BAB I PENDAHULUAN
-
Upload
repositoryusu -
Category
Documents
-
view
3 -
download
0
Transcript of BAB I PENDAHULUAN
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Negara Republik Indonesia merupakan suatu negara yang
besar, memiliki masyarakat yang majemuk dan memiliki sumber
daya / kekayaan alam yang sangat melimpah. Segala potensi
yang dimiliki oleh Negara Indonesia ini harus dikelola dan
dimanfaatkan demi kemakmuran dan kesejahteraan seluruh
warga negaranya melalui sistem pemerintahan yang baik. Jika
sistem pemerintah tidak berjalan dengan baik maka para
pihak penguasa / yang memiliki kekuasaan serta memiliki
akses terhadap pengelolaan segala potensi di Indonesia akan
cenderung untuk melakukan tindakan-tindakan yang dapat
menguntungkan pihak tersebut. Oleh karena itu dalam
menjalankan roda pemerintahannya, Negara Indonesia
menggunakan suatu konsep tentang penyelenggaraan
pemerintahan yang baik berdasarkan atas gagasan dari
mostesquieu yakni konsep Trias Politika. Dalam konsep Trias
Politica dijelaskan bahwa dalam suatu negara, kekuasaan
tidak boleh dikuasai / dilimpahkan kepada 1 struktur
kekuasaan politik, namun harus dipisahkan kedalam lembaga-
lembaga negara yang berbeda yakni lembaga Legislatif
(pembuat undang-undang), Eksekutif (pelaksana undang-
undang) dan Yudikatif (pengawasan dan pemberi sanksi bagi
lembaga atau perseorangan yang melanggar undang –undang).
Hal ini dimaksudkan agar tidak ada suatu kekuatan yang
1
bersifat absolut sehingga diharapkan melalui pemisahan
kekuasaan ini pemerintahan akan terselenggara dengan baik,
seimbang dan terhindar dari korupsi dikarenakan adanya
mekanisme saling mengawasi dan mengoreksi antar lembaga.
Penyelenggaraan pemerintahan berdasar teori ini
sejatinya akan menghasilkan suatu pemerintahan yang baik,
bersih dan seimbang namun hal ini tidak dapat begitu saja
terwujud tanpa adanya hambatan atau halangan. Sebagai
contoh di Indonesia dimana pemerintah belum berjalan dengan
baik yang ditandai dengan masih maraknya tindak pidana
korupsi. Ironisnya tindak pidana ini bukan hanya dilakukan
oleh satu pihak / satu struktur saja namun baik dari pihak
legislatif , eksekutif dan yudikatif. Sudah banyak contoh
kasus-kasus korupsi yang terungkap dengan tersangka bukan
hanya sekedar anggota dari anggota lembaga-lembaga tersebut
namun justru melibatkan pejabat-pejabat / elit politik yang
menduduki jabatan strategis dalam lembaga-lembaga tersebut.
Beberapa contoh tersangka yang merupakan pejabat negara dan
elit politik yang terkena kasus korupsi diantaranya :
Mantan Presiden RI Soeharto, Ketua MK Akil Mochtar,
Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah, Walikota Tangerang
Selatan Airin Rachmi Diany, Anggota DPR Angelina Sondakh
dsb.
Berdasarkan fakta diatas bahwa dalam menjalankan
pemerintah bukan hanya fokus terhadap sistem pemerintahan
seperti apa yang harus digunakan namun ada faktor-faktor
2
lain juga yang harus diperhatikan dalam rangka mencapai
tujuan dari penyelenggaraan pemerintahan tersebut serta
dapat mencegah perbuatan korupsi. Gejala korupsi yang
semakin parah ini telah menggerakkan pemerintah untuk
gencar dalam pemberantasan tindak pidana korupsi. Salah
satu usaha pemerintah dalam memberantas tindak pidana
korupsi yakni dengan membuat regulasi terkait Tindak Pidana
Korupsi dimana dalam regulasi tersebut disebutkan mengenai
berbagai kriteria perbuatan apa saja yang tergolong sebagai
perbuatan korupsi beserta sanksi pidanannya. Salah satu
regulasi terkait dengan tindak pidana korupsi ini yakni UU
No.20 tahun 2001 tentang pemberantasan korupsi yang
merupakan perubahan atas UU Nomor 31 tahun 1999.
Kesungguhan dari pemerintah dalam memberantas korupsi
cukup terlihat dengan banyaknya pejabat maupun mantan
pejabat negara dan daerah yang terjerat dan sampai divonis
oleh hakim terkait kasus korupsi yang dilakukan. Pemerintah
sangat berharap bahwa dengan sudah banyak yang terkena
kasus korupsi maka tindak pidana korupsi di Indonesia
semakin menurun, namun faktanya justru berkata sebaliknya.
Hal ini sangat terlihat dari justru semakin banyak
tersangka dan calon tersangka kasus tindak pidana korupsi
yang ditangani oleh salah satu lembaga penegak hukum di
Indonesia yaitu KPK. Hal lain yang cukup menarik adalah
terkait beberapa fenomena yang terjadi mengenai beberapa
vonis hakim yang diberikan kepada tersangka korupsi
khususnya bagi tersangka yang merupakan pejabat negara,
3
elit politik atau mantan pejabat negara yang tidak sesuai
dengan perbuatan atau kerugian negara bahkan ada yang
justru bebas demi hukum. Melalui fenomena inilah penulis
mulai menanyakan apakah Undang-Undang atau regulasi tentang
tindak pidana korupsi yang merupakan produk dari Lembaga
Legislatif adalah benar-benar mampu menjamin adanya
keadilan, kepastian hukum, bersifat netral serta jauh dari
intervensi kepentingan politik?
Ternyata regulasi ini bukanlah suatu hal yang netral
dan bebas dari kepentingan politik. Hal ini dapat terlihat
melalui penilaian penulis terkait masih banyaknya kelemahan
atau celah-celah yang mampu dimanfaatkan oleh para koruptor
atau bahkan para pihak penegak hukum dalam “bermain” dalam
proses penegakan hukum ini. Selain itu ada beberapa
peraturan yang dibuat justru terkesan melindungi para
koruptor sehingga tindak pidana korupsi di Indonesia seakan
sukar untuk diberantas sampai ke akar-akarnya. Dalam
pembuatannya regulasi terkait hukum khususnya di Indonesia
ternyata tidak sepenuhnya netral karena dalam proses
pembuatannya akan sangat sarat akan kepentingan dan
intervensi politik baik dalam perumusan sampai dengan
pelaksanaan regulasi tersebut. faktor politik disini akan
terkesan sangat kuat bagaimana para elit atau penguasa yang
berlomba-lomba dalam mengintervensi para pejabat di lembaga
legislatif untuk melahirkan UU yang setidaknya tidak
membahayakan mereka atau bahkan mampu menguntungkan dari
pihak-pihak penguasa / pejabat tersebut. Oleh karena itu,
4
berdasar fenomena ini penulis tertarik untuk mengangkat
judul tentang “REGULASI TINDAK PIDANA KORUPSI SEBAGAI
TAMENG BAGI PARA KORUPTOR DI INDONESIA”
B. Rumusan Masalah :
1.Bagaimana Regulasi Tindak Pidana Korupsi di Indonesia
dapat menjadi tameng bagi para koruptor?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Kerangka Teori :
Dalam pembahasan ini teori yang digunakan oleh penulis
yaitu :
5
1. UU No.20 tahun 2001 tentang pemberantasan korupsi
yang merupakan perubahan atas UU Nomor 31 tahun 1999.
Dalam UU ini dibahas tentang tindak pidana korupsi
yaitu bahwa Setiap orang yang secara melawan hukum
melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang
lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan
negara atau perekonomian negara sesuai dengan pasal 2.
Selain itu juga perbuatan Setiap orang yang dengan
tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau
suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan
atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau
kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau
perekonomian negara. Selain itu juga perbuatan oleh
setiap orang yang melawan hukum dan juga bermaksud untuk
memperkaya diri sesuai dengan pasal 3. Bahwa berdasar
UU pemberantasan korupsi ini yang merupakan tindakan
korupsi adalah tindakan untuk memperkaya diri dan
menimbulkan kerugian negara baik dengan melawan hukum
maupun dengan menyalahgunakan kewenangannya.
2. Paham Machiavelli tentang teori menghalalkan segala
cara dalam politik
Dalam teori ini Marchiavelli berpendapat bahwa dalam
bukunya The Prince:
“Perlu bahwa manusia harus cukup bijak untuk
menghindari sifat - sifat buruk yang bisa membuatnya
kehilangan Negara. Namun bila tidak mampu, sang
pangeran bisa mengikuti dengan sedikit keberatan.
6
Dan dia tidak boleh keberatan melakukan sifat -
sifat buruk itu, tanpa hal - hal yang akan sulit
untuk menyelamatkan negara. Karena bila orang
menganggap baik, akan ditemukan beberapa hal yang
tampaknya baik, bila diikuti akan menuju pada
keruntuhan seseorang. Sebaliknya hal - hal yang
tampak buruk bisa memberikan keamanan dan
kesejahtraan lebih besar”1
Marchiavelli berpendapat bahwa seseorang penguasa
dalam rangka mempertahankan Negaranya maka penguasa
tersebut dalam berpolitik dapat menggunakan cara-cara
yang secara etika dapat dikatakan sebagai hal yang
buruk. Dengan kata lain menurut marchiavelli dalam
memenuhi tujuan politik kita dapat menggunakan cara yang
mengesampingkan moral jika itu dirasa perlu dan harus
dilakukan.
3. Teori kontrak sosial
Kontrak social (social contract) muncul adanya
interelasi dalam kehidupan social masyarakat, agar
terjadi keselarasan , keserasian dan keseimbangan
termasuk terhadap lingkungan. J.J Rousseau (1762) dalam
buku Nor Hadi (2011,96) berpendapat bahwa alam bukanlah
wujud dari konflik, melainkan memberikan hak kebebasan
bagi individu-individu untuk berbuatsecara kreatif.
Kontrak social (social contract) dibuat sebagai media1 Machiavelli, Nicollo, Il Principe,terjemahan The Prince (London: MacMillan.Ltd., 1916). Hal. 77
7
untuk mengatur tatanan (pranata) social kehidupan
masyarakat. J. J Rousseu menyatakan:
‘’....Social Contract Which was degigned to
explain-and therefore legitimate-the relationship
between and individual and society and its
government.2”
Dalam buku yang lain Rousseau dan Locke merumuskan
gagasan tentang Teori Kontrak Sosial dengan gagasan yang
pertama yaitu bahwa Negara bukanlah proses yang taken for
granted dari Tuhan melainkan produk dari perjanjian
sosial antara individu dalam masyarakat yang tidak ada
sangkut pautnya dengan pendelegasian kekuasaan dari
Tuhan kepada penguasa tertentu. Kedua, bahwa dunia
dikuasai oleh hukum yang didasarkan pada prinsip
keadilam yang universal. Ketiga, karena kekuasaan berasal
dari rakyat maka perlu dijamin hak-hak individu dalam
masyarakat dan keempat,perlunya kontrol kekuasaan agar
penguasa tidak melakukan penyalahgunaan kekuasaan.3
Social contract dibangun dan dikembangkan salah
satunya untuk menjelaskan hubungan antara Negara
terhadap masyarakat (society). Di sini ,Negara memiliki
kewajiban kepada masyarakat untuk member kemanfaatan
bagi masyarakat setempat. Interaksi Negara dengan
2 Hadi, Nor. 2011. Corporate Social Responsibility. Yogyakarta : GrahaIlmu. Hal.96
3 Ahmad Subelmi, Pemikiran Politik Barat, (Jakarta: Gramdia Pustaka Utama,200) hal 299-300
8
masyarakat ditunjukkan oleh masyarakat dengan tetap
memenuhi dan mematuhi aturan dan norma-norma yang
berlaku di masyarakat (community norm). Selain itu
Masyarakat juga berhak untuk mengawasi segala yang
dilakukan oleh Negara agar tetap sesuai tujuan Negara
dan tidak ada pejabat negara yang melakukan
penyalahgunaan kekuasaan.
B. Analisa Regulasi Tindak Pidana Korupsi Yang Dapat Menjadi
Tameng Bagi Para Koruptor di Indonesia.
Berdasarkan Konsep Trias Politica yang diusung oleh
Montesquieu yang menghendaki adanya pemisahan kekuasaan
Negara (separation of power) sehingga tidak akan terpusat
pada seorang penguasa.4 Oleh karena itu, suatu negara dalam
menjalankan pemerintahannya agar dapat berjalan secara
baik dan seimbang serta terbebas dari korupsi maka dalam
mewujudkan kondisi ideal pemerintahan yang baik, seimbang
dan tidak korupsi yakni dengan cara pemisahan kekuasaan.
Dengan adanya pemisahan kekuasaan ini diharapkan tidak ada
sentralisasi kekuasaan atau kekuasaan yang absolut yang
dimiliki oleh suatu struktur lembaga negara yang dapat
membuka peluang yang sangat besar dari lembaga tersebut
untuk bersifat otoriter. Berawal dari sikap yang otoriter
maka hal ini akan dapat berujung kepada penyalahgunaan
wewenang yang pastinya akan hanya menguntungkan pihak
penguasa atau anggota dari lembaga yang bersifat absolut
tersebut. oleh karena itu Sebagai negara demokrasi,
pemerintahan Indonesia dalam menerapkan teori trias4 Ahmad Subelmi, Pemikiran Politik Barat, (Jakarta: Gramdia Pustaka Utama,200) hal 301
9
politika melakukan pembagian kekuasaan (distribution of
power) yakni kekuasaan lembaga-lembaga Negara di Indonesia
dmana lembaga itu terbagi menjadi 3 yaitu:
1. Legislatif bertugas membuat undang undang. Bidang
legislatif adalah Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
2. Eksekutif bertugas menerapkan atau melaksanakan
undang-undang. Bidang eksekutif adalah presiden dan
wakil presiden beserta menteri-menteri yang
membantunya.
3. Yudikatif bertugas mempertahankan pelaksanaan
undang-undang. Adapun unsur yudikatif terdiri atas
Mahkamah Agung (MA) dan Mahkamah Konstitusi (MK)
Pemisahan kekuasaan disini tidak berarti mereka
benar-benar terpisah dan menjalankan kekuasaan masing-
masing atau adanya garis pemisahan yang bersifat kaku,
namun pemisahan disini dimaksudkan agar adanya saling
koreksi dan koordinasi serta asling mengawasi antar tiap
lembaga. Koordinasi dalam rangka membahas tentang jalannya
pemerintahan yang baik dan pengawasan antar satu lembaga
dengan lembaga yang lain agar dalam menjalankan kewenangan
dan tugasnya senantiasa dalam koridor yang benar demi
tercapainya sistem pemerintahan yang baik.
Suatu sistem pemerintahan yang baik harus dapat
terwujud karena segala hal yang dilakukan oleh lembaga-
lembaga negara tadi sangat berpengaruh terhadap
berlangsungnya ketahanan negara dan kesejahteraan Rakyat
10
Indonesia. Dalam teori kontrak sosial terkait hubungan
antara individu, masyarakat / warga negara dan Negara itu
sendiri yakni bahwa Negara dijalankan oleh sekelompok
orang yang merupakan perwakilan atau representassi dari
rakyat dan mendapatkan kekuasaan serta kepercayaan dari
seluruh rakyat dalam menjalankan dan membuat aturan dalam
pemerintahan negara. Oleh karena itu rakyat wajib menaati
segala perintah atau aturan yang dibuat oleh Negara
melalui sekelompok orang yang merupakan representasi atau
perwakilan dari mereka. Segala aturan yang dibuatpun harus
bertujuan untuk terciptanya sebuah good governance dan
good citienship. Oleh karena itu, segala hal yang
dilakukan oleh sekelompok orang tersebut yang merupakan
representasi dari seluruh rakyat Indonesia harus sesuai
dengan cita-cita atau keinginan dari rakyat Indonesia.
Kekuasaan dari sekelompook orang ini sangat besar dan
penting karena salah satunya yakni berkaitan dengan
pengelolaan seluruh sumber daya dan kekayaan yang dimiliki
oleh Negara Inddonesia. Kekuasaan yang besar inilah yang
sangat berbahaya jika dalam menjalankan kekuasaannya
mereka hanya berada dalam suatu struktur lembaga tanpa da
lembaga lain yang mengoreksi atau mengawasi. Sehingga
Teori Trias Politika dianggap sangat cocok dalam rangka
menjalankan sistem pemerintahan yang baik, seimbang dan
bebas dari korupsi.
Fakta yang terjadi di Indonesia adalah walaupun
sistem yang ada sudah baik ternyata pemerintahan masih
11
belum bisa berjalan dengan baik yang ditunjukkan dengan
dari prilaku korupsi yang sudah menggurita sampai ke akar-
akar. Dalam sistem pemerintahan yang dijalankan oleh
manusia tentunya faktor manusia sangat berpengaruh
terhadap baik buruknya sistem pemerintahan yang akan
dijalankan oleh suatu negara tersebut. sistem pemerintahan
yang baik akan sangat bergantung terhadap prilaku,
kehendak dan moral manusia yang tidak bisa lepas dari
sifat alamiah manusia yang senantiasa ingin memenuhi
segala kebutuhan hidupnya dan ingin menguasai apa yang
bisa dikuasai oleh manusia tersebut. Oleh karena itu salah
satu cara agar kita tidak hanya bergantung kepada moral,
kehendak dan prilaku manusia kita harus memiliki sesuatu
yang bersifat memaksa agar manusia tersebut senantiasa
bekerja dan menggunakan kewenangannya tersebut dengan baik
dan sesuai dengan tujuan pemerintahan dan hal tersebut
adalah regulasi yang dapat berbentuk suatu Undang-Undang
atau peraturan-peraturan pemerintah lainnya.
Didalam Undang-Undang atau Perpu mengandung segala
aturan tentang apa yang seharusnya dan yang dilarang untuk
dilakukan, tentunya aturan / undang-undang itu akan
memiliki kekuatan memaksa karena terdapat unsur sanksi
didalamnya. Dengan adanya sanksi yang dirasa cukup
membebani bagi para pelanggarnya oleh badan legislatif
sebagai pembuat Undang-Undang berharap bahwa setiap warga
negara akan mematuhinya khususnya bagi para pejabat
Negara. Idealnya terkait sanksi yang terkandung didalam
12
Undang-Undang terhadap para pelanggar hukum adalah sanksi
yang dapat menimbulkan efek jera bagi para pelanggarnya.
Hal ini bermaksud dengan munculnya efek jera maka
pelanggar tersebut akan merasakan efek jera dari perbuatan
yang dilakukan sehingga dia akan berusaha untuk tidak
mengulangi perbuatannya tersebut. Selain menimbulkan efek
jera bagi pelanggar tersebut diharapkan sanksi ini
menimbulkan general deterence. Maksud dari general
detterence ini yaitu bahwa orang lain yang melihat sanksi
yang diterima oleh pelanggar akan ikut merasakan efeknya
(efek yang menggeneral) sehingga dia akan berpikir
berualang kali atau berusaha untuk tidak melanggar aturan
hukum tersebut. dengan efek general detterence ini juga
diharapkan mampu membuat seluruh warga negara Indonesia
agar senantiasa menaati peraturan / perundang-undangan
yang ada tidak terkecuali para elit politik maupun pejabat
negara.
Undang-Undang yang dibuat tentunya tidak bisa
berjalan sempurna tanpa kehadiran atau dukungan dari para
penagak hukum baik ditingkat penyidikan maupun di tingkat
penuntutan sampai dengan tingkat eksekusi. Dalam hal ini
aturan atau undang-undang ini juga akan tetap bergantung
terhadap kepada para penegak hukum yakni kepolisian ,
kejaksaan, kehakiman dalam menerapkan Regulasi yang ada
yang dapat berupa Undang-Undang maupun peraturan lainnya.
Terkait segala regulasi di Negara Indonesia sebelum
digunakan oleh para penegak hukum harus kita kaji trelebih
13
apakah benar Undang-Undang tersebut sudah dibuat secara
netral dan benar-benar untuk kepentingan seluruh warga
negara tanpa ada intervensi kepentingan dari pihak-pihak
penguasa? Ternyata hal tersebut merupakan hal yang cukup
menarik untuk dibahas.
Menurut teori marchiavelli tentang teori menghalalkan
segala cara yakni disebutkan bahwa bahwa dunia politik
itu bebas dan apabila kondisinya sudah tidak memungkinkan
maka jangan mengkaitkan antara politik dengan etika
(moralitas) dalam rangka memenuhi tujuan politik tersebut.
oleh karena itu menurut Marchiavelli yang terpenting dalam
politik adalah bagaimana seorang Raja/penguasa berusaha
dengan berbagai macam cara untuk mendapatkan dan
mempertahankan kekuasaan agar menjadi selanggeng mungkin.
Meskipun cara-cara tersebut sangat inkonstitusional bahkan
bertentangan dengan nilai-nilai moral. Berdasar teori ini
dapat kita lihat fakta banyaknya para penguasa yakni para
elit politik maupun pejabat-pejabat negara dari lembaga
baik legislatif, yuikatif maupun eksekutif yang telah dan
sedang diproses sebagai tersangka dalam kasus Korupsi
bahkan selain itu dalam masa kerjanya tidak jarang juga
mereka melakukan Kolusi dan Nepotisme atau biasa disebut
dengan KKN.
Kembali terkait pembuatan Undang-Undang di Indonesia
dimana seperti sudah dijelaskan diatas bahwa pembuat
Undang-Undang adalah merupakan tugas dari Lembaga
14
Legislatif yang didalamnya terdapat para pejabat lembaga
Legislatif atau bisa juga kita sebut para penguasa. Selain
itu juga bahwa intervensi politik terjadi sejak awal
perumusan suatu Undang-Undang atau Peraturan di Indonesia.
Intervensi tidak hanya berasal dari para penguasa di
Internal Lembaga legislatif itu sendiri dalam rangka
memasukkan kepentingan-kepentingan tertentu di dalam
Undang-Undang tersebut yang pastinya akan menguntungkan
mereka. Intervensi lain yang juga tidak kalah kuat berasal
dari para penguasa dari Lembaga Negara lainnya atau bahkan
justru dari pihak swasta melalui koneksi yang mereka punya
dalam mengakses para pejabat negara. Para penguasa maupun
pihak swasta tersebut akan ikut memberikan kontribusinya
berupa intervensi kepentingan dalam pembuatan suatu
Undang-Undang / Peraturan tertentu yang tentunya akan
menguntungkan atau setidaknya tidam membahayakan mereka.
Sesuai judul makalah yang dibuat olel penulis bahwa
regulasi yakni Undang-Undang atau Peraturan di Indonesia
yang menjadi tameng bagi para koruptor berdasar penjelasan
diatas mulai dapat penulis jelaskan. Penjelasan diatas
sedikit menunjukkan bagaimana Regulasi di Indonesia ini
yang seharusnya sebagai tombak untuk menghancurkan para
koruptor namun justru dapat berubah menjadi tameng bagi
mereka. Penulis akan menjelaskan lebih lanjut bagaimana
regulasi di Indonesia ini justru menjadi tameng bagi para
koruptor beserta fakta-fakta yang ada di Indonesia.
Regulasi atau Undang-Udang beserta Peraturan-Peraturan
15
pemerintah lainnya dapat menjadi tameng bagi para koruptor
dikarenakan alasan sebagai berikut:
1. Terdapatnya celah-celah hukum yang mampu
dimanfaatkan oleh para koruptor dalam melakukan
tindakan korupsi. Celah disini dapat kita lihat
salah satunya yakni fakta yang terjadi beberapa
tahun yang lalu bahwa tidak adanya batasan minimal
yang pasti / yang sesuai dengan perbuatan yang
dilakukan oleh para koruptor di dalam Undang-Undang
Tindak Pidana Korupsi. Oleh karena itu pada proses
penjatuhan vonis oleh para penegak hukum akan
menimbulkan kondisi bargaining antara penegak hukum
dengan pelaku korupsi seperti fakta pada tanggal 17
Agustus 2012 silam dimana hakim adhoc Pengadilan
Tipikor Semarang yakni Kartini Marpaung yang
ditangkap KPK di depan halaman PN Semarang dimana
dia sedang menangani kasus dugaan korupsi perawatanmobil dinas dengan terdakwa Ketua DPRD Grobogan non-aktif
M. Yaeni.
Berdasar fakta diatas yang merupakan suatu
proses bargaining yang dapat langsung ditangkap
tangan oleh KPK sehingga setidaknya dapat
menjelaskan tentang kemungkinan bargaining yang
mungkin terjadi pada kasus korupsi yang lain.
Tentunya setelah ada proses bargaining maka sanksi
yang akan dijatuhkan akan lebih meringankan pihak
tersangka korupsi sehingga sanksi / vonis yang
dijatuhkan oleh hakim menjadi tidak cukup16
menimbulkan efek jera baik bagi pelaku korupsi
maupun para calon pelaku korupsi. Maksud para calon
pelaku korupsi yakni para orang-orang atau pejabat
yang memiliki potensi melakukan tindak pidana
korupsi akan memandang mempelajari dari kasus
korupsi yang sudah terjadi dimana pelaku koruptor
seakan hanay dihukum sekedarnya saja dan didalam
masa tahanan sekalipun mereka yang berkuasa juga
mendapatkan fasilitas lebih dibanding tahanan
lainnya. Oleh karena orang-orang yang berpotensi
melakukan tindak pidana korupsi akan cenderung tidak
takut atau kurang mendapatkan efek jera mengingat
beberapa kasus korupsi sebelumnya hanya dihukum
sekedarnya saja. Berdasarkan pantauan ICW, selama
tiga tahun terakhir sampai dengan agustus 2013
terdapat 756 terpidana korupsi yang hanya mayoritas
hanya divonis dengan hukuman antara 1-5 tahun
penjara5, sebagai contoh:
a. Hartati cuma divonis 2 tahun 8 bulan penjara
dan denda Rp 150 juta subsider tiga bulan
kurungan. Dia terbukti bersalah karena telah
menyuap bekas Bupati Buol, Sulawesi Tengah,
Amran Batalipu
b. Mantan Kepala Dinas Pertanian Mesuji Mawardi
hanya dijatuhi hukuman 1 tahun penjara terkait
5 http://www.tempo.co/read/news/2013/08/11/063503667/ICW-Dari-756-Koruptor-Hanya-5-yang-Divonis-Berat
17
korupsi dana bantuan sosial cetak sawah tahun
anggaran 2011.6
c. Gubernur (nonaktif) Kalimantan Timur Suwarna
Abdul Fatah divonis hukuman 1,5 tahun serta
didenda Rp 250 juta subsider tiga bulan
kurungan atas kasus penyalahgunaan lahan dan
izin pemanfaatan kayu (IPK).7
Selain contoh diatas ada beberapa kasus yang sampai
berujung pada vonis bebas yang dikeluarkan oleh
hakim terhadap seorang tersangka korupsi yakni Wali
Kota Medan, Rahudman Harahap - kasus korupsi
Tunjangan Pendapatan Aparatur Pemerintahan Desa
(TPAPD) Kabupaten Tapanuli Selatan pada tahun
anggaran 2005.8
Berdasarkan fakta-fakta diatas sangat jelas
bagaimana celah hukum ini benar-benar bisa
dimanfaatkan oleh para koruptor untuk meminimalisir
hukuman yang akan mereka dapat. Selain itu celah-
celah hukum diatas yang dapat meringankan hukuman
para koruptor celah-celah lain yang dapat
dimanfaatkan oleh para koruptor yakni pada pasal 12
B UU No 20 tahun 2001 tentang tindak pidana korupsi
yang mengatur bahwa PNS dan penyelenggara negara
yang menerima gratifikasi yang berhubungan dengan6 http://lampost.co/berita/korupsi-rp12-miliar-mantan-kadistan-mesuji-hanya-dihukum-1-tahun7 http://www.antikorupsi.org/id/content/gubernur-kaltim-divonis-15-tahun-penjara8 http://www.tempo.co/read/news/2013/08/16/063504940/Kejaksaan-Akan-Ajukan-Kasasi-Vonis-Bebas-Rahudman
18
jabatannya dan berlawanan dengan kewajiban dan
tugasnya. Tapi, pemberian ini tidak dapat dituntut
apabila dalam 30 hari dilaporkan ke KPK dan ini
diatur dalam Pasal 12 C. Dalam pasal 12 C terkesan
menjadi alasan pembenar atas penerimaan gratifikasi
yang diatur dalam Pasal 12 B, sehingga tindakan
seorang penerima gratifikasi yang seharusnya
merupakan salah satu tindakan korupsi menjadi dapat
dibenarkan oleh Regulasi yakni UU Tipikor dengan
syarat yang bersangkutan melaporkan gratifikasi yang
diterimanya kepada KPK. Berdasar fakta-fakta diatas,
penulis mampu melihat bagaimana celah-celah dalam
regulasi di Indonesia ini justru dapat dimanfaatkan
sebagai tameng bagi para koruptor dalam menjalankan
tindak pidana korupsi atau setidaknya bisa
meringankan hukuman mereka.
2. Regulasi yang salah yang justru dapat dimanfaatkan
oleh para koruptor sebagai tameng atas perbuatan
korupsi yang mereka lakukan. Salah satu regulasi
yang jelas-jelas akan menjadi tameng bagi para
koruptor yakni salah satunya yakni terkait munculnya
Surat Edaran Jaksa Agung RI (SEJA) dengan nomor B-
113/F/Fd.1/05/2010 tertanggal 18 Mei 2010 yang
ditujukan kepada seluruh kejaksaan tinggi di
Indonesia. Dalam Surat edaran ini dijelaskan tentang
imbauan agar dalam kasus dugaan korupsi, masyarakat
yang dengan kesadarannya telah mengembalikan
19
kerugian keuangan negara yang nilainya kecil perlu
dipertimbangkan untuk tidak ditindaklanjuti atau
berlaku asas restorative justice. Ada 2 hal yang menarik
dalam surat edaran disini yakni bahwa seorang
koruptor yang secara sadar bahwa dia mengembalikan
keuangan negara yang jelas-jelas sudah dinikmati
tidak perlu ditindak lanjuti secara hukum. Kemudian
yang kedua yakni bahwa dalam surat edaran ini sama
sekali tidak dijelaskan lebih lanjut mengenai
definisi dari nilai yang kecil apakah itu 10 juta,
100 juta maupun 1 milyar.
Menurut penulis besar kecil suatu nilai
merupakan hal yang sangat relatif tergantung dari
pembanding dari besarnya nilai tersebut. sebagai
contoh menurut beberapa orang kelas menengah bahwa
uang 100 juta merupakan suatu nilai yang sangat
besar namun jika dibanding kekayaan negara yang
berjumlah trilyunan rupiah maka 100 juta adalah
suatu nilai yang sangat kecil. Tentunya tidak dapat
kita bayangkan apabila para koruptor juga pandai
dalam memanfaatkan aturan ini dengan mematok korupsi
minimal yang akan mereka lakukan. Kemudian apabila
korupsi yang dilakukannya masuk kedalam kategori
kecil maka besar kemungkinan dia tidak diproses
secara hukum. Fenomena semacam ini justru akan
berdampak sangat negatif dan benar-benar mampu
20
menjadi tameng bagi para koruptor dalam melakukan
perbuatan korupsinya.
3. Adanya beberapa hal terkait korupsi ayng belum
diatur dalam Regulasi / Undang-Undang di Indonesia.
Pada bagian ini menurut penulis ada beberapa hal
yang seharusnya diatur dalam rangka memberantas
tindak pidana korupsi namun masih belum diatur
didalam Undang-Undang, maka hal ini akan menjadi
celah lain bagi koruptor untuk menjadikan ini
sebagai tameng mereka dalam melakukan tindak pidana
korupsi. Salah satu hal yang cukup sensitif ,
menarik namun tidak bisa dilakukan penindak lanjutan
berdasar hukum yakni terkait bentuk Gratifikasi.
Dalam UU Tipikor Pasal 12B Ayat (1) UU No.31
Tahun 1999 juncto UU No.20 Tahun 2001 menjelaskan
bahwa gratifikasi adalah pemberian dalam arti luas,
yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat
(discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket
perjalanan, fasilitas penginapan, perjawalan wisata,
pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya.
Gratifikasi tersebut baik yang diteria di dalam
negeri maupun di luar negeri dan yang dilakukan
dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa
sarana elektronik. Lalu bagaimana dengan Gratifikasi
yang berbentuk terkait eksploitassi wanita? Sangat
tidak menutup kemungkinan bahwa gratifikasi juga
21
dapat berupa hal-hal yang bersifat negatif seperti
eksploitasi wanita sebagai contoh pelayanan sexs
oleh wanita yang tidak jarang diberikan oleh
seseorang kepada pihak tertentu sebagai bentuk
gratifikasinya. Tentunya hal ini akan sangat sukar
terendus dan sukar untuk ditindak lanjuti secara
hukum.
Selain itu yang belum diatur oleh Undang-Undang
yakni terkait pembuktian terbalik. Maksud pembuktian
terbalik disini yakni tentang penyidikan yang
berawal dari kecurigaan terhadap besarnya kekayaan
seorang penabat negara atau sesorang yang diduga
telah melakukan tindak pidana korupsi dimana
kekayaan tersebut tidak relevan dengan penghasilan
yang biasa dia terima setiap bulannya. Tentunya
apabila pembuktian terbalik ini sudah di atur oleh
Undang-Undang maka akan sangat membantu pihak
penyidik dengan bisa langsung memeriksa orang-orang
yang memiliki kekayaan yang mencurigakan lalu
mencari asal dari kekayaan tersebut tentunya
berdasar bukti yang konkrit. Apabila dalam
pembuktiannya orang tersebut tidak mampu secara
relevan menjelaskan asal kekayaan tersebut maka
besar kemungkinan dia akan terjerat oleh kasus
korupsi dan kemungkinan besar kasus korupsi akan
dapat menurun.
22
Berdasarkan penjelasan diatas terkait makalah yang
berjudul “REGULASI TINDAK PIDANA KORUPSI SEBAGAI TAMENG BAGI
PARA KORUPTOR DI INDONESIA” penulis dapat menyimpulkan bahwa
memang benar bahwa Regulasi terkait Tindak Pidana Korupsi yang
ada di Indonesia masih kurang mampu atau kurang efektif dalam
mencegah atau mengurangi para pelaku tindak pidana korupsi
mengingat banyak kelemahan yang mampu dimanfaatkan oleh para
koruptor yang justru kemudian diajikan sebagai tameng bagi
mereka dalam melakukan perbuatan korupsinya. Kekuasaan,
politik dan intervensi pihak penguasa sangat berpengaruh
sebagai hambatan dalam pemberantasan korupsi yang sudah
menjalar keberbagai lini yakni mulai dari proses perumusan
Regulasi terkait korupsi, dalam proses penegakan hukum sampai
dengan proses eksekusi atau penjatuhan vonis oleh hakim.
Regulasi ini dapat menjadi tameng karena adanya celah yang
mampu dimanfaatkan oleh para koruptor, ada beberapa regulasi
yang justru melindungi perbuatan para koruptor dan ada
beberapa hal terkait korupsi yang belum diatur oleh Regulasi
di bidang Korupsi.
Oleh karena itu rekomendasi yang dapat penulis berikan
terkait fenomena diatas yakni bahwa :
1. Sebelum merumuskan Undang-Undang tentunya pastikan
terlebih dahulu sumber daya manusia yang ada yang
akan digunakan untuk merumuskan undang-undang
tersebut baik dari segi moral maupun
profesionalisme.
2. Terkait rekruitmen sumber daya manusia di badan
legislatif sebagai pembuat Undang-Undang agar lebih
24
ditingkatkan dalam rangka mendapatkan sumber daya
manusia yang benar-benar berkualitas dan mampu
merepresentasikan sebagai wakil rakyat Indonesia
3. Dalam temuan tentang adanya kekurangan dalam Undang-
Undang khususnya terkait UU Tipikor agar segera
direvisi dengan cermat, kritis dan komprehensif
sehingga UU yang baru benar-benar bisa digunakan
untuk mencegah atau setidaknya mengurangi tindak
pidana korupsi.
4. Dalam proses penegakan maupun proses eksekusi agar
para penegak hukum diberikan pengawasan yang ketat
baik oleh pimpinan dan masyarakat agar mereka
senantiasa bekerja secara profesional sesuai aturan
hukum dan masyarakat agar ikut berpartisipasi aktif
dalam mengawasi pelaksanaan penegakan hukum itu
sendiri.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Subelmi. 2001. Pemikiran Politik Barat, Jakarta: Gramdia
Pustaka Utama.
Drury, Shadia B. 1986. Hukum dan Politik, Bandung: Tarsito.
Hadi, Nor. 2011. Corporate Social Responsibility. Yogyakarta :
Graha Ilmu
http://www.tempo.co/read/news/2013/08/11/063503667/ICW-Dari-
756-Koruptor-Hanya-5-yang-Divonis-Berat
25
http://lampost.co/berita/korupsi-rp12-miliar-mantan-kadistan-
mesuji-hanya-dihukum-1-tahun
http://www.tempo.co/read/news/2013/08/16/063504940/Kejaksaan-
Akan-Ajukan-Kasasi-Vonis-Bebas-Rahudman
http://www.antikorupsi.org/id/content/gubernur-kaltim-divonis-
15-tahun-penjara
Machiavelli, Nicollo, Il Principe,terjemahan The Prince
(London: MacMillan.Ltd., 1916).
Mahfud MD. 2011. Politik Hukum di Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers.
26