BAB I PENDAHULUAN

26
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Republik Indonesia merupakan suatu negara yang besar, memiliki masyarakat yang majemuk dan memiliki sumber daya / kekayaan alam yang sangat melimpah. Segala potensi yang dimiliki oleh Negara Indonesia ini harus dikelola dan dimanfaatkan demi kemakmuran dan kesejahteraan seluruh warga negaranya melalui sistem pemerintahan yang baik. Jika sistem pemerintah tidak berjalan dengan baik maka para pihak penguasa / yang memiliki kekuasaan serta memiliki akses terhadap pengelolaan segala potensi di Indonesia akan cenderung untuk melakukan tindakan-tindakan yang dapat menguntungkan pihak tersebut. Oleh karena itu dalam menjalankan roda pemerintahannya, Negara Indonesia menggunakan suatu konsep tentang penyelenggaraan pemerintahan yang baik berdasarkan atas gagasan dari mostesquieu yakni konsep Trias Politika. Dalam konsep Trias Politica dijelaskan bahwa dalam suatu negara, kekuasaan tidak boleh dikuasai / dilimpahkan kepada 1 struktur kekuasaan politik, namun harus dipisahkan kedalam lembaga- lembaga negara yang berbeda yakni lembaga Legislatif (pembuat undang-undang), Eksekutif (pelaksana undang- undang) dan Yudikatif (pengawasan dan pemberi sanksi bagi lembaga atau perseorangan yang melanggar undang –undang). Hal ini dimaksudkan agar tidak ada suatu kekuatan yang 1

Transcript of BAB I PENDAHULUAN

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Negara Republik Indonesia merupakan suatu negara yang

besar, memiliki masyarakat yang majemuk dan memiliki sumber

daya / kekayaan alam yang sangat melimpah. Segala potensi

yang dimiliki oleh Negara Indonesia ini harus dikelola dan

dimanfaatkan demi kemakmuran dan kesejahteraan seluruh

warga negaranya melalui sistem pemerintahan yang baik. Jika

sistem pemerintah tidak berjalan dengan baik maka para

pihak penguasa / yang memiliki kekuasaan serta memiliki

akses terhadap pengelolaan segala potensi di Indonesia akan

cenderung untuk melakukan tindakan-tindakan yang dapat

menguntungkan pihak tersebut. Oleh karena itu dalam

menjalankan roda pemerintahannya, Negara Indonesia

menggunakan suatu konsep tentang penyelenggaraan

pemerintahan yang baik berdasarkan atas gagasan dari

mostesquieu yakni konsep Trias Politika. Dalam konsep Trias

Politica dijelaskan bahwa dalam suatu negara, kekuasaan

tidak boleh dikuasai / dilimpahkan kepada 1 struktur

kekuasaan politik, namun harus dipisahkan kedalam lembaga-

lembaga negara yang berbeda yakni lembaga Legislatif

(pembuat undang-undang), Eksekutif (pelaksana undang-

undang) dan Yudikatif (pengawasan dan pemberi sanksi bagi

lembaga atau perseorangan yang melanggar undang –undang).

Hal ini dimaksudkan agar tidak ada suatu kekuatan yang

1

bersifat absolut sehingga diharapkan melalui pemisahan

kekuasaan ini pemerintahan akan terselenggara dengan baik,

seimbang dan terhindar dari korupsi dikarenakan adanya

mekanisme saling mengawasi dan mengoreksi antar lembaga.

Penyelenggaraan pemerintahan berdasar teori ini

sejatinya akan menghasilkan suatu pemerintahan yang baik,

bersih dan seimbang namun hal ini tidak dapat begitu saja

terwujud tanpa adanya hambatan atau halangan. Sebagai

contoh di Indonesia dimana pemerintah belum berjalan dengan

baik yang ditandai dengan masih maraknya tindak pidana

korupsi. Ironisnya tindak pidana ini bukan hanya dilakukan

oleh satu pihak / satu struktur saja namun baik dari pihak

legislatif , eksekutif dan yudikatif. Sudah banyak contoh

kasus-kasus korupsi yang terungkap dengan tersangka bukan

hanya sekedar anggota dari anggota lembaga-lembaga tersebut

namun justru melibatkan pejabat-pejabat / elit politik yang

menduduki jabatan strategis dalam lembaga-lembaga tersebut.

Beberapa contoh tersangka yang merupakan pejabat negara dan

elit politik yang terkena kasus korupsi diantaranya :

Mantan Presiden RI Soeharto, Ketua MK Akil Mochtar,

Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah, Walikota Tangerang

Selatan Airin Rachmi Diany, Anggota DPR Angelina Sondakh

dsb.

Berdasarkan fakta diatas bahwa dalam menjalankan

pemerintah bukan hanya fokus terhadap sistem pemerintahan

seperti apa yang harus digunakan namun ada faktor-faktor

2

lain juga yang harus diperhatikan dalam rangka mencapai

tujuan dari penyelenggaraan pemerintahan tersebut serta

dapat mencegah perbuatan korupsi. Gejala korupsi yang

semakin parah ini telah menggerakkan pemerintah untuk

gencar dalam pemberantasan tindak pidana korupsi. Salah

satu usaha pemerintah dalam memberantas tindak pidana

korupsi yakni dengan membuat regulasi terkait Tindak Pidana

Korupsi dimana dalam regulasi tersebut disebutkan mengenai

berbagai kriteria perbuatan apa saja yang tergolong sebagai

perbuatan korupsi beserta sanksi pidanannya. Salah satu

regulasi terkait dengan tindak pidana korupsi ini yakni UU

No.20 tahun 2001 tentang pemberantasan korupsi yang

merupakan perubahan atas UU Nomor 31 tahun 1999.

Kesungguhan dari pemerintah dalam memberantas korupsi

cukup terlihat dengan banyaknya pejabat maupun mantan

pejabat negara dan daerah yang terjerat dan sampai divonis

oleh hakim terkait kasus korupsi yang dilakukan. Pemerintah

sangat berharap bahwa dengan sudah banyak yang terkena

kasus korupsi maka tindak pidana korupsi di Indonesia

semakin menurun, namun faktanya justru berkata sebaliknya.

Hal ini sangat terlihat dari justru semakin banyak

tersangka dan calon tersangka kasus tindak pidana korupsi

yang ditangani oleh salah satu lembaga penegak hukum di

Indonesia yaitu KPK. Hal lain yang cukup menarik adalah

terkait beberapa fenomena yang terjadi mengenai beberapa

vonis hakim yang diberikan kepada tersangka korupsi

khususnya bagi tersangka yang merupakan pejabat negara,

3

elit politik atau mantan pejabat negara yang tidak sesuai

dengan perbuatan atau kerugian negara bahkan ada yang

justru bebas demi hukum. Melalui fenomena inilah penulis

mulai menanyakan apakah Undang-Undang atau regulasi tentang

tindak pidana korupsi yang merupakan produk dari Lembaga

Legislatif adalah benar-benar mampu menjamin adanya

keadilan, kepastian hukum, bersifat netral serta jauh dari

intervensi kepentingan politik?

Ternyata regulasi ini bukanlah suatu hal yang netral

dan bebas dari kepentingan politik. Hal ini dapat terlihat

melalui penilaian penulis terkait masih banyaknya kelemahan

atau celah-celah yang mampu dimanfaatkan oleh para koruptor

atau bahkan para pihak penegak hukum dalam “bermain” dalam

proses penegakan hukum ini. Selain itu ada beberapa

peraturan yang dibuat justru terkesan melindungi para

koruptor sehingga tindak pidana korupsi di Indonesia seakan

sukar untuk diberantas sampai ke akar-akarnya. Dalam

pembuatannya regulasi terkait hukum khususnya di Indonesia

ternyata tidak sepenuhnya netral karena dalam proses

pembuatannya akan sangat sarat akan kepentingan dan

intervensi politik baik dalam perumusan sampai dengan

pelaksanaan regulasi tersebut. faktor politik disini akan

terkesan sangat kuat bagaimana para elit atau penguasa yang

berlomba-lomba dalam mengintervensi para pejabat di lembaga

legislatif untuk melahirkan UU yang setidaknya tidak

membahayakan mereka atau bahkan mampu menguntungkan dari

pihak-pihak penguasa / pejabat tersebut. Oleh karena itu,

4

berdasar fenomena ini penulis tertarik untuk mengangkat

judul tentang “REGULASI TINDAK PIDANA KORUPSI SEBAGAI

TAMENG BAGI PARA KORUPTOR DI INDONESIA”

B. Rumusan Masalah :

1.Bagaimana Regulasi Tindak Pidana Korupsi di Indonesia

dapat menjadi tameng bagi para koruptor?

BAB II

PEMBAHASAN

A. Kerangka Teori :

Dalam pembahasan ini teori yang digunakan oleh penulis

yaitu :

5

1. UU No.20 tahun 2001 tentang pemberantasan korupsi

yang merupakan perubahan atas UU Nomor 31 tahun 1999.

Dalam UU ini dibahas tentang tindak pidana korupsi

yaitu bahwa Setiap orang yang secara melawan hukum

melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang

lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan

negara atau perekonomian negara sesuai dengan pasal 2.

Selain itu juga perbuatan Setiap orang yang dengan

tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau

suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan

atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau

kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau

perekonomian negara. Selain itu juga perbuatan oleh

setiap orang yang melawan hukum dan juga bermaksud untuk

memperkaya diri sesuai dengan pasal 3. Bahwa berdasar

UU pemberantasan korupsi ini yang merupakan tindakan

korupsi adalah tindakan untuk memperkaya diri dan

menimbulkan kerugian negara baik dengan melawan hukum

maupun dengan menyalahgunakan kewenangannya.

2. Paham Machiavelli tentang teori menghalalkan segala

cara dalam politik

Dalam teori ini Marchiavelli berpendapat bahwa dalam

bukunya The Prince:

“Perlu bahwa manusia harus cukup bijak untuk

menghindari sifat - sifat buruk yang bisa membuatnya

kehilangan Negara. Namun bila tidak mampu, sang

pangeran bisa mengikuti dengan sedikit keberatan.

6

Dan dia tidak boleh keberatan melakukan sifat -

sifat buruk itu, tanpa hal - hal yang akan sulit

untuk menyelamatkan negara. Karena bila orang

menganggap baik, akan ditemukan beberapa hal yang

tampaknya baik, bila diikuti akan menuju pada

keruntuhan seseorang. Sebaliknya hal - hal yang

tampak buruk bisa memberikan keamanan dan

kesejahtraan lebih besar”1

Marchiavelli berpendapat bahwa seseorang penguasa

dalam rangka mempertahankan Negaranya maka penguasa

tersebut dalam berpolitik dapat menggunakan cara-cara

yang secara etika dapat dikatakan sebagai hal yang

buruk. Dengan kata lain menurut marchiavelli dalam

memenuhi tujuan politik kita dapat menggunakan cara yang

mengesampingkan moral jika itu dirasa perlu dan harus

dilakukan.

3. Teori kontrak sosial

Kontrak social (social contract) muncul adanya

interelasi dalam kehidupan social masyarakat, agar

terjadi keselarasan , keserasian dan keseimbangan

termasuk terhadap lingkungan. J.J Rousseau (1762) dalam

buku Nor Hadi (2011,96) berpendapat bahwa alam bukanlah

wujud dari konflik, melainkan memberikan hak kebebasan

bagi individu-individu untuk berbuatsecara kreatif.

Kontrak social (social contract) dibuat sebagai media1 Machiavelli, Nicollo, Il Principe,terjemahan The Prince (London: MacMillan.Ltd., 1916). Hal. 77

7

untuk mengatur tatanan (pranata) social kehidupan

masyarakat. J. J Rousseu menyatakan:

‘’....Social Contract Which was degigned to

explain-and therefore legitimate-the relationship

between and individual and society and its

government.2”

Dalam buku yang lain Rousseau dan Locke merumuskan

gagasan tentang Teori Kontrak Sosial dengan gagasan yang

pertama yaitu bahwa Negara bukanlah proses yang taken for

granted dari Tuhan melainkan produk dari perjanjian

sosial antara individu dalam masyarakat yang tidak ada

sangkut pautnya dengan pendelegasian kekuasaan dari

Tuhan kepada penguasa tertentu. Kedua, bahwa dunia

dikuasai oleh hukum yang didasarkan pada prinsip

keadilam yang universal. Ketiga, karena kekuasaan berasal

dari rakyat maka perlu dijamin hak-hak individu dalam

masyarakat dan keempat,perlunya kontrol kekuasaan agar

penguasa tidak melakukan penyalahgunaan kekuasaan.3

Social contract dibangun dan dikembangkan salah

satunya untuk menjelaskan hubungan antara Negara

terhadap masyarakat (society). Di sini ,Negara memiliki

kewajiban kepada masyarakat untuk member kemanfaatan

bagi masyarakat setempat. Interaksi Negara dengan

2 Hadi, Nor. 2011. Corporate Social Responsibility. Yogyakarta : GrahaIlmu. Hal.96

3 Ahmad Subelmi, Pemikiran Politik Barat, (Jakarta: Gramdia Pustaka Utama,200) hal 299-300

8

masyarakat ditunjukkan oleh masyarakat dengan tetap

memenuhi dan mematuhi aturan dan norma-norma yang

berlaku di masyarakat (community norm). Selain itu

Masyarakat juga berhak untuk mengawasi segala yang

dilakukan oleh Negara agar tetap sesuai tujuan Negara

dan tidak ada pejabat negara yang melakukan

penyalahgunaan kekuasaan.

B. Analisa Regulasi Tindak Pidana Korupsi Yang Dapat Menjadi

Tameng Bagi Para Koruptor di Indonesia.

Berdasarkan Konsep Trias Politica yang diusung oleh

Montesquieu yang menghendaki adanya pemisahan kekuasaan

Negara (separation of power) sehingga tidak akan terpusat

pada seorang penguasa.4 Oleh karena itu, suatu negara dalam

menjalankan pemerintahannya agar dapat berjalan secara

baik dan seimbang serta terbebas dari korupsi maka dalam

mewujudkan kondisi ideal pemerintahan yang baik, seimbang

dan tidak korupsi yakni dengan cara pemisahan kekuasaan.

Dengan adanya pemisahan kekuasaan ini diharapkan tidak ada

sentralisasi kekuasaan atau kekuasaan yang absolut yang

dimiliki oleh suatu struktur lembaga negara yang dapat

membuka peluang yang sangat besar dari lembaga tersebut

untuk bersifat otoriter. Berawal dari sikap yang otoriter

maka hal ini akan dapat berujung kepada penyalahgunaan

wewenang yang pastinya akan hanya menguntungkan pihak

penguasa atau anggota dari lembaga yang bersifat absolut

tersebut. oleh karena itu Sebagai negara demokrasi,

pemerintahan Indonesia dalam menerapkan teori trias4 Ahmad Subelmi, Pemikiran Politik Barat, (Jakarta: Gramdia Pustaka Utama,200) hal 301

9

politika melakukan pembagian kekuasaan (distribution of

power) yakni kekuasaan lembaga-lembaga Negara di Indonesia

dmana lembaga itu terbagi menjadi 3 yaitu:

1. Legislatif bertugas membuat undang undang. Bidang

legislatif adalah Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

2. Eksekutif bertugas menerapkan atau melaksanakan

undang-undang. Bidang eksekutif adalah presiden dan

wakil presiden beserta menteri-menteri yang

membantunya.

3. Yudikatif bertugas mempertahankan pelaksanaan

undang-undang. Adapun unsur yudikatif terdiri atas

Mahkamah Agung (MA) dan Mahkamah Konstitusi (MK)

Pemisahan kekuasaan disini tidak berarti mereka

benar-benar terpisah dan menjalankan kekuasaan masing-

masing atau adanya garis pemisahan yang bersifat kaku,

namun pemisahan disini dimaksudkan agar adanya saling

koreksi dan koordinasi serta asling mengawasi antar tiap

lembaga. Koordinasi dalam rangka membahas tentang jalannya

pemerintahan yang baik dan pengawasan antar satu lembaga

dengan lembaga yang lain agar dalam menjalankan kewenangan

dan tugasnya senantiasa dalam koridor yang benar demi

tercapainya sistem pemerintahan yang baik.

Suatu sistem pemerintahan yang baik harus dapat

terwujud karena segala hal yang dilakukan oleh lembaga-

lembaga negara tadi sangat berpengaruh terhadap

berlangsungnya ketahanan negara dan kesejahteraan Rakyat

10

Indonesia. Dalam teori kontrak sosial terkait hubungan

antara individu, masyarakat / warga negara dan Negara itu

sendiri yakni bahwa Negara dijalankan oleh sekelompok

orang yang merupakan perwakilan atau representassi dari

rakyat dan mendapatkan kekuasaan serta kepercayaan dari

seluruh rakyat dalam menjalankan dan membuat aturan dalam

pemerintahan negara. Oleh karena itu rakyat wajib menaati

segala perintah atau aturan yang dibuat oleh Negara

melalui sekelompok orang yang merupakan representasi atau

perwakilan dari mereka. Segala aturan yang dibuatpun harus

bertujuan untuk terciptanya sebuah good governance dan

good citienship. Oleh karena itu, segala hal yang

dilakukan oleh sekelompok orang tersebut yang merupakan

representasi dari seluruh rakyat Indonesia harus sesuai

dengan cita-cita atau keinginan dari rakyat Indonesia.

Kekuasaan dari sekelompook orang ini sangat besar dan

penting karena salah satunya yakni berkaitan dengan

pengelolaan seluruh sumber daya dan kekayaan yang dimiliki

oleh Negara Inddonesia. Kekuasaan yang besar inilah yang

sangat berbahaya jika dalam menjalankan kekuasaannya

mereka hanya berada dalam suatu struktur lembaga tanpa da

lembaga lain yang mengoreksi atau mengawasi. Sehingga

Teori Trias Politika dianggap sangat cocok dalam rangka

menjalankan sistem pemerintahan yang baik, seimbang dan

bebas dari korupsi.

Fakta yang terjadi di Indonesia adalah walaupun

sistem yang ada sudah baik ternyata pemerintahan masih

11

belum bisa berjalan dengan baik yang ditunjukkan dengan

dari prilaku korupsi yang sudah menggurita sampai ke akar-

akar. Dalam sistem pemerintahan yang dijalankan oleh

manusia tentunya faktor manusia sangat berpengaruh

terhadap baik buruknya sistem pemerintahan yang akan

dijalankan oleh suatu negara tersebut. sistem pemerintahan

yang baik akan sangat bergantung terhadap prilaku,

kehendak dan moral manusia yang tidak bisa lepas dari

sifat alamiah manusia yang senantiasa ingin memenuhi

segala kebutuhan hidupnya dan ingin menguasai apa yang

bisa dikuasai oleh manusia tersebut. Oleh karena itu salah

satu cara agar kita tidak hanya bergantung kepada moral,

kehendak dan prilaku manusia kita harus memiliki sesuatu

yang bersifat memaksa agar manusia tersebut senantiasa

bekerja dan menggunakan kewenangannya tersebut dengan baik

dan sesuai dengan tujuan pemerintahan dan hal tersebut

adalah regulasi yang dapat berbentuk suatu Undang-Undang

atau peraturan-peraturan pemerintah lainnya.

Didalam Undang-Undang atau Perpu mengandung segala

aturan tentang apa yang seharusnya dan yang dilarang untuk

dilakukan, tentunya aturan / undang-undang itu akan

memiliki kekuatan memaksa karena terdapat unsur sanksi

didalamnya. Dengan adanya sanksi yang dirasa cukup

membebani bagi para pelanggarnya oleh badan legislatif

sebagai pembuat Undang-Undang berharap bahwa setiap warga

negara akan mematuhinya khususnya bagi para pejabat

Negara. Idealnya terkait sanksi yang terkandung didalam

12

Undang-Undang terhadap para pelanggar hukum adalah sanksi

yang dapat menimbulkan efek jera bagi para pelanggarnya.

Hal ini bermaksud dengan munculnya efek jera maka

pelanggar tersebut akan merasakan efek jera dari perbuatan

yang dilakukan sehingga dia akan berusaha untuk tidak

mengulangi perbuatannya tersebut. Selain menimbulkan efek

jera bagi pelanggar tersebut diharapkan sanksi ini

menimbulkan general deterence. Maksud dari general

detterence ini yaitu bahwa orang lain yang melihat sanksi

yang diterima oleh pelanggar akan ikut merasakan efeknya

(efek yang menggeneral) sehingga dia akan berpikir

berualang kali atau berusaha untuk tidak melanggar aturan

hukum tersebut. dengan efek general detterence ini juga

diharapkan mampu membuat seluruh warga negara Indonesia

agar senantiasa menaati peraturan / perundang-undangan

yang ada tidak terkecuali para elit politik maupun pejabat

negara.

Undang-Undang yang dibuat tentunya tidak bisa

berjalan sempurna tanpa kehadiran atau dukungan dari para

penagak hukum baik ditingkat penyidikan maupun di tingkat

penuntutan sampai dengan tingkat eksekusi. Dalam hal ini

aturan atau undang-undang ini juga akan tetap bergantung

terhadap kepada para penegak hukum yakni kepolisian ,

kejaksaan, kehakiman dalam menerapkan Regulasi yang ada

yang dapat berupa Undang-Undang maupun peraturan lainnya.

Terkait segala regulasi di Negara Indonesia sebelum

digunakan oleh para penegak hukum harus kita kaji trelebih

13

apakah benar Undang-Undang tersebut sudah dibuat secara

netral dan benar-benar untuk kepentingan seluruh warga

negara tanpa ada intervensi kepentingan dari pihak-pihak

penguasa? Ternyata hal tersebut merupakan hal yang cukup

menarik untuk dibahas.

Menurut teori marchiavelli tentang teori menghalalkan

segala cara yakni disebutkan bahwa bahwa dunia politik

itu bebas dan apabila kondisinya sudah tidak memungkinkan

maka jangan mengkaitkan antara politik dengan etika

(moralitas) dalam rangka memenuhi tujuan politik tersebut.

oleh karena itu menurut Marchiavelli yang terpenting dalam

politik adalah bagaimana seorang Raja/penguasa berusaha

dengan berbagai macam cara untuk mendapatkan dan

mempertahankan kekuasaan agar menjadi selanggeng mungkin.

Meskipun cara-cara tersebut sangat inkonstitusional bahkan

bertentangan dengan nilai-nilai moral. Berdasar teori ini

dapat kita lihat fakta banyaknya para penguasa yakni para

elit politik maupun pejabat-pejabat negara dari lembaga

baik legislatif, yuikatif maupun eksekutif yang telah dan

sedang diproses sebagai tersangka dalam kasus Korupsi

bahkan selain itu dalam masa kerjanya tidak jarang juga

mereka melakukan Kolusi dan Nepotisme atau biasa disebut

dengan KKN.

Kembali terkait pembuatan Undang-Undang di Indonesia

dimana seperti sudah dijelaskan diatas bahwa pembuat

Undang-Undang adalah merupakan tugas dari Lembaga

14

Legislatif yang didalamnya terdapat para pejabat lembaga

Legislatif atau bisa juga kita sebut para penguasa. Selain

itu juga bahwa intervensi politik terjadi sejak awal

perumusan suatu Undang-Undang atau Peraturan di Indonesia.

Intervensi tidak hanya berasal dari para penguasa di

Internal Lembaga legislatif itu sendiri dalam rangka

memasukkan kepentingan-kepentingan tertentu di dalam

Undang-Undang tersebut yang pastinya akan menguntungkan

mereka. Intervensi lain yang juga tidak kalah kuat berasal

dari para penguasa dari Lembaga Negara lainnya atau bahkan

justru dari pihak swasta melalui koneksi yang mereka punya

dalam mengakses para pejabat negara. Para penguasa maupun

pihak swasta tersebut akan ikut memberikan kontribusinya

berupa intervensi kepentingan dalam pembuatan suatu

Undang-Undang / Peraturan tertentu yang tentunya akan

menguntungkan atau setidaknya tidam membahayakan mereka.

Sesuai judul makalah yang dibuat olel penulis bahwa

regulasi yakni Undang-Undang atau Peraturan di Indonesia

yang menjadi tameng bagi para koruptor berdasar penjelasan

diatas mulai dapat penulis jelaskan. Penjelasan diatas

sedikit menunjukkan bagaimana Regulasi di Indonesia ini

yang seharusnya sebagai tombak untuk menghancurkan para

koruptor namun justru dapat berubah menjadi tameng bagi

mereka. Penulis akan menjelaskan lebih lanjut bagaimana

regulasi di Indonesia ini justru menjadi tameng bagi para

koruptor beserta fakta-fakta yang ada di Indonesia.

Regulasi atau Undang-Udang beserta Peraturan-Peraturan

15

pemerintah lainnya dapat menjadi tameng bagi para koruptor

dikarenakan alasan sebagai berikut:

1. Terdapatnya celah-celah hukum yang mampu

dimanfaatkan oleh para koruptor dalam melakukan

tindakan korupsi. Celah disini dapat kita lihat

salah satunya yakni fakta yang terjadi beberapa

tahun yang lalu bahwa tidak adanya batasan minimal

yang pasti / yang sesuai dengan perbuatan yang

dilakukan oleh para koruptor di dalam Undang-Undang

Tindak Pidana Korupsi. Oleh karena itu pada proses

penjatuhan vonis oleh para penegak hukum akan

menimbulkan kondisi bargaining antara penegak hukum

dengan pelaku korupsi seperti fakta pada tanggal 17

Agustus 2012 silam dimana hakim adhoc Pengadilan

Tipikor Semarang yakni Kartini Marpaung yang

ditangkap KPK di depan halaman PN Semarang dimana

dia sedang menangani kasus dugaan korupsi perawatanmobil dinas dengan terdakwa Ketua DPRD Grobogan non-aktif

M. Yaeni.

Berdasar fakta diatas yang merupakan suatu

proses bargaining yang dapat langsung ditangkap

tangan oleh KPK sehingga setidaknya dapat

menjelaskan tentang kemungkinan bargaining yang

mungkin terjadi pada kasus korupsi yang lain.

Tentunya setelah ada proses bargaining maka sanksi

yang akan dijatuhkan akan lebih meringankan pihak

tersangka korupsi sehingga sanksi / vonis yang

dijatuhkan oleh hakim menjadi tidak cukup16

menimbulkan efek jera baik bagi pelaku korupsi

maupun para calon pelaku korupsi. Maksud para calon

pelaku korupsi yakni para orang-orang atau pejabat

yang memiliki potensi melakukan tindak pidana

korupsi akan memandang mempelajari dari kasus

korupsi yang sudah terjadi dimana pelaku koruptor

seakan hanay dihukum sekedarnya saja dan didalam

masa tahanan sekalipun mereka yang berkuasa juga

mendapatkan fasilitas lebih dibanding tahanan

lainnya. Oleh karena orang-orang yang berpotensi

melakukan tindak pidana korupsi akan cenderung tidak

takut atau kurang mendapatkan efek jera mengingat

beberapa kasus korupsi sebelumnya hanya dihukum

sekedarnya saja. Berdasarkan pantauan ICW, selama

tiga tahun terakhir sampai dengan agustus 2013

terdapat 756 terpidana korupsi yang hanya mayoritas

hanya divonis dengan hukuman antara 1-5 tahun

penjara5, sebagai contoh:

a. Hartati cuma divonis 2 tahun 8 bulan penjara

dan denda Rp 150 juta subsider tiga bulan

kurungan. Dia terbukti bersalah karena telah

menyuap bekas Bupati Buol, Sulawesi Tengah,

Amran Batalipu

b. Mantan Kepala Dinas Pertanian Mesuji Mawardi

hanya dijatuhi hukuman 1 tahun penjara terkait

5 http://www.tempo.co/read/news/2013/08/11/063503667/ICW-Dari-756-Koruptor-Hanya-5-yang-Divonis-Berat

17

korupsi dana bantuan sosial cetak sawah tahun

anggaran 2011.6

c. Gubernur (nonaktif) Kalimantan Timur Suwarna

Abdul Fatah divonis hukuman 1,5 tahun serta

didenda Rp 250 juta subsider tiga bulan

kurungan atas kasus penyalahgunaan lahan dan

izin pemanfaatan kayu (IPK).7

Selain contoh diatas ada beberapa kasus yang sampai

berujung pada vonis bebas yang dikeluarkan oleh

hakim terhadap seorang tersangka korupsi yakni Wali

Kota Medan, Rahudman Harahap - kasus korupsi

Tunjangan Pendapatan Aparatur Pemerintahan Desa

(TPAPD) Kabupaten Tapanuli Selatan pada tahun

anggaran 2005.8

Berdasarkan fakta-fakta diatas sangat jelas

bagaimana celah hukum ini benar-benar bisa

dimanfaatkan oleh para koruptor untuk meminimalisir

hukuman yang akan mereka dapat. Selain itu celah-

celah hukum diatas yang dapat meringankan hukuman

para koruptor celah-celah lain yang dapat

dimanfaatkan oleh para koruptor yakni pada pasal 12

B UU No 20 tahun 2001 tentang tindak pidana korupsi

yang mengatur bahwa PNS dan penyelenggara negara

yang menerima gratifikasi yang berhubungan dengan6 http://lampost.co/berita/korupsi-rp12-miliar-mantan-kadistan-mesuji-hanya-dihukum-1-tahun7 http://www.antikorupsi.org/id/content/gubernur-kaltim-divonis-15-tahun-penjara8 http://www.tempo.co/read/news/2013/08/16/063504940/Kejaksaan-Akan-Ajukan-Kasasi-Vonis-Bebas-Rahudman

18

jabatannya dan berlawanan dengan kewajiban dan

tugasnya. Tapi, pemberian ini tidak dapat dituntut

apabila dalam 30 hari dilaporkan ke KPK dan ini

diatur dalam Pasal 12 C. Dalam pasal 12 C terkesan

menjadi alasan pembenar atas penerimaan gratifikasi

yang diatur dalam Pasal 12 B, sehingga tindakan

seorang penerima gratifikasi yang seharusnya

merupakan salah satu tindakan korupsi menjadi dapat

dibenarkan oleh Regulasi yakni UU Tipikor dengan

syarat yang bersangkutan melaporkan gratifikasi yang

diterimanya kepada KPK. Berdasar fakta-fakta diatas,

penulis mampu melihat bagaimana celah-celah dalam

regulasi di Indonesia ini justru dapat dimanfaatkan

sebagai tameng bagi para koruptor dalam menjalankan

tindak pidana korupsi atau setidaknya bisa

meringankan hukuman mereka.

2. Regulasi yang salah yang justru dapat dimanfaatkan

oleh para koruptor sebagai tameng atas perbuatan

korupsi yang mereka lakukan. Salah satu regulasi

yang jelas-jelas akan menjadi tameng bagi para

koruptor yakni salah satunya yakni terkait munculnya

Surat Edaran Jaksa Agung RI (SEJA) dengan nomor B-

113/F/Fd.1/05/2010 tertanggal 18 Mei 2010 yang

ditujukan kepada seluruh kejaksaan tinggi di

Indonesia. Dalam Surat edaran ini dijelaskan tentang

imbauan agar dalam kasus dugaan korupsi, masyarakat

yang dengan kesadarannya telah mengembalikan

19

kerugian keuangan negara yang nilainya kecil perlu

dipertimbangkan untuk tidak ditindaklanjuti atau

berlaku asas restorative justice. Ada 2 hal yang menarik

dalam surat edaran disini yakni bahwa seorang

koruptor yang secara sadar bahwa dia mengembalikan

keuangan negara yang jelas-jelas sudah dinikmati

tidak perlu ditindak lanjuti secara hukum. Kemudian

yang kedua yakni bahwa dalam surat edaran ini sama

sekali tidak dijelaskan lebih lanjut mengenai

definisi dari nilai yang kecil apakah itu 10 juta,

100 juta maupun 1 milyar.

Menurut penulis besar kecil suatu nilai

merupakan hal yang sangat relatif tergantung dari

pembanding dari besarnya nilai tersebut. sebagai

contoh menurut beberapa orang kelas menengah bahwa

uang 100 juta merupakan suatu nilai yang sangat

besar namun jika dibanding kekayaan negara yang

berjumlah trilyunan rupiah maka 100 juta adalah

suatu nilai yang sangat kecil. Tentunya tidak dapat

kita bayangkan apabila para koruptor juga pandai

dalam memanfaatkan aturan ini dengan mematok korupsi

minimal yang akan mereka lakukan. Kemudian apabila

korupsi yang dilakukannya masuk kedalam kategori

kecil maka besar kemungkinan dia tidak diproses

secara hukum. Fenomena semacam ini justru akan

berdampak sangat negatif dan benar-benar mampu

20

menjadi tameng bagi para koruptor dalam melakukan

perbuatan korupsinya.

3. Adanya beberapa hal terkait korupsi ayng belum

diatur dalam Regulasi / Undang-Undang di Indonesia.

Pada bagian ini menurut penulis ada beberapa hal

yang seharusnya diatur dalam rangka memberantas

tindak pidana korupsi namun masih belum diatur

didalam Undang-Undang, maka hal ini akan menjadi

celah lain bagi koruptor untuk menjadikan ini

sebagai tameng mereka dalam melakukan tindak pidana

korupsi. Salah satu hal yang cukup sensitif ,

menarik namun tidak bisa dilakukan penindak lanjutan

berdasar hukum yakni terkait bentuk Gratifikasi.

Dalam UU Tipikor Pasal 12B Ayat (1) UU No.31

Tahun 1999 juncto UU No.20 Tahun 2001 menjelaskan

bahwa gratifikasi adalah pemberian dalam arti luas,

yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat

(discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket

perjalanan, fasilitas penginapan, perjawalan wisata,

pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya.

Gratifikasi tersebut baik yang diteria di dalam

negeri maupun di luar negeri dan yang dilakukan

dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa

sarana elektronik. Lalu bagaimana dengan Gratifikasi

yang berbentuk terkait eksploitassi wanita? Sangat

tidak menutup kemungkinan bahwa gratifikasi juga

21

dapat berupa hal-hal yang bersifat negatif seperti

eksploitasi wanita sebagai contoh pelayanan sexs

oleh wanita yang tidak jarang diberikan oleh

seseorang kepada pihak tertentu sebagai bentuk

gratifikasinya. Tentunya hal ini akan sangat sukar

terendus dan sukar untuk ditindak lanjuti secara

hukum.

Selain itu yang belum diatur oleh Undang-Undang

yakni terkait pembuktian terbalik. Maksud pembuktian

terbalik disini yakni tentang penyidikan yang

berawal dari kecurigaan terhadap besarnya kekayaan

seorang penabat negara atau sesorang yang diduga

telah melakukan tindak pidana korupsi dimana

kekayaan tersebut tidak relevan dengan penghasilan

yang biasa dia terima setiap bulannya. Tentunya

apabila pembuktian terbalik ini sudah di atur oleh

Undang-Undang maka akan sangat membantu pihak

penyidik dengan bisa langsung memeriksa orang-orang

yang memiliki kekayaan yang mencurigakan lalu

mencari asal dari kekayaan tersebut tentunya

berdasar bukti yang konkrit. Apabila dalam

pembuktiannya orang tersebut tidak mampu secara

relevan menjelaskan asal kekayaan tersebut maka

besar kemungkinan dia akan terjerat oleh kasus

korupsi dan kemungkinan besar kasus korupsi akan

dapat menurun.

22

BAB III

KESIMPULAN

23

Berdasarkan penjelasan diatas terkait makalah yang

berjudul “REGULASI TINDAK PIDANA KORUPSI SEBAGAI TAMENG BAGI

PARA KORUPTOR DI INDONESIA” penulis dapat menyimpulkan bahwa

memang benar bahwa Regulasi terkait Tindak Pidana Korupsi yang

ada di Indonesia masih kurang mampu atau kurang efektif dalam

mencegah atau mengurangi para pelaku tindak pidana korupsi

mengingat banyak kelemahan yang mampu dimanfaatkan oleh para

koruptor yang justru kemudian diajikan sebagai tameng bagi

mereka dalam melakukan perbuatan korupsinya. Kekuasaan,

politik dan intervensi pihak penguasa sangat berpengaruh

sebagai hambatan dalam pemberantasan korupsi yang sudah

menjalar keberbagai lini yakni mulai dari proses perumusan

Regulasi terkait korupsi, dalam proses penegakan hukum sampai

dengan proses eksekusi atau penjatuhan vonis oleh hakim.

Regulasi ini dapat menjadi tameng karena adanya celah yang

mampu dimanfaatkan oleh para koruptor, ada beberapa regulasi

yang justru melindungi perbuatan para koruptor dan ada

beberapa hal terkait korupsi yang belum diatur oleh Regulasi

di bidang Korupsi.

Oleh karena itu rekomendasi yang dapat penulis berikan

terkait fenomena diatas yakni bahwa :

1. Sebelum merumuskan Undang-Undang tentunya pastikan

terlebih dahulu sumber daya manusia yang ada yang

akan digunakan untuk merumuskan undang-undang

tersebut baik dari segi moral maupun

profesionalisme.

2. Terkait rekruitmen sumber daya manusia di badan

legislatif sebagai pembuat Undang-Undang agar lebih

24

ditingkatkan dalam rangka mendapatkan sumber daya

manusia yang benar-benar berkualitas dan mampu

merepresentasikan sebagai wakil rakyat Indonesia

3. Dalam temuan tentang adanya kekurangan dalam Undang-

Undang khususnya terkait UU Tipikor agar segera

direvisi dengan cermat, kritis dan komprehensif

sehingga UU yang baru benar-benar bisa digunakan

untuk mencegah atau setidaknya mengurangi tindak

pidana korupsi.

4. Dalam proses penegakan maupun proses eksekusi agar

para penegak hukum diberikan pengawasan yang ketat

baik oleh pimpinan dan masyarakat agar mereka

senantiasa bekerja secara profesional sesuai aturan

hukum dan masyarakat agar ikut berpartisipasi aktif

dalam mengawasi pelaksanaan penegakan hukum itu

sendiri.

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Subelmi. 2001. Pemikiran Politik Barat, Jakarta: Gramdia

Pustaka Utama.

Drury, Shadia B. 1986. Hukum dan Politik, Bandung: Tarsito.

Hadi, Nor. 2011. Corporate Social Responsibility. Yogyakarta :

Graha Ilmu

http://www.tempo.co/read/news/2013/08/11/063503667/ICW-Dari-

756-Koruptor-Hanya-5-yang-Divonis-Berat

25

http://lampost.co/berita/korupsi-rp12-miliar-mantan-kadistan-

mesuji-hanya-dihukum-1-tahun

http://www.tempo.co/read/news/2013/08/16/063504940/Kejaksaan-

Akan-Ajukan-Kasasi-Vonis-Bebas-Rahudman

http://www.antikorupsi.org/id/content/gubernur-kaltim-divonis-

15-tahun-penjara

Machiavelli, Nicollo, Il Principe,terjemahan The Prince

(London: MacMillan.Ltd., 1916).

Mahfud MD. 2011. Politik Hukum di Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers.

26