MENYINGKAP SELUBUNG IDEOLOGI CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY (CSR) DI INDONESIA (Analisa Teori...

194
MENYINGKAP SELUBUNG IDEOLOGI CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY (CSR) DI INDONESIA (Analisa Teori Kritis Terhadap Keberpihakan CSR di Indonesia) SKRIPSI Disusun Oleh : ABDUL KODIR 070710004 PROGRAM STUDI SOSIOLOGI DEPARTEMEN SOSIOLOGI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS AIRLANGGA SURABAYA Semester Ganjil Tahun 2011/2012

Transcript of MENYINGKAP SELUBUNG IDEOLOGI CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY (CSR) DI INDONESIA (Analisa Teori...

MENYINGKAP SELUBUNG IDEOLOGI CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY (CSR) DI INDONESIA

(Analisa Teori Kritis Terhadap Keberpihakan CSR di Indonesia)

SKRIPSI

Disusun Oleh :

ABDUL KODIR 070710004

PROGRAM STUDI SOSIOLOGI

DEPARTEMEN SOSIOLOGI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS AIRLANGGA SURABAYA

Semester Ganjil Tahun 2011/2012

ii

PERNYATAAN TIDAK MELAKUKAN PLAGIAT

Bagian atau keseluruhan isi Skripsi ini tidak pernah diajukan untuk

mendapatkan gelar akademis pada bidang studi dan/atau universitas lain dan

tidak pernah dipublikasikan/ditulis oleh individu selain penyusun kecuali bila

dituliskan dengan format kutipan dalam isi Skripsi. Apabila ditemukan bukti bahwa pernyataan saya tidak benar, maka saya

bersedia menerima sanksi sesuai ketentuan yang berlaku di Universitas

Airlangga.

Surabaya, 7 Desember 2011

NIM 070710004

Abdul Kodir

iii

MENYINGKAP SELUBUNG IDEOLOGI CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY (CSR) DI INDONESIA

(Analisa Teori Kritis Terhadap Keberpihakan CSR di Indonesia)

SKRIPSI

Dibuat sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan studi S1 pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga

Disusun oleh

070710004 Abdul Kodir

PROGRAM STUDI SOSIOLOGI

DEPARTEMEN SOSIOLOGI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS AIRLANGGA SURABAYA

Semester Ganjil Tahun 2011/2012

iv

MENYINGKAP SELUBUNG IDEOLOGI CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY (CSR) DI INDONESIA

(Analisa Teori Kritis Terhadap Keberpihakan CSR di Indonesia)

Skripsi ini telah memenuhi persyaratan dan disetujui untuk diujikan

Surabaya, 7 Desember 2011

Dosen Pembimbing

Prof. Dr. Musta’in Mashud, Msi NIP 196001201986041001

v

Skripsi ini telah diujikan dan disahkan dihadapan Komisi Penguji

Program Studi Sosiologi

Departemen Sosiologi

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Airlangga

Pada hari : Senin

Tanggal : 16 Januari 2012

Pukul : 13.00 WIB

Komisi Penguji terdiri dari:

Ketua Penguji

Drs. Herwanto, MA.

NIP 195110051079011002

Anggota Anggota

Prof. Dr. Musta’in Mashud, Msi Drs. Edy HerryP, M.Si

NIP 195110051079011002 NIP 196403131991111001

vi

Halaman Motto

“kini tak ada waktu untuk berpikir tentang apa yang tak kau miliki, berpikirlah tentang apa yang bisa kau lakukan dengan apa yang ada”

— Ernest Hemingway

Halaman Persembahan

vii

Skripsi ini dipersembahkan untuk:

“Someone who i love & Loves me”

ABSTRAK

Fenomena munculnya tanggung jawab sosial perusahaan atau yang lazim disebut dengan Corporate Social Responsibility (CSR) yang merupakan sebuah respon msyarakat global terhadap proses industrialisasi yang dilakukan oleh korporasi MNC/TNC yang secara nyata menyebabkan masalah ekologi, HAM, dan permasalahan sosial lainya yang perlu untuk segera ditangani. Fakta-fakta

viii

kerusakan ekologi pada tingkat planet yang jelas. Ada banyak ciri-ciri kerusakan seperti: lahan pertanian, hutan hujan dan berhutan daerah, padang rumput dan sumber air tawar semua berisiko. Pada tingkat global, lautan, sungai dan ekosistem air lainnya mengalami kerusakan. Seiring dengan perkembangannya, CSR ini dianggap sebagai anak dari korporasi untuk tetap mempertahankan eksistensinya di tengah masyarakat global, sehingga bisa melakukan proses produksi tanpa henti.

Permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana CSR sebagai sebuah strategi pembangunan di Indonesia dalam perspektif teori yang digunakan dan bagaimana ideologi atau keberpihakan CSR itu sendiri. Rumusan masalah ini dianalisa dengan menggunakan teori kritis dengan metode kritik ideologi atau kritik atas metodologi positivisme dengan menggunakan langkah subversif atau keluar dari common sense dan historis

Dalam penelitian ini ditemukan adanya inkonsistensi dalam regulasi di tubuh CSR itu sendiri sehingga menyebabkan multitafsir, belum terbentuknya PP sebagai sebagai pelaksanaan teknis CSR, diperburuk dengan kenyataan program CSR yang hanya bersifat brand image dan juga CSR itu sendiri membuat masyarakat semakin terbelenggu karena mulai menggantungkan CSR sebagai suatu alternatif solusi dalam mengatasi permasalahan yang ada. CSR juga menganut ideologi investasi dimana para pemodal akan terus melaju kepada perusahaan yang melakukan program CSR dikarenakan citra positif yang dibangun kepada masyarakat.

Kata kunci: CSR, Korporasi, Ideologi, Kritik Ideologi, Teori Kritis

ABSTRACT

The phenomenon of the emergence of corporate social responsibility, or commonly known as Corporate Social Responsibility (CSR which is a global society response to the industrialization process undertaken by the coporation (MNC / TNC) which brings on ecological issues, human rights and other social issues that need to be handled. The fact on the planet’s ecological damage is obvisius. There are a lot of damage characteristic such as agricultural land, rain

ix

forest and wood areas, grasslands and freshwater sources are al that risk. At the global level, the oceans, rivers and other aquatic ecosystems damaged. Along with its development, CSR is regarded as subsidiary of the corporation to maintain its presence in the global society, so they can do without stopping the production process.

Problems in this study how CSR as strategy of development in Indonesia in the pespective of the theory used and how the ideology or partisanship CSR it self. Formulation of the problem is analyzed using the methods of critical theory of ideology critique or criticism of the methodology of positivism by using subversive or step out of common sense and historical.

In the present study found no inconsistency in the regulation of CSR in the body itself, causing multiple interpretations, not the formation of PP as the technical implementation of CSR, exacerbated by the fact that CSR programs are just brand image and CSR itself makes people begin to rely increasingly tied by CSR as an alternative solution to overcome the existing problems. CSR also embraced the ideology of investment where the investors would go to companies that perform CSR program which is built due to a positive image to the public

.

Key Words: CSR, Corporate, Ideology, Ideology Critique,

Critical Theory

KATA PENGANTAR

Akhirnya skripsi ini berhasil diselesaikan dengan usaha yang tidak sedikit.

Skripsi berjudul ‘Menyikap Selubung Ideologi CSR (Analisa Teori Kritis Terhadap

Keberpihakan CSR di Indonesia)’ ini penulis angkat berdasarkan fenomena wacana

x

CSR yang muncul karena banyak menjadi perhatian khusus di kalangan bisnis

maupun para pengamat sosial. Namun kemunculan CSR itu sediri banyak pihak

yang pro dan kontra dalam menanggapi kemunculan CSR itu sendiri.

Berkat usaha peneliti, serta bantuan yang tidak bisa dikatakan sedikit dari

banyak pihak, maka skripsi ini dapat diselesaikan. Diharapkan, selain sebagai

syarat kelulusan program studi S1 Sosiologi, skripsi ini juga dapat membuka ruang

diskusi bagi studi-studi dengan tema serupa, serta memberikan pijakan bagi

terbukanya alat analisis baru, di luar alat analisis mainstream dalam melihat

persoalan. Kritik dan masukan peneliti terima, dalam rangka membuka ruang

diskusi sebagaimana peneliti inginkan. Semoga skripsi ini dapat membuka

imajinasi sosiologis pembaca sampai titik yang paling jauh.

Penulis sampai pada titik akhir penulisan skripsi ini tentu dengan dukungan

dan bantuan dari banyak pihak. Pada gilirannya, pada skripsi inilah terekam jejak-

jejak memori penulis. Maka, pada kesempatan ini penulis ingin sampaikan terima

kasih kepada :

1. Allah SWT atas segala nikmat dan karuniaNya yang telah diberikan kepada

penulis, sungguh kuasa Engkau tiada satupun dapat menandinginya.

2. Nabi Muhammad SAW yang senantiasa menjadi suri tauladan kepada

seluruh umatnya.

3. Kedua Orang Tua penulis, (alm) abah dan mamak, untuk segenap kasih

sayang yang diberikan sepanjang masa dan tetesan air matanya dalam do’a

yang tak akan pernah bisa terbayarkan dengan apapun. Untuk kakak-kakak

xi

ku yang tak pernah lelah untuk memberikan semangat dalam bentuk moril

maupun materiil yang menghendaki penulis untuk melanjutkan pendidikan

lebih tinggi dan untuk adik-adikku tercinta agar senantiasa selalu berusaha

membuat mamak kalian bangga…

4. (Alm) H. Muhammad Nur & Hj. Mudrikah dan Bpk Ismail Sekeluarga, Mas

Eddy yang telah banyak membantu keluarga penulis. KH. Abdul Muchid

Djaelani dan segenap keluarga Besar Muhammadiyah Jombang, atas segala

kesabarannya mendidik penulis.

5. Pak Pandu Hendrawan & Ibu Andriana Ocnova, mbak Mariska Yostina atas

segala kasih sayang, perhatian, kepercayaan serta dukungannya kepada

penulis, Eugenia Amanda (Dekyang) yang telah mencurahkan segenap

perhatian, kasih sayang, luapan emosi dalam setiap duka dan suka, yang

selalu setia dan sabar menemani penulis. Terima Kasih. GBU.

6. Keluarga Besar Departemen Sosiologi Fisip Unair ; Prof. Musta’in Mashud

yang senantiasa memberikan kesempatan kepada penulis untuk berkembang

dan bimbinganya hingga menyelesaikan penulisan akhir skripsi, Prof. I.B

Wirawan yang menjadi dosen wali penulis selama menjadi mahasiswa, Pak

Herwanto selaku Ketua Departemen Sosiologi. Prof. Hotman Siahaan, Prof.

Soetandjo, Dr. Daniel T. Sparringa, Ibu Sutinah, Pak Doddy, Pak Novri,

Bapak Eddy Hery, Pak Karnaji, Pak Sudarso, dan semua dosen departemen

Sosiologi lainnya yang telah memberikan inspirasi bagi penulis untuk terus

belajar.

xii

7. Segenap kawan-kawan Sosiologi 07 (Gumbul’07) yang telah membuka

awalan sebuah cerita di bangku kuliah, Bima, Dida, Bobby, Tresye,

Adith’Gebleh’, Nora, Dimaz, terima kasih untuk celoteh-celoteh yang tak

pernah ada habisnya. Denis’Negro’, Yunita’Shep2’, Alfan, Yoga’gepeng’,

Indra’Jabriks’, Adi’Pay’ untuk canda tawa yang tak pernah putus. Sabrina,

Noni’si cantik’, Mirmor, Uli’, Mbak Siska, Sarah, Amanda,

Mukhlisin’Sammy’, Jaya, Citra, Ika, Ayu, (Alm) Tina.. semoga engkau

tenang disisi-Nya, Robby, Rima. Iik Nindy’Nyo2, Nia, senang telah

mengawali sebuah tali pertemanan dengan kalian . Untuk Yogi, Adit’Kak

Fu’ yang terima kasih karena telah banyak meluagkan waktunya untuk

membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi, Cak Kirun, Cak War, Mas

Proy, Era’, Mbak Titis, Mbak Anik, Cak Bolot, Bayu, Dhana dan segenap

Keluarga Besar Himpunan Mahasiswa Sosiologi. Proud Become Sociolog !

8. Keluarga Besar GMNI Komisariat FISIP UNAIR, Untuk para terdahulu

Mas Ambon, Cak Ek, Mas Reno, Mas Ximen, Mas Mujib, Mas Hari, Bung

Koala, Mas Agus (Bogang), Mas Joko, Mas Rambak, Mbak Nila Mbak

Riska (Mamake), Skie, Mbak Nimas, Yosevin, Bowo, Mas Ozy, Rangga,

Aswin, Piere, Ken, Teddy’Ateng’, Amanu, Mbak Sundari, Gabriel’Botak’,

Frans’Jinggo’ terima kasih untuk segenap pelajaran yang telah diberikan.

Kawan2 Kader 2007, Nizen, Ayu Irene’Emon’, Ijal, Didit, Nora, Iis’Nduty’,

Fitrah’Petruk’, Bundin, Aditya’embek’ Femy’Amoy’, Dika, Intan,

Hubert’Ute’ thanks untuk berbagi cinta, cita dan harapan kalian. Adik-

adikku Haryo, Nato, Dimas’Frocky’, Edwin, Ben, Zakky, Yerry, Lexy,

xiii

Ardian’Mimen’, Eggy’Pak dhe’, Vanny, Otit’Alay’, Ardina, Mirza’Pak Kus

’Andhika’Besek’, Imas, Titi, Ifa, Jodi, Karim, Yuni, Jatayu, Ambon, Yoga,

Dira, Meteor, Jadilah Kayu Bakar dalam setiap Api Perjuangan. Sungguh

teramat bangga sekali menjadi bagian Keluarga Besar GMNI FISIP Unair,

sebuah ruang yang tak akan pernah terlupakan dalam setiap detik yang telah

terlewati. Pemikir-Pejuang, Pejuang-Pemikir. MERDEKA!! GMNI

DJAYA! MARHAEN MENANG!

9. Kelurga Besar FISIP Unair, Pak I Basis Soesilo (Dekan Fisip), Pak Dugis,

Pak Djodi yang telah banyak Mas Yunus, Mas Joko, Pak Bambang atas

waktu yang diberikan untuk ruang-ruang diskusi dan selalu memberikan

pengetahuan baru. Dan segenap jajaran Dekanat, Dosen & Karyawan FISIP

UNAIR yang telah banyak mendukung dan berkontribusi untuk aktifitas

kemahasiswaan. Dan tetap menjadikan Kampus FISIP UNAIR sebagai

miniatur Indonesia dengan segala dinamikanya.

10. Segenap Jajaran Pengurus BEM FISIP UNAIR 2009-2010 yang tetap

konsisten menghidupkan kampus dengan segala kegiatannya. Seluruh Tim

Sumber Redjo, yang harus berjuang lebih keras lagi untuk menjuarai Fisip

Super League. Teman2 Fisip, Dhani’Cepot’ sahabat yang tak lekang oleh

waktu, thanks banyak menjadi ruang curahan hati dan kegilaanya, ayie yang

kini telah menghilang. Sita adek kecil, Mas Praja, Meylysania’Cece’ untuk

wawasan keilmuan Hubungan Intenasional. Vita makasih untuk jalan-jalan

kelililng Lombok. CSku Gopok, Diaz, Tomi, Niko, Adhit seng woles yo

cak. Kerabat Antropologi dengan segala canda gurau nya dan selalu

xiv

menhidupkan suasana kampus. Teman2 HMI, KAMMI, PMII ynag telah

memberi di kampus kita.

11. Serta semua pihak yang tak dapat penulis sebut, rasa terima kasih takkan

cukup untuk ditumpahkan di atas kertas kosong ini.

Penulis

DAFTAR ISI

BAGIAN AWAL Halaman Judul Dalam ........................................................................................ i Halaman Pernyataan Tidak Melakukan Plagiat ................................................. ii Halaman Pengungkapan Maksud Penulisan Skripsi ........................................ iii Halaman Persetujuan Pembimbing .................................................................. iv Halaman Pengesahan Panitia Penguji ............................................................... v

xv

Halaman Motto .................................................................................................. vi Halaman Persembahan .................................................................................... vii Abstrak ........................................................................................................... viii Kata Pengantar .................................................................................................. x Daftar Isi ........................................................................................................... xv Daftar Tabel .................................................................................................. xvii BAB I PENDAHULUAN ........................................................................... I. 1 I.1. Latar Belakang ................................................................................ I. 1 I.1.1 Diskursus CSR ............................................................................. I. 2 I.1.2 CSR di Indonesia ....................................................................... I. 11 I.2. Rumusan Masalah ......................................................................... I. 19 I.3. Tujuan Penelitian .......................................................................... I. 21 I.4. Manfaat Penelitian ........................................................................ I. 22 I.5. Kajian Teoritik .............................................................................. I. 22 I.5.1 Positivisme .................................................................................... I. 22 I.5.1.1 Normatif ......................................................................................I. 22 I.5.1.2 Linier ......................................................................................... I. 24 I.5.1.3 Natural ....................................................................................... I. 25 I.5.2 Teori Kritis .................................................................................... I. 26 I.5.2.1 Historis ....................................................................................... I. 26 I.5.2.2 Dialektis ...................................................................................... I. 26 I.5.2.3 Dominasi .................................................................................... I. 27 I.6 Metode Penelitian .......................................................................... I. 27 I.6.1 Positivisme ................................................................................ I. 28 I.6.2 Teori Kritis ................................................................................ I. 30 I.6.2.1 Subversif ................................................................................. I. 36 I.6.2.2 Historis .................................................................................... I. 37 I.6.3 Kontekstualisasi Metode ............................................................... I. 38 I.6.3.1 Jenis Penelitian ............................................................................ I. 38 I.6.3.2 Isu – isu Penelitian ...................................................................... I. 39 I.6.3.2.1 Agenda CSR ............................................................................I. 40 I.6.3.2.1 Ideologi ....................................................................................I. 41 I.6.3.3 Teknik Pengumpulan Data ......................................................... I. 42 I.6.3.4 Jenis Data .................................................................................... I. 42 I.6.3.5 Teknik analisis Data ................................................................... I. 43 BAB II Sejarah dan Perkembangan CSR ................................................ II. 1 II.1 Sejarah CSR ...................................................................................... II. 3 II.1.1 Sejarah CSR Di Tingkat Internasional ........................................... II. 4 II.2 Definisi CSR ................................................................................. II. 11 II.3 Regulasi CSR di tingkat Global .................................................... II. 17 II.4 CSR di Indonesia .......................................................................... II. 26 II.4.1 Pengaturan dan Pelaksanaan CSR di Indonesia .......................... II. 40

xvi

II.4.2 Standarisasi Pelaksanaan CSR di Indonesia ............................... II. 45 BAB III Analisis Data ................................................................................ III. 1 III.1 Pengertian “Kritik” Dalam Tradisi Madzhab Kritis ...................... III. 1 III.1.1 Kritik Dalam Arti Kantian .......................................................... III. 6 III.1.2 Kritik dalam arti Hegelian ........................................................... III. 7 III.1.3 Kritik dalam arti Marxian ........................................................... III. 9 III.1.4 Kritik dalam arti Freudian ............................................................ III. 12 III.2 Kritik Madzhab kritis Atas CSR di Indonesia ........................... III. 14 III.2.1 CSR menjadi Strategi Pembangunan di Indonesia .................. III. 14 III.2.1.1 Fakta Lemahnya Implementasi CSR di Indonesia...................III. 29 III.2.2 Proses Pelaksanaan dan Hasil .................................................. III. 34 III.3 Ideologi CSR di Indonesia ........................................................... III. 40 BAB IV Penutup ............................................................................................ IV. 1 IV.1 Kesimpulan .................................................................................... IV. 1 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN

xvii

DAFTAR TABEL Tabel I. 1. Peta Paradigma Positivisme dan Kritis .............................................. I. 40

I. 1

BAB I

PENDAHULUAN

Peter Drucker, 2004.

I.1. Latar Belakang Masalah

Corporate social responsibility is a dangerous distortion of business principles. If you find an executive who wants to take on social responsibilities, fire him. Fast.

1

Fenomena munculnya tanggung jawab sosial perusahaan atau yang lazim

disebut dengan Corporate Social Responsibility (CSR) merupakan salah satu

perkembangan dari sistem ekonomi politik global. Dan juga merupakan kewajiban

untuk perusahaan multinasional untuk menunjukkan tanggung jawab lebih besar

dalam hal transparansi dan akuntabilitas terhadap lingkungan sekitar

perusahaannya. Para pemilik perusahaan, mengibaratkan CSR sebagai sumber

baru yang potensial dari pemerintahan global, yaitu mekanisme untuk mencapai

keputusan bersama untuk menangani masalah pembangunan yang dilakukan oleh

perusahaan asing dengan atau tanpa partisipasi pemerintah. Studi berikut ini akan

membahas tentang fenomena CSR di dunia yang sampai saat ini menuai pro dan

kontra. Bagi pihak yang mendukung adanya CSR itu berpendapat perlunya

pembangunan yang berkelanjutan dilakukan oleh pihak perusahaan terhadap

lingkungan sekitarnya. Namun bagi pihak yang menolak adannya CSR tersebut

dikarenakan CSR mempunyai agenda terselubung dan syarat akan kepentingan

dari para pemilik perusahaan.

1 Peter Drucker dalam S. B. Banerjee, A Critical Perspective On Corporate Social Responsibilty : Toward A Global Governance Framwork. Hal 2.

I. 2

I.1.1 Diskursus CSR

Sejumlah faktor munculnya CSR di arena internasional salah satunya

adalah dengan kekuatan dan pengaruh perusahaan multinasional, khususnya

dampaknya di negara-negara berkembang tentang hak asasi manusia, lingkungan,

dan pekerjaan. Keprihatinan ini telah datang di tahun 1970-an, tetapi mereda pada

tahun 1980. Sampai saat ini LSM, NGO atau masyarakat Internasional mengakui

bahwa operasi produksi perusahaan multinasional besar memiliki dampak kritis

pada tekanan lingkungan, praktek pasar tenaga kerja, pembangunan ekonomi

regional, dan budaya yang lebih luas. Perusahaan multinasional sering terlihat

sebagai kendaraan dari proses globalisasi yang, di satu sisi, ditandai dengan

integrasi ekonomi dan konvergensi, dan di lain pihak dengan ketegangan sosial,

pembangunan yang tidak merata, dan kesenjangan sosial. Ketika jaringan

produksi global mereka membuatdi bidng ekonomi jembatan ekonomi, dan politik

memberikan dampak terhadap dengan memperburuk perbedaan spasial dalam

hidup dan standar perburuhan, kesehatan, dan hak-hak individu. Bersamaan

dengan itu, mereka menginduksi proses hibridisasi budaya dan difusi yang

mengancam identitas lokal. Perusahaan multinasional dapat dengan mudah, oleh

karena itu, menjadi simbol dari sebuah zaman baru eksploitasi, imperialisme, dan

kolonialisme.2

Perusahaan multinasional secara de facto, menjadi bagian dari struktur

pemerintahan global. Di bawah kedok "corporate citizenship", perusahaan besar

yang menggusur negara sebagai penyedia dan pelindung hak-hak sipil dan politik.

2 Levy, D. L., & Newell, P, Multinationals in global governance. In S. Vachani (Ed.), Transformations in global governance: Implications for multinationals and other stakeholders, Edward Elgar: London, 2006. Hal 56.

I. 3

Perusahaan multinasional, dalam peran mereka sebagai investor, inovator, ahli,

produsen, pelobi, dan pengusaha, memainkan peran kunci dalam masyarakat, dari

media dan hiburan untuk lingkungan dan kondisi kerja. Sebagai contoh, keputusan

penelitian dan pemasaran perusahaan farmasi menentukan siapa yang memiliki

akses terhadap perawatan yang penyakit dan penentuan harga .3

Sementara itu perluasan kekuasaan korporasi secara lebih luas dipandang

sebagai permasalahan baru di dunia berkembang, pengakuan yang ada sampai saat

ini bahwa kekuasaan korporasi disertai eksploitasi alam yang tanpa hentinya

untuk mengeruk sumber daya alam dengan tujuan profit semata tanpa melihat

dampak lingkungan yang akan terjadi.

Akibat dari dampak lingkungan maupun sosial yang terjadi menciptakan

permintaan yang lebih besar untuk merespon masyarakat dunia dan LSM/NGO

untuk meminta pertanggung jawaban terhadap persahaan akibat proses produksi

yang telah dilakukan.

Meskipun kebutuhan nyata untuk peningkatan koordinasi di tatanan

internasional atau yang lazim disebut global governance, namun negara-negara

cenderung untuk membatasi peran mereka, karena kecenderungan koordinasi di

tatanan internasional ialah menuju deregulasi dan privatisasi, sehingga dapat

memperburuk keadaan karena kurangnya peran pemerintahan. Adanya kordinasi

internsional membuat peraturan kekuasaan negara semakin diarahkan penataan

pasar dengan cara meningkatkan pasar berdasarkan bentuk alokasi sumber daya

yang ada pada setiap negara terutama negara berkembang

3 Sell, S. K., & Prakash, A, Using ideas strategically: The contest between business and NGO networks in intellectual property rights. International Studies Quarterly, 2004, 48(1): hal 143.

.

I. 4

Kerangka hukum internasional dan lembaga-lembaga yang berkaitan

dengan dampak sosial dan lingkungan menganggap isu ini menjadi sangat

penting. Upaya pada 1970-an oleh PBB yang merupakan Pusat Korporasi

Transnasional untuk membuat kode etik untuk mengikat perusahaan-perusahaan

multinasional (MNC) berakhir dengan kegagalan. Ketidakcukupan lembaga yang

ada telah menerima pemberitahuan tertentu di bidang lingkungan hidup, di mana

eksternalitas seperti hujan asam dan emisi gas rumah kaca yang starkly jelas.

Lingkungan hanya menerima perhatian yang sedikit dalam perdagangan

internasional dan perjanjian investasi, sementara organisasi yang berdedikasi

seperti Program Lingkungan PBB “sekarang di bawah didanai, kelebihan beban

dan remote. Untuk pasang ‘kesenjangan pemerintahan’, beberapa telah membuat

argumen yang bersemangat untuk Organisasi Lingkungan Global, setara dalam

ruang lingkup Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), sementara yang lain

panggilan untuk memperkuat sistem muncul dari "longgar, desentralisasi ,

jaringan padat lembaga-lembaga dan aktor.4

Keterlibatan bisnis dengan isu-isu tanggung jawab sosial pada umumnya

ada dua motivasi yakni, keuntugan dan kepentingan politik. Penghargaan CSR

telah digunakan secara mendalam di bidang lingkungan hidup pada sisi

permintaan, ada kesempatan pasar yang menarik, sementara di sisi produksi , ada

peluang untuk mengurangi biaya energi, bahan, dan pembuangan limbah. Lebih

luas, CSR dapat menghasilkan citra pasar yang positif, meningkatkan moral

karyawan, dan mengurangi biaya kewajiban, asuransi dan kepatuhan hukum

4 Bierman, F. The emerging debate on the need for a World Environment Organization. Global Environmental Politics, 1(1), 2001, hal 45.

.

I. 5

Vogel (2005) berpendapat bahwa perusahaan multinasional, khususnya,

bisa mendapatkan keuntungan dari mendukung pertumbuhan dan ekspansi pasar

di negara berkembang dan dari standarisasi pelaporan lintas negara. Meskipun

banyak bukti anekdot yang mendukung klaim ini, studi empiris yang lebih ketat

umumnya menemukan hubungan yang lemah atau tidak signifikan antara tindakan

tanggung jawab sosial dan kinerja keuangan. Permintaan pasar untuk CSR

terbatas pada segmen niche sempit, sementara sulit untuk menyadari nilai moneter

yang berasal dari 'memasok CSR' stakeholder kepada selain konsumen.5

Kelemahan argumen ekonomi untuk CSR menunjukkan karakter

politiknya. Utting (2000: 27) mengutip mantan eksekutif dari sebuah perusahaan

minyak besar yang berkomentar dalam sebuah lokakarya yang disponsori oleh

PBB bahwa jika argumen menang-menang begitu menarik, eksekutif "maka kita

tidak akan duduk mengelilingi meja ini." mengingatkan peserta bahwa LSM dan

tekanan konsumen yang telah mengubah perilaku perusahaan. Untuk itu CSR

"mencerminkan perubahan yang terjadi dalam keseimbangan kekuatan-kekuatan

sosial - terutama pertumbuhan LSM dan tekanan konsumen." Perusahaan

memiliki motivasi politik untuk terlibat secara proaktif dengan tekanan

masyarakat, untuk "memungkinkan bisnis untuk tidak hanya membelokkan atau

encer tekanan tertentu, tetapi juga di kursi pengemudi untuk memastikan

perubahan yang terjadi yang menguntungkan bisnis ".6

5 D. J Vogel, The market for virtue: the potential and limits of corporate social responsibility, Brookings Institution Press: Washington DC, 2005. hal 13. 6 P Utting, Business responsibility for sustainable development.United Nations Research Institute for Social Development: Geneva, 2000, hal.27.

I. 6

Dalam hal yang sama, Levy (1997: 132) berpendapat bahwa pengelolaan

lingkungan perusahaan sebagai upaya untuk menjaga "keberlanjutan politik"

dalam menghadapi tantangan sosial dan peraturan. Dalam pandangan ini, CSR

merupakan sarana untuk mengakomodasi tekanan, membangun perusahaan

sebagai agen moral mengurangi ancaman regulasi, dan meminggirkan para aktivis

yang lebih radikal. Demikian juga, Shamir (2004) berpendapat bahwa perusahaan

multinasional telah berusaha untuk membentuk makna CSR dengan cara yang

bias potensial radikal, dengan menekankan kesukarelaan daripada kewajiban

hukum atau akuntabilitas publik.7

Multinational Corporation (MNC) menghadapi tantangan khususnya

dalam mempertahankan legitimasi mereka, karena mereka memberikan peluang

bagi para aktivis untuk menyoroti sangat kontras di daerah dalam pola konsumsi

dan kondisi kerja. Di negara berkembang, perusahaan multinasional sering

membawa beban kebencian rakyat terhadap sejarah kolonialis dan kesenjangan

global kontemporer, sementara pemerintah lokal mungkin memiliki alasan untuk

mendorong kebencian tersebut. Di negara-negara industri, perusahaan

multinasional besar seperti Nike, Starbucks, dan Wal-Mart telah datang untuk

melambangkan ketidakpuasan dengan dampak lingkungan, sosial, dan ekonomi

dari kekuatan-kekuatan ekonomi global. MNC telah dimasukkan ke dalam sorotan

oleh pertemuan munculnya wacana CSR dikombinasikan dengan pertumbuhan

7 D. L. Levy, Environmental management as political sustainability. Organization and Environment, 1997, 10(2): hal 126.

I. 7

ngerakan sosial dengan kapasitas untuk memantau dan mempublikasikan operasi

MNC.8

Corporate Social Responsibility (CSR) sebagai multi aktor dan multi-

tingkat sistem aturan, standar, norma, dan harapan, mencontohkan konsepsi

pemerintahan global yang luas. Dalam hal organisasi, CSR merupakan suatu

lembaga, yang didefinisikan sebagai "konstruksi sosial, rutin-ulang program atau

sistem aturan" 9

Berpendapat Doh dan Guay (2006) bahwa legitimasi CSR dikondisikan

oleh konteks nasional, sehingga "kesadaran yang relatif lebih maju dan dukungan

untuk CSR di Eropa," berbeda dengan Amerika Serikat, "menyediakan

lingkungan yang lebih responsif untuk mempengaruhi LSM dalam sejumlah

kebijakan publik kontemporer isu-daerah, seperti pemanasan global, perdagangan

GMO, dan harga obat-obatan anti-virus di negara-negara berkembang "global

Compact., sebuah inisiatif CSR yang disponsori oleh PBB, dirancang untuk

meningkatkan tekanan institusional dalam rangka untuk menyebarkan praktik

terbaik CSR dalam sebuah 'jaringan belajar' dari perusahaan multinasional besar

.10

Pemerintahan global yang juga dapat dilihat sebagai mode kekuasaan

yang berasal dari efek konstitutif dan disiplin wacana CSR, dalam kerangka kerja

8 M. E. Keck & K. Sikkink, Transnational advocacy networks in international politics: introduction In M. E. Keck, & K. Sikkink (Eds.), Activists beyond borders: Advocacy networks in international politics, Cornell University Press: Ithaca, 1998.hal 57. 9 R. L. Jepperson, Institutions, institutional effects, and institutionalism. In W. W. Powell, & P. J. DiMaggio (Eds.), The new institutionalism in organizational analysis, University of Chicago Press: Chicago, 1991, hal 143. 10 J. P Doh, & T. R Guay, Corporate social responsibility, public policy, and NGO activism in Europe and the United States: An institutional-stakeholder perspective. Journal of Management Studies, 43(1), 2006, hal 47.

I. 8

ini, merupakan serangkaian teks diskursif dan praktik yang membangun

subjektivitas perusahaan dan bidang di mana operasi perusahaan berlangsung

sebagai domain aksi tanggung jawab sosial. Praktek audit sosial dan pelaporan

merupakan bentuk disiplin yang berfungsi untuk standarisasi, pangkat dan

mengkategorikan kinerja CSR. Pengawasan kegiatan perusahaan sehingga

menerjemahkan CSR dari sebuah set abstrak norma dan harapan "menjadi

instrumen audit yang diukur dan standar yang cocok untuk pengukuran yang

objektif dan konsisten".11

.

Namun CSR jelas bukan satu-satunya struktur pemerintahan ekonomi

global dengan legitimasi diskursif. Memang, CSR mungkin bertentangan dengan

apa (1995) Gill istilah "disiplin neo-liberalisme." Perusahaan, pekerja dan

konsumen menyatakan tunduk pada sistem pemerintahan yang menggabungkan

kekuatan ekonomi persaingan dengan ideologi konsumerisme, pasar bebas, dan

disiplin diskursif peringkat kredit dan akuntansi keuangan.12

Ketegangan yang melekat dalam koeksistensi CSR dan neoliberalisme

menyoroti medan diperebutkan pemerintahan global. Pada bagian berikut kami

menunjuk dua perspektif yang berbeda tentang CSR, sebagai bentuk yang lebih

sosial-tertanam dan demokratis pemerintahan yang berasal dari masyarakat sipil,

atau sebagai alternatif, sebagai sistem privatisasi tata kelola perusahaan yang tidak

memiliki akuntabilitas publik.13

11 P. Sethi, Corporate codes of conduct and the success of globalization. Ethics & International Affairs, 16(1), 2002, hal. 89. 12 S. Gill, Globalisation, market civilisation, and disciplinary neoliberalism. Millenium. Journal of International Studies, 24(3), 1995, hal 399. 13 W. K. Carroll, & C. Carson, The network of global corporations and policy groups: A structure for transnational capitalist class formation?, Global Networks, 3(1), 2003, hal 29.

I. 9

Murphy dan Bendell (1999) berpendapat bahwa "Kami percaya bahwa

sipil organisasi-organisasi masyarakat juga memainkan peran penting dalam

mempromosikan pengelolaan lingkungan dan sosial. Bukti anti-logging, anti-

minyak dan anti-pekerja anak protes menggambarkan bahwa LSM semakin

menetapkan agenda politik di mana bisnis harus bekerja . Fenomena CSR tidak

harus dirayakan sebagai ungkapan altruisme perusahaan atau penemuan peluang

menang-menang, melainkan, mereka mengakui bahwa CSR adalah respon politik

dengan bisnis untuk tekanan sosial. Daripada melihat ini sebagai keterbatasan

fundamental, bagaimanapun, mereka menemukan ruang untuk optimisme dalam

menemukan sumber agen dan otoritas dalam organisasi-organisasi masyarakat

sipil, mengklaim bahwa "Oleh karena itu tantangannya adalah untuk merebut

kesempatan yang diberikan oleh politik lingkungan perusahaan, tidak meratapi

nya eksistensi.14

Mencari CSR sebagai bagian dari tren menuju privatisasi pemerintahan

memberikan perspektif yang lebih kritis bahwa pandangan lokus kekuasaan dalam

sektor korporasi bukan dalam unsur-unsur masyarakat sipil. Kritikus berpendapat

bahwa istilah-istilah seperti CSR, corporate citizenship, dan pembangunan yang

berkelanjutan mencerminkan perusahaan-ekonomi daripada rasionalitas sosial

atau ekologis .15

Cutler (1999: 3) mengamati bahwa "Tingkat signifikan tatanan global

disediakan oleh perusahaan-perusahaan individu yang sepakat

14 D. F. Murphy, & J. Bendell, Partners in time? Business, NGOs, and sustainable development, United Nations Reserach Institute for Social Development: Geneva, 1999. hal 67. 15 S. B. Banerjee. Who sustains whose development? Sustainable development and the reinvention of nature, Organization Studies, 24(2), 2003, hal. 143.

untuk bekerja

I. 10

sama, baik secara formal maupun informal, dalam membangun kerangka kerja

internasional untuk kegiatan ekonomi mereka" Dalam kaitannya dengan CSR,

kerangka kerja ini mungkin terdiri Kode perilaku seperti kode industri 4C untuk

kopi, standar untuk pelaporan dan audit sosial seperti global Reporting Initiative,

atau standar pelabelan produk seperti Kehutanan Stewardship Council . Konsep

pemerintahan meluas ke norma-norma dan struktur otoritas di mana perjanjian ini

tertanam. Sebuah kompleks terintegrasi dari lembaga formal dan informal yang

merupakan sumber pemerintahan untuk wilayah masalah ekonomi secara

keseluruhan" menggunakan "rezim swasta" istilah untuk menyebut Meskipun

mereka mengakui bahwa otoritas pribadi pada akhirnya berasal sanksi dan

legitimasi dari negara dan masyarakat, mereka mengungkapkan keprihatinan

dengan kaburnya batas antara negara dan otoritas pribadi. gema titik ini dalam

menekankan karakter, masyarakat politik CSR tapi kurangnya akuntabilitas

demokratis: "Ketika perusahaan-perusahaan terlibat dalam upaya sukarela, mereka

membuat keputusan tentang alokasi sumber daya menakut-nakuti untuk

kepentingan publik."16

Tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) pada dasarnya mengharuskan

perusahaan untuk melakukan bisnis di luar kepatuhan dengan hukum dan

melampaui pemegang saham untuk maksimalisasi kekayaan. Ini menunjukkan

bahwa perusahaan harus melakukan lebih dari mereka wajib lakukan berdasarkan

hukum yang berlaku yang mengatur keamanan produk, perlindungan lingkungan ,

hak buruh, hak asasi manusia, pengembangan masyarakat,

16 C. A. Cutler, V. Haufler, & Porter, T. (Eds.), Private authority and international affairs, Albany, SUNY Press: NY, 1999. hal 39.

korupsi, dan

I. 11

sebagainya, tetapi juga menunjukkan bahwa perusahaan harus

mempertimbangkan tidak hanya kepentingan pemegang saham tetapi juga

stakeholder lainnya misalnya, karyawan, konsumen, pemasok, dan masyarakat

lokal.

CSR mengharuskan perusahaan untuk memberikan tidak hanya jumlah

barang, jasa, dan pekerjaan tetapi juga kualitas hidup orang-orang yang

kepentingannya terkena dampak kegiatan perusahaan. Konsep abstrak CSR telah

berubah menjadi daftar panjang praktek-praktek perusahaan , namun tidak

terbatas pada, sistem manajemen lingkungan, ramah lingkungan dan aman

produk, tindakan perlindungan tenaga kerja dan rencana kesejahteraan, filantropi

perusahaan dan masyarakat proyek-proyek pembangunan, dan perusahaan sosial

dan lingkungan pengungkapan kinerja .17

Di antara negara-negara di Asia, penetrasi aktivitas CSR di Indonesia

masih tergolong rendah. Pada tahun 2005 baru ada 27 perusahaan yang

memberikan laporan mengenai aktivitas sosial yang dilaksanakannya. Ikatan

Akuntan Indonesia Kompartemen Akuntan Manajemen sejak tahun 2005

mengadakan Indonesia Sustainability Reporting Award (ISRA). Secara umum

ISRA bertujuan untuk mempromosikan voluntary reporting CSR kepada

perusahaan di Indonesia dengan memberikan penghargaan kepada perusahaan

yang membuat laporan terbaik mengenai aktivitas CSR. Kategori penghargaan

I.1.2 CSR di Indonesia

17 Carroll Archie B, A History Corporate Social Responsibility, dalam A. Crane, A. McWilliams, D. Matten, J.Moon and D. Siegeleds, The Oxford Handbook Of Corporate Social Responsibility, 2008, hal.2.

I. 12

yang diberikan adalah Best Social and Environmental Report Award, Best Social

Reporting Award, Best Environmental Reporting Award, dan Best Website.18

Pada Tahun 2006 kategori penghargaan ditambah menjadi Best

Sustainability ReportsAward, Best Social and Environmental Report Award, Best

Social Reporting Award,Best Website, Impressive Sustainability Report Award,

Progressive Social Responsibility Award, dan Impressive Website Award. Pada

Tahun 2007 kategori diubah dengan menghilangkan kategori impressive dan

progressive dan menambah penghargaan khusus berupa Commendation for

Sustainability Reporting: First Time Sutainability Report. Sampai dengan ISRA

2007 perusahaan tambang, otomotif dan BUMN mendominasi keikutsertaan

dalam ISRA. Perkembangan program CSR di Indonesia dimulai dari sejarah

perkembangan PKBL.

19

Pembinaan usaha kecil oleh BUMN dilaksanakan sejak terbitnya Peraturan

Pemerintah Nomor 3 Tahun 1983 tentang tata cara pembinaan dan pengawasan

Perusahaan Jawatan (Perjan), Perusahaan Umum (Perum) dan Perusahaan

Perseroan (Persero). Pada saat itu, biaya pembinaan usaha kecil dibebankan

sebagai biaya perusahaan. Dengan terbitnya keputusan Menteri Keuangan

No.:1232/KMK.013/1989 tanggal 11 Nopember 1989 tentang Pedoman

Pembinaan Pengusaha Ekonomi Lemah dan Koperasi melalui Badan Usaha Milik

Negara, dana pembinaan disediakan dari penyisihan sebagian laba sebesar 1%-5%

18 Diakses dari http://www.csrindonesia.com pada tanggal 13 oktober 2011 pukul 20.30 wib 19 Ibid

I. 13

dari laba setelah pajak. Nama program saat itu lebih dikenal dengan Program

Pegelkop.20

Pada Tahun 1994, nama program diubah menjadi Pembinaan Usaha Kecil

dan Koperasi (Program PUKK) berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan

No.:316/KMK.016/1994 tanggal 27 Juni 1994 tentang Pedoman Pembinaan

Usaha Keciln dan Koperasi melalui Pemanfaatan Dana dari Bagian Laba Badan

Usaha Milik Negara. Memperhatikan perkembangann ekonomi dan kebutuhan

masyarakat, pedoman pembinaan usaha kecil tersebut beberapa kali mengalami

penyesuaian, yaitu melalui Keputusan Menteri Negara Pendayagunaan

BUMN/Kepala Badan Pembina BUMN No.: Kep-216/MPBUMN/ 1999 tanggal

28 September 1999 tentang Program Kemitraan dan Bina Lingkungan BUMN,

Keputusan Menteri BUMN No.: Kep-236/MBU/2003 tanggal 17 Juni 2003

tentang Program Kemitraan BUMN dengan Usaha Kecil dan Program Bina

Lingkungan, dan terakhir melalui Peraturan Menteri Negara BUMN No.: Per-

05/MBU/2007 tanggal 27 April 2007 tentang Program Kemitraan BUMN dengan

Usaha Kecil dan Program Bina Lingkungan.

21

Keberadaan CSR itu sendiri tidak dapat dipisahkan dari keberadaan

industri korporasi, yang nantinya CSR inilah yang menjadi tema pokok penelitian

ini. CSR dalam pandangan common sense adalah sebuah bentuk tanggung jawab

sebuah perusahaan terhdap masyarakat sekitarnya.. Keberadaan CSR sendiri

sering diartikan sebagai representasi dari peran serta pembangunan yang dilakukan

20 Diakses dari http://www.csrindonesia.com pada tanggal 13 oktober 2011 pukul 20.30 wib 21 Ibid

I. 14

oleh pihak swasta . Pada tataran masyarakat, kehadiran CSR dianggap mewakili

masyarakat guna membantu peran serta pemerintah dalam mulakukan upaya

pembangunan. Dalam pandangan common sense, posisi atau kedudukan CSR

tersebut bersifat netral dan normatif.

Pandangan common sense terhadap CSR berbeda dengan pandangan teori

kritis atau teori frankfurt. Teori kritis memandang bahwa posisi CSR bersifat

ideologis atau menyatakan keberpihakan dan pandangan teori kritis bersifat

historis. Secara historis, CSR lahir atas respon msyarakat global terhadap proses

industrialisasi yang dilakukan oleh korporasi MNC/TNC yang secara nyata

menyebabkan masalah ekologi yang serius dan bahwa ini perlu ditangani. Fakta-

fakta stres ekologi pada tingkat planet yang jelas, meskipun penting mereka tidak

universal disepakati. Ada banyak indikator stres seperti: lahan pertanian, hutan

hujan dan berhutan daerah, padang rumput dan sumber air tawar semua berisiko.

Pada tingkat global, lautan, sungai dan ekosistem air lainnya menderita parah

ekologi tertekan. Sementara rincian dari ekologi yang akan datang krisis masih

diperdebatkan, kebanyakan orang tampaknya lebih sadar manusia dampak

terhadap lingkungan daripada sebelumnya. Sebagian besar perusahaan sekarang

mengeluarkan laporan dampak lingkungan.

Eksistensi CSR itu sendiri mengalami problematik di tengah masyarakat,

banyak terjadi kesalahan baik dalam teori maupun praktek, di Indonesia sendiri

terjadi beberapa permasalahan di tubuh CSR itu sendiri, antara lain :

1. Sebagai sebuah tanggung jawab moral-sosial, UU ini telah mengabaikan

sejumlah prasyarat yang memungkinkan terwujudnya makna dasar CSR

I. 15

tersebut. Sonny Keraf (Etika Bisnis, 1998) menyebut tiga prasyarat

dimaksud: sebagai pilihan sadar, adanya kebebasan, dan kemauan

bertindak. Mewajibkan CSR, apa pun alasannya, jelas memberangus

sekaligus ruang-ruang pilihan yang ada, berikut kesempatan masyarakat

mengukur derajat pemaknaannya dalam praktik.Dalam ranah norma

kehidupan manusia modern, kita dilingkupi dan sekaligus menjalankan

sejumlah norma yang berbeda: norma hukum, moral, dan sosial. Tanpa

mengabaikan kewajiban dan pertanggungjawaban hukumnya, pada

domain lain perusahaan juga terikat pada norma moral-sosial sebagai

bagian integral kehidupan masyarakat setempat. Konsep asli CSR

sesungguhnya hendak bergerak dalam kerangka tersebut, di mana

perusahaan secara sadar memaknai aneka prasyarat tadi dan sekaligus

masyarakat bisa menakar komitmen pelaksanaannya.22

2. Dengan kewajiban semacam itu CSR lalu bermakna parsial sebatas upaya

pencegahan dan penanggulangan dampak sosial dan lingkungan dari

kehadiran perusahaan. Dengan demikian, bentuk-bentuk program CSR

hanya terkait langsung dengan core business perusahaan, dengan wilayah

jangkauan sebatas stakeholders langsung (masyarakat sekitar) semata.

Padahal praktik yang berlangsung di banyak perusahaan selama ini, ada

atau tidaknya aktivitas terkait dampak lingkungan dan sosial tersebut,

perusahaan menjalankan program sosial langsung (seperti lingkungan

hidup) dan tak langsung (bukan core business) seperti rumah sakit,

22 Diakses dari Suara Pembaharuan, 31 Juli 2007.

I. 16

sekolah, dan beasiswa. Kewajiban tadi berpotensi hilangnya aneka

program tak langsung tersebut.

Peliknya permasalahan yang akan dibahas ini membuat penulis

membutuhkan perangkat analisis yang secara konseptual memiliki keseragaman

konsentrasi. Dalam penelitian sosial humaniora, paling tidak ada empat

paradigma pengetahuan yang memiliki konsentrasi pada tema sosial humaniora,

antara lain: paradigma positivisme, teori kritis, strukturalisme, dan anti essensialis

posmodernisme.

Sebagai perintis Positivisme, August Comte pada abad ke-19

memperkenalkan fisika sosial, yang sekarang bernama Sosiologi. Jika pada

Rasionalisme dan Empirisme pengetahuan masih direfleksikan maka dalam

Positivisme dirubah dengan metodologi ilmu alam. Hal ini membuat penelitiannya

berporos pada observasi dan pembuktian empiris. Secara praktis gunanya untuk

mengetahui hukum-hukum apa yang mengatur masyarakat sehingga dapat

melakukan rekayasa, social engineering melalui Sosiologi. Positivisme memang

sesuai jika di terapkan dalam ilmu alam namun menjadi bermasalah ketika

diterapkan pada ilmu sosial karena obyek ilmu sosial yaitu manusia tidak dapat

diprediksi dan dikuasai secara teknis.23

Berbeda dengan aliran positivis, teori kritis menganggap positivisme

sebagai pengetahuan yang pro status quo, anti demokrasi, tidak humanis, dan

sebagai pengetahuan yang teramat dangkal karena klaim-klaim positivis yang

justru menjatuhkan semangat ilmu pengetahuan itu sendiri dengan kebeperihakan

23 Teddy, G, Tahappary. 2009. Menyingkap Selubung Ideologi Industri Musik Indonesia: Analisa Teori Kritis Mengenai Keberpihakan Industri Musik Di Indonesia. hal 19

I. 17

terhadap nilai-nilai dominatif. Secara umum ilmu sosial teori kritis adalah ilmu

yang secara terus menerus malakukan proses kritik terhadap ilusi yang didapati di

permukaan yang menutupi realitas sesungguhnya dari struktur dalam dunia nyata

yang berfungsi untuk merubah kondisi dan membangun dunia yang lebih baik

untuk kehidupan manusia itu sendiri.24

Klaim positivisme tentang pengetahuan berawal dari realitas yang natural

menjadi titik awal teori kritis untuk menyerang positivisme. Teori kritis

beranggapan bahwa sejak awal tidak ada realitas yang sifatnya natural, karena

sejak awal relitas sosial selalu timpang. Hal ini dikarenakan sejak awal klaim

bahwa realitas sosial bersifat natural justru terlihat sangat tidak natural karena

sebelum melakukan penelitian lebih lanjut kaum positivis sudah mendudukkan

Oleh karena itu, penulis memilih untuk menggunakan perangkat analisis

teori kritis generasi pertama dengan Max Horkheimmer dan Theodore W. Adorno

sebagai pelatak dasar awalnya dan bukan menggukan tokoh perseorangan

dikarenakan analisis tersebut tidak menkritisi subjek yang mungkin

kedudukannya ialah korporasi, melainkan yang menjadi persoalan adalah

normatifitas CSR yang berkedudukan sebagai objek dan menkritik metodologi.

Teori kritis ini lahir di Jerman yang terkenal dengan Frankfurt School

pada tahun 1930an. Teori kritis yang dimotori oleh Max Horkheimmer dan

Theodore W. Adorno pada awalnya ini secara terang-terangan mengkritisi

positivisme dan kedudukan keilmiahan yang sebelumnya selalu menjadi klaim

positivisme.

24 Ibid

I. 18

dulu posisi realitas natural sebagai sebuah kealamian, padahal sejatinya dengan

mengambil proposisi tersebut saja positivis sudah melakukan kesengajaan untuk

mengistimewakan realitas soaial terlebih dahulu, Yang berarti realitas sosial ini

tidak bersifat netral. Hal ini yang menjadikan asumasi dasar teori kritis untuk

menjelaskan bahwa sebenarnya sejak awal klaim positivis tentang realitas sosial

yang bersifat natural sudah gagal.

Dengan kata lain teori kritis menyepakati bagian tertentu dari kritik

interpretatif terhadap positivisme. Peneliti kritis mempelajari masa lalu untuk

melihat perubahan dengan tujuan mendapatkan cara alternatif untuk mengatur

kehidupan sosial yang baru dan lebih baik. Ilmu sosial kritis tertarik pada

pembangunan hubungan sosial yang baru, evolusi institusi sosial atau masyarakat

dan penyebab utama perubahan sosial. Peneliti kritis mencatatkan bahwa

perubahan sosial dan konflik tidak selalu nyata dan dapat diamati, terjadinya hal

tersebut karena realitas sosial penuh dengan ilusi, mitos dan terdistorsi.

Pengamatan dunia merupakan pengamatan sebagian saja karena keterbatasan rasa

manusia begitu juga ilmu pengetahuan.

Teori kritis menolak skeptisisme diatas dengan tetap memertahankan

kaitan antara nalar dan kehidupan sosial. Dengan demikian, teori kritis

menghubungkan ilmu-ilmu sosial yang bersifat empiris dan interpretatif dengan

klaim-klaim normatif tentang kebenaran, moralitas, dan keadilan yang secara

tradisional merupakan bahasan filsafat. Dengan tetap memertahankan penekanan

terhadap normativitas dalam tradisi filsafat, teori kritis mendasarkan cara bacanya

I. 19

dalam konteks jenis penelitian sosial empiris tertentu, yang digunakan untuk

memahami klaim normatif itu dalam konteks kekinian

Hal tersebut yang menjadi alasan mengapa penulis menggunakan alat

analisis teori kritis, dikarenakan teori kritis lah yang mendekati kesamaan

konsentrasi dengan tema yang diangkat oleh penulis dan dianggap oleh penulis

relevan untuk digunakan membahas tema ini. Pertama, keyakinan penulis bahwa

fakta-fakta yang ada bukanlah sesuatu hal yang bersifat natural, alami, atau terjadi

begitu saja. Tapi semua itu merupakan suatu rancangan atau by design, dalam

artian terdapat faktor-faktor yang mendorong dan mendukung terjadinya fakta

tersebut atau terdapat keberpihakan.

Hal tersebut sesuai dengan kritik teori kritis terhadap paradigma

positivisme yang menyatakan bahwa fakta-fakta yang terjadi merupakan suatu hal

yang alami, bersifat given dan bebas nilai. Kedua, penulis ingin membedah isu-isu

atau kepentingan yang diusung oleh CSR di Indonesia dan menyingkap selubung

ideologi.

I.2. Rumusan Masalah

Kelahiran CSR yang merupakan sebuah respon msyarakat global terhadap

proses industrialisasi yang dilakukan oleh korporasi MNC/TNC yang secara nyata

menyebabkan masalah ekologi, HAM, dan permasalahan sosial lainya yang perlu

untuk segera ditangani. Fakta-fakta kerusakan ekologi pada tingkat planet a.l

dapat dilihat dari lahan pertanian, hutan hujan dan berhutan daerah, padang

rumput dan sumber air tawar semua berisiko. Pada tingkat global, lautan, sungai

I. 20

dan ekosistem air lainnya mengalami kerusakan. Seiring dengan

perkembangannya, CSR ini dianggap sebagai bentuk invisible hand dari

korporasi untuk tetap mempertahankan eksistensinya di tengah masyarakat global,

sehingga bisa melakukan proses produksi secara berkelanjutan.

CSR dinilai sebagai produk internasional, yang dalam tujuan awalnya

merupakan kerangka besar agenda pembangunan dunia yang ingin mengentaskan

permasalahan yang ada di dunia khususnya di negara-negara berkembang

terutama bertujuan mengentaskan kemiskinan. Oleh karena itu diambilah

kebijakan oleh PBB bahwasanya pihak korporasi / nonstate harus membantu

dalam permasalahan pembangunan yakni melalui program CSR.

Namun dalam perspektif kritis, CSR itu sendiri tak lepas dari pada

ideologi yang berperan, ideologi tersebut dimaksud ialah sistem kerangka berpikir

yang tidak berorientasi pada kebenaran, melainkan pada kepentingan pihak yang

mempropagandakannya. Ideologi juga dilihat sebagai sarana kelas atau kelompok

sosial tertentu yang berkuasa untuk melegitimasikan kekuasaannya.

Munculnya MDGs (Millenium Development Goals) sebagai peletak dasar

kemunculan CSR tak lepas dari ideologi yang mendominasi disana. MDGs dinilai

sangat penting karena menjadi sebuah strategi keberadaan korporasi untuk tetap

melakukan proses produksi dengan menekankan agenda-agenda terselubung yang

di praktekan melalui program CSR sebagai timbal balik dr perusahaan tersebut

terhadap masyarakat sekitar.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah CSR adalah bentuk

kepedulian korporasi atau mempunyai agenda terselubung yang hanya mencari

I. 21

selamat mengenai keberadaanya di lingkungan suatu masyarakat dan juga

mengura jejak ideologi. Secara lebih rinci penelitian hendak menjawab beberapa

pertanyaan berikut:

1. Bagaimana CSR menjadi sebuah strategi pembanguan di Indonesia?

2. Apa ideologi yang beroperasi dalam pelaksanaan CSR di Indonesia ?

3. Bagaimana ideologi tersebut beroperasi dalam pelaksanaan CSR di

Indonesia ?

I.3. Tujuan Penelitian

Menimbang dari kajian teoritik yang diangkat oleh penulis, tidaklah terlalu

berlebihan apabila penelitian ini bertujuan melakukan kritik terhadap ideologi

CSR di Indonesia. Sesuai dengan paradigma yang digunakan, maka penelitian ini

bertujuan untuk mengembalikan keberpihakan industri. Membongkar klaim-klaim

obyektif atas ideologi CSR yang sebenarnya melindungi dan melegitimasikan

kepentingan-kepentingan dominasi.

Selain itu penulis berekeinginan untuk membuktikan apa yang dibicarakan

oleh kaum liberal yang bersembunyi di balik implementasi CSR itu membangun

masyarakat, tidak ada politik, ideologi, kepentingan apapun didalamnya selain

kepentingan membangun ataupun memberdayakan masyarkat yang berlaku pada

konteks di Indonesia saat ini.

I. 22

I.4. Manfaat Penelitian

Bagi penulis:

• Sebagai media aktualisasi diri, dimana karya penulisan ini menjadi media

pembelajaran untuk mengetahui sampai sejauh manakah penulis memahami

studi yang digeluti oleh penulis.

• Selain sebagai media pembelajaran dan media aktualisasi diri, karya

penulisan ini juga bermanfaat sebagai pemuas hasrat intelektual penulis.

Bagi kampus:

• Memberikan kontribusi baru bagi studi-studi Sosiologi.

• Menawarkan alternatif yang berpotensi sebagai alat analisis dalam studi-

studi Sosiologi

Bagi masyarakat:

• Diharapkan dapat membuka pemikiran masyarakat tentang selubung

ideologi yang selama ini dianggap natural, given, dan bebas nilai.

I.5. Kajian Teoritik

I.5.1 Positivisme

I.5.1.1 Normatif

Masyarakat ideal menurut Comte adalah masyarakat yang menjunjung

tinggi cinta dan pengabdian pada kemanusiaan. Sifat Altruis ini tertanam dalam

proses evolusi masyarakat yang linier dari masyarakat teologis hingga yang paling

paripurna yaitu masyarakat positivis. Pada awalnya, masyarakat tidak mengetahui

apa-apa, maka kehendak mereka didasari ketidaktahuan tersebut. Adalah tugas

I. 23

para filsuf positivistis dan para ilmuwan untuk mengawal dan mengorganisasikan

masyarakat menuju terwujudnya “agama kemanusiaan”. Gerak progresif

masyarakat menurut hemat Comte, ditentukan oleh masyarakat itu sendiri.

Secara kontras, dua pemikir lain yaitu Hobbes dan Locke, memiliki

pandangan berbeda dibanding masyarakat altruis Comte. John Locke menyatakan

bahwa secara alami masyarakat dikaruniai akal oleh Tuhan untuk dapat

membedakan antara yang benar dan yang salah25

Masyarakat menurut Hobbes memiliki kecenderungan untuk mengingkari

consensus. Sehingga manusia menjadi serigala untuk manusia lainnya (homo

homini lupus). Untuk menjaga hak-hak alami manusia, akhirnya tercapai

konsensus untuk membentuk Negara. Hobbes menggambarkan Negara sebagai

makhluk besar yang kejam bernama Leviathan. Kesediaan masyarakat untuk

menyerahkan kedaulatannya didasari oleh kesadaran yang dibentuk oleh represi

sang penguasa.

. Selain itu manusia juga

memiliki hak alami yaitu hak untuk hidup, kebebasan, dan mendapatkan hak

milik. Masyarakat awal diatur oleh hukum-hukum alam dan tanpa Tuhan pun hak-

hak ini dapat terpenuhi. Namun karena munculnya kriminalitas, perselisihan, dan

masalah-masalah lainnya, masyarakat membuat kontrak sosial guna menciptakan

pemerintahan yang bias melindungi hak-hak alami mereka.

Perbedaan mendasar ketiganya terletak pada peran masyarakat

menentukan dirinya. Locke dan Hobbes menggunakan entitas di luar masyarakat

(Negara/penguasa) untuk mengatur masyarakat, sedangkan Comte percaya bahwa

25 Ian Adams, Ideologi Politik Mutakhir. Penerbit Qalam: Yogyakarta, 2004, hal 22.

I. 24

masyarakat memiliki kemampuan untuk mengembangkan diri lewat evolusi

pengetahuannya.

I.5.1.2 Linier

Runtuhnya tatanan feodal dan dogmatika gereja tradisional serta sistem

metafisika, membuat para pemikir abad ke-19 mencoba untuk menemukan sistem

integrasi baru. Salah satunya adalah membuat sebuah rekonstrusi histories tentang

sistem pengetahuan dan tahapan-tahapannya. Asumsinya adalah perkembangan

pengetahuan seperti pada perkembangan ilmu-ilmu alam yang berjalan progresif,

niscaya, dan linear. Ilmuwan yang berhasil menemukan bentuk yang

komprehensif adalah August Comte.

Menurut Comte, sejarah pengetahuan berkembang melalui tiga tahap,

yaitu “tahap teologis”, “tahap metafisis”, dan “tahap positivis”. Pada tahap

teologis, manusia menempatkan kekuatan adimanusiawi untuk mencari penjelasan

atas peristiwa-peristiwa yang terjadi di dunia. Tahap metafisis ditandai dengan

diubahnya kekuatan adimanusiawi menjadi abstraksi-abstraksi metafisis. Dan

akhirnya, manusia mencapai kedewasaan mental pada tahapan metafisis. Pada

tahap ini, manusia tidak lagi menjelaskan sebab-sebab diluar fakta yang teramati.

Ilmu pengetahuan tidak hanya melukiskan yang real, tetapi juga bersifat pasti

dan berguna.

I. 25

I.5.1.3 Natural

Oleh Comte Sosiologi di bagi dua, yaitu statika sosial dan dinamika sosial.

Masyarakat adalah kenyataan yang tertata rapi juga berubah. Statika sosial

mempelajari tatanan sosial itu dengan segala hukum yang mengaturnya. Dinamika

sosial mempelajari hukum-hukum perubahan dan kemajuan sosial. Keduanya

berkaitan erat, sebab perubahan tanpa tatanan melahirkan anarki dan tatanan tanpa

perubahan adalah stagnasi Dengan mengetahui tatanan (statika sosial), sosiologi

dapat mengarahkan perkembangan masyarakat ke sebuah susunan yang lebih baik

(dinamika sosial).

Di dalam pembahasan tentang masyarakat, Comte menerima premis

bahwa “masyarakat adalah laksana organisme hidup”26. Walau dia tidak benar-

benar berusaha mengembangkan tesis ini, Herbert Spencer membahas berbagai

perbedaan dan persamaan yang khusus antara sistem biologis dan sistem sosial

berdasarkan premis tersebut. Inti pemikirannya sebagai berikut27

26 Margaret M, Poloma, Sosiologi Kontemporer, Rajawali Press: Jakarta, 2007, hal 23. 27 Ibid. hal 24.

: Pertama,

masyarakat dan organisme sama-sama mengalami pertumbuhan. Kedua, karena

pertumbuhannya, maka struktur tubuh-sosial (social body) itu mengalami

pertambahan pula. Ketiga ,tiap bagian tubuh sosial tersebut memiliki fungsi dan

tujuan. Keempat, perubahan pada satu bagian sistem akan berpengaruh pada

bagian sitem yang lain. Sosiolog Perancis Emile Durkheim menambahkan, sistem

masyarakat memiliki seperangkat kebutuhan atau fungsi yang mana jika tidak

terpenuhi atau tidak berjalan fungsinya, akan dianggap sebagai patologi.

I. 26

Namun ilmuan positivis tetap menganggap bahwa masyarakat berjalan

dengan alamiah. Semua perubahan terjadi secara perlahan dan dapat

diperhitungkan. Hal ini diperkuat oleh argumen Talcott Parson yang menyebutkan

bahwa sistem sosial cenderung bergerak kearah keseimbangan dan stabilitas.

Dengan kata lain keteraturan merupakan norma sistem. Bilamana terjadi

kekacauan norma-norma, maka sistem akan mengadakan penyesuaian kembali

mencapai keadaan normal28

I.5.2 Teori Kritis

.

I.5.2.1 Historis

Sebagaimana telah dirumuskan kembali oleh Juergen Habermas, teori

kritis bukanlah suatu teori ‘ilmiah sebagaimana dinenal secara luas dikenal di

kalangan publik akademis dalam masyarakat kita. Teori kritis tidak berhenti pada

fakta objektif seperti yang dianut oleh teori-teori positivis. Teori kritis hendak

menembus realitas sosial sebagai fakta sosiologis, untuk menemukan kondisi-

kondisi yang bersifat transendental yang melampaui data empiris. Dengan kutub

ilmu pengetahuan dimaksudkan teori kritis juga bersifat historis dan tidak

meninggalkan data yang diberikan oleh pengalaman kontekstual.

I.5.2.2 Dialektis

Teori kritis merupakan dialektika antara pengetahuan yang bersifat

transendental dan yang bersifat empiris. Karena sifat dialektis itu teori kritis

28 Ibid. Hal 172

I. 27

dimungkinkan untuk melakukan dua macam kritik. Di satu pihak melakukan

kritik transendental dengan menemukan syarat-syarat yang memungkinkan

pengetahuan dalam diri subjek sendiri.

Di lain pihak melakukan kritik imanen dengan menemukan kondisi-

kondisi sosio-historis dalam konteks tertentu yang mempengaruhi pengetahuan

manusia. Dengan kata lain, teori kritis merupakan kritik ideologi bila pengetahuan

manusia jatuh pada salah satu kutub, entah transedental entah empiris.

I.5.2.3 Dominasi

Teori kritis mengemban misi untuk mengungkap ‘kedok’ ideologi

positivisme, bukan hanya pandangannya sebagai ilmu pengetahuan, melainkan

juga sebagai cara berpikir yang menjangkiti kesadaran masyarakat industri maju.

Oleh teori kritis, fakta selalu dilihat dalam posisi yang timpang. Selalu ada salah

satu pihak yang mendominasi pihak lain. Karena itulah teori kritis ingin

mengembalikan posisi ilmu pengetahuan untuk berpihak pada kepentingan

masyarakat yang didominasi ini.

I.6 Metode Penelitian

Sebagai sebuah pengetahuan, baik positivisme maupun teori kritis

memiliki metode yang konsisten sesuai dengan refleksi dan kritik yang diberikan

terhadap pengetahuan sebelumnya. Dan pada subbab metode ini, peneliti sengaja

menghadirkan metode kedua teori tersebut agar nantinya dapat diketahui bahwa

I. 28

teori kritis memberikan kritik terhadap positivisme hingga pada tingkatan

metodologi.

I.6.1 Positivisme

Positivisme mendedahkan dirinya sebagai satu-satunya pengetahuan yang

memiliki metode yang valid untuk menemukan hukum-hukum yang melandasi

perkembangan masyarakat. Untuk mewujudkan itu, positivisme yang

menyediakan seperangkat metodologi yang merupakan gabungan dari

pengetahuan sebelumnya, yakni rasionalisme dan empirisme. Metodologi terdiri

dari korelasi dua variable, hipotesis, populasi, instrumen penelitian, dan skala

statistik.

Sebagai ilmu alam yang memperlakukan objeknya sebagai kategori yang

fix, begitu juga dengan positivisme yang mereduksi manusia beserta relasinya

yang unik. Hal ini dilakukan agar positivisme mampu mengkontrol dan

menghasilkan hukum-hukum universal. Semangat semacam ini yang nantinya

akan dikritik oleh teori kritis.

Filasafat modern berkembang melalui dua aliran, pertama dibidani oleh

plato yang mengutamakan kekuatan rasio manusia, yaitu pengetahuan murni

dianggap dapat diperoleh melalui rasio itu sendiri (apriori). Kedua adalah

Aristoteles yang memerhatikan peranan empiris terhadap objek pengetahuan

(aposteoritis). Selanjutnya masing-masing melahirkan penerus, rasio didukung

oleh Rene Descartes, Malebrace, Spinoza, Leibnies, dan Wolf. Filsafat empirisme

berkembang di tangan Hobbes, Locke, Barkley, dan Hume (Hardiman,1990). Ilmu

I. 29

alam berkembang melalui empirisme dan rasionalisme yang memisahkan

kepentingan dan teori.29

Empirisme dan rasionalisme ilmu alam bisa dikembangkan sebagai

metode ilmu sosial menurut keyakinan para tokoh-tokoh terdahulu ilmu sosial.

Sehingga kedua metode tersebut melahirkan filsafat positifisme dalam ilmu sosial.

Sosiologi Comte menandai positivisme awal dalam ilmu sosial, mengadopsi

saintisme ilmu alam yang menggunakan prosedur-prosedur metodologis ilmu

alam dengan mengabaikan subyektivitas .Subjek peneliti dalam Paradigma

Positivisme diharuskan untuk taat prosedur, untuk mendapatkan hasil penelitian

yang valid, ilmiah dan berlaku universal. Positivisme menggunakan metode ilmu

alam dalam penelitiannya, sehingga menuntut peneliti untuk mendapatkan data

yang tidak dinodai oleh interpretasi dan pemberian makna, baik oleh objek

maupun subjek peneliti.

30

Positivisme ilmu sosial mencita-citakan ilmu yang bebas nilai, objektif,

terlepas dari perasaan subjektif seperti moralitas dan kepentingan. Semangat ini

menyajikan pengetahuan yang universal yang terlepas dari konteks dan sejarah.

Pengatahuan yang terlepas dari ruang dan waktu. Positivisme merupakan usaha

membersihkan pengetahuan dari kepentingan untuk melahirkan teori yang bebas

nilai dari subyektivitas manusia.

31

Positivisme menganggap pengetahuan mengenai fakta obyektif sebagai

pengetahuan yang sahih. Dengan klaim semangat ilmiah, ia melakukan penolakan

29 Novri Susan, Sosiologi Konflik dan Isu-isu Konflik Kontemporer, Kencana: Jakarta, 2009, Hal.12. 30 John D Brewer, Ethnography, Open University Press: Buckingham, 2005, Hal 31 31 Novri Susan, Sosiologi Konflik dan Isu-isu Konflik Kontemporer, Kencana: Jakarta, 2009, Hal.12.

I. 30

terhadap mode pengetahuan yang melampaui fakta atau dengan kata lain,

menghindarkan diri dari spekulasi metafisika. Positivisme sebagai metodologi

yang menggabungkan rasionalisme dan empirisme merupakan puncak

pembersihan pengetahuan dari kepentingan dan awal pencapaian cita-cita ntuk

memperoleh pengetahuan demi pengetahuan, yaitu teori yang dipisahkan dari

praxis hidup manusia.32

I.6.2 Teori Kritis

Berikut beberapa pengandaian dari paradigma positivisme. Pertama,

bahwa prosedur-prosedur metodologis dari ilmu-ilmu alam dapat langsung

diterapkan pada ilmu-ilmu sosial. Kedua, hasil-hasil penelitian itu dapat

dirumuskan dalam bentuk hukum-hukum seperti dalam ilmu-ilmu alam. Ketiga,

ilmu-ilmu sosial bersifat teknis, yaitu menyediakan pengetahuan yang bersifat

instrumental murni. Pengetahuan itu harus dapat dipakai untuk keperluan apa saja

sehingga tidak bersifat etis dan juga tidak terkait pada dimensi politis manusia.

Ilmu-ilmu sosial, seperti ilmu-ilmu alam, bersifat netral dan bebas nilai.

Istilah teori kritis pertama kali ditemukan Max Horkheimer pada tahun 30-

an. Pada mulanya teori kritis berarti pemaknaan kembali ideal-ideal modernitas

tentang nalar dan kebebasan, dengan mengungkap deviasi dari idealideal itu

dalam bentuk saintisme, kapitalisme, industri kebudayaan, dan institusi politik

borjuis.

32 F. Budi Hardiman, Kritik Ideologi-Pertautan Pengetahuan dan Kepentingan, Kanisius: Yogyakarta, 2003, hal. 9.

I. 31

Untuk memahami pendekatan teori kritis, ia harus ditempatkan dalam

konteks Idealisme Jerman dan kelanjutannya. Karl Marx dan generasinya

menganggap Hegel sebagai orang terakhir dalam tradisi besar pemikiran filosofis

yang mampu ”mengamankan” pengetahuan tentang manusia dan sejarah. Namun,

karena beberapa hal, pemikiran Marx mampu menggantikan filsafat teoritis Hegel,

yang hal ini, menurut Marx, terjadi dengan membuat filsafat sebagai hal yang

praktis; yakni merubah praktik-praktik yang dengannya masyarakat mewujudkan

idealnya. Dengan menjadikan nalar sebagai sesuatu yang ’sosial’ dan menyejarah,

skeptisisme historis akan muncul untuk merelatifkan klaim klaim filosofis tentang

norma dan nalar menjadi ragam sejarah dan budaya kehidupan.

Teori kritis menolak skeptisisme diatas dengan tetap memertahankan

kaitan antara nalar dan kehidupan sosial. Dengan demikian, teori kritis

menghubungkan ilmu-ilmu sosial yang bersifat empiris dan interpretatif dengan

klaim-klaim normatif tentang kebenaran, moralitas, dan keadilan yang secara

tradisional merupakan bahasan filsafat. Dengan tetap memertahankan penekanan

terhadap normativitas dalam tradisi filsafat, teori kritis mendasarkan cara bacanya

dalam konteks jenis penelitian sosial empiris tertentu, yang digunakan untuk

memahami klaim normatif itu dalam konteks kekinian.

Di zaman modern, filsafat secara ketat dibedakan dari sains. Locke

menyebut filsafat sebagai ’pekerja kasar’. Bagi Kant, filsafat, khususnya filsafat

transenden, memiliki dua peran. Pertama, sebagai ”hakim” yang dengannya sains

dinilai. Kedua, sebagai wilayah untuk memunculkan pertanyaan normatif. Untuk

I. 32

menjawab pertanyaan-pertanyaan normatif, dalam perspektif Kantian, sains tidak

dibutuhkan, karena hal itu dijawab melalui analisis transenden.

Teori kritis yang berorientasi emansipasi berusaha mengkontekstualisasi

klaim-klaim filosofi tentang kebenaran dan universalitas moral tanpa

mereduksinya menjadi sekedar kondisi sosial yang menyejarah. Teori kritis

berusaha menghindari hilangnya kebenaran yang telah dicapai oleh pengetahuan

masa lalu. Tentang hal ini Horkheimer menyatakan ”Bahwa semua pemikiran,

benar atau salah, tergantung pada keadaan yang berubah sama sekali tidak

berpengaruh pada validitas sains”.

Teori kritis memungkinkan kita membaca produksi budaya dan

komunikasi dalam perspektif yang luas dan beragam. Ia bertujuan untuk

melakukan eksplorasi refleksif terhadap pengalaman yang kita alami dan cara kita

mendefinisikan diri sendiri, budaya kita, dan dunia. Hal ini didorong oleh

kesadaran bahwa makna bukanlah sesuatu yang alamiah dan langsung. Bahasa

bukanlah media transparan yang dapat menyampaikan ide-ide tanpa dominasi,

sebaliknya ia adalah seperangkat kesepakatan yang berpengaruh dan menentukan

jenis-jenis ide dan pengalaman manusia. Dengan berusaha memahami proses

dimana teks, objek, dan manusia diasosiasikan dengan makna-makna tertentu,

teori kritis memertanyakan legitimasi anggapan umum tentang pengalaman,

pengetahuan, dan kebenaran.

Dalam interaksi sehari-hari dengan orang lain dan alam, dalam kepala

seseorang selalu menyimpan seperangkat kepercayaan dan asumsi yang terbentuk

dari pengalaman dalam arti luas dan berpengaruh pada cara pandang seseorang,

I. 33

yang sering tidak tampak. Teori kritis berusaha mengungkap dan

mempertanyakan asumsi dan praduga itu. Dalam usahanya, teori kritis

menggunakan ide-ide dari bidang lain untuk memahami pola-pola dimana teks

dan cara baca berinteraksi dengan dunia.

Hal ini mendorong munculnya model pembacaan baru. Karenanya, salah

satu ciri khas teori kritis adalah pembacaan kritis dari dari berbagai segi dan luas.

Teori kritis adalah perangkat nalar yang, jika diposisikan dengan tepat dalam

sejarah, mampu merubah dunia. Pemikiran ini dapat dilacak dalam asumsi Marx

terkenal yang menyatakan ”Filosof selalu menafsirkan dunia, tujuannya untuk

merubahnya”. Ide ini berasal dari Hegel yang, dalam Phenomenology of Spirit,

mengembangkan konsep tentang objek bergerak yang, melalui proses refleksi-diri,

mengetahui dirinya pada tingkat kesadaran yang lebih tinggi.Hegel

menggabungkan filsafat tindakan dengan filsafat refleksi sedemikian rupa

sehingga aktivitas atau tindakan menjadi momen niscaya dalam proses refleksi.

Hal ini memunculkan diskursus dalam filsafat Jerman tentang hubungan

antara teori dan praktis, yakni bahwa aktivitas praktis manusia dapat merubah

teori. Teori kritis, dengan demikian, adalah pembacaan filosofis dalam arti

tradisional yang disertai kesadaran terhadap pengaruh yang mungkin ada dalam

bangunan ilmu, termasuk didalamnya pengaruh kepentingan. Teori kritis, dalam

konteks perdebatan metode antara ilmu pengetahuan dan filsafat, memiliki

kehendak untuk menembus realitas sosial sebagai fakta sosiologis untuk

menemukan kondisi-kondisi yang bersifat transendental yang melampaui data

empiris.

I. 34

Dengan kutub ilmu penegetahuan dimaksudkan bahwa teori kritis juga

bersifat historis dan tidak meninggalkan data yang diberikan oleh pengalaman

kontekstual. Dengan demikian, Teori Kritis tidak hendak jatuh pada metafisika.

Teori Kritis merupakan dialektika antara pengetahuan yang bersifat transendental

dan yang bersifat empiris. Karena sifat dialektis itu, Teori Kritis dimungkinkan

untuk melakukan dua macam kritik. Di satu pihak melakukan kritik transendental

dengan menemukan syarat-syarat yang memungkinkan pengetahuan dalam diri

subyek sendiri. Di lain pihak melakukan kritik imanen dengan menemukan

kondisi-kondisi sosio-historis dalam konteks tertentu yang mempengaruhi

pengetahuan manusia.

Pada taraf teori pengetahuan, Teori Kritis berusaha mengatasi pemahaman

saintisme atau positivisme. Pemahaman positivistis atas ilmu-ilmu sosial

mengandung relevansi politik yang sama beratnya dengan klaim-klaim politis

lain, karena pemahaman itu berfungsi dalam melanggengkan status quo

masyarakat. Sebaliknya, interaksi sosial sendiri diarahkan oleh cara berpikir

teknokratis dan positivistis yang pada prinsipnya adalah rasio instrumental atau

rasionalita teknologis ke dalam situasi ideologis itulah Teori Kritis membawa misi

emansipatoris untuk mengarahkan masyarakat menuju masyarakat yang lebih

rasional melalui refleksi diri. Seperti yang dikatakan oleh Hardiman bahwa “Teori

kritis hendak menembus realitas sosial sebagai fakta sosiologis, untuk

menemukan kondisi-kondisi yang bersifat transendental yang melampaui data

empiris. Teori kritis juga bersifat historis dan tidak meninggalkan data yang

I. 35

diberikan oleh pengalaman kontekstual. Dengan demikian, teori kritis merupakan

dialektika antara pengetahuan yang bersifat transendental dan empiris”.33

Sebaliknya, interaksi sosial sendiri diarahkan oleh cara berpikir

teknokratis dan positivistis yang pada prinsipnya adalah rasio instrumental atau

rasionalita teknologis. Ke dalam situasi ideologis itulah Teori Kritis membawa

misi emansipatoris untuk mengarahkan masyarakat menuju masyarakat yanglebih

rasional melalui refleksi diri. Seperti yang dikatakan oleh Hardiman bahwa“Teori

kritis hendak menembus realitas sosial sebagai fakta sosiologis, untuk

menemukan kondisi-kondisi yang bersifat transendental yang melampaui data

empiris. Teori kritis juga bersifat historis dan tidak meninggalkan data yang

diberikan oleh pengalaman kontekstual. Dengan demikian, teori kritis merupakan

dialektika antara pengetahuan yang bersifat transendental dan empiris”.

34

Konsistensi dari teori kritis untuk melakukan kritik terhadap positivisme

terus berlanjut yaitu ketika positivis menjelaskan tentang posisi ilmu pengetahuan

yang seharusnya bebas nilai. Teori kritis mengkritisi bahwa dengan membiarkan

ilmu pengetahuan yang bebas nilai justru akan membuka ruang luas bagi nilai

yang dianggap melakukan dominasi terhadap yang lain, sehingga teori kritis

menganggap bahwa posisi tawar yang diajukan oleh positivis justru memiliki

potensi untuk pro status quo, dimana posisi bebas nilai yang berarti tidak bersikap

ini justru menguntungkan bagi nilai-nilai dominatif (termasuk pengetahuan itu

sendiri) yang pada akhirnya menegasikan peran manusia dan semangat

humanisme ilmu pengetahuan itu sendiri. Teori kritis melalui beberap tokohnya

33 Budi Hardiman, Kritik Ideologi : Menyingkap Pertautan Pengetahuan dan Kepentingan Bersama Jurgen Habermas, Kanisius: Yogyakarta, 2009, hal. 16 34 Ibid.hal.16

I. 36

yang terkenal seperti Horkheimer, Adorno, Benjamin, Marcuse, Fromm, serta

Habermas mangajukan tawaran dimana seharusnya ilmu pengetahuan itu

berpihak kepada kemanusiaan yaitu dengan membela nilai-nilai kemanusiaan itu

sendiri tanpa harus tunduk dengan nilai dominatif yang ada termasuk ilmu

pengetahuan itu sendiri.

Ilmu sosial berparadigma kritis mengkritik positivisme terlalu

mengutamakan realitas mempengaruhi cara berpikir manusia dan juga

mengabaikan konteks sosial. Dengan demikian secara umum ilmu sosial kritis

dapat dikatakan sebagai suatu proses kritis untuk membongkar sesuatu yang tak

terlihat yang menutupi struktur masyarakat yang menindasnya dalam usaha untuk

merubah kehidupan dunia yang lebih baik. Ilmu sosial kritis sepakat dengan

sebagian kritik intepretatif pada positivisme. Ilmu sosial kritis mengkritik

intepretatif dan positivisme karena mengalami kemandekan anti demokrasi dan

anti humanis pada tataran praksis. selain itu ilmu sosial kritis memandang setiap

sudut dari realitas sebagai hal yang sama penting.

I.6.2.1 Subversif

Pada dasarnya cara kerja pengetahuan kritis (Hardiman, 2007) dalam

membedah realitas berprinsip pada kecurigaan atas kebenaran umum (common

sense). Bagi teori kritis kebenaran umum yang selalu diapit oleh dominasi negara,

agama, pengetahuan dan investasi, ujungnya berpihak pada superioritas klas, klan,

ras, sex/gender. Maka setiap bentuk kebenaran yang megendap maupun yang

I. 37

dilestarikan di masyarakat haruslah ditakar menurut semangat equality (kesamaan

derajat).

Bila seluruh kebenaran wajib ditakar derajat ketimpangannya. Dan

susahnya dari berbagai pembuktian atas keadaan sosial yang telah dijalani oleh

teori kritis ternyata selubung keberpihakan yang paling bermasalah adalah alur

nalar dari setiap personal. Dan mereka dicurigai terinfeksi oleh karakteristik

berfikir modern yang rasis, sexis. Agar tidak terlalu berjarak penulis akan

memberikan contoh: safari ritual seperti Haji, ziarah ke Yerusalem, sungai gangga

dst. seluruh bentuk ziarah agama tidak lain adalah upaya negara tujuan dalam

melestarikan semangat monopoli yang dikandung dalam rahim Kapitalis.

Di sisi lain semangat monopoli yang mengendap pada ritual keagamaan

hanya akan berujung pada sikap antagonis antar penganutnya, dimana penganut

satu ditegakkan dengan menggerus yang lain. Akhirnya hanya menanam benih

pertikaian antar umat beragama. Maka korelasi antara ritual ziarah dengan pahala

menjadi mentah. Yang ada adalah bibit pertikaian dengan supremasi klas.

I.6.2.2 Historis

Teori kritis menghindarkan diri dari model berpikir kausalitas (sebab-

akibat) sebagaimana yang telah dilakukan oleh perspektif-perspektif yang

mengadopsi ilmu alam. Karena dengan alur seperti ini, perspektif berbasis ilmu

alam tersebut justru mengabaikan dan mereduksi subyek yang unik dan spesifik

serta lepas dari historisitasnya.

I. 38

Maka dari itu, teori kritis menawarkan metode baru yang keluar dari

common sense, yakni dengan penelusuran historis. Yang harus diperhatikan untuk

masuk ke dalam pemikiran teori kritis adalah memahami alurnya ketika

digunakan sebagai alat baca. Alur teori kritis adalah sebagai berikut: keluar dari

common sense (kebenaran umum), melakukan pelacakan historis, menemukan

keberpihakan, dan memberikan tawaran.

1.6.3 Kontekstualisasi Metode

1.6.3.1 Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan Analisis Wacana. Analisis Wacana sebagai

pendekatan metodologis tertentu yang menjadi dasar Teori Kritis, Psikologi

Sosial, dan Cultural Studies.35 Wacana bukan hanya koleksi dari kata atau

kalimat: Sebuah wacana dalam integrasi dari kalimat yang menghasilkan makna

global yang lebih dari itu terkandung dalam kalimat yang dilihat secara

independen.36

35 Raymond A. Morrow. Critical Theory and Methodology. Vol 3. California : Sage Publications. 1994. hal 259. 36 Ibid hal 261

Penelitian ini menjelaskan mengenai CSR baik berupa teks maupun

pemikiran secara historis dari diskursus CSR yang timbul sebagai jargon

MNC/TNC yang berkampanye tentang penyelematan bumi akibat kerusakan yang

dilakukan oleh proses produksi.

I. 39

I.6.3.2 Isu – isu Penelitian

Pada bagian ini, penulis bermaksud untuk membedakan pokok masalah

yang akan dibahas nantinya. Penulis membedakan definisi konseptual ideologi,

industri dan CSR dengan menggunakan alat baca positivisme dan teori kritis.

Konsep yang dimaksud dengan menggunakan alat baca positivisme sengaja

dihadirkan oleh penulis, hal tersebut dikarenakan penulis menggunakan alat baca

teori kritis yang kehadirannya bermaksud merefleksi dan sebagai kritik atas

kehadiran positivisme.

Tabel I. 1. Tabel Paradigma Positivisme dan Kritis

Pokok Masalah

Paradigma Positivisme Paradigma Kritis

Industri Pembangunan Eksploitasi

Ideologi Pilihan hidup Metodologi

CSR Pemberdayaan Masyarakat Berpihak kepada korporasi

Dalam apa yang penulis kodifikasikan pada tabel diatas, terdapat

perbedaan antara paradigma positivisme dengan paradigma kritis dalam

memandang ideologi, dan Industri. Pandangan positivisme yang melihat fakta itu

bersifat natural dan netral, memberikan pandangan bahwa ideologi menjadi

pilihan hidup yang diterima begitu saja. Industri yang merupakan manifestasi dari

I. 40

tahapan masyarakat positivis yang paling maju bertindak sebagai infrastruktur

yang bertugas untuk memenuhi kebutuhan publik (produksi massal).

Paradigma kritis memberikan pandangan yang berbeda dengan pandangan

positivisme terhadap ideologi. Ideologi yang dimaksud dalam pandangan teori

kritis adalah metodologi. Industri sendiri dipandang oleh teori kritis sebagai

infrastruktur yang eksploitatif.

I.6.3.2.1 Agenda CSR

Agenda Corporate Social Responsibility (CSR) memiliki hubungan yang

ambigu dengan pembangunan internasional. Hal ini dianggap oleh sebagian orang

pihak sektor swasta dapat berkontribusi dalam proses pembangunan yang

nantinya dapat berpengaruh pada pengurangan kemiskinan dan tujuan sosial

lainnya, yang tidak akan dicapai oleh pemerintah jika bertindak sendiri. Namun

agenda juga menarik kritik karena tidak peka terhadap prioritas-prioritas lokal dan

berpotensi merugikan prospek berkelanjutan mata pencaharian pada masyarkat

sekitar akibat pembebasan lahan atau dampak ekologi yang diciptakan dari proses

produksi.

Selain itu, masyarakat sipil semakin frustrasi dengan keterbatasan agenda

yang sering mendefinisikan CSR sebagai kegiatan sukarela. Jika keresahan ini

mengarah ke penarikan dari agenda bisa dibilang bahwa sektor swasta yang telah

banyak berperan konstruktif untuk bermain dalam mencapai pembangunan

berkelanjutan di semua bidang. Adanya kebutuhan mendesak untuk memperbarui

I. 41

dan membentuk kembali agenda-agenda dalam pelaksanaan CSR yang nantinya

akan berjalan sesuai dengan kebutuhan korporasi.

I.6.3.2.1 Ideologi

Pengertian ideologi adalah kumpulan konsep bersistem yang dijadikan

asas pendapat yang memberikan arah dan tujuan untuk kelangsungan hidup.

ideologi sebagai keyakinan yang tidak ilmiah, biasanya digunakan dalam filsafat

dan ilmu-ilmu sosial yang positivistik. Segala pemikiran yang tidak dapat

dibuktikan secara logis-matematis atau empiris adalah suatu ideologi. Segala

masalah etis dan moral, asumsi-asumsi normatif, dan pemikiran-pemikiran

metafisis termasuk dalam wilayah ideologi.

Namun yang dimaksud ideologi dalam isu penelitian ini ialah ideologi

menurut teori kritis, yang artinya ideologi dimaknai sebagai yaitu sebagai

kesadaran palsu biasanya dipergunakan oleh kalangan filosof dan ilmuwan sosial.

Ideologi adalah teori-teori yang tidak berorientasi pada kebenaran, melainkan

pada kepentingan pihak yang mempropagandakannya. Ideologi juga dilihat

sebagai sarana kelas atau kelompok sosial tertentu yang berkuasa untuk

melegitimasikan kekuasaannya. Ideologi dipandang sebagai keberpihakan, yang

nantinya dalam penelitian ini mencoba mencari ideologi yang berperan dalam

pelaksanaan CSR di Indonesia.

I. 42

1.6.3.3 Teknik Pengumpulan Data

Data yang penulis gunakan dalam penelitian ini yaitu literatur yang

berhubungan dengan pembentukan konsep CSR. Yang penulis maksud dengan

teks adalah literatur-literatur yang diterima dan dipraktekkan dalam pelaksanaan

CSR di Indonesia. Penulis percaya, kedudukan teks tidak pernah netral dan

obyektif. Ia selalu dibarengi dan lahir dari satu konteks sejarah yang

melingkupinya. Hal ini berpengaruh dalam soal bagaimana kita membaca dan

menafsirkan teks tersebut. Data yang didapat dari media cetak berkala yang

berskala nasional maupun internasional, buku, antologi, jurnal ilmiah dalam dan

luar negeri. Sebagai pendukung juga dilibatkan karya-karya penelitian terdahulu,

makalah-makalah yang relevan, serta literature lain yang mendukung penulisan

skripsi

1.6.3.4 Jenis Data

Data yang diperlukan dalam penelitian ini adalah data-data berupa tulisan

(essay, buku, makalah, jurnal ilmiah, media cetak berkala-seperti majalah,

bulletin, blog internet) tentang kecenderungan-kecenderungan pewacanaan CSR

di Indonesia. Data-data pendukung juga disertakan yang berupa karya-karya

tentang model analisa terhadap fenomena-fenomena pemikiran mengenai wacana

CSR, serta analisa melalui perangkat teori dan mekanisme teori kritis terhadap

perkembangan wacana CSR itu sendiri.

I. 43

1.6.3.5 Teknik analisis Data

Berdasarkan data-data yang berupa teks-teks pemikiran atau tulisan

dengan tema besar diskursus CSR, diskursus yang terdapat dalam tulisan itu

kemudian dikelompokkan, dan diklasifikasi berdasarkan persamaan atau

perbedaan kecenderungan yang dimunculkan, untuk selanjutnya memperoleh

gambaran tentang main reference dan ontologi CSR itu sendiri. Dalam tahapan

ini, akan mencoba membedah mengenai agenda-agenda yang terselubung dalam

pelaksanaan CSR di Indonesia, setelah itu nantinya dapat mengetahui ideologi

yang beroperasi dalam pelaksanaan CSR di Indonesia.

II. 1

BAB II

CSR dan Perkembangannya

Lester Thurow, tahun 1966 dalam bukunya “The Future of Capitalism”,

sudah memprediksikan bahwa pada saatnya nanti, kapitalisme akan berjalan

kencang tanpa perlawanan. Hal ini disebabkan, musuh utamanya, sosialisme dan

komunisme telah lenyap. Pemikiran Thurow ini menggaris bawahi bahwa

kapitalisme tak hanya berurusan pada ekonomi semata, melainkan juga

memasukkan unsur sosial dan lingkungan untuk membangun masyarakat, atau

yang kemudian disebut sustainable society. Pada jamannya, pemikiran Thurow

tersebut sulit diaplikasikan, hal ini ia tuliskan seperti there is no social ‘must’ in

capitalism.1

Karya Prof. Courtney C. Brown, orang pertama penerima gelar Professor

of Public Polecy and Business Responsibility dari Universitas

Columbia.Pemikiran para ilmuwan sosial di era itu masih banyakmendapatkan

tentangan, hingga akhirnya muncul buku yang menghebohkandunia hasil

Jaman pun berlalu, tahun 1962, Rachel Calson lewat bukunya

“TheSilent Spring”, memaparkan pada dunia tentang kerusakan lingkungan

dankehidupan yang diakibatkan oleh racun peptisida yang mematikan. Paparan

yang disampaikan dalam buku “Silent Spring” tersebut menggugah kesadaran

banyak pihak bahwa tingkah laku korporasi harus diluruskan sebelum menuju

kehancuran bersama. Dari sini CSR (Corporate Social Responsibility) pun mulai

digaungkan. Tepatnya di era 1970-an. Banyak professor menulis bukutentang

pentingnya tanggung jawab sosial perusahaan, di samping kegiatan mengeruk

untung. Buku-buku tersebut antara lain; “Beyond the Bottom Line”

1 AB Susanto, A Strategic Management Approach, CSR, The Jakarta Consulting Group, Jakarta, 2007, hlm.21

II. 2

pemikiran para intelektual dari Club of Roma, bertajuk “The Limits to Growt”.

Buku ini mengingatkan bahwa, disatu sisi bumi memilikiketerbatasan daya

dukung (carrying capacity), sementara di sisi lain populasimanusia bertumbuh

secara eksponensial. Karena itu, eksploitasi sumber dayaalam mesti dilakukan

secara cermat agar pembangunan dapat berkelanjutan.Era 1980 – 1990, pemikiran

dan perbincangan tentang issu ini terus berkembang, kesadaran dalam berbagi

keuntungan untuk tanggungjawab sosial, dan dikenal sebagai community

development. Hasil menggembirakandatang dari KTT Bumi di Rio de Jenerio

Tahun 1992 yang menegaskan bahwakonsep pembangunan berkelanjutan menjadi

hal yang harus diperhatikan, tidak saja oleh negara, terlebih lagi oleh kalangan

korporasi yang diprediksi bakal melesatkan kapitalisme di masa mendatang. Dari

sini konsep CSR terus bergulir, berkembang dan diaplikasikan dalam berbagai

bentuk. James Collins dan Jerry Poras dalam bukunya Built toLast: Successful

Habits of Visionary Companies (1994), menyampaikan bukti bahwa perusahaan

yang terus hidup adalah yang tidak semata mencetak limpahan uang saja, tetapi

perusahaan yang sangat peduli dengan lingkungansosial dan turut andil dalam

menjaga keberlangsungan lingkungan hidup.2

Konsep dan pemikiran senada juga ditawarkan oleh John Elkington lewat

bukunya yang berjudul “Cannibals with Fork, the Triple Bottom Line ofTwentieth

Century Business. Dalam bukunya ini, Elkington menawarkan solusi bagi

peusahaan untuk berkembang di masa mendatang, di mana mereka harus

memperhatikan 3P, bukan sekedar keuntungan (Profit), juga harus terlibat dalam

pemenuhan kesejahteraan rakyat (People) dan berperan aktif dalam menjaga

2Ibid, hlm.35

II. 3

kelestarian lingkungan (Planet).3

3diakses dari

Agenda World Summit di Johannesburg (2002),

menekankan pentingnya tanggung jawab social perusahaan. Dari situ program

CSR mulai terus berjalan dan berkembang dengan berbagai konsep dan definisi.

Kesadaran menjalankan CSR akhirnya tumbuh menjadi trend global,

terutamaproduk-produk yang ramah lingkungan yang diproduksi dengan

memperhatikan kaidah social dan hak asasi manusia.

Di pasar modal globalpun, CSR juga menjadi faktor yang diperhitungkan.

Misalnya New York Stock Exchange (NYSE) saat ini menerapkan program Dow

Jones Sustainable Index (DJSI) untuk sahamperusahaan yang dikategorikan

memiliki Social Responsible Investment (SRI). Kemudian Index and Financial

Times Stock Exchange (FTSE) menerapkanFTSE4 Good sejak 2001. Konsekuensi

dari adanya index-index tersebutmemacu investor global seperti perusahaan dana

pensiun dan asuransi yang hanya akan menanamkan investasinya di perusahaan-

perusahaan yang sudahmasuk dalam index tersebut.

II.1 SEJARAH CSR

Sejarah merupakan torehan kejadian masa lampau yang mengungkapkan

fenomenarealitas sosial yang bisa menjadi kajian menarik dan bermanfaat di masa

kini danmendatang. Dengan memahami sejarah tentang obyek kajian akan

bermakna bagipengungkapan realitas sosial yang lebih obyektif.Corporate Social

Responsibility (CSR) telah ada sejak Abad 17 dan mengalamiperkembangan

kajian yang mencerminkan dinamika implementatif yang terusmengalami

perubahan. Berikut disajikan sejarah singkat CSR dari masa ke masa.

http://www.csrindonesia.com pada tanggal 13 september 2011 pukul 20.50

II. 4

II.1.1 Sejarah CSR Di Tingkat Internasional

Tahun 1700-an SMTanggung Jawab Sosial Korporasi (Corporate Social

Responsibility) telah menjadipemikiran para pembuat kebijakan sejak lama.

Bahkan dalam Kode Hammurabi (1700-an SM) yang berisi 282 hukum telah

memuat sanksi bagi para pengusaha yang lalaidalam menjaga kenyamanan warga

atau menyebabkan kematian bagi pelanggannya.Dalam Kode Hammurabi

disebutkan bahwa hukuman mati diberikan kepada orangorangyang

menyalahgunakan ijin penjualan minuman, pelayanan yang buruk danmelakukan

pembangunan gedung di bawah standar sehingga menyebabkan kematianorang

lain.Perhatian para pembuat kebijakan tentang CSR menunjukkan telah adanya

kesadaranbahwa terdapat potensi timbulnya dampak buruk dari kegiatan usaha.

Dampak buruktersebut tentunya harus direduksi sedemikian rupa sehingga tidak

membahayakankemaslahatan masyarakat sekaligus tetap ramah terhadap iklim

usaha.

Tahun 1940-an: Pengembangan Masyarakat

(Community Development)Secara resmi istilah Comdev dipergunakan di

Inggris 1948, untuk mengganti istilahmass education (pendidikan massa).

Menurut Hodge, akar munculnya model pengembangan masyarakat (Community

Development) terkait dengan disiplin ilmupendidikan (education). Di Amerika

Serikat pengembangan masyarakat juga berakardari disiplin pendidikan di tingkat

pedesaan (rural extension program), sedangkan diperkotaan mereka

mengembangkan organisasi komunitas (community organization)yang bersumber

dari ilmu kesejahteraan Sosial yang diawali pada tahun 1873.

II. 5

Pengembangan masyarakat merupakan pembangunan alternatif yang

komprehensifdan berbasis komunitas yang dapat melibatkan baik oleh

Pemerintah, Swasta, ataupunoleh lembagalembaga non pemerintah. Dari segi

tujuan bisa bersifat spesifik, tidakselalu multi-tujuan. Beberapa alternatif

pendekatan yang pernah terjadi di AmerikaSerikat terkait dengan pengembangan

masyarakat ini, antara lain: (1) pendekatankomunitas, (2) pendekatan pemecahan

masalah, (3) pendekatan eksperimental, (4)pendekatan konflik kekuatan, (5)

pengelolaan sumberdaya alam, dan (6) perbaikanlingkungan komunitas

masyarakat perkotaan.Pendekatan komunitas merupakan pendekatan yang paling

sering dipergunakan dalampengembangan masyarakat. Pendekatan ini mempunyai

tiga ciri utama (1) basispartisipasi masyarakat yang luas, (2) fokus pada kebutuhan

sebagian besar wargakomunitas, dan (3) bersifat holistik. Pendekatan ini menaruh

perhatian padakepentingan hampir semua warga. Keunggulan pendekatan ini

adalah adanyapartisipasi yang tinggi dari warga dan pihak terkait dalam

pengambilan keputusan(perencanaan) dan pelaksanaan, serta dalam evaluasi dan

menikmati hasil kegiatanbersama warga komunitas.Comdev semakin menjadi

kebutuhan tidak saja bagi masyarakat, tetapi jugaperusahaan. Perusahaan bukan

lagi merupakan kesatuan yang independen danterisolasi, sehingga manajer tidak

hanya bertanggung jawab kepada pemilik tetapijuga kepada kepentingan yang

lebih luas yang membentuk dan mendukungnya darilingkungan sekitarnya. Dalam

mengejar tujuan ekonomisnya, perusahaanmenimbulkan berbagai konsekuensi

sosial lainnya, baik kemanfaatan (keamanan,kenyamanan, dan kemakmuran bagi

masyarakat) maupun biaya sosial (degradasipotensi sumberdaya lingkungan,

limbah dan pencemaran). Perkembangan lebih lanjut,konsep Comdev ini

mempunyai kontribusi yang signifikan terhadap CSR.

II. 6

Tahun 1950-an: CSR MODERN

Literatur-literatur awal yang membahas CSR pada tahun 1950-an

menyebut CSRsebagai Social Responsibility (SR bukan CSR). Tidak

disebutkannya kata corporatedalam istilah tersebut kemungkinan besar disebabkan

pengaruh dan dominasikorporasi modern belum terjadi atau belum disadari.

Menurut Howard R. Bowendalam bukunya: “Social Responsibility of The

Businessman” dapat dianggap sebagaitonggak bagi CSR modern. Dalam buku itu

Bowen (1953:6) memberikan definisi awaldari CSR sebagai: “… obligation of

businessman to pursue those policies, to makethose decision or to follow those

line of action wich are desirable in term of theobjectives and values of our

society.”Walaupun judul dan isi buku Bowen bias gender (hanya menyebutkan

businessmantanpa mencantumkan businesswoman), sejak penerbitan buku

tersebut definisi CSRyang diberikan Bowen memberikan pengaruh besar kepada

literatur-literatur CSR yangterbit setelahnya. Sumbangsih besar pada peletakan

fondasi CSR tersebut membuatBowen pantas disebut sebagai Bapak CSR.

Tahun 1960-an

Pada tahun 1960-an banyak usaha dilakukan untuk memberikan

formalisasi definisiCSR. Salah satu akademisi CSR yang terkenal pada masa itu

adalah Keith Davis. Davisdikenal karena berhasil memberikan pandangan yang

mendalam atas hubungan antaraCSR dengan kekuatan bisnis. Davis mengutarakan

“Iron Law of Responsibility” yangmenyatakan bahwa tanggung jawab sosial

pengusaha sama dengan kedudukan sosialyang mereka miliki (social

responsibilities of businessmen need to be commensuratewith their social power).

II. 7

Sehingga, dalam jangka panjang, pengusaha yang tidakmenggunakan kekuasaan

dengan bertanggungjawab sesuai dengan anggapanmasyarakat akan kehilangan

kekuasaan yang mereka miliki sekarang.Kata corporate mulai dicantumkan pada

masa ini. Hal ini bisa jadi dikarenakansumbangsih Davis yang telah menunjukkan

adanya hubungan yang kuat antaratanggung jawab sosial dengan korporasi.Tahun

1962, Rachel Carlson menulis buku yang berjudul “Silent Spring”. Bukutersebut

dianggap memberikan pengaruh besar pada aktivitas pelestarian alam.

Bukutersebut berisi efek buruk penggunaan DDT sebagai pestisida terhadap

kelestarianalam, khususnya burung. DDT menyebabkan cangkang telur menjadi

tipis danmenyebabkan gangguan reproduksi dan kematian pada burung. Silent

Spring jugamenjadi pendorong dari pelarangan penggunaan DDT pada tahun

1972. Selainpenghargaan Silent Spring juga menuai banyak kritik dan dinobatkan

sebagai salahsatu ”buku paling berbahaya abad ke-19 dan ke-20” versi majalah

Human Events.Tahun 1963, Joseph W. McGuire (1963:144) memperkenalkan

istilah CorporateCitizenship. McGuire menyatakan bahwa: “The idea of social

responsibilities supposesthat the corporation has not only economic and legal

obligations but also certainresponsibilities to society which extend beyond these

obligations”. McGuire kemudianmenjelaskan lebih lanjut kata “beyond” dengan

menyatakan bahwa korporasi harusmemperhatikan masalah politik, kesejahteraan

masyarakat, pendidikan,“kebahagiaan” karyawan dan seluruh permasalahan sosial

kemasyarakatan lainnya.Oleh karena itu korporasi harus bertindak “baik,” sebagai

mana warga negara(citizen) yang baik.

II. 8

Tahun 1970-an

Tahun 1971, Committee for Economic Development (CED) menerbitkan

SocialResponsibilities of Business Corporations. Penerbitan yang dapat dianggap

sebagaicode of conduct bisnis tersebut dipicu adanya anggapan bahwa kegiatan

usahamemiliki tujuan dasar untuk memberikan pelayanan yang konstruktif untuk

memenuhikebutuhan dan kepuasan masyarakat.CED merumuskan CSR dengan

menggambarkannya dalam lingkaran konsentris.Lingkaran dalam merupakan

tanggungjawab dasar dari korporasi untuk penerapankebijakan yang efektif atas

pertimbangan ekonomi (profit dan pertumbuhan);Lingkaran tengah

menggambarkan tanggung jawab korporasi untuk lebih sensitifterhadap nilai-nilai

dan prioritas sosial yang berlaku dalam menentukan kebijakanmana yang akan

diambil; Lingkaran luar menggambarkan tanggung jawab yangmungkin akan

muncul seiring dengan meningkatnya peran serta korporasi dalammenjaga

lingkungan dan masyarakat.

Tahun 1970-an juga ditandai dengan pengembangan definisi CSR. Dalam

artikel yangberjudul “Dimensions of Corporate Social Performance”, S. Prakash

Sethi memberikanpenjelasan atas perilaku korporasi yang dikenal dengan social

obligation, socialresponsibility, dan social responsiveness. Menurut Sethi, social

obligation adalahperilaku korporasi yang didorong oleh kepentingan pasar dan

pertimbanganpertimbanganhukum. Dalam hal ini social obligatioan hanya

menekankan pada aspekekonomi dan hukum saja. Social responsibility

merupakan perilaku korporasi yangtidak hanya menekankan pada aspek ekonomi

dan hukum saja tetapi menyelaraskansocial obligation dengan norma, nilai dan

harapan kinerja yang dimiliki olehlingkungan sosial. Social responsivenes

merupakan perilaku korporasi yang secararesponsif dapat mengadaptasi

II. 9

kepentingan sosial masyarakat. Social responsivenessmerupakan tindakan

antisipasi dan preventif.Dari pemaparan Sethi dapat disimpulkan bahwa social

obligation bersifat wajib, socialresponsibility bersifat anjuran dan social

responsivenes bersifat preventif. Dimensidimensikinerja sosial (social

performance) yang dipaparkan Sethi juga mirip dengankonsep lingkaran

konsentris yang dipaparkan oleh CED.

Tahun 1980-an

Era ini ditandai dengan usaha-usaha yang lebih terarah untuk lebih

mengartikulasikansecara tepat apa sebenarnya corporate responsibility. Walaupun

telah menyinggungmasalah CSR pada 1954 , Empu teori manajemen Peter F.

Drucker baru mulaimembahas secara serius bidang CSR pada tahun 1984 ,

Drucker (1984:62)berpendapat: ”But the proper ‘social responsibility’ of business

is to tame thedragon, that is to turn a social problem into economic opportunity

and economicbenefit, into productive capacity, into human competence, into well-

paid jobs, andinto wealth”.Dalam hal ini, Drucker telah melangkah lebih lanjut

dengan memberikan ide baru agarkorporasi dapat mengelola aktivitas CSR yang

dilakukannya dengan sedemikian rupasehingga tetap akan menjadi peluang bisnis

yang menguntungkan.Tahun 1987, Persatuan Bangsa-Bangsa melalui World

Commission on Environment andDevelopment (WECD) menerbitkan laporan yang

berjudul “Our Common Future” –juga dikenal sebagai Brundtland Report untuk

menghormati Gro Harlem Brundtlandyang menjadi ketua WECD waktu itu.

Laporan tersebut menjadikan isu-isu lingkungansebagai agenda politik yang pada

akhirnya bertujuan mendorong pengambilankebijakan pembangunan yang lebih

II. 10

sensitif pada isu-isu lingkungan. Laporan inimenjadi dasar kerjasama multilateral

dalam rangka melakukan pembangunanberkelanjutan (sustainable development).

Tahun 1990-an

Gerakan CSR modern yang berkembang pesat selama duapuluh tahun

terakhir ini lahir akibat desakan organisasi-organisasi masyarakat sipil

danjaringannya di tingkat global. Keprihatinan utama yang disuarakan adalah

perilakukorporasi, demi maksimalisasi laba, lazim mempraktekkan cara-cara yang

tidak fair dantidak etis, dan dalam banyak kasus bahkan dapat dikategorikan

sebagai kejahatankorporasi. Beberapa raksasa korporasi transnasional sempat

merasakan jatuhnyareputasi mereka akibat kampanye dalam skala global tersebut.

Hingga dekade 1980-90 an, wacana CSR terus berkembang. Munculnya

KTT Bumidi Rio pada 1992 menegaskan konsep sustainibility development

(pembangunanberkelanjutan) sebagai hal yang mesti diperhatikan, tak hanya oleh

negara, tapi terlebiholeh kalangan korporasi yang kekuatan kapitalnya makin

menggurita. Tekanan KTT Rio,terasa bermakna sewaktu James Collins dan Jerry

Porras meluncurkan Built To Last;Succesful Habits of Visionary Companies di

tahun 1994. Lewat riset yang dilakukan,mereka menunjukkan bahwa perusahaan-

perusahaan yang terus hidup bukanlahperusahaan yang hanya mencetak

keuntungan semata.Sebagaimana hasil Konferensi Tingkat Tinggi Bumi (Earth

Summit) di Rio deJaneiro Brazilia 1992, menyepakati perubahan paradigma

pembangunan, daripertumbuhan ekonomi (economic growth) menjadi

pembangunan yang berkelanjutan(sustainable development). Dalam perspektif

perusahaan, di mana keberlanjutandimaksud merupakan suatu program sebagai

dampak dari usaha-usaha yang telahdirintis, berdasarkan konsep kemitraan dan

II. 11

rekanan dari masing-masing stakeholder.Ada lima elemen sehingga konsep

keberlanjutan menjadi penting, di antaranya adalah ;(1) ketersediaan dana, (2)

misi lingkungan, (3) tanggung jawab sosial, (4)terimplementasi dalam kebijakan

(masyarakat, korporat, dan pemerintah), (5)mempunyai nilai

keuntungan/manfaat.4

Pertemuan Yohannesburg tahun 2002 yang dihadiri para pemimpin

duniamemunculkan konsep social responsibility, yang mengiringi dua konsep

sebelumnyayaitu economic dan environment sustainability. Ketiga konsep ini

menjadi dasar bagi perusahaan dalam melaksanakan tanggung jawab sosialnya

(Corporate SocialResponsibility). Pertemuan penting UN Global Compact di

Jenewa, Swiss, Kamis, 7 Juli2007 yang dibuka Sekjen PBB mendapat perhatian

media dari berbagai penjuru dunia.Pertemuan itu bertujuan meminta perusahaan

untuk menunjukkan tanggung jawab danperilaku bisnis yang sehat yang dikenal

dengan corporate social responsibility.

5

World Business Council for Sustainable Development: Komitmen

berkesinambungan dari kalangan bisnis untuk berperilaku etis dan memberi

kontribusi bagi pembangunan ekonomi, seraya meningkatkan kualitas kehidupan

II.2 Definisi CSR

Definisi CSR sangat menentukan pendekatan audit program CSR. Sayangnya,

belum ada definisi CSR yang secara universal diterima oleh berbagai lembaga.

Beberapa definisi CSR di bawah ini menunjukkan keragaman pengertian CSR

menurut berbagai organisasi :

4Dhaniri, Mas Achmad. Standarisasi Tanggung Jawab Sosial Perusahaan, hal 3. 5Ibid

II. 12

karyawan dan keluarganya, serta komunitas lokal dan masyarakat luas pada

umumnya.

International Finance Corporation: Komitmen dunia bisnis untuk memberi

kontribusi terhadap pembangunan ekonomi berkelanjutan melalui kerjasama dengan

karyawan, keluarga mereka, komunitas lokal dan masyarakat luas untuk

meningkatkan kehidupan mereka melalui cara-cara yang baik bagi bisnis maupun

pembangunan.

Institute of Chartered Accountants, England and Wales: Jaminan bahwa

organisasi-organisasi pengelola bisnis mampu memberi dampak positif bagi

masyarakat dan lingkungan, seraya memaksimalkan nilai bagi para pemegang saham

(shareholders) mereka.

Canadian Government: Kegiatan usaha yang mengintegrasikan ekonomi,

lingkungan dan sosial ke dalam nilai, budaya, pengambilan keputusan, strategi, dan

operasi perusahaan yang dilakukan secara transparan dan bertanggung jawab untuk

menciptakan masyarakat yang sehat dan berkembang.

European Commission: Sebuah konsep dengan mana perusahaan

mengintegrasikan perhatian terhadap sosial dan lingkungan dalam operasi bisnis

mereka dan dalam interaksinya dengan para pemangku kepentingan (stakeholders)

berdasarkan prinsip kesukarelaan.

CSR Asia: Komitmen perusahaan untuk beroperasi secara berkelanjutan

berdasarkan prinsip ekonomi, sosial dan lingkungan, seraya menyeimbangkan

beragam kepentingan para stakeholders. 6

Selain itu, ISO 26000 mengenai Guidance on Social Responsibility juga

memberikan definisi CSR. Meskipun pedoman CSR standard internasional ini baru

6Diakses dari http://www.wikipedia.com , pada tanggal 15 september 2011 pukul 12.30wib.

II. 13

akan ditetapkan tahun 2010, draft pedoman ini bisa dijadikan rujukan. Menurut ISO

26000, CSR adalah:

Tanggung jawab sebuah organisasi terhadap dampak-dampak dari keputusan-

keputusan dan kegiatan-kegiatannya pada masyarakat dan lingkungan yang

diwujudkan dalam bentuk perilaku transparan dan etis yang sejalan dengan

pembangunan berkelanjutan dan kesejahteraan masyarakat; mempertimbangkan

harapan pemangku kepentingan, sejalan dengan hukum yang ditetapkan dan

norma-norma perilaku internasional; serta terintegrasi dengan organisasi secara

menyeluruh.

Jika dipetakan, menurut saya, pendefinisian CSR yang relatif lebih mudah

dipahami dan bisa dioperasionalkan untuk kegiatan audit adalah dengan

mengembangkan konsep Tripple Bottom Lines (Elkington, 1998) dan

menambahkannya dengan satu line tambahan, yakni procedure. Dengan demikian,

CSR adalah:

Kepedulian perusahaan yang menyisihkan sebagian keuntungannya

(profit) bagi kepentingan pembangunan manusia (people) dan lingkungan

(planet) secara berkelanjutan berdasarkan prosedur (procedure) yang tepat

dan profesional.

Dalam aplikasinya, konsep 4P ini bisa dipadukan dengan komponen dalam

ISO 26000. Konsep planet jelas berkaitan dengan aspek the environment. Konsep

people di dalamnya bisa merujuk pada konsep social development dan human rights

yang tidak hanya menyangkut kesejahteraan ekonomi masyarakat (seperti pemberian

modal usaha, pelatihan keterampilan kerja). Melainkan pula, kesejahteraan sosial

(semisal pemberian jaminan sosial, penguatan aksesibilitas masyarakat terhadap

pelayanan kesehatan dan pendididikan, penguatan kapasitas lembaga-lembaga sosial

dan kearifan lokal). Sedangkan konsep procedur bisa mencakup konsep

II. 14

organizational governance, labor practices, fair operating practices, dan consumer

issues.7

Pendukung konsep tanggungjawab sosial (social responsibility) memberi

argumentasi bahwa suatu perusahaan mempunyai kewajiaban terhadap

masyarakat selain mencari keuntungan. Ada berapa definisi tentang definisi CSR,

yang pada dasarnya adalah etika dan tindakan untuk turut berperan dalam

keberlanjutan ekonomi, sosial dan lingkungan perusahaan. Hopkin (1998)

memberikan definisi CSR sebagai etika memperlakukan stakeholders dan bumi.

The Conadin Business for Social Responsibility-CSR (2001).

8The European

Commission menebutkan CSR adalah konsep perusahaan yang mengintergrasikan

kepedulian sosial dan lingkungan ke dalam oprasi bisnis serta interaksinya dengan

stakeholders secara suka rela (Fenwick, T, 2004).9

Menurut WBCD (2005), CSR adalah komitmen perusahaan yang

berkontribusi pada pembangunan ekonomi berkelanjutan, bekerja dengan pekerja

dan keluarganya, komunitas lokal dan masyarakat luas guna meningkatkan

kualitas hidupnya. Departemen Sosial (2005) mendefinisikan CSR sebagai

komitmen dan kemampuan dunia usaha untuk melaksanakankewajiban sosial

terhadap lingkungan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan

menjaga keseimbangan hidup ekosistem disekelilingnya. Definisi dari Corporate

Social Responcibility (CSR) itu sendiri telah dikemukakan oleh banyak pakar.

Diantaranya adalah definisiyang dikembangkan oleh Magnan & Ferrel (2004)

yang mendefinisikan CSR sebagai ”A business acts in socially responsible manner

7lihat http://www.csrindonesia.com , diakses pada tanggal 27 oktober 2011 pukul 15.00wib 8Hardiansyah,CSR dan Modal Sosial Untuk Membangun Sinergi, Kemitraan Bagi Upaya Pengentasan Kemiskinan, Makalah disampaikan pada Seminar & Talk Show CSR 2007,“Kalimantan 2015: Menuju Pembangunan Berkelanjutan, Tantangan, dan Harapan”, 10 Agustus 2007. 9Hardiansyah, ibid.

II. 15

when its decisionandaccount for and balance diverse stake holder interest ”10

Pada hakekatnya setiap orang, kelompok dan organisasi mempunyai tanggung

jawab sosial (social responcibility) pada lingkungannya. Tanggungjawab sosial

seorang atau organisasi adalah etika dan kemampuan berbuat baik pada

lingkungan sosial hidup berdasarkan aturan, nilai dan kebutuhan masyarakat.

Berbuat baik atau kebajikan merupakan bagian dari kehidupan sosial. Dan segi

kecerdasan, berbuat kebajikan adalah salah satuunsur kecerdasan spiritual.11

Sementara dalam konteks perusahaan, tanggungjawab sosial itu disebut

tanggungjawab sosial perusahaan (Corporate Social Responcibility—CSR).

Howard Rothmann Bowen menggagas istilah CSR pada tahun 1953 dalam

tulisanya berjudul Social Responcibility of the Businesman. CSRberakar dari etika

yang berlaku di perusahaan dan di masyarakat. Etika yang dianut oleh perusahaan

merupkan bagian dari budaya perusahaan (corporateculture); dan etika yang

dianut oleh masyarakat merupakan bagian dari budaya masyarakat.

12

Definisi Corporate Social Responsibility (CSR) itu sendiri telah

dikemukakan oleh banyak pakar. Diantaranya adalah definisi yang dikemukakan

oleh Magnan dan Ferrel yang mendefinisikan CSR sebagai “ Abusiness acts in

socially responsible manner when its decision and accaundfor and balance

diverse stake holder interest”.

13

10A.B. Susanto,Corporate Greening,Majalah Ozon, Edisi No.2 Oktober 2002 11A B. Susanto,Ibid, hal.21 12Hardiansyah,CSR dan Model Sosial Untuk membangun Sinergi Kemitraan Bagi Upaya Pengentasan Kemiskinan, Makalah disampaikan pada Seminar & TalkShow CSR 2007“Kalimantan 2015:Menuju Pembangunan Berkelanjutan, Tantangan, dan Harapan”. 10 Agustus 2007. 13Ibid

Definisi ini menekankan kepada perlunya

memberikan perintah secara seimbang terhadap kepentingan berbagai

stakeholders yang beragam dalam setiap keputusan dan tindakan yang ambil oleh

para pelaku bisnis melalui perilaku yang secara socialbertanggungjawab.

II. 16

Sedangkan komisi eropa membuat definisi yang lebih praktis, yang pada galibnya

bagaimana perusahaan secara sukarela member kontribusi bagi terbentuknya

masyarakat yang lebih baik dan lingkungan yang lebih bersih. Sedangkan

Elkington (1997) mengemukakan bahwa sebuahperusahhan yang menunjukan

tanggungjawab sosialnya akan memberikan perhatian kepada peningkatan kualitas

perusahaan (profit); masyarakat, khususnya sekitar (people); serta lingkungan

hidup (planet bumi).14 Dalam UU PM, yang digunakan sebagai rujukan pewajiban

CSRdalam RUU PT, di penjelasan Pasal 15 huruf b, CSR didefinisikan sebagai

“tanggung jawab yang melekat pada setiap perusahaan untuk tetapmenciptakan

hubungan yang serasi, seimbang, dan sesuai dengan lingkungan, nilai, norma, dan

budaya masyarakat setempat.” Dalam teks Pasal 74 RUU PT sendiri CSR tidak

didefinisikan, namun dalam dokumen kerja Tim Perumus terdapat definisi

“Tanggung jawab sosial dan lingkungan adalah komitmen Perseroan untuk

berperan serta dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan guna meningkatkan

kualitas kehidupan dan lingkungan yang bermanfaat, baik bagi Perseroan sendiri,

komunitas setempat, maupun masyarakat pada umumnya.” Definisi ini telah

disetujui Tim Perumus pada tanggal 3 Juli 2007. Ada banyak masalah dalam

definisi yang tertera dalam dokumen kerjaRUU PT. Pertama, penyebutan

tanggung jawab sosial dan lingkungan tidaklah lazim. Penjelasan yang sangat

komprehensif paling mutakhir tentang definisi misalnya diberikan oleh Michael

Hopkins (2007) dalam Corporate Social Responsibility and International

Development.15

14Ibid 15Hopkins, M, 2007,Corporate Social Responsibility and International Development. Is Business the Solution?,Earthscan, hlm.22

Di situ dijelaskan bahwa kata “social” di tengah CSR memang

kerap menyasarkan orang pada sangkaan bahwa CSR hanya berisikan kegiatan

pada ranah sosial. Namun demikian, menghilangkan kata tersebut juga

II. 17

problematic karena tidak memberikan penekanan terhadap sebuah bentuk

tanggung jawab baru yang sebelumnya tidak/kurang begitu dikenal (kalau tadinya

hanya ada tanggung jawab pada ranah ekonomi terhadap pemilik modal—

maksimisasi keuntungan— kini tanggung jawab itu disadari menjadi dalam tiga

ranah: ekonomi, sosial dan lingkungan. Pada ranah ekonomi juga ditekankan

bahwa yang harus menikmati bukan saja pemilik modal,melainkan juga pemangku

kepentingan lainnya). Ia juga menekankan bahwa “social” dalam CSR memang

sah dan lazim untuk mewakili tiga ranah tersebut dengan mencontohkan banyak

kejadian serupa (misalnya di dunia akademik). CSR sudah jelas mencakup tiga

ranah—bukan dua, sepertidalam penyebutan RUU PT—dan karenanya kerap

disandingkan dengan konsep triple bottom line.16

• AccountAbility’s (AA1000) standard, yang berdasar pada prinsip “Triple

Bottom Line” (Profit, People, Planet) yang digagas oleh John Elkington

II.3 Regulasi CSR di tingkat Global

Di tingkat internasional, ada banyak prinsip yang mendukung praktik CSR

di banyak sektor. Misalnya Equator Principles yang diadopsi oleh banyak lembaga

keuangan internasional. Untuk menunjukkan bahwa bisnis mereka bertanggung

jawab, di level internasional perusahaan sebenarnya bisa menerapkan berbagai

standard CSR seperti :

• Global Reporting Initiative’s (GRI) – panduan pelaporan perusahaan

untuk mendukung pembangunan berkesinambungan yang digagas oleh

PBB lewat Coalition for Environmentally Responsible Economies

(CERES) dan UNEP pada tahun 1997

16Op CitHAM Hardiansyah.

II. 18

• Social Accountability International’s SA8000 standard

• ISO 14000 environmental management standard

• Kemudian, ISO 26000.17

Kesadaran tentang pentingnya mengimplementasikan CSR ini menjadi

tren global seiring dengan semakin maraknya kepedulian masyarakat global

terhadap produk-produk yang ramah lingkungan dan diproduksi dengan

memperhatikan kaidah-kaidah sosial dan prinsip-prinsip hak azasi manusia

(HAM). Bank-bank di Eropa menerapkan kebijakan dalam pemberian pinjaman

hanya kepada perusahaan yang mengimplementasikan CSR dengan baik. Sebagai

contoh, bank-bank Eropa hanyamemberikan pinjaman pada perusahaan-

perusahaan perkebunan di Asia apabila ada jaminan dari perusahaan tersebut,

yakni ketika membuka lahan perkebunan tidak dilakukan dengan membakar

hutan.

Tren global lainnya dalam pelaksanaan CSR di bidang pasar modal adalah

penerapan indeks yang memasukkan kategori saham-saham perusahaan yang telah

mempraktikkan CSR. Sebagai contoh, New York Stock Exchange memiliki Dow

Jones Sustainability Index (DJSI) bagi saham-saham perusahaan yang

dikategorikan memiliki nilai corporate sustainability dengan salah satu kriterianya

adalah praktik CSR. Begitu pula London Stock Exchange yang memiliki Socially

Responsible Investment (SRI) Index dan Financial Times Stock Exchange (FTSE)

yang memiliki FTSE4Good sejak 2001.

Inisiatif ini mulai diikuti oleh otoritas bursa saham di Asia, seperti di

Hanseng Stock Exchange dan Singapore Stock Exchange. Konsekuensi dari

17Yanuar Nugroho, “Commodum Totti Topulo: The Benefit is for the Whole Society”, 20 Maret 2007, diakses dari http://www.audentis.wordpress.com pada tanggal 25 oktober 2-11 pukul 21.30wib

II. 19

adanya indeks-indeks tersebut memacu investor global seperti perusahaan dana

pensiun dan asuransi yang hanya akan menanamkan dananya di perusahaan-

perusahaan yang sudah masuk dalam indeks. Menghadapi tren global dan

resistensi masyarakat sekitar perusahaan, maka sudah saatnya setiap perusahaan

memandang serius pengaruh dimensi sosial, ekonomi dan lingkungan dari setiap

aktivitas bisnisnya, serta berusaha membuat laporan setiap tahunnya kepada

stakeholdernya. Laporan bersifat non financial yang dapat digunakan sebagai

acuan oleh perusahaan dalam melihat dimensi sosial, ekonomi dan lingkungannya.

Di Uni Eropa pada tanggal 13 Maret 2007, Parlemen Uni Eropa

mengeluarkan resolusi berjudul “Corporate Social Responsibility: A new

partnership” yang mendesak Komisi Eropa untuk meningkatkan kewajiban yang

terkait dengan persoalan akuntabilitas perusahaan seperti tugas direktur (directors’

duties), kewajiban langsung luar negeri (foreign direct liabilities) dan pelaporan

kinerja sosial dan lingkungan perusahaan (environmental and social

reporting).Banyak pihak menyambut gembira perkembangan ini. Semakin lama

semakin disadari bahwa walaupun perusahaan (sektor bisnis) selama ini sudah

berkontribusi sangat positif terhadap pembangunan dunia, pada saat yang sama

perusahaan harus diminta semakin bertanggung jawab. Karena, upaya memupuk

laba cenderung (meski tidak selalu) mengabaikan tanggung jawab sosial.

Di Inggris, sudah lama perusahaan diikat dengan kode etik usaha. Dan

karena sudah ada banyak aturan dan undang-undang yang mengatur praktik bisnis

di Inggris, maka tidak diperlukan UU khusus CSR. Sekedar diketahui, perusahaan

di Inggris ini tidak lepas dari pengamatan publik (masyarakat dan negara) karena

harus transparan dalam praktik bisnisnya. Publik bisa protes terbuka ke

perusahaan jika perusahaan merugikan masyarakat/konsumen/buruh/lingkungan.

II. 20

Melihat perkembangan ini, tahun lalu, disahkan Companies Act 2006 yang

mewajibkan perusahaan yang sudah tercatat di bursa efek untuk melaporkan

bukan saja kinerja perusahaan (kinerja ekonomi dan financial) melainkan kinerja

sosial dan lingkungan. Laporan ini harus terbuka untukdiakses publik dan

dipertanyakan. Dengan demikian, perusahaan didesak agar semakinbertanggung

jawab.

Mac Oliver – EA Marshal (Company Law Handbook Series, 1991)

berpendapat, perusahaan Amerika yang beroperasi di luar negeri diharuskan

melaksanakan Sullivan Principal dalam rangka melaksanakan Corporate Social

Responsibilty, yaitu:

Tidak ada pemisahan ras (non separation of races) dalam makan, bantuan

hidup dan fasilitas kerja.

Sama dan adil dalam melaksanakan pekerjaan (equal and fair

employment process).

Pembayaran upah yang sama untuk pekerjaan yang sebanding (equal

payment compansable work).

Program training untuk mempersiapkan kulit hitam dan non kulit putih

lain sebagai supervisi, administrasi , klerk, teknisi dalam jumlah yang

substansial.

Memperbanyak kulit hitam dan non kulit putih lain dalam profesi

manajemen dan supervisi.

Memperbaiki tempat hidup pekerja di luar lingkungan kerja seperti

perumahan,transportasi, kesehatan, sekolah dan rekreasi.18

18M. Yahya Harahap,“Sinopsis UU No.40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas”, Makalah Seminardisampaikan di Gedung Manggala Wanabakti, Jakarta, 20 November 2007, dikutip dari MC Oliver – EAMarshal, "Company Law Handbook Series”, 1991, Hal.321.

II. 21

Implementasi CSR di beberapa negara bisa dijadikan referensi untuk

menjadi contoh penerapan CSR. Australia, Kanada, Perancis, Jerman, Belanda,

Inggris, dan Amerika Serikat telah mengadopsi code of conduct CSR yang

meliputi aspek lingkungan hidup, hubungan industrial, gender, korupsi, dan hak

asasi manusia (HAM). Berbasis pada aspek itu, mereka mengembangkan regulasi

guna mengatur CSR. Australia, misalnya, mewajibkan perusahaan membuat

laporan tahunan CSR dan mengatur standardisasi lingkungan hidup, hubungan

industrial, dan HAM. Sementara itu, Kanadamengatur CSR dalam aspek

kesehatan, hubungan industrial, proteksi lingkungan, danpenyelesaian masalah

sosial.

Di beberapa negara dibutuhkan laporan pelaksanaan CSR, walaupun sulit

diperoleh kesepakatan atas ukuran yang digunakan untuk mengukur kinerja

perusahaan dalam aspek sosial. Sementara aspek lingkungan--apalagi aspek

ekonomi--memang jauh lebih mudah diukur. Banyak perusahaan sekarang

menggunakan audit eksternal guna memastikan kebenaran laporan tahunan

perseroan yang mencakup kontribusi perusahaan dalam pembangunan

berkelanjutan, biasanya diberi nama laporan CSR atau laporan keberlanjutan.

Akan tetapi laporan tersebut sangat luas formatnya, gayanya dan metodologi

evaluasi yang digunakan.

Banyak kritik mengatakan bahwa laporan ini hanyalah sekedar "pemanis

bibir" (suatu basa-basi), misalnya saja pada kasus laporan tahunan CSR dari

perusahaan Enron dan juga perusahaan-perusahaan rokok. Namun, dengan

semakin berkembangnya konsep CSR dan metode verifikasi laporannya,

kecenderungan yang terjadi sekarang adalah peningkatan kebenaran isi laporan.

II. 22

Bagaimanapun, laporan CSR atau laporan keberlanjutan merupakan upaya untuk

meningkatkan akuntabilitas perusahaan di mata para pemangku kepentingannya.

CSR sebagai sebuah gagasan, perusahaan tidak lagi dihadapkan pada

tanggungjawab yang berpijak pada single bottom line, yaitu nilai perusahaan

(corporate value)yang direfleksikan dalam kondisi keuangannya (financial) saja.

Tapi tanggung jawabperusahaan harus berpijak pada triple bottom lines. Di sini

bottom lines lainnya selainfinansial juga adalah sosial dan lingkungan. Karena

kondisi keuangan saja tidak cukupmenjamin nilai perusahaan tumbuh secara

berkelanjutan (sustainable). Keberlanjutanperusahaan hanya akan terjamin

apabila, perusahaan memperhatikan dimensi sosial danlingkungan hidup. Sudah

menjadi fakta bagaimana resistensi masyarakat sekitar, diberbagai tempat dan

waktu muncul ke permukaan terhadap perusahaan yang dianggaptidak

memperhatikan aspek-aspek sosial, ekonomi dan lingkungan hidupnya.

Pada bulan September 2004, ISO (International Organization for

Standardization)sebagai induk organisasi standarisasi internasional, berinisiatif

mengundang berbagaipihak untuk membentuk tim (working group) yang

membidani lahirnya panduan danstandarisasi untuk tanggung jawab sosial yang

diberi nama ISO 26000: GuidanceStandard on Social Responsibility.Pengaturan

untuk kegiatan ISO dalam tanggungjawab sosial terletak padapemahaman umum

bahwa SR adalah sangat penting untuk kelanjutan suatu organisasi.Pemahaman

tersebut tercermin pada dua sidang, yaitu “Rio Earth Summit on theEnvironment”

tahun 1992 dan “World Summit on Sustainable Development (WSSD)”tahun

2002 yang diselenggarakan di Afrika Selatan.19

19AchmadDaniri,Standarisasi Tanggung Jawab Sosial Perusahaan. Hal 3.

II. 23

Pembentukan ISO 26000 ini diawali ketika pada tahun 2001 badan ISO

memintaISO on Consumer Policy atau COPOLCO merundingkan penyusunan

standar CorporateSocial Responsibility. Selanjutnya badan ISO tersebut

mengadopsi laporan COPOLCOmengenai pembentukan “Strategic Advisory

Group on Social Responsibility pada tahun2002. Pada bulan Juni 2004 diadakan

pre-conference dan conference bagi negaranegaraberkembang, selanjutnya di

tahun 2004 bulan Oktober, New York Item Proposalatau NWIP diedarkan kepada

seluruh negara anggota, kemudian dilakukan voting padabulan Januari 2005,

dimana 29 negara menyatakan setuju, sedangkan 4 negara tidak.Dalam hal ini

terjadi perkembangan dalam penyusunan tersebut, dari CSR atauCorporate Social

Responsibility menjadi SR atau Social Responsibility saja. Perubahanini, menurut

komite bayangan dari Indonesia, disebabkan karena pedoman ISO

26000diperuntukan bukan hanya bagi korporasi tetapi bagi semua bentuk

organisasi, baikswasta maupun publik.ISO 26000 menyediakan standar pedoman

yang bersifat sukarela mengenaitanggung tanggung jawab sosial suatu institusi

yang mencakup semua sektor badanpublik ataupun badan privat baik di negara

berkembang maupun negara maju. DenganIso 26000 ini akan memberikan

tambahan nilai terhadap aktivitas tanggung jawab sosialyang berkembang saat ini

dengan cara: 1) mengembangkan suatu konsensus terhadappengertian tanggung

jawab sosial dan isunya; 2) menyediakan pedoman tentangpenterjemahan prinsip-

prinsip menjadi kegiatan-kegiatan yang efektif; dan 3) memilahpraktek-praktek

terbaik yang sudah berkembang dan disebarluaskan untuk kebaikankomunitas atau

masyarakat internasional.20

20Ibid. hal 4

II. 24

Apabila hendak menganut pemahaman yang digunakan oleh para ahli

yangmenggodok ISO 26000 Guidance Standard on Social responsibility yang

secara konsistenmengembangkan tanggung jawab sosial maka masalah SR akan

mencakup 7 isu pokokyaitu:

1. Pengembangan Masyarakat

2. Konsumen

3. Praktek Kegiatan Institusi yang Sehat

4. Lingkungan

5. Ketenagakerjaan

6. Hak asasi manusia

7. Organizational Governance (governance organisasi)

ISO 26000 menerjemahkan tanggung jawab sosial sebagai tanggung jawab

suatuorganisasi atas dampak dari keputusan dan aktivitasnya terhadap masyarakat

danlingkungan, melalui perilaku yang transparan dan etis, yang:

Konsisten dengan pembangunan berkelanjutan dan kesejahteraan

masyarakat;

Memperhatikan kepentingan dari para stakeholder;

Sesuai hukum yang berlaku dan konsisten dengan norma-norma

internasional;

Terintegrasi di seluruh aktivitas organisasi, dalam pengertian ini meliputi

baik kegiatan, produk maupun jasa.

Berdasarkan konsep ISO 26000, penerapan sosial responsibility

hendaknyaterintegrasi di seluruh aktivitas organisasi yang mencakup 7 isu pokok

II. 25

diatas. Dengandemikian jika suatu perusahaan hanya memperhatikan isu tertentu

saja, misalnya suatuperusahaan sangat peduli terhadap isu lingkungan, namun

perusahaan tersebut masihmengiklankan penerimaan pegawai dengan

menyebutkan secara khusus kebutuhanpegawai sesuai dengan gender tertentu,

maka sesuai dengan konsep ISO 26000perusahaan tersebut sesungguhnya belum

melaksanakan tanggung jawab sosialnyasecara utuh.

Prinsip-prinsip dasar tanggung jawab sosial yang menjadi dasar

bagipelaksanaan yang menjiwai atau menjadi informasi dalam pembuatan

keputusan dankegiatan tanggung jawab sosial menurut ISO 26000 meliputi:

Kepatuhan kepada hukum

Menghormati instrumen/badan-badan internasional

Menghormati stakeholders dan kepentingannya

Akuntabilitas

Transparansi

Perilaku yang beretika

Melakukan tindakan pencegahan

Menghormati dasar-dasar hak asasi manusia

Ada empat agenda pokok yang menjadi program kerja tim itu hingga

tahun2008, diantaranya adalah menyiapkan draf kerja tim hingga tahun 2006,

penyusunandraf ISO 26000 hingga Desember 2007, finalisasi draf akhir ISO

26000 diperkirakanpada bulan September 2008 dan seluruh tugas tersebut

diperkirakan rampung padatahun 2009.Pada pertemuan tim yang ketiga tanggal

15-19 Mei 2006 yang dihadiri 320 orangdari 55 negara dan 26 organisasi

internasional itu, telah disepakati bahwa ISO 26000 inihanya memuat panduan

(guidelines) saja dan bukan pemenuhan terhadap persyaratankarena ISO 26000 ini

II. 26

memang tidak dirancang sebagai standar sistem manajemen dantidak digunakan

sebagai standar sertifikasi sebagaimana ISO-ISO lainnya.Adanya

ketidakseragaman dalam penerapan CSR diberbagai negara menimbulkanadanya

kecenderungan yang berbeda dalam proses pelaksanaan CSR itu sendiri

dimasyarakat. Oleh karena itu diperlukan suatu pedoman umum dalam penerapan

CSR dimanca negara. Dengan disusunnya ISO 26000 sebagai panduan (guideline)

ataudijadikan rujukan utama dalam pembuatan pedoman SR yang berlaku umum,

sekaligusmenjawab tantangan kebutuhan masyarakat global termasuk Indonesia.21

Di Indonesia, kini kita menyaksikan perbincangan yang terus berlanjut

seputar konsep dan perjalanan CSR ini. Ada persetujuan dan pula pertentangan.

Terlebih pihak pemerintah secara khusus membuatkan UU tentang tanggung

jawab sosial ini, yakni dalam UU Perseroan Terbatas Pasal74. Terlepas dari itu,

isu tentang Corporate Social Responsibility (CSR) memang kian hangat.

Persoalannya bukan lagi melulu dari aspek sosial, tetapi sudah jauh merasuk ke

aspek bisnis dan penyehatan orporasi. Lama-kelamaan, CSR tidak lagi dipandang

sebagai keterpaksaan, melainkan sebagai kebutuhan. Dari yang semula dianggap

sebagai cost, kini mulai diposisikan sebagai investasi. Dalam sebuah ulasan di

Majalah Marketing (edisi 11/2007) menegaskan tentang mengapa pula perusahaan

harus berinvestasi pada kegiatan CSR? Apakah lantaran moralitas semata atau dia

sudah menjadi marketing tools yang efisien? Pertanyaan ini menjadi pertanyaan

manajemen dan divisi marketing sewaktu mempersiapkan strategi CSR. Akan

tetapi, perdebatan paling baru tentang CSR adalah soal imbas program tersebut

II.4 CSR di Indonesia

21Ibid. hal 5

II. 27

pada profit perusahaan. Para pelaku dituntut untuk ikut memikirkan program yang

mampu mendukung sustainability perusahaan dan aktivitas CSR itu sendiri.

Dalam hal ini, strategi perusahaan mesti responsif terhadap kondisi-

kondisiyang mempengaruhi bisnis, seperti perubahan global, tren baru di pasar,

dan kebutuhan stakeholders yang belum terpenuhi.22 Berkaitan dengan masalah

imbas tadi, Global CSR Survey paling tidak bisa memperlihatkan betapa

pentingnya CSR. Bayangkan, dalam survey di 10 negara tersebut, mayoritas

konsumen (72%) mengatakan sudah membeli produk dari suatu perusahaan serta

merekomendasikan kepada yang lainnya sebagai respon terhadap CSR yang

dilakukan perusahaan tersebut. Sebaliknya,sebanyak 61% dari mereka sudah

memboikot produk dari perusahaan yang tidak punya tanggung jawab sosial. CSR

kini bukan lagi sekadar program charity yang tak berbekas. Melainkan telah

menjadi pedoman untuk menciptakan profit dalam jangka panjang (CSR for

profit). Karena itu,hendaknya kegiatan sosial yang dijalankan harus berhubungan

dengan kepentingan perusahaan dan harus mendukung core business

perusahaan.23

Philip Kotler, dalam buku CSR: Doing the Most Good for Your Company

and Your Cause, membeberkan beberapa alasan tentang perlunyaperusahaan

menggelar aktivitas itu. Disebutkannya, CSR bisa membangunpositioning merek,

mendongkrak penjualan, memperluas pangsa pasar,meningkatkan loyalitas

karyawan, mengurangi biaya operasional, serta meningkatkan daya tarik korporat

di mata investor.

24

22Majalah Marketing. Edisi 11/2007. 23Ibid 24Philip Kotler.2007. Doing the Most Good for Your Company and Your Cause.New York, Thomas Dunne Books.hal.33.

Menurut Godo Tjahjono, Chief Consulting Officer Prentis,

CSR memang punya beberapa manfaat yang bisa dikategorikan dalam empat

II. 28

aspek, yaitu: license to operate, sumber daya manusia, retensi, dan produktivitas

karyawan. Dari sisi marketing, CSR jugabisa menjadi bagian dari brand

differentiation.25

Kini kita menyaksikan dan mengharap gairah perusahaanperusahaan

raksasa dunia untuk menerapkan program kepedulian sosial. Semoga ini tak hanya

jadi sekedar angin segar ditengah kekosongan issu saja, melainkan mampu

menjadi virus baik yang menyebar cepat di Indonesia.

26

Kepedulian sosial perusahaan terutama didasari alasan bahwasanya

kegiatan perusahaan membawa dampak (for better or worse), bagi kondisi

lingkungan dan sosial-ekonomi masyarakat, khususnya di sekitar perusahaan

beroperasi. Selain itu, pemilik perusahaan sejatinya bukan hanya shareholdersatau

para pemegang saham. Melainkan pula stakeholders, yakni pihak-pihak yang

berkepentingan terhadap eksistensi perusahaan.

Istilah CSR di Indonesia semakin populer digunakan sejak tahun 1990-an.

Beberapa perusahaan sebenarnya telah lama melakukan CSA (Corporate Social

Activity) atau “aktivitas sosial perusahaan”. Walaupun tidak menamainya sebagai

CSR, secara faktual aksinya mendekati konsep CSR yang merepresentasikan

bentuk “peran serta” dan “kepedulian” perusahaan terhadap aspek sosial dan

lingkungan. Melalui konsep investasi social perusahaan “seat belt”, sejak tahun

2003 Departemen Sosial tercatat sebagai lembaga pemerintah yang aktif dalam

mengembangkan konsep CSR dan melakukan advokasi kepada berbagai

perusahaan nasional.

27

25Majalah Marketing, Edisi 11/2007 26Di sarikan dari berbagai sumber – Cikeas Magazine ”CSR dari mana datangnya”, Vol 1 No4/07, Majalah Marketing, ”CSR for Profit”, edisi 11/2007, dan Societa, “Sejarah Panjang Konsep CSR”, 12/2006. 27A.B.Susanto, Budaya Perusahaan, PT Elex Media Komputindo, Jakarta, 1997, hlm.55

Stakeholders dapat mencakup

karyawan dan keluarganya,pelanggan, pemasok, masyarakat sekitar perusahaan,

II. 29

lembaga-lembaga swadaya masyarakat, media massa dan pemerintah selaku

regulator. Jenis dan prioritas stakeholders relatif berbeda antara satu perusahaan

dengan lainnya, tergantung pada core bisnis perusahaan yang bersangkutan.

Sebagai contoh, PT Aneka Tambang, Tbk. dan Rio Tinto menempatkan

masyarakat dan lingkungan sekitar sebagai stakeholders dalam skala prioritasnya.

Sementara itu, stakeholders dalam skala prioritas bagi produk konsumen seperti

Unilever atau Procter & Gamble adalah para customer-nya.

Salah satu bentuk dari tanggung jawab sosial perusahaan yang sering

diterapkan di Indonesia adalah community development. Perusahaan yang

mengedepankan konsep ini akan lebih menekankan pembangunan social dan

pembangunan kapasitas masyarakat sehingga akan menggali potensimasyarakat

lokal yang menjadi modal sosial perusahaan untuk maju dan berkembang. Selain

dapat menciptakan peluang-peluang sosial-ekonomi masyarakat, menyerap tenaga

kerja dengan kualifikasi yang diinginkan, cara ini juga dapat membangun citra

sebagai perusahaan yang ramah dan pedulilingkungan. Selain itu, akan tumbuh

rasa percaya dari masyarakat. Rasa memiliki perlahan-lahan muncul dari

masyarakat sehingga masyarakatmerasakan bahwa kehadiran perusahaan di

daerah mereka akan berguna dan bermanfaat.

Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas yang

disahkan DPR tanggal 20 Juli 2007 menandai babak baru pengaturan CSR di

negeri ini. Keempat ayat dalam Pasal 74 UU tersebut menetapkan kewajiban

semua perusahaan di bidang sumber daya alam untuk melaksanakan tanggung

jawab sosial dan lingkungan. Pasal 74 tentang Tanggung Jawab Sosial dan

Lingkungan muncul pada saat pembahasan ditingkat Panja dan Pansus DPR. Pada

konsep awal yang diajukan pemerintah, tidak ada pengaturan seperti itu. Saat

II. 30

dengar pendapat dengan Kadin danpara pemangku kepentingan lain, materi pasal

74 ini pun belum ada. Lalu sekitar 28 asosiasi pengusaha termasuk Kadin dan

Apindo, keberatan terhadap RUU PT. Mereka meminta pemerintah dan DPR

membatalkan pengaturan tentang kewajiban tanggung jawab sosial dan

lingkungan dalam RUU PT.

Substansi dalam ketentuan pasal 74 Undang-Undang nomor 40 tentang

Perseroan Terbatas mengandung makna, mewajibkan tanggung jawab sosial dan

lingkungan mencakup pemenuhan peraturan perundangan terkait, penyediaan

anggaran tanggung jawab sosial dan lingkungan, dankewajiban melaporkannya.

Mengikuti perkembangan berita di media massa yang menyangkut pembahasan

pasal 74, sesungguhnya rumusan itu sudah mengalami penghalusan cukup

lumayan lantaran kritikan keras para pelaku usaha. Tadinya, tanggung jawab

sosial dan lingkungan tidak hanya berlaku untuk perusahaan yang bergerak di

bidang atau berkaitan dengan sumber daya alam, tetapi berlaku untuk semua

perusahaan, tidak terkecuali perusahaan skala UKM, baru berdiri, atau

masihdalam kondisi merugi.

Ternyata lingkup dan pengertian tanggung jawab sosial dan lingkungan

yang dimaksud pasal 74 UU PT berbeda dengan lingkup dan pengertian CSR

dalam pustaka maupun definisi resmi yang dikeluarkan oleh lembaga

internasional (The World Bank, ISO 26000 dan sebagainya) serta praktek yang

telah berjalan di tanah air maupun yang berlaku secara internasional.Lalu

sebenarnya seperti apa best practice mengenai CSR ini? Saat ini ISO

(International Organization for Standardization), tengah menggodok konsep

standar CSR yang diperkirakan rampung pada akhir 2009. Standar itu dikenal

dengan nama ISO 26000 Guidance on Social Responsibility. Dengan standar ini,

II. 31

pada akhir 2009 hanya akan dikenal satu konsep CSR. Selama ini dikenal banyak

konsep mengenai CSR yang digunakan oleh berbagai lembaga internasional dan

para pakar. Pada dasarnya kegiatan CSR sangat beragam bergantung pada proses

interaksisosial, bersifat sukarela didasarkan pada dorongan moral dan etika, dan

biasanya melebihi dari hanya sekedar kewajiban memenuhi peraturan perundang-

undangan. Oleh karena itu, didalam praktek, penerapan CSR selalu disesuaikan

dengan kemampuan masing-masing perusahaan dan kebutuhan masyarakat.

Idealnya terlebih dahulu dirumuskan bersama antara 3 pilar yakni dunia usaha,

pemerintah dan masyarakat setempat dan kemudian dilaksanakan sendiri oleh

masing-masing perusahaan. Dengan demikian adalah tidak mungkin untuk

mengukur pelaksanaan CSR.Selain itu, pelaksanaan CSR merupakan bagian dari

good corporate governance yang mestinya didorong melalui pendekatan etika

maupun pendekatan pasar (insentif). Pendekatan regulasi sebaiknya dilakukan

untuk menegakkan prinsip transparansi dan fairness dalam kaitan untuk

menyamakan level of playing field pelaku ekonomi. Sebagai contoh, UU dapat

mewajibkan semua perseroan untuk melaporkan, bukan hanya aspek keuangan,

tetapi yang mencakup kegiatan CSR dan penerapan GCG.

Seringkali kepentingan perusahaan diseberangkan dengan kepentingan

masyarakat. Tak banyak yang menyadari bahwa sesungguhnya perusahaan dan

masyarakat memiliki saling ketergantungan yang tinggi. Saling ketergantungan

antaraperusahaan dan masyarakat berimplikasi bahwa baik keputusan bisnis dan

kebijakan sosial harus mengikuti prinsip berbagi manfaat (shared value), yaitu

pilihan-pilihan harus memberi manfaat kedua belah pihak. Lebih menarik lagi

ternyata terdapat inkonsistensi antara pasal 1 dengan pasal 74 serta penjelasan

pasal 74 itu sendiri. Pada pasal 1 Undang-Undang nomor 40 Tahun 2007 tentang

II. 32

Perseroan Terbatas memuat “… komitmen Perseroan Terbatas untuk berperan

serta”, sedangkan pasal 74 ayat 1 “… wajib melaksanakan Tanggung Jawab Sosial

dan Lingkungan”. Pada pasal 1 mengandung makna pelaksanaan CSR bersifat

sukarela sebagai kesadaran masing-masing perusahaan atau tuntutan masyarakat.

Sedangkan pasal 74 ayat 1 bermakna suatu kewajiban. Lebih jauh lagi kewajiban

TJSL pada pasal 74 ayat 1 tidak memiliki keterkaitan langsung dengan sanksinya

pada pasal 74 ayat 3. Sanksi apabila tidak melaksanakan tanggung jawab sosial

dan lingkungan tidak diatur dalam UU PT tetapi digantungkan kepada peraturan

perundang-undangan lain yang terkait.

Demikian juga pada pasal 74 tersirat bahwa PT yang terkena tanggung

jawab sosial dan lingkungan, dibatasi namun dalam penjelasannya dapat diketahui

bahwa semua perseroan terkena kewajiban tanggung jawab sosial dan lingkungan,

karena penjelasan pasal 74 menggunakan penafsiran yang luas. Hal ini dapat

dilihat pada bunyi pasal 74 ayat 1 dimana perseroan yang menjalankan kegiatan

usahanya dibidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib

melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan, sedangkan pada penjelasan

pasal 74 menyatakan bahwa yang dimaksud dengan perseroan yang menjalankan

kegitan usahanya di bidang sumber daya alam adalah perseroan yang kegiatan

usahanya mengelola dan memanfaatkan sumber daya alam. Berikutnya yang

dimaksud dengan perseroan yang menjalankan usahanya berkaitan dengan sumber

daya alam adalah perseroan yang tidak mengelola dan tidak memanfaatkan

sumber daya alam tetapi kegiatan usahanya berdampak pada fungsi sumber daya

alam. Dengan demikian jelas tidak ada satupun perseroan terbatas yang tidak

berkaitan atau tidak memanfaatkan sumber daya alam.

II. 33

Kritik yang muncul dari kalangan pebisnis bahwa CSR adalah konsep

dimana perusahaan, sesuai kemampuannya, melakukan kegiatan yang

meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan lingkungan hidup. Kegiatan-kegiatan

itu adalah diluar kewajiban perusahaan yang umum dan sudah ditetapkan dalam

peraturan perundangan formal, seperti ketertiban usaha, pajak atas keuntungan

dan standar lingkungan hidup.Mereka berpendapat, jika diatur, selain

bertentangan dengan prinsip kerelaan, CSR juga akan memberi beban baru kepada

dunia usaha. CSR adalah konsep yang terus berkembang baik dari sudut

pendekatan elemen maupun penerapannya. CSR sebenarnya merupakan proses

interaksi sosial antara perusahaan dan masyarakatnya. Perusahaan melakukan

CSR bisa karena tuntutankomunitas atau karena pertimbangannya sendiri.

Bidangnya pun amat beragam ada pada kondisi yang berbeda-beda.

Proses regulasi yang menyangkut kewajiban CSR perlu memenuhi

pembuatan peraturan yang terbuka dan akuntabel. Pertama, harus jelas apa yang

diatur. Lalu, harus dipertimbangkan semua kenyataan di lapangan, termasuk

orientasi dan kapasitas birokrasi dan aparat penegak hukum serta badan-badan

yang melakukan penetapan dan penilaian standar. Yang juga harus diperhitungkan

adalah kondisi politik, termasuk kepercayaan pada pemerintah dan perilaku para

aktor politik dalam meletakkan masalah kesejahteraan umum. Ini artinya harus

melalui dialog bersama para pemangkukepentingan, seperti pelaku usaha,

kelompok masyarakat yang akan terkena dampak,dan organisasi pelaksana.Semua

proses ini tidak mudah. Itu sebabnya di negara-negara Eropa yang secara

institusional jauh lebih matang dari pada Indonesia, proses regulasi yang

menyangkut kewajiban perusahaan berjalan lama dan hati-hati. European Union

II. 34

sebagai kumpulan negara yang paling menaruh perhatian terhadap CSR, telah

menyatakan sikapnya, CSR bukan sesuatu yang akan diatur.28

Dengan diatur dalam suatu UU, CSR kini menjadi tanggung jawab legal

dan bersifat wajib. Namun, dengan asumsi bahwa akhirnya kalangan bisnis bias

menyepakatinya makna sosial yang terkandung didalamnya, gagasan CSR

mengalami distorsi serius. Pertama, sebagai sebuah tanggung jawab sosial, UU ini

telah mengabaikan sejumlah prasyarat yang memungkinkan terwujudnya makna

dasar CSR tersebut, yakni sebagai pilihan sadar, adanya kebebasan, dan kemauan

bertindak. Mewajibkan CSR, apa pun alasannya, jelas memberangus sekaligus

ruang-ruang pilihan yang ada, berikut kesempatan masyarakat mengukur derajat

pemaknaannya dalam praktik.

29

Kedua, dengan kewajiban itu, konsekuensinya, CSR bermakna parsial

sebatas upaya pencegahan dan penanggulangan dampak sosial dan lingkungan

dari kehadiran sebuah perusahaan. Dengan demikian, bentuk program CSR hanya

terkait langsung dengan core business perusahaan, sebatas jangkauan masyarakat

sekitar. Padahal praktik yang berlangsung selama ini, ada atau tidaknya kegiatan

terkait dampak social dan lingkungan, perusahaan melaksanakan program

Dalam ranah norma kehidupan modern, kita dilingkupi dengan sejumlah

norma yakni norma hukum, moral, dan sosial. Tanpa mengabaikan kewajiban dan

pertanggungjawaban hukumnya, pada domain lain perusahaan juga terikat pada

norma sosial sebagai bagian integral kehidupan masyarakat setempat. Konsep asli

CSR sesungguhnya bergerak dalam kerangka ini, di mana perusahaan secara sadar

memaknai aneka prasyarat tadi dan masyarakat sekaligus bisa menakar komitmen

pelaksanaannya.

28Meuthia Ganie Rochman, “Meregulasi Gagasan CSR”, Kompas 10 Agustus 2007. 29Robert Endi Jaweng, “Kritik Pengaturan CSR dalam UUPT”, Suara Pembaruan 31 Juli 2007.

II. 35

langsung, seperti lingkungan hidup dan tak langsung (bukan core business) seperti

rumah sakit, sekolah, dan beasiswa. Kewajiban tadi berpotensi menghilangkan

aneka program tak langsung tersebut.

Ketiga, tanggung jawab lingkungan sesungguhnya adalah tanggung jawab

setiap subyek hukum, termasuk perusahaan. Jika terjadi kerusakan lingkungan

akibat aktivitas usahanya, hal itu jelas masuk ke wilayah urusan hukum. Setiap

dampak pencemaran dan kehancuran ekologis dikenakan tuntutan hukum, dan

setiap perusahaan harus bertanggung jawab. Dengan menempatkan kewajiban

proteksi dan rehabilitasi lingkungan dalam domain tanggung jawab sosial, hal ini

cenderung mereduksi makna keselamatan lingkungan sebagai kewajiban legal

menjadi sekadar pilihan tanggung jawab sosial. Atau bahkan lebih jauh lagi, justru

bisa terjadi penggandaan tanggung jawab suatu perusahaan, yakni secara sosial

(menurut UU PT) dan secara hukum (UUlingkungan hidup).Keempat, dari sisi

keterkaitan peran, kewajiban yang digariskan UU PT menempatkan perusahaan

sebagai pelaku dan penangung jawab tunggal program CSR.30

30Ibid

Di sini masyarakat seakan menjadi obyek semata, sehingga hanya

menyisakan budaya ketergantungan selepas program, sementara negara menjadi

mandor pengawas yang siap memberikan sanksi atas pelanggaran yang

terjadi.Tanggung jawab perusahaan yang tinggi sangat diperlukan karena dengan

mewajibkan perusahaan menyisihkan sebagian keuntungannya untuk usaha social

kemasyarakatan diharapkan dapat ikut memberdayakan masyakarat secara sosial

dan ekonomi. Namun pewajiban dalam suatu Undang-undang dapat memunculkan

multi tafsir yang menyebabkan tujuan menjadi tidak tercapai.

II. 36

Di antara permasalahan yang harus ditegaskan adalah perusahaan apa saja

yang wajib melaksanakan tanggung jawab sosial, sanksi apa saja yang mungkin

dapat dikenakan apabila tidak melaksanakan kewajiban tersebut, sistem pelaporan

dan standar kegiatan yang termasuk dalam kategori kegiatan tanggung jawab

sosial.Pewajiban tanggung jawab sosial dan lingkungan kepada perusahaan

tidaklah tepat. Hal ini karena:

• Pemerintah telah mengatur tentang LH, Perlindungan Konsumen, Hak

Asasi Manusia, Perburuhan dan sebagainya pada masing-masing UU

tersebut, tetapi bukan mengatur CSR pada UUPT.

• Kegiatan CSR sangat beragam, bergantung pada interaksi 3 pilar (Dunia

Usaha, Pemerintah dan Masyarakat), berkaitan dengan 7 masalah pokok,

melebihi kewajiban dari peraturan perundang-undangan, dan bersifat

sukarela didasarkan pada dorongan moral dan etika.

• Kegiatan usaha pengelolaan sumber daya alam hampir mayoritas

dilakukan oleh perusahaan bukan berbadan hukum Indonesia.

• Pemerintah & masyarakat sebaiknya bermitra di dalam menangani

masalah sosial, dengan memanfaatkan program CSR yang dilakukan oleh

Dunia Usaha.

Persoalan berikutnya, seberapa jauh CSR berdampak positif bagi

masyarakat, amat tergantung dari orientasi dan kapasitas lembaga lain, terutama

Pemerintah. Berbagai studi menunjukkan, keberhasilan program CSR selama ini

justru terkait dengan sinergitas kerja sama perusahaan, masyarakat, dan

pemerintah. Segitiga peran itu memungkinkan integrasi kepentingan atau program

semua stakeholders pembangunan.

II. 37

Bahkan tidak jarang CSR menjadi semacam titik temu antara wilayah isu

yang menjadi perhatian perusahaan, kepentingan riil masyarakat setempat, dan

program pemda dalam kerangka pembangunan regional. Untuk Indonesia,

pelaksanaan CSR membutuhkan dukungan pemerintah daerah, kepastian hukum,

dan jaminan ketertiban sosial.

Pemerintah dapat mengambil peran penting tanpa harus melakukan

regulasi di tengah situasi hukum dan politik saat ini. Di tengah persoalan

kemiskinan dan keterbelakangan yang dialami Indonesia, pemerintah harus

berperan sebagai koordinator penanganan krisis melalui CSR. Pemerintah bisa

menetapkan bidang-bidangpenanganan yang menjadi fokus, dengan masukan

pihak yang kompeten. Setelah itu, pemerintah memfasilitasi, mendukung, dan

memberi penghargaan pada kalangan bisnis yang mau terlibat dalam upaya besar

ini. Pemerintah juga dapatmengawasi proses interaksi antara pelaku bisnis dan

kelompok-kelompok lain agar terjadi proses interaksi yang lebih adil dan

menghindarkan proses manipulasi satu pihak terhadap yang lain. Peran terakhir ini

amat diperlukan, terutama di daerah.

Di antara negara-negara di Asia, penetrasi aktivitas CSR di Indonesia

masihtergolong rendah. Pada tahun 2005 baru ada 27 perusahaan yang

memberikan laporanmengenai aktivitas CSR yang dilaksanakannya.Ikatan

Akuntan Indonesia Kompartemen Akuntan Manajemen sejak tahun

2005mengadakan Indonesia Sustainability Reporting Award (ISRA). Secara umum

ISRAbertujuan untuk mempromosikan voluntary reporting CSR kepada

perusahaan diIndonesia dengan memberikan penghargaan kepada perusahaan

yang membuatlaporan terbaik mengenai aktivitas CSR. Kategori penghargaan

yang diberikan adalahBest Social and Environmental Report Award, Best Social

II. 38

Reporting Award, BestEnvironmental Reporting Award, dan Best Website.Pada

Tahun 2006 kategori penghargaan ditambah menjadi Best Sustainability

ReportsAward, Best Social and Environmental Report Award, Best Social

Reporting Award,Best Website, Impressive Sustainability Report Award,

Progressive SocialResponsibility Award, dan Impressive Website Award. Pada

Tahun 2007 kategoridiubah dengan menghilangkan kategori impressive dan

progressive dan menambahpenghargaan khusus berupa Commendation for

Sustainability Reporting: First TimeSutainability Report. Sampai dengan ISRA

2007 perusahaan tambang, otomotif danBUMN mendominasi keikutsertaan dalam

ISRA.

Perkembangan program CSR di Indonesia dimulai dari sejarah

perkembangan PKBL.Pembinaan usaha kecil oleh BUMN dilaksanakan sejak

terbitnya Peraturan PemerintahNomor 3 Tahun 1983 tentang tata cara pembinaan

dan pengawasan PerusahaanJawatan (Perjan), Perusahaan Umum (Perum) dan

Perusahaan Perseroan (Persero).Pada saat itu, biaya pembinaan usaha kecil

dibebankan sebagai biaya perusahaan.Dengan terbitnya keputusan Menteri

Keuangan No.:1232/KMK.013/1989 tanggal 11Nopember 1989 tentang Pedoman

Pembinaan Pengusaha Ekonomi Lemah dan Koperasi melalui Badan Usaha Milik

Negara, dana pembinaan disediakan dari penyisihansebagian laba sebesar 1%-5%

dari laba setelah pajak. Nama program saat itu lebihdikenal dengan Program

Pegelkop.Pada Tahun 1994, nama program diubah menjadi Pembinaan Usaha

Kecil dan Koperasi(Program PUKK) berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan

No.:316/KMK.016/1994tanggal 27 Juni 1994 tentang Pedoman Pembinaan Usaha

Keciln dan Koperasi melaluiPemanfaatan Dana dari Bagian Laba Badan Usaha

Milik Negara. Memperhatikanperkembangann ekonomi dan kebutuhan

II. 39

masyarakat, pedoman pembinaan usaha keciltersebut beberapa kali mengalami

penyesuaian, yaitu melalui Keputusan MenteriNegara Pendayagunaan

BUMN/Kepala Badan Pembina BUMN No.: Kep-216/MPBUMN/1999 tanggal

28 September 1999 tentang Program Kemitraan dan BinaLingkungan BUMN,

Keputusan Menteri BUMN No.: Kep-236/MBU/2003 tanggal 17 Juni2003 tentang

Program Kemitraan BUMN dengan Usaha Kecil dan Program BinaLingkungan,

dan terakhir melalui Peraturan Menteri Negara BUMN No.: Per-05/MBU/2007

tanggal 27 April 2007 tentang Program Kemitraan BUMN dengan UsahaKecil

dan Program Bina Lingkungan.Pembinaan usaha kecil yang dilakukan BUMN ini

tidak terlepas dari beberapaperaturan perundang-undangan lainnya, yaitu sebagai

berikut.

a. Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1998 tentang Pembinaan

danPengembangan Usaha Kecil.Penjelasan Pasal 16; Lembaga

pembiayaan menyediakan dukungan modal untukpembinaan dan

pengembangan usaha kecil antara lain meliputi skim modal awal,modal

bergulir, kredit usaha kecil, kredit program dan kredit modal kerja

usahakecil, kredit kemitraan, modal ventura, dana dari bagian laba Badan

Usaha MilikNegara, anjak piutang dan kredit lainnya.

b. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN.Pasal 2: Salah

satu tujuan pendirian BUMN adalah turut aktif memberikanbimbingan dan

bantuan kepada pengusaha golongan ekonomi lemah, koperasi,

danmasyarakat.Pasal 88 ayat (1): BUMN dapat menyisihkan sebagian laba

bersihnya untukkeperluan pembinaan usaha kecil/koperasi serta

pembinaan masyarakat sekitarBUMN.

II. 40

c. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan

Menengah(lihat uraian di bawah).

II.4.1 Pengaturan dan Pelaksanaan CSR di Indonesia

1. UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup

Ketentuan UU ini yang berkaitan dengan CSR adalah sebagai berikut:

o Setiap orang berkewajiban memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup

sertamencegah dan menanggulangi pencemaran dan perusakan (Pasal 6:1).

o Setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan berkewajiban

memberikaninformasi yang benar dan akurat mengenai pengelolaan lingkungan

hidup (Pasal 6:2).

o Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan wajib melakukan pengelolaan

limbahhasil usaha dan/atau kegiatan (Pasal 16:1).

o Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan wajib melakukan pengelolaan

bahanberbahaya dan beracun (Pasal 17:1).

2.UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

Undang-undang ini banyak mengatur tentang kewajiban dan tanggung

jawabperusahaan terhadap konsumennya. Perlindungan konsumen ini bertujuan

untukmenumbuhkan kesadaran corporate tentang pentingnya kejujuran dan

tanggung jawabdalam perilaku berusaha. Hal-hal lain yang diatur di sini adalah

larangan-laranganpelaku usaha, pencantuman klausula baku dan tanggung jawab

pelaku usaha.

II. 41

3. UU No. 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal

Beberapa ketentuan UU ini yang berkaitan dengan CSR adalah sebagai berikut.

o Setiap penanam modal berkewajiban (Pasal 15):

_ melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan;

_ menghormati tradisi budaya masyarakat sekitar lokasi kegiatan usaha

penanaman modal;

_ Yang dimaksud dengan "tanggung jawab sosial perusahaan" adalah

tanggungjawab yang melekat pada setiap perusahaan penanaman modal untuk

tetapmenciptakan hubungan yang serasi, seimbang, dan sesuai dengan

lingkungan,nilai, norma, dan budaya masyarakat setempat (penjelasan pasal 15

Huruf b).

o Setiap penanam modal bertanggung jawab (Pasal 16)

_ menjaga kelestarian lingkungan hidup;

_ menciptakan keselamatan, kesehatan, kenyamanan, dan kesejahteraan

pekerja; … Pasal 34:

(1) Badan usaha atau usaha perseorangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5

yang tidakmemenuhi kewajiban sebagaimana ditentukan dalam Pasal 15 dapat

dikenai sanksiadministratif berupa:

a. peringatan tertulis;

b. pembatasan kegiatan usaha

c. pembekuan kegiatan usaha dan/atau fasilitas penanaman modal; atau

d. pencabutan kegiatan usaha dan/atau fasilitas penanaman modal.

(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan oleh

instansi ataulembaga yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan.

II. 42

(3) Selain dikenai sanksi administratif, badan usaha atau usaha perseorangan dapat

dikenai sanksi lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-

undangan.Berdasarkan pengaturan-pengaturan di atas, kewajiban dan tanggung

jawabperusahaan bukan hanya kepada pemilik modal saja, melainkan juga kepada

karyawandan keluarganya, konsumen dan masyarakat sekitar, serta lingkungan

hidup.

4. UU NO. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan terbatas

Undang-undang ini diundangkan secara resmi pada tanggal 16 Agustus

2007.Ketentuan dalam Pasal 74 ayat (1): Perseroan yang menjalankan kegiatan

usahanya dibidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib

melaksanakan TanggungJawab Sosial dan Lingkungan.

o Bagi BUMN yang sudah melakukan alokasi biaya untuk bina wilayah atau

yangsejenis sebelum diterbitkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 (UUPT),

makadalam pelaksanaannya agar dilakukan sesuai dengan mekanisme korporasi

denganmemperhatikan prinsip-prinsip Good Corporate Governance (GCG).

o Bagi BUMN yang sumber dana program kemitraan dan bina lingkungan

(PKBL)-nyaberasal dari penyisishan laba, maka tetap melaksanakan PKBL sesuai

dengan alokasi dana yang disetujui RUPS.

o Bagi BUMN yang sumber dana program kemitraan dan/atau bina lingkungan

(PKBL)-nya dibebankan/menjadi biaya perusahaan sebagai pelaksanaan Pasal 74

UUPT,maka dalam pelaksanaannya agar tetap berpedoman pada peraturan

menteriNegara BUMN No: Per-05/MBU/2007, sampai adanya penetapan lebih

lanjut darimenteri Negara BUMN.Selengkapnya tentang Pasal 74 UU No. 40

tahun 2007 tersebut adalah sebagai berikut:

II. 43

Bab V – Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan

Pasal 74:

(1) Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan

dengan sumber dayaalam wajib melaksanakan Tanggung Jawab Sosial dan

Lingkungan.

(2) Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

merupakan kewajibanPerseroan yang dianggarkan dan diperhitungkan sebagai

biaya Perseroan yang pelaksanaannyadilakukan dengan memperhitungkan

kepatutan dan kewajaran.

(3) Perseroan yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) dikenai sanksisesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan

diatur dengan PeraturanPemerintah

5. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan

Menengah

Bunyi Pasal 21 UU No. 20 Tahun 2008:…..Badan Usaha Milik Negara

dapatmenyediakan pembiayaan dari penyisihan bagian laba tahunan yang

dialokasikankepada Usaha Mikro dan Kecil dalam bentuk pemberian pinjaman,

penjaminan, hibah,dan pembiayaan lainnya. PKBL merupakan Program

Pembinaan Usaha Kecil danpemberdayaan kondisi lingkungan oleh BUMN

melalui pemanfaatan dana dari bagianlaba BUMN. Jumlah penyisihan laba untuk

pendanaan program maksimal sebesar 2%(dua persen) dari laba bersih untuk

Program Kemitraan dan maksimal 2% (dua persen)dari laba bersih untuk Program

II. 44

Bina Lingkungan (CSR). Ketentuan UU inilah yangdijadikan dasar bagi penataan

tentang pemanfaatan CSR di Indonesia.

6. Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) 15 April 2009

Mahkamah Konstitusi (MK) dalam putusannya 15 April 2009 menolak gugatan

ujimaterial oleh Kadin terhadap pasal 74 Undang-Undang Nomor 40 tahun 2007

tentangPerseroan Terbatas (UU PT) mengenai kewajiban Tanggung Jawab Sosial

danLingkungan (TJSL) bagi perusahaan yang berkaitan dengan sumber daya

alam. Karenaputusan MK bersifat final dan mengikat, maka lebih baik kita

melihat dari sisipositifnya, yaitu sinergi antara pasal PJSL dengan UU Pajak

Penghasilan 36/2008 (UUPPh) pasal 6 ayat 1 huruf a yang sekarang

memberlakukan beberapa jenis sumbangansosil sebagai biaya, yaitu.

• Biaya beasiswa, magang, dan pelatihan;

• Sumbangan dalam rangka penanggulangan bencana nasional yang ketentuannya

diatur dengan Peraturan Pemerintah;

• Sumbangan dalam rangka penelitian dan pengembangan yang dilakukan di

Indonesia yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah;

• Biaya pembangunan infrasrtuktur sosial yang ketentuannya diatur dengan

Peraturan Pemerintah;

• Sumbangan fasilitas pendidikan yang ketentuannya diatur dengan Peraturan

Pemerintah:dan

• Sumbangan dalam rangka pembinaan olahraga yang ketentuannya diatur

dengan Peraturan Pemerintah.

Corporate Social Responsibility (CSR), merupakan komitmen perusahaan

untukmembangun kualitas kehidupan yang lebih baik bersama dengan para pihak

II. 45

yangterkait, utamanya masyarakat di sekelilingnya dan lingkungan sosial

dimanaperusahaan tersebut berada, yang dilakukan terpadu dengan kegiatan

usahanya secaraberkelanjutan.Sayangnya, masih ada perusahaan yang

mempersepsi CSR sebagai bagian dari biayaatau tindakan reaktif untuk

mengantisipasi penolakan masyarakat dan lingkungan.Beberapa perusahaan

memang mampu mengangkat status CSR ke tingkat yang lebihtinggi dengan

menjadikannya sebagai bagian dari upaya brand building danpeningkatan

corporate image. Namun upaya-upaya CSR tersebut masih jarang yangdijadikan

sebagai bagian dari perencanaan strategis perusahaan.

Masyarakat kini telah semakin well informed, dan kritis serta mampu

melakukanfilterisasi terhadap dunia usaha yangg tengah berkembang. Hal ini

menuntut parapengusaha untuk menjalankan usahanya dengan semakin

bertanggung-jawab.Pengusaha tidak hanya dituntut untuk memperoleh capital

gain atau profit darikegiatan usahanya, melainkan mereka juga diminta utk

memberikan kontribusi baikmateriil maupun spirituil kepada masyarakat dan

pemerintah sejalan dengan aturan.

II.4.2Standarisasi Pelaksanaan CSR di Indonesia

Pada tahun 1990an para aktivis pembangunan melihat persoalan

kemiskinan sebagai persoalan ketimpangan dalam sistem politik. Menurut

pandangan mereka, kelompok-kelompok seperti komunitas lokal, masyarakat

adat, dan buruh tidak mempunyai kesempatan untuk menentukan pembangunan

macam apa yang dibutuhkan. Akibatnya, demikian menurut pandangan mereka,

pembangunan sering tidak sesuai dengan kebutuhan kelompok masyarakat

tersebut dan sering timpang dalam pembagian keuntungan dan resiko. Jalan keluar

II. 46

yang diusulkan para aktivis pembangunan adalah merubah skema pembangunan

menjadi memberi kemungkinan berbagai kelompok melindungi kepentingannya.

Kata kuncinya transparansi, partisipasi, dan penguatan kelompok lemah.

Pemerintah dan perusahaan dituntut membuat mekanisme untuk

berkomunikasidengan lebih banyak pihak dan memperhatikan kepentingan-

kepentingan mereka.

Terakhir, harus ada upaya penguatan kelompok masyarakat agar dapat

berpartisipasi dengan benar. Ketiga kata kunci diatas pada akhirnya menjadi

semacam prinsip yang dianggap seharusnya ada bagi organisasi apapun dalam

masyarakat. CSR secara umum merupakan kontribusi menyeluruh dari dunia

usaha terhadap pembangunan berkelanjutan, dengan mempertimbangkan dampak

ekonomi, sosial dan lingkungan dari kegiatannya.

Sebagai salah satu pendekatan sukarela yang berada pada tingkat beyond

compliance, penerapan CSR saat ini berkembang pesat termasuk di Indonesia,

sebagai respon dunia usaha yang melihat aspek lingkungan dan sosial sebagai

peluang untuk meningkatkan daya saing serta sebagai bagian dari pengelolaan

risiko, menuju sustainability (keberlanjutan) dari kegiatan usahanya. Penerapan

kegiatan CSR di Indonesia baru dimulai pada awal tahun 2000, walaupun kegiatan

dengan esensi dasar yang sama telah berjalan sejak tahun 1970-an, dengan tingkat

yang bervariasi, mulai dari yang paling sederhana seperti donasi sampai kepada

yang komprehensif seperti terintegrasi ke dalam strategi perusahaan dalam

mengoperasikan usahanya. Belakangan melalui Undang-undang Nomor 40 Tahun

2007 tentang Perseroan Terbatas, Pemerintah memasukkan pengaturan Tanggung

Jawab Sosial dan Lingkungan kedalam Undang-Undang Perseroan Terbatas.

II. 47

Pada dasarnya ada beberapa hal yang mendasari pemerintah mengambil

kebijakan pengaturan tanggung jawab sosial dan lingkungan Pertama adalah

keprihatinan pemerintah atas praktek korporasi yang mengabaikan aspek sosial

lingkungan yang mengakibatkan kerugian di pihak masyarakat. Kedua adalah

sebagai wujud upaya entitas negara dalam penentuan standard aktivitas sosial

lingkungan yang sesuai dengan konteks nasional maupun lokal.

Menurut Endro Sampurno pemahaman yang dimiliki pemerintah

mempunyai kecenderungan memaknai CSR semata-mata hanya karena peluang

sumberdaya finansial yang dapat segera dicurahkan perusahaan untuk memenuhi

kewajiban atas regulasi yang berlaku. Memahami CSR hanya sebatas sumber daya

finansial tentunya akan mereduksi arti CSR itu sendiri.Akibat kebijakan tersebut

aktivitas tanggung jawab sosial perusahaan akan menjadi tanggung jawab legal

yang mengabaikan sejumlah prasyarat yang memungkinkan terwujudnya makna

dasar CSR tersebut, yakni sebagai pilihan sadar, adanya kebebasan, dan kemauan

bertindak. Mewajibkan CSR, apa pun alasannya, jelas memberangus sekaligus

ruang-ruang pilihan yang ada, berikut kesempatan masyarakat mengukur derajat

pemaknaannya dalam praktik. Konsekuensi selanjutnya adalah CSRakan

bermakna sebatas upaya pencegahan dan dampak negatif keberadaan perusahaan

di lingkungan sekitarnya (bergantung pada core business-nya masing-masing)

padahal melihat perkembangan aktivitas CSR di Indonesia semakin

memperlihatkan semakin sinergisnya program CSR dengan beberapa tujuan

pemerintah. Terakhir yang mungkin terjadi adalah aktivitas CSR dengan regulasi

II. 48

seperti itu akan mengarahkan program pada formalitas pemenuhan kewajiban dan

terkesan basa-basi.31

Keluhan hubungan yang tidak harmonis antara perusahaan dan pemangku

kepentingannya sesungguhnya sudah terdengar setidaknya dalam dua decade

belakangan. Gerakan sosial Indonesia, khususnya gerakan buruh dan lingkungan,

telah menunjuk dengan tepat adanya masalah itu sejak dulu. Namun, tanggapan

positif terhadapnya memang baru terjadi belakangan. Di masa lampau, hampir

selalu keluhan pada kinerja sosial dan lingkungan perusahaan akan membuat

mereka yang menyatakannya berhadapan dengan aparat keamanan. Walaupun kini

hal tersebutbelum menghilang sepenuhnya, tanggapan positif atas keluhan telah

lebih banyak terdengar. Kiranya, disinsentif untuk perusahaan yang berkinerja

buruk kini telah banyak tersedia. Gerakan sosial kita tidak kurang memberikan

tekanan kepada perusahaan berkinerja buruk. Payahnya, banyak perusahaan juga

yang mulai menyadari pentingnya meningkatkan kinerja sosial dan lingkungan

ternyata tidak mendapatkan insentif yang memadai dari berbagai pemangku

kepentingan. Bahkan mereka yang secara fundamental hendak berubah malah

menjadi sasaran tembak. Karena dianggap "melunak", perusahaan tersebut kerap

dianggap sebagai sumber uang yang bisa diambil kapan saja melalui berbagai

cara.

32

Di antara berbagai pemangku kepentingan itu terdapat pemerintah. Selain

berbagai perangkat yang diciptakan di tingkat pusat, beberapa pemerintah

kabupaten telah membuat berbagai macam forum CSR. Regulasi hubungan

industrial juga telah dibuat di beberapa provinsi. Di satu sisi, perkembangan ini

cukup menggembirakan karena menunjukkan tumbuhnya pemahaman pemerintah

31Roby Akbar, “Benang Kusut Regulasi CSR”, 3 Desember 2007, diakses dari http://www.roryakbar.wordpress.com diakses pada tanggal 20 september 2011 pukul 13.00wib. 32Jalal, “Tanggung Jawab Sosial Perusahaan di Indonesia”, Koran Tempo, 26 September 2006.

II. 49

atas potensi kemitraan pembangunan dengan perusahaan. Di sisi lain, terdapat

kekhawatiran bahwa pemerintah sedang memindahkan beban pembangunannya ke

perusahaan. Berbagai regulasi yang dibuat telah juga menjadi tambahan beban

baru bagi perusahaan, alih-alihmenjadi insentif bagi mereka yang hendak

meningkatkan kinerja CSR-nya.

Secara teoretis telah diungkapkan banyak pakar bahwa pemerintah

seharusnya menciptakan prakondisi yang memadai agar perusahaan dapat

beroperasi dengan kepastian hukum yang tinggi. Dalam hal ini, berbagai regulasi

yang ada tidak hanya berfungsi memberikan batasan kinerja minimal bagi

perusahaan, tapi juga memberikan perlindungan penuh bagi mereka yang telah

mencapainya. Di luar itu, pemerintah bias pula membantu perusahaan yang

sedang berupaya melampaui standar minimal dengan berbagai cara. Di antaranya

dengan memberikan legitimasi, menjadi penghubung yang jujur dengan

pemangku kepentingan lain, meningkatkan kepedulian pihak lain atas upaya yang

sedang dijalankan perusahaan, serta mencurahkan sumber dayanya untuk

bersama-sama mencapai tujuan keberlanjutan.

Mengingat CSR sulit terlihat dengan kasat mata, maka tidak mudah untuk

melakukan pengukuran tingkat keberhasilan yang dicapai. Oleh karena itu

diperlukan berbagai pendekatan untuk menjadikannya kuantitatif dengan

menggunakan pendekatan Triple Bottom Line atau Sustainability Reporting. Dari

sisi ekonomi, pesnggunaan sumber daya alam dapat dihitung dengan akuntansi

sumber daya alam, sedangkan pengeluaran dan penghematan biaya lingkungan

dapat dihitung dengan menggunakan akuntansi lingkungan.33

33Makalah Kementerian Negara Lingkungan Hidup, “Proper Sebagai Instrumen Pengukuran Penerapan CSR Oleh Perusahaan”, 23 Agustus 2006.

II. 50

Terdapat dua hal yang dapat mendorong perusahaan menerapkan CSR,

yaitu bersifat dari luar perusahaan (external drivers) dan dari dalam perusahaan

(internal drivers). Termasuk kategori pendorong dari luar, misalnya adanya

regulasi, hukum, dan diwajibkannya analisis mengenai dampak lingkungan

(Amdal). Pemerintah melalui Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) telah

memberlakukan audit Proper (Program penilaian peningkatan kinerja perusahaan).

Pendorong dari dalam perusahaan terutama bersumber dari perilaku manajemen

dan pemilik perusahaan (stakeholders), termasuk tingkat kepedulian/tanggung

jawab perusahaan untuk membangun masyarakat sekitar (community

development responsibility). Ada empat manfaat yang diperoleh bagi perusahaan

denganmengimplementasikan CSR. Pertama, keberadaan perusahaan dapat

tumbuh danberkelanjutan dan perusahaan mendapatkan citra (image) yang positif

dari masyarakatluas. Kedua, perusahaan lebih mudah memperoleh akses terhadap

kapital (modal). Ketiga, perusahaan dapat mempertahankan sumber daya manusia

(human resources) yang berkualitas. Keempat, perusahaan dapat meningkatkan

pengambilan keputusan pada hal-hal yang kritis (critical decision making) dan

mempermudah pengelolaan manajemen risiko (risk management).34

Dalam menangani isu-isu sosial, ada dua pendekatan yang dapat dilakukan

oleh perusahaan yaitu: Responsive CSR dan Strategic CSR. Agenda sosial

perusahaan perlu melihat jauh melebihi harapan masyarakat, kepada peluang

untuk memperoleh manfaat sosial, ekonomi, dan lingkungan secara bersamaan.

Bergeser dari sekadar mengurangi kerusakan menuju penemuan jalan untuk

34Muhammad Arief Effendi, “Implementasi GCG Melalui CSR”, 7 November 2007, diakses dari http://www.muhariefeffendi.wordpress.com diakses pada tanggal 1 september 2011 pukul 20.30wib.

II. 51

mendukung strategi perusahaan dengan meningkatkan kondisi sosial. Agenda

sosial seperti ini harus responsif terhadap pemangku kepentingan.

Isu sosial yang mempengaruhi sebuah perusahaan terbagi dalam tiga

kategori. Pertama, isu sosial generik, yakni isu sosial yang tidak dipengaruhi

secara signifikan oleh operasi perusahaan dan tidak mempengaruhi kemampuan

perusahaan untuk berkompetisi dalam jangka panjang. Kedua, dampak sosial

value chain, yakni isu social yang secara signifikan dipengaruhi oleh aktivitas

normal perusahaan. Ketiga, dimensi sosial dari konteks kompetitif, yakni isu

sosial di lingkungan eksternal perusahaan yang secara signifikan mempengaruhi

kemampuan berkompetisi perusahaan.

Setiap perusahaan perlu mengklasifikasikan isu sosial ke dalam tiga

kategori tersebut untuk setiap unit bisnis dan lokasi utama, kemudian

menyusunnya berdasarkan dampak potensial. Isu sosial yang sama bisa masuk

dalam kategori yang berbeda, tergantung unit bisnis, industri, dan tempatnya.

Ketegangan yang sering terjadi antara sebuah perusahaan dan komunitas atau

masyarakat di sekitar perusahaan berlokasi umumnya muncul lantaran

terabaikannya komitmen dan pelaksanaan tanggung jawab sosial tersebut.

Perubahan orientasi social politik di tanah air dapat memunculkan kembali

apresiasi rakyat yang terbagi-bagi dalam wilayah administratif dalam upaya

menciptakan kembali akses mereka terhadap sumber daya yang ada di

wilayahnya.

Seringkali kepentingan perusahaan diseberangkan dengan kepentingan

masyarakat. Sesungguhnya perusahaan dan masyarakat memiliki saling

ketergantungan yang tinggi. Saling ketergantungan antara perusahaan dan

masyarakat berimplikasi bahwa baik keputusan bisnis dan kebijakan sosial harus

II. 52

mengikuti prinsip berbagi keuntungan, yaitu pilihan-pilihan harus menguntungkan

kedua belah pihak. Saling ketergantungan antara sebuah perusahaan dengan

masyarakat memilikidua bentuk. Pertama, inside-out linkages, bahwa perusahaan

memiliki dampak terhadapmasyarakat melalui operasi bisnisnya secara normal.

Dalam hal ini perusahaan perlu memerhatikan dampak dari semua aktivitas

produksinya, aktivitas pengembangan sumber daya manusia, pemasaran,

penjualan, logistik, dan aktivitas lainnya. Kedua, outside-in-linkages, di mana

kondisi sosial eksternal juga memengaruhi perusahaan, menjadi lebih baik atau

lebih buruk. Ini meliputi kuantitas dan kualitas input bisnis yang tersedia-sumber

daya manusia, infrastruktur transportasi; peraturan dan insentif yang mengatur

kompetisi-seperti kebijakan yang melindungi hak kekayaanintelektual, menjamin

transparansi, mencegah korupsi, dan mendorong investasi; besar dan kompleksitas

permintaan daerah setempat; ketersediaan industri pendukung di daerah setempat,

seperti penyedia jasa dan produsen mesin.35

35Mas Achmad Daniri dan Maria Dian Nurani, “Menuju Standarisasi CSR”, telahdimuat di Harian Bisnis Indonesia, 19 Juli 2007.

Etika sebagai rambu-rambu dalam suatu kelompok masyarakat akan dapat

membimbing dan mengingatkan anggotanya kepada suatu tindakan yang terpuji

(good conduct) yang harus selalu dipatuhi dan dilaksanakan. Etika di dalam bisnis

sudah tentu harus disepakati oleh orang-orang yang berada dalam kelompok bisnis

serta kelompok yang terkait lainnya. Secara umum, prinsip-prinsip yang berlaku

dalam bisnis yang baik sesungguhnya tidak bisa dilepaskan dari kehidupan kita

sebagai manusia, dan prinsip-prinsip ini sangat erat terkait dengan sistem nilai

yang dianut oleh masing-masing masyarakat. Prinsip etika bisnis itu sendiri

adalah:

II. 53

• Prinsip otonomi; adalah sikap dan kemampuan manusia untuk

mengambilkeputusan dan bertindak berdasarkan kesadarannya tentang

apa yangdianggapnya baik untuk dilakukan.

• Prinsip kejujuran.

• Prinsip keadilan.

• Prinsip saling menguntungkan (mutual benefit principle).

• Prinsip integritas moral; terutama dihayati sebagai tuntutan internal dalam

diri pelaku bisnis atau perusahaan, agar perlu menjalankan bisnis dengan

tetap menjaga nama baik pimpinan/orang-orangnya maupun

perusahaannya.

Bagi masyarakat, praktik CSR yang baik akan meningkatkan nilai-tambah

adanya perusahaan di suatu daerah karena akan menyerap tenaga kerja,

meningkatkan kualitas sosial di daerah tersebut. Pekerja lokal yang diserap akan

mendapatkan perlindungan akan hak-haknya sebagai pekerja. Jika ada masyarakat

adat/masyarakat lokal, praktek CSR akan menghargai keberadaan tradisi dan

budaya lokal tersebut. Agar efektif CSR memerlukan peran civil society yang

aktif. Setidaknya terdapat tiga wilayah dimana masyarakat dapat menunjukkan

perannya yaitu:

a. Kampanye melawan korporasi yang melakukan praktik bisnis yang tidak

sejalandengan prinsip CSR lewat berbagai aktivitas lobby dan advokasi.

b. Mengembangkan kompetensi untuk meningkatkan kapasitas dan membangun

institusi yang terkait dengan CSR

c. Mengembangkan inisiatif multi-stakeholder yang melibatkan berbagai elemen

dari masyarakat, korporasi dan pemerintah untuk mempromosikan dan

meningkatkan kualitas penerapan CSR

II. 54

Lewat ISO 26000 terlihat upaya untuk mengakomodir kepentingan semua

stakeholder. Dalam hal ini, peran pemerintah menjadi penting. Pemerintah harus

punya pemahaman menyeluruh soal CSR agar bisa melindungi kepentingan yang

lebih luas, yaitu pembangunan nasional. Jangan lupa, dari kacamata kepentingan

ekonomi pembangunan nasional, sektor bisnis atau perusahaan itu ada untuk

pembangunan, bukan sebaliknya. Pemerintah perlu jelas bersikap dalam hal ini.

Misalnya, di satu sisi, mendorong agar perusahaan-perusahaan yang sudah tercatat

di bursa efek harus melaporkan pelaksanaan CSR kepada publik.

Cakupan dari ISO 26000 ini antara lain untuk membantu organisasi-

organisasi menjalankan tanggung jawab sosialnya; memberikan ‘practical

guidances’ yang berhubungan dengan operasionalisasi tanggung jawab sosial;

identifikasi dan pemilihan stakeholders; mempercepat laporan kredibilitas dan

klaim mengenai tanggungjawab sosial; untuk menekankan kepada hasil

performansi dan peningkatannya; untuk meningkatkan keyakinan dan kepuasan

atas konsumen dan ‘stakeholders’ lainnya; untuk menjadi konsisten dan tidak

berkonflik dengan traktat internasional dan standarisasi ISO lainnya; tidak

bermaksud mengurangi otoritas pemerintah dalam menjalankan tanggung jawab

sosial oleh suatu organisasi; dan, mempromosikan terminologi umum dalam

lingkupan tanggung jawab sosial dan semakin memperluas pengetahuan mengenai

tanggung jawab sosial.36

ISO 26000 sesuatu yang tidak bisa ditawar. Meskipun, dalam rilis yang

diambil dari website resmi ISO, standarisasi mengenai Social Responsibility,

memang dinyatakan sebagai sesuatu yang tidak wajib, tetap saja ini akan menjadi

trend yang akan naik daun di tahun 2009 dan harus dihadapi dengan sungguh–

36Indonesia Business Links, “Integrating CSR a Business Strategy: How to adopt CEO values into CSRPolicies”, Hotel Nikko, Jakarta 2 Mei 2007.

II. 55

sungguh, jika ingin tetap eksis dalam dunia usaha di Indonesia. ISO 26000 ini bisa

dijadikan sebagai rujukan atau pedoman dalam pembentukan pedoman prinsip

pelaksanaan CSR di Indonesia.

Di sisi lain, pemerintah harus bisa bernegosiasi di level internasional untuk

membantu produk Indonesia bisa masuk ke pasar internasional secara fair.

Misalnya lewat mekanisme WTO. Ini bisa dibarengi dengan upaya pemerintah

memberikan bantuan/asistensi pada perusahaan yang belum/menjadi perusahaan

publik agar penerapan CSR-nya juga diapresiasi melalui mekanisme selain ISO.

Misalnya dengan menciptakan/menerapkan standard nasional CSR yang lebih

bottom-up atau insentif tertentu yang bisa meyakinkan pasar internasional untuk

menerima produk Indonesia. Pada saat ini CSR dapat dianggap sebagai investasi

masa depan bagi perusahaan.

Minat para pemilik modal dalam menanamkan modal di perusahaan yang

telah menerapkan CSR lebih besar, dibandingkan dengan yang tidak menerapkan

CSR. Melalui program CSR dapat dibangun komunikasi yang efektif dan

hubungan yang harmonis antara perusahaan dengan masyarakat sekitarnya.

Pada tahun 2001, ISO-suatu lembaga internasional dalam perumusan

standar atau pedoman, menggagaskan perlunya standar tanggungjawab sosial

perusahaan (CSR standard). Setelah mengalami diskusi panjang selama hampir 4

tahun tentang gagasan ini, akhirnya Dewan managemenISO menetapkan bahwa

yang diperlukan adalah Standar Tanggungjawab Sosial atau Social Responcibility

Standard (ISO, 2005). CSR merupakan salah satu bagian dari SR. Tidak hanya

perusahaan yang perlu terpanggil melakukan SR tetapi semua organisasi,

termasuk pemerintah dan LSM.37

37A.B. Susanto, CSR dalam Perspektif Ganda, Harian Bisnis Indonesia, 2 September

II. 56

Sejak januari 2005 dibentuk kelompok kerja ISO 26000 untuk

merumuskan draf Standar SR. Definisi tanggungjawab Sosial—Social

Responsibility (SR), berdasarkan dokumen draf dokumen ISO 26000, adalah etika

dan tindakan terkait tanggungjawab organisasi yang mempertimbangkan dampak

aktivitas organisasi pada berbagai pihak dengan cara-cara yang konsisten dengan

kebutuhan masyarakat. Social Responcibility (SR) merupakan kepedulian dan

tindakan managemen organisasi pada masyarakat dan lingkungan, disamping

harus mentaati aspel legal yang berlaku. ISO 26000memberikan prinsip-prinsip

dasar, isu-isu universal dan kerangka pikir yang menjadi landasan umum bagi

penyelenggaraan SR oleh setiap organisasi, tanpa membedakan ukuran dan jenis

organisasi. ISO 26000 tidak dimaksudkan untuk menjadi standar sistem

managemen dan tidak untuksertifikasi perusahaan. ISO 26000 juga tidak

dimaksudkan untuk menggantikan consensus internasional yang sudah ada, tetapi

untuk melengkapi dan memperkuat berbagai konsensus internasional, misalnya

tentang lingkungan, hak azazi manusia, pelindungan pekerja, MDGs, danlain

sebagainya.38

Prinsip Penyelenggaraan SR antara lain terkait dengan pembangungan

berkelanjutan, penentuan dan pelipatan stakeholders; komunikasi kebijakan

kinerja SR; penghargaan terhadap nilai-nilai universal, pengintegrasian SR dalam

kegiatan normal organisasi. Olehkarena itu, ada tujuh isu utama dalam perumusan

ISO 26000 yaitu 1) isu lingkungan, 2) isu hak asasi manusia, 3) isu praktek

ketenaga-kerjaan, 4) isu pengelolaan organisasi, 5) isu praktik beroperasi yang

adil, 6) isu hak dan perlindunagn konsumen, dan 7) isu partisipasi masyarakat,

Dokumen FinalISO 26000 dipublikasi pada awal tahun 2009. Diharapkan

2007. 38Ibid

II. 57

keberadaan ISO 26000 akan berdampak positif pada upaya percepatan

penanggulangan masalah kemiskinan, masalah pangan dan gizi, masalah

kesehatan, masalah pendidikan, dan masalah kesejahteraan sosial. Penerapan CSR

di perusahaan akan menciptakan iklim saling percaya di dalamnya, yang akan

menaikkan motivasi dan komitmen karyawan. Pihak konsumen, investor,

pemasok, dan stakeholders yang lain juga telah terbukti lebih mendukung

perusahaan yang dinilai bertanggung jawab sosial, sehingga meningkatkan

peluang pasar dan keunggulan kompetitifnya. Dengan segala kelebihan itu,

perusahaan yang menerapkan CSR akan menunjukkan kinerja yang lebih baik

serta keuntungan dan pertumbuhanyang meningkat. Memang saat ini belum

tersedia formula yang dapat memperlihatkan hubungan praktik CSR terhadap

keuntungan perusahaan sehingga banyak kalangan dunia usaha yang bersikap

skeptis dan menganggap CSR tidak memberi dampak atas prestasi usaha, karena

mereka memandang bahwa CSR hanya merupakan komponen biaya yang

mengurangi keuntungan. Praktek CSR akan berdampak positif jika dipandang

sebagai investasi jangka panjang, karena dengan melakukan praktek CSR yang

berkelanjutan, perusahaan akan mendapat tempat di hati dan ijin operasional

darimasyarakat, bahkan mampu memberikan kontribusi bagi pembangunan

berkelanjutan.

Salah satu bentuk dari tanggung jawab sosial perusahaan yang sering

diterapkan di Indonesia adalah community development. Perusahaan yang

mengedepankan konsep ini akan lebih menekankan pembangunan sosial dan

pembangunan kapasitas masyarakat sehingga akan menggali potensimasyarakat

lokal yang menjadi modal sosial perusahaan untuk maju dan berkembang. Selain

dapat menciptakan peluang-peluang sosial-ekonomi masyarakat, menyerap tenaga

II. 58

kerja dengan kualifikasi yang diinginkan, cara ini juga dapat membangun citra

sebagai perusahaan yang ramah dan pedulilingkungan. Selain itu, akan tumbuh

rasa percaya dari masyarakat. Rasa memiliki perlahan-lahan muncul dari

masyarakat sehingga masyarakatmerasakan bahwa kehadiran perusahaan di

daerah mereka akan berguna dan bermanfaat.39

Kepedulian kepada masyarakat sekitar komunitas dapat diartikan sangat

luas, namun secara singkat dapat dimengerti sebagai peningkatan partisipasi dan

posisi organisasi di dalam sebuah komunitas melalui berbagai upaya kemaslahatan

bersama bagi organisasi dan komunitas. CSR adalah bukan hanya sekedar

kegiatan amal, di mana CSR mengharuskan suatu perusahaan dalam pengambilan

keputusannya agar dengan sungguh-sungguh memperhitungkan akibatnya

terhadap seluruh pemangku kepentingan (stakeholder) perusahaan, termasuk

lingkungan hidup. Hal ini mengharuskan perusahaan untuk membuat

keseimbangan antara kepentingan beragam pemangku kepentingan eksternal

dengan kepentingan pemegang saham, yang merupakan salah satu pemangku

kepentinganinternal.

40

Setidaknya ada tiga alasan penting mengapa kalangan dunia usaha harus

merespon dan mengembangkan isu tanggung jawab sosial sejalan dengan operasi

usahanya. Pertama, perusahaan adalah bagian dari masyarakat dan oleh karenanya

wajar bila perusahaan memperhatikankepentingan masyarakat. Kedua, kalangan

bisnis dan masyarakat sebaiknya memiliki hubungan yang bersifat simbiosis

mutualisme. Ketiga, kegiatantanggung jawab sosial merupakan salah satu cara

untuk meredam atau bahkan menghindari konflik social.

41

39Ibid 40A.B. Susanto, Membumikan Gerakan Hijau, Majalah Ozon, Edisi No.5 Februari 2003. 41Ibid

II. 59

Program yang dilakukan oleh suatu perusahaan dalam kaitannya dengan

tanggung jawab sosial di Indonesia dapat digolongkan dalam tiga bentuk, yaitu:42

Melakukan program untuk kebutuhan komunitas sekitar perusahaan atau

kegiatan perusahaan yang berbeda dari hasil dari perusahaan itu sendiri. Program

pengembangan masyarakat di Indonesia dapat dibagi dalam tiga kategori yaitu:

a. Public Relations

Usaha untuk menanamkan persepsi positif kepada komunitas tentangkegiatan

yang dilakukan oleh perusahaan.

b. Strategi defensif

Usaha yang dilakukan perusahaan guna menangkis anggapan negative komunitas

yang sudah tertanam terhadap kegiatan perusahaan, dan biasanya untuk melawan

serangan negatif dari anggapan komunitas. Usaha CSR yang dilakukan adalah

untuk merubah anggapan yang berkembang sebelumnya dengan menggantinya

dengan yang baru yang bersifat positif.

c. Kegiatan yang berasal dari visi perusahaan

43

Merupakan pelayanan perusahaan untuk memenuhi kepentingan masyarakat atau

kepentingan umum. Inti dari kategori ini adalah memberikan kebutuhan yang ada

1. Community Relation

Yaitu kegiatan-kegiatan yang menyangkut pengembanganBkesepahaman melalui

komunikasi dan informasi kepada para pihak yangterkait. Dalam kategori ini,

program lebih cenderung mengarah pada bentukbentuk kedermawanan (charity)

perusahaan.

2. Community Services

42Himawan Wijanarko, Reputasi, Majalah Trust, 4-10 Juli 2005. 43Ibid

II. 60

di masyarakat dan pemecahan masalahdilakukan oleh masyarakat sendiri

sedangkan perusahaan hanyalah sebagai fasilitator dari pemecahan masalah

tersebut.

3. Community Empowering

Adalah program-program yang berkaitan dengan memberikan akses yang lebih

luas kepada masyarakat untuk menunjang kemandiriannya, seperti pembentukan

usaha industri kecil lainnya yang secara alami anggota masyarakat sudah

mempunyai pranata pendukungnya dan perusahaanmemberikan akses kepada

pranata sosial yang ada tersebut agar dapat berlanjut. Dalam kategori ini, sasaran

utama adalah kemandirian komunitas.

Dari sisi masyarakat, praktik CSR yang baik akan meningkatkan

nilaitambah adanya perusahaan di suatu daerah karena akan menyerap

tenagakerja, meningkatkan kualitas sosial di daerah tersebut. Sesungguhnya

substansi keberadaan CSR adalah dalam rangka memperkuat keberlanjutan

perusahaan itu sendiri dengan jalan membangun kerja sama antar stakeholder

yang difasilitasi perusahaan tersebut dengan menyusun program-program

pengembangan masyarakat sekitarnya.

Pada saat ini di Indonesia, praktek CSR belum menjadi perilaku yang

umum, namun dalam abad informasi dan teknologi serta adanya desakan

globalisasi, maka tuntutan terhadap perusahaan untuk menjalankan CSR semakin

besar. Tidak menutup kemungkinan bahwa CSR menjadi kewajibanbaru standar

bisnis yang harus dipenuhi seperti layaknya standar ISO. Dan diperkirakan pada

akhir tahun 2009 mendatang akan diluncurkan ISO 26000on Social Responsibility,

sehingga tuntutan dunia usaha menjadi semakin jelas akan pentingnya program

CSR dijalankan oleh perusahaan apabilamenginginkan keberlanjutan dari

II. 61

perusahaan tersebut. CSR akan menjadi strategi bisnis yang inheren dalam

perusahaan untuk menjaga atau meningkatkan daya saing melalui reputasi dan

kesetiaanmerek produk (loyalitas) atau citra perusahaan. Kedua hal tersebut akan

menjadi keunggulan kompetitif perusahaan yang sulit untuk ditiru oleh para

pesaing. Di lain pihak, adanya pertumbuhan keinginan dari konsumen untuk

membeli produk berdasarkan kriteria-kriteria berbasis nilai-nilai dan etika akan

merubah perilaku konsumen di masa mendatang. Implementasi kebijakan CSR

adalah suatu proses yang terus menerus dan berkelanjutan. Dengan demikian akan

tercipta satu ekosistem yang menguntungkan semua pihak (true win win situation)

– konsumen mendapatkan produk unggul yang ramah lingkungan, produsen pun

mendapatkan profit yang sesuai yang pada akhirnya akan dikembalikan ke tangan

masyarakat secara tidak langsung.

Pelaksanaan CSR di Indonesia sangat tergantung pada pimpinan puncak

korporasi. Artinya, kebijakan CSR tidak selalu dijamin selaras dengan visi dan

misi korporasi. Jika pimpinan perusahaan memiliki kesadaran moral yang tinggi,

besar kemungkinan korporasi tersebut menerapkan kebijakan CSR yang benar.

Sebaliknya, jika orientasi pimpinannya hanya berkiblat pada kepentingan

kepuasan pemegang saham (produktivitas tinggi, profit besar, nilai saham tinggi)

serta pencapaian prestasi pribadi, boleh jadi kebijakan CSR hanya sekadar

kosmetik. Sifat CSR yang sukarela, absennya produk hukum yang menunjang dan

lemahnya penegakan hukum telah menjadikan Indonesia sebagai Negara ideal

bagi korporasi yang memang memperlakukan CSR sebagai kosmetik. Yang

penting, Laporan Sosial Tahunannya tampil mengkilap, lengkap dengan tampilan

foto aktivitas sosial serta dana program pembangunan komunitas yang telah

direalisasi. Sekali lagi untuk mencapai keberhasilan dalam melakukan program

II. 62

CSR, diperlukannya komitmen yang kuat, partisipasi aktif, serta ketulusan dari

semua pihak yang peduli terhadap program-program CSR.

Program CSR menjadi begitu penting karena kewajiban manusia untuk

bertanggung jawab atas keutuhan kondisi-kondisikehidupan umat manusia di

masa datang. Sebagai contoh, terdapat sebuah perusahaan di Indonesia yang

menjalankan strategi bisnis dengan konsep 3 P yaitu Profit, memastikan bahwa

tetap mampu memenuhi permintaan dengan kualitas tinggi dan biaya murah

sebagai sebuah perusahaan internasional yang kompetitif. Konsep kedua yaitu

Planet, memastikan bahwa pelaksanaan usaha tetap melindungi keanekaragaman

hayati dan mengurangi penurunan kualitas lingkungan.Konsep ketiga People

dengan meyediakan kesempatan untuk ikut serta dalam pengentasan kemiskinan

serta menjadi tempat untuk pilihan pekerjaan. Perusahaan tersebut memiliki 6

konsep srategi pelaksanaan CSR yaitu environment, community empowerment,

improving workplace,volunterism, stakeholders engagement dan transparency.44

Perusahaan tersebut menyimpulkan bahwa melaksanakan bisnis di

Indonesia memiliki tantangan yang besar terutama untuk perusahaan extractive.

Penerapan CSR dimulai pada tahun 1993 dimana pelaksanaan program CD

dijalankan oleh Public Relations dengan kegiatan yang bersifat insidental dan

kedermawanan. Pada 1999 July 2005 kegiatan CD lebih mengarah ke penguatan

komunitas di bawah Departemen Community Development yang kemudian

didirikan Community Development Foundation. Pada November 2005 CSR

Department terbentuk dan pada tahun 2007 dibentuk Sustainability Director dan

menandatangani TheGlobal Compact untuk mendukung terwujudnya tujuan-

tujuan MilleniumDevelopment Goals (MDGs).

44Diakses dari http://www.csrindonesia.com pada tanggal 20 september 2011 pukul 13.00 wib

II. 63

Bisnis bukan hanya dilaksanakan beyond compliance tapi harus juga melibatkan

stakeholder (stakeholders engagement) . Perusahaantersebut berkomitmen untuk

menjalankan usaha dengan mengutamakan prinsip-prinsip sustainable

management, Socio-economic contribution danconservation and environmental

responsibility. CSR sebagai core competency dilakukan sebagai sebuah nilai yang

dilakukan oleh semua. Salah satu yang dilakukan perusahaan tersebut adalah

melakukan collaborative effort dengan LSM sebagai usaha untuk mengelola

konflik danisu sosial serta ekonomi yang merupakan tiket untuk melakukan bisnis

sehingga bisa menjanjikan bisnis yang berkelanjutan. Secara singkat CSR dapat

diartikan sebagai tanggung jawab sosial perusahaan yang bersifat sukarela. CSR

adalah konsep yang mendorong organisasi untuk memiliki tanggung jawab sosial

secara seimbang kepada pelanggan, karyawan, masyarakat, lingkungan, dan

seluruh stakeholder. Sedangkan program charity dan community development

merupakan bagian dari pelaksanaan CSR.45

45Himawan Wijanarko, Filantrofi bukan Deterjen, Majalah Trust, 11-17 September 2006.

Dalam praktiknya, memang charity dan community development dikenal

lebih dahulu terkait interaksi perusahaan dengan lingkungan sekitarnya. Serta,

kebutuhan perusahaan untuk lebih dapat diterima masyarakat. Sementara itu, lebih

jauh CSR dapat dimaknai sebagai komitmen dalam menjalankan bisnis dengan

memperhatikan aspek sosial, norma-norma dan etika yang berlaku, bukan saja

pada lingkungan sekitar, tapi juga pada lingkup internal dan eksternal yang lebih

luas. Tidak hanya itu, CSR dalam jangka panjang memiliki kontribusi positif

terhadap pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan meningkatnya

kesejahteraan.

II. 64

Memang ada pendekatan yang berbeda-beda terhadap ketentuan dan\

pelaksanaan CSR. Dari sisi pendekatan, misalnya, ada community based

development project yang lebih mengedepankan pembangunan keterampilan dan

kemampuan kelompok masyarakat. Ada pula yang fokus padapenyediaan

kebutuhan sarana. Dan, yang paling umum adalah memberikan bantuan sosial

secara langsung maupun tidak langsung guna membantu perbaikan kesejahteraan

masyarakat, baik karena eksternalitas negatif yang ditimbulkan sendiri maupun

yang bertujuan sebagai sumbangan social semata.

Pada tahun 1990an para aktivis pembangunan melihat persoalan

kemiskinan sebagai persoalan ketimpangan dalam sistem politik. Menurut

pandangan mereka, kelompok-kelompok seperti komunitas lokal, masyarakat

adat, dan buruh tidak mempunyai kesempatan untuk menentukan pembangunan

macam apa yang dibutuhkan. Akibatnya, demikian menurut pandangan mereka,

pembangunan sering tidak sesuai dengan kebutuhan kelompok masyarakat

tersebut dan sering timpang dalam pembagian keuntungan dan resiko. Jalan keluar

yang diusulkan para aktivis pembangunan adalah merubah skema pembangunan

menjadi memberi kemungkinan berbagai kelompok melindungi kepentingannya.

Kata kuncinya transparansi, partisipasi, dan penguatan kelompok lemah.

Pemerintah dan perusahaan dituntut membuat mekanisme untuk berkomunikasi

dengan lebih banyak pihak dan memperhatikan kepentingan-kepentingan mereka.

Terakhir, harus ada upaya penguatan kelompok masyarakat agar dapat

berpartisipasi dengan benar.

Ketiga kata kunci diatas pada akhirnya menjadi semacam prinsip yang

dianggap seharusnya ada bagi organisasi apapun dalam masyarakat. CSR secara

umum merupakan kontribusi menyeluruh dari dunia usaha terhadap pembangunan

II. 65

berkelanjutan, dengan mempertimbangkan dampak ekonomi, sosial dan

lingkungan dari kegiatannya. Sebagai salah satu pendekatan sukarela yang berada

pada tingkat beyond compliance, penerapan CSR saat ini berkembang pesat

termasuk di Indonesia, sebagai respon dunia usaha yang melihat aspek lingkungan

dansosial sebagai peluang untuk meningkatkan daya saing serta sebagai bagian

dari pengelolaan risiko, menuju sustainability (keberlanjutan) dari kegiatan

usahanya.

Penerapan kegiatan CSR di Indonesia baru dimulai pada awal tahun 2000,

walaupun kegiatan dengan esensi dasar yang sama telah berjalan sejak tahun

1970-an, dengan tingkat yang bervariasi, mulai dari yang paling sederhana seperti

donasi sampai kepada yang komprehensif seperti terintegrasi ke dalam strategi

perusahaan dalam mengoperasikan usahanya. Belakangan melalui Undang-

undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, Pemerintah

memasukkan pengaturan Tanggung JawabSosial dan Lingkungan kedalam

Undang-Undang Perseroan Terbatas. Pada dasarnya ada beberapa hal yang

mendasari pemerintah mengambil kebijakan pengaturan tanggung jawab sosial

dan lingkungan Pertama adalah keprihatinan pemerintah atas praktek korporasi

yang mengabaikan aspek sosial lingkungan yang mengakibatkan kerugian di

pihak masyarakat. Kedua adalah sebagai wujud upaya entitas negara dalam

penentuan standard aktivitas sosial lingkungan yang sesuai dengan konteks

nasional maupun lokal.46

Menurut Endro Sampurno pemahaman yang dimiliki pemerintah

mempunyai kecenderungan memaknai CSR semata-mata hanya karena peluang

sumberdaya finansial yang dapat segera dicurahkan perusahaan untuk memenuhi

46A.B. Susanto, Paradigma Baru - Community Development, Harian Kompas, 22 Mei2001.

II. 66

kewajiban atas regulasi yang berlaku. Memahami CSRhanya sebatas sumber daya

finansial tentunya akan mereduksi arti CSR itu sendiri.47

Di masa lampau, hampir selalu keluhan pada kinerja sosial dan

lingkungan perusahaan akan membuat mereka yang menyatakannya berhadapan

dengan aparat keamanan. Walaupun kini hal tersebut belum menghilang

sepenuhnya, tanggapan positif atas keluhan telah lebih banyak terdengar. Kiranya,

Akibat kebijakan tersebut aktivitas tanggung jawab sosial perusahaan

akan menjadi tanggung jawab legal yang mengabaikan sejumlah prasyarat yang

memungkinkan terwujudnya makna dasar CSR tersebut, yakni sebagai pilihan

sadar, adanya kebebasan, dan kemauan bertindak. Mewajibkan CSR,apa pun

alasannya, jelas memberangus sekaligus ruang-ruang pilihan yang ada, berikut

kesempatan masyarakat mengukur derajat pemaknaannya dalam praktik.

Konsekuensi selanjutnya adalah CSR akan bermakna sebatas upaya pencegahan

dan dampak negatif keberadaan perusahaan di lingkungan sekitarnya (bergantung

pada core business-nya masing-masing) padahal melihat perkembangan aktivitas

CSR di Indonesia semakin memperlihatkan semakin sinergisnya program CSR

dengan beberapa tujuan pemerintah.

Terakhir yang mungkin terjadi adalah aktivitas CSR dengan regulasi

seperti itu akan mengarahkan program pada formalitas pemenuhan kewajiban dan

terkesan basa-basi. Keluhan hubungan yang tidak harmonis antara perusahaan dan

pemangku kepentingannya sesungguhnya sudah terdengar setidaknya dalam dua

dekade belakangan. Gerakan sosial Indonesia, khususnya gerakan buruhdan

lingkungan, telah menunjuk dengan tepat adanya masalah itu sejak dulu. Namun,

tanggapan positif terhadapnya memang baru terjadi belakangan.

47Ibid

II. 67

disinsentif untuk perusahaan yang berkinerja buruk kini telah banyak tersedia.

Gerakan sosial kita tidak kurang memberikan tekanankepada perusahaan

berkinerja buruk. Payahnya, banyak perusahaan juga yang mulai menyadari

pentingnya meningkatkan kinerja sosial dan lingkungan ternyata tidak

mendapatkan insentif yang memadai dari berbagaipemangku kepentingan. Bahkan

mereka yang secara fundamental hendakberubah malah menjadi sasaran tembak.

Karena dianggap “melunak”, perusahaan tersebut kerap dianggap sebagai sumber

uang yang bisa diambil kapan saja melalui berbagai cara. Di antara berbagai

pemangku kepentingan itu terdapat pemerintah. Selain berbagai perangkat yang

diciptakan di tingkat pusat, beberapa pemerintah kabupaten telah membuat

berbagai macam forum CSR. Regulasi hubungan industrial juga telah dibuat di

beberapa provinsi. Di satu sisi, perkembangan ini cukup menggembirakan karena

menunjukkan tumbuhnya pemahaman pemerintah atas potensi kemitraan

pembangunan dengan perusahaan. Di sisi lain, terdapat kekhawatiran bahwa

pemerintah sedang memindahkan beban pembangunannya ke perusahaan.

Berbagai regulasi yang dibuat telah juga menjadi tambahan beban baru bagi

perusahaan, alihalih menjadi insentif bagi mereka yang hendak meningkatkan

kinerja CSRnya.

Secara teoritis telah diungkapkan banyak pakar bahwa pemerintah

seharusnya menciptakan prakondisi yang memadai agar perusahaan dapat

beroperasi dengan kepastian hukum yang tinggi. Dalam hal ini, berbagai regulasi

yang ada tidak hanya berfungsi memberikan batasan kinerjaminimal bagi

perusahaan, tapi juga memberikan perlindungan penuh bagi mereka yang telah

mencapainya. Di luar itu, pemerintah bisa pula membantu perusahaan yang

sedang berupaya melampaui standar minimal dengan berbagai cara. Di antaranya

II. 68

dengan memberikan legitimasi, menjadi penghubung yang jujur dengan

pemangku kepentingan lain, meningkatkankepedulian pihak lain atas upaya yang

sedang dijalankan perusahaan, serta mencurahkan sumber dayanya untuk

bersama-sama mencapai tujuan keberlanjutan. Mengingat CSR sulit terlihat

dengan kasat mata, maka tidak mudah untuk melakukan pengukuran tingkat

keberhasilan yang dicapai. Olehkarena itu diperlukan berbagai pendekatan untuk

menjadikannya kuantitatif dengan menggunakan pendekatan Triple Bottom Line

atau SustainabilityReporting. Dari sisi ekonomi, penggunaan sumber daya alam

dapat dihitung dengan akuntansi sumber daya alam, sedangkan pengeluaran

danpenghematan biaya lingkungan dapat dihitung dengan menggunakan akuntansi

lingkungan.

Terdapat dua hal yang dapat mendorong perusahaan menerapkan CSR,

yaitu bersifat dari luar perusahaan (external drivers) dan dari dalam perusahaan

(internal drivers). Termasuk kategori pendorong dari luar, misalnya adanya

regulasi, hukum, dan diwajibkannya analisis mengenaidampak lingkungan

(Amdal). Pemerintah melalui Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) telah

memberlakukan audit Proper (Program penilaian peningkatan kinerja perusahaan).

Pendorong dari dalam perusahaan terutama bersumber dari perilaku manajemen

dan pemilik perusahaan (stakeholders), termasuk tingkat kepedulian/tanggung

jawab perusahaan untuk membangunmasyarakat sekitar (community development

responsibility). Ada empat manfaat yang diperoleh bagi perusahaan dengan

mengimplementasikan CSR. Pertama, keberadaan perusahaan dapat tumbuhdan

berkelanjutan dan perusahaan mendapatkan citra (image) yang positif dari

masyarakat luas. Kedua, perusahaan lebih mudah memperoleh akses terhadap

kapital (modal). Ketiga, perusahaan dapat mempertahankan sumber daya manusia

II. 69

(human resources) yang berkualitas. Keempat, perusahaan dapat meningkatkan

pengambilan keputusan pada hal-hal yang kritis (critical decision making) dan

mempermudah pengelolaan manajemen risiko (risk management).48

Setiap perusahaan perlu mengklasifikasikan isu sosial ke dalam tiga

kategori tersebut untuk setiap unit bisnis dan lokasi utama, kemudian

menyusunnya berdasarkan dampak potensial. Isu sosial yang sama biasmasuk

dalam kategori yang berbeda, tergantung unit bisnis, industri, dan tempatnya.

Ketegangan yang sering terjadi antara sebuah perusahaan dan komunitas atau

masyarakat di sekitar perusahaan berlokasi umumnya muncul lantaran

Dalam menangani isu-isu sosial, ada dua pendekatan yang dapat dilakukan

oleh perusahaan yaitu: Responsive CSR dan Strategic CSR. Agenda sosial

perusahaan perlu melihat jauh melebihi harapan masyarakat, kepada peluang

untuk memperoleh manfaat sosial, ekonomi, dan lingkungansecara bersamaan.

Bergeser dari sekadar mengurangi kerusakan menuju penemuan jalan untuk

mendukung strategi perusahaan dengan meningkatkan kondisi sosial. Agenda

sosial seperti ini harus responsif terhadap pemangku kepentingan.

Isu sosial yang mempengaruhi sebuah perusahaan terbagi dalam tiga

kategori. Pertama, isu sosial generik, yakni isu sosial yang tidak dipengaruhi

secara signifikan oleh operasi perusahaan dan tidak memengaruhi kemampuan

perusahaan untuk berkompetisi dalam jangka panjang. Kedua,dampak sosial value

chain, yakni isu sosial yang secara signifikan dipengaruhi oleh aktivitas normal

perusahaan. Ketiga, dimensi sosial dari konteks kompetitif, yakni isu sosial di

lingkungan eksternal perusahaan yang secara signifikan mempengaruhi

kemampuan berkompetisi perusahaan.

48Diakses dari http://www.csrindonesia.com pada tanggal 20 september 2011 pukul 13.00 wib.

II. 70

terabaikannya komitmen dan pelaksanaan tanggung jawabsosial tersebut.

Perubahan orientasi sosial politik di tanah air dapat memunculkan kembali

apresiasi rakyat yang terbagi-bagi dalam wilayah administratif dalam upaya

menciptakan kembali akses mereka terhadap sumber daya yang ada di

wilayahnya. Seringkali kepentingan perusahaan diseberangkan dengan

kepentingan masyarakat. Sesungguhnya perusahaan dan masyarakat memiliki

saling ketergantungan yang tinggi. Saling ketergantungan antara perusahaan dan

masyarakat berimplikasi bahwa baik keputusan bisnis dan kebijakan social harus

mengikuti prinsip berbagi keuntungan, yaitu pilihan-pilihan harus menguntungkan

kedua belah pihak. Saling ketergantungan antara sebuah perusahaan dengan

masyarakat memiliki dua bentuk. Pertama, inside-out linkages, bahwa perusahaan

memiliki dampak terhadap masyarakat melalui operasi bisnisnya secaranormal.

Dalam hal ini perusahaan perlu memerhatikan dampak dari semua

aktivitas produksinya, aktivitas pengembangan sumber daya manusia, pemasaran,

penjualan, logistik, dan aktivitas lainnya.Kedua, outside-in-linkages, di mana

kondisi sosial eksternal juga memengaruhi perusahaan, menjadi lebih baik atau

lebih buruk. Ini meliputi kuantitas dan kualitas input bisnis yang tersedia-sumber

daya manusia, infrastruktur transportasi; peraturan dan insentif yang mengatur

kompetisiseperti kebijakan yang melindungi hak kekayaan intelektual, menjamin

transparansi, mencegah korupsi, dan mendorong investasi; besar dan kompleksitas

permintaan daerah setempat; ketersediaan industri pendukung di daerah setempat,

seperti penyedia jasa dan produsen mesin.

Etika sebagai rambu-rambu dalam suatu kelompok masyarakat akan dapat

membimbing dan mengingatkan anggotanya kepada suatu tindakan yang terpuji

(good conduct) yang harus selalu dipatuhi dan dilaksanakan. Etika di dalam bisnis

II. 71

sudah tentu harus disepakati oleh orang-orang yangberada dalam kelompok bisnis

serta kelompok yang terkait lainnya. Secara umum, prinsip-prinsip yang berlaku

dalam bisnis yang baik sesungguhnya tidak bisa dilepaskan dari kehidupan kita

sebagai manusia, dan prinsip-prinsip ini sangat erat terkait dengan sistem nilai

yang dianut oleh masing-masing masyarakat. Prinsip etika bisnis itu sendiri

adalah:49

Bagi masyarakat, praktik CSR yang baik akan meningkatkan nilaitambah

adanya perusahaan di suatu daerah karena akan menyerap tenaga kerja,

meningkatkan kualitas sosial di daerah tersebut. Pekerja lokal yang diserap akan

mendapatkan perlindungan akan hak-haknya sebagai pekerja. Jika ada masyarakat

adat/masyarakat lokal, praktek CSR akan menghargai keberadaan tradisi dan

budaya lokal tersebut. Agar efektif CSR memerlukan peran civil society yang

aktif. Setidaknya terdapat tiga wilayah dimana masyarakat dapat menunjukkan

perannya yaitu:

1) Prinsip otonomi; adalah sikap dan kemampuan manusia untuk mengambil

keputusan dan bertindak berdasarkan kesadarannya tentang apa yang

dianggapnya baik untuk dilakukan.

2) Prinsip kejujuran.

3) Prinsip keadilan.

4) Prinsip saling menguntungkan (mutual benefit principle).

5) Prinsip integritas moral; terutama dihayati sebagai tuntutan internal dalam

diri pelaku bisnis atau perusahaan, agar perlu menjalankan bisnis dengan tetap

menjaga nama baik pimpinan/orang-orangnya maupun perusahaannya.

50

a. Kampanye melawan korporasi yang melakukan praktik bisnis yang tidak

49Majalah Bisnis Dan CSR, Oktober 2007. 50Ibid.

II. 72

sejalan dengan prinsip CSR lewat berbagai aktivitas lobby dan advokasi.

b. Mengembangkan kompetensi untuk meningkatkan kapasitas dan

membangun institusi yang terkait dengan CSR

c. Mengembangkan inisiatif multi-stakeholder yang melibatkan berbagai

elemen dari masyarakat, korporasi dan pemerintah untuk mempromosikan

dan meningkatkan kualitas penerapan CSR

Lewat ISO 26000 terlihat upaya untuk mengakomodir kepentingan semua

stakeholder. Dalam hal ini, peran pemerintah menjadi penting. Pemerintah harus

punya pemahaman menyeluruh soal CSR agar bias melindungi kepentingan yang

lebih luas, yaitu pembangunan nasional. Jangan lupa, dari kacamata kepentingan

ekonomi pembangunan nasional, sektor bisnis atau perusahaan itu ada untuk

pembangunan, bukan sebaliknya. Pemerintah perlu jelas bersikap dalam hal ini.

Misalnya, di satu sisi, mendorong agar perusahaan-perusahaan yang sudah tercatat

di bursa efek harus melaporkan pelaksanaan CSR kepada publik. Cakupan dari

ISO 26000 ini antara lain untuk membantu organisasiorganisasi menjalankan

tanggung jawab sosialnya; memberikan “practicalguidances” yang berhubungan

dengan operasionalisasi tanggung jawab sosial; identifikasi dan pemilihan

stakeholders; mempercepat laporan kredibilitas dan klaim mengenai

tanggungjawab sosial; untuk menekankan kepada hasil performansi dan

peningkatannya; untuk meningkatkan keyakinan dan kepuasan atas konsumen dan

˜stakeholders lainnya; untuk menjadi konsisten dan tidak berkonflik dengan

traktat internasional dan standarisasi ISO lainnya; tidak bermaksud mengurangi

otoritas pemerintah dalam menjalankan tanggung jawab sosial oleh suatu

organisasi; dan, mempromosikan terminologi umum dalam lingkupan tanggung

II. 73

jawab social dan semakin memperluas pengetahuan mengenai tanggung jawab

sosial.51

ISO 26000 sesuatu yang tidak bisa ditawar. Meskipun, dalam rilis yang

diambil dari website resmi ISO, standarisasi mengenai Social Responsibility,

memang dinyatakan sebagai sesuatu yang tidak wajib, tetap saja ini akan menjadi

trend yang akan naik daun di tahun 2009 dan harus dihadapi dengan

sungguh–sungguh, jika ingin tetap eksis dalam dunia usaha di Indonesia. ISO

26000 ini bisa dijadikan sebagai rujukan atau pedoman dalam pembentukan

pedoman prinsip pelaksanaan CSR di Indonesia. Di sisi lain, pemerintah harus

bisa bernegosiasi di level internasional untuk membantu produk Indonesia bisa

masuk ke pasar internasional secara fair. Misalnya lewat mekanisme WTO. Ini

bisa dibarengi dengan upaya pemerintah memberikan bantuan/asistensi pada

perusahaan yangbelum/menjadi perusahaan publik agar penerapan CSR-nya juga

diapresiasi melalui mekanisme selain ISO. Misalnya dengan

menciptakan/menerapkan standard nasional CSR yang lebih bottom-up atau

insentif tertentu yang bias meyakinkan pasar internasional untuk menerima

produk Indonesia.

Pada saat ini CSR dapat dianggap sebagai investasi masa depan bagi

perusahaan. Minat para pemilik modal dalam menanamkan modal di perusahaan

yang telah menerapkan CSR lebih besar, dibandingkan dengan yang tidak

menerapkan CSR. Melalui program CSR dapat dibangunkomunikasi yang efektif

dan hubungan yang harmonis antara perusahaan dengan masyarakat sekitarnya.

51A.B. Susanto, Manajemen Aktual, Jakarta, Grasindo, 1997, hlm.53.

III. 1

BAB III

Analisis Data

“Masa depan kemanusiaan tergantung pada adanya sikap kritis dewasa ini”.

-Max Horkheimer-

Inti dari madzhab kritis dalah kebencian terhadap sistem filosofis yang

tertutup. Menyajikan hal ini sedemikian rupa akan medistorsi kandungannya yang

tak terbatas dan memancing rasa ingin tahu. Bukan suatu kebetuan kalau

Hokheimer memilih megartikulasikan ide-ide nya dalam beberapa essai dan

aforisme daripada dalam beberapa bacaan jilid berat yang menjadi ciri filsafat

Jerman. Meski Adorno dan Mercuse tidak terlalu antusias berbicara melalui

buku-buku yang utuh, mereka pun mengekang dorongan untuk menjadian buku

tersebut melalaui prnyataan-pernyataan filosofis yang bernada positif yang

tersusun secara sistematis. Justru Madzhab kritis, sebagaimana namanya,

diekspresikan melalui serangkaian kritik terhadap pemikir dan tradisi-tradaisi

filsafata lain. Perkembangan kemudian berlangsung melalui dialog, kelahiranya

berkarakter diaektis sebagaimana metode yang inigin diterapkan kepada

fenomena sosial. Hanya dengan menkonfrontirnya dengan gagasan-gagasan

sendiri, sebagai suatu virus bagi sistem yang lain, barulah dia dapat dipahami

sepenuhnya.1

“Hendaklah anda berani berpikir sendiri!”Semboyan ini bergema keras di

abad delapan belas, yang dalam sejarah barat dikenal sebagai jaman Aufklärung,

jaman ketika manusia gandrung dengan akal budinya sendiri.Aufklärung sendiri

1Martin Jay, Sejarah Mazhab Frankfurt: Imajinasi Dialektis dalam Perkembangan Teri Kritis, Kreasi Wacana, Yogyakarta. 2005, hal. 57-58.

III. 2

berarti pencerahan.Nama tadi diberikan pada jaman ini karena manusia mencari

cahaya dalam akal budinya.2

Immanuel Kant telah mengetengahkan semacam definisi. Katanya,

dengan Aufklärung dimaksudkan bahwa manusia keluar dari keadaan tidak akil

baligh, yang dengannya sendiri ia bersalah. Bersalah, karena ia tidak

menggunakan kemungkinan yang ada padanya, yakni akal budinya. Kini tiba

saatnya manusia benar-benar harus menggunakan akal budinya.

3

Tetapi sesungguhnya Aufklärung bukan hanya milik abad delapan belas.

Sejak dua ribu lima ratus tahun yang lalu manusia sudah senantiasa berusaha

untuk mencapai pengertian rasional tentang dirinya dalam alam lingkungannya.

Le miracle Grec (keajaiban yunani) adalah awal dari Aufklärung sendiri.

Maksudnya aneh bin ajaib dalam usia semuda itu dan dalam keadaan seprimitif

itu, manusia sudah tahu betapa agung akal budinya. Bagaikan suatu keajaiban

pada saat suasana masih diliputimitos dan tahyul, filsuf-filsuf pertama Yunani

dari Yonia sudah bisa mencoba memberikan pengertian rasional tentang asal

muasal alam semesta.

4

Aufklärung melaju terus, Plato atau Aristoteles dengan ontologinya, abad

pertengahan dengan metafisiknya, masa modern dengan rasionalismenya.Dan

masa kini dengan empirisme atau positivismenya.Ini semua merupakan usaha

manusia untuk mencapai pengertian rasional tentang dirinya dalam alam

lingkungannya.

5

2 Sindunata, Dilema Usaha Manusia Rasional, Gramedia: Jakarta, 1982, hal.68. 3 Lih.K.Bertens, Ringkasan Sejarah Filasafat,Kanisius: Yogyakarta, 1976, hal.51. 4 Sindunata, Dilema Usaha Manusia Rasional, Gramedia: Jakarta, 1982, hal.69. 5Ibid, Hal.70.

III. 3

Dalam pengertian ini, terselip makna emansipatoris dari Aufklärung,

yakni pembebasan manusia dari kekuatan diluar dirinya demi kedaulatan

dirinya.Sesungguhnya Aufklärung dapat diartikan sebagai usaha manusia

rasional.Sebab dengan pembebasan itulah, manusia mempunyai otonomi atas

dirinya sendiri, dan dengan demikian juga manjadi rasional. Horkheimer sindiri

juga memakai Aufklärung bukan dalam arti yang biasa digunakan yakni “gerakan

abad delapan bales” (masa Aufklärung), melainkan Aufklärung dalam artinya

yang luas yakni:”arti yang paling utama dari pemikiran progresif…yang

bertujuan untuk membebaskan manusia dari ketakutan dan membangun

kedaulatan dirinya”.6

Selanjutnya kami juga akan menggunakan istilah usaha manusia rasional

dalam pengertian Aufklärung dalam artinya yang luas tersebut. Jadi istilah usaha

manusia rasional itu tidak membatasi diri pada Aufklärung abad delapan belas,

melainkan Aufklärung pada umumnya, yang berarti usaha manusia untuk

mencapai pengertian rasional yang emansipatoris.Seluruh tahapan madzhab kritis

Horkheimer dengan demikian juga termasuk dalam usaha manusia rasional.Sebab

madzhab kritis juga hendak mengemansipasikan manusia dari keadaan irasional

masyarakat jaman ini.

7

Disini Horkheimer berbicara sebagai seorang marxis, ini mengandaikan

bahwa orang tidak perlu terlebih dulu menanyakan apa sesungguhnya

keirasionalan masyarakat itu. Sebab bagi kalangan marxis, keirasionalan

6Max Horkheimer dan Theodore W. Adorno.Dialectic of Enlightment, translated by John Cumming. Allen Lane: London, 1973Hal. 3. Bdk Leszek Kolakowski, Main Current of Marxism, Vol. II:The Breakdown, Oxford: Clarendon Press, 1978, hal. 372-373. 7 Sindunata, Dilema Usaha Manusia Rasional, Gramedia: Jakarta, hal.71.

III. 4

masyarakat itu sudah terang dan jelas dengan sendirinya dan diandaikan begitu

saja dalam pemikiran mereka.Seperti rekannya, persoalan pokok Horkheimer

hanyalah bagaimana membangun teori yang bisa membedol keirasionalan

masyarakat itu.8

Dalam artikelnya ini Horkheimer memperlihatkan bahwa pandangan yang

sudah umum berlaku sejak Descartes sampai saat ini (teori tradisional) gagal

menjadi teori emansipatoris. Maka ia mencoba menyodorkan pandangannya yang

baru (Madzhab kritis), yang pada hematnya bakal banar-benar menjadi teori

emansipatoris.

9

Kata kritik sebenarnya sudah dipakai sejak masa Renaissance (1350-

1600). Dalam masa itu, masyarakat Eropa membangkitkan kembali

III.1 Pengertian “Kritik” Dalam Tradisi Madzhab Kritis

Kritik merupakan konsep kunci untuk memahami madzhab

kritis.Kritik juga merupakan suatu program bagi Mazhab Frankfurt untuk

merumuskan suatu teori yang bersifat emansipatoris atas kebudayaan dan

masyarakat modern. Kritik mereka diarahkan pada berbagai bidang kehidupan

masyarakat modern, seperti seni, ilmu pengetahuan, ekonomi, politik dan

kebudayaan pada umumnya yang telah menjadi rancu karena diselubungi oleh

ideologi yang menguntungkan pihak tertentu sekaligus mengasingkan

manusia individual dari masyarakatnya.

8 Ibid. 9 Uraian Horkheimer tentang teori Tradisional dan teori Kritis seluruhnya terdapat dalam Max Horkheimer, Critical Theory, Selected Essays, translated by Matthew J. O’Connel cs., New York: Seabury Press, 1972, hal.188-252.

III. 5

kebudayaan Yunani dan Romawi dan karena banyak inspirasi rasional digali

darinya, kecenderungan berpikir pada masa ini telah mulai mengusir

kegelapan dogmatis abad pertengahan (600-1400) yang dikuasai cara berpikir

gaya gereja, dimana faktor iman dan kepatuhan kepada otoritas gereja

mendapat porsi besar. Dalam masa Renaissance, para sarjana dan seniman

menyibukkan diri dengan teks sastra dari zaman Yunani-Romawi termasuk

Kitab Suci.Mereka mencoba memberi penjelasan dan penilaian atas teks

tersebut.

Sebagaimana lazimnya waktu itu, penjelasan semacam itu juga

dipergunakan untuk menyerang atau mempertahankan ajaran iman

tertentu.Seni menilai dan menjelaskan teks ini menjadi awal hermeneutika

Kitab Suci dan akhirnya menjadi seni kritik yang lepas dari kegiatan

pengetahuan yang dilatarbelakangi iman.Lambat laun kritik sastra ini menjadi

seni kritik yang cenderung untuk selalu rasional.Jika madzhab kritis

mempergunakan konsep kritik, hal itu terutama dihubungkan dengan konsep

kritik yang dikembangkan pada masa setelah Renaissance, yaitu masa

Aufklarung (abad ke-17 dan 18) dan abad ke-19.

Pada masa itu muncul filsuf-filsuf seperti Kant, Hegel, dan Marx yang

oleh Mazhab Frankfurt dipandang sebagai filsuf-filsuf kritis.Pada akhir abad

sebelumnya dan permulaan abad ini, muncul seorang pemikir yang kendati

bukan seorang filsuf namun bagi Mazhab Frankfurt dipandang sebagai

pemikir kritis, pemikir kritis itu adalah Sigmund Freud.Jika madzhab kritis

mempergunakan kata “kritik”, hal tersebut langsung dikaitkan pada keempat

III. 6

pemikir kritis tersebut.Dengan demikian, kritik dipahami dalam arti Kantian,

Hegelian, Marxian, dan Freudian.

III.1.1 Kritik Dalam Arti Kantian

Menurut madzhab kritis, Imannuel Kant adalah seorang pemikir kritis

karena ia mempertanyakan the condition of possibility dari pengetahuan kita

sendiri. Para filsuf sebelum Kant menyibukkan diri dalam diskusi yang tidak

kunjung selesai mengenai isi pengetahuan. Misalnya mereka berpretensi untuk

mengetahui apa itu kebebasan dan kekekalan jiwa lalu berusaha

merumuskannya secara ontologis, Kant tidak ingin mempersoalkan semua itu

melainkan mengarahkan diri pada rasio kita sendiri yang menjadi alat untuk

menyelidiki perkara metafisis tersebut.

Kant menyelidiki kemampuan dan batas rasio dengan tujuan untuk

menunjukkan sampai sejauh mana klaim rasio kita tersebut dapat dianggap

benar.Jalan yang ditempuh oleh Kant ini disebutnya sebagai kritisisme dalam

perlawanannya dengan jalan yang ditempuh para filsuf sebelumnya yang

disebut dogmatisme. Kant menulis,

“Kritik saya … ditujukan pada dogmatisme saja, yaitu pengandaian bahwa mungkinkah membuat suatu kemajuan dengan pengetahuan murni (filosofis) yang terdiri atas konsep dan yang diarahkan oleh prinsip, seperti yang telah lama dijalankan oleh rasio, tanpa terlebih dahulu menyelidiki dengan cara apa dan dengan hak apa rasio sampai memiliki konsep dan prinsip itu. Karena itu, dogmatisme adalah jalan yang dipakai oleh rasio murni tanpa kritik lebih dahulu atas kemampuannya sendiri”10

Dengan mempertanyakan syarat kemungkinan pengetahuan, Kant

menguji sahih tidaknya bentuk pengetahuan, seperti fisika dan metafisika. Di

.

10 ImannuelKant, Critique of Pure Reason, New York, Doubleday & Company Inc, 1996, Hlm. xiii.

III. 7

sini Kant dengan epistemologinya ingin menunjukkan bahwa rasio dapat

menjadi kritis terhadap kemampuannya sendiri dan dapat menjadi “pengadilan

tinggi” terhadap hasil refleksinya sendiri, yaitu ilmu pengetahuan dan

metafisika. Kritik dalam pengertian Kantian lalu berarti kegiatan menguji

sahih atau tidaknya klaim pengetahuan dengan tanpa prasangka dan kegiatan

ini dilakukan oleh rasio belaka.

III.1.2 Kritik dalam arti Hegelian

Menurut madzhab kritis, Hegel mengembangkan konsep kritik dengan

cara yang berbeda dari Kant, bahkan Hegel mengkritik epistemologi Kant.

Kritik Kant bersifat transendental dan dengan cara itu ia ingin meletakkan

rasio yang kritis itu di atas suatu dasar yang pasti dan tak tergoyahkan. Rasio

semacam ini tidak mengenal waktu, netral, dan ahistoris. Hegel yang kritis

terhadap kritisisme Kant ini menempatkan kegiatan pengetahuan kita dan

rasio di dalam konteks proses perkembangan pengetahuan dalam proses

sejarah. Dalam istilah Hegel, rasio ditempatkan di dalam rangka proses

pembentukan diri (Bildungsprozess)11

Dalam pandangan Hegel, rasio bersifat kritis tidak dengan cara

transendental dan ahistoris, seakan-akan rasio tersebut telah sempurna pada

dirinya. Rasio menjadi kritis justru kalau menyadari asal-usul

pembentukannya sendiri. Rasio bukanlah kesadaran lengkap yang bebas dari

rintangan-rintangan dalam sejarah umat manusia dan alam, melainkan

dari rasio.

11 Yang dimaksud dengan Bildungsprozess atau Self-formative process adalah proses sejarah kebudayaan atau proses pembudayaan manusia. Kata Bildung berarti pendidikan kepribadian.

III. 8

merupakan proses menjadi semakin sadar justru di dalam rintangan-rintangan

tersebut.

Jika rasio menyadari rintangan-rintangan mana yang menghalanginya

untuk menjadi semakin rasional dan semakin sadar, rasio melangkah ke

kualitas rasionalitas yang lebih tinggi. Menyadari adanya rintangan tersebut,

dalam pandangan Hegel sama dengan menyadari asal-usul kesadaran. Dengan

kata lain, kesadaran rasional kita akan sesuatu yang terbentuk justru setelah

kita merefleksikan rintangan tersebut dan dengan terbentuknya kesadaran itu

kita dapat membebaskan diri dari rintangan itu untuk menjadi semakin

rasional. Proses rasio menjadi semakin rasional dalam sejarah ini

digambarkan oleh Hegel dalam suatu ilustrasi yang terkenal, yaitu “dialektika

tuan dan budak”12

Dalam konflik dan kontradiksi serta rintangan yang menuntut korban

ini, manusia berusaha memahami siapa dirinya yang sebenarnya atau dengan

kata lain rasio berjuang untuk menyadari dirinya dan menjadi semakin

rasional dan bebas. Contohnya adalah proses penyadaran rasio yang diperoleh

.

Untuk menggambarkan maksudnya, Hegel menunjuk beberapa contoh

di dalam sejarah bagaimana rasio dan proses kesadaran manusia menjadi

makin rasional. Bagi Hegel, sejarah tak lain dari pergumulan rasio

merefleksikan dan membebaskan dirinya dari rintangan untuk menjadi

semakin sadar. Dalam sejarah, zaman yang satu berperang melawan zaman

yang lain, bangsa melawan bangsa, dan kebudayaan melawan kebudayaan.

12 G.W.F Hegel, Phenomenology of Spirit, Clarendon Press: Oxford, 1977, Hlm. 111-119

III. 9

dalam revolusi Prancis, msekipun revolusi ini menghasilkan korban yang

tidak sedikit, berkat pertentangan inilah warga Negara memperoleh

kebebasannya dari kekuasaan monarki absolut. Kesadaran demokratis yang

diperoleh dalam revolusi Prancis tak lain dari hasil refleksi dan perjuangan

rasio sendiri untuk menyadari adanya rintangan untuk menjadi semakin bebas

dan sadar. Proses sejarah manusia dalam memahami siapa dirinya, apa itu

masyarakat, kebudayaan dan alam semesta adalah proses pembentukan diri

rasio.

Dengan demikian, kita sampai pada kritik arti Hegelian. Kritik tidak

lain dari refleksi atau refleksi diri atas rintangan, tekanan, dan kontradiksi

yang menghambat proses pembentukan diri dari rasio dalam sejarah. Dengan

kata lain, kritik juga berarti refleksi atas proses menjadi sadar atau refleksi

atas asal-usul kesadaran. Secara singkat, kritik berarti negasi atau dialektika

karena bagi Hegel kesadaran timbul melalui rintangan yaitu dengan cara

menegasi atau mengingkari rintangan tersebut.

III.1.3 Kritik dalam arti Marxian

Jika Hegel mengembangkan konsep kritik dalam konteks filsafat

idealismenya, Marx mengembangkan konsep ini dalam rangka

materialismenya.Dalam pandangan Marx, kritik dalam filsafat Hegel masih

kabur dan membingungkan karena Hegel memahami sejarah secara

abstrak.Sejarah bukanlah sejarah konkret dari manusia yang berdarah daging,

melainkan sejarah kesadaran atau sejarah rasio. Dengan cara idealistis tersebut

III. 10

seperti juga dengan cara transendental, kritik tidak menghasilkan apa-apa bagi

praxis karena sasaran pragmatisnya tidak jelas.

Marx mendaratkan idealisme Hegel ini menjadi materialisme sejarah

yang bersifat praktis emasipatoris dan kebersamaan dengan itu konsep kritik

diterapkan dalam sejarah konkret dari masyarakat yang nyata13

13KarlMarx, Early Writings, Penguin Books: London, I981, Hlm. 384-385.

. Dalam

pandangan Marx, apa yang terjadi dalam masyarakat dan sejarah adalah orang

yang bekerja dengan alat kerja untuk mengolah alam. Dalam masyarakat, alat

kerja, pekerja, dan pengalaman kerja merupakan kekuatan produksi

masyarakat, sedangkan hubungan antarpekerja dalam proses produksi tersebut

merupakan hubungan produksi. Jika kekuatan produksi berkembang,

hubungan produksi juga turut berubah. Misalnya, sistem gotong royong di

antara petani tradisional dalam mengerjakan sawahnya akan berubah jika

teknologi pertanian baru ditetapkan dalam masyarakat petani tersebut.

Menurut Marx, sejarah tak lain dari sejarah perkembangan tenaga

produksi dan hubungan produksi, atau dengan kata lain sejarah ekonomi,

proses produksi dalam masyarakat. Dalam praktik, hubungan produksi ini

adalah hubungan kekuasaan antara pemilik modal di satu pihak dan kaum

buruh di pihak lain. Untuk menumpuk keuntungan dan memenangkan

persaingan pasar, para pemilik modal memeras kaum buruh dengan pekerjaan

yang harus mereka lakukan demi menyambung hidup.Akan tetapi, pekerjaan

di dalam pabrik kaum kapitalis terebut adalah pekerjaan yang tidak manusiawi

dan mengasingkan kaum buruh.

III. 11

Hubungan hak milik dan penguasaan ini bersifat konservatif dan ingin

dipertahankan terus karena menguntungkan pihak pemilik modal.Hal

sebaliknya terjadi pada kekuatan produksi, kekuatan produksi diperbaiki,

dirasionalisasikan, ditingkatkan efisiensi dan efektivitasnya.Karena perbedaan

sifat antara hubungan produksi yang konservatif dan kekuatan produksi yang

progresif, terjadilah kontradiksi secara terus menerus di masyarakat.Dalam

pengertian inilah Marx mendaratkan dialektika Hegel ke dalam masyarakat

nyata.

Dalam pandangan Marx, kontradiksi dalam masyarakat tersebut juga

mencerminkan pertentangan kepentingan antara kaum kapitalis dan kelas

buruh atau kaum proletariat. Kelas kapitalis ingin melestarikan kekuasaannya

sementara kaum proletar ingin membebaskan diri dari penindasan tersebut

dengan cara menghapus hak milik pribadi atas alat produksi. Ketika

kontradiksi makin menghebat, perjuangan kelas proletariat untuk

mengemansipasikan diri melalui revolusi sosial tidak dapat dicegah lagi.

Menurut Marx setelah revolusi terjadi, sistem ekonomi masyarakat

berubah dan bersamaan dengan itu bentuk kesadaran sosial juga berubah

sebab perubahan pada basis ekonomi mau tak mau menentukan perubahan

pada suprastruktur kesadaran.

“pada tahap tertentu perkembangannya, kekuatan produksi material masyarakat bertegangan dengan hubungan produksi yang ada … di dalamnya keduanya sampai sekarang bergerak. Dari bentuk perkembangan kekuatan produksi ini, hubungan ini sekarang berubah menjadi belenggunya, mulailah suatu tahap revolusi sosial. Dengan

III. 12

perubahan basis ekonomi, seluruh suprastruktur raksasa itu dijungkirbalikkan ….”14

Freud memberi pengertian yang lebih lengkap terhadap konsep kritik

meskipun ia sendiri tidak secara eksplisit menyebut konsep ini. Madzhab

kritis berupaya mengintegrasikan konsep kritis dari Freud mengenai gangguan

psikis dan naluri ke dalam kritik ideologi Marx. Dengan cara demikian, suatu

. Dari sini dapat kita lihat bahwa dalam pandangan Marx, pengetahuan atau

rasio kita ditentukan oleh faktor ekonomis masyarakat dan kesadaran baru

yang timbul hanyalah akibat langsung dari penataan baru atas proses produksi

sosial.

Menurut madzhab kritis, kritik dalam konteks materialisme sejarah ini

berarti praksis revolusioner yang dilakukan kaum proletariat atau perjuangan

kelas.Kritik berarti usaha mengemansipasikan diri dari penindasan dan

alienasi yang dihasilkan oleh hubungan kekuasaan di masyarakat. Akan tetapi

sebagaimana tampak dari teori Marx yang membuka kesadaran akan adanya

mekanisme obyektif hubungan penindasan dan menunjukkan cara

pemecahannya, kritik dalam arti Marxian juga berarti teori dengan tujuan

emansipatoris. Dengan menyingkapkan kenyataan sejarah dan masyarakat

lewat analisisnya tersebut, Marx tidak sekadar melukiskan masyarakat

melainkan juga hendak membebaskannya.Kritik sebagai teori dan praksis

emansipatoris inilah pengertian kritik dalam arti Marxian.

III.1.4 Kritik dalam arti Freudian

14KarlMarx, “Preface of a Contribution to the Critique of Political Economy”. Dalam Marx and Engels.Selected Works. Vol.1. Foreign Languages Publishing House: Moscow, 1962, Hlm. 363.

III. 13

kritik yang bersifat kemasyarakatan mendapat pendasaran psikologisnya. Para

pendiri madzhab kritis generasi pertama yang melakukan integrasi ini adalah

Horkheimer, dan khususnya Herbert Marcuse.Erich Fromm, meskipun tidak

dapat dimasukkan ke dalam generasi pertama madzhab kritis juga turut

menyumbangkan sesuatu yang berharga bagi pengintegrasian psikoanalisis

Freud ke dalam materialisme sejarah Marx.

Sebagai seorang psikoanalis, Freud menghadapi pasien yang

mengalami gangguan kejiwaan seperti histeria, fobia, neurosis, dan berbagai

macam penyakit psikopatologis lainnya.Subyek dari psikoanalisis Freud

tersebut adalah manusia yang menipu diri tentang dirinya sendiri karena

adanya mekanisme tak sadar dalam dirinya berupa tekanan psikis.Konflik

psikis ini muncul sebagai akibat represi terhadap naluri yang penyalurannya

dilarang di masyarakat.Karena konflik internal ini, pasien membuat ilusi dan

delusi serta mekanisme pertahanan diri tak sadar.

Dengan menciptakan gambaran palsu, ilusi, delusi, dan melakukan

mekanisme pertahanan diri, subyek merasa seolah-olah memperdamaikan

konfliknya, akan tetapi sesungguhnya hal tersebut hanya penipuan diri belaka

dan penindasan diri oleh dirinya sendiri. Dengan demikian, subyek

psikoanalisis Freud seperti juga kaum proletariat pada teori Marx berada

dalam situasi ketidakbebasan. Hanya saja pada pasien Freud, ketidakbebasan

subyek itu adalah ketidakbebasan psikis.

Situasi represi, ketertindasan psikis, penipuan diri, gambaran-

gambaran palsu yang terbentuk ini oleh generasi pertama madzhab

III. 14

kritisditerapkan ke dalam kenyataan sosial, khususnya pada ideologi dan

hubungan kekuasaan.Apa yang terjadi pada taraf individual diterapkan pada

taraf sosial. Dalam arti Freudian, kritik adalah refleksi baik dari pihak

individu maupun masyarakat atas konflik psikis yang menghasilkan represi

dan ketidakbebasan internal sehingga dengan cara refleksi tersebut masyarakat

dan individu dapat membebaskan diri dari kekuatan asing yang mengacaukan

kesadarannya. Dengan singkat dapat dikatakan bahwa kritik tak lain dari

ketidaksadaran menjadi kesadaran.

Keempat arti kritik tersebut yang dimaksudkan oleh para pendiri

madzhab kritis jika mereka menganalisis kenyataan ideologis dari masyarakat

zaman sekarang. Dengan sebutan yang lazim diberikan pada keempat macam

kritik tersebut dapat dikatakan bahwa mereka melontarkan apa yang disebut

kritik ideologi, karena mereka terutama memusatkan diri pada kenyataan

ideologis dari masyarakat yang berkaitan langsung dengan kenyataan material

masyarakat.

III.2 Kritik Madzhab kritis Atas CSR di Indonesia

III.2.1 CSR Menjadi Strategi Pembangunan di Indonesia

Di Indonesia, kini kita menyaksikan perbincangan yang terus berlanjut

seputar konsep dan perjalanan CSR ini. Ada persetujuan dan pula

pertentangan.Terlebih pihak pemerintah secara khusus membuatkan UU tentang

tanggung jawab sosial ini, yakni dalam UU Perseroan Terbatas Pasal74.Terlepas

dari itu, isu tentang Corporate Social Responsibility (CSR) memang kian hangat.

III. 15

Persoalannya bukan lagi melulu dari aspek sosial, tetapi sudah jauh

merasuk ke aspek bisnis dan penyehatan orporasi.Lama-kelamaan, CSR tidak lagi

dipandang sebagai keterpaksaan, melainkan sebagai kebutuhan. Dari yang semula

dianggap sebagai cost, kini mulai diposisikan sebagai investasi. Dalam sebuah

ulasan di Majalah Marketing (edisi 11/2007) menegaskan tentang mengapa pula

perusahaan harus berinvestasi pada kegiatan CSR?Apakah lantaran moralitas

semata atau dia sudah menjadi marketing tools yang efisien?Pertanyaan ini

menjadi pertanyaan manajemen dan divisi marketing sewaktu mempersiapkan

strategi CSR.Akan tetapi, perdebatan paling baru tentang CSR adalah soal imbas

program tersebut pada profit perusahaan.Para pelaku dituntut untuk ikut

memikirkan program yang mampu mendukung sustainability perusahaan dan

aktivitas CSR itu sendiri.

Dalam hal ini, strategi perusahaan mesti responsif terhadap kondisi-

kondisiyang mempengaruhi bisnis, seperti perubahan global, tren baru di pasar,

dan kebutuhan stakeholdersyang belum terpenuhi.15

15 Majalah Marketing. Edisi 11/2007.

Berkaitan dengan masalah

imbas tadi, Global CSR Survey paling tidak bisa memperlihatkan betapa

pentingnya CSR.Bayangkan, dalam survey di 10 negara tersebut, mayoritas

konsumen (72%) mengatakan sudah membeli produk dari suatu perusahaan serta

merekomendasikan kepada yang lainnya sebagai respon terhadap CSR yang

dilakukan perusahaan tersebut.Sebaliknya,sebanyak 61% dari mereka sudah

memboikot produk dari perusahaan yang tidak punya tanggung jawab sosial.CSR

kini bukan lagi sekadar program charity yang tak berbekas. Melainkan telah

III. 16

menjadi pedoman untuk menciptakan profit dalam jangka panjang (CSR for

profit). Karena itu,hendaknya kegiatan sosial yang dijalankan harus berhubungan

dengan kepentingan perusahaan dan harus mendukung core business

perusahaan.16

Philip Kotler, dalam buku CSR: Doing the Most Good for Your Company

and Your Cause, membeberkan beberapa alasan tentang perlunyaperusahaan

menggelar aktivitas itu. Disebutkannya, CSR bisa membangunpositioning merek,

mendongkrak penjualan, memperluas pangsa pasar,meningkatkan loyalitas

karyawan, mengurangi biaya operasional, serta meningkatkan daya tarik korporat

di mata investor.

17 Menurut Godo Tjahjono, Chief Consulting Officer Prentis,

CSR memang punya beberapa manfaat yang bisa dikategorikan dalam empat

aspek, yaitu: license to operate, sumber daya manusia, retensi, dan produktivitas

karyawan. Dari sisi marketing, CSR jugabisa menjadi bagian dari brand

differentiation.18

Kini kita menyaksikan dan mengharap gairah perusahaanperusahaan

raksasa dunia untuk menerapkan program kepedulian sosial. Semoga ini tak hanya

jadi sekedar angin segar ditengah kekosongan issu saja, melainkan mampu

menjadi virus baik yang menyebar cepat di Indonesia.

19

Istilah CSR di Indonesia semakin populer digunakan sejak tahun 1990-an.

Beberapa perusahaan sebenarnya telah lama melakukan CSA (Corporate Social

16 Ibid 17 Philip Kotler. 2007. Doing the Most Good for Your Company and Your Cause. New York, Thomas Dunne Books.hal. 33. 18 Majalah Marketing, Edisi 11/2007 19Di sarikan dari berbagai sumber – Cikeas Magazine ”CSR dari mana datangnya”, Vol 1 No4/07, Majalah Marketing, ”CSR for Profit”, edisi 11/2007, dan Societa, “Sejarah Panjang Konsep CSR”, 12/2006.

III. 17

Activity) atau “aktivitas sosial perusahaan”. Walaupun tidak menamainya sebagai

CSR, secara faktual aksinya mendekati konsep CSR yang merepresentasikan

bentuk “peran serta” dan “kepedulian” perusahaan terhadap aspek sosial dan

lingkungan. Melalui konsep investasi social perusahaan “seat belt”, sejak tahun

2003 Departemen Sosial tercatat sebagai lembaga pemerintah yang aktif dalam

mengembangkan konsep CSR dan melakukan advokasi kepada berbagai

perusahaan nasional.

Kepedulian sosial perusahaan terutama didasari alasan bahwasanya

kegiatan perusahaan membawa dampak (for better or worse), bagi kondisi

lingkungan dan sosial-ekonomi masyarakat, khususnya di sekitar perusahaan

beroperasi.Selain itu, pemilik perusahaan sejatinya bukan hanya shareholdersatau

para pemegang saham.Melainkan pula stakeholders, yakni pihak-pihak yang

berkepentingan terhadap eksistensi perusahaan.20

20 A.B.Susanto, Budaya Perusahaan, PT Elex Media Komputindo, Jakarta, 1997, hlm.55

Stakeholders dapat mencakup

karyawan dan keluarganya,pelanggan, pemasok, masyarakat sekitar perusahaan,

lembaga-lembaga swadaya masyarakat, media massa dan pemerintah selaku

regulator. Jenis dan prioritas stakeholdersrelatif berbeda antara satu perusahaan

dengan lainnya, tergantung pada core bisnis perusahaan yang bersangkutan.

Sebagai contoh, PT Aneka Tambang, Tbk. dan Rio Tinto menempatkan

masyarakat dan lingkungan sekitar sebagai stakeholdersdalam skala prioritasnya.

Sementara itu, stakeholdersdalam skala prioritas bagi produk konsumen seperti

Unilever atau Procter & Gamble adalah para customer-nya.

III. 18

Salah satu bentuk dari tanggung jawab sosial perusahaan yang sering

diterapkan di Indonesia adalah community development. Perusahaan yang

mengedepankan konsep ini akan lebih menekankan pembangunan social dan

pembangunan kapasitas masyarakat sehingga akan menggali potensimasyarakat

lokal yang menjadi modal sosial perusahaan untuk maju dan berkembang. Selain

dapat menciptakan peluang-peluang sosial-ekonomi masyarakat, menyerap tenaga

kerja dengan kualifikasi yang diinginkan, cara ini juga dapat membangun citra

sebagai perusahaan yang ramah dan pedulilingkungan. Selain itu, akan tumbuh

rasa percaya dari masyarakat. Rasa memiliki perlahan-lahan muncul dari

masyarakat sehingga masyarakatmerasakan bahwa kehadiran perusahaan di

daerah mereka akan berguna dan bermanfaat.

Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas yang

disahkan DPR tanggal 20 Juli 2007 menandai babak baru pengaturan CSR di

negeri ini. Keempat ayat dalam Pasal 74 UU tersebut menetapkan kewajiban

semua perusahaan di bidang sumber daya alam untuk melaksanakan tanggung

jawab sosial dan lingkungan.Pasal 74 tentang Tanggung Jawab Sosial dan

Lingkungan muncul pada saat pembahasan ditingkat Panja dan Pansus DPR.Pada

konsep awal yang diajukan pemerintah, tidak ada pengaturan seperti itu. Saat

dengar pendapat dengan Kadin danpara pemangku kepentingan lain, materi pasal

74 ini pun belum ada. Lalu sekitar 28 asosiasi pengusaha termasuk Kadin dan

Apindo, keberatan terhadap RUU PT. Mereka meminta pemerintah dan DPR

membatalkan pengaturan tentang kewajiban tanggung jawab sosial dan

lingkungan dalam RUU PT.

III. 19

Substansi dalam ketentuan pasal 74 Undang-Undang nomor 40 tentang

Perseroan Terbatas mengandung makna, mewajibkan tanggung jawab sosial dan

lingkungan mencakup pemenuhan peraturan perundangan terkait, penyediaan

anggaran tanggung jawab sosial dan lingkungan, dankewajiban melaporkannya.

Mengikuti perkembangan berita di media massa yang menyangkut pembahasan

pasal 74, sesungguhnya rumusan itu sudah mengalami penghalusan cukup

lumayan lantaran kritikan keras para pelaku usaha. Tadinya, tanggung jawab

sosial dan lingkungan tidak hanya berlaku untuk perusahaan yang bergerak di

bidang atau berkaitan dengan sumber daya alam, tetapi berlaku untuk semua

perusahaan, tidak terkecuali perusahaan skala UKM, baru berdiri, atau

masihdalam kondisi merugi.

Ternyata lingkup dan pengertian tanggung jawab sosial dan lingkungan

yang dimaksud pasal 74 UU PT berbeda dengan lingkup dan pengertian CSR

dalam pustaka maupun definisi resmi yang dikeluarkan oleh lembaga

internasional (The World Bank, ISO 26000 dan sebagainya) serta praktek yang

telah berjalan di tanah air maupun yang berlaku secara internasional.Lalu

sebenarnya seperti apa best practice mengenai CSR ini? Saat ini ISO

(International Organization for Standardization), tengah menggodok konsep

standar CSR yang diperkirakan rampung pada akhir 2009. Standar itu dikenal

dengan nama ISO 26000 Guidance on Social Responsibility. Dengan standar ini,

pada akhir 2009 hanya akan dikenal satu konsep CSR. Selama ini dikenal banyak

konsep mengenai CSR yang digunakan oleh berbagai lembaga internasional dan

para pakar. Pada dasarnya kegiatan CSR sangat beragam bergantung pada proses

III. 20

interaksisosial, bersifat sukarela didasarkan pada dorongan moral dan etika, dan

biasanya melebihi dari hanya sekedar kewajiban memenuhi peraturan perundang-

undangan.

Oleh karena itu, didalam praktek, penerapan CSR selalu disesuaikan

dengan kemampuan masing-masing perusahaan dan kebutuhan

masyarakat.Idealnya terlebih dahulu dirumuskan bersama antara 3 pilar yakni

dunia usaha, pemerintah dan masyarakat setempat dan kemudian dilaksanakan

sendiri oleh masing-masing perusahaan.Dengan demikian adalah tidak mungkin

untuk mengukur pelaksanaan CSR.Selain itu, pelaksanaan CSR merupakan bagian

dari good corporate governance yang mestinya didorong melalui pendekatan etika

maupun pendekatan pasar (insentif).Pendekatan regulasi sebaiknya dilakukan

untuk menegakkan prinsip transparansi dan fairness dalam kaitan untuk

menyamakan level of playing field pelaku ekonomi.Sebagai contoh, UU dapat

mewajibkan semua perseroan untuk melaporkan, bukan hanya aspek keuangan,

tetapi yang mencakup kegiatan CSR dan penerapan GCG.

Seringkali kepentingan perusahaan diseberangkan dengan kepentingan

masyarakat.Tak banyak yang menyadari bahwa sesungguhnya perusahaan dan

masyarakat memiliki saling ketergantungan yang tinggi.Saling ketergantungan

antaraperusahaan dan masyarakat berimplikasi bahwa baik keputusan bisnis dan

kebijakan sosial harus mengikuti prinsip berbagi manfaat (shared value), yaitu

pilihan-pilihan harus memberi manfaat kedua belah pihak.Lebih menarik lagi

ternyata terdapat inkonsistensi antara pasal 1 dengan pasal 74 serta penjelasan

pasal 74 itu sendiri.Pada pasal 1 Undang-Undang nomor 40 Tahun 2007 tentang

III. 21

Perseroan Terbatas memuat “… komitmen Perseroan Terbatas untuk berperan

serta”, sedangkan pasal 74 ayat 1 “… wajib melaksanakan Tanggung Jawab

Sosial dan Lingkungan”.Pada pasal 1 mengandung makna pelaksanaan CSR

bersifat sukarela sebagai kesadaran masing-masing perusahaan atau tuntutan

masyarakat.Sedangkan pasal 74 ayat 1 bermakna suatu kewajiban.Lebih jauh lagi

kewajiban TJSL pada pasal 74 ayat 1 tidak memiliki keterkaitan langsung dengan

sanksinya pada pasal 74 ayat 3.Sanksi apabila tidak melaksanakan tanggung

jawab sosial dan lingkungan tidak diatur dalam UU PT tetapi digantungkan

kepada peraturan perundang-undangan lain yang terkait.

Demikian juga pada pasal 74 tersirat bahwa PT yang terkena tanggung

jawab sosial dan lingkungan, dibatasi namun dalam penjelasannya dapat diketahui

bahwa semua perseroan terkena kewajiban tanggung jawab sosial dan lingkungan,

karena penjelasan pasal 74 menggunakan penafsiran yang luas. Hal ini dapat

dilihat pada bunyi pasal 74 ayat 1 dimana perseroan yang menjalankan kegiatan

usahanya dibidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib

melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan, sedangkan pada penjelasan

pasal 74 menyatakan bahwa yang dimaksud dengan perseroan yang menjalankan

kegitan usahanya di bidang sumber daya alam adalah perseroan yang kegiatan

usahanya mengelola dan memanfaatkan sumber daya alam. Berikutnya yang

dimaksud dengan perseroan yang menjalankan usahanya berkaitan dengan sumber

daya alam adalah perseroan yang tidak mengelola dan tidak memanfaatkan

sumber daya alam tetapi kegiatan usahanya berdampak pada fungsi sumber daya

III. 22

alam.Dengan demikian jelas tidak ada satupun perseroan terbatas yang tidak

berkaitan atau tidak memanfaatkan sumber daya alam.

Kritik yang muncul dari kalangan pebisnis bahwa CSR adalah konsep

dimana perusahaan, sesuai kemampuannya, melakukan kegiatan yang

meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan lingkungan hidup.Kegiatan-kegiatan

itu adalah diluar kewajiban perusahaan yang umum dan sudah ditetapkan dalam

peraturan perundangan formal, seperti ketertiban usaha, pajak atas keuntungan

dan standar lingkungan hidup.Mereka berpendapat, jika diatur, selain

bertentangan dengan prinsip kerelaan, CSR juga akan memberi beban baru kepada

dunia usaha. CSR adalah konsep yang terus berkembang baik dari sudut

pendekatan elemen maupun penerapannya. CSR sebenarnya merupakan proses

interaksi sosial antara perusahaan dan masyarakatnya. Perusahaan melakukan

CSR bisa karena tuntutankomunitas atau karena pertimbangannya

sendiri.Bidangnya pun amat beragam ada pada kondisi yang berbeda-beda.

Proses regulasi yang menyangkut kewajiban CSR perlu memenuhi

pembuatan peraturan yang terbuka dan akuntabel. Pertama, harus jelas apa yang

diatur. Lalu, harus dipertimbangkan semua kenyataan di lapangan, termasuk

orientasi dan kapasitas birokrasi dan aparat penegak hukum serta badan-badan

yang melakukan penetapan dan penilaian standar.Yang juga harus diperhitungkan

adalah kondisi politik, termasuk kepercayaan pada pemerintah dan perilaku para

aktor politik dalam meletakkan masalah kesejahteraan umum. Ini artinya harus

melalui dialog bersama para pemangkukepentingan, seperti pelaku usaha,

kelompok masyarakat yang akan terkena dampak,dan organisasi pelaksana.

III. 23

Semua proses ini tidak mudah. Itu sebabnya di negara-negara Eropa yang

secara institusional jauh lebih matang dari pada Indonesia, proses regulasi yang

menyangkut kewajiban perusahaan berjalan lama dan hati-hati. European Union

sebagai kumpulan negara yang paling menaruh perhatian terhadap CSR, telah

menyatakan sikapnya, CSR bukan sesuatu yang akan diatur.21

Dengan diatur dalam suatu UU, CSR kini menjadi tanggung jawab legal

dan bersifat wajib. Namun, dengan asumsi bahwa akhirnya kalangan bisnis bias

menyepakatinya makna sosial yang terkandung didalamnya, gagasan CSR

mengalami distorsi serius. Pertama, sebagai sebuah tanggung jawab sosial, UU ini

telah mengabaikan sejumlah prasyarat yang memungkinkan terwujudnya makna

dasar CSR tersebut, yakni sebagai pilihan sadar, adanya kebebasan, dan kemauan

bertindak. Mewajibkan CSR, apa pun alasannya, jelas memberangus sekaligus

ruang-ruang pilihan yang ada, berikut kesempatan masyarakat mengukur derajat

pemaknaannya dalam praktik.

22

21 Meuthia Ganie Rochman, “Meregulasi Gagasan CSR”, Kompas 10 Agustus 2007. 22 Robert Endi Jaweng, “Kritik Pengaturan CSR dalam UUPT”, Suara Pembaruan 31 Juli 2007.

Dalam ranah norma kehidupan modern, kita dilingkupi dengan sejumlah

norma yakni norma hukum, moral, dan sosial. Tanpa mengabaikan kewajiban dan

pertanggungjawaban hukumnya, pada domain lain perusahaan juga terikat pada

norma sosial sebagai bagian integral kehidupan masyarakat setempat. Konsep asli

CSR sesungguhnya bergerak dalam kerangka ini, dimana perusahaan secara sadar

memaknai aneka prasyarat tadi dan masyarakat sekaligus bisa menakar komitmen

pelaksanaannya.

III. 24

Kedua, dengan kewajiban itu, konsekuensinya, CSR bermakna parsial

sebatas upaya pencegahan dan penanggulangan dampak sosial dan lingkungan

dari kehadiran sebuah perusahaan.Dengan demikian, bentuk program CSR hanya

terkait langsung dengan core business perusahaan, sebatas jangkauan masyarakat

sekitar.Padahal praktik yang berlangsung selama ini, ada atau tidaknya kegiatan

terkait dampak sosial dan lingkungan, perusahaan melaksanakan program

langsung, seperti lingkungan hidup dan tak langsung (bukan core business) seperti

rumah sakit, sekolah, dan beasiswa.Kewajiban tadi berpotensi menghilangkan

aneka program tak langsung tersebut.

Ketiga, tanggung jawab lingkungan sesungguhnya adalah tanggung jawab

setiap subyek hukum, termasuk perusahaan.Jika terjadi kerusakan lingkungan

akibat aktivitas usahanya, hal itu jelas masuk ke wilayah urusan hukum.Setiap

dampak pencemaran dan kehancuran ekologis dikenakan tuntutan hukum, dan

setiap perusahaan harus bertanggung jawab.Dengan menempatkan kewajiban

proteksi dan rehabilitasi lingkungan dalam domain tanggung jawab sosial, hal ini

cenderung mereduksi makna keselamatan lingkungan sebagai kewajiban legal

menjadi sekadar pilihan tanggung jawab sosial. Atau bahkan lebih jauh lagi, justru

bisa terjadi penggandaan tanggung jawab suatu perusahaan, yakni secara sosial

(menurut UU PT) dan secara hukum (UUlingkungan hidup).Keempat, dari sisi

keterkaitan peran, kewajiban yang digariskan UU PT menempatkan perusahaan

sebagai pelaku dan penangung jawab tunggal program CSR.23

23 Ibid

III. 25

Di sini masyarakat seakan menjadi obyek semata, sehingga hanya

menyisakan budaya ketergantungan selepas program, sementara negara menjadi

mandor pengawas yang siap memberikan sanksi atas pelanggaran yang

terjadi.Tanggung jawab perusahaan yang tinggi sangat diperlukan karena dengan

mewajibkan perusahaan menyisihkan sebagian keuntungannya untuk usaha social

kemasyarakatan diharapkan dapat ikut memberdayakan masyakarat secara sosial

dan ekonomi.Namun pewajiban dalam suatu Undang-undang dapat memunculkan

multi tafsir yang menyebabkan tujuan menjadi tidak tercapai.

Maka dengan demikian wujud tanggung jawab sosial perusahaan pada

dasarnya telah tercermin dari pajak yang dipungut oleh negara, salah satunya

alokasi dana diperuntukan demi kepentingan pembangunan kesejahteraan

masyarakat atau tanggung jawab sosial yang seharusnya dikelola oleh pihak

pemerintah.Bahkan pihak KADIN (Kamar Dagang dan Industri Indonesia)

termasuk tidak setuju atau secara terbuka menentang keras adanya kewajiban CSR

(Tanggung Jawab Sosial Perusahaan) yang tertuang dalam pasal 74, yaitu

alasannya disatu sisi CSR merupakan tanggung jawab sukarela, tetapi disisi

lainnya bersifat Mandatoris atau memaksa (kewajiban) bagi setiap perusahaan

untuk melaksanakan program CSR tersebut (Media Indonesia, 04/02/2009), maka

Kadin, termasuk Hipmi (Himpunan Pengusaha Muda Indonesia)

dan Iwapi (Ikatan Wanita Pengusaha Indonesia) telah bersama-sama mengajukan

permohonan uji material pasal 74 tersebut kepada MK (Mahkamah

Konstitusi) yang menyangkut UU N0. 40/2007 tentang Perseroan Terbatas,

mengenai tanggung jawab sosial dan lingkungan yang wajib dilakukan korporat

III. 26

tersebut harus dicabut, kata Wakil Ketua Umum Kadin, Bidang Kebijakan Publik,

Perpajakan dan Kepabeaan Sistem Fiskal dan Moneter, Haryadi B. Sukamdani.

Menurut alasan Hariyadi, pengaturan program CSR tersebut menimbulkan

ketidakpastian hukum, bersifat diskriminatif, dan membuat iklim usaha menjadi

tidak efisien serta tidak adil, artinya pasal 74, UU No. 40/2007 tersebut

merupakan materi hukum materiil yang mengatur kewajiban perseroan dan dapat

memberikan sanksi bagi pihak yang melanggarnya dan hal-hal yang memberatkan

inilah perlu dilakukan uji material untuk mencabutnya dari UU perseroan baru

tersebut. "Kewajiban perusahaan adalah berusaha semaksimal untuk mencari

keuntungan sebanyak-banyaknya, dan kemudian berkewajiban membayar pajak

kepada pemerintah. “Dengan membayar uang pajak tersebut dipergunakan untuk

mensejahterakan masyarakat, dan hal pelaksanaan CSR tersebut sudah menjadi

kewajiban pemerintah, bukan digeser ke setiap perusahaan,” tegas

Haryadi. Selanjutnya, berdasarkan penelitian dan referensi pihak Kadin, tidak ada

satu negara di dunia-pun kecuali pemerintah Indonesia yang memasukan

kewajiban pelaksanaan program CSR bagi perusahaan, alasan keberatan Haryadi

dalam sidang Pleno pertama uji material pasal 74, UU No. 40/2007 di Gedung

MK, Jakarta (03/02/09).

Namun pada akhir MK tetap menolak Uji Material (Judical Review)

mengenai pasal 74, ayat 1, 2 dan 3 yang mewajibkan pelaksanaan Program

CSR bagi perusahaan, khususnya bergerak dibidang sumber daya alam yang telah

diajukan oleh Wakil Ketua Umum Kadin tersebut (Koran Tempo, 16 April 2009),

karena program CSR tidak bertentangan dengan pasal 33, UUD '45 dan "Majelis

III. 27

melindungi hak konstitusional warga yang berada dilingkungan perusahaan

dengan mewajibkan perusahaan yang diuntungkan untuk membagi kekayaannya

untuk kemakmuran rakyat," ujar Mahfud MD di Jakarta.

Kemudian yang Kedua, dampak buruk dari demi komersialisasi atau

keserakahan dari prilaku dunia usaha yang berkelakuan tidak etis tersebut telah

banyak merusak kehidupan sosial atau mencemari lingkungan alam sekitarnya,

bahwa kini kesadaran sosial-masyakat tersebut berbalik menuntut dunia usaha

yang seharusnya memiliki rasa tanggung jawab moral dan sosial. Jika

kenyataannya banyak dilanggar oleh perusahaan raksasa bersangkutan dan

dampaknya banyak yang gulung tikar sebagai akibat telah mengabaikan kekuatan

sosial yang menghukumnya, dengan seringnya terjadi demonstrasi publik yang

memprotes prilaku negatif perusahaan baik secara internal atau eksternal, dan

produknya akan disabotase atau diblokir publiknya karena melakukan

pencemaran, menggunakan bahan kimia berbahaya atau polusi udara. Sebagai

akibatnya akan menimbulkan ketidakpuasan pekerjanya terhadap lingkungan

pekerjaan yang tidak nyaman serta iklim bekerja kurang kondusif, dan dampaknya

dapat menjerumuskan terjadinya kebankrutan perusahaan atau pemailitan usaha.

Ketiga, bentuk proses evolusi perusahaan dari tahapan kepemilikan pribadi

yang berubah menjadi milik publik, artinya secara tidak langsung perusahaan

tidak lagi sekedar institusi bisnis belaka, tetapi telah berubah menjadi institusi

sosial, dan konsekuensinya perubahan perusahaan tersebut sebagai institusi sosial

tidak lagi selalu berorientasi mencari keuntungan secara sepihak, dan secara

berimbang bahwa perusahaan yang bersangkutan untuk dituntut harus mampu

III. 28

memenuhi kewajiban tanggung jawab sosialnya sebagai kegiatan prioritas utama

dalam rencana investasi perusahaan. Sesuai dengan konsep mainstream mengenai

pelaksanaan CSR yang diajukan oleh World Bank Group yang menyatakan,

bahwa pengertian CSR atau tanggung jawab sosial perusahaan merupakan

komitmen bisnis untuk dapat memberikan konstribusi bagi pembangunan

ekonomi berkelanjutan, melalui kerja sama dengan karyawan serta pewakilannya,

keluarga karyawan, komuniti setempat dan hingga masyarakat umum untuk

meningkatkan kualitas hidup, dengan cara pihak perusahaan yang bermanfaat baik

dari aspek bisnisnya maupun demi kepentingan sosial dan pembangunan

perekonomian yang berkelanjutan (sustainability economic development).

Namun permasalahan mengenai regulasi tidak hanya berhenti disitu,

mengenai inkonsistensi terhadap pasal 74, UU No. 40/2007 yang akibatnya

menjadi multitafsir sendiri bagi para pihak penguaha dan pengamat sosial.

Terhitung sampai sekarang setelah diputuskannya UU oleh DPR belum ada tindak

lanjut dari pemerintah melalui Peraturan Pemerintah (PP).Sebetulnya, kegiatan

CSR sudah berjalan tanpa adanya PP, bahkan sebelum adanya undang-undang

yang mengatur perseroan terbatas.Namun, dengan adanya PP tersebut kegiatan

yang dilakukan oleh perusahaan menjadi lebih punya landasan.Ketiadaan PP

membuat sebagian perusahaan masih kebingungan dalam mengimplementasikan

program tanggung-jawab sosialnya. Yakni mengenai hal apa saja yang bisa

diperhitungkan sebagai CSR, dan bagaimana sistem auditnya itu masih belum

dijelaskan.

III. 29

Jadi dapat diartikan bahwasanya peliknya permsalahan CSR sampai

sekarang pun belum selesai, hal ini bisa dikatakan bahwasanya terjadi

inkonsistensi dalam regulasi mengenai CSR di Indonesia.

III.2.1.1 Fakta Lemahnya Implementasi CSR di Indonesia

Tanggung jawab terhadap kelestarian lingkungan, pertumbuhan ekonomi,

dan kesejahteraan sosial masyarakat bukan hanya menjadi tanggung jawab

perusahaan besar saja, meskipun pada dasarnya mayoritas perusahaan yang

melakukan CSR adalah perusahaan besar. Dengan perkataan lain, perusahaan

kecil pun harus bertanggung jawab melakukan CSR. Di Indonesia, pelaksanaan

CSR sangat dipengaruhi oleh kebijakan dan Chief Executive Officer (CEO)

sehingga kebijakan CSR tidak secara otomatis akan sesuai dengan visi dan misi

perusahaan. Hal ini memberikan makna bahwa jika CEO memiliki kesadaran akan

tanggung jawab sosial yang tinggi, maka kemungkinan besar CSR akan dapat

dilaksanakan dengan baik, sebaliknya jika CEO tidak memiliki kesadaran tentang

hal tersebut pelaksanaan CSR hanya sekedar simbolis untuk menjaga dan

mendongkrak citra perusahaan di mata karyawan dan di mata masyarakat.

Lemahnya Undang-Undang (UU) yang mengatur kegiatan CSR di

Indonesia mengakibatkan tidak sedikit pelanggaran-pelanggaran terjadi dan

mengakibatkan kerusakan lingkungan hidup yang ada. Sebagai contoh UU Nomor

23 tahun 1997 Pasal 41 ayat 1 tentang pengelolaan lingkungan hidup menyatakan

“Barang siapa yang melawan hukum dengan sengaja melakukan perbuatan yang

mengakibatkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup, diancam

III. 30

dengan pidana penjara paling lama sepuluh tahun dan denda paling banyak lima

ratus juta rupiah.”

Pengaturan pencemaran lingkungan hidup tidak langsung mengikat

sebagai tanggung jawab pidana mutlak, dan tidak menimbulkan jera bagi para

pelaku tindakan ilegal yang merugikan masyarakat dan menimbulkan kerusakan

lingkungan.Kasus kerusakan di lingkungan lokasi penambangan timah

inkonvensional di Pulau Bangka-Belitung dan tidak dapat ditentukan siapakah

pihak yang bertanggung jawab atas kerusakan yang terjadi atas kegiatan

penambangan dilakukan oleh penambangan rakyat yang tak berijin yang mengejar

setoran pada PT. Timah.Tbk. Sebagai akibat penambangan inkonvensional

tersebut terjadi pencemaran air laut dan perairan umum.Lahan menjadi tandus,

terjadi abrasi dan kerusakan laut.

Contoh lain adalah konflik antara PT Freeport Indonesia dengan rakyat

Papua. Penggunaan lahan tanah adat, perusakan dan penghancuran lingkungan

hidup, penghancuran perekonomian, dan pengikaran eksistensi penduduk

Amungme merupakan kenyataan pahit yang harus diteima rakyat Papua akibat

keberadaan operasi penambangan PT. Freeport Indonesia. Bencana kerusakan

lingkungan hidup dan komunitas lain yang ditimbulkan adalah jebolnya Danau

Wanagon hingga tiga kali (20 Juni 1998; 20-21 Maret 2000; 4 Mei 2000) akibat

pembuangan limbah yang sangat besar kapasitasnya dan tidak sesuai dengan daya

dukung lingkungan.

Kedua contoh tersebut hanya merupakan sebagian kecil gambaran

fenomena kegagalan CSR yang muncul di Indonesia, dan masih banyak lagi

III. 31

contoh kasus seperti kasus PT Newmont Minahasa Raya, kasus Lumpur panas

Sidoarjo yang diakibatkan kelalaian PT Lapindo Brantas, kasus perusahaan

tambang minyak dan gas bumi, Unicoal (perusahaan Amerika Serikat), kasus PT

Kelian Equatorial Mining pada komunitas Dayak, kasus suku Dayak dengan

perusahaan tambang emas milik Australia (Aurora Gold), dan kasus pencemaran

air raksa yang mengancam kehidupan 1,8juta jiwa penduduk Kalimantan Tengah

yang merupakan kasus suku Dayak vs “Minamata.”

Hal terpenting yang harus dilakukan adalah membangkitkan kesadaran

perusahaan dan rasa memiliki terhadap lingkungan dan komunitas sekitar. Hal ini

menuntut perlunya perhatian stakeholder, pemerintah, masyarakat, dan dunia

usaha dalam membuat regulasi atau ketentuan yang disepakati bersama antara

pihak-pihak yang terlibat untuk mencapai keefektifan program CSR. Tidak dapat

dipungkiri peran UU sebagai bentuk legalitas untuk mengatur pelaksanaan CSR

sangat diperlukan.

Disamping itu, untuk meningkatkan keseriusan perhatian dan tingkat

kepedulian perusahaan terhadap kelestarian lingkungan dan kehidupan sosial

ekonomi masyarakat, diperlukan adanya suatu alat evaluasi untuk menilai tingkat

keberhasilan perusahaan dalam melaksanakan program CSR. Hasil dari penilaian

yang dilakukan oleh lembaga penilai independen dapat dijadikan sebagai dasar

untuk pemberian penghargaan dalam bentuk award atas peran serta perusahaan

terhadap komunitas sekitar. Pada bagian selanjutnya akan dibahas beberapa kisah

sukses implementasi CSR yang dilakukan oleh beberapa perusahaan domestik dan

III. 32

bentuk-bentuk partisipasi perusahaan tersebut dalam pengembangan masyarakat,

ekonomi, dan pelestarian lingkungan hidup.

Di antara permasalahan yang harus ditegaskan adalah perusahaan apa saja

yang wajib melaksanakan tanggung jawab sosial, sanksi apa saja yang mungkin

dapat dikenakan apabila tidak melaksanakan kewajiban tersebut, sistem pelaporan

dan standar kegiatan yang termasuk dalam kategori kegiatan tanggung jawab

sosial.Pewajiban tanggung jawab sosial dan lingkungan kepada perusahaan

tidaklah tepat. Hal ini karena:

• Pemerintah telah mengatur tentang LH, Perlindungan Konsumen, Hak

Asasi Manusia, Perburuhan dan sebagainya pada masing-masing UU

tersebut, tetapi bukan mengatur CSR pada UUPT.

• Kegiatan CSR sangat beragam, bergantung pada interaksi 3 pilar (Dunia

Usaha, Pemerintah dan Masyarakat), berkaitan dengan 7 masalah pokok,

melebihi kewajiban dari peraturan perundang-undangan, dan bersifat

sukarela didasarkan pada dorongan moral dan etika.

• Kegiatan usaha pengelolaan sumber daya alam hampir mayoritas

dilakukan oleh perusahaan bukan berbadan hukum Indonesia.

• Pemerintah & masyarakat sebaiknya bermitra di dalam menangani

masalah sosial, dengan memanfaatkan program CSR yang dilakukan oleh

Dunia Usaha.

Persoalan berikutnya, seberapa jauh CSR berdampak positif bagi

masyarakat, amat tergantung dari orientasi dan kapasitas lembaga lain, terutama

Pemerintah. Berbagai studi menunjukkan, keberhasilan program CSR selama ini

III. 33

justru terkait dengan sinergitas kerja sama perusahaan, masyarakat, dan

pemerintah. Segitiga peran itu memungkinkan integrasi kepentingan atau program

semua stakeholders pembangunan.

Bahkan tidak jarang CSR menjadi semacam titik temu antara wilayah isu

yang menjadi perhatian perusahaan, kepentingan riil masyarakat setempat, dan

program pemda dalam kerangka pembangunan regional.Untuk Indonesia,

pelaksanaan CSR membutuhkan dukungan pemerintah daerah, kepastian hukum,

dan jaminan ketertiban sosial.

Pemerintah dapat mengambil peran penting tanpa harus melakukan

regulasi di tengah situasi hukum dan politik saat ini.Di tengah persoalan

kemiskinan dan keterbelakangan yang dialami Indonesia, pemerintah harus

berperan sebagai koordinator penanganan krisis melalui CSR. Pemerintah bisa

menetapkan bidang-bidang penanganan yang menjadi fokus, dengan masukan

pihak yang kompeten. Setelah itu, pemerintah memfasilitasi, mendukung, dan

memberi penghargaan pada kalangan bisnis yang mau terlibat dalam upaya besar

ini. Pemerintah juga dapatmengawasi proses interaksi antara pelaku bisnis dan

kelompok-kelompok lain agar terjadi proses interaksi yang lebih adil dan

menghindarkan proses manipulasi satu pihak terhadap yang lain. Peran terakhir

ini amat diperlukan, terutama di daerah.

Motif dasar dari semua konsep itu hanyalah strategi kaum neoliberal untuk

tetap bisa melanggengkan hegemoni kapitalisme. CSR hanyalah alat penaklukan

dalam kerangka sosial dan lingkungan dengan motif dasar yang tidak berubah,

yaitu motif utama pengusahaan keuntungan sebesar mungkin dan akumulasi

III. 34

kapital. Hal ini mendapat dukungan fakta empiris dari terus berlanjutnya proses

pemiskinan dan marginalisasi kelompok-kelompok masyarakat rentan (a.l.:

masyarakat adat, kaum buruh, kaum miskin kota; anak-anak dan perempuan) serta

degradasi lingkungan termasuk punahnya berbagai spesies hingga kehancuran

lapisan ozon yang disebabkan oleh eksploitasi yang dilakukan oleh perusahaan

raksasa.

CSR merupakan sebagai tujuan dari kerangka besar kapitalisme, dimana

CSR itu sendiri sebagai alat untuk mempermudah keberadaan korporasi itu di

tengah masyarakat, sehingga pada akhirnya masyarakat pun mengakui keberadaan

korporasi dengan agenda CSR yang dijalankan.

III.2.1.2 Proses Pelaksanaan dan Hasil

Salah satu bentuk dari tanggung jawab sosial perusahaan yang sering

diterapkan di Indonesia adalah community development. Perusahaan yang

mengedepankan konsep ini akan lebih menekankan pembangunan sosial dan

pembangunan kapasitas masyarakat sehingga akan menggali potensimasyarakat

lokal yang menjadi modal sosial perusahaan untuk maju dan berkembang. Selain

dapat menciptakan peluang-peluang sosial-ekonomi masyarakat, menyerap tenaga

kerja dengan kualifikasi yang diinginkan, cara ini juga dapat membangun citra

sebagai perusahaan yang ramah dan pedulilingkungan. Selain itu, akan tumbuh

rasa percaya dari masyarakat. Rasa memiliki perlahan-lahan muncul dari

III. 35

masyarakat sehingga masyarakatmerasakan bahwa kehadiran perusahaan di

daerah mereka akan berguna dan bermanfaat.24

Kepedulian kepada masyarakat sekitar komunitas dapat diartikan sangat

luas, namun secara singkat dapat dimengerti sebagai peningkatan partisipasi dan

posisi organisasi di dalam sebuah komunitas melalui berbagai upaya

kemaslahatan bersama bagi organisasi dan komunitas.CSR adalah bukan hanya

sekedar kegiatan amal, di mana CSR mengharuskan suatu perusahaan dalam

pengambilan keputusannya agar dengan sungguh-sungguh memperhitungkan

akibatnya terhadap seluruh pemangku kepentingan (stakeholder) perusahaan,

termasuk lingkungan hidup.Hal ini mengharuskan perusahaan untuk membuat

keseimbangan antara kepentingan beragam pemangku kepentingan eksternal

dengan kepentingan pemegang saham, yang merupakan salah satu pemangku

kepentinganinternal.

25

Setidaknya ada tiga alasan penting mengapa kalangan dunia usaha harus

merespon dan mengembangkan isu tanggung jawab sosial sejalan dengan operasi

usahanya.Pertama, perusahaan adalah bagian dari masyarakat dan oleh karenanya

wajar bila perusahaan memperhatikankepentingan masyarakat.Kedua, kalangan

bisnis dan masyarakat sebaiknya memiliki hubungan yang bersifat simbiosis

mutualisme.Ketiga, kegiatantanggung jawab sosial merupakan salah satu cara

untuk meredam atau bahkan menghindari konflik social.

26

24Ibid 25A.B. Susanto, Membumikan Gerakan Hijau, Majalah Ozon, Edisi No.5 Februari 2003 26Ibid

III. 36

Program yang dilakukan oleh suatu perusahaan dalam kaitannya dengan

tanggung jawab sosial di Indonesia dapat digolongkan dalam tiga bentuk, yaitu:27

Melakukan program untuk kebutuhan komunitas sekitar perusahaan atau

kegiatan perusahaan yang berbeda dari hasil dari perusahaan itu sendiri. Program

pengembangan masyarakat di Indonesia dapat dibagi dalam tiga kategori yaitu:

a. Public Relations

Usaha untuk menanamkan persepsi positif kepada komunitas

tentangkegiatan yang dilakukan oleh perusahaan.

b. Strategi defensif

Usaha yang dilakukan perusahaan guna menangkis anggapan negative

komunitas yang sudah tertanam terhadap kegiatan perusahaan, dan biasanya untuk

melawan serangan negatif dari anggapan komunitas.Usaha CSR yang dilakukan

adalah untuk merubah anggapan yang berkembang sebelumnya dengan

menggantinya dengan yang baru yang bersifat positif.

c. Kegiatan yang berasal dari visi perusahaan

28

1. Community Relation

Yaitu kegiatan-kegiatan yang menyangkut pengembangankesepahaman melalui

komunikasi dan informasi kepada para pihak yangterkait.Dalam kategori ini,

program lebih cenderung mengarah pada bentukbentuk kedermawanan (charity)

perusahaan.

27Himawan Wijanarko, Reputasi, Majalah Trust, 4-10 Juli 2005 28Ibid

III. 37

2. Community Services

Merupakan pelayanan perusahaan untuk memenuhi kepentingan masyarakat atau

kepentingan umum.Inti dari kategori ini adalah memberikan kebutuhan yang ada

di masyarakat dan pemecahan masalahdilakukan oleh masyarakat sendiri

sedangkan perusahaan hanyalah sebagai fasilitator dari pemecahan masalah

tersebut.

3. Community Empowering

Adalah program-program yang berkaitan dengan memberikan akses yang lebih

luas kepada masyarakat untuk menunjang kemandiriannya, seperti pembentukan

usaha industri kecil lainnya yang secara alami anggota masyarakat sudah

mempunyai pranata pendukungnya dan perusahaanmemberikan akses kepada

pranata sosial yang ada tersebut agar dapat berlanjut.Dalam kategori ini, sasaran

utama adalah kemandirian komunitas.

Dari sisi masyarakat, praktik CSR yang baik akan meningkatkan

nilaitambah adanya perusahaan di suatu daerah karena akan menyerap

tenagakerja, meningkatkan kualitas sosial di daerah tersebut. Sesungguhnya

substansi keberadaan CSR adalah dalam rangka memperkuat keberlanjutan

perusahaan itu sendiri dengan jalan membangun kerja sama antar stakeholder

yang difasilitasi perusahaan tersebut dengan menyusun program-program

pengembangan masyarakat sekitarnya.

Pada saat ini di Indonesia, praktek CSRbelum menjadi perilaku yang

umum, namun dalam abad informasi dan teknologi serta adanya desakan

globalisasi, maka tuntutan terhadap perusahaan untuk menjalankan CSR semakin

III. 38

besar. Tidak menutup kemungkinan bahwa CSRmenjadi kewajibanbaru standar

bisnis yang harus dipenuhi seperti layaknya standar ISO. Dan diperkirakan pada

akhir tahun 2009 mendatang akan diluncurkan ISO 26000on Social Responsibility,

sehingga tuntutan dunia usaha menjadi semakin jelas akan pentingnya program

CSR dijalankan oleh perusahaan apabilamenginginkan keberlanjutan dari

perusahaan tersebut. CSRakan menjadi strategi bisnis yang inheren dalam

perusahaan untuk menjaga atau meningkatkan daya saing melalui reputasi dan

kesetiaanmerek produk (loyalitas) atau citra perusahaan. Kedua hal tersebut akan

menjadi keunggulan kompetitif perusahaan yang sulit untuk ditiru oleh para

pesaing.

Di lain pihak, adanya pertumbuhan keinginan dari konsumen untuk

membeli produk berdasarkan kriteria-kriteria berbasis nilai-nilai dan etika akan

merubah perilaku konsumen di masa mendatang. Implementasi kebijakan

CSRadalah suatu proses yang terus menerus dan berkelanjutan. Dengan demikian

akan tercipta satu ekosistem yang menguntungkan semua pihak (true win win

situation) – konsumen mendapatkan produk unggul yang ramah lingkungan,

produsen pun mendapatkan profit yang sesuai yang pada akhirnya akan

dikembalikan ke tangan masyarakat secara tidak langsung.

Pelaksanaan CSR di Indonesia sangat tergantung pada pimpinan puncak

korporasi.Artinya, kebijakan CSR tidak selalu dijamin selaras dengan visi dan

misi korporasi.Jika pimpinan perusahaan memiliki kesadaran moral yang tinggi,

besar kemungkinan korporasi tersebut menerapkan kebijakan CSR yang

benar.Sebaliknya, jika orientasi pimpinannya hanya berkiblat pada kepentingan

III. 39

kepuasan pemegang saham (produktivitas tinggi, profit besar, nilai saham tinggi)

serta pencapaian prestasi pribadi, boleh jadi kebijakan CSR hanya sekadar

kosmetik.

Sifat CSR yang sukarela, absennya produk hukum yang menunjang dan

lemahnya penegakan hukum telah menjadikan Indonesia sebagai Negara ideal

bagi korporasi yang memang memperlakukan CSR sebagai kosmetik. Yang

penting, Laporan Sosial Tahunannya tampil mengkilap, lengkap dengan tampilan

foto aktivitas sosial serta dana program pembangunan komunitas yang telah

direalisasi. Sekali lagi untuk mencapai keberhasilan dalam melakukan program

CSR, diperlukannya komitmen yang kuat, partisipasi aktif, serta ketulusan dari

semua pihak yang peduli terhadap program-program CSR.

Keraguan akan kesungguhan implementasi CSR harus diakui juga

diperburuk oleh kinerja CSR yang dilakukan oleh berbagai korporasi sejauh ini.

Di tataran praktik, implementasi CSR masih kerap menunjukkan kecenderungan

sebagai kegiatan kosmetik.Ia menjadi sekedar fungsi kepentingan public relations,

citra korporasi atau reputasi dan kepentingan perusahaan untuk mendongkrak nilai

di bursa saham. CSR hanya dilakukan sebagai pemenuhan kecenderungan global

tanpa substansi distribusi kesejahteraan sosial dan pelestarian lingkungan.

Praktek CSR di indonesia menjatuhkan CSR pada praktek pembangunan

brand image belaka sehingga terkesan imagesentris dan mendahulukan program-

program yang bisa dilihat oleh publik (sebagai strategi komunikasi) dibandingkan

melihat kedalam perusahaan yang pada dasarnya memiliki posisi yang sama

III. 40

didalam stakeholder CSR, yaitu buruh. Di satu sisi mengklaim telah

meningkatkan standar sosial dan lingkungan pada proses operasi atau di

perusahaan intinya, akan tetapi secara bersamaan menutup mata pada pelanggaran

standar perburuhan atau lingkungan.

III.3 Ideologi CSR di Indonesia

Lester Thurow, tahun 1966 dalam bukunya “The Future of Capitalism”,

sudah memprediksikan bahwa pada saatnya nanti, kapitalisme akan berjalan

kencang tanpa perlawanan. Hal ini disebabkan, musuh utamanya, sosialisme dan

komunisme telah lenyap.Pemikiran Thurow ini menggaris bawahi bahwa

kapitalisme tak hanya berurusan pada ekonomi semata, melainkan juga

memasukkan unsur sosial dan lingkungan untuk membangun masyarakat, atau

yang kemudian disebut sustainable society. Pada jamannya, pemikiran Thurow

tersebut sulit diaplikasikan, hal ini ia tuliskan seperti there is no social ‘must’ in

capitalism.29

29 AB Susanto, A Strategic Management Approach, CSR, The Jakarta Consulting Group, Jakarta, 2007, hlm.21

Jaman pun berlalu, tahun 1962, Rachel Calson lewat bukunya

“TheSilent Spring”, memaparkan pada dunia tentang kerusakan lingkungan

dankehidupan yang diakibatkan oleh racun peptisida yang mematikan.Paparan

yang disampaikan dalam buku “Silent Spring” tersebut menggugah kesadaran

banyak pihak bahwa tingkah laku korporasi harus diluruskan sebelum menuju

kehancuran bersama.Dari sini CSR (Corporate Social Responsibility) pun mulai

digaungkan.Tepatnya di era 1970-an. Banyak professor menulis bukutentang

III. 41

pentingnya tanggung jawab sosial perusahaan, di samping kegiatan mengeruk

untung. Buku-buku tersebut antara lain; “Beyond the Bottom Line”

Karya Prof. Courtney C. Brown, orang pertama penerima gelar Professor

of Public Polecy and Business Responsibility dari Universitas

Columbia.Pemikiran para ilmuwan sosial di era itu masih banyakmendapatkan

tentangan, hingga akhirnya muncul buku yang menghebohkandunia hasil

pemikiran para intelektual dari Club of Roma, bertajuk “The Limits to Growt”.

Buku ini mengingatkan bahwa, disatu sisi bumi memilikiketerbatasan daya

dukung (carrying capacity), sementara di sisi lain populasimanusia bertumbuh

secara eksponensial. Karena itu, eksploitasi sumber dayaalam mesti dilakukan

secara cermat agar pembangunan dapat berkelanjutan.Era 1980 – 1990, pemikiran

dan perbincangan tentang issu ini terus berkembang, kesadaran dalam berbagi

keuntungan untuk tanggungjawab sosial, dan dikenal sebagai community

development.

Dari sini konsep CSR terus bergulir, berkembang dan diaplikasikan dalam

berbagai bentuk. James Collins dan Jerry Poras dalam bukunya Built toLast:

Successful Habits of Visionary Companies (1994), menyampaikan bukti bahwa

perusahaan yang terus hidup adalah yang tidak semata mencetak limpahan uang

saja, tetapi perusahaan yang sangat peduli dengan lingkungansosial dan turut

andil dalam menjaga keberlangsungan lingkungan hidup.30

30 Ibid, hlm.35

III. 42

Konsep dan pemikiran senada juga ditawarkan oleh John Elkington lewat

bukunya yang berjudul “Cannibals with Fork, the Triple Bottom Line ofTwentieth

Century Business. Dalam bukunya ini, Elkington menawarkan solusi bagi

peusahaan untuk berkembang di masa mendatang, di mana mereka harus

memperhatikan 3P, bukan sekedar keuntungan (Profit), juga harus terlibat dalam

pemenuhan kesejahteraan rakyat (People) dan berperan aktif dalam menjaga

kelestarian lingkungan (Planet).31

Hingga dekade 1980-90 an, wacana CSR terus berkembang. Munculnya

KTT Bumidi Rio pada 1992 menegaskan konsep sustainibility development

(pembangunanberkelanjutan) sebagai hal yang mesti diperhatikan, tak hanya oleh

negara, tapi terlebiholeh kalangan korporasi yang kekuatan kapitalnya makin

menggurita. Tekanan KTT Rio,terasa bermakna sewaktu James Collins dan Jerry

Porras meluncurkan Built To Last;Succesful Habits of Visionary Companies di

tahun 1994. Lewat riset yang dilakukan,mereka menunjukkan bahwa perusahaan-

Gerakan CSR modern yang berkembang pesat selama duapuluh tahun

terakhir ini lahir akibat desakan organisasi-organisasi masyarakat sipil

danjaringannya di tingkat global. Keprihatinan utama yang disuarakan adalah

perilakukorporasi, demi maksimalisasi laba, lazim mempraktekkan cara-cara yang

tidak fair dantidak etis, dan dalam banyak kasus bahkan dapat dikategorikan

sebagai kejahatankorporasi. Beberapa raksasa korporasi transnasional sempat

merasakan jatuhnyareputasi mereka akibat kampanye dalam skala global tersebut.

31 diakses dari http://www.csrindonesia.com pada tanggal 13 september 2011 pukul 20.50

III. 43

perusahaan yang terus hidup bukanlahperusahaan yang hanya mencetak

keuntungan semata.Sebagaimana hasil Konferensi Tingkat Tinggi Bumi (Earth

Summit) di Rio deJaneiro Brazilia 1992, menyepakati perubahan paradigma

pembangunan, daripertumbuhan ekonomi (economic growth) menjadi

pembangunan yang berkelanjutan(sustainable development).Dalam perspektif

perusahaan, di mana keberlanjutandimaksud merupakan suatu program sebagai

dampak dari usaha-usaha yang telahdirintis, berdasarkan konsep kemitraan dan

rekanan dari masing-masing stakeholder.Ada lima elemen sehingga konsep

keberlanjutan menjadi penting, di antaranya adalah ;(1) ketersediaan dana, (2)

misi lingkungan, (3) tanggung jawab sosial, (4)terimplementasi dalam kebijakan

(masyarakat, korporat, dan pemerintah), (5)mempunyai nilai

keuntungan/manfaat.32

Pertemuan Yohannesburg tahun 2002 yang dihadiri para pemimpin

duniamemunculkan konsep social responsibility, yang mengiringi dua konsep

sebelumnyayaitu economic dan environment sustainability.Ketiga konsep ini

menjadi dasar bagi perusahaan dalam melaksanakan tanggung jawab sosialnya

(Corporate SocialResponsibility). Pertemuan penting UN Global Compact di

Jenewa, Swiss, Kamis, 7 Juli2007 yang dibuka Sekjen PBB mendapat perhatian

media dari berbagai penjuru dunia.Pertemuan itu bertujuan meminta perusahaan

untuk menunjukkan tanggung jawab danperilaku bisnis yang sehat yang dikenal

dengan corporate social responsibility.

33

32 Dhaniri, Mas Achmad. Standarisasi Tanggung Jawab Sosial Perusahaan, hal 3. 33 Ibid

III. 44

Teori kritis menyatakan bahwa sejak lahir subyek (manusia/masyarakat)

telah berhadapan dengan entitas-entitas di sekelilingnya. Entitas-entitas tersebut

adalah negara, agama, pengetahuan, dan investasi.Dapat diprediksi bahwa

kesibukan dari subyek adalah melakukan kompromi atau resisten. Kompromi

berarti subyek mengafirmasi seluruh entitas-entitas tersebut dan resisten berarti

subyek beroposisi terhadap satu entitas dan di sisi lain berkompromi dengan

entitas lainnya pada saat yang sama.

Berdasarkan pada karakterisasi yang penulis temukan, dapat disebutkan

bahwa CSR Indonesia menganut ideologi atau berpihak pada investasi.ideologi,

nalar kerja, serta logika yang dianut oleh CSR di Indonesia juga dianut oleh CSR

dibelahan dunia.

Investasidilakukan dengan tujuan untuk mendapatkan nilai tambah atau

keuntungan di kemudian hari.Investasi meryupakan salah satu plihan langkah

untuk memperoleh penghasilan yang lebih besar di kemudian hari. Yang harus

diperhatikan dalam melakukan investasi adalah: kita harus memiliki ketersediaan

dana maupun aset, serta komitmen mengikatkan aset tersebut pada saat sekarang.

CSR merupakan sebuah langkah investasiguna dengan tujuan

mendapatkan keuntungan yang lebih besar. Hal tersebut dapat kita lihat

pertumbuhan atau perkembangan CSR yang menjadi respon internasional dan

selalu berkembang hingga lahirnya ISO 26000 sebagai standarisasi pelaksanaan

CSR.

Keberadaan CSR itu sendiri di tengah masyarakat Indonesia sudahlah

tampak jelas, bahwasanya keberadaan CSR merupakan win-win solution agar

III. 45

nantinya masyarakat lah mengakui keberadaan korporasi. Diamana nantinya

masyarakat akan dipertemukan dengan permasalahan akibat proses produksi yang

dilakukan oleh korporasi, tentang kerusakan lingkungan, pecemaran udara dll, dan

menjadikan CSR ini sebagai suatu alternatif penyelesaian dari permasalahn yang

dihadapi, sehingga tanpa disadari masyarakat akan menggantngkan kehidupanya

terhadap CSR dari perusahaan tersebut.

Meskipun pada akhirnya, sebagian besar korporasi memberikan kebebasan

kepada masyarakat dalam menentukan aktifitas CSR itu sendiri dengan

mengedepankan bentuk community development namun yang terjadi ialah

kebebasan itu sendiri bukan lahir atas inisiatif masyarakat di sekitar korporasi

akan tetapi merupakan sebuah kebebsan yang terberi dari korporasi, sehingga

yang terjadi keberadaan korporasi itu harus mereka terima walaupun pada proses

jalanya produksi korporasi akan mengeksploitasi habis sumber daya alam di

lngkngan mereka dan menyebabkan proses perusakan ingkungan akibat proses

produksi.

Dengan Ideologi invesatasi yang dianut oleh CSR di Indonesia, dapat

ditarik sebuah benang merah bahwasanya system ekonomi yang di Indonesia ialah

memihak dengan pasar atau TNC/MNC dengan melihat keberadaan CSR yang

semakin kuat yang ditandai dengan penetapan regulasi oleh pemerintah atau

negara.

IV. 1

BAB IV

PENUTUP

IV.1 Kesimpulan

Berangkat dari analisis dan temuan dalam uraian bab sebelumnya,

dapat ditarik kesimpulan bahwa CSR Indonesia terdapat inkonsistensi, hal ini

ditunjukan dengan carut marut nya regulasi yang megatur pelaksnaan CSR itu

sendiri dikarenakan setelah diputuskannya pasal 74 dalam UU PT tidak ada

pengawalan lebih lanjut mengenai PP yang harusnya ada untuk mengatur apa

yang disebut CSR itu sendiri dan bagaimana proses pelaksanaanya.

CSR merupakan sebuah tawaran kepada masyarakat dengan tujuan

menolong keberadaan korporasi untuk tetap melakukan proses produksi

dengan menekankan melalui program CSR sebagai timbal balik dr perusahaan

tersebut terhadap masyarakat sekitar.

Meskipun korporasi memberikan kebebasan kepada masyarakat untuk

memlakukan program terhadap aktifitas CSR nya, namun kebebasan yag

diberikan hanyalah bersifat semu, karena apapun kebebesan yang telah dipilh

oleh masyarakat itu sendiri merupakan kebebasan yang terberi oleh pihak

korporasi.

Ideologi CSR di Indonesia adalah ideologi investasi, karena CSR itu

sendiri merupakan investasi jangka panjang selain modal yang bersifat sosial

dalam kedudukannya di masyarakat. Dengan program CSR yang diberikan,

diharapkan masyarakat akan menerima CSR sebagai solusi mengenai

IV. 2

permasalahan yang ada di tengah masyarakat dan CSR itu sebagai jalan

keluar.

Selain itu, karena desakan Internasional. Negara pun akhirnya

memberikan jalan terbuka lebar kepada pihak korporasi menginvestasikan

modalnya dalam rangka mengeksploitasi sumber daya alam melalui regulasi

untuk menetapkan CSR sebagai suatu hal yang diwajibkan meskipun sampai

sekarang masih menjadi kontroversi. Dengan ideologi investasi yang dianut

oleh CSR di Indonesia, dapat kita tarik suatu benang merah bahwa perilaku

sistem ekonomi yang ada pada CSR di Indonesia adalah sistem ekonomi

kapitalistik yang jelas karena keberpihakannya dengan korporasi. Hal tersebut

semakin mengukuhkan kekuasaan dari pengusaha industri dalam mengelola

sumber daya yang ada di Indonesia hanya demi kepentingan pribadi bukan

demi kesejahteraan dan kemakmuran rakyat Indonesia, hal ini jelas

bertentangan dengan UUD 1945 pasal 33, karena pada hakekatnya Negara lah

yang harus mengelola aset-aset strategis yang berhubungan dengan

kelangsungan hajat hidup orang banyak.

IV.2 Saran

Dari hasil penelitian ini, penulis hendak meberikan saran atau rekomendasi

yang nantinya dapat bermanfaat mengenai permasalahan CSR yang ada, saran

tersebut ialah pemerintah hendaknya segera membuat regulasi yang tepat

dalam mengatur CSR itu sendiri melalui PP (Peraturan Pemerintah), PP ini

IV. 3

dinilai sangat begitu penting dalam menangani segala permasalahan CSR di

Indonesia.

DP-1

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Vogel, D. J. 2005. The market for virtue: the potential and limits of corporate

social responsibility. Washington, DC: Brookings Institution Press.

Keck, M. E., & Sikkink, K. 1998. Transnational advocacy networks in

international politics: introduction. In M. E. Keck, & K. Sikkink (Eds.),

Activists beyond borders: Advocacy networks in international politics.

Ithaca: Cornell University Press.

Jepperson, R. L. 1991. Institutions, institutional effects, and institutionalism. In W.

W. Powell, & P. J. DiMaggio (Eds.), The new institutionalism in

organizational analysis: Chicago: University of Chicago Press.

Cutler, C. A., Haufler, V., & Porter, T. (Eds.). 1999. Private authority and

international affairs. Albany, NY: SUNY Press.

Archie B. Carroll, A History Corporate Social Responsibility, THE OXFORD

HANDBOOK OF CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY, A. Crane,

A. McWilliams, D. Matten, J.Moon and D. Siegeleds, 2008.

Adams, Ian. 2004. Ideologi Politik Mutakhir. Yogyakarta. Penerbit Qalam

Poloma, Margaret M. 2007. Sosiologi Kontemporer. Jakarta. Rajawali Press.

Susan, Novri. 2009. Sosiologi Konflik dan Isu-isu Konflik Kontemporer. Jakarta:

Kencana.

Brewer, John D. 2005. Ethnography. Buckingham. Open University Press.

DP-2

Hardiman, F. Budi. 2003. Kritik Ideologi-Pertautan Pengetahuan dan

Kepentingan. Yogyakarta:Kanisius.

AB Susanto. 2007. A Strategic Management Approach, CSR. The Jakarta

Consulting Group: Jakarta.

Kotler, Philip. 2007. Doing the Most Good for Your Company and Your Cause.,

Thomas Dunne Books: New York.

Susanto, A.B. 1997. Budaya Perusahaan, Jakarta: PT Elex Media Komputindo.

Kant, Imannuel, 1996, Critique of Pure Reason, New York, Doubleday &

Company Inc. Hlm. xiii.

Hegel, G.W.F.1977. Phenomenology of Spirit. Oxford. Clarendon Press.

Marx, Karl. I981. Early Writings. London. Penguin Books.

Marx, Karl. 1962. “Preface of a Contribution to the Critique of Political

Economy”. Dalam Marx and Engels. Selected Works. Vol.1. Moscow.

Foreign Languages Publishing House.

Horkheimer, Max dan Theodore W. Adorno. 1973. Dialectic of Enlightment.

London: Allen Lane.

Kolakowski, Bdk Leszek. 1978. Main Current of Marxism Vol. II: The

Breakdown. Oxford: Clarendon Press.

Lih.K.Bertens, (1976), Ringkasan Sejarah Filasafat, Yogyakarta:Kanisius.

Sindunata. 1982. Dilema Usaha Manusia Rasional. Jakarta: Gramedia.

Jay, Martin. 2005. Sejarah Mazhab Frankfurt: Imajinasi Dialektis dalam

Perkembangan Teri Kritis. Yogyakarta: Kreasi Wacana Yogyakarta.

Susanto, A.B. 1997. Manajemen Aktual. Jakarta: Grasindo.

DP-3

Jurnal

Levy, D. L., & Newell, P. 2006. Multinationals in global governance. In S.

Vachani (Ed.), Transformations in global governance: Implications for

multinationals and other stakeholders. London: Edward Elgar

Sell, S. K., & Prakash, A. 2004. Using ideas strategically: The contest between

business and NGO networks in intellectual property rights. International

Studies Quarterly, 48(1)

Bierman, F. 2001. The emerging debate on the need for a World Environment

Organization. Global Environmental Politics, 1(1)

Utting, P. 2000. Business responsibility for sustainable development. Geneva:

United Nations Research Institute for Social Development.

Levy, D. L. 1997. Environmental management as political sustainability.

Organization and Environment, 10(2)

Doh, J. P., & Guay, T. R. 2006. Corporate social responsibility, public policy,

and NGO activism in Europe and the United States: An institutional-

stakeholder perspective. Journal of Management Studies, 43(1)

Sethi, P. 2002. Corporate codes of conduct and the success of globalization.

Ethics & International Affairs, 16(1)

Gill, S. 1995. Globalisation, market civilisation, and disciplinary neoliberalism.

Millenium: Journal of International Studies, 24(3)

Carroll, W. K., & Carson, C. 2003. The network of global corporations and policy

groups: A structure for transnational capitalist class formation? Global

Networks, 3(1)

DP-4

Murphy, D. F., & Bendell, J. 1999. Partners in time? Business, NGOs, and

sustainable development. Geneva: United Nations Reserach Institute for

Social Development.

Banerjee, S. B. 2003. Who sustains whose development? Sustainable development

and the reinvention of nature. Organization Studies, 24(2)

Dhaniri, Mas Achmad. Standarisasi Tanggung Jawab Sosial Perusahaan.

HAM Hardiansyah. 2007. CSR dan Modal Sosial Untuk Membangun Sinergi,

Kemitraan Bagi Upaya Pengentasan Kemiskinan.

Hopkins, M. 2007. Corporate Social Responsibility and International

Development. Is Business the Solution?. Earthscan.

Yanuar Nugroho. 2007. “Commodum Totti Topulo: The Benefit is for the Whole

Society”.

Harahap, Yahya M. 2007. Sinopsis UU No.40 Tahun 2007 tentang Perseroan

Terbatas.

Akbar, Roby. 2007. “Benang Kusut Regulasi CSR”.

Makalah Kementerian Negara Lingkungan Hidup. 2006. “Proper Sebagai

Instrumen Pengukuran Penerapan CSR Oleh Perusahaan”.

Indonesia Business Links. 2007. “Integrating CSR a Business Strategy: How to

adopt CEO values into CSR Policies”. Jakarta.

Koran & Majalah

Rochman, Meuthia Ganie. “Meregulasi Gagasan CSR”. Kompas 10 Agustus

2007.

DP-5

Jaweng, Robert Endi. “Kritik Pengaturan CSR dalam UUPT”. Suara Pembaruan

31 Juli 2007.

Jalal. “Tanggung Jawab Sosial Perusahaan di Indonesia”. Koran Tempo, 26

September 2006.

Susanto, A.B. Paradigma Baru “Community Development”. Harian Kompas, 22

Mei 2001.

Mas Achmad, Daniri & Maria Dian Nurani. “Menuju Standarisasi CSR”. Harian

Bisnis Indonesia, 19 Juli 2007.

Susanto, A.B. CSR dalam Perspektif Ganda. Harian Bisnis Indonesia, 2

September 2007.

Susanto, A.B. Membumikan Gerakan Hijau, Majalah Ozon, Edisi No.5 Februari

2003.

Wijanarko, Himawan. Filantrofi bukan Deterjen, Majalah Trust, 11-17 September

2006.

Wijanarko, Himawan. Reputasi. Majalah Trust. 4-10 Juli 2005

Internet

http://www.csrindonesia.com

http://www.wikipedia.com

Nugroho, Yanuar. 2007. “Commodum Totti Topulo: The Benefit is for the Whole

Society”. diakses dari http://www.audentis.wordpress.com pada tanggal 25

oktober 2-11 puku 21.30 wib

DP-6

Akbar, Roby. 2007. “Benang Kusut Regulasi CSR”, diakses dari

http://www.roryakbar.wordpress.com pada tanggal 20 september 2011

pukul 13.00 wib

Effendi, Muhammad Arief. 2007. “Implementasi GCG Melalui CSR”, diakses

dari http://www.muhariefeffendi.wordpress.com diakses pada tanggal 1

september 2011 pukul 20.30 wib