ANALISIS HAMBATAN NON-TARIF DAN FAKTOR
-
Upload
khangminh22 -
Category
Documents
-
view
2 -
download
0
Transcript of ANALISIS HAMBATAN NON-TARIF DAN FAKTOR
ANALISIS HAMBATAN NON-TARIF DAN FAKTOR-
FAKTOR LAIN YANG MEMPENGARUHI VOLUME EKSPOR
TUNA INDONESIA KE PASAR UNI EROPA
SKRIPSI
Eka Rachmawati Dewi
1113092000046
PROGRAM STUDI AGRIBISNIS
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2018 M / 1439 H
ANALISIS HAMBATAN NON-TARIF DAN FAKTOR-
FAKTOR LAIN YANG MEMPENGARUHI VOLUME EKSPOR
TUNA INDONESIA KE PASAR UNI EROPA
Eka Rachmawati Dewi
1113092000046
Skripsi
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pertanian pada
Program Studi Agribisnis
PROGRAM STUDI AGRIBISNIS
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2018 M / 1439 H
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Nama : Eka Rachmawati Dewi
Jenis Kelamin : Perempuan
Tempat, Tanggal Lahir : Tangerang, 22 Oktober 1995
Agama : Islam
Alamat : Kp. Asem RT. 003/ RW. 015 No. 61,
Kel. Panunggangan Barat, Kec.
Cibodas, Kota Tangerang, 15139
Nomor Telepon : 0895-0234-7940
E-mail : [email protected]
1. 2013 – 2018 : UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2. 2010 – 2013 : SMAN 4 Kota Tangerang
3. 2007 – 2010 : SMPN 6 Kota Tangerang
4. 2001 – 2007 : SDN Panunggangan 2 Kota Tangerang
5. 2000 – 2001 : TK Ar-Rahman Kota Tangerang
1. 2011 – 2013 : Anggota Tim Seni Tari Tradisional SMA Negeri 4 Kota Tangerang
2. 2013 – 2014 : Anggota LSO SAMAN Agribisnis UIN Jakarta
3. 2013 – 2015 : Anggota LSO Paduan Suara (Padus) Agribisnis UIN Jakarta
4. 2014 – 2015 : Sekretaris Tim SAMAN Agribisnis UIN Jakarta
5. 2014 – 2015 : Sekretaris Divisi Aspirasi Minat dan Bakat Himpunan Mahasiswa
Agribisnis UIN Jakarta
Data Diri
Riwayat Pendidikan
Pengalaman Organisasi
vi
1. 2012 : Runner Up Lomba Tari Daerah Tingkat Kota Festival Kartini yang
Diselenggarakan Oleh Radar Tangerang Satelit News
2. 2012 : Finalis Duta IM3 Mobile Academy Wilayah Tangerang yang
Diselenggarakan Oleh Indosat
3. 2012 : Juara 2 Lomba Tari Tradisional se-Provinsi Banten yang Diselenggarakan
Oleh Banten Education Fair 2012
4. 2012 : Juara 1 Lomba Tari Tradisional se-Provinsi Banten yang Diselenggarakan
Oleh Paguyuban Seni Budaya Tradisional Mahasiswa UNTIRTA
5. 2012 : Juara 1 Lomba Tari Tradisional se-Provinsi Banten yang Diselenggarakan
Oleh Paguyuban Duta Wisata dan Budaya Kota Cilegon
6. 2014 : Juara 3 Lomba Badminton dalam Rangka Olimpiade SAINTEK
Pengalaman Kerja
September 2016 – Desember 2016 : Kebun dan Laboratorium Kultur Jaringan Dinas
Kelautan, Pertanian dan Ketahanan Pangan
Prov. DKI, Cilandak, Lebak Bulus, Jakarta
Selatan
Prestasi
RINGKASAN
Eka Rachmawati Dewi. Analisis Hambatan Non-Tarif dan Faktor-Faktor Lain
yang Mempengaruhi Volume Ekspor Tuna Indonesia ke Pasar Uni Eropa: Di
bawah bimbingan Iwan Aminudin dan Puspi Eko Wiranthi.
Ikan tuna merupakan salah satu produk andalan ekspor perikanan tangkap
Indonesia di pasar Uni Eropa. Sayangnya kegiatan ekspor ke pasar Uni Eropa
tidak terlepas dari berbagai macam hambatan, salah satunya yaitu hambatan non-
tarif atau Non Tariff Measures (NTMs). Uni Eropa sendiri merupakan negara
yang paling banyak memberlakukan kebijakan non-tarif jika dibandingkan dengan
negara Amerika Serikat dan Jepang sebagai negara tujuan utama ekspor tuna
Indonesia. Berdasarkan data WTO (2017), nilai persentase total pemberlakuan
NTMs di Uni Eropa selama periode 2006-2015 adalah sebesar 57%, sedangkan
negara Amerika Serikat 36% dan Jepang hanya 7%.
Tujuan diberlakukannya Non-Tariff Measures (NTMs) itu sendiri sebagai
bentuk tindakan proteksi bagi produsen maupun konsumen dalam negeri. Adapun
kebijakan NTMs yang diberlakukan oleh Uni Eropa untuk produk perikanan yaitu
kebijakan Sanitary and Phitosanitary (SPS) dan Technical Barriers to Trade
(TBT). Dampak dari pemberlakuan NTMs di Uni Eropa juga diduga menjadi
salah satu penyebab berfluktuatifnya volume ekspor ikan tuna Indonesia ke pasar
Uni Eropa. Bahkan volume ekspor tuna ke Uni Eropa sempat menurun di tahun
2014 dan 2015. Oleh karena itu diperlukan penelitian untuk mengetahui
bagaimana pemberlakuan hambatan non-tarif di Uni Eropa serta faktor-faktor apa
saja yang mempengaruhi volume ekspor tuna Indonesia ke pasar Uni Eropa.
Faktor-faktor yang diduga mempengaruhi volume ekspor ikan tuna adalah
produksi ikan tuna Indonesia, GDP per kapita negara tujuan, nilai tukar riil rupiah
terhadap dollar Amerika, harga ekspor ikan tuna Indonesia, jarak ekonomi,
populasi serta dummy NTMs (SPS dan TBT).
Penelitian ini menggunakan model regresi data panel dengan metode
Gravity Model. Penelitian ini menggunakan data time series dan cross section
dalam kurun waktu 7 tahun mulai tahun 2009-2015. Komoditi yang diteliti adalah
volume ekspor tuna (segar, beku dan kaleng) Indonesia yang di ekspor ke 5
negara tujuan di Eropa yaitu Belanda, Belgia, Jerman, Italia serta United
Kingdom. Berdasarkan analisis yang telah dilakukan didapatkan bahwa kebijakan
NTMs yang paling sering diberlakukan oleh pemerintahan Uni Eropa terhadap
produk tuna terkait kebijakan SPS (Sanitary and Phitosanitary) adalah tentang
keamanan pangan dan kesehatan hewan. Sedangkan kebijakan TBT (Technical
Barrier to Trade) yang sering diberlakukan yakni terkait pelebelan pada kemasan
pangan. Selain itu, berdasarkan metode regresi data panel dengan Gravity Model,
diperoleh model Fixed Efffect dengan pendekatan LSDV (Least Square Dummy
Variable) sebagai model terbaik, dengan nilai koefisien determinasi (R2) sebesar
0,6632. Hal ini menunjukkan bahwa seluruh variabel bebas sebesar 66,32 % dapat
menjelaskan variabel terikatnya, yaitu volume ekspor tuna. Sisanya, yaitu 33,68 %
dijelaskan oleh variabel-variabel lain di luar penelitian. Adapun faktor-faktor yang
berpengaruh signifikan terhadap volume ekspor tuna Indonesia di pasar Uni Eropa
viii
adalah PDB per kapita negara tujuan, harga ekspor tuna Indonesia, populasi
negara tujuan, kurs riil rupiah terhadap dollar Amerika, produksi tuna Indonesia
dan dummy NTMs SPS. Sedangkan jarak ekonomi dan dummy NTMs TBT tidak
berpengaruh signifikan terhadap volume ekspor tuna Indonesia ke pasar Uni
Eropa.
Kata Kunci: Tuna, Volume Ekspor, Non-Tariff Measures (NTMs), dan Gravity
Model.
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya
sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Analisis Hambatan
Non-Tarif dan Faktor-Faktor Lain yang Mempengaruhi Volume Ekspor
Tuna Indonesia ke Pasar Uni Eropa” dengan baik. Shalawat serta salam
semoga selalu tercurahkan kepada junjungan Nabi Muhammad SAW beserta
keluarganya, sahabatnya serta para pengikutnya hingga akhir zaman.
Penulisan skripsi ini disusun sebagai syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Pertanian pada Program Studi Agribisnis Fakultas Sains dan Teknologi
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Tentunya selama proses
penyelesaian skripsi ini tidak terlepas dari bantuan serta dorongan dari berbagai
pihak baik secara moril maupun materil, baik secara langsung maupun tidak
langsung, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Oleh
karena itu dengan penuh rasa hormat penulis mengucapkan banyak terima kasih
kepada:
1. Kedua orang tua, Bapak Madrasim dan Ibu Kartini, serta adik-adikku Rizki
dan Citra, dan juga seluruh keluarga. Terima kasih atas semua doa, nasihat,
kasih sayang, pengorbanan, cinta serta dukungan baik secara moril maupun
materil yang diberikan kepada penulis. Penyelesaian skripsi ini merupakan
salah satu bakti serta wujud cinta dan kasih sayang penulis kepada Bapak,
Ibu, dan seluruh keluarga yang sudah memberikan segala yang terbaik
dalam hidup kepada penulis.
2. Bapak Dr. Ir. Iwan Aminudin, M.Si dan Ibu Puspi Eko Wiranthi, SE, M.Si
selaku dosen pembimbing skripsi yang telah mencurahkan tenaga, energi,
waktu, pikiran, serta memberikan ilmu, arahan, dan dukungan secara tulus
demi terselesaikannya skripsi ini.
3. Bapak Dr. Ujang Maman, M.Si dan Ibu Ir. Armaeni Dwi Humaerah, M.Si
selaku dosen penguji skripsi yang telah memberikan ilmu, arahan, serta
dukungan yang besar kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini
sampai akhir.
4. Bapak Dr. Agus Salim, M.Si selaku Dekan Fakultas Sains dan Teknologi
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, para Wakil Dekan I,
II, dan III, beserta staf TU, Akademik, dan Karyawan FST lainnya.
5. Bapak Dr. Ir. Edmon Daris, MS dan Bapak Dr. Ir. Iwan Aminudin, M.Si
selaku Ketua dan Sekretaris Program Studi Agribisnis yang telah
memberikan kesempatan dan dukungan untuk menimba ilmu pengetahuan
serta membantu dalam proses akademis.
6. Bapak Dr. Ir. Akhmad Riyadi Wastra, S.IP, MM selaku dosen pembimbing
akademik yang telah memberikan bimbingan, motivasi, serta dukungan
kepada penulis selama perkuliahan.
7. Seluruh dosen Program Studi Agribisnis Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan ilmu, pengetahuan, wawasan,
dan pengalaman kepada penulis hingga mendapatkan gelar Sarjana
Pertanian.
8. Tito Akbar Bagaskara, yang selalu bersedia mendengarkan keluh kesah
penulis terkait pengerjaan skripsi, terima kasih atas dukungan, bantuan,
omelan serta pengertiannya. Semoga Allah SWT balas semua kebaikanmu
dan Allah permudah jalan suksesmu. Aamiin..
9. Sahabat AKK (Anak Kost Kece) Laras, Mawaddah, Widya, dan Ririn yang
selalu bersedia menjadi teman curhat hingga teman gosip dari masalah
perkuliahan hingga masalah asmara. Terima kasih atas kebersamaannya
serta tawa canda kalian, semoga kita selalu saling support dan mendoakan
satu sama lain dan tetap jadi sahabat hingga surganya Allah SWT. Aamiin..
10. Ciwi-ciwi Agribisnis 2013 B (Anggi, Mutia, Aisyah, Rara, Ami, Ayu)
terima kasih atas dukungan, motivas, serta kebahagiaan yang telah kalian
berikan kepada penulis. Semoga kita semua sukses di masa depan dan tetap
jadi sahabat selamanya. Aamiin..
11. Teman-teman seperjuangan, para pejuang skripsi, keluarga besar Agribisnis
2013 yang telah membantu penulis selama perkuliahan dan telah berbagi
ilmu, pengalaman serta keceriaan selama di bangku perkuliahan.
12. HMJ Agribisnis yang telah memberikan tempat, kesempatan dan
pengalaman berorganisasi sehingga penulis bisa mendapatkan pelajaran-
pelajaran baru.
xii
13. Kepada keluarga besar Kebun Bibit dan Laboratorium Lebak Bulus,
keluarga KKN IRAMA 2016 dan seluruh warga kampung Desa Sukaraksa,
terima kasih atas ilmu dan pengalaman yang telah diberikan kepada penulis.
14. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu yang telah
membantu penulis baik secara langsung maupun tidak langsung dalam
menyelesaikan skripsi ini.
Penulis menyadari bahwa penyusunan skripsi ini masih terdapat banyak
kekurangan dan masih jauh dari kata sempurna. Hal ini disebabkan karena
keterbatasan penulis, baik itu dalam kemampuan maupun pengetahuan serta
pengalaman yang penulis miliki. Oleh karena itu, saran dan kritik yang
membangun sangat penulis harapkan. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi
semua pihak, khususnya bagi penulis dan pembaca.
Jakarta, Maret 2018
Eka Rachmawati Dewi
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI ............................................................................................... xiii
DAFTAR TABEL ....................................................................................... xv
DAFTAR GAMBAR ................................................................................... xvii
DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................... xix
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................ 1
1.1 Latar Belakang ............................................................................ 1
1.2 Rumusan Masalah ....................................................................... 11
1.3 Tujuan Penelitian ......................................................................... 11
1.4 Manfaat Penelitian ....................................................................... 11
1.5 Ruang Lingkup Penelitian............................................................ 12
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ................................................................. 13
2.1 Tuna ............................................................................................ 13
2.1.1 Ragam Spesies Tuna dan Daerah Penyebarannya di
Indonesia ........................................................................... 13
2.1.2 Ragam Produk Perdagangan Tuna ..................................... 15
2.2 Perdagangan Internasional ........................................................... 15
2.3 Hambatan Perdagangan ............................................................... 21
2.3.1 Hambatan Tarif (Tariff Barrier) ......................................... 22
2.3.2 Hambatan Non-Tarif (Non-Tariff Barriers) ........................ 24
2.3.3 Sanitary and Phytosanitary (SPS) dan Technical
Barrier To Trade (TBT) .................................................... 28
2.4 Gravity Model ............................................................................. 30
2.4.1 Produk Domestik Bruto (PDB) .......................................... 32
2.4.2 Jarak Ekonomi ................................................................... 33
2.4.3 Populasi ............................................................................. 34
2.4.4 Harga ................................................................................. 35
2.4.5 Nilai Tukar Rupiah ............................................................ 35
2.4.6 Produksi ............................................................................ 37
2.5 Penelitian Terdahulu .................................................................... 38
2.6 Kerangka Pemikiran Operasional ................................................. 41
2.7 Hipotesis Penelitian ..................................................................... 44
xiv
BAB III METODOLOGI PENELITIAN .................................................. 46
3.1 Waktu Penelitian ........................................................................ 46
3.2 Jenis dan Sumber Data ............................................................... 46
3.3 Populasi dan Sempel .................................................................. 47
3.4 Metode Pengolahan Data dan Analisis Data ............................... 47
3.4.1 Analisis Deskriptif ............................................................. 48
3.4.2 Analisis Regresi Data Panel ............................................... 49
3.4.3 Uji Kesesuaian Model ........................................................ 51
3.4.4 Least Square Dummy Variable (LSDV) ............................. 54
3.4.5 Pengujian Asumsi (Uji Asumsi Klasik) .............................. 56
3.4.6 Uji Parameter Model.......................................................... 59
3.5 Definisi Operasional................................................................... 61
BAB IV GAMBARAN UMUM .................................................................. 64
4.1 Kinerja Perdagangan Komoditi Ikan Tuna Indonesia di Pasar
Uni Eropa ................................................................................... 64
4.2 Negara Pesaing Ekspor Tuna Indonesia ke Pasar Uni Eropa ........ 67
4.3 Regulasi Perdagangan Tuna di Pasar Uni Eropa .......................... 72
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN ....................................................... 77
5.1 Pemberlakuan NTMs (Non-Tariff Measures) pada
Perdagangan Tuna di Pasar Uni Eropa Tahun 2009 – 2015 ......... 77
5.2 Analisis Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Volume
Ekspor Ikan Tuna Indonesia ke Pasar Uni Eropa .......................... 82
5.2.1 Pemilihan Model Regresi Data Panel ................................. 82
5.2.2 Uji Asumsi Klasik .............................................................. 83
5.2.3 Uji Parameter ..................................................................... 89
5.2.4 Interpretasi Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Volume
Ekspor Ikan Tuna Indonesia ke Pasar Uni Eropa ................ 91
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN...................................................... 108
6.1 Kesimpulan................................................................................. 108
6.2 Saran .......................................................................................... 109
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. 111
LAMPIRAN ................................................................................................ 116
DAFTAR TABEL
Halaman
1. Perkembangan Volume Ekspor Ikan Tuna Indonesia di Pasar Uni
Eropa Tahun 2009-2015 ......................................................................... 6
2. Jenis Tuna di Perairan Indonesia ............................................................ 14
3. Penelitian Terdahulu .............................................................................. 38
4. Jenis Data dan Sumber Data ................................................................... 47
5. Definisi Operasional .............................................................................. 62
6. Perkembangan Ekspor Ikan Tuna Segar Indonesia di Pasar Uni Eropa
Tahun 2009-2015 ................................................................................... 65
7. Perkembangan Ekspor Ikan Tuna Beku Indonesia di Pasar Uni Eropa
Tahun 2009-2015 ................................................................................... 66
8. Perkembangan Ekspor Ikan Tuna Kaleng Indonesia di Pasar Uni
Eropa Tahun 2009-2015 ......................................................................... 67
9. Regulasi Terkait Pelabelan Produk Perikanan......................................... 73
10. Peraturan Terkait Keamanan Pangan ...................................................... 74
11. Daftar Sertifikasi Perdagangan Ikan Tuna di Pasar Uni Eropa ............... 76
12. Total NTMs yang Diberlakukan Uni Eropa terhadap Produk Tuna
Periode 2009-2015 ................................................................................. 78
13. Peraturan NTMs yang Diberlakukan Uni Eropa Terhadap Produk Tuna Periode 2009-2015 ................................................................................. 81
14. Hasil Pemilihan Model Terbaik .............................................................. 83
15. Hasil Uji Normalitas dengan uji Jarque-Bera ........................................... 84
16. Hasil Uji Multikolinearitas ..................................................................... 86
xvi
Halaman
17. Hasil Estimasi Fixed Effect Model dengan Least Square Dummy
Variable (LSDV) ................................................................................... 87
18. Hubungan PDB per Kapita terhadap Volume Ekspor Tuna Indonesia ke
Pasar Uni Eropa Periode 2009-2015 ....................................................... 93
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1. Perkembangan Produksi Perikanan Tangkap Berdasarkan
Komoditas Unggulan, 2010-2014 ........................................................... 2
2. Perkembangan Volume Ekspor Tuna Indonesia di Pasar Dunia
Berdasarkan Jenis Produk, 2006-2015 .................................................... 4
3. Perbandingan Volume Ekspor dan Nilai Ekspor Tuna Indonesia di
Negara Tujuan Utama Tahun 2015 ......................................................... 5
4. Persentase Total Pemberlakuakn NTMs (SPS dan TBT) di Negara
Importir Utama Tuna Indonesia Periode 2006-2015 ............................... 8
5. Kurva Perdagangan Internasional ........................................................... 17
6. Dampak Keseimbangan Parsial Akibat Pemberlakuan Tarif ................... 23
7. Klasifikasi Non-Tariff Measures (NTMs) ............................................... 28
8. Kerangka Pemikiran Operasional ........................................................... 43
9. Perkembangan Volume Ekspor Tuna Segar Indonesia dan Negara
Pesaing di Pasar Uni Eropa Tahun 2009-2015 ........................................ 69
10. Perkembangan Volume Ekspor Tuna Beku Indonesia dan Negara
Pesaing di Pasar Uni Eropa Tahun 2009-2015 ....................................... 70
11. Perkembangan Volume Ekspor Tuna Kaleng Indonesia dan Negara
Pesaing di Pasar Uni Eropa Tahun 2009-2015 ....................................... 71
12. Histogram Standardized Regression Residual ........................................ 84
13. Hubungan Jarak Ekonomi terhadap Volume Ekspor Tuna Indonesia
ke Pasar Uni Eropa ................................................................................. 94
14. Volume Ekspor Tuna Indonesia ke Pasar Uni Eropa dan Amerika
Serikat Periode 2009-2015 (Ton)............................................................... 97
xviii
Halaman
15. Kurva Permintaan .................................................................................... 98
16. Hubungan Harga Ekspor Tuna terhadap Volume Ekspor Tuna
Indonesia ke Pasar Uni Eropa ................................................................. 99
17. Hubungan Populasi Negara Importir terhadap Volume Ekspor Tuna
Indonesia ke Pasar Uni Eropa ................................................................. 101
18. Hubungan Produksi Tuna Indonesia terhadap Volume Ekspor Tuna
Indonesia ke Pasar Uni Eropa ................................................................. 103
19. Hubungan Pemberlakuan NTMs (SPS) terhadap Volume Ekspor
Tuna Indonesia ke Pasar Uni Eropa ........................................................ 105
xix
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1. Kode HS Produk Tuna di Pasar Internasional ......................................... 116
2. Negara Tujuan Ekspor Tuna Indonesia di Pasar Uni Eropa Tahun
2009-2015 .............................................................................................. 117
3. Data Faktor-Faktor yang Mempengruhi Volume Ekspor Tuna
Indonesia ke Pasar Uni Eropa Periode 2009-2015 .................................. 118
4. Hasil Pemilihan Model Terbaik .............................................................. 121
5. Hasil Uji Asumsi Klasik ......................................................................... 123
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Indonesia adalah negara kepulauan yang memiliki luas lahan akuakultur
sekitar 28,5 juta hektar, kondisi tersebut menjadikan negara Indonesia sebagai
negara yang memiliki kekayaan sumber daya perikanan yang cukup berlimpah.
Posisi Indonesia yang terletak di wilayah khatulistiwa juga jelas sangat
menguntungkan, karena sebagian besar wilayah perairan nusantara merupakan
tempat berpijah atau kawin berbagai jenis ikan, termasuk ikan tuna, terutama di
perairan Selat Makassar dan Laut Banda (Kemendag, 2015: 6).
Kementrian Perdagangan (2015: 6) mengemukakan bahwa ikan tuna yang
hidup di perairan laut Indonesia dikelompokkan menjadi dua jenis, yakni ikan
tuna besar dan ikan tuna kecil. Ikan tuna besar meliputi tuna sirip kuning
(yellowfin tuna), albakora (albacore), tuna mata besar (bigeye tuna), dan tuna sirip
biru selatan (southern bluefin tuna). Sedangkan, ikan tuna kecil terdiri dari
cakalang (skipjack tuna), tongkol (eutynnus affinis), tongkol kecil (auxis thazard),
dan ikan abu-abu (thunnus tonggol).
Persebaran ikan tuna hampir seluruhnya ada di wilayah perairan laut
Indonesia. Luasnya wilayah persebaran ikan tuna di laut Indonesia menjadi
keuntungan tersendiri bagi Indonesia, karena kondisi tersebut mampu menjadikan
Indonesia sebagai negara produsen dan eksportir tuna dunia. Berdasarkan data
Kementrian Kelautan dan Perikanan (2015: 38), produksi komoditas perikanan
tangkap Indonesia khususnya ikan tuna terus mengalami peningkatan setiap
2
tahunnya. Produksi ikan tuna di Indonesia selama periode 2010-2014 mengalami
pertumbuhan sebesar 46,42%. Sedangkan udang selama periode 2010-2014
mengalami pertumbuhan produksi sebesar 20,15%. Meskipun keduanya sama-
sama komoditas unggulan dari perikanan tangkap namun produksi ikan tuna
Indonesia memiliki potensi yang besar untuk menguasai pasar dunia.
Perkembangan produksi perikanan tangkap berdasarkan komoditas unggulan
dapat dilihat sebagaimana pada Gambar 1 berikut.
Gambar 1. Perkembangan Produksi Perikanan Tangkap Berdasarkan Komoditas
Unggulan, 2010-2014 Sumber: Kementrian Kelautan dan Perikanan, 2015 (Diolah)
Berdasarkan Gambar 1 dapat diketahui bahwa produksi komoditas ikan
tuna tertinggi terjadi di tahun 2014, yaitu sebanyak 1.326.126 ton. Sedangkan
produksi terendahnya terjadi di tahun 2010, yaitu sebanyak 905.700 ton. Pada
grafik produksi ikan tuna di Indonesia terus menunjukan adanya peningkatan
setiap tahunnya, beda halnya dengan produksi udang yang cenderung
berfluktuatif. Tentunya kondisi ini menjadi peluang bagi Indonesia untuk dapat
meningkatkan kuota ekspor ikan tunanya di pasar dunia.
0
200.000
400.000
600.000
800.000
1.000.000
1.200.000
1.400.000
2010 2011 2012 2013 2014
Prod
uk
si (
ton
)
Ikan Tuna
Udang
3
Di dunia, tuna merupakan salah satu komoditas ikan terpenting, bahkan
komoditas ini menduduki urutan ketiga sebagai komoditas ikan yang
permintaannnya cukup tinggi di pasar internasional (Kemendag, 2014a: 3).
Seiring dengan meningkatnya kesadaran masyarakat dunia tentang pentingnya
mengonsumsi ikan untuk kesehatan, turut mempengaruhi permintaan ikan di pasar
dunia. Bahkan negara Indonesia sudah menjadi negara supplier ikan tuna dunia
sejak dua puluh tahun terakhir.
Ikan tuna sebagai salah satu komoditi andalan ekspor Indonesia, di pasar
dunia umumnya diperdagangkan dalam bentuk segar (fresh), beku (frozen),
kaleng (preserved), maupun bentuk fillet dalam wadah vakum (airtight
container). Berdasarkan data UN Comtrade (2017), perkembangan volume ekspor
ikan tuna Indonesia baik dalam bentuk segar, beku, kaleng maupun fillet di pasar
dunia cenderung fluktuatif. Namun volume ekspor ikan tuna segar cenderung
terus mengalami penurunan mulai tahun 2009 hingga 2012 dan mengalami
peningkatan kembali di tahun 2013 yakni meningkat sebanyak 2.100.404 kg dari
tahun sebelumnya. Hanya saja di tahun 2014 terjadi penurunan kembali hingga
tahun 2015 untuk produk tuna segar. Produk tuna yang terus mengalami
peningkatan volume ekspor yakni tuna kaleng dan tuna beku, meskipun pada tuna
beku mulai mengalami penurunan volume ekspor di tahun 2014 hingga 2015.
Indonesia sendiri baru melakukan ekspor tuna fillet di tahun 2012. Oleh sebab itu,
di tahun-tahun sebelumnya volume ekspor tuna fillet bernilai 0. Perkembangan
volume ekspor tuna Indonesia di pasar dunia berdasarkan jenis produk dapat
dilihat sebagaimana pada Gambar 2 berikut.
4
Gambar 2. Perkembangan Volume Ekspor Tuna Indonesia di Pasar Dunia
Berdasarkan Jenis Produk, 2006-2015 Sumber: UN Comtrade, 2017 (Diolah)
Uni Eropa merupakan salah satu negara yang menjadi tujuan utama ekspor
komoditas ikan tuna asal Indonesia. Selain Uni Eropa, negara yang menjadi tujuan
utama ekspor tuna asal Indonesia yakni Amerika Serikat dan Jepang. Jika dilihat
pada Gambar 3 di bawah ini dapat diketahui bahwa di tahun 2015 total volume
ekspor tuna Indonesia ke Uni Eropa menduduki peringkat kedua setelah Jepang
dengan total volume ekspor sebanyak 23.753.416 kg. Jika ditinjau berdasarkan
total nilai ekspor maka negara Amerika Serikat menduduki peringkat pertama
dengan total nilai ekspor sebesar USD 168.650.356. Uni Eropa sendiri jika dilihat
total nilai ekspornya di tahun 2015 menduduki peringkat ketiga dengan total nilai
ekspor sebesar USD 104.638.214. Nilai tersebut tentu lebih rendah dari Amerika
Serikat, meskipun volume ekspornya jauh lebih tinggi di Uni Eropa. Hal tersebut
menunjukan bahwa harga jual tuna Indonesia lebih rendah di pasar Uni Eropa
dibandingkan di Amerika Serikat. Adapun total volume dan nilai ekspor tuna
Indonesia di negara tujuan utama tahun 2015 dapat dilihat sebagaimana pada
Gambar 3 berikut.
0
20.000.000
40.000.000
60.000.000
80.000.000
100.000.000
120.000.000
Volu
me E
ksp
or (
Kg)
Segar Beku Kaleng Fillet
5
Gambar 3. Perbandingan Volume Ekspor dan Nilai Ekspor Tuna Indonesia di
Negara Tujuan Utama Tahun 2015 Sumber: UN Comtrade, 2017 (Diolah)
Produk tuna asal Indonesia yang diekspor ke pasar Uni Eropa meliputi
tuna segar, beku, kaleng dan fillet. Berdasarkan data UN Comtrade (2017), dapat
diketahui bahwa negara Uni Eropa hanya mengimpor tuna segar dari Indonesia
sebanyak 2.243 ton dalam kurun waktu 7 tahun. Jumlah ini tentu lebih kecil jika
dibandingkan dengan total volume ekspor produk tuna beku, kaleng maupun fillet.
Jika dijumlahkan maka total volume ekspor dari produk tuna beku, kaleng dan
fillet dalam kurun waktu 7 tahun yakni sebesar 36.285 ton, 133.128 ton dan 4.235
ton. Hal ini menunjukan bahwa permintaan pasar Uni Eropa lebih tinggi terhadap
produk tuna beku, kaleng dan fillet. Hanya saja di tahun 2015 keempat produk
tersebut justru mengalami penurunan volume ekspor. Data perkembangan volume
ekspor produk ikan tuna di Uni Eropa dari tahun 2009-2015 dapat dilihat
sebagaimana pada Tabel 1 berikut.
22.786 23.320 35.963
168.650.356
104.638.214
139.687.557
USA Uni Eropa Jepang
Volume Ekspor (ton) Nilai Ekspor (USD)
6
Tabel 1. Perkembangan Volume Ekspor Ikan Tuna Indonesia di Pasar Uni Eropa
Tahun 2009-2015
Tahun/ Komoditi Segar (ton) Beku (ton) Kaleng (ton) Fillet (ton)
2009 325 699 13.616 0
2010 711 870 10.590 0
2011 767 6.252 22.657 0
2012 200 5.591 19.876 335
2013 168 12.352 25.527 1.204
2014 39 6.680 22.506 1.609
2015 33 3.841 18.358 1.088
Total 2.243 36.285 133.128 4.235
Sumber: UN Comtrade, 2017 (Diolah)
Meski Uni Eropa merupakan pasar yang sangat potensial untuk pemasaran
tuna Indonesia. Namun kegiatan ekspor yang dilakukan oleh Indonesia ke Uni
Eropa tentunya tidak terlepas dari berbagai macam hambatan. Selain kebijakan
tarif, Uni Eropa juga sudah menerapkan kebijakan non-tarif/ Non Tariff Measures
(NTMs) bagi produk-produk impor yang masuk ke wilayahnya. Non Tariff
Measures (NTMs) itu sendiri mulai muncul sejak adanya penurunan atau bahkan
penghapusan tarif yang diberlakukan oleh WTO tahun 1994. Menurut Kristriana
(2015: 2) diberlakukannya NTMs bertujuan sebagai tindakan untuk melindungi
manusia, hewan, dan tumbuhan pada suatu negara dari penyakit, serta untuk
menjamin kesejahteraan nasional yang berkelanjutan dengan memperbaiki
kegagalan pasar. Adanya pemberlakuan NTMs tersebut bisa saja menjadi salah
satu penyebab terjadinya penurunan volume ekspor serta rendahnya nilai jual ikan
tuna Indonesia di pasar Uni Eropa.
Jenis NTMs yang diberlakukan oleh Uni Eropa terhadap produk perikanan
yakni terkait kebijakan Sanitary and Phitosanitary (SPS) dan Technical Barriers
to Trade (TBT). TBT merupakan perjanjian yang mengatur hambatan dalam
7
perdagangan yang terkait dengan peraturan teknis (technical regulation), standar
(standard), dan prosedur penilaian kesesuaian (conformity assessment procedure).
Sedangkan kebijakan SPS ini sebagai kontrol yang sangat penting untuk
menjamin kesehatan dan kesejahteraan dari konsumen dan melindungi
lingkungan. Penggunaan kebijakan SPS lebih banyak pada sektor pertanian dan
produk yang berasal dari hewan (UNCTAD, 2013).
Berdasarkan data WTO (2017), dapat dilihat (Gambar 4) bahwa negara
Uni Eropa merupakan negara yang paling sering memberlakukan kebijakan
NTMs (SPS dan TBT) dimana nilai persentase total pemberlakuan NTMs-nya
dalam kurun waktu 10 tahun adalah sebesar 57%. Sedangkan negara Amerika
Serikat menduduki peringkat kedua dengan nilai persentase 36%. Kemudian
diikuti dengan Jepang dengan nilai persentase 7%. Hal ini dapat membuktikan
ketatnya peraturan yang diberlakukan oleh Uni Eropa. Bahkan ketatnya keamanan
pangan yang diterapkan oleh pemerintahan Uni Eropa terhadap produk-produk
perikanan yang dipasok ke wilayah tersebut menjadikan Uni Eropa sebagai
barometer bagi pasar perikanan dunia. Adapun persentase total pemberlakuan
NTMs (SPS dan TBT) pada negara tujuan utama tuna Indonesia dapat dilihat
sebagaimana pada Gambar 4 berikut.
8
Gambar 4. Persentase Total Pemberlakuakn NTMs (SPS dan TBT) di Negara
Importir Utama Tuna Indonesia Periode 2006-2015 Sumber: WTO, 2017 (Diolah)
Maraknya isu hambatan non-tarif seperti SPS dan TBT yang diterapkan
oleh Uni Eropa sebagai bentuk proteksi, tentu menjadi masalah besar bagi negara
berkembang seperti Indonesia. Adanya peraturan, standar, tatalaksana, dan sistem
inspeksi untuk menjamin bahwa produk yang diimpor telah memenuhi
persyaratan keamanan pangan merupakan salah satu kesulitan atau hambatan yang
dirasakan oleh eksportir Indonesia, terutama untuk sektor perikanan. Bahkan
seluruh rantai pasokan ikan dan produk perikanan yang diekspor ke Uni Eropa
seluruhnya diatur oleh peraturan Uni Eropa, mulai dari penangkapan (catching),
budidaya (cultivation), pendaratan (landing), pengolahan (processing),
pengangkutan (transporting), mengimpor (importing), pemasaran (marketing),
distribusi (distribution) hingga penjualan (selling) di pasar Eropa. Menurut
BAPPENAS (2005) dalam Kemendag (2014b: 6), permasalahan dan tantangan
pokok yang dihadapi dalam bidang perdagangan internasional terutama pada
sektor perikanan adalah meningkatnya hambatan non-tarif. Hambatan non-tarif
tersebut ditandai dengan isu lingkungan, seperti ecolabelling dan perlindungan
USA
36%
Uni
Eropa
57%
Jepang
7%
9
terhadap spesies hewan tertentu serta isu pekerja anak pada produk-produk
pertanian dan perikanan. Kondisi tersebut tentu akan berpengaruh terhadap kinerja
ekspor tuna Indonesia sebagai komoditas unggulan.
Eksportir tuna asal Indonesia sendiri hingga saat ini masih banyak yang
belum mendapatkan sertifikasi internasional The Marine Stewardship Council
(MSC). MSC adalah sebuah lembaga non-pemerintah yang bertujuan menetapkan
standar penangkapan ikan secara ramah lingkungan (sustainable). Menurut
Thomas Darmawan selaku ketua AP5I (Asosiasi Pengusaha Pengolahan dan
Pemasaran Produk Perikanan Indonesia) mengatakan meskipun MSC bukanlah
standar wajib yang ditetapkan pasar internasional bagi para negara eksportir,
namun sertifikasi ini telah ditetapkan oleh perusahaan-perusahaan importir di
mayoritas negara Eropa (Sihombing, 2014). Dampak dari adanya kebijakan
tersebut bahkan telah menyebabkan tuna Indonesia pernah mengalami penolakan
ekspor di tahun 2014, dimana ikan tuna sebagai komoditas andalan ekspor
Indonesia ke Spanyol pernah mengalami hambatan ekspor. Penolakan tersebut
terjadi dikarenakan produk tuna Indonesia belum memiliki sertifikat penangkapan
yang ramah lingkungan. Sedangkan, berdasarkan hasil pertemuan bilateral antara
pemerintah Indonesia dan Spanyol disebutkan bahwa Spanyol mengalami
peningkatan permintaan verifikasi sertifikat penangkapan. Saat itu negara Spanyol
sedang melakukan analisa risiko terhadap negara-negara yang impornya
mengalami kenaikan signifikan ke Spanyol, termasuk Indonesia (Kemendag,
2014b: 7). Oleh sebab itu dapat dikatakan bahwa kebijakan kepemilikan
sertifikasi MSC juga telah menjadi hambatan non-tarif yang akan mempengaruhi
10
volume ekspor tuna Indonesia ke Uni Eropa. Meskipun demikian, kepemilikan
sertifikasi ini tentunya sangat penting bagi para produsen sektor perikanan di
Indonesia, karena akan berdampak pada mudahnya akses pasar ekspor produk
perikanan, bahkan harga jual produk akan lebih tinggi dari sebelumnya serta
konsumen luar negeri tidak ragu lagi untuk mengkonsumsi produk perikanan
Indonesia. Sayangnya di negara berkembang (termasuk di Indonesia) industri
perikanan umumnya terdiri atas kapal-kapal kecil dan tidak terdaftar. Meskipun
terdapat laporan bahwa sebagian besar industri perikanan utama di Indonesia pada
saat ini telah mendaftarkan semua kapalnya, dan kebijakan baru telah diterapkan
untuk membantu nelayan dan eksportir dalam menyediakan dokumen yang
diperlukan untuk melakukan ekspor ke pasar UE, adanya pemberlakuan
persyaratan khusus tersebut telah menjadi hambatan perdagangan.
Sehingga dapat dikatakan bahwa pemberlakuan hambatan non-tarif di Uni
Eropa telah menjadi salah satu penyebab terjadinya penurunan volume ekspor
tuna ke pasar Uni Eropa. Namun selain hambatan non-tarif diduga terdapat faktor-
faktor lain yang juga memiliki pengaruh terhadap menurunnya volume ekspor
tuna ke pasar Uni Eropa. Oleh sebab itu perlu dilakukan penelitian tentang
“Analisis Hambatan Non-Tarif dan Faktor-Faktor Lain yang Mempengaruhi
Volume Ekspor Tuna Indonesia ke Pasar Uni Eropa”. Hasil penelitian ini
diharapkan mampu menjadi informasi yang dapat berguna bagi pemerintah dan
pihak-pihak terkait.
11
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang, maka dapat dirumuskan beberapa
permasalahan yaitu sebagai berikut:
1. Bagaimana pemberlakuan NTMs pada komoditas ikan tuna Indonesia di
pasar Uni Eropa pada periode 2009-2015?
2. Bagaimana pengaruh hambatan non-tarif dan faktor-faktor lain terhadap
volume ekspor ikan tuna Indonesia ke pasar Uni Eropa periode 2009-2015?
1.3. Tujuan Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah yang telah disampaikan sebelumnya,
maka tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Mendeskripsikan pemberlakuan NTMs pada komoditas ikan tuna Indonesia
di pasar Uni Eropa periode 2009-2015.
2. Menganalisis pengaruh hambatan non-tarif dan faktor-faktor lain terhadap
volume ekspor komoditas ikan tuna Indonesia ke pasar Uni Eropa periode
2009-2015.
1.4. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan mampu memberikan masukan serta informasi
yang berguna bagi berbagai pihak yang berkepentingan, antara lain:
1. Penulis
Hasil penelitian ini diharapkan berguna sebagai aplikasi dari perkuliahan
yang diterima selama ini, yang akan sangat bermanfaat dalam penyelesaian
12
tugas akhir penelitian dan membantu mendapatkan gelar Sarjana Pertanian
dari Program Studi Agribisnis.
2. Akademisi
Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai referensi dan informasi bagi
yang berminat melakukan penelitian dengan tema yang sama.
3. Para Pengambil Kebijakan (Pemerintah dan Pelaku Usaha (Eksportir))
Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan informasi dalam
pengambilan kebijakan dan evaluasi untuk mewujudkan kemajuan
perdagangan ikan tuna Indonesia yang berdaya saing.
1.5. Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini mengkaji permasalahan terkait pengaruh pemberlakuan
NTMs (SPS dan TBT) dan faktor-faktor lain terhadap volume ekspor ikan tuna
Indonesia ke pasar Uni Eropa. Komoditas ikan tuna yang digunakan berdasarkan
kode HS 02 pengelompokan 6 digit yakni 030231, 030232, 030233, 030234,
030235, 030236, dan 030239 untuk tuna segar; 030341, 030342, 030343, 030344,
030345, 030346 dan 030349 untuk tuna beku; dan 160414 untuk tuna kaleng
(Lampiran 1). Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data time series
dan cross section yakni dalam kurun waktu tahun 2009 hingga tahun 2015 dengan
negara tujuan ekspor yang akan diteliti yaitu terdiri dari 5 negara yang tergabung
dalam kawasan Uni Eropa. Negara-negara tersebut adalah Belanda, Belgia,
Jerman, Italia dan United Kingdom. Metode analisis yang digunakan dalam
penelitian ini adalah analisis kualitatif deskriptif dan analisis kuantitatif regresi
data panel dengan metode Gravity Model.
13
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Tuna
Tuna adalah jenis ikan laut yang terdiri dari beberapa spesies dari famili
Scombridae, terutama genus Thunnus. Menurut Kemendag (2015: 6), dalam
statistik perikanan tangkap Indonesia tuna merupakan nama kelompok ikan yang
terdiri dari beberapa jenis diantaranya yaitu:
1) Jenis tuna besar (Thunnus spp.) yakni bluefin tuna (Thunnus thynnus),
yellowfin tuna (Thunnus albacares), bigeye tuna (Thunnus obesus), southern
bluefin tuna (Thunnus maccoyii), dan albacore (Thunnus alalunga) serta jenis
ikan mirip tuna (tuna-like species) seperti marlin, sailfish dan swordfish;
2) Jenis cakalang (skipjack tuna); dan
3) Jenis tongkol, meliputi eastern little tuna (Euthynus spp.), frigate and bullet
tuna (Auxus spp.) dan longtail tuna (Thunnus tonggol).
2.1.1. Ragam Spesies Tuna dan Daerah Penyebarannya di Indonesia
Ikan tuna adalah perenang handal (pernah diukur mencapai 77 km/jam).
Tidak seperti kebanyakan ikan yang memiliki daging berwarna putih, daging tuna
berwarna merah muda sampai merah tua. Hal ini karena otot tuna lebih banyak
mengandung myoglobin dari pada ikan lainnya. Beberapa spesies tuna yang lebih
besar, seperti tuna sirip biru (Thunnus thynnus), dapat menaikkan suhu darahnya
di atas suhu air dengan aktivitas ototnya. Hal ini menyebabkan mereka dapat
hidup di air yang lebih dingin dan dapat bertahan dalam kondisi yang beragam
(DKP Padang Pariaman, 2014).
14
Menurut Burhanudin (1984) dalam Rastikarany (2008: 8), menyebutkan
bahwa suku Scombridae mencakup banyak jenis di dunia dan tercatat ada 46
jenis. Dari 46 jenis suku Scombridae, perairan Indonesia hanya memiliki 20 jenis
dan untuk jenis tuna yang terdapat di perairan Indonesia hanya sebanyak 9 jenis.
Adapun jenis tuna yang ada di perairan Indonesia dapat dilihat pada Tabel 2
berikut.
Tabel 2. Jenis Tuna di Perairan Indonesia
Nama Indonesia Jenis Ikan Nama Perdagangan
- Auxis rochei Bullet Tuna
Tongkol Pisang Auxis thazard Frigated mackeral
Tongkol Eutynnus affinis Little tuna
Cakalang Katsuwonus pelamis Skipjack Tuna
- Thunnus tonggol Longtail Tuna
Madidihang Thunnus albacares Yellowfin Tuna
Albakora Thunnus alalunga Albacore
Mata besar Thunnus obesus Bigeye Tuna
Abu-abu Selatan Thunnus maccoyii Southern bluefin tuna
Sumber: Burhanudin (1984) dalam Rastikarany (2008:9)
Pergerakan (migrasi) kelompok ikan tuna di wilayah perairan Indonesia
mencakup wilayah perairan pantai, teritorial dan Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE)
Indonesia. Keberadaan tuna di suatu perairan sangat bergantung pada beberapa
hal yang terkait dengan spesies tuna, kondisi hidro-oseanografi perairan. Pada
wilayah perairan ZEE Indonesia, migrasi jenis ikan tuna di perairan Indonesia
merupakan bagian dari jalur migrasi tuna dunia karena wilayah Indonesia terletak
pada lintasan perbatasan perairan antara Samudera Hindia dan Samudera Pasifik
(DKP, 2006 dalam Rastikarany, 2008: 9). Suhu dan kedalaman perairan juga
memberikan pengaruh yang paling kuat dan utama terhadap penyebaran ikan tuna
(Barata dkk., 2011: 165).
15
2.1.2. Ragam Produk Perdagangan Tuna
Indonesia merupakan salah satu negara supplier ikan tuna dunia sejak dua
puluh tahun terakhir (Kemendag, 2014a: 3). Jenis tuna yang banyak di ekspor
Indonesia diantaranya yaitu, jenis albakora, abu-abu (southern bluefin), cakalang,
dan madidihang (yellow fin). Secara umum, tuna Indonesia diperdagangkan dalam
bentuk segar (fresh/chilled), beku (frozen), dan olahan (preserved), maupun
wadah vakum (airtight container).
Dalam perdagangan dunia setiap komoditi yang diperjualbelikan di pasar
dunia memiliki nomor kode HS sebagai identitas dari komoditi tersebut. Kode HS
6 digit untuk produk ikan tuna baik segar (fresh) maupun beku (frozen) dibedakan
berdasarkan jenis ikannya, kecuali ikan tuna dalam kemasan (kaleng). Adapun
kode HS untuk produk ikan tuna dapat dilihat sebagaimana pada Lampiran 1.
2.2. Perdagangan Internasional
Secara teoritis, perdagangan internasional terjadi karena dua alasan utama.
Pertama, negara-negara berdagang karena pada dasarnya mereka berbeda satu
sama lain. Setiap negara dapat memperoleh keuntungan dengan melakukan
sesuatu yang relatif lebih baik. Kedua, negara-negara melakukan perdagangan
dengan tujuan untuk mencapai skala ekonomi dalam produksi. Maksudnya, jika
setiap negara hanya memproduksi sejumlah barang tertentu, mereka dapat
menghasilkan barang-barang tersebut dengan skala yang lebih besar dan
karenanya lebih efisien jika dibandingkan kalau negara tersebut memproduksi
segala jenis barang (Basri dan Munandar, 2010 : 32).
16
Oleh sebab itu dapat dikatakan bahwa kegiatan perdagangan internasional
terjadi karena adanya penawaran dan permintaan dari suatu negara terhadap
produk tertentu (Gambar 5). Contohnya, suatu negara (negara A) akan
mengekspor suatu komoditi (pakaian jadi) ke negara lain (negara B) apabila harga
domestik negara A (sebelum terjadinya perdagangan internasional) relatif lebih
rendah bila dibandingkan dengan harga domestik negara B. Stuktur harga yang
terjadi di negara A lebih rendah karena produksi domestiknya lebih besar daripada
konsumsi domestiknya sehingga di negara A telah terjadi excess supply (memiliki
kelebihan produksi). Dengan demikian, negara A mempunyai kesempatan
menjual kelebihan produksinya ke negara lain. Dilain pihak, negara B terjadi
kekurangan supply karena konsumsi domestiknya lebih besar daripada produksi
domestiknya (excess demand) sehingga harga yang terjadi di negara B lebih
tinggi. Dalam hal ini negara B berkeinginan untuk membeli pakaian dari negara
lain yang relatif lebih murah. Jika kemudian terjadi konsumsi antara negara A
dengan negara B, maka akan terjadi perdagangan internasional antara keduanya
dengan harga yang diterima oleh kedua negara adalah sama pada titik
keseimbangan (Kementrian Perdagangan, 2011: 7).
Pada Gambar 5 dapat dilihat bahwa sebelum terjadi perdagangan
internasional, harga di negara A adalah sebesar PA dan di negara B adalah PB.
Penawaran pasar internasional akan terjadi jika harga internasional lebih tinggi
dari PA sedangkan permintaan di pasar internasional akan tinggi jika harga
internasional lebih rendah dari PB. Pada saat harga internasional (P*) sama dengan
PA, maka negara B akan terjadi excess demand (ED) sebesar B. Jika harga
17
internasional sama dengan PB, maka di negara A akan terjadi excess supply (ES)
sebesar A. Dari A dan B akan terbentuk kurva ES dan ED yang akan menentukan
harga yang terjadi di pasar internasional sebesar P*. Dengan adanya perdagangan
tersebut, maka negara A akan mengekspor komoditi (pakaian) sebesar X dan
negara B akan mengimpor sebesar M, sehingga perdagangan yang terjadi di pasar
internasional sebesar X sama dengan M, yaitu pada harga P* (Kemendag, 2011:
8).
Negara A (ekspor) Perdagangan Internasional Negara B (impor)
Gambar 5. Kurva Perdagangan Internasional Sumber: Salvatore (1997: 84)
Keterangan:
PA : Harga domestik di negara A (pengekspor) tanpa
perdagangan internasional
O-QA : Jumlah produk domestik yang diperdagangkan di negara
A tanpa perdagangan internasional
A : Kelebihan penawaran di negara A tanpa perdagangan internasional
X : Jumlah komoditi yang diekspor oleh negara A setelah
ada perdagangan internasional
= A
= B
18
PB : Harga domestik di negara B (pengimpor) tanpa
perdagangan internasional
O-QB : Jumlah produk domestik yang diperdagangkan di negara
B tanpa perdagangan internasional
B : Kelebihan permintaan di negara B tanpa perdagangan internasional
M : Jumlah komoditi yang diimpor oleh negara B setelah ada perdagangan
internasional
P* : Harga keseimbangan antara kedua negara setelah
perdagangan internasional
O-Q* : Quantity keseimbangan penawaran dan permintaan antara kedua negara
dimana jumlah yang diekspor (X) sama dengan jumlah yang diimpor
(M)
Menurut Sasono (2013: 12), ekspor adalah kegiatan menjual produk dari
satu negara ke negara lain melewati batas terluar wilayah pabean suatu negara,
dengan tujuan mendapatkan devisa yang sangat dibutuhkan negara, menciptakan
lapangan kerja bagi pasar tenaga kerja domestik, mendapatkan pemasukan bea
keluar dan pajak lainnya, serta menjaga keseimbangan antara arus barang dan arus
uang beredar di dalam negeri.
Menurut Soekartawi (2003 : 120), ekspor sebagai bagian dari perdagangan
internasional bisa dimungkinkan oleh beberapa kondisi, antara lain:
a. Adanya kelebihan produksi dalam negeri, sehingga kelebihan tersebut dapat
dijual ke luar negeri melalui kebijaksanaan ekspor.
19
b. Adanya permintaan luar negeri untuk suatu produk walaupun produk tersebut
karena adanya kekurangan produk dalam negeri.
c. Adanya keuntungan yang lebih besar dari penjualan ke luar negeri dari pada
penjualan di dalam negeri karena harga di pasar dunia yang lebih
menguntungkan.
d. Adanya kebijakan ekspor yang bersifat politik.
e. Adanya barter antar produk tertentu dengan produk lain yang diperlukan dan
tak dapat diproduksi dalam negeri.
Faktor-faktor yang mempengaruhi ekspor menurut Darmansyah (1986)
dalam Soekartawi (2003: 122) adalah harga internasional komoditas tersebut, nilai
tukar uang, kuota ekspor-impor, tarif dan non-tarif.
1. Harga Internasional
Makin besar selisih antar harga di pasar internasional dengan domestik akan
menyebabkan jumlah komoditi yang akan diekspor akan menjadi bertambah
banyak. Naik turunnya harga tersebut disebabkan oleh:
a. Keadaan perekonomian negara pengekspor, di mana dengan tingginya
inflasi di pasaran domestik akan menyebabkan harga di pasaran domestik
menjadi naik, sehingga secara riil harga komoditi tersebut jika ditinjau dari
pasaran internasional akan terlihat semakin menurun.
b. Harga di pasaran internasional semakin meningkat, di mana harga
internasional merupakan keseimbangan antara penawaran ekspor dan
perrmintaan impor dunia. Suatu komoditas di pasaran dunia meningkat
sehingga jika harga komoditas di pasaran domestik tersebut stabil, maka
20
selisih harga internasional dan harga domestik semakin besar. Akibat dari
kedua hal di atas akan mendorong ekspor komoditi tersebut.
2. Nilai Tukar Uang (Exchange rate)
Menurut Branson (1979) dalam Soekartawi (2003: 122), makna kebijakan nilai
tukar uang adalah dimaksudkan untuk memperbaiki neraca pembayaran defisit
melalui peningkatan ekspor. Efek dari kebijakan nilai tukar uang adalah
berkaitan dengan kebijakan devaluasi (yaitu penurunan nilai mata uang
domestik terhadap mata uang luar negeri) terhadap ekspor-impor suatu negara
dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain elastisistas harga untuk ekspor,
elastisitas harga untuk impor dan daya saing komoditas tersebut di pasaran
internasional. Apabila elastisitas harga untuk ekspor lebih tinggi daripada
elastisitas harga untuk impor maka devaluasi cenderung menguntungkan dan
sebaliknya jika elastisitas harga untuk impor lebih tinggi dari pada harga untuk
ekspor maka kebijakan devaluasi tidak menguntungkan.
3. Kuota Ekspor-Impor
Dengan adanya kuota ekspor bagi negara produsen komoditi tertentu maka
ekspor komoditi tersebut akan mengalami hambatan terutama bagi negara-
negara penghasil komoditi yang jumlahnya relatif sedikit. Oleh karena pada
saat harga di pasaran internasional tinggi, misalnya sebagai akibat kerusakan
komoditi tersebut, maka negara-negara penghasil komoditi yang relatif sedikit
tersebut tidak dapat memanfaatkan keadaan.
21
4. Kebijakan Tarif dan Non-tarif
Kebijakan tarif biasanya dikenakan untuk komoditi impor atau untuk komoditi
substitusi impor. Maksudnya adalah untuk menjaga harga produk dalam negeri
dalam tingkatan tertentu sehingga dengan harga tersebut dapat atau mampu
mendorong pengembangan komoditi tersebut. Di samping kebijakan tarif, juga
dikenakan kebijakan non-tarif. Maksudnya untuk mendorong tujuan
diversifikasi tujuan ekspor.
Menurut kurva proses terjadinya perdagangan internasional, kegiatan
impor terjadi akibat adanya kelebihan permintaan namun ketersediaan barang
dalam negeri tidak mencukupi. Tingginya permintaan tersebut membuat
pemerintah sebagai pengambil keputusan untuk mendatangkan barang dari negara
lain, atau dengan kata lain negara tersebut melakukan impor.
Menurut Sasono (2013: 1), transaksi dan realisasi impor merupakan
transaksi perdagangan luar negeri yang dilakukan oleh semua negara tanpa
kecuali, sebab tidak ada satu negara pun di dunia ini yang bisa memenuhi atau
mencukupi semua kebutuhan rakyatnya tanpa dibantu masuknya barang impor.
Apabila kebutuhan rakyat yang tidak tercukupi tidak dibantu dengan impor, maka
harga barang-barang tersebut melonjak naik dan menyeret harga produk-produk
domestik lainnya.
2.3. Hambatan Perdagangan
Hambatan dalam arus perdagangan ada dua macam, yaitu hambatan yang
bersifat tarif (tariff barrier) dan hambatan yang bersifat non-tarif (non tariff
barriers). Hambatan yang bersifat tarif (tariff barrier) merupakan hambatan
22
terhadap arus barang ke dalam suatu negara yang disebabkan oleh
diberlakukannya tarif bea masuk dan tarif lainnya, sedangkan yang dimaksud
dengan hambatan yang bersifat non-tarif (non tariff barriers) merupakan
hambatan terhadap arus barang ke dalam suatu negara yang disebabkan oleh
tindakan-tindakan selain penerapan pengenaan tarif atas suatu barang.
2.3.1. Hambatan Tarif (Tariff Barrier)
Bentuk hambatan perdagangan yang paling penting atau menonjol secara
historis adalah tarif (tariff). Tarif adalah pajak atau cukai yang dikenakan untuk
suatu komoditi yang diperdagangkan lintas-batas teritorial. Ditinjau dari aspek
asal komoditi, tarif terbagi menjadi dua macam, yakni tarif impor (import tariff)
yang berarti pajak yang dikenakan untuk setiap komoditi yang diimpor dari
negara lain dan tarif ekspor (export tariff) yang berarti pajak untuk suatu komoditi
yang diekspor (Salvatore, 1997: 270). Apabila ditinjau dari mekanisme
perhitungannya, jenis tarif terbagi atas tarif spesifik, ad valorem, dan gabungan.
Tarif spesifik dikenakan sebagai beban tetap unit barang yang diimpor. Jika tarif
ad valorem adalah pajak yang dikenakan berdasarkan angka presentase tertentu
dari nilai barang-barang yang diimpor. Sedangkan tarif campuran adalah
gabungan dari keduanya, yaitu mengenakan pungutan dalam jumlah tertentu dan
juga memungut dalam bentuk persen.
Pemberlakuan tarif berdampak terhadap produksi, konsumsi, perdagangan,
dan kesejahteraan di negara tersebut, termasuk dampaknya terhadap hubungan
perdagangannya dengan negara-negara lain. Berdasarkan analisis keseimbangan
23
parsial yang dikemukakan Salvatore (1997: 274) ada dampak yang ditimbulkan
dari pemberlakuan tarif, sebagaimana terlihat pada Gambar 6.
Gambar 6. Dampak Keseimbangan Parsial Akibat Pemberlakuan Tarif Sumber: Salvatore (1997: 274)
Berdasarkan Gambar 6 di atas dapat dilihat dampak dari kebijakan tarif.
Dimana Dx adalah kurva permintaan dan Sx melambangkan kurva penawaran
komoditi X. Jika negara A sama sekali tidak mengadakan hubungan perdagangan
internasional maka negara A akan mengalami keseimbangan di titik E yang
merupakan titik perpotongan antara Dx dan Sx. Selanjutnya jika negara A
melakukan hubungan perdagangan internasional maka ia akan menikmati harga
yang jauh lebih murah (P1) sehingga konsumsinya berada pada (X4). Ketika
negara A memberlakukan hambatan tarif berupa tarif ad valorem terhadap
komoditi yang di impor, maka akan menyebabkan harga tinggi sehingga naik ke
(P2). Harga yang tinggi (P2) menyebabkan konsumen di negara tersebut
menurunkan tingkat konsumsinya menjadi (X3) dengan (X2) merupakan produksi
domestiknya (Salvatore, 1997: 273).
24
2.3.2. Hambatan Non-Tarif (Non-Tariff Barriers)
Menurut Salvatore (1997: 315), ketika tingkat tarif di berbagai negara
diturunkan secara berarti melalui serangkaian negosiasi perdagangan multilateral,
jumlah dan peranan berbagai bentuk hambatan perdagangan non-tarif tersebut
justru melonjak. Hambatan non-tarif adalah hambatan masuk sebuah produk yang
bukan disebabkan karena adanya pengenaan tarif impor, tetapi akibat adanya
pelarangan, penunjukan pada perusahaan tertentu saja sebagai pihak yang
menangani pemasaran dan pembuatan satu jenis barang. Praktik non-tarif
merupakan tindakan kebijakan dan praktik yang menghambat volume, komposisi
dan arah perdagangan barang atau upaya menghambat sampainya barang ke
konsumen di suatu negara. Hambatan non-tarif ada yang tertulis ada yang tidak.
Baik hambatan tarif maupun non-tarif, keduanya dianggap sebagai hambatan
buatan atau yang dibuat sebagai imbangan hambatan alamiah yang berupa jarak,
sumber alam dan lain-lain (Halwani, 2002: 102).
Hambatan non-tarif ini merupakan hambatan birokrasi, yang merupakan
bagian dari fungsi pemerintah mengenakan “tarif bayangan” (Shadow tariff) pada
pembelian sektor publik. Yakni memutuskan barang yang akan di impor hanya
apabila harga barang yang akan di impor tersebut (X) lebih murah daripada
barang yang menjadi alternatif pilihan. Dalam kasus lain, proteksi identik dengan
operasi normal yang dilakukan oleh lembaga birokrasi (Halwani, 2002: 102).
Menurut Salvatore (1997: 315), bentuk hambatan yang sering terjadi
dalam perdagangan antara lain terkait kuota impor, pembatasan ekspor secara
“sukarela”, dan tindakan-tindakan anti-dumping. Dalam praktik perdagangan
25
dunia di era modern ini, pemerintah melakukan intervensi dalam perdagangan
internasional dengan menggunakan instrumen kebijakan lainnya yang lebih
kompleks yaitu kebijakan yang menyembunyikan motif proteksi. Instrumen
kebijakan yang menonjol antara lain pemberian subsidi ekspor, pembatasan
impor, konsep pengekangan ekspor secara sukarela (voluntary export restrain),
dan persyaratan kandungan lokal (local contain requirement). Namun Halwani
(2002: 103) memiliki pendapat yang berbeda, menurutnya yang termasuk
hambatan non-tarif sebagai berikut:
1. Customs Clearance
Merupakan bentuk clearance yang harus disetujui oleh pegawai pabean dari
isian formulir yang ada dengan barang yang di impor. Pihak pabean dapat
menghambat masuknya barang dengan mempersulit proses persetujuan dan
dengan tidak menunjukkan sikap keinginan bekerjasama. Pengisian formulir
yang terlalu banyak dan berbelit-belit merupakan salah satu bentuk
menghambat lancarnya arus impor.
2. Customs Valuation
Penilaian atas barang yang di impor, di mana aparat bea dan cukai tidak
selalu mempercayai harga yang tercantum pada invoice. Apabila check price
lebih tinggi daripada harga pada invoice, maka aparat mempergunakan check
price, sehingga beban pajak menjadi lebih besar. Akan tetapi, apabila harga
pada invoice lebih tinggi daripada check price, harga pada invoice yang
dipakai, maka pajak akan lebih tinggi pula.
26
3. Customs Classification
Merupakan rincian klasifikasi untuk beberapa jenis barang yang di impor.
Jenis hambatan nontarif ini sering menimbulkan peluang untuk interpretasi
klasifikasi yang berbeda-beda dan menempatkan barang pada klasifikasi yang
lebih tinggi daripada yang seharusnya. Akibatnya pajak yang dibayarkan akan
lebih tinggi. Praktik itu menimbulkan kebingungan dan ketidakpastian.
4. Import Licensing
Izin istimewa yang diberikan pada importir tertentu, meskipun jumlah
kasusnya tidak banyak, import licensing tidak memungkinkan adanya
persaingan yang wajar dan sistem kerja yang efisien.
5. Packaging and Labelling Regulations
Merupakan bentuk hambatan dalam bentuk kesempurnaan pengemasan dan
pemenuhan peraturan pengenaan tanda (label) bahwa barang yang di impor
atau yang di ekspor telah sesuai dengan standar negara pengimpor atau
standar internasional.
6. Foreign Exchange Control
Foreign Exchange Control adalah salah satu bentuk kontrol lalu lintas devisa
bagi setiap transaksi impor ekspor (ke dalam dan ke luar negeri).
7. Consular Formalities
Consular formalities adalah hambatan yang mengharuskan importir
menunjukkan adanya surat dari konsuler dari negara di mana barang tersebut
di impor.
27
Non tariff measures (NTMs) didefinisikan sebagai kebijakan-kebijakan
selain tarif yang secara potensial dapat memiliki pengaruh ekonomi pada
perdagangan komoditi internasional, dengan mengubah kuantitas perdagangan
atau harga atau keduanya (UNCTAD, 2013). UNCTAD mengklasifikasikan
NTMs secara mendetail, dimana klasifikasi tersebut merupakan taksonomi dari
semua langkah tindakan yang dianggap relevan dalam perdagangan internasional
saat ini. Terdapat enam belas klasifikasi yang dibuat oleh UNCTAD, dimana 6
kategori utamanya yaitu price contol measures; finance measures; automatic
licensing measures; quantity control measures; monopolistic measures; dan
technical measures.
Pada tahun 2013 UNCTAD melakukan pembaharuan dengan
menambahkan cabang klasifikasi baru. Dimana sebelumnya telah dibentuk tim
yang dinamakan Multi Agency Support Team (MAST) pada tahun 2006 untuk
menyusun dan memperbaharui klasifikasi, metode penghitungan, dan
pengumpulan data NTMs. Hal yang baru dari klasifikasi NTMs ini yaitu adanya
penambahan beberapa cabang klasifikasi baru (Gambar 7). Secara garis besar,
dibagi menjadi dua bagian pokok yaitu Import Measures dan Export Measures.
Pada import measures terbagi lagi menjadi dua bagian yaitu technical measures
dan non technical measures. Sementara pada export measures hanya satu
klasifikasi yaitu export related measures. Kegiatan ekspor hasil perikanan
umumnya lebih sering dihadapkan dengan hambatan nontarif terkait sanitary and
phytosanitary (SPS) dan technical barrier to trade (TBT), dimana Technical
Barrier to Trade (TBT) dan Sanitary and Phytosanitary (SPS) merupakan
28
kebijakan yang paling banyak diberlakukan oleh seluruh negara di dunia
(UNCTAD, 2013).
Gambar 7. Klasifikasi Non-Tariff Measures (NTMs)
Sumber: UNCTAD (2013: 4)
2.3.3. Sanitary and Phytosanitary (SPS) dan Technical Barrier To Trade (TBT)
Sanitary and Phytosanitary (SPS) dan Technical Barriers to Trade (TBT)
merupakan bagian dari technical measures. Kebijakan SPS termasuk peraturan
dan pembatasan dengan tujuan untuk melindungi manusia, hewan atau tumbuhan
hidup atau kesehatan. Sementara untuk TBT membahas mengenai semua
peraturan teknis lainnya, standar dan prosedur penilaian kesesuaian yang
diberlakukan bukan dengan tujuan perdagangan. Penggunaan SPS lebih banyak
pada sektor pertanian dan produk yang berasal dari hewan. Penerapan kebijakan
SPS dan TBT merupakan kebijakan yang paling banyak diterapkan di negara-
29
negara di dunia khususnya negara maju. Banyaknya negara yang memberlakukan
SPS dan TBT menimbulkan kekhawatiran bagi pengekspor dari negara-negara
berkembang (Dahar dkk., 2014: 99).
Sanitary and Phytosanitary (SPS) adalah tindakan-tindakan yang
diterapkan untuk melindungi kehidupan manusia atau hewan dari risiko yang
timbul dari adanya zat adiktif, pencemaran, racun, atau organisme penyebab
penyakit yang terdapat dalam makanan (UNCTAD, 2013). SPS bertujuan untuk
melindungi manusia, tumbuhan hidup atau hewan dari hewan yang membawa
penyakit, untuk melindungi hewan atau tanaman dari hama, penyakit atau
organisme penyebab penyakit.
Technical Barrier to Trade (TBT) adalah tindakan yang mengacu pada
regulasi teknis, standar, dan prosedur penilaian kesesuaian produk (UNCTAD,
2013). Regulasi teknis merupakan dokumen yang menetapkan karakteristik
produk atau yang terkait dengan proses dan cara produksinya, termasuk yang
berlaku dalam ketentuan administratif. Hal ini juga dapat mencakup simbol,
pengemasan, penandaan atau pelabelan seperti yang digunakan pada produk,
proses atau cara produksi. Prosedur penilaian kesesuaian adalah prosedur yang
digunakan, baik secara langsung maupun tidak langsung, untuk menentukan
bahwa persyaratan relevan dalam peraturan teknis atau memenuhi standar, yang
mungkin mencakup antara lain prosedur pengambilan sampel, pengujian dan
inspeksi, evaluasi, dan sebagainya.
30
2.4. Gravity Model
Gravity Model adalah suatu model analisis yang digunakan untuk
menganalisis faktor-faktor ekonomi dan non-ekonomi yang dapat memengaruhi
perdagangan antara dua negara berdasarkan hukum gravitasi Newton. Gravity
model pertama kali digunakan dalam analisis perdagangan internasional oleh Jan
Timbergen (1962) yang menganalisis arus perdagangan di negara-negara Eropa
(Dahar, 2014: 15). Model gravitasi yang didasarkan pada hukum gravitasi
Newton, menyatakan bahwa gaya gravitasi antara dua benda secara langsung
dipengaruhi secara proporsional oleh massa dari kedua benda dan sebaliknya
secara proporsional dipengaruhi oleh jarak kuadrat antara keduanya. Dalam
konteks perdagangan internasional, model ini menyatakan bahwa intensitas
perdagangan antara negara-negara akan berhubungan secara positif dengan
pendapatan nasional masing-masing negara, dan berhubungan terbalik dengan
jarak diantara keduanya. Secara sistematis persamaan model gravitasi dapat
dijelakan sebagai berikut:
Dimana:
Xij : Volume aliran perdagangan
Yi.Yj : Ukuran ekonomi untuk perdagangan
Distij : Jarak antar kedua negara
Ai : Konstanta. Nilainya tergantung dari unit apa yang akan digunakan
dalam perhitungan.
α1, α2, α3 : Parameter yang di estimasi
31
Persamaan gravitasi dapat dianggap sebagai semacam representasi singkat
penawaran dan permintaan. Jika negara i adalah negara asal, maka Yi mewakili
jumlah total yang bersedia dipasok ke semua pelanggan. Sementara Yj mewakili
jumlah total tujuan negara j yang diminta. Jarak bertindak sebagai semacam pajak
“wedge” yang memberlakukan biaya perdagangan dan menghasilkan arus
keseimbangan (Dahar, 2014: 16).
Zarzoso dan Lehmann (2003: 298) juga menggunakan model dasar
Gravity Model untuk menganalisis data panel pada tahun 1988-1996 dengan 20
sampel negara di Uni Eropa. Umumnya persamaan ini lebih sering digunakan
untuk mengetahui pengaruh dari pendapatan antar negara, jarak ekonomi antar
negara serta faktor-faktor lain yang dianggap dapat mempengaruhi perdagangan
kedua negara. Adapun persamaan Gravity Model yang digunakan oleh Zarzoso
dan Lehmann (2003) adalah sebagai berikut:
lXijt = αij + β1lYit + β21Yjt + β3lNit + β4lNjt + β5lDij + β6lAij + eijt
Dimana:
lXijt : Volume aliran perdagangan antar kedua negara
αij : Konstanta
β1lYit : Pendapatan eksportir
β2lYjt : Pendapatan importir
β3lNit : Populasi eksportir
β4lNjt : Populasi importir
β5lDij : Jarak ekonomi
β6lAij : Faktor lainnya yang dapat memengaruhi perdagangan kedua negara
eijt : Eror
t : Waktu (Tahun)
32
2.4.1. Produk Domestik Bruto (PDB)
PDB merupakan salah satu indikator penting karena dapat menunjukkan
beberapa hal penting dalam sebuah perekonomian. Pertama, besarnya PDB
merupakan gambaran awal tentang seberapa efisien sumber daya yang ada dalam
perekonomian (tenaga kerja, barang modal, uang, dan kemampuan
kewirausahaan) digunakan untuk memproduksi barang dan jasa. Secara umum,
semakin besar PDB, maka semakin baik efisiensi alokasi sumber daya
ekonominya. Kedua, besarnya PDB merupakan gambaran awal tentang
produktivitas dan tingkat kemakmuran suatu negara. Ketiga, PDB merupakan
gambaran awal tentang masalah-masalah mendasar yang dihadapi suatu
perekonomian. Jika sebagian besar PDB dinikmati oleh sebagian penduduk, maka
perekonomian tersebut mempunyai masalah dengan distribusi pendapatannya
(Rahardja dan Manurung, 2008: 223).
Sedangkan Salvatore (1997: 21) menyebutkan bahwa PDB adalah nilai
pasar semua barang dan jasa akhir yang dihasilkan dalam suatu periode waktu
tertentu oleh faktor-faktor produksi yang berlokasi dalam suatu negara. Penelitian
Dilanchiev (2012) dan Doumbe dan Belinga (2015) juga menggunakan PDB
sebagai salah satu variabelnya. Pada kedua penelitian tersebut dibuktikan bahwa
PDB memiliki pengaruh positif terhadap perdagangan. Dilanchiev (2012: 77)
menjelaskan bahwa semakin besar ukuran suatu negara maka semakin besar
kemampuan negara tersebut dalam melakukan perdagangan ekspor dan impor
dengan negara lain.
33
2.4.2. Jarak Ekonomi
Jarak ekonomi adalah jarak antara kedua negara berdasarkan jarak bilateral
antara kota besar kedua negara. Jarak ini digunakan untuk gambaran biaya
transportasi yang dibutuhkan untuk melakukan ekspor dan impor (Mayer dan
Zignago, 2011: 11). Semakin jauh jarak transaksi maka biaya transportasi akan
semakin besar dan nilai ekspor semakin rendah. Li et al. (2008: 8), menggunakan
variabel jarak ekonomi dalam penelitiannya yang berjudul Component Trade and
China’s Global Economic Integration sebagai gambaran biaya transportasi Cina
ke negara-negara tujuan ekspornya. Adapun rumus jarak ekonomi sebagai berikut:
Jarak ekonomi = Jarak geografis x
Jarak ekonomi dalam perdagangan dianggap berpengaruh negatif. Hal ini
sudah dibuktikan oleh penelitian Li et al. (2008), Dilanchiev (2012), Pradipta dan
Firdaus (2014), serta Doumbe dan Belinga (2015), yang menyimpulkan bahwa
jarak ekonomi berpengaruh negatif dan signifikan. Pada penelitian Salam dan
Nugroho (2016: 126-127) juga membuktikan bahwa variabel jarak ekonomi
bernilai negatif, hanya saja tidak signifikan. Dalam penelitiannya, dijelaskan
bahwa jarak ekonomi bukan menjadi penentu dominan keputusan suatu negara
untuk melakukan ekspor atau impor, karena jarak ekonomi hanya memengaruhi
sebagian kecil biaya mengingat kemajuan teknologi yang tinggi saat ini.
Kemajuan teknologi yang terus berkembang pesat saat ini tentunya akan
berdampak pada biaya pemindahan barang yang akan menjadi semakin murah dan
cepat secara berkelanjutan.
34
2.4.3. Populasi
Populasi menurut World Bank (2017) adalah seluruh penduduk yang
tinggal di sebuah negara tanpa menghiraukan status legal atau kewarganegaraan.
Jumlah penduduk yang banyak akan memperbesar pengeluaran konsumsi secara
menyeluruh walaupun pengeluaran rata-rata perorang atau perkeluarga relatif
rendah. Misalnya, walaupun tingkat konsumsi rata-rata penduduk Indonesia lebih
rendah daripada penduduk Singapura, tetapi secara absolut tingkat pengeluaran
konsumsi Indonesia lebih besar daripada Singapura karena jumlah penduduk
Indonesia 51 kali lipat penduduk Singapura (Rahardja dan Manurung, 2008: 267).
Oleh karena itu dalam konteks perdagangan, populasi dianggap memiliki
pengaruh positif dan signifikan terhadap tinggi rendahnya volume ekspor-impor
suatu negara. Hal inilah yang dibuktikan oleh penelitian Sitorus (2009) dan Dahar
(2014).
Dalam penelitian Sitorus (2009: 41) disebutkan bahwa pertambahan
populasi pada negara importir dapat berada pada sisi penawaran maupun
permintaan. Pada sisi penawaran, pertambahan populasi akan meningkatkan
produksi dalam negeri dalam hal kuantitas maupun diversifikasi produk negara
importir. Kondisi ini akan mengakibatkan penurunan permintaan komoditi ekspor
oleh negara importir. Pertambahan populasi pada sisi permintaan akan
meningkatan permintaan komoditi ekspor dari negara importir. Maka jumlah
komoditi yang diperdagangkan antar kedua negara semakin besar.
35
2.4.4. Harga
Salah satu faktor yang mempengaruhi permintaan adalah harga barang itu
sendiri. Harga adalah jumlah yang harus ditagihkan untuk suatu produk atau jasa
(Kotler dan Keller, 2009: 18). Jika harga suatu barang semakin murah, maka
permintaan terhadap barang tersebut akan bertambah, begitu juga sebaliknya. Hal
ini sesuai dengan hukum permintaan, yaitu bila harga suatu barang naik, ceteris
paribus, maka jumlah barang yang diminta akan berkurang, begitu juga
sebaliknya. Jika harga suatu barang turun, ceteris paribus, maka jumlah barang
yang diminta akan bertambah (Rahardja dan Manurung, 2008: 24).
Namun ternyata harga memiliki dua pengaruh, yaitu positif dan negatif.
Penelitian Pradipta dan Firdaus (2014), menyimpulkan bahwa harga berpengaruh
negatif dan signifikan. Sedangkan penelitian Setiawan dan Sugiarti (2016)
menyimpulkan hal yang sebaliknya, dimana pada penelitiannya harga justru
berpengaruh positif dan signifikan. Dalam hal ini Setiawan dan Sugiarti melihat
dari sudut pandang negara eksportir, dimana jika terjadi kenaikan harga ekspor
maka akan mendorong produsen domestik untuk meningkatkan volume ekspornya
guna menghasilkan keuntungan yang lebih besar.
2.4.5. Nilai Tukar Rupiah
Nilai tukar didasari oleh dua konsep. Pertama adalah konsep nominal,
merupakan konsep untuk mengukur perbedaan harga mata uang yang menyatakan
berapa jumlah mata uang suatu negara yang diperlukan guna memperoleh
sejumlah mata uang dari negara lain. Kedua adalah konsep riil yang dipergunakan
36
untuk mengukur dayasaing komoditi ekspor suatu negara di pasaran internasional
(Halwani, 2002: 186).
Sedangkan Mankiw dkk. (2012: 193) menyatakan bahwa nilai tukar
nominal (nominal exchange rate) adalah nilai yang digunakan seseorang saat
menukarkan mata uang suatu negara dengan mata uang negara lain. Sedangkan
nilai tukar riil (real exchange rate) adalah nilai yang digunakan seseorang saat
menukarkan barang dan jasa dari suatu negara dengan barang dan jasa dari negara
lain. Secara umum rumus nilai tukar riil adalah:
Nilai tukar riil = Nilai tukar nominal x
Nilai tukar riil diantara kedua negara dihitung dari nilai tukar nominal dan
tingkat harga di kedua negara. Jika nilai tukar riil adalah tinggi, berarti harga
barang-barang luar negeri relatif murah dan harga barang-barang domestik relatif
mahal. Sebaliknya, jika nilai tukar riil rendah berarti harga barang-barang luar
negeri relatif mahal dan harga barang-barang domestik relatif murah (Rahardja
dan Manurung, 2008: 308).
Nilai tukar rupiah dalam hal ini memiliki dua pengaruh, yaitu positif dan
negatif. Dalam penelitian Setiawan dan Sugiarti (2016), nilai tukar rupiah
disimpulkan memiliki pengaruh positif dan signifikan. Mereka menyebutkan
bahwa terjadinya depresiasi kurs dollar akan menyebabkan nilai rupiah melemah
yang akan menyebabkan ekspor meningkat dan impor cenderung menurun.
Sedangkan pada penelitian Aditama dkk. (2015) serta Pradipta dan Firdaus (2014),
37
menyimpulkan bahwa nilai tukar berpengaruh negatif dan signifikan terhadap
perdagangan.
2.4.6. Produksi
Produksi dapat dinyatakan sebagai seperangkat prosedur atau kegiatan
yang dilakukan untuk menciptakan atau menghasilkan produk dan jasa (Downey
dan Erickson, 1988: 396). Menurut Atmadji (2004), impor akan terjadi apabila
produksi tidak mampu memenuhi kebutuhan dalam negeri. Suatu negara akan
melakukan impor karena mengalami kekurangan atau kegagalan dalam
berproduksi, untuk memenuhi kebutuhan konsumsi penduduknya.
Dalam konteks ini produksi memiliki dua pengaruh, yakni positif dan
negatif. Penelitian Putra (2017) serta Setiawan dan Sugiarti (2016),
menyimpulkan bahwa produksi bepengaruh positif dan signifikan. Sedangkan
pada penelitian Huda dan Widodo (2017), mereka menyimpulkan bahwa produksi
memiliki pengaruh negatif dan signifikan. Dalam penelitiannya mereka berasumsi
bahwa kenaikan produksi kelapa sawit yang terjadi pada periode sebelumnya,
belum tentu mendorong kenaikan volume ekspor di tahun tersebut. Dalam arti ada
waktu penyesuaian untuk mendorong ekspor. Sehingga dapat dikatakan produksi
kelapa sawit periode lalu bisa meningkatkan ekspor CPO pada saat ini, karena
meskipun produksi naik saat ini belum tentu akan menaikkan volume ekspornya
juga.
38
2.5. Penelitian Terdahulu
Penelitian terkait hambatan non-tarif dan faktor-faktor yang berpengaruh
terhadap perdagangan internasional merupakan tema penelitian yang sebelumnya
telah banyak diteliti, baik di Indonesia maupun di luar negeri. Dalam penelitian ini
terdapat empat penelitian terdahulu yang digunakan sebagai acuan dalam
pemilihan metode analisis dan variabel-variabel yang dipilih. Adapun penelitian
terdahulu yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
Tabel 3. Penelitian Terdahulu
No Judul
Penelitan
Metode
Penelitian Hasil Penelitian
Persamaan dan
Perbedaan
1 Empirical
Analysis of
Georgian
Trade Pattern:
Gravity Model
(Azer
Dilanchiev,
2012)
Gravity Model
1. GDP per kapita,
jarak ekonomi,
dan FDI
bepengaruh
terhadap
perdagangan
Georgia.
2. Nilai tukar,
populasi
Georgia, dan
populasi negara
lain tidak
berpengaruh
signifikan.
Persamaan:
Menggunakan
metode Gravity
Model
Perbedaan:
Penelitian ini
menambahkan
variabel
produksi, harga
ekspor, dan
dummy NTMs.
39
Tabel 3. Penelitian Terdahulu (Lanjutan)
No Judul
Penelitan
Metode
Penelitian Hasil Penelitian
Persamaan dan
Perbedaan
2 Analisis
Dampak Non-
Tariff
Measures
(NTMs)
Terhadap
Ekspor Ikan
Tuna Indonesia
ke Negara
Tujuan Utama
(Oktavina
Widya
Kristriana,
2015)
1. Pendekan
Inventory
(Coverage
Ratio dan
Frequency
Index)
2. Gravity
Model
1. Tuna beku
paling banyak
diekspor. Arus
ekspor terbesar
adalah ke
Jepang.
2. Tuna segar
paling banyak
terkena NTMs.
Amerika Serikat
merupakan
negara tujuan
utama yang
paling banyak
memberlakukan
NTMs (SPS dan
TBT).
3. GDP per kapita
dan populasi
serta jarak
ekonomi
merupakan
faktor yang
mempengaruhi
ekspor tuna
Indonesia. Nilai
tukar riil tidak
memberikan
pengaruh yang
signifikan. SPS
dan TBT yang
diukur dengan
pendekatan
coverage ratio
memiliki
pengaruh positif
terhadap ekspor
tuna Indonesia.
Persamaan:
Metode analisis
menggunakan
Gravity Model
dan komoditi
yang digunakan
meliputi tuna
segar, beku dan
kaleng.
Perbedaan:
Penelitian ini
hanya
terfokuskan
pada negara-
negara Uni
Eropa, jumlah
tahun yang
dianalisis lebih
banyak, terdapat
variabel
tambahan pada
penelitian ini
yaitu produksi,
harga ekspor
dan dummy
NTMs.
40
Tabel 3. Penelitian Terdahulu (Lanjutan)
No Judul
Penelitan
Metode
Penelitian Hasil Penelitian
Persamaan dan
Perbedaan
3 Trade Flows
Analysis And
The Role of
Standards on
Canned Tuna
Trade
(Khairunnisa
Nur Rahmah,
2016)
Gravity Model
(membandingk
an OLS dan
Poisson
Pseudo
Maximum
Likelihood
(PPML))
1. Model gravitasi
menggunakan
estimasi PPML
memberikan
hasil yang lebih
baik untuk
mengetahui
perubahan
dalam aliran
perdagangan
tuna kaleng.
2. Faktor yang
berpengaruh
positif adalah
produksi tuna
kaleng, GDP
negara tujuan
ekspor, nilai
tukar dan
partisipasi
dalam
perjanjian
perdagangan
bebas.
3. Semua variabel
standar
berpengaruh
negatif dan
signifikan
terhadap ekspor
tuna kaleng dari
Thailand,
Filipina dan
Indonesia.
Persamaan:
Metode analisis
menggunakan
Gravity Model
dan variabel
yang digunakan
meliputi
produksi, GDP,
nilai tukar.
Perbedaan:
Pada penelitian
ini, komoditas
tuna yang
digunakan
meliputi tuna
segar, beku dan
kaleng.
Penelitian ini
juga
menggunakan
variabel jarak
ekonomi,
populasi, harga
ekspor dan
dummy NTMs
sebagai variabel
tambahan.
41
Tabel 3. Penelitian Terdahulu (Lanjutan)
4 A Gravity
Model Analysis
for Trade
Between
Cameroon and
Twenty-Eight
European
Union
Countries
(Eric Doumbe
dan Thierry
Belinga, 2015)
Gravity Model 1. GDP per kapita
berpengaruh
secara positif
dan signifikan
terhadap
perdagangan
bilateral antara
Uni Eropa dan
negara Kamerun
2. Jarak ekonomi
berpengaruh
secara negatif
dan signifikan
terhadap
perdagangan
bilateral antara
Uni Eropa dan
negara
Kamerun.
Persamaan:
Menggunakan
metode Gravity
Model
Perbedaan:
Penelitian ini
menambahkan
variabel
produksi, harga
ekspor,
populasi, nilai
tukar riil dan
dummy NTMs.
2.6. Kerangka Pemikiran Operasional
Ikan tuna merupakan salah satu produk andalan ekspor perikanan tangkap
Indonesia ke pasar Uni Eropa. Sayangnya kegiatan ekspor ke pasar Uni Eropa
tidak terlepas dari berbagai macam hambatan. Salah satu hambatan yang
berpengaruh terhadap kinerja ekspor tuna Indonesia ke Eropa yaitu terkait
hambatan non-tarif atau Non Tariff Measures (NTMs). Uni Eropa sendiri
merupakan negara yang paling banyak memberlakukan kebijakan non-tarif jika
dibandingkan dengan negara Amerika Serikat dan Jepang sebagai negara tujuan
utama ekspor ikan tuna Indonesia. Salah satu tujuan diberlakukannya Non Tariff
Measures (NTMs) itu sendiri sebagai bentuk tindakan proteksi bagi produsen
maupun konsumen dalam negeri.
42
Kebijakan Non Tariff Measures (NTMs) yang diberlakukan untuk produk
perikanan di pasar Uni Eropa yakni terkait kebijakan Sanitary and Phitosanitary
(SPS) dan Technical Barriers to Trade (TBT). Dampak dari pemberlakuan NTMs
di Uni Eropa itu sendiri diduga menjadi salah satu penyebab volume ekspor ikan
tuna Indonesia ke pasar Uni Eropa berfluktuatif, bahkan terjadi penurunan volume
ekspor secara terus menerus ditahun 2014 dan 2015. Oleh karena itu, untuk
mengetahui bagaimana pemberlakuan hambatan non-tarif di pasar Uni Eropa serta
faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi permintaan ikan tuna Indonesia di
pasar Uni Eropa maka dilakukan penelitian tentang analisis hambatan non-tarif
dan faktor-faktor lain yang mempengaruhi volume ekspor tuna Indonesia ke pasar
Uni Eropa.
Faktor-faktor yang diduga mempengaruhi volume ekspor ikan tuna
Indonesia ke pasar Uni Eropa ada 7 variabel yaitu, produksi ikan tuna Indonesia,
GDP per kapita negara tujuan, nilai tukar riil rupiah terhadap dollar Amerika
Serikat, harga ekspor ikan tuna Indonesia ke negara tujuan, jarak ekonomi,
populasi manusia di negara tujuan serta dummy pemberlakuan NTMs (SPS dan
TBT). Variabel-variabel tersebut nantinya akan dianalisis menggunakan
pendekatan Gravity Model. Selanjutnya dapat ditarik kesimpulan terkait pengaruh
pemberlakuan hambatan non-tarif dan faktor-faktor lain terhadap volume ekspor
tuna Indonesia di ke pasar Uni Eropa. Adapun kerangka pemikiran dari penelitian
ini dapat dilihat pada Gambar 8 berikut.
43
Gambar 8. Kerangka Pemikiran Operasional
Keterangan: = Alur Pemikiran
= Alat Analisis
Ikan Tuna Sebagai Andalan Ekspor
Indonesia di Pasar Uni Eropa
Kebijakan Perdagangan Internasional
di Pasar Uni Eropa
Hambatan Non-Tarif
Diidikasikan Kebijakan Non-Tarif (SPS dan
TBT) Menyebabkan Ekspor Tuna Indonesia
ke Uni Eropa Berfluktuatif
Faktor-Faktor yang
Mempengaruhi Ekspor
Tuna Indonesia ke Pasar
Uni Eropa
Pendekatan
Gravity Model
Kesimpulan dan Saran
Variabel:
GDP Per Kapita
Negara Tujuan
Jarak Ekonomi
Populasi
Harga Ekspor
Nilai Tukar
Produksi
Dummy NTMs
(SPS dan TBT)
44
2.7. Hipotesis Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah, tujuan penelitian, dan kerangka pemikiran
yang telah dipaparkan sebelumnya, maka diajukan sebuah dugaan sementara atau
hipotesis. Beberapa hipotesis yang dapat diajukan dalam penelitian ini adalah:
1. GDP per kapita negara tujuan diduga berpengaruh positif terhadap volume
ekspor tuna Indonesia, artinya jika GDP per kapita negara tujuan mengalami
peningkatan maka volume ekspor tuna Indonesia akan meningkat.
2. Jarak ekonomi antara Indonesia dan negara tujuan diduga berpengaruh negatif
terhadap volume ekspor tuna Indonesia, artinya jika jarak ekonomi antara
Indonesia dan negara tujuan semakin jauh maka volume ekspor tuna
Indonesia akan menurun.
3. Nilai tukar riil rupiah terhadap dollar Amerika Serikat diduga berpengaruh
negatif terhadap volume ekspor tuna Indonesia, artinya jika terjadi kenaikan
nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat maka volume ekspor ikan
tuna Indonesia akan menurun ke negara tujuan.
4. Harga ekspor ikan tuna diduga berpengaruh negatif terhadap volume ekspor
tuna Indonesia, artinya jika harga ekspor ikan tuna mengalami peningkatan
maka volume ekspor tuna Indonesia ke negara tujuan akan menurun.
5. Populasi di negara tujuan diduga berpengaruh positif terhadap volume ekspor
tuna Indonesia, artinya jika populasi di negara tujuan mengalami peningkatan
maka volume ekspor tuna Indonesia akan meningkat.
45
6. Produksi tuna di Indonesia diduga berpengaruh positif terhadap volume
ekspor tuna Indonesia, artinya jika produksi tuna Indonesia meningkat maka
volume ekspor tuna Indonesia ke negara tujuan juga akan meningkat.
7. Dummy Non Tariff Measures (NTMs) SPS dan TBT diduga berpengaruh
negatif terhadap volume ekspor tuna Indonesia, artinya jika terdapat
hambatan non-tarif di negara tujuan maka volume ekspor tuna Indonesia akan
menurun ke negara tujuan.
46
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1. Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan cara mengambil data dari beberapa
lembaga yang terkait dengan penelitian. Lembaga-lembaga tersebut meliputi
Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Kementerian Perdagangan Republik
Indonesia, dan lembaga-lembaga lainnya yang menunjang penelitian, serta
penelitian-penelitian terdahulu. Selain itu, data yang diperoleh pada penelitian ini
juga diperoleh dengan mengakses website yang berkaitan dengan judul penelitian.
Adapun website yang diakses terdiri dari website UN Comtrade, World Bank,
FAO, UNCTAD, I-TIP WTO dan CEPII. Adapun waktu penelitian ini dimulai
dari bulan Agustus - Desember 2017.
3.2. Jenis dan Sumber Data
Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif deskriptif cross-sectional
menggunakan data panel, yaitu time series tahun 2009-2015 dan cross section
lima negara di Uni Eropa. Nantinya data-data tersebut akan diolah dengan
menggunakan aplikasi Microsoft Excel 2007 dan STATA 13. Komoditas yang
digunakan pada penelitian ini yakni meliputi tuna segar, beku dan kaleng dengan
kode HS 02 yang terdiri dari 6 digit (Lampiran 1). Adapun data dalam penelitian
ini adalah data sekunder yang diperoleh dari beberapa sumber sebagai berikut:
47
Tabel 4. Jenis Data dan Sumber Data
Jenis Data Sumber Data Satuan
Volume dan Nilai Ekspor Tuna UN Comtrade Ton dan USD
PDB per Kapita World Bank USD
Populasi World Bank Jiwa
Harga Ekspor UN Comtrade USD/Ton
Jarak Ekonomi CEPII Km
Nilai Tukar Riil UNCTAD Rp/USD
Produksi Fishstat-FAO Juta Ton
Dummy NTMs (SPS dan TBT) I-TIP WTO
3.3. Populasi dan Sampel
Populasi dalam penelitian ini adalah ke-28 negara yang tergabung dalam
perserikatan Uni Eropa. Penentuan sampel dalam penelitian ini menggunakan
nonprobability sampling dengan metode purposive sampling, yaitu sampel dengan
pertimbangan tertentu (Sugiyono, 2011: 68). Sampel dalam penelitian ini adalah
negara-negara di Uni Eropa yang melakukan impor tuna dari Indonesia secara
kontinyu dalam kurun waktu 7 tahun mulai tahun 2009 sampai 2015, dimana
komoditas yang diimpor terdiri dari tuna segar, beku dan kaleng. Adapun negara-
negara Uni Eropa yang menjadi sampel dalam penelitian ini yaitu Belanda,
Belgia, Italia, Jerman, dan United Kingdom.
3.4. Metode Pengolahan Data dan Analisis Data
Data-data yang diperoleh selama penelitian akan diolah menggunakan alat
analisis kualitatif berupa analisis deskriptif dan alat analisis kuantitatif berupa
48
analisis regresi data panel. Data panel adalah data yang berstruktur urut waktu
(time series) dan data beberapa objek pada satu waktu (cross section).
Menurut Suliyanto (2011: 229), data panel memilki beberapa kelebihan
dibandingkan data time series maupun cross section yang terdiri dari:
1. Memiliki tingkat heterogenitas yang lebih tinggi. Hal ini karena data
tersebut melibatkan beberapa individu dalam beberapa waktu.
2. Mampu memberikan data yang lebih informatif, bervariasi, serta memiliki
tingkat kolinearitas yang rendah. Hal ini karena menggabungkan data time
series dan cross section.
3. Cocok untuk studi perubahan dinamis karena data panel pada dasarnya
adalah data cross section yang diulang-ulang (serie).
4. Mampu mendeteksi dan mengukur pengaruh yang tidak dapat diobservasi
dengan data time series murni atau data cross section murni.
5. Mampu mempelajari model perilaku yang lebih kompleks. Misalnya,
fenomena perubahan teknologi.
3.4.1. Analisis Deskriptif
Analisis deskriptif merupakan analisis yang dilakukan dengan cara
memberikan penggambaran. Tujuan dari analisis deskriptif adalah untuk
memberikan gambaran secara sistematis dan akurat mengenai hubungan antara
fenomena yang diteliti. Fenomena-fenomena yang dideskripsikan dalam
penelitian tentang analisis pengaruh hambatan non-tarif dan faktor-faktor lain
terhadap volume ekspor ikan tuna Indonesia ke pasar Uni Eropa ini berupa kinerja
perdagangan komoditi ikan tuna Indonsia di pasar Uni Eropa, negara pesaing
49
ekspor tuna Indonesia ke Uni Eropa, dan regulasi perdagangan tuna di pasar Uni
Eropa.
3.4.2. Analisis Regresi Data Panel
Analisis kuantitatif yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis
regresi data panel dengan pendekatan Gravity Model. Model Gravity adalah
model estimasi yang digunakan untuk menganalisis faktor-faktor ekonomi dan
non-ekonomi yang dapat memengaruhi perdagangan antara dua negara. Adapun
variabel independen yang digunakan dalam penelitian ini meliputi GDP per kapita
negara importir, jarak ekonomi antara Indonesia dengan negara importir, populasi
negara importir, kurs riil Indonesia, harga ekspor tuna, produksi tuna Indonesia,
serta dummy NTMs (SPS dan TBT). Sedangkan variabel dependennya yaitu
volume ekspor tuna Indonesia ke negara importir di kawasan Uni Eropa.
Estimasi model pada penelitian ini ditransformasikan kedalam bentuk ln
(logaritma natural). Tujuannya agar model memenuhi uji asumsi klasik dan
menghindari model dari bias. Persamaan gravity model yang digunakan merujuk
pada model gravity penelitian Zarzoso dan Lehmann (2003). Maka formulasi
model estimasi yang dibuat sebagai berikut:
lnVexijt = β0 + β1lnPDBCjt + β2lnJEijt + β3lnKRjt + β4lnHRGijt + β5lnPOPjt +
β6lnPRODit + β7DSPSijt + β8DTBTijt + εijt
Keterangan:
Vexijt = Volume ekspor tuna Indonesia ke negara importir di Uni
Eropa pada tahun t (Ton)
β0 = Konstanta/ Intersep
50
β1- βn = Parameter yang diestimasi
PDBCjt = GDP per kapita negara importir di Uni Eropa pada tahun t
(Juta USD)
JEijt = Jarak ekonomi antara Indonesia ke negara importir di Uni
Eropa pada tahun t (Km)
POPjt = Populasi negara importir di Uni Eropa pada tahun t (Jiwa)
KRijt = Nilai kurs riil Indonesia terhadap negara importir di Uni
Eropa pada tahun t (Rp/USD)
HRGijt = Harga ekspor tuna Indonesia ke negara importir di Uni
Eropa (USD/Ton)
PRODit = Produksi tuna Indonesia pada tahun t (Ton)
Dummy SPSijt = Dummy SPS. Angka 1 mewakili data adanya pemberlakuan
kebijakan non-tarif SPS oleh Uni Eropa terhadap ekspor tuna
Indonesia pada tahun t dan angka 0 mewakili data tidak
adanya pemberlakuan kebijakan non-tarif SPS oleh Uni Eropa
terhadap ekspor tuna Indonesia pada tahun t
Dummy TBTijt = Dummy TBT. Angka 1 mewakili data adanya pemberlakuan
kebijakan non-tarif TBT oleh Uni Eropa terhadap ekspor tuna
Indonesia pada tahun t dan angka 0 mewakili data tidak
adanya pemberlakuan kebijakan non-tarif TBT oleh Uni Eropa
terhadap ekspor tuna Indonesia pada tahun t
εijt = Error term
t = Waktu (Tahun ke-t)
51
3.4.3. Uji Kesesuaian Model
Sebelum memasuki tahap uji asumsi klasik, hal pertama yang harus
dilakukan adalah menentukan model terbaik melalui tiga metode estimasi regresi
data panel yakni Common Effect Model (CEM), Fixed Effect Model (FEM), dan
Random Effect Model (REM). Widarjono (2009: 231-237) menyatakan bahwa
secara umum data panel akan menghasilkan intersep dan slope koefisien yang
berbeda pada setiap negara dan setiap periode waktu. Oleh karena itu,
pengestimasian persamaan data panel akan sangat tergantung dari asumsi yang
dibuat tentang intersep, koefisien slope, dan variabel pengganggunya. Dengan
demikian untuk mendapatkan model estimasi terbaik, model persamaan yang
dibuat sebelumnya dalam penelitian ini harus melalui 3 metode estimasi terlebih
dahulu. Terkait ketiga model estimasi regresi data panel tersebut secara rinci akan
dijelaskan dibawah ini:
1. Common Effect Model (CEM)
Model CEM merupakan model dengan koefisien tetap antara waktu dan
individu. Model CEM hanya mengkombinasikan data time series dan cross
section. Dalam pendekatan ini tidak memperhatikan dimensi individu maupun
waktu. Sehingga diasumsikan bahwa perilaku data antara individu sama
dalam berbagai kurun waktu. Model ini juga memiliki kelemahan yaitu
ketidaksesuaian model dengan keadaan yang sesungguhnya (Astuti, 2010:
135). Untuk mengestimasi persamaan dengan model CEM, command yang
digunakan dalam STATA 13 adalah xtreg (variabel yang estimasi).
52
2. Fixed Effect Model (FEM)
Model FEM merupakan model dengan slope konstan tetapi intersep berbeda
antara individu. Cara untuk menangkap adanya perbedaan pada intersep baik
lintas unit cross section maupun antar unit time series pada model ini yakni
dengan memasukkan variabel dummy ke dalam model estimasi. Hsiao (2002)
dalam Astuti (2010: 135) juga menyebutkan bahwa pada Common Effect
Model, parameter diestimasi dengan menggunakan metode Ordinary Least
Square (OLS) atau metode kuadrat terkecil. Pada model FEM, struktur
komponen eror dapat diabaikan sehingga parameter diestimasi juga dengan
metode OLS tetapi dengan penambahan variabel dummy dalam proses
estimasinya. Untuk mengestimasi persamaan dengan model FEM, command
yang digunakan dalam STATA 13 adalah xtreg (variabel yang estimasi), fe.
Namun, jika model FEM yang digunakan menggunakan pendekatan LSDV
(Least Square Dummy Variable) maka command yang digunakan dalam
STATA 13 adalah xi: regress (variabel yang diestimasi) i.country.
3. Random Effect Model (REM)
Model REM merupakan model yang mempunyai variabel gangguan berbeda
antara individu tetapi tetap antara waktu. Model random merupakan model
yang akan mengestimasi data panel di mana variabel gangguan mungkin
saling berhubungan antara waktu dan individu. Oleh sebab itu, metode yang
tepat digunakan untuk mengestimasi model REM adalah Generalized Least
Squares (GLS). Untuk mengestimasi data panel dengan model REM,
53
command yang digunakan dalam STATA 13 adalah xtreg (variabel yang
estimasi), re.
Setelah menguji persamaan regresi data panel yang dibuat terhadap ketiga
model estimasi yang sudah dijelaskan diatas. Maka langkah selanjutnya yaitu
memilih model mana yang sesuai untuk mengestimasi data panel pada penelitian
ini. Model terbaik dapat diperoleh dengan melakukan uji statistika. Uji statistika
yang terdapat dalam regresi data panel untuk menentukan model terbaik yaitu :
1. Uji Chow
Menurut Widarjono (2009: 238) uji Chow digunakan untuk mengetahui
apakah model FEM lebih baik daripada model CEM atau sebaliknya, hal tersebut
dapat dilihat dari signifikansi FEM dan uji F statistik, jika F hitung lebih besar
dari F tabel, maka H0 ditolak dan H1 diterima. Begitu juga sebaliknya, apabila F
hitung lebih kecil dari F tabel, maka H0 diterima. Berikut hipotesis uji Chow:
H0 : Common Effect Model lebih baik daripada Fixed Effect Model
H1 : Fixed Effect Model lebih baik daripada Common Effect Model
2. Uji Hausman
Menurut Widarjono (2009: 240-241), uji Hausman digunakan untuk
memilih apakah model FEM lebih baik dari model REM atau sebaliknya. Uji
Hausman didasarkan pada Least Square Dummy Variable (LSDV) pada FEM dan
GLS pada REM. Uji ini mengikuti statistika chi square dengan degree of freedom
sebanyak k (jumlah variabel independen). Jika nilai statistik Hausman lebih besar
daripada nilai kritisnya, maka H0 ditolak. Sebaliknya, apabila nilai statistik
54
Hausman lebih kecil daripada nilai kritisnya, maka H0 diterima Berikut hipotesis
uji Hausman:
H0 : Random Effect Model lebih baik daripada Fixed Effect Model
H1 : Fixed Effect Model lebih baik daripada Random Effect Model
3. Uji Lagrange Multiplier
Lagrange Multiplier (LM) adalah uji untuk mengetahui apakah model
REM atau CEM yang paling tepat digunakan. Uji signifikansi REM ini
dikembangkan oleh Breusch Pagan. Metode Breusch Pagan untuk uji signifikansi
REM didasarkan pada nilai residual dari metode OLS (Widarjono, 2009: 239).
Hipotesis yang digunakan adalah:
H0: Common Effect Model lebih baik daripada Random Effect Model
H1: Random Effect Model lebih baik daripada Common Effect Model
Uji LM ini didasarkan pada distribusi chi-squares dengan degree of
freedom sebesar jumlah variabel independen. Jika nilai LM statistik > nilai kritis
statistik chi-squares, maka kita menolak H0 yang artinya estimasi yang tepat untuk
model regresi data panel adalah metode REM daripada metode CEM. Sebaliknya
jika nilai LM < kecil dari nilai statistik chi-squares sebagai nilai kritis, maka
hipotesis nul diterima yang artinya estimasi yang digunakan dalam regresi data
panel adalah metode CEM bukan metode REM.
3.4.4. Least Square Dummy Variable (LSDV)
Least Square Dummy Variable (LSDV) adalah teknik memasukan variabel
dummy ke dalam model estimasi Fixed Effect Model. Hal tersebut dikarenakan
55
pada model Fixed Effect diasumsikan bahwa koefisien slope konstan tetapi
intersep bervariasi setiap individu. Istilah fixed effect berasal dari kenyataan
bahwa meskipun intersep berbeda antar individu namun intersep antar waktu
sama, sedangkan slope tetap sama antar individu dan waktu (Gujarati, 2003: 642).
Oleh sebab itu, untuk melihat perbedaan nilai parameter pada intersep baik lintas
unit cross section maupun antar unit time series maka digunakan variabel dummy
sebagai variabel tambahan dalam model estimasi. Sehingga model persamaan
regresi data panel fixed effect dengan menggunakan pendekatan Least Square
Dummy Variable (LSDV) dapat ditulis sebagai berikut:
Yit = β0iDit + βkXkit + εit
Keterangan:
Yit = variabel terikat untuk unit individu ke-i dan waktu ke-t
Xkit = variabel bebas ke-k untuk unit individu ke-i dan waktu ke-t
β0i = intersep untuk unit individu ke-i
βk = slope bersama untuk semua unit
Dit = variabel dummy (Dit = 1, untuk objek pertama dan Dit = 0, untuk objek
lainnya)
εit = error untuk invidu ke-i dan waktu ke-t
i = 1,2,...,N untuk unit individu
t = 1,2,...,N untuk unit waktu
Parameter model fixed effect pada data panel diestimasi dengan
menggunakan Ordinary Least Square (OLS). Oleh karena itu model fixed effect
disebut juga pendekatan LSDV (Least Square Dummy Variable). Pada
perkembangannya, dapat pula memasukkan unsur time effect, sehingga intersep
individu tidak konstan lagi sepanjang waktu. Pengaruh time effect itu dihitung
dengan menambahkan variabel dummy untuk waktu (Gujarati, 2003: 642-643).
56
3.4.5. Pengujian Asumsi (Uji Asumsi Klasik)
Dalam gravity model pada perdagangan bilateral, diperlukan pengujian
asumsi pada data panel untuk mengetahui estimasi bias. Jika model yang terpilih
berdasarkan uji Hausman adalah REM maka estimasi dari model diasumsikan best
linier unbiased estimator (BLUE) dan tidak perlu dilakukan pengujian terhadap
tiga asumsi utama model BLUE (non-multicolinierity, homoskedasticity, dan non-
autocorelation). Hal ini dikarenakan dua alasan, yaitu: (i) sifat data panel adalah
bebas dari gejala multikolinieritas; dan (ii) REM adalah model generalized least
square (GLS), dan estimasi dengan menggunakan GLS secara otomatis sudah
terbebas dari gejala autokorelasi, bahkan terbebas dari gejala heteroskedastisitas
yang disebabkan variansi sisaannya konstan (Gujarati (2004) dalam Sari (2015:
31)). Jika model yang terpilih adalah FEM maka perlu dilakukan pengujian
terhadap asumsi sisaan yaitu Multikolinieritas, Heteroskedastisitas, dan
Autokorelasi.
1. Uji Normalitas
Uji normalitas dimaksudkan untuk menguji apakah nilai residual yang
telah distandarisasi pada model regresi berdistribusi normal atau tidak. Nilai
residual dikatakan berdistribusi normal jika nilai residual terstandarisasi tersebut
sebagian besar mendekati nilai rata-ratanya. Dalam arti lain, uji normalitas disini
tidak dilakukan per variabel tetapi hanya terhadap nilai residual terstandarisasinya
(Suliyanto, 2011: 68).
Pada penilitian ini uji normalitas dilakukan dengan cara uji Jarque Bera
dan analisis grafik. Apabila nilai probabilitas pada uji Jarque Bera lebih besar
57
dibandingkan dengan taraf nyata (lima persen) maka dapat dikatakan nilai residual
terstandarisasi pada model sudah berdistribusi normal dan jika Histogram
Standardized Regression Residual pada analisis grafik membentuk kurva seperti
lonceng maka nilai residual pada model dapat dinyatakan normal.
2. Uji Multikolinearitas
Uji multikolinearitas bertujuan untuk menguji apakah dalam model regresi
yang terbentuk ada korelasi yang tinggi atau sempurna di antara variabel bebas
atau tidak. Jika dalam model regresi yang terbentuk terdapat korelasi yang tinggi
atau sempurna di antara variabel bebas maka model regresi tersebut dinyatakan
mengandung gejala mulikolinearitas (Suliyanto, 2011:81).
Menurut Widarjono (2009: 106), pendeteksian ada tidaknya
multikolinearitas yaitu dengan menganalisis korelasi berpasangan yang tinggi
diantara variabel-variabel independen. Jika antar variabel independen terdapat
koefisien korelasi yang tinggi (di atas 0,85) maka dapat disimpulkan bahwa dalam
model terdapat multikolinearitas. Jika koefisien korelasi lebih rendah dari 0,85
maka model tidak mengandung multikolinearitas.
Juanda (2009) dalam Pradipta (2014: 28), menyebutkan bahwa
permasalahan multikolinearitas pada model dapat di atasi dengan cara
memanfaatkan informasi sebelumnya, mengeluarkan pengubah bebas yang
memiliki kolinearitas tinggi, melakukan transformasi variabel ke dalam bentuk
Logaritma Natural (ln), menggunakan regresi komponen utama, menggabungkan
data cross section dengan data time series atau yang lebih dikenal dengan panel
58
data, mengecek ulang asumsi pada saat menetapkan model, dan menambahkan
data yang baru.
3. Uji Heteroskedastisitas
Heteroskedastisitas berarti ada varian variabel pada model regresi yang
tidak sama (konstan). Sebaliknya, jika varian variabel pada model regresi
memiliki nilai yang sama (konstan) maka disebut homoskedastisitas. Yang
diharapkan dalam model regresi adalah homoskedastisitas. Masalah
heteroskedastisitas sering terjadi pada penelitian yang menggunakan data cross
section (Suliyanto, 2011: 94).
Permasalahan heteroskedastisitas dapat diatasi dengan memberikan bobot
Weighted Least Square (WLS) melalui Generalized Least Squares (GLS) pada
model atau mentransformasikan data kedalam bentuk logaritma natural (Juanda
(2009) dalam Pradipta, 2014: 29)).
4. Uji Autokorelasi
Uji autokorelasi bertujuan untuk mengetahui apakah ada korelasi antara
serangkaian data observasi yang diuraikan menurut waktu (time series) atau ruang
(cross section) (Suliyanto, 2011: 125).
Pada penelitian ini, data yang digunakan merupakan data panel yang
merupakan gabungan dari data time series dan cross section, sehingga uji
autokorelasi tidak perlu dilakukan. Pada umumnya uji autokorelasi hanya
dilakukan pada data time series atau cross section saja. Jika memang uji
autokorelasi tetap dilakukan pada penelitian ini, maka nilai tersebut tidak
59
memiliki makna sama sekali. Selain itu, STATA 13 sebagai alat analisis yang
digunakan pada penelitian ini juga tidak mampu menyajikan data uji autokorelasi
menggunakan data panel.
3.4.6. Uji Parameter Model
Setelah memalui pengujian asumsi klasik, hal selanjutnya yang harus
dilakukan yaitu melakukan uji parameter model. Pengujian parameter model
bertujuan untuk mengetahui kelayakan model dan apakah koefisien yang
diestimasi telah sesuai dengan teori atau hipotesis. Pengujian parameter meliputi
koefisien determinasi (R2), uji koefisien regresi secara menyeluruh (F-test/Uji F)
dan uji koefisien regresi secara parsial (Uji t).
1. Uji F (Uji Simultan)
Uji-F digunakan untuk melakukan uji hipotesis koefisien (slope) regresi
atau parameter model secara menyeluruh/bersamaan. Ghozali (2006: 88)
menyebutkan bahwa untuk menguji hipotesis ini digunakan statistik F dengan
kriteria pengambilan keputusan sebagai berikut:
a. Bila nilai F lebih besar dari 4, maka H0 dapat ditolak pada derajat
kepercayaan 5% yang menyatakan bahwa semua variabel independen secara
serentak dan signifikan mempengaruhi variabel dependen.
b. Membandingkan nilai F hasil perhitungan dengan nilai F tabel. Bila F-hitung
> F tabel, maka H0 ditolak dan menerima H1.
60
2. Uji t (Uji Parsial)
Setelah melakukan uji koefisien regresi secara keseluruhan, maka langkah
selanjutnya adalah menguji koefisien regresi secara parsial menggunakan uji-t.
Ghozali (2006: 88-89) menyebutkan bahwa uji-t pada dasarnya menunjukkan
seberapa jauh pengaruh satu variabel independen secara individual dalam
menerangkan variasi variabel dependen. Cara melakukan uji t adalah sebagai
berikut:
1. Jika jumlah degree of freedom (df) adalah 20 atau lebih, dan derajat
kepercayaan sebesar 0,05, maka H0 dapat diterima dan apabila lebih dari 0,05,
maka H0 ditolak bila nilai t lebih dari 2 (nilai absolut).
2. Membandingkan nilai statistik t dengan titik kritis menurut tabel. Apabila t
hitung > t tabel, maka variabel independen secara parsial mempengaruhi
variabel dependen.
3. Membandingkan nilai probabilitas t (P-value) dengan taraf nyata (α). Apabila
nilai probabilitas t < α, maka variabel independen secara parsial berpengaruh
terhadap variabel dependen.
Pada penelitian ini uji parsial dilakukan dengan melihat nilai probabilitas t
(P-value) pada setiap variabel independen. Jika nilai probabilitas t (P-value) lebih
kecil dari derajat kepercayaan 5% (0,05), maka dapat dikatakan bahwa variabel
independen tersebut berpengaruh signifikan secara parsial terhadap variabel
dependen.
61
3. Koefisien Determinasi (R2)
Koefisien Determinan (R²) pada intinya mengukur seberapa jauh
kemampuan model dalam menerangkan variasi variabel dependen. Nilai koefisien
determinasi adalah antara nol sampai satu (0 ≤ R2
≤ 1). Nilai R² yang kecil berarti
kemampuan variabel independen dalam menjelaskan variasi variabel dependen
amat terbatas. Nilai yang mendekati satu berarti variabel independen memberikan
hampir semua informasi yang dibutuhkan untuk memprediksi variasi variabel
dependen. Jika nilai R² sama dengan satu, maka pendekatan tersebut terdapat
kecocokan sempurna dan jika R² sama dengan nol, maka tidak ada kecocokan
pendekatan (Ghozali, 2006: 87).
3.5. Definisi Operasional
Terdapat delapan variabel yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu
variabel volume ekspor tuna Indonesia sebagai variabel terikat, sedangkan PDB
per kapita, jarak ekonomi, produksi , harga ekspor, populasi, kurs riil serta dummy
NTMs (SPS dan TBT) adalah sebagai variabel bebas. Adapun definisi operasional
variabel-variabel tersebut adalah sebagai berikut:
62
Tabel 5. Definisi Operasional
Variabel Definisi Konseptual Definisi Operasional
lnVEXij Volume penjualan adalah ukuran
yang menunjukkan banyaknya
atau besarnya jumlah barang atau
jasa yang terjual (Daryanto,
2011: 187).
Ekspor adalah suatu kegiatan
ekonomi menjual produk dalam
negeri ke pasar di luar negeri
(Murni, 2009: 208).
Total keseluruhan tuna
Indonesia (segar, beku dan
kaleng) yang di ekspor ke
negara importir di Uni Eropa
pada tahun 2009-2015 dalam
satuan ton (ton/tahun).
lnPDBCj
PDB adalah nilai pasar semua
barang dan jasa akhir yang
dihasilkan dalam suatu periode
waktu tertentu oleh faktor-faktor
produksi yang berlokasi dalam
suatu negara (Salvatore, 1997:
21).
Nilai semua barang dan jasa
akhir yang dihasilkan selama
periode 2009-2015 oleh faktor-
faktor produksi di negara
importir (Belanda, Belgia, Italia,
Jerman dan UK) dalam satuan
Dolar (USD).
lnJEij Jarak ekonomi adalah jarak
antara kedua negara berdasarkan
jarak bilateral antara kota besar
kedua negara. Jarak ini
digunakan untuk gambaran biaya
transportasi yang dibutuhkan
untuk melakukan ekspor dan
impor (Mayer dan Zignago,
2011: 11)
Jarak antar Indonesia dengan
negara importir secara riil dan
ekonomi yang digunakan
sebagai proxy untuk biaya
transportasi dan komunikasi,
serta waktu pengiriman yang
dibutuhkan dalam kegiatan
ekspor dan impor dalam satuan
Km dengan rumus:
Jarak Ekonomi = Jarakij x (PDB
importir/Total PDB seluruh
negara yang dianalisis).
lnPRODi Produksi dapat dinyatakan
sebagai seperangkat prosedur
atau kegiatan yang dilakukan
untuk menciptakan atau
menghasilkan produk dan jasa
(Downey dan Erickson, 1988:
396)
Total keseluruhan produksi tuna
Indonesia yang diukur dalam
satuan ton pada periode 2009-
2015 (ton/tahun)
63
Tabel 5. Definisi Operasional (Lanjutan)
Variable Definisi Konseptual Definisi Operasional
lnHRGij Harga adalah jumlah yang harus
ditagihkan untuk suatu produk
atau jasa (Kotler dan Keller,
2009: 18).
Jumlah uang yang ditukarkan
oleh negara-negara importir di
Uni Eropa dengan tuna (segar,
beku dan kaleng) Indonesia pada
tahun 2009 - 2015 dalam satuan
Dolar (USD/ton).
Harga Ekspor = Nilai Ekspor/
Volume Ekspor
lnPOPj Populasi menurut World Bank
(2017) adalah seluruh penduduk
yang tinggal di sebuah negara
tanpa menghiraukan status
hukum atau kewarganegaraan
kecuali pencari suaka.
Semua warga negara di negara
importir (Belanda, Belgia, Italia,
Jerman dan UK) tanpa
memandang status hukum atau
kewarganegaraan kecuali
pencari suaka pada tahun 2009 –
2015 yang dihitung dalam
satuan jiwa.
lnKRij Kurs Riil (real exchange rate)
adalah nilai yang digunakan
seseorang saat menukarkan
barang dan jasa dari suatu
negara dengan barang dan jasa
dari negara lain (Mankiw dkk.,
2012: 193).
Kurs riil antara Indonesia
dengan negara importir di Uni
Eropa yang ditukarkan dengan
tuna (segar, beku dan kaleng)
Indonesia dalam satuan Rp/USD
dengan rumus:
KR= Kurs nominal x (IHK
Indonesia/IHK importir).
Dummy
SPSij dan
TBTij
Non tariff measures (NTMs)
didefinisikan sebagai kebijakan-
kebijakan selain tarif yang
secara potensial dapat memiliki
pengaruh ekonomi pada
perdagangan komoditi
internasional, dengan mengubah
kuantitas perdagangan atau
harga atau keduanya (UNCTAD,
2013)
Pemberlakuan kebijakan non-
tarif (SPS dan TBT) oleh komisi
Uni Eropa, yang secara potensial
dapat mempengaruhi ekonomi
pada perdagangan komoditi
internasional dengan mengubah
kuantitas perdagangan atau
harga atau keduanya.
64
BAB IV
GAMBARAN UMUM
4.1. Kinerja Perdagangan Komoditi Ikan Tuna Indonesia di Pasar Uni Eropa
Sebagai negara kepulauan, Indonesia memiliki potensi perairan yang
sangat luas dengan kepemilikan berbagai jenis ikan termasuk ikan tuna. Selain itu,
nilai ekonomis tuna yang lebih tinggi dibandingkan produk lainnya menciptakan
peluang besar bagi pengembangan kinerja ekspor tuna Indonesia. Jenis tuna yang
diperdagangkan dan memiliki potensi dalam pangsa internasional terdiri dari
bentuk ikan tuna segar (fresh/chilled), beku (frozen) dan ikan tuna olahan
(kaleng). Pasar Uni Eropa merupakan salah satu tujuan ekspor ikan tuna
Indonesia, adapun kinerja ekspor ikan tuna Indonesia di pasar Uni Eropa adalah
sebagai berikut:
1. Ekspor Ikan Tuna Segar (HS 0302.3)
Komoditi ikan tuna yang di ekspor ke pasar Uni Eropa dalam penelitian ini
dapat dilihat pada Lampiran 1. Berdasarkan data UN Comtrade (2017) pada Tabel
6 dibawah ini menunjukan bahwa kinerja ekspor ikan tuna segar mengalami tren
yang cenderung menurun. Hal tersebut dapat dilihat dari nilai ekspornya yang
terus mengalami pertumbuhan negatif sepanjang tahun 2011-2014. Sedangkan
volume ekspornya terus mengalami pertumbuhan negatif sepanjang tahun 2012-
2015. Bahkan volume ekspor tuna segar Indonesia ke pasar Uni Eropa mengalami
penurunan secara drastis ditahun 2014 dan 2015. Salah satu penyebab terjadinya
hal tersebut adalah adanya pemberlakuan kebijakan non-tarif oleh komisi Uni
Eropa, yakni kebijakan SPS (Sanitary and Phytosanitery) yang diberlakukan oleh
65
seluruh negara anggota Uni Eropa. Meskipun demikian, tingkat pertumbuhan nilai
ekspor ikan tuna segar Indonesia ke Uni Eropa mengalami pertumbuhan positif di
tahun 2015 dengan tingkat pertumbuhan mencapai 34,85%, meskipun volume
ekspor di tahun tersebut menurun dari tahun sebelumnya. Hal ini menunjukan
bahwa harga jual tuna segar di tahun tersebut tinggi, sehingga dapat dikatakan
bahwa tuna segar masih memiliki kinerja ekspor yang baik. Perkembangan kinerja
ekspor ikan tuna segar Indonesia periode 2009-2015 di pasar Uni Eropa dapat
dilihat sebagaimana pada Tabel 6 berikut.
Tabel 6. Perkembangan Ekspor Ikan Tuna Segar Indonesia di Pasar Uni Eropa
Tahun 2009-2015
Tahun Nilai Ekspor
(USD)
Tingkat
Pertumbuhan (%)
Volume
Ekspor (Ton)
Tingkat
Pertumbuhan
(%)
2009
2010
2011
2012
2013
2014
2015
1.241.225
3.750.993
3.503.762
1.200.675
621.597
199.996
269.697
0
202,20
-6,59
-65,73
-48,22
-67,82
34,85
325
711
767
200
168
39
33
0
118,98
7,91
-73,89
-16,13
-79,58
-17,07 Sumber : UN Comtrade, 2017 (Diolah)
2. Ekspor Ikan Tuna Beku (HS 0303.4)
Kinerja ekspor ikan tuna beku di pasar Uni Eropa jika dilihat berdasarkan
Tabel 7 cenderung mengalami penurunan di dua tahun terakhir yakni 2014 dan
2015. Hal tersebut dapat dilihat baik dari pertumbuhan volume ekspornya maupun
pertumbuhan nilai ekspornya yang bernilai negatif. Adapun tingkat pertumbuhan
nilai ekspor tuna beku di tahun 2014 dan 2015 adalah -43,42% dan -41,07%.
Sedangkan tingkat pertumbuhan volume ekspornya di tahun 2014 dan 2015
mengalami penurunan mencapai -45,91% dan -42,49%. Hal tersebut terjadi
66
karena volume ekspor tuna beku Indonesia ke pasar Uni Eropa mengalami
penurunan pada tahun-tahun tersebut, sehingga berdampak pula pada turunnya
nilai ekspor tuna beku Indonesia di pasar Uni Eropa. Terjadinya penurunan
volume dan nilai ekspor tuna tersebut disebabkan karena adanya penerapan
kebijakan non-tarif di tahun 2014 dan 2015, dimana kebijakan tersebut juga
diberlakukan oleh seluruh negara-negara di Uni Eropa. Adapun perkembangan
kinerja ekspor ikan tuna beku Indonesia periode 2009-2015 di pasar Uni Eropa
dapat dilihat sebagaimana pada Tabel 7 berikut.
Tabel 7. Perkembangan Ekspor Ikan Tuna Beku Indonesia di Pasar Uni Eropa
Tahun 2009-2015
Tahun Nilai Ekspor
(USD)
Tingkat
Pertumbuhan (%)
Volume
Ekspor (Ton)
Tingkat
Pertumbuhan
(%)
2009
2010
2011
2012
2013
2014
2015
1.574.635
2.776.903
18.532.782
17.778.945
31.495.947
17.817.893
10.498.897
0
76,35
567,39
-4,06
77,15
-43,42
-41,07
699
870
6.252
5.591
12.352
6.680
3.841
0
24,33
618,89
-10,57
120,91
-45,91
-42,49 Sumber : UN Comtrade, 2017 (Diolah)
3. Ekspor Ikan Tuna Olahan/ Kaleng (1604.14)
Jika melihat Tabel 8, dapat dikatakan bahwa kinerja ekspor tuna kaleng
pada tingkat pertumbuhan nilai ekspornya maupun volume ekspornya mengalami
hal yang serupa dengan kinerja ekspor tuna beku, yakni nilai ekspor maupun
volume ekspor tuna kaleng mengalami penurunan di tahun 2014 dan 2015
sehingga tingkat pertumbuhannya bernilai negatif di tahun tersebut. Adapun
tingkat pertumbuhan nilai ekspor tuna kaleng di tahun 2014 dan 2015 adalah -
23,90% dan -28,15%. Sedangkan tingkat pertumbuhan volume ekspornya di tahun
67
2014 dan 2015 mengalami penurunan mencapai -11,83% dan -18,43%. Hal
tersebut dikarenakan pada tahun 2014 dan 2015 komisi Uni Eropa menerapkan
kebijakan non-tarif terhadap produk tuna yang masuk ke wilayah Uni Eropa dan
kebijakan tersebut juga diberlakukan oleh seluruh negara yang tergabung dalam
perserikatan Uni Eropa. Meskipun demikian penurunan tertinggi ekspor tuna
kaleng terjadi di tahun 2010, dengan tingkat pertumbuhan volume ekspor
mencapai -22,22% dan pertumbuhan nilai ekspornya mencapai -36,17%. Alasan
terjadinya penurunan tersebut dapat diakibatkan oleh dampak dari krisis ekonomi
yang melanda Uni Eropa di tahun 2010. Adapun perkembangan kinerja ekspor
ikan tuna kaleng Indonesia periode 2009-2015 di pasar Uni Eropa dapat dilihat
sebagaimana pada Tabel 8 berikut.
Tabel 8. Perkembangan Ekspor Ikan Tuna Kaleng Indonesia di Pasar Uni Eropa
Tahun 2009-2015
Tahun Nilai Ekspor
(USD)
Tingkat
Pertumbuhan (%)
Volume
Ekspor (Ton)
Tingkat
Pertumbuhan
(%)
2009
2010
2011
2012
2013
2014
2015
40.593.869
25.908.444
73.227.305
87.266.976
127.616.484
97.111.410
69.767.722
0
-36,17
182,63
19,17
46,23
-23,90
-28,15
13.616
10.590
22.657
19.876
25.527
22.506
18.358
0
-22,22
113,94
-12,27
28,43
-11,83
-18,43 Sumber : UN Comtrade, 2017 (Diolah)
4.2. Negara Pesaing Ekspor Tuna Indonesia ke Pasar Uni Eropa
Kegiatan ekspor yang dilakukan oleh Indonesia ke pasar Uni Eropa tentu
tidak akan terlepas dari yang namanya persaingan dengan negara lain untuk
memperebutkan peluang pasar. Sebagai negara eksportir tuna ke pasar Uni Eropa,
Indonesia bukanlah satu-satunya negara yang menjadi eksportir tuna ke pasar Uni
68
Eropa. Tidak hanya bersaing dengan negara-negara di dunia, Indonesia juga harus
bersaing dengan beberapa negara di Asia Tenggara seperti Thailand, Filipina, dan
Vietnam. Bahkan negara Thailand dan Vietnam juga dikenal sebagai negara
produsen ikan terbesar di Asia Tenggara. Oleh karena itu, persaingan Indonesia
untuk menguasai pasar Uni Eropa juga terhambat dengan adanya pesaing dari
beberapa negara di Asia Tenggara. Adapun kontribusi ekspor ikan tuna Indonesia
dengan beberapa negara ASEAN ke pasar Uni Eropa adalah sebagai berikut:
1. Ekspor Ikan Tuna Segar Indonesia (HS 0302.3)
Ketersediaan komoditi tuna segar di pasar Uni Eropa, selama periode
2009-2015 masih didominasi oleh tuna segar asal negara Filipina. Bahkan di
tahun 2015 saja, volume ekspor tuna segar asal Filipina lebih tinggi dibandingkan
Indonesia, Thailand dan Vietnam. Meskipun demikian, produk tuna segar
Indonesia pernah menguasai pasar Uni Eropa di tahun 2013 dengan total volume
ekspor sebesar 18.800 kg. Namun di tahun 2015 Indonesia menduduki posisi
kedua setelah Filipina sebagai eksportir terbesar tuna segar di pasar Uni Eropa
dengan berkontribusi sebesar 16.762 kg atau sekitar 45% tuna segar di pasar Uni
Eropa masih dikuasai oleh Indonesia. Sedangkan negara Thailand sendiri baru
melakukan ekspor tuna segar ke Uni Eropa di tahun 2015 dengan total volume
ekspor sebesar 607 kg. Hal ini menunjukan bahwa permintan pasar Uni Eropa
terhadap komoditi tuna segar Indonesia masih cukup tinggi. Adapun
perkembangan volume ekspor ikan tuna segar Indonesia dan negara pesaing di
pasar Uni Eropa tahun 2009-2015 dapat dilihat sebagaimana pada Gambar 9
berikut.
69
Gambar 9. Perkembangan Volume Ekspor Tuna Segar Indonesia dan Negara
Pesaing di Pasar Uni Eropa Tahun 2009-2015
Sumber : UN Comtrade, 2017 (Diolah)
2. Ekspor Ikan Tuna Beku Indonesia (HS 0303.4)
Tidak hanya pada komoditi tuna segar, ketersediaan tuna beku di pasar
Uni Eropa juga di dominasi oleh negara Filipina. Hal tersebut dapat dilihat
sebagaimana pada Gambar 10 dibawah ini. Meskipun demikian, negara Thailand
pernah menjadi eksportir terbesar tuna beku ke Uni Eropa di tahun 2009 dengan
total volume ekspor sebesar 27.342.700 kg atau sekitar 73% ketersediaan tuna
beku di pasar Uni Eropa pada tahun tersebut berasal dari negara Thailand.
Sedangkan untuk negara Indonesia, paling banyak mengekspor tuna beku ke pasar
Uni Eropa pada tahun 2013 dengan total volume ekspor sebesar 12.399.400 kg.
Namun di tahun 2015, Indonesia menduduki posisi ketiga sebagai eksportir tuna
beku setelah Filipina dan Vietnam, dengan total volume ekspor yakni sebesar
3.380.237 kg atau sekitar 14% ketersediaan komoditi tuna beku di pasar Uni
Eropa diimpor dari Indonesia. Sedangkan negara Vietnam dan Thailand
berkontribusi sebesar 19% dan 13% terhadap ketersediaan tuna beku di pasar Uni
Eropa. Adapun perkembangan volume ekspor ikan tuna beku Indonesia dan
2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015
Filipina 20.700 41.400 24.163 3.600 1.400 3.807 18.483
Indonesia 5.900 33.854 11.500 0 18.800 2.700 16.762
Thailand 0 0 0 0 0 0 607
Vietnam 700 4.500 0 0 0 0 1.560
0
5.000
10.000
15.000
20.000
25.000
30.000
35.000
40.000
45.000 V
olu
me
Ek
spor
(kg)
70
negara pesaing di pasar Uni Eropa tahun 2009-2015 dapat dilihat sebagaimana
pada Gambar 10 berikut.
Gambar 10. Perkembangan Volume Ekspor Tuna Beku Indonesia dan Negara
Pesaing di Pasar Uni Eropa Tahun 2009-2015
Sumber : UN Comtrade, 2017 (Diolah)
3. Ekspor Ikan Tuna Kaleng Indonesia (HS 1604.14)
Berdasarkan data pada Gambar 11 dibawah ini, dapat diketahui bahwa
ketersediaan komoditi tuna kaleng di pasar Uni Eropa lebih didominasi oleh
produk tuna kaleng asal Thailand. Selama periode 2009-2015 saja negara
Thailand masih menduduki posisi pertama sebagai eksportir terbesar tuna kaleng
ke pasar Uni Eropa. Sedangkan Indonesia menduduki posisi ketiga setelah
Thailand dan Filipina sebagai eksportir tuna kaleng ke pasar Uni Eropa. Jika
melihat Gambar 11 dibawah ini dapat diketahui bahwa di tahun 2015 negara
Thailand, Indonesia dan Vietnam mengalami penurunan volume ekspor tuna
kaleng ke Uni Eropa, yang mengalami kenaikan volume ekspor hanya negara
Filipina. Negara Thailand mengalami penurunan volume ekspor sebesar
14.973.415 kg, sedangkan Indonesia dan Vietnam mengalami penurunan volume
0
5.000.000
10.000.000
15.000.000
20.000.000
25.000.000
30.000.000
2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015
Volu
me E
ksp
or (
kg)
Filipina Indonesia Thailand Vietnam
71
ekspor tuna kaleng masing-masing sebesar 1.824.451 kg dan 330.233 kg. Negara
Thailand, Filipina dan Indonesia juga dikenal sebagai pemasok utama tuna kaleng
di supermarket yang ada di pasar Uni Eropa. Meskipun demikian, kontribusi
ekspor tuna kaleng Indonesia masih kalah saing dengan produk tuna kaleng
negara Thailand maupun Filipina di Pasar Uni Eropa. Hal tersebut dapat terjadi
karena teknologi yang digunakan di negara tersebut jauh lebih maju dibandingkan
Indonesia. Selain itu, terjalinnya hubungan kerjasama antara UE dengan negara
Thailand, Filipina dan Vietnam melalui perjanjian CEPA (Comprehensive
Economic Partnership Agreement) membuat Indonesia lebih sulit untuk
menguasai pasar Uni Eropa. Adanya hubungan kerjasama tersebut akan
berdampak pada mudahnya akses pasar negara mitra dagang dan tarif bea masuk
impor juga akan lebih rendah. Sangat disayangkan, Indonesia hingga saat ini
masih dalam tahap negosiasi terhadap isi perjanjian CEPA dengan Uni Eropa.
Adapun perkembangan volume ekspor tuna kaleng Indonesia dan negara pesaing
di pasar Uni Eropa tahun 2009-2015 dapat dilihat sebagaimana pada Gambar 11
berikut ini.
Gambar 11. Perkembangan Volume Ekspor Tuna Kaleng Indonesia dan Negara
Pesaing di Pasar Uni Eropa Tahun 2009-2015
Sumber : UN Comtrade, 2017 (Diolah)
0
20.000.000
40.000.000
60.000.000
80.000.000
100.000.000
2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015
Volu
me
Ek
spor
(kg)
Filipina Indonesia Thailand Vietnam
72
4.3. Regulasi Perdagangan Tuna di Pasar Uni Eropa
Dalam pemasaran ikan dan produk perikanan internasional, salah satu
kesulitan yang dihadapi oleh para eksportir adalah standar dan aturan yang
berbeda yang diberlakukan oleh negara-negara importir pada negara eksportir
untuk menjamin bahwa produk tersebut memenuhi persyaratan keamanan pangan.
Adapun standar mutu secara internasional merupakan penggabungan 6 prinsip
utama, yaitu terbuka, transparan, tidak memihak, berdasarkan konsensus, efektif
dan relevan, koheren dan memilki dimensi perkembangan ((BSN, 2003) dalam
Rastikarany (2008: 63)).
Uni Eropa merupakan salah satu pasar tujuan ekspor tuna Indonesia yang
dikenal ketat akan aturan. Menurut Kementrian Perdagangan (2014a: 14), regulasi
yang diterapkan oleh pemerintahan Uni Eropa terhadap perdagangan tuna di
wilayah tersebut adalah sebagai berikut:
1. Peraturan Kemasan dan Pelabelan
a. Kemasan
Menurut Kementrian Perdagangan (2013: 17), kemasan yang digunakan
untuk produk tuna yang akan di impor ke Uni Eropa adalah:
1. Produk ikan beku untuk retail: kemasan utama menggunakan kotak karton,
kemasan kedua (bila ada) menggunakan plastik transparan.
2. Produk Ikan beku untuk grosir: kemasan plastik transparan.
3. Produk Ikan yang diawetkan atau sudah diolah untuk konsumsi: kemasan
dengan pengalengan atau plastik transparan. Kaleng yang digunakan
merupakan kaleng yang terbuat dari bahan metal.
73
b. Pelabelan
Semua bahan makanan yang dipasarkan di Uni Eropa harus mematuhi
aturan pelebelan Uni Eropa, hal tersebut bertujuan untuk memastikan bahwa
konsumen mendapatkan semua informasi penting untuk membuat pilihan saat
membeli bahan makanan. Label pada produk harus mencakup nama dan
penjelasan produk, istilah ilmiah, negara asal produk, bahan baku dan kandungan
nutrisi, tanggal kadaluarsa, barcode, logo sertifikasi (bila ada), metode
penyimpanan khusus (bila diperlukan), serta cara penggunaan produk. Informasi
ini harus dapat terbaca dengan jelas dan dengan mudah ditemukan oleh
konsumen. Berikut ini beberapa regulasi terkait dengan pelabelan produk
perikanan dapat dilihat sebagaimana pada Tabel 9 dibawah ini.
Tabel 9. Regulasi Terkait Pelabelan Produk Perikanan
Persyaratan
Pelabelan Umum
Semua produk yang ditujukan
untuk konsumsi manusia,produk
perikanan dan produk pertanian
harus memenuhi persyaratan
pelabelan makanan.
Regulation (EC) No.
1169/2011
CN coding system Label seluruh produk perikanan
yang diimpor ke Uni Eropa harus
mencakup: Merek komersil
(bahasa negara dan bahasa latin);
metode produksi (tangkapan laut
atau perairan darat); area
penangkapan.
Regulation (EC) No.
104/2000
Sumber: CBI (Central Bureau of Investigation) dalam Kemendag (2014a: 17)
2. Peraturan Keamanan Pangan
Mengingat pentingnya perdagangan internasional bagi industri tuna di Uni
Eropa, maka Uni Eropa menyusun persyaratan keamanan pangan untuk produk
74
perikanan dan pertanian. Secara umum peraturan pangan di Uni Eropa diatur
dalam General Food Law yang dibuat oleh Biro Investigasi Pusat (Central
Bureau of Investigation/ CBI), adapun beberapa peraturan spesifik untuk produk
perikanan dapat dilihat sebagaimana pada Tabel 10 berikut ini.
Tabel 10. Peraturan Terkait Keamanan Pangan
Topik Persyaratan Peraturan
Higienitas
Kontaminasi
Mikrobiologi
Batas-batasan berlaku untuk
Salmonella, E.coli,
histamin, dan coagulase-
positive staphylococci
Regulation (EC)
2073/2005
Substansi Terlarang
Hormon Batasan-batasan pemberian
hormonal, thyrostatic
action, dan beta-agonist
Directive 96/22/EC
Steroid, Obat-obatan
Hewan dan
Kontaminan
Obat-obatan hewan dan
kontaminan yang dilarang
adalah: antibakterial
(sulphonamides dan
quinolones), carbamates,
pyrethroids, sadatives,
organochlorine compounds,
organophosphorus
compounds, dan elemen
kimia.
Directive 96/23/EC
Pestisida Uni Eropa menetapkan
level maksimum untuk
residu pestisida dalam
makanan
Regulation (EC)
396/2005
Kontaminan Level maksimum
ditetapkan untuk:
Timbal, kadmium,
dan merkuri
Dioksin
Polycyclic aromatic
hydrocarbons (PAHs)
Regulation (EC)
1881/2006
Sumber: CBI (Central Bureau of Investigation) dalam Kemendag (2014a: 14)
75
Selain regulasi-regulasi tersebut, penggunaan protein yang dihidrolisis
untuk meningkatkan bobot ikan tuna juga dianggap sebagai penipuan terhadap
konsumen, maka hal ini dilarang oleh pemerintahan Uni Eropa.
3. Peraturan dan Sertifikat Kesehatan
Impor perikanan dan produk perikanan khususnya ikan tuna dan
olahannya yang ditujukan untuk konsumsi manusia di pasar Uni Eropa harus
sesuai dengan kondisi masyarakatnya. Hal tersebut bertujuan untuk menjamin
kesehatan dan keamanan seluruh makanan dan rantai pakan, serta untuk
menghindari penyebaran penyakit menular berbahaya bagi hewan dan manusia.
Adapun peraturan umum standar kesehatan yang diterapkan untuk produk tuna
dan olahannya berkaitan dengan:
Hasil pengawasan kesehatan dari negara setempat
Perizinan
Sertifikat kesehatan
Pengendalian kesehatan
Uni Eropa sendiri telah mewajibkan kepemilikan sertifikasi bagi semua
produk perikanan hasil tangkapan dari laut yang akan di ekspor ke kawasan
tersebut sejak 1 Januari 2010. Sertifikasi ini biasanya bersifat sukarela, namun
kepemilikan sertifikasi ini dapat meningkatkan dayasaing produk tersebut di
pasaran. Terdapat beberapa sertifikasi/ label berstandar internasional yang
mungkin disyaratkan oleh perusahaan pengimpor di Uni Eropa. Adapun daftar
sertifikasi yang digunakan dalam perdagangan tuna di pasar Uni Eropa dapat
dilihat sebagaimana pada Tabel 11 dibawah ini.
76
Tabel 11. Daftar Sertifikasi Perdagangan Ikan Tuna di Pasar Uni Eropa
Sertifikat Keterangan
Sertifikat ASC diprakarsai oleh World Wild Fund
(WWF) dan IDH, menyangkut standar global tentang
tanggung jawab industri perikanan terhadap
lingkungan. Mulai tahun 2013 sertifikat ini wajib
dimiliki bagi para produsen aquakultur yang ingin
memasarkan produknya ke Uni Eropa.
Marine Stewardship Council (MSC) adalah lembaga
pemberi sertifikat yang sangat penting di Uni Eropa,
lembaga ini mengatur usaha penangkapan ikan dan
udang yang berkelanjutan.
International Food Standards (IFS) adalah peraturan
operasional yang mengatur perihal kualitas dan
keamanan pangan.
Fair Trade USA adalah organisasi non-profit yang
menetapkan standar, mengesahkan, dan memberi label
produk guna mendukung penghidupan berkelanjutan
bagi petani dan pekerja dan melindungi lingkungan.
Sumber: CBI (Central Bureau of Investigation) dalam Kemendag (2014a: 16)
4. Standar Pemasaran
Standar pemasaran adalah persyaratan yang ditujukan untuk menjamin
konsumen Uni Eropa atas kualitas minimum dari suatu produk yang dijual kepada
konsumen, diatur dalam regulasi (EC) 2406/1996.
77
BAB V
HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1. Pemberlakuan NTMs (Non Tariff Measures) pada Perdagangan Tuna di
Pasar Uni Eropa Tahun 2009 – 2015
Kebijakan Non Tarif Measure (NTMs) hingga saat ini masih menjadi isu
penting dalam lingkup perdagangan internasional. Adanya kecenderungan
perhatian masyarakat mengenai keamanan sebuah produk serta proses yang erat
kaitannya dengan keberlanjutan lingkungan menjadi salah satu faktor
diberlakukannya kebijakan perdagangan internasional berupa NTMs dalam upaya
peningkatan kesejahteraan nasional.
Uni Eropa merupakan salah satu pasar tujuan ekspor tuna Indonesia yang
memberlakukan NTMs sebagai usaha untuk menjamin kesehatan masyarakatnya
serta lingkungan. Terdapat dua kebijakan NTMs yang paling sering diberlakukan
oleh Uni Eropa terutama dalam subsektor perikanan, yakni Sanitary and
Phitosanitary (SPS) dan Technical Barrier to Trade (TBT). Kedua kebijakan ini
dimaksudkan sebagai tindakan perlindungan terhadap manusia, hewan, dan
tumbuhan, serta mencakup berbagai regulasi teknis dan prosedur penilaian
kesesuaian.
Selama periode 2009 hingga 2015, berdasarkan data dari WTO tercatat
bahwa Uni Eropa telah memberlakukan kebijakan NTMs berupa SPS dan TBT di
tahun 2011, 2014 dan 2015. Kebijakan ini ditujukan kepada seluruh importir atau
produsen produk perikanan termasuk tuna Indonesia yang diimpor ke Uni Eropa.
Adapun jumlah NTMs yang diberlakukan oleh Uni Eropa terhadap produk tuna
selama peiode 2009-2015 dapat dilihat pada Tabel 12 di bawah ini.
78
Tabel 12. Total NTMs yang Diberlakukan Uni Eropa terhadap Produk Tuna
Periode 2009-2015
NTMs Tahun Total
NTMs 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015
SPS/ TBT - - 1 TBT - - 2 SPS 2 SPS 5 NTMs
Sumber: WTO (2017)
Berdasarkan data pada Tabel 12 di atas dapat diketahui bahwa selama
periode 2009-2015 terdapat lima kebijakan NTMs yang telah diberlakukan oleh
komisi Uni Eropa terhadap produk tuna yang diimpor ke negara tersebut. Lima
kebijakan NTMs tesebut terdiri dari satu kebijakan TBT di tahun 2011, dua
kebijakan SPS di tahun 2014 dan dua kebijakan SPS di tahun 2015.
Pada tahun 2011, pemerintahan Uni Eropa telah memberlakukan kebijakan
TBT untuk produk perikanan, hal ini tentu juga berlaku untuk produk tuna.
Umumnya kebijakan TBT yang sering diberlakukan oleh Uni Eropa yakni terkait
peraturan pelabelan pada kemasan produk pangan. Hal ini seperti yang tercantum
pada peraturan G/TBT/N/EEC/191, regulasi ini merupakan gabungan dari regulasi
No. 2000/13/EC terkait pelabelan, penyajian dan periklanan bahan makanan dan
regulasi No. 90/496/EEC tentang pelabelan terkait nutrisi pada bahan makanan.
Adapun isi peraturan G/TBT/N/EEC/191 yakni tentang pelabelan informasi gizi
pada bahan makanan seperti informasi energi, lemak jenuh, karbohidrat serta
kadar gula dan garam. Informasi gizi ini dapat menjadi gambaran bagaimana
peraturan yang diberlakukan oleh negara asal produk tersebut. Hal ini menjadi
penting karena jika informasi tersebut tidak ada, maka akan timbul rasa ragu akan
keamanan pangan tersebut di mata konsumen Uni Eropa. Kebijakan ini berlaku
untuk produk tuna segar, beku dan kaleng.
79
Sedangkan di tahun 2014 dan 2015 pemerintahan Uni Eropa
memberlakukan kebijakan SPS untuk produk perikanan. Adapun kebijakan SPS
yang sering diterapkan oleh pemerintahan Uni Eropa yakni terkait keamanan
pangan dan kesehatan hewan. Di tahun 2014, pemerintahan Uni Eropa
menetapkan peraturan No. 601/2014 atau G/SPS/N/EU/83 dan peraturan No.
506/2014 atau G/SPS/N/EU/80 sebagai kebijakan SPS terkait keamanan pangan
yang diberlakukan untuk produk olahan termasuk tuna kaleng. Adapun isi
kebijakan peraturan No. 601/2014 yaitu terkait penggunaan zat aditif tertentu pada
produk makanan olahan seperti penggunaan zat pewarna (curcumin, beetroot red,
caramels, carmines, dan ekstrak paprika), penggunaan zat asam (asetat, sitrat,
askorbat, dan laktat), dan lain-lain. Sedangkan pada peraturan No. 506/2014
berisikan tentang penggunaan Ethyl Lauroyl Arginate sebagai pengawet pada
produk makanan yang melalui proses pemanasan. Hal ini bertujuan untuk
mengurangi jumlah mikroorganisme dan menghambat pertumbuhan
mikroorganisme pada produk pangan sehingga kualitas dan keamanan pangan
lebih terjaga.
Sedangkan kebijakan SPS yang diberlakukan pada tahun 2015 yakni
peraturan No. 2015/1554 atau G/SPS/N/EU/145 terkait kesehatan hewan dan
peraturan No. 2015/329 atau G/SPS/N/EU/122 terkait keamanan pangan dan
proteksi manusia dari penyakit. Kebijakan ini berlaku untuk produk tuna segar
dan beku. Pada peraturan No. 2015/1554 menyebutkan bahwa hewan yang masuk
ke Uni Eropa harus terbebas dari penyakit. Oleh sebab itu, pada peraturan ini
berisikan tentang pengujian laboratorium yang akan dilakukan jika muncul
80
kecurigaan adanya penyakit pada komoditi perikanan yang dimpor ke Uni Eropa.
Sedangkan, peraturan No. 2015/329 berisikan tentang rencana pameran makanan
yang akan dilaksanakan di Milan, tujuan diadakannya pameran tersebut untuk
memperkenalkan produk yang akan memasuki pasar Uni Eropa. Dalam hal ini
tidak semua negara diberi wewenang untuk mengekspor produknya ke Uni Eropa.
Acara tersebut juga memiliki persyaratan terkait keamanan pangan. Sehingga jika
terdapat produk yang tidak sesuai dengan peraturan yang ada, maka produk
tersebut tidak akan dikonsumsi bahkan tidak diperbolehkan untuk dipasarkan di
luar acara pameran tersebut.
Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa selama periode
2009 sampai 2015, kebijakan NTMs yang paling sering diberlakukan oleh
pemerintahan Uni Eropa adalah kebijakan SPS (Sanitary and Phitosanitary) yakni
terkait keamanan pangan dan kesehatan hewan. Sedangkan kebijakan TBT
(Technical Barrier to Trade) yang sering diberlakukan oleh Uni Eropa yakni
terkait pelabelan pada kemasan produk pangan. Untuk lebih singkatnya, terkait
peraturan NTMs yang diberlakukan oleh Uni Eropa selama periode 2009-2015
dapat dilihat sebagaimana pada Tabel 13 berikut ini.
81
Tabel 13. Peraturan NTMs yang Diberlakukan Uni Eropa Terhadap Produk Tuna
Periode 2009-2015
No. Kode
Peraturan Tahun
Deskripsi Peraturan
Produk Negara yang
Memberlakukan
1
G/TBT/N/EEC/191
2011
Peraturan terkait
informasi nutrisi pada label
kemasan produk
pangan
Tuna
segar, Tuna
Beku dan
Tuna
Kaleng
Seluruh Negara
di Uni Eropa
2
G/SPS/N/EU/83
2014
Peraturan terkait
penggunaan zat
aditif tertentu pada produk
makanan olahan
Tuna
Kaleng
Seluruh Negara
di Uni Eropa
3
G/SPS/N/EU/80
2014
Peraturan terkait
penggunaan Ethyl Lauroyl
Arginate sebagai
pengawet produk makanan olahan
yang melalui
prose pemanasan
Tuna
Kaleng
Seluruh Negara
di Uni Eropa
4
G/SPS/N/EU/145
2015
Peraturan terkait uji laboratorium
untuk menjamin
produk yang
bebas dari penyakit
Tuna segar dan
Tuna
beku
Seluruh Negara di Uni Eropa
5
G/SPS/N/EU/122
2015
Rencana
pelaksanaan pameran produk
pangan yang
akan
dilaksanakan di Milan
Tuna
segar dan Tuna
beku
Seluruh Negara
di Uni Eropa
Sumber: WTO (2017)
82
5.2. Analisis Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Volume Ekspor Ikan
Tuna Indonesia ke Pasar Uni Eropa
Pada penelitian ini gravity model digunakan untuk melihat pengaruh jarak
ekonomi (LnJE) dan Produk Domestik Bruto (PDBC) per Kapita negara importir
(LnPDBC) serta faktor-faktor ekonomi dan non ekonomi lainnya yang diduga
memengaruhi ekspor ikan tuna Indonesia ke pasar Uni Eropa. Adapun faktor-
faktor lain yang diduga mempengaruhi volume ekspor ikan tuna Indonesia yaitu,
harga ekspor ikan tuna Indonesia (LnHRG), nilai tukar riil rupiah terhadap dollar
Amerika Serikat (LnKR), populasi negara importir (LnPOP), dan produksi tuna
Indonesia (LnPROD) serta dummy NTMs (SPS dan TBT).
5.2.1. Pemilihan Model Regresi Data Panel
Pada pemilihan model terbaik, berdasarkan hasil uji Chow yang telah
dilakukan di dapat bahwa nilai probabilitas F-statistik lebih kecil dari taraf nyata
lima persen (0,00 < 0,05). Dengan demikian model terbaik yang terpilih adalah
Fixed Effect Model. Pemilihan model tersebut juga diperkuat dengan adanya hasil
dari uji Hausman, dimana nilai probabilitas chi square statistiknya lebih kecil dari
taraf nyata lima persen (0,00 < 0,05). Oleh karena itu Fixed Effect Model (FEM)
ditetapkan sebagai model estimasi terbaik. Adapun hasil estimasi Fixed Effect
Model yang digunakan pada penelitian ini merupakan hasil estimasi model efek
tetap dengan teknik Least Square Dummy Variable (LSDV). Karena model
estimasi yang terpilih adalah Fixed Effect Model (FEM), maka tidak perlu
dilakukan uji Lagrange Multiplier (LM). Uji Lagrange Multiplier digunakan
hanya untuk mengetahui apakah model Common Effect Model (CEM) lebih baik
83
dari Random Effect Model (REM). Adapun hasil pemilihan model terbaik dapat
dilihat sebagaimana pada Tabel 14 di bawah ini.
Tabel 14. Hasil Pemilihan Model Terbaik
Uji/ Hasil Uji Chow Uji Hausman
Hasil Prob > F = 0,0010 Prob > chi2 = 0,0063
Sumber: Lampiran 4a dan 4b
5.2.2. Uji Asumsi Klasik
Pengujian asumsi klasik bertujuan untuk mengetahui ada atau tidaknya
penyimpangan asumsi klasik dalam model volume ekspor ikan tuna Indonesia ke
pasar Uni Eropa. Berdasarkan pemilihan model terbaik maka uji asumsi klasik
yang akan dilakukan meliputi uji normalitas, uji multikolinearitas, uji
heteroskedastisitas, serta uji autokorelasi.
1. Uji Normalitas
Uji normalitas dimaksudkan untuk menguji apakah nilai residual yang
telah distandarisasi pada model regresi berdistribusi normal atau tidak. Dalam arti
lain, uji normalitas disini tidak dilakukan per variabel tetapi hanya terhadap nilai
residual terstandarisasinya (Suliyanto, 2011: 68). Pada penelitian ini uji
normalitas dilakukan dengan cara uji Jarque-Bera, yakni dengan melihat nilai
prob > chi2. Adapun hasil dari uji normalitas pada model estimasi volume ekspor
ikan tuna Indonesia ke pasar Uni Eropa dapat dilihat sebagaimana pada Tabel 15
dibawah ini.
84
Tabel 15. Hasil Uji Normalitas dengan uji Jarque-Bera
Uji Skewness/ Kurtosis
Variabel Obs Pr
(Skewness)
Pr
(Kurtosis) Adj chi2 (2) Prob > chi2
Resid 35 0,9944 0,7815 0,08 0,9622
Sumber: Lampiran 5a
Berdasarkan hasil uji normalitas pada Tabel 15 dapat diketahui bahwa
nilai probabilitas Jarque-Bera pada model estimasi adalah sebesar 0,9622. Nilai
tersebut terbukti lebih besar dari taraf nyata lima persen (0,9622 > 0,05), hal ini
menunjukkan bahwa data pada model estimasi sudah memenuhi asumsi
normalitas. Sehingga dapat dikatakan bahwa nilai residual pada model estimasi
yang telah terstandarisasi sudah berdistribusi normal.
Selain dengan uji Jarque-Bera, penelitian ini juga melakukan uji
normalitas dengan analisis grafik. Jika Histogram Standardized Regression
Residual pada analisis grafik membentuk kurva seperti lonceng maka nilai
residual pada model dapat dinyatakan normal. Adapun hasil dari uji normalitas
dengan analisis grafik pada model estimasi volume ekspor ikan tuna Indonesia ke
pasar Uni Eropa dapat dilihat sebagaimana pada Gambar 12 dibawah ini.
Gambar 12. Histogram Standardized Regression Residual
Sumber: Output STATA 13
85
Berdasarkan hasil uji normalitas dengan analisis grafik diatas dapat
dikatakan bahwa kurva yang dihasilkan sudah terbentuk menyerupai lonceng, hal
ini menunjukkan bahwa data pada model estimasi sudah memenuhi asumsi
normalitas. Sehingga dapat dikatakan bahwa nilai residual pada model dapat
dinyatakan normal.
2. Uji Multikolinearitas
Uji multikolinearitas bertujuan untuk menguji apakah model regresi
ditemukan adanya korelasi antarvariabel bebas, model regresi yang baik
seharusnya tidak terjadi korelasi di antara variabel bebas (Ghozali, 2006 : 95).
Salah satu cara dalam mendeteksi ada atau tidaknya multikolinearitas dalam suatu
model adalah dengan melakukan analisis koefisien korelasi berpasangan diantara
variabel-variabel independen. Jika antar variabel independen terdapat koefisien
korelasi yang tinggi (di atas 0,85) maka dapat disimpulkan bahwa dalam model
terdapat gejala multikolinieritas.
Pada penelitian ini, berdasarkan correlation matrix yang telah dilakukan
ditemukan adanya pasangan variabel yang memiliki nilai koefisien diatas 0,85
yakni variabel jarak ekonomi dengan variabel PDB per kapita dengan nilai
koefisien sebesar 0,8537 dan variabel produksi tuna dengan variabel harga ekspor
dengan nilai koefisien sebesar 0,8604. Hal ini menunjukan bahwa model estimasi
mengalami gejala multikolinearitas. Kondisi ini terjadi dikarenakan adanya
hubungan korelasi yang tinggi antarpasangan variabel-variabel bebas tersebut.
Contohnya seperti yang terjadi pada pasangan variabel jarak ekonomi dengan
variabel PDB per kapita, terjadinya korelasi yang tinggi pada kedua variabel
86
tersebut dikarenakan nilai jarak ekonomi itu sendiri ditentukan berdasarkan jarak
geografis antar negara Indonesia denga negara tujuan serta PDB negara importir.
Meskipun demikian masalah multikolinearitas itu sendiri telah dapat diatasi
dengan mentransformasikan data kedalam bentuk logaritma natural (ln) dan dalam
penelitian ini semua variabel sudah diubah kedalam bentuk logaritma narutal.
Selain itu penggunaan teknik LSDV pada model estimasi diharapkan mampu
menghindari terjadinya gejala multikolinearitas. Sehingga permasalahan
multikolinearitas dalam model estimasi ini sudah dianggap telah teratasi. Adapun
hasil uji multikolinearitas model estimasi dapat dilihat pada Tabel 16 berikut ini.
Tabel 16. Hasil Uji Multikolinearitas LnPDBC LnJE LnHRG LnKR LnPOP LnPROD SPS TBT
LnPDBC
LnJE
LnHRG
LnKR
LnPOP
LnPROD
DSPS
DTBT
1.0000
0.8537
-0.0943
-0.0680
-0.5171
0.0857
-0.0643
0.1538
1.0000
-0.0483
-0.1186
-0.7603
0.0056
-0.0078
-0.0094
1.0000
0.4601
-0.0977
0.8604
0.3542
-0.2743
1.0000
0.1606
0.6340
0.8350
-0.3444
1.0000
0.0084
0.0095
-0.0031
1.0000
0.4271
-0.2959
1.0000
-0.2582
1.000
Sumber: Lampiran 5b
3. Uji Heteroskedastisitas
Menurut Sunyoto (2010: 100), uji heteroskedastisitas digunakan untuk
mengetahui sama atau tidak varians dari residual dari observasi yang satu dengan
observasi yang lain. Jika residualnya mempunyai varians yang sama disebut
terjadi homoskedastisitas dan jika variansnya tidak sama atau berbeda disebut
terjadi heteroskedastisitas.
Pada penelitian ini, berdasarkan hasil uji heteroskedastisitas yang sudah
dilakukan didapat bahwa nilai probabilitas chi square-nya lebih besar dari taraf
87
nyata lima persen (0,2287 > 0,05), hal ini menunjukkan bahwa model estimasi
sudah terbebas dari gejala heteroskedastisitas. Adapun hasil uji heteroskedastisitas
dapat dilihat sebagaimana pada Lampiran 5c.
Berdasarkan uji asumsi klasik yang telah dilakukan, maka dapat
disimpulkan bahwa model regresi data panel yang digunakan pada penelitian ini
sudah terbebas dari masalah-masalah asumsi klasik yang meliputi uji normalitas,
uji heteroskedastisitas, serta uji multikolinearitas. Oleh karena itu, berdasarkan
hasil pemilihan model estimasi terbaik dan uji asumsi klasik, maka model estimasi
Fixed Effect Model dengan teknik Least Square Dummy Variable (LSDV) dapat
tulis sebagaimana pada Tabel 17 berikut ini.
Tabel 17. Hasil Estimasi Fixed Effect Model dengan Least Square Dummy
Variable (LSDV)
Jumlah Observasi: 35
Variabel Dependen : LnVEX
Variabel Koefisien Prob.
C
LnPDBC
LnJE
LnHRG
LnKR
LnPOP
LnPROD
Dummy SPS
Dummy TBT
-808.1826
8.48888
-10.33751
3.686025
8.44342
54.53451
-16.04152
-2.960693
0.0507197
0.006*
0.047*
0.081
0.015*
0.022*
0.004*
0.013*
0.006*
0.910
Least Square Dummy Variable (LSDV) adalah teknik memasukan variabel
dummy ke dalam model estimasi Fixed Effect Model. Hal tersebut dikarenakan
Weighted Statistic
Adj R-squared
Prob (F-statistic)
0.6632
0.0001
Sumber: Lampiran 4c
Keterangan: Signifikansi terhadap taraf nyata 5 % (*)
88
pada Fixed Effect Model diasumsikan bahwa slope konstan dan intersep bervariasi
baik antar unit cross section maupun time series. Oleh sebab itu, untuk melihat
perbedaan nilai parameter pada intersep baik lintas unit cross section maupun
antar unit time series maka digunakan variabel dummy sebagai variabel tambahan
dalam model estimasi (Sukendar dan Zainal (2007) dalam Astuti, 2010: 137).
Adapun alasan penelitian ini menggunakan teknik LSDV yakni untuk
meningkatkan nilai R-square. Selain itu penggunaan teknik LSDV pada model
estimasi diharapkan mampu menghindari model dari gejala multikolinearitas.
Berdasarkan hasil estimasi Fixed Effect Model dengan teknik Least Square
Dummy Variable (LSDV) pada tabel di atas, maka persamaan ekonomi yang
dapat dibuat berdasarkan hasil estimasi faktor-faktor yang mempengaruhi volume
ekspor ikan tuna Indonesia di pasar Uni Eropa adalah:
LnVEX = -808,182 + 8,488 LnPDBC – 10,337 LnJE + 3,686 LnHRG + 8,443
LnKR + 54,534 LnPOP – 16,041 LnPROD – 2,960 DSPS + 0,050
DTBT + e
Keterangan:
LnVEL : Volume ekspor ikan tuna Indonesia di pasar Uni Eropa (persen)
LnPDBC : PDB per kapita negara importir (persen)
LnJE : Jarak ekonomi (persen)
LnHRG : Harga ekspor ikan tuna Indonesia (persen)
LnKR : Kurs riil rupiah terhadap dollar Amerika Serikat (persen)
LnPOP : Populasi manusia di negara importir (persen)
SPS : Dummy SPS
TBT : Dummy TBT
89
5.2.3. Uji Parameter
1. Uji F (Uji Simultan)
Uji F-statistik digunakan untuk mengetahui apakah variabel-variabel bebas
(pendapatan per kapita negara tujuan, jarak ekonomi, nilai tukar riil rupiah
terhadap dollar Amerika Serikat, harga ekspor ikan tuna Indonesia ke pasar Uni
Eropa, populasi negara tujuan, produksi tuna Indonesia dan dummy NTMs (SPS
dan TBT)) pada penelitian ini berpengaruh secara simultan terhadap volume
ekspor ikan tuna Indonesia ke pasar Uni Eropa. Berdasarkan hasil estimasi Fixed
Effect Model pada Tabel 17 diatas, dapat dilihat bahwa nilai probabilitas F-
statistic lebih kecil dari taraf nyata 5% (0,0001 < 0,05). Hal ini menunjukan
bahwa variabel-variabel bebas yang digunakan pada penelitian ini secara simultan
bepengaruh signifikan terhadap variabel terikat.
2. Uji t (Uji Parsial)
Uji t statistik digunakan untuk mengetahui apakah koefisien masing-
masing variabel bebas (pendapatan per kapita negara tujuan, jarak ekonomi, nilai
tukar riil rupiah terhadap dollar Amerika Serikat, harga ekspor ikan tuna
Indonesia ke pasar Uni Eropa, populasi negara tujuan, produksi tuna Indonesia
dan dummy NTMs (SPS dan TBT)) secara parsial (individu) memberikan
pengaruh yang signifikan terhadap variabel terikat (volume ekspor ikan tuna
Indonesia ke pasar Uni Eropa).
Jika melihat nilai signifikansi per variabel berdasarkan nilai probabilitas t
(P-value)nya, maka variabel independen yang berpengaruh signifikan secara
parsial terhadap variabel dependen berdasarkan Tabel 17 adalah variabel PDB per
90
kapita, harga ekspor, populasi, produksi, kurs riil dan dummy SPS. Adapun nilai
probabilitas variabel PDB per kapita adalah 0,047 < 0,05, variabel harga adalah
0,015 < 0,05, variabel kurs riil adalah 0,022 < 0,05, variabel populasi adalah 0,004
< 0,05, variabel produksi adalah 0,013 < 0,05 dan variabel dummy NTMs (SPS)
adalah 0,006 < 0,05. Hal ini menunjukan bahwa variabel PDB per kapita, harga,
kurs rill, populasi, produksi dan dummy NTMs (SPS) berpengaruh signifikan
secara parsial terhadap volume ekspor ikan tuna Indonesia ke pasar Uni Eropa.
Sedangkan variabel jarak ekonomi dan dummy NTMs (TBT) tidak berpengaruh
signifikan secara parsial terhadap volume ekspor ikan tuna Indoneisia ke Uni
Eropa. Hal tersebut dikarenakan nilai probabilitas t (P-value)nya lebih tinggi dari
taraf signifikansi 5%, adapun nilai probabilitas variabel jarak ekonomi adalah
0,081 > 0,05 dan variabel dummy NTMs (TBT) adalah 0,910 > 0,05.
3. Koefisien Determinasi (R2)
Koefisien Determinan (R²) pada intinya mengukur seberapa jauh
kemampuan model dalam menerangkan variasi variabel dependen. Dimana nilai
koefisien determinasi adalah antara nol sampai satu (0 ≤ R2
≤ 1). Jika melihat
Tabel 17, maka dapat diketahui bahwa nilai Adjusted R-squared pada model
estimasi adalah sebesar 0,6632. Nilai ini menunjukan bahwa variabel PDB per
kapita negara tujuan, jarak ekonomi, harga ekspor tuna Indonesia, kurs riil rupiah
terhadap dollar Amerika, populasi negara tujuan, produksi tuna Indonesia, serta
dummy NTMs (SPS dan TBT) secara keseluruhan mampu menjelaskan variabel
dependen volume ekspor ikan tuna Indonesia ke Uni Eropa sebesar 66,32%,
91
sedangkan sisanya sebesar 33,68% dijelaskan oleh variabel lain yang tidak
termasuk dalam model persamaan penelitian ini.
5.2.4. Interpretasi Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Volume Ekspor Ikan
Tuna Indonesia ke Pasar Uni Eropa
1. PDB per Kapita Negara Importir
Variabel PDB per Kapita Negara Importir memiliki nilai probabilitas
sebesar 0,047 (α < 0,05) dan koefisien sebesar 8,48888 (β1). Artinya PDB per
kapita negara importir berpengaruh secara positif dan signifikan terhadap volume
ekspor ikan tuna Indonesia. Dengan asumsi variabel lain konstan, peningkatan 1
persen PDB per kapita negara importir akan meningkatkan 8,48888 persen
volume ekspor ikan tuna Indonesia ke pasar Uni Eropa. Hal ini sesuai dengan
hipotesis dalam penelitian (H1, terbukti), jika terjadi peningkatan PDB per kapita
di negara importir maka akan berpengaruh terhadap meningkatnya volume ekspor
ikan tuna Indonesia ke negara tersebut.
Hal ini juga sejalan dengan penelitian yang pernah dilakukan oleh
Doumbe dan Belinga (2015), dimana mereka menggunakan variabel PDB per
kapita negara-negara di Uni Eropa untuk melihat pengaruh ukuran ekonomi suatu
negara terhadap perdagangan bilateral dengan Negara Kamerun. Hasil
penelitiannya juga menyebutkan bahwa PDB per kapita negara-negara di Uni
Eropa berpengaruh secara positif dan signifikan terhadap perdagangan bilateral
dengan Negara Kamerun. Begitu juga dengan penelitian Dilanchiev (2012) yang
menjelaskan bahwa semakin besar ukuran suatu negara maka semakin besar
kemampuan negara tersebut dalam melakukan perdagangan ekspor dan impor
92
dengan negara lain. Hal ini tentunya sudah sesuai dengan hipotesis pada penelitian
ini, dimana PDB per kapita negara tujuan di Uni Eropa berpengaruh positif dan
signifikan terhadap volume ekspor ikan tuna Indonesia. Sehingga dapat dikatakan
bahwa PDB per kapita mampu menggambarkan kemampuan daya beli negara
tujuan terhadap barang dan jasa yang diimpor dari negara lain, apabila PDB per
kapita negara tujuan tinggi maka akan mengakibatkan peningkatan terhadap
barang dan jasa yang diimpor.
Sayangnya Indonesia pernah mengalami penurunan volume ekspor ke
negara-negara di Uni Eropa pada tahun 2010. Terjadinya krisis ekonomi di Eropa
pada tahun tersebut menyebabkan PDB per kapita negara-negara di Uni Eropa
juga menurun, sehingga berdampak pula pada turunnya volume ekspor tuna
Indonesia ke Uni Eropa. Hal tersebut dikarenakan daya beli masyarakatnya yang
juga ikut menurun. Padahal sebelum krisis ekonomi melanda Eropa, total volume
ekspor tuna di tahun 2009 yakni sebanyak 13.411 ton. Kemudian turun di tahun
2010 menjadi 10.469 ton. Padahal ikan tuna merupakan komoditi andalan ekspor
Indonesia ke negara-negara di Uni Eropa. Oleh sebab itu untuk melihat pengaruh
PDB per kapita negara importir terhadap volume ekspor tuna Indonesia ke negara
tersebut dapat dilihat sebagaimana pada Tabel 18 dibawah ini.
93
Tabel 18. Hubungan PDB per Kapita terhadap Volume Ekspor Tuna Indonesia
ke Pasar Uni Eropa Periode 2009-2015
Thn
Negara Importir
Belanda Belgia Italia Jerman UK
PDBC Vol.
Eks PDBC
Vol.
Eks PDBC
Vol.
Eks PDBC
Vol.
Eks PDBC
Vol.
Eks
2009 51.900 1.185 44.881 1.541 36.977 623 41.733 8.885 38.010 1.176
2010 50.338 481 44.380 1.097 35.849 448 41.786 6.727 38.710 1.716
2011 53.541 1.470 47.703 2.060 38.335 776 46.810 11.515 41.240 3.364
2012 49.475 1.180 44.741 1.792 34.814 707 44.065 6.079 41.538 6.228
2013 51.574 1.167 46.510 1.720 35.370 3.079 46.531 6.311 42.407 8.557
2014 52.157 1.414 47.439 402 35.397 4.263 47.903 4.240 46.412 8.694
2015 44.293 213 40.357 578 30.049 6.229 41.177 1.639 43.930 6.374
Sumber : World Bank dan UN Comtrade, 2017 (Diolah) Keterangan : PDB per Kapita/ PDBC (000 USD) dan Volume Ekspor Tuna (ton)
Berdasarkan Tabel 18 di atas dapat dikatakan bahwa tinggi rendahnya nilai
PDB per kapita negara importir berpengaruh terhadap banyaknya volume ekspor
ikan tuna ke negara tersebut. Meskipun terjadi penurunan volume ekspor tuna di
tahun 2010, namun peningkatan PDB per kapita di tahun 2011 turut berpengaruh
pula terhadap meningkatnya volume ekspor tuna ke Uni Eropa di tahun tersebut.
Dimana pada tahun 2011 volume ekspor ikan tuna ke Uni Eropa meningkat
menjadi 19.186 ton, yang awalnya volume ekspor ikan tuna Indonesia ke Uni
Eropa hanya 10.469 ton. Hal ini jelas membuktikan bahwa PDB per kapita
mampu menggambarkan daya beli masyarakat suatu negara. Pada kasus ini
dibuktikan dengan meningkatnya volume ekspor tuna Indonesia ke pasar Uni
Eropa setelah terjadinya krisis ekonomi yang melanda di tahun 2010.
2. Jarak Ekonomi
Variabel Jarak Ekonomi memiliki nilai probabilitas sebesar 0,081 (α >
0,05) dan koefisien sebesar -10,33751 (β2). Artinya jarak ekonomi berpengaruh
negatif namun tidak signifikan terhadap volume ekspor ikan tuna Indonesia ke
Uni Eropa. Dengan asumsi variabel lain konstan, penambahan 1 persen jarak
94
ekonomi antar Indonesia dengan negara importir belum tentu akan menurunkan
volume ekspor tuna Indonesia ke pasar Uni Eropa sebesar 10,33751 persen. Hal
ini jelas tidak sesuai dengan hipotesis dalam penelitian (H2, tidak terbukti),
dimana seharusnya semakin jauh jarak ekonomi antar Indonesia dengan negara
importir maka volume ekspor tuna ke negara tersebut juga akan menurun. Kondisi
ini ternyata juga tidak sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Li et al.
(2008), Dilanchiev (2012), Pradipta dan Firdaus (2014), serta Doumbe dan
Belinga (2015), yang menyimpulkan bahwa jarak ekonomi berpengaruh negatif
dan signifikan terhadap perdagangan. Meskipun demikian penelitian ini ternyata
sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Salam dan Nugroho (2016), dalam
penelitiannya mereka menjelaskan bahwa jarak ekonomi bukanlah penentu
dominan suatu negara melakukan ekspor atau impor, karena jarak ekonomi hanya
mempengaruhi sebagian kecil biaya ekspor maupun impor. Dalam penelitian ini
hubungan jarak ekonomi negara Indonesia dengan negara importir terhadap
volume ekspor tuna dapat dilihat sebagaimana pada Gambar 13 berikut ini.
Gambar 13. Hubungan Jarak Ekonomi terhadap Volume Ekspor Tuna Indonesia
ke Pasar Uni Eropa Sumber: CEPII, World Bank dan UN Comtrade, 2017 (Diolah)
0
2.000
4.000
6.000
8.000
Belanda Belgia Italia Jerman UK
Jarak Ekonomi (Km)
Rata-Rata Volume Ekspor Tuna (Ton)
95
Gambar 13 di atas menunjukkan bahwa jarak ekonomi tidak selalu
berpengaruh signifikan terhadap tinggi rendahnya volume ekspor tuna Indonesia
ke Uni Eropa. Berdasarkan Gambar 13 di atas dapat diketahui bahwa negara Italia
adalah negara yang menduduki posisi pertama sebagai negara tujuan ekspor tuna
yang memiliki jarak terdekat dengan Indonesia dengan rata-rata jarak ekonomi
sebesar 1.054 km. Sedangkan, negara UK dan Jerman menduduki posisi kedua
dan ketiga setelah Italia yang memiliki jarak ekonomi terdekat dengan Indonesia.
Adapun masing-masing nilai rata-rata jarak ekonomi negara-negara tersebut
adalah sebesar 1.438 km dan 1.815 km. Meskipun negara Italia adalah negara
yang memiliki jarak terdekat dengan Indonesia, namun hal tersebut tidak turut
serta mempengaruhi tingginya volume ekspor tuna ke negara tersebut. Rata-rata
volume ekspor tuna Indonesia ke negara Italia hanya sebesar 2.304 ton/tahun.
Berbeda halnya dengan negara UK dan Jerman yang memiliki jarak lebih jauh
dengan Indonesia dibandingkan negara Italia, namun ternyata rata-rata volume
ekspor tuna Indonesia ke negara UK dan Jerman jauh lebih tinggi dengan masing-
masing nilai rata-rata volume ekspornya yakni sebesar 5.159 ton/tahun dan 6.485
ton/tahun. Kondisi tersebut jelas membuktikan bahwa jarak ekonomi tidak selalu
mempengaruhi tinggi rendahnya volume ekspor tuna Indonesia ke negara-negara
di Uni Eropa. Hal tersebut dikarenakan kemajuan teknologi yang berkembang
pesat saat ini tentunya akan berdampak pada biaya pemindahan barang yang akan
menjadi semakin murah dan cepat secara berkelanjutan.
96
3. Kurs Riil
Variabel Kurs Riil memiliki nilai probabilitas sebesar 0,022 (α < 0,05) dan
koefisien sebesar 8,44342 (β3). Artinya kurs riil berpengaruh signifikan dan positif
terhadap volume ekspor ikan tuna Indonesia. Dengan asumsi variabel lain
konstan, penguatan nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika sebesar 1 Rp/USD ,
maka akan meningkatkan 8,44342 persen volume ekspor ikan tuna Indonesia ke
pasar Uni Eropa. Kondisi ini jelas berlawanan dengan hipotesis dan teori ekonomi
yang menjelaskan bahwa kurs riil seharusnya berpengaruh negatif terhadap
volume ekspor komoditi tuna Indonesia (H3, tidak terbukti). Hasil penelitian ini
juga tidak sesuai dengan penelitian Aditama dkk. (2015) serta Pradipta dan
Firdaus (2014) yang membuktikan bahwa kurs riil berpengaruh negatif dan
signifikan terhadap perdagangan internasional.
Hubungan nilai tukar riil rupiah terhadap volume ekspor tuna Indonesia ke
negara-negara importir di Uni Eropa cenderung memperlihatkan arah yang
sejalan, dalam arti penguatan nilai tukar riil rupiah terhadap dollar Amerika justru
tidak menyebabkan volume ekspor tuna menjadi menurun ke pasar Uni Eropa
melainkan volume ekspor tuna ke negara Uni Eropa justru mengalami
peningkatan. Terjadinya peningkatan volume ekspor tuna di Uni Eropa ketika
nilai kurs riil rupiah menguat diduga karena terjadi penurunan permintaan di
Amerika Serikat. Hal tersebut menyebabkan kelebihan penawaran tuna Indonesia
ke pasar Internasional. Untuk mengatasi kondisi tersebut maka penawaran ini
dialihkan ke pasar Uni Eropa sebagai konsumen tuna Indonesia terbesar kedua
jika dilihat dari perbandingan volume ekspornya. Oleh karena itu volume ekspor
97
tuna ke Uni Eropa ketika nilai kurs riil rupiah menguat jauh lebih tinggi
dibandingkan ke Amerika Serikat. Hal tersebut dapat dilihat sebagaimana pada
Gambar 14 berikut ini.
Gambar 14. Volume Ekspor Tuna Indonesia ke Pasar Uni Eropa dan Amerika
Serikat Periode 2009-2015 (Ton) Sumber: UNCTAD, World Bank dan UN Comtrade, 2017 (Diolah)
4. Harga Ekspor Tuna Indonesia
Variabel Harga Ekspor Tuna Indonesia memiliki nilai probabilitas sebesar
0,015 (α < 0,05) dan koefisien sebesar 3,686025 (β4). Artinya harga ekspor
berpengaruh signifikan dan positif terhadap volume ekspor ikan tuna Indonesia ke
Uni Eropa. Dengan asumsi variabel lain konstan, peningkatan 1 persen harga
ekspor ikan tuna Indonesia akan meningkatkan 3,686025 persen volume ekspor
ikan tuna Indonesia ke pasar Uni Eropa. Kondisi ini jelas berlawanan dengan
hipotesis dan teori ekonomi yang menjelaskan bahwa harga ekspor seharusnya
berpengaruh negatif terhadap volume ekspor komoditi tuna Indonesia (H4, tidak
terbukti). Penelitian Pradipta dan Firdaus (2014) membuktikan bahwa harga
ekspor berpengaruh negatif dan signifikan terhadap volume ekspor buah-buahan
ke negara tujuan ekspor. Dalam hukum permintaan juga disebutkan bahwa
0
10000
20000
30000
40000
2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015
Volu
me E
ksp
or (
ton
)
Amerika Serikat UE
98
“Semakin tinggi harga, maka barang yang diminta juga akan semakin sedikit”, hal
tersebut dapat dilihat sebagaimana pada kurva permintaan dibawah ini (Gambar
15).
Gambar 15. Kurva Permintaan
Sumber: Downey dan Erickson (1988: 115)
Meskipun demikian, hasil yang diperoleh pada penelitian ini ternyata
sejalan dengan penelitian Setiawan dan Sugiarti (2016), yang menyatakan bahwa
harga ekspor kopi berpengaruh positif terhadap peningkatan volume ekspor kopi
ke Malaysia. Mereka menjelaskan bahwa peningkatan harga ekspor akan
mendorong produsen domestik untuk meningkatkan volume ekspornya guna
menghasilkan keuntungan yang lebih besar. Dalam hal ini mereka melihat dari
sudut pandang produsen, sama halnya dengan penelitian ini yang menggunakan
harga ekspor berdasarkan hasil pembagian dari nilai ekspor tuna dengan volume
ekspor tuna Indonesia ke Uni Eropa. Sehingga sesuai dengan hukum penawaran
yang menyebutkan apabila harga suatu komoditi naik maka barang yang
ditawarkan juga akan naik. Hal tersebut membuktikan bahwa jika terjadi kenaikan
harga ekspor pada tuna Indonesia ke Uni Eropa maka produsen domestik juga
akan meningkatkan volume ekspornya karena menganggap hal tersebut sebagai
peluang untuk meningkatkan keuntungan. Adapun hubungan harga ekspor dengan
99
volume ekspor tuna Indonesia ke pasar Uni Eropa dapat dilihat sebagaimana pada
Gambar 16 berikut ini.
Gambar 16. Hubungan Harga Ekspor Tuna terhadap Volume Ekspor Tuna
Indonesia ke Pasar Uni Eropa Sumber: UN Comtrade, 2017 (Diolah)
Berdasarkan gambar di atas dapat diketahui bahwa negara Italia adalah
negara importir terbesar ketiga setelah Jerman dan UK yang mengimpor tuna
Indonesia selama periode 2009-2015. Dimana rata-rata volume ekspor tuna
Indonesia ke negara tersebut adalah sebanyak 2.304 ton/tahun dengan rata-rata
harga ekspor tuna Indonesia sebesar USD 4.335/tahun. Harga ini tentunya lebih
tinggi jika dibandingkan dengan harga ekspor tuna Indonesia ke negara Belgia.
Dimana rata-rata volume ekspor tuna Indonesia ke negara tersebut adalah
sebanyak 1.313 ton/tahun dengan rata-rata harga ekspor tuna sebesar USD
3.946/tahun. Hal ini jelas membuktikan bahwa tingginya harga ekspor tuna ke
beberapa negara di Uni Eropa justru menyebabkan tingkat penawaran tuna oleh
eksportir Indonesia meningkat, artinya kondisi tersebut akan meningkatkan
jumlah volume ekspor tuna ke negara tersebut. Hal tersebut juga dapat disebabkan
karena tingkat kebutuhan masyarakatnya yang memang tinggi akan produk tuna.
0
1.000
2.000
3.000
4.000
5.000
6.000
7.000
Belanda Belgia Italia Jerman UK
Rata-Rata Harga
Ekspor (USD)
Rata-Rata Volume
Ekspor Tuna (Ton)
100
Sehingga tinggi rendahnya harga ekspor tuna Indonesia ke negara tersebut tidak
akan menyebabkan daya beli masyarakat negara tersebut berkurang terhadap tuna
Indonesia. Selain itu tinggi rendahnya harga suatu komoditi itu sendiri ditentukan
berdasarkan harga internasional, sehingga jika harga tuna dunia meningkat maka
hal tersebut juga akan berdampak pada tingginya harga tuna di pasar Uni Eropa.
5. Populasi Negara Importir
Variabel Populasi memiliki nilai probabilitas sebesar 0,004 (α < 0,05) dan
koefisien sebesar 54,53451 (β5). Artinya populasi negara importir berpengaruh
secara positif dan signifikan terhadap volume ekspor ikan tuna Indonesia. Dengan
asumsi variabel lain konstan, peningkatan 1 persen populasi di negara importir
akan meningkatkan 54,53451 persen volume ekspor ikan tuna Indonesia ke pasar
Uni Eropa. Hal ini sesuai dengan hipotesis dalam penelitian (H5, terbukti), dimana
apabila ada peningkatan jumlah populasi di negara importir maka akan
menyebabkan bertambahnya volume ekspor ikan tuna Indonesia ke negara
tersebut. Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Sitorus (2009) dan
Dahar (2014) yang menyatakan bahwa populasi negara importir berpengaruh
positif dan signifikan terhadap volume ekspor.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Sitorus (2009), terbukti bahwa
pertambahan populasi pada sisi permintaan akan meningkatan permintaan
komoditi ekspor dari negara importir. Maka jumlah komoditi yang
diperdagangkan antar kedua negara semakin besar. Dahar (2014) juga
menyebutkan bahwa adanya pertambahan populasi pada negara pengimpor juga
akan meningkatkan jumlah komoditi yang diekspor karena adanya pertambahan
101
konsumsi di negara tersebut. Oleh sebab itu, meningkatnya populasi negara
importir akan meningkatkan kebutuhan dan konsumsinya. Terlebih jika produksi
dalam negeri negara tujuan tidak mencukupi, maka impor merupakan salah satu
cara untuk memenuhi kebutuhan penduduknya. Hal ini juga terjadi pada negara-
negara di Uni Eropa. Tingginya tingkat populasi di negara tersebut turut
berpengaruh terhadap tingginya volume ekspor ikan tuna Indonesia ke Uni Eropa.
Adapun hubungan populasi negara importir dengan volume ekspor tuna Indonesia
ke pasar Uni Eropa dapat dilihat sebagaimana pada Gambar 17 berikut ini.
Gambar 17. Hubungan Populasi Negara Importir terhadap Volume Ekspor Tuna
Indonesia ke Pasar Uni Eropa Sumber: World Bank dan UN Comtrade (2017)
Berdasarkan gambar di atas dapat diketahui bahwa Jerman menempati
urutan pertama dengan rata-rata jumlah penduduk selama periode 2009-2015
yakni sebanyak 81.099.251 jiwa. Disusul oleh United Kingdom dengan rata-rata
jumlah penduduk sebanyak 63.696.014 jiwa. Dengan banyaknya jumlah
penduduk di kedua negara tersebut, selama periode 2009-2015 Indonesia telah
mengekspor ikan tuna sebanyak 6.653 ton/tahun ke Jerman dan 5.159 ton/tahun
16.743.312 11.076.306
59.863.660
81.099.251
63.696.014
1.016 1.313 2.304 6.485 5.159 0
10.000.000
20.000.000
30.000.000
40.000.000
50.000.000
60.000.000
70.000.000
80.000.000
90.000.000
Belanda Belgia Italia Jerman UK
Rata-Rata Populasi (Jiwa)
Rata-Rata Volume Ekspor Tuna (Ton)
102
ke United Kingdom. Hal ini jelas membuktikan bahwa tingkat populasi negara
tujuan sangat berpengaruh terhadap tinggi rendahnya volume ekspor ikan tuna
Indonesia ke Uni Eropa.
6. Produksi Tuna Indonesia
Variabel Produksi memiliki nilai probabilitas sebesar 0,013 (α < 0,05) dan
koefisien sebesar -16,04152 (β6). Artinya produksi tuna berpengaruh negatif dan
signifikan terhadap volume ekspor ikan tuna Indonesia ke Uni Eropa. Dengan
asumsi variabel lain konstan, peningkatan 1 persen produksi tuna Indonesia akan
menurunkan 16,04152 persen volume ekspor ikan tuna Indonesia ke pasar Uni
Eropa. Kondisi ini jelas berlawanan dengan hipotesis (H6, tidak terbukti).
Penelitian Putra (2017) serta Setiawan dan Sugiarti (2016) membuktikan bahwa
produksi berpengaruh positif dan signifikan.
Meskipun demikian, hasil penelitian ini ternyata sejalan dengan penelitian
Huda dan Widodo (2017), mereka menyimpulkan bahwa produksi memiliki
pengaruh negatif dan signifikan. Dalam penelitiannya mereka berasumsi bahwa
kenaikan produksi kelapa sawit yang terjadi pada periode sebelumnya, belum
tentu mendorong kenaikan volume ekspor di tahun tersebut. Dalam arti ada waktu
penyesuaian untuk mendorong ekspor. Kondisi tersebut juga dapat dilihat pada
hubungan produksi tuna Indonesia terhadap volume ekspor tuna Indonesia ke Uni
Eropa sebagaimana pada Gambar 18 berikut ini.
103
Gambar 18. Hubungan Produksi Tuna Indonesia terhadap Volume Ekspor Tuna
Indonesia ke Pasar Uni Eropa
Sumber: Fishstat (FAO) dan UN Comtrade, 2017 (Diolah)
Berdasarkan gambar di atas dapat diketahui bahwa volume ekspor
tertinggi terjadi di tahun 2013 yakni sebanyak 36.241 ton. Kenaikan volume
ekspor yang terjadi di tahun tersebut bisa saja terjadi karena adanya penambahan
volume tuna dari produksi sebelumnya. Jika melihat produksi tuna Indonesia di
tahun 2012, total produksi di tahun tersebut jauh lebih tinggi dibandingkan tahun
2011. Namun tingginya produksi tuna di tahun 2012 tidak turut serta
meningkatkan volume ekspor tuna ke Uni Eropa, justru volume ekspor tuna tahun
2012 jauh lebih rendah dibandingkan tahun 2011.
Oleh karena itu dalam penelitian ini dapat dikatakan bahwa produksi tuna
pada periode sebelumnya bisa saja meningkatkan volume ekspor tuna pada saat
ini, karena meskipun produksi naik saat ini belum tentu berdampak pada naiknya
volume ekspor tuna saat ini juga. Selain itu, hal yang diduga juga berpengaruh
terhadap turunnya volume ekspor tuna Indonesia ke pasar Uni Eropa seperti yang
terjadi di tahun 2012 adalah tujuan ekspor tuna Indonesia yang tidak hanya
dilakukan ke negara-negara Uni Eropa. Diduga pada periode tersebut ada
738.071 700.136 741.867
782.541
909.547 858.690
813.909
14.101 11.419 28.128 24.903 36.241 27.946 21.623
2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015
Total Produksi Tuna (Ton) Volume Ekspor Tuna (Ton)
104
beberapa negara yang meningkatkan volume impor tuna Indonesia ketika
produksi tuna domestik meningkat, sehingga mengakibatkan volume ekspor tuna
Indonesia ke pasar Uni Eropa tidak turut serta mengalami peningkatan.
7. Dummy NTMs (SPS dan TBT)
Variabel Dummy NTMs (SPS dan TBT) dalam model estimasi digunakan
untuk menunjukkan dua kondisi yang berbeda yakni kondisi saat tidak adanya
pemberlakuan kebijakan NTMs (SPS dan TBT) dan saat adanya pemberlakuan
kebijakan NTMs (SPS dan TBT). Berdasarkan hasil analisis regresi data panel
yang telah dilakukan, variabel dummy NTMs (SPS) memiliki nilai probabilitas
sebesar 0,006 (α < 0,05) dan koefisien sebesar -2,960693 (β7). Artinya dummy
NTMs (SPS) berpengaruh negatif dan signifikan terhadap volume ekspor ikan
tuna Indonesia. Dengan asumsi variabel lain konstan, adanya pemberlakuan
NTMs (SPS) terhadap ekspor tuna di negara importir akan menurunkan 2,960693
persen volume ekspor ikan tuna Indonesia ke pasar Uni Eropa. Kondisi ini jelas
sesuai dengan hipotesis, bahwa adanya pemberlakuan kebijakan non-tarif (SPS)
akan menyebabkan turunnya volume ekspor tuna Indonesia ke pasar Uni Eropa
(H7, terbukti). Adapun hubungan pemberlakuan NTMs berupa SPS terhadap
volume ekspor tuna ke pasar Uni Eropa dapat dilihat sebagaimana pada Gambar
19 dibawah ini.
105
Gambar 19. Hubungan Pemberlakuan NTMs (SPS) terhadap Volume Ekspor
Tuna Indonesia ke Pasar Uni Eropa Sumber: WTO dan UN Comtrade, 2017 (Diolah)
Berdasarkan gambar di atas dapat diketahui bahwa telah terjadi penurunan
volume ekspor di tahun 2014 dan 2015. Tejadinya hal tersebut salah satunya
disebabkan oleh adanya pemberlakuan NTMs berupa SPS yang diberlakukan oleh
seluruh negara yang tergabung dalam perserikatan Uni Eropa. Kondisi tersebut
ternyata juga sejalan dengan penelitian Dahar (2014), Ia membuktikan bahwa
peraturan SPS berpengaruh negatif terhadap perdagangan produk hortikultura.
Adanya pemberlakuan kebijakan non-tarif seperti SPS jelas akan berdampak pada
turunnya volume ekspor tuna Indonesia ke pasar Uni Eropa. Kondisi sektor
perikanan di Indonesia sendiri hingga saat ini masih didominasi oleh nelayan kecil
yang umumnya tingkat kesadarannya masih kurang terhadap kebersihan. Bahkan
bisa saja informasi terkait adanya pemberlakuan non-tarif juga tidak seluruhnya
tersampaikan kepada seluruh pelaku ekspor. Sehingga hingga saat ini masih
ditemukan adanya produk tuna yang ditolak di negara importir akibat tidak sesuai
dengan peraturan yang ditetapkan. Dalam hal ini peran pemerintah sangatlah
penting untuk membantu memajukan produk tuna Indonesia yang berdaya saing.
14.101 11.419
28.128 24.903
36.241
27.946
21.623
0 0 0 0 0 2 2 0
10.000
20.000
30.000
40.000
2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015
Volume Ekspor Tuna (Ton) SPS
106
Jika dibandingkan dengan dummy NTMs (TBT), variabel tersebut
memiliki nilai probabilitas sebesar 0,910 (α > 0,05) dan koefisien sebesar
0,0507197 (β8). Artinya dummy NTMs (TBT) tidak berpengaruh signifikan dan
positif terhadap volume ekspor ikan tuna Indonesia. Dengan asumsi variabel lain
konstan, adanya pemberlakuan NTMs (TBT) terhadap ekspor tuna di negara
importir akan menaikan 0,0507197 persen volume ekspor ikan tuna Indonesia ke
pasar Uni Eropa. Kondisi ini jelas tidak sesuai dengan hipotesis penelitian, adanya
pemberlakuan kebijakan non-tarif (TBT) seharusnya menyebabkan volume ekspor
tuna Indonesia ke pasar Uni Eropa menurun. Nilai koefisien yang positif pada
variabel dummy TBT ternyata juga sejalan dengan penelitian Shah et al. (2014).
Menurut penelitiannya, adanya regulasi teknis telah mendorong pertukaran barang
dengan meningkatkan kompatibilitas dan kegunaan produk. Selain itu, kebijakan
TBT membantu meningkatkan kesejahteraan konsumen melalui implementasi
standar keamanan dan keamanan pangan. Dalam hal ini, adanya pemberlakuan
non-tarif berupa TBT harus dianggap sebagai tantangan bagi para produsen tuna
Indonesia untuk memperbaiki segala hal baik berupa cara penangkapan, proses
produksi, sampai proses distribusi tuna Indonesia ke pasar Uni Eropa. Jika hal
tersebut dapat dilakukan maka akan berdampak pada meningkatnya volume
ekspor tuna ke Uni Eropa. Sayangnya produk perikanan di Indonesia hingga saat
ini masih banyak yang belum mendapatkan sertifikasi internasional The Marine
Stewardship Council (MSC). Sertifikasi ini tentunya sangat penting bagi para
produsen khususnya yang bergerak disektor perikanan, karena kepemilikan
sertifikat ini akan berdampak pada mudahnya akses pasar ekspor produk
107
perikanan, bahkan harga jual produk akan lebih tinggi dari sebelumnya serta
konsumen luar negeri tidak ragu lagi untuk mengkonsumsi produk perikanan
Indonesia. Selain itu, kepemilikan sertifikat ini juga akan berdampak pada
peningkatan dayasaing produk tuna Indonesia di pasar Uni Eropa.
Adanya peraturan NTMs (Non-Tariff Measures) berupa SPS dan TBT
sendiri dianggap memiliki efek ekonomi yang penting dalam perdagangan
internasional. Kementrian Kelautan dan Perikanan (KKP) Indonesia juga hingga
saat ini masih terus berupaya untuk mendorong produsen tuna dalam negeri dalam
hal pemenuhan standar dan aturan yang diberlakukan oleh negara tujuan ekspor
tuna Indonesia khususnya di Uni Eropa. Selain untuk meningkatkan volume
ekspor ikan tuna Indonesia di pasar dunia, tentu juga untuk membangun
kepercayaan konsumen luar negeri terhadap produk perikanan Indonesia.
108
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil dan pembahasan dalam penelitian dengan judul
“Analisis Hambatan Non-Tarif dan Faktor-Faktor Lain yang Mempengaruhi
Volume Ekspor Tuna Indonesia ke Pasar Uni Eropa” dalam kurun waktu 2009-
2015 dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut:
1. Kebijakan NTMs yang paling sering diberlakukan oleh pemerintahan Uni
Eropa terhadap produk tuna selama periode 2009-2015 adalah kebijakan SPS
(Sanitary and Phitosanitary) yakni mengenai keamanan pangan dan
kesehatan hewan. Sedangkan kebijakan TBT (Technical Barrier to Trade)
yang sering diberlakukan oleh Uni Eropa terhadap produk tuna yakni terkait
pelabelan pada kemasan.
2. Hasil penelitian ini menunjukkan nilai koefisien determinasi (R2) sebesar
0,6632. Artinya bahwa volume eskpor ikan tuna Indonesia ke pasar Uni
Eropa mampu dijelaskan oleh variabel-variabel bebas (PDB per kapita negara
tujuan, jarak ekonomi, harga ekspor tuna Indonesia, kurs rill rupiah terhadap
dollar Amerika, populasi negara tujuan, produksi tuna Indonesia, serta dummy
NTMs (SPS dan TBT)) sebesar 66,32% sedangkan 33,68% dijelaskan oleh
variabel-variabel bebas lainnya. Hasil uji F juga menunjukkan bahwa secara
simultan (bersama-sama) variabel bebas yang diteliti memiliki pengaruh yang
signifikan terhadap variabel terikatnya. Adapun faktor-faktor yang
berpengruh signifikan terhadap volume ekspor ikan tuna Indonesia di pasar
109
Uni Eropa adalah PDB per kapita negara tujuan, harga ekspor tuna Indonesia,
populasi negara tujuan, kurs rill rupiah terhadap dollar Amerika, produksi
tuna Indonesia dan dummy NTMs SPS. Sedangkan jarak ekonomi dan dummy
NTMs TBT tidak berpengaruh signifikan.
6.2. Saran
Berdasarkan hasil analisis dalam penelitian tentang “Analisis Hambatan
Non-Tarif dan Faktor-Faktor Lain yang Mempengaruhi Volume Ekspor Tuna
Indonesia ke Pasar Uni Eropa”, maka beberapa saran yang dapat diberikan adalah
sebagai berikut:
1. Terkait adanya pemberlakuan NTMs berupa kebijakan SPS untuk produk
perikanan di pasar Uni Eropa, diharapkan seluruh nelayan tuna di Indonesia
terus mengedepankan praktik penangkapan ikan yang ramah lingkungan dan
baik bagi ekosistem bahari secara menyeluruh demi terciptanya produk
pangan yang aman baik bagi manusia, hewan maupun lingkungan.
2. Adanya penerapan kebijakan TBT untuk produk perikanan di pasar Uni
Eropa, sehingga para eksportir dan produsen tuna diharapkan segera memiliki
atau melengkapi sertifikat yang dianggap penting untuk memudahkan ekspor
produk perikanan ke Uni Eropa.
3. Penelitian selanjutnya diharapkan bisa mengukur pemberlakuan NTMs
menggunakan pendekatan inventory serta menambahkan variabel-variabel
lain untuk penelitian-penelitian terkait perdagangan ikan tuna. Adapun
variabel-variabel yang dipilih adalah variabel-variabel yang berkaitan dan
diduga berpengaruh terhadap perdagangan internasional, contohnya harga riil.
110
Penelitian selanjutnya juga bisa menambah tahun penelitian serta memperluas
cakupan negara yang akan diteliti. Sehingga nantinya mampu memberikan
informasi yang lebih banyak lagi bagi pihak-pihak yang berkepentingan.
111
DAFTAR PUSTAKA
Aditama, Lalan, Edy Yulianto dan Wilopo. 2015. Pengaruh Produksi dan Nilai
Tukar Terhadap Volume Ekspor Jahe Indonesia ke Jepang [Jurnal].
Malang: Fakultas Administrasi BisnisUniversitas Brawijaya 25(1): 1-9.
Astuti, Alfira Mulya. 2010. Fixed Effect Model pada Regresi Data Panel [Jurnal].
Mataram: IAIN Mataram 3(2): 134-145.
Atmadji, Eko. 2004. Analisis Impor Indonesia [Jurnal]. Yogyakarta: Fakultas
Ekonomi Universitas Islam Indonesia 9(1): 33-46.
Barata, Abram, Dian Novianto dan Andi Bahtiar. 2011. Sebaran Ikan Tuna
Berdasarkan Suhu dan Kedalaman di Samudra Hindia [Jurnal].
Purwokerto: Fakultas Ilmu Kelautan UNDIP 16(3): 165-170.
Basri, Faisal dan Haris Munandar. 2010. Dasar-Dasar Ekonomi Internasional.
Jakarta : Kencana Prenada Media Group.
Dahar, Darmiati. 2014. Analisis Dampak Kebijakan Non Tarif Terhadap Kinerja
Ekspor Hortikultura Indonesia ke Negara-Negara Asean +3 [Tesis].
Bogor: Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor.
Dahar, Darmiati, Rina O, Wiwiek R. 2014. Analisis Pemberlakuan Non Tariff
Measures (NTM) Pada Ekspor Hortikultura Indonesia ke ASEAN+3
[Jurnal]. Bandung: Bina Ekonomi 18(1): 98-116.
Daryanto. 2011. Sari Kuliah Manajemen Pemasaran. Bandung: PT. Sarana
Tutorial Nurani Sejahtera.
Dilanchiev, Azer. 2012. Empirical Analysis of Georgian Trade Pattern: Gravity
Model. Journal of Social Sciences 1(1): 75-78.
Doumbe, Eric dan Thierry Belinga. 2015. A Gravity Model Analysis for Trade
between Cameroon and Twenty-Eight European Union Countries.
Journal of Social Sciences 3(8): 114-122.
Downey, W David dan Steven P Erickson. 1988. Manajemen Agribisnis Edisi
Kedua. Jakarta: Erlangga.
Ghozali, Imam. 2006. Aplikasi Analisis Multivariate dengan Program SPSS.
Semarang: Badan penerbit Universitas Diponegoro.
Gujarati, Damodar N. 2003. Basic Econometrics. New York: McGraw-Hill.
112
Halwani, R Hendra. 2002. Ekonomi Internasional dan Globalisasi Ekonomi.
Jakarta: Ghalia Indonesia.
Huda, Eva dan Arif Widodo. 2017. Determinan dan Stabilitas Ekspor Crude Palm
Oil (CPO) Indonesia [Jurnal]. Yogyakarta: Fakultas Ekonomi dan
Bisnis UMY 20(1): 45-66.
Kementrian Kelautan dan Perikanan [KKP]. 2015. Kelautan dan Perikanan dalam
Angka Tahun 2015. Jakarta: Pusat Data, Statistik dan Informasi
Kementrian Kelautan dan Perikanan.
Kementrian Perdagangan [Kemendag].2011. Kajian Kebijakan Pengembangan
Diversifikasi Pasar dan Produk Ekspor. Jakarta: Pusat Kebijakan
Perdagangan luar Negeri Badan Pengkajian dan Pengembangan
Kebijakan Perdagangan.
. 2013. Market Brief: Produk Ikan Tuna dan Olahannya di
Pasar Jerman. Berlin: ITPC Berlin.
. 2014a. Market Brief: Peluang Usaha Produk Ikan Tuna
Olahan (HS 160414) di Italia. Milan: ITPC Milan.
. 2014b.Warta Ekspor: Ikan dan Produk Ikan. Jakarta:
Kemendag RI.
. 2015.Market Brief: Ikan Tuna. Busan: ITPC Busan.
Kotler, Philip dan Kevin Lane Keller. 2009. Manajemen Pemasaran Edisi Ke-12.
Jakarta: PT. Indeks.
Kristriana, Oktavina W. 2015. Analisis Dampak Non-Tariff Measures (NTMs)
Terhadap Ekspor Ikan Tuna Indonesia Ke Negara Tujuan Utama
[Skripsi]. Bogor: Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian
Bogor.
Li, Kunwang, Ligang Song dan Xingjun Zhao. 2008. Component Trade and
China’s Global Economic Integration. World Institute for Development
Economics Research 101(2): 1-25.
Mankiw, N Gregory, Euston Quah, dan Peter Wilson. 2012. Pengantar Ekonomi
Makro. Jakarta: Salemba Empat.
Mayer, Thierry dan Soledad Zignago. 2011. Notes on CEPII’S distance measures:
The GeoDist database. CEPII, WP 25(1): 1-47.
Murni, Asfia. 2009. Ekonomika Makro. Bandung: PT. Refika Aditama.
113
Pradipta, Amalia. 2014. Posisi Dayasaing dan Faktor-Faktor yang Memengaruhi
Ekspor Buah-Buahan Indonesia di Dunia dan Negara Tujuan [Skripsi].
Bogor: Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor.
Pradipta, Amalia dan Muhammad Firdaus. 2014. Posisi Dayasaing dan Faktor-
Faktor yang Memengaruhi Ekspor Buah-Buahan Indonesia [Jurnal].
Bogor: Fakultas Manajemen & Agribisnis Institut Pertanian Bogor
11(2): 129-143.
Putra, Eky Suwarno. 2017. Analisis Pengaruh Produksi, Harga dan Kurs
Terhadap Ekspor Kopi Indonesia ke Amerika Serikat [Skripsi].
Purwokerto: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Diponegoro
Semarang.
Rahardja, Prathama dan Mandala Manurung. 2008. Pengantar Ilmu Ekonomi
(Mikroekonomi & Makroekonomi). Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas
Ekonomi Universitas Indonesia.
Rahmah, Khairunnisa Nur. 2016. Trade Flows Analysis and The Role of
Standards on Canned Tuna Trade [Tesis]. Bogor: Pasca Sarjana Institut
Pertanian Bogor.
Rastikarany, Hikmah. 2008. Analisis Pengaruh Kebijakan Tarif dan Non-Tarif
Uni Eropa Terhadap Ekspor Tuna Indonesia [Skripsi]. Bogor: Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor.
Salam, Aziza R dan Rino A Nugroho. 2016. Dampak Implementasi
Environmental Goods (Egs) List Terhadap Kinerja Perdagangan
Indonesia [Jurnal]. Jakarta: Pusat Kebijakan Kerjasama Perdagangan
Internasional Badan Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan
Perdagangan 12(2): 113-130.
Salvatore, Dominick. 1997. Ekonomi Internasional. Jakarta: Erlangga.
Sari, Ayu Renita. 2015. Analisis Pengaruh Non-Tariff Measures Terhadap
Ekspor Komoditi Crude Palm Oil (CPO) Indonesia ke Negara Tujuan
Ekspor Utama [Tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian
Bogor.
Sasono, Herman Budi. 2013. Manajemen Ekspor dan Perdagangan Internasional.
Yogyakarta : CV. Andi Offset.
Setiawan, Achmad E dan Teti Sugiarti. 2016. Daya Saing dan Faktor Penentu
Ekspor Kopi Indonesia ke Malaysia dalam Skema CEPT-AFTA
[Jurnal]. Madura: Fakultas Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian
Universitas Trunojoyo 5(2): 213-220.
114
Shabrina, Wiendyan A. 2016. Estimasi Hambatan Nontarif dan Faktor-Faktor
yang Memengaruhi Ekspor Kopi Indonesia ke Negara Tujuan Utama
[Skripsi]. Bogor: Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian
Bogor.
Shah, S.M.H, A Sajid dan S.M. Ali. 2014. The Impact of Technical Barrier to
Trade on Pakistan Textile Industry. Pakistan Journal of Science 66(2):
130-133.
Sitorus, Maria. 2009. Peningkatan Ekspor CPO dan Kakao Di Bawah Pengaruh
Liberalisasi Perdagangan (Suatu Pendekatan Model Gravitasi)
[Skripsi]. Bogor: Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian
Bogor.
Soekartawi. 2003. Agribisnis Teori dan Aplikasi. Jakarta : PT RajaGrafindo
Persada.
Sugiyono. 2011. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Bandung:
Alfabeta.
Suliyanto. 2011. Ekonometrika Terapan: Teori & Aplikasi dengan SPSS.
Yogyakarta: CV. ANDI OFFSET.
Sunyoto, Danang. 2010. Uji KHI Kuadrat dan Regresi Untuk Penelitian.
Yogyakarta : Graha Ilmu.
UNCTAD. 2013. Non-Tariff Measures To Trade: Economic And Policy Issues for
Developing Countries. Switzerland : UNCTAD.
Widarjono, Agus. 2009. Ekonometrika Pengantar dan Aplikasinya Edisi Ketiga.
Yogyakarta: EKONISIA.
Zarzoso, Inmaculada Martinez dan Felicitas Nowak Lehmann. 2003. Augmented
Gravity Model : An Empirical Application To Mercosur-Europen
UnionTrade Flows. Journal of Applied Economics 6(2): 291-316.
CEPII. 2017. GeoDist. Diakses dari
http://www.cepii.fr/CEPII/en/bdd_modele/presentation.asp?id=6 pada
tanggal 12 Juni 2017.
DKP Padang Pariaman. 17 April 2014. Perbedaan Tuna, Tongkol dan Cakalang.
http://dkp.padangpariamankab.go.id/2014/04/perbedaan-tuna-tongkol-
dan-cakalang/ diakses pada 16 Mei 2017.
115
FAO-FishstatJ. 2017. Fisheries and Aquaculture software. FishstatJ - software for
fishery statistical time series. FAO Fisheries and Aquaculture
Department diakses pada 19 Juni 2017 dari
http://www.fao.org/fishery/statistics/software/fishstatj/en.
UNCTAD. 2017. Currency Exchange Rates, Annual, 1970-2015. Diakses dari
http://unctadstat.unctad.org/wds/TableViewer/tableView.aspx?ReportId
=117 pada 11 Juli 2017.
UN Comtrade. 2017. International Trade in Goods Based on UN Comtrade Data.
Diakses dari https://comtrade.un.org/data/ pada tanggal 11 Juli 2017.
Sihombing, Martin. 15 Mei 2014. Ekspor Ikan:Aturan Sertifikasi MSC Terlalu
Rumit. http://industri.bisnis.com/read/20140515/99/228102/ekspor-
ikan-aturan-sertifikasi-msc-terlalu-rumit/ diakses pada 17 Maret 2018.
World Bank. 2017. Data Indicators. Diakses dari
http://data.worldbank.org/indicator pada tanggal 12 Juni 2017.
World Trade Organization [WTO]. 2017. Integrated Analysis and Retrieval of
Notified Non-Tariff Measures. Diakses dari https://i-
tip.wto.org/goods/Forms/TableView.aspx pada tanggal 20 juni 2017.
116
LAMPIRAN
Lampiran 1. Kode HS Produk Tuna di Pasar Internasional
Kode HS 02 Produk Tuna
Produk Segar (fresh)
030231 Tuna (albacore, longfin) fresh or chilled, whole
030232 Tuna (Yellowfin) fresh or chilled, whole
030233 Skipjack, stripe-belly bonito, fresh or chilled, whole
030234 Bigeye tunas (Thunnus obesus), fresh/chilled (excl. Fillets and other fish meat)
030235 Bluefin tunas (Thunnus thynnus), fresh/chilled (excl. Fillets and other fish meat)
030236 Southern bluefin tunas (Thunnus maccoyii), fresh/chilled (excl. Fillets and other
fish meat)
030239 Tuna nes, fresh or chilled, whole
Produk Beku (frozen)
030341 Tuna (albacore, longfin), frozen, whole
030342 Tuna (Yellowfin) frozen, whole
030343 Skipjack, stripe-belly bonito, frozen , whole
030344 Bigeye tunas (Thunnus obesus), frozen (excl. Fillets and other fish meat)
030345 Bluefin tunas (Thunnus thynnus), frozen (excl. Fillets and other fish meat)
030346 Southern bluefin tunas (Thunnus maccoyii), frozen (excl. Fillets and other fish
meat)
030349 Tuna nes, frozen, whole
Filet (fresh, chilled, or frozen fillet)
030487 Frozen fillet and other fish meat (whether or no minced), fresh, chilled or frozen
– Tunas (of genus Thunnus), skipjack or stripe-bellied banito
Kaleng (preserved)
160414 Tuna, skipjack, bonito (prepared/preserved), not minced
Sumber: UN Comtrade, 2017
117
Lampiran 2. Negara Tujuan Ekspor Tuna Indonesia di Pasar Uni Eropa Tahun
2009-2015
Tahun Negara LnVEX LnPDBC LnJE LnHRG LnKR LnPOP LnPROD SPS TBT
2009 Belanda 7,078 10.857 7.500 8,167 9.540 16.621 13.512 0 0
2010 Belanda 6,175 10.827 7.470 8,556 9.396 16.626 13.459 0 0
2011 Belanda 7,293 10.888 7.445 8,246 9.438 16.631 13.517 0 1
2012 Belanda 7,073 10.809 7.429 8,447 9.444 16.634 13.570 0 0
2013 Belanda 7,062 10.851 7.428 8,458 9.623 16.637 13.721 0 0
2014 Belanda 7,254 10.862 7.419 8,460 9.800 16.641 13.663 1 0
2015 Belanda 5,361 10.699 7.405 8,414 9.798 16.645 13.610 1 0
2009 Belgia 7,340 10.712 6.935 8,141 9.549 16.195 13.512 0 0
2010 Belgia 7,000 10.701 6.929 8,144 9.396 16.204 13.459 0 0
2011 Belgia 7,631 10.773 6.923 8,102 9.428 16.218 13.517 0 1
2012 Belgia 7,491 10.709 6.926 8,380 9.429 16.225 13.570 0 0
2013 Belgia 7,450 10.747 6.924 8,516 9.621 16.230 13.721 0 0
2014 Belgia 5,997 10.767 6.922 8,311 9.805 16.232 13.663 1 0
2015 Belgia 6,360 10.606 6.912 8,299 9.803 16.238 13.610 1 0
2009 Italia 6,434 10.518 6.092 8,001 9.543 17.895 13.512 0 0
2010 Italia 6,106 10.487 6.060 8,069 9.396 17.898 13.459 0 0
2011 Italia 6,654 10.554 6.037 8,186 9.434 17.899 13.517 0 1
2012 Italia 6,561 10.458 6.003 8,358 9.435 17.902 13.570 0 0
2013 Italia 8,032 10.474 5.985 8,663 9.626 17.914 13.721 0 0
2014 Italia 8,358 10.474 5.971 8,669 9.811 17.923 13.663 1 0
2015 Italia 8,737 10.311 5.952 8,456 9.814 17.922 13.610 1 0
2009 Jerman 9,092 10.639 6.551 7,947 9.538 18.221 13.512 0 0
2010 Jerman 8,814 10.640 6.547 7,770 9.396 18.220 13.459 0 0
2011 Jerman 9,351 10.754 6.550 7,977 9.440 18.201 13.517 0 1
2012 Jerman 8,713 10.693 6.551 8,189 9.451 18.203 13.570 0 0
2013 Jerman 8,750 10.748 6.563 8,427 9.640 18.206 13.721 0 0
2014 Jerman 8,352 10.777 6.572 8,362 9.818 18.210 13.663 1 0
2015 Jerman 7,402 10.626 6.575 8,177 9.819 18.218 13.610 1 0
2009 UK 7,070 10.546 6.249 8,116 9.674 17.947 13.512 0 0
2010 UK 7,448 10.564 6.271 7,803 9.550 17.955 13.459 0 0
2011 UK 8,121 10.627 6.250 8,027 9.559 17.963 13.517 0 1
2012 UK 8,737 10.634 6.324 8,409 9.627 17.970 13.570 0 0
2013 UK 9,055 10.655 6.306 8,456 9.762 17.976 13.721 0 0
2014 UK 9,070 10.745 6.379 8,259 9.986 17.984 13.663 1 0
2015 UK 8,760 10.690 6.478 8,198 10.094 17.992 13.610 1 0
Sumber: Data Sekunder (Diolah)
Keterangan: Data penelitian tersebut merupakan data yang sudah diolah
118
Lampiran 3. Data Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Volume Ekspor Tuna
Indonesia ke Pasar Uni Eropa Periode 2009-2015
a. PDB per Kapita Negara Tujuan Ekspor Tuna Indonesia di Pasar Uni Eropa
Periode 2009-2015 (000 USD)
Tahun
Negara Importir
Belanda Belgia Italia Jerman United
Kingdom
2009 51.900 44.881 36.977 41.733 38.010
2010 50.338 44.380 35.849 41.786 38.710
2011 53.541 47.703 38.335 46.810 41.240
2012 49.475 44.741 34.814 44.065 41.538
2013 51.574 46.510 35.370 46.531 42.407
2014 52.157 47.439 35.397 47.903 46.412
2015 44.293 40.357 30.049 41.177 43.930 Sumber: World Bank, 2017
b. Jarak Ekonomi antara Indonesia dengan Negara Tujuan Ekspor Tuna Indonesia
di Pasar Uni Eropa Periode 2009-2015 (Km)
Tahun
Negara Importir
Belanda Belgia Italia Jerman United
Kingdom
2009 4.550 2.586 1.114 1.762 1.302
2010 4.482 2.608 1.094 1.780 1.350
2011 4.438 4.466 1.086 1.814 1.343
2012 4.368 2.641 1.050 1.816 1.446
2013 4.376 2.643 1.034 1.842 1.424
2014 4.312 2.624 1.014 1.849 1.525
2015 4.235 2.585 990 1.846 1.675 Sumber: Data Sekunder, 2017 (Diolah)
c. Volume Ekspor Tuna Indonesia ke Negara Tujuan di Pasar Uni Eropa Periode
2009-2015 (Ton)
Tahun
Negara Importir
Belanda Belgia Italia Jerman United
Kingdom
2009 1.185 1.541 623 8.885 1.176
2010 481 1.097 448 6.727 1.716
2011 1.470 2.060 776 11.515 3.364
2012 1.180 1.792 707 6.079 6.228
2013 1.167 1.720 3.079 6.311 8.557
2014 1.414 402 4.263 4.240 8.694
2015 213 578 6.229 1.639 6.374 Sumber: UN Comtrade, 2017 (Diolah)
119
Lampiran 3. Data Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Volume Ekspor Tuna
Indonesia ke Pasar Uni Eropa Periode 2009-2015 (Lanjutan)
d. Harga Ekspor Tuna Indonesia ke Negara Tujuan di Pasar Uni Eropa Periode
2009-2015 (USD/ton)
Tahun
Negara Importir
Belanda Belgia Italia Jerman United
Kingdom
2009 4.175.048 5.287.930 1.858.378 25.118.238 3.940.308
2010 2.498.133 3.776.458 1.432.632 15.938.670 4.198.327
2011 5.606.574 6.802.522 2.787.075 33.532.249 10.304.309
2012 5.500.716 7.812.123 3.017.294 21.895.162 27.942.484
2013 5.495.357 8.594.082 17.808.931 28.842.209 40.252.992
2014 6.676.193 1.635.280 24.819.665 18.156.831 33.567.192
2015 960.338 2.325.118 29.282.822 5.829.299 23.151.176 Sumber: Data Sekunder (Diolah)
e. Populasi Negara Tujuan Ekspor Tuna Indonesia di Pasar Uni Eropa Periode
2009-2015 (Jiwa)
Tahun
Negara Importir
Belanda Belgia Italia Jerman United
Kingdom
2009 16.530.388 10.796.493 59.095.365 81.902.307 62.276.270
2010 16.615.394 10.895.586 59.277.417 81.776.930 62.766.365
2011 16.693.074 11.047.744 59.379.449 80.274.983 63.258.918
2012 16.754.962 11.128.246 59.539.717 80.425.823 63.700.300
2013 16.804.432 11.182.817 60.233.948 80.645.605 64.128.226
2014 16.865.008 11.209.057 60.789.140 80.982.500 64.613.160
2015 16.939.923 11.274.196 60.730.582 81.686.611 65.128.861 Sumber: World Bank, 2017
f. Nilai Tukar Riil Rupiah terhadap Negara Importir di Uni Eropa Periode 2009-
2015 (Rp/USD)
Tahun
Negara Importir
Belanda Belgia Italia Jerman United
Kingdom
2009 13.904 14.030 13.941 13.881 15.901
2010 12.039 12.039 12.039 12.039 14.046
2011 12.551 12.428 12.502 12.584 14.169
2012 12.637 12.445 12.516 12.725 15.164
2013 15.108 15.084 15.154 15.364 17.353
2014 18.042 18.127 18.229 18.360 21.725
2015 17.994 18.087 18.283 18.378 24.198 Sumber: Data Sekunder, 2017 (Diolah)
120
Lampiran 3. Data Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Volume Ekspor Tuna
Indonesia ke Pasar Uni Eropa Periode 2009-2015 (Lanjutan)
g. Produksi Tuna Indonesia Periode 2009-2015 (Ton)
Tahun Produksi
2009 738.071
2010 700.136
2011 741.867
2012 782.541
2013 909.547
2014 858.690
2015 813.909 Sumber: Fishstat-FAO, 2017 (Diolah)
122
Lampiran 4. Hasil Pemilihan Model Terbaik (Lanjutan)
b. Uji Hausman
c. Hasil Estimasi Fixed Effect Model (FEM) dengan Least Square Dummy
Variable (LSDV)