Wrap Up Sk 2 Neoplasia

38
SKENARIO 2 NYERI PERUT KANAN ATAS Seorang laki-laki berumur 54 tahun, berobat ke poli penyakit dalam. Pasien mengeluhkan nyeri pada perut kanan atas yang dialami sejak 6 bulan lalu, hilang timbul namun dua bulan terakhir nyeri semakin sering. Merasa mual dan selera makan berkurang sejak 4 bulan yang lalu sehingga berat badan berkurang 15 kg. dari anamnesis diketahui pasien pernah terkena hepatitis 15 tahun yang lalu dan sering mengkonsumsi alcohol. Pada pemeriksaan fisik ditemukan BB 45 kg dengan TB 165 cm. Tekanan darah dan tanda vital lainnya normal. Pemeriksaan abdomen hepatomegaly, dengan permukaan hati bernodul, tepi tumpul dan nyeri tekan (+). Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan peningkatan serum transaminase SGPT dan SGOT dengan bilirubin normal, Alpha Feto Protein (AFP) 1000 U/L (Normal : < 10U/L), anti-HCV positif. Setelah diberikan analgetik dan hepatoprotektor nyeri mereda. Setelah dilakukan pemeriksaan USG dan biopsy hati pasien didiagnosis karsinoma hepatoseluler. Pasien dianjurkan untuk menjalani transplantasi hati. Pasien meminta waktu untuk berkonsultasi dengan seorang ulama. 1

Transcript of Wrap Up Sk 2 Neoplasia

SKENARIO 2

NYERI PERUT KANAN ATAS

Seorang laki-laki berumur 54 tahun, berobat ke poli penyakit dalam. Pasien mengeluhkan nyeri pada perut kanan atas yang dialami sejak 6 bulan lalu, hilang timbul namun dua bulan terakhir nyeri semakin sering. Merasa mual dan selera makan berkurang sejak 4 bulan yang lalu sehingga berat badan berkurang 15 kg. dari anamnesis diketahui pasien pernah terkena hepatitis 15 tahun yang lalu dan sering mengkonsumsi alcohol.

Pada pemeriksaan fisik ditemukan BB 45 kg dengan TB 165 cm. Tekanan darah dan tanda vital lainnya normal. Pemeriksaan abdomen hepatomegaly, dengan permukaan hati bernodul, tepi tumpul dan nyeri tekan (+). Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan peningkatan serum transaminase SGPT dan SGOT dengan bilirubin normal, Alpha Feto Protein (AFP) 1000 U/L (Normal : < 10U/L), anti-HCV positif. Setelah diberikan analgetik dan hepatoprotektor nyeri mereda. Setelah dilakukan pemeriksaan USG dan biopsy hati pasien didiagnosis karsinoma hepatoseluler. Pasien dianjurkan untuk menjalani transplantasi hati. Pasien meminta waktu untuk berkonsultasi dengan seorang ulama.

1

KATA SULIT

1. AFP : Protein serum normal yang disintesis oleh hati yang meningkat pada penyakit karsinoma hati.

2. Hepatoprotektor : Senyawa untuk memperbaiki dan melindungi hati dari zat-zat toxic terhadap hati.

3. Anti-HCV : Kekebalan terhadap virus hepatitis C.4. Karsinoma hepatoseluler : Tumor ganas hati yang berasal dari sel hepatosit.

PERTANYAAN

1. Apa hubungan riwayat hepatitis dan mengkonsumsi alcohol terhadap penyakit yang diderita pasien sekarang?

2. Kenapa pasien merasa mual dan selera makannya berkurang?3. Apa yang menyebabkan hepatomegaly pada pasien ini?4. Apakah sel kanker hati dapat menyebar ke tempat lain?5. Apakah ada pengobatan lain selain transplantasi hati?6. Pada pemeriksaan biopsy hati, apa yang ditemukan untuk mendiagnosis karsinoma

hepatoseluler?7. Apa contoh hepatoprotektor?8. Apakah umur menjadi factor resiko terjadinya karsinoma hepatoseluler?9. Bagaimana pandangan Islam terhadap transplantasi hati?

JAWAB

1. Hepatitis dan mengkonsumsi alcohol merupakan factor resiko terjadinya karsinoma hepatoseluler.

2. Karena terdapat hepatomegaly yang mendesak saluran pencernaan, dan terganggunya sekresi beberapa enzim yang membantu fungsi saluran pencernaan.

3. Karena terjadinya proliferasi sel-sel hati yang terjadi secara terus menerus.4. Bisa menyebar melalui darah dan saluran limfe, salah satunya bisa menyebar ke usus

karena terdapat vena porta.5. Bisa dilakukan reseksi, yaitu pengangkatan sebagian sel hati. Indicator transplantasi hati

jika semua sel kanker sudah menyebar diseluruh hati dan adanya gangguan fungsi hati.6. Terdapat gambaran ini sel hepatosit pleomorfik dan hiperkromatik.7. Temulawak.8. Umur menjadi salah satu factor resiko. Semakin tua, fungsi suatu organ akan semakin

menurun.9. Boleh, karena dengan tujuan untuk kelangsungan hidup manusia.

2

SASARAN BELAJAR

LI.1 Memahami dan Menjelaskan Karsinoma Hepatoseluler.

LO.1 Memahami dan Menjelaskan Definisi.

LO.2 Memahami dan Menjelaskan Epidemiologi.

LO.3 Memahami dan Menjelaskan Etiologi.

LO.4 Memahami dan Menjelaskan Klasifikasi.

LO.5 Memahami dan Menjelaskan Patofisiologi.

LO.6 Memahami dan Menjelaskan Manifestasi Klinis.

LO.7 Memahami dan Menjelaskan Diagnosis dan Diagnosis Banding.

LO.8 Memahami dan Menjelaskan Tatalaksana.

LO.9 Memahami dan Menjelaskan Komplikasi.

LO.10 Memahami dan Menjelaskan Pencegahan.

LO.11 Memahami dan Menjelaskan Prognosis.

LI.2 Memahami dan Menjelaskan Transpalantasi Organ Dalam Hukum Islam.

3

LI.1 Memahami dan Menjelaskan Karsinoma Hepatoseluler.

LO.1 Memahami dan Menjelaskan Definisi.

Karsinoma hepatoseluler merupakan tumor ganas hati primer yang berasal dari hepatosit.

Karsinoma hepatoseluler (KHS) adalah salah satu jenis keganasan hati primer yang paling sering ditemukan dan banyak menyebabkan kematian. Dari seluruh keganasan hati, 80-90% adalah KHS. Dua jenis virus yang dapat dikatakan menjadi penyebab dari tumor ini adalah virus hepatitis B (HBV) dan virus hepatitis C (HCV).

LO.2 Memahami dan Menjelaskan Epidemiologi

Karsinoma hepatoseluler meliputi 5,6% dari seluruh kanker pada manusia serta menempati peringkat kelima pada laki-laki dan peringkat kesembilan pada perempuan sebagai kanker terserimh di dunia, dan urutan ketiga dari kanker sistem saluran cerna setelah kanker kolorektal dan kanker lambung. Tingkat kematian (rasio antara mortalitas dan insidensi) Karsinoma hepatoseluler juga sangat tinggi, diurutan kedua setelah kanker pancreas. Secara geografis, didunia terdapat tiga kelompok wilayah tingat kekerapan karsinoma hepatoseluler, yaitu kekerapan rendah (kurang dari tiga kasus); menengah (tingga hingga sepuluh kasus); dan tinggi (lebih dari sepuluh kasus per 100.000 penduduk). Tingkat kekerapan tertinggi tercatat di Asia Timur dan Tenggra serta di Afrika Tengan, sedangkan yang terendah di Eropa Utara, Amerika Tengan, Australia, dan Selandia Baru.

Sekitar 80% dari kasus karsinoma hepatoseluler didunia berada di negara berkembang seperti Asia Timur dan Asia Tenggara serta Afrika Tengah (Sub Sahara), yang diketahui sebagai wilayah dengan prevalensi tinggi hepatitis virus. Di negara maju dengan tingkat kekerapan karsinoma hepatoseluler rendah atau menengah, prevalensi infeksi HCV berkolerasi baik dengan angka kekerapan karsinoma hepatoseluler. Menarik untuk dipelajari hasil pengamatan berdaasarkan data dari registrasi kanker terpilih dari seluruh dunia yang menengarai adanya kecenderungan meningkatnya kekerapan karsinoma hepatoseluler dibanyak negara maju, sedangkan dinegara-negara berkembang bahkan terjadi penurunan, diduga hal ini berkaitan dengan meningkatnya seroprevalensi infeksi HCV di negara maju dan hasil upaya eliminasi factor-faktor infeksi HBV di negara berkembang.

Karsinoma hepatoseluler jarang ditemukan pada usia muda, kecuali di wilayah yang endemic infeksi HBV serta banyak terjadi transmisi HBV perinatal. Umumnya diwilayah dengan kekerapan karsinoma hepatoseluler tinggi, umur pasien karsinoma hepatoseluler 10-20 tahun lebih muda daripada umur pasien Karsinoma hepatoseluler diwilayah dengan kekerapan karsinoma hepatoseluler rendah. Hal ini dapat dijelaskan antara lain karena di wilayah dengan angka kekerapan tinggi, infeksi HBV sebagai salah satu penyebab terpenting karsinoma hepatoseluler, banyak ditularkan pada masa prinatal atau masa kanak-kanak, kemudian terjadi karsinoma hepatoseluler sesudah dua-tinga dasawarsa. Pada semua populasi, kasus karsinoma hepatoseluler laki-laki jauh lebih banyak (dua – empat kali lipat) daripada kasus karsinoma hepatoseluler perempuan. Di

4

wilayah dengan angka kekerapan karsinoma hepatoseluler tinggi, rasio kasus laki-laki dan perempuan dapat sampai delapan berbanding satu. Masih belum jelas apakah hal ini disebabkan oleh rentannya laki-laki terhadap timbulnya tumor, atau karena laki-laki lebih banyak terpajan oleh factor resiko karsinoma hepatoseluler seperti virus hepatitis dan alcohol.

LO.3 Memahami dan Menjelaskan Etiologi.

Faktor Risiko:

1. Virus Hepatitis BHubungan antara infeksi kronik HBV dengan timbulnya Karsinoma hepatoseluler terbukti kuat, baik secara epidemiologis, klinis, maupun eksperimental. Sebagian besar wilayah yang hiperendemik HBV menunjukkan angka kekerapan karsinoma hepatoseluler yang tinggi. Di Taiwan pengidap kronis infeksi HBV mempunyai risiko untuk terjadinya karsinoma hepatoseluler 102 kali lebih tinggi daripada risiko bagi yang bukan pengidao. Juga ditengarai bahwa kekerapan karsinoma hepatoseluler yang berkaitan dengan HBV pada anak jelas menurun setelah diterapkannya vaksinasi HBV universal bagi anak. Umur saat terjadi infeksi merupakan factor risiko penting karena infeksi HBV pada usia dini berakibat akan terjadinya persistensi (kronisitas). Karsinogenisitas HBV terhadap hati mungkinterjadi melalui proses inflamasi kronik peningkatan proliferasi hepatosit, integrase HBV DNA ke dalam DNA sel pejamu, dan aktivitas protein spesifik HBV berinteraksi dengan gen hati. Pada dasarnya, perubahan hepatosit dari kondisi inaktif (quiescent) menjadi sel yang aktif bereplikasi menentukan tingkat karsinogenesis hati. Siklus sel dapat diaktifkan secara tidak langsung oleh kompensasi proliferative merespons nekroinflamasi sel hati, atau akibat dipicu oleh ekspresi berlebihan suatu atau beberapa gen yang berubah akibat HBV. Koinsidensi infeksi HBV dengan pajanan agen onkogenik lain seperti alfatoksin dapat menyebabkan terjadinya karsinoma hepatoseluler tanpa memalui sirosis hati (karsinoma hepatoseluler pada hati non sirotik). Transaktifasi beberapa promoter selular atau viral tertentu oleh gen-x HBV (HBx) dapat mengakibatkan terjadinya karsinoma hepatoseluler, mungkin karena akumulasi protein yang disandi HBx mampu menyebabkan akselerasi proliferasi hepatosit. Dalam hal ini proliferasi berlebihan hepatosit oleh HBx melampaui mekanisme protektif dari apoptosis sel. Genotype HBV ditengarai memiliki kemampuan yang berbeda dalam mempengaruhi proses perjalanan penyakit. Relevansi klinis genotype HBV semakin jelas diketahui. Sebagai contoh, dibandingkan dengan genotype C, genotype B dihubungkan dengan serokonvensi HBeAg yang lebih awal, progresi ke sirosis lebih lambat, serta lebih jarang berkembang menjadi karsinoma hepatoseluler.

2. Virus Hepatitis CDiwilyaha dengan tingkat infeksi HBV rendah, HCV merupakan factor risiko penting dari karsinoma hepatoseluler. Prevalensi anti-HCV pada pasien karsinoma hepatoseluler di Cina dan Afriks Selatan sekitar 30%, sedangkan di Eropa Selatan dan Jepang 70-80%. Meta analisis dari 32 penelitian kasus kelola menyimpulkan bahwa risiko terjadinya karsinoma hepatoseluler pada pengidap infeksi HCV adalah 17 kali lipat dibandingkan dengan risiko pada bukan pengidap. Koeksistensi infeksi HCV kronik dengan infeksi HBV atau dengan peminum alcohol meliputi 20% dari kasus

5

karsinoma hepatoseluler. Diarea hiperendemik HBV seperti Taiwan, prevalensi anti-HCV jauh lebih tinggi pada kasus karsinoma hepatoseluler dengan HBsAg negative daripada yang HBsAg positif . ini menunjukkan bahwa infeksi HCV berperan penting dalam pathogenesis karsinoma hepatoseluler pada pasien yang bukan pengidap HBV. Pada kelompok pasien penyakit hati akibat transfuse darah dengan anti-HCVpositif, interval antara saat transfuse hingga terjadinya karsinoma hepatoseluler dapat mencapai 29 tahun. Hepatokarsinogenesis akibat infeksi HCV diduga melalu aktivitas nekroinflamasi kronik dan sirosis hati.

3. Sirosis hatiSirosis hati merupakan factor risiko utama karsinoma hepatoseluler di dunia dan melatarbelakangi lebih drai 80% kasus karsinoma hepatoseluler. Setiap tahun tiga sampai lima persen dari pasien sirosis hati akan menderita karsinoma hepatoseluler, dan karsinoma hepatoseluler merupakan penyebab utama kematian pada sirosis hati. Otopsi pada pasien sirosis hati mendapatkan 20-80% diantaranya telah menderita karsinoma hepatoseluler. Pada 60-80% dari sirosis hati makronodular dan tiga sampai sepuluh persen dari sirosis hati mikronodular dapat ditemukan adanya karsinoma hepatoseluler. Predictor utama karsinoma hepatoseluler pada sirosis hati adalah jenik kelamin laki-laki, peningkatan kadar alfa feto protein (AFP) serum, beratnya penyakit dan tingginya aktivitas proliferasi sel hati.

4. AflatoksinAflatoksin B1 (AFB1) merupakan mikotoksin yang diproduksi oleh jamur Aspergillus. Dari percobaan bintang diketahui bahwa AFB1 bersifat karsinogen. Metabolit AFB1 yaitu AFB 1-2-3-epoksid merupakan karsinogen utama dari klompok aflatoksin yang mampu membentuk ikatan dengan DNA maupun RNA. Salah satu mekanisme hepatokarsinogenesisnya adalah kemampuan AFB1 menginduksi mutase pada kodon 249 dari gen suppressor tumor p53. Beberapa penelitian dengan menggunakan biomarker di Mozambik, Afrika Selatan, Switzerland, Cina, dan Taiwan menunjukkan bahwa ada korelasi kuat antara pajanan aflatoksin dalam diet dengan morbiditas dan mortalitas karsinoma hepatoseluler. Ririko relative karsinoma hepatoseluler dengan aflatoksin saja adalah 3.4, dengan infeksi HBV kronik risiko relatifnya 7, dan meningkat menjadi 59 bila disertai dengan kebiasaan mengonsumsi aflatoksin.

5. Obesitas Suatu penelitian kohort prospektif pada lebih dari 900.000 individu di Amerika Serikat dengan masa pengamatan selama 16 tahun mendapatkan terjadinya peningkatan angka mortalitas sebasar lima kali akibat kanker hati pada kelompok individu dengan berat badan tertinggi (Indeks massa tubuh 35-40Kg/m2) dibandingkan dengan kelompok individu yang IMT-nya normal. Seperti diketahui, obesitas merupakan factor risiko utama untuk non-alcoholic fatty liver disease (NAFLD), khususnya non-alcoholic steatohepatitis (NASH) yang dapat berkembang menjadi sirosis hati dan kemudian dapat berlanjut menjadi karsinoma hepatoseluler.

6. Diabetes MelitusTelah lama ditengarai bahwa DM merupakan factor risiko baik untuk penyakit hati kronik maupun untuk karsinoma hepatoseluler melalui terjadinya perlemakan hati dan steatohepatitis non alkoholik (NASH). Diamping itu, DM dihubungkan dengan peningkatan kadar insulin dan insulin like growth factors (IGFs) yang merupakan

6

factor promotif potensial untuk kanker. Indikasi kuatnya asosiasi antara DM dan karsinoma hepatoseluler terlihat dari banyak penelitian, antara lain penelitian kasus-kelola oleh Hasan dkk. Yang melaporkan bahwa dari 115 kasus karsinoma hepatoseluler dan 230 pasien non karsinoma hepatoseluler, rasioodd dari DM adalah 4,3, meskipun diakui bahwa sebagian dari kasus DM sebelumnya sudah menderita sirosis hati. Penelitian kohort bessar oleh El Serag dkk. Yang melibatkan 173,643 pasien DM dan 650,620 pasien bukan DM menemukan bahwa insidensi karsinoma hepatoseluler pada kelompok DM lebih dari dua kali lipat dibandingkan dengan insidensi karsinoma hepatoseluler kelompok bukan DM. insidensi juga semakin tinggi seiring dengan lamanya pengamatan (kurang dari lima tahun hingga lebih dari sepuluh tahun). DM merupakan factor risiko karsinoma hepatoseluler tanpa memandang umur, jenis kelamin, dan ras, dengan angka risiko 2,16.

7. AlcoholMeskipun alcohol tidak memiliki kemampuan mutagenic, peminum berat alcohol (>50-70 g/hari dan berlangsung lama) berisiko untuk menderita karsinoma hepatoseluler melalui sirosis hati alkoholik. Hanya sedikit bukti adanya efek karsinogenik langsung dari alcohol. Alkoholisme juga meningkatkan risiko terjadinya sirosis hati dan karsinoma hepatoseluler pada pengidap infeksi HBV atau HCV. Sebaliknya, pada sirosis alkoholik terjadinya karsinoma hepatoseluler juga meningkay bermakna pada pasien dengan HBsAg positif, atau anti-HCV positif. Ini menunjukkan adanya peran sinergistik alcohol terhadap infeksi HBV maupun infeksi HCV. Acapkali penyalahgunaan alcohol merupakan predictor bebas untuk terjadinya karsinoma hepatoseluler pada pasien dengan hepatitis kronik atau sirosis akibat infeksi HBV atau HCV. Efek hepatotoksik alcohol bersifat dose dependent, sehingga asupan sedikit alcohol tidak meningkatkan risiko terjadinya karsinoma hepatoseluler.

8. Faktor risiko lainSeperti penyakit hati autoimun) hepatis autoimun;PCB/sirosis bilier primer), penyakit hati metabolic (hematokromatosis genetic, defisiensi antitrypsin alfa1; penyakit Wilson), kontrasepsi oral, senyawa kimia (thorotrast; vinil klorida; nitrosamine; insektisida organoklorin; asam tanik), tembakau.

LO.4 Memahami dan Menjelaskan Klasifikasi.

7

Tabel 1 : Penentuan Stadium Karsinoma Hepatoseluler

T : Tumor PrimerT0 : Tidak terbukti tumor primerT1 : Tumor tunggal < 2cmT2 : Tumor < 2cm dengan invasi vascular atau tumor multiple >2cm yang terbatas pada satu lobus.T3 : Tumor >2cm dengan invasi vascular atau tumor multiple >2cm yang terbatas pada satu lobusT4 : Tumor multiple di dalam dua lobusN : Kelenjar Limfe RegionalN0 : Tidak terdapat metastasis di dalam kelenjar limfeN1 : Metastasis di kelenjar limfeM0 : Tidak terdapat metastasis jauhM1 : Metastasis jauh

Stadium Ia Tumor tunggal berdiameter ≤ 3 cm, tanpa emboli tumor, tanpa metastasis kelenjar limfe peritoneal ataupun jauh; Child A

Stadium Ib Tumor tunggal atau dua tumor dengan diameter gabungan ≤ 5cm, di separuh hati, tanpa emboli tumor, tanpa metastasis kelenjar limfe peritoneal ataupun jauh; Child A

Stadium IIa Tumor tunggal atau dua tumor dengan diameter gabungan ≤ 10cm, di separuh hati atau dua tumor dengan diameter gabungan ≤ 5cm, di kedua belahan hati kiri dan kanan, tanpa emboli tumor, tanpa metastasis kelenjar limfe peritoneal ataupun jauh; Child A

Stadium IIb Tumor tunggal atau multiple dengan diameter gabungan > 10 cm, di separuh hati, atau tumor multiple dengan diameter gabungan > 5 cm, di kedua belahan hati kiri dan kanan, tanpa emboli tumor, tanpa metastasis kelenjar limfe peritoneal ataupun

8

jauh; Child A

Stadium IIIa Tidak peduli kondisi tumor, terdapat emboli tumor di pembuluh utama vena porta atau vena cava inferior, metastasis kelenjar limfe peritoneal atau jauh, salah satu daripadanya; Child A atau B

Stadium IIIb Tidak peduli kondisi tumor, tidak peduli kondisi emboli tumor, metastasis; Child C

Tabel 2 : Klasifikasi Stadium Karsinoma Hepatoseluler

Tabel 3 : Klasifikasi Karsinoma Hepatoseluler BerdasarkanChild-Turcotte-Pugh (CTP)

LO.5 Memahami dan Menjelaskan Patofisiologi.

Mekanisme karsinogenesis karsinoma hepatoseluler belum sepenuhnya diketahui. Apapun agen penyebabnya, transformasi maligna hepatosit, dapat terjadi melalui peningkatan perputaran (turnover) sel hati yang diinduksi oleh cedera (injury) dan regenerasi kronik dalam bentuk inflamasi dan kerusakan oksidatif DNA. Hal ini dapat

9

menimbulkan perubahan genetic seperti perubahan kromosom, aktivasi onkogen selular atau inaktivasi gen supresor tumor, yang mungkin bersama dengan kurang baiknya penanganan DNA mismatch, aktivasi telomerase, serta induksi factor-faktor pertumbuhan dan angiogenik. Hepatitis virus kronik, alcohol, dan penyakit hati metabolic seperti hemokromatosis dan defisiensi antitrypsin alfa 1, mungkin menjalankan peranannya terutama melalui jalur ini (cedera kronik, regenerasi, dan sirosis). Dilaporkan bahwa HBV dan mungkin juga HCV dalam keadaan tertentu juga berperan langsung pada pathogenesis molecular karsinoma hepatoseluler. Aflatoksin dapat menginduksi mutase pada gen supresor tumor p53 dan ini menunjukkan bahwa factor lingkungan juga berperan pada tingkat molecular untuk berlangsungnya proses hepatokasinogenesis.

Hilangnya heterozigositas (LOH = lost of heterozygosity) juga dihubungkan dengan inaktivasi gen supresor tumor. LOH atau delesi alelik adalah hilangnya satu Salinan dari bagian tertentu suatu genom. Pada manusia, LOH dapat terjadi di banyak bagian kromosom. Infeksi HBV dihubungkan dengan kelainan di kromosom 17 atau pada lokasi di dekat gen p53. Pada kasus karsinoma hepatoseluler, lokasi integrase HBV DNA didalam kromosom sangat bervariasi (acak). Oleh karena itu, HBV mungkin berperan sebagai agen mutagenic insersional non-selektif. Integrase acap kali menyebabkan terjadinya beberapa perubahan dan selanjutnya menyebabkan proses translokasi, duplikasi terbalik, penghapusan (delesi), dan rekombinasi. Semua perubahan ini dapat berakibat hilangnya gen-gen supresi maupun tumor maupun gen-gen seluler penting lain. Dengan analisis Shoutern blot, potongan (sekuen) HBV yang telah terintegrasi ditemukan didalam jaringan tumor/ karsinoma hepatoseluler, tidak ditemukan diluar jaringan tumor. Produk gen X dari HBV, lazim disebut HBx, dapat berfungsi sebagai transaktivator transkripsional dari berbagai gen sulelar yang berhubungan dengan control pertumbuhan. Ini menimbulkan hipotesis bahwa HBx mungkin terlibat pada hepatokarsinogenesis oleh HBV.

Diwilayah endemic HBV ditemukan hubungan yang bersifat dose dependent antara pajanan AFB1 dalam diet dengan mutase pada kodon 249 dari p53. Mutase ini spesifik untuk karsinoma hepatoseluler dan tidak memerlukan integrase HBV ke dalam DNA tumor. Mutase gen p53 terjadi pada sekitar 30% kasus karsinoma hepatoseluler didunia, dengan frekuensi dan tipe mutase yang berbeda menurut wilayah geografik dan etiologi tumornya.

Infeksi kronik HCV dapat berujung pada HCC setelah berlangsung puluhan tahun dan umumnya didahului oleh terjadinya sirosis. Ini menunjukkan proses cedera hati kronik diikuti oleh regenerasi dan sirosis pada proses hepatokarsinogenesis oleh HCV.

Selain yang disebutkan diatas, mekanisme karsinogenesis karsinoma hepatoseluler juga dikaitkan dengan peran dari telomerase, insulin like growth factors (IGFs), insulin receptor substrate 1 (IRS1).

Untuk proliferasi karsinoma hepatoseluler yang diduga berperan penting adalah vascular endothelial growth factor (VEGF) dan basic fibroblast growth factor (bFGF) berkat peran keduanya pada proses angiogenesis.

10

Gambar 1 : Skema Patofisiologi Karsinoma Hepatoseluler

11

LO.6 Memahami dan Menjelaskan Manifestasi Klinis.

Manifestasi klinisnya sangat bervariasi, dari asimtomatik hingga yang gejala dan tandanya sangat jelas dan disertai gagal hati. Gejala yang paling sering dikeluhkan adalah nyeri atau perasaan tak nyaman di kuadran kanan atas abdomen. Pasien sirosis hati yang makin memburuk kondisinya, disertai keluhan nyeri di kuadran kanan atas; atau teraba pembengkakan local di hepar patut dicurigai menderita karsinoma hepatoseluler. Demikian pula bila tidak terjadi perbaikan pada asites, perdarahan varises, atau pre-koma setelah diberi terapi yang adekuat; atau pasien penyakit hati kronik dengan HbsAg atau anti-HCV positif yang mengalami perburukan kondisi secara mendadak. Juga harus diwaspadai bila ada keluhan rasa penuh di abdomen disertai perasaan lesu, penurunan berat badan dengan atau tanpa demam.

Keluhan gastrointestinal lain adalah anoreksia, kembung, konstipasi atau diare. Sesak napas dapat dirasakan akibat besarnya tumor yang menekan diafragma, atau karena sudah ada metastasis di paru. Sebagian besar karsinoma hepatoseluler sudah menderita sirosis hati, baik yang masih dalam stadium kompensasi, maupun yang sudah menunjukkan tanda-tanda gagal hati seperti malaise, anoreksia, penurunan berat badan dan icterus.

Temuan fisis tersering pada karsinoma hepatoseluler adalah hepatomegaly dengan atau tanpa ‘bruit’ hepatic, splenomegaly, asites, icterus, demam, dan atrofi otot. Sebagian dari pasien dirujuk kerumah sakit karena perdarahan varises esophagus atau peritonitis bacterial spontan (SPB) ternyata sudah menderita karsinoma hepatoseluler. Pada suatu laporan serial nekropsi didapatkan bahwa 50% dari pasien karsinoma hepatoseluler telah menderttia asites hemoragik, yang jarang ditemukan pada pasien sirosis hati saja. Pada 10% hingga 40% pasien dapat ditemukan hiperkolesterolemia akibat dari berkurangnya produksi enzim beta hidroksimetilglutaril koenzim A reductase, karena tiadanya control umpan balik yang normal pada sel hepatoma.

LO.7 Memahami dan Menjelaskan Diagnosis dan Diagnosis Banding.

Diagnosis

Untuk tumor dengan diameter lebih dari 2 cm, adanya penyakit hati kronik, hipervaskularisasi arterial dari nodul (dengan CT atau MRI) serta kadar AFP serum ≥ 400 ng/mL adalah diagnostic.

Diagnosis histologis diperlukan bila tidak ada kontraindikasi (untuk lesi berdiameter lebih dari 2 cm) dan diagnosis pasti diperlukan untuk menetapkan pilihan terapi.

Untuk tumor berdiameter kurang dari 2 cm, sulit menegakkan diagnosis secara non-invasif karena berisiko tinggi terjadinya diagnosis negative palsu akibat belum matangnya vaskularisasi arterial pada nodul. Bila dengan cara imaging dan biopsy tidak diperoleh diagnosis definitive, sebaiknya ditindak lanjuti dengan pemeriksaan imaging serial setiap 3 bulan sampai diagnosis dapat ditegakkan.

Kriteria diagnosa karsinoma hepatoseluler menurut PPHI (Perhimpunan Peneliti Hati Indonesia), yaitu:

12

1. Hati membesar berbenjol-benjol dengan/tanpa disertai bising arteri. 2. AFP (Alphafetoprotein) yang meningkat lebih dari 500 ng/L. 3. Ultrasonography (USG), Nuclear Medicine, Computed Tomography Scann (CT

Scann), Magnetic Resonance Imaging (MRI), Angiography, ataupun Positron Emission Tomography (PET) yang menunjukkan adanya karsinoma hepatoseluler.

4. Peritoneoscopy dan biopsi menunjukkan adanya karsinoma hepatoseluler. 5. Hasil biopsi atau aspirasi biopsi jarum halus menunjukkan karsinoma hepatoseluler. 6. Diagnosa karsinoma hepatoseluler didapatkan bila ada dua atau lebih dari lima

kriteria atau hanya satu yaitu kriteria empat atau lima.

Pemeriksaan FisikPada pemeriksaan fisik umumnya didapatkan pembesaran hati yang berbenjol, keras, kadang disertai nyeri tekan. Palpasi menunjukkan adanya gesekan permukaan peritoneum viserale yang kasar akibat rangsangan dari infiltrat tumor ke permukaan hepar dengan dinding perut. Pada auskultasi di atas benjolan kadang ditemukan suatu suara bising aliran darah karena hipervaskularisasi tumor. Gejala ini menunjukkan fase lanjut karsinoma hepatoseluler.

Pemeriksaan Penunjang

1. Penanda tumorAlfa-fertoprotein (AFP) adalah protein serum normal yang disintesis oleh sel hati fetal, sel yolk sac dan sedikit sekali oleh saluran gastrointestinal fetal. Rentang normal AFP serum adalah 0-20 ng/mL. kadar AFP mrningkat pada 60 % sampai 70% dari pasien karsinoma hepatoseluler, dan kadar lebih dari 400ng/mL adalah diagnostic atau sangat sugestif untuk karsinoma hepatoseluler. Nilai normal dapat ditemukan juga pada karsinoma hepatoseluler stadium lanjut. Hasil positif palsu dapat juga ditemukan oleh hepatitis akut atau kronik dan pada kehamilan. Penanda tumor lain untukkarsinoma hepatoseluler adalah des gamma carboxy prothrombin (DCP) atau PIVKA-2, yang kadarnya meningkat pada hingga 91% dari pasien karsinoma hepatoseluler, namun juga dapat meningkat pada defisiensi vitamin K, hepatitis kronik aktif atau metastasis karsinoma. Ada beberapa lahi penanda karsinoma hepatoseluer, seperti AFP-L3 (suatu subfraksi AFP), alfa L fucosidase serum, dll., tetapi tidak ada yang memiliki agregat sensitivitas dan spesifisitas melebihi AFP, AFP L-3 dan PIVKA 2.

2. Fungsi hati dan sistem antigen antibodi hepatitis BKarena lebih dari 90% hepatoma disertai sirosis hati, hepatitis dan latar belakang penyakit hati lain, maka jika ditemukan kelainan fungsi hati, petanda hepatitis B atau hepatitis C positif, artinya terdapat dasar penyakit hati untuk hepatoma, itu dapat membantu dalam diagnosis.

3. Biopsi

Pemeriksaan Pencitraan

1. Ultrasonografi abdomenUntuk meminimalkan kesalahan hasil pemeriksaan AFP, pasien sirosis hati dianjurkan menjalani pemeriksaan USG setiap tiga bulan. Untuk tumor kecil pada

13

pasien dengan risiko tinggi USG lebih sensitive daripada AFP serum berulang. Sensitivitas USG untuk neoplasma hati berkisar antara 70%-80%. Tampilan USG yang khas untuk karsinoma hepatoseluler kecil adalah gambaran mosaic, formasi septum, bagian perifer sonolusen (ber-‘halo’) , bayangan lateral yang dibentuk oleh pseudokapsul fibrotic, serta penyangatan eko posterior. Berbeda dari tumor metastasis, karsinoma hepatoseluler dengan diameter kurang dari dua sentimeter mempunyai gambaran bentuk cincin yang khas. USG color Doppler sangat berguna untuk membedakan karsinoma hepatoseluler dari tumor hepatic lain. Tumor yang berada dibagian atas belakang lobus kanan mungkin tidak dapat terdeteksi oleh USG. Demikian juga yang berukuran terlalu kecil dan isoekoik.Modalitas imaging lain seperti CT-scan, MRI, dan angiografi kadang di[erlukan untuk mendeteksi karsinoma hepatoseluler, namun karena beberapa kelebihannya, USG masih tetap merupakan alat diagnostic yang paling popular dan bermanfaat.

Gambar 2 : USG karsinoma hepatoseluler, nodul hipoetic

14

Gambar 3: USG HCC: nodul gema bulat

2. CT ScanCT telah menjadi parameter pemeriksaan rutin terpenting untuk diagnosis lokasi dan sifat karsinoma hepatoseluler. CT dapat membantu memperjelas diagnosis, menunjukkan lokasi tepat, jumlah dan ukuran tumor dalam hati hubungannya dengan pembuluh darah, dalam penentuan modalitas terapi sangatlah penting. Terhadap lesi mikro dalam hati yang sulit ditentukan CT rutin dapat dilakukan CT dipadukan dengan angiongrafi (CTA), atau ke dalam arteri hepatika disuntikkan lipiodol, sesudah 1-3 minggu dilakukan lagi pemeriksaan CT, pada waktu ini CT lipiodol dapat menemukan hepatoma sekecil 0,5 cm. CT scan sudah dapat membuat gambar karsinoma dalam 3 dimensi dan 4 dimensi dengan sangat jelas serta memperlihatkan hubungan karsinoma

ini dengan jaringan tubuh sekitarnya.

Gambar 4 : MD-CT Scan riwayat hepatitis B, tampak nodul HCC

3. MRI (Magnetic Resonance Imaging)MRI merupakan teknik pemeriksaan non-radiasi, tidak memakai zat kontras berisi iodium, dapat secara jelas menunjukkan struktur pembuluh darah dan saluran empedu dalam hati, juga memperlihatkan struktur internal jaringan hati dan hepatoma, sangat membantu dalam menilai efektivitas terapi. Dengan zat kontras spesifik hepatosit dapat menemukan hepatoma kecil kurang dari 1cm dengan angka keberhasilan 55%. Pemeriksaan dengan MRI ini langsung dipilih sebagai alternatif bila ada gambaran CT scan yang meragukan atau pada pasien yang mempunyai kontraindikasi pemberian zat. MRI yang dilengkapi dengan perangkat lunak Magnetic Resonance Angiography (MRA).

15

Gambar 5 : Gambar 6 :MRI HCC tampak lesi dengan diamer 2,5cm HCC multipel hipervaskular kecil

4. Angiografi arteri hepaticaPada setiap pasien yang akan menjalani operasi reseksi hati harus dilakukan pemeriksaan angiografi. Dengan angiografi ini dapat dilihat berapa luas kanker yang sebenarnya. Karsinoma terlihat dengan USG yang diperkirakan kecil sesuai dengan ukuran pada USG bisa saja ukuran sebenarnya dua atau tiga kali lebih besar. Angiografi memperlihatkan ukuran kanker yang sebenarnya. Lebih lengkap lagi bila dilakukan CT scan yang dapat memperjelas batas antara kanker dan jaringan sehat di sekitarnya.

16

Gambar 7:Angiogram menunjukkan pembuluh darah hepar dengan multipel karsinomahepatoseluler sebelum terapi (kiri), dan sesudah terapi (kanan) menunjukkan penurunan vaskular dan respon terapi.

5. PET (Positron Emission Tomography) Positron Emission Tomography (PET) merupakan alat diagnosis karsinoma menggunakan glukosa radioaktif yang dikenal sebagai flourine18 atau Fluorodeoxyglucose (FGD) yang mampu mendiagnosa karsinoma dengan cepat dan dalam stadium dini. Caranya, pasien disuntik dengan glukosa radioaktif untuk mendiagnosis sel-sel kanker di dalam tubuh. Cairan glukosa ini akan bermetabolisme di dalam tubuh dan memunculkan respons terhadap sel-sel yang terkena kanker. PET dapat menetapkan tingkat atau stadium HCC sehingga tindakan lanjut penanganan karsinoma ini serta pengobatannya menjadi lebih mudah. Di samping itu juga dapat melihat metastase dari karsinoma itu sendiri.

6. Pemeriksaan LainnyaPungsi hati mengambil jaringan tumor untuk pemeriksaan patologi, biopsi kelenjar limfe supraklavikular, biopsi nodul sub-kutis, mencari sel ganas dalam asites, perito-neoskopi dll. juga mempunyai nilai tertentu pada diagnosis hepatoma primer.

Strategi skrining dan surveilansSkrining dimaksudkan sebagai aplikasi pemeriksaan diagnostic pada populasi umum, sedangkan surveillance adalah aplikasi berulang pemeriksaan diagnostic pada populasi yang berisiko untuk suatu penyakit sebelum ada bukti bahwa penyakit tersebut sudah terjadi. Karena sebagian dari pasien karsinoma hepatoseluler, dengan atau tanpa sirosis adalah tanpa gejala, untuk mendeteksi dini karsinoma hepatoseluler diperlukan strategi khusus terutama bagi pasien sirosis hati dengan HBsAg atau anti-HCV positif. Berdasarkan atas lamanya waktu penggandaan (doubling time) diameter karsinoma hepatoseluler yang berkisar antara 3 hingga 6 bulan bagi pasien sirosis maupun hepatitis kronik B atau C. cara ini di Jepang terbukti dapat menurunkan jumlah pasien karsinoma hepatoseluler yang terlambat dideteksi dan sebaliknya meningkatkan identifikasi tumor kecil (dini). Namun hingga kini masih belum jelas apakah dengan demikian juga terjadi penurunan mortalitas (liver related mortality).

17

Diagnosis Banding Karsinoma Hepatoseluler

1. Diagnosis banding hepatoma dengan AFP (+)Hepatoma dengan AFP positif harus dibedakan dari kehamilan, tumor embrional kelenjar reproduktif, metastasis hati dari kanker saluran digestif dan hepatitis serta sirosis hati dengan peninggian AFP. Pada hepatitis, sirosis hati, jika disertai peninggian AFP agak sulit dibedakan dari hepatoma, harus dilakukan pemeriksaan pencitraan hati secara cermat, dilihat apakah terdapat lesi penempat ruang dalam hati, selain secara berkala harus diperiksa fungsi hati dan AFP, memonitor perubahan ALT dan AFP.

2. Diagnosis banding hepatoma dengan AFP (-)Hemangioma hati paling sulit dibedakan dari HCC dengan AFP negatif, hemangioma umumnya pada wanita, riwayat penyakit yang panjang, progresi lambat, bisa tanpa latar belakang hepatitis dan sirosis hati, zat petanda hepatitis negatif, MRI dapat membantu diagnosis. Pada tumor metastasis hati, sering terdapat riwayat kanker primer, zat petanda hepatitis umumnya negatif pencitraan tampak lesi multipel tersebar dengan ukuran bervariasi. Adenoma hati, umumnya pada wanita, sering dengan riwayat minum pil KB bertahun-tahun, tanpa latar belakang hepatitis, sirosis hati, petanda hepatitis negatif. Hiperplasia nodular fokal, pseudotumor inflamatorik sering cukup sulit dibedakan dari HCC.

LO.8 Memahami dan Menjelaskan Tatalaksana.

Karena sirosis hati yang melatarbelakanginya serta tingginya kekerapan multi-nodularitas, resektabilitas karsinoma hepatoseluler sangat rendah. Disamping itu kanker ini juga sering kambuh meskipun sudah menjalani reseksi bedah kuratif. Pilihan terapi diterapkan berdasarkan atas ada tidaknya sirosis, jumlah dan ukuran tumor, serta derajat pemburukkan hepatic. Untuk menilai status klinis, sistem skor Child-Pugh menunjukkan estimasi yang akurat mengenai kesintasan pasien. Telaah mengenai terapi karsinoma hepatoseluler menemukan sejumlah kesulitan karena terbatasnya penelitian dengan control yang membandingkan efikasi terapi bedah atau ablative lokoregional, disamping besarnya heterogenitas kesintasan kelompok kontrol pada berbagai penelitian individual.

1. Reseksi HepatikUntuk pasien dalam kelompok non-sirosis yang biasanya mempunyai fungsi hati normal pilihan utama terapi adalah reseksi hepatic. Namun untuk pasien sirosis diperlukan kriteria seleksi karena operasi dapat memicu timbulnya gagal hati yang dapat menurunkan angka harapan hidup. Parameter yang dapat digunakan untuk seleksi adalah skor Child Pugh dan derajat hipertensi portal atau kadar bilirubin serum dan derajat hipertensi portal saja. Subjek dengan bilirubin normal tanpa hipertensi portal yang bermakna, harapan hidup lima tahunnya dapat mencapai 70%. Kontraindikasi tindakan ini adalah adanya metastasis ekstrahepatik, karsinoma hepatoseluler difus atau multifocal, sirosis stadium lanjut dan penyakit penyerta yang dapat mempengaruhi ketahanan pasien menjalani operasi.

2. Transplantasi HatiBagi pasien karsinoma hepatoseluler dan sirosis hati, transplantasi hati memberikan kemungkinan untuk menyingkirkan tumor dan menggantikan parenkim hati yang

18

mengalami disfungsi. Dilaporkan kesintasan 3 tahun mencapai 80%, bahkan dengan perbaikan seleksi pasien dan terapi perioperative dengan obat antiviral seperti lamivudine, ribavirin, dan interferon dapat mencapai kesintasan 5 tahun sebesar 92%. Kematian pasca transplantasi tersering disebabkan oleh rekurensi tumor didalam maupun diluar transplan. Rekurensi tumor bahkan mungkin diperkuat oleh obat antirejeksi yang harus diberikan. Tumor yang berdiameter kurang dari 3 cm lebih jarang kambuh dibandingkan dengan tumor yang diameternya lebih dari 5 cm.

3. Abiasi Tumor PerkutanDestruksi dari sel neoplastic dapat dica[ai dengan bahan kimia (alcohol, asam asetat) atau dengan memodifikasi suhunya (radiofrequency, microwave, laser dan cryoablation). Injeksi etanol perkutan (PEI) merupakan teknik terpilih untuk tumor kecil karena efikasinya tinggi, efek sampingnya rendah serta relative murah. Dasar kerjanya adalah menimbulkan dehidrasi, nekrosis, oklusi vascular dan fibrosis. Untuk tumor kecil (diameter <5cm) pada pasien sirosis Child Pugh A, kesintasan 5 tahun dapat mencapai 50%. PEI bermanfaat untuk pasien dengan tumor kecil namun resektabilitasnya terbatas karena adanya sirosis hati non-Child A.Radiofrequency ablation (RFA) menunjukkan angka keberhasilan yang lebih tinggi daripada PEI dan efikasinya tertinggi untuk tumor yang lebih besar dari 3 cm, namun tetap tidak berpengaruh terhadap harapan hidup pasien. Selain itu, RFA lebih mahal dan efek sampingnya lebih banyak dibandingkan dengan PEI.Guna mencegah terjadinya rekurensi tumor, pemberian asam poliprenoik (polyprenoik acid) selama 12 bulan dilaporkan dapat menurunkan angka rekurensi pada bulan ke-38 secara bermakna dibandingkan dengan kelompok placebo (kelompok placebo 49%, kelompok terapi PEI atau resektif kuratif 22%).

4. Terapi PaliatifSebagian besar pasien karsinoma hepatoseluler didiagnosis pada stadium menengah-lanjut (intermediated-advanced stage) yang tidak ada terapi strandarnya. Berdasarkan meta analisis, pada stadium ini hanya TAE/TACE (transarterial embolization/chemo embolization) saja yang menunjukkan penurunan pertumbuhan tumor serta dapat meningkatkan harapan hidup pasien dengan karsinoma hepatoseluler yang tidak resektabel. TACE dengan frekuensi 3 hingga 4 kali setahun dianjurkan pada pasien yang fungsi hatinya cukup baik (Child Pugh A) serta tumor multinodular asimtomatik tanpa invasi vascular atau penyebaran ekstrahepatik, yang tidak dapat diterapi secara radikal. Sebaliknya bagi pasien yang dalam keadaan gagal hati (Child Pugh B-C), serangan iskemik akibat terapi ini dapat mengakibatkan efek samping yang berat.Adapun beberapa jenis terapi lain untuk karsinoma hepatoseluler yang tidak resektabel seperti imunoterapi dengan interferon, terapi antiestrogen, antiandrogen, oktreotid, radiasi internal, kemoterapi arterial atau sistemik masih memerlukan penelitian lebih lanjut untuk mendapatkan penilaian yang meyakinkan.

Terapi non BedahMeskipun pendekatan multidispliner terhadap KHS dapat meningkatkan hasil reseksi dan orthotopic liver transplantation, tetapi kebanyakan penderita tidak memenuhi persyaratan untuk terapi operasi karena stadium tumor yang telah lanjut, derajat sirosis yang berat,

19

atau keduanya. Oleh karena itu, terapi non-bedah merupakan pilihan untuk pengobatan penyakit ini. Beberapa alternative pengobatan non-bedah karsinoma hati meliputi:

1. Percutaneous ethanol injection (PEI)PEI pertama kali diperkenalkan pada tahun 1986. Teknik terapi PEI dilaporkan memberikan hasil sebaik reseksi untuk KHS yang kecil. Kerugian dari cara ini adalah tingkat rekurensi lokal yang tinggi dan kebutuhan akan sesi terapi berulang kali (multipel) agar didapatkan ablasi lengkap dari lesi. PEI dilakukan dengan cara menyuntikkan per kutan etanol murni (95%) ke dalam tumor dengan panduan radiologis untuk mendapatkan efek nekrosis dari tumor. Tindakan ini efektif untuk tumor berukuran kecil (<3 cm). Untuk penderita-penderita dengan asites, koagulopati sedang atau berat dan lesi permukaan, PEI tidak dianjurkan. Efek PEI adalah demam, sakit di daerah suntikan, perdarahan intrahepatik dan perdarahan peritoneal.

2. ChemoembolismTranscatheter arterial chemoembolism dapat digunakan sebagai terapi lokal (targeted chemoembolism) atau regional (segmental, lobar chemoembolism) tergantung dari ukuran, jumlah dan distribusi lesi. Kemoembolisme dianggap terapi baku untuk KHS yang tidak dapat dilakukan reseksi. Lipoidol diberikan dengan obat kemoterapi yang kemudian akan terkonsentrasi di dalam sel tumor tetapi secara aktif dibersihkan dari sel-sel yang non-maligna. Pada cara ini, terjadi devaskularisasi terhadap tumor sehingga menghentikan suplai nutrisi dan oksigen ke jaringan tumor dan mengakibatkan terjadinya nekrosis tumor akibat vasokonstriksi arteri hepatika. Dengan teknik ini didapatkan respon yang lebih baik dibandingkan kemoterapi arterial atau sistemik. Selain lipoidol dapat juga digunakan gelfoam dan kolagen. Efek samping yang sering terjadi antara lain adalah demam, nausea, vomitus, sakit di daerah abdominal. Kemoembolisasi pada penderita-penderita dengan karsinoma hepatoseluler yang tidak dapat direseksi dilaporkan menunjukkan reduksi dari pertumbuhan tumor tetapi tidak memberikan peningkatan survival. Efikasi yang terbatas dari kemoembolisasi pada penderita KHS dengan tumor yang besar dan tidak dapat direseksi dapat dijelaskan oleh adanya sel-sel tumor yang tetap hidup setelah terapi, terutama dengan adanya invasi vaskuler, adanya anak nodul kecil-kecil, dan adanya trombi tumor. Kemoembolisasi efektif untuk tumor kecil tunggal dengan hipervaskularisasi. Respons yang lebih besar dan derajat survival yang lebih tinggi diperoleh bilamana kemoembolism diikuti dengan PEI.

3. Kemoterapi sistemikPemberian terapi dengan anti-tumor ternyata dapat memperpanjang hidup penderita. Sitostatika yang sering dipakai sampai saat ini adalah 5-fluoro uracil (5-FU). Zat ini dapat diberikan secara sistematik atau secara lokal (intra-arteri). Sitostatika lain yang sering digunakan adalah adriamisin (doxorubicin HCl) atau adriblastina. Dosis yang diberikan adalah 60-70 mg/m2 luas badan yang diberikan secara intra-vena setiap 3 minggu sekali atau dapat juga diberikan dengan dosis 20-25 mg/m2 luas badan selama 3 hari berturut-turut dan diberikan setiap 3 minggu sekali. Adriamisin sebagai obat tunggal sangat efektif dengan peningkatan survival rate sebesar 25% dibandingkan bila tidak diberi terapi. Penggunaan kombinasi sisplatin, IFN-∝2B, adriamisin dan 5-FU yang diberikan secara sistematik pada penderita KHS memberikan rerspon yang sangat baik untuk

20

tumor hati dan ekstrahepatik. Dengan rejimen seperti ini ternyata 18% penderita yang awalnya tidak dapat dieseksi dapat direseksi dan 50% menunjukkan remisi histologis yang sempurna. Namun demikian, kombinasi di atas tidak dapat ditoleransi penderita-penderita sirosis lanjut.

4. Kemoterapi intra-arterial (transcatheter arterial chemotherapy)Pengobatan karsinoma hati dengan sitostatika ternyata kurang memberikan manfaat yang diharapkan. Respon parsial hanya mencapai 25% saja. Pemberian 5-FU ternyata tidak memperpanjang usia penderita. Oleh karenanya diberikan sitostatika secara intra-arterial dengan beberapa keuntungan seperti misalnya, konsentrasi sitostatika lebih tinggi pada target (tumor), mengurangi toksisitas sistemik dan kontak antara obat dengan tumor berlangsung lebih lama. Pada teknik ini kateter dimasukkan per kutaneus ke dalam arteri brachialis atau a. femoralis atau melalui laparotomi ke arteri hepatika, kemudian obat sitostatika disuntikkan secara perlahan-lahan selama 10-30 menit. Sitostatika yang disuntikkan adalah mitomisin C 10-20 mg dikombinasikan dengan adriablastiina 10-20 mg dicampur dengan 100-200 ml larutan garam faal. Pemberian sitostatika diulang satu bulan kemudian sambil mengevaluasi hasil pengobatan sebelumnya. Efek samping dari cara pengobatan di atas tersebut dapat berupa demam, septikemia, perdarahan, trombosis, emboli udara. Kontraindikasi dari kemoterapi intra-arterial adalah kaheksia, asites yang intraktabel, dan gangguan faal hati berat.

5. RadiasiTerapi radiasi jarang digunakan sebagai terapi tunggal dan tidak banyak perannya sebab carsinoma hati tidak sensitif terhadap radiasi dan sel-sel hati yang normal sangat peka terhadap radiasi. Terapi radiasi dengan menggunakan 50 Gy untuk membunuh sel-sel kanker hati dapat menyebabkan radiation induced hepatitis. Dosis yang diberikan umumnya berkisar antara 30-35 Gy dan diberikan selama 3-4 minggu. Meskipun demikian, penderita biasanya meninggal dalam kurun waktu 6 bulan. karena survival-nya pendek. Teknik baru yang dengan proton therapy adalah teknik yang menggunakan partikel bermuatan positif untuk menghantar energi membunuh sel-sel tumor dengan cedera minimal pada jaringan hati yang nonneoplastik. Dengan proton therapy dosis 70-80 Gy sangat aman karena sel target adalah hanya sel tumor. Ukuran tumor dapat berkurang sampai 50% dari sebelumnya, dan efek samping yang terjadi sangat minimal sehingga memberikan kualitas hidup yang lebih baik.

6. TamofixenTamofixen digunakan pada penderita-penderita KHS dengan sirosis lanjut, tetapi tidak meningkatkan survival. Tamofixen dapat dikombinasikan dengan etoposide dan menunjukkan perbaikan serta memberikan toksisitas rendah dan bermanfaat sebagai terapi paliatif. Secara in vitro, tamofixen bermakna meningkatkan efek sitotoksik doxorubisin pada KHS. Kombinasi Antara tamofixen dengan doxorubisin ternyata tidak memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan dengan tamofixen tunggal.

7. Injeksi asam asetat perkutaneusPrinsip dan cara kerja metode ini sama dengan injeksi etanol perkutan, hanya saja zat yang disuntikkan adalah larutan asam asetat 15-50%. Pemberian pada penderita KHS dengan tumor yang berdiameter <3 cm menunjukkan survival rate 1 tahun sebesar 93%, 2 tahun sebesar 86%, 3 tahun sebesar 83% dan 4 tahun sebesar 64%. Efek samping tidak dijumpai.

21

Tabel 4 : Tatalaksana Karsinoma Hepatoseluler

Tabel 5 :Pilihan terapi bedah ca hepatoseluler

22

LO.9 Memahami dan Menjelaskan Komplikasi.

Asites, perdarahan saluran cerna atas, enselofati hepatica, sindrom hepatorenal (keadaan pasien dengan hepatitis kronik, kegagalan fungsi hati, hipertensi portal yang ditandai dengan gangguan ginjal dan sirkulasi darah).

LO.10 Memahami dan Menjelaskan Pencegahan.

Pencegahan Primer Pencegahan primer merupakan pencegahan yang dilakukan terhadap orang yang sudah terpapar faktor risiko agar tidak sakit. Pencegahan primer yang dilakukan antara lain dengan:

1. Memberikan imunisasi hepatitis B bagi bayi segera setelah lahir sehingga pada generasi berikutnya virus hepatitis B dapat dibasmi.

2. Memberikan penyuluhan kepada masyarakat tentang virus hepatitis (faktor-faktor risiko kanker hati) sehingga kejadian kanker hati dapat dicegah melalui perilaku hidup sehat.

3. Menghindari makanan dan minuman yang mengandung alkohol karena alkohol akan semakin meningkatkan risiko terkena kanker hati.

4. Menghindari makanan yang tersimpan lama atau berjamur karena berisiko mengandung jamur Aspergillus flavus yang dapat menjadi faktor risiko terjadinya kanker hati.

5. Membatasi konsumsi sumber radikal bebas agar dapat menekan perkembangan sel kanker dan meningkatkan konsumsi antioksidan sebagai pelawan kanker sekaligus mangandung zat gizi pemacu kekebalan tubuh.

Pencegahan Sekunder Pencegahan sekunder merupakan upaya yang dilakukan terhadap orang yang sudah sakit agar lekas sembuh dan menghambat progresifitas penyakit melalui diagnosis dini dan pengobatan yang tepat.

Pencegahan Tersier Pencegahan tersier yang dapat dilakukan yaitu berupa perawatan terhadap penderita kanker hati melalui pengaturan pola makan, pemberian suplemen pendukung penyembuhan kanker, dan cara hidup sehat agar dapat mencegah kekambuhan setelah operasi.

LO.11 Memahami dan Menjelaskan Prognosis.

Pada umumnya prognosis karsinoma hati adalah jelek. Tanpa pengobatan, kematian rata-rata terjadi sesudah 6-7 bulan setelah timbul keluhan pertama. Dengan pengobatan, hidup penderita dapat diperpanjang sekitar 11- 12 bulan. Bila karsinoma hati dapat dideteksi secara dini, usaha-usaha pengobatan seperti pembedahan dapat segera dilakukan misalnya dengan cara sub-segmenektomi, maka masa hidup penderita dapat menjadi lebih panjang lagi. Sebaliknya, penderita karsinoma hati fase lanjut mempunyai

23

masa hidup yang lebih singkat. Kematian umumnya disebabkan oleh karena koma hepatik, hematemesis dan melena, syok yang sebelumnya didahului dengan rasa sakit hebat karena pecahnya karsinoma hati. Oleh karena itu langkahlangkah terhadap pencegahan karsinoma hati haruslah dilakukan. Pencegahan yang paling utama adalah menghindarkan infeksi terhadap HBV dan HCV serta menghindari konsumsi alkohol untuk mencegah terjadinya sirosis.

LI.2 Memahami dan Menjelaskan Transpalantasi Organ Dalam Hukum Islam.

Dalam batas-batas tertentu berbagai jenis transplantasi atau menggunakan anggota tubuh manusia untuk pengobatan telah menjadi pembahasan para fukaha sejak lama, baik autotransplantasi, homotransplantasi, atau heterotransplantasi.

Sebagian ulama nampaknya belum memandang perlu mengfatwakan hukum auto-transplantasi atau replantasi. Barangkali karena telah ada isyarat dalam Sunnah fi’liyyah, Nabi pernah melakukannya, berkat mukjizatnya, Nabi saw dapat mengembalikan (melakukan tindakan sejenis replantasi) mata Qatadah bin al-Nu’man yang terlepas keluar pada saat Perang Badar atau Perang Uhud. Juga pernah mereplantasi tangan Muawwidz bin Afra dan Habib bin Yasaf yang tertebas pedang hingga putus pada saat Perang Badar. Atas dasar itu, maka fukaha sepakat menetapkan bolehnya mengembalikan anggota tubuh yang terputus akibat sakit atau sebab lainnya ke tempat semula. Ahmad bin Hanbal dan para pengikutnya berargumen, karena di dalamnya terkandung roh yang merupakan bagian dari roh tubuh tersebut.

Fatwa yang komprehensif tentang transplantasi, antara lain, telah dikeluarkan oleh Majma al-Fiqh al-Islami pada Muktamar ke-4 yang diselenggarakan di Jiddah pada 6-11 Februari 1988 tentang hukum transplantasi menggunakan organ manusia, autotransplantasi dan homotransplantasi, dari orang hidup maupun orang mati, dengan syarat-syarat yang mesti ditunaikan. Ada delapan butir keputusan, yaitu sebagai berikut :

1. Bahwa memindahkan organ tubuh seseorang ke bagian lain dari tubuhnya sendiri (autotransplantasi) hukumnya boleh, dengan ketentuan dapat dipastikan proses tersebut manfaatnya lebih besar daripada mudarat yang timbul. Disyaratkan juga, hal itu dilakukan karena organ tubuhnya ada yang hilang atau untuk mengembalikan ke bentu asal dan fungsinya, atau untuk menutupi cacat yang membuat si pasien terganggu secara psikologis maupun fisiologis.

2. Memindahkan organ tubuh seseorang ke tubuh orang lain hukumnya boleh, jika organ tubuh yang dipindahkan itu dapat terus berganti dan berubah, seperti darah dan kulit. Disyaratkan pula, pendonor organ tubuh tersebut seorang yang sehat, serta beberapa syarat lainnya yang perlu diperhatikan.

3. Boleh hukumnya memanfaatkan organ tubuh yang tidak berfungsi lagi, karena sakit misalnya, untuk orang lain. Seperti mengambil kornea dari mata seseorang yang tidal berfungsi lagi untuk orang lain.

4. Haram hukumnya memindahkan organ tubuh yang sangat vital, seperti hantung dari seseorang yang masih hidup kepada orang lain.

5. Haram hukumnua memindahkan organ tubuh seseorang yang dapat menyebabkan hilangnya fungsi organ tubuh yang asasi secara total, meskipun tidak membahayakan keselamatan jiwanya, seperti memindahkan kedua kornea mata. Namun jika pemindahan organ tersebut hanya berdampak hilangnya sebagian fungsi organ tubuh

24

yang asasi (tidak total), maka hal ini perlu pembahasan lebih lanjut, sebagaimana yang akan disinggung pada poin kedelapan.

6. Boleh hukumnya memindahkan organ tubuh mayit kepada orang hidup yang sangat bergantung keselamatan jiwanya dengan organ tubuh tersebut, atau fungsi organ vital sangat tergantung pada keberadaan orang tersebut. Dengan syarat si mayit atau ahli warisnya mengizinkan. Atau dengan syarat persetujuan pemerintah muslim jika mayit seorrang yang tidak dikenal identitasnya dan tidak memiliki ahli waris.

7. Perlu diperhatikan bahwa kesepakatan bolehnya memindahkan organ tubuh yang dijelaskan diata, disyaratkan tidak dilakukan dengan cara jual beli organ tubuh, karena jual beli organ tubuh tidak diperbolehkan sama sekali. Adapun membelanjakan uang untuk mendapatkan organ tubuh yang sangat dibutuhlam saat darurat, hal itu masih perlu pembahasan dan kajian lebih lanjut.

8. Selain bentuk dan kondisi tersebut di atas yang masih ada kaitannya dengan masalah ini, maka masih perlu penelitian lebih dalam lagi dan selayaknya dipelajari serta dibahas sejalan dengan kode etik kedokteran dan hukum-hukum syar’i.

Demikian juga, Komite Tetap Pengkajian Ilmiah dan Fatwa (al-Lajnah ad-Daimah lilBuhuts al-‘Ilmiyyah wal Ifta’) telah menetapkan hukum transplantasi khusus untuk kornea mata. Intinya membolehkan dilakukan transplantasi kornea, dengan syarat pemiliknya benar-benar telah mati, mendapatkan izin dari yang bersangkutan atau walinya, diprediksikan secara meyakinkan akan berhasil. Alasan yang dikemukakan, adalah merealisasikan yang kadar kemaslahatan lebih besar, memilih melakukan yang kadar mudaratnya lebih kecil, dan lebih mendahulukan kepentingan orang hidup. Bahkan, dibolehkan mengambil mata orang yang telah divonis harus diambil demi kesehatannya karena diprediksikan membahayakan baginya, dan tidak berdampak buruk kepada pihak penerimanya.

Kelompok yang membolehkannya transplantasi karena darurat juga ditetapkan oleh sejumlah lembaga fatwa, antara lain, sejalan dengan hasil Muktamar, konferensi dan yang sejenisnya yang diselenggarakan di berbagai negara, diantaranya Malaysia pada bulan April 1969, Majma al-Fiqh al-Islami di Mekkah pada 19-28 Januari 1985, Haiat Kibar al-Ulama Kerajaan Saudi Arabia, tahun 1402 H.Pemerintah Kuwair, Republik Mesir (1989), dan Republik Aljazair. Juga pendapat sejumlah ulama, diantaranya adalah Syeikh Abd al-rahman al-Sa’di (1307-1367), Syeikh Ibrahim al-Ya’qubi (w.1404 H), Syeikh Jad al Haqq (al-Azhar), Dr. Ahmad Syaraf al-Din (Kuwait), Dr. Rauf Syalabi (al-Azhar), Dr. Abd al-Jalil Syalabi (al-Azhar), Dr. Mahmud Ali al-Sarthawi (al-Azhar), dan Dr. Hasyim Jamil Abdullah (Ummul Qura).

Fatwa dari Dar al-Ifta al-Mishriyyah no 88, tahun 1966 tentang diperbolehkannya melakukan transplantasi organ dengan sejumlah syarat, yaitu :

1. Kondisinya benar-benar darurat2. Benar-benar matinya pendonor3. Adanya izin semasa hidupnya atau persetujuan wali setelah meninggal4. Dari orang muslin untuk orang muslim sesuai tuntunan dalam hadist5. Pendonor adalah orang yang sudah baligh, berakan, dan cakap, dan dia punya hak

untuk menarik kembali jika dikehendaki6. Tidak melampaui batasan darurat yang dibenarkan berdasarkan kaidah syariat Islam.

25

DAFTAR PUSTAKA

HepatocellularCarcinoma. In Clavien P-A, et al. editors. Malignant Liver Tumors, 3rd ed., Chichester: Blackwell Publishing Ltd. 2010; P 52-54.

Hepatocellular Fasel JHD, et al. Macroscopic Anatomy of The Liver. In Rodès J, et al. editors. Textbook of Hepatology, 3rd ed., Massachusetts: Blackwell Publishing Ltd. 2007; P. 3-7.

Sudoyo, Aru. W. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Edisi V. Jilid III. Jakarta: InternaPublishing.

White DL, et al. Epidemiology of Hepatocellular Carcinoma. In Carr BI. Editor, Hepatocellular Carcinoma Diagnosis and Treatment, 2nd ed., New York, Humana Press. 2010; P 1-26

Zuhroni. 2012. Hukum Islam Terhadap Berbagai Masalah Kedokteran dan Kesehatan Kontemporer. Jakarta: Bagian Agama Universitas Yarsi

26