membangun transparansi pengadaan barang dan jasa ...

20
Jurnal Hukum & Pembangunan 47 No. 4 (2017): 477-496 ISSN: 0125-9687 (Cetak) E-ISSN: 2503-1465 (Online) Tersedia versi daring: http://jhp.ui.ac.id DOI: http://dx.doi.org/10.21143/jhp.vol47.no4.1586 MEMBANGUN TRANSPARANSI PENGADAAN BARANG DAN JASA MELALUI PENINGKATAN PERAN ICT DALAM MEREDUKSI KORUPSI Sabrina Dyah Nayabarani* * Mahasiswa Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM Korespondensi: [email protected] Naskah dikirim: 9 Maret 2017 Naskah diterima untuk diterbitkan: 7 Juni 2017 Abstract Corruption in goods and services procurement is one of the most frequent corruption in Indonesia. So, this article discuss about the role of information communication and technology (ICT) and its mechanism for improving transparency as an effort to prevent corruption. This study apply descriptive method, literature review, and analysis the research which have been done by preceding researcher. This article conclude that ICT is statistically significant for reducing corruption, but the implementation of that system should be needed further evaluation. There are some important things which need more evaluation, such as: sufficiency of skilled worker for operating e-procurement, user support, stakeholders involvement, ICT infrastructure, institutional setting, and social community background. Keywords: e-procurement, transparency, corruption Abstrak Korupsi pengadaan barang dan jasa merupakan salah satu korupsi yang paling sering terjadi di Indonesia. Dalam artikel ini membahas mengenai peran sistem ICT serta mekanismenya dalam meningkatkan transparansi sebagai upaya mencegah terjadinya korupsi. Penulisan artikel ini menggunakan metode deskriptif, tinjauan pustaka, dan menganalisis eksperimen yang telah dilakukan oleh peneliti terdahulu. Kesimpulan dalam artikel ini adalah penggunaan ICT terbukti secara statistik signifikan dalam mendukung upaya meminimalisir korupsi, namun implementasinya perlu dievaluasi lebih lanjut. Terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam upaya mendukung terlaksananya e-procurement, diantaranya perlu adanya tenaga yang terampil dalam menjalankan e-procurement, dukungan dari pengguna layanan, keterlibatan peran stakeholder, infrastruktur ICT yang memadai, kondisi institusi yang mendukung, serta latar belakang sosial masyarakat. Kata kunci: e-procurement, transparan, korupsi

Transcript of membangun transparansi pengadaan barang dan jasa ...

Jurnal Hukum & Pembangunan 47 No. 4 (2017): 477-496

ISSN: 0125-9687 (Cetak) E-ISSN: 2503-1465 (Online)

Tersedia versi daring: http://jhp.ui.ac.id

DOI: http://dx.doi.org/10.21143/jhp.vol47.no4.1586

MEMBANGUN TRANSPARANSI PENGADAAN BARANG DAN JASA

MELALUI PENINGKATAN PERAN ICT DALAM MEREDUKSI

KORUPSI

Sabrina Dyah Nayabarani*

* Mahasiswa Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM

Korespondensi: [email protected]

Naskah dikirim: 9 Maret 2017

Naskah diterima untuk diterbitkan: 7 Juni 2017

Abstract

Corruption in goods and services procurement is one of the most frequent

corruption in Indonesia. So, this article discuss about the role of information

communication and technology (ICT) and its mechanism for improving

transparency as an effort to prevent corruption. This study apply descriptive

method, literature review, and analysis the research which have been done by

preceding researcher. This article conclude that ICT is statistically significant

for reducing corruption, but the implementation of that system should be

needed further evaluation. There are some important things which need more

evaluation, such as: sufficiency of skilled worker for operating e-procurement,

user support, stakeholders involvement, ICT infrastructure, institutional

setting, and social community background.

Keywords: e-procurement, transparency, corruption

Abstrak

Korupsi pengadaan barang dan jasa merupakan salah satu korupsi yang paling

sering terjadi di Indonesia. Dalam artikel ini membahas mengenai peran sistem

ICT serta mekanismenya dalam meningkatkan transparansi sebagai upaya

mencegah terjadinya korupsi. Penulisan artikel ini menggunakan metode

deskriptif, tinjauan pustaka, dan menganalisis eksperimen yang telah dilakukan

oleh peneliti terdahulu. Kesimpulan dalam artikel ini adalah penggunaan ICT

terbukti secara statistik signifikan dalam mendukung upaya meminimalisir

korupsi, namun implementasinya perlu dievaluasi lebih lanjut. Terdapat

beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam upaya mendukung terlaksananya

e-procurement, diantaranya perlu adanya tenaga yang terampil dalam

menjalankan e-procurement, dukungan dari pengguna layanan, keterlibatan

peran stakeholder, infrastruktur ICT yang memadai, kondisi institusi yang

mendukung, serta latar belakang sosial masyarakat.

Kata kunci: e-procurement, transparan, korupsi

Membangun Transparansi Pengadaan Barang, Sabrina Dyah Nayabarani 478

I. Pendahuluan

Dalam beberapa tahun terakhir ini transparansi merupakan suatu kondisi

yang diperlukan untuk mencapai kualitas pemerintahan yang lebih baik,

terutama dalam meningkatkan akuntabilitas dan meminimalisir lingkup

terjadinya korupsi. Korupsi tersebut dapat bersumber dari birokrasi maupun

institusi politik. Sementara efek dari adanya korupsi terhadap pembangunan

berbeda-beda di setiap negara tergantung kondisi negara tersebut. Namun yang

jelas korupsi akan merugikan keuangan negara yang seharusnya dapat

digunakan untuk membiayai sektor-sektor penunjang pembangunan, seperti

pada sektor kesehatan, pendidikan, olahraga, maupun infrastruktur. Hal

tersebut dibuktikan dengan kajian yang dilakukan oleh Pradiptyo dkk

mengenai potensi alokasi dana korupsi di Indonesia. Dalam kajian tersebut

disebutkan bahwa apabila negara tidak mengalami kerugian akibat adanya

korupsi, maka dana yang ada dapat digunakan untuk: pembangunan 600 rumah

sakit standar internasional, meluluskan 182.000 magister luar negeri atau

45.500 doktor luar negeri, pembangunan jalan tol sepanjang lebih dari 10.000

km, maupun pembangunan 182 stadion sepakbola standar internasional.1

Terdapat beberapa macam tindak pidana korupsi berdasarkan jenis

perkara yang ditangani oleh KPK, diantaranya: penyuapan, pengadaan

barang/jasa, penyalahgunaan anggaran, perijinan, pungutan, TPPU, serta

perkara yang merintangi proses KPK. Menurut data KPK, penyuapan dan

pengadaan barang/jasa merupakan jenis perkara korupsi yang paling banyak

ditangani oleh KPK selama kurun waktu tahun 2004 hingga bulan Agustus

2016 (Diagram 1).

Berdasarkan perhitungan KPK, jumlah kerugian keuangan negara dari

kasus pengadaan barang/jasa (PBJ) mencapai hampir 1 triliun rupiah. Survey

yang dilakukan IPW pun menunjukkan bahwa +/- 93% pengusaha menyuap

agar menang tender proyek pengadaan barang/jasa. Total nilai proyek dari 97

perkara tender tersebut adalah sebesar 12,35 triliun yang merupakan gabungan

dari proyek swasta, BUMN, APBN, dan APBD.2

Kajian KPK menemukan bahwa tingginya korupsi PBJ disebabkan mulai

tahap perencanaan dan penganggaran, pelaksanaan, hingga tahap pengawasan.

Permasalahan yang terjadi di tahap awal terutama dikarenakan proses

perencanaan yang tidak transparan yang berimplikasi pada tidak termonitornya

besaran dan realisasi jumlah anggaran pengadaan barang dan jasa di Indonesia

serta tidak terdeteksinya penyimpangan perencanaan PBJ secara dini.

1 Rimawan Pradiptyo, et. al, “Korupsi Struktural: Analisis Database Korupsi Versi 4

(2001-2015)”, <http://cegahkorupsi.wg.ugm.ac.id/publikasi-

/Database%20Korupsi%20V%204-5April16_RP_VR_THP.pdf>, diakses tanggal 24 Oktober

2016. 2 KPK. Kajian Pencegahan Korupsi Pada Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah, hal.

9.

479 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-47 No.4 Oktober-Desember 2017

Diagram 1

Tindak Pidana Korupsi Berdasarkan Jenis Perkara

Sumber: http://acch.kpk.go.id (2016)

Perkembangan Teknologi Informasi dan Komunikasi (ICT) yang cukup

pesat dewasa ini dipandang sebagai cara yang tepat dan efektif dalam

meningkatkan keterbukaan dan transparansi, khususnya dalam hal kemudahan

mengakses informasi pemerintah.3 Dalam meningkatkan transparansi, beberapa

departemen atau instansi pemerintah di Indonesia baik di pusat maupun di

daerah telah menerapkan sistem pengadaan barang/jasa secara online atau yang

dikenal dengan Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE).

Salah satu contoh keberhasilan penerapan sistem LPSE yakni adanya

penghematan anggaran yang cukup banyak, yaitu sekitar Rp 383 miliar, di

Provinsi Jawa Barat untuk kategori lelang barang dan jasa pada tahun 2015.4

Meskipun demikian efektivitas sistem LPSE (e-procurement) dalam

meminimalisir kasus korupsi masih perlu dikaji ulang, karena meskipun e-

procurement mulai diterapkan pada tahun 2002 hingga saat ini, namun pada

kenyataannya korupsi PBJ masih tetap tinggi. Selain itu juga terdapat pihak-

pihak yang melakukan kecurangan dengan cara membobol sistem LPSE,

sehingga peserta lelang menghadapi kesulitan dalam mengakses sistem tersebut

3 John C. Bertot, et. al, “Using ICTs to create a culture of transparency: E-government

and social media as openness and anti-corruption tools for societies”, Government

Information Quarterly, Vol. 27, Issue 3, 2010, 264–271. 4 Harian Kompas. “LPSE Jabar Sudah 10 Persen, Aher Raih E-Procurement Award

2015”,

<http://regional.kompas.com/read/2015/11/10/14592621/LPSE.Jabar.Sudah.100.Persen.Aher.

Raih.E-Procurement.Award.2015>, diakses tanggal 27 Oktober 2016.

Membangun Transparansi Pengadaan Barang, Sabrina Dyah Nayabarani 480

yang mana akan membuat dokumen persyaratan lelang tidak dapat

dimasukkan.5

Dengan demikian penerapan sistem tersebut belum tentu menjamin

pengadaan barang/jasa yang bebas korupsi mengingat korupsi merupakan

masalah yang kompleks.

I. Aspek Hukum Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah

Menurut Edquist et al. (2000) dalam KPK (2014)6, public procurement

adalah proses akuisisi yang dilakukan oleh pemerintah dan institusi publik

untuk mendapatkan barang (goods), bangunan (works), dan jasa (services)

secara transparan, efektif dan efisien sesuai dengan kebutuhan dan keinginan

penggunanya. Pengguna bisa individu (pejabat), unit organisasi (dinas,

fakultas, dsb), atau kelompok masyarakat luas. Barang/jasa yang disediakan

oleh pemerintah tersebut bertujuan untuk menunjang kesejahteraan masyarakat

serta melaksanakan kegiatan pemerintahan. Dalam rangka mencapai

tersedianya output barang atau jasa yang berkualitas, pengaturan PBJ terus

menerus diperbaiki, mulai dari aspek regulasi, pelaksanaan melalui

peningkatan kapasitas SDM, dan kelembagaan. Kegiatan pengadaan

barang/jasa yang melibatkan komponen dasar kegiatan penyelenggaraan negara

seperti anggaran, personil, dan barang sangat beralasan jika harus diatur dalam

bentuk Undang-Undang, agar dasar pelaksanaan semua itu setara dalam

kedudukan hukumnya dengan Undang-Undang.

Pengadaan Barang dan Jasa (PBJ) pemerintah juga memegang peranan

penting dalam pemanfaatan anggaran negara. Anggaran PBJ setiap tahunnya

menurut LKPP sekitar 40% dari APBN dan APBD. Konsep pengadaan

seharusnya tidak hanya terbatas pada mendapatkan barang, bangunan, dan jasa,

melainkan juga untuk mencapai value for money, yakni perbesaran nilai dari

uang yang dikeluarkan dan memberikan manfaat nyata untuk masyarakat dan

ekonomi dengan turut serta meminimalkan kerusakan lingkungan. Aspek value

for money sendiri diantaranya efisien, ekonomi, dan efektif. Aspek terkait

efisiensi memiliki tujuan apakah pengambilan keputusan yang efektif sebagai

bentuk dari efisiensi teknis atau efisiensi biaya serta pemanfaatan sumber daya

yang lebih baik.7

Kegiatan pengadaan barang/jasa pemerintah ketentuannya selama ini

diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 70 Tahun 2012 Tentang Perubahan

Kedua Atas Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 Tentang Pengadaan

Barang/Jasa Pemerintah jo. Peraturan Presiden Nomor 35 Tahun 2011 Tentang

Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 Pengadaan

5 Detiknews. “Hacker Kuasai Lelang Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah,

Bareskrim Bergerak”, <http://news.detik.com/berita/3184393/hacker-kuasai-lelang-pengadaan-

barang-dan-jasa-pemerintah-bareskrim-bergerak>, diakes tanggal 11 Desember 2016. 6 KPK. op. cit., hal. 15.

7 Abdul Halim dan Syam Kusufi, “Teori, Konsep dan Aplikasi Akuntansi Sektor Publik:

Dari Anggaran Hingga Laporan Keuangan dari Pemerintah Hingga Tempat Ibadah”, (Jakarta:

Salemba Empat, 2013), hal. 15-16.

481 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-47 No.4 Oktober-Desember 2017

Barang/Jasa Pemerintah juncto Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010

Tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (selanjutnya disebut Perpres

Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah)8.

Dalam Perpres No. 54 Tahun 20109, disebutkan bahwa pengadaan

barang/jasa menerapkan prinsip-prinsip sebagai berikut:

a. Efisien, berarti Pengadaan Barang/Jasa harus diusahakan dengan

menggunakan dana dan daya yang minimum untuk mencapai kualitas dan

sasaran dalam waktu yang ditetapkan atau menggunakan dana yang telah

ditetapkan untuk mencapai hasil dan sasaran dengan kualitas yang

maksimum.

b. Efektif, berarti Pengadaan Barang/Jasa harus sesuai dengan kebutuhan dan

sasaran yang telah ditetapkan serta memberikan manfaat yang sebesar-

besarnya.

c. Transparan, berarti semua ketentuan dan informasi mengenai Pengadaan

Barang/Jasa bersifat jelas dan dapat diketahui secara luas oleh Penyedia

Barang/Jasa yang berminat serta oleh masyarakat pada umumnya.

d. Terbuka, berarti Pengadaan Barang/Jasa dapat diikuti oleh semua Penyedia

Barang/Jasa yang memenuhi persyaratan/kriteria tertentu berdasarkan

ketentuan dan prosedur yang jelas.

e. Bersaing, berarti Pengadaan Barang/Jasa harus dilakukan melalui

persaingan yang sehat diantara sebanyak mungkin Penyedia Barang/Jasa

yang setara dan memenuhi persyaratan, sehingga dapat diperoleh

Barang/Jasa yang ditawarkan secara kompetitif dan tidak ada intervensi

yang mengganggu terciptanya mekanisme pasar dalam Pengadaan

Barang/Jasa.

f. Adil/tidak diskriminatif, berarti memberikan perlakuan yang sama bagi

semua calon Penyedia Barang/Jasa dan tidak mengarah untuk memberi

keuntungan kepada pihak tertentu, dengan tetap memperhatikan

kepentingan nasional.

g. Akuntabel, berarti harus sesuai dengan aturan dan ketentuan yang terkait

dengan Pengadaan Barang/Jasa sehingga dapat dipertanggungjawabkan.

Dengan demikian Pejabat Pembuat Komitmen dan Panitia Pengadaan

dalam mengeluarkan keputusan, ketentuan, prosedur, serta tindakan lainnya

harus didasarkan pada prinsip-prinsip di atas. Meskipun Perpres No. 54 Tahun

2010 telah dirumuskan dengan terinci dan penuh kehati-hatian, namun dalam

pelaksanaannya masih banyak ditemui persoalan. Selain itu dalam konteks

pelaksanaan barang/jasa pemerintah sesuai dengan UU dan Perpres yang

8 Romli Atmasasmita, “Aspek Hukum Pidana dalam Pengadaan Barang dan Jasa

Pemerintah”,

<http://www.lkpp.go.id/v3/files/attachments/5_LaWZGOERamXJbauxbQLMcCetTgzDkUvR.

pdf>, diakses tanggal 12 Desember 2017. 9 Indonesia, Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 54 Tahun 2010 Tentang

Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.

Membangun Transparansi Pengadaan Barang, Sabrina Dyah Nayabarani 482

mengaturnya juga diperlukan kehati-hatian dan objektivitas dalam pengkajian

terhadap dugaan penyimpangan proses pengadaan barang/jasa oleh panitia

tender dan Kuasa Penggunaan Anggaran dan Pejabat Pembuat Komitmen di

Kementrian/Lembaga.

Terdapat dua asas hukum pidana yang penting dan relevan dalam

kaitannya dengan fungsi hukum pidana sebagai sarana terakhir dalam

menyelesaikan peristiwa dalam masyarakat, yaitu asas proporsionalitas dan

asas subsidiaritas. Asas proporsionalitas mensyaratkan penggunaan hukum

pidana agar tujuan harus cocok dengan sarana untuk mencapai tujuan hukum

pidana atau dengan kata lain harus ada keseimbangan antara ancaman pidana

dan akibat yang ditimbulkan oleh suatu tindak pidana. Sementara asas

subsidiaritas mensyaratkan bahwa penggunaan hukum pidana harus

mempertimbangkan risiko terkecil daripada menimbulkan kebalikannya

dengan kata lain penggunaan hukum pidana harus se-efisien mungkin sehingga

berdaya guna dan tepat sasaran.

Peraturan Presiden Nomor 70 Tahun 2012 Tentang Perubahan Kedua

Atas Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 Tentang Pengadaan

Barang/Jasa Pemerintah merujuk pada UU RI Nomor 1 Tahun 2004 Tentang

Perbendaharaan Negara yang merupakan produk eksekutif dan bersifat

administratif semata-mata tanpa ada penguatan sanksi pidana sehingga UU

Perbendaharaan Negara tidak termasuk salah satu dari beberapa jenis UU

Pidana khusus atau UU Pidana Umum. Setiap permasalahan hukum yang

terjadi dalam praktik pelaksanaan UU Perbendaharaan termasuk juga Perpres

Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, wajib diselesaikan melalui tata cara

penyelesaian sesuai dengan ketentuan dalam UU Perbendaharaan tersebut atau

dalam Perpres dimaksud.10

II. Korupsi Pengadaan Barang/Jasa (PBJ)

Pengadaan barang dan jasa pada hakikatnya merupakan upaya

pemerintah yang diwakili oleh Pejabat Pembuat Komitmen untuk mendapatkan

barang dan jasa yang diinginkannya, dengan metode dan proses tertentu agar

dicapai kesepakatan mengenai harga, waktu, dan kualitas barang dan jasa.

Beberapa tahapan kegiatan dalam pengadaan barang dan jasa, antara lain: 11

1. Tahap persiapan pengadaan, yang meliputi kegiatan:

a. Perencanaan pengadaan barang dan jasa

b. Pembentukan panitia pengadaan barang dan jasa

c. Penetapan sistem pengadaan barang dan jasa

d. Penyusunan jadual pengadaan barang dan jasa

e. Penyusunan Harga Perkiraan Sendiri (HPS)

f. Penyusunan dokumen pengadaan barang dan jasa

2. Tahap proses pengadaan, yang meliputi kegiatan:

a. Pemilihan penyedia barang dan jasa

10 Atmasasmita. op. cit. 11 Amiruddin, Korupsi dalam Pengadaan Barang dan Jasa, (Yogyakarta: Genta

Publishing, 2010), hal. 46-47.

483 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-47 No.4 Oktober-Desember 2017

b. Penetapan penyedia barang dan jasa

3. Tahap penyusunan kontrak

4. Tahap pelaksanaan kontrak

Tahapan diatas menggambarkan jika kegiatan pengadaan barang/jasa

pemerintah memerlukan proses panjang yang dimulai dari perencanaan

kebutuhan sampai diselesaikannya seluruh kegiatan dalam rangka memperoleh

barang/jasa. Apabila kegiatan pada masing-masing tahap pengadaan barang

dan jasa terjadi penggelembungan harga (mark up), unsur KKN, suap,

perbuatan melawan hukum atau penyalahgunaan wewenang, hal itu merupakan

suatu tindakan korupsi. Unsur-unsur Tindak Pidana Korupsi secara lebih rinci

disebutkan dalam Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor Tahun 1999/2001,

diantaranya memenuhi unsur berikut:

1. Setiap orang

2. Secara melawan hukum

3. Menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau korporasi

4. Dapat menimbulkan kerugian perekonomian atau keuangan negara (Pasal 2)

Atau

1. Setiap orang

2. Dengan sengaja

3. Menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau korporasi

4. Dengan menyalahgunakan kewenangannya sehubungan dengan jabatan atau

kedudukannya sehingga

5. Dapat menimbulkan kerugian perekonomian atau keuangan Negara (Pasal

3)

Sejauh mana pelaksanaan pengelolaan keuangan negara yang

dilaksanakan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan dikaji guna

menemukan unsur melawan hukum, apakah timbul keuntungan pribadi atau

orang lain, dan apakah menimbulkan kerugian keuangan negara sebagai akibat

perbuatan melawan hukum. Unsur melawan hukum harus memenuhi syarat-

syarat hukum formil suatu tindak pidana, yaitu perbuatan pelaku harus

ditentukan secara eksplisit telah menyimpang dari ketentuan Undang-Undang,

bukan dipandang tercela oleh masyarakat atau bertentangan dengan kesusilaan,

ketertiban umum, dan keamanan. Oleh karenanya kinerja BPK RI harus selaras

dengan UU RI Nomor 15 Tahun 2006 dan UU RI Nomor 15 Tahun 2004

tentang Pemeriksaan Pengelolaan Tanggung Jawab Keuangan Negara

disamping koordinasi dengan kepolisian, kejaksaan, dan KPK.

Berdasarkan kajian yang dilakukan oleh KPK12, disebutkan bahwa

korupsi pada PBJ biasanya melibatkan pejabat publik yang bertanggungjawab

mengambil keputusan pengadaan dan perusahaan swasta yang menjadi vendor

dalam pengadaan tersebut. Bentuk korupsi yang biasanya terjadi berupa suap

atau janji yang diberikan pihak swasta kepada pejabat publik untuk

mempengaruhi kebijakannya maupun berupa auto-corruption dimana pejabat

12 KPK. op. cit., hal. 45-46.

Membangun Transparansi Pengadaan Barang, Sabrina Dyah Nayabarani 484

publik melakukan korupsi untuk keuntungan dirinya sendiri atau asosiasi

tempatnya bernaung.

Beberapa hal yang dapat mempengaruhi korupsi PBJ diantaranya:

1. Informasi asimetri

2. Kontrak, jaringan informal dan kolusi

3. Konflik kepentingan pada bagian dari pejabat publik

4. Kurangnya akuntabilitas

5. Pembiayaan politik

III. Dampak Korupsi bagi Pembangunan

Tahap pembangunan suatu negara tergantung dari tingkat daya saingnya.

Apabila tenaga kerja, infrastruktur, pemerintah, dan bisnis yang ada di negara

tersebut memiliki daya saing yang tinggi, maka proses pembangunan yang

dilakukan lebih cepat dibandingkan dengan negara lain.13 Namun

pembangunan yang ingin dicapai oleh suatu negara dapat terhambat oleh

adanya kasus korupsi, karena korupsi sangat merugikan keuangan negara atau

perekonomian negara. Oleh sebab itu korupsi harus diberantas dalam rangka

mencapai tujuan pembangunan serta mewujudkan masyarakat adil dan

makmur.

Adanya biaya yang ditimbulkan dari kasus korupsi membuat

pertumbuhan ekonomi menjadi sulit dicapai terutama ketika institusi di suatu

negara itu lemah. Selain itu korupsi juga dapat menciptakan birokrasi yang

tidak efisien dan kebijakan publik yang buruk, yang mana merupakan

hambatan bagi pembangunan ekonomi. Salah satu aspek yang sangat penting

bagi pembangunan ekonomi adalah infrastruktur. Keberadaan infrastruktur

yang memadai tidak hanya mampu mengurangi jarak antar daerah tapi juga

mengintegrasikan antar pasar sehingga dapat menghubungkan pusat-pusat

perekonomian. Infrastruktur yang efisien akan menciptakan pertumbuhan

produktivitas yang lebih tinggi dibandingkan infrastruktur yang tidak efisien.14

Melihat sangat pentingnya peran infrastruktur bagi pertumbuhan

ekonomi, maka segala bentuk korupsi pada proyek-proyek pembangunan

infrastruktur haruslah diberantas guna mencapai pertumbuhan yang stabil dan

berkelanjutan.

IV. Potensi dan Tantangan Penerapan ICT dalam Mereduksi Korupsi

Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa yang diatur dalam Peraturan

Presiden Nomor 54 Tahun 2010, masih memungkinkan adanya penyimpangan

dalam pelaksanaan tahapannya. Berkaitan dengan hal tersebut, maka solusi

13 Art Kovacic, “Competitiveness as A Source of Development”, Working Paper, No.

28, 2005. 14 Normaz Wana Ismail dan Jamilah Mohd Mahyideen, “The Impact of Infrastructure

on Trade and Economic Growth in Selected Economies in Asia”, ADBI Working Paper Series,

No. 553, 2015.

485 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-47 No.4 Oktober-Desember 2017

yang dapat dilakukan adalah dengan menerapkan sistem pengadaan secara

online atau dikenal dengan e-procurement.

Kemajuan teknologi informasi dan komunikasi tersebut memiliki peran

yang penting dalam memberantas korupsi, dengan cara memfasilitasi

ketersediaan informasi antar institusi pemerintah, antara pemerintah dengan

masyarakat, maupun antar masyarakat sehingga menciptakan transaparansi dan

akuntabilitas.15 Teknologi informasi dan komunikasi dapat memberikan

perubahan yang positif, misalnya mengurangi informasi asimetris antara

pegawai pemerintah dengan masyarakat, membatasi kewenangan pegawai

pemerintah, menciptakan proses yang otomatis, maupun mengurangi berbagai

perantara.16 Dalam kaitannya dengan peningkatan transparansi dan

memberantas korupsi, peran teknologi informasi dan komunikasi

memungkinkan untuk mengawasi tindakan dan belanja pemerintah maupun

menyelidiki pegawai sipil yang melakukan korupsi.17 Hubungan antara

penggunaan teknologi informasi dan komunikasi diukur dengan UN e-

Government readiness index, yang mana negara dengan posisi e-readiness dan

e-participation yang baik berarti tingkat korupsi di negara tersebut rendah.

Kesuksesan pengimplementasian teknologi informasi dan komunikasi

sebagai strategi pemberantasan korupsi akan tergantung pada beberapa hal,

diantaranya: kondisi politik yang melindungi kebebasan bersuara, adanya

potensi penyalahgunaan, jaminan keamanan dan kerahasiaan ketika informasi

yang sensitif dikomunikasikan, serta masalah operasional dalam penggunaan

teknologi seperti regulasi, aspek legal dari aplikasi telepon seluler, maupun

biaya operasional.18

Penerapan penggunaan teknologi informasi dan komunikasi ini harus

diikuti pula oleh aspek hukum yang dinyatakan sebagai landasan yang

mengikat untuk seluruh pengadaan yang dilaksanakan secara elektronik, tanpa

melihat basarannya nilai proyek/kegiatan. Aspek hukum yang diperlukan

diantaranya mencakup peraturan perundangan yang dapat dijadikan acuan

dalam penyelenggaraan transaksi elektronik untuk menjamin keabsahan

pelaksanaan transaksi, termasuk surat-menyurat melalui media elektronik

seperti legal aspek tanda tangan elektronik, dan bea materai untuk berbagai

dokumen.

Selain itu, perlu dibentuknya suatu badan yang berhak untuk melakukan

pengesahan registrasi dari para penyedia jasa, penetapan lokasi dan waktu

pengiriman, serta penerimaan dokumen penawaran. Dalam hal ini diperlukan

15 Marie Chêne, “Corruption, auditing and carbon emission reduction schemes”,

<http://www.u4.no/helpdesk/helpdesk/query.cfm?id=251>, diakses tanggal 26 Oktober 2016. 16 Dieter Zinnbauer, “False Dawn, Window Dressing or Taking Integrity to the Next

Level?”, <http://papers.ssrn.com/sol3/papers.cfm?abstract_id=2166277>, diakses tanggal 30

Oktober 2016. 17 John C. Bertot, et. al, op. cit. 18 Sofia Wickberg, “Technological innovations to identify and reduce corruption”,

<http://www.u4.no/publications/technological-innovations-to-identify-and-reduce-

corruption/>, diakses tanggal 24 Oktober 2016.

Membangun Transparansi Pengadaan Barang, Sabrina Dyah Nayabarani 486

juga suatu jaminan atas keabsahan dalam mengaudit proses lelang/tender

melalui media elektronik (e-procurement).19

Penerapan UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi

Elektronik merupakan salah satu landasan hukum yang menjadi latar belakang

penyelenggaraan sistem pengadaan barang/jasa secara elektronik di Indonesia.

Legal aspek seperti tanda tangan elektronik didasari oleh penerapan UU

tersebut, sehingga dengan adanya UU tersebut maka legalitas dokumen yang

digunakan dalam e-procurement dapat dipertanggung jawabkan secara hukum.

Dengan demikian Pengadaan Barang/Jasa secara online diharapkan mampu

mendorong sistem pemerintahan menjadi lebih baik. Pelaksanaan Pengadaan

Barang/Jasa pemerintah harus mendapat perhatian yang serius dari pemerintah

guna menjamin pelaksanaannya telah dilakukan secara profesional dan tepat

sasaran. Keluarnya Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2012 tentang

Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik, sebagai peraturan

pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi

dan Transaksi Elektronik, memberikan jaminan keamanan terhadap

konvergensi transaksi elektronik terutama dalam transaksi yang berbasis

keuangan negara.

V. Hasil Penelitian Terdahulu

Elbahnasawy (2014)20 melakukan penelitian mengenai peran e-

government dan tingkat penggunaan internet dalam mengurangi potensi

terjadinya korupsi baik di negara maju maupun di negara berkembang.

Dalam melakukan analisisnya, Elbahnasawy menggunakan observasi 160

negara pada tahun 1995-2009, dengan menggunakan analisis random effect dan

memakai model dynamic panel data. Variabel dependen dalam penelitian

tersebut ialah indeks persepsi korupsi (CPI), sementara variabel independen

dalam penelitian tersebut meliputi: GDP per kapita, pelaksanaan hukum, e-

government, kapasitas sumber daya manusia, infrastruktur telekomunikasi,

pengguna internet, jumlah populasi, inflasi, kebebasan pers, serta tingkat tarif.

Hasil penelitian tersebut mendukung asumsi bahwa peran e-government

dapat meminimalisir korupsi melalui peningkatan transparansi dan

akuntabilitas. Hasil regresi menunjukkan jika setiap kenaikan e-government

indeks sebesar 0.20 poin, maka akan mengurangi korupsi sebesar 0.25 – 0.43

poin, dengan menganggap faktor lainnya konstan. Selain itu infrastruktur

telekomunikasi yang memadai memiliki peranan penting sebagai upaya

meminimalisir korupsi dan mendukung kesuksesan e-government.

Penelitian dengan tema yang sama pernah dilakukan sebelumnya oleh

Goel et.al pada tahun 2012, dengan observasi 150 negara.21 Hipotesis yang

19 Tutang Muhtar, “Implementasi Pengadaan Secara Elektronik (e-procurement) di

LPSE Provinsi Sulawesi Tengah”, Infrastruktur, Vol. 1 No. 1, 2011, 43-53. 20 Nasr G. Elbahnasawy, “E-Government, Internet Adoption, and Corruption: An Empirical

Investigation”, World Development, Vol. 57, 2014, 114–126. 21 Rajeev K. Goel, et.al, “The internet as an indicator of corruption awareness”,

European Journal of Political Economy, Vol. 28, Issue 1, 2012, 64–75.

487 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-47 No.4 Oktober-Desember 2017

digunakan ialah apabila semakin tinggi kepekaan akan korupsi, maka tindakan

pencegahan korupsi juga semakin tinggi pula. Variabel dependen yang

digunakan ialah level korupsi (baik menggunakan corruption perception index,

control of corruption index, index of mainly political corruption), sementara

variabel independen yang digunakan: internet (jumlah rata-rata pencarian

mengenai isu korupsi), GDP per kapita, belanja pemerintah, serta variabel yang

menggambarkan kondisi institusi suatu negara (seperti kebebasan ekonomi,

demokrasi, kualitas birokrasi, dan tata tertib hukum. Dengan menggunakan

STATA dan analisis Ordinary Least Square, diperoleh hasil apabila semakin

tinggi kepekaan mengenai isu korupsi (ditunjukkan oleh variabel internet) akan

mengurangi tingkat persepsi korupsi sebesar 0,18 poin, semua faktor lain

dianggap konstan.

Meskipun pemanfaatan sistem ICT memiliki pengaruh yang kecil dalam

mereduksi korupsi seperti yang ditunjukkan dalam kedua paper diatas, namun

upaya tersebut memiliki pengaruh yang signifikan dalam mengurangi persepsi

korupsi sebagai salah satu usaha menciptakan transparansi tata kelola.

VI. Strategi Pemberantasan Korupsi

Dalam merumuskan strategi yang tepat untuk memberantas korupsi,

maka penting untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang dapat

mempengaruhi penurunan korupsi. Elbahnasawy22 melakukan penelitian

dengan menggunakan pendekatan pelaksanaan hukum yang berdasarkan indeks

rule of law (RL). Indeks RL menunjukkan bahwa semakin kuat aturan hukum

yang ada, maka akan mengurangi kemungkinan terjadinya korupsi. Selain itu

indeks RL juga menggambarkan kualitas institusi.

Tabel 1

Hasil Estimasi Model Data Panel

Sumber: Elbahnasawy (2014)

22 Nasr G. Elbahnasawy, op.cit.

Membangun Transparansi Pengadaan Barang, Sabrina Dyah Nayabarani 488

Terdapat dua metode yang digunakan dalam model data panel pada Tabel

1 tersebut, yaitu dengan menggunakan fixed effect dan random effect. Pada

model fixed effect terdapat dua spesifikasi model, sementara dalam random

effect terdapat lima spesifikasi model. Secara keseluruhan, variabel GDP per

kapita, pelaksanaan hukum, dan e-government memiliki pengaruh yang secara

statistik signifikan (baik di level 1% maupun 5%) dalam menurunkan persepsi

korupsi. Sama halnya dengan ketiga variabel tersebut, variabel online services

dan infrastruktur telekomunikasi juga memiliki pengaruh yang secara

signifikan dapat mengurangi persepsi korupsi. Sehingga kesimpulan yang

dapat diperoleh dari hasil estimasi tersebut adalah apabila pemerintah

menerapkan pelaksanaan layanan secara online dan mendukung upaya

mewujudkan tata kelola pemerintah yang transparan, seperti penggunaan e-

governement dan peningkatan kualitas infrastruktur telekomunikasi, maka juga

akan mendukung usaha pemerintah dalam mereduksi kasus korupsi yang ada.

VII. Gambaran Penerapan Sistem LPSE di Indonesia

Pada dasarnya pemerintah menerapkan pengadaan secara elektronik (e-

procurement) dengan bertujuan untuk: (1) meningkatkan transparansi dan

akuntabilitas, (2) meningkatkan akses pasar dan persaingan usaha yang sehat,

(3) memperbaiki tingkat efisiensi proses pengadaan, (4) mendukung proses

monitoring dan audit; dan (5) memenuhi kebutuhan akses informasi yang real

time.

Dalam mendukung upaya pengadaan barang/jasa secara elektronik, tentu

saja diperlukan persiapan yang matang mulai dari tahap perencanaan desain,

uji coba, penerapan, dan evaluasi. Untuk Indonesia, penerapan e-procurement

sudah dimulai sejak tahun 2002, namun pada tahun tersebut masih dalam tahap

uji coba. Implementasi e-procurement baru dilaksanakan dua tahun kemudian,

yaitu pada 2004, di pusat dan di DKI Jakarta. Kemudian pada tahun-tahun

berikutnya, tahun 2005-2011, e-procurement mulai diterapkan di beberapa

provinsi lainnya (selengkapnya lihat pada tabel lampiran). Tahap selanjutnya

ialah diperlukan adanya evaluasi yang mencakup kondisi sebelum menerapkan

e-procurement, selama pelaksanaan, dan bagaimana perbedaan setelah

menerapkan e-procurement. Evaluasi yang dilakukan penting untuk melihat

apakah desain yang diterapkan bisa terimplementasi dengan baik sesuai realita

di lapangan, sehingga menghindari potensi kegagalan penerapan e-

procurement.

Kerangka evaluasi yang digunakan untuk melihat apakah terdapat gap

antara desain e-procurement dengan realita pelaksanaan di lapangan, yaitu

dengan menggunakan kerangka STOPE (strategy, technology, organization,

people, and environment). Berikut ini merupakan hasil analisis yang dilakukan

489 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-47 No.4 Oktober-Desember 2017

oleh Choi et al. (2016)23 dalam melihat kesiapan penerapan sistem e-

procurement di Indonesia dengan menggunakan kerangka STOPE.

Tabel 2

Evaluasi STOPE dalam Penerapan e-procurement di Indonesia

Sumber: Choi, et al. (2016)

Berdasarkan Tabel 2, secara keseluruhan, dimensi environment memiliki

prioritas tertinggi, yaitu sebesar 0.29226. Kemudian diikuti oleh organization,

people, strategy, dan technology yang masing-masing sebesar 0.22409,

0.17869, 0.16658, dan 0.13838.

Kesimpulan dari Tabel 2 tersebut adalah apabila menginginkan

kesuksesan pelaksanaan e-procurement di Indonesia, maka Indonesia perlu

membangun lingkungan yang mendukung kesuksesan e-procurement. Hal-hal

yang perlu diperhatikan diantaranya tersedianya tenaga yang terampil dalam

menjalankan e-procurement, dukungan dari pengguna layanan e-procurement,

keterlibatan peran stakeholder, infrastruktur ICT yang memadai, kondisi

institusi yang mendukung, serta latar belakang sosial masyarakat terutama di

daerah. Kondisi Indonesia yang terdiri dari ribuan pulau, merupakan tantangan

tersendiri bagi proses implementasi e-procurement di Indonesia, mengingat

terkadang apa yang direncanakan di pusat, implementasinya akan berbeda

ketika diterapkan di daerah karena kondisi di daerah-daerah yang kurang

mendukung bagi terwujudnya efisiensi sistem e-procurement. Oleh sebab itu

perlu adanya upaya untuk meminimalisir hambatan yang ada, misalnya dengan

membangun infrastruktur ICT yang memadai khususnya di kawasan Indonesia

bagian timur.

23 Hyeri Choi, et.al, “Rethinking the assessment of e-government implementation in

developing countries from the perspective of the design–reality gap: Applications in the

Indonesian e-procurement system”, Telecommunications Policy, Vol. 40, Issue 7, 2016, 644–

660.

Membangun Transparansi Pengadaan Barang, Sabrina Dyah Nayabarani 490

Apabila dibandingkan dengan negara lainnya di kawasan ASEAN,

penerapan layanan pemerintahan secara online di Indonesia masih kalah

dibandingkan Singapura, Malaysia, Filipina, Thailand, dan Vietnam.

Berdasarkan beberapa literatur yang ada, penerapan e-government dalam

mendukung transparansi pemerintah diduga dapat mereduksi potensi terjadinya

korupsi. Berikut ini merupakan tabel yang menggambarkan hubungan antara e-

government dengan indeks persepsi korupsi negara-negara di kawasan

ASEAN, kecuali Brunei Darussalam karena tidak tersedianya data bagi negara

tersebut.

Tabel 3

Indeks E-Government dan Indeks Korupsi Negara Kawasan ASEAN Country E-Government (2016) CPI (2015)

Singapore 0,8828 85

Malaysia 0.6175 50

Philippines 0.5766 35

Thailand 0.5522 38

Viet Nam 0.5143 31

Indonesia 0.4478 36

Lao PDR 0.3090 25

Cambodia 0.2593 21

Myanmar 0.2362 22

Sumber: transparency.org (2015) dan publicadministration.un.org (2016)

Berdasarkan Tabel 3, dapat disimpulkan bahwa secara umum nilai

penerapan e-government yang semakin tinggi di suatu negara maka korupsi

yang ada di negara tersebut rendah atau nilai CPI-nya tinggi. Seperti misalnya

Singapura yang memiliki nilai kesiapan e-government paling tinggi

dibandingkan negara lainnya membuat korupsi di negara tersebut lebih rendah

karena tata kelola pemerintahannya yang semakin transparan. Namun kesiapan

penerapan e-government yang semakin tinggi belum tentu berarti korupsi suatu

negara rendah. Dalam Tabel 3 terlihat bahwa kesiapan e-government Indonesia

lebih rendah dibandingkan Filipina, namun nilai persepsi korupsi yang ada di

Indonesia lebih baik dibandingkan Filipina, meskipun hanya selisih satu

peringkat. Perbedaan tersebut dapat dikarenakan oleh beberapa faktor seperti

tingkat kesiapan institusi, keadaan politik, maupun regulasi yang juga berbeda-

beda dalam menangani kasus korupsi di setiap negara.

VIII. Upaya Pembenahan Penerapan e-procurement

Pembahasan pada bagian sebelumnya memberikan kesimpulan bahwa

transparansi layanan pemerintah akan menurunkan persepsi terjadinya korupsi.

491 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-47 No.4 Oktober-Desember 2017

Sayangnya penerapan salah satu pelaksanaan layanan pemerintah di Indonesia,

yaitu e-procurement belum sepenuhnya maksimal. Penerapan yang belum

maksimal tersebut dikarenakan ada beberapa aspek yang belum dilaksanakan

secara maksimal, seperti masih perlu adanya tambahan tenaga kerja yang

terampil mengoperasikan e-procurement, peningkatan infrastruktur ICT, serta

dukungan penuh dari institusi/lembaga khususnya yang terkait dengan

pengadaan barang/jasa. Reddick (2014:151) dalam Purwanto, et. al (2008)24

mengidentifikasi lima tantangan bagi aplikasi e-procurement, diantaranya: (1)

kompleksitas teknis kerahasiaan, keamanan, standardisasi, (2) isu legalitas

seperti informasi website sebagai catatan publik, tandatangan digital untuk

dokumen pengadaan barang, (3) metode pembayaran bagi biaya

pengembangan inisiasi yang potensial dan biaya operasional, (4) memelihara

hubungan dengan vendor secara online dan aplikasi pelayanan suplier, dan (5)

marginalisasi secara digital terhadap pemilik bisnis kecil dan minoritas.

Tidak maksimalnya pelaksanaan penerapan e-procurement akan

menimbulkan gap antara desain yang telah direncanakan dengan hasil yang

ingin dicapai. Untuk meminimalisir timbulnya gap tersebut, maka perlu

pembenahan pada beberapa tahapan pelaksanaan e-procurement, yaitu dari

tahap perencanaan desain, uji coba, penerapan, dan evaluasi.

Dalam tahap perencanaan desain, tampilan e-procurement haruslah

mudah dipahami (user friendly) guna memudahkan dalam pencarian menu

yang dituju. Selanjutnya pada tahap uji coba, penting untuk mengetahui

berbagai kekurangan dari desain e-procurement, seperti tidak adanya kepastian

mengenai keaslian dokumen yang dikirim maupun diterima oleh pengguna

serta mengetahui tingkat kesiapan pengguna secara teknis dalam menerapkan

e-procurement, karena e-procurement merupakan sistem yang baru sehingga

wajar apabila masih ada beberapa orang yang belum terbiasa menggunakannya.

Apabila telah melakukan uji coba beberapa kali dan telah ditemukan apa saja

kekurangannya, maka selanjutnya perlu untuk membenahi sistem agar semakin

efektif dan efisien, sehingga dapat diterapkan secara luas di berbagai wilayah.

Setelah melalui ketiga tahapan tersebut, tahapan selanjutnya ialah dengan

melakukan evaluasi terkait pelaksanaan e-procurement, baik evaluasi secara

administratif maupun teknis sehingga akan terus ada perbaikan yang

mendorong tercapainya tujuan penerapan pengadaan barang/jasa secara

elektronik.

Selain membenahi tahapan pelaksanaan e-procurement, juga perlu

adanya pengaturan peraturan dalam pelaksanaan e-procurement, seperti upaya

perlindungan data, keamanan informasi dan kontrol organisasi terhadap

lingkungan. Untuk menjamin keamanan dokumen penawaran rekanan, LKPP

bekerja sama dengan Lembaga Sandi Negara dalam mengembangkan Aplikasi

Pengaman Dokumen (Apendo) yang digunakan untuk melakukan enkripsi dan

dekripsi dokumen.

24 Erwan Agus Purwanto, et. al, “E-Procurement di Indonesia: Pengembangan Layanan

Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah secara Elektronik”, (Jakarta: Kemitraan, 2008), hal.

21-22.

Membangun Transparansi Pengadaan Barang, Sabrina Dyah Nayabarani 492

IX. Penutup

1. Kesimpulan

Korupsi pengadaan barang/jasa merupakan salah satu korupsi yang

paling banyak terjadi di Indonesia. Berdasarkan identifikasi KPK, terdapat

beberapa hal yang dapat mempengaruhi korupsi pengadaan barang/jasa,

seperti: informasi asimetri, adanya kolusi, konflik kepentingan pada bagian

dari pejabat publik, kurangnya akuntabilitas, serta pembiayaan politik. Untuk

mencegah terjadinya korupsi dalam proses pengadaan barang/jasa, maka

diperlukan suatu sistem yang mendukung upaya transparansi, sehingga hal-hal

yang dapat menimbulkan korupsi dapat diminimalisir. Salah satunya yaitu

dengan menggunakan sistem e-procurement.

Meskipun banyak penelitian yang membuktikan bahwa penggunaan

layanan pemerintah secara online dapat mereduksi korupsi, dan hasilnya

signifikan, namun sistem tersebut masih harus terus dievaluasi agar sesuai

dengan tujuan yang ingin dicapai. Seperti misalnya pelaksanaan pengadaan

barang/jasa secara online (e-procurement) di Indonesia, yang masih ditemui

adanya gap antara perencanaan desain sistem dengan penerapan sistem tersebut

di masyarakat. Berdasarkan analisis STOPE, Indonesia perlu membangun

lingkungan yang mendukung kesuksesan e-procurement. Hal-hal yang perlu

diperhatikan diantaranya tersedianya tenaga yang terampil dalam menjalankan

e-procurement, dukungan dari pengguna layanan e-procurement, keterlibatan

peran stakeholder, infrastruktur ICT yang memadai, kondisi institusi yang

mendukung, serta latar belakang sosial masyarakat terutama di daerah.

Melalui dukungan yang penuh pada penerapan e-procurement serta

melakukan beberapa perbaikan pada proses tersebut, maka keinginan untuk

meminimalisir terjadinya korupsi bukan hanya sekedar angan-angan belaka.

2. Saran

Beberapa saran dalam meningkatkan peran ICT guna mereduksi terjadinya

korupsi diantaranya:

a. Meningkatkan kapasitas sumber daya manusia.

Masih minimnya tenaga terampil yang mampu mengoperasikan sistem e-

procurement membuat tidak semua pemerintah daerah mampu

mengimplementasikannya dengan baik. Oleh sebab itu perlu adanya

pelatihan IT maupun rekrutmen bagi lulusan yang memiliki kompetensi di

bidang IT.

b. Mendukung pendanaan untuk mewujudkan sistem e-procurement.

Pendanaan yang ada nantinya digunakan bagi perbaikan maupun memenuhi

kebutuhan komponen apa saja yang diperlukan dalam upaya mendukung

sistem e-procurement yang efektif dan efisien.

c. Menyediakan infrastruktur penunjang yang memadai.

Perlu adanya peningkatan infrastruktur yang mendukung pelaksanaan e-

procurement seperti server maupun jaringan komputer, mengingat tidak

semua daerah memiliki infrastruktur ICT yang memadai, khususnya di

wilayah bagian timur Indonesia.

493 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-47 No.4 Oktober-Desember 2017

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku

Halim, Abdul, dan Syam Kusufi. Teori, Konsep dan Aplikasi Akuntansi Sektor

Publik: Dari Anggaran Hingga Laporan Keuangan dari Pemerintah Hingga

Tempat Ibadah, Jakarta: Salemba Empat, 2013.

Amiruddin. Korupsi dalam Pengadaan Barang dan Jasa, Yogyakarta: Genta

Publishing, 2010.

Purwanto, E. Agus, et. al. E-Procurement di Indonesia: Pengembangan

Layanan Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah secara Elektronik,

Jakarta: Kemitraan, 2008.

B. Artikel Jurnal

Andersen, Thomas, B. “E-Government as an anti-corruption strategy”,

Information Economics and Policy, Vol. 21, Issue 3, 2009: 201–210.

Bauhr, M., dan M. Grimes. “What is Government Transparency?”, QoG

Working Paper Series, 2012:16.

Bertot, J.C., P.T. Jaeger, J.M. Grimes. “Using ICTs to create a culture of

transparency: E-government and social media as openness and anti-

corruption tools for societies”, Government Information Quarterly, Vol.

27, Issue 3, 2010: 264–271.

Castro, M.F., Calogero Guccio, Ilde Rizzo. “An assessment of the waste effects

of corruption on infrastructure provision through bootstrapped DEA

approach”, Int Tax Public Finance, Vol. 21, Issue 4, 2014, 813-843.

Choi, H., Park, M.J., Rho, J.J., Zo, H. “Rethinking the assessment of e-

government implementation in developing countries from the perspective

of the design–reality gap: Applications in the Indonesian e-procurement

system”, Telecommunications Policy, Vol. 40, Issue 7, 2016, 644–660.

Elbahnasawy, N.G. “E-Government, Internet Adoption, and Corruption: An

Empirical Investigation”, World Development, Vol. 57, 2014, 114–126.

Goel, R.K., M.A. Nelson, M.A. Naretta. “The internet as an indicator of

corruption awareness”, European Journal of Political Economy, Vol. 28,

Issue 1, 2012, 64–75.

Ismail, N.W., dan J.M. Mahyideen. “The Impact of Infrastructure on Trade and

Economic Growth in Selected Economies in Asia”, ADBI Working Paper

Series, No. 553, 2015.

Kim, S., H.J. Kim, H. Lee. “An institutional analysis of an e-government

system for anti-corruption: The case of OPEN”, Government Information

Quarterly, Vol. 26, Issue 1, 2009, 42–50.

Kovacic, A. “Competitiveness as A Source of Development”, Working Paper,

No. 28, 2005.

Lio, M.C., Liu, M.C., Ou, Y.P. “Can the internet reduce corruption? A cross-

country study based on dynamic panel data models”, Government

Information Quarterly, Vol. 28, Issue 1, 2011, 47–53.

Membangun Transparansi Pengadaan Barang, Sabrina Dyah Nayabarani 494

Muhtar, Tutang. “Implementasi Pengadaan Secara Elektronik (e-procurement)

di LPSE Provinsi Sulawesi Tengah”, Infrastruktur, Vol. 1 No. 1, 2011, 43-

53.

Wardhani, Sari Laksmi. “Kajian Yuridis Sistem E-Procurement dalam

Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah di Lingkungan Kementerian

Pekerjaan Umum”, Tesis Universitas Gadjah Mada, 2015, hal 8.

C. Sumber Internet

Candra, Sevenpri. “Perkembangan e-procurement di Indonesia”,

<http://sbm.binus.ac.id/2016/03/17/perkembangan-e-procurement-di-

indonesia/>, diakses tanggal 27 Oktober 2016.

Chêne, Marie. “Corruption, auditing and carbon emission reduction schemes”,

<http://www.u4.no/helpdesk/helpdesk/query.cfm?id=251>, diakses

tanggal 26 Oktober 2016.

Detiknews. “Hacker Kuasai Lelang Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah,

Bareskrim Bergerak”, <http://news.detik.com/berita/3184393/hacker-

kuasai-lelang-pengadaan-barang-dan-jasa-pemerintah-bareskrim-

bergerak>, diakes tanggal 11 Desember 2016.

Jasin, M., Zulaiha, A.R., Rachman, E.J., Ariati, N. “Mencegah Korupsi melalui

e-Procurement: Meninjau Keberhasilan Pelaksanaan e-Procurement di

Pemerintah Kota Surabaya”,

<http://acch.kpk.go.id/id/component/bdthemes_shortcodes/?view=downlo

ad&id=3c8dc306ee927b2adb883083c21d2e>, diakses tangal 25 Oktober

2016.

Harian Kompas. “Terapkan E-procurement, Pemkot Surabaya Hemat Rp 400

Miliar Per Tahun”,

<http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2014/11/14/193250626/Terapkan

.E-procurement.Pemkot.Surabaya.Hemat.Rp.400.Miliar.Per.Tahun>,

diakses tanggal 27 Oktober 2016.

Harian Kompas. “LPSE Jabar Sudah 10 Persen, Aher Raih E-Procurement

Award 2015”,

<http://regional.kompas.com/read/2015/11/10/14592621/LPSE.Jabar.Suda

h.100.Persen.Aher.Raih.E-Procurement.Award.2015>, diakses tanggal 27

Oktober 2016.

Harian Kompas. “KPK: E-Procurement Belum Menjamin Pengadaan Barang

dan Jasa Bebas Korupsi”,

<http://nasional.kompas.com/read/2016/08/24/11260361/kpk.e-

procurement.belum.menjamin.pengadaan.barang.dan.jasa.bebas.korupsi>,

diakses tanggal 27 Oktober 2016.

KPK. “Kajian Pencegahan Korupsi Pada Pengadaan Barang dan Jasa

Pemerintah”.

<http://acch.kpk.go.id/documents/10180/15049/Report+Kajian+Pengadaan

+Barang+dan+Jasa.pdf/1441c294-f308-4d4e-9795-2aeb133e8e51>,

diakses tanggal 25 Oktober 2016.

Pradiptyo, R., Partohap, T.H., Pramashavira. “Korupsi Struktural: Analisis

Database Korupsi Versi 4 (2001-2015)”,

495 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-47 No.4 Oktober-Desember 2017

<http://cegahkorupsi.wg.ugm.ac.id/publikasi-

/Database%20Korupsi%20V%204-5April16_RP_VR_THP.pdf>, diakses

tanggal 24 Oktober 2016.

Atmasasmita, Romli. 2014. “Aspek Hukum Pidana dalam Pengadaan Barang

dan Jasa Pemerintah”,

<http://www.lkpp.go.id/v3/files/attachments/5_LaWZGOERamXJbauxbQ

LMcCetTgzDkUvR.pdf>, diakses tanggal 10 Desember 2017.

Tribunnews.com. “Duh Mahalnya Internet di Papua”,

<http://www.tribunnews.com/bisnis/2015/04/13/duh-mahalnya-internet-di-

papua>, diakses tanggal 5 Oktober 2016.

Wickberg, S. “Technological innovations to identify and reduce corruption”,

<http://www.u4.no/publications/technological-innovations-to-identify-and-

reduce-corruption/>, diakses tanggal 24 Oktober 2016.

Zinnbauer, Dieter. “False Dawn, Window Dressing or Taking Integrity to the

Next Level?”,

<http://papers.ssrn.com/sol3/papers.cfm?abstract_id=2166277>, diakses

tanggal 30 Oktober 2016.

Keputusan Presiden

Indonesia, Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 54 Tahun 2010,

tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.

Lampiran

Tahap Pelaksanaan e-procurement di Indonesia

Tahun Tahapan Pelaksanaan

2002 Uji coba 1 paket

2003 Uji coba 60 paket

2004 Pusat + DKI Jakarta

2005 Seluruh di Pulau jawa

2006 Pulau Jawa + 7 Provinsi lainnya (Sumatera Utara, Sumatera Barat,

Sumatera Selatan, Kalimantan Timur, Sulawasi Selatan, Gorontalo

dan Bali)

2007 Pulau Jawa + 15 Provinsi lainnya (Sumut, Sumbar, Sumsel, Kaltim,

Sulsel, Gorontalo, Bali, NAD, Riau, Jambi, Bengkulu, Lampung,

Kalsel, Sulut, NTB)

Uji Coba Semi E-Procurement Plus : Pusat

Membangun Transparansi Pengadaan Barang, Sabrina Dyah Nayabarani 496

2008 Pulau Jawa + 26 Provinsi lainnya (Sumut, Sumbar, Sumsel, Kaltim,

Sulsel,

Gorontalo, Bali, NAD, Riau, Jambi, Bengkulu, Lampung, Kalsel,

Sulut, NTB, Kepri, Babel, Kalbar, Kalteng, Sultra, Sulteng, NTT,

Maluku, Malut, Papua, Irjabar)

Pusat & DKI Jakarta Semi E-Procurement plus.

2009 Pusat dan Pulau Jawa: semi E-Procurement plus.

Provinsi di luar Pulau Jawa: Semi E-Procurement

2010 Pusat dan Pulau Jawa + 4 Provinsi (Riau, Kalsel, Gorontalo dan

Bali): semi E-Procurement plus.

Di luar propinsi tersebut melaksanakan: Semi E-Procurement

2011 Full E-Procurement diterapkan di 24 propinsi, yaitu: DKI Jakarta,

Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur,

Nanggroe Aceh Darussalam, Sumatera Utara, Sumatera Barat,

Sumatera Selatan, Riau, Kepulauan Riau, Jambi, Bangka Belitung,

Lampung, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Kalimantan

Tengah, Kalimantan Timur, Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan,

Gorontalo, Bali, dan Nusa Tenggara Barat

Semi E-Procurement diterapkan di 9 propinsi yaitu: Bengkulu,

Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Barat, Nusa

Tenggara Timur, Maluku, Maluku Utara, Papua dan Papua Barat

Sumber: LKPP (2016) dalam Candra (2016).

.