PEMETAAN KHALEED ABOU EL FADL TERHADAP PANDANGAN KAUM MODERAT DAN PURITAN TENTANG HAM DAN DEMOKRASI

35
PEMETAAN KHALEED ABOU EL FADL TERHADAP PANDANGAN KAUM MODERAT DAN PURITAN TENTANG HAM DAN DEMOKRASI Oleh: Rendra Khaldun 1 A. Pengantar Beberapa dekade terakhir ini masalah demokrasi dan hak asasi manusia merupakan bahan diskusi yang masih hangat di berbagai pelosok dunia baik oleh orang muslim sendiri maupun nonmuslim karena dikatakan “bertentangan” dengan keyakinan Islam bahkan Islam dikatakan sebagai sebuah ancaman bagi non Islam yang oleh orang-orang Barat dicap sebagai agama yang anti demokrasi dan tidak toleran. 2 Sebagian pemimpin gerakan-gerakan Islam menentang demokrasi ala Barat dan sistem pemerintahan parliamenter. Reaksi negatif mereka semakin menjadi bagian dari penolakan umum terhadap pengaruh kolonial Eropa, tindakan mempertahankan Islam agar semakin tidak tergantung kepada Barat, yang menurut sebagian orang Islam bukannya penolakan total terhadap demokrasi. Bahkan dalam dekade-dekade belakangan, banyak Muslim menerima gagasan demokrasi namun mereka berselisih mengenai makna demokrasi yang tepat. Begitu juga sebaliknya, tidak sedikit dari para tokoh-tokoh gerakan Islam yang menolak demokrasi menjadi salah satu bentuk pemerintahan karena berasal dari Barat dan dijadikan sebagai salah salah satu propaganda Barat terhadap dunia Islam. 3 Ada perbedaan antara paham demokrasi Barat dan tradisi Islam. Semakin ditekannya liberalisasi politik, 1 Dosen Fakultas Dakwah dan Komunikasi IAIN Mataram 2 John L. Esposito, Ancaman Islam Mitos Atau Realitas, terj. Alwiyah Abdurrahman dan MISSI. (Bandung: Mizan, 1994), h. 35 3 Untuk lebih jelasnya tentang berbagai respon dari beberapa gerakan dan golongan Islam lihat Greogry Rose, Velayat e-Faqih and Recovery Islamic Identity, dalam Nikkii R. Keddie (ed.) Religion and Politic in Iran; Shi’ism from Quietism (London: Yale Univercity Press, 1983), h. 183 1

Transcript of PEMETAAN KHALEED ABOU EL FADL TERHADAP PANDANGAN KAUM MODERAT DAN PURITAN TENTANG HAM DAN DEMOKRASI

PEMETAAN KHALEED ABOU EL FADL TERHADAP PANDANGAN KAUM MODERAT DAN PURITAN TENTANG HAM

DAN DEMOKRASI Oleh: Rendra Khaldun1

A. PengantarBeberapa dekade terakhir ini masalah demokrasi dan

hak asasi manusia merupakan bahan diskusi yang masihhangat di berbagai pelosok dunia baik oleh orang muslimsendiri maupun nonmuslim karena dikatakan“bertentangan” dengan keyakinan Islam bahkan Islamdikatakan sebagai sebuah ancaman bagi non Islam yangoleh orang-orang Barat dicap sebagai agama yang antidemokrasi dan tidak toleran.2

Sebagian pemimpin gerakan-gerakan Islam menentangdemokrasi ala Barat dan sistem pemerintahanparliamenter. Reaksi negatif mereka semakin menjadibagian dari penolakan umum terhadap pengaruh kolonialEropa, tindakan mempertahankan Islam agar semakin tidaktergantung kepada Barat, yang menurut sebagian orangIslam bukannya penolakan total terhadap demokrasi.Bahkan dalam dekade-dekade belakangan, banyak Muslimmenerima gagasan demokrasi namun mereka berselisihmengenai makna demokrasi yang tepat. Begitu jugasebaliknya, tidak sedikit dari para tokoh-tokoh gerakanIslam yang menolak demokrasi menjadi salah satu bentukpemerintahan karena berasal dari Barat dan dijadikansebagai salah salah satu propaganda Barat terhadapdunia Islam.3

Ada perbedaan antara paham demokrasi Barat dantradisi Islam. Semakin ditekannya liberalisasi politik,

1 Dosen Fakultas Dakwah dan Komunikasi IAIN Mataram2John L. Esposito, Ancaman Islam Mitos Atau Realitas, terj. Alwiyah

Abdurrahman dan MISSI. (Bandung: Mizan, 1994), h. 35 3Untuk lebih jelasnya tentang berbagai respon dari beberapa

gerakan dan golongan Islam lihat Greogry Rose, Velayat e-Faqih andRecovery Islamic Identity, dalam Nikkii R. Keddie (ed.) Religion andPolitic in Iran; Shi’ism from Quietism (London: Yale Univercity Press,1983), h. 183

1

electrolal politics, dan demokratisasi tidak berartimenyiratkan diterimanya secara tidak kritis bentuk-bentuk demokrasi Barat. Argumen yang lazim terdengaradalah bahwa Islam memiliki atau dapat melahirkanbentuk-bentuk demokrasi khasnya sendiri dimanakedaulatan rakyat dikukuhkan dalam keseimbangan yangharmonis yang mampu melahirkan banyak bentuk dankonfigurasi.

Isu hak asasi manusia juga memunculkan serangkaianpermasalahanan yang serupa. Hak asasi manusia (HAM)merupakan suatu hal yang fundamental, sensitif dankontroversial.4 Selama beberapa dekade, isu-isu hakasasi manusia telah menjadi perdebatan menarik dikalangan pemikir modern baik di bidang politik maupunhukum. Hal ini berdasar kepada kecenderungan munculnyaisu-isu hak asasi manusia bukan hanya dipengaruhi olehanasir-anasir politik dan hukum melainkan juga agamadan budaya.5 HAM yang dideklarasikan oleh badantertinggi dunia pada 10 Desember 1948 yang dikenaldengan “The Universal Declaration of Human Rights” atau UDHR(Deklarasi semesta tentang hak asasi manusia) yangterdiri dari 30 pasal, ternyata belum dapatmengakomodasi keinginan semua bangsa-bangsa di duniayang amat beragam latar belakang budaya dan agamanya(terutama agama Islam).

Hak asasi manusia merupakan hak yang dimiliki olehsetiap orang sesuai dengan kondisi yang manusiawi. Olehkarena itu hak asasi manusia selalu dipandang sebagaisesuatu yang mendasar, fundamental, dan pentingsehingga banyak pendapat yang mengatakan bahwa hak

4Pasal-pasal kontroversial dalam UDHR menurut sebagianmasyarakat Muslim lihat, Anshari Tayyib (ed.) HAM dan PluralismeAgama (Surabaya: PKSK, 1997), h. 241

5 Secara politis negara–negara Barat sering mengangkat isuini untuk dapat mengintervensi negara yang menurut mereka belummemberikan perlindungan maupun pelaksanaan hak–hak asasi sesuaisrandart internasional.untuk lebih jelasnya lihat. Mayer AnnElizabeth, Islam Tradition and Politics Human Rights, (Westview Press,1995), h. 2.

2

asasi manusia adalah sebuah “ kekuasaan sekaliguskeamanan” yang dimiliki oleh setiap individu.6

Alwi Shihab mengatakan, bahwa hak-hak asasimanusia dalam Islam bersifat teosentris, yakni bertujuanuntuk dan bersumber dari Tuhan, sebaliknya HAM menurutpandangannya, lebih bersifat antroposentris, yakni lebihterfokus hanya pada manusia itu sendiri, HAM dalamperspektif kedua menempatkan manusia dalam suatusetting dimana hubungannya dengan Tuhan sama sekalitidak disebut, hak-hak asasi manusia dimulai sebagaiperolehan alamiah sejak kelahiran. Perbedaan persepsitentang manusia, hak-hak berikut nasibnya merupakansalah satu sebab utama yang memicu konflik antara duniaBarat sekuler dan Islam.7

Islam menempatkan Hak-hak manusia sebagaikonsekuensi dari pelaksanaan kewajiban terhadap Allah.HAM menurut pandangan Barat sekuler adalah ekspresikebebasan manusia yang terlepas dari ketentuan Tuhan,agama, moral, atau kewajiban metafisika. Dalam Islam,ekspresi kebebasan manusia harus ditempatkan dalamkerangka keadilan, kasih sayang dan persamaan kedudukandi mata Tuhan.8

Memang, hak-hak yang didaftar dalam risalahdeklarasi internasional cenderung bervariasi sekali.Misalnya dokumen-dokumen internasional ini berbicaratentang hak individu atas kebebasan menyampaikan nuranidan keyakinan, kebebasan berbicara, hak atas privasi,tetapi dokumen-dokumen itu juga berbicara tentang hakatas tempat tinggal, hak atas makanan dan gizi yangcukup, dan hak liburan dan cuti wanita (haid, hamil,dan sebagainya). Musykil kiranya jika kitamendiskusikan setiap item yang tertera dalam deklarasitersebut.

6Untuk lebih jelasnya lihat Harun Nasution dan BachtiarEfendi (ed.). Hak Asasi Manusia dalam Islam (Jakarta: Yayasan OborIndonesia, 1978), h. 14

7 Alwi Syihab, Islam inklusif; menuju sikap terbuka dalam beragama,(Bandung: Mizan, 1999) h. 179

8 Alwi Syihab, Ibid..,h. 179

3

Tulisan ini mencoba memusatkan perhatian padapersoalan pemetaan Khaleed Abou el Fadl terhadappandangan kaum moderat dan puritan mengenai hak-hakasasi manusia dan demokrasi yang dianggap sebagai suatukonsep kontroversial.

B. Epistemologi Khaleed Abou Fadl Dalam tradisi Islam, al-Qur’an merupakan

representasi dari ‘otoritas’ (kewenangan) Allah. Tidakseorangpun mengabaikan Kitab Suci. Seorang muslim yangtulus selalu merujuk kitab sucinya ketika menghadapimasalah di dalam kehidupannya. Ketika masih hidup, Nabidipandang sebagai orang yang paling otoritatif (palingberwenang), memiliki persyarat yang dapat dipercaya,untuk menafsirkan semua kehendak Allah. Wewenang atauotoritas Nabi ditetapkan secara tertulis di dalam al-Qur’an. Selain itu wewenang beliau juga tercermin dalamperilaku dan visi moral yang terpancar dalam kehidupanbeliau.

Menurut ajaran Islam, semua orang termasuk parasahabat, tabi’in, tabi’ tabi’in maupun para penguasaharus tunduk pada hukum Allah (hukum Islam). HukumIslam bertujuan untuk menemukan dan merumuskankehendakNya. Kehendak Allah bukanlah suatu sistem yangstatis dan telah ditentukan berlaku selamanya tanpamengalami perubahan dan hanya dapat ditemukan dandirumuskan oleh segolongan orang yang kelak dikenaldengan istilah para mujtahid, fuqaha’,ulama’,mutakallimun/teolog, dan mutashawwifun.9

Pada masa hidupnya, Nabi diakui sebagai suaraotoritatif yang mewakili kehendak Tuhan. Ia dipandangsebagai penerima wahyu Tuhan, sehingga secara efektifberperan sebagai otoritas dalam masyarakat Muslimpaling awal. Namun setelah beliau wafat, sahabat-sahabat dengan integritas moral yang tinggi mendapatkanwewenang atau menjadi sumber rujukan dalam memahamimaksud dan kehendak Allah SWT. Sekaligus menghadapi

9Ahmad Hasan, The Early Development of Islamic Jurisprudence,(Islamabad: Islamic Research Institute, 1970), 28

4

kemelut serius untuk pertama kalinya tentang persoalanlegitimasi dan otoritas.10

Krisis politik dan badai perubahan semakin kuatdan cepat di kalangan umat Islam. Sepeninggal sahabat-sahabat yang otoritatif tersebut, kekuasaan politikmengambil alih wewenang (otoritas) sampai pada abad ke-2 H. muncul calon pemegang otoritas yang sangat hebatdan luar biasa kuatnyauntuk menjadi pesaing, yaituhukum Tuhan, syari’ah,11 yang dibentuk, disajikan, danhadirkan oleh sekelompok profesioanal tertentu yangdikenal dengan istilah fuqaha’ (para ahli hukum).12

Menurut Abou Fadl para ahli hukum Islam telahmenjadi sumber legitimasi tekstual. Legitimasi merekadidasarkan pada kemampuan membaca, memahami, danmenafsirkan kehendak Tuhan. Kehendak Tuhan ini terekam,dan mungkin tersembunyi di dalam teks dan para ahlihukum itu itu bertugas menemukan dan mengkajinya. Paraahli hukum itu telah melembagakan kekuasaan yang telahdidasarkan pada kharisma ke dalam sebuah asosiasi hukumdengan struktur yang sangat formal dan hierarkis yangpada kenyataannya memiliki kekuatan memaksa yang sangatbesar dalam berbagai fase sejarah Islam.13

10Untuk lebih jelasnya tentang khalifah-khalifah padaperiode awal menganggap diri mereka wakil Tuhan di muka bumi, dankarenanya mereka menganggap al-Qur’an sebagai sebuah sumber yangdarinya mereka memutuskan keputusan-kemutusan mereka lihatPatricia Crone dan Martin Hinds, God’s Caliph: Religious Authorityin The First Century of Islam (Cambrodge: Cambridge UnivercityPress, 1986), 56. Lihat juga Khaled Abou el Fadhl, Atas Nama Tuhan,Dari Fiqh Otoriter ke Fikih Otoritatif, (Jakarta: Serambi, 2004), 26

11Istilah syari’at juga ditemukan pada kitab suci agama-agama yang sudah muncul terlebih dahulu sebelum Islam sepertidalam kitab Taurat, Talmud, dan injil. Untuk lebih jelasnyatentang sejarah dan asal usul syari’at lihat Muhammad Sa’id al-Asymawi, Kritik Nalar Syari’ah (Jogjakarta; LKiS, 2004), 7-29

12Kajian yang lebih mendalam tentang sejarah fiqh lihat N.J.Coulson, A History to Islamic Law. Islamic Surveys, 2. (Eindenburgh:Eidenburgh Univercity Press, 1964)

13 Khaeed Abou El Fadl, Atas Nama Tuhan Dari Fikih Otoriter ke Fikih Otoritatif (Jakarta: Serambi, 2004), h. 28

5

Khaled Abou El Fadl mengatakan bahwa keberwenanganTuhan selalu diwakili dan dinegosiasikan oleh manusia.dan, karena perwakilan oleh manusia tidak bisa lagidihindari, proses negosiasinya pasti akan melibatkankeseimbangan yang rumit antara keberwenangan danotoritarianisme. Keberwenangan manusia bersifatderivatif dan bukan berasal dari Tuhan atau dari teks(perintah Tuhannya), tapi dari manusia lain. Karenasemua manusia diperintahkan untuk mengikuti perintahTuhannya, maka logis untuk mengatakan bahwa manusiaadalah wakil Tuhan.14

Beberapa wakil Tuhan (orang-orang Islam yangberiman dan saleh disebut dengan wakil umum)menundukkan keinginannya dan menyerahkan sebagiankeputusannya kepada sekelompok orang atau wakil darigolongan tertentu (yaitu para ahli hukum). Merekamelakukan itu karena mereka memandang wakil darigolongan tersebut memiliki otoritas . kelompok khususini menjadi otoritatif karena dipandang memilikikompetensi dan pemahaman khusus terhadap perintahTuihan.15

Ada beberapa prasyarat dalam pelimpahan otoritaskepada wakil khusus atau para ahli hukum ini menurutAbou El Fadl. Masing-masing prasyarat tersebut harusdipenuhi atau dilaksanakan. Jika tidak, cukup masukakal jika dikatakan bahwa, sejauh berkaitan denganwakil umum, wakil khusus ini telah melakukan tindakandi luar batas kewenangan hukum yang dimilikinya danmencederai kepercayaan yang diberikan kepadamereka.16Di antara prasyarat-prasyarat yang menjadilandasan pelimpahan otoritas dari wakil umum kepadawakil khusus antara lain adalah kejujuran, kesungguhan,kemenyeluruhan, rasionalitas, dan pengendalian diri.17

Dengan meminjam istilah Umberto Eco, Khaled AbouFadl menginginkan bahwa al-Qur’an dan sunnah (text)

14ibid, 98 15ibid, 98 16ibid, 98 17ibid, 100-103

6

dipandang sebagai “karya yang terus berubah”, yaknimembiarkan diri mereka terbuka bagi berbagai jenisinterpretasi. Teks terbuka tidak hanya mendukunginterpretasi yang majemuk tapi juga mendorong prosespenelitian yang menundukkan teks dalam posisi sentralkarena kehendak Tuhan dapat ditemukan melaluipendekatan kumulatif dan terus menerus.18

Ketika seorang pembaca bergelut dengan teks19 danmenarik sebuah hukum dari teks, resiko yang dihadapinyaadalah bahwa pembaca menyatu dengan teks, ataupenetapan membaca akan menjadi perwujudan eksklusifteks tersebut. Akibatnya teks dan konstruksi pembacaakan menjadi satu dan serupa. Dalam proses ini, teksitu tunduk kepada pembaca dan secara efektif pembacamemilih sebuah cara baca tertentu atas teks danmengklaim bahwa tidak ada lagi pembacaan lain, tekstersebut larut kedalam karakter pembaca. Jika pembacamelampaui dan menyelewengkan teks, bahaya yang akandihadapi adalah bahwa pembaca akan menjadi tidakefektif, tidak tersentuh, melangit, dan otoriter.20

Oleh sebab itu diperlukan adanya sebuah jarak(space) antara pembaca, dan teks. Yang penting bukanapakah pembaca telah menampilkan makna sebenarnya dariseorang pengarang teks secara akurat, tapi apakahpembaca telah menghargai teks tersebut secara layakdengan mencoba memahaminya, bukan menolaknya.21

Makna dari sebuah teks tidaklah permanen dan akanberkembang secara aktif karena teks berbicara denganmakna yang diperbaharui kepada masing-masing generasipembaca. Teks tetap relevan dan menduduki posisisentral karena keterbukaannya memungkinkan dirinyauntuk terus mengeluarkan makna. Selama teks bersifatterbuka, ia akan terus berbicara, dan selama ia

18Khaled, Abou el Fadl, Atas Nama.., 212 19Untuk membaca teks masa lampau, menurut gadamer ada tiga

cara atau yang lebih dikenal dengan istilah affective history yaknipast, present, dan future. Untuk lebih jelasnya lihat E. Sumaryono,Hermenutika…, 31

20Ibid, 20621Ibid, 211

7

berbicara ia akan terus relevan dan bermakna penting.Para pembaca akan selalu merujuk kepada teks karenateks akan menghasilkan pemahaman dan interpretasibaru.22

Berbeda halnya jika sebuah teks menjadi tertutup,tidak mampu lagi berbicara atau dibungkam suaranya,tidak ada alasan untuk menggeluti teks, danbagaimanapun teks sudah membeku dan tertutup. Penutupanteks ini terjadi ketika pembaca bersikeras bahwa teksmengandung makna yang telah ditentukan, stabil, tetap,dan tidak berubah. Sebuah sumber akan menjadi teks yangtertutup ketika seorang pembaca menutup prosesinterpretasi dan menggabungkan teks dengan penetapanmakna tertentu seperti misalnya jika makna dari sebuahhadith tertentu menjadi mapan, makna teks secaraefektif telah dinyatakan tertutup.23

Karenanya pembacaan yang cermat dan ketat terhadapteks menjadi basis kesamaan tujuan dan kepastian. Inimembuat sejumlah kalangan menyatakan bahwa teksmemiliki realitasnya dan integritasnya sendiri, danrealitas dan integritasnya berhak untuk dipatuhi.Umberto Eco menyatakan bahwa teks memiliki integritasmendasar yang harus dihormati bahwa pembaca tidak bolehmenggunakan teks secara bebas. Teks harus dipandangsebagai entitas kompleks yang maknanya tergantungsejarah dan konteksnya. Richard Rorty mengatakan bahwatidak ada alasan untuk memberikan status sakral kepadateks. Sepertinya nilai sebuah teks ditentukan olehbagaimana teks itu digunakan oleh pembaca, sehinggapenggunaan teks dipandang sah selama ia melayani tujuanyang memiliki manfaat praktis. 24

22Hal ini disebabkan karena para penafsir membawa“kepentingan”nya sendiri-sendiri dalam memproduksi komentar-komentar terhadap al-Qur’an (teks), karenanya tidaklanmengherankan jika beragam makna dan penafsiran dari tiapgenerasi. Untuk lebih jelasnya lihat t Farid Esack, Qur’an:Liberationand Pluralism(Oxford; Oneworld, 1997), 161

23KhaledAbou El Fadl, Atas Nama.., 213 24 ibid, 184.

8

Dalam tataran simbolis, penyelidikan interpretasidalam Islam harus dimulai dan diakhiri dengan maksudpengarang karena maksud Tuhan menentukan segalanya.Syari’ah merupakan salah satu produk dari upaya untukmencari jalan Tuhan yang menuntut bahwa kehidupan yangbaik harus dijalani dengan mengikuti arahan Tuhanmelalui berbagai macam dalil. Dalil merupakan salahsatu petunjuk untuk menunjukkan jalan menuju Tuhan.Wadah penampung petunjuk tersebut adalah teks, sehinggatugas satu-satunya yang dihadapi oleh seorang pembacaadalah mencari kehendak sebenarnya dari seorangpengarang teks.25

Jika kita ingin membaca teks untuk menganalisasebuah petunjuknya dan untuk menarik implikasi normatifdarinya, pembacaan yang bersifat historis mutlakdiperlukan. Untuk mengkaji dinamika antara teks dankonteks historisnya, teks harus dibaca dengan sebuahpemahaman akurat tentang kaitan antara teks danrelevansi historisnya. Pembaca yang cermat akanmempertimbangkan fakta bahwa sebuah teks muncul padamasa lalu dan juga muncul pada masa kini. Sebuah tekspada masa lalu akan menyampaikan sebuah makna atauserangkaian makna dalam konteks masa lalu.memahamisebuah konteks masa lalu akan membantu kita menghindaribentuk anakronisme yang dipandang sebagai proyeksioportunistik dan subyektifitas seorang pembaca atassebuah teks.26

Teks tidak bersifat pasif dan para pembaca jugatidak mendekati teks dengan kepala kosong. Para pembacamendekati teks dengan asumsi-asumsi dan normatifitas-normatifitas yang mereka bawa untuk diterapkan dalamproses interpretasi. Dinamika interaktif menciptakankomunitas interpretasi. Tapi pembacaan yangberkesinambungan dan pembacaan ulang terhadapinterpretasi dan reinterpretasi terhadap teks, dapatmenyusun ulang asumsi-asumsi para anggota komunitasinterpretasi, dan konsep-konsepnya tentang makna.

25 Khaled Abou El Fadl, Atas Nama.., 190 26 Ibid., 192

9

Mengenai asumsi dasar tentang komunitasinterpretasi, Khaled Abou Fadlmenyebutkan empat jenis.Asumsi-asumsi tersebut berfungsi sebagai landasan untukmembangun analisis hukum, dan seringkali berfungsisebagai batas luar bagi penetapan hukum. Keempat jenisasumsi dasar tersebut adalahpertama, asumsi berbasisnilai, menurut Abou Fadlasumsi berbasis nilai iniharus dibangun atas nilai-nilai normatif yang dipandangpenting atau mendasar oleh sebuah sistem hukum. Asumsi-asumsi tersebut menjadi nilai-nilai mendasar dalamsebuah budaya hukum, atau apa yang oleh komunitasinterpretasi hukum tertentu dipandang sebagai asumsiyang secara normatif diperlukan. Misalnya pelestariankehidupan, perlindungan terhadap hak milik, pentingnyamenjaga kesopanan, kebebasan berbicara, ataupeningkatan berbagai bentuk ekspresi diri bisa menjadinilai normatif yang mendasar sebagai sebuah sitemhukum.27

Kedua, asumsi metodologis.Menurut Abou Fadl,asumsi metodologis pada sisi-sisi tertentuberbedadengan asumsi-asumsi berbasis nilai, dan pada sisi yanglain asumsi-asumsi metodologis cenderung tumpang tindihdengan asumsi nilai dalam sistem hukum. Misalnyapersoalan apakah konsensus para ahli hukum Madinah bisamenjadi dasar hukum, merupakan persoalan metodologis.Asumsi-asumsi metodologis terkait dengan sarana ataulangkah yang diperlukan untuk mencapai tujuan normatifhukum. Asumsi-asumsi semacam itu diakui sebagai

27Teori hukum Islam seringkali membedakan antara apa yangdisebut apa yang disebut dengan dharuriyyat (kemendesakan yangbersifat mendasar), hajjiyyat (kebutuhan mendasar) dan tahsiniyyat(juga dikenal dengan kamaliyyat –kemewahan atau hiasan). Kemudianseringkali ditegaskan oleh para ahli hukum Islam bahwa keperluanmendasar terdiri dari lima nilai pokok (al-dharuriyyat al-khamsah):agama, kehidupan, akal, keturunan, dan harta. Semuanya dipandangsebagai nilai atau tujuan dasar yang harus dipenuhi ataudilindungi oleh syari'ah. Khaled Abou El Fadl, ibid. h, 277.Bandingkan dengan konsep mashlahah yang dikemukakan oleh alSyathibi dalam Abu Ishaq al-Syatibi, AL-Muwafaqat Fi Ushul Al-Syari’ah.(Beirut, Lubnan: Darl al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2004)

10

perangkat bantu yang mempermudah tercapainya tujuanhukum. Asumsi-asumsi metodologis mungkin muncul daripendekatan teoritis yang sistematis terhadap hukum,tetapi asumsi-asumsi tersebut cenderung bertahan danberkembang melalui kekuatan kebiasaan. Asumsi-asumsitersebut menjadi kerangka yang selalu digunakan olehbudaya hukum dalam menghasilkan hukum. Yang pentingdicatat adalah bahwa perdebatan antara berbagai madzhabhukum sangat dipandang bersifat metodologis. Tidakjarang persoalan persoalan metodologis sangat terkaiterat dengan asumsi-asumsi berbasis nilai yangmenjadikannya tidak selalu mungkin bagi kita untukdapat membedakan antara asumsi-asumsi metodologis danasumsi-asumsi berbasis nilai. Misalnya persoalan apakahkepentingan publik dapat mengalahkan atau menyingkirkanbukti tekstual, atau peran kepentingan mendesak(dharuriyyat) dalam menciptakan pengecualian hukum, atauperan istihsan atau ‘urf termasuk dalam persoalan-persoalan metodologis yang sangat terkait erat denganasumsi-asumsi berbasis nilai seperti pentingnyakesejahteraan publik, perlunya keadilan yang bersifatindividual, dan signifikansi praktik sosial.28

Ketiga, asumsi berbasis akal. Menurut Abou Fadlasumsi berbasis akal ini berbeda dengan dua asumsisebelumnya,asumsi berbasis akal memperoleheksistensinya dari logika atau bukti hukum padapenetapan hukum yang bersifat substantif. Ia bukanlahhasil dari dinamika langsung antara Muslim denganTuhannya, tapi didasarkan pada hubungan antara seorangMuslim dengan dan berbagai bukti atau perintah Tuhanyang ia temukan. Asumsi berbasis akal diklaim bersandarpada potongan-potongan bukti yang bersifat kumulatif.Asumi semacam itu dipandang sebagai sebagai hasil dariproses objektif dalam mempertimbangkan berbagai buktisecara rasional, dan bukan hasil dari pengalaman etis,eksistensial, atau metafisik yang bersifat pribadi.Asumsi berbasis akal tidak mengakui pengaruh nilainormatif, tapi ia menegaskan sikap yang moderat dan

28Khaled Abou El Fadhl, Atas Nama…., h. 229

11

objektif. Persoalan yang bersifat menentukan bagi jenisasumsi ini adalah bahwa, seperti halnya pembacaanliteral terhadap hukum, ia mengklaim sebagai bebasnilai, dan didasarkan hanya pada bobot pembuktian.29

Keempat, asumsi berbasis iman. Asumsi berbasisiman ini menurut Abou Fadl lahir dari sebuah hubungantambahan antara wakil dan Tuannya. Asumsi-asumsi initidak mengklaim diperoleh langsung dari perintahTuannya, tapi dari dinamika antara wakil dan Tuannya.Asumsi-asumsi berbasis iman ini dibangun di atas apayang kita sebut dengan pemahaman pokok atau mendasartentang karakteristik pesan Tuhan dan tujuannya. Dengandemikian, asumsi-asumsi ini membentuk kesadaran ataukeyakinan mendasar yang tidak akan dibagikan ataudipertanggungjawabkan kepada orang lain. 30

Dari hasil analisisnya, Abou Fadl menemukansering terjadi tumpang tindih antara asumsi-asumsiberbasis iman dengan asumsi-asumsi berbasis teologis,bahkan asumsi berbasis teologis ini lebih berpengaruhterhadap penetapan hukum. Namun asumsi-asumsi berbasisteologis seringkali didasarkan pada bukti-bukti teksdan asumsi berbasis iman merupakan hasil dari sesuatuyang kurang konkrit. Demikian juga antara asumsiberbasis nilai dan asumsi berbasis iman sering terjadikertertumpangtindihan.Asumsi berbasis nilai mengklaimdirinya bersumber hanya dari analisis teks, atauanalisis terhadap tujuan-tujuan yang lebih besar dariperintah-perintah Tuhan, sementara asumsi-asumsiberbasis iman terkait dengan pemahaman tentang Tuhanitu sendiri. Dalam beberapa hal, asumsi-asumsi berbasisiman terkait dengan normativitas Tuhan, dan asumsi-asumsi berbasis nilai terkait dengan normativitasperintah-Nya.31

Oleh karena itu, sebuah komunitas interpretasiharus mampu mengetahui karakteristik utama dari asumsi-asumsi dasarnya apakah ia bersifat normatif,

29 Ibid., h. 229 30Ibid., h. 230 31Ibid., h. 231

12

metodologis, didasarkan pada bukti, atau sematapersoalan keimanan dan keyakinan? Menurut Abou Fadl,menjelaskan dan secara kritis menganalisiskarakteristik dari asumsi-asumsi komunitas interpretasitersebut akan menambah keterpaduan diskursus tersebut.Penggunaan berbagai asumsi-asumsi di atas secaraintrinsik bukanlah tindakan otoriter. Tapi ketikaasumsi-asumsi tersebut berubah menjadi objek loyalitasdan akhirnya menggantikan keberwenangan Tuhan danperintah-Nya, maka asumsi-asumsi tersebut menjadiproblematis. Sejauh mengenai asumsi-asumsi nilai, akal,dan metodologis, moralitas tertingginya adalahmoralitas proses, bukan moralitas hasil.32

Dalam pandangan Abou Fadl, sebuah teks tidakmemuat kehendak pengarang, sebuah teks memuat upayapengarang atau pandangan tertentu berkaitan denganmaksud pengarang. Dengan kata lain teks hanyamenceritakan kepada kita apa yang dipandang pengarangsebagai hal yang penting tentang dirinya untukdiungkapkan kepada pembaca berdasarkan dinamikahistoris tertentu yang ia hadapi. Maksud pengarangseperti terungkap dalam teks, terikat oleh pembaca,konteks historis dan bahasa. Teks juga tidak mewakilikehendak Tuhan dan juga tidak mewakili kehendakpengarang. Teks mewujudkan petunjuk-petunjuk kehendakTuhan dan juga kehendak pengarang.33

Jika memang teks memegang peranan penting dalammenggapai kehendak Tuhan, maka harus dipelihara adanyadinamika proses penentuan makna secara “demokratis”.Dengan begitu, makna tidak boleh digenggam, dicengkram,dan ditentukan terlebih dahulu secara sepihak olehsalah satu atau beberapa aktor yang membelakanginya.Perimbangan kekuasaan dalam penentuan makna perlu terusmenerus dijaga dan dipelihara antara pengarang (author)pembaca (reader) dan teks (text). Dominasi atau kekuasaanyang berlebihan pada salah satu pihak akan menyebabkankebuntuan intelektual.

32Ibid., h. 234 33Ibid., 195

13

Oleh karena itu menurut Abou Fadl agar dapatmenentukan makna atau petunjuk-petunjuk kehendak Tuhan,maka antara teks dan pembaca harus melakukan prosesnegosiasi dan konstruksi. Proses negosiasi inilah yangakhirnya menjadi penentu makna. Lebih jauh lagidikatakan bahwa makna merupakan hasil sebuah interaksiantara pengarang, teks dan pembaca, artinya harus adasebuah negosiasi antara ketiga belah pihak dan bahwasalah satu pihak tidak boleh mendominasi yang laindalam proses penetapan makna.

C. Terminologi Moderat dan Puritan dalam PerspektifKhaleed Abou El Fadl

Terminologi moderat di derivikasi dari beberapariwayat hadith Nabi tatkala dihadapkan pada dua pilihanekstrim. Nabi selalu dilukiskan sebagai sosok moderatyang cenderung menolak terjatuh pada kutub ekstrim.Orang-orang yang dinamai kelompok moderat sudah secaraberagam digambarkan sebagai kelompok modernis,progressif, dan reformis. Namun menurut Khaled AbouFadl tak ada satupun dari istilah-istilah tersebut bisamenggantikan kata moderat.

Istilah modernis mengisyaratkan pada suatukelompok yang berusaha mengatasi tantangan modernitas,sementara yang lain bersikap reaksioner seperti inginkembali ke masa lalu. Banyak kalangan moderat mengklaimdiri merepresentasikan diri sebagai muslim sejati danautentik. Namun dalam hal lain, mereka menegaskan bahwamereka tidak mengubah agama. Sebaliknya mereka berupayamengajak umat Islam kembali ke keyakinan orisinalmereka. Namun satu hal yang pasti bahwa istilah moderatlebih tepat menggambarkan pendirian keagamaan mayoritasumat Islam dibandingkan reformis dan progressif.34

34Tentang berbagai macam terminologi gerakan Islam masa kinilihat Ulil Abshar Abdallah, Menegaskan Kembali Mashlahat,Pengantar, dalam Zuhairi Mishrawi dan Novriantoni, Doktrin IslamProgressif Memahami Islam Sebagai Ajaran Rahmat (Jakarta: LSIP dan TIFA,2004) h. vii dst

14

Sedangkan term puritan sudah dideskripsikan olehberagam penulis dengan istilah fundamentalisme,militan, ektrimis, radikal, fanatik, jahidis, danbahkan cukup dengan istilah islamis. Namun Khaled AbouFadl lebih suka menggunakan term puritan didasarkandari ciri yang menonjol kelompok ini dalam halkeyakinannya menganut faham absolutisme yang tak kenalkompromi. Dalam banyak hal orientasi kelompok inicenderung menjadi puris, dalam arti ia tidak toleranterhadap berbagai sudut pandang yang berkompetisi danmemandang realitas pluralis sebagai suatu bentukkontaminasi atas kebenaran sejati.35

Istilah fundamentalis menurut Khaled Abou Fadladalah sebuah istilah yang sangat problematis untukdisandingkan dengan kata Islam. Menurutnya semuakelompok dan organisasi Islam menyatakan setiamenjalanjan ajaran-ajaran fundamental Islam. Bahkangerakan paling liberal pun akan menegaskan bahwa cita-cita dan pendirian mereka merepresentasikan ajaran-ajaran iman secara lebih baik. Istilah fundamentalissangat tidak pas untuk konteks Islam karena dalambahasa Arab istilah tersebut dikenal dengan nama“ushuli” yang berarti seseorang yang bersandar pada hal-hal yang bersifat pokok dan mendasar. Jadi ungkapan“fundamentalisme Islam” akan memunculkan mispersepsiyang tak bisa dihindari bahwa hanya kelompokfundamentalis saja yang penafsiran mereka bedasarkanal-Qur’an dan al-hadith.36

Sedangkan istilah ekstrimis, fanatis, dan radikalbenar-benar menawarkan alternatif yang masuk akal. Yangpasti, Taliban dan al-Qaeda adalah ekstrimis, fanatis,dan radikal. Secara kebahasaan, ekstrimis adalah lawankata moderasi. Dengan mencerrmati kelompok ini dalam

35 Khaleed Abou El Fadhl, Selamatkan Islam dari Muslim Puritan(Jakarta, Serambi, 2005), h. 29.

36Untuk lebih jelasnya tentang terminologi istilahfundamentalis, Islam radikal, Islam Revivalis dan yang sepadandengannya lihat Amin Rais, Cakrawala Islam, (Bandung: Mizan, 1987),h. 4

15

kaitannya dengan pelbagai isu, tampaklah bahwa merekasecara konsisten dan sistematis menganut absolutisme,berfikir dikotomis, dan bahkan idealistik. Pada isutertentu, sebagaimana mereka menafsirkan warisan Nabidan para sahabat, kelompok ini cenderung menganutabsolutisme, kaku, dan puritan, tidak ekstrimis atauradikal. Dengan kata lain, kelompok-kelompok yangdisebutkan diatas tidak selalu dalam setiap isufanatik, radikal atau ekstrimis, tetapi mereka selalupuritan. Karena ciri khas dari pemikiran mereka adalahbahwa mereka menganut absolutisme dan menuntut adanyakejelasan dalam menafsir teks, bukan watak fanatik,radikal atau ekstrimis.37

D. Pemetaan Khaleed Abou Fadl terhadap Pandangan Kaum Moderat Tentang HAM

HAM dan demokrasi merupakan konsep yang yang sangat sensitif, kontroversial, dan debatable dalam diskursus keislaman. Di satu sisi kedua konsep tersebutmembawa implikasi positif bagi keberlangsungan hidup masyarakat di dunia dan disatu sisi hal tersebut dipandang diskriminatif oleh yang lainnya khususnya oleh umat Islam. Khaleed Abou Fadl mencoba melakukan pemetaan terhadap respon dan pandangan umat Islam terhadap kedua konsep ini yang dia bagi menjadi dua kelompok besar yakni kaum moderat dan kaum puritan.

Tentang hak-hak asasi manusia, banyak muslim moderat sangat skeptis terhadap pandangan yang menyatakan bahwa hak asasi manusia adalah konsep universal yang keliru atau HAM adalah merupakan praktikkhas Barat dan tidak sesuai atau tidak pas dengan budaya lain dimanapun.38 Di balik klaim-klaim seperti itu tersembunyi suatu etnosentrisme tertentu karena mereka sama saja mengatakan bahwa masyarakat non Barat pada dasarnya tidak sanggup hidup dibawah sistem pemerintahan non demokrasi yang dibatasi oleh aturan

37Ibid…., h.3138 Ann Elizabeth Mayer, Islam and Human Rights, Tradition dan Politics

(London: Pinter Publishers, 1995), h. 8-9

16

hukum, dan juga tidak sanggup memahami atau menghargai hak-hak asasi manusia.

Muslim moderat percaya bahwa mengupayakan penghargaan dan penegakan hak-hak asasi manusia sebagaitujuan etis yang hendak dicapai merupakan perkara prinsip moral yang mendasar, dan jauh dari konsep universal yang keliru.39 Muslim moderat juga percaya bahwa sementara bisa sangat tidak jujur untuk berlagak bahwa hukum Islam menawarkan daftar hak-hak asasi manusia yang siap pakai, hak-hak asasi manusia sebagai sebuah konsep dan demokrasi sebagai sebuah sistem pemerintahan benar-benar bisa dipertemukan dengan teologi hukum Islam. Sejumlah kaum moderat bahkan melangkah lebih jauh lagi dan berpendapat bahwa tak hanya Islam dan demokrasi serta hak-hak asasi manusia bisa dipertemukan, melainkan bahwa Islam memerintahkan dan menuntut sebuah sistim pemerintahan yang demokratis.40

Kaum moderat mengemukakan bahwa minimal semua manusia mempunyai hak akan harga diri dan kebebasan. Keyakinan orang-orang moderat terhadap demokrasi dan hak-hak asasi manusia diawali dengan premis bahwa penindasan adalah pelecehan besar-besaran terhadap Tuhan dan manusia. Al-Qur’an mendeskripsikan para penindas sebagai perusak bumi dan juga menggambarkan penindasan sebagai bentuk penghinaan terhadap Tuhan. Dalam pemikiran moderat, diakui bahwa semua manusia berhak atas harga diri. Al-Qur’an dengan jelas menganugerahkan harga diri pada setiap manusia.41

Terkait dengan kebebasan dan persamaan hak antar sesama manusia kaum moderat mengatakan bahwa

39 Berbagai tanggapan pro dan kontra tentang HAM dalam Islamdan dunia Arab lihat Kevin Dwyer, Arab Voice; Human Rights Debate in theMiddle East (Barkerley: Univercity of California, 1991), h. 8-9

40Kevin Dwyer, Islamic Voice: The Human Rights Debate in Middle East(Berkeley: Univercity of California, 1991), h. 40

41 Untuk lebih jelasnya lihat Mashood A. Baderin, InternationalHuman Rights And Islamic Law (London: Oxford University Press, 2003),h. 13.

17

diperbudak dan ditundukkan oleh manusia pada dasarnya tidak selaras dengan kewajiban untuk tunduk kepada Tuhan tanpa syarat. Sesungguhnya al-Qur’an mengundang umat Islam dan kaum non muslim untuk menciptakan sebuahkonsensus diantara mereka untuk menyembah Tuhan semata dan tidak memperlakukan satu sama lain sebagai tuhan. Bagi orang-orang moderat, ayat ini memancangkan sebuah prinsip mendasar dan krusial bahwa manusia semestinya tidak mendominasi satu sama lain. Satu-satunya ketundukan yang bernilai etis adalah ketundukan kepada Tuhan, sedangkan ketundukan manusia dihadapan manusia lain tak lain adalah sebentuk penindasan. Diskursus al-Qur’an ini merangsang umat Islam dan kaum nonmuslim untuk menemukan sebuah tatanan yang dapat menjadi acuanbagi mereka untuk tidak saling mendominasi.42

Dalam tradisi Islam, keadilan adalah sebuah nilai inti dan mendasar. Para sarjana klasik menekankan keadilan sebagai kewajiban Islam sampai-sampai sebagiandari mereka berpendapat bahwa dimata Tuhan, masyarakat nonmuslim yang adil lebih baik nilainya dibandingkan masyarakat muslim yang tidak adil. Para sarjana klasik lainnya mengemukakan bahwa ketundukan sejati kepada Tuhan adalah mustahil adanya bila ketidakadilan merambah dimana-mana ditengah-tengah masyarakat.43

Landasan keadilan adalah memberikan hak kepada setiap orang. Keadilan yang sempurna berarti mencapai keseimbangan yang juga sempurna antara kewajiban dan hak. Orang-orang moderat berfikir bahwa penegakan

42 Pada masalah-masalah tertentu hal ini dapat dilaksanakandengan baik seperti masalah persamaan hak di depan hukum, namundalam hal lain seperti masalah kebebasan akan sangat sulit untukmencari titik temu diantara keduanya karena antara Islam dan Baratberasal dari budaya dan karakter yang berbeda. Untuk lebihjelasnya lihat Seyyed Hossein Nashr, Islamic Life and Thought (NewYork: State Univercity of New York Press, 1992), h. 16. KhaleedAbou Fadl, Selamatkan Islam…, h. 223

43Tentang berbagai macam prinsip dalam keadilan dalam Islamlihat Nurkholis Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, Sebuah Telaah Kritistentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan, dan Kemodernan (Jakarta: Pramadina,2000), h. 512

18

keadilan menuntut umat Islam untuk harus berupaya membangun suatu sistem politik yang paling berpeluang menciptakan antara keseimbangan antara hak dan kewajiban dalam masyarakat. Lebih jauh lagi dikatakan bahwa pencapaian keadilan mewajibkan umat Islam untuk menemukan suatu sistem yang memungkinkan umat setiap orang untuk menemukan akses terhadap kekuasaan dan institusi dalam masyarakat yang bisa membenahi ketidakadilan dan melindungi orang dari penindasan.44

Al-Qur’an dan al-Hadith memperjelas bahwa manusia punya hak atas pemerolehan hak-hak dan perlindungan di dalam hidup. Dalam tradisi yuriprudensi Islam, para sarjana klasik telah menyusun skema hak asasi manusia berdasarkan apa yang disebut sebagai “kepentingan yang terlindungi” yang ada pada diri manusia. Para sarjana klasik mendefinisikan lima kepentingan yang terlindungiadalah kehidupan, akal, keturunan, reputasi dan harta. Karena itulah, sistem politik dan hukum Islam harus melindungi dan memperjuangkan kelima hak terlindungi tersebut.45

Demi meningkatkan fungsi dan perlindungan yang diberikan lima kepentingan itu para sarjana klasik menyusun tiga kategorisasi, dengan menegaskan bahwa isu-isu yang terkait dengan semua kepentingan yang terlindungi itu bisa dibagi ke dalam kategori dharuriyat, (kemendesakan yang mendasar atau kebutuhan primer), hajiyat (kebutuhan mendasar atau kebutuhan sekunder), dan tahsiniyat (kemewahan atau kebutuhan tersier).

Dharuriyyat terdiri atas sesuatu yang mendasar dan esensial bagi kelangsungan dan perlindungan kepentinganatau hak-hak diatas. Dharuriyyat adalah segala sesuatu

44 Ibid, h. 11945Lima bentuk perlindungan ini dapat dikatakan sebagai

konsep atau teori tentang perlindungan hak-hak asasi manusia dalamIslam. Term ini dikenal dengan istilah al-kulliyah al khamsah ataumaslahah al-mu’tabarah selanjutnya lihat ‘Abd Wahhab Khallaf, ‘Ilm Ushulal-Fiqh (Kuwait: Darl al-Qalam, tt) h. 200-201.

19

yang bila tidak tersedia akan menjadikan kepentingan atau hak-hak diatas tidak bisa terlindungi sama sekali.

Hajjiyat berada sedikit di bawah level dharuriyyat, hajjiyat atau kebutuhan sekunder adalah segala sesuatu yang sangat penting bagi perlindungan kepentingan atau hak yang dimaksud, tetapi tidak sedemikian darurat. Tidak seperti dharuriyyat, jika dharuriyyat tidak terpenuhi, maka kepentingan atau hak tersebut masih bisa terlindungi, meskipun sangat melemah.

Tahsiniyyat merupakan kebutuhan yang tidak mendesak dan tidak juga sangat penting bagi perlindungan kepentingan atau hak. Sebaliknya, jika terpenuhi tahsiniyyat akan menyempurnakan dijalankannyakepentingan atau hak tersebut.46

Para sarjana klasik tidak mendefinisikan apa yang secara pasti menentukan sesuatu sebagai dharuriyyat, hajiyyat, dan tahsiniyyat. Akan tetapi pada prinsipnya, merekaberupaya membedakan antara hal-hal yang harus dijamin pemenuhannya bagi orang, sebab hal tersebut sangat esensial dan menjadi sendi kehidupan yang sehat, terhormat, dan bermartabat. Para sarjana klasik berpendapat bahwa apa yang seyogyanya dipandang sebagaidharuriyyat, hajjiyat, dan tahsiniyyat bergantung pada setiap generasi muslim untuk mengeksplorasi dan menentukannya,sesuai dengan tuntunan lingkungan yang bergeser dari waktu yang berubah.

Menurut teori klasik, masyarakat yang berkesederajatan dan adil akan memberlakukan dharuriyyat sebagai suatu yang sangat khusus dan tidak kenal kompromi. Sebuah masyarakat yang bisa melindungi hajiyyatmanusia, melengkapi dharuriyyat, akan dipandang lebih adil dan berkesederajatan. Akhirnya sebuah masyarakat yang bisa memberikan tahsiniyyat kepada manusia, melengkapi perlindungan terhadap dharuriyyat dan hajiyyat, akan menjadi masyarakat yang paling adil dan berkesedarjatan.47

46 Khaleed Abou Fadl, Selamatkan Islam,…, h. 22947Ibid., h 228-229

20

Kaum moderat ingin membangun tradisi bernilai ini dengan mencoba memancangkan apa saja yang mendesak untuk diperjuangkan oleh manusia, dan juga mencoba untuk mengeksplorasi apa yang boleh jadi bukan sebuah kemendesakan dalam hidup akan tetap dipandang cukup penting untuk berposisi sebagai kebutuhan atau kemewahan. Kaum moderat berpendapat bahwa, minimal perdebatan klasik mengenai dharuriyyat dan hajjiyyat seyogyanya diterjemahkan di era modern menjadi hak-hak yang bisa bisa melindungi kepentingan individu.48

Tuhan dan manusia sama-sama memiliki hak. Akan tetapi mereka berpendapat bahwa sementara hak-hak Tuhanakan ditetapkan di hari akhir olehNya, hak-hak individuatau manusia harus dijaga dan ditegakkan oleh manusia di muka bumi. Pada praktiknya, Tuhan akan peduli denganhak-hakNya di hari akhir, tetapi manusia harus peduli dengan hak-hak mereka dimuka bumi, dengan mengakui hak asasi manusia dan melindungi kesucian hak-hak asasi tersebut.49

E. Pemetaan Khaleed Abou Fadl terhadap Pandangan Kaum

Moderat dan Puritan Tentang DemokrasiKaum moderat percaya bahwa ada beberapa konsep dan

praktik lain dalam warisan Islam yang mendukung prinsipdemokrasi. Al-Qur’an dengan jelas memerintahkan umat Islam untuk melaksanakan semua urusannya lewat musyawarah (syura). Orang-orang moderat membaca ayat inisebagai perintah Tuhan yang menandaskan kembali tidak dibenarkannya penindasan dan kesewenangan. Pengambilan keputusan harus tidak oleh orang atau elit despotik. Sebaliknya, umat Islam harus menemukan cara untuk menetapkan keputusan sebagai hasil dari interaksi demokratis diantara banyak orang.50

48 Ibid., h. 230 49 Ibid., h. 224 50 Fazlur Rahman, “Implementation of The Concept of State in Pakistani

Milieu”, Islamic Studies, No. 6. (September 1967) h. 205. Lihat jugaKhaleed Abou el Fadl, h. 230

21

Melengkapi prinsip musyawarah, ketika Nabi untuk kali pertama memasuki kota Madinah, beliau menyusun sebuah konstitusi yang jelas memaparkan kewajiban, tugas, dan hak-hak masing-masing kelompok suku (dan juga orang-orang non muslim yang tinggal di Madinah) yang dikenal dengan nama Piagam Madinah.51 Preseden sejarah ini memperkuat gagasan bahwa sistem politik yang sah dalam Islam haruslah pemerintahan konstitusional.

Preseden atau kasus lain yang kerap dikutip dan dijadikan sandaran oleh kaum moderat adalah dibentuknyalembaga perwakilan diawal sejarah Islam yang dikenal dengan istilah ahl-hall wa al-‘aqd.52 Sebelum wafat, khalifahkedua, Umar Ibn al-Khattab, menunjuk sejumlah tokoh dantetua dan terkemuka yang mewakili beragam komunitas di Negara Islam dan memberi mereka kekuasaan untuk memerintah negara dalam periode transisi setelah ia wafat dan kemudian juga memilih khalifah ketiga yang akan memimpin negara muslim. Alasan mereka dikatakan sebagai ahl-hall wa al-‘aqd adalah untuk menandai bahwa sebagai wakil komunitas, mereka punya kekuasaan untuk membuat keputusan yang mengikat pada komunitas itu.53

51 Robert N. Bellah seperti yang dikutip oleh Yudi Latifjuga menyebut sistem Madinah sebagai bentuk nasionalisme yangegaliter partisipatif (equalitarian participant nationalism). Hal iniberbeda dengan sistem republik negarakota Yunani kuno, yangmembuka partisipasi hanya kepada kaum lelaki merdeka, yang hanyameliputi 5 persen dari penduduk. Hal ini menunjukkan bahwa apayang telah dilakukan oleh Nabi merupakasn sebuah trobosan yangsangat modern dalam sistem ketatanegaraan dunia khususnya Islam,untuk lebih jelasnya lihat Yudi Latif, Tafsir Sosiologis AtasPiagam Madinah, dalam Fajar Riza Ul Haq dan Endang Tirtana (ed.).Islam, HAM, dan Keindonesiaan (Jakarta: Ma’arif Institute for Cultureand Humanity, 2007) h. 21

52Al mawardi menamakan orang-orang yang dikelompokkansebagai orang yang berhak memilih kepala negara dengan istilah ahlal-ikhtiyar sedangkan ahl al-imamah adalah orang yangdikelompokkan sebagai orang yang berhak dipilih menjadi pemimpinnegara, untuk lebih jelasnya lihat Abu Hasan al-Mawardi, Al-Ahkamal-Sulthaniyah, (Beirut: Darl al Kutub al-‘Ilmiyah, tt), h.6

53 Ahl-Hall wa al-‘aqd diartikan sebagai orang-orang yangmempunyai wewenang melonggar dan mengikat. Istilah ini telah

22

Terakhir kaum moderat bertumpu pada konsep sensus (‘ijma), atau persetujuan bersama dari sekelompok orangbahwa isu tertentu salah atau benar. Kaum moderat telahmencoba menafsirkan kembali konsep konsensus untuk menopang ide demokrasi yang ditentukan oleh kehendak mayoritas. Kaum moderat berpendapat bahwa untuk tujuan memerintah suatu negara, kehendak rakyat merepresentasikan kedaulatan politik, dan kehendak ini mengikat, dan bersifat wajib. Selain itu mereka menegaskan bahwa pandangan-pandangan atau atau suara setiap warga, muslim atau yang lain, seharusnya juga dipertimbangkan dalam rangka mendapatkan kehendak mayoritas, sehingga nanti dapat menggambarkan kehendak rakyat.54

Oleh sebab itu, kehendak mayoritas harus dihormati, tetapi dalam bingkai parameter konstitusional; jika melanggar batas-batas konstitusional ini kehendak mayoritas tidak akan dihargai. Dengan kata lain, kehendak mayoritas segera dinyatakan sebagai tidak konstitusional. Beberapa orangmoderat mengutarakan bahwa parameter konstitusional seharusnya tidak dibatasi pada masalah hak-hak individu, melainkan mencakup pula prinsip-prinsip etis dan moral Islam. Konsekuensinya, jika mayoritas menghendaki sebuah undang-undang yang berbenturan dengan prinsip etika dan moral Islam, maka undang-undang tersebut akan dianggap inkonstituional.55

Ketika membincangkan tentang demokrasi, salah satupersoalan paling sentral adalah isu kedaulatan yakni siapa yang memegang kedaulatan di dalam sebuah sistem

dirumuskan oleh ulama fiqh untuk sebutan bagi orang-orang yangbertindak sebagai wakil umat untuk menyuarakan hati nurani merekadalam pemilihan. Untuk lebih jelasnya lihat Muhammad Dhiya al-DinAl Rayis, Al-Nazariyat al-Siyasah al-Islamiyah (Mesir, Maktabah al Anjlu,1957), h. 167-168. Khaleed Abou el Fdl, Selamatkan Islam…, h. 231

54 Hal ini mirip dengan teori kedaulatan rakyat yangdikemukakan oleh J.J. Rosseou Perihal Kontrak Sosial atau Prinsip-prinsipHukum Politik, terj. Ida Sundari Husen dan Hidayat (Jakarta: DianRakyat, 1989) h. 102.

55 Khaleed Abou el-Fadl, Selamatkan Islam,…. 232-233

23

demokrasi? Pertanyaan ini terkait dengan pertanyaan siapa pemilik otoritas puncak dan terakhir? Bagi beberapa orang moderat sudah menyuarakan beberapa pendapat terkait dengan hal ini.56 Pertama, bahwa otoritas terakhir ada pada Tuhan, dan dengan begitu Tuhanlah pemegang kedaulatan. Akan tetapi Tuhan telah mendelegasikan otoritas total kepada manusia untuk menjalankan urusan-urusan mereka sesuai dengan kehendakmereka. Tuhan menunda hakNya untuk memberikan pahala atau menghukum siapa yang dikehendakinya kelak di akhirat.

Kedua, bahwa manusia adalah pemegang kedaulatan sepanjang menyangkut hukum yang mengatur masalah-masalah manusia. Tuhan memegang kedaulatan dalam hal-hal yang menyangkut hukum abadi. Karena tugas manusia adalah mengatur hukum yang menyangkut masalah-masalah manusia, dan bukan hukum abadi, manusia bebas mengatur sepanjang peraturan itu berupaya mewujudkan nilai-nilaikebertuhanan di muka bumi.(yaitu berupaya memenuhi hukum abadi). Jika peraturan itu gagal menegakkan nilai-nilai kebertuhanan di muka bumi, hukum semacam itu harus dinyatakan sebagai tidak konstitusional.57

Ketiga, mereka mengatakan bahwa manusia adalah pemegang kedaulatan karena urusan-urusan Tuhan diserahkan kepada tuhan, dan urusan-urusan negara diserahkan pada manusia dan nampaknya pendekatan terakhir ini lebih dekat dengan pandangan sekuler.

Isu selanjutnya yang menjadi diskusi bagi kalanganmoderat adalah peran yang diharapkan dari hukum syari’at atau hukum agama di dalam sebuah sistem demokrasi muslim. Isu terakhir ini terbukti sangat

56 Dalam terminologi Barat hal ini disebut sebagai TeioriKedaulatan Tuhan sedangkan Al Maududi menyebutnya sebagai TeoDemokrasi. Lihat, Abul A’la Al-Maudadi, et al. Esensi Al-Qur’an FilsafatPolitik, Ekonomi, Etika.( Mizan: Bandung, 1984) h. 87.

57Bandingkan dengan pembedaan kekuasaan yang dikemukakanoleh Khallaf dalam Abdul Wahhab Khallaf, Al Siyasah al-Syar’iyyah, terj. Zainuddin Adnan, Politik Hukum Islam (Jogjakarta:Tiara Wacana, 1994) h. 42. Khaleed Abou el-Fadl, Selamatkan Islam….,h. 234

24

menantang, dan karena itu mencuatlah begitu beragam pandangan. Pandangan-pandangan tersebut kemudian dikelompokkan menjadi empat pandangan yakni:

Pertama, mereka menyatakan bahwa peraturan hukum seharusnya ditentukan ditangan rakyat, kecuali untuk sekelompok peraturan hukum yang bersifat inti yang dikenal dengan istilah hudud. Hudud adalah sehimpunan hukum yang secara eksplisit disebut dalam al-Qur’an. Hukum tersebut meliputi seumpamanya, hukuman bagi bagi kasus zina dan pencurian. Walaupun hudud mencakup hukuman pidana yang keras, aspek kekerasan dalam hudud ini menjadi terkurangi oleh kenyataan bahwa syarat pembuktian yang dibutuhkan untuk bisa memberlakukan hukuman ini sangat detail dan banyak persyaratannya.

Kedua, beberapa orang moderat tidak mengamini pandapat di atas dan berpendapat bahwa demokrasi islam seharusnya tidak berupaya menerapkan bagian apapun darihuku Syari’at, dan bahwa satu-satunya hukum yang relevan hukum yang dibuat oleh badan legislatif. Dalam pendekatan ini Syari’at berfungsi sebagai panduan moraldan etika, tetapi rakyat secara keseluruhan seharusnya menjadi sumber satu-satunya bagi proses legislasi.

Ketiga, mereka yang berpendapat bahwa dalam demokrasi Islam, badan legislatif seharusnya memasukkanhukum apapun yang dipandangnya tepat. Namun demikian, harus ada sebuah peradilan tertinggi yang bisa menghapus setiap undang-undang yang tidak sejalan dengan al-Qur’an. Keempat, bahwa undang-undang itu milikrakyat, dan dengan begitu badan legislatif harus bebas menyetujui perundang-undangan yang mereka anggap tepat.Akan tetapi undang-undang harus sesuai dengan standart moral dasar tertentu yang beroleh inspirasinya dari Syari’at. Perundang-undangan yang mencederai moral, bahkan jika dikehendaki oleh sebuah badan legislatif, seharusnya dinyatakan tidak konstitusional atau batal.58

58Kendatipun dalam Islam tidak terdapat sistemketatanegaraan dalam artian teori lengkap namun disana terdapatsejumlah tata nilai dan etika bagi kehidupan bernegara, untuk

25

Kemudian bagaimana dengan pandangan kaum puritan terhadap masalah demokrasi ini? Menurut Khaleed Abou elFadl, nyaris semua yang telah diuraikan dimuka adalah merupakan perilaku bid’ah. Menurut orang-orang puritan bahwa demokrasi adalah temuan orang Barat, dan ini cukup menjadi alasan untuk menolaknya. Selain itu orang-orang puritan bersikukuh pada perlunya penciptaankembali lembaga khalifah sebagai landasan sistem pemerintahan Islam. Dengan ini mereka membayangkan model yang dibangun oleh keempat Khulafa’ al rashidun, yang memegang kekuasaaan setelah meninggalnya Nabi. Orang-orang puritan berusaha menciptakan apa yang mereka bayangkan sebagai replika sistem pemerintahan yang dibangun oleh empat khalifah ini.59

Kenyataan yang gagal diakui oleh orang-orang puritan adalah bahwa para khalifah itu tidak mengambil satu bentuk pemerintahan saja; sebaliknya setiap merekamenerapkan kebijakan-kebijakan yang berbeda dan menciptakan institusi yang berlainan. Dalam kenyataannya, para khalifah itu tidak merepresentasikansuatu teori pemerintahan tertentu, melainkan sebuah institusi historis yang berhasil menyatukan banyak umatIslam pada waktu yang berlainan di masa silam. Intinya,khalifah menjadi suatu simbol kesatuan umat Islam tanpaserta merta membentuk suatu model pemerintahan tertentu.60

Menurut orang-orang puritan, sistem pemerintahan yang tegak diera yang diklaim sebagai masa keemasan khalifah adalah “sistem syuro”, yang ditegaskan oleh orang-orang puritan sebagai lebih tinggi dibandingkan dengan sistem demokrasi Barat. Seperti yang disebut

lebih jelasnya liht Munawir Syadzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran,Sejarah dan Pemikiran (Jakarta: UI Press, 1990), h. 1-2. Khaleed AbouFadl, Selamatkan Islam, ibid., h. 236

59 Untuk lebih jelasnya lihat Munawir Syadzali, IjtihadKemanusiaan (Jakarta: paramadina, 1997), h. 19 dan bandingkandengan Gregory Rose”Velayat-e Faqih and the Recovery IslamicIdentity”, dalam Nikki R. Keddie (ed.). Religion and Politics in Iran;Shi’ism from Quitiesm (London: Yale Univercity Press, 1983), h. 183

60 Khaleed Abou el-Fadl, Selamatkan Islam.., h. 239

26

dimuka, syuro adalah konsep al-Qur’an yang berarti pemerintahan atas dasar musyawarah. Akan tetapi anehnya, orang-orang puritan berbicara seolah-olah ada teori pemerintahan yang utuh dan beda sama sekali yang disebut dengan “syura”. Syura dalam pandangan orang-orang puritan adalah pemimpin despotik yang adil, bijak, dan saleh, yang menerapkan hukum Islam dan memrintah dengan secara berkala merujuk kepada lembaga konsultatif yang mapan. Dalam pandangan orang-orang puritan, seorang pemimpin yang adil adalah pemimpin yang memberlakukan hukum Tuhan. Raja harus memenuhi syarat-syarat yang ketat berkaitan dengan karekter, kesalehan, dan pengetahuan agamanya. Dengan demikian, dia akan sanggup memahami hukum Tuhan. Pemimpin dan ituharus menerapkan perintah al-Qur’an yaitu bermusyawarahdengan orang berilmu dan saleh, pemimpin itu akan memilih tindakan yang tepat.61

Namun hal yang menarik dari kaum puritan adalah mereka sedikit sekali berbicara tentang jaminan prosedural macam apa yang akan mereka buat untuk memastikan bahwa pemimpin yang terpilih itu tetap adil,baik, atau bahkan saleh. Demikian pula, sangat sedikit dibahas ukuran-ukuran yang dipakai untuk memastikan bahwa pemimpin itu akan betul-betul mematuhi undang-undang dalam yurisprudensi Islam dan tidak secara vulgar menyelewengkan mandatnya. Akan tetapi orang-orang puritan mengandaikan bahwa sepanjang lembaga konsultatif menunjuk seorang penguasa yang sangat saleh, kesalehan akan cukup mampu mengendalikannya. 62

Kaum puritan memberikan kekuasaan kepada negara, yang pada kenyataannya, belum pernah ada dalam sejarah Islam. Negara di era modern mampu memobilisasi kekuasaan yang berlimpah dan memaksakan kehendak di dalam kehidupan rakyat dengan cara yang tidak terbayangkan di era pra modern. Kaum puritan menggunakan menggunakan kekuasaan besar untuk menjalankan apa yang mereka yakini sebagai kehendak

61ibid, h. 23962Ibid

27

Tuhan. Dengan menjalankan hukum Tuhan, keadilan akan tertegakkan karena diyakini orang-orang puritan yakin bahwa konsep hak asasi manusia itu sendiri adalah komponen lain dari invasi intelektual Barat. Dengan memberlakukan hukum-hukum Tuhan, orang-orang Puritan percaya, hak-hak Tuhan dan hak-hak manusia terpenuhi dengan baik.63

Menurut kaum puritan bahwa saat ini tidak ada satupun negara Islam yang betul-betul Islam. Semua pemerintahan muslim saat ini tidaklah sah karena diantaranya mereka menerapkan hukum yang ada pada aslinya adalah hukum Prancis atau Inggris. Karena itulah, orang-orang puritan meyakini bahwa pemerintah sekarang harus digulingkan, ketika sarana untuk melakukannya telah tersedia. Inilah salah satu perbedaan antara kaum puritan dan konservatif. Walaupunkaum konservatif benar-benar yakin bahwa negara Islam harus mempraktikkan hukum Tuhan. Mereka juga pada umumnya menolak penggunaan kekerasan dalam rangka mencapai tujuan-tujuan mereka, sementara orang-orang puritan memeluk ideologi kekerasan.64

F. Implikasi Pandangan Kaum Moderat dan Puritan di Indonesia

Umat Islam, pada skala global tidak memiliki sikapdan bahasa yang sama dalam menghadapi isu demokrasi danhak asasi manusia, jika kita coba mengikutikategorisasi Khaled Abou El Fadl, secara kasar dapatterlihat dua kelompok yang saling berhadapan dalammenyikapi masalah demokrasi dan hak asasi manusia yaknipuritan dan moderat, masing-masing kelompok mempunyaialasan untuk merasa sebagai pihak yang benar. Kelompok

63 Bagaimana visi Islam tentang hak-hak asasi manusia telahtenggelam dalam tradisinya dan disebabkan oleh literalisme yangkelewatan dan kekuasaan yang dispotik lihat Roger Garaudy, Hak-hakAsasi dan Islam; Ketegangan Visi dan Tradisi, terj. Abas aL-Jauhari, Islamika, (Oktober-Desember 1993) h.2.

64 Khaleed Abou Fadl,Selamatkan Islam, h. 240

28

puritan cenderung bersikap anti terhadap semua systemBarat, khususnya demokrasi dan hak-hak asasi manusia,tetapi menikmati berbagai hasil teknologinya. Di matamereka, demokrasi dan hak-hak asasi manusia sebagaiproduk Barat harus dilawan karena merusak Islam. Merekaingin menciptakan sebuah dunia berdasarkan pemikiranmereka yang monolitik terhadap Al-Qur’an dan sejarahnabi. Kelompok ini ingin mengubah dunia secara beranidan cepat, sekalipun harus dibayar dengan darah.Sebenarnya kelompok ini tidak punya gagasan peradabanyang jelas, tetapi relative terikat oleh ideologytunggal yang fasitis. Di antara doktrin yang mengikatmereka adalah doktrin taat kepada pemimpin, hampirtanpa reserve, karena itu, ada yang menggolongkan merekasebagai faksi totalitarian dengan payung syari’ah.

Pada kutub moderat, pada umumnya mereka menerimadan membela gagasan demokrasi dan hak-hak asasimanusia. Kelompok ini tidak risau apakah gagasan ituberasal dari Barat atau Timur, selama prinsip-prinsipitu mendukung cita-cita Al-Qur’an bagi tegaknyakeadilan, perdamaian, moralitas, dan hubungan baiksesama umat manusia.

Dalam konteks keindonesiaan yang terjadisebenarnya tidak berbeda dengan dua kelompok yangdisebutkan di atas. Ada golongan-golongan yang masihmencoba untuk menjadikan agama (Islam) sebagai dasarnegara, dan seperti yang telah penulis tuliskan diatas, kondisi seperti ini terjadi karena rapuhnyasystem konstitusi Indonesia, sehingga diperlukan adanyaperubahan pada konstitusi.

Perubahan Undang-Undang Dasar Negara RepublikIndonesia 1945 (UUD 1945), sebenarnya diharapkan akanmemperjelas posisi antara negara dengan agama ini, agartidak lagi diungkit-ungkit oleh generasi-generasipenerus Indonesia, tapi nampaknya perubahan UUD 1945tidak mengakibatkan UUD 1945 menjadi transparan, malahsebaliknya terjadi perhelatan dalam membahas dan

29

meletakkan perubahan serta tambahan substansi UUD194565. Sehingga permasalahan posisi agama dan negarabelum juga terselesaikan.

Kondisi seperti ini, apabila kita lihat terjadilebih karena memang tidak di inginkan oleh parapenyusun UUD, orang-orang yang ada secara politis tidakmenginginkan adanya perubahan tentang posisi agama dannegara dalam UUD, kondisi seperti ini sama dengan apayang dinyatakan oleh Niccolo Machiavelli bahwa tidakada yang lebih sulit untuk dilakukan, lebih tidak pastikesuksesannya, atau lebih berbahaya dibanding denganmembuat suatu system baru yang lainnya. Apapun nama danbentuknya karena sang pelopor pembaruan akan berhadapandengan semua pihak yang mendapatkan keuntungan darisystem yang lama dan hanya akan mendapatkan dukungansetengah hati dari para pihak yang menginginkankeuntungan dari system yang baru.

Ungkapan Machiavelli di atas barangkali adabenarnya, bahwa bagi pembaharu UUD tidak sepenuhnyamendapatkan dukungan, sehingga nantinya akan merugikanpihakincremental ortodoks24. Mereka sudah faham betul caramengais keuntungan dari system yang lama. Jadi, jikamau menginovasikan system yang baru, maka marilah kitaberembuk dahulu untung ruginya, baik-buruknya, enaktidaknya, dan segalanya yang bersamaan dengan itu.

Masih dalam konteks keindonesiaan, umat Islam diIndonesia, menurut Kuntowijoyo, memiliki komitmen atasdemokrasi yang tidak perlu diragukan lagi.66 Hal inidapat terjadi karena memang tidak ada perbedaan antarademokrasi dengan syari’ah Islam. Jika kemudian dipaksakandengan menjadikan Agama (Islam) sebagai dasar negara,maka tulisan Ali Abdel Raziq yang berjudul Al-Islam waQawa’id as-Sulthan (Islam dan Sendi-sendi Kekuasaan) dankemudian diterjemahkan dalam bahasa Inggris dengan

65 Abraham Amos, Sistem Ketatanegaraan Indonesia  (Jakarta:PT. Raja Grafindo, 2007), h. 287

66Kuntowijoyo, Identitas Politik Umat Islam, (Bandung: Mizan, 1997), h. 95

30

judul Islam and The Bases of Power layak untuk kitarenungkan. Dalam buku ini, Abdel Raziq menyangkaladanya kerangka kenegaraan dalam Islam. Al-Qur’an tidakpernah menyebut-nyebut sebuah “negara Islam” (DaulahIslamiyah an Islamic state), katanya. Hanya menyebut negarayang baik, penuh pengampunan Tuhan (Baldatun thayyibatun warabbun ghafur). Disini sebenarnya dapat kita lihatbagaimana Raziq telah menerima ajaran sekularisasi,dimana agama tidak memiliki sangkut paut dengan urusannegara, meskipun dia telah mengeluarkan dasar-dasaryang tergolong kuat.67

G. Catatan terhadap Pemetaan Khaleed Abou El Fadl Terhadap Pandangan Kaum Moderat dan Puritan Tentang HAM dan Demokrasi.

Dari pemetaan yang dilakukan oleh Khaleed Abou Fadl tentang pandangan kaum moderat dan kaum puritan mengenai konsep hak asasi manusia dan demokrasi merupakan sebuah potret dari tanggapan orang-orang Islam terhadap konsep hak asasi manusia dan sistem demokrasi yang menurut sebagian orang Islam penuh dengan kontroversial, tidak sesuai dengan ajaran Islam,dan merupakan salah satu propaganda Barat untuk menjajah Islam.

Dari hasil pemetaannya terhadap dua kelompok tersebut Khaleed Abou Fadl nampaknya “berat sebelah” dalam membahas argumentasi yang diberikan oleh kaum puritan. Khaleed Abou Fadl tidak melakukan sebuah sintesis terhadap kedua pendapat yang dikemukakan baik oleh kalangan moderat maupun kaum puritan sehingga apa yang telah dikemukakan tidak terlalu bias ataupun subyektif.

Dalam masalah hak-hak asasi manusia Khaleed Abou Fadl sama sekali tidak menyuguhkan pendapat dari kelompok puritan. Hal ini bisa dimaklumi karena kaum 67Abdurrahman Wahid, Tuhan Tidak Perlu Dibela, (Jogjakarat:LKiS, 2010), h. 109

31

puritan menolak prinsip hak-hak asasi manusia yang dikemukakan oleh PBB secara keseluruhan. Mereka beranggapan bahwa nilai-nilai HAM yang datang dari Barat mengandung unsur bias etnosentris yang merepresentasikan nilai sosio kultural Judeo-Kristen masyarakat Barat dan mereka tidak menerima kalau HAM diklaim sebagai satu-satunya standarhukum internasionalmodern yang bersifat universal sehingga dapat diterima dinegara mana saja dan kapan saja.

Untuk konsep demokrasi kalau boleh dikatakan bahwabias ideologis Abou Fadl sangat kentara, hal ini bisa dilihat dari analisis yang tajam dan mendalam ketika mengkritisi argumentasi yang dikemukakan oleh kaum puritan, sedangkan untuk kaum moderat sebaliknya. Khaleed abou Fadl cenderung melakukan “pembiaran” terhadap argumentasi yang kurang jelas dari kaum moderat seperti konsep ijma’ yang dikemukakan oleh mereka dalam menopang ide demokrasi, Khaleed Abou Fadl tidak menjelaskan secara detail dari pandangan kaum moderat tentang maksud, tujuan, dan konsep ijma’ seperti apa yang akan diterapkan dalam menopang ide demokrasi yang mereka gagas. Padahal, pada dasarnya konsep ijma’ tidak pernah terlaksana dan dilaksanakan dalam sejarah Islam. Jika ijma’ yang dimaksudkan adalah kesepakatan seluruh umat Islam yang ada pada suatu negara tersebut, maka mustahil konsep ini dilaksanakan oleh negara manapun. Namun jika yang dimaksudkan adalahijma’ dari sekumpulan wakil yang ditunjuk oleh masyarakat(parlemen) maka hal itu bisa dilaksanakan.

Begitu juga dengan konsep syuro, Khaleed tidak melakukan sebuah kompromi atau sintesa terhadap dua pendapat tersebut, Khaleed cenderung menelanjangi konsep yang dikemukakan oleh kaum puritan ketimbang melakukan sebuah sintesis. Padahal, sebagai sebuah konsep, syuro dalam Islam tidak berbeda dengan demokrasi. Baik syuro maupun demokrasi muncul dari anggapan bahwa pertimbangan kolektif (collective liberation) lebih mungkin melahirkan hasil yang adil dan masuk akalbagi kebaikan bersama daripada pilihan individual.

32

Kedua konsep tersebut mengasumsikan bahwa pertimbangan mayoritas cenderung lebih komprehensif dan akurat ketimbang penilaian minoritas. Dengan demikian keduanyamenjalankan aturan masyarakat melalui penerapan hukum bukannya aturan-aturan individual atau keluarga dengan keputusan yang otokratis.

Pada dasarnya demokrasi dan syuro tidaklah jauh berbeda secara konsep dan prinsip, meskipun keduanya mungkin berbeda dalam rincian penerapannya disesuaikan dengan adat-kebiasaan lokal setempat. Keduanya menolak pemerintahan apapun yang mengurangi legitimasi pemilihan yang bebas, diktator, lalim, kejam dan tidak pro rakyat. Begitu juga logika demokrasi dan syuro tidak menyetujui undang-undang keturunan. Kemerdekaan dan kompetensi tidak bisa dimonopoli oleh beberapa individu atau keluarga.

33

DAFTAR PUSTAKAAl Rayis, Muhammad Dhiya al-Din, Al-Nazariyat al-Siyasah al-

Islamiyah (Mesir, Maktabah al Anjlu, 1957)

Al-Maudadi, Abul A’la, et al. Esensi Al-Qur’an Filsafat Politik,Ekonomi, Etika.( Mizan: Bandung, 1984)

Al-Mawardi, Abu Hasan, Al-Ahkam al-Sulthaniyah, (Beirut:Darl al Kutub al-‘Ilmiyah, tt),

Anshari Tayyib (ed.) HAM dan Pluralisme Agama (Surabaya:PKSK, 1997)

Baderin, Mashood A., International Human Rights And Islamic Law(London: Oxford University Press, 2003)

Dwyer, Kevin, Arab Voice; Human Rights Debate in the Middle East(Barkerley: Univercity of California, 1991)

El Fadl, Khaleed Abou, Selamatkan Islam dari Muslim Puritan(Jakarta, Serambi, 2005)

Esposito, John L., Ancaman Islam Mitos Atau Realitas, terj.Alwiyah Abdurrahman dan MISSI. (Bandung: Mizan,1994)

Garaudy, Roger, Hak-hak Asasi dan Islam; KeteganganVisi dan Tradisi, terj. Abas aL-Jauhari, Islamika,(Oktober-Desember 1993)

Khallaf, Abdul Wahhab, Al Siyasah al-Syar’iyyah, terj.Zainuddin Adnan. (Jogjakarta: Tiara Wacana, 1994)

--------, ‘Abd Wahhab, ‘Ilm Ushul al-Fiqh (Kuwait: Darl al-Qalam, tt)

Latif, Yudi, Tafsir Sosiologis Atas Piagam Madinah,dalam Fajar Riza Ul Haq dan Endang Tirtana (ed.).Islam, HAM, dan Keindonesiaan (Jakarta: Ma’arifInstitute for Culture and Humanity, 2007)

34

Mayer, Ann Elizabeth, Islam Tradition and Politics HumanRights, (Westview Press, 1995), h. 2.

-------,Islam and Human Rights, Tradition dan Politics (London:Pinter Publishers, 1995),

Nasution, Harun, dan Bachtiar Efendi (ed.). Hak AsasiManusia dalam Islam (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,1978)

Nashr, Seyyed Hossein, Islamic Life and Thought (New York:State Univercity of New York Press, 1992)

Syadzali, Munawir, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah danPemikiran (Jakarta: UI Press, 1990)

-------, Ijtihad Kemanusiaan (Jakarta: paramadina, 1997)

Syihab, Alwi, Islam inklusif; menuju sikap terbuka dalam beragama,(Bandung: Mizan, 1999)

Rahman, Fazlur, “Implementation of The Concept of State inPakistani Milieu”, Islamic Studies, No. 6. (September 1967)

Rosseou, J.J., Perihal Kontrak Sosial atau Prinsip-prinsip HukumPolitik, terj. Ida Sundari Husen dan Hidayat (Jakarta:Dian Rakyat, 1989)

Rose, Gregory, ”Velayat-e Faqih and the RecoveryIslamic Identity”, dalam Nikki R. Keddie (ed.).Religion and Politics in Iran; Shi’ism from Quitiesm (London:Yale Univercity Press, 1983)

35