Zionisme sebagai Gerakan Sosial: Analisis terhadap Tahap-tahap Inkubasi Gerakan ... · 2020. 9....

22
SOSIO-RELIGIA, Vol. 6 No. 2, Februari 2007 Zionisme sebagai Gerakan Sosial: Analisis terhadap Tahap-tahap Inkubasi Gerakan Oleh: Ibnu Burdah * , Jahja Muhaimin * * , dan M. Luthfi * * * Abstrak Zionisme Politik yang dideklarasikan dan dipimpin Theodor Herzl sejak tahun 1897 dengan tujuan mengkreasikan sebuah Negara bagi bangsa Yahudi yang disebutnya sebagai people without land, baru dapat mencapai cita-citanya pada tanggal 14 Mei 1948 ketika Ben Gurion Proklamator Negara Israel membacakan naskah deklarasi pendirian negara tersebut. Dengan demikian, gerakan tersebut membutuhkan waktu lebih dari setengah abad untuk merealisasikan cita-citanya mendirikan der judenstaat. Tulisan sederhana ini berargumen bahwa gerakan sosial pada galibnya membutuhkan jangka waktu yang amat panjang untuk terjadinya aksi gerakan, yang seringkali jauh lebih lama dari dugaan kebanyakan orang. Gerakan Zionisme juga melalui proses panjang untuk sampai kepada keberhasilannya, mulai masa inkubasi, masa aksi hingga masa adaptasi atau institusionalisasi. Pembahasan ini difokuskan untuk menganalisis tahap-tahap inkubasi gerakan tersebut. Kata kunci : Zionisme, gerakan sosial, inkubasi. A. Pendahuluan: Sekilas tentang Zionisme Kata “Zionisme” berasal dari kata “Zion” yang merupakan nama sebuah bukit yang dikeramatkan di kota Yerussalem. Dalam perkembangannya, makna kata tersebut mengalami perluasan. 1 Ia dapat berarti Kuil Sulaiman yang telah dihancurkan Raja Titus dari Romawi pada tahun 70 M sebab bukit Zion bagi Yahudi identik dengan tempat suci tersebut, dapat berarti pula seluruh kota Tua Yerussalem Timur sebab bukit tersebut berada di kota tersebut dan bahkan dapat berarti seluruh wilayah yang pernah dikuasai kerajaan Israel Kuno. * Peneliti pada Pusat Studi Timur Tengah dan Islam (PSTTI) dan Dosen Fak. Adab UIN Sunan Kalijaga dan Kandidat Doktor Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. * * Guru Besar pada Ilmu Sosial dan Politik Universitas Gadjah Mada Yogyakarta (Promotor). * * * Guru Besar pada Program Kajian Timur Tengah Pasca Sarjana Universitas Jakarta (Ko-Promotor). 1 Leo Trepp, Judaism: Development and Life (Belmont: Wodsworth Publishing Company, 2000), p. 157.

Transcript of Zionisme sebagai Gerakan Sosial: Analisis terhadap Tahap-tahap Inkubasi Gerakan ... · 2020. 9....

  • SOSIO-RELIGIA, Vol. 6 No. 2, Februari 2007

    Zionisme sebagai Gerakan Sosial: Analisis terhadap Tahap-tahap Inkubasi Gerakan

    Oleh: Ibnu Burdah∗, Jahja Muhaimin

    ∗∗, dan M. Luthfi

    ∗∗∗

    Abstrak

    Zionisme Politik yang dideklarasikan dan dipimpin Theodor Herzl sejak tahun 1897 dengan tujuan mengkreasikan sebuah Negara bagi bangsa Yahudi yang disebutnya sebagai people without land, baru dapat mencapai cita-citanya pada tanggal 14 Mei 1948 ketika Ben Gurion Proklamator Negara Israel membacakan naskah deklarasi pendirian negara tersebut. Dengan demikian, gerakan tersebut membutuhkan waktu lebih dari setengah abad untuk merealisasikan cita-citanya mendirikan der judenstaat. Tulisan sederhana ini berargumen bahwa gerakan sosial pada galibnya membutuhkan jangka waktu yang amat panjang untuk terjadinya aksi gerakan, yang seringkali jauh lebih lama dari dugaan kebanyakan orang. Gerakan Zionisme juga melalui proses panjang untuk sampai kepada keberhasilannya, mulai masa inkubasi, masa aksi hingga masa adaptasi atau institusionalisasi. Pembahasan ini difokuskan untuk menganalisis tahap-tahap inkubasi gerakan tersebut.

    Kata kunci : Zionisme, gerakan sosial, inkubasi.

    A. Pendahuluan: Sekilas tentang Zionisme

    Kata “Zionisme” berasal dari kata “Zion” yang merupakan nama sebuah bukit yang dikeramatkan di kota Yerussalem. Dalam perkembangannya, makna kata tersebut mengalami perluasan.1 Ia dapat berarti Kuil Sulaiman yang telah dihancurkan Raja Titus dari Romawi pada tahun 70 M sebab bukit Zion bagi Yahudi identik dengan tempat suci tersebut, dapat berarti pula seluruh kota Tua Yerussalem Timur sebab bukit tersebut berada di kota tersebut dan bahkan dapat berarti seluruh wilayah yang pernah dikuasai kerajaan Israel Kuno.

    ∗ Peneliti pada Pusat Studi Timur Tengah dan Islam (PSTTI) dan Dosen Fak.

    Adab UIN Sunan Kalijaga dan Kandidat Doktor Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.

    ∗∗ Guru Besar pada Ilmu Sosial dan Politik Universitas Gadjah Mada Yogyakarta (Promotor).

    ∗∗∗ Guru Besar pada Program Kajian Timur Tengah Pasca Sarjana Universitas Jakarta (Ko-Promotor).

    1 Leo Trepp, Judaism: Development and Life (Belmont: Wodsworth Publishing Company, 2000), p. 157.

  • Ibnu Burdah, Jahja Muhaimin, M. Luthfi: Zionisme sebagai Gerakan Sosial…

    SOSIO-RELIGIA, Vol. 6 No. 2, Februari 2007

    366

    Penghancuran komunitas Yahudi pada abad pertama Masehi tidak hanya menyebabkan kehancuran fisik Yahudi, namun juga kehancuran mental mereka akibat hancurnya Kuil Sulaiman yang mereka banggakan. Inilah penjelasan yang dapat dimengerti mengapa Yahudi yang terdiaspora ke berbagai wilayah dunia masih terus memendam kuat ingatan tentang masa lalunya melalui berbagai do’a, ritual dan perayaan-perayaan keagamaan seperti Yom Kippur, Paskah dan Rosh Hesanah dan lain-lain.2 Kata “Zion” adalah ungkapan yang digunakan untuk menyatakan berbagai perasaan masa lalu mereka dan kerinduan terhadap tanah tersebut.

    Pada praktiknya, ritual Aliyah (secara leksikal berarti pergi ke tempat yang lebih tinggi) kemudian menjadi kesalehan Yahudi yang tersebar ke berbagai tempat di dunia. Ibadah yang mirip dengan haji dalam tradisi Islam tersebut berupa ziarah ke Tanah Suci. Pada galibnya, hal ini dilakukan oleh Yahudi saleh yang telah lanjut usia untuk menghabiskan sisa usia dengan beribadah di tanah Zion dan yang paling dirindukan mati dan dikubur di tanah tersebut. Ziarah ke Zion dengan orientasi sepenuhnya spiritual ini berlangsung dalam waktu yang panjang. Semangat yang tinggi untuk memakmurkan Zion kemudian melahirkan berbagai gerakan yang orientasinya tetap spiritual. Kelompok-kelompok gerakan itu seringkali menamakan dirinya sebagai Hibbat Zion atau Zionisme Spiritual. Hingga pada titik ini Zionisme yang melahirkan Negara Israel belum terbentuk meskipun gagasan-gagasan ke arah itu mulai menguat seiring dengan perkembangan gagasan Negara bangsa di Eropa.

    Pada tahun 1896, Herzl seorang wartawan surat kabar kenamaan Jerman menulis sebuah pamlet berjudul Der Judenstaat yang kemudian menjadi pedoman bagi gerakan Zionisme Politik dan sekaligus cetak biru Negara Israel yang dicita-citakan. Terbitnya pamlet tersebut yang segera disusul Konferensi Zionisme pertama di Basel Switzerland telah menggariskan suatu gerakan baru di kalangan Yahudi, yakni sebuah gerakan politik yang secara tegas mencita-citakan the establishment of a Jewish State.3 Watak gerakan sebagaimana tertuang dalam pamlet tersebut sangat berbeda dengan gerakan yang pertama yakni sekuler dan Barat oriented. Celakanya, gerakan baru ini juga menggunakan istilah Zionisme sebagaimana gerakan pertama yang berorientasi keagamaan. Gerakan kedua itulah yakni Zionisme Politik yang menjadi pembahasan tulisan ini.

    Untuk tujuan tersebut, gerakan ini kemudian mengorganisir diri melalui sebuah organisasi yang disebut sebagai Zionisme Internasional

    2 Jacob Katz dkk, Sejarah Pertumbuhan Dan Perkembangan Zionisme terj.Joko Susilo

    dan Mashur Abadi, ( Surabaya: Pustaka Progressif, 1996), p. 19. 3 Theodor Herzl, The Jewish State terj. Harry Zon dari Der Judenstaat (New York:

    The Herzl Press, 1970), p. 27.

  • Ibnu Burdah, Jahja Muhaimin, M. Luthfi: Zionisme sebagai Gerakan Sosial…

    SOSIO-RELIGIA, Vol. 6 No. 2, Februari 2007

    367

    yang mengurusi seluruh aspek gerakan baik organisasi, keuangan, propaganda, imigrasi hingga lobi tingkat tinggi kepada berbagai kekuatan “super power” dunia seperti Turki Ustmani, Inggris dan kemudian Amerika Serikat.4 Dengan badan-badan seperti Jewish Colonial Trust yang berfungsi sebagai Bank Zionis, Jewish National Fund yang menangani pembelian tanah, surat kabar Die Welt dan lain-lain, Zionisme Politik menjadi sebuah gerakan berskala besar, massal dan modern yang bekerja di bidang pendidikan, pemukiman dan yang terpenting bidang politik untuk mendirikan sebuah Negara Yahudi.

    B. Gerakan Sosial: sebuah Kerangka Konseptual

    1. Pengertian.

    Gerakan sosial (social movement) adalah salah satu cabang dari disiplin tindakan kolektif (collective behavior) yang merupakan salah satu bagian dari ilmu sosial (social science).5 Disiplin tindakan kolektif dioposisikan secara binair dengan teori-teori yang terkait dengan studi organisasi yang memi-liki struktur yang tegas contohnya birokrasi, sedangkan gerakan sosial dengan tindakan yang disebut sebagai panics dan crazes, dan pada tingkat tertentu dengan istilah crowds. Di antara pengertian yang dikemukakan terhadap gerakan sosial adalah an effort by a large number of people to solve collectively a (common) problem atau in support of a set of purposes or beliefs that are shared by the members.6

    Untuk memahami pengertian social movement secara lebih jelas, berikut dikemukakan karakter-karakternya yang secara binair dioposisikan dengan karakter-karakter yang melekat pada konsep panics dan crazes. 7 Pertama, panics dan crazes merupakan tindakan dengan tingkat institusio-nalisasi yang rendah, sedangkan gerakan sosial sebaliknya memiliki tingkat institusionalisasi yang tinggi. Pada titik ini, konsep crowds dipandang berada di tengah yakni di antara keduanya. Kedua, panics dan crazes menggambar-kan suatu tindakan yang disorganization, sedangkan gerakan sosial memiliki karakter organisasi. Ketiga, panics dan crazes mengandaikan spontanitas, sedangkan gerakan sosial sebaliknya memerlukan perencanaan secara matang (planning). Keempat, panics dan crazes adalah tindakan yang memiliki fungsi mengekpresikan sesuatu (expressive function), sedangkan gerakan

    4 Katz dkk, Sejarah Pertumbuhan….,p. 183. 5 Mark. N. Hagopian, Regimes, Movements and Ideologies: A Comparative Introduction to

    Political Science (New York and London: Longman, 1978), p. 260. 6 Definisi kedua menyebut spontaneous large group, akan tetapi tidak ditulis di sini

    karena tidak sesuai dengan pengertian yang sesuai dengan penelitian ini. 7 Hagopian, Regimes, Movements, p. 260-261.

  • Ibnu Burdah, Jahja Muhaimin, M. Luthfi: Zionisme sebagai Gerakan Sosial…

    SOSIO-RELIGIA, Vol. 6 No. 2, Februari 2007

    368

    sosial meletakkan tindakan dalam fungsi sebagai alat untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan (instrumental function). Kelima, panics dan crazes merupakan tindakan yang cenderung sementara (transitory) sedangkan gerakan sosial lebih merupakan tindakan yang memerlukan waktu sangat panjang, bahkan abadi (enduring). Terakhir, keenam, panics dan crazes tidak memiliki kepemimpinan (leaderless), sedangkan gerakan sosial justru sebaliknya dituntut untuk memiliki kepemimpinan yang kuat (strong leader-ship) untuk terciptanya sebuah gerakan.

    Enam poin di atas merupakan karakter yang melekat dalam gerakan sosial secara umum, yang tentunya kemudian dapat dimanfaatkan untuk memberikan batasan pengertian gerakan sosial, paling tidak untuk membedakannya dari konsep-konsep yang lain.

    2. Tahapan dan Kebutuhan terhadap Tipe Pendukung

    Bagian ini mendalilkan bahwa gerakan sosial sesungguhnya bukanlah sesuatu yang lahir secara tiba-tiba dan sekejab saja, melainkan merupakan hasil dari sebuah proses yang biasanya sangat panjang, setidaknya melalui tiga tahapan utama yang disebut sebagai masa inkubasi, aksi dan institusio-nalisasi. Dengan mengapresiasi keyakinan tersebut, Hoffer memandang adanya perbedaan kebutuhan tipe pendukung antara satu fase dengan fase yang lain yang secara umum dikatagorikan kepada tiga tipe yakni men of the words, the fanatics dan practical men of action.8 Secara lebih rinci dengan mengutip Smelser, Hagopian memberikan tahapan-tahapan perkembang-an gerakan sosial pada umumnya sekaligus merupakan sebab-sebabnya sebagai berikut:9

    Pertama, fase yang disebut sebagai structural conduciveness yakni situasi atau kondisi yang memberikan peluang atau kemungkinan-kemungkinan bagi bertumbuhnya suatu gerakan sosial. Kondisi ini dapat berupa kondisi sosial ataupun kultural-keagamaan. Masyarakat yang mudah menjadi persemaian bagi gerakan sosial misalnya adalah masyarakat yang memiliki stratifikasi sosial dengan perbedaan-perbedaan yang mencolok. Demikian pula masyarakat yang memiliki keragaman etnis yang kompleks jelas lebih memungkinkan untuk menjadi persemaian apabila dibandingkan dengan masyarakat yang telah jauh melakukan asimilasi. Kondisi kultural tertentu seperti tipe keagamaan yang strength-fundamental atau semacamnya juga lebih memiliki peluang bagi persemaian suatu gerakan sosial dibandingkan yang bertipe “inklusif-moderat”. Menurut Barker, sebagian besar gerakan

    8 Eric Hoffer, Gerakan Massa terj. Masri Maris dari The True Believer (Jakarta:

    Yayasan Obor Indonesia, 1993), p. 131-153. 9 Hagopian, Regimes, Movements….., p. 262-264.

  • Ibnu Burdah, Jahja Muhaimin, M. Luthfi: Zionisme sebagai Gerakan Sosial…

    SOSIO-RELIGIA, Vol. 6 No. 2, Februari 2007

    369

    keagamaan modern menginginkan perubahan tatanan politik (political order) secara radikal.10 Salah satu eksplanasi terhadap hal itu sebagaimana pendapat Jurgenmeyer adalah akibat tidak dapat tertempungnya aspirasi keagamaan dalam sistem politik sekuler.11

    Kedua, fase yang disebut dengan structural strain yakni ketegangan yang diakibatkan oleh perubahan-perubahan yang terjadi. Pada titik ini, orang-orang mulai mempertanyakan berbagai kondisi yang dipandang paradok, ambigu, tidak berimbang, tidak adil dan semacamnya dalam berbagai aspek kehidupan. MengutipAristotle, Dougherty dan Plaltzgraff menambahkan kenyataan yang serba mengecewakan dan jauhnya harapan dari kenyataan akan mengakibatkan kondisi frustasi kolektif yang kemudian akan menjadi bibit-bibit gerakan.12 Dengan demikian, penyebab lahirnya suatu gerakan pada dasarnya dimulai dari individu-individu yang kemudian mengental pada tahap berikutnya.13

    Ketiga, fase yang disebut sebagai spread of the generalized belief. Pada tahap ini, orang mulai menemukan penyebab-penyebab realitas yang mengecewakan di atas dan hal itu secara perlahan kemudian menjadi keyakinan yang dipegang bersama. Dengan kata lain, gerakan berawal dari ketidaksetujuan terhadap realitas ataupun dasar-dasar pembentukan masyarakat.14 Pada titik ini pula, orang mulai membayangkan respon yang harus dilakukan untuk menyelesaikan persoalan di atas. “Penemuan” terhadap penyebab persoalan dan bayangan resep jitu yang dapat digunakan untuk menyelesaikannya dikatakan dapat menjadi resep sementara terhadap kekecewaan berat mereka, yang sekaligus merupakan titik penting bahwa sebuah gerakan sedang “lahir” membentuk sosoknya.

    Keempat, fase precipitating factors merupakan tahapan penting untuk menjelaskan terjadinya gerakan massa pada skala yang besar. Setelah keyakinan bersama terbentuk dan meluas, peristiwa-peristiwa yang sesungguhnya biasa atau tak terlalu besar namun terkait dengan pembuktian keyakinan bersama tersebut, memiliki dampak yang luar biasa. Dengan kata lain, fase ini merupakan fase di mana keyakinan bersama mulai memperoleh pembuktiannya dalam berbagai peristiwa yang berskala

    10 Eileen Barker, “Kingdoms of Heaven on Earth: New Religious Movement and

    Political Orders” dalam Anson Shupe dan Jeffrey K. Hadden (ed), The Politics of Religion and Social Change (New York: Paragon House, 1988), p. 18.

    11 Mark Jurgenmeyer, The New Cold War?: Religious Nationalism Confronts the Secular State (Berkeley, Los Angeles and London: University of California Press, 1994), p. 45.

    12 James E. Dougherty dan Robert L. Pfaltzgraff, Jr, Contending Theories of Internasional Relations (Philadelphia, New York and Toronto: J.B. Lippincott, 1971), p. 236.

    13 Barker, Kingdoms of Heaven…., p. 18. 14 Dougherty dan Pfaltzgraff, Contending Theories….., p. 273.

  • Ibnu Burdah, Jahja Muhaimin, M. Luthfi: Zionisme sebagai Gerakan Sosial…

    SOSIO-RELIGIA, Vol. 6 No. 2, Februari 2007

    370

    kecil namun kemudian sanggup mengobarkan peristiwa yang jauh lebih besar. Peristiwa-peristiwa kecil tersebut misalnya kerusuhan, sebuah pembunuhan dan semacamnya.

    Kelima, fase mobilization of participats for action. Setelah terjadinya berbagai peristiwa kecil yang membuktikan kebenaran keyakinan bersama sehingga mulai menyulut massa, peran pemimpin gerakan sangat sentral pada tahap ini. Pengertian pemimpin di sini dekat dengan koordinator yang jumlahnya tidak sedikit, banyak di antara mereka justru hanya berada di balik layar, tidak muncul ke permukaan sebagai “pencipta sejarah”. Pada galibnya, aksi untuk mencapai tatanan baru dilakukan dengan menentang secara “radikal” terhadap otoritas-otoritas yang telah ada.15 Sedangkan keenam adalah fase the operation of social control yakni respon terutama dari otoritas kekuasaan pers dan lain-lain.

    Fase pertama hingga fase keempat disebut sebagai masa inkubasi gerakan, fase kelima disebut sebagai masa aksi (keenam tidak termasuk), dan fase terakhir adalah adaptasi atau institusionalisasi. Suatu gerakan yang berhasil adalah gerakan yang dapat melakukan institusionalisasi secara mudah, sebab pada fase paska gerakan ini pada galibnya élan vital yang mendorong terjadinya gerakan telah mengalami penurunan.

    Kebutuhan terhadap tipe pendukung gerakan (terutama pemimpin) memiliki perbedaan antara satu fase dengan fase yang lain.16 The intellectuals memainkan peran sentral pada masa inkubasi dengan “meruntuhkan” mental atau logika bangunan dan institusi lama dan menegakkan gagasan-gasan baru yang kemudian dipandang sebagai generalized belief. Hoffer juga menyebut pemimpin jenis ini dengan the men of words (manusia bijak atau pesilat lidah). Mereka pada galibnya berasal dari kelas menengah dan atas yang berpendidikan di atas rata-rata masyarakatnya.17

    Tipe yang kedua adalah propagandist yakni orang-orang yang mengubah “ideology” yang telah digariskan para cendekiawan menjadi slogan-slogan gerakan yang dapat dikomsumsi massa. Hoffer menyebut mereka dengan the fanatics yakni orang-orang yang mewujudkan keyakinan-keyakinan yang telah disemaikan para intelektual menjadi gerakan yang sesungguhnya di lapangan. Tanpa peran yang kuat dari tipe pemimpin ini, kritik dan keyakinan yang disusun para intelektual tak akan berbuah menjadi gerakan. Sebaliknya, sentralitas tipe pemimpin ini dan wataknya yang tak mau diam dan ingin terus “memusnahkan” padahal musuh-

    15 Theodore E. Long, “A Theory of Prophetic Religion and Politics” dalam

    Anson Shupe dan Jeffrey K. Hadden (ed), The Politics of Religion and Social Change (New York: Paragon House, 1988), p. 3.

    16 Dougherty dan Pfaltzgraff, Contending Theories….., p. 239. 17 Hoffer, Gerakan Massa....., p. 133.

  • Ibnu Burdah, Jahja Muhaimin, M. Luthfi: Zionisme sebagai Gerakan Sosial…

    SOSIO-RELIGIA, Vol. 6 No. 2, Februari 2007

    371

    musuh gerakan telah dihancurkan, akan berbuah negatif berupa kekacauan atau perpecahan di dalam.18 Oleh karena itu, yang diperlukan paska pelaksanaan gerakan adalah orang yang sebaliknya dari yang kedua yakni the practical men of action (manusia bertindak), yakni orang-orang yang mampu menata dan mempersatukan kembali serta melembagakan berbagai hasil-hasil gerakan.

    C. Analisi Tahap-tahap Inkubasi Gerakan

    1. Structural Condusiveness

    Sebuah gerakan pada galibnya tidak lahir dari ruang hampa. Demikian pula dengan Zionisme, terdapat beberapa kondisi yang tersedia yang memungkinkan gerakan tersebut lahir yang antara lain sebagai berikut:

    a. Yahudi sebagai ‘yang lain’ dalam nation-state.

    Bagi komunitas-komunitas Yahudi di Eropa, moderenitas secara umum ditandai dengan dua hal yang paradok yakni arus emansipasi sosial dan negara-bangsa yang berujung kepada politik ras anti-semetik.19 Pada satu sisi, masa Pencerahan dengan tiga slogan persamaan, keadilan dan kesetaraan bagaimanapun merupakan harapan bagi kehidupan baru yang lebih baik bagi komunitas-komunitas Yahudi yang hidup dalam tembok-tembok Ghetto.20 Pada sisi yang lain, proses emansipasi ternyata tidak terlepas dari aspek lain yang justru dapat membalikkan atau mengurangi pemaknaan emansipasi itu sendiri. Emansipasi harus diletakkan dalam konteks perubahan politik dari “negara Tuhan” menjadi negara-bangsa.21 Perbedaan mendasar keduanya terletak pada sumber legitimasi, yang pertama menegaskan negara sebagai representasi Tuhan, sedangkan yang kedua menyatakan bahwa negara adalah representasi “rakyat” (people).22

    18 Ibid., p. 144-147. 19Jacobs Neusner, The Way of Torah: An Introduction to Judaism (United States of

    America: Wadsworth Publishing Company: 1997), p. 33. 20 Leo Trepp, Judaism: Development and Life (Belmont: Wodsworth Publishing

    Company, 2000), p. 109. Diskriminasi berdasarkan agama seperti sebelumnya sebagai implikasinya menjadi irrasional, berlawanan dengan prinsip rasionalitas zaman baru.

    21 Jon Stratton, Coming Out Jewish (London dan New York: Routledge, 2000) p. 118.

    22 Franz Magnis Suseno, Etika Politik: Prinsip-Prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern. Jakarta; Gramedia Pustaka Utama, 2003), p. Perbedaan lain terletak pada tidak adanya control etis dalam kekuasaan yang merepresentasikan Tuhan, sehingga seluruhnya tergantug kepada kemampuannya menunjukkan tanda-tanda representasi tersebut, sedangkan yang berdasarkan kontrak maka control dating dari pemberi mandate.

  • Ibnu Burdah, Jahja Muhaimin, M. Luthfi: Zionisme sebagai Gerakan Sosial…

    SOSIO-RELIGIA, Vol. 6 No. 2, Februari 2007

    372

    Singkatnya, pemahaman emansipasi sosial bagi Yahudi perlu melibatkan pemahaman tentang perkembangan politik yang menyertainya.

    Gagasan baru tentang negara-bangsa mengandaikan homogenitas yang tinggi bagi keanggotaan individu-individu di dalamnya. Doktrin tersebut membayangkan anggota-anggota yang tergabung dalam bangsa memiliki kesamaan yang hampir absolut seperti kesatuan bahasa sebagai simpul budaya, kesatuan manifestasi budaya, dan lebih tegas lagi kesatuan ras, warna kulit dan physiognomy.23 Kesamaan-kesamaan itulah yang kemudian dijadikan sarana untuk mengikat diri mereka ke dalam identitas bangsa (nation).

    Berbagai persamaan yang “tegas” ini membuat tidak mudah posisi Yahudi di berbagai negara Eropa yang selalu diragukan keanggotaannya sebagai bagian bangsa di tempat tinggalnya. Status sebagai “yang lain” (otherness) secara langsung maupun tidak akan melekat pada diri mereka. Yahudi dalam konteks politik ini menjadi tidak mudah untuk “bersama” warga yang lain untuk membayangkan sebagai satu kesatuan bangsa (imagined community). Pada titik inilah, emansipasi yang merupakan harapan bagi komunitas-komunitas Yahudi di Negara-negara Eropa di atas ternyata harus berhadapan dengan konteks yang paradok dengan makna aslinya.

    Emansipasi dalam konteks Negara-bangsa yang kaku justru bermakna “rasialisasi”, pembedaan anggota komunitas manusia berdasarkan ras-ras yang kaku.24 Apabila negara dipandang sebagai representasi atau lahir dari bangsa yang diyakini telah ada sejak dulu, maka status Yahudi sebagai yang lain berarti meniadakan dirinya dalam reperesentasi negara. Akses Yahudi ke jalur politik baik kekuasaan maupun birokrasi sebagai salah satu akibatnya menjadi “tidak mudah”, terlebih apabila ia dipandang tidak melakukan asimilasi secara total. Dengan kata lain, emansipasi yang menurut pemaknaan aslinya bersifat universal (berlaku untuk semua umat manusia) berubah menjadi sangat rasial akibat konteks politik baru negara-bangsa yang menjaga seketat mungkin homoginitas anggotanya.

    “Kelainan” status Yahudi di masyarakat Eropa sesungguhnya dapat dirunut pada masa yang lebih awal. Masyarakat Kristen Eropa tetap berkeyakinan bahwa Yahudilah pembunuh Yesus, karena itu mereka adalah orang-orang yang bersalah. Pandangan inilah yang kemudian menjadi “struktur dasar” masyarakat Eropa dalam kaitan dengan

    23 Perbedaan yang tersisa hanyalah persoalan agama, itupun dalam batas-batas

    perbedaaqn internal Kristen. Jon Stratton, Coming Out Jewish (London dan New York: Routledge, 2000) p. 119.

    24 Ibid., p. 120.

  • Ibnu Burdah, Jahja Muhaimin, M. Luthfi: Zionisme sebagai Gerakan Sosial…

    SOSIO-RELIGIA, Vol. 6 No. 2, Februari 2007

    373

    keanggotaan Yahudi. Jadi, sejak semula benih-benih sebagai yang lain memang telah melekat kuat pada orang-orang Yahudi di Eropa. Penolakan mereka untuk mengakui tuduhan tersebut semakin menegaskan status mereka yang di luar keyakinan masyarakat Eropa.

    Pada perkembangan berikutnya yakni dalam masa menguatnya nation-state, status kelainan ini tidak lenyap dengan adanya semangat pencerahan dan pudarnya pengaruh agama dalam kehidupan publik masyarakat Eropa, akan tetapi beralih “bentuk” menjadi rasialisasi seperti dikemukakan di atas.25 Pada konteks inilah, gagasan pencarian identitas Yahudi menjadi subur.

    b. Ghetto: Rendahnya Asimilasi Yahudi.

    Kondisi di atas diperparah dengan rendahnya tingkat asimilasi Yahudi di berbagai negara Eropa dengan penduduk setempat. Fenomena ghetto dalam konteks ini menarik untuk disimak. Ghetto adalah kehidupan komunitas Yahudi yang hidup secara terpisah dan “berbeda” dengan penduduk mayoritas suatu negara. Ghetto yang paling dikenal adalah ghetto yang berarti “isolasi” pemerintah Nazi secara fisik terhadap Yahudi Jerman sebagai fase awal dari “solusi akhir” dari apa yang disebut problem Yahudi di Jerman.26.

    Ghetto yang dimaksudkan di sini “berbeda” dari kasus ghetto Jerman. Ghetto adalah tradisi turun-temurun yang dijalani sebagian besar Yahudi yang tersebar di berbagai negara. Dengan demikian, ghetto sebagai pra-kondisi gerakan Zionisme adalah kehidupan non-asimilasi berbagai komunitas Yahudi dari penuduk lain. Upaya penggambaran dan penjelasan kehidupan ini sangat berbeda antara terutama penulis Yahudi dan yang lain.

    Al-Sayyid Umar al-Masiri dalam wawancara dengan penulis di Triple IT Kairo menggambarkan bahwa kehidupan ghetto Yahudi di Eropa saat itu benar-benar dalam artian fisik, bahwa mereka hidup dalam komunitas “elitis” yang tak tersentuh oleh penduduk sekitarnya. Abdul Wahab al-Masiri, pakar Zionisme dan penasehat pemerintahan Mesir, melalui wawancara telepon dengan penulis membenarkan gambaran tersebut. Lebih jelas, ia menulis bahwa kehidupan ghetto Yahudi terutama di Jerman, Ukraina dan Polandia menggambarkan aspek-aspek negatif komunitas Yahudi dalam kehidupan masyarakat secara umum.

    25 Trepp, Judaism: Development, p. 109. Dengan demikian, deklarasi Negara-negara

    bangsa justru menyebabkan tegasnya kelainan Yahudi tersebut. Kasus ini berbeda dengan di Ameika Serikat, Yahudi meresa memperoleh persamaan tanpa syarat.

    26 Wylen, Setting of Silver…, p. 367.

  • Ibnu Burdah, Jahja Muhaimin, M. Luthfi: Zionisme sebagai Gerakan Sosial…

    SOSIO-RELIGIA, Vol. 6 No. 2, Februari 2007

    374

    Dalam struktur masyarakat, komunitas Yahudi yang terpisah dari yang lain menempati kelas ekonomi khusus yang didukung oleh kekuasaan feodal dan tentara Negara setempat. Ini menjadikan mereka sangat istimewa di tengah-tengah masyarakat yang sebagian besar petani. Bahasa keseharian mereka pun berbeda dengan bahasa yang digunakan masyarakat setempat, sebagai contoh di Jerman dan Ukraina mereka berbicara dalam bahasa Yiddish (Ibrani modern), sementara masyarakatnya berbicara dalam bahasa Ukraina dan Jerman. 27 Simbol-simbol budaya lain seperti pakaian dan makanan mereka juga berbeda dengan masyarakat setempat.

    Bagi beberapa penulis Yahudi, tradisi ghetto lebih tepat dipahami dalam pengertian “pemikiran”, ghetto thingking, dari pada artian fisik sebagaimana dikemukakan di atas. Ada dua hal yang terkait dengan hal ini. Pertama, posisi komunitas-komunitas Yahudi adalah minoritas di tengah-tengah mayoritas yang relatif homogen. Mental dari minoritas pada umumnya, tidak hanya Yahudi, adalah “cemas” terhadap mayoritas.28 Kecemasan dirasakan komunitas-komunitas minoritas yang merasa tidak “at home” di tengah-tengah mayoritas. Akibat dari hal ini adalah persepsi atau fantasi adanya “bahaya” atau ancaman di luar komunitasnya dan proses pewarisan yang ketat antar generasi tentang kecemasan ini, “We shall always strangers among the nations”, kata Moses Hess salah seorang intelektual Zionis.29 Kecemasan terhadap dunia “luar” inilah yang menjadi sentral dari pemaknaan tradisi ghetto di kalangan Yahudi.30

    Potensi non-asimilasi ini diperparah dengan hal kedua yakni konsep diri Yahudi sebagai komunitas yang terderitakan. Kisah-kisah besar yang dramatis seperi masa Babylon, penghancuran Kuil Sulaiman oleh Romawi, nampaknya menjadi “pengalaman” yang ‘hidup’ dan diwariskan terus-menerus antar generasi.31 Salah satu hasilnya adalah kuatnya persepsi Yahudi sebagai komunitas-komunitas yang terderitakan oleh orang-orang luar. Orang lain dalam pengertiannya adalah ancaman.

    27 Abdul Wahab al-Masiry, Mausuah al-Yahud, wal Yahudiyah wa al-Shahyuniyah, jil. I

    (Kairo: Dar al-Syuruq, 2005), p. 55-56. 28 Stratton, Coming Out Jewish……, p. 84. 29 Moses Hess, Rome and Jerussalem…., p. 121. 30 Inilah yang disebut al-Sayyid Umar al-Masiri dalam wawancara dengan penulis

    sebagai potensi cultural Yahudi yang cenderung memisahkan diri dari yang lain yang kemudian menjadi gerakan Zionisme dan berdirinya Negara Israel.

    31 Lihat kesan semacam itu misalnya dalam tulisan. Dimont, Desain Yahudi...., p. 61-300.

  • Ibnu Burdah, Jahja Muhaimin, M. Luthfi: Zionisme sebagai Gerakan Sosial…

    SOSIO-RELIGIA, Vol. 6 No. 2, Februari 2007

    375

    2. Structural Strain (Ketegangan Struktural)

    Klaim kebangsaan dalam konsep negara bangsa secara de facto juga merupakan klaim terhadap suatu tanah tertentu yang juga dipandang telah memiliki ikatan khusus dalam kontrak “immemorial”.32 “Ketidakikut-sertaan” Yahudi dalam kontrak itu menjadikan mereka bukan sebagai bagian dari orang-orang yang memiliki ikatan khusus dengan tanah tersebut. Pada sisi yang lain, kuatnya perkembangan gagasan negara-bangsa menjadikan Yahudi bagaimanapun terlibat dalam pengandaian sebagai orang-orang yang telah memiliki ikatan primordial dan tanah tertentu. Secara singkat, realitas Yahudi dan bayangan idealistik yang mengelilinginya terpisah oleh perbedaan yang jauh yang kemudian melahirkan ketegangan-ketegangan serius.

    Ketegangan itu dapat diketahui misalnya dengan kuatnya konsep diaspora. Konsep ini mengandaikan bahwa keberadaan mereka di berbagai Negara adalah tinggal di tanah asing, sekalipun mereka telah menghuni tempat tersebut dalam jangka berabad-abad secara turun temurun. Penjelasan terhadap hal ini kembali kepada “ketidakikutsertaan” mereka dalam perjanjian immemorial yang mitis. Ketegangan tersebut masih diperparah dengan adanya gap yang dalam antara keyakinan klasik mereka sebagai bangsa pilihan yang akan “membawa kejayaan” dengan realitas mereka yang kurang “beruntung” yang antara lain disebabkan menguatnya gagasan Negara-bangsa.

    Keyakinan ini nampaknya terus diwariskan antara satu generasi ke generasi berikutnya, bahwa Israel adalah bangsa atau umat yang membawa misi Tuhan untuk membawa manusia kepada kejayaan. Keyakinan ini terus menguat seiring perjalanan sejarah Yahudi yang banyak mengalami “peristiwa menderitakan”. Konsep diri sebagai bangsa Terpilih dan Jaya semakin terpelihara sebagai “pengalihan” dan harapan perubahan dari realitas sejarah mereka yang pahit. Inilah salah satu yang mendorong Yahudi harus melakukan pencarian dirinya dalam berbagai kegiatan semisal upaya menghidupkan kesusasteraan Ibrani yang telah lama “mati”.

    3. Growth and Generalized Belief

    Berbagai persamaan pengalaman komunitas-komunitas Yahudi di Negara-negara Eropa melahirkan apa yang disebut common perception yang secara perlahan tumbuh dan menyebar menjadi keyakinan baru yang semakin diyakini bersama. Berbagai keyakinan itu terbentuk melalui proses persemaian dan penyebaran dalam waktu yang panjang. Peranan para

    32 Stratton, Coming Out Jewish……, p. 118.

  • Ibnu Burdah, Jahja Muhaimin, M. Luthfi: Zionisme sebagai Gerakan Sosial…

    SOSIO-RELIGIA, Vol. 6 No. 2, Februari 2007

    376

    pemikir Yahudi tak dapat diabaikan, seperti Mosess Hess (1612-1875),33 Elizer Ben-Yehudah (1858-1923), Peretz Solenskin (1842-1885), Leo Pinsker (1821-1891) hingga pengkristalan gagasan itu di tangan Theodor Herzl (1860-1904). Keyakinan-keyakinan itu meliputi respon mereka terhadap realitas yang berkembang, persoalan yang mereka hadapi terkait dengan realitas tersebut, konsep diri mereka dan bahkan hingga pemecahan terhadap persoalan itu dalam bentuk gerakan.

    Dalam konteks pembentukan kebangsaan baru di Negara-negara Eropa, Yahudi semakin meyakini bahwa mereka adalah benar-benar yang lain. Pengalaman mereka yang panjang untuk berasimilasi ternyata tidak meletakkan mereka menjadi bagian organik dari suatu bangsa, bahkan sebaliknya mereka tetap menjadi “yang lain”. Moses Hess salah satu tokoh terpenting dalam pembentukan gagasan Zionisme, secara tegas menya-takan kegagalan asimilasi tersebut dalam artikel Rome and Jerussalem sebagai berikut:

    The Jews have lived and labored among the nations for almost two thousand years, but nonetheless they cannot become rooted organically within them, …

    We shall always remain strangers among the nations. 34:

    Baginya jalan sejarah Yahudi telah menunjukkan secara jelas bahwa berpindah dari suatu Negara ke Negara lain bukanlah solusi yang tepat terhadap problem Yahudi.35 Mereka tetap menghadapi persoalan yang sama di tempat baru tersebut sebagaimana yang mereka hadapi sebelumnya.

    Status sebagai yang lain di atas tanah diaspora juga menegaskan nasib sejarah yang juga selama ini mereka yakini, yakni sejarah penderitaan. Selama mereka berada di tanah diaspora, jalan sejarah mereka tetap sama. Rabbi Ben Yehudah salah satu penyemai benih Zionisme dalam suratnya kepada penerbit Ha Shahar menyatakan: “True Sir, this is a great and difficult task…our modern conditions or our people to remain alive for long

    33 Teoritisi Zionis ini kendati pada masa mudanya “bergabung” dengan Karl Marx

    dan Fredrick Engels, tetap memelihara tradisi keagamaan Yahudi dan bahasa Yiddish sejak kecil. Ian J. Bickerton dan MN. Pearson, The Arab-Israeli Conflict: A History, (Melbourne: Longman Chesbire, 1990), p. 24.

    34 Rome and Jerussalem, 1862, dalam Herzberg, The Zionist p. 119. Tulisan lain yang belum diperoleh penulis dari Hess tentang Zionisme adalah Plan or the Colonization of the Holy Land (1867).

    35 Stratton, Coming Out Jewish….. p. 19. Menurutnya, kecenderungan berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lai sesungguhnya merupakan stereotype yang dilekatkan pada Yahudi, yang sesungguhnya akibat dari pogrom.

  • Ibnu Burdah, Jahja Muhaimin, M. Luthfi: Zionisme sebagai Gerakan Sosial…

    SOSIO-RELIGIA, Vol. 6 No. 2, Februari 2007

    377

    in alien soil.”36 Peretz Smolenskin salah seorang penanam benih gagasan Zionisme dalam artikelnya yang terbit tahun 1981 juga menegaskan hal yang sama: “Calamity after calamity and disaster after disaster have afflicted the Jews…there is no end to the affliction that has already struck so many tens of thousands”.37

    Jalan sejarah yang suram di tanah Diaspora menurutnya tidak hanya menimpa Yahudi yang menolak asimilasi dan emansipasi, namun juga mereka yang melakukan pembauran pada level yang tinggi, bahkan memberikan kontribusi penting bagi masyarakat non-Yahudi:

    Those few whose money had brough them position, and for whom all doors were open, no longer suffered like their breathen. They imagined that they were really secure and that they had no reason for fear. They repead aloud with the anti-Semitism; Yes, Jews are lending money at interest, plundering the land and are

    estranged from its people.38

    Moshe Leib Lilineum (1843-1910) pemikir Zionis lain menyatakan bahwa persoalan tersebut bukanlah persoalan yang secara unik hanya terkait moderintas, namun juga menjadi pengalaman utama sejarah panjang nenek moyang Yahudi yang penuh penderitaan di Tanah Diaspora. Dalam artikel terpentingnya, The Way of Return (1881), ia menyatakan: “I am glad I have suffered. At least once in my life I have had the opportunity of feeling what my ancestors felt every day of their lives”.39

    Keyakinan akan ‘keasingan” tanah memperoleh ekpresinya secara tegas dalam pemikiran Theodor Haerzl yang kemudian menjadi pengkhotbah dan pemimpin gerakan yang mengorganisir Yahudi Dunia secara sistematis. Dalam Der Judenstaat, Herzl yang mantan seorang wartawan menyatakan di awal ulasannya:

    No one will deny the plight of the Jews. In all countries where they live in appreciable numbers, jews persecuted to a greater and lesser degree. The equal

    36 Ben Yehudah, A Letter to The Publisher to Hashahar (1881), dalam Herberg,

    p. 165 37 Peretz Smolenskin, “Let Us Search our Ways”, dalam Hertberg The Zionist

    Idea…, p. 148. 38 Ibid., p. 149. 39 Moshe Leib Lilineum, “The Way of Return”, dalam Hertzberg, The Zionist

    Idea…., p. 169.

  • Ibnu Burdah, Jahja Muhaimin, M. Luthfi: Zionisme sebagai Gerakan Sosial…

    SOSIO-RELIGIA, Vol. 6 No. 2, Februari 2007

    378

    right that the law may call for have almost everywhere been nullified in practice,

    thereby disadvantaging the Jews.40

    Smolenskin mulai menyatakan bahwa Yahudi sesungguhnya merupakan entitas bangsa tersendiri yang berbeda dengan lain. Pada titik ini, ia menggambarkan bangsa Yahudi sebagai bangsa yang diikat tali satu agama, atau yang ia sebut spiritual nation. Menurutnya, ritual-ritual, teks keagamaan dan penafsirannya tak asing lagi menggunakan istilah satu people kepada Yahudi:

    … it has always regarded itself as a people, a spiritual nation. Without exception its sages and writers, its prophets and the authors of its prayers, have always called it a people. Clearly, therefore this one term is a sufficient power to

    unite those who are dispersed all over the world.41

    Inilah yang kemudian digunakan pendiri Zionis untuk menyeru bangsa Yahudi yang terpencar di berbagai Dunia. Istilah A Volk yang digunakan Herzl di awal pendirian Zionis menurut Joseph Adler pemberi pengantar dalam cetakan bukunya, menggugah emosi Yahudi yang terpendam dan terpelihara dalam ritual-ritual mereka bahwa Yahudi adalah satu.42 Yahudi adalah satu bangsa di manapun berada, yang disatukan oleh kesamaan nasib, masa lalu dan bahasa Ibrani.

    Dengan dasar keunikanYahudi dan kuatnya arus Negara bangsa, menyebabkan berbagai problem Yahudi tak dapat diselesaikan melalui cara apapun selama masih dalam konteks asimilasi, ataupun pembentukan koloni dagang seperti yang dilakukan sebelumnya, seperti dinyatakan Herzl. “Anti-Semitism can not be tackled by these methods. It cannot be eradicated until its causes are eradicated. But are these eradicable.”43 Secara tegas Herzl menyatakan, akar anti-Semitism tak dapat dihilangkan. Ia seolah merupakan lingkaran setan yang tak dapat ditemukan ujung pangkalnya.

    “We are not different from other people. It is quite true that we do not love our enemies…Naturally the pressure inspires in us hostility against our oppressors-

    40Theodor Herzl, The Jewish State terj. Harry Zon dari Der Judenstaat (New York:

    The Herzl Press, 1970), p. 43. 41 Peretz Smolenskin,” It is Time to Plant”,dalam Hertzberg, The Zionist Idea…., p.

    145. 42 Herzl, The Jewish State….., p. 9. 43 Ibid., p.46.

  • Ibnu Burdah, Jahja Muhaimin, M. Luthfi: Zionisme sebagai Gerakan Sosial…

    SOSIO-RELIGIA, Vol. 6 No. 2, Februari 2007

    379

    and our hostility in turn increases the pressure. It is impossible to escape this

    vicious circle”.44

    Oleh karena itu, pemecahan persoalan Yahudi harus sesuai dengan karakter Yahudi yang merupakan bangsa tersendiri dan juga sesuai konteks problem Yahudi yang tak dapat diselesaikan di tanah diaspora.

    Herzl kemudian menegaskan tujuan dari gerakannya sebagai “creation of a new sovereign state”45 atau lebih tegasnya adalah “the establishment of the Jewish State”.46 Berdirinya Negara menjadi satu-satunya penyelesaian terhadap problem Yahudi. Inilah doktrin terpenting dari gerakan Zionisme Internasional yang kelak berhasil melahirkan Negara Israel pada tanggal 14 Mei 1948.

    4. Precipitating Factors

    Tersebarnya keyakinan bersama tidak cukup untuk melahirkan sebuah gerakan seradikal Zionisme yang menginginkan imigrasi massal penduduk Yahudi yang telah tersebar lama di berbagai Negara yang berbeda dalam waktu yang sangat panjang. Beberapa peristiwa masih diperlukan untuk membuktikan kebenaran keyakinan bersama itu, sekaligus mendorongnya untuk mempercepat proses keyakinan itu menjadi sebuah gerakan yang diikuti massa. Beberapa peristiwa seporadis baik waktu maupun tempatnya semakin mengukuhkan keyakinan komunitas-komunitas Yahudi di berbagai Negara Eropa bahwa pemecahan terbaik terhadap persoalan mereka tidak lain adalah membangun bangsa dan Negara sendiri yang berdaulat sebagaimana keyakinan baru mereka. Di antara peristiwa-peristiwa tersebut adalah Dreyfus Affairs di Prancis, pogrom di Rusia dan Polandia dan genocide di Jerman.

    Peristiwa Drefyus di Prancis telah “mengubah” sosok Theodor Herzl yang cenderung asimilasionis menjadi seorang pemimpin utama gerakan Zionisme internasional, sebuah organisasi gerakan yang sistematis dan mendunia. Berikut ini versi seorang penulis Yahudi mengenai peristiwa tersebut.47 Peristiwa ini bermula dari ditemukannya dokumen Bordereu (1893) yang berisi lima informasi rahasia militer Prancis yang akan ditujukan kepada militer Jerman. Berita itu semakin menjadi isu besar, karena saat itu dinas intelejen Prancis tengah giat-giatnya melakukan

    44 Ibid., p. 48. 45 Herzl, The Jewish State…., p. 49. 46 Ibid., p. 27. 47 Bickerton dan Pearson, The Arab-Israeli….., p. 24-25. dan Dimont, Desain

    Yahudi….., p. 269-272.

  • Ibnu Burdah, Jahja Muhaimin, M. Luthfi: Zionisme sebagai Gerakan Sosial…

    SOSIO-RELIGIA, Vol. 6 No. 2, Februari 2007

    380

    tindak kontra spionase untuk mencari mata-mata Jerman yang diyakini telah menyusup ke dalam militer Prancis. Penemuan itu semakin meyakinkan pihak intelejen Prancis bahwa bocornya informasi tersebut melibatkan salah satu anggota staf Jenderal.48 Nama-nama dan tulisan para anggota pun kemudian diselidiki satu per satu untuk segera menemukan oknum yang terlibat.

    Dreyfus, seorang perwira Yahudi segera menjadi tertuduh dalam penyelidikan sekilas itu.49 Statusnya sebagai satu-satunya perwira Yahudi di staf Jenderal dan pendukung monarki semakin layak untuk dikorbankan. Ia pun ditangkap atas tuduhan menjalankan tindak spionase. Tak lama kemudian internal pimpinan staf Jenderal dikejutkan dengan penemuan baru bahwa pelaku tindak spionase tersebut adalah seorang aristokrat besar dan perwira karir yang bernama Mayor Ferdinand Walsin Esterhazy, bukan Dreyfus. Tuduhan terhadap sosok sebesar dia jelas akan mengguncang staf Jenderal. Jalan satu-satunya untuk menyelamatkan dinas militer Prancis di mata rakyatnya sekaligus menjawab kegelisahan masyarakat Prancis adalah dengan mengorbankan Dreyfus. Dreyfus pun dipecat secara tidak hormat dari militer Prancis, dan dihukum kurungan sumur hidup di Devil’s Island oleh pengadilan mahkamah militer.

    Setelah berbagai peristiwa berliku, peristiwa kembali menjadi perhatian massa ketika kolonel Henry yang kemudian diketahui pembuat dokumen-dokumen palsu yang mempersalahkan Dreyfus bunuh diri. Presiden baru Prancis memerintahkan pengadilan ulang kasus tersebut pada tahun 1906 yang kemudian menetapkan Esterhazy perwira dengan gaya hidup sangat mewah sebagai bersalah atas tindakan spionase.

    Theodor Herzl tokoh yang kemudian menjadi pemimpin Zionis Internasional I adalah wartawan Neue Freie Presse surat kabar terkemuka di Vienna, yang dikirim ke Paris untuk meliput kasus Dreyfus ini, sebab peristiwa ini relevan dengan latar belakang pendidikannya di bidang hukum.50 Sebagai seorang asimilasionis yang hampir melakukan pembaptisan, ia tidak terlalu percaya dengan anti-semitik, kendati kemudian ia mengaku pernah menyaksikan pengalaman-pengalaman yang berbau anti semitik.51 Dugaan awalnya terhadap kasus tersebut juga seperti pandangan mayoritas masyarakat Prancis bahwa Kapten Dreyfus memang bersalah.52 Berbagai liputan dan penyelidikannya akhirnya mengubah

    48 Ibid., 49 Stratton, Coming Out Jewish…, p. 78. 50 Hertzberg, The Zionist Idea…., p. 201. 51 Ibid., p. 202. 52 Dimont, Desain Yahudi…, p. 336.

  • Ibnu Burdah, Jahja Muhaimin, M. Luthfi: Zionisme sebagai Gerakan Sosial…

    SOSIO-RELIGIA, Vol. 6 No. 2, Februari 2007

    381

    pandangan itu bahwa Dreyus sama sekali tak bersalah. Peristiwa inilah yang kemudian menjadi turning point yang menuntun Herzl ke jalan Zionist.

    “For Herzl, this moment was a hammer blow, and the howling of the mob outside the gates of the parade ground, shouting “a bas les Juifs” transformed

    him into the Zionist that he was to be”.53

    Di Rusia, nasib Yahudi mengalami pasang surut dalam dinamika yang cepat seiring dengan pergantian pemegang kekuasaan dan kebijakan yang diambilnya. Di samping keterbelakangan, kebodohan dan kemiskinan sebagaimana umumnya warga Eropa Timur, sebagian besar komunitas Yahudi di sana mengalami berbagai tekanan baik fisik maupun mental, seperti terjadinya progrom secara besar-besaran, wajib militer 25 tahun dan isolasi dalam pale of settlement. Itulah jalan sejarah Yahudi Rusia selama pemerintahan lima Czar Romanov yang melahirkan berbagai tokoh penting Zionisme dari Rusia seperti Leo Pinsker (1821-1891). Pinsker membuat kesimpulan radikal atas peristiwa tersebut bahwa:“We cannot think of establishing perfect harmony. Such harmony has probably never existed, even among other nations.”54

    Dalam artikel Auto Emancipation on appeal to his people by Russian Jews, Pinsker mengumandangkan slogan kuno Rabbi Hillel untuk menggugah kesadaran tua Yahudi; “Im ayn anee lee me lee” untuk kembali ke Zion.55 Peristiwa-peristiwa di negeri tersebut memantapkan pergeseran keyakinan utopis Yahudi Eropa Timur akan juru selamat ke arah sikap politik yang tegas. Betapapun kuantitas korban jauh dari yang terjadi di Jerman, namun efek mental sangat besar, terlebih akibat sikap kelompok Revolusioner dan Liberal yang selama ini mereka dukung ternyata tidak menentang perlakuan tersebut.56

    Holocoust di Jerman57 menjadi pemicu terakhir yang mendorong keyakinan-keyakinan Zionisme memperoleh dukungan riil secara luas untuk mempercepat pencapaian-pencapaian tujuan gerakan.58 Yahudi

    53 Hertzberg, The Zionist Idea…, 202. 54 Leo Pinsker, Auto Emancipation on appeal to his people by Russian Jews, dalam

    Hertzberg, The Zionist Idea, p. 181. 55 Ibid. 56 Katz dkk, Sejarah Pertumbuhan…, p. 51. 57 “Kenapa justru gnocide terbesar dialamai Yahudi Jerman yang telah menetap di

    Negara tersebut turun-temurun tanpa putus selama sekitar 2000 tahun, menjadi perhatian penting bagi peneliti Yahudi. Lih. Trepp, Judaism: Development…., p.120.

    58 Pada ulasan ini, beberapa pandangan lain seperti adanya “main mata” antara Nazi dan kelompok Zionis untuk memaksimalkan agenda keduanya tidak dikemukakan. Lih. Hal itu dala Abdul Wahab al-Masiri, al-Shahyuniyah, wa al-Naziyah…., p. 144-149

  • Ibnu Burdah, Jahja Muhaimin, M. Luthfi: Zionisme sebagai Gerakan Sosial…

    SOSIO-RELIGIA, Vol. 6 No. 2, Februari 2007

    382

    pendukung Zionisme semakin meyakini bahwa anti-semitik telah hadir dalam sosoknya yang paling mengerikan dan pemecahan persoalan Yahudi tidak lain adalah berdirinya negara Yahudi. Lebih tegas, tragedi kemanusiaan yang diyakini membinasakan sekitar 4.200.000-5.600.000, Yahudi dari berbagai negara di Eropa menjadi titik penting bagi percepatan keberhasilan Zionisme yang telah dideklarasikan sejak tahun 1897. Mengingat pentingnya Holocaust dalam sejarah negara Israel dan Yahudi, naskah proklamasi yang dibacakan Ben Gurion secara tegas menyatakan:

    The catastrophe recently befell the Jewish people –the massacre of the millions of Jews in Europe-was another clear demonstration of the urgency of solving the problem of its homelessness by re-establishing in Eretz Israel The Jewish

    State.59

    Tragedi ini berawal dari naiknya Adolf Hitler ke tampuk kekuasaan Jerman pada tahun 1933 yang sekaligus menetapkan partainya NAZI (National SoZIalistische Deutche Arbeiterpartei) menjadi partai tunggal.60 Janji-janji partai untuk mengembalikan kebesaran Jerman menjadi daya tarik yang sangat tinggi bagi masyarakat Jerman yang secara mental dan fisik terpuruk akibat kekalahan dalam perang Dunia I dan perjanjian perdamaian Versailles yang sangat membebani perekonomian negara itu, sehingga perwakilan partai tersebut terus meningkat tajam di Reichstag sejak berdirinya pada tahun 1919.

    “Jerman Baru” dipijakkan atas dasar keagungan ras secara sempit. Nasionalisme Sosialis yang menjunjung superioritas bangsa Arya dan Hitler sebagai pemimpin diyakini sebagai kebenaran yang akan membawa Jerman bangkit dari keterpurukan. Musuh-musuh baru pun dikreasikan bagi “aqidah” baru ini, kaum komunis, bangsa Yahudi dan Kristen diyakini menjadi penghalang bagi tercapainya kejayaan bangsa Arya. Seiring dengan naiknya Hitler yang digambarkan Paus Pius XI sebagai gemuruh badai peperangan,61 penghancuran terhadap musuh-musuh Jerman mulai dilaksanakan. “Bunuh Yahudi” secara khusus menjadi ideom terpenting bagi kampanye penghancuran ras Yahudi yang tersebar di berbagai negara di Eropa. Oleh karena itu, gerakan Zionis secara tegas menyatakan berpihak kepada Sekutu untuk melawanJerman. Hal ini bukan

    59 Naskah Proklamasi Negara Israel, p. 1 60 Dimont, Desain Yahudi…., p. 317-8. 61Ibid., p. 17.

  • Ibnu Burdah, Jahja Muhaimin, M. Luthfi: Zionisme sebagai Gerakan Sosial…

    SOSIO-RELIGIA, Vol. 6 No. 2, Februari 2007

    383

    karena konstalasi di Palestina saja,62 akan tetapi yang lebih penting adalah kebijakan Nazi untuk melakukan pemusnahan etnis secara sistematis, terencana dan legitimed.63

    Hukum Nuremberg diberlakukan untuk mengisolasi Yahudi. Undang-undang tersebut mencabut hak perkawinan Yahudi-Arya yang mulai marak sejak tahun 1920, mencabut hak suara setiap orang yang memiliki darah Yahudi sekalipun sedikit, memberhentikan mereka dari berbagai profesi dan merampas aset-aset yang mereka miliki.64 Pada tahun 1939, operasi ditingkatkan menjadi penangkapan massal orang-orang Yahudi untuk ditawan di kamp-kamp konsentrasi. Tahun tersebut merupakan pertama kali dilakukannya penawanan dan penyiksaan massal dan sistematis terhadap Yahudi.65 Pada tahun 1942, Holocaoust menjadi salah satu agenda paling sentral pemerintah Nazi. Tindakan terhadap Yahudi yang masih tersisa di Jerman dan Austria ditingkatkan dengan mengirimkan mereka ke ghetto-ghetto khusus di Polandia yang mengakibatkan kematian sebagian besar mereka akibat penyakit dan kelaparan. Tindakan terakhir terhadap musuh-musuh Arya adalah apa yang secara khusus disebut sebagai “solusi akhir”, yang pada intinya meningkatkan tindakan terhadap kaum Yahudi yang ada di seluruh Eropa dengan pemusnahan secara sistematis, efektif dan cepat.66 Polandia menyerahkan hampir 3 juta Yahudi warga negaranya untuk dibantai Jerman, Rusia membiarkan pembantaian terhadap ratusan ribu warga Yahudi yang meminta perlindungan ke negara tersebut, sementara negara-negara lain seperti Swedia, Finlandia, Denmark, Belanda, Prancis dan Italia tidak mau menyerahkan warga Yahudinya. Sikap ini turut mempercepat pelaksanaan rencana solusi akhir Nazi. Keterlibatan para ilmuwan Jerman kemudian menemukan sebuah cara paling mengerikan, yakni penggunaan gas Zyklon B Hidrogen Sianida yang telah diujicobakan kepada 600 tawanan Rusia dan terbukti “efektif. Rudolf Hess salah seorang elit Nazi menyatakan pengakuannya:“He (komandan) used monoxide gas and did not think that his methods were very efficient. So when I set up the extermination building at Auschwitz I used cyclone B”.67

    62 Yang dimaksudkan adalah Arab yang menjadi lawan Zionis pada perang Dunia

    II mendukung Jerman terutama Mufti Amien Husseini, Jamal Abdul Nasser dan Saddad. 63 Bickerton dan Pearson, The Arab-Israeli…, p. 69. 64Ibid., Sejak tahun tersebut, tingkat asimilasi Yahudi Arya melalui perkawinan

    sangat tinggi, mencapai angka 40 persen. 65 Orang-orang Kristen, para pastor, pendeta, biarawati, pelayan jamaat gereja dan

    “golongan politisi” justeru lebih dahulu menghuni kamp-kamp tersebut. 66 Dimont, Desain Yahudi…, p. 317-319. 67 Bickerton dan Pearson, The Arab-Israeli…, p. 72.

  • Ibnu Burdah, Jahja Muhaimin, M. Luthfi: Zionisme sebagai Gerakan Sosial…

    SOSIO-RELIGIA, Vol. 6 No. 2, Februari 2007

    384

    Inilah tahap-tahap inkubasi yang melahirkan gerakan Zionisme sebagai gerakan yang barangkali paling revolusioner di dunia, dengan cita-cita yang pada mulanya dipandang sebagai crazy yakni mengumpulkan Yahudi seluruh dunia di tanah nenek moyang yang telah ditinggalkan selama sekitar dua milennium.

    D. Kesimpulan.

    Keberhasilan sebuah gerakan sosial memerlukan proses yang sangat panjang mulai masa inkubasi, aksi dan institusionalisasi. Di samping itu, ada beberapa kondisi yang sangat diperlukan bagi terealisasinya sebuah aksi gerakan. Tidak terpenuhinya kondisi-kondisi tertentu dalam setiap tahap dapat mengakibatkan benih gerakan berhenti di tengah jalan dan gagal mewujudkan dirinya ke dalam sosok gerakan. Sebaliknya, gagasan yang semula dipandang “mustahil” sekalipun akan dapat melampaui proses-proses tersebut menuju keberhasilan gemilang apabila memenuhi kondisi-kondisi dan syarat-syarat yang diperlukan dalam proses-proses tersebut. Pengalaman gerakan Zionisme Politik yang digagas Theodor Herzl memperlihatkan pengalaman yang terakhir. Gagasan Zionisme Herzl yang sangat revolusioner dan mengakibatkan tokoh yang juga seniman tersebut dituding sebagai “sinting dan sedang membuat roman picisan” oleh komunitas-komunitas Yahudi di berbagai Negara di dunia ternyata justru dapat mencapai cita-citanya secara gemilang. Belajar dari tahapan-tahapan inkubasi gerakan tersebut dapat ditarik kesimpulan adanya kondisi-kondisi yang mendorong gerakan tersebut dapat melampaui proses-proses menuju terjadinya sebuah gerakan sosial. Peranan para pemikir dan intelektual Yahudi pada fase itu dalam memahami berbagai kondisi dan menggariskan keyakinan-keyakinan baru jelas tak bisa diabaikan. Jawaban sinis Herzl terhadap para pengkritiknya patut disimak sebagai penutup “Apabila roman itu tidak menjadi sebuah kenyataan, maka paling tidak kenyataan itu dapat menjadi roman. Judulnya adalah Tanah Yang Dijanjikan (Negara Israel)”.

    Wallâhu a’lamu bissawâb…

  • Ibnu Burdah, Jahja Muhaimin, M. Luthfi: Zionisme sebagai Gerakan Sosial…

    SOSIO-RELIGIA, Vol. 6 No. 2, Februari 2007

    385

    Daftar Pustaka

    Barker, Eileen, “Kingdoms of Heaven on Earth: New Religious Movement and Political Orders” dalam Anson Shupe dan Jeffrey K. Hadden (ed), The Politics of Religion and Social Change New York: Paragon House, 1988.

    Bickerton, Ian J. dan Pearson, MN., The Arab-Israeli Conflict: A History, Melbourne: Longman Chesbire, 1990.

    Dimont, Max I, Desain Yahudi, , Desain Yahudi atau Kehendak Tuhan: Narasi-Narasi Besar Bagi Sebuah Sejarah Dunia, terj. Al Toro dan Sigit Haryoto, Bandung: Eraseni Media, 1993.

    Dougherty, James E. dan Pfaltzgraff, Robert L. Jr, Contending Theories of Internasional Relations, Philadelphia, New York and Toronto: J.B. Lippincott, 1971.

    Hagopian, Mark. N., Regimes, Movements and Ideologies, New York and London: Longman, 1988.

    Hertzberg, Arthur, The Zionist Idea: A Historical Analisis and Reader, New York: Harper and Row Publisher, 1957.

    Herzl, Theodor, The Jewish State terj. Harry Zon dari Der Judenstaat, New York: The Herzl Press, 1970.

    Hess, Moses, “Rome and Jerussalem”, dalam The Zionist Idea: A Historical Analisis and Reader, New York: Harper and Row Publisher, 1957.

    Hoffer, Eric, Gerakan Massa terj. Masri Maris dari The True Believer Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1993.

    Jurgenmeyer, Mark, The New Cold War?: Religious Nationalism Confronts the Secular State, Berkeley, Los Angeles and London: University of California Press, 1994.

    Katz, Jacob dkk, Sejarah Pertumbuhan Dan Perkembangan Zionisme terj. Joko Susilo dan Mashur Abadi, Surabaya: Pustaka Progressif, 1996.

    Lilineum, Moshe Leib, “The Way of Return”, dalam dalam The Zionist Idea: A Historical Analisis and Reader, New York: Harper and Row Publisher, 1957.

    Long, Theodore E., “A Theory of Prophetic Religion and Politics” dalam Anson Shupe dan Jeffrey K. Hadden (ed), The Politics of Religion and Social Change New York: Paragon House, 1988.

  • Ibnu Burdah, Jahja Muhaimin, M. Luthfi: Zionisme sebagai Gerakan Sosial…

    SOSIO-RELIGIA, Vol. 6 No. 2, Februari 2007

    386

    Masiri, Abdul Wahab al-, al-Shahyuniyah wa al-Naziyah wa al-Nihayah al-Tarikh, Kairo: Dar al-Syuruq, 2005.

    -----, Mausuah al-Yahud, wal Yahudiyah wa al-Shahyuniyah, jil. I, Kairo: Dar al-Syuruq, 2005.

    Naskah Proklamasi Negara Israel.

    Neusner, Jacobs, The Way of Torah: An Introduction to Judaism, United States of America: Wadsworth Publishing Company, 1997.

    Pinsker, Leo, “Auto Emancipation on appeal to his people by Russian Jews”, dalam The Zionist Idea: A Historical Analisis and Reader, New York: Harper and Row Publisher, 1957.

    -----, “Rome and Jerussalem”, 1862, dalam The Zionist Idea: A Historical Analisis and Reader, New York: Harper and Row Publisher, 1957.

    Smolenski, Peretz N., “It is Time to Plant”,dalam The Zionist Idea: A Historical Analisis and Reader, New York: Harper and Row Publisher, 1957.

    Smolenski, Peretz N., “Let Us Search our Ways”, dalam The Zionist Idea: A Historical Analisis and Reader, New York: Harper and Row Publisher, 1957.

    Stratton, Jon, Coming Out Jewish, London dan New York: Routledge, 2000.

    Suseno, Franz Magnis, Etika Politik: Prinsip-Prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern. Jakarta; Gramedia Pustaka Utama, 2003.

    Trepp, Leo, Judaism: Development and Life, Belmont: Wodsworth Publishing Company, 2000.

    Wylen, Stephen M.. Setting of Silver: An introduction to Judaism,New York: Paulist Press, 2000.

    Yehudah, Ben, “A Letter to The Publisher to Hashahar (1881)”, dalam The Zionist Idea: A Historical Analisis and Reader, New York: Harper and Row Publisher, 1957.