Kartun Editorial di Indonesia: Terminologi, Sejarah, Kriteria Keberhasilan dan Koridor Hukum

20
1 MEM(B)UAT KARTUN OPINI, SIAPA TAKUT? Terminologi, Sejarah, Kriteria Keberhasilan dan Koridor Hukum Kartun Editorial di Indonesia Mochamad Fauzie [email protected] A. PENDAHULUAN Muatan media massa cetak terdiri dari dua kelompok, yakni fakta dan opini. Kedua muatan ini disampaikan secara verbal, visual maupun perpaduan di antara keduanya. Di antara bentuk ungkapan opini secara visual adalah gambar humor yang menyampaikan pesan kritik yang disebut Kartun Editorial. “Sebuah gambar sama dengan seribu kata”. Pepatah ini tepat untuk mengatakan kelebihan kartun editorial dalam menyampaikan pesan dibandingkan dengan teks. Disamping hemat kata, kartun editorial cenderung lebih menarik penglihatan daripada tulisan. Sifat ringkas dan menarik ini membuat kartun editorial efektif dalam menyampaikan pesan. Kartun editorial biasanya dimunculkan secara berkala di media massa cetak. Pemuatan yang rutin tersebut membuat corak gambar – bahkan pembuatnya, lambat laun dikenal pembaca, sehingga menjadi salah satu penanda atau ikon dari media bersangkutan. Dengan perkataan lain, kartun editorial turut menyumbang pada karakter media massa cetak yang memuatnya. Dengan kelebihan-kelebihan tersebut, pantaslah jika kartun editorial menjadi karya jurnalistik yang penting dan - dari itu, dihargai. Di banyak negara terdapat organisasi pers yang memberi penghargaan terhadap kartun editorial terbaik. Di Indonesia, institusi serupa itu diwakili oleh Yayasan Penghargaan Jurnalistik Adinegoro, yang setiap tahun memilih satu kartun editorial terbaik yang pernah dimuat di media massa cetak nasional. Perhatian dan penghargaan terhadap kartun editorial juga ditandai dengan maraknya kajian tentang kartun editorial. Di perguruan tinggi, kartun editorial kerap dikaji dan diminati sebagai pekerjaan atau profesi. Saat ini, sebagian besar kartunis (pembuat kartun) yang bekerja di penerbitan pers adalah orang- orang yang pernah mengenyam pendidikan seni rupa di perguruan tinggi. Dalam tahun-tahun belakangan ini, jumlah media massa cetak (penerbitan pers) di Indonesia cenderung meningkat, baik yang berupa surat kabar, tabloid ataupun majalah. Idealnya, jumlah penerbitan pers berbanding lurus dengan jumlah kartunis editorial yang dibutuhkan. Tetapi realitasnya, tidak

Transcript of Kartun Editorial di Indonesia: Terminologi, Sejarah, Kriteria Keberhasilan dan Koridor Hukum

    1  

MEM(B)UAT KARTUN OPINI, SIAPA TAKUT? Terminologi, Sejarah, Kriteria Keberhasilan dan Koridor Hukum

Kartun Editorial di Indonesia

Mochamad Fauzie [email protected]

A. PENDAHULUAN

Muatan media massa cetak terdiri dari dua kelompok, yakni fakta dan opini. Kedua muatan ini disampaikan secara verbal, visual maupun perpaduan di antara keduanya. Di antara bentuk ungkapan opini secara visual adalah gambar humor yang menyampaikan pesan kritik yang disebut Kartun Editorial. “Sebuah gambar sama dengan seribu kata”. Pepatah ini tepat untuk mengatakan kelebihan kartun editorial dalam menyampaikan pesan dibandingkan dengan teks. Disamping hemat kata, kartun editorial cenderung lebih menarik penglihatan daripada tulisan. Sifat ringkas dan menarik ini membuat kartun editorial efektif dalam menyampaikan pesan. Kartun editorial biasanya dimunculkan secara berkala di media massa cetak. Pemuatan yang rutin tersebut membuat corak gambar – bahkan pembuatnya, lambat laun dikenal pembaca, sehingga menjadi salah satu penanda atau ikon dari media bersangkutan. Dengan perkataan lain, kartun editorial turut menyumbang pada karakter media massa cetak yang memuatnya. Dengan kelebihan-kelebihan tersebut, pantaslah jika kartun editorial menjadi karya jurnalistik yang penting dan - dari itu, dihargai. Di banyak negara terdapat organisasi pers yang memberi penghargaan terhadap kartun editorial terbaik. Di Indonesia, institusi serupa itu diwakili oleh Yayasan Penghargaan Jurnalistik Adinegoro, yang setiap tahun memilih satu kartun editorial terbaik yang pernah dimuat di media massa cetak nasional. Perhatian dan penghargaan terhadap kartun editorial juga ditandai dengan maraknya kajian tentang kartun editorial. Di perguruan tinggi, kartun editorial kerap dikaji dan diminati sebagai pekerjaan atau profesi. Saat ini, sebagian besar kartunis (pembuat kartun) yang bekerja di penerbitan pers adalah orang-orang yang pernah mengenyam pendidikan seni rupa di perguruan tinggi. Dalam tahun-tahun belakangan ini, jumlah media massa cetak (penerbitan pers) di Indonesia cenderung meningkat, baik yang berupa surat kabar, tabloid ataupun majalah. Idealnya, jumlah penerbitan pers berbanding lurus dengan jumlah kartunis editorial yang dibutuhkan. Tetapi realitasnya, tidak

    2  

demikian. Masih ada di antara penerbitan pers yang tidak menyediakan ruang kontribusi untuk kartun editorial. Mengapa? Dari dialog informal dengan beberapa awak redaksi media massa cetak dan beberapa kartunis terungkap, bahwa acapkali terjadi perbedaan pendapat antara pihak redaksi dengan kartunis mengenai kriteria kartun editorial yang baik. Pihak redaksi maupun kartunis cenderung bersikap subyektif, masing-masing bersikukuh dengan kriteria keberhasilan yang dibuat sendiri tanpa dasar pengetahuan yang memadai. Ada pula sebab lain mengapa sebuah media massa cetak tidak memuat kartun editorial, yakni khawatir akan mengundang reaksi keras pembaca. Kekhawatiran ini dipengaruhi oleh munculnya sejumlah kasus kartun yang menuai protes masyarakat dan pemerintah dalam tahun-tahun belakangan ini. Media massa cetak adalah juga lembaga ekonomi, sehingga setiap bentuk protes, seperti kecaman atau gugatan hukum, cenderung dimaknai oleh redaksi sebagai ancaman terhadap kelangsungan penerbitan. Dalam makalah ini akan dikaji tentang: terminologi kartun editorial, sejarah singkat, kriteria keberhasilan, dan koridor hukumnya di Indonesia. Kriteria keberhasilan akan ditinjau dari: aspek artistik dan aspek komunikasi. Makalah diharapkan dapat turut menjembatani kesepahaman antara redaksi, kartunis, masyarakat dan pemerintah tentang kartun editorial yang baik. Dengan pengetahuan dan pemahaman dasar yang sama, perbedaan pendapat akan menyempit dan mendorong saling pengertian dalam dialog yang lebih berdasar dan terbuka. Sedangkan pengetahuan tentang koridor hukum, diharapkan ikut mengikis kekhawatiran munculnya protes dari pembaca. Dengan mengetahui rambu-rambu hukum, kartunis dan redaksi tidak perlu takut untuk membuat dan memuat kartun editorial.

B. PEMBAHASAN

1. Tinjauan Terminologi Istilah Kartun Editorial berasal dari penggabungan dua kata dalam bahasa Inggris, yakni editorial yang berarti tajuk rencana, dan cartoon yang berarti gambar humor. Bachtiar Ali (1986: 8) mengatakan, bahwa editorial adalah alat untuk menyampaikan pemikiran yang sekaligus menerangkan posisi atau sikap penerbitan pers yang memuatnya. Pendapat yang hampir sama dikemukakan oleh Ernest C. Hands (dalam Trenggonowati, 1984:12), editorial adalah ekspresi atau reaksi kelembagaan terhadap suatu isyu yang berhubungan dengan kepentingan umum. Ekspresi kelembagaan artinya cetusan suara atau pendapat lembaga (penerbitan pers; media massa), yang dapat berupa komentar atau kritik.

    3  

Sedangkan isyu, adalah topik atau berita yang aktual (sedang menjadi perhatian sebagian besar pembaca). Tajuk rencana pada umumnya disampaikan secara verbal, ia ditulis dengan gaya bahasa resmi, baku dan serius (FX Koesworo, 1994:110). Tetapi dalam kartun editorial, tajuk rencana disampaikan secara visual, yakni dalam bentuk gambar. Apapun bentuk ungkapannya, hakikat tajuk rencana adalah “… opini yang mencerminkan pandangan penerbitan pers yang bersangkutan.” (Kurniawan Junaedhie, 1991:61), sehingga kartun editorial disebut juga Kartun Opini. Agaknya, penamaan kartun editorial bertekanan pada pengertian, bahwa ia mewakili opini editor atau lembaga penerbitan pers yang memuatnya. Manakala opini tersebut berkenaan dengan masalah politik, orang menyebutnya Kartun Politik. Di saat lain berkenaan dengan masalah sosial, disebutlah ia Kartun Sosial. Demikianlah, ketiga istilah tersebut sejatinya menunjuk pada barang yang sama. Hakikat kartun editorial sebagai opini, berimplikasi pada kedudukannya dalam klasifikasi artikel penerbitan pers. Isi media massa, biasanya dibedakan menjadi 2 golongan, yakni: 1) berita dan, 2) opini. “Dalam unsur opini inilah karikatur (maksudnya kartun editorial - red) mengisi ruang lingkupnya…” (Subagyo Pr., 1981: iii). Pada setiap kartun editorial, selalu terdapat tanda-tangan atau inisial pribadi pembuatnya. Hal ini mengindikasikan, bahwa kartun editorial diakui sebagai karya perseorangan, seperti dikatakan Th. Sumartana (1980:xiii): Sudah barang tentu sebuah karya kartun (kartun editorial) adalah sebuah karya pribadi, ia merupakan tanggapan atau opini subyektif terhadap sesuatu kejadian, seseorang atau pesan tertentu. Dalam wujudnya itu sendiri ia sudah memuat interpretasi terhadap kejadian yang dilukiskannya. Bentuk penampilannya sendiri sudah memuat isi atau pesan yang hendak disampaikan….

Tentu saja kartun editorial acapkali mengandung ungkapan verbal berupa teks, tetapi teks tersebut didesain menyatu dengan gambar dalam menyampaikan pesan. Bahkan secara teknis, tipografi teks tersebut ‘digambar’ atau dibikin dengan mengandalkan ketrampilan tangan. Integrasi ini membedakan kartun editorial dengan gambar ilustrasi yang sekadar memperjelas dan menghias - dan dari itu terikat dengan, teks/bacaan.

Keener (1992:148) mengatakan, bahwa kesegeraan adalah kunci dalam kartun editorial. Maksudnya, kartun editorial digambar dalam tekanan

    4  

waktu yang ketat, yakni pada saat-saat menjelang media massa turun cetak. Kesegeraan ini merupakan konsekwensi logis dari keinginan untuk mengangkat isyu aktual sampai saat perkembangan yang terbaru. Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan batasan Kartun Editorial, ialah: gambar humor yang menyampaikan opini, sebagai pesan kritik atau komentar pribadi pembuatnya dan lembaga penerbitan pers yang memuatnya, mengenai isyu aktual yang berhubungan dengan kepentingan umum, dan dibuat dalam tekanan waktu yang ketat menjelang media massa dicetak.

Gambar 1: Kartun editorial karya Lat yang mengritik kebijakan pembangunan kota yang kurang memperhatikan kebutuhan masyarakat akan tempat rekreasi. Sebagai karya yang dicerap dengan mata, kartun editorial tergolong Seni Rupa. Ditinjau dari segi bentuk, ia tergolong seni rupa 2 dimensi, yakni berdimensi panjang dan lebar. Diidentifikasi berdasarkan tujuan pembuatannya, ia termasuk seni rupa terapan atau seni rupa yang dibikin untuk memiliki fungsi tertentu, yakni menyampaikan opini. Sebagai gambar, pada batasan yang konvensional, kartun editorial bersifat linier atau menempatkan garis sebagai unsur rupa yang utama. Ketika ia dirancang untuk dimuat di media massa cetak, hubungan dengan cetak-

    5  

mencetak menempatkan kartun editorial sebagai bagian dari cabang seni rupa yang disebut Desain Grafis, yakni: bentuk rumusan atau proses pemikiran untuk mentransformasikan gagasan menjadi gambar untuk dicetak (direproduksi). Desain grafis acapkali disebut juga Desain Komunikasi Visual (Pujiriyanto, 2005: 1-11).

2. Beberapa Jenis Kartun Lain Terkadang kartun editorial menyerupai jenis-jenis kartun lain, sehingga sebagian masyarakat sulit mengenali dan membedakannya. Di antara kekeliruan yang sering terjadi, adalah menggunakan secara tertukar istilah kartun dan karikatur. Berikut ini akan dijelaskan beberapa penamaan yang berhubungan dengan kartun. a. Karikatur

Menurut The New Encyclopaedia Britanica (1986:XV:574), kata karikatur berasal dari istilah Italia, yakni caricare yang berarti: memuat; berisi; atau menambah nilai. Dalam Ensiklopedi Nasional Indonesia, karikatur disebut sebagai salah satu bagian dari kartun.

Gambar 2: Karikatur Elvis Presley, karya David Levine Ciri khas karikatur ialah mendeformasi atau mendistorsi bentuk wajah manusia. Edmund Burke Fieldman (1967:56) dalam Art as Image and Idea, menyinggung karikatur dengan mengatakan, bahwa bentuk-bentuk visual sindiran sering menggunakan karikatur atau dengan cara-

    6  

cara lain, untuk melebih-lebihkan fisik yang sebenarnya dari target mereka. Jadi, karikatur adalah penggambaran karakter lahiriah wajah seseorang dengan cara melebih-lebihkannya. Perbedaannya dengan kartun editorial, karikatur tidak mengandung kritik. Obyek karikatur terbatas wajah manusia, sedangkan obyek pada kartun editorial dan kartun pada umumnya, lebih bervariasi. Adakalanya karikatur menjadi bagian dari kartun yang membawa pesan kritik. Untuk kartun serupa ini, penamaan yang tepat bukan karikatur lagi, melainkan Kartun Editorial.

Gambar 3: Kartun editorial karya Jim Borgman yang memasukkan karikatur.

b. Kartun Canda

Kartun Canda berasal dari istilah Gag Cartoon, yang berarti kartun lelucon. Di Indonesia, jenis kartun ini populer dengan sebutan

Gambar 4: Kartun canda karya Caso

    7  

kartun murni atau kartun lepas. Kata ‘murni’ merujuk pada tujuan kartun ini yang semata-mata melucu - tanpa bermaksud mengritik atau mengait dengan peristiwa aktual. Sementara kata ‘lepas’ mengacu pada status pembuatnya yang biasanya adalah kartunis lepas (freelance).

c. Strip Komik dan Strip Kartun The New Encyclopaedia Britanica (1986:575) mengartikan Strip Komik (Comic strip) sebagai rangkaian gambar bercerita, umumnya terdiri dari beberapa kotak gambar yang disusun secara horizontal. Adakalanyanya cerita dalam strip komik tidak bermaksud menyampaikan kelucuan, melainkan mengisahkan sebuah petualangan. Untuk strip komik semacam ini, di Indonesia lebih populer dengan sebutan ‘cergam’ – kependekan dari ‘cerita bergambar’, dan biasanya dimuat secara bersambung, mengikuti jadwal penerbitan media massa cetak yang memuatnya.

Gambar 5: Strip komik karya Peter O’donnel dan Neville Colvin

Strip Komik yang menyampaikan cerita lucu, disebut Strip Kartun (cartoon strip). Tema ceritanya dapat berkaitan dengan peristiwa aktual, tetapi sekadar mencandakannya, tanpa mengandung kritik sosial. Ceritanya disajikan secara sekali tamat atau tidak bersambung, dengan tokoh kartun yang sama.

Gambar 6: Strip komik karya Jim Davis Kiranya Strip Komik dan Strip Kartun pada hakikatnya adalah penamaan untuk cara menyajikan cerita secara kronologis atau sekuel menjadi beberapa kotak gambar yang bersusun. Sebagai sebuah cara, ia bisa saja digunakan untuk menyampaikan cerita yang mengandung kritik sosial. Dalam konteks demikian, ia harus disebut kartun editorial.

    8  

d. Kartun Animasi (Animated Cartoon) Kartun Animasi lebih populer dengan sebutan film kartun, adalah kartun-kartun yang dibuat bergerak dan bersuara. Pengertian sederhana ini merujuk pada arti kata animated, yang berarti hidup. Jenis kartun ini dihasilkan dengan memadukan ketrampilan menggambar kartun dengan teknologi sinematografi dan teknologi komputer. Tema kartun animasi umumnya adalah cerita-cerita fiksi yang bermaksud melucu dan atau mengisahkan petualangan. Tapi sebuah jaringan televisi swasta di Now York, pada tahun 1990 dilaporkan telah melakukan terobosan baru dengan menyiarkan kartun animasi mengandung kritik sosial bermasa putar 15 detik. Kartun animasi tersebut ditulis dalam Entertainment Weekly (1990, No. 36: 13) sebagai animated editorial cartoon.

3. Tinjauan Sejarah Kartun atau cartoon, pada awalnya adalah penamaan untuk sketsa pada kertas tebal (stout paper), yang dibuat sebagai rancangan lukisan kanvas, motif permadani, mozaik atau gambar arsitektur, yang berlaku pada masyarakat di Eropa. Penggunaan istilah kartun untuk untuk menamai gambar lucu atau gambar humor, baru muncul pada tahun 1841 di Inggris, ketika Ratu Victoria meyelenggarakan lomba merancang gedung parlemen. Dari lomba itu diharapkan muncul sejumlah sketsa atau rancangan yang megah dan indah, namun yang berhasil dihimpun justru gambar-gambar yang bersifat jenaka. Salah seorang peserta lomba, John Leech, membuat gambar lucu dan diberinya judul ‘Cartoon No.1 – Substance and Shadow’. Gambar itu lalu dipublikasikan oleh Punch, sebuah majalah baru yang digemari pada masa itu. Sejak itulah kata cartoon menunjuk pada karikatur dan semua gambar humor (William Feaver: 1981, 77) . Meskipun istilah ‘kartun’ baru muncul dalam abad ke-19, namun cikal-bakal kartun telah ada sejak manusia ada. Gambar-gambar di dinding gua dari jaman prasejarah dapat dimaknai sebagai cikal-bakal (prototype) kartun. Maka setiap bangsa di berbagai belahan dunia memiliki bentuk awal kartunnya sendiri. Di Indonesia, bentuk awal kartun diwakili antara lain oleh wayang kulit, terutama oleh sekawanan tokoh yang disebut Para Punakawan, yang terdiri dari: Semar, Gareng, Petruk dan Bagong. Bentuk tiap figur punakawan ini menampakkan hasil penggayaan (stilasi; deformasi; eksagerasi) bentuk, dan mengandung ragam hias dan simbol-simbol. Lebih dari itu, para punakawan tersebut berkesan jenaka, baik bentuk fisik maupun

    9  

perangainya. Para Punakawan ini berperan sebagai penasihat dan pengritik penguasa – mirip dengan fungsi kartun editorial. Wayang kulit muncul pada awal abad ke-16, pada saat mana kerajaan-kerajaan Islam sedang berkembang pesat, setelah Islam masuk ke kepulauan Nusantara dalam abad ke-7. Maka dapat dimengerti, bahwa pilihan corak gambar stilatif pada wayang kulit berada dalam paradigma estetika Islam, yang menghindari penggambaran makhluk bernyawa secara realistik. Tokoh yang sering disebut sebagai kreator stilasi pada wayang kulit dan sekaligus dalang yang mahir dalam abad 16 adalah Raden Sahid alias Sunan Kalijaga. Pada masa sebelum Sunan Kalijaga, setiap adegan digambarkan dalam satu panil, di mana figur-figur manusia yang terlibat dalam adegan tersebut digambarkan dalam corak yang cenderung realistik. Oleh Sunan Kalijaga, setiap figur wayang dipisahkan dari panil - sehingga setiap wayang berdiri sendiri, dan bentuknya digayakan menjadi tidak realistik dengan diukirkan pada kulit kerbau (Republika, 2008). Di Eropa, bentuk awal kartun diperkirakan terbit pada abad ke-14, berupa lukisan cat minyak yang mengandung humor. Ketika teknik mencetak ditemukan menjelang abad ke-15, gambar-gambar humor mulai menyebar ke berbagai penjuru dunia melalui buku, penerbitan pers, dan berbagai bentuk media cetak lainnya. Dalam masa kemunculan media massa cetak inilah, kartun editorial lahir dan menemukan bentuknya. Berikut ini adalah beberapa pelopor kartun editorial.

a. Carracci (1568-1602)

Adalah seorang pelukis dan pengukir Italia yang pertama kali membuat gambar-gambar deformasi wajah manusia, yang dimaksudkan sebagai perlawanan terhadap kemapanan kaidah keindahan masa Renaisans. Ketika karya-karyanya dibukukan, ada pengamat bernama Mosini menyebutnya sebagai carricare (melebihkan untuk memunculkan karakter), yang kemudian menjadi caricatura. Sejak itulah dikenal istilah ‘karikatur’ (Randall Davies: 1928, 2; Priyanto Sunarto: 2005, 2).

b. William Hogarth (1697-1794). Di antara karikaturis Inggris, William Hogarth adalah karikaturis yang terbaik pada masanya. Karikatur dan kartunnya menampakkan penguasaan teknik menggambar yang baik, dan pesan humornya sarat dengan sindiran yang mudah dipahami. Masyarakat Inggris menganggap William Hogarth adalah Bapak Karikatur Inggris (William Feaver, 1981, hlm. 42).

    10  

c. Thomas Rowlandson (1757-1827) Rowlandson lahir di Old Jewrey, London. Sebagian besar karyanya dibuat dengan cat air dengan penguasaan teknik menggambar yang diperoleh dari Royal Academy. Karya-karyanya menonjol dengan garis yang halus dan bidang yang besar. Karya semacam ini memberinya kemudahan untuk menyelesaikan gambar dengan cepat. Thomas adalah orang pertama yang menggabungkan kartun dengan topik tajuk rencana dan feuture, sehingga lahirlah satu cabang kartun, yaitu Kartun Editorial (William Feaver, 1981, 48).

d. Honore Daumier (1808-1879). Dilahirkan di Perancis, Daumier adalah seorang pelukis yang lebih terkenal sebagai karikaturis. Ia banyak membuat kartun untuk majalah Le Charivari. Kartun-kartunnya dikenal tajam menyoroti ketimpangan sosial, penyimpangan hukum oleh para birokrat, dan skandal-skandal - yang sedikit banyak dipengaruhi oleh masa kecilnya yang miskin dan pengalaman bekerja di sebuah kantor juru sita di Paris. Daumier pernah di penjara selama enam bulan karena sebuah karikaturnya yang menggambarkan Louis Philippe sebagai raksasa (William Feaver: 1981, 74).

e. Thomas Nast (1840-1902). Kalau Thomas Rowlandson adalah Bapak Karikaturis Inggris, maka Thomas Nast adalah Bapak Kartun Politik Amerika. Karya-karyanya mengritik politikus New York dengan tajam melalui majalah Harper’s Weekly dan berhasil mempengaruhi opini publik. Di antara karya-karyanya, yang terkenal adalah seri kartunnya tentang William Tweed - seorang pejabat tinggi New york yang korup. Tweed digambarkan sebagai manusia berbadan burung pemakan bangkai. Dikemudian waktu, simbol tersebut menjadi populer di Amerika untuk mengatakan perampok dan pencuri. Selain itu, Nast juga berhasil menciptakan kartun keledai dan gajah, yang sampai kini lazim digunakan para kartunis Amerika untuk melambangkan partai demokrat dan partai republik (William Feaver: 1981, 93).

4. Kriteria Keberhasilan

a. Keberhasilan Dalam Aspek Artistik Sebagai desain rupa, kartun editorial disusun dari sebagian atau semua unsur-unsur rupa, yang meliputi: titik, garis, bidang, tekstur, gelap-terang dan warna. Membuat desain rupa, tidak lain adalah mengorganisir unsur-unsur tersebut untuk menghasilkan desain yang artistik atau memiliki nilai keindahan. Menurut Sadjiman (2005:165-210), desain rupa yang artistik adalah yang pengorganisasiannya menerapkan 7 Prinsip Dasar Tata Rupa,

    11  

yakni: Irama, Kesatuan, Dominasi, Keseimbangan, Proporsi, Kesederhanaan dan Kejelasan. Prinsip-prinsip dasar tata rupa tersebut dapat dikatakan ‘ilmiahnya seni’, artinya suatu karya dapat dikatakan memiliki nilai seni jika dianalisis di dalamnya memiliki tujuh prinsip tersebut (Sadjiman, 2005:115) Irama menunjuk pada kesan selaras, teratur dan rapi. Irama dihadirkan melalui pengulangan dan keajegan (konsistensi) bentuk. Terdapat tiga kemungkinan ‘hubungan pengulangan’ unsur rupa yang dapat dirancang kehadirannya sesuai dengan kebutuhan. Pertama, Repetisi, yakni hubungan pengulangan dengan ekstrim kesamaan pada semua unsur rupa yang digunakan. Cara ini akan menghasilkan irama yang monoton. Kedua, Transisi, ialah hubungan pengulangan dengan perubahan-perubahan dekat atau variasi-variasi dekat pada satu atau beberapa unsur rupa yang dilibatkan. Cara ini akan menghasilkan irama yang harmonis. Ketiga adalah Oposisi, yakni hubungan pengulangan dengan ekstrim perbedaan pada satu atau beberapa unsur rupa yang digunakan. Cara terakhir ini akan menghasilkan irama yang kontras. Kesatuan menunjuk pada ‘adanya saling hubungan’ antar unsur yang disusun, sehingga satu sama tidak dapat dipisahkan; semua menjadi satu (unity). Sebaliknya, ketiadaan kesatuan berarti unsur-unsur desain tidak saling menunjang; centang-perenang; cerai-berai. Terdapat beberapa pilihan pendekatan untuk mencapai kesatuan tersebut, yakni: 1) Kesamaan, 2) Kemiripan, 3) Keselarasan, 4) Keterikatan, 5) Keterkaitan-keterkaitan, dan 6) Kerapatan. Dominasi menunjuk pada keberadaan pusat perhatian; penarik pandang; penekanan; pengarah pandang; pusat pandang; fokus. Tujuan menghadirkan dominasi adalah: menarik perhatian, menghilangkan kebosanan, memecah keberaturan. Jika prinsip irama menuntut keberaturan melalui pengulangan, maka prinsip dominasi mencegah keberaturan dari kesan membosankan, yakni dengan menyeruakkan sesuatu yang berbeda di antara bentuk-bentuk yang diulang. Keseimbangan mengacu pada suatu keadaan di mana semua bagian karya tidak ada yang lebih terbebani dari bagian yang lainnya. Dikatakan seimbang, jika pada semua bagian karya bebannya sama, sehingga memberi rasa tenang dan enak dilihat. Beberapa pilihan keseimbangan, antara lain: 1) Keseimbangan Simetri, jika ruang sebelah kiri dan kanan sama dan sebangun atau setangkup. Keseimbangan ini mengesankan sifat formal, tenang, statis, konservatif dan berwibawa; 2) Keseimbangan Asimetri, yakni ruang kiri dan kanan tidak memiliki beban sama - besaran maupun bentuk rautnya, tetapi

    12  

tetap berkesan seimbang. Keseimbangan ini menghadirkan sifat dinamis, hidup, bergerak dan in-formal. Prinsip Proporsi menunjuk pada usaha untuk menghadirkan keserasian dengan cara merumuskan skala; rasio; perbandingan; proporsi, yang ideal - baik ditetapkan menurut perhitungan matematis atau menurut perasaan. Idealisasi proporsi demikian telah dilakukan orang sejak masa lampau, misalnya pada penetapan proporsi bangunan, patung manusia, dan ruang dwimatra (tafril; bidang datar). Mac Nally (Polly Keener, 1992:161) dan banyak kartunis, gemar menggambar di atas tafril yang proporsi panjang dan lebarnya adalah 2:3. Proporsi demikian sudah dikenal sejak jaman Yunani dengan nama The Golden Oblong. Menggambar kartun adalah membuat penggayaan, penyederhanaan, pemiuhan atau pendeformasian bentuk. Ketrampilan ini dapat dicapai dengan lebih baik jika kartunisnya lebih dulu menguasai ketrampilan menggambar bentuk, yakni menggambar obyek dalam proporsi yang realistik. Meskipun tidak mutlak, namun penguasaan gambar bentuk akan memudahkan kartunis dalam menggayakan bentuk dan menemukan proporsi dan bentuk kartun yang serasi dan lentur. Kesederhanaan menunjuk pada kondisi desain rupa yang ‘tidak ‘lebih dan tidak kurang’. Jika ditambah menjadi ruwet, kalau dikurangi terasa ada yang hilang. Sederhana bukan berarti harus sedikit, tapi yang tepat adalah: ‘pas’. Kejelasan menunjuk pada kondisi di mana sebuah desain rupa mudah dimengerti dan tidak memberi arti yang mendua (ambigu), apalagi banyak arti.

b. Keberhasilan Dalam Aspek Komunikasi Proses komunikasi adalah proses penyampaian pesan dari sumber pesan melalui saluran/media tertentu ke penerima pesan. Pesan, sumber pesan, saluran/media dan penerima pesan adalah komponen-komponen proses komunikasi (Sadiman, 1990:11-12). Kedudukan kartun editorial dalam proses komunikasi adalah sebagai salah satu komponen proses komunikasi, yakni sebagai saluran, perantara atau media. Adapun pesan yang akan dikomunikasikan adalah opini, sumber pesannya adalah kartunis atau lembaga penerbitan pers, dan penerima pesannya adalah pembaca. Pesan berupa opini itu dituangkan kartunis ke dalam simbol-simbol komunikasi visual berwujud gambar. Proses penuangan pesan ke dalam simbol-simbol komunikasi itu disebut encoding. Selanjutnya penerima pesan menafsirkan simbol-simbol komunikasi tersebut sehingga

    13  

diperoleh pesan. Proses penafsiran simbol-simbol komunikasi yang mengandung pesan itu disebut decoding. Kartun Editorial yang berhasil ditinjau dari aspek Komunikasi adalah jika encoding dan decoding terjadi dengan efektif. Pesan dalam kartun editorial diharapkan dapat membuat pembaca mengalami perubahan tingkah laku, seperti: menjadi lebih mengerti, lebih sadar hukum, dan lain-lain. Perubahan tingkah laku, tidak lain, adalah ‘proses belajar’. Proses belajar melalui interaksi dengan gambar, adalah proses belajar melalui mata. Francis M Dwyer (dalam Pujiriyanto, 2005:6) menggambarkan bahwa manusia belajar 1% dilakukan melalui indera perasa, 1,5% melalui sentuhan, 3,5% melalui penciuman, 11% melalui pendengaran dan 83% melalui penglihatan. Bahkan menurut Baugh (dalam Azhar Arsyad, 2009:10), hasil belajar seseorang yang didapat melalui indera pandang mencapai 90%. Sebagai gambar, kartun editorial termasuk media visual yang disebut grafis. Menurut Arif S. Sadiman (1990: 28-29), grafis berpotensi menarik perhatian dan memperjelas sajian ide. Lebih khusus gambar, di antara kelebihannya dibanding media verbal semata, adalah: ia lebih memudahkan untuk menunjukkan pokok masalah, dapat mengatasi batasan ruang dan waktu dalam menghadirkan obyek dan dapat mengatasi keterbatasan pengamatan. Dalam konteks gambar tersebut adalah kartun, masih menurut Arif S. Sadiman (1990: 47), ia memiliki kemampuan yang besar untuk menarik perhatian, mempengaruhi sikap atau tingkah-laku. Kartun biasanya menangkap esensi pesan yang harus disampaikan dan menuangkannya ke dalam gambar sederhana, tanpa detail, dengan menggunakan simbol-simbol serta karakter yang mudah dikenal dan dimengerti dengan cepat. Opini dalam kartun editorial disampaikan dengan cara-cara humor. Dengan perkataan lain, opini dan humor secara berkelindan membentuk satu kesatuan pesan kritik. Maka, jika berhasil memahami humornya dengan sendirinya berhasil menangkap opininya. Persoalannya, menurut Thomson dan Hewison (1986:9), humor itu sangat subyektif, tidak ada dua orang yang memiliki tanggapan yang sama terhadap satu stimulus humor, sebab setiap orang memiliki akumulasi pengalaman dan pengetahuan yang berbeda. Keener (1992:31) sependapat dengan Thomson, bahwa kualitas ‘lucu’ itu sangat individual. Dalam konteks humor tersebut adalah kartun, tingkat kelucuan kartun dipengaruhi oleh seberapa dekat kartun itu berelasi dengan kehidupan pemandangnya. Maka, sebuah kartun mungkin lucu

    14  

bagi satu orang, tapi tidak begitu lucu bagi orang lain dengan pengetahuan dan latar hidup yang lain. Dalam proses komunikasi, decoding memang tidak selalu berhasil, dan tingkat keberhasilan pada tiap individu itu tidak sama. Penafsiran yang gagal atau kurang berhasil, berarti kegagalan dalam memahami apa yang dibaca atau diamati. Keener, Thomson dan Hewison telah menghubungkan tingkat keberhasilan komunikasi humor dengan tingkat kedekatan antara humor dengan kekayaan pengetahuan dan pengalaman hidup penerima pesan humor.

Gambar 7: Kartun editorial karya Priyanto Sunarto, yang menggambarkan kebingungan pemilih dalam Pemilihan Umum Indonesia 1999. Sadiman (1990: 13-14) memetakan penghambat proses komunikasi ke dalam tiga faktor, yakni: faktor psikologis, faktor kultural dan faktor lingkungan. Faktor psikologis menunjuk pada usia, minat, sikap kepercayaan, inteljensi dan pengetahuan. Faktor kultural meliputi adat-istiadat, norma-norma sosial dan nilai-nilai panutan. Faktor lingkungan menunjuk pada situasi dan kondisi di mana komunikasi berlangsung. Penerima pesan adalah individu dengan ketiga faktor, sehingga mengupayakan humor yang berhasil adalah membuat kaitan yang sedekat mungkin antara humor dengan ketiga faktor tersebut.

    15  

5. Koridor Hukum Bagian ini dapat diartikan juga sebagai kriteria keberhasilan dari aspek hukum. Bahwa Kartun editorial yang berhasil adalah yang berada dalam aturan hukum yang berlaku dalam masyarakat di mana kartun editorial tersebut dipublikasikan. Sebagai karya jurnalistik, kartun editorial merupakan bagian dari penerbitan pers atau media massa, sedangkan pembuatnya terkatagori ‘wartawan’ – karena pekerjaannya tergolong menyiarkan karya jurnalistik (dalam hal ini: gambar). Pers, termasuk kartunis editorial di dalamnya, memiliki kebebasan atau kemerdekaan mengeluarkan pikiran dan pendapat yang dijamin oleh Pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945, sebagai wujud kedaulatan rakyat yang menjadi unsur penting untuk menciptakan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang demokratis. Akan tetapi, kebebasan pers bukan kebebasan yang tidak terbatas, melainkan dibatasi oleh etika, nilai sosial, kode etik jurnalistik, peraturan perundang-undangan, dan hak azasi manusia setiap warna negara. Batas-batas dan wilayah gerak kebebasan pers dapat dibedakan ke dalam dua hal (Syamsul Mu’arif, 2004:5-6), yaitu: 1) Ketentuan-ketentuan yang bersifat mewajibkan atau melarang untuk

melakukan atau tidak melakukan sesuatu, sebagaimana diatur dalam kode etik jurnalistik, dan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku

2) Acuan dan arah yang memandu untuk mewujudkan kehidupan yang lebih baik seperti: menegakkan keadilan dan kebenaran, meningkatkan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, menjaga keutuhan bangsa dan menjunjung tinggi kepentingan rakyat, bangsa dan negara.

Di Indonesia, ketentuan yang mengatur pers adalah Kode Etik Jurnalistik Persatuan Wartawan Indonesia (KEJ-PWI) dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 1999. Dalam ketentuan umum undang-undang tersebut dinyatakan, bahwa yang dimaksud dengan Pers adalah lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik, meliputi: mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi, baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya, dengan menggunakan media cetak, media elektronik dan segala jenis saluran yang tersedia. Tentang perlindungan terhadap kebebasan pers, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 1999, antara lain menyatakan: kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warganegara (pasal 1); terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan atau palarangan penyiaran (pasal 4); melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran

    16  

terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum (pasal 6); dalam melaksanakan profesinya, wartawan mendapat perlindungan hukum (pasal 8). Masih dalam rangka melindungi kebebasan pers, undang-undang tersebut mengamanahkan agar dibentuk Dewan Pers (pasal 15), dengan fungsi, antara lain: memberikan pertimbangan dan mengupayakan penyelesaian pengaduan masyarakat atas kasus-kasus yang berhubungan dengan pemberitaan pers. Dengan adanya Dewan Pers ini, masalah-masalah yang berkaitan dengan pelanggaran hukum oleh pers semestinya ditangani melalui dua mekanisme yang dimungkinkan, yakni: melalui Dewan Pers atau melalui pengadilan. Di samping memuat ketentuan tentang perlindungan terhadap kebebasan pers, Undang-Undang tersebut juga menyatakan sejumlah kewajiban yang menjadi koridor atas kebebasan pers, antara lain: Pers nasional berkewajiban memberitakan peristiwa dan opini dengan menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat serta asas praduga tak bersalah (pasal 5); memiliki dan menaati Kode Etik Jurnalistik (pasal 7). Kode Etik Jurnalistik adalah himpunan etika profesi kewartawan Peraturan ini antara lain menyatakan batasan wartawan Indonesia, yakni: beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berjiwa Pancasila, taat kepada Undang-Undang Dasar Negara RI, kesatria, menjunjung harkat, martabat manusia dan lingkungannya, mengabdi kepada kepentingan bangsa dan negara serta terpercaya dalam mengemban profesinya (Pasal 1). Tentang batasan pemberitaan dan menyatakan pendapat, dinyatakan: wartawan Indonesia menyajikan berita secara berimbang dan adil, mengutamakan kecermatan dari kecepatan serta tidak mencampur adukkan fakta dan opini sendiri. Karya jurnalistik berisi interpretasi dan opini, agar disajikan dengan menggunakan nama jelas penulisnya (pasal 5); menjunjung tinggi kehidupan pribadi dengan tidak menyiarkan karya jurnalistik (termasuk gambar), yang merugikan nama baik seseorang, kecuali menyangkut kepentingan umum (pasal 6); tidak melakukan tindakan plagiat, tidak mengutip karya jurnalistik tanpa menyebut sumbernya (pasal 12).

C. PENUTUP

Pesan berupa opini dalam media massa diharapkan dapat membuat pembaca mengalami perubahan tingkah laku, seperti: menjadi lebih mengerti, lebih sadar hukum, dan lain-lain. Perubahan tingkah laku tersebut, tidak lain adalah proses belajar. Dalam menyampaikan opini tersebut, media massa memerlukan saluran atau alat yang efektif.

    17  

Bentuk saluran opini meliputi verbal (teks), visual (gambar) dan perpaduan di antara keduanya. Masing-masing saluran ini diharapkan berfungsi secara optimal. Di antara bentuk saluran opini visual adalah kartun editorial, yakni: gambar humor yang menyampaikan opini, sebagai pesan kritik atau komentar pribadi pembuatnya dan lembaga penerbitan pers yang memuatnya, mengenai isyu aktual yang berkaitan dengan kepentingan umum, dan dibuat dalam tekanan waktu yang ketat. Sebagai gambar, kartun opini cenderung lebih menarik penglihatan pembaca daripada teks. Telah dikemukakan, bahwa manusia lebih cepat belajar malalui media visual, dan di antara berbagai media visual, gambar memiliki kelebihan-kelebihan dibanding media verbal. Lebih dari potensinya sebagai saluran opini yang efektif, kartun editorial juga turut menyumbang pada pembentukan karakter media massa cetak yang memuatnya. Dengan kelebihan-kelebihan ini, kartun editorial pantas untuk diupayakan dan dihargai keberadaannya. Terdapat fakta, bahwa tidak semua media massa mengakomodasi kemunculan kartun editorial. Di antara penyebabnya adalah adanya perbedaan pendapat antara kartunis (pembuat kartun) dengan redaksi tentang kriteria keberhasilan kartun editorial. Di samping itu, ada kekhawatiran kartun editorial akan mengundang reaksi keras pembaca. Kartun editorial merupakan karya seni rupa dan sekaligus karya jurnalistik. Sebagai karya seni rupa, keberhasilannya dapat diukur dengan menganalisa aspek artistiknya. Sedangkan sebagai karya jurnalistik, kartun editorial dapat ditinjau dari aspek komunikasi dan aspek hukum. Analisa aspek artistik dalam kartun editorial beranjak dari pemahaman, bahwa kartun editorial adalah desain rupa yang disusun dari unsur-unsur rupa, seperti: titik, garis, bidang, tekstur, gelap-terang dan warna. Desain rupa yang artistik adalah desain yang pengorganisasian unsur-unsurnya menerapkan 7 Prinsip Dasar Tata Rupa, yang terdiri dari: Irama, Kesatuan, Dominasi, Keseimbangan, Proporsi, Kesederhanaan dan Kejelasan. Analisa aspek komunikasi dalam kartun editorial beranjak dari pengertian tentang kedudukan kartun editorial dalam proses komunikasi, yakni sebagai saluran pesan. Adapun pesan yang dikomunikasikan adalah humor dan opini. Sumber pesannya adalah kartunis atau lembaga penerbitan pers, dan penerima pesannya adalah pembaca. Pesan berupa humor dan opini dituangkan kartunis ke dalam simbol-simbol komunikasi berwujud gambar. Selanjutnya penerima pesan menafsirkan simbol-simbol komunikasi tersebut sehingga diperoleh pesan. Proses ini disebut encoding-decoding, yang dapat berjalan dengan efektif jika memiliki korelasi dengan tiga faktor, yakni: psikologis, kultural dan lingkungan.

    18  

Dalam aspek hukum, keberhasilan kartun editorial dianalisa berdasarkan kesesuaiannya dengan aturan hukum yang berlaku dalam masyarakat. Di Indonesia, aturan tersebut sedikitnya meliputi: Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tentang Pers dan Kode Etik Jurnalistik Persatuan Wartawan Indonesia (KEJ-PWI). Aturan ini merupakan koridor hukum bagi kartunis. Ia melindungi dan pada saat yang sama memberi batasan tentang kebebasan beropini dan bagaimana opini itu diekspresikan. Betapapun aturan hukum tersebut telah berisi ketentuan yang banyak, celah bagi tindakan tidak terpuji, tetap terbuka. Implementasi dan parameter kepatuhan terhadap aturan hukum itu, akhirnya memang bergantung pada diri kartunis sendiri. Oleh sebab itu, dalam pasal 16 Kode Etik Jurnalistik, dinyatakan: penaatan Kode Etik Jurnalistik terutama berada pada hati nurani masing-masing. Makalah ini diharapkan dapat turut menjembatani kesepahaman antara redaksi dan kartunis, bahkan masyarakat dan pemerintah, tentang kriteria keberhasilan kartun editorial yang baik. Teristimewa berkenaan dengan koridor hukum, dengan mengetahui, memahami dan menaati ketentuan hukum yang ada dan solusi hukum atas kasus yang mungkin terjadi, kiranya kartunis tidak perlu takut membuat kartun editorial. Di pihak lain, redaksi media massa pun tidak perlu takut untuk memuatnya. Sudah semestinya kartun editorial diberi tempat untuk ikut memperkaya menu isi media massa kita. Kehadiran kartun editorial dengan sendirinya akan meningkatkan fungsi pers sebagai alat kontrol sosial dan, pada saat yang sama, akan mendorong perkembangan kartun editorial sebagai cabang seni rupa di Indonesia. Disadari, kajian dalam makalah ini masih sangat permukaan, barangkali lebih merupakan pengantar untuk kajian lebih lanjut secara lebih fokus dan mendalam. Tapi mungkin cukup memadai sebagai pendorong bagi kartunis dan redaksi media massa untuk berkata: “Mem(b)uat kartun opini? Siapa takut?”

DAFTAR PUSTAKA Ali, Bachtiar. 1986. “Mencari Prespektif Baru Isi Surat Kabar Indonesia”, Persuratkabaran Indonesia Dalam Era Informasi. Jakarta: Sinar Harapan. Antariksa, GP, Lapian, AB dan T, Agus Dermawan. 1989. “Kartun” Ensiklopedi Nasional Indonesia, VII: 201-204. Jakarta: PT Cipta Adi Pustaka Arsyad, Azhar. 2009. Media Pembelajaran. Jakarta: Raja Grafindo Persada

    19  

Davies, Randall. 1928. “On Caricature” Caricature of Today (Ed. Goeffrey Holme). London: The Studio LTD Echols, John M and Shadily, Hassan. 1990. Kamus Inggris – Indonesia. Jakarta: PT Gramedia. Fealdman, Edmund Burke. 1967. Art as Image and Idea. New Jersey: Prentice Hall, Inc. Feaver, William. 1981. Masters of Caricature. London: George Weidenfeld and Nicolson Limited. Keener, Polly. 1992. Cartooning. New Jersey: Prentice Hall, Inc. Luwarso, Lukas (Ed.). 2004. Dialog Pers dan Hukum. Jakarta: Dewan Pers dan UNESCO. Pr., Subagyo. 1981. “Prakata”, Pramono: Karikatur-Karikatur 1970-1981. Jakarta: Penerbit Sinar Harapan. Pujiriyanto. 2005. Desain Grafis Komputer. Yogyakarta: CV Andi Offset. Sadiman, Arif S. 1990. Media Pendidikan. Jakarta: CV Rajawali. Sanyoto, Sadjiman Ebdi. 2005. Dasar-Dasar Tata Rupa dan Desain. Yogyakarta: Arti Bumi Intaran Sumartana, Th. 1980. “Bayangan 13 Tahun Indonesia di Mata GM Sudarta”, GM Sudarta: Indonesia 1967-1980. Jakarta: PT Gramedia. Thomson, Ross and Hewison, Bill. 1986. How to Draw and Sell Cartoons. Ohio, Cincinnati: North Light Undang-Undang Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers Kode Etik Jurnalistik Hasil Konggres XXII, Nangroe Aceh Darussalam, 28-29 Juli 2008 Disertasi Sunarto, Priyanto. 2005. Metafora Visual Kartun Editorial Pada Surat Kabar Jakarta 1950-1957. Disertasi Ilmu Seni Rupa dan Desain Institut Teknologi Bandung.

    20  

Skripsi Supiyah, Tutik. 2007. Pendidikan Islam Menurut Pemikiran Sunan Kalijaga. Skripsi Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Surakarta. Trenggonowati, Silvia. 1984. “Fungsi Kartun Editorial dalam Surat Kabar”. Skripsi. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia. Majalah Harris, Mark and Svetkey, Benjamin. 1990. “Cartoon in The News”. Enterteinment Weekly No. 36 Coren, Alan. “The Passing of Punch” Time 20 April 1992. Dokumen Online Sunan Kalijaga, http://sunatullah.com/wali-songo/sunan-kalijaga.html Sunan Kalijaga Vs Kejawen, http://forum.upi.edu/index.php/v3/index.php? topic=6100.0Forum Sejarah Dakwah Sunan Kalijaga, http://sejarahkita.co.cc./2009/10/sejarah-dakwah-sunan-kalijaga.html Wayang Berperan Dalam Penyeban Islam di Indonesia. Diunduh 01 Juli 2010 dari http://koran.republika.co.id/berita/6692/Wayang_Berperan_Dalam_ Penyebaran_Islam_di_Indonesia Jakarta, 12 Oktober 2010