PENGARUH DIAGENESIS BATUPASIR

132
2 021 PENGARUH DIAGENESIS BATUPASIR Pada Proses Recovery Hidrokarbon Rosmalia Dita Nugraheni Naily Salsabila Setiawan

Transcript of PENGARUH DIAGENESIS BATUPASIR

i

2021

PENGARUH DIAGENESIS BATUPASIR

Pada Proses Recovery Hidrokarbon

Rosmalia Dita Nugraheni

Naily Salsabila Setiawan

ii

PENGARUH DIAGENESIS BATUPASIR

Pada Proses Recovery Hidrokarbon

iii

PENGARUH DIAGENESIS BATUPASIR

Pada Proses Recovery Hidrokarbon

Rosmalia Dita Nugraheni

Naily Salsabila Setiawan

Penerbit

CV. MEDIA SAINS INDONESIA

Melong Asih Regency B40 - Cijerah

Kota Bandung - Jawa Barat

www.penerbit.medsan.co.id

Anggota IKAPI

No. 370/JBA/2020

iv

PENGARUH DIAGENESIS BATUPASIR

Pada Proses Recovery Hidrokarbon

Rosmalia Dita Nugraheni

Naily Salsabila Setiawan

Editor : Rintho R. Rerung

Tata Letak : Rosmalia Dita Nugraheni

Desain Cover : Naily Salsabila Setiawan

Ukuran : A4: 21 x 29,7 cm

Halaman : xv, 118

ISBN :

978-623-362-054-3

Terbitan: September 2021

Hak Cipta 2021 @ Media Sains Indonesia dan Penulis

Hak cipta dilindungi undang-undang. Dilarang keras menerjemahkan, memfotokopi, atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Penerbit atau Penulis.

PENERBIT MEDIA SAINS INDONESIA

(CV. MEDIA SAINS INDONESIA) Melong Asih Regency B40 - Cijerah Kota Bandung - Jawa Barat www.penerbit.medsan.co.id

v

Prakata

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas limpahan karunia

kesehatan dan rahmat-Nya untuk dapat menyelesaikan penulisan buku berjudul

“Pengaruh Diagenesis Batupasir Pada Proses Recovery Hidrokarbon” ini tepat waktu.

Penyusunan buku ini dilakukan untuk memenuhi kebutuhan pustaka dari ilmu

Kebumian dan Energi, khususnya terkait dengan kajian kualitas reservoar akibat

diagenesis dan menejemen perencanaan teknik recovery hidrokarbon yang sesuai tanpa

menyebabkan kerusakan formasi. Pemahaman mengenai proses diagenesis yang

mempengaruhi kualitas batuan reservoar dan menentukan dalam perencanaan teknik

recovery, mampu menjembatani dua cabang keilmuan sekaligus, yakni ilmu Geologi

dan Perminyakan. Dengan demikian penulisan buku ini dapat menjadi sumber acuan

atau referensi bagi mahasiswa, peneliti dan praktisi industri dalam melakukan riset

maupun pencarian dan ekstraksi sumberdaya minyak dan gas bumi di Indonesia.

Pemahaman diagenesis juga dapat digunakan untuk menjelaskan bukti terjadinya

proses tektonik pengangkatan (dari cabang ilmu Geologi struktur) maupun penentuan

fasies pengendapan (cabang ilmu Sedimentologi).

Buku monograf ini disajikan dengan foto dan gambar ilustrasi hasil penelitian

penulis yang ditulis secara sistematis dan terstruktur agar mudah untuk dipahami.

Penyajian gambar dan foto dimaksudkan untuk menarik minat baca mahasiswa dan

mempermudah pemahaman materi melalui tampilan visual dibandingkan penggunaan

text yang padat. Penjabaran materi disampaikan melalui gaya bahasa penulisan yang

sederhana agar lebih mudah dipahami. Buku rujukan ini juga disusun dalam bahasa

Indonesia yang dimaksudkan untuk memperkaya literatur dan buku rujukan berbahasa

Indonesia, akibat lebih banyaknya literatur yang tersedia dalam bahasa Inggris.

Sumber utama dalam penyusunan buku ini mengacu pada pengalaman kerja

penulis saat masih bergabung di Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Minyak

dan Gas Bumi (PPPTMGB) LEMIGAS, dari tahun 2009 hingga 2011 serta bagian dari

hasil penelitian dan publikasi selama menyelesaikan studi S2 dari tahun 2012 hingga

2015. Terdapat kurang lebih 5 publikasi nasional dan internasional serta laporan thesis

yang secara langsung berkaitan dengan materi buku. Adapun sumber lainnya yang

digunakan untuk penulisan buku antara lain berupa text book, jurnal ilmiah dan modul

yang dikumpulkan selama riset dan studi.

Sasaran utama pengguna buku monograf ini adalah mahasiswa Teknik Geologi

yang mengambil mata kuliah petrologi, petrografi dan sedimentologi. Disamping itu,

materi juga sangat membentu bagi mahasiswa Teknik Perminyakan, untuk mendalami

dan memecahkan masalah terkait Evaluasi Formasi (Formation Evaluation) dan

Kerusakan Formasi (Formation Damage), termasuk mata kuliah dasar Mineralogi yang

juga menjadi mata kuliah wajib di Teknik Perminyakan. Sasaran umum dari pengguna

buku ini adalah praktisi industri Minyak dan Gas bumi, serta kalangan peneliti dan

akademisi.

Adanya beberapa keterbatasan selama penyusunan buku, seperti waktu

penyusunan dan jumlah halaman, maka untuk dapat menggunakan buku dengan efektif,

para pembaca buku diharapkan dapat memanfaatkan referensi pendukung tambahan

vi

yang disertakan. Beberapa referensi tambahan tersebut mencakup buku, artikel ilmiah

hingga atlas Scanning Electron Microscope (SEM). Adapun kritik, saran dan masukan

yang bersifat membangun sangat diperlukan dan diharapkan demi kesempurnaan

penulisan buku selanjutnya.

Akhir kata, kami ucapkan banyak terima kasih kepada berbagai pihak yang telah

membantu, memberikan pendampingan, pemberian akses perijinan publikasi buku

hingga pendanaan kegiatan riset dan penulisan buku. Terima kasih penulis ucapkan

kepada American Association of Petroleum Geologists (AAPG) Foundation yang telah

memberikan award berupa Alexander & Geraldine Wanek Memorial Grant, guna

membiayai penelitian dan publikasi penulis selama pelaksanaan riset. Apresiasi yang

setinggi tingginya kepada tim LEMLIT, terutama Ibu Dr. Astri Rinanti, M.T., selaku

direktur LEMLIT, Universitas Trisakti yang telah memberikan kesempatan dan

dukungan materiil untuk penulisan buku monograf ini. Tak lupa ucapan terima kasih

disampaikan kepada rekan – rekan di Prodi Teknik Geologi dan FTKE yang selalu

memberikan dukungan moril dan semangat untuk aktif berkontribusi dalam membuat

tulisan ilmiah serta penerbitan buku.

Jakarta, Juli 2021

Penyusun

Rosmalia Dita Nugraheni, S.T., M.Sc.

Nik. 3477/USAKTI

vii

Daftar Isi

Halaman

RAKATA .................................................................................................................... v

DAFTAR ISI .............................................................................................................. vii

DAFTAR TABEL ...................................................................................................... x

DAFTAR GAMBAR ................................................................................................. xi

BAB I PENDAHULUAN ................................................................................. 1

1.1. Latar Belakang............................................................................... 1

1.2. Rumusan Masalah ......................................................................... 2

1.3. Nilai kebaruan (Novelty) ............................................................... 3

1.4. Kerangka Batupasir ....................................................................... 3

1.5. Tekstur Batupasir........................................................................... 4

1.6. Klasifikasi Batupasir ..................................................................... 8

Bahan Bacaan/ Referensi .......................................................................................... 9

BAB II DIAGENESIS ........................................................................................ 10

II.1 Definisi Diagenesis ....................................................................... 10

II.2 Tahap Awal Diagenesis ............................................................... 12

II.2.1 Kompaksi Awal ............................................................ 12

II.2.2 Proses Pelarutan ......................................................... 13

II.2.3 Autigenesis ................................................................... 14

II.2.4 Pembentukan mineral sekunder (Sementasi) ........... 16

a. Quartz (SiO2) dan Feldspar Overgrowth .................. 18

b. Kaolinite ................................................................... 19

c. Zeolite ....................................................................... 20

d. Pirit (FeS2) ............................................................... 20

e. Gipsum ...................................................................... 21

f. Semen Karbonat (Kalsit, Dolomit, Siderit) ............... 22

II.2.5 Bioturbasi .................................................................... 23

II.3 Tahap Menengah Diagenesis-Mesogenesis .......................... 24

II.3.1 Kompaksi Lanjut ........................................................ 25

II.3.2 Rekristalisasi Lanjut .................................................. 25

II.3.3 Pelarutan Lanjut ......................................................... 26

II.3.4 Pembentukan Mineral Sekunder .............................. 28

a. Mixed Layer (Illite-Smektit) ..................................... 28

b. Klorit ......................................................................... 29

II.3.5 Pembentukan Pori Intragranular dan Material Organik 30

II.4 Tahap Akhir Diagenesis-Telodiagenesis ............................... 30

II.4.1 Pembentukan Mineral Sekunder (Sementasi/Pergantian) 32

a. Kaolinit ..................................................................... 32

viii

b. Oksida Besi ................................................................ 33

II.4.2 Proses Pelarutan ......................................................... 33

Bahan Bacaan/ Referensi .......................................................................................... 34

BAB III TEKNIK IDENTIFIKASI MINERAL &PROPERTI FISIK BATUAN

RESERVOIR 36

III.1. Identifikasi Morfologi dan Struktur Molekul Kristal ........ 36

III.1.1 Mikroskop Polarisasi ................................................ 36

III.1.2 X-Ray Diffraction (XRD) .......................................... 39

III.1.3 Scanning Electron Microscope-Energy Dispersive X-Ray

Spectroscopy (SEM-EDS) ......................................... 42

a. Kuarsa dan Semen Silika ....................................... 42

b. Feldspar dan Semen Feldspar .................................. 44

c. Semen Zeolit ........................................................... 44

d. Semen Mineral Lempung ......................................... 46

e. Semen Karbonat ....................................................... 49

f. Semen Sulfat ............................................................ 50

g. Semen Sulfida .......................................................... 51

h. Semen Oksida Besi .................................................. 51

III.2. Identifikasi Properti Fisik Batuan Reservoir Klastik ......... 52

III.2.1 Pengamatan Visual .................................................... 54

a. Mikroskop Polarisasi ............................................. 54

b. Scanning Electron Microscope ................................ 55

III.2.2 Perhitungan Nilai Porositas-Permeabilitas ............. 59

a. Core Analysis ........................................................ 59

b. Mercury Injection Capillary Pressure (MICP) ........ 60

c. Nuclear Magnetic Resonance Spectroscopy .......... 61

Bahan Bacaan/ Referensi ........................................................................................... 66

BAB IV PERANAN EOGENESIS ..................................................................... 68

IV.1. Indikator Fasies Pengendapan .............................................. 68

IV.1.1 Fasies Fluvial .............................................................. 71

IV.1.2 Fasies Delta ................................................................ 73

IV.1.3 Daerah Pasang Surut / Tidal .................................... 74

IV.1.4 Laut / Marine ............................................................. 75

IV.2. Menurunkan Kualitas Batuan Reservoir ............................ 76

IV.2.1 Penurunan Nilai Porositas Primer ........................... 77

IV.2.2 Penyumbatan Porositas (Pore Throat) ..................... 78

IV.2.3 Modifikasi Porositas Intergranular menjadi Interkristalin 79

Bahan Bacaan/ Referensi ........................................................................................... 80

BAB V PERANAN TELODIAGENESIS ....................................................... 81

V.1. Indikator Adanya Ketidakselarasan (Disconformity) ............ 81

V.1.1 Tektonik Pengangkatan/Uplift .................................. 81

ix

V.1.2 Kaolinite-Illite/Montmorillonite-Chlorite Plot .......... 85

V.2. Meningkatkan Kualitas Batuan Reservoar ........................ 86

V.2.1 Peningkatan Nilai Porositas Pelarutan .................... 86

V.2.2 Peningkatan Nilai Permeabilitas ................................ 88

Bahan Bacaan/ Referensi .......................................................................................... 89

BAB VI HYDROCARBON RECOVERY ........................................................... 90

VI.1. Tipe Recovery Minyak dan Gas ................................................ 90

VI.1.1 Improved Oil Recovery (IOR) ................................... 93

VI.1.2 Enhanced Oil Recovery (EOR .................................... 93

a. Metode Thermal ..................................................... 93

b. Metode Kimia .......................................................... 94

c. Metode Injeksi Gas ................................................. 95

d. Metode lainnya ........................................................ 95

V.2. Diagenesis vs IOR ................................................................. 96

VI.2.1 Acid Stimulation Design ............................................ 99

VI.2.2 Hydraulic Fracturing .................................................. 102

V.3. Diagenesis vs Secondary Recovery ........................................ 104

VI.3.1 Pengaruh Semen Lempung terhadap Waterflooding 105

V.4. Diagenesis vs Tertiary Recovery ............................................ 105

VI.4.1 Pengaruh Mineral Autigenik terhadap Metode Thermal 106

VI.4.2 Pengaruh Mineral Autigenik terhadap Chemical Flooding 107

Bahan Bacaan/ Referensi ...................................................................................... 109

GLOSARIUM ............................................................................................................ 111

PROFIL PENULIS .................................................................................................... 117

x

Daftar Tabel

Tabel 2.1. Mineral autigenik yang umum dijumpai ................................................................ 15

Tabel 3.1. Indikator dalam membedakan mineral karbonat dengan staining ..................... 38

Tabel 3.2. Perhitungan prosentase komponen penyusun batupasir dari 300

titik pengamatan hasil point counting .................................................................... 39

Tabel 3.3. Data detil setiap peak kristal hasil analisis XRD ................................................... 41

Tabel 3.4. Klasifikasi nilai prosentase porositas batuan ......................................................... 55

Tabel 3.5. Klasifikasi tipe pori menurut ukuran yang dimiliki (Ali et al., 2010) .................. 55

Tabel 3.6. Karakteristik lempung autigenik dan tipe pembentukannya ............................... 57

Tabel 3.7. Mercury Injection Capillary Pressure (MICP) ........................................................ 60

Tabel 4.1. Proses yang terjadi pada lingkungan sedimen dan responnya terhadap

Fasies yang dihasilkan (Boggs, 2013) ...................................................................... 70

Tabel 4.2. Variasi tipe semen menurut karakteristik fasies dan lingkungan

pengendapan ........................................................................................................... 75

Tabel 5.1. Proses diagenesis yang berlangsung pada setiap tahapannya ............................ 83

Tabel 6.1. Luas permukaan/1 gr kuarsa dan kapasitas tukar kation dari beberapa mineral

lempung .................................................................................................................. 96

Tabel 6.2. Karakteristik mineral lempung yang dapat menyebabkan permasalahan

reservoir …………………………………………………………………………. 99

Tabel 6.3. Kelarutan relative mineral lempung terhadap pemberian beberapa asam

(HCl dan HF)……………………………………………………………………… 100

Tabel 6.4. Perbandingan keuntungan dan kerugian yang diperoleh dari penerapan

berbagai macam jenis sequestering

agent……………………………………………………………………………….. 100

Tabel 6.5. Tahap stimulasi untuk memperbaiki kerusakan formasi……………………… 101

Tabel 6.6. Pengaruh mineral diagenetic dalam menyebabkan kerusakan formasi

(formation damage) dan prosedur perlakuan remedial yang sesuai untuk

recovery hidrokarbon............................................................................................. 102

Tabel 6.7. Suhu transformasi mineral sebagai indikator suhu maksimum uap panas….. 106

xi

Daftar Gambar

Gambar 1.1 Batuan reservoir sebagai komponen petroleum system yang

menyimpan fluida hidrokarbon .............................................. 1

Gambar 1.2 Variasi teknik recovery minyak dan gas bumi ....................... 2

Gambar 1.3 Komponen volumetric penyusun batupasir ............................ 4

Gambar 1.4 Skala ukuran butir pada sedimen menurut Wentworth (1922) &

histogram kurva frekuensi kumulatif dari distribusi ukuran butir 5

Gambar 1.5 Pengendapan kelas butiran menurut tingkat kebundaran dan

kebolaan (Modifikasi dari M.C. Powers (1953) ..................... 6

Gambar 1.6 Skema perbandingan sortasi dan kelasnya (modifikasi Petitjohn et al

1973) serta pengaruh sortasi terhadap kondisi porositas primer

dan permeabilitasnya ........................................................... …. 6

Gambar 1.7 Konfigurasi kemas dari bidang bola yang seragam ............... 7

Gambar 1.8 Klasifikasi batupasir yang disajikan dalam bentuk segitiga . 8

Gambar 2.1 Komponen dari batupasir ......................................................... 10

Gambar 2.2 Ilustrasi tahapan proses diagenesis .......................................... 11

Gambar 2.3 Ilustrasi proses kompaksi terhadap penyusunan ulang butir

(grain rearrangement) ................................................................. 12

Gambar 2.4 Pelarutan Sebagian pada mineral yang tidak stabil (feldspar) 13

Gambar 2.5 Proses penggantian mineral primer (feldapar) oleh mineral sekunder

(kaolinit) ..................................................................................... 14

Gambar 2.6 Foto SEM dari mineral glaukonit ............................................ 15

Gambar 2.7 Pelarutan dari mineral silikat mengawali terjadinya sementasi silika berupa

quartz overgrowth .................................................................... 17

Gambar 2.8 Ilustrasi proses pelarutan hingga sementasi ........................... 17

Gambar 2.9 Pertumbuhan awal semen silica berbentuk rombohedral yang

secara setempat pertumbuhannya dihalangi oleh kehadiran semen

lempung kaolinit ....................................................................... 18

Gambar 2.10 Proses pelarutan menghasilkan penggantian Sebagian maupun keseluruhan dari

mineral feldspar ......................................................................... 19

Gambar 2.11 Pore-filling semen kaolinit pada pori intragranular .............. 19

Gambar 2.12 Sampel batupasir vulkanik menunjukkan kehadiran semen zeolite

Dan lempung smektit yang terbentuk dari hasil presipitasi fluida

pelarutan dari litik tipe andesitik ............................................. 20

Gambar 2.13 Proses sementasi dan penggantian komponen tidak stabil (mika) oleh

Framboidal dan sucrossic pyrite ............................................... 21

Gambar 2.14 Proses penggantian material organic oleh mineral pirit pada kondisi

lingkungan reduktif (Nugraheni et al., 2013) .......................... 21

Gambar 2.15 Semen karbonat yang hadir sebagai pore-filling dan grain coating

xii

cement pada batupasir .............................................................. 22

Gambar 2.16 Bioturbasi mengacaukan struktur internal dan orientasi butir

batupasir .................................................................................... 23

Gambar 2.17 Skema tahapan diagenesis ........................................................ 24

Gambar 2.18 Tipe kontak antarbutir ............................................................. 25

Gambar 2.19 Morfologi dan system kristal aragonite dibandingkan dengan kalsit 26

Gambar 2.20 Proses pembentukan pori dan mineral sekunder dari hasil pelarutan K-

feldspar ....................................................................................... 27

Gambar 2.21 Grafik hubungan antara tingkat pelarutan dengan porositas dan permeabilitas

yang dihasilkan .......................................................................... 27

Gambar 2.22 Ilustrasi susunan struktur kristal dari mixed-layer illite-smectite 28

Gambar 2.23 Pengamatan di bawah mikroskop polarisasi menunjukkan bahwa klorit

hadir sebagai semen pore-lining yang mengelilingi permukaan butir

kuarsa ......................................................................................... 29

Gambar 2.24 Porositas intragranular dari material karbon yang terbentuk ketika tingkat

kematangan Ro-nya ≥0,6 .......................................................... 30

Gambar 2.25 Ilustrasi tahapan diagenesis ..................................................... 31

Gambar 2.26 Ilustrasi kemungkinan air meteoric dapat hadir pada lapisan yang memiliki

ketidakselarasan ........................................................................ 31

Gambar 2.27 Pola distribusi dari porositas, permeabilitas dan pengaruh kaolinit pada saat

telogenesis terjadi ...................................................................... 33

Gambar 2.12 Sistem kristal aragonite dan kalsit ........................................... 21

Gambar 2.13 Proses pembentukan pori dan mineral sekunder dari hasil pelarutan

K-feldspar (Yuan et al., 2015) ................................................. 21

Gambar 2.14 Grafik hubungan antara tingkat pelarutan dengan porositas dan

permeabilitas yang dihasilkan (Ma et al., 2017) ...................... 22

Gambar 2.15 Ilustrasi susunan struktur kristal dari mixed-layer Illite-smectite

(Brigatti et al., 2013) dan foto SEM dari mixed layer illite-smectite

berbentuk seperti pita bergelombang ................................... 23

Gambar 2.16 (a) Pengamatan di bawah mikroskop polarisasi menunjukkan bahwa

Klorit hadir sebagai semen pore-lining yang mengelilingi permukaan

Butir kuarsa. (b) pengamatan dari SEM menunjukkan bahwa

Pore-lining klorit menghalangi pertumbuhan semen kuarsa 23

Gambar 2.17 Porositas intragranular dari material karbon yang terbentuk ketika

tingkat kematangan Ro-nya > 0.6 ............................................ 24

Gambar 2.18 Ilustrasi kemungkinan air meteoric dapat hadir pada lapisan yang

Memiliki ketidakselarasan (Morad et al., 2000)...................... 25

Gambar 2.19 Pola distribusi dari porositas, permeabilitas dan pengaruh

kaolinite saat telodiagenesis terjadi ......................................... 26

Gambar 3.1 Detil karakteristik tipe kuarsa yang dapat diamati di bawah mikroskop polarisasi

dan mineral glaukonit dengan warna khas hijau membundar 37

xiii

Gambar 3.2 Semen pirit yang menutup porositas intergranular ............... 37

Gambar 3.3 Ilustrasi pengamatan dengan menggunakan metode point counting 38

Gambar 3.4 Grafik hasil analisis XRD menggunakan tipe difraktometer

PANalytical PW 3040/60 dan material anode Cu ................... 40

Gambar 3.5 Karakteristik mineral lempung pada analisis XRD dengan perlakuan

air dried, glycolated dan heated ................................................. 42

Gambar 3.6 Tahapan pertumbuhan semen silica (quartz overgrowth) ...... 43

Gambar 3.7 Morfologi kristal kristobalit/ tridimit ...................................... 43

Gambar 3.8 Pertumbuhan semen feldspar berbentuk tabular .................. 44

Gambar 3.9 Morfologi bilah lempeng semen clinoptilolite ......................... 44

Gambar 3.10 Morfologi individu kristal erionite ........................................... 45

Gambar 3.11 Morfologi individu kristal chabazite ....................................... 45

Gambar 3.12 Kumpulan bilah prisma kristal phillipsite .............................. 45

Gambar 3.13 Kristal octahedral kristal analcime ......................................... 45

Gambar 3.14 Morfologi kristal mordenite ..................................................... 46

Gambar 3.15 Morfologi kristal laumontite .................................................... 46

Gambar 3.16 Bentuk morfologi utama dari autigenik kaolinit yang dijumpai

pada batupasir ........................................................................... 47

Gambar 3.17 Morfologi kristal haloisit .......................................................... 47

Gambar 3.18 Variasi morfologi kristal klorit ................................................ 48

Gambar 3.19 Variasi morfologi dari lempung autigenik illite ..................... 48

Gambar 3.20 Variasi morfologi pada smektit ................................................ 49

Gambar 3.21 Morfologi blocky dari semen kalsit .......................................... 49

Gambar 3.22 Morfologi rombik yang ditunjukkan oleh dolomit dan Fe-dolomit

Hasil analisis SEM-EDAX ........................................................ 50

Gambar 3.23 Variasi morfologi kristal siderit ............................................... 50

Gambar 3.24 Variasi morfologi pada semen gipsum .................................... 51

Gambar 3.25 Variasi morfologi yang dijumpai dari autigenik pirit ............ 51

Gambar 3.26 Variasi tipe porositas visual yang teramati di bawah mikroskop

polarisasi .................................................................................... 54

Gambar 3.27 Distribusi pori mikro dan kripto pada tipe semen lempung

kaolinit dan pirit ........................................................................ 56

Gambar 3.28 Model pembentukan lempung autigenik pada batupasir. Ilustrasi

Sketsa diambil dari Wilson dan Pittman, 1977 dalam (Pszonka

dan Gotze, 2018) ........................................................................ 56

Gambar 3.29 Tipe porositas dan geometri yang teramati melalui hasil pengamatan

Mikroskop polarisasi dan SEM. Gambar modifikasi dari (Nugraheni

et al., 2013) ................................................................................. 59

Gambar 3.30 Alat pengukuran MICP ............................................................ 60

Gambar 3.31 Kurva hasil analisis MICP berupa distribusi ukuran pori .... 60

Gambar 3.32 Atom-atom dengan atau tanpa spin ......................................... 61

xiv

Gambar 3.33 Empat tahap pengukuran NMR (modifikasi dari Kenyon et al.,

1995) ........................................................................................... 63

Gambar 3.34 Relaksasi permukaan butir terbentuk akibat adanya pergerakan

Proton hydrogen (air) dengan arah tidak beraturan sepanjang ruang

Pori dan secara konstan menumbuki butiran mineral ........... 64

Gambar 3.35 Pengaruh ukuran pori terhadap waktu relaksasi T2 ............. 65

Gambar 4.1 Variasi lingkungan pengendapan sedimen (Aliyuda et al., 2018) 68

Gambar 4.2 (a) pengaruh air pori sedimen yang terkontaminasi logam terhadap

Intensitas bioturbasi (b) dan (c) kehadiran biosturbasi memperburuk

Butir dan mengurangi permeabilitas batuan ......................... 71

Gambar 4.3 Pola diagenesis mineral lempung menurut lingkungan pengendapan

Fluvial (Gellis et al., 2016) ......................................................... 72

Gambar 4.4 Presipitasi kaolinit dan pirit umum dijumpai diantara lembaran

mika. Semen pirit dijumpai dengan bentuk geometri sukrosik 73

Gambar 4.5 Morfologi vermicular yang menjadi ciri khas kaolinit sebagai ubahan

dari mika .................................................................................... 73

Gambar 4.6 Sebaran lempung klorit mengindikasikan adanya influx air laut 74

Gambar 4.7 Mineral-mineral yang hadir pada diagenesis di daerah marin

Courtesy Blackwell scientific .................................................... 75

Gambar 4.8 Deformasi mineral lempung kaolinit diantara sementasi kuarsa 77

Gambar 4.9 Pengaruh pertumbuhan Bersama antara semen kuarsa dengan semen

lempung ....................................................................................... 78

Gambar 4.10 Ilustrasi konsep dari pore size dan pore throat ....................... 78

Gambar 4.11 Transformasi porositas intergranular menjadi porositas interkristalin

akibat sementasi ........................................................................ 79

Gambar 5.1 Proses tektonik pengangkatan yang menghasilkan bidang

ketidakselarasan (disconformity) .............................................. 82

Gambar 5.2 Overprinting pirit oleh hematit sebagai indikator tahap

Mesogenesis ............................................................................ 82

Gambar 5.3 Pembentukan mosaic kalsit dengan zonasi oscillatory ........... 84

Gambar 5.4 Pembentukan ferroan dolomit menggantikan mosaic kalsit . 84

Gambar 5.5 (a) Plot genesa lempung yang menggambarkan variasi pengaruh

Asal genetic terhadap kelimpahan dari mineral lempung. Tipe plot

Disebut KIC plot dari tiga kelompok mineral lempung kaolinite-

Illite + MLC-klroit (Stonecipher, 2010) (b) hasil plot kelimpahan

mineral lempung yang menjadi penanda antara tahapan Eo-

mesodiagenesis dengan telodiagenesis (Nugraheni, 2015) ..... 85

Gambar 5.6 Pengaruh tektonik pengangkatan yang berlangsung selama

Telodiagenesis akan meningkatkan volume pori total dengan

membentuk porositas pelarutan ............................................... 87

xv

Gambar 5.7 Retakan yang terbentuk pada Mesogenesis diikuti dengan pelarutan

pada Telogenesis ........................................................................ 87

Gambar 5.8 Gambar backscatter dari field emission-SEM yang menunjukkan

Porositas sekunder berupa mold dari pirit akibat migrasi kristal 88

Gambar 5.9 Permeabilitas efektif yang terbentuk sebagai hasil pelarutan 88

Gambar 6.1 Kondisi batuan reservoar pada berbagai skala yang harus

diperhatikan saat produksi hidrokarbon 90

Gambar 6.2 Mekanisme pendesakan minyak menuju ke sumur produksi dengan

menggunakan waterflooding .............................................. 91

Gambar 6.3 Tahapan perolehan minyak melalui penerapan teknologi

ekstraksi ................................................................................. 92

Gambar 6.4 Skema gas flooding melalui SAG atau foam flooding ........ 95

Gambar 6.5 Struktur internal kristal lempung ....................................... 97

Gambar 6.6 Proses hidrasi air atau penambahan air pada lempung

smektit dengan kation Ca2+ dan Na2+ .................................. 98

Gambar 6.7 Mekanisme surfaktan dalam memindahkan minyak yang

terikat pada permukaan butir silika .................................. 107

Gambar 6.8 Mekanisme terjebaknya polimer pada ruang pori ........... 108

Bab I. PENDAHULUAN

1

BAB I. PENDAHULUAN

I.1. Latar belakang

Diagenesis meliputi perubahan fisika dan kimia yang berlangsung setelah material

sedimen diendapkan dan sebelum mengalami metamorfisme. Proses ini dapat

mempengaruhi kualitas batuan reservoar dengan cara meningkatkan maupun mengurangi

keberadaan pori pada batuan. Saat diagenesis berlangsung, batupasir akan kehilangan

volume porinya akibat proses diagenesis berupa kompaksi dan sementasi. Proses

kompaksi dan sementasi ini tampak pada variabel komposisi mineralogi dan tekstur

batuan yang muncul sebagai respon dari adanya penambahan tekanan dan suhu saat

penimbunan sedimen (burial) serta perubahan komposisi air porinya.

Diagenesis pada batupasir yang

merupakan batuan reservoar ini

cenderung lebih kompleks

dibandingkan dengan diagenesis

pada batuan karbonat (Gambar 1.1).

Identifikasi dari pola diagenesis

batupasir seolah menjadi kunci

dalam pengembangan kegiatan

eksplorasi dan produksi minyak dan

gas bumi. Pada kegiatan eksplorasi,

pola diagenesis dapat digunakan untuk memprediksi fasies model, pendugaan bidang

ketidakselarasan yang samar maupun karakterisasi reservoar yang meliputi identifikasi

properti fisik batuan reservoar. Pada kegiatan pengembangan lapangan, pola diagenesis

digunakan untuk memecahkan masalah terkait well-completion serta meminimalkan

kerusakan formasi (formation damage), sebelum upaya remediasi dilakukan.

Dalam sikuen stratigrafi, interpretasi fasies dilakukan menurut rekaman proses

fisika hidrodinamis. Hal ini teramati sebagai tekstur dan struktur batuan. Sayangnya

struktur sedimen tertentu tidak selalu mewakili lingkungan pengendapan yang unik

Gambar 1.1. Batuan reservoar sebagai

komponen petroleum system yang menyimpan

fluida hidrokarbon.

Bab I. PENDAHULUAN

2

karena beberapa jenis struktur sedimen dapat dijumpai pada beberapa lingkungan

pengendapan. Berbeda dengan penggunaan struktur dan tekstur, interpretasi fasies dari

diagenesis melibatkan juga proses kimiawi yang berkaitan dengan stabilitas mineral dan

fluida. Kombinasi dari variabel fisika dan kimia ini akan menjadi lengkap untuk dapat

menguraikan proses sedimentasi dan deposisi yang berlangsung pada cekungan

pengendapan.

Kegiaan eksplorasi dan produksi hidrokarbon sendiri berkaitan erat dengan tiga

proses geologi utama, yakni pengendapan, diagenesis dan struktur geologi. Ketiganya

memegang peranan penting dalam proses pembentukan, migrasi dan akumulasi

hidrokarbon. Sebagai contoh kondisi pengendapan dalam memberikan informasi terkait

geometri batuan reservoar, porositas primer dan pengawetan material organik; diagenesis

memberikan pengaruh pada porositas dan permeabilitas batuan serta pematangan material

organik; sedangkan struktur geologi akan dapat mempengaruhi arah migrasi hidrokarbon

dan pembentukan jebakannya. Identifikasi dari variabel jenis batuan, kondisi

pengendapan dan struktur geologi dapat diketahui melalui data seismik, sample cutting

(pecahan kecil batuan), core bar maupun data log pemboran, namun diagenesis

memerlukan observasi yang lebih detil melalui mikroskop polarisasi , X-ray diffraction

(XRD) maupun Scanning Electron Microscope (SEM).

I.2. Rumusan Masalah

Kondisi batuan reservoar klastik berupa

batupasir, memiliki karakteristik yang beragam

mulai dari tekstur, struktur dan komponen

penyusunnya, termasuk proses yang

mempengaruhinya sejak awal sedimen

tertransport hingga diendapkan pada cekungan

sedimentasi. Rekaman variabel tersebut sering

menjadi acuan dalam menentukan lingkungan pengendapan. Dalam prakteknya, proses

kimiawi dari diagenesis dapat melengkapi informasi terkait lingkungan pengendapan.

Disamping itu, kehadiran semen autigenik, penggantian mineral akan mempengaruhi

properti petrofisik batuan dan mampu menyebabkan terjadinya kerusakan formasi

(formation damage). Proses ekstraksi hidrokarbon yang secara konvensional

Gambar 1.2. Variasi teknik recovery

minyak dan gas bumi

Bab I. PENDAHULUAN

3

mengandalkan pada kualitas batuan reservoar, menjadi tidak maksimal karena masih

banyaknya fluida hidrokarbon yang terjebak pada pori – pori batuan akibat proses

diagenesis. Untuk mengoptimalkan perolehan minyak dan gas bumi, pengetahuan dasar

tentang diagenesis akan memberikan gambaran tentang karakterisasi batuan reservoar

klastik serta upaya recovery yang sesuai dengan kondisi batuan reservoar klastik yang

dihadapi (Gambar 1.2). Cakupan pembahasan materi disesuaikan berdasarkan kasus yang

umum berlangsung pada kodisi reservoar di Indonesia yang beriklim tropis.

I.3. Nilai Kebaruan (Novelty)

Pemahaman ilmu diagenesis selama ini lebih banyak dimanfaatkan untuk

menentukan fasies pengendapan hingga pemanfaatannya untuk kegiatan eksplorasi

minyak dan gas bumi. Padahal diagenesis sendiri dapat diterapkan dalam penentuan

bidang ketidakselarasan yang samar, terutama terkait dengan tahap akhir diagenesis

(Telogenesis). Hal ini tentunya akan dapat membantu rekonstruksi dari proses tektonik

uplift yang berlangsung pada suatu cekungan pengendapan. Penentuan bidang

ketidakselarasan ini dapat teramati dari rekaman tumpang tindihnya mineral diagenetik

(diagenetic overprint). Secara umum penggunaan buku manual ini untuk memberikan

gambaran hubungan antara diagenesis terhadap properti petrofisik batupasir sebagai salah

satu tipe dari batuan reservoar, dimana pendekatan dan karakteristik diagenesisnya

terutama diamati dari hasil analisis SEM dan petrografi.

I.4. Kerangka Batupasir

Sebelum membahas tentang diagenesis, kita perlu mengenal tentang batupasir

yang meliputi komponen volumetriknya, antara lain kerangka butirannya, detritus

matriks, semen pengisi pori serta ruang pori (Gambar 1.3). Sesuai namanya, batupasir

tentunya memiliki butiran yang dominan berukuran pasir. Walaupun demikian masih

dijumpai ukuran sedimen lanau dan lempung yang menjadi merupakan bagian dari

komponen detrital matriks. Volume ruang tersisa yang tersebar diantara kerangka butiran

disebut sebagai ruang pori.

Kerangka Butiran

Tipe butiran yang paling melimpah dan menyatakan sedimen asal darat antara lain

kuarsa, feldspar dan fragmen batuan. Mineral berat (berat jenis >2,85) umum dijumpai

sebagai partikel butiran sedimen dibandingkan dengan mineral ringan yang hadir sekitar

Bab I. PENDAHULUAN

4

0,1 – 1%. Fragmen batuan yang sering dijumpai hadir

pada batupasir antara lain : 1) kelompok argillaceous,

yakni serpih (shale), sabak (slate), filit dan sekis; 2)

batuan volkanik termasuk gelas volkanik; 3)

kelompok silika yakni kuarsa dan rijang (chert)

(Gambar 1.3). Batuan karbonat juga terkadang hadir

secara local sebagai fragmen batuan pada batupasir.

Pengetahuan akan tipe feldspar dan fragmen batuan

ini dapat memandu kita dalam mengevaluasi daerah asal dari rombakan batuan serta

menentukan proses kompaksi dan sementasi setelah sedimen tersebut diendapkan.

Detrital Matriks

Partikel memiliki ukuran diameter kurang dari 0,03 mm dan terdiri atas berbagai tipe

mineral lempung, seperti kaolinit, ilit, klorit, smektit dan lain – lain. Mineral yang hadir

berukuran lanau umumnya diwakili oleh mineral kuarsa. Pseudomatriks merupakan

istilah yang digunakan untuk menjelaskan material remukan atau hancuran dari fragmen

batuan argillaceous berukuran <0,03 mm yang menempati sela-sela antar butir

(Dickinson, 1970).

Ruang Pori

Ruang pori umumnya ditempati oleh fluida air, hidrokarbon maupun campuran

keduanya. Fluida pori ini dapat mengalami proses presipitasi membentuk semen, bereaksi

dengan kerangka butiran maupun matriks. Porositas maksimum dari batupasir dapat

mencapai 55% maupun 0% pada kondisi batupasir yang terkompaksi dan tersementasi

dengan kuat. Pada batupasir yang rapat (tight) 2-3% porositasnya merupakan tipe

irreducible porosity.

Semen

Semen merupakan material berupa mineral yang secara kimia terpresipitasi dari

fluida pori. Jenis semen yang umum dijumpai pada batupasir antara lain : kalsit, kuarsa,

anhidrit, dolomit, hematit, feldspar, siderite, gipsum, mineral lempung, zeolit dan barit.

Proses sementasi dapat berlangsung secara bertahap hingga penuh mengisi ruang pori.

I.5. Tekstur Batupasir

Dalam penentuan karakteristik batupasir, beberapa parameter yang diamati terkait

tekstur, antara lain ukuran butir, sortasi (sorting), kemas (grain packing), derajat kebun-

Gambar 1.3. Komponen

volumetrik penyusun batupasir

Bab I. PENDAHULUAN

5

daran (roundness), derajat kebolaan (sphericity) dan kontak antar butir (grain contact).

Porositas dan permeabilitas awal dari batupasir sangat dikontrol oleh karakteristik tekstur

di atas.

Ukuran Butir

Ukuran butir disebut pula sebagai diameter butir yang diklasifikasikan menurut skala

ukuran Udden-Wentworth (Gambar 1.4a). Distribusi dari ukuran butir dapat digambarkan

dalam bentuk histogram dan kurva frekuensi kumulatif (Gambar 1.4b). Data statistik

tersebut akan menggambarkan tingkat kesimetrian (skewness), keruncingan (kurtosis)

dan standar deviasi dari sebaran ukuran butir pada batuan. Hal ini digunakan sebagai

indikator kondisi sortasi dari batupasir (Hou et al., 2015). Identifikasi ukuran butir akan

memberikan gambaran mekanisme fisika yang berlangsung selama pengendapan.

Gambar 1.4. a) Skala ukuran butir pada sedimen menurut Wentworth (1922), b)

Gambar histogram dan kurva frekuensi kumulatif dari distribusi ukuran butir.

Sphericity & Roundness

Sphericity mewakili derajat kebolaan dari butiran sebagai hasil interaksi dari

permukaan butir sedimen klastik dengan kondisi permukaan dari lingkungan

pengendapan. Roundness menyatakan tingkat kebundaran dari tepi luar butiran sedimen.

Sphericity & Roundness memiliki arti dalam menyingkap tingkat abrasi, pelarutan dan

sortasi (Zhou et al., 2018)(Cruz-Matías and Ayala, 2013)(Suh et al., 2017). Bentuk dari

kedua tekstur ini diilustrasikan pada gambar 1.5, dimana searah sumbu x menggambarkan

Bab I. PENDAHULUAN

6

perubahan tingkat kebundaran butiran sedangkan searah sumbu y menggambarkan

tingkat kebolaannya. Secara keseluruhan tekstur ini berkaitan dengan mekanisme proses

transportasi dari material rombakan yang bergesekan dengan batuan dasar selama

terpindahkan dari lingkungan batuan asal menuju ke lingkungan pengendapan.

Gambar 1.5. Pengelompokan kelas butiran menurut tingkat kebundaran dan kebolaan

(modifikasi dari M. C. Powers (1953).

Sortasi

Sortasi menyatakan pemilahan ukuran butir yang membentuk keseragaman atau

ketidakseragaman ukuran. Variasi ukuran butir tampak dari histrogram sebaran ukuran

butir yang membentuk kurva unimodal, bimodal maupun polymodal. Keragaman ukuran

butir partikel akan menentukan tipe sortasi dan tingkat kedewaan, disamping memberikan

gambaran kondisi porositas dan permeabilitasnya dari batuannya (Gambar 1.6).

Gambar 1.6 a & b) Skema perbandingan sortasi dan kelasnya (modifikasi dari (Pettijohn

et al., 1973); c) pengaruh sortasi terhadap kondisi porositas primer dan permeabilitasnya.

Bab I. PENDAHULUAN

7

Kemas

Tekstur ini berkaitan dengan susunan kerapatan

jarak antar butiran serta kontak ntar partikel

penyusun batuan. Suatu butir yang memiliki

ukuran butir yang seragam akan memiliki variasi

kemas berupa kubik, rhombohedral dan lain- lain

sesuai gambar 1.7. Susunan kerapatan butir ini

juga akan menggambarkan kecenderungan

partikel untuk kontak satu dengan yang lain

(Gambar1.7). Terdapat 4 tipe kontak antar butir,

yakni 1) tangensial/ point contact; 2) long contact;

3) concavo-convex contact; dan 4) suture contact,

dimana tiap jenis kontak ini dapat digunakan

untuk menentukan intensitas kompaksi.

Tingkat Kedewasaan Batupasir

Kedewasaan ini memiliki kaitan erat dengan tekstur dan komposisi mineralogi. Menurut

Folk, (1974), kedewasaan tekstur sedimen dapat dikenali menurut kandungan lempung,

sortasi dan kebundaran butir. Tingkatan utama kedewasaan tekstur ini meliputi :1)

immature; 2) submature; 3) mature; dan 4) supermature (Khokhar et al., 2014).

Tingkatan tersebut berkaitan dengan 3 proses dasar yang berlangsung selama

transportasi sedimen ke lingkungan pengendapan, yakni pencucian lempung oleh proses

winnowing; peningkatan kelas sortasi dan tingkat kebundarannya tanpa memperhatikan

komposisi mineraloginya. Namun skema yang diutarakan oleh Folk ini memiliki

kelemahan dalam menjelaskan kondisi sedimen pasir yang well rounded tetapi poorly

sorted karena mengandung 5% detrital lempung. Konsep tersebut selanjutnya direvisi

oleh (Pettijohn, 1975) yang mengemukakan kedewasaan mineralogi, yakni dengan

menmbandingkan satu mineral dengan mineral lainnya, seperti kuarsa terhadap

feldspar; (kuarsa + rijang/ chert) terhadap (feldspar +fragmen batuan). Konsep

kedewasaan mineralogi ini penting untuk menjelaskan hal yang berlaku selama

kompaksi dan penimbunan sedimen (deep burial). Quartzarenite memiliki kedewasaan

mineralogi yang mature dan berkebalikan dengan kondisi immature pada Arkose

Gambar 1.7. Konfigurasi kemas dari

bidang bola yang seragam

Bab I. PENDAHULUAN

8

maupun Litharenite, dimana akan merespon secara berbeda juga terhadap kondisi

diagenetiknya.

1.6. Klasifikasi Batupasir

Parameter yang digunakan dalam melakukan klasifikasi batupasir adalah

komposisi mineralogi antara lain kuarsa (termasuk chert), feldspar dan fragmen batuan.

Terdapat sekitar 50 klasifikasi batupasir yang dipublikasi, tetapi yang umum digunakan

dalam melakukan klasifikasi disajikan pada Gambar 1.8 (Earle F. Mcbride, 1963);

(Folk, 1974); (Pettijohn et al., 1973) (Boggs, 2013) (Garzanti, 2019). Beberapa jenis

klasifikasi batupasir, menempatkan kuarsa dan chert pada kutub atau puncak ternary

pertama, kutub ternary kedua ditempati oleh feldspar dan fragmen batuan yang labil atau

tidak stabil pada kutub ketiga. Klasifikasi ini umumnya digunakan dalam analisis

petrografi untuk mengamati sayatan tipis batuan di bawah mikroskop polarisasi.

Gambar 1.8. Klasifikasi batupasir yang disajikan dalam bentuk ternary diagram (Earle F.

Mcbride, 1963); (Folk, 1974); (Pettijohn et al., 1973) (Boggs, 2013) (Garzanti, 2019)

Bab I. PENDAHULUAN

9

Bahan Bacaan/Referensi

Boggs, S., 2013. Principles of sedimentology and stratigraphy 4th edition. Journal of

Chemical Information and Modeling.

Cruz-Matías, I., Ayala, D., 2013. Orientation, Sphericity and Roundness Evaluation of

Particles Using Alternative 3D Representations. Nuclear Physics Review.

Dickinson, W.R., 1970. Interpreting Detrital Modes of Graywacke and Arkose. SEPM

Journal of Sedimentary Research.

Earle F. Mcbride, 1963. A Classification of Common Sandstones. SEPM Journal of

Sedimentary Research.

Folk, R.L., 1974. Petrologie of sedimentary rocks. Hemphll Publishing Company, Austin.

Garzanti, E., 2019. Petrographic classification of sand and sandstone. Earth-Science

Reviews.

Hou, T. xing, Xu, Q., Zhou, J. wen, 2015. Size distribution, morphology and fractal

characteristics of brittle rock fragmentations by the impact loading effect. Acta

Mechanica.

Khokhar, Q.D., Hakro, A A D, Solangi, S.H., Brohi, I.A., Markhand, A.H., 2014. Textural

Maturity and Depositional Environment of Bara Formation at Ranikot, Sindh. Sindh

University Research Journal.

M. C. Powers, 1953. A New Roundness Scale for Sedimentary Particles. SEPM Journal

of Sedimentary Research.

Pettijohn, F.J., 1975. Sedimentary Rocks, Third Edition. Geoscience Canada 2.

Pettijohn, F.J., Potter, P.E., Siever, R., 1973. Sand and Sandstone, Sand and Sandstone.

Suh, H.S., Kim, K.Y., Lee, J., Yun, T.S., 2017. Quantification of bulk form and angularity

of particle with correlation of shear strength and packing density in sands.

Engineering Geology.

Wentworth, C.K., 1922. A Scale of Grade and Class Terms for Clastic Sediments. The

Journal of Geology.

Zhou, B., Wang, J., Wang, H., 2018. Three-dimensional sphericity, roundness and fractal

dimension of sand particles. Geotechnique.

Bab II. DIAGENESIS

1010

BAB II. DIAGENESIS

II.1 Definisi Diagenesis

Diagenesis mengacu pada proses perubahan fisika dan kimia yang berlangsung

sesaat setelah sedimen diendapkan hingga sebelum memasuki tahap metamorfisme.

Dalam prosesnya, diagenesis tidak melibatkan aspek perubahan tekanan dan temperatur

yang tinggi seperti pada proses metamorfisme. Menurut (Worden and Burley, 2009)

(Stuart D. Burley, 2003), diagenesis terjadi pada suhu dibawah 200 oC dengan tekanan

dibawah 300 MPa atau 2 Kb dengan kedalaman maksimal 7 km. Meskipun melibatkan

perubahan fisika, biologi, dan kimiawi, diagenesis dapat dibedakan terhadap proses

pelapukan. Secara sederhana dapat dijelaskan bahwa pada proses pelapukan, batuan akan

berubah menjadi tanah, sedangkan dalam proses diagenesis, material sedimen akan

terkonsolidasi dan menjadi lebih kompak.

Proses diagenesis pada sedimen berlangsung

sebagai respon untuk mencapai kestabilan kimiawi dan

kesetimbangan tekstur. Hal ini terjadi karena adanya

interaksi antara komponen sedimen yang tidak stabil

(feldspar, mika, mineral ferromagnesian, litik) dengan

fluida pada lingkungan pengendapan. Fluida ini

umumnya menempati ruang antar butir sedimen,

mengalami sirkulasi pergerakan yang menyebabkannya

bersentuhan dengan permukaan butiran sambal

melarutkan komposisi kimia dari butiran. Secara

vertikal, material sedimen juga mengalami kompaksi akibat tekanan penimbunan, dimana

hal ini akan mengakibatkan ruang pori menjadi mengecil dan fluida yang telah jenuh

secara kimiawi akan mulai mengalami presipitasi dengan membentuk semen (Gambar

2.1). Akibatnya, komponen mineral primer dari butiran sedimen tersebut akan berubah

menjadi mineral sekunder tertentu yang bertindak sebagai semen.

Proses diagenesis tidak hanya mengubah mineral primer menjadi mineral sekunder,

tetapi juga menyebabkan terjadinya kompaksi, pelarutan, presipitasi dan sementasi.

Proses ini dikontrol oleh tekstur asal dan komposisi sedimen, kecepatan penimbunan,

Gambar 2.1 Komponen dari

Batupasir

Bab II. DIAGENESIS

1111

lingkungan pengendapan, tektonik, kecepatan reaksi kimia, heterogenitas batuan serta

gradien hidrodinamik dan geothermal.

Diagenesis terjadi melalui tiga tahapan, seperti yang diilustrasikan pada Gambar 2.2:

Gambar 2.2 Ilustrasi tahapan proses diagenesis

1) Eogenesis : merupakan tahap awal. Tahapan ini dimulai dari terjadinya perubahan,

serta penyusunan ulang komponen butir dan batuan. Proses Eogenesis ini terjadi pada

kedalaman yang cukup dangkal atau dekat dengan permukaan.

2) Mesogenesis : merupakan proses lanjutan atau proses yang terjadi setelah batuan

terendapkan. Proses ini meliputi pembebanan yang mengakibatkan penambahan

tekanan overburden, serta pengaruh fisika dan kimia lanjutannya berupa proses

kompaksi, pelarutan dan sementasi lanjutan, termasuk replacement (penggantian) dan

authigenesis.

3) Telogenesis : merupakan tahap akhir dari diagenesis. Tahap ini ditandai dengan adanya

proses pengangkatan dari sedimen yang telah tertimbun pada kedalaman besar ke

Diagenesis menjadi hal yang menarik untuk diamati untuk

mendukung kegiatan eksplorasi. Hal ini dikarenakan diagenesis

dapat mempengaruhi properti fisik batuan seperti porositas dan

permeabilitas. Hal ini erat kaitannya dengan kualitas batuan

reservoir, dimana batuan ini bertindak dalam menyimpan

hidrokarbon. Dengan demikian, diagenesis dapat mempengaruhi

efektivitas dari batupasir sebagai salah satu dari batuan reservoar.

Bab II. DIAGENESIS

1212

permukaan hingga mengalami erosi. Tahapan ini dicirikan dengan adanya overprinting

dari mineral autigenik yang dijumpai pada mesogenesis dengan mineral sekunder baru

yang menandai pembentukan di permukaan seperti lempung autigenik berupa kaolinit,

maupun oksida besi.

Proses diagenesis ini dapat menambah maupun mengurangi jumlah pori dalam

batuan sedimen, sehingga mempengaruhi porositas dan permeabilitas batuan. Sebagai

contoh akibat dari proses diagenesis, nilai porositas dapat meningkat tanpa meningkatkan

nilai permeabilitasnya, begitu pula sebaliknya. Adapun tahapan dari proses diagenesis

dapat dijabarkan sebagai berikut :

II.2. Tahap Awal Diagenesis (Eogenesis)

II.2.1. Kompaksi Awal

Kompaksi didefinisikan sebagai proses pengurangan

volume batuan akibat hilangnya air dari pori – pori

sedimen. Proses ini dapat berlangsung akibat adanya

tekanan pembebanan dari sedimen yang diendapkan di

atasnya. Kecepatan penurunan porositas terhadap kenaikan

kedalaman selama pembebanan tergantung pada faktor

komposisi asal dari butiran sedimen. Suatu batupasir yang

mengandung banyak material tidak stabil akan

terkompaksi dan tersementasi lebih cepat daripada

batupasir yang mengandung mineral yang secara mekanis

dan kimiawi lebih stabil (Taylor et al., 2010). Pada tahap

awal diagenesis, proses kompaksi secara fisika terutama

berlangsung melalui mekanisme rotasi, dimana hal ini

mengakibatkan butiran saling bergerak mendekat dan

melakukan penyusunan ulang orientasi butirnya (grain

rearrangement, Gambar 2.3). Pada batupasir kaya kuarsa,

dimana tidak dijumpai komponen ductile, rotasi butiran

menjadi mekanisme utama yang berlangsung.

Gambar 2.3 Ilustrasi

proses kompaksi terhadap

penyusunan ulang butir

(grain rearrangement).

Bab II. DIAGENESIS

1313

Proses kompaksi tidak hanya ditunjukkan dari besarnya penurunan ketebalan

sedimen, tetapi juga tampak pada kontak antar butir dan penurunan nilai porositas. Tipe

kontak antar butir yang dijumpai pada proses kompaksi awal terdiri atas: a) Floating

contact, b) Point contact/ Tangential contact, c) Long contact. Pada awal proses

pengendapan atau pada kedalaman yang dangkal, butiran dapat memiliki tipe floating

contact, dimana butiran tidak saling bersentuhan atau tampak mengambang pada matriks.

Proses kompaksi awal memungkinkan terjadinya tipe kontak berupa point contact

(dimana ujung partikel sedimen saling berkontak atau menyudut satu sama lain),

penambahan kompaksi akan mengakibatkan terjadinya peningkatan kontak antar butir

menjadi long contact. Proses kompaksi juga menyebabkan keluarnya fluida antar butir

dan pengurangan volume dari porositas awal. Sebagai contoh, batupasir dapat mengalami

penurunan porositas awal yang mencapai 17 – 40%. (Ali et al., 2010). Parameter yang

mempengaruhi kompaksi, bergantung pada karakteristik awal dari sedimen yang

diendapkan, seperti sortasi, derajat kebundaran dan terutama komposisi dari kerangka

butirannya.

II.2.2. Proses Pelarutan

Pelarutan terjadi karena adanya

pergerakan fluida sepanjang ruang pori

sambil memberikan tekanan ke permukaan

butiran dan melarutkan komposisi kimia dari

butiran yang tidak stabil. Tekanan yang

diberikan fluida terhadap permukaan butir,

mampu menguraikan ikatan kimia

molekulnya. Kation dari molekul senyawa

butiran yang terlepas selanjutnya akan

terlarut pada fluida pori dan menghasilkan

komposisi kimia fluida yang baru. Jika

komposisi kimia baru yang dihasilkan memiliki alkalinitas yang rendah, hal ini akan

meningkatkan kemampuan fluida dalam bertindak sebagai agen pelarut atau

menyebabkan komponen butiran menjadi lebih mudah larut.

Pada tahap awal diagenesis, proses pelarutan umumnya menghasilkan pelarutan

Gambar 2.4. Pelarutan sebagian pada mineral

yang tidak stabil (feldspar)

Bab II. DIAGENESIS

1414

sebagian (partial dissolution) dari komponen butiran yang tidak stabil seperti feldspar

(Gambar 2.4). Beberapa parameter yang berperan dalam proses pelarutan antara lain

perubahan suhu, tekanan, fase fluida, serta pelarutan dan represipitasi dari mineral yang

sudah ada.

II.2.3. Autigenesis

Autigenesis merupakan suatu proses

dimana mineral baru terbentuk di suatu

lingkungan pengendapan tertentu melalui

presipitasi atau rekristalisasi (MacNaughton et

al., 2005). Mineral baru yang terbentuk tersebut

selanjutnya disebut sebagai mineral autigenik.

Mineral ini berbeda dengan mineral alogenik

yang berasal dari hasil rombakan dan transportasi

dari tempat lain. Pembentukan mineral autigenik

berkaitan dengan kehadiran dari komponen

butiran yang tidak stabil berinteraksi dengan

fluida pori yang bersifat melarutkan komposisi kimiawi butiran. Proses deformasi butir

juga mendukung proses pelarutan menjadi semakin intensif dan mengakibatkan

komposisi kimia fluida menjadi jenuh. Kondisi fluida yang jenuh memungkinkan untuk

terjadinya presipitasi dan rekristalisasi dari mineral asal (pre-existing mineral; seperti

feldspar, mika dan mineral tidak stabil lainnya). Presipitasi dapat berlangsung pada ruang

pori, permukaan butiran, hingga menggantikan mineral (replacement) (Gambar 2.5).

Akibatnya mineral primer akan terubah menjadi mineral sekunder untuk mencapai

kesetimbangan secara fisika dan kimia. Mineral lempung montmorillonite yang termasuk

kelompok dari tipe lempung smektit, mencerminkan proses pembentukannya yang

berasal dari hasil pelarutan dan redeposisi dari material abu volkanik.

Mineral autigenik memiliki variasi yang lebih beragam daripada tipe semen, hal

ini dirangkum pada tabel 2.1. Glaukonit merupakan contoh mineral autigenk yang

terbentuk secara insitu pada lingkungan laut dangkal dengan kedalaman <500 m,

temperatur 15oC dan berada di bawah kondisi sub-oxic. Mineral ini merupakan hydrous

Gambar 2.5. Proses penggantian mineral

primer (feldspar) oleh mineral sekunder

(kaolinit).

Bab II. DIAGENESIS

1515

phyllosilicate yang kaya akan kation Fe dan K (López-

Quirós et al., 2019) (Gambar 2.6). Karena terbentuk

secara insitu pada lingkungan laut dangkal mineral

glaukonit merupakan komponen dari material

autochthon.

Mineral ini tampak berwarna kehijauan pada

pengamatan di bawah mikroskop polarisasi. Glaukonit

yang menunjukkan adanya bercak kecoklatan

menunjukkan bahwa mineral ini mengalami

penampian ke arah darat dan laut oleh arus ombak,

badai maupun pasangsurut saat pembentukannya belum sempurna. Hal tersebut

mengakibatkan glaukonit memiliki kedewasaan yang rendah dan mencerminkan asal

komponen parautochthonous. Pada pengamatan dengan SEM mineral ini tampak

diselubungi oleh mineral lempung- smektit. Secara umum, faktor yang mempengaruhi

dalam pembentukan mineral autigenik adalah kumpulan mineral teutama mineral yang

tidak stabil, suhu, tekanan, konsentrasi ionik, pH, kehadiran elektron dan penambahan

fluida pada ruang pori.

Kehadiran mineral autigenik menarik untuk dipelajari karena dapat memberikan

gambaran kondisi fisio-kimia dari suatu akumulasi sedimen (terutama terkait pH dan

salinitasnya), proses diagenesisnya serta proses pembatuan atau litifikasi dari sedimen.

Tabel 2.1. Mineral autigenik yang umum dijumpai (James R. Boles, Stephen G. Franks,

1979)

Mineral Rumus kimia

Albit NaAlSi3O8

Anatase TiO2

Anhidrit CaSO4

Apatit Ca5(PO4)3(F,Cl,OH)

Aragonit (ortorombik) CaCO3

Barit BaSO4

Boehmit AlO(OH)

Kalsit (heksagonal) CaCO3

Gambar 2.6. Foto SEM dari

mineral glaukonit

Bab II. DIAGENESIS

1616

Mineral Rumus kimia

Celestite SrSO4

Mineral lempung - Klorit (Mg, Fe2+, Fe3+)6.(Al,Si3)O10(OH)8

Mineral lempung – Illite K(Al)2(AlSi3)O10(OH)2

Mineral lempung - Kaolinit Al2Si2O5(OH)4

Mineral lempung - Smektit (Na, 0,5Ca)0,5(Al, Mg, Fe)2.(Al,

Si3)O10(OH)2.nH2O

Dolomit CaMg(CO3)2

Gibsit Al(OH)3

Glaukonit K(Al, Mg,Fe2+, Fe3+)2.(Al, Si3)O10(OH)2.nH2O

Goetit Fe2O3.n(H2O)

Gipsum CaSO4. 2(H2O)

Halit NaCl

Hematit Fe2O3

Leucoxene TiO2

Limonit FeO(OH). n(H2O)

Opal (amorf) SiO2. n(H2O)

Ortoklas KAlSi3O8

Pirit (isometric) FeS2

Pirolusit MnO2

Kuarsa SiO2

Siderit FeCO3

Zeolit – Klinoptilolit (Na, 0,5Ca, K)3,5(Al3,5, Si14,5)O36.nH2O

Zeolit – Analcime NaAlSi2O6 . H2O

Zeolit – Laumontit CaAl2Si4O12 . 4H2O

II.2.4. Pembentukan Mineral Sekunder (Sementasi)

Sementasi merupakan hasil presipitasi fluida pori yang membentuk material

sekunder dan bersifat mengikat butiran komponen. Material semen dapat berasal dari

pelarutan air ke dalam porositas batuan, maupun hasil dari pelarutan mineral dalam

batuan yang disertai dengan proses presipitasi. Pertumbuhan kristal baru dapat

Bab II. DIAGENESIS

1717

berlangsung pada permukaan luar butiran dan tumbuh ke luar menuju pori yang terbuka

atau disebut secondary outgrowth (Gambar 2.7 dan 2.8). Tipe semen ini umum dijumpai

pada semen silika (quartz overgrowth) dan feldspar (feldspar overgrowth).

Jenis semen yang umum ditemukan pada batupasir adalah semen karbonat,

lempung dan silika. Dari kedua jenis ini, silika merupakan jenis semen yang dominan.

Tipe semen lain yang dapat dijumpai adalah pirit, gipsum dan zeolit. Terdapat berbagai

faktor yang mempengaruhi tipe dari semen, yakni lingkungan pengendapan, komposisi

mineral dan butiran, temperatur, dan tekanan. Kuantitas semen tergantung pada

komposisi porositas, kecepatan aliran fluida yang mengalir, dan waktu yang tersedia

selama proses sementasi.

Menurut Tallman (1949), ada

kecenderungan dimana batupasir yang

lebih muda tersementasi dengan

karbonat, sedangkan batupasir yang

lebih tua cenderung tersementasikan

oleh semen silika. Ada kemungkinan

bahwa pada batupasir yang berumur

lebih tua, karbonat telah tergantikan

oleh kehadiran mineral-mineral silika.

Gambar 2.8. Ilustrasi proses pelarutan hingga sementasi

Gambar 2.7. Pelarutan dari mineral silikat

mengawali terjadinya sementasi silika

berupa quartz overgrowth.

Bab II. DIAGENESIS

1818

a. Quartz (SiO2) dan Feldspar Overgrowth

Kuarsa umum ditemukan pada batupasir dikarenakan tingkat kestabilannya

yang tinggi. Kuarsa memiliki tingkat stabilitas yang tinggi, namun bukan berarti tidak

dapat mengalami pelarutan. Semen kuarsa merupakan tipe semen yang umum

dijumpai pada awal diagenesis. Pembentukan dari semen silika diawali dengan adanya

proses pelarutan, dimana mineral silika dapat mengalami pelarutan pada kondisi pH

yang sangat rendah. Akibat pelarutan tersebut menyebabkan fluida menjadi jenuh akan

silika dan membentuk semen silika pada permukaan tepi dari butiran kuarsa.

Pertumbuhan awal semen silika ditandai oleh bentuk morfologi yang rombohedral di

bagian terluar dari permukaan mineral kuarsa dan semakin sempurna pertumbuhan

semennya akan membentuk morfologi semen yang prismatik (Weibel et al., 2010). Hal

ini berbeda dengan semen feldspar yang menunjukkan kesan bentuk semen yang

tabular maupun blocky. Walaupun semen kuarsa umumnya hadir menyelubungi

butiran kuarsa, tetapi semen ini juga dapat dijumpai mengisi pada pori intragranular

berupa rongga kamar foraminifera. Pertumbuhan semen silika akan terhalangi jika

terdapat semen lempung pada permukaan butir (Gambar 2.9).

Gambar 2.9. Pertumbuhan awal semen silika berbentuk rombohedral yang secara

setempat pertumbuhannya dihalangi oleh kehadiran semen lempung kaolinit

Berbeda dengan kuarsa yang keberadaannya dalam batupasir sangat melimpah,

keberadaan mineral feldspar terbilang cukup banyak namun tidak sebanyak kuarsa.

Feldspar merupakan mineral yang cenderung tidak stabil, namun hal itu tidak bersifat

mutlak, mengingat ada berbagai jenis feldspar. Feldspar yang kaya akan unsur kalsium

(Ca) relatif kurang stabil. Sedangkan feldspar alkali (K-feldspar) relatif stabil, contohnya

mikroklin. Sama halnya dengan kuarsa, mineral feldspar juga dapat membentuk feldspar

Bab II. DIAGENESIS

1919

overgrowth dan meluas di permukaan butir asal (secondary enlargement). Lingkungan

yang mendukung terbentuknya feldspar, yakni adanya silika (baik yang berasal dari

skeletal organisme, maupun dari hidrolisis silika serta melimpah akan ion Natrium dan

Kalium.

Feldspar autigenik sering ditemukan berasosiasi dengan mineral sekunder zeolit

dan mineral lempung. Feldspar autigenik dapat hadir pada batupasir dari beragam umur,

mulai dari umur Pleistocene hingga Precambrian, namum lebih umum dijumpai

melimpah pada batupasir dengan umur yang lebih tua. Contoh dari feldspar autigenik

yang dapat ditemukan pada batupasir yakni K-Feldspar dan Albite.

b. Kaolinite

Kaolinite termasuk salah satu jenis dari mineral

lempung, yang terbentuk pada lingkungan

pengendapan yang reduktif atau memiliki air

dengan pH asam. Kehadiran kaolinit

menunjukkan proses penimbunan (burial) yang

dangkal. Pembentukan semen kaolinit diduga

berasal dari pelarutan mineral feldspar maupun

mika muskovit yang memiliki kandungan

alumino silikat tinggi, sehingga kehadirannya

umum dijumpai didekat komponen butiran labil

tersebut (Gambar 2.10).

Semen kaolinit umumnya hadir sebagai tipe

semen yang mengisi pori primer (intergranular

maupun intragranular pore) maupun sekunder

(porositas pelarutan) (Gambar 2.11). Pembentukan

semen maupun penggantian oleh kaolinit ini

dikontrol oleh adanya interaksi antara mineral

aluminosilikat dengan fluida pada pH dan suhu

tertentu. Peningkatan dari burial depth (>2 km),

menyebabkan kaolinit bertransformasi menjadi

dickite dan membetuk mixed-layer kaolinite-dickite.

Gambar 2.10. Proses pelarutan

menghasilkan penggantian sebagian

maupun keseluruhan dari mineral feldspar

Gambar 2.11. Pore-filling semen

kaolinit pada pori intragranular

Bab II. DIAGENESIS

2020

c. Zeolite

Zeolit sekunder terbentuk selama dan setelah penimbunan (burial) akibat adanya

reaksi antara air pori dengan material aluminosilikat seperti gelas volkanik, feldspar,

silika biogenik dan mineral lempung. Kehadiran semen zeolit pada batupasir identik

dengan karakteristik batuan reservoar yang bersifat vulkaniklastik, dimana material

vulkanik yang bersifat tidak stabil mudah larut kemudian terpresipitasi membentuk

semen zeolit. Jenis dan kelimpahan zeolit yang dijumpai tergantung pada tekstur dan

komposisi dari batuan pembawa, komposisi air pori dan suhu (Ali et al., 2010). Sebagai

contoh, ketika semen zeolit yang dijumpai tipe laumontite dan/ atau klinoptilolit, maka

hal ini menunjukkan bahwa pelarutan dari komponen sedimen menyebabkan fluida

menjadi jenuh akan Ca dan Na, sehingga akan dapat dijumpai presipitasi dari tipe zeolite

laumontite dan klinoptilolit yang berasosiasi dengan semen smektit (Gambar 2.12).

Gambar 2.12. Sampel batupasir vulkanik menunjukkan kehadiran semen zeolite dan

lempung smektit yang terbentuk dari hasil presipitasi fluida pelarutan dari litik tipe

andesitik.

d. Pirit (FeS2)

Secara genetik, pirit merupakan hasil ubahan dari material amorf hydrotroilite

(FeS) pada tahap awal diagenesis (Ali et al., 2010). Material amorf ini terbentuk dari hasil

reduksi sulfat dan umum dijumpai pada sedimen yang diendapkan di lingkungan reduktif,

seperti rawa, daerah pasang surut (tidal) dan lain - lain. Semen pirit umumnya hadir

mengisi ruang pori. Pada lingkungan pengendapan yang sesuai, kehadiran pirit tidak

hanya bertindak sebagai semen, melainkan juga dapat menggantikan sebagian komponen

mineral yang tidak stabil seperti mika biotit (Gambar 2.13).

Bab II. DIAGENESIS

2121

Gambar 2.13. Proses sementasi dan penggantian komponen tidak stabil (mika) oleh framboidal

dan sucrossic pyrite

Pirit dapat berbentuk seperti butian halus yang disebut sucrossic pyrite maupun berupa

kumpulan agregat yang menyerupai bola atau elips yang disebut sebagai framboidal

pyrite. Framboidal pyrite dapat terbentuk sebagai hasil pelarutan dan penggantian dari

material organik yang berbentuk membola (seperti algae Botryococcus sp.). Proses

pelarutan berlangsung efektif pada lingkungan reduktif, dimana kondisi pHnya

memungkinkan terjadinya penggantian oleh mineral pirit. Jika agregat ini dijumpai

berbentuk elips, hal ini menunjukkan bahwa proses kompaksi akibat penimbunan

sedimen menghasilkan modifikasi dari bentuk asal framboidal pyrite seperti ditunjukkan

pada gambar 2.14.

Gambar 2.14. Proses penggantian material organik oleh mineral pirit pada kondisi

lingkungan reduktif (Nugraheni et al., 2013)

e. Gipsum

Gipsum merupakan jenis mineral sulfat yang paling umum dijumpai sebagai agen

sementasi pada batupasir. Semen ini dihasilkan dari presipitasi fluida jenuh sulfat pada

lingkungan air payau. Secara umum, gipsum terbentuk pada singkapan dengan

Bab II. DIAGENESIS

2222

kedalaman yang lebih dangkal dan suhu yang lebih rendah dibandingkan dengan anhidrit.

Keberadaan dari semen gipsum dipengaruhi oleh kondisi temperatur, salinitas dan

tekanan yang rendah.

f. Semen karbonat (Kalsit, Dolomit, Siderit)

Kehadiran semen kalsit pada batupasir menunjukkan kondisi lingkungan

pengendapan laut (marine). Walaupun demikian pada lingkungan transisi (seperti estuari)

juga dapat dijumpai air payau dengan salinitas tertentu memungkinkan terjadinya

pembentukan sementasi awal kalsit. Kehadiran semen kalsit juga dapat mengindikasikan

proses sedimentasi yang berada pada kedalaman besar akibat terjadinya penimbunan

(burial). Banyak semen kalsit yang dapat terbentuk pada kedalaman > 300 m (Ali et al.,

2010). Walaupun demikian, beberapa semen kalsit penciri Eogenesis membentuk kemas

poikilotopik. Tipe semen poikilotopik ini mengelilingi butiran yang tersusun dengan

dengan kemas terbuka. Semen ini dapat memiliki ukuran beberapa mm hingga beberapa

cm. Kondisi semen poikilotopik yang mengelilingi butiran dengan kerapatan longgar

mengindikasikan bahwa sementasi berlangsung pada kedalaman yang dangkal sebelum

mengalami kompaksi lebih lanjut. Kalsit umumnya hadir pada tahap awal dari presipitasi

semen karbonat dan diikuti oleh presipitasi dari semen dolomit. Walaupun demikian

dolomit juga dapat hadir pada tahap awal presipitasi. Presipitasi semen kalsit membentuk

kristal anhedral berukuran besar dengan mengisi porositas moldic maupun menggantikan

semen lainnya. Semen karbonat umumnya mengisi pori (pore- filling) dan menyelubungi

butiran (grain-coating) (Gambar 2.15).

Gambar 2.15. Semen karbonat yang hadir sebagai pore-filling dan grain coating cement

pada batupasir

Bab II. DIAGENESIS

2323

Autigenik siderit dapat dijumpai sebagai kristal berbentuk belah ketupat yang

umumnya terkonsentrasi pada laminasi lempung maupun lempung yang kaya abioturbasi.

Hal ini terjadi karena laminasi dari lempung umumnya memiliki ketersediaan besi dan

oksida besi yang tinggi. Pembentukan siderit berlangsung pada tahap awal sebelum

kompaksi lamina lempung berlangsung, dimana hal ini melibatkan interaksi antara oksida

besi dengan air bikarbonat yang berasal dari air meteorik kaya CO2 dan berlangsung pada

laminasi lempung.

II.2.5. Bioturbasi

Bioturbasi merupakan rekaman hasil aktivitas organisme (seperti menggali/

burrowing, berjalan/ grazing, tinggal/ dwelling dan mencari makan / feeding) yang dapat

mengganggu atau mengubah tekstur dan struktur asal dari sedimennya. Dalam

pembentukan burrow, beberapa organisme mampu memisahkan komponen (mineral

tertentu dan klastika kasar) dari sedimen. Ketika bioturbasi memotong struktur internal

laminasi, tipe bioturbasi ini akan menghasilkan porositas yang terisolasi karena bagian

terluar dari galian organisme berupa laminasi

lanau atau lempung. Sebaliknya, organisme

lainnya dapat mencampurkan komponen

sedimen. Ketika bioturbasi berlangsung intensif,

banyak dari struktur internal sedimen berupa

perlapisan dan laminasi yang menjadi rusak

maupun hilang sepenuhnya. Selain merusak

struktur sedimen, kehadiran bioturbasi dapat

mempengaruhi orientasi partikel, memperburuk

sortasi sedimen dan menurunkan nilai porositas

dan permeabilitas batupasir ketika organisme ini

mencampurkan lempung dari sedimen di atasnya

(Ali et al., 2010) (Gambar 2.16).

Derajat bioturbasi menyatakan fungsi dari densitas populasi organisme, kedalaman

dari sedimen yang terganggu serta kecepatan sedimentasi. Kelimpahan lokal dari

bioturbasi terjadi hampir pada semua tipe endapan, baik pada lingkungan marin, non-

marin maupun sedimen deltaik. Kehadirannya dapat dikenali dari bentukan laminasi dan

Gambar 2.16. Bioturbasi mengacaukan

struktur internal dan orientasi butir

batupasir

Bab II. DIAGENESIS

2424

orientasi susunan butir yang terganggu maupun seperti sarang dan kantung dari sedimen lanau

dan lempung pada pasir.

II.3. Tahap Menengah Diagenesis – Mesogenesis

Mesogenesis merupakan suatu tahapan diagenesis lanjut yang terjadi setelah

sedimen melewati proses yang dipengaruhi oleh lingkungan pengendapannya

sebelum mengalami tingkat metamorfisme rendah. Jika proses Eogenesis terjadi dekat

dengan permukaan dari lingkungan pengendapan tertentu, maka berbeda dengan

mesogenesis yang terjadi pada kedalaman tertentu. Adapun faktor-faktor yang

mempengaruhi mesogenesis ini antara lain waktu dan termperatur, adanya kehadiran

fluida, mineralogi primer, gas hidrokarbon, hingga geokimia air pori. Batas antara

tahap mesogenesis dengan eogenesis bergantung kepada kedalaman dan temperatur

pada lingkungan tersebut. Mesogenesis ditandai dengan beberapa proses, yakni

kompaksi mekanik dan kimiawi, pertumbuhan semen, dan kerusakan pada porositas

primer. Perbedaan tahapan dalam diagenesis ditunjukkan oleh diagram berikut

(Gambar 2.17) :

Gambar 2.17. Skema tahapan diagenesis

Bab II. DIAGENESIS

2525

II.3.1. Kompaksi Lanjut

Proses pengendapan sedimen yang berlangsung secara bertahap dalam waktu

yang lama akan menyebabkan terjadinya pembebanan pada lapisan sedimen bagian

bawah akibat pembebanan dari sedimen diatasnya. Proses penimbunan dan pembebanan

lanjut inilah yang menyebabkan proses kompaksi lanjut. Akibatnya, air yang terkandung

didalam lapisan batuan akan tertekan keluar dari ruang pori sedimen. Proses kompaksi

ini mengakibatkan terjadinya pengurangan porositas dan ketebalan lapisan. Kompaksi

pada batupasir dapat dicirikan oleh empat proses, yakni penyusunan ulang butiran,

deformasi komponen brittle, pembengkokan (bending) pada komponen ductile dan

proses disolusi.

Taylor (2010) mengemukakan bahwa proses

kompaksi menghasilkan 4 tipe hubungan antarbutir,

yaitu tangential, long, concavo-convex, dan sutured

(Gambar 2.18). Keempat tipe tersebut dapat

terbentuk karena dipengaruhi oleh meningkatnya

kedalaman penimbunan saat diagenesis terjadi. Pada

proses kompaksi lanjut dapat dijumpai tipe kompaksi

concavo-convex, dan sutured. Tipe kompaksi suture

terjadi karena butiran yang menggerus satu dengan lainnya akibat tekanan pelarutan di

sepanjang butiran yang saling bersentuhan. Kontak ini akan meninggalkan penampakan

seperti bergerigi di tepian permukaannya. Kompaksi juga erat kaitannya dengan

sementasi, dimana kedua proses ini berkesinambungan dalam mengurangi porositas

batupasir. Sementasi akan hadir mengisi rongga antarbutir dan pertumbuhannya relatif

tegak lurus terhadap butiran. Meskipun proses kompaksi dapat mengurangi nilai porositas

dan permeabilitas batuan, namun pada tahap tertentu dimana nilai kuat tekan partikel

sedimen penyusun lebih rendah daripada tekanan kompaksi yang berlangsung, hal ini

akan dapat meningkatkan besaran nilai porositas dan permeabilitas melalui rekahan-

rekahan (fractures) yang terbentuk.

II.3.2. Rekristalisasi lanjut

Menurut (Nichols, 2009), rekristalisasi merupakan keadaan dimana struktur

kristal baru terbentuk tanpa mengubah komposisi kimia awal. Proses rekristalisasi lanjut

Gambar 2.18. Tipe kontak

antarbutir

Bab II. DIAGENESIS

2626

merupakan proses dimana terdapat perubahan pada ukuran dan bentuk kristal dari

mineral, namun komposisi kimianya cenderung tidak berubah. Pada saat sedimen

terakumulasi, mineral yang kurang stabil akan cenderung mengkristal kembali atau

mengalami rekristalisasi agar menjadi stabil. Misalnya, mineral aragonit akan mengalami

rekristalisasi menjadi kalsit (Soldati et al., 2016). Aragonit (CaCO3) memiliki bentuk

kristal orthorombik yang cenderung tidak stabil (Wang et al., 2012), dan akhirnya

berubah menjadi kalsit yang memiliki sistem kristal heksagonal dan lebih stabil (Gambar

2.19).

II.3.3. Pelarutan Lanjut

Pelarutan yang terjadi pada batuan umumnya terjadi pada matriks, mineral

maupun fragmen batuan yang tidak stabil. Contoh mineral yang sering mengalami

pelarutan adalah mineral feldspar (Gambar 2.20). Proses pelarutan feldspar terjadi

melalui reaksi berikut :

Gambar 2.19 Morfologi dan

sistem kristal aragonit

dibandingkan dengan kalsit (a,

b) Aragonite memiliki sistem

kristal orthorombik, dimana

atom Ca (hijau) berikatan

dengan 9 atom O.

Gambar ( c ) Calcite, memiliki

sistem kristal Trigonal.

Gambar (d), atom Ca,

terkoordinasi secara oktahedral

dengan atom O (Soldati et al.,

2016); (Wang et al., 2012)

CaAl2Si2O8 + H2CO3 + ½O2 —> Al2Si2O5(OH)4 + Ca2+ + CO32-

Ca-plagioklas + air hujan + oksigen —> smektit + ion karbonat

Bab II. DIAGENESIS

2727

Gambar 2.20. Proses pembentukan pori dan mineral sekunder dari hasil

pelarutan K-feldspar (Yuan et al., 2015)

Pada reaksi tersebut, sebagai contoh, Ca- plagioklas larut oleh air dan membentuk

mineral baru yakni smektit, dan juga hadirnya ion karbonat. Nantinya, ion karbonat ini

bisa saja bergabung membentuk mineral kalsit yang akan hadir sebagai semen. Proses

pelarutan menyebabkan terbentuknya rongga pada batuan. Proses ini dikontrol oleh pH,

temperature, tekanan parsial karbon dioksida, komposisi kimia, dan ion. Pelarutan dari

mineral feldspar berkontribusi dalam menghasilkan porositas serta mineral sekunder

kaolinit, illite, smektit dan lain – lain seperti yang ditunjukkan pada gambar 2.21 (Ma et

al., 2017):

Pelarutan mineral feldspar berperan

penting pada diagenesis batuan sedimen,

karena akan mempengaruhi properti fisik

dari porositas dan permeabilitas batuan.

Pelarutan lanjut yang terjadi pada feldspar

akan diikuti dengan pembentukan mineral

authigenik sehingga semakin besar proses

pelarutan berlangsung yang diikuti dengan

pembentukan mineral autigenik akan

memodifikasi ruang pori menjadi porositas

mikrokristalian diantara kristal semen

sehingga permeabilitasnya menurun.

Gambar 2.21. Grafik hubungan antara

tingkat pelarutan dengan porositas dan

permeabilitas yang dihasilkan (Ma et

al., 2017)

Bab II. DIAGENESIS

2828

Pelarutan mineral feldspar dapat menghasilkan mineral baru berupa kuarsa,

kaolinite maupun illite yang terpresipitasi dalam pori. Perhitungan massa menunjukkan

bahwa sebagian besar mineral silika berasal dari pelarutan K-Feldspar yang kemudian

terendapkan sebagai semen kuarsa. Adanya pelarutan feldspar juga menyebabkan

berkurangnya permeabilitas reservoir karena terbentuknya semen autigenik, terutama

selama transformasi dari kaolinit menjadi ilit.

II.3.4. Pembentukan Mineral Sekunder (Sementasi / pergantian)

Sementasi merupakan salah satu tahapan dalam diagenesis yang berdampak pada

kualitas reservoir batupasir. Pada tahapan mesogenesis, sementasi lanjut ditandai oleh

terbentuknya beberapa tipe semen berikut :

a) Mixed Layer ( Illite-Smektit)

Apabila semen lempung illite membentuk struktur yang identik dan sulit

dibedakan dengan smektit maka keduanya akan membentuk kesatuan agregat illite-

smektit yang morfologi kristalnya saling berselingan satu sama lain yakni membentuk

perpaduan dari bentuk pita yang bergelombang (Gambar 2.22).

Adanya kehadiran mineral lempung seperti smektit-ilit menjadi indikator yang

baik untuk menentukan kedalaman penimbunan dari sedimen (kedalaman burial).

Mineral illit terbentuk dari muskovit melalui proses alterasi. Alterasi muskovit menjadi

illit dapat terjadi karena hilangnya sejumlah ion K+ dari struktur kristal yang kemudian

digantikan oleh air (Brigatti et al., 2013). Illit juga bisa terbentuk dari mineral primer

yakni K-feldspar melalui proses penghabluran.

Gambar 2.22. (kiri) Ilustrasi susunan struktur kristal dari mixed-layer Illite-Smectite

(Brigatti et al., 2013), (kanan) foto SEM dari mixed-layer illite-smectite berbentuk seperti

pita bergelombang

Bab II. DIAGENESIS

2929

b) Klorit

Berdasarkan studi yang dilakukan oleh Grigsby (2001), kehadiran semen klorit

dapat terjadi mulai tahap Eogenesis (~20 C) hingga Mesogenesis. Presipitasi dari semen

klorit ini dikontrol oleh mineral asalnya yang kaya akan besi seperti mineral biotit (Huang

et al, 2004). Kehadiran semen klorit dapat meningkatkan porositas mikrokristalin

sehingga membantu dalam meningkatkan kualitas batuan reservoir (Sun et al, 2008).

Kehadiran klorit juga memberikan informasi terkait sejarah diagenesis dan komposisi

kimia dari fluidanya.

Gambar 2.23. A) Pengamatan di bawah mikroskop polarisasi menunjukkan bahwa klorit

hadir sebagai semen pore-lining yang mengelilingi permukaan butir kuarsa, B)

pengamatan dari SEM menunjukkan bahwa pore-lining klorit menghalangi pertumbuhan

dari semen kuarsa.

Semen klorit sering hadir pada reservoir batupasir yang terbentuk pada

lingkungan deltaik dan laut dangkal, terutama lingkungan delta front. Aliran sungai

biasanya membawa suplai ion Fe. Ion-ion Fe inilah yang kemudian teralterasi dan

membentuk klorit. Pada batupasir yang tersementasikan oleh klorit, tipe porositas yang

umumnya ditempati oleh semen klorit adalah porositas intergranular dengan konektivitas

yang baik antara satu dengan lainnya (Gambar 2.23a). Pertumbuhan semen klorit pada

tahap lanjut akan mengurangi volume ruang pori primer. Semen ini juga dapat

menghalangi pertumbuhan dari semen kuarsa (Gambar 2.23b). Kehadiran klorit dari

tahap mesogenesis umumnya dijumpai dengan ssemen besi lainnya seperti siderit dan Fe-

dolomit.

A B

Bab II. DIAGENESIS

3030

II.3.5. Pembentukan Pori Intragranular dan Material Organik (Organic Matter)

Proses penimbunan (burial) lanjut akan menyebabkan sedimen mengalami

diagenesis pada kondisi P dan T yang lebih tinggi daripada proses diagenesis awal.

Peningkatan kondisi P dan T inilah yang mampu menghasilkan pematangan dari material

karbon (carbonaceous material) yang terawetkan pada sedimen berbutir halus. Wujud

nyata dari proses pematangan material karbon ini secara visual tampak dari terbentuknya

porositas intragranular atau intrapartikel (Nugraheni, 2015). Porositas intragranular

merupakan porositas yang terbentuk di dalam butir atau partikel. Pematangan geokimia

juga dapat teramati dari hasil pengukuran tingkat kematangan termal vitrinit (vitrinite

Reflectance – level Ro). Porositas intragranular ini mulai dapat terbentuk jika material

organik memiliki tingkat kematangan Ro sekitar ≥ 0.6 (Dow, 1977). Apabila batuan

memiliki tingkat kematangan yang rendah, maka porositas intragranular ini akan jarang

dijumpai. Pori yang terbentuk ini memiliki bentuk tidak teratur, seperti gelembung,

dengan potongan melintang elips dan panjang pori bukaan berkisar 5 -750 mikrometer

(Gambar 2.24). Secara dua dimensi pori ini tampak terisolasi, tetapi secara tiga dimensi

porositasnya terhubung satu sama lain (Loucks et al., 2009). Porositas intragranular ini

dapat terbentuk sebanyak 50% (Curtis, 2010). Beberapa tipe material organik memiliki

struktur bawaan yang mengontrol pembentukan dan distribusi dari pori.

Gambar 2.24. Porositas intragranular dari material karbon yang terbentuk ketika tingkat

kematangan Ro-nya ≥ 0,6

II.4. Tahap Akhir Diagenesis – Telogenesis

Telogenesis merupakan tahap akhir dalam diagenesis yang terjadi karena adanya

proses uplift / pengangkatan, dimana, lapisan batuan yang awalnya berada di bawah

permukaan dapat tersingkap ke permukaan akibat adanya pengangkatan dan erosi.

Telogenesis juga meliputi proses oksidasi dan reduksi pada mineral pirit, Fe-clay mineral, dan

Bab II. DIAGENESIS

3131

Gambar 2.26. Ilustrasi kemungkinan

air meteorik dapat hadir pada lapisan

yang memiliki ketidakselarasan

(Morad et al., 2000). Terdapat pola

penyebaran yang beda dari alterasi

telogenesis. Sebagai contoh, pada

daerah C, air meterorik dapat

teralirkan melalui struktur patahan,

sedangkan pada daerah B, air meteorik

masuk melalui lapisan batupasir.

Fe-carbonates, serta disolusi dan alterasi mineral akibat pH air yang rendah, seperti pelarutan dari

mineral karbonat menjadi mineral sulfat.

Pada awal terjadinya proses pengangkatan (uplift), sebelum batuan sedimen

tersingkap ke permukaan bumi, akan memungkinkan terjadinya penggantian mineral

(Morad et al., 2000) (Gambar 2.25). Sebagai contoh pada kedalamanan tertentu yang

memiliki suhu lebih besar, anhidrit dapat menggantikan gipsum. Ketika pengangkatan

berlangsung yang mengakibatkan sedimen berkontak langsung dengan hidrosfer, akan

menyebabkan gipsum terbentuk kembali menggantikan anhidrit. Hal yang sama

berlangsung terhadap mineral besi, dimaka proses pengangkatan memungkinkan sedimen

mengalami proses oksidasi akibat berkontak dengan oksigen bebas di atmosfer, sehingga

akan dijumpai penggantian oleh mineral hematit.

Gambar 2.25. Ilustrasi tahapan

diagenesis. Zona dimana proses

telogenesis terjadi berkaitan

dengan adanya proses uplift /

pengangkatan batuan ke

permukaan dan berkontak

langsung dengan air meteorik.

Bab II. DIAGENESIS

3232

Indikator utama dari fase telogenesis ini dapat diketahui dengan kehadiran

mineral kaolinit yang menindih atau menumpuki mineral lempung klorit maupun ilit yang

umum dijumpai pada mesogenesis. Proses pengangkatan mendukung terjadinya pelarutan

dari mineral silikat akibat kontak langsung dengan air meteorik di permukaan sehingga

mineral kaolinit dapat terbentuk. Air meteorik ini diyakini dapat masuk hingga

kedalaman 3 kilometer, namun seringkali mencapai puluhan hingga ratusan meter di

bawah permukaan dan menghasilkan mineral ubahan. Adapun faktor yang

mempengaruhi distribusi spasial dan temporal dari telogenesis bergantung pada tingkat

pengangkatan di atas permukaan air, iklim, porositas dan permeabilitas batuan asal

selama Eogenesis dan Mesogenesis, kehadiran lapisan lempung, sesar maupun komposisi

mineral asalnya (Gambar 2.26).

II.4.1. Pembentukan Mineral Sekunder (Sementasi / penggantian)

a. Kaolinit

Modifikasi yang paling penting terjadi pada telogenesis akibat adanya

pengangkatan dan pengaruh air meteorik pada batuan sedimen silisiklastik yaitu adanya

pelarutan dari butiran / mineral yang tidak stabil, seperti feldspar, mica, fragmen batuan,

dan mineral berat. Masuknya air meteorik ini akan meningkatkan kelembaban batuan dan

melarutkan mineral aluminosilikat (termasuk K-feldspar) yang disertai dengan

pembentukan lempung kaolinit maupun dickite. Berbeda dengan kaolinit yang terbentuk

pada masa eogenetik, kaolinit telogenetik dapat berasosiasi dengan semen karbonatan

yang merupakan hasil dari tahap Eogenesis dan mesogenesis. Karena telogenesis

berkaitan dengan proses pengangkatan yang diikuti dengan erosi, maka tahapan

diagenesis ini dapat digunakan untuk menandai bidang ketidakselarasan, terutama

melalui kehadiran mineral kaolinit yang diperoleh dari hasil pelarutan mineral K-feldspar.

Pelarutan dari K-feldspar dan penghilangan unsur K di dalam lapisan yang tidak selaras

dapat dibuktikan dengan peningkatan rasio Th/K pada gamma-ray log (Gambar 2.27).

Proses pelarutan yang intensif akibat kontak dengan air meteorik akan meningkatkan

porositas sekunder dari batuan reservoar yang berada pada tahapan telogenesis ini.

Bab II. DIAGENESIS

3333

b. Oksida besi

Penurunan tekanan dan temperatur yang signifikan akibat pengangkatan tentunya

berdampak p da karakteristik batupasir. Kondisi permukaan memiliki ketersediaan

oksigen bebas yang jauh lebih melimpah dibandingkan dengan kondisi di bawah

permukaan. Sehingga ketika mineral tersingkap ke permukaan, mineral ini akan dengan

mudahnya bereaksi dengan oksigen atau mengalami oksidasi. Tipe mineral yang mudah

mengalami oksidasi adalah mineral besi, sehingga kehadiran oksida besi menjadi salah

satu penciri dari tahapan telogenesis. Contoh oksida besi yang dapat terbentuk adalah

hematit (dapat menggantikan mineral siderite maupun pirit). Oksida besi lainnya yang

dapat dijumpai antara lain limonit dan goettit. Oksida besi ini umumnya terbentuk

sepanjang rekahan intergranular di sekitar inti mineral Fe-silikat (seperti biotit dan

piroksen).

II.4.2. Proses Pelarutan

Batupasir yang mengalami perubahan tahap diagenesis dari mesogenesis ke

telogenesis akan memiliki porositas yang semula ketat kemudian memiliki porositas

sekunder berupa pelarutan. Proses pelarutan intensif berlangsung karena batuan sedimen

berada di atas batas muka air tanah dan berkontak langsung dengan air meteorik.

Masuknya air meteorik akan melarutkan komponen sedimen yang tidak stabil dan

menghasilkan porositas pelarutan serta memperbesar permeabilitas batuannya. Pelarutan

Gambar 2.27. Pola distribusi dari porositas, permeabilitas dan pengaruh

kaolinit pada saat telogenesis terjadi. Terdapat peningkatan dari pelarutan

plagioklas, mica, dan K-feldspar yang terjadi di permukaan.

Bab II. DIAGENESIS

3434

dapat berlangsung di sepanjang zona rekahan (fracture) jika rekahan tidak terisi oleh

semen kuarsa maupun pirit. Proses pelarutan di dalam rekahan ini dipengaruhi oleh

ukuran dan morfologi rekahan. Beberapa mineral yang terbentuk pada tahap eogenesis

dan mesogenesis seperti kalsit, dolomit, sulfat, dan feldspar overgrowth, selanjutnya juga

akan mengalami pelarutan akibat air meteorik yang masuk atau menginfiltrasi hingga

kedalaman 200 meter dibawah permukaan.

Bahan Bacaan/ Referensi

Ali, S.A., Clark, W.J., Moore, W.R., Dribus, J.R., 2010. Diagenesis and reservoir quality.

Oilfield Review.

Brigatti, M.F., Galán, E., Theng, B.K.G., 2013. Structure and Mineralogy of Clay

Minerals, Developments in Clay Science.

Curtis, M.E., 2010. Structural Characterization of Gas Shales on the Micro- and Nano-

Scales .

Dow, W.G., 1977. 1-S2.0-0375674277900784-Main 7, 79–99.

James R. Boles, Stephen G. Franks, 1979. Clay Diagenesis in Wilcox Sandstones of

Southwest Texas: Implications of Smectite Diagenesis on Sandstone Cementation.

SEPM Journal of Sedimentary Research.

López-Quirós, A., Escutia, C., Sánchez-Navas, A., Nieto, F., Garcia-Casco, A., Martín-

Algarra, A., Evangelinos, D., Salabarnada, A., 2019. Glaucony authigenesis,

maturity and alteration in the Weddell Sea: An indicator of paleoenvironmental

conditions before the onset of Antarctic glaciation. Scientific Reports.

Loucks, R.G., Reed, R.M., Ruppel, S.C., Jarvie, D.M., 2009. Morphology, Genesis, and

Distribution of Nanometer-Scale Pores in Siliceous Mudstones of the Mississippian

Barnett Shale. Journal of Sedimentary Research 79, 848–861.

Ma, B., Cao, Y., Jia, Y., 2017. Feldspar dissolution with implications for reservoir quality

in tight gas sandstones: evidence from the Eocene Es4 interval, Dongying

Depression, Bohai Bay Basin, China. Journal of Petroleum Science and Engineering

150, 74–84.

MacNaughton, R.B., Beauchamp, B., Dewing, K., Smith, R., Wilson, N., Zonneveld, J.P.,

2005. Encyclopedia of sediments and sedimentary rocks. Geoscience Canada.

Morad, S., Ketzer, J.M., De Ros, L.R., 2000. Spatial and temporal distribution of

Bab II. DIAGENESIS

3535

diagenetic alterations in siliciclastic rocks: Implications for mass transfer in

sedimentary basins. Sedimentology 47, 95–120.

Nugraheni, R.D., 2015. Depositional Architecture And Diagenesis of The Clastic

Sedimentary Systems of The Belaga, Balingian And Begrih Formations, Along The

Mukah-Sibu-Selangau Transect, Sarawak. Universiti Teknologi Petronas.

Nugraheni, R.D., Sum, C.W., Hadi, A., Rahman, A., Nuralia, S., Nazor, B.M., 2013.

Burial Diagenesis of Coal-Bearing Mudrock and Its Relationship to The Evolution

of Pore Types and Abundance. In: Fatt, N.T. (Ed.), Proceedings of The National

Geoscience Conference. Geological Society of Malaysia, Ipoh - Tronoh, Perak State,

Malaysia.

Soldati, A.L., Jacob, D.E., Glatzel, P., Swarbrick, J.C., Geck, J., 2016. Element

substitution by living organisms: The case of manganese in mollusc shell aragonite.

Scientific Reports 6.

Stuart D. Burley, R.H.W., 2003. Sandstone Diagenesis, International Association of

Sedimentologists.

Taylor, T.R., Giles, M.R., Hathon, L.A., Diggs, T.N., Braunsdorf, N.R., Birbiglia, G. V.,

Kittridge, M.G., MacAulay, C.I., Espejo, I.S., 2010. Sandstone diagenesis and

reservoir quality prediction: Models, myths, and reality. AAPG Bulletin 94, 1093–

1132.

Wang, X., Bai, H., Jia, Y., Zhi, L., Qu, L., Xu, Y., Li, C., Shi, G., 2012. Synthesis of

CaCO 3/graphene composite crystals for ultra-strong structural materials. RSC

Advances 2, 2154–2160.

Weibel, R., Friis, H., Kazerouni, A.M., Svendsen, J.B., Stokkendal, J., Poulsen, M.L.K.,

2010. Development of early diagenetic silica and quartz morphologies - Examples

from the Siri Canyon, Danish North Sea. Sedimentary Geology.

Worden, R.H., Burley, S.D., 2009. Sandstone Diagenesis: The Evolution of Sand to

Stone. In: Sandstone Diagenesis.

Yuan, G., Cao, Y., Cluyas, J., Li, X., Xi, K., Wang, Y., Jia, Z., Sun, P., Oxtoby, N.H.,

2015. Feldspar dissolution, authigenic clays, and quartz cements in open and closed

sandstone geochemical systems during diagenesis: Typical examples from two sags

in Bohai Bay Basin, East China. AAPG Bulletin 99, 2121–2154.

Bab III. TEKNIK IDENTIFIKASI MINERAL & PROPERTI FISIK BATUAN RESERVOAR KLASTIK

36

BAB III. TEKNIK IDENTIFIKASI MINERAL &

PROPERTI FISIK BATUAN RESERVOAR

III.1. Identifikasi Morfologi dan Struktur molekul kristal

Sampel batuan yang umumnya digunakan dalam identifikasi karakteristik batuan

reservoar adalah menggunakan conto setangan dari singkapan di lapangan maupun sampel

bawah permukaan yang berupa cutting (pecahan batuan) maupun core sebagai batuan inti

pemboran. Pengamatan terhadap komponen penyusun batuan secara keseluruhan, baik berupa

mineral primer maupun mineral sekunder (sebagai semen yang merupakan produk diagenesis),

dapat dilakukan melalui pengamatan dibawah mikroskop polarisasi, analisa XRD maupun

SEM. Pengamatan sayatan tipis batuan di bawah mikroskop merupakan tipe analisis kualitatif

guna mengetahui variasi sebaran mineral, tekstur dan struktur pengendapan yang terekam serta

kelimpahan relatif dari komposisi penyusun batuan. Analisis XRD fokus pada penentuan jenis

sekaligus kelimpahan absolut dari bulk mineral termasuk mineral lempung yang tidak dapat

dikenali dibawah mikroskop polarisasi. Jika pada analisis XRD memperhitungkan struktur

internal kristal, analisis SEM-EDAX memberikan gambaran morfologi kristal dan karakteristk

kimia mineral.

III.1.1. Mikroskop Polarisasi

Jenis analisis yang dilakukan dengan mengamati sayatan tipis batuan di bawah

mikroskop polarisasi disebut sebagai analisis petrografi. Analisis petrografi diakui sebagai

teknis identifikasi batuan dalam skala mikroskopis yang ideal untuk mengungkap karakteristik

batuan (termasuk tekstur, struktur, komposisi mineralogi dan fosil, sebagai rekaman proses

diagenesis). Sebelum melakukan analisis petrografi perlu dilakukan preparasi dengan membuat

sayatan tipis batuan terlebih dahulu. Identifikasi jenis mineral dilakukan dengan mengamati

sifat optik tertentu dari setiap mineral antara lain berupa belahan, kembaran, gelapan, warna

interferensi, pleokroisme dan lain - lain. Tipe kuarsa sebagai kerangka butiran sedimen, terbagi

atas kuarsa monokristalin, polikristalin dan chert dimana ketiganya memiliki sifat optik yang

mudah dibedakan satu dengan lainnya berdasarkan gelapannya (Gambar 3.1a,b,c). Mineral

Bab III. TEKNIK IDENTIFIKASI MINERAL & PROPERTI FISIK BATUAN RESERVOAR KLASTIK

37

autigenik lainnya seperti glaukonit, memiliki bentuk khas yang membundar serta berwarna

hijau hingga kekuningan pada nikol sejajar (Gambar 3.1d).

Gambar 3.1. a, b, c) Detil karakteristik tipe kuarsa yang dapat diamati di bawah mikroskop

polarisasi; d) Mineral autigenik glaukonit dengan warna khas hijau membundar

Lempung pada batupasir terbagi menjadi 2, yakni detrital lempung alogenik dan

lempung authigenik. Lempung alogenik merupakan lempung yang terbentuk sebelum

diendapkan dan bercampur dengan fraksi berukuran pasir sesaat setelah diendapkan (Ali et al.,

2010). Lempung juga dapat dperoleh dari hasil pencernaan dan ekskresi organisme (Ali et al.,

2010). Lempung ini disebut sebagai Biogenic Clay atau mud pellet. Beberapa jenis mineral

lempung terutama tipe swelling clay tidak dapat teramati pada analisis petrografi. Jenis mineral

lempung yang masih dapat teramati pada mikroskop polarisasi adalah kaolinit yang ditandai

dengan warna interferensi abu – abu putih orde -1 pada nikol bersilang, serta klorit yang

teramati sebagai warna hijau – hijau kekuningan dan berserabut. Kehadiran semen klorit yang

menyelubungi batuan umumnya dapat teramati dengan baik di bawah mikroskop polarisasi jika

perkembangan tumbuhnya semen berlangsung baik. Jika selubung semen cukup tebal akan

tampak berwarna hijau pucat. Namun jika berukuran kecil menjadi sulit untuk diamati karena

memiliki relief dan dwi bias yang rendah. Ilit umumnya diidentifikasi berdasarkan dwi biasnya

yang tinggi, walaupun kehadiran tetap harus dicek dengan menggunakan XRD.

Semen autigenik lainnya seperti zeolite yang umum

teramati adalah tipe laumontite. Mineral ini ditunjukkan

oleh warna interferensi putih kekuningan hingga sedikit

pink dan tampak blocky. Semen pirit di bawah mikroskop

akan menunjukkan warna gelap baik pada nikol sejajar

maupun bersilang sehingga dapat disebut mineral opak

(Gambar 3.2). Umumnya akan memperlihatkan bentuk

persegi, segitiga maupun granular yang secara berturut –

Gambar 3.2. Semen pirit yang

menutup porositas intergranular

Bab III. TEKNIK IDENTIFIKASI MINERAL & PROPERTI FISIK BATUAN RESERVOAR KLASTIK

38

turut menyatakan kaitannya dengan morfologi kubik, pyramidal dan framboid/ sukrosik pada

pengamatan SEM. Pada semen karbonat, kalsit dapat dibedakan dengan feroan kalsit, dolomit

dan feroan dolomit dengan memberikan perlakukan preparasi sampel berupa staining. Larutan

staining yang digunakan adalah alizarin red – S dan Potassium Ferry- Cyanide (Tucker, 2001)

(Tabel 3.1). Tahapan sementasi kalsit dengan komposisi yang berubah menjadi ferroan maupun

magnesian kalsit juga dapat diamati dengan analisis lain menggunakan cathodoluminescence.

Tabel 3.1. Indikator dalam membedakan mineral karbonat dengan staining

Jenis Mineral Reaksi warna yang muncul

Kalsit Pink

Feroan kalsit Biru hingga ungu muda

Solomit Tidak berwarna

Feroan dolomit (ankerit) Biru hijau (turquoise blue)

Dalam melakukan analisa semi- kuantitatif terhadap prosentase komponen penyusun

batupasir, dapat dilakukan melalui analisis point counting. Penerapan teknik point counting di

petrografi, juga dapat dilakukan dilakukan untuk memperkirakan distribusi ukuran butir dari

pengukuran diameter relatif butir pasirnya. Pengamatannya secara sederhana dari foto

petrografi dapat dilakukan dengan membuat grid (kotak – kotak) dengan ukuran yang sama,

kemudian menentukan jenis artikel atau komponen yang ingin diamati.

Perhitungan kehadiran objek yang diamati dilakukan pada setiap radius tertentu dari

titik pusat pengamatan yang berada pada

bagian ujung – ujung grid (Gambar 3.3).

Pengamatan dapat dilakukan secara bertahap

dari beberapa medan pandang pengamatan

mikroskop hingga mencapai sekitar 100 –

300 titik pengamatan. Dari 300 titik

pengamatan, dapat dihitung komposisi batuan

total dan komposisi kerangka butiran sesuai

tabel 3.2. Hal yang sama dilakukan terhadap

komponen batupasir yang lain hingga semua

komponen pada batupasir terwakili.

Gambar 3.3. Ilustrasi pengamatan

dengan menggunakan metode point

counting

Bab III. TEKNIK IDENTIFIKASI MINERAL & PROPERTI FISIK BATUAN RESERVOAR KLASTIK

39

Tabel 3.2. Perhitungan prosentase komponen penyusun batupasir dari 300 titik

pengamatan hasil point counting.

Komposisi batuan total Komposisi kerangka butiran

Komponen Proporsi (%) Komponen Proporsi (%)

Kuarsa 78 Kuarsa 45

Feldspar 60 Feldspar 34

Fragmen batuan 36 Litik 21

Matriks 126

Total 300 Total 100

Total Q, F dan L = 174

III.1.2. X-Ray Diffraction (XRD)

Analisa XRD merupakan tipe analisis kualitatif dan semi kuantitatif yang dapat

dilakukan secara cepat dari seluruh mineral (terutama clay) yang terdapat pada sampel batuan.

Analisis ini dilakukan dengan menggunakan sampel serbuk, dengan berat minimal 5 gram.

Prinsip kerja tabung sinar X adalah terjadinya benturan elektron dengan cepat pada target

kristal yang tersusun atas atom akibat dipancarkan suatu sinar -X. Pancaran elektron yang

membentuk difraksi kuat hanya terdapat pada arah tertentu tanpa adanya jarak tempuh (n = 0)

atau disebut difraksi tingkat 0 serta pada arah dengan jarak tempuh satu panjang gelombang (n

= 1). Hal ini menunjukkan bahwa :

Hanya susunan atom yang teratur (kristalin) yang dapat menghasilkan sinar elektron

difraksi kuat

Adanya hubungan antara panjang gelombang sinar X, jarak atom pada kisi kristal dan

sudut difraksi kuat

Metode analisis XRD terbagi menjadi 2 yang dijelaskan sebagai berikut :

1. Analisa Bulk X-Ray

Analisis ini digunakan untuk mengidentifikasi semua mineral yang terdapat pada batuan seperti

kandungan kuarsa, feldspar, karbonat, mineral lempung dan mineral sekunder lainnya. Metode

ini kurang ideal untuk menentukan spesies mineral lempung (kaolinit, illit, klorit dll) namun

dapat digunakan untuk menentukan volume total lempung.

2. Analisa Fraksi Halus (Clay)

Metode ini terutama digunakan untuk menentukan tipe spesies mineral lempung dengan lebih

tepat. Analisis ini menentukan derajat atau tingkat pengembangan dari mineral lempung

(swelling clay). Terdapat 3 perlakuan preparasi yang digunakan sebelum identifikasi, yakni

diangin- anginkan (air-dried), diberi larutan Ethylene Glycol (glycolated) dan dipanaskan

(heated) pada suhu 550oC.

Bab III. TEKNIK IDENTIFIKASI MINERAL & PROPERTI FISIK BATUAN RESERVOAR KLASTIK

40

Hasil dari analisis XRD berupa data grafik dari puncak (peak) setiap kristal (Gambar

3.4) serta tabel data dari setiap peak (Tabel 3.3.). Intensitas peak menunjukkan jumlah sinar X

yang terdifraksi, sedangkan lebar peak menunjukkan ukuran kristal (Wicaksono et al., 2017).

Peak grafik hasil difraksi sinar X ini dihasilkan ketika sinar dengan sudut tertentu mampu

diteruskan oleh kristal yang memiliki jarak atom tertentu. Peak difraksi yang berbeda ini terjadi

karena setiap kristal memiliki struktur atom dengan unsur simetri kristal yang berbeda – beda.

Gambar 3.4. Grafik hasil analisis XRD menggunakan tipe difraktometer PANalytical PW

3040/60 dan material anode Cu

Dari data tabel 3.3. diperoleh nilai sudut o2Th (Degrees Two Theta atau sudut difraksi),

d sebagai jarak antar bidang kristal dan I yang merupakan intensitas sinar terdifraksi. Hukum

dasar dalam difraksi sinar X mengacu pada persamaan Bragg untuk mendapatkan nilai d-

spacing yang merupakan jarak bidang. Secara matematis, persamaan Bragg dapat dituliskan

dengan rumus :

𝑛𝜆 = 2𝑑 𝑆𝑖𝑛 𝜃 …………………………………….1)

Dimana : n = jarak tempuh = 1

λ = Panjang gelombang sinar- X

d = jarak bidang

ϴ = sudut datang/ sudut pantul

Bab III. TEKNIK IDENTIFIKASI MINERAL & PROPERTI FISIK BATUAN RESERVOAR KLASTIK

41

Hasil scan menggunakan XRD ini dilengkapi dengan software, dimana setiap mineral

dapat langsung teridentifikasi nilai d-nya. Selanjutnya secara manual nilai d tersebut dapat

dicocokkan dengan tabel JCPDS (Joint Committee on Powder Diffraction Standards) untuk

menentukan jenis mineral. Beberapa indikator nilai d-spacing dan intensitas yang mudah

teramati tampak pada kuarsa, dimana peak dengan intensitas tertinggi terdapat pada nilai d-

spacing sekitar 3,343; illit memiliki nilai d sekitar 9,9; kaolinit dengan nilai d sekitar 7,17 dan

lain – lain. Pada tabel 3.3. nilai intensitas diketahui sebagai height.

Tabel 3.3. Data detil setiap peak kristal hasil analisis XRD

Pos. [°oo2Thhh.]

d-spacing [Å] Height [cts] Rel. Int. [%] Backgr.[cts]

6.2541 14.13256 511.59 2.70 1218.17 8.8431 9.99997 825.78 4.36 1118.72

12.3571 7.15710 747.00 3.95 1021.00 12.5127 7.07431 1690.92 8.93 1017.52 13.8851 6.37804 235.96 1.25 988.93 17.7288 5.00295 221.61 1.17 950.55 19.7759 4.48945 409.69 2.16 972.00 20.8650 4.25750 4293.79 22.68 980.00 22.0530 4.03076 485.13 2.56 985.00 23.5848 3.77233 336.46 1.78 991.00 24.2155 3.67245 346.00 1.83 993.00 24.2973 3.66331 366.97 1.94 993.00 24.8695 3.57733 223.00 1.18 994.00

Untuk membedakan mineral lempung menggunakan analisa fraksi halus, identifikasi

dilakukan dengan mengamati perubahan yang terjadi pada variabel o2Th, d-spacing dan

intensitas. Mineral smektit yang merupakan tipe swelling clay, pada ketiga tipe perlakuan

fraksi halus akan menghasilkan perubahan posisi o2Th. Mineral ilit dicirikan dengan adanya

peningkatan nilai d-spacing dan intensitas peak ketika diberi perlakuan pemanasan.

Berkebalikan dengan ilit, mineral kaolinit justru mengalami penurunan intensitas peak atau

peak cenderung menghilang secara berturut – turut dari perlakuan air-dried, glycolated dan

heated (Gambar 3.5).

Bab III. TEKNIK IDENTIFIKASI MINERAL & PROPERTI FISIK BATUAN RESERVOAR KLASTIK

42

Gambar 3.5. Karakteristik mineral lempung pada analisis XRD dengan perlakuan air-dried,

glycolated dan heated.

III.1.3. Scanning Electron Microscope – Energy Dispersive X-Ray Spectroscopy (SEM-

EDS)

Analisis SEM merupakan metode analisis batuan dengan perbesaran mencapai ratusan

hingga ribuan kali. Analisis ini digunakan untuk mengetahui geometri partikel dan semen,

geometri pori, hubungan antar butir batuan, hubungan antar pori dan bentuk leher pori (pore-

throat). Untuk kajian karakterisasi batuan reservoar, sampel SEM yang informatif sebaiknya

diambil dari core plug yang sebelumnya telah dianalisis terkait porositas dan permeabilitasnya,

sehingga hal ini akan dapat dikaitkan dengan pengamatan teksturnya. Sayangnya analisis ini

cenderung mahal dan menghabiskan waktu dalam melakukan observasi, jadi sebisa mungkin

gunakan sampel yang akan banyak memberikan informasi selama pengamatannya.

Selain digunakan untuk pengamatan kondisi tekstur, geometri dan distribusi mineralnya

dapat ditentukan dengan SEM yang dikombinasikan dengan EDS. Pengenalan jenis partikel

penyusun batupasir (termasuk butir mineral primer dan semen) saat pengamatan SEM juga

dapat dilakukan melalui bentuk geometrinya dan dijelaskan sebagai berikut (Ali et al., 2010):

Kuarsa dan semen Silika

Kuarsa monokristalin yang hadir sebagai mineral primer umumnya memiliki geometri yang

menyudut, membundar maupun oval yang tergantung pada tingkat angularity dan

roundnessnya. Hal ini berbeda dengan bentukan semennya yang memiliki bidang permukaan

kristal lebih halus dan tumbuh ke arah luar dari butir menuju ke pori. Pertumbuhan kristal akan

Bab III. TEKNIK IDENTIFIKASI MINERAL & PROPERTI FISIK BATUAN RESERVOAR KLASTIK

43

tampak sebagai orientasi berbentuk rombohedral maupun bidang prisma dan tumbuh dengan

cepat searah dengan sumbu- c kristalografi. Pertumbuhan ini dapat berlangsung menerus

hingga bidang muka kristalnya berbentuk euhedral dan bersentuhan dengan muka kristal

lainnya (Gambar 3.6.). Pada kuarsa polikristalin yang terdiri atas beberapa kristal kuarsa maka

pertumbuhan semennya akan mengikuti struktur lattice internal dari kristalnya.dan membentuk

orientasi prisma dan rombohedral yang tidak beraturan.

Gambar 3.6. Tahapan pertumbuhan semen silika (quartz overgrowth)

Kuarsa mikrokristalin (chert) memiliki diameter partikel <10μ (Ali et al., 2010). Kuarsa

ini mengalami konsentrasi dari fluida pori yang bersifat alkali dan mengandung ion Na+ dan

Mg2+. Kehadiran kuarsa ini mampu menghambat pertumbuhan semen kalsit dan aragonit.

Tipe kuarsa lainnya yakni opal, dapat hadir sebagai

semen pada beberapa jenis batupasir yang kaya

akan material volkaniknya (vitric sands). Opal

sendiri terbentuk sebagai hasil alterasi dari gelas

volkanik. Contoh jenis opal ada tridimit dan

kristobalit, keduanya dapat dibedakan dari XRD.

Geometri keduanya memiliki bentuk yang pipih

dengan bidang muka kristal saling berhadapan

(Wise, 2007). Umumnya kristal membentuk

kluster seperti bunga (rosette) maupun setengah

bola (hemisphere) (Gambar 3.7).

Gambar 3.7. Morfologi kristal

kristobalit/ tridimit

Bab III. TEKNIK IDENTIFIKASI MINERAL & PROPERTI FISIK BATUAN RESERVOAR KLASTIK

44

Feldspar & Semen Feldspar

K-feldspar dan plagioklas merupakan kerangka butir yang masih dapat dijumpai di batupasir

dengan geometri yang umumnya mudah mengalami pelarutan (leaching). Autigenik K-feldspar

lebih umum dijumpai dibandingkan dengan autigenik plagioklas (Albit) karena lebih resisten.

K-feldspar memiliki geometri berupa bidang prisma, semennya umumnya tumbuh sejajar dan

searah dengan sumbu memanjang kristal, terkadang memiliki tepian yang rombohedral

maupun menyudut. Ciri khas dari tipe semen ini adalah tumbuh secara bertahap dalam dengan

geometri rombik di permukaan butiran feldspar. Ketika semen K-feldspar tumbuh dengan

sempurna akan tampak seperti bentuk rombohedral.

Semen feldspar disebut sebagai feldspar overgrowth

dan umumnya dijumpai pada feldspar (K-feldspar maupun

plagioklas-Albit) yang mengalami pelarutan. Bentuk

morfologi dari semen Albit adalah bidang muka tabular-

triklinik (Gambar 3.8). Kembaran yang dijumpai pada Albit

umumnya tidak memperbesar sementasinya. Asosiasi

semen feldspar dengan zeolite dan mineral lempung

menjadi indikator dari pengendapan pada lingkungan laut

maupun darat yang kaya akan gelas volkanik.

Semen Zeolit

Zeolit merupakan kelompok alumina-silikat-hidrat yang mengandung unsur kimia alkali dan

alkali tanah, dengan komposisi mirip feldspar. Zeolit yang umum dijumpai sebagai semen

maupun material pengganti pada batuan sedimen antara lain : clinoptilolite, erionite, chabazite,

phillipsite, analcime, mordenite, heulandite and laumontite. Zeolit umumnya dijumpai sebagai

material kristalin halus berukuran 1 – 60 μm.

Clinoptilolite

Memiliki morfologi euhedral, monoklinik,

berbentuk seperti bilah lempeng (lath-like)

maupun seperti peti (coffin-shaped) (Gambar

3.9), berukuran 1-2 mikron.

Gambar 3.8. Pertumbuhan semen

feldspar berbentuk tabular

Gambar 3.9. Morfologi bilah lempeng

semen clinoptilolite

Gambar 3.9. Morfologi bilah lempeng

semen clinoptilolite

Bab III. TEKNIK IDENTIFIKASI MINERAL & PROPERTI FISIK BATUAN RESERVOAR KLASTIK

45

Erionite

Memiliki bentuk seperti jarum yang tajam, berukuran

panjang 10 – 20 μm, dan tebalnya 1-3 μm (Ballirano

et al., 2009). Umumnya morfologinya mirip dengan

ikatan jarum, dengan panjang setiap ikatan 20 μm dan

tebalnya 10 μm. Satu bentuk ikatan dapat terdiri atas

ratusan jarum (Gambar 3.10).

Chabazite

Umumnya berbentuk kubik-rombohedral yang

bervariasi ukurannya mulai dari kurang

beberapa mikron hingga beberapa mikron

(Langella and Colella’, 1999) (Gambar 3.11).

Kristal yang terpisah dapat mencapai 5 - 10μm.

Phillipsite

Berbentuk prisma maupun bilah lempeng pendek

dengan ukuran panjang 3-30 μm dan tebal 0,3-3 μm.

Memiliki sistem kristal pseudo- ortorombik dengan

bagian ujung kepingan tampang melengkung

(Hussein et al., 2014) (Gambar 3.12).

Analcime

Mudah dikenali dengan ciri – cirinya yang kubik-

oktahedral maupun trapezohedral (Gambar 3.13).

Kristal euhedral memiliki diameter berukuran 10 – 30

μm (Tangkawanit and Rangsriwatananon, 2005).

Gambar 3.10. Morfologi

individu kristal erionite

Gambar 3.11. Morfologi individu

kristal chabazite

Gambar 3.12. Kumpulan bilah

prisma kristal phillipsite

Gambar 3.13. Kristal octahedral

kristal analcime

Bab III. TEKNIK IDENTIFIKASI MINERAL & PROPERTI FISIK BATUAN RESERVOAR KLASTIK

46

Mordenite

Morfologi berbentuk seperti serat halus, dengan

diameter beberapa mikron. Mordenite mengandung

unsur K dan Na yang lebih sedikit dibandingkan

proporsi unsur tersebut pada gelas volkanik karena

mineral ini diperoleh sebagai hasil ubahan dari

gelas (Stamatakis et al., 2000). Umumnya hadir

sebagai semen yang menyelubungi butiran (grain-

coating dan menghubungkan antar pori (pore-

bridging). Serat umumnya menyatu membentuk

struktur jaring yang rapat (Gambar 3.14).

Laumontite

Menunjukkan morfologi prismatik hingga

blocky (Gambar 3.15). Bentuk morfologinya

menyerupai mineral zeolite- heulandite, tetapi

keduanya dapat dibedakan melalui pola grafik

XRD dan petrografi.

Semen Mineral lempung

Lempung autigenik umum sekali dijumpai pada batuan reservoar dari berbagai kondisi

lingkungan pengendapan. Komposisi kimia dari air pori dan komposisi batuan memberikan

pengaruh yang signifikan pada pertumbuhan lempung autigenik ini. Jika semula fluida pori

berkisar dari air tawar hingga air payau, air ini akan melarutkan sedimen (dissolution),

menyebabkan kationnya terlepas dari lattice kristal partikel mineral untuk bertukar dengan

unsur lain (terjadi cation exchange) dan pada kondisi jenuh akan memungkinkan mineral untuk

terpresipitasi (termasuk mineral lempung). Proses pelarutan sendiri paling mudah berlangsung

terhadap komponen yang labil, seperti fragmen batuan, feldspar, mika, mineral ferromagnesian

dan gelas volkanik. Interaksi antara air pori dengan komponen labil tersebut dapat

menghasilkan mineral lempung yang merupakan produk ubahan dari mineral yang tidak stabil

menjadi bentuk yang lebih stabil. Jenis mineral lempung yang dijumpai sebagai hasil

diagenesis dari feldspar memiliki komposisi yang bervariasi mulai dari kaolinit, ilit, smektit

Gambar 3.14. Morfologi kristal

mordenite

Gambar 3.15. Morfologi kristal

laumontite

Bab III. TEKNIK IDENTIFIKASI MINERAL & PROPERTI FISIK BATUAN RESERVOAR KLASTIK

47

maupun klorit. Kehadiran kaolinit umumnya melimpah dijumpai pada batupasir tipe Arkose,

sedangkan klorit berasosiasi dengan mineral plagioklas- Albit di batupasir tipe Greywacke.

Lempung autigenik dapat dibedakan menurut kriteria komposisi, morfologi, struktur, tekstur

dan distribusinya. Detil setiap morfologi mineral lempung dapat disajikan sebagai berikut :

Kaolinite - Dickite

Merupakan tipe lempung autigenik yang paling mudah untuk dikenali pada batupasir karena

memiliki ukuran yang lebih besar dan teramati pada analisis petrografi. Kaolinite dan dickite

susah dibedakan dengan SEM tetapi dapat dibedakan pada analisis XRD. Autigenik kaolinit

umumnya memiliki 3 bentuk dasar morfologi (Gambar 3.16.), yakni 1) lempengan yang

bertumpuk seperti buku (stacked plates); 2) berbentuk seperti cacing (vermicular) dan 3)

lempeng yang saling tumpeng tindih (overlapping plates). Bentuk morfologi yang paling

umum dijumpai adalah tumpukan seperti buku dengan susunan bidang muka kristal

pseudoheksagonal yang saling bertemu (berbentuk face-to-face).

Gambar 3.16. Bentuk morfologi utama dari autigenik kaolinit yang dijumpai pada batupasir

Lempung kaolinit memiliki diameter ukuran sekitar 3 – 20 μm. Bentuk kaolinit yang berupa

tumpukan lempeng pseudoheksagonal sangat umum dijumpai mengisi porositas batupasir.

Bentuk yang jarang dijumpai antara lain vermicular,

seperti kipas (fan-shaped cluster) maupun spiral.

Morfologi overlapping pseudohexagonal plates sering

dijumpai mengisi ruang hasil pelarutan dari mineral

yang tidak stabil seperti dijumpai pada feldspar yang

mengalami pelarutan sebagian. Pada bentuk ini lempeng

kaolinit berukuran kurang dari 1 μm tebalnya dan

diameternya berkisar dari 2 – 10 μm. Pembentukan dari

haloisit atau kelompok mineral lempung kaolinit dengan

bentuk meruncing diihasilkan dari proses kaolinitisasi

mineral feldspar (Ali et al., 2010) (Gambar 3.17).

Gambar 3.17. Morfologi kristal

haloisit

Bab III. TEKNIK IDENTIFIKASI MINERAL & PROPERTI FISIK BATUAN RESERVOAR KLASTIK

48

Klorit

Memiliki morfologi pertumbuhan yang lebih bervariasi

meliputi sarang lebah (honeycomb), seperti bunga

(rosette) maupun bunga kol (cabbagehead) (Gambar

3.18). Bentuk bidang muka klorit dengan orientasi yang

saling berhadapan (face-to-edge) satu sama lain akan

menunjukkan susunan yang mirip dengan susunan kartu

(2D cardhouse arrangement) (Gambar 3.18).

Morfologi honeycomb juga terdiri atas lempeng, tetapi

susunannya membentuk pola seperti sarang lebah. Bentuk

semen autigenik klorit yang rosette maupun fan-shaped

cluster umumnya memiliki diameter ukuran 4 – 20 μm

tetapi terkadang mencapai 150 μm. Sedangkan bentuk

cabbagehead memiliki ukuran 8 – 40 μm.

Pada analisis SEM-EDAX (Energy Dispersive X-Ray),

setiap jenis morfologi dari klorit memiliki konsentrasi

kation besi yang berbeda – beda, dimana rosette >

honeycomb > cabbagehead. Individual kristal klorit

berbentuk lempeng yang menempel pada permukaan

butiran serta memiliki dimensi berkisar antara 2 – 10 μm.

Illite

Morfologi pada illite berbentuk irregular dan tampak sebagai lath-like projection (Gambar

3.19.). Pertumbuhannya menenpel pada permukaan butiran dan tumbuh memanjang hingga

30 μm ke arah pori yang terbuka. Namun umumnya berukuran sekitar 0,5 – 2 μm.

Pertumbuhan lath-like nya dapat menghubungkan antar butir menyerupai jembatan. Bentuk

morfologi lainnya yang lebih rapuh adalah seperti pita (ribbon-like) maupun seperti rambut

(hair-like). Ukuran lebar dari tipe ini sekitar 0.1 – 0.3 μm dan panjang mencapai 30 μm.

Gambar 3.19. Variasi morfologi dari lempung autigenik illite

Gambar 3.18. Variasi morfologi

kristal klorit

Bab III. TEKNIK IDENTIFIKASI MINERAL & PROPERTI FISIK BATUAN RESERVOAR KLASTIK

49

Smektit

Morfologi berbentuk menyerupai struktur sel hingga honeycomb (Gambar 3.19.).

Kemampuan mengembang dan mengkerutnya lempung tipe ini ditunjukkan oleh bentuk

kerutan (crinkle) yang bergelombang (Gambar. 3.20.).

Gambar 3.20. Variasi morfologi pada smektit

Campuran lempung (Mixed-layer clays)

Identifikasinya dilakukan berdasarkan pengamatan gabungan antara SEM dengan XRD untuk

menghindari kesalahan. Tipe campuran ini terbagi atas Illite- Smektit dan Klorit – Smektit.

Campuran illite – smektit dapat dikenali dari bentuk morfologi lath like yang pendek (jika

dominan illite) serta bentuk kerutan yang tidak terlalu runcing (jika smektit dominan). Pada

campuran klorit – smektit, bentuknya akan tampak sebagai honeycomb dengan kerutan (jika

dominan klorit), maupun kerutan iregular menyerupai struktur cornflake (jika dominan

smektit).

Semen Karbonat

Kalsit merupakan tipe semen karbonat yang paling umum dijumpai pada batupasir, disamping

tipe dolomit dan siderite. Walaupun demikian terdapat beberapa semen karbonat lainnya

seperti ankerit, ferroan dolomit dan lain – lain. Semen aragonit dan high- Mg kalsit sering

dijumpai pada batupasir Holosen karena bersifat lebih labil dan mudah terubah menjadi kalsit.

Kalsit

Semen kalsit pada batupasir dapat berbentuk mosaik

maupun balok (blocky) (Gambar 3.21). Pada pengamatan

SEM, kalsit tampak dengan belahan rombohedralnya.

Autigenik kalsit dapat menggantikan sebagian maupun

keseluruhan butiran.

Gambar 3.21. Morfologi

blocky dari semen kalsit

Bab III. TEKNIK IDENTIFIKASI MINERAL & PROPERTI FISIK BATUAN RESERVOAR KLASTIK

50

Dolomit

Seperti halnya kalsit, dolomit juga memiliki bentuk kristal anhedral blocky, mosaic yang

saling mengunci, disamping bentuk euhedral belah ketupat (rhombic) (Gambar 3.22).

Feroan dolomit dan ankerit memperlihatkan morfologi yang sama dengan dolomit.

Gambar 3.22. Morfologi rombik yang ditunjukkan oleh dolomit dan Fe- dolomit hasil analisis

SEM-EDAX

Siderit

Pada pengamatan SEM, semen siderit

ditunjukkan oleh variasi bentuk

rombik yang lebih beragam mulai dari

bentuk seperti lembaran dan terdiri

dari agregat kristal rombohedral yang

saling menumpuk (Gambar 3.23).

Orientasi dari semen siderit juga

memperlihatkan orientasi yang saling

menyudut dan membentuk

perpendicular fabric.

Semen Sulfat

Semen sulfat terdiri atas gipsum, anhidrit dan barit. Anhidrit umumnya terbentuk pada

kedalaman yang lebih besar dengan kondisi P, T dan salinitas yang lebih tinggi

dibandingkan gipsum. Semen anhidrit dapat terbentuk sebagai hasil rekristalisasi anhidrit

sebelumnya. Semen ini umumnya hadir sebagai masa poikilotopik. Semen gypsum

ditunjukkan dengan bentuk morfologinya yang prismatik maupun seperti tongkat (sticky)

(Gambar 3.24). Semen barit memiliki bentuk kumpulan kristal blocky needles yang seolah

memancar dari titik bagian tengah menuju ke arah luar.

Gambar 3.23. Variasi morfologi kristal siderit

Bab III. TEKNIK IDENTIFIKASI MINERAL & PROPERTI FISIK BATUAN RESERVOAR KLASTIK

51

Gambar 3.24. Variasi morfologi pada semen gipsum

Semen Sulfida

Autigenik pirit merupakan tipe semen sulfida yang umum dijumpai pada batupasir.

Kehadirannya ditunjukkan oleh morfologi berbentuk kubik, piramidal/ bipiramidal, oktahedral

maupun agregat framboidal dengan bentuk bidang yang membola (Gambar 3.25). Bentuk

butiran framboid yang berukuran kecil seringkali tampak seperti butiran gula pasir sehigga

morfologinya disebut sebagai sucrosic pyrite. Pirit oktahedra hadir sebagai kristal tunggal

maupun berkelompok dengan mengisi pori dan menggantikan kerangka butiran maupun semen

diagenetik lainnya.

Gambar 3.25. Variasi morfologi yang dijumpai dari autigenik pirit

Semen Oksida Besi

Mineral yang umumnya hadir sebagai oksida besi antara lain limonit, goetit dan hematit,

dimana ketiganya lebih mudah diidentifikasi melalui analisis XRD. Semen oksida besi sering

dijumpai pada batupasir merah (red beds), walaupun warna merah yang teramati masih

kontroversi apakah oksida besi (hematit) yang terbentuk karena umur batuan yang tua sehingga

Bab III. TEKNIK IDENTIFIKASI MINERAL & PROPERTI FISIK BATUAN RESERVOAR KLASTIK

52

terjadi dehidrasi dari mineral asalnya, ataukah karena presipitasi. Hematit sendiri merupakan

pigmen merah utama, sedangkan goetit memiliki pigmen utama berwarna kuning-coklat pada

batupasir.

III.2. Identifikasi Properti Fisik Batuan Reservoar Klastik

Properti fisik dari batuan reservoar meliputi porositas dan permeabilitas. Porositas ini

berkaitan dengan total ruang pori yang tersedia pada batuan untuk dapat ditempati oleh fluida

(air & minyak) maupun gas. Porositas sendiri didefinisikan sebagai hasil perbandingan antara

volume total pori – pori batuan terhadap volume total batuan (Scholle, 2020). Faktor yang

menentukan besarnya porositas batuan reservoar antara lain :

1. Bentuk butir nilai porositas menurun seiring dengan semakin kecilnya ukuran butir.

2. Keseragaman ukuran butir atau sortasi batuan sedimen yang memiliki sortasi atau

keseragaman ukuran butir baik akan memiliki porositas dan permeabilitas yang baik.

3. Proses kompaksi selama dan setelah pengendapan proses kompaksi cenderung menutup

rongga pori batuan dan memaksa fluida batuan di dalamnya rongga keluar.

4. Derajat sementasi batupasir yang memiliki derajat sementasi tinggi akan memiliki

porositas yang rendah.

5. Kemas (fabric) batuan dengan kemas tertutup memiliki porositas yang lebih buruk

6. Kehadiran rekahan dan gerowong adanya retakan atau gerowong akan memperbesar

nilai porositas .

Porositas batuan reservoar terbagi menjadi 2 yakni porositas absolut dan porositas

efektif. Porositas efektif menyatakan perbandingan antara volume pori yang saling

berhubungan terhadap volume total batuan (Koesoemadinata, 1980). Dengan demikian

porositas efektif memiliki nilai lebih kecil daripada rongga pori – pori total yang berkisar 10 –

15%.

Porositas absolut

∅ = 𝑉𝑝

𝑉𝑏=

𝑉𝑝

𝑉𝑔𝑟 + 𝑉𝑝=

𝑉𝑏 − 𝑉𝑔𝑟

𝑉𝑏 𝑥 100% … … … … … … . .2)

Dimana :

Ø = Porositas total (porositas absolut), dalam %

Vp = Volume pori (total), dalam cc

Vb = Volume bulk/ volume total batuan, dalam cc

Vgr = Volume butiran, dalam cc

Bab III. TEKNIK IDENTIFIKASI MINERAL & PROPERTI FISIK BATUAN RESERVOAR KLASTIK

53

Porositas efektif

∅𝑒 = 𝑉𝑝 yang berhubungan

𝑉𝑏=

𝜌𝑔 − 𝜌𝑏

𝜌𝑔 − 𝜌𝑓… … … … … … . .3)

Dimana :

Øe = Porositas efektif, dalam %

ρg = Densitas butiran, gr/cc

ρb = Densitas total, gr/cc

ρf = Densitas formasi, gr/cc

Berdasarkan waktu pembentukan pori terhadap proses pembentukan batuan, porositas

terbagi menjadi 2, yakni Porositas Primer dan Porositas Sekunder. Porositas primer

berkaitan dengan pori yang terbentuk bersamaan dengan proses pengendapan batuan

(singenetik), contohnya porositas intergranular. Porositas sekunder berkaitan dengan pori yang

terbentuk setelah batuan diendapkan (post genetic), contohnya kekar, channel, vug, moldic dan

lain – lain.

Permeabilitas didefinisikan sebagai kemampuan suatu batuan reservoar untuk dapat

meluluskan fluida melalui pori – pori yang berhubungan (porositas efektif), tanpa merusak

partikel atau kerangka butirannya.

Apabila porositas batuan tidak saling berhubungan, maka batuan tersebut tidak

memiliki permeabilitas, sehingga terdapat hubungan antara porositas efektif dengan

permeabilitas. Permeabilitas dapat diklasifikasikan menjadi 3 menurut jumlah fase aliran pada

batuan reservoar, yaitu (Koesoemadinata, 1980):

Permeabilitas absolut (Kabs), kemampuan batuan untuk melewatkan fluida yang

mengalir melalui media berpori hanya dalam 1 fase kejenuhan fluida ( missal minyak saja atau

gas saja)

Permeabilitas efektif (Keff), kemampuan batuan untuk melewatkan fluida lebih dari 1

fase, missal minyak dan air, minyak dan gas atau ketiganya. Nilai permeabilitas efektif untuk

masing – masing fase fluida minyak, gas dan air masing – masing dinyatakan sebagai ko, kg

dan kw.

Permeabilitas relatif (Krel), menyatakan perbandingan antara permeabilitas efektif

terhadap permeabilitas absolut. Nilai permeabilitas ini berkisar antara 0 – 1 darcy.

𝐾𝑟𝑒𝑙 = 𝐾𝑒𝑓𝑓

𝐾𝑎𝑏𝑠… … … … … … … … … … … … 4)

Bab III. TEKNIK IDENTIFIKASI MINERAL & PROPERTI FISIK BATUAN RESERVOAR KLASTIK

54

Karena permeabilitas relatif dapat terdiri atas 3 fase fluida, maka persamaan dari masing

– masing permeabilitas relatif minyak (Kro), gas (Krg) dan air (Krw) dapat ditulis sebagai

berikut:

𝐾𝑟𝑜 = 𝐾𝑜

𝐾𝑎𝑏𝑠… … … … … … … … … … … … 5)

𝐾𝑟𝑔 = 𝐾𝑔

𝐾𝑎𝑏𝑠… … … … … … … … … … … … 6)

𝐾𝑟𝑤 = 𝐾𝑤

𝐾𝑎𝑏𝑠… … … … … … … … … … … … .7)

Nilai porositas dan permeabilitas secara kuantitatif umumnya diperoleh melalui analisis

routine core, NMR (Nuclear Magnetic Resonance Spectrometry) dan MICP (Mercury Injection

Capillary Pressure).

III.2.1. Pengamatan visual

Identifikasi pori yang dilakukan melalui pengamatan visual memiliki sifat kualitatif dan

cenderung subjektif dalam penentuannya. Akurasi observasi bergantung pada jam terbang

pengalaman dari laboran yang mengamati. Untuk meminimalisir kesalahan dalam perhitungan

nilai porositas, pendekatan dengan point counting dapat dilakukan. Hasil akhir interpretasi

prosentase nilai porositas ini cenderung bersifat relatif.

a. Mikroskop Polarisasi

Pengamatan jenis dan prosentase pori di bawah

mikroskop polarisasi dilakukan dengan mengamati

ruang diantara butir (intergranular pore), didalam

partikel (intragranular/ intraparticle pore), retakan

maupun rongga yang terbentuk dari hasil pelarutan

(Gambar 3.26). Untuk memperjelas dalam penentuan

ruang pori ini, umumnya sayatan batupasir

diimpregnasi dengan memasukkan cairan blue-dye

(ethylene blue) ke dalam porositas batuan bersamaan

dengan proses pembuatan campuran resin dan curing

agent dari epoxy. Selanjutnya porositas akan dapat teramati secara visual sebagai warna biru

dan dapat dicross-check dengan hasil pengukuran dari analisis routine core. Jika sampel batuan

berupa sampel cutting maka penentuan porositas dan permeabilitas relatifnya biasanya

ditentukan melalui hasil analisis petrografi saja. Skala visual pemerian nilai porositas dapat

diklasifikasikan secara semi-kuantitatif menurut (Koesoemadinata, 1980) sebagai berikut

(Tabel 3.4.) :

Gambar 3.26. Variasi tipe porositas

visual yang teramati di bawah

mikroskop polarisasi

Bab III. TEKNIK IDENTIFIKASI MINERAL & PROPERTI FISIK BATUAN RESERVOAR KLASTIK

55

Tabel 3.4. Klasifikasi nilai prosentase porositas batuan

Prosentase porositas (%) Skala Visual

0 - 5 Dapat diabaikan (Negligible)

5 – 10 Buruk (Poor)

10 – 15 Cukup (Fair)

15 – 20 Baik (Good)

20 – 25 Sangat baik (Very good)

>25 Istimewa (Excellent)

Dalam pengamatan secara mikroskopis, jenis porositas dapat ditentukan secara

kualitatif sebagai berikut :

Intergranular (antar butir), dimana pori- pori batuan berada di antara butir

Interkristalin (antar kristal), pori – pori berada di antara kristal

Celah dan rekahan (Fracture), rongga yang terdapat di antara celah

Porositas antar lempengan lempung dapat berbentuk bintik – bitnik jarum (pint- point

porosity), pori – pori seperti bintik – bitnik yang terpisah dan tidak tampak bersambungan

b. Scanning Electron Microscope (SEM)

Pengamatan properti fisik batuan dengan SEM menghasilkan interpretasi kualitatif dan

semi kuantitatif yang baik dalam menentukan porositas mikro serta setiap geometri porinya.

Properti fisik berupa porositas dan permeabilitas merupakan dua parameter penting dalam

mempertimbangkan diagenesis sedimen dan kemampuan aliran fluida. Integrasi antara data

porositas-permeabilitas dengan data SEM digunakan untuk mempermudah dalam

mengenali tipe porositas efektif dan inefektif. Pengamatan utama terkait properti fisik

berupa porositas dan permeabilitas diamati dari bentuk dan ukuran geometri porinya. Untuk

membantu mengevaluasi porositas menurut ukuran porinya, berikut disajikan klasifikasi

ukuran pori yang dapat teramati pada analisis SEM (Tabel 3.5.) (Gambar 3.26).

Tabel 3.5. Klasifikasi tipe pori menurut ukuran pori yang dimiliki (Ali et al., 2010)

Ukuran pori Tipe pori

4 mm Vugs

1 mm Megapores

0,25 mm Macropores

0,062 mm Mesopores

0,004 mm Micropores

Cryptopores

Bab III. TEKNIK IDENTIFIKASI MINERAL & PROPERTI FISIK BATUAN RESERVOAR KLASTIK

56

Tipe pori crypto dan micropore (Gambar 3.27) tergolong sebagai porositas tidak efektif

(ineffective) dan umumnya terisi oleh irreducible water atau fluida yang cenderung lekat pada

permukaan pori dan susah keluar dari lubang pori yang sempit (pore throat). Kedua tipe pori

ini dapat terbentuk diantara beberada bidang muka semen kuarsa (quartz overgrowth), diantara

feldspar maupun fragmen batuan yang larut serta diantara semen autigenik (pirit, siderite,

zeolit) maupun semen yang berupa lempung.

Gambar 3.27. Distribusi pori mikro dan kripto pada tipe semen lempung kaolinit dan pirit

Tipe pembentukan dari lempung autigenik pada batupasir dapat hadir sebagai (Gambar

3.28.) : 1) semen lempung yang menyelubungi butiran dang mengelilingi rongga pori (grain

coating/ pore-lining clay cements); 2) mengisi ruang pori (pore-filling); 3) menggantikan

butiran yang labil (replacement of labile grains); 4) pengisian retakan dan gerowong (fracture

and vug filling) (Tabel 3.6.).

Gambar 3.28. Model pembentukan lempung autigenik pada batupasir. Illustrasi sketsa diambil

dari Wilson dan Pittman, 1977 dalam (Pszonka and Götze, 2018).

Bab III. TEKNIK IDENTIFIKASI MINERAL & PROPERTI FISIK BATUAN RESERVOAR KLASTIK

57

Pore- lining

Lempung yang menyelubungi atayu mengelilingi permukaan butiran dan tumbuh keluar ke

arah ruang pori akan membentuk pore lining. Akan tetapi pembentukan semen lempung ini

tidak terjadi pada ujung pertemuan kontak antar butir. Orientasinya cenderung normal atau

sejajar dengan bidang permukaan dari kerangka butiran. Jika pertumbuhannya pada ruang pori

mampu menghubungkan antar butir dapat disebut sebagai pore bridging, dimana tipe ini

umumnya dibentuk oleh tipe lempung smektit. Semen lempung ini dapat menutup dan/ atau

menghalangi dari pertumbuhan semen quartz overgrowth.

Pore- filling

Lempung bersifat menutup sebagian maupun keseluruhan dari ruang pori serta tidak

membentuk orientasi berupa penjajaran mineral. Tipe semen pore lining dan pore filing

merupakan yang paling sering dijumpai sebagai agen sementasi pada banyak reservoar

batupasir.

Replacement clay

Lempung bersifat menggantikan sebagian maupun keseluruhan dari butiran maupun mengisi

ruang hasil pelarutan dari mineral yang tidak stabil tersebut. Umumnya tekstur dari butiran asal

yang digantikan tetap terawetkan.

Fracture and vug-filling

Lempung umumnya mengisi ruang gerowong (vug) maupun retakan (fracture). Retakan ini

umumnya melintang terhadap susunan butiran.

Hubungan antara bentuk morfologi lempung dengan distribusi pembentukan lempung dapat di

rangkum sebagai berikut :

Tabel 3.6. Karakteristik lempung autigenik dan tipe pembentukannya

Morfologi

individu

Bentuk agregat Tipe

pembentukan

Ketebalan

selubung/ luas

dimensi sebaran

agregatnya

(mikron)

Kaolinite

& Dickite

pseudoheksagonal Stacked plates

(book)

Pore filling 2 – 2500.

Umumnya 2 - 20

pseudoheksagonal vermicular Pore filling 10 – 2500.

Umumnya 20 - 200

pseudoheksagonal Lembaran Pore filling 0.1 – 1

Klorit pseudoheksagonal Lempeng dengan

susunan seperti

Pore lining 2-10

Bab III. TEKNIK IDENTIFIKASI MINERAL & PROPERTI FISIK BATUAN RESERVOAR KLASTIK

58

Morfologi

individu

Bentuk agregat Tipe

pembentukan

Ketebalan

selubung/ luas

dimensi sebaran

agregatnya

(mikron)

kartu (2D

cardhouse)

Melengkung

ekuidimensional

dengan tepian

membulat

Seperti sarang

lebah

(honeycomb)

Pore lining 2 – 10

Ekuidimensional

dengan tepian

menyudut

maupun

memanjang

Rosette atau fan Pore lining

dan Pore

filling

4 – 150.

Umumnya 4 – 20

Berbentuk kipas/

bundel dari

serabut

Seperti bentuk

kol

(cabbagehead)

Pore lining

dan Pore

filling

8-40

Ilit Irregular hingga

seperti duri

Lembaran Pore lining 0.1 – 10

Smektit Tidak diketahui Lembaran

berkerut/

honeycomb

Pore lining 2 – 12

Gabungan

smektit-

ilit

Berbentuk duri

pendek &

subequant

Susunan

imbrikasi dari

lembaran atau

honeycomb yang

acak

Pore lining 2 - 12

Berbeda dengan semen lempung, semen karbonat seperti kalsit, dolomit dan siderite

memiliki tipe pore-filling maupun pore-filling yang mengekspansi atau menggantikan partikel

yang tidak stabil. Pembentukan semen sulfat (gipsum, anhidrit dan barit) hadir sebagai massa

poikilotopik yang mengisi pori dan mengelilingi butiran. Tipe semen hematit umumnya

bertindak sebagai semen grain-coating yang titpis dan tersebar pada matriks lempung.

Secara keseluruhan, tipe porositas, geometri pori yang dapat diamati di bawah

mikroskop dan melalui analisis SEM dapat dirangkum pada Gambar 3.29 (Nugraheni et al.,

2013).

Bab III. TEKNIK IDENTIFIKASI MINERAL & PROPERTI FISIK BATUAN RESERVOAR KLASTIK

59

III.2.2. Perhitungan Nilai Porositas – Permeabilitas

Berbeda dengan pengamatan visual yang menggunakan mikroskop dan SEM,

perhitungan dari nilai petrofisika batuan (termasuk porositas dan permeabilitas) ini dilakukan

secara kuantitatif, sehingga nilai prosentase yang diperoleh akan mewakili dari nilai porositas

total batuan. Walaupun demikian gabungan dari dua tipe analisis pori secara kualitatif dan

kuantitatif akan memberikan gambaran terkait volume, geometri, ukuran, distribusi serta

konektivitas antar pori dari batuan reservoar.

a. Core Analysis

Analisis inti batuan (core) dimaksudkan untuk menentukan sifat petrofisika batuan

reservoar. Analisis inti batuan (core) yang umum dilakukan adalah analisis rutin (Routine Core

Analysis dan analisis khusus (Special Core Analysis). Jenis batuan inti yang dapat digunakan

antara lain : 1) Conventional core plug berbentuk silinder berdiameter 1 atau 1,5 inchi dan

diambil dari batuan yang homogen; 2) Core dengan dimensi utuh berdiameter asli dan panjang

8 inchi dari batuan yang heterogen atau berongga; 3) Whole core untuk batuan heterogen; dan

4) Sidewall core (SWC) yang diambil dari dinding lubang bor. Analisis rutin dilakukan untuk

menentukan sifat fisik umum batuan yang berkaitan dengan kapasitas penyimpanan (storage

capacity) dan kapasitas aliran (flow capacity), antara lain porositas, permeabilitas absolut dan

Gambar 3.29. Tipe porositas

dan geometri yang teramati

melalui hasil pengamatan

mikroskop polarisasi dan

SEM. Gambar modifikasi

dari (Nugraheni et al., 2013)

Bab III. TEKNIK IDENTIFIKASI MINERAL & PROPERTI FISIK BATUAN RESERVOAR KLASTIK

60

saturasi dengan melakukan pengukuran. Selanjutnya dari analisis rutin dapat dibuat plot antara

permeabilitas dengan porositas dan tipe litologi yang dimiliki.

Analisis khusus dimaksudkan untuk menentukan sifat fisik khusus dari batuan reservoar,

antara lain tekanan kapiler, wettability, kompresibilitas, sifat kelistrikan dan lain – lain. Tipe

tes yang dilakukan pada analisis khusus terbagi menjadi 2, yakni tes statik dan tes dinamik. Tes

statik digunakan untuk menentukan tingkat kompresibilitas, tekanan kapiler dan sifat

kelistrikan, sedangkan tes dinamik mencakup permeabilitas relatif, gas residual, thermal

recovery, liquid permeability, dan water flooding. Tujuan utama dilakukan analisis khusus

adalah untuk mengetahui mekanisme kerusakan formasi batuan (formation damage).

Klasifikasi terkait skala permeabilitas terdapat pada Tabel 3.7.

Tabel 3.7. Klasifikasi nilai permeabilitas batuan

Skala Permeabilitas (mD) Keterangan

< 5 Ketat

5 – 10 Cukup

10 – 100 Baik

100 – 1000 Sangat baik

b. Mercury Injection Capillary Pressure (MICP)

MICP merupakan metode pengukuran yang

bagus untuk mengetahui distribusi porositas pada

batuan. Pengukuran volume pori dengan MICP

dilakukan secara langsung dengan memasukkan

merkuri (Hg) ke dalam ruang pori. Sampel yang

dapat digunakan untuk analisis berupa cutting

maupun potongan inti batuan (core). Salah satu

keuntungan dari penggunaan metode analisis ini

adalah tidak memerlukan ukuran sampel yang besar.

Perlakuan awal dilakukan dengan menentukan

densitas sampel terlebih dahulu, kemudian

menempatkan sampel pada ruang instrumen

(chamber) untuk mengosongkan ruang pori sebelum

diinjeksikan merkuri (Gambar 3.30.). Pemberian

kondisi vakum saat pengukuran dimaksudkan untuk

mengontrol ukuran dari pore throat yang akan

diintrusi oleh merkuri. Ketika tekanan mencapai Gambar 3.31. Kurva hasil analisis

MICP berupa distribusi ukuran pori

Gambar 3.30. Alat pengukuran MICP

Bab III. TEKNIK IDENTIFIKASI MINERAL & PROPERTI FISIK BATUAN RESERVOAR KLASTIK

61

60.000 psia, merkuri akan dipaksa masuk melalui pore throat dengan ukuran diameter sekitar

36 Ǻ atau 3,6 nanometer. Volume dari merkuri yang diinjeksikan masuk ke sampel batuan

sebanding dengan volume porositas batuan yang diakses. Kurva yang dihasilkan dari analisis

ini disajikan pada gambar 3.31. Analisis ini ideal dilakukan untuk menentukan besarnya

porositas yang terisi oleh gas (gas storage capacity).

c. Nuclear Magnetic Resonance Spectroscopy (NMR)

Istilah spektroskopi umumnya berkaitan dengan atribut cahaya, suara maupun partikel

yang dipancarkan, diserap atau dipantulkan. Spektroskopi resonansi magnetik nuklir (NMR)

merupakan jenis dari spektroskopi yang mampu melakukan penyerapan gelombang radio oleh

inti – inti atom tertentu (seperti atom hidrogen) yang berada dalam partikel yang sedang

berputar dalam medan magnet yang kuat. Istilah nuklir berkaitan dengan inti atom, sedangkan

resonansi magnetik berkaitan dengan pengaruh magnet pada inti atom yang dimaksud. Medan

magnet dapat dihasilkan oleh inti atom yang memiliki spin, sehingga dapat berputar seperti

batang magnet yang berputar. Suatu inti spin mampu menimbulkan medan magnet kecil yang

ditunjukkan oleh vektor. Spin inti umumnya dimiliki oleh atom yang bernomor massa dan

nomor atom ganjil. Setiap inti memiliki jumlah kedudukan spin tertentu yang ditentukan oleh

bilangan kuantum spin inti I (Gambar 3.32).

Gambar 3.32. Atom – atom dengan atau tanpa spin

Berdasarkan gambar diatas atom hidrogen merupakan inti atom yang dapat diukur oleh

NMR karena memiliki bilangan kuantum spin I = ½, sehingga akan memiliki kedudukan spin

(2 x (½) +1 = 2), dimana intinya = -½ dan +½. Jika medan magnet diterapkan, inti magnet akan

cenderung sejajar dan searah dengan arah medan magnet. Hal ini akan menghasilkan

magnetisasi total atau polarisasi yang sebanding dengan medan magnet yang diberikan (Bo)

(Lelono dan Isnawati, 2006). Kedudukan spin inti dari atom hydrogen +½ (α) memiliki tenaga

Bab III. TEKNIK IDENTIFIKASI MINERAL & PROPERTI FISIK BATUAN RESERVOAR KLASTIK

62

yang rendah karena arah momentum magnetiknya searah dengan medan magnet yang diberikan

dari luar (Bo). Kedudukan spin -½ (β) mempunyai tenaga tinggi karena berlawanan dengan

medan yang digunakan. Perpindahan dari keadaan energi α ke β akan menghasilkan resonansi

magnetik, sebaliknya perpindahan dari energi β ke α akan menghasilkan relaksasi. Energi yang

digunakan dalam pengukuran berada pada kisaran gelombang radio 75-0,5 m atau memiliki

frekuensi 4 – 600MHz tergantung pada jenis inti yang diukur.

Aplikasi NMR pada batuan reservoar didasarkan atas gerakan inti atom hidrogen yang

bertindak sebagai proton dan umumnya dijumpai pada fluida air maupun hidrokarbon.

Parameter terukurnya adalah amplitudo sinyal dan waktu relaksasinya. Nilai amplitudo ini

bergantung pada jumlah inti atom hidrogen yang terdapat pada batuan, dimana semakin banyak

jumlah atom hidrogennya akan memberikan hasil amplitude yang semakin besar. Analisis

NMR dapat digunakan untuk mengukur properti porositas, permeabilitas dan kejenuhan fluida

(ireducible water saturation). Porositas batupasir pada analisis ini diketahui dari distribusi nilai

relaksasi permukaan butir mineral, sedangkan nilai permeabilitas diketahui dari distribusi

ukuran pori batuan. Kejenuhan fluida yang terukur dari analisa NMR berupa Bulk Volume

Irreducible Water (BVI) dan Free fluid Volume (FFI), sehingga keduanya menyatakan

komponen dari porositas efektif. BVI menyatakan perbandingan antara volume fluida formasi

yang tidak bergerak (immobile) terhadap volume fluida bebas (mobile). Fluida yang tidak

bergerak ini disebut sebagai capillary- bound water yakni fluida yang terdapat pada ruang pori

yang sempit. Penentuan BVI merupakan parameter penting dalam perhitungan permeabilitas

batuan.

Tipe alat NMR yang sering digunakan adalah Magnetic Resonance Imager Log (MRIL)

yang merupakan buatan NUMAR Corp. dan Combinable Magnetic Resonance (CMR) oleh

Schlumberger. Pada alat CMR, sensor berbentuk skid diletakkan pada dinding sumur selama

pengukuran, sehingga tidak mempengaruhi salinitas lumpur pemboran. Sensor CMR ini

memiliki 2 magnet permanen dan satu elemen yang berfungsi sebagai pemancar gelombang

elektromagnetik berfrekuensi radio (RF) serta sebagai penerima sinyal. Magnet permanen ini

dapat menghasilkan medan magnet 1000 kali lebih kuat daripada medan magnet bumi (Lelono

and Isnawati, 2006).

Terdapat 4 tahap dari pengukuran alat NMR yang dijelaskan sebagai berikut (Gambar

3.33) (Kenyon et al., 1995):

1. Penjajaran proton (Proton alignment)

Medan magnet dari magnen permanen yang diberikan dari luar (Bo) digunakan untuk

menyejajarkan proton.

Bab III. TEKNIK IDENTIFIKASI MINERAL & PROPERTI FISIK BATUAN RESERVOAR KLASTIK

63

2. Perebahan spin (Spin tipping)

Proton – proton yang telah sejajar selanjutnya direbahkan dengan mengirimkan medan

magnet terisolasi (B1) yang tegak lurus terhadap medan magnet Bo dalam waktu tertentu.

Frekuensi yang diperlukan dalam proses perebahan ditentukan dengan rumus berikut :

F = g Bo ………………………………….8)

dimana f = frekuensi Larmor (B1) dan g = tetapan giromagnetik rasio spin inti

3. Presisi dan defase (Precession and dephasing)

Pada saat perebahan yang tegak lurus terhadap Bo, proton berputar mengitari bidang yang

tegak lurus terhadap Bo (berpresisi) dengan frekuensi yang berbeda, karena medan magnet

Bo tidak lagi homogen. Hal ini menyebabkan proton kehilangan energi dan meluruh. Fase

ini disebut sebagai diphase dan waktu meluruhnya disebut sebagai waktu relaksasi

transversal (T2).

4. Pemfokusan kembali (Refocussing spin echoes)

Pada tahap ini dilakukan pengiriman pulsa 180o yang pada dasarnya sama dengan pulsa

90o tetapi berlangsung dua kali lebih lama (umumnya beberapa ratus kali dalam satu

pengukuran). Akibatnya proton akan berpresisi terbalik, dan karena frekuensinya berbeda,

maka presisi akan kembali dengan kecepatan yang berbeda- beda.

Gambar 3.33. Empat tahap pengukuran NMR (modifikasi dari Kenyon et al., 1995)

Bab III. TEKNIK IDENTIFIKASI MINERAL & PROPERTI FISIK BATUAN RESERVOAR KLASTIK

64

Pergerakan molekul air pada rongga pori yang juga memberikan tekanan pada

permukaan butiran akan menyebabkan proton atom hidrogen mengalami relaksasi sehingga

menghasilkan dua parameter waktu relaksasi (Gambar 3.34), yakni T1 dan T2. Pada tahap awal

dari pengukuran NMR, waktu konstan dimana ketika proton hidrogen menumbuki kisi kristal

(crystal lattice), akan melepaskan energi ke kisi kristal dalam bentuk sinyal. Energi yang

dilepaskan ke sekeliling lattice ini akan menyebabkan inti atom membentuk medan magnet

statis atau merecovery ke magnetisasi longitudinal. Waktu yang diperlukan untuk melakukan

recovery magnetisasi longitudinal disebut waktu relaksasi longitudinal (T1) (Kenyon et al.,

1995). Disamping itu atom hidrogen juga mengalami pertukaran energi inti atom dengan atom

lain yang berasal dari kisi kristal, sehingga menyebabkan medan magnet dari tiap inti atom

berinteraksi dengan inti atom lain. Proses interaksi memungkinkan spin inti atom melakukan

relaksasi dan menghasilkan peluruhan atau hilangnya magnetisasi transverse. Waktu relaksasi

yang berlangsung saat 63% magnetisasi transversal menghilang disebut sebagai T2.

Gambar 3.34. Relaksasi permukaan butir terbentuk akibat adanya pergerakan proton hidrogen

(air) dengan arah tidak beraturan sepanjang ruang pori dan secara konstan menumbuki

butiran mineral.

Pada batuan, bsarnya nilai T1 dan T2 ini berkaitan dengan permukaan butiran, karena

butiran memiliki kemampuan untuk menyebabkan proton relaks atau kehilangan orientasi yang

disebut sebagai surface relaxivity (ρ). Surface relaxivity ini dikontrol oleh mineralogi. Sebagai

contoh, batupasir memiliki surface relaxivity yang lebih tinggi dibandingkan dengan

batugamping. Batuan dengan kandungan magnetik mineral tinggi seperti besi akan memiliki

nilai surface relaxivity lebih tinggi dan waktu relaksasi NMR yang lebih pendek.

Ukuran pori merupakan parameter yang penting yang mempengaruhi relaksasi terhadap

permukaan butiran. Kecepatan relaksasi bergantung pada jumlah tumbukan antara proton

dengan permukaan butir. Rongga pori yang besar meminimalkan terjadinya tumbukan proton

dengan permukaan butiran, sehingga waktu relaksasi T2 yang dihasilkan juga panjang.

Bab III. TEKNIK IDENTIFIKASI MINERAL & PROPERTI FISIK BATUAN RESERVOAR KLASTIK

65

Sebaliknya, pori yang sempit menyebabkan proton lebih cepat bertumbukan sehingga waktu

relaksasi T2 nya menjadi pendek (Gambar 3.35.) (Kenyon et al., 1995). Besarnya waktu

frekuensi T1 dan T2 berpengaruh pada sinyal yang akan ditransformasikan sebagai gambar

citra. Batuan memiliki distribusi ukuran pori yang beragam, sehingga jumlah volume pori

sebanding dengan volume fluida yang terdapat pada pori batuan.

Gambar 3.35. Pengaruh ukuran pori terhadap waktu relaksasi T2

Pengukuran permeabilitas pada NMR dapat dilakukan menurut beberapa metode yang

telah terpublikasi seperti model Timur - Coates, non-zero intercept Coates model, model

Coates termodifikasi, customized Coates model maupun model permeabilitas Kenyon.

Persamaan hitungan dari setiap model dijabarkan sebagai berikut :

Model permeabilitas Timur - Coates

𝑀𝑃𝐸𝑅𝑀 = 𝑐(𝑀𝑃𝐻𝐼4)((𝐹𝐹𝐼/𝐵𝑉𝐼)2)

Non- zero intercept Coates model

𝑀𝑃𝐸𝑅𝑀 = 𝑀𝑃𝐻𝐼 𝑥 10((

10,2983

)𝑥 (log(𝐹𝐹𝐼

2,2097𝐵𝑉𝐼))

Model modifikasi Coates

𝑀𝑃𝐸𝑅𝑀 = (0,0060𝑀𝑃𝐻𝐼2,1545 𝑥𝐵𝑉𝐼

𝐹𝐹𝐼))2

Customized Coates model

𝑀𝑃𝐸𝑅𝑀 = (𝑀𝑃𝐻𝐼9,43)2 𝑥 (𝐹𝐹𝐼/𝐵𝑉𝐼))2

Model permeabilitas Kenyon

𝑀𝑃𝐸𝑅𝑀 = 𝑎(𝑀𝑃𝐻𝐼4)(𝑙𝑜𝑔𝑇2𝐺𝑀)2

Dimana,

MPERM = permeabilitas, dalam mD

MPHI = porositas NMR

c = konstanta empiris sebesar 10000 untuk batupasir

Bab III. TEKNIK IDENTIFIKASI MINERAL & PROPERTI FISIK BATUAN RESERVOAR KLASTIK

66

FFI = free fluid index

BVI = bulk volume irreducible

a = konstanta empiris sebesar 4 untuk batupasir

logT2GM nilai rerata logaritmik untuk distribusi T2, dalam ms

Bahan Bacaan/Referensi

Ali, S.A., Clark, W.J., Moore, W.R., Dribus, J.R., 2010. Diagenesis and reservoir quality.

Oilfield Review.

Ballirano, P., Andreozzi, G.B., Dogan, M., Dogan, A.U., 2009. Crystal structure and iron

topochemistry of erionite-K from Rome, Oregon, U.S.A. American Mineralogist.

Hussein, M.M., Khader, K.M., Musleh, S.M., 2014. Characterization of raw zeolite and

surfactant-modified zeolite and their use in removal of selected organic pollutants from

water. International Journal of Chemical Sciences.

Kenyon, B., Kleinberg, R., Straley, C., Gubelin, G., Morriss, C., 1995. Nuclear magnetic

resonance imaging - technology for the 21st century. Oilfield Review.

Koesoemadinata, R.P., 1980. GEOLOGI MIHYAK- DAN GASBUMI, 2nd ed. ITB Bandung,

Bandung.

Langella, A., Colella’, C., 1999. Hydrothermal conversion of trachytic glass to zeolite. 3.

Monocationic model glasses. Clays and Clay Minerals.

Lelono, E.B., Isnawati, 2006. Peranan Iptek Nuklir Dalam Eksplorasi Hidrokarbon. In:

Seminar Nasional II SDM Teknologi NUklir. Sekolah Tinggi Teknologi Nuklir-BATAN,

Yogyakarta, pp. 207–218.

Nugraheni, R.D., Sum, C.W., Hadi, A., Rahman, A., Nuralia, S., Nazor, B.M., 2013. Burial

Diagenesis of Coal-Bearing Mudrock and Its Relationship to The Evolution of Pore Types

and Abundance. In: Fatt, N.T. (Ed.), Proceedings of The National Geoscience Conference.

Geological Society of Malaysia, Ipoh - Tronoh, Perak State, Malaysia.

Pszonka, J., Götze, J., 2018. Quantitative estimate of interstitial clays in sandstones using

Nomarski differential interference contrast (DIC) microscopy and image analysis. Journal

of Petroleum Science and Engineering.

Scholle, P.A., 2020. Porosity. In: A Color Illustrated Guide To Constituents, Textures,

Cements, and Porosities of Sandstones and Associated Rocks.

Stamatakis, M.G., Regueiro, M., Calvo, J.P., Fragoulis, D., Stamatakis, G., 2000. A study of

zeolitic tuffs associated with bentonite deposits from Almeria , Spain and Kimolos Island

Bab III. TEKNIK IDENTIFIKASI MINERAL & PROPERTI FISIK BATUAN RESERVOAR KLASTIK

67

, Greece and their industrial potential as pozzolanas in the cement industry. Hellenic

Journal of Geosciences 45, 283–292.

Tangkawanit, S., Rangsriwatananon, K., 2005. Synthesis and Kinetic Study of Zeolite from

Lopburi Perlite. Suranaree J. Sci. Technol.

Tucker, M.E., 2001. Sedimentary petrology. An introduction to the orgin of sedimentary rocks,

Geoscience Texts.

Wicaksono, D.D., Setiawan, N.I., Wilopo, W., Harijoko, A., 2017. Teknik Preparasi Sampel

dalam Analisis Mineralogi dengan XRD di Departemen Teknik Geologi, Fakultas Teknik,

Universitas Gadjah Mada. Proceeding Seminar Nasional Kebumian ke-10.

Wise, S.W., 2007. Lepispheres. In: Sedimentology.

BAB IV PERANAN EOGENESIS

68

BAB IV. PERANAN EOGENESIS

IV.1 Indikator Fasies Pengendapan

Diagenesis awal pada sedimen secara luas dikontrol oleh beberapa faktor seperti faktor

sedimentasi asal maupun faktor yang secara langsung maupun tidak langsung berkaitan dengan

kondisi lingkungan pengendapan. Faktor sedimentasi asal meliputi tekstur sedimen, ukuran

partikel, komposisi mineralogi, kandungan organik dan komposisi kimia asli dari air pori (Ali

et al., 2010). Karakteristik pada lingkungan pengendapan ini dapat digunakan untuk memandu

dalam penentuan fasies pengendapan. Fasies diartikan sebagai suatu massa batuan yang

dikelompokkan berdasarkan beberapa parameter seperti litologi, struktur fisik, dan biologinya,

yang menjadikan batuan tersebut berbeda dengan batuan yang ada di sekitarnya baik secara

vertikal maupun lateral (Posamentier and Walker, 2006). Sedangkan, lingkungan pengendapan

merupakan tempat suatu sedimen terendapkan dan memiliki proses serta kondisi pengendapan

fisik, kimiawi, dan biologi tertentu yang kemudian menentukan karakteristik batuan seperti

tekstur, struktur, dan karakteristik stratigrafi dari batuan sedimen (Boggs, 2013).

Lingkungan pengendapan nantinya akan menghasilkan fasies tertentu. Hal ini

dikarenakan lingkungan pengendapan dipengaruhi oleh berbagai aspek seperti pH, kadar

oksigen, kadar karbondioksida, kadar hidrogen, salinitas, hingga proses pelarutan dan

penyerapan yang terjadi pada lingkungan tersebut. Sedangkan, jika ditinjau dari sisi biologinya,

lingkungan pengendapan juga dipengaruhi oleh aktivitas organisme seperti burrowing, boring,

sedimen ingestion dan juga komposisi skeletal. Oleh karena itu, diagenesis dapat

merekonstruksi keadaan lingkungan pengendapan dimana ia terbentuk seperti yang terdapat

pada gambar 4.1 (Aliyuda et al.,

2018).

Gambar 4.1. Variasi lingkungan

pengendapan sedimen (Aliyuda et

al., 2018).

BAB IV PERANAN EOGENESIS

69

Pola diagenesis awal (Eogenesis) merekam kondisi fasies secara spesifik. Penggunaan

aspek kimia dari mineral diagenesis ini digunakan untuk melengkapi metode penentuan

lingkungan pengendapan secara konvensional. Hal ini didasarkan pada studi kasus yang terjadi

pada pengendapan sedimen di deltaic Wilcox, Formasi Wilcox, Teluk Texas, dimana

perubahan lingkungan pengendapan secara lateral dan vertikal diikuti oleh adanya perbedaan

pola diagenetik pada unit satuan batupasirnya (Stonecipher, 2000). Variasi pola diagenetiknya

dihasilkan dari perpindahan fluida regionalnya yang secara langsung berkaitan dengan kondisi

kimia spesifik sesaat setelah sedimen diendapkan. Kombinasi dari pengaruh transportasi dan

pemilahan (sorting) oleh fluida yang berlangsung selama pengangkutan sedimen akan

menghasilkan karakteristik fasies yang berbeda, dengan kumpulan detrital mineral yang

berbeda pula. Disamping itu, karakteristik tekstur yang merupakan fungsi dari proses

diagenesis, dapat mempengaruhi proses diagenesis dengan mengontrol masuknya fluida.

Sebagai contoh jika sedimen memiliki kemas tertutup maka sirkulasi air tidak memungkinkan

untuk menghasilkan sementasi maupun penggantian mineral, sedangkan pada sedimen dengan

kemas terbuka maka material terlarut dapat dialirkan atau disirkulasikan ke dalam dan luar dari

sistem ruang pori membentuk semen maupun mineral autigenik lainnya. Komposisi kimia

alami dari air pori sesaat setelah sedimen diendapkan akan mengontrol pola diagenetik awal,

contohnya membentuk semen awal.

Variasi distribusi dari lingkungan pengendapan merupakan hasil perpaduan dari proses

fisika, kimia dan biologi (Tabel 4.1.). Aspek fisika penting utama yang perlu diperhatikan

adalah interaksi dinamis dari arus pada muara sungai, ombak, pasang surut dan laut. Sebagai

contoh, aliran air sungai dapat mempengaruhi beberapa hal seperti ukuran dan sortasi dari

sedimen yang dibawa ke delta, migrasi lateral dan limpasan dataran banjir, kecepatan dan pola

pertumbuhan delta. Ombak dan redistribusi sedimen fluvial dapat mempengaruhi bentuk

geometri dari tubuh pasir pantai serta morfologi dari delta front. Arus pasang surut dapat

mempengaruhi distribusi pasir pada pesisir pantai, sedimentasi sungai hingga muara, morfologi

dan perpindahan cabang sungai serta interaksi fauna sedimen pada delta plain. Aktivitas biologi

tertentu dapat mengindikasikan kondisi substrat, suplai sedimen, kandungan organik,

komposisi kimia air dan energi pada lingkungan pengendapan. Proses kimia yang berkaitan

dengan rezim hidrologi merupakan perpaduan antara sumber fluida pori, pola aliran, geometri

tubuh pasir dan hubungan ketiganya.

BAB IV PERANAN EOGENESIS

70

Tabel 4.1. Proses yang terjadi pada lingkungan sedimen dan responnya terhadap fasies yang

dihasilkan (Boggs, 2013).

Lingkungan Pengendapan Sedimen Fasies pengendapan

Proses-proses dinamik yang bekerja :

Komponen fisik : gelombang dan arus,

gravitasi, tektonik, vulkanisme, ketinggian

muka air laut.

Komponen kimiawi : pelarutan, presipitasi,

autigenesis.

Komponen biologi : presipitasi biokimia,

reworking sedimen, dan fotosintesis.

Elemen statis :

Kedalaman air, suplai sedimen, iklim,

kandungan air.

Geometri dari deposit :

Blanket, Prism, Shoestring.

Komponen sedimen primer :

Fisika : Perlapisan, komposisi partikel,

tekstur sedimen.

Kimia : major element dan trace element

Biologi : keberadaan fosil

Komponen sedimen sekunder :

Porositas, permeabilitas, konduktivitas,

dan radioaktif.

Kualitas dan komposisi dari air yang menyusun suatu lingkungan pengendapan juga akan

mempengaruhi proses diagenesis awal. Sebagai contoh, jika airnya mengandung polutan maka

aktivitas bioturbasi akan mengalami peningkatan maupun penurunan yang tergantung tipe

logamnya. Jika air pori pada sedimen terkontaminasi oleh logam Mn, Co, Ni maupun Zn maka

intensitas bioturbasi akan meningkat, sedangkan jika air pori terkontaminasi logam Cu maupun

Cr kedua logam tersebut tidak mempengatuhi intensitas dari bioturbasi (Xie et al., 2019)

(Lijklema et al., 1993) (Gambar 4.2). Intensitas bioturbasi akan mempengaruhi struktur internal

sedimen, termasuk orientasi butir dari sedimen dan sortasinya. Lubang galian hasil aktivitas

bioturbasi akan memperburuk orientasi butir dan meninggalkan sedimen halus. Kehadiran

bioturbasi ini terutama penting pada lingkungan pengendapan marin dibandingkan lingkungan

non-marin dan deltaic. Perubahan intensitas bioturbasi ini juga akan mempengaruhi kualitas

batuan reservoir yang meliputi porositas dan permeabilitas.

BAB IV PERANAN EOGENESIS

71

Gambar 4.2. a) Pengaruh air pori sedimen yang terkontaminasi logam terhadap intensitas bioturbasi; b

dan c) Kehadiran bioturbasi memperburuk orientasi butir dan mengurangi permeabilitas batuan.

Penjelasan tentang proses fisika dan kimia utama pada setiap tipe lingkungan

pengendapan dan bagaimana proses tersebut mempengaruhi komponen detritus dan pola

diagenetik dijabarkan sebagai berikut :

IV.1.1 Fasies fluvial

Fasies fluvial dicirikan oleh pengendapan sedimen yang menghalus ke arah atas (fining

upward) dengan bagian bawah terdiri atas sedimen berukuran kasar, serta struktur sedimen

penciri berupa lapisan silangsiur. Karakteristik fisik ini dapat didukung oleh karakteristik

kimiawi dari mineral diagenetik berupa mineral kaolinit. Eogenesis merupakan tahapan dalam

diagenesis yang terjadi dekat dengan permukaan. Pada tahapan ini, sedimen dipengaruhi oleh

proses kimiawi dari air permukaan yang terdapat pada lingkungan pengendapan. Kaolinit dapat

terbentuk sebagai mineral ubahan dari feldspar maupun mika yang dapat berkembang diantara

lembaran tipis mineral mika. Tipe alterasi ini menunjukkan dominan pengaruh dari air

meteorik. Kaolinit sebagai produk utama Eogenesis dideposisikan pada air tawar yang kaya

akan oksigen terlarut (well oxygenated fresh water). Pengaliran air meteorik secara terus

menerus pada mika akan melepaskan kation yang terdapat diantara lembaran mika sehingga

komponen hidroksida mengembangkan lembaran mika dengan membentuk kipas. Unsur silika

(Si) dan aluminium (Al) kemudian terepresipitasi sebagai kaolinit yang berkembang diantara

lembaran mika sisa dengan geometri lempeng kaolinit berukuran kasar.

Pergerakan aliran air sungai menuruni lembah (zona 1 dan 2 dari Gambar 4.3.) (Gellis et

al., 2016) akan menghasilkan detrital material rombakan dan memungkinkan pembentukan

mineral illit. Kehadiran mineral klorit yang berasosiasi dengan kaolinit mengindikasikan

BAB IV PERANAN EOGENESIS

72

bahwa kedudukan lingkungan pengendapan berada dekat dengan zona pengendapan menuju

ke arah muara sungai, dimana air laut yang masuk menyebabkan komposisi kimia fluida

mempresipitasikan klorit. Jika sedimen mengandung kuarsa monokristalin maupun chert maka

semen silika (quartz overgrowth) dapat tumbuh pada permukaan butiran. Bentuk semen silika

yang rombohedral mengindikasikan bahwa tahapan diagenesis yang berlangsung adalah tahap

awal (Eogenesis). Kehadiran semen rombohedral dapat memperkuat butiran dan menahan

terjadinya kompaksi.

Pada kondisi aliran sungai dengan sirkulasi air yang terbatas (contoh daerah dataran

banjir - floodplain) menyebabkan kadar oksigen menjadi rendah sehingga pH air menjadi lebih

asam dan memungkinkan terjadinya sementasi dari mineral pirit (Gambar 4.4.). Sebaliknya

menuju ke arah muara, semen besi yang terbentuk diwakili oleh mineral siderit. Kedua tipe

mineral sekunder tersebut umum dijumpai sebagai hasil ubahan dari mineral mika.

Fluida yang berada di dalam porositas menekan permukaan butiran dan melarutkan

komposisi kimia mineral ketika bersirkulasi sepanjang ruang pori. Pada kondisi ini, porositas

sekunder dapat meningkat secara signifikan, tergantung kepada proses pelarutan dan

pengurangan material padatan larutan yang bisa saja hadir ketika air meterorik ikut masuk ke

bawah permukaan dan turut melarutkan mineral tidak stabil seperti feldspar. Porositas yang

dihasilkan pada fasies fluvial umumnya baik hingga sangat baik.

Komposisi kimiawi dari fluida

meteorik pada hulu sungai

yang berupa air tawar akan

mempresipitasikan kaolinit

sebagai mineral autigenik pada

batupasir. Menuju ke bagian

hilir sungai, komposisi kimia

fluida mendukung terjadinya

presipitasi dari mineral klorit.

Gambar 4.3. Pola diagenesis mineral lempung menurut

lingkungan pengendapan fluvial (Gellis et al., 2016)

BAB IV PERANAN EOGENESIS

73

Gambar 4.4. Presipitasi kaolinit dan pirit umum dijumpai diantara lembaran mika. Semen

pirit dijumpai dengan bentuk geometri sukrosik.

IV.1.2 Fasies delta

Membahas tentang lingkungan fluvial tentunya tidak terlepas dari pembahasan mengenai

delta. Delta merupakan endapan sedimen yang berasal dari daratan dan terbentuk di muara

sungai yang berbatasan dengan laut atau danau. Lingkungan delta, terutama pada delta plain

memiliki arus pengendapan yang lemah memungkinkan pengendapan sedimen berukuran

halus. Pada lingkungan ini, sedimen sangat mudah dipengaruhi oleh sistem geokimia yang

diakibatkan oleh aliran air permukaan, proses difusi, dan juga evaporasi. Lingkungan delta

plain memiliki kemampuan dalam mengawetkan

material organik karbon serta mendukung dalam

pematangan maseral. Proses diagenesis yang terjadi

bersamaan dengan pematangan maseral berupa

presipitasi dari mineral pirit dan siderit. Kehadiran

mineral pirit dan siderit yang sebagian menempel

pada permukaan material organik maupun tersimpan

dalam flokulasi lempung kaolinit menunjukkan

bahwa aliran arus hyperpycnal memiliki kondisi

reduksi yang memungkinkan terjadinya presipitasi

dari mineral tersebut. Aliran arus hyperpycnal merupakan aliran densitas suspensi yang lebih

besar dari pada arus air. Jika mineral mika terutama muskovit melimpah, maka akan

mendukung dalam pembentukan mineral kaolinit (Gambar 4.5), sedangkan mineral biotit

Gambar 4.5. Morfologi vermicular

yang menjadi ciri khas kaolinit sebagai

ubahan dari mika

BAB IV PERANAN EOGENESIS

74

berkontribusi dalam pembentukan mineral sekunder klorit. Beberapa fasies delta ditandai

dengan kehadiran dari mineral autigenik gipsum. Pada lingkungan delta front hingga pro delta,

proses yang dominan terjadi adalah presipitasi dari mineral-mineral karbonatan, yang

diakibatkan oleh pengaruh air laut yang lebih dominan.

IV.1.3. Daerah pasang surut / tidal

Daerah pasang surut termasuk lingkungan pengendapan transisi, dimana pengontrol

utamanya adalah energi gelombang, arus, dan pasang surut. Faktor pengontrol pada daerah

tidal ini cenderung menghasilkan fasies batupasir masif dan batupasir dengan struktur sedimen

wavy-flaserr, yang menunjukkan proses pengendapan dipengaruhi oleh sirkulasi arus air yang

berubah - ubah. Sedangkan struktur lentikuler menunjukkan bahwa proses sedimentasi

berlangsung pada tidal channel. Fasies pada lingkungan pengendapan ini didominasi oleh pasir

berukuran halus hingga kasar, sortasi yang baik hingga buruk, dan komposisi mineral berupa

kuarsa, feldspar, muskovit, mineral lempung, dan fragmen moluska serta foraminifera besar.

Fasies rawa hingga mangrove termasuk dalam lingkungan pasang surut yang juga banyak

dijumpai material karbon hasil pengendapan dari sisa - sisa tanaman. Proses diagenetik

utamanya berupa presipitasi dari mineral pirit dan illite namun kehadiran kaolinit sudah

berkurang dan digantikan oleh kehadiran klorit dengan prosentase yang berimbang terhadap

kaolinit (Gambar 4.6).

Pada lingkungan tidal channel fasies

pengendapan dicirikan oleh pembentukan sempurna

dari mineral klorit yang bertindak sebagai

penggantian mineral maupun semen grain- coating.

Pembentukan semen klorit mengindikasikan bahwa

lingkungan pengendapan sudah mendapat pengaruh

dari masuknya air laut. Sirkulasi air pada

lingkungan ini berlangsung dengan baik sebagai

oxygenated water sehingga kehadiran dari semen

oksida besi jarang dijumpai.

Lingkungan intertidal memiliki arus yang lebih lemah dan anoxic dibandingkan dengan

tidal channel, sehingga mineral autigenik dengan komposisi besi utama yang umum dijumpai

Gambar 4.6. Sebaran lempung klorit

mengindikasikan adanya influx air

laut

BAB IV PERANAN EOGENESIS

75

adalah mineral siderit. Sedimen yang dijumpai juga memiliki ukuran yang relatif halus (pasir

halus hingga lanau). Komposisi mika biotit maupun material karbon sering digantikan oleh

mineral autigenik siderit.

IV.1.4 Laut / Marin

Sedimen yang terendapkan pada lingkungan pengendapan laut memiliki karakteristik

fluida yang kaya akan kalsium karbonat. Seperti halnya pada lingkungan transisi, lingkungan

laut ini memiliki karakteristik fluida yang kaya oksigen (oxic) maupun miskin oksigen (anoxic)

(Gambar 4.7). Hal ini tergantung pada sirkulasi arus ombak yang berlangsung, pada lingkungan

laut yang terisolir atau memiliki sirkulasi fluida yang rendah akan bersifat anoxic sehingga

banyak diendapkan mineral karbonat yang kaya akan besi (siderite, Fe- dolomit/ ankerit).

Sebaliknya, pada lingkungan laut yang memiliki suplai oksigen tinggi seperti pada laut

dangkal, umumnya jenuh akan kalsium karbonat sehingga banyak dijumpai sementasi dari

mineral kalsit.

Quartzarenites dan subarkoses yang dideposisikan pada lingkungan marin cenderung

mengikuti pola awal dari autigenesis mineral lempung yang berasosiasi dengan semen kuarsa

atau overgrowth dari mineral feldspar, serta diikuti juga dengan presipitasi dari mineral

karbonatan. Mineral lempung dapat terbentuk lebih awal dikarenakan mineral lempung paling

mudah terpresipitasi daripada mineral feldspar. Semen karbonat yang cenderung mengisi

porositas primer dominan menghentikan diagenesis lebih lanjut dari sementasi lempung. Jenis

semen yang umum dijumpai pada setiap tipe lingkungan pengendapan, disajikan pada tabel

4.2.

Tabel 4.2. Variasi tipe semen menurut karakteristik fasies dan lingkungan pengendapan

Lingkungan Fasies Jenis semen

Eolian Dune

Interdune

Overgrowth kuarsa dan mineral lempung

Anhydrite, dolomite, dan kalsit

Gambar 4.7. Mineral-mineral

yang hadir pada diagenesis di

daerah marin. Copyright :

Burlet et al., 1985; courtesy

Blackwell scientific

BAB IV PERANAN EOGENESIS

76

Lingkungan Fasies Jenis semen

Fluvial Flood plain

Channel

Kalsit, illite, smektit, mixed-layer mineral lempung

Kalsit, percampuran mineral kalsit dan kuarsa

Nearshore

marine

Semua Mineral karbonatan seperti siderite dan illite

Marine shelf Semua Dolomite, illite, klorit, dan kuarsa

Deep marine Semua Kuarsa, klorit, kalsit, illite, dan dolomite

Pada lingkungan pengendapan laut dangkal, pengurangan nilai porositas dapat terjadi

akibat sementasi dari kalsit maupun Mg-calcite, karena proses sementasi ini sangat dominan

terjadi pada shelf-margin reefs, high intertidal zones, dan isolated hardgrounds. Pembentukan

mineral autigenik dolomit yang disebut sebagai proses dedolomitisasi pada lingkungan laut

dangkal berperan dalam menghasilkan porositas interkristalin. Pembentukan porositas

interkristalin yang berukuran mikro ini sedikit meningkatkan volume ruang pori karena

ukurannya yang relatif kecil tetapi memiliki sebaran yang lebih luas. Pada kedalaman yang

lebih besar, semen aragonit dapat terbentuk hingga kedalaman mencapai 60 meter. Pada

lingkungan pengendapan laut dalam, porositas dapat mengalami perubahan yang signifikan

dikarenakan sedimen cenderung memiliki ukuran butir yang lebih halus.

IV.2 Menurunkan kualitas batuan reservoir

Evolusi atau perubahan kondisi dari porositas batuan reservoir (terutama batupasir)

memiliki kaitan yang erat dengan kondisi lingkungan tempat sedimen diendapkan serta proses

diagenesis. Porositas dan permeabilitas ini tergantung pada tekstur asal sedimen, seperti ukuran

butir, sortasi, mineralogi dan struktur sedimen yang dipengaruhi oleh lingkungan

pengendapannya. Pada tahap diagenesis awal, proses diagenesis berupa kompaksi awal akan

menyebabkan terjadinya penurunan volume ruang pori. Kompaksi yang terjadi pada awal

diagenesis juga menyebabkan perubahan susunan butir, displacement, hinga redistribusi dari

komponen batupasir.

Proses kompaksi ini menyebabkan sedimen mengalami diagenesis peninbunan (burial

diagenesis), yang menyebabkan kontak antar butir menjadi lebih rapat atau menurunan volume

porositas intergranularnya. Pada tahapan mesogenesis yang mengalami proses kompaksi dan

sementasi lanjutan, akan memberikan nilai penurunan porositas dan permeabilitas yang lebih

BAB IV PERANAN EOGENESIS

77

besar. Pada tahap ini, porositas dari batupasir biasanya menurun hingga 40% seiring dengan

kedalaman penimbunannya.

IV.2.1 Penurunan nilai porositas primer

Pada diagenesis awal, proses kompaksi mekanik memiliki peranan yang sangat besar

dalam mengurangi nilai porositas primer intergranular dan volume ruang pori. Hal ini terjadi

karena adanya penimbunan sedimen yang memberikan penambahan tekanan secara vertikal

dan menyebabkan kontak antar butir menjadi lebih rapat. Kontak antar butir yang semakin

rapat menyebabkan permukaan butir sedimen menjadi bersentuhan satu sama lain membentuk

kontak memanjang (long contact) dan disertai pelarutan dari air pori yang mengisi ruang pori

intergranular. Ketika air pori yang jenuh ini mengalami presipitasi dan membentuk semen,

maka akan menghasilkan sementasi awal yang mengurangi ruang porinya. Dengan demikian,

proses Eogenesis memiliki peran dalam mengurangi porositas primer melalui kompaksi dan

sementasi. Ketika tahapan diagenesis berlanjut hingga ke mesogenesis, penurunan kualitas

batuan reservoar klastik akan berlangsung signifikan.

Intensitas kompaksi mekanik dan perbedaan

komposisi material penyusun sedimen akan mempengaruhi

besarnya pengurangan nilai porositas. Pada intensitas

kompaksi yang sama, ketika sedimen memiliki lebih

banyak komponen duktil (seperti mika, lempung) yang

terkena tekanan maka komponen tersebut akan

terdeformasi dan mengalami penurunan permeabilitas

dengan menutup konektivitas antar ruang pori (Gambar

4.8). Sedimen yang memiliki komposisi butiran brittle lebih

banyak, umumnya membentuk retakan yang dapat meningkatkan volume pori. Pada diagenesis

awal (Eogenesis) retakan yang terbentuk ini relatif lebih halus, sehingga tidak signifikan dalam

meningkatkan ruang pori. Berbeda dengan tahapan mesogenesis, dimana pembentukan retakan

(baik oleh pengaruh tektonik maupun penimbunan) akan meningkatkan permeabilitas batuan

yang sudah menurun akibat kompaksi dan sementasi.

Proses diagenesis lainnya yang juga mempengaruhi nilai porositas dan permeabilitas

adalah sementasi. Sementasi dari kuarsa yang membentuk quartz overgrowth, pada tahap awal

diagenesis dapat meningkatkan kekuatan butiran untuk bertahan terhadap proses kompaksi

yang berlangsung atau berperan sebagai kerangka butir yang menahan tekanan dari luar. Hal

Gambar 4.8. Deformasi mineral

lempung kaolinit diantara

sementasi kuarsa.

BAB IV PERANAN EOGENESIS

78

ini menguntungkan karena volume porositas primer intergranular akan dapat terawetkan dan

tidak berkurang banyak akibat kompaksi.

Namun demikian, jika pertumbuhan semen kuarsa

berlanjut dan membesar, maka akan dapat menutup ruang

pori sepenuhnya (Anovitz et al., 2015). Pertumbuhan semen

ini juga dapat mencegah terbentuknya semen lempung

(Gambar 4.9). Apabila pertumbuhan semen kuarsa

terhalangi, maka pertumbuhannya hanya akan membentuk

rhombohedral dan tidak membentuk blocky semen

berukuran besar (Gambar 4.9). Pembentukan semen

berukuran mikro yang menempati ruang pori intergranular

dan membentuk pore-filling cement dapat mengubah

porositas makro menjadi mikro. Porositas mikro ini hanya

dapat teramati menggunakan Scanning Electron Microscope (SEM).

Meskipun pada Eogenesis proses sementasi dominan terjadi sehingga menyebabkan

penurunan porositas, akan tetapi pada tahap menengah (mesogenesis) cenderung terjadi

pelarutan yang menyebabkan terbentuknya porositas intergranular maupun intragranular.

IV.2.2. Penyumbatan porositas (Pore throat)

Sementasi yang diawali dari pelarutan permukaan butir sedimen dapat bersifat menutup

sebagian ruang pori primer sehingga batupasir masih memiliki kemampuan untuk mengalirkan

fluida atau memiliki permeabilitas. Namun jika tekstur awal sedimen yang diendapkan hanya

memiliki porositas yang rendah, maka kehadiran semen berukuran mikro akan dapat

menyumbat ruang penghubung antar pori (pore throat) (Gambar 4.10).

Gambar 4.10. Ilustrasi konsep dari pore size dan

pore throat. Rongga pori dapat diukur dengan

Scanning Electron Microscope. Ukuran absolut dari

pore throat yakni diukur dari jari-jari lingkaran yang

ditarik tegak lurus terhadap aliran fluida.

Gambar 4.9. Pengaruh

pertumbuhan bersama antara

semen kuarsa dengan semen

lempung

BAB IV PERANAN EOGENESIS

79

Hal ini akan menurunkan permeabilitas batuan secara keseluruhan, sehingga diperlukan

teknik recovery yang sesuai untuk bisa meningkatkan permeabilitas batuan. Permeabilitas

batuan merupakan kemampuan suatu batuan reservoir untuk mengalirkan hidrokarbon,

sehingga memiliki peranan yang penting dalam menentukan kualitas reservoir. Terdapat

beberapa faktor yang dapat mempengaruhi permeabilitas asal batuan, seperti jenis fasies

batuan, tekanan kapiler, resistivitas formasi, hingga ukuran pore throat.

Kehadiran semen berukuran mikro maupun crypto seperti kaolinit dapat mengisi ruang

penghubung antar pori yang sempit (pore-throat) sehingga dapat menurunkan porositas batuan

reservoir (Baiyegunhi et al., 2020). Tipe pori diantara kristal semen tersebut tergolong sebagai

porositas tidak efektif (ineffective) dan umumnya terisi oleh irreducible water atau fluida yang

cenderung lekat pada permukaan pori sehingga susah keluar dari pore throat. Kualitas batuan

reservoar dengan porositas baik tetapi permeabilitas rendah atau porinya tidak terhubung satu

sama lain hanya akan memiliki kemampuan untuk menyimpan fluida hidrokarbon tanpa dapat

mengalirkannya. Keterdapatan pore throat yang tidak tersumbat dan berukuran besar akan

dapat meningkatkan nilai permeabilitas batupasir.

IV.2.3. Modifikasi porositas intergranular menjadi interkristalin

Modifikasi dari porositas primer menjadi porositas

interkristalin ini berlangsung melalui proses diagenesis yang

berupa sementasi. Eogenesis yang ditandai dengan

sementasi awal membentuk semen yang mengelilingi

permukaan butir (grain-coating) maupun menempati

sebagian ruang pori (pore-filling). Beberapa tipe semen

yang terpresipitasi menjadi kristal berukuran meso maupun

mikro, ketika menempati ruang pori primer intergranular

akan menghasilkan ruang pori yang terbentuk diantara

kristal semennya. Karena semen tersebut menempati

porositas primer yang berukuran makro, maka pori yang

semula besar hanya akan tampak sebagai porositas mikro di antara kristal semen saja. Hal

inilah yang disebut sebagai modifikasi dari porositas intergranular menjadi interkristalin

(Gambar 4.11). Beberapa semen pengisi ruang pori yang dimaksud meliputi semen dolomit,

klorit, kaolinit, klinoptilolit (semen zeolit), siderit maupun pirit.

Gambar 4.11. Transformasi

porositas intergranular

menjadi porositas

interkristalin akibat sementasi.

BAB IV PERANAN EOGENESIS

80

Bahan Bacaan/Referensi

Ali, S. a, Clark, W.J., Moore, W.R., Dribus, J.R., 2010. Diagenesis and Reservoir Quality.

Oilfield Review 22, 14–27.

Aliyuda, K., Howell, J.A., Hartley, A., 2018. Impact of Depositional Environment on Reservoir

Quality and Hydrocarbon Production. AAPG/SEG International Conference and

Exhibition di, 0–1.

Anovitz, L.M., Cole, D.R., Jackson, A.J., Rother, G., Littrell, K.C., Allard, L.F., Pollington,

A.D., Wesolowski, D.J., 2015. Effect of quartz overgrowth precipitation on the multiscale

porosity of sandstone: A (U)SANS and imaging analysis. Geochimica et Cosmochimica

Acta.

Baiyegunhi, T.L., Liu, K., Gwavava, O., Baiyegunhi, C., 2020. Impact of diagenesis on the

reservoir properties of the cretaceous sandstones in the southern bredasdorp basin,

offshore south africa. Minerals 10, 1–33.

Boggs, S., 2013. Principles of sedimentology and stratigraphy 4th edition. Journal of Chemical

Information and Modeling.

Gellis, A.C., Fitzpatrick, F., Schubauer-Berigan, J., 2016. A Manual to Identify Sources of

Fluvial Sediment. U.S. Environmental Protection Agency, Washington, DC,

EPA/600/R1, 106.

Lijklema, L., Koelmans, A.A., Portielje, R., 1993. Water quality impacts of sediment pollution

and the role of early diagenesis. Water Science and Technology 28, 1–12.

Posamentier, H.W., Walker, R.G., 2006. Deep-Water Turbidites and Submarine Fans. Facies

models revisited 399–520.

Stonecipher, S.A., 2000. Applied Sandstone Diagenesis-Practical Petrographic Solutions for a

Variety of Common Exploration, Development, and Production Problems, Applied

Sandstone Diagenesis-Practical Petrographic Solutions for a Variety of Common

Exploration, Development, and Production Problems.

Xie, M., Simpson, S.L., Wang, W.X., 2019. Bioturbation effects on metal release from

contaminated sediments are metal-dependent. Environmental Pollution 250, 87–96.

Bab V. PERANAN TELOGENESIS

81

BAB V. PERANAN TELOGENESIS

V.1. Indikator Adanya Ketidakselarasan (Disconformity)

Suatu cekungan kompleks yang berumur tua (seperti cekungan yang telah terinversi

ataupun mengalami tektonik pengangkatan) dapat mengalami perubahan rezim hidrologi pasca

pengendapan yang mengakibatkan terjadinya modifikasi signifikan pada pola diagenetiknya.

Batuan sedimen pada tahap Telogenesis akan mengalami pelarutan, penggantian dan

oksidasi. Proses pelarutan akan melarutkan komponen butir yang kurang stabil dan

meningkatkan nilai pori, pelarutan dapat mengubah mineral feldspar menjadi mineral lempung

dan oksidasi akan menghasilkan semen maupun penggantian mineral oksida besi. Modifikasi

tersebut akan tampak pada pola diagenetik awal yang di overprint atau ditindih oleh pola

diagenetik akhir. Beberapa penanda seperti kehadiran mineral autigenik lempung kaolinit dan

mosaik semen kalsit dapat menjadi indikator adanya pengaruh air meteorik dan menunjukkan

bahwa batuan telah tersingkap di permukaan.

V.1.1. Tektonik Pengangkatan/ Uplift

Proses tektonik pengangkatan/ uplift dapat menyebabkan batuan sedimen berada di atas

muka air laut maupun diatas permukaan tanah, sehingga hal ini akan diikuti oleh proses

eksogenik berupa erosi. Setelah fase erosional berakhir, hal ini akan diikuti dengan proses

pengendapan sedimen lain yang menumpang diatas bidang ketidakselarasan, sehingga

terbentuk perlapisan dengan umur pengendapan yang berbeda (Gambar 5.1.). Bidang

ketidakselarasan yang dimaksud berupa disconformity, yakni merupakan bidang

ketidakselarasan yang terbentuk karena terjadinya erosional tanpa berlangsungnya proses

pengendapan. Bidang ketidakselarasan tipe ini tampak sebagai tumpukan lapisan batuan yang

sejajar satu sama lain, tetapi antar lapisan tersebut menunjukkan umur pengendapan yang

berbeda. Dengan demikian, bidang ketidakselarasan ini seharusnya dapat menjadi penanda

adanya perbedaan umur. Akan tetapi bidang disconformity ini terkadang tampak samar pada

singkapan batuan sedimen yang berlapis secara sejajar, sehingga akan sulit menentukan bidang

ketidakselarasan tersebut melalui data geologi konvensional maupun seismik. Identifikasi dari

Bab V. PERANAN TELOGENESIS

82

tipe diagenesis terutama dari overprint mineral diagenetik akan dapat membantu dalam

mengungkap adanya bidang ketidakselarasan yang samar ini (subtle unconformity).

Gambar 5.1. Proses tektonik pengangkatan yang menghasilkan bidang ketidakselarasan

berupa Disconformity

Pengamatan megaskopis yang dapat dilakukan guna menentukan bidang

ketidakselarasan yang samar ini adalah dengan mengamati struktur sedimen berupa akar, tanah,

maupun kenampakan bidang erosional. Struktur sedimen ini terkadang tidak dapat diamati

karena hilang oleh pengaruh erosi ketika muka air laut naik. Bidang ketidakselarasan pada log

pemboran umumnya tampak sebagai spike dari log resistivitas. Beberapa fase tahapan

diagenesis yang berlangsung untuk dibedakan satu dengan lainnya, disajikan pada Tabel 5.1

modifikasi dari (Nugraheni et al., 2013), (Goldberg et al., 2009).

Secara mikroskopis, salah satu mineral autigenik yang menjadi penanda dari

telogenesis adalah mineral kaolinit. Kaolinit hadir sebagai massa berbentuk seperti cacing

(vermicular) sebagai hasil ubahan dari feldspar maupun mika. Kaolinitisasi dari mika ini

mewakili proses pembentukannya pada lingkungan meteorik (Stonecipher, 2000) karena aliran

air meteorik yang terus menerus akan menyebabkan komponen hidroksida dan kation antar

lapisan mika terpisah satu sama lain membentuk seperti morfologi kipas. Kation silika dan

aluminium selanjutnya akan terpresipitasi

sebagai kaolinit diantara lapisan sisa mika.

Pembentukan hematit yang menumpuki

(mengoverprint) pirit serta presipitasi gipsum

pada porositas retakan maupun morfologi nodul

juga dapat digunakan sebagai indikator dari

tahap Telogenesis (Gambar 5.2). Ketika

sedimen tersingkap di permukaan, jika kondisi

lingkungan pengendapan semula reduktif akan

bersifat lebih oksidatif karena air meteorik

Gambar 5.2. Overprinting pirit oleh

hematit sebagai indikator tahap

Mesogenesis

Bab V. PERANAN TELOGENESIS

83

jenuh akan oksigen. Hal ini akan mengakibatkan terjadinya represipitasi dari oksida besi seperti

hematit (indikator Telogenesis) yang menggantikan sucrosic pirit sebagai indikator dari

Mesogenesis.

Tabel 5.1. Proses diagenesis yang berlangsung pada setiap tahapannya

Pada lingkungan marin, presipitasi dari kalsit sebagai semen maupun mineral autigenik

merupakan sesuatu hal yang umum. Tetapi jika kalsit memiliki bentuk struktur mosaik, hal ini

akan menunjukkan bahwa pembentukannya berada pada fresh - water phreatic zone. Mosaik

Bab V. PERANAN TELOGENESIS

84

kalsit terbentuk sebagai hasil interaksi antara

air meteorik dengan pecahan fosil

berkomposisi aragonit (Stonecipher, 2000).

Komposisi mineral aragonite dari cangkang

fosil bersifat tidak stabil, sehingga saat

berinteraksi dengan air meteorik akan terlarut

dan terepresipitasi menjadi bentuk yang lebih

stabil seperti low-Mg mosaik kalsit. Jika

pertumbuhan semen kalsit ini diamati

menggunakan cathodoluminescence, akan

tampak memiliki oscillatory zoning, dimana

hal ini menggambarkan kondisi presipitasi

yang relatif tetap di atas batas muka air tanah

(Vuillemin et al., 2011) (Gambar 5.3).

Pembentukan semen kalsit berupa perulangan

bentuk pita antara yang tidak berpendar dan

berpendar pada pengamatan

cathodoluminescence, mencerminkan suatu

lensa dari air tawar yang jenuh oksigen

berfluktuasi dengan air pada kondisi reduksi.

Pada sistem akuifer aktif, efek dari

transportasi fluida serta minor turbulensi

menyebabkan terjadinya homogenisasi fluida

dan meminimalkan perubahan selama proses

oksidasi pada skala lokal. Pada fase akhir

Telogenesis, mosaik kalsit akan mengalami

pelarutan yang diikuti dengan presipitasi

semen poikilotopik ferroan- kalsit serta

ferroan- dolomit. Ferroan kalsit umumnya

menggantikan mosaik kalsit pada pori

intergranular dan intragranular pada fosil.

Ferroan dolomit menggantikan baik mosaik

kalsit maupun ferroan kalsit, dimana mineral ini terbentuk pada fase paling akhir (Gambar 5.4).

Gambar 5.3. Pembentukan mosaik

kalsit dengan zonasi oscillatory

(Vuillemin et al., 2011).

Gambar 5.4. Pembentukan ferroan

dolomit menggantikan mosaik kalsit

Bab V. PERANAN TELOGENESIS

85

V.1.2. Kaolinite – Illite/ Montmorillonite – Chlorite Plot

Mineral lempung yang dijadikan indikator bahwa tahapan diagenesis sudah memasuki

tipe Telogenesis atau mencerminkan bahwa sedimen telah mengalami proses pengangkatan/

uplift adalah jika dijumpai mineral illite/ montmorillonite, klorit dan kaolinit hadir secara

bersamaan. Kehadiran ketiganya terutama bertindak sebagai penggantian mineral

(replacement). Proses presipitasi dan penggantian mineral lempung umumnya berlangsung

ketika sedimen mengalami penimbunan pada kedalaman besar (deep burial). Hal ini berbeda

dengan proses sementasi yang umum dijumpai pada kedalaman dangkal.

Ketiga komponen mineral lempung dapat digunakan untuk menjelaskan bahwa

sedimen telah mengalami proses tektonik pengangkatan yang mengakibatkannya dapat

berinteraksi dengan air meteorik membentuk fase Telogenesis. Hubungan ketiganya

digambarkan menggunakan ternary diagram. Ternary plot dari kaolinite – illite/

montmorillonite – chlorite disebut dengan istilah KIC plot yang digunakan untuk menentukan

genetik relatif dari pembentukan lempungnya. Kelimpahan mineral kaolinite, illite dan chlorite

yang akan dimasukkan pada plot diperoleh dari data X-Ray Diffraction (XRD). Pada KIC plot,

hasil plotting sampel yang berada di sekitar puncak kaolinit menunjukkan bahwa diagenesis

dipengaruhi oleh air meteorik dari tahapan telogenesis, sementara yang berada di sekitar

puncak klorit menunjukkan adanya pengaruh marin dan yang berada di sekitar puncak illit +

MLC (Mixed layer clays) + montmorillonite memiliki pengaruh dari material rombakan

(detrital input) (Gambar 5.5a).

Gambar 5.5 a) Plot genesa lempung yang menggambarkan variasi pengaruh asal genetik

terhadap kelimpahan dari mineral lempung. Tipe plot disebut KIC plot dari tiga kelompok tipe

mineral lempung kaolinit - illite+MLC – klorit (Stonecipher, 2010); b) Hasil plot kelimpahan

mineral lempung yang menjadi penanda antara tahapan Eo-mesogenesis dengan Telogenesis

(Nugraheni, 2015)

Bab V. PERANAN TELOGENESIS

86

Contoh hasil plot kelimpahan dari ketiga tipe mineral lempung pada gambar 5.2b secara

jelas menunjukkan adanya pengaruh air meteorik selama diagenesis sedimen, terutama

ditunjukkan oleh garis batas merah yang menandai batas antara Telogenesis dengan Eo-

Mesogenesis. Hubungan paragenetik dari ketiga tipe lempung menunjukkan bahwa klorit

terbentuk lebih awal (pada tahap Eogenesis) pada kondisi lingkungan marin, kemudian diikuti

dengan illit dan kaolinit pada tahap akhir. Kehadiran kaolinit menandai perkembangan dari

sistem pengisian air tanah oleh air meteorik.

V.2. Meningkatkan Kualitas Batuan Reservoar

Ketika sedimen yang terendapkan dan terlithifikasi pada kedalaman besar ini

mengalami pengangkatan secara tektonik hingga ke permukaan, hal ini akan

mengakibatkannya tersingkap di permukaan dan berkontak langsung dengan air meteorik (baik

berupa air hujan maupun air permukaan lainnya). Interaksi dengan air meteorik ini dapat

meningkatkan nilai porositas dan permeabilitas batuan, karena air akan melarutkan mineral

mika maupun feldspar yang cenderung reaktif. Kondisi peningkatan porositas dan

permeabilitas merupakan hal yang umum dijumpai juga pada proses diagenesis awal, sehingga

untuk membedakannya dengan proses diagenetik awal dapat menggunakan penanda overprint

dari mineral diagenetik.

V.2.1. Peningkatan Nilai Porositas Pelarutan

Ketika sedimen mengalami pengangkatan dan erosi, hal ini akan disertai dengan

periode pelapukan dan pencucian (leaching). Sedimen yang terangkat dan tererosi tersebut

menyebabkan terbentuknya bidang ketidakselarasan. Jarak batuan sedimen terhadap bidang

ketidakselarasan akan mempengaruhi nilai total dari porositas pelarutan, atau dengan kata lain

semakin dekat jarak dengan bidang ketidakselarasan akan memiliki nilai porositas pelarutan

yang semakin besar (Yang et al., 2020) (Gambar 5.6). Kehadiran regional unconformity

memiliki kontrol yang penting pada porositas sekunder dengan mengalirkan air meteorik secara

terus menerus pada batuan, sehingga hal ini akan mempengaruhi kualitas dari batuan reservoar,

yakni peningkatan volume total porositas.

Peningkatan nilai porositas berlangsung melalui proses pelarutan oleh air meteorik.

Pelarutan ini tidak hanya berlaku pada komponen butir yang tidak stabil tetapi juga terhadap

semen yang sebelumnya telah terbentuk (terutama semen karbonat), sehingga porositasnya

menjadi lebih besar daripada batuan sedimen di tempat lain yang tidak mengalami

pengangkatan. Iklim yang lembab (humid) pada daerah tropis, seperti di Indonesia memiliki

Bab V. PERANAN TELOGENESIS

87

ketersediaan volume air meteorik yang melimpah, sehingga kehadiran dari zona lemah menjadi

jalan masuknya aliran air meteorik untuk melakukan proses pelarutan secara signifikan.

Gambar 5.6. Pengaruh tektonik pengangkatan yang berlangsung selama Telogenesis akan

meningkatkan volume pori total dengan membentuk porositas pelarutan. a) Jarak batupasir

terhadap bidang ketidakselarasan berkorelasi dengan prosentasi dari porositas pelarutan, b)

Selain dikontrol oleh tekstur dan komposisi asal batuan, pembentukan porositas pelarutan

berkaitan dengan semakin dekatnya jarak terhadap ketidakselarasan (Gambar dimodifikasi dari

(Yang et al., 2020).

Suatu batuan sedimen yang berada pada

fase Telogenesis umumnya ditandai dengan

tekstur kemas tertutup dan kehadiran porositas

retakan akibat kompaksi, yang kemudian

retakan tersebut menjadi jalan aliran air

meteorik untuk melakukan perkolasi dan

membentuk porositas pelarutan (Gambar 5.7).

Tipe porositas yang memberikan

kontribusi maksimum dalam peningkatan

volume pori adalah porositas pelarutan (Tabel

5.1.), vuggy dan porositas interkristalin yang

terutama terbentuk diantara lempeng kaolinit. Porositas pelarutan tidak hanya berlangsung

terhadap komponen butir yang tidak stabil, melainkan juga dapat memindahkan dan/ atau

melarutkan semen. Akibatnya porositas pelarutan dapat menambah tipe pori mikro hingga

Gambar 5.7. Retakan yang terbentuk

pada Mesogenesis diikuti dengan

pelarutan pada Telogenesis.

Bab V. PERANAN TELOGENESIS

88

megapores menurut ukuran porinya. Sebagai contoh, semen sucrosic pirit yang menandai

tahapan Mesogenesis, dapat terpindahkan atau tercuci ketika terkena aliran air meteorik secara

terus menerus (Gambar 5.8). Pada pengukuran MICP, perubahan distribusi pori akan tampak

pada grafik distribusi pori yang menjadi polymodal (terdiri atas berbagai ukuran pori).

Gambar 5.8. Gambar backscatter dari Field Emission-SEM yang menunjukkan porositas

sekunder berupa mold dari pirit akibat migrasi kristal. Jejak pirit tampak pada bentukan

bipiramidal serta jejak dari Fe pada grafik EDX.

V.2.2. Peningkatan Nilai Permeabilitas

Air meteorik yang melarutkan komponen tidak stabil seperti reaktif mika dan feldspar,

juga dapat meningkatkan dan mengawetkan permeabilitas batuan. Peningkatan nilai

permeabilitas yang signifikan diperoleh jika porositas retakan maupun semen yang telah

mengisi porositas intergranularnya mengalami pelarutan. Proses pelarutan tersebut akan dapat

menjadi jalan penghubung bagi aliran air pori, atau membentuk permeabilitas efektif (Gambar

5.9).

Gambar 5.9. Permeabilitas efektif yang terbentuk sebagai hasil pelarutan

Bab V. PERANAN TELOGENESIS

89

Bahan Bacaan/Referensi

Goldberg, K., Morad, S., De Ros, L.F., Al-Aasm, I.S., 2009. Diagenetic processes in sabkha

deposits and exploration potential of the intracratonic Parecis basin, western Brazil.

AAPG Annual Convention and Exhibition ( 2009 June 07-10 : Denver, CO). Abstracts

volume. [Tulsa, OK] : AAPG, 2009.

Nugraheni, R.D., 2015. Depositional Architecture And Diagenesis of The Clastic Sedimentary

Systems of The Belaga, Balingian And Begrih Formations, Along The Mukah-Sibu-

Selangau Transect, Sarawak. Universiti Teknologi Petronas.

Nugraheni, R.D., Sum, C.W., Hadi, A., Rahman, A., Nuralia, S., Nazor, B.M., 2013. Burial

Diagenesis of Coal-Bearing Mudrock and Its Relationship to The Evolution of Pore

Types and Abundance. In: Fatt, N.T. (Ed.), Proceedings of The National Geoscience

Conference. Geological Society of Malaysia, Ipoh - Tronoh, Perak State, Malaysia.

Stonecipher, S.A., 2000. Applied Sandstone Diagenesis-Practical Petrographic Solutions for a

Variety of Common Exploration, Development, and Production Problems, Applied

Sandstone Diagenesis-Practical Petrographic Solutions for a Variety of Common

Exploration, Development, and Production Problems.

Stonecipher, S.A., 2010. Sequence Stratigraphy and Diagenetic Facies the Second Frontier

Formation, Moxa Arch, Wyoming. In: Applied Sandstone Diagenesis-Practical

Petrographic Solutions for a Variety of Common Exploration, Development, and

Production Problems.

Vuillemin, A., Ndiaye, M., Martini, R., Davaud, E., 2011. Cement stratigraphy: Image probes

of cathodoluminescent facies. Swiss Journal of Geosciences.

Yang, S., Wang, Ya, Zhang, S., Wang, Yongchao, Zhang, Y., Zhao, Y., 2020. Controls on

reservoirs quality of the Upper Jurassic Mengyin formation sandstones in Dongying

Depression, Bohai Bay Basin, Eastern China. Energies.

Bab VI. OIL RECOVERY

90

BAB VI. HYDROCARBON RECOVERY

VI.1. Tipe Recovery Minyak dan Gas

Proses perolehan minyak terbagi

menjadi 3, yakni secara primer (primary

recovery), sekunder (secondary recovery)

dan tersier (tertiary recovery) (Gambar 6.1).

Proses perolehan secara primer berkaitan

dengan munculnya hidrokarbon secara alami

melalui rekahan yang disebut sebagai zona

rembesan minyak dan gas alam, maupun

yang melalui proses pengangkatan untuk

dibawa ke permukaan. Perolehan secara

primer ini memerlukan properti fisika dan

kimia tertentu dari hidrokarbon (seperti

densitas, kekentalan, Pressure Volume

Temperature - PVT dan lain – lain) serta

karakteristik tipe formasi batuan reservoar

yang beragam (Vishnyakov et al., 2020).

Proses ini melibatkan fase aliran tunggal dari

batuan reservoar ke permukaan, yang

dilakukan dengan membuat sumur pemboran. Pembuatan sumur pemboran ini

mengakibatkan terjadinya penurunan tekanan yang lebih besar dibandingkan tegangan

hidrostatis dan friksi pada pipa produksi. Ketika penurunan tekanan yang berlangsung di

sekeliling sumur dirasa kurang, maka metode pengangkatan tambahan melalui artificial

lifting (menggunakan pompa, gas lift, Electric Submersible Pump - ESP, dll) dapat digunakan

untuk meningkatkan aliran minyak ke permukaan.

Secondary recovery merupakan suatu teknik untuk meningkatkan perolehan minyak

dan gas bumi yang masih terjebak pada pori batuan. Terjebaknya fluida hidrokarbon pada

pori batuan reservoar batupasir dapat terjadi karena permeabilitas batuan reservoarnya yang

rendah (tight oil reservoirs) akibat proses diagenesis yang kompleks maupun karena

Gambar 6.1. Kondisi batuan reservoar pada

berbagai skala yang harus diperhatikan saat

produksi hidrokarbon.

Bab VI. OIL RECOVERY

91

mengandung heavy oil. Faktor lain yang menyebabkan fluida hidrokarbon dapat terjebak

pada pori adalah rasio kekentalan fluida yang kurang mendukung maupun karena adanya

tegangan kapiler dengan nilai yang beragam. Interaksi antara fluida dengan batuan

mengakibatkam fluida (baik air maupun minyak) melekat pada pori – pori batuan membentuk

oil-wet, water-wet ataupun mixed-wet (Gambar 6.1). Dengan demikian, fluida tertinggal pada

pori akibat adanya afinitas fluida pada batuan, sedangkan tegangan kapiler menyebabkannya

susah untuk mengalami mobilisasi atau perpindahan. Penerapan metode perolehan sekunder

umumnya dilakukan dengan mempertimbangkan karakteristik dari batuan reservoar agar

tidak terjadi kegagalan yang malah mengakibatkan koagulasi dan penyumbatan porositas

batuan. Proses recovery sekunder perlu dilakukan karena pada recovery primer faktor

perolehan umumnya tidak lebih dari 20%. Recovery sekunder sendiri bergantung pada proses

injeksi air maupun gas dengan kisaran faktor recovery mencapai 15 – 25%. Prosesnya

dilakukan dengan menginjeksikan air maupun gas melalui sumur injeksi ke reservoar.

Waterflooding merupakan metode perolehan minyak tahap lanjut yang dilakukan

dengan menginjeksikan air ke dalam reservoar melalui sumur injeksi untuk mendesak minyak

mengalir ke sumur produksi (Gambar 6.2). Waterflooding menjadi metode perolehan

sekunder yang paling umum digunakan pada proses ekstraksi secara konvensional maupun

pada reservoar yang mengandung fluida minyak berat (heavy oil). Penggunaan air dilakukan

karena faktor ketersediaan air yang melimpah, mudah diinjeksikan dan mampu menyebar ke

seluruh reservoar, lebih efisien dalam mendesak minyak dan keefektifan dari segi biaya.

Gambar 6.2 Mekanisme pendesakan minyak menuju ke sumur produksi dengan

menggunakan waterflooding

Dalam penanganan kasus reservoar dengan heavy oil, umumnya air dikombinasikan

dengan air panas maupun uap panas (metodenya disebut sebagai thermal energy injection).

Hal ini merupakan bagian dari metode perolehan tersier. Seperti halnya pada recovery primer,

Bab VI. OIL RECOVERY

92

efisiensi dari teknik waterflooding ditentukan oleh faktor dari dalam, yakni properti fisik

hidrokarbon, efisiensi dari proses pindahnya minyak dalam skala mikro, properti fluida

maupun batuan serta heterogenitas batuan. Pada akhirnya faktor recovery ini ditentukan oleh

faktor eksternal seperti bentuk arsitektur dari batuan reservoar, jumlah sumur produksi,

termasuk proses perpindahan air setelah injeksi dilakukan. Teknik recovery melalui

waterflooding ini memiliki kisaran faktor recovery mencapai 40 – 55% OIP (oil in place).

Tertiary recovery merupakan suatu metode yang digunakan untuk meningkatkan lebih

jauh volume perolehan minyak (Gambar 6.3). Teknik perolehan ini umum dikenal sebagai

Enhanced Oil Recovery (EOR). Teknik ini lebih mahal penerapannya, tetapi dapat

meningkatkan produksi sumur hingga mencapai 75%. Penerapannya sendiri umumnya

dilakukan pada kondisi reservoar yang mengandung minyak berat (heavy oil) ataupun

memiliki permeabilitas yang buruk. Metode tersier memiliki prinsip kerja dengan mengubah

properti asal (porositas dan permeabilitas) dari batuan reservoar, sedangkan perolehan

sekunder hanya melakukan pendorongan minyak menuju sumur produksi saja. Untuk

menentukan apakah suatu sumur perlu diterapkan EOR, hal ini memerlukan suatu studi detil

dan investigasi pada batuan reservoar, meliputi karakterisasi reservoar, pemodelan reservoar

dan simulasi.

Gambar 6.3. Tahapan perolehan minyak melalui penerapan teknologi ekstraksi

Bab VI. OIL RECOVERY

93

VI.1.1. Improved Oil Recovery (IOR)

Istilah IOR mengacu pada setiap penerapan teknik produksi minyak yang lebih

canggih selama berlangsungnya proses perolehan minyak. Teknik IOR ini meliputi semua

tipe penerapan teknologi yang menyebabkan peningkatan produksi minyak, baik berlangsung

pada tahap perolehan minyak primer, sekunder maupun tersier. Contoh dari aplikasi teknik

IOR adalah hydraulic fracturing atau pembuatan rekahan pada batuan untuk bisa meloloskan

fluida hidrokarbon yang terjebak atau memiliki permeabilitas rendah, acidizing atau

penggunaan larutan kimia asam, pembuatan sumur pemboran tambahan untuk

memperbanyak titik sumur produksi (infill drilling) dan penggunaan sumur horizontal

(Vishnyakov et al., 2020). Teknik IOR ini banyak diterapkan untuk memperoleh hidrokarbon

secara non-konvensional yang terdapat pada tight sand gas, shale gas maupun shale oil

maupun tipe deep reservoir lainnya.

VI.1.2. Enhanced Oil Recovery (EOR)

Untuk meningkatkan kecepatan dan memaksimalkan perolehan minyak, metode

ekstraksi tersier umumnya digunakan, metode ini umum disebut sebagai Enhanced Oil

Recovery (EOR) (Vishnyakov et al., 2020). Teknik ini umumnya dilakukan setelah ekstraksi

primer dan sekunder dilakukan (terutama setelah waterflooding). Teknik EOR dapat

dilakukan melalui 3 hal, yakni 1) dengan meningkatkan efisiensi pengangkutan fluida, 2)

modifikasi tegangan permukaan dari batuan reservoar dan 3) kombinasi dari kedua teknik.

Metode yang digunakan pada teknik EOR terbagi menjadi 4, yakni 1) Metode thermal

(menggunakan uap maupun air panas); 2) Injeksi gas; 3) Chemical dan 4) Lainnya. Metode

yang dilakukan dengan penggunaan bahan kimia antara lain polymer flooding, alkali/

surfactant/ polymer (ASP) flooding dan surfactant flooding. Sedangkan metode injeksi gas

diwakili oleh metode pelarutan atau percampuran gas (miscible or immiscible gasflooding).

Peningkatan efisiensi dalam mengekstrasi fluida hidrokarbon perlu dilakukan karena :

1) untuk mengurangi rasio mobilitas dari fluida yang diinjeksikan terhadap fluida yang dapat

dialirkan, 2) untuk menutup zona permeabel yang jenuh air sambil mengarahkan fluida

injeksi menuju zona jenuh minyak yang berpermeabilitas rendah.

a. Metode Thermal

Metode perolehan secara thermal yang dilakukan dengan menambahkan panas ke

minyak, terutama dimaksudkan untuk menurunkan kekentalannya. Hal ini akan

mengakibatkan rasio mobilitas antara minyak dan fluida yang terpindahkan menjadi lebih

Bab VI. OIL RECOVERY

94

menguntungkan. Metode thermal yang paling umum adalah steamflooding dan steam cycling.

Teknik ini mengalami perkembangan yang cukup pesat pada perolehan minyak melalui EOR,

dan efektif untuk minyak yang memiliki kekentalan antara 100 hingga 100.000 cp. Efisiensi

penyapuan minyak pada batuan reservoar dengan metode steamflooding memiliki

keterbatasan pada proses pemisahan densitasnya, sehingga untuk mengatasi keterbatasan

tersebut dapat didekati dengan metode steam-assisted gravity drainage (SAGD). SAGD

sendiri merupakan suatu metode yang bertujuan untuk meningkatkan efisiendi pemindahan

minyak dan kecepatannya dengan menggunakan pelarut tertentu. Penerapan SAGD sendiri

hanya dapat dilakukan pada kondisi reservoar yang tebal agar memiliki kapasitas ruang yang

cukup untuk menyebarkan uap panas.

b. Metode Kimia

Surfactant flooding merupakan salah satu tipe metode yang digunakan pada metode

non-thermal. Molekul surfaktan yang diletakkan pada bidang batas antara minyak/ air dengan

padatan/ fluida lain berfungsi untuk mengubah kebasahan batuan (wettability) maupun

menurunkan tegangan permukaan dari minyak/ air. Tegangan permukaan (Interfacial tension)

dan tekanan kapiler inilah yang umumnya menjadi penyebab dari terjebaknya minyak pada

ruang pori. Penggunaan molekul surfaktan yang mudah terserap pada permukaan minyak/ air

akan menurunkan nilai tegangan permukaan dan tekanan kapilernya, sehingga

memungkinkan minyak/ air tersebut untuk keluar dari ruang pori. Nilai tegangan permukaan

yang tinggi akan menghambat aliran minyak ke reservoar. Ketika surfaktan ini digunakan

bersamaan dengan alkali, hal ini akan menurunkan nilai tegangan permukaan hingga sangat

rendah hingga mendekati 0. Metode kombinasi ini disebut sebagai alkali/ surfaktan (AS).

Sayangnya keterbatasan dari metode ini adalah memiliki kekentalan larutan yang rendah

sehingga efisiensi penyapuan hidrokarbon pada batuan reservoar juga rendah. Untuk

meningkatkan performanya umumnya ditambahkan polimer dan disebut sebagaii metode

alkali-surfaktan-polimer (ASP) (Nasr-El-Din et al., 1992).

Polymer flooding menjadi metode EOR yang penting karena banyak diterapkan di

Cina. Polimer merupakan suatu molekul dengan rantai ikatan yang panjang. Metode ini

dilakukan untuk meningkatkan nilai perolehan hidrokarbon hingga 12% (Wang et al., 2009).

Sedikit penambahan polimer dapat meningkatkan kekentalan air, sehingga metode ini

berperan dalam meningkatkan rasio mobilitas dan mengakibatkan efisiensi penyapuan

minyak di reservoar menjadi lebih baik, terutama untuk kisaran kekentalan minyak sebesar

10 – 100 cp. Polimer memiliki keterbatasan kisaran temperature karena cenderung

Bab VI. OIL RECOVERY

95

mengalami kerusakan pada suhu tinggi (yakni diatas 200oF untuk tipe polimer

polyacrylamides). Penggunaan polimer lain yang memiliki stabilitas suhu yang tinggi

cenderung sensitif terhadap kandungan garam pada air.

c. Metode Injeksi Gas

Gas flooding merupakan suatu metode yang digunakan dengan menginjeksikan gas

(N2, CO2) pada tekanan tinggi sehingga gas tersebut akan dapat mengembang hingga

melarutkan minyak, menurunkan kekentalan dan meningkatkan aliran. Metode ini memiliki

kemampuan untuk melakukan pemindahan gas untuk mendapatkan residu minyak yang lebih

rendah dibandingkan metode waterflooding, dengan faktor perolehan berkisar 10 – 15%.

Peningkatan perolehan secara

teoritis melebihi 50% - 100%

dari Oil Initially in Place (OIIP).

Namun hal ini susah diperoleh

karena rasio mobilitas antara gas

dengan minyak yang tidak

menguntungkan, sehingga opsi

peningkatan perolehan dapat

dilakukan dengan skema water-

alternating-gas (WAG), yakni

penginjeksian gas yang dibuat

bersamaan dengan air. Metode lainnya yang dapat diterapkan adalah foam flooding yakni

penggunaan larutan surfaktan yang diinjeksikan bersamaan dengan gas (Surfactant-

Alternating-Gas/ SAG) (Farajzadeh et al., 2010) (Gambar 6.4.). Namun untuk memastikan

stabilitas foam yang baik untuk memindahkan minyak perlu diperhatikan karakteristik fisik

dan kimia surfaktan yang digunakan. Modifikasi pada metode foam ini dapat menurunkan

mobilitas gas untuk mendesak minyak agar terakumulasi menuju sumur produksi.

d. Metode Lainnya

Teknik EOR lainnya yang dapat melengkapi metode injeksi uap panas adalah Electrical

resistive (ER) atau pemanasan dengan menggunakan Electromagnetic radiation (EM).

Metode ER ketika dilewatkan pada reservoar akan bertindak sebagai resistor yang

menghasilkan panas secara langsung. Sedangkan pada pemanasan EM, gelombang

elektromagnetik berfrekuensi sangat tinggi akan meluas melalui reservoar dan diserap secara

Gambar 6.4. Skema gas flooding melalui SAG

(atau foam flooding)

Bab VI. OIL RECOVERY

96

langsung oleh molekul air. Sayangnya ketika metode ini dicoba untuk diterapkan pada

reservoar panas yang timbul hanya bersifat local dan tidak terdistribusi merata pada batuan

reservoar, sehingga kedua metode ini penerapannya harus dikombinasikan dengan

waterflooding. Ketika ER maupun EM sudah menghasilkan kapasitas panas yang tinggi, air

akan membawa energi panas tersebut lebih jauh ke reservoar. Teknik ini masih dalam tahap

pengembangan awal dan belum dilakukan pengujian di lapangan, tetapi dinilai mampu untuk

dapat mengekstrak medium-heavy hingga extra-heavy oil.

VI.2. Diagenesis vs IOR

Semua tahap diagenesis pada reservoar batupasir penting untuk menentukan tahapan

well treatment dan completion termasuk di dalamnya penerapan teknik IOR. Hal ini terjadi

karena variasi karakteristik batuan reservoar akan menentukan kualitas reservoar, terutama

terkait properti porositas dan permeabilitas. Mineral lempung autigenik maupun kehadiran

dari oksida besi yang umum dijumpai sebagai semen dari batupasir dapat menyebabkan

masalah pada proses komplesi fluida.

Mineral lempung memiliki luasan permukaan serta kapasitas tukar kation yang tinggi

(CEC- cation exchange capacity) (tabel 6.1) yang akan menentukan sifat dari lempung dalam

membentuk koloidal dan kemampuannya untuk mengembang (swelling) (Suryani, 2014).

Semakin besar kapasitas tukar kation dan luas permukaan yang dimiliki akan menyebabkan

mineral lempung memiliki sifat koloidal yang tinggi atau akan memiliki sifat keliatan.

Mineral lempung memiliki struktur internal dengan atom oksigen berada di antara lembar

tetrahedra Silika (Si) dan lembar oktahedra Alumina (Al) (Gambar 6.5). Struktur internal

kristal ini akan menentukan kemampuan mengembang dari mineral lempung. Apabila ikatan

antar lembar tersebut lemah, maka kontak dengan air akan menyebabkan meregangnya ikatan

antar lembaran akibat desakan air yang mengisi ruang antar lapisan kristal. Hal ini akan

mengakibatkan mineral lempung menjadi lebih mudah untuk mengembang (swelling).

Tabel 6.1. Luas permukaan/ 1 gr kuarsa dan kapasitas tukar kation dari beberapa mineral

lempung (S. a Ali et al., 2010)

Nama Mineral Luas permukaan (m2/gr) Kapasitas Tukar Kation

Kaolinite 22 3 – 15

Haloisit 2H2O 5 – 10

Haloisit 4H2O 40 – 50

Smektit 82 80 – 150

Bab VI. OIL RECOVERY

97

Nama Mineral Luas permukaan (m2/gr) Kapasitas Tukar Kation

Illit 113 10 – 40

Vermikulit 100 – 150

Klorit 10 - 40

Gambar 6.5. Struktur internal kristal lempung

Adapun pengaruh dari kehadiran mineral autigenik terhadap penerapan dari setiap

tahapan perolehan migas (hydrocarbon recovery) dapat dijelaskan sebagai berikut :

Kelompok Kaolinit

Kaolinit bersifat sangat stabil dan mudah bereaksi dengan larutan asam (hidroklorik,

formic, acetic) seperti halnya kuarsa. Kemampuan melekat semen kaolinit pada permukaan

host mineralnya sangat lemah serta memiliki ukuran individu partikel yang besar. Adanya

turbulensi fluida pada pori akan sedikit melekatkan kaolinit pada dinding substrat pori.

Kaolinit yang lebar dan longgar cenderung mudah termigrasi dan tersangkut pada rongga

antar pori (pore throat) sehingga dapat merusak permeabilitas batupasir.

Kelompok Smektit

Permasalahan produksi yang berkaitan dengan semen smektit 3xlipat lebih rumit

dibandingkan dengan semen kaolinit. Tipe lempung ini sangat sensitif terhadap air cenderung

mudah terpindahkan selama swelling dan jenuh air. Struktur interna; kristal dengan ikatan

Bab VI. OIL RECOVERY

98

yang lemah menyebabkan

ruang antar lapisannya mudah

dimasuki oleh molekul air

maupun organik sehingga kisi

kristalnya akan mengembang.

Banyaknya air yang bisa

mengisi kisi kristalya

tergantung tipe kation yang

ditukar, apabila Ca2+ maka air

yang terserap lebih sedikit

karena jarak antar lapisan

pada kristalnya pendek, tetapi

apabila pertukaran kation adalah Na+ maka penyerapan air akan berlangsung tanpa batas dan

menyebabkannya lebih mudah mengembang karena jarak antar lapisan pada kristalnya lebar

(Bbm and Moa, 2016) (Gambar 6.6). Identifikasi tipe smektit dengan Ca2+ atau Na+ dapat

dilakukan dengan menggunakan analisis SEM-EDS. Lempung dengan kandungan sodium

tinggi dapat mengembang dari 600 hingga 1000% dari volume asalnya (S. a Ali et al., 2010).

Sifat swelling ini dapat memperburuk sistem pori dan permeabilitas batuan.

Kelompok Illit

Ion K+ pada illit mudah mengalami pencucian (leaching) sehingga memungkinkan air masuk

pada lapisan kisi kristalnya dan menyebabkan lempung mengembang. Illit memiliki porositas

mikro dengan volume yang besar, dimana hal ini menjadi permasalahan keteknikan utama

karena pori tersebut dapat melekatkan air ke host mineral dan menghasilkan irreducible

water saturation (Swirr). Swiir merupakan saturasi air yang tertahan pada batuan akibat

pengaruh tekanan kapiler.

Mixed-layer Clay

Mixed layer clay menunjukkan bahwa mineral lempung membentuk campuran dari dua tipe

lempung. Kelompok ini terbagi atas 2 tipe berbeda : a) struktur mixed-layer pada umumnya,

b) struktur mixed-layer acak. Perbedaan struktur kristal ini akan menghasilkan beda

karakteristik dan nama spesifik mineralnya. Sebagai contoh, mixed-layer dari lempung klorit

dan smektit disebut sebagai mineral corrensite.

Gambar 6.6. Proses hidrasi air atau penambahan air

pada lempung smektit dengan kation Ca2+ dan Na+

(Bbm and Moa, 2016).

Bab VI. OIL RECOVERY

99

Kelompok Klorit

Komposisi kimia mineral klorit mengandung banyak unsur besi sehingga membuatnya

menjadi sangat sensitif terhadap larutan asam dan air pori yang kaya akan oksigen

(oxygenated water). Apabila batuan reservoar yang mengandung banyak klorit diinjeksikan

asam HCl, maka unsur besi akan terlepas dari ikatan kimia kristal, terlarut kemudian

terpresipitasi menjadi koloid hidroksida besi (Fe(OH)3). Koloid hidroksida tersebut tidak

akan bisa melalui pore throat yang sempit, sehingga pemberian tipe injeksi untuk recovery

perlu memperhatikan komposisi batuan reservoar dan atau mineral autigenik yang terbentuk

dari diagenesis. Rangkuman permasalahan reservoir akibat kehadiran mineral lempung dapat

dirangkum sebagai berikut:

Tabel 6.2. Karakteristik mineral lempung yang dapat menyebabkan permasalahan reservoar

Kelompok

Mineral

Komposisi Nama Mineral Masalah Reservoar

Utama

Kaolinit Al4[Si4O10] (OH)8 Kaolinit, Dickite,

Nacrite, Halloysite

Migrasi partikel halus

Smektit (1/2 Ca, Na)0,7 (Al,

Mg, Fe)4 [(Si, Al)8

O20] (OH)4 . nH2O

Monmorilonit,

Beidellite, Nontronite,

Hectorite, Saponite

Membentuk microporosity

dan sensitif terhadap air

Illit K1-1,5Al4 [Si7-6,5Al1-

1,5O20] (OH)4

Illit Membentuk microporosity

dan migrasi partikel halus

Mixed-

layer Clay

Illit-Smektit, Klorit-

Smektit, Klorit-

Vermikulit

Sensitif terhadap air,

membentuk microporosity

dan sensitif terhadap

larutan asam

Klorit (Mg, Fe, Al)12 [(Si,

Al)8O20] (OH)16

Klorit, Amesite,

Greenalite, Chamosite,

Clinochlore, Penninite

Sensitif terhadap larutan

asam

VI.2.1. Acid Stimulation Design

Desain stimulasi asam ini digunakan untuk menghilangkan kerusakan formasi akibat

drilling, komplesi maupun scaling untuk meningkatkan produktivitas sumur. Pengetahuan

tentang tipe semen dan komposisinya sebagai produk diagenesis menjadi penting untuk

menentukan perencanaan stimulasi asam. Tipe dari fluida stimulasi yang digunakan (acid

maupun freshwater) perlu menyesuaikan jenis mineral lempung yang hadir mengisi pori dari

batuan reservoar. Baik tipe grain-coating maupun pore-filling semen lempung akan

berinteraksi dan mengumpulkan fluida stimulasi dengan lebih banyak dibandingkan detrital

Bab VI. OIL RECOVERY

100

lempung. Perencanaan fluida ini berdasar pada hasil analisis X-ray diffraction (XRD).

Kegagalan dalam melakukan stimulasi fluida akibat adanya presipitasi hidroksida besi pada

ruang pori dapat terjadi karena reaksi antara lempung klorit yang larut dalam asam sambil

melepaskan kation besi. Walaupun demikian beberapa mineral lempung juga relatif sensitif

terhadap asam. Sensitifitas tersebut tampak dari kemampuan larutnya (Tabel. 6.3).

Tabel 6.3. Kelarutan relatif mineral lempung terhadap pemberian beberapa asam (HCl dan HF)

Mineral Lempung HCl HF

Kaolinit Pelarutan lemah Pelarutan lemah

Illit Pelarutan lemah Pelarutan lemah hingga sedang

Smektit Pelarutan lemah Pelarutan sedang

Klorit* Pelarutan tinggi Pelarutan tinggi

Mixed-layer Pelarutan bervariasi Pelarutan bervariasi

Catatan : * pelarutan disertai lepasnya unsur besi

Pada tipe mineral klorit di atas, proses pelarutan akan disertai dengan lepasnya ion

logam, sehingga diperlukan bahan kimia tambahan untuk menstabilkan logam besinya

(sequestering agent). Sequestering agent ini memiliki tipe yang bervariasi dan perlu

diperhatikan dampak ikutannya, seperti terdapat pada table 6.4.

Tabel 6.4. Perbandingan keuntungan dan kerugian yang diperoleh dari penerapan berbagai

macam jenis sequestering agent

Sequestering

agent

Keuntungan Kerugian

Citric acid Efektif pada temperature di atas

200oF

Akan terpresipitasi sebagai

kalsium sitrat ketika

penggunaannya berlebih

Campuran Citric

acid – Acetic

acid

Sangat efektif pada temperatur

rendah

Efisiensi menurun dengan cepat

pada temperatur di atas 150oF

Lactic acid Hanya terjadi sedikit perubahan pada

pengendapan kalsium laktat jika

penggunaan asam berlebih

Tidak efektif di atas 100oF

Acetic acid Tidak bermasalah terhadap

pengendapan dari kalsium laktat

Efektif pada suhu sekitar 160oF

Glauconic acid Hanya terjadi sedikit perubahan pada

pengendapan kalsium glukonat

Efektif pada suhu sekitar 150oF.

Penerapannya relative mahal

Tetrasodium salt

of EDTA

Penggunaan asam berlebih tidak

mengendapkan garam kalsium.

Lebih mahal penggunaannya

Bab VI. OIL RECOVERY

101

Sequestering

agent

Keuntungan Kerugian

Efektif pada suhu di atas 200oF.

Trisodium Salt

of NTA

Pada penggunaan yang agak berlebih

tidak mengendapkan garam kalsium.

Efektif pada suhu di atas 200oF.

Lebih murah daripada EDTA

tetapi lebih mahal daripada citric

acid

Prosedur stimulasi menggunakan asam yang diperlukan untuk memperbaiki terjadinya

kerusakan formasi (formation damage) dapat dirangkum sebagai berikut :

Tabel 6.5. Tahapan stimulasi untuk memperbaiki kerusakan formasi

Permasalahan

Padatan

lumpur

pemboran

Clay

swelling

Perpindahan

partikel halus

Presipitasi Perubahan

tingkat

keterbasahan

(wettability)

Tip

e S

tim

ula

si

Pelarut asam

(Acidization)

V

Perlu

pertimba

ngan

kelarutan

V V V

Perlu

pertimbangan

kelarutan

X

Pelarut

(Solvent)

X X V

Perlu

pertimbangan

kelarutan

V

Perlu

pertimbangan

kelarutan

X

Hydraulic

Fracturing

(IOR)

V V V V X

Surfaktan V

Mengguna

kan asam

Umumnya

mengguna

kan asam

Umumnya

menggunakan

asam

X V

Catatan : Tanda V – dapat dilakukan untuk mengatasi masalah, X – jangan dilakukan

Wettability menyatakan salah satu parameter petrofisika yang menunjukkan

kecenderungan dari suatu fluida untuk tidak saling bercampur, sehingga apabila terdapat dua

fluida yang bersinggungan dengan permukaan butir partikel sedimen maka salah satu fluida

akan bersifat membasahi permukaan butir tersebut. Hal ini akan menyebabkan timbulnya

tegangan adhesi dimana lempung atau partikel semen halus cenderung terikat pada

permukaan butiran. Penentuan wettabilitas ini penting karena dapat menyebabkan tekanan

kapiler batuan mampu memberikan dorongan sehingga fluida hidrokarbon dapat bergerak.

Besarnya wettabilitas ini tergantung pada :

Bab VI. OIL RECOVERY

102

a. Jenis mineral pada batuan reservoar

b. Ukuran butir sedimen penyusun batuan reservoar klastik (semakin halus ukuran butir akan

menghasilkan tegangan adhesi yang semakin besar)

c. Jenis hidrokarbon yang terdapat dalam minyak mentah

VI.2.2. Hydraulic Fracturing

Hydraulic fracturing pada stimulasi sumur dimaksudkan untuk meningkatkan

produktivitas sumur dengan memperbesar permeabilitas batuan reservoar. Pelaksanaannya

dilakukan dengan memompakan fluida ke batuan reservoar dengan kecepatan tertentu untuk

menghasilkan rekahan pada batuan. Secara konvensional, upaya mempertahankan

permeabilitas ini bergantung pada metode sand propping untuk menahan rekahan agar tetap

terbuka.

Faktor yang penting dalam pelaksanaan teknik ini adalah pemilihan fluida yang

digunakan untuk membuat rekahan, dimana fluida yang digunakan harus sesuai dengan jenis

komponen diagenesisnya. Pada beberapa sumur, penerapan frakturasi ini dilakukan dengan

menggunakan crude oil sebagai base fluid, terutama untuk menghindari swelling clay.

Beberapa mineral diagenetik yang berpotensi menyebabkan kerusakan formasi dan upaya

perbaikannya dapat dirangkum sebagai berikut (S. a Ali et al., 2010):

Tabel 6.6. Pengaruh mineral diagenetik dalam menyebabkan kerusakan formasi (formation

damage) dan prosedur perlakuan remedial yang sesuai untuk recovery hidrokarbon.

Photo SEM Potensi

Masalah

Hal yang

harus

dihindari

Hal yang

harus

dilakukan

Upaya

mengurangi

permasalahan

Min

eral

Silika

Presipitasi

silika

Stimulasi HF

dengan

konsentrasi

tinggi

Stimulasi HF

dengan

konsentrasi

rendah

Injeksi asam

dengan HCl/HF;

memompakan

asam dengan

konsentrasi

rendah (preflush

dan afterflush)

Kaolinit

Migrasi

partikel

halus

Fluida

dengan

kecepatan

aliran tinggi

Kecepatan

aliran rendah

Penggunaan

stabilizer

lempung yang

sesuai

Bab VI. OIL RECOVERY

103

Photo SEM Potensi

Masalah

Hal yang

harus

dihindari

Hal yang

harus

dilakukan

Upaya

mengurangi

permasalahan

Illit

Mikro-

porositi

Fresh-water

system

KCl atau

sistem

hidrokarbon

Injeksi asam

dengan HCl/HF;

memompakan

asam yang sesuai

dengan

konsentrasi

rendah (preflush

dan afterflush)

Smektit

Montmoril

onit

Swelling

Mixed-

layer Illit-

Smektit

Klorit

Presipitasi

hidroksida

besi

Injeksi fluida

kaya oksigen,

pH>3,5

Sistem asam,

reagen kimia

yang

mengikat

oksigen

terlarut di

fluida

Injeksi asam

dengan HCl/HF;

pengikatan

dengan asam

organik yang

sesuai

Chamosite

Mixed-

layer

Klorit-

Smektit

Swelling,

Presipitasi

hidroksida

besi

Fresh-water

system,

Injeksi fluida

kaya oksigen,

pH>3,5

KCl atau

sistem

hidrokarbon

Injeksi asam

dengan HCl/HF;

pengikatan

dengan asam

organik yang

sesuai

Pseudo-

matrix

dari

kuarsa,

chert,

feldspar

Mobilitas

partikel

halus

Fluida

dengan

kecepatan

aliran tinggi

Kecepatan

aliran rendah

Injeksi asam

dengan HCl/HF;

pemompaan asam

IIBF4

Kalsit

Presipitasi

kalsium

florida

Kontak asam

HF dengan

ion kalsium

HCl atau

CH3COOH

Pengaturan

bertahap dalam

injeksi HF

Dolomit

Bab VI. OIL RECOVERY

104

Photo SEM Potensi

Masalah

Hal yang

harus

dihindari

Hal yang

harus

dilakukan

Upaya

mengurangi

permasalahan

Siderit

Presipitasi

hidroksida

besi

Injeksi fluida

kaya oksigen

Sistem asam,

reagen kimia

yang

mengikat

oksigen

terlarut di

fluida

Injeksi asam

dengan HCl/HF;

pengikatan

dengan asam

organik yang

sesuai

Hematit

Pirit

Presipitasi

hidroksida

besi,

produksi

sulfat

Injeksi fluida

kaya oksigen,

fluida

mengandung

Ba2+, Sr2+,

Ca2+

Flu

ida

Kalsium

Scaling

(Gipsum –

CaSO4.

2H2O)

Fluida

mengandung

sulfate,

Injeksi fluida

kaya oksigen,

Fluida non

sulfat,

penghambat

scaling

Penggunaan

pelarut yang

sesuai

Barium

Scaling

(Barit –

BaSO4)

Tanpa pemberian

pelarut

Stronsium

Scaling

(Celestite)

Tanpa pemberian

pelarut

Sulfat

Scaling Fluida

mengandung

barium,

stronsium

dan kalsium

Penghambat

scaling,

fluida tanpa

unsur alkali

tanah

Penggunaan

pelarut yang

sesuai

VI.3. Diagenesis vs Secondary Recovery

Kondisi lingkungan pengendapan diyakini sebagai faktor pengontrol karakteristik

internal dan eksternal reservoar batupasir, tetapi perubahan yang berlangsung paska

pengendapan (seperti kompaksi, sementasi dan pelarutan) juga memberikan pengaruh yang

signifikan pada properti porositas dan permeabilitas. Presipitasi dari mineral diagenetic akan

dapat mengubah kapasitas penyimpanan dan kondisi pengaliran fluida. Bahkan permeabilitas

Bab VI. OIL RECOVERY

105

lebih mudah terubah daripada kondisi porositasnya. Diantara berbagai mineral diagenetik,

mineral lempung memiliki efek yang lebih besar dalam mempengaruhi kualitas reservoar.

Hal ini terjadi karena sifat reaktifnya yang lebih tinggi dan luas permukaan yang dimiliki.

Dengan demikian keberhasilan metode recovery bergantung pada jumlah dan jenis dari

lempung autigenik yang menempati ruang pori.

VI.3.1. Pengaruh Semen Lempung terhadap Waterflooding

Injeksi air tawar ke dalam formasi batuan yang mengandung minyak dilakukan untuk

meningkatkan perolehan hidrokarbon. Permasalahan yang umum dijumpai Ketika injeksi

dilakukan adalah menutupnya sebagian maupun keseluruhan dari zona porous yang berada di

dekat lubang sumur. Akibatnya tekanan injeksi perlu ditingkatkan dan/ atau kecepatan

injeksinya perlu diturunkan. Penutupan atau kerusakan permeabilitas ini dihasilkan oleh

adanya kontaminan (seperti bakteri, detritus organik seperti diatom, lempeng coccolith) pada

air injeksi maupun koloid lanau dan lempung akibat lempung yang mudah mengembang dan

mengkerut. Hal ini dapat diatasi dengan pemberian filter maupun penambahan bahan kimia

kalsium klorida (CaCl).

Reservoar batupasir yang mengandung mineral lempung sensitif (smektit dan mixed-

layer clays) zona porous akan mudah tertutup jika air injeksi lebih kecil salinitasnya

dibandingkan dengan salinitas formasi batuan. Sebaliknya pada batupasir yang mengandung

lempung non-sensitif (illit dan kaolinit), perubahan pH dari air injeksi akan menyebabkan

penutupan dari zona porous. Oleh karena itu penyesuaian air injeksi terhadap tipe lempung

autigenik perlu dilakukan.

Pada pemboran lepas pantai, injeksi umumnya dilakukan dengan menginjeksikan air

laut. Walaupun demikian, komposisi kimia dari air laut ini harus ditentukan terlebih dahulu.

Disamping itu air laut yang akan diinjeksikan perlu disaring dan disterilisasi dahulu untuk

menghindari penyumbatan oleh partikel halus.

VI.4. Diagenesis vs Tertiary Recovery

Sebelum menerapkan teknik EOR, beberapa pertimbangan terkait aspek

sedimentologi termasuk jenis batupasir, kerangka butir sedimen dan kualitas reservoar

penting dilakukan untuk mengetahui distribusi ruang pori dan penghalang yang

mempengaruhi aliran fluida. Aliran fluida pada batupasir tergantung pada kombinasi dari

proses primer dan sekunder. Proses primer tersebut tercermin pada orientasi kerangka butir,

Bab VI. OIL RECOVERY

106

struktur sedimen dan tipe lapisan, sedangkan proses sekunder berkaitan dengan produk

diagenesis.

VI.4.1. Pengaruh Mineral Autigenik terhadap Metode Thermal

Minyak berat, kental dan memiliki gaya berat yang rendah pada kondisi temperatur

reservoar akan susah dalam memindahkan fluida minyak, tetapi tetapi proses pemanasan akan

dapat meningkatkan mobilitas dan efektifitas dari perolehan minyak. Penerapan panas

dilakukan dengan menginjeksikan fluida panas seperti uap panas maupun air panas atau

dengan membakar minyak mentah secara in situ di reservoar (disebut sebagai in situ

combustion atau fire flooding). Uap panas yang diinjeksikan ini akan meningkatkan

temperatur reservoar dan mendukung mobilitas dari minyak berat.

Permasalahan yang timbul dari penerapan metode thermal ini adalah menyebabkan

autigenik lempung cenderung menyebar dan bermigrasi, menyebabkan penutupan dari ruang

pori sehingga mengurangi permeabilitas batuan. Ketika mineral monmorilonit terkena uap

yang sangat panas, maka akan mengalami dehidrasi tetapi permeabilitas batuan menurun

ketika sampel terkena air.

Pada temperatur sangat tinggi, kelarutan silika akan meningkat. Kecepatan pelarutan

silika ini akan memberikan informasi jika pelarutan berlangsung dekat sumur injeksi atau

pada beberapa radius dari sumur injeksi.pH larutan sama pentingnya dengan factor yang

mempengaruhi keterdapatan dan kecepatan pelarutan silika. Pelarutan silika ini relatif

konstan pada pH 9, tetapi pelarutan dari kuarsa dan silika amorf berlangsung pada pH 9,5 (S.

A. Ali et al., 2010). Uap yang diinjeksikan ke sumur memiliki temperatur sekitar 260oC dan

bersifat alkalin, sehingga dapat melarutkan kuarsa dan mineral silika lainnya. Untuk

menentukan suhu uap, pengamatan dilakukan terhadap terjadinya trasfromasi dari beberapa

mineral indikator sebelum dan sesudah dilakukan injeksi uap panas (Tabel 6.4).

Tabel 6.7. Suhu Transformasi Mineral Sebagai Indikator Suhu Maksimum Uap Panas

Suhu (oC) Mineral Transformasi

177 Glaukonit Perubahan warna dari hijau terang menjadi hijau kelabu

204 Glaukonit Perubahan warna dari hijau terang menjadi kelabu atau

kelabu coklat

249 Illit Peak XRD meruncing dari 10Ǻ dan mixed-layer menghilang

260-371 Klorit Dekomposisi, peak 7,2Ǻ dan 3,55Ǻ menurun dan intensitas

14,5Ǻ meningkat

371-427 Klorit Dekomposisi dan menjadi amorf

400-450 Klorit Brucite Dehydroxylation

Bab VI. OIL RECOVERY

107

Suhu (oC) Mineral Transformasi

500-600 Kaolinit Metakaolin

550-600 Dolomit Kalsit + MgO

600-700 Klorit Dekomposisi

>700 Monmorilonit Dekomposisi

>700 Illit Dekomposisi

VI.4.2. Pengaruh Mineral Autigenik terhadap Chemical flooding

a. Surfactant Flooding

Teknik ini digunakan

untuk menurunkan tegangan

permukaan dan memindahkan

minyak yang tertinggal oleh

proses waterflooding maupun

metode secondary recovery

lainnya (Lin et al., 2020) (Gambar

6.7). Yang mempengaruhi

efisiensi dari surfaktan adalah hilangnya surfaktan saat berinteraksi dengan batuan reservoar.

Jika hilangnya surfaktan berlebih, maka surfaktan akan menurun dengan cepat dari slug ke

reservoar, akibatnya akan kehilangan kemampuan untuk menurunkan tegangan permukaan

antara minyak dengan air. Terdapat 3 mekanisme penurunan surfaktan, yakni a) teradsorpsi

pada permukaan mineral, b) reaksi surfaktan dengan ion pada reservoar brine maupun

pelarutan mineral dari batuan reservoar, dan c) reaksi dengan komponen tertentu dari minyak

mentah.

Lempung autigenik pada reservoar batupasir mempengaruhi kinerja injeksi surfaktan

melalui 3 cara. Lempung tertentu dapat berinteraksi dengan surfaktan dan fluida terkait untuk

menurunkan permeabilitas. Pertukaran ion pada lempung mengakibatkan lepasnya ion

divalen ke dalam surfactant slug sehingga menghalangi kemampuan surfaktan dalam

memindahkan minyak. Surfaktan sangat mudah teradsorpsi pada permukaan lempung

daripada silika. Banyak mineral lempung yang mengandung ion divalen Ca2+ dan Mg2+ dari

hasil pertukaran kation lempung dengan surfaktan, sehingga hal ini akan menghasilkan

presipitasi untuk memindahkan surfaktan keluar dari fluida minyak. Jika divalent ion ini

sangat banyak maka akan merugikan proses surfaktan. Dengan demikian penyerapan

surfaktan pada lempung akan menurunkan efektifitas dari surfactant flooding. Tipe surfaktan

Gambar 6.7. Mekanisme surfaktan dalam memindahkan

minyak yang terikat pada permukaan butir silika (Lin et

al., 2020)

Bab VI. OIL RECOVERY

108

ionic dan nonionik mudah teradsorpsi pada permukaan lempung montmorillonite. Muatan

positif dari kationik surfaktan dapat tertarik ke muatan negatif dari permukaan monmorillonit

dan tertahan akibat gaya elektrostatik.

Reservoar batupasir dengan lempung smektit yang membentuk pore-lining cement,

saat diinjeksikan surfaktan maka semen smektit akan mengadsorpsi surfaktan,

mengikatkannya pada butir pasir, termigrasi dan kemudian menutup pore throat. Akibatnya

permeabilitas akan menurun. Sebaliknya pore-lining cement dari kaolinit dapat menghalangi

penurunan permeabilitas saat bereaksi dengan surfaktan.

b. Polymer Flooding

Polymer flooding dilakukan dengan menambahkan polimer dengan konsentrasi 250

hingga 1500 ppm ke dalam air injeksi. Larutan polimer ini akan meningkatkan rasio mobilitas

air-minyak. Untuk meningkatkan kekentalan, polimer mengubah permeabilitas batuan

reservoar dan menurunkan

mobilitas efektif dari air

injeksi. Ketika permeabilitas

batuan reservoar menurun,

polimer dengan konsentrasi

yang rendah dapat digunakan

untuk mendapatkan mobilitas

yang setimbang. Konsentrasi

polimer ini memegang

peranan penting dalam

menentukan efektifitas larutan

polimer. Dua tipe polimer

yang digunakan adalah sintetik polimer (polyacrylamide) dan polimer biologik

(polysaccharide) (S. a Ali et al., 2010). Tipe polimer sintetik kurang sensitif terhadap salinitas

air pori tetapi lebih mahal dan harus difilter untuk menghilangkan sel bakteri yang dapat

menutup formasi batuan reservoar.

Adsorpsi polimer terbesar sering dijumpai pada mineral lempung (monmorilonit, illit

dan kaolinit. Adsorpsi ini akan meningkat seiring dengan meningkatnya salinitas air injeksi.

Beberapa polimer juga dapat menyebabkan swelling dari Na-monmorillonit. Jika autigenik

lempung pada batupasir sensitif terhadap air, serta injeksi polimer mengandung air yang

kurang salin dibandingkan air formasi, maka hal ini akan mengakibatkan penutupan pori dari

swelling dan/ atau migrasi lempung. Investigasi terhadap geometri dan ukuran pori juga

Gambar 6.8. Mekanisme terjebaknya polimer pada ruang

pori (la Cruz Vivanco and Alberto., 2017)

Bab VI. OIL RECOVERY

109

diperlukan untuk menentukan banyaknya polimer yang diinjeksikan, hal ini karena polimer

akan mengisi dan terjebak pada ruang pori (la Cruz Vivanco and Alberto., 2017).

c. Alkaline Flooding

Penambahan larutan alkalin (Alkaline flooding) merupakan bagian dari tahap

perolehan tersier. Metode ini relatif paling murah diantara metode EOR lainnya. Asam

organik (HA) yang terbentuk alami pada minyak mentah akan berekasi dengan larutan alkalin

(seperti sodium hidroksida, sodium silikat maupun sodium karbonat) untuk menghasilkan

bahan menyerupai deterjen (pada bidang batas minyak terhadap air (Mahdavi and Zebarjad,

2018). Nilai perolehan dari penerapan teknik ini jauh lebih besar dari teknik waterflooding

pada secondary recovery karena dapat menurunkan tegangan permukaan, mengubah tingkat

keterbasahan dan mengubah bidang batas minyak- air maupun cairan-padatan. Keberhasilan

penerapan teknik ini tergantung pada keterbasahan formasi batuan asal, geometri pori

batupasir, dan keterdapatan komponen mineralogi batuan reservoar yang bereaksi dengan

kimia alkalin (terutama mineral lempung) (Lyons, 2010).

Gas CO2 dan H2S yang umumnya hadir di minyak dapat bereaksi dengan NaOH

membentuk Na2S dan Na2CO3. Jika gas tersebut terkonsentrasi berlebih maka ion Ca2+ dan

Mg2+ di air pori akan menurunkan alkali dan membentuk presipitasi hidroksida.

Mineral anhidrit (CaSO4) ataupun gipsum (CaSO4 .2H2O) ketika bereaksi dengan

larutan alkalin akan membentuk Ca(OH)2 yang tidak mudah larut, sehingga hal ini akan

merusak proses penambahan alkalin.

Bahan Bacaan/Referensi

Ali, S. a, Clark, W.J., Moore, W.R., Dribus, J.R., 2010. Diagenesis and Reservoir Quality.

Oilfield Review 22, 14–27.

Bbm, D., Moa, O., 2016. Comparative Analysis of the Effect of Cation Exchange Capacity

(CEC) on Raw and Treated Nigerian Bentonitic Clay Samples. Journal of Scientific and

Engineering Research 3, 177–182.

Farajzadeh, R., Andrianov, A., Zitha, P.L.J., 2010. Investigation of immiscible and miscible

foam for enhancing oil recovery. Industrial and Engineering Chemistry Research 49,

1910–1919.

la Cruz Vivanco, D., Alberto., C., 2017. Surfactant and polymer retention in chemical

enhanced oil recovery processes.

Bab VI. OIL RECOVERY

110

Lin, Y., Genzer, J., Dickey, M.D., 2020. Attributes, Fabrication, and Applications of

Gallium-Based Liquid Metal Particles. Advanced Science 7.

Lyons, W.C., 2010. Chapter 5 - Enhanced Oil Recovery Methods. In: Lyons, W.C.B.T.-W.G.

to R.E. (Ed.), . Gulf Professional Publishing, Boston, pp. 279–310.

Mahdavi, E., Zebarjad, F.S., 2018. Chapter Two - Screening Criteria of Enhanced Oil

Recovery Methods. In: Bahadori, A.B.T.-F. of E.O. and G.R. from C. and U.R. (Ed.), .

Gulf Professional Publishing, pp. 41–59.

Nasr-El-Din, H.A., Hawkins, B.F., Green, K.A., 1992. Recovery of residual oil using the

alkali/surfactant/polymer process: effect of alkali concentration. Journal of Petroleum

Science and Engineering 6, 381–401.

Suryani, I., 2014. Kapasitas Tukar Kation (Ktk) Berbagai Kedalaman Tanah Pada Areal

Konversi Lahan Hutan Cation Exchange Capacity (Cec) Soil Depth in Various Areas of

Forest Land Conversion. Jurnal Agrisistem, Desember 10, 99–106.

Vishnyakov, V., Suleimanov, B., Salmanov, A., Zeynalov, E., 2020. Oil recovery stages and

methods. Primer on Enhanced Oil Recovery 53–63.

Wang, C., Li, G., Reynolds, A.C., 2009. Production Optimization in Closed-Loop Reservoir

Management. SPE Journal 14, 506–523.

111

Glosarium

Air meteorik Air yang terbentuk dari proses kondensasi di atmoster dan turun

sebagai hujan maupun salju serta menggenang sebagai air

permukaan (termasuk air danau dan sungai)

Aluminosilikat Mineral-mineral yang memiliki komposisi kimia unsur aluminium,

silikon, dan oksigen

Argillaceous Batuan sedimen yang mengandung mineral lempung

Artificial lifting Metode pengangkatan tambahan untuk meningkatkan aliran minyak

ke permukaan

Autochton Material yang terbentuk pada lingkungan pengendapan tertentu

Bioturbasi Struktur sedimen berupa jejak aktivitas organisme berupa

penerobosan untuk mencari makan maupun berlindung dari arus

Burial Penimbunan atau penumpukan sedimen oleh material sedimen baru

yang diendapkan diatasnya

Capillary bound fluida yang terdapat pada ruang pori yang sempit

Water

Cathodoluminiscence Tipe analisis kualitatif yang memanfaatkan pendaran sinar yang

dikeluarkan oleh sampel sayatan batuan dan diamati menggunakan

mikroskop elektron

Core Sampel atau contoh inti batuan yang diambil dari bawah permukaan

melalui pengeboran

Concavo-convex Kontak antar butir sedimen yang bersentuhan membentuk cembung

contact dan cekung

Deposisi Proses pengendapan dari material rombakan hasil pelapukan pada

suatu lingkungan tertentu

Diagenesis Perubahan fisika dan kimia yang berlangsung setelah material

sedimen diendapkan dan sebelum mengalami metamorfisme.

Difraksi Kecenderungan gelombang yang dipancarkan dari sumber melewati

celah yang terbatas untuk menyebarkan ketika merambat

Disconformity Ketidakselarasan yang terbentuk karena terjadinya erosional tanpa

berlangsungnya proses pengendapan

112

Ductile Sifat suatu material yang mudah berubah bentuk atau mengalami

deformasi ketika diberikan tekanan

Enhanced Oil Metode ekstraksi hidrokarbon yang digunakan untuk memaksimal

Recovery kan perolehan minyak setelah recovery primer dan sekunder

dilakukan

Eogenesis Tahap awal diagenesis yang berlangsung sesaat setelah sedimen

diendapkan

Fasies suatu massa batuan yang dikelompokkan berdasarkan parameter,

litologi, struktur fisik, dan biologinya menjadikan batuan tersebut

berda dengan batuan disekitarnya, baik secara vertikal maupun

lateral

Filit Batuan metamorf berfoliasi yang mengandung mineral kuarsa,

lempung serisit dan klorit serta mika putih berbutir halus dengan

orientasi tertentu

Floodplain Dataran yang berbatasan langsung dengan sungai, dan merupakan

endapan sungai yang tertinggal setelah sungai meluap dan terjadi

banjir

Framboid Morfologi dari kristal yang menyerupai bola, umumnya menyatakan

bentuk mineral pirit

Formation damage Kerusakan formasi di sekitar lubang sumur yang menyebabkan

pengurangan kemampuan aliran dari fluida reservoar di bawah

kemampuan asalnya.

Glaukonit Mineral ubahan yang terbentuk secara insitu pada lingkungan laut

dangkal pada kondisi sub-oxic

Grain-coating Semen yang tumbuh mengelilingi atau melingkupi permukaan luar

butir

Heavy oil Minyak yang memiliki tingkat kekentalan tinggi sehingga tidak

mudah mengalir menuju sumur produksi pada kondisi reservoar

normal

Hidrokarbon senyawa kimia yang tersusun atas atom karbon (C) dan atom

hidrogen (H), contoh minyak dan gas alam

Hyperpycnal Aliran densitas suspensi yang lebih besar dari arus air

Illit Mineral lempung hasil ubahan mineral mika muskovit

113

Irreducible water Saturasi atau kejenuhan air dimana seluruh cairan tertahan di pori

akibat cenderung lekat pada permukaan pori

saturation batuan karena pengaruh tekanan kapiler

Kaolinit Mineral lempung berwarna putih yang terbentuk dari proses hidrasi

mineral feldspar, memiliki rumus kimia [Al4(Si4O10)(OH)2]

Kompaksi Proses pemadatan yang disebabkan oleh adanya tekanan maupun

pembebanan yang menyebabkan orientasi antarbutir semakin rapat

Litifikasi Proses konsolidasi material lepasan menjadi satu kesatuan yang lebih

solid berupa batu

Long contact Kontak antar butir sedimen yang bersentuhan memanjang

Mesogenesis Tahap diagenesis lanjut akibat penambahan tekanan pada kedalaman

besar

MICP Metode pengukuran untuk mengetahui ukuran dan distribusi

porositas pada batuan yang dilakukan dengan menginjeksikan gas

merkuri (Hg) ke dalam ruang pori

Moldic Tipe porositas berbentuk cetakan butiran sedimen maupun fosil yang

telah terlarutkan

Oil/ water wet Kondisi dimana suatu batuan memiliki sudut kontak fluida minyak

maupun air terhadap batuan dengan nilai > 90o.

Oscillatory zoning Bentuk lingkaran konsentris yang ditunjukkan oleh warna

interferensi maupun variasi perubahan sudut pemadaman dari bagian

pusat kristal ke tepi ketika mineral diamati menggunakan analisis

cathodoluminiscence

Overprint Keadaan dimana pola diagenetik awal ditindih oleh pola diagenetik

akhir

Oxygenated water Tipe air yang memiliki kadar oksigen lebih tinggi

Permeabilitas Kemampuan suatu batuan untuk mengalirkan fluida formasi

Porositas Ruang antar butir pada batuan yang dapat terisi oleh fluida, seperti

air tawar/ air asin, minyak maupun gas alam.

Pore throat Saluran sempit yang menghubungkan ruang antar pori

Pseudomatriks Material remukan atau hancuran dari fragmen batuan argillaceous

Paraautochthonous Sedimen yang memperlihatkan karakter antara hasil perpindahan

dari tempat lain maupun asli terbentuk pada lingkungan tersebut

Pore-filling Semen yang mengisi ruang pori antar butir

114

Point contact Kontak antar butir sedimen yang saling menyudut

Quartzarenite Klasifikasi tipe batupasir yang mengandung >95% kuarsa

Quartz Overgrowth Pertumbuhan semen silika dari permukaan terluar butir akibat

presipitasi dari larutan jenuh silika

Rekristalisasi Keadaan dimana struktur kristal baru terbentuk tanpa mengubah

komposisi kimia awal

Sabak (slate) Batuan kaya akan lempung berbutir halus yang mengalami

metamorfisme regional derajat rendah sehingga membentuk

lembaran foliasi

Secondary recovery Teknik untuk meningkatkan perolehan minyak dan gas bumi yang

masih terjebak pada pori batuan

SEM Tipe analisis kualitatif dan semi kuantitatif menggunakan mikroskop

electron untuk mengetahui informasi terkait morfologi atau bentuk

dan ukuran mineral, topografi atau tekstur permukaannya

Sementasi Presipitasi larutan kimia jenuh yang membentuk mineral sekunder

dan menempati ruang antar butir maupun mengelilingi butir

Serpih (shale) Batuan sedimen klastik berbutir halus dengan ciri terdapat laminasi

tipis atau perlapisan sejajar dengan ketebalan <1cm (struktur disebut

bedding fissility)

Sikuen stratigrafi Studi stratigrafi yang berkaitan dengan kerangka urutan waktu

pengendapan dari lapisan yang relatif selaras dan berhubungan

secara genetik, dibatasi oleh bidang ketidakselarasan atau bidang

keselarasan yang setara dengannya.

Smektit Mineral lempung yang bersifat mudah mengembang dan mengkerut

Sortasi Derajat keseragaman ukuran butiran pada suatu batuan. Jika ukuran

butir cenderung sama, maka dikatakan memiliki sortasi yang baik.

Namun, jika ukurannya bervariasi dikatakan memiliki sortasi yang

buruk

Sphericity Derajat kebolaan dari butir sedimen klastik akibat interaksi dengan

permukaan selama tertransportasi

Sucrosic Bentuk morfologi mineral yang menyerupai butiran gula, umumnya

digunakan untuk menyatakan bentuk morfologi pirit

Suture contact Kontak antar butir yang menghasilkan bidang batas tidak teratur

115

Surface relaxivity Kemampuan permukaan butiran untuk menyebabkan proton relaks

atau kehilangan orientasi

Tekstur Kenampakan yang berkaitan dengan ukuran, bentuk butir serta

susunan antar butir

Telogenesis Tahap akhir diagenesis yang berlangsung karena adanya

pengangkatan batuan sedimen pada kedalaman besar ke permukaan

Uplift Proses pengangkatan lapisan batuan akibat pengaruh tektonik

Vermicular Bentuk menyerupai cacing yang merupakan salah satu kumpulan

morfologi mineral kaolinit pada pengamatan SEM

Waterflooding Metode perolehan minyak tahap lanjut yang dilakukan dengan

menginjeksikan air ke reservoar untuk mendesak minyak menuju

sumur produksi

Well-completion Tahapan yang dilakukan setelah pekerjaan pemboran, logging dan

pemasangan casing pada sumur pemboran dilakukan

Well log Pencatatan rinci data sumur pemboran untuk merekan karakteristik

formasi batuan yang ditembus oleh lubang bor

XRD Identifikasi dan analisis fasa dari suatu material yang berupa serbuk

material anorganik berupa polikristalin maupun amorf berdasarkan

difraksi sinar-X

116

Profil Penulis

Rosmalia Dita Nugraheni lahir di kota Jombang, Jawa Timur, 11

Januari 1986 merupakan dosen tetap Prodi Teknik Geologi, Fakultas

Teknologi Kebumian dan Energi, Universitas Trisakti sejak tahun 2017.

Mata kuliah yang diampu meliputi Mineralogi, Petrologi, Petrografi,

Geokimia Mineral dan Non Konvensional Energi. Saat ini menjabat

sebagai Kepala Praktikum Geokimia Anorganik pada Lab. Geokimia.

Penulis memiliki pengalaman bekerja sebagai peneliti pada Pusat

Penelitian dan Pengembangan Teknologi Minyak dan Gas Bumi – LEMIGAS dari tahun

2009 hingga 2011, yang mengkaji karakterisasi formasi dan penilaian kualitas batuan

reservoar. Selama bekerja penulis aktif terlibat pada proyek strategis terkait Tight Sand

Gas, Deep Reservoir, Coal Bed Methane bersama perusahaan migas besar. Penulis telah

menyelesaikan studi S-2 di Geoscience Department, Faculty of Engineering, Universiti

Teknologi Petronas (UTP), Malaysia pada tahun 2015, melalui jalur beasiswa universitas.

Pada tahun 2013 mendapatkan Research Award dari AAPG Foundation – Alexander &

Geraldine Wanek Memorial Grant dan Student Travel Grant pada 75th EAGE Conference

and Exhibition incorporating SPE EUROPEC di UK. Pendidikan S-1 diperoleh dari

Jurusan Teknik Geologi, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada (UGM) pada tahun

2009 dengan predikat Cumlaude. Sejak tahun 2011 aktif menulis dan telah menghasilkan

7 publikasi terindeks SCOPUS, 11 artikel dan poster pada konferens Internasional dan

Nasional serta 1 jurnal terindeks SINTA 2. Tahun 2020 mendapat predikat Best Presenter

pada 3rd International Conference on Earth Science, Mineral and Energy. Aktif terlibat

dalam kegiatan organisasi professional untuk mengembangkan pengalaman dan jejaring

komunikasi dengan menjadi pengurus pada Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI), IAGI

Pengurus Daerah DKI Jakarta, Masyarakat Geologi Ekonomi Indonesia (MGEI) dan

Indonesian Society of Petroleum Geologists (ISPG). Dipercaya menjadi ketua acara CEO

Forum dan Indonesia’s Explorer-Developer Collegium (IEDC) 2021. Menjadi editor dan

reviewer dari IAGI Journal dan Indonesian Journal of Economic Geology (IJEG) dan

Journal of Geochemical Exploration (SCOPUS Q1) dari Elsevier.

Naily Salsabila Setiawan lahir di Boyolali, 28 Mei 2000, merupakan

mahasiswi program studi Teknik Geologi, Fakultas Teknologi Kebumian

dan Energi, Universitas Trisakti Angkatan 2019. Saat ini menempuh

perkuliahan di semester 5 dan menjadi awardee beasiswa penuh dari OSC

Medcom Metro TV dan menjadi Runner Up Duta Kampus Universitas

Trisakti periode 2020/2021. Penulis saat ini aktif di organisasi kampus,

yakni American Association of Petroleum Geologist (AAPG-SC Trisakti) sebagai deputy

of research. Kegiatan lain yang diikuti adalah menjadi relawan mengajar Kimia untuk

siswa-siswi SMA di Indonesia melalui komunitas “Belajar Bareng”.

117