Awkarin - Center for Digital Society

16
MENJAGA KESEHATAN MENTAL E-GIRLS: TWITTER UNTUK PARA 'PENYIMPANG' Awk ar in Awk ar in 8:21 AM – Sep 25, 2019 – Twitter for Android 12:36 AM – Jul 18, 2019 – Twitter for Android 10:09 AM – Jun 13, 2019 – Twitter for Android MAY 2020 70

Transcript of Awkarin - Center for Digital Society

MENJAGA KESEHATAN MENTAL

E-GIRLS: TWITTER UNTUK PARA 'PENYIMPANG'

AwkarinAwkarin

8:21 AM – Sep 25, 2019 – Twitter for Android

12:36 AM – Jul 18, 2019 – Twitter for Android

10:09 AM – Jun 13, 2019 – Twitter for Android

MAY 2020

70

PenulisAnaq DuanaikoEditorTreviliana Eka PutriDesain dan Tata LetakMuhammad Fanani Arifzqi

Artikel ini berusaha mempelajari tentang bagaimana suatu kelompok perempuan mendapatkan diskriminasi di dunia maya. Dalam kasus ini adalah pemilik akun AwKarin sebagai e-Girls di sosial media Twitter. Kasus ini menunjukan bagaimana perempuan memiliki pengalaman berkomunikasi yang berbeda dengan lawan jenisnya di ruang publik internet. Perbedaan tersebut ternyata masih menunjukkan ketidaksetaraan yang berbasis gender di dalam dunia daring (online). Pasalnya, pada umumnya, ruang daring seringkali dipercaya sebagai ruang yang aman bagi seluruh pengguna untuk berkontribusi tanpa memandang gender dan jenis kelamin dikarenakan tidak adanya interaksi fisik yang terjadi di dalamnya.

Sebelum membahas lebih mendalam mengenai kasus ini, perlu kiranya untuk memahami konteks interaksi manusia secara daring serta bagaimana media sosial sebagai ruang publik dalam kerangka sosiologis. Seiring dengan kemajuan teknologi, konteks interaksi tidak lagi terbatas dan merujuk pada suatu objek maupun subjek. Gambar atau konteks interaksi yang tidak berwujud ini lahir dari sesuatu yang nyata, yang kini bisa dibuat begitu saja tanpa menghubungkan wujud fisik sama sekali. Baudrillard menyebut 'gambar' ini sebagai simulacra.

Introduction

031AWKARIN Menjaga Kesehatan Mental e-Girls: Twitter untuk para 'penyimpang'

Dalam karya Simulacra dan Simulasi, Baudrillard menyatakan

Ia melihat bagaimana media mengontrol para penonton, sementara penonton tidak memiliki pilihan atas gambar tersebut, sehingga hal ini mempengaruhi subjektivitas dan otonomi penonton. Hal yang tidak kalah penting adalah mengenai sejauh mana penonton memperoleh gratifikasi seksual dari konten tersebut, meskipun penonton bersikap pasif.³ Guy Debord melengkapi karya

B a u d r i l l a rd , i a m e n j e l a s ka n ko n d i s i i n i s e ba ga i 'hiperrealitas, dimana ia melihat hal ini sebagai

kenyataan yang dikomodifikasi oleh pihak-pihak tertentu, yang dapat dilihat setiap hari dalam berbagai aspek kehidupan.⁴ Baudrillard menyadari

pemikiran Debord yang menegaskan bahwa perubahan cara pandang ini telah menjadi pemikiran budaya, terutama sejak dimulainya produksi massal. Debord kemudian melihat bahwa

“the whole life of those societies... presents itself as an... accumulation of spectacles.” Oleh karena itu, kehidupan yang kita lihat d i r i n g ka s m e n j a d i s at u s et gambaran simbolik.

“Such would be the successive phases of the image: it is the reflection of a basic reality, it masks and perverts a basic reality, it masks the absence of a basic reality, it bears no relation to any reality whatever: it is its own pure simulacrum. In the first case, the image is a good appearance - representation is of the sacramental order. In the second, it is an evil appearance - it is of the order of maleficence. In the third, it plays at being an appearance - it is of the order of sorcery. In the fourth, it is no longer of the order of appearances, but of simulation.”²

032 AWKARIN Menjaga Kesehatan Mental e-Girls: Twitter untuk para 'penyimpang'

Namun, penjelasan Baudrillard tentang hiperrealitas masih terlalu luas dan mencakup semua jenis media. Untuk itu perlu kiranya berfokus pada studi kajian digital, Gotved mendalilkan analisis yang lebih spesifik tentang bagaimana konsep hiperrealitas dapat diterapkan di ruang maya sebagai realitas sosial siber. Sejak kelahiran dunia maya, realitas sosial siber m e n j a d i p e n t i n g d e n ga n a d a n ya masyarakat informasi yang tidak terbatas antara ruang dan waktu.⁵ Ketika melihat konsep budaya urban modern, ruang siber juga berhasil menjangkau ruang-ruang terpencil melalui media dan imajinasi masyarakat. Sehingga ruang budaya perkotaan tidak lagi terbatas oleh sekat ruang/batas teritorial. Oleh karenanya, 'urbanisme' dan modernisasi ide dapat ditandai sebagai sebuah ruang yang sangat dimediasi berdasarkan jaringan sebagai bentuk organisasi utama, di mana ruang "aktual" diisi dengan orang asing dan di mana pengguna harus menavigasinya.⁶ Kemudian, pertemuan antara konsep hiperrealitas dan realitas sosial siber menciptakan sebuah konsep baru yang bersinggungan dengan dunia selebritas, namun memiliki nilai dan makna yang lain yaitu 'micro celebrity' di media sosial.⁷

Pada pertengahan 2019, sebuah subkultur baru muncul di dunia internet dengan istilah e-Girls dan e-Boys. Perbedaan subkultur e-Girls/e-Boys dengan 'micro-celebrity' adalah bagaimana kelompok subkultur lebih banyak mengadopsi budaya emo yang menyendiri sebagai identitas di dunia daring, sementara kelompok pendahulu lebih menunjukan liburan dan kemewahan.⁸ Melihat kerangka sosiologis dari e-Girls dan e-Boys, Robert K. Merton melihat ini sebagai penyimpangan karena e-Girls dan e-Boys mewujudkan ciri khas emo dan punk tidak hanya dalam penampilan, tetapi lebih pada perilaku.⁹ Sebaliknya, kesesuaian yang disebutkan oleh Merton tidak sepenuhnya ditolak oleh e-Girls dan e-Boys. Merton menjelaskan bahwa penyimpangan terjadi ketika sebuah subkultur melakukan kejahatan terhadap masyarakat atas dasar pemberontakan terhadap masyarakat itu sendiri. Namun pada kasus ini, e-Girls dan e-boys tidak melakukan kejahatan atau membahayakan masyarakat, tetapi mereka membahayakan diri mereka sendiri.

033AWKARIN Menjaga Kesehatan Mental e-Girls: Twitter untuk para 'penyimpang'

cuit cuit

cuit cuit

Subkultur dari micro-celebrity mencakup perempuan dan laki-laki, akan tetapi dalam arti 'budaya' mereka

diperlakukan berbeda di dunia maya. Perempuan di internet masih mengalami pelecehan seksual dan dilecehkan oleh

pengguna laki-laki sama seperti apa yang diterima perempuan secara offline.¹⁰ Sebagai bagian dari komunitas yang rentan dan korban, baik secara

offline maupun online,¹¹ perempuan yang lebih terekspos dalam dunia maya memiliki stigma tertentu oleh masyarakat. Oleh karenanya, dengan melihat dua

konsep ketertindasan perempuan di komunitas digital dan keberadaan e-Girls dan e-Boys sebagai subkultur membawa kesimpulan bahwa e-Girls merupakan komunitas yang paling rentan di dunia maya.

Sebuah Pengalaman E-Girl

Indonesia merupakan salah satu negara dengan jumlah pengguna Internet paling aktif di seluruh dunia.¹² Para micro-celebrity lokal muncul ke permukaan untuk menciptakan diskursus lokal baru. Diskursus tersebut memunculkan respon yang sangat kontras dua spektrum, baik sikap positif maupun negatif (kedua kubu bisa menjadi ekstrim) dari pengguna lain terhadap para micro-celebrity. Mendapatkan baik penggemar maupun pembenci adalah suatu hal yang tidak bisa dihindari bagi mereka karena internet sendiri memungkinkan ini untuk terjadi. Dalam kasus micro-celebrity perempuan, pelabelan stereotip gender yang berkaitan dengan isu seksual (dalam konteks budaya) dapat mengarah pada tahap normalisasi.¹³ Oleh karena itu, ketika stereotype seksual ini berhasil mempenetrasi pengguna dunia internet, maka perempuan akan mendapatkan label dalam diskursus yang berbahaya.

Seperti yang disebutkan secara singkat dalam pendahuluan, subkultur emo muncul sebagai bentuk 'penyimpangan' dalam kelompok. Subkultur emo ini merupakan sebagian besar dari masa remaja, atau fase kritis kehidupan yang sangat rentan dalam perilaku berisiko seperti bunuh diri.¹⁴ Ketika subkultur emo ini menembus ruang maya, konten eksplisit tentang apa yang sedang mereka hadapi, miliki, atau bahkan lakukan dapat terekspos/diekspos ke ruang maya publik.

034 AWKARIN Menjaga Kesehatan Mental e-Girls: Twitter untuk para 'penyimpang'

Hal ini menunjukkan bahwa Awkarin berjuang dengan kondisi mentalnya dan berjuang untuk menjaga dirinya tetap waras. Memiliki kondisi mental seperti itu dengan keharusan untuk tetap aktif bersosial media mensyaratkan Awkarin untuk lebih peka terhadap paparan ucapan atau komentar dari pengguna lain.

Sebagaimana studi kasus ini akan membahas tentang Awkarin, para peneliti mencoba menggali apa yang diterima Awkarin secara online, terutama pada semester kedua tahun 2019. Selain itu, terdapat pula temuan lain mengenai berbagai diskusi yang 'menurunkan' Awkarin sebagai perempuan seperti kicauan tentang bagaimana Awkarin memiliki dada yang lebih besar.

(https://twitter.com/GeriCandle/status/1176668000595742721)

“...I was depressed, long before that Instagram thing, long before the breakup… I'm afraid to lose something, not only a relationship, but also friends or family. The point is I'm afraid of losing something… and I dwell with it within two years...”¹⁵

5

Menilik kehidupan dunia maya di Indonesia, Awkarin merupakan salah satu contoh dari micro-celebrity Indonesia, yang dapat diklasifikasikan dalam subkultur e-girl. Pada 2018, Awkarin menceritakan tentang penyakit mentalnya terhadap sebuah media terkenal di Indonesia.

8:30

AWKARIN Menjaga Kesehatan Mental e-Girls: Twitter untuk para 'penyimpang'

(https://twitter.com/jkharmawan/status/1151546240338780160)

Tweet di atas menunjukkan bagaimana Awkarin dijadikan sebuah 'objek' yang dinilai dari ukuran payudaranya, bukan pada apa yang dia lakukan di dalam gambar tersebut. Seperti yang terlihat pada gambar di atas, Awkarin terlihat sedang membagikan kotak makanan kepada orang-orang yang

bergabung dalam sebuah aksi. Banalnya tweet tersebut memberikan sebuah interpretasi menarik mengenai objektifikasi wanita oleh pengguna pria. Objektivitas semacam ini terhadap perempuan dapat

menciptakan sebuah konten berbahaya yang akan berdampak pada subjek dari objektifikasi tersebut, secara psikologis.¹⁶ Heflick menguraikan

bagaimana wanita yang menerima objektifikasi oleh pria akan cenderung merasa kurang manusiawi serta kurang kompeten dalam mengikuti hasrat dan keinginan mereka.¹⁷

Objektifikasi atas citra perempuan melalui tatapan laki-laki, merupakan fenomena yang sering ditemukan sehari-hari, terlebih di media sosial. Konsep tatapan laki-laki pertama kali didalilkan oleh Laura Mulvey sebagai teori komunikasi visual dari perspektif feminis. Mulvey mengatakan tatapan laki-laki sebagai kenikmatan visual yang dilakukan oleh laki-laki tentang objektifikasi perempuan secara seksual dengan menatap bagian tubuh spesifik mereka.¹⁸ Ketika gambar terus-menerus direproduksi, visualisasi yang lebih kuat akan lebih jelas di setiap gambar yang direproduksi dan diproyeksikan sebagai visual yang menyenangkan oleh mereka yang tertarik pada gambaran tersebut. Maka dari itu, saat sebuah citra seorang wanita dianggap 'dapat memuaskan hasrat,' d i s k u r s u s m a l e g a z e a k a n s e m a k i n menekankan peran wanita sebagai objek.

Ko n te k s i m a ge r i a l d i internet sering ditafsirkan m e n j a d i k a t a - k a t a k o m e n t a r y a n g membawa ke dalam narasi yang berbeda dari 'Imagining the I m a g e ' i t u s e n d i r i tanpa melihat Image.

036 AWKARIN Menjaga Kesehatan Mental e-Girls: Twitter untuk para 'penyimpang'

Tweet di atas menunjukkan objektifikasi tanpa gambar yang direproduksi oleh tatapan-tatapan sebelumnya. Mitchell kemudian mendalilkan ini sebagai budaya visual dimana gambar menjadi sebuah bentuk literasi -- image becomes an internalised imagination.¹⁹ Karena kata-kata objektifikasi terus berkembang, tweet negatif akan beredar dan dilumrahkan sebagai “Budaya Twitter” yang berbahaya bagi e-Girls yang cenderung menerima objektifikasi tersebut.

Awkarin sebagai e-Girl dengan kondisi mental dan pengalaman yang ia terima secara daring, telah memikirkan upaya bunuh diri dalam hidupnya sebagai cara untuk meringankan rasa sakit mental yang ia rasakan.

(https://twitter.com/Prayudadwiari/status/1139006916921716737)

Dengan menghubungkan kutipan ini ke dalam penjelasan sebelumnya tentang objektifikasi dan kehilangan keadaan mental seseorang -- kehilangan diri sendiri, Twitter sebagai platform media sosial memiliki peran penting dalam mengatur komunitas online yang rentan, dalam hal ini adalah e-Girls

“Orang yang sedang ada pikiran-pikiran bunuh diri itu sebenarnya harus dipikirkan mereka itu bukan pengin mati loh sebenarnya. Mereka itu pengin mengurangi sakitnya, sakit di hatinya, sakit di pikirannya.”²⁰

“037AWKARIN Menjaga Kesehatan Mental e-Girls: Twitter untuk para 'penyimpang'

Dari temuan tentang bagaimana e-Girls, khususnya Awkarin diperlakukan, dapat ditarik kesimpulan di mana pelanggaran semacam itu masih ada di Twitter. Membahayakan pengguna lain dengan menggunakan suara diri sendiri di Twitter adalah penyalahgunaan kebebasan berekspresi di media sosial, istilah ini juga dikenal sebagai cyber abuse. Dari sekian bentuk cyber abuse, membahayakan pengguna lain (jeopardising) akan cocok dengan studi kasus ini. Oleh karena itu, bagian dari studi kasus ini akan menjabarkan bagaimana Twitter menangani cyber abuse dalam kebijakan komunitas mereka.

Twitter memang memiliki aturan dan kebijakan mereka sendiri tentang diskriminasi, namun itu tidak menghentikan tindakan cyber abuse oleh para pengguna. Pada halaman bantuan Twitter, ada sebuah bagian dari peraturan dan kebijakan yang berfungsi sebagai pedoman komunitas agar bahaya tidak terjadi dalam komunitas.

Melindungi Dengan Pembuatan

Kebijakan

“Twitter's mission is to give everyone the power to create and share ideas and information, and to express their opinions and beliefs without barriers. Free expression is a human right – we believe that everyone has a voice, and the right to use it. Our role is to serve the public conversation, which requires representation of a diverse range of perspectives.

We recognise that if people experience abuse on Twitter, it can jeopardize their ability to express themselves. Research has shown that some groups of people are disproportionately targeted with abuse online. This includes; girls, people of color, lesbian, gay, bisexual, transgender, queer, intersex, asexual individuals, marginalized and historically underrepresented communities. For those who identity with multiple underrepresented groups, abuse may be more common, more severe in nature and have a higher impact on those targeted.

We are committed to combating abuse motivated by hatred, prejudice or intolerance, particularly abuse that seeks to silence the voices of those who have been historically marginalized. For this reason, we prohibit behavior that targets individuals with abuse based on protected category.”²¹

038

““AWKARIN Menjaga Kesehatan Mental e-Girls: Twitter untuk para 'penyimpang'

Seperti yang terlihat pada halaman Aturan dan Kebijakan Twitter, Twitter mempromosikan inklusivitas ekspresi. Twitter kemudian memperhatikan bahwa inklusivitas yang mereka promosikan juga termasuk ekspresi yang membahayakan komunitas tertentu yang dianggap sebagai minoritas, marjinal, atau dalam hal ini, 'berbeda'. Aturan dan Kebijakan menunjukkan bahwa mereka yang 'berbeda' cenderung menjadi sasaran pelecehan. Twitter menyatakan bahwa mereka "berkomitmen untuk memerangi pelecehan dan jeopardy," namun tampaknya pertarungan itu tidak cukup. Seperti yang terlihat dalam gambar-gambar sebelumnya, objektifikasi perempuan oleh laki-laki masih terjadi meskipun Twitter telah menyatakan perjuangan mereka melawan pelecehan dan jeopardy. Kebijakan 'gagal' tersebut dapat terjadi karena adanya kendala bahasa atau kurangnya pelaporan oleh pengguna lain. Oleh karena itu, memanfaatkan kebijakan tersebut diperlukan untuk menghindari cyber abuse.

Saat ini, cyber-abusers yang menargetkan wanita, yang sebagian besar adalah pria (tetapi tidak semua pria) disebut sebagai toxic masculinity.²² Meskipun studi tentang toxic masculinity online sangat terbatas, tweet sebagai data online dapat menyediakan para pembuat kebijakan (termasuk Twitter, dan atau bahkan pemerintah) sebagai landasan untuk menghapus tweet 'toxic' apa pun. Adanya sebuah lingkungan yang dikuasai oleh hegemoni maskulin di twitter menciptakan platform yang tidak aman bagi wanita, terutama e-Girls, untuk memanfaatkan Twitter dengan potensi penuhnya. Oleh karena itu, peraturan yang didorong oleh data mengenai pelecehan dan jeopardy harus diterapkan.

Strategi RegulasiAwkarin sebagai micro-celebrity yang juga adalah seorang e-girl (dari segi sikap dan

perilaku yang ditampilkan dalam media sosial), telah memberikan contoh bahwa kombinasi antara menjadi seorang yang menyimpang dan juga sebagai seorang wanita di internet membuat mereka rentan dalam platform media sosial. Hal tersebut kemudian melibatkan identitas rentan lainnya seperti ras, warna kulit, orientasi seksual, dan lainnya untuk menjadi lebih rentan.

039AWKARIN Menjaga Kesehatan Mental e-Girls: Twitter untuk para 'penyimpang'

Sarah Jameson, seorang pengacara telekomunikasi menyiratkan bahwa cyber harassment semacam ini harus diatur dalam hukum negara dengan definisi yang jelas, yang tidak akan melanggar privasi maupun peraturan kebebasan berbicara.²⁴ Beliau mendefinisikan cyber harassment sebagai:

Definisi ini sesuai dengan konteks kasus Awkarin sebagaimana pelaku melakukan cyber harassment dengan mengganggu dan mempermalukan korban tanpa tujuan yang jelas, selain juga melakukan pelecehan seksual secara online. Oleh karena itu, kriminalisasi terhadap para pelaku cyber harassment harus berlaku di negara-negara dan melegalkan pelacakan alamat IP untuk mengetahui akun pelaku. Sarah Jameson juga menyatakan bahwa pelacakan alamat IP sangat penting karena dalam beberapa kasus, pelaku bersembunyi di balik akun anonim.

“A computer network form of electronic communication to target a specific person for no defined purpose, and through the use of words or language, aim to harass, annoy, embarrass, abuse, threaten, induce fear of bodily harm, or a combination thereof, in a victim.”²⁵

0310

Dengan demikian, perlu adanya sebuah peraturan yang lebih kuat untuk

melindungi kelompok rentan online. Karena pengguna online (baik yang

rentan maupun yang tidak rentan) memiliki kekuatan kebebasan berbicara, regulasi

mengenai etika harus dibatasi. Perdebatan tentang kebebasan berpendapat bukan karena

kebebasan telah beredar sejak media sosial (atau platform digital apa pun) sendiri masih diatur berdasarkan undang-undang pemerintah.²³ Ini menunjukkan bahwa bahkan dengan peraturan pemerintah dan peraturan media sosial yang telah disebutkan di atas, tweet yang berbahaya masih sulit untuk diatur.

AWKARIN Menjaga Kesehatan Mental e-Girls: Twitter untuk para 'penyimpang'

KesimpulanDengan memahami secara mendalam bahwa e-Girls berada dalam komunitas online

yang rentan untuk menghadapi peristiwa bunuh diri, meningkatkan regulasi lingkungan internet menjadi sangat penting. Pencegahan dengan merepresi para pelaku cyber-harassment harus dilakukan oleh platform digital apa pun yang memungkinkan adanya tindak cyber-harassment. Represi dan membatasi hak-hak mungkin terkesan memberikan batasan pada kebebasan berbicara online, tetapi dapat menyelamatkan nyawa orang-orang yang berurusan dengan diri mereka sendiri secara mental dan fisik.

Subkultur akan selalu muncul pada semua jenis masyarakat (baik offline maupun online). E-Girl sebagai subkultur baru yang tidak membawa bahaya bagi masyarakat, tetapi menerima bahaya, membutuhkan lebih banyak perhatian khusus dari masyarakat dan platform digital itu sendiri. Platform digital masih memungkinkan pelecehan terjadi sebagai konten meskipun mereka mencoba untuk m e n ce ga h n ya d e n ga n m e m b u at kebijakan dan peraturan. Hal tersebut kemudian menghasilkan solusi dimana peraturan mutlak untuk mengontrol kesusilaan komunikasi pada platform digital, adalah suatu hal penting.

0311

Selain menjadikan cyber-harassment sebagai kejahatan, melaporkan konten yang mencakup unsur-unsur cyber-harassment harus dilakukan oleh pengguna media sosial sebagai pengamat dari kejadian tersebut. Melaporkan konten mungkin merupakan cara termudah untuk memberi perhatian kepada platform bahwa adanya konten-konten yang melecehkan. Platform kemudian akan menghapus konten yang dilaporkan setelah meninjaunya, namun metode ini tidak terlalu efektif karena memungkinkan konten untuk tetap beredar dalam rentang waktu. Untuk alasan itu, diperlukan sebuah teknologi pengaturan yang lebih cerdas agar pelaku tidak punya waktu untuk melecehkan di dunia maya.

AWKARIN Menjaga Kesehatan Mental e-Girls: Twitter untuk para 'penyimpang'

¹Baudrillard, J. (1994). Simulacra and simulation. University of Michigan press. ²Ibid ³Martin, C. D. (2014). Social networks and the ethics of hyperreality. ACM Inroads, 5(1), 18-

19. ⁴Debord, G. (2012). Society of the Spectacle. Bread and Circuses Publishing. ⁵Gotved, S. (2006). Time and space in cyber social reality. New media & society, 8(3), 467-

486. ⁶ibid ⁷Khamis, S., Ang, L., & Welling, R. (2016). Self-branding,'micro-celebrity'and the rise of social

media influencers. Celebrity Studies, 8 (2), 191-208. ⁸Jenning, R. (2019). E-girls and e-boys, the irony-laced subculture that doesn't exist in real

life. [online] Vox. Available at: https://www.vox.com/the-goods/2019/8/1/20748707/egirl-definition-what-is-an-eboy [Accessed 3 Feb. 2020].

⁹Merton, R. K. (1959). Social conformity, deviation, and opportunity structures: A comment on the contributions of Dubin and Cloward. American Sociological Review, 177-189.

¹⁰Llovet, C., Díaz-Bustamante, M., & Karan, K. (2017). Are Girls Sexualized on Social Networking Sites? An Analysis of Comments on Instagram of Kristina Pimenova. Beyond the stereotypes, 131-140.

¹¹Halder, D., & Karuppannan, J. (2009). Cyber socializing and victimization of women. The Journal on Victimization, 12(3), 5-26.

12

ReferensiReferensi

Karena kebijakan tertulis tidak efektif terhadap para pengguna, tindakan yang jauh lebih preventif harus diterapkan oleh platform digital untuk mengurangi kasus-kasus cyber-harassment. Menggunakan Artificial Intelligence yang canggih untuk mendeteksi kata-kata pelecehan dalam semua bahasa adalah langkah baru bagi platform digital untuk memberantas cyber-harassment. Selain memberantas cyber-harassment, hal tersebut juga dapat juga digunakan untuk utilisasi konten, dengan memanfaatkan Big Data, untuk dianalisis lebih lanjut oleh analis data untuk tidak hanya fokus pada pengembangan bisnis, tetapi juga pengembangan sosial. Meskipun demikian, penerapan teknologi ini hanya baik sejauh manusia yang menggunakan alat ini. Adanya sebuah kebutuhan mendesak bagi komunitas internet dan juga platform untuk meningkatkan permainan mereka dan menetapkan norma-norma baru terhadap cyber-harassment.

AWKARIN Menjaga Kesehatan Mental e-Girls: Twitter untuk para 'penyimpang'

¹²APJII, T. (2018). BULETINAPJIIEDISI23April2018.pdf. ¹³Nussbaum, M. C. (1999). Sex and social justice. Oxford University Press ¹⁴Trnka, R., Kuška, M., Balcar, K., & Tavel, P. (2018). Understanding death, suicide and self-

injury among adherents of the emo youth subculture: A qualitative study. Death studies, 42(6), 337-345.

¹⁵Desideria, B. (2018). Karin 'Awkarin' Novilda Buka Suara soal Pengalaman Depresi 2 Kali. [online] liputan6.com. Available at: https://www.liputan6.com/health/read/3674231/karin-awkarin-novilda-buka-suara-soal-pengalaman-depresi-2-kali [Accessed 4 Jan. 2020].

¹⁶Heflick, N. A., & Goldenberg, J. L. (2009). Objectifying Sarah Palin: Evidence that objectification causes women to be perceived as less competent and less fully human. Journal of Experimental Social Psychology, 45(3), 598-601.

¹⁷Ibid.¹⁸Mulvey, L. (2001). Unmasking the gaze: some thoughts on new feminist film theory and

history. Lectora: revista de dones i textualitat, (7), 0005-14.¹⁹Mitchell, W. J. (2002). Showing seeing: a critique of visual culture. Journal of visual culture,

1(2), 165-181.²⁰Wiyanti, W. (2018). Berkaca dari Awkarin, Psikiater: Ingin Bunuh Diri Sebenarnya Bukan

Ingin Mati. [online] Detik. Available at: https://health.detik.com/berita-detikhealth/d-4269591/berkaca-dari-awkarin-psikiater-ingin-bunuh-diri-sebenarnya-bukan-ingin-mati [Accessed 4 Feb. 2020]

²¹Twitter. (N/A). Rules and Policies. [online] Twitter. Available at: https://help.twitter.com/en/rules-and-policies#twitter-rules [Accessed 4 Feb. 2020]

²²de Boise, S. (2019). Editorial: is masculinity toxic?. NORMA, 14(3), pp.147-151.²³Obar, J. A., & Wildman, S. S. (2015). Social media definition and the governance challenge-

an introduction to the special issue. Obar, JA and Wildman, S.(2015). Social media definition and the governance challenge: An introduction to the special issue. Telecommunications policy, 39(9), 745-750.

²⁴Jameson, S. (2008). Cyberharrasment: Striking a balance between free speech and privacy. CommLaw Conspectus, 17, 231.

²⁵Ibid.

0313AWKARIN Menjaga Kesehatan Mental e-Girls: Twitter untuk para 'penyimpang'