Akulturasi Budaya Tionghoa dan Cirebon di Kesultanan ... - OSF
kajian kritis tentang akulturasi islam - E-JOURNAL IAIN ...
-
Upload
khangminh22 -
Category
Documents
-
view
1 -
download
0
Transcript of kajian kritis tentang akulturasi islam - E-JOURNAL IAIN ...
Jurnal Pemikiran Islam Vol. 5, No. 1, Juli 2019
~1~
KAJIAN KRITIS TENTANG AKULTURASI ISLAM
DAN BUDAYA LOKAL
Muhammad Alqadri Burga
Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar
Email: [email protected]
Abstrak
Artikel ini membahas akulturasi Islam dan budaya lokal di Indonesia yang
difokuskan pada tiga pokok masalah, yaitu 1) bentuk akulturasi Islam dan budaya lokal;
2) proses akulturasi Islam dan budaya lokal; dan 3) implikasi akulturasi Islam dan budaya
lokal terhadap paham keislaman umat di Indonesia. Jenis penelitian ini adalah penelitian
pustaka yang datanya dikumpulkan melalui dokumentasi dan dianalisis menggunakan
metode analisis konten. Hasil penelitian menunjukkan bahwa akulturasi Islam dan budaya
lokal terlihat pada acara dan upacara adat, seni dan arsitektur, dan sistem nilai masyarakat.
Akulturasi Islam dan budaya lokal terjadi karena Islam memiliki sisi universalitas
bertemu dengan budaya lokal nusantara yang membutuhkan afiliasi dan mendapat
dukungan sosial untuk berkembang. Akulturasi Islam dan budaya lokal di Indonesia
menghasilkan praktik Islam lokal yang berimplikasi pada munculnya tiga paham
keislaman, yaitu Islam tradisionis, Islam modernis, dan Islam puritan. Penelitian ini
berimplikasi pada ajaran Islam mengandung peradaban yang lengkap, sehingga perlu
dilakukan Islamisasi budaya dalam praktik Islam lokal demi menjaga kemurnian ajaran
Islam tanpa menghilangkan unsur budaya lokal. Makna filosofis dalam simbol ritual acara
dan upacara adat harus dimaknai sesuai dengan Islam. Ini merupakan upaya pemurnian
akidah dengan tetap mengakomodasi budaya lokal.
Kata Kunci: Kajian Kritis, Akulturasi, Islam, Budaya Lokal
Abstract
This article discusses acculturation of Islam and local culture in Indonesia which
is focused on three main issues, namely 1) the form of acculturation of Islam and local
culture; 2) the process of acculturation of Islam and local culture; and 3) the implications
of acculturation of Islam and local culture towards the Islamic understanding of the
ummah in Indonesia. This type of research is library research whose data are collected
through documentation and analyzed using content analysis method. The results showed
that acculturation of Islam and local culture was seen in traditional ceremonies, arts and
architecture, and community value systems. Acculturation of Islam and local culture
occurs because Islam has a universal side of meeting the local culture of the archipelago
which requires affiliation and gets social support to develop. Acculturation of Islam and
local culture in Indonesia resulted in the practice of local Islam which had implications
for the emergence of three Islamic ideologies, namely traditionalist Islam, modernist
Islam, and puritanical Islam. This study has implications for the teachings of Islam
containing complete civilization, so it is necessary to do the Islamization of culture in the
practice of local Islam in order to maintain the purity of Islamic teachings without losing
the element of local culture. The philosophical meaning in the ritual symbols of traditional
Vol. 5, No. 1, Juli 2019 Jurnal Pemikiran Islam
~2~
ceremonies must be interpreted according to Islam. This is an effort to purify the faith
while accommodating local culture.
Keywords: Critical Studies, Acculturation, Islam, Local Culture
Pendahuluan
Islam sebagai agama tidak datang kepada komunitas manusia yang hampa
budaya. Islam hadir kepada suatu masyarakat yang sudah sarat dengan keyakinan, tradisi,
dan praktik-praktik kehidupan sesuai dengan budaya yang membingkainya. Konteks
sosiologis yang dihadapi Islam membuktikan bahwa agama yang beresensi wahyu
Ilahiyah dengan berbagai ajarannya, tidak dapat dihindarkan dari kondisi sosial yang
telah ada dalam masyarakat. Meskipun dalam perjalanannya, sisi universalitas Islam
selalu berdialog dengan fenomena dan realitas budaya di mana Islam itu hadir.
Universalisme Islam adalah salah satu karakteristik Islam yang agung. Islam
sebagai agama yang besar berkarakteristikkan: (1) Rabbāniyyah, (2) insāniyyah
(humanistik), (3) syumūl (totalitas) yang mencakup unsur keabadian, universalisme dan
menyentuh semua aspek manusia (ruh, akal, hati dan badan), (4) wasaṭiyyah (moderat
dan seimbang), (5) waqi‘iyyah (realitas), (6) Jelas dan gamblang, (7) Integrasi antara al-
ṣabat wa al-murūnah (permanen dan elastis).1
Karakteristik universialisme Islam tersebut, membuat risalah Islam sebagai
hidayah Allah untuk segenap manusia dan rahmat-Nya untuk semua hamba-Nya.
Manifesto ini termaktub abadi dalam firman-Nya QS. Al-Anbiyā’/21: 107.
Terjemahnya:
Dan Kami tidak mengutus engkau (Muhammad) melainkan untuk (menjadi) rahmat
bagi seluruh alam. 2
Ayat tersebut menunjukkan Universalisme Islam. Risalah Islam ditujukan untuk
semua umat, segenap ras dan bangsa serta untuk semua lapisan masyarakat. Ia bukan
risalah untuk bangsa tertentu yang beranggapan bahwa dialah bangsa yang terpilih, dan
karenanya semua manusia harus tunduk kepadanya. Selain itu, ayat tersebut yang
notabene Makkiyah, secara implisit membantah tuduhan sebagian orientalis yang
1Yūsuf al-Qarḍāwī, Al-Khaṣāiṣ al-‘Āmiyah al-Islām (Beirut: Dār al-Fikr, 1993), h. 3.
2Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya (Jakarta: Pustaka Assalam, 2010), h. 461.
Jurnal Pemikiran Islam Vol. 5, No. 1, Juli 2019
~3~
menyatakan bahwa Muhammad saw tidak memproklamirkan pengutusan dirinya untuk
seluruh umat manusia pada awal kerisalahannya, akan tetapi setelah mendapat
kemenangan atas bangsa Arab.3
Munculnya berbagai gerakan Islam yang cukup menonjol dewasa ini menarik
dicermati. Kenyataan ini bisa dilihat dari kepemimpinan puncak kelompok seperti Laskar
Jihad (LJ), Front Pembela Islam (FPI), Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), Jama’ah
Ikhwan al-Muslimin Indonesia (JAMI), dan lain-lain. Pemimpin utama LJ adalah Ja’far
Umar Thalib; FPI adalah Habib Rizieq Shihab, MMI adalah Abu Bakar Ba’asyir, JAMI
adalah Al-Habshi. Kelompok-kelompok seperti ini menjadi menonjol terutama karena
pemahaman keagamaan yang cenderung literal serta aksi-aksinya yang cenderung
radikal.4
Mengamati pemahaman Islam, wacana, dan praktik yang kelompok tersebut
kembangkan, maka mereka dapat dikategorikan sebagai kelompok Salafi Radikal yang
berorientasi kepada penegakan dan pengamalan Islam yang murni sebagaimana yang
dipraktikkan Muhammad saw dan para sahabatnya. Mereka disebut sebagai Salafi
Radikal, karena mereka cenderung menempuh pendekatan dan cara-cara keras untuk
mencapai tujuan, daripada dengan pendekatan dan cara-cara damai dan persuasif.
Kemenonjolan warga keturunan Arab dalam kepemimpinan kelompok-kelompok seperti
ini pada segi tertentu tidak mengherankan. Hal ini karena secara historis dan sosiologis,
terdapat keturunan Arab yang memandang bahwa diri mereka memiliki tugas suci untuk
memurnikan Islam Indonesia dan membawanya menjadi Islam autentik sebagaimana
dipahami dan dipraktikkan di tanah Arab.5
Asimilasi budaya dan akomodasi pada akhirnya menghasilkan berbagai varian
keislaman yang disebut dengan Islam lokal yang berbeda dengan Islam dalam great
tradition. Islam lokal juga terdapat di Indonesia sebagai Negara berpenduduk muslim
terbanyak di dunia yang kaya akan budaya. Praktik Islam lokal sebagai hasil akulturasi
Islam dengan budaya lokal dipandang sebagai Islam tidak murni yang telah tercampur
dengan kepercayaan dan praktik keagamaan lokal (sinkretis).6 Fenomena demikian bagi
3Yūsuf al-Qarḍāwī, Al-Khaṣāiṣ al-‘Āmiyah al-Islām, h. 107-108.
4Azyumardi Azra, Syari’at Islam dalam Bingkai Nation State (Jakarta: Paramadina, 2004), h. 33-
34.
5Azyumardi Azra, Agama dan Otentisitas Islam (Jakarta: Paramadina, 2004), h. 77.
6Azyumardi Azra, Agama dan Otentisitas Islam, h. 78.
Vol. 5, No. 1, Juli 2019 Jurnal Pemikiran Islam
~4~
sebagian kelompok memandangnya sebagai penyimpangan terhadap Islam dan telah
melenceng dari esensi Islam. Namun sebagian kelompok memandangnya sebagai bagian
dari mozaik peradaban Islam yang perlu untuk dipertahankan. Berdasarkan permasalahan
praktik Islam lokal tersebut, maka makalah ini akan membahas akulturasi Islam dan
budaya lokal dengan difokuskan pada tiga pokok masalah, yaitu 1) bentuk akulturasi
Islam dan budaya lokal di Indonesia; 2) proses akulturasi Islam dan budaya lokal di
Indonesia; dan 3) implikasi akulturasi Islam dan budaya lokal terhadap paham keislaman
umat di Indonesia.
Bentuk Akulturasi Islam dan Budaya Lokal di Indonesia
Secara etimologi, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, akulturasi adalah
percampuran dua kebudayaan atau lebih yang saling bertemu dan saling memengaruhi
atau proses masuknya pengaruh kebudayaan asing dalam suatu masyarakat, sebagian
menyerap secara selektif sedikit atau banyak unsur kebudayaan asing itu.7
Secara terminologi, pengertian akulturasi banyak dikemukakan oleh para ahli, di
antaranya:
Menurut Diaz dan Greiner dalam Nugroho dan Suryaningtyas, “akulturasi
merupakan suatu tingkat dimana seorang individu mengadopsi nilai, kepercayaan, budaya
dan praktik-praktik tertentu dalam budaya baru”.8
Erni Budiwanti berpendapat bahwa,
“Akulturasi adalah proses perubahan sosial yang timbul pada kelompok manusia dengan
suatu kebudayaan tertentu di hadapan unsur-unsur kebudayaan asing dalam jangka waktu
yang lama dan terus-menerus sehingga lambat laun kebudayaan asing dan kebudayaan
lokal dapat menjadi satu tanpa harus menghapus salah satunya”.9
Menurut Redfield dan Herskovits dalam Berry bahwa,
“Akulturasi memahami fenomena yang terjadi ketika kelompok individu yang memiliki
budaya yang berbeda datang ke budaya lain kemudian terjadi kontak berkelanjutan dari
sentuhan yang pertama dengan perubahan berikutnya dalam pola kultur asli atau salah satu
dari kedua kelompok.”10
7Departemen Pendidikan Nasional RI, Kamus Besar Bahasa Indonesia - Edisi Keempat (Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 2008), h. 134.
8Raden Arief Nugroho dan Valentina Widya Suryaningtyas, Akulturasi Antara Etnis Cina dan
Jawa: Konvergensi atau Divergensi Ujaran Penutur Bahasa Jawa? (Yogyakarta: Andi Ofset, 2010), h. 2.
9Erni Budiwanti, Islam Sasak (Yogyakarta: LKiS, 2000), h. 88.
10Jhon W. Berry, “Acculturation: Living Successfully in Two Cultures”, International Journal of
Intercultural Relations 2, no. 9 (2005): h. 679.
Jurnal Pemikiran Islam Vol. 5, No. 1, Juli 2019
~5~
Diperjelas Berry bahwa,
“Akulturasi adalah sebuah proses yang merangkap dari perubahan budaya dan psikologis
yang berlangsung sebagai hasil kontak antara dua atau lebih kelompok budaya dan
anggotanya. Pada level kelompok akulturasi melibatkan perubahan dalam struktur sosial
dan institusi. Sedangkan pada level individu akulturasi melibatkan perubahan perilaku.”11
Berdasarkan pendapat para ahli mengenai akulturasi, dapat dipahami bahwa
akulturasi merupakan hasil integrasi budaya asing ke dalam budaya kelompok tertentu
(lokal) melalui interaksi, sehingga unsur-unsur kebudayaan asing diterima dan diolah
dalam kebudayaannya sendiri tanpa menghilangkan karakteristik budaya lokal itu.
Melalui pengertian akulturasi ini, maka dalam konteks masuknya Islam ke
Nusantara (Indonesia) dan dalam perkembangan selanjutnya telah terjadi interaksi
budaya yang saling memengaruhi. Namun dalam proses interaksi itu, pada dasarnya
kebudayaan setempat masih tetap kuat, sehingga terdapat perpaduan budaya asli (lokal)
Indonesia dengan Islam. Perpaduan inilah yang kemudian disebut akulturasi kebudayaan.
1. Akulturasi Islam dan Budaya Lokal dalam Acara Adat
Masuknya nilai-nilai Islami dalam acara adat, dapat dilihat dari praktik ritual
dalam budaya populer di Indonesia. Salah satunya digambarkan oleh Kuntowijoyo dalam
Upacara Pangiwahan di Jawa Barat. Upacara ini dimaksudkan agar manusia dapat
menjadi wiwoho (mulia). Berangkat dari pemahaman ini, masyarakat harus memuliakan
kelahiran, perkawinan, kematian, dan sebagainya. Semua ritual itu dimaksudkan untuk
menunjukkan bahwa kehidupan manusia itu bersifat mulia. Konsep mengenai kemuliaan
hidup manusia ini jelas-jelas diwarnai oleh konsep ajaran Islam yang memandang
manusia sebagai makhluk yang mulia.12
Makna filosofis dalam acara dan upacara adat disisipi dengan nilai-nilai Islami.
Misalnya, persembahan sesajen untuk memohon keselamatan dari Yang Maha Kuasa
pada kelompok masyarakat tertentu diganti menjadi acara selamatan berupa doa dengan
menyiapkan makanan yang disiapkan untuk para hadirin. Masyarakat Bugis menyebutnya
mabbaca doang salama.
2. Akulturasi Islam dan Budaya Lokal dalam Seni dan Konstruksi Bangunan
a. Seni
1) Kaligrafi menjadi kesenian arab yang menghiasi dinding mesjid di Indonesia. Bahkan
dalam perkembangannya kaligrafi telah menghiasi dinding rumah dan madrasah.
2) Wayang dan gamelang adalah satu paket yang lengkap, antara media bermain beserta
alat musiknya. Keduanya merupakan kebudayaan asli dari Indonesia yang berfungsi
untuk mempermudah penyebaran Islam.
11Jhon W. Berry, “Acculturation: Living Successfully in Two Cultures”.
12Kuntowijoyo, Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi (Bandung: Mizan, 2001), h. 235.
Vol. 5, No. 1, Juli 2019 Jurnal Pemikiran Islam
~6~
3) Tari Seudati berasal dari Aceh, nama lain tarian ini adalah tari Saman. Asal kata
Seudati adalah Syaidati yang berarti permainan orang-orang besar, disebut tari Saman
karena mula-mula dimainkan delapan orang dengan lagu tertentu berupa shalawat. 13
b. Konstruksi Bangunan
Akulturasi dalam konstruksi bangunan dapat dilihat dari model masjid di
Indonesia yang beragam dan mempunyai bentuk khas. Misalnya masjid Demak, model
atau bentuk bangunannya menyerupai pendopo bujur sangkar. Selain itu atap masjid
berbentuk tumpang dengan jumlah ganjil tiga yang mirip pura tempat peribadatan Hindu
sebagai kepercayaan masyarakat lokal sebelum datangnya Islam. Pola arsitektur masjid
ini tidak dikenal di kawasan dunia muslim lainnya.14
3. Akulturasi Islam dan Budaya Lokal dalam Konsepsi Sosial
Akulturasi Islam dan budaya lokal juga tergambar dalam konsepsi sosial
masyarakat. Hal ini dapat dilihat pada praktik muamalah dan masuknya syari’at sebagai
falsafah hidup masyarakat lokal.
Sulawesi misalnya, Mattulada mengungkapkan bahwa dalam aspek Pangadereng
(Bugis) atau Pangngadakkang (Makassar), dikenal 5 (lima) unsur pokok yang
dikembangkan masyarakat Bugis-Makassar dalam berinteraksi dan berdinamika, yaitu
(1) ade’, (2) bicara, (3) rapang, (4) wari’, dan (5) sara’.15 Kelima unsur tersebut
merupakan tata nilai pergaulan bagi masyarakat Bugis-Makassar, terutama unsur pokok
kelima yang masuk terakhir, yaitu sara’. Hal ini menggambarkan dan menandakan
masuknya Islam ke dalam tata kehidupan masyarakat Sulawesi Selatan.
Berdasarkan lingkup yang lebih luas, syariat telah masuk dalam regulasi nasional.
Ini terbukti dengan dilindunginya pelaksanaan syariat.16 Bahkan ada syariat yang
diundangkan, seperti zakat dan nikah.
Proses Akulturasi Islam dan Budaya Lokal di Indonesia
1. Universalitas Islam
Universalitas Islam menampakkan diri dalam berbagai manifestasi penting, dan
yang terbaik adalah dalam ajaran-ajarannya.17 Ajaran Islam yang mencakup aspek akidah,
syari’ah dan akhlak, sering kali disempitkan oleh sebagian masyarakat menjadi hanya
13Sjamsuddhuha, Corak dan Gerak Hinduisme dan Islam di Jawa Timur (Surabaya: CV. Suman
Indah, 2000), h. 33.
14Mark R. Woodward, Islam Jawa: Kesalehan Normatif Versus Kebatinan (Yogyakarta: LKiS,
2012), h. 87.
15Mattulada, Latoa: Suatu Lukisan Analitis Terhadap Antropologi Politik Orang Bugis
(Yogyakarta: Gadjahmada University Press, 1985), h. 344.
16Lihat Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28E ayat 1: “setiap orang bebas memeluk agama dan
beribadah menurut agamanya”.
17Abdurrahman Wahid, Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah (Jakarta: Yayasan
Paramadina, 2004), h. 515.
Jurnal Pemikiran Islam Vol. 5, No. 1, Juli 2019
~7~
kesusilaan dan sikap hidup, padahal lebih dari itu, yaitu menampakkan perhatian ajaran
Islam yang sangat besar terhadap persoalan utama kemanusiaan. Hal ini dapat dilihat dari
enam tujuan umum syari’ah yaitu; menjamin keselamatan agama, badan, akal, keturunan,
harta dan kehormatan. Selain itu risalah Islam juga menampilkan nilai-nilai
kemasyarakatan (social values) yang luhur, sehingga bisa dikatakan sebagai tujuan dasar
syari’ah yaitu; keadilan, ukhuwwah, takāful, kebebasan dan kehormatan.18 Semua ini
akhirnya bermuara pada keadilan sosial dalam arti sebenarnya.
Universalitas Islam dapat dipahami secara lebih jelas melalui sifat al-waqi’iyyah
(berpijak pada kenyataan objektif manusia).19 Ajaran universal Islam mengenai aspek
kehidupan berbangsa dan bernegara akan terwujud secara substansial, tanpa menekankan
simbol ritual dan tekstual.20 Ajaran Islam bukanlah agama “baru”, melainkan agama yang
sudah dikenal dan dijalankan oleh umat manusia sepanjang zaman, karena sejak semula
telah terbit dari fitrahnya sendiri.21 Islam sebagai agama yang benar, agama yang sejati,
mengutamakan perdamaian,22 serta rahmah li al-‘ālamīn, sehingga mampu
mengakomodasi semua kebudayaan dan peradaban manusia di seluruh dunia.
Sisi universalitas Islam ini, kemudian memunculkan kosmopolitanisme budaya
Islam. Hal ini mendapat pengesahan langsung dari kitab suci, seperti suatu pengesahan
berdasarkan konsep-konsep kesatuan kemanusiaan (wihdat al-insaniyah; the unity of
humanity) yang merupakan pancaran konsep ke-Maha-Esaan Tuhan (wahdaniyat atau
tauhid; the unity of god). Kesatuan asasi ummat manusia dan kemanusiaan itu ditegaskan
dalam QS. Al-Baqarah/2: 213.
Terjemahnya:
18Yūsuf al-Qarḍāwī, Madkhāl li al-Dirāsah al-Islāmiyyah (Beirut: Dār al-Fikr, 1993), h. 61.
19Lihat M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Quran: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan
Masyarakat (Bandung: Mizan, 2007), h. 330-331.
20Betapapun universalnya suatu ajaran, jika dikemas secara tekstual, apalagi jika berlabel agama,
niscaya akan berubah menjadi parsial dan eksklusif yang justru akan mengaburkan makna universalitas
agama itu sendiri. Lihat HAMKA, Islam: Rahmah untuk Bangsa (Jakarta: Wahana Semesta Intermedia,
2009), h. 29-31.
21M. Dawam Rahardjo, Paradigma Al-Quran: Metodologi Tafsir dan Kritik Sosial (Jakarta: PSAP
Muhammadiyah, 2005), h. 132-133.
22Bruce Lawrence, The Quran: A Biography, terj. Aditya Hadi Pratama, Al-Qur’an: Sebuah
Biografi (Bandung: Semesta Inspirasi, 2008), h. 2-4.
Vol. 5, No. 1, Juli 2019 Jurnal Pemikiran Islam
~8~
“Manusia itu adalah umat yang satu. (Setelah timbul perselisihan), Maka Allah mengutus para
nabi, sebagai pemberi peringatan, dan Allah menurunkan bersama mereka Kitab yang benar,
untuk memberi Keputusan di antara manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan.
Tidaklah berselisih tentang Kitab itu melainkan orang yang telah didatangkan kepada mereka
kitab, yaitu setelah datang kepada mereka keterangan-keterangan yang nyata, Karena dengki
antara mereka sendiri. Maka Allah memberi petunjuk orang-orang yang beriman kepada
kebenaran tentang hal yang mereka perselisihkan itu dengan kehendak-Nya. dan Allah selalu
memberi petunjuk orang yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus”.23
Ayat tersebut menunjukkan bahwa pengikut Muhammad saw diingatkan untuk
selalu menyadari sepenuhnya kesatuan kemanusiaan. Berdasarkan kesadaran itu mereka
membentuk pandangan budaya kosmopolit, yaitu sebuah pola budaya yang konsep-
konsep dasarnya meliputi dan diambil dari seluruh budaya umat manusia.24
Refleksi dan manifestasi kosmopolitanisme Islam bisa dilacak dalam etalase
sejarah kebudayaan Islam sejak zaman Rasulullah, baik dalam format non material seperti
konsep-konsep pemikiran, maupun yang material seperti seni arsitektur bangunan dan
sebagainya. Pada masa awal Islam, Rasulullah saw berkhutbah hanya dinaungi sebuah
pelepah kurma. Kemudian, tatkala kuantitas kaum muslimin mulai bertambah banyak,
dipanggillah seorang tukang kayu Romawi. Ia membuatkan untuk Nabi sebuah mimbar
dengan tiga tingkatan yang dipakai untuk khutbah Jumat dan munasabah-munasabah
lainnya. Kemudian dalam perang Ahzab, Rasul menerima saran Salman al-Farisy untuk
membuat parit (khandaq) di sekitar Madinah. Metode ini adalah salah satu metode
pertahanan ala Persi. Rasul mengagumi dan melaksanakan saran itu. Beliau tidak
mengatakan: “Ini metode Majusi, kita tidak memakainya”. Para sahabat juga meniru
manajemen administrasi dan keuangan dari Persi, Romawi dan lainnya. Mereka tidak
keberatan dengan hal itu selama menciptakan kemashlahatan dan tidak bertentangan
dengan nas. Sistem pajak jaman itu diadopsi dari Persi sedang sistem perkantoran
diadopsi dari Romawi.25
Pengaruh filsafat Yunani dan budaya Yunani (hellenisme) pada umumnya dalam
sejarah perkembangan pemikiran Islam sudah bukan merupakan hal baru lagi. Seperti
halnya budaya Yunani, budaya Persia juga amat besar sahamnya dalam perkembangan
peradaban Islam. Jika dinasti Umayyah di Damaskus menggunakan sistem administratif
dan birokratif Byzantium dalam menjalankan pemerintahannya, dinasti Abbasiyah di
Bagdad (dekat Tesiphon, ibu kota dinasti Persi Sasan) menggunakan sistem Persia. Dan
dalam pemikiran, tidak sedikit pengaruh-pengaruh Persianisme atau Aryanisme
(Iranisme) yang masuk ke dalam sistem Islam. Hal ini terpancar dengan jelas dalam buku
al-Ghazali (ia sendiri orang Parsi), seperti Nashihat al-Mulk, siyasat namah (pedoman
pemerintahan), yang juga banyak menggunakan bahan-bahan pemikiran Persi.26
23Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya (Jakarta: Pustaka Assalam, 2010), h. 41.
Lihat juga QS. Yunus/10: 19.
24Nurcholis Madjid, Islam, Doktrin dan Peradaban (Jakarta: Yayasan Paramadina, 2002), h. 442.
25Yūsuf al-Qarḍāwī, Al-Khaṣāiṣ al-‘Āmiyah al-Islām (Beirut: Dār al-Fikr, 1993), h. 253.
26Nurcholis Madjid, Islam, Doktrin dan Peradaban, h. 444.
Jurnal Pemikiran Islam Vol. 5, No. 1, Juli 2019
~9~
Sisi universalitas Islam yang kemudian berkembang menjadi kosmopolitanisme
budaya Islam yang datang ke nusantara, membuatnya diterima dengan baik oleh
masyarakat yang telah memiliki dasar kebudayaan kuat sebagai falsafah hidup.
Akomodasi Islam terhadap budaya yang mengakar membuatnya menjadi pelengkap dan
penyempurna falsafah hidup masyarakat lokal dari segi prinsip maupun regulasi dalam
berinteraksi.
2. Dukungan Sosial dan Kebutuhan Afiliasi Budaya Lokal
a. Dukungan Sosial
Menurut Rook dalam Kumalasari dan Ahyani, bahwa dukungan sosial merupakan
salah satu fungsi dari ikatan sosial, dan ikatan-ikatan tersebut menggambarkan tingkat
kualitas umum dari hubungan interpersonal. Ikatan dan persahabatan dengan orang lain
dianggap sebagai aspek yang memberikan kepuasan secara emosional dalam kehidupan
individu.27
Lebih rinci Sarafino menyebutkan empat jenis dukungan sosial, yaitu: 1) Dukung
emosional, dukungan ini melibatkan ekspresi rasa empati dan perhatian terhadap
individu, sehingga individu tersebut merasa nyaman, dicintai dan diperhatikan. Dukungan
ini meliputi perilaku seperti memberikan perhatian dan afeksi serta bersedia
mendengarkan keluh kesah orang lain. 2) Dukungan penghargaan, dukungan ini
melibatkan ekspresi yang berupa pernyataan setuju dan penilaian positif terhadap ide-ide,
perasaan dan performa orang lain. 3) Dukungan instrumental, bentuk dukung ini
melibatkan bantuan langsung, misalnya yang berupa bantuan finansial atau bantuan
dalam mengerjakan tugas-tugas tertentu. 4) Dukungan informasi, dukungan yang bersifat
informasi ini dapat berupa saran, pengarahan dan umpan balik tentang bagaimana cara
memecahkan persoalan.28
Berdasarkan jenis dukungan sosial tersebut, kemudian dikaitkan dengan
penyebaran Islam di nusantara, akulturasi Islam dan budaya lokal terjadi salah satunya
karena dukungan sosial terhadap masyarakat lokal (pribumi). Baik dari para pedagang
yang menyiarkan Islam, ulama yang mendakwahkan Islam, terlebih dukungan
pemerintah yang telah memeluk Islam. Tidak hanya itu, pernikahan putri raja dengan
ulama Islam semakin membuka lebar interaksi Islam dengan budaya lokal.
Para pedagang yang menyiarkan Islam dengan keteladanan akhlak dan praktik
muamalah yang mulia, kemudian dilanjutkan oleh ulama sufi. Sebagaimana hasil
penelitian A. H. Johns, menemukan bahwa para sufi pengembaralah yang terutama
melakukan penyebaran agama Islam di kawasan Nusantara, dengan mempertimbangkan
kemungkinan kecil bahwa para pedagang memainkan peran terpenting dalam penyebaran
Islam di kawasan ini. Para sufi ini berhasil mengislamkan sejumlah besar penduduk
Nusantara sejak abad ke-13. Dalam “teori sufi” yang diajukan Johns ini, para sufi berhasil
27F. Kumalasari, dan L. N. Ahyani, “Hubungan Antara Dukungan Sosial dengan Penyesuaian Diri
Remaja di Panti Asuhan”, Jurnal Psikologi Pitutur 1, no.1 (Juni 2012): h. 25.
28F. Kumalasari, dan L. N. Ahyani, Hubungan Antara Dukungan Sosial, h. 25-26.
Vol. 5, No. 1, Juli 2019 Jurnal Pemikiran Islam
~10~
mengislamkan sebagian besar penduduk Nusantara karena kemampuan mereka
menyajikan Islam dalam kemasan yang atraktif, khususnya dengan menekankan
kesesuaian dengan Islam atau kontinuitas, ketimbang perubahan dalam kepercayaan dan
praktik keagamaan lokal. Untuk memperkuat argumentasi “teori sufi” yang diajukannya,
Johns menggunakan tasawuf sebagai sebuah kategori dalam literatur dan sejarah Melayu-
Indonesia untuk memeriksa sejumlah sejarah lokal.29
Hasil dari pemeriksaan sejarah lokal tersebut, Johns mengungkapkan bahwa
banyak sumber-sumber lokal Melayu-Indonesia yang mengaitkan pengenalan Islam ke
kawasan ini melalui guru-guru pengembara dengan karakteristik sufi yang kental.
Selanjutnya, berkat otoritas karismatik dan kekuatan magis mereka, sebagian guru sufi
dapat mengawini putri-putri bangsawan. Hal itu kemudian memberikan kepada anak-
anak mereka gengsi darah bangsawan dan sekaligus aura keilahian atau karisma
keagamaan.30
Ulama yang mendakwahkan Islam, memainkan peran penting dalam akulturasi
dengan melakukan dakwah melalui pendekatan budaya. Islam yang bercorak lokal yang
dibawa oleh para ulama, menjadi Islam yang mampu “tampil dengan wajah yang ramah”.
Islam lokal mampu menoleransi dengan baik serta menjaga kontinuitas budaya yang telah
ada dan mengakar di masyarakat pribumi. Bahkan, pada tahun 1476 M, di Bintoro
(Demak) dikeluarkan kebijakan penyebaran Islam dengan dibentuknya bayangkare islah
(angkatan pelopor perbaikan), dengan rencana kerja yang antara lain adalah pendidikan
dan ajaran Islam harus diberikan melalui jalan kebudayaan yang hidup dalam masyarakat
Jawa, asal tidak menyalahi (secara substantif) ajaran-ajaran Islam.31
Perkawinan juga menjadi salah satu metode dakwah para wali songo. Misalnya,
perkawinan putri Campa yang beragama Islam dengan putra mahkota raja Majapahit
melahirkan putra yang di kemudian hari menjadi pendiri kerajaan Islam Demak, yaitu
Raden Fatah (berkuasa 1478-1518 M). Maulana Ishak mengawini putri Blambangan dan
melahirkan Sunan Giri (Gresik). Senada dengan pendapat A. H. Jhons, Musyrifah
Sunanto mengungkapkan bahwa perkawinan menjadi salah satu modus dakwah para wali
songo untuk memperkokoh legitimasi sosial dan politik Islam di lingkungan penguasa
Majapahit, serta memberikan gengsi darah para bangsawan Jawa dan aura keilahian
kepada keturunan mereka.32
b. Kebutuhan Afiliasi
Menurut Murray kebutuhan berafiliasi terkait dengan kecenderungan untuk
membentuk pertemanan dan bersosialisasi, serta berinteraksi secara dekat dengan orang
29Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan
XVIII: Akar Pembaharuan Islam Indonesia (Jakarta: Kencana, 2007), h. 13.
30Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah, h. 14-16.
31Musyrifah Sunanto, Sejarah Peradaban Islam Indonesia (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), h. 114.
32Musyrifah Sunanto, Sejarah Peradaban Islam Indonesia, h. 23.
Jurnal Pemikiran Islam Vol. 5, No. 1, Juli 2019
~11~
lain. Kebutuhan bekerja sama dan berkomunikasi dengan orang lain secara bersahabat.33
McClelland mengatakan bahwa kebutuhan afiliasi adalah kebutuhan akan kehangatan dan
sokongan dalam hubungannya dengan orang lain, kebutuhan ini mengarahkan tingkah
laku untuk mengadakan hubungan secara akrab dengan orang lain. Di dalam kebutuhan
afiliasi itu sendiri terkandung keinginan untuk membentuk dan mempertahankan
beberapa hubungan interpersonal yang memberikan ganjaran. Lebih lanjut McClelland
memaparkan aspek-aspek kebutuhan afiliasi, yaitu:
1) Lebih suka bersama orang lain dari pada sendirian
2) Sering berinteraksi dengan orang lain
3) Ingin disukai dan diterima oleh orang lain
4) Menyenangkan hati orang lain
5) Menunjukkan dan memelihara sikap setia terhadap teman
6) Mencari persetujuan dan kesepakatan orang lain.34
Berdasarkan aspek-aspek afiliasi tersebut, bila dikaitkan dengan histori
penyebaran Islam di nusantara melalui pedagang muslim, kebutuhan interaksi dengan
orang asing, disukai dan diterima oleh orang asing, membutuhkan regulasi baru yang
dapat disepakati sehingga relasi dagang tetap terjaga. Prinsip ekonomi dalam Islam
dianggap dapat menjadi regulasi yang disepakati karena memenuhi rasa keadilan dengan
saling menguntungkan dan saling meridai. Kebutuhan afiliasi ini kemudian membuat
masyarakat lokal lebih terbuka terhadap kebudayaan yang dibawah oleh para pedagang
penyiar Islam. Namun apa yang menjadi prinsip dasar dari budayanya tetap dijaga.
3. Integrasi Islam ke dalam Budaya Lokal
Sebagaimana pembahasan sebelumnya, Islam adalah agama yang berkarakteristik
universal, dengan pandangan hidup mengenai persamaan, keadilan, takaful, kebebasan
dan kehormatan serta memiliki konsep teosentrisme yang humanistik sebagai nilai inti
(core value) dari seluruh ajaran Islam, dan karenanya menjadi tema peradaban Islam.35
Pada saat yang sama, dalam menerjemahkan konsep-konsep langitnya ke bumi,
Islam mempunyai karakter dinamis, elastis dan akomodatif dengan budaya lokal, selama
tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam itu sendiri. Permasalahannya terletak
pada tata cara dan teknis pelaksanaan.
Upaya rekonsiliasi antara agama dan budaya di Indonesia memang wajar dan telah
dilakukan sejak lama serta bisa dilacak bukti-buktinya. Masjid Demak adalah contoh
konkrit dari upaya rekonsiliasi atau akomodasi itu. Ranggon atau atap yang berlapis pada
masa tersebut diambil dari konsep ‘Meru’ dari masa pra Islam (Hindu-Budha) yang terdiri
dari sembilan susun. Sunan Kalijaga memotongnya menjadi tiga susun saja, hal ini
melambangkan tiga tahap keberagamaan seorang muslim; iman, Islam dan ihsan. Pada
mulanya, orang baru beriman saja kemudian ia melaksanakan Islam ketika telah
33Hefrina Rinjani dan Ari Firmanto, “Kebutuhan Afiliasi dengan Intensitas Mengakses Facebook
pada Remaja”, Jurnal Ilmiah Psikologi Terapan 1, no. 01 (Januari 2013): h. 79.
34Hefrina Rinjani dan Ari Firmanto, Kebutuhan Afiliasi, h. 79.
35Kuntowijoyo, Paridigma Islam, h. 229.
Vol. 5, No. 1, Juli 2019 Jurnal Pemikiran Islam
~12~
menyadari pentingnya syariat. Barulah ia memasuki tingkat yang lebih tinggi lagi (ihsan)
dengan jalan mendalami tasawuf, hakikat dan makrifat.36
Hal ini berbeda dengan Kristen yang membuat gereja dengan arsitektur asing
(Barat). Kasus ini memperlihatkan bahwa Islam lebih toleran terhadap budaya lokal.
Budha masuk ke Indonesia dengan membawa stupa, demikian juga Hindu. Namun Islam
tidak memindahkan simbol-simbol budaya Islam Timur Tengah ke Indonesia. Hanya
akhir-akhir ini saja bentuk kubah disesuaikan. Dengan fakta ini, terbukti bahwa Islam
tidak anti budaya. Semua unsur budaya dapat disesuaikan dalam Islam. Budaya Islam
memiliki begitu banyak varian.37
Patut diamati pula, kebudayaan populer di Indonesia banyak sekali menyerap
konsep-konsep dan simbol-simbol Islam, sehingga seringkali tampak bahwa Islam
muncul sebagai sumber kebudayaan yang penting dalam kebudayaan populer di
Indonesia. Selain itu, penyebaran Islam di nusantara menggunakan pendekatan tasawuf
(mistik Islam).38 Ini sangat sesuai dengan pemikiran masyarakat lokal yang animisme dan
dinamisme. Secara perlahan dan bertahap, tanpa menolak dengan keras budaya
masyarakat, Islam memperkenalkan toleransi dan persamaan derajat.
Persamaan derajat dalam Islam sangat menarik bagi masyarakat lokal. Sebab
dalam masyarakat Hindu-Jawa sangat menekankan perbedaan derajat. Kebutuhan afiliasi
masyarakat untuk diakui, dihargai, dan melepaskan diri dari penjajahan koloni. Panggilan
Islam kemudian menjadi dorongan untuk mengambil alih kekuasaan politik dari tangan
penguasa Hindu-Jawa (Majapahit),39 dan menjadi pemersatu bangsa dalam melepaskan
diri dari penjajah.
Realitas keragaman umat Islam Indonesia mengindikasikan bahwa di segala
penjuru negeri kepulauan ini pemahaman tentang ajaran-ajaran Islam sangat bervariasi
yang terpengaruh oleh budaya pra Islam. Sebelum Islam datang, berbagai macam adat
kuno dan kepercayaan lokal banyak dipraktikkan sehingga sangat menyatu dengan
struktur sosial. Pada sebagian besar daerah, kedatangan Islam dengan jalan damai bukan
penaklukan, maka secara umum dapat dikatakan bahwa Islam tidak menggantikan atau
menghancurkan tradisi budaya yang sudah lama ada, tetapi memadukan dengan tradisi
yang sudah ada.40
Tradisi berupa pakaian adat kemudian bertransformasi menjadi baju adat yang
Islami. Ada upaya menutup aurat dengan model pakaian yang tidak menghilangkan unsur
budayanya. Selain itu, dalam hal penggunaan istilah-istilah yang diadopsi dari Islam,
tentunya perlu membedakan mana yang “Arabisasi”, mana yang “Islamisasi”.
Penggunaan term-term Islam sebagai manifestasi simbolik dari Islam tetap penting.
36Abdurrahman Wahid, Pribumisasi Islam dalam Islam Indonesia: Menatap Masa Depan (Jakarta:
P3M, 1989), h. 92.
37Kuntowijoyo, Paridigma Islam, h. 92.
38Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam, (Cet. II; Jakarta: Amzah, 2010), h. 316.
39Musyrifah Sunanto, Sejarah Peradaban Islam Indonesia, h. 22.
40Erni Budiwanti, Islam Sasak, h. 87.
Jurnal Pemikiran Islam Vol. 5, No. 1, Juli 2019
~13~
Asalkan tidak kemudian menjadi sumber perpecahan sebagaimana dikatakan Gus Dur,
“menyibukkan dengan masalah-masalah semu atau hanya bersifat pinggiran”.41
Begitu juga penggunaan term shalat sebagai ganti dari sembahyang (berasal dari
kata “nyembah sang Hyang”) adalah proses Islamisasi bukannya Arabisasi. Makna
substansial dari shalat mencakup dimensi individual-komunal dan dimensi peribumisasi
nilai-nilai substansial ini ke alam nyata.42 Namun penggunaan term sembahyang tetap
saja boleh dilakukan oleh kelompok Islam lokal (nusantara), sebab secara esensi shalat
tetap terlaksana meskipun simbol/term/istilah yang digunakan berbeda. Namun suatu
kenaifan bila mengganti salam Islam “assalāmu ‘alaikum” dengan “selamat pagi, siang,
sore ataupun malam”. Sebab esensi doa dan penghormatan yang terkandung dalam salam
tidak terdapat dalam ucapan “selamat pagi” yang cenderung basa-basi, selain salam itu
sendiri memang dianjurkan oleh Allah swt dan Rasul-Nya.
Berdasarkan uraian mengenai akulturasi Islam dengan budaya lokal tersebut,
prosesnya dapat digambarkan dalam skema bagan berikut:
Gambar 1. Proses Akulturasi Islam dan Budaya Lokal
Gambar tersebut menunjukkan bahwa Islam yang berdasarkan wahyu Ilahi
memiliki sisi universalitas yang akomodatif terhadap budaya lokal sehingga memuncul
kosmopolitanisme budaya dalam Islam. Pertemuan Islam dengan budaya lokal nusantara
dengan kekhasan karakteristiknya yang membutuhkan afiliasi dan mendapat dukungan
sosial untuk berkembang mengakibatkan pertautan nilai yang tidak terhindarkan. Dalam
pertautan antara nilai-nilai Islam dengan budaya lokal inilah ditemukan suatu perubahan
yang signifikan, yaitu bergesernya tradisi lokal menjadi tradisi Islam lokal atau tradisi
Islam dalam konteks lokalitasnya. Perubahan ini mengarah kepada proses akulturasi dan
bukan adaptasi, sebab di dalam perubahan itu tidak terjadi proses saling meniru atau
menyesuaikan, akan tetapi mengakomodasi dua elemen menjadi satu kesatuan yang baru.
Tentunya ada unsur yang dimasukkan dan ada unsur yang dibuang. Salah satu yang
41Abdurrahman Wahid, Pribumisasi Islam, h. 92.
42Abdurrahman Wahid, Pribumisasi Islam, h. 92.
Budaya Lokal Islam Integrasi Islam ke
dalam Budaya Lokal
Akulturasi Islam
dengan Budaya
Lokal
Wahyu
Kosmopolitanisme
s
Islam Lokal
Karakteristik
Kebutuhan
Afiliasi
Dukungan
Sosial
Universalitas
Vol. 5, No. 1, Juli 2019 Jurnal Pemikiran Islam
~14~
tampak jelas merepresentasikan nilai-nilai Islam misalnya berupa pembacaan ayat-ayat
suci Alquran, shalawat, serta doa dalam berbagai variasinya.43
Implikasi Akulturasi Islam dan Budaya Lokal Terhadap Paham Keislaman Umat
di Indonesia
Kesediaan Islam berdialog dengan budaya lokal masyarakat, selanjutnya
mengantarkan diapresiasinya secara kritis nilai-nilai lokalitas dari budaya masyarakat
beserta karakteristik yang mengiringi nilai-nilai itu. Selama nilai tersebut sejalan dengan
semangat yang dikembangkan oleh Islam, selama itu pula diapresiasi secara positif
namun kritis.
Dengan demikian, tradisi lokal diposisikan berlawanan dengan tradisi purifikasi
dilihat dari perspektif pola pengamalan dan penyebaran ajaran keagamaan di antara
keduanya. Tradisi Islam lokal sebagai pengamalan keagamaan yang memberikan
toleransi sedemikian rupa terhadap praktik-praktik keyakinan setempat, sedangkan tradisi
purifikasi menekankan pada pengamalan keagamaan yang dianggap harus bersumber dan
sama dengan tradisi besar Islam. Fenomena ini kemudian memunculkan tiga paham di
Indonesia dalam memahami praktik Islam lokal, yaitu kaum tradisionis dengan konsep
Islam nusantara, kaum medernis dengan konsep gerakan tajdīd, dan kaum puritan yang
cenderung radikal dengan konsep Islam transnasional.
Konsep Islam Nusantara
Islam tradisional menurut Deliar Noer adalah gerakan Islam yang masih
mempertahankan tradisi sebagai bagian dari aktivitas keagamaannya.44 Gerakan Islam
tradisional ini membangkitkan tradisi Islam sebagai suatu realitas spiritual di tengah
modernisme.45 Pada beberapa gerakan Islam tradisional, pengaruh kebudayaan lokal
cukup kuat dalam implementasi ritual keagamaan, bahkan secara kultural dapat dikatakan
bersifat sinkretik.46 Gerakan ini di Indonesia kemudian menjelma menjadi konsep Islam
Nusantara.
Konsep Islam nusantara diawali oleh Gus Dur dengan istilah “Islam Pribumi”.
Menurut Gus Dur pemikiran tersebut hanya menyambung upaya yang dilakukan wali
songo dalam mengislamkan nusantara, khususnya pulau Jawa. Konsep ini
mengembangkan tiga hal, yaitu: Pertama, memiliki sifat kontekstual, yakni Islam
dipahami sebagai ajaran yang terkait dengan konteks zaman dan tempat. Perubahan waktu
dan perbedaan wilayah menjadi kunci untuk menginterpretasikan ajaran. Dengan
demikian, Islam akan mengalami dinamika dalam merespons perubahan zaman. Kedua,
43Syaiful Arif, Deradikalisasi Islam: Paradigma dan Strategi Islam Kultural (Jakarta: Koekoesan,
2010), h. 17.
44Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942 (Jakarta: LP3ES, 1992), h. 242.
45Sayed Hossein Nasr, Islam Tradisi di Tengah Kancah Dunia Modern (Bandung: Penerbit
Pustaka, 2004), h. 91.
46Kacung Maridjan, Quo Vadis NU Setelah Kembali ke Khittah 1926 (Jakarta: Erlangga, 2002), h.
223.
Jurnal Pemikiran Islam Vol. 5, No. 1, Juli 2019
~15~
bersifat progresif, yakni kemajuan zaman bukan dipahami sebagai ancaman terhadap
penyimpangan ajaran dasar agama (Islam), tetapi dilihat sebagai pemicu untuk
melakukan respons kreatif secara intens. Ketiga, memiliki karakter liberatif, yaitu Islam
menjadi ajaran yang dapat menjawab problem-problem kemanusiaan secara universal
tanpa melihat perbedaan agama dan etnik. Dengan demikian, Islam tidak kaku dalam
menghadapi realitas sosial masyarakat yang selalu berubah.47 Melalui konteks inilah,
kemudian berkembang menjadi “Islam Nusantara” yang ingin membebaskan puritanisme
dan segala bentuk purifikasi Islam sekaligus juga menjaga budaya lokal tanpa
menghilangkan identitas normatif Islam.
Dalam hal ini Nurcholish Madjid salah-satu tokoh intelektual muslim
kontemporer dengan paham tradisionis mengungkapkan bahwasanya antara agama
(Islam) dan budaya adalah dua bidang yang dapat dibedakan tetapi tidak dapat dipisahkan.
Agama bernilai mutlak, tidak berubah menurut perubahan waktu dan tempat. Tetapi
berbeda dengan budaya, sekalipun berdasarkan agama, dapat berubah dari waktu ke
waktu dan dari tempat ke tempat. Kebanyakan budaya berdasarkan agama, namun tidak
pernah terjadi sebaliknya, agama berdasarkan budaya. Oleh karena itu, agama adalah
primer, dan budaya adalah sekunder. Budaya dapat berupa ekspresi hidup keagamaan,
karena ia sub-kordinat terhadap agama.48
Islam bukan agama yang antibudaya. Islam malah berkontribusi terhadap budaya
lokal baru yang akulturatif. Yaitu budaya Islam Nusantara yang khas dan unik serta
menjadi khazanah kebudayaan dan peradaban Islam dunia. Tradisi peringatan maulid
Nabi, peringatan isra’ mi’raj, salawatan, selamatan, syukuran di Indonesia adalah mozaik
budaya Islam Nusantara yang sulit dicari persepadanannya di negara mana pun di dunia.
Berdasarkan ideologi tersebut, kaum tradisionis kemudian lebih akomodatif terhadap
budaya lokal. Umumnya ideologi ini diperpegangi oleh warga nahdiyyīn (Nahdatul
Ulama).
Konsep Gerakan Tajdīd
Modernisasi atau gerakan pembaharu (tajdīd) berarti upaya yang sungguh-
sungguh untuk melakukan reinterpretasi terhadap pemahaman, pemikiran dan pendapat
tentang masalah ke-Islaman yang dilakukan oleh pemikir terdahulu untuk disesuaikan
dengan perkembangan zaman. Dengan demikian, yang diperbaharui adalah hasil
pemikiran atau pendapat, bukan memperbaharui atau mengubah apa yang terdapat dalam
Al-Qur’an maupun Hadis, tetapi mengubah atau memperbaharui hasil pemahaman
terhadap Al-Qur’an dan Hadis.49
47Khamami Zada dkk., Islam Pribumi: Mencari Wajah Islam Indonesia (Jakarta: Lakpesdam,
2003), h. 12.
48Yustion dkk., Islam dan Kebudayaan Indonesia: Dulu, Kini, dan Esok (Jakarta: Yayasan Festival
Istiqlal, 1993), h. 172.
49Lihat Abuddin Nata, Peta Keberagaman Pemikiran Islam di Indonesia (Jakarta: Raja Grafindo
Persada: 2001), h. 154-155.
Vol. 5, No. 1, Juli 2019 Jurnal Pemikiran Islam
~16~
Islam modernis sendiri adalah paham ke-Islaman yang didukung oleh sikap yang
rasional, ilmiah serta sejalan dengan hukum-hukum Tuhan baik yang terdapat dalam Al-
Qur’an maupun alam raya. Islam modernis memiliki pemikiran yang dinamis, progresif
dan mengalami penyesuaian dengan ilmu pengetahuan.
Gerakan Islam modern di Indonesia muncul pada awal abad kedua puluh. Pada
tahun 1906 kelompok muda di wilayah Sumatera Barat yang dipelopori oleh Haji Abdul
Karim Amrullah (HAMKA), Haji Abdullah Ahmad, dan Syaikh Daud Rasyidi melakukan
protes terhadap struktur kekuasaan adat yang tidak memberikan ruang bagi mereka untuk
bergerak. Kelompok yang terdiri dari ulama dan cendekiawan ini bermaksud untuk
mengubah beberapa hal pada ketentuan adat yang tidak sesuai dengan syariat Islam yang
mereka pahami.50
Kemudian Islam modernis semakin berkembang dengan tokohnya Ahmad Dahlan
yang menganggap Islam telah jauh dari kemurniannya. Nilai-nilai dasar Islam telah
tercemar dengan berbagai tradisi dan keyakinan lokal warisan leluhur. Praktik ibadah
yang dilakukan lebih berorientasi pada tradisi dan keyakinan leluhur. Ditambah
pemahaman Islam masyarakat yang masih sangat rendah maka sering kali terjadi distorsi.
Sehingga sangat besar kemungkinan ritual ibadah yang mengatasnamakan tradisi (budaya
lokal) akan mengarahkan kepada kemusyrikan.51
Masyarakat terkadang memaksakan diri untuk melakukan ritual doa selamatan
atau syukuran yang membutuhkan biaya tinggi. Padahal Islam tidak menyulitkan
manusia. Islam justru mengatur segala urusan manusia agar memiliki kehidupan yang
mudah, terarah, dan bahagia. Hal ini kemudian membuat acara-acara tersebut tidak murni
ibadah dan tidak optimal dari segi pahala. Misalnya ritual do’a tolak bala dengan syarat
menyiapkan makanan tertentu. Ideologi ini kemudian membuat kaum modernis kurang
akomodatif terhadap ritual budaya lokal. Umumnya ideologi ini diperpegangi oleh warga
Muhammadiyah.
Islam Transnasional
Islam transnasional adalah gerakan Islam yang bersifat mondial yang hendak
memberlakukan formalisasi Islam dalam berbagai negara, termasuk Indonesia. Hasyim
Muzadi menyebut Ikhwanul Muslimin, Hizbut Tahrir dan Al-Qaeda sebagai bagian dari
gerakan politik dunia dan karenanya tidak mempunyai pijakan kultural, visi kebangsaan
dan visi keumatan di Indonesia.52 Islam transnasional merupakan nama lain dari Islam
radikal, Islam kanan, fundamentalisme Islam dan Islam puritan.
Konsep “puritan” menurut Abou El Fadl merupakan lawan konsep
“modern”. Kelompok puritan adalah mereka yang secara konsisten dan sistematis
menganut absolutisme, berpikir dikotomis, dan idealistik. Mereka tidak kenal kompromi,
50Deliar Noer, Gerakan Modern Islam, h. 37.
51Clifford Geertz, The Relegion of Java (Chicago: The University Of Chicago Press, 1996), h. 5.
52Abid Rohmanu, “Puritanisme dan Masa Depan Pluralisme di Indonesia: Upaya Mewaspadai
Gerakan Islam Transnasional di Indonesia”, http://www.alwishihab.com/inspirasi/2014/9/21/alwi-
abdurrahman-shihab-promoting-islam-with-compassion-1 (Diakses 14 April 2018)
Jurnal Pemikiran Islam Vol. 5, No. 1, Juli 2019
~17~
cenderung puris dalam artian tidak toleran terhadap berbagai sudut pandang dan
berkeyakinan bahwa realitas pluralistik merupakan kontaminasi terhadap autentisitas.53
Gerakan Islam transnasional yang beroperasi di Indonesia di antaranya adalah: 1)
Ikhwanul Muslimin yang didirikan oleh Hasan al-Banna di Mesir. Gerakan ini hadir pada
awalnya melalui aktivitas-aktivitas dakwah kampus yang kemudian menjadi gerakan
tarbiah. 2) Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dengan Pan Islamismenya ingin menegakkan
khilafah Islamiyyah di seluruh dunia dan Indonesia merupakan target di dalamnya. 3)
Wahabi dengan programnya “Wahabisasi Global”.54 Selain kelompok-kelompok
tersebut, termasuk juga Majlis Mujahidin Indonesia (MMI), Jama’ah Salafi, Komite
Persiapan Penegakan Syari’at Islam (KPPSI), Dar al-Islam (DI).55
Di antara kelompok-kelompok radikal tersebut, kelompok Wahabi dinilai cukup
berpengaruh karena dukungan petro dolarnya dan bahkan bisa dikatakan bahwa secara
geneologis kelompok-kelompok puritan Islam bisa dirujukkan pada aliran Wahabi.
Kelompok Wahabi dicetuskan oleh Muhammad bin Abdul Wahhab di semenanjung
Arabia pada abad ke-18. Pendiri kelompok Wahabi ini berkeyakinan bahwa solusi bagi
kemunduran umat Islam adalah dengan pemahaman dan penerapan literal teks sebagai
satu-satunya sumber otoritas yang absah.56 Karenanya setiap usaha menafsirkan teks
secara historis dan sosiologis bahkan filosofis dianggap sebagai bentuk penyimpangan.
Tidak ada multi-tafsir dalam agama, tidak ada pluralisme, dan autentik berarti
melaksanakan bunyi teks secara literal. Untuk menarik simpati masyarakat muslim,
kelompok Wahabi banyak menggunakan simbol-simbol salafi. Kelompok ini pun lebih
menyukai untuk disebut sebagai kelompok “Salafi” dengan jargon kembali kepada “al-
salaf al-shalih”, kembali kepada Islam autentik versi mereka.
Kelompok Puritan mengklaim sebagai pewaris tunggal kebenaran dan karenanya
muslim yang berbeda dianggap kurang Islami atau bahkan kafir.57 Berdasarkan ideologi
tersebut, sehingga praktik Islam lokal sebagai hasil akulturasi Islam dan budaya lokal
Indonesia dianggap bid’ah karena tidak sesuai dengan praktik Islam pada masa
Rasulullah saw.
Penutup
Berdasarkan pembahasan yang telah diuraikan sebelumnya, dapat ditarik
kesimpulan sebagai berikut: Pertama, bentuk akulturasi Islam dan budaya lokal di
53Khaled Abou El Fadl, The Great theft: wrestling Islam from the extremists, terj. Helmi
Mustofa, Selamatkan Islam dari Muslim Puritan (Jakarta: Serambi, 2007), h. 29-32.
54Abdurrahman Wahid, Ilusi Negara Islam; Ekspansi Gerakan Islam Transnasional di Indonesia
(Jakarta: The Wahid Institute, 2009), h. 78.
55Endang Turmudi dan Riza Sihbudi (ed.), Islam dan Radikalisme di Indonesia (Jakarta: LIPI
Press, 2005), h. 11.
56Khaled Abou El Fadl, The Place of Tolerance in Islam, terj. Heru Prasetia, Cita dan Fakta
Toleransi Islam: Puritanisme vs Pluralisme (Bandung: Mizan, 2003), h. 24.
57Abdurrahman Wahid (ed.), Ilusi Negara Islam, h. 44.
Vol. 5, No. 1, Juli 2019 Jurnal Pemikiran Islam
~18~
Indonesia dapat dilihat pada acara adat yang disisipi dengan pembacaan Al-Qur’an,
shalawat, dan do’a dengan berbagai variannya. Selain itu dapat dilihat pada arsitektur
mesjid, kaligrafi, dan tarian. Bahkan syariat telah menjadi falsafah hidup dalam konsepsi
sosial masyarakat lokal. Kedua, akulturasi Islam dan budaya lokal di Indonesia terjadi
karena Islam memiliki sisi universalitas yang akomodatif terhadap budaya lokal, sehingga
muncullah kosmopolitanisme budaya dalam Islam. Kemudian bertemu dengan budaya
lokal nusantara yang membutuhkan afiliasi dan mendapat dukungan sosial untuk
berkembang. Ketiga, akulturasi Islam dan budaya lokal di Indonesia menghasilkan
praktik Islam lokal yang berimplikasi pada munculnya tiga paham keislaman, yaitu Islam
tradisionis yang akomodatif terhadap budaya lokal, Islam modernis yang kurang
akomodatif terhadap praktik Islam lokal yang mempengaruhi akidah, dan Islam puritan
yang menganggap praktik Islam lokal sebagai bid’ah.
Berdasarkan kesimpulan tersebut, kajian ini berimplikasi pada: Pertama, analisis
yang digunakan dalam menyikapi akulturasi budaya sebaiknya mengutamakan perspektif
sejarah perkembangan Islam di Indonesia, karena dalam proses Islamisasi di Indonesia
tidak berjalan satu arah, tetapi banyak arah atau melalui berbagai macam pintu. Pintu-
pintu itu, misalnya melalui kesenian, pewayangan, pernikahan, pendidikan, perdagangan,
aliran kebatinan, mistisisme dan tasawuf. Ini semua menyebabkan terjadinya kontak
budaya yang sulit dihindari sehingga unsur-unsur budaya lokal masuk dalam proses
Islamisasi di Indonesia. Kedua, Islam bukan hanya membicarakan ketuhanan saja, tetapi
yang tidak kalah pentingnya adalah mengandung ajaran peradaban yang lengkap. Oleh
karena itu, perlu dilakukan Islamisasi budaya dalam praktik Islam lokal demi menjaga
kemurnian ajaran Islam tanpa menghilangkan unsur budaya lokal. Makna filosofis dalam
simbol ritual acara dan upacara adat harus dimaknai sesuai dengan Islam. Ini merupakan
upaya pemurnian akidah dengan tetap mengakomodasi budaya lokal. Ketiga, ada empat
aspek yang perlu dikedepankan dalam memosisikan Islam (praktik ke-Islaman), yaitu
syariat, historis, kajian ilmu, dan budaya. Umumnya muslim harus bertentangan karena
keliru dalam memosisikan suatu praktik ke-Islaman. Misalnya, praktik kebudayaan Islam
dibahas dan dimasukkan ke ranah syariat. Selain itu, kultur dan struktur politik Islam
masa lalu yang mestinya berada pada wilayah historis dimasukkan ke ranah syariat.
DAFTAR PUSTAKA
Amin, Samsul Munir. Sejarah Peradaban Islam (Cet. II; Jakarta: Amzah, 2010).
Arif, Syaiful. Deradikalisasi Islam: Paradigma dan Strategi Islam Kultural (Jakarta: Koekoesan, 2010).
Azra, Azyumardi. Syari’at Islam dalam Bingkai Nation State (Jakarta: Paramadina, 2004).
_________. Agama dan Otentisitas Islam (Jakarta: Paramadina, 2004).
_________. Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII: Akar Pembaharuan Islam Indonesia (Jakarta: Kencana, 2007).
Berry, Jhon W. “Acculturation: Living Successfully in Two Cultures”, International Journal Of Intercultural Relations 2 No. 9 (2005).
Jurnal Pemikiran Islam Vol. 5, No. 1, Juli 2019
~19~
Budiwanti, Erni. Islam Sasak (Yogyakarta: LKis, 2000).
Departemen Agama RI. Al-Qur’an dan Terjemahnya (Jakarta: Pustaka Assalam, 2010).
Departemen Pendidikan Nasioal RI. Kamus Besar Bahasa Indonesia - Edisi Keempat (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008).
El Fadl, Khaled Abou. The Great theft: wrestling Islam from the extremists. Terj. Helmi Mustofa, Selamatkan Islam dari Muslim Puritan (Jakarta: Serambi, 2007).
_________. The Place of Tolerance in Islam, terj. Heru Prasetia, Cita dan Fakta Toleransi Islam: Puritanisme vs Pluralisme (Bandung: Mizan, 2003).
Geertz, Clifford. The Relegion of Java (Chicago: The University Of Chicago Press, 1996).
Hamka. Islam: Rahmah untuk Bangsa (Jakarta: Wahana Semesta Intermedia, 2009).
Kumalasari, F., dan L. N. Ahyani. “Hubungan Antara Dukungan Sosial dengan Penyesuaian Diri Remaja di Panti Asuhan”, Jurnal Psikologi Pitutur 1, no.1 (Juni 2012).
Kuntowijoyo. Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi (Bandung: Mizan, 2001).
Lawrence, Bruce. The Quran: A Biography. Terj. Aditya Hadi Pratama, Al-Qur’an: Sebuah Biografi (Bandung: Semesta Inspirasi, 2008).
Madjid, Nurcholis. Islam, Doktrin dan Peradaban (Jakarta: Yayasan Paramadina, 2002).
Maridjan, Kacung. Quo Vadis NU Setelah Kembali ke Khittah 1926 (Jakarta: Erlangga, 2002).
Mattulada. Latoa: Suatu Lukisan Analitis Terhadap Antropologi Politik Orang Bugis (Yogyakarta: Gadjahmada University Press, 1985).
Nasr, Seyyed Hossein. Islam Tradisi di Tengah Kancah Dunia Modern (Bandung: Penerbit Pustaka, 2004).
Nata, Abuddin. Peta Keberagaman Pemikiran Islam di Indonesia (Jakarta: Raja Grafindo Persada: 2001).
Noer, Deliar. Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942 (Jakarta: LP3ES, 1992).
Nugroho, Raden Arief, dan Valentina Widya Suryaningtyas. Akulturasi Antara Etnis Cina dan Jawa: Konvergensi atau Divergensi Ujaran Penutur Bahasa Jawa? (Yogyakarta: Andi Ofset, 2010).
Al-Qarḍāwī, Yūsuf. Al-Khaṣāiṣ al-‘Āmiyah al-Islām (Beirut: Dār al-Fikr, 1993).
_________. Madkhāl li al-Dirāsah al-Islāmiyyah (Beirut: Dār al-Fikr, 1993).
Rahardjo, M. Dawam. Paradigma Al-Quran: Metodologi Tafsir dan Kritik Sosial (Jakarta: PSAP Muhammadiyah, 2005).
Rinjani, Hefrina, dan Ari Firmanto. “Kebutuhan Afiliasi dengan Intensitas Mengakses Facebook pada Remaja”, Jurnal Ilmiah Psikologi Terapan 1, no. 01 (Januari 2013).
Rohmanu, Abid. “Puritanisme dan Masa Depan Pluralisme di Indonesia: Upaya Mewaspadai Gerakan Islam Transnasional di Indonesia”, dalam http://www.alwishihab.com/inspirasi/2014/9/21/alwi-abdurrahman-shihab-promoting-islam-with-compassion-1 (Diakses 14 April 2018).
Shihab, M. Quraish. Membumikan Al-Quran: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat (Bandung: Mizan, 2007).
Vol. 5, No. 1, Juli 2019 Jurnal Pemikiran Islam
~20~
Sjamsuddhuha. Corak dan Gerak Hinduisme dan Islam di Jawa Timur (Surabaya: CV. Suman Indah, 2000).
Sunanto, Musyrifah. Sejarah Peradaban Islam Indonesia (Jakarta: Rajawali Pers, 2010).
Turmudi, Endang, dan Riza Sihbudi (ed.). Islam dan Radikalisme di Indonesia (Jakarta: LIPI Press, 2005).
Wahid, Abdurrahman. Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah (Jakarta: Yayasan Paramadina, 2004).
_________. Pribumisasi Islam dalam Islam Indonesia: Menatap Masa Depan (Jakarta: P3M, 1999).
_________. Ilusi Negara Islam: Ekspansi Gerakan Islam Transnasional di Indonesia (Jakarta: The Wahid Institute, 2009).
Woodward, Mark R. Islam Jawa: Kesalehan Normatif Versus Kebatinan (Yogyakarta: LKiS, 2012).
Yustion, dkk. Islam dan Kebudayaan Indonesia: Dulu, Kini, dan Esok (Jakarta: Yayasan Festival Istiqlal, 1993).
Zada, Khamami, dkk. Islam Pribumi: Mencari Wajah Islam Indonesia (Jakarta: Lakpesdam, 2003).