Being a man: Javanese Male Perspectives about Masculinity and Domestic Violence
Transcript of Being a man: Javanese Male Perspectives about Masculinity and Domestic Violence
Menjadi BeingLaki-laki a ManPandangan Laki-laki Jawa Tentang Maskulinitas
dan Kekerasan Dalam Rumah Tangga
(Javanese Male Perspectives about
Masculinity and Domestic Violence)
Oleh :
Nur Hasyim
Aditya Putra Kurniawan
Elli Nur Hayati
Author :
Nur Hasyim
Aditya Putra Kurniawan
Elli Nur Hayati
Menjadi BeingLaki-laki a ManPandangan Laki-laki Jawa Tentang Maskulinitas
dan Kekerasan Dalam Rumah Tangga
(Javanese Male Perspectives about
Masculinity and Domestic Violence)
MENJADI LAKI-LAKI (Pandangan Laki-laki Jawa Tentang
Maskulinitas dan Kekerasan Dalam Rumah Tangga)/Nur Hasyim,
Aditya Putra Kurniawan, Elli Nur Hayati, MP/Sambutan: Prof. Dr.
Muhadjir M. Darwin, MPA, Ph.D/Kata Pengantar: Elli Nur Hayati,
MPH/Yogyakarta, Rifka Annisa,2011.
194 Halaman, i-xxviii, 21x21cm, gambar, bagan
ISBN : 978-979-3124-19-17
Nur Hasyim
Aditya Putra Kurniawan
Elli Nur Hayati
Ulin Ni’am
Semua foto adalah dokumen pribadi & Rifka Annisa
Jl. Jambon IV Kompleks Jatimulyo Indah Yogyakarta 55242.
Telp/Fax: +6274 553333
Email: [email protected]
Http://rifka-annisa.or.id
Copyright 2011@Rifka Annisa
Cetakan Pertama, Desember 2007
Cetakan Kedua, Oktober 2011
Jl. Jambon IV Kompleks Jatimulyo Indah Yogyakarta 55242.
Telp/Fax: +6274 553333
Email: [email protected]
Penulis :
Rancang Sampul dan Tata Letak :
Diterbitkan Oleh :
Rifka Annisa
Dicetak Oleh :
Rifka Creative Communication
BEING A MAN (Javanese Male Perspectives about Masculinity
and Domestic Violence)/Nur Hasyim, Aditya Putra
Kurniawan, Elli Nur Hayati, MP/Preface: Prof. Dr.
Muhadjir M. Darwin, MPA, Ph.D/Preface: Elli Nur Hayati,
MPH/Yogyakarta, Rifka Annisa ,2011.
194 page, i-xxviii, 21x21cm, picture, table
ISBN : 978-979-3124-19-17
Nur Hasyim
Aditya Putra Kurniawan
Elli Nur Hayati
Ulin Ni’am
All pictures are private document and Rifka Annisa’s
Jl. Jambon IV Kompleks Jatimulyo Indah Yogyakarta 55242.
Telp/Fax: +6274 553333
Email: [email protected]
Http://rifka-annisa.or.id
Copyright 2011@Rifka Annisa
First Edition, Desember 2007
Second Edition, Oktober 2011
Jl. Jambon IV Kompleks Jatimulyo Indah Yogyakarta 55242.
Telp/Fax: +6274 553333
Email: [email protected]
Writer :
Cover Design and Layout :
Publised By :
Rifka Annisa
Printed By :
Rifka Creative Communication
Kata Pengantar
Oleh : Muhadjir Darwin
Buku laporan penelitian ini mempelajari
masalah kekerasan perempuan dari sisi lain,
bukan dari sisi korban, melainkan dari sisi
pelaku, yaitu laki-laki. Penelitian ini menguak
pemahaman laki-laki Indonesia tentang diri
mereka. Merujuk penuturan nara sumber
dalam penelitian ini, tampak jelas kuatnya nilai
patriarki laki-laki Indonesia. Nilai patriarki
yang tertanam sangat kuat pada diri ke-
banyakan laki-laki Indonesia menjadi masuk
akal untuk menduga bahwa laki-laki Indonesia
berpotensi melakukan kekerasan terhadap
perempuan. Repotnya, kesadaran hegemonis
laki-laki ini justru menjadi masalah besar bagi
dirinya ketika menyaksikan situasi yang
berkebalikan dengan asumsinya; misalnya
ketika ternyata perempuan bisa lebih maju
dalam pendidikan atau karier. Melihat
kenyataan semacam itu, laki-laki yang
dikungkung oleh budaya patriarki akan
melihatnya sebagai ancaman, atau bahkan
malapetaka.
Ketika saya mendampingi rekan-rekan dari
PSW suatu universitas negeri di Jawa Tengah
untuk mempresentasikan hasil kajian gender
Preface
By: Muhadjir Darwin
This reports investigates the issue of violence
against women using a different perspective, as
opposed to studying women as the victims, the
current study presents a perspective from the
perpetrators of violence, namely men. The
study explores how Indonesian men perceive
themselves, and based upon the elaborations
from the sources of the study, a strong value of
male patriarchy is present among Indonesian
males. With patriarchal values strongly
embedded within most Indonesia men, it
becomes plausible to assume that Indonesian
men are susceptible to conduct violence against
women. On the other hand, male hegemonic
awareness becomes a large problem for men
when they observe a situation that contradicts
their assumptions, for example when women
demonstrate to become more advanced in their
education and career. In this context, men that
are tied up in patriarchal cultures will view
such events as threats or even a disaster.
When I assisted my colleagues from PSW from
a state university in Central Java, to present the
results of gender mainstreaming to the
university and faculty management, a
v
mainstreaming di Universitas tersebut kepada
rapat pimpinan universitas dan fakultas,
seorang peserta yang merupakan wakil dekan
dari salah satu fakultas di universitas tersebut
menyatakan kekhawatirannya terhadap
kemajuan perempuan, yang menurut dia
merupakan tanda-tanda dari akhir zaman,
karena salah satu tanda datangnya kiamat
adalah ketika perempuan menguasai dunia.
Jadi dalam pandangannya, kemajuan
perempuan bukanlah suatu berkah tetapi
bencana bagi umat manusia.
Kultur patriarki sebenarnya membelenggu
laki-laki itu sendiri. Membuat mereka mudah
cemburu ketika makhluk berjenis kelamin lain
menyainginya atau ketika dirinya sendiri gagal
memunuhi tuntutan budaya patriarki. Imej
laki pada masyarakat patriarkis adalah sebagai
sosok pencari nafkah yang kuat dan gigih.
Ketika pria gagal memenuhi imej seperti ini,
misalnya ketika dia gagal mencari pekerjaan
atau terkena PHK, dia akan terjebak kepada
tekanan psikologis yang luar biasa, lebih dari
perempuan yang mengalami hal serupa.
Perempuan lebih aman jika berada dalam
status menganggur, karena di masyarakat
patriarkis perempuan justru dituntut untuk
harus berada di rumah sebagai ibu rumah
tangga, patuh dan setia pada suami. Ketika
masyarakat mengalami modernisas i ,
participant, of whom held the position as vice
dean from of the university faculties, expressed
his concerns towards the advance of women, of
which according to him becomes one of the
indicators of the end of the world. According to
him the sign of the apocalypse is marked by
women ruling the world. So according to his
view, women advancing are not a blessing but
rather a disaster to human kind.
Patriarchal cultures actually confine men as to
make them easily become envious when the
opposite sex competes with them, or when he
himself fails to fulfill the demands of the
patriarchal culture. Man's image in a
patriarchal society is marked by a figure that is
strong, determined and is responsible to seek
an earning. When men fail to fulfill these ideal
images, for example he fails to get a job or is laid
off by employers, he will be subject to
tremendous psychological distress, even more
severe compared to women who encounter
identical situations. Women are more secure
when they hold the status of unemployment,
because in the patriarchal society, women are
demanded to stay at home as the housewife,
and be obedient and loyal towards her
husband. In line with the progress of
modernization, study and work opportunities
have increasingly opened up for women, and
therefore men and women compete in
vi
kemudian peluang belajar dan bekerja terbuka
lebar bagi perempuan, terjadilah persaingan
antara laki-laki dan perempuan di dunia
pendidikan dan dunia kerja, karena ternyata
perempuan bisa lebih ulet, teliti, bertanggung-
jawab, berprestasi, tidak banyak tuntutan, dan
di dunia kerja bersedia menerima upah yang
lebih rendah.
Pada sisi lain, perempuan di masyarakat
patriarkis tidak memberi ruang bagi laki-laki
untuk berperan di ranah domestik menger-
jakan pekerjaan “feminin”, seperti mengasuh
anak, memasak, mencuci piring, menyapu
lantai dan halaman. Ketika seorang suami
bermaksud membantu istrinya memasak atau
mencuci pakaian, dapat saja sang istri justru
mencegah dengan mengatakan, “jangan Pa,
biar mama saja, ini kan pekerjaan perempuan”.
Jadi fenomena “double burden” pada perem-
puan tidak seluruhnya karena desakan laki-
laki, tetapi dapat juga karena kemauan
perempuan itu sendiri yang karena dia sendiri
terpenjara oleh nilai-nilai patriarkis tetap
merasa perlu untuk harus hadir di rumah
menjalankan fungsi-fungsi domestiknya dan
tidak rela jika laki-laki menjalankan fungsi
yang sama. Hanya dengan cara seperti itu
perempuan dapat menjaga citranya sebagai
perempuan baik-baik. Hal ini masih terjadi
meskipun laki-laki sedang gagal di ranah
education and work. In addition, women are
more favorable to men in some aspects for
example they are more meticulous, persistent,
responsible, have more achievements, not too
demanding, and particularly in work, they are
willing to accept lower wages.
On the other hand, women in patriarchal
societies do not provide space for men to hold
roles in the domestic domain to perform
”feminine” work for example nurturing the
child, cooking, washing the dishes, sweeping
the floor and the veranda. For example when a
husband intends to assist his wife to cook or
wash clothes, the wife would resist and say,
“Don't bother, let me do it, this is women's
work”. Therefore the phenomenon of “dual
burden” upon women is not entirely based on
male demands, however it can also be the result
of the women's willingness to confine her self
within patriarchal values and therefore remain
to adhere to her roles to stay at home to perform
domestic functions and would resist if men
performed the same functions. Only by
following such ways women can maintain their
image of a good woman. Such events may even
persist when men fail in the public domain, for
example when he is laid off from work or when
he receives a lower work status and lower
salary compared to his wife. It is not only the
husband that endures shame, but also the wife.
vii
publik, misalnya ketika dia terkena PHK atau
mempunyai status pekerjaan yang lebih rendah
dengan gaji lebih rendah dibanding istrinya.
Bukan hanya suami yang malu atau kehilangan
muka, tetapi juga istri. Kekerasan yang kemu-
dian dilakukan suami terhadap istri adalah
merupakan jalan keluar yang paling mudah
dari tekanan kejiwaan. Dalam situasi seperti
ini, laki-laki seperti ingin merebut kembali
pengakuan sosial yang hilang dengan meng-
hadirkan salah satu simbol kejantanan, yaitu
kekuatan fisik.
Di masyarakat patriarkis berlaku hukum
oposisi biner dari Claude Levi-Strauss, yang
menyatakan bahwa hanya ada dua tanda atau
kata yang hanya punya arti jika masing-masing
beroposisi dengan yang lain. Keberadaan yang
satu ditentukan oleh ketidakberadaan yang
lain. Siang menjadi ada karena dilawankan
dengan malam, karena siang ada hanya ketika
malam tidak ada. Tidak mungkin keduanya
ada pada saat yang sama karena keduanya
mempunyai sifat yang berlawanan. Hukum
oposisi biner itu berlaku dalam semua hal:
terang–gelap, baik–buruk, maju-mundur,
halus-kasar, surga-neraka, halal-haram dan
seterusnya.
Di dalam opisisi biner, garis batas sifat bersifat
tegas dan mutlak, tidak ada ruang abu-abu, dan
setiap realitas harus masuk dalam salahsatu
Violence directed towards the wife is the most
convenient solution to resolve their mental
distress. In such situations, men appear to be
striving to take back the social acknowledge-
ment that was lost, by using a symbol of their
masculinity, namely physical power.
In a patriarchal society the law of binary
opposition from Claude Levi-Strauss applies.
This law states that two signs or words will only
be meaningful should they be placed at the
opposition of each other. The existence of one is
determined by absence of the other. Day is
present because it is opposed by night, because
day is only present in the absence of night. It is
impossible for the two to be present at the same
time because they both possess opposing
characteristics. The law of binary opposition
applies in all aspects: light-dark, good-bad,
approach-retreat, soft-rough, heaven-hell,
(Allowed-forbidden) and etc.
In binary opposition, the boundaries are firm
and absolute, there is no grey area, and each
reality must enter in one of these absolutely
opposing extremes. I am right and you are
wrong, I am normal and you are abnormal, I am
general and you are specific, I win and you must
lose, I live and you must die. It is immediately
recognized that binary opposition can certainly
create an ambiguous position or a scandal
category. Such categories disturb the system of
halal-haram
viii
kotak yang berlawanan secara mutlak. Saya
benar dan kamu salah, saya normal dan kamu
abnormal, saya umum kamu khusus, saya
menang dan kamu harus kalah, saya hidup dan
kamu harus mati. Segera dapat diduga bahwa
opisisi biner pasti menimbulkan posisi ambigu,
yaitu realitas yang tidak dapat masuk ke dalam
salah satu kategori dari pasangan biner
tersebut. Posisi seperti ini disebut 'kategori
ambigu' atau 'kategori skandal'. Ketegori
seperti ini mengganggu sistem opisisi biner
atau mengotori batas-batas oposisi biner.
Hukum oposisi biner ini berlaku di masyarakat
patriarkis dalam memposisikan laki dan
perempuan di masyarakat. Pada laki-laki
melekat ciri maskulinitas dan pada perempuan
melekat ciri femininitas. Di sini laki-laki
bersifat maskulin yang artinya kuat, berotot,
superior, dan berkuasa, sementara perempuan
bersifat feminin yang artinya lemah, tidak
berotot, subordat, dan dikuasai. Tidak ada
ruang ketiga, yaitu laki-laki mempunyai sifat
feminin dan perempuan bersifat maskulin.
Ketika laki-laki lebih menonjolkan sifat
femininnya (banci/waria) atau perempuan
lebih menghadirkan sifat maskulinnya
(tomboy) ia harus masuk di kategori ambigu
atau kategori skandal yang dimaknai sebagai
sebuah anomali. Sama anomalinya ketika laki-
binary opposition or distort the boundaries of
binary opposition.
This binary opposition law applies in
patriarchal societies in positioning men and
women in society. Men are endowed with
masculine characteristics and women are
ascribed with feminine characteristics. In this
context, masculinity refers to being strong,
muscular, superior, and controlling, meanwhile
women are feminine referring to weak, not
muscular, subordinate and controlled. There is
no room for a third space, where men have
feminine characteristics and women have
masculine characteristics. When men display
their feminine characteristics (transvestites/
queers) or women display their masculine
characteristics (tomboy) they must enter the
ambiguous categories or scandal categories that
are perceived as anomalies. Similar perceptions
are made when men perform domestic roles
(nurturing children, cooking, washing dishes,
or sweeping the floor) or when women engage
in roles within the public domain to become a
leader or manager.
What becomes a problem is that society tends to
reinforce binary opposition by continuing to
reproduce the dichotomies of masculinity and
feminism. Religious and state institutions, and
the media enthusiastically strengthen those
ix
laki menjalankan peran domestik (merawat
anak, memasak, cuci piring, atau menyapu
lantai) atau ketika perempuan memainkan
peran di ranah publik menjadi pemimpin atau
manajer.
Repotnya masyarakat cenderung mengokoh-
kan opisisi biner dengan terus menerus mela-
kukan reproduksi dikotomi maskulinitas dan
femininitas. Institusi agama, negara, atau
media ramai-ramai mengeraskan dikotomi
tersebut, kemudian dari situ lahir kekerasan
terhadap perempuan yang betul-betul
sistemik.
Pengerasan dikotomi oleh institusi agama
menonjol dalam kasus Aceh. Nilai-nilai agama
adalah jantung kehidupan sosial-budaya
masyarakat Serambi Mekkah. Sebagai negeri
yang ruang publiknya begitu diwarnai oleh
nilai-nilai agama, maka budaya patriarkal
merupakan jantung politiknya. Belitan budaya
patriarkal terhadap kehidupan ranah politik
membuat peranan perempuan Aceh tersingkir
dari ruang publik. Penyingkiran itu
berlangsung dalam rangka memperebutkan
legitimasi politik pemerintah (militer) dengan
ulama dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM).
Tiga pilar ini memainkan perannya secara
berbeda dengan hasil yang sama bagi
perempuan Aceh. Militer melancarkan
dichotomies, and this is what leads to the
systematic reinforcement of violence against
women.
The strengthening of the dichotomy by
religious institutions are clearly demonstrated
in the case of Aceh. Religious values become the
heart of socio-cultural life in the
(referring to Aceh) society. As a state of which
its public domain is distinguished by its
religious values, therefore patriarchal cultures
are at the heart of its political domain. The
strains of patriarchal cultures towards the
political domain results in the subordination of
Aceh women from the public domain. Such
subordinations proceed in order to grab
Serambi Mekkah
Repotnya masyarakat cenderung
mengokohkan opisisi biner
dengan terus menerus
What becomes a problem is
that society tends to reinforce
binary opposition by continuing
x
kekerasan untuk menundukkan Aceh secara
keseluruhan dengan menjadikan perempuan
sebagai target, sementara ulama dengan
penafsiran agamanya yang konservatif
membatasi ruang gerak. Di sisi lain, GAM
adalah aktor pemaksa yang mampu meng-
giring perempuan untuk mematuhi aturan dari
ulama dengan kekerasan (Amiruddin,
Kompas, 16 Juli 2005).
Pengerasan dikotomi oleh media misalnya
terlihat dari munculnya banyak majalah
perempuan yang mereproduksi nilai-nilai
femininitas (mode pakaian, resep masakan,
atau kecantikan) dan majalah laki-laki yang
melakukan reproduksi nilai-nilai maskulinitas.
Lihat misalnya artikel-artikel di majalah laki-
laki HAI: "Agar Sekuat Stallone" (21-
27/03/1989), "Agar Perkasa SepertiArnold", dan
"Cowok Paling Takut Dipanggil Si Mungil" (5-
11/12/1989). Dua artikel pertama berisi upaya-
upaya yang harus dilakukan supaya kaum laki-
laki bisa memperoleh bentuk tubuh yang kekar,
sementara artikel ketiga menciptakan stigma
laki-laki kecil sebagai laki-laki lemah. Argu-
mentasi yang dipakai adalah seperti yang ter-
tulis dalam artikel "Agar Perkasa Seperti
Arnold" yaitu," Yang namanya tubuh indah, ki-
ni tak cuma jadi milik cewek. Cowok pun wajib
hukumnya. Meskipun tentu saja ada perbeda-
government political legitimacy (military) with
the (religious clerics) and from Aceh
Freedom Movement (Gerakan Aceh Merdeka-
GAM). These three pillars play their roles
differently but with the same results for Aceh
women. The military launches violence to
dismantle Aceh as a whole by making women
as targets, while the and their
conservative religious interpretations limit
their moving space. In addition, GAM serves as
the imposing party that is able to reel in women
to comply with the rules from the ulama with
violence (Amiruddin, Kompas, 16 July 2005).
The reinforcement of the dichotomy from the
media for example is seen from the numbers of
women magazines that reproduce feminine
values (clothing style, cooking recipes, or
beauty) and male magazines that reproduce
masculine values.
Let's take a look at some articles from the male
magazine HAI: "To be as Strong as Stallone
“(21-27/03/1989), "To be as courageous as
Arnold ", and "Men are most afraid to be called
Tiny “(5-11/12/1989). The first two articles
idealize men to be a strong figure, while the
third article creates a stigma that small men are
weak. The arguments used above resemble the
arguments written in the article”To be as
Courageous as Arnold” namely,”to have an
ulama
ulama
xi
annya. Jika cewek membentuk tubuhnya agar
nampak singset dan seksi, cowok justru harus
kelihatan kekar dan atletis. Toh jika dicari
benang merahnya, ada juga kesamaannya.
Enak dilihat, tubuh pun jadi sehat.
Pengerasan nilai-nilai patriarki dengan
terjadinya perilaku hipermaskulin tidak hanya
merugikan kaum perempuan, yaitu ketika laki-
laki melakukan kekerasan terhadap perem-
puan, tetapi juga terhadap kaum laki-laki itu
sendiri. Data sosial kesehatan Badan Kese-
hatan Dunia (WHO) menunjukkan, angka
kesakitan dan kematian laki-laki dalam rentang
umur 15 sampai 24 tahun jauh lebih tinggi
daripada perempuan, juga jauh lebih tinggi
daripada laki-laki yang rentang umurnya lebih
tua.
Tingginya angka itu sangat terkait dengan
tingginya kejadian perilaku berisiko pada laki-
laki berumur 15-24 tahun. Perilaku berisiko itu
seperti keterlibatan dalam tindak kekerasan
(perkelahian menggunakan senjata), penggu-
naan alkohol, narkotika dan psikotropika, pe-
rilaku seks tidak aman (berganti-ganti pasa-
ngan tanpa menggunakan kondom), atau
penggunaan kendaraan bermotor dengan kece-
patan tinggi yang banyak berakhir dengan
kematian prematur.
Hasil penelitian Barker pada laki-laki berumur
attractive body does not only become an ideal
for women, but also becomes an obligation for
men. Although of course having an attractive
body for women and men imply different
things. For women, they form their bodies to be
tight and sexy, while men must look strong and
athletic. However there are also similarities,
basically attractive bodies are those that are
physically appealing and healthy".
The shifts of patriarchal values with behaviors
of hyper masculinity is not only detrimental to
women, namely when men conducts violence
towards women, but also to the men
themselves. From the social health data from
the World Health Organization (WHO), it
demonstrates that the figures of male illness
and mortalities from the age 15 until 24 years
are much higher compared to women, and is
much higher compared to men with older ages.
The high rates are strongly related with the
higher rates of risk behaviors for men aged 15-
24 years. Risky behaviors include involvement
in violent actions (armed assault), alcohol
abuse, narcotic and psychotropic abuse, and
unsafe sex (different partners without using
condoms), or speeding using a motorcycle, that
may all lead to premature death.
The results of a study from Barker on men
xii
15-24 tahun di Amerika Serikat, Brasil, negara-
negara Karibia, Nigeria, dan Afrika Selatan
menunjukkan pentingnya peran maskulinitas
dalam memicu perilaku berisiko di atas dan
jauh lebih jamak ditemukan di kalangan anak
muda laki-laki dari kelas sosial-ekonomi
bawah. Penelitian Barker ini sebenarnya
banyak bertumpu pada konsep
yang diajukan sosiolog asal
Australia, Bob Connell (Masculinties,
University of California Press, 1994). Connell
menyatakan, maskulinitas tidak bersifat
tunggal, tetapi beragam dan terkait erat dengan
status sosial-ekonomi.
Jenis maskulinitas yang paling banyak ditemui
dan paling dominan adalah
yang dicirikan vitalnya peran
penguasaan terhadap sumber daya ekonomi,
seperti pekerjaan, dan pentingnya kontrol laki-
laki terhadap perempuan, khususnya di sektor
domestik dalam pembentukan identitas kelaki-
lakian. Laki-laki dari kelas sosial-ekonomi
lebih tinggi memiliki sarana lebih leluasa untuk
menegakkan identitas maskulin lewat peker-
jaan. Mereka lebih mudah mendapat pekerjaan
karena umumnya memiliki pendidikan dan
keterampilan lebih tinggi. Laki-laki dari kelas
sosial-ekonomi lebih rendah di negara maju
maupun negara berkembang mengalami ke-
sulitan memenuhi ideal identitas maskulin,
hegemonic
masculinity
hegemonic
masculinity
reveals that men aged 15-24 years in United
States, Brazil, Caribbean Countries, Nigeria,
and South Africa indicate the contribution of
masculinity in triggering the risky behaviors
above and is more prevalent among young men
from the lower socio-economic classes. Barker's
studies actually rests on the concept of
hegemonic masculinity proposed by an
Austra l ian socio logis t , Bob Connel l
(Masculinities, University of California Press,
1994). Connell states that masculinity is not a
single entity, but is diverse and strongly related
with socio-economic status.
The type of masculinity most prevalent and
dominant is hegemonic masculinity which is
distinguished by ascribed roles towards
economic resources, for example work, and the
importance of male control towards women,
specifically in the domestic sector in forming
the identity of manhood. Men from higher
socio-economic classes have broader facilities
to enforce their masculine identity through
work. It is easier for them to obtain a job because
they generally own higher education and skills.
Men from the lower socio-economic classes,
both in advanced and developing countries,
experience difficulties in fulfilling the ideal
masculine identity, specifically in obtaining a
job that can secure economic welfare and earn
xiii
khususnya dalam meraih pekerjaan yang
menjamin penghasilan ekonomi dan status
sosial yang stabil. Pengangguran membuat
mereka memiliki banyak waktu luang yang
tidak termanfaatkan serta rasa bosan dan
frustrasi sosial yang kronis. Banyak yang
mengembangkan identitas lewat maskulinitas
agresif, seperti keterlibatan dalam geng,
kekerasan, tindak-tindak kriminal, penggu-
naan alkohol dan narkotika, serta perilaku
seksual berisiko. Barker menyebut mereka
sebagai anak muda yang secara harfiah sakit
dan kemudian mati akibat desakan "menjadi
laki-laki" ( ) (Sudirman H. Nasir,
”Maskulinitas dan Perilaku Berisiko, Kompas,
27 September, 2007).
dying to be men
Prof. Muhadjir M. Darwin, MPA., Ph.D.Guru Besar FISIPOL UGM &
Direktur Pusat Studi Kebijakan dan Kependudukan UGM
them a stable social status. Unemployment
leads to lack of productivity, boredom and
chronic social frustration. Many have
developed identities through an aggressive
masculinity for example involvement in gangs,
violence, criminal actions, alcohol and drug
abuse, as well as risky sexual behaviors. Barker
mentioned these people as young people that
are literally ill and eventually die due to the
demands (Sudirman H. Nasir, ”Maskulinitas
dan Perilaku Berisiko [Masculinity and Risky
Behaviors], Kompas, 27 September, 2007).
Prof. Muhadjir M. Darwin, MPA., Ph.D.
Professor of Political Science
Universitas Gadjah Mada (UGM) & Director of Center
for Studies on Policy and Demographics, UGM
xiv
Kata Pengantar
Oleh : Elli Nur Hayati
Ketika Rifka Annisa memulai kegiatan layanan
pendampingan bagi perempuan korban
kekerasan berbasis gender di tahun 1993, ada
suatu keinginan yang kuat untuk dapat
memahami perilaku kekerasan terhadap
perempuan itu secara lebih mendalam, dari sisi
laki-laki. Keinginan tersebut mustinya dapat
terjawab pada masa ketika itu juga, jika saja
kami dapat berkomunikasi dengan kaum laki-
laki tentang hal itu. Persoalannya, justru pada
masa awal itulah, kekerasan terhadap
perempuan yang kami coba angkat ke
permukaan untuk dibicarakan secara publik,
masih dianggap sebagai sebuah isyu atau
masalah yang ”mengada-ada” oleh banyak
pihak, terutama kaum laki-lak, sehingga justru
resistensi dan berbagai sorotan negatif
lainnyalah yang kami dapatkan. Maka kami
pendamlah keingintahuan tersebut, dengan
harapan bahwa suatu ketika kami akan
menemukan jawaban atas keingintahuan
tersebut.
Dengan berjalannya waktu, situasi sosial-
politik-ekonomi-budaya-ideologi di negeri ini
berubah. Isyu kekerasan terhadap perempuan
Preface
By: Elli Nur Hayati
When Rifka Annisa started its activities of
assisting women victims of gender based
violence in 1993, a strong desire emerged to
understand violent behaviors directed against
women from a male perspective. Such desires
should have been already answered at the time
the thought initially emerged, if only we were
able to talk to the male community at the time.
The problem was that at the time we were only
starting to uncover the issue of violence
towards women to the public, and several
parties claimed such issues as insignificant,
particularly by men themselves, and received
many negative feedbacks upon our struggles.
As a result we suppressed such efforts in hopes
that a moment would come to answer our
curiosity.
As time passed by, and several social-political,
economic-cultural and ideological changes in
this country had taken place, the issue of
violence against women was eventually
formally acknowledged as a public issue that
must be attended to by the State and the society.
This enabled us to pursue the answers to our
curiosity in the past few years and gain an
xv
pada akhirnya resmi diakui sebagai isyu publik
yang perlu mendapatkan perhatian oleh negara
dan masyarakat. Dengan demikian, terbukalah
jalan untuk mengejar keingin tahuan kami
belasan tahun yang lalu itu, untuk memperoleh
pemahaman mengapa kekerasan terhadap
perempuan terjadi, dari sudut pandang pemi-
kiran dan pengalaman hidup kaum laki-laki.
Penelitian ini dilakukan jauh dari tuduhan
bahwa laki-laki adalah pelaku kekerasan,
melainkan berangkat dari pengetahuan yang
terbangun setelah melakukan serangkaian
kajian teoritik dan empiris. Dasar teoritik dan
empiris penelitian ini adalah pertama, secara
statistik makro (global), pelaku tindak
kekerasan berbasis gender terhadap perem-
puan adalah laki-laki. Kedua, kajian ilmiah
tentang perilaku manusia sudah bergeser dari
era BIOMEDICINE ke BIOPSIKOSOSIAL,
dimana perilaku manusia sudah tidak lagi
dipandang sebagai konsekuensi dari
determinasi biologis malainkan gabungan dari
determinasi biologis-psikologis-sosial. Dengan
demikian, persoalan konstruksi sosial-budaya
menjadi salah satu wacana inti yang juga harus
didalami apabila kita ingin mempelajari suatu
perilaku. Ketiga, gerakan penghapusan keke-
rasan terhadap perempuan tidak dapat semata-
mata diupayakan dari sisi pemberdayaan
perempuan saja, karena dunia ini terdiri dari
understanding of why violence towards
women can occur, from the perspective of the
thoughts and experiences of the male
community.
This study does not directly suspect that men
are perpetrators of violence; however
knowledge was gained through several
theoretical and empirical investigations. Firstly,
our theoretical and empirical basis indicates
that in a macro (global) statistical sense, per-
petrators of gender based violence towards
women are dominantly men. Second, scientific
studies on human behavior have shifted from a
the Biomedicine era towards a Bio-psychosocial
era, where human behavior is no longer
assumed to be a product of biological deter-
minism but rather a combination from
biological, psychological and social determi-
nants. In this notion, the issue of socio-cultural
constructs becomes the central discourse that
must be thoroughly investigated when
understanding behavior. Third, the movement
to eradicate violence against women cannot
merely be performed from the aspect of women
empowerment, because the world is composed
of both men and women who mutually
associate and interact with one another. When
the movement for a global social change for the
improvement of women status has been
initiated, of which includes eradication of
xvi
perempuan dan laki-laki yang keduanya saling
berhubungan dan berinteraksi. Maka ketika
gerakan perubahan sosial global untuk
perbaikan posisi perempuan telah dimulai,
dimana salah satunya adalah yang terkait
dengan upaya penghapusan kekerasan
terhadap perempuan (PKTP), tak pelak laki-
laki juga harus dilibatkan untuk mencapai
situasi ideal yang diharapkan itu. Yaitu, posisi
dan relasi yang setara antara laki-laki dan
perempuan, dan salah satu indikatornya ada-
lah tidak adanya lagi tindak kekerasan berbasis
gender terhadap perempuan.
Dari penelitian ini, kami berharap bahwa pe-
ngembangan program penghapusan kekerasan
terhadap perempuan yang telah kami rintis
dari tahun 1993 lalu akan semakin komprehen-
sif, sehingga semakin efektif dalam mengupa-
yakan perubahan sosial atas relasi laki-laki dan
perempuan di negeri ini. Semoga!
Yogyakarta,Akhir November 2007
Dra. Elli Nur Hayati, MPH
Direktur Rifka Annisa WCC
violence towards women, male involvement
becomes imperative to attain such ideal
conditions. Such conditions imply an equal
position and relationship between men and
women, of which one of its indicators is the
elimination of gender based violence towards
women.
It is to our utmost expectations that the results
of this research can assist in developing
programs to eradicate violence against women,
of which we have been initiated from 1993, to
become even more comprehensive and
therefore increase the effectiveness towards
efforts of social change between men and
women in this country. Hopefully!
Yogyakarta, Late November 2007
Dra. Elli Nur Hayati, MPH
Director Rifka Annisa WCC
xvii
Puji Syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa,
Allah SWT atas segala kasih sayang Nya
sehingga penelitian ini dapat terlaksana, tak
lupa peneliti juga mengucapkan terima kasih
kepada pihak-pihak yang turut mendukung
penelitian ini.
1. Foundation Open Society Institute.
2. LPKGM Fakultas Kedokteran UGM.
3. CHN UGM.
4. Pemerintah Kabupaten Purworejo.
5. Bapak-bapak Kelurahan Cokrodining-
ratan, Kabupaten Sleman, Yogyakarta.
6. Bapak-bapak Dusun Maguwoharja,
Kabupaten Sleman, Yogyakarta.
7. Bapak-bapak Kelurahan Pituruh,
Kabupaten Purworejo.
8. Para rekan-rekan di Rifka Annisa WCC
Yogyakarta.
We extend our gratitude to God Almighty for
His Affection in allowing us to accomplish this
research project. The researchers would also
like to thanks following parties who have
generously contributed to this study.
1. Foundation Open Society Institute
(FOSI, USA)
2. Community Health and Nutrition
Research Laboratory, Gadjah Mada
University (CHN-RL, GMU)
1. Purworejo District Government
2. Male community leaders from the
Cokrodiningratan village, Sleman
District, Yogyakarta
3. Male community leaders in the
Maguwoharja sub-village, Sleman
District, Yogyakarta
4. Fathers male community leaders in the
Pituruh sub-village, Purworejo District
5. Colleagues at Rifka Annisa WCC
Yogyakarta
Ucapan Terimakasih Acknowledgements
xxi
KATA PENGANTAR >> III
UCAPAN TERIMA KASIH XIX
DAFTAR ISI >> XXIII
BAB I : PENDAHULUAN >> 1
BAB II : TEMUAN >> 15
Prof. Muhadjir M. Darwin, MPA., Ph.D >> v
Dra. Elly Nur Hayati, MPH. >> xv
>>
A. Latar Belakang >> 3
B. Tinjauan Terminologi >> 7
C. Tujuan Penelitian >> 9
D. Metodologi Penelitian >> 9
E. Subjek Penelitian dan Lokasi
Penelitian >> 10
F. Analisis Data >> 13
A. Persepsi tentang kejantanan >> 17
B. Persepsi tentang posisi laki-laki dalam
masyarakat >> 20
C. Persepsi tentang peran dan tanggung
jawab laki-laki dalam Keluarga >> 26
1. Pengasuhan Anak >> 26
2. Relasi Suami – Istri >> 28
PREFACE >> III
ACKNOWLEDGEMENTS >> XIX
CONTENT >> XXIII
CHAPTER I : INTRODUCTION >> 1
CHAPTER II : FINDINGS >> 15
Prof. Muhadjir M. Darwin, MPA., Ph.D >> v
Dra. Elly Nur Hayati, MPH. >> xv
A. Background >> 3
B. Review on Terminology >> 7
C. Research Objective >> 9
D. Research Methodology >> 9
E. Subjects and Research Location >> 10
F. DataAnalysis >> 13
A. Perception on manhood >> 17
B. Perception on men’s status
in the society >> 20
C. Perception of men roles and
responsibilities in the Family >> 26
1. Child nurturing >> 26
2. Husband-wife relations >> 28
xxv
Daftar Isi Content
D. Faktor – Faktor yang Mempengaruhi
Konsep Kelelakian >> 32
1. Pengaruh lingkungan >> 32
2. Pemahaman terhadap teks agama dan
idiom budaya >> 34
E. Perasaan seorang laki-laki >>38
1. Perasaan menjadi laki-laki/ayah >> 38
2. Konflik peran gender dan Ambivalensi
Laki-laki >> 43
F. Persepsi tentang konflik dan kekerasan
dalam rumah tangga >> 48
G. Intervensi lingkungan sosial dalam
konflik rumah tangga >> 53
H. Dinamika kehidupan pernikahan para
subjek >> 60
A. Persepsi tentang kejantanan >> 97
1. Persepsi terhadap tubuh >> 103
2. Diri Ideal >> 110
B. Posisi laki-laki dalam masyarakat >> 114
1. Posisi dan relasi sosial laki-laki dalam
masyarakat >> 114
2. Peran dan tanggung jawab ideal
sebagai laki-laki >> 118
C. Peran dan tanggung jawab laki-laki
dalam keluarga >> 123
1. Pengasuhan anak >> 123
2. Relasi suami – istri >> 128
D. Faktor-faktor yang mempengaruhi
konsep diri laki-laki >> 133
BAB III : PEMBAHASAN >> 95
D. Factors Influencing the Concept of
Manhood >> 32
1. Environmental influences >> 32
2. Understanding upon religious texts
and cultural idioms >> 34
E. Feelings of a man >> 38
1. Feelings to be a man/ father >> 38
2. Conflict of gender roles and male
ambivalence >> 43
F. Perception about conflict and domestic
violence >> 48
G. Intervention of social environment in
domestic conflicts >> 53
H. Dynamics of the life of
the subjects >> 60
A. Perception towards manhood >> 97
1. Perception towards body image >> 103
2. Ideal Self >> 110
B. Status of men in the society >> 114
1. Status and social relations of men in
the society >> 114
2. Ideal roles and responsibilities
as men >> 118
C. Roles and responsibilities of men in the
family >> 123
1. Child nurturing >> 123
2. Husband-wife relations >> 128
D. Factors influencing the men’s
self concept >> 133
CHAPTER III : DISCUSSION >> 95xxvi
1. Pengaruh lingkungan>> 133
2. Pemahaman terhadap teks agama
dan idiom budaya >> 136
E. Perasaan seorang laki-laki >> 138
1. Perasaan sebagai laki-laki/
ayah >> 138
2. Konflik peran gender dan
ambivalensi laki-laki >> 145
F. Konflik dan kekerasan dalam rumah
tangga >> 157
1. Penyebab kekerasan dalam rumah
tangga >>157
2. Intervensi lingkungan sosial dalam
konflik dan kekerasan dalam rumah
tangga >> 164
G. Intervensi yang perlu dilakukan >> 167
Penutup >> 175
Rekomendasi >> 176
BAB IV : PENUTUP >> 173
KEGIATAN >> 179
DAFTAR PUSTAKA >> 185
TENTANG PENULIS >> 191
1. Environmental influences >> 133
2. Understanding upon religious text
and cultural idioms >> 136
E. Feelings of a man >> 138
1. Feelings of a man/ father >> 138
2. Conflict of gender roles and male
ambivalence >> 145
F. Conflict and domestic violence >> 157
1. Causes of domestic violence >> 157
2. Intervention of social environment in
domestic conflict and domestic
violence >> 164
G. Required intervention >> 167
Closing >> 175
Recommendation >> 176
CHAPTER IV : CLOSING >> 173
ACTIVITIES >> 179
REFERENCE >> 185
ABOUT AUTHORS >> 191
xxvii
A. Latar Belakang
Berdasarkan pada data base yang dikelola oleh
Rifka Annisa Yogyakarta, kekerasan dalam
rumah tangga (selanjutnya disingkat KDRT)
merupakan bentuk kekerasan yang paling se-
ring dialami oleh perempuan di DIY dan seki-
tarnya. Peringkat di bawahnya adalah kasus
kekerasan dalam pacaran, pelecehan seksual,
perkosaan dan kekerasan terhadap anak.
Berbagai riset di banyak negara telah memberi-
kan gambaran yang nyata tentang
persoalan KDRT ini. Studi tentang kekerasasan
domestik yang dikompilasikan dari 48 negara
dalam Population Report (Ellsberg &
Gottemoeller, 1999) menunjukkan bahwa
secara keseluruhan antara 10% sampai 69%
perempuan melaporkan pernah mengalami
kekerasan dari pasangannya dalam satu waktu.
Studi dari WHO di 10 negara dengan
menggunakan alat ukur yang sama (Multi
Country Study on Domestic Violence Against
Women and Women's Health) menemukan
bahwa setidaknya 13% - 61% perempuan dari
ke 10 negara tersebut pernah mengalami
kekerasan fisik; dan antara 6% - 59% pernah
mengalami kekerasan seksual dari pasangan-
nya (WHO, 2005). Sementara itu, studi berbasis
populasi di Purworejo, Jawa tengah, mengung-
kap bahwa kekerasan seksual lebih banyak
magnitude
A. Background
Rifka Annisa's database in Yogyakarta reveal
that domestic violence constitutes the form of
violence most frequently experienced by
women in the Daerah Istimewa Yogyakarta
province and its surroundings. Ranked below
domestic violence in terms of frequency is
intimate-partner violence, sexual harassment,
rape and child abuse.
Numerous cross country studies provide a clear
description of the magnitude of domestic
violence. A study on domestic violence
compiled from 48 countries in the Population
Report (Ellsberg & Gottemoeller, 1999),
demonstrate that overall, 10% to 69% of
women, report to have experienced violence
from their spouse at least once. A study from
WHO in 10 countries using the same measure
(Multi Country Study on Domestic Violence
Against Women and Women's Health)
discovered that at least 13% - 61% women from
10 countries have experience physical violence;
and 6% - 59% have experienced sexual violence
from their spouse (WHO, 2005). Meanwhile, a
study based in Purworejo, Central Java,
discovered that more sexual violence is
experienced by women (22%) compared to
physical violence (11%) (Hakimi et al, 2001).
3
dialami oleh perempuan (22%) daripada
kekerasan fisik (11%) (Hakimi dkk, 2001).
Lebih lanjut lagi, KDRT ini juga telah diidentifi-
kasi sebagai salah satu masalah yang serius
bagi kesehatan masyarakat. Berbagai studi
menunjukkan, baik dalam seting negara-
negara maju maupun berkembang, KDRT telah
terbukti sebagai faktor risiko bagi perempuan
untuk mengalami berbagai gangguan keseha-
tan fisik, mental dan kesehatan reproduksi
(Ellsberg & Gottenmoller, 1999; Campbell,
2002).
Mencoba memahami mengapa kekerasan
domestik dapat terjadi, masih sering menjadi
perdebatan, apakah karena kultur patriarki
ataukah kemiskinan; konsumsi alkohol
ataukah perilaku agresif ? Namun satu hal yang
telah banyak dibuktikan melalui penelitian
adalah fakta bahwa secara epidemiologis,
faktor risiko bagi perempuan untuk mengalami
kekerasan adalah sangat beragam (Jewkes,
2002). Berbagai faktor demografis, kemiskinan,
norma sosial budaya, hingga faktor identitas
diri maskulin, semua memiliki sumbangan
yang signifikan bagi terjadinya kekerasan
terhadap pasangan (Jewkes, 2002).
Terkait dengan faktor risiko kekerasan
domestik dari sisi laki-laki sebagai pelaku,
sejak dasawarsa terakhir ini memang telah
In addition, domestic violence has been
identified as a serious issue related with
community health. Based on several studies,
both in developed and developing countries,
domestic violence has proven to serve as a risk
factor for women to experience numerous
physical, mental, and reproductive health
disorders (Ellsberg & Gottenmoller, 1999;
Campbell, 2002).
The debate continues as to how domestic
violence occurs, whether it originates from
patriarchal cultures or poverty; alcohol
consumption or aggressive behavior? However
one thing is certain, studies prove that
epidemiologically, the risk factors for women to
experience violence is highly diverse (Jewkes,
2002). Numerous demographic factors
including poverty, socio-cultural norms, along
with factors of masculine self identity, all
significantly contribute to violence towards the
spouse (Jewkes, 2002).
With regard to the risk factors of domestic
violence from the male perspective as a
perpetrator, the last decade has presented
several studies to identify its contribution
towards domestic violence. Unfortunately,
most studies have been carried out in
developed countries for example Europe and
North America. In the regional context of
4
banyak riset dilakukan untuk melihat sumba-
ngannya bagi terjadinya KDRT. Sayangnya,
kebanyakan studi tersebut masih lebih banyak
dilakukan di negara maju seperti kawasan
Eropa dan Amerika Utara. Dalam konteks
regional di Asia Tenggara dan Asia Timur,
wacana tentang keterlibatan laki-laki dalam
penghapusan kekerasan terhadap perempuan
mulai menjadi berbagai organisasi baik
pemerintah maupun non pemerintah seperti
tercermin dalam konferensi yang diselenggara-
kan di gedung PBB di Bangkok pada awal
September 2007. Konferensi tersebut meng-
hasilkan deklarasi Bangkok yang mendorong
keterlibatan laki-laki dalam penghapusan
kekerasan terhadap perempuan di berbagai
bidang seperti agama, pendidikan, media,
pengambil kebijakan dan organisasi non
pemerintah.
Meskipun sebagian besar studi masih
manjadikan perempuan sebagai fokus utama di
kawasan Asia, bukan berarti tidak ada studi
tentang laki-laki dan maskulinitas di kawasan
ini. Beberapa studi penting yang dapat dilacak
sekaligus dapat dijadikan sebagai referensi
tentang studi laki-laki di Asia diantaranya studi
tentang maskulinitas dan kekerasan domestik
yang dilakukan oleh International Center for
Research on Women, Washington DC di-5
negara bagian di India. Studi ini berhasil
concern
South-East Asia and East Asia, the discourse on
men involvement to eradicate violence against
women becomes the concern of several
organizations, both government and non-
government, reflected by their participation in a
conference held in the United Nations Office in
Bangkok in early September 2007. This
conference gave birth to the Bangkok
Declaration which endorses men involvement
in eradicating violence against women in
several aspects for example religion, education,
media, policy making and non-governmental
organizations.
Although most studies in the Asian region
remain to emphasize on women, studies on
men are evident although scarce. A number of
important studies conducted on Asian men
include a study on masculinity and domestic
violence carried out by the International Center
for Research on Women, Washington DC in 5
states in India. The study was successful in
revealing processes of masculinity construction
as well as its relationship with violence in the
domestic regions of India (Center for Research
on Women, 2002). In South-East Asia, studies
conducted by Romeo B Lee (1999, 2004) serve as
important reference concerning masculinity in
South-East Asia, specifically in Philippines. In
one of the studies concerning Philippine Men
and domestic violence (2004), Lee provides a
5
mengungkap proses-proses konstruksi
maskulinitas serta kaitannya dengan kekerasan
dalam wilayah domestik di India (Center for
Research on Women, 2002). Di Asia Tenggara
kerja-kerja penelitian yang dilakukan oleh
Romeo B Lee (1999, 2004) menjadi rujukan
penting dalam studi maskulinitas di Asia
Tenggara khususnya di Philipina. Melalui salah
satu studinya tentang
(2004), Lee memberi kotribusi penting
dalam melihat keterkaitan antara konsep
maskulinitas laki-laki dengan terjadinya
kekerasan dalam rumah tangga di Philipina.
Perbedaan konteks sosial budaya antara negara
maju dan berkembang tentu akan sangat mem-
pengaruhi dinamika terjadinya KDRT dari sisi
lelaki sebagai pelaku. Fokus pada perempuan
korban dan kurangnya studi terhadap laki-laki
dalam isu kekerasan dalam rumah tangga
mengakibatkan tidak cukup tersedianya infor-
masi mendalam tentang laki-laki dan perilaku
kekerasannya, serta faktor-faktor yang mempe-
ngaruhi laki-laki melakukan tindak kekerasan
dan seterusnya sehingga hal ini berpengaruh
pada belum adanya intervensi yang memadai
bagi laki-laki dalam penanganan kasus
kekerasan dalam rumah tangga. Di Indonesia
studi tentang laki-laki dan maskulinitas belum
mendapat perhatian memadai namun studi
tentang partisipasi laki-laki muslim dalam
Philipino Men and domestic
violence
significant contribution in observing relations
between the concept of masculinity with
domestic violence in Philippines.
Different socio-cultural contexts between
developed and developing countries
undeniably influence the dynamics of domestic
violence from the standpoint of men as the
perpetrators. The large focus on women as
victims and the paucity of studies on men in the
issue of domestic violence results in the
insufficient information concerning men and
their aggressive behavior, as well as the factors
that influence men in performing acts of
violence which also influences the absence of
sufficient intervention for men in managing
domestic violence cases. In Indonesia, studies
concerning men and masculinity have not
“A study on domestic violence
compiled from 48 countries in
the Population Report (Ellsberg
& Gottemoeller, 1999),
demonstrate that overall, 10%
to 69% of women, report to
have experienced violence from
their spouse at least once.”
6
kesehatan reproduksi yang dilakukan oleh
Hamim Ilyas, dkk (2006) menjadi studi penting
yang dapat dijadikan pijakan awal terhadap
studi laki-laki dan maskulinitas di Indonesia
khususnya di pulau Jawa.
Secara umum studi ini dimaksudkan untuk
menjawab tiga pertanyaan penting:
mengapa laki-laki melakukan kekerasan terha-
dap pasangan dalam rumah tangga? ,
bagaimana pandangan laki-laki tentang citra
maskulinitas yang melekat pada dirinya dan
bagaimana padangan laki-laki terhadap
kekerasan dalam rumah tangga.
Studi ini juga dilakukan sebagai bagian dari
upaya untuk memperkaya studi tentang mas-
kulinitas serta menyediakan informasi awal
tentang maskulinitas dan kekerasan dalam ru-
mah tangga di Yogyakarta dan sebagai bagian
dari upaya mencari bentuk intervensi yang
tepat untuk laki-laki pelaku kekerasan.
Untuk mengawali, sangat penting mengeks-
plorasi terlebih dahulu kerangka konseptual
yang dipakai dalam studi ini, yakni
maskulinitas dan kekerasan dalam rumah
tangga.
Pertama,
Kedua
ketiga,
B. Tinjauan Terminologi
drawn serious attention however a study on
Muslim men participation in reproductive
health conducted by Hamim Ilyas, et al (2006)
serves as an important study towards men and
masculinity in Indonesia, particularly in the
Java Island.
In general, the study aims to answer three
fundamental questions; First, why do men
conduct violence against their wives in the
family? Second, how do men view themselves
in terms of the masculine image that adheres
upon them, and third, how do men view
domestic violence.
The current study also serves as part as an effort
to enrich studies concerning masculinity as well
as provide preliminary information concerning
masculinity and domestic violence in
Yogyakarta. The results of the study are
expected to refine forms of intervention most
appropriate for male perpetrators.
Before entering the core discussion it is
important to explore the conceptual framework
used in this study, namely masculinity and
domestic violence.
The definition of masculinity used in this study
refers to the terminology discussed by Kamla
B. Terminological Issues
other forms of sexual coercion; d) Various controlling
behaviors-such as isolating a person from their
family and friends, monitoring their movement and
restricting their access to information or assistance”
Dalam buku ini, terminologi KDRT yang
dipergunakan adalah untuk menjelaskan
berbagai bentuk dan jenis kekerasan yang
terjadi dari suami kepada isterinya (dalam
konteks perkawinan).
Studi ini memiliki tiga tujuan :
1. Mengidentifikasi pandangan laki-laki
di Yogyakarta dan Purworejo tentang
maskulinitas.
2. Mengidentifikasi faktor-faktor yang
mempengaruhi pandangan laki-laki
tentang maskulinitas.
3. Mengidentifikasi pandangan laki-laki
di Yogyakarta dan Purworejo tentang
kekerasan dalam rumah tangga
Studi ini menggunakan pendekatan kualitatif,
karena tujuannya adalah untuk mendapatkan
pemahaman yang mendalam tentang suatu
C. Tujuan Penelitian
D. Metode penelitian
conducting violence towards their wives (in the
context of marriage).
Three objectives are proposed in the current
study:
1. Identify male perceptions of mascu-
linity in Yogyakarta and Purworejo.
2. Identify factors that influence male
perceptions of masculinity.
3. Identify male perceptions of domestic
violence in Yogyakarta and Purworejo
As the current study aims to gain a thorough
understanding of a particular phenomenon, a
C. Research Objectives
D. Research Method
“the study aims to answer three
fundamental questions; First, why
do men conduct violence against
their wives in the family? Second,
how do men view themselves in
terms of the masculine image that
adheres upon them, and third, how
do men view domestic violence”
9
Pengertian maskulinitas yang dijadikan acuan
dalam penelitian ini adalah diambil dari
terminologi sebagaimana yang dibahas oleh
Kamla Bashin (2004), yang menyebutkan
maskulintas sebagai definisi sosial yang
diberikan oleh masyarakat kepada laki-laki,
atau dengan kata lain maskulinitas sebagai
sebuah konstruksi sosial. Maskulinitas
mendefinisikan bagaimana laki-laki harus
berperilaku, berpakaian, berpenampilan serta
bagaimana sikap dan kualitas-kualitas yang
harus dimiliki oleh laki-laki.
Sementara itu, kekerasan dalam rumah tangga
(KDRT), dalam istilah asing sering disebut
sebagai , dan terakhir
dikenal sebagai (karena
fakta bahwa tidak semua pasangan adalah
pasangan yang menikah resmi, dan tidak
semua pasangan adalah heterosexual).
Pengertian kekerasan dalam rumah tangga
disini adalah sebagaimana yang dikemukakan
oleh Heise dan Moreno (2002) sebagai:
domestic violence, wife abuse
intimate partner violence
Any behavior within an intimate relationship that
causes physical, psychological or sexual harm. Such
behavior includes a) Acts of physical aggression-
such as slapping, hitting, kicking and beating; b)
Psychological abuse-such as intimidation, constant
belittling and humiliating; c) Forced intercourse and
“
Bashin (2004), who stated that masculinity
refers to a social definition given by society to
men, or in other words masculinity could be
referred to as a social construct. Masculinity
defines how men must behave, which clothes to
wear, how to present them selves, how to act, as
well as the qualities that must be owned by
men.
Meanwhile, a number of terms are associated
with domestic violence for example wife abuse
and intimate partner violence (considering that
not all partners are formally married, and not
all partners are heterosexual).
Domestic violence is understood under the
conceptual framework of Heise and Moreno
(2002):
The current book uses the term domestic
violence under the context of husbands
“Any behavior within an intimate relationship that
causes physical, psychological or sexual harm. Such
behavior includes a) Acts of physical aggression-
such as slapping, hitting, kicking and beating; b)
Psychological abuse-such as intimidation, constant
belittling and humiliating; c) Forced intercourse and
other forms of sexual coercion; d) Various controlling
behaviors-such as isolating a person from their
family and friends, monitoring their movement and
restricting their access to information or assistance”
8
fenomena. Metode pengumpulan data yang
dipergunakan untuk memperoleh pemahaman
itu adalah dengan menggunakan diskusi
kelompok terarah dan
wawancara mendalam .
FGD dipilih mengingat metode ini cukup
relevan untuk memahami konteks persoalan
yang umum (general) tentang suatu topik
tertentu, pandangan atau pendapat masyara-
kat tentang topik tertentu, yang semuanya
bersifat normatif, general dan merupa-
kan topik sensitif yang perlu kerahasiaan dan
bersifat pribadi. Sementara itu, wawancara
mendalam digunakan untuk memperoleh data
yang lebih bersifat personal yang menyangkut
pengalaman-pengalaman pribadi yang lebih
spesifik, termasuk perasaan maupun pemiki-
ran subjek tentang sesuatu hal.
Subjek penelitian dalam studi ini dipilih
melalui metode atau
pemilihan sampling berdasarkan kriteria-
kriteria yang telah ditentukan oleh peneliti
yang sesuai dengan tujuan penelitian. Penen-
tuan dilakukan meliputi penentuan lokasi
tempat tinggal, status pernikahan dan lama
pernikahan subjek yang akan dilibatkan dalam
proses-proses pengumpulan data.
(Focus Group Discussion)
(indepth interview)
purposive sampling
bukan
E. Subjek Penelitian dan lokasi penelitian
qualitative approach is chosen. In order to fulfill
this goal Focus Group Discussion (FGD) and in-
depth interview are used as the means of data
collection.
FGD is chosen considering its relevance to
understand the general issues of a particular
topic, view or society opinion, which are both
normative and general, and not sensitive in the
sense that it would require confidentiality and
personal information. In-depth interview is
used to obtain personal data related with
specific personal experiences, particularly
concerning feelings and thoughts of the subject
towards a particular matter.
Purposive sampling was conducted to select the
subjects in the study, meaning that they were
sampled based on the criteria predetermined by
the researcher to fulfill the research objective. A
number of aspects were considered when
selecting subjects for data collection which
included location of residence, marriage status
and length of marriage.
The Cokrodiningratan and Maguwaoharjo sub-
village was chosen for the Yogyakarta region.
Both locations were chosen based on Rifka
Annisa's database which indicated high reports
E. Research Subjects and Location10
Untuk lokasi studi di Yogyakarta dipilih
Kelurahan Cokrodiningratan dan dusun
Maguwoharjo. Pemilihan kedua tempat
tersebut mengacu pada Rifka Annisa
yang menunjukkan bahwa angka kasus
kekerasan dalam rumah tangga banyak di-
laporkan dari wilayah kabupaten Sleman dan
Kota Yogyakarta. Kedua lokasi studi dipilih
karena telah ada fakta bahwa kekerasan cukup
banyak terjadi di komunitas tersebut. Studi ini
tidak dimaksudkan untuk merepresentasikan
dari populasi yang ada dari kedua wilayah ini.
Selain dua lokasi di atas, satu lokasi tambahan
di Purworejo juga diambil datanya, yaitu di
kota Purworejo. Penambahan lokasi ini sebagai
tindak lanjut dari studi sebelumnya tentang
kekerasan terhadap isteri dan kesehatan
perempuan yang dilakukan oleh Rifka Annisa
bekerja sama dengan LPKGM-UGM, Umea
University (Swedia) dan PATH (USA) pada
tahun 2000. Selain itu, alasan lainnya adalah
untuk memperoleh variasi informasi dari
lokasi yang berbeda.
Setelah menentukan lokasi, langkah selanjut-
nya adalah menentukan subjek. Kriteria untuk
subjek adalah laki-laki yang telah menikah,
setidaknya telah satu tahun. Kriteria ini
dimaksudkan untuk memilih subjek yang telah
memiliki pengalaman membangun relasi
data base
of domestic violence in the Sleman district and
the Yogyakarta City. Both locations were chosen
because considerable amount of violence
occurs in those communities. The current study
does not aim to represent the population in both
these regions.
In addition to those two regions, one additional
region, Purworejo, was also chosen for data
collection, namely the Purworejo city. This
region was added as a follow up of earlier
studies concerning violence towards wives and
women health conducted by Rifka Annisa in
cooperation with LPKGM-UGM, Umea
University (Sweden) and PATH (USA) in 2000.
The region was also chosen to add variety to the
data due to differences in locations.
Having determined the location, the subjects of
the study need to be decided. Subjects that were
involved in the study had to meet the criteria
that they were married men, for at least one
year. This criterion was aimed to select subjects
that have experience in building a family with
“In Indonesia, studies
concerning men and
masculinity have not drawn
serious attention”
11
(berumah tangga) dengan pasangan. Selan-
jutnya subjek dipilih berdasarkan petunjuk dari
(orang yang benar-benar memahami
situasi dan profil masyarakat setempat),
Keragaman latar belakang sosial-ekonomi
subjek juga dipertimbangkan dalam pemilihan
peserta FGD ini. Diskusi terarah ini diikuti oleh
23 laki-laki dengan perincian sebagai berikut :
Selanjutnya wawancara mendalam dilakukan
terhadap subjek yang dianggap memiliki
pengalaman kekerasan dalam rumah tangga
mereka dengan mengacu hasil diskusi terarah
sebelumnya. Wawancara mendalam dilakukan
terhadap 4 orang laki-laki peserta FGD. Dua
orang dari desa Maguwoharjo dan dua orang
dari kelurahan cokrodiningratan.
key person
Tabel 1
Subyek Penelitian
his spouse. Subjects are also selected based on
informer (a person that has considerable
knowledge concerning the situations and
profiles of the local community members)
considerations. The diverse socio-economic
background of the subjects was also considered
in selecting the FGD participants. A total of 23
men participated in the FGD, with the
following details:
Based on the results of the focus group
discussion, subjects who reported to have
experiences in domestic violence, were
subsequently involved in the in-depth
interview. In-depth interview was conducted to
4 male participants, two people from the
Maguwoharjo village and two people from the
Cokrodiningratan village.
Table 1
Research Subjects
Lokasi Jumlah Subyek
Maguwoharjo 10 orang
Kelurahan Cokrodiningratan 6 orang
Kelurahan Kota Purworejo 8 orang
Location Total subject
Maguwoharjo 10 people
Cokrodiningratan village 6 people
Purworejo village 8 people
12
Tabel 2
Metode Penelitian dan jumlah subjek penelitian
F. Analisis Data
Hasil diskusi terarah dan wawancara
mendalam selanjutnya ditranskrip secara
verbatim untuk selanjutnya dianalisis secara
deskriptif menggunakan analisis tematik.
Tahapan analisis yang dilakukan adalah
membaca secara keseluruhan teks demi teks
dari verbatim, untuk memperoleh pendalaman
akan meaning units, yaitu bagian yang
bermakna atau kalimat-kalimat inti dari teks
demi teks.
Selanjutnya, dilakukan atau pemberian
kode deskriptif yang merupakan sari atau
makna dari pada verbatim FGD
dan wawancara. Selanjutnya dari proses
ini terungkaplah tema-tema yang muncul dari
wawancara dan diskusi kelompok terarah.
coding
meaning units
coding
Table 2
Research Method and Total Number of Subjects
F. Data Analysis
The results of the focused group discussion and
the in-depth interview was recorded and then
later transcribed for further analysis by means
of descriptive analysis using thematic analysis.
The analysis stage required the researcher to
read the entire text of the transcript to obtain an
exploration of the meaning units, namely the
parts that are meaningful or the significant/core
sentences from each text.
Coding or descriptive coding is subsequently
performed. These codes represent the meaning
of the meaning units taken from the verbatim of
the FGD and interview transcripts. This coding
process allows the researcher to discover the
themes that emerge from the interviews and
focused group discussions.
Metode
Lokasi
Maguwo
harjo
Cokro
diningratan
Purworejo
Focus
Group
Discussion10 6 8
In-depth
Interview 2 2 -
Method
Location
Maguwo
harjo
Cokro
diningratan
Purworejo
Focus
Group
Discussion10 6 8
In-depth
Interview 2 2 -
13
TEMUAN
A. Persepsi tentang ”kejantanan”
Deskripsi temuan berikut ini dituliskan
berdasarkan tema yang muncul dalam analisis.
Beberapa kutipan dicantumkan untuk
memberikan contoh sesuai dengan ungkapan
para subjek penelitian.
Laki-laki digambarkan oleh subjek dalam
penelitian ini sebagai sosok yang harus .
Jantan didefinisikan sebagai seseorang yang
secara fisik kuat dan sehat. Ukuran fisik yang
sehat ini termasuk berfungsinya organ
reproduksi laki-laki. Seorang laki-laki
dianggap sebagai laki-laki sejati ketika dia telah
mendapatkan keturunan. Maka ketika laki-laki
belum memiliki keturunan dianggap belum
terbukti sebagai laki-laki.
Sebagai sosok yang , selain harus
memiliki fisik yang kuat dan sehat seorang laki-
laki juga harus memiliki mental spiritual yang
baik, pengetahuan yang luas, keyakinan dan
keimanan sebagai landasan kehidupan,
keteguhan pendirian dan ketegasan dalam
tindakan, misalnya sesuatu yang pernah
diikrarkan oleh seorang laki-laki harus benar-
benar diwujudkan. Artinya, kejantanan
seorang laki-laki diukur dari kesesuaian antara
(quotes)
jantan
jantan
FINDINGS
A. Perception of “Manhood”
A description of the following findings is
reported based on the themes that emerged in
the analysis. A number of quotes are displayed
to display the actual expression of the research
subjects.
Men are described by the research subjects as a
figure that must portray distinct masculine
characteristics or referred to as “ .
is described as a person who is physically
healthy and strong. Physical health is indicated
by the optimal functioning of man's
reproduction organs. A man is considered to be
a true man when they are able to produce a
child. Therefore men who are not able to
produce a child are yet to prove that they are
true men.
Being a figure who is , requires the
individual to acquire strong physical abilities
and health, in addition to owning strong mental
and spiritual abilities, broad knowledge,
commitment to faith as the their basic
philosophy in life, a firm stance and firmness in
action. For example it is an obligation for a man
to always fulfill his promise. This means that a
man's level of manhood is measured by the
jantan” Jantan
jantan
17
ucapan dan tindakan.
Kualitas-kualitas fisik dan mental tersebut sa-
ngat berperan dalam mendukung fungsi dan
tanggung jawab laki-laki secara sosial. Di anta-
ra yang dianggap sebagai fungsi dan tanggung
jawab laki-laki secara sosial adalah sebagai ke-
pala rumah tangga serta sebagai pemimpin
baik untuk dirinya sendiri maupun orang lain.
Kualitas fisik dan mental tersebut yang
“Kalau pendapat saya, sebagai seorang laki-laki
harus bersikap jantan dan didasari dangan
mental spiritual yang baik”
“laki-laki dan perempuan sudah jelas berbeda
secara fisik. Ketika dalam berkeluarga belum bisa
mendapatkan keturunan maka belum bisa
dikatakan laki-laki. Jadi laki-laki tulen adalah
yang bisa memberikan anak”
...Ada laki-laki dikatakan tidak jantan
diantaranya ketika menikah tapi belum punya
keturunan. Masyarakat kemudian menanyakan
dimana yang minus. Pembuktiannya dengan
itu...”
...Ada laki-laki jantan tapi tidak terbukti.
Seperti laki-laki yang berhubungan badan
dengan perempuan dengan intensitas sering,
tapi tidak bisa mendapatkan keturunan jadi tidak
terbukti sebagai laki-laki...”
“
“
coherence between his words and action.
Physical and mental qualities play a large role
in supporting the social functions and
responsibilities of men. Accordingly, some
social responsibilities and functions of men
include being the head of the household, being
a leader for himself, and being a leader for
others.
These mental and physical qualities distinguish
men from women. Subjects in this study
”
”
”
”
I think, as a man I must act with jantan and
based on a good mental and spiritual capacity”
men and women are definitely different from
their physical aspects. In a family if you're not
able to have a child then you're not a man yet.
Therefore a true man is one that can produce a
child”
...There are those men that are not jantan, they
are those who are married but cannot have
children. Society then asks what's wrong. And its
proven by that...”
...There are those men who are jantan but they
can't prove it. For example men that frequently
have sex with women but they can't have children
therefore they can't prove that they are actually
true men...”
18
membedakan laki-laki dengan perempuan.
Lebih jauh, subjek dalam penelitian ini
mengidentifikasi bahwa laki-laki dan
perempuan memiliki perbedaan-perbedaan. Di
antaranya adalah: bahwa laki-laki memiliki
tenaga yang lebih besar dibandingkan dengan
perempuan meskipun ada juga peserta yang
menyebutkan bahwa perempuan juga memiliki
tenaga yang kuat misalnya ketika perempuan
melahirkan.
Ada juga yang menyebutkan bahwa otak laki-
laki ukurannya lebih besar dari perempuan.
Hal ini berpengaruh kepada kecenderungan
laki-laki yang lebih mengedepankan rasio
sementara sebaliknya perempuan mengede-
pankan emosi. Jika dilihat dari sudut pencip-
taan laki-laki dan perempuan, subjek dalam
penelitian ini berpendapat bahwa perempuan
diciptakan dari tulang rusuk laki-laki. Perbe-
daan fisik antara laki-laki dan perempuan ini
berpengaruh besar pada tingkat produktifitas
laki-laki yang lebih maksimal dibandingkan
dengan perempuan.
“dari fisik kita lebih kuat, juga otak laki-laki dan
perempuan berbeda, lebih besar laki-laki, ini saya
baca di buku. Perempuan tetap ada keterbatasan,
meskipun banyak perempuan yang lebih pintar
dari saya.”
identify some differences apparent among men
and women. For example: men are stronger
than women although some participants also
mention that women are stronger for example
when giving birth.
Some say that men's brains are larger than
women's. This influences the tendencies of men
to prioritize their rational reasoning while
women tend to use their emotion. When seen
from the perspective of the creation of men and
women, subjects in this study explain that
women are created from the ribs of men.
Different physical features between men and
women largely influence the level of
productivity of men which is larger compared
to women.
”
”
from our physical features, we are stronger,
brains between men and women are also different,
the brain of men are larger, I read this from a book.
Women have limitations, although lots of women
are smarter then I am.”
We are different from 3 aspects, namely from the
aspect of the mind, power and material. From the
mind, men usually use most of their rational
reasoning rather than their feelings, so they can
make faster decisions, for example when dealing
with a problem men directly make a decision, if
there is a problem that comes, then it is thought
19
“Saya mau membedakan dari 3 sisi saja. Dari
sudut pandang pemikiran, tenaga dan materi.
Dari pemikiran, laki-laki biasanya lebih banyak
memakai rasio dari pada rasa, jadi mungkin lebih
”pendek nalarnya, misalnya ada masalah,
langsung memutuskan pokoknya di cut dulu,
kalau ada apa-apa urusan belakang. Kemudian
dari sisi tenaga jelas laki-laki dan wanita berbeda,
kalo laki-laki itu sebenarnya bedanya tidak jauh-
jauh banget, contoh paling mudah saat
melahirkan, coba laki-laki disuruh melahirkan
apakah kuat, karena secara kodratnya sudah beda.
Apa yang dijalani perempuan tidak mungkin
dioper. Secara materi karena kultur budaya itu di
seluruh dunia memang sebetulnya yang meng-
cover itu laki-laki”
B. Persepsi tentang posisi laki-laki dalam
masyarakat (peran dan tanggung jawab
sosial)
Para subjek dalam penelitian ini melihat bahwa
laki-laki memiliki kedudukan istimewa dalam
masyarakat karena dipandang lebih banyak
berpartisipasi dalam kegiatan di lingkungan
sosial. Sebagai contoh aktivitas yang lebih
banyak melibatkan laki-laki adalah ronda, kerja
bakti, kenduri.
Laki-laki juga diposisikan sebagai penjemba-
tan antara keluarga dan masyarakat. Oleh
about later. From the aspect of physical strength
men and women are clearly different. However
from this aspect men are not that much superior
to women, the easiest example is giving birth,
would men be as strong as women to give birth?
They are just fundamentally different. What is
experienced by women cannot be simply replaced
by men. In the material aspects, because of
culture, in all parts of the world, it is the men who
cover the material aspects”
kenduri
sak
geleme dhewe= they could do as they please
B. Perceptions about the status of men in the
society (social roles and responsibilities)
The subjects in this study perceive that men
earn a privileged status in the society because
they have greater participation in social
activities. For example night curfews largely
involve men, social work, and
(traditional ceremony attended by father's of a
particular village).
Men are also positioned as a bridge between the
family and the society. All the of family's
success is also acknowledged as the success of
the man in the society.
In line with the status of men in the society, men
have greater freedom compared to women.
Men can basically do anything they please (
). When
20
karena itu segala kesuksesan dan keberhasilan
dalam keluarga akan dipandang sebagai
kesuksesan dan keberhasilan laki-laki dalam
masyarakat.
Sejalan dengan status dan kedudukan laki-laki
dalam masyarakat, laki-laki memiliki kebeba-
san yang lebih jika dibandingkan dengan
perempuan. Laki-laki dapat melakukan apa
saja sesuai dengan keinginan mereka (
). Untuk
melakukan sesuatu, laki-laki tidak dituntut
untuk memberi tahu kepada keluarga, salah
seorang subjek mencontohkan laki-laki bebas
berteman termasuk bebas untuk memilih
bentuk aktivitas yang diinginkan misalnya
minum minuman beralkohol. Laki-laki
cenderung dibenarkan untuk meninggalkan
aktivitas di rumah ketika ada teman yang
mengajak untuk pergi. Menjaga hubungan baik
dengan teman laki-laki lain lebih penting dari
pada beraktifitas membantu isteri di rumah.
sak
geleme dhewe= semaunya sendiri
Istilahnya laki-laki bisa seperti bunglon, dia bisa
main kesana kesini tanpa sepengetahuan
keluarga. Bunglon cenderung kepada bahwa laki-
laki itu bisa fleksibel, ketika kita main kemana kita
bisa mengaku pergi sama teman, padahal kita
mengajak teman untuk minum minuman keras”
“... jadi ya memang kadang-kadang saya katakan
“
doing something, they are not required to
notify the family. One of the subject's stated that
men have the freedom to make friends and the
freedom to choose the form of activities they are
interested in, for example drinking alcohol.
Men are justified to leave domestic activities
when friends ask them to go out. Maintaining
relations with other male friends is deemed
more important compared to assisting his wife
to perform household duties.
With regard to freedom, although most of them
are already married, when outside the house,
subjects state that it is hardly noticeable
whether the men are married or not. This is
”
”
Its like men can act as a chameleon, he could play
around here and there without notifying his
family. By being a chameleon, this means that
men have greater flexibility, when we hang out
we could say that we're going somewhere with a
friend, but in fact we're going out to get some
alcohol”
... so yes indeed, sometimes I say that men do as
they please . I think its normal. Most men are like
that. For example, I'm supposed to help my wife
at home who has a lot of work and then a friend
asks me to go fishing. If I don't hang out with
them it makes me feel uncomfortable, sometimes
my child has a fever or there are other problems.”
21
bahwa seorang laki-laki itu ”sak geleme dewe
atau semau gue”. Menurut saya lumrah itu.
Laki-laki kebanyakan seperti itu. Karena yang
harusnya membantu istri dirumah yang sedang
repot kemudian saya diajak temen untuk
mancing. Kalau saya tidak kumpul tidak enak,
kadang anak lagi panas atau ada permasalahan
lainnya.”
lanang ”
”senajan ala tetep
menang”
Berkaitan dengan kebebasan, meskipun telah
menikah, ketika laki-laki berada di luar rumah,
subjek mengatakan bahwa laki-laki tidak dapat
dikenali apakah sudah menikah atau belum.
Hal ini berbeda dengan perempuan ketika
sudah menikah tidak dapat menyembunyikan
statusnya jika telah menikah.
Laki-laki juga dipersepsikan sebagai sosok
yang selalu menang misalnya dalam idiom
bahasa jawa laki-laki disebut “ yang
dapat diartikan sebagai
yang artinya meskipun berbuat salah
laki-laki tetap menang. Atas dasar ini, laki-laki
sering dianggap sebagai individu yang
superior dan selalu ingin menang sendiri.
Dalam hal perkawinan, laki-laki memiliki
keistimewaan untuk dapat berpoligami atau
beristeri lebih dari satu. Meskipun untuk
melakukannya harus memenuhi syarat-syarat
tertentu.
entirely different with women who cannot
conceal their marriage status when they are
already married.
Men are also perceived as figures that refuse to
give in or lose. This is reflected in the Javanese
idiom where Javanese men are referred to as
“ which means
(although men are wrong they still win). Based
on such examples men are known to be superior
and always wants to win for them selves.
Concerning marriage, men have the privilege to
perform polygamy or have more than one wife,
although several conditions must be met before
allowing such actions.
lanang” ”senajan ala tetep menang”
Men are the servants of Allah that are
privileged with superior features compared to
women, and they are expected to be able to give an
earning, protect, and marry. means
although being wrong, men still win. I think I fit
that expression, that's why violence is identical to
men. My physical strength is stronger…”
When we make friends sometimes we forget
that we have a family, men sometimes don't look
as if they have a family. It's different to women
although they are still young, when they have a
husband it's obvious when they start committing
violations. Lots of women are deceived by the
physical qualities of men...”
”. .
”...
Lanang
22
“
“
...laki-laki adalah hamba Allah yang diberikan
kelebihan dibandingkan perempuan, diharapkan
mampu memberikan nafkah, mengayomi,
mengawini. Lanang itu diartikan senajan ala
tetep menang (meskipun salah tetap menang).
Kadang cocok juga dengan saya istilah tersebut,
Maka kekerasan identik dengan laki-laki.
Kekuatan fisik lebih kuat...”
...ketika berteman kita kadang lupa kalau kita
sudah berkeluarga, laki-laki kadang tidak terlihat
sudah berkeluarga. Lain halnya dengan
perempuan meskipun masih muda, ketika sudah
bersuami akan terlihat ketika melakukan
tindakan penyelewengan. Banyak perempuan
tertipu dari fisik laki-laki...”
jenang
Jeneng jenang
Keseluruhan subjek mengatakan bahwa
seorang laki-laki memiliki tanggung jawab
yang besar baik di dalam keluarga maupun
masyarakat. Diantara peran dan tanggung
jawab seorang laki-laki adalah sebagai kepala
keluarga yang harus memiliki kemampuan
mencari penghasilan materi untuk kebutuhan
keluarga, mampu melindungi istri dan anak,
mengetahui dan memahami keinginan istri dan
anak serta mampu bersikap adil terhadap
seluruh anggota keluarga.
Disamping itu, sebagai kepala keluarga
seorang laki-laki harus dapat memberi
dan kepada keluarga. Memberi
All subjects declared that men bear large
responsibilities in the family and in the society.
The roles and responsibilities of men include
being the head of the family that must have the
ability to seek an earning to fulfill the needs of
the family, able to protect the wife and child,
knows and understands the needs of the wife
and child, and is able to act fairly towards all
members of the family.
In addition, as head of the family, he must be
able to give the and of the family.
Giving means that the man must have
the ability to take responsibility for the physical
and spiritual needs of the family, and giving the
means that a man must be able to elevate
the dignity of the family and maintain the good
name ( .
Seeking an earning is one of the vital roles and
responsibilities of men and success or failure to
accommodate this will influence the man's self
confidence. Men are strongly sensitive to
unemployment and wish to avoid it by all
means. Being unemployed can form negative
perceptions from the society towards them, and
in turn degrade the family's good name.
Apart from seeking an earning and maintaining
a positive family name, a man also has the role
and responsibility as the decision maker in the
family who is responsible for all of the family's
jenang jeneng
jenang
jeneng
jeneng = name) of the family23
yang artinya, laki-laki harus mampu
bertanggung jawab menafkahi lahir dan batin
pada keluarga, serta memberi kepada
keluarga, artinya seorang laki-laki harus dapat
mengangkat harkat dan martabat keluarga
serta menjaga nama baik ( .
Peran dan tanggung jawab sebagai pencari
nafkah diletakkan sebagai peran dan
tanggungjawab yang sangat penting bagi laki-
laki dan akan berpengaruh pada rasa percaya
diri. Pengangguran adalah status yang harus
dihindari oleh laki-laki karena dapat
melahirkan pandangan negat i f dar i
masyarakat terhadapnya, yang selanjutnya
akan berpengaruh pada nama baik keluarga.
Selain sebagai pencari nafkah dan penjaga
nama baik keluarga seorang laki-laki juga
memiliki peran dan tanggung jawab sebagai
penentu keputusan dalam keluarga yang
bertanggung jawab sepenuhnya terhadap
segala pergerakan keluarga ke arah masa
depan. Kedudukan tersebut memiliki
konsekuensi bahwa laki-laki harus memiliki
kelincahan dan kegesitan dalam mengatur
keluarga.
Dalam kondisi apapun laki-laki memiliki status
sebagai kepala keluarga termasuk dalam
kondisi kemampuan yang berbeda misalnya
jeneng
jeneng = nama)
development in the future. Such status requires
men to be agile and meticulous in managing the
family.
In whatever condition men are in, disregard
less of his mental condition, they remain to hold
the title as head of the family even if he suffered
mental retardation (the subjects use the term
abnormal).
Most of the subjects feel that the responsibilities
of men are more burdensome compared to
women because they are the figures who
receive the largest attention from the society
with regard to the success and failure of the
family. The good name of the family influences
the other members of the family. If the father
becomes the village head then the wife would
automatically be called Mrs. Village head and
this would allow her to enjoy an elevated status
in the society. This is consistent with the
Javanese expression that only applies for wives
or women namely, “ meaning
that women would have an elevated status
when the man has an elevated status in the
society.
bokong-njagong”
based on Javanese culture there is and
. Jenang implies that men must be
consistent, responsible and fulfill the physical
and spiritual needs of the family, for jeneng we
”... jenang
jeneng
24
mengalami retardasi mental (dalam bahasa
subjek disebut sebagai abnormal).
Sebagian besar subjek beranggapan bahwa
tanggung jawab laki-laki lebih berat dibanding-
kan perempuan karena sebagai figur yang
paling banyak disorot oleh masyarakat akan
keberhasilan dan kegagalan suatu keluarga.
Nama baik laki-laki sangat mempengaruhi
anggota keluarga yang lain. Jika suami menjadi
lurah maka otomatis sang istri akan terangkat
juga derajatnya dan otomatis dipanggil bu
lurah. Maka ada ungkapan jawa yang berlaku
untuk isteri atau perempuan dan tidak berlaku
bagi laki-laki yakni artinya
seorang perempuan akan serta terangkat
kedudukan dan statusnya ketika laki-laki
memiliki kedudukan dan status tertentu dalam
masyarakat.
bokong-njagong
...dalam segi budaya jawa ada jenang dan
jeneng. Jenang maksudnya laki-laki harus
k o n s i s t e n , b e r t a n g g u n g j a w a b u n t u k
memberikan nafkah lahir dan batin pada
keluarga, untuk jeneng kita dapatkan dari
lingkungan, minimal dari keluarga. Bukan kita
memaksakan pengakuan dari lingkungan. Kita
punya manfaat di lingkungan”
“...Saya sebagai nahkoda tidak tahu lulus atau
tidak, saya bersikap gandang, gending, dan
gendeng. Gandang ketegasan, gending bisa
“
,
get this from the environment, at least from the
family. Its not that we force this, but this is what
the society acknowledges. We are useful to the
environment”
As the captain I don't know whether I'll
succeed or not, I act with gandang gending and
gendeng. Gandang means firmness, gending
means to give an example, gendeng is done when
we feel that we're not going to succeed...”
For me, its largely related with culture, the life
of Javanese and Balinese is definitely different.
Women have buttocks, have jagong, and women
don't need to have a position, if the husband
becomes the village head, the wife would
”...
”...
the responsibilities of men are
more burdensome compared to
women because they are the
figures who receive the largest
attention from the society with
regard to the success and failure
of the family. The good name of
the family influences the other
members of the family
25
memberikan contoh, gendeng seperti ketika kita
tidak berhasil...”
...Kalau saya erat kaitannya dengan budaya,
kehidupan di masyarakat Jawa dan Bali pastinya
berbeda. Perempuan punya bokong, punya
jagong, perempuan tidak perlu punya jabatan,
ketika suami menjadi lurah maka istri menjadi
ibu lurah. Seorang laki-laki diatas, lebih dari
perempuan, dan masyarakat memperlakukan
seperti ini, terutama masyarakat Jawa. Karena
tanggung jawab, masyarakat yang aktif bapak-
bapak, ronda, kerja bakti, kenduren ini kaitannya
dengan fisik. Saya tidak pernah melihat kenduren
ibu-ibu...”
“
C. Persepsi tentang peran dan tanggung
jawab laki-laki dalam keluarga
1. Pengasuhan Anak
Ada perbedaan pola asuh antara anak laki-laki
dan perempuan. Pada anak laki-laki
menggunakan bentuk pola asuh yang
mendorong anak untuk aktif bertindak
sedangkan pada anak perempuan sebaliknya.
Subjek mengatakan, jika anak laki-laki
mempunyai permasalahan dengan temannya
yang juga laki-laki alternatif penyelesaian yang
terakhir adalah dengan per lawanan
menggunakan fisik yang sangat khas ”laki-
automatically be called Mrs. Village head. A man
is above the woman, they are better than women,
and society treats us this way, particularly
Javanese society. Because of responsibility, it is
the fathers that are active in the society, they
engage in night curfews, social work, kenduren
(traditional ceremony), and this all relates with
physical abilities. I have never seen a mother's
kenduren...”
C. Perception concerning the roles and
responsibilities in the Family
1. Child nurturing
There is a different pattern of nurturing
between boys and girls. Boys are nurtured by
supporting active participation while it is the
other way around for girls.
The subject stated that if a boy has a problem
with his friend that is also a boy, the final
alternative to resolve the matters is by using
physical force which is a character of men's way
of settling matters. The subjects state that if they
were in the right position they have to fight for it
(physical means of settling conflicts).
All the subjects stated that they nurture their
children by being examples, namely by
showing what is correct and always trying to
improve their morals. Two of the subjects stated
26
laki”. Para subjek mengatakan jika posisi benar
maka harus melawan (penyelesaian dengan
fisik).
Keseluruhan subjek mengatakan bahwa pola
asuh sehari-hari yang digunakan adalah
dengan menempatkan diri sendiri sebagi
contoh bagi anak-anak yaitu dengan
menunjukkan hal-hal yang benar dan selalu
memperbaiki akhlak diri sendiri. Dua orang
subjek mengatakan bahwa mendidik anak
bukan hanya menjadi tanggung jawab ibu,
namun juga ayah walaupun biasanya anak-
anak lebih terbuka dan lebih merasa tidak takut
(dekat secara emosional) pada ibu jika
dibandingkan dengan ayah. Subjek juga
m e n e k a n k a n a g a r a n a k - a n a k l e b i h
mengutamakan perintah ibu terlebih dahulu
dibandingkan ayah.
Persepsi terhadap kekuatan fisik laki-laki
adakalanya terbawa hingga seorang laki-laki
tumbuh dewasa hingga ia berkeluarga dan
mempunyai anak. Hal ini tercermin dalam pola
asuh terhadap anak-anaknya khususnya anak
laki-laki. Penyelesaian secara fisik ketika sudah
“Saya sering mendidik pada anak, kalau ada
pendapat dari bapak dan ibu yang semuanya baik,
kalau berat sebelah, maka ambil pendapat dari
ibu, boleh berani pada bapak tapi jangan kepada
ibu”
that educating the children is not merely the
responsibility of the mother, but it is also the
responsibility of the father although the child
tends to be more open to and not afraid
(emotionally close) of the mother compared to
the father. The subjects also emphasized that
the children prioritize the orders from mother
over the father.
Perceptions towards men's physical strength
are sometimes carried to when the man reaches
adulthood and have a family and children. This
is reflected by the nurturing patterns towards
”I often educate my child, if there is an opinion
from father and mother and they are all positive,
and sometimes it is biased, then take the mother's
opinion, you could act hostile to your father but
not to your mother”
Perceptions towards men's
physical strength are sometimes
carried to when the man
reaches adulthood and have a
family and children. This is
reflected by the nurturing
patterns towards the children,
particularly boys
27
tidak menemukan jalan keluar yang baik cukup
terlihat dalam penelitian ini.
Sejalan dengan persepsi tentang peran
tanggungjawab laki-laki sebagai kepala
keluarga dan isteri sebagai ibu rumah tangga,
maka subjek dalam penelitian ini melihat
bahwa pola hubungan suami isteri dalam
keluarga adalah laki-laki sebagai penentu
“
“
“
“
Laki-laki dasarnya tidak mau disaingi dan tidak
mau merasa kalah ketika ada urusan, selalu
menjadi figur pengayom, bertanggung jawab.”
Kita istilahkan harga diri, biasanya kan dulu
sifat seperti itu memang normal jadi bagaimana
pergaulan antar teman waktu itu memang yang
kira-kira yang berlaku seperti itu, yaitu ketika
ada konflik harus diselesaikan dengan fisik.”
Terutama yang dikatakan tadi, fisik duluan
dalam menyelesaikan masalah untuk laki-laki”
Ini yang denger dan saya lihat saja, misalnya
anak saya dinakali temannya, pulang kerumah
nangis. Biasanya bapak dari anak tersebut secara
otomatis menyuruh untuk melawan kembali.
Kalau anak perempuan apa juga seperti itu.
Kalau tidak berani melawan temannya tadi, saya
hajar sendiri anak saya”.
2. Relasi suami – isteri
the children, particularly boys. Settling
conflicts using physical strength is evident from
the responses of the subjects.
In line with the perception concerning roles of
men as the head of the family and wife as the
housewife, the subjects in the study remarked
”
”
”
“
Men basically don't want to be competed with
and they don't want to feel as though they lost
when there is a problem, they will always be the
protecting and responsible figure.”
We call it honor, in the past this characteristic
was common when socializing with our peers and
this was what applied in those times, therefore
when there is a conflict it must be settled using
physical force.”
Particularly on what was said earlier, physical
force is prioritized when settling conflicts among
men”
This is what I heard and I saw this myself, for
example my child is teased by his friends, and he
comes home crying. Usually the father would ask
the child to fight back. If it was for women would
it be the same? If the child didn't have the courage
to fight back, I would beat my child with my own
hands”.
2. Husband-wife relations
28
kebijakan keluarga serta inspirator bagi
perkembangan keluarga ke depan sedangkan
istri mempunyai kedudukan sebagai pelaksana
hasil kebijakan. Hubungan serasi dan harmonis
serta dialogis antara suami dan isteri dimaknai
dalam konteks antara pengambil kebijakan dan
pelaksana kebijakan.
Oleh karena itu, jika dilihat dari pembagian
peran di dalam rumah tangga maka peran istri
lebih dominan dalam urusan domestik yang
bersifat detil seperti, mengatur keuangan
sehari-hari/bendahara keluarga, kebutuhan
fisik makan dan minum, pendidikan dan
pengasuhan anak sehari-hari.
Khusus masalah pembagian peran dalam
pendidikan dan pengasuhan anak, subjek
dalam penelitian ini memiliki pandangan bah-
wa pada dasarnya pengasuhan anak tetap men-
jadi tanggung jawab bersama antara ayah dan
ibu namun dalam aktivitas sehari-hari, ibu
yang banyak berperan. Hal ini disebabkan ibu
lebih memiliki kedekatan emosional dengan
“ibu mengatur masalah harian seperti ekonomi,
ketika saya akan mengundang tamu didiskusikan
dengan istri berapa uang yang dibutuhkan. Laki-
laki wajib mencari nafkah, yang mengatur
keuangan adalah ibu. Untuk makan, sekolah,
kehidupan sehari-hari”.
that men make the decisions for the family and
also act as the inspirer for the progress of the
family in the future, while the wife has the
status to implement the decisions. Harmonious
relations between the husband and wife are
placed under the context of relations between
decision maker and decision executor.
Therefore, based on the role division in the
family, the wife's role is dominant in specific
domestic affairs for example managing the
daily finance/ family trea-surer, physical needs
for example food and drinks, education and the
daily nurturing of the child.
Specifically for problems of role division in
education and child nurturing, the subjects in
the study view that nurturing the child is the
collective responsibility of the father and
mother however in everyday activities it is the
mother who plays the dominant role. This is
because the mother has larger emotional
closeness with the child. In such relationship
patterns it is common for the wife to ask
”the mother takes care of daily issues for example
economic aspects, when I invite a guest I discuss
with my wife the total money needed. Men are
obliged to seek an earning, but it is the mother
who manages the money. She also takes care of
food, school, and everyday life”.
29
anak dibandingkan dengan ayah. Dalam pola
hubungan seperti ini lazimnya isteri harus
mendapat izin dari suami ketika akan meng-
ambil keputusan berkaitan dengan keluarga.
Subjek dalam penelitian ini memiliki
pandangan yang berbeda berkaitan dengan
perempuan atau isteri yang bekerja di luar
rumah. Sebagian subjek tidak menganggapnya
sebagai masalah. Justru keterlibatan istri dalam
mencari nafkah akan meringankan beban
finansial namun subjek lainnya menganggap
isteri yang bekerja akan melupakan pekerjaan
pokoknya yakni sebagai ibu rumah tangga.
“Saya mengingatkan istri, tugas dia adalah
mengurusi keluarga dan anak. Ketika istri
bekerja dan keluarga harus diurus, saya minta
untuk ijin pulang mengurus anak, kalau sudah
selesai baru kembali bekerja. Yang mengurusi
keluarga adalah tanggungjawab ibu, saya
“terbang keluar”. Suami sebagai manajer, ibu
tidak berani melangkah tanpa ijin suami. Peran
ibu sangat penting dalam pendidikan anak”
permission from the husband when making a
decision related with the family.
The subjects in the study have differing
opinions related with women working or wives
that work outside the home. Some subjects do
not consider it a problem. They view that the
wife's involvement can relieve the burden of the
husband however other subjects view that
working wives would forget their main roles as
a housewife.
”I always remind my wife, her task is to take care
of the family and children. If the wife works and
the family must be taken care of, I ask her to ask
permission to leave work and take care of the
children, and we she has finished doing this then
she could return to work. Taking care of the family
is the responsibility of the mother; I am the one
supposed to be engaging in activities outside the
home. The husband acts as the manager, the wife
would not dare act without asking permission
from the husband. The wife's role is very
important in the child's education”
“the study view that nurturing the child is the collective responsibility of the
father and mother however in everyday activities it is the mother who plays the
dominant role. This is because the mother has larger emotional closeness with
the child”
30
“
“
...selama istri bekerja bisa di tolelir tidak
masalah. Namun ketika melihat karir, kalau saya
tidak setuju saya hentikan, misalnya menjadi
penyanyi dangdut, kalau menjadi guru saya
dukung. Pandangan saya pokoknya melihat
karir, akan berjalan kemana. Sebutan istri dan
ibu, bagi saya punya pendapat harus juga
mempunyai naluri sebagai ibu rumah tangga,
bisa mengerjakan pekerjaan rumah tangga,
meskipun tidak semuanya. Jangan merasa sudah
capek tidak mau mengurusi urusan domestik.
Jadi tidak semua karir istri didukung, kalau kerja
sampai larut malam saya tidak setuju. Jika
pulang malam saya tanya, kenapa kerja sampai
malam. Saya sebagai laki-laki dan tidak bekerja,
jadi sebagai bapak rumah tangga, tetap
memantau, bagaimana karir istri, sejauh mana
mereka melaksanakannya, meski diimingi-
imingi jabatan yang tinggi, tapi kalau
kelihatannya tidak wajar, kita ingatkan. Saya
bilang “Hanya jadi guru, bayarnya sedikit,
waktu kamu habiskan dikantor ngapain aja?”.
Presiden saja bisa jalan-jalan, bisa piknik. Kalau
melewati batas-batas, saya tidak setuju...”
...perempuan berkarir ada kelebihan dan
kekurangannya. Kelebihannya ketika istri jadi
pimpinan, orang penting, otomatis jarang
dirumah, jadi untuk mencukupi keluarga bisa.
Kekurangannya mungkin anak kurang terurus,
untuk kepentingan umum dan lingkungan juga
kurang...”
”...
”..
as long as her work is tolerable it doesn't
become a problem. But I have to look at the career,
if I don't agree with the career then I will tell her
to quit, for example becoming a dangdut
(Indonesian folk music) singer, but if she wanted
to become a teacher, I would support her.
Basically I have to see the career, where is she
heading. The term wife and mother, I think that
they must naturally have a sense to be a
housewife; she can take care of domestic affairs,
although not everything. Don't feel tired and
then neglect domestic tasks. So I don't support all
careers for my wife, if she returned home late at
night, I don't agree, to what extent do they work,
although they are offered high positions, if it is not
common I would remind her about her main
tasks. I say “You only become a teacher, low pay,
what are you actually doing in your office?” Even
the president can have a day off and have a picnic.
If it goes overboard, I don't agree...”
Women having careers has its benefits and
weaknesses. The benefits is that when the wife
becomes a leader, an important person,
automatically she would rarely be at home, so to
fulfill the needs of the family it would be more
sufficient. The weakness is that the child will not
be taken care of, and that interests of the public
and surrounding environment will also be
lacking...”
31
D. Faktor – Faktor yang mempengaruhi
konsep kelelakian
1. Pengaruh lingkungan
Lingkungan mempunyai andil dalam
membentuk sistem nilai laki-laki termasuk
tingkat pendidikan dan kultur budaya lokal
serta pergaulan. Lingkungan mempunyai
aturan tak tertulis yang mengatur segala
perilaku laki-laki di masyarakat. Beberapa
aturan tak tertulis tersebut adalah selalu
mengedepankan kepentingan umum, ramah
tamah dan tenggang rasa, bersikap baik dengan
keluarga dan tetangga. Jika laki-laki sebagai
kepala keluarga mempunyai perilaku yang
buruk, di masyarakat dianggap akan memba-
wa pengaruh pada anggota keluarga yang lain,
misalnya anak akan mendapat celaka. Maka
dapat dikatakan bahwa laki-laki merupakan
sosok perwakilan keluarga dalam pergaulan di
lingkungan.
“Kita sebagai seorang laki-laki, filosofi itu pada
hakikat hidup, bagaimana kita bersosialisasi di
masyarakat karena kita belajar dari situ. Kalau
kita baik dengan keluarga, baik dengan tetangga,
ketika kita mendapatkan permasalahan, saudara
yang pertama dari lingkungan kita sendiri.
Kalau berbuat jelek, anak kita kena imbas, entah
ketika anak kita main sepeda ketabrak motor atau
D. Factors influencing the Concept of
Manhood
1. Environmental Influences
Among some of the environmental influences
that contribute to forming the men's value
system include educational level, local cultures
as well as socialization. The environment has
unwritten laws that regulate the behavior of
men in the society. A number of these laws
include the prioritization of public interests,
hospitality and empathy, acting kindly to the
family and neighbors. If a man displays
negative behaviors in the society, he would be
judged to bring negative influences to other
family members, for example the child would
experience misfortune. Therefore it could be
said that men are the family's delegates in
socializing with the environment.
”As a man, the philosophy is based on our way of
living, in how to socialize with the society because
it is from the society that we learn, if we are good
to our family, good to neighbors, when we face a
problem, our first help would come from our
environment. If we act badly, our child would
bear the consequences, for example when they ride
on their bicycles a motorcycle hits them, people
would surely think, well of course their child had
an accident, their father acts in negative ways”
32
terserempet motor, pasti orang lain berkomentar
pantas aja kecelakaan, orang bapaknya
berperilaku buruk”
Keseluruhan subjek mengatakan bahwa harga
diri adalah sesuatu yang penting dipertahan-
kan bagi seorang laki-laki dalam pergaulan so-
sial terutama jika menyangkut nama baik
keluarga. Dua orang subjek mengatakan,
apabila ada permasalahan yang menyangkut
harga diri, maka ada penyelesaian ala laki-laki
yaitu menggunakan fisik. Sebagian besar
subjek mengatakan bahwa pola asuh dari orang
tua, pergaulan dan tingkat pendidikan juga
menentukan sistem nilai laki-laki.
Dalam kehidupan di lingkungan sosial, seo-
rang laki-laki harus tahu bagaimana harus
bersikap dalam berhubungan dengan lingku-
ngan karena segala tindak-tanduk seorang laki-
laki terutama yang sudah berkeluarga, diangap
berpengaruh terhadap nama baik keluarga.
Salah seorang subjek mengungkapkan terka-
dang harus mendahulukan ajakan teman untuk
pergi ketika akan membantu istri yang repot
karena merasa tidak enak.
Lingkungan sosial terutama masyarakat Jawa,
menempatkan laki-laki diatas perempuan
karena laki-laki dipandang lebih banyak
berpartisipasi dalam kegiatan di lingkungan
All of the subjects stated that honor is worth
fighting for in social relations, particularly if it
relates with the good name of the family. Two
subjects stated that, if there was a problem
related with honor, therefore it must be settled
by a man's way, namely using physical
violence. Most subjects stated that parent
nurturing patterns, socialization and education
level also determines the value systems of men.
In the social environment, a man must know
how to act in relating with the environment
because all of the actions of men, especially
related with the family, will influence the good
name of the family. One of the subjects stated
that sometimes they must prioritize invitations
from friends to hang out rather then helping his
wife that is overwhelmed by her work because
he doesn't feel comfortable to refuse his friend's
invitation.
The social environment, particularly Javanese,
places men above women because men have
larger participation in social activities. Men are
also referred to as an insider when related with
the family and social environment. Men are
placed as the bridge between family and
society.
”As men we are insiders, we are related with the
family, society and etc. Now there is the term CSR
33 33
sosial. Laki-laki juga disebut sebagai jika
dikaitkan dengan keluarga dan lingkungan
sosial. Kaum laki-laki diposisikan sebagai pen-
jembatan antara keluarga dan masyarakat.
Segala kesuksesan dan keberhasilan dalam
keluarga akan dipandang sebagai keberhasilan
laki-laki oleh masyarakat, disamping itu
seorang laki-laki juga diposisikan sebagi figur
panutan baik dalam keluarga maupun lingku-
ngan masyarakat. Hal itu menyebabkan segala
tindakan laki-laki akan banyak mendapat soro-
tan oleh masyarakat.
Satu orang subjek mengatakan bahwa dalam
ajaran agama Islam, perempuan dijadikan dari
tulang rusuk laki-laki walaupun subjek belum
mengetahui secara pasti kebenarannya. Subjek
juga memandang bahwa dalam ajaran agama,
insider
Kita sebagai laki-laki disebut juga insider, kita
dikaitan dengn keluarga, lingkungan dsb.
Sekarang sering ada istilah CSR (Corporate Soci-
al Responsibility) digaungkan. Ini maksudnya
tanggung jawab sosial, jadi kepentingan kita
pribadi tidak bisa lepas dari lingkungan. Kita
dalam menjalani hidup tidak mungkin bisa
memenuhi kebutuhan sendiri, karena kita sebagai
makhluk sosial”.
“
2. Pemahaman terhadap teks agama dan idiom
budaya
(Corporate Social Responsibility) which is
honored. This means social responsibility,
therefore our personal interests cannot be
separated from the environment. In running our
lives it is not possible to fulfill our own needs
alone, this is because we are social creatures”.
Society views the success of the family as the
success of the man. In addition men are also
positioned as a good role model in the family
and the society. Therefore it is evident that the
actions of men receive considerable scrutiny
from the society.
One of the subjects stated that in the Islamic
teachings, women are made from the ribs of
men although the subjects are not entirely
certain of the truth of this teaching. The subject
also stated that religious teachings endorse the
notion that men are leaders. From birth, men
were destined to become leaders in the family.
They hold a collective responsibility and
therefore must act firmly and be strongly
committed to his faith. As a leader, men must be
able to lead themselves and other people.
In Islam, men are the servants of Allah that are
given superior features over women. They are
expected to marry and protect women and
2. Understanding upon religious texts and
cultural idioms
34
laki-laki harus menjadi pemimpin. Semenjak
dilahirkan, laki-laki dianggap secara otomatis
akan menjadi pemimpin dalam keluarga yang
memiliki tanggung jawab kolektif sehingga
harus mempunyai pendirian yang tegas, punya
keimanan dan keyakinan. Sebagai seorang
pemimpin, laki-laki harus mampu memimpin
diri sendiri dan orang lain.
Dalam Islam, laki-laki adalah hamba Allah
yang diberikan kelebihan dibandingkan pe-
rempuan dan diharapkan mengawani perem-
puan dan mampu mengayomi serta menafkahi
keluarga dan dalam tata cara beribadah, laki-
laki menjadi pemimpin/imam sholat. Keseluru-
han subjek mengungkapkan bahwa laki-laki
terlahir sebagai pemimpin yang mengemban
suatu tugas tertentu sesuai ajaran agamanya
masing-masing
“
“
Saya seorang muslim,
perempuan dijadikan dari tulang
rusuk laki-laki, entah khayalan atau tidak,
istilahnya kalau dituruti bengkok, kalau dilurus-
kan patah”
laki-laki adalah hamba Allah yang diberikan
kelebihan dibandingkan perempuan, diharapkan
mampu memberikan nafkah, mengayomi,
mengawini”
ajaran Islam menga-
takan bahwa
provide a living for the family. With regard to
matters concerning worship to God, men lead
or become the in the routine prayers
( ). All subjects reported that men were
born to be leaders who must execute the tasks in
accordance with each of their religious
teachings
imam
sholat
I am a Muslim, Islam states that the women are
made from the ribs of men, I don't know whether
this is real or just fantasy, if it was followed it
would bend but if it was straightened it would
break”
Men are the servants of Allah that are superior to
women, they are expected to provide an earning,
protect and marry”
”
”
“Specifically for problems of role
division in education and child
nurturing, the subjects in the study
view that nurturing the child is the
collective responsibility of the
father and mother however in
everyday activities it is the mother
who plays the dominant role. This is
because the mother has larger
emotional closeness with the child”
35
Idiom budaya Jawa
Sedangkan beberapa idiom budaya Jawa yang
diungkapkan oleh para subjek dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut :
yaitu bagaimana hakikat
seorang laki-laki hidup di tengah masyarakat
dan dalam keluarga yang diimplementasikan
dengan selalu berbuat kebaikan dengan orang
lain. Segala perbuatan buruk yang dilakukan
oleh bapak dianggap akan berdampak pada
anak”
, yaitu menjadi laki-laki
harus menjadi sumur karena harus menjadi
inspirator. Kedua, dari segi ”dapur” seorang
laki-laki harus dapat mencari solusi atas
berbagai permasalahan serta penentu
kebijakan dalam keluarga untuk didelegasikan
ke istri. Sebelum didelegasikan ada proses
musyawarah terlebih dahulu dari segi sumur
dan dapurnya. Dari segi ”kasur” adalah segi
kenikmatan yaitu seorang laki-laki harus
dapat berbuat adil yang dapat dinikmati
bersama baik oleh suami maupun istri serta
anggota keluarga yang lain.”
Pada umumnya, idiom di
atas lebih sering dikenakan pada kaum
“
“
Hakikat hidup
Sumur dapur kasur
Sumur dapur kasur
Catatan :
Javanese Cultural Idioms
In addition to religious teachings, the subjects
also explained some Javanese cultural idioms
related with this topic. They are mentioned as
follows :
Nature of life ( referring to the
nature of man to live in the society and in the
family by always performing positive actions to
others. All negative actions of the father would
negatively impact the child”
Well kitchen and beds ( ),
referring to how men must become a “well”
because they must become an inspiration.
Second from the aspect of “kitchen”, a man
must have several solutions towards several
problems and it is he who makes the decisions
in the family, which would be executed by the
wife. Before delegating tasks to the wife there is
a process of discussion based on the aspects of
the “well” and the “kitchen”. From the aspect of
the “bed”, this refers to pleasure; a man must be
able to ensure fairness therefore allowing the
pleasures to be enjoyed by the husband, wife
and the other members of the family.”
The idiom “well, kitchen, and bed” is generally
used to refer to women and how they are
“
”
Hakekat hidup)
Sumur dapur kasur
Notes :
36
perempuan untuk menunjukkan bahwa tempat
perempuan adalah selalu berhubungan dengan
urusan domestik di rumah dan selalu berakhir
di ranjang yaitu sebagai pemuas nafsu seksual
laki-laki. Namun salah seorang subjek dalam
penelitian ini mempunyai pandangan lain
terhadap idiom tersebut sehingga diartikan
sesuai dengan nilai-nilai patriarki
. Jenang artinya sebagai
laki-laki harus konsisten, bertanggung jawab
memberikan nafkah lahir dan batin pada
keluarga. Jeneng artinya sebagai laki-laki harus
mampu berperilaku baik dan bermanfaat bagi
masyarakat agar mendapatkan nama baik dari
lingkungan dan keuarga.”
yaitu
. Idiom tersebut
mengatur perilaku dan sikap laki-laki dalam
kehidupan yaitu ketika berada didepan,
d i t e n g a h d a n d i b e l a k a n g . S u b j e k
mengungkapkan arti kata suami adalah semua
untuk anak dan istri”.
yaitu idiom laki-
laki sebagai sorang nahkoda dalam keluarga.
Gendang adalah ketegasan sikap seorang laki-
laki, gending yaitu mampu memberikan
contoh yang baik dan gendeng adalah sikap
“
“
“
Jenang dan jeneng
Idiom yang diambil dari Ki Hajar Dewantara
G
ing ngarso sung tulodho, ing madya mangu
karso, tut wuri handayani
endang, gending dan gendeng
always supposed to be associated with
domestic affairs and also the bed which refers to
satisfying the sexual needs of the men.
However one of the subjects in the study
delivers a different perspective towards this
idiom which is interpreted in line with the
values of patriarchy.
. implies that men
must be consistent, must be responsible
towards providing an earning to the physical
and spiritual needs of the family. implies
that men must display positive actions and be
useful to the society to acquire a good name in
the environment and the family.”
. This idiom regulates the
behavior and attitudes of men in life, when men
are positioned in the forefront, when they are in
the middle, and when positioned at the back of
a particular organization or task. The subjects
stated that the word husband refers to serve all
the best interests for the child and wife” (the
Indonesian word for husband is and the
subjects stated that it is an abbreviation for
which is literally
translated as everything for the child and wife).
this idiom
”
”
”
Jenang jeneng
endang, gending dan gendeng
and
Idioms taken from Ki Hajar Dewantara
G
Jenang
Jeneng
ing
ngarso sung tulodho, ing madya mangu karso, tut
wuri handayani
suami
semua untuk anak dan istri
37
ketika tidak berhasil dalam mengerjakan
sesuatu.”
adalah peribahasa yang
mengungkapkan bahwa kedudukan laki-laki
lebih tinggi dari perempuan. Seorang
perempuan tidak perlu mempunyai jabatan
karena ketika suaminya menduduki jabatan
tertentu di masyarakat maka istri secara
otomatis akan terangkat pula derajatnya,
misalnya seorang suami yang menjadi lurah
maka istr inya secara otomatis akan
menyandang panggilan bu lurah, disamping
i t u j u g a a d a p e r i b a h a s a l a i n ya n g
menggambarkan hierarki kedudukan laki-laki
dan perempuan yaitu ”
artinya kemanapun suami melangkah
beserta konsekuensi dari perbuatannya maka
istri akan mengikuti dan mendapatkan
dampak baik dan buruknya dari suatu
perbuatan suami.”
Semua subjek mengungkapkan bahwa ketika
tercipta sebagai manusia berjenis kelamin laki-
laki adalah takdir yang tidak dapat diubah dan
disesali. Rasa bangga sebagai laki-laki muncul
ketika berkumpul di lingkungan sosial karena
“Bokong jagong
neraka nunut suwarga
katut”
E. Perasaan sebagai seorang laki-laki
1. Perasaan menjadi ayah/laki-laki
implies that men are the captain in the family.
refers to the firmness of a man,
refers to making good examples and
refers to the attitudes that are displayed in cases
of failure.”
is a proverb that expresses how
the status of a man is higher then the status of a
woman. A woman does not need a respected
position because when the husband earns a
respected position in society, the wife would
automatically elevate her status, for example
when a husband becomes a village head,
therefore the wife would automatically earn the
title Mrs. village head. In addition there is also
another proverb that portrays the hierarchy of
men and women namely ”
meaning that wherever the husbands
steps and whatever consequence it may
produce, the wife will follow and receive the
benefits and detriments from the actions of the
husband.”
All subjects expressed that when they were
created as male humans, this was a fate that
cannot be regretted and changed. A sense of
pride is felt when gathering with the social
Gendang gending
gendeng
neraka nunut suwarga
katut”
”Bokong jagong
E. The feelings of a man
1. Feelings of being a father/man
38
meiliki anak dan istri, ketika mampu menuruti
keinginan anak dan istri, juga ketika rumah
tangga berhasil dan mapan. Rasa bangga
bercampur puas muncul ketika mampu
menyekolahkan anak hingga lulus dengan
kondisi ekonomi yang pas-pasan. Satu orang
subjek mengungkapkan bahwa harus bangga
menjadi laki-laki. Kebanggaan tersebut karena
menjadi dominan laki-laki dalam keluarga dan
di lingkungan masyarakat misalnya, dalam
pendidikan anak di keluarga dan dalam segala
aktivitas laki-laki di lingkungan masyarakat
yang dinilai akan membawa pengaruh
terhadap nama baik keluarga. Di samping itu,
tanggung jawab laki-laki yang dirasa lebih
berat dibanding tanggung jawab seorang
perempuan, karena harus mengayomi
perempuan dan anggota keluarga yang lain.
Satu orang subjek menambahkan bahwa rasa
bangga sebagai laki-laki dikarenakan
mendapat perlakukan istimewa dari orang tua
semenjak kecil yaitu diberikan kebebasan
penuh.
“saya bangga menjadi laki-laki, kita harus
bangga dan senang. Jangan sampai laki-laki
terlihat keperempuanan. Kita tunjukkan inilah
laki-laki !. Pertama, dalam keluarga, laki-laki
dominan sekali. Mendidik anak, dalam
lingkungan masyarakat, maka yang disorot laki-
environment and able to show that the man has
a child and wife, and also when the household
succeeds or is prosper. Feelings of pride and
satisfaction is also expressed when they are able
to educate their children up until graduation,
especially with their minimum resources. One
of the subjects stated that he must be proud to
be a man. This pride stems from the dominance
of man in the family and the social environment
for example in educating the children in
addition to all of the men's activities in the
society that will all influence the good name of
the family. Moreover, the responsibilities of
men are perceived to be larger compared to
women, because they must protect women and
their family. One subject stated that he is proud
to be a man because he received favorable
treatment from his parents ever since he was
small, and was given full autonomy.
”I am proud to become a man, we must be proud
and happy. Don't let a man seem like a woman.
We must show them that we are men! First, in the
family, men are very dominant. Educating the
children, in the society environment, it is the men
who get all the attention. The success of the family
becomes the responsibility of the man. There are
also mothers who have a high career. Men are
indeed special; when we become the village head
our wife would be called Mrs. Village Head. Our
39
laki. Keberhasilan dalam rumah tangga yang
bertanggungjawab laki-laki. Ada juga ibu yang
karier lebih tinggi. Memang istimewa laki-laki,
ketika kita menjadi Pak lurah maka istri
dipanggil sebagai Ibu lurah. Tanggungjawab kita
tidak seringan tanggungjawab ibu. Kita harus
mengayomi, bertanggung jawab pada
perempuan”.
“Sebagai tempat diskusi, misalnya kalau hanya
ada dana mepet bagaimana bisa untuk
mencukupi kebutuhan. Tentunya dengan diirit-
irit. Kalau istri yang tidak menerima uang yang
diberikan suami pasti berkomentar uang sekian
sampai dimana? Memang berat tugas patih”.
Rasa sedih muncul ketika rumah tangga
mengalami hambatan misalnya, masalah
kegagalan dalam pengasuhan anak dan ketika
istri menuntut banyak keinginan. Hal tersebut
karena laki-laki diposisikan sebagai figur yang
harus bertanggung jawab penuh dalam
keluarga sehingga dirasa menjadi beban
walaupun ada sedikit rasa bangga yang
terselip.
Terkadang ketika sedang jengkel dengan
keluarga muncul rasa ego dan gengsi karena
merasa yang mencari uang untuk kebutuhan
keluarga. Hal ini terjadi ketika anggota
keluarga dirasa susah untuk diatur atau
responsibilities are not as light as the mothers. We
must protect, and be responsible to women”.
A place to discuss things together, for example
when there is limited amount of money we
discuss on how we can fulfill our needs. Of course
we have to be more efficient. If the wife didn't
receive money which was given, she would
certainly ask where did the money go. Indeed it is
hard to be a leader”.
“
A sense of sadness is felt when the family
encounters some problems for example the
failure to nurture the children and when the
wife is too demanding. Men feel this way
because they endure the tasks to be fully
responsible for the family, and of course this
creates a burden but on the other hand they are
able to feel proud of themselves, although
implicitly.
At times when the subjects are frustrated with
the family, a feeling of selfishness arises because
we feel that we are the ones who have worked
hard to seek an earning for the needs of the
family. This occurs when the members of the
family are difficult to manage or act as they
please. Feelings or regrets appear when the
child does something wrong and we punish
them physically. Feelings of distress is felt when
our income is uncertain. One of the subjects
40
berperilaku semaunya sendiri. Rasa penye-
salan muncul ketika anak berbuat salah dan
harus dihukum secara fisik. Ada perasaan
berat ketika penghasilan tidak menentu. Satu
orang subjek merasa tidak enak jika dilihat
masyarakat akan kondisinya yang tidak
mempunyai pekerjaan tetap. Ada kesan
pengangguran yang kemudian menjadi beban
mental dirinya. Perasaan susah dan senang
muncul ketika mengayomi istri dan mencukupi
kebutuhan keluarga dalam kondisi ekonomi
yang pas-pasan . Satu orang sub jek
mengungkapkan merasa biasa-biasa saja
menjadi laki-laki, tidak ada perasaan lebih dan
kurang.
“
“
“
saya meninjau rasa dari kontinuiti, artinya
bolak-balik, bisa senang dan susah. Pada saat
menjadi pemimpin ada rasa bangga,
konsekuensinya menjadi suatu beban, pada saat
bisa me-menage itu jadi ada antisipasi saat ada
kegagalan, jadi bisa meminimalisir rasa (susah)”
Bisa senang bisa sedih, bangga kecewa seperti
ada siang ada malam”.
Kenyataannya seperti itu harus bagaimana lagi
kita terlahir sebagai laki-laki secara otomatis
bangga. Begitu terlahir sebagai laki-laki baik
ajaran agama, pemerintahan, sudah otomatis
menjadi pimpinan dalam keluarga. Kebanggaan
expresses his discomfort when the society sees
that he doesn't have a permanent job. There is
an impression that he is unemployed and this
creates a mental burden for the subject. Feelings
of difficulty and happiness appear when the
subjects are able to protect the wife and fulfill
the needs of the family with the minimum
economic resources that is available. One of the
subjects report that there are no special feelings
of being a man. No feelings of being superior or
being subjugated.
Basically the subjects state that they would
desire an abundance of wealth, however they
”
“
“
I view it from the aspects of continuity, it means
back and forth, we can be happy and difficult.
When we become leaders there is a feeling of pride,
the consequences become a burden, but when we
are able to manage therefore we anticipate failure,
and are able to minimize our feelings of
difficulty”
I could be happy or sad, proud and disappointed
just like day and night”.
That's just the reality, what else can we do, we
are born as men and we automatically are proud
of ourselves. When we were born as men, both
religion and the government confirms that we
automatically became leaders in the family. The
pride truly inspires the role”.
41
itu benar-benar menghayati perannya ”.
Sedih dan susah kita pakai rasa. Logika/nalar
kita digunakan untuk berpikir, hati memang
merasakan. Arahnya pada kompensasi yang
positif, apa yang menjadi rasa bisa terobati, tidak
harus semua tercapai “.
Pada dasarnya keinginan secara materi
sangatlah banyak namun subjek berpendapat
bahwa masalah rejeki ada yang mengatur yaitu
Tuhan dan hal itu tergantung dari tiap-tiap
pribadi dalam menyikapinya. Segala keinginan
dan cita-cita dalam kehidupan rumah tangga
sangatlah banyak dan beragam. Ada kalanya
tidak dapat terpenuhi dan menyebabkan
kekecewaan, namun segala rasa kesedíhan
tersebut dapat menjadi hikmah dan
penghayatan hidup bahwa segala keinginan
tidak selalu tercapai. Menurut subjek,
kegagalan dari suatu cita-cita hanyalah
kejayaan dan kebahagiaan yang tertunda.
Keseluruhan subjek mengungkapkan bahwa
dalam mengarungi kehidupan rumah tangga
leb ih mengedepankan fungs i - fungs i
religiusitas yang dipadukan dengan etika
kebijaksanaan hidup sesuai dengan kultur
budayanya masing-masing.
“
realize that blessing is the fate of God and that it
depends on how each individual interprets it.
The range of dreams and wishes desired by
family is clearly uncountable and diverse.
Sometimes it is not fulfilled and leads to
disappointment, but all of the sadness can turn
into wisdom when we understand that not all
desires can be achieved. According to the
subjects, failure to achieve a dream serves as a
delayed victory or happiness.
All of the subjects agree that living the family
life must prioritize aspects of religion and life
wisdoms in accordance with each culture.
“Sadness and difficulties we feel. Logic and
reason we use to think, the heart is used to feel.
The direction leads to positive compensation,
what becomes a feeling can be cured, not all
desires must be fulfilled “.
“That's just the reality, what else
can we do, we are born as men
and we automatically are proud
of ourselves. When we were born
as men, both religion and the
government confirms that we
automatically became leaders in
the family”
42
2. Konflik Peran Gender dan Ambivalensi
Laki-Laki
a. Kuat vs. lemah
b. Menang vs kalah sebagai laki-laki (jiwa
kompetitif)
“
“
“
“
“
“
Kalau pendapat saya, sebagai seorang laki-laki
harus kuat fisik dan bersikap jantan dan didasari
dangan mental spiritual yang baik”.
Seorang laki-laki secara fisik jelas lebih kuat dari
pada wanita dan tidak boleh terlihat lemah”
Kemudian dari sisi tenaga jelas laki-laki dan
wanita berbeda, kalau laki-laki itu biasanya
sebenarnya bedanya tidak jauh-jauh banget,
contoh paling mudah saat melahirkan, coba laki-
laki disuruh melahirkan apakah kuat, karena
secara kodratnya sudah beda”.
Perempuan banyak emansipasi, perempuan
bisa lebih dari laki-laki tapi sebenarnya laki-laki
harus tetap lebih sebagai pemimpin...”
Dari fisik kita lebih kuat, juga otak laki-laki dan
perempuan berbeda, lebih besar laki-laki. Saya
baca di buku. Perempuan tetap ada keterbatasan
dibandingkan laki-laki, meskipun banyak
perempuan yang lebih pintar dari saya”.
Dilihat dari sudut pandang kodrat begitu, kalau
2. Conflict of gender roles and male
ambivalence
a. Strong vs. weak
b. Win vs. lose for men (Competitive soul)
”
”
”
”
”
I think, as a man we must be physically strong
and act manly and it must be based on a good
mental and spiritual state”.
A man is physically stronger than a woman and
are not allowed to appear weak”
And from the aspect of strength it is clear that
men and women are different, actually for men
the differences are not large, for example giving
birth, if men had to give birth would they be
strong enough, because its just naturally
different”.
Women have lots of emancipation, women can be
better than men but men actually must still
become the leader...”
From the aspect of physical abilities we are
stronger, the brains of men and women are also
different, the brains of men are larger. I read this
in a book. Women have limitations compared to
men, although lots of women are smarter than
me”.
43
dari sudut pandang jaman pemahaman seperti
itu semua ditutup, laki-laki dan perempuan
harus bersaing juga dalam masyarakat.
Tergantung kita bagaimana menjabarkannya”.
Perempuan tetap ada keterbatasan, meskipun
banyak perempuan yang lebih pintar dari saya”.
laki-laki secara fisik sudah kelihatan, setelah kita
mempunyai istri dan mendapat anak jadi
semakin jelas kalau kita laki-laki. Kalau belum
punya anak belum terbukti”.
Ada laki-laki jantan tapi tidak terbukti. Seperti
laki-laki yang berhubungan badan dengan
perempuan dengan intensitas sering, tapi tidak
bisa mendapatkan keturunan jadi tidak terbukti
sebagai laki-laki.”
Ada laki-laki dikatakan tidak jantan
diantaranya ketika menikah tapi belum punya
keturunan. Masyarakat kemudian menanyakan
dimana yang minus. Pembuktian dengan itu.”
laki-laki dan perempuan sudah jelas berbeda
secara fisik. Ketika dalam berkeluarga belum bisa
mendapatkan keturunan maka belum bisa
dikatakan laki-laki. Jadi laki-laki tulen adalah
yang bisa memberikan anak laki-laki. Meskipun
secara fisik kelihatan sebagai laki-laki”.
“
“
“
“
“
c. Terbukti vs tidak terbukti sebagai laki-laki
”
”
”
”
”
”
If we use the perspective of our basic nature, then
its just like that, but if we use the perspective of
our times those sorts of ideas were closed up , men
and women must compete in the society. It
depends on how we interpret it”.
Women have limitations, although lots of
women are smarter than i am”.
it is physically apparent for men, when we get a
wife and have kids it becomes even more clearer
that we are real men. If we don't have a child it is
unproven”.
There are those men who appear masculine but
they haven't proven themselves. Like a man that
often has sex with a woman, but cannot have a
child, this doesn't prove that he is a man.”
There are those men that are not masculine
because they marry but don't have a child.
Society then asks where did he go wrong. This is
how it is proven.”
Men and women are clearly different from the
physical aspects. When we are in a family and we
cannot have a child we cannot be referred to as
real men. So real men are those that can give a
boy. Although physically they appear to be a
man”.
c. Proven vs. unproven as a man
44
d. Pengayom vs egois
Pengayom
Egois
“
“
“
“
“
“
laki-laki itu kepala keluarga, peranan
mengayomi anak dan istri, memberi contoh, suri
tauladan bagi anak”.
laki-laki adalah hamba Allah yang diberikan
kelebihan dibandingkan perempuan, diharapkan
mampu memberikan nafkah, mengayomi,
mengawini”.
Lanang itu diartikan senajan ala tetep menang
(meskipun salah tetap menang). Kadang cocok
juga dengan saya istilah tersebut, Maka
kekerasan identik dengan laki-laki. Kekuatan
fisik lebih kuat”.
kalau menurut saya laki-laki sulit menahan
emosi, kadang mau menangnya sendiri tapi
tergantung dari faktor personilnya tersebut”.
...istilahnya laki-laki bisa seperti bunglon, dia
bisa main kesana kesini tanpa sepengetahuan
keluarga. Bunglon cenderung kepada bahwa laki-
laki itu bisa fleksibel, ketika kita main kemana kita
bisa mengaku pergi sama teman, padahal kita
mengajak teman untuk minum minuman keras”.
... jadi ya memang kadang-kadang saya katakan
d. Protector vs. Selfishness
Protector
Selfishness
”
”
“
“
“
“
Men are the head of the family, they have the role
to protect the child and wife, give an example, and
an example to the child”.
Men are the servants of Allah that are superior to
women, they are expected to provide an earning,
protect and marry”.
Men are referred to as senajan ala tetep menang
(although we are wrong but we win). Sometimes
it fits with me this expression. That's why
violence is identical with men. We have stronger
physical abilities”.
I think that men have a problem with controlling
their emotions, sometimes they just want to win
for themselves but it depends on the personal
factors”.
...men are like chameleons, he could play here
and there without the family knowing. As a
chameleon men tend to be flexible, when we go out
somewhere we could say that we are with a friend,
but in fact we are hanging out with friends to
drink alcohol”.
... yes sometimes I say that men are ”sak geleme
45
bahwa seorang laki-laki itu ”sak geleme
dewe/semau gue”. Menurut saya lumrah. Laki-
laki kebanyakan seperti itu. Karena yang
harusnya membantu istri dirumah yang sedang
repot kemudian saya diajak temen untuk
mancing. Kalau saya tidak kumpul tidak enak,
kadang anak lagi panas atau ada permasalahan
lainnya”.
Laki-laki mau menang sendiri, kalau istri saya
sakit masih melakukan pekerjaan domestik,
mencuci masak, lain kalau laki-laki ketika sakit
maka tidur. Baru beraktivitas setelah sembuh.”
“...dalam segi budaya Jawa ada jenang dan je-
neng. Jenang maksudnya laki-laki harus konsis-
ten, bertanggungjawab untuk memberikan
nafkah lahir dan batin pada keluarga, untuk
jeneng kita dapatkan dari lingkungan, minimal
dari keluarga. Bukan kita memaksakan”.
Laki-laki bertanggungjawab sepenuhnya akan
dibawa kemana keluarga. Sebagai suami dalam
akad nikah sudah jelas, harus melindungi istri,
menafkahi keluarga, kalau dihayati sudah jelas
memberikan suatu batasan, scope pemikiran
mereka”.
“
“
e. Bertanggung jawab vs tidak mampu
bertanggung jawab
Bertanggung jawab
dewe/semau gue (we do as we please)”. I think its
normal. Most men are like that. Because I'm
supposed to help my wife at home who has her
handful but then my friends ask me to fish. If i
don't go out with my friends it discomforts me,
sometimes my son has a fever or there are other
problems”.
Men just want to win for themselves, if my wife
is sick, she would still perform her domestic
duties, wash clothes, cook, its different for men,
when they are sick they sleep. They return to their
activities when they are better.”
..in the Javanese culture there is jenang and
jeneng. Jenang refers to how men must be
consistent, responsible to provide an earning and
support physical and spiritual needs of the
family, minimum for the family. Its not
something we impose on ourselves”.
Men are fully responsible for where the family
will go. As a husband the marriage vows are clear,
they must protect the wife, provide the earning for
the family, if this is really understood it is already
clear that limitations are given to them,
limitations on the scope of their thoughts”.
”
”
”
e. Responsible vs. Irresponsible
Responsible46
“
“
“
“
Bagaimana laki-laki didepan, ditengah dan
dibelakang, jadi paling tidak harus bisa
melakukan hal tadi. Ketika dalam acara
pernikahan, ada pernyataan bahwa suami
singkatan dari: semua untuk anak dan istri.
Suami sebagai tumpuan utama, jadi ada beban
dan tanggungjawab laki-laki disana”.
Laki-laki mempunyai tanggungjawab lebih
berat dari pada perempuan. Ketika kita sudah
bekerja tapi belum punya istri, pasti uang
seberapa banyak akan habis. Lain halnya ketika
ada istri, kita bisa menabung. Kalau dihitung
secara nalar tidak bisa dihitung ketika melihat
banyaknya biaya pendidikan untuk anak. Ada
faktor X yang kita tidak tahu, ternyata bisa
membiayai anak”.
Ada kompensasi, suatu hal pengganti suatu
kekecewaan, misalnya tuntutan yang belum
dapat dipenuhi baik ibu atau anak. Sementara
waktu bisa kita alihkan bahwa hal itu harus
dicapai saat ini. Rasa kecewa akan lebih menjadi
suatu penghayatan atau perenungan ternyata
apa yang kita inginkan tidak selalu tercapai, jadi
bisa belajar mengambil hikmah.”
Sedihnya istri menuntut harus punya ini itu,
akhirnya korupsi, ada suami yang bunuh diri
Tidak mampu bertanggung jawab
”
”
”
How can men be at the forefront, in the middle
and in the back, so at least they can do these
things mentioned earlier. When they are in a
marriage ceremony, there is a statement that the
husband (suami) is an abbreviation from semua
untuk anak dan istri (everything for the child and
wife). The husband is the main guide, so the
responsibility and burden of a man is there”.
Men have larger responsibilities compared to
women. When we work but don't have a wife, the
amount of money we have would certainly be
spent. Its different when we have a wife, we could
save. If we do the rational calculations its
impossible to fulfill our needs especially when
considering the total costs for the child's
education. There is an X factor that we don't
know about, and it turns out we can pay for our
child's education”.
There is compensation, a substitute for the
disappointment, for example demands that have
not been fulfilled to the mother or the child. We
could divert our focus on not fulfilling those
demands now. Disappointment would serve as
contemplation and it turns out that what we
want is not always fulfilled, so we could learn to
take the lesson from the event.”
Incapable of being responsible
47
karena istri menuntut ini itu. Apalagi ketika
hidup di perumahan, banyak keinginan”.
Secara logika sebagai kepala keluarga, meskipun
abnormal, tetap sebgai kepala keluarga,
meskipun ibu menuntut penghasilan, meskipun
suami abnormal tetap merasa bertanggung-
jawab. Otomatis menjadi beban, bangga, dan
sedih”.
Memang sudah diciptakan sebagai laki-laki
mau mengeluh juga tidak bisa, kalau scope
rumah tangga berhasil, laki-laki bangga
mempunyai rumah tangga berhasil, tapi kalau
kacau balau, misalnya anak sudah diarahkan tapi
memilih sendiri ternyata salah, jadi ikut sedih
karena posisi laki-laki harus bertanggung-
jawab”.
“
“
F. Persepsi tentang konflik dan kekerasan
dalam rumah tangga
Penyebab kekerasan dalam rumah tangga
Sebagian besar subjek berpendapat bahwa
konflik dalam rumah tangga adalah hal yang
biasa dan merupakan bumbu dalam kehidupan
rumah tangga sehari-hari. Faktor ekonomi dan
kebutuhan dasar sehari-hari seperti makan dan
m i n u m d i p a n d a n g p a l i n g b a n y a k
menimbulkan konflik apabila salah satu pihak,
suami atau istri merasa tidak tercukupi.
”
”
”
Its sad when my wife demands for this and that,
and eventually we corrupt, some husbands even
kill themselves because the wife is so demanding.
Let alone when we live in the housing complex,
there are so many demands”.
Logically as the head of the family, although the
person is abnormal, but he remains as the head of
the family, although the wife demands for income,
although the husband is abnormal but its still his
responsibility. We automatically feel burden,
proud and sad”.
Because we have been created as men, and we
cannot complain, if the family succeeds, men are
proud to have a successful family, but if it is a
disaster, for example the child is advised to do this
but they choose their own way and it turns out to
be wrong, I become sad because the position of the
man is to be responsible”.
F. Perception of conflict and domestic violence
Causes of domestic violence
Most subjects view that conflicts in the
household are common and that it acts as the
spice of everyday family life. Economic factors
and daily basic needs like food and drinks are
viewed to be what mostly stimulates conflicts
when one party, either the husband or wife,
feels that their needs are not fulfilled.
48
“
“
“
kita tidak munafik semua sudah mengalami, ada
tingkatan ringan, sedang, besar .Ada hal sepele,
bisa menjadi besar. Secara kasat mata, faktor
ekonomi sangat dominan. Ketika ekonomi kurang
dalam suatu keluarga, dan agama masih rendah
maka ketika mencari nafkah tidak memandang
halal dan haram, asal mendapatkan pemasukan.
Contoh ada kasus masalah percekcokan pemicu
faktor ekomomi”.
...Di saat saya sudah lelah pulang kerja, istri
ngomel tidak berhenti. Saya sudah minta
berhenti, karena kondisi capek, akhirnya saya
melakukan kekerasan. Saya sudah berusaha nanti
saja bicarakan masalah, lihat situasi. Yang terjadi
supaya saya tidak melakukan kekerasan, saya
bilang kepada istri, ”Cukup, sudah, jangan
dilanjutkan...”
...konflik tergantung situasi dan kondisi,
kembali lagi apa penyulut konflik. Apakah ada
yang tidak tersampaikan, atau pihak ketiga, entah
ibu, adik...”
“...misalnya saya dan istri jarang melakukan
pembicaraan yang tidak sinkron, kemudian
saling mempertahankan pendapat maka akan
menjadi marah. Cara penyelesaiannya ketika istri
bersuara keras saya juga bersuara keras..”
“..setelah melontarkan kata-kata yang tidak kita
inginkan, kita menjadi ringan tangan, karena
”
”
”
”
we're not hypocrites, everyone has experienced
it, there is a low, mild, and high level. Some small
problems can turn to big ones. Apparently, the
economic factor is dominant. When the economic
needs are not fulfilled in the family and the
religion is weak and therefore not considering
what is allowed and what is forbidden (halal and
haram) in seeking an earning, and then you only
think about getting some money by whatever
means. For example cases of conflicts due to
economic factors”.
...When I am exhausted and return from work,
my wife doesn't stop complaining. I ask her to
stop, and eventually I act violently. I always try
to solve the problem and request to discuss the
problem later, we'll see the conditions so then I
wouldn't have to resort to violence, I tell my wife,
“That's enough, stop right now...”
...conflicts depend on the situation and
condition, it goes back to what started the
conflict. Is there something that hasn't been said,
or is there a third party, mother or younger
sibling...”
...for example my wife and I rarely ever speak to
each other in a synchronized manner, and we
defend our own arguments and then we get
angry. The way to resolve it is when my wife
raises her voice I also must raise my voice..”
49 49
kita hanya ngomong sekali, istri ngomong dua
kali. Setelah ada pihak ketiga yang netral bisa
mendamaikan, bisa kembali harmonis. Dari
cekcok bisa mengakibatkan piring pecah.
Perempuan biasanya banyak ngomong. Setelah
agak reda, kita cari jalan keluar, kita tanyakan
dari pihak perempuan, baru laki-laki.
Lingkungan kami banyak para pedagang, jadi
solusi permasalahan ekonomi dengan istri
kepasar, laki-laki cari kerja ditempat lain. Yang
paling berat memang masalah ekonomi. Laki-laki
masih muda, perempuan sudah tua juga menjadi
masalah..”
“kata-kata kasar muncul, dan tidak layak kita
ucapkan. Seperti menyebutkan nama binatang.
Ini muncul karena faktor kelelahan yang dialami
kedua belah pihak. Masalah mengurusi anak,
ketika istri meminta kita untuk mengurusi anak,
tapi kita tidak dengar.”
Hal lain yang dapat dianggap menimbulkan
konflik rumah tangga adalah pesan yang tak
tersampaikan, kurangnya kesepahaman dalam
topik pembicaraan, persaingan antara suami
dan istri dalam memenuhi kebutuhan
keluarga, kurangnya kesadaran akan peran
masing-masing dalam rumah tangga.
Perbedaan usia yang terpaut jauh juga
dianggap dapat menimbulkan masalah dan
adanya pihak ketiga serta sikap yang saling
”
”
..after saying things that are offensive, we both
are driven to hit each other, because I say one
thing, and my wife says two things. After a
neutral third party comes to solve the problem we
return to live in harmony. And from this conflict
it can result in broken plates. Women like to talk a
lot. When the condition is better, we seek a
solution, we ask the women's point of view, and
then the men's point of view. There are lots of
tradesmen in our environment, so the solution
for economic problems is that the wives go to the
market, and the husbands seek a job in another
place. It is the economic problems that are most
severe. Men are still young, older women also
become a problem..”
we curse at each other, and its inappropriate for
us to say. Like saying the names of animals. This
is because we are both exhausted. Problems of
taking care of the child, when the wife asks us to
take care of the child, but we don't listen.”
Other things that can cause family conflicts
include repressed thoughts or feelings, lack of
understanding towards the topic of discussion,
competition between husband and wife in
fulfilling the family's needs, and the lack of
awareness towards each person's role in the
family. The large age difference can also
contribute to conflicts in the family, the
presence of a third party as well as the acts of
50
mempertahankan pendapat masing-msing
ketika terjadi perbedaan pendapat
Menurut para subjek kelompok ke 3, ada
stadium konflik dalam rumah tangga, yang
paling rendah, konflik masih bisa diatasi
keluarga sendiri dan tidak harus melibatkan
orang lain. Stadium sedang yaitu suami istri
tidak bisa menyelesaikan dan minta bantuan
tokoh masyarakat. Stadium tinggi yaitu
perceraian, dan yang menjadi korban adalah
anak.
“Faktor ekonomi, cemburu, stadium rendah
masalah anak, bisa diselesaikan dengan
komunikasi bersama, antara bapak, ibu dan anak.
Insya Allah bisa terpecahkan. Faktor cemburu
bisa diminimalisir kalau istri percaya dengan
suami atau sebaliknya. Jika ada cemburu yang
berlebihan maka bisa meningkat pada perceraian,
apalagi ada yang memprovokatori. Yang paling
tinggi masalah ekonomi, harga semakin tinggi,
penghasilan tetap. Istri tidak bisa memenej,
hanya bisa menuntut, padahal kita sudah bekerja
sekuat tenaga. Tidak mungkin saya memberikan
semua uang pada istri. Ketika ada uang 100 ribu,
maka saya berikan 75 ribu saja. 25 ribu untuk beli
rokok, hobi mancing saya, dan keperluan saya
sendiri. Sangat rawan kalau tidak transparan
dalam keuangan”.
maintaining one's argument when there is a
difference of opinion.
According to the subjects in group 3, there are
levels of conflicts. The lowest level allows the
family to overcome the problem without
involving external parties. The mild level refers
to the condition where the wife and husband
are incapable of solving their problems and
therefore requiring the assistance of a
community figure. The highest level is a
condition of where divorce is declared, and the
child becomes the victim
. “There are factors of economy, jealousy, child
problems, which can be solved by having
communication, between the father, mother and
child. Insya Allah (God's Willing) the problem
can be solved. Factors of jealousy can be
minimized if the wife trusts the husband and vice
versa. If there was a person who was excessively
jealous this can lead to divorce, let alone if there
was a party that provoked the situation. The
highest level is economic problems, with higher
costs, but a constant income. The wife is
incapable of managing, and can only demand,
and we have worked as hard as we could. It's not
possible for me to give all my money to my wife.
When there is 100 thousand, I give her 75
thousand, and 25 thousand to buy cigarettes, to
go fishing, and accommodate my own needs. It is
51
Satu orang subjek menekankan bahwa jika
sikap istri tidak berlebihan misalnya istri terlalu
banyak tuntutan atau terlalu banyak bicara di
saat suami dalam kondisi lelah maka tidak akan
terjadi konflik. Menurut subjek, konflik
tersebut dapat dihindari jika istri bersikap
wajar misalnya bertanya dengan cara yang baik
ketika ada permasalahan. Hal lain yang dapat
dianggap menimbulkan konflik rumah tangga
adalah pesan yang tak tersampaikan,
kurangnya kesepahaman dalam topik
pembicaraan, persaingan antara suami dan istri
dalam memenuhi kebutuhan keluarga,
kurangnya kesadaran akan peran masing-
masing dalam rumah tangga. Perbedaan usia
yang terpaut jauh dianggap dapat menimbul-
kan masalah, adanya pihak ketiga, serta sikap
yang saling mempertahankan pendapat
masing-masing ketika terjadi perbedaan
pendapat.
Lalu berkaitan dengan apa yang biasa
dilakukan oleh laki-laki ketika terjadi konflik
rumah tangga, subjek dalam penelitian ini
memberikan pandangan yang beragam yang
dapat dikelompokkan dalam tiga kelompok;
laki-laki atau suami menggunakan
kekerasan dalam menyelesaikan konflik.
Suami menggunakan kekerasan mulai dari
kekerasan verbal berupa kata-kata kasar
Pertama,
very risky if we weren't transparent on our
financial conditions”.
S
First
One of the subjects emphasized that if the wife
didn't overreact by demanding too much or
speaking too much when the husband is
exhausted, conflicts would not occur.
According to the subject, the conflict could be
avoided if the wife acted usually for example
asking nicely when there is a problem. Another
thing that can lead to conflicts include
repressed thoughts or feelings, lack of
understanding towards the topic being
discussed, competition between the husband
and wife in fulfilling the family's needs, lack of
awareness towards each person's role in the
family. A large age difference can also lead to
conflict as well as the presence of a third party
and the act of maintaining one's stance when
arguing.
o what do men normally do in cases of family
conflicts? The subjects in this study provide a
diverse perspective that can be grouped into
three categories;
, men or the husbands resort to violence to
resolve the conflict. Husbands use violence in
the form of verbal violence by cursing and may
lead to physical violence. The subjects explain
that they use physical violence because they are
52
sampai kekerasan fisik. Menurut subjek
penggunaan kekerasan fisik dilakukan karena
alasan kondisi lelah dan tidak dapat
mengendalikan diri. Ada yang menyatakan
bahwa penggunaan kekerasan dilakukan
apabila isteri terlalu banyak bicara misalnya
suami bicara sekali istri menjawab dua kali.
Menghindar dari persoalan. Bentuk
sikap menghindar yang dilakukan laki-laki
ketika terjadi konflik adalah memilih diam atau
pergi dari rumah dan melakukan aktifitas yang
dianggap dapat meredakan emosi. Misalnya
memancing atau wisata kuliner ketika
memiliki cukup uang.
Berupaya menyelesaikan masalah. Di
antara upaya yang dilakukan laki-laki atau
suami adalah musyawarah dengan pasangan
untuk mencari jalan tengah, menjalin
komunikasi yang sehat dengan pasangan, dan
melibatkan anak dalam menyelesaikan
masalah.
Pandangan para subjek terhadap konflik
rumah tangga yang biasa terjadi tersebut
menimbulkan keengganan untuk campur
tangan. Mereka beranggapan bahwa setelah
terjadinya konflik, hubungan suami istri akan
Kedua,
Ketiga,
G. Intervensi lingkungan sosial dalam
konflik rumah tangga
exhausted and they cannot control themselves.
Some mention that violence is used when the
wife speaks too much, for example the husband
says one thing and the wife says two things.
, avoiding the problem. This form of
avoidance is conducted by men by being silent
or going away from home and conducting
activities that can relieve their emotional
distress. For example going fishing or dining
out when they have enough money.
, try to solve the problem. Men or
husbands discuss the problem with the spouse
to seek a win-win solution, build healthy
communications with the spouse and involve
the children in solving the problem.
Since the subjects view domestic conflict as
common, they are reluctant towards the notion
of intervention by external parties. They view
that following a conflict, the relations between
the husband and wife will return to be intimate
and usually they would have another child. The
subjects also stated that the society would make
a judgment whether it is necessary to assist the
family in solving their conflicts. If there was a
family conflict and the neighbors heard, the
neighbors would not directly intervene unless
Second
Third
G. Intervention from the social environment
in family conflicts
53
mesra kembali bahkan biasanya akan
bertambah anak. Para subjek juga mengatakan
bahwa masyarakat akan melihat terlebih
dahulu perlu tidaknya memberikan bantuan
pada setiap konflik rumah tangga. Ketika
terjadi konflik rumah tangga dan tetangga
mendengar maka tidak serta merta akan
mengintervensi jika belum membahayakan.
Ada rasa ketidakenakan untuk melerai,
merasa akan diangap salah karena mencam-
puri urusan rumah tangga orang lain, namun
pada dasarnya tetap memberikan pengawasan.
“
“
Sejauh ini baik. Ada intervensi. Dilihat juga
perlu bantuan atau tidak, kadang-kadang ketika
kita ingin membantu belum saatnya. Konflik
selama ini seperti ribut, main pukul, memakai
alat belum ada dalam lingkungan kita. Ada
kepedulian, kita mendengarkan saja, ketika kita
ingin masuk kita lihat masalahnya”.
Ketika terjadi konflik dengan istri, tetangga
mendengar, mereka tidak ikut mengintervensi,
ka lau sampai ber lar i - lar i , ini be lum
membahayakan, kalau melerai malah salah,
kadang-kadang dilihat diperhatikan diamati
sejauh mana, kita peduli dnegan mengamati,
takutnya salah satu membawa senjata tajam,
kalau sudah seperti itu baru ikut terjun”.
things became immensely severe. There are
feelings of reluctance because it would be
viewed wrong since they are intervening with
the matters of other peoples' family, although
they would still monitor the situation.
”
”
”
So far, things have been good. There are
interventions. It is given based on whether it is
necessary or not, sometimes when we want help,
the time is not right. The conflicts that have been
occurring so far include arguments, beatings,
and the use of equipment that is not available in
our environment. There are some concerns, but
we just listen, if we want to enter, we look at the
problem first”.
When there is a conflict with my wife, and the
neighbors hear this, they don't intervene, if
someone eventually came running out of our
house, this is not severe yet, if intervention was
done it would be wrong, sometimes we see,
observe and pay attention to the extent of the
conflict, we care by observing, we're afraid that
who knows a person might be holding a knife, if
this was the case, then we would enter”.
there was once a conflict in the family,
afterwards we became even more intimate. We
don't want intervention, probably around 90% of
cases are like this. Afterwards we have another
child, before there was a conflict until my wife
54
“
“
pernah terjadi konflik dalam keluarga,
sesudahnya malah semakin mesra. Kita tidak
mau intervensi seprti itu, miungkin hampir 90%
seperti itu. setelah itu anak bertambah,
sebelumya ada konflik sampai lari-lari hanya
pakai kutang”.
sepengetahuan saya, bisa mengintervensi, tapi
ada batasan-batasan seperti aspek, lingkungan
ada yang bisa mentolelir maksud baik, kita
kadang membuat semakin parah. Kalau masalah
Jika konflik dinilai sudah membahayakan salah
satu pihak, maka akan mengintervensi
langsung. Ada batasan-batasan yang sifatnya
tak tertulis yang mengatur tiap-tiap anggota
masyarakat dalam memberikan intervensi
ataupun pengawasan pada setiap konflik
rumah tangga yang terjadi di lingkungannya.
Konflik yang disebabkan permasalahan
ekonomi dan seksual adalah sumber konflik
yang paling banyak disebut oleh para subjek,
disisi lain masyarakat tidak dapat membantu
secara langsung kedua jenis konflik tersebut.
Adakalanya keluarga yang sedang berkonflik
memproteksi diri agar tidak diketahui oleh
masyarakat. Jika pun ada intervensi, bentuk
bantuan yang diberikan adalah berupa nasehat
melalui perwakilan masyarakat yang
mempunyai pengaruh, seperti tokoh adat,
pemuka agama, RT/RW.
ran away only using her under blouse”.
As far as I know, intervention is allowed, but
there are limitations, some environments can
tolerate good intentions, sometimes we make this
condition even worse. If its related with economic
problems, we don't directly enter, and this also
applies for sexual problems. I think that its
already normal that we have a security post, and
the RT head. Personally if I had to , I would
intervene, but not physically, I would give
advice”.
If the conflict was judged to be severe then one
party would give direct intervention. There are
informal limits that regulate each society's'
members to intervene or monitor family
conflicts in their region. Conflicts related to the
economy and sexual issues are the source or
conflicts that are mostly reported by the
subjects and the community cannot give direct
assistance on both of these conflicts. In some
cases, the family that is in conflict conceals their
conflict and therefore the community is
unaware of their problem. If there was
intervention, the form of assistance that was
given would be in form of advice through a
representative from the community that has
influence for example a custom leader, religious
figure, and the RT/ RW (housing chiefs) head.
”
55
ekonomi kita tidak secara langsung masuk
kesana, juga masalah seksual. Saya kira sudah
jamak lumrah, ada pihak keamanan, pak RT. Saya
pribadi mau tidak mau melakukan intervensi,
tidak secara fisik, tapi dalam bentuk nasihat”.
“disini kekerasan kompleks tidak sekedar
pukulan, tapi dilihat dulu sejauh mana, ada
beberapa kasus yang pernah saya lihat dan
dengar, kemudian berniat mengintervensi
ternyata mereka sendiri memproteksi. Daripada
timbul konflik saya mundur saja. Kekerasan dari
segi ekonomi, yang pernah saya lihat, tidak hanya
dikampung ini, juga hanya bisa melihat saja”.
“di masyarakat disekitar saya, ketika dalam
lingkungan sekitar terjadi konflik, masyarakat
sekitar hanya melihat dan berkumpul saja, kalau
dilihat sudah mengkhawatirkan pak RT atau
keluarga turun tangan. Kepedulian lingkungan
terhadap keluarga berkonflik sangat baik”.
Ketika konflik rumah tangga terjadi dan
mengganggu lingkungan maka masyarakat
akan meminta bantuan RW untuk menengahi
atau menggunakan forum pertemuan warga
pada tingkat RT untuk membicarakan segala
permasalahan. Jika bukan keluarga sendiri
(keluarga yang masih ada ikatan darah),
intervensi pada keluarga yang sedang
berkonflik tidak dapat dilakukan secara
langsung, karena tidak memiliki kedekatan
”
”
here violence is complicated, it doesn't only take
form of beatings, but we must see to what extent
the violence has occurred, there are some cases
that I have witnessed and heard myself, and I
tried to intervene but they themselves resisted
me. Rather than creating a new conflict I backed
down. Violence from the economic aspects that I
have seen with my own eyes, not only in this
village, and I could only watch”.
in the surrounding community, when there is a
conflict, the people only watch and gather, if the
condition is urgent, the RT head or family will
intervene. The concern of the environment
towards families that have conflict is very good”.
When there is a family conflict and it disturbs
the environment the community would ask the
RW to mediate or use a community forum in the
RT level to discuss the problem. If it was not
their own family members (blood related
family), interventions towards family conflicts
will not be conducted directly since emotional
closeness is absent. One subject explains that
not many community members are aware of the
conflicts that occur in their family even for his
own mother. According to the subject, this is
because the family problems never become a
large problem and tends to be closed up
therefore not allowing intervention from other
people.
56
emosional. Satu orang subjek mengatakan
bahwa tidak banyak masyarakat yang
mengetahui tentang konflik yang pernah
terjadi di rumah tangganya bahkan ibunya
sendiri. Menurut penuturan subjek hal ini
karena masalah dalam rumah tangganya tidak
pernah menjadi besar dan cenderung
diproteksi dari campur tangan orang lain.
Salah seorang subjek yang menjabat sebagai
ketua RT mengatakan pernah mempunyai
pengalaman mendamaikan pasangan yang
sedang berkonflik. Subjek secara pro aktif
memanggil kedua pasangan tersebut untuk
didamaikan. Pendekatan yang dilakukan
subjek untuk mendamaikan adalah pende-
katan agama dan undang-undang negara.
Disamping itu pemahaman akan karakter
orang atau keluarga yang sedang berkonflik
perlu dilakukan sebelum memberikan
intervensi. Ada kalanya orang tidak mau
dicampuri urusan pribadinya dan ada yang
justru senang dibantu. Jikalau hendak
memberikan bantuan ketika ada pihak yang
berkonflik, subjek akan mengumpulkan
informasi tidak hanya dari satu sumber saja
dengan harapan tidak akan salah dalam
mengambil solusi.
Satu orang menceritakan bahwa pada kasus
” ” (istri pulang ke rumah orang tua),purik
One of the subjects who are the RT head stated
that he has an experience of resolving a dispute
between a couple who were having a conflict.
The subject proactively asked both subjects to
resolve their problems. The subject convinced
the couple by using a religious approach in
addition to explaining the constitutions of the
country. Moreover, understanding upon the
characteristics of the people engaging in the
conflicts must be conducted before intervening.
Some people are hostile towards assistance
from external parties, while some others
welcome it. When giving assistance towards a
couple in conflict, the subject would collect
information from various sources in order to
come up with the correct solution to the
problem.
One person explained that in the cases of
” ” (the wife returns to the home of her
parents), the subject is reluctant to help because
he is afraid that he may be considered a third
party. The subject adds that sometimes women
have insufficient understanding towards the
condition of the family (in the ” ” case). For
family's that rarely ever experience conflict, if a
conflict eventually occurs it would become the
talk of the town, but for families that frequently
experience conflict, people would think its just
normal and would not pay much attention to it.
purik
purik
57
subjek merasa enggan untuk campur tangan
karena khawatir dianggap menjadi pihak
ketiga. Subjek juga menambahkan bahwa
perempuan kadang kurang memahami kondisi
keluarga (pada kasus purik). Pada keluarga
yang jarang sekali terjadi konflik, jika
dikemudian hari terjadi konflik maka akan jadi
bahan pembicaraan di kalangan masyarakat
sekitar, namun pada keluarga yang sering
terjadi konflik maka warga akan menilai hal itu
adalah hal biasa ( ) Tingkat pendidikan juga
dipandang berpengaruh dalam penyelesaian
konflik keluarga.
cuek
”ketiga ada keluarga yang jarang terjadi
percekcokan,suatu saat terjadi cekcok, maka akan
menjadi bahan pembicaraan. Jadi dianggap
tumben. Kalau sering terjadi cuek saja, nanti
juga hamil lagi. Tingkat pendidikan memang
menjadi salah satu faktor dalam menyelesaikan
pembicaraan”.
”ketika ada kasus istri pulang ke orang tua atau
dalam bahasa jawa purik, dan kita tahu ada faktor
ekonomi, ketika kita ingin menolong nanti malah
menjadi pihak ketiga. Perempuan kadang kurang
memahami kondisi keluarga”.
”tingkat pendidikan juga berpengaruh, kata-kata
kasar tidak akan terucap dari orang yang
berpendidikan tinggi. Jadi harus diberikan
pengertian”.
Educational level is also said to influence
conflict resolution in the family.
”
”
”
”
”
Third, there is a family that rarely ever has a
conflict, one day there is a conflict, this would
become the talk of the town. Because it rarely ever
happens. If conflicts often occur, well who cares,
eventually they'll have another child.
Educational level indeed becomes one of the
factors that influence the resolution of disputes”.
when there is a case where the wife returns to the
home of her parents or in Javanese referred to as
”purik”, and we know there are economic factors,
when we want to help we would aggravate the
problem because we would be considered as a
third person. Women sometimes don't
understand the condition of the family”.
educational level also influences, cursing would
not come out from educated people. So you must
give some understanding”.
in our environment, when there is a conflict, we
just let it be, but we observe from a distance.
When someone asks for help, we would help.
When we help, we would involve at least two
people”.
we have to know the problem first, we have to ask
this person and that person. Then we have to seek
a place to solve the problem, for example the
58
”di lingkungan kami, ketika terjadi cekcok, kami
biarkan, tapi tetap mengamati dari jauh. Ketika
sudah minta tolong baru kami menolong. Kami
ketika menolong kita, maka paling tidak 2
orang”.
”kita telusuri dulu persoalannya untuk
pencegahan, kita tanyakan pihak satu dengan
yang lain. Kemudian mencari tempat
penyelesaian masalah, seperti pertemuan jumat
kliwon ini pertemuan bapak-bapak, itu gagasan
saya ketika menjadi RT. Dulu hanya ibu dasa
wisma, dan PKK. Persoalan di lingkungan
kelurahan, kita sampaikan di kelurahan, dan
lingkup RW, kemudian RT. Kita munculkan apa
saja permasalahannya. Disini bisa muncul
pemecahan karena ada banyak pendapat.
Perkumpulan RT ada pembahasan masalah dan
ada kultum, agar lebih tenang mengurus rumah
tangga”.
”seolah-olah masalah hanya dari pihak laki-laki.
Saya kira juga perlu melibatkan perempuan. Jadi
perlu ada pengertian dari perempuan juga.
Mengenai persamaan hak, saya pernah
menjumpai permasalahan perempuan over.
Perempuan perlu dibina agar tidak melebihi
ambang batas. Kita cari apa faktor penyebab
permasalahan. Ibu PKK, dan ketua RT bisa
memberikan penjelasan. Karena dalam berumah
tangga ada dua individu yang berbeda
fathers' Friday kliwon meeting, this is what I
suggested when I became a RT head. Earlier it
was the mothers Dasa Wisma and PKK
organization. Problems in the village, are
delivered to the village organizations at the RW
level, and then RT. We present the problems that
are there. We can come to a solution because there
are lots of opinions. In the RT meetings there are
discussions of the problem and a brief religious
lecture, so they would be more calm in taking care
of their family”.
Its as if the problems only come from the men. I
think that we must also involve women. So there
also must be understanding from the women.
Concerning equality of rights I have seen how a
woman over-exaggerates. Women need to be
guided so they would not go overboard. We seek
for the cause of the problem. The PKK
organization and RT head can give an
”
“in the surrounding community,
when there is a conflict, the
people only watch and gather,
if the condition is urgent, the
RT head or family will
intervene. The concern of the
environment towards families
that have conflict is very good”
59
disatukan. Saya sebagai laki-laki akan membela
diri, ketika terjadi kekerasan. Faktor kekerasan
juga bukan dari laki-laki, tapi juga dari
perempuan.”
Tidak bisa hanya dari satu pihak saja dalam
pemberian pengetahuan. Perempuan akan
melonjak kalau di bela, padahal belum jelas siapa
yang salah. Tadi ada pernyataan kalau kita akan
menolong setelah ada yang berteriak minta
tolong. Kalau yang cekcok orang bisu, tidak bisa
minta tolong”
“
H. Dinamika kehidupan pernikahan para
subjek
Kisah Subjek 1
Riwayat masa lalu
Subjek berusia 39 tahun, bekerja sebagai
karyawan sebuah percetakan di Yogyakarta
dan pendidikan terakhir SLTA. Jumlah anak 2
dengan usia pernikahan 11 tahun. Subjek
menuturkan bahwa dahulu sebelum menikah
tertarik dengan ilmu kanuragan yang berasal
dari budaya jawa. Tujuan mempelajari ilmu
tersebut adalah sebagai perlindungan diri.
Ilmu tersebut mempunyai beberapa prasyarat
yang harus dilakukan yang bersifat perintah
moral seperti, harus menghormati dan berbuat
baik pada orang lain termasuk pada anak-anak,
orang tua, binatang dan benda mati. Subjek
explanation. Because in a family two different
people are united. Me as a man, I would try to
defend myself, when there is violence. Factors of
violence are also not from the men, but also from
women.”
It cannot only be from one party when it comes to
giving knowledge. Women would become even
more hostile when defended, even when it is not
clear who is actually wrong. Earlier there was a
statement, we would help if someone asked for
help. If the person was mute, he can't ask for help”
”
H. Dynamics of marriage life among the
subjects
Narrative from Subject 1
Past history
The subject is 39 years old and works as an
employee in a publishing industry in
Yogyakarta and graduated from senior high
school. He has 2 children and has been married
for 11 years. The subject explained that before
getting married he had particular interest in
learning ”kanuragan” (traditional martial arts
involving supernatural powers) of which
originates from Javanese culture. The goal to
learn this knowledge was for self protection. A
number of requirements needed to be fulfilled
when learning this knowledge by practicing
60
menuturkan bahwa ilmu yang dipelajarinya
sangat mempengaruhi perilakunya ketika
dalam kondisi marah yaitu menjadi sangat
temperamen dan merasa berani dengan
siapapun. Menurut subjek hal tersebut terjadi
karena ketika dalam kondisi marah, seolah-
olah bukan dirinya yang marah namun sosok
lain yang bersifat nonmateri yang merupakan
pembawaan dari ilmu kanuragan yang
dipelajari. Ilmu tersebut ternyata juga
mempengaruhi nafsu seksual subjek menjadi
lebih besar.
Keluarga subjek, istri dan 2 anak tinggal satu
rumah dengan keluarga kakak kandung subjek
yang juga sudah mempunyai anak. Jadi dalam
satu rumah terdapat 2 keluarga besar. Ketika
subjek ingin berhubungan seksual, istri tidak
bersedia pada saat itu dan mengatakan
menyanggupi esok hari namun setelah
ditunggu sampai keesokan hari, istri tetap tidak
mau dan akhirnya terjadi kekerasan terhadap
istri yang dilakukan oleh subjek. Subjek
menceritakan bahwa beberapa hari yang lalu
terjadi konflik antara dirinya dengan istri.
Konflik tersebut terjadi ketika istri meminjam
uang pada tetangga dan tidak berterus terang
pada dirinya. Kakak subjek mengetahui hal
tersebut dan mengatakan bahwa dirinya tidak
Permasalahan yang memicu konflik
moral orders for example respecting and acting
positively to other people, children, parents,
animals and non-living things. The subject
stated that the knowledge largely influenced
him when in a state of anger. In such states he
would become temperamental and would
challenge a fight with anyone. The subject
thinks that a non-physical being brought from
the environment of his ”kanuragan”
knowledge is responsible for his rage. This
knowledge also influences his large sexual
drives.
The subject's family, wife and 2 children live in
the house of the elderly sibling who also has a
child, therefore two families live in this house.
When the subject wants to engage in sex, the
wife refuses at the time and says that she'll have
sex the next day, but after waiting for the next
day, the wife still refuses and eventually the
subject acts violently to his wife. The subject
explains that a few days ago, he experienced a
conflict with his wife. The conflict started when
the wife borrowed money from the neighbors
and did not notify the subject. The subjects elder
sibling was aware of this, and said that he
dislikes it when his extended family borrows
money from the neighbors. The subject's elder
sibling got angry at the subject and the subject
Problems that trigger conflict
61
suka jika ada keluarga besarnya yang
meminjam uang pada tetangga. Kakak subjek
kemudian memarahi subjek dan subjek
akhirnya bertengkar dengan istrinya. Situasi
pertengkaran tersebut hingga membuat istri
subjek ingin pulang ke rumah orang tuanya,
namun tidak sampai terjadi.
Subjek menceritakan pengalaman masa
lalunya yang mempergaruhi hubungannya
dengan istri hingga saat ini. Dahulu subjek
mempunyai teman akrab seorang laki-laki
yang berselingkuh dengan rekan kerjanya
sekantor hingga menyebabkan teman subjek
tersebut diusir dari keluarga istrinya dan
berakhir dengan perceraian. Istri teman subjek
tersebut banyak meminta bantuan kepada
subjek untuk menyelesaikan konflik rumah
tangganya dan hal ini membuat istri subjek
cemburu dan selalu mengungkit-ungkit jika
sedang bertengkar dengan subjek. Ketika
terjadi pertengkaran, terkadang istri subjek
ingin mengajukan cerai dan subjek
menurutinya, namun tidak sampai terjadi
perceraian. Subjek juga mengungkapkan
bahwa dirinya berusaha berterus terang
tentang masa lalunya bahwa ketika di bangku
SMA pernah selingkuh dengan teman-
t e m a n n y a m e s k i p u n t i d a k s e r i n g .
Keterterusterangan subjek tersebut membuat
istrinya marah dan cemburu hingga terkadang
had a conflict with his wife. The conflict had
even caused the wife to plan to return to the
home of her parents but this never actualized.
The subject explained his past experiences that
influenced his relationship with his wife up
until the present. The subject had once had a
close male friend which had an affair with his
work colleague. This affair resulted in the
eviction of the subject's friend from the wife's
family and eventually resulted in divorce. The
wife of the subject's friend frequently asks help
from the subject to solve the conflicts in her
family and this makes the subject's wife jealous
and always raises this issue when they argue.
When they argue, sometimes the subject's wife
asks for a divorce and the subject agrees,
however it has never ended in divorce. The
subject also explained that he tries to be open
about his past when he was in senior high
school, that he had once cheated with his
friends although not often. By being open the
subject's wife became angry and jealous and
this makes her sometimes reluctant to have sex
with the subject. The wife's reluctance can go up
to 4 days and sometimes when she eventually
agrees to have sex, she would do so without any
enthusiasm. This delay makes the subject have
to repress his drives for a few days, and when
having sex with his wife, he is unable to satisfy
the wife. The subject's wife is frustrated because
62
membuat i s t r inya enggan melayani
berhubungan suami istri. Keengganan istri
subjek berlangsung hingga beberapa hari dan
terkadang 4 hari lamanya baru bersedia
melayani dan kadang dengan terpaksa.
Penundaan tersebut membuat subjek menahan
hasratnya hingga beberapa hari dan ketika
berhubungan dengan istrinya, subjek tidak
mampu memuaskan istri dan hanya subjek saja
yang merasa puas. Istri subjek merasa jengkel
karena tidak puas hingga menampar subjek
setelah selesai melakukan hubungan suami
istri dan subjek balas menamparnya. Hal
tesebut menyebabkan keduanya tidak
mendapatkan kepuasan setelah melakukan
hubungan suami istri dan justru terjadi konflik.
Hal lain yang membuat subjek marah adalah
istri subjek banyak mengikuti kegiatan
perekonomian di luar termasuk sering
m e m i n j a m u a n g k e k o p e r a s i t a n p a
sepengetahuan subjek. Menurut subjek
seharusnya ada tabungan untuk diri subjek
sendiri dan untuk kegiatan operasional rumah
tangga sehari-hari namun diambil semua oleh
istrinya. Disamping itu, istri subjek sering
mengambil uangnya di dompet tanpa meminta
ijin terlebih dahulu pada subjek dan baru
mengatakan setelah subjek menanyakannya.
Pernah suatu ketika ban motor subjek bocor
dan menambalnya ke tukang tambal ban,
she wasn't satisfied and slaps the subject in the
face, the subject responds by slapping her wife
in the face. Such conditions make it difficult for
the couple to achieve sexual satisfaction and
rather create a conflict between them.
Another thing that makes the subject angry is
when the wife participates in economic
activities outside the home for example
borrowing money from the cooperative
without notifying the subject. The subject
thinks that money should be saved, used to
fulfill the needs of the subject, and fulfill the
operational needs of the family, however all the
money is taken by the wife. In addition, the wife
often takes money from the subject's wallet
without asking permission and only tells the
subject when the subject asks himself. The
subject had once encountered an experience
when his tire was flat and had to have the tire
when we are in bed, my wife knows
about my sexual needs. But my wife
says lets do it tomorrow, and I wait
for tomorrow and she doesn't want
it, and then I hit her. Not so long
ago we had a conflict because my
wife was not straightforward about
borrowing money from the
neighbors
63
namun ketika hendak membayar ongkos
tambal ban, dompet subjek tidak ada uangnya
dan setelah ditanyakan ke istri ternyata diambil
istrinya. Kejadian tersebut sempat membuat
konflik.
Subjek mengatakan bahwa ketika terjadi
permasalahan pernah membicarakan dengan
istri namun subjek merasa bahwa istrinya sulit
untuk diajak diskusi karena istri emosional
terlebih dahulu
“
“
kalau sudah di kamar, keinginan saya istri tahu
kebutuhan saya untuk berhubungan seksual.
Tapi istri bilang besok, saya tunggu besok
ternyata tidak diberi, maka terjadi kekerasan.
Beberapa waktu yang lalu pernah ribut karena
istri saya tidak mau terus terang kalau dia pinjam
uang ke tetangga. Kakak saya tidak suka kalau
ada keluarganya yang pinjam uang ke tetangga.
Saya yang kena marah dari kakak, kemudian saya
bertengkar hebat dengan istri. Malam-malam
istri ingin pulang ke rumah orang tua, saya
bilang pulang saja”.
dulu pernah membicarakan terlebih dahulu,
tapi istri sulit bisa diajak diskusi. Kalau istri bisa
diajak diskusi juga bisa diselesaikan, tapi kadang
istri emosi lebih dahulu. Kalau saya bilang sekali,
istri membalas tiga kali”
Penyelesaian konflik
patched up. But when he was going to pay for
the service he was surprised that he had no
money in his wallet and when the subject asked
his wife, the wife explained that she took the
money. This event resulted in a conflict.
The subject states that when there is a problem
they have once discussed it but the subject feels
that it is difficult to discuss the problem with the
wife because she gets emotional
”
“
when we are in bed, my wife knows about my
sexual needs. But my wife says lets do it
tomorrow, and I wait for tomorrow and she
doesn't want it, and then I hit her. Not so long ago
we had a conflict because my wife was not
straightforward about borrowing money from the
neighbors. My elder sibling dislikes it when his
family members borrow money from the
neighbors. My elder sibling got angry at me, and
then I had a big fight with my wife. At night my
wife said she wants to return to her parent's
house, and I told her to just leave”.
we had once talked about the problem, but its
hard to talk with my wife. If I could talk with her,
the problem would be solved, but sometimes she
gets emotional. If I say one thing, my wife would
answer three things”
Conflict Resolution
64
Setelah subjek mempunyai anak 1, ketika ada
permasalahan biasanya akan mengajak istri
keluar untuk mendiskusikan penyelesaiannya
berdua karena jika dibicarakan di rumah,
kakak subjek akan ikut campur.
Rumah tangga ibu subjek sering terjadi konflik.
Ayah subjek berpoligami ketika subjek berusia
5 tahun dan kemudian pergi meninggalkan ibu
subjek sekeluarga. Kondis i tersebut
menyebabkan subjek kehilangan figur ayah
dan yang ada hanya figur ibu. Subjek merasa
bahwa dirinya berusaha mencari jati dirinya
sendiri dan hanya figur ibu yang memberikan
pemahaman untuk mandiri.
Subjek menuturkan tindak kekerasan yang
dilakukan terhadap istrinya yaitu menampar,
memukul karena istrinya yang memulai
terlebih dahulu. Subjek memberikan contoh
Pengaruh kehidupan keluarga di masa lalu
Jenis kekerasan yang dilakukan
“Waktu saya masih kecil, oleh ibu saya, kami
kakak beradik dibawa ke Muntilan, dan ibu pergi
ke Jakarta. Dan di Jakarta di tempat temannya,
ibu disadarkan kalau tidak ibu yang mendidik
anak-anak siapa lagi? Suami sudah tidak bisa
diharapkan. Kemudian ibu kembali ke rumah.
Bapak jarang pulang, sering konflik dengan ibu”.
After the subject had a child, when a problem
occurs, the subject would ask the wife to go out
and discuss the problem because if they discuss
it at home, the subject's elder sibling will
intervene.
The family of the subject's mother is marked
with conflict. The subject's father had polygamy
when the subject was 5 and left the whole
family. As a result the subject was unfortunate
not to have a father and could only rely on the
mother. The subject feels that all his life he has
been searching for his true self and it is his
mother that teaches him to be independent.
The subject reports that he would slap and hit
his wife because his wife slaps or hits him first.
The subject gives an example in matters of
sexual relations when the wife refused to have
Influences of past time family life
Types of Violence Performed by the Subject
”When I was small, my mother brought my
brother and I to Muntilan, while my mother went
to Jakarta. And in Jakarta, at her friend's house,
she was warned if the mother doesn't teach her
children, who else will? Don't count on the
husband, And then mother returned home.
Father rarely ever comes home, and when he does
he ends up making a conflict with mother”.
65
permasalahan yaitu masalah hubungan seksual
ketika istrinya selalu menolak maka subjek
sering memendam hasratnya. Hal tersebut
menyebabkan ketika subjek berhubungan
seksual dengan istrinya maka tidak dapat
sepenuhnya memuaskan istri hingga istri
menendangnya setelah selesai berhubungan
dan subjek membalasnya.
Subjek mempunyai harapan ke depan agar
kehidupan keluarganya menjadi lebih baik,
seandainya terjadi konflik, subjek berharap
“
“
tampar, pukul, karena istri yang memulai.
Seperti masalah hubungan seksual, karena saya
sudah memendam lama keinginan untuk
hubungan seksual, dia tidak mau melayani
kemudian istri menendang saya, maka saya
balas. Saya bilang kenapa tidak dibicarakan,
kamu tidak melayani dengan maksimal. Saya
sudah memendam lama, dia hanya diam saja,
maka saya berpikiran yang penting hasrat saya
tersalurkan”.
saya juga sering melakukan kekerasan pada
anak seperti mencubit, menampar anak. Dulu
saya nakal sekali, juga sering mendapatkan
kekerasan dari orang tua karena sering ditinggal-
kan orang tua”.
Komitmen ke depan dalam berumah tangga
sex and the subject had to hold on to his sexual
drives. When the subject eventually had sex
with his wife, he was not able to satisfy his wife
and so the wife kicked him, and the subject
kicked her back.
The subject hopes that in the future the family's
life can become better. In cases of conflict, the
subject hopes that the conflict would just occur
normally since family conflicts are the spice in
family life. The subject also expresses that he is
embarrassed if he has a conflict everyday with
his wife. When the subject's mother had a
conflict with his father, the mother would
”
”
slapping, hitting because she starts it first. For
example related to sexual matters, I had to hold on
to my sexual drive and she doesn't want to serve
me and then she kicked me, and then I kicked her
back. I say, why don't you tell me, your not giving
your best performance. I have held my sexual
drive for a long time, and she's only silent, and
then I think, as long as my sexual drives are
satisfied that's enough”.
I also act violently to my children by pinching
and slapping them. I was a naughty boy, and my
parents would usually act violently to me because
my parents often left me”.
Future Commitments in the family
66
konflik yang sewajarnya seperti perkataan
orang-orang bahwa konflik rumah tangga ada-
lah bumbu dalam berumah tangga. Subjek juga
mengungkapkan bahwa dirinya merasa malu
jika setiap hari bertengkar dengan istrinya.
Dahulu ibu subjek jika bertengkar dengan
ayah, maka ibu lebih memilih diam dan seka-
rang subjek berperilaku sebaliknya jika
bertengkar dengan istrinya. Anak merupakan
motivasi utama subjek untuk mempertahankan
rumah tangganya walaupun subjek juga
menceritakan bahwa dirinya pernah malaku-
kan kekerasan terhadap anaknya. Jenis kekera-
san yang dilakukan pada anaknya adalah men-
cubit dan menampar anak. Subjek menuturkan
bahwa dirinya pernah mendapatkan kekerasan
dari orang tuanya dan sering ditinggalkan.
Subjek mengungkapkan bahwa dirinya pernah
melakukan kesalahan pada istrinya yaitu
pernah berselingkuh dengan tetangga yang
menaruh hati padanya. Subjek merasa menye-
sal dan sadar setelah anaknya sakit demam ka-
rena subjek merasa bahwa sakit yang menimpa
anaknya adalah hasil dari perbuatannya.
Keinginan subjek untuk meneruskan perse-
lingkuhan tersebut masih ada namun berusaha
untuk mengabaikannya. Subjek kemudian me-
minta pada istrinya untuk bersedia melayani-
Perselingkuhan
usually be quiet and now it is the opposite
experience for the subject when he has a conflict
with his wife. The child becomes the primary
motivation for the subject to maintain the
family although the subject also admits to
acting violently to his child. The subject admits
to pinching and slapping his child. The subject
reveals that as a child he was also subject to
violence and that his parents often left him.
The subject admits that he has once cheated on
his wife by having an affair with the neighbor
that fell in love with him. The subject regrets his
actions and started to realize when his child got
sick. The subject felt that the child's sickness
was due to his actions. The subject actually
wants to continue his affair with the neighbor
but he tries to avoid those drives. The subject
Cheating
“I also act violently to my
children by pinching and
slapping them. I was a
naughty boy, and my parents
would usually act violently
to me because my parents
often left me”.
67
nya meskipun sekarang istrinya masih enggan.
Keengganan istrinya untuk berhubungan
seksual tersebut mereda ketika subjek gajian.
Jika pada suatu waktu istrinya menolak untuk
diajak berhubungan suami istri, maka subjek
akan menahan hasratnya. Ketika ada keinginan
untuk pergi ke lokalisasi, subjek lebih memilih
membelan-jakan uangnya untuk keperluan
sekolah anak, meskipun ada teman yang
menawarinya gratis untuk pergi ke lokalisasi.
“Saya pernah mengkhianati istri dan dari sana
saya menyesal. Tersadarkan kalau perilaku saya
tidak benar dengan sakitnya(demam) anak saya,
naluri saya karena perilaku saya. Awalnya
setelah kerja saya berinteraksi dengan tetangga
yang janda selalu baik dengan saya ternyata
naksir dengan saya. Kucing mana yang tidak
mau diberi ikan? Dari sana saya mengatur diri,
untuk tidak menindaklanjuti meski dalam
pikiran masih ada, meskipun juga salah.
Kemudian saya komunikasikan dengan istri
untuk mau melayani, meskipun sekarang masih
sulit. Namun ketika gajian mudah diajak
berhubungan seksual”.
“Kalau terpaksa tidak dilayani, saya menahan
diri. Ketika ada keinginan untuk mampir ke
lokalisasi, lebih baik uang untuk membeli buku
sekolah anak, meskipun ada teman yang
menawari dengan gratis”.
then asks his wife to serve him sexually
although his wife is still reluctant to do so. The
wife's reluctance reduced when the subject
receives his salary. If the wife refused to have
sex, the subject would resist his sexual drive. If
there was a drive to go to prostitution localiza-
tions, the subject would prefer to use the money
to buy the school needs of the child although his
friends offer him a free service to the prostitu-
tion localizations.
”
”
I have once betrayed my wife and now I regret it.
I realized that I was doing something wrong with
the event of my child's illness (fever), I knew this
was because of my actions. At first after work I
would interact with my kind neighbor who is a
widow and it turns out that she has feelings for
me. Which cat would refuse to be given a fish? At
this point I decided to repress my intentions
although in my mind I still want to, and although
I know its wrong. And then I told my wife so that
she would have sex with me, although until now
it is still difficult. But when I get my salary it is
easy to have sex with my wife”.
If she refused to have sex, then I would repress
my desires. If there was a desire to go to the
prostitution localization, it would be better for me
to use the money for buying the school needs of
my child, although my friend offers me to go to the
localization for free”.
68
Pengelolaan emosi
Pernah terjadi konflik dengan anggota keluarga
yaitu kakak iparnya sendiri yang pernah
berbuat tidak sopan (pelecehan) terhadap istri
dan kakaknya. Subjek merasa lepas kendali
dengan mengambil pedang namun subjek
melampiaskannya untuk menebang pohon
pisang. Subjek lebih memikirkan anak, istri dan
kakaknya ketika terjadi konflik dengan kakak
iparnya. Bagi subjek lebih baik diselesaikan
dengan cara baik-baik karena adat dalam
keluarganya ketika terjadi konflik adalah diam.
Subjek juga mengungkapkan bahwa hal-hal
yang mampu meredakan gejolak emosinya
adalah istrinya bersedia melayaninya
berhubungan seksual. Jika istri menolak, subjek
lebih memilih main ke rumah teman atau
mengikuti kegiatan di kampung, gereja atau
komunitas lain
“
“
Pernah terjadi karena ipar saya pernah kurang
ajar dengan istri saya dan kakak saya, saya
mengambil pedang. Tapi kemudian saya
melampiaskan ke pohon pisang. Saya masih
memikirkan anak, istri dan kakak saya. Lebih baik
didiskusikan. Masih adat dalam keluarga lebih
baik diam”.
istri bisa mengerti ketika saya minta dilayani.
Kalau tidak saya keluar rumah, main kerumah
Emotional Regulation
There had once been a conflict between the
family members with the step brother who
insulted his wife and elder sibling. The subject
went out of control and took out a machete but
the subject used his emotion to cut down a
banana tree rather than using it against the step
brother. The subject thought about the wife,
child and his elder sibling when there was a
conflict with his step brother. For the subject, it's
better to solve the problem in a positive way
because when his family has a conflict they
normally would remain silent.
The subject also states that there are some
things that can be done to reduce his emotional
reaction, namely when his wife is willing to
have sexual relations with him. When she
refuses, the subject prefers to hang out in his
friend's house or participate in village, church
or other activities or join other communities
”
”
There was once this occasion where my step
brother was insulting my wife and elder sibling, I
took out a machete. But then I channeled my
emotions to cut down a tree. I still think about my
wife, child and elder sibling. Its better to discuss
the problem. It is still the norm in the family,
better to be silent”.
my wife could understand when I want to have
69
teman. Saya juga banyak kegiatan di kampung,
gereja dan komunitas lain”.
Kisah subjek 2
Situasi pernikahan terdahulu
Kehidupan subjek pada waktu remaja banyak
dihabiskan untuk bersenang-senang dan tidak
memikirkan sesuatu yang penting bagi masa
depannya. Pada saat itu subjek merasa
bertindak di luar batas perilaku seorang pelajar
karena pengetahuan agama kurang dan hanya
memburu nafsu. Subjek melakukan hubungan
suami istri di luar pernikahan dan menikah
pada usia remaja yaitu berusia 17 tahun dan
masih duduk dibangku SMP kelas 3,
sedangkan istri kelas 1 SMP. Dinamika per-
nikahan pada saat itu banyak sekali konflik
karena tidak ada persiapan yang matang dan
hanya ingin memburu kesenangan saja
ditambah kondisi subjek dan istri masih melan-
jutkan sekolah. Situasi penuh konflik pada awal
pernikahan diperparah ketika subjek dan istri
hidup di lingkungan yang normal sehingga
muncul stigma dalam masyarakat terhadap
pernikahan subjek yang dianggap tidak
normal. Kendati demikian, subjek tidak merasa
lingkungan sosial menuntut sesuatu hal
terhadapnya. Subjek juga merasa bahwa
selama menikah, dirinya tidak mendapatkan
sex. If she refuses, I get out of the house, and go to
my friend's house. I also have lots of activities in
the village, church, and other communities”.
Narrative of Subject 2
Conditions of First Marriage
The earlier life of the subject as a teenager was
marked with a hedonic lifestyle where he never
considered the important aspects of his future.
At the time, the subject performed something
beyond the normal actions of ordinary teenage
students because of his weak religion and
because he only seeks to satisfy his vicarious
desires. The subject engaged in extra-marital
sex and eventually married his spouse at the
age of 17 years old. At the time the subject was
still studying in the 3rd grade of junior high
school, while his wife sits in the 1st grade of
junior high school. Marriage life at the time was
marked by immense conflict since no
preparation had been made for marriage and
they only thought about satisfying their sexual
desires. In addition, both the subject and his
wife were still in the phase of completing their
junior high school. This situation was
aggravated by the living environment that
placed a stigma towards their marriage because
it occurred under irregular circumstances. As a
result the subject felt that the social
70
manfaat berupa nilai-nilai hikmah yang dapat
dijadikan pegangan dalam berumah tangga
karena hanya menuruti hawa nafsu saja.
Permasalahan perekonomian mulai dirasakan
ketika sudah mempunyai 1 anak dan anak
mulai menginjak bangku sekolah dan
kebutuhan materi sehari-hari juga dirasa
semakin bertambah. Kondisi tersebut dirasa
semakin sulit ketika orang tua subjek dan orang
tua istri campur tangan dalam hal pendidikan
anak. Subjek merasa bahwa masing-masing
pihak merasa punya hak untuk mengatur. Pada
tahun ke 3 sampai tahun ke 7 usia pernikahan,
permasalahan yang dihadapi semakin
komplek, mulai dari permasalahan ekonomi
hingga ke permasalahan keyakinan karena
subjek dengan istri memiliki keyakinan yang
”Saya lahir, besar, sekolah dari TK sampai SMA
di Yogyakarta. Saya lahir tahun 1956, waktu
remaja sekitar tahun 1970-1980. Dinamika pada
waktu itu berbeda dengan sekarang. Memasuki
usia dewasa saya seperti di karbit karena umur 16
tahun menjelang 17 tahun sudah menikah.
Waktu itu saya kelas 3 SMP, istri saya kelas 1
SMP. Kami melakukan tindakan diluar batas
seorang pelajar, tidak ada unsur paksaan ketika
melakukannya, karena pengetahuan agama
kurang, hanya memburu nafsu saja. Waktu
berumah tangga tidak terencana”.
environment did not demand anything upon
them. The subject also he never received any
benefits from wise moral values that can guide
family life since he merely conformed to his
sexual desires.
Economic problems started to be felt when the
subject had their first child and the child was
about to enter school. This was aggravated by
the fact that everyday needs were continuously
increasing. The conditions became even more
difficult when the parents of the subject and his
wife intervened with the education of their
child. The subject feels that both parties hold a
right to make a decision. At the 3rd to the 7th
”I was born, raised, and went to school from pre-
school to senior high school in Yogyakarta. I was
born in 1956, and was a teenager from 1970-
1980. The dynamics of the time was different to
present conditions. Entering the adult phase, I
was like a premature adult, because I got married
at my late 16 years. At the time I was in 3rd grade
junior high school, and my wife was in 1st grade
junior high school. We did something beyond the
normal behaviors of junior high school students,
and there was no element of coercion when we did
what we did, it was because we have a lack of
religious understanding, and just searched to
satisfy our sexual needs. When we had a family it
was not planned”.
71
berbeda. Campur tangan dari pihak ketiga
yaitu orang tua kedua belah pihak masih terus
b e r l a n j u t wa l a u p u n m e r e k a m a s i h
memberikan dukungan juga dalam hal materi.
Subjek mengungkapkan bahwa konflik rumah
tangga yang dialaminya pada waktu itu lebih
banyak dengan orang tua bukan dengan istri.
Orang tua kedua belah pihak menuntut subjek
untuk tinggal bersama mereka, begitu juga
orang tua istri yang menuntut istri subjek untuk
tinggal bersamanya dengan alasan takut jika
keduanya pindah keyakinan. Disamping itu
orang tua kedua belah pihak juga merasa
bahwa subjek dengan istri belum mampu
hidup mandiri karena belum mampu mencari
penghasilan.
”Karena tidak banyak persiapan, hanya ingin
senang-senang saja, meskipun orang tua susah
juga lingkungan, masih kecil sudah menikah.
Untuk materi tidak masalah saya dan dia bisa
melanjutkan sekolah. Kita di lingkungan normal
maka ada stigma”.
Konflik muncul dari orang tua, bukan dengan
istri. Seperti orang tua saya meminta saya
tinggal dirumah saya, karena mereka takut saya
berubah keyakinan begitu juga sebaliknya orang
Konflik yang terjadi dari pernikahan pertama
“
year of the marriage, the problems the couple
faced became even more complicated, starting
from economic problems until problems
concerning religious faith since the subject and
his wife had different religious beliefs.
Intervention from third parties, namely parents
from the subject and his wife, continued
although they remained to provide material
support.
The subject admitted that most of the conflicts
that occurred at the time did not occur with his
wife but with the parents. The parents of both
parties demanded that they stay at their houses,
and this was also the case for the parents of the
wife because they were afraid that they might
convert to another religion. In addition, the
parents felt that the subject and his wife were
incapable of living independently because they
do not have an earning.
”
”
Because we didn't have much preparation, and
just wanted to have fun, although our parents
had to go through lots and also our environment,
we were small and we already got married. We
were in a normal environment and there was
stigma”.
The conflict rose from the parents, not from my
Conflicts in the first marriage
72
tua istri juga meminta saya tinggal di rumah
orang tua istri karena mereka takut anaknya
berubah keyakinan. Kalau mau mandiri belum
mampu karena tidak ada masukan”.
Kegiatan saya waktu masa tenggang saya
mencari istri, belajar tentang hidup itu
bagaimana, apa yang dicari dalam hidup, nilai-
nilai hidup. Saya jalan dari kota ke kota, dari desa
ke desa. Akhirnya timbul titik jenuh, saya bilang
ini bukan saya yang sebenarnya ini hanya
mengikuti nafsu saja”.
“Saya sempat tidak peduli dengan kehidupan
saya. Kemudian saya memutuskan menikah lagi
dengan menyampaikan kepada orang tua karena
sudah mencapai titik jenuh. Saya sadar kalau
Dari pernikahannya tersebut subjek mendapat-
kan 1 anak. Pernikahan subjek hanya berlang-
sung sampai 10 tahun dan akhirnya bercerai.
Perceraian tersebut membuat subjek mengala-
mi masa tenggang dan merasa kehilangan
”dunia” yang normal. Kondisi subjek pada
masa tenggang membuat subjek menjadi
seorang peminum selama 5 – 10 tahun lamanya
dan sering berpergian dari kota ke kota, desa ke
desa untuk belajar tentang hidup dan juga
mencari istri. Kondisi tersebut akhirnya
membuat subjek merasa jenuh dan merasa
hanya dipengaruhi hawa nafsu.
“
wife. My parents asked us to stay with them,
because they were afraid that I might convert to
another religion, while my wife's parents also
asked me to stay with them because they were
afraid that their child will convert to another
religion. If I was asked to be independent I must
admit I wasn't capable because I didn't have any
income”.
At this moment I looked for a wife, learnt about
life and tried to figure out what to look for in life,
what are the values in life. I walked from town to
town, and from village to village. And then I got
fed up with my normal life, I said that this is not
who I am and that I'm only following my
instinctual drives”.
I once no longer cared about my life. And then I
decided to marry again by telling my parents
because I am fed up with this condition. When I
From this marriage the subject had one child.
The marriage only lasted for 10 years and they
eventually divorced. The divorce led the subject
to feel a loss of a normal world. The subject
turned to alcohol abuse as a means to relieve his
distress for 5 – 10 years and often travelled from
one city to another, village to village to learn
about life and find another wife. The subject
was fed up with his life and realized that he was
only influenced by his drives.
”
”
73
saya harus merubah diri saya sendiri. Ketika saya
meminta menikah lagi, orang tua tidak setuju
mereka menuntut saya harus bekerja, tiap bulan
ada penghasilan”.
Subjek sempat merasa tidak peduli dengan
kehidupannya hingga mengalami titik jenuh
dan memutuskan untuk menikah lagi karena
menyadari bahwa dirinya harus berubah.
Ketika mengkomunikasikan niat tersebut ke
orang tua, awalnya orang tua tidak setuju
karena memandang subjek belum memiliki
penghasilan tetap. Harapan orang tua, subjek
memiliki penghasilan rutin tiap bulan dengan
bekerja menjadi pegawai seperti PNS, PLN,
polisi karena pada waktu itu sangat mudah
untuk mencari kerja pada profesi tersebut.
Subjek memiliki pandangan lain. Menurut
subjek jika dengan waktu sesaat mampu
menghasilkan uang kenapa harus menjadi
pegawai karena pada saat itu subjek sudah
mampu mencari uang dengan menjadi
pemandu wisata turis asing. Orang tua subjek
menganggap pekerjaan yang dilakukan subjek
bukanlah pekerjaan pada umumnya karena
tidak menghasilkan gaji tiap bulan. Hal itu
tidak menjadi permasalahan yang berkepan-
jangan dan orang tua subjek akhirnya mengijin-
kan setelah subjek mampu membuktikan
bahwa dirinya sanggup hidup mandiri dengan
mengandalkan pekerjaan yang dipilihnya
wanted to marry again, my parents didn't agree
because they said that I must work first, each
month I must have an income”.
The subject had once no longer cared about his
life and wanted to marry again because he
realized that he had to change. When he
discussed his intentions to his parents, at first
his parents did not agree because the subject
did not have a permanent income. The parents
hoped that he can earn a routine monthly
earning by working as a civil servant, in the
state electrical company, or in the police
because at the time it was very easy to find a job
in those areas. The subject thought that if he was
able to obtain a large amount of money at one
time, why does he have to be an employee,
because at the time, the subject was able to gain
an earning by becoming a foreign tourist guide.
The parents thought that his job was not a
normal job because he did not earn a monthly
income. This did not become an everlasting
problem and the subject's parents eventually
allowed him to marry when he proved to them
that he was able to live independently with the
job that he had.
The subject had once experienced a conflict that
made him hit his wife in the first marriage. The
Dynamics of conflict and violence
74
meskipun gajinya tidak menentu.
Pernah terjadi konflik hingga terjadi tindak
kekerasan berupa pemukulan yang dilakukan
subjek terhadap istrinya pada pernikahan yang
pertama. Subjek merasa menyesal setelah
kejadian tersebut dan meminta maaf pada
istrinya. Ketika dalam kondisi marah,
dinamika psikologis yang dituturkan subjek
adalah bahwa dirinya tidak merasakan adanya
aliran darah yang naik, detak jantung pun
seperti biasanya dan subjek merasa seperti
lepas kendali, hanya emosi saja yang terlintas.
Pada saat itu, tindakan yang dilakukan istri
adalah membawa senjata tajam untuk
menusuk dirinya sendiri. Menurut subjek,
perilaku istrinya tersebut dipengaruhi oleh
kultur budaya dan lingkungan sosial tempat
asal istrinya yaitu di bagian Indonesia Timur
yang berbeda dengan lingkungan kultur Jawa
tempat asal subjek. Subjek mengungkapkan
bahwa perbedaan kultur tersebut dalam hal
pengekspresian emosi, karakter, cara dandan
dan etika pergaulan.
Dinamika konflik dan tindak kekerasan
“pernah. Sampai ada pemukulan dari saya,
hanya emosi yang terlintas, setelah itu langsung
merasa menyesal, kemudian saya minta maaf
pada istri”. Tidak ada aliran darah naik, detak
jantung biasa saja. Waktu tidak sadar saya tidak
subject regretted the incident and apologized to
his wife. In a state of anger the subject described
that he no longer felt any blood running, his
heart beats are normal and the subject loses
control, only rage is felt. At the time, the wife
grabbed a blade so she could stab her self. The
subject viewed that his wife's actions are
influenced by her culture and social
environment of her origins in East Indonesia,
which is different to the Javanese culture of the
subject. The subject mentioned that these
differences are evident in styles of expressing
emotion, characters, ways of grooming and
ethics of socialization.
”I once no longer cared about
my life. And then I decided to
marry again by telling my
parents because I am fed up
with this condition. When I
wanted to marry again, my
parents didn't agree because
they said that I must work
first, each month I must have
an income”
75
pernah memukul”.“istri membawa senjata
untuk menusuk diri sendiri, ini yang saya
takutkan. Pengalaman tadi adalah dengan istri
pertama. Pengaruh budaya juga bisa, mantan
istri dari Indonesia Timur. Banyak perbedaan
dalam emosi, karakter, cara dandan, bergaul”
Saya menyesal karena saya memukul, dipukul
itu sakit. Kalau untuk yang salah siapa saya tidak
tahu, kalau menurut saya saya yang benar, kalau
menurut dia, dia yang benar”.
ya, tapi pihak ketiga kembali lagi. Cukup berat
Setelah terjadinya tindak kekerasan yang
dilakukan, subjek merasa menyesal karena
menyadari bahwa semua orang termasuk
dirinya akan merasa sakit jika dipukul. Jika
mencari siapa yang telah bertindak salah, hal
itu sulit dilakukan dan subjek merasa tidak
tahu. Menurut subjek, dirinyalah yang benar
namun jika yang ditanya istrinya pastilah
istrinya yang merasa benar. Permasalahan
dalam rumah tangganya tersebut pernah
dibicarakan secara baik-baik berdua dengan
istri, namun masalah kembali timbul karena
adanya campur tangan pihak ketiga. Menurut
penuturan subjek, hal tersebut dirasakan
cukup berat namun dirinya harus tetap kuat.
Bagi subjek segala permasalahan cukup
dijalani saja. Jika bagi orang lain hal tersebut
mungkin berat namun tidak untuk dirinya.
“
“
“
“
”
Yes there was. I hit her, I was emotional, and at
the time I directly regretted my action and
apologized to my wife.” I didn't feel any blood
running, my heart beat was just normal. When I
am unconscious I never hit anyone”.
my wife grabbed a blade to stab herself, this is
what I was afraid of. This experience was with my
first wife. It was also because of cultural factors,
my ex-wife was from East Indonesia. Lots of
differences in emotion, characters, ways of
grooming and socializing”
I regret hitting her, being hit is painful. If you ask
After the violence had occurred, the subject
regretted his actions because he realized that
any form of violence to anyone would lead to
pain. If we asked who was wrong, its difficult to
know for sure, and the subject admits that he
doesn't know. According to the subject he is
right, but if the wife was asked, she would
certainly answer that she was the right one. This
problem had once been discussed together, but
the problems re-occurred when there was
intervention from a third party. The subject
explained that this was a very distressing
experience but he knew that he must be strong.
The subject believes that whatever the problem,
he must face it, and for other people it may be
tough but it's not tough for the subject.
76
tapi saya tidak merasakan berat, dijalani saja.
Mungkin orang lain yang melihat merasa berat.”
Hikmah yang saya pelajari bahwa pengalaman
hidup seperti ini, tidak akan bisa diputar kembali.
Dulu hanya mengandalkan emosi dan nafsu.
Pondasi utama saling memberi, berkorban,
jangan menuntut, jangan mengharap balasan.
Ternyata saya menyadari semua adalah titipan”.
Hikmah yang diambil subjek dari
pernikahan terdahulu
Pernikahan yang pertama berlangsung hingga
10 tahun. Subjek menuturkan bahwa rumah
tangganya dahulu tidak ada kehendak untuk
saling memberi satu dengan yang lain melain-
kan hanya mengandalkan emosi dan nafsu. Hal
tersebut memberikan subjek hikmah bahwa
segala sesuatu yang telah terjadi dalam perni-
kahannya di masa lalu tidak akan dapat diper-
baiki lagi dan dalam berumah tangga hal pokok
yang penting adalah kehendak untuk saling
memberi dan berkorban serta tidak hanya seke-
dar menuntut dan mengharap balasan. Subjek
juga menyadari bahwa sebagai seorang laki-
laki seharusnya ia memilliki penghasilan yang
halal untuk menghidupi diri sendiri,
lingkungan dan keluarga terdekatnya dan
anak.
“
who's wrong, I don't know for sure, if you ask me,
I'm right, but if you ask her, she's right”.
yes, but the third party came back again. It was
quite tough but I didn't feel it was tough, I just
went through it. Maybe other people might see
that it was tough.”
halal
the lesson I learnt from this life experience, is
that we cannot change things in the past. In the
past I only relied on my emotion and lust. The
main foundation is mutual giving, sacrifice,
don't demand, and don't hope for rewards. I
realized that everything is just temporary”.
”
”
Lessons from the first marriage
The first marriage had lasted for 10 years. The
subject explained that in the first family no one
was willing to give to one another, and we only
relied on our emotions and desires. From the
first marriage the subject learns that his past
faults cannot be fixed and that it is vital for
family members to give to one another and be
willing to make sacrifices as opposed to merely
demanding and expecting rewards. The subject
also realized that as a man, he should have
earned an income using (religiously
legitimate) ways to fulfill the needs of himself,
the environment, his close family and his child.
77
Pandangan tentang diri sendiri
Dinamika pernikahan ke dua
Hal yang mampu meredakan dan mengontrol
emosi subjek adalah ketika masa bulan puasa.
Subjek juga mengungkapkan bahwa dirinya
tidak dapat menilai diri sendiri karena subjek
pasti akan merasa dirinyalah yang paling
benar Segala komentar dari mantan istri
terhadap dirinya tidak pernah ia dengarkan.
Ketika memutuskan untuk menikah lagi,
subjek mencari perempuan yang alim, tidak
meninggalkan sholat, berkerudung dan dapat
mengaj i karena subjek menggangap
perempuan dengan kriteria tersebut mampu
meredakan emosi subjek.
Subjek kemudian mendapatkan perempuan
dengan kriteria tersebut dan menikahinya.
Kehidupan rumah tangga subjek yang ke 2
berjalan sesuai harapan hingga saat ini yaitu
tinggal di rumah sendiri secara mandiri dan
tidak menumpang. Ketika subjek marah, istri
mampu meredakan dengan menyadarkan
subjek dan menyuruh membaca . Istri
juga mengatakan bahwa sesulit apapun
kehidupan rumah tangga mereka berdua, ada
.
Saya tidak bisa menilai diri saya sendiri, saya
merasa saya yang paling benar”
istighfar
“
Perception about self
Dynamics of the second marriage
The fasting month was an important event to
control and relieve the subject's emotion. The
subject also explains that the subject cannot
judge himself because he would certainly think
that he is most righteous. All the comments
from his ex-wife were never listened to.
When the subject decided to marry again, the
subject searched for a religiously pious woman,
who completes here routine prayers, wears a
veil and can recite the Qur'an. The subject feels
that these types of women are able to relieve the
subject's emotion.
The subject was able to get acquainted with a
woman with those criteria and eventually
married her. The family life in the second
marriage had gone as expected up until the
present where he is able to live independently
and not stay at his parent's or friend's house.
When the subject is angry, the wife is able to
relieve his anger by making the subject realize
and saying (asking mercy to God). The
wife also explains, however difficult the
”I cannot judge myself, I feel that I am most
righteous”
istighfar
78
orang lain yang lebih susah. Menurut penu-
turan subjek, jika istrinya marah tidak sampai
meledak-ledak dan masih dalam batas yang
wajar. Subjek mengatakan bahwa dirnya
memahami karakter istrinya, termasuk hal-hal
yang dikehendaki oleh istrinya dan sesuatu hal
yang mampu membuatnya marah. Jika istri
dalam kondisi marah, hal yang dilakukan
adalah dengan menulis surat dan selama ini
justru subjek yang paling sering marah. Sejauh
ini hal-hal yang dapat memicu konflik rumah
tangga subjek adalah adanya pihak ketiga se-
perti omongan tetangga ataupun permintaan
dari keluarga yang lain seperti permintaan
orang tua, kakak atau adik yang meminta sepe-
da motor atau rumah. Ketika menghadapi teka-
situation they live, there is surely another
family that is facing even more severe
conditions. According to the subject, when the
wife is angry it never goes overboard and is still
in a normal state. The subject states that he
knows the characteristic of his wife, including
the things that his wife wants and the things
that can make her angry. If the wife is angry, she
would write a letter and at this moment
subject's anger would occur more frequently. To
this day, the subject explains that third parties
are the ones that trigger conflict for example
gossip from neighbors or requests from other
families for example parents, elder or younger
siblings who ask for a motorcycle or house.
When receiving pressure from outside, the
subject anticipates this by showing his
willingness to help out.
The subject enjoys his present marriage life
because everything is going well. In the past,
the subject felt that he can never truly become
the head of the family because there was no
clear direction of his future. The subject admits
that he acknowledges his faults in the past and
all the events in the past he did unintentionally.
The children from his marriage are two and the
children as a result from extra-martial sex is
around 6-7 children (the subject seems to have
forgotten the exact amount) and two of them
have never communicated with him.
“
,
libido, saya suka dengan
perempuan timbul dengan
sendirinya, ini nafsu, godaan atau
cobaan? Sudah mendapatkan yang
baik, kenapa harus tambah lagi?
Tapi kadang asyik juga menambah
istri lagi, tapi apakah mampu dan
bisa.”
79
nan dari luar, subjek menghadapinya dengan
cara menyediakan diri untuk membantu.
Subjek merasa menikmati kehidupan pernika-
hannya yang sekarang karena segala sesua-
tunya berjalan dengan baik dan subjek merasa
hanya menjalani saja apa yang sudah ada. Jika
dahulu subjek merasa belum benar-benar men-
jadi seorang kepala rumah tangga karena tidak
ada tujuan yang jelas tentang arah masa depan.
Subjek mengungkapkan bahwa dirinya meng-
akui kesalahannya di masa lalu dan segala
kejadian di masa lalu terjadi dengan tidak ia
sengaja. Anak dari hasil pernikahan ada 2 dan
anak hasil dari hubungan di luar nikah ada 6-7
anak (subjek tampaknya lupa jumlah pasti dari
anak-anaknya) dan 2 diantaranya tidak pernah
menjalin komunikasi dengan dirinya. Subjek
menuturkan bahwa pada dasarnya dirinya
bersedia bertanggungjawab terhadap ke 2 anak
tersebut namun tidak diperbolehkan oleh
orang tua mereka dan subjek meyayangkan hal
tersebut.
Subjek berharap kondisi pernikahannya saat ini
dapat terus berjalan baik meskipun ia memiliki
dorongan untuk menikah lagi.
Hal yang dilakukan subjek ketika sedang jenuh
adalah pergi ke tempat yang sunyi, bermain
Pengelolaan kejenuhan
The subject stated that his is willing to take
responsibility for those two children but their
parents forbid this and the subject regrets this.
When the subject is bored he would go to a quiet
place, play guitar, (recall the Names of
Allah), pray, go to the river and scream until his
satisfied, and it depends on the mood that he
feels at the time. These behaviors are in contrast
with his past behaviors before the second
marriage. When he was bored he would look for
a prostitute or look for another woman to take
care of his boredom.
The subject feels that it is a miracle for him to be
able to change his ways from the past. His wife
is very kind to him and the subject is starting to
try to understand his wife.
The subject explains that he has intentions to
marry again. He explains that he has high sexu-
al drives, is easily attracted to women, and alre-
ady wealthy. This desire emerged by itself and
the subject doesn't know whether this is
because of lust, temptation or whether it is a
test. However, this is something the subject
enjoys from a sexual and material aspect
although the subject does not know whether he
Managing Boredom
Motives for polygamy
dzikir
80
gitar, dzikir, sholat, pergi ke sungai atau pantai
dan menjerit sepuasnya, hal tersebut
tergantung yang dirasakan pada saat itu.
Perilaku tersebut sangat berbeda jika diban-
dingkan jaman dahulu sebelum pernikahan
yang kedua ketika dalam kondisi jenuh akan
mencari perempuan pekerja seks atau perem-
puan lain untuk mengalihkan kejenuhan.
Bagi subjek kondisinya saat ini seperti suatu
keajaiban jika dibandingkan kondisinya
dahulu. Istrinya saat ini sangat baik padanya
dan subjek sendiri mulai berusaha untuk
memahami istrinya tersebut.
Subjek mengungkapkan bahwa dirinya
memiliki keinginan untuk menikah lagi. Hal-
hal yang mendorong subjek untuk menikah
lagi karena libido dan kesukaan subjek
terhadap perempuan ditambah lagi karena
kondisi ekonomi yang dirasa sudah mapan.
Keinginan tersebut timbul dengan sendirinya
dan subjek belum mengetahui apakah hal ini
merupakan nafsu, godaan atau cobaan namun
keinginan tersebut merupakan hal yang
menyenangkan bagi subjek dari segi seks,
materi dan segalanya walaupun dirinya belum
mengetahui apakah mampu dan bisa.
mood
Motif poligami is able to do so.
The subject has already discussed his intentions
with his wife but he doesn't know how things
would turn out in the future. The subject hopes
that if he marries again, the wife would be able
to live in harmony with the second wife.
This desire frequently arises although the
subject is afraid of marrying again and he also
realizes that he is already 50 years old.
” libido, I like women, it just emerges, is it lust,
temptation, or a test? I already have a good wife,
why should I add another? But sometimes I think
it would be fun to have another wife, but would I
be able to do so.”
libido, I like women, it just
emerges, is it lust, temptation,
or a test? I already have a good
wife, why should I add another?
But sometimes I think it would
be fun to have another wife, but
would I be able to do so.”
81
“libido, saya suka dengan perempuan timbul
dengan sendirinya. ini nafsu, godaan atau
cobaan? sudah mendapatkan yang baik, kenapa
harus tambah lagi? tapi kadang asyik juga
menambah istri lagi, tapi apakah mampu dan
bisa.”
.
Subjek sudah mengkomunikasikan dengan
istrinya namun subjek belum mengetahui
seperti apa kondisi ke depan. Harapan subjek
kelak jika dirinya menikah lagi, istrinya dapat
hidup akur dengan calon istri yang akan
dinikahinya.
Keinginan subjek untuk menikah lagi sering
muncul meskipun dirinya merasa takut kalau
terjadi pernikahan lagi dan subjek juga
menyadari bahwa usianya sudah lebih dari 50
tahun.
Kondisi perekonomian keluarga saat ini sudah
stabil yang ditunjukkan dengan kemampuan
subjek untuk membantu saudara, teman dan
lingkungan terdekat. Subjek juga mempunyai
karyawan tetap dan ada pihak-pihak yang
bersedia bekerjasama dengan usaha yang
dirintisnya.
Peran subjek dalam rumah tangga hampir 80%
dan peran istrinya di rumah tangga adalah
Kondisi saat ini
Present Conditions
The family's current economic condition is
already stable which is indicated by the
subject's ability to help his relatives, friends and
close surroundings. The subject also has
permanent employees and parties that are
willing to work with the business that he
created.
The role of the subject in the household is
almost 80% and the wife plays the role as a
housewife that takes care of the children and
social activities.
When the subject is bored he
would go to a quiet place, play
guitar, dzikir (recall the Names of
Allah), pray, go to the river and
scream until his satisfied, and it
depends on the mood that he
feels at the time. These
behaviors are in contrast with his
past behaviors before the second
marriage. When he was bored he
would look for a prostitute or
look for another woman to take
care of his boredom.82
menjadi ibu rumah tangga yang mengurusi
anak dan kegiatan sosial kemasyarakatan.
Subjek mengatakan bahwa dirinya mampu
memahami kondisi psikologis istrinya ketika
sedang marah dan mengetahui hal-hal apa saja
yang dapat menyebabkan istrinya marah.
Subjek mengenalinya dengan mengamati
perilaku nonverbal istrinya. Ketika dalam
kondisi marah, subjek mampu mengenali
perubahan tubuhnya meskipun tidak secara
keseluruhan. Saat ini jika sedang marah lebih
dapat mengontrol dirinya karena mampu
berpikir dan bertindak rasional meskipun
dalam perkataan terkadang lepas kendali.
Ketika subjek menyadari bahwa dirinya lepas
kendali dalam perkataan hal yang biasa
dilakukan adalah berperilaku agar supaya
istrinya paham bahwa subjek telah keceplosan
atau tidak sengaja. Misalnya ketika subjek
melihat bahwa istrinya belum memasak air dan
ia tidak berkenan dengan hal itu hingga
menyebabkan dirinya marah dan lepas kendali
dalam perkataan terhadap istrinya maka ia
akan memasak air sendiri.
Konflik yang pernah terjadi adalah masalah
kecemburuan subjek terhadap istrinya yang
pergi tanpa sepengetahuan subjek. Menurut
subjek, kecemburuannya tersebut dipengaruhi
oleh kehidupan masa lalunya yang buruk. Di
The subject explains that he is able to
understand the psychological conditions of his
wife when she is angry and knows the things
than can make her angry. The subject is able to
identify these things by the non-verbal
language of his wife. When she is angry, the
subject is able to identify the changes in her
body although not entirely. Recently, if the
subject is angry he has better abilities to control
himself because he is able to think and act
rationally although sometimes he could lose
control of the words he says. When the subject
realizes that his words are out of control, he
would try to make the wife understand that he
didn't intentionally say those things. For
example, when the subject noticed that his wife
had not boiled the water which made him angry
and started cursing, he will boil the water
himself.
One of the conflicts that they have experienced
relates with the subject's jealousy towards his
wife who left without his notice. According to
the subject, his jealousy is caused by his
negative past time behaviors. In the past, the
subject had once acted the same way the wife
did without asking permission and he is afraid
that his wife would act like he did.
If the wife was in a state of anger, she would
usually be silent and act differently as usual, for
83
masa lalu subjek pernah berperilaku seperti
halnya yang dilakukan oleh istri yaitu pergi
tanpa pamit sehingga ia khawatir jika istrinya
berperilaku seperti dirinya.
Jika istri sedang dalam keadaan marah
biasanya akan diam sambil berperilaku yang
tidak seperti biasanya, misalnya menaruh
barang dengan kasar, menutup pintu dengan
keras. Jika diamnya sambil menunduk maka
menunjukkan adanya kesedihan dan yang
biasa dilakukan subjek jika mengetahui
keadaan istrinya tersebut adalah dengan aktif
menanyakan permasalahan yang sedang
dirasakan oleh istri. Jika sedang bahagia, istri
biasanya akan bersenandung dan mudah
untuk dimintai bantuan.
“Istri dibuat supaya tidak sakit hati, istri paham
ketika itu keceplosan atau tidak. Saya berakting
supaya seperti orang keceplosan. Ketika marah
dan lepas kontrol dalam ucapan saya diam
dengan cara lain, agar terlihat seperti orang
keceplosan. Seperti ketika saya berkomentar
kenapa belum memasak air, tapi kemudian saya
bilang pada diri saya sendiri, saya bisa memasak
sendiri maka saya masak air sendiri, seperti
lantai kotor saya menyapu sendiri tidak perlu
ribut. Ini adalah teknik untuk meredam.
Sekarang harus tambah pintar.”
example she would put things harshly or shut
the door with great force. If she was quiet and
bowed her head this would mean that she is
sad. In these circumstances the subject would
ask what problem she is facing. If the wife was
happy she would hum some songs and it would
be easy to ask for her help.
Related with sexual relations, the subject
understands his wife by observing the non-
verbal behaviors of his wife which includes her
way of grooming, and speaks intimately with
the subject.
In social relations, the subject states that the
person is blunt when speaking and tries to
apply the custom norms and honorable values
in the society.
”I don't try to hurt my wife's heart, my wife
understands when I don't really mean what I say.
I act as though I didn't mean to say what I did.
When angry and start cursing, I use another
way, so that it looks as though I didn't mean to
say it. For example when I asked her why hadn't
she boiled the water, and then I said to myself, I
could boil it myself and so I would, like when the
floor is dirty, I sweep it myself, no need to make
trouble out of it. This is a technique to reduce the
conflict. Now we have to be smarter.”
84
Dalam hal hubungan seksual, subjek mema-
hami istrinya dengan cara mengamati perilaku
nonverbal istrinya yaitu dari caranya berdan-
dan, merayu dengan kata-kata terhadap subjek.
Dalam pergaulan sosial, subjek mengatakan
bahwa dirinya adalah orang yang tidak dapat
berbasa-basi jika berbicara dan berusaha
menerapkan norma-norma adat dan tata
krama.
Subjek berusia saya 42 tahun dan mengalami
dua kali pernikahan, pernikahan pertama
tahun 1992, kemudian pada tahun 1998 istri
meninggal. Tahun 2002 menikah lagi. Putra
kandung 4 orang, 2 orang dari istri pertama, 2
orang dari istri kedua.
Sebagai seorang laki-laki supaya tidak
dianggap tidak mampu ia berusaha
semaksimal mungkin untuk membahagiakan
keluarga. Sebagai seorang ayah, subjek merasa
banyak peran yang harus dilakukan yaitu
membimbing dan mengarahkan keluarga. Hal
ini mengandung konsekuensi bahwa subjek
harus meiliki kestabilan emosional. Maka
subjek memilih menjadi orang yang pendiam
sebagai strategi pengelolaan diri.
Kisah subjek 3
Dinamika pernikahan
Narrative of subject 3
Dynamic of Marriage
The subject is 42 years old and has married
twice, the first marriage took place in 1992 and
in 1998 the wife passed away. In 2002, the
subject married again. He has 4 sons, 2 from the
first wife and 2 from the second wife.
As a man, he tries his maximum effort to make
the family happy in order to maintain his image
as a reliable father. As a father, the role that he
must hold is to guide and direct the family.
These things require the subject to have great
emotional stability. Therefore the subject
chooses to be a silent person as a strategy to
regulate himself.
“...When angry and start cursing, I
use another way, so that it looks as
though I didn't mean to say it. For
example when I asked her why
hadn't she boiled the water, and
then I said to myself, I could boil it
myself and so I would, like when the
floor is dirty, I sweep it myself, no
need to make trouble out of it. This
is a technique to reduce the conflict.
Now we have to be smarter.”
85
“
“
Bagi saya sebagai seorang laki-laki supaya tidak
dianggap tidak mampu otomatis akan berusaha
semaksimal mungkin untuk membahagiakan
pasangan”
Banyak sekali peran yang harus saya mainkan
terutama banyak ngemong. Saya orangnya diam,
tapi kalau keluarga sudah tidak benar dalam
melangkah saya menegur, itu tanggung jawab
suami. Pernikahan tetap mengacu pada
komitmen untuk membina rumah tangga
bahagia sejahtera”.
“dikembalikan pada peran suami, istri bisa
menerima peran tadi maka bisa ketemu. Bahkan
Fungsi pembimbing dan pengayom dilakukan
dengan cara memberikan nasehat dan teguran
apabila ada perilaku anggota keluarga yang
dirasa kurang baik. Jika ada masalah dengan
istri, subjek berusaha menyelesaikan secara
pribadi agar tidak dilihat anak dan diketahui
masyarakat. Hal yang dirasa berat ketika ada
perbedaan pendapat dengan istri. Ada rasa
jengkel dan dongkol ketika merasa istri sulit
diajak kompromi. Hal ini menunjukkan bahwa
perbedaan pendapat dianggap sebagai sumber
konflik yang dirasa berat. Menurut subjek jika
suami dan istri dapat menerima perannya
masing-masing dalam rumah tangga maka
tidak akan ada konflik
”
”
”
For me, as a man, so I won't appear incapable, I
automatically must try as hard as I can to make
my spouse happy”
There are so many roles that I must fulfill
particularly related with nurturing. I am a silent
person, but if the family is going the wrong way I
warn them, that's the responsibility of the
husband. Marriage remains to refer to a
commitment to guide a happy and prosperous
family”.
it goes back to the role of the husband, if the wife
can accept the previous roles then there would be
no problem. And even beyond the role of the
husband. Its mostly like this, probably started
The functions of guidance and protections is
done by giving advice and reprimands when a
family member does something wrong. When
there is a problem with the wife, the subject tries
to manage the problem individually in order to
conceal this from the child and society. One of
the challenges is when the subject and wife have
different opinions. The subject feels frustrated
when it is difficult for the wife to compromise.
This indicates that different opinions become a
severe source of conflict. According to the
subject if the husband and wife is able to fulfill
each of their roles in the family, there would be
no conflict.
86
melebihi peran suami. Kebanyakan seperti itu,
mungkin dilatarbelakangi kepala keluarga dari
segi pendidikan utama, anggaran rumah tangga
juga”.
Meskipun perempuan sudah bekerja
penghasilan suami harus bisa mencukupi.
Padahal suami punya orangtua, mertua yang
harus dibantu, dan istri kadang tidak
memperbolehkan. Saya suka main badminton,
seminggu 2-3 kali. Istri berkomentar sudah
punya keluarga tapi senang-senang sendiri.
Padahal umumnya orang seperti itu. Ada saat
untuk diri sendiri, saya pernah ditegur istri
didepan orang banyak dengan datang ke tempat
badminton. Saya merasa dipermalukan oleh
istri”.
Meskipun belum ada peran mutlak selalu saya
ingatkan terus, ketika martabat suami diinjak-
injak istri entah dari kata-kata, maupun perilaku
karena kurang memahami peran masing-masing
jadi terbawa emosi. Kalau istri paham maka ha-
“
“
Relasi suami-istri
Subjek mengatakan bahwa tidak ada pemba-
gian peran yang mutlak antara dirinya dengan
istri namun subjek tetap menegaskan bahwa
istri harus berbakti kepada suami. Hal ini kare-
na pemahaman subjek terhadap tradisi budaya
Jawa.
from the head of the family from the educational
aspect, and also the family budget”.
Although women work, the husband's income
must be able to fulfill the needs of the family.
Although the husband has parents, the step
parents must be helped, and sometimes the wife
doesn't allow it. I like to play badminton, around
2-3 times in a week. My wife likes to comment,
you already have a family but you like to play
around and enjoy yourself. But this is actually
normal. There is time for myself, I have once been
warned by my wife in front of many people in the
badminton court. I was humiliated by my wife”.
”
Husband-wife relations
The subject stated that there is no fixed division
of roles between him and his wife however he
stresses that the wife should devote her life to
There are so many roles that I
must fulfill particularly related
with nurturing. I am a silent
person, but if the family is going
the wrong way I warn them, that's
the responsibility of the husband.
Marriage remains to refer to a
commitment to guide a happy and
prosperous family”
87
rus berbakti pada suami. Kalau tradisi jawa
diterapkan akan baik”.
Pemahaman terhadap tradisi budaya jawa ter-
sebut tampaknya mewarnai dalam relasi suami
dan istri seperti yang digambarkan subjek pada
prosesi pernikahan adat budaya Jawa. Dalam
prosesi adat pernikahan tersebut digambarkan
simbolisasi pengabdian seorang istri terhadap
suami yaitu mempelai wanita harus memba-
suh kaki mempelai pria sebagai wujud kepatu-
han dan pengabdian. Menurut subjek, relasi
peran antara suami dan istri yang ideal juga
harus seperti yang digambarkan dalam prosesi
pernikahan tersebut. Jika kedua belah pihak
menyadari perannya masing-masing sesuai
adat dan tradisi tersebut maka menurut subjek,
konflik dalam rumah tangga tidak akan terjadi
dan sebaliknya, jika masing-masing pihak tidak
mampu menempatkan diri sesuai peran
tersebut maka pasti akan terjadi konflik.
the husband. This is because of the subject's
understanding of Javanese culture.
.
Understanding towards Javanese cultural
traditions seem important in understanding
husband and wife relations as explained by the
subject concerning marriage ceremonies in
Javanese culture. In the traditional marriage
ceremony, there is a symbolization of a wife's
devotion towards the husband by the wife
cleaning the husband's foot as a symbol of
obedience and devotion. According to the
subject, ideal role relations between the
husband and wife must also follow the symbols
displayed in the marriage ceremony. If both
parties were aware of their roles in accordance
with the custom and traditions, therefore
conflicts in the family would not occur and
conversely, if each party is not able to place
themselves in accordance with those roles there
would certainly be conflict.
”Although we don't have fixed roles, I always
remind her, when the husband's honor has been
insulted by the wife either from the words or the
behavior due to the lack of understanding of each
of our roles, I get emotional. If the wife can
understand she would devote herself to the
husband. If the Javanese culture was applied,
things would be alright”
88
Dalam prosesi adat pernikahan
tersebut digambarkan simbolisasi
pengabdian seorang istri terhadap
suami yaitu mempelai wanita
harus membasuh kaki mempelai
pria sebagai wujud kepatuhan dan
pengabdian
“Kirab pengantin sudah menunjukkan, mulai
dari ketemu pasangan, mencuci kaki suami, pada
saat menyerahkan penghasilan itu suatu
gambaran. Dalam membina rumah tangga me-
mang jalannya demikian. Apalagi kalau melihat
kehidupan agama sudah ada jalannya. Kalau
dihadapkan tidak ketemu dengan kehidupan se-
karang. Sekarang lebih pada peran yang sama
antara perempuan dan laki-laki, beda hanya pada
alat kelamin. Secara adat istiadat seperti
tuntunan adat jawa, kalau dari segi agama
sejarah nabi jaman jahiliyyah perempuan tidak
berharga. Ketika haid perempuan tidak bisa
makan bersama dengan laki-laki”.
Rasa istimewa versus rasa berat
Subjek beranggapan bahwa semenjak seorang
laki-laki lahir, maka kodratnya adalah sebagai
pemimpin dan hal itu adalah keistimewaan
yang didapatkan oleh kaum laki-laki yang ti-
dak dimiliki kaum perempuan. Konsekuensi
dari keistimewaan tersebut, subjek merasa ha-
rus lebih dari istri dalam segala hal terutama
penghasilan karena harus menghidupi semua
anggota keluarga termasuk mertua. Hal terse-
but kadang menimbulkan beban lebih tatkala
istri dirasa banyak tuntutan. Kondisi ini mem-
buat subjek terkadang butuh waktu untuk diri
sendiri sebagai cara untuk sejenak lepas dari
beban.
”The marriage ritual has already demonstrated
that, from the first meeting of the couple, cleaning
the husbands foot with water, at the time the
husbands gives his income this is a description.
In managing a family this is how it goes. Let alone
if we view it from a religious perspective, it
already has its way. Now its more focused on the
equal roles between women and men, the
difference is only from the sex organs. Based on
traditional customs, for example Javanese
culture, from a religious perspective the history of
the prophet, in the era of ignorance women were
nothing. When women had menstruation they
were not allowed to eat with men”.
Privilege versus burden
The subject suggests that ever since a man was
born, his destiny was to become a leader and
this is a privilege for all men. As a consequence,
the subject feels that he must be better than his
wife in all aspects particularly with matters
related with income because he must be able to
provide a living for his whole family including
his step parents. Such roles sometimes create a
burden, let alone when the wife is very
demanding. This situation makes the subject
need some time alone as a means to relieve the
burden.
89
“
“
karena sudah terbentuk dari lahir, laki-laki
terlahir sebagai pemimpin itu keuntungan
sebagai laki-laki. Perempuan sebagai kepala
rumah tangga. Dalam menghayati peran banyak
tersinggung karena perilaku istri banyak
menuntut dari sisi kasih sayang berlebihan dan
penghasilan, melebihi peran. Sampai laki-laki
tidak boleh berhubungan dengan perempuan lain
entah boncengan maupun telepon. Padahal itu
sekedar berinteraksi dengan masyarakat”.
Dari segi materi penghasilan tidak ada ukuran-
nya, semakin banyak pendapatan semakin ba-
nyak kebutuhan. Meskipun perempuan sudah
bekerja penghasilan suami harus bisa men-
cukupi. Padahal suami punya orangtua, mertua
yang harus dibantu, dan istri kadang tidak
memperbolehkan. Saya suka main badminton,
seminggu 2-3 kali. Istri berkomentar sudah pu-
nya keluarga tapi senang-senang sendiri.
Padahal umumnya orang seperti itu. Ada saat
untuk diri sendiri, saya pernah ditegur istri
didepan orang banyak dengan datang ke tempat
badminton. Saya merasa dipermalukan oleh
istri”.
Konflik dalam rumah tangga
Subjek mengatakan bahwa ketika ada konflik
tidak harus selesai dengan perpisahan.
”
”
Because it was formed from when we were born,
men are born as leaders, this is our privilege as
men. Women are the head of the domestic affairs.
In comprehension of these roles, I am often
offended because my wife demands a lot from the
aspects of affection and income, this exceeds my
role. She even demands that I am not allowed to
interact with other women, whether to take a
woman on my motorcycle or talk to a woman on
the telephone. But this is just a normal
interaction in the society”.
From the material aspects there is no indicator,
the larger the income, the larger the needs.
Although women work, the husband's income
must be able to fulfill the needs of the family.
Although the husband has parents, the step
parents must be helped, and sometimes the wife
doesn't allow it. I like to play badminton, around
2-3 times in a week. My wife likes to comment,
you already have a family but you like to play
around and enjoy yourself. But this is actually
normal. There is time for myself, I have once been
warned by my wife in front of many people in the
badminton court. I was humiliated by my wife”.
Conflict in the family
The subject states that when there is a conflict it
doesn't necessarily have to end up in
90
Masalah pendidikan anak dan perekonomian
dipandang subjek dapat menimbulkan konflik.
Namun subjek lebih menekankan pada pola
koordinasi dan komunikasi dengan istrinya
yang sangat rawan konflik ketika tidak ada
kesepahaman, juga masalah peran antara
suami dan istri. Bagi subjek, istri harus
berperan sebagai ibu rumah tangga layaknya
peran tradisional perempuan. Namun,
tampaknya sang istri kurang dapat menerima
peran tersebut sehingga ada konflik peran
antara suami dan istri dalam rumah tangga. Hal
tersebut berimbas terhadap pola komunikasi
dan relasi antara subjek dengan istri. Jika
konflik terjadi dan tidak ada kesepakatan,
maka subjek akan memilih diam selama
beberapa hari. Terkadang hal tersebut terbawa
dalam aktivitas subjek di kantor.
”Kesulitan pada mencari titik temu antara
penggagas dan penerima ide. Hubungan
antara istri saya dengan mertua kurang baik.
Karena pikiran negatif dibuat dalam pikiran
sendiri. Peran mertua bagi istri seolah-olah
akan ikut campur dalam keluarga. Kalau
tidak dipengaruhi pikiran negatif, mencari
titik temu akan mudah. Karena berpikiran
negatif, kemudian muncul satu perkataan
dari suami dan dipahami lain oleh istri maka
tidak ada titik temu. Saya mengatakan ada
separation. The subject views that the child's
education and economy can become sources of
conflict. But the subject emphasizes on the
coordination and communication patterns with
the wife which is prone to conflict when there is
misunderstanding, also concerning roles
between the husband and wife. For the subject,
the wife must hold the role as a housewife as
resembled by traditional roles of women.
However the wife seems resistant towards this
particular role and therefore a conflict arises
between the husband and wife. This affects the
communication and relations patterns between
the subject and the wife. When a conflict occurs
and there is no agreement, the subject would
choose to remain silent for a number of days.
Sometimes this would affect his activities in his
office.
”Difficulties in reaching an agreement between
the conceptor and the receiver of the concept. The
relationship between my wife and my parents in
law are not too good. Because she makes negative
thoughts from her own mind. The role of the
parents in law for her is as though they want to
intervene with family issues. If she wasn't
influenced by negative thoughts, it would be easy
to reach an agreement. Because she thinks
negatively, the husband says one thing and it is
understood differently and therefore there is not
91
undangan dari A, datang atau tidak?
diharapkan jawaban tidak dipengaruhi
pikiran negatif. Sekedar menyesuaikan jadual
bersama”.
“sampai terbawa di pekerjaan, bisa dikenali.
Karena dirumah ribut, kerjaan di kantor agak
berantakan”.
”saya tidak bisa langsung membuang
masalah. Setelah 2-3 hari baru bisa
menyadari tidak harus seperti ini. Istri saya
mudah bersikap seperti biasa lagi dalam
waktu singkat. Saya diam saja. Kalau ingin
cepat selesai menyadari dan mengalah. Kalau
diteruskan seolah-olah tidak akan fatal. Yang
mengalah bukan berarti kalah”.
“Sudah ada anak, lingkungan masyarakat,
kalau ada yang kurang lurus kita yang
meluruskan. Jangan sampai menjadi contoh
yang kurang baik bagi anak-anak, seperti
bertengkar didepan anak-anak, lebih baik
diselesaikan di kamar berdua”.
dalam mensinkronkan pendapat, ada kata-
kata yang disampaikan istri dalam
pemahaman suami tidak pas. Ketika jawaban
ya, karena negatif thinking jawaban menjadi
dua langkah kedepan. Contoh ketika tidak ada
pikiran yang sama. Ada undangan dan saya
menawarkan berangkat atau tidak. Padahal
“
meeting point. I say that there is an invitation
from A, do we come or not? I expect that the
answer is not influenced by negative thoughts. Its
all about adjusting our schedule together”.
sometimes it carries over to work, it can be
identified. Because there is a conflict at home, my
work in office gets messed up”.
I cannot directly throw the problem away. After
2-3 days I can only start to realize that I cannot
continue this. My wife easily acts the ways she
does in a short period of time. I just remain silent.
If I want to get things quickly settled, all I have to
do is realize and give in. And continue as though
things wouldn't be so fatal. Giving in doesn't
mean losing”.
We already have a child, the surrounding
community, if something was wrong we would
try to fix it. We cannot allow ourselves to be a bad
example for the children, for example fighting in
front of the children, its better to settle the dispute
in the room just the two of us”.
in synchronizing opinions, there are words that
are delivered by the wife that is inappropriate in
the understanding of the husband. When the
answer is yes, because of negative thinking the
answer becomes two steps ahead. An example
when we have the same thoughts. There is an
“
”
”
”
92
tinggal jawab berangkat atau tidak. Kalau
dua langkah kedepan maka sudah panjang
masalahnya. Dengan pikiran yang tidak-
tidak”.
Jengkel, dongkol. Kita ingin meluruskan
masalah karena kita hidup dengan anak dan
masyarakat saling membutuhkan tidak bisa
hidup sendiri. Kita harus menghargai
masyarakat, orangtua kita hormati. Kita
meminimize permasalahan yang timbul”.
“
invitation and I ask whether we should come or
not. If there were two steps ahead the problem
would go on and on. With unreasonable
thoughts”. Frustrated, resentful. We want to fix
problems because we have a child and the society
needs each other and cannot live by themselves.
We must respect the community, respect our
parents. We must minimize the problems that
emerge”.
”
93
A. Persepsi tentang kejantanan
Dalam kamus besar bahasa Indonesia, arti kata
“jantan” adalah mahkluk yang berjenis kelamin
laki-laki, namun hanya dipakai khusus untuk
hewan, sedangkan kejantanan adalah sifat-sifat
yang diperlihatkan oleh hewan jantan seperti
bentuk badan yang gagah perkasa dan agresif,
kepala kasar, otot leher kuat (Kamus Besar
Bahasa Indonesia, 1997). Kata ini telah
mengalami perluasan makna sehinga dari yang
dulunya khusus untuk hewan, maka saat ini
dapat juga dikaitkan dengan manusia dengan
jenis kelamin laki-laki. Hal ini terbukti ketika
peneliti mencoba melemparkan wacana
tentang makna “laki-laki dan kelelakian” pada
para subjek kelompok diskusi dalam penelitian
ini. Sebagian besar para subjek selalu
mengkaitkan sosok laki-laki dengan kata
kejantanan, berikut dengan norma dan aturan
yang mengikuti makna kata tersebut.
Bukanlah hal yang mudah untuk membongkar
pandangan masyarakat selama ini terhadap
nilai-nilai kejantanan yang diyakini terhadap
figur seorang laki-laki. Begitu bayi laki-laki
lahir, maka serta merta telah dilekatkan
beragam norma, kewajiban dan setumpuk
harapan keluarga terhadapnya. Beragam
aturan dan atribut budaya telah diterima
melalui berbagai media yaitu ritual adat, teks
A. Perception about manhood
In the Great Indonesian Dictionary, the word
“ ” (masculine) refers to a creature with a
male sex, but is only used to refer to animals,
while “ ” (manhood) refers to the
characteristics that are displayed by male
animals for example a strong and aggressive
body structure, hard headed and strong neck
muscles (Great Indonesian Dictionary, 1997).
The meaning of this word has broadened as it
originally referred to animals but recently the
term has also been associated with humans and
males in particular. This was proven when the
researcher initiated a discussion on the
meaning of “men and being masculine”
towards the subjects of the group discussion.
Most of the subjects associated the figure of a
man with the word “ ” (masculine),
along with its norms and rules that entail this
term.
It is undeniably difficult to deconstruct the
society's perceptions towards values of being
masculine of which are ascribed to men. When a
male baby is born, the norms, obligations and
family expectations are automatically ascribed
to him. Several rules and cultural attributes are
accepted through several media namely
custom rituals, religious text, nurturing
patterns, types of games, television, books, life
jantan
kejantanan
kejantanan
97
agama, pola asuh, jenis permainan, tayangan
televisi, buku bacaan, petuah hidup hingga
filosofi hidup. Proses sosial yang terjadi sehari-
hari selama berpuluh tahun yang bersumber
dari norma-norma budaya tersebut telah
membentuk suatu citra diri tunggal sosok laki-
laki dalam kehidupan masyarakat. Kondisi ini
dapat dilihat dari hal-hal sederhana seperti cara
berpakaian dan penampilan, bentuk pilihan
aktivitas, tata cara pergaulan, cara penyelesaian
masalah, bentuk ekspresi verbal maupun non
verbal hingga jenis aksesoris tubuh yang
dipakai. Pencitraan diri tersebut telah
diturunkan dari generasi ke generasi, melalui
mekanisme pewarisan budaya hingga menjadi
suatu “kewajiban” yang harus dijalani jika
ingin dianggap sebagai laki-laki sejati.
Kewajiban tersebut tercermin dalam suatu
(dogma kejantanan/norma
kelelakian) yang banyak diikuti oleh para laki-
laki berupa aturan tak tertulis, misalnya, laki-
laki pantang untuk menangis, laki-laki harus
tampak garang dan berotot, laki-laki hebat
adalah yang mampu “menaklukkan” hati
banyak perempuan, laki-laki akan sangat “laki-
laki” apabila identik dengan rokok, alkohol dan
kekerasan. Pengingkaran atas norma-norma
maskulinitas tersebut akan berakibat turunnya
derajat kelelakian seorang laki-laki di mata
masyarakat. Gejala tersebut tidak hanya terjadi
manhood
expressions and life philosophies. The social
processes that occur daily for decades
originating from those norms and cultures have
shaped a sole image of men in society. This
condition can be simply observed from ways of
clothing and appearance, choice of activities,
ways of socializing, ways of problem solving,
forms of verbal and non-verbal expression to
the type of body accessories that are worn.
These self images have descended from
generation to generation, through the
mechanisms of cultural heritage as to become
an “obligation” that must be practiced in order
to be viewed as true men. This obligation is
reflected by the manhood dogmas and norms
followed by men for example men are not
allowed to cry, men must appear aggressive and
fit, great men are those that are able to conquer
the hearts of many women, men have greater
manhood when they are identified with
smoking, alcohol and violence. Negligence
towards these norms of masculinity would
result in the reduced degree of a man's
manhood in the eyes of society. Such events not
only occur to adult men but are also largely
experienced by teenage men.
In the teenage life, for example as stated by
UNESCO (2006), in an extensive article titled
, teenage boys incapable ofMasculinity for Boys
98
pada laki-laki dewasa namun banyak juga
dialami oleh laki-laki yang berusia remaja.
Dalam kehidupan remaja, misalnya, sebagai-
mana dikemukakan UNESCO (2006) dalam
risalah panjang berjudul ,
remaja laki-laki yang tidak mampu mengadop-
si norma maskulinitas berarti akan ditolak dan
dilecehkan kelompok sebayanya serta
dipandang sebagai sosok laki-laki yang lemah.
Proses yang terjadi kemudian adalah
maskulinitas diposisikan sebagai moralitas
yang menjadi tolok ukur kepantasan dalam
pergaulan. Konsekuensinya, maskulinitas
bukan lagi sebagai kebiasaan yang layak
diikuti, melainkan sebagai norma yang berisi
ajaran mengenai kebaikan versus keburukan.
Maskulinitas menjadi dogma yang tidak
mungkin terbantahkan. Menentang maskulini-
tas berarti melanggar moralitas dan mematuhi
maskulinitas bermakna meraih superioritas.
Hal ini semakin mengkhawatirkan karena
remaja menjalani kehidupan dalam tahap
perkembangan moral konvensional dimana
kesetiaan pada norma etis ditentukan oleh
loyalitas pada kelompok yang melingkupinya
(Lukmantoro, 2007).
Dalam kehidupan laki-laki dewasa kita
mengenal adanya hirarki kelelakian, yaitu
suatu ukuran untuk menentukan kadar atau
Masculinity for Boys
adopting masculine norms will be rejected and
abused by their peer groups and would be
perceived as weak men. Masculinity therefore
becomes a moral standard for socialization
among men. It no longer merely becomes a
habit which should be followed but rather a
norm containing teachings concerning what is
good and what is bad. Masculinity becomes an
irrefutable dogma. Challenging masculinity
would imply a violation upon moral standards
and following masculinity implies male
superiority. This is even more concerning
because teenagers are currently running the
conventional moral developmental stage where
loyalty towards ethical norms are determined
by loyalty towards the surrounding group
(Lukmantoro, 2007).
99
teenage boys incapable of
adopting masculine norms will
be rejected and abused by
their peer groups and would
be perceived as weak men.
Masculinity therefore becomes
a moral standard for
socialization among men
derajat kelelakian seorang laki-laki dewasa.
Ukuran-ukuran tersebut diantaranya adalah
bahwa seorang laki-laki harus mampu
menikah dan mampu mendapatkan keturunan
serta mempunyai penghasilan atau pekerjaan
tetap, mampu bersikap bijaksana, stabil secara
emosional, bijaksana dan cerdas, mempunyai
jiwa kepemimpinan dan pengayoman. Jika
seorang laki-laki mampu memenuhi prasyarat
tersebut maka dianggap telah mapan dan
secara otomatis akan terangkat derajatnya
sebagai laki-laki sekaligus sebagai kepala
rumah tangga di mata masyarakat. Gambaran
tersebut tentunya telah menciptakan suatu
prasyarat sifat yang harus diadopsi oleh para
laki-laki agar mampu memenuhi beberapa
tuntutan tersebut. Jenis maskulinitas yang
paling banyak ditemui dan paling dominan
dalam masyarakat yang menganut budaya
patriarki adalah Ciri khas
jenis maskulinitas ini adalah adanya peran
penguasaan terhadap sumber daya ekonomi,
seperti lapangan pekerjaan serta kuatnya
kontrol laki-laki terhadap perempuan,
khususnya di sektor domestik dalam rangka
pembentukan identitas kelelakian. Laki-laki
dari kelas sosial ekonomi yang tinggi memiliki
sarana lebih leluasa untuk mencapai identitas
tertinggi maskulinitas lewat pekerjaan dan
laki-laki dari kelas ekonomi rendah mengalami
hegemonic masculinity.
Amale hierarchy exists among men. This serves
as an indicator to determine the degree of an
adult man's manhood. These indicators include
a man must be able to marry and able to have a
child, have a stable income and job, able to act
wisely, is emotionally stable, wise and
intelligent, is a leadership figure and protec-
ting. Should a man be able to fulfill these
indicators it indicates that the man is competent
and automatically his degree of manhood is
elevated in the eyes of the family and the socie-
ty. Such descriptions certainly create rigid crite-
ria that must be adopted by men to enable them
to fulfill a number of these demands. The type
of masculinity that is most evident in and
dominant in the society that follow a patriarchic
culture is hegemonic masculinity. The distinct
type of this masculinity is the presence of a role
of control upon economic resources, for exam-
ple job vacancy as well as the strong control of
men towards women, particularly in the
domestic sector in order to establish a mascu-
line identity. Men from a higher social economic
class have broader facilities to create the highest
masculine identity through work and men from
lower economic class experience difficulties in
fulfilling a range of attributes and masculine
identities (Darwin, 2007). This would certainly
influence a man's self esteem if it was viewed
from his daily behavior, particularly in
husband-wife relations in the family.
100
kesulitan dalam memenuhi beragam atribut
dan identitas maskulinitas (Darwin, 2007). Hal
ini tentunya akan berpengaruh pada harga
dirinya sebagai seorang laki-laki yang dapat
dilihat dari perilakunya sehari-hari, terutama
dalam pola relasi suami – istri dalam keluarga.
Maka dalam memahami dinamika kehidupan
kaum laki-laki perlu dimulai dari pembahasan
mengenai citra diri laki-laki yang selama ini
beredar di masyarakat, karena sangat
menentukan persepsi terhadap dirinya sendiri.
Persepsi seseorang atas diri sendiri inilah yang
kemudian berkembang dan berhubungan
dengan proses pembentukan konsep diri.
Diri atau adalah kumpulan atau
kepercayaan/keyakinan (Taylor dkk, 1994).
Beberapa contoh sebagai seorang laki-laki
misalnya “seorang laki-laki pantang untuk
menangis” atau “laki-laki adalah tulang
punggung keluarga”. Dua contoh pernyataan
tersebut merupakan bentuk suatu kepercayaan
atau keyakinan yang dijalani sebagai seorang
laki-laki dan biasanya berupa perkataan
berulang terhadap diri sendiri ( ).
Tentunya sangat banyak sekali kumpulan
pernyataan, keyakinan dan kepercayaan yang
diterima oleh seorang laki-laki selama rentang
kehidupannya dan hal itu akan membentuk
suatu skema besar dalam diri individu yang
mendasari perilakunya sehari-hari. Skema
self belief
belief
self talk
Accordingly, to understand the living
dynamics of men, a discussion on the image of
men spread in the society needs to be
conducted. This is important considering that it
strongly determines the perception of men
themselves. A perception of the self will later
develop and relate with the process of
establishing their self concept.
Self refers to the collection of beliefs or faith
(Taylor et al, 1994). A number of examples of
beliefs of a man for example “men are not
allowed to cry” or “men are the backbone of the
family”. These two statements function as a
belief or faith that is practiced by men and
usually take the form of repeated self talk. Of
course there are several statements, faith, and 101
A number of examples of beliefs
of a man for example “men are
not allowed to cry” or “men are
the backbone of the family”.
These two statements function as
a belief or faith that is practiced
by men and usually take the form
of repeated self talk
tersebut dalam ilmu psikologi dikenal dengan
istilah konsep diri.
Konsep diri merupakan gambaran individu
atas dirinya sendiri yang meliputi persepsi
akan fisik, keyakinan yang bersifat psikologis
dan sosial serta aspirasi dan cita-cita idealnya
sebagai seorang manusia. Seperti yang
dikemukakan oleh Rogers (dalam Hjelle &
Zieglar, 1992) yang mengatakan bahwa konsep
diri mencakup kesadaran individu tentang
keberadannya serta fungsi dirinya di lingku-
ngan sosial. Konsep diri tersebut memberikan
suatu arti atau makna yang mendalam bagi
eksistensi seseorang dalam rentang kehidu-
pannya.
Konsep diri terdiri dari beberapa bagian, yaitu:
persepsi terhadap tubuh ( ), diri ideal,
harga diri, peran dan identitas sosial. Konsep
diri bukan merupakan faktor yang dibawa
sejak lahir, melainkan faktor yang dipelajari
dan terbentuk melalui pengalaman hidup sejak
masa pertumbuhan hingga dewasa dalam
berhubungan dengan orang lain (Ritandiyono
& Retnaningsih, 1996) . Lingkungan,
pengalaman dan pola asuh orang tua turut
memberikan pengaruh yang signifikan
terhadap pembentukan konsep diri. Sikap atau
respon orang tua dan lingkungan akan menjadi
bahan informasi bagi individu untuk menilai
body Image
beliefs accepted by men during their life course
and this would produce a large scheme within
the individual that bases their everyday life. In
psychological terms, this scheme is known as
self concept.
Self concept refers to an individual's
description of him/herself which comprise of
perceptions of physical aspects, psychological
and social faith as well as aspirations and ideal
dreams of a human being. As noted by Rogers
(cited in Hjelle&Zieglar, 1992), he stated that the
self concept encompasses self awareness
concerning their existence as well as their self
functions in their social environment. The self
concept gives a thorough meaning towards a
person's existence in their life.
The self concept is composed of a number of
parts, namely: perception towards body image,
ideal self, self esteem, roles and social identity.
Self concept is not a factor that was brought
from birth, but is a factor that is learnt and
formed through experiences in life since the
phases of growth until maturation in relating
w i t h o t h e r p e o p l e ( R i t a n d i yo n o &
Retnaningsih, 1996). The environment,
experience and parental nurturing patterns also
give a significant influence towards the
establishment of self concept. The attitudes and
responses of parents and the environment will
102
siapa dirinya.
Penelitian ini berusaha untuk memaparkan
hasil temuan di lapangan, tentang makna
kejantanan sebagai seorang laki-laki beserta
konsep dirinya dalam rangka memahami
perilakunya sehari-hari.
Setiap individu pasti akan memiliki gambaran
diri yang ideal seperti yang diinginkannya,
termasuk bentuk tubuh. Ketidaksesuaian
antara bentuk tubuh yang dimiliki dengan
bentuk tubuh yang diidealkan akan
memunculkan ketidakpuasan seseorang
terhadap tubuhnya yang selanjutnya akan
mempengaruhi kepercayaan dirinya dalam
bergaul di masyarakat. Hal ini erat kaitannya
dengan citra tubuh atau , yaitu cara
seseorang memandang dan menilai tubuhnya
sendiri. Menurut Grinder (1978) citra tubuh
adalah hasil evaluatif dari serangkaian
pengalaman yang dimiliki saat ini ataupun
ya n g d i i d e a l k a n ya n g b e r a s a l d a r i
perkembangan fisik seseorang, perhatian
orang tua dan harapan-harapan lingkungan
sosial terhadap atribut-atribut fisik seseorang.
Tubuh ideal yang biasa dikehendaki oleh
masyarakat terhadap laki-laki adalah tampak
kuat dan kekar serta berotot, atletis dan
1 . Persepsi terhadap tubuh
body image
function as information for the individual to
judge who he is.
This study aims to present the results of
findings in the field, concerning the meaning of
manhood as well as his self concept in order to
understand his everyday life.
1 .
Each individual would certainly have an ideal
self that they desire for, including for their body
image. The incongruence between the body
they have and the body they idealize will result
in dissatisfaction towards their own bodies and
would then influence their self confidence in
socializing. This is strongly associated with
body image, referring to how a person views
and judges their body. According to Grinder
(1978) body image is the evaluative result from
a series of experiences in the present or that is
idealized which originates from the physical
development of a person, attention from
parents and expectations from the social
environment towards a person's physical
attributes.
An ideal body that is commonly desired by the
society for men is a person that is strong and fit,
athletic and has a balanced body posture
between body height and weight. They have a
strong gaze; they have a wise face, charismatic
Perception towards body image
103
ditunjang postur tubuh yang seimbang antara
tinggi badan dan berat badan. Memiliki tatapan
mata yang tajam, raut wajah yang berwibawa
dan penuh kharisma serta memiliki kumis atau
cambang. Laki-laki yang tidak mempunyai
salah satu dari beberapa kriteria tersebut maka
akan dianggap sebagai laki-laki yang biasa-
biasa saja, dari sisi penampilan fisik. Citra
tubuh tersebut diperkuat oleh gambaran yang
diberikan oleh dunia industri melalui tayangan
televisi, film, sinetron hingga melahirkan iklan-
iklan produk khusus laki-laki yang ingin tampil
sebagai laki-laki sejati. Hal ini menciptakan
suatu kebutuhan bagi laki-laki untuk tampil
sesuai dengan harapan-harapan yang beredar
di masyarakat agar dipandang sebagai laki-laki
tulen. Banyak kemudian para laki-laki,
khususnya yang berusia muda, berusaha
memenuhi tuntutan tersebut misalnya dengan
menjadi anggota kelompok kebugaran atau
untuk membentuk tubuh agar
tampak atletis, hingga pemakaian produk-
produk kebugaran khas kaum laki-laki.
Beberapa kelompok laki-laki lain yang tidak
tertarik dengan bentuk kegiatan tersebut lebih
memilih kompensasi dalam bentuk lain
misalnya mendalami olah kanuragan, olah
kebatinan, bela diri, olah raga keras yang
sifatnya penuh tantangan, misalnya mendaki
fitness center
and have a moustache. A man that doesn't have
any of those characteristics will be regarded as
just an ordinary man, based on his physical
aspects. Such body images are reinforced by
representations by the industrial world
through television, film, soap operas and
advertisements that emphasize the importance
of appearing as a true man. This creates a need
for men to appear in accordance with the
expectations that are present in the society in
order for them to be viewed as true men. Several
men, young men in particular, are therefore
encouraged to try to fulfill those demands for
example by becoming a member of a fitness
center to form their body to appear athletic and
the use of fitness products specifically designed104
Such body images are reinforced
by representations by the
industrial world through
television, film, soap operas and
advertisements that emphasize
the importance of appearing as a
true man. This creates a need for
men to appear in accordance with
the expectations that are present
in the society in order for them to
be viewed as true men
gunung, panjat tebing, balap motor, dan lain-
lain. Kegiatan-kegiatan yang diikuti sering kali
membentuk suatu atribut tersendiri yang
tercermin dalam penampilan mereka, misalnya
rambut gondrong, tato tubuh, tindik telinga
ataupun dalam hal cara berpakaian dan
aksesoris yang biasa dipakai yang mencermin-
kan simbol-simbol sebagai seorang laki-laki
pada suatu kelompok tertentu. Beberapa
bentuk kegiatan yang sering diikuti oleh para
kaum laki-laki terkadang tidak sepenuhnya
diikuti dari usia remaja hingga dewasa namun
paling tidak pernah mewarnai dalam rentang
sejarah kehidupan mereka. Ada suatu kebang-
gaan tersendiri ketika seseorang memiliki
beberapa kriteria laki-laki tulen sesuai yang
diharapkan oleh masyarakat. Kebanggaan
tersebut akan mempengaruhi rasa percaya
dirinya ketika ia bergaul ditengah-tengah
masyarakat yang selanjutnya akan menen-
tukan identitas diri dan harga dirinya.
Dalam penelitian ini terungkap bahwa
pemahaman subjek terhadap tubuh lebih
banyak mengarah pada kapasitas kekuatan
fisik dan bukan pada penampilan. Para subjek
serta merta membandingkan kekuatan fisik
yang dimiliki dengan kekuatan fisik yang
dimiliki oleh kaum perempuan. Mereka
mempunyai persepsi yang positif atas
kekuatan fisik yang dimiliki dan berpendapat
for men. Other groups of men who do not
choose to engage in those activities compensate
by engaging in other activities for example
enhancing spiritual power, increasing mental
power, martial arts, challenging sports, for
example hiking, wall climbing, motorcycle, and
etc. The activities they engage in often form
distinct attributes reflected by their appearance
for example long and scruffy hair, tattoos, ear
piercings or by using clothes and accessories
that represent a symbol of men in a particular
group. A number of activities that men often
engage in sometimes are not continuously
followed from teenager to adulthood but at
least it had been practiced during one point of
their life. There is a particular sense of pride
when a person has some characteristics of true
men. This pride would influence their self
confidence when socializing and will
eventually determine their self identity and self
esteem.
In the study it is exposed that the subject's
understanding towards their body is more
directed towards the capacity of physical
strength and not on its appearance. The subjects
openly compared their physical strength with
women. They have positive perceptions
towards the physical strength they possess and
assume that there are differences of body form
and physical strength between men and
105
bahwa ada perbedaan bentuk tubuh dan
kekuatan fisik antara laki-laki dan perempuan.
Perbedaan tersebut dimaknai bahwa laki-laki
secara fisik lebih kuat dibanding perempuan
serta banyak menggunakan rasio sedangkan
perempuan lebih lemah secara fisik dan lebih
banyak menggunakan emosi. Sebagai contoh,
salah seorang subjek AF berasal dari Sleman,
Yogyakarta mengatakan bahwa ketika laki-laki
marah maka akan berpikir dua kali jika ingin
bertindak kasar, seperti membanting gelas dan
hal ini berbeda dengan perempuan yang dinilai
subjek lebih mengedepankan emosi dalam
bertindak. Pendapat yang dikatakan subjek
tersebut ada kalanya tidak sesuai dengan
kenyataan yang terjadi terutama yang dihadapi
oleh Rifka Annisa selama proses konseling
teradap perempuan korban kekerasan dalam
rumah tangga. Banyak dari para laki-laki
pelaku kekerasan yang justru lebih
mengedepankan tindakan emosional dengan
melakukan kekerasan fisik terhadap istri ketika
sedang marah. Hal ini disebabkan kemampuan
regulasi emosi yang rendah yang justru
menunjukkan kurangnya kontrol diri dan daya
pik i r ya ng ra s iona l seh in gg a leb ih
mengedepankan penyelesaian dengan cara
fisik sehingga justru terkesan emosional.
Kekuatan fisik yang besar pada kaum laki-laki
women. Men are said to be physically stronger
than women and have large use of rationale
while women are physically weaker and use
more emotion. As an example, one of the
subjects AF originating from Sleman,
Yogyakarta stated that when men are angry
they would think twice before acting harshly,
for example smashing a glass and this is
different with women, whom the subject thinks
are more likely to prioritize emotion when they
act. The opinions stated by the subject is
sometimes inconsistent with the reality,
particularly when compared with cases
managed by Rifka Annisa during the
counseling process towards women victims of
domestic violence. Lots of male perpetrators are
actually those who prioritize their emotional
actions by using physical violence towards
their wife when they are angry. This is caused
by the low abilities of emotion regulation which
implies a low ability of self control and rational
thought. Such conditions will open the doors to
settling matters through physical means and
such actions are marked by emotional as
opposed to rational responses.
Large physical strength by men is perceived to
be associated with maximum productivity and
agility compared to women, although the
subjects state that in an intellectual sense, men
106
dimaknai bahwa laki-laki mempunyai
produktifitas yang maksimal dan lebih lincah
dibandingkan dengan kaum perempuan,
sekalipun secara intelektual para subjek
mengatakan mungkin memiliki kemampuan
yang sama. Hal tersebut menimbulkan
pendapat bahwa kaum laki-laki sah-sah saja
jika melakukan pekerjaan yang berat serta
dapat ”terbang kemana-mana”. Pendapat ini
menunjukkan bahwa persepsi terhadap
kekuatan fisik akan mempengaruhi cara
pandang laki-laki terhadap kaum perempuan
dan sekaligus menciptakan suatu aturan dalam
pembagian peran pekerjaan antara laki-laki
dan perempuan. Adakalanya kondisi ini
menimbulkan penguasaan terhadap beberapa
aspek kehidupan secara tidak proposional
yang sekaligus menunjukkan kuatnya kontrol
laki-laki terhadap perempuan. Hal inilah yang
kemudian banyak menimbulkan kesenjangan
gender antara laki-laki dan perempuan.
Tiga kelompok subjek yang diteliti tersebut
banyak mengarahkan pembicaraan ke arah
perbandingan fisik antara laki-laki dan
perempuan ketika peneliti membahas
mengenai kondisi fisik. Tampak muncul suatu
perasaan bangga dan merasa lebih dari kaum
perempuan sehingga muncul dorongan untuk
melindungi kaum perempuan yang dianggap
memiliki fisik dan tenaga yang lebih lemah.
and women are even. This leads to the
assumption that men are justified to perform
hard working jobs and can “do as they please”.
This notion demonstrates how the perception
of physical strength can influence the ways men
perceive women and create a certain rule in role
division between men and women. Such
c o n d i t i o n s m a y e ve n r e s u l t i n t h e
disproportionate control of life aspects which
thus reinforces the notion that men control
women. It is this condition that result in gender
inequality between men and women.
Three of the subject groups directed the
discussion to comparing the physical aspects of
men and women when the researcher discussed
physical conditions. There was a particular
display of pride and superiority over the
women of which results in a drive to protect
these women who are deemed weaker. There is
also a gentle attitude that they like to display
107
when men are angry they would
think twice before acting harshly,
for example smashing a glass and
this is different with women,
whom the subject thinks are more
likely to prioritize emotion when
they act
Ada suatu sikap yang ingin ditunjukkan
yang didorong oleh persepsi atas kelebihan
fisik dan tenaga yang dimiliki. Hal ini sesuai
dengan penelitian yang dilakukan oleh Blyth
(2000) bahwa penilaian individu terhadap
penampilan fisiknya akan dipengaruhi oleh
beberapa hal diantaranya adalah perbandingan
perkembangan fisik individu dengan
perkembangan fisik orang lain, reaksi orang
lain terhadap individu dan perbandingan
terhadap kultur ideal serta komparasi sosial.
Komparasi sosial adalah penilaian kognitif
yang dibuat oleh seseorang tentang atribut-
atribut tertentu yang dimilikinya dibandingkan
dengan atribut orang lain (Jones, 2001). Maka
terbukti bahwa penilaian para subjek terhadap
kaum perempuan yang dianggap memiliki
kekuatan fisik yang dibawah kaum laki-laki,
mempengaruhi cara pandang mereka terhadap
diri sendiri sehingga menimbulkan suatu
kesepakatan tak tertulis untuk melindungi
kaum perempuan. Kondisi ini menyebabkan
posisi tawar yang tinggi kaum laki-laki
terhadap perempuan.
Meskipun kekuatan fisik merupakan sesuatu
yang utama bagi seorang laki-laki namun ada
satu hal yang dianggap dapat menurunkan
derajat kelelakian yaitu ketidakmampuan
seorang laki-laki untuk mendapatkan
keturunan. Kemampuan seorang laki-laki
gentle which is reinforced by perceptions of the
physical superiority that they possess. Such
findings are consistent with a study from Blyth
(2000) that individual evaluation towards their
physical appearance will influence a number of
aspects for example comparison of physical
development with other people, reactions of
other people towards the individual and
comparison towards the ideal culture as well as
social comparison. Social comparison refers to
the cognitive evaluation made by a person
about particular attributes that they own with
the attributes of others (Jones, 2001). Therefore
it is proven that the subjects' evaluation of
108
Therefore it is proven that the
subjects' evaluation of women
being weaker, influence the way
men perceive themselves which
produces an unwritten law to
protect women. Such conditions
cause a high bargaining position
of the men towards women.
terutama yang sudah berkeluarga untuk
mendapakan keturunan merupakan hal pokok
yang dapat mengukuhkan harga diri seorang
laki-laki untuk dapat disebut sebagai laki-laki
sejati. Perihal keturunan merupakan hal utama
yang dapat meningkatkan kepercayaan dan
semangat hidup bagi seorang laki-laki yang
sudah berkeluarga. Hal ini menunjukkan
bahwa citra tubuh yang dipersepsi oleh para
subjek, ternyata tidak berhenti pada kekuatan
fisik dan penampilan namun lebih berkaitan
erat dengan gambaran mental sebagai seorang
laki-laki mengenai tubuh, pikiran, perasaan,
pertimbangan dan perbandingannya terhadap
perempuan, sensasi dan kesadaran maupun
perilaku dan etika yang seharusnya dilakukan
oleh seorang laki-laki terkait dengan kondisi
fisik yang dimiliki. Etika tak tertulis tersebut
seakan-akan mewajibkan bahwa sudah
s e h a r u s n ya k a u m l a k i - l a k i m a m p u
memberikan keturunan dan perlindungan
terhadap pihak-pihak yang dinilai lebih lemah,
dalam hal ini adalah kaum perempuan.
Ketidakmampuan dalam memenuhi etika
tersebut akan mempengaruhi konsep diri
seorang laki-laki yang akan mempengaruhi
harga diri dan kepercayaan dirinya.
women being weaker, influence the way men
perceive themselves which produces an
unwritten law to protect women. Such
conditions cause a high bargaining position of
the men towards women.
Although physical strength is primary to men
however what is perceived to be able to reduce
the manhood of a person is the inability to have
a child. The ability for a man, particularly a
married man, to have a child is vital for them to
consolidate their self esteem to be viewed as a
true man. This matter of having a child is
fundamental to increase a man's self confidence
and enthusiasm of a married man. This
demonstrates that the body image perceived by
the person does not stop at physical strength
but has strong relations with mental
representations of men concerning their bodies,
thoughts, feelings, considerations and
comparisons with women, sensations and
awareness and even behaviors and ethics that
should be conducted by men related with the
physical conditions they own. This unwritten
ethic supposedly obligates men to have a child
and protect the weak, in this regard, women.
The inability in fulfilling these ethics will
influence the self concept of a man that would
bring implications towards the man's self
esteem and self confidence.
109
2. Diri Ideal
Diri ideal adalah gambaran individu tentang
perilaku, aspirasi, tujuan atau penilaian
personal tertentu yang harus dimilikinya
(Stuart & Sundeen dalam Salbiah, 2003). Diri
ideal dapat berhubungan dengan tipe orang
yang akan diinginkan atau sejumlah aspirasi,
cita-cita, nilai-nilai yang ingin di capai. Diri
ideal akan mewujudkan cita–cita dan harapan
pribadi berdasarkan norma sosial (keluarga
dan budaya) serta kepada siapa ingin
dilakukan. Diri ideal mulai berkembang pada
masa kanak–kanak yang di pengaruhi oleh
lingkungan dan harapan masyarakat, figur
orang yang penting pada diri seseorang yang
memberikan keuntungan dan harapan
baginya. Pada masa remaja diri ideal akan di
bentuk melalui proses identifikasi pada orang
tua, guru dan teman, sedangkan pada masa
dewasa akan banyak dipengaruhi oleh
lingkungan sosial serta peran dan kedudukan
individu di masyarakat.
Laki-laki ideal yang digambarkan oleh para
subjek dalam penelitian ini adalah sebagai
sosok jantan yang berperan sebagai tulang
punggung keluarga dan harus mempunyai
sikap adil serta bertanggung jawab penuh
terhadap kelangsungan hidup keluarga.
Sebagai sosok yang jantan, maka seorang laki-
laki harus memiliki mental spiritual yang baik,
2. Ideal Self
The ideal self is an individual's representation
concerning behavior, aspirations, goals or a
personal evaluation that the person must own
(Stuart & Sundeen cited in Salbiah, 2003). The
ideal self may be related with the type of person
he/she wants to be or some aspirations, ideals,
values that want to be achieved. The ideal self
will actualize the ambitions and expectations of
an individual based on the social norms (family
and cultural) as well as who this ideal concept
would be applied to. The ideal self is developed
from childhood and influenced by the
environment and society expectations and
important figures of a person that gives him/her
some advantages and hopes. For teenagers, the
ideal self will be formed through the
identification process of parents, teachers,
friends, while in adulthood this would largely
be influenced by the social environment as well
as the roles and status of the individual in the
society.
The ideal men described by subjects in this
study are those people who play the role as the
backbone in the family and must have a fair
attitude and full responsibility towards the
longevity of the family. As a masculine person,
he must be a man that is mentally and
spiritually competent, have a physically
healthy condition, broad knowledge, has a faith
110
kondisi jasmani yang sehat, pengetahuan yang
luas, keyakinan dan keimanan sebagai
landasan kehidupan, keteguhan pendirian dan
ketegasan dalam tindakan, misalnya sesuatu
yang pernah diikrarkan harus benar-benar
diwujudkan. Hal tersebut dianggap sangat
berperan dalam mendukung fungsi dan
tanggung jawab laki-laki sebagai kepala rumah
tangga serta dalam memimpin diri sendiri dan
orang lain. Salah satu perilaku yang dianggap
mampu merusak kesehatan jasmani dan rohani
adalah minum minuman keras karena dapat
membuat seseorang bertindak kasar dan mau
menang sendiri serta kehilangan sikap adil
sebagai kepala rumah tangga. Fungsi sebagai
kepala keluarga adalah mengayomi istri dan
anak dengan menempatkan diri sebagai suri
tauladan yag baik bagi keluarga. Kedudukan
tersebut dimaknai sebagai kelebihan yang
diberikan Tuhan kepada laki-laki yang tidak
ada dalam diri perempuan. Disamping itu,
seorang laki-laki harus memiliki penghasilan
yang mapan untuk menunjang kehidupan
keluarga karena secara kultural, laki-laki
adalah figur yang harus memenuhi kebutuhan
ekonomi keluarga. Hal tersebut menunjukkan
bahwa secara psikologis, laki-laki diharapkan
menjadi sosok yang selalu stabil secara
emosional sehingga mampu mengambil peran
dan sikap sebagai figur yang bijaksana.
Disamping itu, terdapat konsep ideal laki-laki
and belief as a foundation of life, has a firm
stance when acting, for example when a
promise is made it must be fulfilled. These
things are said to largely play a role in
supporting the functions and responsibilities of
a man as the head of the family in addition to
leading the person himself and other people.
One of the behaviors that is said to damage the
physical and spiritual conditions is alcohol
consumption because it can make a person act
harshly, make him selfish, and reduces his
ability to be fair as the head of the family. The
function as the head of the family is to protect
the wife and child by placing himself as the role
111
As a masculine person, he must
be a man that is mentally and
spiritually competent, have a
physicallyhealthy condition,
broad knowledge, has a faith
and belief as a foundation of
life, has a firm stance when
acting, for example when a
promise is made it must be
fulfilled
dalam budaya Jawa yang menyatakan bahwa
seorang laki-laki dianggap lengkap sebagai
laki-laki apabila ia sudah memenuhi beberapa
hal pokok sebagai berikut :
(rumah)
(istri)
(pedoman hidup yang bermakna bahwa
seorang laki-laki harus bisa menempatkan diri
dalam berbagai suasana,
yang berarti tahu bagaimana cara
menempatkan diri dalam setiap kondisi dan
situasi)
(kendaraan)
(burung) yaitu simbolisasi dari
penyemarak isi rumah, misalnya benda-benda
elektronik radio, tape, TV
Beberapa contoh dan penjelasan diatas
menunjukkan bahwa dalam pergaulan sosial,
sosok laki-laki sebagai seorang kepala rumah
tangga mempunyai beragam keutamaan yang
harus dipenuhi jika ingin dirinya dianggap
sebagai sosok laki-laki yang lengkap.
kemampuan seorang laki- laki dalam
pemenuhan hal-hal tersebut adalah sebagai
suatu kebanggaan tersendiri yang dianggap
dapat meningkatkan derajat kelelakian.
Ketidakmampuan seorang laki-laki dalam
memenuhi beberapa prasyarat di atas akan
menimbulkan konflik dalam dirinya. Konflik
Wisma
Garwa
Curiga
ngerti agal alusing
pasemon
Turangga
Kukila
model for the family. This status is perceived to
be a blessing given by God to men and not given
to women. In addition, men must have a stable
income to support the family living because
culturally, men are the figures that must fulfill
the economic needs of the family. This indicates
that in a psychological sense, men are expected
to be constantly emotionally stable so that they
are able to bear the roles and attitudes as a wise
figure. Moreover, the ideal concept of a man in
the Javanese culture states that a man is only
complete when he as accomplished the
following essential elements :
(home)
(wife)
(the life guide that states that men must
be able to place themselves in numerous
situations , meaning
that they know how place themselves in each
condition and situation)
(vehicle)
(birds) symbolizing the house content
for example electronic goods, radio, tape
recorders, TV
A number of the examples and explanations
above demonstrate that in socializing, men as
head of the family have a range of superiorities
that must be fulfilled if they would be
considered as complete. The ability of a man in
Wisma
Garwa
Curiga
ngerti agal alusing pasemon
Turangga
Kukila
112
ini lebih dikenal dengan konflik peran gender,
yaitu suatu keadaan seseorang tidak mampu
berperan sesuai yang diharapkan oleh
masyarakat. Lebih lanjut lagi, O'Neal, Good
dan Holmes (1995) menyatakan bahwa konflik
peran gender merupakan suatu keadaan
psikologis dimana sosialisasi peran gender
memiliki konsekuensi negatif terhadap orang
tersebut atau orang lain. Konflik peran gender
tampil bila peran-peran gender yang kaku,
seksis, atau terbatas, menimbulkan pribadi
yang terbatas, merendahkan atau mengganggu
orang lain atau dirinya. Hasil akhir dari konflik
ini adalah suatu keterbatasan dari potensi
kemanusiaan pada seseorang yang mengalami
konflik atau keterbatasan dari potensi orang
lain. Kesenjangan antara diri yang diidealkan
dengan kenyataan yang ada akan dapat
memicu timbulnya emosi negatif seperti stres
dan depresi dan hal inilah yang terkadang pada
beberapa laki-laki akan memicu tindak kekera-
san dalam rumah tangga (Weisbuch dkk, 1999).
Konsep diri ideal yang ada pada diri laki-laki
seperti yang telah dipaparkan di atas
menimbulkan suatu konsekuensi atau
kewajiban yang harus dijalankan berdasarkan
batasan minimal diri ideal yang harus dicapai,
terutama dalam hal peran yang harus dapat
dimainkan dan tanggungjawab yang harus
dilakukan.
fulfilling these demands gives a sense of self
pride because it can increase his level of
manhood. The inability to fulfill these things
will lead to a conflict within him. This conflict is
known as conflict of gender roles, namely the
condition whereby a person is incapable of
fulfilling the roles in accordance with the
expectations of the society. Furthermore,
O'Neal, Good and Holmes (1995) stated that
conflict of gender roles refer to a psychological
state where the socialization of gender roles
have negative consequences towards the
person or other people. Conflict of gender roles
are apparent when rigid, sexist and limited
gender roles creates a rigid individual, which
insults and disturbs other people or himself.
The outcome of the discrepancy between self
and the ideal with the realities that exist will
trigger negative emotions for example stress,
depression and these are the things that will, in
some cases, lead men to conduct domestic
violence (Weisbuch et al, 1999).
The ideal self elaborated above creates a
consequence or obligation that must be
performed based on the minimum standard of
the ideal self that must be achieved, particularly
concerning roles that must be played and the
responsibilities that must be performed.
33 113
B. Posisi laki-laki dalam masyarakat
1. Posisi dan relasi sosial laki-laki di
masyarakat
Dalam kehidupan di lingkungan sosial,
seorang laki-laki harus tahu bagaimana harus
bersikap dalam berhubungan dengan
lingkungan masyarakat karena segala tindak-
tanduknya, terutama yang sudah berkeluarga,
dianggap berpengaruh terhadap nama baik
keluarga. Salah seorang subjek mengungkap-
kan terkadang harus mendahulukan ajakan
teman untuk pergi mancing ketika akan
membantu istri yang repot karena merasa tidak
enak dengan teman. Hal ini menunjukkan
bahwa faktor eksternal yaitu lingkungan sosial
atau lingkungan pergaulan mempunyai
pengaruh yang tak terlihat terhadap relasi
dalam keluarga. Hal tersebut juga menunjuk-
kan kepatuhan dan penghormatan seorang
laki-laki terhadap lingkungan pergaulan, yaitu
teman-temannya.
Lingkungan sosial terutama masyarakat Jawa,
menempatkan laki-laki diatas perempuan
karena laki-laki dipandang lebih banyak
berpartisipasi dalam kegiatan di lingkungan
sosial. Laki-laki juga disebut sebagai insider
jika dikaitkan dengan keluarga dan lingkungan
sosial.
B. The position of men in the society
1. Position and social relations of men in the
society
In the social life, men must know how to behave
and relate with the social environment because
all of his actions, especially those with the
family, can influence the name of the family.
One of the subject explained that sometimes he
would prioritize the invitation from a friend to
go fishing rather than helping his wife who is
busy, because he would feel discomfort if he
didn't accommodate his friend's invitation.
This demonstrates that the social environment
implicitly influences relationships in the family.
This also demonstrates the obedience and
respect of a man towards his socialization
settings, namely his friends.
The social environment, particularly for
Javanese, place men above women because men
have larger participation in social activities.
Men can also be referred to as an insider when
related with the family and social environment.
Men are positioned as bridges between the
family and the society. All success and
accomplishments in the family will be viewed
by the people as the success of men in the
society; in addition a man is also positioned as a
good role model for the family and the social
114
115
Dalam pergaulan kaum laki-laki, rokok adalah simbol
kelelakian dan dianggap mampu mempererat
hubungan antar laki-laki dalam senda gurau obrolan
sehari-hari
The transvestite community has spread in almost all
parts of Indonesia. These groups of men are not
considered as true men because of their behavior,
attribute and sexual orientation that are different to
men in general. Most cases revolving around the
lives of transvestite, relates with negative stigma
and abuse from the society.
In male socialization, cigarettes become a symbol of
manhood and are able to support relations between
men when hanging around.
Komunitas waria telah tersebar hampir di suluruh
Indonesia. Kelompok laki-laki jenis ini dianggap
bukan laki-laki sejati karena perilaku, atribut dan
orientasi seksualnya yang berbeda dari laki-laki
pada umumnya. Pada kebanyakan kasus seputar
kehidupan waria, mereka banyak mendapat stigma
buruk dan pelecehan dari masyarakat
Kaum laki-laki diposisikan sebagai penjem-
batan antara keluarga dan masyarakat. Segala
kesuksesan dan keberhasilan dalam keluarga
akan dipandang sebagai keberhasilan laki-laki
oleh masyarakat, disamping itu seorang laki-
laki juga diposisikan sebagi figur panutan baik
dalam keluarga maupun lingkungan masya-
rakat. Hal itu menyebabkan segala tindakan
laki-laki akan banyak mendapat sorotan oleh
masyarakat sehingga secara tidak sadar, hal ini
menimbulkan suatu beban tersendiri.
Dalam diskusi ini, keseluruhan subjek lebih
banyak memberikan penjelasan-penjelasan
yang bersifat moralitas yang mengandung
unsur filosofis hidup khas budaya Jawa
sekaligus menunjukkan bahwa para subjek
sangat bersikap normatif dan idealis. Hal ini
juga menunjukkan bahwa kepatuhan dan
penghormatan mereka pada norma-norma
kelompok sangat terlihat. Penjelasan yang
diberikan antara subjek satu dengan yang lain
sangat mirip sekali. Tampak bahwa ada usaha
untuk saling menyesuaikan ketika akan
berkomentar sehingga jarang sekali adanya
pendapat yang terlihat mencolok. Temuan
tersebut sesuai dengan yang dikemukakan oleh
Suseno (2001) bahwa masyarakat Jawa sangat
tunduk pada tekanan-tekanan lingkungan
sosial. Pada setiap individu melekat berbagai
identitas, tidak hanya identitas personal yang
environment. This can also cause all actions of
men to gain wide attention from the society and
would unnoticeably create a burden for them.
Within this discussion, all the subjects gave
explanations that are morally righteous
containing elements of life philosophy which
are distinct of Javanese culture. This
demonstrates how the subjects are strongly
normative and idealist. It also indicates their
strong obedience and respect towards group
norms. The explanations that are given between
one subject and the other are similar. There
seems to be an effort to adjust with one another
therefore not leaving much room for debate.
Such events are consistent with Suseno (2001)
who explained that Javanese people are
obedient towards social pressure. Each
individual owns numerous identities and not
only the personal identity that differentiates
one person with another. Some of these
identities include their social identity, as a man,
head of the household, village head, or their
ethnic or regional identity. This identity
contains feelings of togetherness with the
group, it implies emotional attachment and
values of the individual towards the group.
Within the person's social identity, the
individual is encouraged to achieve a positive
identity from the group. And therefore the
116
membedakan individu satu dengan yang
lainnya. Setiap individu akan memiliki
identitas lain yakni identitas sosial, sebagai
laki-laki, kepala rumah tangga, lurah, atau
identitas etnis dan daerah. Identitas ini
mengandung adanya perasaan memiliki suatu
kelompok sosial bersama, melibatkan emosi
dan nilai-nilai pada diri individu terhadap
kelompok tersebut. Dalam identitas sosial,
individu dipacu untuk meraih identitas yang
positif dari kelompoknya. Dan dengan
demikian, hal ini juga akan meningkatkan
harga diri individu sebagai anggota
kelompok sehingga penghormatan terhadap
norma kelompok adalah hal yang mutlak
untuk dilakukan.
Khusus pada kaum laki-laki dalam penelitian
ini, perilaku para subjek dalam diskusi
kelompok yang terlihat mempunyai konfor-
mitas yang tinggi, peneliti melihat lebih karena
peran sebagai kepala rumah tangga yang harus
berfungsi sebagai delegasi atau penghubung
antara lingkungan keluarga dengan lingku-
ngan sosial. Di samping itu juga untuk menjaga
keseimbangan keduanya agar tampak bahwa
keluarga mereka sejauh ini tetap mengikuti
aturan dan norma sosial yang berlaku. Hal ini
sangat berbeda ketika pada sesi wawancara
mendalam dimana subjek terlihat lebih leluasa
(self-esteem)
person will experience an enhanced self esteem
as a group member. Respect for group norms
becomes imperative to achieve this enhanced
self esteem.
Specifically for the men in this study, a high
level of conformity is displayed by the subjects
in the discussion. The researcher views that
these findings are due to the roles as the head of
the household who function as a delegation or
bridge between the family with society. In
addition, such behaviors are performed to
maintain balance these two environments
therefore making the family appear to conform
with the rules and social norms that apply in the
community. This was in contrast with the in-
117
Men are positioned as bridges
between the family and the
society. All success and
accomplishments in the family
will be viewed by the people as
the success of men in the
society; in addition a man is also
positioned as a good role model
for the family and the social
environment
menceritakan tentang dirinya dan perasaan-
perasaan yang dialami. Mereka sangat terbuka
sekali dan tampak bersemangat untuk
menceritakan tentang diri dan keluarganya,
pengalaman hidupnya berikut kisah-kisah
unik yang dialami yang belum pernah
diketahui oleh keluarganya sendir i .
Tampaknya ada kebutuhan dari para subjek
untuk didengarkan dan diberikan suatu
apresiasi terhadap pengalaman hidup mereka.
Ada keinginan untuk lepas dari beberapa
prasyarat kelelakian yang harus selalu tampil
bijaksana dan sempurna dalam lingkungan
masyarakat.
Keseluruhan subjek mengatakan bahwa peran
laki-laki sebagai kepala rumah tangga
ditunjukkan dengan kemampuan mencari
penghasilan materi untuk kebutuhan keluarga,
terutama kebutuhan dasar seperti sandang,
pangan dan papan. Mampu melindungi istri
dan anak dari segala mara bahaya, termasuk
menjaga kehormatan istri dan keluarga serta
menjamin keselamatannya, tanggap dan
cekatan ketika terjadi sesuatu hal yang
mengancam keselamatan keluarga. Memberi-
kan pendidikan pada anak dengan memberi-
kan contoh perilaku yang baik, mampu
mengetahui dan memahami keinginan istri dan
2. Peran dan tanggung jawab ideal sebagai
laki-laki
depth interviews when the subjects were more
open about talking about themselves and the
feelings they experienced. They were highly
open and enthusiastic to talk about themselves
and their family, life experiences and the unique
experiences that they only disclosed to the
researcher. There seems to be a need from the
subjects to be listened to and given appreciation
towards their experience. There is a desire to
release from some of the criteria of being a true
man who must always act wisely and with
perfection in the community.
All of the subjects stated that the role of the head
of the family is supported by their abilities to
support the family needs, primarily to fulfill
basic needs for example a provide a place to live
in, food, and clothing, able to protect the wife
and child from danger, including the wife's
family's respect as well as their safety. The head
of the family must also be responsive and agile
when the family faces a threat, he must educate
the child by giving positive examples, able to
know and understand the wishes of the wife
and able to act fairly to all of the family
members in whatever circumstances. All of
these actions indicate a man's honor.
The explanations above demonstrate that there
remains a desire to fulfill the role as the primary
2. Ideal roles and responsibilities of a man
118
anak serta mampu bersikap adil terhadap
seluruh anggota keluarga kapan pun dan
apapun yang akan terjadi. Di situlah letak harga
diri seorang laki-laki.
Penjelasan tersebut menunjukkan bahwa ada
keinginan untuk tetap berperan sebagai figur
utama dalam keluarga dalam keadaan dan
kondisi apapun. Ada pula kebutuhan untuk
mengaktualisasikan diri dengan menunjukkan
eksistensi sebagai figur pelindung dan
pengayom. Hal ini sesuai dengan ciri khas dari
sistem patriarki yang menganggap bahwa laki-
laki diproyeksikan sebagai figur utama dan
penentu segalanya, lahir dan batin kebahagia-
an dalam keluarga. Maka terlihat sekali
keberagaman peran laki-laki sehingga para
subjek menganggap bahwa tanggung jawab
laki-laki lebih berat dibandingkan perempuan.
Rasa berat tersebut salah satunya adalah karena
laki-laki sebagai figur yang akan paling banyak
disorot oleh masyarakat tentang keberhasilan
dan kegagalan suatu keluarga. Jika keluarga
mengalami kegagalan misalnya dalam hal
pendidikan anak atau ketika anak bertingkah
laku kurang baik, maka yang akan banyak
disorot adalah laki-laki sebagai kepala
keluarga. Begitu juga ketika seorang ayah
berperilaku menyimpang dari norma-norma
sosial di masyarakat maka dianggap akan
berakibat buruk terhadap anak, misalnya anak
akan mendapat musibah berupa kecelakaan.
figure in the family in whatever condition.
There are also needs for self actualization by
displaying themselves as a protective figure.
This is cons is tent with the typica l
characteristics of a patriarchy system which
regards men as a projection of the main figure
and the main decider of all matters, from the
physical and spiritual aspects of the family. The
various roles of the men are apparent and this is
why the men feel that the responsibilities are
larger compared to women. One of the reasons
for this burden is because men are judged by the
society on the success and failure of the family.
For example if a family is judged to fail in the
child's education or when the child acts
negatively, it is the men who are blamed
because he is the head of the family. This also
applies when a man acts negatively and
deviates from social norms, therefore he is
deemed to bring negative consequences
towards his child, for example the child might
experience misfortune or an accident. The good
name of the man also influences the status of the
other family members in the society. For
example when the husband becomes a village
head, this would automatically make the wife
have an elevated status as the Mrs. village head,
and she would be called by this name by the
surrounding community.
119
Nama baik laki-laki juga dipandang sangat
mempengaruhi kedudukan anggota keluarga
yang lain di masyarakat. Jika suami menjadi
lurah misalnya, maka otomatis sang istri akan
terangkat juga derajatnya dan akan dipanggil
bu lurah oleh masyarakat sekitar.
Dalam diskusi ini juga terlihat bahwa subjek
yang mapan secara ekonomi dan mempunyai
pekerjaan tetap, mempunyai anak serta
berpendidikan tinggi tampak percaya diri
dalam diskusi yang ditunjukkan dengan
keaktifannya dan keberaniannya dalam
menyampaikan pendapat, sebaliknya subjek
yang sudah berkeluarga dan mempunyai anak
namun belum mapan secara ekonomi dan tidak
mempunyai pekerjaan tetap tampak kurang
percaya diri, pasif dan terkesan malu-malu
ketika akan berkomentar. Tingkat usia dan
lama pernikahan juga mempengaruhi
keaktifan para subjek dalam diskusi. Subjek
yang lebih muda usia mental dan usia
pernikahannya akan menunjukkan sikap dan
pendapat yang cenderung menyesuaikan
dengan pendapat para subjek yang lebih tua
usia mental dan usia pernikahannya.
Adakalanya laki-laki adalah sosok yang selalu
ingin menang sendiri dalam relasi rumah
tangga dibandingkan dengan perempuan,
misalnya ketika istri sakit biasanya masih
sanggup melakukan pekerjaan domestik,
In this discussion, subjects with sufficient
economic resources, holds a permanent job, and
has a child with high education are more self
confident in the discussion. This is proven by
their active participation and courage to deliver
their opinions. Conversely, subjects with a
family and a child but have limited economic
resources, and does not have a permanent job
seem to be less confident, passive and seem to
be shy to make comments. Age levels and the
length of marriage also influence the subjects'
activeness in the discussion. The subjects with
the younger mental age and the shorter
120
and this is why the men feel that
the responsibilities are larger
compared to women. One of the
reasons for this burden is
because men are judged by the
society on the success and
failure of the family
sedangkan laki-laki tidak akan mau seperti itu
dan biasanya akan tidur. Selain itu, laki-laki
adalah seseorang yang memiliki kebebasan
penuh untuk melakukan apa saja yang
diinginkan tanpa harus sepengetahuan kelu-
arga, misalnya main dengan teman, minum-
minuman keras dan memilih bentuk aktivitas
yang diinginkan. Sikap tersebut dianggap
sesuatu yang lumrah bagi seorang laki-laki. Hal
tersebut menunjukkan bahwa lingkungan
mempunyai posisi tawar yang tinggi dalam
kehidupan laki-laki jika dibandingkan dengan
keluarga. Terdapat sikap yang tidak konsisten,
antara diri yang diidealkan sebagai sosok laki-
laki bijaksana dan pengayom yang selalu
mengutamakan kepentingan keluarga dengan
sikap egois yang cenderung mementingkan
keinginan diri sendiri. Hal ini menunjukkan
adanya kesenjangan antara nilai-nilai kebijak-
sanaan yang dipahami dengan tindakan nyata
yang dilakukan. Sikap yang tidak konsisten
tersebut bukanlah sesuatu yang tidak disadari
ataupun suatu bentuk ketidaksengajaan,
namun merupakan bentuk pilihan sikap yang
disadari sepenuhnya oleh para subjek. Kesen-
jangan tersebut menunjukkan bahwa ada-
kalanya norma-norma kebijaksanaan ideal
sorang laki-laki dalam kehidupan berma-
syarakat tidak mampu dilaksanakan secara
konsisten.
marriage length will display an attitude and
opinion that adjusts with the opinions of the
subjects' with an older mental age and longer
marriage.
There are sometimes men who always want to
win for themselves in family matters, for
example when the wife is sick, she is still able to
perform her domestic duties, while men would
sleep if they faced such conditions. Moreover,
men have full freedom to do whatever they
please without notifying their family, for
example playing around with their friends,
drinking alcohol, and choosing activities they
like. This attitude is considered normal for men.
This indicates that the environment has a
higher bargaining position in the lives of men
compared to his family. However there seems to
be an inconsistency between the ideal self as a
wise and protective man that always prioritizes
the needs of the family with his selfish attitudes
that always prioritizes his own interests. This
indicates a gap between wise values and the
actions that are displayed. This inconsistent
attitude is not unintentional; however the
subject fully realizes the actions that he
commits. This gap reflects that ideal norms of a
man in the society are sometimes not applied
consistently.
121
122
Citra laki-laki sebagai satu-
satunya tulang punggung
keluarga yang harus
menghidupi seluruh keluarga
besar terkadang menimbulkan
stres dan beban tersendiri. Di
sisi lain, ketidak mampuan
dalam mengelola stres dan
permasalahan psikologis yang
lain menyebabkan laki-laki
jatuh pada perilaku agresif
dalam rumah tangga.
The images of men as the sole
backbone of the family that
must fulfill the needs of the
whole family sometimes result
in stress and burden. On the
other hand, the inability to
manage stress along with other
psychological problems cause
men to fall prey to aggressive
behaviors in the family.
C. Peran dan tanggung jawab laki-laki
dalam keluarga
1. Pengasuhan anak
Pola asuh sehari-hari yang banyak digunakan
oleh para subjek adalah dengan menempatkan
diri sendiri sebagi figur panutan atau suri
tauladan bagi anak-anak yaitu dengan
menunjukkan hal-hal yang benar dan selalu
memperbaiki akhlak diri sendiri. Disamping
itu, bentuk pengasuhan lainnya adalah dengan
(nasehat) tentang nilai-nilai moral, etika
pergaulan dan filosofi hidup yang berasal dari
ajaran agama dan budaya Jawa, yaitu
bagaimana seorang anak harus berbakti dan
bersikap kepada orang tua dan masyarakat
sekitar. Dua orang subjek mengatakan bahwa
mendidik anak bukan hanya menjadi tanggung
jawab ibu, namun juga ayah walaupun
biasanya anak-anak lebih terbuka dan lebih
merasa tidak takut (bebas) pada ibu jika
dibandingkan dengan ayah. Subjek juga
menekankan agar anak-anak lebih menguta-
makan perintah ibu terlebih dahulu dibanding-
kan ayah. Temuan tersebut menunjukkan
bahwa hubungan antara ayah dan anak lebih
bersifat hubungan normatif sehingga kurang
sentuhan kedekatan emosional jika dibanding-
kan dengan ibu. Maka tak heran jika anak lebih
merasa terbuka dengan ibu. Gaya pola asuh
ayah yang sangat normatif ini ada hubungan-
pitutur
C. Roles and responsibilities of a man in the
family
1. Nurturing children
The daily nurturing conducted by most of the
subjects are done by placing themselves as a
role model for their children by showing the
children the right things to do and always
improving a person's moral state of mind. In
addition, other forms of nurturing include
(advice) about moral values,
socialization ethics and life philosophy
originating from religious teachings and
Javanese culture, related to how a child must be
devoted and act positively towards their
parents and the surrounding environment. Two
subjects stated that educating the child is not
merely the responsibility of the mother, but it is
also the responsibility of the father although the
child is more open and not afraid of the mother
compared to the father. The findings indicate
that the father-child relationship is marked
with a normative relationship and therefore
lacking emotional closeness when compared to
the mother. This is why it is not surprising for
the child to be more open with the mother. This
normative nurturing pattern relates with the
man's mindset which attempts to maintain an
image of a rational and wise person in front of
the family by giving lots of advice and little
affection. Sometimes this makes the child more
pitutur
123
nya dengan pola pikir laki-laki yang berusaha
untuk tetap menjaga kesan ( ) rasional dan
kewibawaannya dihadapan keluarga dengan
berusaha memberikan banyak nasehat dan
sedikit sentuhan afektif yang penuh kehanga-
tan serta keakraban. Hal ini ada kalanya
menyebabkan anak menjadi patuh terhadap
ayah namun lebih karena merasa takut dan
bukan karena segan atau hormat. Penelitian
lain menyebutkan, keyakinan bahwa anak
adalah urusan ibu masih menjadi kecenderu-
ngan umum. Ayah cenderung mengambil jarak
secara emosional dengan anak dan sibuk
dengan dunia di luar keluarga sehingga sedikit
sekali bersinggu-ngan dengan anak (Andayani,
2000). Hal ini terutama bagi ayah yang masih
mengejar identitas diri kelelakiannya terutama
dalam dunia kerja dan lingkungan sosial,
sebagai ayah yang tidak terlibat dalam urusan
pengasuhan anak serta jauh secara emosional
dengan anak. Dengan kata lain, ayah menjadi
figur asing bagi anak sehingga anak tidak
berani atau enggan berurusan dekat dengan
ayah mereka kecuali hanya sebagai formalitas.
Ada perbedaan pola asuh antara anak laki-laki
dan perempuan. Pada anak perempuan lebih
ditekankan pada penanaman norma-norma
kesopanan dan susila serta kepantasan dalam
bergaul. Pada anak laki-laki lebih pada etika
pergaulan sosial yang berhubungan dengan
image
obedient towards the father, not because of
respect but rather because of fear. Other studies
indicate that generally the mother takes care of
the child's matters. The father tends to place an
emotional distance with the child and is too
busy with the issues beyond the family and
therefore spends little time with the child
(Andayani, 2000). This is because the father
remains to pursue his self identity as a man in
the work and social environment. As a father he
does not deal with matters of nurturing the
child and is emotionally distant with the child.
In other words, the father is a foreign figure to
the child and therefore the child is not brave
enough or reluctant to be close with the father,
unless for reasons of formality.
There are different nurturing patterns for male
and female children. For the female children,
they are more likely to be given values of
politeness and appropriateness in socializing.
Male children are more likely to be given values
of socialization relating with loyalty towards a
group and masculine values, namely physical
strength and competitiveness. This is done by
encouraging the children to be active in solving
a problem and always being in the forefront to
socialize with the peer group. This model of
nurturing is indicative from the subjects'
explanation concerning the first group stating
that when a boy faces a problem with a friend
124
loyalitas pada kelompok dan nilai-nilai masku-
linitas yaitu kekuatan fisik dan persaingan
( ). Hal ini dilakukan dengan cara
mendorong anak laki-laki untuk selalu aktif
bertindak dalam setiap permasalahan yang
dihadapi serta selalu menjadi yang terdepan
dalam pergaulan teman sebayanya. Model pola
asuh tersebut ditunjukkan dengan penjelasan
para subjek pada kelompok pertama yang
mengatakan, jika anak laki-laki mempunyai
permasalahan dengan temannya yang juga
berjenis kelamin laki-laki maka alternatif
penyelesaian yang terakhir adalah dengan
perlawanan menggunakan fisik yang sangat
khas ”laki-laki”. Para subjek mengatakan jika
posisi benar maka harus melawan dengan cara
laki-laki (penyelesaian dengan fisik). Hal ini
senada dengan hasil penelitian Gottman dan
DeClaire (1997) yang menyebutkan bahwa cara
seorang ayah berhubungan dengan anaknya
berbeda dengan cara ibu. Ayah lebih
memanfaatkan sisi kelelakiannya dalam
permainan yang cenderung lebih bersifat fisik
dan melibatkan gerak motorik kasar. Hal ini
akan memberikan pengalaman emosional yang
berbeda pada anak dibandingkan ketika
berinteraksi dengan ibu yang cenderung lebih
bersifat lembut dengan mengeksplorasi sisi-sisi
afektif serta kegiatan yang cenderung lebih
intelektual.
competitiveness
that is also a boy therefore the final alternative
to solve the problem is to fight back using
physical strength which is very distinctive of
“men”. The subjects explain that if they were
right they have to fight against the boy (settling
matters by physical means). This is consistent
with a study from Gottman and DeClaire (1997)
that stated that fathers treats their child
differently compared to mothers. The father is
more likely to use his manhood in playing
which tends to be physical and involves rough
motoric movement. In contrast, the interaction
of the child with the mother tends to be gentle
and explores the affective sides of things and
involves activities that are more intellectual.
In several areas of Indonesia, nurturing by
distinguishing gender, in terms of different
nurturing patterns towards boys and girls, are
often found. Based on the study of Tilker, a
researcher from New York, from a small age,
the girl is conditioned to avoid acting
aggressively because of the norms of the society
(cultural factors). From birth, a girl was
psychologically regarded as more able to
control their emotions, meaning that the more
they are pressured by their parents they would
become more obedient or they would only cry
or isolate themselves in their room. Conversely,
for boys it is normal for them to act aggressively.
(nurturing and gender (http://www.perem-
puan.com/index.php?catid=65&screen=14).
125
Pada banyak wilayah di Indonesia, pola asuh
dengan mengedepankan pembedaan gender,
yakni pembedaan pola asuh terhadap anak
perempuan dan laki-laki masih kerap
dijumpai. Berdasarkan penelitian Tilker,
peneliti dari New York, sejak kecil anak
perempuan dikondisikan untuk tidak
berperilaku agresif karena alasan norma dalam
masyarakat (faktor budaya). Semenjak lahir,
anak perempuan secara psikologis dianggap
lebih dapat menahan emosi, artinya semakin
ditekan orang tua maka akan semakin menurut
atau hanya menangis dan mengurung diri
dalam kamar. Sebaliknya, anak laki-laki
dianggap biasa untuk bertindak agresif. (pola
asuh dan gender (http://www.perempuan.com
/ index.php?catid=65&screen=14).
Beberapa penjelasan para subjek diatas
menunjukkan bahwa persepsi terhadap
kekuatan fisik laki-laki adakalanya terbawa
hingga seorang laki-laki tumbuh dewasa
hingga ia berkeluarga dan mempunyai anak.
Hal ini tercermin dalam pola asuh terhadap
anak-anaknya khususnya anak laki-laki.
Penyelesaian secara fisik ketika sudah tidak
menemukan jalan keluar yang baik cukup
terlihat dalam penelitian ini. Hal ini lebih
menyangkut persoalan harga diri dan gengsi
sebagai kaum laki-laki terutama perihal
menang – kalah dalam suatu urusan meskipun
A number of the subjects' explanations above
indicate that the perception towards the
physical strength of men are sometimes carried
over to when a man grows to an adult and has
his own family and child. Settling matters using
physical means when other alternatives are
unsuccessful is evident in this study. This is
related with self esteem and the honor as a man,
particularly related with winning and losing to
his wife in settling conflicts although not
necessarily leading to violence. This indicates
the inheritance of masculinity values through
the father-child relations which confirms that
they have physical strength. These explana-
tions are in line with Lamb (cited in Santrock,
2002) that nurturing patterns are often
practiced by the father towards his male child
who tends to be focused on adjusting to social
126
indicate that the perception
towards the physical
strength of men are
sometimes carried over to
when a man grows to an
adult and has his own family
and child
127
Laki-laki dapat menunjukkan sisi
afektif nya dalam berinteraksi
dengan anak sehingga
perkembangan emosi anak dapat
tercukupi baik dari ayah dan ibu.
Pada sebagian kultur budaya di
Indonesia, laki-laki yang mengasuh
anak adalah hal yang tidak biasa
karena dianggap tugas istri.
Men are able to display their affection
when interacting with their child.
This would allow a balanced
fulfillment of the child’s emotional
development received from the father
and mother. In some cultures in
Indonesia, men nurturing children is
uncommon since it remains to be
viewed as the task of the wife.
tidak melulu melalui adu fisik. Hal ini
menunjukkan adanya pewarisan nilai-nilai
maskulinitas melalui hubungan ayah – anak
dimana anak laki-laki lebih ditegaskan bahwa
mereka mempunyai kekuatan fisik yang kuat.
Penjelasan tersebut sesuai dengan pendapat
Lamb (dalam Santrock, 2002) bahwa pola asuh
yang sering dilakukan oleh ayah terhadap anak
laki-laki cenderung pada penyesuaian anak
dengan norma-norma sosial yang ada
dimasyarakat dan dalam hal ini adalah norma
maskulinitas. Lebih lanjut lagi, hal tersebut
sekaligus menunjukkan bahwa konsep diri
awal yang terbentuk pada anak laki-laki
melalui pola interaksi ayah – anak lebih
menekankan pada kekuatan fisik kendatipun
bersamaan dengan penanaman nilai-nilai
moral.
Sesuai dengan sistem budaya patriarki, pola
hubungan hubungan suami isteri dalam
keluarga adalah laki-laki sebagai penentu
kebijakan serta inspirator bagi perkembangan
keluarga ke depan, sedangkan istri mempunyai
kedudukan sebagai pelaksana hasil kebijakan.
Hubungan serasi dan hamonis serta dialog
antara suami dan isteri dimaknai sebagai
hubungan pengambil kebijakan dan pelaksana
2. Relasi suami – istri
norms in the society and in this context the
norm of masculinity. Furthermore, this also
demonstrates that the initial self concept that is
formed on boys through father-child inter-
action is more focused on physical strength
although this is done together with moral
values.
In accordance with the patriarchy cultural
system, the husband-wife relationship pattern
in the family is marked by the man's role in
making the decisions in the family and the
motivator in developing the family in the
future, while the wife has the main role as the
executor of the decisions. A harmonious
relationship would be achieved through this
condition and dialogue between the wife and
husband occurs under the context of decision
2. Husband-wife relations
128
kebijakan. Jika pelaksana kebijakan mampu
melaksanakan segala keputusan dari penentu
kebijakan maka rumah tangga dianggap
harmonis dari sudut pandang laki-laki.
Maka wajar jika dilihat dari pembagian peran
di dalam rumah, peran istri lebih dominan
dalam keluarga, lebih banyak bergerak dalam
urusan domestik yang bersifat detil seperti,
mengatur keuangan sehari-hari/bendahara
keluarga, kebutuhan fisik makan dan minum,
pendidikan dan pengasuhan anak sehari-hari.
Hasil temuan dalam penelitian ini mengung-
kapkan bahwa sebagian subjek tidak mengang-
gapnya sebagai masalah justru keterlibatan istri
dalam mencari nafkah akan meringankan
beban finansial. Namun subjek yang lainnya
menganggap isteri yang bekerja akan
melupakan pekerjaan pokonya yakni sebagai
ibu rumah tangga. Di Indonesia, perempuan
telah diberi peluang yang sama dengan laki-
laki di bidang pendidikan, namun persepsi
masyarakat terhadap perempuan tidak
mengalami perubahan yang berarti. Masih
kuatnya anggapan bahwa pendidikan pada
perempuan tujuannya adalah agar ia lebih
mampu mendidik anak-anaknya. Perempuan
tetap saja dianggap . Persepsi
demikian tidak hanya dianut kalangan awam,
juga cendekiawan, dan yang lebih mempriha-
tinkan pemerintah juga menjustifikasi persepsi
the second sex
maker and decision executor. Should the
decision executor be able to perform all
decisions from the decision maker therefore the
man would see this as a harmonious
relationship.
This is why it is common to see that from the
division of roles in the family, the wife has
dominant roles in the family, works more for
detailed domestic affairs for example,
regulating the daily finance/ family treasurer,
manages physical needs for food and drinks,
education and daily nurturing of the child. The
findings in the study demonstrate that some of
the subjects do not consider this as a problem
and that the involvement of the wife in seeking
an earning may also reduce financial burdens.
However some of the other subjects view that
when the wives have their own jobs this would
distract their main role as a housewife. In
Indonesia, women have been granted the same
opportunities as men in the field of education,
however the society's perception of women
does not experience considerable change. There
remains a strong presumption that the purpose
of giving access of education to women is to
enhance their abilities to educate their children.
Women remain to be considered as the second
sex. This perception is not only held by lay
people but also scholars, and what is more
concerning is that the government justifies this
49 129
tersebut dalam kebijakan pembangunan, yang
diungkapkan dalam panca tugas perempuan:
sebagai istri dan pendamping suami, sebagai
pendidik dan pembina generasi muda, sebagai
pekerja yang menambah penghasilan negara
dan sebagai anggota organisasi masyarakat,
khususnya organisasi perempuan dan
organisasi sosial (Dzuhayatin, 1997). Tak
terungkap tegas apa peran-peran seorang laki-
laki. Dengan bermunculannya gerakan-
gerakan serta kajian-kajian perempuan, telah
memberikan kesempatan bagi kaum
perempuan untuk bisa tampil di dunia yang
secara tradisional dianggap dunia laki-laki.
Berubahnya peran-peran perempuan ini,
seharusnya membawa konsekuensi berubah
pula peran-peran laki-laki, sekaligus tatanan
sosial yang ada. Jika laki-laki sebagai bagian
dari masyarakat, tidak ikut berubah, maka
permasalahan akan timbul. Dalam skala
keluarga misalnya, dengan bekerjanya seorang
ibu, maka ia pun berperan sebagai pemberi
nafkah keluarga, yang tentunya mempenga-
ruhi ketersediaan waktu dan tenaga ibu untuk
berperan di dalam pengaturan rumah tangga
serta pengasuhan anak. Maka kaum bapak
diharapkan juga dapat mengisi peran-peran
seperti pengasuhan anak dan pekerjaan
keluarga (domestik). Namun berbagai kondisi
yang tampil, menunjukkan hal yang berbeda,
perempuan diperkenankan untuk bekerja, baik
perception in policies of development, of which
is expressed in the five roles of women (
): as a wife and the husband's
assistant, as an educator and the guide for the
young generation, as a worker that adds the
state income and as a member of society
organizations, particularly women and social
organizations (Dzuhayatin, 1997). The roles of
men are not explicitly mentioned. With the rise
of movements and studies on women, this has
given the opportunity for women to show
themselves in the world of which was
traditionally considered as a man's world. The
changing roles of women should imply the
changing roles of men, and the social structures
that exist. If men as a part of the society do not
change, therefore problems would emerge. In
the family scale for example, with a working
mother, she would play the role in seeking an
earning which would influence her time
panca
tugas perempuan
130
In this context studies on Male
Psychology is highly relevant,
which would include redefining
masculinity and reevaluating
gender issues from the male
world in order to enable a
balance in midst of this era of
change
131
availability and energy in managing domestic
affairs and nurturing her children. As a
consequence the father is expected to fulfill
these roles for example nurturing the child and
managing domestic affairs. However,
numerous conditions emerge, women are
permitted to work, for economic reasons and
self development, however, they remain bear
responsibility in the domestic domain and
nurturing the child. This condition referring to
dual roles does not involve the role of men to
make a balance, and tends to lead to numerous
problems. In this context studies on Male
Psychology is highly relevant, which would
inc lude redef in ing mascul in i ty and
reevaluating gender issues from the male world
in order to enable a balance in midst of this era
of change. If we study gender issues in
Indonesia, to this day, a hegemony of
perception concerning women as housewives
remains strongly rooted, therefore the
government and mass media continue to speak
of dual roles, meanwhile according to Budiman
(cited in Nauly, 2002) when a women must
divide her life into two, one in the domestic
sector and one in the public sector, he thinks
that men will channel all his full attention to the
public sector and will always win competition
in the workforce market.
dengan alasan ekonomi, maupun alasan
pengembangan diri, namun di sisi lain, ia tetap
dituntut bertanggung jawab penuh di dunia
rumah tangga serta pengasuhan anak. Kondisi
yang kerap diistilahkan sebagai peran ganda
ini, tanpa melibatkan peran serta laki-laki
untuk membuat keseimbangan, cenderung
akan menimbulkan berbagai permasalahan. Di
sini tampak relevannya kajian-kajian Psikologi
Laki-laki, diantaranya dengan mendefinisikan
kembali maskulinitas, meninjau kembali
persoalan gender ini dari dunia laki-laki,
sehingga mampu menampilkan keseimbangan
di tengah mulai tampaknya perubahan. Bila
kita tinjau permasalahan gender di Indonesia,
sampai sekarang hegemoni pandangan
mengenai perempuan sebagai ibu rumah
tangga masih teramat kuat, sehingga baik
pemerintah maupun media massa terus-
menerus berbicara tentang peran ganda,
padahal menurut Budiman (dalam Nauly,
2002) jika perempuan masih harus membagi
hidupnya menjadi dua, satu di sektor domestik
dan satu lagi di sektor publik, maka
menurutnya laki-laki yang mencurahkan
perhatian sepenuhnya pada sektor publik akan
selalu memenangkan persaingan di pasaran
tenaga kerja.
Basically, division of roles between
domestic roles in the family between
husband and wife can achieve balance
and equality without the standard
evaluation that women are born as
domestic workers and men do not
deserve to perform domestic work.
Pada dasarnya, pembagian peran
domestik dalam rumah tangga antara
suami dan istri dapat seimbang dan
setara tanpa harus ada pembakuan
peran bahwa perempuan terlahir
sebagai pekerja domestik dan laki-laki
tidak pantas melakukan pekerjaan
domestik.
132
D. Faktor-faktor yang mempengaruhi
konsep diri laki-laki
1. Pengaruh lingkungan
Lingkungan mempunyai andil dalam
membentuk sistem nilai laki-laki termasuk
tingkat pendidikan dan kultur budaya lokal
serta pergaulan. Lingkungan mempunyai
aturan tak tertulis yang mengatur segala
perilaku laki-laki di masyarakat. Beberapa
aturan tak tertulis tersebut adalah selalu
mengedepankan kepentingan umum, ramah
tamah dan tenggang rasa, bersikap baik dengan
keluarga dan tetangga. Jika laki-laki sebagai
kepala keluarga mempunyai perilaku yang
buruk di masyarakat dianggap akan membawa
pengaruh pada anggota keluarga yang lain,
misalnya anak akan mendapat celaka. Hal ini
menunjukkan bahwa laki-laki merupakan
sosok perwakilan atau delegasi keluarga dalam
pergaulan sosial. Keseluruhan subjek dalam
tiga kelompok yang diteliti mengatakan bahwa
harga diri adalah sesuatu yang penting
dipertahankan bagi seorang laki-laki dalam
pergaulan sosial terutama jika menyangkut
nama baik keluarga. Apabila ada permasala-
han yang menyangkut harga diri, maka
penyelesaian ala laki-laki yaitu menggunakan
fisik dianggap solusi yang paling sesuai dengan
karakter laki-laki. Sebagian besar subjek
mengatakan bahwa pola asuh dari orang tua,
D. Factors that influence the self concept of
men
1. Environmental influences
The environment contributes in forming the
value systems of men including educational
level, local culture as well as socialization. The
environment contains unwritten laws that
regulate the behaviors of men in the society.
Some of the unwritten laws include the priority
of public interests, hospitality and empathy,
acting positively to the family and neighbors. If
the man, as the head of the family, displays
negative behaviors in the society, this would be
lead to negative influences to other members of
the family for example the child may experience
misfortune. This indicates that men are
delegates of the family in the social
environment. All the subjects in the three
groups that were studied stated that honor is
something that is very important for them to
maintain for a man in socialization especially
when pertaining to the good name of the family.
If there was a problem related with honor,
therefore men would resort to physical means
as the most appropriate way to solve the
problem. Most of the subjects state that
nurturing patterns from parents, socialization
and educational level also determines the man's
value system. This also demonstrates that the
concept of manhood is strongly influenced by
133
pergaulan dan tingkat pendidikan juga
menentukan sistem nilai laki-laki. Hal ini juga
sekaligus menunjukkan bahwa konsep
kelelakian sangat dipengaruhi oleh lingkungan
dan bukan semata-mata ”terberi” ketika
seorang bayi laki-laki lahir hingga tumbuh
menjadi manusia dewasa dan bukan pula
semata-mata ditentukan oleh faktor biologis.
Lebih dari itu, identitas kelelakian sangat
dipengaruhi oleh harapan-harapan lingkungan
sekitar terhadap seorang laki-laki dalam
dinamika kehidupannya sehari -har i .
Mekanisme ini berjalan dengan pemberian
(pengukuh/hadiah) berupa penerimaan
oleh masyarakat jika seorang laki-laki mampu
tampil sesuai dengan yang diharapkan dan
akan mendapatkan hukuman berupa
penolakkan dan label negatif jika seorang laki-
laki berperilaku tidak sesuai dengan yang
diharapkan masyarakat (Connell dalam Allen,
2005). Sedangkan menurut Frieze (dalam
Nauly, 2002), yang menjelaskan peran budaya
pada perkembangan konsep diri laki-laki akan
berpengaruh pada peran gendernya sebagai
seorang laki-laki. Kondisi ini dimulai dengan
peran yang sifatnya wajib dijalankan oleh
seorang laiki-laki, selanjutnya melalui berbagai
alternatif, model budaya juga menyediakan
suatu daya dorong dalam skema kognitif
seseorang. Peran budaya ini dimulai dari
reward
the environment and not only “given” when a
man was born until he grows to become an
adult. It also clearly confirms that manhood is
not solely determined by biological factors.
Furthermore, the identity of manhood is
strongly influenced by expectations from the
surrounding environment . Fulf i l l ing
expectations from surroundings would act as a
reward for the man since he is accepted by the
society. In contrast, non-conformity would lead
to denial and negative labeling (Connell cited in
Allen, 2005). Meanwhile according to Frieze
(cited in Nauly, 2002), the role of culture
towards the self concept of men will influence
134
In Islam, men are the servants of
Allah that are given certain
strengths compared to women
and are expected to marry women
and able to protect and fulfill the
needs of the family. With regard to
worshipping God, men are the
leaders (imam) of the routine
prayers. Men are also perceived to
be born as leaders with by
executing the tasks in accordance
with their religious teachings
keluarga, dimana anak mengamati adanya
perbedaan perilaku pada keluarga antara ayah
dan ibu dan memasukkan informasi tersebut
kedalam kategorisasi sistem kognitifnya. Pada
skala yang lebih besar, struktur dan organisasi
sosial, misalnya struktur keluarga dalam suatu
masyarakat merupakan sumber data tempat
seorang anak mempergunakannya untuk
membentuk stereotip peran gender. Jadi aspek-
aspek budaya dari suatu masyarakat akan
mengarahkan perilaku anak melalui simbol-
simbol tertentu. Selain itu, media massa juga
menunjukkan kontribusi atas pembentukkan
norma-norma gender dengan memberikan
apresiasi bagi yang berperilaku sesuai dengan
norma gender umum dan memberikan
hukuman bagi yang melakukan penyimpa-
ngan dalam bentuk label negatif dalam suatu
pemberitaan. Teman sebaya anak-anak juga
menyingkapkan informasi budaya yang sama,
budaya akan mempengaruhi perilaku dari
model teman-teman sebaya. Budaya juga
mempengaruhi respon orang lain terhadap
anak dimana kemudian respon masyarakat
secara luas juga memberikan masukan sebagai
dasar pembentukan stereotip anak. Kesimpu-
lannya menurut Frieze (dalam Nauly, 1993) bila
anak berhadapan dengan pola-pola stimulus
sosial, ia akan membentuk suatu stereotip
gender yang cocok dengan stereotip yang ada
the gender roles of a man. This starts with some
specific roles that are obliged by men,
afterwards, through numerous alternatives, the
cultural model would push the cognitive
scheme of a person. The role of culture starts
from the family, whereby the child observes
different behaviors between father and mother.
This information is inserted in to a
categorization of the cognitive system. In a
larger scale, social structure and social
organizations in a society can become a source
of data for a child to form a stereotyping of
gender roles. Therefore the cultural aspects of a
society will direct the child's behavior through
specific symbols. In addition, the mass media
also contributes to forming gender norms by
appreciating behaviors that act consistently
with general gender norms and punishing
deviant behaviors by forming negative labels in
broadcasting particular news. The child's peer
group also opens up the same cultural
information; culture will influence the behavior
from the model of peers. Culture also influences
the response of other people towards the child
where the broad society's response will give
feedback as a basis of forming stereotypes of the
child. Frieze (cited in Nauly, 1993) concludes
that when the child faces a pattern of social
stimulus, he/she will form a particular
stereotype that is evident in the society.
135
pada masyarakat tersebut. namun bila terdapat
model yang tidak sesuai dengan pola stereotip
yang ada pada masyarakat tersebut, anak akan
memiliki alasan untuk bertanya tentang
kebenaran stereotip dan menyesuaikan skema
peran gender yang dimilikinya. Jadi dalam hal
ini budaya berinteraksi dengan perkembangan
kognitif dalam perolehan peran gender.
Melalui perilaku model-model dan melalui
respons-respons terhadap anak, budaya
memberikan masukan sensoris yang
menyajikan dasar dari stereotip gender pada
anak.
Keseluruhan idiom budaya yang diungkapkan
oleh para subjek menggambarkan laki-laki
adalah sebagai figur yang dominan dalam
keluarga serta memiliki sifat pengayom,
pemelihara serta bertanggungjawab penuh
terhadap kelangsungan hidup keluarga baik
dari sisi ekonomi, sosial dan psikologis.
Terdapat beberapa pendapat yang menarik dari
para subjek yang mengatakan bahwa dalam
ajaran agama Islam, perempuan dijadikan dari
tulang rusuk laki-laki walaupun subjek belum
mengetahui secara pasti kebenarannya. Subjek
juga memandang bahwa dalam ajaran agama,
laki-laki harus menjadi pemimpin. Semenjak
2. Pemahaman terhadap teks agama dan
idiom budaya
However, if there was a model that was
inconsistent with the patterns of the stereotype,
the child would have the opportunity to
question the validity of the stereotype and
therefore having to adjust the scheme of gender
roles that he currently holds. Therefore in this
context, culture interacts with the cognitive
development in receiving gender roles.
Through behavior models and through
responses towards the child, culture gives
sensory feedback that provides the basis of
gender stereotyping upon the child.
All cultural idioms that are expressed by the
subjects describe that men are a dominant
figure in the family and have the characteristics
of a protector and is fully responsible towards
the integrity of the family from the economic,
social and psychological aspects. There are a
number of interesting opinions among the
subjects that state that in Islamic teachings,
women are made from the ribs of men although
the subjects do not fully believe this. The
subjects also view that in religion, men must
become leaders. Since when they were born,
men were automatically leaders in the family
which holds a collective responsibility and
must have a firm stance, have a faith and belief.
2. Understanding towards religious texts and
cultural idioms
136
dilahirkan, laki-laki secara otomatis akan
menjadi pemimpin dalam keluarga yang
memiliki tanggung jawab kolektif sehingga
harus mempunyai pendirian yang tegas, punya
keimanan dan keyakinan. Sebagai seorang
pemimpin, laki-laki harus mampu memimpin
diri sendiri dan orang lain. Dalam Islam, laki-
laki adalah hamba Allah yang diberikan
kelebihan dibandingkan perempuan dan
diharapkan mengawini perempuan dan
mampu mengayomi serta menafkahi keluarga
dan dalam tata cara beribadah, laki-laki
menjadi pemimpin/imam sholat. Laki-laki juga
dipersepsikan terlahir sebagai pemimpin yang
mengemban suatu tugas tertentu sesuai ajaran
agamanya masing-masing. Pemahaman para
subjek tersebut sesuai dengan pernyataan
Kaufman (1999) yang mengatakan bahwa
dalam sistem patriarki, kaum laki-laki
mempunyai hak-hak istimewa yang didapat-
kan hanya semata-mata karena lahir dengan
jenis kelamin laki-laki. Hal tersebut kemudian
berpengaruh terhadap penciptaan dan
penginterpretasian teks-teks filosofi hidup, do-
ngeng dan mitos yang beredar termasuk pema-
haman terhadap ajaran agama yang menem-
patkan laki-laki mempunyai kedudukan yang
tinggi di masyarakat dan keluarga.
As a leader, men must be able to lead
themselves and lead other people. In Islam,
men are the servants of Allah that are given
certain strengths compared to women and are
expected to marry women and able to protect
and fulfill the needs of the family. With regard
to worshipping God, men are the leaders
(imam) of the routine prayers. Men are also
perceived to be born as leaders with by
executing the tasks in accordance with their
r e l i g i o u s t e a c h i n g s . T h e s u b j e c t ' s
understandings are in line with Kaufman (1999)
who suggests that in the patriarchy system,
men have privileges which are owned simply
because they were born as men. This influences
the creation and interpretation of life
philosophy texts, legends, and myths that are
present, including understanding towards
religious teachings that place men at a higher
status in the family and the society.
137
in the patriarchy system, men
have privileges which are
owned simply because they
were born as men
E. Perasaan seorang laki-laki
1. Perasaan sebagai laki-laki/Ayah
Ketika seseorang tercipta sebagai manusia
berjenis kelamin laki-laki adalah takdir yang
tidak dapat diubah dan disesali, kata-kata
tersebut terlontar dari salah satu subjek peneli-
tian. Rasa bangga sebagai laki-laki muncul ke-
tika berkumpul di lingkungan sosial karena
merasa lengkap sebagai seorang laki-laki yaitu
memiliki anak dan istri. Juga ketika mampu
menuruti keinginan anak dan istri serta ketika
rumah tangga berhasil dan mapan. Rasa bang-
ga bercampur puas muncul ketika mampu
menyekolahkan anak hingga lulus dengan kon-
disi ekonomi yang pas-pasan. Satu orang sub-
jek mengungkapkan bahwa harus bangga men-
jadi laki-laki. Kebanggaan tersebut dikarena-
kan keterdominanan laki-laki dalam keluarga
dan di lingkungan masyarakat misalnya, dalam
pendidikan anak di keluarga dan dalam segala
aktivitas laki-laki di lingkungan masyarakat
yang dinilai akan membawa pengaruh
terhadap nama baik keluarga. Di samping itu,
tanggungjawab laki-laki yang dirasa lebih berat
dibanding tanggungjawab seorang perem-
puan, merasa harus mengayomi perempuan,
namun juga merupakan kebanggaan tersen-
diri. Satu orang subjek menambahkan bahwa
rasa bangga sebagai laki-laki dikarenakan men-
dapat perlakukan istimewa dari orang tua
E. Feelings of a man
1. Feelings as a man/ Father
When a person is created as a man, it is a fate
that cannot be changed or regretted, these are
the words of one of the research subjects. The
pride of a man emerges when gathering with
the social environment because they feel
complete as a man because they have a wife and
child. And also when they are able to obey the
desires of the child and wife and when the
family succeeds and is wealthy. The pride is
combined with feelings of satisfaction when the
subjects are able to make their children go to
school until they graduate, although having
limited economic resources. One of the subjects
stated that they must be proud as men. This
pride is due to male dominance in the family
and the society. Men educate the child in the
family, and engage in social activities which
would influence the good name of the family. In
addition, the responsibility of men in the
society is perceived to be larger compared to the
women because they feel they must protect
women, however this also gives them a sense of
pride. One of the subjects added that the feeling
of the pride is as men because they receive
privileges from parents in childhood, namely
they were given full freedom. Sadness is felt
when the family faces a problem for example,
failure in nurturing the child and when the wife
138
semenjak kecil yaitu diberikan kebebasan
penuh. Rasa sedih muncul ketika rumah tangga
mengalami hambatan misalnya, masalah
kegagalan dalam pengasuhan anak dan ketika
istri menuntut banyak keinginan. Hal tersebut
karena laki-laki diposisikan sebagai figur yang
harus bertanggungjawab penuh dalam
keluarga. Satu orang subjek mengungkapkan
pendapat yang menarik yang mengatakan
bahwa sebagai seorang laki-laki walaupun
abnormal, tetap sebagai kepala keluarga dan
tetap bertanggungjawab pada keluarga
sehingga hal tersebut dirasa menjadi beban
walaupun ada sedikit rasa bangga yang
terselip. Terkadang ketika sedang jengkel
dengan keluarga muncul rasa ego karena
merasa yang mencari uang untuk kebutuhan
keluarga. Rasa penyesalan muncul ketika
menghukum anak secara fisik. Ada perasaan
berat dan jengkel ketika penghasilan tidak
menentu. Satu orang Subjek merasa tidak enak
jika dilihat masyarakat akan kondisinya yang
tidak mempunyai pekerjaan tetap. Ada kesan
pengangguran yang kemudian menjadi beban
mental dirinya.Ada perasaan susah dan senang
ketika mengayomi istri dan mencukupi
kebutuhan keluarga.
Hal menarik yang terdapat dalam penelitian ini
adalah bahwa para subjek berperilaku sangat
normatif ketika peneliti menyinggung
is too demanding. This is because men are
placed as figures that are fully responsible for
the family. One of the subjects conveyed an
interesting opinion, stating that even an
abnormal man remains the head of the family
and remains fully responsible for the family,
although this may be burdensome however
there would still be some implicit feelings of
pride. Sometimes when frustrated with the
family there are feelings of selfishness because
the men are the ones seeking an earning for the
needs of the family. Feelings of regret emerge
when they physically punish their own
children. Feelings of distress and frustration is
felt when income is uncertain. One subject
explained that he felt uncomfortable when
society views him as a person without a
permanent job. There is an impression that he is
unemployed and this troubles the subject.
Feelings of difficulty and happiness are felt
when protecting the wife and fulfilling the
needs of the family.
139
it is taboo to talk about their
problems, and that family
problems are the matters of
the wife at home. Therefore
there is no room for men to
talk about themselves
mengenai perasaan sebagai seorang laki-laki.
Ada suatu kesulitan untuk mengungkapkan
perasaan yang dirasakan selama ini terutama
jenis emosi negatif. Para subjek tampak
berusaha untuk bersikap bijaksana yang
menunjukkan kestabilan secara emosional.
Hal ini tampak dari perilaku non verbal yang
tersirat yaitu penuh senyuman seolah-olah
semuanya dalam keadaan baik dan harmonis.
Tampak juga perilaku para subjek yang saling
memperhatikan pendapat subjek yang lain dan
akhirnya subjek yang paling senior dan tinggi
dari sisi usia atau tingkat pendidikan serta
kedudukan sosial yang memulai berbicara
menyampaikan pendapat. Jawaban yang
dikemukakan oleh para subjek yang lain
biasanya tidak jauh beda dengan jawaban yang
diberikan oleh subjek sebelumnya, dan begitu
seterusnya sehingga tampak seakan-akan
sama. Tampaknya ada semacam “kolusi” yang
tidak tampak ketika para laki-laki berbicara
mengenai perasaan. Pada tahap wawancara
mendalam terungkap bahwa sebenarnya ada
rasa sedih, kebingungan ketika rumah tangga
dalam kondisi sulit, rasa jenuh, jengkel dan
kedongkolan ketika sedang mempunyai
masalah. Ketika peneliti berusaha mendengar-
kan secara seksama, tampak para subjek cukup
terbuka dan antusias untuk bercerita tentang
dirinya. Hal ini menunjukkan bahwa pada
dasarnya ada kebutuhan untuk didengarkan
One of the interesting findings in the study is
that the subjects were acting very normatively
when the researcher inquired about the feelings
of the subjects. There is one particular difficulty
to express feelings of negative emotions. The
subjects attempt to act wisely and demonstrate
emotional stability. This is evident from the non
verbal behaviors of the subjects implicitly
expressed for example smiles as though
everything was fine and harmonious. It seems
that the subjects' behaviors are mutually
attending to the opinions of the other subjects.
Eventually it is the senior subjects and ones
with the highest social status and educational
level who initiates the discussion and conveys
their opinions. The answers delivered by the
other subjects are usually not much different
from the answers given by earlier subjects, and
this is how the discussion had proceeded as
though the answers were all the same. There
seems to be some kind of collusion between the
subjects when they spoke of their feelings. In
the in-depth interview there were some
indications of sadness, and confusion when the
family encountered a difficult situation and
sometimes feelings of boredom, frustration and
distress when facing a problem. When the
researcher attempts to listen carefully, it seems
that the subjects are open and enthusiastic
about talking about themselves. This
demonstrates that they have needs of being
140
segala keluh kesahnya namun dalam situasi
yang lebih privat.
Peneliti berpendapat bahwa kondisi tersebut
lebih karena adanya anggapan yang beradar di
masyarakat seperti laki-laki ngrumpi dianggap
tidak wajar, jika laki-laki sedang berkumpul
sangat jarang yang saling bercerita untuk
mengungkapkan segala permasalahannya
terutama permasalahan rumah tangga. Hal itu
disebabkan para laki-laki sangat tabu untuk
menceritakan tentang permasalahannya
sendiri, dan menganggap masalah rumah
tangga adalah urusan istri dirumah. Maka
tidak ada ruang bagi laki-laki untuk
mendiskusikan tentang dirinya sendiri.
Apakah selama ini mereka terbebani ketika
harus memikul tanggung jawab sebagai
seorang laki-laki seperti yang diidealkan
selama ini, bahwa laki-laki adalah satu-satunya
tulang punggung keluarga. Bisa jadi kondisi
tersebut menyebabkan laki-laki ”menolak”
terhadap segala beban dan perasan berat yang
dirasakan karena jika larut dan tampak
bersedih hingga menangis maka ia akan di cap
sebagai laki-laki cengeng dan berkuranglah
kualitas kelelakiannya. Penelitian yang
dilakukan oleh Brody (1985) dan Manstead
(1992) mengatakan bahwa pada laki-laki
dewasa secara umum kurang dapat mengung-
kapkan segala perasaan yang dirasakan.
Temuan tersebut juga diperkuat oleh penelitian
listened to although privacy needed to be
guaranteed.
The researcher assumes that these conditions
are better because there is the assumption
spreading in the society that men who like to
gossip is not normal, and when men are
gathering, rarely would they openly speak
about their problems, let alone family
problems. This is because it is taboo to talk
about their problems, and that family problems
are the matters of the wife at home. Therefore
there is no room for men to talk about
themselves. For all this time, have they been
burdened to fulfill the responsibility of the man
they idealize? As the sole backbone of the
family? It could be that these conditions cause
men to “reject” all the burden and hardship that
is felt because if they displayed emotions of
sadness or cried they would be regarded as
weak men and therefore reducing their
manhood. According to the studies of Brody
(1985) and Manstead (1992) they suggest that
male adults generally lack the ability to express
all the feelings they experience. This finding is
confirmed by a study from Eisenberg (2001)
that suggests that men lack the ability to control
their emotions and therefore experience
difficulties when having to control their
emotional drives. This is caused by the
nurturing patterns from parents, teachers, and
responses from the peer group that cannot
141
yang dilakukan Eisenberg (2001), yang
mengatakan bahwa laki-laki kurang dapat
mengungkapkan perasaanya dan tidak mampu
mengenali emosinya sehingga mereka
kesulitan ketika harus mengendalikan segala
dorongan-dorongan emosional tersebut. Hal
ini disebabkan pola asuh orang tua, guru dan
respon dari peer groupnya yang kurang dapat
menerima jika seorang laki-laki tampak
mengekspresikan emosinya terutama emosi
negatif seperti sedih, kecewa, takut, dan marah.
Laki-laki diharapkan untuk dapat stabil dan
tegar secara emosional. Maka dapat dipahami
jika laki-laki akan berusaha tampak kuat
dengan lari ke alkohol, melakukan tindak
kekerasan sebagai kompensasi atas kelemahan-
nya dan berusaha menjadi seorang yang kuat
namun justru tampak menjadi seorang
pemarah dan egois serta keras kepala, terutama
dalam relasi rumah tangga. Belum lagi
ditambah permasalahan seputar harga diri
yang menjadi momok bagi laki-laki. Jika ada
suatu permasalahan yang menyangkut harga
diri sebagai laki-laki, maka segala cara
penyelesaian akan dilakukan termasuk tindak
kekerasan.
Selama ini ada pendapat yang beredar di
masyarakat bahwa seorang laki-laki jangan
sampai menangis atau meneteskan air mata
karena akan menurunkan derajatnya sebagai
accept the men when they express their
feelings, especially negative emotions for
example sadness, disappointment, fear, and
anger. Men are expected to be emotionally
stable and firm. Therefore it could be
understood when men try to appear strong and
eventually run to alcohol abuse or conduct
violence as a compensation of their weakness.
They strive to appear as a strong person but in
fact they are angry, selfish and stubborn
individuals, specifically in family relations.
This is not including problems related with self
esteem that haunts these men. If there is a
problem related with their self esteem as a man,
therefore all ways to solve the problem will be
done through violence.
All this time there is an opinion in the society
that men cannot drop a tear because it can
reduce their degree of manhood.Aman must be
(brave in dealing with any circumstance),tatag
142
hat men lack the ability to
control their emotions and
therefore experience difficulties
when having to control their
emotional drives
seorang laki-laki. Seorang laki-laki harus
tampil (berani menghadapi segala
sesuatu) (bertanggung jawab,ulet)
(mampu bertahan dalam kondisi
apapun). Jika ada anak laki-laki yang menangis
maka orang tuanya akan mengatakan
(sudah cukup,
anak laki-laki tidak boleh menangis). Namun
tampaknya kondisi tersebut dirasakan cukup
berat karena seorang laki-laki harus benar-
benar matang dan stabil secara emosional dan
hal itu ada kalanya cukup sulit dilakukan. Salah
seorang subjek SL yang berasal dari Maguwo,
Yogyakarta menceritakan bahwa menjadi
seorang kepala rumah tangga yang harus
memenuhi kebutuhan keluarga adalah sesuatu
yang cukup berat namun hal itu tidak
diungkapkan secara langsung. Cara bercerita-
nya pun tampak datar-datar saja tidak terlalu
mendalam dan hanya sambil lalu, kalaupun
cerita hanya pada orang-orang tertentu. Menu-
rut subjek masalah keluarga jangan sampai
tersebar luas di masyarakat. Hal itu menyang-
kut gengsi sebagai kepala rumah tangga dan
juga sebagai laki-laki terkait dengan filosofi
yang biasa menjadi
pedoman laki-laki
Pemecahan masalah ala laki-laki akan muncul
jika manyangkut tanah, perempuan, keya-
kinan, nama baik keluarga. Ketiga hal tersebut
adalah kehormatan dan harga diri laki-laki.
tatag
tanggon
tangguh
cup-cup,
anak laki-laki gak pareng nangis
tatag tanggon tangguh
.
tanggon tangguh
cup-cup,
anak laki-laki gak pareng nangis
tatag tanggon tangguh
.
(responsible, persistent) and
(able to endure any condition). If there was a
boy that cried the parents would say
(that's enough,
boys are not allowed to cry). However this
condition seems to be burdensome because
men have to be emotionally mature and stable
and this is difficult to do. One of the subjects SL
originating from Maguwo, Yogyakarta
suggested that becoming the head of the family
is quite difficult although he did not explicitly
say this. He told the story using a flat tone
without explaining much in detail, and when
telling something he would only tell some
specific people. According to the subject, it is
not good to have the family's problems out
there in the society. This jeopardizes the honor
of the head of the family and as a man related
with the philosophy that
is commonly used as a guide for men
Problem solving using the man's way will
emerge when the problems relate with land,
women, faith, and the good name of the family.
These three things are the elements of a man's
143
It seems that the problem
of honor is important and
sensitive for a man in
dealing with his problems.
Banyak istilah-istilah, khususnya dalam buda-
ya Jawa yang menggambarkan kehormatan
dan harga diri seorang laki-laki diantaranya
adalah istilah
yang artinya
selebar dahi dan sejengkal tanah akan diperta-
hankan mati-matian. Ada pula istilah lain
yaitu,
(jangan disakiti anaknya, jangan
dilecehkan istrinya, jangan dihina keyakinan-
nya) karena hal tersebut dapat membuat laki-
laki marah. Tampaknya permasalahan harga
diri merupakan sesuatu yang penting dan
sensitif bagi seorang laki-laki dalam
menghadapi setiap permasalahan.
sedumuk batuk senyari bumi ditohi
pecahing dada wutahing ludira
ojo dilarani anake, ojo digoda bojone, ojo
dicacat kerise
honor and self esteem. Several terms,
specifically in the Javanese culture that describe
a man's honor and self esteem for example
meaning as wide as the
forehead and as wide as a handful of land, it
would be fought for until death. Other terms
include,
(don't harm the child, don't abuse
the wife, and don't insult the faith) because
these things can make a man angry. It seems
that the problem of honor is important and
sensitive for a man in dealing with his
problems.
sedumuk batuk senyari bumi ditohi pecahing dada
wutahing ludira
ojo dilarani anake, ojo digoda bojone, ojo
dicacat kerise
Seringkali perbedaan pendapat dan perselisihan antar laki-laki
akan berujung pada pemecahan masalah ala laki-laki yaitu
berkelahi. Perkelahian dianggap simbolisasi kejantanan seorang
laki-laki
Arguments and conflict between men are often resolved
through a man’s way of settling matters, by fighting. Fighting
is considered a symbol of a person’s manhood
144
2. Konflik peran gender dan Ambivalensi
laki-laki
Konflik peran gender berkaitan erat dengan
sosialisasi peran gender yang relatif ketat
dalam masyarakat yang patriarki. Pada
masyarakat seperti ini kedudukan perempuan
dan laki-laki tidaklah sejajar. Nilai-nilai yang
dikaitkan dengan maskulinitas, atau yang
dianggap ideal untuk laki-laki dianggap lebih
tinggi dari pada nilai-nilai femininitas.
Stereotip maskulin pada masyarakat patriarki
seperti agresifitas, kompetisi, emosional, bila
disosialisasikan secara kaku akan menimbul-
kan konflik peran gender yang dapat berakibat
negatif baik terhadap diri pribadi, maupun
dalam berhubungan dengan orang lain.
Berdasarkan beberapa penelitian yang telah
dilakukan, konflik peran gender ini berkaitan
dengan hubungan yang negatif dengan
perempuan dan laki-laki yang lain, juga
terhadap suatu sistem norma yang berlaku di
suatu budaya tertentu. Bila dilihat pada
masyarakat Indonesia, misalnya pada suku
bangsa Batak, dengan budaya patriarkinya,
dimana dilembagakan nilai-nilai superioritas
pada laki-laki. Laki-laki Batak dalam potret
tradisional digambarkan sebagai pengang-
guran yang seharian menghabiskan waktunya
di warung kopi, sementara isterinya sejak pagi
hari "membanting tulang" di ladang, di pasar
2. Conflict of gender roles and male
ambivalence
Conflict of gender roles strongly relates with
the socialization of gender roles in the society
that is relatively strict in a patriarchic society. In
such a society the status of men and women are
unequal. The values attributed to masculinity,
or which are regarded ideal for men are
considered higher then the values of feminism.
Masculine stereotypes in a patriarchy for
example aggressiveness, competition, being
emotional, if rigidly socialized, can result in
negative impacts towards the individual and in
interacting with other people. Based on a
number of studies, conflict of gender roles
relates with negative relations between women
and other men, as well as negative relations
with norm systems that are valid in a particular
culture. When we take a look at Indonesia, for
example in the Batak ethnicity, with its
patriarchic culture, where values of male
superiority are institutionalized, Batak men are
traditionally portrayed as daily unemployed
and spends most of their time in the coffee café,
while the wife works hard in the field from
morning, goes to the market and returns home
at night. This phenomenon appears to be
simply accepted by the Batak women as a
cultural reality and Batak men accept this
condition as a privilege which was destined
145
dan bahkan juga di rumah pada malam
harinya. Fenomena ini oleh perempuan batak
seakan diterima sebagai realitas budaya dan
bagi laki-laki batak, ini dianggap sebagai
previllage (keistimewaan) yang memang
datang dengan sendirinya hanya karena
seseorang dilahirkan dengan jenis kelamin laki-
laki. Konflik peran gender pada perempuan
tentu sudah banyak yang membahasnya.
Bagaimana dengan laki-laki batak, apa yang
mereka pikirkan tentang "realitas budaya"
tradisional itu? Dalam perkembangannya
kemudian, laki-laki batak di satu sisi mulai
merasa tidak fair, namun tidak mudah juga
bagi mereka untuk keluar dari realitas tersebut.
Perasaan tidak adil, tentu saja, selalu kalah
dengan kenikmatan previllage budaya batak
itu, sehingga konflik tersebut tak pernah bisa
diselesaikan. Laki-laki batak yang kemudian
sukses keluar dan memenangkan konflik
tersebut dengan solusi adalah mereka
yang tersadar oleh faktor eksternal misalnya
akulturasi lintas budaya. Hal ini lebih karena
dominasi laki-laki pada masyarakat ini tampil
dalam norma-norma yang dijalani. Laki-laki
pada masyarakat ini yang membentuk
kelompok kekerabatan, memiliki hak bicara
dan memutuskan dalam permasalahan adat.
Peran sebagai laki-laki ini disosialisasikan
dengan ketat, dari orang tua kepada anak-
anaknya, demikian pula institusi-institusi yang
win-win
upon them when they were born as men.
Certainly there are large discussions
addressing conflict of gender roles among
women. What about Batak men? What do they
think about this traditional “cultural reality”?
In its progress, Batak men, in one aspect begun
to feel a sense of unjust, however it is certainly
not easy to let go of this reality. Feelings of
unjust are surely present, but it would always
lose ground to the joys of the privilege
originating from the Batak culture, and
therefore the conflict is never actually resolved.
Batak men who succeed and detach themselves
from the reality and solve their conflict with a
win-win solution are those who are aware of the
external factors for example cross-cultural
acculturation. This is largely because of male
dominance in the society which displays the
norms that are practiced. It is the men in the
society who form the social groups, who have a
right to speak and decide problems in the
146
the researcher also found a
number of ambivalences within
a man that sometimes
contributes to conflict in
gender roles. There are a
number of beliefs that create
internal conflicts within a man
ada, seperti kelembagaan adat. Menurut teori
konflik peran gender pada pria, kondisi inilah
yang menimbulkan konflik peran gender pada
pria. Dengan menjalani sendiri bagaimana
peran-peran untuk menjadi pria itu
ditanamkan, namun dihadapkan pada
kenyataan yang kadang kala berlainan, seperti
keberhasilan para ibu-ibu Batak dalam
perdagangan. Ketidaksesuaian antara yang
normatif dibanding pada kenyataannya
tentunya menimbulkan konflik. Peran gender
yang pada awalnya diterima, kemudian
menimbulkan suatu ambivalensi karena pada
kenyataannya tidak sesuai dengan peran
tradisional (Nauly, 2002).
Dalam penelitian ini, peneliti juga menemukan
beberapa ambivalensi dalam diri laki-laki yang
terkadang juga berkontribusi terhadap
terjadinya konflik peran gender. Ada beberapa
keyakinan yang menimbulkan konflik batin
dalam diri pribadi laki-laki, diantaranya
adalah:
a.
Konflik ini terjadi ketika seorang laki-laki
dihadapkan pada suatu permasalahan dan
mempersepsikan dirinya kedalam dua buah
kutub kelelakian, yaitu harus tampil sebagai
laki-laki yang kuat baik secara fisik maupun
mental atau sebagai laki-laki yang lemah. Dua
Diri kuat vs Diri lemah sebagai laki-laki
custom. The role of men is strongly socialized,
from parents to their children, and this also
applies for existing institutions, for example
customary institutions. According to the theory
of conflicts of gender roles among men, this is
the condition that causes conflict of gender
roles among men. On one hand, they gain
experiences on how the roles of being a man are
instilled, however they are also faced with the
reality that sometimes different conditions are
present, for example the success of Batak
women in trade. Incongruence between the
norms and the reality would certainly lead to
conflict. Gender roles that were initially
accepted later created ambivalence because it
was inconsistent with the traditional roles
(Nauly, 2002).
In this study, the researcher also found a
number of ambivalences within a man that
sometimes contributes to conflict in gender
roles. There are a number of beliefs that create
internal conflicts within a man, namely:
This conflict occurs when a man is faced with a
problem and perceives himself in two extreme
poles of manhood, namely appearing as a
strong man who is physically and mentally
strong, or a weak man. These two poles of
manhood emerge from a small age until he
a. Man's strong self vs. man's weak self
147
kutub kelelakian ini muncul semenjak seorang
laki-laki berusia kanak-kanak hingga dewasa.
Ketika masa kanak-kanak, kita sering
mendengar perkataan seperti, “ayo anak-anak
laki-laki harus kuat!”, ataupun olok-olokan
seperti “masak anak laki-laki tidak kuat lari”,
“anak laki-laki kok tidak berani berkelahi !”.
Perkataan tersebut sering muncul dalam
keluarga melalui pola asuh orang tua atau
lingkungan sepermainan anak-anak dan
biasanya di ikuti dengan semangat kompetisi
dengan anak laki-laki lainnya, misal adu
pancho, adu lari, angkat berat, dan lain-lain.
Pada masa ini, untuk yang pertama kalinya
seorang anak laki-laki akan mengidentifikasi
dirinya sendiri dan orang lain disekitarnya
bahwa ada orang yang kuat dan ada yang
lemah, sekaligus seorang anak laki-laki akan
mengenali lawan jenisnya yaitu anak
perempuan sebagai individu yang tidak
terbiasa dengan kekuatan sehingga berbeda
dengan dirinya. Sebagai anak laki-laki, maka
tidak boleh terlihat lemah karena jika terlihat
lemah maka akan mendapat hukuman berupa
olok-olok dari teman sebayanya dan akan
mendapatkan rasa malu. Perasaan malu inilah
sebagai awal terbentuknya sikap sensitif
terhadap harga diri laki-laki yang akan terbawa
hingga dewasa. Ketika seorang laki-laki
t u m b u h m e n j a d i m a n u s i a d e wa s a ,
permasalahan yang dihadapi tidak lagi bersifat
grows to an adult. When being a child, we often
hear “C'mon boys must be strong” or remarks
for example “Don't tell me boys can't run”,
“Don't tell me boys can't fight!” These remarks
are often heard within the family through
parental nurturing or from the peer
environment and usually this would lead to a
spirit to compete with the other boys for
example, arm wrestling, running competitions,
weight lifting, and etc. In this phase, for the first
time a boy would identify himself with other
people in terms of whether he is weak of strong,
and they would be acquainted with people of
the opposite sex who are not familiar with
strength and therefore different from the boys.
As a boy they are not allowed to appear weak or
they would receive punishment in form of
teasing from their peers which would
148
He must acknowledge the reality
that the person possesses
numerous weaknesses and that
sometimes there is a demand for
him to appear as a strong figure.
This sometimes lead men to
strive to appear strong in both
physical and mental aspects.
tantangan fisik sebagaimana ketika berusia
kanak-kanak, namun lebih bersifat sosial
psikologis. Maka kita sering mendengar aturan
seperti “laki-laki pantang untuk menangis”
ketika menghadapi permasalahan hidup,
karena akan dianggap lemah dan cengeng.
Ataupun bentuk perilaku lain yang menunjuk-
kan usaha untuk tampil sebagai sosok yang
kuat dengan selalu berusaha untuk tegar serta
bijak dalam menghadapi permasalahan hidup.
Namun ada kalanya tidak semua laki-laki
mampu bersikap seperti yang disyaratkan ter-
sebut dan hal ini terkadang menimbulkan
pertentangan dalam diri seorang laki-laki,
antara kenyataan bahwa adakalanya dirinya
membutuhkan pengakuan jujur akan beberapa
kelemahan yang dimiliki dan tuntutan agar
tampil menjadi seorang laki-laki yang kuat. Hal
ini terkadang membuat laki-laki akan melaku-
kan apa saja agar dianggap kuat baik secara
fisik dan mental.
Pertentangan ini terjadi sebagai bentuk
perkembangan dari ambivalensi diri kuat
versus diri lemah yang muncul dalam bentuk
jiwa kompetitif yang melahirkan ambivalensi
menang versus kalah dalam suatu urusan. Hal
ini dapat kita lihat dalam rentang sejarah
kehidupan seorang laki-laki yang sangat
b. Menang vs Kalah sebagai laki-laki
embarrass them. This feeling of embarrassment
is the beginning of forming a sensitive attitude
towards a man' self esteem that would be
brought until adulthood. When a man becomes
an adult, the challenges he faces no longer are in
forms of physical challenges as was the case in
childhood, however it is largely socio-
psychological. Often we hear remarks like
“men don't cry” when dealing with a problem,
because they would be regarded as weak. Or
there are other behaviors to try to appear as a
strong figure by always trying to be strong and
wise when dealing with a life problem. But men
are not always able to act in this manner and
sometimes this leads to internal conflict within
the man. He must acknowledge the reality that
the person possesses numerous weaknesses
and that sometimes there is a demand for him to
appear as a strong figure. This sometimes lead
men to strive to appear strong in both physical
and mental aspects.
This conflict emerges as a form of development
from the ambivalence of the strong self versus
the weak self that emerges from a competitive
mind that leads a man to strive to win in all
matters. We can observe this from the course of
history of a man who is highly accustomed to a
competitive nature so that they would be
b. Winning vs. losing as a man
149
terbiasa dengan sifat kompetitif agar
dipandang kuat sehingga harus menang. Anak
laki-laki kecil yang terbiasa bermain mobil-
mobilan atau robot-robotan lambat laun akan
mengarah pada pencarian siapa yang paling
kuat, paling cepat, paling bagus dan paling
is t imewa mainannya dan terkadang
adakalanya hingga berkelahi. Pada usia remaja,
jiwa kompetitif ini terlihat misalnya ketika dua
remaja laki-laki bersaing untuk mendapatkan
cinta seorang gadis yang sama-sama mereka
sukai, maka segala cara akan dilakukan untuk
memenangkan persaingan tersebut. Juga
ketika seorang remaja laki-laki dihadapkan
pada permasalahan dengan remaja laki-laki
lain yang terkadang berakhir dengan
pemecahan ala laki-laki yaitu berkelahi.
Muncul rasa gengsi jika sampai kalah atau
merasa takut dalam suatu persaingan yang
akan membuatnya malu dalam pergaulan
sesama laki-laki sehingga seorang remaja laki-
laki akan berusaha sekuatnya untuk menang
termasuk dengan mencari kawan yang
sebanyak-banyaknya atau dengan mengikuti
kelompok-kelompok tertentu dalam rangka
mencari dukungan. Contoh yang ekstrem
adalah munculnya geng-geng motor laki-laki
yang bernuansa penuh kekerasan dan
mengandung semangat kompetitif antara geng
s a t u d e n g a n y a n g l a i n n y a u n t u k
viewed as a strong person that must always
win. Boys are used to playing with cars or
robots and this would gradually lead to the
conclusion on who is strongest, fastest and who
has the best toys and sometimes this
competitiveness would lead to fights. In early
adolescence, this competitiveness is apparent
when they compete to win the love of a girl of
who they are both fond of, and therefore they
would go through all measures to win this
competition. Also when a male adolescent is
faced with a problem with another male,
sometimes the problem is settled using a man's
way of settling things, namely fighting. The
person's honor would be damaged if he loses or
is afraid in a competition and would make him
embarrassed to socializing with other male
adolescents and therefore men would always
try to win by seeking many friends or by
150
in family relations, a wife that has
larger income compared to the
husband, if the husband saw this as
competition where he feels
threatened and feels that he loses
from the financial aspect therefore his
self esteem as the head of the family
will be damaged and he would act
upon all means to restore dominance
memperebutkan suatu wilayah kekuasaan.
Jiwa kompetitif ini adakalanya terbawa hingga
dewasa dan mewarnai dalam setiap
pemecahan permasalahan yang dihadapi. Jika
seorang laki-laki melihat dengan kacamata
kompetitif terhadap segala permasalahan yang
dihadapi, sadar ataupun tidak, maka akan
selalu ada pihak yang harus menang dan ada
pihak yang dianggap kalah. Misalnya dalam
relasi rumah tangga, seorang istri yang
memiliki penghasilan lebih besar dari suami,
jika suami melihat hal ini merupakan suatu
persaingan dimana ia merasa terancam dan
merasa kalah dari segi finansial maka harga
dirinya sebagai kepala rumah tangga akan
tercoreng sehingga ia akan melakukan upaya
dominasi agar tetap dipandang “menang” dari
sang istri.
Keadaan ini terjadi ketika seorang laki–laki
dihadapkan pada tuntutan masyarakat untuk
membuktikan bahwa dirinya adalah benar-
benar seorang laki-laki sejati dan hal ini sangat
dipengaruhi oleh budaya. Dalam penelitian ini
misalnya, seorang laki-laki tidak cukup
terbukti sebagai laki-laki sejati jika hanya
mengandalkan atribut fisik. Seorang laki-laki
akan dianggap benar-benar laki-laki jika
mampu menikahi perempuan dan mampu
c. Terbukti vs Tidak terbukti sebagai laki-laki
seeking particular groups in search for support.
An extreme example is the presence of male
motorbike gangs that are marked with violent
behavior and competition between one gang
with another to compete for regional space.
This competitive character is sometimes carried
over to adulthood and influences the ways of
problem solving for each problem that is faced.
If men viewed each problem with a competitive
aspect, therefore in each problem there would
always be a winner and a loser. For example in
family relations, a wife that has larger income
compared to the husband, if the husband saw
this as competition where he feels threatened
and feels that he loses from the financial aspect
therefore his self esteem as the head of the
family will be damaged and he would act upon
all means to restore dominance.
This situation occurs when a man is faced with
the demands of society to prove that he is a true
man and this is strongly influenced by culture.
In this study for example, it is not enough to be
considered a true man merely from the physical
attributes. A man would be considered a true
man if he was able to marry a woman and have a
child. This is because many men have male
physical appearances but from their mental
aspects are gay or transvestites and this
c. Proven vs. unproven as a man
151
mendapatkan keturunan. Hal ini dikarenakan,
banyak para laki-laki yang secara fisik adalah
berjenis kelamin laki-laki namun secara mental
adalah gay atau waria dan hal ini sekaligus
menunjukkan adanya dominasi laki-laki yang
berorientasi heteroseksual terhadap kelompok
laki-laki lain yang memiliki orientasi seksual
yang berbeda. Disamping itu masih banyak
atribut dan aturan tak tertulis sebagai syarat
pembuktian kelelakian yang didapat oleh laki-
laki sepanjang rentang kehidupannya dari
kanak-kanak hingga dewasa, seperti harus
berani berkelahi, pantang untuk menangis,
mampu menikahi perempuan, mampu
mendapatkan keturunan, kemampuan kontrol
terhadap perempuan, tidak boleh mengeluh,
dan lain-lain. Tentunya atribut dan aturan
tersebut sesuai dengan situasi budaya dan
kultur masyarakat tempat seorang laki-laki
hidup dan menetap. Tidak semua laki-laki
mampu dan setuju dengan standar kelelakian
tersebut. Para laki-laki yang tidak mampu dan
tidak bersedia mengikuti standar kelelakian
tersebut tentunya akan ditolak oleh kelompok
laki-laki lain yang lebih besar dan disinilah
muncul hegomoni maskulinitas yaitu tekanan
kelompok laki-laki mayoritas terhadap
kelompok laki-laki minoritas. Terkadang hal ini
juga menimbulkan konflik tersendiri dalam
diri laki-laki.
indicates male dominance oriented towards
heterosexuals towards other male groups who
have different sexual orientations. In addition
there remains a large body of attributes and
informal laws that function as a precondition to
prove that he is a true man all through his life
course from childhood to adulthood, for
example, having to be brave to fight, never cry,
able to marry a woman, able to have a child, able
to control their woman, not allowed to
complain and etc. These attributes and laws are
certainly consistent with cultural situations of
the society of where this person lives and
resides. Not all men are able and willing to meet
these manhood standards. Men that are unable
and unwilling to conform to these standards
will be rejected from other larger male groups
and this is where the hegemony of masculinity
emerges, referring to the pressure from the
majority male group towards the minority male
group. Sometimes this leads to an internal
conflict within the men themselves.
152
that men must have emotional and
intellectual maturity and in fact not
all men earn these qualities. Several
men have even encountered
difficulties in distinguishing between
a protecting figure and a selfish one
d. Pengayom vs Egois
Hal ini banyak dialami oleh laki-laki dalam
suatu relasi dengan perempuan namun tidak
menutup kemungkinan dalam relasi sesama
laki-laki sendiri. Dalam penelitian ini
terungkap bahwa laki-laki dalam budaya
patriarki harus mempunyai jiwa pengayom
dan pelindung terutama terhadap kaum
perempuan atau pihak lain yang dianggap
lebih lemah. Maka hal ini mempunyai
konsekuensi bahwa laki-laki harus mempunyai
kematangan emosional dan intelektual dan
ternyata tidak semua laki-laki mampu. Banyak
pula kemudian yang justru kesulitan
membedakan antara bersikap mengayomi dan
egois. Dalam relasi pernikahan misalnya,
seorang suami yang bermaksud mengayomi
keluarganya dengan menetapkan aturan-
aturan tertentu yang harus diikuti oleh seluruh
anggota keluarga yang lain dengan maksud
mengayomi, namun terkadang aturan yang ia
buat tidak mencerminkan aspirasi dan
kebutuhan tiap-tiap anggota keluarga atau
bahkan aturan tersebut dilanggar oleh dirinya
sendiri.Ataupun seorang suami yang melarang
istrinya bekerja atau beraktivitas dengan alasan
cukup dirinya saja sebagai kepala keluarga
yang mencari nafkah dan ada kekhawatiran
jika terjadi sesuatu yang buruk menimpa
istrinya jika beraktivitas di luar. Padahal
d. Protector vs. Selfishness
This is largely experienced by men related with
women however this may also occur between
men themselves. In this study, men in a
patriarchic culture must be a protecting figure,
mainly towards women or other parties that are
considered weak. Therefore this implies that
men must have emotional and intellectual
maturity and in fact not all men earn these
qualities. Several men have even encountered
difficulties in distinguishing between a
protecting figure and a selfish one. In marriage
for example, a husband that intends to protect
his family will establish some rules that must be
obeyed by all members of the family with his
intention to protect, however sometimes the
rules that he makes does not accommodate the
aspirations and needs of the family members or
sometimes the rules are violated by the man
himself. Or a husband may forbid his wife to
work and do activities with the reason that as
the head of the family his earning is sufficient to
meet the needs of the family and there is a
concern that something bad might happen to
the wife if she engages in activities outside the
home. Meanwhile, as a human being, the wife
wants to develop her potential to engage in
activities in line with her talents and interests.
This indicates the confusion in distinguishing
the functions of protection and characteristics
153
sebagai seorang manusia, sang istri ingin juga
m e n g e m b a n g k a n p o t e n s i n ya u n t u k
beraktivitas sesuai bakat dan nalurinya. Hal ini
menunjukkan adanya kebingungan dalam
membedakan fungsi pengayoman dan sifat
egois, juga sekaligus menunjukkan adanya
relasi yang tidak setara dalam rumah tangga.
Dalam kehidupan laki-laki yang sudah
berkeluarga maka dalam budaya patriarki
mensyaratkan bahwa laki-laki adalah seorang
tulang punggung keluarga yang harus
bertanggung jawab penuh terhadap
kelangsungan hidup anggota keluarga yang
lain. Hal ini terkadang banyak menjadi beban
ketika ia merasa berat dan tidak mampu. Maka
dalam hal ini, seorang laki-laki akan merasa
teruji sebagai seorang laki-laki sekaligus kepala
keluarga. Maka tak heran jika kemudian dalam
penelitian ini terungkap bahwa menjadi kepala
keluarga yang harus bertanggung jawab penuh
dalam keluarga adalah hal yang cukup berat.
Rasa berat ini terkadang banyak menimbulkan
masalah psikologis seperti stress dan depresi
hingga mempengaruhi kulitas hidup
seseorang. Hal ini terkadang diperberat
dengan sorotan masyarakat terhadap kondisi
keluarga seorang laki-laki yang menjadi
e. Bertanggung jawab vs Tidak mampu
bertanggung jawab sebagai laki-laki
of selfishness, and also indicates the unequal
relations within the family.
In the patriarchic culture, men are obliged to be
the backbone of the family that must be fully
responsible for the integrity of the other family
members. This sometimes becomes a burden
when he feels it difficult to achieve or feels
incapable. Therefore in these circumstances, a
man will be tested as a man and as the head of
the family. It is not surprising that in this study
the men admit that it is a large burden to be
head of the family and to be fully responsible
for the family. This burden sometimes leads to
e. Responsible vs. irresponsible as a man
154
the men admit that it is a large
burden to be head of the family
and to be fully responsible for
the family. This burden
sometimes leads to
psychological problems for
example stress and depression
tanggung jawabnya. Kemampuannya untuk
menjadi sosok yang bertanggung jawab dalam
keluarganya akan mempengaruhi pula nama
baik anggota keluarga yang lain di mata
masyarakat.
Seluruh ambivalensi yang terjadi dalam diri
laki-laki tersebut senantiasa mewarnai
kehidupannya selama rentang kehidupan yang
di lalui. Penyelesaian yang positif tentunya
tidak akan menimbulkan konflik batin yang
berkepanjangan yang berakibat buruk bagi diri
pribadi dan orang lain yaitu keluarga dan
masyarakat, namun jika tidak mampu di atasi,
maka akan menyebabkan lemahnya harga diri
yang selanjutnya akan berpengaruh pula
terhadap konsep dirinya. Konsep diri yang
negatif akan mempengaruhi pula kualitas
hubungan dengan pasangan dalam rumah
tangga.
psychological problems for example stress and
depression and influences a person's quality of
life. This is sometimes aggravated by public
scrutiny towards the condition of the family
which becomes the responsibility of the man.
His ability to become a responsible figure in the
family would influence the good name of the
other family members in the eyes of the society.
All ambivalences that occur within a man will
always influence a man during the course of his
life. Resolving the issue positively would cer-
tainly not lead to prolonged internal conflict,
however if he failed to overcome this ambiva-
lence, this would lead to a weak self esteem that
would influence the person's self concept. A
negative concept will influence the quality of
relationship with the spouse and family.155
F. Konflik dan Kekerasan Dalam Rumah
Tangga
1. Penyebab Kekerasan Dalam Rumah Tangga
Kondisi dan situasi peradaban dunia yang
terus berubah saat ini telah membawa
kemajuan yang pesat pada kaum perempuan
baik dalam pendidikan, pekerjaan dan status
sosial. Hal ini harus diakui telah membuat
kesenja-ngan gender antara laki-laki dan
perempuan semakin menyempit, namun
demikian dapat menjadi salah satu sebab
meningkatnya kasus kekerasan terhadap
perempuan, baik dalam rumah tangga maupun
publik. Kunci persoalan terletak pada kultur
patriarki yang yang menyebabkan kaum laki-
laki terbelenggu dalam konsep maskulinitas
tradisional yang selalu berperan sebagai sosok
yang superior agar mereka dapat menjaga citra
kelelakiannya. Maka tak heran jika gerakan
kesetaraan gender dimaknai sebagai gerakan
melawan laki-laki atau gerakan perempuan
versus laki-laki.
Tindak kekerasan terhadap perempuan adalah
gejala yang kompleks, berakar sangat dalam
pada hubungan gender yang tidak setara,
seksualitas, harga diri dan kelembagaan sosial
di masyarakat. Upaya untuk menghilangkan-
nya selalu berhubungan dengan dengan latar
F. Conflict and Domestic Violence
1. Causes of Domestic Violence
The constantly changing world civilization has
lead to rapid progress for women in education,
work, and social status. We must acknowledge
that this has narrowed down the disparities
between men and women inequality, however
this may also become the one of the causes of
violence against women, in both the domestic
and public domain. The key to the problem lays
on patriarchic culture that causes men to be
confined in the concepts of traditional
masculinity that always plays the role as a
superior figure to reinforce their manhood
image. Therefore it is not surprising that gender
equality is perceived as a movement against
men or a women movement against men.
Violence against women is a complex
phenomenon, and strongly rooted within
unequal gender relations, sexuality, self esteem
and social institutions in the society. The
initiatives to eradicate it always relates with the
background of trust and cultural traditions as
well as social structures in the society (Cholil,
1996). The passing of Law No.23 year 2004
about the eradication of domestic violence is
one of the outcomes of efforts conducted by
several parties including the government,
157
belakang kepercayaan dan tradisi budaya serta
struktur sosial dalam masyarakat (Cholil,
1996). Upaya yang dilakukan oleh pemerintah
dan LSM beserta semua pakar dan seluruh
potensi pembangunan yang ada adalah dengan
terbit dan disahkannya undang-undang
Republik Indonesia No.23 tahun 2004 tentang
penghapusan kekerasan dalam rumah tangga
(KDRT). Bahwa segala bentuk kekerasan
terutama dalam rumah tangga, merupakan
pelanggaran hak asasi manusia dan kejahatan
terhadap martabat kemanusiaan serta bentuk
diskriminasi yang harus dihapus di muka bumi
ini. Lebih lanjut lagi, Hanner dan Saunders
(dalam Sciortino, 2000) mengemukakan
kerangka konseptual beserta definisi hubu-
ngan gender di masyarakat yang menegaskan
bahwa bidang publik secara inheren keras dan
berbahaya bagi perempuan sehingga dia harus
mencari perlindungan suami dan keselamatan
di rumah. Hal ini menunjukkan adanya
keadaan sosial yang tidak adil dan tidak
seimbang dimana perempuan harus dalam
posisi yang selalu mencari perlindungan dan
pengayoman sehingga terkadang mempunyai
posisi tawar yang lemah, sedangkan laki-laki
cenderung sebagai figur pengayom dan
pelindung sekalipun terkadang banyak dari
kaum laki-laki yang tidak mampu harus selalu
dalam posisi ini.
NGOs, and experts. All forms of violence,
primarily in the family, are a violation of human
rights and crime to the honor of human as a
form of discrimination that must be erased from
this earth. Furthermore, Hanner and Saunders
(cited in Sciortino, 2000) stated that the
conceptual framework as well as the definition
of gender relations in the society confirms that
the public domain is too harsh and dangerous
for women, for they must always seek
protection from the husband and must remain
safe at home. This demonstrates an unjust and
unbalanced social condition where women are
always in a position that always seeks
protection and therefore leads to a weak
bargaining position, while men tend to be as
protecting figures although not all men are able
to fulfill this position.
A number of findings demonstrate that the
image of a man in the eyes of the patriarchic
society are as protecting figures, backbone of
the family, main figures who seek an earning
that must be persistent and strong. This
position has a social and psychological
precondition that must be owned by men
before they bear the main position in the family
and the society. Therefore when a man fails and
feels incapable or does not fulfill those
preconditions; he will be trapped in
psychological distress of which will attack his
self esteem. Meanwhile, women are safer from
158
Beberapa temuan dalam penelitian ini
memaparkan bahwa citra diri laki-laki pada
masyarakat patriarki adalah sebagai sebagai
seorang pengayom, tulang punggung
keluarga, pencari nafkah utama yang harus
gigih dan kuat. Posisi tersebut mempunyai
prasyarat sosial dan psikologis sebagai modal
yang harus dimiliki oleh laki-laki sebelum
mengemban atau menduduki posisi utama di
dalam keluarga dan di masyarakat. Maka
ketika seorang laki-laki gagal dan merasa tidak
mampu atau memang tidak memiliki beberapa
prasyarat kelelakian tersebut, dia akan terjebak
pada tekanan psikologis yang luar biasa yang
akan menyerang harga dirinya. Sedangkan
kaum perempuan lebih merasa aman dari
ketertekanan psikologis ketika dalam status
menganggur karena dalam kultur masyarakat
patriarki, perempuan justru dituntut untuk
berada di rumah sebagai ibu rumah tangga
(Darwin, 2007).
Tindakan yang dilakukan oleh laki-laki atau
suami ketika terjadi konflik yang tergolong
tindak kekerasan terhadap istri yang terungkap
dalam penelitian ini yaitu menggunakan
kekerasan verbal berupa kata-kata kasar
sampai kekerasan fisik yaitu menampar,
menendang, memukul, dan berkata-kata kasar
yang mengandung maksud pelecehan.
Menurut subjek penggunaan kekerasan fisik
dilakukan karena alasan kondisi lelah dan
psychological distress when they are
unemployed because in the patriarchic culture
they are demanded to stay at home as a
housewife (Darwin, 2007).
The actions conducted by men or husbands at
the moment of conflict categorized as violence,
include verbal violence in form of cursing to
physical violence for example slapping,
kicking, hitting. According to the subject, the
use of physical violence is done because he is
exhausted and the inability to control himself.
Some say that violence is used when the wife
talks too much for example; the husband says
one thing and the wife would respond by
saying two things. This demonstrates the poor
159
when a man fails and feels
incapable or does not
fulfill those preconditions;
he will be trapped in
psychological distress of
which will attack his self
esteem
tidak dapat mengendalikan diri. Ada yang
menyatakan bahwa penggunaan kekerasan
dilakukan apabila isteri terlalu banyak bicara
misalnya suami bicara sekali isteri menjawab
dua kali. Hal ini menunjukkan kemampuan
regulasi emosi dan kontrol diri yang lemah
sehingga mudah terpancing melakukan tindak
kekerasan ketika kontrol rasio menurun akibat
lelah dan stres atas segala beban yang dipikul
sebagai tulang punggung keluarga.
Ada perbedaan mendasar antara marah dan
menjadi pemarah. Mengekspresikan rasa
marah adalah hal yang wajar dan normal
dialami oleh setiap manusia, namun menjadi
pemarah adalah tidak wajar. Cara mengeks-
presikan emosi marah dengan memilih
menjadi seorang pemarah dan bertindak
agresif pada pasangan adalah hal yang tidak
normal serta tidak dibenarkan, apa pun
alasannya.
Peran laki-laki sebagai wakil atau penghubung
antara lingkungan keluarga dengan lingku-
ngan sosial di luar keluarga juga cukup mem-
bebani, karena segala tindak-tanduk laki-laki
akan selalu diawasi oleh lingkungan masya-
rakat dan baik atau buruk perilaku laki-laki
akan berpengaruh terhadap cara pandang
masyarakat sekitar terhadap suatu keluarga.
Hal tersebut masih ditambah dengan tidak
adanya ruang bagi laki-laki untuk mendiskusi-
ability to regulate emotion as well as weak
abilities in self control therefore easily
triggering them to perform acts of violence
when rational control has declined due to
exhaustion and stress due to the burdens of
being the backbone of the family.
There is a fundamental difference between
anger and an angry person. Expressing anger is
common and normally experienced by each
human being, however being an angry person
is not normal. The ways of expressing anger by
choosing to become an angry person and acting
aggressively to the spouse is not normal and
cannot be justified on any grounds.
The role of men as delegates between the family
and the social environment is considerable
burdensome, because all the actions of the
husband will be evaluated by the social
environment and the negative and positive
behaviors of the man will influence the way
society views the family. This is in addition to
the absence of a room to discuss feelings and
anxieties that are felt without having to feel
ashamed or without threatening the man's self
esteem. This condition is not much different
from the results of studies revolving around
domestic violence conducted by Romeo B. Lee
in Philippines. The results of the study
demonstrate that several men in Philippines
position themselves as the main backbone in the
160
kan segala perasaan dan kecemasan yang
dirasakan tanpa harus merasa malu atau
terserang harga dirinya. Kondisi tersebut tidak
jauh berbeda dengan hasil penelitian seputar
kekerasan dalam rumah tangga yang dilaku-
kan oleh Romeo B. Lee di Filipina. Hasil pene-
litian tersebut menunjukkan bahwa banyak
para laki-laki di Filipina yang memposisikan
dirinya sebagai tulang punggung utama
keluarga yang mempunyai kewenangan penuh
terhadap anggota keluarga yang lain. Para
subjek laki-laki yang diteliti, mempunyai
pandangan bahwa tanggung jawab sebagai
seorang laki-laki, disamping harus mampu
mencukupi kebutuhan finansial keluarga juga
bertanggung jawab terhadap penentuan peran
gender yang dilakukan oleh istri dalam wilayah
domestik (Lee, 2004). Hal tersebut menunjuk-
kan bentuk dari praktik sistem maskulinitas
tradisional yang menempatkan laki-laki
sebagai seorang yang superior sekaligus
menunjukkan adanya keistimewaan secara
kultural yang dimiliki oleh laki-laki. Kondisi ini
bagaikan dua hal yang bertolak belakang yang
mungkin tidak disadari sepenuhnya oleh kaum
laki-laki, di satu sisi ia diharapkan menjadi
seorang yang superior dalam keluarga dan
lingkungan sosial sehingga merasa mendapat
keistimewaan dari posisi tersebut, namun di
sisi lain ada banyak kaum laki-laki yang tidak
mampu memenuhi prasyarat kelelakian seperti
family that has full authority towards the other
members in the family. The male subjects that
were studied, have the perception that the
responsibility of a man, in addition to fulfilling
the financial needs of the family, must also be
responsible towards deciding the gender roles
performed by the wife in the domestic domain
(Lee, 2004). This demonstrates that the form of
the traditional masculine system places men as
a superior person and also demonstrates that
men enjoy privileges which originate from
cultural values. This conditions resembles two
contradicting conditions which is not fully
recognized by men themselves, in one aspect he
expects to become a superior person in the
family and the social environment so that he
feels privileges from this position, however on
other aspects there are several men that are
incapable to fu l f i l l those manhood
preconditions as expected by the social
environment. Therefore it is not surprising that
the initiatives to eliminate violence towards
women experience some drawbacks because
men feel they have lost their privileges which
were granted by the patriarchic culture.
Several of those conditions demonstrate that
being a man in the family is something that is
very burdensome although it is prideful. All of
the men's actions in the society will bring an
influence to the good name and sustenance of
161
yang diharapkan oleh lingkungan masyarakat.
Maka tak heran jika terkadang usaha pelibatan
laki-laki dalam penghapusan kekerasan
terhadap perempuan mengalami hambatan
karena para kaum laki-laki merasa akan
kehilangan hak-hak keistimewaan dari kultur
patriarki.
Berbagai kondisi tersebut menunjukkan bahwa
menjadi laki-laki dalam rumah tangga adalah
hal yang sangat berat sekalipun membang-
gakan. Segala tindak tanduk laki-laki di masya-
rakat akan membawa pengaruh terhadap nama
baik dan kelangsungan hidup keluarga. Maka
secara tidak sadar, laki-laki seakan-akan
merasa berjuang sendiri dalam menopang
kehidupan rumah tangga. Kondisi tersebut
menyebabkan banyak laki-laki beranggapan
bahwa istri hanyalah sebagai pelengkap dan
bukan partner yang dapat diajak bekerja sama
dalam suatu relasi yang setara dan seimbang.
Penelitian lain juga menemukan keterhubu-
ngan antara tingkat konformitas laki-laki pada
nilai-nilai maskulinitas yang diharapkan oleh
masyarakat terhadap tingkat stres dan
kecemasan. Keterhubungan tersebut dapat
dijelaskan bahwa ketika kekuatan, kekuasaan
dan kesuksesan serta kekayaan yang selama ini
dikenal sebagai tolok ukur derajat kelelakian
tidak dapat dipenuhi maka laki-laki akan
the family. Therefore, unnoticeably, men feel as
though they are struggling alone in supporting
the family. This condition causes several men to
regard that the wife is only complementary and
not a partner that can be asked to cooperate
with in a fair and balanced relationship.
Other studies also find relationships between
the degree of conformity of men to masculinity
values with stress and anxiety levels. The study
suggests that when the standards of manhood
162
Other studies also find
relationships between the degree
of conformity of men to
masculinity values with stress and
anxiety levels. The study suggests
that when the standards of
manhood of strength, power,
success, wealth are failed to be
met, men would feel that their self
esteem is threatened
merasa terancam harga dirinya (O'Neil &
Harway, 1997). Harga diri yang terancam
tersebut menyebabkan kecemasan dan stres
sehingga laki-laki terkadang bertindak di luar
kendali akal sehatnya, seperti lari ke alko-
hol/obat-obatan terlarang, melakukan tindak
kekerasan, menjadi tidak jujur atau berdusta
tentang keadaan dirinya, serta beberapa bentuk
perilaku negatif lain sebagai upaya untuk
menyelamatkan harga dirinya. Maka tak dapat
dipungkiri jika kemudian perempuan sebagai
figur subordinat dalam ranah domestik akan
terkena imbas dengan kondisi yang dihadapi
oleh laki-laki yaitu dengan menjadi objek
pelampiasan, sehingga terjadilah tindak
kekerasan terhadap perempuan dalam rumah
tangga.
Permasalahan yang lain adalah pembentukan
citra yang salah terhadap figur laki-laki yang
telah dilegitimasi secara kultural oleh masyara-
kat dari generasi ke generasi melalui pola asuh.
Sebagai suatu contoh yang telah disebutkan
dalam penelitian ini, misalnya, laki-laki pan-
tang untuk menangis, laki-laki harus tampak
garang dan berotot, laki-laki hebat adalah
mampu “menaklukkan” hati banyak gadis dan
itu adalah hal yang biasa, laki-laki akan sangat
“laki-laki” apabila identik dengan rokok,
alkohol, dan kekerasan. Pencitraan tersebut
of strength, power, success, wealth are failed to
be met, men would feel that their self esteem is
threatened (O'Neil & Harway, 1997).
Threatened self esteem causes anxiety and
stress so that men sometimes act out of control,
for example run to alcohol abuse/ drugs,
perform violence, become dishonest or lie
about themselves, as well as other forms of
negative behaviors in order to restore their self
esteem. Therefore it is undeniable that women
are subordinate figures in the domestic domain
and they are the ones who have to pay for the
consequences when men experience problems
of self esteem. This is what eventually leads to
domestic violence against women.
Other problems include the images given to
men that are culturally legitimized by the
culture and society from generation to
generation through nurturing patterns. As an
example it has been stated in a study that men
are not allowed to cry, men must appear
aggressive and fit, and great men are able to
conquer the hearts of many women, and that
masculine men are identified with cigarettes,
alcohol and violence. This image influences the
self concepts of men in general and influences
their behaviors in the family life, particularly
patterns of problem solving in their everyday
life. The expression, “settling matters using a
163
berpengaruh terhadap konsep diri laki-laki
pada umumnya dan mempengaruhi perilaku-
nya dalam kehidupan rumah tangga, terutama
pola pemecahan masalah dalam kehidupan
sehari-hari. Seringkali muncul istilah, “peme-
cahan masalah ala laki-laki” yang berujung
pada kekerasan, baik terhadap sesama laki-laki
maupun pada anggota keluarganya sendiri,
khususnya istri. Citra diri tersebut seringkali
meninggalkan jejak permasalahan yang bersi-
fat psikologis seperti ketidakmampuan untuk
bersikap asertif dan membina komunikasi
empatik serta ketidakmampuan dalam mema-
hami dan mengelola dinamika psikologis diri
sendiri dan pasangan. Tak heran jika terkadang
laki-laki kerap kali terjerumus pada tindakan
yang tidak terkontrol dan tidak terpuji pada
pasangan hidupnya. Hal-hal tersebut terka-
dang diperparah dengan pola asuh yang salah
dan kondisi rumah tangga orang tua yang
kurang baik yang pernah dialami oleh pelaku
semasa kecil sehingga terkadang berpengaruh
ketika ia dewasa.
Masyarakat bersifat pasif dalam melihat
konflik dan kekerasan dalam rumah tangga,
sekalipun tetap memberikan perhatian. Prinsip
keharmonisan budaya Jawa yang dipegang
2. Intervensi lingkungan sosial dalam konflik
dan kekerasan dalam rumah tangga
man's way” often is uttered by the subjects that
lead to violence, towards other men and also
towards their own families, particularly wives.
This self image often leaves traces of
psychological problems including the inability
to act assertively and maintain empathic
communication as well as inabilities to
understand and manage the psychological
dynamics between them and their wife. It is not
surprising that sometimes men fall into
uncontrollable behaviors and disrespectful
actions towards his spouse. Sometimes these
actions are aggravated by wrong nurturing
patterns and the problematic family condition
experienced by the perpetrator in childhood
therefore sometimes influencing them in
adulthood.
The society acts passively in observing conflict
and domestic violence, although they still give
some attention. The principle of harmony in
Javanese culture is firmly held in addition to the
society's perception that domestic affairs are
taboo and sensitive. As a result the society tends
to be reluctant to intervene when domestic
violence occurs. Intervention towards family
conflicts can damage the principle of harmony
2. Intervention from the social environment in
domestic conflicts
164
teguh ditambah persepsi masyarakat bahwa
urusan rumah tangga adalah hal yang tabu dan
sensitif untuk dicampuri menyebabkan
masyarakat enggan campur tangan ketika
melihat kekerasan dalam rumah tangga terjadi.
Intervensi yang dilakukan terhadap konflik
rumah tangga dianggap dapat merusak prinsip
keharmonisan tersebut dan mengganggu
kerukunan dengan keluarga bersangkutan
yang tengah ada permasalahan. Di samping itu,
keluarga yang sedang ber konflik pun juga
akan memproteksi diri dari campur tangan
orang lain agar jangan sampai permasalahan
rumah tangga diketahui karena merupakan aib
keluarga. Namun demikian, masyarakat masih
tetap memberikan perhatian kendatipun tidak
secara pro aktif, terutama jika sudah
menyangkut keselamatan jiwa. Terkadang,
bentuk pengawasan yang dilakukan hanya
sekedar menjadikannya bahan pergunjingan
antar tetangga atau teman.
Di sisi lain, ada juga anggapan bahwa konflik
dan kekerasan dalam rumah tangga adalah hal
yang biasa dan dianggap bumbunya
pernikahan sehingga masyarakat menilai
bahwa konflik dan kekerasan dalam rumah
tangga bukanlah hal yang serius untuk
diintervensi pihak luar. Anggapan tersebut
menjadikan masyarakat menjadi permisif atas
terjadinya konflik dan kekerasan dan berujung
and disturb harmony with the family that is
currently experiencing a conflict. In addition,
the family in conflict will also protect
themselves from external intervention to make
sure the family problems do not go out in the
open because it is the taboo of the family.
However, the society remains to give attention
although not proactively, particularly related
with saving one's life. Sometimes, the form of
monitoring will only become a material for
gossip between neighbors or friends.
On the other hand, there is also an assumption
that conflict and domestic violence is common
and is the spice of the marriage therefore the
society views that conflicts and domestic
violence is not something which requires
165
The expression, “settling matters
using a man's way” often is
uttered by the subjects that lead
to violence, towards other men
and also towards their own
families, particularly wives
dengan kurangnya tindakan pencegahan dan
pengawasan sedini mungkin atas terjadinya
konflik terutama kekerasan dalam rumah
tangga. Hal ini terbukti dengan pendapat para
subjek yang menyatakan baru akan memberi-
kan intervensi jika sudah bersifat membaha-
yakan.
Peran pemuka adat, tokoh masyarakat dan
tokoh agama dalam penanganan kekerasan
dalam rumah tangga terbukti berguna. Fungsi
dan peran strategis para tokoh dan pemuka
masyarakat tersebut sebagai figur yang
dilekatkan padanya tatanan norma-norma
perikehidupan sehingga menjadi rujukan dan
tempat bernaung para masyarakat. Penghor-
matan pada para tokoh masyarakat dan
pemuka agama adalah sebagai perwujudan
dari penghormatan terhadap etika moral Jawa
yang wajib dijunjung tinggi.
Disamping itu, citra dan peran laki-laki sebagai
pemimpin dalam keluarga menimbulkan sikap
dalam diri laki-laki bahwa keluarga adalah
simbol harga dirinya sehingga tidak sembarang
orang dapat campur tangan termasuk ketika
terjadi kekerasan dalam rumah tangga. Para
tokoh masyarakat dan pemuka agama inilah
yang dianggap sebagai figur yang sesuai dan
setara dengannya ketika harus ada intervensi
terhadap konflik dalam keluarganya.
intervention from the society. This assumption
allows a permissive attitude from the society in
the event of conflict and domestic violence and
leads to the lack of preventive measures and
monitoring to anticipate conflict and domestic
violence. This is proven by the subject's opinion
stating that he would only intervene when the
circumstances are severe.
The role of custom leaders, society leaders, and
religious leaders in managing domestic
violence is proven to be useful. Their function
and roles as figures that are attached to life
norms, enable them to become references and
places for the people to seek protection. Respect
to society figures and religious leaders is an
actualization of the respect towards Javanese
moral ethics that are worthy of profound
respect.
Moreover, the image and roles of men as leaders
in the family creates an attitude within the men
themselves that the family is a symbol of their
self esteem therefore not all people can interfere
in the event of domestic violence. The society
figures and religious leaders are the
appropriate and equal figures that should
apply intervention towards conflicts within the
family.
166
G. Intervensi yang perlu dilakukan
Program pelibatan laki-laki dalam penanganan
kekerasan dalam rumah tangga telah lama
dilakukan oleh banyak negara berkembang
seperti Amerika, Kanada, Australia dan
Inggris, sedangkan di wilayah Asia sedang
mulai dirintis oleh beberapa negara. Bentuk
program yang dilakukan antara lain adalah
training gender, advokasi kebijakan, konseling
keluarga, kampanye pelibatan laki-laki dalam
isu kekerasan terhadap perempuan, pendam-
pingan hukum dan layanan konseling peru-
bahan perilaku, baik secara individu maupun
kelompok bagi laki-laki pelaku kekerasan
dalam rumah tangga. Program-program
tersebut biasanya dilakukan oleh lembaga swa-
daya masyarakat ataupun oleh lembaga peme-
rintah seperti rumah sakit dan kepolisian. Salah
satu program penanganan dari sisi hukum
yang pernah dilakukan adalah dengan pembe-
rian sanksi hukum berupa menahan laki-laki
pelaku kekerasan, namun hal tersebut tam-
paknya tidak secara signifikan berhasil mengu-
rangi kasus kekerasan dalam rumah tangga,
namun justru mengundang resistensi dari para
pelaku untuk tetap melakukan tindak kekera-
san dalam bentuk yang lain. Disamping itu,
juga banyak para laki-laki yang enggan untuk
mengikuti atau sekedar mendatangi kegiatan
dan tempat layanan yang berhubungan dengan
G. Necessary intervention
The program of men's involvement in
managing domestic violence has been
implemented for some time by developed
countries for example United States, Canada,
Australia, and England, while in Asia the
program has only started in a number of
countries. The form of the programs include
gender training, policy advocacy, family
counseling, campaigns of male involvement in
the issue of violence against women, legal
assistance and counseling on behavior
modification, which are conducted to
individuals or groups of male perpetrators of
domestic violence. These programs are usually
conducted by NGO's or government
institutions for example hospitals and the
police. One of the programs of management
from the legal aspects is giving legal sanctions
towards male perpetrators of violence;
however the results were insignificant to
reduce the total cases of domestic violence. It
has rather stimulated resistance from
perpetrators to continue committing violence
in other forms. In addition, several men are
reluctant to participate or visit activities and
services related with the issue of violence
against women and domestic violence. An
evaluation of the process gives some feedback
o n t h e r e q u i r e d a p p r o a c h e s a n d
167
isu kekerasan terhadap perempuan dalam
rumah tangga. Evaluasi dari proses tersebut
memberikan masukan berupa perlunya
pendekatan dan pemahaman tentang kekera-
san dalam rumah tangga dari sudut pandang
para laki-laki pelaku kekerasan.
Pemaparan para subjek tersebut menunjukkan
bahwa permasalahan rumah tangga, juga
pandangan mereka terhadap kekerasan dalam
rumah tangga merupakan permasalahan yang
sensitif dan tabu untuk dibicarakan dan
diintervensi, terlebih oleh pihak-pihak yang
belum dikenal dekat secara emosional. Di sisi
lain, pemahaman masyarakat terhadap isu
kekerasan dalam rumah tangga itu sendiri juga
berpengaruh terhadap minat laki-laki untuk
ikut terlibat. Misalnya tentang bagaimana
kekerasan terhadap perempuan itu diselesai-
kan, siapa yang harus bertanggung jawab,
bagaimana kekerasan dipandang sebagai hal
yang lumrah dalam kehidupan rumah tangga
serta bagaimana masyarakat memisahkan
ruang publik dan ruang domestik sebagai
urusan laki-laki dan perempuan. Hal tersebut
sesuai dengan pendapat Arivia (dalam
Fadjayarna, 2007) yang mengatakan bahwa
sebagian besar korban kekerasan dalam rumah
tangga adalah istri dan para korban biasanya
tidak mampu berbicara secara terbuka
mengenai kasus yang dialaminya. Hal ini dapat
understandings concerning domestic violence
from the perspective of male perpetrators.
The explanations of the subjects demonstrate
that family problems are sensitive problems
and taboo to be talked about and intervened, let
alone by parties that are not known
emotionally. On the other hand, the society's
understanding towards issues of domestic
violence also influences a man's interest to get
involved. For example how to resolve problems
of violence towards women, who must be
responsible, how violence is viewed as
something common in family life and how the
society separates the public domain with the
domestic domain as the issues of men and
women. This is in accordance with the opinion
of Arivia (cited in Fadjayarna, 2007) that states
that most victims of domestic violence are
wives and that the victims are unable to speak
openly about the case they experienced. This
could be understood because recently such
cases have been ignored or undermined by the
surrounding community. In addition, there are
values in the society claiming that such cases
are taboo and are personal problems not
requiring any intervention. This condition
makes neighbors or other witnesses to be
reluctant to give assistance to the victim. The
victim themselves must endure a large amount
of loss for example costs for medication for
168
dimengerti karena selama ini kasus-kasus
kekerasan tersebut tidak ditanggapi dan
cenderung diremehkan oleh masyarakat
sekitar. Selain itu, adanya nilai-nilai dalam
masyarakat bahwa jika seseorang mencerita-
kan kasus tersebut dianggap merupakan aib
keluarga serta masalah dalam rumah tangga
merupakan masalah pribadi yang orang lain
tidak boleh campur tangan sehingga para te-
tangga atau saksi lainnya biasanya enggan
untuk membantu korban. Korban sendirilah
yang banyak menanggung kerugian, seperti
biaya pengobatan untuk pemulihan, mencari
perlindungan diri atau menanggung aib atau
citra buruk. Hal ini lebih karena faktor budaya
sehingga jika ada seseorang atau lembaga yang
hendak memberikan intervensi terhadap kasus
kekerasan dalam rumah tangga, maka akan ba-
nyak mengalami kendala jika tidak mengada-
kan pendekatan terhadap tokoh-tokoh yang
disegani oleh masyarakat setempat, misal to-
koh adat atau tokoh agama.
Maka pendekatan dari sisi pelaku kekerasan
mutlak diperlukan. Strategi pergerakan yang
bersifat budaya, seperti pembentukan basis-
basis penyuluhan tentang masalah kekerasan
dalam rumah tangga bukan hanya permasala-
han kaum perempuan perlu dilakukan pada
tingkat pemerintahan terkecil RT/RW, juga
pendekatan terhadap tokoh-tokoh masyarakat
recovery, seeking self protection or bearing the
taboo and negative image in the society which
are largely due to cultural factors. Therefore
when a person or an institute intends to provide
intervention towards cases of domestic
violence, respected local figures, for example
custom leaders and religious leaders must be
approached to anticipate the numerous cultural
barriers that may emerge.
Therefore an approach from the side of the
perpetrator must be conducted. A strategy
which considers cultural aspects must be taken,
for example socializing that domestic violence
is not only a problem for women but also for
169
giving legal sanctions towards
male perpetrators of violence;
however the results were
insignificant to reduce the total
cases of domestic violence. It
has rather stimulated
resistance from perpetrators to
continue committing violence
in other forms
dan agamawan. Dukungan pemerintah seperti
yang tertuang dalan tujuan UUPKDRT bahwa
menjaga keutuhan dan keharmonisan rumah
tangga merupakan kewajiban kedua belah pi-
hak, baik suami maupun istri. Hal tersebut me-
mungkinkan para pelaku tindak kekerasan da-
lam rumah tangga mendapat sanksi pidana,
serta tidak menutup kemungkinan pula bagi
pelaku untuk mendapatkan sanksi alternatif
berupa re-edukasi dan treatment perilaku yang
bermasalah dibawah pengawasan lembaga ter-
tentu. Alternatif sanksi berupa re-edukasi da-
pat berbentuk konseling psikologis dan pendi-
dikan hukum untuk memberikan kesempatan
bagi pelaku untuk memperbaiki diri dalam re-
lasi rumah tangga, serta lebih meningkatkan
kemampuan pemecahan masalah dalam
keluarga dengan cara-cara yang positif.
men. This effort must be implemented in the
lowest government unit, namely RT/RW, and
must also take into account social and religious
figures. Government support as mentioned in
the goals of UUPKDRT to maintain the integrity
and harmony of the family is the obligation of
both parties, the wife and the husband. This
allows the perpetrators of domestic violence to
receive criminal sanctions, and may also receive
alternative sanctions in form of re-education
and behavioral treatment under the
supervision of a particular institute. The
alternative sanctions in form of re-education
can take the form of psychological counseling
and legal education to give an opportunity for
the perpetrators to improve their relations in
the family, and improve their abilities in
problem solving in the family using positive
methods.
170
PENUTUP
Hasil penelitian ini memberikan gambaran
kepada kita akan bagaimana dinamika pikir
(kognitif) dan rasa (emosi) kaum laki-laki,
terkait dengan konsep maskulinitas dan
kekerasan dalam rumah tangga.
Sebagai konsekuensi dari struktur faali yang
demikian rupa, laki-laki dikonstruksikan oleh
budaya dengan sedemikian sistematisnya
dalam rambu-rambu nilai dan batasan yang
disebut sebagai “maskulin”, sehingga mereka
terdidik dan tumbuh menjadi individu dengan
konsep diri yang “maskulin” itu. Nilai-nilai
maskulini-tas yang menekankan pada laki-laki
untuk memenuhi kriteria karakter, peran, dan
fungsi sosial sebagai ”pemimpin” bagi
perempuan dan anak-anak, telah menem-
patkan laki-laki ke dalam struktur tertinggi
dalam pola relasi laki-laki-perempuan di
masyarakat.
Berbagai faktor sosial budaya (pola penga-
suhan dalam kelaurga dan penafsiran ajaran
agama) telah teridentifikasi sebagai faktor yang
menjadi pilar utama bagi pembentukan konsep
diri maskulin tersebut. Gambaran tentang nilai
maskulinitas yang demikian superior (seperti
rasional, tangguh, pemberani, pelindung kelu-
arga, dsb.) dibanding dengan nilai-nilai femini-
CLOSING
The results of the study gives a description on
the dynamics of the cognitive and emotional
dynamics of men, related with the concept of
masculinity and domestic violence.
As a consequence of physiological structures,
men are culturally constructed to be labeled as
masculine, and as a result are educated and
grown to be individuals with a masculine self
concept. Values of masculinity emphasizing the
fulfillment of characteristics, roles and social
functions as a “leader” for women and
children, have placed men as superior to
women in the society.
Several socio-cultural factors (patterns of
nurturing in the family and religious
interpretation) have been identified as a factor
that becomes the main pillar for forming the
masculine self concept. A description of the
values of masculinity that is superior (for
example being rational, strong, brave, the
protector of the family, and interpretation of
religious texts) have been identified as a factor
that becomes a main pillar for the formation of
this masculine self concept. A description of the
values of masculinity that are superior (for
example rational, tough, brave, protector of the
175
tas, tak urung telah menimbulkan konflik inter-
nal pada laki-laki, yaitu konflik antara diri ideal
dan diri yang aktual.
Selanjutnya, pandangan laki-laki sendiri
tentang KDRT menunjukkan bahwa konflik
diri antara diri ideal dan diri aktual seringkali
merupakan faktor yang dapat memicu
munculnya konflik berkekerasan dalam
perkawinan. Beban psikologis yang berat
karena menyandang figur pengayom dan
penanggung jawab kelangsungan hidup
keluarga, telah menjadikan laki-laki pada
posisi yang penuh tekanan. Situasi ini pada
gilirannya dapat menjadi semacam “pemantik”
bagi munculnya KDRT, ketika konflik muncul
antara suami dan isteri. Oleh karenanya, untuk
mengatasi masalah KDRT ini perlu dilakukan
upaya penjangkauan kepada laki-laki sebagai
pelaku dan potensial pelaku KDRT, baik untuk
upaya pencegahan maupun penyembuhan.
Penelitian ini pada dasarnya merupakan studi
eksploratif awal dalam upaya memahami
dinamika pemikiran dan perasaan kaum laki-
laki, terkait dengan isu maskulinitas dan
kekerasan dalam rumah tangga. Sebagai
sebuah penelitian awal, maka penelitian ini
memiliki banyak kekurangan. Oleh karenanya,
pada penelitian di masa yang akan datang,
REKOMENDASI
family, etc) compared to feminine vales, have
led to an internal conflict among men, namely a
conflict of the ideal self and the actual self.
Furthermore, the perspectives of men towards
domestic violence itself demonstrate that the
conflict between ideal self and actual self often
becomes a factor that triggers violent conflicts
within a marriage. The large psychological
burden of being a figure that is responsible to
protect and maintain the sustenance of the
family, have drove men to enter a status which
implies enormous burden. This situation would
in turn become a trigger for the event of
domestic violence, when conflict emerges
between the husband and wife. Therefore, to
overcome the problems of domestic violence as
efforts of prevention and recovery, men need to
be involved since they are dominantly
perpetrators and are also potential perpetrators
of domestic violence.
This study serves as a preliminary explorative
study as an effort to understand the dynamics
of thoughts and feelings of men, related with
issues of masculinity and domestic violence. As
a preliminary study, therefore the current study
has several limitations. Therefore for future
studies, the following aspects need to be
RECOMMENDATION
176
perlu mempertimbangkan beberapa hal
berikut ini:
1. Mencoba menggali hal ini di berbagai
budaya yang berbeda, agar dapat
dijadikan semacam komparasi dan
memahami masing-masing
budaya dalam konteks maskulinitas
dan kekerasan dalam rumah tangga.
2. Mencoba mengeksplorasi lebih banyak
dari perspektif laki-laki yang telah jelas
teridentifikasi sebagai ”pelaku kekera-
san”, agar dapat lebih memahami ba-
gaimana dinamika internal yang meng-
aktualisasikan pemikiran dan perasaan
maskulinitas laki-laki ke dalam peri-
laku kekerasan terhadap pasangan.
3. Perlu juga diteliti laki-laki yang telah
mampu keluar dari “penjara” kele-
lakian agar dapat menjadi “ ”
bagi laki-laki lain yang mengalami
masalah karena gagal memenuhi
pencitraan sosial maskulinitas tradisi-
onal tersebut.
setting
diversity
benchmark
considered:
1. Trying to explore this in numerous
different cultural settings, in order to
compare and understand the diversity of
each culture in the context of masculinity
and domestic violence.
2. Try to explore the perspectives of men
that have clearly been identified as
“perpetrators” to gain further under-
standing on the internal dynamics that
actualize the thoughts and feelings of
masculinity among men in the behaviors
of violence towards their spouse.
3. Studies about men who decide not to
conform to traditional manhood
standards. These men would become a
benchmark for other men who expe-
rience the problem of failing to fulfill the
social ideals of traditional masculinity.
177
KEGIATAN PELIBATAN LAKI-LAKI
DALAM PENANGANAN KEKERASAN
DALAM RUMAH TANGGA
ACTIVITIES OF MALE
INVOLVEMENT IN OVERCOMING
DOMESTIC VIOLENCE
181
Talk Show “Selamat Datang Laki-laki Baru” di Yogyakarta sebagai salah satu langkah
penyebaran citra baru maskulinitas laki-laki yang anti kekerasan dalam rumah tangga. Acara
ini menghadirkan pembicara Walikota Yogyakarta, GKR Pembayun, Prof. Muhadjir Darwin dan
bintang tamu Katon Bagaskara
Kampanye laki-laki anti
terhadap kekerasan dalam
rumah tangga. Acara ini
dalam rangka menggalang
dukungan para laki-laki
dalam penghapusan
kekerasan dalam rumah
tangga. Diwarnai dengan
orasi dan pernyataan sikap
anggota DPRD kota
Yogyakarta serta
pemasangan pita putih dan
PIN laki-laki anti kekerasan
dalam rumah tangga
182
Penggalangan tanda
tangan para laki-laki di
Yogyakarta yang
mendukung
penghapusan
kekerasa dalam rumah
tangga
183
Seminar dan lokakarya Strategi Perlibatan Laki-laki dalam Penghapusan Kekerasan
Terhadap Perempuan di Indonesia yang diselenggaraka Rifka Annisa di Yogyakarta
bekerjasama dengan Kementrian Pemberdayaan Perempuan Indonesia
184
Andayani, B. 2000. Profil keluarga anak-anak bermasalah.
Bhasin, K. 2004. Women Unlimited, New Delhi, India
Blyth, D.A., Simmons, R.G. and Zakin, D.F. 1985. Satisfaction with Body Image for Early Adolescent
Females: The Impact of Pubertal Timing Within Different School Environments,
Vol.14, No.3, 1985.207-225
Brody, L.R. (1985). Gender differences in emotional development: Areview of theories and research.
, 102–149.
Campbell, J., 2002. Health consequences of intimate partner violence. , 359,April.
Darwin, M. 2007. . Naskah Seminar “Selamat Datang
Laki-laki Baru” RifkaAnnisa WCC. Tidak Diterbitkan.
Dzuhayatin, S.R.; 1997; dalam
Abdullah, I (ed); ogyakarta: Pustaka Pelajar.
Eisenberg,A., Cumberland,A., & Spinrad, T. L. (1998). Parent socialization of emotion. ,
241–273.
Ellsberg & Gottemoler, 1999. Ending violence against women. , Vol. XXVII, No. 4.
Fadjayarna. 2007. Studi Dampak Kekerasan Fisik dan Psikologis terhadap Istri. tidak diterbitkan.
Program Pasca Sarjana, Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
Gottman, J.,& DeClaire, J. 1997. London:
Blumsbury.
Grinder, R. 1978. . New York: John Wiley & Sons).
Hjelle, L.A. and Ziegler, J.D. 1981. .
Auckland: McGraw-Hill International Book Company.
Jurnal Psikologi Fakultas Psikologi UGM Vol. 2,
Desember.
Exploring Masculinity.
Journal of Youth and
Adolescence,
Journal
of Personality 53,
The Lancet
Ideologi Maskulin dan Kekerasan Terhadap Perempuan
Agama dan Budaya Perempuan: Mempertanyakan Posisi perempuan dalam Islam;
Sangkan Paran Gender; Y
Psychology Inquiry 9,
Population Report
Tesis,
The Heart of Parenting : How to Raise an Emotionally Intelegent Child.
Adolescence (2ed)
Personality Thoeries: Basic Assumptions, Research and Applications
187
Http://www.perempuan.com/index.php?catid=65&screen=14
The Lancet
S e x R o l e s : A J o u r n a l o f R e s e a r c h
http://www.findarticles.com/cf_0/m2294/2001_Nov/87080429/p1/article.jhtml.
The Seven P's of Men's Violence. http://www.michaelkaufman.com/articles/7ps.html
Journal Health and Social Care in the Community, Vol.12, (5), 422-429.
Fifteen Years of Theory and Research on Men's Gender Role Conflict: New Paradigms for
Empirical Research ANew Psychology of Man
Keterlibatan Pria Dalam Kesehatan Reproduksi, Perspektif Islam.
Maskulinitas Remaja Pria. http://64.203.71.11/kompas-cetak/0711/30/swara/ 4038045.htm
Handbook of individual
differences: Biological perspectives
http://library.usu.ac.id/download/fk/psikologi-Meutia.pdf
Violence
Against Women, 5, 182-203.
http://library.usu.ac.id/
download/fk/keperawatan-salbiah2.pdf
Life Span Development, Perkembangan Masa Hidup. Edisi ke lima. Jilid II.
Etika Jawa. Sebuah analisa falsafi tentang kebijaksanaan hidup Jawa.
Jewkes, R., 2002. Intimate partner violence: causes and prevention, , 358, p 1423-1429.
Jones, D.C. 2001. Social Comparison and Body Image: Attractiveness Comparisons to Models and Peers
A m o n g A d o l e s c e n t G i r l s a n d B o y s . .
Kaufman, M. 1999.
Lee, Romeo.B. 2004. Filipino men's familial roles and domestic violence: implications and strategies for
community-based intervention.
Blackwell Published Ltd.
Levant & Pollack. 1995;
; ; Basic Books.
Ilyas, H., Ariyani, S.A., Hidayat, R., (2005).
Pusat Studi Wanita (PSW) UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Lukmantoro, T. 2007.
Manstead, A. S. (1992). Gender differences in emotion. In A. Gale &M. Eysenck (Eds.),
(pp. 355–387). New York: Wiley.
Nauly.M. 2002. Konflik Peran Ganda pada Pria : Teori dan Pendekatan Empirik. Fakultas Kedokteran
Program Studi Psikologi USU.
O'Neil, J.M., & Harway, M. (1997) . Multivariate model explaining men's violence toward women.
Salbiah. 2003. Konsep Diri. Program Studi Ilmu Keperawatan. USU.
Santrock, J.W. 2002. Jakarta:Erlangga.
Suseno. F.M. 2001. Jakarta. P.T. Gramedia.
188
Taylor. S.E., Peplau, L.A., & O'Sears, D. 1994. Edition. New Jersey : Prentice Hall.
Tim Penyusun Kamus Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. 1997.
Jakarta. Balai Pustaka.
UNESCO. 2006. New Delhi United Nations
Educat ional Sc ient i f i c and Cultura l Organizat ion .
Weisbuch, M., Beal, D., Edgar, C., O'Neal. 1999. How Masculine Ought I Be? Men's Masculinity and
Aggression. Nos. 7/8. Plenum publishing corporation
World Health Organization, 2005.
. Geneva, Switzerland7 Department of Gender, Women and Health, World Health
Organization.
______________________, 2005.
Geneva, Switzerland7
Department of Gender, Women and Health, World Health Organization.
Social Psychology 8
Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi
Kedua.
Masculinity for Boys : Resource Gude for Peer Educator. .
h t tp : / /unesdoc .unesco .org /
images/0014/001465/146514e.pdf.
Journal Sex Roles Tulane University, Vol.40,
Addressing violence against women and achieving the millennium development
goals
Multicountry study on women's health and domestic violence against women:
initial results on prevalence, health consequences and women's response
th
189
Nur Hasyim
Aditya Putra Kurniawan
adalah MRTC (
Center) Rifka Annisa
Yogyakarta. Ia menempuh pendidikan S1 di
Universtas Islam Negeri Yogyakarta, ber-
gabung dengan Rifka Annisa sejak tahun 1999.
Pada periode tahun 2005 – 2006 ia
berkesempatan menempuh pendidikan jangka
pendek di
dan melakukan penelitian
tentang Keterlibatan Laki-laki dalam
Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga
di India. Ia berpengalaman melakukan
kegiatan advokasi dalam ranah gender dan
HAM bekerjasama dengan NGO lokal dan
internasional. Selain itu, ia juga aktif sebagai
konselor bagi laki-laki pelaku kekerasan dan
sedang terlibat dalam pengembangan Program
Keterlibatan Laki-laki dalam Penghapusan
Kekerasan Terhadap Perempuan di Indonesia.
adalah
pada MRTC (
Center) Rifka Annisa Yogyakarta. Ia lulusan S1
Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada
Yogyakarta dan bergabung dengan Rifka
Annisa sejak tahun 2007. Selain sebagai
peneliti, ia juga seorang konselor psikologi bagi
laki-laki pelaku kekerasan. Pada pertengahan
tahun 2007, ia mendapatkan kesempatan
belajar tentang program layanan perubahan
Manager Media
Research and Training
Department of Sociology, University of
Mumbai, India
Research
Officer Media Research and Training
Nur Hasyim
Aditya Putra Kurniawan
is the manager of the MRTC
( Center) at Rifka
Annisa Yogyakarta. He earned his bachelor's
degree at State Islamic University, Yogyakarta
and joined Rifka Annisa from 1999. In 2005 –
2006 he earned the opportunity to study in the
and performed studies concerning Men
Involvement in Eradicating Domestic Violence
in India. He has experience in conducting
advocacy in gender and human rights issues
and cooperates with local and international
NGO's. He is also active as men's counselor for
male perpetrators of violence and is currently
engaged in developing the Program of Men's
Involvement to Eradicate Violence Against
Women in Indonesia.
is a in
MRTC ( Center)
Rifka Annisa, Yogyakarta. He earned his
bachelor's degree at the Faculty of Psychology,
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta and
joined Rifka Annisa from 2007. In addition to
being a researcher he also acts as a counselor for
male perpetrators of violence. In mid-2007 he
gained the opportunity to study about services
of behavior modification for male perpetrators
in the
Media Research and Training
Department of Sociology, University of Mumbai,
India
Research Officer
Media Research and Training
Child and Family Services, Ballarat,
193
perilaku bagi laki-laki pelaku kekerasan di
dan
beberapa lembaga lain di Australia. Saat ini
bersama-sama dengan para staf Rifka Annisa
sedang terus mengembangkan program
layanan perubahan perilaku bagi laki-laki
pelaku kekerasan di Yogyakarta.
adalah Direktur Eksekutif
Rifka Annisa Yogyakarta. Ia lulus S1 di Fakultas
Psikologi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta
dan bergabung sebagai aktivis di Rifka Annisa
sejak tahun 1993. Sesuai dengan latar belakang
ilmunya, ia menggeluti bidang pendampingan
psikologis bagi perempuan korban kekerasan.
Pada tahun 2000 ia menuliskan pengalaman
pendampingannya dalam buku
. Ia menamatkan
program pascasarjana di
Swedia dan saat ini sedang
melanjutkan program doctoral (PhD) di
universitas yang sama. Selain itu ia juga aktif
sebagai pelatih untuk masalah gender,
kekerasan terhadap perempuan, dan konseling
bagi perempuan korban kekerasan. Saat in,
selain sebagai Direktur Rifka Annisa, ia juga
aktif menjadi staf pengajar di Fakultas
Psikologi Universitas Ahmad Dahlan
Yogyakarta dan juga tergabung dalam
WHINGS (
Child and Family Services, Ballarat, Australia
”Konseling
Berwawasan Gender, Panduan untk Pendamping
Perempuan Korban Kekerasan”
Master of Public Health
Umea University,
Women International Network on
Elli Nur Hayati
Australia
”Counseling with a Gender
Perspective, a Handbook for Assisting Women
Victims of Violence”
Masters of Public Health
Umea University,
Women International Network on Gender and
Human Security
and other institutes in Australia.
Currently, at Rifka Annisa he continues to
develop programs of behavior modification for
male perpetrators in Yogyakarta.
is the Executive Director at
Rifka Annisa, Yogyakarta. She earned her
bachelor's degree from the Faculty of
Psychology Universitas Gadjah Mada
Yogyakarta and joined Rifka Annisa from 1993.
Consistent with her studies she worked
intensively in psychological assistance for
women victims of violence. In the year 2000 she
wrote her experiences in giving psychological
assistance in her book
. She graduated her
postgraduate studies of
in Sweden and is currently
accomplishing her doctoral program (PhD) in
the same university. She is also active in training
programs for gender issues, violence against
women, and counseling for women victims of
violence. Apart from being the Director of Rifka
Annisa, she is also active as a lecturer in the
Faculty of Psychology, Ahmad Dahlan
University and is also involved in WHINGS
(
), a women network from five
continents who promote peace and gender
Elli Nur Hayati
194
Gender and Human Security), suatu jaringan
perempuan dari lima benua untuk perdamaian
dan keadilan gender, AISKI atau Asosiasi
Ilmuwan Sosial dan Kesehatan Indonesia.
equality, as well as AISKI or the Indonesian
Association of Social and Health Scholars.
193