WSBM 6

34
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Setiap kebudayaan dan masyarakat di dunia, tidak terkecuali kebudayaan dan masyarakat bahari, cepat atau lambat pasti mengalami dinamika / perkembangan. Dinamika tersebut meliputi wujud-wujud teknologi dan benda/karya, perilaku dan kelembagaan, sistem-sistem budaya kognitif/mental, etos/sikap kepribadian. Menjadi kenyataan pula bahwa biasanya dalam dinamika ada tradisi bertahan (continuety), ada elemen-elemen dan tatanan inti (struktur elementer) bertahan, yang dalam banyak hal justru ditopang oleh atau menopang proses dinamika itu sendiri. Proses dinamika dan bertahannya tradisi akan mempengaruhi situasi dan kondisi sosial ekonomi serta lingkungan sumberdaya alam dimanfaatkannya. Dalam masyarakat bahari, termasuk di Indonesia, telah tumbuh berbagai sektor dan subsektor ekonomi kebaharian baru yang memunculkan segmen-segmen atau kategori-kategori sosial seperti petambang, pekerja industri, pengelola dan karyawan wisata, marinir,akademisi/peneliti, birokrat, dan lain-lain. Tumbuh kembangnya sektor-sektor ekonomi dan jasa dengan segmen-segmen masyarakat bahari tersebut memerlukan dan diikuti dengan perkembangan dan perubahan-perubahan

Transcript of WSBM 6

Page 1: WSBM 6

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Setiap kebudayaan dan masyarakat di dunia, tidak terkecuali kebudayaan

dan masyarakat bahari, cepat atau lambat pasti mengalami

dinamika / perkembangan. Dinamika tersebut meliputi wujud-wujud teknologi dan

benda/karya, perilaku dan kelembagaan, sistem-sistem budaya

kognitif/mental, etos/sikap kepribadian. Menjadi kenyataan pula bahwa biasanya

dalam dinamika ada tradisi bertahan (continuety), ada elemen-elemen dan

tatanan inti (struktur elementer) bertahan, yang  dalam banyak hal justru ditopang

oleh atau menopang proses dinamika itu sendiri. Proses dinamika dan

bertahannya tradisi akan mempengaruhi situasi dan kondisi sosial ekonomi serta

lingkungan sumberdaya alam dimanfaatkannya.

Dalam masyarakat bahari, termasuk di Indonesia, telah tumbuh berbagai

sektor dan subsektor ekonomi kebaharian baru yang memunculkan segmen-

segmen atau kategori-kategori sosial seperti petambang, pekerja industri,

pengelola dan karyawan wisata, marinir,akademisi/peneliti, birokrat, dan lain-lain.

Tumbuh kembangnya sektor-sektor ekonomi dan jasa dengan segmen-segmen

masyarakat bahari tersebut memerlukan dan diikuti dengan perkembangan dan

perubahan-perubahan kelembagaannya menjadi wadah dan regulasinya.

Tumbuhnya sektor-sektor ekonomi baru dan berkembangnya sektor-sektor

ekonomi kebaharian lama, terutama perikanan dan pelayaran, tampak

dalamperkembangan dan perubahan-perubahan teknologi, perubahan struktural,

dan sistem-sistem budaya kebaharian (pengetahuan, gagasan, kepercayaan, nilai,

norma/aturan). Gambaran tentang fenomena dinamika sosial budaya bahari

berikut menggunakan kasus desa-desa Nelayan Bugis, Bajo dan Makasar di

Sulawesi Selatan (sumber data/informasidiperoleh dari berbagai hasil penelitian

lapangan).

Page 2: WSBM 6

B. Tujuan

Adapun tujuan penyusunan makalah ini adalah:

1. Untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Wawasan Sosial Budaya Maritim.

2. Untuk mengetahui keadaan dinamika sosial budaya maritim di Indonesia.

3. Untuk mengetahui bentuk-bentuk dinamika sosial budaya maritim.

4. Untuk mengetahui cara-cara untuk meningkatkan kualitas sosial budaya maritim di

Indonesia.

5. Untuk mengetahui dampak dari dinamika social budaya maritime terhadap sumber

daya laut

C. Manfaat

Melalui penyusunan makalah ini diharapakan :

1. Dapat menjadi refrensi terkait masalah dinamika sosial budaya maritim.

2. Dapat lebih memahami keadaan dinamika sosail budaya maritim.

Page 3: WSBM 6

BAB II

PEMBAHASAN

A. Motorisasi Perahu/kapal Nelayan

Seperti halnya di berbagai desa nelayan di kawasan timur Indonesia

lainnya, motorisasi perahu dan kapal penangkapan ikan di desa-desa nelayan

Sulawesi Selatan baru mulai di tahun-tahun 1970-an. Mula-mula hanya

beberapa orang nelayan berstatus ponggawa (pengusaha danpemilik ala-ala

produksi) mampu mengkredit motor dari pengusaha besar di kota

Makasar (Bos dalam istilah lokal). Introduksi inovasi motor ke desa-desa

nelayan melalui Dinas Perikanan, namun pengusaha/ pedagang besaryang

berkedudukan di kota, khususnya Makassar, yang memegang peranan

penting menyampaikan dan mensosialisasikan sekaligus mendagangkan

inovasi motor kepada lapisan nelayan melalui paraponggawa dari desa-desa

pantai dan pulau-pulau di Sulawesi Selatan dengan aturan kredit tradisional.

Menurut informasi, bahwa pada mulanya semua unit motor yang masuk ke

desa-desa nelayan hanya berukuran 4,5-10 pk. Motor-motor kecil dipasang di

luar perahu (outboard motor).

B. Perkembangan Usaha dan Teknologi Perikanan Laut

Karena motor sendiri adalah salah satu komponen modal vital yang

membutuhkan biaya operasioanl secara terus-menerus, maka ini harus

difungsikan dengan penggunaan alat-alat tangkap produktif. Di Sulawesi

Selatan, di antara sekian banyak alat tangkap tradisional yangmasih digunakan

nelayan, terdapat beberapa di antaranya lebih berasosiasi dengan motor

seperti pukat gae (Bugis) atau rengge (Makasar), jala/panjak (payang), bagang,

pancing sunu (p.kerapu), pancing tongkol, bubu, kompresor (sarana selam),

dan lain-lain. Trawl (pukat harimau) termasuk alat tangkap baru dan modern

yang kemudian dilarang dan memang tidak pernah disukai oleh nelayan lapisan

bawah karena merugikan mereka, merusak sumberdaya dan ekologi. Alat-alat

Page 4: WSBM 6

tangkap tradisional tersebut di atas kemudian menjadi lebih produktif berkat

dioperasikan dengan perahu-perahu motor. Dapat dikatakan bahwa adopsi

inovasi motor dapat memberikan sumbangan kepada pengembangan dan

kontinyuitas teknologi tangkap tradisional tersebut, jadi bukannya

memusnahkannya.

1. Gae

Gae atau rengge adalah tipe pukat paling besar dan produktif dalam

perikanan laut di Sulawesi Selatan sampai sekarang ini. Berdasarkan

keterangan nelayan Makasar dari Galesong (Takalar), bahwa gae baru muncul

dan mulai digunakan di akhir tahun 1970-an atau awal tahun 1980-an dengan

ukuran lebih kecil daripada yang sekarang. Gae menurut keterangan

merupakan modifikasi dari gae tawang (sejenis pukat kecil) kalau bukan hasil

modifikasi dari panjak/jala lompo (payang). Ide pengembangan pukat

tradisional ini menjadi pukat raksasa sudah pasti muncul dari teradopsinya

mesin dari berbagai jenis merk dan ukuran kekuatan.

2. Bagang

Alat tangkap ini adalah sejenis alat tangkap tradisional nelayan Bugis yang

sejak tahun 1970-an telah mengalami perkembangan teknis secara pesat

seiring dengan adopsi inovasi motor di Sulawesi Selatan. Bentuk paling

kompleks dari teknik ini ialah bagang rambo (bagangraksasa) yang telah

digunakan oleh nelayan Palopo dan Malili (Luwu), nelayan Lappa (Sinjai) dan

nelayan Barru.

3. Usaha pancing tongkol

Salah satu jenis usaha perikanan laut dalam di Sulawesi Selatan yang

mengalami perkembangan cukup pesat berkat inovasi motor dan fasilitas

pengawetan tangkapan ialah usaha tongkol yang sebagian terbesar dikelola

oleh nelayan dari desa-desa pantai dalam kabupaten-kabupaten Bone, Sinjai,

Bulukumba, Bantaeng, Jeneponto, Takalar, dan lain-lain.

Sebelum motorisasi armada penangkapan ikan, jumlah

nelayantongkol masih sedikit dan mereka pada umumnya hanya beroperasi

dalam batas-batas wilayah perairan Sulawesi Selatan. Daya jangkau perahu-

Page 5: WSBM 6

perahu layar yang rendah dan belum tersedianya sarana pengawetan untuk

ikan segar merupakan faktor utama tidak berkembangnya aktivitas perikanan

laut dalam sebelum mekanisasi perahu-perahu penangkapan ikan tersebut.

4. Usaha lobster dan ikan hidup

Dimungkinkan oleh laku dan meningkatnya permintaan ikan hidup

jenis sunu, kerapu, langkoe/napoleon(dalam istilah Indonesia, sunutermasuk

kerapu juga) di pasar ekspor (Singapura dan Hongkong) terutama sejak awal

periode 1990-an, maka sebagian terbesar nelayan pulau dalam kawasan

karang Kepulauan Spermonde (Selat Makasar), Pulau Sembilan (Teluk

Bone), kawasan Takabonerate (Selayar) di Sulawesi Selatan beralih dari

menangkap berbagai spesis hasil laut ke usaha lobster dan ikan hidup di lokasi

karang (taka dalam istilah Bugis dan Makassar). Membaiknya kondisi harga

dan relatif kecilnya investasi dalam usaha ikan hidup yang prospektif tersebut,

yaitu bervariasi dari 5-15 juta rupiah per/unit usaha (mencakup komponen-

komponen perahu kecil, motor kecil, pancing atau bubu), mendorong para

nelayan yang sebelumnya aktif dalam kelompok-kelompok besar dengan status

sebagai sawi (anak buah) kemudian pecah ke dalam kelompok-kelompok kecil

yang berarti terjadi peningkatan jumlah unit usaha baru. Bahkan sebagian

besar nelayan berani menanggung risiko untuk menjadi pemilik dan aktif secara

peroragan.

5. Kompresor

Kompresor adalah kompnen utama dari perangkat sarana selam modern.

Adopsi kompresor atau mesin pompa udara ini dihubungkan dengan usaha-

usaha teripang, bubu (penangkapan ikan hidup), usaha hiu, dan kegiatan-

kegiatan ilegal seperti pemboman dan pembiusan ikan. Sebelum kompresor

diadopsi sejak pertengahan tahun 1980-an, para penyelam (sebagian besar

dari Pulau Sembilan) menggunakan tabung/tangki gas yang dianggap bisa

berbahaya bagi kesehatan nelayan. Tabung gas menggantikan

teknik selam tradisional yang alamiah dengan menggunakan ladung (alat

tusuk) untuk mengambil teripang, yang masih banyak dipraktikkan hingga

tahun 1970-an.

Page 6: WSBM 6

C. Dinamika Struktural

Di Sulawesi Selatan, tempat kediaman dan asal usul komunitas-

komunitas nelayan Bugis, Bajo dan Makasar di berbagai tempat di Nusantara

ini, dikenal kelompok kerjasama nelaya yang dikenal dengan

istilah Po(u)nggawa-Sawi (P-Sawi), yang menurut keterangan dari setiap desa

telah ada dan bertahan sejalk ratusan tahun silam. Meskipun kelompok P-

Sawi juga digunakan dalam kegiatan pertanian, perdagangan di darat dan

pengelolaan tambak, namun kelompok ini lebih eksis dan menyolok

peranannya dalam aktivitas pelayaran dan perikanan rakyat Bugis,

Makasar, dan Bajo di Sulawesi Selatan dan tempat-tempat lainnya di

Indonesia.

Struktur inti/elementer dari kelompok organisasi ini ialah  P.laut atau 

Juragan dan Sawi. P.Laut berstatus pemimpin pelayaran dan aktivitas produksi

dan sebagai pemilik alat-alat produksi. Para P.Laut memiliki pengetahuan

kelautan, pengetahuan dan ketrampilan manajerial, sementara para sawi hanya

memiliki pengetahuan kelautan dan ketrampilan kerja/produksi semata.

Suatu perubahan struktural yang berarti terjadi ketika suatu usaha

perikanan mengalami perkembangan jumlah unit perahu dan alat-alat produksi

yang dikuasai oleh seorang P.Laut/Juragan tadi sebagai akibat dari pengaruh

kapitalisme. Untuk pengembangan dan eksistensi usaha, maka  P.Laut

/Juragan tidak lagi ikut memimpin pelayaran dan proses produksi di laut,

melainkan tetap tinggal di darat/pulau untuk mengelolaperolehan pinjaman

modal dari pihak lain, mengurus biaya-biaya anggota yang beroperasi di laut,

membangun jaringan pemasaran, dan lain-lain. Di sinilah pada awalnya muncul

satu status baru pada strata tertinggi dalam kelompok kerja nelayan yang

disebut P.Darat/P.Pulau. Untuk memimpin pelayaran dan aktivitas produksi di

laut, P.Darat merekrut juragan-juraganbaru untuk menggantikan

posisinya dalam memimpin unit-unit usaha yang sedang

berkembang dan meningkat jumlahnya. Para P.Laut/Juragan dalam proses

dinamika ini sebagian masih berstatus pemilik, sebagain lainnya hanyalah

Page 7: WSBM 6

berstatus pemimpin operasi kelompok nelayan. Para juragan yang direkrut

dari sawi-sawi berbakat/potensial dikenal juga dengan istilahP.Caddi,

sedangkan P.Darat disebut P.Lompo.

Pola hubungan (struktur sosial) yang menandai hubungan dalam

kelompok P.Sawi baik dalam bentuknya yang elementer (P.Laut/Juragan-Sawi)

maupun bentuk lebih kompleks (P.Darat/P.Lompo-P.Laut/Juragan-Sawi) ialah

hubungan patron-client. Hubungan patron-client memolakan dari atas bersifat

memberi servis ekonomi, perlindungan, pendidikan informal, sedangkan dari

bawah mengandung muatan moral dan sikap ketaatan dan kepatuhan, kerja

keras, disiplin, kejujuran, loyalitas, tanggung jawab, pengakuan, dan lain-lain

(dapat dipahami sebagai modal sosial).

Gejala perubahan sruktural paling menyolok dan terasa ketika berlangsung

adopsi inovasi teknologi perikanan terutama motor/mesin,peningkatan

volume perahu, beberapa jenis alat tangkap baru skala besar, sarana

pengawetan modern (penggunaan es balok). Untuk merespons difusiinovasi

teknologi eksploitasi dan sarana penggerak tersebut,

paraP.Darat/P.Lompo/pengusaha lokal yang mempunyai kemampuan modal

terbatas terpaksa mengusahakan bagian besar dari modalnya ke pihak-pihak

lain, yaitu pengusaha besar di kota-kota besar, teurutama Makassar,dengan

sistem kredit. Sudah menjadi pola umum dalam masyarakat nelayan tradisional

bahwa dari mana diperoleh pinjaman modal, ke situ pula dipasarkan

tangkapan. Pola ini sekaligus sudah menjadi norma pemasaran yang

mengakar. Cara seperti inilah memungkinkan para pengusaha modal dari luar

secara berangsur-angsur mengambil alih sebagian besar posisi dan peranan

vital para pengusaha lokal, yang lemah dalam faktor modal. Mula-mula mereka

menuntut hasil tangkap dijual kepada mereka, kemudian banyak menentukan

spesis-spesis tangkapan nelayan dan tingkat harga, dan jika ketentuan-

ketentua kurang dipenuhi maka pinjaman (dalam bentuk perahu dan mesin)

ditarik kembali dari nelayan dan para ponggawa-nya.

Dalam perubahan struktural seperti ini, para pengusaha modal besar di

Makasar dapat diposisikan pada strata paling atas yang dikenal dengan

Page 8: WSBM 6

istilah Bos, P.Pulau/P.Darat sebagai peminjam pada posisi tengah (peranannya

menyerupai makelar), sementara para P.Laut/Juragang danSawi (nelayan)

sebagai penyewa atau penyicil alat-alat produksi  semata dari  Bos  melalui

P.Darat/P.Pulau/P.Lompo. Keterlibatan dan dominasi Bosdalam hirarkis

struktur hubungan kerjasama nelayan, menyebabkan hubungan patron-client di

antara P.Lompo/P.Darat dengan nelayan sebagian berubah menjadi hubungan

eksploitatif, sementara hubungan terpercaya cenderung dibangun dan

dimantapkan antara para P.Darat danBos. Tinggal P.Laut dengan Sawi-nya

relatif masih mempertahankan hubungan harmonis yang terbangun sejak

dahulu kala.

Perlakuan para P.Darat/P.Lompo yang seringkali merugikan bagi P.Laut/

Juragan, yang menyebabkan mereka sulit meningkatkan penapatan dan

bergeser naik ke status pemilik alat-alat produksi/pengusaha, mendorong

sebagian P.Laut/P.Caddi/Juragan mencoba menempuh cara berisiko, yaitu

meminjam modal langsung kepada Bos di Makasar. Hingga sekarang, tidak

sedikit Juragan telah mencapai idamannya dengan strategi seperti ini, yaitu

menjadi nelayan pemilik/pengusaha. Sebaliknya, mereka cenderung

membangun kompetisi dengan dan mempersempit peluang usaha

para P.Darat/P.Lompo yang sudah kokoh sejak lama. Demikianlah tercipta

suatu struktur kerjasama baru antara Bos dengan P.Laut/Juraganyang secara

langsung memimpin kelompok-kelompok nelayan yang jumlahnya kecil di laut.

Sebetulnya, sejak awal tahun 1990-an sudah ada alternatif sumber

pinjaman biaya operasional dan biaya hidup keluarga nelayanpesisir dan pulau,

yaitu para pengusaha kios yang menjual berbagaikebutuhan pokok dan bahan

pembuatan alat-alat penangkapan ikan. Sebagian di antara pengusaha kios

tersebut adalah keluarga P.Pulau juga.

D. Pengembangan Budaya Bahari

Untuk sekedar menyegarkan pemahaman, sekali lagi diungkapkan bahwa

kebudayaan tidak lain dari dunia kehidupan manusia itu sendiri. Kebudayaan

atau dunia kehidupan manusia tersebut sekurang-kurangnya meliputi tujuh

Page 9: WSBM 6

unsur umum (cultural universal), yakni pengetahuan (cognitive/ideational

/mental material), bahasa, organisasi sosial, ekonomi, teknologi, kesenian,

religi dan kepercayaan. Setiap unsur kebudayaan terdiri dari tiga tingkatan

wujud/rupa, yakni sistem budaya (gagasan, pengetahuan, nilai, keyakinan,

norma, moral, perasaan, intuisi, dan lain-lain), sistem sosial (tindakan dan

kehidupan kolektif), dan sistem alat peralatan/teknologi. Sudah dijelaskan pula

bahwa sistem budaya (terkristalisasi menjadi sistem nilai budaya) merupakan

pedoman/acuan (preference/dominant) bagi sistem sosial dan sistem alat

peralatan, sebaliknya sistem alat peralatan dan sistem sosial menjadi

prasyarat/penentu (determinant) terhadap sistem budaya. Adapun sistem sosial

sendiri merupakan wadah bagi pengamalan sistem nilai budaya dan penerapan

sistem alat peralatan/teknologi.

Oleh karena sistem nilai budaya merupakan pedoman/acuan bagi sistem

sosial (berkehidupan bersama) dan sistem teknologi (rekayasa dan

penggunaan alat peralatan), maka dalam rangka pengembangan atau

pembangunan kebudayaan bahari ke depan tentu tepatnya dimulai dari sistem

nilai budaya bahari itu sendiri. Dengan terbangunnya sistem nilai budaya bahari

yang ideal dan pragmatis, maka pembangunan dimensi kehidupan

bermasyarakat dan teknologinya akan terarahkan dan terkendali dengan baik

dalam konteks kristalisasi nilai dan moral budaya bahari yang mengakar dan

rekayasa baru individu atau kelompok potensial dari segmen-segmen

masyarakat pemangku kepentingan (stakeholders). Termasuk dalam segmen-

segmen stakeholders yang kreatif-inovatif dalam merekayasa unsur-unsur

budaya bahari baru yang ideal, pragmatis, dan aplikatif ialah kalangan

akademisi, ahli dan pemerhati lingkungan, praktisi pembangunan, tokoh

agama, LSM, dan sebagainya.

Dari gambaran dan ilustrasi unsur-unsur budaya nelayan dan pelayar

disajian sebelumnya, dapat diramu dan diseleksi berbagai unsur nilai budaya

bahari yang dianggap potensial untuk direvitalisasi dan dikembangkan ke

depan sebagai landasan bagi pembangunan budaya bahari di Indonesia pada

segala unsur atau aspeknya. Unsur-unsur nilai dan norma budaya positif yang

Page 10: WSBM 6

mengakar dalam berbagai kelompok nelayan dan pelayar dari berbagai suku

bangsa (ethnic groups) seperti di bawah ini:

Tentang nilai-nilai budaya bahari tersebut, tidak diasumsikan dianut dan

diaplikasikan oleh kelompok atau komunitas masyarakat nelayan pada

umumnya dan berlaku pada semua periode waktu atau masa. Sebaliknya,

keberadaan sebagian besar unsur nilai budaya bahari tersebut bersifat

kontekstual. Misalnya, keberanian dan kepetualangan, keketatan organisasi

kerjasama, etos ekonomi yang tinggi, wawasan kelautan, multikulturalisme,

nasionalisme, dan sikap keterbukaan, banyak dimiliki nelayan dan pelayar

Bugis dan Makassar dengan kelembagaan P-Sawi; sikap hemat/efisien dalam

pemanfaatan uang dimiliki kebanyakan dimiliki komunitas nelayan Dufadupa

(Ternate) dengan kelembagaan arisan, menabung, ke-Dibodibo-an; sikap

tolong-menolong antaranggota kelompok nelayan dari unit-unit usaha yang

berbeda dimiliki komunitas nelayan Bonebone (Baubau --Buton) dengan

kelembagaan rektur Kuli Jala; sikap kebersamaan dengan dan melestarikan

lingkungan ekosistem dan sumberdaya perikanan laut, dan pemanfaatan hasil-

hasil secara bersama dan adil dimiliki oleh komunitas nelayan Maluku, Irian,

dan Aceh dengan kelembagaan lokal Sasi, Tyatiki, dan Panglima Laut); dan

lain-lain.

Page 11: WSBM 6

Sistem nilai budaya, sikap kolektivitas, dan perilaku budaya kebaharian

tersebut tumbuh berkembang sebagai reproduksi dari pengalaman berinteraksi

dengan laut, pekerjaan berat dan rumit, ancaman bahaya dan

ketidakmenentuan, lingkungan sosial budaya masyarakat pengguna

sumberdaya dan jasa laut yang lain, pemerintah, pasar, dan sebagainya. Nilai-

nilai budaya yang mengakar dalam masyarakat bahari ini perlu diimput dengan

rekayasa nilai-nilai integratif, asimilatif, futuralistik, dan adaptif (input values)

yang terkandung dalam visi Universitas Hasanuddin (“Unhas sebagai pusat

pengembangan budaya bahari”) yang akan menjelmakan nilai-nilai budaya

bahri yang holistik, interkonektif, dan mandiri (output values) untuk menjadi

acuan sekaligus tujuan pengembangan budaya bahari di masa depan.

E. Problem  Sosial - Ekonomi Masyarakat Bahari

1. Eksploitasi Sumber Daya Laut

Kelangkaan sumberdaya memang telah menjadi isu global, ketika

sumberdaya ikan dunia hanya tinggal 4% yang belum dieksploitasi, 21%

dieskploitasi pada tingkat sedang, 65% dieskploitasi pada tingkat penuh dan

berlebihan, 9% rusak, dan tidak lebih dari 1% yang pulih (Garcia & Moreno,

2001). Intensifnya pemanfaatan sumberdaya ikan tidak hanya meninggalkan

permasalahan akut kelangkaan sumberdaya, tetapi juga krisis ekologi,

ekonomi, dan sosial terutama di daerah-daerah pantai. Kini, ciri dasar

perikanan sedang mengikuti perikanan hipotetik Ricker (1975) dimana pada

fase awal populasi ikan tumbuh sampai ukuran maksimum dan perubahannya

hanya diatur oleh pertumbuhan dan kematian alami. Ketika tekanan ekploitasi

semakin intensif dengan sedikit intervensi untuk konservasi dan rehabilitasi,

sumberdaya ikan terus menurun dan hanya sedikit yang dapat pulih kembali.

Gambaran terakhir inilah yang menjadi ciri perikanan di Asia Tenggara seperti

dikemukan Butcher (2004) dalam bukunnya “The closing of the frontier: a

history of the marine fisheries in South East Asia c. 1850-2000”.

Perikanan Indonesia juga sedang mengalami nasib yang serupa. Secara

nasional, hasil pengkajian stok ikan oleh Pusat Riset Perikanan Tangkap dan

Page 12: WSBM 6

Pusat Penelitian Oseanologi tahun 2001 menunjukkan 65% sumberdaya

dieksploitasi secara penuh atau berlebihan dan sumberdaya ikan di kawasan

barat mendapat tekanan yang paling berat. Dari aspek produksi, pertumbuhan

yang tinggi terjadi pada dekade 1970an akibat pesatnya laju motorisasi

perikanan yang mencapai lebih dari 10% per tahun. Sayangnya, motorisasi ini

menghasilkan dualisme industri perikanan. Keberpihakan berlebihan pada

perikanan skala besar (trawl dan purse-seine) melahirkan berbagai konflik dan

menjadi catatan buruk pengelolaan perikanan Indonesia. Saat ini, perikanan

cenderung tumbuh semakin terbatas dan berdasarkan data FAOSTAT (2005)

pertumbuhan produksi tidak lebih dari 2% per tahun selama periode 1999-

2001. Dalam periode yang sama, berdasarkan data DKP (2003) nelayan

tumbuh di atas 2% per tahun dan melebihi laju pertumbuhan kapal ikan.

Indikasi ini tidak hanya menunjukkan sumberdaya ikan semakin terbatas

mendukung ekonomi nelayan, tetapi juga menjadikan perikanan sebagai

pelabuhan terakhir masyarakat yang tidak memiliki akses terhadap lapangan

kerja lainnya. Tidaklah mengherankan jika Béné dalam Jurnal World

Development (2003) menyebut perikanan yang sedang berjalan seirama

dengan kemiskinan.

Tentu, integrasi perikanan kedalam pembangunan desa perlu didorong

untuk menghindarkan pembangunan yang bersifat sektoral. Berkembangnya

usaha-usaha berbasis kelompok seperti pengolahan dan perdagangan ikan,

budidaya ikan/udang, pertanian lahan pasir, peternakan, dan pariwisata

termasuk usaha berbasis wanita di beberapa wilayah pesisir menjadi modal

sosial untuk mengintegrasikan perikanan ke dalam pembangunan desa.

Berbagai upaya ini tentu sangat tergantung ”sense of urgency” dan ”political

will” pemerintah yang saat ini banyak memegang kendali pengelolaan

perikanan. Bukanlah hal yang mudah ketika pemerintah tengah memasang

berbagai target pembangunan di atas tahun-tahun sebelumnya, seperti

produksi perikanan 7,7 juta ton, penerimaan devisa US$ 3,2 miliar, konsumsi

ikan 28 kg/kapita/tahun, penyerapan tenaga kerja 7,7 juta orang, dan kontribusi

terhadap PDB 3,1%. Prioritas pada pengelolaan tidak hanya bermakna

Page 13: WSBM 6

menjaga keberlanjutan perikanan laut yang menyumbang 75% total produksi

perikanan nasional, tetapi juga menyelamatkan lebih dari 2,5 juta nelayan yang

segara langsung tergantung padanya.

2. Kemiskinan

Nelayan mempunyai peran yang sangat substantial dalam memodernisasi

kehidupan manusia. Mereka termasuk agent of development yang paling reaktif

terhadap perubahan lingkungan. Sifatnya yang lebih terbuka dibanding

kelompok masyarakat yang hidup di pedalaman, menjadi stimulator untuk

menerima perkembangan peradaban yang lebih modern.

Dalam konteks yang demikian timbul sebuah stereotif yang positif tentang

identitas nelayan khususnya dan masyarakat pesisir pada umumnya. Mereka

dinilai lebih berpendidikan, wawasannya tentang kehidupan jauh lebih luas,

lebih tahan terhadap cobaan hidup dan toleran terhadap perbedaan.

Ombak besar dan terpaan angin laut yang ganas memberikan pengaruh

terhadap mentalitas mereka. Di masa lalu, ketika teknologi komunikasi belum

mencapai kemajuan seperti sekarang, perubahan-perubahan besar yang terjadi

pada masyarakat pedesaan (daratan) ditentukan oleh intensitas komunikasi

yang berhasil diwujudkan masyarakat pedesaan dengan para nelayan.

Dalam perkembangan, justru masyarakat nelayan belum menunjukkan

kemajuan yang berarti dibandingkan kelompok masyarakat

lainnya. Keberadaan mereka sebagai agen perubahan sosial ternyata tidak

ditunjukkan secara positif dengan kehidupan ekonominya. Persoalan sosial

paling dominan yang dihadapi di wilayah pesisir justru masalah kemiskinan

nelayan. Meski data akurat mengenai jumlah penduduk miskin di wilayah

pesisir ini belum tersedia, data dari hasil-hasil penelitian yang ada menunjukan

adanya incidence poverty di beberapa pesisir.

Tekanan terhadap sumber daya pesisir sering diperberat oleh tingginya

angka kemiskinan di wilayah tersebut. Kemiskinan sering pula menjadi

lingkaran karena penduduk yang miskin sering menjadi sebab rusaknya

lingkungan pesisir, namun penduduk miskin pula yang akan menanggung

dampak dari kerusakan lingkungan. Dengan kondisi tersebut, tidak

Page 14: WSBM 6

mengherankan jika praktik perikanan yang merusak masih sering terjadi di

wilayah pesisir.

Pendapatan mereka dari kegiatan pengeboman dan penangkapan ikan

karang dengan cyanide masih jauh lebih besar dari pendapatan mereka

sebagai nelayan. Sebagai contoh, pendapatan dari penjualan ikan karang

berkisar antara Rp 500.000 sampai Rp 700.000 per bulan (Erdman dan Pet,

2000). Dengan besarnya perbedaan pendapatan tersebut di atas, sulit untuk

mengatasi masalah kerusakan ekosistem pesisir tanpa memecahkan masalah

kemiskinan yang terjadi di wilayah pesisir itu sendiri.

3. Faktor Penyebab

Masalah kemiskinan kembali mencuat sebagai persoalan serius yang harus

segera ditangani pemerintah ketika krisis ekonomi melanda perekonomian

nasional mulai akhir tahun 1998. Krisis yang hampir membangkrutkan bangsa

dan negara Indonesia telah meningkatkan jumlah penduduk miskin kembali ke

tahun sebelum 1990.

Meningkatnya jumlah tenaga kerja Indonesia ilegal yang mencari pekerjaan

di negara jiran Malaysia adalah bukti konkret akan rendahnya harapan bagi

masyarakat pedesaan, terutama yang kurang berpendidikan untuk

menggantungkan kehidupannya dengan mengadu nasib sebagai masyarakat

urban dan suburban di Indonesia.

Secara garis besar ada dua cara memandang kemiskinan. Sebagian orang

berpendapat, kemiskinan adalah suatu proses, sedangkan sebagian lagi

memandang kemiskinan sebagai suatu akibat atau fenomena dalam

masyarakat.

Sebagai suatu proses, kemiskinan mencerminkan kegagalan suatu sistem

masyarakat dalam mengalokasikan sumber daya dan dana secara adil kepada

anggota masyarakat (Pakpahan dan Hermanto, 1992). Dari hasil kajian mereka

di 14 kecamatan daerah pantai yang tersebar di beberapa provinsi diketahui,

nelayan yang miskin umumnya belum banyak tersentuh teknologi modern,

kualitas sumber daya manusia rendah dan tingkat produktivitas hasil

tangkapannya juga sangat rendah.

Page 15: WSBM 6

Faktor utama bukan karena kekuatan modal untuk mengakses teknologi,

namun ternyata lebih banyak disebabkan oleh kurangnya aktivitas penyuluhan

atau teknologi dan rendahnya lembaga penyedia teknologi. Yang menarik dari

hasil penelitian mereka adalah ditemukannya korelasi positif antara tingkat

kemiskinan dengan perkembangan sistem ijon. Para nelayan miskin umumnya,

kehidupan ekonomi mereka sangat tergantung kepada para pemilik modal,

yaitu pemilik perahu atau alat tangkap serta juragan yang siap menyediakan

keperluan perahu untuk berlayar.

Indikator ini memang tidak selalu sama di setiap daerah karena seperti di

Pekalongan, banyak juragan kapal yang mengeluh dengan sikap anak buah

kapal (nelayan) yang cenderung terlalu banyak menuntut sehingga keuntungan

juragan kapal menjadi terbatas.

4. Kelebihan

Ada hal yang berbeda ketika kita berbicara tentang ekonomi nelayan dan

ekonomi petani terutama di Jawa Tengah. Di kalangan petani, pemasaran hasil

merupakan second generation problem yang sulit sekali dicarikan

pemecahannnya. Sedangkan di kalangan nelayan Jawa Tengah, pemasaran

bukanlah persoalan serius yang membuat mereka jatuh miskin. Di Provinsi

Jawa Tengah terdapat tempat pelelangan ikan (TPI) yang menjadi sarana

transaksi hasil-hasil ikan laut. Dalam proses transaksi di TPI, nelayan

berhadapan dengan banyak pembeli sehingga nelayan yang menjual hasil

ikannya di TPI umumnya akan mendapat harga yang paling menarik jika

dibandingkan dengan mereka yang menjual di laut lepas atau di luar TPI. TPI

Jawa Tengah yang dikelola oleh Koperasi Unit Desa yang tergabung dalam

Puskud Mina Baruna saat ini terbilang sebagai TPI paling solid dan terbaik di

Indonesia. Sayangnya, tidak semua proes transaksi dilakukan secara kontan,

terkadang di beberapa TPI banyak nelayan yang harus menunggu pembayaran

dua sampai tiga hari karena tidak semua pembeli membawa uang yang cukup.

Hal inilah yang mendorong para nelayan, yang memerlukan uang kontan

segera dan tidak sabar, menjual hasilnya di luar TPI. Akibatnya harga ikan

Page 16: WSBM 6

yang mereka jual jauh di bawah harga TPI dan seringkali hanya bisa untuk

menutup biaya operasi menangkap ikan di laut lepas.

Kondisi ini seringkali menimpa para nelayan-nelayan kecil yang

membutuhkan dana segar sesegera mungkin untuk menutup biaya kehidupan

ekonomi mereka. Pemerintah tampaknya perlu mendorong sektor perbankan

untuk membuka kantor kasnya di setiap TPI yang bisa mengatasi kesulitan

para bakul untuk menutup tagihannya. Termasuk fungsi perbankan disini

adalah menyediakan dana yang diperlukan nelayan untuk berlayar. Sayangnya

dengan kondisi kehidupan nelayan yang pas-pasan, tampaknya sangat sulit

bagi perbankan untuk menjalankan fungsi tersebut tanpa adanya agunan yang

memadai dari para nelayan. Di sini bila dimungkinkan pemerintah bisa

menyediakan dana khusus sebagai jaminan kepada perbankan untuk

menyalurkan dananya kepada nelayan. Kalaupun perbankan tidak mampu

memenuhi peran tersebut, pemerintah bisa menempatkan dananya sebagai

penyertaan modal kepada KUD-KUD pengelola TPI. Memang, nada miring

tentang KUD seringkali kita dengar sehingga pemerintah pun cenderung

berhati-hati bila ingin memberdayakan KUD. Namun, pendapat ini tidak bisa

digeneralisasi secara membabi buta, karena masih cukup banyak pengurus

KUD yang mempunyai hati nurani seperti KUD-KUD pengelola TPI. Tidak ada

salahnya, mulai sekarang pemerintah mulai mencoba mengalokasikan dana

retribusi dari transaksi di TPI untuk diarahkan kepada penyediaan modal bagi

nelayan. Dengan demikian misalokasi anggaran diharapkan tidak akan banyak

terjadi, karena dengan memberdayakan KUD berarti pula mendorong

bangkitnya kekuatan ekonomi nelayan.

5. Konflik Antar Nelayan

Konflik perikanan akhir-akhir ini kembali menjadi berita setelah di era 1970-

an konflik sangat mudah dan sering muncul kepermukaan sebagai akibat

dualisme industri perikanan laut. Selama bulan Januari yang lalu konflik dengan

kekerasan terjadi sekurang-kurangnya lima kali antara nelayan Jawa Tengah

dan Kalimantan (Kompas 25/1). Konflik nelayan pada 20 November 2005 di

Pulau Tambolongan, Selayar, Sulawesi Selatan juga meninggalkan luka

Page 17: WSBM 6

dengan tewasnya seorang nelayan dan ditahannya 38 nelayan lainnya (RRI

6/2).

Berdasarkan studi di lima provinsi, Satria, et.al. (2002) mengidentifikasi

paling tidak terdapat empat macam konflik nelayan berdasarkan faktor

penyebabnya. Pertama, konflik kelas, yaitu konflik yang terjadi antarkelas

sosial nelayan dalam memperebutkan wilayah penangkapan (fishing ground),

yang mirip dengan kategori gearwar conflict-nya Charles (2001).

Ini terjadi karena nelayan tradisional merasakan ketidakadilan dalam

pemanfaatan sumberdaya ikan akibat perbedaan tingkat penguasaan kapital.

Seperti, konflik yang terjadi akibat beroperasinya kapal trawl pada perairan

pesisir yang sebenarnya merupakan wilayah penangkapan nelayan tradisional.

Kedua, konflik orientasi, adalah konflik yang terjadi antar nelayan yang

memiliki perbedaan orientasi dalam pemanfaatan sumberdaya, yaitu antara

nelayan yang memiliki kepedulian terhadap cara-cara pemanfaatan

sumberdaya yang ramah lingkungan (orientasi jangka panjang) dengan

nelayan yang melakukan kegiatan pemanfaatan yang bersifat merusak

lingkungan, seperti penggunaan bom, potasium, dan lain sebagainya (orientasi

jangka pendek).

Ketiga, konflik agraria, merupakan konflik yang terjadi akibat perebutan

fishing ground, yang bisa terjadi antar kelas nelayan, maupun inter-kelas

nelayan. Ini juga bisa terjadi antara nelayan dengan pihak lain non-nelayan,

seperti antara nelayan dengan pelaku usaha lain, seperti akuakultur, wisata,

pertambangan, yang oleh Charles (2001) diistilahkan sebagai external

allocation conflict.

Keempat, konflik primordial, merupakan konflik yang terjadi akibat

perbedaan identitas, seperti etnik, asal daerah, dan seterusnya. Anatomi konflik

di atas menggambarkan betapa kompleksnya konflik nelayan. Keempat tipe

tersebut terjadi baik sebelum maupun sesudah otonomi daerah. Perebutan

sumberdaya ikan yang semakin langka menjadi salah satu akar konflik

perikanan saat ini, sehingga menuntut kita untuk bepikir ulang tentang cara

mengelola sumberdaya ini. Banyak kepentingan nelayan terkalahkan oleh

Page 18: WSBM 6

kepentingan non nelayan karena nelayan tidak memiliki organisasi dengan

posisi tawar yang kuat. Di era otonomi daerah ini lebih-lebih adanya

kecenderungan Pemda mengejar kepentingan jangka pendek dengan

mengedepankan proyek-proyek yang quick yielding yang seringkali

bersebarangan dengan kepentingan nelayan, kehadiran organisasi nelayan

yang solid menjadi kian mendesak.

Terakhir, dalam jangka panjang pemberdayaan nelayan sangat penting

dalam mengantisipasi konflik. Pemberdayaan tentu utamanya diarahkan pada

peningkatan ketahanan ekonomi rumah tangga nelayan.  Berbagai bentuk

praktek penangkapan ikan secara destruktif ternyata tidak bisa lepas dari

perspektif ekonomi. Ketika nelayan dengan alat tangkap yang sangat terbatas

dan menghasilkan tangkapan ikan yang secara minimal, maka dorongan untuk

melakukan praktik penangkapan secara destruktif menjadi besar. Akibatnya

konflik orientasi pun sering terjadi. Tentu aspek ekonomi ini juga mesti diiringi

dengan aspek sosial budaya yaitu dengan melakukan pengkayaan

pengetahuan dan pola sikap para nelayan terhadap sumberdaya laut yang di

beberapa tempat sudah mulai bergeser.

F. Solusi Alternatif

1. Pemberdayaan Masyarakat Pesisir

Saat ini banyak program pemberdayaan yang menklaim sebagai

program yang berdasar kepada keinginan dan kebutuhan masyarakat

(bottom up), tapi ironisnya masyarakat tetap saja tidak merasa memiliki

akan program-program tersebut sehingga tidak aneh banyak program yang

hanya seumur masa proyek dan berakhir tanpa dampak berarti bagi

kehidupan masyarakat.   Memberdayakan masyarakat pesisir berarti

menciptakan peluang bagi masyarakat pesisir untuk menentukan

kebutuhannya, merencanakan dan melaksanakan kegiatannya, yang

akhirnya menciptakan kemandirian permanen dalam kehidupan masyarakat

itu sendiri. Memberdayakan masyarakat pesisir tidaklah seperti

memberdayakan kelompok-kelompok masyarakat lainnya, karena didalam

Page 19: WSBM 6

habitat pesisir terdapat banyak kelompok kehidupan masayarakat

diantaranya:

1. Masyarakat nelayan tangkap, adalah kelompok masyarakat

pesisir yang mata pencaharian utamanya adalah menangkap ikan

dilaut.  Kelompok ini dibagi lagi dalam dua kelompok besar, yaitu

nelayan tangkap modern dan nelayan tangkap tradisional. 

Keduanya kelompok ini dapat dibedakan dari jenis kapal/peralatan

yang digunakan dan jangkauan wilayah tangkapannya.

2. Masyarakat nelayan pengumpul/bakul, adalah kelompok

masyarakt pesisir yang bekerja disekitar tempat pendaratan dan

pelelangan ikan.  Mereka akan mengumpulkan ikan-ikan hasil

tangkapan baik melalui pelelangan maupun dari sisa ikan yang

tidak terlelang yang selanjutnya dijual ke masyarakat sekitarnya

atau dibawah ke pasar-pasar lokal.  Umumnya yang menjadi

pengumpul ini adalah kelompok masyarakat pesisir perempuan.

3. Masayarakat nelayan buruh, adalah kelompok masyarakat

nelayan yang paling banyak dijumpai dalam kehidupan

masyarakat pesisir. Ciri dari mereka dapat terlihat dari kemiskinan

yang selalu membelenggu kehidupan mereka, mereka tidak

memiliki modal atau peralatan yang memadai untuk usaha

produktif. Umumnya mereka bekerja sebagai buruh/anak buah

kapal (ABK) pada kapal-kapal juragan dengan penghasilan yang

minim.

4. Masyarakat nelayan tambak, masyarakat nelayan pengolah, dan

kelompok masyarakat nelayan buruh. 

Setiap kelompok masyarakat tersebut haruslah mendapat penanganan dan

perlakuan khusus sesuai dengan kelompok, usaha, dan aktivitas ekonomi

mereka.  Pemberdayaan masyarakat tangkap minsalnya, mereka membutukan

sarana penangkapan dan kepastian wilayah tangkap. Berbeda dengan kelompok

masyarakat tambak, yang mereka butuhkan adalah modal kerja dan modal

investasi, begitu juga untuk kelompok masyarakat pengolah dan buruh. 

Page 20: WSBM 6

Kebutuhan setiap kelompok yang berbeda tersebut, menunjukkan

keanekaragaman pola pemberdayaan yang akan diterapkan untuk setiap

kelompok tersebut.

Dengan demikian program pemberdayaan untuk masyarakat pesisir

haruslah dirancang dengan sedemikian rupa dengan tidak menyamaratakan

antara satu kelompk dengan kelompok lainnya apalagi antara satu daerah dengan

daerah pesisir lainnya.  Pemberdayaan masyarakat pesisir haruslah bersifat

bottom up dan open menu, namun yang terpenting adalah pemberdayaan itu

sendiri yang harus langsung menyentuh kelompok masyarakat sasaran. Persoalan

yang mungkin harus dijawab adalah:  Bagaimana memberdayakannya?

Banyak program pemberdayaan yang telah dilaksanakan pemerintah,

salah satunya adalah pemberdayaan ekonomi masyarakat pesisir (PEMP).  Pada

intinya program ini dilakukan melalui tiga pendekatan, yaitu:

1. Kelembagaan. Bahwa untuk memperkuat posisi tawar

masyarakat, mereka haruslah terhimpun dalam suatu

kelembagaan yang kokoh, sehingga segala aspirasi dan

tuntutan mereka dapat disalurkan secara baik. Kelembagaan ini

juga dapat menjadi penghubung (intermediate) antara

pemerintah dan swasta. Selain itu kelembagaan ini juga dapat

menjadi suatu forum untuk menjamin terjadinya perguliran dana

produktif diantara kelompok lainnya.

2. Pendampingan. Keberadaan pendamping memang dirasakan

sangat dibutuhkan dalam setiap program pemberdayaan.

Masyarakat belum dapat berjalan sendiri mungkin karena

kekurangtauan, tingkat penguasaan ilmu pengetahuan yang

rendah, atau mungkin masih kuatnya tingkat ketergantungan

mereka karena belum pulihnya rasa percaya diri mereka akibat

paradigma-paradigma pembangunan masa lalu.  Terlepas dari

itu semua, peran pendamping sangatlah vital terutama

mendapingi masyarakat menjalankan aktivitas usahanya.

Namun yang terpenting dari pendampingan ini adalah

Page 21: WSBM 6

menempatkan orang yang tepat pada kelompok yang tepat

pula.

3. Dana Usaha Produktif Bergulir. Pada program PEMP juga

disediakan dana untuk mengembangkan usaha-usaha produktif

yang menjadi pilihan dari masyarakat itu sendiri. Setelah

kelompok pemanfaat dana tersebut berhasil, mereka harus

menyisihkan keuntungannya untuk digulirkan kepada kelompok

masyarakat lain yang membutuhkannya.  Pengaturan

pergulirannya akan disepakati di dalam forum atau lembaga

yang dibentuk oleh masyarakat sendiri dengan fasilitasi

pemerintah setempat dan tenaga pendamping.

Page 22: WSBM 6

BAB III

PENUTUP

A.  Kesimpulan

Adapun kesimpulan dari makalah kami adalah sebagai berikut:

1. Berbagai desa nelayan di kawasan timur Indonesia lainnya, motorisasi perahu dan

kapal penangkapan ikan di desa-desa nelayan Sulawesi Selatan baru mulai di

tahun-tahun 1970-an.

2. Perkembangan Usaha dan Teknologi Perikanan Laut yaitu Gae,Bagang, Usaha

pancing tongkol, Usaha lobster dan ikan hidup, danKompresor.

3. Pola hubungan (struktur sosial) yang menandai hubungan dalam

kelompok P.Sawi baik dalam bentuknya yang elementer (P.Laut/Juragan-Sawi)

maupun bentuk lebih kompleks (P.Darat/P.Lompo-P.Laut/Juragan-Sawi) ialah

hubungan patron-client.

4. Kebudayaan atau dunia kehidupan manusia tersebut sekurang-kurangnya meliputi

tujuh unsur umum (cultural universal), yakni pengetahuan

(cognitive/ideational/mental material), bahasa, organisasi sosial, ekonomi,

teknologi, kesenian, religi dan kepercayaan.

5. Kelestarian sumber daya, khususnya sumber daya laut adalah sesuatu yang

sangat substansial, oleh karena itu kelestariannya harus dijaga.

B.  Saran

Sebaiknya pemerintah segera menindaklanjuti masalah-masalah yang

dihadapi oleh masyarakat bahari Indonesia. Hal ini dimaksudkan untuk

mengurangi tiingkat kemiskinan masyarakat, meredam konflik-konflik sosial yang

meresahkan masyarakat bahari, dan menjaga kelestarian lingkungan hidup,

khususnya laut.

Page 23: WSBM 6

DAFTAR PUSTAKA

Anonima. 2010. Perubahan Sosial Budaya. http://www.crayonpedia.org. Diakses pada

hari Minggu, 18 Maret 2012.

Anonimb. 2006. Dinamika Perubahan Sosial maritim.http://www.crayonpedia.org Diakses

Selasa 12 Maret 2012 pukul  20.15 Wita

Anonimc . 2009. Mengatasi Perubahan Sosial Budaya. http://reza-andi.blogspot.com.

Diakses pada tanggal 19 April 2012 pukul 20.00 WITA.

Martono, Nanang. 2011. Perubahan Sosial. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta.

Tim Pengajar. 2011. Wawasan Ssosial Budaya Maritim. Universitas Hasanuddin.

Makassar