Wrap Up Alergi

download Wrap Up Alergi

of 30

description

Wrap Up skenario 2 blok MPT "Reaksi Alergi"

Transcript of Wrap Up Alergi

WRAP UP PBLSKENARIO 2REAKSI ALERGI

Disusun oleh:KELOMPOK A-1

KETUA: ANDREW ROZAAN F (1102013028)SEKRETARIS: ADELIA PUTRI SABRINA(1102013005)ANGGOTA: ABIYYA FARAH PUTRI(1102013003) ADELINA ANNISA PERMATA (1102013006) ANDINI ZULMAETA(1102013027) ANGGIE ELKA PRATIWI(1102013029) ANISA NURJANAH(1102013033) FADHILA AYU SAFIRINA(1102013101)

UNIVERSITAS YARSIJl. Let. Jend. Suprapto. Cempaka Putih, Jakarta Pusat. DKI Jakarta. Indonesia. 10510. Telepon: +62 21 4206675.SKENARIO 2REAKSI ALERGISeorang perempuan berusia 20 tahun, datang ke dokter dengan keluhan gatal-gatal serta bentol-bentol merah yang hamper merata ke seluruh tubuh, timbul bengkakpada kelopak mata dan bibir sesudah minum obat penurun panas (Parasetamol). Pada pemeriksaan fisik didapatkan angioedema di mata dan bibir serta urtikaria di seluruh tubuh. Dokter menjelaskan keadaan ini diakibatkan oleh reaksi alergi (hipersesitivitas tipe cepat), sehingga ia mendapatkan obat anti histamine dan kortikosteroid. Dokter memberikan saran agar selalu berhati-hati dalam meminum obat sertaberkonsultasi dulu dengan dokter.

A. Kata-kata Sulit1. Angioedema: Suatu pembengkakan edematous yang difuse pada jaringan lunak umumnya melibatkan jaringan penghubung subkutan dan submukosa. Pembengkakan ini disebabkan karena dilatasi dan peningkatan permeabilitas kapiler2. Urtikaria: Reaksi alergi yang ditandai dengan bentol-bentol merah dan disertai rasa gatal3. Antihistamin: Zat yang mengurangi efek histamine dalam tubuh4. Kortikosteroid: Hormon steroid yang dihasilkan kelenjar adrenal5. Alergi: Respon imun spesifik yang tidak sesuaiB. Brainstroming1. Mengapa bisa terjadi angioedema dan urtikaria?2. Apa yang dimaksud dengan hipersensitivitas tipe cepat?3. Mengapa dokter memberikan obat antihistamin dan kortikosteroid?4. Mengapa paracetamol menyebabkan alergi?5. Apa saja macam-macam reaksi hipersensitivitas?6. Bagaimana mekanisme kerja obat antihistamin?7. Mengapa terjadi bentol-bentol seluruh tubuh?8. Mengapa angioedema terjadi pada mata dan bibir?

C. Jawaban1. Karena pembuluh darah mengalami dilatasi dari intraselular ke ekstraselular dan permeabilitas kapilernya naik. Selain itu, ada juga mediator faktor seperti histamine yang menyebabkan timbulnya bentol-bentol.2. Hipersensitivitas tipe cepat yaitu reaksi yang terjadi dalam beberapa menit dan menghilang dalam 2 jam atau lebih3. Karena antihistamin berfungsi untuk memblokade pengeluaran histamin yang menyebabkan timbulnya rasa gatal dan kemerahan.Sedangkan kortikosteroid berfungsi sebagai anti inflamasi4. Karena paracetamol mengandung acetaminophen yang ada cincin nitrogennya yang kadang membuat tubuh menganggapnya sebagai allergen5. - Hipersensitivitas tipe I- Hipersensitivitas tipe II- Hipersensitivitas tipe III- Hipersensitivitas tipe IV6. Mekanisme kerja obat antihistamin yaitu memblokade pengeluaran histamine dan sekresi asam lambung7. Karena reaksi yang ditimbulkan bersifat sistemik8. Karena angioedema menyerang jaringan mukosa seperti yang ada pada bibir, mata dan vagina

D. HipotesaHipersensitivitas adalah reaksi yang disebabkan oleh interaksi antigen dan antibody yang tidak sesuaiE. Sasaran BelajarLI.1. Mehamami dan Menjelaskan Hipersensitivitas1.1. Definisi 1.2. Etiologi1.3. KlasifikasiLI.2. Memahami dan Menjelaskan Hipersensitivitas tipe I2.1. Definisi2.2. Etiologi2.3. Mekanisme2.4. ManifestasiLI.3. Memahami dan Menjelaskan Hipersensitivitas tipe II3.1. Definisi3.2. Etiologi3.3. Mekanisme3.4. ManifestasiLI.4. Memahami dan Menjelaskan Hipersensitivitas tipe III4.1. Definisi4.2. Etiologi4.3. Mekanisme4.4. ManifestasiLI.5. Memahami dan Menjelaskan Hipersensitivitas tipe IV5.1. Definisi5.2. Etiologi5.3. Mekanisme5.4. ManifestasiLI.6. Memahami dan Menjelaskan Antihistamin dan Kortikosteroid6.1. Memahami dan Menjelaskan Antihistamin6.2. Memahami dan Menjelaskan KortikosteroidLI.7. Memahami Pandangan Islam tentang alergi obat sebagai dokter muslim

LI.1. Mehamami dan Menjelaskan Hipersensitivitas

1.1. Definisi

Hipersensitivitas adalah keadaan perubahan reaktivitas saat tubuh bereaksi terhadap respons imun yang berlebihan atau tidak tepat terhadap sesuatu yang dianggap benda asing. Hasil reaksi ini dapat berupa sutu lesi yang berbentuk ringan sebagai inflamasi lokal sampai syok menyuluruh. Hipersensitivitas terhadap antigen tubuh sendiri disebut penyakit autoimun. (Dorland, 2010)

Suatu keadaan dengan respons sistem imun yang menyebabkan reaksi berlebihan atau tidak sesuai yang membahayakan hospesnya sendiri. Pada orang tertentu, reaksi-reaksi tersebut secara khas terjadi setelah kontak kedua dengan antigen spesifik (alergen). Kontak pertama adalah kejadian pendahulu yang diperlukan yang dapat menginduksi sensitasi terhadap antigen spesifik tersebut. (Jawetz et al. 2008 )1.2. Etiologi

Penyebab alergi tidaklah jelas walaupun tampaknya terdapat predisposisi genetic. Predisposisi tersebut dapat berupa pengikatan IgE yang berlebihan, mudahnya sel mast dipicu untuk berdegranulasi , atau respon sel T helper yang berlebihan. Hasil penelitian terkini menunjukan bahwa defisiensi sel T regulatori dapat menyebabkan responsivitas berlebihan dari system imun dan alergi. Pajanan berlebihan terhadap alergen-alergen tertentu setiap saat, termasuk selama gestasi, dapat menyebabkan respon alergi.Secara umum semua benda di lingkungan (pakaian, makanan, tanaman, perhiasan, alat pembersih, dsb) dapat menjadi penyebab alergi, namun faktor lain misalnya : Perbedaan keadaan fisik setiap bahan Kekerapan pajanan Daya tahan tubuh seseorang Adanya reaksi silang antar bahan akan berpengaruh terhadap timbulnya alergi(Retno W.Soebaryo, 2002)

Faktor yang berperan dalam alergi makanan yaitu :Faktor Internal Imaturitas usus secara fungsional (misalnya dalam fungsi-fungsi : asam lambung, enzym-enzym usus, glycocalyx) maupun fungsi-fungsi imunologis (misalnya : IgA sekretorik) memudahkan penetrasi alergen makanan. Imaturitas juga mengurangi kemampuan usus mentoleransi makanan tertentu. Genetik berperan dalam alergi makanan. Sensitisasi alergen dini mulai janin sampai masa bayi dan sensitisasi ini dipengaruhi oleh kebiasaan dan norma kehidupan setempat. Mukosa dinding saluran cerna belum matang yang menyebabkan penyerapan alergen bertambah.

Fakor Eksternal Faktor pencetus : faktor fisik (dingin, panas, hujan), faktor psikis (sedih, stress) atau beban latihan (lari, olah raga). Contoh makanan yang dapat memberikan reaksi alergi menurut prevalensinya: ikan 15,4%; telur 12,7%; susu 12,2%; kacang 5,3% dll. Hampir semua jenis makanan dan zat tambahan pada makanan dapat menimbulkan reaksi alergi.

1.3. Klasifikasi

Pembagian reaksi Hipersensitivitas menurut waktu timbulnya reaksiA. Reaksi CepatReaksi cepat terjadi dalam hitungan detik, menghilang dalam 2 jam. Ikatan silang antara allergen dan IgE pada permukaan sel mast menginduksi penglepasan mediator vasoaktif. Manifestasi reaksi cepat berupa anafilaksis sistemik atau anafilaksis lokal.B. Reaksi Intermediet Reaksi intermediet terjadi setelah beberapa jam dan menghilang dalam 24 jam. Reaksi ini melibatkan pembentukan kompleks imun IgG dan kerusakan jaringan melalui aktivasi komplemen dan atau sel NK/ADCC. Manifestasi reaksi intermediet berupa: Reaksi transfusi darah, eritroblastosis fetalis dan anemia hemolitik autoimun Reaksi arthus lokal dan reaksi sistemik seperti serum sickness, vaskulitis nekrotis, glomerulonefritis, arthritis rheumatoid dan LESReaksi intermediet diawali oleh IgG dan kerusakan jaringan pejamu yang disebabkan oleh sel neutrofil atau sel NK.C. Reaksi LambatReaksi lambat terlihat sampai sekitar 48 jam setelah terjadi pejanan dengan antigen yang terjadi oleh aktivasi sel Th. Pada DTH, sitokin yang dilepas sel T mengaktifkan sel efektor makrofag yang menimbulkan kerusakan jaringan. Contoh reaksi lambat adalah dermatitis kontak, reaksi M. tuberculosis dan reaksi penolakan tandur.

PerbedaanReaksi cepatReaksi intermedietReaksi lambat

Waktu timbul reaksiHitungan detikTerjadi setelah beberapa jam terpajanTerjadi setelah 48 jam terpajan

Pembagian reaksi Hipersensitivitas menurut Gell dan CoombsReaksi menurut Gell dan Coombs dibagi menjadi 4 bagian berdasarkan tipe mekanisme imunologi yaitu :1. Hipersensitivitas tipe I1. Hipersensitivitas tipe II1. Hipersensitivitas tipe III1. Hipersensitivitas tipe IV

http://childrenallergyclinic.wordpress.com

Pembagian Gell dan Coombs seperti terlihat di atas dibuat sebelum analisis yang mendetail mengenai subset dan fungsi sel T diketahui. Berdasarkan penemuan-penemuan dalam penelitian imunologi, telah dikembangkan beberapa modifikasi klasifikasi Gell dan Coombs yang membagi lagi Tipe IV dalam beberapa subtype reaksi. Meskipun reaksi Tipe I, II, dan III dianggap sebagai reaksi humoral, sebetulnya reaksi-reaksi tersebut masih memerlukan bantuan sel T atau peran selular. Oleh karena itu pembagian Gell dan Coombs telah dimodifikasi lebih lanjut seperti terlihat pada tabel:

MekanismeGejalaContoh

Tipe I: IgEAnafilaksis, Urtikaria, Angioedema, Mengi, Hipotensi, Nausea, Muntah, Sakit Abdomen, DiarePenisilin dan -lactam lain, enzim, antiserum, protamin, heparin antibody monoclonal, ekstrak allergen, insulin,

Tipe II: Sitotoksik (IgG dan IgM) Agranulotis Anemia Hemolitik

Trombositopenia Metamizol, Fenotiazin Penisilin, Sefalosporin, -Lactam, Kinidin, Metildopa Karbamazepin, Fenotiazin, Tiourasil, Sulfonamid, Antikonvulsan, kinin, kinidin, Parasetol, Sulfonamid, Propil Tiourasil, Perparat Emas

Tipe III : Kompleks Imun(IgG dan IgM) Panas, Urtikaria, Atralgia, Limfadenopati Serum Sickness B-lactam, Sulfonamid, Fenitoin, Streptomisin Serum Xenogenik, Penisilin, Globulin anti-timosit

TipeIV : Hipersensitivitas Seluler Eksim, Eritema, Melepuh, Pruritus Fotoalergi

Fixed Drug Eruption Lesi Makulopapular Penisilin, Anestetik Lokal

Antihistamin topical, Neomisin, Pengawet, Eksipien, Desinfektan Barbiturat, kinin Penisilin, Emas, Barbiturat, -blocker

Tipe V: Reaksi GranulomaGranulomaEkstrak allergen, Kolagen larut

Tipe VI: Hipersensitivitas StimulasiResistensi InsulinHidralazin, Prokainamid. Antibodi terhadap insulin (IgG)

LI.2. Memahami dan Menjelaskan Hipersensitivitas tipe I2.1. DefinisiReaksi tipe I yang disebut juga reaksi cepat atau reaksi anafilaksis atau reaksi alergi, timbul sesudah tubuh terpapar dengan alergen. Istilah alergi yang pertama kali digunakan Von Pirquet pada tahun 1906 yang berasal dari alol (Yunani) yang berarti perubahan dari asalnya yang dewasa. Ini diartikan sebagai perubahan reaktivitas organisme. Reaksi Tipe I ini diperantarai oleh IgE. Pada reaksi ini, Sel mast akan mengeluarkan histamin, leukotrin, prostaglandin, sitokinin dan Platelet activating factor (PAF) 2.2. EtiologiPasien-pasien dengan alergi saluran nafas musiman sebagai akibat inhalasi tepungsari, serpihan kulit hewan dan spora jamur. Selain itu dapat juga dicetuskan makanan tertentu seperti buah-buahan, udang, ikan, produk-produk susu, coklat, kacang-kacangan dan obat-obatan. Bahan tersebut dapat mencetuskan reaksi anafilaksis dengan keluhan yang menonjol pada sistem kardiovaskular dan gastrointestinal, selain juga menyebabkan urtikaria kronik. Pencetus urtikaria lainnya yang mungkin adalah rangsangan fisik seperti dingin, panas, sinar matahari, latihan fisik/olahraga dan iritasi mekanik. Demam, mandi air hangat, atau olahragadimana terjadi peningkatan temperatur tubuh dapat mencetuskan urtikaria koligemik. Pemicu lain hipersensitivitas adalah cahaya, air pada temperatur berapapun dan bahan kimia tertentu. Bahan-bahan karet alam seperti lateks, merupakan masalah tersendiri bagi pekerja medis.

2.3. Mekanisme

Pada reaksi tpe I, alergen yang masuk ke dalam tubuh menimbulkan respon imun berupa produksi IgE dan penyakit alergi seperti rhinitis alergi, asma dan dermatitis atopi. Pada tipe I terdapat beberapa fase, yaitu : Fase sensitasi yaitu waktu yang dibutuhkan untuk membentuk IgE sampai diikat silang oleh reseptor spesifik pada permukaan sek mast/basofil. Fase aktivasi yaitu waktu yang diperlukan antara pajanan ulang dengan antigen yang spesifik dan sel mast/basofil melepas isinya yang berisikan granul yang menimbulkan reaksi. Hal ini terjadi oleh ikatan silang antara antigen dan IgE. Fase efektor yaitu waktu yang terjadi respon yang kompleks (anafilaksis) sebagai efek mediator-mediator yang dilepas sel mast/basofil dengan aktivasi farmakologik.

http://nfs.unipv.it/nfs/minf/dispense/immunology/lectures/files/images/type1_hypersensitivity.jpgPajanan dengan antigen mengaktifkan sel Th2 yang merangsang sel B berkembang menjadi sel plasma yang memproduksi IgE. Molekul IgE yang dilepas diikat oleh FceR1 pada sel mast dan basofil (banyak molekul IgE dengan berbagai spesifisitas dapat diikat FceR1). Pajanan kedua dengan alergen menimbulkan ikatan silang antara antigen dan IgE yang diikat sel mast, memacu pelepasan mediator farmakologis aktif (amin vasoaktif) dari sel mast dan basofil. Mediator-mediator tersebut menimbulkan kontraksi otot polos, meningkatkan permeabilitas vaskular dan vasodilatasi, kerusakan jaringan dan anafilaksis.Preformed Mediator pada Reaksi Hipersensitivitas tipe IA. HistaminHistamin merupakan komponen utama granul sel mast dan sekitar 10% dari berat granul. Histamine yang merupakan mediator primer yang dilepas akan diikat oleh reseptornya. Ada 4 reseptor histamine ( H1,H2,H3,H4 ) dengan distribui yang berbeda dalam jaringan dan bila berikatan dengan histamine, menunjukkan berbagai efek.B. PG dan LTPG dan LT dihasilkan dari metabolism asam arakidonat serta berbagai sitokin berperan pada fase lambat reaksi tipe 1. PG dan LT merupakan mediator sekunder yang kemudian dibentuk dari metabolism asam arakidonat atas pengaruh fosfolipase A2. Efek biologisnya timbul lebih lambat, namun lebih menonjol dan berlangsung lebih lama disbanding dengan histamine. LT berperan pada bronkokonstriksi, peningkatan permeabilitas vascular dan produksi mucus. PGE2 menimbulkan bronkokonstriksi. C. SitokinSitokin dilepas sel mast dan basofil (IL-3,IL-4,IL-5,IL-6,IL-10,IL-13,GM-CSF dan TNF-). Beberapa berperan dalam reaksi tipe 1. Sitokin tersebut mengubah lingkungan mikro dan dapat mengerahkan sel inflamasi seperti neutrofil dan eosinofil. IL-4 dan IL-13 meningkatkan produksi IgE oleh sel B. IL-5 berperan dalam pengerahan dan aktivasi eusinofil. Mediator primer utama pada hipersensitivitas Tipe 1

MediatorEfek

HistaminH1: permeabilitas vaskuler meningkat, vasodilatasi, kontraksi otot polosH2: Sekresi Mukosa Gaster Aritmia JantungH3: SSP (regulator?)H4: Eosinofil (?)

ECF-AKemotaksis eosinofil

NCF-AKemotaksis neutrofil

Eosinophil chemotacticKemotaktik untuk eosinofil

Neutrophil chemotacticKemotaktik untuk neutrofil

ProteaseSekresi mukus bronkial, degradasi membran basal pembuluh darah, pembentukan produk pemecah komplemen

PAFAgregasi dan degranulasi trombosit, kontraksi otot polos paru

Hidrolase asamDegradasi matriks ekstraseluler

NCAKemotaksis neutrofil

BK-AKalikrein : kininogenase

ProteoglikanHeparin, kondrotin sulfat, sulfat dermatan; mencegah komplemen yang menimbulkan koagulasi (?)

EnzimKimase, triptase, proteolisis

Mediator sekunder utama pada Hipersensitivitas Tipe 1

MediatorEfek

LTR (SRS-A)Peningkatan permeabilitas vascular, vasodilatasi, sekresi mucus, kontraksi oto polos paru, kemotaktik neutrofil

PGVasodilatasi, kontraksi otot polos paru, agregasi trombosit, kemotaktik neutrofil, potensial mediator lainnya

BradikininPeningkatan permeabilitas kapiler, vasodilatasi kontraksi otot polos, stimulasi ujung saraf nyeri

SitokinBervariasi

IL-1 dan TNF-aAnafilaksis, peningkatan ekspresi CAM pada sel endotel venul

IL-3, IL-5, IL-6, IL-10, TGF-B dan GM-CSFBerbagai efek dapat dilihat di sitokin

IL4, PMN, demam TNF-aAktivasi monosit, eosinofil, demam

FGFFibrosis

Inihibitor Protease Mencegah kinase

LipoksinBronkokonstriksi

Leukotrin (LTC4 LTD4 LTE4)Kontraksi otot polos (jangka lama), meningkatkan permeabilitas, kemotaksis

Leukotrin B4, 15 HETE Sekresi Mukus

PAFKemotaksis (terutama eosinofil), bronkospasme

2.4. Manifestasi

Reaksi LokalReaksi hipersensitivitas tipe I local terbatas pada jaringan atau organ spesifik yang biasanya melibatkan permukaan epitel tempat allergen masuk. 20% populasi menunjukkan penyakit melalui IGE yaitu asma, rintitits alergi dan dermatitis atopi. Sekitar 50-70% membentuk IgE terhadap antigen yang masuk ke tubuh melalui mukosa seperti selaput lender hidung, paru, konjungtiva. IgE yang sudah ada pada permukaan sel mast akan menetap selama beberapa minggu. Sensitasi dapat terjadi secara pasif jika serum orang yang alergi dimasukkan ke dalam kulit/ sirkulasi orang normal Reaksi Sistemik-AnafilaksisAnafilaksis adalah reaksi tipe I yang dapat fatal dan terjadi dalam beberapa menit saja.Anafilaksis merupakan reaksi alergi yang cepat, ditimbulkan IgE yang dapat mengancam nyawa. Reaksi dapat dipicu oleh berbagai allergen seperti makanan (asal laut, kacang-kacangan), obat atau sengatan serangga dan juga lateks. Reaksi Pseudoalergi atau AnafilaktoidReaksi Pseudoalergi atau anafilaktoid adalah reaksi sistemik umum yang melibatkan pelepasan mediator oleh sel mast yang tidak terjadi melalui IgE. Secara klinis, reaksi ini menyerupai reaksi tipe I seperti syok, urtikaria, bronkospasme, anafilaksis, pruritus, tetapi tidak berdasarkan atas reaksi imun. Reaksi ini tidak memerlukan pajanan terlebih dahulu untuk menimbulkan sensitasi. Reaksi anafilaktoid dapat ditimbulkan antimikroba, protein, kontras dengan yodium, AINS, etilenoksid, taksol dan pelemas otot(Baratawidjaja, 2009)Pemicu Reaksi Anafilaksis / Anafilaktoid

ObatAntibiotik, aspirin dan AINS lain, vaksin, obat perioperasi, antisera, opiate

HormonInsulin, Progesteron

Darah / produk darahImunoglobuin IV

EnzimStreptokinase

MakananSusu, telur, terigu, soya, kacang tanah

Venom (bisa)Lebah, semut api

LainLateks, kontras, membrane dialisa, ekstrak imunoterapi, protamin, cairan seminal

Reaksi AlergiJenis AlergiAlergen UmumGambaran

AnafilaksisObat, serum, kacang-kacanganEdema dengan peningkatan permeabilitas kapiler, okulasi trakea , koleps sirkulasi yang dapat menyebabkan kematian

Urtikaris akutSengatan seranggaBentol, merah

Rinitis alergiPolen, tungau debu rumahEdema dan iritasi mukosa nasal

AsmaPolen, tungau debu rumahKonstriksi bronkial, peningkatan produksi mukus, inflamasi saluran nafas

MakananKerang, susu, telur, ikan, bahan asal gandumUrtikaria yang gatal dan potensial menjadi anafilaksis

Ekzem atopiPolen, tungau debu runah, beberapa makananInflamasi pada kulit yang terasa gatal, biasanya merah dan ada kalanya vesikular

LI.3. Memahami dan Menjelaskan Hipersensitivitas tipe II

3.1. Definisi

Reaksi tipe II disebut juga reaksi sitotoksik, terjadi karena dibentuknya antibodi jenis IgG atau IgM terhadap antigen yang merupakan bagian sel pejamu. Reaksi diawali oleh reaksi antibody dengan determinan antigen yang merupakan bagian dari membrane sel. Antibodi tersebut dapat mengaktifkan sel yang memiliki reseptor Fcy-R dan juga sel NK yang dapat berperan sebagai sel efektor dan menimbulkan kerusakan melalui ADCC.

3.2. EtiologiReaksi hipersensitivitas tipe II atau Sitotoksis terjadi karena dibentuknya antibodi jenis IgG atau IgM terhadap antigen yang merupakan bagian sel pejamu. Reaksi ini dimulai dengan antibodi yang bereaksi baik dengan komponen antigenik sel, elemen jaringan atau antigen atau hapten yang sudah ada atau tergabung dengan elemen jaringan tersebut. Kemudian kerusakan diakibatkan adanya aktivasi komplemen atau sel mononuklear. (http://www.analiskesehatan.web.id)

Penyebabnya adalah adanya sel klon yang terbentuk karena tumor, infeksi virus, atau terinduksi mutagen. Sel klon tersebut memiliki kecacatan DNA sehingga harus dimusnahkan. Jika tidak dimusnahkan, sel target tersebut dapat membentuk klon baru yang lebih banyak dan menyebabkan kerusakan jaringan. Tubuh merespon terhadap sel klon ini dengan cara membentuk IgG atau IgM yang selanjutnya menyebabkan lisis sel target. Contoh kasus yang menyebabkan hipersensitivitas tipe II adalah reaksi transfuse darah yang tidak cocok, inkompabilitas Rh dalam kehamilan yang menyebabkan erythroblastosis fetalis, dan penyakit anemia hemolitik karena alergi antibiotic.(Baratawidjaja, 2009)

3.3. Mekanisme

Reaksi yang bergantung pada Komplemen

HipersensitivitasTipe II

Disfungsi Sel akibat AntibodiReaksi yang bergantung pada ADCC

REAKSI YANG BERGANTUNG PADA KOMPLEMEN

Sel normal terinfeksi oleh antigen IgG berikatan dengan antigen Sel diopsonisasi agar mudah di fagosit Pengaktifan komplemen yang menghasilkan C3B dan C4B yang dapat meningkatkan fagositosis Sel yang diopsonisasi dikenali oleh Fc receptor Sel di fagositosis oleh makrofag dan neutrofil

Antibodi terikat pada jaringan ekstraseluler (membrane basal atau matriks) Pengaktifan komplemen Menghasilkan C5a dan C3a C5a menarik neutrofil dan monosit Leukosit aktif melepaskan bahan perusak Kerusakan Jaringan

Saat antibodi terikat pada jaringan ekstraselular (membran basal dan matriks), kerusakan yang dihasilkan merupakan akibat dari inflamasi, bukan fagositosis/lisis sel. Antibodi yang terikat tersebut akan mengaktifkan komplemen, yang selanjutnya menghasilkan terutama C5a (yang menarik neutrofil dan monosit). Sel yang sama juga berikatan dengan antibodi melalui reseptor Fc. Leukosit aktif, melepaskan bahan-bahan perusak (enzim dan intermediate oksigen reaktif), sehingga menghasilkan kerusakan jaringan. Reaksi ini berperan pada glomerulonefritis dan vascular rejection dalam organ grafts.

REAKSI YANG BERGANTUNG PADA ADCC

Pertama, sel target mengekspresikan protein asing atau antigen. Lalu antigen ditangkap oleh limfosit b. Selanjutnya, limfosit B aktif dan berubah menjadi sel plasma.Lalu sel plasma menghasilkan antibody. Antibody akan berikatan dengan sel killer yang memiliki reseptor antibody. Sel killer bersana dengan antibody yang menempel di permukaannya selanjutnya menyerang sel target yang memasang antigennya di permukaannya. Antibody berikatan dengan antigen di permukaan dan selanjutnya menyebabkan sel target tersebut lisis

DISFUNGSI SEL AKIBAT ANTIBODI

Pada beberapa kasus, antibodi yang diarahkan untuk melawan reseptor permukaan sel merusak atau mengacaukan fungsi tanpa menyebabkan jejas sel atau inflamasi. Contohnya yaitu pada penyakit miastenia gravis, antibodi terhadap reseptor asetilkolin dalam motor end-plate otot-otot rangka mengganggu transmisi neuromuskular disertai kelemahan otot. Jadi antibodi mem-block reseptor asetikolin yang berfungsi dalam kontraksi otot.Contoh lainnya yaitu yang terjadi pada Graves disease. Graves disease adalah penyakit yang biasanya ditandai oleh produksi otoantibodi yang memiliki kerja mirip TSH pada kelenjar tiroid. Akibatnya, Sel tiroid akan memproduksi hormon tiroid yang berlebihan (hipertiroidisme).

(Kumar,2005)3.4. Manifestasi

1. Reaksi transfusiSejumlah besar protein dan glikoprotein pada membran SDM disandi oleh berbagai gen. Individu golongan darah A mendapat transfusi golongan B terjadi reaksi transfusi, karena anti B isohemaglutinin berikatan dengan sel darah B yang menimbulkan kerusakan darah direk oleh hemolisis masif intravascular. Reaksi dapat cepat atau lambat .Reaksi cepat biasanya disebabkan oleh inkompatibiltas golongan darah ABO yang dipacu oleh IgM. Dalam beebrapa jam hemoglobin bebas dapat ditemukan dalam plasma dan disaring melalui ginjal dan menimbulkan hemoglobinuria. Beberapa hemoglobin diubah menjadi bilirubin yang Pada kadar tinggi bersifat toksik. Gejala khasnya berupa demam, menggigil, nausea, bekuan dalam pembuluh darah, nyeri pinggang bawah dan hemoglobinuria. Reaksi transfuse darah yang lambat terjadi pada mereka yang pernah mendapat transfuse berulang dengan darah yang kompatibel ABO namun inkompatibel dengan golongan darah lainnya. Darah yang ditransfusikan memacu pembentukan IgG terhadap berbagai antigen membrane golongan darah, tersering adalah golongan rhesus, kidd, kell dan Duffy2. Reaksi Antigen RhesusAda sejenis reaksi transfusi yaitu reaksi inkompabilitas Rh yang terlihat pada bayi baru lahir dari orang tuanya denga Rh yang inkompatibel (ayah Rh+ dan ibu Rh-). Jika anak yang dikandung oleh ibu Rh- menpunyai darah Rh+ maka anak akan melepas sebagian eritrositnya ke dalam sirkulasi ibu waktu partus. Hanya ibu yang sudah disensitasi yang akan membentuk anti Rh (IgG) dan hal ini akan membahayakan anak yang dikandung kemudian. Hal ini karena IgG dapat melewati plasenta. IgG yang diikat antigen Rh pada permukaan eritrosit fetus biasanya belum menimbulkan aglutinasi atau lisis. Tetapi sel yang ditutupi Ig tersebut mudah dirusak akibat interaksi dengan reseptor Fc pada fagosit. Akhirnya terjadi kerusakan sel darah merah fetus dan bayi lahir kuning, Transfusi untuk mengganti darah sering diperlukan dalam usaha menyelamatkan bayi.3. Anemia hemolitik Antibiotika tertentu seperti penisilin, sefalosporin, dan streptomisin dapat diabsorbsi non spesifik pada protein membran SDM yang membentuk kompleks serupa kompleks molekul hapten pembawa Pada beberapa penderita, kompleks membentuk ab yang selanjutnya mengikat obat pada SDM dan dengan bantuan komplemen menimbulkan lisis dengan dan anemia progresif.(Baratawidjaja, 2009)LI.4. Memahami dan Menjelaskan Hipersensitivitas tipe III

4.1. Definisi

Reaksi tipe III disebut juga reaksi kompleks imun. Antibodi untuk hipersensitivitas III menggunakan jenis IgM atau IgG. Terjadinya reaksi kompleks imun dirangsang oleh pengendapan kompleks antigen-antibodi dalam sirkulasi jaringan dan pembuluh darah. Reaksi ini mengakibatkan aktivasi komplemen, respons radang polimorfonuklear dan kerusakan jaringan. Tipe hipersensitivitas ini ditemukan pada infeksi bakteri persisten tertentu.(Baratawidjaja, 2009)4.2. Etiologi

Penyebab reaksi hipersensitivitas tipe III yang sering terjadi, terdiri dari : Infeksi persisten Pada infeksi ini terdapat antigen mikroba, dimana tempat kompleks mengendap adalah organ yang diinfektif dan ginjal. Autoimunitas Pada reaksi ini terdapat antigen sendiri, dimana tempat kompleks mengendap adalah ginjal, sendi, dan pembuluh darah. Ekstrinsik Pada reaksi ini, antigen yang berpengaruh adalah antigen lingkungan. Dimana tempat kompleks yang mengendap adalah paru.

Selain itu, reaksi hipersensitivitas III bisa disebabkan oleh adanya kompleks imun ukuran kecil yang susah untuk dimusnahkan dan malah mengendap di dinding pembuluh darah. Kompleks antibodi berikatan dengan komplemen dan memicu neutrophil untuk berdegranulasi. Degranulasi neutrofil menyebabkan kerusakan jaringan.4.3. Mekanisme

Dalam keadaan normal, kompleks imun yang terbentuk akan diikat dan diangkut oleh eritrosit ke hati, limpa dan paru untuk dimusnahkan oleh sel fagosit dan PMN. Kompleks imun yang besar akan mudah untuk di musnahkan oleh makrofag hati. Namun, yang menjadi masalah pada reaksi hipersensitivitas tipe III adalah kompleks imun kecil yang tidak bisa atau sulit dimusnahkan yang kemudian mengendap di pembuluh darah atau jaringan.

1. Kompleks Imun Mengendap di Dinding Pembuluh DarahMakrofag yang diaktifkan kadang belum dapat menyingkirkan kompleks imun sehingga makrofag dirangsang terus menerus untuk melepas berbagai bahan yang dapat merusak jaringan. Kompleks yang terjadi dapat menimbulkan:- Agregasi trombosit- Aktivasi makrofag- Perubahan permeabilitas vaskuler- Aktivasi sel mast- Produksi dan pelepasan mediator inflamasi- Pelepasan bahan kemotaksis- Influks neutrofil

2. Kompleks Imun Mengendap di JaringanHal yang memungkinkan kompleks imun mengendap di jaringan adalah ukuran kompleks imun yang kecil dan permeabilitas vaskuler yang meningkat. Hal tersebut terjadi karena histamin yang dilepas oleh sel mast.

http://medchrome.com/wp-content/uploads/2011/08/type-3-hypersensitivity.jpg

Immune Complex Formation Adanya antigen di dalam pembuluh darah memicu respon imun yang membuat dilakukannya produksi antibodi, sekitar satu minggu sesudah injeksi protein. Pada reaksi hipersensitivitas tipe III, antibodi bereaksi dengan antigen bersangkutan membentuk kompleks antigen antibodi yang akan menimbulkan reaksi inflamasi. Immune Complex Deposition Kompleks imun akan mengendap pada jaringan tertentu seperti endotel, kulit, ginjal dan persendian. Organ yang darahnya tersaring pada tekanan tinggi untuk membentuk cairan lain seperti urin dan cairan sinovial lebih sering terserang sehingga meningkatkan kejadian kompleks imun pada glomerulus dan sendi. Neutrofil dan leukosit mulai digerakkan ke tempat reaksi dan menimbulan obstruksi aliran darah. Aktivasi sistem komplemen, menyebabkan pelepasan berbagai mediator oleh mastosit. Immune Complex-Mediated InflammationC3a dan C5a yang terbentuk pada aktivasi komplemen meningkatkan permeabilitas pembuluh darah yang menimbulkan edema. C3a dan Ca berfungsi sebagai fakor kemotaktik. Neutrofil yang diaktifkan memakan kompleks imun bersama dengan trombosit yang digumpalkan melepas berbagai bahan seperti kolagenase proteinase, kolegenase, enzim pembentuk kinin dan bahan vasoaktif. Akhirnya terjadi pendarahan yang disertai nekrosis jaringan setempat.

Reaksi tipe III mempunyai 2 bentuk :a. Reaksi ArthusPada reaksi bentuk arthus, ditemukan eritema ringan dan edema dalam 2-4 jam sesduah suntikan. Reaksi tersebut menghilang keesokan harinya. Suntikan selanjutnya menimbulkan edema yang lebih besar dan suntikan yang ke 5-6 menimbulkan perdarahan dan nekrosis. Hal tersebut disebut fenomena arthus yang merupakan bentuk reaksi dari kompleks imun. Reaksi arthus membutuhkan antigan dan antibodi dalam jumlah besar. Antigen yang disuntikkan akan membentuk kompleks yang tidak larut dalam sirkulasi dan mengalami pengendapan. Mekanisme pada reaksi arthus adalah sebaga berikut :1. Neutrofil menempel pada endotel vaskular kemudian bermigrasi ke jaringan tempat kompleks imun diendapkan. Reaksi yang timbul yaitu berupa pengumpulan cairan di jaringan (edema) dan sel darah merah (eritema) sampai nekrosis. 2. C3a dan C5a yag terbentuk saat aktivasi komplemen meningkatkan permeabilitas pembuluh darah sehingga memperparah edema. C3a dan C5a juga bekerja sebagai faktor kemotaktik sehingga menarik neutrofil dan trombosit ke tempat reaksi. Neutrofil dan trombosit ini kemudian menimbulkan statis dan obstruksi total aliran darah. 3. Neutrofil akan memakan kompleks imun kemudian akan melepas bahan-bahan seperti protease, kolagenase dan bahan-bahan vasoaktif bersama trombosit sehingga akan menyebabkan perdarahan yang disertai nekrosis jaringan setempat.

b. Reaksi serum sicknessReaksi serum sickness ditemukan sebagai konsekuensi imunasi pasif pada pengobatan infeksi seperti difteri dan tetanus. Antibodi yang berperan dalam reaksi ini adalah IgG atau IgM dengan mekanisme sebagai berikut:1. Komplemen yang telah teraktivasi melepaskan anafilatoksin (C3a dan C5a) yang memacu sel mast dan basofil melepas histamin. 2. Kompleks imun lebih mudah diendapkan di daerah dengan tekanan darah yang tinggi dengan putaran arus (contoh: kapiler glomerulus, bifurkasi pembuluh darah, plexus koroid, dan korpus silier mata)3. Komplemen juga menimbulkan agregasi trombosit yang membentuk mkrotrombi kemudian melepas amin vasoaktif. Bahan-bahan vasoaktiv tersebut mengakibatkan vasodilatasi, peningkatan permeabilitas pembuluh darah dan inflamasi.4. Neutrofil deikerahkan untuk menghancurkan kompleks imun. Neutrofil yang terperangkap di jaringan akan sulit untuk memakan kompleks tetapi akan tetap melepaskan granulnya (angry cell) sehingga menyebabkan lebih banyak kerusakan jaringan. 5. Makrofag yang dikerahkan ke tempat tersebut juga meleaskan mediator-mediator antara lain enzim-enzim yang dapat merusak jaringan

Dari mekanisme diatas, beberapa hari minggu setelah pemberian serum asing akan mulai terlihat manifestasi panas, gatal, bengkak-bengkak, kemerahan dan rasa sakit di beberapa bagian tubuh sendi dan kelenjar getah bening yang dapat berupa vaskulitis sistemik (arteritis), glomerulonefritis, dan artiritis. Reaksi tersebut dinamakan reaksi Pirquet dan Schick.

4.4. Manifestasi

Manifestasi klinis hipersensitivitas III yaitu :1. Urtikaria, angioedema, eritema, makulopapula, eritema multiforme1. Demam1. Kelaianan sendi1. Limfadenopati1. Sindrom lupus eritematosus sistemik1. Glomerulonefritis

Penyakit oleh kompleks imun

PenyakitSpesifitas antibodyMekanismeManifestasi klinopatologi

Lupus eritematosusDNA, nucleoproteinInflamasi diperantarai komlplemen dan reseptor FcNefritis, vaskulitis, arthritis

Poliarteritis nodosaAntigen permukaan virus hepatitis BInflamasi diperantarai komplemen dan reseptor FcVaskulitis

Glomreulonefritis post-streptokokusAntigen dinding sel streptokokusInflamasi diperantarai komplemen dan reseptor FcNefritis

LI.5. Memahami dan Menjelaskan Hipersensitivitas tipe IV

5.1. Definisi

Reaksi tipe IV disebut juga reaksi hipersensitivitas lambat, cell mediated imunity (CMI), Delayed Type Hypersensitivity (DTH). Reaksi terjadi karena respons sel T yang sudah disensitasi terhadap antigen tertentu. Tidak ada pernan antibodi. Antigen yang dapat menimbulkan reaksi tersebut berupa jaringan asing, mikroorganisme intraseluler, protein atau bahan kimia yang dapat menembus kulit. Merupakan hipersensitivitas tipe lambat yang dikontrol sebagian besar oleh reaktivitas sel T terhadap antigen. Reaksi hipersensitivitas tipe IV telah dibagi menjadi :

Delayed Type Hypersensitivity Tipe IVMerupakan hipersensitivitas granulomatosis, terjadi pada bahan yang tidak dapat disingkirkan dari rongga tubuh seperti talkum dalam rongga peritoneum dan kolagen sapi dari bawah kulit.

T Cell Mediated CytolysisKerusakan jaringan terjadi melalui sel CD8+/CTL/Tc yang langsung membunuh sel sasaran.5.2. Etiologi

Reaksi ini terjadi karena sel T melepas sitokin bersama dengan produksi mediator sitotoksik lainnya yang menimbulkan respon inflamasi yang terlihat pada penyakit kulit hipersensitivitas lambat.5.3. Mekanisme

http://nfs.unipv.it/nfs/minf/dispense/immunology/lectures/files/images/type4_hypersensitivity.jpg

a. Fase SensitasiMembutuhkan waktu 1-2 minggu setelah kontak primer dengan antigen. Th diaktifkan oleh APC melalui MHC-II. Berbagai APC (sel Langerhans / SD pada kulit dan makrofag) menangkap antigen dan membawanya ke kelenjar limfoid regional untuk dipresentasikan ke sel T sehingga terjadi proliferasi sel Th1 (umumnya).

b. Fase EfektorPajanan ulang dapat menginduksi sel efektor sehingga mengaktifkan sel Th1 dan melepas sitokin yang menyebabkan : Aktifnya sistem kemotaksis dengan adanya zat kemokin (makrofag dan sel inflamasi). Gejala biasanya muncul nampak 24 jam setelah kontak kedua. Menginduksi monosit menempel pada endotel vaskular, bermigrasi ke jaringan sekitar. Mengaktifkan makrofag yang berperan sebagai APC, sel efektor, dan menginduksi sel Th1 untuk reaksi inflamasi dan menekan sel Th2.

Mekanisme kedua reaksi adalah sama, perbedaannya terletak pada sel T yang teraktivasi. Pada Delayed Type Hypersensitivity Tipe IV, sel Th1 yang teraktivasi dan pada T Cell Mediated Cytolysis, sel Tc/CTL/ CD8+ yang teraktivasi.Granuloma terbentuk pada : TB, Lepra, Skistosomiasis, Lesmaniasis dan Sarkoidasis .

5.4. Manifestasi

Dematitis kontakMerupakan penyakit CD8+ yang terjadi akibat kontak dengan bahan yang tidak berbahaya seperti formaldehid, nikel, bahan aktif pada cat rambut (contoh reaksi DTH).

Hipersensitivitas tuberkulinBentuk alergi spesifik terhadap produk filtrat (ekstrak/PPD) biakan Mycobacterium tuberculosis yang apabila disuntikan ke kulit (intrakutan), akan menimbulkan reaksi ini berupa kemerahan dan indurasi pada tempat suntikan dalam 12-24 jam. Pada individu yang pernah kontak dengan M. tuberkulosis, kulit akan membengkak pada hari ke 7-10 pasca induksi. Reaksi ini diperantarai oleh sel CD4+.

Reaksi Jones MoteReaksi terhadap antigen protein yang berhubungan dengan infiltrasi basofil yang mencolok pada kulit di bawah dermis, reaksi ini juga disebut sebagai hipersensitivitas basofil kutan. Reaksi ini lemah dan nampak beberapa hari setelah pajanan dengan protein dalam jumlah kecil, tidak terjadi nekrosis jaringan. Reaksi ini disebabkan oleh suntikan antigen larut (ovalbumin) dengan ajuvan Freund.

Penyakit CD8+ ( T cell mediated cytolysis )Kerusakan jaringan terjadi melalui sel CD8+/CTL/Tc yang langsung membunuh sel sasaran. Penyakit ini terbatas pada beberapa organ saja dan biasanya tidak sistemik, contoh pada infeksi virus hepatitis.

Contoh mekanisme reaksi hipersensitivitas tipe IV :Reaksi pada infeksi parasit dan bakteri intrasela. DTH mengaktifkan influks makrofag pada infeksi yang tidak dapat ditemukan oleh antibodi.b. Makrofag melepaskan enzim litik yang menyebabkan kerusakan jaringan.c. Bila enzim litik terus diproduksi dapat mengakibatkan reaksi granulomatosis yang akan menyebabkan nekrosis pada jaringan yang dapat mengenai jaringan pembuluh darah.

Respon pada infeksi M. tuberkulosisa. Bakteri mengaktifkan respon DTH yang selanjutnya mengaktifkan makrofag yang merangsang isolasi kuman dalam lesi granuloma (tuberkulin)b. Tuberkulin akan melepaskan enzim litik yang akan merusak jaringan paru-paru dan menimbulkan nekrosis jaringan.

Granuloma terbentuk pada :a. TBb. Leprac. Skistosomiasisd. Lesmaniasise. Sarkoidasis

LI.6. Memahami dan Menjelaskan Antihistamin dan Kortikosteroid

6.1. Memahami dan Menjelaskan Antihistamin

Terfenadin, Astemizol, Loratadin, Akrivastin, SetirizinGenerasi IIAntihistaminAH2Generasi ICTM (klorfeniramin)

AH1

SimetidinRanitidinFamotidinNizatidin

Antihistamin adalah zat-zat yang dapat mengurangi atau menghalangi efek histamin terhadap tubuh dengan jalan memblok reseptor histamin (penghambatan saingan). Antagonis Reseptor Antihistamin dibedakan menjadi 2 yaitu AH1 dan AH2.

A. Antagonis Reseptor H1 (AH1)

FARMAKODINAMIKAH1 menghambat efek histamin pada pembuluh darah, bronkus, bermacam otot polos. Selain itu AH1 bermanfaat untuk mengobati reaksi hipersensitivitas atau keadaan lain yang disertai penglepasan histamin endogen berlebihan. Obat AH1 dibedakan menjadi 2 yaitu AH1 generasi pertama dan AH2 generasi kedua. Obat AH1 generasi pertama adalah klorfeniramin (CTM). AH1 generasi kedua tidak menyebabkan efek samping karena tidak menembus sawar otak sehingga tidak menyebabkan efek pada SSP seperti kantuk, inkoordinasi, dll. Contoh obat AH1 generasi kedua adalah terfenadin, astemizol, loratasin, akrivastin, dan setirizin. Obat antihistamin yang digunakan untuk anestesi local adalah prometazin dan pirilamin.

FARMAKOKINETIKEfek yang ditimbulkan dari antihistamin 15-30 menit setelah pemberian oral dan maksimal setelah 1-2 jam. Lama kerja AH1 umumnya 4-6 jam. Kadar tertinggi terdapat pada paru-paru sedangkan pada limpa, ginjal, otak, otot, dan kulit kadarnya lebih rendah. Tempat utama biotransformasi AH1 ialah hati. AH1 disekresi melalui urin setelah 24 jam, terutama dalam bentuk metabolitnya. Meminum obat saat makan akan mengurangi efek samping.

INDIKASI- Untuk alergi debu yang tidak parah- Mengatasi urtikaria akut, dermatitis atopic, dermatitis kontak dan gigitan serangga- Untuk anti muntah pasca bedah atau hamil dan setelah radiasi- Untuk paralisis agintans (Parkinson)- Untuk mabuk perjalanan- Kontraindikasi untuk pasien penderita penyakit hati

EFEK SAMPING Mengentalkan sekresi bronkus sehingga menyulitkan ekspektorasi (sehingga tidak efektif untuk penderita asma Sedasi (mengantuk parah). Namun ada obat non-sedasi yaitu Astemizol, Terfenadin, Loratadin Vertigo, Insomnia, Tremor, Nafsu makan menurun, inkoordinasi, pandangan kabur, diplopia, euphoria, gelisah, lemah, penat, mulut kering, disuria, hipotensi, sakit kepala, dll. Astemizol yang berlebihan menyebabkan gemuk Pemberian astemizol, terfenadin yang diberikan bersama makrolida (eritromisin) seperti ketokonazol, itrakonazol akan menyebabkan keadaan fatal yaitu aritmia ventrikel.

B. Antagonis Reseptor H2 (AH2)AH2 menghambat sekresi asam lambung. AH2 dibedakan menjadi 4 golongan yaitu :1. Simetidin2. Ranitidin3. Famotidin4. Nizatidin1. SIMETIDIN DAN RANITIDIN

FARMAKODINAMIKSimetadin dan ranitidin menghambat reseptor H2 secara selektif dan reversible. Kerjanya menghambat sekresi asam lambung. Simetadin dan ranitidin juga mengganggu volume dan kadar pepsin cairan lambung.

FARMAKOKINETIKAbsorpsi simetidin diperlambat oleh makan, sehingga simetidin diberikan bersama atau segera setelah makan dengan maksud untuk memperanjang efek pada periode pascamakan. Ranitidn mengalami metabolisme lintas pertama di hati dalam jumlah cukup besar setelah pemberian oral. Ranitidin dan metabolitnya diekskresi terutama melalui ginjal, sisanya melalui tinja. Masa paruh simetidin adalah 2 jam sedangkan masa paruh ranitidine adalah 1,75-3 jam dan bisa makin lama pada orang tua, pasien gagal ginjal dan pasien yang mempunyai penyakit hati.

INDIKASIEfektif untuk mengatasi gejala akut tukak duodenum dan mempercepat penyembuhannya. Selain itu, juga efektif untuk mengatasi gejala dan mempercepat penyembuhan tukak lambung. Dapat pula untuk gangguan refluks lambung-esofagus.Untuk melakukan pencegahan digunakan dosis yang lebih kecil, sedangkan untuk mencegah kekambuhkan dosis nya setengah.

EFEK SAMPINGEfek sampingnya rendah, yaitu penghambatan terhadap resptor H2, seperti nyeri kepala, pusing, malaise, mialgia, mual, diare, konstipasi, ruam, kulit, pruritus, kehilangan libido dan impoten.

2. FAMOTIDIN

FARMAKODINAMIKFamotidin merupakan AH2 sehingga dapat menghambat sekresi asam lambung pada keadaan basal, malam, dan akibat distimulasi oleh pentagastrin. Famotidin 3 kali lebih poten daripada ramitidin dan 20 kali lebih poten daripada simetidin.

FARMAKOKINETIKFamotidin mencapai kadar puncak di plasma kira kira dalam 2 jam setelah penggunaan secara oral, masa paruh eliminasi 3-8 jam. Metabolit utama adalah famotidin-S-oksida. Pada pasien gagal ginjal berat masa paruh eliminasi dapat melibihi 20 jam.

INDIKASIEfektifitas Obat ini untuk tukak duodenum dan tukak lambung, refluks esofagitis, dan untuk pasien dengan sindrom Zollinger-Ellison.

EFEK SAMPINGEfek samping ringan dan jarang terjadi, seperti sakit kepala, pusing, konstipasi dan diare, dan tidak menimbulkan efek antiandrogenik.

3. NIZATIDIN

FARMAKODINAMIKPotensi nizatin daam menghambat sekresi asam lambung.

FARMAKOKINETIKKadar puncak dalam serum setelah pemberian oral dicapai dalam 1 jam, masa paruh plasma sekitar 1,5 jam dan lama kerja sampai dengn 10 jam, disekresi melalui ginjal.

INDIKASIEfektifitas untuk tukak duodenum diberikan satu atau dua kali sehari selama 8 minggu, tukak lambung, refluks esofagitis, sindrom Zollinger-Ellion. Kontraindikasi : Kehamilan & Ibu menyusui

EFEK SAMPINGEfek samping ringan saluran cerna dapat terjadi, dan tidak memiliki efek antiandrogenik.

6.2. Memahami dan Menjelaskan Kortikosteroid

Kortikosteroid adalah hormon kelas steroid yang dihasilkan di korteks adrenal. Kortikosteroid terlibat dalam berbagai sistem fisiologis seperti respon stres, respon imun dan regulasi inflamasi, metabolisme karbohidrat, katabolisme protein, kadar elektrolit darah, dan tingkah laku.Kortikosteroid bekerja dengan mempengaruhi kecepatan sintesis protein. Molekul hormon memasuki sel melewati membran plasma secara difusi pasif.

FARMAKODINAMIK Kortikosteroid mempengaruhi metabolisme karbohidrat, protein, dan lemak.selain itu juga mempengaruhi fungsi sistem kardiovaskular, ginjal, otot lurik, sistem saraf dan organ lain. Dalam klinik umumnya kortikosteroid dibedakan menjadi dua golongan besar yaitu glukokortikoid dan mineralokortikoid. Efek utama glukokortikoid ialah pada penyimpanan glikogen hepar dan efek anti-inflamasi, sedangkan pengaruhnya pada keseimbangan air dan elektrolit kecil. Contohnya adalah kortisol. Efek pada mineralokortikoid ialah terhadap keseimbangan air dan elektrolit, sedangkan pengaruhnya pada penyimpanan glikogen hepar sangat kecil. Contohnya adalah aldosteron atau desoksikortikosteron. Sediaan kortikosteroid dapat dibedakan menjadi 3 golongan berdasarkan massa kerjanya. Sediaan kerja singkat mempunyai masa paruh biologis kurang dari 12 jam. Sediaan kerja sedang mempunyai masa paruh biologis antara 12-36 jam. Sediaan kerja lama mempunyai masa paruh biologis lebih dari 36 jam.

-Efek kortikosteroid kebanyakan berhubungan dengan besarnya dosis, makin besar dosis, makin besar dosis terapi makin besar efek yang didapat. Mekanismenya adalah melalui pengaruh steroid terhadap pembentukan protein yang mengubah respons jaringan terhadap hormon lain.

FARMAKOKINETIK Perubahan struktur kimia sangat mempengaruhi kecepatan absorpsi, mulai kerja dan lama kerja karena juga mempengaruhi afinitas terhadap reseptor dan ikatan protein. Kortisol dan analog sintetiknya pada pemberian oral diabsorpsi cukup baik. Untuk mencapai kadar tinggi sebaiknya diberikan secara IV, untuk mendapatkan efek yang lama kortisol dan esternya diberikan secara IM. Perubahan struktur kimia sangat mempengaruhi kecepatan absorpsi, mula kerja dan lama kerja karena juga mempengaruhi afinitas terhadap reseptor, dan ikatan protein. Prednison adalah prodrug yang dengan cepat diubah menjadi prednisolon bentuk aktifnya dalam tubuh. Glukokortikoid dapat di absorpsi melalui kulit, sakus konjungtiva dan ruang sinovial. Penggunaan jangka panjang atau pada daerah kulit yang luas dapat menyebabkan efek sistematik, antara lain supresi korteks adrenal.

INDIKASIDari pengalaman klinis diajukan 6 prinsip yang harus diperhatikan sebelum obat ini digunakan :1. Untuk tiap penyakit pada tiap pasien, dosis efektif harus ditetapkan dengan trial dan error dan harus di evaluasi dari waktu ke waktu sesuai dengan perubahan penyakit.2. Suatu dosis tunggal besar kortikosteroid umumnya tidak berbahaya.3. Penggunaan kortikosteroid untuk beberapa hari tanpa adanya kontraindikasi spesifik, tidak membahayakan kecuali dengan dosis sangat besar.4. Bila pengobatan diperpanjang sampai 2 minggu atau lebih dari hingga dosis melebihi dosis substisusi, insidens efek samping dan efek letal potensial akan bertambah.5. Kecuali untuk insufisiensi adrenal, penggunaan kortikosteroid bukan merupakan terapi kausal ataupun kuratif tetapi hanya bersifat paliatif karena efek anti-inflamasinya.6. Penghentian pengobatan tiba-tiba pada terapi jangka panjang dengan dosis besar, mempunyai risiko insufisiensi adrenal yang hebat dan dapat mengancam jiwa pasien.

EFEK SAMPING

Berikut efek samping kortikosteroid sistemik secara umum.

1. Saluran cerna

Hipersekresi asam lambung, mengubah proteksi gaster, ulkus peptikum/perforasi, pankreatitis, ileitis regional, kolitis ulseratif.

2. Otot

Hipotrofi, fibrosis, miopati panggul/bahu

3. Susunan saraf pusat

Perubahan kepribadian (euforia, insomnia, gelisah,mudah tersinggung, psikosis, paranoid, hiperkinesis,kecendrungan bunuh diri), nafsu makan bertambah

4. Tulang

Osteoporosis,fraktur, kompresi vertebra, skoliosis, fraktur tulang panjang.

5. Kulit

Hirsutisme, hipotropi, strie atrofise, dermatosisakneiformis, purpura, telangiektasis

6. Mata

Glaukoma dan katarak subkapsular posterior

7. Darah

Kenaikan Hb, eritrosit, leukosit dan limfosit

8. Pembuluh darah

Kenaikan tekanan darah

9. Kelenjaradrenal bagiankortek

Atrofi, tidak bisa melawan stres

10. MetabolismeProtein dan Karbohidrat

Kehilangan protein (efek katabolik), hiperlipidemia,gulameninggi, obesitas, buffao hump, perlemakan hati.

11. Elektrolit

Retensi Na/air, kehilangan kalium (astenia, paralisis, tetani, aritmia kor)

12. Sistemimmunitas

Menurun, rentan terhadap infeksi, reaktivasi Tb dan herpes simplek, keganasan dapat timbul.

Pemberian kortikosteroid jangka lama yang dihentikan tiba-tiba dapat menimbulkan insifisiensi adrenal akut dengan gejala demam, malgia, artralgia dan malaise. Komplikasi yang timbul akibat pengobatan lama ialah gangguan cairan dan elektrolit , hiperglikemia dan glikosuria, mudah mendapat infeksi terutama tuberkulosis, pasien tukak peptik mungkin dapat mengalami pendarahan atau perforasi, osteoporosis dll. Alkalosis hipokalemik jarang terjadi pada pasien dengan pengobatan derivat kortikosteroid sintetik. Tukak peptik ialah komplikasi yang kadang-kadang terjadi pada pengobatan dengan kortikosteroid. Sebab itu bila bila ada kecurigaan dianjurkan untuk melaakukan pemeriksaan radiologik terhadap saluran cerna bagian atas sebelum obat diberikan.

http://www.bmb.leeds.ac.uk/teaching/icu3/lecture/24/image82.gif

KLASIFIKASI OBAT KORTIKOSTEROID

Masa bekerjaNama obat

Short Acting (8-12 hours) Cortisone Hydrocortisone

Intermediate Acting (18-36 hours) Prednisolone Triamcinolone Methylprednisolone Fludrocortisone

Long Acting (36-54 hours) Dexamethasone Betamethasone

Short Acting

1. CortisoneCortisone adalah jenis steroid yang diproduksi secara alami oleh kelenjar dalam tubuh yang disebut kelenjar adrenal. Cortisone berfungsi untuk meredakan inflamasi. Efek samping yang biasa ditimbulkan adalah rasa nyeri.

2. HydrocortisoneHydrocortisone adalah kostikosteroid topical yang mempunyai efek anti-inflamasi, anti alergi dan antipruritus pada penyakit kulit. Indikasi pemberian obat ini adalah untuk penderita dermatitis atopi, dermatitis alergik, dermatitis kontak, pruritus anogenital dan neurodermatitis. Hydrocortisone tidak boleh diberikan kepada penderita yang hipersensitif, herpes simplex, varicella dan infeksi jamur. Efek samping yang mungkin ditimbulkan dari obat ini adalah rasa terbakar, gatal, kekeringan, atropi kulit dan infeksi sekunder

Intermediate Acting1. Prednisolone Prednisolone diberikan untuk pasien penekanan jangka pendek peradangan pada gangguan alergi dan pengobatan jangka pendek peradangan pada mata. Efek samping yang ditimbulkan adalah mual, dyspepsia, malaise, cegukan, reaksi hipersensitifitas termasuk anafilaksis, dll.

2. TriamcinoloneTriamcinolone mempunyai efek antiinflamasi dan pembentukan glikogen yang lebih besar, dan berkurangnya efek samping retensi garam. Efek samping yang dapat timbul adalah fraktur spontan, ulkus peptik/tukak lambung, perubahancushingoid, purpura, flushing, sering berkeringat, jerawat, striae, hirsutisme, vertigo, sakit kepala, tromboembolisme, nekrosis aseptik, pangkreatitis akut, kelemahan otot, esofagitis ulseratif, peningkatan tekanan intrakranial, papiledema, katarak subkapsular.

3. MethylprednisoloneMethylprednisolone adalah suatu obat glukokortikoid alamiah (memiliki sifat menahan garam (salt retaining properties)), digunakan sebagai terapi pengganti pada defisiensi adrenokortikal. Methylprednisolone dikontraindikasikan pada infeksi jamur sistemik dan pasien yang hipersentitif terhadap komponen obat.

4. FludrocortisoneFludrocortisone merupakan mineralokortikoid yang paling banyak digunakan. Mempunyai aktivitas retensi garam yang kuat dan efek anti-inflamasi yang berarti walaupun digunakan dalam dosis yang sedikit.

Long Acting 1. DexamethasoneObat ini digunakan sebagai glucocorticoid khususnya untuk Anti inflamasi, Pengobatan rematik arthritis, dan penyakit kolagen lainnya, Alergi dermatitis, Penyakit kulit, dll. Pengobatan yang berkepanjangan dapat mengakibatkan efek katabolik steroid seperti kehabisan protein, osteoporosis, dan penghambatan pertumbuhan anak. Penimbunan garam, air dan kehilangan potassium jarang terjadi bila dibandingkan dengan glucocorticoid lainnya. Penambahan nafsu makan dan berat badan lebih sering terjadi.

2. BetamethasoneBetamethasone digunakan untuk meringankan inflamasi dari dermatosis yan responsive terhadap kortikosteroid. Penggunaan kostikosteroid topical dapat menyebabkan efek samping local seperti kulit kering, gatal-gatal, rasa terbakar, iritasi, hipopigmentasi, dermatitis alergi, dll.

LI.7. Memahami Pandangan Islam tentang alergi obat sebagai dokter muslim

Dari Ibnu Abbas, Nabi bersabda, Kesembuhan ada pada tiga hal, minum madu, pisau bekam, dan sengatan api. Aku melarang umatku menyengatkan api. (HR Bukhari dan Muslim)Dari firman Allah disini dapat dipahami: bahwasanya agama islam di bagun untuk kemaslahatan artinya : semua syariat dalam perintah dan larangannya serta hukum-hukumnya adalah untukmashoolihi(manfaat-manfaat)dan makna masholihi adalah : jamak dari maslahat artinya : manfaat dan kebaikan.Misal :Allah melarang minuman keras dan judi karena mudharat (bahayanya) lebih besar dari pada manfaatnya, sebagaimana dikatakan dalam QS : Al-Baqorah :219 2:219. Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: Pada keduanya itu terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya.

DAFTAR PUSTAKA

Dorland W.A.N. 2010. Kamus Kedokteran Dorland. Jakarta : EGC. Underwood J.C.E. 1999. Patologi Umum dan Sistematik. Vol 1. Jakarta : EGC. Kumar, Abbas, Fausto.Robbins and Cotran: 2005. Pathologic basis of disease. 7thed. China: Elsevier Saunders Baratawidjaja, Karnen Garna, Iris Rengganis. 2010. Imunologi Dasar. Ed. 9. FKUI:Jakarta. Gunawan SG, Setiabudy R, Nafrialdi, Elysabeth. (2009). Farmakologi dan Terapi. Edisi V, Jakarta : Departemen Farmakologi dan Terapeutik FKUI Jawetz, Melnick and Adelbergs, 2005.Mikrobiologi Kedokteran (Medical Microbiology). Jakarta: Salemba Medika (http://www.analiskesehatan.web.id/2012/11/penjelasan-reaksi-hipersensitivitas.html diakses pada tanggal 10 Mei 2014, pukul 19:33)