276 BAB V PRAKTIK TRANSFORMASI KONSEP PEMBAGIAN ...

113
276 BAB V PRAKTIK TRANSFORMASI KONSEP PEMBAGIAN KEUNTUNGAN (ACCESS AND BENEFIT SHARING/ABS) SEBAGAI HAK MASYARAKAT HUKUM ADAT DI INDONESIA DAN THAILAND SERTA PERBANDINGAN KEDUANYA Bab ini menguraikan mengenai Praktik Transformasi Konsep ABS di Indonesia dan Thailand. Sebagai jawaban atas rumusan masalah ketiga, uraian diawali dengan pengakuan hak masyarakat hukum adat dalam hukum internasional sebagai basis pengaturan dalam ABS. Seterusnya dipaparkan pengaturan ABS dan perbandingan praktiknya di Indonesia dan Thailand serta diakhiri dengan uraian mengenai pengembangan hukum ke depan baik yang terkait transformasi hukum internasional secara umum maupun terkait transformasi perjanjian internasional CBD dan Nagoya Protocol guna mewujudkan hak masyarakat hukum adat atas pembagian keuntungan atas akses sumber daya genetiknya. A. Hak Masyarakat Hukum Adat atas Pembagian Keuntungan (Access and Benefit Sharing) dari Pemanfaatan Sumber Daya Genetik 1. Pengakuan Hukum Internasional atas Hak Masyarakat Hukum Adat Berkaitan Dengan Access and Benefit Sharing Pemanfaatan Sumber Daya Genetik Pengakuan hukum internasional terhadap kelompok masyarakat hukum adat merupakan pengakuan berbasis hak asasi manusia. Hukum internasional menyediakan sejumlah intrumen hukum guna memajukan hak-hak masyarakat hukum adat yaitu Konvensi International Labour Organization/ILO 1989 Nomor 169 tentang Indigenous and Tribal Peoples in Independent Countries, Konvensi ILO Tahun 1957 Nomor 107 tentang Indigenous and Tribal Population dan yang paling komprehensif adalah United Nation Declaration the Rights of Indigenous

Transcript of 276 BAB V PRAKTIK TRANSFORMASI KONSEP PEMBAGIAN ...

276

BAB V

PRAKTIK TRANSFORMASI KONSEP PEMBAGIAN KEUNTUNGAN

(ACCESS AND BENEFIT SHARING/ABS) SEBAGAI HAK

MASYARAKAT HUKUM ADAT DI INDONESIA DAN THAILAND

SERTA PERBANDINGAN KEDUANYA

Bab ini menguraikan mengenai Praktik Transformasi Konsep ABS di

Indonesia dan Thailand. Sebagai jawaban atas rumusan masalah ketiga, uraian

diawali dengan pengakuan hak masyarakat hukum adat dalam hukum internasional

sebagai basis pengaturan dalam ABS. Seterusnya dipaparkan pengaturan ABS dan

perbandingan praktiknya di Indonesia dan Thailand serta diakhiri dengan uraian

mengenai pengembangan hukum ke depan baik yang terkait transformasi hukum

internasional secara umum maupun terkait transformasi perjanjian internasional

CBD dan Nagoya Protocol guna mewujudkan hak masyarakat hukum adat atas

pembagian keuntungan atas akses sumber daya genetiknya.

A. Hak Masyarakat Hukum Adat atas Pembagian Keuntungan (Access and

Benefit Sharing) dari Pemanfaatan Sumber Daya Genetik

1. Pengakuan Hukum Internasional atas Hak Masyarakat Hukum Adat

Berkaitan Dengan Access and Benefit Sharing Pemanfaatan Sumber Daya

Genetik

Pengakuan hukum internasional terhadap kelompok masyarakat hukum

adat merupakan pengakuan berbasis hak asasi manusia. Hukum internasional

menyediakan sejumlah intrumen hukum guna memajukan hak-hak masyarakat

hukum adat yaitu Konvensi International Labour Organization/ILO 1989 Nomor

169 tentang Indigenous and Tribal Peoples in Independent Countries, Konvensi

ILO Tahun 1957 Nomor 107 tentang Indigenous and Tribal Population dan yang

paling komprehensif adalah United Nation Declaration the Rights of Indigenous

277

People Tahun 2007.

Berkaitan dengan pengakuan hak masyarakat hukum adat atas sumber daya

alam, ketentuan Pasal 3 dan Pasal 14 serta Pasal 15 Konvensi ILO 1989 Nomor

169 yang pada prinsipnya menentukan bahwa pemerintah harus menghormati

budaya dan nilai-nilai spiritual masyarakat hukum adat yang terkait dengan

hubungan mereka dengan tanah dan sumber daya alamnya, khususnya aspek

kolektif dari hubungan ini. Hak-hak kepemilikan dan penguasaan masyarakat

hukum adat atas tanah yang secara tradisional mereka tempati harus diakui. Bahkan

dalam ketentuan Pasal 15 penegasan pengakuan atas hak masyarakat hukum adat

juga dibarengi dengan prinsip HAM free prior informed consent (FPIC) bahwa:

(1) Hak-hak masyarakat hukum adat dan orang-orang pribumi yang

bersangkutan atas sumber daya alam serta berkaitan dengan tanah dan

wilayah mereka harus dilindungi secara khusus. Hak-hak ini termasuk hak

masyarakat untuk berpartisipasi dalam penggunaan, pengelolaan dan

konservasi sumber daya alam.

(2) Dalam kasus dimana Negara mempertahankan kepemilikan sumber daya

alam di bawah permukaan tanah atau hak atas sumber daya lain yang

berkaitan dengan tanah, Pemerintah harus menetapkan prosedur dimana

pemerintah akan berkonsultasi dengan masyarakat hukum adat, dengan

maksud untuk memastikan kepentingan masyarakat hukum adat tidak

dirugikan dan masyarakat hukum adat harus sedapat mungkin berpartisipasi

dan mendapat manfaat dan menerima kompensasi yang adil untuk setiap

kerusakan yang mungkin dialami akibat dari kegiatan tersebut.

Walaupun perjanjian-perjanjian internasional tersebut yang berbentuk

Deklarasi tidak mengikat negara-negara atau sering disebut soft law, namun

mendapat dukungan luas dari negara-negara sehingga prinsip-prinsip deklarasi dan

konvensi tersebut dianggap sebagai hukum kebiasaan internasional.1

1 S. James Anaya, op. cit., halaman 984, diakses pada

https://scholar.law.colorado.edu/cgi/viewcontent.cgi?article=2385&context=articles.

278

Awalnya, negara-negara mengakui eksistensi masyarakat ini baik secara

resmi maupun secara informal yang direfleksikan dalam pengakuan atas kedaulatan

wilayah dan sumber daya alamnya. Dari sudut pandang hukum, aspek utama dari

masalah pengakuan kelompok masyarakat hukum adat bertalian di seputar

bagaimana mengenali suatu kelompok dengan kareakteristinya yang bersangkut

paut dengan dua dimensi mengenai pengakuan yaitu, dimensi eksternal bagaimana

pihak luar memandang dan berhubungan dengan kelompok masyarakat hukum

adat. Hal ini akan merujuk pada bagaimana sistem nilai yang dianut, apa kekuatan

dan tindakan-tindakan apa yang menjadikan mereka terikat. Kedua, dimensi

internal yaitu bagaimana anggota kelompok berhubungan dan mengelola

kelembagan serta bagaimana mereka berhubungan satu sama lain. Begitu kelompok

tersebut diberikan pengakuan formal fungsi pengakuan sesungguhnya diharapkan

memperkuat keterikatan group.2

Pada bagian lain The World Commission on the Social Dimension of

Globalization yang digagas oleh ILO pada tahun 2002 melalui progress report

dengan topik ‘A fair Globalization Creating Opportunities for All’ membahas

implikasi dari globalisasi terhadap kehidupan ekonomi dan sosial dalam rangka

menyerasikan tujuan ekonomi, sosial dan lingkungan. Komisi mengakui bahwa

diperlukan dukungan dan upaya untuk melindungi dan menghormati hak-hak

masyarakat hukum adat utamanya hak atas wilayah dan sumber daya alamnya

termasuk pentingnya penerapan prinsip free and prior informed consent (FPIC).

2 J.S. Fingleton, Legal Recognation of Indigenous People, FAO, 1998, halaman 7,

diakses pada https://www.fao.org/3/bb034e/bb034e.pdf.

279

Pihak luar saat akan berkegiatan pada wilayah masyarakat hukum adat harus

mendapatkan persetujuan terlebih dahulu sebelum kegiatan suatu proyek dimulai.3

Pemenuhan keadilan melalui pengakuan terhadap hak-hak masyarakat adat

atas sumber daya genetik dapat membawa dampak positif terhadap pelestarian

lingkungan karena sebagian besar pusat keanekaragaraman hayati yang di

dalamnya terdapat sumber daya genetik berada dan dijaga dalam wilayah

masyarakat hukum adat yang sangat berguna dalam menopang hidup dan

kehidupan manusia.

Pengakuan hukum internasional atas hak masyarakat hukum adat adalah

UNDRIP dan Deklarasi Amerika Serikat tentang Hak dan Kewajiban Manusia.

Dalam kasus pada The Inter-American Court of Human Right antara Saramaka

People v. Suriname yang mempersoalkan konsesi penebangan dan pertambangan

yang diberikan oleh Suriname terkait properti komunal yang secara tradisional

ditempati oleh Komunitas Saramaka telah mengancam kelangsungan hidup fisik

dan budaya mereka. Pengadilan mengacu kepada Pasal 21 ayat (1) dan (2) Konvensi

Amerika tentang Hak Asasi Manusia. Ketentuan Pasal 21 mengakui bahwa setiap

orang berhak untuk menggunakan harta miliknya dan penggunaannya sepenuhnya

tunduk pada kepentingan masyarakat.4

Deklarasi tersebut serta berbagai konvensi internasional memberikan

dukungan bagi masyarakat hukum adat dalam perjuangan mereka untuk

3 Muazzin, “Hak Masyarakat Adat (Indigenous Peoples)”, Padjadjaran Jurnal ilmu

Hukum, Vol. 1 (2), 2014, halaman 324. 4 Taisi Copetti, “The rights of Indigenous People under International Law”, 2019,

halaman 2, diakses pada

https://www.academia.edu/39328532/The_rights_of_indigenous_peoples_under_international_law

.

280

melestarikan kelangsungan hidup dan budaya dalam menghadapi proyek-proyek

pembangunan ekonomi yang dikenakan pada mereka yang mengancam kelestarian

lingkungan mereka. Kasus-kasus hukum internasional mengenai kelompok pribumi

atau masyarakat hukum adat ini menyiratkan bahwa masyarakat tersebut memiliki

hak menentukan identitas mereka sendiri yang diakui oleh pengadilan serta dijamin

dalam dokumen internasional sebagaimana diatur dalam Pasal 33 ayat (1) UNDRIP

bahwa:

(1) Masyarakat hukum adat memiliki hak untuk menentukan identitas atau

keanggotaan mereka sesuai dengan hukum adat dan tradisi mereka. Hal ini tidak

mengurangi hak individu masyarakat hukum adat untuk memperoleh

kewarganegaraan negara tempat mereka tinggal.

(2) Masyarakat hukum adat memiliki hak untuk menentukan struktur dan untuk

memilih keanggotaan lembaga mereka sesuai dengan prosedur mereka.

Titik balik komitmen internasional terhadap isu-isu hak masyarakat hukum

adat adalah Resolusi Dewan Ekonomi dan Sosial PBB 1971 yang mengesahkan

Subkomisi PBB untuk Pencegahan Diskriminasi dan Perlindungan Minoritas,

sebuah badan penasehat ahli antar pemerintah Komisi Hak Asasi Manusia untuk

melakukan studi tentang Masalah Diskriminasi terhadap Penduduk Asli. Pelapor

khusus Jose Martines Cobo membuat serangkaian rekomendasi guna mendukung

tuntutan masyarakat hukum adat. Berdasarkan rekomendasi studi Martines Cobo

dan perwakilan dari kelompok masyarakat hukum adat, Komisi HAM PBB dan

badan induknya Dewan Ekonomi Sosial PBB pada tahun 1982 menyetujui

pembentukan kelompok kerja PBB untuk masyarakat hukum adat. Kelompok kerja

ini dibentuk sebagai bagian dari Subkomisi Pencegahan Diskriminasi dan

Perlindungan Minoritas dengan mandat untuk meninjau perkembangan yang

berkaitan dengan promosi dan perlindungan HAM dan kebebasan dasar masyarakat

281

hukum adat serta memberikan perhatian khusus mengenai standar hak-hak

masyarakat hukum adat.5 Seterusnya, kelompok kerja mendorong inisiatif untuk

memperkuat eksistensi masyarakat hukum adat dan mengembangkan draft

Deklarasi Hak-Hak Masyarakat Hukum Adat.

Studi Martinez Cobo menjadi standar acuan dalam persiapan konferensi

Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Lingkungan dan Pembangunan (KTT Bumi)

tahun 1992 dalam kerangka pembangunan berkelanjutan. Sejumlah instrumen

hukum yang diadopsi pada KTT Bumi, seperti Deklarasi Rio, Agenda 21 dan

Konvensi Keanekaragaman Hayati telah menetapkan standar hukum internasional

untuk melindungi hak-hak masyarakat hukum adat atas pengetahuan dan praktik

tradisional mereka di bidang pengelolaan dan pelestarian lingkungan. Hal penting

yang dicapai adalah terdapat kerangka hukum internasional yang mengakui

hubungan unik yang dimiliki masyarakat hukum adat dengan tanah, sumber daya

alam dan lingkungannya.

Masyarakat hukum internasional menyadari bahwa peran strategis

masyarakat hukum adat dalam konservasi sumber daya genetik sangat menentukan.

Piagam Bumi Masyarakat Hukum Adat memang tidak dimasukan ke dalam

negosiasi CBD saat The Earth Summit 1992 namun pengakuan yang signifikan

tercantum dalam konsideran CBD bahwa:

Mengakui ketergantungan yang erat pada tradisi masyarakat hukum adat dan

komunitas lokal yang mewujudkan gaya hidup tradisional pada sumber daya

hayati, dan keinginan untuk berbagi keuntungan secara adil yang timbul dari

penggunaan sumber daya genetik dan pengetahuan tradisional, inovasi dan

praktik yang relevan dengan konservasi keanekaragaman hayati dan

pemanfaatannya secara berkelanjutan.

5 S. James Anaya, op. cit., halaman 985.

282

Pengakuan ini menyiratkan ikatan yang kuat antara masyarakat hukum adat

dengan sumber daya genetik yang membentuk kosmologi, budaya, dan kehidupan

spiritual yang tidak terpisahkan dari alam yang dijaga dan dikelola secara turun

temurun. Perkembangan industri bioteknologi atas pemanfaatan sumber daya

genetik yang masif dan bernilai ekonomi telah memunculkan perlawanan

masyarakat hukum adat terhadap pengambilan bebas sumber daya genetiknya.

Ketidakadilan ini karena manfaat dari sumber daya genetik tersebut sebagian besar

dimanfaatkan industri negara-negara maju yang menikmati keuntungan atas akses

dan pemanfaatan sumber daya genetik yang dianggap suatu public goods yang

bersifat common dan karenanya bisa diakses bebas tanpa izin tanpa kompensasi.

Sesuai dengan Konvensi keanekaragaman Hayati Tahun 1992 dan Nagoya

Protoccol on Access to Genetic Resources and the Fair and Equitable Sharing of

Benefits Arising from Their Utilization to the Convention on Biological Diversity

Tahun 2010 yang membentuk kesepakatan tentang serangkaian prosedur dan hak

dan kewajiban para pihak dengan tujuan untuk melaksanakan kewajiban para pihak

melaksanakan kewajiban yang tercantum dalam Pasal 15 dan Pasal 8 j (1) CBD.

Kewajiban ini termasuk penghormatan oleh pengguna sumber daya genetik dan

pengetahuan tradisional terkait tentang akses dalam hukum nasional dan peraturan

perundang-undangan sistem ABS. Dengan demikian negara-negara harus mengatur

atau mentransformasikan sistem pembagian keuntungan yang adil dan seimbang

atas pemanfaatan sumber daya genetik masyarakat hukum adat dalam hukum

nasionalnya

Perkembangan penting dalam pengakuan eksistensi masyarakat hukum adat

283

dan hak-haknya adalah dengan dibentuknya United Nation Declaration Right of

Indigenous Peoples/UNDRIP dalam suatu sidang Majelis Umum PBB pada tanggal

13 September 2007. Di tingkat internasional, UNDRIP dapat dikatakan perjanjian

internasional soft law yang penting bagi perlindungan dan rekognisi hak-hak

masyarakat hukum adat yang membawa harapan bagi pemenuhan hak masyarakat

hukum adat.

Ketentuan Pasal UNDRIP menentukan hak masyarakat hukum adat atas

sumber daya alam bahwa:

1. Masyarakat hukum adat memiliki ha katas tanah, wilayah dan sumber daya alam

yang secara tradisional mereka miliki dan tempati.

2. Masyarakat hukum adat memiliki hak untuk memiliki, menggunakan,

mengembangkan dan menguasai tanah, wilayah dan sumber daya alam dengan

alasan kepemilikan tradisional lainnya, serta yang mereka peroleh dengan cara

lain.

3. Negara-negara harus memberikan pengakuan dann perlindungan hukum

terhadap tanah-tanah tersebut wilayah dan sumber daya alam. Pengakuan

tersebut harus dilakukan dengan menghormati hukum adat, trasdisi dan sistem

kepemilikan tanah masyarakat hukum adat.

Adapun pengakuan negara atas masyarakat Hukum Adat dalam kerangka

instrumen Hukum Nasonal terdapat dalam UUD 1945 sebelum Amademen,

khususnya pada Penjelasan Pasal 18 bahwa di Indonesia terdapat sekitar 250

daerah-daerah dengan susunan asli (zelfbesturende, volksgemeenschappen), seperti

marga, desa, dusun dan negeri. Adapun dalam UUD 1945 hasil amademen dan

peraturan perundang-undangan, ditemukan perumusan yang sama bahwa

masyarakat hukum adat akan diakui sepanjang masih hidup dan sesuai dengan

284

perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang

diatur dalam undang-undang.6

Ketentuan Pasal 18B ayat (1) dan (2) UUD 1945 lengkapnya menentukan

bahwa:

(1) Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintah daerah yang

bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang.

(2) Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat Hukum

Adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan

perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia,

yang diatur dalam undang-undang.

UUD 1945 tidak menentukan siapakah yang dimaksud dengan masyarakat

Hukum Adat.7 Namun, ketentuan Pasal 18B ayat (1) ditafsirkan bahwa eksistensi

masyarakat Hukum Adat diakui dan dijamin oleh Konstitusi namun pengakuan

tersebut kondisional karena terdapat 4 (empat) unsur yang harus dipenuhi yaitu

“sepanjang masih hidup, sesuai dengan perkembangan masyarakat dalam prinsip

Negara Kesatuan Republik Indonesia dan yang diatur dalam undang-undang”.

Unsur-unsur untuk dikukuhkannya suatu komunitas sebagai masyarakat

Hukum Adat justru ditemukan pada Pasal 67 ayat (1) Undang-Undang Nomor 41

6 Lies Sugondo, Masyarakat Hukum Adat dalam Kerangka Hukum Nasional, Makalah

pada Advanced training hak-hak masyarakat adat (Indigenous peoples rights) bagi dosen pengajar

HAM di Indonesia, diselengarakan oleh Pusham UII-Noerwegian Centre for Human Rights,

Yogyakarta tanggal 21-24 Agustus 2007, halaman 4. 7 Undang-Undang Pokok Agraria, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM,

Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003

tentang Sistem Pendidikan Nasional, Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Tata Ruang

yang mengakui eksistensi masyarakat Hukum Adat dengan gaya perumusan yang sama, juga tidak

mendefinisikan siapa yang dimaksud dengan masyarakat Hukum Adat.

285

Tahun 1999 tentang Kehutanan yang menegaskan bahwa masyarakat hukum adat

akan diakui sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat

dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-

undang. Sementara unsur-unsur untuk adanya pengakuan adalah:

1. masyarakatnya masih dalam bentuk paguyuban (rechtsgemeenschap);

2. ada kelembagaan dalam bentuk perangkat penguasa adatnya;

3. ada wilayah Hukum Adat yang jelas;

4. ada pranata dan perangkat hukum, khususnya peradilan adat, yang masih

ditaati; dan

5. masih mengadakan pemungutan hasil hutan di wilayah hutan sekitarnya

untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari.

Memperhatikan unsur-unsur tersebut dan membandingkannya dengan

kondisi sekarang, sulit untuk menemukan siapa yang dimaksud dengan masyarakat

Hukum Adat. Ada beberapa komunitas adat yang sebenarnya eksis, namun tak bisa

diakui sebagai masyarakat Hukum Adat, karena tak memenuhi unsur salah satu

unsur apabila unsurnya kumulatif.

Kewenangan untuk menetapkan suatu komunitas sebagai masyarakat

Hukum Adat adalah kewenangan pemerintah daerah, melalui pengukuhan dalam

peraturan daerah. Ketentuan Pasal 67 ayat (2) bahwa: “Pengukuhan keberadaan dan

hapusnya masyarakat Hukum Adat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan

dengan Peraturan Daerah.” Penjelasan Pasal ini menjelaskan bahwa Peraturan

daerah disusun dengan mempertimbangkan hasil penelitian para pakar Hukum

Adat, aspirasi masyarakat setempat, dan tokoh masyarakat adat yang ada di daerah

286

yang bersangkutan, serta instansi atau pihak lain yang terkait. Dengan demikian

pengakuan atas eksistensi masyarakat Hukum Adat menjadi tidak hanya bersyarat

tapi juga berlapis.

Menurut Maria Sumardjono, kriteria penentu masih ada atau tidaknya hak

ulayat dihubungkan dengan eksistensi masyarakat hukum adat adalah:8

a. Adanya masyarakat hukum adat yang memenuhi ciri-ciri tertentu sebagai

subyek hak ulayat;

b. Adanya tanah/wilayah dengan batas-batas tertentu sebagai lebensraum (ruang

hidup) yang merupakan obyek hak ulayat;

c. Adanya kewenangan masyarakat hukum adat untuk melakukan tindakan-

tindakan tertentu yang berhubungan dengan tanah, sumber daya alam lain serta

perbuatan-perbuatan hukum.

Persyaratan tersebut di atas tidak perlu dipenuhi secara kumulatif, hal itu

merupakan petunjuk bahwa hak adat atas tanah dan sumber daya alam di kalangan

masyarakat hukum adat tersebut masih ada. Kriteria ini diharapkan bukan menjadi

pembatas suatu komunitas dikatakan bukan masyarakat hukum adat, tapi membantu

para pengambil keputusan untuk menerima keberadaan suatu masyarakat hukum

adat.

Keberadaan masyarakat hukum adat umumnya ditandai dengan sejumlah

praktek usaha perladangan dan pertanian, penggembalaan ternak, pemburuan satwa

liar dan pemungutan hasil hutan, serta diberbagai areal hutan dikelola secara lestari

8 Ade Saptomo, Hukum & Kearifan Lokal Revitalisasi Hukum Adat Nusantara, Gramedia

Widiasarana Indonesia, Jakarta, 2010, halaman 15.

287

oleh masyarakat hukum adat sebagai sumber kehidupannya dengan segala

kearifannya.

Berbagai praktek pengelolaan hutan oleh masyarakat hukum adat dikenal

dengan berbagai istilah seperti Mamar di Nusa Tenggara Timur, Lembo pada

masyarakat Dayak di Kalimantan Timur, Tembawang pada masyarakat Dayak di

Kalimantan Barat, Repong pada Masyarakat Peminggir di Lampung, Tombak pada

masyarakat Batak di Tapanuli Utara. Praktek tersebut menunjukan bahwa

masyarakat adat telah dan mampu mengelola sumber daya alam termasuk hutannya

secara turun-temurun.

Praktik pengelolaan sumber daya alam telah ada sebelum lahirnya negara,

demikian juga dengan masyarakat hukum adat. Dengan demikian pengelolaan

sumber daya alam berbasis kearifan lokal atau hukum adat telah dilakukan oleh

masyarakat hukum adat mendahului kelahiran negara.9 Praktik tersebut

diformalkan melalui UUPA yang menegaskan hukum adat adalah sumber hukum

agraria. Dengan adanya sejumlah masyarakat hukum adat yang hidup di dalam dan

sekitar kawasan hutan yang dipenuhi praktik konservasi sumber daya genetik, maka

penerapan pengakuan keberadaan masyarakat hukum adat sebagai subjek hukum

menjadi signifikan dampaknya kepada masyarakat hukum adat guna melindungi

hak-hak tersebut di tengah semakin besarnya kepentingan untuk memanfaatkan

sumber daya alam mereka.

Indonesia sampai saat ini belum mempunyai peraturan perundang-

undangan yang mengatur tentang pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum

9 Ade Saptomo, ibid., halaman 13.

288

adat. Adanya Rancangan Undang-Undang tentang Masyarakat Hukum Adat yang

telah sekian lama disusun namun belum menampakkan titik terang untuk disahkan.

Berdasarkan daftar tahun 2022 RUU tersebut masuk kembali dalam dafatr program

legislasi nasional/Proglegnas10 yang diprioritaskan untuk disahkan menginggat

pentingnya bagi perlindungan hak masyarakat hukum adat dan keberlanjutan

lingkungan. Berbeda di tingkat lokal pengakuan terhadap masyarakat hukum adat

telah dikukuhkan dalam beberapa peraturan daerah.11

Berdasarkan gambaran pengakuan hak masyarakat hukum adat dalam

hukum internasional dan nasional dapatlah dikatakan pengakuan yang telah dijamin

dalam hukum nasional dan internasional ini tidak akan bermakna tanpa ada

pemenuhan hak mereka secara progresif di tingkat lokal.

2. Pengaturan Access and Benefit Sharing/ABS dalam Hukum Internasional

a. Perjanjian Internasional Convention on Biological Diversity/CBD

Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Bumi yang diadakan pada tahun 1992 di

Rio de Janerio Brazil menghasilkan Konvensi Keanekaragaman Hayati

(Convention on Biological Diversity/CBD) yang dibangun atas tiga tujuan yaitu

konservasi keanekaragaman hayati, pemanfaatan yang berkelanjutan dari

10 DPR RI, “Program Legislasi Nasional Prioritas 2022”, diakses pada

https://www.dpr.go.id/uu/prolegnas 11 Peraturan Daerah Kabupaten Lebak Nomor 32 Tahun 2001 tentang Perlindungan Hak

Ulayat Masyarakat Badui; Peraturan Daerah Kabupaten Malinau Nomor 10 Tahun

2012 tentang Pengakuan dan Perlindungan Hak-Hak Masyarakat Adat Di Kabupaten

Malinau; Peraturan Daerah Kabupaten Ciamis Nomor 15 Tahun 2016 tentang Pengakuan dan

Perlindungan Masyarakat Hukum Adat Kampung Kuta; dan Peraturan Daerah Nomor 8 Tahun

2016 tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat Marga Serampas;

Peraturan Daerah Kabupaten Lebak Nomor 8 Tahun 2015, yaitu sebanyak 519 kasepuhan yang

terdiri dari kasepuhan inti, kokolot lembur dan gurumulan rendangan.

289

komponen-komponennya dan pembagian keuntungan yang adil dan merata atas

manfaat yang timbul dari pemanfaatan sumber daya genetik.

Nagoya Protocol Tahun 2010 mengembangkan tujuan ketiga dari akses dan

pembagian manfaat (access and benefit sharing/ABS) dengan memperhitungkan

peran penting masyarakat hukum adat beserta pengetahuan tradisionalnya. Di

sepakatinya sistem ABS didorong oleh para pemangku kepentingan negara

berkembang yang mengkhawatirkan eksplotasi sumber daya genetik dan

pengetahuan tradisional mereka.12

Ketentuan Pasal 8j dan Pasal 10c CBD menuntut para pihak melindungi

masyarakat hukum adat, pengetahuan tradisional, praktik dan gaya hidup yang

relevan dengan konservasi keanekaragaman hayati.

Pasal 8j

Pasal 15 ayat (7) CBD yang menegaskan bahwa:

Setiap pihak wajib menyiapkan upaya legislatif, administratif atau upaya

kebijakan, dengan tujuan membagi hasil-hasil penelitian dan pengembangan

serta keuntungan yang dihasilkan dari pendayagunaan komersial dan lain-

lainnya sumber daya genetik secara adil dengan pihak yang menyediakan

sumber daya tersebut. Pembagian ini harus didasarkan atas persyaratan yang

disetujui bersama.

Ketentuan pokok dalam CBD yang bersinggungan dengan ABS adalah

Pasal 15 yang meneguhkan bahwa mengakui hak kedaulatan negara atas sumber

daya alam mereka, kapasitas untuk mengatur akses ke sumber daya genetik berada

di pemerintah nasional dan tunduk pada undang-undang nasional. Ketentuan Pasal

15 ini mengandung makna bahwa negara adalah pemilik sumber daya genetik di

12 Broggiato et al, op. cit., halaman 13.

290

wilayah mereka. Negara memiliki wewenang tunggal dan eksklusif untuk mengatur

akses ke sumber daya genetik. Dengan demikian tanggung jawab untuk

menjalankan wewenang ini dilimpahkan ke pemerintah nasional.13 Kewenangan

pemerintah untuk menentukan akses ke sumber daya genetik harus diatur dan

dipastikan, sesuai dengan undang-undang nasional. Otoritas ini diakui berasal dari

hak kedaulatan Negara atas sumber daya alam mereka. Jika sumber daya genetik

termasuk dalam hak milik nasional maka itu adalah masalah yurisdiksi nasional.

Sementara itu bertalian dengan syarat dan ketentuan akses bahwa ungkapan

pertama terkait Pasal 15 adalah kata ‘tepat’ yang berhubungan dengan syarat atau

ketentuan akses ke sumber daya genetik. Akses ini dapat ditentukan oleh suatu

Pihak yang menyediakan sumber daya genetik. Referensi hak atas sumber daya

genetik memberi pertanda bahwa status hukum sumber daya genetik merupakan

pertimbangan utama Konvensi yang tunduk kepada masing-masing pihak yang

berjanji untuk mengklarifikasi dan menetapkannya dalam hukum nasionalnya.

Dalam konteks tersebut, pembagian manfaat menunjukan pertukaran antara

penyedia yang memberikan akses ke sumber daya genetik dan Users yang

memberikan manfaat atau kompensasi dari akses sumber daya genetik. Berbeda

dengan konsep warisan bersama (common heritage of mankind), dalam konsteks

sumber daya genetik negara memegang hak berdaulat atas sumber daya alam dann

negara dapat memberikan akses kepada mereka yang membutuhkan untuk

memanfaatkan sumber daya tersebut sesuai prinsip persetujuan atas dasar informasi

13 Grethel Aguilar, op. cit., halaman 247.

291

awal (free prior informed consent/FPIC) dan persyaratan yang disepakati bersama

(mutual agreement term/MAT).

Konsep ABS dalam pemanfaatan sumber daya genetik berasal dari CBD

yang mengakhiri era konsep warisan bersama umat manusia. Di dalam pembukaan

CBD sumber daya genetik dianggap sebagai kepentingan bersama bukan warisan

bersama umat manusia. Tahapan ini adalah konsern seluruh umat manusia untuk

melestarikan dan mempertahankan penggunaan sumber daya genetik untuk

kemanusiaan dan generasi yang akan datang. Namun catatan penting dalam relasi

ini adalah kewajiban untuk melestarikan dan mempertahankan sumber daya genetik

tidak berarti bahwa sumber daya tersebut adalah warisan bersama umat manusia.

Sebaliknya sumber daya genetik tersebut adalah milik negara dan masyarakat

hukum adat.

Persyaratan pembagian keuntungan diperkuat melalui serangkaian diskusi

oleh para peserta CBD yang kemudian mencapai puncaknya menjadi kerangka

kerja yang lebih tegas yang dikenal sebagai Nagoya Protocol. Protokol yang

diadopsi pada tahun 2010 ini memberikan dasar yang kuat bagi kepastian hukum

dan transparansi yang lebih besar baik bagi penyedia maupun pengguna sumber

daya genetik. Kepastian hukum dari Nagoya Protocol adalah mengharuskan negara-

negara untuk mengembangkan undang-undang untuk memastikan bahwa

penggunaan sumber daya genetik dalam yurisdiksi mereka dilakukan dengan FPIC

dan MAT serta mematuhi undang-undang pembagian keuntungan di negara lain.

Sedangkan dari aspek transparansi Nagoya Protocol mengharuskan negara-

negara industri mendirikan pos pemeriksaan untuk mengungkapan sumber daya

292

genetik apa yang telah mereka akses dimana dan untuk memantau apakah mereka

mematuhi Protokol. Konsep ABS dikaitkan dengan keadilan konservasi bahwa

mereka yang menggunakan sumber daya genetik memberikan kembali imbalan

kepada penyedia.14

Landasan filosofi dari hal ini adalah bahwa nilai intrinsik dari sumber daya

genetik perlu diimbangi dengan penghargaan yang proporsional. Hal ini beranjak

dari kekhawatiran tentang bagaimana melakukan penelitian yang etis pada negara-

negara yang kaya sumber daya genetik baik yang dikelola masyarakat hukum adat

untuk mendapatkan manfaat yang besar maka ABS dianggap sebagai salah satu

instrumen penting untuk mencapai kesetaraan dan keadilan diantara hubungan

tersebut. Sebagian pelaku konservasi hidup dalam kesederhanaan jauh dari akses

kesehatan adalah relevan sumber daya genetik yang diakses tersebut manfaatnya

dibagi ke penjaga konservasi. Sebaliknya secara etis adalah tidak adil bila suatu

negara atau Users tidak memberikan manfaat yang adil atas akses yang diberikan

kepadanya.

CBD mengakui peran masyarakat hukum adat dalam melakukan konservasi

sebagimana tergambar dari praktik dan gaya hidup mereka yang memiliki

pengetahuan mengenai alam. Secara normatif CBD meneguhkan sistem ABS, hak

masyarakat hukum adat atas pembagian keuntungan dan bagaimana seharusnya

negara-negara mentransformasikan nilai, prinsip dan norma ABS ini ke dalam

hukum nasionalnya. Adapun ketentuan-ketentuan dimaksud adalah sebagai berikut:

14 Doris Schroeder and Balakrishna Pasupati, “Ethics, Justice and the Convention on

Biological Diversity”, UNEP, 2010, halaman 13-14.

293

Pasal 8 (J) bahwa:

Tergantung perundang-undangan nasionalnya menghormati, melindungi dan

mempertahankan pengetahuan, inovasi-inovasi dan praktek-praktek masyarakat

hukum adat dan komunitas lokal yang mencerminkan gaya hidup berciri tradisional

sesuai dengan konservasi dan pembanfaatan secara berkelanjutan keanekaragaman

hayati dan memajukan penerapannya secara lebih luas dengan persetujuan dan

keterlibatan pemilik pengetahuan inovasi-inovasi dan praktek-praktek tersebut,

mendorong pembagian yang adil keuntungan yang dihasilkan dari penggunaan

sumber daya genetik, pengetahuan, inovasi-inovasi dan praktik-praktik semacam

itu.

Seterusnya ketentuan Pasal 15 meneguhkan kembali amanah Pasal 8 (J) bahwa:

Setiap pihak wajib menyiapkan upaya legislative, administrative atau upaya

kebijakan yang sesuai dan menurut Pasal 16 dan 19 dan bila perlu melalui

mekanisme pendanaan yang dirumuskan dalam Pasal 20 dan 21 dengan tujuan

mebagi hasil-hasil penelitian dan pengembangan serta keuntungan yang dihasilkan

dari penggunaan komersial dan lain-lainnya sumber daya genetik secara adil

dengan pihak yang menyediakan sumber daya tersebut. Pembagian inin harus

didasarkan atas persayaratan yang disetujuai bersama.

Berdasarkan pengaturan dalam CBD terlihat bahwa CBD mengakui hak

masyarakat hukum adat dan komunitas lokal sebagai pemilik sumber daya genetik

dan pengetahuan traisional. Negara diharapkan mengambil langkah hukum untuk

mewujudkan sistem ABS tersebut ke dalam hukum nasionalnya. Ketentuan

mengenai ABS dalam CBD diderivasi ke dalam Nagoya Protocol sebagai bentuk

komitmen masyarakat hukum internasional mewujudkan sistem ABS.

b. Perjanjian Internasional Nagoya Protocol on Access to Genetic Resources

and the Fair and Equitable Sharing of Benefit Arising from their Utilization

to the Convention on Biological Diversity

Access and Benefit Saharing (ABS) mengacu pada cara dimana sumber

daya genetik dapat diakses dan bagaimana manfaat yang dihasilkan dari

penggunaannya dibagi antara penyedia dengan pengguna. Mengapa ABS penting,

294

penyedia sumber daya genetik adalah Negara sebagai pemegang kedaulatan atas

sumber daya alam dan masyarakat hukum adat dalam suatu negara yang

menyediakan sumber daya genetik. Ketentuan akses dan pembagian keuntungan

dari CBD dirancang untuk memastikan bahwa akses fisik ke sumber daya

difasilitasi dan manfaat yang diperoleh dari penggunaannya dibagi secara adil

dengan penyedia.

Dalam rangka memperkuat peluang pembagian keuntungan guna

mempromosikan pengunaan sumber daya genetik yang lebih adil termasuk yang

berasosiasi dengan pengetahuan tradisional Nagoya Protocol on Access to Genetic

Resources and the Fair and Equitabel Sharing Of Benefit Arising from their

Utilization to the Convention on Biological Diversity menciptakan skema ABS

untuk merealisasikan tujuan pilar ketiga CBD dalam ketentuan Pasal 5 ayat (2) yang

terkait dengan hak masyarakat hukum adat:

1. Sesuai dengan Pasal 15 (3) dan Pasal 7 Konvensi keuntungan yang timbul

dari pemanfaatan sumber daya genetik serta komersialisasinya harus dibagi

secara adil dan setara dengan pihak penyedia yang merupakan negara asal

sumber daya atau pihak yang memiliki sumber daya genetik sesuai konvensi

harus dibagi berdasarkan persyaratan yang disepakati bersama.

2. Setiap Pihak wajib mengambil langkah-langkah legislatif, administratif atau

kebijakan yang sesuai dengan tujuan untuk menjamin bahwa keuntungan

yang dihasilkan dari pemanfaatan sumber daya genetik yang dimiliki

masyarakat hukum adat dan komunitas lokal sesuai dengan undang-undang

domestik mengenai hak-hak yang telah ditetapkan dari masyarakat hukum

adat dan komunitas lokal itu atas sumber daya genetik tersebut dibagi secara

adil dan seimbang dengan masyarakat yang bersangkutan berdasarkan

kesepakatan bersama.

3. Untuk melaksanakan ayat 1, setiap pihak wajib mengambil langkah

legislatif, administratif atau langkah-langkah kebijakan yang sesuai.

4. Keuntungan dapat mencakup keuntungan moneter dan non moneter tetapi

tidak terbatas pada yang tercantum dalam lampiran.

295

5. Setiap pihak wajib mengambil langkah-langkah legislatif, administratif atau

kebijakan yang tepat agar manfaat yang timbul dari pemanfaatan sumber

daya genetik dibagikan secara adil dan merata dengan masyarakat hukum

adat dan komunitas lokal yang memiliki, pembagian itu harus sesuai dengan

persyaratan yang disepakati bersama.

Selanjutnya, dalam pelaksanaan hak berdaulat negara atas sumber daya alam

Nagoya Protocol Pasal 6:

1. Dalam pelaksanaan hak berdaulat atas sumber daya alam pada akses domestik

dan peraturan perundang-undangan pembagian keuntungan atau peraturan

persyaratan, akses terahadap sumber daya genetik untuk pemanfaatannya harus

diinformasikan terlebih dahulu sebelum persetujuan dari pihak yang

menyediakan sumber daya.

2. Sesuai dengan hukum nasional, masing-masing pihak wajib mengambil

tindakan yang sesuai dengan tujuan untuk memastikan bahwa persetujuan dan

keterlibatan masyarakat hukum adat dan komunitas lokal diperoleh untuk akses

ke sumber daya genetik dimana masyarakat hukum adat atau masyarakat lokal

memiliki hak yang ditetapkan untuk memberikan akses ke sumber daya genetik

tersebut.

3. Sesuai dengan ayat 1 setiap pihak yang memerlukan persetujuan terlebih dahulu

harus mengambil langkah-langkah legislatif, adminsitratif atau kebijakan yang

diperlukan sebagaiman mestinya untuk:

a. Memberikan kepastikan hukum, kejelasan dan trasnparansi akses dan

peraturan persyaratan pembagian keuntungan.

b. Menyediakan aturan dan prosedur yang adil dan tidak sewenang-wenang

dalam mengakses sumber daya genetik.

c. Memberikan informasi tentang cara mengajukan persetujuan berdasarkan

informasi sebelumnya

d. Memberikan keputusan tertulis yang jelas dan transparan oleh otoritas

nasional yang kompeten

e. Menyediakan dokumen penerbitan pada saat akes izin diberikan sebagai

bukti keputusan untuk memberikan persetujuan terlebih dahulu dan

penetapan syarat-syarat yang disepakati bersama dan memberitahukan

kepada Lembaga kliring akses dan pembagian hasil atau keuntungan

f. Menetapkan kriteria dan proses untuk mendapatkan persetujuan

berdasarkan informasi awal dan keterlibatan masyarakat hukum adat ke

akses sumber daya genetik

g. Menetapkan aturan dan prosedur yang jelas dalam menetapkan persyaratan

yang disepakati bersama. Persyaratan tersebut ditetapkan secara tertulis dan

meliputi:

296

1) Klausul penyelesaian sengketa

2) Ketentuan pembagian keuntungan termasuk yang berhubungan dengan

hak kekayaan intelektual

3) Ketentuan penggunaan oleh pihak ketiga selanjutnya bila ada

4) Ketentuan tentang perubahan kesepakatan bila diperlukan

Kemudian ketentuan Pasal 7 menegaskan kembali kewajiba negara mengatur dalam

dalam hukum nasionalnya bahwa sesuai dengan hukum nasional, masing-masing

pihak wajib mengambil kebijakan sebaimana mestinya dengan tujuan memastikan

bahwa pengetahuan tradisional terkait sumber daya genetik yang diselenggarakan

oleh masyarakat hukum adat dan komunitas lokal diakses melalui persetujuan yang

diinformasikan terlebih dahulu dan sesuai dengan persyaratan yang disepakati

bersama masyarakat hukum adat.

Nagoya Protocol memberikan acuan yang harus ditransformasikan ke dalam

hukum nasional yaitu:

a. Negara wajib menunjuk focal point nasional untuk akses dan pembagian

keuntungan. Focal point harus menyediakan informasi sebagai berikut:

1) Untuk Users yang mencari akses ke sumber daya genetik menyediakan

informasi tentang prosedur untuk mendapatkan persetujuan yang

diinformasikan terlebih dahulu, persyaratan kesepakatan bersama dan

pembagian keuntungan

2) Untuk Users yang mencari akses ke pengetahuan tradisional yang terkait

dengan sumber daya genetik menyediakan informasi tentang prosedur

memperoleh persetujuan yang diinformasikan terlebih dahulu dan

keterlibatan masyarakat hukum adat dan masyarakat lokal dalam

297

menetapkan persayaratan yang disepakati bersama dan pembagian

keuntungan.

3) Negara pihak dapat menunjuk satu entitas untuk memenuhi fungsi focal

point dan otoritas nasional

4) Setiap negara wajib selambat-lambatnya pada tanggal berlakunya Protokol

memberiahu Sekretariat tentang informasi kontak dari Focal Point

nasionalnya, informasi tersebut berisi pejabat yang bertanggung jawab atas

sumber daya genetik yang dicari.

5) Sekretariat akan membuat informasi yang diterima melalui Balai Kliring

Akses dan Pembagian Keuntunngan

6) Infoemasi tambahan bila tersedia mencakup otoritas yang kompeten dari

masyarakat hukum adat, model klausula kontraktual, metode tang

dikembangkan untu memantau sumebr daya genetik

7) Kode etik dan praktik terbaik

8) Tata cara pengoperasian Lembaga kliring akses dan pembagian keuntungan

Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut negara memiliki dua kewajiban utama

yaitu menerapkan atau mentranformasikan aturan akses ke sumber daya genetik

melalui sistem ABS. Negara juga harus memastikan bahwa keuntungan yang

dihasilkan dari pemanfaatan sumber daya genetik dibagi secara adil antara

pengguna sumber daya genetik dengan penyedia sumber daya genetik. Untuk

mendapatkan akses pengguna harus terlebih dahulu mendapat izin sesuai prinsip

persetujuan berdasarkan informasi awal dari negara penyedia (Free Prior Informed

Consent/FPIC). Selain itu, pengguna dan penyedia harus merundingkan

298

kesepakatan atau yang dikenal dengan prinsip persyaratan yang disepakati bersama

(mutually agreed term/MAT) untuk berbagi keuntungan secara adil.

Melalui Protocol Nagoya negara-negara diamanahkan memformulasi dalam

hukum nasionalnya peraturan perundang-undangan nasional guna mendorong

pengguna dan penyedia memperoleh manfaat langsung dari akses sumber daya

genetik. Hal ini pada akhirnya untuk mewujudkan pemanfaat sumber daya genetik

menuju konservasi keanekaragaman hayati dan pemanfaatan secara berkelnajutan

komponen-komponennya.

c. Bonn Guideline

Bonn Guideline merupakan instrumen internasional yang dibentuk untuk

memberikan pedoman negara dalam pelaksanaan ABS dalam sistem hukum

nasional. Bonn Guideline diluncurkan pada Konperensi Para Pihak pada pertemuan

CBD tahun 2002. Bonn Guideline bertujuan memandu negara-negara sebagai

penyedia maupun sebagai pengguna untuk menerapkan prosedur akses dan

pembagian keuntungan (ABS) secara efektif. Walaupun Bonn Guideline bersifat

soft law namun panduan ini diakui sebagai langkah yang penting untuk

implementasi ketentuan ABS dari CBD dan Nagoya Protocol.

Bonn Guideline membantu negara dalam pengembangan dan pelaksanaan

kerangka kerja yang memfasilitasi akses dan memastikan bahwa manfaat yang

timbul dari penggunaannya dibagi secara adil dengan dua tujuan utama:15

15 The Bonn Guidelines, diakses pada

https://www.cbd.int/abs/infokit/revised/web/factsheet-bonn-en.pdf.

299

1. Memandu negara sebagai penyedia membentuk legislasi nasional mereka

sendiri seperti merekomendasi elemen-elemen prosedur persetujuan atas dasar

informasi awal (Free Prior Informed Consent/FPIC) dan

2. Memandu penyedia dan pengguna dalam bernegosiasi terkait persyaratan yang

disepakati bersama (mutually Agreed Terms/MAT) dengan memberikan contoh

elemen apa saja yang harus dimasukan dalam perjanjian tersebut.

Langkah-langkah penting dalam proses ABS yang mencakup mengidentifikasi

elemen dasar yang diperlukan untuk FPIC dan MAT dan menguraikan peran utama

dan tanggung jawab pengguna dan penyedia serta menyertakan dafatr manfaat

keuangan dan non moneter. Prinsip dasar sistem FPIC dan MATyang efektif harus

mencakup:

1. Kepastian dan kejelasan aturan hukum

2. Akses ke sumber daya genetik harus difasilitas dengan biaya minum

3. Pembatasan akses ke sumber daya genetik harsu transparan, berdasarkan dasar

hukum dan tidak bertentangan dengan tujuan Konvensi

4. Jenis dan kuatitas sumebr daya genetik dan wilayah geografis

5. Apakah sumber daya genetik da[at ditransfer pada pihak ketiga

Keberhasilan mekanisme ABS melalui FPIC dan MAT tergantung pada pemenuhan

syarat dan ketentuan yang disepakati bersama antara para pihak. Oleh karena itu

bila terdapat perselisihan yang timbul harus dikembalikan sesuai dengan perjanjian

kontrak tentang akses dan kesepakatan pembagian keuntungan yang belum

terpenuhi dapat dipertimbangkan penggunaan sanksi berupa biaya denda. Pedoman

Bonn memberikan panduan teknis untuk penerapan ABS. Keberhasilan skema ABS

300

akan tergantung pada seberapa cepat negara pihak menginternalisasikan pedoman

ini kedalam sistem hukum nasionalnya.

Berdasarkan pembahasan di atas terlihat bahwa konsep ABS telah

mengalami evalusi dari konsep etik yang awalnya sebagai prinsip warisan bersama

umat manusia menjadi konsep pembagian keuntungan (ABS), dari prinsip

kesetaraan dimana semua negara atau semua orang berhak mendapatka akses yang

sama secara bebas menjadi prinsip keadilan terjadi pembagian keuntungan antara

yang menyediakan atau yang melakukan konservasi sumber daya genetik dengan

yang mengakses sumber daya. Hal ini disebut sebagai keadilan konservasi yaitu

suatu keadilan berdasarkan pengakuan jerih payah pihak pelaku konservasi sumber

daya hayati dalam hubungan dengan sistem ABD dalam kerangka pembanguan

berkelanjutan.

Dengan demikian konsep ABS mendapat jsutifikasi dan perlindungan karena secara

hukum internasional diabadikan dalam perjanjian yang mengikat negara-negara.

Karena itu kerangka hukum ABS dalam hukum nasional adalah penting untuk

mewujudkan sistem ABS terimplementasikan dan pembagian manfaat

terealisasikan.

Dimensi keadilan berperan besar dalam relasi antara ABS untuk sumber

daya genetik dan beban lingkungan. Keanekaragaman hayati yang terancam saat

ini sebagian besar merupakan konsekuensi dari gaya hidup dan pembangunan yang

tidak berkelanjutan di belahan bumi Utara. Dengan mengacu pada prinsip keadilan

adalah beralasan bila seseorang yang diuntungkan karena memanfaatkan sumber

daya genetik yang dijaga di belahan bumi Selatan dalam konteks perubahan iklim

301

harus berbagi keuntungan. Kesadaran, pengakuan dan keadilan dapat membantu

memahami dan mengahormati negara yang kaya keanekaragaman hayati dan

masyarakat hukum adat pelaku konservasi.

B. Perbandingan Transformasi Praktik Indonesia dan Thailand Hak

Masyarakat Hukum Adat atas Pembagian Keuntungan (ABS)

1. Praktik Indonesia terkait Transformasi Hukum Internasional mengenai

Access and Benefit Sharing (ABS) Sumber Daya Genetik Masyarakat

Hukum Adat

Tujuan nasional Negara Republik Indonesia sebagaimana dicantumkan

dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia,

dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan

ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian

abadi dan keadilan sosial.

Perjanjian internasional yang diikuti oleh Indonesia merupakan perwujudan

dari tujuan negara. Berbagai perjanjian internasional baik berupa law making treaty

maupun treaty contract merupakan bagian dari upaya mencapai perdamaian dan

ketertiban dunia. Keikutsertaan Indonesia dalam suatu perjanjian internasional

yang kemudian menjadi hukum internasional memunculkan konsekuensi hukum

yang tidak dapat dihindari. Walaupun hukum internasional tidak menentukan

bagaimana hukum internasional akan diterapkan oleh negara-negara namun tidak

bisa tidak harus dimaknai bahwa negara yang mengikatkan diri dalam suatu

perjanjian wajib memberlakukan hukum internasional itu ke dalam sistem hukum

nasionalnya.

302

Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 27 Konvensi Wina 1969 tentang

Perjanjian Internasional bahwa: “A treaty enters into force in such manner and

upon such date as it may provide or as the negotiating States may agree”. Perjanjian

berlaku sesuai dengan yang ditentukan dalam perjanjian itu. Hal ini selaras dengan

ketentuan Pasal 15 ayat (2) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang

Perjanjian Internasional bahwa: “Suatu perjanjian internasional mulai berlaku dan

mengikat setelah memenuhi ketentuan sebagaimana ditetaokan dalam perjanjian

tersebut”. Selain itu, pada saat perjanjian berlaku maka negara-negara wajib

menerapkan dan tidak dapat mengajukan alasan hukum nasional sebaga

pembenaran atas kegagalannya melaksanakan perjanjian internasional

sebagaimana diisyaratkan dalam ketentuan Pasal 27 bahwa: “ A party may not

invoke the provisions of its internal law as justification for its failure to perform a

treaty. This rule is without prejude to article 46”.16

CBD dan Nagoya Protokol merupakan dua perjanjian internasional yang

diikuti dan diratifikasi Indonesia dalam kerangka pembangunan berkelanjutan.

Indonesia merupakan negara yang sangat kaya akan keanekaragaman hayati

sehingga perlu dilestarikan dan dimanfaatkan untuk melaksanakan pembangunan

secara berkelanjutan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan seluruh rakyat.

Namun kondisi sumber daya genetik terus menerus mengalami kemerosotan akibat

masifnya pengambil sumber daya genetik yang mengancam kelangsungan

kehidupan manusia. Masyarakat hukum adat telah merawat dan melestarikan

16 Negara tidak dapat menggunakan alasan ketentuan hukum nasionalnya sebagai

pembenaran atas kegagalannya untuk melaksanakan suatu perjanjian (Konvensi Wina 1969 Pasal

27)

303

sumber daya genetik selama berabad-abad yang menjadi sumber pengidupan yang

berkelanjutan, sehingga diperlukan pengakuan dan perlindungan.

Di tingkat komunitas internaisonal banyak pemerintah telah melakukan

upaya hukum guna menerapkan ketentuan ABS dari CBD dan Nagoya Protocol.

Namun, cara mereka mentransformasikannya bervariasi berdasarkan keadaan di

aras nasional. Sejumlah negara seperti Australia, Brazil, India dan Dafrika Selatan

telah mengadopsi langkah-langkah perumusan ABS. Australia misalnya adalah

rumah bagi sekita 10% spesies dunia dan hamper 80% spesies aslinya tidak

ditemukan di tempat lain, sebagai penyedia harus melindungi kekayaan sumber day

agenetik yang unik tersebut. Australia mengikuti kerangka kerja CBD termasuk

menerapkan prosedur untuk menyetujuai PIC dan MAT.17

Sebagi negara yang meratifikasi CBD dan NP, Indonesia yang memiliki

wilayah yang membentang sepanjang dari Sabang sampai Merauke melimpah akan

keanekaragaman hayati dan tradisi kearifan lokal yang dijaga masyarakat hukum

adat. Dengan dibentuknya ketentuan hukum lingkungan melalui Undang-Undang

Nomor 32 Tahun 2009 tentang Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan

Hidup/UU PPLH terutama Pasal 63 ayat (1) huruf i negara wajib menetapkan

kebijakan pengelolaan sumber daya genetik Indonesia termasuk memenuhi hak

masyarakat hukum adat untuk berpartisipasi dalam pengelolaan sumber daya

genetik dan pengetahuan tradisional. Pembentukan UU PPLH merupakan amanat

dari ketentuan Pasal 28 C yaitu hak setiap orang untuk mengembangkan diri

17 CBD Secretariat, Access and Benefit Sharing Uses of Genetic Resources Traditional

Knowledge Bonn Guidelines, 2011, halaman 21.

304

memperoleh manfaatn dari ilmu pengetahuan dan teknologi seni dan budaya serta

memperjuangkan haknya secara kolektif, 28 H yaitu hak asasi setiap orang untuk

mendapatkan lingkungan yang baik dan sehat, 28 I tentang HAM yaitu

penghormatan atas hak masyarakat hukum adat, identitas budaya, serta Pasal 33

ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tentang penguasaan

negara atas sumber daya alam.

Peraturan perundnag-undangan yang memiliki keterkaitan dengan

masyarakat hukum adat dan ABS dalam kerangka Negara Kesatuan Republik

Indonesia, hak penguasaan atas sumber daya alam, ada pada negara sebagaimana

ditentukan dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 bahwa: Bumi, air dan kekayaan alam

yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-

besarnya kemakmuran rakyat. Berdasarkan ketentuan Pasal 18B ayat (2) dan Pasal

33 ayat (3) telah ditetapkan beberapa peraturan perundangan tentang hak masyakat

hukum adat yang berkaitan dengan sumber daya genetik yaitu sebagai berikut:

a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Pengakuan terhadap eksistensi masyarakat hukum adat beserta hak-hak

tradisionalnya tercantum dalam Pasal 18 B ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia. Lebih lanjut di dalam Pasal 28 I ayat (3) Undang-Undang

Dasar 1945 pengakuan tersebut meliputi bahwa: “identitas budaya dan hak

masyarakat tradisional dihormatii selaras dengan perkembangan zaman dan

peradaban”. Sejalan dengan pengakuan tersebut maka kebijakan pengelolaan

sumber daya genetik sebagai bagian dari sumber daya alam haruslah mengakui dan

melindungi hak-hak masyarakat hukum adat.

305

Dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 bahwa: “Bumi, air dan kekayaan alam

yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-

besarnya kemakmuran rakyat”. Berdasarkan ketentuan Pasal 18B ayat (2) dan Pasal

33 ayat (3). Berdasarkan ketentuan pasal ini terlihat jelas bahwa sumber daya alam

adalah elemen dari lingkungan yang mancakup sumber daya hayati dan non hayati

yang di dalamnya adalah sumber daya genetik yang mengamanahkan negara

dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat dalam hal ini termasuk

masyarakat hukum adat. Artinya, walaupun di dalam konstitusi tidak ditegaskan

secara eksplisit hubungan antara masyarakat hukum adat dan sumber daya genetik

namun dari penegasan pengakuan hak masyarakat hukum adat dan pernyataan

sumber daya alam dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat dapatlah

dikatan bahwa konstitusi mewadahi hak-hak masyarakat hukum adat.

b. Ketetapan MPR No. IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan

Pengelolaan Sumber Daya Alam

Dalam bagian menimbang Ketetapan MPR No. IX/MPR/2001 tentang

Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam dinyatakan bahwa

pengelolaan sumber daya agraria dan sumber daya alam yang berlangsung selama

ini telah menimbulkan penurunan kualitas lingkungan, ketimpangan struktur

penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatannya serta menimbulkan

berbagai konflik. Ketentua Pasal 4 TAP MPR: “mengakui, menghormati dan

melindungi hak masyarakat hukum adat dan keragaman budaya bangsa atas sumber

daya agrarian/sumber daya alam”.

306

Dengan demikian diperlukan penataan kembali penguasaan dan

pengelolaannya secara optimal, adil, berkelanjutan dan ramah lingkungan dengan

mengedepankan prinsip mengakui, menghormati, dan melindungi hak masyarakat

hukum adat dan keragaman budaya bangsa atas sumber daya agraria/sumber daya

alam yang berkeadilan dengan menafsirkan secara jelas makna hak penguasaan

negara melalui instrumen hukum sumber daya alam yang berpihak pada

perwujudan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat salah satunya adalah

dengan pengaturan terkait hak masyarakat hukum adat atas sumber daya alamnya.

Terlebih lagi adanya praktik Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-

X/2012 bahwa: “Hutan adat adalah hutan yang berada di wilayah adat bukan lagi

di wilayah Negara”.

Putusan Mahkamah Konstitusi ini mengisyaratkan pengakuan dan

penguatan terhadap hak-hak masyarakat hukum adat yang perlu ditindaklanjuti

dengan penyelarasan peraturan perundang-undangan yang selama ini masih

berpegang pada kriteria “hutan adat berada di kawasan hutan negara”. Hal ini

penting untuk perumusan kebijakan ke depan agar peraturan perundang-undang

pasca putusan Mahkamah Konstitusi dapat memperkuat eksistensi dan hak-hak

masyarakat hukum adat.

c. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Ketentuan Pokok Agraria

(UUPA)

Sumber daya genetik adalah perwujdukan dari keanekaragaman hayati

yang merupakan bagian dari sumber daya alam. Undang-Undang Nomor 5 Tahun

1960 atau lebih dikenal dengan UUPA meneguhkan kembali kedaulatan

307

(sovereignty) dan penguasaan negara atas Sumber Daya Alam (SDA) sebagaimana

diatur dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945. Pengaturan yang berkaitan dengan

masyarakat hukum adat ditemukan dalam beberapa ketentuan antara lain ketentuan

Pasal 3 bahwa: “dalam pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa yang

dimiliki oleh masyarakat hukum adat diakui sepanjang sesuai dengan kepentingan

nasional dan negara”.

Selain itu, Pasal 5 UUPA juga menegaskan bahwa: “hukum agraria yang

berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak

bertentangan dengan kepentingan nasional dan peraturan perundang-undangan

lainnya”. Dengan demikian dapatlah persepsikan bahwa UUPA juga mengakui

secara tidak langsung bahwa dalam pengelolaan sumber daya genetik berdasarkan

hukum adat tetap berlaku dan dihormati dan masyarakat hukum adat memiliki hak

ulayat walaupun di dalam UUPA belum ditemukan mengenai pemanfaatan sumber

daya genetik masyarakat hukum adat dalam kaitannya dengan pembagian

keuntungan. Hal ini mengingat pengaturan mengenai hak masyarakat hukum adat

atas sumber daya genetik baru menjadi perhatian masyarakat internasional dan

nasional pada dekade tahun 1992 saat KTT Bumi diluncurkan seiring dengan

konsepsi pembangunan berkelanjutan.

d. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 Tentang Pelestarian Sumber Daya

Alam Hayati dan Ekosistemnya.

Kebijakan pengelolaan keanekaragaman hayati/kehati Indonesia

mempunyai relasi dengan hukum internasional karena nilai strategis kehati bagi

kebutuhan pangan, kesehatan masyarakat dan mitigasi perubahan iklim. Indonesia

308

telah memiliki Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 Tentang Pelestarian Sumber

Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya yang bertujuan mengatur konservasi sumber

daya alam hayati dan ekosistemnya.

Undang-undang ini memiliki keterkaitan yang erat dengan CBD dan

Nagoya Protocol karena mengusahakan terwujudnya kawasan konservasi

kelestarian sumber daya alam hayati serta keseimbangan ekosistemnya serta

pemanfaatan secara lestari sumber daya tersebut. Namun, tidak ada pengaturan

mengenai hak masyarakat hukum adat yang berhubungan sumber daya genetik

termasuk peran masyarakat hukum adat dalam praktik konservasi di dalam undang-

undang ini.

Lebih lanjut dalam kerangka pembangunan berkelanjutan kaitan antar

konservasi dapat dilihat sebagai salah satu pilar atau prinsip utama pembangunan

berkelanjutan dari United Nation Conference on Environment and Development

yaitu:

1. Keadilan antargenerasi (interngenerational equity)

2. Keadilan dalam satu generasi (generational equity)

3. Pencegahan dini (precautionary principle)

4. Perlindungan keanekaragaman hayati (conservation of biological diversity)

5. Internalisasi biaya lingkungan dan mekanisme insentif (internalisation of

enviromental cost and incentive mechanism)

Indonesia dapat berperan dalam konservasi dan pemanfaatan keanekaragaman

hayati melalui adopsi prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan. Bumi memiliki

sumber daya yang terbatas dan harus dilindungi untuk generasi mendatang. Itulah

309

sebabnya mengadopsi praktik pembangunan berkelanjutan penting untuk

keberhasilan kehidupan jangka Panjang.

Masyarakat hukum adat telah lama dikenal berpartisipasi melalui praktik-

praktik konservasi dalam tradisi kearifan lokal mereka. Namun terjadi kesenjangan

antara masyarakat hukum adat sebagai pemilik dan dan pelestari sumber daya

genetik dengan pengguna yang mengakses dan memanfaatkan. Keuntungan yang

diperoleh pengguna yang tidak dibagi ke masyarakat hukum adat menciptakan

ketimpangan dan ketidakadilan yang berujung pada kerugian dan kemiskinan pada

masyarakat hukum adat. Karena itu, dalam kerangka pembangunan berkelanjutan

kebijakan ke depan perlu mengadopsi prinsip sustainable development goals

terutama tujuan 10, 15, 16, dan 17 yang pada prinsipnya tujuan-tujuan SDGs ini

untuk mengurangi kesenjangan guna mencapai keadilan. Terwujudnya keadilan

merupakan kondisi yang menjadi harapan dan cita hukum.

e. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1994 tentang Pengesahan Konvensi PBB

Mengenai Keanekaragaman Hayati (United Nations on Convention

Biological Diversity).

Konvensi Keanekaragaman Hayati (Convention on Biological Diversity)

1992 merupakan perjanjian internasional yang bersifat mengikat bagi para peserta

perjanjian. Konvensi Keanekaragaman Hayati yang diprakarsai oleh Perserikatan

Bangsa-bangsa (PBB) diratifikasi oleh Indonesia melalui Undang-undang Nomor

5 Tahun 1994 merupakan instrumen hukum pertama yang mengakui peran penting

masyarakat hukum adat atas konservasi dan pelestarian sumber daya genetik yang

berasosiasi dengan pengetahuan tradisional. Konvensi menyerahkan kepada negara

310

untuk mengatur akses dan pemanfaatan sumber daya genetik termasuk mengatur

pembagian keuntungan atas pemanfaatannya oleh pihak ketiga.

Konvensi Keanekaragaman Hayati memperkenalkan sistem access and

benefit sharing/ABS terkait akses sumber daya genetik pada negara penyedia dan

masyarakat hukum adat. Melalui CBD negara-negara diamanahkan untuk

mentransformasikan prinsip, norma dan prosedur ABS yang diatur dalam CBD,

Nagoya Protocol dan Bonn Guidelines. Sumber daya genetik memiliki nilai ilmu

pengetahuan dan ekonomi yang tinggi namun masyarakat hukum adat yang

menjunjung nilai komunal tidak menyadari bahwa sumber daya genetik dan

pengetahuan tradisionalnya telah disalahgunakan oleh pengguna yang kemudian

mengklaimnya dalam bentuk paten.18

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1994 tentang Pengesahan CBD terdiri dari

dua pasal. Pasal pertama mengenai pengesahan dan pasal kedua mengenai mulai

berlakunya undang-undang ratifikasi. Apabila dicermati maka undang-undang

ratifikasi ini tidak ada kaitannya dengan telah ditransfomasinya kewajiban

Indonesia mengenai ABS ke dalam sistem hukum nasional. Hal ini karena undang-

undang pengesahan bukanlah undang-undang yang membuat hukum internasional

tersebut dapat langsung menjadi hukum nasional.

Dalam hukum internasional ratifikasi adalah tindakan internasional suatu

negara pihak yang menegaskan persetujuannya untuk diikat dalam suatu perjanjian

internasional sebagaimana dinyatakan dalam Konvensi Wina Tahun 1969 tentang

Perjanjian Internasional Pasal 2 bahwa: “ratification … mean in each case the

18 Xuanyu Chen, op. cit, halaman 164.

311

international act so named whereby a State establishes on the international plane

its consent to be bound by a treaty”. Suatu prinsip dasar yang berlaku dalam hukum

internasional bahwa negara pihak yang terlibat dalam suatu perjanjian internasional

wajib memastikan bahwa hukum nasionalnya konsisten dengan apa yang

diwajibkan dalam perjanjian internasional.

CBD dan Nagoya Protocol telah meletakkan dasar hukum bagi negara pihak

untuk mengatur dan mentransformasikan ketentuan mengenai ABS. Hal ini

dilandasi pengakuan Konvensi atas peran masyarakat hukum adat dan praktik

masyarakat hukum adat dalam konservas dan pemanfaatan yang berkelanjutan.19

Setelah CBD dan Nagoya Protocol mulai berlaku negara-negara mulai membangu

sistem hukum ABS guna melindungi kekayaan sumber daya genetiknya. Namun,

sampai saat ini, Indonesia belum memiliki kerangka hukum tentang ABS meskipun

telah meratifikasi CBD lebih dari 25 tahun.

Sesuai dengan ketentuan Pasal 15, Pasal 8 (J) jo Pasal 5, Pasal 6 dan Pasal

7 Nagoya Protocol mewajibkan negara mengambil langkah legislasi, administrasi

dan kebijakan lainnya untuk menetapkan sistem ABS. Perwujudan dari kewajiban

ini sudah tentu memerlukan transformasi hukum internasional ke dalam hukum

nasional baik secara formal maupun subtantif sebagai bentuk komitmen dan

integritas negara yang berjanji.

f. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Persetujuan

Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organisation).

19 Bram De Jonge, “What is Fair and Wquitabel Benefit Sharing?”, Journal Agric. Environ

Ethics (24), 2013, halaman 128: “the CBD declares that states have sovereign rights over their

plants genetic resources and introduces the first access and benefit sharing model in the world”.

312

World Trade Organisation (WTO) merupakan badan internasional yang

mengatur masalah perdagangan antar negara. Persetujuan pembentukan WTO

memiliki lampiran (annexes) yang sangat terkait terkait sumber daya genetik yaitu

Annex 1C yang juga lebih dikenal dengan Persetujuan Trade Related Aspect of

Intellectual Property Rights (TRIPS Agreement) yang merupakan bagian dari

persetujuan WTO ketentuan Pasal 27 ayat (3) buruf b menentukan bahwa:

Members may also exclude from plants and animals other than micro-

organisms, and essentially biological processes for the production of plants

or animals other than non-biological and microbiological processes.

However, Members shall provide for the protection of plant varieties either

by patents or by an effective sui generis system or by any combination

thereof. The provisions of this subparagraph shall be reviewed four years

after the date of entry into force of the WTO Agreement.

(Negara anggota juga dapat mengecualikan dari paten: tanaman dan hewan

selain mikro-organisme, dan pada dasarnya proses biologis untuk produksi

tanaman atau hewan selain proses non-biologis dan mikrobiologis. Namun,

negara anggota harus menyediakan perlindungan varietas tanaman baik

dengan paten atau dengan sistem sui generis yang efektif atau dengan

kombinasi apa pun dari padanya. Ketentuan-ketentuan dari sub-ayat ini

akan ditinjau empat tahun setelah tanggal berlakunya Perjanjian WTO).

Berdasarkan ketentuan Pasal 27 ayat (3) huruf b sumber daya genetik tidak dapat

dilindungi melalui paten karena itu negara-negara harus membentuk kebijakan

perlindungan sendiri baik melalui paten maupun sistem sui generis atau kombinasi

keduanya. Saat ini, Indonesia belum memiliki undang-undang yang sue generis

yang mengatur tentang sumber daya genetik dan sistem ABS. Sementara itu,

melalui Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2016 tentang Paten ketentuan Pasal 26

mengatur:

(1) Jika Invensi berkaitan dengan dan/atau berasal dari sumber daya genetik

dan/atau pengetahuan tradisional, harus disebutkan dengan jelas dan benar asal

sumber daya genetik dan/atau pengetahuan tradisional tersebut dalam

deskripsi.

313

(2) Informasi tentang sumber daya genetik dan/atau pengetahuan tradisional

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh lembaga resmi yang

diakui oleh pemerintah.

(3) Pembagian hasil dan/atau akses pemanfaatan sumber daya genetik dan/atau

pengetahuan tradisional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan

sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan perjanjian internasional di

bidang sumber daya genetik dan pengetahuan tradisional.

Sesuai dengan ketentuan Pasal 26 telah diatur mengenai invensi yang

bertalian dengan sumber daya genetik dan pengetahuan tradisional harus

disebutkan secara jelas asal sumber daya genetik dan pembagian hasil atas akses

dan pemanfaatannya dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan

dan perjanjian internasional di bidang sumber daya genetik dan pengetahuan

tradisional tersebut. Indonesia belum memiliki peraturan perundang-undangan

yang mengatur mengenai pembagian keuntungan yang adil dan seimbang atas akses

dan pemanfaatan sumber daya genetik. Di dalam undang-undang ini peran

masyarakat hukum adat tidak disebut dalam hubungannya dengan invensi namun

secara terbatas telah di dalam ketentuan Pasal 26 ayat (1) hal ini dapatlah dimaknai

bahwa bila invensi harus mencantumkan asal dari sumber daya genetik dalam hal

ini tentu termasuk dari masyarakat hukum adat dan secara tidak langsung hal ini

merupakan pengakuan terhadap kontribusi masyarakat hukum adat.

g. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (UU

HAM)

Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asassi Manusia

(HAM) yang mengatur mengenai mayarakat hukum adat merupakan turunan dari

Konstitusi khususnya ketentuan Pasal 18 B ayat (2) yang diteguhka kembali dalam

Pasal 6 UU HAM. “Dalam rangka penegakan hak asasi manusia perbedaan dan

314

kebutuhan dalam masyarakat hukum adat harus diperhatikan dan dilindungi oleh

hukum. Selain itu, identitas budaya masyarakat hukum adat termasuk hak atas

tanah ulayat dilindungi selaras dengan perkembangan zaman”.

Berdasarkan pengaturan dalam UU HAM Indonesia bila ditelusuri

pengakuan atas hak sumber daya alam masyarakat hukum adat tidak disebutkan

secara eksplisit namun pengakuan yang signifikan terhadap hak tanah ulayat

merupakan bentuk dari pengakuan dan perlindungan negara terhadap sumber daya

alam masyarakat hukum adat yang di dalamnya terdapat praktik konservasi sumber

daya genetik yang mentradisi.

h. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan sebagaimana

diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004 tentang Perubahan

Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (Undang-

Undang Kehutanan)

Penafsiran ketentuan Undang-Undang Kehutanan yang bertalian dengan

masyarakat hukum adat dan hutan perlu dikontekstualkan dengan Putusan

Mahkmah Konstitusi mengenai hutan adat tidak berada di wilayah hutan negaera.

Dengan demikian hutan adat merupakan hutan yang tunduk pada hukum adat.

Ketentuan Pasal 67 ayat (1) mengatur hak Masyarakat Hukum Adat antara lain:

a. melakukan pemungutan hasil hutan untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-

hari dari Masyarakat Adat yang bersangkutan;

b. melakukan kegiatan pengelolaan hutan berdasarkan Hukum Adat yang berlaku

dan tidak bertentangan dengan undang-undang; dan

c. mendapatkan pemberdayaan dalam rangka meningkatkan kesejahteraannya.

315

Penjelasan Pasal 67 ayat (1) di atas menyatakan bahwa sebagai Masyarakat

Hukum Adat, diakui keberadaannya jika menurut kenyataannya memenuhi unsur-

unsur sebagai berikut:

a. masyarakatnya masih dalam bentuk paguyuban (rechtsgemeinschap);

b. ada kelembagaan dalam bentuk perangkat penguasa adatnya;

c. ada wilayah hukum adat yang jelas;

d. ada pranata dan perangkat hukum, khususnya peradilan adat yang masih

ditaati;

e. masih mengadakan pemungutan hasil hutan di wilayah hutan sekitarnya untuk

pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari.

Namun dengan adanya Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor

35/PUU-X/2012 yang memutuskan bahwa hutan adat bukan hutan negara maka

dapatlah dimaknai bahwa sumber daya genetik masyarakat hukum adat yang ada di

wilayah kelola masyarakat hukum adat memiliki kepastian hukum sebagai bagian

dari hutan masyarakat hukum adat.20 Putusan yang progresif ini dapat dikatakan

manifestasi dari ketentuan pasal 18 B ayat (2) serta merupakan tahapan penting dan

berimplikasi ke depan dalam penyelesaian dan harmonisasi hukum bertalian

dengan masalah masyarakat hukum adat khususnya berkaitan dengan klaim sumber

daya alam.

Kepastian hukum ini dapat memperjelas dan memenuhi keadilan bagi

masyarakat hukum adat terkait pembagian keuntungan dari pemanfaatan sumber

20 R. Yando Zakaria, “Konstitusionalitas Kriteria Masyarakat (Hukum) Adat Pasca Putusan

Mahkamah Konstitusi No. 35/PUU-X/2021”, Jurnal kajian Volume 19 Nomor 2, 2014,

halaman 128.

316

daya genetiknya. Kebijakan pengakuan masyarakat hukum adat sebagai tindak

lanjut bahwa hutan adat bukan lagi hutan negara beserta hak-hak tradisionalnyan

dalam rangka pengelolaan sumber daya genetik menjadi relevan untuk

ditindaklanjuti.

f. Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2000 tentang Perlindungan Varietas

Tanaman (UU PVT)

Ketentuan Pasal 1 angka 2 UU PVT Hak Perlindungan Varietas Tanaman

adalah hak khusus yang diberikan negara kepada pemulia dan/atau pemegang hak

Perlindungan Varietas Tanaman untuk menggunakan sendiri varietas hasil

pemuliaannya atau memberi persetujuan kepada orang atau badan hukum lain untuk

menggunakannya selama waktu tertentu. Pada bagian lain ketentuan Pasal 2 (1)

Varietas yang dapat diberi PVT meliputi varietas dari jenis atau spesies tanaman

yang baru, unik, seragam, stabil, dan diberi nama. (2) Suatu varietas dianggap baru

apabila pada saat penerimaan permohonan hak PVT, bahan perbanyakan atau hasil

panen dari varietas tersebut belum pernah diperdagangkan di Indonesia atau sudah

diperdagangkan tetapi tidak lebih dari setahun, atau telah diperdagangkan di luar

negeri tidak lebih dari empat tahun untuk tanaman semusim dan enam tahun untuk

tanaman tahunan. Di dalam undang-undang ini tidak ditemukan pengaturan

mengenai sumber daya genetik masyarakat hukum adat, begitupun mengenai

pembagian keuntungan yang adil dan seimbang atas pemanfaatan sumber daya

genetik.

Di tingkat internasional terdapat International Treaty on Plant Genetic

Resources for Food and Agriculture/ITPGRFA yang bertujuan mendorong negara-

317

negara melakukan konservasi dan penggunaan secara berkelanjutan semua genetic

resources untuk pangan dan pertanian serta pembagian keuntungan atas

pemanfaatan sesuai dan harmoni dengan CBD. Perbedaannya dengan sistem ABS

CBD adalah sistem ITPGRFA dikenal dengan sistem multilateral yang memberikan

setiap anggota akses ke tanaman pangan dan ternak yang tercakup dalam perjanjian.

Sistem multilateral pada prinsipnya adalah kumpulan gen global sumber daya

genetik tanaman yang dapat dibagi secara kooperatif oleh semua anggota. Adapun

mekanisme untuk memperoleh sumber daya genetik tertentu adalah melalui kontrak

yang disebut standard material transfer agreement/SMTA.

Indonesia sendiri telah meratifikasi ITPFRFA dengan Undang-Undang

Nomor 4 Tahun 2006 tentang Pengesahan Perjanjian ITPGRFA. Kesepakatan

penting mengenai ABS dicapai dengan menyisihkan 0,6 persen keuntungan bersih

dari penjualan produk sumber daya genetik sebagai kontribusi peserta ke

ITPGRFA. Kontribusi ABS ini mendorong setiap negara agara dapat memenuhi

keperluan sumber daya genetiknya tanpa menimbulkan sengketa karena selama ini

monopoli kepemiliki sumber daya genetik tanaman untuk pangan acap kali

membuat negara-negara mengalami perselihan karena perembutan sumber daya.

g. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan sebagaimana diubah

dengan Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan Undang-

Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan

Ketentuan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 jo Undang-

Undang Nomor 45 Tahun 2009 Tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 31

Tahun 2004 tentang Perikanan bahwa penangkapan dan pembudidayaan ikan harus

mempertimbangkan hukum adat dan kearifan lokal serta memperhatikan peran

318

serta masyarakat. Hak ulayat masyarakat hukum adat atas sumber daya alam

termasuk sumber daya genetik sebagaimana yang dimaksud pada Pasal 6 ayat (2)

tetap diakui sepanjang kenyataannya masih ada dan telah dikukuhkan dalam

Peraturan Daerah (Perda) setempat sebagaimana diatur dalam Pasal 6 ayat (3).

h. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2004 tentang Pengesahan Protokol

Cartagena tentang Keamanan Hayati Atas Konvensi tentang

Keanekaragaman Hayati Protocol on Biosafety to The Convention on

Biological Diversity

Pengaturan mengenai hak masyarakat hukum adat atas pemanfaatan sumber

daya genetik tidak terdapat di dalam undang-undang ini. Organisme hasil

modifikasi genetik mengandung risiko yang menimbulkan dampak merugikan

terhadap lingkungan dan kesehatan manusia sehingga untuk menjamin tingkat

keamanan hayati perlu diatur pemindahan, penanganan, dan pemanfaatannya

sebagaimana diatur dalam Protokol Cartagena tentang Keamanan Hayati yang

diratifikasi oleh Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2004.

i. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan Undang-

Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan

Pulau-Pulau Kecil.

Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil juga dilakukan dengan

tetap mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan Masyarakat Hukum Adat serta

hak-hak tradisionalnya sesuai dengan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia,

serta mengakui dan menghormati Masyarakat Lokal dan Masyarakat Tradisional

yang bermukim di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.

Pasal 1 angka 3 Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil adalah sumber

daya hayati, sumber daya nonhayati; sumber daya buatan, dan jasa-jasa lingkungan;

sumber daya hayati meliputi ikan, terumbu karang, padang lamun, mangrove dan

319

biota laut lain; sumber daya nonhayati meliputi pasir, air laut, mineral dasar laut;

sumber daya buatan meliputi infrastruktur laut yang terkait dengan kelautan dan

perikanan, dan jasa-jasa lingkungan berupa keindahan alam, permukaan dasar laut

tempat instalasi bawah air yang terkait dengan kelautan dan perikanan serta energi

gelombang laut yang terdapat di Wilayah Pesisir. Berdasarkan pengertian ini

bertalian dengan sumber daya genetik yaitu sumber daya hayati yang meliputi ikan,

terumbu karang, padang lamun, mangrove dan biota laut lain. Sumber daya hayati

pesisir ini juga merupakan sumber daya genetik yang sangat berguna untuk

menopang hidup dan kehidupan nelayan masyarakat hukum adat.

Ketentuan yang mengatur mengenai hak masyarakat hukum adat terdapat

dalam Pasal 1 angka 33 bahwa masyarakat pesisir yang secara turun-temurun

bermukim di wilayah geografis tertentu karena adanya ikatan pada asal-usul

leluhur, adanya hubungan yang kuat dengan sumber daya pesisir dan pulau-pulau

kecil, serta adanya sistem nilai yang menentukan pranata ekonomi, politik, sosial,

dan hukum. Undang-undang ini dengan jelas mengakui eksistensi masyarakat adat

dan melindungi hak-hak mereka sebagaimana diatur dalam Pasal 21 bahwa:

(1) Pemanfaatan ruang dan sumber daya Perairan Pesisir dan perairan pulau-pulau

kecil pada wilayah Masyarakat Hukum Adat oleh Masyarakat Hukum Adat

menjadi kewenangan Masyarakat Hukum Adat setempat.

Pemanfaatan ruang dan sumber daya Perairan Pesisir dan perairan pulau-pulau kecil

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan mempertimbangkan

kepentingan nasional dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

320

j. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan

Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH) dalam Kaitannya Dengan

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja

Perkembangan pengaturan pengelolaan lingkungan hidup yang mengalami

penyesuai dengan adanya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta

Kerja. Namun secara esensi pengaturan yang terkait dengan kebijakan sumber daya

genetik dan masyarakat hukum adat sesuai dengan Undang-Undang Nomor 32

tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Beberapa

aspek antara lain mengenai perizinan dan amdal sehingga Undang-Undang Nomor

32 Tahun 2009 disesuaikan dalam UU Cipta Kerja. Pasca terbitnya Undang-

Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja telah diterbitkan pula Peraturan

Pemerintah Nomor 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan

Pengelolaan Lingkungan Hidup. Namun di sisi lain terjadi perkembangan judisial

review UU Cipta Kerja dimana Mahkamah Konstitusi melalui putusan Nomor

91/PUU-XVIII/2020 menyatakan bahwa UU Cipta Kerja inkonstitusional

bersayarat dan menegaskan bahwa “pembentukan UU Cipta Kerja masih tetap

berlaku sampai dengan dilakukan perbaikan pembentukan dalam waktu 2 dua tahun

… .”21 Dengan demikian Pemerintah perlu segera menindaklanjuti putusan

Mahkamah Konstitusi agar terdapat kejelasan dan kepastian.

Sementara itu apabila dicermati terkait pengembangan kebijakan sumber

daya genetik ketentuan Pasal 63 ayat (1) huruf (i) Undang Undang Nomor 32 Tahun

2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup menegaskan bahwa

21 Mahkamah Konstitusi, “Putusan Nomor 91/PUU-XVII/2020” , 25-11-2021. Lihat juga

Mahkamah Konstitusi, “MK: Inkonsitusional Bersyarat, UU Cipta Kerja Harus Diperbaiki dalam

jangka Waktu Dua Tahun” diakses pada

https://www.mkri.id/index.php?page=web.Berita&id=17816

321

dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, Pemerintah bertugas dan

berwenang: “menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai Sumber Daya

Alam Hayati dan non hayati, keanekaragaman hayati, Sumber Daya Genetik, dan

keamanan hayati produk rekayasa genetik”.

Sementara itu, di dalam Pasal 63 ayat (1) huruf (t) ditentukan bahwa dalam

perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, pemerintah bertugas dan

berwenang “menetapkan kebijakan mengenai tata cara pengakuan keberadaan

Masyarakat Hukum Adat, kearifan lokal, dan hak masyarakat hukum adat yang

terkait dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup”.

Kebijakan pengakuan masyarakat hukum adat menjadi penting karena

berimplikasi pada statusnya sebagai subyek hukum yang pada gilirannya akan

mempengaruhi pengakuan dan perlindungan hak-hak masyarakat hukum adat

termasuk hak atas pembagian keuntungan atas pemanfaatan sumber daya genetik.

Beberapa Peraturan Daerah telah dibentuk untuk mengakui keberadaan masyarakat

hukum adat yaitu Peraturan Daerah Kabupaten Lebak Nomor 32 Tahun 2001

tentang Perlindungan Hak Ulayat Masyarakat Badui, Peraturan Nomor 10 Tahun

2012 tentang Pengakuan dan Perlindungan Hak-Hak Masyarakat Adat Di

Kabupaten Malinau, Peraturan Daerah Kabupaten Ciamis Nomor 15 Tahun 2016

tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat Kampung Kuta,

Peraturan Daerah Nomor 8 Tahun 2016 tentang Pengakuan dan Perlindungan

Masyarakat Hukum Adat Marga Serampas.

Terbitnya pengaturan pengenai pengakuan masyarakat hukum adat ini

diharapkan dapat memperkuat posisi masyarakat hukum adat sebagai subyek

322

hukum. Namun, pengaturan mengenai hak-hak masyarkat hukum adat yang diatur

di dalam peraturan daerah tersebut di atas belum ada yang mengatur mengenai

pembagian keuntungan atas akses atau pemanfaatan sumber daya genetik

masyarakat hukum adat. Karena itu ke depan diperlukan penyesuaian dan

tindaklanjuti mengenai ABS.

k. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2013 tentang Pengesahan Nagoya

Protocol on Access to Genetic Resources and Fair and Equitable Sharing

Arising from Their Utilization to Convention on Biological diversity

Nagoya Protocol merupakan perjanjian internasional yang dibentuk untuk

mewujudkan pilar ketiga dari CBD yaitu pembagian keuntungan atas akses dan

pemanfaatan sumber daya genetik. Sistematika Protokol meliputi 36 pasa dengan 1

lampiran yang mengatur sistem ABS atas akses sumber daya genetik termasuk yang

berasosial dengan pengetahuan tradisional yang diberikan berdasaarkan

kesepakatan bersama (Mutually Agreed Terms/MAT) dan persetujuan atas dasar

informasi yang diberitahukan terlebih dahulu (Free Prior Informed Consent/FPIC).

Bertalian dengan transformasi sistem ABS sebagai pelaksanaan kewajiban

Indonesia pasca ratifikasi CBD dan Nagoya Protocol walaupun Indonesia adalah

salah satu negara paling Makmur di dunia dalam keanekaragaman hayati serta

memiliki sumber daya genetik yang berlimpah terkait pengetahuan tradisional.

Namun pada bagian lain menunjukan banyak sumber daya genetik Indonesia

dibajak oleh pengguna yang dikomersialkan secara global (biopiracy), tanpa skema

pembagian keuntungan.

Kekayaan keanekaragaman hayati Indonesia masih belum mampu

memberikan manfaat signifikan bagi masyarakat hukum adat dan komunitas lokal

323

yang telah melestarikan sumber daya genetik secara turun temurun karena

Indonesia belum memiliki peraturan perundang-undangan yang khusus yang

mengatur tentang sistem ABS dan yang mengatur mengenai masyarakat hukum

adat.

Perkembangan yang cukup baik sejauh ini adalah dalam konteks akses

Indonesia telah membentuk Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2019 tentang Sistem

Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, ketentuan Pasal 75 dan Pasal 76

mengatur mengenai perizinan peneliti asing di Indonesia. Pada prinsipnya peneliti

asing tidak dapat melakukan penelitian di Indonesia tanpa izin dari Pemerintah.

Sementara itu transfer dari materi keanekaragaman hayati secara fisik harus disertai

dengan perjanjian tertulis. Pasal 76 (h): “Kelembagaan ilmu pengetahuan dan

teknologi asing/orang asing yang melakukan penelitian di Indonesia wajib

membuat perjanjian tertulis tentang pengalihan material dalam rangka pemindahan

atau pengalihan material dalam bentuk fisik dan/atau digital”.

Masalahnya Indonesia hanya mengatur akses namun belum

memperhitungkan pengaturan pembagian keuntungan sebagai hasil dari akses.

Sejauh ini belum ada kesepakatan pembagian keuntungan yang disepakati antara

pemerintah atau masyarakat hukum adat dengan pengguna. Hal ini berdampak

merugikan Indonesia dan masyarakat hukum adat karena tidak memperoleh

manfaat dari askes. Selain itu pengakuan dan peran masyarakat hukum adat dalam

sistem ABS juga belum diatur dengan jelas sehingga belum memberikan manfaat

optimal bagi peningkatan kapasitas dan kesejahteraan masyarakat hukum adat.

324

l. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa

Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah

Kabupaten/Kota melakukan penataan kesatuan masyarakat hukum adat dan

ditetapkan menjadi Desa Adat. Adapun persyaratan masyarakat hukum adat

menajdu Desa Adat adalah:

1. kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya secara nyata masih

hidup baik bersifat territorial, genealogis maupun yang bersifat fungsional

2. kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya dipandang sesuai

dengan perkembangan masyarakat; dan

3. kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya sesuai dengan

prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Pengaturan mengenai masyarakat hukum adat dalam Undang-Undang Desa

menjadi Desa Adat merupakan bentuk pengakuan status masyarakat hukum adat.

Namun sejauh ini Undang-Undang Desa tidak berkaitan atau menyinggung

mengenai masyarakat hukum adat dan ABS sehingga dapat dikatakan Undang-

Undang lebih mengarah pada pengaturan penataan masyarakat hukum adat menjadi

Desa Adat.

m. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan

Pengaturan mengenai masyarakat hukum adat dalam Undang-Undang

Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan terdapat dalam ketentuan Pasal 1 angka

5 bahwa hak ulayat adalah kewenangan masyarakat hukum adat untuk mengatur

secara bersama-sama pemanfaatan tanah, wilayah dan sumber daya alam yang ada

325

di wilayah masyarakat hukum adat yang bersangkutan yang menjadi sumber

kehidupan dan mata pencahariannya.

Dalam hal tanah yang diperlukan untuk usaha perkebunan merupakan tanah

hak ulayat masyarakat hukum adat, pelaku usaha perkebunan harus melakukan

musyawarah dengan masyarakat hukum adat pemegang hak ulayat untuk

memperoleh persetujuan mengenai penyerahan tanah dan imbalannya. Hal ini

diatur dalam Pasal 12 yang dikuatkan dengan rumusan Pasal 17 bahwa pejabat yang

berwenang dilarang menerbitkan izin usaha perkebunan di atas tanah hak ulayat

masyarakat hukum adat kecuali telah dicapai persetujuan sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 12. Perlindungan terhadap tanah masyarakat hukum adat ini

diteguhkan kembali dengan mengatur sanksi bagi orang yang secara tidak sah

mengerjakan, menggunakan, menduduki dan menguasai tanah masyarakat hukum

adat untuk usaha perkebunan (Pasal 107).

Walaupun telah mengakui hak ulayat dan mengatur perlindungannya namun

secara khusus Undang-Undang Perkebunan tidak mengatur mengenai pemanfaatan

sumber daya genetik dan ABS. Keterkaitan masyarakat hukum adat dengan

Undang-Undang Perkebunan adalah pada usaha perkebunan hanya dapat dilakukan

bila telah disetujui masyarakat hukum adat sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan.

Berdasarkan paparan tersebut di atas dapatlah katakan bahwa peraturan

perundan-undangan Indonesia dan praktik pengadilan Mahkamah Konstitusi

tentang masyarakat hukum adat terkait hak atas sumber daya alam telah diakui.

Namun perwujudan sistem ABS dalam peraturan perundang-undangan tersebut

326

belum ada. CBD dan Nagoya Protocol telah meletakan landasan bagi negara untuk

meformulasikan sistem ABS dalam sistem hukum nasionalnya. Pengabaian negara

dalam mentransformasikan nilai, prinsip dan norma ABS terkait hak masyarakat

hukum adat berkonsekuensi pada ketiadaan perlindungan atas hak-hak masyarakat

hukum adat atas pembagian keuntungan.

2. Praktik Thailand terkait Transformasi Hukum Internasional mengenai

Access and Benefit Sharing (ABS) Hak Masyarakat Hukum Adat dalam

Hukum Nasional

Thailand sama halnya dengan Indonesia juga memiliki keanekaragaman

hayati yang berlimpah berupa spesies, genetik, dan keanekaragaman ekosistem.

Tidak kurang dari 200.000 spesies mikroorganisme, 14.000 spesies tanaman

vaskular dan non-vaskular, 4.000, spesies vertebrata atau 8% dari semua vertebrata

di dunia, tidak kurang dari 80.000 spesies invertebrate, 2.000 spesies ikan atau 10%

dari ikan yang diidentifikasi secara global.22

Dalam ranah budaya yang beragam dan sejarah yang Panjang bangsa

Thailand dikenal telah memanfaatkan keanekaragaman hayati untuk memproduksi

makanan dan obat-obatan. Nilai-nilai dan pengetahuan tradisional yang dimiliki

bangsa Thailand telah diterapkan dalam memasak, produk jamu, kosmetik, dan

perawatan kesehatan. Dengan teknologi modern, aplikasi herbal Thailand secara

bertahap mengalami peningkatan untuk obat-obatan tradisional dna suplemen

kesehatan yang menghasilkan tidak kurang dari 30.000-40.000 juta baht per tahun,

22 Office of Natural Resources and Environmental Policy and Planning Ministry of

Natural Resources and Environmental Thailand BE 2528-2564, 2015, halaman 7.

327

dengan tingkat pertumbuhan tahunan rata-rata 10-20%, sebagai hasil kekayaan

keanekaragaman hayati Thailand.23 Dalam praktik masyarakat hukum adat

Thailand disebut sebagai Suku Bukit (Hill Tribal). Terdapat sepuluh kelompok

masyarakat yang diakui secara resmi yang dinamakan “chao khao” yang berarti

Suku Bukit. Kelompok-kelompok ini merupakan kelompok masyarakat hukum

adat yang tinggal di bagian utara, bagian utara-barat dan bagian barat Thailand.24

Mereka terdiri dari The Lua, Htin, Khamu, Meo, Yao, akha, Lahu, Lisu, Karen

dan Mlabri.25

Praktik Thailand mengenai jaminan komunitas lokal dalam melestarikan

keanekaragaman hayati dan berhak atas manfaatnya diatur dalam ketentuan

Konstitusi Thailand Tahun 2017 Pasal 57 yang menentukan bahwa Negara wajib:

(1) melestarikan, menghidupkan kembali dan mempromosikan kearifan lokal, seni,

budaya, tradisi dan kebiasaan baik di tingkat lokal dan nasional, dan

menyediakan ruang publik untuk yang relevan kegiatan termasuk

mempromosikan dan mendukung orang-orang dan komunitas lokal untuk

melaksanakan hak-hak untuk berpartisipasi;

(2) melestarikan, melindungi, memelihara, memulihkan, mengelola dan

menggunakan atau mengatur pemanfaatan sumber daya alam, lingkungan dan

keanekaragaman hayati secara seimbang dan berkelanjutan. Masyarakat lokal

diperbolehkan berpartisipasi dan memperoleh manfaat dari upaya mereka

melakukan pelestarian sebagaimana ditentukan oleh undang-undang.

23 Office of Natural Resources and Environmental Policy and Planning Ministry of

Natural Resources and Environmental Thailand BE 2528-2564, 2015, halaman 7. 24 Prasert Trakansuphakon, Menjamin Kepastian Hak Melalui Pluralisme Hukum:

Pengelolaan Tanah Komunal di Kalangan Masyarakat Hukum Adat Karen di Thailand, Epistema

Institute, Jakarta, halaman 151, diakses pada

https://www.forestpeoples.org/sites/fpp/files/publication/2012/09/divers-paths-justice-bahasa-

indonesia.pdf. 25 https://horizon.documentation.ird.fr/exl-doc/pleins_textes/divers09-03/30854.pdf,

Wanat Bhruksarsi, “Government Policy: Highland Ethnic Minorities”, halaman 6 diakses pada

tanggal 12 November 2020. Nama masyarakat hukum adat di Thailand yang disebut Suku Bukit

atau dalam Bahasa Thailand Chao Khao merupakan sebutan kolektif yang digunakan secara resmi

sejak tahun 1959 saat Pemerintah Thailand membentuk Pusat Komite Suku Bukit. Lihat juga

http://citeseerx.ist.psu.edu/viewdoc/download?doi=10.1.1.476.7011&rep=rep1&type=pdf,

Chupinit Kesmanee and Prasert Trakansuphakorn, “An Assessment of The Implementation of The

Thai Government’s International Commitments on Traditional Forest-Related Knoledge from the

Perspective of Indigenous Peoples”, halaman 6.

328

Perkembangan keberadaan masyarakat hukum adat di Thailand yang

dikenal dengan Hill Tribe terlihat pada peran mereka dalam melakukan konservasi

keanekaragaman hayati melalui cara tradisonal.26 Berbagai kelompok masyarakat

hukum adat yang menghuni dataran tinggi Thailand utara secara kolektif dikenal

sebagai Suku Bukit dan mempraktikkan berbagai teknik pertanian tradisional.27

Salah satu praktik konservasi keanekaragaman hayati dikenal dengan sebutan

‘miang’ dan ditanam tanpa menggunakan silvikultur manajemen atau cara

pertanian modern. Selain itu tercatat praktik masyarakat hukum adat Suku Hmong

di Thailand dikenal sebagai komunitas utama dalam melakukan konservasi

keanekaragaman hayati melalui .28

Keikutsertaan Thailand dalam CBD dan telah meratifikasinya namun tidak

demikian dengan Protocol Nagoya dimana Thailand belum melakukan tindakan

26 Edward Osborne Wilson, Biodiversity, National Academic of Sciences/Smithsonian,

National Academic Press, 2011, halaman 410. 27 Watana Sackchoowong and Weeyawat Joitrong, “Ant Diversity in Forest and Traditional

Hill Tribe Agricultural in Northern Thailand”, Natural Science Journal 42 (4), October 2008,

halaman 617. 28 Chandra Shekhar Silori, “From Cabbage to Conservation: Case of Community Forest

Conservation Hmong Tribe in Northern Thailand”, in Biodiversity Community and Climate

Change, edited by Chandra Prakash Kala, The Energy and Resources Institute, 2013, halaman 149.

Lihat juga Udom Charoenniyomhrai et at, Indigenous Knowledge Customary Use of Natural

Resources Sustainable Biodiversity Management: Case Study Hmong and Karen Communities in

Thailand, 2006, halaman 8 diakses pada

https://www.forestpeoples.org/sites/fpp/files/publication/2010/08/10cthailandimpectjun06eng.pdf:

“In northern Thailand, there are a number of tribal and ethnic groups residing in highland areas.

They are referred to by the majority ethnic Thais and the Thai government as “Thai hill tribal

people” or “hill tribes.” These ethnic groups include the Karen, Hmong, Lisu, Lahu, Akha, Mien,

Lu’a, and others. The total population of “hill tribes” is around 1.2 million. These peoples have

tradition, culture, language, belief, and ways of life that are distinguished from those of the

lowland people. They have vast bodies of knowledge and local wisdom about living in their forest

environment, such as rotational swidden agriculture, managing sacred forests, taboo forests, and

religious-use forests. Many of their customs are relevant and appropriate to natural resources and

environmental management. They practice traditional regulations and conventions for controlling,

conserving and using resources in a sustainable manner”.

329

ratifikasi, kewajiban Thailand terkait sistem ABS diwujudkan dengan

mentransformasikan amanah Pasal 8, Pasal 15 CBD dan ketentuan Nagoya Protocol

dalam dua undang-undang nasionalnya yaitu Plant Variety Protection ACT 1999

dan Protection and Promotion of Traditional Thai Medecinal Intellingence ABT

B.E 2542 (1999).

Secara umum, walaupun Thailand bukan merupakan pihak dalam Nagoya

Protocol tentang Akses ke Sumber Daya Genetik dan Pembagian Keuntungan yang

Adil dan Setara yang dihasilkan dari Pemanfaatan Sumber Daya Genetik, namun

demikian, Thailand telah memiliki persyaratan tentang akses dan pembagian

manfaat (ABS), berdasarkan ketentuan dalam undang-undang dan peraturan

tentang varietas tanaman, keanekaragaman hayati dan obat tradisional Thailand.

Peraturan perundang-undangan berikut memuat ketentuan yang terkait dengan ABS

yaitu:29

1. Konstitusi Thailand 2017

2. Undang-Undang Perlindungan Varietas Tanaman (PVT Act) Tahun 1999 yang

diterbitkan pada tanggal 25 November 1999.

3. Undang-Undang Perlindungan dan Promosi Pengetahuan Obat Tradisional

Thailand (Traditional Knowledge Act) yang diterbitkan pada 29 November

1999 dan mulai berlaku 180 hari kemudian.

4. Peraturan Perdana Menteri tentang Konservasi dan Pemanfaatan

Keanekaragaman Hayati (Office of Prime Minister’s Regulations on the

Conservation Utilization of Biodiversity tahun 2000)

29 Union For Ethical Bio Trade Thailand, op. cit., halaman 1-3.

330

5. Peraturan Komite Nasional Konservasi dan Pemanfaatan Keanekaragaman

Hayati secara Berkelanjutan tentang Kriteria dan Prosedur Akses terhadap

Sumber Daya Gentik dan Pembagian Manfaat (ABS Regulation) tahun 2011

6. Peraturan Komite Nasional Konservasi dan Pemanfaatan Keanekaragaman

Hayati secara Berkelanjutan tentang Kriteria dan Prosedur Akses terhadap

Sumber Daya Gentik dan Pembagian Manfaat (Peraturan ABS Tahun 2011).

Berikut dipaparkan praktik Thailland dalam membentuk peraturan perundang-

undangan nasional untuk menerapkan kewajiban dalam perjanjian

internasionalnya.

a. Plant Variety Protection Act 1999

Undang-Undang Perlindungan Varietas Tanaman Thailand tahun 1999

(Protection Variety Plant Act/ PVP 1999) adalah sistem sui generis yang dibentuk

untuk melaksanakan Convention on Biological Diversity (CBD) yang berisi tiga

jenis perlindungan untuk varietas tanaman:

1. perlindungan kekayaan intelektual untuk varietas tanaman baru yang baru,

berbeda, seragam, dan stabil;

2. perlindungan kekayaan intelektual untuk varietas domestik lokal yang berbeda,

seragam dan stabil (Distinct Uniform and Stable), tetapi belum tentu baru; dan

3. perlindungan akses dan pembagian keuntungan untuk varietas tanaman

domestik umum dan varietas tanaman liar.

Pengaturan mengenai kaitan antara masyarakat hukum adat Thailand yang di dalam

Konstitusi disebut sebagai local community sebagaimana ditegaskan dalam Pasal

57 Konstitusi Thailand 2017 mengenai peran masyarakat lokal dalam pelestarian

331

keanekaragaman hayati diakomodir dalam PVP Act 1999 dalam beberapa

ketentuan berikut:

Pasal 43

“Suatu varietas tanaman yang dapat mengajukan pendaftaran sebagai varietas

tanaman masyarakat lokal berdasarkan Undang-undang ini harus:

a. suatu varietas tumbuhan yang hanya ada di daerah setempat di dalam

Kerajaan

b. varietas tanaman yang belum terdaftar sebagai varietas tanaman baru.”

Pasal 44

“Seorang ahli waris yang bertempat di masyarakat lokal dan mewarisi budaya

masyarakat lokal serta berperan dalam melestarikan atau mengembangkan

varietas tanaman yang memenuhi persyaratan yang dimaksud dalam Pasal 43

dapat mendaftar sebagai masyarakat lokal berdasarkan Undang-undang ini

dengan meminta perwakilan mengajukan permohonan secara tertulis kepada

Gubernur.”

Permohonan sekurang-kurangnya memuat hal-hal sebagai berikut:

a. varietas tanaman yang dilestarikan dan dikembangkan bersama dan cara

pelestariannya atau pengembangannya

b. nama anggota kelompok masyarakat lokal

c. lanskap dengan peta kasar yang menunjukkan masyarakat lokal dan daerah

sekitarnya.

d. Permohonan dan pertimbangannya harus sesuai dengan peraturan dan

pedoman yang diatur dalam Peraturan Menteri tentang ABS.”

Pasal 45.

Suatu varietas tanaman yang hanya ada di daerah setempat dan telah dilestarikan

atau dikembangkan sendiri oleh masyarakat lokal setempat, masyarakat tersebut

berhak meminta kepada organisasi pemerintahan setempat untuk mengajukan

permohonan pendaftaran varietas tanaman atas nama masyarakat lokal.

Setelah menerima permintaan dari masyarakat sebagaimana dimaksud dalam

paragraf satu, organisasi administrasi lokal harus mengajukan pendaftaran varietas

tanaman masyarakat lokal kepada Komite sejak hari semua dokumen dan informasi

yang diperlukan diserahkan.

332

Dalam hal masyarakat sebagaimana dimaksud dalam paragraph satu diorganisir

sebagai kelompok tani atau koperasi menurut undang-undang koperasi, kelompok

tani atau koperasi tersebut berhak untuk mengajukan pendaftaran varietas tanaman

lokal lokal atas nama masyarakat lokal.

Berdasarkan ketentuan Pasal 43, 44 dan Pasal 45 masyarakat lokal dalam

kontekstual ini adalah masyarakat hukum adat yang memiliki tradisi melestariakan

sumber daya genetik secara turun temurun dan diakui oleh negara sebagai penyedia

yang memiliki hak untuk mendapatkan pembagian keuntungan bila pihak pengguna

melakukan akses dan pemanfaatan.

Adapun ketentuan mengenai ABS terdapat dalam Pasal 48 PVP Act yaitu:

Pasal 48

Setiap orang yang memungut, memperoleh atau memungut suatu varietas tanaman

masyarakat lokal atau bagiannya untuk pengembangan varietas, studi, percobaan

atau penelitian untuk tujuan komersial, harus membuat perjanjian pembagian

keuntungan tentang varietas tanaman lokal.

Dalam mengizinkan setiap orang untuk mengambil tindakan sebagaimana

dimaksud pada ayat pertama dan dalam membuat perjanjian pembagian

keuntungan, organisasi pemerintah daerah, kelompok tani atau koperasi yang

menerima sertifikat pendaftaran varietas tanaman dalam negeri melakukan

transaksi atas nama komunitas lokal, dengan perjanjian persetujuan terlebih dahulu

dari Komite.

Pengaturan adanya sistem ABS sebagaimana dicantumkan dalam ketentuan Pasal

48 seterusnya diteguhkan kembali ketentuan Pasal 49 bahwa:

Dari hasil pemberian izin kepada orang lain untuk menggunakan hak atas varietas

tanaman lokal setempat, dua puluh persen diberikan kepada orang yang memelihara

atau mengembangkan varietas itu, enam puluh persen kepada masyarakat sebagai

pendapatan bersama, dan dua puluh persen kepada pemerintah daerah, organisasi,

kelompok tani atau koperasi yang melakukan transaksi.

Pembagian keuntungan di antara orang-orang yang memelihara atau

mengembangkan varietas tanaman harus sesuai dengan peraturan yang ditentukan

oleh Komite.

333

Dalam hal terjadi perselisihan mengenai pembagian keuntungan berdasarkan

paragraf satu, Komite memberikan keputusan akhir.

Ketentuan Pasal 52 PVP Act 1999 mengatur lebih lanjut mengenai adopsi prinsip

Free Prior Informed Consent/FPIC dan Mutually Agreed Term/MAT sebagai yang

diamanahkan dalam CDB dan Nagoya Protocol yaitu sebagai berikut:

Setiap orang yang memungut, memperoleh atau memungut varietas tanaman

domestik biasa, varietas tanaman hutan atau bagiannya untuk pengembangan

varietas, studi, percobaan atau penelitian untuk tujuan komersial,

memerlukan izin dari pejabat yang bertanggung jawab dan harus membuat

perjanjian pembagian keuntungan dimana sebagian dananya diberikan

kepada Dana Perlindungan Varietas Tanaman sesuai dengan peraturan,

pedoman, dan ketentuan yang diatur dalam Peraturan Menteri.

Perjanjian pembagian keuntungan sekurang-kurangnya memuat:

1. tujuan pengumpulan dan pengumpulan varietas tanaman;

2. jumlah atau jumlah sampel varietas tanaman yang dibutuhkan;

3. hak dan kewajiban pengguna dan penyedia;

4. penetapan hak atas kekayaan intelektual hasil modifikasi, kajian,

percobaan, atau penelitian varietas tanaman yang disepakati;

5. menetapkan besaran, persentase, dan jangka waktu pembagian

keuntungan menurut perjanjian tentang hasil-hasil yang berasal dari

varietas tumbuhan;

6. lamanya perjanjian;

7. pencabutan perjanjian;

8. tata cara penyelesaian sengketa;

9. hal-hal lain sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri.

Ketentuan mengenai adopsi prinsip Free Prior Informed Consent dan Mutually

Agreed Term dalam PVP Act tahun 1999 merupakan transformasi dari ketentuan

Pasal 8 (J) Pasal 15 CBD dan ketentuan Nagoya Protocol. Selanjutnya, Peraturan

Komite Nasional Konservasi dan Pemanfaatan Keanekaragaman Hayati yang

Berkelanjutan tentang Kriteria dan Prosedur untuk Akses ke Sumber Daya Hayati

dan Pembagian Manfaat (Peraturan ABS) mendorong lembaga pemerintah yang

memiliki yurisdiksi atas sumber daya hayati yang tidak tercakup dalam Undang-

334

Undang PVT atau Undang-Undang Pengetahuan Tradisional untuk

mengembangkan mekanisme ABS mereka sendiri. Pada tahun 2014, Thailand telah

memiliki 11 organisasi, termasuk Departemen Taman Nasional, Satwa Liar dan

Tumbuhan dan BIOTEC telah mengembangkan mekanisme untuk menerapkan

Peraturan ABS.

Menurut Peraturan ABS, akses ke sumber daya hayati untuk

pemanfaatannya memerlukan otorisasi dari pejabat negara yang berwenang atas

atas sumber daya genetik, namun setiap lembaga dapat menentukan mekanisme

ABS-nya sendiri, tetapi persyaratan ini tidak boleh bertentangan dengan undang-

undang PVP Act dan harus didasarkan pada prosedur yang ditetapkan dalam

peraturan. Informasi dan komitmen yang diperlukan dari pemohon termasuk daftar

spesies, kultivar atau sumber daya hayati lainnya yang akan diakses, kegiatan

penelitian dan pengembangan khusus yang akan dilakukan, pembagian

keuntungan, pembatasan transfer ke pihak ketiga dan perubahan penggunaan, dan

cara-cara di mana setiap kekayaan intelektual hak yang timbul dari akses terhadap

sumber daya hayati akan dikelola wajib diperjanjikan dan disepakati secara

bersama.

b. The Act on Protection and Promotion of Traditional Thai Medicinal

Intelligence Tahun 1999 (UU Perlindungan dan Promosi Obat

Tradisional Thailand)

Setelah membentuk PVP Act tahun 1999 Thailand juga secara sui generis

mentransformasikan sistem ABS dan membangun peraturan perundang-undangan

yang sui generis kedua dalam menindaklanjuti kewajibannya sesuai CBD

335

membentuk sistem ABS yaitu ‘The Act on Protection and Promotion of Traditional

Thai Medicinal Intelligence Tahun 1999’ (UU Promosi Obat Tradisional

Thailand).30 UU Promosi Obat Tradisional Thailand adalah suatu peraturan tentang

keunggulan obat tradisional Thailand yang substansinya mengenai pengetahuan

dan kemampuan dasar yang berkaitan dengan pengobatan tradisional berupa

prosedur pengobatan, pemeriksaan, diagnosis, terapi, pencegahan dan promosi

kesehatan termasuk penemuan obat-obatan tradisional berdasarkan pengetahuan

tradisioanl dan teks yang telah diturunkan dari generasi ke generasi.

Obat tradisional Thailand berarti obat-obatan yang diperoleh langsung dari

tumbuh-tumbuhan atau berasal dari ramuan campuran, dan termasuk juga obat-

obatan tradisional Thailand menurut undang-undang tentang obat-obatan. Teks

tentang pengobatan tradisional Thailand ini berisi pengetahuan teknis yang

berkaitan dengan pengobatan tradisional Thailand yang telah ditulis atau dicatat

dalam buku-buku Thai, daun palem, batu prasasti atau bahan lain atau yang belum

dicatat tetapi diturunkan dari generasi ke generasi.31

Institut Pengobatan Tradisional Thailand bertanggung jawab untuk

mengumpulkan informasi tentang dokumen medis pengabotan tradisional Thailand

yang berkaitan dengan formula obat tradisional Thailand dan teks tentang

pengobatan tradisional Thailand dari seluruh negeri untuk didaftarkan. Ketentuan

yang berkaitan erat dengan sistem ABS dan hak kekayaan intelektual ditemui dalam

30 Gabrielle Gagne and Chutima Ratanasatien, op. cit., halaman 311-312, “the Thai Plant

Varieties Protection Act 1999 is sui generis system that contains … access and benefit sharing for

domestic plant” 31 WIPO, “Traditional Knowledge Laws: Thailand, diakses pada

https://www.wipo.int/tk/en/databases/tklaws/articles/article_0024.html.

336

beberapa Pasal 19 bahwa siapa pun yang ingin menggunakan obat tradisional

Thailand untuk pendaftaran dan izin produksi obat menurut undang-undang atau

ingin menggunakannya untuk penelitian tentang perbaikan atau pengembangan

formula obat baru untuk keuntungan komersial, atau ingin melakukan penelitian

nasional teks tentang Obat Tradisional Thailand untuk pengembangan dan

peningkatan untuk keuntungan komersial, harus mengajukan aplikasi untuk

mendapatkan manfaat dan membayar biaya dan membagi keuntungannya kepada

otoritas lisensi. Formula pribadi obat tradisional Thailand atau teks pribadi tentang

pengobatan tradisional Thailand dapat didaftarkan untuk perlindungan hak

kekayaan intelektua.

Kemudia ketentuan Pasal 34 menentukan bahwa pemegang hak memiliki

kepemilikan tunggal atas produksi obat dan memiliki hak tunggal atas penelitian,

distribusi, perbaikan atau pengembangan formula obat tradisional Thailand atau

hak kekayaan intelektual obat tradisional Thailand di bawah teks terdaftar tentang

pengobatan tradisional Thailand. Ketentuan ini lalu diperkuat oleh Pasal 46 bahwa

tidak seorangpun boleh meneliti atau mengekspor obat tradisional atau jamu atau

menjual atau mengubahnya untuk tujuan komersial, kecuali jika izin telah diperoleh

dari otoritas pemberi lisensi.

Menurut Departemen Pengobatan Tradisional dan Alternatif, Thailand

telah ditemukan sekitar 170.602 resep obat tradisional Thailand. Menurut

ketentuan The Act on Protection and Promotion of Traditional Thai medicinal

Intelligence Tahun 1999 siapa pun yang memerlukannya mendaftarkan obat

tradisional Thailand dan meminta izin untuk memproduksi obat atau perlu

337

mempelajari obat-obatan tersebut untuk komersial, meningkatkan atau

mengembangkan menjadi resep medis baru, ia harus mengajukan izin untuk

membuat penggunaan dan harus membayar biaya layanan termasuk biaya

kompensasi atau pembagian keuntungan untuk penggunaan obat-obatan tersebut

kepada orang yang mengizinkan.32

Hal tersebut merupakan elemen ABS dalam UU Promosi Obat Tradisional

yang diatur dalam ketentuan Pasal 19. Lebih jauh, Thailand juga telah mengatur

mengenai batasan hak dan kompensasi biaya didasarkan pada peraturan, sarana,

dan ketentuan yang ditentukan oleh Kementerian yang berwenang untuk

pertimbangan ABS atau pembagian keuntungan yaitu:33

1. uang 3% dari penjualan di pabrik

2. ganti rugi bukan uang seperti transfer teknologi dan penyebaran hasil studi.

3. Pelatihan/bimbingan teknis

4. Pertukaran data/pengetahuan yang ditunjukkan

5. pertukaran staf

6. penciptaan jaringan kerja sama

7. investasi bersama dalam bisnis

8. asuransi jiwa untuk staf

9. bentuk lain yang disepakati bersama.

32 Nanthasak Chotichanadechawong and Somboon Sirisunhirun, The Development Policy

on Access and Sharing of Benefit from National Knowlegde of The Thail Traditional Medicine,

International Journal of Crime, Law, and Social Issue, Vol.5 (3) January-June 2018, HALAMAN

195 33 Nanthasak Chotichanadechawong and Somboon Sirisunhirun, The Development Policy

on Access and Sharing of Benefit from National Knowledge of The Thai Traditional Medicine,

International Journal of Crime, Law, and Social Issue, Vol.5 (3) January-June 2018, halaman

194.

338

Selanjutnya prosedur akses dan pembagian keuntungannya berlandaskan

pembayaran kompensasi yang ditetapkan dan disepakati bersama antara penerima

manfaat, orang yang mengizinkan, dan orang yang diizinkan dengan cara: 34

1. menunjuk komite operasi untuk mempertimbangkan kontrak atau perjanjian

kasus pembagian keuntungan dengan resep medis dan

2. mengumumkan daftar nama para ahli tersebut sebagai database untuk proposal

untuk menjadi komite operasi termasuk pembuatan kontrak untuk pembagian

keuntungan berdasarkan kasus per kasus

Dalam rangka mengimplementasikan CBD Pada tahun 2000, Thailand membentuk

badan pemerintah yang otonom yaitu Pusat Keanekaragaman Hayati Thailand yang

bertugas untu mengatur access and benefit sharing namun pada pada tahun 2002,

tugas-tugas ini dialihkan ke Kementerian Sumber Daya Alam dan Lingkungan yang

baru dibentuk. Titik fokus nasional tentang ABS saat ini adalah Divisi

Keanekaragaman Hayati di Kantor Sumber Daya Alam dan Kebijakan dan

Perencanaan Lingkungan. Sesuai dengan UU PVT dan UU Promosi Obat

Tradisional Thailand secara kelembagaan pelaksanaan ABS terkait dengan institusi

Departemen Pertanian untuk akses ke varietas tanaman liar dan varietas tanaman

domestik umum, masyarakat lokal, Kelompok tani, koperasi atau otoritas lokal

dengan sertifikat pendaftaran untuk akses ke lokal yang relevan varietas tanaman

domestic dan Departemen Pengembangan Pengobatan Tradisional dan Alternatif

34 Nanthasak Chotichanadechawong and Somboon Sirisunhirun, ibid, halaman 195-196

339

Thailand atau Kementerian Kesehatan Masyarakat untuk akses ke formula nasional

obat tradisional Thailand.

Thailand saat ini memiliki hukum dan peraturan berikut yang terkait

administrasi, pemantauan dan konservasi sumber daya hayati yang secara tidak

langsung mendukung Thailand dalam penerapan akses dan pembagian keuntungan

sumber daya genetik yaitu:35

1. Undang-Undang Kehutanan, B.E. 2484 (1941) yang dibentuk untuk

mengendalikan dan menghentikan penebangan kayu dan mempercepat

pemulihan kondisi hutan

2. Undang-Undang Taman Nasional, B.E. 2504 (1961) yang diterbitkan guna

memastikan kondisi konservasi alam mereka yang tidak berubah dan tidak

rusak

3. Undang-Undang Konservasi dan Perlindungan Satwa Liar, B.E. 2535 (1992)

yang mengatur jenis tindakan terkait yang diizinkan dan dilarang oleh regulas

ini yang menekankan konservasi dan perlindungan;

4. Peraturan Dewan Riset Nasional tentang izin bagi peneliti asing untuk

melakukan pekerjaan penelitian di Thailand, B.E. 2550 (2007)

5. Undang-Undang Hutan Lindung Nasional The National Reserved Forest Act

(No.4), B.E. 2559 (No.4), B.E. 2559 (2016) yang mengatur kebijakan dan

langkah-langkah dalam melindungi, mencegah dan melestarikan sumber daya

alam dan pemanfaatan cadangan hutan nasional.

35 https://www.cbd.int/doc/nr/nr-06/th-nr-06-en.pdf Thailand Sixth National Report on

the Implementation on Convention Biological Diversity, June 2019, halaman 80.

340

Selain itu, telah ada pengembangan baru pada Community-Access and

Benefit Sharing (C-ABS), yang bertalian dengan berbagai komunitas sebagai

pemegang sumber daya genetik yang dapat mengklaim pembagian keuntungan

dalam bentuk uang tunai dan barang, dengan demikian skema yang diterapkan

sesuai prinsip distribusi pembagian keuntungan yang adil.36 Dalam beberapa tahun

terakhir telah ada dua perkembangan hukum dalam kaitannya dengan akses dan

pembagian keuntungan yang mencakup sumber daya genetik dan kebijakan

endemik terkait. Perkembangan ini termasuk rancangan undang-undang Promosi

dan Konservasi Hewan Endemik, yang terkait dengan akses dan pembagian

keuntungan yang tercakup dalam jenis sumber daya hewan, dan Peraturan

Rekayasa Genetika dan Bioteknologi terkait dengan akses dan pembagian

keuntungan dari sumber daya biologis.

Thailand juga melakukan pengembangan mekanisme untuk mengakses

sumber daya genetik dan pembagian keuntungan yang adil terutama didasarkan

pada akses sumber daya hayati dan pembagian manfaat, yaitu, melalui mekasnime

Prior Informed Consent (PIC) pemberitahuan sebelumnya, perjanjian tentang

pembagian keuntungan yang adil.37

Berdasarkan praktik Thailand dapatlah dipahami bahwa persyaratan ABS

dalam UU PVT, UU Promosi Obat Tradisional Thailand, dan Peraturan ABS

apabila dicermati semuanya memuat berbagai pengaturan dan persyaratan serta

referensi tentang pembagian keuntungan dan manfaat. PVT Act menyatakan bahwa

36 https://www.cbd.int/doc/nr/nr-06/th-nr-06-en.pdf Thailand Sixth National Report on

the Implemention on Convention Biological Diversity, June 2019, halaman 64 dan 80. 37 https://www.cbd.int/doc/nr/nr-06/th-nr-06-en.pdf Thailand Sixth National Report on

the Implemention on Convention Biological Diversity, June 2019, HALAMAN 80

341

akses ke varietas tanaman masyarakat lokal dan liar tunduk pada pembagian

keuntungan yang adil dan merata (ABS system), termasuk melalui Dana

Perlindungan Varietas Tanaman. Perjanjian pembagian keuntungan harus

mencakup ketentuan tentang hak kekayaan intelektual dan jumlah atau persentase

tertentu dari manfaat keuntungan yang akan dibagikan, serta durasi kewajiban

pembagian keuntungan.

Demikian pula Undang-Undang Pengetahuan Tradisional mengacu pada

peraturan yang memberikan kondisi untuk pembagian keuntungan dalam kaitannya

dengan formula obat. Sedangkan berdasarkan Peraturan ABS telah ditetapkan

beberap parameter tertentu tentang jenis keuntungan yang akan dibagikan yaitu

perjanjian pembagian keuntungan antara pengguna dan penyedia serta lembaga

negara yang mengeluarkan izin harus memperkirakan manfaat moneter dan non-

moneter. Pembagian manfaat non-moneter mencakup partisipasi peneliti atau

ilmuwan Thailand dalam proyek pembagian keuntungan moneter mencakup

manfaat yang diperoleh dari pemanfaatan sumber daya hayati dan penerapan

selanjutnya dari produk, proses, dan informasi yang dihasilkan.

Berdasarkan paparan praktik Thailand mentransformasikan sisten access

and benefit sharing/ABS CBD dan Nagoya Protocol ke dalamm sistem hukum

nasionalnya yang sui generis yang meliputi sumber daya genetik tanaman dalam

PVP Act tahun 1999 dan pengetahuan obat tradisional masyarakat lokal yang

diturunkan dari generasi ke generasi dalam The Act on Protection and Promotion

of Traditional Thai medicinal Intelligence Tahun 1999 dapatlah dipahami bahwa

Thailand menyikapi perjanjian internasional dengan menganut doktrin dualisme.

342

Transformasi tersebut berarti hukum internasional diberlakukan dalam

hukum nasional melalui pengubahan bentuk secara formal dan substansi dengan

mentransformasikan kewajiban CBD dan Nagoya Protocol yang mengamanahkan

mengambil langkah hukum dan upaya kebijakan lainya yang ditentukan dalam

perjanjian internasional ke dalam undang-undang nasional. Dengan transformasi

hukum internasional ke dalam hukum nasional ini menunjukan bahwa Thailand

berkomitmen menjalankan perjanjian internasional sekaligus melindungi kekayaan

keaneakaragaman hayati dan pengetahuan obat tradisional yang telah diturunkan

dari generasi ke generasi melalui sistem ABS.

C. Pengembangan Hukum ke Depan Terkait Transformasi Access and

Benefit Sharing Hak Masyarakat Hukum Adat ke dalam Hukum Nasional

1. Masyarakat Hukum Adat dalam Kerangka Pembangunan Berkelanjutan

(the 17 of Sustainable Development Goals)

Pada Rio Earth Summit 1992 delegasi masyarakat hukum adat

mendeklarasikan Indigenous Peoples Earth Charter yang menegaskan beberapa hal

penting yaitu: 1) hak asasi manusia masyarakat hukum adat dan hukum

internasional; 2) tanah dan wilayah; 3) keanekaragaman hayati dan konservasi; 4)

strategi pembangunan berbasis kearifan lokal; dan 5) budaya, ilmu pengetahuan,

dan kekayaan intelektual.

Bagi masyarakat hukum adat konservasi sumber daya genetik dalam

kerangka pembangunan berkelanjutan bukanlah hal baru, sebaliknya bagian dari

budaya, sejarah dan spritualitas yang mentradisi. Indigenous Peoples Earth Charter

menyatakan bahwa sebagian besar masyarakat hukum adat yang masih tinggal di

343

wilayah mereka menjaga dan melanjutkan adat istiadat leluhur. Mereka adalah

aktor kunci dalam pelestarian alam karena ikatan yang kuat dengan tanah,

keanekaragaman hayati, satwa liar, dan semua elemen api, air bulan dan bintang.

Keterkaitan masyarakat hukum adat dalam kerangka pembangunan

berkelanjutan karena memiliki ciri khusus yang ditandai dengan praktik konservasi

keanekaragaman hayati, sumber daya alam baik tata kelola atas tanah, hutan, pesisir

dan laut. Praktik dan kearifan lokal yang turun temurun diwariskan dari generasi ke

generasi bahkan dianggap dan terbukti lebih baik dati bentuk-bentuk konservasi

dan pelestarian lingkungan yang dibuatt oleh negara, swasta atau pengajur

konservasi dan pelestarian lingkungan lainnya.38

Salah satu contoh kearifan lokal masyarakat hukum adat dalam penggunaan

tanah dalam kaitannya dengan konservasi dan pembangunan berkelanjutan adalah

misalnya Masyarakat Hukum Adat Dayak Bentian di Kalimantan Timur dikenal

dengan praktik konservasi tanah dengan membudidayakan rotan. Rotan yang

ditanam pada lahan merupakan bagian dari usaha gilir bilik. Usaha ini dikenal dapat

mempercepat waktu panen dengan tumbuhan pionir sekaligus mempertahankan

fungsi kesuburan tanah. Praktik-praktik ini telah dilakukan oleh Masyarakat

Hukum Adat Dayak Bentian keturunan Jato Rampangan di wilayah adatnya sejak

tahun 1813 yang dipimpin oleh Kepala Adatnya.39

Dalam hubungannya dengan konservasi dan konsep ABS dalam

pemanfaatan sumber daya genetik berasal dari CBD yang mengakhiri era konsep

38 Tim Inkuiri Nasional Komnas HAM, Inkuiri Nasional Komisi Hak Asasi Manusia,

Komnas HAM, 2016, halaman 24. 39 Ibid., halaman 26-27

344

warisan bersama umat manusia terdapat keselarasan praktik-praktik konservasi

tersebut dengan the 17 Goals of Sustainable Development/SDGs.40 Hal ini

mengingat bahwa pencanangan SDGs tidak terlepas dari kesepakatan KTT Bumi

di Rio 1992. Tujuan pembangunan berkelanjutan (Sustainable Development

Goals/SDGs) adalah pembangunan yang menjaga peningkatan kesejahteraan

ekonomi masyarakat secara berkesinambungan, menjaga keberlanjutan kehidupan

sosial masyarakat, menjaga kualitas lingkungan hidup serta pembangunan yang

menjamin keadilan dan terlaksananya tata kelola yang mampu menjaga

peningkatan kualitas hidup dari generasi ke generasi selanjutnya. SDGs merupakan

komitmen global dan nasional dengan the 17 Goals of Sustainable Development

yang meliputi: 1) No Poverty, 2) Zero Hunger, 3) Good Health and Well Being, 4)

Quality Education, 5) Gender Quality, 6) Clean Water and Sanitation, 7)

Affordable and Clean Energy, 8) Decent Work and Economic Growth, 9) Industry,

Innovation and Infrastructure, 10) Reduce Inequalities, 11) Sustainable Cities and

Communities, 12) Responsible Consumption and Production, 13) Climate Change,

14) Life Below Water, 15) Life on Land, 16) Peace, Justice and Strong Institutions,

and 17) Partnership for the Goals.

Terkait dengan penelitian ini, konservasi dan pemanfaatan secara

berkelanjutan sumber daya genetik merupakan kepentingan yang menentukan

untuk memenuhi kebutuhan pangan, kesehatan dan kebutuhan-kebutuhan lain bagi

penduduk dunia yang selalu berkembang. Sumber daya genetik menyediakan

kebutuhan dasar dari semua proses produksi pangan dan kunci untuk

40

345

keberlangsungan kehidupan manusia termasuk saat perubahan iklim dan perubahan

lingkungan lainnya,41 dan berhubungan erat dengan aspek ketahanan pangan,

ekonomi, pelestarian lingkungan dan pembangunan berkelanjutan.42

Pemanfaatan sumber daya genetik dewasa ini semakin digemari seiring

dengan gaya hidup kembali ke alam dan perkembangan ilmu pengetahuan dan

teknologi. Penemuan rekombinan DNA di tahun 1953,43 yang mengarah pada

kemajuan-kemajuan genetik yang diikuti dengan kelahiran industri yang dikenal

saat ini hingga menyebabkan kebutuhan akan sumber daya genetik yang berasal

dari tanaman, hewan, dan mikro organisme meningkat tajam untuk dipakai sebagai

materi atau bahan (valuable raw materials) di berbagai bidang kehidupan.

Akibatnya, industri bioteknologi bermunculan pada sektor-sektor industri

pertanian, produksi makanan, kesehatan, biofarmasi, dan kosmetik.

Berdasarkan pemasaran produk-produk tersebut di berbagai sektor, estimasi

omzet dari penjualan produk-produk yang berbasis sumber daya genetik

diperkirakan sebesar 500-800 milyar USD per tahun.44 Gambaran nilai ekonomi ini

terus meningkat dari bioprospecting sumber daya genetik yang mencakup sektor

obat-obatan, produk pertanian, tanaman hias, kosmetik dan berbagai produk

bioteknologi lainnya.45

41 Stephen Brush, op. cit. 42 Efridani Lubis, op. cit., halaman 1. 43 Sarah L Elrod dan William D Stansfield, Shaum’s Outside of Theory and Problem of

Genetic, Fourth Edition, 2007, Erlangga, halaman 270. 44 Sudarmono Ahmad Tahir, Potensi Sumber Daya Genetik Indonesia dalam

Komersialisasi Produk Bioteknologi, Pascasarjana Universitas Gadjah Mada, tt, halaman 3. 45 https://kolom.tempo.co/read/1330389/virus-corona-dan-sumber-daya-genetik-

indonesia, Roni Megawanto, “Corona dan Sumber Daya Genetik Indonesia”.

346

Nilai ekonomi, pengetahuan dan teknologi yang besar dalam sumber daya

genetik yang pada umumnya berada dalam wilayah masyarakat hukum adat ini

diekplotasi dan diakses oleh tanpa pembagian keuntungan karena awalnya

dianggap benda bebas. Secara historis, perkembangan pembangunan berkelanjutan

dalam hukum internasional menunjukan bahwa konsep Common Heritage of

Mankind (CHM) sumber daya genetik sebagai benda bebas tidak ada pemiliknya

yang bila diakses siapapun telah menguntungkan satu pihak saja yaitu negara-

negara maju dengan perusahaan besarnya dan para penelti yang memiliki dukungan

dana untuk diinvestasikan atas pengembangan sumber daya genetik. Akibatnya

negara-negara kaya sumber daya genetik dan masyarakat hukum adat tidak

mendapat pembagian manfaat atas nilai ekonomi yang dinikmati negara-negara

maju dan perusahaan farmasi yang secara kenyataan miskin akan sumber daya.46

Sementara itu, di tingkat nasional juga memperlihatkan bahwa beberapa

kasus di Indonesia mengambarkan bahwa dalam proses pembangunan infrastruktur,

pemerintah sering mengalami konflik dengan masyarakat hukum adat. Sepanjang

tahun 2018 terdapat 326 konflik sumber daya alam dan agraria yang melibatkan

areal seluas 2.101.858 hektar dengan korban total mencapai 186.631 jiwa dari total

korban itu, 176.637 di antaranya berasal dari masyarakat hukum adat. Data tersebut

menjadikan masyarakat hukum adat sebagai salah satu pihak yang paling rentan

dalam masalah konflik tanah dan sumber daya alam. 47

46 Anna Deplazes Zemp, “Commutative Justice and Access and Benefit Sharing for Genetic

Resources”, 2018, Ethics, Policy Environment, Volume 21 No. 1, halaman 19, diakses pada

https://www.zora.uzh.ch/id/eprint/160847/1/Deplazes-Zemp_2018_Commutative_justice.pdf

tanggal 24 Desember 2020. 47 Raden Muhammad Arvy Ilyasa, “Prinsip Pembangunan Infrastruktur yang Berlandaskan

Hak Asasi Manusia terhadap Eksistensi Masyarakat Hukum Adat”, Jurnal Sasi Vol. 26 No. 3 2020,

347

Sebagian kebijakan dilakukan tanpa menghormati hak-hak mereka.48

Dalam banyak kasus49, kebijakan sudah dijalankan ketika izin-izin dari pemerintah

sudah diperoleh, sementara konsultasi tidak dilakukan dan persetujuan masyarakat

hukum adat belum diperoleh. Masyarakat hukum adat akhirnya melihat bahwa

hutannya telah ditebang, tanahnya ditambang, lembahnya dibanjiri, tempat

berburunya dipagari, ladang-ladangnya ditempati. Hal tersebut terjadi tanpa bisa

mengatakan apa-apa dan seringkali terjadi tanpa mendapatkan keuntungan

apapun.50

Indonesia telah memiliki sejumlah peraturan perundang-undangan yang

berkaitan dengan masyarakat hukum adat dan sumber daya alam yang mengakui

hak masyarakat hukum adat atas sumber daya alam berdasarkan kebijakan

pengakuan bersyarat sebagaimana diatur oleh peraturan perundang-undangan.

Kebijakan pengakuan tersebut ditambah lagi dengan kebijakan harus melalui

pengukuhan dalam suatu peraturan daerah.51 Terlebih lagi dengan adanya Putusan

hlm. 381. Lihat juga Nisa Istiqomah Nidasari, “Peluang Penerapan FPIC sebagai Instrumen Hukum

Progresif untuk Melindungi Hak Masyarakat Hukum Adat dalam Kegiatan Usaha Tambang dan

Minyak Bumi”, Jurnal Hukum Lingkungan Indonesia, 2017, halaman 52, diakses pada

https://jhli.icel.or.id/index.php/jhli/article/view/15, tanggal 12 Maret 2021 48 Renee V Hagen and Tessa Minter, “Displacement in the Name of Development How

Indigenous Right Legislation Fails to Protect Philippine Hunter Gatherer”, Vol. 33 Issue 2, 2020, P.

66, diakses pada https://www.tandfonline.com/doi/full/10.1080/08941920.2019.1677970 49 Deti Mega Purnamasari, “Nasib Masyarakat Adat yang Terancam Investasi Hingga

Kriminalisasi”, Harian Kompas, diakses pada

: https://nasional.kompas.com/read/2019/12/10/09145461/nasib-masyarakat-adat-yang-

terancam-investasi-hingga-kriminalisasi?page=all: “… “: “ketika investasi atau proyek

pembangunan pemerintah masuk, misalnya pembangunan jalan, irigasi, hingga izin-izin

tambang, masyarakat adat mengalami berbagai masalah. Mereka mengalami perampasan

wilayah, kriminalisasi, diskriminasi, hingga pelanggaran hak asasi.” 50 Emil Kleden, “Konsep Free Prior Informed Consent”, Kertas Kerja dalam Pelatihan

Impact Elsam 23 Pebruari 2017, halaman 9, diakses pada

https://referensi.elsam.or.id/2017/06/konsep-prinsip-free-prior-informed-consent 51 Unsur-unsur untuk dikukuhkannya suatu komunitas sebagai masyarakat Hukum Adat

diatur dalam Pasal 67 ayat (1) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan yang

menegaskan bahwa masyarakat Hukum Adat akan diakui sepanjang masih hidup dan sesuai dengan

348

Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012 yang memutuskan hutan adat

bukanlah hutan negara melainkan hutan adat adalah bagian dari wilayah adat yang

merupakan kepunyaan masyarakat hukum adat. Pasca Putusan Mahkamah

Konstitusi tersebut persoalan mengenai hutan adat dapat dikatakan memiliki

kepastian hukum yang perlu ditindaklanjuti dengan kebijakan pengakuan dan

pengukuhan masyarakat hukum adat agar keberadaan masyarakat hukum adat

beserta hak-haknya terkait tanah dan sumber daya alam dapat terlindungi.

Indonesia sejatinya memiliki landasan yang kuat untuk mengakui dan

melindungi hak masyarakat hukum adat ketentuan Pasal 18B ayat 2 UUD Negara

Republik Indonesia Tahun 1945 menentukan bahwa: “Negara mengakui dan

menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak

tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan dan prinsip

negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang.”

Selanjutnya ketentuan Pasal 28 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam

undang-undang. Sementara unsur-unsur untuk adanya pengakuan adalah:

1. masyarakatnya masih dalam bentuk paguyuban (rechtsgemeenschap);

2. ada kelembagaan dalam bentuk perangkat penguasa adatnya;

3. ada wilayah Hukum Adat yang jelas;

4. ada pranata dan perangkat hukum, khususnya peradilan adat, yang masih ditaati; dan

5. masih mengadakan pemungutan hasil hutan di wilayah hutan sekitarnya untuk pemenuhan

kebutuhan hidup sehari-hari.

Kewenangan untuk menetapkan suatu komunitas sebagai masyarakat Hukum Adat adalah

kewenangan pemerintah daerah, melalui pengukuhan dalam peraturan daerah. Ketentuan Pasal 67

ayat (2) bahwa: ”Pengukuhan keberadaan dan hapusnya masyarakat Hukum Adat sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Daerah.” Penjelasan Pasal ini menjelaskan

bahwa Peraturan Daerah disusun dengan mempertimbangkan hasil penelitian para pakar hukum

adat, aspirasi masyarakat setempat, dan tokoh masyarakat adat yang ada di daerah yang

bersangkutan, serta instansi atau pihak lain yang terkait. Dengan demikian pengakuan atas eksistensi

masyarakat hukum adat menjadi tidak hanya bersyarat tapi juga berlapis.

349

bahwa: “Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan

perkembangan zaman dan peradaban”. 52

Terkait kepemilikan sumber daya genetik, CBD dan Nagoya Protocol

menentukan sumber daya genetik merupakan hak kedaulatan negara serta

mengakui kontribusi masyarakat hukum adat dalam melakukan konservasi sumber

daya genetik. CBD dan Nagoya Protocol dapat dikatakan merupakan ketentuan

yang melindungi kepentingan masyarakat hukum adat sebagai pemilik sumber daya

genetik yang berada di wilayah kelola masyarakat hukum adat dan memberikan

harapan baru dalam pemanfaatan sumber daya genetik secara berkelanjutan.

Dengan demikian kepemilikan dalam memelihara sumber daya genetik

berkontribusi bagi pembangunan berkelanjutan. Pemberlakuan ABS dalam hukum

internasional dan mewajibkan negara mengaturnya ke dalam hukum nasional

nasional akan menciptakan insentif untuk melestarikan keragaman hayati secara

umum dan pengetahuan tradisional terkait. Kondisi ini merupakan kesempatan

untuk mengembangkan ekonomi yang berkelanjutan dimana nilai sumber daya

genetik masyarakat hukum adat benar-benar diakui.53

Pembagian keuntungan (Access and Benefit Sharing) merupakan konsep

dasar pembangunan berkelanjutan yaitu prinsip pemerataan dan keadilan. Prinsip

keadilan ini menuntut bahwa mereka yang melestarikan sumber daya genetik

mendapatkan pembagian keuntungan dari akses dan pemanfaatannya oleh pihak

52 Muazin, op. cit.

53 Stellina Jolly, “Access and Benefit Sharing under Nagoya Protocol and Sustainable

Development A Critical Analysis”, Juridical Science, Volume 9 No. 3, 2015, halaman 43, diakses

https://www.researchgate.net/publication/318852649_Access_and_Benefit_Sharing_under_Nagoy

a_Protocol_and_Sustainable_Development-A_Critical_Analysis.

350

pengguna. Apa yang merupakan pembagian keuntungan yang adil harus ditentukan

dengan kriteria yang dikembangkan berdasarkan peran masyarakat hukum adat

dalam memelihara keanekaragaman hayati. Karena adanya hak atas pembagian

keuntungan akses sumber daya genetik ini maka diperlukan hukum untuk menjaga

kelangsungan eksistensi hak dalam kehidupan bernegara itulah sebabnya pasca

ratifikasi CBD dan Nagoya Protocol mendesak dibangun rezim hukum ABS.

Lebih jauh, di dalam pembukaan CBD sumber daya genetik dianggap

sebagai kepentingan bersama bukan warisan bersama umat manusia. Tahapan ini

adalah konsern seluruh umat manusia untuk pembangunan berkelanjutan guna

melestarikan dan mempertahankan penggunaan sumber daya genetik untuk

kemanusiaan dan generasi yang akan datang. Namun catatan penting dalam relasi

ini adalah kewajiban untuk melestarikan dan mempertahankan sumber daya genetik

tidak berarti bahwa sumber daya tersebut adalah warisan bersama umat manusia.

Sebaliknya sumber daya genetik tersebut adalah milik masyarakat hukum adat.

CBD dan Nagoya Protokol merupakan perjanjian internasional yang

termasuk dalam law making treaty dan governed by international law.

Terbentuknya CBD dan Nagoya Protokol untuk mengatasi ancaman kepunahan

sumber daya hayati dengan mengatur hubungan yang lebih adil antara penguna dan

penyedia termasuk masyarakat hukum adat selaku pengkonservasi yang selama ini

dirugikan dengan praktik pencurian sumber daya genetik atau biopiracy.

Konsep ABS dikaitkan dengan kontribusi konservasi bahwa mereka yang

menggunakan sumber daya genetik memberikan kembali imbalan kepada

351

penyedia.54 Hubungan ini mengambarkan keadilan dan kesetaraan dimana

penghormatan dan pengakuan terhadap hak masyarakat hukum adat di satu sisi dan

hak pengguna di lain sehingga terwujud keadilan yang berperikemanusiaan dan

berkeadilan sosial.

Landasan filosofi dari hal ini adalah bahwa nilai intrinsik dari sumber daya

genetik perlu diimbangi dengan penghargaan yang proporsional. Hal ini beranjak

dari kekhawatiran tentang bagaimana melakukan penelitian yang etis oleh Users

pada negara-negara yang kaya sumber daya genetik baik yang dikelola masyarakat

hukum adat untuk mendapatkan manfaat yang besar maka ABS dianggap sebagai

salah satu instrumen penting untuk mencapai kesetaraan dan keadilan diantara

hubungan tersebut. Sebagian pelaku konservasi hidup dalam kesederhanaan jauh

dari akses kesehatan adalah relevan sumber daya genetik yang diakses tersebut

manfaatnya dibagi ke penjaga konservasi. Sebaliknya secara etis adalah tidak adil

bila suatu negara atau Users tidak memberikan manfaat yang adil atas akses yang

diberikan kepadanya.

Seturut dengan hal tersebut, tujuan perjanjian internasional CBD dan

Nagoya Protokol serta SDGs sesuai dengan tujuan atau the 17 Goals of Sustainable

Development, utamanya tujuan ke 11, 15, 16 dan 17 yaitu Reduce Inequalities, Life

on Land, Peace, Justice and Strong Institutions, and Partnership for the Goals tidak

akan dapat diwujudkan bila masyarakat hukum adat hidup dalam kesenjangan dan

ketidakadilan sebagai akibat eksplotasi sumber daya genetiknya tanpa izin dan

54 Doris Schroeder and Balakrishna Pasupati, “Ethics, Justice and the Convention on

Biological Diversity”, UNEP, 2010, halaman 13-14.

352

tanpa pembagian keuntungan atas nilai ekonomi sumber daya genetik yang

sesungguhnya berasal dari masyarakat hukum adat. Masyarakat hukum adat telah

dirugikan dan menderita ketidakadilan sebagai akibat dari perampasan tanah,

wilayah, dan sumber daya alam mereka atas nama proyek pembangunan.55

Sebagian kebijakan dilakukan tanpa menghormati hak-hak mereka.56

Dalam banyak kasus57, kebijakan sudah dijalankan ketika izin-izin dari pemerintah

sudah diperoleh, sementara konsultasi tidak dilakukan dan persetujuan masyarakat

hukum adat belum diperoleh. Masyarakat hukum adat akhirnya melihat bahwa

hutannya telah ditebang, tanahnya ditambang, lembahnya dibanjiri, tempat

berburunya dipagari, ladang-ladangnya ditempati. Hal tersebut terjadi tanpa bisa

mengatakan apa-apa dan seringkali terjadi tanpa mendapatkan keuntungan

apapun.58Kesemuanya menyebabkan berkurangnya wilayah kelola masyarakat

55 Deti Mega Purnamasari, “Nasib Masyarakat Adat yang Terancam Investasi Hingga

Kriminalisasi”, Harian Kompas, diakses pada

: https://nasional.kompas.com/read/2019/12/10/09145461/nasib-masyarakat-adat-yang-

terancam-investasi-hingga-kriminalisasi?page=all: “… “ketika investasi atau proyek

pembangunan pemerintah masuk, misalnya pembangunan jalan, irigasi, hingga izin-izin

tambang, masyarakat adat mengalami berbagai masalah. Mereka mengalami perampasan

wilayah, kriminalisasi, diskriminasi, hingga pelanggaran hak asasi.” 56 Renee V Hagen and Tessa Minter, “Displacement in the Name of Development How

Indigenous Right Legislation Fails to Protect Philippine Hunter Gatherer”, Vol. 33 Issue 2, 2020,

P. 66, diakses pada https://www.tandfonline.com/doi/full/10.1080/08941920.2019.1677970 57 Deti Mega Purnamasari, “Nasib Masyarakat Adat yang Terancam Investasi Hingga

Kriminalisasi”, Harian Kompas, diakses pada

: https://nasional.kompas.com/read/2019/12/10/09145461/nasib-masyarakat-adat-yang-

terancam-investasi-hingga-kriminalisasi?page=all: “… “ketika investasi atau proyek

pembangunan pemerintah masuk, misalnya pembangunan jalan, irigasi, hingga izin-izin

tambang, masyarakat adat mengalami berbagai masalah. Mereka mengalami perampasan

wilayah, kriminalisasi, diskriminasi, hingga pelanggaran hak asasi.” 58 Emil Kleden, “Konsep Free Prior Informed Consent”, Kertas Kerja dalam Pelatihan

IMPACT ELSAM 23 Pebruari 2017, halaman. 9, diakses pada

https://referensi.elsam.or.id/2017/06/konsep-prinsip-free-prior-informed-consent

353

hukum adat atas tanah dan sumber daya alamnya serta hilangnya keanekaragaman

hayati.59

Instrumen hukum internasional UNDRIP khususnya Pasal 32 terkait dengan

tujuan SDGs ke 11 pengurangan kesenjangan, tujuan ke 15 kehidupan, tanah, tujuan

ke 16 keadilan dan kelembagaan serta ke 17 kemitraan bahwa:

1. “Indigenous peoples have the right to determine and develop sriorities and

strategies for the development or use of their lands or territories and other

resources.”

2. “States shall consult and cooperate in good faith with the indigenous

peoples concerned through their own representative institutions in order to

obtain their free and informed consent prior to the approval of any project

affecting their lands or territories and other resources, particularly in

connection with the development, utilization or exploitation of mineral,

water or other resources.”

Berdasarkan ketentuan Pasal tersebut terlihat bahwa SDGs merupakan penjabaran

operasional dari berbagai norma pembangunan berkelanjutan termasuk

keselarasannya dengan Pasal 32 UNDRIP tersebut. Seiring dengan UNDRIP,

ketentuan Pasal CBD dan Konvensi ILO 169 Tahun 1989 mengamanahkan bahwa

masyarakat hukum adat tidak boleh disingkirkan dari tanah, wilayah dan sumber

daya alam yang mereka tempati. Bila mana pemindahan masyarakat hukum adat

ke tempat lain dianggap perlu sebagai suatu langkah pengecualian maka

pemindahan hanya bisa dilakukan dengan keinginan dan persetujuan mereka

setelah diinformasikan terlebih dahulu akibat-akibatnya.

59 E Cohen-Schacham et al,”Nature Based Solution to Address Global Societal

Challenges”, UNDP, Norad German, 2016, p. 2, diakses pada

https://portals.iucn.org/library/sites/library/files/documents/2016-036.pdf

60 Sopia R. Hirakuri and Brendan Michael Tobin, “Free Prior Informed Consent and Access

to Genetic Resources and Benefit Sharing”, Work in Progress, Vol. 17 No. 2, 2005, p.13, diakses

pada https://www.researchgate.net/publication/42766394

354

Bila ketidakadilan yang dirasakan masyarakat hukum adat terus

berlangsung karena ketiadaan perlindungan hukum maka kerugian tidak hanya

diderita masyarakat hukum adat namun lingkungan dan keanekaragaman hayati

secara keseluruhan karena peran mereka yang besar dalam konservasi tidak

dihargai termasuk terkait dengan sumber daya genetik masyarakat hukum adat. Bila

tidak ada hukum yang menegaskan bahwa masyarakat hukum adat berhak atas

pembagian keuntungan atas pemanfaatan sumber daya genetiknya belum dibangun

dalam sistem hukum nasional maka bukan hanya masyarakat hukum adat yang

dirugikan namun Indonesia secara keseluruhan karena membiarkan potensi sumber

daya genetiknya dalam ketidakjelasan dan ketidakpastian status sehingga rentan

dicuri. Padahal pasca ratifikasi CBD dan Nagoya Protokol Indonesia memiliki

kesempatan besar untuk melindungi sekaligus menjadikan potensi sumber daya

genetiknya sebagai sumber daya pembangunan pembangunan hukum rezim ABS.

2. Pengembangan Hukum ke Depan Terkait Pengakuan Hak Masyarakat

Hukum Adat atas Pembagian Keuntungan (Access and Benefit

Sharing/ABS)

Pembahasan mengenai kesetaraan dan hak dalam wacana konservasi global

antara negara yang kaya keanekaragaman hayati dengan negara yang kaya ilmu

pengetahuan dan teknologi secara hitoris telah dimulai sejak tahun 1970-an yang

dilanjutkan dengan gagasan tentang kesetaraan antar generasi yang menjadi dasar

bagi pembangunan berkelanjutan yang diintegrasikan ke dalam KTT Bumi pertama

pada tahun 1992.

Negara yang memegang hak berdaulat atas sumber daya genetik dapat

memberikan akses kepada mereka yang memerlukan atau pengguna melalui

355

prinsip Free Prior Informed Consent (FPIC) dan prinsip kesepakatan bersama

Mutually Agreed Terms (MAT). Hal ini menyiratkan bahwa negara-negara

berkembang harus melindungi dan menjaga keanekaragaman hayati dengan

membangun hukumnya untuk menentukan hak dan kewajiban dari berbagai pihak

yang terlibat. Ketika akses ke sumber daya genetik dan pengetahuan tradisional

menjadi masalah maka seperangkat aturan yang jelas dan telah ditetapkan negara

yang makmur sumber daya hayati akan memenuhi kebutuhan kepastian,

kemanfaatan dan keadilan semua pihak yang terlibat yaitu negara, masyarakat

hukum adat, penyedia dan pengguna.

Setiap negara berkepentingan untuk melakukan konservasi penggunaan

keanekaragaman hayati secara berkelanjutan dan distribusi keuntungan yang adil

yang dihasilkan dari sumber daya genetik berdasarkan hak kedaulatan negara

sebagaimana diteguhkan dalam Pasal 15 CBD.61

Ketentuan Pasal 15

1. Recognizing the sovereign rights of States over their natural resources, the

authority to determine access to genetic resources rests with the national

governments and is subject to national legislation.

2. Each Contracting Party shall endeavour to create conditions to facilitate

access to genetic resources for environmentally sound uses by other

Contracting Parties and not to impose restrictions that run counter to the

objectives of this Convention.

3. For the purpose of this Convention, the genetic resources being provided by

a Contracting Party, as referred to in this Article and Articles 16 and 19,

are only those that are provided by Contracting Parties that are countries

of origin of such resources or by the Parties that have acquired the genetic

resources in accordance with this Convention.

4. Access, where granted, shall be on mutually agreed terms and subject to the

provisions of this Article.

61 Grethel Aguilar, op. cit., halaman 243.

356

5. Access to genetic resources shall be subject to prior informed consent of the

Contracting Party providing such resources, unless otherwise determined

by that Party.

6. Each Contracting Party shall endeavour to develop and carry out scientific

research based on genetic resources provided by other Contracting Parties

with the full participation of, and where possible in, such Contracting

Parties.

7. Each Contracting Party shall take legislative, administrative or policy

measures, as appropriate, and in accordance with Articles 16 and 19 and,

where necessary, through the financial mechanism established by Articles

20 and 21 with the aim of sharing in a fair and equitable way the results of

research and development and the benefits arising from the commercial and

other utilization of genetic resources with the Contracting Party providing

such resources. Such sharing shall be upon mutually agreed terms.

Referensi hak atas sumber daya genetik sebagaimana ditentukan dalam

Pasal 15 ayat (1) memberi pertanda bahwa status hukum sumber daya genetik

merupakan pertimbangan utama Konvensi yang tunduk kepada rezim masing-

masing negara pihak yang berjanji untuk mengambil langkah mengatur dan

menetapkannya dalam hukum nasionalnya. Selain itu, hal penting yang dapat

dicermati dalam ketentuan Pasal 15 CBD adalah frasa sesuai/tepat (as appropriate).

Kata sesuai atau tepat terkait erat dengan syarat atau ketentuan akses ke sumber

daya genetik. Persyaratan tersebut harus ditentukan oleh Pihak yang menyediakan

sumber daya genetik.

Ketika suatu langkah hukum dikembangkan untuk mengimplementasikan

CBD dan Nagoya Protocol utamanya sistem ABS sesuai amanat Pasal 15 CBD

maka ketentuan lain yang relevan juga perlu diperhatikan bahwa tujuan utama

Konvensi, dan dasar Pasal 15 adalah untuk memastikan pembagian yang adil atas

357

akses dan pemanfaatan sumber daya genetik dengan Para Pihak yang

menyediakannya. Ketentuan lain tersebut adalah Pasal 8 (J) bahwa:

Tergantung perundang-undangan nasionalnya, menghormati, melindungi dan

mempertahankan pengetahuan, inovasi-inovasi dan praktek-praktek masyarakat

hukum adat dan masyarakat lokal yang mencerminkan gaya hidup berciri

tradisional, sesuai dengan konservasi dan pemanfaatan secara berkelanjutan

keanekaragaman hayati dan memajukan penerapannya secara lebih luas dengan

persetujuan dan keterlibatan pemilik pengetahuan inovasi-inovasi dan praktek-

praktek tersebut, mendorong pembagian yang adil keuntungan yang dihasilkan

dari pemanfaatan sumber daya genetik, pengetahuan, inovasi-inovasi dan

praktek-praktek semacam itu.

Berdasarkan ketentuan ketentuan Pasal 8 (j) terlihat beberapa elemen dasar

yang perlu ditindaklanjuti yaitu Pasal 8 (J) memberikan rujukan ke istilah ‘dengan

persetujuan’ dan ‘keterlibatan’ masyarakat hukum adat. Dalam kerangka hukum

internasional makna ‘persetujuan’ dan ‘keterlibatn’ ini dipahami sebagai prinsip

persetujuan bebas, didahulukan dan diinformasikan atau yang lebih dikenal dalam

Free Prior Informed Consent/FPIC.62 Adapun makna ‘keterlibatan’ secara lebih

substantif digambarkan sebagai ‘partisipasi penuh dan efektif’. Penafsiran ini

diperkuat oleh Pasal 6 (3) (f) Nagoya Protocol bahwa

1. Dalam pelaksanaan hak berdaulat atas sumber daya alam pada akses domestik

dan peraturan perundang-undangan pembagian keuntungan atau peraturan

persyaratan, akses terahadap sumber daya genetik untuk pemanfaatannya harus

diinformasikan terlebih dahulu sebelum persetujuan dari pihak yang

menyediakan sumber daya.

2. Sesuai dengan hukum nasional, masing-masing pihak wajib mengambil

tindakan yang sesuai dengan tujuan untuk memastikan bahwa persetujuan dan

keterlibatan masyarakat hukum adat dan komunitas lokal diperoleh untuk akses

ke sumber daya genetik dimana masyarakat hukum adat atau masyarakat lokal

memiliki hak yang ditetapkan untuk memberikan akses ke sumber daya genetik

tersebut.

62 Free Prior Informed Consent/PFIC adalah hak masyarakat hukum adat untuk

memberikan persetujuan sebelum proses pembangunan atau kegiatan dimulai di wilayah sumber

daya alamnya atau yang memegaruhi kehidupan mereka sekaligus menghormati budaya masyarakat

hukum adat. FPIC dijamin dalam hukum internasional UNDRIP.

358

3. Sesuai dengan ayat 1 setiap pihak yang memerlukan persetujuan terlebih

dahulu harus mengambil langkah-langkah legislatif, adminsitratif atau

kebijakan yang diperlukan sebagaiman mestinya untuk:

a. Memberikan kepastikan hukum, kejelasan dan trasnparansi akses dan

peraturan persyaratan pembagian keuntungan.

b. Menyediakan aturan dan prosedur yang adil dan tidak sewenang-wenang

dalam mengakses sumber daya genetik.

c. Memberikan informasi tentang cara mengajukan persetujuan berdasarkan

informasi sebelumnya

d. Memberikan keputusan tertulis yang jelas dan transparan oleh otoritas

nasional yang kompeten

e. Menyediakan dokumen penerbitan pada saat akes izin diberikan sebagai

bukti keputusan untuk memberikan persetujuan terlebih dahulu dan

penetapan syarat-syarat yang disepakati bersama dan memberitahukan

kepada Lembaga kliring akses dan pembagian hasil atau keuntungan

f. Menetapkan kriteria dan proses untuk mendapatkan persetujuan

berdasarkan informasi awal dan keterlibatan masyarakat hukum adat

ke akses sumber daya genetik

g. Menetapkan aturan dan prosedur yang jelas dalam menetapkan persyaratan

yang disepakati bersama. Persyaratan tersebut ditetapkan secara tertulis dan

meliputi:

1) Klausul penyelesaian sengketa

2) Ketentuan pembagian keuntungan termasuk yang berhubungan dengan

hak kekayaan intelektual

3) Ketentuan penggunaan oleh pihak ketiga selanjutnya bila ada

4) Ketentuan tentang perubahan kesepakatan bila diperlukan

Dengan demikian pengembangan hukum ke depan perlu mengadopsi

dimana proses akses dan pemanfaatan sumber daya genetik masyarakat hukum adat

dan pengetahuan tradisionalnya secara penuh mengikutkan masyarakat hukum

adat. Dengan demikian berdasarkan kandungan makna prinsip FPIC maka

keputusan untuk mengizinkan atau tidak atas akses dan pemanfaatan sumber daya

genetik dan pengetahuan tradisionalnya harus tetap berada pada masyarakat hukum

adat.

359

3. Pengembangan Hukum ke Depan terkait Transformasi Hukum

Internasional ke dalam Hukum Nasional

Sejak awal mulai berlakunya Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945 hingga sekarang belum terdapat konsepsi, doktrin, praktik

dan aturan untuk mengkonstruksikan perjanjian internasional ke dalam sistem

hukum nasional sehingga diperoleh kepastian kedudukan hukum internasional

dalam hukum nasional,63 Pengaturan perjanjian internasional dalam Undang-

Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dalam Pasal 11 tidak

menentukan secar tegas posisi perjanjian internasional dalam hukum nasional.

Begitupun dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian

Internasional, kedudukan perjanjian internasional belum dianggap bagian dari

hierarki peraturan perundang-undangan sebagaimana tercermin dalam Pasal 7

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 sebagaimana diubah dengan Undang-

Undang Nomor 15 Tahun 2019 dimana tidak ditemukan perjanjian internasional

dalam hierarki tersebut. Demikian juga dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun

2000 tentang Perjanjian Internasional tidak menentukan secara pasti pilihan doktrin

yang dianut Indonesia akan tetapi berdasarkan ketentuan Pasal 10 ditegaskan

perjanjian internasional yang memerlukan ratifikasi melalui undang-undang bila

berkenan dengan:

a. masalah politik, perdamaian dan keamanan negara;

b. perubahan wilayah atau penetapan batas wilayah negara;

c. kedaulatan dan hak berdaulat negara;

d. hak asasi manusia dan lingkungan hidup;

e. pembentukan kaedah hukum baru; dan

f. pinjaman dan/hibah luar negeri

63 Damos Dumali Agusman, Hukum Perjanjian Internasional Kajian Teori dan Praktik,

op. cit., halaman 56.

360

Kedudukan undang-undang hasil ratifikasi tidak disebutkan secara jelas dalam

ketentuan tersebut di atas. Bertalian dengan Pasal 10, terdapat perkembangan

yudisial review atas undang-undang perjanjian internasional berdasarkan Putusan

Mahkamah Konstitusi Nomor Nomor 13/PUU-XVI/2018, MK memutuskan

bahwa:

“ketentuan Pasal 10 bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Republik

Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat

bersyarat sepanjang ditafsirkan bahwa hanya jenis-jenis perjanjian

sebagaimana disebut dalam huruf a sampai huruf f dalam Pasal 10 itulah yang

mempersyaratkan persetujuan DPR sehingga hanya jenis-jenis perjanjian

tersebut yang pengesahannya dilakukan dengan undang-undang.”64

Walaupun bukan merupakan bagian dari hierarki peraturan perundang-

undang, namun perjanjian internasional diakui sebagai salah satu sumber hukum

tata negara Indonesia dalam arti formal.65 Di samping sebagai sumber hukum utama

dalam hukum internasional,66 perjanjian internasional adalah sumber hukum

penting bagi hukum nasional. Perjanjian internasional, walaupun termasuk dalam

bidang hukum internasional, merupakan salah satu sumber hukum dalam hukum

tata negara sepanjang perjanjian itu menentukan segi hukum ketatanegaraan yang

hidup bagi negara masing-masing yang terikat di dalamnya.67

Mengapa kedudukan hukum internasional penting dalam hukum nasional?

Pada fase awal kemerdekaan hal ini tidak dipermasalahkan dalam hukum nasional,

64 https://igj.or.id/wp-content/uploads/2018/12/13_PUU-XVI_2018.pdf. “Putusan

Mahkamah Konstitusi Nomor 13/PUU-XVI Tahun 2018”, halaman 266. 65 Ni’matul Huda, op. cit. 66 ICJ Statute Article 38 (1): “ The Court, whose function is to dicide in accordance with

international law such disputes as are submitted to it, shall apply: a. international conventions,

whether general or particular, establishing rules expressly recognized by the contesting states …

.” 67 Moh. Kusniadi dan Harmaily Ibrahim, op. cit.

361

salah satunya dikarenakan perjanjian internasional belum menjadi studi yang luas

dan dipermasalahankan dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Berbeda dengan

studi hukum tata negara yang berkembang pesat pasca kemerdekaan. Selain itu,

doktrin mengenai status perjanjian internasional dalam hukum nasional dapat

dikatakan terbatas dan belum sebesar perhatian terhadap hukum tata negara. Lagi

pula perjanjian internasional yang diikuti Indonesia dahulu belum seintensif

sekarang.

Dengan semakin banyaknya Indonesia mengikatkan diri dalam suatu

perjanjian internasional kebutuhan untuk kepastian, kemanfaatan dan keadilan

hukumnya semakin luas terutama bila menyangkut perjanjian internasional yang

berdampak luas kepada kehidupan bernegara dan keuangan negara, hak-hak warga

negara. Hal ini tentu bertalian dengan bagaimana ke depan hakim merespon

instrumen hukum internasional sebagai suatu sumber hukum dalam putusannya

atau warga negara yang menuntut haknya yang dijamin dalam hukum internasional

namun status perjanjian internasional belum jelas dalam sistem hukum nasional

Selama ini berkembang dua pemikiran mengenai kedudukan perjanjian

internasional yaitu pemikiran pertama yang beranggapan bahwa perjanjian

internasional yang telah diratifikasi sebagai bagian dari hukum nasional. Di sisi lain

pemikiran kedua yang menganggap harus adanya legislasi nasional tersendiri untuk

menerapkan atau menjabarkan hukum internasional yang telah diratifikasi ke dalam

hukum nasional. Munculnya kedua pemikiran tersebut di Indonesia secara teoretis

dan praktik berakar dari ketidakjelasan doktrin mana yang digunakan oleh

Indonesia.

362

Persoalan apakah suatu perjanjian internasional tergolong perjanjian

internasional yang membutuhkan persetujuan DPR atau tidak baru dapat diketahui

setelah berkonsultasi dengan DPR sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 2

Undang-Undang Perjanjian Internasional maka rumusan norma dalam Pasal 10

tersebut telah menimbulkan penafsiran bahwa hanya perjanjian-perjanjian

internasional yang disebutkan dalam ketentuan Pasal 10 yang tergolong perjanjian

yang demikian.

Mahkamah Konstitusi melalui putusannya telah memperluas kriteria

perjanjian internasional yang tidak hanya terbatas sebagaimana ditentukan pada

Pasal 10 namun meliputi perjanjian yang mengharuskan perubahan atau

pembentukan undang-undang yaitu perjanjian yang mempunyai akibat yang luas

dan mendasar bagi rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara.68 Dengan

demikian Undang-Undang Perjanjian Internasional memerlukan perubahan guna

menyikapi putusan Mahkamah Konstitusi untuk kepastian hukum. Perubahan

Undang-Undang Perjanjian Internasional saat ini termasuk dalam prioritas

Proglegnas.

Berdasarkan perkembangan Putusan Mahkamah Konstitusi tentang Piagam

ASEAN menegaskan bahwa persetujuan DPR lebih baik tidak dibuat dalam bentuk

undang-undang namun persetujuan tersebut cukup berbentuk lisan karena semata-

mata merupakan persetujuan formal DPR sebaimana tercantum dalam Pasal 11

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesian.69 Konstruksi hukum undang-

68 Ibid. 69 Yudisial Review UU Nomor 38 tahun 2008 tentang Pengesahan Charter of the

Association of Southeast Asian Nations, Mahkamah Konstitusi, Putusan Nomor: PUU-XX/2020

halaman diakses

363

undang ratifikasi dengan demikian dianggap perwujudan formal persetujuan DPR

yang memperlihatkan pengesahan Piagam ASEAN.70 Sesuai dengan Pasal 2 (b)

Konvensi Wina 1969 tentang Perjanjian internasional bahwa Ratifikasi merupakan

tindakan internasional suatu negara pihak dalam meneguhkan persetujuannya untuk

diikat oleh suatu perjanjian internasional.71

Apabila dicermati peraturan perundang-udangan Indonesia juga tidak ada

yang memberi pedoman bahwa undang-undang ratifikasi adalah transformasi

perjanjian internasional ke dalam sistem hukum nasional. Karena itu, undang-

undang ratifikasi tidak dapat dimaknai sebagai kebijakan hukum untuk pelaksanaan

pemenuhan kewajiban negara dalam perjanjian internasional. Hal ini menimbulkan

persoalan dalam penerapan perjanjian internasional.

Selama kemederkaannya Indonesia telah menjalin kerja sama dan

menandatangani sampai tahun 2009 sekitar lebih dari 4000 perjanjian internasional,

namun implikasi atau konsekuensi hukumnya yang diharapkan yaitu sejauh mana

perjanjian internasional yang merupakan hukum internasional mengikat lembaga

negara, warga negara maupun pejabat atau penegak hukum terutama hakim di

pengadilan belum menampakan wujudnya.72

https://www.mkri.id/public/content/persidangan/putusan/putusan_sidang_33%20PUU%202011_A

SEANcharter_telah_baca_26Feb2013%20final.pdf pada tanggal 28 Desember 2020 70 “Pada prinsipnya lembaga ratifikasi berasal dari konsepsi hukum perjanjian internasional

untuk menandai tindakan konfirmasi dari negara pihak atas perbuatan hukum pejabatnya yang

menandatangani suatu perjanjian. Pengesahan ini dimaknai mulai mengikatnya perjanjian tersebut

kepada negara pihak. Dari sisi hukum pengesahan adalah konfirmasi atas suatu fakta hukum yang

mendahuluinya yaitu penandatanganan atau penerimaan teks perjanjian.” Lihat Damos Dumoli

Agusman, Hukum Perjanjian Internasional, op. cit., halaman 71. 71 “Ratification, acceptance, approval and accession mean in each case the international

act so named whereby a State establishes on the international plane its consent to be bound by

treaty” Vienna Convention 1969 on International Treaties. 72 Damos Dumoli Agusman, Hukum Perjanjian Internasional, op. cit., halaman 1.

364

Bagaimana hakim menggunakan hukum internasional dalam putusannya,

praktik pengadilan Indonesia juga memperlihatkan ketidakkonsitenan. Di satu sisi

hakim menerapkan hukum internasional secara langsung (ciri monisme) dalam

putusannya namun di sisi lain sebaliknya hakim menolak untuk menggunakan

hukum internasional tanpa transformasi hukum internasional menjadi hukum

nasional (ciri dualisme). Gambaran inventarisir praktik pengadilan Indonesia

disusun pada tabel 11

Tabel 11

Praktik Pengadilan Indonesia dan Kecenderungan Doktrin

dalam Putusan Hakim

No Kasus/Yudisi Review Pengadilan/Instrumen Hukum

Doktrin

1. Kasus tanah Kedubes

Saudi Arabia tahun

2006

MA merujuk langsung Pasal 31 Konvensi

Wina 1961 sementara Indonesia tidak

meratifikasi.73

Monisme

2. PT. Nizwar melawan

Navigation Maritime

Bulgare,

MA menolak menerapkan Putusan

Convention on the Recognition and

Enforcement of Foreign Arbitral Awards

1958/New York Convention sebelum New

York Convention ditransformasikan ke

dalam hukum nasional

Dualisme

3. Kasus E.D. &F. Man

Sugar Ltd melawan

Yani Haryanto

MA menolak eksekusi putusan arbitrase

London.74 Mahkamah Agung merasa

perlu menunggu suatu peraturan

pelaksanaan bilamana suatu putusan

arbitrase asing diterima di Indonesia.75

Dualisme

73 Eddy Pratomo, op. cit., Lihat juga Damos Dumoli Agusman, “Status Hukum Perjanjian

Internasional dalam Hukum Nasional”, op. cit. 74 S. Gautama, op. cit. 75 Sulaiman Batubara. op. cit.

365

4 Yudisial Review UU

No. 26 Tahun 2000

tentang Pengadilan

HAM

Mahkamah Konstitusi merujuk langsung

International Covenant on Civil and

Political Rights/ICCPR.76

Monisme

5 Yudisial Review

KUHP tentang

Penghinaan kepada

Presiden dan Wakil

Presiden.77

Mahkamah Konstitusi merujuk langsung

International Covenant on Civil and

Political Rights/ICCPR

Monisme

6 Yudisial Review UU

No. 11 Tahun 2008

tentang Informasi dan

Transaksi

Elektronik/UU ITE.78

Mahkamah Konstitusi merujuk langsung

International Covenant on Civil and

Political Rights/ICCPR. Sementara

Indonesia baru meratifikasi ICCPR pada

tahun 2005 dengan Undang-Undang

Nomor 12 Tahun 2005.

Monisme

7 Yudisial Review UU

No. 22 Tahun 1997

tentang Narkotika,79

Putusan MK Mahkamah Konstitusi

mempertimbangkan bahwa kejahatan

narkotika adalah ‘the most serious crime’

yang diatur dalam Pasal 6 ayat (2)

International Covenant on Civil and

Political Rights/ICCPR.

Monisme

8 Yudisial Review UU

Nomor 16 Tahun

2003 tentang Perpu

Nomor 2 Tahun 2002

tentang

Pemberantasan

Tindak Pidana

Terorisme.

MK memutus peristiwa Bom Bali tanggal

12 Oktober 2002 dengan langsung

menggunakan:

- Pasal 11 dan Pasal 15 ICCPR

sementara Indonesia belum menjadi

negara pihak dalam Covenant

tersebut.80

- MK juga menggunakan:

a. DUHAM

b. European Convention for the

Protection of Human Rights and

Fundamental Freedoms and Its

Eight Protocols

c. Rome Statute of the

International Criminal

Court/1998

d. International Convention for the

Suppression of Terrorist

Bombing/1997

e. International Convention for

the Suppression of the

Financing of Terrorism/1999.

Monisme

76 Mahkamah Konstitusi, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 065/PUU-II/2004,

halaman 56, diakses pada

https://www.mkri.id/public/content/persidangan/putusan/PutusanNo065PUUII2004tgl030305.pdf 77 Adhya Satya Bangsawan, op. cit. 78 Mahkamah Konstitusi, Putusan Nomor 5/PUU-VIII/2010. 79 Mahkamah Konstitusi, “Putusan Nomor 2-3/PUU-V/2007”, diakses pada

https://www.mkri.id/public/content/persidangan/putusan/putusan_sidang_Putusan%202-

3%20PUUV2007ttgPidana%20Mati30Oktober2007.pdf. 80 Mahkamah Konstitusi, “Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 13/PUU-I/2003”,

halaman 68, diakses pada https://www.mkri.id/public/content/persidangan/putusan/

putusan_sidang_Putusan013PUUI2003 tangggal 28 Desember 2020.

366

9 Yudisial Review UU

Nomor 3 Tahun 1997

tentang Pengadilan

Anak

MK dalam Putusan Nomor 1/PUU-

VII/2010 menegaskan bahwa:

“perjanjian-perjanjian internasional

tentang Hak Anak dapat digunakan MK

sebagai alat perbandingan, namun dalam

hal ini perjanjian-perjanjian internasional

itu tidak dapat menentukan batas umur

anak secara konstitusional”.81

Monisme

10 Permintaan beberapa

anggota DPR kepada

Mahkamah Konstitusi

untuk memberikan

putusan bahwa

Product Sharing

Contract (PSC)

merupakan perjanjian

internasional sesuai

dengan Pasal 11 UUD

1945, sehingga harus

mendapat persetujuan

DPR.

Dalam kaitan ini Mahkamah Konstitusi

telah menyandarkan putusannya langsung

kepada Konvensi Wina tahun 1969

tentang hukum perjanjian internasional

yang kemudian memutuskan bahwa PSC

bukan merupakan perjanjian

internasional.82

Monisme

11 PK terpidana

pelanggaran HAM

berat Timor Timur

Eurico Guterres

MA merujuk langsung pada instrumen

hukum internasional:

- Rome Statute 1998 terkait Pasal 7

Butir 3 Elements of Crimes dari

Rome Statute International Criminal

Court.

- Hakim juga mendasarkan pada

argumentasi hukum yang digunakan

dalam kasus Bagilishema yang

diputus International Criminal

Tribunal for Rwanda/ICTR, Trial

Chamber tanggal 7 Juni 2001 yang

mengartikan bahwa tanggung jawab

komandan termasuk orang sipil yang

punya pengaruh untuk memobilisasi

massa.83

Monisme

12 Yudisial Review UU

No.1/PNPS/1965

tentang Pencegahan

Penyalahgunaan

dan/atau Penodaan

Agama

Hakim meneguhkan bahwa Pasal 18

Deklarasi Universal Hak Asasi

Manusia/DUHAM dan International

Covenant on Civil and Political

Rights/ICCPR telah transformasikan baik

langsung maupun tidak langsung melalui

Dualisme

81 Mahkamah Konstitusi, “Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 1/PUU-VII/2010”.

halama 82 Ibnu Sina Chandranegara, “Desain Konstitusional Hukum Migas untuk Sebesar-

besarnya Kemakmuran Rakyat”, Jurnal Konstitusi Vol 14 Nomor 1, 2017, halaman 62, diakses pada

https://jurnalkonstitusi.mkri.id/index.php/jk/article/view/1413. 83 Komariah Emong Sapardjaja, op. cit.

367

Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999

tentang Hak Asasi Manusia.84

13 Ratifikasi UNCLOS

1982 dengan UU No.

17 Tahun 1985

UU No.17 Tahun 1985 bukan UU

Substantif hanya prosedural sehingga

dibutuhkan UU yang

mentransformasikan UNCLOS ke dalam

hukum nasional maka dibentuklah UU

No. 6 Tahun 1996 tentang Perairan

Indonesia

Dualisme

Berdasarkan tabel 10 mengenai praktik tersebut dapatlah dikatakan bahwa

sebagian besar hakim mengadopsi hukum internasional secara langsung namun di

sisi lain untuk berlaku di sistem hukum nasional hukum internasional harus benar-

benar menjadi hukum nasional terlebih dahulu dengan mentransformasikannya ke

dalam undang-undang nasional.

Pada beberapa dekade terakhir dunia menyaksikan peningkatan yang tajam

dalam pembentukan perjanjian internasional yang berdampak pada hukum

domestik yang berhubungan pula dengan pengadilan nasional.85Perkembangan

tersebut menandakan bahwa tidak hanya semata-mata negara yang berperan dalam

pengembangan hukum internasional dalam sistem hukum nasional pengadilan

nasional memiliki potensi dan berkontribusi dalam pengembangan dan penerapan

hukum internasional.

Bagaimana Indonesia sebagai negara peserta aktif dalam perjanjian

internasional belum memiliki pengaturan yang jelas untuk penegak hukum dan

warganya sendiri tentang hak dan kewajiban yang timbul ketika Indonesia

menandatangani perjanjian internasional dan mengikatkan diri sebagai negara

84 Melda Kami Ariadno, op. cit., Lihat juga Damos Dumali Agusman, Hukum Perjanjian

Internasional Kajian Teori dan Praktik Indonesia, op. cit., halaman 109. 85 Paul Gralg, International Law in Domestic Legal Orders, Legal Monism, Law and

Philosophy and Politics, Oxford University Press, UK, 2018, halaman viii.

368

pihak. Pada negara-negara maju doktrin mengenai hubungan hukum nasional dan

hukum internasional terkait kedudukan dan status hukum dari perjanjian

internasional dalam hukum nasional diatur secara jelas di dalam Konstitusinya.86

Berdasarkan peraturan perundang-undangan dan praktik pengadilan

tersebut dapatlah dikatakan bahwa Indonesia belum menentukan secara tegas

pilihan doktrin apakah monism atau dualisme atau keduanya. Praktik ini dapat

memunculkan ketidakpastian mengingat Pemerintah Indonesia telah mengikuti

perjanjian internasional di sisi lain masyarakat Internasional percaya bahwa

perjanjian yang diratifikasi oleh Indonesia telah otomatis dapat langsung

dilaksanakan dalam sistem hukum nasional namun praktik menunjukan sebaliknya.

Hal ini dapat menimbulkan kesan bahwa Indonesia menolak menjalankan

kewajiban internasionalnya yang diatur dalam perjanjian internasional sementara

perjanjian itu tidak memiliki efek dalam hukum Indonesia.87

Bagaimana menempatkan perjanjian internasional dalam kerangka hukum

nasional. Ketidakjelasan hubungan hubungan hukum internasional dan hukum

nasional menyiratkan tergantung arah dan orientasi rezim yang berkuasa sehingga

banyaknya ratifikasi perjanjian internasional lebih bersifat politik dari pada

kepastian hukum. Sebagaimana pandangan Gernor Biehler bahwa: “Something it is

questioned whether international law is really law and not just a branch of power

86 Netherland Council of State, “Hierarchy of Norms in Ducth Legislation”: “The

Netherland has a partly monist system, based on article 93 and 94 The Ductch Constitution”,

ACA-Europe Seminar, 18 Desember 2013, diakses pada https://www.aca-

europe.eu/seminars/Paris2013bis/Pays-Bas.pdf. 87 Lihat Gernot Biehler, Procedures in International Law, Springer, 2008, halaman 189:

“Something it is questioned whether international law is really law and not just a branch of power

politics. This recurring concern is related to its deep roots in state practice and politic … .”

369

politics. This recurring concern is related to its deep roots in state practice and

politic … .”

Apakah Indonesia menandatangani sebuah perjanjian internasional, apakah

perjanjian itu secara otomatis berlaku dalam hukum atau apakah memerlukan

transformasi? Pertanyaan ini masih belum terjawab di Indonesia, yang merupakan

dapat dikatakan mungkin satu-satunya negara-negara di dunia yang tidak

menentukan dalam Konstitusi atau lainnya hukum lain, atau melalui praktik

peradilan, status hukum internasional yang tepat dalam sistem hukum

domestiknya.88

Dalam kaitan dengan hal tersebut di atas sesuai prinsip lain dalam hukum

internasional yaitu soveriegnity atau paham kedaulatan negara menjamin

kedaulatan negara dalam menentukan bagaimana hukum internasional berlaku

dalam suatu negara. Namun di sisi lain sesuai ketentuan Pasal 27 VCLT bahwa: “

A party may not invoke the provisions of its internal law as justification for its

failure to perform a treaty. This rule is without prejude to article 46”.89 Negara

tidak dapat mengajukan alasan hukum nasionalnya untuk menghindar dari

kewajiban internasionalnya yang sudah ia sepakati.

Indonesia berdasarkan penelaahan dari konstitusi dan peraturan perundang-

undangan serta praktik pengadilan menunjukan tidak membuat pilihan jelas dan

tegas bagaimana hukum internasional berlaku dan memiliki validitas dalam sistem

88 Simon Butt, “Review of Treaties Under Indonesia Law: A Comparative Study”,

Opinio Juris, Volume 17 Januari 2015, halaman 55. 89 Negara tidak dapat menggunakan alasan ketentuan hukum nasionalnya sebagai

pembenaran atas kegagalannya untuk melaksanakan suatu perjanjian (Konvensi Wina 1969 Pasal

27)

370

hukum nasional. Hal ini merupakan masalah mendasar karena sebagaimana

dikemukakan oleh Cassese bahwa hukum internasional tidak dapat tegak sendiri

tanpa bantuan dan fasilitasi dari hukum nasional:

“International law can’t stand on its own feet without its “crutches”, that is

international law cannot work without the constant help, cooperation, and

support of national legal system. As the German jurist Triepel observed in

1923, the international law is like a field marshal who can only give orders to

general. It is solely through the generals that his orders can reach the troops.

If the general don’t transmit them to the soldiers in the field, he will lose the

battle”.90

Dengan demikian selama ini praktik bagaimana hukum internasional

berlaku dalam hukum nasional terkait teori monism dan dualime direfleksikan

melalui relasi hubungan hukum nasional dan hukum internasional yang diikuti dan

diratifikasi oleh Indonesia. Situasi ini akan menjadi sulit pada saat Indonesia

dihadapkan untuk menentukan doktrin monisme atau dualisme yang akan

diterapkan secara konsisten. Bertalian dengan hal ini Dioniso Anzilloti dan

Fitzmaurice mengemukakan jalan tengah melalui teori harmonisasi yang

difungsikan sebagai konsep pilihan dalam menyembatani problem teoretik ini

sebagai berikut:

“the entire monist-dualist controversy is un real, artificial and strictly

beside the point because it assumes something that has to exist for there to

be any controversy at all, and which in fact does not exist, namely a common

field in which the two legal orders under discussion both simultaneously

have their spheres of activity”.91

90 Simon Butt, Ibid., “Hukum internasional tidak dapat berdiri sendiri tanpa penopangnya.

Hukum internasional tidak dapat berjalan tanpa dukungan dari sistem hukum nasional. Sebagaimana

dikemukakan Triepel hukum internasional layaknya Marshal lapangan yang hanya bisa memberi

perintah kepada jenderal. Hanya melalui para jendera perintahnya dapat mencapai pasukan. Jika

jenderal tidak mengirimkan perintahnya kepada prajurit di lapangan maka dia akan kalah dalam

pertempuran” (terjemahan penulis). 91 Ducan B Hollis et al, op. cit., halaman 771.

371

Teori harmonisasi hukum internasional dan hukum nasional menghindari

terjadinya superioritas atau keunggulan diantara kedua hukum dengan menekankan

pada pendekatan koordinasi. Pengemuka teori harmonisasi menganggap bahwa

tidak ada konflik antar sistem hukum nasional dan hukum internasional sehingga

terhadap keduanya perlu dilakukan harmonisasi. Sementara itu kecenderungan

paham dualisme lebih pada pemisahan yang tegas antara ke dua sistem hukum

tersebut yang bertumpu dan berdasar pada subjek, sumber hukum dan struktur

kelembagaan yang berbeda.

Interpretasi dan praktik yang tidak konsisten mengenai hubungan antara

hukum perjanjian internasional dengan hukum nasional Indonesia memunculkan

ketidakpastian tentang konsekuensi dari perjanjian internasional dalam hukum

Indonesia. Pada akhirnya perjanjian internasional digunakan oleh pengadilan

internasional dalam menyelesaikan kasus di antara Negara. Pada sisi lain perjanjian

juga seharusnya diterapkan oleh hakim di pengadilan nasional untuk menyelesaikan

kasus sehubungan dengan hak dan kewajiban individu. Cara negara menerapkan

hukum internasional dalam hukum domestiknya tidak seragam, tergantung praktik

negara-negara, namun negara harus menerapkan hukum internasional yang telah

disepakati dan dijanjikannya sebagai pemenuhan kewajibannya itu dalam hukum

nasional. Apapun pilihan doktrin suatu negara selama negara dapat mematuhi

hukum internasional termasuk dengan cara selain monim dan dualism atau

gabungan monisme dan dualisme adalah sangat penting agar kewajiban hukum

internasional tersebut dapat dijalankan.

372

Pilihan doktrin yang dibuat oleh suatu negara ketika menerapkan hukum

internasional memiliki implikasi yang signifikan baik dari validitas perjanjian

internasional92 maupun legitimasi hukum internasional itu sendiri. Ada anggapan

bahwa pilihan yang mendukung penerimaan perjanjian tanpa perlu

ditransformasikan dulu ke dalam hukum nasional menampakan keunggulan

hierarki hukum internasional dalam sistem hukum nasional sebagaimana

pandangan Hans Kelsen. Hal ini dapat meningkatkan kredibilitas komitmen suatu

negara dan mengefektifkan rezim hukum internasional. Namun, di sisi lain

pengadopsian secara langsung perjanjian-perjanjian internasional tanpa melakukan

adaptasi dengan hukum nasional juga menunjukan bahwa kesempatan lembaga-

lembaga nasional dalam suatu negara untuk memastikan dan memeriksa kesesuaian

dan keselarasan perjanjian internasional terutama dengan Konstitusinya menjadi

terbatas.

Sementara itu negara-negara yang menganut sistem dualisme menerapkan

hukum internasional melalui proses pengubahan ke dalam hukum nasional.

Kekuatan sistem ini lembaga negara yang bertugas memeriksa kesesuaian

perjanjian internasional dengan hukum nasional dapat menjalankan fungsinya

dengan berpedamon pada konstitusi dan peraturan perundang-undangan nasional.

Namun, di sisi lain sistem ini juga menunjukan banyak negara pihak terlibat dalam

suatu perjanjian internasional tidak mentransormasikannya ke dalam hukum

nasional sehingga efektifitas dan validitas perjanjian internasional menjadi tidak

92 Dinah L. Shelton, International Law and Domestic Legal System: In Corporation,

Transformation and Persuasion“, Oxford University Press, 2011, halaman 5: “In general, the place

of international law in the domestic legal system depends on the source of the international law in

question: whether it is a treaty … .”.

373

pasti karena hakim tidak memiliki pedoman untuk memutus perkara dengan

mengunakan hukum internasional melainkan hukum nasional.

Indonesia ke depan harus membangun rezim hukum perjanjian

internasional dengan mendudukan status hukum internasional yang sudah

seharusnya ditentukan berdasarkan konstitusi dengan pilihan doktrin yang jelas.

Kejelasan ini dapat dirunut berdasarkan kategori perjanjian internasional.

Perjanjian internasional yang bersifat implementatif yaitu treaty contract misal

perjanjian garis landas kontinen anatar RI dan Thailand yang ditandatangani di

Bangkok tahun 1971 dan diratifikasi dengan Keppres 21 Tahun 1972 dan Perjanjian

Indonesia dengan Singapore tentang Penetapan Batas Laut Wilayah d Bagian Timur

Selat Singapore tahun 2014 diratifikasi dengan Undnag-Undang Nomor 1 Tahun

2017 dapat mengacu pada doktrin monisme. Artinya untuk posisi perjanjian treaty

contract langsung berlaku tidak memerlukan transformasi ke dalam hukum

nasional mengingat perjanjian ini tidak menciptakan kaidah hukum baru dan

terbatas diantara dua atau tiga negara saja, sebagaimana dikemuka oleh Starke: “ a

treaty between two or only a few states, dealing with a special matter concerning

these states exclusively”.93

Klasifikasi kedua adalah law making treaty yaitu perjanjian internasional

yang menciptakan kaidah hukum baru dimana negara-negara pihak diharapkan

berperilaku tertentu yang dalam konsep Starke diilustrasikan sebagai: “lay down

rule of universal or general application”. Sementara itu Gerald Fitzmaurice

93 Hikmahanto Juwana, “Kewajiban Negara dalam Proses Ratifikasi Perjanjian

Internasional: Memastikan Keselarasan dengan Konstitusi dan Mentransformasikan ke Hukum

Nasional”, op. cit., halaman 17.

374

mengemukakan bahwa dalam perjanjian yang law making treaty ada kewajiban

integral yang menciptakan norma untuk mewujudkan suatu rezim hukum yang

berlaku terhadap semua negara. Karakter integral inilah yang akan dipergunakan

oleh International Court of Justice/ICJ ketika mempertimbangkan suatu ketentuan

dalam hukum internasional.94

CBD dan Nagoya Protocol yang diikuti oleh Indonesia merupakan contoh

dari perjanjian internasional yang law making treaty yang mewajibkan negara

berperilaku tertentu yaitu melindungi sumber daya genetiknya dan mengakui hak

masyarakat hukum adat atas ABS melalui langkah hukum membangun rezim

perundang-undang nasional guna mewujudkan pembagian keuntungan bagi

penyedia sumber daya genetik.

Indonesia dapat melihat praktik negara-negara dalam membangun rezim

hubungan hukum internasional dengan hukum nasional yang dimulai dari

penetapan status perjanjian internasional dalam Konstitusi. Pilihan yang relevan

bila Indonesia menganut doktrin monisme untuk perjanjian internasional yang

berkarekter treaty contract dan menggunakan doktrin transformasi untuk perjanjian

internasional yang law making treaty. Ketentuan Pasal 11 Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dapat mewadahi langkah ini dengan

mengintegarsikan penambahan ayat yang menentukan bahwa perjanjian

internasional yang menciptakan kaidah hukum baru berlaku setelah

94 Catherine Brolmann, “Law Making treaties: From and Function in International Law”

Nordic Journal of International Law 74, 2005, halaman 384.

375

ditransformasikan ke dalam sistem hukum nasional melalui pembentukan atau

perubahan undang-undang.

Pilihan ini lebih memungkinkan Indonesia untuk menyelaraskan substansi

perjanjian internasional tidak bertentangan dengan konstitusi sekaligus memastikan

Indonesia tidak lalai dalam mentransformasikan perjanjian internasional yang telah

diratifikasi. Langkah hukum ini juga akan sesuai dengan kebutuhan dan

kepentingan nasional. Hal ini diharapkan dapat memperjelas kedudukan hukum

internasional dalam hukum nasional Indonesia termasuk bagi hakim dan individu.

4. Pengembangan Hukum ke Depan Terkait Perwujudan Hak Masyarakat

Hukum Adat atas Access and Benefit Sharing/ABS

Banyak negara mengatur akses ke sumber daya genetik, baik dalam undang-

undang eksplisit tentang akses dan pembagian keuntungan yang diperkenalkan

secara nasional sebagai bagian dari komitmen terhadap CBD dan perlindungan

sumber daya genetik dan pengetahuan tradisionalnya. Pengaturan negara-negara

dalam hukum nasionalnya merupakan tindakan hukum baru yang diperkenalkan

sejak CBD antara lain di negara Filipina (Executive Order 245 tahun 1995)95 dan

Thailand (PVP tahun 1999 dan UU Promosi Obat Tradisional). Ketentuan yang

mengatur aspek akses dan pembagian keuntungan untuk turunan dari sumber daya

genetik dan pengetahuan tradisional juga diakomodir India melalui Biological

Diversity Act tahun 2002, Bangladesh (Biodiversity Act, tahun 2017) termasuk di

95 Smagadi Aprodhite, “National Meusures on Access to Genetic Resources and Benefit

Sharing: The Cases of Philippines” Lead Journal 2005 Volume 1, diakses pada

https://cadmus.eui.eu/handle/1814/17513.

376

Australia, Brazil96. Colombia mengaturnya dalam Res 620 1997 tentang Penetapan

Proses ABS, Afrika Selatan (Bio-Prospecting, Access and Benefit-Sharing (BABS)

2015),97 Vietnam (Law and Biodiversity tahun 2008), China (Regulation of Access

to Genetic Resources and Benefit Sharing tahun 2017). 98

Meskipun Indonesia telah meratifikasi CBD dengan Undang-Undang

Nomor 5 Tahun 1995 dan Nagoya Protocol dengan Undang-Undang Nomor 11

tahun 2013, Indonesia belum memiliki undang-undang khusus tentang ABS untuk

sumber daya genetiknya.99 Indonesia perlu mewadahi kewajiban yang ditetapkan

oleh CBD dan Nagoya Protocol,100 tentang sistem Access and Benefit Sharing

96 Daniella Guaras et al, Access to Genetic Resources and Benefit Sharing: a Review of

Existing Frameworks, Unites Nation Environment World Conservation Monitoring Centre, 2019,

halaman 12, Diakses pada https://www.unep-

wcmc.org/system/comfy/cms/files/files/000/001/579/original/ “Law 13.123, adopted in 2015, and

its regulating Decree 8772 of 2016, are the main legal instruments regulating access and benefit-

sharing in Brazil. The emphasis of the legislation is on access to genetic heritage and associated

traditional knowledge; with the aim of ensuring benefits arising out of their economic exploitation

are shared in a fair and equitable way.” 97 Ibid., halaman 161: “South Africa is a Party to the Nagoya Protocol since its entry into

force in 2014. However, its ABS system precedes the existence of the Protocol. Access and benefit-

sharing in South Africa is regulated through a series of instruments, the main two being the National

Environmental Management Biodiversity Act (NEMBA) 2004 (and its subsequent amendments), and

Regulations on Bio-Prospecting, Access and Benefit-Sharing (BABS) 2015. Even though these two

instruments are at the cornerstone of the South African ABS framework” 98 Aathira Perinchery, “Bioresources Access and Benefit Sharing: How Far We Have Come

in India”, “After India ratified the CBD, there was no looking back. In 2002, India became one of

the first countries to enact a law, the Biological Diversity Act, to implement the treaty”, 2020,

halaman 2, diakses pada https://india.mongabay.com/2020/04/india-bioresource-access-and-

benefit-sharing-how-far-have-we-come/ tanggal 29 Januari 2021: “National Biodiversity Authority

(NBA) yang memastikan pembagian keuntungan yang adil diimplementasikan. Dewan

keanekaragaman hayati negara bagian memberi nasihat kepada pemerintah negara bagian tentang

hal-hal yang berkaitan dengan konservasi keanekaragaman hayati dan pemanfaatan berkelanjutan

dan komite pengelolaan keanekaragaman hayati melaksanakan konservasi di akar rumput dan

menyiapkan daftar keanekaragaman hayati masyarakat, atau daftar semua keanekaragaman hayati

di wilayah mereka, serta sumber daya genetik dan pengetahuan tradisional terkait. Manfaat dari

jaringan ini adalah uang mulai mengalir pada awal tahun 2007. Misalnya, PepsiCo India Holdings

Private Limited membayar Dewan Keanekaragaman Hayati Tamil Nadu 3,7 juta Rupee untuk

mengakses spesies rumput laut eksotis Kappaphycus alvarezii yang dibudidayakan oleh masyarakat

hukum adat di Tamil Nadu selatan.” 99 Diakses pada https://onlinelibrary.wiley.com/doi/full/10.1111/raq.12532 100 Efridani Lubis, op. cit., halaman 452.

377

dalam kaitannya dengan hak masyarakat hukum adat atas pembagian keuntungan.

Setelah CBD berlaku beberapa negara menetapkan aturan ABS dalam wilayahnya.

Namun sampai sekarang Indonesia belum memiliki kerangka hukum ABS

walaupun telah meratifikasi CBD lebih dari 25 tahun yang lalu.101

Ada beberapa peraturan perundang-undangan yang berlaku mengenai

pemanfaatan keanekaragaman hayatinya yaitu Undang-Undang Nomor 5 Tahun

1990 tentang Konservasi Sumber Daya Hayati dan Ekosistemnya. Namun undang-

undang ini belum mengacu pada CBD dan Nagoya Protocol. Terdapat Peraturan

perundang-undang yang mendukung ABS yaitu mengenai izin peneliti

sebagaimana diatur dalam Undang-Undang 11 Tahun 2019 tentang Sistem

Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, Peraturan Menteri Lingkungan Hidup

Nomor 34 Tahun 2017 tentang Pengakuan dan Perlindungan Kearipan Lokal dalam

Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup namun masih terbatas dan

bersifat sektoral.

Formulasi ke depan terkait dengan perwujudan hak masyarakat hukum adat

atas ABS bertalian erat dengan perjanjian internasional yang termasuk dalam

pengertian ‘governed by international law’ merupakan suatu instrumen

internasional yang bertujuan untuk menciptakan kewajiban internasional yaitu

CBD dan Nagoya Protocol. Berdasarkan pendapat Fiztmaurice yang dimaksud

dengan governed by international law tidak hanya berarti menciptakan hak dan

kewajiban berdasarkan hukum internasional tetapi juga menciptakan hubungan

101 Nurul Bazirah, “Access and Benefit Sharing of Biodiversity for Enpowering Local

Community: Case Studies in Selected Countries”, Journal Review of International Geographical

Education Volume 11 (4) 2021, halaman 191, diakses pada https://rigeo.org/submit-a-

menuscript/index.php/submission/article/view/407.

378

internasional yang berdasarkan hukum internasional. 102

CBD dan Nagoya Protokol merupakan perjanjian internasional yang

termasuk dalam law making treaty dan governed by international law.

Terbentuknya CBD dan Nagoya Protokol untuk mengatasi ancaman kepunahan

sumber daya hayati dengan mengatur hubungan yang lebih adil antara penguna dan

penyedia termasuk masyarakat hukum adat selaku pengkonservasi yang selama ini

dirugikan dengan praktik biopiracy.

Perlindungan hukum sumber daya genetik masyarakat hukum adat pada

hakekatnya sekaligus merupakan pelaksanaan dari berbagai kewajiban yang harus

dilakukan oleh negara yang telah meratifikasi. Tujuan nasional Negara Republik

Indonesia sebagaimana dicantumkan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945 adalah melindungi segenap bangsa

Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan untuk memajukan

kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan

ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan

sosial.

Indonesia merupakan negara yang sangat kaya akan keanekaragaman hayati

sehingga perlu dilestarikan dan dimanfaatkan untuk melaksanakan pembangunan

secara berkelanjutan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan seluruh rakyat.

Namun kondisi sumber daya genetik terus menerus mengalami kemerosotan akibat

masifnya pengambil sumber daya genetik yang mengancam kelangsungan

kehidupan manusia. Masyarakat hukum adat telah merawat dan melestarikan

102 Anthony Aust, op. cit., halaman 18.

379

sumber daya genetik selama berabad-abad yang menjadi sumber pengidupan yang

berkelanjutan, sehingga diperlukan pengakuan dan perlindungan hukum untuk

menjamin haknya.

Sebuah negara seperti halnya Indonesia sebagai suatu entitas bagian dari

masyarakat hukum internasional yang ikut serta dalam suatu perjanjian wajib

melaksanakan perjanjian internasional tersebut. Pengaitan sumber daya genetik

dengan hak atas pembagian keuntungan bertujuan setiap akses dan

pemanfaatannya yang dilakukan pihak ketiga berkontribusi bagi pelestariannya

dengan membagi keuntungan yang diperoleh para pihak.

Transformasi hukum internasional ke dalam hukum nasional ini terkait

dengan bagaimana kedudukan dan status hukum internasional dalam sistem hukum

nasional. Kewajiban negara pascapenandatangan perjanjian internasional adalah

mentransformasikan hukum internasional ke dalam hukum nasional. CBD

merupakan titik awal konsep ABS untuk hak atau kepentingan hukum yang dapat

dimiliki atas sumber daya genetik yang tidak dikenal sebelumnya. Dalam

pengertian ini ABS adalah salah satu konsep hukum baru dan inovatif yang

diperkenalkan dalam hukum internasional.

Relasi ini mengacu pada prinsip-prinsip dan cara-cara dimana sumber daya

genetik dapat diakses dan bagaimana pembagian keuntungan disepakati antara yang

menggunakan sumber daya dan penyedia, yang diatur dalam persetujuan atas

informasi awal (Free Prior Informed Consent/PFIC) dan kesepakatan transfer

keuntungan/manfaat (Mutually Agreed Transfer/MAT). Lebih lanjut di dalam

konsep tersebut terkandung dua nilai fundamental yaitu keadilan dan kesetaraan.

380

Keadilan direfleksikan dengan kebijakan pengakuan kontribusi masyarakat hukum

adat dalam konservasi sumber daya genetik dan peran dunia industri untuk

mengakses dan mengembangkan sumber daya genetik menjadi produk yang

bernilai ilmu pengetahuan dan teknologi untuk kemanfaatan umat manusia yang

lebih luas. Sedangkan kesetaraan merupakan makna relasi yang seimbang antara

kepentingan hukum dari masyarakat hukum adat dan penguna. Penguna berhak

mengakses dan memanfaatkan sumber daya genetik untuk tujuan komersial dan

masyarakat hukum adat berhak atas pembagian keuntungannya.

Berdasarkan paparan tersebut di atas maka pengembangan hak baru

masyarakat hukum adat berbasis hak atas sumber daya alam sebagaimana dijamin

dalam instrumen hukum internasional UNDRIP dan diamanahkan oleh CBD dan

Nagoya Protocol untuk diatur lebih lanjut dalam sistem hukum nasional perlu

ditindaklanjuti oleh Indonesia dengan membentuk kerangka hukum baru sistem

ABS Indonesia sendiri.

Implementasi ABS yang didefinisikan dengan jelas dan diatur dalam

instrumen hukum nasional yang relevan merupakan langkah hukum yang perlu

ditempuh Indonesia. Kerangka hukum awal yang dapat ditempuh ke depan adalah

dengan memunculkan dan memformulasikan hak baru dalam Rancangan Undang-

Undang (RUU) Masyarakat Hukum Adat dengan menambah satu pasal setelah

Pasal 28 dengan rumusan: (1) Masyarakat Hukum Adat berhak atas pembagian

keuntungan atas akses dan pemanfaatan sumber daya genetiknya; (2) Pembagian

keuntungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan berdasarkan prinsip

FPIC dan MAT, (3) besaran pembagian keuntungan yang diperoleh oleh penguna

381

disepakati bersama dalam suatu perjanjian pembagian keuntungan.

Pengintergrasian sistem ABS sebagai hak baru masyarakat hukum adat dalam RUU

Masyarakat Hukum Adat seterusnya perlu ditindaklanjuti dengan pengaturan yang

lebih luas dengan membangun rezim ABS Indonesia secara komprehensif.

Pilihan kedua dapat ditempuh dengan membangun sistem ABS secara yang

sui generis. Kerangka hukum tersebut mencakup dan saling melengkapi yaitu

sumber daya genetik dan pengetahuan tradisional sebagaimana negara-negara kaya

sumber daya genetik lainnya. Upaya membangun sistem ABS ini termasuk

membangun kelembangaan yang berwenang dalam mengelola sistem ABS di

Indonesia, memastikan hak dan kewajiban para pihak

Hadirnya negara nasional di seluruh belahan bumi tidak lain karena latar

belakang sejarah, sosial, politik, hukum, dan budaya yang berbeda hingga

membentuk suatu identitas yang menjadi perekat sebagai satu bangsa sekaligus

pembeda dengan negara bangsa lainnya. Indonesia berkepentingan untuk

terciptanya tata hukum internasional yang tertib dan diterima negara-negara karena

hal ini merupakan amanat dan tujuan pembentukan negara. Betapapun berlainan

wujudnya hukum positif yang berlaku di masing-maisng negara terdapat pula unsur

keterkaitan dan pengikat hukum yaitu asas kesamaan hukum antar negara-negara.

Pada saat Indonesia mengikatkan dirinya dalam suatu perjanjian internasional

berdasarkan prinsip pacta sunt servanda dan good faith namun abai melaksanakan

kewajiban perjanjian maka hukum internasional menjadi tidak bermakna dan

terjadi ketidakpastian.

382

Kewajiban Indonesia sebagai negara pihak dalam suatu perjanjian

internasional dapat dipenuhi dengan baik apabila Indonesia membangun rezim

relasi hubungan hukum internasional dengan hukum nasional dengan tertib dan

konsisten. Hal ini penting agar dapat dipedomani oleh para penegak hukum, seluruh

warga negara dan terciptanya tata hukum internasional kredibel. Penerimaan negara

dengan mentransformasikan norma perjanjian internasional memberikan peluang

bagi hukum internasional untuk diterima dan menjangkau setiap sudut dunia.

Hukum internasional dapat dipergunakan untuk mencapai standar umum negara-

negara dan mengubah tata dunia yang lebih baik untuk semua negara dalam

perlindungan keanekargaman hayati dan pemenuhan keadilan dalam konteks rezim

ABS dan hak masyarakat hukum adat.

Transformasi hukum internasional ke dalam hukum nasional Rezim ABS

tidak akan berfungsi kecuali para pihak memberlakukan kebijakan hukum untuk

memenuhi kewajiban perjanjian internasional (CBD dan Nagoya Protokol) di

tingkat nasional dan membangun kapasitas untuk mengimplementasikan langkah-

langkah mewujudkan rezim ABS. Langkah-langkah transformasi tersebut memuat

pengaturan amanah CBD dan Nagoya Protocol yang mencakup sebagai berikut:

a. Mengambil langkah-langkah legislatif, adminsitratif atau kebijakan yang

diperlukan untuk memastikan masyarakat hukum adat memperoleh pembagian

keuntungan atas akses dan pemanfaatan sumber daya genetik dan pengetahuan

tradisionalnya melalui kebijakan pengakuan hak.

383

b. Mengatur akses yang tepat ke sumber daya genetik dengan memperhitungkan

semua hak yang terkait atas akses sumber daya genetik tersebut pengguna dan

penyedia.

c. Membangun kelembagaan yang kompeten untuk melaksanakan akses ke

sumber daya genetik.

d. Mengatur transfer teknologi yang relevan dengan mempertimbangkan semua

hak atas sumber daya genetik antara pengguna dan penyedia.

e. Memberikan kepastikan hukum, kejelasan dan trasnparansi akses dan peraturan

persyaratan pembagian keuntungan.

f. Menyediakan aturan dan prosedur yang adil dan tidak sewenang-wenang dalam

mengakses sumber daya genetik.

g. Memberikan informasi tentang cara mengajukan persetujuan berdasarkan

informasi sebelumnya.

h. Memberikan keputusan tertulis yang jelas dan transparan yang dilakukan oleh

otoritas yang kompeten terkait akses dan pembagian keuntungan.

i. Menyediakan dokumen penerbitan pada saat akes izin diberikan sebagai bukti

keputusan untuk memberikan persetujuan terlebih dahulu dan penetapan syarat-

syarat yang disepakati bersama serta memberitahukan kepada lembaga kliring

akses dan pembagian hasil atau keuntungan

j. Menetapkan kriteria dan proses untuk mendapatkan persetujuan berdasarkan

informasi awal dan keterlibatan masyarakat hukum adat ke akses sumber daya

genetik.

384

k. Menetapkan aturan dan prosedur yang jelas dalam menetapkan persyaratan

yang disepakati bersama. Persyaratan tersebut ditetapkan secara tertulis dan

meliputi:

1) Klausul penyelesaian sengketa;

2) Ketentuan pembagian keuntungan termasuk yang berhubungan dengan hak

kekayaan intelektual bila disepakati;

3) Ketentuan penggunaan oleh pihak ketiga selanjutnya bila disepakati; dan

4) Ketentuan tentang perubahan kesepakatan bila diperlukan.

Bagi Indonesia rezim ABS ke depan perlu dibangun berdasarkan prinsip-

prinsip yang diamanahkan oleh CBD dan Nagoya Protocol berbasis keadilan sosial

Pancasila. Keadilan Pancasila merupakan inti dari moral ketuhanan, landasan

pokok perikemanusiaan, simpul persatuan, matra kedaultan rakyat. Di satu sisi

perwujudan keadilan sosial itu tercermin imperatif etis pada keempat sila lainnya.

Di sisi lain, otensitas pengalaman sila-sila Pancasila bisa ditakar dari perwujudan

keadilan sosial dalam perikehidupan kemanusiaan berkebangsaan. Kesungguhan

negara dalam melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia bisa

dinilai dari upaya nyatanya dalam mewujudkan keadilan sosial, termasuk kepada

masyarakat hukum adat yang memiliki kepenting besar untuk mendapat keadilan

dalam konteks ini.103

Perlindungan hak masyarakat hukum adat dan sumber daya genetiknya

terkait ABS menuntut negara berupaya melaksanakan secara aktif kebijakan yang

telah disepakatinya dalam perjanjian internasional CBD dan Nagoya Protokol agar

103 Yudi Latif, “Reaktualisasi Pancasila”, MKRI, Pusdik, Jakarta, halaman 26.

385

keadilan sosial bagi masyarakat hukum adat khususnya dan rakyat Indonesia

umumnya dapat direalisasikan. Keadilan Pancasila menegaskan hak individu dan

hak kelompok merupakan konsekuensi dari keberadaan manusia Indonesia dalam

perspektif Pancasila termasuk melindungi hak masyarakat hukum adat untuk

mendapatkan pembagian keuntungan atas pemanfaatan sumber daya genetiknya.

Dalam kaitan dengan Pancasila sebagai Grundnorm serta dalam

hubungannya dengan hukum nasional dan hukum internasional terkait dengan

perjanjian internasional yang diikuti oleh Indonesia yang dalam penelitian ini

adalah CBD dan Nagoya Protocol terdapat relasi keduanya. Menurut Hans Kelsen

interaksi antara hukum internasional dan hukum nasional dapat dilihat bahwa

seluruh negara di dunia terikat pada norma yang disebut basic norm. Norma

tersebut menciptakan hubungan timbal balik antar negara dan seterusnya

menciptakan kebiasaan internasional dan hukum internasional. Tindakan resiprokal

antar negara tersebut dikatakan Hans Kelsen sebagai law creating material fact

bahwa: “The basic norm of international law, then, and thus of state legal system,

to, whose power is delegate to them by international law, must be a norm that

establishes custom the reciprocal behaviour of states as law creating material

fact.104

Indonesia mempunyai Pancasila yang mendasari law making material fact

bagi pembentukan hukum nasional dan hukum internasional yang dibentuk oleh

tindakan resiprokal Indonesia dengan negara lain yang menciptakan suatu hukum

104 Garry Gumilar Pratama, Status Perjanjian Internasional dalam Sistem Hukum

Indonesia Berdasarkan Politik Luar Negeri dan Pasal 11 UUD 1945, Pustaka Unpad, 2015,

halaman 5.

386

internasional. Proklamasi merupakan gerbang untuk mengantarkan Indonesia pada

kemerdekaan sebagai negara berdaulat yang sejajar dengan bangsa lain sedangkan

Pancasila meletakkan dasar-dasar, nilai dan asas pembentukan hukum dalam sistem

hukum nasional.

Dalam kerangka perjanjian internasional CBD dan Nagoya Protocol

kepentingan Indonesia adalah melindungi sumber daya genetiknya yang berlimpah

yang umumnya diperlihara dan dilestarikan secara turun temurun oleh masyarakat

hukum adat. Sumber daya ini bernilai ekonomi tinggi dan perlu dikelola dan diatur

pemanfaatannya secara berkelanjutan. Karena itu akses dan pemanfaatn sumber

daya genetik masyarakat hukum adat harus memberikan keuntungan yang adil

terhadap usaha dan jerih payah mereka dalam melakukan konservasi.

Kepentingan Indonesia yang lebih luas adalah memajukan kesejahteraan

umum dan mewujudkan keadilan sosial. Hukum adalah sesuatu yang mengikat dan

bila ikatan itu dikaitkan dengan setiap orang atau kelompok orang (masyarakat

hukum adat) maka ikatan itu harus mencerminkan rasa keadilan. Dengan demikian

pengaturan konsep Access and Benefit Sharing ke depan dibangun di atas prinsip-

prinsip keadilan yang berdasarkan Pancasila selain tentu saja mengacu pada

prinsip-prinsip ABS yang diatur dalam CBD dan Nagoya Protocol.

Seturut dengan hal tersebut bahwa salah satu prinsip fundamental dalam

hukum internasional adalah setiap negara dalam melaksanakan perjanjian

internasional sesuai dengan asas pacta sunt servanda. Indonesia terikat untuk

melaksanakan kewajiban konstitusional yang diatur dalam Pembukaan alenia ke

empat yaitu ikut serta menjaga ketertiban dunia. Amanat Konstitusi untuk ikut

387

menjaga ketertiban dunia hanya dapat terwujud bila ada tata hukum internasional

yang kredibel dan diterima negara-negara.105

Pilar utama dari tata hukum internasional yang kredibel dan tertib hanya

dapat diwujudkan bila negara-negara mentaati dan menerima asas pacta sunt

servanda. Pengingkaran terhadap asas pacta sunt servanda ini dapat menimbulkan

ketidakpastian hukum dalam hubungan antar negara dengan menggunakan alasan

hukum nasional suatu negara tidak melaksanakan kewajiban internasionalnya.

Karena itu, ketaatan negara dalam menjalankan kewajiban perjanjian internasional

dalam hukum nasionalnya bagi Indonesia sesungguhnya dapat dimaknai sebagai

pelaksanaan kewajiban konstitusionalnya yang tercantum dalam Pembukan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia sekaligus sebagai perwujudan

tujuan negara.106

Dalam cita hukum Pancasila terkandung tujuan hukum yang diidealkan

yaitu keadilan Pancasila. Dengan kedudukannya yang demikian maka Pancasila

adalah kaidah bangsa yang menjadi panduan bagi terbentuknya hukum nasional.

Dalam sistem hukum Pancasila, hukum harus berdimensi dan berorientasi keadilan

yang penuh dengan sentuhan moral dan nurani yang diharapkan menjadi esensi

pembangunan hukum. Kelalaian Indonesia dalam mentransformasikan konsep

ABS ke dalam sistem hukum nasionalnya dapat berujung pada ketidakadilan bagi

masyarakat hukum adat karena ketiadaan aturan yang mewadahi kepentingan dan

haknya.

105 MKRI, Putusan Nomor 33/PUU-IX/2011, halaman 131. 106 Ibid.

388