ANALISIS HAMBATAN NON-TARIF DAN FAKTOR

142
ANALISIS HAMBATAN NON-TARIF DAN FAKTOR- FAKTOR LAIN YANG MEMPENGARUHI VOLUME EKSPOR TUNA INDONESIA KE PASAR UNI EROPA SKRIPSI Eka Rachmawati Dewi 1113092000046 PROGRAM STUDI AGRIBISNIS FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2018 M / 1439 H

Transcript of ANALISIS HAMBATAN NON-TARIF DAN FAKTOR

ANALISIS HAMBATAN NON-TARIF DAN FAKTOR-

FAKTOR LAIN YANG MEMPENGARUHI VOLUME EKSPOR

TUNA INDONESIA KE PASAR UNI EROPA

SKRIPSI

Eka Rachmawati Dewi

1113092000046

PROGRAM STUDI AGRIBISNIS

FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

2018 M / 1439 H

ANALISIS HAMBATAN NON-TARIF DAN FAKTOR-

FAKTOR LAIN YANG MEMPENGARUHI VOLUME EKSPOR

TUNA INDONESIA KE PASAR UNI EROPA

Eka Rachmawati Dewi

1113092000046

Skripsi

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pertanian pada

Program Studi Agribisnis

PROGRAM STUDI AGRIBISNIS

FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

2018 M / 1439 H

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama : Eka Rachmawati Dewi

Jenis Kelamin : Perempuan

Tempat, Tanggal Lahir : Tangerang, 22 Oktober 1995

Agama : Islam

Alamat : Kp. Asem RT. 003/ RW. 015 No. 61,

Kel. Panunggangan Barat, Kec.

Cibodas, Kota Tangerang, 15139

Nomor Telepon : 0895-0234-7940

E-mail : [email protected]

1. 2013 – 2018 : UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

2. 2010 – 2013 : SMAN 4 Kota Tangerang

3. 2007 – 2010 : SMPN 6 Kota Tangerang

4. 2001 – 2007 : SDN Panunggangan 2 Kota Tangerang

5. 2000 – 2001 : TK Ar-Rahman Kota Tangerang

1. 2011 – 2013 : Anggota Tim Seni Tari Tradisional SMA Negeri 4 Kota Tangerang

2. 2013 – 2014 : Anggota LSO SAMAN Agribisnis UIN Jakarta

3. 2013 – 2015 : Anggota LSO Paduan Suara (Padus) Agribisnis UIN Jakarta

4. 2014 – 2015 : Sekretaris Tim SAMAN Agribisnis UIN Jakarta

5. 2014 – 2015 : Sekretaris Divisi Aspirasi Minat dan Bakat Himpunan Mahasiswa

Agribisnis UIN Jakarta

Data Diri

Riwayat Pendidikan

Pengalaman Organisasi

vi

1. 2012 : Runner Up Lomba Tari Daerah Tingkat Kota Festival Kartini yang

Diselenggarakan Oleh Radar Tangerang Satelit News

2. 2012 : Finalis Duta IM3 Mobile Academy Wilayah Tangerang yang

Diselenggarakan Oleh Indosat

3. 2012 : Juara 2 Lomba Tari Tradisional se-Provinsi Banten yang Diselenggarakan

Oleh Banten Education Fair 2012

4. 2012 : Juara 1 Lomba Tari Tradisional se-Provinsi Banten yang Diselenggarakan

Oleh Paguyuban Seni Budaya Tradisional Mahasiswa UNTIRTA

5. 2012 : Juara 1 Lomba Tari Tradisional se-Provinsi Banten yang Diselenggarakan

Oleh Paguyuban Duta Wisata dan Budaya Kota Cilegon

6. 2014 : Juara 3 Lomba Badminton dalam Rangka Olimpiade SAINTEK

Pengalaman Kerja

September 2016 – Desember 2016 : Kebun dan Laboratorium Kultur Jaringan Dinas

Kelautan, Pertanian dan Ketahanan Pangan

Prov. DKI, Cilandak, Lebak Bulus, Jakarta

Selatan

Prestasi

RINGKASAN

Eka Rachmawati Dewi. Analisis Hambatan Non-Tarif dan Faktor-Faktor Lain

yang Mempengaruhi Volume Ekspor Tuna Indonesia ke Pasar Uni Eropa: Di

bawah bimbingan Iwan Aminudin dan Puspi Eko Wiranthi.

Ikan tuna merupakan salah satu produk andalan ekspor perikanan tangkap

Indonesia di pasar Uni Eropa. Sayangnya kegiatan ekspor ke pasar Uni Eropa

tidak terlepas dari berbagai macam hambatan, salah satunya yaitu hambatan non-

tarif atau Non Tariff Measures (NTMs). Uni Eropa sendiri merupakan negara

yang paling banyak memberlakukan kebijakan non-tarif jika dibandingkan dengan

negara Amerika Serikat dan Jepang sebagai negara tujuan utama ekspor tuna

Indonesia. Berdasarkan data WTO (2017), nilai persentase total pemberlakuan

NTMs di Uni Eropa selama periode 2006-2015 adalah sebesar 57%, sedangkan

negara Amerika Serikat 36% dan Jepang hanya 7%.

Tujuan diberlakukannya Non-Tariff Measures (NTMs) itu sendiri sebagai

bentuk tindakan proteksi bagi produsen maupun konsumen dalam negeri. Adapun

kebijakan NTMs yang diberlakukan oleh Uni Eropa untuk produk perikanan yaitu

kebijakan Sanitary and Phitosanitary (SPS) dan Technical Barriers to Trade

(TBT). Dampak dari pemberlakuan NTMs di Uni Eropa juga diduga menjadi

salah satu penyebab berfluktuatifnya volume ekspor ikan tuna Indonesia ke pasar

Uni Eropa. Bahkan volume ekspor tuna ke Uni Eropa sempat menurun di tahun

2014 dan 2015. Oleh karena itu diperlukan penelitian untuk mengetahui

bagaimana pemberlakuan hambatan non-tarif di Uni Eropa serta faktor-faktor apa

saja yang mempengaruhi volume ekspor tuna Indonesia ke pasar Uni Eropa.

Faktor-faktor yang diduga mempengaruhi volume ekspor ikan tuna adalah

produksi ikan tuna Indonesia, GDP per kapita negara tujuan, nilai tukar riil rupiah

terhadap dollar Amerika, harga ekspor ikan tuna Indonesia, jarak ekonomi,

populasi serta dummy NTMs (SPS dan TBT).

Penelitian ini menggunakan model regresi data panel dengan metode

Gravity Model. Penelitian ini menggunakan data time series dan cross section

dalam kurun waktu 7 tahun mulai tahun 2009-2015. Komoditi yang diteliti adalah

volume ekspor tuna (segar, beku dan kaleng) Indonesia yang di ekspor ke 5

negara tujuan di Eropa yaitu Belanda, Belgia, Jerman, Italia serta United

Kingdom. Berdasarkan analisis yang telah dilakukan didapatkan bahwa kebijakan

NTMs yang paling sering diberlakukan oleh pemerintahan Uni Eropa terhadap

produk tuna terkait kebijakan SPS (Sanitary and Phitosanitary) adalah tentang

keamanan pangan dan kesehatan hewan. Sedangkan kebijakan TBT (Technical

Barrier to Trade) yang sering diberlakukan yakni terkait pelebelan pada kemasan

pangan. Selain itu, berdasarkan metode regresi data panel dengan Gravity Model,

diperoleh model Fixed Efffect dengan pendekatan LSDV (Least Square Dummy

Variable) sebagai model terbaik, dengan nilai koefisien determinasi (R2) sebesar

0,6632. Hal ini menunjukkan bahwa seluruh variabel bebas sebesar 66,32 % dapat

menjelaskan variabel terikatnya, yaitu volume ekspor tuna. Sisanya, yaitu 33,68 %

dijelaskan oleh variabel-variabel lain di luar penelitian. Adapun faktor-faktor yang

berpengaruh signifikan terhadap volume ekspor tuna Indonesia di pasar Uni Eropa

viii

adalah PDB per kapita negara tujuan, harga ekspor tuna Indonesia, populasi

negara tujuan, kurs riil rupiah terhadap dollar Amerika, produksi tuna Indonesia

dan dummy NTMs SPS. Sedangkan jarak ekonomi dan dummy NTMs TBT tidak

berpengaruh signifikan terhadap volume ekspor tuna Indonesia ke pasar Uni

Eropa.

Kata Kunci: Tuna, Volume Ekspor, Non-Tariff Measures (NTMs), dan Gravity

Model.

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya

sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Analisis Hambatan

Non-Tarif dan Faktor-Faktor Lain yang Mempengaruhi Volume Ekspor

Tuna Indonesia ke Pasar Uni Eropa” dengan baik. Shalawat serta salam

semoga selalu tercurahkan kepada junjungan Nabi Muhammad SAW beserta

keluarganya, sahabatnya serta para pengikutnya hingga akhir zaman.

Penulisan skripsi ini disusun sebagai syarat untuk memperoleh gelar

Sarjana Pertanian pada Program Studi Agribisnis Fakultas Sains dan Teknologi

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Tentunya selama proses

penyelesaian skripsi ini tidak terlepas dari bantuan serta dorongan dari berbagai

pihak baik secara moril maupun materil, baik secara langsung maupun tidak

langsung, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Oleh

karena itu dengan penuh rasa hormat penulis mengucapkan banyak terima kasih

kepada:

1. Kedua orang tua, Bapak Madrasim dan Ibu Kartini, serta adik-adikku Rizki

dan Citra, dan juga seluruh keluarga. Terima kasih atas semua doa, nasihat,

kasih sayang, pengorbanan, cinta serta dukungan baik secara moril maupun

materil yang diberikan kepada penulis. Penyelesaian skripsi ini merupakan

salah satu bakti serta wujud cinta dan kasih sayang penulis kepada Bapak,

Ibu, dan seluruh keluarga yang sudah memberikan segala yang terbaik

dalam hidup kepada penulis.

2. Bapak Dr. Ir. Iwan Aminudin, M.Si dan Ibu Puspi Eko Wiranthi, SE, M.Si

selaku dosen pembimbing skripsi yang telah mencurahkan tenaga, energi,

waktu, pikiran, serta memberikan ilmu, arahan, dan dukungan secara tulus

demi terselesaikannya skripsi ini.

3. Bapak Dr. Ujang Maman, M.Si dan Ibu Ir. Armaeni Dwi Humaerah, M.Si

selaku dosen penguji skripsi yang telah memberikan ilmu, arahan, serta

dukungan yang besar kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini

sampai akhir.

4. Bapak Dr. Agus Salim, M.Si selaku Dekan Fakultas Sains dan Teknologi

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, para Wakil Dekan I,

II, dan III, beserta staf TU, Akademik, dan Karyawan FST lainnya.

5. Bapak Dr. Ir. Edmon Daris, MS dan Bapak Dr. Ir. Iwan Aminudin, M.Si

selaku Ketua dan Sekretaris Program Studi Agribisnis yang telah

memberikan kesempatan dan dukungan untuk menimba ilmu pengetahuan

serta membantu dalam proses akademis.

6. Bapak Dr. Ir. Akhmad Riyadi Wastra, S.IP, MM selaku dosen pembimbing

akademik yang telah memberikan bimbingan, motivasi, serta dukungan

kepada penulis selama perkuliahan.

7. Seluruh dosen Program Studi Agribisnis Universitas Islam Negeri Syarif

Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan ilmu, pengetahuan, wawasan,

dan pengalaman kepada penulis hingga mendapatkan gelar Sarjana

Pertanian.

8. Tito Akbar Bagaskara, yang selalu bersedia mendengarkan keluh kesah

penulis terkait pengerjaan skripsi, terima kasih atas dukungan, bantuan,

omelan serta pengertiannya. Semoga Allah SWT balas semua kebaikanmu

dan Allah permudah jalan suksesmu. Aamiin..

9. Sahabat AKK (Anak Kost Kece) Laras, Mawaddah, Widya, dan Ririn yang

selalu bersedia menjadi teman curhat hingga teman gosip dari masalah

perkuliahan hingga masalah asmara. Terima kasih atas kebersamaannya

serta tawa canda kalian, semoga kita selalu saling support dan mendoakan

satu sama lain dan tetap jadi sahabat hingga surganya Allah SWT. Aamiin..

10. Ciwi-ciwi Agribisnis 2013 B (Anggi, Mutia, Aisyah, Rara, Ami, Ayu)

terima kasih atas dukungan, motivas, serta kebahagiaan yang telah kalian

berikan kepada penulis. Semoga kita semua sukses di masa depan dan tetap

jadi sahabat selamanya. Aamiin..

11. Teman-teman seperjuangan, para pejuang skripsi, keluarga besar Agribisnis

2013 yang telah membantu penulis selama perkuliahan dan telah berbagi

ilmu, pengalaman serta keceriaan selama di bangku perkuliahan.

12. HMJ Agribisnis yang telah memberikan tempat, kesempatan dan

pengalaman berorganisasi sehingga penulis bisa mendapatkan pelajaran-

pelajaran baru.

xii

13. Kepada keluarga besar Kebun Bibit dan Laboratorium Lebak Bulus,

keluarga KKN IRAMA 2016 dan seluruh warga kampung Desa Sukaraksa,

terima kasih atas ilmu dan pengalaman yang telah diberikan kepada penulis.

14. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu yang telah

membantu penulis baik secara langsung maupun tidak langsung dalam

menyelesaikan skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa penyusunan skripsi ini masih terdapat banyak

kekurangan dan masih jauh dari kata sempurna. Hal ini disebabkan karena

keterbatasan penulis, baik itu dalam kemampuan maupun pengetahuan serta

pengalaman yang penulis miliki. Oleh karena itu, saran dan kritik yang

membangun sangat penulis harapkan. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi

semua pihak, khususnya bagi penulis dan pembaca.

Jakarta, Maret 2018

Eka Rachmawati Dewi

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ............................................................................................... xiii

DAFTAR TABEL ....................................................................................... xv

DAFTAR GAMBAR ................................................................................... xvii

DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................... xix

BAB I PENDAHULUAN ............................................................................ 1

1.1 Latar Belakang ............................................................................ 1

1.2 Rumusan Masalah ....................................................................... 11

1.3 Tujuan Penelitian ......................................................................... 11

1.4 Manfaat Penelitian ....................................................................... 11

1.5 Ruang Lingkup Penelitian............................................................ 12

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ................................................................. 13

2.1 Tuna ............................................................................................ 13

2.1.1 Ragam Spesies Tuna dan Daerah Penyebarannya di

Indonesia ........................................................................... 13

2.1.2 Ragam Produk Perdagangan Tuna ..................................... 15

2.2 Perdagangan Internasional ........................................................... 15

2.3 Hambatan Perdagangan ............................................................... 21

2.3.1 Hambatan Tarif (Tariff Barrier) ......................................... 22

2.3.2 Hambatan Non-Tarif (Non-Tariff Barriers) ........................ 24

2.3.3 Sanitary and Phytosanitary (SPS) dan Technical

Barrier To Trade (TBT) .................................................... 28

2.4 Gravity Model ............................................................................. 30

2.4.1 Produk Domestik Bruto (PDB) .......................................... 32

2.4.2 Jarak Ekonomi ................................................................... 33

2.4.3 Populasi ............................................................................. 34

2.4.4 Harga ................................................................................. 35

2.4.5 Nilai Tukar Rupiah ............................................................ 35

2.4.6 Produksi ............................................................................ 37

2.5 Penelitian Terdahulu .................................................................... 38

2.6 Kerangka Pemikiran Operasional ................................................. 41

2.7 Hipotesis Penelitian ..................................................................... 44

xiv

BAB III METODOLOGI PENELITIAN .................................................. 46

3.1 Waktu Penelitian ........................................................................ 46

3.2 Jenis dan Sumber Data ............................................................... 46

3.3 Populasi dan Sempel .................................................................. 47

3.4 Metode Pengolahan Data dan Analisis Data ............................... 47

3.4.1 Analisis Deskriptif ............................................................. 48

3.4.2 Analisis Regresi Data Panel ............................................... 49

3.4.3 Uji Kesesuaian Model ........................................................ 51

3.4.4 Least Square Dummy Variable (LSDV) ............................. 54

3.4.5 Pengujian Asumsi (Uji Asumsi Klasik) .............................. 56

3.4.6 Uji Parameter Model.......................................................... 59

3.5 Definisi Operasional................................................................... 61

BAB IV GAMBARAN UMUM .................................................................. 64

4.1 Kinerja Perdagangan Komoditi Ikan Tuna Indonesia di Pasar

Uni Eropa ................................................................................... 64

4.2 Negara Pesaing Ekspor Tuna Indonesia ke Pasar Uni Eropa ........ 67

4.3 Regulasi Perdagangan Tuna di Pasar Uni Eropa .......................... 72

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN ....................................................... 77

5.1 Pemberlakuan NTMs (Non-Tariff Measures) pada

Perdagangan Tuna di Pasar Uni Eropa Tahun 2009 – 2015 ......... 77

5.2 Analisis Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Volume

Ekspor Ikan Tuna Indonesia ke Pasar Uni Eropa .......................... 82

5.2.1 Pemilihan Model Regresi Data Panel ................................. 82

5.2.2 Uji Asumsi Klasik .............................................................. 83

5.2.3 Uji Parameter ..................................................................... 89

5.2.4 Interpretasi Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Volume

Ekspor Ikan Tuna Indonesia ke Pasar Uni Eropa ................ 91

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN...................................................... 108

6.1 Kesimpulan................................................................................. 108

6.2 Saran .......................................................................................... 109

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. 111

LAMPIRAN ................................................................................................ 116

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Perkembangan Volume Ekspor Ikan Tuna Indonesia di Pasar Uni

Eropa Tahun 2009-2015 ......................................................................... 6

2. Jenis Tuna di Perairan Indonesia ............................................................ 14

3. Penelitian Terdahulu .............................................................................. 38

4. Jenis Data dan Sumber Data ................................................................... 47

5. Definisi Operasional .............................................................................. 62

6. Perkembangan Ekspor Ikan Tuna Segar Indonesia di Pasar Uni Eropa

Tahun 2009-2015 ................................................................................... 65

7. Perkembangan Ekspor Ikan Tuna Beku Indonesia di Pasar Uni Eropa

Tahun 2009-2015 ................................................................................... 66

8. Perkembangan Ekspor Ikan Tuna Kaleng Indonesia di Pasar Uni

Eropa Tahun 2009-2015 ......................................................................... 67

9. Regulasi Terkait Pelabelan Produk Perikanan......................................... 73

10. Peraturan Terkait Keamanan Pangan ...................................................... 74

11. Daftar Sertifikasi Perdagangan Ikan Tuna di Pasar Uni Eropa ............... 76

12. Total NTMs yang Diberlakukan Uni Eropa terhadap Produk Tuna

Periode 2009-2015 ................................................................................. 78

13. Peraturan NTMs yang Diberlakukan Uni Eropa Terhadap Produk Tuna Periode 2009-2015 ................................................................................. 81

14. Hasil Pemilihan Model Terbaik .............................................................. 83

15. Hasil Uji Normalitas dengan uji Jarque-Bera ........................................... 84

16. Hasil Uji Multikolinearitas ..................................................................... 86

xvi

Halaman

17. Hasil Estimasi Fixed Effect Model dengan Least Square Dummy

Variable (LSDV) ................................................................................... 87

18. Hubungan PDB per Kapita terhadap Volume Ekspor Tuna Indonesia ke

Pasar Uni Eropa Periode 2009-2015 ....................................................... 93

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Perkembangan Produksi Perikanan Tangkap Berdasarkan

Komoditas Unggulan, 2010-2014 ........................................................... 2

2. Perkembangan Volume Ekspor Tuna Indonesia di Pasar Dunia

Berdasarkan Jenis Produk, 2006-2015 .................................................... 4

3. Perbandingan Volume Ekspor dan Nilai Ekspor Tuna Indonesia di

Negara Tujuan Utama Tahun 2015 ......................................................... 5

4. Persentase Total Pemberlakuakn NTMs (SPS dan TBT) di Negara

Importir Utama Tuna Indonesia Periode 2006-2015 ............................... 8

5. Kurva Perdagangan Internasional ........................................................... 17

6. Dampak Keseimbangan Parsial Akibat Pemberlakuan Tarif ................... 23

7. Klasifikasi Non-Tariff Measures (NTMs) ............................................... 28

8. Kerangka Pemikiran Operasional ........................................................... 43

9. Perkembangan Volume Ekspor Tuna Segar Indonesia dan Negara

Pesaing di Pasar Uni Eropa Tahun 2009-2015 ........................................ 69

10. Perkembangan Volume Ekspor Tuna Beku Indonesia dan Negara

Pesaing di Pasar Uni Eropa Tahun 2009-2015 ....................................... 70

11. Perkembangan Volume Ekspor Tuna Kaleng Indonesia dan Negara

Pesaing di Pasar Uni Eropa Tahun 2009-2015 ....................................... 71

12. Histogram Standardized Regression Residual ........................................ 84

13. Hubungan Jarak Ekonomi terhadap Volume Ekspor Tuna Indonesia

ke Pasar Uni Eropa ................................................................................. 94

14. Volume Ekspor Tuna Indonesia ke Pasar Uni Eropa dan Amerika

Serikat Periode 2009-2015 (Ton)............................................................... 97

xviii

Halaman

15. Kurva Permintaan .................................................................................... 98

16. Hubungan Harga Ekspor Tuna terhadap Volume Ekspor Tuna

Indonesia ke Pasar Uni Eropa ................................................................. 99

17. Hubungan Populasi Negara Importir terhadap Volume Ekspor Tuna

Indonesia ke Pasar Uni Eropa ................................................................. 101

18. Hubungan Produksi Tuna Indonesia terhadap Volume Ekspor Tuna

Indonesia ke Pasar Uni Eropa ................................................................. 103

19. Hubungan Pemberlakuan NTMs (SPS) terhadap Volume Ekspor

Tuna Indonesia ke Pasar Uni Eropa ........................................................ 105

xix

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1. Kode HS Produk Tuna di Pasar Internasional ......................................... 116

2. Negara Tujuan Ekspor Tuna Indonesia di Pasar Uni Eropa Tahun

2009-2015 .............................................................................................. 117

3. Data Faktor-Faktor yang Mempengruhi Volume Ekspor Tuna

Indonesia ke Pasar Uni Eropa Periode 2009-2015 .................................. 118

4. Hasil Pemilihan Model Terbaik .............................................................. 121

5. Hasil Uji Asumsi Klasik ......................................................................... 123

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Indonesia adalah negara kepulauan yang memiliki luas lahan akuakultur

sekitar 28,5 juta hektar, kondisi tersebut menjadikan negara Indonesia sebagai

negara yang memiliki kekayaan sumber daya perikanan yang cukup berlimpah.

Posisi Indonesia yang terletak di wilayah khatulistiwa juga jelas sangat

menguntungkan, karena sebagian besar wilayah perairan nusantara merupakan

tempat berpijah atau kawin berbagai jenis ikan, termasuk ikan tuna, terutama di

perairan Selat Makassar dan Laut Banda (Kemendag, 2015: 6).

Kementrian Perdagangan (2015: 6) mengemukakan bahwa ikan tuna yang

hidup di perairan laut Indonesia dikelompokkan menjadi dua jenis, yakni ikan

tuna besar dan ikan tuna kecil. Ikan tuna besar meliputi tuna sirip kuning

(yellowfin tuna), albakora (albacore), tuna mata besar (bigeye tuna), dan tuna sirip

biru selatan (southern bluefin tuna). Sedangkan, ikan tuna kecil terdiri dari

cakalang (skipjack tuna), tongkol (eutynnus affinis), tongkol kecil (auxis thazard),

dan ikan abu-abu (thunnus tonggol).

Persebaran ikan tuna hampir seluruhnya ada di wilayah perairan laut

Indonesia. Luasnya wilayah persebaran ikan tuna di laut Indonesia menjadi

keuntungan tersendiri bagi Indonesia, karena kondisi tersebut mampu menjadikan

Indonesia sebagai negara produsen dan eksportir tuna dunia. Berdasarkan data

Kementrian Kelautan dan Perikanan (2015: 38), produksi komoditas perikanan

tangkap Indonesia khususnya ikan tuna terus mengalami peningkatan setiap

2

tahunnya. Produksi ikan tuna di Indonesia selama periode 2010-2014 mengalami

pertumbuhan sebesar 46,42%. Sedangkan udang selama periode 2010-2014

mengalami pertumbuhan produksi sebesar 20,15%. Meskipun keduanya sama-

sama komoditas unggulan dari perikanan tangkap namun produksi ikan tuna

Indonesia memiliki potensi yang besar untuk menguasai pasar dunia.

Perkembangan produksi perikanan tangkap berdasarkan komoditas unggulan

dapat dilihat sebagaimana pada Gambar 1 berikut.

Gambar 1. Perkembangan Produksi Perikanan Tangkap Berdasarkan Komoditas

Unggulan, 2010-2014 Sumber: Kementrian Kelautan dan Perikanan, 2015 (Diolah)

Berdasarkan Gambar 1 dapat diketahui bahwa produksi komoditas ikan

tuna tertinggi terjadi di tahun 2014, yaitu sebanyak 1.326.126 ton. Sedangkan

produksi terendahnya terjadi di tahun 2010, yaitu sebanyak 905.700 ton. Pada

grafik produksi ikan tuna di Indonesia terus menunjukan adanya peningkatan

setiap tahunnya, beda halnya dengan produksi udang yang cenderung

berfluktuatif. Tentunya kondisi ini menjadi peluang bagi Indonesia untuk dapat

meningkatkan kuota ekspor ikan tunanya di pasar dunia.

0

200.000

400.000

600.000

800.000

1.000.000

1.200.000

1.400.000

2010 2011 2012 2013 2014

Prod

uk

si (

ton

)

Ikan Tuna

Udang

3

Di dunia, tuna merupakan salah satu komoditas ikan terpenting, bahkan

komoditas ini menduduki urutan ketiga sebagai komoditas ikan yang

permintaannnya cukup tinggi di pasar internasional (Kemendag, 2014a: 3).

Seiring dengan meningkatnya kesadaran masyarakat dunia tentang pentingnya

mengonsumsi ikan untuk kesehatan, turut mempengaruhi permintaan ikan di pasar

dunia. Bahkan negara Indonesia sudah menjadi negara supplier ikan tuna dunia

sejak dua puluh tahun terakhir.

Ikan tuna sebagai salah satu komoditi andalan ekspor Indonesia, di pasar

dunia umumnya diperdagangkan dalam bentuk segar (fresh), beku (frozen),

kaleng (preserved), maupun bentuk fillet dalam wadah vakum (airtight

container). Berdasarkan data UN Comtrade (2017), perkembangan volume ekspor

ikan tuna Indonesia baik dalam bentuk segar, beku, kaleng maupun fillet di pasar

dunia cenderung fluktuatif. Namun volume ekspor ikan tuna segar cenderung

terus mengalami penurunan mulai tahun 2009 hingga 2012 dan mengalami

peningkatan kembali di tahun 2013 yakni meningkat sebanyak 2.100.404 kg dari

tahun sebelumnya. Hanya saja di tahun 2014 terjadi penurunan kembali hingga

tahun 2015 untuk produk tuna segar. Produk tuna yang terus mengalami

peningkatan volume ekspor yakni tuna kaleng dan tuna beku, meskipun pada tuna

beku mulai mengalami penurunan volume ekspor di tahun 2014 hingga 2015.

Indonesia sendiri baru melakukan ekspor tuna fillet di tahun 2012. Oleh sebab itu,

di tahun-tahun sebelumnya volume ekspor tuna fillet bernilai 0. Perkembangan

volume ekspor tuna Indonesia di pasar dunia berdasarkan jenis produk dapat

dilihat sebagaimana pada Gambar 2 berikut.

4

Gambar 2. Perkembangan Volume Ekspor Tuna Indonesia di Pasar Dunia

Berdasarkan Jenis Produk, 2006-2015 Sumber: UN Comtrade, 2017 (Diolah)

Uni Eropa merupakan salah satu negara yang menjadi tujuan utama ekspor

komoditas ikan tuna asal Indonesia. Selain Uni Eropa, negara yang menjadi tujuan

utama ekspor tuna asal Indonesia yakni Amerika Serikat dan Jepang. Jika dilihat

pada Gambar 3 di bawah ini dapat diketahui bahwa di tahun 2015 total volume

ekspor tuna Indonesia ke Uni Eropa menduduki peringkat kedua setelah Jepang

dengan total volume ekspor sebanyak 23.753.416 kg. Jika ditinjau berdasarkan

total nilai ekspor maka negara Amerika Serikat menduduki peringkat pertama

dengan total nilai ekspor sebesar USD 168.650.356. Uni Eropa sendiri jika dilihat

total nilai ekspornya di tahun 2015 menduduki peringkat ketiga dengan total nilai

ekspor sebesar USD 104.638.214. Nilai tersebut tentu lebih rendah dari Amerika

Serikat, meskipun volume ekspornya jauh lebih tinggi di Uni Eropa. Hal tersebut

menunjukan bahwa harga jual tuna Indonesia lebih rendah di pasar Uni Eropa

dibandingkan di Amerika Serikat. Adapun total volume dan nilai ekspor tuna

Indonesia di negara tujuan utama tahun 2015 dapat dilihat sebagaimana pada

Gambar 3 berikut.

0

20.000.000

40.000.000

60.000.000

80.000.000

100.000.000

120.000.000

Volu

me E

ksp

or (

Kg)

Segar Beku Kaleng Fillet

5

Gambar 3. Perbandingan Volume Ekspor dan Nilai Ekspor Tuna Indonesia di

Negara Tujuan Utama Tahun 2015 Sumber: UN Comtrade, 2017 (Diolah)

Produk tuna asal Indonesia yang diekspor ke pasar Uni Eropa meliputi

tuna segar, beku, kaleng dan fillet. Berdasarkan data UN Comtrade (2017), dapat

diketahui bahwa negara Uni Eropa hanya mengimpor tuna segar dari Indonesia

sebanyak 2.243 ton dalam kurun waktu 7 tahun. Jumlah ini tentu lebih kecil jika

dibandingkan dengan total volume ekspor produk tuna beku, kaleng maupun fillet.

Jika dijumlahkan maka total volume ekspor dari produk tuna beku, kaleng dan

fillet dalam kurun waktu 7 tahun yakni sebesar 36.285 ton, 133.128 ton dan 4.235

ton. Hal ini menunjukan bahwa permintaan pasar Uni Eropa lebih tinggi terhadap

produk tuna beku, kaleng dan fillet. Hanya saja di tahun 2015 keempat produk

tersebut justru mengalami penurunan volume ekspor. Data perkembangan volume

ekspor produk ikan tuna di Uni Eropa dari tahun 2009-2015 dapat dilihat

sebagaimana pada Tabel 1 berikut.

22.786 23.320 35.963

168.650.356

104.638.214

139.687.557

USA Uni Eropa Jepang

Volume Ekspor (ton) Nilai Ekspor (USD)

6

Tabel 1. Perkembangan Volume Ekspor Ikan Tuna Indonesia di Pasar Uni Eropa

Tahun 2009-2015

Tahun/ Komoditi Segar (ton) Beku (ton) Kaleng (ton) Fillet (ton)

2009 325 699 13.616 0

2010 711 870 10.590 0

2011 767 6.252 22.657 0

2012 200 5.591 19.876 335

2013 168 12.352 25.527 1.204

2014 39 6.680 22.506 1.609

2015 33 3.841 18.358 1.088

Total 2.243 36.285 133.128 4.235

Sumber: UN Comtrade, 2017 (Diolah)

Meski Uni Eropa merupakan pasar yang sangat potensial untuk pemasaran

tuna Indonesia. Namun kegiatan ekspor yang dilakukan oleh Indonesia ke Uni

Eropa tentunya tidak terlepas dari berbagai macam hambatan. Selain kebijakan

tarif, Uni Eropa juga sudah menerapkan kebijakan non-tarif/ Non Tariff Measures

(NTMs) bagi produk-produk impor yang masuk ke wilayahnya. Non Tariff

Measures (NTMs) itu sendiri mulai muncul sejak adanya penurunan atau bahkan

penghapusan tarif yang diberlakukan oleh WTO tahun 1994. Menurut Kristriana

(2015: 2) diberlakukannya NTMs bertujuan sebagai tindakan untuk melindungi

manusia, hewan, dan tumbuhan pada suatu negara dari penyakit, serta untuk

menjamin kesejahteraan nasional yang berkelanjutan dengan memperbaiki

kegagalan pasar. Adanya pemberlakuan NTMs tersebut bisa saja menjadi salah

satu penyebab terjadinya penurunan volume ekspor serta rendahnya nilai jual ikan

tuna Indonesia di pasar Uni Eropa.

Jenis NTMs yang diberlakukan oleh Uni Eropa terhadap produk perikanan

yakni terkait kebijakan Sanitary and Phitosanitary (SPS) dan Technical Barriers

to Trade (TBT). TBT merupakan perjanjian yang mengatur hambatan dalam

7

perdagangan yang terkait dengan peraturan teknis (technical regulation), standar

(standard), dan prosedur penilaian kesesuaian (conformity assessment procedure).

Sedangkan kebijakan SPS ini sebagai kontrol yang sangat penting untuk

menjamin kesehatan dan kesejahteraan dari konsumen dan melindungi

lingkungan. Penggunaan kebijakan SPS lebih banyak pada sektor pertanian dan

produk yang berasal dari hewan (UNCTAD, 2013).

Berdasarkan data WTO (2017), dapat dilihat (Gambar 4) bahwa negara

Uni Eropa merupakan negara yang paling sering memberlakukan kebijakan

NTMs (SPS dan TBT) dimana nilai persentase total pemberlakuan NTMs-nya

dalam kurun waktu 10 tahun adalah sebesar 57%. Sedangkan negara Amerika

Serikat menduduki peringkat kedua dengan nilai persentase 36%. Kemudian

diikuti dengan Jepang dengan nilai persentase 7%. Hal ini dapat membuktikan

ketatnya peraturan yang diberlakukan oleh Uni Eropa. Bahkan ketatnya keamanan

pangan yang diterapkan oleh pemerintahan Uni Eropa terhadap produk-produk

perikanan yang dipasok ke wilayah tersebut menjadikan Uni Eropa sebagai

barometer bagi pasar perikanan dunia. Adapun persentase total pemberlakuan

NTMs (SPS dan TBT) pada negara tujuan utama tuna Indonesia dapat dilihat

sebagaimana pada Gambar 4 berikut.

8

Gambar 4. Persentase Total Pemberlakuakn NTMs (SPS dan TBT) di Negara

Importir Utama Tuna Indonesia Periode 2006-2015 Sumber: WTO, 2017 (Diolah)

Maraknya isu hambatan non-tarif seperti SPS dan TBT yang diterapkan

oleh Uni Eropa sebagai bentuk proteksi, tentu menjadi masalah besar bagi negara

berkembang seperti Indonesia. Adanya peraturan, standar, tatalaksana, dan sistem

inspeksi untuk menjamin bahwa produk yang diimpor telah memenuhi

persyaratan keamanan pangan merupakan salah satu kesulitan atau hambatan yang

dirasakan oleh eksportir Indonesia, terutama untuk sektor perikanan. Bahkan

seluruh rantai pasokan ikan dan produk perikanan yang diekspor ke Uni Eropa

seluruhnya diatur oleh peraturan Uni Eropa, mulai dari penangkapan (catching),

budidaya (cultivation), pendaratan (landing), pengolahan (processing),

pengangkutan (transporting), mengimpor (importing), pemasaran (marketing),

distribusi (distribution) hingga penjualan (selling) di pasar Eropa. Menurut

BAPPENAS (2005) dalam Kemendag (2014b: 6), permasalahan dan tantangan

pokok yang dihadapi dalam bidang perdagangan internasional terutama pada

sektor perikanan adalah meningkatnya hambatan non-tarif. Hambatan non-tarif

tersebut ditandai dengan isu lingkungan, seperti ecolabelling dan perlindungan

USA

36%

Uni

Eropa

57%

Jepang

7%

9

terhadap spesies hewan tertentu serta isu pekerja anak pada produk-produk

pertanian dan perikanan. Kondisi tersebut tentu akan berpengaruh terhadap kinerja

ekspor tuna Indonesia sebagai komoditas unggulan.

Eksportir tuna asal Indonesia sendiri hingga saat ini masih banyak yang

belum mendapatkan sertifikasi internasional The Marine Stewardship Council

(MSC). MSC adalah sebuah lembaga non-pemerintah yang bertujuan menetapkan

standar penangkapan ikan secara ramah lingkungan (sustainable). Menurut

Thomas Darmawan selaku ketua AP5I (Asosiasi Pengusaha Pengolahan dan

Pemasaran Produk Perikanan Indonesia) mengatakan meskipun MSC bukanlah

standar wajib yang ditetapkan pasar internasional bagi para negara eksportir,

namun sertifikasi ini telah ditetapkan oleh perusahaan-perusahaan importir di

mayoritas negara Eropa (Sihombing, 2014). Dampak dari adanya kebijakan

tersebut bahkan telah menyebabkan tuna Indonesia pernah mengalami penolakan

ekspor di tahun 2014, dimana ikan tuna sebagai komoditas andalan ekspor

Indonesia ke Spanyol pernah mengalami hambatan ekspor. Penolakan tersebut

terjadi dikarenakan produk tuna Indonesia belum memiliki sertifikat penangkapan

yang ramah lingkungan. Sedangkan, berdasarkan hasil pertemuan bilateral antara

pemerintah Indonesia dan Spanyol disebutkan bahwa Spanyol mengalami

peningkatan permintaan verifikasi sertifikat penangkapan. Saat itu negara Spanyol

sedang melakukan analisa risiko terhadap negara-negara yang impornya

mengalami kenaikan signifikan ke Spanyol, termasuk Indonesia (Kemendag,

2014b: 7). Oleh sebab itu dapat dikatakan bahwa kebijakan kepemilikan

sertifikasi MSC juga telah menjadi hambatan non-tarif yang akan mempengaruhi

10

volume ekspor tuna Indonesia ke Uni Eropa. Meskipun demikian, kepemilikan

sertifikasi ini tentunya sangat penting bagi para produsen sektor perikanan di

Indonesia, karena akan berdampak pada mudahnya akses pasar ekspor produk

perikanan, bahkan harga jual produk akan lebih tinggi dari sebelumnya serta

konsumen luar negeri tidak ragu lagi untuk mengkonsumsi produk perikanan

Indonesia. Sayangnya di negara berkembang (termasuk di Indonesia) industri

perikanan umumnya terdiri atas kapal-kapal kecil dan tidak terdaftar. Meskipun

terdapat laporan bahwa sebagian besar industri perikanan utama di Indonesia pada

saat ini telah mendaftarkan semua kapalnya, dan kebijakan baru telah diterapkan

untuk membantu nelayan dan eksportir dalam menyediakan dokumen yang

diperlukan untuk melakukan ekspor ke pasar UE, adanya pemberlakuan

persyaratan khusus tersebut telah menjadi hambatan perdagangan.

Sehingga dapat dikatakan bahwa pemberlakuan hambatan non-tarif di Uni

Eropa telah menjadi salah satu penyebab terjadinya penurunan volume ekspor

tuna ke pasar Uni Eropa. Namun selain hambatan non-tarif diduga terdapat faktor-

faktor lain yang juga memiliki pengaruh terhadap menurunnya volume ekspor

tuna ke pasar Uni Eropa. Oleh sebab itu perlu dilakukan penelitian tentang

“Analisis Hambatan Non-Tarif dan Faktor-Faktor Lain yang Mempengaruhi

Volume Ekspor Tuna Indonesia ke Pasar Uni Eropa”. Hasil penelitian ini

diharapkan mampu menjadi informasi yang dapat berguna bagi pemerintah dan

pihak-pihak terkait.

11

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian pada latar belakang, maka dapat dirumuskan beberapa

permasalahan yaitu sebagai berikut:

1. Bagaimana pemberlakuan NTMs pada komoditas ikan tuna Indonesia di

pasar Uni Eropa pada periode 2009-2015?

2. Bagaimana pengaruh hambatan non-tarif dan faktor-faktor lain terhadap

volume ekspor ikan tuna Indonesia ke pasar Uni Eropa periode 2009-2015?

1.3. Tujuan Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah yang telah disampaikan sebelumnya,

maka tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Mendeskripsikan pemberlakuan NTMs pada komoditas ikan tuna Indonesia

di pasar Uni Eropa periode 2009-2015.

2. Menganalisis pengaruh hambatan non-tarif dan faktor-faktor lain terhadap

volume ekspor komoditas ikan tuna Indonesia ke pasar Uni Eropa periode

2009-2015.

1.4. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan mampu memberikan masukan serta informasi

yang berguna bagi berbagai pihak yang berkepentingan, antara lain:

1. Penulis

Hasil penelitian ini diharapkan berguna sebagai aplikasi dari perkuliahan

yang diterima selama ini, yang akan sangat bermanfaat dalam penyelesaian

12

tugas akhir penelitian dan membantu mendapatkan gelar Sarjana Pertanian

dari Program Studi Agribisnis.

2. Akademisi

Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai referensi dan informasi bagi

yang berminat melakukan penelitian dengan tema yang sama.

3. Para Pengambil Kebijakan (Pemerintah dan Pelaku Usaha (Eksportir))

Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan informasi dalam

pengambilan kebijakan dan evaluasi untuk mewujudkan kemajuan

perdagangan ikan tuna Indonesia yang berdaya saing.

1.5. Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini mengkaji permasalahan terkait pengaruh pemberlakuan

NTMs (SPS dan TBT) dan faktor-faktor lain terhadap volume ekspor ikan tuna

Indonesia ke pasar Uni Eropa. Komoditas ikan tuna yang digunakan berdasarkan

kode HS 02 pengelompokan 6 digit yakni 030231, 030232, 030233, 030234,

030235, 030236, dan 030239 untuk tuna segar; 030341, 030342, 030343, 030344,

030345, 030346 dan 030349 untuk tuna beku; dan 160414 untuk tuna kaleng

(Lampiran 1). Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data time series

dan cross section yakni dalam kurun waktu tahun 2009 hingga tahun 2015 dengan

negara tujuan ekspor yang akan diteliti yaitu terdiri dari 5 negara yang tergabung

dalam kawasan Uni Eropa. Negara-negara tersebut adalah Belanda, Belgia,

Jerman, Italia dan United Kingdom. Metode analisis yang digunakan dalam

penelitian ini adalah analisis kualitatif deskriptif dan analisis kuantitatif regresi

data panel dengan metode Gravity Model.

13

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Tuna

Tuna adalah jenis ikan laut yang terdiri dari beberapa spesies dari famili

Scombridae, terutama genus Thunnus. Menurut Kemendag (2015: 6), dalam

statistik perikanan tangkap Indonesia tuna merupakan nama kelompok ikan yang

terdiri dari beberapa jenis diantaranya yaitu:

1) Jenis tuna besar (Thunnus spp.) yakni bluefin tuna (Thunnus thynnus),

yellowfin tuna (Thunnus albacares), bigeye tuna (Thunnus obesus), southern

bluefin tuna (Thunnus maccoyii), dan albacore (Thunnus alalunga) serta jenis

ikan mirip tuna (tuna-like species) seperti marlin, sailfish dan swordfish;

2) Jenis cakalang (skipjack tuna); dan

3) Jenis tongkol, meliputi eastern little tuna (Euthynus spp.), frigate and bullet

tuna (Auxus spp.) dan longtail tuna (Thunnus tonggol).

2.1.1. Ragam Spesies Tuna dan Daerah Penyebarannya di Indonesia

Ikan tuna adalah perenang handal (pernah diukur mencapai 77 km/jam).

Tidak seperti kebanyakan ikan yang memiliki daging berwarna putih, daging tuna

berwarna merah muda sampai merah tua. Hal ini karena otot tuna lebih banyak

mengandung myoglobin dari pada ikan lainnya. Beberapa spesies tuna yang lebih

besar, seperti tuna sirip biru (Thunnus thynnus), dapat menaikkan suhu darahnya

di atas suhu air dengan aktivitas ototnya. Hal ini menyebabkan mereka dapat

hidup di air yang lebih dingin dan dapat bertahan dalam kondisi yang beragam

(DKP Padang Pariaman, 2014).

14

Menurut Burhanudin (1984) dalam Rastikarany (2008: 8), menyebutkan

bahwa suku Scombridae mencakup banyak jenis di dunia dan tercatat ada 46

jenis. Dari 46 jenis suku Scombridae, perairan Indonesia hanya memiliki 20 jenis

dan untuk jenis tuna yang terdapat di perairan Indonesia hanya sebanyak 9 jenis.

Adapun jenis tuna yang ada di perairan Indonesia dapat dilihat pada Tabel 2

berikut.

Tabel 2. Jenis Tuna di Perairan Indonesia

Nama Indonesia Jenis Ikan Nama Perdagangan

- Auxis rochei Bullet Tuna

Tongkol Pisang Auxis thazard Frigated mackeral

Tongkol Eutynnus affinis Little tuna

Cakalang Katsuwonus pelamis Skipjack Tuna

- Thunnus tonggol Longtail Tuna

Madidihang Thunnus albacares Yellowfin Tuna

Albakora Thunnus alalunga Albacore

Mata besar Thunnus obesus Bigeye Tuna

Abu-abu Selatan Thunnus maccoyii Southern bluefin tuna

Sumber: Burhanudin (1984) dalam Rastikarany (2008:9)

Pergerakan (migrasi) kelompok ikan tuna di wilayah perairan Indonesia

mencakup wilayah perairan pantai, teritorial dan Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE)

Indonesia. Keberadaan tuna di suatu perairan sangat bergantung pada beberapa

hal yang terkait dengan spesies tuna, kondisi hidro-oseanografi perairan. Pada

wilayah perairan ZEE Indonesia, migrasi jenis ikan tuna di perairan Indonesia

merupakan bagian dari jalur migrasi tuna dunia karena wilayah Indonesia terletak

pada lintasan perbatasan perairan antara Samudera Hindia dan Samudera Pasifik

(DKP, 2006 dalam Rastikarany, 2008: 9). Suhu dan kedalaman perairan juga

memberikan pengaruh yang paling kuat dan utama terhadap penyebaran ikan tuna

(Barata dkk., 2011: 165).

15

2.1.2. Ragam Produk Perdagangan Tuna

Indonesia merupakan salah satu negara supplier ikan tuna dunia sejak dua

puluh tahun terakhir (Kemendag, 2014a: 3). Jenis tuna yang banyak di ekspor

Indonesia diantaranya yaitu, jenis albakora, abu-abu (southern bluefin), cakalang,

dan madidihang (yellow fin). Secara umum, tuna Indonesia diperdagangkan dalam

bentuk segar (fresh/chilled), beku (frozen), dan olahan (preserved), maupun

wadah vakum (airtight container).

Dalam perdagangan dunia setiap komoditi yang diperjualbelikan di pasar

dunia memiliki nomor kode HS sebagai identitas dari komoditi tersebut. Kode HS

6 digit untuk produk ikan tuna baik segar (fresh) maupun beku (frozen) dibedakan

berdasarkan jenis ikannya, kecuali ikan tuna dalam kemasan (kaleng). Adapun

kode HS untuk produk ikan tuna dapat dilihat sebagaimana pada Lampiran 1.

2.2. Perdagangan Internasional

Secara teoritis, perdagangan internasional terjadi karena dua alasan utama.

Pertama, negara-negara berdagang karena pada dasarnya mereka berbeda satu

sama lain. Setiap negara dapat memperoleh keuntungan dengan melakukan

sesuatu yang relatif lebih baik. Kedua, negara-negara melakukan perdagangan

dengan tujuan untuk mencapai skala ekonomi dalam produksi. Maksudnya, jika

setiap negara hanya memproduksi sejumlah barang tertentu, mereka dapat

menghasilkan barang-barang tersebut dengan skala yang lebih besar dan

karenanya lebih efisien jika dibandingkan kalau negara tersebut memproduksi

segala jenis barang (Basri dan Munandar, 2010 : 32).

16

Oleh sebab itu dapat dikatakan bahwa kegiatan perdagangan internasional

terjadi karena adanya penawaran dan permintaan dari suatu negara terhadap

produk tertentu (Gambar 5). Contohnya, suatu negara (negara A) akan

mengekspor suatu komoditi (pakaian jadi) ke negara lain (negara B) apabila harga

domestik negara A (sebelum terjadinya perdagangan internasional) relatif lebih

rendah bila dibandingkan dengan harga domestik negara B. Stuktur harga yang

terjadi di negara A lebih rendah karena produksi domestiknya lebih besar daripada

konsumsi domestiknya sehingga di negara A telah terjadi excess supply (memiliki

kelebihan produksi). Dengan demikian, negara A mempunyai kesempatan

menjual kelebihan produksinya ke negara lain. Dilain pihak, negara B terjadi

kekurangan supply karena konsumsi domestiknya lebih besar daripada produksi

domestiknya (excess demand) sehingga harga yang terjadi di negara B lebih

tinggi. Dalam hal ini negara B berkeinginan untuk membeli pakaian dari negara

lain yang relatif lebih murah. Jika kemudian terjadi konsumsi antara negara A

dengan negara B, maka akan terjadi perdagangan internasional antara keduanya

dengan harga yang diterima oleh kedua negara adalah sama pada titik

keseimbangan (Kementrian Perdagangan, 2011: 7).

Pada Gambar 5 dapat dilihat bahwa sebelum terjadi perdagangan

internasional, harga di negara A adalah sebesar PA dan di negara B adalah PB.

Penawaran pasar internasional akan terjadi jika harga internasional lebih tinggi

dari PA sedangkan permintaan di pasar internasional akan tinggi jika harga

internasional lebih rendah dari PB. Pada saat harga internasional (P*) sama dengan

PA, maka negara B akan terjadi excess demand (ED) sebesar B. Jika harga

17

internasional sama dengan PB, maka di negara A akan terjadi excess supply (ES)

sebesar A. Dari A dan B akan terbentuk kurva ES dan ED yang akan menentukan

harga yang terjadi di pasar internasional sebesar P*. Dengan adanya perdagangan

tersebut, maka negara A akan mengekspor komoditi (pakaian) sebesar X dan

negara B akan mengimpor sebesar M, sehingga perdagangan yang terjadi di pasar

internasional sebesar X sama dengan M, yaitu pada harga P* (Kemendag, 2011:

8).

Negara A (ekspor) Perdagangan Internasional Negara B (impor)

Gambar 5. Kurva Perdagangan Internasional Sumber: Salvatore (1997: 84)

Keterangan:

PA : Harga domestik di negara A (pengekspor) tanpa

perdagangan internasional

O-QA : Jumlah produk domestik yang diperdagangkan di negara

A tanpa perdagangan internasional

A : Kelebihan penawaran di negara A tanpa perdagangan internasional

X : Jumlah komoditi yang diekspor oleh negara A setelah

ada perdagangan internasional

= A

= B

18

PB : Harga domestik di negara B (pengimpor) tanpa

perdagangan internasional

O-QB : Jumlah produk domestik yang diperdagangkan di negara

B tanpa perdagangan internasional

B : Kelebihan permintaan di negara B tanpa perdagangan internasional

M : Jumlah komoditi yang diimpor oleh negara B setelah ada perdagangan

internasional

P* : Harga keseimbangan antara kedua negara setelah

perdagangan internasional

O-Q* : Quantity keseimbangan penawaran dan permintaan antara kedua negara

dimana jumlah yang diekspor (X) sama dengan jumlah yang diimpor

(M)

Menurut Sasono (2013: 12), ekspor adalah kegiatan menjual produk dari

satu negara ke negara lain melewati batas terluar wilayah pabean suatu negara,

dengan tujuan mendapatkan devisa yang sangat dibutuhkan negara, menciptakan

lapangan kerja bagi pasar tenaga kerja domestik, mendapatkan pemasukan bea

keluar dan pajak lainnya, serta menjaga keseimbangan antara arus barang dan arus

uang beredar di dalam negeri.

Menurut Soekartawi (2003 : 120), ekspor sebagai bagian dari perdagangan

internasional bisa dimungkinkan oleh beberapa kondisi, antara lain:

a. Adanya kelebihan produksi dalam negeri, sehingga kelebihan tersebut dapat

dijual ke luar negeri melalui kebijaksanaan ekspor.

19

b. Adanya permintaan luar negeri untuk suatu produk walaupun produk tersebut

karena adanya kekurangan produk dalam negeri.

c. Adanya keuntungan yang lebih besar dari penjualan ke luar negeri dari pada

penjualan di dalam negeri karena harga di pasar dunia yang lebih

menguntungkan.

d. Adanya kebijakan ekspor yang bersifat politik.

e. Adanya barter antar produk tertentu dengan produk lain yang diperlukan dan

tak dapat diproduksi dalam negeri.

Faktor-faktor yang mempengaruhi ekspor menurut Darmansyah (1986)

dalam Soekartawi (2003: 122) adalah harga internasional komoditas tersebut, nilai

tukar uang, kuota ekspor-impor, tarif dan non-tarif.

1. Harga Internasional

Makin besar selisih antar harga di pasar internasional dengan domestik akan

menyebabkan jumlah komoditi yang akan diekspor akan menjadi bertambah

banyak. Naik turunnya harga tersebut disebabkan oleh:

a. Keadaan perekonomian negara pengekspor, di mana dengan tingginya

inflasi di pasaran domestik akan menyebabkan harga di pasaran domestik

menjadi naik, sehingga secara riil harga komoditi tersebut jika ditinjau dari

pasaran internasional akan terlihat semakin menurun.

b. Harga di pasaran internasional semakin meningkat, di mana harga

internasional merupakan keseimbangan antara penawaran ekspor dan

perrmintaan impor dunia. Suatu komoditas di pasaran dunia meningkat

sehingga jika harga komoditas di pasaran domestik tersebut stabil, maka

20

selisih harga internasional dan harga domestik semakin besar. Akibat dari

kedua hal di atas akan mendorong ekspor komoditi tersebut.

2. Nilai Tukar Uang (Exchange rate)

Menurut Branson (1979) dalam Soekartawi (2003: 122), makna kebijakan nilai

tukar uang adalah dimaksudkan untuk memperbaiki neraca pembayaran defisit

melalui peningkatan ekspor. Efek dari kebijakan nilai tukar uang adalah

berkaitan dengan kebijakan devaluasi (yaitu penurunan nilai mata uang

domestik terhadap mata uang luar negeri) terhadap ekspor-impor suatu negara

dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain elastisistas harga untuk ekspor,

elastisitas harga untuk impor dan daya saing komoditas tersebut di pasaran

internasional. Apabila elastisitas harga untuk ekspor lebih tinggi daripada

elastisitas harga untuk impor maka devaluasi cenderung menguntungkan dan

sebaliknya jika elastisitas harga untuk impor lebih tinggi dari pada harga untuk

ekspor maka kebijakan devaluasi tidak menguntungkan.

3. Kuota Ekspor-Impor

Dengan adanya kuota ekspor bagi negara produsen komoditi tertentu maka

ekspor komoditi tersebut akan mengalami hambatan terutama bagi negara-

negara penghasil komoditi yang jumlahnya relatif sedikit. Oleh karena pada

saat harga di pasaran internasional tinggi, misalnya sebagai akibat kerusakan

komoditi tersebut, maka negara-negara penghasil komoditi yang relatif sedikit

tersebut tidak dapat memanfaatkan keadaan.

21

4. Kebijakan Tarif dan Non-tarif

Kebijakan tarif biasanya dikenakan untuk komoditi impor atau untuk komoditi

substitusi impor. Maksudnya adalah untuk menjaga harga produk dalam negeri

dalam tingkatan tertentu sehingga dengan harga tersebut dapat atau mampu

mendorong pengembangan komoditi tersebut. Di samping kebijakan tarif, juga

dikenakan kebijakan non-tarif. Maksudnya untuk mendorong tujuan

diversifikasi tujuan ekspor.

Menurut kurva proses terjadinya perdagangan internasional, kegiatan

impor terjadi akibat adanya kelebihan permintaan namun ketersediaan barang

dalam negeri tidak mencukupi. Tingginya permintaan tersebut membuat

pemerintah sebagai pengambil keputusan untuk mendatangkan barang dari negara

lain, atau dengan kata lain negara tersebut melakukan impor.

Menurut Sasono (2013: 1), transaksi dan realisasi impor merupakan

transaksi perdagangan luar negeri yang dilakukan oleh semua negara tanpa

kecuali, sebab tidak ada satu negara pun di dunia ini yang bisa memenuhi atau

mencukupi semua kebutuhan rakyatnya tanpa dibantu masuknya barang impor.

Apabila kebutuhan rakyat yang tidak tercukupi tidak dibantu dengan impor, maka

harga barang-barang tersebut melonjak naik dan menyeret harga produk-produk

domestik lainnya.

2.3. Hambatan Perdagangan

Hambatan dalam arus perdagangan ada dua macam, yaitu hambatan yang

bersifat tarif (tariff barrier) dan hambatan yang bersifat non-tarif (non tariff

barriers). Hambatan yang bersifat tarif (tariff barrier) merupakan hambatan

22

terhadap arus barang ke dalam suatu negara yang disebabkan oleh

diberlakukannya tarif bea masuk dan tarif lainnya, sedangkan yang dimaksud

dengan hambatan yang bersifat non-tarif (non tariff barriers) merupakan

hambatan terhadap arus barang ke dalam suatu negara yang disebabkan oleh

tindakan-tindakan selain penerapan pengenaan tarif atas suatu barang.

2.3.1. Hambatan Tarif (Tariff Barrier)

Bentuk hambatan perdagangan yang paling penting atau menonjol secara

historis adalah tarif (tariff). Tarif adalah pajak atau cukai yang dikenakan untuk

suatu komoditi yang diperdagangkan lintas-batas teritorial. Ditinjau dari aspek

asal komoditi, tarif terbagi menjadi dua macam, yakni tarif impor (import tariff)

yang berarti pajak yang dikenakan untuk setiap komoditi yang diimpor dari

negara lain dan tarif ekspor (export tariff) yang berarti pajak untuk suatu komoditi

yang diekspor (Salvatore, 1997: 270). Apabila ditinjau dari mekanisme

perhitungannya, jenis tarif terbagi atas tarif spesifik, ad valorem, dan gabungan.

Tarif spesifik dikenakan sebagai beban tetap unit barang yang diimpor. Jika tarif

ad valorem adalah pajak yang dikenakan berdasarkan angka presentase tertentu

dari nilai barang-barang yang diimpor. Sedangkan tarif campuran adalah

gabungan dari keduanya, yaitu mengenakan pungutan dalam jumlah tertentu dan

juga memungut dalam bentuk persen.

Pemberlakuan tarif berdampak terhadap produksi, konsumsi, perdagangan,

dan kesejahteraan di negara tersebut, termasuk dampaknya terhadap hubungan

perdagangannya dengan negara-negara lain. Berdasarkan analisis keseimbangan

23

parsial yang dikemukakan Salvatore (1997: 274) ada dampak yang ditimbulkan

dari pemberlakuan tarif, sebagaimana terlihat pada Gambar 6.

Gambar 6. Dampak Keseimbangan Parsial Akibat Pemberlakuan Tarif Sumber: Salvatore (1997: 274)

Berdasarkan Gambar 6 di atas dapat dilihat dampak dari kebijakan tarif.

Dimana Dx adalah kurva permintaan dan Sx melambangkan kurva penawaran

komoditi X. Jika negara A sama sekali tidak mengadakan hubungan perdagangan

internasional maka negara A akan mengalami keseimbangan di titik E yang

merupakan titik perpotongan antara Dx dan Sx. Selanjutnya jika negara A

melakukan hubungan perdagangan internasional maka ia akan menikmati harga

yang jauh lebih murah (P1) sehingga konsumsinya berada pada (X4). Ketika

negara A memberlakukan hambatan tarif berupa tarif ad valorem terhadap

komoditi yang di impor, maka akan menyebabkan harga tinggi sehingga naik ke

(P2). Harga yang tinggi (P2) menyebabkan konsumen di negara tersebut

menurunkan tingkat konsumsinya menjadi (X3) dengan (X2) merupakan produksi

domestiknya (Salvatore, 1997: 273).

24

2.3.2. Hambatan Non-Tarif (Non-Tariff Barriers)

Menurut Salvatore (1997: 315), ketika tingkat tarif di berbagai negara

diturunkan secara berarti melalui serangkaian negosiasi perdagangan multilateral,

jumlah dan peranan berbagai bentuk hambatan perdagangan non-tarif tersebut

justru melonjak. Hambatan non-tarif adalah hambatan masuk sebuah produk yang

bukan disebabkan karena adanya pengenaan tarif impor, tetapi akibat adanya

pelarangan, penunjukan pada perusahaan tertentu saja sebagai pihak yang

menangani pemasaran dan pembuatan satu jenis barang. Praktik non-tarif

merupakan tindakan kebijakan dan praktik yang menghambat volume, komposisi

dan arah perdagangan barang atau upaya menghambat sampainya barang ke

konsumen di suatu negara. Hambatan non-tarif ada yang tertulis ada yang tidak.

Baik hambatan tarif maupun non-tarif, keduanya dianggap sebagai hambatan

buatan atau yang dibuat sebagai imbangan hambatan alamiah yang berupa jarak,

sumber alam dan lain-lain (Halwani, 2002: 102).

Hambatan non-tarif ini merupakan hambatan birokrasi, yang merupakan

bagian dari fungsi pemerintah mengenakan “tarif bayangan” (Shadow tariff) pada

pembelian sektor publik. Yakni memutuskan barang yang akan di impor hanya

apabila harga barang yang akan di impor tersebut (X) lebih murah daripada

barang yang menjadi alternatif pilihan. Dalam kasus lain, proteksi identik dengan

operasi normal yang dilakukan oleh lembaga birokrasi (Halwani, 2002: 102).

Menurut Salvatore (1997: 315), bentuk hambatan yang sering terjadi

dalam perdagangan antara lain terkait kuota impor, pembatasan ekspor secara

“sukarela”, dan tindakan-tindakan anti-dumping. Dalam praktik perdagangan

25

dunia di era modern ini, pemerintah melakukan intervensi dalam perdagangan

internasional dengan menggunakan instrumen kebijakan lainnya yang lebih

kompleks yaitu kebijakan yang menyembunyikan motif proteksi. Instrumen

kebijakan yang menonjol antara lain pemberian subsidi ekspor, pembatasan

impor, konsep pengekangan ekspor secara sukarela (voluntary export restrain),

dan persyaratan kandungan lokal (local contain requirement). Namun Halwani

(2002: 103) memiliki pendapat yang berbeda, menurutnya yang termasuk

hambatan non-tarif sebagai berikut:

1. Customs Clearance

Merupakan bentuk clearance yang harus disetujui oleh pegawai pabean dari

isian formulir yang ada dengan barang yang di impor. Pihak pabean dapat

menghambat masuknya barang dengan mempersulit proses persetujuan dan

dengan tidak menunjukkan sikap keinginan bekerjasama. Pengisian formulir

yang terlalu banyak dan berbelit-belit merupakan salah satu bentuk

menghambat lancarnya arus impor.

2. Customs Valuation

Penilaian atas barang yang di impor, di mana aparat bea dan cukai tidak

selalu mempercayai harga yang tercantum pada invoice. Apabila check price

lebih tinggi daripada harga pada invoice, maka aparat mempergunakan check

price, sehingga beban pajak menjadi lebih besar. Akan tetapi, apabila harga

pada invoice lebih tinggi daripada check price, harga pada invoice yang

dipakai, maka pajak akan lebih tinggi pula.

26

3. Customs Classification

Merupakan rincian klasifikasi untuk beberapa jenis barang yang di impor.

Jenis hambatan nontarif ini sering menimbulkan peluang untuk interpretasi

klasifikasi yang berbeda-beda dan menempatkan barang pada klasifikasi yang

lebih tinggi daripada yang seharusnya. Akibatnya pajak yang dibayarkan akan

lebih tinggi. Praktik itu menimbulkan kebingungan dan ketidakpastian.

4. Import Licensing

Izin istimewa yang diberikan pada importir tertentu, meskipun jumlah

kasusnya tidak banyak, import licensing tidak memungkinkan adanya

persaingan yang wajar dan sistem kerja yang efisien.

5. Packaging and Labelling Regulations

Merupakan bentuk hambatan dalam bentuk kesempurnaan pengemasan dan

pemenuhan peraturan pengenaan tanda (label) bahwa barang yang di impor

atau yang di ekspor telah sesuai dengan standar negara pengimpor atau

standar internasional.

6. Foreign Exchange Control

Foreign Exchange Control adalah salah satu bentuk kontrol lalu lintas devisa

bagi setiap transaksi impor ekspor (ke dalam dan ke luar negeri).

7. Consular Formalities

Consular formalities adalah hambatan yang mengharuskan importir

menunjukkan adanya surat dari konsuler dari negara di mana barang tersebut

di impor.

27

Non tariff measures (NTMs) didefinisikan sebagai kebijakan-kebijakan

selain tarif yang secara potensial dapat memiliki pengaruh ekonomi pada

perdagangan komoditi internasional, dengan mengubah kuantitas perdagangan

atau harga atau keduanya (UNCTAD, 2013). UNCTAD mengklasifikasikan

NTMs secara mendetail, dimana klasifikasi tersebut merupakan taksonomi dari

semua langkah tindakan yang dianggap relevan dalam perdagangan internasional

saat ini. Terdapat enam belas klasifikasi yang dibuat oleh UNCTAD, dimana 6

kategori utamanya yaitu price contol measures; finance measures; automatic

licensing measures; quantity control measures; monopolistic measures; dan

technical measures.

Pada tahun 2013 UNCTAD melakukan pembaharuan dengan

menambahkan cabang klasifikasi baru. Dimana sebelumnya telah dibentuk tim

yang dinamakan Multi Agency Support Team (MAST) pada tahun 2006 untuk

menyusun dan memperbaharui klasifikasi, metode penghitungan, dan

pengumpulan data NTMs. Hal yang baru dari klasifikasi NTMs ini yaitu adanya

penambahan beberapa cabang klasifikasi baru (Gambar 7). Secara garis besar,

dibagi menjadi dua bagian pokok yaitu Import Measures dan Export Measures.

Pada import measures terbagi lagi menjadi dua bagian yaitu technical measures

dan non technical measures. Sementara pada export measures hanya satu

klasifikasi yaitu export related measures. Kegiatan ekspor hasil perikanan

umumnya lebih sering dihadapkan dengan hambatan nontarif terkait sanitary and

phytosanitary (SPS) dan technical barrier to trade (TBT), dimana Technical

Barrier to Trade (TBT) dan Sanitary and Phytosanitary (SPS) merupakan

28

kebijakan yang paling banyak diberlakukan oleh seluruh negara di dunia

(UNCTAD, 2013).

Gambar 7. Klasifikasi Non-Tariff Measures (NTMs)

Sumber: UNCTAD (2013: 4)

2.3.3. Sanitary and Phytosanitary (SPS) dan Technical Barrier To Trade (TBT)

Sanitary and Phytosanitary (SPS) dan Technical Barriers to Trade (TBT)

merupakan bagian dari technical measures. Kebijakan SPS termasuk peraturan

dan pembatasan dengan tujuan untuk melindungi manusia, hewan atau tumbuhan

hidup atau kesehatan. Sementara untuk TBT membahas mengenai semua

peraturan teknis lainnya, standar dan prosedur penilaian kesesuaian yang

diberlakukan bukan dengan tujuan perdagangan. Penggunaan SPS lebih banyak

pada sektor pertanian dan produk yang berasal dari hewan. Penerapan kebijakan

SPS dan TBT merupakan kebijakan yang paling banyak diterapkan di negara-

29

negara di dunia khususnya negara maju. Banyaknya negara yang memberlakukan

SPS dan TBT menimbulkan kekhawatiran bagi pengekspor dari negara-negara

berkembang (Dahar dkk., 2014: 99).

Sanitary and Phytosanitary (SPS) adalah tindakan-tindakan yang

diterapkan untuk melindungi kehidupan manusia atau hewan dari risiko yang

timbul dari adanya zat adiktif, pencemaran, racun, atau organisme penyebab

penyakit yang terdapat dalam makanan (UNCTAD, 2013). SPS bertujuan untuk

melindungi manusia, tumbuhan hidup atau hewan dari hewan yang membawa

penyakit, untuk melindungi hewan atau tanaman dari hama, penyakit atau

organisme penyebab penyakit.

Technical Barrier to Trade (TBT) adalah tindakan yang mengacu pada

regulasi teknis, standar, dan prosedur penilaian kesesuaian produk (UNCTAD,

2013). Regulasi teknis merupakan dokumen yang menetapkan karakteristik

produk atau yang terkait dengan proses dan cara produksinya, termasuk yang

berlaku dalam ketentuan administratif. Hal ini juga dapat mencakup simbol,

pengemasan, penandaan atau pelabelan seperti yang digunakan pada produk,

proses atau cara produksi. Prosedur penilaian kesesuaian adalah prosedur yang

digunakan, baik secara langsung maupun tidak langsung, untuk menentukan

bahwa persyaratan relevan dalam peraturan teknis atau memenuhi standar, yang

mungkin mencakup antara lain prosedur pengambilan sampel, pengujian dan

inspeksi, evaluasi, dan sebagainya.

30

2.4. Gravity Model

Gravity Model adalah suatu model analisis yang digunakan untuk

menganalisis faktor-faktor ekonomi dan non-ekonomi yang dapat memengaruhi

perdagangan antara dua negara berdasarkan hukum gravitasi Newton. Gravity

model pertama kali digunakan dalam analisis perdagangan internasional oleh Jan

Timbergen (1962) yang menganalisis arus perdagangan di negara-negara Eropa

(Dahar, 2014: 15). Model gravitasi yang didasarkan pada hukum gravitasi

Newton, menyatakan bahwa gaya gravitasi antara dua benda secara langsung

dipengaruhi secara proporsional oleh massa dari kedua benda dan sebaliknya

secara proporsional dipengaruhi oleh jarak kuadrat antara keduanya. Dalam

konteks perdagangan internasional, model ini menyatakan bahwa intensitas

perdagangan antara negara-negara akan berhubungan secara positif dengan

pendapatan nasional masing-masing negara, dan berhubungan terbalik dengan

jarak diantara keduanya. Secara sistematis persamaan model gravitasi dapat

dijelakan sebagai berikut:

Dimana:

Xij : Volume aliran perdagangan

Yi.Yj : Ukuran ekonomi untuk perdagangan

Distij : Jarak antar kedua negara

Ai : Konstanta. Nilainya tergantung dari unit apa yang akan digunakan

dalam perhitungan.

α1, α2, α3 : Parameter yang di estimasi

31

Persamaan gravitasi dapat dianggap sebagai semacam representasi singkat

penawaran dan permintaan. Jika negara i adalah negara asal, maka Yi mewakili

jumlah total yang bersedia dipasok ke semua pelanggan. Sementara Yj mewakili

jumlah total tujuan negara j yang diminta. Jarak bertindak sebagai semacam pajak

“wedge” yang memberlakukan biaya perdagangan dan menghasilkan arus

keseimbangan (Dahar, 2014: 16).

Zarzoso dan Lehmann (2003: 298) juga menggunakan model dasar

Gravity Model untuk menganalisis data panel pada tahun 1988-1996 dengan 20

sampel negara di Uni Eropa. Umumnya persamaan ini lebih sering digunakan

untuk mengetahui pengaruh dari pendapatan antar negara, jarak ekonomi antar

negara serta faktor-faktor lain yang dianggap dapat mempengaruhi perdagangan

kedua negara. Adapun persamaan Gravity Model yang digunakan oleh Zarzoso

dan Lehmann (2003) adalah sebagai berikut:

lXijt = αij + β1lYit + β21Yjt + β3lNit + β4lNjt + β5lDij + β6lAij + eijt

Dimana:

lXijt : Volume aliran perdagangan antar kedua negara

αij : Konstanta

β1lYit : Pendapatan eksportir

β2lYjt : Pendapatan importir

β3lNit : Populasi eksportir

β4lNjt : Populasi importir

β5lDij : Jarak ekonomi

β6lAij : Faktor lainnya yang dapat memengaruhi perdagangan kedua negara

eijt : Eror

t : Waktu (Tahun)

32

2.4.1. Produk Domestik Bruto (PDB)

PDB merupakan salah satu indikator penting karena dapat menunjukkan

beberapa hal penting dalam sebuah perekonomian. Pertama, besarnya PDB

merupakan gambaran awal tentang seberapa efisien sumber daya yang ada dalam

perekonomian (tenaga kerja, barang modal, uang, dan kemampuan

kewirausahaan) digunakan untuk memproduksi barang dan jasa. Secara umum,

semakin besar PDB, maka semakin baik efisiensi alokasi sumber daya

ekonominya. Kedua, besarnya PDB merupakan gambaran awal tentang

produktivitas dan tingkat kemakmuran suatu negara. Ketiga, PDB merupakan

gambaran awal tentang masalah-masalah mendasar yang dihadapi suatu

perekonomian. Jika sebagian besar PDB dinikmati oleh sebagian penduduk, maka

perekonomian tersebut mempunyai masalah dengan distribusi pendapatannya

(Rahardja dan Manurung, 2008: 223).

Sedangkan Salvatore (1997: 21) menyebutkan bahwa PDB adalah nilai

pasar semua barang dan jasa akhir yang dihasilkan dalam suatu periode waktu

tertentu oleh faktor-faktor produksi yang berlokasi dalam suatu negara. Penelitian

Dilanchiev (2012) dan Doumbe dan Belinga (2015) juga menggunakan PDB

sebagai salah satu variabelnya. Pada kedua penelitian tersebut dibuktikan bahwa

PDB memiliki pengaruh positif terhadap perdagangan. Dilanchiev (2012: 77)

menjelaskan bahwa semakin besar ukuran suatu negara maka semakin besar

kemampuan negara tersebut dalam melakukan perdagangan ekspor dan impor

dengan negara lain.

33

2.4.2. Jarak Ekonomi

Jarak ekonomi adalah jarak antara kedua negara berdasarkan jarak bilateral

antara kota besar kedua negara. Jarak ini digunakan untuk gambaran biaya

transportasi yang dibutuhkan untuk melakukan ekspor dan impor (Mayer dan

Zignago, 2011: 11). Semakin jauh jarak transaksi maka biaya transportasi akan

semakin besar dan nilai ekspor semakin rendah. Li et al. (2008: 8), menggunakan

variabel jarak ekonomi dalam penelitiannya yang berjudul Component Trade and

China’s Global Economic Integration sebagai gambaran biaya transportasi Cina

ke negara-negara tujuan ekspornya. Adapun rumus jarak ekonomi sebagai berikut:

Jarak ekonomi = Jarak geografis x

Jarak ekonomi dalam perdagangan dianggap berpengaruh negatif. Hal ini

sudah dibuktikan oleh penelitian Li et al. (2008), Dilanchiev (2012), Pradipta dan

Firdaus (2014), serta Doumbe dan Belinga (2015), yang menyimpulkan bahwa

jarak ekonomi berpengaruh negatif dan signifikan. Pada penelitian Salam dan

Nugroho (2016: 126-127) juga membuktikan bahwa variabel jarak ekonomi

bernilai negatif, hanya saja tidak signifikan. Dalam penelitiannya, dijelaskan

bahwa jarak ekonomi bukan menjadi penentu dominan keputusan suatu negara

untuk melakukan ekspor atau impor, karena jarak ekonomi hanya memengaruhi

sebagian kecil biaya mengingat kemajuan teknologi yang tinggi saat ini.

Kemajuan teknologi yang terus berkembang pesat saat ini tentunya akan

berdampak pada biaya pemindahan barang yang akan menjadi semakin murah dan

cepat secara berkelanjutan.

34

2.4.3. Populasi

Populasi menurut World Bank (2017) adalah seluruh penduduk yang

tinggal di sebuah negara tanpa menghiraukan status legal atau kewarganegaraan.

Jumlah penduduk yang banyak akan memperbesar pengeluaran konsumsi secara

menyeluruh walaupun pengeluaran rata-rata perorang atau perkeluarga relatif

rendah. Misalnya, walaupun tingkat konsumsi rata-rata penduduk Indonesia lebih

rendah daripada penduduk Singapura, tetapi secara absolut tingkat pengeluaran

konsumsi Indonesia lebih besar daripada Singapura karena jumlah penduduk

Indonesia 51 kali lipat penduduk Singapura (Rahardja dan Manurung, 2008: 267).

Oleh karena itu dalam konteks perdagangan, populasi dianggap memiliki

pengaruh positif dan signifikan terhadap tinggi rendahnya volume ekspor-impor

suatu negara. Hal inilah yang dibuktikan oleh penelitian Sitorus (2009) dan Dahar

(2014).

Dalam penelitian Sitorus (2009: 41) disebutkan bahwa pertambahan

populasi pada negara importir dapat berada pada sisi penawaran maupun

permintaan. Pada sisi penawaran, pertambahan populasi akan meningkatkan

produksi dalam negeri dalam hal kuantitas maupun diversifikasi produk negara

importir. Kondisi ini akan mengakibatkan penurunan permintaan komoditi ekspor

oleh negara importir. Pertambahan populasi pada sisi permintaan akan

meningkatan permintaan komoditi ekspor dari negara importir. Maka jumlah

komoditi yang diperdagangkan antar kedua negara semakin besar.

35

2.4.4. Harga

Salah satu faktor yang mempengaruhi permintaan adalah harga barang itu

sendiri. Harga adalah jumlah yang harus ditagihkan untuk suatu produk atau jasa

(Kotler dan Keller, 2009: 18). Jika harga suatu barang semakin murah, maka

permintaan terhadap barang tersebut akan bertambah, begitu juga sebaliknya. Hal

ini sesuai dengan hukum permintaan, yaitu bila harga suatu barang naik, ceteris

paribus, maka jumlah barang yang diminta akan berkurang, begitu juga

sebaliknya. Jika harga suatu barang turun, ceteris paribus, maka jumlah barang

yang diminta akan bertambah (Rahardja dan Manurung, 2008: 24).

Namun ternyata harga memiliki dua pengaruh, yaitu positif dan negatif.

Penelitian Pradipta dan Firdaus (2014), menyimpulkan bahwa harga berpengaruh

negatif dan signifikan. Sedangkan penelitian Setiawan dan Sugiarti (2016)

menyimpulkan hal yang sebaliknya, dimana pada penelitiannya harga justru

berpengaruh positif dan signifikan. Dalam hal ini Setiawan dan Sugiarti melihat

dari sudut pandang negara eksportir, dimana jika terjadi kenaikan harga ekspor

maka akan mendorong produsen domestik untuk meningkatkan volume ekspornya

guna menghasilkan keuntungan yang lebih besar.

2.4.5. Nilai Tukar Rupiah

Nilai tukar didasari oleh dua konsep. Pertama adalah konsep nominal,

merupakan konsep untuk mengukur perbedaan harga mata uang yang menyatakan

berapa jumlah mata uang suatu negara yang diperlukan guna memperoleh

sejumlah mata uang dari negara lain. Kedua adalah konsep riil yang dipergunakan

36

untuk mengukur dayasaing komoditi ekspor suatu negara di pasaran internasional

(Halwani, 2002: 186).

Sedangkan Mankiw dkk. (2012: 193) menyatakan bahwa nilai tukar

nominal (nominal exchange rate) adalah nilai yang digunakan seseorang saat

menukarkan mata uang suatu negara dengan mata uang negara lain. Sedangkan

nilai tukar riil (real exchange rate) adalah nilai yang digunakan seseorang saat

menukarkan barang dan jasa dari suatu negara dengan barang dan jasa dari negara

lain. Secara umum rumus nilai tukar riil adalah:

Nilai tukar riil = Nilai tukar nominal x

Nilai tukar riil diantara kedua negara dihitung dari nilai tukar nominal dan

tingkat harga di kedua negara. Jika nilai tukar riil adalah tinggi, berarti harga

barang-barang luar negeri relatif murah dan harga barang-barang domestik relatif

mahal. Sebaliknya, jika nilai tukar riil rendah berarti harga barang-barang luar

negeri relatif mahal dan harga barang-barang domestik relatif murah (Rahardja

dan Manurung, 2008: 308).

Nilai tukar rupiah dalam hal ini memiliki dua pengaruh, yaitu positif dan

negatif. Dalam penelitian Setiawan dan Sugiarti (2016), nilai tukar rupiah

disimpulkan memiliki pengaruh positif dan signifikan. Mereka menyebutkan

bahwa terjadinya depresiasi kurs dollar akan menyebabkan nilai rupiah melemah

yang akan menyebabkan ekspor meningkat dan impor cenderung menurun.

Sedangkan pada penelitian Aditama dkk. (2015) serta Pradipta dan Firdaus (2014),

37

menyimpulkan bahwa nilai tukar berpengaruh negatif dan signifikan terhadap

perdagangan.

2.4.6. Produksi

Produksi dapat dinyatakan sebagai seperangkat prosedur atau kegiatan

yang dilakukan untuk menciptakan atau menghasilkan produk dan jasa (Downey

dan Erickson, 1988: 396). Menurut Atmadji (2004), impor akan terjadi apabila

produksi tidak mampu memenuhi kebutuhan dalam negeri. Suatu negara akan

melakukan impor karena mengalami kekurangan atau kegagalan dalam

berproduksi, untuk memenuhi kebutuhan konsumsi penduduknya.

Dalam konteks ini produksi memiliki dua pengaruh, yakni positif dan

negatif. Penelitian Putra (2017) serta Setiawan dan Sugiarti (2016),

menyimpulkan bahwa produksi bepengaruh positif dan signifikan. Sedangkan

pada penelitian Huda dan Widodo (2017), mereka menyimpulkan bahwa produksi

memiliki pengaruh negatif dan signifikan. Dalam penelitiannya mereka berasumsi

bahwa kenaikan produksi kelapa sawit yang terjadi pada periode sebelumnya,

belum tentu mendorong kenaikan volume ekspor di tahun tersebut. Dalam arti ada

waktu penyesuaian untuk mendorong ekspor. Sehingga dapat dikatakan produksi

kelapa sawit periode lalu bisa meningkatkan ekspor CPO pada saat ini, karena

meskipun produksi naik saat ini belum tentu akan menaikkan volume ekspornya

juga.

38

2.5. Penelitian Terdahulu

Penelitian terkait hambatan non-tarif dan faktor-faktor yang berpengaruh

terhadap perdagangan internasional merupakan tema penelitian yang sebelumnya

telah banyak diteliti, baik di Indonesia maupun di luar negeri. Dalam penelitian ini

terdapat empat penelitian terdahulu yang digunakan sebagai acuan dalam

pemilihan metode analisis dan variabel-variabel yang dipilih. Adapun penelitian

terdahulu yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

Tabel 3. Penelitian Terdahulu

No Judul

Penelitan

Metode

Penelitian Hasil Penelitian

Persamaan dan

Perbedaan

1 Empirical

Analysis of

Georgian

Trade Pattern:

Gravity Model

(Azer

Dilanchiev,

2012)

Gravity Model

1. GDP per kapita,

jarak ekonomi,

dan FDI

bepengaruh

terhadap

perdagangan

Georgia.

2. Nilai tukar,

populasi

Georgia, dan

populasi negara

lain tidak

berpengaruh

signifikan.

Persamaan:

Menggunakan

metode Gravity

Model

Perbedaan:

Penelitian ini

menambahkan

variabel

produksi, harga

ekspor, dan

dummy NTMs.

39

Tabel 3. Penelitian Terdahulu (Lanjutan)

No Judul

Penelitan

Metode

Penelitian Hasil Penelitian

Persamaan dan

Perbedaan

2 Analisis

Dampak Non-

Tariff

Measures

(NTMs)

Terhadap

Ekspor Ikan

Tuna Indonesia

ke Negara

Tujuan Utama

(Oktavina

Widya

Kristriana,

2015)

1. Pendekan

Inventory

(Coverage

Ratio dan

Frequency

Index)

2. Gravity

Model

1. Tuna beku

paling banyak

diekspor. Arus

ekspor terbesar

adalah ke

Jepang.

2. Tuna segar

paling banyak

terkena NTMs.

Amerika Serikat

merupakan

negara tujuan

utama yang

paling banyak

memberlakukan

NTMs (SPS dan

TBT).

3. GDP per kapita

dan populasi

serta jarak

ekonomi

merupakan

faktor yang

mempengaruhi

ekspor tuna

Indonesia. Nilai

tukar riil tidak

memberikan

pengaruh yang

signifikan. SPS

dan TBT yang

diukur dengan

pendekatan

coverage ratio

memiliki

pengaruh positif

terhadap ekspor

tuna Indonesia.

Persamaan:

Metode analisis

menggunakan

Gravity Model

dan komoditi

yang digunakan

meliputi tuna

segar, beku dan

kaleng.

Perbedaan:

Penelitian ini

hanya

terfokuskan

pada negara-

negara Uni

Eropa, jumlah

tahun yang

dianalisis lebih

banyak, terdapat

variabel

tambahan pada

penelitian ini

yaitu produksi,

harga ekspor

dan dummy

NTMs.

40

Tabel 3. Penelitian Terdahulu (Lanjutan)

No Judul

Penelitan

Metode

Penelitian Hasil Penelitian

Persamaan dan

Perbedaan

3 Trade Flows

Analysis And

The Role of

Standards on

Canned Tuna

Trade

(Khairunnisa

Nur Rahmah,

2016)

Gravity Model

(membandingk

an OLS dan

Poisson

Pseudo

Maximum

Likelihood

(PPML))

1. Model gravitasi

menggunakan

estimasi PPML

memberikan

hasil yang lebih

baik untuk

mengetahui

perubahan

dalam aliran

perdagangan

tuna kaleng.

2. Faktor yang

berpengaruh

positif adalah

produksi tuna

kaleng, GDP

negara tujuan

ekspor, nilai

tukar dan

partisipasi

dalam

perjanjian

perdagangan

bebas.

3. Semua variabel

standar

berpengaruh

negatif dan

signifikan

terhadap ekspor

tuna kaleng dari

Thailand,

Filipina dan

Indonesia.

Persamaan:

Metode analisis

menggunakan

Gravity Model

dan variabel

yang digunakan

meliputi

produksi, GDP,

nilai tukar.

Perbedaan:

Pada penelitian

ini, komoditas

tuna yang

digunakan

meliputi tuna

segar, beku dan

kaleng.

Penelitian ini

juga

menggunakan

variabel jarak

ekonomi,

populasi, harga

ekspor dan

dummy NTMs

sebagai variabel

tambahan.

41

Tabel 3. Penelitian Terdahulu (Lanjutan)

4 A Gravity

Model Analysis

for Trade

Between

Cameroon and

Twenty-Eight

European

Union

Countries

(Eric Doumbe

dan Thierry

Belinga, 2015)

Gravity Model 1. GDP per kapita

berpengaruh

secara positif

dan signifikan

terhadap

perdagangan

bilateral antara

Uni Eropa dan

negara Kamerun

2. Jarak ekonomi

berpengaruh

secara negatif

dan signifikan

terhadap

perdagangan

bilateral antara

Uni Eropa dan

negara

Kamerun.

Persamaan:

Menggunakan

metode Gravity

Model

Perbedaan:

Penelitian ini

menambahkan

variabel

produksi, harga

ekspor,

populasi, nilai

tukar riil dan

dummy NTMs.

2.6. Kerangka Pemikiran Operasional

Ikan tuna merupakan salah satu produk andalan ekspor perikanan tangkap

Indonesia ke pasar Uni Eropa. Sayangnya kegiatan ekspor ke pasar Uni Eropa

tidak terlepas dari berbagai macam hambatan. Salah satu hambatan yang

berpengaruh terhadap kinerja ekspor tuna Indonesia ke Eropa yaitu terkait

hambatan non-tarif atau Non Tariff Measures (NTMs). Uni Eropa sendiri

merupakan negara yang paling banyak memberlakukan kebijakan non-tarif jika

dibandingkan dengan negara Amerika Serikat dan Jepang sebagai negara tujuan

utama ekspor ikan tuna Indonesia. Salah satu tujuan diberlakukannya Non Tariff

Measures (NTMs) itu sendiri sebagai bentuk tindakan proteksi bagi produsen

maupun konsumen dalam negeri.

42

Kebijakan Non Tariff Measures (NTMs) yang diberlakukan untuk produk

perikanan di pasar Uni Eropa yakni terkait kebijakan Sanitary and Phitosanitary

(SPS) dan Technical Barriers to Trade (TBT). Dampak dari pemberlakuan NTMs

di Uni Eropa itu sendiri diduga menjadi salah satu penyebab volume ekspor ikan

tuna Indonesia ke pasar Uni Eropa berfluktuatif, bahkan terjadi penurunan volume

ekspor secara terus menerus ditahun 2014 dan 2015. Oleh karena itu, untuk

mengetahui bagaimana pemberlakuan hambatan non-tarif di pasar Uni Eropa serta

faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi permintaan ikan tuna Indonesia di

pasar Uni Eropa maka dilakukan penelitian tentang analisis hambatan non-tarif

dan faktor-faktor lain yang mempengaruhi volume ekspor tuna Indonesia ke pasar

Uni Eropa.

Faktor-faktor yang diduga mempengaruhi volume ekspor ikan tuna

Indonesia ke pasar Uni Eropa ada 7 variabel yaitu, produksi ikan tuna Indonesia,

GDP per kapita negara tujuan, nilai tukar riil rupiah terhadap dollar Amerika

Serikat, harga ekspor ikan tuna Indonesia ke negara tujuan, jarak ekonomi,

populasi manusia di negara tujuan serta dummy pemberlakuan NTMs (SPS dan

TBT). Variabel-variabel tersebut nantinya akan dianalisis menggunakan

pendekatan Gravity Model. Selanjutnya dapat ditarik kesimpulan terkait pengaruh

pemberlakuan hambatan non-tarif dan faktor-faktor lain terhadap volume ekspor

tuna Indonesia di ke pasar Uni Eropa. Adapun kerangka pemikiran dari penelitian

ini dapat dilihat pada Gambar 8 berikut.

43

Gambar 8. Kerangka Pemikiran Operasional

Keterangan: = Alur Pemikiran

= Alat Analisis

Ikan Tuna Sebagai Andalan Ekspor

Indonesia di Pasar Uni Eropa

Kebijakan Perdagangan Internasional

di Pasar Uni Eropa

Hambatan Non-Tarif

Diidikasikan Kebijakan Non-Tarif (SPS dan

TBT) Menyebabkan Ekspor Tuna Indonesia

ke Uni Eropa Berfluktuatif

Faktor-Faktor yang

Mempengaruhi Ekspor

Tuna Indonesia ke Pasar

Uni Eropa

Pendekatan

Gravity Model

Kesimpulan dan Saran

Variabel:

GDP Per Kapita

Negara Tujuan

Jarak Ekonomi

Populasi

Harga Ekspor

Nilai Tukar

Produksi

Dummy NTMs

(SPS dan TBT)

44

2.7. Hipotesis Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah, tujuan penelitian, dan kerangka pemikiran

yang telah dipaparkan sebelumnya, maka diajukan sebuah dugaan sementara atau

hipotesis. Beberapa hipotesis yang dapat diajukan dalam penelitian ini adalah:

1. GDP per kapita negara tujuan diduga berpengaruh positif terhadap volume

ekspor tuna Indonesia, artinya jika GDP per kapita negara tujuan mengalami

peningkatan maka volume ekspor tuna Indonesia akan meningkat.

2. Jarak ekonomi antara Indonesia dan negara tujuan diduga berpengaruh negatif

terhadap volume ekspor tuna Indonesia, artinya jika jarak ekonomi antara

Indonesia dan negara tujuan semakin jauh maka volume ekspor tuna

Indonesia akan menurun.

3. Nilai tukar riil rupiah terhadap dollar Amerika Serikat diduga berpengaruh

negatif terhadap volume ekspor tuna Indonesia, artinya jika terjadi kenaikan

nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat maka volume ekspor ikan

tuna Indonesia akan menurun ke negara tujuan.

4. Harga ekspor ikan tuna diduga berpengaruh negatif terhadap volume ekspor

tuna Indonesia, artinya jika harga ekspor ikan tuna mengalami peningkatan

maka volume ekspor tuna Indonesia ke negara tujuan akan menurun.

5. Populasi di negara tujuan diduga berpengaruh positif terhadap volume ekspor

tuna Indonesia, artinya jika populasi di negara tujuan mengalami peningkatan

maka volume ekspor tuna Indonesia akan meningkat.

45

6. Produksi tuna di Indonesia diduga berpengaruh positif terhadap volume

ekspor tuna Indonesia, artinya jika produksi tuna Indonesia meningkat maka

volume ekspor tuna Indonesia ke negara tujuan juga akan meningkat.

7. Dummy Non Tariff Measures (NTMs) SPS dan TBT diduga berpengaruh

negatif terhadap volume ekspor tuna Indonesia, artinya jika terdapat

hambatan non-tarif di negara tujuan maka volume ekspor tuna Indonesia akan

menurun ke negara tujuan.

46

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan cara mengambil data dari beberapa

lembaga yang terkait dengan penelitian. Lembaga-lembaga tersebut meliputi

Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Kementerian Perdagangan Republik

Indonesia, dan lembaga-lembaga lainnya yang menunjang penelitian, serta

penelitian-penelitian terdahulu. Selain itu, data yang diperoleh pada penelitian ini

juga diperoleh dengan mengakses website yang berkaitan dengan judul penelitian.

Adapun website yang diakses terdiri dari website UN Comtrade, World Bank,

FAO, UNCTAD, I-TIP WTO dan CEPII. Adapun waktu penelitian ini dimulai

dari bulan Agustus - Desember 2017.

3.2. Jenis dan Sumber Data

Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif deskriptif cross-sectional

menggunakan data panel, yaitu time series tahun 2009-2015 dan cross section

lima negara di Uni Eropa. Nantinya data-data tersebut akan diolah dengan

menggunakan aplikasi Microsoft Excel 2007 dan STATA 13. Komoditas yang

digunakan pada penelitian ini yakni meliputi tuna segar, beku dan kaleng dengan

kode HS 02 yang terdiri dari 6 digit (Lampiran 1). Adapun data dalam penelitian

ini adalah data sekunder yang diperoleh dari beberapa sumber sebagai berikut:

47

Tabel 4. Jenis Data dan Sumber Data

Jenis Data Sumber Data Satuan

Volume dan Nilai Ekspor Tuna UN Comtrade Ton dan USD

PDB per Kapita World Bank USD

Populasi World Bank Jiwa

Harga Ekspor UN Comtrade USD/Ton

Jarak Ekonomi CEPII Km

Nilai Tukar Riil UNCTAD Rp/USD

Produksi Fishstat-FAO Juta Ton

Dummy NTMs (SPS dan TBT) I-TIP WTO

3.3. Populasi dan Sampel

Populasi dalam penelitian ini adalah ke-28 negara yang tergabung dalam

perserikatan Uni Eropa. Penentuan sampel dalam penelitian ini menggunakan

nonprobability sampling dengan metode purposive sampling, yaitu sampel dengan

pertimbangan tertentu (Sugiyono, 2011: 68). Sampel dalam penelitian ini adalah

negara-negara di Uni Eropa yang melakukan impor tuna dari Indonesia secara

kontinyu dalam kurun waktu 7 tahun mulai tahun 2009 sampai 2015, dimana

komoditas yang diimpor terdiri dari tuna segar, beku dan kaleng. Adapun negara-

negara Uni Eropa yang menjadi sampel dalam penelitian ini yaitu Belanda,

Belgia, Italia, Jerman, dan United Kingdom.

3.4. Metode Pengolahan Data dan Analisis Data

Data-data yang diperoleh selama penelitian akan diolah menggunakan alat

analisis kualitatif berupa analisis deskriptif dan alat analisis kuantitatif berupa

48

analisis regresi data panel. Data panel adalah data yang berstruktur urut waktu

(time series) dan data beberapa objek pada satu waktu (cross section).

Menurut Suliyanto (2011: 229), data panel memilki beberapa kelebihan

dibandingkan data time series maupun cross section yang terdiri dari:

1. Memiliki tingkat heterogenitas yang lebih tinggi. Hal ini karena data

tersebut melibatkan beberapa individu dalam beberapa waktu.

2. Mampu memberikan data yang lebih informatif, bervariasi, serta memiliki

tingkat kolinearitas yang rendah. Hal ini karena menggabungkan data time

series dan cross section.

3. Cocok untuk studi perubahan dinamis karena data panel pada dasarnya

adalah data cross section yang diulang-ulang (serie).

4. Mampu mendeteksi dan mengukur pengaruh yang tidak dapat diobservasi

dengan data time series murni atau data cross section murni.

5. Mampu mempelajari model perilaku yang lebih kompleks. Misalnya,

fenomena perubahan teknologi.

3.4.1. Analisis Deskriptif

Analisis deskriptif merupakan analisis yang dilakukan dengan cara

memberikan penggambaran. Tujuan dari analisis deskriptif adalah untuk

memberikan gambaran secara sistematis dan akurat mengenai hubungan antara

fenomena yang diteliti. Fenomena-fenomena yang dideskripsikan dalam

penelitian tentang analisis pengaruh hambatan non-tarif dan faktor-faktor lain

terhadap volume ekspor ikan tuna Indonesia ke pasar Uni Eropa ini berupa kinerja

perdagangan komoditi ikan tuna Indonsia di pasar Uni Eropa, negara pesaing

49

ekspor tuna Indonesia ke Uni Eropa, dan regulasi perdagangan tuna di pasar Uni

Eropa.

3.4.2. Analisis Regresi Data Panel

Analisis kuantitatif yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis

regresi data panel dengan pendekatan Gravity Model. Model Gravity adalah

model estimasi yang digunakan untuk menganalisis faktor-faktor ekonomi dan

non-ekonomi yang dapat memengaruhi perdagangan antara dua negara. Adapun

variabel independen yang digunakan dalam penelitian ini meliputi GDP per kapita

negara importir, jarak ekonomi antara Indonesia dengan negara importir, populasi

negara importir, kurs riil Indonesia, harga ekspor tuna, produksi tuna Indonesia,

serta dummy NTMs (SPS dan TBT). Sedangkan variabel dependennya yaitu

volume ekspor tuna Indonesia ke negara importir di kawasan Uni Eropa.

Estimasi model pada penelitian ini ditransformasikan kedalam bentuk ln

(logaritma natural). Tujuannya agar model memenuhi uji asumsi klasik dan

menghindari model dari bias. Persamaan gravity model yang digunakan merujuk

pada model gravity penelitian Zarzoso dan Lehmann (2003). Maka formulasi

model estimasi yang dibuat sebagai berikut:

lnVexijt = β0 + β1lnPDBCjt + β2lnJEijt + β3lnKRjt + β4lnHRGijt + β5lnPOPjt +

β6lnPRODit + β7DSPSijt + β8DTBTijt + εijt

Keterangan:

Vexijt = Volume ekspor tuna Indonesia ke negara importir di Uni

Eropa pada tahun t (Ton)

β0 = Konstanta/ Intersep

50

β1- βn = Parameter yang diestimasi

PDBCjt = GDP per kapita negara importir di Uni Eropa pada tahun t

(Juta USD)

JEijt = Jarak ekonomi antara Indonesia ke negara importir di Uni

Eropa pada tahun t (Km)

POPjt = Populasi negara importir di Uni Eropa pada tahun t (Jiwa)

KRijt = Nilai kurs riil Indonesia terhadap negara importir di Uni

Eropa pada tahun t (Rp/USD)

HRGijt = Harga ekspor tuna Indonesia ke negara importir di Uni

Eropa (USD/Ton)

PRODit = Produksi tuna Indonesia pada tahun t (Ton)

Dummy SPSijt = Dummy SPS. Angka 1 mewakili data adanya pemberlakuan

kebijakan non-tarif SPS oleh Uni Eropa terhadap ekspor tuna

Indonesia pada tahun t dan angka 0 mewakili data tidak

adanya pemberlakuan kebijakan non-tarif SPS oleh Uni Eropa

terhadap ekspor tuna Indonesia pada tahun t

Dummy TBTijt = Dummy TBT. Angka 1 mewakili data adanya pemberlakuan

kebijakan non-tarif TBT oleh Uni Eropa terhadap ekspor tuna

Indonesia pada tahun t dan angka 0 mewakili data tidak

adanya pemberlakuan kebijakan non-tarif TBT oleh Uni Eropa

terhadap ekspor tuna Indonesia pada tahun t

εijt = Error term

t = Waktu (Tahun ke-t)

51

3.4.3. Uji Kesesuaian Model

Sebelum memasuki tahap uji asumsi klasik, hal pertama yang harus

dilakukan adalah menentukan model terbaik melalui tiga metode estimasi regresi

data panel yakni Common Effect Model (CEM), Fixed Effect Model (FEM), dan

Random Effect Model (REM). Widarjono (2009: 231-237) menyatakan bahwa

secara umum data panel akan menghasilkan intersep dan slope koefisien yang

berbeda pada setiap negara dan setiap periode waktu. Oleh karena itu,

pengestimasian persamaan data panel akan sangat tergantung dari asumsi yang

dibuat tentang intersep, koefisien slope, dan variabel pengganggunya. Dengan

demikian untuk mendapatkan model estimasi terbaik, model persamaan yang

dibuat sebelumnya dalam penelitian ini harus melalui 3 metode estimasi terlebih

dahulu. Terkait ketiga model estimasi regresi data panel tersebut secara rinci akan

dijelaskan dibawah ini:

1. Common Effect Model (CEM)

Model CEM merupakan model dengan koefisien tetap antara waktu dan

individu. Model CEM hanya mengkombinasikan data time series dan cross

section. Dalam pendekatan ini tidak memperhatikan dimensi individu maupun

waktu. Sehingga diasumsikan bahwa perilaku data antara individu sama

dalam berbagai kurun waktu. Model ini juga memiliki kelemahan yaitu

ketidaksesuaian model dengan keadaan yang sesungguhnya (Astuti, 2010:

135). Untuk mengestimasi persamaan dengan model CEM, command yang

digunakan dalam STATA 13 adalah xtreg (variabel yang estimasi).

52

2. Fixed Effect Model (FEM)

Model FEM merupakan model dengan slope konstan tetapi intersep berbeda

antara individu. Cara untuk menangkap adanya perbedaan pada intersep baik

lintas unit cross section maupun antar unit time series pada model ini yakni

dengan memasukkan variabel dummy ke dalam model estimasi. Hsiao (2002)

dalam Astuti (2010: 135) juga menyebutkan bahwa pada Common Effect

Model, parameter diestimasi dengan menggunakan metode Ordinary Least

Square (OLS) atau metode kuadrat terkecil. Pada model FEM, struktur

komponen eror dapat diabaikan sehingga parameter diestimasi juga dengan

metode OLS tetapi dengan penambahan variabel dummy dalam proses

estimasinya. Untuk mengestimasi persamaan dengan model FEM, command

yang digunakan dalam STATA 13 adalah xtreg (variabel yang estimasi), fe.

Namun, jika model FEM yang digunakan menggunakan pendekatan LSDV

(Least Square Dummy Variable) maka command yang digunakan dalam

STATA 13 adalah xi: regress (variabel yang diestimasi) i.country.

3. Random Effect Model (REM)

Model REM merupakan model yang mempunyai variabel gangguan berbeda

antara individu tetapi tetap antara waktu. Model random merupakan model

yang akan mengestimasi data panel di mana variabel gangguan mungkin

saling berhubungan antara waktu dan individu. Oleh sebab itu, metode yang

tepat digunakan untuk mengestimasi model REM adalah Generalized Least

Squares (GLS). Untuk mengestimasi data panel dengan model REM,

53

command yang digunakan dalam STATA 13 adalah xtreg (variabel yang

estimasi), re.

Setelah menguji persamaan regresi data panel yang dibuat terhadap ketiga

model estimasi yang sudah dijelaskan diatas. Maka langkah selanjutnya yaitu

memilih model mana yang sesuai untuk mengestimasi data panel pada penelitian

ini. Model terbaik dapat diperoleh dengan melakukan uji statistika. Uji statistika

yang terdapat dalam regresi data panel untuk menentukan model terbaik yaitu :

1. Uji Chow

Menurut Widarjono (2009: 238) uji Chow digunakan untuk mengetahui

apakah model FEM lebih baik daripada model CEM atau sebaliknya, hal tersebut

dapat dilihat dari signifikansi FEM dan uji F statistik, jika F hitung lebih besar

dari F tabel, maka H0 ditolak dan H1 diterima. Begitu juga sebaliknya, apabila F

hitung lebih kecil dari F tabel, maka H0 diterima. Berikut hipotesis uji Chow:

H0 : Common Effect Model lebih baik daripada Fixed Effect Model

H1 : Fixed Effect Model lebih baik daripada Common Effect Model

2. Uji Hausman

Menurut Widarjono (2009: 240-241), uji Hausman digunakan untuk

memilih apakah model FEM lebih baik dari model REM atau sebaliknya. Uji

Hausman didasarkan pada Least Square Dummy Variable (LSDV) pada FEM dan

GLS pada REM. Uji ini mengikuti statistika chi square dengan degree of freedom

sebanyak k (jumlah variabel independen). Jika nilai statistik Hausman lebih besar

daripada nilai kritisnya, maka H0 ditolak. Sebaliknya, apabila nilai statistik

54

Hausman lebih kecil daripada nilai kritisnya, maka H0 diterima Berikut hipotesis

uji Hausman:

H0 : Random Effect Model lebih baik daripada Fixed Effect Model

H1 : Fixed Effect Model lebih baik daripada Random Effect Model

3. Uji Lagrange Multiplier

Lagrange Multiplier (LM) adalah uji untuk mengetahui apakah model

REM atau CEM yang paling tepat digunakan. Uji signifikansi REM ini

dikembangkan oleh Breusch Pagan. Metode Breusch Pagan untuk uji signifikansi

REM didasarkan pada nilai residual dari metode OLS (Widarjono, 2009: 239).

Hipotesis yang digunakan adalah:

H0: Common Effect Model lebih baik daripada Random Effect Model

H1: Random Effect Model lebih baik daripada Common Effect Model

Uji LM ini didasarkan pada distribusi chi-squares dengan degree of

freedom sebesar jumlah variabel independen. Jika nilai LM statistik > nilai kritis

statistik chi-squares, maka kita menolak H0 yang artinya estimasi yang tepat untuk

model regresi data panel adalah metode REM daripada metode CEM. Sebaliknya

jika nilai LM < kecil dari nilai statistik chi-squares sebagai nilai kritis, maka

hipotesis nul diterima yang artinya estimasi yang digunakan dalam regresi data

panel adalah metode CEM bukan metode REM.

3.4.4. Least Square Dummy Variable (LSDV)

Least Square Dummy Variable (LSDV) adalah teknik memasukan variabel

dummy ke dalam model estimasi Fixed Effect Model. Hal tersebut dikarenakan

55

pada model Fixed Effect diasumsikan bahwa koefisien slope konstan tetapi

intersep bervariasi setiap individu. Istilah fixed effect berasal dari kenyataan

bahwa meskipun intersep berbeda antar individu namun intersep antar waktu

sama, sedangkan slope tetap sama antar individu dan waktu (Gujarati, 2003: 642).

Oleh sebab itu, untuk melihat perbedaan nilai parameter pada intersep baik lintas

unit cross section maupun antar unit time series maka digunakan variabel dummy

sebagai variabel tambahan dalam model estimasi. Sehingga model persamaan

regresi data panel fixed effect dengan menggunakan pendekatan Least Square

Dummy Variable (LSDV) dapat ditulis sebagai berikut:

Yit = β0iDit + βkXkit + εit

Keterangan:

Yit = variabel terikat untuk unit individu ke-i dan waktu ke-t

Xkit = variabel bebas ke-k untuk unit individu ke-i dan waktu ke-t

β0i = intersep untuk unit individu ke-i

βk = slope bersama untuk semua unit

Dit = variabel dummy (Dit = 1, untuk objek pertama dan Dit = 0, untuk objek

lainnya)

εit = error untuk invidu ke-i dan waktu ke-t

i = 1,2,...,N untuk unit individu

t = 1,2,...,N untuk unit waktu

Parameter model fixed effect pada data panel diestimasi dengan

menggunakan Ordinary Least Square (OLS). Oleh karena itu model fixed effect

disebut juga pendekatan LSDV (Least Square Dummy Variable). Pada

perkembangannya, dapat pula memasukkan unsur time effect, sehingga intersep

individu tidak konstan lagi sepanjang waktu. Pengaruh time effect itu dihitung

dengan menambahkan variabel dummy untuk waktu (Gujarati, 2003: 642-643).

56

3.4.5. Pengujian Asumsi (Uji Asumsi Klasik)

Dalam gravity model pada perdagangan bilateral, diperlukan pengujian

asumsi pada data panel untuk mengetahui estimasi bias. Jika model yang terpilih

berdasarkan uji Hausman adalah REM maka estimasi dari model diasumsikan best

linier unbiased estimator (BLUE) dan tidak perlu dilakukan pengujian terhadap

tiga asumsi utama model BLUE (non-multicolinierity, homoskedasticity, dan non-

autocorelation). Hal ini dikarenakan dua alasan, yaitu: (i) sifat data panel adalah

bebas dari gejala multikolinieritas; dan (ii) REM adalah model generalized least

square (GLS), dan estimasi dengan menggunakan GLS secara otomatis sudah

terbebas dari gejala autokorelasi, bahkan terbebas dari gejala heteroskedastisitas

yang disebabkan variansi sisaannya konstan (Gujarati (2004) dalam Sari (2015:

31)). Jika model yang terpilih adalah FEM maka perlu dilakukan pengujian

terhadap asumsi sisaan yaitu Multikolinieritas, Heteroskedastisitas, dan

Autokorelasi.

1. Uji Normalitas

Uji normalitas dimaksudkan untuk menguji apakah nilai residual yang

telah distandarisasi pada model regresi berdistribusi normal atau tidak. Nilai

residual dikatakan berdistribusi normal jika nilai residual terstandarisasi tersebut

sebagian besar mendekati nilai rata-ratanya. Dalam arti lain, uji normalitas disini

tidak dilakukan per variabel tetapi hanya terhadap nilai residual terstandarisasinya

(Suliyanto, 2011: 68).

Pada penilitian ini uji normalitas dilakukan dengan cara uji Jarque Bera

dan analisis grafik. Apabila nilai probabilitas pada uji Jarque Bera lebih besar

57

dibandingkan dengan taraf nyata (lima persen) maka dapat dikatakan nilai residual

terstandarisasi pada model sudah berdistribusi normal dan jika Histogram

Standardized Regression Residual pada analisis grafik membentuk kurva seperti

lonceng maka nilai residual pada model dapat dinyatakan normal.

2. Uji Multikolinearitas

Uji multikolinearitas bertujuan untuk menguji apakah dalam model regresi

yang terbentuk ada korelasi yang tinggi atau sempurna di antara variabel bebas

atau tidak. Jika dalam model regresi yang terbentuk terdapat korelasi yang tinggi

atau sempurna di antara variabel bebas maka model regresi tersebut dinyatakan

mengandung gejala mulikolinearitas (Suliyanto, 2011:81).

Menurut Widarjono (2009: 106), pendeteksian ada tidaknya

multikolinearitas yaitu dengan menganalisis korelasi berpasangan yang tinggi

diantara variabel-variabel independen. Jika antar variabel independen terdapat

koefisien korelasi yang tinggi (di atas 0,85) maka dapat disimpulkan bahwa dalam

model terdapat multikolinearitas. Jika koefisien korelasi lebih rendah dari 0,85

maka model tidak mengandung multikolinearitas.

Juanda (2009) dalam Pradipta (2014: 28), menyebutkan bahwa

permasalahan multikolinearitas pada model dapat di atasi dengan cara

memanfaatkan informasi sebelumnya, mengeluarkan pengubah bebas yang

memiliki kolinearitas tinggi, melakukan transformasi variabel ke dalam bentuk

Logaritma Natural (ln), menggunakan regresi komponen utama, menggabungkan

data cross section dengan data time series atau yang lebih dikenal dengan panel

58

data, mengecek ulang asumsi pada saat menetapkan model, dan menambahkan

data yang baru.

3. Uji Heteroskedastisitas

Heteroskedastisitas berarti ada varian variabel pada model regresi yang

tidak sama (konstan). Sebaliknya, jika varian variabel pada model regresi

memiliki nilai yang sama (konstan) maka disebut homoskedastisitas. Yang

diharapkan dalam model regresi adalah homoskedastisitas. Masalah

heteroskedastisitas sering terjadi pada penelitian yang menggunakan data cross

section (Suliyanto, 2011: 94).

Permasalahan heteroskedastisitas dapat diatasi dengan memberikan bobot

Weighted Least Square (WLS) melalui Generalized Least Squares (GLS) pada

model atau mentransformasikan data kedalam bentuk logaritma natural (Juanda

(2009) dalam Pradipta, 2014: 29)).

4. Uji Autokorelasi

Uji autokorelasi bertujuan untuk mengetahui apakah ada korelasi antara

serangkaian data observasi yang diuraikan menurut waktu (time series) atau ruang

(cross section) (Suliyanto, 2011: 125).

Pada penelitian ini, data yang digunakan merupakan data panel yang

merupakan gabungan dari data time series dan cross section, sehingga uji

autokorelasi tidak perlu dilakukan. Pada umumnya uji autokorelasi hanya

dilakukan pada data time series atau cross section saja. Jika memang uji

autokorelasi tetap dilakukan pada penelitian ini, maka nilai tersebut tidak

59

memiliki makna sama sekali. Selain itu, STATA 13 sebagai alat analisis yang

digunakan pada penelitian ini juga tidak mampu menyajikan data uji autokorelasi

menggunakan data panel.

3.4.6. Uji Parameter Model

Setelah memalui pengujian asumsi klasik, hal selanjutnya yang harus

dilakukan yaitu melakukan uji parameter model. Pengujian parameter model

bertujuan untuk mengetahui kelayakan model dan apakah koefisien yang

diestimasi telah sesuai dengan teori atau hipotesis. Pengujian parameter meliputi

koefisien determinasi (R2), uji koefisien regresi secara menyeluruh (F-test/Uji F)

dan uji koefisien regresi secara parsial (Uji t).

1. Uji F (Uji Simultan)

Uji-F digunakan untuk melakukan uji hipotesis koefisien (slope) regresi

atau parameter model secara menyeluruh/bersamaan. Ghozali (2006: 88)

menyebutkan bahwa untuk menguji hipotesis ini digunakan statistik F dengan

kriteria pengambilan keputusan sebagai berikut:

a. Bila nilai F lebih besar dari 4, maka H0 dapat ditolak pada derajat

kepercayaan 5% yang menyatakan bahwa semua variabel independen secara

serentak dan signifikan mempengaruhi variabel dependen.

b. Membandingkan nilai F hasil perhitungan dengan nilai F tabel. Bila F-hitung

> F tabel, maka H0 ditolak dan menerima H1.

60

2. Uji t (Uji Parsial)

Setelah melakukan uji koefisien regresi secara keseluruhan, maka langkah

selanjutnya adalah menguji koefisien regresi secara parsial menggunakan uji-t.

Ghozali (2006: 88-89) menyebutkan bahwa uji-t pada dasarnya menunjukkan

seberapa jauh pengaruh satu variabel independen secara individual dalam

menerangkan variasi variabel dependen. Cara melakukan uji t adalah sebagai

berikut:

1. Jika jumlah degree of freedom (df) adalah 20 atau lebih, dan derajat

kepercayaan sebesar 0,05, maka H0 dapat diterima dan apabila lebih dari 0,05,

maka H0 ditolak bila nilai t lebih dari 2 (nilai absolut).

2. Membandingkan nilai statistik t dengan titik kritis menurut tabel. Apabila t

hitung > t tabel, maka variabel independen secara parsial mempengaruhi

variabel dependen.

3. Membandingkan nilai probabilitas t (P-value) dengan taraf nyata (α). Apabila

nilai probabilitas t < α, maka variabel independen secara parsial berpengaruh

terhadap variabel dependen.

Pada penelitian ini uji parsial dilakukan dengan melihat nilai probabilitas t

(P-value) pada setiap variabel independen. Jika nilai probabilitas t (P-value) lebih

kecil dari derajat kepercayaan 5% (0,05), maka dapat dikatakan bahwa variabel

independen tersebut berpengaruh signifikan secara parsial terhadap variabel

dependen.

61

3. Koefisien Determinasi (R2)

Koefisien Determinan (R²) pada intinya mengukur seberapa jauh

kemampuan model dalam menerangkan variasi variabel dependen. Nilai koefisien

determinasi adalah antara nol sampai satu (0 ≤ R2

≤ 1). Nilai R² yang kecil berarti

kemampuan variabel independen dalam menjelaskan variasi variabel dependen

amat terbatas. Nilai yang mendekati satu berarti variabel independen memberikan

hampir semua informasi yang dibutuhkan untuk memprediksi variasi variabel

dependen. Jika nilai R² sama dengan satu, maka pendekatan tersebut terdapat

kecocokan sempurna dan jika R² sama dengan nol, maka tidak ada kecocokan

pendekatan (Ghozali, 2006: 87).

3.5. Definisi Operasional

Terdapat delapan variabel yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu

variabel volume ekspor tuna Indonesia sebagai variabel terikat, sedangkan PDB

per kapita, jarak ekonomi, produksi , harga ekspor, populasi, kurs riil serta dummy

NTMs (SPS dan TBT) adalah sebagai variabel bebas. Adapun definisi operasional

variabel-variabel tersebut adalah sebagai berikut:

62

Tabel 5. Definisi Operasional

Variabel Definisi Konseptual Definisi Operasional

lnVEXij Volume penjualan adalah ukuran

yang menunjukkan banyaknya

atau besarnya jumlah barang atau

jasa yang terjual (Daryanto,

2011: 187).

Ekspor adalah suatu kegiatan

ekonomi menjual produk dalam

negeri ke pasar di luar negeri

(Murni, 2009: 208).

Total keseluruhan tuna

Indonesia (segar, beku dan

kaleng) yang di ekspor ke

negara importir di Uni Eropa

pada tahun 2009-2015 dalam

satuan ton (ton/tahun).

lnPDBCj

PDB adalah nilai pasar semua

barang dan jasa akhir yang

dihasilkan dalam suatu periode

waktu tertentu oleh faktor-faktor

produksi yang berlokasi dalam

suatu negara (Salvatore, 1997:

21).

Nilai semua barang dan jasa

akhir yang dihasilkan selama

periode 2009-2015 oleh faktor-

faktor produksi di negara

importir (Belanda, Belgia, Italia,

Jerman dan UK) dalam satuan

Dolar (USD).

lnJEij Jarak ekonomi adalah jarak

antara kedua negara berdasarkan

jarak bilateral antara kota besar

kedua negara. Jarak ini

digunakan untuk gambaran biaya

transportasi yang dibutuhkan

untuk melakukan ekspor dan

impor (Mayer dan Zignago,

2011: 11)

Jarak antar Indonesia dengan

negara importir secara riil dan

ekonomi yang digunakan

sebagai proxy untuk biaya

transportasi dan komunikasi,

serta waktu pengiriman yang

dibutuhkan dalam kegiatan

ekspor dan impor dalam satuan

Km dengan rumus:

Jarak Ekonomi = Jarakij x (PDB

importir/Total PDB seluruh

negara yang dianalisis).

lnPRODi Produksi dapat dinyatakan

sebagai seperangkat prosedur

atau kegiatan yang dilakukan

untuk menciptakan atau

menghasilkan produk dan jasa

(Downey dan Erickson, 1988:

396)

Total keseluruhan produksi tuna

Indonesia yang diukur dalam

satuan ton pada periode 2009-

2015 (ton/tahun)

63

Tabel 5. Definisi Operasional (Lanjutan)

Variable Definisi Konseptual Definisi Operasional

lnHRGij Harga adalah jumlah yang harus

ditagihkan untuk suatu produk

atau jasa (Kotler dan Keller,

2009: 18).

Jumlah uang yang ditukarkan

oleh negara-negara importir di

Uni Eropa dengan tuna (segar,

beku dan kaleng) Indonesia pada

tahun 2009 - 2015 dalam satuan

Dolar (USD/ton).

Harga Ekspor = Nilai Ekspor/

Volume Ekspor

lnPOPj Populasi menurut World Bank

(2017) adalah seluruh penduduk

yang tinggal di sebuah negara

tanpa menghiraukan status

hukum atau kewarganegaraan

kecuali pencari suaka.

Semua warga negara di negara

importir (Belanda, Belgia, Italia,

Jerman dan UK) tanpa

memandang status hukum atau

kewarganegaraan kecuali

pencari suaka pada tahun 2009 –

2015 yang dihitung dalam

satuan jiwa.

lnKRij Kurs Riil (real exchange rate)

adalah nilai yang digunakan

seseorang saat menukarkan

barang dan jasa dari suatu

negara dengan barang dan jasa

dari negara lain (Mankiw dkk.,

2012: 193).

Kurs riil antara Indonesia

dengan negara importir di Uni

Eropa yang ditukarkan dengan

tuna (segar, beku dan kaleng)

Indonesia dalam satuan Rp/USD

dengan rumus:

KR= Kurs nominal x (IHK

Indonesia/IHK importir).

Dummy

SPSij dan

TBTij

Non tariff measures (NTMs)

didefinisikan sebagai kebijakan-

kebijakan selain tarif yang

secara potensial dapat memiliki

pengaruh ekonomi pada

perdagangan komoditi

internasional, dengan mengubah

kuantitas perdagangan atau

harga atau keduanya (UNCTAD,

2013)

Pemberlakuan kebijakan non-

tarif (SPS dan TBT) oleh komisi

Uni Eropa, yang secara potensial

dapat mempengaruhi ekonomi

pada perdagangan komoditi

internasional dengan mengubah

kuantitas perdagangan atau

harga atau keduanya.

64

BAB IV

GAMBARAN UMUM

4.1. Kinerja Perdagangan Komoditi Ikan Tuna Indonesia di Pasar Uni Eropa

Sebagai negara kepulauan, Indonesia memiliki potensi perairan yang

sangat luas dengan kepemilikan berbagai jenis ikan termasuk ikan tuna. Selain itu,

nilai ekonomis tuna yang lebih tinggi dibandingkan produk lainnya menciptakan

peluang besar bagi pengembangan kinerja ekspor tuna Indonesia. Jenis tuna yang

diperdagangkan dan memiliki potensi dalam pangsa internasional terdiri dari

bentuk ikan tuna segar (fresh/chilled), beku (frozen) dan ikan tuna olahan

(kaleng). Pasar Uni Eropa merupakan salah satu tujuan ekspor ikan tuna

Indonesia, adapun kinerja ekspor ikan tuna Indonesia di pasar Uni Eropa adalah

sebagai berikut:

1. Ekspor Ikan Tuna Segar (HS 0302.3)

Komoditi ikan tuna yang di ekspor ke pasar Uni Eropa dalam penelitian ini

dapat dilihat pada Lampiran 1. Berdasarkan data UN Comtrade (2017) pada Tabel

6 dibawah ini menunjukan bahwa kinerja ekspor ikan tuna segar mengalami tren

yang cenderung menurun. Hal tersebut dapat dilihat dari nilai ekspornya yang

terus mengalami pertumbuhan negatif sepanjang tahun 2011-2014. Sedangkan

volume ekspornya terus mengalami pertumbuhan negatif sepanjang tahun 2012-

2015. Bahkan volume ekspor tuna segar Indonesia ke pasar Uni Eropa mengalami

penurunan secara drastis ditahun 2014 dan 2015. Salah satu penyebab terjadinya

hal tersebut adalah adanya pemberlakuan kebijakan non-tarif oleh komisi Uni

Eropa, yakni kebijakan SPS (Sanitary and Phytosanitery) yang diberlakukan oleh

65

seluruh negara anggota Uni Eropa. Meskipun demikian, tingkat pertumbuhan nilai

ekspor ikan tuna segar Indonesia ke Uni Eropa mengalami pertumbuhan positif di

tahun 2015 dengan tingkat pertumbuhan mencapai 34,85%, meskipun volume

ekspor di tahun tersebut menurun dari tahun sebelumnya. Hal ini menunjukan

bahwa harga jual tuna segar di tahun tersebut tinggi, sehingga dapat dikatakan

bahwa tuna segar masih memiliki kinerja ekspor yang baik. Perkembangan kinerja

ekspor ikan tuna segar Indonesia periode 2009-2015 di pasar Uni Eropa dapat

dilihat sebagaimana pada Tabel 6 berikut.

Tabel 6. Perkembangan Ekspor Ikan Tuna Segar Indonesia di Pasar Uni Eropa

Tahun 2009-2015

Tahun Nilai Ekspor

(USD)

Tingkat

Pertumbuhan (%)

Volume

Ekspor (Ton)

Tingkat

Pertumbuhan

(%)

2009

2010

2011

2012

2013

2014

2015

1.241.225

3.750.993

3.503.762

1.200.675

621.597

199.996

269.697

0

202,20

-6,59

-65,73

-48,22

-67,82

34,85

325

711

767

200

168

39

33

0

118,98

7,91

-73,89

-16,13

-79,58

-17,07 Sumber : UN Comtrade, 2017 (Diolah)

2. Ekspor Ikan Tuna Beku (HS 0303.4)

Kinerja ekspor ikan tuna beku di pasar Uni Eropa jika dilihat berdasarkan

Tabel 7 cenderung mengalami penurunan di dua tahun terakhir yakni 2014 dan

2015. Hal tersebut dapat dilihat baik dari pertumbuhan volume ekspornya maupun

pertumbuhan nilai ekspornya yang bernilai negatif. Adapun tingkat pertumbuhan

nilai ekspor tuna beku di tahun 2014 dan 2015 adalah -43,42% dan -41,07%.

Sedangkan tingkat pertumbuhan volume ekspornya di tahun 2014 dan 2015

mengalami penurunan mencapai -45,91% dan -42,49%. Hal tersebut terjadi

66

karena volume ekspor tuna beku Indonesia ke pasar Uni Eropa mengalami

penurunan pada tahun-tahun tersebut, sehingga berdampak pula pada turunnya

nilai ekspor tuna beku Indonesia di pasar Uni Eropa. Terjadinya penurunan

volume dan nilai ekspor tuna tersebut disebabkan karena adanya penerapan

kebijakan non-tarif di tahun 2014 dan 2015, dimana kebijakan tersebut juga

diberlakukan oleh seluruh negara-negara di Uni Eropa. Adapun perkembangan

kinerja ekspor ikan tuna beku Indonesia periode 2009-2015 di pasar Uni Eropa

dapat dilihat sebagaimana pada Tabel 7 berikut.

Tabel 7. Perkembangan Ekspor Ikan Tuna Beku Indonesia di Pasar Uni Eropa

Tahun 2009-2015

Tahun Nilai Ekspor

(USD)

Tingkat

Pertumbuhan (%)

Volume

Ekspor (Ton)

Tingkat

Pertumbuhan

(%)

2009

2010

2011

2012

2013

2014

2015

1.574.635

2.776.903

18.532.782

17.778.945

31.495.947

17.817.893

10.498.897

0

76,35

567,39

-4,06

77,15

-43,42

-41,07

699

870

6.252

5.591

12.352

6.680

3.841

0

24,33

618,89

-10,57

120,91

-45,91

-42,49 Sumber : UN Comtrade, 2017 (Diolah)

3. Ekspor Ikan Tuna Olahan/ Kaleng (1604.14)

Jika melihat Tabel 8, dapat dikatakan bahwa kinerja ekspor tuna kaleng

pada tingkat pertumbuhan nilai ekspornya maupun volume ekspornya mengalami

hal yang serupa dengan kinerja ekspor tuna beku, yakni nilai ekspor maupun

volume ekspor tuna kaleng mengalami penurunan di tahun 2014 dan 2015

sehingga tingkat pertumbuhannya bernilai negatif di tahun tersebut. Adapun

tingkat pertumbuhan nilai ekspor tuna kaleng di tahun 2014 dan 2015 adalah -

23,90% dan -28,15%. Sedangkan tingkat pertumbuhan volume ekspornya di tahun

67

2014 dan 2015 mengalami penurunan mencapai -11,83% dan -18,43%. Hal

tersebut dikarenakan pada tahun 2014 dan 2015 komisi Uni Eropa menerapkan

kebijakan non-tarif terhadap produk tuna yang masuk ke wilayah Uni Eropa dan

kebijakan tersebut juga diberlakukan oleh seluruh negara yang tergabung dalam

perserikatan Uni Eropa. Meskipun demikian penurunan tertinggi ekspor tuna

kaleng terjadi di tahun 2010, dengan tingkat pertumbuhan volume ekspor

mencapai -22,22% dan pertumbuhan nilai ekspornya mencapai -36,17%. Alasan

terjadinya penurunan tersebut dapat diakibatkan oleh dampak dari krisis ekonomi

yang melanda Uni Eropa di tahun 2010. Adapun perkembangan kinerja ekspor

ikan tuna kaleng Indonesia periode 2009-2015 di pasar Uni Eropa dapat dilihat

sebagaimana pada Tabel 8 berikut.

Tabel 8. Perkembangan Ekspor Ikan Tuna Kaleng Indonesia di Pasar Uni Eropa

Tahun 2009-2015

Tahun Nilai Ekspor

(USD)

Tingkat

Pertumbuhan (%)

Volume

Ekspor (Ton)

Tingkat

Pertumbuhan

(%)

2009

2010

2011

2012

2013

2014

2015

40.593.869

25.908.444

73.227.305

87.266.976

127.616.484

97.111.410

69.767.722

0

-36,17

182,63

19,17

46,23

-23,90

-28,15

13.616

10.590

22.657

19.876

25.527

22.506

18.358

0

-22,22

113,94

-12,27

28,43

-11,83

-18,43 Sumber : UN Comtrade, 2017 (Diolah)

4.2. Negara Pesaing Ekspor Tuna Indonesia ke Pasar Uni Eropa

Kegiatan ekspor yang dilakukan oleh Indonesia ke pasar Uni Eropa tentu

tidak akan terlepas dari yang namanya persaingan dengan negara lain untuk

memperebutkan peluang pasar. Sebagai negara eksportir tuna ke pasar Uni Eropa,

Indonesia bukanlah satu-satunya negara yang menjadi eksportir tuna ke pasar Uni

68

Eropa. Tidak hanya bersaing dengan negara-negara di dunia, Indonesia juga harus

bersaing dengan beberapa negara di Asia Tenggara seperti Thailand, Filipina, dan

Vietnam. Bahkan negara Thailand dan Vietnam juga dikenal sebagai negara

produsen ikan terbesar di Asia Tenggara. Oleh karena itu, persaingan Indonesia

untuk menguasai pasar Uni Eropa juga terhambat dengan adanya pesaing dari

beberapa negara di Asia Tenggara. Adapun kontribusi ekspor ikan tuna Indonesia

dengan beberapa negara ASEAN ke pasar Uni Eropa adalah sebagai berikut:

1. Ekspor Ikan Tuna Segar Indonesia (HS 0302.3)

Ketersediaan komoditi tuna segar di pasar Uni Eropa, selama periode

2009-2015 masih didominasi oleh tuna segar asal negara Filipina. Bahkan di

tahun 2015 saja, volume ekspor tuna segar asal Filipina lebih tinggi dibandingkan

Indonesia, Thailand dan Vietnam. Meskipun demikian, produk tuna segar

Indonesia pernah menguasai pasar Uni Eropa di tahun 2013 dengan total volume

ekspor sebesar 18.800 kg. Namun di tahun 2015 Indonesia menduduki posisi

kedua setelah Filipina sebagai eksportir terbesar tuna segar di pasar Uni Eropa

dengan berkontribusi sebesar 16.762 kg atau sekitar 45% tuna segar di pasar Uni

Eropa masih dikuasai oleh Indonesia. Sedangkan negara Thailand sendiri baru

melakukan ekspor tuna segar ke Uni Eropa di tahun 2015 dengan total volume

ekspor sebesar 607 kg. Hal ini menunjukan bahwa permintan pasar Uni Eropa

terhadap komoditi tuna segar Indonesia masih cukup tinggi. Adapun

perkembangan volume ekspor ikan tuna segar Indonesia dan negara pesaing di

pasar Uni Eropa tahun 2009-2015 dapat dilihat sebagaimana pada Gambar 9

berikut.

69

Gambar 9. Perkembangan Volume Ekspor Tuna Segar Indonesia dan Negara

Pesaing di Pasar Uni Eropa Tahun 2009-2015

Sumber : UN Comtrade, 2017 (Diolah)

2. Ekspor Ikan Tuna Beku Indonesia (HS 0303.4)

Tidak hanya pada komoditi tuna segar, ketersediaan tuna beku di pasar

Uni Eropa juga di dominasi oleh negara Filipina. Hal tersebut dapat dilihat

sebagaimana pada Gambar 10 dibawah ini. Meskipun demikian, negara Thailand

pernah menjadi eksportir terbesar tuna beku ke Uni Eropa di tahun 2009 dengan

total volume ekspor sebesar 27.342.700 kg atau sekitar 73% ketersediaan tuna

beku di pasar Uni Eropa pada tahun tersebut berasal dari negara Thailand.

Sedangkan untuk negara Indonesia, paling banyak mengekspor tuna beku ke pasar

Uni Eropa pada tahun 2013 dengan total volume ekspor sebesar 12.399.400 kg.

Namun di tahun 2015, Indonesia menduduki posisi ketiga sebagai eksportir tuna

beku setelah Filipina dan Vietnam, dengan total volume ekspor yakni sebesar

3.380.237 kg atau sekitar 14% ketersediaan komoditi tuna beku di pasar Uni

Eropa diimpor dari Indonesia. Sedangkan negara Vietnam dan Thailand

berkontribusi sebesar 19% dan 13% terhadap ketersediaan tuna beku di pasar Uni

Eropa. Adapun perkembangan volume ekspor ikan tuna beku Indonesia dan

2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015

Filipina 20.700 41.400 24.163 3.600 1.400 3.807 18.483

Indonesia 5.900 33.854 11.500 0 18.800 2.700 16.762

Thailand 0 0 0 0 0 0 607

Vietnam 700 4.500 0 0 0 0 1.560

0

5.000

10.000

15.000

20.000

25.000

30.000

35.000

40.000

45.000 V

olu

me

Ek

spor

(kg)

70

negara pesaing di pasar Uni Eropa tahun 2009-2015 dapat dilihat sebagaimana

pada Gambar 10 berikut.

Gambar 10. Perkembangan Volume Ekspor Tuna Beku Indonesia dan Negara

Pesaing di Pasar Uni Eropa Tahun 2009-2015

Sumber : UN Comtrade, 2017 (Diolah)

3. Ekspor Ikan Tuna Kaleng Indonesia (HS 1604.14)

Berdasarkan data pada Gambar 11 dibawah ini, dapat diketahui bahwa

ketersediaan komoditi tuna kaleng di pasar Uni Eropa lebih didominasi oleh

produk tuna kaleng asal Thailand. Selama periode 2009-2015 saja negara

Thailand masih menduduki posisi pertama sebagai eksportir terbesar tuna kaleng

ke pasar Uni Eropa. Sedangkan Indonesia menduduki posisi ketiga setelah

Thailand dan Filipina sebagai eksportir tuna kaleng ke pasar Uni Eropa. Jika

melihat Gambar 11 dibawah ini dapat diketahui bahwa di tahun 2015 negara

Thailand, Indonesia dan Vietnam mengalami penurunan volume ekspor tuna

kaleng ke Uni Eropa, yang mengalami kenaikan volume ekspor hanya negara

Filipina. Negara Thailand mengalami penurunan volume ekspor sebesar

14.973.415 kg, sedangkan Indonesia dan Vietnam mengalami penurunan volume

0

5.000.000

10.000.000

15.000.000

20.000.000

25.000.000

30.000.000

2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015

Volu

me E

ksp

or (

kg)

Filipina Indonesia Thailand Vietnam

71

ekspor tuna kaleng masing-masing sebesar 1.824.451 kg dan 330.233 kg. Negara

Thailand, Filipina dan Indonesia juga dikenal sebagai pemasok utama tuna kaleng

di supermarket yang ada di pasar Uni Eropa. Meskipun demikian, kontribusi

ekspor tuna kaleng Indonesia masih kalah saing dengan produk tuna kaleng

negara Thailand maupun Filipina di Pasar Uni Eropa. Hal tersebut dapat terjadi

karena teknologi yang digunakan di negara tersebut jauh lebih maju dibandingkan

Indonesia. Selain itu, terjalinnya hubungan kerjasama antara UE dengan negara

Thailand, Filipina dan Vietnam melalui perjanjian CEPA (Comprehensive

Economic Partnership Agreement) membuat Indonesia lebih sulit untuk

menguasai pasar Uni Eropa. Adanya hubungan kerjasama tersebut akan

berdampak pada mudahnya akses pasar negara mitra dagang dan tarif bea masuk

impor juga akan lebih rendah. Sangat disayangkan, Indonesia hingga saat ini

masih dalam tahap negosiasi terhadap isi perjanjian CEPA dengan Uni Eropa.

Adapun perkembangan volume ekspor tuna kaleng Indonesia dan negara pesaing

di pasar Uni Eropa tahun 2009-2015 dapat dilihat sebagaimana pada Gambar 11

berikut ini.

Gambar 11. Perkembangan Volume Ekspor Tuna Kaleng Indonesia dan Negara

Pesaing di Pasar Uni Eropa Tahun 2009-2015

Sumber : UN Comtrade, 2017 (Diolah)

0

20.000.000

40.000.000

60.000.000

80.000.000

100.000.000

2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015

Volu

me

Ek

spor

(kg)

Filipina Indonesia Thailand Vietnam

72

4.3. Regulasi Perdagangan Tuna di Pasar Uni Eropa

Dalam pemasaran ikan dan produk perikanan internasional, salah satu

kesulitan yang dihadapi oleh para eksportir adalah standar dan aturan yang

berbeda yang diberlakukan oleh negara-negara importir pada negara eksportir

untuk menjamin bahwa produk tersebut memenuhi persyaratan keamanan pangan.

Adapun standar mutu secara internasional merupakan penggabungan 6 prinsip

utama, yaitu terbuka, transparan, tidak memihak, berdasarkan konsensus, efektif

dan relevan, koheren dan memilki dimensi perkembangan ((BSN, 2003) dalam

Rastikarany (2008: 63)).

Uni Eropa merupakan salah satu pasar tujuan ekspor tuna Indonesia yang

dikenal ketat akan aturan. Menurut Kementrian Perdagangan (2014a: 14), regulasi

yang diterapkan oleh pemerintahan Uni Eropa terhadap perdagangan tuna di

wilayah tersebut adalah sebagai berikut:

1. Peraturan Kemasan dan Pelabelan

a. Kemasan

Menurut Kementrian Perdagangan (2013: 17), kemasan yang digunakan

untuk produk tuna yang akan di impor ke Uni Eropa adalah:

1. Produk ikan beku untuk retail: kemasan utama menggunakan kotak karton,

kemasan kedua (bila ada) menggunakan plastik transparan.

2. Produk Ikan beku untuk grosir: kemasan plastik transparan.

3. Produk Ikan yang diawetkan atau sudah diolah untuk konsumsi: kemasan

dengan pengalengan atau plastik transparan. Kaleng yang digunakan

merupakan kaleng yang terbuat dari bahan metal.

73

b. Pelabelan

Semua bahan makanan yang dipasarkan di Uni Eropa harus mematuhi

aturan pelebelan Uni Eropa, hal tersebut bertujuan untuk memastikan bahwa

konsumen mendapatkan semua informasi penting untuk membuat pilihan saat

membeli bahan makanan. Label pada produk harus mencakup nama dan

penjelasan produk, istilah ilmiah, negara asal produk, bahan baku dan kandungan

nutrisi, tanggal kadaluarsa, barcode, logo sertifikasi (bila ada), metode

penyimpanan khusus (bila diperlukan), serta cara penggunaan produk. Informasi

ini harus dapat terbaca dengan jelas dan dengan mudah ditemukan oleh

konsumen. Berikut ini beberapa regulasi terkait dengan pelabelan produk

perikanan dapat dilihat sebagaimana pada Tabel 9 dibawah ini.

Tabel 9. Regulasi Terkait Pelabelan Produk Perikanan

Persyaratan

Pelabelan Umum

Semua produk yang ditujukan

untuk konsumsi manusia,produk

perikanan dan produk pertanian

harus memenuhi persyaratan

pelabelan makanan.

Regulation (EC) No.

1169/2011

CN coding system Label seluruh produk perikanan

yang diimpor ke Uni Eropa harus

mencakup: Merek komersil

(bahasa negara dan bahasa latin);

metode produksi (tangkapan laut

atau perairan darat); area

penangkapan.

Regulation (EC) No.

104/2000

Sumber: CBI (Central Bureau of Investigation) dalam Kemendag (2014a: 17)

2. Peraturan Keamanan Pangan

Mengingat pentingnya perdagangan internasional bagi industri tuna di Uni

Eropa, maka Uni Eropa menyusun persyaratan keamanan pangan untuk produk

74

perikanan dan pertanian. Secara umum peraturan pangan di Uni Eropa diatur

dalam General Food Law yang dibuat oleh Biro Investigasi Pusat (Central

Bureau of Investigation/ CBI), adapun beberapa peraturan spesifik untuk produk

perikanan dapat dilihat sebagaimana pada Tabel 10 berikut ini.

Tabel 10. Peraturan Terkait Keamanan Pangan

Topik Persyaratan Peraturan

Higienitas

Kontaminasi

Mikrobiologi

Batas-batasan berlaku untuk

Salmonella, E.coli,

histamin, dan coagulase-

positive staphylococci

Regulation (EC)

2073/2005

Substansi Terlarang

Hormon Batasan-batasan pemberian

hormonal, thyrostatic

action, dan beta-agonist

Directive 96/22/EC

Steroid, Obat-obatan

Hewan dan

Kontaminan

Obat-obatan hewan dan

kontaminan yang dilarang

adalah: antibakterial

(sulphonamides dan

quinolones), carbamates,

pyrethroids, sadatives,

organochlorine compounds,

organophosphorus

compounds, dan elemen

kimia.

Directive 96/23/EC

Pestisida Uni Eropa menetapkan

level maksimum untuk

residu pestisida dalam

makanan

Regulation (EC)

396/2005

Kontaminan Level maksimum

ditetapkan untuk:

Timbal, kadmium,

dan merkuri

Dioksin

Polycyclic aromatic

hydrocarbons (PAHs)

Regulation (EC)

1881/2006

Sumber: CBI (Central Bureau of Investigation) dalam Kemendag (2014a: 14)

75

Selain regulasi-regulasi tersebut, penggunaan protein yang dihidrolisis

untuk meningkatkan bobot ikan tuna juga dianggap sebagai penipuan terhadap

konsumen, maka hal ini dilarang oleh pemerintahan Uni Eropa.

3. Peraturan dan Sertifikat Kesehatan

Impor perikanan dan produk perikanan khususnya ikan tuna dan

olahannya yang ditujukan untuk konsumsi manusia di pasar Uni Eropa harus

sesuai dengan kondisi masyarakatnya. Hal tersebut bertujuan untuk menjamin

kesehatan dan keamanan seluruh makanan dan rantai pakan, serta untuk

menghindari penyebaran penyakit menular berbahaya bagi hewan dan manusia.

Adapun peraturan umum standar kesehatan yang diterapkan untuk produk tuna

dan olahannya berkaitan dengan:

Hasil pengawasan kesehatan dari negara setempat

Perizinan

Sertifikat kesehatan

Pengendalian kesehatan

Uni Eropa sendiri telah mewajibkan kepemilikan sertifikasi bagi semua

produk perikanan hasil tangkapan dari laut yang akan di ekspor ke kawasan

tersebut sejak 1 Januari 2010. Sertifikasi ini biasanya bersifat sukarela, namun

kepemilikan sertifikasi ini dapat meningkatkan dayasaing produk tersebut di

pasaran. Terdapat beberapa sertifikasi/ label berstandar internasional yang

mungkin disyaratkan oleh perusahaan pengimpor di Uni Eropa. Adapun daftar

sertifikasi yang digunakan dalam perdagangan tuna di pasar Uni Eropa dapat

dilihat sebagaimana pada Tabel 11 dibawah ini.

76

Tabel 11. Daftar Sertifikasi Perdagangan Ikan Tuna di Pasar Uni Eropa

Sertifikat Keterangan

Sertifikat ASC diprakarsai oleh World Wild Fund

(WWF) dan IDH, menyangkut standar global tentang

tanggung jawab industri perikanan terhadap

lingkungan. Mulai tahun 2013 sertifikat ini wajib

dimiliki bagi para produsen aquakultur yang ingin

memasarkan produknya ke Uni Eropa.

Marine Stewardship Council (MSC) adalah lembaga

pemberi sertifikat yang sangat penting di Uni Eropa,

lembaga ini mengatur usaha penangkapan ikan dan

udang yang berkelanjutan.

International Food Standards (IFS) adalah peraturan

operasional yang mengatur perihal kualitas dan

keamanan pangan.

Fair Trade USA adalah organisasi non-profit yang

menetapkan standar, mengesahkan, dan memberi label

produk guna mendukung penghidupan berkelanjutan

bagi petani dan pekerja dan melindungi lingkungan.

Sumber: CBI (Central Bureau of Investigation) dalam Kemendag (2014a: 16)

4. Standar Pemasaran

Standar pemasaran adalah persyaratan yang ditujukan untuk menjamin

konsumen Uni Eropa atas kualitas minimum dari suatu produk yang dijual kepada

konsumen, diatur dalam regulasi (EC) 2406/1996.

77

BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1. Pemberlakuan NTMs (Non Tariff Measures) pada Perdagangan Tuna di

Pasar Uni Eropa Tahun 2009 – 2015

Kebijakan Non Tarif Measure (NTMs) hingga saat ini masih menjadi isu

penting dalam lingkup perdagangan internasional. Adanya kecenderungan

perhatian masyarakat mengenai keamanan sebuah produk serta proses yang erat

kaitannya dengan keberlanjutan lingkungan menjadi salah satu faktor

diberlakukannya kebijakan perdagangan internasional berupa NTMs dalam upaya

peningkatan kesejahteraan nasional.

Uni Eropa merupakan salah satu pasar tujuan ekspor tuna Indonesia yang

memberlakukan NTMs sebagai usaha untuk menjamin kesehatan masyarakatnya

serta lingkungan. Terdapat dua kebijakan NTMs yang paling sering diberlakukan

oleh Uni Eropa terutama dalam subsektor perikanan, yakni Sanitary and

Phitosanitary (SPS) dan Technical Barrier to Trade (TBT). Kedua kebijakan ini

dimaksudkan sebagai tindakan perlindungan terhadap manusia, hewan, dan

tumbuhan, serta mencakup berbagai regulasi teknis dan prosedur penilaian

kesesuaian.

Selama periode 2009 hingga 2015, berdasarkan data dari WTO tercatat

bahwa Uni Eropa telah memberlakukan kebijakan NTMs berupa SPS dan TBT di

tahun 2011, 2014 dan 2015. Kebijakan ini ditujukan kepada seluruh importir atau

produsen produk perikanan termasuk tuna Indonesia yang diimpor ke Uni Eropa.

Adapun jumlah NTMs yang diberlakukan oleh Uni Eropa terhadap produk tuna

selama peiode 2009-2015 dapat dilihat pada Tabel 12 di bawah ini.

78

Tabel 12. Total NTMs yang Diberlakukan Uni Eropa terhadap Produk Tuna

Periode 2009-2015

NTMs Tahun Total

NTMs 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015

SPS/ TBT - - 1 TBT - - 2 SPS 2 SPS 5 NTMs

Sumber: WTO (2017)

Berdasarkan data pada Tabel 12 di atas dapat diketahui bahwa selama

periode 2009-2015 terdapat lima kebijakan NTMs yang telah diberlakukan oleh

komisi Uni Eropa terhadap produk tuna yang diimpor ke negara tersebut. Lima

kebijakan NTMs tesebut terdiri dari satu kebijakan TBT di tahun 2011, dua

kebijakan SPS di tahun 2014 dan dua kebijakan SPS di tahun 2015.

Pada tahun 2011, pemerintahan Uni Eropa telah memberlakukan kebijakan

TBT untuk produk perikanan, hal ini tentu juga berlaku untuk produk tuna.

Umumnya kebijakan TBT yang sering diberlakukan oleh Uni Eropa yakni terkait

peraturan pelabelan pada kemasan produk pangan. Hal ini seperti yang tercantum

pada peraturan G/TBT/N/EEC/191, regulasi ini merupakan gabungan dari regulasi

No. 2000/13/EC terkait pelabelan, penyajian dan periklanan bahan makanan dan

regulasi No. 90/496/EEC tentang pelabelan terkait nutrisi pada bahan makanan.

Adapun isi peraturan G/TBT/N/EEC/191 yakni tentang pelabelan informasi gizi

pada bahan makanan seperti informasi energi, lemak jenuh, karbohidrat serta

kadar gula dan garam. Informasi gizi ini dapat menjadi gambaran bagaimana

peraturan yang diberlakukan oleh negara asal produk tersebut. Hal ini menjadi

penting karena jika informasi tersebut tidak ada, maka akan timbul rasa ragu akan

keamanan pangan tersebut di mata konsumen Uni Eropa. Kebijakan ini berlaku

untuk produk tuna segar, beku dan kaleng.

79

Sedangkan di tahun 2014 dan 2015 pemerintahan Uni Eropa

memberlakukan kebijakan SPS untuk produk perikanan. Adapun kebijakan SPS

yang sering diterapkan oleh pemerintahan Uni Eropa yakni terkait keamanan

pangan dan kesehatan hewan. Di tahun 2014, pemerintahan Uni Eropa

menetapkan peraturan No. 601/2014 atau G/SPS/N/EU/83 dan peraturan No.

506/2014 atau G/SPS/N/EU/80 sebagai kebijakan SPS terkait keamanan pangan

yang diberlakukan untuk produk olahan termasuk tuna kaleng. Adapun isi

kebijakan peraturan No. 601/2014 yaitu terkait penggunaan zat aditif tertentu pada

produk makanan olahan seperti penggunaan zat pewarna (curcumin, beetroot red,

caramels, carmines, dan ekstrak paprika), penggunaan zat asam (asetat, sitrat,

askorbat, dan laktat), dan lain-lain. Sedangkan pada peraturan No. 506/2014

berisikan tentang penggunaan Ethyl Lauroyl Arginate sebagai pengawet pada

produk makanan yang melalui proses pemanasan. Hal ini bertujuan untuk

mengurangi jumlah mikroorganisme dan menghambat pertumbuhan

mikroorganisme pada produk pangan sehingga kualitas dan keamanan pangan

lebih terjaga.

Sedangkan kebijakan SPS yang diberlakukan pada tahun 2015 yakni

peraturan No. 2015/1554 atau G/SPS/N/EU/145 terkait kesehatan hewan dan

peraturan No. 2015/329 atau G/SPS/N/EU/122 terkait keamanan pangan dan

proteksi manusia dari penyakit. Kebijakan ini berlaku untuk produk tuna segar

dan beku. Pada peraturan No. 2015/1554 menyebutkan bahwa hewan yang masuk

ke Uni Eropa harus terbebas dari penyakit. Oleh sebab itu, pada peraturan ini

berisikan tentang pengujian laboratorium yang akan dilakukan jika muncul

80

kecurigaan adanya penyakit pada komoditi perikanan yang dimpor ke Uni Eropa.

Sedangkan, peraturan No. 2015/329 berisikan tentang rencana pameran makanan

yang akan dilaksanakan di Milan, tujuan diadakannya pameran tersebut untuk

memperkenalkan produk yang akan memasuki pasar Uni Eropa. Dalam hal ini

tidak semua negara diberi wewenang untuk mengekspor produknya ke Uni Eropa.

Acara tersebut juga memiliki persyaratan terkait keamanan pangan. Sehingga jika

terdapat produk yang tidak sesuai dengan peraturan yang ada, maka produk

tersebut tidak akan dikonsumsi bahkan tidak diperbolehkan untuk dipasarkan di

luar acara pameran tersebut.

Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa selama periode

2009 sampai 2015, kebijakan NTMs yang paling sering diberlakukan oleh

pemerintahan Uni Eropa adalah kebijakan SPS (Sanitary and Phitosanitary) yakni

terkait keamanan pangan dan kesehatan hewan. Sedangkan kebijakan TBT

(Technical Barrier to Trade) yang sering diberlakukan oleh Uni Eropa yakni

terkait pelabelan pada kemasan produk pangan. Untuk lebih singkatnya, terkait

peraturan NTMs yang diberlakukan oleh Uni Eropa selama periode 2009-2015

dapat dilihat sebagaimana pada Tabel 13 berikut ini.

81

Tabel 13. Peraturan NTMs yang Diberlakukan Uni Eropa Terhadap Produk Tuna

Periode 2009-2015

No. Kode

Peraturan Tahun

Deskripsi Peraturan

Produk Negara yang

Memberlakukan

1

G/TBT/N/EEC/191

2011

Peraturan terkait

informasi nutrisi pada label

kemasan produk

pangan

Tuna

segar, Tuna

Beku dan

Tuna

Kaleng

Seluruh Negara

di Uni Eropa

2

G/SPS/N/EU/83

2014

Peraturan terkait

penggunaan zat

aditif tertentu pada produk

makanan olahan

Tuna

Kaleng

Seluruh Negara

di Uni Eropa

3

G/SPS/N/EU/80

2014

Peraturan terkait

penggunaan Ethyl Lauroyl

Arginate sebagai

pengawet produk makanan olahan

yang melalui

prose pemanasan

Tuna

Kaleng

Seluruh Negara

di Uni Eropa

4

G/SPS/N/EU/145

2015

Peraturan terkait uji laboratorium

untuk menjamin

produk yang

bebas dari penyakit

Tuna segar dan

Tuna

beku

Seluruh Negara di Uni Eropa

5

G/SPS/N/EU/122

2015

Rencana

pelaksanaan pameran produk

pangan yang

akan

dilaksanakan di Milan

Tuna

segar dan Tuna

beku

Seluruh Negara

di Uni Eropa

Sumber: WTO (2017)

82

5.2. Analisis Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Volume Ekspor Ikan

Tuna Indonesia ke Pasar Uni Eropa

Pada penelitian ini gravity model digunakan untuk melihat pengaruh jarak

ekonomi (LnJE) dan Produk Domestik Bruto (PDBC) per Kapita negara importir

(LnPDBC) serta faktor-faktor ekonomi dan non ekonomi lainnya yang diduga

memengaruhi ekspor ikan tuna Indonesia ke pasar Uni Eropa. Adapun faktor-

faktor lain yang diduga mempengaruhi volume ekspor ikan tuna Indonesia yaitu,

harga ekspor ikan tuna Indonesia (LnHRG), nilai tukar riil rupiah terhadap dollar

Amerika Serikat (LnKR), populasi negara importir (LnPOP), dan produksi tuna

Indonesia (LnPROD) serta dummy NTMs (SPS dan TBT).

5.2.1. Pemilihan Model Regresi Data Panel

Pada pemilihan model terbaik, berdasarkan hasil uji Chow yang telah

dilakukan di dapat bahwa nilai probabilitas F-statistik lebih kecil dari taraf nyata

lima persen (0,00 < 0,05). Dengan demikian model terbaik yang terpilih adalah

Fixed Effect Model. Pemilihan model tersebut juga diperkuat dengan adanya hasil

dari uji Hausman, dimana nilai probabilitas chi square statistiknya lebih kecil dari

taraf nyata lima persen (0,00 < 0,05). Oleh karena itu Fixed Effect Model (FEM)

ditetapkan sebagai model estimasi terbaik. Adapun hasil estimasi Fixed Effect

Model yang digunakan pada penelitian ini merupakan hasil estimasi model efek

tetap dengan teknik Least Square Dummy Variable (LSDV). Karena model

estimasi yang terpilih adalah Fixed Effect Model (FEM), maka tidak perlu

dilakukan uji Lagrange Multiplier (LM). Uji Lagrange Multiplier digunakan

hanya untuk mengetahui apakah model Common Effect Model (CEM) lebih baik

83

dari Random Effect Model (REM). Adapun hasil pemilihan model terbaik dapat

dilihat sebagaimana pada Tabel 14 di bawah ini.

Tabel 14. Hasil Pemilihan Model Terbaik

Uji/ Hasil Uji Chow Uji Hausman

Hasil Prob > F = 0,0010 Prob > chi2 = 0,0063

Sumber: Lampiran 4a dan 4b

5.2.2. Uji Asumsi Klasik

Pengujian asumsi klasik bertujuan untuk mengetahui ada atau tidaknya

penyimpangan asumsi klasik dalam model volume ekspor ikan tuna Indonesia ke

pasar Uni Eropa. Berdasarkan pemilihan model terbaik maka uji asumsi klasik

yang akan dilakukan meliputi uji normalitas, uji multikolinearitas, uji

heteroskedastisitas, serta uji autokorelasi.

1. Uji Normalitas

Uji normalitas dimaksudkan untuk menguji apakah nilai residual yang

telah distandarisasi pada model regresi berdistribusi normal atau tidak. Dalam arti

lain, uji normalitas disini tidak dilakukan per variabel tetapi hanya terhadap nilai

residual terstandarisasinya (Suliyanto, 2011: 68). Pada penelitian ini uji

normalitas dilakukan dengan cara uji Jarque-Bera, yakni dengan melihat nilai

prob > chi2. Adapun hasil dari uji normalitas pada model estimasi volume ekspor

ikan tuna Indonesia ke pasar Uni Eropa dapat dilihat sebagaimana pada Tabel 15

dibawah ini.

84

Tabel 15. Hasil Uji Normalitas dengan uji Jarque-Bera

Uji Skewness/ Kurtosis

Variabel Obs Pr

(Skewness)

Pr

(Kurtosis) Adj chi2 (2) Prob > chi2

Resid 35 0,9944 0,7815 0,08 0,9622

Sumber: Lampiran 5a

Berdasarkan hasil uji normalitas pada Tabel 15 dapat diketahui bahwa

nilai probabilitas Jarque-Bera pada model estimasi adalah sebesar 0,9622. Nilai

tersebut terbukti lebih besar dari taraf nyata lima persen (0,9622 > 0,05), hal ini

menunjukkan bahwa data pada model estimasi sudah memenuhi asumsi

normalitas. Sehingga dapat dikatakan bahwa nilai residual pada model estimasi

yang telah terstandarisasi sudah berdistribusi normal.

Selain dengan uji Jarque-Bera, penelitian ini juga melakukan uji

normalitas dengan analisis grafik. Jika Histogram Standardized Regression

Residual pada analisis grafik membentuk kurva seperti lonceng maka nilai

residual pada model dapat dinyatakan normal. Adapun hasil dari uji normalitas

dengan analisis grafik pada model estimasi volume ekspor ikan tuna Indonesia ke

pasar Uni Eropa dapat dilihat sebagaimana pada Gambar 12 dibawah ini.

Gambar 12. Histogram Standardized Regression Residual

Sumber: Output STATA 13

85

Berdasarkan hasil uji normalitas dengan analisis grafik diatas dapat

dikatakan bahwa kurva yang dihasilkan sudah terbentuk menyerupai lonceng, hal

ini menunjukkan bahwa data pada model estimasi sudah memenuhi asumsi

normalitas. Sehingga dapat dikatakan bahwa nilai residual pada model dapat

dinyatakan normal.

2. Uji Multikolinearitas

Uji multikolinearitas bertujuan untuk menguji apakah model regresi

ditemukan adanya korelasi antarvariabel bebas, model regresi yang baik

seharusnya tidak terjadi korelasi di antara variabel bebas (Ghozali, 2006 : 95).

Salah satu cara dalam mendeteksi ada atau tidaknya multikolinearitas dalam suatu

model adalah dengan melakukan analisis koefisien korelasi berpasangan diantara

variabel-variabel independen. Jika antar variabel independen terdapat koefisien

korelasi yang tinggi (di atas 0,85) maka dapat disimpulkan bahwa dalam model

terdapat gejala multikolinieritas.

Pada penelitian ini, berdasarkan correlation matrix yang telah dilakukan

ditemukan adanya pasangan variabel yang memiliki nilai koefisien diatas 0,85

yakni variabel jarak ekonomi dengan variabel PDB per kapita dengan nilai

koefisien sebesar 0,8537 dan variabel produksi tuna dengan variabel harga ekspor

dengan nilai koefisien sebesar 0,8604. Hal ini menunjukan bahwa model estimasi

mengalami gejala multikolinearitas. Kondisi ini terjadi dikarenakan adanya

hubungan korelasi yang tinggi antarpasangan variabel-variabel bebas tersebut.

Contohnya seperti yang terjadi pada pasangan variabel jarak ekonomi dengan

variabel PDB per kapita, terjadinya korelasi yang tinggi pada kedua variabel

86

tersebut dikarenakan nilai jarak ekonomi itu sendiri ditentukan berdasarkan jarak

geografis antar negara Indonesia denga negara tujuan serta PDB negara importir.

Meskipun demikian masalah multikolinearitas itu sendiri telah dapat diatasi

dengan mentransformasikan data kedalam bentuk logaritma natural (ln) dan dalam

penelitian ini semua variabel sudah diubah kedalam bentuk logaritma narutal.

Selain itu penggunaan teknik LSDV pada model estimasi diharapkan mampu

menghindari terjadinya gejala multikolinearitas. Sehingga permasalahan

multikolinearitas dalam model estimasi ini sudah dianggap telah teratasi. Adapun

hasil uji multikolinearitas model estimasi dapat dilihat pada Tabel 16 berikut ini.

Tabel 16. Hasil Uji Multikolinearitas LnPDBC LnJE LnHRG LnKR LnPOP LnPROD SPS TBT

LnPDBC

LnJE

LnHRG

LnKR

LnPOP

LnPROD

DSPS

DTBT

1.0000

0.8537

-0.0943

-0.0680

-0.5171

0.0857

-0.0643

0.1538

1.0000

-0.0483

-0.1186

-0.7603

0.0056

-0.0078

-0.0094

1.0000

0.4601

-0.0977

0.8604

0.3542

-0.2743

1.0000

0.1606

0.6340

0.8350

-0.3444

1.0000

0.0084

0.0095

-0.0031

1.0000

0.4271

-0.2959

1.0000

-0.2582

1.000

Sumber: Lampiran 5b

3. Uji Heteroskedastisitas

Menurut Sunyoto (2010: 100), uji heteroskedastisitas digunakan untuk

mengetahui sama atau tidak varians dari residual dari observasi yang satu dengan

observasi yang lain. Jika residualnya mempunyai varians yang sama disebut

terjadi homoskedastisitas dan jika variansnya tidak sama atau berbeda disebut

terjadi heteroskedastisitas.

Pada penelitian ini, berdasarkan hasil uji heteroskedastisitas yang sudah

dilakukan didapat bahwa nilai probabilitas chi square-nya lebih besar dari taraf

87

nyata lima persen (0,2287 > 0,05), hal ini menunjukkan bahwa model estimasi

sudah terbebas dari gejala heteroskedastisitas. Adapun hasil uji heteroskedastisitas

dapat dilihat sebagaimana pada Lampiran 5c.

Berdasarkan uji asumsi klasik yang telah dilakukan, maka dapat

disimpulkan bahwa model regresi data panel yang digunakan pada penelitian ini

sudah terbebas dari masalah-masalah asumsi klasik yang meliputi uji normalitas,

uji heteroskedastisitas, serta uji multikolinearitas. Oleh karena itu, berdasarkan

hasil pemilihan model estimasi terbaik dan uji asumsi klasik, maka model estimasi

Fixed Effect Model dengan teknik Least Square Dummy Variable (LSDV) dapat

tulis sebagaimana pada Tabel 17 berikut ini.

Tabel 17. Hasil Estimasi Fixed Effect Model dengan Least Square Dummy

Variable (LSDV)

Jumlah Observasi: 35

Variabel Dependen : LnVEX

Variabel Koefisien Prob.

C

LnPDBC

LnJE

LnHRG

LnKR

LnPOP

LnPROD

Dummy SPS

Dummy TBT

-808.1826

8.48888

-10.33751

3.686025

8.44342

54.53451

-16.04152

-2.960693

0.0507197

0.006*

0.047*

0.081

0.015*

0.022*

0.004*

0.013*

0.006*

0.910

Least Square Dummy Variable (LSDV) adalah teknik memasukan variabel

dummy ke dalam model estimasi Fixed Effect Model. Hal tersebut dikarenakan

Weighted Statistic

Adj R-squared

Prob (F-statistic)

0.6632

0.0001

Sumber: Lampiran 4c

Keterangan: Signifikansi terhadap taraf nyata 5 % (*)

88

pada Fixed Effect Model diasumsikan bahwa slope konstan dan intersep bervariasi

baik antar unit cross section maupun time series. Oleh sebab itu, untuk melihat

perbedaan nilai parameter pada intersep baik lintas unit cross section maupun

antar unit time series maka digunakan variabel dummy sebagai variabel tambahan

dalam model estimasi (Sukendar dan Zainal (2007) dalam Astuti, 2010: 137).

Adapun alasan penelitian ini menggunakan teknik LSDV yakni untuk

meningkatkan nilai R-square. Selain itu penggunaan teknik LSDV pada model

estimasi diharapkan mampu menghindari model dari gejala multikolinearitas.

Berdasarkan hasil estimasi Fixed Effect Model dengan teknik Least Square

Dummy Variable (LSDV) pada tabel di atas, maka persamaan ekonomi yang

dapat dibuat berdasarkan hasil estimasi faktor-faktor yang mempengaruhi volume

ekspor ikan tuna Indonesia di pasar Uni Eropa adalah:

LnVEX = -808,182 + 8,488 LnPDBC – 10,337 LnJE + 3,686 LnHRG + 8,443

LnKR + 54,534 LnPOP – 16,041 LnPROD – 2,960 DSPS + 0,050

DTBT + e

Keterangan:

LnVEL : Volume ekspor ikan tuna Indonesia di pasar Uni Eropa (persen)

LnPDBC : PDB per kapita negara importir (persen)

LnJE : Jarak ekonomi (persen)

LnHRG : Harga ekspor ikan tuna Indonesia (persen)

LnKR : Kurs riil rupiah terhadap dollar Amerika Serikat (persen)

LnPOP : Populasi manusia di negara importir (persen)

SPS : Dummy SPS

TBT : Dummy TBT

89

5.2.3. Uji Parameter

1. Uji F (Uji Simultan)

Uji F-statistik digunakan untuk mengetahui apakah variabel-variabel bebas

(pendapatan per kapita negara tujuan, jarak ekonomi, nilai tukar riil rupiah

terhadap dollar Amerika Serikat, harga ekspor ikan tuna Indonesia ke pasar Uni

Eropa, populasi negara tujuan, produksi tuna Indonesia dan dummy NTMs (SPS

dan TBT)) pada penelitian ini berpengaruh secara simultan terhadap volume

ekspor ikan tuna Indonesia ke pasar Uni Eropa. Berdasarkan hasil estimasi Fixed

Effect Model pada Tabel 17 diatas, dapat dilihat bahwa nilai probabilitas F-

statistic lebih kecil dari taraf nyata 5% (0,0001 < 0,05). Hal ini menunjukan

bahwa variabel-variabel bebas yang digunakan pada penelitian ini secara simultan

bepengaruh signifikan terhadap variabel terikat.

2. Uji t (Uji Parsial)

Uji t statistik digunakan untuk mengetahui apakah koefisien masing-

masing variabel bebas (pendapatan per kapita negara tujuan, jarak ekonomi, nilai

tukar riil rupiah terhadap dollar Amerika Serikat, harga ekspor ikan tuna

Indonesia ke pasar Uni Eropa, populasi negara tujuan, produksi tuna Indonesia

dan dummy NTMs (SPS dan TBT)) secara parsial (individu) memberikan

pengaruh yang signifikan terhadap variabel terikat (volume ekspor ikan tuna

Indonesia ke pasar Uni Eropa).

Jika melihat nilai signifikansi per variabel berdasarkan nilai probabilitas t

(P-value)nya, maka variabel independen yang berpengaruh signifikan secara

parsial terhadap variabel dependen berdasarkan Tabel 17 adalah variabel PDB per

90

kapita, harga ekspor, populasi, produksi, kurs riil dan dummy SPS. Adapun nilai

probabilitas variabel PDB per kapita adalah 0,047 < 0,05, variabel harga adalah

0,015 < 0,05, variabel kurs riil adalah 0,022 < 0,05, variabel populasi adalah 0,004

< 0,05, variabel produksi adalah 0,013 < 0,05 dan variabel dummy NTMs (SPS)

adalah 0,006 < 0,05. Hal ini menunjukan bahwa variabel PDB per kapita, harga,

kurs rill, populasi, produksi dan dummy NTMs (SPS) berpengaruh signifikan

secara parsial terhadap volume ekspor ikan tuna Indonesia ke pasar Uni Eropa.

Sedangkan variabel jarak ekonomi dan dummy NTMs (TBT) tidak berpengaruh

signifikan secara parsial terhadap volume ekspor ikan tuna Indoneisia ke Uni

Eropa. Hal tersebut dikarenakan nilai probabilitas t (P-value)nya lebih tinggi dari

taraf signifikansi 5%, adapun nilai probabilitas variabel jarak ekonomi adalah

0,081 > 0,05 dan variabel dummy NTMs (TBT) adalah 0,910 > 0,05.

3. Koefisien Determinasi (R2)

Koefisien Determinan (R²) pada intinya mengukur seberapa jauh

kemampuan model dalam menerangkan variasi variabel dependen. Dimana nilai

koefisien determinasi adalah antara nol sampai satu (0 ≤ R2

≤ 1). Jika melihat

Tabel 17, maka dapat diketahui bahwa nilai Adjusted R-squared pada model

estimasi adalah sebesar 0,6632. Nilai ini menunjukan bahwa variabel PDB per

kapita negara tujuan, jarak ekonomi, harga ekspor tuna Indonesia, kurs riil rupiah

terhadap dollar Amerika, populasi negara tujuan, produksi tuna Indonesia, serta

dummy NTMs (SPS dan TBT) secara keseluruhan mampu menjelaskan variabel

dependen volume ekspor ikan tuna Indonesia ke Uni Eropa sebesar 66,32%,

91

sedangkan sisanya sebesar 33,68% dijelaskan oleh variabel lain yang tidak

termasuk dalam model persamaan penelitian ini.

5.2.4. Interpretasi Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Volume Ekspor Ikan

Tuna Indonesia ke Pasar Uni Eropa

1. PDB per Kapita Negara Importir

Variabel PDB per Kapita Negara Importir memiliki nilai probabilitas

sebesar 0,047 (α < 0,05) dan koefisien sebesar 8,48888 (β1). Artinya PDB per

kapita negara importir berpengaruh secara positif dan signifikan terhadap volume

ekspor ikan tuna Indonesia. Dengan asumsi variabel lain konstan, peningkatan 1

persen PDB per kapita negara importir akan meningkatkan 8,48888 persen

volume ekspor ikan tuna Indonesia ke pasar Uni Eropa. Hal ini sesuai dengan

hipotesis dalam penelitian (H1, terbukti), jika terjadi peningkatan PDB per kapita

di negara importir maka akan berpengaruh terhadap meningkatnya volume ekspor

ikan tuna Indonesia ke negara tersebut.

Hal ini juga sejalan dengan penelitian yang pernah dilakukan oleh

Doumbe dan Belinga (2015), dimana mereka menggunakan variabel PDB per

kapita negara-negara di Uni Eropa untuk melihat pengaruh ukuran ekonomi suatu

negara terhadap perdagangan bilateral dengan Negara Kamerun. Hasil

penelitiannya juga menyebutkan bahwa PDB per kapita negara-negara di Uni

Eropa berpengaruh secara positif dan signifikan terhadap perdagangan bilateral

dengan Negara Kamerun. Begitu juga dengan penelitian Dilanchiev (2012) yang

menjelaskan bahwa semakin besar ukuran suatu negara maka semakin besar

kemampuan negara tersebut dalam melakukan perdagangan ekspor dan impor

92

dengan negara lain. Hal ini tentunya sudah sesuai dengan hipotesis pada penelitian

ini, dimana PDB per kapita negara tujuan di Uni Eropa berpengaruh positif dan

signifikan terhadap volume ekspor ikan tuna Indonesia. Sehingga dapat dikatakan

bahwa PDB per kapita mampu menggambarkan kemampuan daya beli negara

tujuan terhadap barang dan jasa yang diimpor dari negara lain, apabila PDB per

kapita negara tujuan tinggi maka akan mengakibatkan peningkatan terhadap

barang dan jasa yang diimpor.

Sayangnya Indonesia pernah mengalami penurunan volume ekspor ke

negara-negara di Uni Eropa pada tahun 2010. Terjadinya krisis ekonomi di Eropa

pada tahun tersebut menyebabkan PDB per kapita negara-negara di Uni Eropa

juga menurun, sehingga berdampak pula pada turunnya volume ekspor tuna

Indonesia ke Uni Eropa. Hal tersebut dikarenakan daya beli masyarakatnya yang

juga ikut menurun. Padahal sebelum krisis ekonomi melanda Eropa, total volume

ekspor tuna di tahun 2009 yakni sebanyak 13.411 ton. Kemudian turun di tahun

2010 menjadi 10.469 ton. Padahal ikan tuna merupakan komoditi andalan ekspor

Indonesia ke negara-negara di Uni Eropa. Oleh sebab itu untuk melihat pengaruh

PDB per kapita negara importir terhadap volume ekspor tuna Indonesia ke negara

tersebut dapat dilihat sebagaimana pada Tabel 18 dibawah ini.

93

Tabel 18. Hubungan PDB per Kapita terhadap Volume Ekspor Tuna Indonesia

ke Pasar Uni Eropa Periode 2009-2015

Thn

Negara Importir

Belanda Belgia Italia Jerman UK

PDBC Vol.

Eks PDBC

Vol.

Eks PDBC

Vol.

Eks PDBC

Vol.

Eks PDBC

Vol.

Eks

2009 51.900 1.185 44.881 1.541 36.977 623 41.733 8.885 38.010 1.176

2010 50.338 481 44.380 1.097 35.849 448 41.786 6.727 38.710 1.716

2011 53.541 1.470 47.703 2.060 38.335 776 46.810 11.515 41.240 3.364

2012 49.475 1.180 44.741 1.792 34.814 707 44.065 6.079 41.538 6.228

2013 51.574 1.167 46.510 1.720 35.370 3.079 46.531 6.311 42.407 8.557

2014 52.157 1.414 47.439 402 35.397 4.263 47.903 4.240 46.412 8.694

2015 44.293 213 40.357 578 30.049 6.229 41.177 1.639 43.930 6.374

Sumber : World Bank dan UN Comtrade, 2017 (Diolah) Keterangan : PDB per Kapita/ PDBC (000 USD) dan Volume Ekspor Tuna (ton)

Berdasarkan Tabel 18 di atas dapat dikatakan bahwa tinggi rendahnya nilai

PDB per kapita negara importir berpengaruh terhadap banyaknya volume ekspor

ikan tuna ke negara tersebut. Meskipun terjadi penurunan volume ekspor tuna di

tahun 2010, namun peningkatan PDB per kapita di tahun 2011 turut berpengaruh

pula terhadap meningkatnya volume ekspor tuna ke Uni Eropa di tahun tersebut.

Dimana pada tahun 2011 volume ekspor ikan tuna ke Uni Eropa meningkat

menjadi 19.186 ton, yang awalnya volume ekspor ikan tuna Indonesia ke Uni

Eropa hanya 10.469 ton. Hal ini jelas membuktikan bahwa PDB per kapita

mampu menggambarkan daya beli masyarakat suatu negara. Pada kasus ini

dibuktikan dengan meningkatnya volume ekspor tuna Indonesia ke pasar Uni

Eropa setelah terjadinya krisis ekonomi yang melanda di tahun 2010.

2. Jarak Ekonomi

Variabel Jarak Ekonomi memiliki nilai probabilitas sebesar 0,081 (α >

0,05) dan koefisien sebesar -10,33751 (β2). Artinya jarak ekonomi berpengaruh

negatif namun tidak signifikan terhadap volume ekspor ikan tuna Indonesia ke

Uni Eropa. Dengan asumsi variabel lain konstan, penambahan 1 persen jarak

94

ekonomi antar Indonesia dengan negara importir belum tentu akan menurunkan

volume ekspor tuna Indonesia ke pasar Uni Eropa sebesar 10,33751 persen. Hal

ini jelas tidak sesuai dengan hipotesis dalam penelitian (H2, tidak terbukti),

dimana seharusnya semakin jauh jarak ekonomi antar Indonesia dengan negara

importir maka volume ekspor tuna ke negara tersebut juga akan menurun. Kondisi

ini ternyata juga tidak sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Li et al.

(2008), Dilanchiev (2012), Pradipta dan Firdaus (2014), serta Doumbe dan

Belinga (2015), yang menyimpulkan bahwa jarak ekonomi berpengaruh negatif

dan signifikan terhadap perdagangan. Meskipun demikian penelitian ini ternyata

sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Salam dan Nugroho (2016), dalam

penelitiannya mereka menjelaskan bahwa jarak ekonomi bukanlah penentu

dominan suatu negara melakukan ekspor atau impor, karena jarak ekonomi hanya

mempengaruhi sebagian kecil biaya ekspor maupun impor. Dalam penelitian ini

hubungan jarak ekonomi negara Indonesia dengan negara importir terhadap

volume ekspor tuna dapat dilihat sebagaimana pada Gambar 13 berikut ini.

Gambar 13. Hubungan Jarak Ekonomi terhadap Volume Ekspor Tuna Indonesia

ke Pasar Uni Eropa Sumber: CEPII, World Bank dan UN Comtrade, 2017 (Diolah)

0

2.000

4.000

6.000

8.000

Belanda Belgia Italia Jerman UK

Jarak Ekonomi (Km)

Rata-Rata Volume Ekspor Tuna (Ton)

95

Gambar 13 di atas menunjukkan bahwa jarak ekonomi tidak selalu

berpengaruh signifikan terhadap tinggi rendahnya volume ekspor tuna Indonesia

ke Uni Eropa. Berdasarkan Gambar 13 di atas dapat diketahui bahwa negara Italia

adalah negara yang menduduki posisi pertama sebagai negara tujuan ekspor tuna

yang memiliki jarak terdekat dengan Indonesia dengan rata-rata jarak ekonomi

sebesar 1.054 km. Sedangkan, negara UK dan Jerman menduduki posisi kedua

dan ketiga setelah Italia yang memiliki jarak ekonomi terdekat dengan Indonesia.

Adapun masing-masing nilai rata-rata jarak ekonomi negara-negara tersebut

adalah sebesar 1.438 km dan 1.815 km. Meskipun negara Italia adalah negara

yang memiliki jarak terdekat dengan Indonesia, namun hal tersebut tidak turut

serta mempengaruhi tingginya volume ekspor tuna ke negara tersebut. Rata-rata

volume ekspor tuna Indonesia ke negara Italia hanya sebesar 2.304 ton/tahun.

Berbeda halnya dengan negara UK dan Jerman yang memiliki jarak lebih jauh

dengan Indonesia dibandingkan negara Italia, namun ternyata rata-rata volume

ekspor tuna Indonesia ke negara UK dan Jerman jauh lebih tinggi dengan masing-

masing nilai rata-rata volume ekspornya yakni sebesar 5.159 ton/tahun dan 6.485

ton/tahun. Kondisi tersebut jelas membuktikan bahwa jarak ekonomi tidak selalu

mempengaruhi tinggi rendahnya volume ekspor tuna Indonesia ke negara-negara

di Uni Eropa. Hal tersebut dikarenakan kemajuan teknologi yang berkembang

pesat saat ini tentunya akan berdampak pada biaya pemindahan barang yang akan

menjadi semakin murah dan cepat secara berkelanjutan.

96

3. Kurs Riil

Variabel Kurs Riil memiliki nilai probabilitas sebesar 0,022 (α < 0,05) dan

koefisien sebesar 8,44342 (β3). Artinya kurs riil berpengaruh signifikan dan positif

terhadap volume ekspor ikan tuna Indonesia. Dengan asumsi variabel lain

konstan, penguatan nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika sebesar 1 Rp/USD ,

maka akan meningkatkan 8,44342 persen volume ekspor ikan tuna Indonesia ke

pasar Uni Eropa. Kondisi ini jelas berlawanan dengan hipotesis dan teori ekonomi

yang menjelaskan bahwa kurs riil seharusnya berpengaruh negatif terhadap

volume ekspor komoditi tuna Indonesia (H3, tidak terbukti). Hasil penelitian ini

juga tidak sesuai dengan penelitian Aditama dkk. (2015) serta Pradipta dan

Firdaus (2014) yang membuktikan bahwa kurs riil berpengaruh negatif dan

signifikan terhadap perdagangan internasional.

Hubungan nilai tukar riil rupiah terhadap volume ekspor tuna Indonesia ke

negara-negara importir di Uni Eropa cenderung memperlihatkan arah yang

sejalan, dalam arti penguatan nilai tukar riil rupiah terhadap dollar Amerika justru

tidak menyebabkan volume ekspor tuna menjadi menurun ke pasar Uni Eropa

melainkan volume ekspor tuna ke negara Uni Eropa justru mengalami

peningkatan. Terjadinya peningkatan volume ekspor tuna di Uni Eropa ketika

nilai kurs riil rupiah menguat diduga karena terjadi penurunan permintaan di

Amerika Serikat. Hal tersebut menyebabkan kelebihan penawaran tuna Indonesia

ke pasar Internasional. Untuk mengatasi kondisi tersebut maka penawaran ini

dialihkan ke pasar Uni Eropa sebagai konsumen tuna Indonesia terbesar kedua

jika dilihat dari perbandingan volume ekspornya. Oleh karena itu volume ekspor

97

tuna ke Uni Eropa ketika nilai kurs riil rupiah menguat jauh lebih tinggi

dibandingkan ke Amerika Serikat. Hal tersebut dapat dilihat sebagaimana pada

Gambar 14 berikut ini.

Gambar 14. Volume Ekspor Tuna Indonesia ke Pasar Uni Eropa dan Amerika

Serikat Periode 2009-2015 (Ton) Sumber: UNCTAD, World Bank dan UN Comtrade, 2017 (Diolah)

4. Harga Ekspor Tuna Indonesia

Variabel Harga Ekspor Tuna Indonesia memiliki nilai probabilitas sebesar

0,015 (α < 0,05) dan koefisien sebesar 3,686025 (β4). Artinya harga ekspor

berpengaruh signifikan dan positif terhadap volume ekspor ikan tuna Indonesia ke

Uni Eropa. Dengan asumsi variabel lain konstan, peningkatan 1 persen harga

ekspor ikan tuna Indonesia akan meningkatkan 3,686025 persen volume ekspor

ikan tuna Indonesia ke pasar Uni Eropa. Kondisi ini jelas berlawanan dengan

hipotesis dan teori ekonomi yang menjelaskan bahwa harga ekspor seharusnya

berpengaruh negatif terhadap volume ekspor komoditi tuna Indonesia (H4, tidak

terbukti). Penelitian Pradipta dan Firdaus (2014) membuktikan bahwa harga

ekspor berpengaruh negatif dan signifikan terhadap volume ekspor buah-buahan

ke negara tujuan ekspor. Dalam hukum permintaan juga disebutkan bahwa

0

10000

20000

30000

40000

2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015

Volu

me E

ksp

or (

ton

)

Amerika Serikat UE

98

“Semakin tinggi harga, maka barang yang diminta juga akan semakin sedikit”, hal

tersebut dapat dilihat sebagaimana pada kurva permintaan dibawah ini (Gambar

15).

Gambar 15. Kurva Permintaan

Sumber: Downey dan Erickson (1988: 115)

Meskipun demikian, hasil yang diperoleh pada penelitian ini ternyata

sejalan dengan penelitian Setiawan dan Sugiarti (2016), yang menyatakan bahwa

harga ekspor kopi berpengaruh positif terhadap peningkatan volume ekspor kopi

ke Malaysia. Mereka menjelaskan bahwa peningkatan harga ekspor akan

mendorong produsen domestik untuk meningkatkan volume ekspornya guna

menghasilkan keuntungan yang lebih besar. Dalam hal ini mereka melihat dari

sudut pandang produsen, sama halnya dengan penelitian ini yang menggunakan

harga ekspor berdasarkan hasil pembagian dari nilai ekspor tuna dengan volume

ekspor tuna Indonesia ke Uni Eropa. Sehingga sesuai dengan hukum penawaran

yang menyebutkan apabila harga suatu komoditi naik maka barang yang

ditawarkan juga akan naik. Hal tersebut membuktikan bahwa jika terjadi kenaikan

harga ekspor pada tuna Indonesia ke Uni Eropa maka produsen domestik juga

akan meningkatkan volume ekspornya karena menganggap hal tersebut sebagai

peluang untuk meningkatkan keuntungan. Adapun hubungan harga ekspor dengan

99

volume ekspor tuna Indonesia ke pasar Uni Eropa dapat dilihat sebagaimana pada

Gambar 16 berikut ini.

Gambar 16. Hubungan Harga Ekspor Tuna terhadap Volume Ekspor Tuna

Indonesia ke Pasar Uni Eropa Sumber: UN Comtrade, 2017 (Diolah)

Berdasarkan gambar di atas dapat diketahui bahwa negara Italia adalah

negara importir terbesar ketiga setelah Jerman dan UK yang mengimpor tuna

Indonesia selama periode 2009-2015. Dimana rata-rata volume ekspor tuna

Indonesia ke negara tersebut adalah sebanyak 2.304 ton/tahun dengan rata-rata

harga ekspor tuna Indonesia sebesar USD 4.335/tahun. Harga ini tentunya lebih

tinggi jika dibandingkan dengan harga ekspor tuna Indonesia ke negara Belgia.

Dimana rata-rata volume ekspor tuna Indonesia ke negara tersebut adalah

sebanyak 1.313 ton/tahun dengan rata-rata harga ekspor tuna sebesar USD

3.946/tahun. Hal ini jelas membuktikan bahwa tingginya harga ekspor tuna ke

beberapa negara di Uni Eropa justru menyebabkan tingkat penawaran tuna oleh

eksportir Indonesia meningkat, artinya kondisi tersebut akan meningkatkan

jumlah volume ekspor tuna ke negara tersebut. Hal tersebut juga dapat disebabkan

karena tingkat kebutuhan masyarakatnya yang memang tinggi akan produk tuna.

0

1.000

2.000

3.000

4.000

5.000

6.000

7.000

Belanda Belgia Italia Jerman UK

Rata-Rata Harga

Ekspor (USD)

Rata-Rata Volume

Ekspor Tuna (Ton)

100

Sehingga tinggi rendahnya harga ekspor tuna Indonesia ke negara tersebut tidak

akan menyebabkan daya beli masyarakat negara tersebut berkurang terhadap tuna

Indonesia. Selain itu tinggi rendahnya harga suatu komoditi itu sendiri ditentukan

berdasarkan harga internasional, sehingga jika harga tuna dunia meningkat maka

hal tersebut juga akan berdampak pada tingginya harga tuna di pasar Uni Eropa.

5. Populasi Negara Importir

Variabel Populasi memiliki nilai probabilitas sebesar 0,004 (α < 0,05) dan

koefisien sebesar 54,53451 (β5). Artinya populasi negara importir berpengaruh

secara positif dan signifikan terhadap volume ekspor ikan tuna Indonesia. Dengan

asumsi variabel lain konstan, peningkatan 1 persen populasi di negara importir

akan meningkatkan 54,53451 persen volume ekspor ikan tuna Indonesia ke pasar

Uni Eropa. Hal ini sesuai dengan hipotesis dalam penelitian (H5, terbukti), dimana

apabila ada peningkatan jumlah populasi di negara importir maka akan

menyebabkan bertambahnya volume ekspor ikan tuna Indonesia ke negara

tersebut. Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Sitorus (2009) dan

Dahar (2014) yang menyatakan bahwa populasi negara importir berpengaruh

positif dan signifikan terhadap volume ekspor.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Sitorus (2009), terbukti bahwa

pertambahan populasi pada sisi permintaan akan meningkatan permintaan

komoditi ekspor dari negara importir. Maka jumlah komoditi yang

diperdagangkan antar kedua negara semakin besar. Dahar (2014) juga

menyebutkan bahwa adanya pertambahan populasi pada negara pengimpor juga

akan meningkatkan jumlah komoditi yang diekspor karena adanya pertambahan

101

konsumsi di negara tersebut. Oleh sebab itu, meningkatnya populasi negara

importir akan meningkatkan kebutuhan dan konsumsinya. Terlebih jika produksi

dalam negeri negara tujuan tidak mencukupi, maka impor merupakan salah satu

cara untuk memenuhi kebutuhan penduduknya. Hal ini juga terjadi pada negara-

negara di Uni Eropa. Tingginya tingkat populasi di negara tersebut turut

berpengaruh terhadap tingginya volume ekspor ikan tuna Indonesia ke Uni Eropa.

Adapun hubungan populasi negara importir dengan volume ekspor tuna Indonesia

ke pasar Uni Eropa dapat dilihat sebagaimana pada Gambar 17 berikut ini.

Gambar 17. Hubungan Populasi Negara Importir terhadap Volume Ekspor Tuna

Indonesia ke Pasar Uni Eropa Sumber: World Bank dan UN Comtrade (2017)

Berdasarkan gambar di atas dapat diketahui bahwa Jerman menempati

urutan pertama dengan rata-rata jumlah penduduk selama periode 2009-2015

yakni sebanyak 81.099.251 jiwa. Disusul oleh United Kingdom dengan rata-rata

jumlah penduduk sebanyak 63.696.014 jiwa. Dengan banyaknya jumlah

penduduk di kedua negara tersebut, selama periode 2009-2015 Indonesia telah

mengekspor ikan tuna sebanyak 6.653 ton/tahun ke Jerman dan 5.159 ton/tahun

16.743.312 11.076.306

59.863.660

81.099.251

63.696.014

1.016 1.313 2.304 6.485 5.159 0

10.000.000

20.000.000

30.000.000

40.000.000

50.000.000

60.000.000

70.000.000

80.000.000

90.000.000

Belanda Belgia Italia Jerman UK

Rata-Rata Populasi (Jiwa)

Rata-Rata Volume Ekspor Tuna (Ton)

102

ke United Kingdom. Hal ini jelas membuktikan bahwa tingkat populasi negara

tujuan sangat berpengaruh terhadap tinggi rendahnya volume ekspor ikan tuna

Indonesia ke Uni Eropa.

6. Produksi Tuna Indonesia

Variabel Produksi memiliki nilai probabilitas sebesar 0,013 (α < 0,05) dan

koefisien sebesar -16,04152 (β6). Artinya produksi tuna berpengaruh negatif dan

signifikan terhadap volume ekspor ikan tuna Indonesia ke Uni Eropa. Dengan

asumsi variabel lain konstan, peningkatan 1 persen produksi tuna Indonesia akan

menurunkan 16,04152 persen volume ekspor ikan tuna Indonesia ke pasar Uni

Eropa. Kondisi ini jelas berlawanan dengan hipotesis (H6, tidak terbukti).

Penelitian Putra (2017) serta Setiawan dan Sugiarti (2016) membuktikan bahwa

produksi berpengaruh positif dan signifikan.

Meskipun demikian, hasil penelitian ini ternyata sejalan dengan penelitian

Huda dan Widodo (2017), mereka menyimpulkan bahwa produksi memiliki

pengaruh negatif dan signifikan. Dalam penelitiannya mereka berasumsi bahwa

kenaikan produksi kelapa sawit yang terjadi pada periode sebelumnya, belum

tentu mendorong kenaikan volume ekspor di tahun tersebut. Dalam arti ada waktu

penyesuaian untuk mendorong ekspor. Kondisi tersebut juga dapat dilihat pada

hubungan produksi tuna Indonesia terhadap volume ekspor tuna Indonesia ke Uni

Eropa sebagaimana pada Gambar 18 berikut ini.

103

Gambar 18. Hubungan Produksi Tuna Indonesia terhadap Volume Ekspor Tuna

Indonesia ke Pasar Uni Eropa

Sumber: Fishstat (FAO) dan UN Comtrade, 2017 (Diolah)

Berdasarkan gambar di atas dapat diketahui bahwa volume ekspor

tertinggi terjadi di tahun 2013 yakni sebanyak 36.241 ton. Kenaikan volume

ekspor yang terjadi di tahun tersebut bisa saja terjadi karena adanya penambahan

volume tuna dari produksi sebelumnya. Jika melihat produksi tuna Indonesia di

tahun 2012, total produksi di tahun tersebut jauh lebih tinggi dibandingkan tahun

2011. Namun tingginya produksi tuna di tahun 2012 tidak turut serta

meningkatkan volume ekspor tuna ke Uni Eropa, justru volume ekspor tuna tahun

2012 jauh lebih rendah dibandingkan tahun 2011.

Oleh karena itu dalam penelitian ini dapat dikatakan bahwa produksi tuna

pada periode sebelumnya bisa saja meningkatkan volume ekspor tuna pada saat

ini, karena meskipun produksi naik saat ini belum tentu berdampak pada naiknya

volume ekspor tuna saat ini juga. Selain itu, hal yang diduga juga berpengaruh

terhadap turunnya volume ekspor tuna Indonesia ke pasar Uni Eropa seperti yang

terjadi di tahun 2012 adalah tujuan ekspor tuna Indonesia yang tidak hanya

dilakukan ke negara-negara Uni Eropa. Diduga pada periode tersebut ada

738.071 700.136 741.867

782.541

909.547 858.690

813.909

14.101 11.419 28.128 24.903 36.241 27.946 21.623

2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015

Total Produksi Tuna (Ton) Volume Ekspor Tuna (Ton)

104

beberapa negara yang meningkatkan volume impor tuna Indonesia ketika

produksi tuna domestik meningkat, sehingga mengakibatkan volume ekspor tuna

Indonesia ke pasar Uni Eropa tidak turut serta mengalami peningkatan.

7. Dummy NTMs (SPS dan TBT)

Variabel Dummy NTMs (SPS dan TBT) dalam model estimasi digunakan

untuk menunjukkan dua kondisi yang berbeda yakni kondisi saat tidak adanya

pemberlakuan kebijakan NTMs (SPS dan TBT) dan saat adanya pemberlakuan

kebijakan NTMs (SPS dan TBT). Berdasarkan hasil analisis regresi data panel

yang telah dilakukan, variabel dummy NTMs (SPS) memiliki nilai probabilitas

sebesar 0,006 (α < 0,05) dan koefisien sebesar -2,960693 (β7). Artinya dummy

NTMs (SPS) berpengaruh negatif dan signifikan terhadap volume ekspor ikan

tuna Indonesia. Dengan asumsi variabel lain konstan, adanya pemberlakuan

NTMs (SPS) terhadap ekspor tuna di negara importir akan menurunkan 2,960693

persen volume ekspor ikan tuna Indonesia ke pasar Uni Eropa. Kondisi ini jelas

sesuai dengan hipotesis, bahwa adanya pemberlakuan kebijakan non-tarif (SPS)

akan menyebabkan turunnya volume ekspor tuna Indonesia ke pasar Uni Eropa

(H7, terbukti). Adapun hubungan pemberlakuan NTMs berupa SPS terhadap

volume ekspor tuna ke pasar Uni Eropa dapat dilihat sebagaimana pada Gambar

19 dibawah ini.

105

Gambar 19. Hubungan Pemberlakuan NTMs (SPS) terhadap Volume Ekspor

Tuna Indonesia ke Pasar Uni Eropa Sumber: WTO dan UN Comtrade, 2017 (Diolah)

Berdasarkan gambar di atas dapat diketahui bahwa telah terjadi penurunan

volume ekspor di tahun 2014 dan 2015. Tejadinya hal tersebut salah satunya

disebabkan oleh adanya pemberlakuan NTMs berupa SPS yang diberlakukan oleh

seluruh negara yang tergabung dalam perserikatan Uni Eropa. Kondisi tersebut

ternyata juga sejalan dengan penelitian Dahar (2014), Ia membuktikan bahwa

peraturan SPS berpengaruh negatif terhadap perdagangan produk hortikultura.

Adanya pemberlakuan kebijakan non-tarif seperti SPS jelas akan berdampak pada

turunnya volume ekspor tuna Indonesia ke pasar Uni Eropa. Kondisi sektor

perikanan di Indonesia sendiri hingga saat ini masih didominasi oleh nelayan kecil

yang umumnya tingkat kesadarannya masih kurang terhadap kebersihan. Bahkan

bisa saja informasi terkait adanya pemberlakuan non-tarif juga tidak seluruhnya

tersampaikan kepada seluruh pelaku ekspor. Sehingga hingga saat ini masih

ditemukan adanya produk tuna yang ditolak di negara importir akibat tidak sesuai

dengan peraturan yang ditetapkan. Dalam hal ini peran pemerintah sangatlah

penting untuk membantu memajukan produk tuna Indonesia yang berdaya saing.

14.101 11.419

28.128 24.903

36.241

27.946

21.623

0 0 0 0 0 2 2 0

10.000

20.000

30.000

40.000

2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015

Volume Ekspor Tuna (Ton) SPS

106

Jika dibandingkan dengan dummy NTMs (TBT), variabel tersebut

memiliki nilai probabilitas sebesar 0,910 (α > 0,05) dan koefisien sebesar

0,0507197 (β8). Artinya dummy NTMs (TBT) tidak berpengaruh signifikan dan

positif terhadap volume ekspor ikan tuna Indonesia. Dengan asumsi variabel lain

konstan, adanya pemberlakuan NTMs (TBT) terhadap ekspor tuna di negara

importir akan menaikan 0,0507197 persen volume ekspor ikan tuna Indonesia ke

pasar Uni Eropa. Kondisi ini jelas tidak sesuai dengan hipotesis penelitian, adanya

pemberlakuan kebijakan non-tarif (TBT) seharusnya menyebabkan volume ekspor

tuna Indonesia ke pasar Uni Eropa menurun. Nilai koefisien yang positif pada

variabel dummy TBT ternyata juga sejalan dengan penelitian Shah et al. (2014).

Menurut penelitiannya, adanya regulasi teknis telah mendorong pertukaran barang

dengan meningkatkan kompatibilitas dan kegunaan produk. Selain itu, kebijakan

TBT membantu meningkatkan kesejahteraan konsumen melalui implementasi

standar keamanan dan keamanan pangan. Dalam hal ini, adanya pemberlakuan

non-tarif berupa TBT harus dianggap sebagai tantangan bagi para produsen tuna

Indonesia untuk memperbaiki segala hal baik berupa cara penangkapan, proses

produksi, sampai proses distribusi tuna Indonesia ke pasar Uni Eropa. Jika hal

tersebut dapat dilakukan maka akan berdampak pada meningkatnya volume

ekspor tuna ke Uni Eropa. Sayangnya produk perikanan di Indonesia hingga saat

ini masih banyak yang belum mendapatkan sertifikasi internasional The Marine

Stewardship Council (MSC). Sertifikasi ini tentunya sangat penting bagi para

produsen khususnya yang bergerak disektor perikanan, karena kepemilikan

sertifikat ini akan berdampak pada mudahnya akses pasar ekspor produk

107

perikanan, bahkan harga jual produk akan lebih tinggi dari sebelumnya serta

konsumen luar negeri tidak ragu lagi untuk mengkonsumsi produk perikanan

Indonesia. Selain itu, kepemilikan sertifikat ini juga akan berdampak pada

peningkatan dayasaing produk tuna Indonesia di pasar Uni Eropa.

Adanya peraturan NTMs (Non-Tariff Measures) berupa SPS dan TBT

sendiri dianggap memiliki efek ekonomi yang penting dalam perdagangan

internasional. Kementrian Kelautan dan Perikanan (KKP) Indonesia juga hingga

saat ini masih terus berupaya untuk mendorong produsen tuna dalam negeri dalam

hal pemenuhan standar dan aturan yang diberlakukan oleh negara tujuan ekspor

tuna Indonesia khususnya di Uni Eropa. Selain untuk meningkatkan volume

ekspor ikan tuna Indonesia di pasar dunia, tentu juga untuk membangun

kepercayaan konsumen luar negeri terhadap produk perikanan Indonesia.

108

BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. Kesimpulan

Berdasarkan hasil dan pembahasan dalam penelitian dengan judul

“Analisis Hambatan Non-Tarif dan Faktor-Faktor Lain yang Mempengaruhi

Volume Ekspor Tuna Indonesia ke Pasar Uni Eropa” dalam kurun waktu 2009-

2015 dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut:

1. Kebijakan NTMs yang paling sering diberlakukan oleh pemerintahan Uni

Eropa terhadap produk tuna selama periode 2009-2015 adalah kebijakan SPS

(Sanitary and Phitosanitary) yakni mengenai keamanan pangan dan

kesehatan hewan. Sedangkan kebijakan TBT (Technical Barrier to Trade)

yang sering diberlakukan oleh Uni Eropa terhadap produk tuna yakni terkait

pelabelan pada kemasan.

2. Hasil penelitian ini menunjukkan nilai koefisien determinasi (R2) sebesar

0,6632. Artinya bahwa volume eskpor ikan tuna Indonesia ke pasar Uni

Eropa mampu dijelaskan oleh variabel-variabel bebas (PDB per kapita negara

tujuan, jarak ekonomi, harga ekspor tuna Indonesia, kurs rill rupiah terhadap

dollar Amerika, populasi negara tujuan, produksi tuna Indonesia, serta dummy

NTMs (SPS dan TBT)) sebesar 66,32% sedangkan 33,68% dijelaskan oleh

variabel-variabel bebas lainnya. Hasil uji F juga menunjukkan bahwa secara

simultan (bersama-sama) variabel bebas yang diteliti memiliki pengaruh yang

signifikan terhadap variabel terikatnya. Adapun faktor-faktor yang

berpengruh signifikan terhadap volume ekspor ikan tuna Indonesia di pasar

109

Uni Eropa adalah PDB per kapita negara tujuan, harga ekspor tuna Indonesia,

populasi negara tujuan, kurs rill rupiah terhadap dollar Amerika, produksi

tuna Indonesia dan dummy NTMs SPS. Sedangkan jarak ekonomi dan dummy

NTMs TBT tidak berpengaruh signifikan.

6.2. Saran

Berdasarkan hasil analisis dalam penelitian tentang “Analisis Hambatan

Non-Tarif dan Faktor-Faktor Lain yang Mempengaruhi Volume Ekspor Tuna

Indonesia ke Pasar Uni Eropa”, maka beberapa saran yang dapat diberikan adalah

sebagai berikut:

1. Terkait adanya pemberlakuan NTMs berupa kebijakan SPS untuk produk

perikanan di pasar Uni Eropa, diharapkan seluruh nelayan tuna di Indonesia

terus mengedepankan praktik penangkapan ikan yang ramah lingkungan dan

baik bagi ekosistem bahari secara menyeluruh demi terciptanya produk

pangan yang aman baik bagi manusia, hewan maupun lingkungan.

2. Adanya penerapan kebijakan TBT untuk produk perikanan di pasar Uni

Eropa, sehingga para eksportir dan produsen tuna diharapkan segera memiliki

atau melengkapi sertifikat yang dianggap penting untuk memudahkan ekspor

produk perikanan ke Uni Eropa.

3. Penelitian selanjutnya diharapkan bisa mengukur pemberlakuan NTMs

menggunakan pendekatan inventory serta menambahkan variabel-variabel

lain untuk penelitian-penelitian terkait perdagangan ikan tuna. Adapun

variabel-variabel yang dipilih adalah variabel-variabel yang berkaitan dan

diduga berpengaruh terhadap perdagangan internasional, contohnya harga riil.

110

Penelitian selanjutnya juga bisa menambah tahun penelitian serta memperluas

cakupan negara yang akan diteliti. Sehingga nantinya mampu memberikan

informasi yang lebih banyak lagi bagi pihak-pihak yang berkepentingan.

111

DAFTAR PUSTAKA

Aditama, Lalan, Edy Yulianto dan Wilopo. 2015. Pengaruh Produksi dan Nilai

Tukar Terhadap Volume Ekspor Jahe Indonesia ke Jepang [Jurnal].

Malang: Fakultas Administrasi BisnisUniversitas Brawijaya 25(1): 1-9.

Astuti, Alfira Mulya. 2010. Fixed Effect Model pada Regresi Data Panel [Jurnal].

Mataram: IAIN Mataram 3(2): 134-145.

Atmadji, Eko. 2004. Analisis Impor Indonesia [Jurnal]. Yogyakarta: Fakultas

Ekonomi Universitas Islam Indonesia 9(1): 33-46.

Barata, Abram, Dian Novianto dan Andi Bahtiar. 2011. Sebaran Ikan Tuna

Berdasarkan Suhu dan Kedalaman di Samudra Hindia [Jurnal].

Purwokerto: Fakultas Ilmu Kelautan UNDIP 16(3): 165-170.

Basri, Faisal dan Haris Munandar. 2010. Dasar-Dasar Ekonomi Internasional.

Jakarta : Kencana Prenada Media Group.

Dahar, Darmiati. 2014. Analisis Dampak Kebijakan Non Tarif Terhadap Kinerja

Ekspor Hortikultura Indonesia ke Negara-Negara Asean +3 [Tesis].

Bogor: Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor.

Dahar, Darmiati, Rina O, Wiwiek R. 2014. Analisis Pemberlakuan Non Tariff

Measures (NTM) Pada Ekspor Hortikultura Indonesia ke ASEAN+3

[Jurnal]. Bandung: Bina Ekonomi 18(1): 98-116.

Daryanto. 2011. Sari Kuliah Manajemen Pemasaran. Bandung: PT. Sarana

Tutorial Nurani Sejahtera.

Dilanchiev, Azer. 2012. Empirical Analysis of Georgian Trade Pattern: Gravity

Model. Journal of Social Sciences 1(1): 75-78.

Doumbe, Eric dan Thierry Belinga. 2015. A Gravity Model Analysis for Trade

between Cameroon and Twenty-Eight European Union Countries.

Journal of Social Sciences 3(8): 114-122.

Downey, W David dan Steven P Erickson. 1988. Manajemen Agribisnis Edisi

Kedua. Jakarta: Erlangga.

Ghozali, Imam. 2006. Aplikasi Analisis Multivariate dengan Program SPSS.

Semarang: Badan penerbit Universitas Diponegoro.

Gujarati, Damodar N. 2003. Basic Econometrics. New York: McGraw-Hill.

112

Halwani, R Hendra. 2002. Ekonomi Internasional dan Globalisasi Ekonomi.

Jakarta: Ghalia Indonesia.

Huda, Eva dan Arif Widodo. 2017. Determinan dan Stabilitas Ekspor Crude Palm

Oil (CPO) Indonesia [Jurnal]. Yogyakarta: Fakultas Ekonomi dan

Bisnis UMY 20(1): 45-66.

Kementrian Kelautan dan Perikanan [KKP]. 2015. Kelautan dan Perikanan dalam

Angka Tahun 2015. Jakarta: Pusat Data, Statistik dan Informasi

Kementrian Kelautan dan Perikanan.

Kementrian Perdagangan [Kemendag].2011. Kajian Kebijakan Pengembangan

Diversifikasi Pasar dan Produk Ekspor. Jakarta: Pusat Kebijakan

Perdagangan luar Negeri Badan Pengkajian dan Pengembangan

Kebijakan Perdagangan.

. 2013. Market Brief: Produk Ikan Tuna dan Olahannya di

Pasar Jerman. Berlin: ITPC Berlin.

. 2014a. Market Brief: Peluang Usaha Produk Ikan Tuna

Olahan (HS 160414) di Italia. Milan: ITPC Milan.

. 2014b.Warta Ekspor: Ikan dan Produk Ikan. Jakarta:

Kemendag RI.

. 2015.Market Brief: Ikan Tuna. Busan: ITPC Busan.

Kotler, Philip dan Kevin Lane Keller. 2009. Manajemen Pemasaran Edisi Ke-12.

Jakarta: PT. Indeks.

Kristriana, Oktavina W. 2015. Analisis Dampak Non-Tariff Measures (NTMs)

Terhadap Ekspor Ikan Tuna Indonesia Ke Negara Tujuan Utama

[Skripsi]. Bogor: Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian

Bogor.

Li, Kunwang, Ligang Song dan Xingjun Zhao. 2008. Component Trade and

China’s Global Economic Integration. World Institute for Development

Economics Research 101(2): 1-25.

Mankiw, N Gregory, Euston Quah, dan Peter Wilson. 2012. Pengantar Ekonomi

Makro. Jakarta: Salemba Empat.

Mayer, Thierry dan Soledad Zignago. 2011. Notes on CEPII’S distance measures:

The GeoDist database. CEPII, WP 25(1): 1-47.

Murni, Asfia. 2009. Ekonomika Makro. Bandung: PT. Refika Aditama.

113

Pradipta, Amalia. 2014. Posisi Dayasaing dan Faktor-Faktor yang Memengaruhi

Ekspor Buah-Buahan Indonesia di Dunia dan Negara Tujuan [Skripsi].

Bogor: Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor.

Pradipta, Amalia dan Muhammad Firdaus. 2014. Posisi Dayasaing dan Faktor-

Faktor yang Memengaruhi Ekspor Buah-Buahan Indonesia [Jurnal].

Bogor: Fakultas Manajemen & Agribisnis Institut Pertanian Bogor

11(2): 129-143.

Putra, Eky Suwarno. 2017. Analisis Pengaruh Produksi, Harga dan Kurs

Terhadap Ekspor Kopi Indonesia ke Amerika Serikat [Skripsi].

Purwokerto: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Diponegoro

Semarang.

Rahardja, Prathama dan Mandala Manurung. 2008. Pengantar Ilmu Ekonomi

(Mikroekonomi & Makroekonomi). Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas

Ekonomi Universitas Indonesia.

Rahmah, Khairunnisa Nur. 2016. Trade Flows Analysis and The Role of

Standards on Canned Tuna Trade [Tesis]. Bogor: Pasca Sarjana Institut

Pertanian Bogor.

Rastikarany, Hikmah. 2008. Analisis Pengaruh Kebijakan Tarif dan Non-Tarif

Uni Eropa Terhadap Ekspor Tuna Indonesia [Skripsi]. Bogor: Fakultas

Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor.

Salam, Aziza R dan Rino A Nugroho. 2016. Dampak Implementasi

Environmental Goods (Egs) List Terhadap Kinerja Perdagangan

Indonesia [Jurnal]. Jakarta: Pusat Kebijakan Kerjasama Perdagangan

Internasional Badan Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan

Perdagangan 12(2): 113-130.

Salvatore, Dominick. 1997. Ekonomi Internasional. Jakarta: Erlangga.

Sari, Ayu Renita. 2015. Analisis Pengaruh Non-Tariff Measures Terhadap

Ekspor Komoditi Crude Palm Oil (CPO) Indonesia ke Negara Tujuan

Ekspor Utama [Tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian

Bogor.

Sasono, Herman Budi. 2013. Manajemen Ekspor dan Perdagangan Internasional.

Yogyakarta : CV. Andi Offset.

Setiawan, Achmad E dan Teti Sugiarti. 2016. Daya Saing dan Faktor Penentu

Ekspor Kopi Indonesia ke Malaysia dalam Skema CEPT-AFTA

[Jurnal]. Madura: Fakultas Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian

Universitas Trunojoyo 5(2): 213-220.

114

Shabrina, Wiendyan A. 2016. Estimasi Hambatan Nontarif dan Faktor-Faktor

yang Memengaruhi Ekspor Kopi Indonesia ke Negara Tujuan Utama

[Skripsi]. Bogor: Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian

Bogor.

Shah, S.M.H, A Sajid dan S.M. Ali. 2014. The Impact of Technical Barrier to

Trade on Pakistan Textile Industry. Pakistan Journal of Science 66(2):

130-133.

Sitorus, Maria. 2009. Peningkatan Ekspor CPO dan Kakao Di Bawah Pengaruh

Liberalisasi Perdagangan (Suatu Pendekatan Model Gravitasi)

[Skripsi]. Bogor: Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian

Bogor.

Soekartawi. 2003. Agribisnis Teori dan Aplikasi. Jakarta : PT RajaGrafindo

Persada.

Sugiyono. 2011. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Bandung:

Alfabeta.

Suliyanto. 2011. Ekonometrika Terapan: Teori & Aplikasi dengan SPSS.

Yogyakarta: CV. ANDI OFFSET.

Sunyoto, Danang. 2010. Uji KHI Kuadrat dan Regresi Untuk Penelitian.

Yogyakarta : Graha Ilmu.

UNCTAD. 2013. Non-Tariff Measures To Trade: Economic And Policy Issues for

Developing Countries. Switzerland : UNCTAD.

Widarjono, Agus. 2009. Ekonometrika Pengantar dan Aplikasinya Edisi Ketiga.

Yogyakarta: EKONISIA.

Zarzoso, Inmaculada Martinez dan Felicitas Nowak Lehmann. 2003. Augmented

Gravity Model : An Empirical Application To Mercosur-Europen

UnionTrade Flows. Journal of Applied Economics 6(2): 291-316.

CEPII. 2017. GeoDist. Diakses dari

http://www.cepii.fr/CEPII/en/bdd_modele/presentation.asp?id=6 pada

tanggal 12 Juni 2017.

DKP Padang Pariaman. 17 April 2014. Perbedaan Tuna, Tongkol dan Cakalang.

http://dkp.padangpariamankab.go.id/2014/04/perbedaan-tuna-tongkol-

dan-cakalang/ diakses pada 16 Mei 2017.

115

FAO-FishstatJ. 2017. Fisheries and Aquaculture software. FishstatJ - software for

fishery statistical time series. FAO Fisheries and Aquaculture

Department diakses pada 19 Juni 2017 dari

http://www.fao.org/fishery/statistics/software/fishstatj/en.

UNCTAD. 2017. Currency Exchange Rates, Annual, 1970-2015. Diakses dari

http://unctadstat.unctad.org/wds/TableViewer/tableView.aspx?ReportId

=117 pada 11 Juli 2017.

UN Comtrade. 2017. International Trade in Goods Based on UN Comtrade Data.

Diakses dari https://comtrade.un.org/data/ pada tanggal 11 Juli 2017.

Sihombing, Martin. 15 Mei 2014. Ekspor Ikan:Aturan Sertifikasi MSC Terlalu

Rumit. http://industri.bisnis.com/read/20140515/99/228102/ekspor-

ikan-aturan-sertifikasi-msc-terlalu-rumit/ diakses pada 17 Maret 2018.

World Bank. 2017. Data Indicators. Diakses dari

http://data.worldbank.org/indicator pada tanggal 12 Juni 2017.

World Trade Organization [WTO]. 2017. Integrated Analysis and Retrieval of

Notified Non-Tariff Measures. Diakses dari https://i-

tip.wto.org/goods/Forms/TableView.aspx pada tanggal 20 juni 2017.

116

LAMPIRAN

Lampiran 1. Kode HS Produk Tuna di Pasar Internasional

Kode HS 02 Produk Tuna

Produk Segar (fresh)

030231 Tuna (albacore, longfin) fresh or chilled, whole

030232 Tuna (Yellowfin) fresh or chilled, whole

030233 Skipjack, stripe-belly bonito, fresh or chilled, whole

030234 Bigeye tunas (Thunnus obesus), fresh/chilled (excl. Fillets and other fish meat)

030235 Bluefin tunas (Thunnus thynnus), fresh/chilled (excl. Fillets and other fish meat)

030236 Southern bluefin tunas (Thunnus maccoyii), fresh/chilled (excl. Fillets and other

fish meat)

030239 Tuna nes, fresh or chilled, whole

Produk Beku (frozen)

030341 Tuna (albacore, longfin), frozen, whole

030342 Tuna (Yellowfin) frozen, whole

030343 Skipjack, stripe-belly bonito, frozen , whole

030344 Bigeye tunas (Thunnus obesus), frozen (excl. Fillets and other fish meat)

030345 Bluefin tunas (Thunnus thynnus), frozen (excl. Fillets and other fish meat)

030346 Southern bluefin tunas (Thunnus maccoyii), frozen (excl. Fillets and other fish

meat)

030349 Tuna nes, frozen, whole

Filet (fresh, chilled, or frozen fillet)

030487 Frozen fillet and other fish meat (whether or no minced), fresh, chilled or frozen

– Tunas (of genus Thunnus), skipjack or stripe-bellied banito

Kaleng (preserved)

160414 Tuna, skipjack, bonito (prepared/preserved), not minced

Sumber: UN Comtrade, 2017

117

Lampiran 2. Negara Tujuan Ekspor Tuna Indonesia di Pasar Uni Eropa Tahun

2009-2015

Tahun Negara LnVEX LnPDBC LnJE LnHRG LnKR LnPOP LnPROD SPS TBT

2009 Belanda 7,078 10.857 7.500 8,167 9.540 16.621 13.512 0 0

2010 Belanda 6,175 10.827 7.470 8,556 9.396 16.626 13.459 0 0

2011 Belanda 7,293 10.888 7.445 8,246 9.438 16.631 13.517 0 1

2012 Belanda 7,073 10.809 7.429 8,447 9.444 16.634 13.570 0 0

2013 Belanda 7,062 10.851 7.428 8,458 9.623 16.637 13.721 0 0

2014 Belanda 7,254 10.862 7.419 8,460 9.800 16.641 13.663 1 0

2015 Belanda 5,361 10.699 7.405 8,414 9.798 16.645 13.610 1 0

2009 Belgia 7,340 10.712 6.935 8,141 9.549 16.195 13.512 0 0

2010 Belgia 7,000 10.701 6.929 8,144 9.396 16.204 13.459 0 0

2011 Belgia 7,631 10.773 6.923 8,102 9.428 16.218 13.517 0 1

2012 Belgia 7,491 10.709 6.926 8,380 9.429 16.225 13.570 0 0

2013 Belgia 7,450 10.747 6.924 8,516 9.621 16.230 13.721 0 0

2014 Belgia 5,997 10.767 6.922 8,311 9.805 16.232 13.663 1 0

2015 Belgia 6,360 10.606 6.912 8,299 9.803 16.238 13.610 1 0

2009 Italia 6,434 10.518 6.092 8,001 9.543 17.895 13.512 0 0

2010 Italia 6,106 10.487 6.060 8,069 9.396 17.898 13.459 0 0

2011 Italia 6,654 10.554 6.037 8,186 9.434 17.899 13.517 0 1

2012 Italia 6,561 10.458 6.003 8,358 9.435 17.902 13.570 0 0

2013 Italia 8,032 10.474 5.985 8,663 9.626 17.914 13.721 0 0

2014 Italia 8,358 10.474 5.971 8,669 9.811 17.923 13.663 1 0

2015 Italia 8,737 10.311 5.952 8,456 9.814 17.922 13.610 1 0

2009 Jerman 9,092 10.639 6.551 7,947 9.538 18.221 13.512 0 0

2010 Jerman 8,814 10.640 6.547 7,770 9.396 18.220 13.459 0 0

2011 Jerman 9,351 10.754 6.550 7,977 9.440 18.201 13.517 0 1

2012 Jerman 8,713 10.693 6.551 8,189 9.451 18.203 13.570 0 0

2013 Jerman 8,750 10.748 6.563 8,427 9.640 18.206 13.721 0 0

2014 Jerman 8,352 10.777 6.572 8,362 9.818 18.210 13.663 1 0

2015 Jerman 7,402 10.626 6.575 8,177 9.819 18.218 13.610 1 0

2009 UK 7,070 10.546 6.249 8,116 9.674 17.947 13.512 0 0

2010 UK 7,448 10.564 6.271 7,803 9.550 17.955 13.459 0 0

2011 UK 8,121 10.627 6.250 8,027 9.559 17.963 13.517 0 1

2012 UK 8,737 10.634 6.324 8,409 9.627 17.970 13.570 0 0

2013 UK 9,055 10.655 6.306 8,456 9.762 17.976 13.721 0 0

2014 UK 9,070 10.745 6.379 8,259 9.986 17.984 13.663 1 0

2015 UK 8,760 10.690 6.478 8,198 10.094 17.992 13.610 1 0

Sumber: Data Sekunder (Diolah)

Keterangan: Data penelitian tersebut merupakan data yang sudah diolah

118

Lampiran 3. Data Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Volume Ekspor Tuna

Indonesia ke Pasar Uni Eropa Periode 2009-2015

a. PDB per Kapita Negara Tujuan Ekspor Tuna Indonesia di Pasar Uni Eropa

Periode 2009-2015 (000 USD)

Tahun

Negara Importir

Belanda Belgia Italia Jerman United

Kingdom

2009 51.900 44.881 36.977 41.733 38.010

2010 50.338 44.380 35.849 41.786 38.710

2011 53.541 47.703 38.335 46.810 41.240

2012 49.475 44.741 34.814 44.065 41.538

2013 51.574 46.510 35.370 46.531 42.407

2014 52.157 47.439 35.397 47.903 46.412

2015 44.293 40.357 30.049 41.177 43.930 Sumber: World Bank, 2017

b. Jarak Ekonomi antara Indonesia dengan Negara Tujuan Ekspor Tuna Indonesia

di Pasar Uni Eropa Periode 2009-2015 (Km)

Tahun

Negara Importir

Belanda Belgia Italia Jerman United

Kingdom

2009 4.550 2.586 1.114 1.762 1.302

2010 4.482 2.608 1.094 1.780 1.350

2011 4.438 4.466 1.086 1.814 1.343

2012 4.368 2.641 1.050 1.816 1.446

2013 4.376 2.643 1.034 1.842 1.424

2014 4.312 2.624 1.014 1.849 1.525

2015 4.235 2.585 990 1.846 1.675 Sumber: Data Sekunder, 2017 (Diolah)

c. Volume Ekspor Tuna Indonesia ke Negara Tujuan di Pasar Uni Eropa Periode

2009-2015 (Ton)

Tahun

Negara Importir

Belanda Belgia Italia Jerman United

Kingdom

2009 1.185 1.541 623 8.885 1.176

2010 481 1.097 448 6.727 1.716

2011 1.470 2.060 776 11.515 3.364

2012 1.180 1.792 707 6.079 6.228

2013 1.167 1.720 3.079 6.311 8.557

2014 1.414 402 4.263 4.240 8.694

2015 213 578 6.229 1.639 6.374 Sumber: UN Comtrade, 2017 (Diolah)

119

Lampiran 3. Data Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Volume Ekspor Tuna

Indonesia ke Pasar Uni Eropa Periode 2009-2015 (Lanjutan)

d. Harga Ekspor Tuna Indonesia ke Negara Tujuan di Pasar Uni Eropa Periode

2009-2015 (USD/ton)

Tahun

Negara Importir

Belanda Belgia Italia Jerman United

Kingdom

2009 4.175.048 5.287.930 1.858.378 25.118.238 3.940.308

2010 2.498.133 3.776.458 1.432.632 15.938.670 4.198.327

2011 5.606.574 6.802.522 2.787.075 33.532.249 10.304.309

2012 5.500.716 7.812.123 3.017.294 21.895.162 27.942.484

2013 5.495.357 8.594.082 17.808.931 28.842.209 40.252.992

2014 6.676.193 1.635.280 24.819.665 18.156.831 33.567.192

2015 960.338 2.325.118 29.282.822 5.829.299 23.151.176 Sumber: Data Sekunder (Diolah)

e. Populasi Negara Tujuan Ekspor Tuna Indonesia di Pasar Uni Eropa Periode

2009-2015 (Jiwa)

Tahun

Negara Importir

Belanda Belgia Italia Jerman United

Kingdom

2009 16.530.388 10.796.493 59.095.365 81.902.307 62.276.270

2010 16.615.394 10.895.586 59.277.417 81.776.930 62.766.365

2011 16.693.074 11.047.744 59.379.449 80.274.983 63.258.918

2012 16.754.962 11.128.246 59.539.717 80.425.823 63.700.300

2013 16.804.432 11.182.817 60.233.948 80.645.605 64.128.226

2014 16.865.008 11.209.057 60.789.140 80.982.500 64.613.160

2015 16.939.923 11.274.196 60.730.582 81.686.611 65.128.861 Sumber: World Bank, 2017

f. Nilai Tukar Riil Rupiah terhadap Negara Importir di Uni Eropa Periode 2009-

2015 (Rp/USD)

Tahun

Negara Importir

Belanda Belgia Italia Jerman United

Kingdom

2009 13.904 14.030 13.941 13.881 15.901

2010 12.039 12.039 12.039 12.039 14.046

2011 12.551 12.428 12.502 12.584 14.169

2012 12.637 12.445 12.516 12.725 15.164

2013 15.108 15.084 15.154 15.364 17.353

2014 18.042 18.127 18.229 18.360 21.725

2015 17.994 18.087 18.283 18.378 24.198 Sumber: Data Sekunder, 2017 (Diolah)

120

Lampiran 3. Data Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Volume Ekspor Tuna

Indonesia ke Pasar Uni Eropa Periode 2009-2015 (Lanjutan)

g. Produksi Tuna Indonesia Periode 2009-2015 (Ton)

Tahun Produksi

2009 738.071

2010 700.136

2011 741.867

2012 782.541

2013 909.547

2014 858.690

2015 813.909 Sumber: Fishstat-FAO, 2017 (Diolah)

121

Lampiran 4. Hasil Pemilihan Model Terbaik

a. Uji Chow

122

Lampiran 4. Hasil Pemilihan Model Terbaik (Lanjutan)

b. Uji Hausman

c. Hasil Estimasi Fixed Effect Model (FEM) dengan Least Square Dummy

Variable (LSDV)

123

Lampiran 5. Hasil Uji Asumsi Klasik

a. Uji Normalitas

b. Uji Multikolinearitas

c. Uji Heteroskedastisitas