Diporejo. Perlawanan di Sukawati
dipimpin oleh Kertonegara , Bupati Mangunnegara
memimpin perlawanan di Madiun Magetan dan Kediri.
Insiden Tegalrejo dengan cepat terdengar oleh
Van der Capellen mengirim Jenderal De Kock untuk
mengambil tindakan dan memulikan kemanan, Jenderal de
Kock sampai di Semarang tanggal 29 Juli 1825 dan tiba
di Surakarta pada tanggal 30 Juli 1825 . Susuhan
Pakubuwana VI menyatakan kesediaanya untuk membantu
11
Jendral de Kock memadamkan perlawanan Pangeran
Dipanegara.
2.3 Jalannya Perang Jawa
Untuk memadamkan perlawanan rakyat di Yogyakarta
Belanda mengirim pasukan bantuan dari Semarang.
Sesampainya di lembah Logerok (Lembah Pisangan) bala
bantuan yang dipimpin kapten Keemsius tadi disergap
oleh pasukan Dipanegara dibawah pimpinan
Musyosentika. Sebagian besar pasukan itu yang
berjumlah 200 orang tewas,senjata senjata mereka
dirampas beserta uang 50.000 gulden yang akan
disampaikan kepada residen Yogyakarta. Barang
rampasan ini kemudian dibawa ke Selarong kemenangan
pertama ini terjadi pada akhir Juli 1825.
Bala bantuan dari timur terdiri dari legiun
Mangkunegaran yang dipimpin Raden mas Suwongso,
menantu Mangkunegoro disergap di desa Randugunting
(Kalasan) . Hampir seluruh prajurit Mangkunegaran
tewas. Pemimpinnya Raden Mas Suwongso tertawan dan
dibawa ke Selarong,tetapi kemudian dibebaskan kembali
oleh Pangeran Dipanegara.
Mendengar berita kemenangan pasukan Dipanegara
di logorok dan Randugunting dan di lain lain tempat,
12
rakyat semakin bergerak dan kuat. Keluarga Keraton
Yogyakarta ketakutan dan bersembunyi di benteng
Belanda. Banyak alim ulama kraton yang meninggalkan
kraton dan bergabung dengan pasukan Dipanegara.
Pertempuran di daerah kedu berlangsung sengit.
Pasukan Belanda dibantu Bupati Magelang Tumenggung
Dnuningrat. Pasukan rakyat yang disebut “Bulkiya”
menyerang pasukan Belanda dan Danuningrat. Pasukan
Bulkiya yang terkenal sebagai pasukan berani mati ini
dipimpin oleh Haji Usaman Alibasah dan Haji
Abdulkabir. Bersama pasukan yang dipimpin Tumenggung
Seconegara, pasukan Dipanegara dapat memukul mundur
pasukan Belanda dan menewaskan Bupati Magelang,
Tumenggung Danuningrat.
Didaerah Menoreh Pasukan Dipanegara juga
mendapat kemenangan. Pasukan Belanda mendapat pukulan
hebat. Bupati Menoreh Ario Sumodilogo tewas dalam
pertempuran melawan tentara Dipanegara.
Pertempuran terus berkobar dimana mana dan
kemenangan demi kemenangan diadapat oleh Pasukan
Dipanegara. Jenderal de Kock dan pihak kraton ingin
berunding dengan Pangeran Dipanegara. Pada Tanggal 7
Agustus 1825 jenderal de Kock mengirim surat sampai
13
dua kali dari Surakarta. De Kock juga berjanji akan
memeberi jaminan mau mengadakan perundingan dengan
pihak Belanda dan kraton.
Agar kedudukanya sejajar dengan pihak lawan
dalam perundingan itu maka Pangeran Dipanegara
mengangkat dirinya sebagai raja dengan gelar Sultan
Ngbdulhamid Amirul Mukminin Khalifatullah Jawa.
Kenyataanya jenderal de Kock tidak datang ke
Selarong.
Perlwanan rakyat terus berkobar , upaya de Kock
untuk mengatasi perlawanan rakyat adalah degan cara
memanggil opsir opsir yang bertugas diluar Jawa untuk
menghadapi Dipanegara. Jenderal Van Geen yang
bertugas memadamkan perlawanan di Sulawesi ditarik ke
Jawa, selama berminggu minggu dia harus bertempur
melawan rakyat Semarang yang dipimpin oleh Pangeran
Serang. Pangeran Serang kemudian menuju ke Sukawati
diselatan bergabung dengan pasukan Kartodirja.
Kemudian mereka memimpin perlawanan rakyat di
Rembang, Blora dan Bojonegara. Tumenggung Kartadirja
tertembak kakinya kemudian ditawan di Semarang.
Kemudian Pangeran Serang bergabung ke Madiun dan
14
selanjutnya bergabung dengan Pangeran Dipanegara di
Yogyakarta.
Jenderal de Kock berusaha mengepung markas
pangeran Dipanegara di Selarong akan tetapi untuk
mengepung Selarong de Kock terlebih dahulu harus
menghadapi perlawanan rakyat di
Semarang,Bagelen,Kedu, Banyumas Madiun dan
Surakarta. Untuk itu de Kock menugaskan tangan
kanannya yaitu Letkol Diell dan Letkol Cleerens.
Letkol Diell menghadapi perlawanan rakyat di Banyumas
dan Letkol Cleerens di Tegal dan Pekalongan.
Pasukan Belanda mengadakan serangan besar
besaran ke Selarong pada 2 dan 4 Oktober 1825 namun
Selarong sudah kosong karena Pangeran Dipanegara
memindahkan markasnya ke Dekso. Para wanita,anak anak
dan orang tua dipindahkan ke Suwela. Di situ Pangeran
Dipanegara memperkuat dan memperbaiki pasukannya. Ia
membentuk kesatuan pasukan baru dengan Senapati
tangguh dan berpengalaman.
Pada akhir tahun 1825 Pasukan Dipanegara
berhasil memukul mundur pasukan Belanda yang
menyerang Imogiri. Di Yogya timur Tumenggung
Suronegoro berhasil menggempur pertahanan Belanda dan
15
mampu mengambil banyak senapan dan meriam dari
Belanda.
Hanya di Yogya bagian barat pasukan Belanda
mampu mengepung Dekso,markas pangeran Dipanegara.
Kemudian pada tanggal 16 April 1826 pasukan gabungan
Belanda dan Mangkunegaran menyerang pertahanan
Pasukan Dipangera di Plered,tapi kemudian
ditinggalkan dan diduduki kembali oleh pasukan
Dipanegara. Pada 6 Juni dibawah pimpinan Kol Cochius,
Pangeran Suria mataram dan pangeran Suriadiningrat.
Kraton Tua Plered kembali dikuasai oleh Pasukan
Belanda dan Mangkunegaran.
Pada 8 Juli 1826 Dekso diserang akan tetapi
pangeran dipanegara telah berpindah ke desa Kasuran.
Kemudian tanggal 28 Juli pasukan Belanda kembali
bergerak menuju Yogyakarta,di Kasuran pasukan Belanda
disergap oleh Pasukan Dipanegara Van Geen kabur dan
Kol Cochius dan dua orang bangsawan kraton tewas.
Selama tahun 1826 Pangeran Dipanegara selalu
memenangkan pertempuran melawan Belanda dan
Mangkunegaran. Perlawanan rakyat di Bagelen berhasil
memukul mundur Belanda. Pangeran Bei memenangkan
pertempuran di Kejiwan. Dalam pertempuran di Delanggu
16
pasukan Dipanegara berhasil memenangkan pertempuran
sengit, dan mendapatkan berpuluh senapan dan dua
belas meriam, pertempuran di Delanggu adalah
kemenangan terbesar bagi pihak Pangeran Dipanegara.
Karena mengalami kekalahan berturut turut sejak
awal perang de Kock kemudian mengangkat kembali
Sultan Hamengkubuwono II pada 1826. Pengangkatan ini
bermaksud agar pimpinan perjuangan rakyat yang dulu
setia kepada Sultan Sepuh mau meninggalkan perjuagan
dan kembali ke kraton. Akan tetapi pemimpin pasukan
tetap setia kepada Pangeran Diponegoro, dan tetap
melanjutkan perlawanan.
Pada tahun 1827 karena telah menelan kekalahan
bertubi tubi sejak dua tahun berperang. Jenderal de
Kock mengubah siasat perang menjadi Benteng Stelsel,
yaitu dengan mendirikan benteng di tempat yang
diduduki. Siasat ini untuk mengimbangi siasat perang
gerilya yang dilakukan oleh Pangeran Dipanegara yang
selalu berpindah tempat. Sehingga pasukan de Kock
tidak perlu mencari Dipanegara. Total 200 benteng
dibangun untuk mengatasi perlawanan Pangeran
Dipanegara.
17
Strategi benteng stelsel ini tidak langsng
behasil karena pasukan Dipanegara masih memenangkan
pertempuran pertempuran di Kedu. Di Banyumas pasukan
Belanda bahkan harus kehilangan letkol Diels dan
letkol de Bost. Hanya pasukan di daerah yogya selatan
yang mamp dimenangkan oleh pasukan Belanda dimana
Pangeran Notonegoro dan Pangeran Serang menyerah pada
tanggal 21 Juni 1827 atas bujukan residen Yogya, van
Lowick. Itu merupakan pukulan telak bagi pasukan
Dipanegara.
Pada 1828 Belanda memindahkan markasnya ke
Magelang Karena dinilai leih strategis.,sebab
lokasinya yang strategis untuk memadamkan perlawanan
rakyat. Belanda terus memperkuat jaringan
bentengnya, mereka mempersempit ruang gerak pasukan
Dipanegara. Pada 1828 tepatnya pada tanggal 18 April
Pangeran Natadiningrat putra Pangeran Mangkubumi
menyerah. Penyerahan ini sangat menggembirakan bagi
Belanda karena Belanda berharap Pangeran Mangkubumi
juga ikut menyerah ke Belanda.
Disamping persenjataan yang lengkap dan modern.
Belanda juga melancarkan cara lain untuk mempengaruhi
18
para pemimpin pasukan Dipanegara untuk menyerahkan
diri denagn iming iming posisi di kraton.
Pada akhir 1828 terjadi pertempuran di
Penangguhan. Disini jatuh banyak korban dari Belanda
maupun dari pasukan pangeran Dipanegara. Kapten Van
Ingen dan Pangeran Prangwedana tewas dan di pihak
Dipanegara komandan pasukan Mantirejon meninggal.
Kedua belah pasukan menarik diri dari pertempuran
ini.
BAB III
3.1 Akhir perang Jawa
Pada awal tahun 1829 terjadi pergantian pimpinan
dalam pemerintahan Kolonial Belanda di Indonesia.
Komiaris Dus Bus akan diganti oleh Johannes van Den
Bosch sebagai Gubernur Jenderal. Jenderal Marcus de
Kock diganti oleh Mayor Jendral Benyamin Bisschof.
Mayor Bisshof tiba di Jakarta tanggal 13 Mei
1939. Jenderal ini kondisinya lemah dan ia meninggal
di Cianjur Jawa barat pada 7 Juni 1939. Sehingga
Jendeeral de Kock minta memimpin pasukan Belanda
melawan Dipanegara.
19
Sementara terjadi pergantian kekuasaan di
Belanda Pangeran Dipanegara terus melanjutkan
perlawanan di Bagelen dan Banyumas. Yogyakarta
selatan perlawanan rakyat dibawah Pangeran Bei
mengadakan perlawanan terhadap pos pos pertahanan
Belanda. Karena kewalahan Belanda mendatangakan bala
bantuan dari Sulawesi, Maluku, Bali dan Eropa.
Perundingan perundingan gagal terwujud antara
dua pihak. Ketika Belanda berusaha menangkap
Mangkubumi yang menjaga wanita dan anak anak di
Kulur,pasukajn belanda tiba tiba diserang oleh Sentot
Prawiradirja. Markas pertahanan Pangeran Bei diserang
oleh Belanda, Pangeran Bei terluka dalam penyerangan
itu, R Joyonegara yang datang membantu tidak mampu
menahan pasukan Belanda.
Pada 1829 diluar Yogyakarta banyak Tumenggung
yang menyerah kepada Belanda. Istri pangeran
Mangkubumi juga menyerah pada tahun yang sama.
Kemudian karena usia yang tua Pangeran Mangkubumi
kembali ke Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat.
Keadaan semakin memburuk bagi Pangeran
Dipanegara, Sentot Prawiradirja menyerah ke Belanda.
Para Pangeran juga menyerah kepada Belanda dan
20
kembali ke kraton Ngayogyakarta. Akan tetepi Pangeran
Dipanegara tetap mengadakan perlawanan di daerah
Kedu.
Pada 17 Februari Letkol Cleerens mengahadap
Pangeran Dipanegara untuk mengajak berunding di
Karesidenan. Pada 18 Maret Pangeran Dipanegara tiba
di Magelang dengan berkuda tepat pada bulan Ramadhan.
Dipanegara kemudian mengusulkan agar perundingan baru
diadakan setelah Idul Fitri yang jatuh pada 27 maret
1830.
Sehari setelah Idul Fitri pada tanggal 28 Maret
1830 perundingan dilaksanakan. Tuntutan pangeran
Dipanegara agar mendirikan negara merdeka yang
bersendikan syariat dan Islam. Karena tuntutan
Dipanegara dinilai berlebihan kemudian Pangeran
Dipanegara ditangkap kemudian dibuang ke Manado.
Dengan demikian berakhirlah Perang Jawa yang
dipimpin oleh Pangeran Dipanegara melawan kraton dan
Belanda.
2.3 Dampak Perang Jawa
Akibat dari perang Jawa adalah Belanda harus
membayar biaya perang sebesar 20 Juta Gulden. Jumlah
21
yang sangat banyak pada waktu itu. Sehingga untuk
menutupi kerugian itu Den Bosch menciptakan Cuultur
stelsel.
Sehingga bencana kelaparan melanda tanah
jawa, di Demak 65% penduduknya meninggal karena
kelaparan. Di Grobogan rakyatnya hanya tinggal 9000
orang saja karena penduduknya 90% menjadi korban.
Sultan Pakubuwana yang tadinya mendukung belanda
kemudian berbalik menentang belanda dan kemudian
memberontak,hal ini dikarenakan Belanda mencaplok
wilayah milik kesultanan Surakarta. Sultan Pakubuwana
yang melakukan perlawanan kemudian dibuang ke Ambon.
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Perang Jawa yang dipimpin oleh Pangeran
Dipanegara dan golongan kasepuhan sebenarnya adalah
perang antara Rakyat dan Punggawa Kraton
22
Ngayogyakarta melawan Belanda dan Dalem
Mangkunegaran.
Perang yang dimulai oleh pada 1825 ini
melibatkan keluarga kesultanan yang loyal kepada
Sultan Hamengku Buwana II atau Sultan Sepuh. Perang
ini berkobar nyaris diseluruh wilayah kekuasaan
Kesultanan Ngayogyakarta hadiningrat dan juga
sebagian Surakarta.
Pada dua tahun awal perang ini pasukan
Dipanegara mendpatkan kemenangan nyaris diseluruh
pertempuran. Akan tetapi strategi Benteng stelsel
membuat pasukan Dipanegara kesulitan. Belanda yang
mengiming imingi para pemimpin pasukan Dipanegara
untuk kembali ke kraton membuat pasukan Dipanegara
semakin lemah. Sehingga pada tahun 1830 pasukan
Dipanegara melemah dan Pangeran Dipanegara menerima
ajakan perundingan yang ditawarkan de Kock.Pada
perundingan tersebut Pangeran Dipanegara ditangkap
dan berakhirlah perlawanan Pangeran Dipanegara
Dampak yang ditimbulkan dari perang sendiri
adalah kebijakan kebijakan pemerintah Belanda yang
memeras rakyat untuk mengganti biaya perang
Dipanegara yang sangat besar.
23