WSBM 6
-
Upload
carla-firsty -
Category
Documents
-
view
28 -
download
1
Transcript of WSBM 6
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Setiap kebudayaan dan masyarakat di dunia, tidak terkecuali kebudayaan
dan masyarakat bahari, cepat atau lambat pasti mengalami
dinamika / perkembangan. Dinamika tersebut meliputi wujud-wujud teknologi dan
benda/karya, perilaku dan kelembagaan, sistem-sistem budaya
kognitif/mental, etos/sikap kepribadian. Menjadi kenyataan pula bahwa biasanya
dalam dinamika ada tradisi bertahan (continuety), ada elemen-elemen dan
tatanan inti (struktur elementer) bertahan, yang dalam banyak hal justru ditopang
oleh atau menopang proses dinamika itu sendiri. Proses dinamika dan
bertahannya tradisi akan mempengaruhi situasi dan kondisi sosial ekonomi serta
lingkungan sumberdaya alam dimanfaatkannya.
Dalam masyarakat bahari, termasuk di Indonesia, telah tumbuh berbagai
sektor dan subsektor ekonomi kebaharian baru yang memunculkan segmen-
segmen atau kategori-kategori sosial seperti petambang, pekerja industri,
pengelola dan karyawan wisata, marinir,akademisi/peneliti, birokrat, dan lain-lain.
Tumbuh kembangnya sektor-sektor ekonomi dan jasa dengan segmen-segmen
masyarakat bahari tersebut memerlukan dan diikuti dengan perkembangan dan
perubahan-perubahan kelembagaannya menjadi wadah dan regulasinya.
Tumbuhnya sektor-sektor ekonomi baru dan berkembangnya sektor-sektor
ekonomi kebaharian lama, terutama perikanan dan pelayaran, tampak
dalamperkembangan dan perubahan-perubahan teknologi, perubahan struktural,
dan sistem-sistem budaya kebaharian (pengetahuan, gagasan, kepercayaan, nilai,
norma/aturan). Gambaran tentang fenomena dinamika sosial budaya bahari
berikut menggunakan kasus desa-desa Nelayan Bugis, Bajo dan Makasar di
Sulawesi Selatan (sumber data/informasidiperoleh dari berbagai hasil penelitian
lapangan).
B. Tujuan
Adapun tujuan penyusunan makalah ini adalah:
1. Untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Wawasan Sosial Budaya Maritim.
2. Untuk mengetahui keadaan dinamika sosial budaya maritim di Indonesia.
3. Untuk mengetahui bentuk-bentuk dinamika sosial budaya maritim.
4. Untuk mengetahui cara-cara untuk meningkatkan kualitas sosial budaya maritim di
Indonesia.
5. Untuk mengetahui dampak dari dinamika social budaya maritime terhadap sumber
daya laut
C. Manfaat
Melalui penyusunan makalah ini diharapakan :
1. Dapat menjadi refrensi terkait masalah dinamika sosial budaya maritim.
2. Dapat lebih memahami keadaan dinamika sosail budaya maritim.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Motorisasi Perahu/kapal Nelayan
Seperti halnya di berbagai desa nelayan di kawasan timur Indonesia
lainnya, motorisasi perahu dan kapal penangkapan ikan di desa-desa nelayan
Sulawesi Selatan baru mulai di tahun-tahun 1970-an. Mula-mula hanya
beberapa orang nelayan berstatus ponggawa (pengusaha danpemilik ala-ala
produksi) mampu mengkredit motor dari pengusaha besar di kota
Makasar (Bos dalam istilah lokal). Introduksi inovasi motor ke desa-desa
nelayan melalui Dinas Perikanan, namun pengusaha/ pedagang besaryang
berkedudukan di kota, khususnya Makassar, yang memegang peranan
penting menyampaikan dan mensosialisasikan sekaligus mendagangkan
inovasi motor kepada lapisan nelayan melalui paraponggawa dari desa-desa
pantai dan pulau-pulau di Sulawesi Selatan dengan aturan kredit tradisional.
Menurut informasi, bahwa pada mulanya semua unit motor yang masuk ke
desa-desa nelayan hanya berukuran 4,5-10 pk. Motor-motor kecil dipasang di
luar perahu (outboard motor).
B. Perkembangan Usaha dan Teknologi Perikanan Laut
Karena motor sendiri adalah salah satu komponen modal vital yang
membutuhkan biaya operasioanl secara terus-menerus, maka ini harus
difungsikan dengan penggunaan alat-alat tangkap produktif. Di Sulawesi
Selatan, di antara sekian banyak alat tangkap tradisional yangmasih digunakan
nelayan, terdapat beberapa di antaranya lebih berasosiasi dengan motor
seperti pukat gae (Bugis) atau rengge (Makasar), jala/panjak (payang), bagang,
pancing sunu (p.kerapu), pancing tongkol, bubu, kompresor (sarana selam),
dan lain-lain. Trawl (pukat harimau) termasuk alat tangkap baru dan modern
yang kemudian dilarang dan memang tidak pernah disukai oleh nelayan lapisan
bawah karena merugikan mereka, merusak sumberdaya dan ekologi. Alat-alat
tangkap tradisional tersebut di atas kemudian menjadi lebih produktif berkat
dioperasikan dengan perahu-perahu motor. Dapat dikatakan bahwa adopsi
inovasi motor dapat memberikan sumbangan kepada pengembangan dan
kontinyuitas teknologi tangkap tradisional tersebut, jadi bukannya
memusnahkannya.
1. Gae
Gae atau rengge adalah tipe pukat paling besar dan produktif dalam
perikanan laut di Sulawesi Selatan sampai sekarang ini. Berdasarkan
keterangan nelayan Makasar dari Galesong (Takalar), bahwa gae baru muncul
dan mulai digunakan di akhir tahun 1970-an atau awal tahun 1980-an dengan
ukuran lebih kecil daripada yang sekarang. Gae menurut keterangan
merupakan modifikasi dari gae tawang (sejenis pukat kecil) kalau bukan hasil
modifikasi dari panjak/jala lompo (payang). Ide pengembangan pukat
tradisional ini menjadi pukat raksasa sudah pasti muncul dari teradopsinya
mesin dari berbagai jenis merk dan ukuran kekuatan.
2. Bagang
Alat tangkap ini adalah sejenis alat tangkap tradisional nelayan Bugis yang
sejak tahun 1970-an telah mengalami perkembangan teknis secara pesat
seiring dengan adopsi inovasi motor di Sulawesi Selatan. Bentuk paling
kompleks dari teknik ini ialah bagang rambo (bagangraksasa) yang telah
digunakan oleh nelayan Palopo dan Malili (Luwu), nelayan Lappa (Sinjai) dan
nelayan Barru.
3. Usaha pancing tongkol
Salah satu jenis usaha perikanan laut dalam di Sulawesi Selatan yang
mengalami perkembangan cukup pesat berkat inovasi motor dan fasilitas
pengawetan tangkapan ialah usaha tongkol yang sebagian terbesar dikelola
oleh nelayan dari desa-desa pantai dalam kabupaten-kabupaten Bone, Sinjai,
Bulukumba, Bantaeng, Jeneponto, Takalar, dan lain-lain.
Sebelum motorisasi armada penangkapan ikan, jumlah
nelayantongkol masih sedikit dan mereka pada umumnya hanya beroperasi
dalam batas-batas wilayah perairan Sulawesi Selatan. Daya jangkau perahu-
perahu layar yang rendah dan belum tersedianya sarana pengawetan untuk
ikan segar merupakan faktor utama tidak berkembangnya aktivitas perikanan
laut dalam sebelum mekanisasi perahu-perahu penangkapan ikan tersebut.
4. Usaha lobster dan ikan hidup
Dimungkinkan oleh laku dan meningkatnya permintaan ikan hidup
jenis sunu, kerapu, langkoe/napoleon(dalam istilah Indonesia, sunutermasuk
kerapu juga) di pasar ekspor (Singapura dan Hongkong) terutama sejak awal
periode 1990-an, maka sebagian terbesar nelayan pulau dalam kawasan
karang Kepulauan Spermonde (Selat Makasar), Pulau Sembilan (Teluk
Bone), kawasan Takabonerate (Selayar) di Sulawesi Selatan beralih dari
menangkap berbagai spesis hasil laut ke usaha lobster dan ikan hidup di lokasi
karang (taka dalam istilah Bugis dan Makassar). Membaiknya kondisi harga
dan relatif kecilnya investasi dalam usaha ikan hidup yang prospektif tersebut,
yaitu bervariasi dari 5-15 juta rupiah per/unit usaha (mencakup komponen-
komponen perahu kecil, motor kecil, pancing atau bubu), mendorong para
nelayan yang sebelumnya aktif dalam kelompok-kelompok besar dengan status
sebagai sawi (anak buah) kemudian pecah ke dalam kelompok-kelompok kecil
yang berarti terjadi peningkatan jumlah unit usaha baru. Bahkan sebagian
besar nelayan berani menanggung risiko untuk menjadi pemilik dan aktif secara
peroragan.
5. Kompresor
Kompresor adalah kompnen utama dari perangkat sarana selam modern.
Adopsi kompresor atau mesin pompa udara ini dihubungkan dengan usaha-
usaha teripang, bubu (penangkapan ikan hidup), usaha hiu, dan kegiatan-
kegiatan ilegal seperti pemboman dan pembiusan ikan. Sebelum kompresor
diadopsi sejak pertengahan tahun 1980-an, para penyelam (sebagian besar
dari Pulau Sembilan) menggunakan tabung/tangki gas yang dianggap bisa
berbahaya bagi kesehatan nelayan. Tabung gas menggantikan
teknik selam tradisional yang alamiah dengan menggunakan ladung (alat
tusuk) untuk mengambil teripang, yang masih banyak dipraktikkan hingga
tahun 1970-an.
C. Dinamika Struktural
Di Sulawesi Selatan, tempat kediaman dan asal usul komunitas-
komunitas nelayan Bugis, Bajo dan Makasar di berbagai tempat di Nusantara
ini, dikenal kelompok kerjasama nelaya yang dikenal dengan
istilah Po(u)nggawa-Sawi (P-Sawi), yang menurut keterangan dari setiap desa
telah ada dan bertahan sejalk ratusan tahun silam. Meskipun kelompok P-
Sawi juga digunakan dalam kegiatan pertanian, perdagangan di darat dan
pengelolaan tambak, namun kelompok ini lebih eksis dan menyolok
peranannya dalam aktivitas pelayaran dan perikanan rakyat Bugis,
Makasar, dan Bajo di Sulawesi Selatan dan tempat-tempat lainnya di
Indonesia.
Struktur inti/elementer dari kelompok organisasi ini ialah P.laut atau
Juragan dan Sawi. P.Laut berstatus pemimpin pelayaran dan aktivitas produksi
dan sebagai pemilik alat-alat produksi. Para P.Laut memiliki pengetahuan
kelautan, pengetahuan dan ketrampilan manajerial, sementara para sawi hanya
memiliki pengetahuan kelautan dan ketrampilan kerja/produksi semata.
Suatu perubahan struktural yang berarti terjadi ketika suatu usaha
perikanan mengalami perkembangan jumlah unit perahu dan alat-alat produksi
yang dikuasai oleh seorang P.Laut/Juragan tadi sebagai akibat dari pengaruh
kapitalisme. Untuk pengembangan dan eksistensi usaha, maka P.Laut
/Juragan tidak lagi ikut memimpin pelayaran dan proses produksi di laut,
melainkan tetap tinggal di darat/pulau untuk mengelolaperolehan pinjaman
modal dari pihak lain, mengurus biaya-biaya anggota yang beroperasi di laut,
membangun jaringan pemasaran, dan lain-lain. Di sinilah pada awalnya muncul
satu status baru pada strata tertinggi dalam kelompok kerja nelayan yang
disebut P.Darat/P.Pulau. Untuk memimpin pelayaran dan aktivitas produksi di
laut, P.Darat merekrut juragan-juraganbaru untuk menggantikan
posisinya dalam memimpin unit-unit usaha yang sedang
berkembang dan meningkat jumlahnya. Para P.Laut/Juragan dalam proses
dinamika ini sebagian masih berstatus pemilik, sebagain lainnya hanyalah
berstatus pemimpin operasi kelompok nelayan. Para juragan yang direkrut
dari sawi-sawi berbakat/potensial dikenal juga dengan istilahP.Caddi,
sedangkan P.Darat disebut P.Lompo.
Pola hubungan (struktur sosial) yang menandai hubungan dalam
kelompok P.Sawi baik dalam bentuknya yang elementer (P.Laut/Juragan-Sawi)
maupun bentuk lebih kompleks (P.Darat/P.Lompo-P.Laut/Juragan-Sawi) ialah
hubungan patron-client. Hubungan patron-client memolakan dari atas bersifat
memberi servis ekonomi, perlindungan, pendidikan informal, sedangkan dari
bawah mengandung muatan moral dan sikap ketaatan dan kepatuhan, kerja
keras, disiplin, kejujuran, loyalitas, tanggung jawab, pengakuan, dan lain-lain
(dapat dipahami sebagai modal sosial).
Gejala perubahan sruktural paling menyolok dan terasa ketika berlangsung
adopsi inovasi teknologi perikanan terutama motor/mesin,peningkatan
volume perahu, beberapa jenis alat tangkap baru skala besar, sarana
pengawetan modern (penggunaan es balok). Untuk merespons difusiinovasi
teknologi eksploitasi dan sarana penggerak tersebut,
paraP.Darat/P.Lompo/pengusaha lokal yang mempunyai kemampuan modal
terbatas terpaksa mengusahakan bagian besar dari modalnya ke pihak-pihak
lain, yaitu pengusaha besar di kota-kota besar, teurutama Makassar,dengan
sistem kredit. Sudah menjadi pola umum dalam masyarakat nelayan tradisional
bahwa dari mana diperoleh pinjaman modal, ke situ pula dipasarkan
tangkapan. Pola ini sekaligus sudah menjadi norma pemasaran yang
mengakar. Cara seperti inilah memungkinkan para pengusaha modal dari luar
secara berangsur-angsur mengambil alih sebagian besar posisi dan peranan
vital para pengusaha lokal, yang lemah dalam faktor modal. Mula-mula mereka
menuntut hasil tangkap dijual kepada mereka, kemudian banyak menentukan
spesis-spesis tangkapan nelayan dan tingkat harga, dan jika ketentuan-
ketentua kurang dipenuhi maka pinjaman (dalam bentuk perahu dan mesin)
ditarik kembali dari nelayan dan para ponggawa-nya.
Dalam perubahan struktural seperti ini, para pengusaha modal besar di
Makasar dapat diposisikan pada strata paling atas yang dikenal dengan
istilah Bos, P.Pulau/P.Darat sebagai peminjam pada posisi tengah (peranannya
menyerupai makelar), sementara para P.Laut/Juragang danSawi (nelayan)
sebagai penyewa atau penyicil alat-alat produksi semata dari Bos melalui
P.Darat/P.Pulau/P.Lompo. Keterlibatan dan dominasi Bosdalam hirarkis
struktur hubungan kerjasama nelayan, menyebabkan hubungan patron-client di
antara P.Lompo/P.Darat dengan nelayan sebagian berubah menjadi hubungan
eksploitatif, sementara hubungan terpercaya cenderung dibangun dan
dimantapkan antara para P.Darat danBos. Tinggal P.Laut dengan Sawi-nya
relatif masih mempertahankan hubungan harmonis yang terbangun sejak
dahulu kala.
Perlakuan para P.Darat/P.Lompo yang seringkali merugikan bagi P.Laut/
Juragan, yang menyebabkan mereka sulit meningkatkan penapatan dan
bergeser naik ke status pemilik alat-alat produksi/pengusaha, mendorong
sebagian P.Laut/P.Caddi/Juragan mencoba menempuh cara berisiko, yaitu
meminjam modal langsung kepada Bos di Makasar. Hingga sekarang, tidak
sedikit Juragan telah mencapai idamannya dengan strategi seperti ini, yaitu
menjadi nelayan pemilik/pengusaha. Sebaliknya, mereka cenderung
membangun kompetisi dengan dan mempersempit peluang usaha
para P.Darat/P.Lompo yang sudah kokoh sejak lama. Demikianlah tercipta
suatu struktur kerjasama baru antara Bos dengan P.Laut/Juraganyang secara
langsung memimpin kelompok-kelompok nelayan yang jumlahnya kecil di laut.
Sebetulnya, sejak awal tahun 1990-an sudah ada alternatif sumber
pinjaman biaya operasional dan biaya hidup keluarga nelayanpesisir dan pulau,
yaitu para pengusaha kios yang menjual berbagaikebutuhan pokok dan bahan
pembuatan alat-alat penangkapan ikan. Sebagian di antara pengusaha kios
tersebut adalah keluarga P.Pulau juga.
D. Pengembangan Budaya Bahari
Untuk sekedar menyegarkan pemahaman, sekali lagi diungkapkan bahwa
kebudayaan tidak lain dari dunia kehidupan manusia itu sendiri. Kebudayaan
atau dunia kehidupan manusia tersebut sekurang-kurangnya meliputi tujuh
unsur umum (cultural universal), yakni pengetahuan (cognitive/ideational
/mental material), bahasa, organisasi sosial, ekonomi, teknologi, kesenian,
religi dan kepercayaan. Setiap unsur kebudayaan terdiri dari tiga tingkatan
wujud/rupa, yakni sistem budaya (gagasan, pengetahuan, nilai, keyakinan,
norma, moral, perasaan, intuisi, dan lain-lain), sistem sosial (tindakan dan
kehidupan kolektif), dan sistem alat peralatan/teknologi. Sudah dijelaskan pula
bahwa sistem budaya (terkristalisasi menjadi sistem nilai budaya) merupakan
pedoman/acuan (preference/dominant) bagi sistem sosial dan sistem alat
peralatan, sebaliknya sistem alat peralatan dan sistem sosial menjadi
prasyarat/penentu (determinant) terhadap sistem budaya. Adapun sistem sosial
sendiri merupakan wadah bagi pengamalan sistem nilai budaya dan penerapan
sistem alat peralatan/teknologi.
Oleh karena sistem nilai budaya merupakan pedoman/acuan bagi sistem
sosial (berkehidupan bersama) dan sistem teknologi (rekayasa dan
penggunaan alat peralatan), maka dalam rangka pengembangan atau
pembangunan kebudayaan bahari ke depan tentu tepatnya dimulai dari sistem
nilai budaya bahari itu sendiri. Dengan terbangunnya sistem nilai budaya bahari
yang ideal dan pragmatis, maka pembangunan dimensi kehidupan
bermasyarakat dan teknologinya akan terarahkan dan terkendali dengan baik
dalam konteks kristalisasi nilai dan moral budaya bahari yang mengakar dan
rekayasa baru individu atau kelompok potensial dari segmen-segmen
masyarakat pemangku kepentingan (stakeholders). Termasuk dalam segmen-
segmen stakeholders yang kreatif-inovatif dalam merekayasa unsur-unsur
budaya bahari baru yang ideal, pragmatis, dan aplikatif ialah kalangan
akademisi, ahli dan pemerhati lingkungan, praktisi pembangunan, tokoh
agama, LSM, dan sebagainya.
Dari gambaran dan ilustrasi unsur-unsur budaya nelayan dan pelayar
disajian sebelumnya, dapat diramu dan diseleksi berbagai unsur nilai budaya
bahari yang dianggap potensial untuk direvitalisasi dan dikembangkan ke
depan sebagai landasan bagi pembangunan budaya bahari di Indonesia pada
segala unsur atau aspeknya. Unsur-unsur nilai dan norma budaya positif yang
mengakar dalam berbagai kelompok nelayan dan pelayar dari berbagai suku
bangsa (ethnic groups) seperti di bawah ini:
Tentang nilai-nilai budaya bahari tersebut, tidak diasumsikan dianut dan
diaplikasikan oleh kelompok atau komunitas masyarakat nelayan pada
umumnya dan berlaku pada semua periode waktu atau masa. Sebaliknya,
keberadaan sebagian besar unsur nilai budaya bahari tersebut bersifat
kontekstual. Misalnya, keberanian dan kepetualangan, keketatan organisasi
kerjasama, etos ekonomi yang tinggi, wawasan kelautan, multikulturalisme,
nasionalisme, dan sikap keterbukaan, banyak dimiliki nelayan dan pelayar
Bugis dan Makassar dengan kelembagaan P-Sawi; sikap hemat/efisien dalam
pemanfaatan uang dimiliki kebanyakan dimiliki komunitas nelayan Dufadupa
(Ternate) dengan kelembagaan arisan, menabung, ke-Dibodibo-an; sikap
tolong-menolong antaranggota kelompok nelayan dari unit-unit usaha yang
berbeda dimiliki komunitas nelayan Bonebone (Baubau --Buton) dengan
kelembagaan rektur Kuli Jala; sikap kebersamaan dengan dan melestarikan
lingkungan ekosistem dan sumberdaya perikanan laut, dan pemanfaatan hasil-
hasil secara bersama dan adil dimiliki oleh komunitas nelayan Maluku, Irian,
dan Aceh dengan kelembagaan lokal Sasi, Tyatiki, dan Panglima Laut); dan
lain-lain.
Sistem nilai budaya, sikap kolektivitas, dan perilaku budaya kebaharian
tersebut tumbuh berkembang sebagai reproduksi dari pengalaman berinteraksi
dengan laut, pekerjaan berat dan rumit, ancaman bahaya dan
ketidakmenentuan, lingkungan sosial budaya masyarakat pengguna
sumberdaya dan jasa laut yang lain, pemerintah, pasar, dan sebagainya. Nilai-
nilai budaya yang mengakar dalam masyarakat bahari ini perlu diimput dengan
rekayasa nilai-nilai integratif, asimilatif, futuralistik, dan adaptif (input values)
yang terkandung dalam visi Universitas Hasanuddin (“Unhas sebagai pusat
pengembangan budaya bahari”) yang akan menjelmakan nilai-nilai budaya
bahri yang holistik, interkonektif, dan mandiri (output values) untuk menjadi
acuan sekaligus tujuan pengembangan budaya bahari di masa depan.
E. Problem Sosial - Ekonomi Masyarakat Bahari
1. Eksploitasi Sumber Daya Laut
Kelangkaan sumberdaya memang telah menjadi isu global, ketika
sumberdaya ikan dunia hanya tinggal 4% yang belum dieksploitasi, 21%
dieskploitasi pada tingkat sedang, 65% dieskploitasi pada tingkat penuh dan
berlebihan, 9% rusak, dan tidak lebih dari 1% yang pulih (Garcia & Moreno,
2001). Intensifnya pemanfaatan sumberdaya ikan tidak hanya meninggalkan
permasalahan akut kelangkaan sumberdaya, tetapi juga krisis ekologi,
ekonomi, dan sosial terutama di daerah-daerah pantai. Kini, ciri dasar
perikanan sedang mengikuti perikanan hipotetik Ricker (1975) dimana pada
fase awal populasi ikan tumbuh sampai ukuran maksimum dan perubahannya
hanya diatur oleh pertumbuhan dan kematian alami. Ketika tekanan ekploitasi
semakin intensif dengan sedikit intervensi untuk konservasi dan rehabilitasi,
sumberdaya ikan terus menurun dan hanya sedikit yang dapat pulih kembali.
Gambaran terakhir inilah yang menjadi ciri perikanan di Asia Tenggara seperti
dikemukan Butcher (2004) dalam bukunnya “The closing of the frontier: a
history of the marine fisheries in South East Asia c. 1850-2000”.
Perikanan Indonesia juga sedang mengalami nasib yang serupa. Secara
nasional, hasil pengkajian stok ikan oleh Pusat Riset Perikanan Tangkap dan
Pusat Penelitian Oseanologi tahun 2001 menunjukkan 65% sumberdaya
dieksploitasi secara penuh atau berlebihan dan sumberdaya ikan di kawasan
barat mendapat tekanan yang paling berat. Dari aspek produksi, pertumbuhan
yang tinggi terjadi pada dekade 1970an akibat pesatnya laju motorisasi
perikanan yang mencapai lebih dari 10% per tahun. Sayangnya, motorisasi ini
menghasilkan dualisme industri perikanan. Keberpihakan berlebihan pada
perikanan skala besar (trawl dan purse-seine) melahirkan berbagai konflik dan
menjadi catatan buruk pengelolaan perikanan Indonesia. Saat ini, perikanan
cenderung tumbuh semakin terbatas dan berdasarkan data FAOSTAT (2005)
pertumbuhan produksi tidak lebih dari 2% per tahun selama periode 1999-
2001. Dalam periode yang sama, berdasarkan data DKP (2003) nelayan
tumbuh di atas 2% per tahun dan melebihi laju pertumbuhan kapal ikan.
Indikasi ini tidak hanya menunjukkan sumberdaya ikan semakin terbatas
mendukung ekonomi nelayan, tetapi juga menjadikan perikanan sebagai
pelabuhan terakhir masyarakat yang tidak memiliki akses terhadap lapangan
kerja lainnya. Tidaklah mengherankan jika Béné dalam Jurnal World
Development (2003) menyebut perikanan yang sedang berjalan seirama
dengan kemiskinan.
Tentu, integrasi perikanan kedalam pembangunan desa perlu didorong
untuk menghindarkan pembangunan yang bersifat sektoral. Berkembangnya
usaha-usaha berbasis kelompok seperti pengolahan dan perdagangan ikan,
budidaya ikan/udang, pertanian lahan pasir, peternakan, dan pariwisata
termasuk usaha berbasis wanita di beberapa wilayah pesisir menjadi modal
sosial untuk mengintegrasikan perikanan ke dalam pembangunan desa.
Berbagai upaya ini tentu sangat tergantung ”sense of urgency” dan ”political
will” pemerintah yang saat ini banyak memegang kendali pengelolaan
perikanan. Bukanlah hal yang mudah ketika pemerintah tengah memasang
berbagai target pembangunan di atas tahun-tahun sebelumnya, seperti
produksi perikanan 7,7 juta ton, penerimaan devisa US$ 3,2 miliar, konsumsi
ikan 28 kg/kapita/tahun, penyerapan tenaga kerja 7,7 juta orang, dan kontribusi
terhadap PDB 3,1%. Prioritas pada pengelolaan tidak hanya bermakna
menjaga keberlanjutan perikanan laut yang menyumbang 75% total produksi
perikanan nasional, tetapi juga menyelamatkan lebih dari 2,5 juta nelayan yang
segara langsung tergantung padanya.
2. Kemiskinan
Nelayan mempunyai peran yang sangat substantial dalam memodernisasi
kehidupan manusia. Mereka termasuk agent of development yang paling reaktif
terhadap perubahan lingkungan. Sifatnya yang lebih terbuka dibanding
kelompok masyarakat yang hidup di pedalaman, menjadi stimulator untuk
menerima perkembangan peradaban yang lebih modern.
Dalam konteks yang demikian timbul sebuah stereotif yang positif tentang
identitas nelayan khususnya dan masyarakat pesisir pada umumnya. Mereka
dinilai lebih berpendidikan, wawasannya tentang kehidupan jauh lebih luas,
lebih tahan terhadap cobaan hidup dan toleran terhadap perbedaan.
Ombak besar dan terpaan angin laut yang ganas memberikan pengaruh
terhadap mentalitas mereka. Di masa lalu, ketika teknologi komunikasi belum
mencapai kemajuan seperti sekarang, perubahan-perubahan besar yang terjadi
pada masyarakat pedesaan (daratan) ditentukan oleh intensitas komunikasi
yang berhasil diwujudkan masyarakat pedesaan dengan para nelayan.
Dalam perkembangan, justru masyarakat nelayan belum menunjukkan
kemajuan yang berarti dibandingkan kelompok masyarakat
lainnya. Keberadaan mereka sebagai agen perubahan sosial ternyata tidak
ditunjukkan secara positif dengan kehidupan ekonominya. Persoalan sosial
paling dominan yang dihadapi di wilayah pesisir justru masalah kemiskinan
nelayan. Meski data akurat mengenai jumlah penduduk miskin di wilayah
pesisir ini belum tersedia, data dari hasil-hasil penelitian yang ada menunjukan
adanya incidence poverty di beberapa pesisir.
Tekanan terhadap sumber daya pesisir sering diperberat oleh tingginya
angka kemiskinan di wilayah tersebut. Kemiskinan sering pula menjadi
lingkaran karena penduduk yang miskin sering menjadi sebab rusaknya
lingkungan pesisir, namun penduduk miskin pula yang akan menanggung
dampak dari kerusakan lingkungan. Dengan kondisi tersebut, tidak
mengherankan jika praktik perikanan yang merusak masih sering terjadi di
wilayah pesisir.
Pendapatan mereka dari kegiatan pengeboman dan penangkapan ikan
karang dengan cyanide masih jauh lebih besar dari pendapatan mereka
sebagai nelayan. Sebagai contoh, pendapatan dari penjualan ikan karang
berkisar antara Rp 500.000 sampai Rp 700.000 per bulan (Erdman dan Pet,
2000). Dengan besarnya perbedaan pendapatan tersebut di atas, sulit untuk
mengatasi masalah kerusakan ekosistem pesisir tanpa memecahkan masalah
kemiskinan yang terjadi di wilayah pesisir itu sendiri.
3. Faktor Penyebab
Masalah kemiskinan kembali mencuat sebagai persoalan serius yang harus
segera ditangani pemerintah ketika krisis ekonomi melanda perekonomian
nasional mulai akhir tahun 1998. Krisis yang hampir membangkrutkan bangsa
dan negara Indonesia telah meningkatkan jumlah penduduk miskin kembali ke
tahun sebelum 1990.
Meningkatnya jumlah tenaga kerja Indonesia ilegal yang mencari pekerjaan
di negara jiran Malaysia adalah bukti konkret akan rendahnya harapan bagi
masyarakat pedesaan, terutama yang kurang berpendidikan untuk
menggantungkan kehidupannya dengan mengadu nasib sebagai masyarakat
urban dan suburban di Indonesia.
Secara garis besar ada dua cara memandang kemiskinan. Sebagian orang
berpendapat, kemiskinan adalah suatu proses, sedangkan sebagian lagi
memandang kemiskinan sebagai suatu akibat atau fenomena dalam
masyarakat.
Sebagai suatu proses, kemiskinan mencerminkan kegagalan suatu sistem
masyarakat dalam mengalokasikan sumber daya dan dana secara adil kepada
anggota masyarakat (Pakpahan dan Hermanto, 1992). Dari hasil kajian mereka
di 14 kecamatan daerah pantai yang tersebar di beberapa provinsi diketahui,
nelayan yang miskin umumnya belum banyak tersentuh teknologi modern,
kualitas sumber daya manusia rendah dan tingkat produktivitas hasil
tangkapannya juga sangat rendah.
Faktor utama bukan karena kekuatan modal untuk mengakses teknologi,
namun ternyata lebih banyak disebabkan oleh kurangnya aktivitas penyuluhan
atau teknologi dan rendahnya lembaga penyedia teknologi. Yang menarik dari
hasil penelitian mereka adalah ditemukannya korelasi positif antara tingkat
kemiskinan dengan perkembangan sistem ijon. Para nelayan miskin umumnya,
kehidupan ekonomi mereka sangat tergantung kepada para pemilik modal,
yaitu pemilik perahu atau alat tangkap serta juragan yang siap menyediakan
keperluan perahu untuk berlayar.
Indikator ini memang tidak selalu sama di setiap daerah karena seperti di
Pekalongan, banyak juragan kapal yang mengeluh dengan sikap anak buah
kapal (nelayan) yang cenderung terlalu banyak menuntut sehingga keuntungan
juragan kapal menjadi terbatas.
4. Kelebihan
Ada hal yang berbeda ketika kita berbicara tentang ekonomi nelayan dan
ekonomi petani terutama di Jawa Tengah. Di kalangan petani, pemasaran hasil
merupakan second generation problem yang sulit sekali dicarikan
pemecahannnya. Sedangkan di kalangan nelayan Jawa Tengah, pemasaran
bukanlah persoalan serius yang membuat mereka jatuh miskin. Di Provinsi
Jawa Tengah terdapat tempat pelelangan ikan (TPI) yang menjadi sarana
transaksi hasil-hasil ikan laut. Dalam proses transaksi di TPI, nelayan
berhadapan dengan banyak pembeli sehingga nelayan yang menjual hasil
ikannya di TPI umumnya akan mendapat harga yang paling menarik jika
dibandingkan dengan mereka yang menjual di laut lepas atau di luar TPI. TPI
Jawa Tengah yang dikelola oleh Koperasi Unit Desa yang tergabung dalam
Puskud Mina Baruna saat ini terbilang sebagai TPI paling solid dan terbaik di
Indonesia. Sayangnya, tidak semua proes transaksi dilakukan secara kontan,
terkadang di beberapa TPI banyak nelayan yang harus menunggu pembayaran
dua sampai tiga hari karena tidak semua pembeli membawa uang yang cukup.
Hal inilah yang mendorong para nelayan, yang memerlukan uang kontan
segera dan tidak sabar, menjual hasilnya di luar TPI. Akibatnya harga ikan
yang mereka jual jauh di bawah harga TPI dan seringkali hanya bisa untuk
menutup biaya operasi menangkap ikan di laut lepas.
Kondisi ini seringkali menimpa para nelayan-nelayan kecil yang
membutuhkan dana segar sesegera mungkin untuk menutup biaya kehidupan
ekonomi mereka. Pemerintah tampaknya perlu mendorong sektor perbankan
untuk membuka kantor kasnya di setiap TPI yang bisa mengatasi kesulitan
para bakul untuk menutup tagihannya. Termasuk fungsi perbankan disini
adalah menyediakan dana yang diperlukan nelayan untuk berlayar. Sayangnya
dengan kondisi kehidupan nelayan yang pas-pasan, tampaknya sangat sulit
bagi perbankan untuk menjalankan fungsi tersebut tanpa adanya agunan yang
memadai dari para nelayan. Di sini bila dimungkinkan pemerintah bisa
menyediakan dana khusus sebagai jaminan kepada perbankan untuk
menyalurkan dananya kepada nelayan. Kalaupun perbankan tidak mampu
memenuhi peran tersebut, pemerintah bisa menempatkan dananya sebagai
penyertaan modal kepada KUD-KUD pengelola TPI. Memang, nada miring
tentang KUD seringkali kita dengar sehingga pemerintah pun cenderung
berhati-hati bila ingin memberdayakan KUD. Namun, pendapat ini tidak bisa
digeneralisasi secara membabi buta, karena masih cukup banyak pengurus
KUD yang mempunyai hati nurani seperti KUD-KUD pengelola TPI. Tidak ada
salahnya, mulai sekarang pemerintah mulai mencoba mengalokasikan dana
retribusi dari transaksi di TPI untuk diarahkan kepada penyediaan modal bagi
nelayan. Dengan demikian misalokasi anggaran diharapkan tidak akan banyak
terjadi, karena dengan memberdayakan KUD berarti pula mendorong
bangkitnya kekuatan ekonomi nelayan.
5. Konflik Antar Nelayan
Konflik perikanan akhir-akhir ini kembali menjadi berita setelah di era 1970-
an konflik sangat mudah dan sering muncul kepermukaan sebagai akibat
dualisme industri perikanan laut. Selama bulan Januari yang lalu konflik dengan
kekerasan terjadi sekurang-kurangnya lima kali antara nelayan Jawa Tengah
dan Kalimantan (Kompas 25/1). Konflik nelayan pada 20 November 2005 di
Pulau Tambolongan, Selayar, Sulawesi Selatan juga meninggalkan luka
dengan tewasnya seorang nelayan dan ditahannya 38 nelayan lainnya (RRI
6/2).
Berdasarkan studi di lima provinsi, Satria, et.al. (2002) mengidentifikasi
paling tidak terdapat empat macam konflik nelayan berdasarkan faktor
penyebabnya. Pertama, konflik kelas, yaitu konflik yang terjadi antarkelas
sosial nelayan dalam memperebutkan wilayah penangkapan (fishing ground),
yang mirip dengan kategori gearwar conflict-nya Charles (2001).
Ini terjadi karena nelayan tradisional merasakan ketidakadilan dalam
pemanfaatan sumberdaya ikan akibat perbedaan tingkat penguasaan kapital.
Seperti, konflik yang terjadi akibat beroperasinya kapal trawl pada perairan
pesisir yang sebenarnya merupakan wilayah penangkapan nelayan tradisional.
Kedua, konflik orientasi, adalah konflik yang terjadi antar nelayan yang
memiliki perbedaan orientasi dalam pemanfaatan sumberdaya, yaitu antara
nelayan yang memiliki kepedulian terhadap cara-cara pemanfaatan
sumberdaya yang ramah lingkungan (orientasi jangka panjang) dengan
nelayan yang melakukan kegiatan pemanfaatan yang bersifat merusak
lingkungan, seperti penggunaan bom, potasium, dan lain sebagainya (orientasi
jangka pendek).
Ketiga, konflik agraria, merupakan konflik yang terjadi akibat perebutan
fishing ground, yang bisa terjadi antar kelas nelayan, maupun inter-kelas
nelayan. Ini juga bisa terjadi antara nelayan dengan pihak lain non-nelayan,
seperti antara nelayan dengan pelaku usaha lain, seperti akuakultur, wisata,
pertambangan, yang oleh Charles (2001) diistilahkan sebagai external
allocation conflict.
Keempat, konflik primordial, merupakan konflik yang terjadi akibat
perbedaan identitas, seperti etnik, asal daerah, dan seterusnya. Anatomi konflik
di atas menggambarkan betapa kompleksnya konflik nelayan. Keempat tipe
tersebut terjadi baik sebelum maupun sesudah otonomi daerah. Perebutan
sumberdaya ikan yang semakin langka menjadi salah satu akar konflik
perikanan saat ini, sehingga menuntut kita untuk bepikir ulang tentang cara
mengelola sumberdaya ini. Banyak kepentingan nelayan terkalahkan oleh
kepentingan non nelayan karena nelayan tidak memiliki organisasi dengan
posisi tawar yang kuat. Di era otonomi daerah ini lebih-lebih adanya
kecenderungan Pemda mengejar kepentingan jangka pendek dengan
mengedepankan proyek-proyek yang quick yielding yang seringkali
bersebarangan dengan kepentingan nelayan, kehadiran organisasi nelayan
yang solid menjadi kian mendesak.
Terakhir, dalam jangka panjang pemberdayaan nelayan sangat penting
dalam mengantisipasi konflik. Pemberdayaan tentu utamanya diarahkan pada
peningkatan ketahanan ekonomi rumah tangga nelayan. Berbagai bentuk
praktek penangkapan ikan secara destruktif ternyata tidak bisa lepas dari
perspektif ekonomi. Ketika nelayan dengan alat tangkap yang sangat terbatas
dan menghasilkan tangkapan ikan yang secara minimal, maka dorongan untuk
melakukan praktik penangkapan secara destruktif menjadi besar. Akibatnya
konflik orientasi pun sering terjadi. Tentu aspek ekonomi ini juga mesti diiringi
dengan aspek sosial budaya yaitu dengan melakukan pengkayaan
pengetahuan dan pola sikap para nelayan terhadap sumberdaya laut yang di
beberapa tempat sudah mulai bergeser.
F. Solusi Alternatif
1. Pemberdayaan Masyarakat Pesisir
Saat ini banyak program pemberdayaan yang menklaim sebagai
program yang berdasar kepada keinginan dan kebutuhan masyarakat
(bottom up), tapi ironisnya masyarakat tetap saja tidak merasa memiliki
akan program-program tersebut sehingga tidak aneh banyak program yang
hanya seumur masa proyek dan berakhir tanpa dampak berarti bagi
kehidupan masyarakat. Memberdayakan masyarakat pesisir berarti
menciptakan peluang bagi masyarakat pesisir untuk menentukan
kebutuhannya, merencanakan dan melaksanakan kegiatannya, yang
akhirnya menciptakan kemandirian permanen dalam kehidupan masyarakat
itu sendiri. Memberdayakan masyarakat pesisir tidaklah seperti
memberdayakan kelompok-kelompok masyarakat lainnya, karena didalam
habitat pesisir terdapat banyak kelompok kehidupan masayarakat
diantaranya:
1. Masyarakat nelayan tangkap, adalah kelompok masyarakat
pesisir yang mata pencaharian utamanya adalah menangkap ikan
dilaut. Kelompok ini dibagi lagi dalam dua kelompok besar, yaitu
nelayan tangkap modern dan nelayan tangkap tradisional.
Keduanya kelompok ini dapat dibedakan dari jenis kapal/peralatan
yang digunakan dan jangkauan wilayah tangkapannya.
2. Masyarakat nelayan pengumpul/bakul, adalah kelompok
masyarakt pesisir yang bekerja disekitar tempat pendaratan dan
pelelangan ikan. Mereka akan mengumpulkan ikan-ikan hasil
tangkapan baik melalui pelelangan maupun dari sisa ikan yang
tidak terlelang yang selanjutnya dijual ke masyarakat sekitarnya
atau dibawah ke pasar-pasar lokal. Umumnya yang menjadi
pengumpul ini adalah kelompok masyarakat pesisir perempuan.
3. Masayarakat nelayan buruh, adalah kelompok masyarakat
nelayan yang paling banyak dijumpai dalam kehidupan
masyarakat pesisir. Ciri dari mereka dapat terlihat dari kemiskinan
yang selalu membelenggu kehidupan mereka, mereka tidak
memiliki modal atau peralatan yang memadai untuk usaha
produktif. Umumnya mereka bekerja sebagai buruh/anak buah
kapal (ABK) pada kapal-kapal juragan dengan penghasilan yang
minim.
4. Masyarakat nelayan tambak, masyarakat nelayan pengolah, dan
kelompok masyarakat nelayan buruh.
Setiap kelompok masyarakat tersebut haruslah mendapat penanganan dan
perlakuan khusus sesuai dengan kelompok, usaha, dan aktivitas ekonomi
mereka. Pemberdayaan masyarakat tangkap minsalnya, mereka membutukan
sarana penangkapan dan kepastian wilayah tangkap. Berbeda dengan kelompok
masyarakat tambak, yang mereka butuhkan adalah modal kerja dan modal
investasi, begitu juga untuk kelompok masyarakat pengolah dan buruh.
Kebutuhan setiap kelompok yang berbeda tersebut, menunjukkan
keanekaragaman pola pemberdayaan yang akan diterapkan untuk setiap
kelompok tersebut.
Dengan demikian program pemberdayaan untuk masyarakat pesisir
haruslah dirancang dengan sedemikian rupa dengan tidak menyamaratakan
antara satu kelompk dengan kelompok lainnya apalagi antara satu daerah dengan
daerah pesisir lainnya. Pemberdayaan masyarakat pesisir haruslah bersifat
bottom up dan open menu, namun yang terpenting adalah pemberdayaan itu
sendiri yang harus langsung menyentuh kelompok masyarakat sasaran. Persoalan
yang mungkin harus dijawab adalah: Bagaimana memberdayakannya?
Banyak program pemberdayaan yang telah dilaksanakan pemerintah,
salah satunya adalah pemberdayaan ekonomi masyarakat pesisir (PEMP). Pada
intinya program ini dilakukan melalui tiga pendekatan, yaitu:
1. Kelembagaan. Bahwa untuk memperkuat posisi tawar
masyarakat, mereka haruslah terhimpun dalam suatu
kelembagaan yang kokoh, sehingga segala aspirasi dan
tuntutan mereka dapat disalurkan secara baik. Kelembagaan ini
juga dapat menjadi penghubung (intermediate) antara
pemerintah dan swasta. Selain itu kelembagaan ini juga dapat
menjadi suatu forum untuk menjamin terjadinya perguliran dana
produktif diantara kelompok lainnya.
2. Pendampingan. Keberadaan pendamping memang dirasakan
sangat dibutuhkan dalam setiap program pemberdayaan.
Masyarakat belum dapat berjalan sendiri mungkin karena
kekurangtauan, tingkat penguasaan ilmu pengetahuan yang
rendah, atau mungkin masih kuatnya tingkat ketergantungan
mereka karena belum pulihnya rasa percaya diri mereka akibat
paradigma-paradigma pembangunan masa lalu. Terlepas dari
itu semua, peran pendamping sangatlah vital terutama
mendapingi masyarakat menjalankan aktivitas usahanya.
Namun yang terpenting dari pendampingan ini adalah
menempatkan orang yang tepat pada kelompok yang tepat
pula.
3. Dana Usaha Produktif Bergulir. Pada program PEMP juga
disediakan dana untuk mengembangkan usaha-usaha produktif
yang menjadi pilihan dari masyarakat itu sendiri. Setelah
kelompok pemanfaat dana tersebut berhasil, mereka harus
menyisihkan keuntungannya untuk digulirkan kepada kelompok
masyarakat lain yang membutuhkannya. Pengaturan
pergulirannya akan disepakati di dalam forum atau lembaga
yang dibentuk oleh masyarakat sendiri dengan fasilitasi
pemerintah setempat dan tenaga pendamping.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Adapun kesimpulan dari makalah kami adalah sebagai berikut:
1. Berbagai desa nelayan di kawasan timur Indonesia lainnya, motorisasi perahu dan
kapal penangkapan ikan di desa-desa nelayan Sulawesi Selatan baru mulai di
tahun-tahun 1970-an.
2. Perkembangan Usaha dan Teknologi Perikanan Laut yaitu Gae,Bagang, Usaha
pancing tongkol, Usaha lobster dan ikan hidup, danKompresor.
3. Pola hubungan (struktur sosial) yang menandai hubungan dalam
kelompok P.Sawi baik dalam bentuknya yang elementer (P.Laut/Juragan-Sawi)
maupun bentuk lebih kompleks (P.Darat/P.Lompo-P.Laut/Juragan-Sawi) ialah
hubungan patron-client.
4. Kebudayaan atau dunia kehidupan manusia tersebut sekurang-kurangnya meliputi
tujuh unsur umum (cultural universal), yakni pengetahuan
(cognitive/ideational/mental material), bahasa, organisasi sosial, ekonomi,
teknologi, kesenian, religi dan kepercayaan.
5. Kelestarian sumber daya, khususnya sumber daya laut adalah sesuatu yang
sangat substansial, oleh karena itu kelestariannya harus dijaga.
B. Saran
Sebaiknya pemerintah segera menindaklanjuti masalah-masalah yang
dihadapi oleh masyarakat bahari Indonesia. Hal ini dimaksudkan untuk
mengurangi tiingkat kemiskinan masyarakat, meredam konflik-konflik sosial yang
meresahkan masyarakat bahari, dan menjaga kelestarian lingkungan hidup,
khususnya laut.
DAFTAR PUSTAKA
Anonima. 2010. Perubahan Sosial Budaya. http://www.crayonpedia.org. Diakses pada
hari Minggu, 18 Maret 2012.
Anonimb. 2006. Dinamika Perubahan Sosial maritim.http://www.crayonpedia.org Diakses
Selasa 12 Maret 2012 pukul 20.15 Wita
Anonimc . 2009. Mengatasi Perubahan Sosial Budaya. http://reza-andi.blogspot.com.
Diakses pada tanggal 19 April 2012 pukul 20.00 WITA.
Martono, Nanang. 2011. Perubahan Sosial. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta.
Tim Pengajar. 2011. Wawasan Ssosial Budaya Maritim. Universitas Hasanuddin.
Makassar