BAB I PENDAHULUAN

22
BAB I PENDAHULUAN Kehamilan lewat waktu (KLW) adalah kehamilan yang berlangsung terus setelah 42 minggu atau lebih, dihitung mulai dari hari pertama haid terakhir (HPHT). Angka kejadian KLW dari beberapa peneliti sangat bervariasi, berkisar antara 0,52-15,50% dari kehamilan. Dari beberapa kepustakaan didapatkan, di Denmark ditemukan KLW 8,1% (dengan HPHT tak jelas sebesar 26%), Islandia 18,6% (semua HPHT jelas), swedia sebesar 11,6% (dimana HPHT tak jelas dikeluarkan). Levono melaporkan 727 KLW, dengan rincian: kehamilan 42-43 minggu sebesar 63%, kehamilan 43-44 minggu sebesar 31% dan kehamilan lebih dari 44 minggu sebesar 6%. Di Indonesia,angka kejadian KLW di RSUP Dr.Kariadi Semarang pada tahun 1994-1998 sebesar 6,86%, sedangkan pada tahun 1992-1994 didapatkan 152 KLW (1,14%) dari 13.278 persalinan. Pada kehamilan lewat waktu risiko kematian dan kesakitan perinatal akan meningkat, risiko kematian pada KLW menjadi 3x lebih tinggi daripada kehamilan aterm. Pengaruh KLW terhadap janin bermacam-macam; berat badan terus meningkat, tidak bertambah, kurang dari semestinya, atau bahkan dapat meninggal dalam kandungan karena kekurangan nutrisi dan oksigen. Angka kematian janin pada KLW terjadi 30% pada pra-persalinan, 55% pada persalinan dan 15% pada pasca persalinan. Kekhawatiran dalam menghadapi kehamilan lewat waktu adalah meningkatnya resiko kematian dan kesakitan perinatal. Resiko kematian perinatal kehamilan lewat waktu dapat menjadi 1

Transcript of BAB I PENDAHULUAN

BAB I

PENDAHULUAN

Kehamilan lewat waktu (KLW) adalah kehamilan yang

berlangsung terus setelah 42 minggu atau lebih, dihitung mulai

dari hari pertama haid terakhir (HPHT). Angka kejadian KLW

dari beberapa peneliti sangat bervariasi, berkisar antara

0,52-15,50% dari kehamilan. Dari beberapa kepustakaan

didapatkan, di Denmark ditemukan KLW 8,1% (dengan HPHT tak

jelas sebesar 26%), Islandia 18,6% (semua HPHT jelas), swedia

sebesar 11,6% (dimana HPHT tak jelas dikeluarkan). Levono

melaporkan 727 KLW, dengan rincian: kehamilan 42-43 minggu

sebesar 63%, kehamilan 43-44 minggu sebesar 31% dan kehamilan

lebih dari 44 minggu sebesar 6%. Di Indonesia,angka kejadian

KLW di RSUP Dr.Kariadi Semarang pada tahun 1994-1998 sebesar

6,86%, sedangkan pada tahun 1992-1994 didapatkan 152 KLW

(1,14%) dari 13.278 persalinan.

Pada kehamilan lewat waktu risiko kematian dan kesakitan

perinatal akan meningkat, risiko kematian pada KLW menjadi 3x

lebih tinggi daripada kehamilan aterm. Pengaruh KLW terhadap

janin bermacam-macam; berat badan terus meningkat, tidak

bertambah, kurang dari semestinya, atau bahkan dapat meninggal

dalam kandungan karena kekurangan nutrisi dan oksigen. Angka

kematian janin pada KLW terjadi 30% pada pra-persalinan, 55%

pada persalinan dan 15% pada pasca persalinan.

Kekhawatiran dalam menghadapi kehamilan lewat waktu

adalah meningkatnya resiko kematian dan kesakitan perinatal.

Resiko kematian perinatal kehamilan lewat waktu dapat menjadi

1

3 kali dibandingkan kehamilan aterm. Disamping itu ada pula

komplikasi yang lebih sering menyertainya seperti letak

defleksi, posisi oksiput posterior, distosia bahu, dan

perdarahan postpartum (Sarwono, 2005).

BAB II

KAJIAN TEORI

2.1 Definisi

Definisi standar yang direkomendasikan secara

internasional untuk kehamilan memanjang, didukung oleh

American College of Obstetricians and Gynecologist (1997),

adalah 42 minggu lengkap (294 hari) atau lebih sejak hari

pertama haid terakhir (Wiliams, edisi 21, hal 810). Frase “42

minggu lengkap” perlu ditekankan. Kehamilan antara 41 minggu

lewat 1 hari sampai 41 minggu lewat 6 hari, meskipun telah

masuk minggu ke 42, belum lengkap 42 minggu sampai habis hari

ketujuh. Jadi secara teknis, kehamilan memanjang dapat dimulai

2

pada hari 294 atau pada hari 295 setelah hari pertama haid

terakhir (Cunningham, 2006).

Kehamilan umumnya berlangsung 40 minggu atau 280 hari

dari hari pertama haid terakhir. Kehamilan yang melewati 294

hari atau 42 minggu lengkap disebut post term atau kehamilan

lewat waktu (Sarwono, 2005).

2.2 Etiologi

Terjadinya kehamilan lewat waktu sampai sekarang belum

jelas diketahui, beberapa teori dicoba untuk menjelaskan

terjadinya KLW. Secara umum, teori-teori tersebut menyatakan

KLW terjadi karena adanya gangguan terhadap timbulnya

persalinan. Sedangkan timbulnya persalinan sendiri sampai

sekarang belum jelas diketahui. Diduga ada faktor keturunan

yang berpengaruh terhadap terjadinya KLW (Handaria, 2001).

Secara garis besar penyebab terjadinya KLW dari beberapa

teori tersebut diatas dapat dirangkum (Binarso,1987;

Wibowo,1991; Cunningham,1993; Handaria,2001) :

1. HPHT tidak jelas, terutama pada ibu-ibu yang tidak

melakukan pemeriksaan antenatal yang teratur dan berpendidikan

rendah

2. Riwayat KLW sebelumnya, sebesar 15% berisiko untuk

mengalami KLW berulang

3. Penurunan kadar estrogen janin, dapat disebabkan karena :

- Kurangnya produksi 16-a-hidroksidehidroepiandrosteron sulfat

(prekursor estrogen) janin, yang sering ditemukan pada

anensefalus

3

- Hipoplasia adrenal atau insufisiensi hipofisis janin yang

dapat mengakibatkan penurunan produksi prekursor estriol

sintetis

- Defisiensi sulfatase plasenta, yang merupakan x-linked

inherited dissease yang bersifat resesif, sehingga pemecahan

sulfat dari dehidroandrosteron sulfat tidak terjadi (France

dan Liggins,1969)

4. Gangguan pada penurunan progesteron dan peningkatan

oksitosin serta peningkatan reseptor oksitosin. Sedangkan

untuk menimbulkan kontraksi uterus yang kuat, yang paling

berperan adalah prostaglandin

5. Penurunan konsentrasi estrogen pada kasus-kasus kehamilan

lewat waktu, dianggap sebagai hal penting karena estrogen

tidak cukup untuk menstimulasi produksi dan penyimpanan

glikofosfolipid didalam membran janin. Jumlah estrogen yang

normal dan terus meningkat, dengan semakin berlanjutnya

kehamilan, membran janin khususnya menjadi kaya akan dua jenis

glikofosfolipid (fosfatidinilositol dan fasfatidiletanolamin)

yang keduanya mengandung arakidonat pada posisi sn-2. Janin

memicu persalinan melalui mekanisme tertentu yang masih belum

dipahami dengan jelas, sehingga terjadi pemecahan arakidonat

dari kedua senyawa glikofosfolipid ini. Dengan demikian

arakidonat tersedia bagi konversi menjadi prostaglandin E2 dan

E2α yang selanjutnya akan menstimulasi penipisan seviks serta

kontraksi ritmik uterus yang menjadi ciri khas persalinan

normal (Wibowo, 1991).

6. Karena adanya peran saraf pada proses timbulnya persalinan,

diduga gangguan yang menyebabkan tidak adanya tekanan pada

4

pleksus Frankenhauser oleh bagian tubuh janin, oleh sebab

apapun, dapat mengakibatkan terjadinya KLW.

Menjelang partus terjadi penurunan hormon progesteron,

peningkatan oksitosin serta peningkatan reseptor oksitosin,

tetapi yang paling menentukan adalah terjadinya produksi

prostaglandin yang menyebabkan his yang kuat. Prostaglandin

terbukti mempunyai peranan yang sangat penting dalam kontraksi

uterus. Nwosu dan kawan-kawan menemukan perbedaan dalam

rendahnya kadar kortisol pada darah bayi sehingga disimpulkan

kerentanan akan stres merupakan faktor tidak timbulnya his,

selain kurangnya air ketuban dan insufisiensi plasenta

(Sarwono, 2005).

2.3 Patofisiologi

Penyebab terjadinya kehamilan lewat waktu, seperti halnya

teori bagaimana terjadinya permulaan persalinan, sampai

sekarang belum jelas. Proses kelahiran baik secara aterm,

preterm, ataupun kelahiran terhambat selama ini baru dipahami

sebagai suatu proses yang diperankan oleh regulasi hormonal

dan sistem persyarafan. Secara umum regulasi proses kelahiran

diperankan oleh sekumpulan sistem yang terdiri dari sistem

endokrin, sistem parakrin, sistem autokrin, dan sistem

enervasi.

Teori enervasi diduga kuat berhubungan dengan faktor

struktural dari janin, proses tersebut diawali dengan adanya

sensasi pada serabut sensoris pleksus terkait yang memberikan

asupan bagi timbulnya reaksi parasimpatik dari arkus reflek

lumbalis. Teori enervasi menempatkan faktor fisik janin

sebagai persyaratan utama dalam proses aktifasi, dinyatakan

5

tekanan dari janin merupakan inisiator impuls (Handaria,

2001).

Teori endokrin berperan dalam meregulasi aktifitas

kontraktibilitas dari sel-sel miometrium dengan jalan

bertindak selaku molekul signaling dan first messenger. Sistem

endokrin dalam lingkungan mikro uterus, plasenta mempengaruhi

dan dipengaruhi oleh sistem parakrin (mediator dan sitokin)

serta sistem autokrin (sitokin autoregulasi). Dengan demikian

sistem endokrin, parakrin, dan autokrin memiliki hubungan

korelasi yang kuat.

Hormon yang berperan dalam proses persalinan adalah

Corticotropin Releasing Hormon (CRH) dan Oxytocin. Kedua

hormon tersebut memiliki mekanisme yang terkait dengan

aktifitas derivat asam arakidonat, yaitu Prostaglandin (PGE2

dan PGH2). Pada keadaan-keadaan kelahiran preterm derivat asam

arakidonat tersebut diper=ngaruhi oleh sitokin inflamasi IL1,

IL6, IL 10 dan TNF-α yang secara akumulatif akan mempengaruhi

aktifasi activin dan menghambat sintesa inhibin. Pada kelainan

preterm yang diduga diakibatkan stres (tekanan psikologis)

didapatkan pengaruh poros hipofise hipothalamus janin melalui

aktifasi neurotransmitter derivat opioid oleh serotonin dan

PEA withdrawl. Pada proses kelahiran yang terhambat tanpa

adanya gangguan berupa hambatan jalan lahir, dapat

diidentifikasikan berbagai kemungkinan penyebabnya antara

lain: adanya hambatan enervasi, transduksi enervasi, transmisi

impuls, regulasi CRH, pada aktifasi oksitosin, pada inaktifasi

endometrium B-endorphin, pada inaktifasi derivaat opioid

jaringan gestasional (pre-opiomelanokortin).

6

Aspek yang sering terlewatkan dalam pengamatan pada

proses kelahiran adalah peran maturitas jaringan janin yang

diperankan oleh pengaturan derivat opioid oleh poros hipofise-

hipothalamusnya. Hipotesis yang berkembang dari suatu

penelitian metaanalisis menunjukkan bahwa janin berperan dalam

mempengaruhi regulasi CRH gestasional melalui aktifitas pre-

opiomelanovortin (POMC) (Kishimoto, 1995; Danforth, 1986).

2.4 Masalah perinatal pada kehamilan lewat waktu

1. Sindrome Postmatur

Bayi postmatur menunjukkan gambaran yang unik dan khas.

Gambaran ini berupa kulit yang keriput, mengelupas lebar-

lebar, badan kurus yang menunjukkan pengurasan energi, dan

maturitas lanjut karena bayi tersebut bermata terbuka, tampak

luar biasa siaga, tua, dan cemas. Kulit keriput dapat amat

mencolok di telapak tangan dan telapak kaki. Kuku biasanya

cukup panjang, banyak bayi postmatur cliffort mati dan banyak

yang sakit berakt akibat asfiksia lahir dan asfiksia mekonium

(Cunningham, 2006).

Clifford (1954) mengatakan bahwa perubahan kulit pada

postmatur disebabkan oleh hilangnya efek protektif verniks

kaseosa. Hipotesis keduanya yang terus mempengaruhi konsep-

konsep kontemporer mengubungkan sindrome postmaturitas dengan

penuaan plasenta. Yang menarik, Smith dan Barker (1999) baru-

baru ini melaporkan bahwa apoptosis-kematian sel terprogram-

plasenta meningkat secraa signifikan pada gestasi 41 sampai 42

minggu, lengkap dibanding dengan gestasi 36-39 minggu

(Cunningham, 2006).

2. Disfungsi Plasenta

7

Fungsi plasenta mencapai puncaknya pada kehamilan 38

minggu dan kemudian mulai menurun terutama setelah 42 minggu,

hal ini dapat dibuktikan dengan penurunan kadar estriol dan

plasental laktogen. Rendahnya fungsi plasenta berkaitan dengan

peningkatan kejadian gawat janin dengan risiko 3x. Akibat dari

proses penuaan plasenta maka pemasokan makanan dan oksigen

akan menurun disamping adanya spasme arteri spiralis. Janin

akan mengalami pertumbuhan terhambat dan penurunan berat;

dalam hal ini dapat disebut dengan dismatur. Sirkulasi

uteroplasenter berkurang 50% menjadi sekitar 250 ml/menit.

Kematian janin akibat kehamilan lewat waktu terjadi 30%

sebelum persalinan, 55% saat persalinan, dan 15% post natal.

Penyebab utama kematian perinatal adalah hipoksia dan aspirasi

mekonium. Kematian yang dapat dialami oleh bayi baru lahir

adalah suhu yang tak stabil, hipoglikemia, polisitemia, dan

kelainan neurologik (Sarwono, 2005).

Jazayeri dkk (1998) meneliti kadar eritropoeitin plasma

tali pusat pada 124 neonatus tumbuh normal yang dilahirkan

dari usia gestasi 37 sampai 43 minggu. Mereka ingin menilai

apakah oksigenasi janin terganggu-yang mungkin disebabkan oleh

penuaan plasenta- pada kehamilan yang berlanjut melampaui

waktu seharusnya. Penurunan tekanan parsial oksigen adalah

satu-satunya stimulator eritropoeitin yang dikehtaui. Kadar

eritropoeitin plasma tali pusat meningkat secara signifikan

pada kehamilan yang mencapai 41 minggu atau lebih . penulis

menyimpulkan bahwa ada penurunan oksigen janin pada sejumlah

kehamilan postterm (Cunningham, 2006).

8

Penimbunan kalsium pada plasenta kehamilan lewat waktu

dapat, meningkat sampai 10 gram kalsium dalam tiap 100 gram

jaringan plasenta. Padahal dalam keadaan normal pada kehamilan

genap bulan rata-rata sebesar 2,3 gram kalsium dalam tiap 100

gram jaringan plasenta. Kalsifikasi yang meningkat dapat

menyebabkan gawat janin dan kematian janin intrauterin

meningkat sampai 2-4 kali lipat (Handaria, 2001)

3. Gawat Janin dan Oligrohidramnion

Penurunan volume cairan amnion biasanya terjaid ketika

kehamilan melewati 42 minggu. Mungkin juga pengeluaran

mekonium oleh janin kedalam volume cairan amnion yang sudah

berkurang merupakan penyebab terbentuknya mekonium kental yang

terjaid pada sindrom aspirasi mekonium. Oligohidramnion yang

dideteksi dengan menggunakan ultrasonografi-yang ditetapkan

sebagai tidak adanya kantung vertikal cairan amnion lebih dari

2 cm atau indeks cairan amnion (ICA) 5 cm atau kurang –

dianggap merupakan satu indikasi melakukan pelahiran atau

pengawasan ketat pada janin (Cunningham, 2006).

Alasan-alasan utama meningkatnya risiko pada janin

postterm dijelaskan oleh Leveno dan rekan (1984), mereka

melaporkan bahwa gawat janin intrapartum merupakan konsekuensi

kompresi tali pusat yang menyertai oligohdramnion (Cunningham,

2006).

4. Bayi besar untuk masa kehamilan

Seringkali, untuk pertumbuhan janin postterm yang

berlanjut terus akan menghasilkan bayi besar untuk masa

kehamilan, dan dapat terjadi distosia bahu. Oleh karena itu,

9

harus disiapkan seorang ahli kebidanan yang berpengalaman

dalam menangani komplikasi ini untuk emolong persalinan.

2.4 Diagnosis

Dalam penentuan diagnosis kehamilan lewat waktu,

seringkali seorang dokter mengalami kesulitan. Hal ini

terutama disebabkan karena penderita lupa tanggal hari pertama

haid terakhirnya, sehingga beberapa kasus yang dinyatakan

sebagai kehamilan lewat waktu merupakan kesalahan dalam

menentukan umur kehamilan.

Untuk memperkecil kesalahan dalam menegakkan diagnosis,

maka perlu dilakukan anamnesis serta pemeriksaan yang teliti,

meliputi :

1. Riwayat haid

Penghitungan umur kehamilan menurut rumus Naegele dapat akurat

apabila penderita mempunyai siklus 28 hari, teratur, hari

pertama haid terakhirnya diketahui dengan pasti. Rerata

ovulasi terjadi pada harik ke 14 sebelum periode berikutnya.

Satu hari perlu ditambahkan pada umur kehamilan untuk setiap

hari kelebihan dari siklus 28 hari dan satu minggu ditambahkan

pada siklus 35 hari. Diagnosis kehamilan lewat waktu akan

diketahui dengan pasti bilamana penderita mengetahui saat

ovulasi dengan pemeriksaan suhu basal badan (Binarso, 1987).

2. Denyut Jantung Janin

Denyut jantung janin dengan stetoskop Laennec mulai dapat

didengar pada saat umur kehamilan 18-21 minggu. tetapi bila

didengarkan dengan fetalphone Doppler, maka sudah dapat

didengar pada umur kehamilan 12 minggu. Sehingga apabila telah

lewat 32 minggu sejak dapat didengarnya denyut jantung janin

10

dengan fetalphone Doppler maka mempunyai kemungkinan

terjadinya kehamilan lewat bulan (Danforth, 1986; Pernoll,

1994).

3. Gerak janin

Pada umur kehamilan antara 18-20 minggu wanita hamil akan

merasakan gerakan-gerakan yang berdenyut halus diabdomen,

gerakan ini secara bertahap akan bertambah intensitasnya.

Tanda ini memberikan bukti yang menyokong diagnosis kehamilan

dan merupakan kejadian yang penting untuk kemajuan kehamilan,

bila ditentukan waktunya dengan tepat, dapat menunjang dalam

menetapkan lamanya kehamilan (Danforth, 1986).

4. Pemeriksaan ultrasonografi

Pada umur kehamilan 6 minggu sudah terlihat cincin kehamilan

yang sangat khas, gerakan denyut jantung janin terlihat jelas

pada umur kehamilan 8 minggu. Sampai umur kehamilan 12 minggu

panjang puncak kepala bokong (Crown Rump Lengths / CRL) dlam

milimeter, memberikan ketepatan +- 4 hari dari taksiran

persalinan (Bergsjo, 1989). Umur kehamilan 16-20 minggu

dilakukan pengukuran Biparietal Diameter (BPD) dalam milimeter

serta Femur Length (FL) dalam milimeter memberikan ketepatan

+- 7 hari dari taksiran persalinan. Lewat umur kehamilan

tersebut diatas maka ketepatan pemeriksaan USG menurun menjadi

2-3 minggu dari taksiran persalinan. Hal ini perlu

dipertimbangkan bilamana penderita terlambat datang pada

pemeriksaan antenatalnya dan USG akan dipakai untuk menentukan

umur kehamilan, atau bila pemeriksaan USG baru dilakukan

pertama pada umur kehamilan lanjut, meskipun untuk penderita

11

yang telah melakukan pemeriksaan antenatal lebih awal

(Binarso, 1987; Danforth, 1986).

Menurut Pernoll (1994) bahwa kehamilan dapat dinyatakan

sebagai kehamilan lewat waktu bila didapatkan 3 atau lebih

dari 4 kriteria hasil pemeriksaan (Pernoll, 1994) :

a. Telah lewat 36 minggu sejak tes kehamilan dinyatakan

positif

b. Telah lewat 32 minggu sejak denyut jantung janin pertama

terdengar dengan siste Doppler

c. Telah lewat 24 minggu sejak dirasakan gerak janin pertama

kali

d. Telah lewat 22 minggu sejak terdengarnya denyut jantung

janin pertama kali dengan stetoskop Laenec

5. Pemeriksaan radiologis

Pada foto polos abdomen, dapat diperkirakan umur kehamilan

dengan melihat inti penulangan

Inti Penulangan Umur Kehamilan (Minggu)KalkaneusTalusFemur DistalTibia ProksimalKuboidHumerus ProksimalKorpus KapitatumKorpus HamatumKuneiformis ke 3Femur Proksimal

24-2626-28363838-4038-4040+40+40+40+

Tabel 1. Umur kehamilan dilihat dari inti penulangan(Hardiana, 2001)

2.5 Penilaian keadaan janin dan penanganan persalinan.

12

Terpenting dalam menangani kehamilan lewat waktu adalah

menentukan keadaan janin karena setiap keterlambatan akan

menimbulkan resiko kegawatan. Dengan sikap konservatif resiko

kematian perinatal baerkisar dari 0-22%.

Penentuan keadaan janin adalah sebagai berikut:

1. Tes tanpa tekanan (non stress test)

2. Gerakan janin

Gerakan janin dapat ditentukan secara subyektif (normal

rata-rata 7kali / 20 menit) atau secara obyektif dengan

tokografi (normal rata-rata 10kali/20menit). Gerakan

janin dapat pula ditentukan dengan pemeriksan

ultrasonografi. Dengan menentukan nilai biofisik maka

keadaan janin dapat dipastikan lebih baik.

3. Amnioskopi

Bila ditemukan air ketuban yang banyak dan jernih mungkin

keadaan janin masih baik. Sebaliknya air ketuban sedikit

dan mengandung mekonium akan mengalami resiko 35%

asfiksia.

Keadaan yang mendukung bahwa janin masih baik memungkinkan

untuk mengambil keputusan:

a) Menunda 1 minggu dengan menilai gerakan janin dan tes

tanpa tekanan 3 hari lagi

b) Melakukan induksi partus

Di FKUI induksi partus dilakukan dengan pemasangan balon

kateter Foley ke dalam kanalis servikalis dan bila setelah 24

jam belum partus spontan dilakukan infus oksitosin dan

amniotomi; cara terakhir ini mempuinyai keberhasilan 84%

partus pervaginam dan hanya 4,6% yang mengalami asfiksia.

13

Induksi dengan oksitosin dapat dilakukan bila serviks telah

matang dan bila perlu dilakukan amniotomi. Prostaglandin E

dapat pula dipakai untuk mematangkan serviks (Sarwono, 2005).

Gawat janin relatif cukup banyak (14,7%) dan terutama

terjadi pada persalinan sehingga memerlukan pengawasan dengan

kardiotokografi. Sebaiknya seksio sesaria dilakukan bila

terdapat deselerasi lambat berulang, variabilitas yang

abnormal (< 5 dpm) pewarnaan mekonium, dan gerakan janin yang

abnormal (<5/20 menit). Tentu saja kelainan obstetri (berat

bayi <4000 g, kelainan posisi, partus >18 jam) perlu

diperhatikan untuk indikasi seksio sesaria (Sarwono,2005).

2.6 Penatalaksanaan (Cunningham, 2006)

Penanganan Antepartum

Pada penanganan antepartum, terlebih dahulu perlu

ditentukan kepastian dari umur kehamilannya.

a. Umur kehamilan diketahui

Pada umur kehamilan diketahui ada 2 pilihan cara

penanganan antara lain penanganan aktif dengan melakukan

induksi persalinan pada umur kehamilan 42 minggu dan

penanganan konservatif sampai terjadi persalinan spontan.

Beberapa ahli memilih penanganan aktif berdasarkan atas

beberapa pertimbangan antara lain adanya kesulitan dalam

memprediksi dengan tepat janin mana yang berisiko, semakin

lama kehamilan berlangsung akan semakin meningkatkan risiko

morbidits dan mortalitas perinatal serta adanya janin besar

dengan segala komplikasinya, penanganan aktif telah terbukti

dapat menurunkan morbiditas dan mortalitas perinatal

(Leveno,1984; Kaplan,1995).

14

Sedangkan beberapa ahli lainnya memilih penanganan

konservatif berdasarkan atas beberapa pertimbangan antara lain

umur kehamilan tidak selalu diketahui dengan tepat sehingga

janin mungkin saja belum matur sebagaimana yang diperkirakan,

sebagian besar janin pada kehamilan lewat waktu dalam keadaan

cukup baik, induksi persalinan tidak selalu berhasil sehingga

persalinan perabdominal dapat meningkat dengan segala

komplikasinya.

Pada penanganan aktif, induksi persalinan dilakukan sejak

umur kehamilan 42 minggu dengan tidak memperhatikan maturitas

serviks. Induksi dilakukan dalam waktu 1-2 hari dan dapat

diulang 3 hari berikutnya. Dengan induksi seperti diatas,

sebagian besar kasus dapat diinsuksi dengan berhasil atau

dapat memasuki masa persalinan dalam waktu 2 hari sesudah

diupayakan induksi. Namun bila dalam 3 kali induksi gagal

memicu persalina, maka persalinan dapat diakhiri perabdominal

(Cunningham, 1993).

Pada penanganan konservatif, dilakukan pemeriksaan

kesejahteraan janin 1-2 kali seminggu sambil menunggu terjadi

persalinan spontan. Induksi persalinan dilakukan bila serviks

sudah matur, dan dilakukan terminasi segera bila hasil

pemeriksaan kesejahteraan janin menunjukkan adanya kegawatan

pada janin.

b. Umur kehamilan tidak diketahui

Penanganan kehamilan lewat waktu dengan umur kehamilan

tidak jelas diketahui biasanya dipilih cara penanganan

konservatif, dengan melakukan pemeriksaan kesejahteraan janin

secara serial sambil menunggu persalinan spontan. Apabila

15

hasil pemeriksaan kesejahteraan janin menunjukkan adanya

tanda-tanda gawat janin, maka segera dilakukan terminasi

kehamilan (Queenan,1992; Cunningham,1993).

Maternal-fetal medicine pada tahun 1990 menemukan bahwa

hampir dua pertiga melakukan induksi persalinan pada minggu ke

41 bila serviks baik. Pengujian janin antepartum dianjurkan

pada gestasi 41 minggu kalau serviksnya tidak baik. Pada

minggu ke-42, hampir semua responden melakukan induksi

persalianan kalau serviks baik dan 58% akan melakukannya

sekalipun serviks tidak baik. Sekitar 42% nya mengajukan

pengujian antepartum jika serviks tidak baik pada gestasi 42

minggu. Jelasnya, kemungkinan serviks untuk diinduksi

berdampak besar pada penatalaksanaan (Cunningham, 2006).1. Surveilans antenatal kehamilan postterm harus dimulai pada

minggu ke-42 sekalipun tidak ada bukti bahwa pemantauan akanmemperbaiki hasil kehamilan

2. Tidak ada bukti bahwa memulai surveilans antenatal antaraminggu ke 40 dan 42 lengkap dapat memperbaiki hasil akhirkehamilan

3. Tidak ada satupun protokol surveilans antenatal untuk memantaukesejahteraan janinpada kehamilan postterm yang lebih baikdari protokol lainyya

4. Tidak diketahui apakah induksi atau penatalaksanaan menunggu(surveilans antenatal) lenih baik pada psien postterm dengansurveillans yang baik

5. Terdapat cukupbukti bahwa induksi atau penatalaksanaanmenunggu akan memberikan hasil yang baik pada pasien posttermdengan serviks yang tidak baik

6. Gel prostaglandin dapat digunakan dengan amanpada kehamilanpostterm untuk memicu perubahan serviks dan menginduksipersalinan

Digunakan dengan izin dari American College of Obstetrician andGynecologist (1997)

Tabel 2. Rekomendasi oleh American College of obstetricians and

Gynecologist (1997) untuk evaluasi dan penatalaksanaan kehamilan

memanjang.

16

Bagan 1. Protokol Parkland hospital untuk penatalaksanaan

kehamilan memanjang

2.7 Komplikasi medis atau obstetris

Bila ada kejadian komplikasi medis atau obstetris lain,

umumnya tidak bijaksana untuk membiarkan kehamilan berlanjut

hingga melampaui 42 minggu. Memang, banyak pada kasus seperti

ini, diindikasikan pelahiran dini. Contoh yang sering adalah

hipertensi yang diinduksi kehamilan, riwayat seksio sesarea,

dan diabetes. Seringkali, pertumbuhan janin postterm terus

akan menghasilkan bayi besar untuk masa kehamilan, dan dapat

terjadi distosia bahu. Oleh karena itu, harus disiapkan

seorang ahli kebidanan yang berpengalaman dalam menangani

komplikasi ini untuk menolong persalinan (Cunningham, 2006).

17

BAB III

RINGKASAN

Kehamilan lewat waktu (KLW) adalah kehamilan yang

berlangsung terus setelah 42 minggu atau lebih, dihitung mulai

dari hari pertama haid terakhir (HPHT). Pada kehamilan lewat

waktu risiko kematian dan kesakitan perinatal akan meningkat,

risiko kematian pada KLW menjadi 3x lebih tinggi daripada

kehamilan aterm. Pengaruh KLW terhadap janin bermacam-macam;

18

berat badan terus meningkat, tidak bertambah, kurang dari

semestinya, atau bahkan dapat meninggal dalam kandungan karena

kekurangan nutrisi dan oksigen. Disamping itu ada pula

komplikasi yang lebih sering menyertainya seperti letak

defleksi, posisi oksiput posterior, distosia bahu, dan

perdarahan postpartum.

Terjadinya kehamilan lewat waktu sampai sekarang belum

jelas diketahui, beberapa teori dicoba untuk menjelaskan

terjadinya KLW. Secara umum, teori-teori tersebut menyatakan

KLW terjadi karena adanya gangguan terhadap timbulnya

persalinan. Sedangkan timbulnya persalinan sendiri sampai

sekarang belum jelas diketahui. Diduga ada faktor keturunan

yang berpengaruh terhadap terjadinya KLW.

Masalah perinatal pada kehamilan lewat waktu beberapa

diantaranya adalah sindrome postmatur, disfungsi plasenta,

gawat janin dan oligrohidramnion, bayi besar untuk masa

kehamilan.

Dalam penentuan diagnosis kehamilan lewat waktu,

seringkali seorang dokter mengalami kesulitan. Hal ini

terutama disebabkan karena penderita lupa tanggal hari pertama

haid terakhirnya, sehingga beberapa kasus yang dinyatakan

sebagai kehamilan lewat waktu merupakan kesalahan dalam

menentukan umur kehamilan.

Penanganan kehamilan lewat waktu dengan umur kehamilan

tidak jelas diketahui biasanya dipilih cara penanganan

konservatif, dengan melakukan pemeriksaan kesejahteraan janin

secara serial sambil menunggu persalinan spontan. Apabila

hasil pemeriksaan kesejahteraan janin menunjukkan adanya

19

tanda-tanda gawat janin, maka segera dilakukan terminasi

kehamilan.

DAFTAR PUSTAKA

Bergsjo P, Huang GD, Yu SQ, Gai ZZ, Bakketeig LS. 1989.Comparison of Induce Versus Non-Induce Labor In PosttermPregnancy. A randomized Prospective Study. Acta Obstet GynecolScand

Binarso, A. 1987. Kehamilan Lewat Bulan (Thesis). Semarang :Program Pendidikan Dokter Spesialis I Obstetri GinekologiFakultas Kedokteran Universitas Diponegoro-Rumah Sakit DokterKariadi.

Cario, GM. 1984. Concervative Management of ProlongedPregnancy Using Fetal Heart Rate Monitoring Only : AProspective Study. Br J Obstet Gynecol

Cunningham FG, MacDonald PC, Gant NF, Leveno KJ, Gilstrap IIILC. 1993. Preterm and Postterm Pregnancy and Fetal GrowthRetardation. In : Williams Obstetrics. Edisi 19. Connecticut :Prentice-Hall International Inc. Hal 853-89

Cunningham. F.G. dkk.Gangguan Hipertensi Dalam Kehamilan Williams. Edisi 21. Vol 2. Penerbit Buku Kedokteran EEG Jakarta.2006. Hal 624-656.

Danforth, DN, Disai PJ, Scott JR, Hammond CB, Spellacy WN.1986. Postterm Pregnancy. Dalam : Obstetrics & Ginekology 5thed. Philadelphia : JB Lippincott Co

20

Grubb, DK, Rabello YA, Paul RH. 1992. Postterm Pregnancy :fetal death rate with antepartum surveillance. Obstet Gynecol

Handaria, Diana. 2001. Faktor-faktor yang Berhubungan denganKejadian Kehamilan Lewat Waktu (Thesis). Semarang : ProgramPendidikan Spesialis I Obstetri-Ginekologi Fakultas KedokteranUniversitas Diponegoro.

Hannah ME, Hannah WJ, Hellmann J, Hewson S, Milner R, WillanA. 1992. Induction of Labor as Compared with Serial AntenatalMonitoring in Postterm Pregnancy. N Engl J Med

Kaplan B, Goldman GA, Peled Y, Resnick HR, Neri A, Ovadia J.1995. The Outcome of Postterm Pregnancy. A Comparative Study.J Preinat Med

Kishimoto T, Pearse RV 2nd, Lin CR, Rosenfeld MG. 1995. ASauvagine/corticotropin-releasing factor receptor expressed inheart and skeletal muscle. Proc Natl Acad Sci.

Leveno KJ, Quirk JG, Cunningham FG, Nelson SD, Ramos SR,Toofanian A, De Palma RT. 1984. Prolonged Pregnancy: I,Observations concerning the causes of fetal distress. Am JObstet Gynecol

Martaadisoebrata. D & Sumapraja, S. Preeklampsia dan Eklampsia. Ilmu Kebidanan. Yayasan Bina Pustaka SARWONO PRAWIROHARDJO. Jakarta. 2002 Hal 341-348.

Orth D. 1992. Corticotropin-releasing hormone in humans.Endocr Rev.

Pernoll ML. 1994. Postdate. Dalam : Handbook of Obstetrics &Gynecology 9th ed. New York : McGraw-Hill Inc

Queenan JT. 1992. Prolonged Pregnancy. Management of High RiskPregnancy. Ed 3. Blackwell Scientific Publications, Boston

Sudiat, M. 1989. Pengaruh Keadaan Kulit Ketuban TerhadapPemberian Infus Oksitosin Pada Inertia Uteri (Thesis).Semarang : Laboratorium/UPF Obsteteri Ginekologi FakultasKedokteran Universitas Diponegoro-Rumah Sakit Dokter Kariadi

21

Wibowo, B, Wiknjosastro GH. 1991. Kelainan dalam LamanyaKehamilan. Dalam : Wiknjosastro H, Saifuddin AB, Rachimhadi T,editor. Ilmu Kebidanan. Edisi ketiga. Jakarta : Yayasan BinaPustaka Sarwono Prawirohardjo. Hal 302-322

Zlatnik, MG, Copland JA, Ives K, Soloff MS. 2000. FunctionalOxytocin Receptors In Human Endometrial Cell Line. Am J ObstetGynecol

22