x
-
Upload
yusuf-musthafa -
Category
Documents
-
view
25 -
download
3
description
Transcript of x
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Wajah merupakan kawasan motorik nervus Facialis yang sangat penting dan
memberikan kekhasan tersendiri bagi yang melihatnya. Suatu kelainan yang terjadi di
sepanjang perjalanan nervus Facialis menyebabkan gangguan terhadap otot yang
dipersarafi, baik yang bersifat parese ataupun paralisis tergantung tingkat dan beratnya
lesi.
Bell’s palsy merupakan salah satu gangguan neurologik yang paling sering
mempengaruhi nervus cranialis. Gangguan ini berupa paresis atau paralisis fasial perifer
yang terjadi tiba – tiba, bersifat unilateral tanpa penyebab yang jelas. Sindroma paralisis
fasial idiopatik ini pertama kali dijelaskan lebih dari satu abad yang lalu oleh Sir
Charles Bell, meskipun masih banyak kontrovensi mengenai etiologi dan
penatalaksanaannya, Bell’s palsy merupakan penyebab paralisis fasial yang paling
sering di dunia.
Insiden bell’s palsy tampak cukup tinggi pada orang – orang keturunan Jepang,
dan tidak ada perbedaan distribusi jenis kelamin pada pasien – pasien dengan bell’s
palsy. Usia mempengaruhi probabilitas kontraksi bell’s palsy. Insiden paling tinggi pada
orang dengan usia antara 15 – 45 tahun. Bell’s palsy lebih jarang pada orang – orang
yang berusia di bawah 15 tahun dan yang berusia diatas 60 tahun.
Pada sebagian besar penderita bell’s palsy kelumpuhannya dapat menyembuh,
namun pada beberapa diantara mereka kelumpuhannya sembuh dengan meninggalkan
gejala sisa. Gejala sisa ini berupa kontraktur, dan spasme spontan. Permasalahan yang
ditimbulkan bell’s palsy cukup kompleks, diantaranya masalah fungsional, kosmetik,
dan psikologis sehingga dapat merugikan tugas profesi penderita, permasalahan
kapasitas fisik, antara lain asimetris wajah, rasa kaku dan tebal pada wajah sisi lesi,
penurunan kekuatan otot wajah pada sisi lesi, potensial terjadi kontraktur dan
perlengketan jaringan, potensial terjadi iritasi pada mata sisi lesi. Sedangkan
permasalahan fungsional berupa gangguan fungsi yang melibatkan otot – otot wajah,
seperti makan dan minum, berkumur, gangguan menutup mata, gangguan bicara, dan
gangguan ekspresi wajah. Semua hal ini dapat membuat individu tidak percaya diri.
1
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa definisi dari bell’s palsy?
2. Bagaimana struktur anatomi dan fisiologis dari N. VII?
3. Apa saja etiologi dari bell’s palsy?
4. Bagaimana patofisiologi dari bell’s palsy?
5. Bagaimana manifestasi klinis dari bell’s palsy?
6. Bagaimana penegakan diagnosa dari bell’s palsy?
7. Bagaimana penatalaksanaan pada bell’s palsy?
8. Bagaimana prognosis dari bell’s palsy?
1.3 Tujuan
1. Mengetahui definisi dari bell’s palsy.
2. Mengetahui struktur anatomi dan fisiologis dari N. VII.
3. Mengetahui etiologi dari bell’s palsy.
4. Mengetahui patofisiologi dari bell’s palsy.
5. Mengetahui manifestasi klinis dari bell’s palsy.
6. Mengetahui penegakan diagnosa dari bell’s palsy
7. Mengetahui penatalaksanaan pada bell’s palsy.
8. Mengetahui prognosis dari bell’s palsy.
1.4 Manfaat
Dengan adanya referat ini diharapkan dapat menjelaskan bagaimana
mendiagnosis, faktor yang mempengaruhi dan penatalaksanaan awal yang sebaik
mungkin untuk kasus bell’s palsy.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Bell’s palsy adalah kelumpuhan fasialis perifer akibat proses non-supuratif, non-
neoplasmatik, non-degeneratif primer namun sangat mungkin akibat edema jinak pada
bagian nervus fasialis di foramen stilomastoideus atau sedikit proksimal dari foramen
tersebut, yang mulanya akut dan dapat sembuh sendiri tanpa pengobatan.
2.2 Struktur Anatomi
Daerah wajah umumnya dipersarafi oleh nervus facialis (N.VII) dan nervus
trigeminus (N.V). Kedua nervus ini termasuk kedalam nervus cranialis, dimana nervus
cranialis merupakan sistem saraf tepi yang terdiri dari 12 pasang saraf craniali, yaitu:
1. Nervus Olfactorius (N.I)
2. Nervus Opticus (N.II)
3. Nervus Occulomotorius (N.III)
4. Nervus Trochlearis (N.IV)
5. Nervus Trigeminus (N.V)
6. Nervus Abducens (N.VI)
7. Nervus Facialis (N.VII)
8. Nervus Vestibulocochlearis (N.VIII)
9. Nervus Glossopharyngeus (N.IX)
10. Nervus Vagus (N.X)
11. Nervus Acessorius (N.XI)
12. Nervus Hypoglossus (N.XII)
Dalam laporan ini akan di bahas tentang nervus facialis. Nervus facialis
mengandung 4 macam serabut, yaitu:
1. Serabut somato motorik, yang mempersarafi otot-otot wajah (kecuali M.
Levator palpebrae yang dipersarafi oleh N.III), otot platysma, stylohyoid,
digastricus bagian posterior dan stapedius di telinga tengah.
2. Serabut viscero motorik (parasimpatis) yang datang dari nucleus salivatorius
superior. Serabut ini mempersarafi glandula dan mukosa pharynx, palatum,
rongga hidung, sinus parasanal dan glandula submaxilaris serta sublingual dan
lacrimalis.
3
3. Serabut visero sensorik yang menghantarkan impuls dari alat pengecap di 2/3
bagian depan lidah.
4. Serabut somato sensorik rasa nyeri (dan mungkin juga rasa suhu dan rasa raba)
dari sebagian daerah kulit dan mukosa yang dipersarafi oleh nervus
trigeminus. Daerah overlapping (dipersarafi oleh lebih dari 1 saraf sehingga
tumpang tindih) ini terdapat di lidah, palatum, meatus akustikus eksterna dan
bagian luar gendang telinga.
Secara anatomis, bagian motorik saraf ini terpisah dari bagian yang menghantar
sensasi dan serabut parasimpatis, yang terakhir ini sering disebut dengan saraf
intermedius atau pars intermedius Wisberg. Ada pakar yang menganggapnya sebagai
saraf yang terpisah, namun umumnya saraf intermedius ini dianggap bagian dari saraf
facialis. Sel sensoriknya terletak di ganglion genikulatum, pada lekukan saraf facialis di
canal facialis. Sensasi pengecapan dari 2/3 bagian depan lidah dihantarkan melalui saraf
lingual ke korda timpani dan kemudian ke ganglion genikulatum. Serabut yang
menghantar sensasi eksteroseptif mempunyai badan selnya di ganglion genikulatumm
dan berakhir pada akar desendens serta inti akar desendens dari saraf trigeminus (N.V).
Hubungan sentralnya identik dengan saraf trigeminus.
Inti motorik nervus facialis (N.VII) terletak di pons. Serabutnya mengitari inti
nervus VI, dan keluar di bagian lateral pons. Nervus intermedius keluar di permukaaan
lateral pons, diantara nervus VII dan VIII. Nervus VII bersama nervus intermedius dan
nervus VIII kemudian memasuki meatus akustikus internus. Disini nervus facialis
bersatu dengan nervus intemedius dan menjadi satu berkas saraf yang bejalan dalam
kanalis facialis dan kemudian masuk ke dalam os mastoid. Nervus facialis keluar dari
tulang tengkorak melalui foramen stylomastoideus, dan bercabang untuk mempersarafi
otot-otot wajah.
Bagian inti motorik yang mempersarafi wajah bagian bawah mendapat
persarafan dari korteks motorik kontralateral, sedangkan yang mempersarafi wajah
bagian atas mendapat persarafan dari kedua sisi korteks motorik (bilateral). Otot-otot
yang dipersarafi oleh nervus VII adalah:
4
1. M. Frontalis
Fungsi : Mengangkat alis mata dan mengerutkan dahi
2. M. Orbicularis oculi
Fungsi : Menutup mata
3. M. Orbicularis oris
Fungsi : Mengucupkan mulut kedepan seperti bersiul
4. M. Procerus
Fungsi : Menarik sudut medialalis mata ke arah bawah
5. M. Nasalis
Fungsi : Melebarkan lubang hidung
6. M. Corrugator Supercilii
Fungsi : Menarik alis mata ketengah dan menurun sehingga membentuk lipatan
atau kerutan diantara kedua alis mata
7. M. Zygomaticum
Fungsi : Menarik sudut mulut ke atas dan belakang dengan tidak memperlihatkan
gigi.
8. M. Risorius
Fungsi : Menarik sudut mulut kelateral kea rah belakang (ekspresi meringis)
9. M. Buccinator
Fungsi : Menekan pipi kedalam mendekati gigi
10. M. Depresor Labii Inferior
5
Fungsi : menonjolkan bibir ke arah bawah dan belakang (ekspresi mencibir)
11. M. Mentalis
Fungsi : Menaikkan kulit dagu sementara menguncupkan bibir bawah
12. M. Depresor Anguli Oris
Fungsi : Menarik sudut mulut kebawah secara kuat
2.3 Etiologi
Banyak kontroversi mengenai etiologi dari Bell’s palsy, tetapi ada 4 teori yang
dihubungkan dengan etiologi Bell’s palsy yaitu :
1. Teori Iskemik vaskuler
Nervus fasialis dapat menjadi lumpuh secara tidak langsung karena gangguan
regulasi sirkulasi darah di kanalis fasialis.
2. Teori infeksi virus
Virus yang dianggap paling banyak bertanggung jawab adalah Herpes Simplex
Virus (HSV), yang terjadi karena proses reaktivasi dari HSV (khususnya tipe 1).
3. Teori herediter
Bell’s palsy terjadi mungkin karena kanalis fasialis yang sempit pada keturunan
atau keluarga tersebut, sehingga menyebabkan predisposisi untuk terjadinya
paresis fasialis.
4. Teori imunologi
Dikatakan bahwa Bell’s palsy terjadi akibat reaksi imunologi terhadap infeksi
virus yang timbul sebelumnya atau sebelum pemberian imunisasi.
6
2.4 Patofisiologi
Bell’s palsy terjadi proses inflamasi akut pada nervus fasialis di daerah tulang
temporal, disekitar foramen stilomastoideus. Bell’s palsy hampir selalu terjadi
unilateral. Patofisiologinya belum jelas, namun salah satu teori menyebutkan terjadi
proses inflamasi pada nervus fasialis yang menyebabkan peningkatan diameter nervus
fasialis sehingga terjadi kompresi dari saraf tersebut pada saat melalui tulang temporal.
Perjalanan nervus fasialis keluar dari tulang temporal melalui kanalis fasialis yang
mempunyai bentuk seperti corong yang menyempit pada pintu keluar sebagai foramen
mental. Dengan bentukan kanalis yang unik tersebut, adanya inflamasi, demielinisasi
atau iskemik dapat menyebabkan gangguan dari konduksi. Impuls motorik yang
dihantarkan oleh nervus fasialis bisa mendapat gangguan di lintasan supranuklear,
nuklear dan infranuklear. Lesi supranuklear bisa terletak di daerah wajah korteks
motorik primer atau di jaras kortikobulber ataupun di lintasan asosiasi yang
berhubungan dengan daerah somatotropik wajah di korteks motorik primer.
Paparan udara dingin seperti angin kencang, AC, atan megemudi dengan kaca
jendela yang terbuka diduga sebagai salah satu penyebab terjadinya Bell’s palsy. Karena
itu, nervus fasialis bisa sembab dan membuat terjepit di dalam foramen stilomastoideus
dan menimbulkan kelumpuhan fasialis LMN. Pada lesi LMN bisa terletak di pons, di
sudut serebelo – pontin, di os petrosum atau kavum timpani, di foramen stilomastoideus
dan pada cabang – cabang tepi nervus fasialis. Lesi di pons yang terletak di daerah
sekitar inti nervus abdusens dan fasikulus longitudinalis medialis. Karena itu paralisis
fasialis LMN tersebut akan disertai kelumpuhan muskulus rektus lateralis atau gerakan
melirik ke arah lesi. Selain itu paralisis nervus fasialis akan timbul bersamaan dengan
tuli perseptif ipsilateral dan ageusia (tidak bisa mengecap dengan 2/3 bagian lidah
depan). Berdasarkan beberapa penelitian bahwa penyebab utama Bell’s palsy adalah
reaktivasi virus herpes (HSV tipe 1 dan virus herpes zoster) yang menyerang saraf
kranialis. Terutama virus herpes zoster karena virus ini menyebar ke saraf melalui sel
satelit. Pada radang herpes zoster di ganglion genikulatum, nervus fasialis bisa ikut
terlibat sehingga menimbulkan kelumpuhan fasialis LMN.
7
Kelumpuhan pada bell’s palsy akan terjadi bagian atas dan bawah dari otot
wajah seluruhnya lumpuh. Dahi tidak dapat dikerutkan, fisura palpebra tidak dapat
ditutup dan pada usaha untuk memenjam mata terlihatlah bola mata yang berbalik ke
atas. Sudut mulut tidak bisa diangkat. Bibir tidak bisa dicucurkan dan platisma tidak
bisa digerakkan. Karena lagoftalmus, maka air mata tidak bisa disalurkan secara wajar
sehingga tertimbun. Gejala – gejala pengiring seperti ageusia dan hiperakusis tidak ada
karena bagian nervus fasialis yang terjepit di foramen stilomastoideus sudah tidak
mengandung lagi serabut korda timpani dan serabut yang mensarafi muskulus stapedius.
2.5 Manifestasi Klinik
Adapun gejala terjadinya kelumpuhan otot-otot wajah (Bells Palsy / Facial
Paralysis) :
1. Ada kerusakan pada foramen stylomastoideus dibagian distal
2. Mata dapat dibuka tetapi tidak dapat ditutup sempurna akibat kelumpuhan dari
M. Orbicularis Oculi, sehingga dapat timbul conjungtivitis, karena reflex mata
hilang, akhirnya mudah kemasukan benda.
8
3. Sudut mata pada satu sisi akan drop, sehingga tidak dapat menarik sudut
mulutnya pada saat tersenyum.
4. Makanan terkumpul antara gigi dan pipi saat mengunyah karena paralysis M.
Buccinafor, dimana penderita tidak dapat bersiul dan juga berkumur.
5. Tidak dapat menyebutkan huruf L, M, N.
6. Tidak dapat mengerutkan dahi secara vertikal.
7. Lipatan hidung lebih dangkal (pesek sebelah)
8. Hilangnya perasaan 2/3 bagian anterior dari lidah.
9. Penderita sensitif terhadap pendengaran
Tanda-tanda Bell’s Palsy adalah terjadi asimetri pada wajah, rasa baal/ kebas
diwajah, air mata tidak dapat dikontrol dan sudut mata turun. Selain itu, tanda lainnya
adalah kehilangan refleks konjungtiva, sehingga tidak dapat menutup mata, rasa sakit
pada telinga terutama dibawah telinga, tidak tahan suara keras pada sisi yang terkena,
sudut mulut turun, sulit untuk berbicara, ait menetes saat minum atau setelah
membersihkan gigi dan kehilangan rasa dibagian depan lidah.
a. Kerusakan setinggi foramen stilomastoideus
Gejala: kelumpuhan otot – otot wajah pada sebelah lesi.
- sudut mulut sisi lesi jatuh dan tidak dapat diangkat.
- makanan berkumpul diantara pipi dan gusi sebelah lesi
- tidak dapat menutup mata dan mengerutkan kening pada sisi lesi.
Kelumpuhan ini adalah tipe flaksid, LMN. Pengecapan dan sekresi air liur masih
baik.
b. Lesi setinggi diantara khorda timpani dan n. stapedius (di dalam kanalis fasialis)
gejala: seperti (a) ditambah dengan gangguan pengecapan 2/3 depan lidah dan
gangguan salivasi
c. Lesi setinggi antara n.stapedius dengan ganglion genikulatum
gejala: seperti (b) ditambah dengan gangguan pendengaran yaitu hiperakusis.
d. Lesi setinggi ganglion genikulatum
gejala: seperti (c) ditambah dengan gangguan sekresi kelenjar hidung dan gangguan
kelenjar air mata (lakrimasi).
e. Lesi di porus akustikus internus
gejala: seperti (d) ditambah dengan gangguan pada N.VIII
9
2.6 Penegakan Diagnosa
Diagnosa ditegakkan berdasarkan anamnesa serta beberapa pemeriksaan fisik,
dalam hal ini yaitu pemeriksaan neurologis.
A. Anamnesa :
1. Rasa nyeri.
2. Gangguan atau kehilangan pengecapan.
3. Riwayat pekerjaan dan adakah aktivitas yang dilakukan pada malam hari di
ruangan terbuka atau di luar ruangan.
4. Riwayat penyakit yang pernah dialami oleh penderita seperti infeksi saluran
pernafasan, otitis, herpes, dan lain-lain.
B. Pemeriksaan :
1. Pemeriksaan neurologis ditemukan paresis N.VII tipe perifer.
2. Gerakan volunter yang diperiksa, dianjurkan minimal :
a) Mengerutkan dahi
b) Memejamkan mata
c) Mengembangkan cuping hidung
d) Tersenyum
e) Bersiul
f) Mengencangkan kedua bibir
3. Memakai SKALA UGO FISCH untuk mengevaluasi kemajuan motorik penderita
Bell’s palsy.
10
SKALA UGO FISCH
Dinilai kondisi simetris atau asimetris antara sisi sehat dan sisi sakit pada 5 posisi :
Posisi Nilai Persentase (%)
0, 30, 70, 100
Skor
Istirahat 20
Mengerutkan dahi 10
Menutup mata 30
Tersenyum 30
Bersiul 10
Total
Penilaian persentase :
0 % : asimetris komplit, tidak ada gerakan volunter
30 % : simetris, poor/jelek, kesembuhan yang ada lebih dekat ke asimetris komplit
daripada
simetris normal.
70 % : simetris, fair/cukup, kesembuhan parsial yang cenderung ke arah normal
100% : simetris, normal/komplit
C. Diagnosa Klinis : Ditegakkan dengan adanya paresis N.VII perifer dan bukan
sentral. Umumnya unilateral
Diagnosa TopikLetak Lesi Kelainan
motorikGangguan pengecapan
Gangguan pendengaran
Hiposekresi saliva
Hiposekresi lakrimalis
Pons-meatus akustikus internus
+ + + tuli/hiperakusis
+ +
Meatus akustikus internus-ganglion genikulatum
+ + + Hiperakusis
+ +
Ganglion genikulatum-N. Stapedius
+ + + Hiperakusis
+ -
N.stapedius-chorda tympani
+ + + + -
Chorda tympani + + - + -
Infra chorda tympani-sekitar foramen stilomastoideus
+ - - - -
11
D. Diagnosa etiologi : Sampai saat ini etiologi Bell’s palsy yang jelas tidak diketahui.
E. Pemeriksaan Laboratorium
Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang spesifik untuk menegakkan diagnosis
bell’s palsy. Namun pemeriksaan kadar gula darah atau HbA1c dapat
dipertimbangkan untuk mengetahui apakah pasien tersebut menderita diabetes atau
tidak. Pemeriksaan kadar serum HSV juga bisa dilakukan namun ini biasanya tidak
dapat menentukan dari mana virus tersebut berasal.
F. Pemeriksaan Radiologi
Bila dari anamnesis dan pemeriksaan fisik telah mengarahkan diagnosa bell’s palsy
maka pemeriksaan radiologi tidak diperlukan lagi, karena pasien – pasien dengan
bell’s palsy umumnya akan mengalami perbaikan dalam 8 – 10 minggu. Bila tidak
ada perbaikan ataupun perburukan pencitraan mungkin akan membantu. MRI
mungkin dapat menunjukkan tumor (misalnya schwanoma, hemangioma,
meningioma). Bila pasien memiliki riwayat trauma maka pemeriksaan CT – scan
harus dilakukan.
2.7 Penatalaksanaan
a. Agen antiviral
Meskipun pada penelitian yang pernah dilakukan masih kurang menunjukkan
efektivitas obat – obat antivirus pada bell’s palsy, hampir semua ahli percaya pada
etiologi virus. Penemuan genom virus di sekitar nervus fasialis memungkinkan
digunakannya agen – agen antivirus pada penatalaksanaan bell’s palsy. Oleh karena itu,
zat antiviral merupakan pilihan yang logis sebagai penatalaksanaan farmakologis dan
sering dianjurkan pemberiaanya. Acyclovir 400 mg selama 10 hari dapat digunakan
dalam penatalaksanaan bell’s palsy. Acyclovir akan berguna jika diberikan pada 3 hari
pertama dari onset penyakit untuk mencegah replikasi virus.
b. Kortikosteroid
Pengobatan bell’s palsy dengan menggunakan steroid masih merupakan suatu
kontroversi. Berbagai artikel penelitian telah diterbitkan mengenai keuntungan dan
kerugian pemberian steroid pada bell’s palsy. Para peneliti cenderung memilih steroid
untuk memperoleh hasil yang lebih baik. Bila telah diputuskan untuk menggunakan
steroid, maka harus segera dilakukan konsensus. Prednison dengan dosis 40 – 60
mg/hari oral atau 1 mg/ kgBB/ selama 3 hari, diturunkan perlahan – lahan selama 7 hari
12
kemudian, dimana pemberianya dimulai pada hari kelima setelah onset penyakit,
gunanya untuk meningkatkan peluang kesembuhan pasien.
2.8 Prognosis
Rehabilitasi Medik
13
Rehabilitasi medik menurut WHO adalah semua tindakan yang ditujukan guna
mengurangi dampak cacat dan handicap serta meningkatkan kemampuan penyandang
cacat mencapai integritas sosial.
Tujuan rehabilitasi medik adalah :
1. Meniadakan keadaan cacat bila mungkin
2. Mengurangi keadaan cacat sebanyak mungkin
3. Melatih orang dengan sisa keadaan cacat badan untuk dapat hidup dan bekerja
dengan apa yang tertinggal.
Untuk mencapai keberhasilan dalam tujuan rehabilitasi yang efektif dan efisien
maka diperlukan tim rehabilitasi medik yang terdiri dari dokter, fisioterapis, okupasi
terapis, ortotis prostetis, ahli wicara, psikolog, petugas sosial medik dan perawat
rehabilitasi medik.
Sesuai dengan konsep rehabilitasi medik yaitu usaha gabungan terpadu dari segi
medik, sosial dan kekaryaan, maka tujuan rehabilitasi medik pada Bell’s palsy adalah
untuk mengurangi/mencegah paresis menjadi bertambah dan membantu mengatasi
problem sosial serta psikologinya agar penderita tetap dapat melaksanakan aktivitas
kegiatan sehari-hari. Program-program yang diberikan adalah program fisioterapi,
okupasi terapi, sosial medik, psikologi dan ortotik prostetik, sedang program perawat
rehabilitasi dan terapi wicara tidak banyak berperan.
A. Program Fisioterapi
1. Pemanasan
a) Pemanasan superfisial dengan infra red.
b) Pemanasan dalam berupa Shortwave Diathermy atau Microwave
Diathermy
2. Stimulasi listrik
Tujuan pemberian stimulasi listrik yaitu menstimulasi otot untuk
mencegah/memperlambat terjadi atrofi sambil menunggu proses regenerasi dan
memperkuat otot yang masih lemah. Misalnya dengan faradisasi yang tujuannya
adalah untuk menstimulasi otot, reedukasi dari aksi otot, melatih fungsi otot
baru, meningkatkan sirkulasi serta mencegah/meregangkan perlengketan.
Diberikan 2 minggu setelah onset.
3. Latihan otot-otot wajah dan massage wajah
14
Latihan gerak volunter otot wajah diberikan setelah fase akut. Latihan
berupa mengangkat alis tahan 5 detik, mengerutkan dahi, menutup mata dan
mengangkat sudut mulut, tersenyum, bersiul/meniup (dilakukan didepan kaca
dengan konsentrasi penuh).
Massage adalah manipulasi sistemik dan ilmiah dari jaringan tubuh dengan
maksud untuk perbaikan/pemulihan. Pada fase akut, Bell’s palsy diberi gentle
massage secara perlahan dan berirama. Gentle massage memberikan efek
mengurangi edema, memberikan relaksasi otot dan mempertahankan tonus otot.
Setelah lewat fase akut diberi Deep Kneading Massage sebelum latihan gerak
volunter otot wajah. Deep Kneading Massage memberikan efek mekanik
terhadap pembuluh darah vena dan limfe, melancarkan pembuangan sisa
metabolik, asam laktat, mengurangi edema, meningkatkan nutrisi serabut-
serabut otot dan meningkatkan gerakan intramuskuler sehingga melepaskan
perlengketan. Massage daerah wajah dibagi 4 area yaitu dagu, mulut, hidung dan
dahi. Semua gerakan diarahkan keatas, lamanya 5-10 menit.
B. Program Terapi Okupasi
Pada dasarnya terapi disini memberikan latihan gerak pada otot wajah. Latihan
diberikan dalam bentuk aktivitas sehari-hari atau dalam bentuk permainan. Perlu diingat
bahwa latihan secara bertahap dan melihat kondisi penderita, jangan sampai melelahkan
penderita. Latihan dapat berupa latihan berkumur, latihan minum dengan menggunakan
sedotan, latihan meniup lilin, latihan menutup mata dan mengerutkan dahi di depan
cermin.
C. Program Sosial Medik
Penderita Bell’s palsy sering merasa malu dan menarik diri dari pergaulan sosial.
Problem sosial biasanya berhubungan dengan tempat kerja dan biaya. Petugas sosial
medik dapat membantu mengatasi dengan menghubungi tempat kerja, mungkin untuk
sementara waktu dapat bekerja pada bagian yang tidak banyak berhubungan dengan
umum. Untuk masalah biaya, dibantu dengan mencarikan fasilitas kesehatan di tempat
kerja atau melalui keluarga. Selain itu memberikan penyuluhan bahwa kerja sama
penderita dengan petugas yang merawat sangat penting untuk kesembuhan penderita.
D. Program Psikologik
Untuk kasus-kasus tertentu dimana ada gangguan psikis amat menonjol, rasa
cemas sering menyertai penderita terutama pada penderita muda, wanita atau penderita
15
yang mempunyai profesi yang mengharuskan ia sering tampil di depan umum, maka
bantuan seorang psikolog sangat diperlukan.
E. Program Ortotik – Prostetik
Dapat dilakukan pemasangan “Y” plester dengan tujuan agar sudut mulut yang
sakit tidak jatuh. Dianjurkan agar plester diganti tiap 8 jam. Perlu diperhatikan reaksi
intoleransi kulit yang sering terjadi. Pemasangan “Y” plester dilakukan jika dalam
waktu 3 bulan belum ada perubahan pada penderita setelah menjalani fisioterapi. Hal ini
dilakukan untuk mencegah teregangnya otot Zygomaticus selama parese dan mencegah
terjadinya kontraktur.
HOME PROGRAME
1. Kompres hangat daerah sisi wajah yang sakit selama 20 menit
2. Massage wajah yang sakit ke arah atas dengan menggunakan tangan dari sisi
wajah yang sehat
3. Latihan tiup lilin, berkumur, makan dengan mengunyah disisi yang sakit, minum
dengan sedotan, mengunyah permen karet
4. Perawatan mata :
Beri obat tetes mata (golongan artifial tears) 3x sehari
Memakai kacamata gelap sewaktu bepergian siang hari
Biasakan menutup kelopak mata secara pasif sebelum tidur
2.8 Prognosis
Penderita Bell’s palsy dapat sembuh total atau meninggalkan gejala sisa. Faktor
resiko yang memperburuk prognosis bell’s palsy adalah:
a. usia diatas 60 tahun
b. paralisis komplit
c. menurunnya fungsi pengecapan atau aliran saliva pada sisi yang lumpuh.
d. nyeri pada belakang telinga
e. berkurangnya air mata
Pada umumnya prognosis bell’s palsy baik, sekitar 80 – 90% penderita sembuh
dalam waktu 6 minggu sampai 3 bulan tanpa ada kecacatan. Penderita yang berumur 60
tahun atau lebih, mempunyai peluang 40% sembuh total dan beresiko tinggi
meninggalkan gejala sisa. Penderita yang berusia 30 tahun atau kurang, hanya memiliki
perbedaan peluang 10-15% antara sembuh total dengan meninggalkan gejala sisa. Jika
16
tidak sembuh dalam waktu 4 bulan, maka penderita cenderung meninggalkan gejala
sisa, yaitu sinkinesis, dan spasme hemifasial.
Penderita diabetes 30% lebih sering sembuh secara parsial dibanding penderita
nondiabetik dan penderita DM lebih sering kambuh. Hanya 23% kasus bell’s palsy yang
mengenai kedua sisi wajah. Bell’s palsy kambuh pada 10-15% penderita. Sekitar 30%
penderita yang kambuh ipsilateral menderita tumor N. VII atau tumor kelenjar parotis.
17
BAB III
PENUTUP
Bell’s palsy didefinisikan sebagai suatu keadaan paresis atau kelumpuhan yang
akut dan idiopatik akibat disfungsi nervus fasialis perifer. Penyebab bell’s palsy adalah
edema dan iskemia akibat penekanan pada nervus fasialis.
Kelumpuhan perifer N. VII memberikan ciri yang khas hingga dapat didiagnosa
dengan inspeksi. Otot muka pada sisi yang sakit tak dapat bergerak. Lipatan – lipatan di
dahi akan menghilang dan tampak seluruh muka sisi yang sakit akan mencong tertarik
ke arah sisi yang sehat. Gejala kelumpuhan perifer ini tergantung dari lokalisasi
kerusakan.
Pengobatan pasien dengan bell’s palsy adalah dengan kombinasi obat – obatan
antiviral dan kortikosteroid serta perawatan mata yang berkesinambungan. Prognosis
pasien dengan bell’s palsy relatif baik meskipun pada beberapa pasien, gejala sisa dan
rekurensi dapat terjadi.
18
DAFTAR PUSTAKA
1. Kendall FP, Mc Creary EK. Muscle Testing and Function; 3 th ed. Baltimore :
William & Wilkins, 1983 : 235-48
2. Lumbantobing SM. Saraf Otak : Nervus Fasial. Dalam : Neurologi Klinik
Pemeriksaan Fisik dan Mental. Jakarta : FK Universitas Indonesia, 2004 : 55-60
3. Maisel RH, Levine SC. Gangguan Saraf Fasialis. Dalam : Adams dkk. Boies Buku
Ajar Penyakit THT. Edisi 6. Jakarta : Penerbit EGC, 1997 : 139-52
4. Monnel, K. Zachariah, S. Khoromi, S. 2009. Bell’s Palsy. Available from:
http://emedicine.medscape.com/article/1146903.Accesed june 10, 2012.
5. Raymond D, Adam S, Maurice V. Disease of the Cranial Nerves. In : Principles of
Neurology. 5th ed. New York : Mc Graw Hill, 1994 : 1174-5
6. Reyes TM, Reyes OBL. Hydrotherapy, Massage, Manipulation and Traction.
Volume 2 Philippines : U. S. T Printing Office, 1977 : 78-84, 210
7. Rokhman, Reinhard. Facial Nerve Lession. Color Atlas of Neurology 2nd ed. George
Thieme Verlag: German, 2003. 98-99.
8. Ropper AH, Brown RH. Bell’s palsy disease of The Cranial Nerve. Adam’s and
Victor’s Principles of Neurology, 8th ed. New York: McGraw Hill. 2005. 1181-
1184.
9. Rusk HA. Disease of the Cranial Nerves. In : Rehabilitation Medicine. 2nd ed. New
York : Mc Graw Hill, 1971 : 429-31
10. Sabirin J. Bell’s Palsy. Dalam : Hadinoto dkk. Gangguan Gerak. Cetakan I.
Semarang: Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro, 1990 : 171-81
11. Sidharta P. Tata Pemeriksaan Klinis dalam Neurologi. Edisi ke-2. Jakarta : Dian
Rakyat, 1985 : 311-17
12. Thamrinsyam. Beberapa Kontroversi Bell’s Palsy. Dalam : Thamrinsyam dkk.
Bell’s Palsy. Surabaya : Unit Rehabilitasi Medik RSUD Dr. Soetomo/FK UNAIR,
1991: 1-7
19
13. Thamrinsyam. Penilaian Derajat Kekuatan Otot Fasialis. Dalam : Thamrinsyam dkk.
Bell’s Palsy. Surabaya : Unit Rehabilitasi Medik RSUD Dr. Soetomo/FK UNAIR,
1991 : 31-49
14. Walton SJ. Disease of Nervous System, 9th ed. English : ELBS, 1985 :113-6.
20