pengaruh kemasan

18
TUGAS 3 RESUME PENGARUH BAHAN PANGAN PENGEMAS (PLASTIK, STYROFOAM, KERTAS) TERHADAP BAHAN PANGAN (diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Pengemasan, Penyimpanan, dan Penggudangan) Disusun oleh: Alifah Ulfah NIM 1005151 Llisrestu Rahayu NIM 1000198 Osad Imron Rosadi NIM 1002457 Rita Aisyatul Dalfah NIM 1005338 Rizky Al Fauzi NIM 1005217 Slamet Hadi Kusuma NIM 1002439 Program Studi Pendidikan Teknologi Agroindustri

Transcript of pengaruh kemasan

TUGAS 3 RESUMEPENGARUH BAHAN PANGAN PENGEMAS (PLASTIK,STYROFOAM, KERTAS) TERHADAP BAHAN PANGAN

(diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Pengemasan, Penyimpanan, danPenggudangan)

Disusun oleh:

Alifah Ulfah NIM 1005151

Llisrestu Rahayu NIM 1000198

Osad Imron Rosadi NIM 1002457

Rita Aisyatul Dalfah NIM 1005338

Rizky Al Fauzi NIM 1005217

Slamet Hadi Kusuma NIM 1002439

Program Studi Pendidikan Teknologi Agroindustri

Fakultas Pendidikan Teknologi dan Kejuruan

Universitas Pendidikan Indonesia

2013RESUME

Pengaruh Bahan Pangan Pengemas (Plastik, Styrofoam, Kertas)

Terhadap Bahan Pangan

A. Kemasan Plastik

Kemasan plastik merupakan kemasan yang paling banyak

digunakan pada saat ini dibandingkan dengan kemasan lainnya,

seperti kemasan logam dan gelas. Hal ini disebabkan karena

kelebihan dari kemasan plastik yang ringan, fleksibel, multiguna,

kuat, tidak karatan, serta dapat diberi warna dan harganya yang

relatif murah. Akan tetapi, pemakaian plastik yang makin meluas

tidak disertai perhatian terhadap dampak negatif yang

ditimbulkannya. Selain merusak lingkungan, penggunaan plastik

untuk kemasan bahan pangan berpotensi mengganggu kesehatan

manusia.

Bahan kemasan plastik secara umum tersusun dari polimer

rantai panjang dari satuan-satuan yang lebih kecil yang disebut

monomer. Monomer-monomer dipolimerisasikan untuk menghasilkan

suatu unit berulang tunggal yang disebut homopolimer. Dalam

beberapa hal polimer dapat dibuat dengan proses adisi lebih dari

satu macam monomer, atau dengan reaksi kondensasi tiga macam

monomer. Dalam kedua hal tersebut, akan diperoleh unit berulang

lebih dari satu jenis monomer yang disebut kopolimer. Monomer-

monomer penyusun bahan kemasan plastik ini dapat berpindah ke

dalam bahan pangan yang dikemasnya, terutama jika bahan pangan

tersebut mengandung lemak atau asam. Pada bahan pangan yang

dikemas dalam kemasan plastik, adanya migrasi ini tidak mungkin

dapat dicegah 100%, karena pada suhu kamar dengan waktu kontak

yang cukup lama pun, senyawa berberat molekul kecil yang disebut

monomer, serta bahan-bahan tambahan dalam pembuatan plastik

seperti plastisizer, stabilizer, dan antioksidan dapat bermigrasi

atau masuk ke dalam bahan pangan secara bebas.

Migrasi monomer-monomer dan bahan-bahan tambahan dalam

pembuatan plastik dari kemasan plastik ke dalam bahan pangan yang

dikemasnya dipengaruhi oleh 4 faktor, yaitu luas permukaan yang

kontak dengan bahan pangan, jenis bahan plastik, suhu, serta

lamanya kontak. Mc. Gueness melaporkan bahwa semakin panas bahan

pangan yang dikemas, semakin tinggi peluang terjadinya migrasi

zat-zat plastik ke dalam bahan pangan tersebut. Semakin lama

kontak antara bahan pangan dengan kemasan plastik, jumlah monomer

yang bermigrasi dapat semakin tinggi. Saat makanan panas

dimasukkan ke dalam plastik, plastik akan menjadi lemas dan

tipis. Ini adalah tanda terputusnya ikatan-ikatan monomer dan

berpindah ke bahan pangan. Selain itu, beberapa monomer berbahaya

penyusun bahan kemasan plastik bersifat larut dalam lemak dan

asam sehingga dapat terakumulasi lebih tinggi pada bahan pangan

yang mengandung lemak atau asam tinggi.

Monomer yang perlu diwaspadai yaitu vinil klorida,

akrilonitril, metacrylonitil, vinylidene klorida serta styrene.

Monomer vinil klorida dan akrilonitril cukup tinggi potensinya

untuk menimbulkan kanker pada manusia. Vinil klorida dapat

bereaksi dengan guanin dan sitosin pada DNA, sedangkan

akrilonitril bereaksi dengan adenin. Vinil asetat telah terbukti

menimbulkan kanker tiroid, uterus, dan hati pada hewan.

Akrilonitril menimbulkan cacat lahir pada tikus yang memakannya.

Monomer lain seperti akrilat, stirena dan metakriat serta senyawa

turunannya, seperti vinil asetat, polivinil klorida, kaprolaktam,

formaldehida, kresol, isosianat organik, heksa metilandiamin,

melamin, epodilokkloridin, bispenol, dan akrilonitril dapat

menimbulkan iritasi pada saluran pencernaan terutama mulut,

tenggorokan dan lambung. Aditif plastik jenis plastisizer,

stabilizer, dan antioksidan dapat menjadi sumber pencemaran

organoleptik yang membuat makanan berubah rasa serta aroma dan

bisa menimbulkan keracunan.

B. Kemasan Logam

Migrasi merupakan perpindahan bahan kimia baik itu polimer,

monomer, ataupun katalisator kemasan (contoh formalin dari

kemasan/wadah melamin) kedalam pangan. Migrasi bahan kimia

tersebut memberikan dampak berupa penurunan kualitas pangan dan

keamanan pangan, juga menimbulkan efek terhadap kesehatan. Jumlah

senyawa termigrasi pada umumnya tidak diketahui secara pasti,

tetapi dapat berpengaruh fatal terutama pada jangka panjang

(bersifat kumulatif dan karsinogenik). Faktor yang mempengaruhi

migrasi adalah jenis serta konsentrasi bahan kimia yang

terkandung, sifat dan komposisi pangan, suhu dan lama kontak

serta kualitas bahan kemasan (jika bahan bersifat inert atau

tidak mudah bereaksi maka potensi migrasinya kecil dan demikian

pula sebaliknya).

Kemasan kaleng dapat terbuat dari berbagai jenis logam

misalnya seng, aluminium, dan besi. Dalam kadar rendah alumunium

dan seng tidak beracun bagi tubuh manusia. Namun perlu

diperhatikan bahwa logam akan bereaksi dengan asam, yang

menyebabkan logam tersebut melarut. Banyak bahan pangan yang

bersifat asam, sehingga kontak antara asam dengan kemasan logam

dapat melarutkan kemasan logam yang bersangkutan. Waktu kontak

berkorelasi positif dengan banyaknya logam yang terlarut, artinya

semakin lama waktu kontak, maka semakin banyak logam yang

terlarut. Oleh karena itu perlu dipilih jenis pangan yang layak

dikemas dengan kaleng atau kemasan logam, agar kualitas produk

pangan tetap terjaga. Perlu pula diperhatikan penggunaan bahan

tambahan pada pembuatan kaleng seperti: cat, serta bahan pelapis

kaleng organik epoksi fenol dan organosol. Kaleng ataupun kemasan

logam lainnya tidak boleh mengandung logam timbal, kromium,

merkuri, dan kadmium karena dapat mengakibatkan efek negatif

terhadap kesehatan manusia.

Kaleng yang sekarang banyak digunakan untuk pengalengan

makanan mengandung kurang dari 25% timah. Dalam makanan kaleng

yang tertutup hermetis, korosi wadah merupakan suatu proses yang

terjadi bertahap. Baja yang digunakan untuk membuat kaleng

makanan mengandung kadar karbon yang rendah. Penelitian telah

membuktikan bahwa komposisi baja merupakan faktor penting untuk

memperoleh umur pakai yang memadai bagi bahan pangan yang

korosif. Kadar fosfor dan silika sangat menentukan, tetapi kadar

mineral lain seperti tembaga , nikel dan molibdat dapat juga

mempengaruhi daya tahan kaleng terhadap korosi (Muchtadi, 1995).

Kemasan kaleng baik bagian luar maupun bagian dalamnya harus

memenuhi beberapa persyaratan daya tahan korosi. Korosi oleh

suatu produk disebabkan adanya hubungan atau kontak langsung

antara produk dan permukaan kaleng serta cara pengalengan.

Keadaan korosi dapat disebabkan oleh dua faktor utama yaitu

detinning, berupa terkelupasnya atau hilangnya lapisan timah

putih sehingga terjadi evolusi hidrogen dan kebocoran atau

perforasi, serta terjadinya reaksi kimia produk dengan bahan

kaleng (Muchtadi, 1995).

Karatan adalah pembentukan lapisan longgar dari feroksida

yang berwarna merah kecoklatan sebagai hasil proses korosi produk

pada permukaan dalam kaleng. Pembentukkan karat membutuhkan

banyak oksigen, oleh karena itu karat terjadi biasanya pada

bagian head space. Proses korosi dapat terus berlangsung sehingga

menimbulkan lubang dan mengakibatkan kebocoran kaleng. Adanya dan

terjadinya karat kadang-kadang tidak nampak karena mungkin saja

bagian yang berkarat sudah jatuh membaur ke dalam produk

(Muchtadi, 1995).

Beberapa faktor yang menentukan terjadinya pembentukan karat

pada bagian dalam kaleng antara lain sifat bahan pangan, terutama

pH; pemacu pembentukan karat seperti nitrat, beberapa bahan

belerang, zatwarna antosianin; banyaknya sisa oksigen dalam bahan

pangan, khususnya pada ruang udara (head space); suhu dan waktu

penyimpanan; serta beberapa faktor yang berasal dari bahan kemas,

seperti berat lapisan timah macam dan komposisi lapisan baja

dasar, efektifitas perlakuan pada permukaan lapisan, jenis

lapisan, dan lain sebagainya.

Logam-logam seperti timah, besi, timbal dan alumunium dalam

jumlah yang besar akan bersifat racun dan berbahaya bagi

kesehatan manusia. Batas maksimum kandungan logam dalam bahan

pangan menurut FAO/WHO adalah 250 ppm untuk timah dan besi dan 1

ppm untuk timbal. Logam-logam lain yang mungkin mencemari bahan

pangan adalah air raksa (Hg), kadmiun (Cd), arsen (Ar), antimoni

(At), tembaga (Cu) dan seng (Zn) yang dapat berasal dari wadah

dan mesin pengolahan atau dari campuran bahan kemasan. Wadah dan

mesin pengolahan yan telah mengalami korosi dapat menyebabkan

pencemaran logam ke dalam bahan pangan. Faktor-faktor yang dapat

mempengaruhi terjadinya korosif adalah asam organik, nitrat,

oxidizing agent, atau bahan pereduksi, penyimpanan, suhu, kelembaban

dan ada tidaknya bahan pelapis (enamel). Keracunan yang

diakibatkan logam-logam ini dapat berupa keracunan ringan atau

berat seperti mual-mual, muntah, pusing dan keluarnya keringat

dingin yang berlebihan.

Kerusakan-kerusakan khemis lainnya yang disebabkan oleh

adanya interaksi komponen logam kaleng dan bahan makanan dapat

ditunjukkan oleh adanya:

1. Pemucatan warna kaleng bagian atas.

2. Pemucatan warna makanan.

3. Keruhnya medium makanan.

4. Korosi atau pengkaratan maupun lobang-lobang kecil dari badan

kaleng.

5. Penurunan nilai gizi makanan.

C. Kemasan Kertas

Kemasan kertas merupakan salah satu jenis pengemas yang

dapat digunakan sebagai pengemas bahan pangan yang berfungsi

untuk mewadahi atau membungkus pangan, baik sebagai kemasan

primer, tersier, atau kuarterner. Supaya kemasan kertas berfungsi

sebagai mestinya, maka hal penting yang harus diperhatikan adalah

kemasan kertas sebagai pengemas primer, karena kemasan ini

langsung bersentuhan dengan bahan pangan. Oleh karena itu,

kemasan kertas sebagai kemasan primer memiliki potensi untuk

mempengaruhi bahan pangan disebabkan interaksi dari komponen

penyusun kertas, dan cara migrasi komponen tersebut pada bahan

pangan. Sebagian komponen kemasan tersebut dapat menimbulkan efek

buruk dan membahayakan kesehatan. Komponen berbahaya tersebut

dapat berasal dari residu bahan baku (starting material) kemasan

misalnya monomer, katalis yang digunakan untuk mempercepat laju

reaksi, hasil penguraian bahan dasar, dan bahan tambahan yang

digunakan dalam proses pembuatan kemasan pangan.

Interaksi antara komponen-komponen penyusun bahan pengemas

dengan bahan yang dikemas dapat terjadi karena tidak ada sistem

wadah-tutup yang inert secara total. Reaksi ineteraksi tersebut

diantaranya adalah sorpsi, migrasi (proses terjadinya perpindahan

suatu zat dari kemasan pangan ke dalam bahan pangan), dan

permeasi (masuknya kelembapan ke dalam kemasan. Yang akan dibahas

disini adalah proses migrasi. Struktur dasar kertas adalah bubur

kertas (selulosa) dan felted mat. Komponen lainnya adalah

hemiselulosa, fenil propan terpolimerisasi sebagai lem untuk

merekatkan serat, minyak esensial, alkaloid, pigmen, dan mineral.

Pada pembuatan kertas kadang menggunakan klor sebagai pemutih,

adhesive, aluminium, pewarna, dan pelapis. Bahan berbahaya yang

dapat bermigrasi adalah tinta dan klor. Apabila kertas bekas yang

mengandung tinta digunakan untuk membungkus produk pangan

berminyak seperti gorengan, maka minyak dalam keadaan panas dapat

melarutkan Pb (timbal) yang terkandung pada tinta dan bermigrasi

ke produk pangan. Sedangkan kertas bekas yang diputihkan dengan

cara menambahkan klor jika terkena suhu tinggi akan menghasilkan

dioksin, yaitu senyawa karsinogenik.

Selain kedua komponen di atas, sebagian besar migrasi dari

kertas yaitu berasal dari tinta printer atau adhesive yang

digunakan dalam pembuatan kemasan, kecuali Diisopropylnaphthalenes

(DIPNs). Risiko kontaminasi makanan dari tinta cetak dalam

kemasan terjadi dalam dua mekanisme, yaitu perpindahan melalui

bahan kemasan dan fenomena set-off. Pertama, fenomena set-off berarti

komponen tinta cetak berpindah dari permukaan yang dicetak ke

permukaan yang tidak dicetak melalui kontak langsung selama

pembuatan bahan, penyimpanan, dan penggunaan. Kedua, penggunaan

bahan daur ulang seperti serat dari kertas daur ulang dapat

mengakibatkan adanya kontak langsung antara komponen tinta dan

makanan, akan tetapi jalur paparan pada mekanisme ini yaitu

menjadi lebih pendek.

D. Kemasan Kaca/ Gelas

Kaca/gelas dan porselen merupakan kemasan yang paling tahan

terhadap air, gas ataupun asam, atau memiliki sifat inert.

Kemasan kaca juga dapat diberi warna, banyak digunakan untuk

produk minuman yang memiliki sifat-sifat tertentu sehingga dapat

menyaring cahaya yang masuk ke dalam kemasan kaca. Jenis kemasan

ini dianggap kemasan yang paling aman untuk produk pangan.

Porselen atau keramik, biasanya sering digunakan sebagai gelas

atau peralatan makan. Selain ada yang dibuat dari tanah liat, ada

pula porselen yang dibuat dari bahan dolomite dengan beberapa

bahan campuran lainnya. Porselen cukup aman digunakan sebagai

wadah makanan, terutama yang bersuhu tinggi. Namun ada beberapa

hal yang harus diperhatikan dalam memilih gelas, atau peralatan

makan dari porselen antara lain suhu pembakaran pada saat

pembuatan serta bahan bakunya. Porselen dibuat dengan cara

dibakar pada suhu sangat tinggi yaitu di atas 1200°C.

Pembakaran yang sempurna akan menghasilkan porselen yang baik

dan kuat. Namun bila pembakaran kurang dari 800°C, maka porselen

yang dihasilkan akan kurang baik. Bila bahan baku yang digunakan

adalah dolomite, maka kualitas porselen juga kurang baik.

Porselen dari bahan baku dolomite dengan pembakaran yang kurang

sempurna, dapat berpotensi terjadi migrasi senyawa kimia kalsium

karbonat (CaCO3) dan magnesium karbonat (MgCO3) dari dolomite ke

dalam bahan pangan. Dolomite merupakan bahan baku yang cukup luas

penggunaannya, antara lain digunakan dalam industri gelas dan

kaca lembaran, industri keramik dan porselen, industri

refraktori, pupuk dan pertanian. Warna porselen umumnya putih,

sedangkan bila dengan bahan dolomite akan berwarna agak kusam.

Migrasi merupakan perpindahan bahan kimia baik itu polimer,

monomer, ataupun katalisator kemasan (contoh formalin dari

kemasan/wadah melamin) kedalam pangan. Migrasi bahan kimia

tersebut memberikan dampak berupa penurunan kualitas pangan dan

keamanan pangan, juga menimbulkan efek terhadap kesehatan. Jumlah

senyawa termigrasi pada umumnya tidak diketahui secara pasti,

tetapi dapat berpengaruh fatal terutama pada jangka panjang

(bersifat kumulatif dan karsinogenik). Faktor yang mempengaruhi

migrasi adalah jenis serta konsentrasi bahan kimia yang

terkandung, sifat dan komposisi pangan, suhu dan lama kontak

serta kualitas bahan kemasan (jika bahan bersifat inert atau

tidak mudah bereaksi maka potensi migrasinya kecil dan demikian

pula sebaliknya).

Migrasi bahan toksik merupakan masalah serius jangka panjang

bagi kesehatan konsumen, oleh karena itu diperlukan perhatian

khusus dalam pemilihan kemasan pangan. Menyikapi keberadaan jenis

bahan kemasan yang mudah berimigrasi kedalam produk pangan,

diperlukan kebijakan khusus yang efektif dan mencapai sasaran

dalam pemilihan kemasan.

E. Kemasan Kayu

Kemasan peti kayu memiliki sifat fisik dan mekanik yang

bervariasi sehingga untuk keperluan tertentu dilakukan pemilihan

yang selektif terhadap jenis kayu yang digunakan. Pada dasarnya

tidak ada kriteria khusus untuk menentukan jenis kayu yang

digunakan sebagai kemasan. Pemilihannya umumnya ditentukan hanya

berdasarkan jumlah kayu yang tersedia, kemudahannya untuk

dipaku, jenis produk yang akan dikemas, kekuatan dan kekakuan

kayu, serta harganya (Hanlon, 1984). Bahan kayu yang dipilih

untuk pembuatan kotak kayu ini biasanya kayu yang ringan dan kuat

sehingga mudah dipindah-pindahkan dan dapat dilakukan penumpukan.

Permukaan papan kayu yang digunakan sebagai bahan kemasan harus

dibuat sehalus mungkin. Hal ini dilakukan untuk menghindarkan

terjadinya luka pada buah atau sayuran karena gesekan dari

serat kayu yang mencuat keluar. Menurut Sjaifullah (1976),

berdasarkan pertimbangan-pertimbangan pustaka dan hasil

penelitian yang telah dilakukan oleh Sub Bagian Perlakuan Segar

Hasil Hortikultura Bagian Teknologi, Lembaga Penelitian

Hortikultura Pasar Minggu, jenis yang digunakan untuk membuat

peti kayu adalah yang berwarna putih dan lentur seperti kayu teki

(Albizia lebbeck Benth), kayu kenanga dan kayu sengon.

Peti kayu merupakan salah satu alternatif kemasan yang masih

banyak digunakan untuk pengangkutan komoditas hortikultura,

misalnya untuk mengemas buah jeruk, salak, tomat dan komoditi

lainnya. Bahan baku dan tenaga kerja untuk membuatnya juga

tersedia dan relative murah, disamping itu kebutuhan akan

perlatan khusus tidak terlalu banyak. Menurut Poernomo (1979),

keuntungan pemakaian peti kayu sebagai kemasan yaitu dapat

ditumpuk dengan ketinggian tertentu tanpa menyebabkan kerusakan

yang diakibatkan oleh penumpukan tersebut dan mampu melindungi

komoditi yang dikemas terhadap kerusakan yang mungkin terjadi

akibat adanya tekanan dari segala arah. Bila dibandingkan dengan

kemasan peti karton bergelombang, peti kayu mampu mempertahankan

bentuknya bila ditempatkan dalam ruangan yang lembab atau bila

terkena air.

Tidak bisa dipungkiri lagi, bahwa kemasan kayu sangat rentan

terhadap serangan penyakit tanaman (OPT) yang dapat membahayakan

produk. Namun demikian permintaan terhadap kemasan berbahan kayu

terus meningkat baik dalam bentuk peti, pallet atau lainnya. Hal

ini dikarenakan, kemasan tersebut memiliki banyak keunggulan.

Antara lain, kokoh, ramah lingkungan, harga terjangkau, dan mudah

ditangani.

Untuk mengatasi OPT tersebut, setidaknya ada tiga metode

yang sering digunakan, yakni perlakuan panas (heat treatment).

Methyl bromide (MB), dan semi permanent immunization treatment

(S.P.I.TTM). Pada table di tunjukan perbandingan dari ketiga

jenis metode tersebut. Dari table tampak bahwa metode S.P.I.TTM

adalah metode yang terbaik. Apalagi untuk Negara tropis seperti

Indonesia. Penelitian yang dilakukan oleh Institut Pertanian

Bogor dan LIPI menunjukan, bahwa hingga saat ini hanya metode

S.P.I.TTM yang cocok dan aman untuk Indonesia.

Pada kemasan kayu biasanya tidak memberikan efek migrasi

secara langsung terhadap komoditas pangan yang dikemas. Komoditas

pangan yang rusak akibat pengemasan menggunakan peti kayu yaitu

terjadinya gesekan atau benturan antara komoditas pangan sehingga

terjadinya reaksi kimia dan terjadinya migrasi dari komoditas

pangan tersebut.

KESIMPULAN

Pengemasan merupakan suatu cara dalam memberikan kondisi

yang tepat bagi bahan pangan, dengan membatasi antara bahan

pangan dan keadaan normal sekelilingnya untuk menunda proses

kerusakan dalam jangka waktu yang diinginkan. Pengemasan

dilakukan dengan menggunakan wadah atau pembungkus yang dapat

membantu mencegah atau mengurangi terjadinya kerusakan-kerusakan

pada bahan yang dikemas atau dibungkusnya. Wadah atau pembungkus

ini lebih dikenal dengan istilah kemasan. Salah satu kemasan yang

digunakan pada saat ini adalah kemasan logam.

Bahan logam mempunyai kekuatan mekanik yang lebih tinggi

dibandingkan dengan bahan non logam. Bahan logam merupakan

penghambat yang baik terhadap gas, uap air, jasad renik, debu dan

kotoran sehingga cocok untuk kemasan hermetis. Toksisitas bahan

logam relatif rendah meskipun ada kemungkinan migrasi unsur logam

ke bahan yang dikemas. Logam tahan terhadap perubahan-perubahan

atau keadaan suhu yang ekstrim serta mempunyai permukaan yang

ideal untuk dekorasi dan pelabelan. Bentuk kemasan dari bahan

logam yang digunakan untuk bahan pangan yaitu bentuk kaleng

tinplate, kaleng alumunium, dan alumunium foil.

DAFTAR PUSTAKA

Hanlon, J. F. 1984. Handbook of Package Engineering. McGraw Hill

Book Co., New York.

Hidayat, Atep afia. Bahaya Kemasan Plastik!. [Online]. Tersedia:

http://www.pantonanews.com/berita-119-bahaya-kemasan-

plastik-.html [13 Maret 2013]

Julianti, Elisa dan Nurminah, Mimi. 2007. Teknologi Pengemasan.

Departemen Teknologi Pertanian Universitas Sumatera Utara:

Medan.

Kemasan kayu yang terlindungi [Online]. Tersedia:

http://www.foodreview.biz

Poernomo, 1979. Daerah produksi, tempat penumpukan, pengepakan,

pengangkutan,

pemasaran/distribusi, dan pengemasan hasil hortikultura

merupakan masalah penanganan lepas panen. Hortikultura, No.

6: 168-174.

Sulchan, Mohammad. 2007. Keamanan Pangan Kemasan Plastik dan Styrofoam.

Program Pasca Sarjana FK UNDIP: Semarang.