makalah tentang diskriminasi upah buruh menurut perspektif hukum positif Indonesia

31
KESETARAAN UPAH BAGI PEKERJA PEREMPUAN DALAM PERSPEKTIF HUKUM Oleh Charoline Koni Padaka Mahasiswa Fakultas Hukum UAJY Email: [email protected] 1. PENDAHULUAN Peran aktif perempuan dalam kehidupan sosial maupun ekonomi telah dimulai sejak dahulu. Banyak perempuan yang bekerja disektor informal (seperti petani, pengrajin) dan formal (dalam perusahaan/industri) maupun sebagai ibu rumah tangga. Akibat berkembangnya paham Liberalisme Adam Smith yang pokok ajarannya “Laissez-fair, laissez-passer”, yang menentang segala bentuk campur tangan pemerintah terhadap industri dan perdagangan, mengakibatkan terjadinya proses industrialisasi besar-besaran di Inggris dan kemudian menyebar keseluruh dunia. 1 Penyebaran kebebasan dalam industri dan perdagangan tersebut juga melanda Indonesia. Banyak kaum perempuan mengalami pergeseran mata pencaharian dari sektor informal menuju sektor formal. Sebagian besar perempuan menjadi buruh-buruh di pabrik atau perusahaan Peran pekerja-pekerja wanita dalam perusahaan membuat banyak perusahaan dapat berkembang dengan pesat. Ketekunan, kerajinan, dan ketelitian kaum wanita dalam bekerja memberikan andil yang cukup besar bagi hasil produksi perusahaan. Seiring dengan berjalannya waktu, 1 F.X. Soedijana, Ekonomi Pembangunan Indonesia, Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Yogyakarta, 2012, hlm 1 1

Transcript of makalah tentang diskriminasi upah buruh menurut perspektif hukum positif Indonesia

KESETARAAN UPAH BAGI PEKERJA PEREMPUAN DALAMPERSPEKTIF HUKUM

Oleh Charoline Koni PadakaMahasiswa Fakultas Hukum UAJYEmail: [email protected]

1. PENDAHULUANPeran aktif perempuan dalam kehidupan sosial maupun

ekonomi telah dimulai sejak dahulu. Banyak perempuan yang

bekerja disektor informal (seperti petani, pengrajin) dan

formal (dalam perusahaan/industri) maupun sebagai ibu

rumah tangga. Akibat berkembangnya paham Liberalisme Adam

Smith yang pokok ajarannya “Laissez-fair, laissez-passer”, yang

menentang segala bentuk campur tangan pemerintah terhadap

industri dan perdagangan, mengakibatkan terjadinya proses

industrialisasi besar-besaran di Inggris dan kemudian

menyebar keseluruh dunia.1 Penyebaran kebebasan dalam

industri dan perdagangan tersebut juga melanda Indonesia.

Banyak kaum perempuan mengalami pergeseran mata

pencaharian dari sektor informal menuju sektor formal.

Sebagian besar perempuan menjadi buruh-buruh di pabrik

atau perusahaan

Peran pekerja-pekerja wanita dalam perusahaan membuat

banyak perusahaan dapat berkembang dengan pesat.

Ketekunan, kerajinan, dan ketelitian kaum wanita dalam

bekerja memberikan andil yang cukup besar bagi hasil

produksi perusahaan. Seiring dengan berjalannya waktu,1 F.X. Soedijana, Ekonomi Pembangunan Indonesia, Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Yogyakarta, 2012, hlm 1

1

dalam kenyataan di lapangan ada ketimpangan dalam sistem

pengupahan pekerja. Dalam hal ini upah yang diterima oleh

pekerja perempuan rata-rata lebih kecil daripada pekerja

laki-laki dengan jumlah jam kerja yang sama.

Sebagian besar kaum pekerja perempuan belum

menikmati penghargaan yang sama dengan kaum laki-laki

sesuai dengan apa yang telah disumbangkan pada

perusahaan. Hal ini menunjukkan adanya bentuk

diskriminasi terhadahap kaum pekerja perempuan.

Diskriminasi perempuan di tempat kerja menjadi suatu

persoalan penting yang perlu dikaji lebih dalam, karena

pekerjaan adalah salah satu hak hidup yang dimiliki

setiap individu termasuk juga disini adalah perempuan.

Melalui pekerjaan tersebut, perempuan berhak secara bebas

mengembangkan bakat dan kemampuan yang dimiliki serta

memperoleh penghargaan sesuai prestasi masing-masing.

Karena, pada dasarnya kesetaraan upah pekerja telah

dilindungi dalam UUD 1945. Dalam Pasal 28D ayat (2) UUD

Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menegaskan, Setiap

orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang

adil dan layak dalam hubungan kerja. Dalam hal ini Negara

menjamin adanya perlakuan yang adil terhadap para

pekerja, baik dalam hal jenis pekerjaan, penempatan

jabatan dalam bekerja, hingga pemberian upah.

Ketidakadilan yang dialami oleh para pekerja

perempuan telah dibahas (Sudargo Gautama,2002), bahwa

ketidakadilan tampak dalam hubungan kerja antara pekerja

2

wanita dengan pengusaha. Pembahasan yang serupa juga

telah dikemukakan oleh (Agnes Widanti, 2005) bahwa pekerja juga

dituntut untuk harus menaati hukum yang berlaku di pabrik

secara ketat tetapi majikan sendiri banyak melanggar

hukum dengan tidak memberikan hak-hak  buruh yang sudah

dijamin Undang-Undang termasuk dalam pengupahan. Dari

ulasan yang telah dibahas oleh para pakar, namun dalam

hal ini belum dibahas secara lebih mendalam dikriminasi

pemberian upah dari perspektif hukum, baik dalam hukum

internasional maupun hukum positif Indonesia. Sehingga,

dengan mengkaji secara lebih mendalam dari perspektif

hukum, dapat diketahui bagaimana seharusnya peran Negara

dalam mengupayakan kesetaraan upah bagi pekerja perempuan

sebagai bentuk pemenuhan kewajian Negara dalam melindungi

hak asasi warga negaranya.

Makalah ini akan membahas secara berturut-turut

tentang pemahaman mengenai diskriminasi; penyebab adanya

diskriminasi upah terhadap pekerja perempuan; dan kajian

sudut pandang hukum atas pengupahan yang diskriminatif

dengan didasarkan pada ketentuan yang diatur dalam

Konvensi Internasional dan Undang-Undang Ketenagakerjaan,

dan akan diakhiri dengan kesimpulan.

3

2. TINJAUAN PUSTAKA2.1 Pekerja

Pekerja adalah seseorang yang menjalankan pekerjaan

untuk majikan dalam hubungan kerja dengan menerima upah

(Iman Soepomo 1976:33). Penjelasan senada juga

dikemukakan oleh G. Kartasapoetra (1986:17-18) bahwa yang

dimaksud dengan pekerja ialah para tenaga kerja yang

bekerja pada perusahaan, dimana para tenaga kerja itu

harus tunduk kepada perintah dan peraturan kerja yang

diadakan oleh pengusaha (majikan) yang bertanggung jawab

atas lingkungan pekerjaannya, untuk mana tenaga kerja itu

akan memperoleh upah atau jaminan hidup lainnya yang

wajar. Pengertian pekerja banyak pula dijumpai dalam

Undang-Undang Kerja, Undang-Undang Perlindungan dan

Keselamatan Kerja, Undang-Undang Ketenagakerjaan serta

beberapa Undang-Undang lainnya dimana buruh dimaksudkan

sebagai “tenaga kerja yang melakukan pekerjaan, yang

tunduk dan berada di bawah perintah pengusaha, sesuai

dengan peraturan kerja yang berlaku di lingkungan

pekerjaannnya.

2.2 Upah dan Kesetaraan Upah

Para pekerja yang telah menyelesaikan pekerjaannya

sesuai dengan kesepakatan kerja terdahulu akan

mendapatkan upah. Istilah upah dalam Undang-Undang

Ketenagakerjan No 13 Tahun 2003 ialah hak pekerja / buruh

4

yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai

imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepada

pekerja/buruh yang ditetapkan dan dibayarkan menurut

suatu perjanjian kerja, kesepakatan, atau peraturan

perundang-undangan, termasuk tunjangan bagi pekerja/

buruh dan keluarganya atas suatu pekerjaan dan / atau

jasa yang telah atau akan dilakukan. Dalam Konvensi ILO

Nomor 100 Tahun 1951 istilah upah mencakup upah atau gaji

biasa, pokok atau minimum dan pendapatan-pendapatan lain

apapun, yang dibayar secara langsung maupun tak langsung,

secara tunai maupundalam bentuk barang oleh majikan

kepada pekerja terkait atas pekerjaan yang dilakukan oleh

pekerja. Definisi Upah juga diartikan sebagai harga untuk

jasa yang telah diterima atau diberikan oleh orang lain

bagi kepentingan seseorang atau badan hukum (Edwin B.

Flippo 1987:75-76). Sedangkan menurut G. Kartasapoetra

(1986:94) yang dimaksud dengan upah ialah pembayaran atau

imbalan, yang wujudnya dapat bermacam-macam yang

dilakukan atau diberikan oleh seseorang atau kelembagaan

atau instansi terhadap orang lain atas usaha, kerja dan

prestasi kerja atau pelayanan (servicing) yang telah

dilakukannya. Selanjutnya secara sederhana upah merupakan

pengganti jasa yang telah diserahkan atau dikerahkan oleh

seseorang kepada pihak lain/pengusaha (Abas Kustandi

1995:24). Menurut Konvensi International Labour

Organisation (ILO) No.100 dan Undang-Undang No. 80 tahun

1957 mengatur tentang Upah yang setara dan Pengupahan

bagi Pekerja Laki-laki dan Wanita untuk Pekerjaan yang

5

Sama Nilainya. Namun menurut data hasil penelitian ILO

telah terjadi kesenjangan upah antar gender. Kesenjangan

upah antar gender didefinisikan sebagai  perbedaan rata-

rata penghasilan kotor antara pekerja laki-laki dan

pekerja perempuan. Perbedaan ini terjadi ketika pekerja

laki-laki dan pekerja perempuan menerima gaji dalam 

jumlah yang berbeda. Kesenjangan upah antar gender

sebanyak 17-22% berarti berarti bahwa pekerja perempuan

berpenghasilan lebih rendah daripada kolega pekerja laki-

laki mereka.  Secara sederhana, kesenjangan upah antar

gender adalah kesenjangan antara apa yang didapatkan oleh

pekerja laki-laki dan apa yang didapatkan oleh pekerja

perempuan. International Labour Organization (ILO)

menemukan masih ada kesenjangan upah antargender di

Indonesia dengan selisih hingga 19% pada tahun 2012,

perempuan memperoleh upah rata-rata 81% dari upah laki-

laki, meskipun memiliki tingkat pendidikan dan pengalaman

yang sama. Di Indonesia, perempuan mewakili sekitar 38%

layanan sipil, tetapi lebih dari sepertiganya melakukan

pekerjaan “tradisional”, seperti mengajar dan mengasuh,

yang cenderung memperoleh upah kurang dari pekerjaan yang

didominasi laki-laki. Padahal upah yang diberikan kepada

seseorang seharusnya sebanding dengan kegiatan-kegiatan

yang telah dikeluarkan/ dikerahkannya (activities or efforts)

tanpa perlu dibeda-bedakan antara perkerja laki-laki

maupun perempuan (G. Kartasapoetra 1986:94). Pendapat

serupa juga dikemukakan oleh Hardijan Rusli (2011:75)

bahwa setiap pekerja/buruh terutama perempuan berhak

6

memperoleh penghasilan yang memenuhi penghidupan yang

layak bagi kemanusiaan, yaitu mampu memenuhi kebutuhan

hidup pekerja/buruh dan keluarganya secara wajar dengan

memperhatikan prinsip kesetaraan.

2.3 Hukum positif Perburuhan Internasional dan

Indonesia

1. Konvensi ILO No 100 tahun 1951 Tentang KesetaraanUpah Bagi Pekerja Laki-Laki Dan Perempuan UntukPekerjaan Yang Sama NilainyaKonferensi mengusulkan setiap Anggota, berdasarkan

ketentuan-ketentuan dalam Pasal 2 Konvensi ini, perlu

menerapkan ketentuan-ketentuan berikut ini dan memberikan

laporannya kepada Kantor ILO sebagaimana yang diminta

oleh Badan Pimpinan mengenai tindakan-tindakan yang

diambil untuk memberlakukan ketentuan-ketentuan tersebut:

1. Tindakan yang tepat perlu dilakukan, setelah

berkonsultasi dengan organisasi pekerja terkait atau,

apabila organisasi ini tidak ada, dengan pekerja

terkait —

(a) untuk menjamin penerapan prinsip kesetaraan upah

bagi pekerja laki-laki dan perempuan untuk pekerjaan

yang sama nilainya bagi semua pegawai departemen

atau lembaga Pemerintahan pusat, dan

(b) untuk mendorong penerapan prinsip bagi pegawai

departemen atau lembaga pemerintahan di tingkat

pusat, provinsi maupun lokal, dimana mereka

mempunyai wewenang untuk menentukan tingkat upah.

7

2. Tindakan yang tepat perlu dilakukan, setelah

berkonsultasi dengan organisasi pengusaha dan pekerja

terkait, untuk menjamin, secepatnya mungkin, penerapan

prinsip kesetaraan upah bagi pekerja laki-laki dan

perempuan untuk pekerjaan yang sama nilainya di semua

jabatan, selain dari yang telah disebutkan dalam Ayat

1, dimana tingkat upah ditentukan berdasarkan peraturan

perundang-undangan atau control publik, khususnya

mengenai —

(a) penetapan upah minimum atau upah lainnya di sektor

industri dan jasa dimana tingkat upah tersebut

ditentukan oleh pejabat publik yang berwenang;

(b) industri dan perusahaan yang dioperasikan di bawah

kepemilikan atau kontrol publik; dan

(c) Bila mungkin, pekerjaan yang dilaksanakan

berdasarkan kontrak publik.

3. (1) Apabila sesuai dengan metode-metode pengoperasian

untuk menentukan tingkat upah, maka ketentuan harus

dibuat melalui penegakan hukum untuk penerapan umum

dari prinsip kesetaraan upah bagi pekerja laki-laki

dan perempuan untuk pekerjaan yang sama nilainya.

(2) Pejabat publik yang berkompeten harus melakukan

segala tindakan yang diperlukan dan tepat untuk

menjamin bahwa pengusaha dan pekerja telah sepenuhnya

diberitahu tentang persyaratan hukum tersebut dan,

bila mungkin, diberi nasehat tentang penerapannya.

4. Apabila setelah berkonsultasi dengan organisasi

pekerja dan pengusaha terkait, bila ada, tidak dianggap

8

layak untuk segera melaksanakan prinsip kesetaraan upah

bagi pekerja laki-laki dan perempuan untuk pekerjaan

yang sama nilainya, sesuai dengan pekerjaan yang

tercantum dalam Ayat 1, 2 atau 3, maka ketentuan yang

tepat harus dibuat atau diupayakan untuk dibuat

sesegera mungkin, untuk penerapannya secara progresif,

melalui tindakan-tindakan berikut ini—

(a) mengurangi perbedaan antara tingkat upah untuk

pekerja laki-laki dengan tingkat upah bagi pekerja

perempuan untuk pekerjaan yang sama nilainya;

(b) dimana berlaku sistem kenaikan upah, memberikan

kenaikan upah yang setara bagi pekerja laki-laki dan

perempuan yang melakukan pekerjaan yang sama

nilainya.

5. Bilamana mungkin untuk tujuan memfasilitasi penetapan

tingkat atau pemberian upah sesuai dengan prinsip

kesetaraan upah bagi pekerja laki-laki dan perempuan

untuk pekerjaan yang sama nilainya, setiap Anggota,

setelah disetujui oleh organisasi pengusaha dan pekerja

bersangkutan, harus menetapkan atau mendorong penetapan

metode untuk menilai secara objektif pekerjaan yang

akan dilaksanakan, baik melalui analisa kerja maupun

melalui prosedur lain, untuk menyediakan klasifikasi

kerja tanpa memandang jenis kelamin; metode- metode ini

harus diterapkan sesuai dengan ketentuan- ketentuan

Pasal 2 Konvensi ini.

6. Untuk memfasilitasi penerapan prinsip kesetaraan upah

bagi pekerja laki-laki dan perempuan untuk pekerjaan

9

yang sama nilainya, tindakan yang tepat harus

dilakukan, bila mungkin, untuk meningkatkan efisiensi

produktif dari pekerja perempuan melalui tindakan-

tindakan seperti —

(a) memastikan bahwa pekerja dari kedua jenis kelamin

mendapatkan fasilitas yang setara atau sebanding

untuk bimbingan pelatihan kerja atau konseling

kerja, untuk pelatihan dan penempatan kerja;

(b) mengambil tindakan yang tepat untuk mendorong

perempuan menggunakan fasilitas untuk bimbingan

pelatihan kerja atau konseling kerja, pelatihan dan

penempatan kerja;

(c) Menyediakan layanan sosial dan kesejahteraan yang

dapat memenuhi kebutuhan pekerja perempuan,

khususnya mereka yang memiliki tanggung jawab

keluarga, dan Konvensi-konvensi ILO tentang

Kesetaraan Gender di Dunia Kerja mendanai layanan-

layanan tersebut dari pendanaan masyarakat umum atau

dari dana jaminan sosial atau dana kesejahteraan

industri yang berasal dari pembayaran yang dilakukan

oleh para pekerja tanpa memandang jenis kelamin

mereka; dan

(d) Mempromosikan kesetaraan di antara pekerja laki-

laki dengan pekerja perempuan dalam memperoleh akses

ke jabatan dan posisi tertentu tanpa melanggar

ketentuan- ketentuan perundang-undangan

internasional dan undang-undang dan peraturan

10

nasional yang terkait dengan upaya perlindungan

kesehatan dan kesejahteraan bagi perempuan.

7. Setiap upaya perlu dilakukan untuk mempromosikan

pemahaman masyarakat tentang alasan-alasan yang harus

dipertimbangkan agar prinsip kesetaraan upah bagi

pekerja laki- laki dan perempuan untuk pekerjaan yang

sama nilainya dapat dilaksanakan dengan baik.

3. Konvensi PBB Tentang Penghapusan Segala Bentuk

Diskriminasi Terhadap Perempuan yang telah disahkan

dalam UU No 7 Tahun 1984

Pasal 11 huruf (d)

Hak untuk menerima upah yang sama, termasuk

tunjangan-tunjangan, baik untuk perlakuan yang sama

sehubungan dengan pekerjaan yang sama dengan nilai yang

sama maupun persamaan perlakuan dalam penilaian

kualitas pekerjaan.

4. Surat Edaran Menakertrans No SE-01/MEN/1982 Tentang

Petunjuk Pelaksanaan PP No 8 Tahun 1981 tentang

Perlindungan Upah

Pasal 3

Pengusaha dalam menetapkan upah tidak boleh

mengadakan diskriminasi antara buruh perempuan dan

buruh laki-laki untuk pekerjaan yang sama nilainya.

5. Undang-Undang Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003

Pasal 88 ayat (1) dan (2)

11

(1) Setiap pekerja/buruh berhak memperoleh

penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak

bagi kemanusiaan.

(2) Untuk mewujudkan penghasilan yang memenuhi

penghidupan yang layak bagi kemanusiaan sebagaimana

dimaksud pada ayat (1), pemerintah menetapkan

kebijakan pengupahan yang melindungi pekerja/buruh.

3. PEMBAHASANA. Diskriminasi

Pemahaman mengenai diskriminasi dapat dilihat dari

luas lingkupnya. Dalam lingkup luas secara umum,

diskrimininasi dipahami sebagai adanya pelayanan yang

tidak adil terhadap individu tertentu. Pelayanan ini

dibuat berdasarkan karakteristik yang diwakili oleh

individu tersebut. Ketika seseorang mengalami

ketidakadilan atau pembedaan perlakuan yang didasarkan

pada karakteristik gender, ras, agama atau aliran politik

tertentu, amaka dapat dikatakan ia telah mengalami

diskriminasi. Pemahaman diskriminasi dalam lingkup yang

luas ini mengartikan bahwa pembedaan perlakuan tersebut

dapat dialami oleh siapa pun tanpa melihat jenis

kelaminnya baik laki-laki atau perempuan.

12

Pemahaman diskriminasi dalam lingkup yang lebih

sempit, dapat dilihat dalam Pasal 1 Konvensi Penghapusan

Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan/CEDAW yang

menentukan bahwa diskriminasi adalah, setiap pembedaan,

pengucilan atau pembatasan yang dibuat atas dasar jenis

kelamin yang memepunyai pengaruh atas tujuan untuk

mengurangi atau menghapuskan pengakuan, penikmatan atau

penggunaan hak-hak asasi manusia dan kebebasan-kebebasan

pokok di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, sipil,

atau apapun lainnya oleh kaum perempuan terlepas dari

status perkawinan mereka atas dasar persamaaan antara

laki-laki dan perempuan.

Dari batasan Pasal 1 tersebut diatas, jelas ada

penyempitan lingkup berlakunya diskriminasi, yaitu

pembedaan yang dialami hanya oleh perempuan karena jenis

kelaminnya. Secara khusus konvensi ini melarang berbagai

bentuk diskriminasi terhadap perempuan dalam hal

penikmatan atas hak social, politik, budaya, sipil dan

hak ekonomi, termasuk disini melarang dikriminasi dalam

hal pemberian upah ditempat kerja. Sebagai tindak lanjut

dari konvensi ini, melalui Undang-Undang No. 7 Tahun 1984

tentang Pengesahan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk

Diskriminasi Terhadap Perempuan. Dengan berlakunya

Undang-Undang No. 7 Tahun 1984 ini, Indonesia menjadi

terikat untuk melaksanakan/ menjabarkan apa yang

diterapkan dalam konvensi ini ke dalam berbagai peraturan

yang berlaku di Indonesia termasuk dalam bidang

ketenagakerjaan.

13

B. Penyebab Adanya Diskriminasi Upah Terhadap Pekerja

Perempuan

Berkaitan dengan penerapan pengupahan yang

diskriminatif terhadap pekerja perempuan dan laki-laki

maka dapat dikemukakan beberapa factor yang menyebabkan

terjadinya hal tersebut.

1. Budaya patriarki

Apabila dicermati lebih lanjut dapat

dikemukakan bahwa alasan utama yang dikemukakan

oleh pengusaha dalam menentukan perbedaan

kebijakan pengupahan antara pekerja perempuan yang

sudah menikah dibandingkan pekerja laki-laki

sebenarnya terpengaruh oleh budaya patriarki yang

dianut oleh sebagian besar daerah dan masyarakat

Indonesia. Budaya Patriarki ini dikonsepkan

sebagai sesuatu yang berkaitan dengan sistem

sosial dimana pria/ayah menguasai seluruh anggota

keluarganya, harta milik, segala sumber ekonomi

serta pembuat semua keputusan penting dan sejalan

dengan sistem sosial tersebut adalah pria

diposisikan lebih tinggi dari perempuan2. Budaya

ini tidak jarang bersumber dari nilai-nilai sakral

2 Departemen Ketenagakerjaan, ”Hukum Berkeadilan Jender” ,

Diakses dari http://jdih.depnakertrans.go.id.com , Pada tanggal 4

juni 2015 Pukul 14.20 WIB

14

keagamaan dan budaya komunitas, dan berkembang

dan disosialisasikan melalui pendidikan dalam

keluarga di rumah. Adanya struktur komunitas yang

seperti itu, perempuan seakan ditempatkan pada

posisi sub-ordinat dibandingkan dengan pria,

sehingga menyebabakan perempuan semakin dilemahkan

kesetaraannya. Perempuan hanya dianggap sebagai

makhluk pelengkap kehidupan laki-laki dan hanya

cocok bekerja di ranah domestik dalam keluarga .

Budaya ini berdampak pada anggapan terhadap status

laki-laki yang memikul tanggung jawab besar dalam

keluarga dan karenanya harus diberi kedudukan

lebih tinggi atau istimewa dibandingkan perempuan

dalam hal ini adalah pekerja laki-laki dengan

pekerja perempuan. Sehingga, memunculkan berbagai

bentuk pembedaan/diskriminasi.

Tragisnya perempuan yang bekerja kadang

dianggap bahwa dia bekerja hanya sekedar untuk

membantu suami sebagai pencari naskah utama. Hal

ini tampak dari hasil penelitian yang pernah

dilakukan oleh Imma Indra Dewi W tahun 2002 pada

pekerja beberapa perusahaan percetakan di DIY dan

DKI Jakarta. Dalam penelitian tersebut terungkap

pada umumnya pengusaha yang diteliti menyatakan

bahwa perempuan tidak berkedudukan sebagai kepala

rumah tangga. Konsekuensinya perempuan tidak

mempunyai kewajiban untuk membiayai rumah

tangganya andai perempuan itu sudah menikah. Jadi

15

hadirnya anak dalam rumah tangga pembiayaannya

merupaka tanggung jawab suaminya. Akibat pandangan

demikian pengusaha memutuskan menerapkan pemberian

tunjangan yang berbeda antara tenanga kerja laki-

laki dan perempuan. (Ima Indra Dewi W, 2002). Hal

ini tentu merugikan pihak pekerja perempuan,

terlebih bila pada keluarga tersebut istri telah

mengambil alih kewajiban suami sebagai pencari

nafkah utama. Kondisi ini terjadi karena seorang

perempuan dianggap bukan pencari nafkah utama maka

ia tidak diberikan tunjangan sebagaimana pekerja

laki-laki.

2. Penyalahgunaan kodrat perempuan

Alasan lain yang sering dijadikan alasan dasar

pendiskriminasian antara pekerja laki-laki dan

perempuan adalah terutama perempuan yang sudah

menikah dan berprofesi sebagai pekerja akan lebih

banyak mengambil cuti dibandingkan pekerja laki-

laki. Rasionya karena perempuan yang sudah

menikah seketika akan hamil, melahirkan dan

menyusui. Hal ini akan menyebabkan pekerja

perempuan lebih banyak mengamnil cuti dari pada

pekerja laki-laki. Kondisi demikian menurut

kacamata pengusaha dipandang tidak efisien dan

cenderung merugikan perusahaan dalam menjalankan

proses produksi. Selain itu kodrat yang telah

disandang perempouan untuk hamil, melahirkan dan

menyusui tersebut kadang dianggap sebagai bukti

16

otentik untuk mengukuhkan pandangan bahwa tugas

perempuan adalah mengurus masalah domestik rumah

tangga.

3. Ketidakseimbangan posisi tawar kerja pekerja

perempuan

Antara pengusaha dan pekerja biasanya terjadi

ketidakseimbangan posisi ekonomi. Pengusaha

biasanya berada pada posisi ekonomi kuat

sementara pekerja berada pada posisi sebaliknya.

Kondisi ini menyuebabkan ketidakseimbangan posisi

tawar antara pengusaha dengan pekerjanya, karena

di satu sisi pekerja memerlukan biaya untuk

hidupnya dan keluarganya, sementara pengusaha

merupakan pihak yang diharapkan mampu memenuhi

kebutuhan tersebut melalui upah yang diberikan

pada pekerja.

Situasi ini diperparah dengan besarnya jumlah

angkatan kerja, terutama perempuan, yang

membutuhkan pekerjaan di Indonesia tetapi belum

tersalurkan. Sebagai contoh jumlah penduduk di

Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta berdasarkan

hasil sensus penduduk tahun 2010 sebagai berikut:

jumlah penduduk laki-laki sebesar 1.708.910 jiwa

dan perempuan sebanyak 1.748.581 jiwa3. Artinya

dari hasil sensus tersebut dapat dikertahui bahwa

jumlah penduduk perempuan lebih besar dibanding

3Badan Pusat Statistik Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta ,“ DIY Dalam Angka 2013”, Diakses dari http:// yogyakarta . bps .go.id , Pada tanggal 29 Mei 2015 Pukul 19.17 WIB

17

penduduk laki-laki. Dalam kondisi seperti ini

tidak mustahil jumlah angkatan kerja yang

tersedia pun menjadi lebih besar. Sayangnya

besarnya jumlah angkatan kerja perempuan ini

tidak sebanding dengan jumlah lapangan kerja yang

tersedia.

Selain itu juga faktor pendidikan pekerja

perempuan juga berpengaruh terhadap posisi tawar

perempuan. Mengutip hasil BPS tahun 2004,

diketahui bahwa jumlah lulusan SD perempuan hanya

sekitar 20%, sedangkan pada tingkap SLTP jumlah

lulusan perempuan hanya sekitar 17%. Pada tingkat

yang lebih tinggi yaitu SLTA jumlah lulusan

perempuan hanya sekitar 18,8% serta ditingkat

perguuruan tinggi hanya sekitar 8%. Semua jumlah

persen tersebut berangkat dari total penduduk

perempuan berumur 15 tahun keatas menurut

pendidikan tertinggi yang ditamatkannya, yaitu

sebanyak 1.288.425 jiwa. Sedangkan jumlah

prosentase kelulusan dari penduduk laki-laki yang

berusia diatas 15 tahun kesemuanya melebihi

prosentase dari penduduk perempuan. Data diatas

menunjukkan bahwa masih terdapat kesenjangan

tingkat pendidikan formal bagi laki-laki dan

perempuan.

Akibatnya posisi tawar seorang pekerja

perempuan menjadi lebih rendah dibanding pekerja

laki-laki. Apalagi diperparah dengan anggapan

18

pengusaha bahwa pekerja perempuan lebih banyak

mengambil cuti sehubungan dengan kodratnya

sebagai perempuan dan anggapan bahwa perempuan

bukan sebagai kepala rumah tangga. Hal ini

menyebabkan pekerja perempuan menjadi semakin

lemah kedudukannya dibanding dengan pengusaha.

.

4. Kepentingan penguasa

Logikanya jika suatu ketentuan telah

mendapatkan suatu pengaturan secara tegas serta

didalamnya telah dimuat sanksi bila tidak

melaksanakan isis ketentuan tersebut, maka pihak

yang melakukan pelanggaran mendapat sanksi. Namun

dalam hal ini seolah-olah penguasa mengalami

dilema untuk menegakkan berbagai ketentuan

perundangan ketenagakerjaan, terutama bidang

pengupahan yang berkeadilan jender. Pengusaha

yang melanggar ketentuan tidak pernah mendapat

sanksi dari pejabat berwenang. Hal ini dapat

dipahami karena dalam pelaksanaanya masih banyak

oknum dari pihak yang berwenang berperan sebagai

pelindung.

Berkaitan dnegan pemberian upah undang-undang

telah mengatur tentang sanksi bagi pengusaha yang

melakukan diskriminasi upah. Hal ini dapat

dilihat pada Pasal 31 PP No 8 Tahun 1981 yang

mengatur bahwa pelanggaran terhadap ketentuan

Pasal 3 PP No 8 Tahun 1981 tentang larangan

19

diskriminasi upah terhadap pekerja laki-laki dan

perempuan dapat dikenai sanksi pidana kurungan

selama-lamanya 3 (tiga) bulan atau denda

setinggi-tingginya Rp. 100.000,00 (seratus ribu

rupiah). Demikian pula pasal 190 UU No 13 Tahun

2003 ditegaskan bahwa bagi pengusaha yang

melanggar ketentuan Pasal 5 dan 6 tentang adanya

larangan diskriminasi bagi pekerja dapat dikenai

sanksi administratif sebagai berikut: a.

teguran

b. peringatan tertulis

c. pembatasan kegiatan usaha

d. pembekuan kegiatan usaha

e. pembatalan persetujuan

f. pembatalan pendaftaran

g. penghentian sementara sebagian atau

seluruh alat produksi

h. pencabutan ijin.

Namun adanya kepentingan penguasa maka sanksi-

sanksi tersebut seolah hanya berfungsi sebagai

hiasan dalam undang-undang, karena tidak pernah

dilaksanakan.

Di sisi lain berkaitan dengan sumber dana

daerah maupun Negara, pengusaha merpakan pemasok

terbesar baik dari sudut pajak maupun dana tak

terduga lainnya. Faktanya dalam setiap kesempatan

pengusaha seolah-olah berperan sebagai bank tidak

resmi yang “multifungsi” bagi penguasa. Di sisi

20

lain pengusaha juga menikmati fasilitas atas

ke-“multifungsi”-annya terhadap penguasa.

Akibatnya pekerja, terutama pekerja perempuan

sebagai pihak terlemah diantara pengusaha dan

penguasa harus menanggung penderitaan. Adanya

kepentingan penguasa ini tentu saja akan

memberikan pertimbangan tersendiri bagi pihak

yang terkait untuk menjatuhkan sanksi pada

pengusaha.

5. Ketidaktahuan berlakunya suatu hukum

Meskipun adanya suatu asa yang menyatakan bahwa

setiap orang dianggap tahu akan hukumnya, namun

hal ini biasanya hanya merupakan suatu asas saja.

Sesuai dengan sifatnya yang dapat ditimpangi maka

berkaitan dengan asas tersebut diatas lebih banyak

orang yang tidak mengetahui hukum yang

mengaturnya. Di Indonesia asas ini hanya berlaku

bagi para pelaku hukum saja. Selain itu masyarakat

kurang memperdulikannya, sehingga ketika hak dan

kewajibannya tidak terpenuhi mereka tidak tahu

bagaimana prosedur yang tepat untuk memperolehnya.

Harusnya, ketentuan hukum sebagai dasar pemberian

upah terutama yang berkaitan dengan perlindungan

pekerja perempuan terhadap diskriminasi upah perlu

diketahui oleh pengusaha maupun para pekerja,

sehingga benar-benar dipahami sistem pengupahan

yang berbasiskan pada keadilan jender.

21

C. Kajian Sudut Pandang Hukum Atas Pengupahan Yang

Diskriminatif

Hukum dibuat untuk dilaksanakan. Hukum tidak dapat

lagi disebut hukum, apabila hukum tidak lagi pernah

dilaksanakan. Oleh karena itu, hukum dapat disebut

konsisten dengan pengertian hukum sebagai sesuatu yang

harus dilaksanakan4. Berdasarkan pada pendapat yang

dikemukakan oleh Prof. Satjipto Rahardjo ini, merupakan

suatu keharusan bahwa segala peraturan yang telah dibuat

harus diwujudnyatakan. Dari sinilah diperlukan peranan

Negara sebagai penegak hukum yang terdiri dari

Pengadilan, Kejaksaan, Kepolisian, Pemasyarakatan, dan

juga Badan Peraturan Perundang-undangan. Dengan adanya

penegak hukum, janji-janji serta kehendak yang tercantum

dalam peraturan-peraturan hukum dapat diwujudkan.

Dengan adanya para penegak hukum maka praktek

diskriminasi upah antara pekerja laki-laki dan pekerja

perempuan yang terjadi di masyarakat seharusnya tidak

boleh lagi terjadi. Apalagi setelah diadopsinya Konvensi

Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap

4 Satjipto Rahardjo, Penegakan Hukum : Suatu Tinjauan Sosiologis, Genta Publishing, Yogyakarta, 2009, hlm 17.

22

Perempuan/CEDAW oleh Negara melalui Undang-Undang No.7

Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai

Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap

Perempuan. Secara khusus dalam Pasal 11 huruf (d)

konvensi ini memberikan hak kepada perempuan untuk

menerima upah yang sama, termasuk tunjangan-tunjangan,

baik untuk perlakuan yang sama sehubungan dengan pekerjaan

yang sama dengan nilai yang sama maupun persamaan

perlakuan dalam penilaian kualitas pekerjaan.

Tidak hanya Konvensi CEDAW, terdapat pula konvensi/

ketentuan yang bersifat internasional yang memuat tentang

penghapusan diskriminasi yakni, Konvensi ILO No 100 tahun

1951 Tentang Kesetaraan Upah Bagi Pekerja Laki-Laki Dan

Perempuan Untuk Pekerjaan Yang Sama Nilainya. Konvensi

ILO ini telah diratifikasi oleh Indonesia pada 11 Mei

1957 dengan Undang-Undang No.80 Tahun 1957. Itu artinya,

setelah diratifikasi Undang-Undang tersebut dinyatakan

berlaku, dan sudah merupakan kewajiban dari Negara untuk

melaksanakan perannya. Dalam konvensi ini telah

ditetapkan bahwa Negara perlu menerapkan ketentuan-

ketentuan dalam konvensi ini dan memberikan laporannya

kepada Kantor perwakilan ILO di Indonesia.

Secara garis besar, dalam Kovensi ILO No.100

ditentukan bagaimana seharusnya peran Negara dalam

mewujudkan kesetaraan upah pekerja laki-laki dan pekerja

perempuan untuk pekerjaan yang sama nilainya, yaitu: 1)

Negara menjamin menjamin penerapan prinsip kesetaraan

upah dengan mengadakan koordinasi dengan lembaga terkait

23

dan sedemikian rupa dibuat hukumnya; 2) Negara menjamin

bahwa pengusaha dan pekerja telah sepenuhnya diberitahu

tentang persyaratan hukum tersebut dan diberi nasehat

tentang penerapannya; 3) Negara mempromosikan pemahaman

masyarakat tentang alasan-alasan yang harus

dipertimbangkan agar prinsip kesetaraan upah bagi pekerja

laki- laki dan perempuan untuk pekerjaan yang sama

nilainya dapat dilaksanakan dengan baik.

Dalam ketentuan hukum positif Indonesia yang

berkaitan dengan kesetaraan upah juga diatur dalam Pasal

88 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Ketenagakerjaan No. 13

Tahun 2003. Dalam ayatnya yang pertama dinyatakan bahwa

setiap pekerja berhak memperoleh penghasilan yang

memenuhi penghidupan yang layak bagi kemanusiaan,

dilanjutkan pada ayat berikutnya bahwa untuk mewujudkan

penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak bagi

kemanusiaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),

pemerintah menetapkan kebijakan pengupahan yang

melindungi pekerja/buruh.

Dengan demikian dari beberapa ketentuan yang telah

mengatur terdapat hak dasar pekerja perempuan yang bagi

negara harus mutlak melindunginya. Hak yang dimaksud

ialah hak akan upah setara untuk pekerjaan yang sama.

Pemenuhan hak upah ini bukanlah suatu hal yang mustahil

dipenuhi, sebab sampai saat ini telah banyak aturan hukum

yang digunakan sebagai dasarnya. Mulai dari Pasal 11

CEDAW yang telah diratifikasi dalam Undang-Undang No.7

Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai

24

Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap

Perempuan, Konvensi ILO No 100 tahun 1951 Tentang

Kesetaraan Upah Bagi Pekerja Laki-Laki Dan Perempuan

Untuk Pekerjaan Yang Sama Nilainya yang telah

diratifikasi dalam Undang-Undang No.80 Tahun 1957, Pasal

88 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Ketenagakerjaan No. 13

Tahun 2003, hingga Pasal 38 Undang-Undang No. 39 tahun

1999 tentang Hak Asasi Manusia pun dapat digunakan

sebagai rujukannya.

Meskipun demikian, pelaksanaan akan ketentuan hukum

yang telah dibuat belum sepenuhnya dapat terlaksana

sampai saat ini. Menurut hasil penelitian International

Labour Organization (ILO) menemukan masih ada kesenjangan

upah antargender di Indonesia dengan selisih hingga 19%

pada tahun 2012, dimana perempuan memperoleh upah rata-

rata 81% dari upah laki-laki, meskipun memiliki tingkat

pendidikan dan pengalaman yang sama. Di Indonesia,

perempuan mewakili sekitar 38% layanan sipil, tetapi

lebih dari sepertiganya melakukan pekerjaan

“tradisional”, seperti mengajar dan mengasuh, yang

cenderung memperoleh upah kurang dari pekerjaan yang

didominasi laki-laki. Padahal upah yang diberikan kepada

seseorang seharusnya sebanding dengan kegiatan-kegiatan

yang telah dikeluarkan/ dikerahkannya (activities or efforts)

tanpa perlu dibeda-bedakan antara perkerja laki-laki

maupun perempuan.5 Setiap pekerja terutama perempuan

berhak memperoleh penghasilan yang memenuhi penghidupan

5 G. Kartasapoetra, Hukum Ketenagakerjaan Suatu Pengantar, Penerbit Angkasa, Bandung, 1986, hlm 94

25

yang layak bagi kemanusiaan, yaitu mampu memenuhi

kebutuhan hidup pekerja/buruh dan keluarganya secara

wajar dengan memperhatikan prinsip kesetaraan.6

4. KESIMPULANCitra perempuan di mata masyarakat tidak terlepas

dari peranan wanita sendiri dalam kehidupan

kesehariannya. Seringkali wanita menanggung beban baik

6 Hardijan Rusli, Hukum Ketenagakerjaan , Ghalia Indonesia, Bogor, 2011,hlm 75

26

fisik, maupun mental. Tuntutan jaman industrial telah

memaksa wanita ikut bekerja di pabrik-pabrik. Bahkan

mereka lebih disenangi dari pada buruh laki-laki. Sebab

wanita lebih menurut, sabar, takut, dan diberi upah yang

diskriminatif, tidak setara. Adanya pemberian upah yang

diskriminatif bagi pekerja perempuan ini disebabkan oleh

beberapa faktor yaitu: masih tumbuh suburnya budaya

patriarkhi yang dianut sebagian besar masyarakat,

konstruksi masyarakat perihal kodrat perempuan yang

disalahgunakan, ketidakseimbangan posisi ekonomi, adanya

kepentingan penguasa, dan ketidaktahuan berlakunya suatu

hukum.

Dalam hal ini fungsi Negara untuk memberikan

pelindungan melalui berbagai pengaturan telah berjalan.

Berbagai Konvensi Internasional mengenai kesetaraan upah

pekerja dan penghapusan diskriminasi terhadap perempuan

(CEDAW), serta Undang-undang Ketenagakerjaan sebenarnya

sudah mengatur adanya kesetaran upah bagi pekerja laki-

laki dan pekerja perempuan untuk pekerjaan yang sama

nilainya. Meskipun telah ada pengaturan maupun sanksi

yang telah ditentukan, tidak serta merta ketimpangan

tersebut dapat teratasi. Dalam pelaksanaan di lapangan,

upaya Negara untuk menekan adanya tidakan pemberian upah

yang diskriminatif belum terwujud. Hak warganya

(khususnya perempuan) untuk mendapatkan upah yang setara

tidak didapatkan sepenuhnya.

Oleh karena dalam praktik dilapangan masih

menimbulkan ketimpangan, hukum yang telah dibuat harus

27

dijalankan sebagaimana mestinya. Negara dituntut untuk

lebih berperan dalam menekan pemberian upah diskriminatif

terhadap pekerja perempuan. Dalam hal ini Negara harus

benar-benar menjalankan perannya sesuai dengan ketentuan

perundangan yang telah dibuatnya, terutama karena Negara

telah menundukkan diri terhadap ketentuan internasional

dengan meratifikasi ketentuan tersebut. Negara perlu

mengadakan koordinasi yang baik dengan lembaga dibawahnya

untuk melakukan sosialisasi hukum kepada masyarakat.

Dengan adanya sosialisasi mengenai bangaimana persyaratan

hukum itu mengatur, dapat diharapkan para pengusaha

menjadi lebih tahu dan memahami apa kewajibannya dan

pekerja telah sepenuhnya tahu tentang hak-hak yang

seharusnya ia dapatkan. Selain itu, Negara perlu berperan

untuk mempromosikan pemahaman masyarakat tentang alasan-

alasan yang harus dipertimbangkan agar prinsip kesetaraan

upah bagi pekerja laki- laki dan perempuan untuk

pekerjaan yang sama nilainya dapat dilaksanakan dengan

baik. Dengan demikian, peranan hukum dalam pembangunan

ekonomi dapat terlaksana. Dapat membawa masyarakat yang

ada menjadi masyarakat yang lebih baik.

28

Daftar Pustaka

Buku-Buku :

Kartasapoetra, G. 1986. Hukum Ketenagakerjaan Suatu

Pengantar. Penerbit Angkasa: Bandung

29

Kustandi, Abas. 1995. Penghapusan Diskriminasi Terhadap Wanita.

Alumni: Bandung.

Rahardjo, Satjipto.2009. Penegakan Hukum : Suatu Tinjauan

Sosiologis. Genta Publishing: Yogyakarta

Rusli, Hardijan. 2011. Hukum Ketenagakerjaan . Ghalia

Indonesia: Bogor

Soedijana. 2012. Ekonomi Pembangunan Indonesia, Penerbit

Universitas Atma Jaya Yogyakarta: Yogyakarta

Soepomo,Iman. 1976. Pokok-Pokok Hukum Ketenagakerjaan Indonesia.

Rineka Cipta : Jakarta

Hasil Penelitian:

Ima Indra Dewi W. 2002. Implikasi Pasal 31 ayat (1) dan

(3) jo Pasal 34 UU No 1 Tahun 1974 Terhadap

Penerapan Kebijakan Di Bidang Ketenagakerjaan bagi

tenaga Kerja Perempuan pada Perusahaan Percetakan

Peraturan Perundang-Undangan:

Konvensi ILO No 100 tahun 1951 Tentang Kesetaraan Upah

Bagi Pekerja Laki-Laki Dan Perempuan Untuk Pekerjaan

Yang Sama Nilainya

Konvensi PBB Tentang Penghapusan Segala Bentuk

Diskriminasi Terhadap Perempuan yang telah disahkan

dalam UU No 7 Tahun 1984

Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 1981 tentang

Perlindungan Upah

30

Surat Edaran Menakertrans No SE-01/MEN/1982 Tentang

Petunjuk Pelaksanaan PP No 8 Tahun 1981 tentang

Perlindungan Upah

Undang-Undang No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia

Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan

Sumber Online:

Departemen Ketenagakerjaan. “Hukum Berkeadilan Jender” . 4

juni 2015. http://jdih.depnakertrans.go.id.com

Badan Pusat Statistik Provinsi Daerah Istimewa

Yogyakarta DIY . “DIY Dalam Angka 2013”. 29 Mei 2015.

http:// yogyakarta . bps .go.id

Badan Pusat Statistik Provinsi Daerah Istimewa

Yogyakarta DIY . “Keadaan Angkatan Kerja Daerah Istimewa

Yogyakarta Agustus 2014”. 29 Mei 2015.

http://yogyakarta.bps.go.id/

 Wage Indicator Foundation : “Survei tentang Peta Dunia

Kesenjangan Upah Berdasarkan Gender”. 29 Mei 2015.

http://www.wageindicator.org/main

31