Being a man: Javanese Male Perspectives about Masculinity and Domestic Violence

226
Menjadi Being Laki-laki a Man Pandangan Laki-laki Jawa Tentang Maskulinitas dan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (Javanese Male Perspectives about Masculinity and Domestic Violence)

Transcript of Being a man: Javanese Male Perspectives about Masculinity and Domestic Violence

Menjadi BeingLaki-laki a ManPandangan Laki-laki Jawa Tentang Maskulinitas

dan Kekerasan Dalam Rumah Tangga

(Javanese Male Perspectives about

Masculinity and Domestic Violence)

Oleh :

Nur Hasyim

Aditya Putra Kurniawan

Elli Nur Hayati

Author :

Nur Hasyim

Aditya Putra Kurniawan

Elli Nur Hayati

Menjadi BeingLaki-laki a ManPandangan Laki-laki Jawa Tentang Maskulinitas

dan Kekerasan Dalam Rumah Tangga

(Javanese Male Perspectives about

Masculinity and Domestic Violence)

MENJADI LAKI-LAKI (Pandangan Laki-laki Jawa Tentang

Maskulinitas dan Kekerasan Dalam Rumah Tangga)/Nur Hasyim,

Aditya Putra Kurniawan, Elli Nur Hayati, MP/Sambutan: Prof. Dr.

Muhadjir M. Darwin, MPA, Ph.D/Kata Pengantar: Elli Nur Hayati,

MPH/Yogyakarta, Rifka Annisa,2011.

194 Halaman, i-xxviii, 21x21cm, gambar, bagan

ISBN : 978-979-3124-19-17

Nur Hasyim

Aditya Putra Kurniawan

Elli Nur Hayati

Ulin Ni’am

Semua foto adalah dokumen pribadi & Rifka Annisa

Jl. Jambon IV Kompleks Jatimulyo Indah Yogyakarta 55242.

Telp/Fax: +6274 553333

Email: [email protected]

Http://rifka-annisa.or.id

Copyright 2011@Rifka Annisa

Cetakan Pertama, Desember 2007

Cetakan Kedua, Oktober 2011

Jl. Jambon IV Kompleks Jatimulyo Indah Yogyakarta 55242.

Telp/Fax: +6274 553333

Email: [email protected]

Penulis :

Rancang Sampul dan Tata Letak :

Diterbitkan Oleh :

Rifka Annisa

Dicetak Oleh :

Rifka Creative Communication

BEING A MAN (Javanese Male Perspectives about Masculinity

and Domestic Violence)/Nur Hasyim, Aditya Putra

Kurniawan, Elli Nur Hayati, MP/Preface: Prof. Dr.

Muhadjir M. Darwin, MPA, Ph.D/Preface: Elli Nur Hayati,

MPH/Yogyakarta, Rifka Annisa ,2011.

194 page, i-xxviii, 21x21cm, picture, table

ISBN : 978-979-3124-19-17

Nur Hasyim

Aditya Putra Kurniawan

Elli Nur Hayati

Ulin Ni’am

All pictures are private document and Rifka Annisa’s

Jl. Jambon IV Kompleks Jatimulyo Indah Yogyakarta 55242.

Telp/Fax: +6274 553333

Email: [email protected]

Http://rifka-annisa.or.id

Copyright 2011@Rifka Annisa

First Edition, Desember 2007

Second Edition, Oktober 2011

Jl. Jambon IV Kompleks Jatimulyo Indah Yogyakarta 55242.

Telp/Fax: +6274 553333

Email: [email protected]

Writer :

Cover Design and Layout :

Publised By :

Rifka Annisa

Printed By :

Rifka Creative Communication

PENGANTAR PREFACE

Kata Pengantar

Oleh : Muhadjir Darwin

Buku laporan penelitian ini mempelajari

masalah kekerasan perempuan dari sisi lain,

bukan dari sisi korban, melainkan dari sisi

pelaku, yaitu laki-laki. Penelitian ini menguak

pemahaman laki-laki Indonesia tentang diri

mereka. Merujuk penuturan nara sumber

dalam penelitian ini, tampak jelas kuatnya nilai

patriarki laki-laki Indonesia. Nilai patriarki

yang tertanam sangat kuat pada diri ke-

banyakan laki-laki Indonesia menjadi masuk

akal untuk menduga bahwa laki-laki Indonesia

berpotensi melakukan kekerasan terhadap

perempuan. Repotnya, kesadaran hegemonis

laki-laki ini justru menjadi masalah besar bagi

dirinya ketika menyaksikan situasi yang

berkebalikan dengan asumsinya; misalnya

ketika ternyata perempuan bisa lebih maju

dalam pendidikan atau karier. Melihat

kenyataan semacam itu, laki-laki yang

dikungkung oleh budaya patriarki akan

melihatnya sebagai ancaman, atau bahkan

malapetaka.

Ketika saya mendampingi rekan-rekan dari

PSW suatu universitas negeri di Jawa Tengah

untuk mempresentasikan hasil kajian gender

Preface

By: Muhadjir Darwin

This reports investigates the issue of violence

against women using a different perspective, as

opposed to studying women as the victims, the

current study presents a perspective from the

perpetrators of violence, namely men. The

study explores how Indonesian men perceive

themselves, and based upon the elaborations

from the sources of the study, a strong value of

male patriarchy is present among Indonesian

males. With patriarchal values strongly

embedded within most Indonesia men, it

becomes plausible to assume that Indonesian

men are susceptible to conduct violence against

women. On the other hand, male hegemonic

awareness becomes a large problem for men

when they observe a situation that contradicts

their assumptions, for example when women

demonstrate to become more advanced in their

education and career. In this context, men that

are tied up in patriarchal cultures will view

such events as threats or even a disaster.

When I assisted my colleagues from PSW from

a state university in Central Java, to present the

results of gender mainstreaming to the

university and faculty management, a

v

mainstreaming di Universitas tersebut kepada

rapat pimpinan universitas dan fakultas,

seorang peserta yang merupakan wakil dekan

dari salah satu fakultas di universitas tersebut

menyatakan kekhawatirannya terhadap

kemajuan perempuan, yang menurut dia

merupakan tanda-tanda dari akhir zaman,

karena salah satu tanda datangnya kiamat

adalah ketika perempuan menguasai dunia.

Jadi dalam pandangannya, kemajuan

perempuan bukanlah suatu berkah tetapi

bencana bagi umat manusia.

Kultur patriarki sebenarnya membelenggu

laki-laki itu sendiri. Membuat mereka mudah

cemburu ketika makhluk berjenis kelamin lain

menyainginya atau ketika dirinya sendiri gagal

memunuhi tuntutan budaya patriarki. Imej

laki pada masyarakat patriarkis adalah sebagai

sosok pencari nafkah yang kuat dan gigih.

Ketika pria gagal memenuhi imej seperti ini,

misalnya ketika dia gagal mencari pekerjaan

atau terkena PHK, dia akan terjebak kepada

tekanan psikologis yang luar biasa, lebih dari

perempuan yang mengalami hal serupa.

Perempuan lebih aman jika berada dalam

status menganggur, karena di masyarakat

patriarkis perempuan justru dituntut untuk

harus berada di rumah sebagai ibu rumah

tangga, patuh dan setia pada suami. Ketika

masyarakat mengalami modernisas i ,

participant, of whom held the position as vice

dean from of the university faculties, expressed

his concerns towards the advance of women, of

which according to him becomes one of the

indicators of the end of the world. According to

him the sign of the apocalypse is marked by

women ruling the world. So according to his

view, women advancing are not a blessing but

rather a disaster to human kind.

Patriarchal cultures actually confine men as to

make them easily become envious when the

opposite sex competes with them, or when he

himself fails to fulfill the demands of the

patriarchal culture. Man's image in a

patriarchal society is marked by a figure that is

strong, determined and is responsible to seek

an earning. When men fail to fulfill these ideal

images, for example he fails to get a job or is laid

off by employers, he will be subject to

tremendous psychological distress, even more

severe compared to women who encounter

identical situations. Women are more secure

when they hold the status of unemployment,

because in the patriarchal society, women are

demanded to stay at home as the housewife,

and be obedient and loyal towards her

husband. In line with the progress of

modernization, study and work opportunities

have increasingly opened up for women, and

therefore men and women compete in

vi

kemudian peluang belajar dan bekerja terbuka

lebar bagi perempuan, terjadilah persaingan

antara laki-laki dan perempuan di dunia

pendidikan dan dunia kerja, karena ternyata

perempuan bisa lebih ulet, teliti, bertanggung-

jawab, berprestasi, tidak banyak tuntutan, dan

di dunia kerja bersedia menerima upah yang

lebih rendah.

Pada sisi lain, perempuan di masyarakat

patriarkis tidak memberi ruang bagi laki-laki

untuk berperan di ranah domestik menger-

jakan pekerjaan “feminin”, seperti mengasuh

anak, memasak, mencuci piring, menyapu

lantai dan halaman. Ketika seorang suami

bermaksud membantu istrinya memasak atau

mencuci pakaian, dapat saja sang istri justru

mencegah dengan mengatakan, “jangan Pa,

biar mama saja, ini kan pekerjaan perempuan”.

Jadi fenomena “double burden” pada perem-

puan tidak seluruhnya karena desakan laki-

laki, tetapi dapat juga karena kemauan

perempuan itu sendiri yang karena dia sendiri

terpenjara oleh nilai-nilai patriarkis tetap

merasa perlu untuk harus hadir di rumah

menjalankan fungsi-fungsi domestiknya dan

tidak rela jika laki-laki menjalankan fungsi

yang sama. Hanya dengan cara seperti itu

perempuan dapat menjaga citranya sebagai

perempuan baik-baik. Hal ini masih terjadi

meskipun laki-laki sedang gagal di ranah

education and work. In addition, women are

more favorable to men in some aspects for

example they are more meticulous, persistent,

responsible, have more achievements, not too

demanding, and particularly in work, they are

willing to accept lower wages.

On the other hand, women in patriarchal

societies do not provide space for men to hold

roles in the domestic domain to perform

”feminine” work for example nurturing the

child, cooking, washing the dishes, sweeping

the floor and the veranda. For example when a

husband intends to assist his wife to cook or

wash clothes, the wife would resist and say,

“Don't bother, let me do it, this is women's

work”. Therefore the phenomenon of “dual

burden” upon women is not entirely based on

male demands, however it can also be the result

of the women's willingness to confine her self

within patriarchal values and therefore remain

to adhere to her roles to stay at home to perform

domestic functions and would resist if men

performed the same functions. Only by

following such ways women can maintain their

image of a good woman. Such events may even

persist when men fail in the public domain, for

example when he is laid off from work or when

he receives a lower work status and lower

salary compared to his wife. It is not only the

husband that endures shame, but also the wife.

vii

publik, misalnya ketika dia terkena PHK atau

mempunyai status pekerjaan yang lebih rendah

dengan gaji lebih rendah dibanding istrinya.

Bukan hanya suami yang malu atau kehilangan

muka, tetapi juga istri. Kekerasan yang kemu-

dian dilakukan suami terhadap istri adalah

merupakan jalan keluar yang paling mudah

dari tekanan kejiwaan. Dalam situasi seperti

ini, laki-laki seperti ingin merebut kembali

pengakuan sosial yang hilang dengan meng-

hadirkan salah satu simbol kejantanan, yaitu

kekuatan fisik.

Di masyarakat patriarkis berlaku hukum

oposisi biner dari Claude Levi-Strauss, yang

menyatakan bahwa hanya ada dua tanda atau

kata yang hanya punya arti jika masing-masing

beroposisi dengan yang lain. Keberadaan yang

satu ditentukan oleh ketidakberadaan yang

lain. Siang menjadi ada karena dilawankan

dengan malam, karena siang ada hanya ketika

malam tidak ada. Tidak mungkin keduanya

ada pada saat yang sama karena keduanya

mempunyai sifat yang berlawanan. Hukum

oposisi biner itu berlaku dalam semua hal:

terang–gelap, baik–buruk, maju-mundur,

halus-kasar, surga-neraka, halal-haram dan

seterusnya.

Di dalam opisisi biner, garis batas sifat bersifat

tegas dan mutlak, tidak ada ruang abu-abu, dan

setiap realitas harus masuk dalam salahsatu

Violence directed towards the wife is the most

convenient solution to resolve their mental

distress. In such situations, men appear to be

striving to take back the social acknowledge-

ment that was lost, by using a symbol of their

masculinity, namely physical power.

In a patriarchal society the law of binary

opposition from Claude Levi-Strauss applies.

This law states that two signs or words will only

be meaningful should they be placed at the

opposition of each other. The existence of one is

determined by absence of the other. Day is

present because it is opposed by night, because

day is only present in the absence of night. It is

impossible for the two to be present at the same

time because they both possess opposing

characteristics. The law of binary opposition

applies in all aspects: light-dark, good-bad,

approach-retreat, soft-rough, heaven-hell,

(Allowed-forbidden) and etc.

In binary opposition, the boundaries are firm

and absolute, there is no grey area, and each

reality must enter in one of these absolutely

opposing extremes. I am right and you are

wrong, I am normal and you are abnormal, I am

general and you are specific, I win and you must

lose, I live and you must die. It is immediately

recognized that binary opposition can certainly

create an ambiguous position or a scandal

category. Such categories disturb the system of

halal-haram

viii

kotak yang berlawanan secara mutlak. Saya

benar dan kamu salah, saya normal dan kamu

abnormal, saya umum kamu khusus, saya

menang dan kamu harus kalah, saya hidup dan

kamu harus mati. Segera dapat diduga bahwa

opisisi biner pasti menimbulkan posisi ambigu,

yaitu realitas yang tidak dapat masuk ke dalam

salah satu kategori dari pasangan biner

tersebut. Posisi seperti ini disebut 'kategori

ambigu' atau 'kategori skandal'. Ketegori

seperti ini mengganggu sistem opisisi biner

atau mengotori batas-batas oposisi biner.

Hukum oposisi biner ini berlaku di masyarakat

patriarkis dalam memposisikan laki dan

perempuan di masyarakat. Pada laki-laki

melekat ciri maskulinitas dan pada perempuan

melekat ciri femininitas. Di sini laki-laki

bersifat maskulin yang artinya kuat, berotot,

superior, dan berkuasa, sementara perempuan

bersifat feminin yang artinya lemah, tidak

berotot, subordat, dan dikuasai. Tidak ada

ruang ketiga, yaitu laki-laki mempunyai sifat

feminin dan perempuan bersifat maskulin.

Ketika laki-laki lebih menonjolkan sifat

femininnya (banci/waria) atau perempuan

lebih menghadirkan sifat maskulinnya

(tomboy) ia harus masuk di kategori ambigu

atau kategori skandal yang dimaknai sebagai

sebuah anomali. Sama anomalinya ketika laki-

binary opposition or distort the boundaries of

binary opposition.

This binary opposition law applies in

patriarchal societies in positioning men and

women in society. Men are endowed with

masculine characteristics and women are

ascribed with feminine characteristics. In this

context, masculinity refers to being strong,

muscular, superior, and controlling, meanwhile

women are feminine referring to weak, not

muscular, subordinate and controlled. There is

no room for a third space, where men have

feminine characteristics and women have

masculine characteristics. When men display

their feminine characteristics (transvestites/

queers) or women display their masculine

characteristics (tomboy) they must enter the

ambiguous categories or scandal categories that

are perceived as anomalies. Similar perceptions

are made when men perform domestic roles

(nurturing children, cooking, washing dishes,

or sweeping the floor) or when women engage

in roles within the public domain to become a

leader or manager.

What becomes a problem is that society tends to

reinforce binary opposition by continuing to

reproduce the dichotomies of masculinity and

feminism. Religious and state institutions, and

the media enthusiastically strengthen those

ix

laki menjalankan peran domestik (merawat

anak, memasak, cuci piring, atau menyapu

lantai) atau ketika perempuan memainkan

peran di ranah publik menjadi pemimpin atau

manajer.

Repotnya masyarakat cenderung mengokoh-

kan opisisi biner dengan terus menerus mela-

kukan reproduksi dikotomi maskulinitas dan

femininitas. Institusi agama, negara, atau

media ramai-ramai mengeraskan dikotomi

tersebut, kemudian dari situ lahir kekerasan

terhadap perempuan yang betul-betul

sistemik.

Pengerasan dikotomi oleh institusi agama

menonjol dalam kasus Aceh. Nilai-nilai agama

adalah jantung kehidupan sosial-budaya

masyarakat Serambi Mekkah. Sebagai negeri

yang ruang publiknya begitu diwarnai oleh

nilai-nilai agama, maka budaya patriarkal

merupakan jantung politiknya. Belitan budaya

patriarkal terhadap kehidupan ranah politik

membuat peranan perempuan Aceh tersingkir

dari ruang publik. Penyingkiran itu

berlangsung dalam rangka memperebutkan

legitimasi politik pemerintah (militer) dengan

ulama dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM).

Tiga pilar ini memainkan perannya secara

berbeda dengan hasil yang sama bagi

perempuan Aceh. Militer melancarkan

dichotomies, and this is what leads to the

systematic reinforcement of violence against

women.

The strengthening of the dichotomy by

religious institutions are clearly demonstrated

in the case of Aceh. Religious values become the

heart of socio-cultural life in the

(referring to Aceh) society. As a state of which

its public domain is distinguished by its

religious values, therefore patriarchal cultures

are at the heart of its political domain. The

strains of patriarchal cultures towards the

political domain results in the subordination of

Aceh women from the public domain. Such

subordinations proceed in order to grab

Serambi Mekkah

Repotnya masyarakat cenderung

mengokohkan opisisi biner

dengan terus menerus

What becomes a problem is

that society tends to reinforce

binary opposition by continuing

x

kekerasan untuk menundukkan Aceh secara

keseluruhan dengan menjadikan perempuan

sebagai target, sementara ulama dengan

penafsiran agamanya yang konservatif

membatasi ruang gerak. Di sisi lain, GAM

adalah aktor pemaksa yang mampu meng-

giring perempuan untuk mematuhi aturan dari

ulama dengan kekerasan (Amiruddin,

Kompas, 16 Juli 2005).

Pengerasan dikotomi oleh media misalnya

terlihat dari munculnya banyak majalah

perempuan yang mereproduksi nilai-nilai

femininitas (mode pakaian, resep masakan,

atau kecantikan) dan majalah laki-laki yang

melakukan reproduksi nilai-nilai maskulinitas.

Lihat misalnya artikel-artikel di majalah laki-

laki HAI: "Agar Sekuat Stallone" (21-

27/03/1989), "Agar Perkasa SepertiArnold", dan

"Cowok Paling Takut Dipanggil Si Mungil" (5-

11/12/1989). Dua artikel pertama berisi upaya-

upaya yang harus dilakukan supaya kaum laki-

laki bisa memperoleh bentuk tubuh yang kekar,

sementara artikel ketiga menciptakan stigma

laki-laki kecil sebagai laki-laki lemah. Argu-

mentasi yang dipakai adalah seperti yang ter-

tulis dalam artikel "Agar Perkasa Seperti

Arnold" yaitu," Yang namanya tubuh indah, ki-

ni tak cuma jadi milik cewek. Cowok pun wajib

hukumnya. Meskipun tentu saja ada perbeda-

government political legitimacy (military) with

the (religious clerics) and from Aceh

Freedom Movement (Gerakan Aceh Merdeka-

GAM). These three pillars play their roles

differently but with the same results for Aceh

women. The military launches violence to

dismantle Aceh as a whole by making women

as targets, while the and their

conservative religious interpretations limit

their moving space. In addition, GAM serves as

the imposing party that is able to reel in women

to comply with the rules from the ulama with

violence (Amiruddin, Kompas, 16 July 2005).

The reinforcement of the dichotomy from the

media for example is seen from the numbers of

women magazines that reproduce feminine

values (clothing style, cooking recipes, or

beauty) and male magazines that reproduce

masculine values.

Let's take a look at some articles from the male

magazine HAI: "To be as Strong as Stallone

“(21-27/03/1989), "To be as courageous as

Arnold ", and "Men are most afraid to be called

Tiny “(5-11/12/1989). The first two articles

idealize men to be a strong figure, while the

third article creates a stigma that small men are

weak. The arguments used above resemble the

arguments written in the article”To be as

Courageous as Arnold” namely,”to have an

ulama

ulama

xi

annya. Jika cewek membentuk tubuhnya agar

nampak singset dan seksi, cowok justru harus

kelihatan kekar dan atletis. Toh jika dicari

benang merahnya, ada juga kesamaannya.

Enak dilihat, tubuh pun jadi sehat.

Pengerasan nilai-nilai patriarki dengan

terjadinya perilaku hipermaskulin tidak hanya

merugikan kaum perempuan, yaitu ketika laki-

laki melakukan kekerasan terhadap perem-

puan, tetapi juga terhadap kaum laki-laki itu

sendiri. Data sosial kesehatan Badan Kese-

hatan Dunia (WHO) menunjukkan, angka

kesakitan dan kematian laki-laki dalam rentang

umur 15 sampai 24 tahun jauh lebih tinggi

daripada perempuan, juga jauh lebih tinggi

daripada laki-laki yang rentang umurnya lebih

tua.

Tingginya angka itu sangat terkait dengan

tingginya kejadian perilaku berisiko pada laki-

laki berumur 15-24 tahun. Perilaku berisiko itu

seperti keterlibatan dalam tindak kekerasan

(perkelahian menggunakan senjata), penggu-

naan alkohol, narkotika dan psikotropika, pe-

rilaku seks tidak aman (berganti-ganti pasa-

ngan tanpa menggunakan kondom), atau

penggunaan kendaraan bermotor dengan kece-

patan tinggi yang banyak berakhir dengan

kematian prematur.

Hasil penelitian Barker pada laki-laki berumur

attractive body does not only become an ideal

for women, but also becomes an obligation for

men. Although of course having an attractive

body for women and men imply different

things. For women, they form their bodies to be

tight and sexy, while men must look strong and

athletic. However there are also similarities,

basically attractive bodies are those that are

physically appealing and healthy".

The shifts of patriarchal values with behaviors

of hyper masculinity is not only detrimental to

women, namely when men conducts violence

towards women, but also to the men

themselves. From the social health data from

the World Health Organization (WHO), it

demonstrates that the figures of male illness

and mortalities from the age 15 until 24 years

are much higher compared to women, and is

much higher compared to men with older ages.

The high rates are strongly related with the

higher rates of risk behaviors for men aged 15-

24 years. Risky behaviors include involvement

in violent actions (armed assault), alcohol

abuse, narcotic and psychotropic abuse, and

unsafe sex (different partners without using

condoms), or speeding using a motorcycle, that

may all lead to premature death.

The results of a study from Barker on men

xii

15-24 tahun di Amerika Serikat, Brasil, negara-

negara Karibia, Nigeria, dan Afrika Selatan

menunjukkan pentingnya peran maskulinitas

dalam memicu perilaku berisiko di atas dan

jauh lebih jamak ditemukan di kalangan anak

muda laki-laki dari kelas sosial-ekonomi

bawah. Penelitian Barker ini sebenarnya

banyak bertumpu pada konsep

yang diajukan sosiolog asal

Australia, Bob Connell (Masculinties,

University of California Press, 1994). Connell

menyatakan, maskulinitas tidak bersifat

tunggal, tetapi beragam dan terkait erat dengan

status sosial-ekonomi.

Jenis maskulinitas yang paling banyak ditemui

dan paling dominan adalah

yang dicirikan vitalnya peran

penguasaan terhadap sumber daya ekonomi,

seperti pekerjaan, dan pentingnya kontrol laki-

laki terhadap perempuan, khususnya di sektor

domestik dalam pembentukan identitas kelaki-

lakian. Laki-laki dari kelas sosial-ekonomi

lebih tinggi memiliki sarana lebih leluasa untuk

menegakkan identitas maskulin lewat peker-

jaan. Mereka lebih mudah mendapat pekerjaan

karena umumnya memiliki pendidikan dan

keterampilan lebih tinggi. Laki-laki dari kelas

sosial-ekonomi lebih rendah di negara maju

maupun negara berkembang mengalami ke-

sulitan memenuhi ideal identitas maskulin,

hegemonic

masculinity

hegemonic

masculinity

reveals that men aged 15-24 years in United

States, Brazil, Caribbean Countries, Nigeria,

and South Africa indicate the contribution of

masculinity in triggering the risky behaviors

above and is more prevalent among young men

from the lower socio-economic classes. Barker's

studies actually rests on the concept of

hegemonic masculinity proposed by an

Austra l ian socio logis t , Bob Connel l

(Masculinities, University of California Press,

1994). Connell states that masculinity is not a

single entity, but is diverse and strongly related

with socio-economic status.

The type of masculinity most prevalent and

dominant is hegemonic masculinity which is

distinguished by ascribed roles towards

economic resources, for example work, and the

importance of male control towards women,

specifically in the domestic sector in forming

the identity of manhood. Men from higher

socio-economic classes have broader facilities

to enforce their masculine identity through

work. It is easier for them to obtain a job because

they generally own higher education and skills.

Men from the lower socio-economic classes,

both in advanced and developing countries,

experience difficulties in fulfilling the ideal

masculine identity, specifically in obtaining a

job that can secure economic welfare and earn

xiii

khususnya dalam meraih pekerjaan yang

menjamin penghasilan ekonomi dan status

sosial yang stabil. Pengangguran membuat

mereka memiliki banyak waktu luang yang

tidak termanfaatkan serta rasa bosan dan

frustrasi sosial yang kronis. Banyak yang

mengembangkan identitas lewat maskulinitas

agresif, seperti keterlibatan dalam geng,

kekerasan, tindak-tindak kriminal, penggu-

naan alkohol dan narkotika, serta perilaku

seksual berisiko. Barker menyebut mereka

sebagai anak muda yang secara harfiah sakit

dan kemudian mati akibat desakan "menjadi

laki-laki" ( ) (Sudirman H. Nasir,

”Maskulinitas dan Perilaku Berisiko, Kompas,

27 September, 2007).

dying to be men

Prof. Muhadjir M. Darwin, MPA., Ph.D.Guru Besar FISIPOL UGM &

Direktur Pusat Studi Kebijakan dan Kependudukan UGM

them a stable social status. Unemployment

leads to lack of productivity, boredom and

chronic social frustration. Many have

developed identities through an aggressive

masculinity for example involvement in gangs,

violence, criminal actions, alcohol and drug

abuse, as well as risky sexual behaviors. Barker

mentioned these people as young people that

are literally ill and eventually die due to the

demands (Sudirman H. Nasir, ”Maskulinitas

dan Perilaku Berisiko [Masculinity and Risky

Behaviors], Kompas, 27 September, 2007).

Prof. Muhadjir M. Darwin, MPA., Ph.D.

Professor of Political Science

Universitas Gadjah Mada (UGM) & Director of Center

for Studies on Policy and Demographics, UGM

xiv

Kata Pengantar

Oleh : Elli Nur Hayati

Ketika Rifka Annisa memulai kegiatan layanan

pendampingan bagi perempuan korban

kekerasan berbasis gender di tahun 1993, ada

suatu keinginan yang kuat untuk dapat

memahami perilaku kekerasan terhadap

perempuan itu secara lebih mendalam, dari sisi

laki-laki. Keinginan tersebut mustinya dapat

terjawab pada masa ketika itu juga, jika saja

kami dapat berkomunikasi dengan kaum laki-

laki tentang hal itu. Persoalannya, justru pada

masa awal itulah, kekerasan terhadap

perempuan yang kami coba angkat ke

permukaan untuk dibicarakan secara publik,

masih dianggap sebagai sebuah isyu atau

masalah yang ”mengada-ada” oleh banyak

pihak, terutama kaum laki-lak, sehingga justru

resistensi dan berbagai sorotan negatif

lainnyalah yang kami dapatkan. Maka kami

pendamlah keingintahuan tersebut, dengan

harapan bahwa suatu ketika kami akan

menemukan jawaban atas keingintahuan

tersebut.

Dengan berjalannya waktu, situasi sosial-

politik-ekonomi-budaya-ideologi di negeri ini

berubah. Isyu kekerasan terhadap perempuan

Preface

By: Elli Nur Hayati

When Rifka Annisa started its activities of

assisting women victims of gender based

violence in 1993, a strong desire emerged to

understand violent behaviors directed against

women from a male perspective. Such desires

should have been already answered at the time

the thought initially emerged, if only we were

able to talk to the male community at the time.

The problem was that at the time we were only

starting to uncover the issue of violence

towards women to the public, and several

parties claimed such issues as insignificant,

particularly by men themselves, and received

many negative feedbacks upon our struggles.

As a result we suppressed such efforts in hopes

that a moment would come to answer our

curiosity.

As time passed by, and several social-political,

economic-cultural and ideological changes in

this country had taken place, the issue of

violence against women was eventually

formally acknowledged as a public issue that

must be attended to by the State and the society.

This enabled us to pursue the answers to our

curiosity in the past few years and gain an

xv

pada akhirnya resmi diakui sebagai isyu publik

yang perlu mendapatkan perhatian oleh negara

dan masyarakat. Dengan demikian, terbukalah

jalan untuk mengejar keingin tahuan kami

belasan tahun yang lalu itu, untuk memperoleh

pemahaman mengapa kekerasan terhadap

perempuan terjadi, dari sudut pandang pemi-

kiran dan pengalaman hidup kaum laki-laki.

Penelitian ini dilakukan jauh dari tuduhan

bahwa laki-laki adalah pelaku kekerasan,

melainkan berangkat dari pengetahuan yang

terbangun setelah melakukan serangkaian

kajian teoritik dan empiris. Dasar teoritik dan

empiris penelitian ini adalah pertama, secara

statistik makro (global), pelaku tindak

kekerasan berbasis gender terhadap perem-

puan adalah laki-laki. Kedua, kajian ilmiah

tentang perilaku manusia sudah bergeser dari

era BIOMEDICINE ke BIOPSIKOSOSIAL,

dimana perilaku manusia sudah tidak lagi

dipandang sebagai konsekuensi dari

determinasi biologis malainkan gabungan dari

determinasi biologis-psikologis-sosial. Dengan

demikian, persoalan konstruksi sosial-budaya

menjadi salah satu wacana inti yang juga harus

didalami apabila kita ingin mempelajari suatu

perilaku. Ketiga, gerakan penghapusan keke-

rasan terhadap perempuan tidak dapat semata-

mata diupayakan dari sisi pemberdayaan

perempuan saja, karena dunia ini terdiri dari

understanding of why violence towards

women can occur, from the perspective of the

thoughts and experiences of the male

community.

This study does not directly suspect that men

are perpetrators of violence; however

knowledge was gained through several

theoretical and empirical investigations. Firstly,

our theoretical and empirical basis indicates

that in a macro (global) statistical sense, per-

petrators of gender based violence towards

women are dominantly men. Second, scientific

studies on human behavior have shifted from a

the Biomedicine era towards a Bio-psychosocial

era, where human behavior is no longer

assumed to be a product of biological deter-

minism but rather a combination from

biological, psychological and social determi-

nants. In this notion, the issue of socio-cultural

constructs becomes the central discourse that

must be thoroughly investigated when

understanding behavior. Third, the movement

to eradicate violence against women cannot

merely be performed from the aspect of women

empowerment, because the world is composed

of both men and women who mutually

associate and interact with one another. When

the movement for a global social change for the

improvement of women status has been

initiated, of which includes eradication of

xvi

perempuan dan laki-laki yang keduanya saling

berhubungan dan berinteraksi. Maka ketika

gerakan perubahan sosial global untuk

perbaikan posisi perempuan telah dimulai,

dimana salah satunya adalah yang terkait

dengan upaya penghapusan kekerasan

terhadap perempuan (PKTP), tak pelak laki-

laki juga harus dilibatkan untuk mencapai

situasi ideal yang diharapkan itu. Yaitu, posisi

dan relasi yang setara antara laki-laki dan

perempuan, dan salah satu indikatornya ada-

lah tidak adanya lagi tindak kekerasan berbasis

gender terhadap perempuan.

Dari penelitian ini, kami berharap bahwa pe-

ngembangan program penghapusan kekerasan

terhadap perempuan yang telah kami rintis

dari tahun 1993 lalu akan semakin komprehen-

sif, sehingga semakin efektif dalam mengupa-

yakan perubahan sosial atas relasi laki-laki dan

perempuan di negeri ini. Semoga!

Yogyakarta,Akhir November 2007

Dra. Elli Nur Hayati, MPH

Direktur Rifka Annisa WCC

violence towards women, male involvement

becomes imperative to attain such ideal

conditions. Such conditions imply an equal

position and relationship between men and

women, of which one of its indicators is the

elimination of gender based violence towards

women.

It is to our utmost expectations that the results

of this research can assist in developing

programs to eradicate violence against women,

of which we have been initiated from 1993, to

become even more comprehensive and

therefore increase the effectiveness towards

efforts of social change between men and

women in this country. Hopefully!

Yogyakarta, Late November 2007

Dra. Elli Nur Hayati, MPH

Director Rifka Annisa WCC

xvii

UCAPAN TERIMAKASIH ACKNOWLEDGEMENTS

Puji Syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa,

Allah SWT atas segala kasih sayang Nya

sehingga penelitian ini dapat terlaksana, tak

lupa peneliti juga mengucapkan terima kasih

kepada pihak-pihak yang turut mendukung

penelitian ini.

1. Foundation Open Society Institute.

2. LPKGM Fakultas Kedokteran UGM.

3. CHN UGM.

4. Pemerintah Kabupaten Purworejo.

5. Bapak-bapak Kelurahan Cokrodining-

ratan, Kabupaten Sleman, Yogyakarta.

6. Bapak-bapak Dusun Maguwoharja,

Kabupaten Sleman, Yogyakarta.

7. Bapak-bapak Kelurahan Pituruh,

Kabupaten Purworejo.

8. Para rekan-rekan di Rifka Annisa WCC

Yogyakarta.

We extend our gratitude to God Almighty for

His Affection in allowing us to accomplish this

research project. The researchers would also

like to thanks following parties who have

generously contributed to this study.

1. Foundation Open Society Institute

(FOSI, USA)

2. Community Health and Nutrition

Research Laboratory, Gadjah Mada

University (CHN-RL, GMU)

1. Purworejo District Government

2. Male community leaders from the

Cokrodiningratan village, Sleman

District, Yogyakarta

3. Male community leaders in the

Maguwoharja sub-village, Sleman

District, Yogyakarta

4. Fathers male community leaders in the

Pituruh sub-village, Purworejo District

5. Colleagues at Rifka Annisa WCC

Yogyakarta

Ucapan Terimakasih Acknowledgements

xxi

DAFTAR ISI CONTENT

KATA PENGANTAR >> III

UCAPAN TERIMA KASIH XIX

DAFTAR ISI >> XXIII

BAB I : PENDAHULUAN >> 1

BAB II : TEMUAN >> 15

Prof. Muhadjir M. Darwin, MPA., Ph.D >> v

Dra. Elly Nur Hayati, MPH. >> xv

>>

A. Latar Belakang >> 3

B. Tinjauan Terminologi >> 7

C. Tujuan Penelitian >> 9

D. Metodologi Penelitian >> 9

E. Subjek Penelitian dan Lokasi

Penelitian >> 10

F. Analisis Data >> 13

A. Persepsi tentang kejantanan >> 17

B. Persepsi tentang posisi laki-laki dalam

masyarakat >> 20

C. Persepsi tentang peran dan tanggung

jawab laki-laki dalam Keluarga >> 26

1. Pengasuhan Anak >> 26

2. Relasi Suami – Istri >> 28

PREFACE >> III

ACKNOWLEDGEMENTS >> XIX

CONTENT >> XXIII

CHAPTER I : INTRODUCTION >> 1

CHAPTER II : FINDINGS >> 15

Prof. Muhadjir M. Darwin, MPA., Ph.D >> v

Dra. Elly Nur Hayati, MPH. >> xv

A. Background >> 3

B. Review on Terminology >> 7

C. Research Objective >> 9

D. Research Methodology >> 9

E. Subjects and Research Location >> 10

F. DataAnalysis >> 13

A. Perception on manhood >> 17

B. Perception on men’s status

in the society >> 20

C. Perception of men roles and

responsibilities in the Family >> 26

1. Child nurturing >> 26

2. Husband-wife relations >> 28

xxv

Daftar Isi Content

D. Faktor – Faktor yang Mempengaruhi

Konsep Kelelakian >> 32

1. Pengaruh lingkungan >> 32

2. Pemahaman terhadap teks agama dan

idiom budaya >> 34

E. Perasaan seorang laki-laki >>38

1. Perasaan menjadi laki-laki/ayah >> 38

2. Konflik peran gender dan Ambivalensi

Laki-laki >> 43

F. Persepsi tentang konflik dan kekerasan

dalam rumah tangga >> 48

G. Intervensi lingkungan sosial dalam

konflik rumah tangga >> 53

H. Dinamika kehidupan pernikahan para

subjek >> 60

A. Persepsi tentang kejantanan >> 97

1. Persepsi terhadap tubuh >> 103

2. Diri Ideal >> 110

B. Posisi laki-laki dalam masyarakat >> 114

1. Posisi dan relasi sosial laki-laki dalam

masyarakat >> 114

2. Peran dan tanggung jawab ideal

sebagai laki-laki >> 118

C. Peran dan tanggung jawab laki-laki

dalam keluarga >> 123

1. Pengasuhan anak >> 123

2. Relasi suami – istri >> 128

D. Faktor-faktor yang mempengaruhi

konsep diri laki-laki >> 133

BAB III : PEMBAHASAN >> 95

D. Factors Influencing the Concept of

Manhood >> 32

1. Environmental influences >> 32

2. Understanding upon religious texts

and cultural idioms >> 34

E. Feelings of a man >> 38

1. Feelings to be a man/ father >> 38

2. Conflict of gender roles and male

ambivalence >> 43

F. Perception about conflict and domestic

violence >> 48

G. Intervention of social environment in

domestic conflicts >> 53

H. Dynamics of the life of

the subjects >> 60

A. Perception towards manhood >> 97

1. Perception towards body image >> 103

2. Ideal Self >> 110

B. Status of men in the society >> 114

1. Status and social relations of men in

the society >> 114

2. Ideal roles and responsibilities

as men >> 118

C. Roles and responsibilities of men in the

family >> 123

1. Child nurturing >> 123

2. Husband-wife relations >> 128

D. Factors influencing the men’s

self concept >> 133

CHAPTER III : DISCUSSION >> 95xxvi

1. Pengaruh lingkungan>> 133

2. Pemahaman terhadap teks agama

dan idiom budaya >> 136

E. Perasaan seorang laki-laki >> 138

1. Perasaan sebagai laki-laki/

ayah >> 138

2. Konflik peran gender dan

ambivalensi laki-laki >> 145

F. Konflik dan kekerasan dalam rumah

tangga >> 157

1. Penyebab kekerasan dalam rumah

tangga >>157

2. Intervensi lingkungan sosial dalam

konflik dan kekerasan dalam rumah

tangga >> 164

G. Intervensi yang perlu dilakukan >> 167

Penutup >> 175

Rekomendasi >> 176

BAB IV : PENUTUP >> 173

KEGIATAN >> 179

DAFTAR PUSTAKA >> 185

TENTANG PENULIS >> 191

1. Environmental influences >> 133

2. Understanding upon religious text

and cultural idioms >> 136

E. Feelings of a man >> 138

1. Feelings of a man/ father >> 138

2. Conflict of gender roles and male

ambivalence >> 145

F. Conflict and domestic violence >> 157

1. Causes of domestic violence >> 157

2. Intervention of social environment in

domestic conflict and domestic

violence >> 164

G. Required intervention >> 167

Closing >> 175

Recommendation >> 176

CHAPTER IV : CLOSING >> 173

ACTIVITIES >> 179

REFERENCE >> 185

ABOUT AUTHORS >> 191

xxvii

BAB I

PENDAHULUAN

CHAPTER I

INTRODUCTION

A. Latar Belakang

Berdasarkan pada data base yang dikelola oleh

Rifka Annisa Yogyakarta, kekerasan dalam

rumah tangga (selanjutnya disingkat KDRT)

merupakan bentuk kekerasan yang paling se-

ring dialami oleh perempuan di DIY dan seki-

tarnya. Peringkat di bawahnya adalah kasus

kekerasan dalam pacaran, pelecehan seksual,

perkosaan dan kekerasan terhadap anak.

Berbagai riset di banyak negara telah memberi-

kan gambaran yang nyata tentang

persoalan KDRT ini. Studi tentang kekerasasan

domestik yang dikompilasikan dari 48 negara

dalam Population Report (Ellsberg &

Gottemoeller, 1999) menunjukkan bahwa

secara keseluruhan antara 10% sampai 69%

perempuan melaporkan pernah mengalami

kekerasan dari pasangannya dalam satu waktu.

Studi dari WHO di 10 negara dengan

menggunakan alat ukur yang sama (Multi

Country Study on Domestic Violence Against

Women and Women's Health) menemukan

bahwa setidaknya 13% - 61% perempuan dari

ke 10 negara tersebut pernah mengalami

kekerasan fisik; dan antara 6% - 59% pernah

mengalami kekerasan seksual dari pasangan-

nya (WHO, 2005). Sementara itu, studi berbasis

populasi di Purworejo, Jawa tengah, mengung-

kap bahwa kekerasan seksual lebih banyak

magnitude

A. Background

Rifka Annisa's database in Yogyakarta reveal

that domestic violence constitutes the form of

violence most frequently experienced by

women in the Daerah Istimewa Yogyakarta

province and its surroundings. Ranked below

domestic violence in terms of frequency is

intimate-partner violence, sexual harassment,

rape and child abuse.

Numerous cross country studies provide a clear

description of the magnitude of domestic

violence. A study on domestic violence

compiled from 48 countries in the Population

Report (Ellsberg & Gottemoeller, 1999),

demonstrate that overall, 10% to 69% of

women, report to have experienced violence

from their spouse at least once. A study from

WHO in 10 countries using the same measure

(Multi Country Study on Domestic Violence

Against Women and Women's Health)

discovered that at least 13% - 61% women from

10 countries have experience physical violence;

and 6% - 59% have experienced sexual violence

from their spouse (WHO, 2005). Meanwhile, a

study based in Purworejo, Central Java,

discovered that more sexual violence is

experienced by women (22%) compared to

physical violence (11%) (Hakimi et al, 2001).

3

dialami oleh perempuan (22%) daripada

kekerasan fisik (11%) (Hakimi dkk, 2001).

Lebih lanjut lagi, KDRT ini juga telah diidentifi-

kasi sebagai salah satu masalah yang serius

bagi kesehatan masyarakat. Berbagai studi

menunjukkan, baik dalam seting negara-

negara maju maupun berkembang, KDRT telah

terbukti sebagai faktor risiko bagi perempuan

untuk mengalami berbagai gangguan keseha-

tan fisik, mental dan kesehatan reproduksi

(Ellsberg & Gottenmoller, 1999; Campbell,

2002).

Mencoba memahami mengapa kekerasan

domestik dapat terjadi, masih sering menjadi

perdebatan, apakah karena kultur patriarki

ataukah kemiskinan; konsumsi alkohol

ataukah perilaku agresif ? Namun satu hal yang

telah banyak dibuktikan melalui penelitian

adalah fakta bahwa secara epidemiologis,

faktor risiko bagi perempuan untuk mengalami

kekerasan adalah sangat beragam (Jewkes,

2002). Berbagai faktor demografis, kemiskinan,

norma sosial budaya, hingga faktor identitas

diri maskulin, semua memiliki sumbangan

yang signifikan bagi terjadinya kekerasan

terhadap pasangan (Jewkes, 2002).

Terkait dengan faktor risiko kekerasan

domestik dari sisi laki-laki sebagai pelaku,

sejak dasawarsa terakhir ini memang telah

In addition, domestic violence has been

identified as a serious issue related with

community health. Based on several studies,

both in developed and developing countries,

domestic violence has proven to serve as a risk

factor for women to experience numerous

physical, mental, and reproductive health

disorders (Ellsberg & Gottenmoller, 1999;

Campbell, 2002).

The debate continues as to how domestic

violence occurs, whether it originates from

patriarchal cultures or poverty; alcohol

consumption or aggressive behavior? However

one thing is certain, studies prove that

epidemiologically, the risk factors for women to

experience violence is highly diverse (Jewkes,

2002). Numerous demographic factors

including poverty, socio-cultural norms, along

with factors of masculine self identity, all

significantly contribute to violence towards the

spouse (Jewkes, 2002).

With regard to the risk factors of domestic

violence from the male perspective as a

perpetrator, the last decade has presented

several studies to identify its contribution

towards domestic violence. Unfortunately,

most studies have been carried out in

developed countries for example Europe and

North America. In the regional context of

4

banyak riset dilakukan untuk melihat sumba-

ngannya bagi terjadinya KDRT. Sayangnya,

kebanyakan studi tersebut masih lebih banyak

dilakukan di negara maju seperti kawasan

Eropa dan Amerika Utara. Dalam konteks

regional di Asia Tenggara dan Asia Timur,

wacana tentang keterlibatan laki-laki dalam

penghapusan kekerasan terhadap perempuan

mulai menjadi berbagai organisasi baik

pemerintah maupun non pemerintah seperti

tercermin dalam konferensi yang diselenggara-

kan di gedung PBB di Bangkok pada awal

September 2007. Konferensi tersebut meng-

hasilkan deklarasi Bangkok yang mendorong

keterlibatan laki-laki dalam penghapusan

kekerasan terhadap perempuan di berbagai

bidang seperti agama, pendidikan, media,

pengambil kebijakan dan organisasi non

pemerintah.

Meskipun sebagian besar studi masih

manjadikan perempuan sebagai fokus utama di

kawasan Asia, bukan berarti tidak ada studi

tentang laki-laki dan maskulinitas di kawasan

ini. Beberapa studi penting yang dapat dilacak

sekaligus dapat dijadikan sebagai referensi

tentang studi laki-laki di Asia diantaranya studi

tentang maskulinitas dan kekerasan domestik

yang dilakukan oleh International Center for

Research on Women, Washington DC di-5

negara bagian di India. Studi ini berhasil

concern

South-East Asia and East Asia, the discourse on

men involvement to eradicate violence against

women becomes the concern of several

organizations, both government and non-

government, reflected by their participation in a

conference held in the United Nations Office in

Bangkok in early September 2007. This

conference gave birth to the Bangkok

Declaration which endorses men involvement

in eradicating violence against women in

several aspects for example religion, education,

media, policy making and non-governmental

organizations.

Although most studies in the Asian region

remain to emphasize on women, studies on

men are evident although scarce. A number of

important studies conducted on Asian men

include a study on masculinity and domestic

violence carried out by the International Center

for Research on Women, Washington DC in 5

states in India. The study was successful in

revealing processes of masculinity construction

as well as its relationship with violence in the

domestic regions of India (Center for Research

on Women, 2002). In South-East Asia, studies

conducted by Romeo B Lee (1999, 2004) serve as

important reference concerning masculinity in

South-East Asia, specifically in Philippines. In

one of the studies concerning Philippine Men

and domestic violence (2004), Lee provides a

5

mengungkap proses-proses konstruksi

maskulinitas serta kaitannya dengan kekerasan

dalam wilayah domestik di India (Center for

Research on Women, 2002). Di Asia Tenggara

kerja-kerja penelitian yang dilakukan oleh

Romeo B Lee (1999, 2004) menjadi rujukan

penting dalam studi maskulinitas di Asia

Tenggara khususnya di Philipina. Melalui salah

satu studinya tentang

(2004), Lee memberi kotribusi penting

dalam melihat keterkaitan antara konsep

maskulinitas laki-laki dengan terjadinya

kekerasan dalam rumah tangga di Philipina.

Perbedaan konteks sosial budaya antara negara

maju dan berkembang tentu akan sangat mem-

pengaruhi dinamika terjadinya KDRT dari sisi

lelaki sebagai pelaku. Fokus pada perempuan

korban dan kurangnya studi terhadap laki-laki

dalam isu kekerasan dalam rumah tangga

mengakibatkan tidak cukup tersedianya infor-

masi mendalam tentang laki-laki dan perilaku

kekerasannya, serta faktor-faktor yang mempe-

ngaruhi laki-laki melakukan tindak kekerasan

dan seterusnya sehingga hal ini berpengaruh

pada belum adanya intervensi yang memadai

bagi laki-laki dalam penanganan kasus

kekerasan dalam rumah tangga. Di Indonesia

studi tentang laki-laki dan maskulinitas belum

mendapat perhatian memadai namun studi

tentang partisipasi laki-laki muslim dalam

Philipino Men and domestic

violence

significant contribution in observing relations

between the concept of masculinity with

domestic violence in Philippines.

Different socio-cultural contexts between

developed and developing countries

undeniably influence the dynamics of domestic

violence from the standpoint of men as the

perpetrators. The large focus on women as

victims and the paucity of studies on men in the

issue of domestic violence results in the

insufficient information concerning men and

their aggressive behavior, as well as the factors

that influence men in performing acts of

violence which also influences the absence of

sufficient intervention for men in managing

domestic violence cases. In Indonesia, studies

concerning men and masculinity have not

“A study on domestic violence

compiled from 48 countries in

the Population Report (Ellsberg

& Gottemoeller, 1999),

demonstrate that overall, 10%

to 69% of women, report to

have experienced violence from

their spouse at least once.”

6

kesehatan reproduksi yang dilakukan oleh

Hamim Ilyas, dkk (2006) menjadi studi penting

yang dapat dijadikan pijakan awal terhadap

studi laki-laki dan maskulinitas di Indonesia

khususnya di pulau Jawa.

Secara umum studi ini dimaksudkan untuk

menjawab tiga pertanyaan penting:

mengapa laki-laki melakukan kekerasan terha-

dap pasangan dalam rumah tangga? ,

bagaimana pandangan laki-laki tentang citra

maskulinitas yang melekat pada dirinya dan

bagaimana padangan laki-laki terhadap

kekerasan dalam rumah tangga.

Studi ini juga dilakukan sebagai bagian dari

upaya untuk memperkaya studi tentang mas-

kulinitas serta menyediakan informasi awal

tentang maskulinitas dan kekerasan dalam ru-

mah tangga di Yogyakarta dan sebagai bagian

dari upaya mencari bentuk intervensi yang

tepat untuk laki-laki pelaku kekerasan.

Untuk mengawali, sangat penting mengeks-

plorasi terlebih dahulu kerangka konseptual

yang dipakai dalam studi ini, yakni

maskulinitas dan kekerasan dalam rumah

tangga.

Pertama,

Kedua

ketiga,

B. Tinjauan Terminologi

drawn serious attention however a study on

Muslim men participation in reproductive

health conducted by Hamim Ilyas, et al (2006)

serves as an important study towards men and

masculinity in Indonesia, particularly in the

Java Island.

In general, the study aims to answer three

fundamental questions; First, why do men

conduct violence against their wives in the

family? Second, how do men view themselves

in terms of the masculine image that adheres

upon them, and third, how do men view

domestic violence.

The current study also serves as part as an effort

to enrich studies concerning masculinity as well

as provide preliminary information concerning

masculinity and domestic violence in

Yogyakarta. The results of the study are

expected to refine forms of intervention most

appropriate for male perpetrators.

Before entering the core discussion it is

important to explore the conceptual framework

used in this study, namely masculinity and

domestic violence.

The definition of masculinity used in this study

refers to the terminology discussed by Kamla

B. Terminological Issues

other forms of sexual coercion; d) Various controlling

behaviors-such as isolating a person from their

family and friends, monitoring their movement and

restricting their access to information or assistance”

Dalam buku ini, terminologi KDRT yang

dipergunakan adalah untuk menjelaskan

berbagai bentuk dan jenis kekerasan yang

terjadi dari suami kepada isterinya (dalam

konteks perkawinan).

Studi ini memiliki tiga tujuan :

1. Mengidentifikasi pandangan laki-laki

di Yogyakarta dan Purworejo tentang

maskulinitas.

2. Mengidentifikasi faktor-faktor yang

mempengaruhi pandangan laki-laki

tentang maskulinitas.

3. Mengidentifikasi pandangan laki-laki

di Yogyakarta dan Purworejo tentang

kekerasan dalam rumah tangga

Studi ini menggunakan pendekatan kualitatif,

karena tujuannya adalah untuk mendapatkan

pemahaman yang mendalam tentang suatu

C. Tujuan Penelitian

D. Metode penelitian

conducting violence towards their wives (in the

context of marriage).

Three objectives are proposed in the current

study:

1. Identify male perceptions of mascu-

linity in Yogyakarta and Purworejo.

2. Identify factors that influence male

perceptions of masculinity.

3. Identify male perceptions of domestic

violence in Yogyakarta and Purworejo

As the current study aims to gain a thorough

understanding of a particular phenomenon, a

C. Research Objectives

D. Research Method

“the study aims to answer three

fundamental questions; First, why

do men conduct violence against

their wives in the family? Second,

how do men view themselves in

terms of the masculine image that

adheres upon them, and third, how

do men view domestic violence”

9

Pengertian maskulinitas yang dijadikan acuan

dalam penelitian ini adalah diambil dari

terminologi sebagaimana yang dibahas oleh

Kamla Bashin (2004), yang menyebutkan

maskulintas sebagai definisi sosial yang

diberikan oleh masyarakat kepada laki-laki,

atau dengan kata lain maskulinitas sebagai

sebuah konstruksi sosial. Maskulinitas

mendefinisikan bagaimana laki-laki harus

berperilaku, berpakaian, berpenampilan serta

bagaimana sikap dan kualitas-kualitas yang

harus dimiliki oleh laki-laki.

Sementara itu, kekerasan dalam rumah tangga

(KDRT), dalam istilah asing sering disebut

sebagai , dan terakhir

dikenal sebagai (karena

fakta bahwa tidak semua pasangan adalah

pasangan yang menikah resmi, dan tidak

semua pasangan adalah heterosexual).

Pengertian kekerasan dalam rumah tangga

disini adalah sebagaimana yang dikemukakan

oleh Heise dan Moreno (2002) sebagai:

domestic violence, wife abuse

intimate partner violence

Any behavior within an intimate relationship that

causes physical, psychological or sexual harm. Such

behavior includes a) Acts of physical aggression-

such as slapping, hitting, kicking and beating; b)

Psychological abuse-such as intimidation, constant

belittling and humiliating; c) Forced intercourse and

Bashin (2004), who stated that masculinity

refers to a social definition given by society to

men, or in other words masculinity could be

referred to as a social construct. Masculinity

defines how men must behave, which clothes to

wear, how to present them selves, how to act, as

well as the qualities that must be owned by

men.

Meanwhile, a number of terms are associated

with domestic violence for example wife abuse

and intimate partner violence (considering that

not all partners are formally married, and not

all partners are heterosexual).

Domestic violence is understood under the

conceptual framework of Heise and Moreno

(2002):

The current book uses the term domestic

violence under the context of husbands

“Any behavior within an intimate relationship that

causes physical, psychological or sexual harm. Such

behavior includes a) Acts of physical aggression-

such as slapping, hitting, kicking and beating; b)

Psychological abuse-such as intimidation, constant

belittling and humiliating; c) Forced intercourse and

other forms of sexual coercion; d) Various controlling

behaviors-such as isolating a person from their

family and friends, monitoring their movement and

restricting their access to information or assistance”

8

fenomena. Metode pengumpulan data yang

dipergunakan untuk memperoleh pemahaman

itu adalah dengan menggunakan diskusi

kelompok terarah dan

wawancara mendalam .

FGD dipilih mengingat metode ini cukup

relevan untuk memahami konteks persoalan

yang umum (general) tentang suatu topik

tertentu, pandangan atau pendapat masyara-

kat tentang topik tertentu, yang semuanya

bersifat normatif, general dan merupa-

kan topik sensitif yang perlu kerahasiaan dan

bersifat pribadi. Sementara itu, wawancara

mendalam digunakan untuk memperoleh data

yang lebih bersifat personal yang menyangkut

pengalaman-pengalaman pribadi yang lebih

spesifik, termasuk perasaan maupun pemiki-

ran subjek tentang sesuatu hal.

Subjek penelitian dalam studi ini dipilih

melalui metode atau

pemilihan sampling berdasarkan kriteria-

kriteria yang telah ditentukan oleh peneliti

yang sesuai dengan tujuan penelitian. Penen-

tuan dilakukan meliputi penentuan lokasi

tempat tinggal, status pernikahan dan lama

pernikahan subjek yang akan dilibatkan dalam

proses-proses pengumpulan data.

(Focus Group Discussion)

(indepth interview)

purposive sampling

bukan

E. Subjek Penelitian dan lokasi penelitian

qualitative approach is chosen. In order to fulfill

this goal Focus Group Discussion (FGD) and in-

depth interview are used as the means of data

collection.

FGD is chosen considering its relevance to

understand the general issues of a particular

topic, view or society opinion, which are both

normative and general, and not sensitive in the

sense that it would require confidentiality and

personal information. In-depth interview is

used to obtain personal data related with

specific personal experiences, particularly

concerning feelings and thoughts of the subject

towards a particular matter.

Purposive sampling was conducted to select the

subjects in the study, meaning that they were

sampled based on the criteria predetermined by

the researcher to fulfill the research objective. A

number of aspects were considered when

selecting subjects for data collection which

included location of residence, marriage status

and length of marriage.

The Cokrodiningratan and Maguwaoharjo sub-

village was chosen for the Yogyakarta region.

Both locations were chosen based on Rifka

Annisa's database which indicated high reports

E. Research Subjects and Location10

Untuk lokasi studi di Yogyakarta dipilih

Kelurahan Cokrodiningratan dan dusun

Maguwoharjo. Pemilihan kedua tempat

tersebut mengacu pada Rifka Annisa

yang menunjukkan bahwa angka kasus

kekerasan dalam rumah tangga banyak di-

laporkan dari wilayah kabupaten Sleman dan

Kota Yogyakarta. Kedua lokasi studi dipilih

karena telah ada fakta bahwa kekerasan cukup

banyak terjadi di komunitas tersebut. Studi ini

tidak dimaksudkan untuk merepresentasikan

dari populasi yang ada dari kedua wilayah ini.

Selain dua lokasi di atas, satu lokasi tambahan

di Purworejo juga diambil datanya, yaitu di

kota Purworejo. Penambahan lokasi ini sebagai

tindak lanjut dari studi sebelumnya tentang

kekerasan terhadap isteri dan kesehatan

perempuan yang dilakukan oleh Rifka Annisa

bekerja sama dengan LPKGM-UGM, Umea

University (Swedia) dan PATH (USA) pada

tahun 2000. Selain itu, alasan lainnya adalah

untuk memperoleh variasi informasi dari

lokasi yang berbeda.

Setelah menentukan lokasi, langkah selanjut-

nya adalah menentukan subjek. Kriteria untuk

subjek adalah laki-laki yang telah menikah,

setidaknya telah satu tahun. Kriteria ini

dimaksudkan untuk memilih subjek yang telah

memiliki pengalaman membangun relasi

data base

of domestic violence in the Sleman district and

the Yogyakarta City. Both locations were chosen

because considerable amount of violence

occurs in those communities. The current study

does not aim to represent the population in both

these regions.

In addition to those two regions, one additional

region, Purworejo, was also chosen for data

collection, namely the Purworejo city. This

region was added as a follow up of earlier

studies concerning violence towards wives and

women health conducted by Rifka Annisa in

cooperation with LPKGM-UGM, Umea

University (Sweden) and PATH (USA) in 2000.

The region was also chosen to add variety to the

data due to differences in locations.

Having determined the location, the subjects of

the study need to be decided. Subjects that were

involved in the study had to meet the criteria

that they were married men, for at least one

year. This criterion was aimed to select subjects

that have experience in building a family with

“In Indonesia, studies

concerning men and

masculinity have not drawn

serious attention”

11

(berumah tangga) dengan pasangan. Selan-

jutnya subjek dipilih berdasarkan petunjuk dari

(orang yang benar-benar memahami

situasi dan profil masyarakat setempat),

Keragaman latar belakang sosial-ekonomi

subjek juga dipertimbangkan dalam pemilihan

peserta FGD ini. Diskusi terarah ini diikuti oleh

23 laki-laki dengan perincian sebagai berikut :

Selanjutnya wawancara mendalam dilakukan

terhadap subjek yang dianggap memiliki

pengalaman kekerasan dalam rumah tangga

mereka dengan mengacu hasil diskusi terarah

sebelumnya. Wawancara mendalam dilakukan

terhadap 4 orang laki-laki peserta FGD. Dua

orang dari desa Maguwoharjo dan dua orang

dari kelurahan cokrodiningratan.

key person

Tabel 1

Subyek Penelitian

his spouse. Subjects are also selected based on

informer (a person that has considerable

knowledge concerning the situations and

profiles of the local community members)

considerations. The diverse socio-economic

background of the subjects was also considered

in selecting the FGD participants. A total of 23

men participated in the FGD, with the

following details:

Based on the results of the focus group

discussion, subjects who reported to have

experiences in domestic violence, were

subsequently involved in the in-depth

interview. In-depth interview was conducted to

4 male participants, two people from the

Maguwoharjo village and two people from the

Cokrodiningratan village.

Table 1

Research Subjects

Lokasi Jumlah Subyek

Maguwoharjo 10 orang

Kelurahan Cokrodiningratan 6 orang

Kelurahan Kota Purworejo 8 orang

Location Total subject

Maguwoharjo 10 people

Cokrodiningratan village 6 people

Purworejo village 8 people

12

Tabel 2

Metode Penelitian dan jumlah subjek penelitian

F. Analisis Data

Hasil diskusi terarah dan wawancara

mendalam selanjutnya ditranskrip secara

verbatim untuk selanjutnya dianalisis secara

deskriptif menggunakan analisis tematik.

Tahapan analisis yang dilakukan adalah

membaca secara keseluruhan teks demi teks

dari verbatim, untuk memperoleh pendalaman

akan meaning units, yaitu bagian yang

bermakna atau kalimat-kalimat inti dari teks

demi teks.

Selanjutnya, dilakukan atau pemberian

kode deskriptif yang merupakan sari atau

makna dari pada verbatim FGD

dan wawancara. Selanjutnya dari proses

ini terungkaplah tema-tema yang muncul dari

wawancara dan diskusi kelompok terarah.

coding

meaning units

coding

Table 2

Research Method and Total Number of Subjects

F. Data Analysis

The results of the focused group discussion and

the in-depth interview was recorded and then

later transcribed for further analysis by means

of descriptive analysis using thematic analysis.

The analysis stage required the researcher to

read the entire text of the transcript to obtain an

exploration of the meaning units, namely the

parts that are meaningful or the significant/core

sentences from each text.

Coding or descriptive coding is subsequently

performed. These codes represent the meaning

of the meaning units taken from the verbatim of

the FGD and interview transcripts. This coding

process allows the researcher to discover the

themes that emerge from the interviews and

focused group discussions.

Metode

Lokasi

Maguwo

harjo

Cokro

diningratan

Purworejo

Focus

Group

Discussion10 6 8

In-depth

Interview 2 2 -

Method

Location

Maguwo

harjo

Cokro

diningratan

Purworejo

Focus

Group

Discussion10 6 8

In-depth

Interview 2 2 -

13

14

BAB II

TEMUAN

CHAPTER II

FINDINGS

TEMUAN

A. Persepsi tentang ”kejantanan”

Deskripsi temuan berikut ini dituliskan

berdasarkan tema yang muncul dalam analisis.

Beberapa kutipan dicantumkan untuk

memberikan contoh sesuai dengan ungkapan

para subjek penelitian.

Laki-laki digambarkan oleh subjek dalam

penelitian ini sebagai sosok yang harus .

Jantan didefinisikan sebagai seseorang yang

secara fisik kuat dan sehat. Ukuran fisik yang

sehat ini termasuk berfungsinya organ

reproduksi laki-laki. Seorang laki-laki

dianggap sebagai laki-laki sejati ketika dia telah

mendapatkan keturunan. Maka ketika laki-laki

belum memiliki keturunan dianggap belum

terbukti sebagai laki-laki.

Sebagai sosok yang , selain harus

memiliki fisik yang kuat dan sehat seorang laki-

laki juga harus memiliki mental spiritual yang

baik, pengetahuan yang luas, keyakinan dan

keimanan sebagai landasan kehidupan,

keteguhan pendirian dan ketegasan dalam

tindakan, misalnya sesuatu yang pernah

diikrarkan oleh seorang laki-laki harus benar-

benar diwujudkan. Artinya, kejantanan

seorang laki-laki diukur dari kesesuaian antara

(quotes)

jantan

jantan

FINDINGS

A. Perception of “Manhood”

A description of the following findings is

reported based on the themes that emerged in

the analysis. A number of quotes are displayed

to display the actual expression of the research

subjects.

Men are described by the research subjects as a

figure that must portray distinct masculine

characteristics or referred to as “ .

is described as a person who is physically

healthy and strong. Physical health is indicated

by the optimal functioning of man's

reproduction organs. A man is considered to be

a true man when they are able to produce a

child. Therefore men who are not able to

produce a child are yet to prove that they are

true men.

Being a figure who is , requires the

individual to acquire strong physical abilities

and health, in addition to owning strong mental

and spiritual abilities, broad knowledge,

commitment to faith as the their basic

philosophy in life, a firm stance and firmness in

action. For example it is an obligation for a man

to always fulfill his promise. This means that a

man's level of manhood is measured by the

jantan” Jantan

jantan

17

ucapan dan tindakan.

Kualitas-kualitas fisik dan mental tersebut sa-

ngat berperan dalam mendukung fungsi dan

tanggung jawab laki-laki secara sosial. Di anta-

ra yang dianggap sebagai fungsi dan tanggung

jawab laki-laki secara sosial adalah sebagai ke-

pala rumah tangga serta sebagai pemimpin

baik untuk dirinya sendiri maupun orang lain.

Kualitas fisik dan mental tersebut yang

“Kalau pendapat saya, sebagai seorang laki-laki

harus bersikap jantan dan didasari dangan

mental spiritual yang baik”

“laki-laki dan perempuan sudah jelas berbeda

secara fisik. Ketika dalam berkeluarga belum bisa

mendapatkan keturunan maka belum bisa

dikatakan laki-laki. Jadi laki-laki tulen adalah

yang bisa memberikan anak”

...Ada laki-laki dikatakan tidak jantan

diantaranya ketika menikah tapi belum punya

keturunan. Masyarakat kemudian menanyakan

dimana yang minus. Pembuktiannya dengan

itu...”

...Ada laki-laki jantan tapi tidak terbukti.

Seperti laki-laki yang berhubungan badan

dengan perempuan dengan intensitas sering,

tapi tidak bisa mendapatkan keturunan jadi tidak

terbukti sebagai laki-laki...”

coherence between his words and action.

Physical and mental qualities play a large role

in supporting the social functions and

responsibilities of men. Accordingly, some

social responsibilities and functions of men

include being the head of the household, being

a leader for himself, and being a leader for

others.

These mental and physical qualities distinguish

men from women. Subjects in this study

I think, as a man I must act with jantan and

based on a good mental and spiritual capacity”

men and women are definitely different from

their physical aspects. In a family if you're not

able to have a child then you're not a man yet.

Therefore a true man is one that can produce a

child”

...There are those men that are not jantan, they

are those who are married but cannot have

children. Society then asks what's wrong. And its

proven by that...”

...There are those men who are jantan but they

can't prove it. For example men that frequently

have sex with women but they can't have children

therefore they can't prove that they are actually

true men...”

18

membedakan laki-laki dengan perempuan.

Lebih jauh, subjek dalam penelitian ini

mengidentifikasi bahwa laki-laki dan

perempuan memiliki perbedaan-perbedaan. Di

antaranya adalah: bahwa laki-laki memiliki

tenaga yang lebih besar dibandingkan dengan

perempuan meskipun ada juga peserta yang

menyebutkan bahwa perempuan juga memiliki

tenaga yang kuat misalnya ketika perempuan

melahirkan.

Ada juga yang menyebutkan bahwa otak laki-

laki ukurannya lebih besar dari perempuan.

Hal ini berpengaruh kepada kecenderungan

laki-laki yang lebih mengedepankan rasio

sementara sebaliknya perempuan mengede-

pankan emosi. Jika dilihat dari sudut pencip-

taan laki-laki dan perempuan, subjek dalam

penelitian ini berpendapat bahwa perempuan

diciptakan dari tulang rusuk laki-laki. Perbe-

daan fisik antara laki-laki dan perempuan ini

berpengaruh besar pada tingkat produktifitas

laki-laki yang lebih maksimal dibandingkan

dengan perempuan.

“dari fisik kita lebih kuat, juga otak laki-laki dan

perempuan berbeda, lebih besar laki-laki, ini saya

baca di buku. Perempuan tetap ada keterbatasan,

meskipun banyak perempuan yang lebih pintar

dari saya.”

identify some differences apparent among men

and women. For example: men are stronger

than women although some participants also

mention that women are stronger for example

when giving birth.

Some say that men's brains are larger than

women's. This influences the tendencies of men

to prioritize their rational reasoning while

women tend to use their emotion. When seen

from the perspective of the creation of men and

women, subjects in this study explain that

women are created from the ribs of men.

Different physical features between men and

women largely influence the level of

productivity of men which is larger compared

to women.

from our physical features, we are stronger,

brains between men and women are also different,

the brain of men are larger, I read this from a book.

Women have limitations, although lots of women

are smarter then I am.”

We are different from 3 aspects, namely from the

aspect of the mind, power and material. From the

mind, men usually use most of their rational

reasoning rather than their feelings, so they can

make faster decisions, for example when dealing

with a problem men directly make a decision, if

there is a problem that comes, then it is thought

19

“Saya mau membedakan dari 3 sisi saja. Dari

sudut pandang pemikiran, tenaga dan materi.

Dari pemikiran, laki-laki biasanya lebih banyak

memakai rasio dari pada rasa, jadi mungkin lebih

”pendek nalarnya, misalnya ada masalah,

langsung memutuskan pokoknya di cut dulu,

kalau ada apa-apa urusan belakang. Kemudian

dari sisi tenaga jelas laki-laki dan wanita berbeda,

kalo laki-laki itu sebenarnya bedanya tidak jauh-

jauh banget, contoh paling mudah saat

melahirkan, coba laki-laki disuruh melahirkan

apakah kuat, karena secara kodratnya sudah beda.

Apa yang dijalani perempuan tidak mungkin

dioper. Secara materi karena kultur budaya itu di

seluruh dunia memang sebetulnya yang meng-

cover itu laki-laki”

B. Persepsi tentang posisi laki-laki dalam

masyarakat (peran dan tanggung jawab

sosial)

Para subjek dalam penelitian ini melihat bahwa

laki-laki memiliki kedudukan istimewa dalam

masyarakat karena dipandang lebih banyak

berpartisipasi dalam kegiatan di lingkungan

sosial. Sebagai contoh aktivitas yang lebih

banyak melibatkan laki-laki adalah ronda, kerja

bakti, kenduri.

Laki-laki juga diposisikan sebagai penjemba-

tan antara keluarga dan masyarakat. Oleh

about later. From the aspect of physical strength

men and women are clearly different. However

from this aspect men are not that much superior

to women, the easiest example is giving birth,

would men be as strong as women to give birth?

They are just fundamentally different. What is

experienced by women cannot be simply replaced

by men. In the material aspects, because of

culture, in all parts of the world, it is the men who

cover the material aspects”

kenduri

sak

geleme dhewe= they could do as they please

B. Perceptions about the status of men in the

society (social roles and responsibilities)

The subjects in this study perceive that men

earn a privileged status in the society because

they have greater participation in social

activities. For example night curfews largely

involve men, social work, and

(traditional ceremony attended by father's of a

particular village).

Men are also positioned as a bridge between the

family and the society. All the of family's

success is also acknowledged as the success of

the man in the society.

In line with the status of men in the society, men

have greater freedom compared to women.

Men can basically do anything they please (

). When

20

karena itu segala kesuksesan dan keberhasilan

dalam keluarga akan dipandang sebagai

kesuksesan dan keberhasilan laki-laki dalam

masyarakat.

Sejalan dengan status dan kedudukan laki-laki

dalam masyarakat, laki-laki memiliki kebeba-

san yang lebih jika dibandingkan dengan

perempuan. Laki-laki dapat melakukan apa

saja sesuai dengan keinginan mereka (

). Untuk

melakukan sesuatu, laki-laki tidak dituntut

untuk memberi tahu kepada keluarga, salah

seorang subjek mencontohkan laki-laki bebas

berteman termasuk bebas untuk memilih

bentuk aktivitas yang diinginkan misalnya

minum minuman beralkohol. Laki-laki

cenderung dibenarkan untuk meninggalkan

aktivitas di rumah ketika ada teman yang

mengajak untuk pergi. Menjaga hubungan baik

dengan teman laki-laki lain lebih penting dari

pada beraktifitas membantu isteri di rumah.

sak

geleme dhewe= semaunya sendiri

Istilahnya laki-laki bisa seperti bunglon, dia bisa

main kesana kesini tanpa sepengetahuan

keluarga. Bunglon cenderung kepada bahwa laki-

laki itu bisa fleksibel, ketika kita main kemana kita

bisa mengaku pergi sama teman, padahal kita

mengajak teman untuk minum minuman keras”

“... jadi ya memang kadang-kadang saya katakan

doing something, they are not required to

notify the family. One of the subject's stated that

men have the freedom to make friends and the

freedom to choose the form of activities they are

interested in, for example drinking alcohol.

Men are justified to leave domestic activities

when friends ask them to go out. Maintaining

relations with other male friends is deemed

more important compared to assisting his wife

to perform household duties.

With regard to freedom, although most of them

are already married, when outside the house,

subjects state that it is hardly noticeable

whether the men are married or not. This is

Its like men can act as a chameleon, he could play

around here and there without notifying his

family. By being a chameleon, this means that

men have greater flexibility, when we hang out

we could say that we're going somewhere with a

friend, but in fact we're going out to get some

alcohol”

... so yes indeed, sometimes I say that men do as

they please . I think its normal. Most men are like

that. For example, I'm supposed to help my wife

at home who has a lot of work and then a friend

asks me to go fishing. If I don't hang out with

them it makes me feel uncomfortable, sometimes

my child has a fever or there are other problems.”

21

bahwa seorang laki-laki itu ”sak geleme dewe

atau semau gue”. Menurut saya lumrah itu.

Laki-laki kebanyakan seperti itu. Karena yang

harusnya membantu istri dirumah yang sedang

repot kemudian saya diajak temen untuk

mancing. Kalau saya tidak kumpul tidak enak,

kadang anak lagi panas atau ada permasalahan

lainnya.”

lanang ”

”senajan ala tetep

menang”

Berkaitan dengan kebebasan, meskipun telah

menikah, ketika laki-laki berada di luar rumah,

subjek mengatakan bahwa laki-laki tidak dapat

dikenali apakah sudah menikah atau belum.

Hal ini berbeda dengan perempuan ketika

sudah menikah tidak dapat menyembunyikan

statusnya jika telah menikah.

Laki-laki juga dipersepsikan sebagai sosok

yang selalu menang misalnya dalam idiom

bahasa jawa laki-laki disebut “ yang

dapat diartikan sebagai

yang artinya meskipun berbuat salah

laki-laki tetap menang. Atas dasar ini, laki-laki

sering dianggap sebagai individu yang

superior dan selalu ingin menang sendiri.

Dalam hal perkawinan, laki-laki memiliki

keistimewaan untuk dapat berpoligami atau

beristeri lebih dari satu. Meskipun untuk

melakukannya harus memenuhi syarat-syarat

tertentu.

entirely different with women who cannot

conceal their marriage status when they are

already married.

Men are also perceived as figures that refuse to

give in or lose. This is reflected in the Javanese

idiom where Javanese men are referred to as

“ which means

(although men are wrong they still win). Based

on such examples men are known to be superior

and always wants to win for them selves.

Concerning marriage, men have the privilege to

perform polygamy or have more than one wife,

although several conditions must be met before

allowing such actions.

lanang” ”senajan ala tetep menang”

Men are the servants of Allah that are

privileged with superior features compared to

women, and they are expected to be able to give an

earning, protect, and marry. means

although being wrong, men still win. I think I fit

that expression, that's why violence is identical to

men. My physical strength is stronger…”

When we make friends sometimes we forget

that we have a family, men sometimes don't look

as if they have a family. It's different to women

although they are still young, when they have a

husband it's obvious when they start committing

violations. Lots of women are deceived by the

physical qualities of men...”

”. .

”...

Lanang

22

...laki-laki adalah hamba Allah yang diberikan

kelebihan dibandingkan perempuan, diharapkan

mampu memberikan nafkah, mengayomi,

mengawini. Lanang itu diartikan senajan ala

tetep menang (meskipun salah tetap menang).

Kadang cocok juga dengan saya istilah tersebut,

Maka kekerasan identik dengan laki-laki.

Kekuatan fisik lebih kuat...”

...ketika berteman kita kadang lupa kalau kita

sudah berkeluarga, laki-laki kadang tidak terlihat

sudah berkeluarga. Lain halnya dengan

perempuan meskipun masih muda, ketika sudah

bersuami akan terlihat ketika melakukan

tindakan penyelewengan. Banyak perempuan

tertipu dari fisik laki-laki...”

jenang

Jeneng jenang

Keseluruhan subjek mengatakan bahwa

seorang laki-laki memiliki tanggung jawab

yang besar baik di dalam keluarga maupun

masyarakat. Diantara peran dan tanggung

jawab seorang laki-laki adalah sebagai kepala

keluarga yang harus memiliki kemampuan

mencari penghasilan materi untuk kebutuhan

keluarga, mampu melindungi istri dan anak,

mengetahui dan memahami keinginan istri dan

anak serta mampu bersikap adil terhadap

seluruh anggota keluarga.

Disamping itu, sebagai kepala keluarga

seorang laki-laki harus dapat memberi

dan kepada keluarga. Memberi

All subjects declared that men bear large

responsibilities in the family and in the society.

The roles and responsibilities of men include

being the head of the family that must have the

ability to seek an earning to fulfill the needs of

the family, able to protect the wife and child,

knows and understands the needs of the wife

and child, and is able to act fairly towards all

members of the family.

In addition, as head of the family, he must be

able to give the and of the family.

Giving means that the man must have

the ability to take responsibility for the physical

and spiritual needs of the family, and giving the

means that a man must be able to elevate

the dignity of the family and maintain the good

name ( .

Seeking an earning is one of the vital roles and

responsibilities of men and success or failure to

accommodate this will influence the man's self

confidence. Men are strongly sensitive to

unemployment and wish to avoid it by all

means. Being unemployed can form negative

perceptions from the society towards them, and

in turn degrade the family's good name.

Apart from seeking an earning and maintaining

a positive family name, a man also has the role

and responsibility as the decision maker in the

family who is responsible for all of the family's

jenang jeneng

jenang

jeneng

jeneng = name) of the family23

yang artinya, laki-laki harus mampu

bertanggung jawab menafkahi lahir dan batin

pada keluarga, serta memberi kepada

keluarga, artinya seorang laki-laki harus dapat

mengangkat harkat dan martabat keluarga

serta menjaga nama baik ( .

Peran dan tanggung jawab sebagai pencari

nafkah diletakkan sebagai peran dan

tanggungjawab yang sangat penting bagi laki-

laki dan akan berpengaruh pada rasa percaya

diri. Pengangguran adalah status yang harus

dihindari oleh laki-laki karena dapat

melahirkan pandangan negat i f dar i

masyarakat terhadapnya, yang selanjutnya

akan berpengaruh pada nama baik keluarga.

Selain sebagai pencari nafkah dan penjaga

nama baik keluarga seorang laki-laki juga

memiliki peran dan tanggung jawab sebagai

penentu keputusan dalam keluarga yang

bertanggung jawab sepenuhnya terhadap

segala pergerakan keluarga ke arah masa

depan. Kedudukan tersebut memiliki

konsekuensi bahwa laki-laki harus memiliki

kelincahan dan kegesitan dalam mengatur

keluarga.

Dalam kondisi apapun laki-laki memiliki status

sebagai kepala keluarga termasuk dalam

kondisi kemampuan yang berbeda misalnya

jeneng

jeneng = nama)

development in the future. Such status requires

men to be agile and meticulous in managing the

family.

In whatever condition men are in, disregard

less of his mental condition, they remain to hold

the title as head of the family even if he suffered

mental retardation (the subjects use the term

abnormal).

Most of the subjects feel that the responsibilities

of men are more burdensome compared to

women because they are the figures who

receive the largest attention from the society

with regard to the success and failure of the

family. The good name of the family influences

the other members of the family. If the father

becomes the village head then the wife would

automatically be called Mrs. Village head and

this would allow her to enjoy an elevated status

in the society. This is consistent with the

Javanese expression that only applies for wives

or women namely, “ meaning

that women would have an elevated status

when the man has an elevated status in the

society.

bokong-njagong”

based on Javanese culture there is and

. Jenang implies that men must be

consistent, responsible and fulfill the physical

and spiritual needs of the family, for jeneng we

”... jenang

jeneng

24

mengalami retardasi mental (dalam bahasa

subjek disebut sebagai abnormal).

Sebagian besar subjek beranggapan bahwa

tanggung jawab laki-laki lebih berat dibanding-

kan perempuan karena sebagai figur yang

paling banyak disorot oleh masyarakat akan

keberhasilan dan kegagalan suatu keluarga.

Nama baik laki-laki sangat mempengaruhi

anggota keluarga yang lain. Jika suami menjadi

lurah maka otomatis sang istri akan terangkat

juga derajatnya dan otomatis dipanggil bu

lurah. Maka ada ungkapan jawa yang berlaku

untuk isteri atau perempuan dan tidak berlaku

bagi laki-laki yakni artinya

seorang perempuan akan serta terangkat

kedudukan dan statusnya ketika laki-laki

memiliki kedudukan dan status tertentu dalam

masyarakat.

bokong-njagong

...dalam segi budaya jawa ada jenang dan

jeneng. Jenang maksudnya laki-laki harus

k o n s i s t e n , b e r t a n g g u n g j a w a b u n t u k

memberikan nafkah lahir dan batin pada

keluarga, untuk jeneng kita dapatkan dari

lingkungan, minimal dari keluarga. Bukan kita

memaksakan pengakuan dari lingkungan. Kita

punya manfaat di lingkungan”

“...Saya sebagai nahkoda tidak tahu lulus atau

tidak, saya bersikap gandang, gending, dan

gendeng. Gandang ketegasan, gending bisa

,

get this from the environment, at least from the

family. Its not that we force this, but this is what

the society acknowledges. We are useful to the

environment”

As the captain I don't know whether I'll

succeed or not, I act with gandang gending and

gendeng. Gandang means firmness, gending

means to give an example, gendeng is done when

we feel that we're not going to succeed...”

For me, its largely related with culture, the life

of Javanese and Balinese is definitely different.

Women have buttocks, have jagong, and women

don't need to have a position, if the husband

becomes the village head, the wife would

”...

”...

the responsibilities of men are

more burdensome compared to

women because they are the

figures who receive the largest

attention from the society with

regard to the success and failure

of the family. The good name of

the family influences the other

members of the family

25

memberikan contoh, gendeng seperti ketika kita

tidak berhasil...”

...Kalau saya erat kaitannya dengan budaya,

kehidupan di masyarakat Jawa dan Bali pastinya

berbeda. Perempuan punya bokong, punya

jagong, perempuan tidak perlu punya jabatan,

ketika suami menjadi lurah maka istri menjadi

ibu lurah. Seorang laki-laki diatas, lebih dari

perempuan, dan masyarakat memperlakukan

seperti ini, terutama masyarakat Jawa. Karena

tanggung jawab, masyarakat yang aktif bapak-

bapak, ronda, kerja bakti, kenduren ini kaitannya

dengan fisik. Saya tidak pernah melihat kenduren

ibu-ibu...”

C. Persepsi tentang peran dan tanggung

jawab laki-laki dalam keluarga

1. Pengasuhan Anak

Ada perbedaan pola asuh antara anak laki-laki

dan perempuan. Pada anak laki-laki

menggunakan bentuk pola asuh yang

mendorong anak untuk aktif bertindak

sedangkan pada anak perempuan sebaliknya.

Subjek mengatakan, jika anak laki-laki

mempunyai permasalahan dengan temannya

yang juga laki-laki alternatif penyelesaian yang

terakhir adalah dengan per lawanan

menggunakan fisik yang sangat khas ”laki-

automatically be called Mrs. Village head. A man

is above the woman, they are better than women,

and society treats us this way, particularly

Javanese society. Because of responsibility, it is

the fathers that are active in the society, they

engage in night curfews, social work, kenduren

(traditional ceremony), and this all relates with

physical abilities. I have never seen a mother's

kenduren...”

C. Perception concerning the roles and

responsibilities in the Family

1. Child nurturing

There is a different pattern of nurturing

between boys and girls. Boys are nurtured by

supporting active participation while it is the

other way around for girls.

The subject stated that if a boy has a problem

with his friend that is also a boy, the final

alternative to resolve the matters is by using

physical force which is a character of men's way

of settling matters. The subjects state that if they

were in the right position they have to fight for it

(physical means of settling conflicts).

All the subjects stated that they nurture their

children by being examples, namely by

showing what is correct and always trying to

improve their morals. Two of the subjects stated

26

laki”. Para subjek mengatakan jika posisi benar

maka harus melawan (penyelesaian dengan

fisik).

Keseluruhan subjek mengatakan bahwa pola

asuh sehari-hari yang digunakan adalah

dengan menempatkan diri sendiri sebagi

contoh bagi anak-anak yaitu dengan

menunjukkan hal-hal yang benar dan selalu

memperbaiki akhlak diri sendiri. Dua orang

subjek mengatakan bahwa mendidik anak

bukan hanya menjadi tanggung jawab ibu,

namun juga ayah walaupun biasanya anak-

anak lebih terbuka dan lebih merasa tidak takut

(dekat secara emosional) pada ibu jika

dibandingkan dengan ayah. Subjek juga

m e n e k a n k a n a g a r a n a k - a n a k l e b i h

mengutamakan perintah ibu terlebih dahulu

dibandingkan ayah.

Persepsi terhadap kekuatan fisik laki-laki

adakalanya terbawa hingga seorang laki-laki

tumbuh dewasa hingga ia berkeluarga dan

mempunyai anak. Hal ini tercermin dalam pola

asuh terhadap anak-anaknya khususnya anak

laki-laki. Penyelesaian secara fisik ketika sudah

“Saya sering mendidik pada anak, kalau ada

pendapat dari bapak dan ibu yang semuanya baik,

kalau berat sebelah, maka ambil pendapat dari

ibu, boleh berani pada bapak tapi jangan kepada

ibu”

that educating the children is not merely the

responsibility of the mother, but it is also the

responsibility of the father although the child

tends to be more open to and not afraid

(emotionally close) of the mother compared to

the father. The subjects also emphasized that

the children prioritize the orders from mother

over the father.

Perceptions towards men's physical strength

are sometimes carried to when the man reaches

adulthood and have a family and children. This

is reflected by the nurturing patterns towards

”I often educate my child, if there is an opinion

from father and mother and they are all positive,

and sometimes it is biased, then take the mother's

opinion, you could act hostile to your father but

not to your mother”

Perceptions towards men's

physical strength are sometimes

carried to when the man

reaches adulthood and have a

family and children. This is

reflected by the nurturing

patterns towards the children,

particularly boys

27

tidak menemukan jalan keluar yang baik cukup

terlihat dalam penelitian ini.

Sejalan dengan persepsi tentang peran

tanggungjawab laki-laki sebagai kepala

keluarga dan isteri sebagai ibu rumah tangga,

maka subjek dalam penelitian ini melihat

bahwa pola hubungan suami isteri dalam

keluarga adalah laki-laki sebagai penentu

Laki-laki dasarnya tidak mau disaingi dan tidak

mau merasa kalah ketika ada urusan, selalu

menjadi figur pengayom, bertanggung jawab.”

Kita istilahkan harga diri, biasanya kan dulu

sifat seperti itu memang normal jadi bagaimana

pergaulan antar teman waktu itu memang yang

kira-kira yang berlaku seperti itu, yaitu ketika

ada konflik harus diselesaikan dengan fisik.”

Terutama yang dikatakan tadi, fisik duluan

dalam menyelesaikan masalah untuk laki-laki”

Ini yang denger dan saya lihat saja, misalnya

anak saya dinakali temannya, pulang kerumah

nangis. Biasanya bapak dari anak tersebut secara

otomatis menyuruh untuk melawan kembali.

Kalau anak perempuan apa juga seperti itu.

Kalau tidak berani melawan temannya tadi, saya

hajar sendiri anak saya”.

2. Relasi suami – isteri

the children, particularly boys. Settling

conflicts using physical strength is evident from

the responses of the subjects.

In line with the perception concerning roles of

men as the head of the family and wife as the

housewife, the subjects in the study remarked

Men basically don't want to be competed with

and they don't want to feel as though they lost

when there is a problem, they will always be the

protecting and responsible figure.”

We call it honor, in the past this characteristic

was common when socializing with our peers and

this was what applied in those times, therefore

when there is a conflict it must be settled using

physical force.”

Particularly on what was said earlier, physical

force is prioritized when settling conflicts among

men”

This is what I heard and I saw this myself, for

example my child is teased by his friends, and he

comes home crying. Usually the father would ask

the child to fight back. If it was for women would

it be the same? If the child didn't have the courage

to fight back, I would beat my child with my own

hands”.

2. Husband-wife relations

28

kebijakan keluarga serta inspirator bagi

perkembangan keluarga ke depan sedangkan

istri mempunyai kedudukan sebagai pelaksana

hasil kebijakan. Hubungan serasi dan harmonis

serta dialogis antara suami dan isteri dimaknai

dalam konteks antara pengambil kebijakan dan

pelaksana kebijakan.

Oleh karena itu, jika dilihat dari pembagian

peran di dalam rumah tangga maka peran istri

lebih dominan dalam urusan domestik yang

bersifat detil seperti, mengatur keuangan

sehari-hari/bendahara keluarga, kebutuhan

fisik makan dan minum, pendidikan dan

pengasuhan anak sehari-hari.

Khusus masalah pembagian peran dalam

pendidikan dan pengasuhan anak, subjek

dalam penelitian ini memiliki pandangan bah-

wa pada dasarnya pengasuhan anak tetap men-

jadi tanggung jawab bersama antara ayah dan

ibu namun dalam aktivitas sehari-hari, ibu

yang banyak berperan. Hal ini disebabkan ibu

lebih memiliki kedekatan emosional dengan

“ibu mengatur masalah harian seperti ekonomi,

ketika saya akan mengundang tamu didiskusikan

dengan istri berapa uang yang dibutuhkan. Laki-

laki wajib mencari nafkah, yang mengatur

keuangan adalah ibu. Untuk makan, sekolah,

kehidupan sehari-hari”.

that men make the decisions for the family and

also act as the inspirer for the progress of the

family in the future, while the wife has the

status to implement the decisions. Harmonious

relations between the husband and wife are

placed under the context of relations between

decision maker and decision executor.

Therefore, based on the role division in the

family, the wife's role is dominant in specific

domestic affairs for example managing the

daily finance/ family trea-surer, physical needs

for example food and drinks, education and the

daily nurturing of the child.

Specifically for problems of role division in

education and child nurturing, the subjects in

the study view that nurturing the child is the

collective responsibility of the father and

mother however in everyday activities it is the

mother who plays the dominant role. This is

because the mother has larger emotional

closeness with the child. In such relationship

patterns it is common for the wife to ask

”the mother takes care of daily issues for example

economic aspects, when I invite a guest I discuss

with my wife the total money needed. Men are

obliged to seek an earning, but it is the mother

who manages the money. She also takes care of

food, school, and everyday life”.

29

anak dibandingkan dengan ayah. Dalam pola

hubungan seperti ini lazimnya isteri harus

mendapat izin dari suami ketika akan meng-

ambil keputusan berkaitan dengan keluarga.

Subjek dalam penelitian ini memiliki

pandangan yang berbeda berkaitan dengan

perempuan atau isteri yang bekerja di luar

rumah. Sebagian subjek tidak menganggapnya

sebagai masalah. Justru keterlibatan istri dalam

mencari nafkah akan meringankan beban

finansial namun subjek lainnya menganggap

isteri yang bekerja akan melupakan pekerjaan

pokoknya yakni sebagai ibu rumah tangga.

“Saya mengingatkan istri, tugas dia adalah

mengurusi keluarga dan anak. Ketika istri

bekerja dan keluarga harus diurus, saya minta

untuk ijin pulang mengurus anak, kalau sudah

selesai baru kembali bekerja. Yang mengurusi

keluarga adalah tanggungjawab ibu, saya

“terbang keluar”. Suami sebagai manajer, ibu

tidak berani melangkah tanpa ijin suami. Peran

ibu sangat penting dalam pendidikan anak”

permission from the husband when making a

decision related with the family.

The subjects in the study have differing

opinions related with women working or wives

that work outside the home. Some subjects do

not consider it a problem. They view that the

wife's involvement can relieve the burden of the

husband however other subjects view that

working wives would forget their main roles as

a housewife.

”I always remind my wife, her task is to take care

of the family and children. If the wife works and

the family must be taken care of, I ask her to ask

permission to leave work and take care of the

children, and we she has finished doing this then

she could return to work. Taking care of the family

is the responsibility of the mother; I am the one

supposed to be engaging in activities outside the

home. The husband acts as the manager, the wife

would not dare act without asking permission

from the husband. The wife's role is very

important in the child's education”

“the study view that nurturing the child is the collective responsibility of the

father and mother however in everyday activities it is the mother who plays the

dominant role. This is because the mother has larger emotional closeness with

the child”

30

...selama istri bekerja bisa di tolelir tidak

masalah. Namun ketika melihat karir, kalau saya

tidak setuju saya hentikan, misalnya menjadi

penyanyi dangdut, kalau menjadi guru saya

dukung. Pandangan saya pokoknya melihat

karir, akan berjalan kemana. Sebutan istri dan

ibu, bagi saya punya pendapat harus juga

mempunyai naluri sebagai ibu rumah tangga,

bisa mengerjakan pekerjaan rumah tangga,

meskipun tidak semuanya. Jangan merasa sudah

capek tidak mau mengurusi urusan domestik.

Jadi tidak semua karir istri didukung, kalau kerja

sampai larut malam saya tidak setuju. Jika

pulang malam saya tanya, kenapa kerja sampai

malam. Saya sebagai laki-laki dan tidak bekerja,

jadi sebagai bapak rumah tangga, tetap

memantau, bagaimana karir istri, sejauh mana

mereka melaksanakannya, meski diimingi-

imingi jabatan yang tinggi, tapi kalau

kelihatannya tidak wajar, kita ingatkan. Saya

bilang “Hanya jadi guru, bayarnya sedikit,

waktu kamu habiskan dikantor ngapain aja?”.

Presiden saja bisa jalan-jalan, bisa piknik. Kalau

melewati batas-batas, saya tidak setuju...”

...perempuan berkarir ada kelebihan dan

kekurangannya. Kelebihannya ketika istri jadi

pimpinan, orang penting, otomatis jarang

dirumah, jadi untuk mencukupi keluarga bisa.

Kekurangannya mungkin anak kurang terurus,

untuk kepentingan umum dan lingkungan juga

kurang...”

”...

”..

as long as her work is tolerable it doesn't

become a problem. But I have to look at the career,

if I don't agree with the career then I will tell her

to quit, for example becoming a dangdut

(Indonesian folk music) singer, but if she wanted

to become a teacher, I would support her.

Basically I have to see the career, where is she

heading. The term wife and mother, I think that

they must naturally have a sense to be a

housewife; she can take care of domestic affairs,

although not everything. Don't feel tired and

then neglect domestic tasks. So I don't support all

careers for my wife, if she returned home late at

night, I don't agree, to what extent do they work,

although they are offered high positions, if it is not

common I would remind her about her main

tasks. I say “You only become a teacher, low pay,

what are you actually doing in your office?” Even

the president can have a day off and have a picnic.

If it goes overboard, I don't agree...”

Women having careers has its benefits and

weaknesses. The benefits is that when the wife

becomes a leader, an important person,

automatically she would rarely be at home, so to

fulfill the needs of the family it would be more

sufficient. The weakness is that the child will not

be taken care of, and that interests of the public

and surrounding environment will also be

lacking...”

31

D. Faktor – Faktor yang mempengaruhi

konsep kelelakian

1. Pengaruh lingkungan

Lingkungan mempunyai andil dalam

membentuk sistem nilai laki-laki termasuk

tingkat pendidikan dan kultur budaya lokal

serta pergaulan. Lingkungan mempunyai

aturan tak tertulis yang mengatur segala

perilaku laki-laki di masyarakat. Beberapa

aturan tak tertulis tersebut adalah selalu

mengedepankan kepentingan umum, ramah

tamah dan tenggang rasa, bersikap baik dengan

keluarga dan tetangga. Jika laki-laki sebagai

kepala keluarga mempunyai perilaku yang

buruk, di masyarakat dianggap akan memba-

wa pengaruh pada anggota keluarga yang lain,

misalnya anak akan mendapat celaka. Maka

dapat dikatakan bahwa laki-laki merupakan

sosok perwakilan keluarga dalam pergaulan di

lingkungan.

“Kita sebagai seorang laki-laki, filosofi itu pada

hakikat hidup, bagaimana kita bersosialisasi di

masyarakat karena kita belajar dari situ. Kalau

kita baik dengan keluarga, baik dengan tetangga,

ketika kita mendapatkan permasalahan, saudara

yang pertama dari lingkungan kita sendiri.

Kalau berbuat jelek, anak kita kena imbas, entah

ketika anak kita main sepeda ketabrak motor atau

D. Factors influencing the Concept of

Manhood

1. Environmental Influences

Among some of the environmental influences

that contribute to forming the men's value

system include educational level, local cultures

as well as socialization. The environment has

unwritten laws that regulate the behavior of

men in the society. A number of these laws

include the prioritization of public interests,

hospitality and empathy, acting kindly to the

family and neighbors. If a man displays

negative behaviors in the society, he would be

judged to bring negative influences to other

family members, for example the child would

experience misfortune. Therefore it could be

said that men are the family's delegates in

socializing with the environment.

”As a man, the philosophy is based on our way of

living, in how to socialize with the society because

it is from the society that we learn, if we are good

to our family, good to neighbors, when we face a

problem, our first help would come from our

environment. If we act badly, our child would

bear the consequences, for example when they ride

on their bicycles a motorcycle hits them, people

would surely think, well of course their child had

an accident, their father acts in negative ways”

32

terserempet motor, pasti orang lain berkomentar

pantas aja kecelakaan, orang bapaknya

berperilaku buruk”

Keseluruhan subjek mengatakan bahwa harga

diri adalah sesuatu yang penting dipertahan-

kan bagi seorang laki-laki dalam pergaulan so-

sial terutama jika menyangkut nama baik

keluarga. Dua orang subjek mengatakan,

apabila ada permasalahan yang menyangkut

harga diri, maka ada penyelesaian ala laki-laki

yaitu menggunakan fisik. Sebagian besar

subjek mengatakan bahwa pola asuh dari orang

tua, pergaulan dan tingkat pendidikan juga

menentukan sistem nilai laki-laki.

Dalam kehidupan di lingkungan sosial, seo-

rang laki-laki harus tahu bagaimana harus

bersikap dalam berhubungan dengan lingku-

ngan karena segala tindak-tanduk seorang laki-

laki terutama yang sudah berkeluarga, diangap

berpengaruh terhadap nama baik keluarga.

Salah seorang subjek mengungkapkan terka-

dang harus mendahulukan ajakan teman untuk

pergi ketika akan membantu istri yang repot

karena merasa tidak enak.

Lingkungan sosial terutama masyarakat Jawa,

menempatkan laki-laki diatas perempuan

karena laki-laki dipandang lebih banyak

berpartisipasi dalam kegiatan di lingkungan

All of the subjects stated that honor is worth

fighting for in social relations, particularly if it

relates with the good name of the family. Two

subjects stated that, if there was a problem

related with honor, therefore it must be settled

by a man's way, namely using physical

violence. Most subjects stated that parent

nurturing patterns, socialization and education

level also determines the value systems of men.

In the social environment, a man must know

how to act in relating with the environment

because all of the actions of men, especially

related with the family, will influence the good

name of the family. One of the subjects stated

that sometimes they must prioritize invitations

from friends to hang out rather then helping his

wife that is overwhelmed by her work because

he doesn't feel comfortable to refuse his friend's

invitation.

The social environment, particularly Javanese,

places men above women because men have

larger participation in social activities. Men are

also referred to as an insider when related with

the family and social environment. Men are

placed as the bridge between family and

society.

”As men we are insiders, we are related with the

family, society and etc. Now there is the term CSR

33 33

sosial. Laki-laki juga disebut sebagai jika

dikaitkan dengan keluarga dan lingkungan

sosial. Kaum laki-laki diposisikan sebagai pen-

jembatan antara keluarga dan masyarakat.

Segala kesuksesan dan keberhasilan dalam

keluarga akan dipandang sebagai keberhasilan

laki-laki oleh masyarakat, disamping itu

seorang laki-laki juga diposisikan sebagi figur

panutan baik dalam keluarga maupun lingku-

ngan masyarakat. Hal itu menyebabkan segala

tindakan laki-laki akan banyak mendapat soro-

tan oleh masyarakat.

Satu orang subjek mengatakan bahwa dalam

ajaran agama Islam, perempuan dijadikan dari

tulang rusuk laki-laki walaupun subjek belum

mengetahui secara pasti kebenarannya. Subjek

juga memandang bahwa dalam ajaran agama,

insider

Kita sebagai laki-laki disebut juga insider, kita

dikaitan dengn keluarga, lingkungan dsb.

Sekarang sering ada istilah CSR (Corporate Soci-

al Responsibility) digaungkan. Ini maksudnya

tanggung jawab sosial, jadi kepentingan kita

pribadi tidak bisa lepas dari lingkungan. Kita

dalam menjalani hidup tidak mungkin bisa

memenuhi kebutuhan sendiri, karena kita sebagai

makhluk sosial”.

2. Pemahaman terhadap teks agama dan idiom

budaya

(Corporate Social Responsibility) which is

honored. This means social responsibility,

therefore our personal interests cannot be

separated from the environment. In running our

lives it is not possible to fulfill our own needs

alone, this is because we are social creatures”.

Society views the success of the family as the

success of the man. In addition men are also

positioned as a good role model in the family

and the society. Therefore it is evident that the

actions of men receive considerable scrutiny

from the society.

One of the subjects stated that in the Islamic

teachings, women are made from the ribs of

men although the subjects are not entirely

certain of the truth of this teaching. The subject

also stated that religious teachings endorse the

notion that men are leaders. From birth, men

were destined to become leaders in the family.

They hold a collective responsibility and

therefore must act firmly and be strongly

committed to his faith. As a leader, men must be

able to lead themselves and other people.

In Islam, men are the servants of Allah that are

given superior features over women. They are

expected to marry and protect women and

2. Understanding upon religious texts and

cultural idioms

34

laki-laki harus menjadi pemimpin. Semenjak

dilahirkan, laki-laki dianggap secara otomatis

akan menjadi pemimpin dalam keluarga yang

memiliki tanggung jawab kolektif sehingga

harus mempunyai pendirian yang tegas, punya

keimanan dan keyakinan. Sebagai seorang

pemimpin, laki-laki harus mampu memimpin

diri sendiri dan orang lain.

Dalam Islam, laki-laki adalah hamba Allah

yang diberikan kelebihan dibandingkan pe-

rempuan dan diharapkan mengawani perem-

puan dan mampu mengayomi serta menafkahi

keluarga dan dalam tata cara beribadah, laki-

laki menjadi pemimpin/imam sholat. Keseluru-

han subjek mengungkapkan bahwa laki-laki

terlahir sebagai pemimpin yang mengemban

suatu tugas tertentu sesuai ajaran agamanya

masing-masing

Saya seorang muslim,

perempuan dijadikan dari tulang

rusuk laki-laki, entah khayalan atau tidak,

istilahnya kalau dituruti bengkok, kalau dilurus-

kan patah”

laki-laki adalah hamba Allah yang diberikan

kelebihan dibandingkan perempuan, diharapkan

mampu memberikan nafkah, mengayomi,

mengawini”

ajaran Islam menga-

takan bahwa

provide a living for the family. With regard to

matters concerning worship to God, men lead

or become the in the routine prayers

( ). All subjects reported that men were

born to be leaders who must execute the tasks in

accordance with each of their religious

teachings

imam

sholat

I am a Muslim, Islam states that the women are

made from the ribs of men, I don't know whether

this is real or just fantasy, if it was followed it

would bend but if it was straightened it would

break”

Men are the servants of Allah that are superior to

women, they are expected to provide an earning,

protect and marry”

“Specifically for problems of role

division in education and child

nurturing, the subjects in the study

view that nurturing the child is the

collective responsibility of the

father and mother however in

everyday activities it is the mother

who plays the dominant role. This is

because the mother has larger

emotional closeness with the child”

35

Idiom budaya Jawa

Sedangkan beberapa idiom budaya Jawa yang

diungkapkan oleh para subjek dalam

penelitian ini adalah sebagai berikut :

yaitu bagaimana hakikat

seorang laki-laki hidup di tengah masyarakat

dan dalam keluarga yang diimplementasikan

dengan selalu berbuat kebaikan dengan orang

lain. Segala perbuatan buruk yang dilakukan

oleh bapak dianggap akan berdampak pada

anak”

, yaitu menjadi laki-laki

harus menjadi sumur karena harus menjadi

inspirator. Kedua, dari segi ”dapur” seorang

laki-laki harus dapat mencari solusi atas

berbagai permasalahan serta penentu

kebijakan dalam keluarga untuk didelegasikan

ke istri. Sebelum didelegasikan ada proses

musyawarah terlebih dahulu dari segi sumur

dan dapurnya. Dari segi ”kasur” adalah segi

kenikmatan yaitu seorang laki-laki harus

dapat berbuat adil yang dapat dinikmati

bersama baik oleh suami maupun istri serta

anggota keluarga yang lain.”

Pada umumnya, idiom di

atas lebih sering dikenakan pada kaum

Hakikat hidup

Sumur dapur kasur

Sumur dapur kasur

Catatan :

Javanese Cultural Idioms

In addition to religious teachings, the subjects

also explained some Javanese cultural idioms

related with this topic. They are mentioned as

follows :

Nature of life ( referring to the

nature of man to live in the society and in the

family by always performing positive actions to

others. All negative actions of the father would

negatively impact the child”

Well kitchen and beds ( ),

referring to how men must become a “well”

because they must become an inspiration.

Second from the aspect of “kitchen”, a man

must have several solutions towards several

problems and it is he who makes the decisions

in the family, which would be executed by the

wife. Before delegating tasks to the wife there is

a process of discussion based on the aspects of

the “well” and the “kitchen”. From the aspect of

the “bed”, this refers to pleasure; a man must be

able to ensure fairness therefore allowing the

pleasures to be enjoyed by the husband, wife

and the other members of the family.”

The idiom “well, kitchen, and bed” is generally

used to refer to women and how they are

Hakekat hidup)

Sumur dapur kasur

Notes :

36

perempuan untuk menunjukkan bahwa tempat

perempuan adalah selalu berhubungan dengan

urusan domestik di rumah dan selalu berakhir

di ranjang yaitu sebagai pemuas nafsu seksual

laki-laki. Namun salah seorang subjek dalam

penelitian ini mempunyai pandangan lain

terhadap idiom tersebut sehingga diartikan

sesuai dengan nilai-nilai patriarki

. Jenang artinya sebagai

laki-laki harus konsisten, bertanggung jawab

memberikan nafkah lahir dan batin pada

keluarga. Jeneng artinya sebagai laki-laki harus

mampu berperilaku baik dan bermanfaat bagi

masyarakat agar mendapatkan nama baik dari

lingkungan dan keuarga.”

yaitu

. Idiom tersebut

mengatur perilaku dan sikap laki-laki dalam

kehidupan yaitu ketika berada didepan,

d i t e n g a h d a n d i b e l a k a n g . S u b j e k

mengungkapkan arti kata suami adalah semua

untuk anak dan istri”.

yaitu idiom laki-

laki sebagai sorang nahkoda dalam keluarga.

Gendang adalah ketegasan sikap seorang laki-

laki, gending yaitu mampu memberikan

contoh yang baik dan gendeng adalah sikap

Jenang dan jeneng

Idiom yang diambil dari Ki Hajar Dewantara

G

ing ngarso sung tulodho, ing madya mangu

karso, tut wuri handayani

endang, gending dan gendeng

always supposed to be associated with

domestic affairs and also the bed which refers to

satisfying the sexual needs of the men.

However one of the subjects in the study

delivers a different perspective towards this

idiom which is interpreted in line with the

values of patriarchy.

. implies that men

must be consistent, must be responsible

towards providing an earning to the physical

and spiritual needs of the family. implies

that men must display positive actions and be

useful to the society to acquire a good name in

the environment and the family.”

. This idiom regulates the

behavior and attitudes of men in life, when men

are positioned in the forefront, when they are in

the middle, and when positioned at the back of

a particular organization or task. The subjects

stated that the word husband refers to serve all

the best interests for the child and wife” (the

Indonesian word for husband is and the

subjects stated that it is an abbreviation for

which is literally

translated as everything for the child and wife).

this idiom

Jenang jeneng

endang, gending dan gendeng

and

Idioms taken from Ki Hajar Dewantara

G

Jenang

Jeneng

ing

ngarso sung tulodho, ing madya mangu karso, tut

wuri handayani

suami

semua untuk anak dan istri

37

ketika tidak berhasil dalam mengerjakan

sesuatu.”

adalah peribahasa yang

mengungkapkan bahwa kedudukan laki-laki

lebih tinggi dari perempuan. Seorang

perempuan tidak perlu mempunyai jabatan

karena ketika suaminya menduduki jabatan

tertentu di masyarakat maka istri secara

otomatis akan terangkat pula derajatnya,

misalnya seorang suami yang menjadi lurah

maka istr inya secara otomatis akan

menyandang panggilan bu lurah, disamping

i t u j u g a a d a p e r i b a h a s a l a i n ya n g

menggambarkan hierarki kedudukan laki-laki

dan perempuan yaitu ”

artinya kemanapun suami melangkah

beserta konsekuensi dari perbuatannya maka

istri akan mengikuti dan mendapatkan

dampak baik dan buruknya dari suatu

perbuatan suami.”

Semua subjek mengungkapkan bahwa ketika

tercipta sebagai manusia berjenis kelamin laki-

laki adalah takdir yang tidak dapat diubah dan

disesali. Rasa bangga sebagai laki-laki muncul

ketika berkumpul di lingkungan sosial karena

“Bokong jagong

neraka nunut suwarga

katut”

E. Perasaan sebagai seorang laki-laki

1. Perasaan menjadi ayah/laki-laki

implies that men are the captain in the family.

refers to the firmness of a man,

refers to making good examples and

refers to the attitudes that are displayed in cases

of failure.”

is a proverb that expresses how

the status of a man is higher then the status of a

woman. A woman does not need a respected

position because when the husband earns a

respected position in society, the wife would

automatically elevate her status, for example

when a husband becomes a village head,

therefore the wife would automatically earn the

title Mrs. village head. In addition there is also

another proverb that portrays the hierarchy of

men and women namely ”

meaning that wherever the husbands

steps and whatever consequence it may

produce, the wife will follow and receive the

benefits and detriments from the actions of the

husband.”

All subjects expressed that when they were

created as male humans, this was a fate that

cannot be regretted and changed. A sense of

pride is felt when gathering with the social

Gendang gending

gendeng

neraka nunut suwarga

katut”

”Bokong jagong

E. The feelings of a man

1. Feelings of being a father/man

38

meiliki anak dan istri, ketika mampu menuruti

keinginan anak dan istri, juga ketika rumah

tangga berhasil dan mapan. Rasa bangga

bercampur puas muncul ketika mampu

menyekolahkan anak hingga lulus dengan

kondisi ekonomi yang pas-pasan. Satu orang

subjek mengungkapkan bahwa harus bangga

menjadi laki-laki. Kebanggaan tersebut karena

menjadi dominan laki-laki dalam keluarga dan

di lingkungan masyarakat misalnya, dalam

pendidikan anak di keluarga dan dalam segala

aktivitas laki-laki di lingkungan masyarakat

yang dinilai akan membawa pengaruh

terhadap nama baik keluarga. Di samping itu,

tanggung jawab laki-laki yang dirasa lebih

berat dibanding tanggung jawab seorang

perempuan, karena harus mengayomi

perempuan dan anggota keluarga yang lain.

Satu orang subjek menambahkan bahwa rasa

bangga sebagai laki-laki dikarenakan

mendapat perlakukan istimewa dari orang tua

semenjak kecil yaitu diberikan kebebasan

penuh.

“saya bangga menjadi laki-laki, kita harus

bangga dan senang. Jangan sampai laki-laki

terlihat keperempuanan. Kita tunjukkan inilah

laki-laki !. Pertama, dalam keluarga, laki-laki

dominan sekali. Mendidik anak, dalam

lingkungan masyarakat, maka yang disorot laki-

environment and able to show that the man has

a child and wife, and also when the household

succeeds or is prosper. Feelings of pride and

satisfaction is also expressed when they are able

to educate their children up until graduation,

especially with their minimum resources. One

of the subjects stated that he must be proud to

be a man. This pride stems from the dominance

of man in the family and the social environment

for example in educating the children in

addition to all of the men's activities in the

society that will all influence the good name of

the family. Moreover, the responsibilities of

men are perceived to be larger compared to

women, because they must protect women and

their family. One subject stated that he is proud

to be a man because he received favorable

treatment from his parents ever since he was

small, and was given full autonomy.

”I am proud to become a man, we must be proud

and happy. Don't let a man seem like a woman.

We must show them that we are men! First, in the

family, men are very dominant. Educating the

children, in the society environment, it is the men

who get all the attention. The success of the family

becomes the responsibility of the man. There are

also mothers who have a high career. Men are

indeed special; when we become the village head

our wife would be called Mrs. Village Head. Our

39

laki. Keberhasilan dalam rumah tangga yang

bertanggungjawab laki-laki. Ada juga ibu yang

karier lebih tinggi. Memang istimewa laki-laki,

ketika kita menjadi Pak lurah maka istri

dipanggil sebagai Ibu lurah. Tanggungjawab kita

tidak seringan tanggungjawab ibu. Kita harus

mengayomi, bertanggung jawab pada

perempuan”.

“Sebagai tempat diskusi, misalnya kalau hanya

ada dana mepet bagaimana bisa untuk

mencukupi kebutuhan. Tentunya dengan diirit-

irit. Kalau istri yang tidak menerima uang yang

diberikan suami pasti berkomentar uang sekian

sampai dimana? Memang berat tugas patih”.

Rasa sedih muncul ketika rumah tangga

mengalami hambatan misalnya, masalah

kegagalan dalam pengasuhan anak dan ketika

istri menuntut banyak keinginan. Hal tersebut

karena laki-laki diposisikan sebagai figur yang

harus bertanggung jawab penuh dalam

keluarga sehingga dirasa menjadi beban

walaupun ada sedikit rasa bangga yang

terselip.

Terkadang ketika sedang jengkel dengan

keluarga muncul rasa ego dan gengsi karena

merasa yang mencari uang untuk kebutuhan

keluarga. Hal ini terjadi ketika anggota

keluarga dirasa susah untuk diatur atau

responsibilities are not as light as the mothers. We

must protect, and be responsible to women”.

A place to discuss things together, for example

when there is limited amount of money we

discuss on how we can fulfill our needs. Of course

we have to be more efficient. If the wife didn't

receive money which was given, she would

certainly ask where did the money go. Indeed it is

hard to be a leader”.

A sense of sadness is felt when the family

encounters some problems for example the

failure to nurture the children and when the

wife is too demanding. Men feel this way

because they endure the tasks to be fully

responsible for the family, and of course this

creates a burden but on the other hand they are

able to feel proud of themselves, although

implicitly.

At times when the subjects are frustrated with

the family, a feeling of selfishness arises because

we feel that we are the ones who have worked

hard to seek an earning for the needs of the

family. This occurs when the members of the

family are difficult to manage or act as they

please. Feelings or regrets appear when the

child does something wrong and we punish

them physically. Feelings of distress is felt when

our income is uncertain. One of the subjects

40

berperilaku semaunya sendiri. Rasa penye-

salan muncul ketika anak berbuat salah dan

harus dihukum secara fisik. Ada perasaan

berat ketika penghasilan tidak menentu. Satu

orang subjek merasa tidak enak jika dilihat

masyarakat akan kondisinya yang tidak

mempunyai pekerjaan tetap. Ada kesan

pengangguran yang kemudian menjadi beban

mental dirinya. Perasaan susah dan senang

muncul ketika mengayomi istri dan mencukupi

kebutuhan keluarga dalam kondisi ekonomi

yang pas-pasan . Satu orang sub jek

mengungkapkan merasa biasa-biasa saja

menjadi laki-laki, tidak ada perasaan lebih dan

kurang.

saya meninjau rasa dari kontinuiti, artinya

bolak-balik, bisa senang dan susah. Pada saat

menjadi pemimpin ada rasa bangga,

konsekuensinya menjadi suatu beban, pada saat

bisa me-menage itu jadi ada antisipasi saat ada

kegagalan, jadi bisa meminimalisir rasa (susah)”

Bisa senang bisa sedih, bangga kecewa seperti

ada siang ada malam”.

Kenyataannya seperti itu harus bagaimana lagi

kita terlahir sebagai laki-laki secara otomatis

bangga. Begitu terlahir sebagai laki-laki baik

ajaran agama, pemerintahan, sudah otomatis

menjadi pimpinan dalam keluarga. Kebanggaan

expresses his discomfort when the society sees

that he doesn't have a permanent job. There is

an impression that he is unemployed and this

creates a mental burden for the subject. Feelings

of difficulty and happiness appear when the

subjects are able to protect the wife and fulfill

the needs of the family with the minimum

economic resources that is available. One of the

subjects report that there are no special feelings

of being a man. No feelings of being superior or

being subjugated.

Basically the subjects state that they would

desire an abundance of wealth, however they

I view it from the aspects of continuity, it means

back and forth, we can be happy and difficult.

When we become leaders there is a feeling of pride,

the consequences become a burden, but when we

are able to manage therefore we anticipate failure,

and are able to minimize our feelings of

difficulty”

I could be happy or sad, proud and disappointed

just like day and night”.

That's just the reality, what else can we do, we

are born as men and we automatically are proud

of ourselves. When we were born as men, both

religion and the government confirms that we

automatically became leaders in the family. The

pride truly inspires the role”.

41

itu benar-benar menghayati perannya ”.

Sedih dan susah kita pakai rasa. Logika/nalar

kita digunakan untuk berpikir, hati memang

merasakan. Arahnya pada kompensasi yang

positif, apa yang menjadi rasa bisa terobati, tidak

harus semua tercapai “.

Pada dasarnya keinginan secara materi

sangatlah banyak namun subjek berpendapat

bahwa masalah rejeki ada yang mengatur yaitu

Tuhan dan hal itu tergantung dari tiap-tiap

pribadi dalam menyikapinya. Segala keinginan

dan cita-cita dalam kehidupan rumah tangga

sangatlah banyak dan beragam. Ada kalanya

tidak dapat terpenuhi dan menyebabkan

kekecewaan, namun segala rasa kesedíhan

tersebut dapat menjadi hikmah dan

penghayatan hidup bahwa segala keinginan

tidak selalu tercapai. Menurut subjek,

kegagalan dari suatu cita-cita hanyalah

kejayaan dan kebahagiaan yang tertunda.

Keseluruhan subjek mengungkapkan bahwa

dalam mengarungi kehidupan rumah tangga

leb ih mengedepankan fungs i - fungs i

religiusitas yang dipadukan dengan etika

kebijaksanaan hidup sesuai dengan kultur

budayanya masing-masing.

realize that blessing is the fate of God and that it

depends on how each individual interprets it.

The range of dreams and wishes desired by

family is clearly uncountable and diverse.

Sometimes it is not fulfilled and leads to

disappointment, but all of the sadness can turn

into wisdom when we understand that not all

desires can be achieved. According to the

subjects, failure to achieve a dream serves as a

delayed victory or happiness.

All of the subjects agree that living the family

life must prioritize aspects of religion and life

wisdoms in accordance with each culture.

“Sadness and difficulties we feel. Logic and

reason we use to think, the heart is used to feel.

The direction leads to positive compensation,

what becomes a feeling can be cured, not all

desires must be fulfilled “.

“That's just the reality, what else

can we do, we are born as men

and we automatically are proud

of ourselves. When we were born

as men, both religion and the

government confirms that we

automatically became leaders in

the family”

42

2. Konflik Peran Gender dan Ambivalensi

Laki-Laki

a. Kuat vs. lemah

b. Menang vs kalah sebagai laki-laki (jiwa

kompetitif)

Kalau pendapat saya, sebagai seorang laki-laki

harus kuat fisik dan bersikap jantan dan didasari

dangan mental spiritual yang baik”.

Seorang laki-laki secara fisik jelas lebih kuat dari

pada wanita dan tidak boleh terlihat lemah”

Kemudian dari sisi tenaga jelas laki-laki dan

wanita berbeda, kalau laki-laki itu biasanya

sebenarnya bedanya tidak jauh-jauh banget,

contoh paling mudah saat melahirkan, coba laki-

laki disuruh melahirkan apakah kuat, karena

secara kodratnya sudah beda”.

Perempuan banyak emansipasi, perempuan

bisa lebih dari laki-laki tapi sebenarnya laki-laki

harus tetap lebih sebagai pemimpin...”

Dari fisik kita lebih kuat, juga otak laki-laki dan

perempuan berbeda, lebih besar laki-laki. Saya

baca di buku. Perempuan tetap ada keterbatasan

dibandingkan laki-laki, meskipun banyak

perempuan yang lebih pintar dari saya”.

Dilihat dari sudut pandang kodrat begitu, kalau

2. Conflict of gender roles and male

ambivalence

a. Strong vs. weak

b. Win vs. lose for men (Competitive soul)

I think, as a man we must be physically strong

and act manly and it must be based on a good

mental and spiritual state”.

A man is physically stronger than a woman and

are not allowed to appear weak”

And from the aspect of strength it is clear that

men and women are different, actually for men

the differences are not large, for example giving

birth, if men had to give birth would they be

strong enough, because its just naturally

different”.

Women have lots of emancipation, women can be

better than men but men actually must still

become the leader...”

From the aspect of physical abilities we are

stronger, the brains of men and women are also

different, the brains of men are larger. I read this

in a book. Women have limitations compared to

men, although lots of women are smarter than

me”.

43

dari sudut pandang jaman pemahaman seperti

itu semua ditutup, laki-laki dan perempuan

harus bersaing juga dalam masyarakat.

Tergantung kita bagaimana menjabarkannya”.

Perempuan tetap ada keterbatasan, meskipun

banyak perempuan yang lebih pintar dari saya”.

laki-laki secara fisik sudah kelihatan, setelah kita

mempunyai istri dan mendapat anak jadi

semakin jelas kalau kita laki-laki. Kalau belum

punya anak belum terbukti”.

Ada laki-laki jantan tapi tidak terbukti. Seperti

laki-laki yang berhubungan badan dengan

perempuan dengan intensitas sering, tapi tidak

bisa mendapatkan keturunan jadi tidak terbukti

sebagai laki-laki.”

Ada laki-laki dikatakan tidak jantan

diantaranya ketika menikah tapi belum punya

keturunan. Masyarakat kemudian menanyakan

dimana yang minus. Pembuktian dengan itu.”

laki-laki dan perempuan sudah jelas berbeda

secara fisik. Ketika dalam berkeluarga belum bisa

mendapatkan keturunan maka belum bisa

dikatakan laki-laki. Jadi laki-laki tulen adalah

yang bisa memberikan anak laki-laki. Meskipun

secara fisik kelihatan sebagai laki-laki”.

c. Terbukti vs tidak terbukti sebagai laki-laki

If we use the perspective of our basic nature, then

its just like that, but if we use the perspective of

our times those sorts of ideas were closed up , men

and women must compete in the society. It

depends on how we interpret it”.

Women have limitations, although lots of

women are smarter than i am”.

it is physically apparent for men, when we get a

wife and have kids it becomes even more clearer

that we are real men. If we don't have a child it is

unproven”.

There are those men who appear masculine but

they haven't proven themselves. Like a man that

often has sex with a woman, but cannot have a

child, this doesn't prove that he is a man.”

There are those men that are not masculine

because they marry but don't have a child.

Society then asks where did he go wrong. This is

how it is proven.”

Men and women are clearly different from the

physical aspects. When we are in a family and we

cannot have a child we cannot be referred to as

real men. So real men are those that can give a

boy. Although physically they appear to be a

man”.

c. Proven vs. unproven as a man

44

d. Pengayom vs egois

Pengayom

Egois

laki-laki itu kepala keluarga, peranan

mengayomi anak dan istri, memberi contoh, suri

tauladan bagi anak”.

laki-laki adalah hamba Allah yang diberikan

kelebihan dibandingkan perempuan, diharapkan

mampu memberikan nafkah, mengayomi,

mengawini”.

Lanang itu diartikan senajan ala tetep menang

(meskipun salah tetap menang). Kadang cocok

juga dengan saya istilah tersebut, Maka

kekerasan identik dengan laki-laki. Kekuatan

fisik lebih kuat”.

kalau menurut saya laki-laki sulit menahan

emosi, kadang mau menangnya sendiri tapi

tergantung dari faktor personilnya tersebut”.

...istilahnya laki-laki bisa seperti bunglon, dia

bisa main kesana kesini tanpa sepengetahuan

keluarga. Bunglon cenderung kepada bahwa laki-

laki itu bisa fleksibel, ketika kita main kemana kita

bisa mengaku pergi sama teman, padahal kita

mengajak teman untuk minum minuman keras”.

... jadi ya memang kadang-kadang saya katakan

d. Protector vs. Selfishness

Protector

Selfishness

Men are the head of the family, they have the role

to protect the child and wife, give an example, and

an example to the child”.

Men are the servants of Allah that are superior to

women, they are expected to provide an earning,

protect and marry”.

Men are referred to as senajan ala tetep menang

(although we are wrong but we win). Sometimes

it fits with me this expression. That's why

violence is identical with men. We have stronger

physical abilities”.

I think that men have a problem with controlling

their emotions, sometimes they just want to win

for themselves but it depends on the personal

factors”.

...men are like chameleons, he could play here

and there without the family knowing. As a

chameleon men tend to be flexible, when we go out

somewhere we could say that we are with a friend,

but in fact we are hanging out with friends to

drink alcohol”.

... yes sometimes I say that men are ”sak geleme

45

bahwa seorang laki-laki itu ”sak geleme

dewe/semau gue”. Menurut saya lumrah. Laki-

laki kebanyakan seperti itu. Karena yang

harusnya membantu istri dirumah yang sedang

repot kemudian saya diajak temen untuk

mancing. Kalau saya tidak kumpul tidak enak,

kadang anak lagi panas atau ada permasalahan

lainnya”.

Laki-laki mau menang sendiri, kalau istri saya

sakit masih melakukan pekerjaan domestik,

mencuci masak, lain kalau laki-laki ketika sakit

maka tidur. Baru beraktivitas setelah sembuh.”

“...dalam segi budaya Jawa ada jenang dan je-

neng. Jenang maksudnya laki-laki harus konsis-

ten, bertanggungjawab untuk memberikan

nafkah lahir dan batin pada keluarga, untuk

jeneng kita dapatkan dari lingkungan, minimal

dari keluarga. Bukan kita memaksakan”.

Laki-laki bertanggungjawab sepenuhnya akan

dibawa kemana keluarga. Sebagai suami dalam

akad nikah sudah jelas, harus melindungi istri,

menafkahi keluarga, kalau dihayati sudah jelas

memberikan suatu batasan, scope pemikiran

mereka”.

e. Bertanggung jawab vs tidak mampu

bertanggung jawab

Bertanggung jawab

dewe/semau gue (we do as we please)”. I think its

normal. Most men are like that. Because I'm

supposed to help my wife at home who has her

handful but then my friends ask me to fish. If i

don't go out with my friends it discomforts me,

sometimes my son has a fever or there are other

problems”.

Men just want to win for themselves, if my wife

is sick, she would still perform her domestic

duties, wash clothes, cook, its different for men,

when they are sick they sleep. They return to their

activities when they are better.”

..in the Javanese culture there is jenang and

jeneng. Jenang refers to how men must be

consistent, responsible to provide an earning and

support physical and spiritual needs of the

family, minimum for the family. Its not

something we impose on ourselves”.

Men are fully responsible for where the family

will go. As a husband the marriage vows are clear,

they must protect the wife, provide the earning for

the family, if this is really understood it is already

clear that limitations are given to them,

limitations on the scope of their thoughts”.

e. Responsible vs. Irresponsible

Responsible46

Bagaimana laki-laki didepan, ditengah dan

dibelakang, jadi paling tidak harus bisa

melakukan hal tadi. Ketika dalam acara

pernikahan, ada pernyataan bahwa suami

singkatan dari: semua untuk anak dan istri.

Suami sebagai tumpuan utama, jadi ada beban

dan tanggungjawab laki-laki disana”.

Laki-laki mempunyai tanggungjawab lebih

berat dari pada perempuan. Ketika kita sudah

bekerja tapi belum punya istri, pasti uang

seberapa banyak akan habis. Lain halnya ketika

ada istri, kita bisa menabung. Kalau dihitung

secara nalar tidak bisa dihitung ketika melihat

banyaknya biaya pendidikan untuk anak. Ada

faktor X yang kita tidak tahu, ternyata bisa

membiayai anak”.

Ada kompensasi, suatu hal pengganti suatu

kekecewaan, misalnya tuntutan yang belum

dapat dipenuhi baik ibu atau anak. Sementara

waktu bisa kita alihkan bahwa hal itu harus

dicapai saat ini. Rasa kecewa akan lebih menjadi

suatu penghayatan atau perenungan ternyata

apa yang kita inginkan tidak selalu tercapai, jadi

bisa belajar mengambil hikmah.”

Sedihnya istri menuntut harus punya ini itu,

akhirnya korupsi, ada suami yang bunuh diri

Tidak mampu bertanggung jawab

How can men be at the forefront, in the middle

and in the back, so at least they can do these

things mentioned earlier. When they are in a

marriage ceremony, there is a statement that the

husband (suami) is an abbreviation from semua

untuk anak dan istri (everything for the child and

wife). The husband is the main guide, so the

responsibility and burden of a man is there”.

Men have larger responsibilities compared to

women. When we work but don't have a wife, the

amount of money we have would certainly be

spent. Its different when we have a wife, we could

save. If we do the rational calculations its

impossible to fulfill our needs especially when

considering the total costs for the child's

education. There is an X factor that we don't

know about, and it turns out we can pay for our

child's education”.

There is compensation, a substitute for the

disappointment, for example demands that have

not been fulfilled to the mother or the child. We

could divert our focus on not fulfilling those

demands now. Disappointment would serve as

contemplation and it turns out that what we

want is not always fulfilled, so we could learn to

take the lesson from the event.”

Incapable of being responsible

47

karena istri menuntut ini itu. Apalagi ketika

hidup di perumahan, banyak keinginan”.

Secara logika sebagai kepala keluarga, meskipun

abnormal, tetap sebgai kepala keluarga,

meskipun ibu menuntut penghasilan, meskipun

suami abnormal tetap merasa bertanggung-

jawab. Otomatis menjadi beban, bangga, dan

sedih”.

Memang sudah diciptakan sebagai laki-laki

mau mengeluh juga tidak bisa, kalau scope

rumah tangga berhasil, laki-laki bangga

mempunyai rumah tangga berhasil, tapi kalau

kacau balau, misalnya anak sudah diarahkan tapi

memilih sendiri ternyata salah, jadi ikut sedih

karena posisi laki-laki harus bertanggung-

jawab”.

F. Persepsi tentang konflik dan kekerasan

dalam rumah tangga

Penyebab kekerasan dalam rumah tangga

Sebagian besar subjek berpendapat bahwa

konflik dalam rumah tangga adalah hal yang

biasa dan merupakan bumbu dalam kehidupan

rumah tangga sehari-hari. Faktor ekonomi dan

kebutuhan dasar sehari-hari seperti makan dan

m i n u m d i p a n d a n g p a l i n g b a n y a k

menimbulkan konflik apabila salah satu pihak,

suami atau istri merasa tidak tercukupi.

Its sad when my wife demands for this and that,

and eventually we corrupt, some husbands even

kill themselves because the wife is so demanding.

Let alone when we live in the housing complex,

there are so many demands”.

Logically as the head of the family, although the

person is abnormal, but he remains as the head of

the family, although the wife demands for income,

although the husband is abnormal but its still his

responsibility. We automatically feel burden,

proud and sad”.

Because we have been created as men, and we

cannot complain, if the family succeeds, men are

proud to have a successful family, but if it is a

disaster, for example the child is advised to do this

but they choose their own way and it turns out to

be wrong, I become sad because the position of the

man is to be responsible”.

F. Perception of conflict and domestic violence

Causes of domestic violence

Most subjects view that conflicts in the

household are common and that it acts as the

spice of everyday family life. Economic factors

and daily basic needs like food and drinks are

viewed to be what mostly stimulates conflicts

when one party, either the husband or wife,

feels that their needs are not fulfilled.

48

kita tidak munafik semua sudah mengalami, ada

tingkatan ringan, sedang, besar .Ada hal sepele,

bisa menjadi besar. Secara kasat mata, faktor

ekonomi sangat dominan. Ketika ekonomi kurang

dalam suatu keluarga, dan agama masih rendah

maka ketika mencari nafkah tidak memandang

halal dan haram, asal mendapatkan pemasukan.

Contoh ada kasus masalah percekcokan pemicu

faktor ekomomi”.

...Di saat saya sudah lelah pulang kerja, istri

ngomel tidak berhenti. Saya sudah minta

berhenti, karena kondisi capek, akhirnya saya

melakukan kekerasan. Saya sudah berusaha nanti

saja bicarakan masalah, lihat situasi. Yang terjadi

supaya saya tidak melakukan kekerasan, saya

bilang kepada istri, ”Cukup, sudah, jangan

dilanjutkan...”

...konflik tergantung situasi dan kondisi,

kembali lagi apa penyulut konflik. Apakah ada

yang tidak tersampaikan, atau pihak ketiga, entah

ibu, adik...”

“...misalnya saya dan istri jarang melakukan

pembicaraan yang tidak sinkron, kemudian

saling mempertahankan pendapat maka akan

menjadi marah. Cara penyelesaiannya ketika istri

bersuara keras saya juga bersuara keras..”

“..setelah melontarkan kata-kata yang tidak kita

inginkan, kita menjadi ringan tangan, karena

we're not hypocrites, everyone has experienced

it, there is a low, mild, and high level. Some small

problems can turn to big ones. Apparently, the

economic factor is dominant. When the economic

needs are not fulfilled in the family and the

religion is weak and therefore not considering

what is allowed and what is forbidden (halal and

haram) in seeking an earning, and then you only

think about getting some money by whatever

means. For example cases of conflicts due to

economic factors”.

...When I am exhausted and return from work,

my wife doesn't stop complaining. I ask her to

stop, and eventually I act violently. I always try

to solve the problem and request to discuss the

problem later, we'll see the conditions so then I

wouldn't have to resort to violence, I tell my wife,

“That's enough, stop right now...”

...conflicts depend on the situation and

condition, it goes back to what started the

conflict. Is there something that hasn't been said,

or is there a third party, mother or younger

sibling...”

...for example my wife and I rarely ever speak to

each other in a synchronized manner, and we

defend our own arguments and then we get

angry. The way to resolve it is when my wife

raises her voice I also must raise my voice..”

49 49

kita hanya ngomong sekali, istri ngomong dua

kali. Setelah ada pihak ketiga yang netral bisa

mendamaikan, bisa kembali harmonis. Dari

cekcok bisa mengakibatkan piring pecah.

Perempuan biasanya banyak ngomong. Setelah

agak reda, kita cari jalan keluar, kita tanyakan

dari pihak perempuan, baru laki-laki.

Lingkungan kami banyak para pedagang, jadi

solusi permasalahan ekonomi dengan istri

kepasar, laki-laki cari kerja ditempat lain. Yang

paling berat memang masalah ekonomi. Laki-laki

masih muda, perempuan sudah tua juga menjadi

masalah..”

“kata-kata kasar muncul, dan tidak layak kita

ucapkan. Seperti menyebutkan nama binatang.

Ini muncul karena faktor kelelahan yang dialami

kedua belah pihak. Masalah mengurusi anak,

ketika istri meminta kita untuk mengurusi anak,

tapi kita tidak dengar.”

Hal lain yang dapat dianggap menimbulkan

konflik rumah tangga adalah pesan yang tak

tersampaikan, kurangnya kesepahaman dalam

topik pembicaraan, persaingan antara suami

dan istri dalam memenuhi kebutuhan

keluarga, kurangnya kesadaran akan peran

masing-masing dalam rumah tangga.

Perbedaan usia yang terpaut jauh juga

dianggap dapat menimbulkan masalah dan

adanya pihak ketiga serta sikap yang saling

..after saying things that are offensive, we both

are driven to hit each other, because I say one

thing, and my wife says two things. After a

neutral third party comes to solve the problem we

return to live in harmony. And from this conflict

it can result in broken plates. Women like to talk a

lot. When the condition is better, we seek a

solution, we ask the women's point of view, and

then the men's point of view. There are lots of

tradesmen in our environment, so the solution

for economic problems is that the wives go to the

market, and the husbands seek a job in another

place. It is the economic problems that are most

severe. Men are still young, older women also

become a problem..”

we curse at each other, and its inappropriate for

us to say. Like saying the names of animals. This

is because we are both exhausted. Problems of

taking care of the child, when the wife asks us to

take care of the child, but we don't listen.”

Other things that can cause family conflicts

include repressed thoughts or feelings, lack of

understanding towards the topic of discussion,

competition between husband and wife in

fulfilling the family's needs, and the lack of

awareness towards each person's role in the

family. The large age difference can also

contribute to conflicts in the family, the

presence of a third party as well as the acts of

50

mempertahankan pendapat masing-msing

ketika terjadi perbedaan pendapat

Menurut para subjek kelompok ke 3, ada

stadium konflik dalam rumah tangga, yang

paling rendah, konflik masih bisa diatasi

keluarga sendiri dan tidak harus melibatkan

orang lain. Stadium sedang yaitu suami istri

tidak bisa menyelesaikan dan minta bantuan

tokoh masyarakat. Stadium tinggi yaitu

perceraian, dan yang menjadi korban adalah

anak.

“Faktor ekonomi, cemburu, stadium rendah

masalah anak, bisa diselesaikan dengan

komunikasi bersama, antara bapak, ibu dan anak.

Insya Allah bisa terpecahkan. Faktor cemburu

bisa diminimalisir kalau istri percaya dengan

suami atau sebaliknya. Jika ada cemburu yang

berlebihan maka bisa meningkat pada perceraian,

apalagi ada yang memprovokatori. Yang paling

tinggi masalah ekonomi, harga semakin tinggi,

penghasilan tetap. Istri tidak bisa memenej,

hanya bisa menuntut, padahal kita sudah bekerja

sekuat tenaga. Tidak mungkin saya memberikan

semua uang pada istri. Ketika ada uang 100 ribu,

maka saya berikan 75 ribu saja. 25 ribu untuk beli

rokok, hobi mancing saya, dan keperluan saya

sendiri. Sangat rawan kalau tidak transparan

dalam keuangan”.

maintaining one's argument when there is a

difference of opinion.

According to the subjects in group 3, there are

levels of conflicts. The lowest level allows the

family to overcome the problem without

involving external parties. The mild level refers

to the condition where the wife and husband

are incapable of solving their problems and

therefore requiring the assistance of a

community figure. The highest level is a

condition of where divorce is declared, and the

child becomes the victim

. “There are factors of economy, jealousy, child

problems, which can be solved by having

communication, between the father, mother and

child. Insya Allah (God's Willing) the problem

can be solved. Factors of jealousy can be

minimized if the wife trusts the husband and vice

versa. If there was a person who was excessively

jealous this can lead to divorce, let alone if there

was a party that provoked the situation. The

highest level is economic problems, with higher

costs, but a constant income. The wife is

incapable of managing, and can only demand,

and we have worked as hard as we could. It's not

possible for me to give all my money to my wife.

When there is 100 thousand, I give her 75

thousand, and 25 thousand to buy cigarettes, to

go fishing, and accommodate my own needs. It is

51

Satu orang subjek menekankan bahwa jika

sikap istri tidak berlebihan misalnya istri terlalu

banyak tuntutan atau terlalu banyak bicara di

saat suami dalam kondisi lelah maka tidak akan

terjadi konflik. Menurut subjek, konflik

tersebut dapat dihindari jika istri bersikap

wajar misalnya bertanya dengan cara yang baik

ketika ada permasalahan. Hal lain yang dapat

dianggap menimbulkan konflik rumah tangga

adalah pesan yang tak tersampaikan,

kurangnya kesepahaman dalam topik

pembicaraan, persaingan antara suami dan istri

dalam memenuhi kebutuhan keluarga,

kurangnya kesadaran akan peran masing-

masing dalam rumah tangga. Perbedaan usia

yang terpaut jauh dianggap dapat menimbul-

kan masalah, adanya pihak ketiga, serta sikap

yang saling mempertahankan pendapat

masing-masing ketika terjadi perbedaan

pendapat.

Lalu berkaitan dengan apa yang biasa

dilakukan oleh laki-laki ketika terjadi konflik

rumah tangga, subjek dalam penelitian ini

memberikan pandangan yang beragam yang

dapat dikelompokkan dalam tiga kelompok;

laki-laki atau suami menggunakan

kekerasan dalam menyelesaikan konflik.

Suami menggunakan kekerasan mulai dari

kekerasan verbal berupa kata-kata kasar

Pertama,

very risky if we weren't transparent on our

financial conditions”.

S

First

One of the subjects emphasized that if the wife

didn't overreact by demanding too much or

speaking too much when the husband is

exhausted, conflicts would not occur.

According to the subject, the conflict could be

avoided if the wife acted usually for example

asking nicely when there is a problem. Another

thing that can lead to conflicts include

repressed thoughts or feelings, lack of

understanding towards the topic being

discussed, competition between the husband

and wife in fulfilling the family's needs, lack of

awareness towards each person's role in the

family. A large age difference can also lead to

conflict as well as the presence of a third party

and the act of maintaining one's stance when

arguing.

o what do men normally do in cases of family

conflicts? The subjects in this study provide a

diverse perspective that can be grouped into

three categories;

, men or the husbands resort to violence to

resolve the conflict. Husbands use violence in

the form of verbal violence by cursing and may

lead to physical violence. The subjects explain

that they use physical violence because they are

52

sampai kekerasan fisik. Menurut subjek

penggunaan kekerasan fisik dilakukan karena

alasan kondisi lelah dan tidak dapat

mengendalikan diri. Ada yang menyatakan

bahwa penggunaan kekerasan dilakukan

apabila isteri terlalu banyak bicara misalnya

suami bicara sekali istri menjawab dua kali.

Menghindar dari persoalan. Bentuk

sikap menghindar yang dilakukan laki-laki

ketika terjadi konflik adalah memilih diam atau

pergi dari rumah dan melakukan aktifitas yang

dianggap dapat meredakan emosi. Misalnya

memancing atau wisata kuliner ketika

memiliki cukup uang.

Berupaya menyelesaikan masalah. Di

antara upaya yang dilakukan laki-laki atau

suami adalah musyawarah dengan pasangan

untuk mencari jalan tengah, menjalin

komunikasi yang sehat dengan pasangan, dan

melibatkan anak dalam menyelesaikan

masalah.

Pandangan para subjek terhadap konflik

rumah tangga yang biasa terjadi tersebut

menimbulkan keengganan untuk campur

tangan. Mereka beranggapan bahwa setelah

terjadinya konflik, hubungan suami istri akan

Kedua,

Ketiga,

G. Intervensi lingkungan sosial dalam

konflik rumah tangga

exhausted and they cannot control themselves.

Some mention that violence is used when the

wife speaks too much, for example the husband

says one thing and the wife says two things.

, avoiding the problem. This form of

avoidance is conducted by men by being silent

or going away from home and conducting

activities that can relieve their emotional

distress. For example going fishing or dining

out when they have enough money.

, try to solve the problem. Men or

husbands discuss the problem with the spouse

to seek a win-win solution, build healthy

communications with the spouse and involve

the children in solving the problem.

Since the subjects view domestic conflict as

common, they are reluctant towards the notion

of intervention by external parties. They view

that following a conflict, the relations between

the husband and wife will return to be intimate

and usually they would have another child. The

subjects also stated that the society would make

a judgment whether it is necessary to assist the

family in solving their conflicts. If there was a

family conflict and the neighbors heard, the

neighbors would not directly intervene unless

Second

Third

G. Intervention from the social environment

in family conflicts

53

mesra kembali bahkan biasanya akan

bertambah anak. Para subjek juga mengatakan

bahwa masyarakat akan melihat terlebih

dahulu perlu tidaknya memberikan bantuan

pada setiap konflik rumah tangga. Ketika

terjadi konflik rumah tangga dan tetangga

mendengar maka tidak serta merta akan

mengintervensi jika belum membahayakan.

Ada rasa ketidakenakan untuk melerai,

merasa akan diangap salah karena mencam-

puri urusan rumah tangga orang lain, namun

pada dasarnya tetap memberikan pengawasan.

Sejauh ini baik. Ada intervensi. Dilihat juga

perlu bantuan atau tidak, kadang-kadang ketika

kita ingin membantu belum saatnya. Konflik

selama ini seperti ribut, main pukul, memakai

alat belum ada dalam lingkungan kita. Ada

kepedulian, kita mendengarkan saja, ketika kita

ingin masuk kita lihat masalahnya”.

Ketika terjadi konflik dengan istri, tetangga

mendengar, mereka tidak ikut mengintervensi,

ka lau sampai ber lar i - lar i , ini be lum

membahayakan, kalau melerai malah salah,

kadang-kadang dilihat diperhatikan diamati

sejauh mana, kita peduli dnegan mengamati,

takutnya salah satu membawa senjata tajam,

kalau sudah seperti itu baru ikut terjun”.

things became immensely severe. There are

feelings of reluctance because it would be

viewed wrong since they are intervening with

the matters of other peoples' family, although

they would still monitor the situation.

So far, things have been good. There are

interventions. It is given based on whether it is

necessary or not, sometimes when we want help,

the time is not right. The conflicts that have been

occurring so far include arguments, beatings,

and the use of equipment that is not available in

our environment. There are some concerns, but

we just listen, if we want to enter, we look at the

problem first”.

When there is a conflict with my wife, and the

neighbors hear this, they don't intervene, if

someone eventually came running out of our

house, this is not severe yet, if intervention was

done it would be wrong, sometimes we see,

observe and pay attention to the extent of the

conflict, we care by observing, we're afraid that

who knows a person might be holding a knife, if

this was the case, then we would enter”.

there was once a conflict in the family,

afterwards we became even more intimate. We

don't want intervention, probably around 90% of

cases are like this. Afterwards we have another

child, before there was a conflict until my wife

54

pernah terjadi konflik dalam keluarga,

sesudahnya malah semakin mesra. Kita tidak

mau intervensi seprti itu, miungkin hampir 90%

seperti itu. setelah itu anak bertambah,

sebelumya ada konflik sampai lari-lari hanya

pakai kutang”.

sepengetahuan saya, bisa mengintervensi, tapi

ada batasan-batasan seperti aspek, lingkungan

ada yang bisa mentolelir maksud baik, kita

kadang membuat semakin parah. Kalau masalah

Jika konflik dinilai sudah membahayakan salah

satu pihak, maka akan mengintervensi

langsung. Ada batasan-batasan yang sifatnya

tak tertulis yang mengatur tiap-tiap anggota

masyarakat dalam memberikan intervensi

ataupun pengawasan pada setiap konflik

rumah tangga yang terjadi di lingkungannya.

Konflik yang disebabkan permasalahan

ekonomi dan seksual adalah sumber konflik

yang paling banyak disebut oleh para subjek,

disisi lain masyarakat tidak dapat membantu

secara langsung kedua jenis konflik tersebut.

Adakalanya keluarga yang sedang berkonflik

memproteksi diri agar tidak diketahui oleh

masyarakat. Jika pun ada intervensi, bentuk

bantuan yang diberikan adalah berupa nasehat

melalui perwakilan masyarakat yang

mempunyai pengaruh, seperti tokoh adat,

pemuka agama, RT/RW.

ran away only using her under blouse”.

As far as I know, intervention is allowed, but

there are limitations, some environments can

tolerate good intentions, sometimes we make this

condition even worse. If its related with economic

problems, we don't directly enter, and this also

applies for sexual problems. I think that its

already normal that we have a security post, and

the RT head. Personally if I had to , I would

intervene, but not physically, I would give

advice”.

If the conflict was judged to be severe then one

party would give direct intervention. There are

informal limits that regulate each society's'

members to intervene or monitor family

conflicts in their region. Conflicts related to the

economy and sexual issues are the source or

conflicts that are mostly reported by the

subjects and the community cannot give direct

assistance on both of these conflicts. In some

cases, the family that is in conflict conceals their

conflict and therefore the community is

unaware of their problem. If there was

intervention, the form of assistance that was

given would be in form of advice through a

representative from the community that has

influence for example a custom leader, religious

figure, and the RT/ RW (housing chiefs) head.

55

ekonomi kita tidak secara langsung masuk

kesana, juga masalah seksual. Saya kira sudah

jamak lumrah, ada pihak keamanan, pak RT. Saya

pribadi mau tidak mau melakukan intervensi,

tidak secara fisik, tapi dalam bentuk nasihat”.

“disini kekerasan kompleks tidak sekedar

pukulan, tapi dilihat dulu sejauh mana, ada

beberapa kasus yang pernah saya lihat dan

dengar, kemudian berniat mengintervensi

ternyata mereka sendiri memproteksi. Daripada

timbul konflik saya mundur saja. Kekerasan dari

segi ekonomi, yang pernah saya lihat, tidak hanya

dikampung ini, juga hanya bisa melihat saja”.

“di masyarakat disekitar saya, ketika dalam

lingkungan sekitar terjadi konflik, masyarakat

sekitar hanya melihat dan berkumpul saja, kalau

dilihat sudah mengkhawatirkan pak RT atau

keluarga turun tangan. Kepedulian lingkungan

terhadap keluarga berkonflik sangat baik”.

Ketika konflik rumah tangga terjadi dan

mengganggu lingkungan maka masyarakat

akan meminta bantuan RW untuk menengahi

atau menggunakan forum pertemuan warga

pada tingkat RT untuk membicarakan segala

permasalahan. Jika bukan keluarga sendiri

(keluarga yang masih ada ikatan darah),

intervensi pada keluarga yang sedang

berkonflik tidak dapat dilakukan secara

langsung, karena tidak memiliki kedekatan

here violence is complicated, it doesn't only take

form of beatings, but we must see to what extent

the violence has occurred, there are some cases

that I have witnessed and heard myself, and I

tried to intervene but they themselves resisted

me. Rather than creating a new conflict I backed

down. Violence from the economic aspects that I

have seen with my own eyes, not only in this

village, and I could only watch”.

in the surrounding community, when there is a

conflict, the people only watch and gather, if the

condition is urgent, the RT head or family will

intervene. The concern of the environment

towards families that have conflict is very good”.

When there is a family conflict and it disturbs

the environment the community would ask the

RW to mediate or use a community forum in the

RT level to discuss the problem. If it was not

their own family members (blood related

family), interventions towards family conflicts

will not be conducted directly since emotional

closeness is absent. One subject explains that

not many community members are aware of the

conflicts that occur in their family even for his

own mother. According to the subject, this is

because the family problems never become a

large problem and tends to be closed up

therefore not allowing intervention from other

people.

56

emosional. Satu orang subjek mengatakan

bahwa tidak banyak masyarakat yang

mengetahui tentang konflik yang pernah

terjadi di rumah tangganya bahkan ibunya

sendiri. Menurut penuturan subjek hal ini

karena masalah dalam rumah tangganya tidak

pernah menjadi besar dan cenderung

diproteksi dari campur tangan orang lain.

Salah seorang subjek yang menjabat sebagai

ketua RT mengatakan pernah mempunyai

pengalaman mendamaikan pasangan yang

sedang berkonflik. Subjek secara pro aktif

memanggil kedua pasangan tersebut untuk

didamaikan. Pendekatan yang dilakukan

subjek untuk mendamaikan adalah pende-

katan agama dan undang-undang negara.

Disamping itu pemahaman akan karakter

orang atau keluarga yang sedang berkonflik

perlu dilakukan sebelum memberikan

intervensi. Ada kalanya orang tidak mau

dicampuri urusan pribadinya dan ada yang

justru senang dibantu. Jikalau hendak

memberikan bantuan ketika ada pihak yang

berkonflik, subjek akan mengumpulkan

informasi tidak hanya dari satu sumber saja

dengan harapan tidak akan salah dalam

mengambil solusi.

Satu orang menceritakan bahwa pada kasus

” ” (istri pulang ke rumah orang tua),purik

One of the subjects who are the RT head stated

that he has an experience of resolving a dispute

between a couple who were having a conflict.

The subject proactively asked both subjects to

resolve their problems. The subject convinced

the couple by using a religious approach in

addition to explaining the constitutions of the

country. Moreover, understanding upon the

characteristics of the people engaging in the

conflicts must be conducted before intervening.

Some people are hostile towards assistance

from external parties, while some others

welcome it. When giving assistance towards a

couple in conflict, the subject would collect

information from various sources in order to

come up with the correct solution to the

problem.

One person explained that in the cases of

” ” (the wife returns to the home of her

parents), the subject is reluctant to help because

he is afraid that he may be considered a third

party. The subject adds that sometimes women

have insufficient understanding towards the

condition of the family (in the ” ” case). For

family's that rarely ever experience conflict, if a

conflict eventually occurs it would become the

talk of the town, but for families that frequently

experience conflict, people would think its just

normal and would not pay much attention to it.

purik

purik

57

subjek merasa enggan untuk campur tangan

karena khawatir dianggap menjadi pihak

ketiga. Subjek juga menambahkan bahwa

perempuan kadang kurang memahami kondisi

keluarga (pada kasus purik). Pada keluarga

yang jarang sekali terjadi konflik, jika

dikemudian hari terjadi konflik maka akan jadi

bahan pembicaraan di kalangan masyarakat

sekitar, namun pada keluarga yang sering

terjadi konflik maka warga akan menilai hal itu

adalah hal biasa ( ) Tingkat pendidikan juga

dipandang berpengaruh dalam penyelesaian

konflik keluarga.

cuek

”ketiga ada keluarga yang jarang terjadi

percekcokan,suatu saat terjadi cekcok, maka akan

menjadi bahan pembicaraan. Jadi dianggap

tumben. Kalau sering terjadi cuek saja, nanti

juga hamil lagi. Tingkat pendidikan memang

menjadi salah satu faktor dalam menyelesaikan

pembicaraan”.

”ketika ada kasus istri pulang ke orang tua atau

dalam bahasa jawa purik, dan kita tahu ada faktor

ekonomi, ketika kita ingin menolong nanti malah

menjadi pihak ketiga. Perempuan kadang kurang

memahami kondisi keluarga”.

”tingkat pendidikan juga berpengaruh, kata-kata

kasar tidak akan terucap dari orang yang

berpendidikan tinggi. Jadi harus diberikan

pengertian”.

Educational level is also said to influence

conflict resolution in the family.

Third, there is a family that rarely ever has a

conflict, one day there is a conflict, this would

become the talk of the town. Because it rarely ever

happens. If conflicts often occur, well who cares,

eventually they'll have another child.

Educational level indeed becomes one of the

factors that influence the resolution of disputes”.

when there is a case where the wife returns to the

home of her parents or in Javanese referred to as

”purik”, and we know there are economic factors,

when we want to help we would aggravate the

problem because we would be considered as a

third person. Women sometimes don't

understand the condition of the family”.

educational level also influences, cursing would

not come out from educated people. So you must

give some understanding”.

in our environment, when there is a conflict, we

just let it be, but we observe from a distance.

When someone asks for help, we would help.

When we help, we would involve at least two

people”.

we have to know the problem first, we have to ask

this person and that person. Then we have to seek

a place to solve the problem, for example the

58

”di lingkungan kami, ketika terjadi cekcok, kami

biarkan, tapi tetap mengamati dari jauh. Ketika

sudah minta tolong baru kami menolong. Kami

ketika menolong kita, maka paling tidak 2

orang”.

”kita telusuri dulu persoalannya untuk

pencegahan, kita tanyakan pihak satu dengan

yang lain. Kemudian mencari tempat

penyelesaian masalah, seperti pertemuan jumat

kliwon ini pertemuan bapak-bapak, itu gagasan

saya ketika menjadi RT. Dulu hanya ibu dasa

wisma, dan PKK. Persoalan di lingkungan

kelurahan, kita sampaikan di kelurahan, dan

lingkup RW, kemudian RT. Kita munculkan apa

saja permasalahannya. Disini bisa muncul

pemecahan karena ada banyak pendapat.

Perkumpulan RT ada pembahasan masalah dan

ada kultum, agar lebih tenang mengurus rumah

tangga”.

”seolah-olah masalah hanya dari pihak laki-laki.

Saya kira juga perlu melibatkan perempuan. Jadi

perlu ada pengertian dari perempuan juga.

Mengenai persamaan hak, saya pernah

menjumpai permasalahan perempuan over.

Perempuan perlu dibina agar tidak melebihi

ambang batas. Kita cari apa faktor penyebab

permasalahan. Ibu PKK, dan ketua RT bisa

memberikan penjelasan. Karena dalam berumah

tangga ada dua individu yang berbeda

fathers' Friday kliwon meeting, this is what I

suggested when I became a RT head. Earlier it

was the mothers Dasa Wisma and PKK

organization. Problems in the village, are

delivered to the village organizations at the RW

level, and then RT. We present the problems that

are there. We can come to a solution because there

are lots of opinions. In the RT meetings there are

discussions of the problem and a brief religious

lecture, so they would be more calm in taking care

of their family”.

Its as if the problems only come from the men. I

think that we must also involve women. So there

also must be understanding from the women.

Concerning equality of rights I have seen how a

woman over-exaggerates. Women need to be

guided so they would not go overboard. We seek

for the cause of the problem. The PKK

organization and RT head can give an

“in the surrounding community,

when there is a conflict, the

people only watch and gather,

if the condition is urgent, the

RT head or family will

intervene. The concern of the

environment towards families

that have conflict is very good”

59

disatukan. Saya sebagai laki-laki akan membela

diri, ketika terjadi kekerasan. Faktor kekerasan

juga bukan dari laki-laki, tapi juga dari

perempuan.”

Tidak bisa hanya dari satu pihak saja dalam

pemberian pengetahuan. Perempuan akan

melonjak kalau di bela, padahal belum jelas siapa

yang salah. Tadi ada pernyataan kalau kita akan

menolong setelah ada yang berteriak minta

tolong. Kalau yang cekcok orang bisu, tidak bisa

minta tolong”

H. Dinamika kehidupan pernikahan para

subjek

Kisah Subjek 1

Riwayat masa lalu

Subjek berusia 39 tahun, bekerja sebagai

karyawan sebuah percetakan di Yogyakarta

dan pendidikan terakhir SLTA. Jumlah anak 2

dengan usia pernikahan 11 tahun. Subjek

menuturkan bahwa dahulu sebelum menikah

tertarik dengan ilmu kanuragan yang berasal

dari budaya jawa. Tujuan mempelajari ilmu

tersebut adalah sebagai perlindungan diri.

Ilmu tersebut mempunyai beberapa prasyarat

yang harus dilakukan yang bersifat perintah

moral seperti, harus menghormati dan berbuat

baik pada orang lain termasuk pada anak-anak,

orang tua, binatang dan benda mati. Subjek

explanation. Because in a family two different

people are united. Me as a man, I would try to

defend myself, when there is violence. Factors of

violence are also not from the men, but also from

women.”

It cannot only be from one party when it comes to

giving knowledge. Women would become even

more hostile when defended, even when it is not

clear who is actually wrong. Earlier there was a

statement, we would help if someone asked for

help. If the person was mute, he can't ask for help”

H. Dynamics of marriage life among the

subjects

Narrative from Subject 1

Past history

The subject is 39 years old and works as an

employee in a publishing industry in

Yogyakarta and graduated from senior high

school. He has 2 children and has been married

for 11 years. The subject explained that before

getting married he had particular interest in

learning ”kanuragan” (traditional martial arts

involving supernatural powers) of which

originates from Javanese culture. The goal to

learn this knowledge was for self protection. A

number of requirements needed to be fulfilled

when learning this knowledge by practicing

60

menuturkan bahwa ilmu yang dipelajarinya

sangat mempengaruhi perilakunya ketika

dalam kondisi marah yaitu menjadi sangat

temperamen dan merasa berani dengan

siapapun. Menurut subjek hal tersebut terjadi

karena ketika dalam kondisi marah, seolah-

olah bukan dirinya yang marah namun sosok

lain yang bersifat nonmateri yang merupakan

pembawaan dari ilmu kanuragan yang

dipelajari. Ilmu tersebut ternyata juga

mempengaruhi nafsu seksual subjek menjadi

lebih besar.

Keluarga subjek, istri dan 2 anak tinggal satu

rumah dengan keluarga kakak kandung subjek

yang juga sudah mempunyai anak. Jadi dalam

satu rumah terdapat 2 keluarga besar. Ketika

subjek ingin berhubungan seksual, istri tidak

bersedia pada saat itu dan mengatakan

menyanggupi esok hari namun setelah

ditunggu sampai keesokan hari, istri tetap tidak

mau dan akhirnya terjadi kekerasan terhadap

istri yang dilakukan oleh subjek. Subjek

menceritakan bahwa beberapa hari yang lalu

terjadi konflik antara dirinya dengan istri.

Konflik tersebut terjadi ketika istri meminjam

uang pada tetangga dan tidak berterus terang

pada dirinya. Kakak subjek mengetahui hal

tersebut dan mengatakan bahwa dirinya tidak

Permasalahan yang memicu konflik

moral orders for example respecting and acting

positively to other people, children, parents,

animals and non-living things. The subject

stated that the knowledge largely influenced

him when in a state of anger. In such states he

would become temperamental and would

challenge a fight with anyone. The subject

thinks that a non-physical being brought from

the environment of his ”kanuragan”

knowledge is responsible for his rage. This

knowledge also influences his large sexual

drives.

The subject's family, wife and 2 children live in

the house of the elderly sibling who also has a

child, therefore two families live in this house.

When the subject wants to engage in sex, the

wife refuses at the time and says that she'll have

sex the next day, but after waiting for the next

day, the wife still refuses and eventually the

subject acts violently to his wife. The subject

explains that a few days ago, he experienced a

conflict with his wife. The conflict started when

the wife borrowed money from the neighbors

and did not notify the subject. The subjects elder

sibling was aware of this, and said that he

dislikes it when his extended family borrows

money from the neighbors. The subject's elder

sibling got angry at the subject and the subject

Problems that trigger conflict

61

suka jika ada keluarga besarnya yang

meminjam uang pada tetangga. Kakak subjek

kemudian memarahi subjek dan subjek

akhirnya bertengkar dengan istrinya. Situasi

pertengkaran tersebut hingga membuat istri

subjek ingin pulang ke rumah orang tuanya,

namun tidak sampai terjadi.

Subjek menceritakan pengalaman masa

lalunya yang mempergaruhi hubungannya

dengan istri hingga saat ini. Dahulu subjek

mempunyai teman akrab seorang laki-laki

yang berselingkuh dengan rekan kerjanya

sekantor hingga menyebabkan teman subjek

tersebut diusir dari keluarga istrinya dan

berakhir dengan perceraian. Istri teman subjek

tersebut banyak meminta bantuan kepada

subjek untuk menyelesaikan konflik rumah

tangganya dan hal ini membuat istri subjek

cemburu dan selalu mengungkit-ungkit jika

sedang bertengkar dengan subjek. Ketika

terjadi pertengkaran, terkadang istri subjek

ingin mengajukan cerai dan subjek

menurutinya, namun tidak sampai terjadi

perceraian. Subjek juga mengungkapkan

bahwa dirinya berusaha berterus terang

tentang masa lalunya bahwa ketika di bangku

SMA pernah selingkuh dengan teman-

t e m a n n y a m e s k i p u n t i d a k s e r i n g .

Keterterusterangan subjek tersebut membuat

istrinya marah dan cemburu hingga terkadang

had a conflict with his wife. The conflict had

even caused the wife to plan to return to the

home of her parents but this never actualized.

The subject explained his past experiences that

influenced his relationship with his wife up

until the present. The subject had once had a

close male friend which had an affair with his

work colleague. This affair resulted in the

eviction of the subject's friend from the wife's

family and eventually resulted in divorce. The

wife of the subject's friend frequently asks help

from the subject to solve the conflicts in her

family and this makes the subject's wife jealous

and always raises this issue when they argue.

When they argue, sometimes the subject's wife

asks for a divorce and the subject agrees,

however it has never ended in divorce. The

subject also explained that he tries to be open

about his past when he was in senior high

school, that he had once cheated with his

friends although not often. By being open the

subject's wife became angry and jealous and

this makes her sometimes reluctant to have sex

with the subject. The wife's reluctance can go up

to 4 days and sometimes when she eventually

agrees to have sex, she would do so without any

enthusiasm. This delay makes the subject have

to repress his drives for a few days, and when

having sex with his wife, he is unable to satisfy

the wife. The subject's wife is frustrated because

62

membuat i s t r inya enggan melayani

berhubungan suami istri. Keengganan istri

subjek berlangsung hingga beberapa hari dan

terkadang 4 hari lamanya baru bersedia

melayani dan kadang dengan terpaksa.

Penundaan tersebut membuat subjek menahan

hasratnya hingga beberapa hari dan ketika

berhubungan dengan istrinya, subjek tidak

mampu memuaskan istri dan hanya subjek saja

yang merasa puas. Istri subjek merasa jengkel

karena tidak puas hingga menampar subjek

setelah selesai melakukan hubungan suami

istri dan subjek balas menamparnya. Hal

tesebut menyebabkan keduanya tidak

mendapatkan kepuasan setelah melakukan

hubungan suami istri dan justru terjadi konflik.

Hal lain yang membuat subjek marah adalah

istri subjek banyak mengikuti kegiatan

perekonomian di luar termasuk sering

m e m i n j a m u a n g k e k o p e r a s i t a n p a

sepengetahuan subjek. Menurut subjek

seharusnya ada tabungan untuk diri subjek

sendiri dan untuk kegiatan operasional rumah

tangga sehari-hari namun diambil semua oleh

istrinya. Disamping itu, istri subjek sering

mengambil uangnya di dompet tanpa meminta

ijin terlebih dahulu pada subjek dan baru

mengatakan setelah subjek menanyakannya.

Pernah suatu ketika ban motor subjek bocor

dan menambalnya ke tukang tambal ban,

she wasn't satisfied and slaps the subject in the

face, the subject responds by slapping her wife

in the face. Such conditions make it difficult for

the couple to achieve sexual satisfaction and

rather create a conflict between them.

Another thing that makes the subject angry is

when the wife participates in economic

activities outside the home for example

borrowing money from the cooperative

without notifying the subject. The subject

thinks that money should be saved, used to

fulfill the needs of the subject, and fulfill the

operational needs of the family, however all the

money is taken by the wife. In addition, the wife

often takes money from the subject's wallet

without asking permission and only tells the

subject when the subject asks himself. The

subject had once encountered an experience

when his tire was flat and had to have the tire

when we are in bed, my wife knows

about my sexual needs. But my wife

says lets do it tomorrow, and I wait

for tomorrow and she doesn't want

it, and then I hit her. Not so long

ago we had a conflict because my

wife was not straightforward about

borrowing money from the

neighbors

63

namun ketika hendak membayar ongkos

tambal ban, dompet subjek tidak ada uangnya

dan setelah ditanyakan ke istri ternyata diambil

istrinya. Kejadian tersebut sempat membuat

konflik.

Subjek mengatakan bahwa ketika terjadi

permasalahan pernah membicarakan dengan

istri namun subjek merasa bahwa istrinya sulit

untuk diajak diskusi karena istri emosional

terlebih dahulu

kalau sudah di kamar, keinginan saya istri tahu

kebutuhan saya untuk berhubungan seksual.

Tapi istri bilang besok, saya tunggu besok

ternyata tidak diberi, maka terjadi kekerasan.

Beberapa waktu yang lalu pernah ribut karena

istri saya tidak mau terus terang kalau dia pinjam

uang ke tetangga. Kakak saya tidak suka kalau

ada keluarganya yang pinjam uang ke tetangga.

Saya yang kena marah dari kakak, kemudian saya

bertengkar hebat dengan istri. Malam-malam

istri ingin pulang ke rumah orang tua, saya

bilang pulang saja”.

dulu pernah membicarakan terlebih dahulu,

tapi istri sulit bisa diajak diskusi. Kalau istri bisa

diajak diskusi juga bisa diselesaikan, tapi kadang

istri emosi lebih dahulu. Kalau saya bilang sekali,

istri membalas tiga kali”

Penyelesaian konflik

patched up. But when he was going to pay for

the service he was surprised that he had no

money in his wallet and when the subject asked

his wife, the wife explained that she took the

money. This event resulted in a conflict.

The subject states that when there is a problem

they have once discussed it but the subject feels

that it is difficult to discuss the problem with the

wife because she gets emotional

when we are in bed, my wife knows about my

sexual needs. But my wife says lets do it

tomorrow, and I wait for tomorrow and she

doesn't want it, and then I hit her. Not so long ago

we had a conflict because my wife was not

straightforward about borrowing money from the

neighbors. My elder sibling dislikes it when his

family members borrow money from the

neighbors. My elder sibling got angry at me, and

then I had a big fight with my wife. At night my

wife said she wants to return to her parent's

house, and I told her to just leave”.

we had once talked about the problem, but its

hard to talk with my wife. If I could talk with her,

the problem would be solved, but sometimes she

gets emotional. If I say one thing, my wife would

answer three things”

Conflict Resolution

64

Setelah subjek mempunyai anak 1, ketika ada

permasalahan biasanya akan mengajak istri

keluar untuk mendiskusikan penyelesaiannya

berdua karena jika dibicarakan di rumah,

kakak subjek akan ikut campur.

Rumah tangga ibu subjek sering terjadi konflik.

Ayah subjek berpoligami ketika subjek berusia

5 tahun dan kemudian pergi meninggalkan ibu

subjek sekeluarga. Kondis i tersebut

menyebabkan subjek kehilangan figur ayah

dan yang ada hanya figur ibu. Subjek merasa

bahwa dirinya berusaha mencari jati dirinya

sendiri dan hanya figur ibu yang memberikan

pemahaman untuk mandiri.

Subjek menuturkan tindak kekerasan yang

dilakukan terhadap istrinya yaitu menampar,

memukul karena istrinya yang memulai

terlebih dahulu. Subjek memberikan contoh

Pengaruh kehidupan keluarga di masa lalu

Jenis kekerasan yang dilakukan

“Waktu saya masih kecil, oleh ibu saya, kami

kakak beradik dibawa ke Muntilan, dan ibu pergi

ke Jakarta. Dan di Jakarta di tempat temannya,

ibu disadarkan kalau tidak ibu yang mendidik

anak-anak siapa lagi? Suami sudah tidak bisa

diharapkan. Kemudian ibu kembali ke rumah.

Bapak jarang pulang, sering konflik dengan ibu”.

After the subject had a child, when a problem

occurs, the subject would ask the wife to go out

and discuss the problem because if they discuss

it at home, the subject's elder sibling will

intervene.

The family of the subject's mother is marked

with conflict. The subject's father had polygamy

when the subject was 5 and left the whole

family. As a result the subject was unfortunate

not to have a father and could only rely on the

mother. The subject feels that all his life he has

been searching for his true self and it is his

mother that teaches him to be independent.

The subject reports that he would slap and hit

his wife because his wife slaps or hits him first.

The subject gives an example in matters of

sexual relations when the wife refused to have

Influences of past time family life

Types of Violence Performed by the Subject

”When I was small, my mother brought my

brother and I to Muntilan, while my mother went

to Jakarta. And in Jakarta, at her friend's house,

she was warned if the mother doesn't teach her

children, who else will? Don't count on the

husband, And then mother returned home.

Father rarely ever comes home, and when he does

he ends up making a conflict with mother”.

65

permasalahan yaitu masalah hubungan seksual

ketika istrinya selalu menolak maka subjek

sering memendam hasratnya. Hal tersebut

menyebabkan ketika subjek berhubungan

seksual dengan istrinya maka tidak dapat

sepenuhnya memuaskan istri hingga istri

menendangnya setelah selesai berhubungan

dan subjek membalasnya.

Subjek mempunyai harapan ke depan agar

kehidupan keluarganya menjadi lebih baik,

seandainya terjadi konflik, subjek berharap

tampar, pukul, karena istri yang memulai.

Seperti masalah hubungan seksual, karena saya

sudah memendam lama keinginan untuk

hubungan seksual, dia tidak mau melayani

kemudian istri menendang saya, maka saya

balas. Saya bilang kenapa tidak dibicarakan,

kamu tidak melayani dengan maksimal. Saya

sudah memendam lama, dia hanya diam saja,

maka saya berpikiran yang penting hasrat saya

tersalurkan”.

saya juga sering melakukan kekerasan pada

anak seperti mencubit, menampar anak. Dulu

saya nakal sekali, juga sering mendapatkan

kekerasan dari orang tua karena sering ditinggal-

kan orang tua”.

Komitmen ke depan dalam berumah tangga

sex and the subject had to hold on to his sexual

drives. When the subject eventually had sex

with his wife, he was not able to satisfy his wife

and so the wife kicked him, and the subject

kicked her back.

The subject hopes that in the future the family's

life can become better. In cases of conflict, the

subject hopes that the conflict would just occur

normally since family conflicts are the spice in

family life. The subject also expresses that he is

embarrassed if he has a conflict everyday with

his wife. When the subject's mother had a

conflict with his father, the mother would

slapping, hitting because she starts it first. For

example related to sexual matters, I had to hold on

to my sexual drive and she doesn't want to serve

me and then she kicked me, and then I kicked her

back. I say, why don't you tell me, your not giving

your best performance. I have held my sexual

drive for a long time, and she's only silent, and

then I think, as long as my sexual drives are

satisfied that's enough”.

I also act violently to my children by pinching

and slapping them. I was a naughty boy, and my

parents would usually act violently to me because

my parents often left me”.

Future Commitments in the family

66

konflik yang sewajarnya seperti perkataan

orang-orang bahwa konflik rumah tangga ada-

lah bumbu dalam berumah tangga. Subjek juga

mengungkapkan bahwa dirinya merasa malu

jika setiap hari bertengkar dengan istrinya.

Dahulu ibu subjek jika bertengkar dengan

ayah, maka ibu lebih memilih diam dan seka-

rang subjek berperilaku sebaliknya jika

bertengkar dengan istrinya. Anak merupakan

motivasi utama subjek untuk mempertahankan

rumah tangganya walaupun subjek juga

menceritakan bahwa dirinya pernah malaku-

kan kekerasan terhadap anaknya. Jenis kekera-

san yang dilakukan pada anaknya adalah men-

cubit dan menampar anak. Subjek menuturkan

bahwa dirinya pernah mendapatkan kekerasan

dari orang tuanya dan sering ditinggalkan.

Subjek mengungkapkan bahwa dirinya pernah

melakukan kesalahan pada istrinya yaitu

pernah berselingkuh dengan tetangga yang

menaruh hati padanya. Subjek merasa menye-

sal dan sadar setelah anaknya sakit demam ka-

rena subjek merasa bahwa sakit yang menimpa

anaknya adalah hasil dari perbuatannya.

Keinginan subjek untuk meneruskan perse-

lingkuhan tersebut masih ada namun berusaha

untuk mengabaikannya. Subjek kemudian me-

minta pada istrinya untuk bersedia melayani-

Perselingkuhan

usually be quiet and now it is the opposite

experience for the subject when he has a conflict

with his wife. The child becomes the primary

motivation for the subject to maintain the

family although the subject also admits to

acting violently to his child. The subject admits

to pinching and slapping his child. The subject

reveals that as a child he was also subject to

violence and that his parents often left him.

The subject admits that he has once cheated on

his wife by having an affair with the neighbor

that fell in love with him. The subject regrets his

actions and started to realize when his child got

sick. The subject felt that the child's sickness

was due to his actions. The subject actually

wants to continue his affair with the neighbor

but he tries to avoid those drives. The subject

Cheating

“I also act violently to my

children by pinching and

slapping them. I was a

naughty boy, and my parents

would usually act violently

to me because my parents

often left me”.

67

nya meskipun sekarang istrinya masih enggan.

Keengganan istrinya untuk berhubungan

seksual tersebut mereda ketika subjek gajian.

Jika pada suatu waktu istrinya menolak untuk

diajak berhubungan suami istri, maka subjek

akan menahan hasratnya. Ketika ada keinginan

untuk pergi ke lokalisasi, subjek lebih memilih

membelan-jakan uangnya untuk keperluan

sekolah anak, meskipun ada teman yang

menawarinya gratis untuk pergi ke lokalisasi.

“Saya pernah mengkhianati istri dan dari sana

saya menyesal. Tersadarkan kalau perilaku saya

tidak benar dengan sakitnya(demam) anak saya,

naluri saya karena perilaku saya. Awalnya

setelah kerja saya berinteraksi dengan tetangga

yang janda selalu baik dengan saya ternyata

naksir dengan saya. Kucing mana yang tidak

mau diberi ikan? Dari sana saya mengatur diri,

untuk tidak menindaklanjuti meski dalam

pikiran masih ada, meskipun juga salah.

Kemudian saya komunikasikan dengan istri

untuk mau melayani, meskipun sekarang masih

sulit. Namun ketika gajian mudah diajak

berhubungan seksual”.

“Kalau terpaksa tidak dilayani, saya menahan

diri. Ketika ada keinginan untuk mampir ke

lokalisasi, lebih baik uang untuk membeli buku

sekolah anak, meskipun ada teman yang

menawari dengan gratis”.

then asks his wife to serve him sexually

although his wife is still reluctant to do so. The

wife's reluctance reduced when the subject

receives his salary. If the wife refused to have

sex, the subject would resist his sexual drive. If

there was a drive to go to prostitution localiza-

tions, the subject would prefer to use the money

to buy the school needs of the child although his

friends offer him a free service to the prostitu-

tion localizations.

I have once betrayed my wife and now I regret it.

I realized that I was doing something wrong with

the event of my child's illness (fever), I knew this

was because of my actions. At first after work I

would interact with my kind neighbor who is a

widow and it turns out that she has feelings for

me. Which cat would refuse to be given a fish? At

this point I decided to repress my intentions

although in my mind I still want to, and although

I know its wrong. And then I told my wife so that

she would have sex with me, although until now

it is still difficult. But when I get my salary it is

easy to have sex with my wife”.

If she refused to have sex, then I would repress

my desires. If there was a desire to go to the

prostitution localization, it would be better for me

to use the money for buying the school needs of

my child, although my friend offers me to go to the

localization for free”.

68

Pengelolaan emosi

Pernah terjadi konflik dengan anggota keluarga

yaitu kakak iparnya sendiri yang pernah

berbuat tidak sopan (pelecehan) terhadap istri

dan kakaknya. Subjek merasa lepas kendali

dengan mengambil pedang namun subjek

melampiaskannya untuk menebang pohon

pisang. Subjek lebih memikirkan anak, istri dan

kakaknya ketika terjadi konflik dengan kakak

iparnya. Bagi subjek lebih baik diselesaikan

dengan cara baik-baik karena adat dalam

keluarganya ketika terjadi konflik adalah diam.

Subjek juga mengungkapkan bahwa hal-hal

yang mampu meredakan gejolak emosinya

adalah istrinya bersedia melayaninya

berhubungan seksual. Jika istri menolak, subjek

lebih memilih main ke rumah teman atau

mengikuti kegiatan di kampung, gereja atau

komunitas lain

Pernah terjadi karena ipar saya pernah kurang

ajar dengan istri saya dan kakak saya, saya

mengambil pedang. Tapi kemudian saya

melampiaskan ke pohon pisang. Saya masih

memikirkan anak, istri dan kakak saya. Lebih baik

didiskusikan. Masih adat dalam keluarga lebih

baik diam”.

istri bisa mengerti ketika saya minta dilayani.

Kalau tidak saya keluar rumah, main kerumah

Emotional Regulation

There had once been a conflict between the

family members with the step brother who

insulted his wife and elder sibling. The subject

went out of control and took out a machete but

the subject used his emotion to cut down a

banana tree rather than using it against the step

brother. The subject thought about the wife,

child and his elder sibling when there was a

conflict with his step brother. For the subject, it's

better to solve the problem in a positive way

because when his family has a conflict they

normally would remain silent.

The subject also states that there are some

things that can be done to reduce his emotional

reaction, namely when his wife is willing to

have sexual relations with him. When she

refuses, the subject prefers to hang out in his

friend's house or participate in village, church

or other activities or join other communities

There was once this occasion where my step

brother was insulting my wife and elder sibling, I

took out a machete. But then I channeled my

emotions to cut down a tree. I still think about my

wife, child and elder sibling. Its better to discuss

the problem. It is still the norm in the family,

better to be silent”.

my wife could understand when I want to have

69

teman. Saya juga banyak kegiatan di kampung,

gereja dan komunitas lain”.

Kisah subjek 2

Situasi pernikahan terdahulu

Kehidupan subjek pada waktu remaja banyak

dihabiskan untuk bersenang-senang dan tidak

memikirkan sesuatu yang penting bagi masa

depannya. Pada saat itu subjek merasa

bertindak di luar batas perilaku seorang pelajar

karena pengetahuan agama kurang dan hanya

memburu nafsu. Subjek melakukan hubungan

suami istri di luar pernikahan dan menikah

pada usia remaja yaitu berusia 17 tahun dan

masih duduk dibangku SMP kelas 3,

sedangkan istri kelas 1 SMP. Dinamika per-

nikahan pada saat itu banyak sekali konflik

karena tidak ada persiapan yang matang dan

hanya ingin memburu kesenangan saja

ditambah kondisi subjek dan istri masih melan-

jutkan sekolah. Situasi penuh konflik pada awal

pernikahan diperparah ketika subjek dan istri

hidup di lingkungan yang normal sehingga

muncul stigma dalam masyarakat terhadap

pernikahan subjek yang dianggap tidak

normal. Kendati demikian, subjek tidak merasa

lingkungan sosial menuntut sesuatu hal

terhadapnya. Subjek juga merasa bahwa

selama menikah, dirinya tidak mendapatkan

sex. If she refuses, I get out of the house, and go to

my friend's house. I also have lots of activities in

the village, church, and other communities”.

Narrative of Subject 2

Conditions of First Marriage

The earlier life of the subject as a teenager was

marked with a hedonic lifestyle where he never

considered the important aspects of his future.

At the time, the subject performed something

beyond the normal actions of ordinary teenage

students because of his weak religion and

because he only seeks to satisfy his vicarious

desires. The subject engaged in extra-marital

sex and eventually married his spouse at the

age of 17 years old. At the time the subject was

still studying in the 3rd grade of junior high

school, while his wife sits in the 1st grade of

junior high school. Marriage life at the time was

marked by immense conflict since no

preparation had been made for marriage and

they only thought about satisfying their sexual

desires. In addition, both the subject and his

wife were still in the phase of completing their

junior high school. This situation was

aggravated by the living environment that

placed a stigma towards their marriage because

it occurred under irregular circumstances. As a

result the subject felt that the social

70

manfaat berupa nilai-nilai hikmah yang dapat

dijadikan pegangan dalam berumah tangga

karena hanya menuruti hawa nafsu saja.

Permasalahan perekonomian mulai dirasakan

ketika sudah mempunyai 1 anak dan anak

mulai menginjak bangku sekolah dan

kebutuhan materi sehari-hari juga dirasa

semakin bertambah. Kondisi tersebut dirasa

semakin sulit ketika orang tua subjek dan orang

tua istri campur tangan dalam hal pendidikan

anak. Subjek merasa bahwa masing-masing

pihak merasa punya hak untuk mengatur. Pada

tahun ke 3 sampai tahun ke 7 usia pernikahan,

permasalahan yang dihadapi semakin

komplek, mulai dari permasalahan ekonomi

hingga ke permasalahan keyakinan karena

subjek dengan istri memiliki keyakinan yang

”Saya lahir, besar, sekolah dari TK sampai SMA

di Yogyakarta. Saya lahir tahun 1956, waktu

remaja sekitar tahun 1970-1980. Dinamika pada

waktu itu berbeda dengan sekarang. Memasuki

usia dewasa saya seperti di karbit karena umur 16

tahun menjelang 17 tahun sudah menikah.

Waktu itu saya kelas 3 SMP, istri saya kelas 1

SMP. Kami melakukan tindakan diluar batas

seorang pelajar, tidak ada unsur paksaan ketika

melakukannya, karena pengetahuan agama

kurang, hanya memburu nafsu saja. Waktu

berumah tangga tidak terencana”.

environment did not demand anything upon

them. The subject also he never received any

benefits from wise moral values that can guide

family life since he merely conformed to his

sexual desires.

Economic problems started to be felt when the

subject had their first child and the child was

about to enter school. This was aggravated by

the fact that everyday needs were continuously

increasing. The conditions became even more

difficult when the parents of the subject and his

wife intervened with the education of their

child. The subject feels that both parties hold a

right to make a decision. At the 3rd to the 7th

”I was born, raised, and went to school from pre-

school to senior high school in Yogyakarta. I was

born in 1956, and was a teenager from 1970-

1980. The dynamics of the time was different to

present conditions. Entering the adult phase, I

was like a premature adult, because I got married

at my late 16 years. At the time I was in 3rd grade

junior high school, and my wife was in 1st grade

junior high school. We did something beyond the

normal behaviors of junior high school students,

and there was no element of coercion when we did

what we did, it was because we have a lack of

religious understanding, and just searched to

satisfy our sexual needs. When we had a family it

was not planned”.

71

berbeda. Campur tangan dari pihak ketiga

yaitu orang tua kedua belah pihak masih terus

b e r l a n j u t wa l a u p u n m e r e k a m a s i h

memberikan dukungan juga dalam hal materi.

Subjek mengungkapkan bahwa konflik rumah

tangga yang dialaminya pada waktu itu lebih

banyak dengan orang tua bukan dengan istri.

Orang tua kedua belah pihak menuntut subjek

untuk tinggal bersama mereka, begitu juga

orang tua istri yang menuntut istri subjek untuk

tinggal bersamanya dengan alasan takut jika

keduanya pindah keyakinan. Disamping itu

orang tua kedua belah pihak juga merasa

bahwa subjek dengan istri belum mampu

hidup mandiri karena belum mampu mencari

penghasilan.

”Karena tidak banyak persiapan, hanya ingin

senang-senang saja, meskipun orang tua susah

juga lingkungan, masih kecil sudah menikah.

Untuk materi tidak masalah saya dan dia bisa

melanjutkan sekolah. Kita di lingkungan normal

maka ada stigma”.

Konflik muncul dari orang tua, bukan dengan

istri. Seperti orang tua saya meminta saya

tinggal dirumah saya, karena mereka takut saya

berubah keyakinan begitu juga sebaliknya orang

Konflik yang terjadi dari pernikahan pertama

year of the marriage, the problems the couple

faced became even more complicated, starting

from economic problems until problems

concerning religious faith since the subject and

his wife had different religious beliefs.

Intervention from third parties, namely parents

from the subject and his wife, continued

although they remained to provide material

support.

The subject admitted that most of the conflicts

that occurred at the time did not occur with his

wife but with the parents. The parents of both

parties demanded that they stay at their houses,

and this was also the case for the parents of the

wife because they were afraid that they might

convert to another religion. In addition, the

parents felt that the subject and his wife were

incapable of living independently because they

do not have an earning.

Because we didn't have much preparation, and

just wanted to have fun, although our parents

had to go through lots and also our environment,

we were small and we already got married. We

were in a normal environment and there was

stigma”.

The conflict rose from the parents, not from my

Conflicts in the first marriage

72

tua istri juga meminta saya tinggal di rumah

orang tua istri karena mereka takut anaknya

berubah keyakinan. Kalau mau mandiri belum

mampu karena tidak ada masukan”.

Kegiatan saya waktu masa tenggang saya

mencari istri, belajar tentang hidup itu

bagaimana, apa yang dicari dalam hidup, nilai-

nilai hidup. Saya jalan dari kota ke kota, dari desa

ke desa. Akhirnya timbul titik jenuh, saya bilang

ini bukan saya yang sebenarnya ini hanya

mengikuti nafsu saja”.

“Saya sempat tidak peduli dengan kehidupan

saya. Kemudian saya memutuskan menikah lagi

dengan menyampaikan kepada orang tua karena

sudah mencapai titik jenuh. Saya sadar kalau

Dari pernikahannya tersebut subjek mendapat-

kan 1 anak. Pernikahan subjek hanya berlang-

sung sampai 10 tahun dan akhirnya bercerai.

Perceraian tersebut membuat subjek mengala-

mi masa tenggang dan merasa kehilangan

”dunia” yang normal. Kondisi subjek pada

masa tenggang membuat subjek menjadi

seorang peminum selama 5 – 10 tahun lamanya

dan sering berpergian dari kota ke kota, desa ke

desa untuk belajar tentang hidup dan juga

mencari istri. Kondisi tersebut akhirnya

membuat subjek merasa jenuh dan merasa

hanya dipengaruhi hawa nafsu.

wife. My parents asked us to stay with them,

because they were afraid that I might convert to

another religion, while my wife's parents also

asked me to stay with them because they were

afraid that their child will convert to another

religion. If I was asked to be independent I must

admit I wasn't capable because I didn't have any

income”.

At this moment I looked for a wife, learnt about

life and tried to figure out what to look for in life,

what are the values in life. I walked from town to

town, and from village to village. And then I got

fed up with my normal life, I said that this is not

who I am and that I'm only following my

instinctual drives”.

I once no longer cared about my life. And then I

decided to marry again by telling my parents

because I am fed up with this condition. When I

From this marriage the subject had one child.

The marriage only lasted for 10 years and they

eventually divorced. The divorce led the subject

to feel a loss of a normal world. The subject

turned to alcohol abuse as a means to relieve his

distress for 5 – 10 years and often travelled from

one city to another, village to village to learn

about life and find another wife. The subject

was fed up with his life and realized that he was

only influenced by his drives.

73

saya harus merubah diri saya sendiri. Ketika saya

meminta menikah lagi, orang tua tidak setuju

mereka menuntut saya harus bekerja, tiap bulan

ada penghasilan”.

Subjek sempat merasa tidak peduli dengan

kehidupannya hingga mengalami titik jenuh

dan memutuskan untuk menikah lagi karena

menyadari bahwa dirinya harus berubah.

Ketika mengkomunikasikan niat tersebut ke

orang tua, awalnya orang tua tidak setuju

karena memandang subjek belum memiliki

penghasilan tetap. Harapan orang tua, subjek

memiliki penghasilan rutin tiap bulan dengan

bekerja menjadi pegawai seperti PNS, PLN,

polisi karena pada waktu itu sangat mudah

untuk mencari kerja pada profesi tersebut.

Subjek memiliki pandangan lain. Menurut

subjek jika dengan waktu sesaat mampu

menghasilkan uang kenapa harus menjadi

pegawai karena pada saat itu subjek sudah

mampu mencari uang dengan menjadi

pemandu wisata turis asing. Orang tua subjek

menganggap pekerjaan yang dilakukan subjek

bukanlah pekerjaan pada umumnya karena

tidak menghasilkan gaji tiap bulan. Hal itu

tidak menjadi permasalahan yang berkepan-

jangan dan orang tua subjek akhirnya mengijin-

kan setelah subjek mampu membuktikan

bahwa dirinya sanggup hidup mandiri dengan

mengandalkan pekerjaan yang dipilihnya

wanted to marry again, my parents didn't agree

because they said that I must work first, each

month I must have an income”.

The subject had once no longer cared about his

life and wanted to marry again because he

realized that he had to change. When he

discussed his intentions to his parents, at first

his parents did not agree because the subject

did not have a permanent income. The parents

hoped that he can earn a routine monthly

earning by working as a civil servant, in the

state electrical company, or in the police

because at the time it was very easy to find a job

in those areas. The subject thought that if he was

able to obtain a large amount of money at one

time, why does he have to be an employee,

because at the time, the subject was able to gain

an earning by becoming a foreign tourist guide.

The parents thought that his job was not a

normal job because he did not earn a monthly

income. This did not become an everlasting

problem and the subject's parents eventually

allowed him to marry when he proved to them

that he was able to live independently with the

job that he had.

The subject had once experienced a conflict that

made him hit his wife in the first marriage. The

Dynamics of conflict and violence

74

meskipun gajinya tidak menentu.

Pernah terjadi konflik hingga terjadi tindak

kekerasan berupa pemukulan yang dilakukan

subjek terhadap istrinya pada pernikahan yang

pertama. Subjek merasa menyesal setelah

kejadian tersebut dan meminta maaf pada

istrinya. Ketika dalam kondisi marah,

dinamika psikologis yang dituturkan subjek

adalah bahwa dirinya tidak merasakan adanya

aliran darah yang naik, detak jantung pun

seperti biasanya dan subjek merasa seperti

lepas kendali, hanya emosi saja yang terlintas.

Pada saat itu, tindakan yang dilakukan istri

adalah membawa senjata tajam untuk

menusuk dirinya sendiri. Menurut subjek,

perilaku istrinya tersebut dipengaruhi oleh

kultur budaya dan lingkungan sosial tempat

asal istrinya yaitu di bagian Indonesia Timur

yang berbeda dengan lingkungan kultur Jawa

tempat asal subjek. Subjek mengungkapkan

bahwa perbedaan kultur tersebut dalam hal

pengekspresian emosi, karakter, cara dandan

dan etika pergaulan.

Dinamika konflik dan tindak kekerasan

“pernah. Sampai ada pemukulan dari saya,

hanya emosi yang terlintas, setelah itu langsung

merasa menyesal, kemudian saya minta maaf

pada istri”. Tidak ada aliran darah naik, detak

jantung biasa saja. Waktu tidak sadar saya tidak

subject regretted the incident and apologized to

his wife. In a state of anger the subject described

that he no longer felt any blood running, his

heart beats are normal and the subject loses

control, only rage is felt. At the time, the wife

grabbed a blade so she could stab her self. The

subject viewed that his wife's actions are

influenced by her culture and social

environment of her origins in East Indonesia,

which is different to the Javanese culture of the

subject. The subject mentioned that these

differences are evident in styles of expressing

emotion, characters, ways of grooming and

ethics of socialization.

”I once no longer cared about

my life. And then I decided to

marry again by telling my

parents because I am fed up

with this condition. When I

wanted to marry again, my

parents didn't agree because

they said that I must work

first, each month I must have

an income”

75

pernah memukul”.“istri membawa senjata

untuk menusuk diri sendiri, ini yang saya

takutkan. Pengalaman tadi adalah dengan istri

pertama. Pengaruh budaya juga bisa, mantan

istri dari Indonesia Timur. Banyak perbedaan

dalam emosi, karakter, cara dandan, bergaul”

Saya menyesal karena saya memukul, dipukul

itu sakit. Kalau untuk yang salah siapa saya tidak

tahu, kalau menurut saya saya yang benar, kalau

menurut dia, dia yang benar”.

ya, tapi pihak ketiga kembali lagi. Cukup berat

Setelah terjadinya tindak kekerasan yang

dilakukan, subjek merasa menyesal karena

menyadari bahwa semua orang termasuk

dirinya akan merasa sakit jika dipukul. Jika

mencari siapa yang telah bertindak salah, hal

itu sulit dilakukan dan subjek merasa tidak

tahu. Menurut subjek, dirinyalah yang benar

namun jika yang ditanya istrinya pastilah

istrinya yang merasa benar. Permasalahan

dalam rumah tangganya tersebut pernah

dibicarakan secara baik-baik berdua dengan

istri, namun masalah kembali timbul karena

adanya campur tangan pihak ketiga. Menurut

penuturan subjek, hal tersebut dirasakan

cukup berat namun dirinya harus tetap kuat.

Bagi subjek segala permasalahan cukup

dijalani saja. Jika bagi orang lain hal tersebut

mungkin berat namun tidak untuk dirinya.

Yes there was. I hit her, I was emotional, and at

the time I directly regretted my action and

apologized to my wife.” I didn't feel any blood

running, my heart beat was just normal. When I

am unconscious I never hit anyone”.

my wife grabbed a blade to stab herself, this is

what I was afraid of. This experience was with my

first wife. It was also because of cultural factors,

my ex-wife was from East Indonesia. Lots of

differences in emotion, characters, ways of

grooming and socializing”

I regret hitting her, being hit is painful. If you ask

After the violence had occurred, the subject

regretted his actions because he realized that

any form of violence to anyone would lead to

pain. If we asked who was wrong, its difficult to

know for sure, and the subject admits that he

doesn't know. According to the subject he is

right, but if the wife was asked, she would

certainly answer that she was the right one. This

problem had once been discussed together, but

the problems re-occurred when there was

intervention from a third party. The subject

explained that this was a very distressing

experience but he knew that he must be strong.

The subject believes that whatever the problem,

he must face it, and for other people it may be

tough but it's not tough for the subject.

76

tapi saya tidak merasakan berat, dijalani saja.

Mungkin orang lain yang melihat merasa berat.”

Hikmah yang saya pelajari bahwa pengalaman

hidup seperti ini, tidak akan bisa diputar kembali.

Dulu hanya mengandalkan emosi dan nafsu.

Pondasi utama saling memberi, berkorban,

jangan menuntut, jangan mengharap balasan.

Ternyata saya menyadari semua adalah titipan”.

Hikmah yang diambil subjek dari

pernikahan terdahulu

Pernikahan yang pertama berlangsung hingga

10 tahun. Subjek menuturkan bahwa rumah

tangganya dahulu tidak ada kehendak untuk

saling memberi satu dengan yang lain melain-

kan hanya mengandalkan emosi dan nafsu. Hal

tersebut memberikan subjek hikmah bahwa

segala sesuatu yang telah terjadi dalam perni-

kahannya di masa lalu tidak akan dapat diper-

baiki lagi dan dalam berumah tangga hal pokok

yang penting adalah kehendak untuk saling

memberi dan berkorban serta tidak hanya seke-

dar menuntut dan mengharap balasan. Subjek

juga menyadari bahwa sebagai seorang laki-

laki seharusnya ia memilliki penghasilan yang

halal untuk menghidupi diri sendiri,

lingkungan dan keluarga terdekatnya dan

anak.

who's wrong, I don't know for sure, if you ask me,

I'm right, but if you ask her, she's right”.

yes, but the third party came back again. It was

quite tough but I didn't feel it was tough, I just

went through it. Maybe other people might see

that it was tough.”

halal

the lesson I learnt from this life experience, is

that we cannot change things in the past. In the

past I only relied on my emotion and lust. The

main foundation is mutual giving, sacrifice,

don't demand, and don't hope for rewards. I

realized that everything is just temporary”.

Lessons from the first marriage

The first marriage had lasted for 10 years. The

subject explained that in the first family no one

was willing to give to one another, and we only

relied on our emotions and desires. From the

first marriage the subject learns that his past

faults cannot be fixed and that it is vital for

family members to give to one another and be

willing to make sacrifices as opposed to merely

demanding and expecting rewards. The subject

also realized that as a man, he should have

earned an income using (religiously

legitimate) ways to fulfill the needs of himself,

the environment, his close family and his child.

77

Pandangan tentang diri sendiri

Dinamika pernikahan ke dua

Hal yang mampu meredakan dan mengontrol

emosi subjek adalah ketika masa bulan puasa.

Subjek juga mengungkapkan bahwa dirinya

tidak dapat menilai diri sendiri karena subjek

pasti akan merasa dirinyalah yang paling

benar Segala komentar dari mantan istri

terhadap dirinya tidak pernah ia dengarkan.

Ketika memutuskan untuk menikah lagi,

subjek mencari perempuan yang alim, tidak

meninggalkan sholat, berkerudung dan dapat

mengaj i karena subjek menggangap

perempuan dengan kriteria tersebut mampu

meredakan emosi subjek.

Subjek kemudian mendapatkan perempuan

dengan kriteria tersebut dan menikahinya.

Kehidupan rumah tangga subjek yang ke 2

berjalan sesuai harapan hingga saat ini yaitu

tinggal di rumah sendiri secara mandiri dan

tidak menumpang. Ketika subjek marah, istri

mampu meredakan dengan menyadarkan

subjek dan menyuruh membaca . Istri

juga mengatakan bahwa sesulit apapun

kehidupan rumah tangga mereka berdua, ada

.

Saya tidak bisa menilai diri saya sendiri, saya

merasa saya yang paling benar”

istighfar

Perception about self

Dynamics of the second marriage

The fasting month was an important event to

control and relieve the subject's emotion. The

subject also explains that the subject cannot

judge himself because he would certainly think

that he is most righteous. All the comments

from his ex-wife were never listened to.

When the subject decided to marry again, the

subject searched for a religiously pious woman,

who completes here routine prayers, wears a

veil and can recite the Qur'an. The subject feels

that these types of women are able to relieve the

subject's emotion.

The subject was able to get acquainted with a

woman with those criteria and eventually

married her. The family life in the second

marriage had gone as expected up until the

present where he is able to live independently

and not stay at his parent's or friend's house.

When the subject is angry, the wife is able to

relieve his anger by making the subject realize

and saying (asking mercy to God). The

wife also explains, however difficult the

”I cannot judge myself, I feel that I am most

righteous”

istighfar

78

orang lain yang lebih susah. Menurut penu-

turan subjek, jika istrinya marah tidak sampai

meledak-ledak dan masih dalam batas yang

wajar. Subjek mengatakan bahwa dirnya

memahami karakter istrinya, termasuk hal-hal

yang dikehendaki oleh istrinya dan sesuatu hal

yang mampu membuatnya marah. Jika istri

dalam kondisi marah, hal yang dilakukan

adalah dengan menulis surat dan selama ini

justru subjek yang paling sering marah. Sejauh

ini hal-hal yang dapat memicu konflik rumah

tangga subjek adalah adanya pihak ketiga se-

perti omongan tetangga ataupun permintaan

dari keluarga yang lain seperti permintaan

orang tua, kakak atau adik yang meminta sepe-

da motor atau rumah. Ketika menghadapi teka-

situation they live, there is surely another

family that is facing even more severe

conditions. According to the subject, when the

wife is angry it never goes overboard and is still

in a normal state. The subject states that he

knows the characteristic of his wife, including

the things that his wife wants and the things

that can make her angry. If the wife is angry, she

would write a letter and at this moment

subject's anger would occur more frequently. To

this day, the subject explains that third parties

are the ones that trigger conflict for example

gossip from neighbors or requests from other

families for example parents, elder or younger

siblings who ask for a motorcycle or house.

When receiving pressure from outside, the

subject anticipates this by showing his

willingness to help out.

The subject enjoys his present marriage life

because everything is going well. In the past,

the subject felt that he can never truly become

the head of the family because there was no

clear direction of his future. The subject admits

that he acknowledges his faults in the past and

all the events in the past he did unintentionally.

The children from his marriage are two and the

children as a result from extra-martial sex is

around 6-7 children (the subject seems to have

forgotten the exact amount) and two of them

have never communicated with him.

,

libido, saya suka dengan

perempuan timbul dengan

sendirinya, ini nafsu, godaan atau

cobaan? Sudah mendapatkan yang

baik, kenapa harus tambah lagi?

Tapi kadang asyik juga menambah

istri lagi, tapi apakah mampu dan

bisa.”

79

nan dari luar, subjek menghadapinya dengan

cara menyediakan diri untuk membantu.

Subjek merasa menikmati kehidupan pernika-

hannya yang sekarang karena segala sesua-

tunya berjalan dengan baik dan subjek merasa

hanya menjalani saja apa yang sudah ada. Jika

dahulu subjek merasa belum benar-benar men-

jadi seorang kepala rumah tangga karena tidak

ada tujuan yang jelas tentang arah masa depan.

Subjek mengungkapkan bahwa dirinya meng-

akui kesalahannya di masa lalu dan segala

kejadian di masa lalu terjadi dengan tidak ia

sengaja. Anak dari hasil pernikahan ada 2 dan

anak hasil dari hubungan di luar nikah ada 6-7

anak (subjek tampaknya lupa jumlah pasti dari

anak-anaknya) dan 2 diantaranya tidak pernah

menjalin komunikasi dengan dirinya. Subjek

menuturkan bahwa pada dasarnya dirinya

bersedia bertanggungjawab terhadap ke 2 anak

tersebut namun tidak diperbolehkan oleh

orang tua mereka dan subjek meyayangkan hal

tersebut.

Subjek berharap kondisi pernikahannya saat ini

dapat terus berjalan baik meskipun ia memiliki

dorongan untuk menikah lagi.

Hal yang dilakukan subjek ketika sedang jenuh

adalah pergi ke tempat yang sunyi, bermain

Pengelolaan kejenuhan

The subject stated that his is willing to take

responsibility for those two children but their

parents forbid this and the subject regrets this.

When the subject is bored he would go to a quiet

place, play guitar, (recall the Names of

Allah), pray, go to the river and scream until his

satisfied, and it depends on the mood that he

feels at the time. These behaviors are in contrast

with his past behaviors before the second

marriage. When he was bored he would look for

a prostitute or look for another woman to take

care of his boredom.

The subject feels that it is a miracle for him to be

able to change his ways from the past. His wife

is very kind to him and the subject is starting to

try to understand his wife.

The subject explains that he has intentions to

marry again. He explains that he has high sexu-

al drives, is easily attracted to women, and alre-

ady wealthy. This desire emerged by itself and

the subject doesn't know whether this is

because of lust, temptation or whether it is a

test. However, this is something the subject

enjoys from a sexual and material aspect

although the subject does not know whether he

Managing Boredom

Motives for polygamy

dzikir

80

gitar, dzikir, sholat, pergi ke sungai atau pantai

dan menjerit sepuasnya, hal tersebut

tergantung yang dirasakan pada saat itu.

Perilaku tersebut sangat berbeda jika diban-

dingkan jaman dahulu sebelum pernikahan

yang kedua ketika dalam kondisi jenuh akan

mencari perempuan pekerja seks atau perem-

puan lain untuk mengalihkan kejenuhan.

Bagi subjek kondisinya saat ini seperti suatu

keajaiban jika dibandingkan kondisinya

dahulu. Istrinya saat ini sangat baik padanya

dan subjek sendiri mulai berusaha untuk

memahami istrinya tersebut.

Subjek mengungkapkan bahwa dirinya

memiliki keinginan untuk menikah lagi. Hal-

hal yang mendorong subjek untuk menikah

lagi karena libido dan kesukaan subjek

terhadap perempuan ditambah lagi karena

kondisi ekonomi yang dirasa sudah mapan.

Keinginan tersebut timbul dengan sendirinya

dan subjek belum mengetahui apakah hal ini

merupakan nafsu, godaan atau cobaan namun

keinginan tersebut merupakan hal yang

menyenangkan bagi subjek dari segi seks,

materi dan segalanya walaupun dirinya belum

mengetahui apakah mampu dan bisa.

mood

Motif poligami is able to do so.

The subject has already discussed his intentions

with his wife but he doesn't know how things

would turn out in the future. The subject hopes

that if he marries again, the wife would be able

to live in harmony with the second wife.

This desire frequently arises although the

subject is afraid of marrying again and he also

realizes that he is already 50 years old.

” libido, I like women, it just emerges, is it lust,

temptation, or a test? I already have a good wife,

why should I add another? But sometimes I think

it would be fun to have another wife, but would I

be able to do so.”

libido, I like women, it just

emerges, is it lust, temptation,

or a test? I already have a good

wife, why should I add another?

But sometimes I think it would

be fun to have another wife, but

would I be able to do so.”

81

“libido, saya suka dengan perempuan timbul

dengan sendirinya. ini nafsu, godaan atau

cobaan? sudah mendapatkan yang baik, kenapa

harus tambah lagi? tapi kadang asyik juga

menambah istri lagi, tapi apakah mampu dan

bisa.”

.

Subjek sudah mengkomunikasikan dengan

istrinya namun subjek belum mengetahui

seperti apa kondisi ke depan. Harapan subjek

kelak jika dirinya menikah lagi, istrinya dapat

hidup akur dengan calon istri yang akan

dinikahinya.

Keinginan subjek untuk menikah lagi sering

muncul meskipun dirinya merasa takut kalau

terjadi pernikahan lagi dan subjek juga

menyadari bahwa usianya sudah lebih dari 50

tahun.

Kondisi perekonomian keluarga saat ini sudah

stabil yang ditunjukkan dengan kemampuan

subjek untuk membantu saudara, teman dan

lingkungan terdekat. Subjek juga mempunyai

karyawan tetap dan ada pihak-pihak yang

bersedia bekerjasama dengan usaha yang

dirintisnya.

Peran subjek dalam rumah tangga hampir 80%

dan peran istrinya di rumah tangga adalah

Kondisi saat ini

Present Conditions

The family's current economic condition is

already stable which is indicated by the

subject's ability to help his relatives, friends and

close surroundings. The subject also has

permanent employees and parties that are

willing to work with the business that he

created.

The role of the subject in the household is

almost 80% and the wife plays the role as a

housewife that takes care of the children and

social activities.

When the subject is bored he

would go to a quiet place, play

guitar, dzikir (recall the Names of

Allah), pray, go to the river and

scream until his satisfied, and it

depends on the mood that he

feels at the time. These

behaviors are in contrast with his

past behaviors before the second

marriage. When he was bored he

would look for a prostitute or

look for another woman to take

care of his boredom.82

menjadi ibu rumah tangga yang mengurusi

anak dan kegiatan sosial kemasyarakatan.

Subjek mengatakan bahwa dirinya mampu

memahami kondisi psikologis istrinya ketika

sedang marah dan mengetahui hal-hal apa saja

yang dapat menyebabkan istrinya marah.

Subjek mengenalinya dengan mengamati

perilaku nonverbal istrinya. Ketika dalam

kondisi marah, subjek mampu mengenali

perubahan tubuhnya meskipun tidak secara

keseluruhan. Saat ini jika sedang marah lebih

dapat mengontrol dirinya karena mampu

berpikir dan bertindak rasional meskipun

dalam perkataan terkadang lepas kendali.

Ketika subjek menyadari bahwa dirinya lepas

kendali dalam perkataan hal yang biasa

dilakukan adalah berperilaku agar supaya

istrinya paham bahwa subjek telah keceplosan

atau tidak sengaja. Misalnya ketika subjek

melihat bahwa istrinya belum memasak air dan

ia tidak berkenan dengan hal itu hingga

menyebabkan dirinya marah dan lepas kendali

dalam perkataan terhadap istrinya maka ia

akan memasak air sendiri.

Konflik yang pernah terjadi adalah masalah

kecemburuan subjek terhadap istrinya yang

pergi tanpa sepengetahuan subjek. Menurut

subjek, kecemburuannya tersebut dipengaruhi

oleh kehidupan masa lalunya yang buruk. Di

The subject explains that he is able to

understand the psychological conditions of his

wife when she is angry and knows the things

than can make her angry. The subject is able to

identify these things by the non-verbal

language of his wife. When she is angry, the

subject is able to identify the changes in her

body although not entirely. Recently, if the

subject is angry he has better abilities to control

himself because he is able to think and act

rationally although sometimes he could lose

control of the words he says. When the subject

realizes that his words are out of control, he

would try to make the wife understand that he

didn't intentionally say those things. For

example, when the subject noticed that his wife

had not boiled the water which made him angry

and started cursing, he will boil the water

himself.

One of the conflicts that they have experienced

relates with the subject's jealousy towards his

wife who left without his notice. According to

the subject, his jealousy is caused by his

negative past time behaviors. In the past, the

subject had once acted the same way the wife

did without asking permission and he is afraid

that his wife would act like he did.

If the wife was in a state of anger, she would

usually be silent and act differently as usual, for

83

masa lalu subjek pernah berperilaku seperti

halnya yang dilakukan oleh istri yaitu pergi

tanpa pamit sehingga ia khawatir jika istrinya

berperilaku seperti dirinya.

Jika istri sedang dalam keadaan marah

biasanya akan diam sambil berperilaku yang

tidak seperti biasanya, misalnya menaruh

barang dengan kasar, menutup pintu dengan

keras. Jika diamnya sambil menunduk maka

menunjukkan adanya kesedihan dan yang

biasa dilakukan subjek jika mengetahui

keadaan istrinya tersebut adalah dengan aktif

menanyakan permasalahan yang sedang

dirasakan oleh istri. Jika sedang bahagia, istri

biasanya akan bersenandung dan mudah

untuk dimintai bantuan.

“Istri dibuat supaya tidak sakit hati, istri paham

ketika itu keceplosan atau tidak. Saya berakting

supaya seperti orang keceplosan. Ketika marah

dan lepas kontrol dalam ucapan saya diam

dengan cara lain, agar terlihat seperti orang

keceplosan. Seperti ketika saya berkomentar

kenapa belum memasak air, tapi kemudian saya

bilang pada diri saya sendiri, saya bisa memasak

sendiri maka saya masak air sendiri, seperti

lantai kotor saya menyapu sendiri tidak perlu

ribut. Ini adalah teknik untuk meredam.

Sekarang harus tambah pintar.”

example she would put things harshly or shut

the door with great force. If she was quiet and

bowed her head this would mean that she is

sad. In these circumstances the subject would

ask what problem she is facing. If the wife was

happy she would hum some songs and it would

be easy to ask for her help.

Related with sexual relations, the subject

understands his wife by observing the non-

verbal behaviors of his wife which includes her

way of grooming, and speaks intimately with

the subject.

In social relations, the subject states that the

person is blunt when speaking and tries to

apply the custom norms and honorable values

in the society.

”I don't try to hurt my wife's heart, my wife

understands when I don't really mean what I say.

I act as though I didn't mean to say what I did.

When angry and start cursing, I use another

way, so that it looks as though I didn't mean to

say it. For example when I asked her why hadn't

she boiled the water, and then I said to myself, I

could boil it myself and so I would, like when the

floor is dirty, I sweep it myself, no need to make

trouble out of it. This is a technique to reduce the

conflict. Now we have to be smarter.”

84

Dalam hal hubungan seksual, subjek mema-

hami istrinya dengan cara mengamati perilaku

nonverbal istrinya yaitu dari caranya berdan-

dan, merayu dengan kata-kata terhadap subjek.

Dalam pergaulan sosial, subjek mengatakan

bahwa dirinya adalah orang yang tidak dapat

berbasa-basi jika berbicara dan berusaha

menerapkan norma-norma adat dan tata

krama.

Subjek berusia saya 42 tahun dan mengalami

dua kali pernikahan, pernikahan pertama

tahun 1992, kemudian pada tahun 1998 istri

meninggal. Tahun 2002 menikah lagi. Putra

kandung 4 orang, 2 orang dari istri pertama, 2

orang dari istri kedua.

Sebagai seorang laki-laki supaya tidak

dianggap tidak mampu ia berusaha

semaksimal mungkin untuk membahagiakan

keluarga. Sebagai seorang ayah, subjek merasa

banyak peran yang harus dilakukan yaitu

membimbing dan mengarahkan keluarga. Hal

ini mengandung konsekuensi bahwa subjek

harus meiliki kestabilan emosional. Maka

subjek memilih menjadi orang yang pendiam

sebagai strategi pengelolaan diri.

Kisah subjek 3

Dinamika pernikahan

Narrative of subject 3

Dynamic of Marriage

The subject is 42 years old and has married

twice, the first marriage took place in 1992 and

in 1998 the wife passed away. In 2002, the

subject married again. He has 4 sons, 2 from the

first wife and 2 from the second wife.

As a man, he tries his maximum effort to make

the family happy in order to maintain his image

as a reliable father. As a father, the role that he

must hold is to guide and direct the family.

These things require the subject to have great

emotional stability. Therefore the subject

chooses to be a silent person as a strategy to

regulate himself.

“...When angry and start cursing, I

use another way, so that it looks as

though I didn't mean to say it. For

example when I asked her why

hadn't she boiled the water, and

then I said to myself, I could boil it

myself and so I would, like when the

floor is dirty, I sweep it myself, no

need to make trouble out of it. This

is a technique to reduce the conflict.

Now we have to be smarter.”

85

Bagi saya sebagai seorang laki-laki supaya tidak

dianggap tidak mampu otomatis akan berusaha

semaksimal mungkin untuk membahagiakan

pasangan”

Banyak sekali peran yang harus saya mainkan

terutama banyak ngemong. Saya orangnya diam,

tapi kalau keluarga sudah tidak benar dalam

melangkah saya menegur, itu tanggung jawab

suami. Pernikahan tetap mengacu pada

komitmen untuk membina rumah tangga

bahagia sejahtera”.

“dikembalikan pada peran suami, istri bisa

menerima peran tadi maka bisa ketemu. Bahkan

Fungsi pembimbing dan pengayom dilakukan

dengan cara memberikan nasehat dan teguran

apabila ada perilaku anggota keluarga yang

dirasa kurang baik. Jika ada masalah dengan

istri, subjek berusaha menyelesaikan secara

pribadi agar tidak dilihat anak dan diketahui

masyarakat. Hal yang dirasa berat ketika ada

perbedaan pendapat dengan istri. Ada rasa

jengkel dan dongkol ketika merasa istri sulit

diajak kompromi. Hal ini menunjukkan bahwa

perbedaan pendapat dianggap sebagai sumber

konflik yang dirasa berat. Menurut subjek jika

suami dan istri dapat menerima perannya

masing-masing dalam rumah tangga maka

tidak akan ada konflik

For me, as a man, so I won't appear incapable, I

automatically must try as hard as I can to make

my spouse happy”

There are so many roles that I must fulfill

particularly related with nurturing. I am a silent

person, but if the family is going the wrong way I

warn them, that's the responsibility of the

husband. Marriage remains to refer to a

commitment to guide a happy and prosperous

family”.

it goes back to the role of the husband, if the wife

can accept the previous roles then there would be

no problem. And even beyond the role of the

husband. Its mostly like this, probably started

The functions of guidance and protections is

done by giving advice and reprimands when a

family member does something wrong. When

there is a problem with the wife, the subject tries

to manage the problem individually in order to

conceal this from the child and society. One of

the challenges is when the subject and wife have

different opinions. The subject feels frustrated

when it is difficult for the wife to compromise.

This indicates that different opinions become a

severe source of conflict. According to the

subject if the husband and wife is able to fulfill

each of their roles in the family, there would be

no conflict.

86

melebihi peran suami. Kebanyakan seperti itu,

mungkin dilatarbelakangi kepala keluarga dari

segi pendidikan utama, anggaran rumah tangga

juga”.

Meskipun perempuan sudah bekerja

penghasilan suami harus bisa mencukupi.

Padahal suami punya orangtua, mertua yang

harus dibantu, dan istri kadang tidak

memperbolehkan. Saya suka main badminton,

seminggu 2-3 kali. Istri berkomentar sudah

punya keluarga tapi senang-senang sendiri.

Padahal umumnya orang seperti itu. Ada saat

untuk diri sendiri, saya pernah ditegur istri

didepan orang banyak dengan datang ke tempat

badminton. Saya merasa dipermalukan oleh

istri”.

Meskipun belum ada peran mutlak selalu saya

ingatkan terus, ketika martabat suami diinjak-

injak istri entah dari kata-kata, maupun perilaku

karena kurang memahami peran masing-masing

jadi terbawa emosi. Kalau istri paham maka ha-

Relasi suami-istri

Subjek mengatakan bahwa tidak ada pemba-

gian peran yang mutlak antara dirinya dengan

istri namun subjek tetap menegaskan bahwa

istri harus berbakti kepada suami. Hal ini kare-

na pemahaman subjek terhadap tradisi budaya

Jawa.

from the head of the family from the educational

aspect, and also the family budget”.

Although women work, the husband's income

must be able to fulfill the needs of the family.

Although the husband has parents, the step

parents must be helped, and sometimes the wife

doesn't allow it. I like to play badminton, around

2-3 times in a week. My wife likes to comment,

you already have a family but you like to play

around and enjoy yourself. But this is actually

normal. There is time for myself, I have once been

warned by my wife in front of many people in the

badminton court. I was humiliated by my wife”.

Husband-wife relations

The subject stated that there is no fixed division

of roles between him and his wife however he

stresses that the wife should devote her life to

There are so many roles that I

must fulfill particularly related

with nurturing. I am a silent

person, but if the family is going

the wrong way I warn them, that's

the responsibility of the husband.

Marriage remains to refer to a

commitment to guide a happy and

prosperous family”

87

rus berbakti pada suami. Kalau tradisi jawa

diterapkan akan baik”.

Pemahaman terhadap tradisi budaya jawa ter-

sebut tampaknya mewarnai dalam relasi suami

dan istri seperti yang digambarkan subjek pada

prosesi pernikahan adat budaya Jawa. Dalam

prosesi adat pernikahan tersebut digambarkan

simbolisasi pengabdian seorang istri terhadap

suami yaitu mempelai wanita harus memba-

suh kaki mempelai pria sebagai wujud kepatu-

han dan pengabdian. Menurut subjek, relasi

peran antara suami dan istri yang ideal juga

harus seperti yang digambarkan dalam prosesi

pernikahan tersebut. Jika kedua belah pihak

menyadari perannya masing-masing sesuai

adat dan tradisi tersebut maka menurut subjek,

konflik dalam rumah tangga tidak akan terjadi

dan sebaliknya, jika masing-masing pihak tidak

mampu menempatkan diri sesuai peran

tersebut maka pasti akan terjadi konflik.

the husband. This is because of the subject's

understanding of Javanese culture.

.

Understanding towards Javanese cultural

traditions seem important in understanding

husband and wife relations as explained by the

subject concerning marriage ceremonies in

Javanese culture. In the traditional marriage

ceremony, there is a symbolization of a wife's

devotion towards the husband by the wife

cleaning the husband's foot as a symbol of

obedience and devotion. According to the

subject, ideal role relations between the

husband and wife must also follow the symbols

displayed in the marriage ceremony. If both

parties were aware of their roles in accordance

with the custom and traditions, therefore

conflicts in the family would not occur and

conversely, if each party is not able to place

themselves in accordance with those roles there

would certainly be conflict.

”Although we don't have fixed roles, I always

remind her, when the husband's honor has been

insulted by the wife either from the words or the

behavior due to the lack of understanding of each

of our roles, I get emotional. If the wife can

understand she would devote herself to the

husband. If the Javanese culture was applied,

things would be alright”

88

Dalam prosesi adat pernikahan

tersebut digambarkan simbolisasi

pengabdian seorang istri terhadap

suami yaitu mempelai wanita

harus membasuh kaki mempelai

pria sebagai wujud kepatuhan dan

pengabdian

“Kirab pengantin sudah menunjukkan, mulai

dari ketemu pasangan, mencuci kaki suami, pada

saat menyerahkan penghasilan itu suatu

gambaran. Dalam membina rumah tangga me-

mang jalannya demikian. Apalagi kalau melihat

kehidupan agama sudah ada jalannya. Kalau

dihadapkan tidak ketemu dengan kehidupan se-

karang. Sekarang lebih pada peran yang sama

antara perempuan dan laki-laki, beda hanya pada

alat kelamin. Secara adat istiadat seperti

tuntunan adat jawa, kalau dari segi agama

sejarah nabi jaman jahiliyyah perempuan tidak

berharga. Ketika haid perempuan tidak bisa

makan bersama dengan laki-laki”.

Rasa istimewa versus rasa berat

Subjek beranggapan bahwa semenjak seorang

laki-laki lahir, maka kodratnya adalah sebagai

pemimpin dan hal itu adalah keistimewaan

yang didapatkan oleh kaum laki-laki yang ti-

dak dimiliki kaum perempuan. Konsekuensi

dari keistimewaan tersebut, subjek merasa ha-

rus lebih dari istri dalam segala hal terutama

penghasilan karena harus menghidupi semua

anggota keluarga termasuk mertua. Hal terse-

but kadang menimbulkan beban lebih tatkala

istri dirasa banyak tuntutan. Kondisi ini mem-

buat subjek terkadang butuh waktu untuk diri

sendiri sebagai cara untuk sejenak lepas dari

beban.

”The marriage ritual has already demonstrated

that, from the first meeting of the couple, cleaning

the husbands foot with water, at the time the

husbands gives his income this is a description.

In managing a family this is how it goes. Let alone

if we view it from a religious perspective, it

already has its way. Now its more focused on the

equal roles between women and men, the

difference is only from the sex organs. Based on

traditional customs, for example Javanese

culture, from a religious perspective the history of

the prophet, in the era of ignorance women were

nothing. When women had menstruation they

were not allowed to eat with men”.

Privilege versus burden

The subject suggests that ever since a man was

born, his destiny was to become a leader and

this is a privilege for all men. As a consequence,

the subject feels that he must be better than his

wife in all aspects particularly with matters

related with income because he must be able to

provide a living for his whole family including

his step parents. Such roles sometimes create a

burden, let alone when the wife is very

demanding. This situation makes the subject

need some time alone as a means to relieve the

burden.

89

karena sudah terbentuk dari lahir, laki-laki

terlahir sebagai pemimpin itu keuntungan

sebagai laki-laki. Perempuan sebagai kepala

rumah tangga. Dalam menghayati peran banyak

tersinggung karena perilaku istri banyak

menuntut dari sisi kasih sayang berlebihan dan

penghasilan, melebihi peran. Sampai laki-laki

tidak boleh berhubungan dengan perempuan lain

entah boncengan maupun telepon. Padahal itu

sekedar berinteraksi dengan masyarakat”.

Dari segi materi penghasilan tidak ada ukuran-

nya, semakin banyak pendapatan semakin ba-

nyak kebutuhan. Meskipun perempuan sudah

bekerja penghasilan suami harus bisa men-

cukupi. Padahal suami punya orangtua, mertua

yang harus dibantu, dan istri kadang tidak

memperbolehkan. Saya suka main badminton,

seminggu 2-3 kali. Istri berkomentar sudah pu-

nya keluarga tapi senang-senang sendiri.

Padahal umumnya orang seperti itu. Ada saat

untuk diri sendiri, saya pernah ditegur istri

didepan orang banyak dengan datang ke tempat

badminton. Saya merasa dipermalukan oleh

istri”.

Konflik dalam rumah tangga

Subjek mengatakan bahwa ketika ada konflik

tidak harus selesai dengan perpisahan.

Because it was formed from when we were born,

men are born as leaders, this is our privilege as

men. Women are the head of the domestic affairs.

In comprehension of these roles, I am often

offended because my wife demands a lot from the

aspects of affection and income, this exceeds my

role. She even demands that I am not allowed to

interact with other women, whether to take a

woman on my motorcycle or talk to a woman on

the telephone. But this is just a normal

interaction in the society”.

From the material aspects there is no indicator,

the larger the income, the larger the needs.

Although women work, the husband's income

must be able to fulfill the needs of the family.

Although the husband has parents, the step

parents must be helped, and sometimes the wife

doesn't allow it. I like to play badminton, around

2-3 times in a week. My wife likes to comment,

you already have a family but you like to play

around and enjoy yourself. But this is actually

normal. There is time for myself, I have once been

warned by my wife in front of many people in the

badminton court. I was humiliated by my wife”.

Conflict in the family

The subject states that when there is a conflict it

doesn't necessarily have to end up in

90

Masalah pendidikan anak dan perekonomian

dipandang subjek dapat menimbulkan konflik.

Namun subjek lebih menekankan pada pola

koordinasi dan komunikasi dengan istrinya

yang sangat rawan konflik ketika tidak ada

kesepahaman, juga masalah peran antara

suami dan istri. Bagi subjek, istri harus

berperan sebagai ibu rumah tangga layaknya

peran tradisional perempuan. Namun,

tampaknya sang istri kurang dapat menerima

peran tersebut sehingga ada konflik peran

antara suami dan istri dalam rumah tangga. Hal

tersebut berimbas terhadap pola komunikasi

dan relasi antara subjek dengan istri. Jika

konflik terjadi dan tidak ada kesepakatan,

maka subjek akan memilih diam selama

beberapa hari. Terkadang hal tersebut terbawa

dalam aktivitas subjek di kantor.

”Kesulitan pada mencari titik temu antara

penggagas dan penerima ide. Hubungan

antara istri saya dengan mertua kurang baik.

Karena pikiran negatif dibuat dalam pikiran

sendiri. Peran mertua bagi istri seolah-olah

akan ikut campur dalam keluarga. Kalau

tidak dipengaruhi pikiran negatif, mencari

titik temu akan mudah. Karena berpikiran

negatif, kemudian muncul satu perkataan

dari suami dan dipahami lain oleh istri maka

tidak ada titik temu. Saya mengatakan ada

separation. The subject views that the child's

education and economy can become sources of

conflict. But the subject emphasizes on the

coordination and communication patterns with

the wife which is prone to conflict when there is

misunderstanding, also concerning roles

between the husband and wife. For the subject,

the wife must hold the role as a housewife as

resembled by traditional roles of women.

However the wife seems resistant towards this

particular role and therefore a conflict arises

between the husband and wife. This affects the

communication and relations patterns between

the subject and the wife. When a conflict occurs

and there is no agreement, the subject would

choose to remain silent for a number of days.

Sometimes this would affect his activities in his

office.

”Difficulties in reaching an agreement between

the conceptor and the receiver of the concept. The

relationship between my wife and my parents in

law are not too good. Because she makes negative

thoughts from her own mind. The role of the

parents in law for her is as though they want to

intervene with family issues. If she wasn't

influenced by negative thoughts, it would be easy

to reach an agreement. Because she thinks

negatively, the husband says one thing and it is

understood differently and therefore there is not

91

undangan dari A, datang atau tidak?

diharapkan jawaban tidak dipengaruhi

pikiran negatif. Sekedar menyesuaikan jadual

bersama”.

“sampai terbawa di pekerjaan, bisa dikenali.

Karena dirumah ribut, kerjaan di kantor agak

berantakan”.

”saya tidak bisa langsung membuang

masalah. Setelah 2-3 hari baru bisa

menyadari tidak harus seperti ini. Istri saya

mudah bersikap seperti biasa lagi dalam

waktu singkat. Saya diam saja. Kalau ingin

cepat selesai menyadari dan mengalah. Kalau

diteruskan seolah-olah tidak akan fatal. Yang

mengalah bukan berarti kalah”.

“Sudah ada anak, lingkungan masyarakat,

kalau ada yang kurang lurus kita yang

meluruskan. Jangan sampai menjadi contoh

yang kurang baik bagi anak-anak, seperti

bertengkar didepan anak-anak, lebih baik

diselesaikan di kamar berdua”.

dalam mensinkronkan pendapat, ada kata-

kata yang disampaikan istri dalam

pemahaman suami tidak pas. Ketika jawaban

ya, karena negatif thinking jawaban menjadi

dua langkah kedepan. Contoh ketika tidak ada

pikiran yang sama. Ada undangan dan saya

menawarkan berangkat atau tidak. Padahal

meeting point. I say that there is an invitation

from A, do we come or not? I expect that the

answer is not influenced by negative thoughts. Its

all about adjusting our schedule together”.

sometimes it carries over to work, it can be

identified. Because there is a conflict at home, my

work in office gets messed up”.

I cannot directly throw the problem away. After

2-3 days I can only start to realize that I cannot

continue this. My wife easily acts the ways she

does in a short period of time. I just remain silent.

If I want to get things quickly settled, all I have to

do is realize and give in. And continue as though

things wouldn't be so fatal. Giving in doesn't

mean losing”.

We already have a child, the surrounding

community, if something was wrong we would

try to fix it. We cannot allow ourselves to be a bad

example for the children, for example fighting in

front of the children, its better to settle the dispute

in the room just the two of us”.

in synchronizing opinions, there are words that

are delivered by the wife that is inappropriate in

the understanding of the husband. When the

answer is yes, because of negative thinking the

answer becomes two steps ahead. An example

when we have the same thoughts. There is an

92

tinggal jawab berangkat atau tidak. Kalau

dua langkah kedepan maka sudah panjang

masalahnya. Dengan pikiran yang tidak-

tidak”.

Jengkel, dongkol. Kita ingin meluruskan

masalah karena kita hidup dengan anak dan

masyarakat saling membutuhkan tidak bisa

hidup sendiri. Kita harus menghargai

masyarakat, orangtua kita hormati. Kita

meminimize permasalahan yang timbul”.

invitation and I ask whether we should come or

not. If there were two steps ahead the problem

would go on and on. With unreasonable

thoughts”. Frustrated, resentful. We want to fix

problems because we have a child and the society

needs each other and cannot live by themselves.

We must respect the community, respect our

parents. We must minimize the problems that

emerge”.

93

BAB III

PEMBAHASAN

CHAPTER III

DISCUSSION

A. Persepsi tentang kejantanan

Dalam kamus besar bahasa Indonesia, arti kata

“jantan” adalah mahkluk yang berjenis kelamin

laki-laki, namun hanya dipakai khusus untuk

hewan, sedangkan kejantanan adalah sifat-sifat

yang diperlihatkan oleh hewan jantan seperti

bentuk badan yang gagah perkasa dan agresif,

kepala kasar, otot leher kuat (Kamus Besar

Bahasa Indonesia, 1997). Kata ini telah

mengalami perluasan makna sehinga dari yang

dulunya khusus untuk hewan, maka saat ini

dapat juga dikaitkan dengan manusia dengan

jenis kelamin laki-laki. Hal ini terbukti ketika

peneliti mencoba melemparkan wacana

tentang makna “laki-laki dan kelelakian” pada

para subjek kelompok diskusi dalam penelitian

ini. Sebagian besar para subjek selalu

mengkaitkan sosok laki-laki dengan kata

kejantanan, berikut dengan norma dan aturan

yang mengikuti makna kata tersebut.

Bukanlah hal yang mudah untuk membongkar

pandangan masyarakat selama ini terhadap

nilai-nilai kejantanan yang diyakini terhadap

figur seorang laki-laki. Begitu bayi laki-laki

lahir, maka serta merta telah dilekatkan

beragam norma, kewajiban dan setumpuk

harapan keluarga terhadapnya. Beragam

aturan dan atribut budaya telah diterima

melalui berbagai media yaitu ritual adat, teks

A. Perception about manhood

In the Great Indonesian Dictionary, the word

“ ” (masculine) refers to a creature with a

male sex, but is only used to refer to animals,

while “ ” (manhood) refers to the

characteristics that are displayed by male

animals for example a strong and aggressive

body structure, hard headed and strong neck

muscles (Great Indonesian Dictionary, 1997).

The meaning of this word has broadened as it

originally referred to animals but recently the

term has also been associated with humans and

males in particular. This was proven when the

researcher initiated a discussion on the

meaning of “men and being masculine”

towards the subjects of the group discussion.

Most of the subjects associated the figure of a

man with the word “ ” (masculine),

along with its norms and rules that entail this

term.

It is undeniably difficult to deconstruct the

society's perceptions towards values of being

masculine of which are ascribed to men. When a

male baby is born, the norms, obligations and

family expectations are automatically ascribed

to him. Several rules and cultural attributes are

accepted through several media namely

custom rituals, religious text, nurturing

patterns, types of games, television, books, life

jantan

kejantanan

kejantanan

97

agama, pola asuh, jenis permainan, tayangan

televisi, buku bacaan, petuah hidup hingga

filosofi hidup. Proses sosial yang terjadi sehari-

hari selama berpuluh tahun yang bersumber

dari norma-norma budaya tersebut telah

membentuk suatu citra diri tunggal sosok laki-

laki dalam kehidupan masyarakat. Kondisi ini

dapat dilihat dari hal-hal sederhana seperti cara

berpakaian dan penampilan, bentuk pilihan

aktivitas, tata cara pergaulan, cara penyelesaian

masalah, bentuk ekspresi verbal maupun non

verbal hingga jenis aksesoris tubuh yang

dipakai. Pencitraan diri tersebut telah

diturunkan dari generasi ke generasi, melalui

mekanisme pewarisan budaya hingga menjadi

suatu “kewajiban” yang harus dijalani jika

ingin dianggap sebagai laki-laki sejati.

Kewajiban tersebut tercermin dalam suatu

(dogma kejantanan/norma

kelelakian) yang banyak diikuti oleh para laki-

laki berupa aturan tak tertulis, misalnya, laki-

laki pantang untuk menangis, laki-laki harus

tampak garang dan berotot, laki-laki hebat

adalah yang mampu “menaklukkan” hati

banyak perempuan, laki-laki akan sangat “laki-

laki” apabila identik dengan rokok, alkohol dan

kekerasan. Pengingkaran atas norma-norma

maskulinitas tersebut akan berakibat turunnya

derajat kelelakian seorang laki-laki di mata

masyarakat. Gejala tersebut tidak hanya terjadi

manhood

expressions and life philosophies. The social

processes that occur daily for decades

originating from those norms and cultures have

shaped a sole image of men in society. This

condition can be simply observed from ways of

clothing and appearance, choice of activities,

ways of socializing, ways of problem solving,

forms of verbal and non-verbal expression to

the type of body accessories that are worn.

These self images have descended from

generation to generation, through the

mechanisms of cultural heritage as to become

an “obligation” that must be practiced in order

to be viewed as true men. This obligation is

reflected by the manhood dogmas and norms

followed by men for example men are not

allowed to cry, men must appear aggressive and

fit, great men are those that are able to conquer

the hearts of many women, men have greater

manhood when they are identified with

smoking, alcohol and violence. Negligence

towards these norms of masculinity would

result in the reduced degree of a man's

manhood in the eyes of society. Such events not

only occur to adult men but are also largely

experienced by teenage men.

In the teenage life, for example as stated by

UNESCO (2006), in an extensive article titled

, teenage boys incapable ofMasculinity for Boys

98

pada laki-laki dewasa namun banyak juga

dialami oleh laki-laki yang berusia remaja.

Dalam kehidupan remaja, misalnya, sebagai-

mana dikemukakan UNESCO (2006) dalam

risalah panjang berjudul ,

remaja laki-laki yang tidak mampu mengadop-

si norma maskulinitas berarti akan ditolak dan

dilecehkan kelompok sebayanya serta

dipandang sebagai sosok laki-laki yang lemah.

Proses yang terjadi kemudian adalah

maskulinitas diposisikan sebagai moralitas

yang menjadi tolok ukur kepantasan dalam

pergaulan. Konsekuensinya, maskulinitas

bukan lagi sebagai kebiasaan yang layak

diikuti, melainkan sebagai norma yang berisi

ajaran mengenai kebaikan versus keburukan.

Maskulinitas menjadi dogma yang tidak

mungkin terbantahkan. Menentang maskulini-

tas berarti melanggar moralitas dan mematuhi

maskulinitas bermakna meraih superioritas.

Hal ini semakin mengkhawatirkan karena

remaja menjalani kehidupan dalam tahap

perkembangan moral konvensional dimana

kesetiaan pada norma etis ditentukan oleh

loyalitas pada kelompok yang melingkupinya

(Lukmantoro, 2007).

Dalam kehidupan laki-laki dewasa kita

mengenal adanya hirarki kelelakian, yaitu

suatu ukuran untuk menentukan kadar atau

Masculinity for Boys

adopting masculine norms will be rejected and

abused by their peer groups and would be

perceived as weak men. Masculinity therefore

becomes a moral standard for socialization

among men. It no longer merely becomes a

habit which should be followed but rather a

norm containing teachings concerning what is

good and what is bad. Masculinity becomes an

irrefutable dogma. Challenging masculinity

would imply a violation upon moral standards

and following masculinity implies male

superiority. This is even more concerning

because teenagers are currently running the

conventional moral developmental stage where

loyalty towards ethical norms are determined

by loyalty towards the surrounding group

(Lukmantoro, 2007).

99

teenage boys incapable of

adopting masculine norms will

be rejected and abused by

their peer groups and would

be perceived as weak men.

Masculinity therefore becomes

a moral standard for

socialization among men

derajat kelelakian seorang laki-laki dewasa.

Ukuran-ukuran tersebut diantaranya adalah

bahwa seorang laki-laki harus mampu

menikah dan mampu mendapatkan keturunan

serta mempunyai penghasilan atau pekerjaan

tetap, mampu bersikap bijaksana, stabil secara

emosional, bijaksana dan cerdas, mempunyai

jiwa kepemimpinan dan pengayoman. Jika

seorang laki-laki mampu memenuhi prasyarat

tersebut maka dianggap telah mapan dan

secara otomatis akan terangkat derajatnya

sebagai laki-laki sekaligus sebagai kepala

rumah tangga di mata masyarakat. Gambaran

tersebut tentunya telah menciptakan suatu

prasyarat sifat yang harus diadopsi oleh para

laki-laki agar mampu memenuhi beberapa

tuntutan tersebut. Jenis maskulinitas yang

paling banyak ditemui dan paling dominan

dalam masyarakat yang menganut budaya

patriarki adalah Ciri khas

jenis maskulinitas ini adalah adanya peran

penguasaan terhadap sumber daya ekonomi,

seperti lapangan pekerjaan serta kuatnya

kontrol laki-laki terhadap perempuan,

khususnya di sektor domestik dalam rangka

pembentukan identitas kelelakian. Laki-laki

dari kelas sosial ekonomi yang tinggi memiliki

sarana lebih leluasa untuk mencapai identitas

tertinggi maskulinitas lewat pekerjaan dan

laki-laki dari kelas ekonomi rendah mengalami

hegemonic masculinity.

Amale hierarchy exists among men. This serves

as an indicator to determine the degree of an

adult man's manhood. These indicators include

a man must be able to marry and able to have a

child, have a stable income and job, able to act

wisely, is emotionally stable, wise and

intelligent, is a leadership figure and protec-

ting. Should a man be able to fulfill these

indicators it indicates that the man is competent

and automatically his degree of manhood is

elevated in the eyes of the family and the socie-

ty. Such descriptions certainly create rigid crite-

ria that must be adopted by men to enable them

to fulfill a number of these demands. The type

of masculinity that is most evident in and

dominant in the society that follow a patriarchic

culture is hegemonic masculinity. The distinct

type of this masculinity is the presence of a role

of control upon economic resources, for exam-

ple job vacancy as well as the strong control of

men towards women, particularly in the

domestic sector in order to establish a mascu-

line identity. Men from a higher social economic

class have broader facilities to create the highest

masculine identity through work and men from

lower economic class experience difficulties in

fulfilling a range of attributes and masculine

identities (Darwin, 2007). This would certainly

influence a man's self esteem if it was viewed

from his daily behavior, particularly in

husband-wife relations in the family.

100

kesulitan dalam memenuhi beragam atribut

dan identitas maskulinitas (Darwin, 2007). Hal

ini tentunya akan berpengaruh pada harga

dirinya sebagai seorang laki-laki yang dapat

dilihat dari perilakunya sehari-hari, terutama

dalam pola relasi suami – istri dalam keluarga.

Maka dalam memahami dinamika kehidupan

kaum laki-laki perlu dimulai dari pembahasan

mengenai citra diri laki-laki yang selama ini

beredar di masyarakat, karena sangat

menentukan persepsi terhadap dirinya sendiri.

Persepsi seseorang atas diri sendiri inilah yang

kemudian berkembang dan berhubungan

dengan proses pembentukan konsep diri.

Diri atau adalah kumpulan atau

kepercayaan/keyakinan (Taylor dkk, 1994).

Beberapa contoh sebagai seorang laki-laki

misalnya “seorang laki-laki pantang untuk

menangis” atau “laki-laki adalah tulang

punggung keluarga”. Dua contoh pernyataan

tersebut merupakan bentuk suatu kepercayaan

atau keyakinan yang dijalani sebagai seorang

laki-laki dan biasanya berupa perkataan

berulang terhadap diri sendiri ( ).

Tentunya sangat banyak sekali kumpulan

pernyataan, keyakinan dan kepercayaan yang

diterima oleh seorang laki-laki selama rentang

kehidupannya dan hal itu akan membentuk

suatu skema besar dalam diri individu yang

mendasari perilakunya sehari-hari. Skema

self belief

belief

self talk

Accordingly, to understand the living

dynamics of men, a discussion on the image of

men spread in the society needs to be

conducted. This is important considering that it

strongly determines the perception of men

themselves. A perception of the self will later

develop and relate with the process of

establishing their self concept.

Self refers to the collection of beliefs or faith

(Taylor et al, 1994). A number of examples of

beliefs of a man for example “men are not

allowed to cry” or “men are the backbone of the

family”. These two statements function as a

belief or faith that is practiced by men and

usually take the form of repeated self talk. Of

course there are several statements, faith, and 101

A number of examples of beliefs

of a man for example “men are

not allowed to cry” or “men are

the backbone of the family”.

These two statements function as

a belief or faith that is practiced

by men and usually take the form

of repeated self talk

tersebut dalam ilmu psikologi dikenal dengan

istilah konsep diri.

Konsep diri merupakan gambaran individu

atas dirinya sendiri yang meliputi persepsi

akan fisik, keyakinan yang bersifat psikologis

dan sosial serta aspirasi dan cita-cita idealnya

sebagai seorang manusia. Seperti yang

dikemukakan oleh Rogers (dalam Hjelle &

Zieglar, 1992) yang mengatakan bahwa konsep

diri mencakup kesadaran individu tentang

keberadannya serta fungsi dirinya di lingku-

ngan sosial. Konsep diri tersebut memberikan

suatu arti atau makna yang mendalam bagi

eksistensi seseorang dalam rentang kehidu-

pannya.

Konsep diri terdiri dari beberapa bagian, yaitu:

persepsi terhadap tubuh ( ), diri ideal,

harga diri, peran dan identitas sosial. Konsep

diri bukan merupakan faktor yang dibawa

sejak lahir, melainkan faktor yang dipelajari

dan terbentuk melalui pengalaman hidup sejak

masa pertumbuhan hingga dewasa dalam

berhubungan dengan orang lain (Ritandiyono

& Retnaningsih, 1996) . Lingkungan,

pengalaman dan pola asuh orang tua turut

memberikan pengaruh yang signifikan

terhadap pembentukan konsep diri. Sikap atau

respon orang tua dan lingkungan akan menjadi

bahan informasi bagi individu untuk menilai

body Image

beliefs accepted by men during their life course

and this would produce a large scheme within

the individual that bases their everyday life. In

psychological terms, this scheme is known as

self concept.

Self concept refers to an individual's

description of him/herself which comprise of

perceptions of physical aspects, psychological

and social faith as well as aspirations and ideal

dreams of a human being. As noted by Rogers

(cited in Hjelle&Zieglar, 1992), he stated that the

self concept encompasses self awareness

concerning their existence as well as their self

functions in their social environment. The self

concept gives a thorough meaning towards a

person's existence in their life.

The self concept is composed of a number of

parts, namely: perception towards body image,

ideal self, self esteem, roles and social identity.

Self concept is not a factor that was brought

from birth, but is a factor that is learnt and

formed through experiences in life since the

phases of growth until maturation in relating

w i t h o t h e r p e o p l e ( R i t a n d i yo n o &

Retnaningsih, 1996). The environment,

experience and parental nurturing patterns also

give a significant influence towards the

establishment of self concept. The attitudes and

responses of parents and the environment will

102

siapa dirinya.

Penelitian ini berusaha untuk memaparkan

hasil temuan di lapangan, tentang makna

kejantanan sebagai seorang laki-laki beserta

konsep dirinya dalam rangka memahami

perilakunya sehari-hari.

Setiap individu pasti akan memiliki gambaran

diri yang ideal seperti yang diinginkannya,

termasuk bentuk tubuh. Ketidaksesuaian

antara bentuk tubuh yang dimiliki dengan

bentuk tubuh yang diidealkan akan

memunculkan ketidakpuasan seseorang

terhadap tubuhnya yang selanjutnya akan

mempengaruhi kepercayaan dirinya dalam

bergaul di masyarakat. Hal ini erat kaitannya

dengan citra tubuh atau , yaitu cara

seseorang memandang dan menilai tubuhnya

sendiri. Menurut Grinder (1978) citra tubuh

adalah hasil evaluatif dari serangkaian

pengalaman yang dimiliki saat ini ataupun

ya n g d i i d e a l k a n ya n g b e r a s a l d a r i

perkembangan fisik seseorang, perhatian

orang tua dan harapan-harapan lingkungan

sosial terhadap atribut-atribut fisik seseorang.

Tubuh ideal yang biasa dikehendaki oleh

masyarakat terhadap laki-laki adalah tampak

kuat dan kekar serta berotot, atletis dan

1 . Persepsi terhadap tubuh

body image

function as information for the individual to

judge who he is.

This study aims to present the results of

findings in the field, concerning the meaning of

manhood as well as his self concept in order to

understand his everyday life.

1 .

Each individual would certainly have an ideal

self that they desire for, including for their body

image. The incongruence between the body

they have and the body they idealize will result

in dissatisfaction towards their own bodies and

would then influence their self confidence in

socializing. This is strongly associated with

body image, referring to how a person views

and judges their body. According to Grinder

(1978) body image is the evaluative result from

a series of experiences in the present or that is

idealized which originates from the physical

development of a person, attention from

parents and expectations from the social

environment towards a person's physical

attributes.

An ideal body that is commonly desired by the

society for men is a person that is strong and fit,

athletic and has a balanced body posture

between body height and weight. They have a

strong gaze; they have a wise face, charismatic

Perception towards body image

103

ditunjang postur tubuh yang seimbang antara

tinggi badan dan berat badan. Memiliki tatapan

mata yang tajam, raut wajah yang berwibawa

dan penuh kharisma serta memiliki kumis atau

cambang. Laki-laki yang tidak mempunyai

salah satu dari beberapa kriteria tersebut maka

akan dianggap sebagai laki-laki yang biasa-

biasa saja, dari sisi penampilan fisik. Citra

tubuh tersebut diperkuat oleh gambaran yang

diberikan oleh dunia industri melalui tayangan

televisi, film, sinetron hingga melahirkan iklan-

iklan produk khusus laki-laki yang ingin tampil

sebagai laki-laki sejati. Hal ini menciptakan

suatu kebutuhan bagi laki-laki untuk tampil

sesuai dengan harapan-harapan yang beredar

di masyarakat agar dipandang sebagai laki-laki

tulen. Banyak kemudian para laki-laki,

khususnya yang berusia muda, berusaha

memenuhi tuntutan tersebut misalnya dengan

menjadi anggota kelompok kebugaran atau

untuk membentuk tubuh agar

tampak atletis, hingga pemakaian produk-

produk kebugaran khas kaum laki-laki.

Beberapa kelompok laki-laki lain yang tidak

tertarik dengan bentuk kegiatan tersebut lebih

memilih kompensasi dalam bentuk lain

misalnya mendalami olah kanuragan, olah

kebatinan, bela diri, olah raga keras yang

sifatnya penuh tantangan, misalnya mendaki

fitness center

and have a moustache. A man that doesn't have

any of those characteristics will be regarded as

just an ordinary man, based on his physical

aspects. Such body images are reinforced by

representations by the industrial world

through television, film, soap operas and

advertisements that emphasize the importance

of appearing as a true man. This creates a need

for men to appear in accordance with the

expectations that are present in the society in

order for them to be viewed as true men. Several

men, young men in particular, are therefore

encouraged to try to fulfill those demands for

example by becoming a member of a fitness

center to form their body to appear athletic and

the use of fitness products specifically designed104

Such body images are reinforced

by representations by the

industrial world through

television, film, soap operas and

advertisements that emphasize

the importance of appearing as a

true man. This creates a need for

men to appear in accordance with

the expectations that are present

in the society in order for them to

be viewed as true men

gunung, panjat tebing, balap motor, dan lain-

lain. Kegiatan-kegiatan yang diikuti sering kali

membentuk suatu atribut tersendiri yang

tercermin dalam penampilan mereka, misalnya

rambut gondrong, tato tubuh, tindik telinga

ataupun dalam hal cara berpakaian dan

aksesoris yang biasa dipakai yang mencermin-

kan simbol-simbol sebagai seorang laki-laki

pada suatu kelompok tertentu. Beberapa

bentuk kegiatan yang sering diikuti oleh para

kaum laki-laki terkadang tidak sepenuhnya

diikuti dari usia remaja hingga dewasa namun

paling tidak pernah mewarnai dalam rentang

sejarah kehidupan mereka. Ada suatu kebang-

gaan tersendiri ketika seseorang memiliki

beberapa kriteria laki-laki tulen sesuai yang

diharapkan oleh masyarakat. Kebanggaan

tersebut akan mempengaruhi rasa percaya

dirinya ketika ia bergaul ditengah-tengah

masyarakat yang selanjutnya akan menen-

tukan identitas diri dan harga dirinya.

Dalam penelitian ini terungkap bahwa

pemahaman subjek terhadap tubuh lebih

banyak mengarah pada kapasitas kekuatan

fisik dan bukan pada penampilan. Para subjek

serta merta membandingkan kekuatan fisik

yang dimiliki dengan kekuatan fisik yang

dimiliki oleh kaum perempuan. Mereka

mempunyai persepsi yang positif atas

kekuatan fisik yang dimiliki dan berpendapat

for men. Other groups of men who do not

choose to engage in those activities compensate

by engaging in other activities for example

enhancing spiritual power, increasing mental

power, martial arts, challenging sports, for

example hiking, wall climbing, motorcycle, and

etc. The activities they engage in often form

distinct attributes reflected by their appearance

for example long and scruffy hair, tattoos, ear

piercings or by using clothes and accessories

that represent a symbol of men in a particular

group. A number of activities that men often

engage in sometimes are not continuously

followed from teenager to adulthood but at

least it had been practiced during one point of

their life. There is a particular sense of pride

when a person has some characteristics of true

men. This pride would influence their self

confidence when socializing and will

eventually determine their self identity and self

esteem.

In the study it is exposed that the subject's

understanding towards their body is more

directed towards the capacity of physical

strength and not on its appearance. The subjects

openly compared their physical strength with

women. They have positive perceptions

towards the physical strength they possess and

assume that there are differences of body form

and physical strength between men and

105

bahwa ada perbedaan bentuk tubuh dan

kekuatan fisik antara laki-laki dan perempuan.

Perbedaan tersebut dimaknai bahwa laki-laki

secara fisik lebih kuat dibanding perempuan

serta banyak menggunakan rasio sedangkan

perempuan lebih lemah secara fisik dan lebih

banyak menggunakan emosi. Sebagai contoh,

salah seorang subjek AF berasal dari Sleman,

Yogyakarta mengatakan bahwa ketika laki-laki

marah maka akan berpikir dua kali jika ingin

bertindak kasar, seperti membanting gelas dan

hal ini berbeda dengan perempuan yang dinilai

subjek lebih mengedepankan emosi dalam

bertindak. Pendapat yang dikatakan subjek

tersebut ada kalanya tidak sesuai dengan

kenyataan yang terjadi terutama yang dihadapi

oleh Rifka Annisa selama proses konseling

teradap perempuan korban kekerasan dalam

rumah tangga. Banyak dari para laki-laki

pelaku kekerasan yang justru lebih

mengedepankan tindakan emosional dengan

melakukan kekerasan fisik terhadap istri ketika

sedang marah. Hal ini disebabkan kemampuan

regulasi emosi yang rendah yang justru

menunjukkan kurangnya kontrol diri dan daya

pik i r ya ng ra s iona l seh in gg a leb ih

mengedepankan penyelesaian dengan cara

fisik sehingga justru terkesan emosional.

Kekuatan fisik yang besar pada kaum laki-laki

women. Men are said to be physically stronger

than women and have large use of rationale

while women are physically weaker and use

more emotion. As an example, one of the

subjects AF originating from Sleman,

Yogyakarta stated that when men are angry

they would think twice before acting harshly,

for example smashing a glass and this is

different with women, whom the subject thinks

are more likely to prioritize emotion when they

act. The opinions stated by the subject is

sometimes inconsistent with the reality,

particularly when compared with cases

managed by Rifka Annisa during the

counseling process towards women victims of

domestic violence. Lots of male perpetrators are

actually those who prioritize their emotional

actions by using physical violence towards

their wife when they are angry. This is caused

by the low abilities of emotion regulation which

implies a low ability of self control and rational

thought. Such conditions will open the doors to

settling matters through physical means and

such actions are marked by emotional as

opposed to rational responses.

Large physical strength by men is perceived to

be associated with maximum productivity and

agility compared to women, although the

subjects state that in an intellectual sense, men

106

dimaknai bahwa laki-laki mempunyai

produktifitas yang maksimal dan lebih lincah

dibandingkan dengan kaum perempuan,

sekalipun secara intelektual para subjek

mengatakan mungkin memiliki kemampuan

yang sama. Hal tersebut menimbulkan

pendapat bahwa kaum laki-laki sah-sah saja

jika melakukan pekerjaan yang berat serta

dapat ”terbang kemana-mana”. Pendapat ini

menunjukkan bahwa persepsi terhadap

kekuatan fisik akan mempengaruhi cara

pandang laki-laki terhadap kaum perempuan

dan sekaligus menciptakan suatu aturan dalam

pembagian peran pekerjaan antara laki-laki

dan perempuan. Adakalanya kondisi ini

menimbulkan penguasaan terhadap beberapa

aspek kehidupan secara tidak proposional

yang sekaligus menunjukkan kuatnya kontrol

laki-laki terhadap perempuan. Hal inilah yang

kemudian banyak menimbulkan kesenjangan

gender antara laki-laki dan perempuan.

Tiga kelompok subjek yang diteliti tersebut

banyak mengarahkan pembicaraan ke arah

perbandingan fisik antara laki-laki dan

perempuan ketika peneliti membahas

mengenai kondisi fisik. Tampak muncul suatu

perasaan bangga dan merasa lebih dari kaum

perempuan sehingga muncul dorongan untuk

melindungi kaum perempuan yang dianggap

memiliki fisik dan tenaga yang lebih lemah.

and women are even. This leads to the

assumption that men are justified to perform

hard working jobs and can “do as they please”.

This notion demonstrates how the perception

of physical strength can influence the ways men

perceive women and create a certain rule in role

division between men and women. Such

c o n d i t i o n s m a y e ve n r e s u l t i n t h e

disproportionate control of life aspects which

thus reinforces the notion that men control

women. It is this condition that result in gender

inequality between men and women.

Three of the subject groups directed the

discussion to comparing the physical aspects of

men and women when the researcher discussed

physical conditions. There was a particular

display of pride and superiority over the

women of which results in a drive to protect

these women who are deemed weaker. There is

also a gentle attitude that they like to display

107

when men are angry they would

think twice before acting harshly,

for example smashing a glass and

this is different with women,

whom the subject thinks are more

likely to prioritize emotion when

they act

Ada suatu sikap yang ingin ditunjukkan

yang didorong oleh persepsi atas kelebihan

fisik dan tenaga yang dimiliki. Hal ini sesuai

dengan penelitian yang dilakukan oleh Blyth

(2000) bahwa penilaian individu terhadap

penampilan fisiknya akan dipengaruhi oleh

beberapa hal diantaranya adalah perbandingan

perkembangan fisik individu dengan

perkembangan fisik orang lain, reaksi orang

lain terhadap individu dan perbandingan

terhadap kultur ideal serta komparasi sosial.

Komparasi sosial adalah penilaian kognitif

yang dibuat oleh seseorang tentang atribut-

atribut tertentu yang dimilikinya dibandingkan

dengan atribut orang lain (Jones, 2001). Maka

terbukti bahwa penilaian para subjek terhadap

kaum perempuan yang dianggap memiliki

kekuatan fisik yang dibawah kaum laki-laki,

mempengaruhi cara pandang mereka terhadap

diri sendiri sehingga menimbulkan suatu

kesepakatan tak tertulis untuk melindungi

kaum perempuan. Kondisi ini menyebabkan

posisi tawar yang tinggi kaum laki-laki

terhadap perempuan.

Meskipun kekuatan fisik merupakan sesuatu

yang utama bagi seorang laki-laki namun ada

satu hal yang dianggap dapat menurunkan

derajat kelelakian yaitu ketidakmampuan

seorang laki-laki untuk mendapatkan

keturunan. Kemampuan seorang laki-laki

gentle which is reinforced by perceptions of the

physical superiority that they possess. Such

findings are consistent with a study from Blyth

(2000) that individual evaluation towards their

physical appearance will influence a number of

aspects for example comparison of physical

development with other people, reactions of

other people towards the individual and

comparison towards the ideal culture as well as

social comparison. Social comparison refers to

the cognitive evaluation made by a person

about particular attributes that they own with

the attributes of others (Jones, 2001). Therefore

it is proven that the subjects' evaluation of

108

Therefore it is proven that the

subjects' evaluation of women

being weaker, influence the way

men perceive themselves which

produces an unwritten law to

protect women. Such conditions

cause a high bargaining position

of the men towards women.

terutama yang sudah berkeluarga untuk

mendapakan keturunan merupakan hal pokok

yang dapat mengukuhkan harga diri seorang

laki-laki untuk dapat disebut sebagai laki-laki

sejati. Perihal keturunan merupakan hal utama

yang dapat meningkatkan kepercayaan dan

semangat hidup bagi seorang laki-laki yang

sudah berkeluarga. Hal ini menunjukkan

bahwa citra tubuh yang dipersepsi oleh para

subjek, ternyata tidak berhenti pada kekuatan

fisik dan penampilan namun lebih berkaitan

erat dengan gambaran mental sebagai seorang

laki-laki mengenai tubuh, pikiran, perasaan,

pertimbangan dan perbandingannya terhadap

perempuan, sensasi dan kesadaran maupun

perilaku dan etika yang seharusnya dilakukan

oleh seorang laki-laki terkait dengan kondisi

fisik yang dimiliki. Etika tak tertulis tersebut

seakan-akan mewajibkan bahwa sudah

s e h a r u s n ya k a u m l a k i - l a k i m a m p u

memberikan keturunan dan perlindungan

terhadap pihak-pihak yang dinilai lebih lemah,

dalam hal ini adalah kaum perempuan.

Ketidakmampuan dalam memenuhi etika

tersebut akan mempengaruhi konsep diri

seorang laki-laki yang akan mempengaruhi

harga diri dan kepercayaan dirinya.

women being weaker, influence the way men

perceive themselves which produces an

unwritten law to protect women. Such

conditions cause a high bargaining position of

the men towards women.

Although physical strength is primary to men

however what is perceived to be able to reduce

the manhood of a person is the inability to have

a child. The ability for a man, particularly a

married man, to have a child is vital for them to

consolidate their self esteem to be viewed as a

true man. This matter of having a child is

fundamental to increase a man's self confidence

and enthusiasm of a married man. This

demonstrates that the body image perceived by

the person does not stop at physical strength

but has strong relations with mental

representations of men concerning their bodies,

thoughts, feelings, considerations and

comparisons with women, sensations and

awareness and even behaviors and ethics that

should be conducted by men related with the

physical conditions they own. This unwritten

ethic supposedly obligates men to have a child

and protect the weak, in this regard, women.

The inability in fulfilling these ethics will

influence the self concept of a man that would

bring implications towards the man's self

esteem and self confidence.

109

2. Diri Ideal

Diri ideal adalah gambaran individu tentang

perilaku, aspirasi, tujuan atau penilaian

personal tertentu yang harus dimilikinya

(Stuart & Sundeen dalam Salbiah, 2003). Diri

ideal dapat berhubungan dengan tipe orang

yang akan diinginkan atau sejumlah aspirasi,

cita-cita, nilai-nilai yang ingin di capai. Diri

ideal akan mewujudkan cita–cita dan harapan

pribadi berdasarkan norma sosial (keluarga

dan budaya) serta kepada siapa ingin

dilakukan. Diri ideal mulai berkembang pada

masa kanak–kanak yang di pengaruhi oleh

lingkungan dan harapan masyarakat, figur

orang yang penting pada diri seseorang yang

memberikan keuntungan dan harapan

baginya. Pada masa remaja diri ideal akan di

bentuk melalui proses identifikasi pada orang

tua, guru dan teman, sedangkan pada masa

dewasa akan banyak dipengaruhi oleh

lingkungan sosial serta peran dan kedudukan

individu di masyarakat.

Laki-laki ideal yang digambarkan oleh para

subjek dalam penelitian ini adalah sebagai

sosok jantan yang berperan sebagai tulang

punggung keluarga dan harus mempunyai

sikap adil serta bertanggung jawab penuh

terhadap kelangsungan hidup keluarga.

Sebagai sosok yang jantan, maka seorang laki-

laki harus memiliki mental spiritual yang baik,

2. Ideal Self

The ideal self is an individual's representation

concerning behavior, aspirations, goals or a

personal evaluation that the person must own

(Stuart & Sundeen cited in Salbiah, 2003). The

ideal self may be related with the type of person

he/she wants to be or some aspirations, ideals,

values that want to be achieved. The ideal self

will actualize the ambitions and expectations of

an individual based on the social norms (family

and cultural) as well as who this ideal concept

would be applied to. The ideal self is developed

from childhood and influenced by the

environment and society expectations and

important figures of a person that gives him/her

some advantages and hopes. For teenagers, the

ideal self will be formed through the

identification process of parents, teachers,

friends, while in adulthood this would largely

be influenced by the social environment as well

as the roles and status of the individual in the

society.

The ideal men described by subjects in this

study are those people who play the role as the

backbone in the family and must have a fair

attitude and full responsibility towards the

longevity of the family. As a masculine person,

he must be a man that is mentally and

spiritually competent, have a physically

healthy condition, broad knowledge, has a faith

110

kondisi jasmani yang sehat, pengetahuan yang

luas, keyakinan dan keimanan sebagai

landasan kehidupan, keteguhan pendirian dan

ketegasan dalam tindakan, misalnya sesuatu

yang pernah diikrarkan harus benar-benar

diwujudkan. Hal tersebut dianggap sangat

berperan dalam mendukung fungsi dan

tanggung jawab laki-laki sebagai kepala rumah

tangga serta dalam memimpin diri sendiri dan

orang lain. Salah satu perilaku yang dianggap

mampu merusak kesehatan jasmani dan rohani

adalah minum minuman keras karena dapat

membuat seseorang bertindak kasar dan mau

menang sendiri serta kehilangan sikap adil

sebagai kepala rumah tangga. Fungsi sebagai

kepala keluarga adalah mengayomi istri dan

anak dengan menempatkan diri sebagai suri

tauladan yag baik bagi keluarga. Kedudukan

tersebut dimaknai sebagai kelebihan yang

diberikan Tuhan kepada laki-laki yang tidak

ada dalam diri perempuan. Disamping itu,

seorang laki-laki harus memiliki penghasilan

yang mapan untuk menunjang kehidupan

keluarga karena secara kultural, laki-laki

adalah figur yang harus memenuhi kebutuhan

ekonomi keluarga. Hal tersebut menunjukkan

bahwa secara psikologis, laki-laki diharapkan

menjadi sosok yang selalu stabil secara

emosional sehingga mampu mengambil peran

dan sikap sebagai figur yang bijaksana.

Disamping itu, terdapat konsep ideal laki-laki

and belief as a foundation of life, has a firm

stance when acting, for example when a

promise is made it must be fulfilled. These

things are said to largely play a role in

supporting the functions and responsibilities of

a man as the head of the family in addition to

leading the person himself and other people.

One of the behaviors that is said to damage the

physical and spiritual conditions is alcohol

consumption because it can make a person act

harshly, make him selfish, and reduces his

ability to be fair as the head of the family. The

function as the head of the family is to protect

the wife and child by placing himself as the role

111

As a masculine person, he must

be a man that is mentally and

spiritually competent, have a

physicallyhealthy condition,

broad knowledge, has a faith

and belief as a foundation of

life, has a firm stance when

acting, for example when a

promise is made it must be

fulfilled

dalam budaya Jawa yang menyatakan bahwa

seorang laki-laki dianggap lengkap sebagai

laki-laki apabila ia sudah memenuhi beberapa

hal pokok sebagai berikut :

(rumah)

(istri)

(pedoman hidup yang bermakna bahwa

seorang laki-laki harus bisa menempatkan diri

dalam berbagai suasana,

yang berarti tahu bagaimana cara

menempatkan diri dalam setiap kondisi dan

situasi)

(kendaraan)

(burung) yaitu simbolisasi dari

penyemarak isi rumah, misalnya benda-benda

elektronik radio, tape, TV

Beberapa contoh dan penjelasan diatas

menunjukkan bahwa dalam pergaulan sosial,

sosok laki-laki sebagai seorang kepala rumah

tangga mempunyai beragam keutamaan yang

harus dipenuhi jika ingin dirinya dianggap

sebagai sosok laki-laki yang lengkap.

kemampuan seorang laki- laki dalam

pemenuhan hal-hal tersebut adalah sebagai

suatu kebanggaan tersendiri yang dianggap

dapat meningkatkan derajat kelelakian.

Ketidakmampuan seorang laki-laki dalam

memenuhi beberapa prasyarat di atas akan

menimbulkan konflik dalam dirinya. Konflik

Wisma

Garwa

Curiga

ngerti agal alusing

pasemon

Turangga

Kukila

model for the family. This status is perceived to

be a blessing given by God to men and not given

to women. In addition, men must have a stable

income to support the family living because

culturally, men are the figures that must fulfill

the economic needs of the family. This indicates

that in a psychological sense, men are expected

to be constantly emotionally stable so that they

are able to bear the roles and attitudes as a wise

figure. Moreover, the ideal concept of a man in

the Javanese culture states that a man is only

complete when he as accomplished the

following essential elements :

(home)

(wife)

(the life guide that states that men must

be able to place themselves in numerous

situations , meaning

that they know how place themselves in each

condition and situation)

(vehicle)

(birds) symbolizing the house content

for example electronic goods, radio, tape

recorders, TV

A number of the examples and explanations

above demonstrate that in socializing, men as

head of the family have a range of superiorities

that must be fulfilled if they would be

considered as complete. The ability of a man in

Wisma

Garwa

Curiga

ngerti agal alusing pasemon

Turangga

Kukila

112

ini lebih dikenal dengan konflik peran gender,

yaitu suatu keadaan seseorang tidak mampu

berperan sesuai yang diharapkan oleh

masyarakat. Lebih lanjut lagi, O'Neal, Good

dan Holmes (1995) menyatakan bahwa konflik

peran gender merupakan suatu keadaan

psikologis dimana sosialisasi peran gender

memiliki konsekuensi negatif terhadap orang

tersebut atau orang lain. Konflik peran gender

tampil bila peran-peran gender yang kaku,

seksis, atau terbatas, menimbulkan pribadi

yang terbatas, merendahkan atau mengganggu

orang lain atau dirinya. Hasil akhir dari konflik

ini adalah suatu keterbatasan dari potensi

kemanusiaan pada seseorang yang mengalami

konflik atau keterbatasan dari potensi orang

lain. Kesenjangan antara diri yang diidealkan

dengan kenyataan yang ada akan dapat

memicu timbulnya emosi negatif seperti stres

dan depresi dan hal inilah yang terkadang pada

beberapa laki-laki akan memicu tindak kekera-

san dalam rumah tangga (Weisbuch dkk, 1999).

Konsep diri ideal yang ada pada diri laki-laki

seperti yang telah dipaparkan di atas

menimbulkan suatu konsekuensi atau

kewajiban yang harus dijalankan berdasarkan

batasan minimal diri ideal yang harus dicapai,

terutama dalam hal peran yang harus dapat

dimainkan dan tanggungjawab yang harus

dilakukan.

fulfilling these demands gives a sense of self

pride because it can increase his level of

manhood. The inability to fulfill these things

will lead to a conflict within him. This conflict is

known as conflict of gender roles, namely the

condition whereby a person is incapable of

fulfilling the roles in accordance with the

expectations of the society. Furthermore,

O'Neal, Good and Holmes (1995) stated that

conflict of gender roles refer to a psychological

state where the socialization of gender roles

have negative consequences towards the

person or other people. Conflict of gender roles

are apparent when rigid, sexist and limited

gender roles creates a rigid individual, which

insults and disturbs other people or himself.

The outcome of the discrepancy between self

and the ideal with the realities that exist will

trigger negative emotions for example stress,

depression and these are the things that will, in

some cases, lead men to conduct domestic

violence (Weisbuch et al, 1999).

The ideal self elaborated above creates a

consequence or obligation that must be

performed based on the minimum standard of

the ideal self that must be achieved, particularly

concerning roles that must be played and the

responsibilities that must be performed.

33 113

B. Posisi laki-laki dalam masyarakat

1. Posisi dan relasi sosial laki-laki di

masyarakat

Dalam kehidupan di lingkungan sosial,

seorang laki-laki harus tahu bagaimana harus

bersikap dalam berhubungan dengan

lingkungan masyarakat karena segala tindak-

tanduknya, terutama yang sudah berkeluarga,

dianggap berpengaruh terhadap nama baik

keluarga. Salah seorang subjek mengungkap-

kan terkadang harus mendahulukan ajakan

teman untuk pergi mancing ketika akan

membantu istri yang repot karena merasa tidak

enak dengan teman. Hal ini menunjukkan

bahwa faktor eksternal yaitu lingkungan sosial

atau lingkungan pergaulan mempunyai

pengaruh yang tak terlihat terhadap relasi

dalam keluarga. Hal tersebut juga menunjuk-

kan kepatuhan dan penghormatan seorang

laki-laki terhadap lingkungan pergaulan, yaitu

teman-temannya.

Lingkungan sosial terutama masyarakat Jawa,

menempatkan laki-laki diatas perempuan

karena laki-laki dipandang lebih banyak

berpartisipasi dalam kegiatan di lingkungan

sosial. Laki-laki juga disebut sebagai insider

jika dikaitkan dengan keluarga dan lingkungan

sosial.

B. The position of men in the society

1. Position and social relations of men in the

society

In the social life, men must know how to behave

and relate with the social environment because

all of his actions, especially those with the

family, can influence the name of the family.

One of the subject explained that sometimes he

would prioritize the invitation from a friend to

go fishing rather than helping his wife who is

busy, because he would feel discomfort if he

didn't accommodate his friend's invitation.

This demonstrates that the social environment

implicitly influences relationships in the family.

This also demonstrates the obedience and

respect of a man towards his socialization

settings, namely his friends.

The social environment, particularly for

Javanese, place men above women because men

have larger participation in social activities.

Men can also be referred to as an insider when

related with the family and social environment.

Men are positioned as bridges between the

family and the society. All success and

accomplishments in the family will be viewed

by the people as the success of men in the

society; in addition a man is also positioned as a

good role model for the family and the social

114

115

Dalam pergaulan kaum laki-laki, rokok adalah simbol

kelelakian dan dianggap mampu mempererat

hubungan antar laki-laki dalam senda gurau obrolan

sehari-hari

The transvestite community has spread in almost all

parts of Indonesia. These groups of men are not

considered as true men because of their behavior,

attribute and sexual orientation that are different to

men in general. Most cases revolving around the

lives of transvestite, relates with negative stigma

and abuse from the society.

In male socialization, cigarettes become a symbol of

manhood and are able to support relations between

men when hanging around.

Komunitas waria telah tersebar hampir di suluruh

Indonesia. Kelompok laki-laki jenis ini dianggap

bukan laki-laki sejati karena perilaku, atribut dan

orientasi seksualnya yang berbeda dari laki-laki

pada umumnya. Pada kebanyakan kasus seputar

kehidupan waria, mereka banyak mendapat stigma

buruk dan pelecehan dari masyarakat

Kaum laki-laki diposisikan sebagai penjem-

batan antara keluarga dan masyarakat. Segala

kesuksesan dan keberhasilan dalam keluarga

akan dipandang sebagai keberhasilan laki-laki

oleh masyarakat, disamping itu seorang laki-

laki juga diposisikan sebagi figur panutan baik

dalam keluarga maupun lingkungan masya-

rakat. Hal itu menyebabkan segala tindakan

laki-laki akan banyak mendapat sorotan oleh

masyarakat sehingga secara tidak sadar, hal ini

menimbulkan suatu beban tersendiri.

Dalam diskusi ini, keseluruhan subjek lebih

banyak memberikan penjelasan-penjelasan

yang bersifat moralitas yang mengandung

unsur filosofis hidup khas budaya Jawa

sekaligus menunjukkan bahwa para subjek

sangat bersikap normatif dan idealis. Hal ini

juga menunjukkan bahwa kepatuhan dan

penghormatan mereka pada norma-norma

kelompok sangat terlihat. Penjelasan yang

diberikan antara subjek satu dengan yang lain

sangat mirip sekali. Tampak bahwa ada usaha

untuk saling menyesuaikan ketika akan

berkomentar sehingga jarang sekali adanya

pendapat yang terlihat mencolok. Temuan

tersebut sesuai dengan yang dikemukakan oleh

Suseno (2001) bahwa masyarakat Jawa sangat

tunduk pada tekanan-tekanan lingkungan

sosial. Pada setiap individu melekat berbagai

identitas, tidak hanya identitas personal yang

environment. This can also cause all actions of

men to gain wide attention from the society and

would unnoticeably create a burden for them.

Within this discussion, all the subjects gave

explanations that are morally righteous

containing elements of life philosophy which

are distinct of Javanese culture. This

demonstrates how the subjects are strongly

normative and idealist. It also indicates their

strong obedience and respect towards group

norms. The explanations that are given between

one subject and the other are similar. There

seems to be an effort to adjust with one another

therefore not leaving much room for debate.

Such events are consistent with Suseno (2001)

who explained that Javanese people are

obedient towards social pressure. Each

individual owns numerous identities and not

only the personal identity that differentiates

one person with another. Some of these

identities include their social identity, as a man,

head of the household, village head, or their

ethnic or regional identity. This identity

contains feelings of togetherness with the

group, it implies emotional attachment and

values of the individual towards the group.

Within the person's social identity, the

individual is encouraged to achieve a positive

identity from the group. And therefore the

116

membedakan individu satu dengan yang

lainnya. Setiap individu akan memiliki

identitas lain yakni identitas sosial, sebagai

laki-laki, kepala rumah tangga, lurah, atau

identitas etnis dan daerah. Identitas ini

mengandung adanya perasaan memiliki suatu

kelompok sosial bersama, melibatkan emosi

dan nilai-nilai pada diri individu terhadap

kelompok tersebut. Dalam identitas sosial,

individu dipacu untuk meraih identitas yang

positif dari kelompoknya. Dan dengan

demikian, hal ini juga akan meningkatkan

harga diri individu sebagai anggota

kelompok sehingga penghormatan terhadap

norma kelompok adalah hal yang mutlak

untuk dilakukan.

Khusus pada kaum laki-laki dalam penelitian

ini, perilaku para subjek dalam diskusi

kelompok yang terlihat mempunyai konfor-

mitas yang tinggi, peneliti melihat lebih karena

peran sebagai kepala rumah tangga yang harus

berfungsi sebagai delegasi atau penghubung

antara lingkungan keluarga dengan lingku-

ngan sosial. Di samping itu juga untuk menjaga

keseimbangan keduanya agar tampak bahwa

keluarga mereka sejauh ini tetap mengikuti

aturan dan norma sosial yang berlaku. Hal ini

sangat berbeda ketika pada sesi wawancara

mendalam dimana subjek terlihat lebih leluasa

(self-esteem)

person will experience an enhanced self esteem

as a group member. Respect for group norms

becomes imperative to achieve this enhanced

self esteem.

Specifically for the men in this study, a high

level of conformity is displayed by the subjects

in the discussion. The researcher views that

these findings are due to the roles as the head of

the household who function as a delegation or

bridge between the family with society. In

addition, such behaviors are performed to

maintain balance these two environments

therefore making the family appear to conform

with the rules and social norms that apply in the

community. This was in contrast with the in-

117

Men are positioned as bridges

between the family and the

society. All success and

accomplishments in the family

will be viewed by the people as

the success of men in the

society; in addition a man is also

positioned as a good role model

for the family and the social

environment

menceritakan tentang dirinya dan perasaan-

perasaan yang dialami. Mereka sangat terbuka

sekali dan tampak bersemangat untuk

menceritakan tentang diri dan keluarganya,

pengalaman hidupnya berikut kisah-kisah

unik yang dialami yang belum pernah

diketahui oleh keluarganya sendir i .

Tampaknya ada kebutuhan dari para subjek

untuk didengarkan dan diberikan suatu

apresiasi terhadap pengalaman hidup mereka.

Ada keinginan untuk lepas dari beberapa

prasyarat kelelakian yang harus selalu tampil

bijaksana dan sempurna dalam lingkungan

masyarakat.

Keseluruhan subjek mengatakan bahwa peran

laki-laki sebagai kepala rumah tangga

ditunjukkan dengan kemampuan mencari

penghasilan materi untuk kebutuhan keluarga,

terutama kebutuhan dasar seperti sandang,

pangan dan papan. Mampu melindungi istri

dan anak dari segala mara bahaya, termasuk

menjaga kehormatan istri dan keluarga serta

menjamin keselamatannya, tanggap dan

cekatan ketika terjadi sesuatu hal yang

mengancam keselamatan keluarga. Memberi-

kan pendidikan pada anak dengan memberi-

kan contoh perilaku yang baik, mampu

mengetahui dan memahami keinginan istri dan

2. Peran dan tanggung jawab ideal sebagai

laki-laki

depth interviews when the subjects were more

open about talking about themselves and the

feelings they experienced. They were highly

open and enthusiastic to talk about themselves

and their family, life experiences and the unique

experiences that they only disclosed to the

researcher. There seems to be a need from the

subjects to be listened to and given appreciation

towards their experience. There is a desire to

release from some of the criteria of being a true

man who must always act wisely and with

perfection in the community.

All of the subjects stated that the role of the head

of the family is supported by their abilities to

support the family needs, primarily to fulfill

basic needs for example a provide a place to live

in, food, and clothing, able to protect the wife

and child from danger, including the wife's

family's respect as well as their safety. The head

of the family must also be responsive and agile

when the family faces a threat, he must educate

the child by giving positive examples, able to

know and understand the wishes of the wife

and able to act fairly to all of the family

members in whatever circumstances. All of

these actions indicate a man's honor.

The explanations above demonstrate that there

remains a desire to fulfill the role as the primary

2. Ideal roles and responsibilities of a man

118

anak serta mampu bersikap adil terhadap

seluruh anggota keluarga kapan pun dan

apapun yang akan terjadi. Di situlah letak harga

diri seorang laki-laki.

Penjelasan tersebut menunjukkan bahwa ada

keinginan untuk tetap berperan sebagai figur

utama dalam keluarga dalam keadaan dan

kondisi apapun. Ada pula kebutuhan untuk

mengaktualisasikan diri dengan menunjukkan

eksistensi sebagai figur pelindung dan

pengayom. Hal ini sesuai dengan ciri khas dari

sistem patriarki yang menganggap bahwa laki-

laki diproyeksikan sebagai figur utama dan

penentu segalanya, lahir dan batin kebahagia-

an dalam keluarga. Maka terlihat sekali

keberagaman peran laki-laki sehingga para

subjek menganggap bahwa tanggung jawab

laki-laki lebih berat dibandingkan perempuan.

Rasa berat tersebut salah satunya adalah karena

laki-laki sebagai figur yang akan paling banyak

disorot oleh masyarakat tentang keberhasilan

dan kegagalan suatu keluarga. Jika keluarga

mengalami kegagalan misalnya dalam hal

pendidikan anak atau ketika anak bertingkah

laku kurang baik, maka yang akan banyak

disorot adalah laki-laki sebagai kepala

keluarga. Begitu juga ketika seorang ayah

berperilaku menyimpang dari norma-norma

sosial di masyarakat maka dianggap akan

berakibat buruk terhadap anak, misalnya anak

akan mendapat musibah berupa kecelakaan.

figure in the family in whatever condition.

There are also needs for self actualization by

displaying themselves as a protective figure.

This is cons is tent with the typica l

characteristics of a patriarchy system which

regards men as a projection of the main figure

and the main decider of all matters, from the

physical and spiritual aspects of the family. The

various roles of the men are apparent and this is

why the men feel that the responsibilities are

larger compared to women. One of the reasons

for this burden is because men are judged by the

society on the success and failure of the family.

For example if a family is judged to fail in the

child's education or when the child acts

negatively, it is the men who are blamed

because he is the head of the family. This also

applies when a man acts negatively and

deviates from social norms, therefore he is

deemed to bring negative consequences

towards his child, for example the child might

experience misfortune or an accident. The good

name of the man also influences the status of the

other family members in the society. For

example when the husband becomes a village

head, this would automatically make the wife

have an elevated status as the Mrs. village head,

and she would be called by this name by the

surrounding community.

119

Nama baik laki-laki juga dipandang sangat

mempengaruhi kedudukan anggota keluarga

yang lain di masyarakat. Jika suami menjadi

lurah misalnya, maka otomatis sang istri akan

terangkat juga derajatnya dan akan dipanggil

bu lurah oleh masyarakat sekitar.

Dalam diskusi ini juga terlihat bahwa subjek

yang mapan secara ekonomi dan mempunyai

pekerjaan tetap, mempunyai anak serta

berpendidikan tinggi tampak percaya diri

dalam diskusi yang ditunjukkan dengan

keaktifannya dan keberaniannya dalam

menyampaikan pendapat, sebaliknya subjek

yang sudah berkeluarga dan mempunyai anak

namun belum mapan secara ekonomi dan tidak

mempunyai pekerjaan tetap tampak kurang

percaya diri, pasif dan terkesan malu-malu

ketika akan berkomentar. Tingkat usia dan

lama pernikahan juga mempengaruhi

keaktifan para subjek dalam diskusi. Subjek

yang lebih muda usia mental dan usia

pernikahannya akan menunjukkan sikap dan

pendapat yang cenderung menyesuaikan

dengan pendapat para subjek yang lebih tua

usia mental dan usia pernikahannya.

Adakalanya laki-laki adalah sosok yang selalu

ingin menang sendiri dalam relasi rumah

tangga dibandingkan dengan perempuan,

misalnya ketika istri sakit biasanya masih

sanggup melakukan pekerjaan domestik,

In this discussion, subjects with sufficient

economic resources, holds a permanent job, and

has a child with high education are more self

confident in the discussion. This is proven by

their active participation and courage to deliver

their opinions. Conversely, subjects with a

family and a child but have limited economic

resources, and does not have a permanent job

seem to be less confident, passive and seem to

be shy to make comments. Age levels and the

length of marriage also influence the subjects'

activeness in the discussion. The subjects with

the younger mental age and the shorter

120

and this is why the men feel that

the responsibilities are larger

compared to women. One of the

reasons for this burden is

because men are judged by the

society on the success and

failure of the family

sedangkan laki-laki tidak akan mau seperti itu

dan biasanya akan tidur. Selain itu, laki-laki

adalah seseorang yang memiliki kebebasan

penuh untuk melakukan apa saja yang

diinginkan tanpa harus sepengetahuan kelu-

arga, misalnya main dengan teman, minum-

minuman keras dan memilih bentuk aktivitas

yang diinginkan. Sikap tersebut dianggap

sesuatu yang lumrah bagi seorang laki-laki. Hal

tersebut menunjukkan bahwa lingkungan

mempunyai posisi tawar yang tinggi dalam

kehidupan laki-laki jika dibandingkan dengan

keluarga. Terdapat sikap yang tidak konsisten,

antara diri yang diidealkan sebagai sosok laki-

laki bijaksana dan pengayom yang selalu

mengutamakan kepentingan keluarga dengan

sikap egois yang cenderung mementingkan

keinginan diri sendiri. Hal ini menunjukkan

adanya kesenjangan antara nilai-nilai kebijak-

sanaan yang dipahami dengan tindakan nyata

yang dilakukan. Sikap yang tidak konsisten

tersebut bukanlah sesuatu yang tidak disadari

ataupun suatu bentuk ketidaksengajaan,

namun merupakan bentuk pilihan sikap yang

disadari sepenuhnya oleh para subjek. Kesen-

jangan tersebut menunjukkan bahwa ada-

kalanya norma-norma kebijaksanaan ideal

sorang laki-laki dalam kehidupan berma-

syarakat tidak mampu dilaksanakan secara

konsisten.

marriage length will display an attitude and

opinion that adjusts with the opinions of the

subjects' with an older mental age and longer

marriage.

There are sometimes men who always want to

win for themselves in family matters, for

example when the wife is sick, she is still able to

perform her domestic duties, while men would

sleep if they faced such conditions. Moreover,

men have full freedom to do whatever they

please without notifying their family, for

example playing around with their friends,

drinking alcohol, and choosing activities they

like. This attitude is considered normal for men.

This indicates that the environment has a

higher bargaining position in the lives of men

compared to his family. However there seems to

be an inconsistency between the ideal self as a

wise and protective man that always prioritizes

the needs of the family with his selfish attitudes

that always prioritizes his own interests. This

indicates a gap between wise values and the

actions that are displayed. This inconsistent

attitude is not unintentional; however the

subject fully realizes the actions that he

commits. This gap reflects that ideal norms of a

man in the society are sometimes not applied

consistently.

121

122

Citra laki-laki sebagai satu-

satunya tulang punggung

keluarga yang harus

menghidupi seluruh keluarga

besar terkadang menimbulkan

stres dan beban tersendiri. Di

sisi lain, ketidak mampuan

dalam mengelola stres dan

permasalahan psikologis yang

lain menyebabkan laki-laki

jatuh pada perilaku agresif

dalam rumah tangga.

The images of men as the sole

backbone of the family that

must fulfill the needs of the

whole family sometimes result

in stress and burden. On the

other hand, the inability to

manage stress along with other

psychological problems cause

men to fall prey to aggressive

behaviors in the family.

C. Peran dan tanggung jawab laki-laki

dalam keluarga

1. Pengasuhan anak

Pola asuh sehari-hari yang banyak digunakan

oleh para subjek adalah dengan menempatkan

diri sendiri sebagi figur panutan atau suri

tauladan bagi anak-anak yaitu dengan

menunjukkan hal-hal yang benar dan selalu

memperbaiki akhlak diri sendiri. Disamping

itu, bentuk pengasuhan lainnya adalah dengan

(nasehat) tentang nilai-nilai moral, etika

pergaulan dan filosofi hidup yang berasal dari

ajaran agama dan budaya Jawa, yaitu

bagaimana seorang anak harus berbakti dan

bersikap kepada orang tua dan masyarakat

sekitar. Dua orang subjek mengatakan bahwa

mendidik anak bukan hanya menjadi tanggung

jawab ibu, namun juga ayah walaupun

biasanya anak-anak lebih terbuka dan lebih

merasa tidak takut (bebas) pada ibu jika

dibandingkan dengan ayah. Subjek juga

menekankan agar anak-anak lebih menguta-

makan perintah ibu terlebih dahulu dibanding-

kan ayah. Temuan tersebut menunjukkan

bahwa hubungan antara ayah dan anak lebih

bersifat hubungan normatif sehingga kurang

sentuhan kedekatan emosional jika dibanding-

kan dengan ibu. Maka tak heran jika anak lebih

merasa terbuka dengan ibu. Gaya pola asuh

ayah yang sangat normatif ini ada hubungan-

pitutur

C. Roles and responsibilities of a man in the

family

1. Nurturing children

The daily nurturing conducted by most of the

subjects are done by placing themselves as a

role model for their children by showing the

children the right things to do and always

improving a person's moral state of mind. In

addition, other forms of nurturing include

(advice) about moral values,

socialization ethics and life philosophy

originating from religious teachings and

Javanese culture, related to how a child must be

devoted and act positively towards their

parents and the surrounding environment. Two

subjects stated that educating the child is not

merely the responsibility of the mother, but it is

also the responsibility of the father although the

child is more open and not afraid of the mother

compared to the father. The findings indicate

that the father-child relationship is marked

with a normative relationship and therefore

lacking emotional closeness when compared to

the mother. This is why it is not surprising for

the child to be more open with the mother. This

normative nurturing pattern relates with the

man's mindset which attempts to maintain an

image of a rational and wise person in front of

the family by giving lots of advice and little

affection. Sometimes this makes the child more

pitutur

123

nya dengan pola pikir laki-laki yang berusaha

untuk tetap menjaga kesan ( ) rasional dan

kewibawaannya dihadapan keluarga dengan

berusaha memberikan banyak nasehat dan

sedikit sentuhan afektif yang penuh kehanga-

tan serta keakraban. Hal ini ada kalanya

menyebabkan anak menjadi patuh terhadap

ayah namun lebih karena merasa takut dan

bukan karena segan atau hormat. Penelitian

lain menyebutkan, keyakinan bahwa anak

adalah urusan ibu masih menjadi kecenderu-

ngan umum. Ayah cenderung mengambil jarak

secara emosional dengan anak dan sibuk

dengan dunia di luar keluarga sehingga sedikit

sekali bersinggu-ngan dengan anak (Andayani,

2000). Hal ini terutama bagi ayah yang masih

mengejar identitas diri kelelakiannya terutama

dalam dunia kerja dan lingkungan sosial,

sebagai ayah yang tidak terlibat dalam urusan

pengasuhan anak serta jauh secara emosional

dengan anak. Dengan kata lain, ayah menjadi

figur asing bagi anak sehingga anak tidak

berani atau enggan berurusan dekat dengan

ayah mereka kecuali hanya sebagai formalitas.

Ada perbedaan pola asuh antara anak laki-laki

dan perempuan. Pada anak perempuan lebih

ditekankan pada penanaman norma-norma

kesopanan dan susila serta kepantasan dalam

bergaul. Pada anak laki-laki lebih pada etika

pergaulan sosial yang berhubungan dengan

image

obedient towards the father, not because of

respect but rather because of fear. Other studies

indicate that generally the mother takes care of

the child's matters. The father tends to place an

emotional distance with the child and is too

busy with the issues beyond the family and

therefore spends little time with the child

(Andayani, 2000). This is because the father

remains to pursue his self identity as a man in

the work and social environment. As a father he

does not deal with matters of nurturing the

child and is emotionally distant with the child.

In other words, the father is a foreign figure to

the child and therefore the child is not brave

enough or reluctant to be close with the father,

unless for reasons of formality.

There are different nurturing patterns for male

and female children. For the female children,

they are more likely to be given values of

politeness and appropriateness in socializing.

Male children are more likely to be given values

of socialization relating with loyalty towards a

group and masculine values, namely physical

strength and competitiveness. This is done by

encouraging the children to be active in solving

a problem and always being in the forefront to

socialize with the peer group. This model of

nurturing is indicative from the subjects'

explanation concerning the first group stating

that when a boy faces a problem with a friend

124

loyalitas pada kelompok dan nilai-nilai masku-

linitas yaitu kekuatan fisik dan persaingan

( ). Hal ini dilakukan dengan cara

mendorong anak laki-laki untuk selalu aktif

bertindak dalam setiap permasalahan yang

dihadapi serta selalu menjadi yang terdepan

dalam pergaulan teman sebayanya. Model pola

asuh tersebut ditunjukkan dengan penjelasan

para subjek pada kelompok pertama yang

mengatakan, jika anak laki-laki mempunyai

permasalahan dengan temannya yang juga

berjenis kelamin laki-laki maka alternatif

penyelesaian yang terakhir adalah dengan

perlawanan menggunakan fisik yang sangat

khas ”laki-laki”. Para subjek mengatakan jika

posisi benar maka harus melawan dengan cara

laki-laki (penyelesaian dengan fisik). Hal ini

senada dengan hasil penelitian Gottman dan

DeClaire (1997) yang menyebutkan bahwa cara

seorang ayah berhubungan dengan anaknya

berbeda dengan cara ibu. Ayah lebih

memanfaatkan sisi kelelakiannya dalam

permainan yang cenderung lebih bersifat fisik

dan melibatkan gerak motorik kasar. Hal ini

akan memberikan pengalaman emosional yang

berbeda pada anak dibandingkan ketika

berinteraksi dengan ibu yang cenderung lebih

bersifat lembut dengan mengeksplorasi sisi-sisi

afektif serta kegiatan yang cenderung lebih

intelektual.

competitiveness

that is also a boy therefore the final alternative

to solve the problem is to fight back using

physical strength which is very distinctive of

“men”. The subjects explain that if they were

right they have to fight against the boy (settling

matters by physical means). This is consistent

with a study from Gottman and DeClaire (1997)

that stated that fathers treats their child

differently compared to mothers. The father is

more likely to use his manhood in playing

which tends to be physical and involves rough

motoric movement. In contrast, the interaction

of the child with the mother tends to be gentle

and explores the affective sides of things and

involves activities that are more intellectual.

In several areas of Indonesia, nurturing by

distinguishing gender, in terms of different

nurturing patterns towards boys and girls, are

often found. Based on the study of Tilker, a

researcher from New York, from a small age,

the girl is conditioned to avoid acting

aggressively because of the norms of the society

(cultural factors). From birth, a girl was

psychologically regarded as more able to

control their emotions, meaning that the more

they are pressured by their parents they would

become more obedient or they would only cry

or isolate themselves in their room. Conversely,

for boys it is normal for them to act aggressively.

(nurturing and gender (http://www.perem-

puan.com/index.php?catid=65&screen=14).

125

Pada banyak wilayah di Indonesia, pola asuh

dengan mengedepankan pembedaan gender,

yakni pembedaan pola asuh terhadap anak

perempuan dan laki-laki masih kerap

dijumpai. Berdasarkan penelitian Tilker,

peneliti dari New York, sejak kecil anak

perempuan dikondisikan untuk tidak

berperilaku agresif karena alasan norma dalam

masyarakat (faktor budaya). Semenjak lahir,

anak perempuan secara psikologis dianggap

lebih dapat menahan emosi, artinya semakin

ditekan orang tua maka akan semakin menurut

atau hanya menangis dan mengurung diri

dalam kamar. Sebaliknya, anak laki-laki

dianggap biasa untuk bertindak agresif. (pola

asuh dan gender (http://www.perempuan.com

/ index.php?catid=65&screen=14).

Beberapa penjelasan para subjek diatas

menunjukkan bahwa persepsi terhadap

kekuatan fisik laki-laki adakalanya terbawa

hingga seorang laki-laki tumbuh dewasa

hingga ia berkeluarga dan mempunyai anak.

Hal ini tercermin dalam pola asuh terhadap

anak-anaknya khususnya anak laki-laki.

Penyelesaian secara fisik ketika sudah tidak

menemukan jalan keluar yang baik cukup

terlihat dalam penelitian ini. Hal ini lebih

menyangkut persoalan harga diri dan gengsi

sebagai kaum laki-laki terutama perihal

menang – kalah dalam suatu urusan meskipun

A number of the subjects' explanations above

indicate that the perception towards the

physical strength of men are sometimes carried

over to when a man grows to an adult and has

his own family and child. Settling matters using

physical means when other alternatives are

unsuccessful is evident in this study. This is

related with self esteem and the honor as a man,

particularly related with winning and losing to

his wife in settling conflicts although not

necessarily leading to violence. This indicates

the inheritance of masculinity values through

the father-child relations which confirms that

they have physical strength. These explana-

tions are in line with Lamb (cited in Santrock,

2002) that nurturing patterns are often

practiced by the father towards his male child

who tends to be focused on adjusting to social

126

indicate that the perception

towards the physical

strength of men are

sometimes carried over to

when a man grows to an

adult and has his own family

and child

127

Laki-laki dapat menunjukkan sisi

afektif nya dalam berinteraksi

dengan anak sehingga

perkembangan emosi anak dapat

tercukupi baik dari ayah dan ibu.

Pada sebagian kultur budaya di

Indonesia, laki-laki yang mengasuh

anak adalah hal yang tidak biasa

karena dianggap tugas istri.

Men are able to display their affection

when interacting with their child.

This would allow a balanced

fulfillment of the child’s emotional

development received from the father

and mother. In some cultures in

Indonesia, men nurturing children is

uncommon since it remains to be

viewed as the task of the wife.

tidak melulu melalui adu fisik. Hal ini

menunjukkan adanya pewarisan nilai-nilai

maskulinitas melalui hubungan ayah – anak

dimana anak laki-laki lebih ditegaskan bahwa

mereka mempunyai kekuatan fisik yang kuat.

Penjelasan tersebut sesuai dengan pendapat

Lamb (dalam Santrock, 2002) bahwa pola asuh

yang sering dilakukan oleh ayah terhadap anak

laki-laki cenderung pada penyesuaian anak

dengan norma-norma sosial yang ada

dimasyarakat dan dalam hal ini adalah norma

maskulinitas. Lebih lanjut lagi, hal tersebut

sekaligus menunjukkan bahwa konsep diri

awal yang terbentuk pada anak laki-laki

melalui pola interaksi ayah – anak lebih

menekankan pada kekuatan fisik kendatipun

bersamaan dengan penanaman nilai-nilai

moral.

Sesuai dengan sistem budaya patriarki, pola

hubungan hubungan suami isteri dalam

keluarga adalah laki-laki sebagai penentu

kebijakan serta inspirator bagi perkembangan

keluarga ke depan, sedangkan istri mempunyai

kedudukan sebagai pelaksana hasil kebijakan.

Hubungan serasi dan hamonis serta dialog

antara suami dan isteri dimaknai sebagai

hubungan pengambil kebijakan dan pelaksana

2. Relasi suami – istri

norms in the society and in this context the

norm of masculinity. Furthermore, this also

demonstrates that the initial self concept that is

formed on boys through father-child inter-

action is more focused on physical strength

although this is done together with moral

values.

In accordance with the patriarchy cultural

system, the husband-wife relationship pattern

in the family is marked by the man's role in

making the decisions in the family and the

motivator in developing the family in the

future, while the wife has the main role as the

executor of the decisions. A harmonious

relationship would be achieved through this

condition and dialogue between the wife and

husband occurs under the context of decision

2. Husband-wife relations

128

kebijakan. Jika pelaksana kebijakan mampu

melaksanakan segala keputusan dari penentu

kebijakan maka rumah tangga dianggap

harmonis dari sudut pandang laki-laki.

Maka wajar jika dilihat dari pembagian peran

di dalam rumah, peran istri lebih dominan

dalam keluarga, lebih banyak bergerak dalam

urusan domestik yang bersifat detil seperti,

mengatur keuangan sehari-hari/bendahara

keluarga, kebutuhan fisik makan dan minum,

pendidikan dan pengasuhan anak sehari-hari.

Hasil temuan dalam penelitian ini mengung-

kapkan bahwa sebagian subjek tidak mengang-

gapnya sebagai masalah justru keterlibatan istri

dalam mencari nafkah akan meringankan

beban finansial. Namun subjek yang lainnya

menganggap isteri yang bekerja akan

melupakan pekerjaan pokonya yakni sebagai

ibu rumah tangga. Di Indonesia, perempuan

telah diberi peluang yang sama dengan laki-

laki di bidang pendidikan, namun persepsi

masyarakat terhadap perempuan tidak

mengalami perubahan yang berarti. Masih

kuatnya anggapan bahwa pendidikan pada

perempuan tujuannya adalah agar ia lebih

mampu mendidik anak-anaknya. Perempuan

tetap saja dianggap . Persepsi

demikian tidak hanya dianut kalangan awam,

juga cendekiawan, dan yang lebih mempriha-

tinkan pemerintah juga menjustifikasi persepsi

the second sex

maker and decision executor. Should the

decision executor be able to perform all

decisions from the decision maker therefore the

man would see this as a harmonious

relationship.

This is why it is common to see that from the

division of roles in the family, the wife has

dominant roles in the family, works more for

detailed domestic affairs for example,

regulating the daily finance/ family treasurer,

manages physical needs for food and drinks,

education and daily nurturing of the child. The

findings in the study demonstrate that some of

the subjects do not consider this as a problem

and that the involvement of the wife in seeking

an earning may also reduce financial burdens.

However some of the other subjects view that

when the wives have their own jobs this would

distract their main role as a housewife. In

Indonesia, women have been granted the same

opportunities as men in the field of education,

however the society's perception of women

does not experience considerable change. There

remains a strong presumption that the purpose

of giving access of education to women is to

enhance their abilities to educate their children.

Women remain to be considered as the second

sex. This perception is not only held by lay

people but also scholars, and what is more

concerning is that the government justifies this

49 129

tersebut dalam kebijakan pembangunan, yang

diungkapkan dalam panca tugas perempuan:

sebagai istri dan pendamping suami, sebagai

pendidik dan pembina generasi muda, sebagai

pekerja yang menambah penghasilan negara

dan sebagai anggota organisasi masyarakat,

khususnya organisasi perempuan dan

organisasi sosial (Dzuhayatin, 1997). Tak

terungkap tegas apa peran-peran seorang laki-

laki. Dengan bermunculannya gerakan-

gerakan serta kajian-kajian perempuan, telah

memberikan kesempatan bagi kaum

perempuan untuk bisa tampil di dunia yang

secara tradisional dianggap dunia laki-laki.

Berubahnya peran-peran perempuan ini,

seharusnya membawa konsekuensi berubah

pula peran-peran laki-laki, sekaligus tatanan

sosial yang ada. Jika laki-laki sebagai bagian

dari masyarakat, tidak ikut berubah, maka

permasalahan akan timbul. Dalam skala

keluarga misalnya, dengan bekerjanya seorang

ibu, maka ia pun berperan sebagai pemberi

nafkah keluarga, yang tentunya mempenga-

ruhi ketersediaan waktu dan tenaga ibu untuk

berperan di dalam pengaturan rumah tangga

serta pengasuhan anak. Maka kaum bapak

diharapkan juga dapat mengisi peran-peran

seperti pengasuhan anak dan pekerjaan

keluarga (domestik). Namun berbagai kondisi

yang tampil, menunjukkan hal yang berbeda,

perempuan diperkenankan untuk bekerja, baik

perception in policies of development, of which

is expressed in the five roles of women (

): as a wife and the husband's

assistant, as an educator and the guide for the

young generation, as a worker that adds the

state income and as a member of society

organizations, particularly women and social

organizations (Dzuhayatin, 1997). The roles of

men are not explicitly mentioned. With the rise

of movements and studies on women, this has

given the opportunity for women to show

themselves in the world of which was

traditionally considered as a man's world. The

changing roles of women should imply the

changing roles of men, and the social structures

that exist. If men as a part of the society do not

change, therefore problems would emerge. In

the family scale for example, with a working

mother, she would play the role in seeking an

earning which would influence her time

panca

tugas perempuan

130

In this context studies on Male

Psychology is highly relevant,

which would include redefining

masculinity and reevaluating

gender issues from the male

world in order to enable a

balance in midst of this era of

change

131

availability and energy in managing domestic

affairs and nurturing her children. As a

consequence the father is expected to fulfill

these roles for example nurturing the child and

managing domestic affairs. However,

numerous conditions emerge, women are

permitted to work, for economic reasons and

self development, however, they remain bear

responsibility in the domestic domain and

nurturing the child. This condition referring to

dual roles does not involve the role of men to

make a balance, and tends to lead to numerous

problems. In this context studies on Male

Psychology is highly relevant, which would

inc lude redef in ing mascul in i ty and

reevaluating gender issues from the male world

in order to enable a balance in midst of this era

of change. If we study gender issues in

Indonesia, to this day, a hegemony of

perception concerning women as housewives

remains strongly rooted, therefore the

government and mass media continue to speak

of dual roles, meanwhile according to Budiman

(cited in Nauly, 2002) when a women must

divide her life into two, one in the domestic

sector and one in the public sector, he thinks

that men will channel all his full attention to the

public sector and will always win competition

in the workforce market.

dengan alasan ekonomi, maupun alasan

pengembangan diri, namun di sisi lain, ia tetap

dituntut bertanggung jawab penuh di dunia

rumah tangga serta pengasuhan anak. Kondisi

yang kerap diistilahkan sebagai peran ganda

ini, tanpa melibatkan peran serta laki-laki

untuk membuat keseimbangan, cenderung

akan menimbulkan berbagai permasalahan. Di

sini tampak relevannya kajian-kajian Psikologi

Laki-laki, diantaranya dengan mendefinisikan

kembali maskulinitas, meninjau kembali

persoalan gender ini dari dunia laki-laki,

sehingga mampu menampilkan keseimbangan

di tengah mulai tampaknya perubahan. Bila

kita tinjau permasalahan gender di Indonesia,

sampai sekarang hegemoni pandangan

mengenai perempuan sebagai ibu rumah

tangga masih teramat kuat, sehingga baik

pemerintah maupun media massa terus-

menerus berbicara tentang peran ganda,

padahal menurut Budiman (dalam Nauly,

2002) jika perempuan masih harus membagi

hidupnya menjadi dua, satu di sektor domestik

dan satu lagi di sektor publik, maka

menurutnya laki-laki yang mencurahkan

perhatian sepenuhnya pada sektor publik akan

selalu memenangkan persaingan di pasaran

tenaga kerja.

Basically, division of roles between

domestic roles in the family between

husband and wife can achieve balance

and equality without the standard

evaluation that women are born as

domestic workers and men do not

deserve to perform domestic work.

Pada dasarnya, pembagian peran

domestik dalam rumah tangga antara

suami dan istri dapat seimbang dan

setara tanpa harus ada pembakuan

peran bahwa perempuan terlahir

sebagai pekerja domestik dan laki-laki

tidak pantas melakukan pekerjaan

domestik.

132

D. Faktor-faktor yang mempengaruhi

konsep diri laki-laki

1. Pengaruh lingkungan

Lingkungan mempunyai andil dalam

membentuk sistem nilai laki-laki termasuk

tingkat pendidikan dan kultur budaya lokal

serta pergaulan. Lingkungan mempunyai

aturan tak tertulis yang mengatur segala

perilaku laki-laki di masyarakat. Beberapa

aturan tak tertulis tersebut adalah selalu

mengedepankan kepentingan umum, ramah

tamah dan tenggang rasa, bersikap baik dengan

keluarga dan tetangga. Jika laki-laki sebagai

kepala keluarga mempunyai perilaku yang

buruk di masyarakat dianggap akan membawa

pengaruh pada anggota keluarga yang lain,

misalnya anak akan mendapat celaka. Hal ini

menunjukkan bahwa laki-laki merupakan

sosok perwakilan atau delegasi keluarga dalam

pergaulan sosial. Keseluruhan subjek dalam

tiga kelompok yang diteliti mengatakan bahwa

harga diri adalah sesuatu yang penting

dipertahankan bagi seorang laki-laki dalam

pergaulan sosial terutama jika menyangkut

nama baik keluarga. Apabila ada permasala-

han yang menyangkut harga diri, maka

penyelesaian ala laki-laki yaitu menggunakan

fisik dianggap solusi yang paling sesuai dengan

karakter laki-laki. Sebagian besar subjek

mengatakan bahwa pola asuh dari orang tua,

D. Factors that influence the self concept of

men

1. Environmental influences

The environment contributes in forming the

value systems of men including educational

level, local culture as well as socialization. The

environment contains unwritten laws that

regulate the behaviors of men in the society.

Some of the unwritten laws include the priority

of public interests, hospitality and empathy,

acting positively to the family and neighbors. If

the man, as the head of the family, displays

negative behaviors in the society, this would be

lead to negative influences to other members of

the family for example the child may experience

misfortune. This indicates that men are

delegates of the family in the social

environment. All the subjects in the three

groups that were studied stated that honor is

something that is very important for them to

maintain for a man in socialization especially

when pertaining to the good name of the family.

If there was a problem related with honor,

therefore men would resort to physical means

as the most appropriate way to solve the

problem. Most of the subjects state that

nurturing patterns from parents, socialization

and educational level also determines the man's

value system. This also demonstrates that the

concept of manhood is strongly influenced by

133

pergaulan dan tingkat pendidikan juga

menentukan sistem nilai laki-laki. Hal ini juga

sekaligus menunjukkan bahwa konsep

kelelakian sangat dipengaruhi oleh lingkungan

dan bukan semata-mata ”terberi” ketika

seorang bayi laki-laki lahir hingga tumbuh

menjadi manusia dewasa dan bukan pula

semata-mata ditentukan oleh faktor biologis.

Lebih dari itu, identitas kelelakian sangat

dipengaruhi oleh harapan-harapan lingkungan

sekitar terhadap seorang laki-laki dalam

dinamika kehidupannya sehari -har i .

Mekanisme ini berjalan dengan pemberian

(pengukuh/hadiah) berupa penerimaan

oleh masyarakat jika seorang laki-laki mampu

tampil sesuai dengan yang diharapkan dan

akan mendapatkan hukuman berupa

penolakkan dan label negatif jika seorang laki-

laki berperilaku tidak sesuai dengan yang

diharapkan masyarakat (Connell dalam Allen,

2005). Sedangkan menurut Frieze (dalam

Nauly, 2002), yang menjelaskan peran budaya

pada perkembangan konsep diri laki-laki akan

berpengaruh pada peran gendernya sebagai

seorang laki-laki. Kondisi ini dimulai dengan

peran yang sifatnya wajib dijalankan oleh

seorang laiki-laki, selanjutnya melalui berbagai

alternatif, model budaya juga menyediakan

suatu daya dorong dalam skema kognitif

seseorang. Peran budaya ini dimulai dari

reward

the environment and not only “given” when a

man was born until he grows to become an

adult. It also clearly confirms that manhood is

not solely determined by biological factors.

Furthermore, the identity of manhood is

strongly influenced by expectations from the

surrounding environment . Fulf i l l ing

expectations from surroundings would act as a

reward for the man since he is accepted by the

society. In contrast, non-conformity would lead

to denial and negative labeling (Connell cited in

Allen, 2005). Meanwhile according to Frieze

(cited in Nauly, 2002), the role of culture

towards the self concept of men will influence

134

In Islam, men are the servants of

Allah that are given certain

strengths compared to women

and are expected to marry women

and able to protect and fulfill the

needs of the family. With regard to

worshipping God, men are the

leaders (imam) of the routine

prayers. Men are also perceived to

be born as leaders with by

executing the tasks in accordance

with their religious teachings

keluarga, dimana anak mengamati adanya

perbedaan perilaku pada keluarga antara ayah

dan ibu dan memasukkan informasi tersebut

kedalam kategorisasi sistem kognitifnya. Pada

skala yang lebih besar, struktur dan organisasi

sosial, misalnya struktur keluarga dalam suatu

masyarakat merupakan sumber data tempat

seorang anak mempergunakannya untuk

membentuk stereotip peran gender. Jadi aspek-

aspek budaya dari suatu masyarakat akan

mengarahkan perilaku anak melalui simbol-

simbol tertentu. Selain itu, media massa juga

menunjukkan kontribusi atas pembentukkan

norma-norma gender dengan memberikan

apresiasi bagi yang berperilaku sesuai dengan

norma gender umum dan memberikan

hukuman bagi yang melakukan penyimpa-

ngan dalam bentuk label negatif dalam suatu

pemberitaan. Teman sebaya anak-anak juga

menyingkapkan informasi budaya yang sama,

budaya akan mempengaruhi perilaku dari

model teman-teman sebaya. Budaya juga

mempengaruhi respon orang lain terhadap

anak dimana kemudian respon masyarakat

secara luas juga memberikan masukan sebagai

dasar pembentukan stereotip anak. Kesimpu-

lannya menurut Frieze (dalam Nauly, 1993) bila

anak berhadapan dengan pola-pola stimulus

sosial, ia akan membentuk suatu stereotip

gender yang cocok dengan stereotip yang ada

the gender roles of a man. This starts with some

specific roles that are obliged by men,

afterwards, through numerous alternatives, the

cultural model would push the cognitive

scheme of a person. The role of culture starts

from the family, whereby the child observes

different behaviors between father and mother.

This information is inserted in to a

categorization of the cognitive system. In a

larger scale, social structure and social

organizations in a society can become a source

of data for a child to form a stereotyping of

gender roles. Therefore the cultural aspects of a

society will direct the child's behavior through

specific symbols. In addition, the mass media

also contributes to forming gender norms by

appreciating behaviors that act consistently

with general gender norms and punishing

deviant behaviors by forming negative labels in

broadcasting particular news. The child's peer

group also opens up the same cultural

information; culture will influence the behavior

from the model of peers. Culture also influences

the response of other people towards the child

where the broad society's response will give

feedback as a basis of forming stereotypes of the

child. Frieze (cited in Nauly, 1993) concludes

that when the child faces a pattern of social

stimulus, he/she will form a particular

stereotype that is evident in the society.

135

pada masyarakat tersebut. namun bila terdapat

model yang tidak sesuai dengan pola stereotip

yang ada pada masyarakat tersebut, anak akan

memiliki alasan untuk bertanya tentang

kebenaran stereotip dan menyesuaikan skema

peran gender yang dimilikinya. Jadi dalam hal

ini budaya berinteraksi dengan perkembangan

kognitif dalam perolehan peran gender.

Melalui perilaku model-model dan melalui

respons-respons terhadap anak, budaya

memberikan masukan sensoris yang

menyajikan dasar dari stereotip gender pada

anak.

Keseluruhan idiom budaya yang diungkapkan

oleh para subjek menggambarkan laki-laki

adalah sebagai figur yang dominan dalam

keluarga serta memiliki sifat pengayom,

pemelihara serta bertanggungjawab penuh

terhadap kelangsungan hidup keluarga baik

dari sisi ekonomi, sosial dan psikologis.

Terdapat beberapa pendapat yang menarik dari

para subjek yang mengatakan bahwa dalam

ajaran agama Islam, perempuan dijadikan dari

tulang rusuk laki-laki walaupun subjek belum

mengetahui secara pasti kebenarannya. Subjek

juga memandang bahwa dalam ajaran agama,

laki-laki harus menjadi pemimpin. Semenjak

2. Pemahaman terhadap teks agama dan

idiom budaya

However, if there was a model that was

inconsistent with the patterns of the stereotype,

the child would have the opportunity to

question the validity of the stereotype and

therefore having to adjust the scheme of gender

roles that he currently holds. Therefore in this

context, culture interacts with the cognitive

development in receiving gender roles.

Through behavior models and through

responses towards the child, culture gives

sensory feedback that provides the basis of

gender stereotyping upon the child.

All cultural idioms that are expressed by the

subjects describe that men are a dominant

figure in the family and have the characteristics

of a protector and is fully responsible towards

the integrity of the family from the economic,

social and psychological aspects. There are a

number of interesting opinions among the

subjects that state that in Islamic teachings,

women are made from the ribs of men although

the subjects do not fully believe this. The

subjects also view that in religion, men must

become leaders. Since when they were born,

men were automatically leaders in the family

which holds a collective responsibility and

must have a firm stance, have a faith and belief.

2. Understanding towards religious texts and

cultural idioms

136

dilahirkan, laki-laki secara otomatis akan

menjadi pemimpin dalam keluarga yang

memiliki tanggung jawab kolektif sehingga

harus mempunyai pendirian yang tegas, punya

keimanan dan keyakinan. Sebagai seorang

pemimpin, laki-laki harus mampu memimpin

diri sendiri dan orang lain. Dalam Islam, laki-

laki adalah hamba Allah yang diberikan

kelebihan dibandingkan perempuan dan

diharapkan mengawini perempuan dan

mampu mengayomi serta menafkahi keluarga

dan dalam tata cara beribadah, laki-laki

menjadi pemimpin/imam sholat. Laki-laki juga

dipersepsikan terlahir sebagai pemimpin yang

mengemban suatu tugas tertentu sesuai ajaran

agamanya masing-masing. Pemahaman para

subjek tersebut sesuai dengan pernyataan

Kaufman (1999) yang mengatakan bahwa

dalam sistem patriarki, kaum laki-laki

mempunyai hak-hak istimewa yang didapat-

kan hanya semata-mata karena lahir dengan

jenis kelamin laki-laki. Hal tersebut kemudian

berpengaruh terhadap penciptaan dan

penginterpretasian teks-teks filosofi hidup, do-

ngeng dan mitos yang beredar termasuk pema-

haman terhadap ajaran agama yang menem-

patkan laki-laki mempunyai kedudukan yang

tinggi di masyarakat dan keluarga.

As a leader, men must be able to lead

themselves and lead other people. In Islam,

men are the servants of Allah that are given

certain strengths compared to women and are

expected to marry women and able to protect

and fulfill the needs of the family. With regard

to worshipping God, men are the leaders

(imam) of the routine prayers. Men are also

perceived to be born as leaders with by

executing the tasks in accordance with their

r e l i g i o u s t e a c h i n g s . T h e s u b j e c t ' s

understandings are in line with Kaufman (1999)

who suggests that in the patriarchy system,

men have privileges which are owned simply

because they were born as men. This influences

the creation and interpretation of life

philosophy texts, legends, and myths that are

present, including understanding towards

religious teachings that place men at a higher

status in the family and the society.

137

in the patriarchy system, men

have privileges which are

owned simply because they

were born as men

E. Perasaan seorang laki-laki

1. Perasaan sebagai laki-laki/Ayah

Ketika seseorang tercipta sebagai manusia

berjenis kelamin laki-laki adalah takdir yang

tidak dapat diubah dan disesali, kata-kata

tersebut terlontar dari salah satu subjek peneli-

tian. Rasa bangga sebagai laki-laki muncul ke-

tika berkumpul di lingkungan sosial karena

merasa lengkap sebagai seorang laki-laki yaitu

memiliki anak dan istri. Juga ketika mampu

menuruti keinginan anak dan istri serta ketika

rumah tangga berhasil dan mapan. Rasa bang-

ga bercampur puas muncul ketika mampu

menyekolahkan anak hingga lulus dengan kon-

disi ekonomi yang pas-pasan. Satu orang sub-

jek mengungkapkan bahwa harus bangga men-

jadi laki-laki. Kebanggaan tersebut dikarena-

kan keterdominanan laki-laki dalam keluarga

dan di lingkungan masyarakat misalnya, dalam

pendidikan anak di keluarga dan dalam segala

aktivitas laki-laki di lingkungan masyarakat

yang dinilai akan membawa pengaruh

terhadap nama baik keluarga. Di samping itu,

tanggungjawab laki-laki yang dirasa lebih berat

dibanding tanggungjawab seorang perem-

puan, merasa harus mengayomi perempuan,

namun juga merupakan kebanggaan tersen-

diri. Satu orang subjek menambahkan bahwa

rasa bangga sebagai laki-laki dikarenakan men-

dapat perlakukan istimewa dari orang tua

E. Feelings of a man

1. Feelings as a man/ Father

When a person is created as a man, it is a fate

that cannot be changed or regretted, these are

the words of one of the research subjects. The

pride of a man emerges when gathering with

the social environment because they feel

complete as a man because they have a wife and

child. And also when they are able to obey the

desires of the child and wife and when the

family succeeds and is wealthy. The pride is

combined with feelings of satisfaction when the

subjects are able to make their children go to

school until they graduate, although having

limited economic resources. One of the subjects

stated that they must be proud as men. This

pride is due to male dominance in the family

and the society. Men educate the child in the

family, and engage in social activities which

would influence the good name of the family. In

addition, the responsibility of men in the

society is perceived to be larger compared to the

women because they feel they must protect

women, however this also gives them a sense of

pride. One of the subjects added that the feeling

of the pride is as men because they receive

privileges from parents in childhood, namely

they were given full freedom. Sadness is felt

when the family faces a problem for example,

failure in nurturing the child and when the wife

138

semenjak kecil yaitu diberikan kebebasan

penuh. Rasa sedih muncul ketika rumah tangga

mengalami hambatan misalnya, masalah

kegagalan dalam pengasuhan anak dan ketika

istri menuntut banyak keinginan. Hal tersebut

karena laki-laki diposisikan sebagai figur yang

harus bertanggungjawab penuh dalam

keluarga. Satu orang subjek mengungkapkan

pendapat yang menarik yang mengatakan

bahwa sebagai seorang laki-laki walaupun

abnormal, tetap sebagai kepala keluarga dan

tetap bertanggungjawab pada keluarga

sehingga hal tersebut dirasa menjadi beban

walaupun ada sedikit rasa bangga yang

terselip. Terkadang ketika sedang jengkel

dengan keluarga muncul rasa ego karena

merasa yang mencari uang untuk kebutuhan

keluarga. Rasa penyesalan muncul ketika

menghukum anak secara fisik. Ada perasaan

berat dan jengkel ketika penghasilan tidak

menentu. Satu orang Subjek merasa tidak enak

jika dilihat masyarakat akan kondisinya yang

tidak mempunyai pekerjaan tetap. Ada kesan

pengangguran yang kemudian menjadi beban

mental dirinya.Ada perasaan susah dan senang

ketika mengayomi istri dan mencukupi

kebutuhan keluarga.

Hal menarik yang terdapat dalam penelitian ini

adalah bahwa para subjek berperilaku sangat

normatif ketika peneliti menyinggung

is too demanding. This is because men are

placed as figures that are fully responsible for

the family. One of the subjects conveyed an

interesting opinion, stating that even an

abnormal man remains the head of the family

and remains fully responsible for the family,

although this may be burdensome however

there would still be some implicit feelings of

pride. Sometimes when frustrated with the

family there are feelings of selfishness because

the men are the ones seeking an earning for the

needs of the family. Feelings of regret emerge

when they physically punish their own

children. Feelings of distress and frustration is

felt when income is uncertain. One subject

explained that he felt uncomfortable when

society views him as a person without a

permanent job. There is an impression that he is

unemployed and this troubles the subject.

Feelings of difficulty and happiness are felt

when protecting the wife and fulfilling the

needs of the family.

139

it is taboo to talk about their

problems, and that family

problems are the matters of

the wife at home. Therefore

there is no room for men to

talk about themselves

mengenai perasaan sebagai seorang laki-laki.

Ada suatu kesulitan untuk mengungkapkan

perasaan yang dirasakan selama ini terutama

jenis emosi negatif. Para subjek tampak

berusaha untuk bersikap bijaksana yang

menunjukkan kestabilan secara emosional.

Hal ini tampak dari perilaku non verbal yang

tersirat yaitu penuh senyuman seolah-olah

semuanya dalam keadaan baik dan harmonis.

Tampak juga perilaku para subjek yang saling

memperhatikan pendapat subjek yang lain dan

akhirnya subjek yang paling senior dan tinggi

dari sisi usia atau tingkat pendidikan serta

kedudukan sosial yang memulai berbicara

menyampaikan pendapat. Jawaban yang

dikemukakan oleh para subjek yang lain

biasanya tidak jauh beda dengan jawaban yang

diberikan oleh subjek sebelumnya, dan begitu

seterusnya sehingga tampak seakan-akan

sama. Tampaknya ada semacam “kolusi” yang

tidak tampak ketika para laki-laki berbicara

mengenai perasaan. Pada tahap wawancara

mendalam terungkap bahwa sebenarnya ada

rasa sedih, kebingungan ketika rumah tangga

dalam kondisi sulit, rasa jenuh, jengkel dan

kedongkolan ketika sedang mempunyai

masalah. Ketika peneliti berusaha mendengar-

kan secara seksama, tampak para subjek cukup

terbuka dan antusias untuk bercerita tentang

dirinya. Hal ini menunjukkan bahwa pada

dasarnya ada kebutuhan untuk didengarkan

One of the interesting findings in the study is

that the subjects were acting very normatively

when the researcher inquired about the feelings

of the subjects. There is one particular difficulty

to express feelings of negative emotions. The

subjects attempt to act wisely and demonstrate

emotional stability. This is evident from the non

verbal behaviors of the subjects implicitly

expressed for example smiles as though

everything was fine and harmonious. It seems

that the subjects' behaviors are mutually

attending to the opinions of the other subjects.

Eventually it is the senior subjects and ones

with the highest social status and educational

level who initiates the discussion and conveys

their opinions. The answers delivered by the

other subjects are usually not much different

from the answers given by earlier subjects, and

this is how the discussion had proceeded as

though the answers were all the same. There

seems to be some kind of collusion between the

subjects when they spoke of their feelings. In

the in-depth interview there were some

indications of sadness, and confusion when the

family encountered a difficult situation and

sometimes feelings of boredom, frustration and

distress when facing a problem. When the

researcher attempts to listen carefully, it seems

that the subjects are open and enthusiastic

about talking about themselves. This

demonstrates that they have needs of being

140

segala keluh kesahnya namun dalam situasi

yang lebih privat.

Peneliti berpendapat bahwa kondisi tersebut

lebih karena adanya anggapan yang beradar di

masyarakat seperti laki-laki ngrumpi dianggap

tidak wajar, jika laki-laki sedang berkumpul

sangat jarang yang saling bercerita untuk

mengungkapkan segala permasalahannya

terutama permasalahan rumah tangga. Hal itu

disebabkan para laki-laki sangat tabu untuk

menceritakan tentang permasalahannya

sendiri, dan menganggap masalah rumah

tangga adalah urusan istri dirumah. Maka

tidak ada ruang bagi laki-laki untuk

mendiskusikan tentang dirinya sendiri.

Apakah selama ini mereka terbebani ketika

harus memikul tanggung jawab sebagai

seorang laki-laki seperti yang diidealkan

selama ini, bahwa laki-laki adalah satu-satunya

tulang punggung keluarga. Bisa jadi kondisi

tersebut menyebabkan laki-laki ”menolak”

terhadap segala beban dan perasan berat yang

dirasakan karena jika larut dan tampak

bersedih hingga menangis maka ia akan di cap

sebagai laki-laki cengeng dan berkuranglah

kualitas kelelakiannya. Penelitian yang

dilakukan oleh Brody (1985) dan Manstead

(1992) mengatakan bahwa pada laki-laki

dewasa secara umum kurang dapat mengung-

kapkan segala perasaan yang dirasakan.

Temuan tersebut juga diperkuat oleh penelitian

listened to although privacy needed to be

guaranteed.

The researcher assumes that these conditions

are better because there is the assumption

spreading in the society that men who like to

gossip is not normal, and when men are

gathering, rarely would they openly speak

about their problems, let alone family

problems. This is because it is taboo to talk

about their problems, and that family problems

are the matters of the wife at home. Therefore

there is no room for men to talk about

themselves. For all this time, have they been

burdened to fulfill the responsibility of the man

they idealize? As the sole backbone of the

family? It could be that these conditions cause

men to “reject” all the burden and hardship that

is felt because if they displayed emotions of

sadness or cried they would be regarded as

weak men and therefore reducing their

manhood. According to the studies of Brody

(1985) and Manstead (1992) they suggest that

male adults generally lack the ability to express

all the feelings they experience. This finding is

confirmed by a study from Eisenberg (2001)

that suggests that men lack the ability to control

their emotions and therefore experience

difficulties when having to control their

emotional drives. This is caused by the

nurturing patterns from parents, teachers, and

responses from the peer group that cannot

141

yang dilakukan Eisenberg (2001), yang

mengatakan bahwa laki-laki kurang dapat

mengungkapkan perasaanya dan tidak mampu

mengenali emosinya sehingga mereka

kesulitan ketika harus mengendalikan segala

dorongan-dorongan emosional tersebut. Hal

ini disebabkan pola asuh orang tua, guru dan

respon dari peer groupnya yang kurang dapat

menerima jika seorang laki-laki tampak

mengekspresikan emosinya terutama emosi

negatif seperti sedih, kecewa, takut, dan marah.

Laki-laki diharapkan untuk dapat stabil dan

tegar secara emosional. Maka dapat dipahami

jika laki-laki akan berusaha tampak kuat

dengan lari ke alkohol, melakukan tindak

kekerasan sebagai kompensasi atas kelemahan-

nya dan berusaha menjadi seorang yang kuat

namun justru tampak menjadi seorang

pemarah dan egois serta keras kepala, terutama

dalam relasi rumah tangga. Belum lagi

ditambah permasalahan seputar harga diri

yang menjadi momok bagi laki-laki. Jika ada

suatu permasalahan yang menyangkut harga

diri sebagai laki-laki, maka segala cara

penyelesaian akan dilakukan termasuk tindak

kekerasan.

Selama ini ada pendapat yang beredar di

masyarakat bahwa seorang laki-laki jangan

sampai menangis atau meneteskan air mata

karena akan menurunkan derajatnya sebagai

accept the men when they express their

feelings, especially negative emotions for

example sadness, disappointment, fear, and

anger. Men are expected to be emotionally

stable and firm. Therefore it could be

understood when men try to appear strong and

eventually run to alcohol abuse or conduct

violence as a compensation of their weakness.

They strive to appear as a strong person but in

fact they are angry, selfish and stubborn

individuals, specifically in family relations.

This is not including problems related with self

esteem that haunts these men. If there is a

problem related with their self esteem as a man,

therefore all ways to solve the problem will be

done through violence.

All this time there is an opinion in the society

that men cannot drop a tear because it can

reduce their degree of manhood.Aman must be

(brave in dealing with any circumstance),tatag

142

hat men lack the ability to

control their emotions and

therefore experience difficulties

when having to control their

emotional drives

seorang laki-laki. Seorang laki-laki harus

tampil (berani menghadapi segala

sesuatu) (bertanggung jawab,ulet)

(mampu bertahan dalam kondisi

apapun). Jika ada anak laki-laki yang menangis

maka orang tuanya akan mengatakan

(sudah cukup,

anak laki-laki tidak boleh menangis). Namun

tampaknya kondisi tersebut dirasakan cukup

berat karena seorang laki-laki harus benar-

benar matang dan stabil secara emosional dan

hal itu ada kalanya cukup sulit dilakukan. Salah

seorang subjek SL yang berasal dari Maguwo,

Yogyakarta menceritakan bahwa menjadi

seorang kepala rumah tangga yang harus

memenuhi kebutuhan keluarga adalah sesuatu

yang cukup berat namun hal itu tidak

diungkapkan secara langsung. Cara bercerita-

nya pun tampak datar-datar saja tidak terlalu

mendalam dan hanya sambil lalu, kalaupun

cerita hanya pada orang-orang tertentu. Menu-

rut subjek masalah keluarga jangan sampai

tersebar luas di masyarakat. Hal itu menyang-

kut gengsi sebagai kepala rumah tangga dan

juga sebagai laki-laki terkait dengan filosofi

yang biasa menjadi

pedoman laki-laki

Pemecahan masalah ala laki-laki akan muncul

jika manyangkut tanah, perempuan, keya-

kinan, nama baik keluarga. Ketiga hal tersebut

adalah kehormatan dan harga diri laki-laki.

tatag

tanggon

tangguh

cup-cup,

anak laki-laki gak pareng nangis

tatag tanggon tangguh

.

tanggon tangguh

cup-cup,

anak laki-laki gak pareng nangis

tatag tanggon tangguh

.

(responsible, persistent) and

(able to endure any condition). If there was a

boy that cried the parents would say

(that's enough,

boys are not allowed to cry). However this

condition seems to be burdensome because

men have to be emotionally mature and stable

and this is difficult to do. One of the subjects SL

originating from Maguwo, Yogyakarta

suggested that becoming the head of the family

is quite difficult although he did not explicitly

say this. He told the story using a flat tone

without explaining much in detail, and when

telling something he would only tell some

specific people. According to the subject, it is

not good to have the family's problems out

there in the society. This jeopardizes the honor

of the head of the family and as a man related

with the philosophy that

is commonly used as a guide for men

Problem solving using the man's way will

emerge when the problems relate with land,

women, faith, and the good name of the family.

These three things are the elements of a man's

143

It seems that the problem

of honor is important and

sensitive for a man in

dealing with his problems.

Banyak istilah-istilah, khususnya dalam buda-

ya Jawa yang menggambarkan kehormatan

dan harga diri seorang laki-laki diantaranya

adalah istilah

yang artinya

selebar dahi dan sejengkal tanah akan diperta-

hankan mati-matian. Ada pula istilah lain

yaitu,

(jangan disakiti anaknya, jangan

dilecehkan istrinya, jangan dihina keyakinan-

nya) karena hal tersebut dapat membuat laki-

laki marah. Tampaknya permasalahan harga

diri merupakan sesuatu yang penting dan

sensitif bagi seorang laki-laki dalam

menghadapi setiap permasalahan.

sedumuk batuk senyari bumi ditohi

pecahing dada wutahing ludira

ojo dilarani anake, ojo digoda bojone, ojo

dicacat kerise

honor and self esteem. Several terms,

specifically in the Javanese culture that describe

a man's honor and self esteem for example

meaning as wide as the

forehead and as wide as a handful of land, it

would be fought for until death. Other terms

include,

(don't harm the child, don't abuse

the wife, and don't insult the faith) because

these things can make a man angry. It seems

that the problem of honor is important and

sensitive for a man in dealing with his

problems.

sedumuk batuk senyari bumi ditohi pecahing dada

wutahing ludira

ojo dilarani anake, ojo digoda bojone, ojo

dicacat kerise

Seringkali perbedaan pendapat dan perselisihan antar laki-laki

akan berujung pada pemecahan masalah ala laki-laki yaitu

berkelahi. Perkelahian dianggap simbolisasi kejantanan seorang

laki-laki

Arguments and conflict between men are often resolved

through a man’s way of settling matters, by fighting. Fighting

is considered a symbol of a person’s manhood

144

2. Konflik peran gender dan Ambivalensi

laki-laki

Konflik peran gender berkaitan erat dengan

sosialisasi peran gender yang relatif ketat

dalam masyarakat yang patriarki. Pada

masyarakat seperti ini kedudukan perempuan

dan laki-laki tidaklah sejajar. Nilai-nilai yang

dikaitkan dengan maskulinitas, atau yang

dianggap ideal untuk laki-laki dianggap lebih

tinggi dari pada nilai-nilai femininitas.

Stereotip maskulin pada masyarakat patriarki

seperti agresifitas, kompetisi, emosional, bila

disosialisasikan secara kaku akan menimbul-

kan konflik peran gender yang dapat berakibat

negatif baik terhadap diri pribadi, maupun

dalam berhubungan dengan orang lain.

Berdasarkan beberapa penelitian yang telah

dilakukan, konflik peran gender ini berkaitan

dengan hubungan yang negatif dengan

perempuan dan laki-laki yang lain, juga

terhadap suatu sistem norma yang berlaku di

suatu budaya tertentu. Bila dilihat pada

masyarakat Indonesia, misalnya pada suku

bangsa Batak, dengan budaya patriarkinya,

dimana dilembagakan nilai-nilai superioritas

pada laki-laki. Laki-laki Batak dalam potret

tradisional digambarkan sebagai pengang-

guran yang seharian menghabiskan waktunya

di warung kopi, sementara isterinya sejak pagi

hari "membanting tulang" di ladang, di pasar

2. Conflict of gender roles and male

ambivalence

Conflict of gender roles strongly relates with

the socialization of gender roles in the society

that is relatively strict in a patriarchic society. In

such a society the status of men and women are

unequal. The values attributed to masculinity,

or which are regarded ideal for men are

considered higher then the values of feminism.

Masculine stereotypes in a patriarchy for

example aggressiveness, competition, being

emotional, if rigidly socialized, can result in

negative impacts towards the individual and in

interacting with other people. Based on a

number of studies, conflict of gender roles

relates with negative relations between women

and other men, as well as negative relations

with norm systems that are valid in a particular

culture. When we take a look at Indonesia, for

example in the Batak ethnicity, with its

patriarchic culture, where values of male

superiority are institutionalized, Batak men are

traditionally portrayed as daily unemployed

and spends most of their time in the coffee café,

while the wife works hard in the field from

morning, goes to the market and returns home

at night. This phenomenon appears to be

simply accepted by the Batak women as a

cultural reality and Batak men accept this

condition as a privilege which was destined

145

dan bahkan juga di rumah pada malam

harinya. Fenomena ini oleh perempuan batak

seakan diterima sebagai realitas budaya dan

bagi laki-laki batak, ini dianggap sebagai

previllage (keistimewaan) yang memang

datang dengan sendirinya hanya karena

seseorang dilahirkan dengan jenis kelamin laki-

laki. Konflik peran gender pada perempuan

tentu sudah banyak yang membahasnya.

Bagaimana dengan laki-laki batak, apa yang

mereka pikirkan tentang "realitas budaya"

tradisional itu? Dalam perkembangannya

kemudian, laki-laki batak di satu sisi mulai

merasa tidak fair, namun tidak mudah juga

bagi mereka untuk keluar dari realitas tersebut.

Perasaan tidak adil, tentu saja, selalu kalah

dengan kenikmatan previllage budaya batak

itu, sehingga konflik tersebut tak pernah bisa

diselesaikan. Laki-laki batak yang kemudian

sukses keluar dan memenangkan konflik

tersebut dengan solusi adalah mereka

yang tersadar oleh faktor eksternal misalnya

akulturasi lintas budaya. Hal ini lebih karena

dominasi laki-laki pada masyarakat ini tampil

dalam norma-norma yang dijalani. Laki-laki

pada masyarakat ini yang membentuk

kelompok kekerabatan, memiliki hak bicara

dan memutuskan dalam permasalahan adat.

Peran sebagai laki-laki ini disosialisasikan

dengan ketat, dari orang tua kepada anak-

anaknya, demikian pula institusi-institusi yang

win-win

upon them when they were born as men.

Certainly there are large discussions

addressing conflict of gender roles among

women. What about Batak men? What do they

think about this traditional “cultural reality”?

In its progress, Batak men, in one aspect begun

to feel a sense of unjust, however it is certainly

not easy to let go of this reality. Feelings of

unjust are surely present, but it would always

lose ground to the joys of the privilege

originating from the Batak culture, and

therefore the conflict is never actually resolved.

Batak men who succeed and detach themselves

from the reality and solve their conflict with a

win-win solution are those who are aware of the

external factors for example cross-cultural

acculturation. This is largely because of male

dominance in the society which displays the

norms that are practiced. It is the men in the

society who form the social groups, who have a

right to speak and decide problems in the

146

the researcher also found a

number of ambivalences within

a man that sometimes

contributes to conflict in

gender roles. There are a

number of beliefs that create

internal conflicts within a man

ada, seperti kelembagaan adat. Menurut teori

konflik peran gender pada pria, kondisi inilah

yang menimbulkan konflik peran gender pada

pria. Dengan menjalani sendiri bagaimana

peran-peran untuk menjadi pria itu

ditanamkan, namun dihadapkan pada

kenyataan yang kadang kala berlainan, seperti

keberhasilan para ibu-ibu Batak dalam

perdagangan. Ketidaksesuaian antara yang

normatif dibanding pada kenyataannya

tentunya menimbulkan konflik. Peran gender

yang pada awalnya diterima, kemudian

menimbulkan suatu ambivalensi karena pada

kenyataannya tidak sesuai dengan peran

tradisional (Nauly, 2002).

Dalam penelitian ini, peneliti juga menemukan

beberapa ambivalensi dalam diri laki-laki yang

terkadang juga berkontribusi terhadap

terjadinya konflik peran gender. Ada beberapa

keyakinan yang menimbulkan konflik batin

dalam diri pribadi laki-laki, diantaranya

adalah:

a.

Konflik ini terjadi ketika seorang laki-laki

dihadapkan pada suatu permasalahan dan

mempersepsikan dirinya kedalam dua buah

kutub kelelakian, yaitu harus tampil sebagai

laki-laki yang kuat baik secara fisik maupun

mental atau sebagai laki-laki yang lemah. Dua

Diri kuat vs Diri lemah sebagai laki-laki

custom. The role of men is strongly socialized,

from parents to their children, and this also

applies for existing institutions, for example

customary institutions. According to the theory

of conflicts of gender roles among men, this is

the condition that causes conflict of gender

roles among men. On one hand, they gain

experiences on how the roles of being a man are

instilled, however they are also faced with the

reality that sometimes different conditions are

present, for example the success of Batak

women in trade. Incongruence between the

norms and the reality would certainly lead to

conflict. Gender roles that were initially

accepted later created ambivalence because it

was inconsistent with the traditional roles

(Nauly, 2002).

In this study, the researcher also found a

number of ambivalences within a man that

sometimes contributes to conflict in gender

roles. There are a number of beliefs that create

internal conflicts within a man, namely:

This conflict occurs when a man is faced with a

problem and perceives himself in two extreme

poles of manhood, namely appearing as a

strong man who is physically and mentally

strong, or a weak man. These two poles of

manhood emerge from a small age until he

a. Man's strong self vs. man's weak self

147

kutub kelelakian ini muncul semenjak seorang

laki-laki berusia kanak-kanak hingga dewasa.

Ketika masa kanak-kanak, kita sering

mendengar perkataan seperti, “ayo anak-anak

laki-laki harus kuat!”, ataupun olok-olokan

seperti “masak anak laki-laki tidak kuat lari”,

“anak laki-laki kok tidak berani berkelahi !”.

Perkataan tersebut sering muncul dalam

keluarga melalui pola asuh orang tua atau

lingkungan sepermainan anak-anak dan

biasanya di ikuti dengan semangat kompetisi

dengan anak laki-laki lainnya, misal adu

pancho, adu lari, angkat berat, dan lain-lain.

Pada masa ini, untuk yang pertama kalinya

seorang anak laki-laki akan mengidentifikasi

dirinya sendiri dan orang lain disekitarnya

bahwa ada orang yang kuat dan ada yang

lemah, sekaligus seorang anak laki-laki akan

mengenali lawan jenisnya yaitu anak

perempuan sebagai individu yang tidak

terbiasa dengan kekuatan sehingga berbeda

dengan dirinya. Sebagai anak laki-laki, maka

tidak boleh terlihat lemah karena jika terlihat

lemah maka akan mendapat hukuman berupa

olok-olok dari teman sebayanya dan akan

mendapatkan rasa malu. Perasaan malu inilah

sebagai awal terbentuknya sikap sensitif

terhadap harga diri laki-laki yang akan terbawa

hingga dewasa. Ketika seorang laki-laki

t u m b u h m e n j a d i m a n u s i a d e wa s a ,

permasalahan yang dihadapi tidak lagi bersifat

grows to an adult. When being a child, we often

hear “C'mon boys must be strong” or remarks

for example “Don't tell me boys can't run”,

“Don't tell me boys can't fight!” These remarks

are often heard within the family through

parental nurturing or from the peer

environment and usually this would lead to a

spirit to compete with the other boys for

example, arm wrestling, running competitions,

weight lifting, and etc. In this phase, for the first

time a boy would identify himself with other

people in terms of whether he is weak of strong,

and they would be acquainted with people of

the opposite sex who are not familiar with

strength and therefore different from the boys.

As a boy they are not allowed to appear weak or

they would receive punishment in form of

teasing from their peers which would

148

He must acknowledge the reality

that the person possesses

numerous weaknesses and that

sometimes there is a demand for

him to appear as a strong figure.

This sometimes lead men to

strive to appear strong in both

physical and mental aspects.

tantangan fisik sebagaimana ketika berusia

kanak-kanak, namun lebih bersifat sosial

psikologis. Maka kita sering mendengar aturan

seperti “laki-laki pantang untuk menangis”

ketika menghadapi permasalahan hidup,

karena akan dianggap lemah dan cengeng.

Ataupun bentuk perilaku lain yang menunjuk-

kan usaha untuk tampil sebagai sosok yang

kuat dengan selalu berusaha untuk tegar serta

bijak dalam menghadapi permasalahan hidup.

Namun ada kalanya tidak semua laki-laki

mampu bersikap seperti yang disyaratkan ter-

sebut dan hal ini terkadang menimbulkan

pertentangan dalam diri seorang laki-laki,

antara kenyataan bahwa adakalanya dirinya

membutuhkan pengakuan jujur akan beberapa

kelemahan yang dimiliki dan tuntutan agar

tampil menjadi seorang laki-laki yang kuat. Hal

ini terkadang membuat laki-laki akan melaku-

kan apa saja agar dianggap kuat baik secara

fisik dan mental.

Pertentangan ini terjadi sebagai bentuk

perkembangan dari ambivalensi diri kuat

versus diri lemah yang muncul dalam bentuk

jiwa kompetitif yang melahirkan ambivalensi

menang versus kalah dalam suatu urusan. Hal

ini dapat kita lihat dalam rentang sejarah

kehidupan seorang laki-laki yang sangat

b. Menang vs Kalah sebagai laki-laki

embarrass them. This feeling of embarrassment

is the beginning of forming a sensitive attitude

towards a man' self esteem that would be

brought until adulthood. When a man becomes

an adult, the challenges he faces no longer are in

forms of physical challenges as was the case in

childhood, however it is largely socio-

psychological. Often we hear remarks like

“men don't cry” when dealing with a problem,

because they would be regarded as weak. Or

there are other behaviors to try to appear as a

strong figure by always trying to be strong and

wise when dealing with a life problem. But men

are not always able to act in this manner and

sometimes this leads to internal conflict within

the man. He must acknowledge the reality that

the person possesses numerous weaknesses

and that sometimes there is a demand for him to

appear as a strong figure. This sometimes lead

men to strive to appear strong in both physical

and mental aspects.

This conflict emerges as a form of development

from the ambivalence of the strong self versus

the weak self that emerges from a competitive

mind that leads a man to strive to win in all

matters. We can observe this from the course of

history of a man who is highly accustomed to a

competitive nature so that they would be

b. Winning vs. losing as a man

149

terbiasa dengan sifat kompetitif agar

dipandang kuat sehingga harus menang. Anak

laki-laki kecil yang terbiasa bermain mobil-

mobilan atau robot-robotan lambat laun akan

mengarah pada pencarian siapa yang paling

kuat, paling cepat, paling bagus dan paling

is t imewa mainannya dan terkadang

adakalanya hingga berkelahi. Pada usia remaja,

jiwa kompetitif ini terlihat misalnya ketika dua

remaja laki-laki bersaing untuk mendapatkan

cinta seorang gadis yang sama-sama mereka

sukai, maka segala cara akan dilakukan untuk

memenangkan persaingan tersebut. Juga

ketika seorang remaja laki-laki dihadapkan

pada permasalahan dengan remaja laki-laki

lain yang terkadang berakhir dengan

pemecahan ala laki-laki yaitu berkelahi.

Muncul rasa gengsi jika sampai kalah atau

merasa takut dalam suatu persaingan yang

akan membuatnya malu dalam pergaulan

sesama laki-laki sehingga seorang remaja laki-

laki akan berusaha sekuatnya untuk menang

termasuk dengan mencari kawan yang

sebanyak-banyaknya atau dengan mengikuti

kelompok-kelompok tertentu dalam rangka

mencari dukungan. Contoh yang ekstrem

adalah munculnya geng-geng motor laki-laki

yang bernuansa penuh kekerasan dan

mengandung semangat kompetitif antara geng

s a t u d e n g a n y a n g l a i n n y a u n t u k

viewed as a strong person that must always

win. Boys are used to playing with cars or

robots and this would gradually lead to the

conclusion on who is strongest, fastest and who

has the best toys and sometimes this

competitiveness would lead to fights. In early

adolescence, this competitiveness is apparent

when they compete to win the love of a girl of

who they are both fond of, and therefore they

would go through all measures to win this

competition. Also when a male adolescent is

faced with a problem with another male,

sometimes the problem is settled using a man's

way of settling things, namely fighting. The

person's honor would be damaged if he loses or

is afraid in a competition and would make him

embarrassed to socializing with other male

adolescents and therefore men would always

try to win by seeking many friends or by

150

in family relations, a wife that has

larger income compared to the

husband, if the husband saw this as

competition where he feels

threatened and feels that he loses

from the financial aspect therefore his

self esteem as the head of the family

will be damaged and he would act

upon all means to restore dominance

memperebutkan suatu wilayah kekuasaan.

Jiwa kompetitif ini adakalanya terbawa hingga

dewasa dan mewarnai dalam setiap

pemecahan permasalahan yang dihadapi. Jika

seorang laki-laki melihat dengan kacamata

kompetitif terhadap segala permasalahan yang

dihadapi, sadar ataupun tidak, maka akan

selalu ada pihak yang harus menang dan ada

pihak yang dianggap kalah. Misalnya dalam

relasi rumah tangga, seorang istri yang

memiliki penghasilan lebih besar dari suami,

jika suami melihat hal ini merupakan suatu

persaingan dimana ia merasa terancam dan

merasa kalah dari segi finansial maka harga

dirinya sebagai kepala rumah tangga akan

tercoreng sehingga ia akan melakukan upaya

dominasi agar tetap dipandang “menang” dari

sang istri.

Keadaan ini terjadi ketika seorang laki–laki

dihadapkan pada tuntutan masyarakat untuk

membuktikan bahwa dirinya adalah benar-

benar seorang laki-laki sejati dan hal ini sangat

dipengaruhi oleh budaya. Dalam penelitian ini

misalnya, seorang laki-laki tidak cukup

terbukti sebagai laki-laki sejati jika hanya

mengandalkan atribut fisik. Seorang laki-laki

akan dianggap benar-benar laki-laki jika

mampu menikahi perempuan dan mampu

c. Terbukti vs Tidak terbukti sebagai laki-laki

seeking particular groups in search for support.

An extreme example is the presence of male

motorbike gangs that are marked with violent

behavior and competition between one gang

with another to compete for regional space.

This competitive character is sometimes carried

over to adulthood and influences the ways of

problem solving for each problem that is faced.

If men viewed each problem with a competitive

aspect, therefore in each problem there would

always be a winner and a loser. For example in

family relations, a wife that has larger income

compared to the husband, if the husband saw

this as competition where he feels threatened

and feels that he loses from the financial aspect

therefore his self esteem as the head of the

family will be damaged and he would act upon

all means to restore dominance.

This situation occurs when a man is faced with

the demands of society to prove that he is a true

man and this is strongly influenced by culture.

In this study for example, it is not enough to be

considered a true man merely from the physical

attributes. A man would be considered a true

man if he was able to marry a woman and have a

child. This is because many men have male

physical appearances but from their mental

aspects are gay or transvestites and this

c. Proven vs. unproven as a man

151

mendapatkan keturunan. Hal ini dikarenakan,

banyak para laki-laki yang secara fisik adalah

berjenis kelamin laki-laki namun secara mental

adalah gay atau waria dan hal ini sekaligus

menunjukkan adanya dominasi laki-laki yang

berorientasi heteroseksual terhadap kelompok

laki-laki lain yang memiliki orientasi seksual

yang berbeda. Disamping itu masih banyak

atribut dan aturan tak tertulis sebagai syarat

pembuktian kelelakian yang didapat oleh laki-

laki sepanjang rentang kehidupannya dari

kanak-kanak hingga dewasa, seperti harus

berani berkelahi, pantang untuk menangis,

mampu menikahi perempuan, mampu

mendapatkan keturunan, kemampuan kontrol

terhadap perempuan, tidak boleh mengeluh,

dan lain-lain. Tentunya atribut dan aturan

tersebut sesuai dengan situasi budaya dan

kultur masyarakat tempat seorang laki-laki

hidup dan menetap. Tidak semua laki-laki

mampu dan setuju dengan standar kelelakian

tersebut. Para laki-laki yang tidak mampu dan

tidak bersedia mengikuti standar kelelakian

tersebut tentunya akan ditolak oleh kelompok

laki-laki lain yang lebih besar dan disinilah

muncul hegomoni maskulinitas yaitu tekanan

kelompok laki-laki mayoritas terhadap

kelompok laki-laki minoritas. Terkadang hal ini

juga menimbulkan konflik tersendiri dalam

diri laki-laki.

indicates male dominance oriented towards

heterosexuals towards other male groups who

have different sexual orientations. In addition

there remains a large body of attributes and

informal laws that function as a precondition to

prove that he is a true man all through his life

course from childhood to adulthood, for

example, having to be brave to fight, never cry,

able to marry a woman, able to have a child, able

to control their woman, not allowed to

complain and etc. These attributes and laws are

certainly consistent with cultural situations of

the society of where this person lives and

resides. Not all men are able and willing to meet

these manhood standards. Men that are unable

and unwilling to conform to these standards

will be rejected from other larger male groups

and this is where the hegemony of masculinity

emerges, referring to the pressure from the

majority male group towards the minority male

group. Sometimes this leads to an internal

conflict within the men themselves.

152

that men must have emotional and

intellectual maturity and in fact not

all men earn these qualities. Several

men have even encountered

difficulties in distinguishing between

a protecting figure and a selfish one

d. Pengayom vs Egois

Hal ini banyak dialami oleh laki-laki dalam

suatu relasi dengan perempuan namun tidak

menutup kemungkinan dalam relasi sesama

laki-laki sendiri. Dalam penelitian ini

terungkap bahwa laki-laki dalam budaya

patriarki harus mempunyai jiwa pengayom

dan pelindung terutama terhadap kaum

perempuan atau pihak lain yang dianggap

lebih lemah. Maka hal ini mempunyai

konsekuensi bahwa laki-laki harus mempunyai

kematangan emosional dan intelektual dan

ternyata tidak semua laki-laki mampu. Banyak

pula kemudian yang justru kesulitan

membedakan antara bersikap mengayomi dan

egois. Dalam relasi pernikahan misalnya,

seorang suami yang bermaksud mengayomi

keluarganya dengan menetapkan aturan-

aturan tertentu yang harus diikuti oleh seluruh

anggota keluarga yang lain dengan maksud

mengayomi, namun terkadang aturan yang ia

buat tidak mencerminkan aspirasi dan

kebutuhan tiap-tiap anggota keluarga atau

bahkan aturan tersebut dilanggar oleh dirinya

sendiri.Ataupun seorang suami yang melarang

istrinya bekerja atau beraktivitas dengan alasan

cukup dirinya saja sebagai kepala keluarga

yang mencari nafkah dan ada kekhawatiran

jika terjadi sesuatu yang buruk menimpa

istrinya jika beraktivitas di luar. Padahal

d. Protector vs. Selfishness

This is largely experienced by men related with

women however this may also occur between

men themselves. In this study, men in a

patriarchic culture must be a protecting figure,

mainly towards women or other parties that are

considered weak. Therefore this implies that

men must have emotional and intellectual

maturity and in fact not all men earn these

qualities. Several men have even encountered

difficulties in distinguishing between a

protecting figure and a selfish one. In marriage

for example, a husband that intends to protect

his family will establish some rules that must be

obeyed by all members of the family with his

intention to protect, however sometimes the

rules that he makes does not accommodate the

aspirations and needs of the family members or

sometimes the rules are violated by the man

himself. Or a husband may forbid his wife to

work and do activities with the reason that as

the head of the family his earning is sufficient to

meet the needs of the family and there is a

concern that something bad might happen to

the wife if she engages in activities outside the

home. Meanwhile, as a human being, the wife

wants to develop her potential to engage in

activities in line with her talents and interests.

This indicates the confusion in distinguishing

the functions of protection and characteristics

153

sebagai seorang manusia, sang istri ingin juga

m e n g e m b a n g k a n p o t e n s i n ya u n t u k

beraktivitas sesuai bakat dan nalurinya. Hal ini

menunjukkan adanya kebingungan dalam

membedakan fungsi pengayoman dan sifat

egois, juga sekaligus menunjukkan adanya

relasi yang tidak setara dalam rumah tangga.

Dalam kehidupan laki-laki yang sudah

berkeluarga maka dalam budaya patriarki

mensyaratkan bahwa laki-laki adalah seorang

tulang punggung keluarga yang harus

bertanggung jawab penuh terhadap

kelangsungan hidup anggota keluarga yang

lain. Hal ini terkadang banyak menjadi beban

ketika ia merasa berat dan tidak mampu. Maka

dalam hal ini, seorang laki-laki akan merasa

teruji sebagai seorang laki-laki sekaligus kepala

keluarga. Maka tak heran jika kemudian dalam

penelitian ini terungkap bahwa menjadi kepala

keluarga yang harus bertanggung jawab penuh

dalam keluarga adalah hal yang cukup berat.

Rasa berat ini terkadang banyak menimbulkan

masalah psikologis seperti stress dan depresi

hingga mempengaruhi kulitas hidup

seseorang. Hal ini terkadang diperberat

dengan sorotan masyarakat terhadap kondisi

keluarga seorang laki-laki yang menjadi

e. Bertanggung jawab vs Tidak mampu

bertanggung jawab sebagai laki-laki

of selfishness, and also indicates the unequal

relations within the family.

In the patriarchic culture, men are obliged to be

the backbone of the family that must be fully

responsible for the integrity of the other family

members. This sometimes becomes a burden

when he feels it difficult to achieve or feels

incapable. Therefore in these circumstances, a

man will be tested as a man and as the head of

the family. It is not surprising that in this study

the men admit that it is a large burden to be

head of the family and to be fully responsible

for the family. This burden sometimes leads to

e. Responsible vs. irresponsible as a man

154

the men admit that it is a large

burden to be head of the family

and to be fully responsible for

the family. This burden

sometimes leads to

psychological problems for

example stress and depression

tanggung jawabnya. Kemampuannya untuk

menjadi sosok yang bertanggung jawab dalam

keluarganya akan mempengaruhi pula nama

baik anggota keluarga yang lain di mata

masyarakat.

Seluruh ambivalensi yang terjadi dalam diri

laki-laki tersebut senantiasa mewarnai

kehidupannya selama rentang kehidupan yang

di lalui. Penyelesaian yang positif tentunya

tidak akan menimbulkan konflik batin yang

berkepanjangan yang berakibat buruk bagi diri

pribadi dan orang lain yaitu keluarga dan

masyarakat, namun jika tidak mampu di atasi,

maka akan menyebabkan lemahnya harga diri

yang selanjutnya akan berpengaruh pula

terhadap konsep dirinya. Konsep diri yang

negatif akan mempengaruhi pula kualitas

hubungan dengan pasangan dalam rumah

tangga.

psychological problems for example stress and

depression and influences a person's quality of

life. This is sometimes aggravated by public

scrutiny towards the condition of the family

which becomes the responsibility of the man.

His ability to become a responsible figure in the

family would influence the good name of the

other family members in the eyes of the society.

All ambivalences that occur within a man will

always influence a man during the course of his

life. Resolving the issue positively would cer-

tainly not lead to prolonged internal conflict,

however if he failed to overcome this ambiva-

lence, this would lead to a weak self esteem that

would influence the person's self concept. A

negative concept will influence the quality of

relationship with the spouse and family.155

156

F. Konflik dan Kekerasan Dalam Rumah

Tangga

1. Penyebab Kekerasan Dalam Rumah Tangga

Kondisi dan situasi peradaban dunia yang

terus berubah saat ini telah membawa

kemajuan yang pesat pada kaum perempuan

baik dalam pendidikan, pekerjaan dan status

sosial. Hal ini harus diakui telah membuat

kesenja-ngan gender antara laki-laki dan

perempuan semakin menyempit, namun

demikian dapat menjadi salah satu sebab

meningkatnya kasus kekerasan terhadap

perempuan, baik dalam rumah tangga maupun

publik. Kunci persoalan terletak pada kultur

patriarki yang yang menyebabkan kaum laki-

laki terbelenggu dalam konsep maskulinitas

tradisional yang selalu berperan sebagai sosok

yang superior agar mereka dapat menjaga citra

kelelakiannya. Maka tak heran jika gerakan

kesetaraan gender dimaknai sebagai gerakan

melawan laki-laki atau gerakan perempuan

versus laki-laki.

Tindak kekerasan terhadap perempuan adalah

gejala yang kompleks, berakar sangat dalam

pada hubungan gender yang tidak setara,

seksualitas, harga diri dan kelembagaan sosial

di masyarakat. Upaya untuk menghilangkan-

nya selalu berhubungan dengan dengan latar

F. Conflict and Domestic Violence

1. Causes of Domestic Violence

The constantly changing world civilization has

lead to rapid progress for women in education,

work, and social status. We must acknowledge

that this has narrowed down the disparities

between men and women inequality, however

this may also become the one of the causes of

violence against women, in both the domestic

and public domain. The key to the problem lays

on patriarchic culture that causes men to be

confined in the concepts of traditional

masculinity that always plays the role as a

superior figure to reinforce their manhood

image. Therefore it is not surprising that gender

equality is perceived as a movement against

men or a women movement against men.

Violence against women is a complex

phenomenon, and strongly rooted within

unequal gender relations, sexuality, self esteem

and social institutions in the society. The

initiatives to eradicate it always relates with the

background of trust and cultural traditions as

well as social structures in the society (Cholil,

1996). The passing of Law No.23 year 2004

about the eradication of domestic violence is

one of the outcomes of efforts conducted by

several parties including the government,

157

belakang kepercayaan dan tradisi budaya serta

struktur sosial dalam masyarakat (Cholil,

1996). Upaya yang dilakukan oleh pemerintah

dan LSM beserta semua pakar dan seluruh

potensi pembangunan yang ada adalah dengan

terbit dan disahkannya undang-undang

Republik Indonesia No.23 tahun 2004 tentang

penghapusan kekerasan dalam rumah tangga

(KDRT). Bahwa segala bentuk kekerasan

terutama dalam rumah tangga, merupakan

pelanggaran hak asasi manusia dan kejahatan

terhadap martabat kemanusiaan serta bentuk

diskriminasi yang harus dihapus di muka bumi

ini. Lebih lanjut lagi, Hanner dan Saunders

(dalam Sciortino, 2000) mengemukakan

kerangka konseptual beserta definisi hubu-

ngan gender di masyarakat yang menegaskan

bahwa bidang publik secara inheren keras dan

berbahaya bagi perempuan sehingga dia harus

mencari perlindungan suami dan keselamatan

di rumah. Hal ini menunjukkan adanya

keadaan sosial yang tidak adil dan tidak

seimbang dimana perempuan harus dalam

posisi yang selalu mencari perlindungan dan

pengayoman sehingga terkadang mempunyai

posisi tawar yang lemah, sedangkan laki-laki

cenderung sebagai figur pengayom dan

pelindung sekalipun terkadang banyak dari

kaum laki-laki yang tidak mampu harus selalu

dalam posisi ini.

NGOs, and experts. All forms of violence,

primarily in the family, are a violation of human

rights and crime to the honor of human as a

form of discrimination that must be erased from

this earth. Furthermore, Hanner and Saunders

(cited in Sciortino, 2000) stated that the

conceptual framework as well as the definition

of gender relations in the society confirms that

the public domain is too harsh and dangerous

for women, for they must always seek

protection from the husband and must remain

safe at home. This demonstrates an unjust and

unbalanced social condition where women are

always in a position that always seeks

protection and therefore leads to a weak

bargaining position, while men tend to be as

protecting figures although not all men are able

to fulfill this position.

A number of findings demonstrate that the

image of a man in the eyes of the patriarchic

society are as protecting figures, backbone of

the family, main figures who seek an earning

that must be persistent and strong. This

position has a social and psychological

precondition that must be owned by men

before they bear the main position in the family

and the society. Therefore when a man fails and

feels incapable or does not fulfill those

preconditions; he will be trapped in

psychological distress of which will attack his

self esteem. Meanwhile, women are safer from

158

Beberapa temuan dalam penelitian ini

memaparkan bahwa citra diri laki-laki pada

masyarakat patriarki adalah sebagai sebagai

seorang pengayom, tulang punggung

keluarga, pencari nafkah utama yang harus

gigih dan kuat. Posisi tersebut mempunyai

prasyarat sosial dan psikologis sebagai modal

yang harus dimiliki oleh laki-laki sebelum

mengemban atau menduduki posisi utama di

dalam keluarga dan di masyarakat. Maka

ketika seorang laki-laki gagal dan merasa tidak

mampu atau memang tidak memiliki beberapa

prasyarat kelelakian tersebut, dia akan terjebak

pada tekanan psikologis yang luar biasa yang

akan menyerang harga dirinya. Sedangkan

kaum perempuan lebih merasa aman dari

ketertekanan psikologis ketika dalam status

menganggur karena dalam kultur masyarakat

patriarki, perempuan justru dituntut untuk

berada di rumah sebagai ibu rumah tangga

(Darwin, 2007).

Tindakan yang dilakukan oleh laki-laki atau

suami ketika terjadi konflik yang tergolong

tindak kekerasan terhadap istri yang terungkap

dalam penelitian ini yaitu menggunakan

kekerasan verbal berupa kata-kata kasar

sampai kekerasan fisik yaitu menampar,

menendang, memukul, dan berkata-kata kasar

yang mengandung maksud pelecehan.

Menurut subjek penggunaan kekerasan fisik

dilakukan karena alasan kondisi lelah dan

psychological distress when they are

unemployed because in the patriarchic culture

they are demanded to stay at home as a

housewife (Darwin, 2007).

The actions conducted by men or husbands at

the moment of conflict categorized as violence,

include verbal violence in form of cursing to

physical violence for example slapping,

kicking, hitting. According to the subject, the

use of physical violence is done because he is

exhausted and the inability to control himself.

Some say that violence is used when the wife

talks too much for example; the husband says

one thing and the wife would respond by

saying two things. This demonstrates the poor

159

when a man fails and feels

incapable or does not

fulfill those preconditions;

he will be trapped in

psychological distress of

which will attack his self

esteem

tidak dapat mengendalikan diri. Ada yang

menyatakan bahwa penggunaan kekerasan

dilakukan apabila isteri terlalu banyak bicara

misalnya suami bicara sekali isteri menjawab

dua kali. Hal ini menunjukkan kemampuan

regulasi emosi dan kontrol diri yang lemah

sehingga mudah terpancing melakukan tindak

kekerasan ketika kontrol rasio menurun akibat

lelah dan stres atas segala beban yang dipikul

sebagai tulang punggung keluarga.

Ada perbedaan mendasar antara marah dan

menjadi pemarah. Mengekspresikan rasa

marah adalah hal yang wajar dan normal

dialami oleh setiap manusia, namun menjadi

pemarah adalah tidak wajar. Cara mengeks-

presikan emosi marah dengan memilih

menjadi seorang pemarah dan bertindak

agresif pada pasangan adalah hal yang tidak

normal serta tidak dibenarkan, apa pun

alasannya.

Peran laki-laki sebagai wakil atau penghubung

antara lingkungan keluarga dengan lingku-

ngan sosial di luar keluarga juga cukup mem-

bebani, karena segala tindak-tanduk laki-laki

akan selalu diawasi oleh lingkungan masya-

rakat dan baik atau buruk perilaku laki-laki

akan berpengaruh terhadap cara pandang

masyarakat sekitar terhadap suatu keluarga.

Hal tersebut masih ditambah dengan tidak

adanya ruang bagi laki-laki untuk mendiskusi-

ability to regulate emotion as well as weak

abilities in self control therefore easily

triggering them to perform acts of violence

when rational control has declined due to

exhaustion and stress due to the burdens of

being the backbone of the family.

There is a fundamental difference between

anger and an angry person. Expressing anger is

common and normally experienced by each

human being, however being an angry person

is not normal. The ways of expressing anger by

choosing to become an angry person and acting

aggressively to the spouse is not normal and

cannot be justified on any grounds.

The role of men as delegates between the family

and the social environment is considerable

burdensome, because all the actions of the

husband will be evaluated by the social

environment and the negative and positive

behaviors of the man will influence the way

society views the family. This is in addition to

the absence of a room to discuss feelings and

anxieties that are felt without having to feel

ashamed or without threatening the man's self

esteem. This condition is not much different

from the results of studies revolving around

domestic violence conducted by Romeo B. Lee

in Philippines. The results of the study

demonstrate that several men in Philippines

position themselves as the main backbone in the

160

kan segala perasaan dan kecemasan yang

dirasakan tanpa harus merasa malu atau

terserang harga dirinya. Kondisi tersebut tidak

jauh berbeda dengan hasil penelitian seputar

kekerasan dalam rumah tangga yang dilaku-

kan oleh Romeo B. Lee di Filipina. Hasil pene-

litian tersebut menunjukkan bahwa banyak

para laki-laki di Filipina yang memposisikan

dirinya sebagai tulang punggung utama

keluarga yang mempunyai kewenangan penuh

terhadap anggota keluarga yang lain. Para

subjek laki-laki yang diteliti, mempunyai

pandangan bahwa tanggung jawab sebagai

seorang laki-laki, disamping harus mampu

mencukupi kebutuhan finansial keluarga juga

bertanggung jawab terhadap penentuan peran

gender yang dilakukan oleh istri dalam wilayah

domestik (Lee, 2004). Hal tersebut menunjuk-

kan bentuk dari praktik sistem maskulinitas

tradisional yang menempatkan laki-laki

sebagai seorang yang superior sekaligus

menunjukkan adanya keistimewaan secara

kultural yang dimiliki oleh laki-laki. Kondisi ini

bagaikan dua hal yang bertolak belakang yang

mungkin tidak disadari sepenuhnya oleh kaum

laki-laki, di satu sisi ia diharapkan menjadi

seorang yang superior dalam keluarga dan

lingkungan sosial sehingga merasa mendapat

keistimewaan dari posisi tersebut, namun di

sisi lain ada banyak kaum laki-laki yang tidak

mampu memenuhi prasyarat kelelakian seperti

family that has full authority towards the other

members in the family. The male subjects that

were studied, have the perception that the

responsibility of a man, in addition to fulfilling

the financial needs of the family, must also be

responsible towards deciding the gender roles

performed by the wife in the domestic domain

(Lee, 2004). This demonstrates that the form of

the traditional masculine system places men as

a superior person and also demonstrates that

men enjoy privileges which originate from

cultural values. This conditions resembles two

contradicting conditions which is not fully

recognized by men themselves, in one aspect he

expects to become a superior person in the

family and the social environment so that he

feels privileges from this position, however on

other aspects there are several men that are

incapable to fu l f i l l those manhood

preconditions as expected by the social

environment. Therefore it is not surprising that

the initiatives to eliminate violence towards

women experience some drawbacks because

men feel they have lost their privileges which

were granted by the patriarchic culture.

Several of those conditions demonstrate that

being a man in the family is something that is

very burdensome although it is prideful. All of

the men's actions in the society will bring an

influence to the good name and sustenance of

161

yang diharapkan oleh lingkungan masyarakat.

Maka tak heran jika terkadang usaha pelibatan

laki-laki dalam penghapusan kekerasan

terhadap perempuan mengalami hambatan

karena para kaum laki-laki merasa akan

kehilangan hak-hak keistimewaan dari kultur

patriarki.

Berbagai kondisi tersebut menunjukkan bahwa

menjadi laki-laki dalam rumah tangga adalah

hal yang sangat berat sekalipun membang-

gakan. Segala tindak tanduk laki-laki di masya-

rakat akan membawa pengaruh terhadap nama

baik dan kelangsungan hidup keluarga. Maka

secara tidak sadar, laki-laki seakan-akan

merasa berjuang sendiri dalam menopang

kehidupan rumah tangga. Kondisi tersebut

menyebabkan banyak laki-laki beranggapan

bahwa istri hanyalah sebagai pelengkap dan

bukan partner yang dapat diajak bekerja sama

dalam suatu relasi yang setara dan seimbang.

Penelitian lain juga menemukan keterhubu-

ngan antara tingkat konformitas laki-laki pada

nilai-nilai maskulinitas yang diharapkan oleh

masyarakat terhadap tingkat stres dan

kecemasan. Keterhubungan tersebut dapat

dijelaskan bahwa ketika kekuatan, kekuasaan

dan kesuksesan serta kekayaan yang selama ini

dikenal sebagai tolok ukur derajat kelelakian

tidak dapat dipenuhi maka laki-laki akan

the family. Therefore, unnoticeably, men feel as

though they are struggling alone in supporting

the family. This condition causes several men to

regard that the wife is only complementary and

not a partner that can be asked to cooperate

with in a fair and balanced relationship.

Other studies also find relationships between

the degree of conformity of men to masculinity

values with stress and anxiety levels. The study

suggests that when the standards of manhood

162

Other studies also find

relationships between the degree

of conformity of men to

masculinity values with stress and

anxiety levels. The study suggests

that when the standards of

manhood of strength, power,

success, wealth are failed to be

met, men would feel that their self

esteem is threatened

merasa terancam harga dirinya (O'Neil &

Harway, 1997). Harga diri yang terancam

tersebut menyebabkan kecemasan dan stres

sehingga laki-laki terkadang bertindak di luar

kendali akal sehatnya, seperti lari ke alko-

hol/obat-obatan terlarang, melakukan tindak

kekerasan, menjadi tidak jujur atau berdusta

tentang keadaan dirinya, serta beberapa bentuk

perilaku negatif lain sebagai upaya untuk

menyelamatkan harga dirinya. Maka tak dapat

dipungkiri jika kemudian perempuan sebagai

figur subordinat dalam ranah domestik akan

terkena imbas dengan kondisi yang dihadapi

oleh laki-laki yaitu dengan menjadi objek

pelampiasan, sehingga terjadilah tindak

kekerasan terhadap perempuan dalam rumah

tangga.

Permasalahan yang lain adalah pembentukan

citra yang salah terhadap figur laki-laki yang

telah dilegitimasi secara kultural oleh masyara-

kat dari generasi ke generasi melalui pola asuh.

Sebagai suatu contoh yang telah disebutkan

dalam penelitian ini, misalnya, laki-laki pan-

tang untuk menangis, laki-laki harus tampak

garang dan berotot, laki-laki hebat adalah

mampu “menaklukkan” hati banyak gadis dan

itu adalah hal yang biasa, laki-laki akan sangat

“laki-laki” apabila identik dengan rokok,

alkohol, dan kekerasan. Pencitraan tersebut

of strength, power, success, wealth are failed to

be met, men would feel that their self esteem is

threatened (O'Neil & Harway, 1997).

Threatened self esteem causes anxiety and

stress so that men sometimes act out of control,

for example run to alcohol abuse/ drugs,

perform violence, become dishonest or lie

about themselves, as well as other forms of

negative behaviors in order to restore their self

esteem. Therefore it is undeniable that women

are subordinate figures in the domestic domain

and they are the ones who have to pay for the

consequences when men experience problems

of self esteem. This is what eventually leads to

domestic violence against women.

Other problems include the images given to

men that are culturally legitimized by the

culture and society from generation to

generation through nurturing patterns. As an

example it has been stated in a study that men

are not allowed to cry, men must appear

aggressive and fit, and great men are able to

conquer the hearts of many women, and that

masculine men are identified with cigarettes,

alcohol and violence. This image influences the

self concepts of men in general and influences

their behaviors in the family life, particularly

patterns of problem solving in their everyday

life. The expression, “settling matters using a

163

berpengaruh terhadap konsep diri laki-laki

pada umumnya dan mempengaruhi perilaku-

nya dalam kehidupan rumah tangga, terutama

pola pemecahan masalah dalam kehidupan

sehari-hari. Seringkali muncul istilah, “peme-

cahan masalah ala laki-laki” yang berujung

pada kekerasan, baik terhadap sesama laki-laki

maupun pada anggota keluarganya sendiri,

khususnya istri. Citra diri tersebut seringkali

meninggalkan jejak permasalahan yang bersi-

fat psikologis seperti ketidakmampuan untuk

bersikap asertif dan membina komunikasi

empatik serta ketidakmampuan dalam mema-

hami dan mengelola dinamika psikologis diri

sendiri dan pasangan. Tak heran jika terkadang

laki-laki kerap kali terjerumus pada tindakan

yang tidak terkontrol dan tidak terpuji pada

pasangan hidupnya. Hal-hal tersebut terka-

dang diperparah dengan pola asuh yang salah

dan kondisi rumah tangga orang tua yang

kurang baik yang pernah dialami oleh pelaku

semasa kecil sehingga terkadang berpengaruh

ketika ia dewasa.

Masyarakat bersifat pasif dalam melihat

konflik dan kekerasan dalam rumah tangga,

sekalipun tetap memberikan perhatian. Prinsip

keharmonisan budaya Jawa yang dipegang

2. Intervensi lingkungan sosial dalam konflik

dan kekerasan dalam rumah tangga

man's way” often is uttered by the subjects that

lead to violence, towards other men and also

towards their own families, particularly wives.

This self image often leaves traces of

psychological problems including the inability

to act assertively and maintain empathic

communication as well as inabilities to

understand and manage the psychological

dynamics between them and their wife. It is not

surprising that sometimes men fall into

uncontrollable behaviors and disrespectful

actions towards his spouse. Sometimes these

actions are aggravated by wrong nurturing

patterns and the problematic family condition

experienced by the perpetrator in childhood

therefore sometimes influencing them in

adulthood.

The society acts passively in observing conflict

and domestic violence, although they still give

some attention. The principle of harmony in

Javanese culture is firmly held in addition to the

society's perception that domestic affairs are

taboo and sensitive. As a result the society tends

to be reluctant to intervene when domestic

violence occurs. Intervention towards family

conflicts can damage the principle of harmony

2. Intervention from the social environment in

domestic conflicts

164

teguh ditambah persepsi masyarakat bahwa

urusan rumah tangga adalah hal yang tabu dan

sensitif untuk dicampuri menyebabkan

masyarakat enggan campur tangan ketika

melihat kekerasan dalam rumah tangga terjadi.

Intervensi yang dilakukan terhadap konflik

rumah tangga dianggap dapat merusak prinsip

keharmonisan tersebut dan mengganggu

kerukunan dengan keluarga bersangkutan

yang tengah ada permasalahan. Di samping itu,

keluarga yang sedang ber konflik pun juga

akan memproteksi diri dari campur tangan

orang lain agar jangan sampai permasalahan

rumah tangga diketahui karena merupakan aib

keluarga. Namun demikian, masyarakat masih

tetap memberikan perhatian kendatipun tidak

secara pro aktif, terutama jika sudah

menyangkut keselamatan jiwa. Terkadang,

bentuk pengawasan yang dilakukan hanya

sekedar menjadikannya bahan pergunjingan

antar tetangga atau teman.

Di sisi lain, ada juga anggapan bahwa konflik

dan kekerasan dalam rumah tangga adalah hal

yang biasa dan dianggap bumbunya

pernikahan sehingga masyarakat menilai

bahwa konflik dan kekerasan dalam rumah

tangga bukanlah hal yang serius untuk

diintervensi pihak luar. Anggapan tersebut

menjadikan masyarakat menjadi permisif atas

terjadinya konflik dan kekerasan dan berujung

and disturb harmony with the family that is

currently experiencing a conflict. In addition,

the family in conflict will also protect

themselves from external intervention to make

sure the family problems do not go out in the

open because it is the taboo of the family.

However, the society remains to give attention

although not proactively, particularly related

with saving one's life. Sometimes, the form of

monitoring will only become a material for

gossip between neighbors or friends.

On the other hand, there is also an assumption

that conflict and domestic violence is common

and is the spice of the marriage therefore the

society views that conflicts and domestic

violence is not something which requires

165

The expression, “settling matters

using a man's way” often is

uttered by the subjects that lead

to violence, towards other men

and also towards their own

families, particularly wives

dengan kurangnya tindakan pencegahan dan

pengawasan sedini mungkin atas terjadinya

konflik terutama kekerasan dalam rumah

tangga. Hal ini terbukti dengan pendapat para

subjek yang menyatakan baru akan memberi-

kan intervensi jika sudah bersifat membaha-

yakan.

Peran pemuka adat, tokoh masyarakat dan

tokoh agama dalam penanganan kekerasan

dalam rumah tangga terbukti berguna. Fungsi

dan peran strategis para tokoh dan pemuka

masyarakat tersebut sebagai figur yang

dilekatkan padanya tatanan norma-norma

perikehidupan sehingga menjadi rujukan dan

tempat bernaung para masyarakat. Penghor-

matan pada para tokoh masyarakat dan

pemuka agama adalah sebagai perwujudan

dari penghormatan terhadap etika moral Jawa

yang wajib dijunjung tinggi.

Disamping itu, citra dan peran laki-laki sebagai

pemimpin dalam keluarga menimbulkan sikap

dalam diri laki-laki bahwa keluarga adalah

simbol harga dirinya sehingga tidak sembarang

orang dapat campur tangan termasuk ketika

terjadi kekerasan dalam rumah tangga. Para

tokoh masyarakat dan pemuka agama inilah

yang dianggap sebagai figur yang sesuai dan

setara dengannya ketika harus ada intervensi

terhadap konflik dalam keluarganya.

intervention from the society. This assumption

allows a permissive attitude from the society in

the event of conflict and domestic violence and

leads to the lack of preventive measures and

monitoring to anticipate conflict and domestic

violence. This is proven by the subject's opinion

stating that he would only intervene when the

circumstances are severe.

The role of custom leaders, society leaders, and

religious leaders in managing domestic

violence is proven to be useful. Their function

and roles as figures that are attached to life

norms, enable them to become references and

places for the people to seek protection. Respect

to society figures and religious leaders is an

actualization of the respect towards Javanese

moral ethics that are worthy of profound

respect.

Moreover, the image and roles of men as leaders

in the family creates an attitude within the men

themselves that the family is a symbol of their

self esteem therefore not all people can interfere

in the event of domestic violence. The society

figures and religious leaders are the

appropriate and equal figures that should

apply intervention towards conflicts within the

family.

166

G. Intervensi yang perlu dilakukan

Program pelibatan laki-laki dalam penanganan

kekerasan dalam rumah tangga telah lama

dilakukan oleh banyak negara berkembang

seperti Amerika, Kanada, Australia dan

Inggris, sedangkan di wilayah Asia sedang

mulai dirintis oleh beberapa negara. Bentuk

program yang dilakukan antara lain adalah

training gender, advokasi kebijakan, konseling

keluarga, kampanye pelibatan laki-laki dalam

isu kekerasan terhadap perempuan, pendam-

pingan hukum dan layanan konseling peru-

bahan perilaku, baik secara individu maupun

kelompok bagi laki-laki pelaku kekerasan

dalam rumah tangga. Program-program

tersebut biasanya dilakukan oleh lembaga swa-

daya masyarakat ataupun oleh lembaga peme-

rintah seperti rumah sakit dan kepolisian. Salah

satu program penanganan dari sisi hukum

yang pernah dilakukan adalah dengan pembe-

rian sanksi hukum berupa menahan laki-laki

pelaku kekerasan, namun hal tersebut tam-

paknya tidak secara signifikan berhasil mengu-

rangi kasus kekerasan dalam rumah tangga,

namun justru mengundang resistensi dari para

pelaku untuk tetap melakukan tindak kekera-

san dalam bentuk yang lain. Disamping itu,

juga banyak para laki-laki yang enggan untuk

mengikuti atau sekedar mendatangi kegiatan

dan tempat layanan yang berhubungan dengan

G. Necessary intervention

The program of men's involvement in

managing domestic violence has been

implemented for some time by developed

countries for example United States, Canada,

Australia, and England, while in Asia the

program has only started in a number of

countries. The form of the programs include

gender training, policy advocacy, family

counseling, campaigns of male involvement in

the issue of violence against women, legal

assistance and counseling on behavior

modification, which are conducted to

individuals or groups of male perpetrators of

domestic violence. These programs are usually

conducted by NGO's or government

institutions for example hospitals and the

police. One of the programs of management

from the legal aspects is giving legal sanctions

towards male perpetrators of violence;

however the results were insignificant to

reduce the total cases of domestic violence. It

has rather stimulated resistance from

perpetrators to continue committing violence

in other forms. In addition, several men are

reluctant to participate or visit activities and

services related with the issue of violence

against women and domestic violence. An

evaluation of the process gives some feedback

o n t h e r e q u i r e d a p p r o a c h e s a n d

167

isu kekerasan terhadap perempuan dalam

rumah tangga. Evaluasi dari proses tersebut

memberikan masukan berupa perlunya

pendekatan dan pemahaman tentang kekera-

san dalam rumah tangga dari sudut pandang

para laki-laki pelaku kekerasan.

Pemaparan para subjek tersebut menunjukkan

bahwa permasalahan rumah tangga, juga

pandangan mereka terhadap kekerasan dalam

rumah tangga merupakan permasalahan yang

sensitif dan tabu untuk dibicarakan dan

diintervensi, terlebih oleh pihak-pihak yang

belum dikenal dekat secara emosional. Di sisi

lain, pemahaman masyarakat terhadap isu

kekerasan dalam rumah tangga itu sendiri juga

berpengaruh terhadap minat laki-laki untuk

ikut terlibat. Misalnya tentang bagaimana

kekerasan terhadap perempuan itu diselesai-

kan, siapa yang harus bertanggung jawab,

bagaimana kekerasan dipandang sebagai hal

yang lumrah dalam kehidupan rumah tangga

serta bagaimana masyarakat memisahkan

ruang publik dan ruang domestik sebagai

urusan laki-laki dan perempuan. Hal tersebut

sesuai dengan pendapat Arivia (dalam

Fadjayarna, 2007) yang mengatakan bahwa

sebagian besar korban kekerasan dalam rumah

tangga adalah istri dan para korban biasanya

tidak mampu berbicara secara terbuka

mengenai kasus yang dialaminya. Hal ini dapat

understandings concerning domestic violence

from the perspective of male perpetrators.

The explanations of the subjects demonstrate

that family problems are sensitive problems

and taboo to be talked about and intervened, let

alone by parties that are not known

emotionally. On the other hand, the society's

understanding towards issues of domestic

violence also influences a man's interest to get

involved. For example how to resolve problems

of violence towards women, who must be

responsible, how violence is viewed as

something common in family life and how the

society separates the public domain with the

domestic domain as the issues of men and

women. This is in accordance with the opinion

of Arivia (cited in Fadjayarna, 2007) that states

that most victims of domestic violence are

wives and that the victims are unable to speak

openly about the case they experienced. This

could be understood because recently such

cases have been ignored or undermined by the

surrounding community. In addition, there are

values in the society claiming that such cases

are taboo and are personal problems not

requiring any intervention. This condition

makes neighbors or other witnesses to be

reluctant to give assistance to the victim. The

victim themselves must endure a large amount

of loss for example costs for medication for

168

dimengerti karena selama ini kasus-kasus

kekerasan tersebut tidak ditanggapi dan

cenderung diremehkan oleh masyarakat

sekitar. Selain itu, adanya nilai-nilai dalam

masyarakat bahwa jika seseorang mencerita-

kan kasus tersebut dianggap merupakan aib

keluarga serta masalah dalam rumah tangga

merupakan masalah pribadi yang orang lain

tidak boleh campur tangan sehingga para te-

tangga atau saksi lainnya biasanya enggan

untuk membantu korban. Korban sendirilah

yang banyak menanggung kerugian, seperti

biaya pengobatan untuk pemulihan, mencari

perlindungan diri atau menanggung aib atau

citra buruk. Hal ini lebih karena faktor budaya

sehingga jika ada seseorang atau lembaga yang

hendak memberikan intervensi terhadap kasus

kekerasan dalam rumah tangga, maka akan ba-

nyak mengalami kendala jika tidak mengada-

kan pendekatan terhadap tokoh-tokoh yang

disegani oleh masyarakat setempat, misal to-

koh adat atau tokoh agama.

Maka pendekatan dari sisi pelaku kekerasan

mutlak diperlukan. Strategi pergerakan yang

bersifat budaya, seperti pembentukan basis-

basis penyuluhan tentang masalah kekerasan

dalam rumah tangga bukan hanya permasala-

han kaum perempuan perlu dilakukan pada

tingkat pemerintahan terkecil RT/RW, juga

pendekatan terhadap tokoh-tokoh masyarakat

recovery, seeking self protection or bearing the

taboo and negative image in the society which

are largely due to cultural factors. Therefore

when a person or an institute intends to provide

intervention towards cases of domestic

violence, respected local figures, for example

custom leaders and religious leaders must be

approached to anticipate the numerous cultural

barriers that may emerge.

Therefore an approach from the side of the

perpetrator must be conducted. A strategy

which considers cultural aspects must be taken,

for example socializing that domestic violence

is not only a problem for women but also for

169

giving legal sanctions towards

male perpetrators of violence;

however the results were

insignificant to reduce the total

cases of domestic violence. It

has rather stimulated

resistance from perpetrators to

continue committing violence

in other forms

dan agamawan. Dukungan pemerintah seperti

yang tertuang dalan tujuan UUPKDRT bahwa

menjaga keutuhan dan keharmonisan rumah

tangga merupakan kewajiban kedua belah pi-

hak, baik suami maupun istri. Hal tersebut me-

mungkinkan para pelaku tindak kekerasan da-

lam rumah tangga mendapat sanksi pidana,

serta tidak menutup kemungkinan pula bagi

pelaku untuk mendapatkan sanksi alternatif

berupa re-edukasi dan treatment perilaku yang

bermasalah dibawah pengawasan lembaga ter-

tentu. Alternatif sanksi berupa re-edukasi da-

pat berbentuk konseling psikologis dan pendi-

dikan hukum untuk memberikan kesempatan

bagi pelaku untuk memperbaiki diri dalam re-

lasi rumah tangga, serta lebih meningkatkan

kemampuan pemecahan masalah dalam

keluarga dengan cara-cara yang positif.

men. This effort must be implemented in the

lowest government unit, namely RT/RW, and

must also take into account social and religious

figures. Government support as mentioned in

the goals of UUPKDRT to maintain the integrity

and harmony of the family is the obligation of

both parties, the wife and the husband. This

allows the perpetrators of domestic violence to

receive criminal sanctions, and may also receive

alternative sanctions in form of re-education

and behavioral treatment under the

supervision of a particular institute. The

alternative sanctions in form of re-education

can take the form of psychological counseling

and legal education to give an opportunity for

the perpetrators to improve their relations in

the family, and improve their abilities in

problem solving in the family using positive

methods.

170

171

BAB IV

PENUTUP

CHAPTER IV

CLOSING

PENUTUP

Hasil penelitian ini memberikan gambaran

kepada kita akan bagaimana dinamika pikir

(kognitif) dan rasa (emosi) kaum laki-laki,

terkait dengan konsep maskulinitas dan

kekerasan dalam rumah tangga.

Sebagai konsekuensi dari struktur faali yang

demikian rupa, laki-laki dikonstruksikan oleh

budaya dengan sedemikian sistematisnya

dalam rambu-rambu nilai dan batasan yang

disebut sebagai “maskulin”, sehingga mereka

terdidik dan tumbuh menjadi individu dengan

konsep diri yang “maskulin” itu. Nilai-nilai

maskulini-tas yang menekankan pada laki-laki

untuk memenuhi kriteria karakter, peran, dan

fungsi sosial sebagai ”pemimpin” bagi

perempuan dan anak-anak, telah menem-

patkan laki-laki ke dalam struktur tertinggi

dalam pola relasi laki-laki-perempuan di

masyarakat.

Berbagai faktor sosial budaya (pola penga-

suhan dalam kelaurga dan penafsiran ajaran

agama) telah teridentifikasi sebagai faktor yang

menjadi pilar utama bagi pembentukan konsep

diri maskulin tersebut. Gambaran tentang nilai

maskulinitas yang demikian superior (seperti

rasional, tangguh, pemberani, pelindung kelu-

arga, dsb.) dibanding dengan nilai-nilai femini-

CLOSING

The results of the study gives a description on

the dynamics of the cognitive and emotional

dynamics of men, related with the concept of

masculinity and domestic violence.

As a consequence of physiological structures,

men are culturally constructed to be labeled as

masculine, and as a result are educated and

grown to be individuals with a masculine self

concept. Values of masculinity emphasizing the

fulfillment of characteristics, roles and social

functions as a “leader” for women and

children, have placed men as superior to

women in the society.

Several socio-cultural factors (patterns of

nurturing in the family and religious

interpretation) have been identified as a factor

that becomes the main pillar for forming the

masculine self concept. A description of the

values of masculinity that is superior (for

example being rational, strong, brave, the

protector of the family, and interpretation of

religious texts) have been identified as a factor

that becomes a main pillar for the formation of

this masculine self concept. A description of the

values of masculinity that are superior (for

example rational, tough, brave, protector of the

175

tas, tak urung telah menimbulkan konflik inter-

nal pada laki-laki, yaitu konflik antara diri ideal

dan diri yang aktual.

Selanjutnya, pandangan laki-laki sendiri

tentang KDRT menunjukkan bahwa konflik

diri antara diri ideal dan diri aktual seringkali

merupakan faktor yang dapat memicu

munculnya konflik berkekerasan dalam

perkawinan. Beban psikologis yang berat

karena menyandang figur pengayom dan

penanggung jawab kelangsungan hidup

keluarga, telah menjadikan laki-laki pada

posisi yang penuh tekanan. Situasi ini pada

gilirannya dapat menjadi semacam “pemantik”

bagi munculnya KDRT, ketika konflik muncul

antara suami dan isteri. Oleh karenanya, untuk

mengatasi masalah KDRT ini perlu dilakukan

upaya penjangkauan kepada laki-laki sebagai

pelaku dan potensial pelaku KDRT, baik untuk

upaya pencegahan maupun penyembuhan.

Penelitian ini pada dasarnya merupakan studi

eksploratif awal dalam upaya memahami

dinamika pemikiran dan perasaan kaum laki-

laki, terkait dengan isu maskulinitas dan

kekerasan dalam rumah tangga. Sebagai

sebuah penelitian awal, maka penelitian ini

memiliki banyak kekurangan. Oleh karenanya,

pada penelitian di masa yang akan datang,

REKOMENDASI

family, etc) compared to feminine vales, have

led to an internal conflict among men, namely a

conflict of the ideal self and the actual self.

Furthermore, the perspectives of men towards

domestic violence itself demonstrate that the

conflict between ideal self and actual self often

becomes a factor that triggers violent conflicts

within a marriage. The large psychological

burden of being a figure that is responsible to

protect and maintain the sustenance of the

family, have drove men to enter a status which

implies enormous burden. This situation would

in turn become a trigger for the event of

domestic violence, when conflict emerges

between the husband and wife. Therefore, to

overcome the problems of domestic violence as

efforts of prevention and recovery, men need to

be involved since they are dominantly

perpetrators and are also potential perpetrators

of domestic violence.

This study serves as a preliminary explorative

study as an effort to understand the dynamics

of thoughts and feelings of men, related with

issues of masculinity and domestic violence. As

a preliminary study, therefore the current study

has several limitations. Therefore for future

studies, the following aspects need to be

RECOMMENDATION

176

perlu mempertimbangkan beberapa hal

berikut ini:

1. Mencoba menggali hal ini di berbagai

budaya yang berbeda, agar dapat

dijadikan semacam komparasi dan

memahami masing-masing

budaya dalam konteks maskulinitas

dan kekerasan dalam rumah tangga.

2. Mencoba mengeksplorasi lebih banyak

dari perspektif laki-laki yang telah jelas

teridentifikasi sebagai ”pelaku kekera-

san”, agar dapat lebih memahami ba-

gaimana dinamika internal yang meng-

aktualisasikan pemikiran dan perasaan

maskulinitas laki-laki ke dalam peri-

laku kekerasan terhadap pasangan.

3. Perlu juga diteliti laki-laki yang telah

mampu keluar dari “penjara” kele-

lakian agar dapat menjadi “ ”

bagi laki-laki lain yang mengalami

masalah karena gagal memenuhi

pencitraan sosial maskulinitas tradisi-

onal tersebut.

setting

diversity

benchmark

considered:

1. Trying to explore this in numerous

different cultural settings, in order to

compare and understand the diversity of

each culture in the context of masculinity

and domestic violence.

2. Try to explore the perspectives of men

that have clearly been identified as

“perpetrators” to gain further under-

standing on the internal dynamics that

actualize the thoughts and feelings of

masculinity among men in the behaviors

of violence towards their spouse.

3. Studies about men who decide not to

conform to traditional manhood

standards. These men would become a

benchmark for other men who expe-

rience the problem of failing to fulfill the

social ideals of traditional masculinity.

177

KEGIATAN PELIBATAN LAKI-LAKI

DALAM PENANGANAN KEKERASAN

DALAM RUMAH TANGGA

ACTIVITIES OF MALE

INVOLVEMENT IN OVERCOMING

DOMESTIC VIOLENCE

181

Talk Show “Selamat Datang Laki-laki Baru” di Yogyakarta sebagai salah satu langkah

penyebaran citra baru maskulinitas laki-laki yang anti kekerasan dalam rumah tangga. Acara

ini menghadirkan pembicara Walikota Yogyakarta, GKR Pembayun, Prof. Muhadjir Darwin dan

bintang tamu Katon Bagaskara

Kampanye laki-laki anti

terhadap kekerasan dalam

rumah tangga. Acara ini

dalam rangka menggalang

dukungan para laki-laki

dalam penghapusan

kekerasan dalam rumah

tangga. Diwarnai dengan

orasi dan pernyataan sikap

anggota DPRD kota

Yogyakarta serta

pemasangan pita putih dan

PIN laki-laki anti kekerasan

dalam rumah tangga

182

Penggalangan tanda

tangan para laki-laki di

Yogyakarta yang

mendukung

penghapusan

kekerasa dalam rumah

tangga

183

Seminar dan lokakarya Strategi Perlibatan Laki-laki dalam Penghapusan Kekerasan

Terhadap Perempuan di Indonesia yang diselenggaraka Rifka Annisa di Yogyakarta

bekerjasama dengan Kementrian Pemberdayaan Perempuan Indonesia

184

DAFTAR PUSTAKA REFERENCE

Andayani, B. 2000. Profil keluarga anak-anak bermasalah.

Bhasin, K. 2004. Women Unlimited, New Delhi, India

Blyth, D.A., Simmons, R.G. and Zakin, D.F. 1985. Satisfaction with Body Image for Early Adolescent

Females: The Impact of Pubertal Timing Within Different School Environments,

Vol.14, No.3, 1985.207-225

Brody, L.R. (1985). Gender differences in emotional development: Areview of theories and research.

, 102–149.

Campbell, J., 2002. Health consequences of intimate partner violence. , 359,April.

Darwin, M. 2007. . Naskah Seminar “Selamat Datang

Laki-laki Baru” RifkaAnnisa WCC. Tidak Diterbitkan.

Dzuhayatin, S.R.; 1997; dalam

Abdullah, I (ed); ogyakarta: Pustaka Pelajar.

Eisenberg,A., Cumberland,A., & Spinrad, T. L. (1998). Parent socialization of emotion. ,

241–273.

Ellsberg & Gottemoler, 1999. Ending violence against women. , Vol. XXVII, No. 4.

Fadjayarna. 2007. Studi Dampak Kekerasan Fisik dan Psikologis terhadap Istri. tidak diterbitkan.

Program Pasca Sarjana, Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta

Gottman, J.,& DeClaire, J. 1997. London:

Blumsbury.

Grinder, R. 1978. . New York: John Wiley & Sons).

Hjelle, L.A. and Ziegler, J.D. 1981. .

Auckland: McGraw-Hill International Book Company.

Jurnal Psikologi Fakultas Psikologi UGM Vol. 2,

Desember.

Exploring Masculinity.

Journal of Youth and

Adolescence,

Journal

of Personality 53,

The Lancet

Ideologi Maskulin dan Kekerasan Terhadap Perempuan

Agama dan Budaya Perempuan: Mempertanyakan Posisi perempuan dalam Islam;

Sangkan Paran Gender; Y

Psychology Inquiry 9,

Population Report

Tesis,

The Heart of Parenting : How to Raise an Emotionally Intelegent Child.

Adolescence (2ed)

Personality Thoeries: Basic Assumptions, Research and Applications

187

Http://www.perempuan.com/index.php?catid=65&screen=14

The Lancet

S e x R o l e s : A J o u r n a l o f R e s e a r c h

http://www.findarticles.com/cf_0/m2294/2001_Nov/87080429/p1/article.jhtml.

The Seven P's of Men's Violence. http://www.michaelkaufman.com/articles/7ps.html

Journal Health and Social Care in the Community, Vol.12, (5), 422-429.

Fifteen Years of Theory and Research on Men's Gender Role Conflict: New Paradigms for

Empirical Research ANew Psychology of Man

Keterlibatan Pria Dalam Kesehatan Reproduksi, Perspektif Islam.

Maskulinitas Remaja Pria. http://64.203.71.11/kompas-cetak/0711/30/swara/ 4038045.htm

Handbook of individual

differences: Biological perspectives

http://library.usu.ac.id/download/fk/psikologi-Meutia.pdf

Violence

Against Women, 5, 182-203.

http://library.usu.ac.id/

download/fk/keperawatan-salbiah2.pdf

Life Span Development, Perkembangan Masa Hidup. Edisi ke lima. Jilid II.

Etika Jawa. Sebuah analisa falsafi tentang kebijaksanaan hidup Jawa.

Jewkes, R., 2002. Intimate partner violence: causes and prevention, , 358, p 1423-1429.

Jones, D.C. 2001. Social Comparison and Body Image: Attractiveness Comparisons to Models and Peers

A m o n g A d o l e s c e n t G i r l s a n d B o y s . .

Kaufman, M. 1999.

Lee, Romeo.B. 2004. Filipino men's familial roles and domestic violence: implications and strategies for

community-based intervention.

Blackwell Published Ltd.

Levant & Pollack. 1995;

; ; Basic Books.

Ilyas, H., Ariyani, S.A., Hidayat, R., (2005).

Pusat Studi Wanita (PSW) UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Lukmantoro, T. 2007.

Manstead, A. S. (1992). Gender differences in emotion. In A. Gale &M. Eysenck (Eds.),

(pp. 355–387). New York: Wiley.

Nauly.M. 2002. Konflik Peran Ganda pada Pria : Teori dan Pendekatan Empirik. Fakultas Kedokteran

Program Studi Psikologi USU.

O'Neil, J.M., & Harway, M. (1997) . Multivariate model explaining men's violence toward women.

Salbiah. 2003. Konsep Diri. Program Studi Ilmu Keperawatan. USU.

Santrock, J.W. 2002. Jakarta:Erlangga.

Suseno. F.M. 2001. Jakarta. P.T. Gramedia.

188

Taylor. S.E., Peplau, L.A., & O'Sears, D. 1994. Edition. New Jersey : Prentice Hall.

Tim Penyusun Kamus Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. 1997.

Jakarta. Balai Pustaka.

UNESCO. 2006. New Delhi United Nations

Educat ional Sc ient i f i c and Cultura l Organizat ion .

Weisbuch, M., Beal, D., Edgar, C., O'Neal. 1999. How Masculine Ought I Be? Men's Masculinity and

Aggression. Nos. 7/8. Plenum publishing corporation

World Health Organization, 2005.

. Geneva, Switzerland7 Department of Gender, Women and Health, World Health

Organization.

______________________, 2005.

Geneva, Switzerland7

Department of Gender, Women and Health, World Health Organization.

Social Psychology 8

Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi

Kedua.

Masculinity for Boys : Resource Gude for Peer Educator. .

h t tp : / /unesdoc .unesco .org /

images/0014/001465/146514e.pdf.

Journal Sex Roles Tulane University, Vol.40,

Addressing violence against women and achieving the millennium development

goals

Multicountry study on women's health and domestic violence against women:

initial results on prevalence, health consequences and women's response

th

189

TENTANG

PENULIS

ABOUT

THE AUTHORS

Nur Hasyim

Aditya Putra Kurniawan

adalah MRTC (

Center) Rifka Annisa

Yogyakarta. Ia menempuh pendidikan S1 di

Universtas Islam Negeri Yogyakarta, ber-

gabung dengan Rifka Annisa sejak tahun 1999.

Pada periode tahun 2005 – 2006 ia

berkesempatan menempuh pendidikan jangka

pendek di

dan melakukan penelitian

tentang Keterlibatan Laki-laki dalam

Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga

di India. Ia berpengalaman melakukan

kegiatan advokasi dalam ranah gender dan

HAM bekerjasama dengan NGO lokal dan

internasional. Selain itu, ia juga aktif sebagai

konselor bagi laki-laki pelaku kekerasan dan

sedang terlibat dalam pengembangan Program

Keterlibatan Laki-laki dalam Penghapusan

Kekerasan Terhadap Perempuan di Indonesia.

adalah

pada MRTC (

Center) Rifka Annisa Yogyakarta. Ia lulusan S1

Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada

Yogyakarta dan bergabung dengan Rifka

Annisa sejak tahun 2007. Selain sebagai

peneliti, ia juga seorang konselor psikologi bagi

laki-laki pelaku kekerasan. Pada pertengahan

tahun 2007, ia mendapatkan kesempatan

belajar tentang program layanan perubahan

Manager Media

Research and Training

Department of Sociology, University of

Mumbai, India

Research

Officer Media Research and Training

Nur Hasyim

Aditya Putra Kurniawan

is the manager of the MRTC

( Center) at Rifka

Annisa Yogyakarta. He earned his bachelor's

degree at State Islamic University, Yogyakarta

and joined Rifka Annisa from 1999. In 2005 –

2006 he earned the opportunity to study in the

and performed studies concerning Men

Involvement in Eradicating Domestic Violence

in India. He has experience in conducting

advocacy in gender and human rights issues

and cooperates with local and international

NGO's. He is also active as men's counselor for

male perpetrators of violence and is currently

engaged in developing the Program of Men's

Involvement to Eradicate Violence Against

Women in Indonesia.

is a in

MRTC ( Center)

Rifka Annisa, Yogyakarta. He earned his

bachelor's degree at the Faculty of Psychology,

Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta and

joined Rifka Annisa from 2007. In addition to

being a researcher he also acts as a counselor for

male perpetrators of violence. In mid-2007 he

gained the opportunity to study about services

of behavior modification for male perpetrators

in the

Media Research and Training

Department of Sociology, University of Mumbai,

India

Research Officer

Media Research and Training

Child and Family Services, Ballarat,

193

perilaku bagi laki-laki pelaku kekerasan di

dan

beberapa lembaga lain di Australia. Saat ini

bersama-sama dengan para staf Rifka Annisa

sedang terus mengembangkan program

layanan perubahan perilaku bagi laki-laki

pelaku kekerasan di Yogyakarta.

adalah Direktur Eksekutif

Rifka Annisa Yogyakarta. Ia lulus S1 di Fakultas

Psikologi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta

dan bergabung sebagai aktivis di Rifka Annisa

sejak tahun 1993. Sesuai dengan latar belakang

ilmunya, ia menggeluti bidang pendampingan

psikologis bagi perempuan korban kekerasan.

Pada tahun 2000 ia menuliskan pengalaman

pendampingannya dalam buku

. Ia menamatkan

program pascasarjana di

Swedia dan saat ini sedang

melanjutkan program doctoral (PhD) di

universitas yang sama. Selain itu ia juga aktif

sebagai pelatih untuk masalah gender,

kekerasan terhadap perempuan, dan konseling

bagi perempuan korban kekerasan. Saat in,

selain sebagai Direktur Rifka Annisa, ia juga

aktif menjadi staf pengajar di Fakultas

Psikologi Universitas Ahmad Dahlan

Yogyakarta dan juga tergabung dalam

WHINGS (

Child and Family Services, Ballarat, Australia

”Konseling

Berwawasan Gender, Panduan untk Pendamping

Perempuan Korban Kekerasan”

Master of Public Health

Umea University,

Women International Network on

Elli Nur Hayati

Australia

”Counseling with a Gender

Perspective, a Handbook for Assisting Women

Victims of Violence”

Masters of Public Health

Umea University,

Women International Network on Gender and

Human Security

and other institutes in Australia.

Currently, at Rifka Annisa he continues to

develop programs of behavior modification for

male perpetrators in Yogyakarta.

is the Executive Director at

Rifka Annisa, Yogyakarta. She earned her

bachelor's degree from the Faculty of

Psychology Universitas Gadjah Mada

Yogyakarta and joined Rifka Annisa from 1993.

Consistent with her studies she worked

intensively in psychological assistance for

women victims of violence. In the year 2000 she

wrote her experiences in giving psychological

assistance in her book

. She graduated her

postgraduate studies of

in Sweden and is currently

accomplishing her doctoral program (PhD) in

the same university. She is also active in training

programs for gender issues, violence against

women, and counseling for women victims of

violence. Apart from being the Director of Rifka

Annisa, she is also active as a lecturer in the

Faculty of Psychology, Ahmad Dahlan

University and is also involved in WHINGS

(

), a women network from five

continents who promote peace and gender

Elli Nur Hayati

194

Gender and Human Security), suatu jaringan

perempuan dari lima benua untuk perdamaian

dan keadilan gender, AISKI atau Asosiasi

Ilmuwan Sosial dan Kesehatan Indonesia.

equality, as well as AISKI or the Indonesian

Association of Social and Health Scholars.

193