Iwan Simatupang

41
IWAN SIMATUPANG Iwan Martua Dongan Simatupang, lebih umum dikenal sebagai “”Iwan Simatupang”” (lahir di Sibolga , 18 Januari 1928 meninggal di Jakarta , 4 Agustus 1970 pada umur 42 tahun) adalah seorang novelis , penyair , dan esais Indonesia [1] . Ia belajar di HBS di Medan , lalu melanjutkan ke sekolah kedokteran (NIAS) di Surabaya tapi tidak selesai. Kemudian belajar antropologi di Universitas Leiden (1954-56), drama di Amsterdam, dan filsafat di Universitas Sorbonne, Paris , Perancis pada Prof. Jean Wahl pada 1958. [2] [3] Ia pernah menjadi Komandan Pasukan TRIP dan ditangkap pada penyerangan kedua polisi Belanda di Sumatera Utara (1949) [2] ; setelah bebas, ia melanjutkan sekolahnya sehingga lulus SMA di Medan. Ia pernah menjadi guru SMA di Surabaya, redaktur Siasat, dan terakhir redaktur Warta Harian (1966-1970). [2] . Tulisan- tulisannya dimuat di majalah Siasat dan Mimbar Indonesia mulai tahun 1952. Pada mulanya ia menulis sajak , tapi kemudian terutama menulis esai , cerita pendek , drama dan roman . Sebagai pengarang prosa ia menampilkan gaya baru, baik dalam esainya, maupun dalam drama, cerita pendek dan terutama dalam romannya; dengan meninggalkan cara-cara konvensional dan alam pikiran lama. Jalan cerita dan penampilan watak dalam semua karangannya tidak lagi terikat oleh logika untuk sampai kepada nilai-nilai baru yang lebih mendasar. [4] Karya novel yang terkenal Merahnya Merah (1968) mendapat hadiah sastra Nasional 1970, [2] dan Ziarah (1970) mendapat hadiah roman ASEAN terbaik 1977. “Ziarah” merupakan novelnya yang pertama, ditulis dalam sebulan pada tahun 1960; diterbitkan di Indonesia pada 1969. Pada 1972, “Kering”, novelnya yang ketiga diterbitkan. [2] ”Kooong” (1975) mendapatkan Hadiah Yayasan Buku Utama Department P Dan K 1975. Pada tahun 1963, ia mendapat hadiah kedua dari majalah Sastra untuk esainya “Kebebasan Pengarang dan Masalah Tanah Air”. [5] Menurut Benedict Richard O’Gorman Anderson, Iwan Simatupang dan Putu Wijaya merupakan dua orang penulis fiksi yang berpengaruh dari Indonesia sejak kemerdekaan dan keduanya

Transcript of Iwan Simatupang

IWAN SIMATUPANG

Iwan Martua Dongan Simatupang, lebih umum dikenal sebagai “”Iwan Simatupang”” (lahir di Sibolga, 18 Januari 1928 – meninggal di Jakarta, 4 Agustus 1970 pada umur 42 tahun) adalah seorang novelis, penyair, dan esais Indonesia [1] . Ia belajar di HBS di Medan, lalu melanjutkan ke sekolah kedokteran (NIAS) di Surabaya tapi tidak selesai. Kemudian belajar antropologi di Universitas Leiden (1954-56), drama di Amsterdam, dan filsafat di UniversitasSorbonne, Paris, Perancis pada Prof. Jean Wahl pada 1958.[2][3] Ia pernah menjadi Komandan Pasukan TRIP dan ditangkap pada penyerangan kedua polisi Belanda di Sumatera Utara (1949)[2]; setelah bebas, ia melanjutkan sekolahnya sehingga lulus SMA di Medan. Ia pernah menjadi guru SMA di Surabaya, redaktur Siasat, dan terakhir redaktur Warta Harian (1966-1970). [2]. Tulisan-tulisannya dimuat di majalah Siasat dan Mimbar Indonesia mulai tahun 1952.

Pada mulanya ia menulis sajak, tapi kemudian terutama menulis esai, cerita pendek, drama dan roman. Sebagai pengarang prosa ia menampilkan gaya baru, baik dalam esainya, maupun dalam drama, cerita pendek dan terutama dalam romannya; dengan meninggalkan cara-cara konvensional dan alam pikiran lama. Jalan cerita dan penampilan watak dalam semua karangannya tidak lagi terikat oleh logika untuk sampai kepada nilai-nilai baru yang lebih mendasar. [4]

Karya novel yang terkenal Merahnya Merah (1968) mendapat hadiah sastra Nasional 1970,[2] dan Ziarah (1970) mendapat hadiah roman ASEAN terbaik 1977. “Ziarah” merupakan novelnya yang pertama, ditulis dalam sebulan pada tahun 1960; diterbitkan di Indonesia pada 1969. Pada 1972, “Kering”, novelnya yang ketiga diterbitkan.[2]”Kooong” (1975) mendapatkan Hadiah Yayasan Buku Utama Department P Dan K 1975. Pada tahun 1963, ia mendapat hadiah kedua dari majalah Sastra untuk esainya “Kebebasan Pengarang dan Masalah Tanah Air”.[5] Menurut Benedict Richard O’Gorman Anderson,Iwan Simatupang dan Putu Wijaya merupakan dua orang penulis fiksiyang berpengaruh dari Indonesia sejak kemerdekaan dan keduanya

memiliki kelekatan yang kuat dengan realisme gaib (“magical realism”).

Daftar KaryaBerikut adalah karya-karya Iwan Simatupang: [1]

Bulan Bujur Sangkar – drama (1960) Petang di Taman – drama sebabak (1966, judul asli Taman,

diubah penerbit menjadi Petang di Taman) RT Nol /RW Nol – drama sebabak (1966) Merahnja merah – novel (1968) Ziarah – novel (1969)

o The Pilgrim – terjemahan bahasa Inggris oleh Harry Aveling (1975)

Kering – novel (1972) o Drought – terjemahan bahasa Inggris oleh Harry Aveling

(1978) Kooong: kisah tentang seekor perkutut (1975) Tegak lurus dengan langit: lima belas cerita pendek (1982,

penyunting: Dami N. Toda) Surat-surat politik Iwan Simatupang, 1964-1966 (1986,

penyunting: Frans M. Parera) Sejumlah Masalah Sastra – kumpulan esai (1982, penyunting:

Satyagraha Hoerip) Ziarah – novel (1983)

o Ziarah – terjemahan bahasa Perancis (1989) Poems – selections (1993) Square moon, and three other short plays – terj. John H.

McGlynn (1997) Ziarah malam: sajak-sajak 1952-1967 – penyunting: Oyon

Sofyan, S. Samsoerizal Dar, catatan penutup, Dami N. Toda (1993)

Kebebasan pengarang dan masalah tanah air: esai-esai Iwan Simatupang, editor, Oyon Sofyan, Frans M. Parera (2004)

Iwan Simatupang Pembaharu Sastra Indonesia (Korrie Layun Rampan, ed), Yayasan Arus, 1985

StudiStudi terhadap karya-karya Iwan Simatupang dilakukan oleh

Dami N. Toda dalam Novel Baru Iwan Simatupang – sajak (1980) Korrie Layun Rampan dalam Iwan Simatupang Pembaharu Sastra

Indonesia – kumpulan esai (1985) Okke K. S. Zaimar dalam Menelusuri Makna Ziarah Karya Iwan

Simatupang – sajak (1991) Kurnia J. R. Dalam Inspirasi? Nonsen! Novel-novel Iwan

Simatupang – sajak 1999)

Rujukan1. ^ a b (Indonesia) Rampan, Korrie Layun. Leksikon Susastra

Indonesia. Balai Pustaka, 2000, Jakarta. Halaman 220. ISBN 979-666-358-9.

2. ^ a b c d e Aveling, Harry (1990). “Book Review of Surat-suratPolitik Iwan Simatupang, 1964-1966 (Political Letters of Iwan Simatupang, 1964-1966)”. Journal of Southeast Asian Studies (Cambridge University Press on behalf of Department of History, National University of Singapore) 21 (2): 430–432. JSTOR 20071202.

3. ̂ Bodden, Michael; McGlynn, John H., ed. (2010). The Lontar anthology of Indonesian drama. Jakarta, Indonesia: Lontar. ISBN 979-8083-72-5.

4. ̂ (Indonesia) Simatupang, Iwan. Kooong. Pustaka Jaya, 1975, Jakarta. Sampul Belakang

5. ̂ Eneste, Pamusuk (2001). Buku pintar sastra Indonesia : biografi pengarang dan karyanya, majalah sastra, penerbit sastra, penerjemah, lembagasastra, daftar hadiah dan penghargaan. Jakarta: Penerbit Buku Kompas. Hlm. 113. ISBN 979-9251-78-8.

Kategori:

Tanggal kelahiran 18 Januari Kelahiran 1928 Tanggal kematian 4 Agustus Kematian 1970 Meninggal usia 42 Tokoh Batak Tokoh dari Sibolga Sastrawan Indonesia Marga Simatupang Tokoh Angkatan 66

Iwan Simatupang sebagai Pembaharu Sastra Indonesia TUGAS KELOMPOK MERINGKAS BUKU “IWAN SIMATUPANG SEBAGAI PEMBAHARU

SASTRA INDONESIA”

(Kelas N PBSI 2010)

Anggota Kelompok I :

Dhesi Jayanti             10201244056

Nadia Ayu P              10201244073

Ade Rakhma N.S      10201244080

Ayu Siti R                  10201244087

NOVEL-NOVEL IWAN SIMATUPANG PERGUMULANNYA ATAS AJAL

            Merahnya Merah, Ziarah, Kering, dan, Kooong; Novel-novelIwan Simatupang terkesan berisi obsesi Iwan terhadap ajal, versusmaut, kematian, m-a-t-i. Seluruh konflik yang ia taburkan baik denganhumor-lewat tokoh apa saja di kempat novelnya tadi itu, merupakanpergumulannya melawan ajal. Dalam Ziarah setidaknya 10 kali kematiandisebutkan, Koong 3 kali, Kering 10 kali, dan Merahnya Merah 15 kali.

Semua itu tidak lepas dari kematian istrinya, betapa besarkecintaannya pada Corry-istrinya. Wafatnya Corry inilah, agaknyagenesis dari keempat novel tersebut.

             Bekas pelukis dalam Ziarah, setelah istrinya meninggalentah berapa lama yang silam. Ia kemudian terdorong ke berbagaipengalaman, pergumulan batin, sehingga pada suatu malam, di pekuburan,tatkala ia meneriakkan dengan amat nyaringnya, “SAYA MENCINTAI ISTRISAYA-A-A!”. Itu layaknya proklamasi Iwan Simatupang sendiri kepadadunia.

TEGAK LURUS DENGAN LANGIT- CERPEN-CERPEN IWAN SIMATUPANG YANGMEMPESONA

Tegak Lurus dengan Langit merupakan kumpulan cerpen Iwan Simatupangyang dikumpulkan oleh Dami N.Toda. Di dalam berisi 15 cerpen,diantaranya; Lebih Hitam dari Hitam, Monolog Simpang Jalan, TanggapanMerah Jambu terhadap Revolusi, Tegak Lurus dengan Langit, dan lain-lain. Cerpen-cerpennya ini hampir keseluruhannya mipip esai, karenadia pada mulanya adalah penulis esai. Cerpen-cerpenya yang pekat,tidak menarik karena kisahnya, tetapi menarik karena ide-idenya.Komitmen Iwan dengan masalah sosial masyarakatnya cukup besar, dansebenarnya itlah yang dikemukakannya dalam karya-karyanya yangavantgarde, yang memang mendahului zamanya.

IWAN SIMATUPANG PEMBAHARU SASTRA INDONESIA

Cerpen-cerpen Iwan Simatupang adalah jarak dan unik dalam duniapercerpenan di Indonesia. Mana ada cerpen Indoonesia sedalam danseintens cerpen Iwan dalam memasuki dunia jiwa tokoh-tokohnya. Dalamhal bahasa Iwan juga seorang master. Cerpen-cerpenna memilikiaktualitas sendiri serta mengundang studi yang luas karenakekayaannya.

IWANSIMATUPANG DAN SURAT-SURATNYA:KELAHIRAN NOVEL BARU

Sebagai seorang pengarang, surat-surat Iwan yang demikian banyaknyaitu, terutama ditujukan kepada H.B.Jassin yang telah dilakukan sejaktahun 1952 banyak sekali menungkapkan sikap atau pandangan hidupsebagai literer Iwan. Termasuk pergulatan, kegelisahan, pencahariannya

dan lain-lain. Nada bicaranya tegas, to the point dan berani. Seringpula berisi keluhan.

BEBERAPA CATATAN TENTANG PEMBAHARUAN IWAN SIMATUPANG DALAM PENOKOHANDAN TEMA

            Iwan Simatupang memperlihatkan bahwa alur Iwan yang anti alur; gaya yang puitis dan esais; serta latar belakang yang indiferen merupakan akibat dari temannya yang berstruktur ganda serta tokohnya yang personality incomplete.

            Iwan dalam esainya “Sastra dan 2 x Manipulasi” mengatakan bahwa sastra bukan melahirkan konsepsi, tetapi dilahirkan dan konsepsitertentu. Dan memang novel Iwan melahirkan tokoh-tokoh eksistensial, yakni orang-orang yang bergelut dengan permasalahan modus keberadaannya baik pilihan itu ditanggapi secara sadar maupun yang terhanyut di dalam kehidupan begitu saja. Iwan tampak mencakup kedua pola itu sekaligus. Misalnya saja di dalam Ziarah.

            Pada novel-novel Iwan, tema memiliki struktur bersusun. Jika kita membandingkan dengan tema yang diketengahkan dalam karya-karya sastra sebelum Iwan, maka tampaklah bahwa dalam hal tema Iwan telah membuka suatu wilayah baru. Memberikan suatu kemungkinan lain. Ini terlihat, jika sastra di masa sebelumnya banyak mengetengahkan masalah sosiologis-kultural. Kemudian masa berikutnya mulai menggarap permasalahan kejiwaan dan pemikiran. Iwan membuka dimensi baru dengan membuka pertanyaan pada problema metafisis. Inilah sumbangan dan tantangan Iwan bagi kesusasteraan kita selanjutnya.

FUNGSI PUITIK ALUR DALAM KOMEDI SEBARAK “PETANG DI TAMAN” *) KARYAIWAN SIMATUPANG

            Kedudukan Iwan Simatupang dalam khazanah kesusasteraan Indonesia sangat terhormat. Dengan novel-novelnya: Merahnya Merah (1968),

Ziarah (1969), dan Kering (1972). Beberapa pengamat sastra mempredikati ketiga novel itu sebagai nouveau roman.

            Rangkaian kejadian dalam PDT tidak berputar pada satu persoalan inti yang dikelilingi oleh persoalan-persoalan tambahan. Seluruh rangkaian kejadian dalam PDT membeberkan beberapa persoalan yang kadang-kadang tidak saling berhubungan sama sekali.

            Irama alur inilah yang akan menentukan daya tarik alur PDTini. Tanpa irama alur yang hidup, alur PDT ibarat perkembangan garis mendatar yang tunggal nada, monotone, dan membosankan.

            Orientasi PDT ini terlukis pada tempat dan alat yang terlihat pada kata “taman” dan “bangku”. Juga terdapat orientasi tokoh. Orientasi yang dilukiskan PDT dengan dua buah petunjuk pentas tersebut sudah cukup padat.

F. WIDYASTANTO

SIAPA MAU MENYUSUL EKSISTENSIALIS DARI SIBOLGA?

            Iwan Martua Dongan Simatupang. Kehadirannya menjadi berharga. Nama seperti Chairil atau Pram dengan mudah orang temukan sebagai monumen klasik dalam perjalanan sastra. Tetapi jenis novel seperti Merahnya Merah (1969) atau Ziarah atau Kering yang ketiganya bermain dalam satu mata rantai; lalu juga Kooong yang diterbitkan posthumous.

            J.P. Sartre telah menempatkan diri pada kesadaran akhir dari apa yang mampu diserap oleh manusia masa sekarang. Di tengah gelombang kemajuan ilmu dan teknologi. Ilmu dan kemampuan tinggi dari intelegensi manusia seakan telah mampu menjerit dan makan umat manusiaitu sendiri. Tingkat nafsu hegemoni politik dan ekonomi telah memuncaksedemikian dahsyat, sehingga pada gilirannya nilai yang paling asasi dalam kebudayaan dan peradaban lenyap ditelan oleh kegilaan.

            Anomalie dalam diri dan sejarah hidup Iwan Simatupang hanya bisa dipahami dari titik tolak ini. Tetapi dilihat dari sebuah perspektif budaya dan sejarah, maka pergulatan Iwan untuk menangkap diri, merumuskan dan menghadirkannya sebagai "iwan”, sebagai aku dan subyek.

Upaya semacam itulah mengandung nilai heroik dan benar atas harga dirikesadaran yang semakin tua dari masa sekarang.

            Ketidakmampuannya untuk meloncat dari jabatan gairah individual telah memaksanya seolah menjadi semakin parah dan remuk pada dataran kesadaran itu.

 “TAMAN” IWAN SIMATUPANG

            Bagian pembukaan drama ini menyajikan beberapa problema yang menarik; beberapa konstatasi, perwatakan dan segi kejiwaan kefisikan sebuah karya literer. Drama ini menyajikan ide pokok tentangkehadiran. Settingnya mencerminkan sebuah pola gagasan tentang keberadaan. Taman adalah milik umum-kecuali taman di rumah sendiri-semacam firdaus kecil yang  menerima kehadiran entah siapa, entah kapan, dengan problema apa, dengan masalah bagaimana, dengan keisenganatau kemestian.

IWAN SIMATUPANG:KERAKYATJELATAAN UNIVERSAL NOVEL BARU INDONESIA

             Faktor  ketidaksengajaan seringkali menentukan dalam proses penulisan karya karya Iwan. Iwan sangat menyukai gaya bahasa yang padat , yang terkadang menimbulkan kesan kaku pada rasa kalimatnya.Misalnya, kita baca kalimat-kalimatnya yang terakhir dalam novelnya Ziarah yang  di terbitkan PT Gunung Agung, Jakarta, tahun 1969, pada halaman 197.

            “Tiap langkahku menginjak perkuburan tertentu dari mayat-mayat tertentu di bumi yang bersejarah telah jutaan tahun. Iwan Simatupang adalah penuis yang unik.Ia manususia yang banyak mengandungkontradiksi dan kompleksitas yang tidak kepalang. Penggunaan bahasa dari Iwan bukan sekedar sebagai alat penyampai atau penghantar isi pikiran atau dipergunakan sebagai “tunggangan” dari ide-idenya belaka.

            Ada dua masalah besar yang masih harus dihadapi oleh Iwan Simatupang  yaitu: 1.Bagaimana ia menyuguhkan ide-idenya yang merupakan pengalaman batin dan kekayaan ideologisnya sanggup tampil ayau lahir dalam bentuk literer. 2.Bagaimana ia sanggup memberikan karya karya yang semakin baik, semakin bobotnya bertambah dan selalu

relevan dengan persoalan persoaln terpenting bagi kehidupan masyarakatnya.

            Iwan selalu menyongsong dengan positif setiap tokoh pemberontakan, rebeli, revoltan, yang bergerak menghabiskan hidupnya untuk manusia lain, untuk masyarakat jelata sekarang dan masyarakat jelata zaman yang akan datang.Peristiwa dan masalah sentral karya Iwanadalah selalu masyarakat menderita,  masyarakat jelata.

            Aliran Iwan Simatupang hanyalah Iwan Simatupang sendiri.Latar belakang hidupnya sangat kompleks dan luar biasa luas pengembaraan pemikiran dan ide-idenya.

IWAN SIMATUPANG DAN TRAGEDINYA

Kegagalan Iwan Simatupang

           Dari surat pribadi Iwan yang ditulisnya tanggal 12 Desember1968(dari Hotel Salak Bogor H.B. Jasin), terpancar suatu pernyataan rasa menyesal Iwan Simatupang terhadap kegagalannya untuk memenuhi tuntutan orang tuanya.Harapn orang tuanya ialah agar Iwan Simatupang menjadi seorang dokter.

Masalah Keagamaan

          Tragedi yang kedua yang dialami Iwan ialah sekitar masalah agama.Iwan sebelumnya adalah seorang muslim yang patut dan taat menjalankan ibadah.Kemudian ia beragama Katholik sejak terlibat perdebatan sengit di Surabaya.Penyesalan Iwan Simatupang bukan masalahKatholik atau Islam itu sendiri.Yang menjadi masalah baginya adalah jalan yang brsimpang dua dengan orang tuanya.Ia memilih Katholik sebagai pegangan terakhir bukanlah suatu yang dipaksakan kepadanya, bukan pula suatu pelarian, tetapi memang melalui kesadaran yang disertai oleh pertimbangan yang sehat.

Kematian Istri

           Sejak kematian istrinya, Iwan selalu sakit, dan penyakit itu selalu dating setiap bulan Desember.Sebagai akibatnya Iwan mengalami frustasi yang cukup hebat.Maka mulailah Iwan menekuni

kertas-kertas untuk menulis novel. Kisah tentang kematian  istri ini sepenuhnya terbias dalam novel Ziarah.

“MERAHNYA MERAH”

SEBAGAI CERMIN ORISINALITAS IWAN

          Karya-karya Iwan Simatupang merupakan suatu gejala yang pernah mengagetkan konsumennya, mengagetkan konsumennya , mengagetkan kehidupan kesusastraan kita secara keseluruhannya.   Struktur novel Iwan sama dengan struktur novel kesadaran baru yang hidup di barat sana.Cerita dalam novel Merahnya Merah itu sendiri memperlihatkan suatu proses.Tahap pertama dalam kehidupan Tokoh Kita adalah tahap penentuanakan mutlaknya suatu nilai yang dipilih dan dihayatinya.Namun demikian, novel ini berbeda dengan novel transisi, sebab di dalamnya hanya ada satu tokoh utama. Tokoh Fifi, Pak Centeng, Maria, memamng mempunyai pencarian nilainya sendiri-sendiri, yang berkonflik dengan dunia gelandangan yang penuh dengan ketidakpastian itu.

            Novel Iwan seluruhnya, termasuk strukturnya, beranjak daristruktur batin Iwan sendiri yang dicetak oleh lingkungan masa colonialdan masa sesudahnya.Individulisme yang melatarbelakangi sosialisasi dirinya mencetak struktur novel yang berciri pencarian.Iwan adalah tukang baca.Adanya pengaruh-pengaruh  dari karya-karya barat tidak dapat dipungkiri.

KEBUDAYAAN KELONTONG MERAMBAH MASYARAKAT DESA

             Sastrawan Gerson Poyk pada sekitar lima tahun yang lalu (yang dimaksud adalah tahun 1975) pernah merisaukan tentang keadaan masyarakat Indonesia yang sudah kejangkitan barang-barang kelontong.Yaitu barang-barang luks yang ditawarkan lewat iklan pada media massa cetak ataupun elektronik dengan cara yang teramat mempesona.Sebenarnya apa yang dirisaukan oleh Gerson Poyk sudah lebih dulu pernah dirisaukan Iwan Simatupang.Pada tahun 1968 Iwan Simatupangtelah menulis novel berjudul Kooong

KEBUDAYAAN KELONTONG

         Kekayaan yang diterima secara mendadak sontak memang tidak saja mengejutkan, tetapi juga mengagetkan mental yang menerima

kekayaan itu secara tiba-tiba.Hal demikian ini oleh Iwan Simatupang diamati secara teliti.Iwan Simatupang menilai bahwa kebudayaan kelontong telah masuk dan dimasukkan ke desa.

NOVEL-NOVEL IWAN SIMATUPANG: EKSPERIMEN YANG BERHASIL

            Iwan Simatupang telah membawa kita dalam dunia yang penuh absurditas. Gagasan-gagasan dalam novelnya memberikan suatu sistem yang mengandung arti ketidakpastian. Hal tersebut dilakukan Iwan untukmelakukan eksperimen dalam usahanya mengekploitasi kemungkinan potensial karya sastra yang bergenre novel.

            Kemungkinan potensial lain yang tak luput dari penganamatan Iwan adalah unsur setting/ latar, dan image-image simbolik lewat penamaan tokoh,serta penulisan ejaan.

IWAN SIMATUPANG SASTRAWAN INDONESIA

            Iwan tergolong jenis manusia yang menjadi terkenal, justrusetelah ia tiada.”Hidup Iwan laksana sebuah simfoni yang tak terselesaikan,” ungkap Menteri Frans Seda pada saat menghadiri upacarapemakaman Iwan.

            Tanggapan pada novel Merahnya-merah adalah ceritanya efektif karena menggunakan unsur tertentu, seperti ironi. Tanggapan pada novel Ziarah adalah berhasil mengungkapkan segala pikiran, persepsi tokoh mengenai kemanusiaan yang membukakan kesempatan interpretasi yang luas. Tanggapan pada novel Kering adalaah merupakan novel kritik sosial yang paling tajam diantara karya yang lain.

            Iwan menulis secara sangat filosofis dan psikologis. Di mana Iwan memiliki khas tulisan yang abstrak, kontraditif, nasionalistis, terlibat, idealistik, humoristik, dan gaya bahasa yang kuat. Iwan selalu menunjukkan solidaritas dengan rakyat biasa. Iwan diaggap sebagai pembaharu dalam sastra Indonesia.

IWAN SIMATUPANG (1928-1970) MANUSIA HOTEL SALAK KAMAR 52

            Iwan memiliki gagasan bahwa Indonesia saat ini adalah MENCIPTA. Protes atau pemberontakan, lalu-lalang dalam novel Iwan,

berupa gabungan antara rasa iba pada diri sendiri, sunyi, takut, merana, dan sebagainya.

            Secara keseluruhan, yang menonjol dalam karya sastra Iwan adalah keasadaran melihat manusa itu dalam nilainya yang serba nisbi.

Iwan Simatupang, Sartre IndonesiaOleh : Sigit Susanto | 28-Des-2006, 17:21:41 WIB

Judul: Esai-Esai Iwan SimatupangPenulis: Iwan Simatupang Cetakan: I (Oktober 2004)Penerbit: Buku Kompas Tebal: 366 hal

Membaca karya sastra dalam bentuk novel, puisi, teater, atau cerpen, kita lebih sering dihadapkan pada imajinasi seni penulisnya. Dengan kata lain seluruh kekuatan seni menulis, gaya bahasa, pilihan tema menjadi prioritas. Sebaliknya pada penulisan esai, imajinasi seni sering tidak dikedepankan lagi, melainkan lebih mengutamakan wawasan, pengalaman, pandangan politik, dan sosial dari penulis bersangkutan. Faktor lain yang tak kalah penting pada penulisan esai adalahmengikuti secara intensif berita teraktual yang sedang beredar di masyarakat. Kualitas esai sering pula dinilai daribagaimana esais mampu mengaplikasikan antara tema yang dipilih dengan banyak referensi buku bacaan.

Schopenhauer menyebutnya, membaca ibarat berpikir dengan menggunakan kepala orang lain. Akan tetapi Nietzsche justru berseberangan dengan argumen, orang-orang yang banyak belajardan bekerja dengan baik, maka tak perlu membaca lagi. Pada buku “Esai-Esai Iwan Simatupang” ini, Iwan menulis 44 esai yang secara garis besar terbagi dalam tiga bagian. Bagian I: Masa Menjadi Guru SMU (1950-1955). Bagian II: Masa di Eropa (1955-1959). Bagian III: Masa Menulis Novel (1960-1970)  Buku setebal 366 halaman ini cukup menantang. Setidaknya untuk mengintip pandangan-pandangan seorang Iwan terhadap

dunia sastra pada umumnya. Novel-novel Iwan, seperti: “Ziarah” “Kering”, dan “Merahnya Merah” bisa kita anggap sebagai ciptaan imajinasi seni Iwan.  Pada esai-esai ini pembaca disodori sumpah serapah, emosional serta niveau intelektual seorang pengarang yang kritis. Kalau orang membicarakan kepengarangan Iwan, sering dikaitkan dengan gayabahasanya yang berbeda dengan pengarang sezamannya. Atau kepengarangannya sering pula diparalelkan dengan tokoh eksistensialisme Perancis, Sartre atau Camus. Pada esai berjudul “Sartre dan Konsekuensi” (hal:75), Iwan tampak habis-habisan mendudukkan persoalan seorang Sartre yang dianggap hanyalah sebagai Ecce homo. Keterlibatan Sartre pada Partai Komunis Perancis, serta kesalahan tentara Rusia menduduki Hongaria, tak bisa dinilai secara separuh-separuh. Istilah yang dipakai Iwan harus dinilai secara totalitet. Kalau tidak ingin pincang menemukan sosok Sartre sebagai filosof. Pada esai itu disebutkan keretakan hubungan antara Sartre danCamus dipicu lahirnya buku Camus berjudul “L`Home révolté”.

Polemik Sartre-Camus dilangsir oleh jurnal  “Les Modernes Temps”. Jurnal yang didirikan oleh Sartre sendiri dan lebih banyak menganalisis hasil pemikirannya. Pada jurnal tersebut Camus mengakhiri perpisahannya dengan mengucapkan, “Adieu, Monsieur le Directuur”-Bien, Bien.” Sartre menjawab, “Au revoir, Monsieur Camus.” Iwan pada esai ini tidak banyak menyinggung Camus. Justru ketertarikan Sartre pada marxisme, dibela oleh Iwan dengan membandingkan ketertarikan awal Dostojewsky pada sosialisme. Pada buku Sartre “L`Existentialisme est un humanisme” (Eksistensialisme AdalahHumanisme), Sartre menyitir pula pandangan Dostojewsky yang menyebut, “Bila Tuhan tidak ada, semuanya bisa dibebaskan.” Pandangan Dostojewsky tersebut bagi Sartre dianggap sebagai jalan keluar pemikiran eksistensialisme. Pada prinsipnya manusia terlempar ke dunia tanpa harus punya rasa beban bersalah. Sebaliknya mereka harus bebas. Sebab masa depan manusia terletak pada manusia itu sendiri. Mereka bisa dan harus mandiri. Di sini letak perbedaan sekaligus persamaan teori marxisme dengan eksistensialisme. Marxisme mengajak manusia menentukan masa depannya dengan kekuatan kolektif

kaum proletar seluruh dunia. Artinya kaum proletar lah yang dapat dan harus mengubah sistem untuk masa depannya. Sebaliknya eksistensialisme menawarkan kemandirian menatap masa depan dimulai dari diri sendiri secara individu. Niscayabila setiap individu sudah mampu mandiri, dengan sendirinya masyarakat bisa mengurus dan menjawab beban hidupnya di dunia.  Sebaliknya Camus menyebutkan pada bukunya “L`Homme révolté”, kejahatan zaman kini bukan lagi dari anak-anak bersenjata, melainkan dari orang-orang dewasa yang berusaha mencari alasan dengan logika. Sejalan dengan itu pada buku “Inspirasi? Nonsens!” karangan Kurnia Jr mengutip perkataan Gunawan Mohamad sebagai berikut, “Tokoh pada `Merahnya Merah`ada selalu unsur ke-Tarzan-an. Tokoh Iwan yang tak bernama dan disebut `tokoh kita` dan `dia` punya fisik mental yang kuat untuk memilih situasi yang paling keras sekalipun. …seperti pahlawan dalam sastra realisme-sosialis.” Pada buku yang sama Kurnia Jr menyitir pendapat Arief Budiman, “Tapi kesulitan Iwan menurut saya, dia terlalu genit, bombas denganide-idenya. Dia menurut saya bukan pengarang. Dia lebih seorang esais atau kritikus. Sebenarnya dia tidak pantas menulis novel, dia lebih pantas menulis esai atau kritik.”

Lepas dari berbagai interpretasi terhadap kepengarangan Iwan,tetap saja Iwan telah pergi dan mewariskan guratan corak kepenulisan baru. Tampaknya Iwan lebih dekat dengan pemikiranSartre daripada Camus. Pada beberapa esainya di buku ini dia sering menyinggung dan membenarkan pemikiran Sartre. Iwan menganggap eksistensialisme Sartre itu bertuju ke suatu bentuk sosiologi yang lempang mengunjuk ke suatu acara sosial. Sartre bercondong ke suatu bentuk moral berlatar luasyakni, sosiologi yang marxistis. Sebagai pengarang Indonesia,Iwan lah yang terlihat paling loyal dan membenarkan pemikiranSartre. Sebab itu layak dia disebut sebagai Sartre Indonesia.  Pada esainya berjudul “Manusia-souterrain” (hal:43), dia berang dengan seorang berinisial H.S. Berawal dari pidato Iwan di sebuah radio, mendapat kritik pedas dari H.S yang dimuat di majalah “Jaman Baru” milik Lekra edisi 20 Juni 1953. Iwan ditantang bertemu H.S untuk berdialog. Tapi Iwan

menolak dengan jawaban santai “Mari mencipta! Masih terlalu sedikit ciptaan dalam kesustraan kita. Yang banyak baru ngomongnya saja.”  Apalagi kalau dikaitkan dengan prediksinya, bahwa masa produktif seorang pengarang berkisar antara 15-20 tahun. Masa itu penanya masih basah, khayalnya kaya. (Sekitar Surat Kabar Selentingan, hal:202).Tentang proses kreatif pengarang, Iwan menurunkan esai berjudul “Kemungkinan-kemungkinan bagi Para Tunas Muda” (hal:195). Diamemaparkan kejujuran Winston Churchill, peraih nobel sastra yang mengakui, karyanya “Memoires” yang terdiri atas empat jilid sangat sukses. Kesuksesannya bukan karena mutu karyanya, malainkan Churchill menganggap lebih banyak disebabkan oleh pengaruh kepopuleran namanya sebagai negarawan dan pengarang.  Pengembaraan Iwan di negeri Eropa tak hanya mempelajari seni teater di Amsterdam, antropologi di Leiden, dan filsafatdi Sorbonne, namun dia melakukan pengamatan pada perkembangansastra di Belanda khususnya serta Eropa pada umumnya. Iwan mencontohkan seorang pengarang Belanda bernama Simon Vestdijkyang sangat berbakat saat itu. Pria bujang berusia 50 tahun itu dalam waktu setahun mampu menghasilkan tiga novel, satu kumpulan esai, dan satu kumpulan sajak. Karya-karya Vestdijk digemari dan selalu ditunggu-tunggu publik. Dalam pandangan Iwan keberhasilan sebuah karya lebih banyak ditentukan oleh bakat penulisnya. Penyair kenamaan Jerman, Rilke tak lepas pula dari kritiknya. Iwan menuduh Rilke penyair nyinyir, berdasar bacaan Iwan atas buku berjudul “Buku harian Malte Laurids Brigge” (Die Aufzeichnungen des Malte Laurids Brigge). Iwan muak dengan ulasan panjang Rilke berhalaman-halaman hanya bicara tentang cat yang hampir pudar pada sebuah bingkai. Inginnya Iwan melemparkan jauh-jauh atau merobek-robek buku itu. Mitos seniman yang harus morat-marit hidupnya atau didepak dari asmaranya, seperti dilakukan Rilketak seharusnya diteruskan. Cara demikian menurut Iwan sepertiberibadah pada era romantik. Dari daratan Jerman Iwan melurukke Australia mempertanyakan kritik Harry Aveling perihal tak adanya humor sastra Indonesia yang sophiticated. Iwan memperkirakan humor model Indonesia sering tidak langsung. Puisi rakyat jelata kita adalah puisi alam bernada riang

gembira. Dongeng-dongeng kita adalah folklore yang kocak tentang peri, jin, raksasa, dan roh nenek moyang kita. Singkatnya tanpa bakat alam akan humor ini, sudah sejak lama bangsa kita pupus dari muka bumi.Dengan membaca kumpulan esai Iwan Simatupang ini, setidaknya pembaca bisa mendekatkan diri pada pola pikir pengarang yang pernah dijuluki sebagai pembaharu sastra Indonesia. Bagi pembaca yang datang dari generasi belakangan, terasa akan sedikit terganggu dengan banyaknya ungkapan bahasa Belanda yang dipakai Iwan. Mungkin pada zaman itu trend berbahasa Belanda menjadi barometer niveau intelektual seseorang. Pengantar Frans M. Parera berjudul “Visi dan Misi Seniman Pascarevolusi” sampai 57 halaman, terlalu panjang. Terdapat kesalahan nomor jalan pada alamat Museum Multatuli di Amsterdam. Sekarang ini bukan di jalan Korsjepoortsteeg, No. 44, melainkan No. 20. (Museum Multatuli, hal:152)***

Skizofrenia, Kegilaan, dan Modernitas: Perihal Prosa Iwan Simatupang Posted by PuJa on September 4, 2011 Asarpin *

Novel pelacur mesti diuji keampuahannya dari suatu keadaan tepi-tepi terakhir tepi yang menari-nari di remang kejauhan Tepi, daerah terakhir sebelum ketamatan –IWAN SIMATUPANG Seorang novelis terkemuka memutuskan untuk menarik diri dari situasi politik yang sedang riuh. Setiap saat ia merasa dipaksa oleh suatu tata pemerintahan di negerinya untuk patuh dan mengikuti segala aturan yang telah ditetapkan. Si pemuda yang calon senimanitu merasakan kesuntukan yang tak terlukiskan, dan nyaris tak adapilihan bagi hidupnya. Satu-satunya jalan adalah berpura-pura patuh mengikuti garis yang dipancangkan pada semua orang, termasuk pada dirinya. Si pemuda bertingkah kekanak-kanakan, dan terkadang pula meledek situasi yang sedang terjadi pada realitas

politik dan seolah-olah mengikuti begitu saja kenyataan sesuai dengan garis partai yang sedang berkuasa (namun, sekali lagi, ia cuma pura-pura). Setiap hari pemuda itu berjalan ke gedung kesenian mengirimkan tulisan, dengan pakaian compang-camping dan tampak urakan. Orang bilang ia sangat taat pada aturan, namun tingkah-polahnya bikin orang yang bekerja di gedung kesenian tahubahwa ia sedang menyaru atau menyembunyikan sifatnya yang sebenarnya. Si pemuda sedang membuat parodi yang bercorak karikatural; seolah-olah mau mencemooh negara dengan cara tak wajar. Ia rajin berkirim surat kepada sesama seniman, dan isi suratnya kadang kala mendoakan kekuasaan partai tunggal segera runtuh dan dirinya yang compang-camping itu akan menjadi manifes kalau diri palsu itu sudah runtuh dan semua protes akan menjadi nyata kalau topeng sudah diambil-alih. Harapannya terbukti. Protes terhadap negara dan partai yang sedang berkuasa muncul di mana-mana. Beberapa orang bahkan ada yang sengaja memanfaatkan tentara negerinya agar kekuasaan partai tunggal segera hancur. Dan pemuda yang seniman itu juga pernah mengirim surat kepada kenalannya, Latok, dengan mengatakan: “Tentara nasionallah harapan kita yang paling makzul di masa akan datang, Latok!” ***

Kisah di atas sengaja saya kemukakan dalam konteks mengawali pembicaraan tentang skizofrenia, kegilaan, dan modernitas dalam konteks prosa-prosa Iwan Simatupang. Gejala ini memang sempat menjadi kajian mendasar pada pertengahan abad ke-20, seperti sayagambarkan di atas, yang saya cuplik dari berbagai sumber. Pandangan hidup skizofrenik dalam ilustrasi di atas menegaskan beberapa hal: saya menjadi gila atau mengidap schizoid berhubungan dengan paksaan lingkungan yang menjajah kemerdekaan berpikir dan berserikat saya. Orang gila tetap manusia, juga dia tetap berupa hal mengada pada dunia. Beberapa neourolog dan filsuf telah mencoba menjelaskan soal ini: Sigmund Freud, Eugen Bleuker, Louis A Sass (Madness and Modernism), C.R. Badock (yang salah satu bukunya telah diterjemahkan ke Indonesia dengan judul Kegilaan dan Modernitas, 1987), Anthony Storr (The Dynamics of Creation dan Solitude: A Return to the Self), Ray Monk (Ludwig Wittgenstein: The Duty of Genius), Irving I Gottesman (Schizophrenia Genesis: The Origins of Madness) , Nietzsche, Fanon, Sartre, Marleau-Ponty, Sylvia Nasar (A Beautiful Mind),

dll. Kondisi skzofrenia dan kegilaan terkait erat dengan situasi modernitas dengan segala derivasinya. Situasi kegilan bagaimana pun sering kali merupakan korban lingkungan. Namun orang yang dianggap gila justru menyimpan kejeniusan. Hidup Iwan dalam kecemasan yang luar biasa. Seakan hidupnya tak lagi punya harapan. Saya kira Gabriel Marcel benar ketika mengatakan, sambilmengutip sebuah pepatah asing, bahwa yang dipakai untuk membuat hidup manusia ialah harapan: without hope no life. Kita hidup berdasarkan harapan, ketika harapan hidup punah, manusia resah dan cemas. Bahkan bisa jadi putus asa dan gila. Maut tak bisa dibayangkan. Ketika istri tercinta kita mati, maka maut seperti datang kepada kita tanpa basa-basi dan tak bisa dibayangkan. Gejala ini tentu bisa ditafsirkan macam-macam, bukan hanya dialektika dari retensi dan protensi seperti Hegel melukiskan putus asa absolut.

Novel Ziarah Iwan dibuka dengan kematian sang istri tercinta, di mana sang suami tampak linglung. Kemudian geala ke arah skizofrenia terkuak ketika si suami melontarkan kata-kata yang sering tak beraturan dan menerabas tanda baca melaui gaya fantasiyang kekanak-kanakan. Walau sejak kematian istrinya, ada alasan baginya tiap siang hari untuk terus hidup. Namun ketika malam tiba, ia mabuk dan nyaris berada pada ambang kegilaan. Letupan kata-kata muncul dengan merdeka tanpa beban dan di situlah makna harapan dan tiadaharapan tokoh yang mengalami skizofrenia terkuak. Sepanjang hidup Iwan sering melontarkan perasaan kesepian dan merasa tertekan akibat situasi politik yang tak menentu. Banyak kritikus yang mencemooh gagasan eksistensialisnya, baik dari kalangan Lekra maupun di luar. SutanTakdir dan Sudjatmoko, misalnya, tak terlampau menaruh harapan pada eksistensialis dan sering meledek eksistensialisme Iwan. Namun, jarang sekali kritikus sastra mengaitkan secara serius narasi skizofrenia dan kegilaan dalam prosa Iwan dengan situasi modernitas yang tengah melanda Indonesia pertengahan abad ke-20. Prosa-prosa gebalau nonsens Iwan didominasi oleh suatu pelarian dari realitas yang disebabkan oleh perkembangan modernitas yang mendadak ke suatu bidang seni dan sastra. C.R.Badcock sendiri pernah menelusuri hampir semua karya seni, mulai dari lukisan, musik, teater, puisi, prosa (novel dan cerpen) kian mirip dengan

karya psikotik dan anak-anak dengan bentuk ekspresi regresif di mana tokoh-tokoh mengalami disintegrasi, skematisasi, degradasi. Seni lukis Sezanne, novel Samuel Beckett (How It Is) yang tidak mengunakan tanda baca, teater Ionesco (The Bald Prima Donna), James Joyce, dll. Dalam bukunya, Madness and Modernity—terjemahanBosco Carvallo—Badcock melukiskan panjang lebar konteks skizofrenia dan kegilaan dalam karya seni atau sastra, berikut ini: Beberapa karya penulis seperti Beckett, Joyce, Ionesco, mungkin mewakili keekstriman, bahkan untuk kesusastraan modern sekali pun, namun para pengarang ini tidak dapat dilukiskan sebagai eksentrik, periferal, atau tanpa pengaruh. Kebanyakan pembaca akan sependapat bahwa ciri modernisme dalam kesenian yangtelah saya kemukakan bukan tidak esensial dan ciri tersebut memang perlu diberi komentar. Sudah sejak lama ada kebiasaan di kalangan connoisseur avant-garde untuk menghukum orang-orang awam di jalanan karena kebanyakan menolak kesenian modern lantaran tidak memahaminya sebagai suatu macam kegilaan, namun pada kesempatan ini orang di jalanan tersebut—yang, tidak seperti para connoisseur, tida membela suatu kepentingan tetap atau tidak tetap—mungkin memang benar. Jika kita menanyakan diri kita sendiri mengapa dalam bidang kesenian dan khususnya kesusastra-anlah simtom konflik skizoid, psikokotik dengan realitas paling menonjol, maka jawabnya mungkin harus ditemukan dalam dua pertimbangan utama. Pertama, ada pendapat yang mengatakan bahwa dampak kultur modern,ilmiah, dan teknologis ternyata paling sulit dialami oleh orang-orang yang mempunyai temperamen artistik dan intuitif yang mengungkapkan dirinya melalui teknik tradisional seperti pengrajin. Kedua, ada pendapat yang mengatakan bahwa kesenian dankesusastraan, barangkali lebih daripada yang lain kecuali agama, menjamin eksternalisasi bawah sadar yang diakui secara kultural dan barangkali bahkan lebih daripada agama, untuk bawah sadar individual khususnya. Oleh karena itu, ketika dampak itu tiba, dampak itu tercatat amat kuat dalam bidang-bidang upaya yang terutama sangat rentan dan sangat cocok untuk ekspresi reaksi psikologis yang sangat mirip dengan ekspresi psikosis individual.Pada prosa Ian bukan tidakada tanda-tanda yang dikemukan Badcock lewat teori psikoanalis Freudian itu. Kita tahu, situasi politik pada masa Orde Lama banyak orang terlampau menuntut tanggungjawab

seniman. Seni untuk seni dipandang borjuis. Eksistensialis dianggap terlampau mewah untuk Indonesia pada masa Orde Lama, bahkan sampai Orde Baru. Dalam situasi inilah Iwan banyak menulisprosa yang dipengaruhi karya-karya eksistensialisme Prancis. Iwanmemang pernah dekat dengan gagasan eksistensialisme dan HumanismeJean Paul Sartre. Namun dalam perihal tentang s’enganger (melibatkan diri) dan tanggungjawab seorang seniman, tampak bahwaIwan berbeda dengan Sartre. Gagasan Iwan tentang komitmen sosial dan tanggungjawab malah agak dekat dengan Levi-Strauss yakni tanggungjawab pada dirinya sendiri dan apa karyanya berikutnya. Tidak semua orang bisa seperti Sartre yang melakukan banyak hal, selain menulis roman, filsafat, teater, dan politik. Namun bukan berarti bahwa ketika Iwan mengangkat kaum urakan, kaum gelandangan, orang gila, tak punya komitmen terhadap masyarakatnya. Iwan telah menunjukkan tanggungjawab pada dirinya dan karyanya.

Apa boleh buat, Iwan masih tak banyak pengikut kecuali segelintirsastrawan yang tergabung dalam Manifes Kebudayaan. Tuntutan tanggungjawab pengarang dan komitmen sosial jauh lebih bergemuruhdan membuat jiwanya kuyup. Kemerdekaan untuk memilih sesuai dengan nurani belum banyak sekutu. Maka muncullah pergulatan batinnya yang keras dan nyaris melumat individunya. Pikiran muncul dengan merdeka dalam sunyi, dan terkadang tanpa berpikir panjang. Ketika muncul peluang untuk membebaskan diri dari rasa tertekan, apa pun sering nol pertimbangan.

Dan Iwan sendiri pernah menaruh harapan pada TNI sebagai pembebasan dari tekanan kaum komunis. Dalam suratnya kepada Lartobertanggal 19 Agustus 1965 (saya baca dari buku Prahara Budaya suntingan D.S. Moeljanto dan Taufiq Ismail (1995: 410), Iwan pernah menulis begini: …TNI-lah harapan kita yang paling utama dimasa depan, Larto! Semangat kemerdekaan yang masih tetap bergelora dalam dada korps Siliwangi, Brawijaya, Diponegoro, Bukit Barisan, Sriwijaya, Hasanudin, Pattimura, dan lain-lain, kukira semangat kemerdekaan mereka ini masih cukup ampuh untuk menghadapi eksperimen Madiun kedua yang akan datang! Prajurit-prajurit seperti Abdul Haris Nasution, Ahmad Yani, Suharto, Basuki Rachmat,, Ibrahim Adjie, dan lain-lain adalah (masih)

tetap jaminan bangsa kita, bahwa eksperimen seperi itu bakal pasti memperoleh perlawanan yang sangat dramatis, dan bahwa eksperimen itu, walau betapa besar pun nantinya jumlah korban yang bakal dimintanya, tapi kemenangan terakhir pastilah ada padapihak KEMERDEKAAN YANG BERDAULAT PENUH DARI NUSA DAN BANGSA KITA!… Bukan maksud saya untuk membuka polemik lama antara Lekra dan Manifes Kebudayaan dan memojokkan Iwan di sini, namun pernyataan itu saya kutip untuk menegaskan bahwa dalam situasi yang gawat dan mengancam, orang sering tak berpikir panjang untuk mengambil suatu alternatif.

Gejala ini sedikit banyak terkait dengan skizofrenia dan kegilaanyang ingin saya ketengahkan. Beberapa pernyataan Iwan menjadi kenyataan, dan seorang yang tengah merasakan situasi yang menekankan kadang kala bertindak seperti kaum futurolog yang berdepan-depan dengan zaman. Surat-menyurat Iwan yang telah diterbitkan adalah contoh bagaimana perasaannya dan sikapnya terhadap kekuasaan Orde Lama dan berbagai penopangnya.

Iwan kerap kali melukiskan hidupnya seperti kapal pecah dihempas gelombang, naik-turun tanpa kepastian. Pikiran sering melantur, regresif, dan sering tanpa corak integrasi. Komunikasi dengan orang lain seakan tertutup dan jadilah ia makhluk kamar, menyepi di sebuah hotel di bilangan Bogor dan menulis novel, cerpen,esai, surat, dll., dengan mutu yang relatif terjaga (walau bahasa Indonesia yang digunakan tidak sepenuhnya mengikuti kaidahbahasa yang baik dan benar).

Tiap kali saya membaca prosa-prosanya, selalu muncul imago kegilaan dan makin lama makin tampak menunjukkan gaya ke arah ekstase yang bersifat mistis. Selama ini, pembacaan terhadap sudut pandang penokohan dalam novel dan cerita pendeknya, cenderung berhenti pada tokoh-tokoh gelandangan, seperti dalam pembacaan Dami N. Toda, Mangunwijaya (1982), Kurnia JR (1999). Tak banyak yang mencoba mengaitkannya dengan narasi kegilaan dan skizofrenia lebih jauh. Hanya sedikit yang mengaitkan tema skizofrenia dan kegilaan dan modernitas. Pembacaan saya terhadap hampir semua prosa Iwan, tidaklah berlebihan jika saya mengatakan

di sini bahwa Iwan telah menjelma sosok pengarang Indonesia yang begitu intim menghadikan narasi kegilaan dalam prosa pada zamannya. Bahasa eksistensialis yang dipinjamnya dari eksistensialisme Prancis cukup membantu mengekspresikan narasi skizofrenia dan kegilaan yang di Indonesia pada dekade 1950-an-1960-an belum terlalu banyak disuarakan. Dalam prosanya muncul letupan kata-kata yang dari mulut Tokoh Kita dan tokoh-tokoh lelaki lainnya, yang terkesan main-main dengan kata-kata, sepertiMerahnya Merah, Ziarah, Koong, Kering, dan kumpulan cerpen Tegak Lurus dengan Langit (cetak ulang oleh Pustaka Kompas, Jakarta, 2004), mirip dengan cerocosan orang gila. Ceracau tokoh-tokoh antagonis dan eksentriknya, mengingatkan kita pada orang-orang gila yang di autopsi di Rumah Sakit Jiwa. Saya tak tahu persis ungkapan yang tertulis dalam sampul belakang buku Ziarah penerbitDjambatan (1969), ketika muncul kata-kata yang agaknya mengarahkan kita untuk melihat fenomena novel Iwan sebagai cerminkeberhaslan melahirkan narasi kegilaan. Saya kutip langsung dalamejaan lamanya: “Dalam penondjolan tokoh-tokoh dan watak-wataknya adalah orang-orang la biasa. Tetapi kesan ini disebabkan karena penulisnja menempatkan mereka didepan suatu katjagila”. KedekatanIwan terhadap manusia-manusia yang tampak seperti pasien-pasien yang merasa terpenjara di RSJ itu, tentu berhubungan dengan kedekatan Iwan terhadap tema ini. Kita tahu, Iwan pernah melakukan studi tentang kejiwaan manusia dengan intim; ia pernah kuliah di fakultas kedokteran Universtas Airlangga Surabaya, walau tidak tamat. Lalu ia mendalami kembali tentang manusia lewat kajian antropologi di Universitas Leiden dan mendalami filsafat—khususnya eksistensialisme—di Univesitas Sorbonne, Paris. Konflik penokohan dalam prosanya begitu kuat justru karenaIwan tak pernah henti-hentinya memahami manusia berikut pernik-pernik kejiwaan secara intim. Iwan menghadirkan prosanya bagaikanpara sufi yang tengah akstase, dan ia memang pernah mengatakan tentang “manusia dalam ekstase sekaligus kemanusian dalam ekstase”. Tidak berlebihan jika Mangunwijaya dalam Sastra dan Religiositas (1982) menyebut novel-novel Iwan adalah “novel gaya sur-realis lebih berkecimpung dalam teritorium puisi daripada prosa, lebih dalam bahasa mistik daripada bahasa theologi, lebih melamun daripada bercerita”. Hal-hal yang dianggap gila, yang dijauhkan masyarakat kebanyakan, justru diapresiasi Iwan dengan

sangat intim dan penuh penghayatan individual yang keras melalui bahasa kesyuhadaan. Apa yang “gila” itulah yang lazim dan menantang sekaligus yang paling segera menjadi minatnya, menjadi titik-pemberangkatan dari dunia di luar lingkungannya. Untuk apakah semua itu? Lamat-lamat kita melihat sebuah “keakanan yang tak selesai”: untuk menyusun (sementara) dunianya sendiri. Bahasanya sendiri. Gayanya sendiri. Ada kesan bahwa Iwan menulis prosa seperti pernah menjadi orang gila betulan, karena kata-katanya kerap kali melantur begitu saja dan dengan cekatan dinarasikan tanpa beban, hingga bahasanya pun seakan melompat-lompat menyalahi aturan ejaan yang diberlakukan secara sengaja. Tengok ucapan ini: “Begitu malah jatuh, pantatnya di tuangnya arak penuh-penuh, memanggil Tuhan keras-keras, kemudian meneriakkan nama istrinya keras-keras, menangis keras-keras, untuk pada akhirnya tertawa keras-keras” (Ziarah). Lalu dalam lembar beikutnya Iwan kembali menulis sebagai hasrat melukis dengan kata-kata di benak pembaca: “malam waktu itu, dia mulai dikenal sebagai pemabuk, yang keras-keras memanggil nama istrinya, keras-keras menangis, keras-keras memanggil Tuhan, dan akhirnya keras-keras tertawa, terbahak-bahak kesetanan”. Pemberontakan Iwan terhadap pandangan dunia “kegilaan” yang selama ini secara picik diterjemahkan, dan orang-orang gila senantiasa dianggap sampah oleh masyarakat, memang sangat dekat dengan tema pemberontakan atas konvensi-konvensi sastra resmi yang terlanjur dimamahbiak oleh masyarakat banyak. Dalam cerpen Lebih Hitam dari Hitam—cerpen ini dipublikasikan pertama kali oleh di majalah Siasat Baru Desember 1959—tokohnya menjelma sebagai pasien yang “tak waras” dan terpaksa harus dirawat di Rumah Sakit Jiwa. Dalam rumah sakit tersebut sang tokoh bertemu dengan “orang-orang gila” yang berceloteh-ria dan terkadang monolog dengan dirinya sendiri. Seorang lelaki berperawakan kekarmemperlihatkan caranya menatap dan mengamati sesorang, memulai bicara dan menyudahi kalimat-kalimatnya, meninggalkan kesan bahwaorang ini begitu disegani dan ditakuti. Dalam cerpen ini sang narator terlihat begitu simpati dengan orang-orang yang dianggap miring dan gila yang sedang dirawat bersamanya. Jiwanya terasa kuyup oleh segala pelabelan dan harga diri orang-orang normal yang menderas kesadaran batinnya. Sementara dalam cerpen Monolog Simpang Jalan, sang narator kembali mengisahkan seorang lelaki

gelandangan yang dianggap gila dan melakukan sebuah monolog—sesuatu yang sering dijadikan indikasi bahwa setiap orang yang berbicara sendiri dianggap gila. Lewat cerpen ini, sang narator mengisahkan perjumpaannya dengan seorang gelandangan yang berpakaian dekil dan kumuh di sebuah persimpangan jalan yang dilaluinya. Lelaki itu, dengan sorot mata yang tajam, menatap ke arahnya dan melemparkan kata-kata yang menyentak kesadaran batinnya. Sang gelandangan dalam cerita ini nyaris tak memberi ruang dialog bagi tokoh lainnya, tapi lebih suka bicara sendiri dai hti ke hati. Di tengah-tengah kegalaun dan teka-teki yang menyelimut perasaannya, ia menangkap kesunyian sempurna di balik raut wajah lelaki tersebut. Sang lelaki tersebut tampak sedang mempersaksikan seorang manusia, seorang yang menanggung seluruh beban dari sunyinya, di dunia yang kian hari kian ramai dan bising. Orang-orang memperlakukannya sebagai orang sinting dan harus segera dibawa ke RSJ. Orang-orang pun hilir mudik dan sibukmencari ambulan, dan dari dalam mobil ambulan tersebut berlompatan beberapa juru rawat yang siap dengan tandu penggotongnya. Iwan Simatupang menafsir dengan kritis tentang makna tersirat di balik narasi kegilaan. Pergulatan sang narator adalah pergulatan seorang yang protagonis, yang absurd, dan hampir tak pernah mau berkompromi. Meski pada akhirnya lelaki dalam cerita itu tinggal sendirian menanti “ayam pertama berkokokkembali, senyum lebar di wajahnya, senyum yang sangat membebaskan”, sang narator tampak seperti ikut terlibat dalam konfli penokohan dalam prosanya. Tokoh lelaki itu, tingkah lakunya yang aneh, sepeti wajahnya dihadapkan pada terik yang terbit, tegak lurus dengan langit, menunjukkan rasa hayatan yang kuat tentang pengetahuan kegilaan. Tetapi, sang tokoh dalam TegakLurus Dengan Langit tak pernah tunduk dan menyerah dengan kesendirian atau kehampaan. Harga diri dengan segala tetek-bengeknya telah ia campakkan. Semua yang dijumpainya, lelaki tua,lelaki kekar, orang-orang gila perlahan-lahan hanya tinggal bayangan. Ia kembali dengan dirinya sendiri, dengan kesunyian dankekosongan dan kehampaan, tempat keheningan yang harus ditebusnyadengan kepedihan dan kegilaan. Ia terus menyusuri pahitnya liku-liku kehidupan, menelanjangi segala bentuk kemunafikan dan kecongkakan, menohok realitas sosial, budaya hipokrisi, dan “memihak” mereka yang gila. Iwan memang pernah menyebut novel dan

cerita pendeknya sebagai “novel tak bermoral” tapi inilah “novel masa depan”. Agaknya, ini pula “suara eksistensialis” Iwan Simatupang yang paling khas dan sering disalahpahami para kritikus, dan tak jarang juga disanjung dengan pujian—seperti dalam esai-esai Dam N. Toda, Mangunwijaya, dan Kurnia JR. Bagi kalangan Marxis, filsafat eksistensialis dengan tokoh sering tak bernama, tak jelas, amoral, terlampau subjektif dan sama sekali tidak berurusan dengan realitas pedih dan komitmen sosial, akan dicap sebagai kegagalan. Kaum eksistensialis tak ubahnya makhluk kamar yang terisolir, soliter, tanpa peduli dengan nasib sesama. Dan, sekali lagi, dalam pandangan kaum sosialis, eksistensialismetak lebih dari warisan ego cogito ergo sum-nya Descartes. Iwan Simatupang seakan menegaskan saya gelandangan maka saja ada, sayagila maka saya ada. Syahdan, seorang lelaki yang menakutkan dudukdi bawah jembatan, yang membuat orang-orang yang lewat menyimpulkannya sebagai orang gila. ”Mula-mula kukira ia orang yang sangat ramah. Setiap orang yang berpapasan dengan dia, disenyuminya”, kata Iwan dalam cerpen Senyum di Jembatan. Asosiasi kegilaan dihadirkan lewat tokoh lelaki yang senyum sendirian. Bukan sumringah, melainkan ketidakwajaran. Lalu selanjutnya kita akan menemukan komentar sang narator kembali terhadap si lelaki sebagai bentuk “pembelaan”. “Tapi, ketika kulihat pada satu hari, bahwa ia juga tersenyum kepada seekor kuda penarik gerobak tukang sayur, pendirianku berubah. Aku menduga dia tak waras. Dan perempuan tempat aku bayar makan, mengiyakannya”. Kejadian cerita di jembatan dalam cerpen ini berlangsung di sebuah kota besar yang bukan Jakarta, Surabaya, atau Medan, melainkan Amsterdam. Sang tokoh mulanya jadi “gila” karena sempat di penjara akibat ia menolak dikirim ke Indonesia sebagai serdadu untuk menumpas orang Aceh. “Alhasil”, kata sang narator, “ia dimasukkan dalam tahanan. Alhasil, ia jadi tak waras. Alhasil, ia tersenyum terus…” Gaya pengucapan infantil inisudah khas Iwan. Dalam Ziarah bahkan berkali-kali ia menggunakan gaya repetitif yang kemudian kita temukan bayangannya dalam puisi-puisi Afrizal. Misalnya: “Lihatlah keseluruhan wajahnya, bahunya, dadanya, tubuhnya, riwayat hidupnya…”. Ketika sang tokohlelaki dalam Senyum di Jembatan mulai membuka dialog tentang kota-kota di Indonesia, Suabaya, Makasar, Manado, Ambon, terkuak kejeniusan sang tokoh yang terlanjur disimpulkan gila tadi.

Jawaban-jawaban yang muncul dari mulutnya ternyata tidak ngawur, dan sang narator kembali berkilah: “Dia boleh orang sebut gila, tapi pengetahuan ilmu buminya, atau setidaknya kesadaran arahnya,masih tetap utuh. Aku ini kagum, sekaligus aku mulai menyangsikanketakwarasannya. Suatu hasrat jalang timbul kini dalam diriku. Yakni, hasrat tahu bagaimana pula bunyi jawabnya atas pertanyaan-pertanyanku berikut”. Ada perasan terlibat dan dekat pada tokoh-tokoh gila yang tak mampu disembunyikan oleh sang naratornya. Kontras antara waras dan tak waras dipermainkan sedemikian rupa hingga posisi yang tak waras menjadi waras, bahkan lebih waras karena sangat cerdas, sementara yang waras sendiri menjadi hipokrisi, menjadi manusia tak bermatabat. Orang gila yang seringdianggap sebagai mentalitas hidup yang kacau itu, ternyata menyimpan perasaan yang mengalami kehilangan, kekosongan, kelungkrahan, karena ke-aku-an mengalami semacam disintegrasi, tapi dengan begini justru hidup menjadi merdeka dan kreatif. Darisisi seorang fenomenolog, kegilaan bisa dilihat sebagai suatu disintegrasi dari situasi yang tak hendak mengejar reintegrasi ditingkat lebih rendah, melainkan di tingkat puncak. Justru ketika hal-hal yang “irasional” dan kegilaan hilang dalam benak dan jiwanya, bisa jadi ia justru menjadi tak kreatif. Roland Barthes benar ketika mengatakan dalam Mitologi: “semakin kejeniusan seseorang coba disembunyikan oleh otaknya, semakin kreatif penemuannya mendapatkan dimensi magis, dan memberikan suatu inkarnasi kepada gambaran esoteris primitif tentang pengetahun yang sepenuhnya terkandung ke dalam huruf”. Rasionalisme dan berpikir logis justru menjadi hantu paling menakutkan bagi orang gila atau seorang yang mengalami skizofrenik. Orang yang ketakutannya terhadap menjadi normal hampir sama besar dengan ketakutannya dengan menjadi abnormal, mungkin akan menjadi kreatif yang tak cuma karena dorongan pengalaman kenikmatan estetik, atau gairah yang mengalami pikiran yang aktif, tetapi juga untuk mempertahankan diri terhadap kecemasan akibat konflik antara soliter dengan solider. Gugusan kegilaan dari perasaan soliter dan luka eksistensial yang muncul bertubi-tubi, seperti ditunjukkan Iwan dalam tokoh-tokoh ceritanya, dengan segala ego dan emosinya yang yang aneh itu, akan dianggap tak sanggup menjangkau sesama manusia yang menderita, apalagi berpikir tentang solidaritas kaum tertindas. Tetapi ini adalah sebuah

tuduhan yang mulai sekarang harus segera ditinggalkan, mengingat hidup soliter Iwan justru begitu deras menghadirkan komitmen sosial pada kaum gelandangan atau kaum yang tak berumah. Empati Iwan—kalau boleh kata ini dipakai—terarah pada kaum gelandangan dan orang-orang gila dan yang dianggap “sampah masyarakat”, dalamsatu tarikan nafas ia mengubahnya. Dalam menghadirkan gebalau-gebalau nonsens dan igauan-igauan yang abnormal, Iwan membela subjektivitas habis-habisan dari serangan kaum pemuja objektivisme. Iwan seakan menyerukan ke-orang-lainan dalam prosanya; keoranglainan yang menggelandang, mengemis, dan tidur di bawah kolong jembatan. Tematik penciptaan orang-orang tak waras dalam prosanya berangkat dari sebuah lamunan akan pertanyaan filsafat eksistensialis yang melihat bagaimana dunia mesti dibaca dari kacamata orang yang dianggap gila. Narasi kegilaan Iwan dalam prosa orang-orang gelandangan itu, memang bukan sesuatu yang baru, karena tema semacam ini telah lama jadi perhatian pengarang-pengarang Eropa. Narasi kegilaannya memiliki kesamaan dengan kisah kegilaan di One World–sebuah nama institusisebuah rumah sakit jiwa dalam novel The Comfort of Madness karya Paul Sayer. Prosa Iwan memiliki kesamaan dengan tema “sejarah kegilaan” yang pernah diangkat Michel Foucault, kendati tokoh terakhir ini sangat skeptis terhadap pembicaraan tentang kepribadian, kesadaran, kebebasan. Kepiawaian Iwan terletak pada kemampuannya menangkap penderitaan pasien yang diperlakukan secara khusus tanpa melakukan autopsi yang mencincang kaum yang sering dicap “abnormal” itu. Gugatan sarkastis Iwan terhadap parajuru rawat di rumah sakit yang menggunakan metode persis seperti yang dilakukan di York Retreat—sebuah lembaga pengobatan jiwa yang sering diungkapkan Foucault—tampak memberikan sebuah narasi kegilaan yang seakan membangkitkan sebuah peradaban baru. Kita tahu Iwan salah ketika kita mulai membaca Foucault yang tidak lagi percaya pada kebaruan dan lebih tertarik pada karya yang anonim. Namun beberapa gagasan Foucault tentang skizofrenia dan kegilaan justru telah berpengaruh dalam “pikiran liar” Iwan, kendati tak sepenuhnya tepat untuk mengatakan Iwan adalah sosok postmodernisme. Lewat bahasa prosa, Iwan mengungkapkan narasi kegilaan dengan limit dan pembangkangan atau transgresi terhadap pertentangan biner yang diciptakan oleh dunia medis modern seperti ‘same’ dan ‘other’, ‘waras’ dan ‘gila’, ‘normal’ dan

‘abnormal’, atau ‘civilized’ dan ‘uncivilized, “subjektive” dan “okjektive”. Dan ini memang postmodernisme. Namun segera pandangan itu mengalami kontradiksi tak berkesudahan dan tarik-menarik antara modernisme dan postmodernisme. Dengan bekal pengalaman dan pengetahuan tentang dunia kedokteran dan medis Iwan sangat piawai dan berhasil mengisahkan tragedi kemanusiaan yang paling sadis yang berlangsung di ruang pengobatan dan kamar isolasi RSJ. Dengan wawasan psikologi fenomenologi dan filsafat eksistensialis Prancis, Iwan berhasil mengangkat kesadaran seorang protagonis, absurd dan nihilis yang percaya bahwa kegilaan adalah kehidupan. Kegilaan adalah kemanusiawian. SigmundFreud memang pernah mengatakan bahwa kegilaan bukanlah sebuah penyakit, melainkan potensi manusia yang terkubur. Sigmund Freud menyebut ide kegilaan sebagai situasi yang berada dalam alam bawah sadar (unconsciousnes). Semua manusia adalah neurosis dan memiliki kegilaannya sendiri, karena banyak sekali ketidaksadaranyang disimpan dalam gudang jiwa manusia. Bahwa kegilaan sebetulnya adalah pengobatan jiwa itu sendiri. Kegilaan adalah kedahsyatan manusia di mana manusia tidak lagi diberi batas-batashukum. Ia lebih bebas dari imajinasi. Kegilaan adalah ketidaksadaran yang disadarkan dan kemudian menjadi sesuatu yang genius, yang mencerahkan, yang kreatif. Pembauran antara sudut pandang eksistensialis dan psikoanalisis atau neurologis, menjadikan prosa Iwan berada dalam menara kekosongan, sebuah nol mutlak, dan menyandang obesesi yang tidak lagi sebagai narasi dantema-tema besar, kendati rangsangan yang ditimbulkan alam novelnya muncul dari tokoh-tokoh besar. Kebesaran, atau terlalu kecil untuk ukuran tokoh-tokohnya yang berkali-kali mengalami depresi berat. Jiwanya melayang-layang menghayalkan sesuatu yang tak tergapai. Ia mengalami gangguan jiwa, seperti skizofrenia, melankolia involusi, parafrenia involusi, demensia dan sejenisnya. Tetapi, tokoh-tokohnya itu dengan sadar menikmati kegilaanya. Menarik menghubungkan narasi kegilaan yang telah dibicarakan di atas dengan novel Kering lewat jalan hidup Tokoh Kita yang telah menemukan jalan pembebasan justru dengan jalan ketakwajaran dan kegilaan. Tokoh Kita merintis jalan baru kemanusian dan pembebasan para rudin, setapak demi setapak, berlarah-larah dan kering-kerontang bagai tanah tandus yang bertahun-tahun tak disiram hujan. Begitulah jiwa yang dirasakan

Tokoh Kita dalam Kering, namun dengan jalan itu justru ia menemukan kebebasan yang paling penuh kesadaran. Sebuah pandanganyang menolak ketamatan sambil menghunjamkan subjek dalam proses yang tak selesai dalam sebuah pencarian sampai ke titik nadir, sebuah titik, sebuah nun, sebuah nol yang mutlak. “Dari x, ke 2z,ke 1 x, dan kini ke 0 x makan sekali”. Tak ragu lagi, tokoh-tokohimajiner Iwan mendendangkan sejarah kegilaan, yang menarik jika dikaitkan dengan Nietzsche yang merupakan salah satu tokoh yang dikagumi Iwan. Sejarah kegilaan yang pernah jadi perhatian Nietzsche kemudian dilanjutkan oleh Michel Foucault, dalam bukunya Kegilaan dan Perdaban yang terbit pertamakali pada tahun 1965. Sejauh ini, Foucault memang juru bicara Nietzsche yang paling fasih di abad ke dua puluh, dan tak tanggung-tanggung, ia pun menjelajahi tema kegilaan dengan penelitian yang mendalam di sebuah lembaga bernama York Retreat. Belakangan, upaya penelitiansemacam ini juga diikuti oleh Paul Sayer di sebuah lembaga bernama One World, yang bisa ditelusuri dalam novelnya berjudul The Comfort of Madness yang sudah diterjemahkan oleh penerbit Lafadz Yogyakarta. Baik Foucault maupun Sayer, keduanya paling getol melacak soal narasi kegilaan. Keduanya menampik model praktik Rumah Sakit jiwa yang mengklaim melakukan diagnosa terhadap pasien secara objektif—nilai yang sering dijadikan syarat untuk mencapai ilmu pengetahuan yang diagung-agungkan olehdisiplin modernitas. Bagi Foucault, para dokter jiwa modern selalu menggunakan taktik pengawasan (surveillance) dan pelabelan(judgement) sebagai terapi ampuh untuk menyembuhkan orang gila. Mereka menundukkan pasien-pasien di bawah observasi dan evaluasi dengan standar penilaian tingkah laku yang kaku. Subjektivitas dari jati diri, yang turut membingkai akan pemahaman dunia medis sama sekali tak pernah dipertimbangkan. Foucault dan Sayer melakukan sebuah transgresi terhadap pertentangan biner dan menemukan metode kekuasaan yang digunakan untuk memapankan satu kategori yang menindas. Dengan bekal pengalaman sebagai mantan perawat di sebuah rumah sakit jiwa, Sayer mampu mengisahkan secara apik tragedi kemanusian di ruang isolasi perawatan pasien Rumah Sakit Jiwa dalam novel semi ilmiah itu. Dalam salah satu monolog tokoh Peter, misalnya, menarik dibandingkan dengan tokoh-tokoh ang digunakan Iwan Simatupan. Peter ternyata seorang pasif,dan memilih untuk tidak merespon apapun yang menghampirinya meski

sebenarnya ia bisa melakukannya. Dalam terang ilmu jiwa modern, pilihan cara hidup Peter sudah cukup untuk membawa dirinya ke ‘mental institusi’ yang mengklaim bisa memulihkannya menjadi orang ‘normal’ kembali. Bagaimana rasanya melihat dan mengalami dunia dari sudut kegilaan? Pertanyaan ini menjadi titik berangkatsebagian besar pengarang yang mengambil seting kegilaan. Bagi mereka, kegilaaan adalah ciptaan, kutukan sekaligus kehidupan. Menjadi gila adalah merasakan kembali kebebasan, “keliaran” sekaligus kesedihan. Menarik mengikuti tafsir yang dikemukakan oleh A. Setyo Wibowo (2004) dan Sindhunata tentang kegilaan seorang Nietzsche. Filsuf ini bisa mendobrak segala kemapanan, kepuasan diri, katanya, bahkan mendobrak forma apa pun. Iwan sendiri dalam esai berjudul mahapendek, Dan, memang pernah mengatakan: pemberontakan terhadap realitas, berontak untuk berontak saja, taklah menarik bila mega segumpal pun tak ada yangmengarak. Atau: “kekuatan abstrak untk berkata tidak!” Iwan tidakbisa dipojokkan pada sudut mana pun. Nietzsche memang telah membunuh Tuhan. Tapi kita harus hati-hati untuk menggelarinya sebagai “pembunuh Tuhan”. Seluruh keresahan jiwanya justru bisa membantu kita untuk memurnikan Tuhan dari kekerdilan anggapan kita tentang-Nya, dan dengan demikian, menakhtakan-Nya di atas kekerdilan manusia. Nietzsche memang melakukan suatu refleksi filsafat yang ateis, namun kita mesti berhati-hati untuk menyudutkannya sebagai seorang ateis. Dengan filsafat “palu”-nya,Nietzche justru memperolok mereka yang merasa telah mencapai pencerahan dengan jalan ateisme. Ateisme Nietzsche malah bisa menuntun kita untuk melihat apa yang seharusnya paling mistik dalam relasi kita dengan Tuhan. Dalam hal ini, Nietzsche yang a-religius itu sesungguhnya adalah orang yang sangat religius. Wajar saja jika kita menemukan keliaran ungkapan dalam prosa IwanSimatupang, yang ia sendiri nyaris berada dalam ambang ketidaksadaran, karena imajinasi orang dalam situasi ini sungguh merdeka. Seorang yang merasa jiwanya melayang, tokoh-tokohnya dengan cepat menghayalkan sesuatu yang tak tergapai, sering dianggap mengalami gangguan jiwa. “Penyakit jiwa” seperti dilukiskan sebagai penciptaan makna, suatu pendapat yang berbeda dengan teori para psikiater yang sering melukiskan skizofrenia dan kegilaan sebagai alam anpa makna. Di sini makna hadir dengan latar belakang dari hal yang tak bemakna, yang jika menggunakan

kata-kata Marleau Ponty, sebuah “sens dan nonsens”: sense ialah corak yang membutuhkan latar belakang dari nonsens. Iwan memang bermain dalam wilayah manusia dan kemanusian sebagai latar depan dengan mempermainkan dengan ringan antara kebermaknaan dan tanpa kebermaknaan, sens dan nonsens. Manusia dalam hayatannya mirip seperti ahli sihir yang kadang-kadang berhasil menghadirkan suatumakna kegilaan yang menghidupkan kesadaran, tapi kadang-kadang iapun gagal menembus kabut tebal awan penanda dan petanda yang telah lama dipancangkan oleh masyarakat. Makna tak terpisah dengan tanda, dan rasio paling tinggi duduk di sebelah kegilaan paling hebat. Makna senantiasa berada dalam tegangan dengan ketidakbermaknaan, tapi sekaligus berbaur-erat dalam ketakterhinggaan. Sebagian besar novel Iwan Simatupang, Ziarah, Merahnya Merah, Kering, dan cerpen-cerpennya, bisa diberi arti secara psikologis, dan kita nyaris ikut mengami skizofrenia pula saat membacanya. Menarik mengaitkan gejala skizofrenia dalam prosa Iwan dengan modernitas dan kegilaan, di mana kondisi skizofrenia sebagai sebuah wacana diungkapkan pada tahun 1806 dandipopulerkan Eugen Bleuler, yang mengenalkan istilah skizofrenia pada tahun 1908 dan menjabarkannya sebagai ”sejenis peningkatan pikiran, perasaan, dan hubungan dengan sesuatu yang bukan dari dunia ini”. Nietzsche, Freud, Franz Fanon dan Michel Foucalt, Sayer adalah tokoh-tokoh yang berjasa mempopulerkan tema skizofrenia, sehingga sering diidentikkan oleh para kritikus sebagi postmodernisme. Membaca gejala skizofrenia dalam prosa Iwan, menuntut kita untuk menyikapi letupan kata-kata yang munculdari mulut Tokoh Kita sebagai sebuah konflik terhadap modernisme.Tokoh Kita dalam Merahnya Merah dan Kering tak urung mengingatkansaya pada tokoh “gila” yang cerdas dalam sebuah film yang dibintangi Russel Crowe—yang memerankan John Forbes Nash yang ahli matematika yang mengalami delusi skizofrenia namun akhirnya menyabet hadiah Nobel itu. Berbagai kata yang bermakna kegagahan dan keangkuhan yang muncul dari Tokoh Kita tak ubahnya si penderita skizofrenia yang diguyur aura mistik dan hidup dalam kekeringan dan kekerontangan jiwa di tengah arus modernisme yang mulai melanda Dunia Ketiga. “Targikku adalah tragik dari sebelum tragik. Tragik angkap dua”, kata Tokoh Kita dalam Meahnya Merah. Tapi hidup dalam tragik rangkap dua itu, asal saja kita berhasil melampaui pesoalan fisik yang akan mengantarkan manusia untuk

meraih segala haknya dan akan merasa bahagia lebih dari yang lain. “Inilah kami dari kaum fakir, kaum pertapa, para mistikus, yang membuat mereka selalu suka mencari daerah-daerah pelik dari kehidupan dan mempertontonkan rasa kebahagian yang asing bagi manusia-manusia dari kondisi hidup yang biasa”. Kontras antara manusia normal dan abnormal, antara kaum paria dengan bangsawan, mistikus dengan para ahli hukum, merupakan inti yang didedah Iwandalam sebagian besar novelnya. Di sisi lain, muncul semacam harapan melalui kehadiran psikologi pembebasan yang akan mengantarkan manusia-manusia gelandangan ke dalam alam batinnya yang paling sunyi. Merekalah kaum soliter yang paling kesepian. Paling sunyi. Menderita. Tapi mereka bukan pengemis yang meminta belas-kasihan. Membaca delusi-delusi dalam prosa Iwan menuntut kita untuk mengenal secara intim karakter tokoh-tokohnya yang sepintas tampak nonsens. Karena prosa, sebagai kekuatan naratif, ternyata cukup ampuh untuk menjadi saksi bagi apa yang pernah terjadi dalam suatu zaman. Iwan memang “seniman jalang” yang lahir dai “novel pelacur” yang “mesti diuji keampuahannya dari suatu keadaan tepi-tepi terakhir”—kata-kata Iwan Simatupang sendiri yang saya temukan dalam Ziarah. Apa yang kita ketahui tentang “suatu keadaan tepi-tepi terakhir” itu muncul secara gamblang dalam esai dengan judul eksentrik: Dan. Esai ini, sejak kalimat pembuka, menegaskan ke mana kesusastraan Iwan mesti di bawa: ke “tepi yang menari-nari di remang kejauhan. Tepi, daerah terakhir sebelum ketamatan” yang merupakan penolakan atas romantika dan segala yang dianggap tamat, yang mesti dihalau dengan “menempatkan diri jauh dari tepi itu. Sedemikian jauh, hingga pudar dari ketamatan”. Dan: menyadarinya sebagai “kesadaanakan peranan sebagai hanya penyambung saja” lagi. Sebuah tepi yang berpijar yang tak sempat terungkap dalam kisah romantik dan heroik saja lagi. Dan inilah novel tanpa moral, novel tak fitri, novel tanpa pahlawan! Saya membayang kekokohannya pintalan pikiran dan perasaan dilihatnya seperti benang-benang intuitif, “benang hitam dan merah, mengular memanjang di udara berputar-putar, menukik, laju mendatar, menanjak lagi, dan terusnya” (Ziarah). Rajutan berbagai persoalan “ketidakwajaran” bertemu dengan obsesi yang membubung bagai “kupu-kupu yang hanya bisa di cuaca”, namun mampu melengkapi peran narasi untuk menyediakan tempat di bumi bagi sebuah kesetaran secara eksplisit bagi

pembaca. Dengan prosa “hitamnya”, saya seperti sedang dituntut untuk memahami apa yang tak terpahami. Dan, Iwan telah menyuguhkan pengalaman batinnya yang buncah oleh itu konflik-konflik perwatakan tokoh-tokohnya yang mengalami persoalan kejiwaan yang berat, kecemasan yang sangat, tapi mampu menantang kita untuk segera memperbaharui tafsir tentang narasi kegilaan dalam sastra dalam seni. Tokoh-tokoh gelandangan adalah pijaran yang bergetar memasuki lorong-lorong penuh orang-orang gila-cerdas dengan berkelakuan liar dan suka memberontak. Dengan tokoh-tokohnya yang makmur, dengan Tokoh Kita dengan kecerdasan dan kesadaran di atas rata-rata, prosa-prosa Iwan berhasil denganbaik menyelam kesadaran manusia dalam sebuah praktik yang selama ini berlangsung di ruang isolasi RSJ. Saya kira Gabriel Garcia Marquez benar ketika mengatakan: semakin dalam kita menyelami karya sastra, dengan intensitas dan kecintaan yang demikian besar, niscaya kita akan kehilangan cara untuk membedakan fiksi dengan kenyataan. Apa yang dihadirkan Iwan dalam prosa-prosanya tak lagi bisa dibedakan antara fakta dan fiksi. Dan, Iwan Simatupang telah memberikan satu sumbangan pemikiran tentang soalbesar kemanusian—betapa pun kini gagasannya sudah banyak menuai kritik dari gerakan postmodernis—namun diskusi mengenai kesadaranmanusia tetap mempesona orang banyak. __________ *) ASARPIN, lahir di dekat hilir Teluk Semangka, propinsi Lampung, 08 Januari1975. Pernah kuliah di jurusan Perbandingan Agama IAIN Raden Intan Bandar Lampung. Setelah kuliah, bergabung dengan Urban PoorConsortium (UPC), 2002-2005. Koordinator Uplink Lampung, 2005-2007. Pada 2009 mengikuti program penulisan Mastera untuk genre Esai di Wisma Arga Mulya, 3-8 Agustus 2009. Tahun 2005 pulang lagi ke Lampung, dengan membuka cabang Urban Poor Linkage (UPLINK). Di UPLINK pernah menjabat koordinator (2005-2007). Menulis esai sudah menjadi bagian perjalanan hidup, yang bukan untuk mengelak dari kebosanan, tapi ingin memuaskan dahaga pengetahuan. Sejak 2005 hampir setiap bulan esai sastra dan keagamaan terbit di Lampung Post. Kini telah beristri Nurmilati dan satu anak Kaila Estetika. Alamat blognya: http://kailaestetika.blogspot.com/

Make Money at : http://bit.ly/copy_win

beberapa puisi pilihan Iwan Simatupang yang diambil dari buku Ziarah Malam. Selamat membaca. 

Potret

Di sudut kamar seorang daraTergantung potret serdadu senyum:“Tunggu! Sepulangku, bahtera kita kayuh!Di atasnya salib: Pahlawan kasih yangbelum jua pulang.

Kini dara sudah lama tak menunggu lagi.Langkah-langkah pelan, yang biasa datangMenjelang tengah malam dari kebun belakangBawa cium dan kembang –Takkan lagi kunjung datang.

Di sudut kamar seorang daraTergantung potret serdadu senyum:“Jangan tunggu! Aku bangkai dalam bingkai!Di atasnya salib: Pahlawan kasih yangmasih jua belum pulang.

Kini dara sudah lama dalam biara.

Ballade Kucing dan Otolet

Di jalan ada bangkeKucing digilas otolet

DarahNgeong tak sudahSelebihnya:Langit biruDan manusia buru-buru

Otolet makin rameDi tuhan punya jalan

Bangke makin rataDi aspal panas

Penumpang gigimasBercanda

Di SurgaKucing pangku supir kayaDan cekikTuhan

Pada Kepergian Bersama Anginbuat murid-muridku di Surabaya

Irama dari bahaya dan bencanaLagi-lagi gentayangan dari jauhanAh, mengapa panji tak kuangkat saja kembaliDanBerlari jingkat telanjang bulat ke mukaDengan tembilangMemupus segala jejak di belakang?

Usah dugaMana tugu ujung segala pencarianHanya: Bila pelangi cerlangi dinihari pekatDan asap berkepul hijau dari bintang-gerhana –Datang, datanglah kauZiarahi aku dalam bayang terkulaiDari tiang gantungan atas piala racun tercecer…

Dan akuAkan ziarahi semuaPenziarah

Dengan senyum –Seribu-kiamat

Merah Jambu Di MelatiKepada Sitor Situmorang

Ada darah tirisDari hati atas melatiSatu satu

Ada melati tumbuhDiciuman segara dengan gurunJauh jauh

Darah bekuMelati layuTapal sayu

Ada murai atas cactusAda cactus dalam hatiAda kicau berduri

Sunyi sunyi

Bintang tak Bermalam(nocturne untuk Nany Jasodiningrat)

Bertengger atas risau lembayungBintang tak tahuKe mana pijar hendak dipenjar

(Siang telah reguk segala warnaBahkan kelamTak lagi bagi malam)

Dan pada pelangi

(Yang hanya di siang)Tak ada berwakil

Warna bintang jatuh

Pengakuan

Aku ingin memberi pengakuan:

Bulan yang gerhana esok malamtelah kutukar pagi inidengan wajah terlalu bersegipada kaca yang retak olehtengadah derita kepada esok

Kulecut hari berbusa merah

Jambangan di depan jendela terbukamenyiram kesegaran pagi dengan pengakuan:

esok adalah bulan purnama

Sungai Batanghari, 13 Agustus 1961

Tentang Iwan SimatupangIwan Simatupang lahir di Sibolga, Sumatera Utara pada 18 Januari1928 dan meninggal 4 Agustus 1970 di Jakarta. Tahun 1949 pernahmenjadi komandan pasukan TRIP di Sumatera Utara, tahun 1950-1953bekerja sebagai guru di Surabaya. Tahun 1977 Iwan Simatupangmenerima Hadiah Sastra ASEAN. Dramanya: Bulan Bujur Sangkar (1957),Taman (1958), RT Nol/RW Nol (1966), Petang di Taman (1966) dan Cactusdan Kemerdekaan (1969). Novelnya: Merahnya merah (1968), Ziarah(1969), dan Kering (1972). Cerpen-cerpennya dibukukan oleh Dami N.Toda dengan judul Tegak Lurus denga Langit (1982). 

Sumber: www.kepadapuisi.blogspot.com

KOOONG: KISAH TENTANG SEEKOR PERKUTUT

Apakah makna "kebebasan" bagi pengarang? Iwan Simatupang dalam sebuah esainya: Kebebasan Pengarang dan masalah tanah air menyatakan bahwa maknanya adalah kebebasan yang dibutuhkan (oleh pengarang) untuk memungkinkan penciptaan. Proses penciptaan adalah pergumulan kebebasan melawan yang selebihnya, alias melawan ketakbebasan.

Buku ini bercerita tentang Pak Sastro yang kehilangan burung perkututnya. Burung perkututnya ini sudah bersama pak Sastro kurang lebih 10 tahun. Pak Sastro membeli burung perkututnya di Pasar Senen, sebagai pelipur lara karena ia baru saja ditinggal anak tunggalnya, Amat. Sebelum kehilangan Amat, Pak Sastro juga kehilangan istrinya yang diseret banjir. Pak Sastro yang diseganidi desanya sangat bermuram. Orang-orang di desa menganjurkan padanya agar ia mencari pengganti istrinya, namun ia bergeming. Anaknya Amat juga pergi meninggalkannya sampai ia tahu berita kematiannya. Sungguh Pak Sastro sangat bersedih, dan ketika pulang dari acara pemakaman Amat di pekuburan Karet, ia meminta tukang becak mengantarnya ke Pasar Senen untuk mengetahui hal ikhwal kematian Amat yang katanya tergilas kereta api. (cat. bisa terbayang jauhnya, kurang lebih 10km).

Judul: Kooong, Kisah tentang Seekor PerkututPengarang: Iwan SimatupangPenerbit: PT Dunia Pustaka JayaCetakan kedua, 2013 (pertama kali 1975)ISBN:978-979-419-386-0

Tanpa disadari, ia tiba di pasar burung. Ia terpesona melihat seorang laki-laki yang merawat burung perkutut. Burung itu diberijewawut dan ketan hitam di tempat makannya. Lalu perkutut itu

mengeluarkan bunyi, tanda berterima kasih, "Kooong! Kooong!" Mulanya Pak Sastro tidak tertarik, karena ia pikir burung perkutut bukanlah burung istimewa. Di kampungnya di Jawa Tengah, burung perkutut kerap ditemukan. Namun karena ternyata penjual burung dan Pak Sastro berdekatan kampungnya, jadilah Pak Sastro membeli burung perkutut itu seharga seribu rupiah (cat. novel ini dicetak pertama kali tahun 1975).

Kepulangan Pak Sastro membawa seekor burung perkutut menarik perhatian orang desa. Orang-orang desa berkerumun mendekati perkutut Pak Sastro untuk mendengar kooongnya. Namun mereka kecewa. Perkutut Pak Sastro tidak ada kooong-nya.  Pak Sastro tidak mempermasalahkan hal tersebut. Ia sendiri cukup puas dengankeadaan tersebut. Bagi dia, keberadaan perkutut yang tidak bisa kooong tersebut justru tepat mengisi kekosongan dalam dirinya. Begitulah Pak Sastro setiap pagi. Begitu bangun ia memberi makan perkututnya dan dikereknya sangkar burung perkutut itu tinggi-tinggi di udara. Itulah kebahagiaannya. Sampai pada suatu ketika ia menemukan sangkar perkututnya dalam keadaan kosong. Burung perkututnya hilang!

Kehilangan burung perkutut tersebut tidak hanya membuat Pak Sastro gusar, tetapi seluruh warga desa. Tiap penghuni desa merasakan kesedihan Pak Sastro. Pak Lurah mengumpulkan orang desauntuk memecahkan masalah itu. Hasil rapat itu menyimpulkan agar Pak Sastro meninggalkan desa itu untuk berjalan-jalan sejenak supaya ia melupakan kesedihannya. Untuk mencari perkutut yang hilang itu pun dinilai pekerjaan yang sia-sia. Karena itu, diutuslah beberapa orang untuk menyampaikan simpulan rapat tersebut pada Pak Sastro. Awalnya Pak Sastro menolak usulan itu, namun setelah merenungkannya kembali, akhirnya Pak Sastro memutuskan untuk 'keluar' sejenak dari desa dengan menitipkan seluruh sawah, kebun, penggilingan padi, ternaknya pada Pak Lurahselama ia pergi.

Kisah selanjutnya adalah perjalanan Pak Sastro tanpa tujuan. Berkelana kemana ia suka untuk mengusir kegundahan. Meski perjalanannya bertema "kebebasan" ia tetap bertanya pada orang-orang yang ditemuinya perihal perkututnya. Tentu saja banyak orang menertawakannya dengan ciri-ciri perkututnya. Warna bulu biasa, kakinya biasa, paruhnya biasa, dan tidak ada kooong sama sekali. Sampai-sampai orang-orang mengatakan bahwa ia sinting.

Pak Sastro merenungkan kembali atas situasi kehilangan yang dialaminya. Dalam hatinya Pak Sastro mempertanyakan apa yang salah dengan ia menyayangi sesuatu yang orang lain anggap biasa-biasa saja, tidak ada keistimewaan? apakah yang kita miliki di rumah semuanya memiliki keistmewaan? apakah salah memiliki suatu benda yang menurut orang lain biasa-biasa saja namun justru di dalamnya ada kenangan pada salah satu kurun waktu di masa lalu? Situasi yang sama mungkin menghampiri kita, manakala kita dianggap orang lain aneh bila kita mengalami kehilangan suatu benda.

Bagaimana kisah selanjutnya, silakan anda teruskan sendiri membacanya. Banyak pelajaran yang dapat kita tarik dari kisah PakSastro ini. Iwan Simatupang berhasil memikat dengan kata-katanya yang tidak menggurui, namun memberikan permenungan yang mendalam tentang apa artinya hidup, apa kebahagiaan. Iwan benar-benar mengeksplorasi makna kebebasan pengarang sebebas-bebasnya, tanpa kehilangan pesan utamanya. Iwan sangat apik menyajikan peristiwa kehilangan perkutut ini dari sudut pandang Pak Sastro, orang desa, bahkan dari sudut pandang si burung perkutut itu sendiri.

Dari pengantar yang diberikan oleh Ajip Rosidi, diketahui bahwa naskah Kooong ini awalnya adalah salah satu naskah yang tidak menang dalam Sayembara Mengarang Roman Bacaan Remaja yang

diselenggarakan oleh Ikatan Penerbit Indonesia pada tahun 1969. Namun, naskah-naskah sisa tersebut daripada dikembailikan ke penerbitnya, ditimbang sekali lagi, barangkali ada diantaranya yang patut untuk diterbitkan. Ajip adalah orang yang diminta untuk mempertimbangkan naskah-naskah tersebut. Berhubung pada saat itu umumnya tiap naskah menggunakan nama pena, Ajip mengira bahwa naskah ini adalah karya orang lain yang terinspirasi pada Iwan Simatupang. Ajip merekomendasikan pada agar naskah ini diterbitkan, namun hingga tahun 1973, tidak berhasil ditemukan penerbit yang bersedia menerbitkannya. Hingga Ajip terpilih menjadi Ketua Ikapi, naskah ini kembali disodorkan padanya, dan ia mengenali naskah ini dan mencari alamat penulisnya. Ternyata nama pena Kebo Kenanga, bukanlah orang yang terinspirasi Iwan Simatupang, namun Iwan Simatupang sendiri. Novel ini terbit di tahun 1975, setelah karya-karya Iwan Simatupang yang lain sepertiMerahnya Darah (1968), Ziarah (1969), dan Kering (1972). Perihal judul Kooong sendiri, Ajip memberi keterangan bahwa Iwan bermaksud menggambarkan Kooong sebagai onomatope suara burung yang melambangkan suara panjang. Judul aslinya adalah Koong (dengan dua huruf o), untuk menghindari orang salah membaca sebagai "ko-ong", maka Ajip mengubah judulnya dari Koong menjadi Kooong.

Helvry | 30 Agustus 2013Posting bersama BBI Agustus: sastra Indonesia