kajian kritis tentang akulturasi islam - E-JOURNAL IAIN ...

20
Jurnal Pemikiran Islam Vol. 5, No. 1, Juli 2019 ~1~ KAJIAN KRITIS TENTANG AKULTURASI ISLAM DAN BUDAYA LOKAL Muhammad Alqadri Burga Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar Email: [email protected] Abstrak Artikel ini membahas akulturasi Islam dan budaya lokal di Indonesia yang difokuskan pada tiga pokok masalah, yaitu 1) bentuk akulturasi Islam dan budaya lokal; 2) proses akulturasi Islam dan budaya lokal; dan 3) implikasi akulturasi Islam dan budaya lokal terhadap paham keislaman umat di Indonesia. Jenis penelitian ini adalah penelitian pustaka yang datanya dikumpulkan melalui dokumentasi dan dianalisis menggunakan metode analisis konten. Hasil penelitian menunjukkan bahwa akulturasi Islam dan budaya lokal terlihat pada acara dan upacara adat, seni dan arsitektur, dan sistem nilai masyarakat. Akulturasi Islam dan budaya lokal terjadi karena Islam memiliki sisi universalitas bertemu dengan budaya lokal nusantara yang membutuhkan afiliasi dan mendapat dukungan sosial untuk berkembang. Akulturasi Islam dan budaya lokal di Indonesia menghasilkan praktik Islam lokal yang berimplikasi pada munculnya tiga paham keislaman, yaitu Islam tradisionis, Islam modernis, dan Islam puritan. Penelitian ini berimplikasi pada ajaran Islam mengandung peradaban yang lengkap, sehingga perlu dilakukan Islamisasi budaya dalam praktik Islam lokal demi menjaga kemurnian ajaran Islam tanpa menghilangkan unsur budaya lokal. Makna filosofis dalam simbol ritual acara dan upacara adat harus dimaknai sesuai dengan Islam. Ini merupakan upaya pemurnian akidah dengan tetap mengakomodasi budaya lokal. Kata Kunci: Kajian Kritis, Akulturasi, Islam, Budaya Lokal Abstract This article discusses acculturation of Islam and local culture in Indonesia which is focused on three main issues, namely 1) the form of acculturation of Islam and local culture; 2) the process of acculturation of Islam and local culture; and 3) the implications of acculturation of Islam and local culture towards the Islamic understanding of the ummah in Indonesia. This type of research is library research whose data are collected through documentation and analyzed using content analysis method. The results showed that acculturation of Islam and local culture was seen in traditional ceremonies, arts and architecture, and community value systems. Acculturation of Islam and local culture occurs because Islam has a universal side of meeting the local culture of the archipelago which requires affiliation and gets social support to develop. Acculturation of Islam and local culture in Indonesia resulted in the practice of local Islam which had implications for the emergence of three Islamic ideologies, namely traditionalist Islam, modernist Islam, and puritanical Islam. This study has implications for the teachings of Islam containing complete civilization, so it is necessary to do the Islamization of culture in the practice of local Islam in order to maintain the purity of Islamic teachings without losing the element of local culture. The philosophical meaning in the ritual symbols of traditional

Transcript of kajian kritis tentang akulturasi islam - E-JOURNAL IAIN ...

Jurnal Pemikiran Islam Vol. 5, No. 1, Juli 2019

~1~

KAJIAN KRITIS TENTANG AKULTURASI ISLAM

DAN BUDAYA LOKAL

Muhammad Alqadri Burga

Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar

Email: [email protected]

Abstrak

Artikel ini membahas akulturasi Islam dan budaya lokal di Indonesia yang

difokuskan pada tiga pokok masalah, yaitu 1) bentuk akulturasi Islam dan budaya lokal;

2) proses akulturasi Islam dan budaya lokal; dan 3) implikasi akulturasi Islam dan budaya

lokal terhadap paham keislaman umat di Indonesia. Jenis penelitian ini adalah penelitian

pustaka yang datanya dikumpulkan melalui dokumentasi dan dianalisis menggunakan

metode analisis konten. Hasil penelitian menunjukkan bahwa akulturasi Islam dan budaya

lokal terlihat pada acara dan upacara adat, seni dan arsitektur, dan sistem nilai masyarakat.

Akulturasi Islam dan budaya lokal terjadi karena Islam memiliki sisi universalitas

bertemu dengan budaya lokal nusantara yang membutuhkan afiliasi dan mendapat

dukungan sosial untuk berkembang. Akulturasi Islam dan budaya lokal di Indonesia

menghasilkan praktik Islam lokal yang berimplikasi pada munculnya tiga paham

keislaman, yaitu Islam tradisionis, Islam modernis, dan Islam puritan. Penelitian ini

berimplikasi pada ajaran Islam mengandung peradaban yang lengkap, sehingga perlu

dilakukan Islamisasi budaya dalam praktik Islam lokal demi menjaga kemurnian ajaran

Islam tanpa menghilangkan unsur budaya lokal. Makna filosofis dalam simbol ritual acara

dan upacara adat harus dimaknai sesuai dengan Islam. Ini merupakan upaya pemurnian

akidah dengan tetap mengakomodasi budaya lokal.

Kata Kunci: Kajian Kritis, Akulturasi, Islam, Budaya Lokal

Abstract

This article discusses acculturation of Islam and local culture in Indonesia which

is focused on three main issues, namely 1) the form of acculturation of Islam and local

culture; 2) the process of acculturation of Islam and local culture; and 3) the implications

of acculturation of Islam and local culture towards the Islamic understanding of the

ummah in Indonesia. This type of research is library research whose data are collected

through documentation and analyzed using content analysis method. The results showed

that acculturation of Islam and local culture was seen in traditional ceremonies, arts and

architecture, and community value systems. Acculturation of Islam and local culture

occurs because Islam has a universal side of meeting the local culture of the archipelago

which requires affiliation and gets social support to develop. Acculturation of Islam and

local culture in Indonesia resulted in the practice of local Islam which had implications

for the emergence of three Islamic ideologies, namely traditionalist Islam, modernist

Islam, and puritanical Islam. This study has implications for the teachings of Islam

containing complete civilization, so it is necessary to do the Islamization of culture in the

practice of local Islam in order to maintain the purity of Islamic teachings without losing

the element of local culture. The philosophical meaning in the ritual symbols of traditional

Vol. 5, No. 1, Juli 2019 Jurnal Pemikiran Islam

~2~

ceremonies must be interpreted according to Islam. This is an effort to purify the faith

while accommodating local culture.

Keywords: Critical Studies, Acculturation, Islam, Local Culture

Pendahuluan

Islam sebagai agama tidak datang kepada komunitas manusia yang hampa

budaya. Islam hadir kepada suatu masyarakat yang sudah sarat dengan keyakinan, tradisi,

dan praktik-praktik kehidupan sesuai dengan budaya yang membingkainya. Konteks

sosiologis yang dihadapi Islam membuktikan bahwa agama yang beresensi wahyu

Ilahiyah dengan berbagai ajarannya, tidak dapat dihindarkan dari kondisi sosial yang

telah ada dalam masyarakat. Meskipun dalam perjalanannya, sisi universalitas Islam

selalu berdialog dengan fenomena dan realitas budaya di mana Islam itu hadir.

Universalisme Islam adalah salah satu karakteristik Islam yang agung. Islam

sebagai agama yang besar berkarakteristikkan: (1) Rabbāniyyah, (2) insāniyyah

(humanistik), (3) syumūl (totalitas) yang mencakup unsur keabadian, universalisme dan

menyentuh semua aspek manusia (ruh, akal, hati dan badan), (4) wasaṭiyyah (moderat

dan seimbang), (5) waqi‘iyyah (realitas), (6) Jelas dan gamblang, (7) Integrasi antara al-

ṣabat wa al-murūnah (permanen dan elastis).1

Karakteristik universialisme Islam tersebut, membuat risalah Islam sebagai

hidayah Allah untuk segenap manusia dan rahmat-Nya untuk semua hamba-Nya.

Manifesto ini termaktub abadi dalam firman-Nya QS. Al-Anbiyā’/21: 107.

Terjemahnya:

Dan Kami tidak mengutus engkau (Muhammad) melainkan untuk (menjadi) rahmat

bagi seluruh alam. 2

Ayat tersebut menunjukkan Universalisme Islam. Risalah Islam ditujukan untuk

semua umat, segenap ras dan bangsa serta untuk semua lapisan masyarakat. Ia bukan

risalah untuk bangsa tertentu yang beranggapan bahwa dialah bangsa yang terpilih, dan

karenanya semua manusia harus tunduk kepadanya. Selain itu, ayat tersebut yang

notabene Makkiyah, secara implisit membantah tuduhan sebagian orientalis yang

1Yūsuf al-Qarḍāwī, Al-Khaṣāiṣ al-‘Āmiyah al-Islām (Beirut: Dār al-Fikr, 1993), h. 3.

2Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya (Jakarta: Pustaka Assalam, 2010), h. 461.

Jurnal Pemikiran Islam Vol. 5, No. 1, Juli 2019

~3~

menyatakan bahwa Muhammad saw tidak memproklamirkan pengutusan dirinya untuk

seluruh umat manusia pada awal kerisalahannya, akan tetapi setelah mendapat

kemenangan atas bangsa Arab.3

Munculnya berbagai gerakan Islam yang cukup menonjol dewasa ini menarik

dicermati. Kenyataan ini bisa dilihat dari kepemimpinan puncak kelompok seperti Laskar

Jihad (LJ), Front Pembela Islam (FPI), Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), Jama’ah

Ikhwan al-Muslimin Indonesia (JAMI), dan lain-lain. Pemimpin utama LJ adalah Ja’far

Umar Thalib; FPI adalah Habib Rizieq Shihab, MMI adalah Abu Bakar Ba’asyir, JAMI

adalah Al-Habshi. Kelompok-kelompok seperti ini menjadi menonjol terutama karena

pemahaman keagamaan yang cenderung literal serta aksi-aksinya yang cenderung

radikal.4

Mengamati pemahaman Islam, wacana, dan praktik yang kelompok tersebut

kembangkan, maka mereka dapat dikategorikan sebagai kelompok Salafi Radikal yang

berorientasi kepada penegakan dan pengamalan Islam yang murni sebagaimana yang

dipraktikkan Muhammad saw dan para sahabatnya. Mereka disebut sebagai Salafi

Radikal, karena mereka cenderung menempuh pendekatan dan cara-cara keras untuk

mencapai tujuan, daripada dengan pendekatan dan cara-cara damai dan persuasif.

Kemenonjolan warga keturunan Arab dalam kepemimpinan kelompok-kelompok seperti

ini pada segi tertentu tidak mengherankan. Hal ini karena secara historis dan sosiologis,

terdapat keturunan Arab yang memandang bahwa diri mereka memiliki tugas suci untuk

memurnikan Islam Indonesia dan membawanya menjadi Islam autentik sebagaimana

dipahami dan dipraktikkan di tanah Arab.5

Asimilasi budaya dan akomodasi pada akhirnya menghasilkan berbagai varian

keislaman yang disebut dengan Islam lokal yang berbeda dengan Islam dalam great

tradition. Islam lokal juga terdapat di Indonesia sebagai Negara berpenduduk muslim

terbanyak di dunia yang kaya akan budaya. Praktik Islam lokal sebagai hasil akulturasi

Islam dengan budaya lokal dipandang sebagai Islam tidak murni yang telah tercampur

dengan kepercayaan dan praktik keagamaan lokal (sinkretis).6 Fenomena demikian bagi

3Yūsuf al-Qarḍāwī, Al-Khaṣāiṣ al-‘Āmiyah al-Islām, h. 107-108.

4Azyumardi Azra, Syari’at Islam dalam Bingkai Nation State (Jakarta: Paramadina, 2004), h. 33-

34.

5Azyumardi Azra, Agama dan Otentisitas Islam (Jakarta: Paramadina, 2004), h. 77.

6Azyumardi Azra, Agama dan Otentisitas Islam, h. 78.

Vol. 5, No. 1, Juli 2019 Jurnal Pemikiran Islam

~4~

sebagian kelompok memandangnya sebagai penyimpangan terhadap Islam dan telah

melenceng dari esensi Islam. Namun sebagian kelompok memandangnya sebagai bagian

dari mozaik peradaban Islam yang perlu untuk dipertahankan. Berdasarkan permasalahan

praktik Islam lokal tersebut, maka makalah ini akan membahas akulturasi Islam dan

budaya lokal dengan difokuskan pada tiga pokok masalah, yaitu 1) bentuk akulturasi

Islam dan budaya lokal di Indonesia; 2) proses akulturasi Islam dan budaya lokal di

Indonesia; dan 3) implikasi akulturasi Islam dan budaya lokal terhadap paham keislaman

umat di Indonesia.

Bentuk Akulturasi Islam dan Budaya Lokal di Indonesia

Secara etimologi, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, akulturasi adalah

percampuran dua kebudayaan atau lebih yang saling bertemu dan saling memengaruhi

atau proses masuknya pengaruh kebudayaan asing dalam suatu masyarakat, sebagian

menyerap secara selektif sedikit atau banyak unsur kebudayaan asing itu.7

Secara terminologi, pengertian akulturasi banyak dikemukakan oleh para ahli, di

antaranya:

Menurut Diaz dan Greiner dalam Nugroho dan Suryaningtyas, “akulturasi

merupakan suatu tingkat dimana seorang individu mengadopsi nilai, kepercayaan, budaya

dan praktik-praktik tertentu dalam budaya baru”.8

Erni Budiwanti berpendapat bahwa,

“Akulturasi adalah proses perubahan sosial yang timbul pada kelompok manusia dengan

suatu kebudayaan tertentu di hadapan unsur-unsur kebudayaan asing dalam jangka waktu

yang lama dan terus-menerus sehingga lambat laun kebudayaan asing dan kebudayaan

lokal dapat menjadi satu tanpa harus menghapus salah satunya”.9

Menurut Redfield dan Herskovits dalam Berry bahwa,

“Akulturasi memahami fenomena yang terjadi ketika kelompok individu yang memiliki

budaya yang berbeda datang ke budaya lain kemudian terjadi kontak berkelanjutan dari

sentuhan yang pertama dengan perubahan berikutnya dalam pola kultur asli atau salah satu

dari kedua kelompok.”10

7Departemen Pendidikan Nasional RI, Kamus Besar Bahasa Indonesia - Edisi Keempat (Jakarta:

Gramedia Pustaka Utama, 2008), h. 134.

8Raden Arief Nugroho dan Valentina Widya Suryaningtyas, Akulturasi Antara Etnis Cina dan

Jawa: Konvergensi atau Divergensi Ujaran Penutur Bahasa Jawa? (Yogyakarta: Andi Ofset, 2010), h. 2.

9Erni Budiwanti, Islam Sasak (Yogyakarta: LKiS, 2000), h. 88.

10Jhon W. Berry, “Acculturation: Living Successfully in Two Cultures”, International Journal of

Intercultural Relations 2, no. 9 (2005): h. 679.

Jurnal Pemikiran Islam Vol. 5, No. 1, Juli 2019

~5~

Diperjelas Berry bahwa,

“Akulturasi adalah sebuah proses yang merangkap dari perubahan budaya dan psikologis

yang berlangsung sebagai hasil kontak antara dua atau lebih kelompok budaya dan

anggotanya. Pada level kelompok akulturasi melibatkan perubahan dalam struktur sosial

dan institusi. Sedangkan pada level individu akulturasi melibatkan perubahan perilaku.”11

Berdasarkan pendapat para ahli mengenai akulturasi, dapat dipahami bahwa

akulturasi merupakan hasil integrasi budaya asing ke dalam budaya kelompok tertentu

(lokal) melalui interaksi, sehingga unsur-unsur kebudayaan asing diterima dan diolah

dalam kebudayaannya sendiri tanpa menghilangkan karakteristik budaya lokal itu.

Melalui pengertian akulturasi ini, maka dalam konteks masuknya Islam ke

Nusantara (Indonesia) dan dalam perkembangan selanjutnya telah terjadi interaksi

budaya yang saling memengaruhi. Namun dalam proses interaksi itu, pada dasarnya

kebudayaan setempat masih tetap kuat, sehingga terdapat perpaduan budaya asli (lokal)

Indonesia dengan Islam. Perpaduan inilah yang kemudian disebut akulturasi kebudayaan.

1. Akulturasi Islam dan Budaya Lokal dalam Acara Adat

Masuknya nilai-nilai Islami dalam acara adat, dapat dilihat dari praktik ritual

dalam budaya populer di Indonesia. Salah satunya digambarkan oleh Kuntowijoyo dalam

Upacara Pangiwahan di Jawa Barat. Upacara ini dimaksudkan agar manusia dapat

menjadi wiwoho (mulia). Berangkat dari pemahaman ini, masyarakat harus memuliakan

kelahiran, perkawinan, kematian, dan sebagainya. Semua ritual itu dimaksudkan untuk

menunjukkan bahwa kehidupan manusia itu bersifat mulia. Konsep mengenai kemuliaan

hidup manusia ini jelas-jelas diwarnai oleh konsep ajaran Islam yang memandang

manusia sebagai makhluk yang mulia.12

Makna filosofis dalam acara dan upacara adat disisipi dengan nilai-nilai Islami.

Misalnya, persembahan sesajen untuk memohon keselamatan dari Yang Maha Kuasa

pada kelompok masyarakat tertentu diganti menjadi acara selamatan berupa doa dengan

menyiapkan makanan yang disiapkan untuk para hadirin. Masyarakat Bugis menyebutnya

mabbaca doang salama.

2. Akulturasi Islam dan Budaya Lokal dalam Seni dan Konstruksi Bangunan

a. Seni

1) Kaligrafi menjadi kesenian arab yang menghiasi dinding mesjid di Indonesia. Bahkan

dalam perkembangannya kaligrafi telah menghiasi dinding rumah dan madrasah.

2) Wayang dan gamelang adalah satu paket yang lengkap, antara media bermain beserta

alat musiknya. Keduanya merupakan kebudayaan asli dari Indonesia yang berfungsi

untuk mempermudah penyebaran Islam.

11Jhon W. Berry, “Acculturation: Living Successfully in Two Cultures”.

12Kuntowijoyo, Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi (Bandung: Mizan, 2001), h. 235.

Vol. 5, No. 1, Juli 2019 Jurnal Pemikiran Islam

~6~

3) Tari Seudati berasal dari Aceh, nama lain tarian ini adalah tari Saman. Asal kata

Seudati adalah Syaidati yang berarti permainan orang-orang besar, disebut tari Saman

karena mula-mula dimainkan delapan orang dengan lagu tertentu berupa shalawat. 13

b. Konstruksi Bangunan

Akulturasi dalam konstruksi bangunan dapat dilihat dari model masjid di

Indonesia yang beragam dan mempunyai bentuk khas. Misalnya masjid Demak, model

atau bentuk bangunannya menyerupai pendopo bujur sangkar. Selain itu atap masjid

berbentuk tumpang dengan jumlah ganjil tiga yang mirip pura tempat peribadatan Hindu

sebagai kepercayaan masyarakat lokal sebelum datangnya Islam. Pola arsitektur masjid

ini tidak dikenal di kawasan dunia muslim lainnya.14

3. Akulturasi Islam dan Budaya Lokal dalam Konsepsi Sosial

Akulturasi Islam dan budaya lokal juga tergambar dalam konsepsi sosial

masyarakat. Hal ini dapat dilihat pada praktik muamalah dan masuknya syari’at sebagai

falsafah hidup masyarakat lokal.

Sulawesi misalnya, Mattulada mengungkapkan bahwa dalam aspek Pangadereng

(Bugis) atau Pangngadakkang (Makassar), dikenal 5 (lima) unsur pokok yang

dikembangkan masyarakat Bugis-Makassar dalam berinteraksi dan berdinamika, yaitu

(1) ade’, (2) bicara, (3) rapang, (4) wari’, dan (5) sara’.15 Kelima unsur tersebut

merupakan tata nilai pergaulan bagi masyarakat Bugis-Makassar, terutama unsur pokok

kelima yang masuk terakhir, yaitu sara’. Hal ini menggambarkan dan menandakan

masuknya Islam ke dalam tata kehidupan masyarakat Sulawesi Selatan.

Berdasarkan lingkup yang lebih luas, syariat telah masuk dalam regulasi nasional.

Ini terbukti dengan dilindunginya pelaksanaan syariat.16 Bahkan ada syariat yang

diundangkan, seperti zakat dan nikah.

Proses Akulturasi Islam dan Budaya Lokal di Indonesia

1. Universalitas Islam

Universalitas Islam menampakkan diri dalam berbagai manifestasi penting, dan

yang terbaik adalah dalam ajaran-ajarannya.17 Ajaran Islam yang mencakup aspek akidah,

syari’ah dan akhlak, sering kali disempitkan oleh sebagian masyarakat menjadi hanya

13Sjamsuddhuha, Corak dan Gerak Hinduisme dan Islam di Jawa Timur (Surabaya: CV. Suman

Indah, 2000), h. 33.

14Mark R. Woodward, Islam Jawa: Kesalehan Normatif Versus Kebatinan (Yogyakarta: LKiS,

2012), h. 87.

15Mattulada, Latoa: Suatu Lukisan Analitis Terhadap Antropologi Politik Orang Bugis

(Yogyakarta: Gadjahmada University Press, 1985), h. 344.

16Lihat Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28E ayat 1: “setiap orang bebas memeluk agama dan

beribadah menurut agamanya”.

17Abdurrahman Wahid, Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah (Jakarta: Yayasan

Paramadina, 2004), h. 515.

Jurnal Pemikiran Islam Vol. 5, No. 1, Juli 2019

~7~

kesusilaan dan sikap hidup, padahal lebih dari itu, yaitu menampakkan perhatian ajaran

Islam yang sangat besar terhadap persoalan utama kemanusiaan. Hal ini dapat dilihat dari

enam tujuan umum syari’ah yaitu; menjamin keselamatan agama, badan, akal, keturunan,

harta dan kehormatan. Selain itu risalah Islam juga menampilkan nilai-nilai

kemasyarakatan (social values) yang luhur, sehingga bisa dikatakan sebagai tujuan dasar

syari’ah yaitu; keadilan, ukhuwwah, takāful, kebebasan dan kehormatan.18 Semua ini

akhirnya bermuara pada keadilan sosial dalam arti sebenarnya.

Universalitas Islam dapat dipahami secara lebih jelas melalui sifat al-waqi’iyyah

(berpijak pada kenyataan objektif manusia).19 Ajaran universal Islam mengenai aspek

kehidupan berbangsa dan bernegara akan terwujud secara substansial, tanpa menekankan

simbol ritual dan tekstual.20 Ajaran Islam bukanlah agama “baru”, melainkan agama yang

sudah dikenal dan dijalankan oleh umat manusia sepanjang zaman, karena sejak semula

telah terbit dari fitrahnya sendiri.21 Islam sebagai agama yang benar, agama yang sejati,

mengutamakan perdamaian,22 serta rahmah li al-‘ālamīn, sehingga mampu

mengakomodasi semua kebudayaan dan peradaban manusia di seluruh dunia.

Sisi universalitas Islam ini, kemudian memunculkan kosmopolitanisme budaya

Islam. Hal ini mendapat pengesahan langsung dari kitab suci, seperti suatu pengesahan

berdasarkan konsep-konsep kesatuan kemanusiaan (wihdat al-insaniyah; the unity of

humanity) yang merupakan pancaran konsep ke-Maha-Esaan Tuhan (wahdaniyat atau

tauhid; the unity of god). Kesatuan asasi ummat manusia dan kemanusiaan itu ditegaskan

dalam QS. Al-Baqarah/2: 213.

Terjemahnya:

18Yūsuf al-Qarḍāwī, Madkhāl li al-Dirāsah al-Islāmiyyah (Beirut: Dār al-Fikr, 1993), h. 61.

19Lihat M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Quran: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan

Masyarakat (Bandung: Mizan, 2007), h. 330-331.

20Betapapun universalnya suatu ajaran, jika dikemas secara tekstual, apalagi jika berlabel agama,

niscaya akan berubah menjadi parsial dan eksklusif yang justru akan mengaburkan makna universalitas

agama itu sendiri. Lihat HAMKA, Islam: Rahmah untuk Bangsa (Jakarta: Wahana Semesta Intermedia,

2009), h. 29-31.

21M. Dawam Rahardjo, Paradigma Al-Quran: Metodologi Tafsir dan Kritik Sosial (Jakarta: PSAP

Muhammadiyah, 2005), h. 132-133.

22Bruce Lawrence, The Quran: A Biography, terj. Aditya Hadi Pratama, Al-Qur’an: Sebuah

Biografi (Bandung: Semesta Inspirasi, 2008), h. 2-4.

Vol. 5, No. 1, Juli 2019 Jurnal Pemikiran Islam

~8~

“Manusia itu adalah umat yang satu. (Setelah timbul perselisihan), Maka Allah mengutus para

nabi, sebagai pemberi peringatan, dan Allah menurunkan bersama mereka Kitab yang benar,

untuk memberi Keputusan di antara manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan.

Tidaklah berselisih tentang Kitab itu melainkan orang yang telah didatangkan kepada mereka

kitab, yaitu setelah datang kepada mereka keterangan-keterangan yang nyata, Karena dengki

antara mereka sendiri. Maka Allah memberi petunjuk orang-orang yang beriman kepada

kebenaran tentang hal yang mereka perselisihkan itu dengan kehendak-Nya. dan Allah selalu

memberi petunjuk orang yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus”.23

Ayat tersebut menunjukkan bahwa pengikut Muhammad saw diingatkan untuk

selalu menyadari sepenuhnya kesatuan kemanusiaan. Berdasarkan kesadaran itu mereka

membentuk pandangan budaya kosmopolit, yaitu sebuah pola budaya yang konsep-

konsep dasarnya meliputi dan diambil dari seluruh budaya umat manusia.24

Refleksi dan manifestasi kosmopolitanisme Islam bisa dilacak dalam etalase

sejarah kebudayaan Islam sejak zaman Rasulullah, baik dalam format non material seperti

konsep-konsep pemikiran, maupun yang material seperti seni arsitektur bangunan dan

sebagainya. Pada masa awal Islam, Rasulullah saw berkhutbah hanya dinaungi sebuah

pelepah kurma. Kemudian, tatkala kuantitas kaum muslimin mulai bertambah banyak,

dipanggillah seorang tukang kayu Romawi. Ia membuatkan untuk Nabi sebuah mimbar

dengan tiga tingkatan yang dipakai untuk khutbah Jumat dan munasabah-munasabah

lainnya. Kemudian dalam perang Ahzab, Rasul menerima saran Salman al-Farisy untuk

membuat parit (khandaq) di sekitar Madinah. Metode ini adalah salah satu metode

pertahanan ala Persi. Rasul mengagumi dan melaksanakan saran itu. Beliau tidak

mengatakan: “Ini metode Majusi, kita tidak memakainya”. Para sahabat juga meniru

manajemen administrasi dan keuangan dari Persi, Romawi dan lainnya. Mereka tidak

keberatan dengan hal itu selama menciptakan kemashlahatan dan tidak bertentangan

dengan nas. Sistem pajak jaman itu diadopsi dari Persi sedang sistem perkantoran

diadopsi dari Romawi.25

Pengaruh filsafat Yunani dan budaya Yunani (hellenisme) pada umumnya dalam

sejarah perkembangan pemikiran Islam sudah bukan merupakan hal baru lagi. Seperti

halnya budaya Yunani, budaya Persia juga amat besar sahamnya dalam perkembangan

peradaban Islam. Jika dinasti Umayyah di Damaskus menggunakan sistem administratif

dan birokratif Byzantium dalam menjalankan pemerintahannya, dinasti Abbasiyah di

Bagdad (dekat Tesiphon, ibu kota dinasti Persi Sasan) menggunakan sistem Persia. Dan

dalam pemikiran, tidak sedikit pengaruh-pengaruh Persianisme atau Aryanisme

(Iranisme) yang masuk ke dalam sistem Islam. Hal ini terpancar dengan jelas dalam buku

al-Ghazali (ia sendiri orang Parsi), seperti Nashihat al-Mulk, siyasat namah (pedoman

pemerintahan), yang juga banyak menggunakan bahan-bahan pemikiran Persi.26

23Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya (Jakarta: Pustaka Assalam, 2010), h. 41.

Lihat juga QS. Yunus/10: 19.

24Nurcholis Madjid, Islam, Doktrin dan Peradaban (Jakarta: Yayasan Paramadina, 2002), h. 442.

25Yūsuf al-Qarḍāwī, Al-Khaṣāiṣ al-‘Āmiyah al-Islām (Beirut: Dār al-Fikr, 1993), h. 253.

26Nurcholis Madjid, Islam, Doktrin dan Peradaban, h. 444.

Jurnal Pemikiran Islam Vol. 5, No. 1, Juli 2019

~9~

Sisi universalitas Islam yang kemudian berkembang menjadi kosmopolitanisme

budaya Islam yang datang ke nusantara, membuatnya diterima dengan baik oleh

masyarakat yang telah memiliki dasar kebudayaan kuat sebagai falsafah hidup.

Akomodasi Islam terhadap budaya yang mengakar membuatnya menjadi pelengkap dan

penyempurna falsafah hidup masyarakat lokal dari segi prinsip maupun regulasi dalam

berinteraksi.

2. Dukungan Sosial dan Kebutuhan Afiliasi Budaya Lokal

a. Dukungan Sosial

Menurut Rook dalam Kumalasari dan Ahyani, bahwa dukungan sosial merupakan

salah satu fungsi dari ikatan sosial, dan ikatan-ikatan tersebut menggambarkan tingkat

kualitas umum dari hubungan interpersonal. Ikatan dan persahabatan dengan orang lain

dianggap sebagai aspek yang memberikan kepuasan secara emosional dalam kehidupan

individu.27

Lebih rinci Sarafino menyebutkan empat jenis dukungan sosial, yaitu: 1) Dukung

emosional, dukungan ini melibatkan ekspresi rasa empati dan perhatian terhadap

individu, sehingga individu tersebut merasa nyaman, dicintai dan diperhatikan. Dukungan

ini meliputi perilaku seperti memberikan perhatian dan afeksi serta bersedia

mendengarkan keluh kesah orang lain. 2) Dukungan penghargaan, dukungan ini

melibatkan ekspresi yang berupa pernyataan setuju dan penilaian positif terhadap ide-ide,

perasaan dan performa orang lain. 3) Dukungan instrumental, bentuk dukung ini

melibatkan bantuan langsung, misalnya yang berupa bantuan finansial atau bantuan

dalam mengerjakan tugas-tugas tertentu. 4) Dukungan informasi, dukungan yang bersifat

informasi ini dapat berupa saran, pengarahan dan umpan balik tentang bagaimana cara

memecahkan persoalan.28

Berdasarkan jenis dukungan sosial tersebut, kemudian dikaitkan dengan

penyebaran Islam di nusantara, akulturasi Islam dan budaya lokal terjadi salah satunya

karena dukungan sosial terhadap masyarakat lokal (pribumi). Baik dari para pedagang

yang menyiarkan Islam, ulama yang mendakwahkan Islam, terlebih dukungan

pemerintah yang telah memeluk Islam. Tidak hanya itu, pernikahan putri raja dengan

ulama Islam semakin membuka lebar interaksi Islam dengan budaya lokal.

Para pedagang yang menyiarkan Islam dengan keteladanan akhlak dan praktik

muamalah yang mulia, kemudian dilanjutkan oleh ulama sufi. Sebagaimana hasil

penelitian A. H. Johns, menemukan bahwa para sufi pengembaralah yang terutama

melakukan penyebaran agama Islam di kawasan Nusantara, dengan mempertimbangkan

kemungkinan kecil bahwa para pedagang memainkan peran terpenting dalam penyebaran

Islam di kawasan ini. Para sufi ini berhasil mengislamkan sejumlah besar penduduk

Nusantara sejak abad ke-13. Dalam “teori sufi” yang diajukan Johns ini, para sufi berhasil

27F. Kumalasari, dan L. N. Ahyani, “Hubungan Antara Dukungan Sosial dengan Penyesuaian Diri

Remaja di Panti Asuhan”, Jurnal Psikologi Pitutur 1, no.1 (Juni 2012): h. 25.

28F. Kumalasari, dan L. N. Ahyani, Hubungan Antara Dukungan Sosial, h. 25-26.

Vol. 5, No. 1, Juli 2019 Jurnal Pemikiran Islam

~10~

mengislamkan sebagian besar penduduk Nusantara karena kemampuan mereka

menyajikan Islam dalam kemasan yang atraktif, khususnya dengan menekankan

kesesuaian dengan Islam atau kontinuitas, ketimbang perubahan dalam kepercayaan dan

praktik keagamaan lokal. Untuk memperkuat argumentasi “teori sufi” yang diajukannya,

Johns menggunakan tasawuf sebagai sebuah kategori dalam literatur dan sejarah Melayu-

Indonesia untuk memeriksa sejumlah sejarah lokal.29

Hasil dari pemeriksaan sejarah lokal tersebut, Johns mengungkapkan bahwa

banyak sumber-sumber lokal Melayu-Indonesia yang mengaitkan pengenalan Islam ke

kawasan ini melalui guru-guru pengembara dengan karakteristik sufi yang kental.

Selanjutnya, berkat otoritas karismatik dan kekuatan magis mereka, sebagian guru sufi

dapat mengawini putri-putri bangsawan. Hal itu kemudian memberikan kepada anak-

anak mereka gengsi darah bangsawan dan sekaligus aura keilahian atau karisma

keagamaan.30

Ulama yang mendakwahkan Islam, memainkan peran penting dalam akulturasi

dengan melakukan dakwah melalui pendekatan budaya. Islam yang bercorak lokal yang

dibawa oleh para ulama, menjadi Islam yang mampu “tampil dengan wajah yang ramah”.

Islam lokal mampu menoleransi dengan baik serta menjaga kontinuitas budaya yang telah

ada dan mengakar di masyarakat pribumi. Bahkan, pada tahun 1476 M, di Bintoro

(Demak) dikeluarkan kebijakan penyebaran Islam dengan dibentuknya bayangkare islah

(angkatan pelopor perbaikan), dengan rencana kerja yang antara lain adalah pendidikan

dan ajaran Islam harus diberikan melalui jalan kebudayaan yang hidup dalam masyarakat

Jawa, asal tidak menyalahi (secara substantif) ajaran-ajaran Islam.31

Perkawinan juga menjadi salah satu metode dakwah para wali songo. Misalnya,

perkawinan putri Campa yang beragama Islam dengan putra mahkota raja Majapahit

melahirkan putra yang di kemudian hari menjadi pendiri kerajaan Islam Demak, yaitu

Raden Fatah (berkuasa 1478-1518 M). Maulana Ishak mengawini putri Blambangan dan

melahirkan Sunan Giri (Gresik). Senada dengan pendapat A. H. Jhons, Musyrifah

Sunanto mengungkapkan bahwa perkawinan menjadi salah satu modus dakwah para wali

songo untuk memperkokoh legitimasi sosial dan politik Islam di lingkungan penguasa

Majapahit, serta memberikan gengsi darah para bangsawan Jawa dan aura keilahian

kepada keturunan mereka.32

b. Kebutuhan Afiliasi

Menurut Murray kebutuhan berafiliasi terkait dengan kecenderungan untuk

membentuk pertemanan dan bersosialisasi, serta berinteraksi secara dekat dengan orang

29Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan

XVIII: Akar Pembaharuan Islam Indonesia (Jakarta: Kencana, 2007), h. 13.

30Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah, h. 14-16.

31Musyrifah Sunanto, Sejarah Peradaban Islam Indonesia (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), h. 114.

32Musyrifah Sunanto, Sejarah Peradaban Islam Indonesia, h. 23.

Jurnal Pemikiran Islam Vol. 5, No. 1, Juli 2019

~11~

lain. Kebutuhan bekerja sama dan berkomunikasi dengan orang lain secara bersahabat.33

McClelland mengatakan bahwa kebutuhan afiliasi adalah kebutuhan akan kehangatan dan

sokongan dalam hubungannya dengan orang lain, kebutuhan ini mengarahkan tingkah

laku untuk mengadakan hubungan secara akrab dengan orang lain. Di dalam kebutuhan

afiliasi itu sendiri terkandung keinginan untuk membentuk dan mempertahankan

beberapa hubungan interpersonal yang memberikan ganjaran. Lebih lanjut McClelland

memaparkan aspek-aspek kebutuhan afiliasi, yaitu:

1) Lebih suka bersama orang lain dari pada sendirian

2) Sering berinteraksi dengan orang lain

3) Ingin disukai dan diterima oleh orang lain

4) Menyenangkan hati orang lain

5) Menunjukkan dan memelihara sikap setia terhadap teman

6) Mencari persetujuan dan kesepakatan orang lain.34

Berdasarkan aspek-aspek afiliasi tersebut, bila dikaitkan dengan histori

penyebaran Islam di nusantara melalui pedagang muslim, kebutuhan interaksi dengan

orang asing, disukai dan diterima oleh orang asing, membutuhkan regulasi baru yang

dapat disepakati sehingga relasi dagang tetap terjaga. Prinsip ekonomi dalam Islam

dianggap dapat menjadi regulasi yang disepakati karena memenuhi rasa keadilan dengan

saling menguntungkan dan saling meridai. Kebutuhan afiliasi ini kemudian membuat

masyarakat lokal lebih terbuka terhadap kebudayaan yang dibawah oleh para pedagang

penyiar Islam. Namun apa yang menjadi prinsip dasar dari budayanya tetap dijaga.

3. Integrasi Islam ke dalam Budaya Lokal

Sebagaimana pembahasan sebelumnya, Islam adalah agama yang berkarakteristik

universal, dengan pandangan hidup mengenai persamaan, keadilan, takaful, kebebasan

dan kehormatan serta memiliki konsep teosentrisme yang humanistik sebagai nilai inti

(core value) dari seluruh ajaran Islam, dan karenanya menjadi tema peradaban Islam.35

Pada saat yang sama, dalam menerjemahkan konsep-konsep langitnya ke bumi,

Islam mempunyai karakter dinamis, elastis dan akomodatif dengan budaya lokal, selama

tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam itu sendiri. Permasalahannya terletak

pada tata cara dan teknis pelaksanaan.

Upaya rekonsiliasi antara agama dan budaya di Indonesia memang wajar dan telah

dilakukan sejak lama serta bisa dilacak bukti-buktinya. Masjid Demak adalah contoh

konkrit dari upaya rekonsiliasi atau akomodasi itu. Ranggon atau atap yang berlapis pada

masa tersebut diambil dari konsep ‘Meru’ dari masa pra Islam (Hindu-Budha) yang terdiri

dari sembilan susun. Sunan Kalijaga memotongnya menjadi tiga susun saja, hal ini

melambangkan tiga tahap keberagamaan seorang muslim; iman, Islam dan ihsan. Pada

mulanya, orang baru beriman saja kemudian ia melaksanakan Islam ketika telah

33Hefrina Rinjani dan Ari Firmanto, “Kebutuhan Afiliasi dengan Intensitas Mengakses Facebook

pada Remaja”, Jurnal Ilmiah Psikologi Terapan 1, no. 01 (Januari 2013): h. 79.

34Hefrina Rinjani dan Ari Firmanto, Kebutuhan Afiliasi, h. 79.

35Kuntowijoyo, Paridigma Islam, h. 229.

Vol. 5, No. 1, Juli 2019 Jurnal Pemikiran Islam

~12~

menyadari pentingnya syariat. Barulah ia memasuki tingkat yang lebih tinggi lagi (ihsan)

dengan jalan mendalami tasawuf, hakikat dan makrifat.36

Hal ini berbeda dengan Kristen yang membuat gereja dengan arsitektur asing

(Barat). Kasus ini memperlihatkan bahwa Islam lebih toleran terhadap budaya lokal.

Budha masuk ke Indonesia dengan membawa stupa, demikian juga Hindu. Namun Islam

tidak memindahkan simbol-simbol budaya Islam Timur Tengah ke Indonesia. Hanya

akhir-akhir ini saja bentuk kubah disesuaikan. Dengan fakta ini, terbukti bahwa Islam

tidak anti budaya. Semua unsur budaya dapat disesuaikan dalam Islam. Budaya Islam

memiliki begitu banyak varian.37

Patut diamati pula, kebudayaan populer di Indonesia banyak sekali menyerap

konsep-konsep dan simbol-simbol Islam, sehingga seringkali tampak bahwa Islam

muncul sebagai sumber kebudayaan yang penting dalam kebudayaan populer di

Indonesia. Selain itu, penyebaran Islam di nusantara menggunakan pendekatan tasawuf

(mistik Islam).38 Ini sangat sesuai dengan pemikiran masyarakat lokal yang animisme dan

dinamisme. Secara perlahan dan bertahap, tanpa menolak dengan keras budaya

masyarakat, Islam memperkenalkan toleransi dan persamaan derajat.

Persamaan derajat dalam Islam sangat menarik bagi masyarakat lokal. Sebab

dalam masyarakat Hindu-Jawa sangat menekankan perbedaan derajat. Kebutuhan afiliasi

masyarakat untuk diakui, dihargai, dan melepaskan diri dari penjajahan koloni. Panggilan

Islam kemudian menjadi dorongan untuk mengambil alih kekuasaan politik dari tangan

penguasa Hindu-Jawa (Majapahit),39 dan menjadi pemersatu bangsa dalam melepaskan

diri dari penjajah.

Realitas keragaman umat Islam Indonesia mengindikasikan bahwa di segala

penjuru negeri kepulauan ini pemahaman tentang ajaran-ajaran Islam sangat bervariasi

yang terpengaruh oleh budaya pra Islam. Sebelum Islam datang, berbagai macam adat

kuno dan kepercayaan lokal banyak dipraktikkan sehingga sangat menyatu dengan

struktur sosial. Pada sebagian besar daerah, kedatangan Islam dengan jalan damai bukan

penaklukan, maka secara umum dapat dikatakan bahwa Islam tidak menggantikan atau

menghancurkan tradisi budaya yang sudah lama ada, tetapi memadukan dengan tradisi

yang sudah ada.40

Tradisi berupa pakaian adat kemudian bertransformasi menjadi baju adat yang

Islami. Ada upaya menutup aurat dengan model pakaian yang tidak menghilangkan unsur

budayanya. Selain itu, dalam hal penggunaan istilah-istilah yang diadopsi dari Islam,

tentunya perlu membedakan mana yang “Arabisasi”, mana yang “Islamisasi”.

Penggunaan term-term Islam sebagai manifestasi simbolik dari Islam tetap penting.

36Abdurrahman Wahid, Pribumisasi Islam dalam Islam Indonesia: Menatap Masa Depan (Jakarta:

P3M, 1989), h. 92.

37Kuntowijoyo, Paridigma Islam, h. 92.

38Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam, (Cet. II; Jakarta: Amzah, 2010), h. 316.

39Musyrifah Sunanto, Sejarah Peradaban Islam Indonesia, h. 22.

40Erni Budiwanti, Islam Sasak, h. 87.

Jurnal Pemikiran Islam Vol. 5, No. 1, Juli 2019

~13~

Asalkan tidak kemudian menjadi sumber perpecahan sebagaimana dikatakan Gus Dur,

“menyibukkan dengan masalah-masalah semu atau hanya bersifat pinggiran”.41

Begitu juga penggunaan term shalat sebagai ganti dari sembahyang (berasal dari

kata “nyembah sang Hyang”) adalah proses Islamisasi bukannya Arabisasi. Makna

substansial dari shalat mencakup dimensi individual-komunal dan dimensi peribumisasi

nilai-nilai substansial ini ke alam nyata.42 Namun penggunaan term sembahyang tetap

saja boleh dilakukan oleh kelompok Islam lokal (nusantara), sebab secara esensi shalat

tetap terlaksana meskipun simbol/term/istilah yang digunakan berbeda. Namun suatu

kenaifan bila mengganti salam Islam “assalāmu ‘alaikum” dengan “selamat pagi, siang,

sore ataupun malam”. Sebab esensi doa dan penghormatan yang terkandung dalam salam

tidak terdapat dalam ucapan “selamat pagi” yang cenderung basa-basi, selain salam itu

sendiri memang dianjurkan oleh Allah swt dan Rasul-Nya.

Berdasarkan uraian mengenai akulturasi Islam dengan budaya lokal tersebut,

prosesnya dapat digambarkan dalam skema bagan berikut:

Gambar 1. Proses Akulturasi Islam dan Budaya Lokal

Gambar tersebut menunjukkan bahwa Islam yang berdasarkan wahyu Ilahi

memiliki sisi universalitas yang akomodatif terhadap budaya lokal sehingga memuncul

kosmopolitanisme budaya dalam Islam. Pertemuan Islam dengan budaya lokal nusantara

dengan kekhasan karakteristiknya yang membutuhkan afiliasi dan mendapat dukungan

sosial untuk berkembang mengakibatkan pertautan nilai yang tidak terhindarkan. Dalam

pertautan antara nilai-nilai Islam dengan budaya lokal inilah ditemukan suatu perubahan

yang signifikan, yaitu bergesernya tradisi lokal menjadi tradisi Islam lokal atau tradisi

Islam dalam konteks lokalitasnya. Perubahan ini mengarah kepada proses akulturasi dan

bukan adaptasi, sebab di dalam perubahan itu tidak terjadi proses saling meniru atau

menyesuaikan, akan tetapi mengakomodasi dua elemen menjadi satu kesatuan yang baru.

Tentunya ada unsur yang dimasukkan dan ada unsur yang dibuang. Salah satu yang

41Abdurrahman Wahid, Pribumisasi Islam, h. 92.

42Abdurrahman Wahid, Pribumisasi Islam, h. 92.

Budaya Lokal Islam Integrasi Islam ke

dalam Budaya Lokal

Akulturasi Islam

dengan Budaya

Lokal

Wahyu

Kosmopolitanisme

s

Islam Lokal

Karakteristik

Kebutuhan

Afiliasi

Dukungan

Sosial

Universalitas

Vol. 5, No. 1, Juli 2019 Jurnal Pemikiran Islam

~14~

tampak jelas merepresentasikan nilai-nilai Islam misalnya berupa pembacaan ayat-ayat

suci Alquran, shalawat, serta doa dalam berbagai variasinya.43

Implikasi Akulturasi Islam dan Budaya Lokal Terhadap Paham Keislaman Umat

di Indonesia

Kesediaan Islam berdialog dengan budaya lokal masyarakat, selanjutnya

mengantarkan diapresiasinya secara kritis nilai-nilai lokalitas dari budaya masyarakat

beserta karakteristik yang mengiringi nilai-nilai itu. Selama nilai tersebut sejalan dengan

semangat yang dikembangkan oleh Islam, selama itu pula diapresiasi secara positif

namun kritis.

Dengan demikian, tradisi lokal diposisikan berlawanan dengan tradisi purifikasi

dilihat dari perspektif pola pengamalan dan penyebaran ajaran keagamaan di antara

keduanya. Tradisi Islam lokal sebagai pengamalan keagamaan yang memberikan

toleransi sedemikian rupa terhadap praktik-praktik keyakinan setempat, sedangkan tradisi

purifikasi menekankan pada pengamalan keagamaan yang dianggap harus bersumber dan

sama dengan tradisi besar Islam. Fenomena ini kemudian memunculkan tiga paham di

Indonesia dalam memahami praktik Islam lokal, yaitu kaum tradisionis dengan konsep

Islam nusantara, kaum medernis dengan konsep gerakan tajdīd, dan kaum puritan yang

cenderung radikal dengan konsep Islam transnasional.

Konsep Islam Nusantara

Islam tradisional menurut Deliar Noer adalah gerakan Islam yang masih

mempertahankan tradisi sebagai bagian dari aktivitas keagamaannya.44 Gerakan Islam

tradisional ini membangkitkan tradisi Islam sebagai suatu realitas spiritual di tengah

modernisme.45 Pada beberapa gerakan Islam tradisional, pengaruh kebudayaan lokal

cukup kuat dalam implementasi ritual keagamaan, bahkan secara kultural dapat dikatakan

bersifat sinkretik.46 Gerakan ini di Indonesia kemudian menjelma menjadi konsep Islam

Nusantara.

Konsep Islam nusantara diawali oleh Gus Dur dengan istilah “Islam Pribumi”.

Menurut Gus Dur pemikiran tersebut hanya menyambung upaya yang dilakukan wali

songo dalam mengislamkan nusantara, khususnya pulau Jawa. Konsep ini

mengembangkan tiga hal, yaitu: Pertama, memiliki sifat kontekstual, yakni Islam

dipahami sebagai ajaran yang terkait dengan konteks zaman dan tempat. Perubahan waktu

dan perbedaan wilayah menjadi kunci untuk menginterpretasikan ajaran. Dengan

demikian, Islam akan mengalami dinamika dalam merespons perubahan zaman. Kedua,

43Syaiful Arif, Deradikalisasi Islam: Paradigma dan Strategi Islam Kultural (Jakarta: Koekoesan,

2010), h. 17.

44Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942 (Jakarta: LP3ES, 1992), h. 242.

45Sayed Hossein Nasr, Islam Tradisi di Tengah Kancah Dunia Modern (Bandung: Penerbit

Pustaka, 2004), h. 91.

46Kacung Maridjan, Quo Vadis NU Setelah Kembali ke Khittah 1926 (Jakarta: Erlangga, 2002), h.

223.

Jurnal Pemikiran Islam Vol. 5, No. 1, Juli 2019

~15~

bersifat progresif, yakni kemajuan zaman bukan dipahami sebagai ancaman terhadap

penyimpangan ajaran dasar agama (Islam), tetapi dilihat sebagai pemicu untuk

melakukan respons kreatif secara intens. Ketiga, memiliki karakter liberatif, yaitu Islam

menjadi ajaran yang dapat menjawab problem-problem kemanusiaan secara universal

tanpa melihat perbedaan agama dan etnik. Dengan demikian, Islam tidak kaku dalam

menghadapi realitas sosial masyarakat yang selalu berubah.47 Melalui konteks inilah,

kemudian berkembang menjadi “Islam Nusantara” yang ingin membebaskan puritanisme

dan segala bentuk purifikasi Islam sekaligus juga menjaga budaya lokal tanpa

menghilangkan identitas normatif Islam.

Dalam hal ini Nurcholish Madjid salah-satu tokoh intelektual muslim

kontemporer dengan paham tradisionis mengungkapkan bahwasanya antara agama

(Islam) dan budaya adalah dua bidang yang dapat dibedakan tetapi tidak dapat dipisahkan.

Agama bernilai mutlak, tidak berubah menurut perubahan waktu dan tempat. Tetapi

berbeda dengan budaya, sekalipun berdasarkan agama, dapat berubah dari waktu ke

waktu dan dari tempat ke tempat. Kebanyakan budaya berdasarkan agama, namun tidak

pernah terjadi sebaliknya, agama berdasarkan budaya. Oleh karena itu, agama adalah

primer, dan budaya adalah sekunder. Budaya dapat berupa ekspresi hidup keagamaan,

karena ia sub-kordinat terhadap agama.48

Islam bukan agama yang antibudaya. Islam malah berkontribusi terhadap budaya

lokal baru yang akulturatif. Yaitu budaya Islam Nusantara yang khas dan unik serta

menjadi khazanah kebudayaan dan peradaban Islam dunia. Tradisi peringatan maulid

Nabi, peringatan isra’ mi’raj, salawatan, selamatan, syukuran di Indonesia adalah mozaik

budaya Islam Nusantara yang sulit dicari persepadanannya di negara mana pun di dunia.

Berdasarkan ideologi tersebut, kaum tradisionis kemudian lebih akomodatif terhadap

budaya lokal. Umumnya ideologi ini diperpegangi oleh warga nahdiyyīn (Nahdatul

Ulama).

Konsep Gerakan Tajdīd

Modernisasi atau gerakan pembaharu (tajdīd) berarti upaya yang sungguh-

sungguh untuk melakukan reinterpretasi terhadap pemahaman, pemikiran dan pendapat

tentang masalah ke-Islaman yang dilakukan oleh pemikir terdahulu untuk disesuaikan

dengan perkembangan zaman. Dengan demikian, yang diperbaharui adalah hasil

pemikiran atau pendapat, bukan memperbaharui atau mengubah apa yang terdapat dalam

Al-Qur’an maupun Hadis, tetapi mengubah atau memperbaharui hasil pemahaman

terhadap Al-Qur’an dan Hadis.49

47Khamami Zada dkk., Islam Pribumi: Mencari Wajah Islam Indonesia (Jakarta: Lakpesdam,

2003), h. 12.

48Yustion dkk., Islam dan Kebudayaan Indonesia: Dulu, Kini, dan Esok (Jakarta: Yayasan Festival

Istiqlal, 1993), h. 172.

49Lihat Abuddin Nata, Peta Keberagaman Pemikiran Islam di Indonesia (Jakarta: Raja Grafindo

Persada: 2001), h. 154-155.

Vol. 5, No. 1, Juli 2019 Jurnal Pemikiran Islam

~16~

Islam modernis sendiri adalah paham ke-Islaman yang didukung oleh sikap yang

rasional, ilmiah serta sejalan dengan hukum-hukum Tuhan baik yang terdapat dalam Al-

Qur’an maupun alam raya. Islam modernis memiliki pemikiran yang dinamis, progresif

dan mengalami penyesuaian dengan ilmu pengetahuan.

Gerakan Islam modern di Indonesia muncul pada awal abad kedua puluh. Pada

tahun 1906 kelompok muda di wilayah Sumatera Barat yang dipelopori oleh Haji Abdul

Karim Amrullah (HAMKA), Haji Abdullah Ahmad, dan Syaikh Daud Rasyidi melakukan

protes terhadap struktur kekuasaan adat yang tidak memberikan ruang bagi mereka untuk

bergerak. Kelompok yang terdiri dari ulama dan cendekiawan ini bermaksud untuk

mengubah beberapa hal pada ketentuan adat yang tidak sesuai dengan syariat Islam yang

mereka pahami.50

Kemudian Islam modernis semakin berkembang dengan tokohnya Ahmad Dahlan

yang menganggap Islam telah jauh dari kemurniannya. Nilai-nilai dasar Islam telah

tercemar dengan berbagai tradisi dan keyakinan lokal warisan leluhur. Praktik ibadah

yang dilakukan lebih berorientasi pada tradisi dan keyakinan leluhur. Ditambah

pemahaman Islam masyarakat yang masih sangat rendah maka sering kali terjadi distorsi.

Sehingga sangat besar kemungkinan ritual ibadah yang mengatasnamakan tradisi (budaya

lokal) akan mengarahkan kepada kemusyrikan.51

Masyarakat terkadang memaksakan diri untuk melakukan ritual doa selamatan

atau syukuran yang membutuhkan biaya tinggi. Padahal Islam tidak menyulitkan

manusia. Islam justru mengatur segala urusan manusia agar memiliki kehidupan yang

mudah, terarah, dan bahagia. Hal ini kemudian membuat acara-acara tersebut tidak murni

ibadah dan tidak optimal dari segi pahala. Misalnya ritual do’a tolak bala dengan syarat

menyiapkan makanan tertentu. Ideologi ini kemudian membuat kaum modernis kurang

akomodatif terhadap ritual budaya lokal. Umumnya ideologi ini diperpegangi oleh warga

Muhammadiyah.

Islam Transnasional

Islam transnasional adalah gerakan Islam yang bersifat mondial yang hendak

memberlakukan formalisasi Islam dalam berbagai negara, termasuk Indonesia. Hasyim

Muzadi menyebut Ikhwanul Muslimin, Hizbut Tahrir dan Al-Qaeda sebagai bagian dari

gerakan politik dunia dan karenanya tidak mempunyai pijakan kultural, visi kebangsaan

dan visi keumatan di Indonesia.52 Islam transnasional merupakan nama lain dari Islam

radikal, Islam kanan, fundamentalisme Islam dan Islam puritan.

Konsep “puritan” menurut Abou El Fadl merupakan lawan konsep

“modern”. Kelompok puritan adalah mereka yang secara konsisten dan sistematis

menganut absolutisme, berpikir dikotomis, dan idealistik. Mereka tidak kenal kompromi,

50Deliar Noer, Gerakan Modern Islam, h. 37.

51Clifford Geertz, The Relegion of Java (Chicago: The University Of Chicago Press, 1996), h. 5.

52Abid Rohmanu, “Puritanisme dan Masa Depan Pluralisme di Indonesia: Upaya Mewaspadai

Gerakan Islam Transnasional di Indonesia”, http://www.alwishihab.com/inspirasi/2014/9/21/alwi-

abdurrahman-shihab-promoting-islam-with-compassion-1 (Diakses 14 April 2018)

Jurnal Pemikiran Islam Vol. 5, No. 1, Juli 2019

~17~

cenderung puris dalam artian tidak toleran terhadap berbagai sudut pandang dan

berkeyakinan bahwa realitas pluralistik merupakan kontaminasi terhadap autentisitas.53

Gerakan Islam transnasional yang beroperasi di Indonesia di antaranya adalah: 1)

Ikhwanul Muslimin yang didirikan oleh Hasan al-Banna di Mesir. Gerakan ini hadir pada

awalnya melalui aktivitas-aktivitas dakwah kampus yang kemudian menjadi gerakan

tarbiah. 2) Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dengan Pan Islamismenya ingin menegakkan

khilafah Islamiyyah di seluruh dunia dan Indonesia merupakan target di dalamnya. 3)

Wahabi dengan programnya “Wahabisasi Global”.54 Selain kelompok-kelompok

tersebut, termasuk juga Majlis Mujahidin Indonesia (MMI), Jama’ah Salafi, Komite

Persiapan Penegakan Syari’at Islam (KPPSI), Dar al-Islam (DI).55

Di antara kelompok-kelompok radikal tersebut, kelompok Wahabi dinilai cukup

berpengaruh karena dukungan petro dolarnya dan bahkan bisa dikatakan bahwa secara

geneologis kelompok-kelompok puritan Islam bisa dirujukkan pada aliran Wahabi.

Kelompok Wahabi dicetuskan oleh Muhammad bin Abdul Wahhab di semenanjung

Arabia pada abad ke-18. Pendiri kelompok Wahabi ini berkeyakinan bahwa solusi bagi

kemunduran umat Islam adalah dengan pemahaman dan penerapan literal teks sebagai

satu-satunya sumber otoritas yang absah.56 Karenanya setiap usaha menafsirkan teks

secara historis dan sosiologis bahkan filosofis dianggap sebagai bentuk penyimpangan.

Tidak ada multi-tafsir dalam agama, tidak ada pluralisme, dan autentik berarti

melaksanakan bunyi teks secara literal. Untuk menarik simpati masyarakat muslim,

kelompok Wahabi banyak menggunakan simbol-simbol salafi. Kelompok ini pun lebih

menyukai untuk disebut sebagai kelompok “Salafi” dengan jargon kembali kepada “al-

salaf al-shalih”, kembali kepada Islam autentik versi mereka.

Kelompok Puritan mengklaim sebagai pewaris tunggal kebenaran dan karenanya

muslim yang berbeda dianggap kurang Islami atau bahkan kafir.57 Berdasarkan ideologi

tersebut, sehingga praktik Islam lokal sebagai hasil akulturasi Islam dan budaya lokal

Indonesia dianggap bid’ah karena tidak sesuai dengan praktik Islam pada masa

Rasulullah saw.

Penutup

Berdasarkan pembahasan yang telah diuraikan sebelumnya, dapat ditarik

kesimpulan sebagai berikut: Pertama, bentuk akulturasi Islam dan budaya lokal di

53Khaled Abou El Fadl, The Great theft: wrestling Islam from the extremists, terj. Helmi

Mustofa, Selamatkan Islam dari Muslim Puritan (Jakarta: Serambi, 2007), h. 29-32.

54Abdurrahman Wahid, Ilusi Negara Islam; Ekspansi Gerakan Islam Transnasional di Indonesia

(Jakarta: The Wahid Institute, 2009), h. 78.

55Endang Turmudi dan Riza Sihbudi (ed.), Islam dan Radikalisme di Indonesia (Jakarta: LIPI

Press, 2005), h. 11.

56Khaled Abou El Fadl, The Place of Tolerance in Islam, terj. Heru Prasetia, Cita dan Fakta

Toleransi Islam: Puritanisme vs Pluralisme (Bandung: Mizan, 2003), h. 24.

57Abdurrahman Wahid (ed.), Ilusi Negara Islam, h. 44.

Vol. 5, No. 1, Juli 2019 Jurnal Pemikiran Islam

~18~

Indonesia dapat dilihat pada acara adat yang disisipi dengan pembacaan Al-Qur’an,

shalawat, dan do’a dengan berbagai variannya. Selain itu dapat dilihat pada arsitektur

mesjid, kaligrafi, dan tarian. Bahkan syariat telah menjadi falsafah hidup dalam konsepsi

sosial masyarakat lokal. Kedua, akulturasi Islam dan budaya lokal di Indonesia terjadi

karena Islam memiliki sisi universalitas yang akomodatif terhadap budaya lokal, sehingga

muncullah kosmopolitanisme budaya dalam Islam. Kemudian bertemu dengan budaya

lokal nusantara yang membutuhkan afiliasi dan mendapat dukungan sosial untuk

berkembang. Ketiga, akulturasi Islam dan budaya lokal di Indonesia menghasilkan

praktik Islam lokal yang berimplikasi pada munculnya tiga paham keislaman, yaitu Islam

tradisionis yang akomodatif terhadap budaya lokal, Islam modernis yang kurang

akomodatif terhadap praktik Islam lokal yang mempengaruhi akidah, dan Islam puritan

yang menganggap praktik Islam lokal sebagai bid’ah.

Berdasarkan kesimpulan tersebut, kajian ini berimplikasi pada: Pertama, analisis

yang digunakan dalam menyikapi akulturasi budaya sebaiknya mengutamakan perspektif

sejarah perkembangan Islam di Indonesia, karena dalam proses Islamisasi di Indonesia

tidak berjalan satu arah, tetapi banyak arah atau melalui berbagai macam pintu. Pintu-

pintu itu, misalnya melalui kesenian, pewayangan, pernikahan, pendidikan, perdagangan,

aliran kebatinan, mistisisme dan tasawuf. Ini semua menyebabkan terjadinya kontak

budaya yang sulit dihindari sehingga unsur-unsur budaya lokal masuk dalam proses

Islamisasi di Indonesia. Kedua, Islam bukan hanya membicarakan ketuhanan saja, tetapi

yang tidak kalah pentingnya adalah mengandung ajaran peradaban yang lengkap. Oleh

karena itu, perlu dilakukan Islamisasi budaya dalam praktik Islam lokal demi menjaga

kemurnian ajaran Islam tanpa menghilangkan unsur budaya lokal. Makna filosofis dalam

simbol ritual acara dan upacara adat harus dimaknai sesuai dengan Islam. Ini merupakan

upaya pemurnian akidah dengan tetap mengakomodasi budaya lokal. Ketiga, ada empat

aspek yang perlu dikedepankan dalam memosisikan Islam (praktik ke-Islaman), yaitu

syariat, historis, kajian ilmu, dan budaya. Umumnya muslim harus bertentangan karena

keliru dalam memosisikan suatu praktik ke-Islaman. Misalnya, praktik kebudayaan Islam

dibahas dan dimasukkan ke ranah syariat. Selain itu, kultur dan struktur politik Islam

masa lalu yang mestinya berada pada wilayah historis dimasukkan ke ranah syariat.

DAFTAR PUSTAKA

Amin, Samsul Munir. Sejarah Peradaban Islam (Cet. II; Jakarta: Amzah, 2010).

Arif, Syaiful. Deradikalisasi Islam: Paradigma dan Strategi Islam Kultural (Jakarta: Koekoesan, 2010).

Azra, Azyumardi. Syari’at Islam dalam Bingkai Nation State (Jakarta: Paramadina, 2004).

_________. Agama dan Otentisitas Islam (Jakarta: Paramadina, 2004).

_________. Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII: Akar Pembaharuan Islam Indonesia (Jakarta: Kencana, 2007).

Berry, Jhon W. “Acculturation: Living Successfully in Two Cultures”, International Journal Of Intercultural Relations 2 No. 9 (2005).

Jurnal Pemikiran Islam Vol. 5, No. 1, Juli 2019

~19~

Budiwanti, Erni. Islam Sasak (Yogyakarta: LKis, 2000).

Departemen Agama RI. Al-Qur’an dan Terjemahnya (Jakarta: Pustaka Assalam, 2010).

Departemen Pendidikan Nasioal RI. Kamus Besar Bahasa Indonesia - Edisi Keempat (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008).

El Fadl, Khaled Abou. The Great theft: wrestling Islam from the extremists. Terj. Helmi Mustofa, Selamatkan Islam dari Muslim Puritan (Jakarta: Serambi, 2007).

_________. The Place of Tolerance in Islam, terj. Heru Prasetia, Cita dan Fakta Toleransi Islam: Puritanisme vs Pluralisme (Bandung: Mizan, 2003).

Geertz, Clifford. The Relegion of Java (Chicago: The University Of Chicago Press, 1996).

Hamka. Islam: Rahmah untuk Bangsa (Jakarta: Wahana Semesta Intermedia, 2009).

Kumalasari, F., dan L. N. Ahyani. “Hubungan Antara Dukungan Sosial dengan Penyesuaian Diri Remaja di Panti Asuhan”, Jurnal Psikologi Pitutur 1, no.1 (Juni 2012).

Kuntowijoyo. Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi (Bandung: Mizan, 2001).

Lawrence, Bruce. The Quran: A Biography. Terj. Aditya Hadi Pratama, Al-Qur’an: Sebuah Biografi (Bandung: Semesta Inspirasi, 2008).

Madjid, Nurcholis. Islam, Doktrin dan Peradaban (Jakarta: Yayasan Paramadina, 2002).

Maridjan, Kacung. Quo Vadis NU Setelah Kembali ke Khittah 1926 (Jakarta: Erlangga, 2002).

Mattulada. Latoa: Suatu Lukisan Analitis Terhadap Antropologi Politik Orang Bugis (Yogyakarta: Gadjahmada University Press, 1985).

Nasr, Seyyed Hossein. Islam Tradisi di Tengah Kancah Dunia Modern (Bandung: Penerbit Pustaka, 2004).

Nata, Abuddin. Peta Keberagaman Pemikiran Islam di Indonesia (Jakarta: Raja Grafindo Persada: 2001).

Noer, Deliar. Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942 (Jakarta: LP3ES, 1992).

Nugroho, Raden Arief, dan Valentina Widya Suryaningtyas. Akulturasi Antara Etnis Cina dan Jawa: Konvergensi atau Divergensi Ujaran Penutur Bahasa Jawa? (Yogyakarta: Andi Ofset, 2010).

Al-Qarḍāwī, Yūsuf. Al-Khaṣāiṣ al-‘Āmiyah al-Islām (Beirut: Dār al-Fikr, 1993).

_________. Madkhāl li al-Dirāsah al-Islāmiyyah (Beirut: Dār al-Fikr, 1993).

Rahardjo, M. Dawam. Paradigma Al-Quran: Metodologi Tafsir dan Kritik Sosial (Jakarta: PSAP Muhammadiyah, 2005).

Rinjani, Hefrina, dan Ari Firmanto. “Kebutuhan Afiliasi dengan Intensitas Mengakses Facebook pada Remaja”, Jurnal Ilmiah Psikologi Terapan 1, no. 01 (Januari 2013).

Rohmanu, Abid. “Puritanisme dan Masa Depan Pluralisme di Indonesia: Upaya Mewaspadai Gerakan Islam Transnasional di Indonesia”, dalam http://www.alwishihab.com/inspirasi/2014/9/21/alwi-abdurrahman-shihab-promoting-islam-with-compassion-1 (Diakses 14 April 2018).

Shihab, M. Quraish. Membumikan Al-Quran: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat (Bandung: Mizan, 2007).

Vol. 5, No. 1, Juli 2019 Jurnal Pemikiran Islam

~20~

Sjamsuddhuha. Corak dan Gerak Hinduisme dan Islam di Jawa Timur (Surabaya: CV. Suman Indah, 2000).

Sunanto, Musyrifah. Sejarah Peradaban Islam Indonesia (Jakarta: Rajawali Pers, 2010).

Turmudi, Endang, dan Riza Sihbudi (ed.). Islam dan Radikalisme di Indonesia (Jakarta: LIPI Press, 2005).

Wahid, Abdurrahman. Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah (Jakarta: Yayasan Paramadina, 2004).

_________. Pribumisasi Islam dalam Islam Indonesia: Menatap Masa Depan (Jakarta: P3M, 1999).

_________. Ilusi Negara Islam: Ekspansi Gerakan Islam Transnasional di Indonesia (Jakarta: The Wahid Institute, 2009).

Woodward, Mark R. Islam Jawa: Kesalehan Normatif Versus Kebatinan (Yogyakarta: LKiS, 2012).

Yustion, dkk. Islam dan Kebudayaan Indonesia: Dulu, Kini, dan Esok (Jakarta: Yayasan Festival Istiqlal, 1993).

Zada, Khamami, dkk. Islam Pribumi: Mencari Wajah Islam Indonesia (Jakarta: Lakpesdam, 2003).