Workshop - FORDA · SAMBUTAN KEPALA PUSAT LITBANG PERUBAHAN IKLIM DAN KEBIJAKAN PADA WORKSHOP...

104
Jakarta, November 2012 Workshop Ari Wibowo Setiasih Irawanti Zahrul Muttaqin Subarudi Fitri Nurfatriani Niken Sakuntaladewi Novi Widyaningtyas Sulistyo A. Siran

Transcript of Workshop - FORDA · SAMBUTAN KEPALA PUSAT LITBANG PERUBAHAN IKLIM DAN KEBIJAKAN PADA WORKSHOP...

KEMENTERIAN KEHUTANANBADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KEHUTANAN

PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN

PERUBAHAN IKLIM DAN KEBIJAKANJl. Gunung Batu No. 5, Bogor 16610, Indonesia

Telp/Fax: +62-251 8633944/+62-251 8634924

Email: [email protected]; website: http://www.puspijak.org

Jakarta, November 2012

W o r k s h o p

W o r k s h o p

Ari WibowoSetiasih IrawantiZahrul MuttaqinSubarudiFitri NurfatrianiNiken SakuntaladewiNovi WidyaningtyasSulistyo A. Siran

9 786027 672130

ISBN: 978-602-7672-13-0

Jakarta, Oktober 2011

Ari WibowoSetiasih IrawantiZahrul MuttaqinSubarudiFitri NurfatrianiNiken SakuntaladewiNovi WidyaningtyasSulistyo A. Siran

KEMENTERIAN KEHUTANANBADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KEHUTANANPUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERUBAHAN IKLIM DAN KEBIJAKAN

Jakarta, November 2012

Jakarta, Oktober 2011

Ari WibowoSetiasih IrawantiZahrul MuttaqinSubarudiFitri NurfatrianiNiken SakuntaladewiNovi WidyaningtyasSulistyo A. Siran

KEMENTERIAN KEHUTANANBADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KEHUTANANPUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERUBAHAN IKLIM DAN KEBIJAKAN

Jakarta, November 2012

ii

Prosiding Workshop Kerjasama Internasional

Oleh:Ari Wibowo, Setiasih Irawanti, Zahrul Muttaqin, Subarudi, Fitri Nurfatriani, Niken Sakuntaladewi, Novi Widyaningtyas dan Sulistyo A. Siran

Editor: Sulistyo A. SiranBayu Subekti

© 2012 Pusat Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim dan Kebijakan, Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan

ISBN: 978-602-7672-13-0

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang memperbanyak buku ini sebagian atau seluruhnya, baik dalam bentuk fotocopy, cetak, mikro� lm, elektronik maupun bentuk lainnya, kecuali untuk keperluan pendidikan atau non-komersial lainnya dengan mencantumkan sumbernya sebagai berikut:

Ari Wibowo, Setiasih Irawanti, Zahrul Muttaqin, Subarudi, Fitri Nurfatriani, Niken Sakuntaladewi, Novi Widyaningtyas dan Sulistyo A. Siran. 2012. Prosiding Workshop Kerjasama Internasional. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim dan Kebijakan, Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, Bogor, Indonesia.

Diterbitkan oleh:

Pusat Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim dan Kebijakan, Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan – Kementerian KehutananJl. Gunung Batu No. 5, Bogor 16610, IndonesiaTelp/Fax: +62-251 8633944/+62-251 8634924Email: [email protected]; website: http://www.puspijak.org

Kata Pengantar

Puji syukur marilah kita panjatkan ke hadlirat Allah SWT karena atas berkat dan karunia-Nya kami dapat menyelesaikan penyusunan prosiding Workshop Kerjasama Internasional ini. Sebagaimana kita ketahui bersama, bagi lembaga litbang seperti Pusat Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim dan Kebijakan (Puspijak), kegiatan kerjasama litbang merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari strategi untuk memperluas jejaring kerja dan meningkatkan kualitas kegiatan litbang. Tanpa kerjasama dengan institusi lain, lembaga litbang akan teralienasi dari kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang berkembang pesat.

Dilandasi oleh hal tersebut, Puspijak melaksanakan kegiatan workshop Kerjasama Internasional pada tanggal 5 November 2012 di IPB-International Convention Centre. Workshop bertujuan untuk memperoleh masukan berupa saran dan kritik membangun dalam rangka meningkatkan kualitas litbang hasil kerjasama dan mengoptimalkan pemanfaatannya oleh masyarakat pengguna.

Prosiding yang ada di hadapan saudara merekam kegiatan yang dillaksanakan oleh proyek kerjasama internasional sepanjang tahun 2012 dimana Puspijak menjadi executing agencynya. Akhirul kalam semoga prosiding ini dapat memberikan manfaat bagi kita semua dalam memajukan kegiatan litbang utamanya aktivitas litbang perubahan iklim dan kebijakan di indonesia.

Bogor, November 2012Kepala Pusat,

Dr. Kirs� anti L. Ginoga, MSc.

iiiProsidingWorkshop Kerjasama Internasional

Daftar Isi

1. Demonstration Activity (DA) REDD+ di Taman Nasional Meru Betiri, Jawa Timur ITTO PD 519/08 rev (1) Ari Wibowo ..................................................................................................... 1

2. Overcoming Constraints to Community-Based Commercial Forestry in Indonesia Project Overview: ACIAR- FST/2008/030 Setiasih Irawanti ..............................................................................................13

3. Perbaikan Tata Kelola, Kebijakan dan Kelembagaan Kehutanan untuk Mengurangi Emisi dari Deforestasi dan Kerusakan Hutan (REDD+): Belajar dari proyek kerjasama ACIAR-Kementerian Kehutanan FST/2007/052Zahrul Muttaqin, Subarudi dan Fitri Nurfatriani ..............................................41

4. REDD+ Readiness Preparation TF99721 ID (FCPF/World Bank) Forest Carbon Partnership FacilityNiken Sakuntaladewi Novi Widyaningtyas........................................................................................53

5. Project number: PD 73/89 (F,M,I) Phase II Feasibility Study on REDD+ in Central Kalimantan, IndonesiaSulistyo A. Siran ..............................................................................................61

Notulensi ........................................................................................................... 76

Daftar Hadir ..................................................................................................... 88

Kata Pengantar ................................................................................................. iii

Daftar Isi ............................................................................................................. v

Sambutan Kepala Pusat Litbang Perubahan Iklim dan Kebijakan ..............vii

vProsidingWorkshop Kerjasama Internasional

SAMBUTAN KEPALA PUSAT LITBANG PERUBAHAN IKLIM DAN KEBIJAKAN

PADA WORKSHOP KERJASAMA INTERNASIONAL

BOGOR, 5 NOVEMBER 2012

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakaatuh,Selamat Pagi, Salam sejahtera bagi kita sekalianYth. Kepala Puslitbang Lingkup Badan Litbang Kehutanan atau yang mewakili,Yth. Saudara-saudara peneliti, penyuluh kehutanan, widyaiswara, perwakilan dari

perguruan tinggi, sahabat-sahabat dari lembaga swadaya masyarakat dan hadirin sekalian

Puji syukur marilah kita panjatkan ke hadlirat Allah SWT karena hanya atas perkenan-Nya sajalah kita dapat hadir dan berkumpul pada kesempatan yang berbahagia ini. Sebagaimana kita ketahui bersama, penelitian dan pengembangan adalah bagian penting dari sebuah organisasi, baik organisasi public maupun komersial. Banyak organisasi bisnis maupun publik mengalami quantum leap karena menempatkan litbang pada posisi yang strategis. Misalnya perusahaan-perusahaan IT seperti Apple dan Microsoft serta Korea Selatan, sebuah negara yang bergerak cepat dari negara berpendapat rendah pada dekade 60-an menjadi negara industri maju di era 2000-an karena menempatkan litbang sebagai bagian utuh dari strategi pembangunan nasionalnya.

Bapak/Ibu peserta workshop Kerjasama Internasional yang saya hormati...

Kementerian Kehutanan sebagai salah satu pemangku kepentingan pengelolaan dan pembangunan kehutanan menyadari sepenuhnya bahwa penelitian dan pengembangan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam strategi pembangunan kehutanan nasional. Kerjasama dengan institusi kelitbangan lain, tidak hanya memberikan dukungan pendanaan, namun lebih dari itu Puspijak juga memperoleh manfaat berupa terbangunnya jejaring kerja/networking dan akses terhadap berbagai isu dan akti� tas litbang kehutanan terkini yang mungkin masih merupakan suatu ilmu

viiProsidingWorkshop Kerjasama Internasional

SAMBUTAN KEPALA PUSAT LITBANG PERUBAHAN IKLIM DAN KEBIJAKAN

PADA WORKSHOP KERJASAMA INTERNASIONAL

BOGOR, 5 NOVEMBER 2012

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakaatuh,Selamat Pagi, Salam sejahtera bagi kita sekalianYth. Kepala Puslitbang Lingkup Badan Litbang Kehutanan atau yang mewakili,Yth. Saudara-saudara peneliti, penyuluh kehutanan, widyaiswara, perwakilan dari

perguruan tinggi, sahabat-sahabat dari lembaga swadaya masyarakat dan hadirin sekalian

Puji syukur marilah kita panjatkan ke hadlirat Allah SWT karena hanya atas perkenan-Nya sajalah kita dapat hadir dan berkumpul pada kesempatan yang berbahagia ini. Sebagaimana kita ketahui bersama, penelitian dan pengembangan adalah bagian penting dari sebuah organisasi, baik organisasi public maupun komersial. Banyak organisasi bisnis maupun publik mengalami quantum leap karena menempatkan litbang pada posisi yang strategis. Misalnya perusahaan-perusahaan IT seperti Apple dan Microsoft serta Korea Selatan, sebuah negara yang bergerak cepat dari negara berpendapat rendah pada dekade 60-an menjadi negara industri maju di era 2000-an karena menempatkan litbang sebagai bagian utuh dari strategi pembangunan nasionalnya.

Bapak/Ibu peserta workshop Kerjasama Internasional yang saya hormati...

Kementerian Kehutanan sebagai salah satu pemangku kepentingan pengelolaan dan pembangunan kehutanan menyadari sepenuhnya bahwa penelitian dan pengembangan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam strategi pembangunan kehutanan nasional. Kerjasama dengan institusi kelitbangan lain, tidak hanya memberikan dukungan pendanaan, namun lebih dari itu Puspijak juga memperoleh manfaat berupa terbangunnya jejaring kerja/networking dan akses terhadap berbagai isu dan akti� tas litbang kehutanan terkini yang mungkin masih merupakan suatu ilmu

viiProsidingWorkshop Kerjasama Internasional

atau teknologi yang baru di tingkatan nasional dan internasional yang dapat di”share” dan di”learning by doing”, selain exchange of knowledge and skills antar peneliti.

Bapak/Ibu peserta hadirin sekalian yang berbahagia...

Strategi Puspijak dalam pengembangan kerjasama adalah menjalin kemitraan dengan institusi kelitbangan terkemuka yang bergerak dalam bidang perubahan iklim dan kebijakan dalam rangka membangun jejaring kerja seluas mungkin. Sampai dengan saat ini, sebagai executing agency, Puspijak mengelola empat kegiatan kerjasama yang masih berjalan / on going, yaitu :

1. Tropical Forest Conservation For Reducing Emission From Deforestation and Forest Degradation And Enhancing Carbon Stock In Meru Betiri National Park, Indonesia bekerjasama dengan ITTO, 7&1, Telapak, dan TN Meru Betiri

2. Improving Governance, Policy and Institutional Arrangements to Reduce Emissions from Deforestation and Forest Degradation (REDD)-ACIAR bekerjasama dengan ACIAR, Australia National University, dan CIFOR

3. Overcoming Constrains to Community Based Commercial Forestry in Indonesia-ACIAR bekerjasama dengan dengan ACIAR, UGM dan BPK Makassar.

4. REDD+ Readiness Preparation TF 99721 ID (FCPF/World Bank) bekerjasama dengan World-Bank, Pustanling Kehutanan dan Dewan Kehutanan Nasional.

Satu kegiatan lagi yaitu, Feasibility Study on REDD+ in Central Kalimantan-ITTO/Marubeni kerjasama dengan ITTO baru saja selesai dan akan diperpanjang dengan fase III yang berdasarkan MoU akan berlangsung dari September 2012 sampai dengan Maret 2013. Satu kegiatan lagi yang baru saja bergabung dengan Puspijak adalah kerjasama Indonesia-Australia Forest Carbon Partnership (IAFCP) yang akan berlangsung sampai dengan tahun 2014.

Saudara-saudara, hadirin yang kami hormati....

Kelima kegiatan kerjasama yang sedang berjalan maupun yang baru saja selesai telah banyak memberikan kontribusi dalam kegiatan litbang perubahan iklim dan kebijakan. Dari kegiatan-kegiatan kerjasama tersebut telah dilaksanakan beberapa lokakarya, pelatihan dan seminar yang merupakan turunan dari upaya transfer dan exchange of knowledge and technology dan penguatan kapasitas sebagai bagian dari tujuan diadakannya kerjasama tersebut.

Namun lebih dari itu semua, Puspijak memandang perlu untuk dilakukan diseminasi atau penyebarluasan lebih lanjut terhadap berbagai kemajuan/progres yang telah dicapai oleh kegiatan-kegiatan kerjasama tersebut. Kegiatan diseminasi ini

viii

atau teknologi yang baru di tingkatan nasional dan internasional yang dapat di”share” dan di”learning by doing”, selain exchange of knowledge and skills antar peneliti.

Bapak/Ibu peserta hadirin sekalian yang berbahagia...

Strategi Puspijak dalam pengembangan kerjasama adalah menjalin kemitraan dengan institusi kelitbangan terkemuka yang bergerak dalam bidang perubahan iklim dan kebijakan dalam rangka membangun jejaring kerja seluas mungkin. Sampai dengan saat ini, sebagai executing agency, Puspijak mengelola empat kegiatan kerjasama yang masih berjalan / on going, yaitu :

1. Tropical Forest Conservation For Reducing Emission From Deforestation and Forest Degradation And Enhancing Carbon Stock In Meru Betiri National Park, Indonesia bekerjasama dengan ITTO, 7&1, Telapak, dan TN Meru Betiri

2. Improving Governance, Policy and Institutional Arrangements to Reduce Emissions from Deforestation and Forest Degradation (REDD)-ACIAR bekerjasama dengan ACIAR, Australia National University, dan CIFOR

3. Overcoming Constrains to Community Based Commercial Forestry in Indonesia-ACIAR bekerjasama dengan dengan ACIAR, UGM dan BPK Makassar.

4. REDD+ Readiness Preparation TF 99721 ID (FCPF/World Bank) bekerjasama dengan World-Bank, Pustanling Kehutanan dan Dewan Kehutanan Nasional.

Satu kegiatan lagi yaitu, Feasibility Study on REDD+ in Central Kalimantan-ITTO/Marubeni kerjasama dengan ITTO baru saja selesai dan akan diperpanjang dengan fase III yang berdasarkan MoU akan berlangsung dari September 2012 sampai dengan Maret 2013. Satu kegiatan lagi yang baru saja bergabung dengan Puspijak adalah kerjasama Indonesia-Australia Forest Carbon Partnership (IAFCP) yang akan berlangsung sampai dengan tahun 2014.

Saudara-saudara, hadirin yang kami hormati....

Kelima kegiatan kerjasama yang sedang berjalan maupun yang baru saja selesai telah banyak memberikan kontribusi dalam kegiatan litbang perubahan iklim dan kebijakan. Dari kegiatan-kegiatan kerjasama tersebut telah dilaksanakan beberapa lokakarya, pelatihan dan seminar yang merupakan turunan dari upaya transfer dan exchange of knowledge and technology dan penguatan kapasitas sebagai bagian dari tujuan diadakannya kerjasama tersebut.

Namun lebih dari itu semua, Puspijak memandang perlu untuk dilakukan diseminasi atau penyebarluasan lebih lanjut terhadap berbagai kemajuan/progres yang telah dicapai oleh kegiatan-kegiatan kerjasama tersebut. Kegiatan diseminasi ini

viii

penting karena selain untuk menyebarluaskan hasil litbang dari kegiatan kerjasama ini juga untuk memperoleh umpan balik untuk perbaikan ke depan. Masukan ini diharapkan akan lebih mempertajam hasil-hasil litbang dari kegiatan kerjasama sesuai dengan kebutuhan pengguna.

Bapak/Ibu peserta hadiri sekalian yang berbahagia...

Akhirul kalam, kami mengucapkan terima kasih atas kehadiran Bapak/Ibu/Saudara untuk bersama-sama berdiskusi dan berbagi pengetahuan dalam workshop kerjasama ini. Saran masukan dan kritik untuk perbaikan dari hadirin sekalian sangat kami harapkan.

Semoga kegiatan hari ini dapat berjalan dengan baik sehingga tujuan mulia dari kegiatan dari kegiatan ini dapat tercapai dan kita rasakan hasilnya di masa yang akan datang.

Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Kepala PUSPIJAK,

Dr. Kirs� anti Ginoga, MSc.

ixProsidingWorkshop Kerjasama Internasional

Demonstration Activity (DA) REDD+ di Taman Nasional Meru Betiri, Jawa Timur

ITTO PD 519/08 rev (1) Ari Wibowo

Demonstration Activity (DA) REDD+ di Taman Nasional Meru Betiri, Jawa Timur

ITTO PD 519/08 rev (1) Ari Wibowo

1. Pendahuluan

1.1 Latar Belakang

Terjadinya perubahan iklim telah banyak dibuktikan secara ilmiah. Sektor Kehutanan adalah salah satu sektor penting yang berkontribusi terhadap emisi gas rumah kaca (GRK). Di tingkat global, laporan Stern (2007) menyebutkan kontribusi sektor perubahan penutupan lahan dan kehutanan (LULUCF) sebesar 18%, sedangkan di Indonesia, sektor LULUCF adalah yang terbesar yaitu 48% dari total emisi nasional (KLH, 2009). Untuk itu Indonesia mencanangkan target penurunan emisi sebesar 26% pada tahun 2020, dengan kontribusi sektor kehutanan ditetapkan sebesar 14%.

Upaya penurunan emisi sektor kehutanan dapat dilakukan dengan berbagai cara. Pada prinsipnya adalah pengurangan emisi dengan menjaga dan mempertahankan stok karbon yang ada serta meningkatkan serapan melalui berbagai program pembangunan hutan tanaman. Salah satu mekanisme pengurangan emisi yang sedang dikembangkan adalah mekanisme REDD+ (Reducing Emission from Deforestation and Degradation Plus). REDD+ adalah istilah yang mengacu pada Bali Action Plan yaitu 'pendekatan kebijakan dan insentif positif pada isu-isu yang berkenaan dengan mengurangi emisi dari penurunan kerusakan hutan dan tutupan hutan di negara berkembang; dan peran konservasi, pengelolaan hutan lestari serta peningkatan stok karbon hutan di negara berkembang’. Mekanisme ini diharapkan dapat diimplementasikan penuh sesudah berakhirnya periode Kyoto Protocol. Agar hasil penurunan emisi mekanime REDD+ dapat diperjual belikan melalui mekanisme pasar, monitoring penurunan emisi haruslah dilakukan dengan cara-cara yang memenuhi kaidah internasional, dan bersifat MRV (Measurable, Reportable dan Veri� able).

Indonesia adalah salah satu negara dengan hutan tropis terbesar. Salah satu kontribusi terhadap isu global adalah melalui perannya dalam mengurangi emisi Gas Rumah Kaca (GRK) dan meningkatkan persediaan karbon hutan melalui konservasi hutan yang mekanismenya ditingkat global sedang dibangun melalui kegiatan REDD+. Hal ini didukung oleh luasnya hutan konservasi di Indonesia yang mencapai 26,8 juta ha, terdiri dari Taman Nasional, Cagar Alam, dan Hutan Rekreasi.

Sebagian besar hutan konservasi termasuk Taman Nasional Meru Betiri (TNMB) yang terletak di bagian selatan Jawa Timur mendapat ancaman potensial dari deforestasi dan degradasi hutan.

3ProsidingWorkshop Kerjasama Internasional

Meskipun tidak terjadi deforestasi yang terencana, pembalakan liar dan perambahan adalah ancaman bagi kelestarian kawasan konservasi. Mekanisme REDD+ untuk mengurangi deforestasi dan degradasi hutan akan memiliki banyak manfaat. Disamping mempertahankan stok karbon yang mencegah terjadinya emisi, dampak positif lainnya adalah terhadap kelestarian keanekaragaman hayati dan menunjang pembangunan berkelanjutan melalui peran serta masyarakat.

1.2 Tujuan Kegiatan

Tujuan pelaksanaan kegiatan ini adalah untuk memberikan kontribusi dalamn pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan, dan meningkatkan cadangan karbon hutan melalui peningkatan partisipasi masyarakat dalam konservasi dan pengelolaan MBNP. Tujuan khusus adalah: (1) untuk meningkatkan mata pencaharian masyarakat lokal yang tinggal di dalam dan di sekitar areal TNMB melalui partisipasi dalam menghindari deforestasi, degradasi dan hilangnya keanekaragaman hayati, dan (2) untuk mengembangkan pengukuran yang kredibel, dapat dilaporkan, dan sistem diveri� kasi untuk memantau pengurangan emisi dari deforestasi dan deg radasi hutan dan peningkatan cadangan karbon hutan di TNMB.

2. Kondisi Umum Taman Nasional Meru Betiri

2.1 Lokasi DA REDD+

Lokasi kegiatan percontohan REDD+ adalah Taman Nasional Meru Betiri (TNMB) yang terletak di bagian selatan Jawa Timur. TNMB meliputi dua wilayah kabupaten yaitu Jember dan Banyuwangi. Luas total Taman Nasional adalah ± 58.000 ha yang terdiri dari berbagai tipe vegetasi dari pegunungan sampai ke daerah pesisir. TNMB kaya keanekaragaman hayati dan kehidupan masyarakat sekitar hutan yang memberikan dampak positif dan negatif terhadap kelestarian hutan.

Demonstration Activity (DA) REDD+ di Taman Nasional Meru Betiri, Jawa TimurITTO PD 519/08 rev (1) 4

Gambar 1. Lokasi TNMB di Jawa Timur

2.2 Luas dan Zona di TNMB

TNMB memiliki luas 58.000 ha dan terletak di bagian selatan Provinsi Jawa Timur dan berada di dua kabupaten yaitu Jember dan Banyuwangi dengan aksesibilitas relatif tinggi. Kondisi topogra� sangat bervariasi mulai dari daerah perbukitan, dataran rendah, pantai dan mangrove yang menghadap ke Samudera Hindia.

Kawasan Taman Nasional merupakan ekosistem hutan hujan tropis dengan keanekaragaman � ora dan fauna yang tinggi (lebih dari 500 jenis vegetasi telah diidenti� kasi), seperti tanaman obat, tanaman hias, bambu serta berbagai hewan kecil dan yang relatif besar.

Dalam hal fungsi, TNMB dibagi menjadi 5 zona, yaitu zona inti, zona hutan utuh, zona pemanfaatan, zona rehabilitasi dan zona penyangga. Setiap zona dikelola secara khusus berdasarkan fungsi spesi� k. Zona inti dengan luas wilayah 27,900 ha merupakan kawasan lindung dan hanya diperbolehkan untuk penelitian dan pendidikan. Zona hutan dengan total luas 22,622 ha diperbolehkan untuk penelitian dan pendidikan, pemanfaatan terbatas untuk ekowisata.

5ProsidingWorkshop Kerjasama Internasional

Gambar 1. Lokasi TNMB di Jawa Timur

2.2 Luas dan Zona di TNMB

TNMB memiliki luas 58.000 ha dan terletak di bagian selatan Provinsi Jawa Timur dan berada di dua kabupaten yaitu Jember dan Banyuwangi dengan aksesibilitas relatif tinggi. Kondisi topogra� sangat bervariasi mulai dari daerah perbukitan, dataran rendah, pantai dan mangrove yang menghadap ke Samudera Hindia.

Kawasan Taman Nasional merupakan ekosistem hutan hujan tropis dengan keanekaragaman � ora dan fauna yang tinggi (lebih dari 500 jenis vegetasi telah diidenti� kasi), seperti tanaman obat, tanaman hias, bambu serta berbagai hewan kecil dan yang relatif besar.

Dalam hal fungsi, TNMB dibagi menjadi 5 zona, yaitu zona inti, zona hutan utuh, zona pemanfaatan, zona rehabilitasi dan zona penyangga. Setiap zona dikelola secara khusus berdasarkan fungsi spesi� k. Zona inti dengan luas wilayah 27,900 ha merupakan kawasan lindung dan hanya diperbolehkan untuk penelitian dan pendidikan. Zona hutan dengan total luas 22,622 ha diperbolehkan untuk penelitian dan pendidikan, pemanfaatan terbatas untuk ekowisata.

5ProsidingWorkshop Kerjasama Internasional

Zona Pemanfaatan dengan luas total 1,285 ha selain untuk penelitian dan pendidikan, juga untuk pemanfaatan berkelanjutan pada dataran tinggi dan pesisir yaitu untuk ekowisata. Zona rehabilitasi dengan luas wilayah 4,023 ha adalah zona di mana rehabilitasi hutan dan lahan (agro-kehutanan budidaya) melibatkan masyarakat lokal sedang berlangsung untuk memperkuat dan melindungi zona lain. Kegiatan rehabilitasi dilakukan di daerah ini untuk memulihkan tutupan hutan dari pembalakan ilegal, konversi dan budidaya sejak awal 1990-an. Rehabilitasi dilakukan berdasarkan prinsip saling menguntungkan antara TNMB dan masyarakat dengan mengembangkan sistem agroforestry.

2.3 Aspek lingkungan

Tipe hutan di Taman Nasional Meru Betiri adalah hutan mangrove, hutan rawa, dan hutan hujan dataran rendah. TNMB merupakan habitat alami dari bunga Raf� esia (Raf� esia zollingeriana), dan berbagai vegetasi lainnya seperti bakau (Rhizophora sp.), Api-api (Avicennia sp.), waru (Hibiscus tiliaceus), nyamplung (Calophyllum inophyllum), Rengas (Gluta renghas), Bungur (Lagerstroemia speciosa), Pulai (Alstonia scholaris), Bendo (Artocarpus elasticus), serta berbagai jenis tanaman obat. TNMB juga merupakan rumah bagi beberapa satwa yang dilindungi, termasuk 29 jenis mamalia dan 180 jenis burung. TNMB dikenal sebagai habitat terakhir Harimau Jawa (Panthera tigris sondaica) yang sekarang menjadi sangat terancam punah dan merupakan jenis yang dilindungi. Jejak harimau ini tidak ditemukan lagi selama bertahun-tahun sehingga dikhawatirkan telah punah.

TNMB juga memiliki karakteristik lainnya yaitu penyu. Pantai Sukamade merupakan habitat dari berbagai jenis penyu seperti penyu belimbing, penyu sisik, dan penyu hijau. Fasilitas penangkaran sederhana telah dibangun di pantai ini untuk memastikan bahwa penyu tersebut tidak menjadi punah

2.4 Aspek Sosial Ekonomi

TNMB berada di dua kabupaten yaitu Jember dan Banyuwangi dengan jumlah desa yang langsung berbatasan dengan kawasan Taman 11-12 desa dan jumlah penduduk 23,800. Kebanyakan masyarakat yang tinggal di desa-desa ini adalah petani subsisten dan buruh dalam kegiatan yang berhubungan dengan pertanian. Rata-rata pendapatan masyarakat sangat rendah, sekitar UD $ 150 per tahun. Untuk mendukung kehidupan sehari-hari, sebagian besar anggota masyarakat mencari sumber pendapatan alternatif, dan sering melakukan penebangan di kawasan Taman Nasional, baik untuk

Demonstration Activity (DA) REDD+ di Taman Nasional Meru Betiri, Jawa TimurITTO PD 519/08 rev (1) 6

kayu dan Hasil Hutan Bukan Kayu. Beberapa anggota masyarakat juga bekerja di TNMB untuk kegiatan rehabilitasi sebagai sumber pendapatan tambahan. Peningkatan jumlah penduduk menyebabkan meningkatnya ketergantungan masyarakat pada sumber daya yang disediakan dari TNMB.

TNMB sebagaimana kawasan hutan lainnya, juga menghadapi ancaman serius yang menyebabkan degradasi dan mengurangi nilai dari fungsi ekosistem termasuk perannya dalam penyerapan karbon dan mengurangi emisi gas rumah kaca. Penyebab utama ancaman (terutama degradasi hutan) adalah penebangan liar dan perambahan.

Penebangan liar kayu dan non-kayu hasil hutan dari taman nasional sebagian besar karena masih lemahnya upaya penegakan hukum, kurangnya kesadaran masyarakat tentang fungsi hutan dan tekanan ekonomi yang disebabkan oleh kemiskinan dan kurangnya sumber pendapatan. Situasi ini, secara langsung atau tidak langsung, memberikan kontribusi terhadap potensi degradasi dari kawasan Taman Nasional.

3. Pelaksanaan DA REDD+ di TNMB

Kegiatan DA REDD+ di Taman Nasional Merubetiri secara resmi telah di “launching” oleh Menteri Kehutanan pada bulan Januari tahun 2010. Saat ini kegiatan DA REDD+ di Taman Nasional Meru Betiri sedang dalam proses register oleh Direktorat Jenderal PHKA bersama-sama dengan DA di Taman Nasional lainnya, yaitu TN Sebangau, Tesso Nilo dan Berbak. DA REDD+ di TNMB merupakan salah satu dari DA REDD di Indonesia yang mewakili kawasan konservasi. Kegiatan ini sangat mendukung komitmen Pemerintah Indonesia dalam mengatasi masalah perubahan iklim melalui target penurunan emisi 26 % tahun 2020, sebagai kontribusi upaya mitigasi dari sektor kehutanan

Jangka waktu implementasi kegiatan 4 tahun (2010-2013) dengan Executing Agency Badan Litbang Kehutanan melalui Pusat Litbang Perubahan Iklim dan Kebijakan bekerjasama dengan Balai Taman Nasional Meru Betiri dan LATIN.

Kegiatan percontohan REDD+ di TNMB dibiayai oleh ITTO (PD 519/08 Rev 1 (F), dengan kontribusi dari Perusahaan Jepang, Seven and i Holdings Company. Nilai kegiatan (hibah) adalah sebesar US$ 814.590

Kegiatan dilakukan untuk mencapai tujuan yaitu terkait dengan upaya peningkatan partisipasi dan kesejahteraan masyarakat, dan kegiatan yang mendukung tercapainya peningkatan kapasitas dalam persediaan sumber daya dasar dan akuntansi karbon dalam terukur, dilaporkan dan dapat diveri� kasi (MRV). Jenis dan tata waktu kegiatan adalah sebagai berikut:

7ProsidingWorkshop Kerjasama Internasional

kayu dan Hasil Hutan Bukan Kayu. Beberapa anggota masyarakat juga bekerja di TNMB untuk kegiatan rehabilitasi sebagai sumber pendapatan tambahan. Peningkatan jumlah penduduk menyebabkan meningkatnya ketergantungan masyarakat pada sumber daya yang disediakan dari TNMB.

TNMB sebagaimana kawasan hutan lainnya, juga menghadapi ancaman serius yang menyebabkan degradasi dan mengurangi nilai dari fungsi ekosistem termasuk perannya dalam penyerapan karbon dan mengurangi emisi gas rumah kaca. Penyebab utama ancaman (terutama degradasi hutan) adalah penebangan liar dan perambahan.

Penebangan liar kayu dan non-kayu hasil hutan dari taman nasional sebagian besar karena masih lemahnya upaya penegakan hukum, kurangnya kesadaran masyarakat tentang fungsi hutan dan tekanan ekonomi yang disebabkan oleh kemiskinan dan kurangnya sumber pendapatan. Situasi ini, secara langsung atau tidak langsung, memberikan kontribusi terhadap potensi degradasi dari kawasan Taman Nasional.

3. Pelaksanaan DA REDD+ di TNMB

Kegiatan DA REDD+ di Taman Nasional Merubetiri secara resmi telah di “launching” oleh Menteri Kehutanan pada bulan Januari tahun 2010. Saat ini kegiatan DA REDD+ di Taman Nasional Meru Betiri sedang dalam proses register oleh Direktorat Jenderal PHKA bersama-sama dengan DA di Taman Nasional lainnya, yaitu TN Sebangau, Tesso Nilo dan Berbak. DA REDD+ di TNMB merupakan salah satu dari DA REDD di Indonesia yang mewakili kawasan konservasi. Kegiatan ini sangat mendukung komitmen Pemerintah Indonesia dalam mengatasi masalah perubahan iklim melalui target penurunan emisi 26 % tahun 2020, sebagai kontribusi upaya mitigasi dari sektor kehutanan

Jangka waktu implementasi kegiatan 4 tahun (2010-2013) dengan Executing Agency Badan Litbang Kehutanan melalui Pusat Litbang Perubahan Iklim dan Kebijakan bekerjasama dengan Balai Taman Nasional Meru Betiri dan LATIN.

Kegiatan percontohan REDD+ di TNMB dibiayai oleh ITTO (PD 519/08 Rev 1 (F), dengan kontribusi dari Perusahaan Jepang, Seven and i Holdings Company. Nilai kegiatan (hibah) adalah sebesar US$ 814.590

Kegiatan dilakukan untuk mencapai tujuan yaitu terkait dengan upaya peningkatan partisipasi dan kesejahteraan masyarakat, dan kegiatan yang mendukung tercapainya peningkatan kapasitas dalam persediaan sumber daya dasar dan akuntansi karbon dalam terukur, dilaporkan dan dapat diveri� kasi (MRV). Jenis dan tata waktu kegiatan adalah sebagai berikut:

7ProsidingWorkshop Kerjasama Internasional

Tabel 1. Kegiatan DA REDD+ di TNMB dan tata waktu

Kegiatan Utama/Kegiatan Tata Waktu

Upaya peningkatan partisipasi dan kesejahteraan masyarakat

1. Mengkaji skema yang ada dan pembelajaran dari daerah sekitar 2. Melakukan konsultasi parapihak untuk mengidenti� kasi skema yang paling

layak untuk TNMB3. Menetapkan kemitraan untuk konservasi Taman Nasional Meru Betiri4. Meningkatkan kegiatan ekonomi potensial melalui program kemitraan

komunitas hutan5. Mempromosikan pengembangan dan domestikasi jenis berharga dari TNMB6. Melaksanakan program peningkatan kesadaran masyarakat7. Melakukan pelatihan perlindungan hutan untuk tokoh masyarakat, polisi dan

staf pemerintah lokal lainnya di TNMB 8. Meningkatkan kelembagaan di tingkat masyarakat untuk mengurangi

penebangan liar dan memberdayakan mereka9. Scaling up pembelajaran DA REDD+10. Perencanaan program penanaman di zona rehabilitasi oleh masyarakat

20102010

20112011

20112011-2013

2010

2011-2013

20122012

Kegiatan yang mendukung tercapainya peningkatan kapasitas dalam inventarisasi sumber daya dan akuntansi karbon yang dapat diukur, dilaporkan dan diveri� kasi (MRV)1. Mengkaji metodologi yang tersedia untuk penghitungan karbon menurut

IPCC, VCS dan standar lainnya 2. Mengembangkan prosedur operasi standar (SOP) untuk pengukuran bidang

karbon dan keanekaragaman hayati3. Menyiapkan petunjuk teknis penyelenggraan DA REDD+ untuk kawasan

konservasi 4. Menentukan batas proyek untuk memfasilitasi pengukuran dan pemantauan

cadangan karbon5. Menyelenggarakan lokakarya dan pelatihan tentang inventarisasi berbasis

sumber daya bagi para pemangku kepentingan terkait6. Menyelenggarakan lokakarya dan pelatihan tentang penghitungan karbon

bagi para pemangku kepentingan terkait7. Melakukan analisis penginderaan jauh untuk menentukan perubahan

penutup dalam taman nasional8. Menetapkan baseline proyek untuk menganalisis penggunaan lahan dan

perubahan tutupan lahan dan perubahan karbon terkait saham9. Pelaksanaan pembuatan Dokumen Desain Proyek (PDD) sesuai dengan

standar karbon sukarela (VCS)10. Rencana validasi/veri� kasi

2010-2011

2011

2012

2010

2011

2010

2011-2012

2011-2012

2012

2013

Selama pelaksanaan REDD DA, kegiatan sosialisasi telah dilaksanakan. Jaringan telah dikembangkan melalui:1. Website: Http :/ / ceserf-itto.puslitsosekhut.web.id2. Mailing list: [email protected]

3. Video : http://library.forda-mof.org/libforda/� les/mbnp redd+.mpg

4. Berbagai publikasi telah dihasilkan, yaitu: Brief Info (Bulanan), Laporan foto, Laporan Teknis, Laporan Tahunan, Policy Brief

5. Lea� et, poster, pam� et, selebaran, dll

Demonstration Activity (DA) REDD+ di Taman Nasional Meru Betiri, Jawa TimurITTO PD 519/08 rev (1) 8

Kegiatan DA REDD + di TNMB telah memberikan pembelajaran dan disebarluaskan melalui berbagai pertemuan, lokakarya, seminar dan acara lainnya. Kegiatan ini juga menarik minat tidak hanya dari Indonesia tetapi juga dari negara lain untuk melihat TNMB dan implementasi REDD, termasuk kunjungan dari Korea University, Delegasi Thailand, kunjungan Deperindag Jepang Kehutanan, dan Tim dari University Washington, Amerika Serikat dan Universitas Indonesia.

Untuk Rancangan Metodologi, sampai dengan tahun 2012, sedang disiapkan Project Design Document (PDD) yang mengacu kepada Veri� ed Carbon Standard (VCS), dengan mengaplikasikan metodologi yang tersedia menurut VCS yaitu VM0015 for Avoided Unplanned Deforestation

4. Pembelajaran

DA REDD+ di TNMB merupakan kegiatan percontohan sebagai pembelajaran terhadap mekanisme REDD sebelum diimplementasikan secara penuh. Kegiatan ini mendukung peningkatan pengelolaan kawasan konservasi yang lestari. Pengelolaan yang meningkat akan ditandai dengan perbaikan fungsi ekosistem hutan, perbaikan partisipasi masyarakat serta pemangku kepentingan lainnya dan peningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pembelajaran yang diperoleh dari kegiatan REDD di TNMB dalam rangka perbaikan penerapan REDD+ diantaranya, adalah sebagai berikut:

1. Masyarakat di sekitar TNMB merupakan parapihak yang penting dalam pelaksanaan program REDD+. Mereka telah menunjukkan keinginan dan partisipasi yang baik dalam menjalankan program REDD+. Untuk itu, masyarakat memerlukan kepastian jangka panjang dalam menjalankan kegiatannya terutama di zona rehabilitasi TNMN. Nota kesepahaman yang telah disepakati menjadi awal dari berlangsungnya kerjasama yang baik antara masyarakat dan TNMB demi keuntungan kedua belah pihak.

2. Meskipun mekanisme wajib melalui perundingan COP belum memberikan hasil yang nyata dalam mekanisme REDD+, mekanisme sukarela seperti VCS, CCBA dan Plan Vivo telah berkembang yang dapat menjadi kesempatan bagi program REDD+ di Indonesia. Selain itu mekanisme “fund based” seperti “Carbon Offset Mechanism” dapat menjadi alternatif insentif untuk kawasan konservasi. Saat ini kegiatan DA REDD+ di TNMB sedang menyiapkan PDD (Project Desugn Document) yang mengacu kepada Veri� ed Carbon Standard (VCS)

9ProsidingWorkshop Kerjasama Internasional

Kegiatan DA REDD + di TNMB telah memberikan pembelajaran dan disebarluaskan melalui berbagai pertemuan, lokakarya, seminar dan acara lainnya. Kegiatan ini juga menarik minat tidak hanya dari Indonesia tetapi juga dari negara lain untuk melihat TNMB dan implementasi REDD, termasuk kunjungan dari Korea University, Delegasi Thailand, kunjungan Deperindag Jepang Kehutanan, dan Tim dari University Washington, Amerika Serikat dan Universitas Indonesia.

Untuk Rancangan Metodologi, sampai dengan tahun 2012, sedang disiapkan Project Design Document (PDD) yang mengacu kepada Veri� ed Carbon Standard (VCS), dengan mengaplikasikan metodologi yang tersedia menurut VCS yaitu VM0015 for Avoided Unplanned Deforestation

4. Pembelajaran

DA REDD+ di TNMB merupakan kegiatan percontohan sebagai pembelajaran terhadap mekanisme REDD sebelum diimplementasikan secara penuh. Kegiatan ini mendukung peningkatan pengelolaan kawasan konservasi yang lestari. Pengelolaan yang meningkat akan ditandai dengan perbaikan fungsi ekosistem hutan, perbaikan partisipasi masyarakat serta pemangku kepentingan lainnya dan peningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pembelajaran yang diperoleh dari kegiatan REDD di TNMB dalam rangka perbaikan penerapan REDD+ diantaranya, adalah sebagai berikut:

1. Masyarakat di sekitar TNMB merupakan parapihak yang penting dalam pelaksanaan program REDD+. Mereka telah menunjukkan keinginan dan partisipasi yang baik dalam menjalankan program REDD+. Untuk itu, masyarakat memerlukan kepastian jangka panjang dalam menjalankan kegiatannya terutama di zona rehabilitasi TNMN. Nota kesepahaman yang telah disepakati menjadi awal dari berlangsungnya kerjasama yang baik antara masyarakat dan TNMB demi keuntungan kedua belah pihak.

2. Meskipun mekanisme wajib melalui perundingan COP belum memberikan hasil yang nyata dalam mekanisme REDD+, mekanisme sukarela seperti VCS, CCBA dan Plan Vivo telah berkembang yang dapat menjadi kesempatan bagi program REDD+ di Indonesia. Selain itu mekanisme “fund based” seperti “Carbon Offset Mechanism” dapat menjadi alternatif insentif untuk kawasan konservasi. Saat ini kegiatan DA REDD+ di TNMB sedang menyiapkan PDD (Project Desugn Document) yang mengacu kepada Veri� ed Carbon Standard (VCS)

9ProsidingWorkshop Kerjasama Internasional

3. Program REDD+ di TNMB telah memberikan pembelajaran dan informasi tentang potensi karbon di kawasan konservasi dan mengembangkan sistem perhitungan karbon dan emisi yang dapat diukur, dilaporkan dan diveri� kasi (MRV). Hutan pada kawasan konservasi di TNMB relatif pada kondisi yang baik, tinggi tingkat kadungan karbon dan memiliki nilai biodiversitas penting

4. Mekanisme REDD+ yang sedang dikembangkan sepertinya lebih memberikan keuntungan pada wilayah dengan tingkat sejarah deforestasi atau emisi yang tinggi, sehingga merupakan tantangan dan proses pembelajaran untuk REDD+ di wilayah konservasi dengan tingkat deforestasi rendah dan nilai konservasi (biodiversitas) tinggi. Mekanisme insentif dan penghargaan seharusnya diupayakan untuk wilayah yang telah mengupayakan konservasi dengan baik.

5. Dengan adanya kegiatan DA REDD+ telah terjalin kolaborasi antar stakeholders (Kemenhut, BTNMB, Pemda, NGO, Perguruan Tinggi, Swasta dll)

Tantangan yang dihadapi dalam implementasi kegiatan DA REDD+ diantaranya adalah:

1. Kegiatan REDD+ di TNMB ini terutama berkaitan dengan pemberdayaan masyarakat dan penguatan kelembagaan dalam pengelolaan MBNP untuk mendukung tujuan konservasi. Potensi risiko yang mungkin muncul adalah dari kon� ik kepentingan antara masyarakat lokal dan pengelolaan TNMB, terutama dalam pemanfaatan lahan di TNMB. Kon� ik kepentingan ini dapat mengakibatkan berkurangnya partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan kegiatan.

2. Risiko potensial lain adalah berhubungan dengan pengembangan sistem yang kredibel untuk memonitor pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan dan untuk meningkatkan cadangan karbon hutan. Dalam rangka pengembangan sistem yang kredibel berbagai metodologi tersedia untuk perhitungan dan pemantauan cadangan karbon, seperti yang dikembangkan oleh Inter-Governmental Panel on Climate Change (IPCC). Selain itu beberapa standard sukarela juga tersedia misalnya Veri� ed Carbon Standard (VCS) dan Climate and Community Biodiversity Alliance (CCBA). Berbagai standard ini masih mengutamakan penurunan emisi sebagai target utama, sedangkan peran konservasi (biodiversity) dan masyarakat masih merupakan manfaat tambahan (co-bene� ts). Rendahnya sejarah emisi akan mengurangi nilai tambah (additionallity) dari kegiatan ini, dan sulit untuk mendapatkan insentif dari pasar sukarela.

3. Kegiatan berakhir 2013, diperlukan keberlanjutan pasca ITTO, apakah selesai sebagai DA pembelajaran atau terus dilaksanakan sebagai “result based DA”.

Demonstration Activity (DA) REDD+ di Taman Nasional Meru Betiri, Jawa TimurITTO PD 519/08 rev (1) 10

4. Scaling Up

Registrasi dan upaya Dijen PHKA dengan menyiapkan Draft PerdirjenBersama-sama dengan TN Sebangau, Tesso Nilo, dan Berbak

5. Penutup

1. DA REDD+ di TNMB merupakan DA yang mewakili kawasan konservasi yang dilaksanakan oleh multistakeholder dan kontribusi dari internasional (ITTO dan Seven and i) terhadap kelestarian hutan tropis

2. Tantangan dan proses belajar untuk REDD+ di kawasan konservasi dengan tingkat deforestasi rendah dan kaya akan nilai konservasi . Hutan di TNMB umumnya masih dalam kondisi baik, kaya biodiversitas dan stok karbon.

3. Masyarakat adalah komponen penting dalam REDD+. Kesuksesan tergantung juga pada partisipasi dan kesadaran masyarakat. REDD+ harus memberikan manfaat jangka pendek dan jangka panjang. Masyarakat memerlukan kepastian hukum jangka panjang untuk kegiatan yang berhubungan dengan TNMB.

4. Kegiatan DA telah menghasilkan informasi stok karbon di TNMB sebagai kawasan konservasi, sistem MRV untuk memonitor stok karbon dan biodiversitas serta keterlibatan masyarakat sebagai masukan untuk sistem nasional dan program REDD lainnya.

5. DA REDD+ telah mengikuti prosedur VCS dengan menyiapkan PDD. Untuk itu perlu didukung dengan keberlanjutan kegiatan setelah berakhirnya kegiatan ITTO pada tahun 2013.

Daftar Publikasi Project ITTO PD 519/08 Rev (1) F

1. Review existing scemes and lesson learned from surrounding areas2. Stakeholder consultation to determine the most viable scheme of community and

other stakeholders to be applied at MBNP 3. Determination of project boundary to facilitate measuring and monitoring of

carbon stocks4. Review existing methodology of resourcebased inventory for measuring reporting

and verivying (MRV) carbon accounting for reducing emission from deforestation and forest degradation and enhancing carbon stock in Meru Betiri National Park (MBNP), Indonesia

5. Standard Operating Procedures (SOPs) for Field Measurement

11ProsidingWorkshop Kerjasama Internasional

6. Mengembangkan konservasi berdasarkan Industri dari Zona rehabilitasi di Taman nasional Meru Betiri

7. The Completion of GIS Analysis Activity in Meru Betiri National Park8. aporan Pelatihan Pelibatan Masyarakat dalam Pengukuran, Pelaporan, dan

Veri� kasi perubahan cadangan karbon di Taman Nasional Meru Betiri (TNMB)9. landcover change analysis using remote sensing and GIS10. Progress Of Demonstration Activity Of REDD+ In Meru Betiri Nasional Park,

Indonesia Up To 201111. Developing Partnership for Conservation at Meru Betiri National Park12. Review on Methodology of voluntary carbon standards for application of REDD+

Project in Meru Betiri National Park, East Java13. Analysis of Land Use, Land Cover Change and the Association Carbon Stock

Change to Establish Project Baseline14. Review tentang Illegal Logging sebagai ancaman terhadap sumberdaya hutan

dan implementasi kegiatan pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi (REDD+) di Indonesia

15. Standard Operational Procedure for Biodiversity Survey in Conservation Area16. Prosedur Operasi Standar (SOP) untuk Survei Keragaman Jenis Pada Kawasan

Konservasi17. Prosedur Operasi Standar (SOP) untuk Pengukuran Stock Karbon di Kawasan

Konservasi18. Pelatihan Inventarisasi Sumber Daya Petani19. Potensi Karbon di Taman Nasional Meru Betiri20. Meningkatkan Kelembagaan dan Pemberdayaan Masyarakat untuk Mengatasi

Masalah Penebangan Liar di TNMB21. Hutan, Perubahan Iklim dan REDD+ (bahan penyuluhan ke sekolah dasar/

menengah)22. Informasi Teknis Pelaksanaan Kegiatan Da REDD+ Di Kawasan Konservasi

Demonstration Activity (DA) REDD+ di Taman Nasional Meru Betiri, Jawa TimurITTO PD 519/08 rev (1) 12

Overcoming Constraints to Community-Based Commercial Forestry in IndonesiaProject Overview: ACIAR- FST/2008/030

Setiasih Irawanti

6. Mengembangkan konservasi berdasarkan Industri dari Zona rehabilitasi di Taman nasional Meru Betiri

7. The Completion of GIS Analysis Activity in Meru Betiri National Park8. aporan Pelatihan Pelibatan Masyarakat dalam Pengukuran, Pelaporan, dan

Veri� kasi perubahan cadangan karbon di Taman Nasional Meru Betiri (TNMB)9. landcover change analysis using remote sensing and GIS10. Progress Of Demonstration Activity Of REDD+ In Meru Betiri Nasional Park,

Indonesia Up To 201111. Developing Partnership for Conservation at Meru Betiri National Park12. Review on Methodology of voluntary carbon standards for application of REDD+

Project in Meru Betiri National Park, East Java13. Analysis of Land Use, Land Cover Change and the Association Carbon Stock

Change to Establish Project Baseline14. Review tentang Illegal Logging sebagai ancaman terhadap sumberdaya hutan

dan implementasi kegiatan pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi (REDD+) di Indonesia

15. Standard Operational Procedure for Biodiversity Survey in Conservation Area16. Prosedur Operasi Standar (SOP) untuk Survei Keragaman Jenis Pada Kawasan

Konservasi17. Prosedur Operasi Standar (SOP) untuk Pengukuran Stock Karbon di Kawasan

Konservasi18. Pelatihan Inventarisasi Sumber Daya Petani19. Potensi Karbon di Taman Nasional Meru Betiri20. Meningkatkan Kelembagaan dan Pemberdayaan Masyarakat untuk Mengatasi

Masalah Penebangan Liar di TNMB21. Hutan, Perubahan Iklim dan REDD+ (bahan penyuluhan ke sekolah dasar/

menengah)22. Informasi Teknis Pelaksanaan Kegiatan Da REDD+ Di Kawasan Konservasi

Demonstration Activity (DA) REDD+ di Taman Nasional Meru Betiri, Jawa TimurITTO PD 519/08 rev (1) 12

Overcoming Constraints to Community-Based Commercial Forestry in IndonesiaProject Overview: ACIAR- FST/2008/030

Setiasih Irawanti

Abstrak

Merupakan tantangan bagi pemerintah Indonesia di mana 55 juta penduduknya (23% dari populasi) hidup diantara hutan dan bergantung pada hutan. Sementara itu penanaman hutan diharapkan dapat memenuhi kebutuhan bahan baku industri skala besar, namun sebaliknya ketersediaan hutan yang sesuai untuk memenuhi kebutuhan mata pencaharian masyarakat pedesaan menjadi kurang pasti. Apakah Kehutanan Komersial Berbasis Masyarakat (CBCF) merupakan strategi kebijakan dan manajemen yang efektif?. Ada empat tugas penelitian yakni (1) analisis dimensi sosial, (2) kerangka kerja mata pencaharian sektor kehutanan, (3) analisis rantai nilai dan (4) pendekatan pembelajaran petani.

Hasil dari analisis dimensi sosial menunjukan bahwa hutan rakyat sengon di Kabupaten Pati dibangun di lahan tegalan dan pekarangan secara tumpangsari dengan berbagai jenis tanaman semusim, empon-empon, rumput pakan ternak, tanaman perkebunan, tanaman penghasil buah-buahan, dan tanaman kehutanan, sehingga dihasilkan kayu dan hasil bukan kayu (HBK). Program pemerintah KBR, BLM-PPMBK, dan KBD berperan memperkaya lahan rakyat dengan tanaman kayu dan mendorong peningkatan produksi kayu dan HBK.

Pendapatan petani dari kegiatan terkait lahan berasal dari 3 sumber yakni (1) hasil penjualan kayu, (2) hasil penjualan HBK, dan (3) hasil penjualan ternak. Rata-rata kontribusi pendapatan tertinggi dari kayu adalah 22%, dari HBK adalah 82% dan dari ternak adalah 12%. Sedangkan pendapatan petani dari hutan rakyat berasal dari 2 sumber yakni (1) hasil penjualan kayu dan (2) hasil penjualan HBK, di mana rata-rata kontribusi pendapatan tertinggi dari kayu adalah 67% dan dari HBK adalah 87%. HBK yang mempunyai kontribusi pendapatan besar yakni tanaman buah-buahan (31,58% - 75,11%) dan tanaman perkebunan (22,13% - 55,41%). Budidaya ternak dan hutan rakyat dapat dipandang sebagai usaha komplementer, saling melengkapi atau menghidupi, karena ternak menghasilkan pupuk kandang untuk menyuburkan lahan dan tanaman hutan rakyat sebaliknya dari hutan rakyat dihasilkan hijauan pakan ternak untuk pakan kambing dan sapi. Kayu menjadi insentif pengembangan hutan rakyat terutama di Desa Payak, sedangkan HBK menjadi insentif pengembangan hutan rakyat terutama di Desa Gunungsari dan Giling.

HBK berperan penting dalam mempertahankan eksistensi hutan rakyat pada pemilikan lahan yang sempit karena dapat memberi pendapatan pada petani selama menunggu tanaman kayu dipanen. Selain itu, bila tanaman kayu dicampur dengan berbagai jenis tanaman penghasil HBK maka petani dapat memperoleh pendapatan secara berkesinambungan karena panen HBK terjadi secara bergilir.

15ProsidingWorkshop Kerjasama Internasional

Abstrak

Merupakan tantangan bagi pemerintah Indonesia di mana 55 juta penduduknya (23% dari populasi) hidup diantara hutan dan bergantung pada hutan. Sementara itu penanaman hutan diharapkan dapat memenuhi kebutuhan bahan baku industri skala besar, namun sebaliknya ketersediaan hutan yang sesuai untuk memenuhi kebutuhan mata pencaharian masyarakat pedesaan menjadi kurang pasti. Apakah Kehutanan Komersial Berbasis Masyarakat (CBCF) merupakan strategi kebijakan dan manajemen yang efektif?. Ada empat tugas penelitian yakni (1) analisis dimensi sosial, (2) kerangka kerja mata pencaharian sektor kehutanan, (3) analisis rantai nilai dan (4) pendekatan pembelajaran petani.

Hasil dari analisis dimensi sosial menunjukan bahwa hutan rakyat sengon di Kabupaten Pati dibangun di lahan tegalan dan pekarangan secara tumpangsari dengan berbagai jenis tanaman semusim, empon-empon, rumput pakan ternak, tanaman perkebunan, tanaman penghasil buah-buahan, dan tanaman kehutanan, sehingga dihasilkan kayu dan hasil bukan kayu (HBK). Program pemerintah KBR, BLM-PPMBK, dan KBD berperan memperkaya lahan rakyat dengan tanaman kayu dan mendorong peningkatan produksi kayu dan HBK.

Pendapatan petani dari kegiatan terkait lahan berasal dari 3 sumber yakni (1) hasil penjualan kayu, (2) hasil penjualan HBK, dan (3) hasil penjualan ternak. Rata-rata kontribusi pendapatan tertinggi dari kayu adalah 22%, dari HBK adalah 82% dan dari ternak adalah 12%. Sedangkan pendapatan petani dari hutan rakyat berasal dari 2 sumber yakni (1) hasil penjualan kayu dan (2) hasil penjualan HBK, di mana rata-rata kontribusi pendapatan tertinggi dari kayu adalah 67% dan dari HBK adalah 87%. HBK yang mempunyai kontribusi pendapatan besar yakni tanaman buah-buahan (31,58% - 75,11%) dan tanaman perkebunan (22,13% - 55,41%). Budidaya ternak dan hutan rakyat dapat dipandang sebagai usaha komplementer, saling melengkapi atau menghidupi, karena ternak menghasilkan pupuk kandang untuk menyuburkan lahan dan tanaman hutan rakyat sebaliknya dari hutan rakyat dihasilkan hijauan pakan ternak untuk pakan kambing dan sapi. Kayu menjadi insentif pengembangan hutan rakyat terutama di Desa Payak, sedangkan HBK menjadi insentif pengembangan hutan rakyat terutama di Desa Gunungsari dan Giling.

HBK berperan penting dalam mempertahankan eksistensi hutan rakyat pada pemilikan lahan yang sempit karena dapat memberi pendapatan pada petani selama menunggu tanaman kayu dipanen. Selain itu, bila tanaman kayu dicampur dengan berbagai jenis tanaman penghasil HBK maka petani dapat memperoleh pendapatan secara berkesinambungan karena panen HBK terjadi secara bergilir.

15ProsidingWorkshop Kerjasama Internasional

Dengan pertimbangan tersebut, pada wilayah-wilayah di mana pemilikan lahan oleh petani relatif sempit maka pembangunan Hutan Rakyat (HR), Hutan Tanaman Rakyat (HTR), atau Hutan Kemasyarakatan (HKm), direkomendasikan menggunakan teknik agroforestri dengan berbagai jenis tanaman semusim, empon-empon, tanaman hijauan pakan ternak, tanaman perkebunan, dan tanaman buah-buahan yang dapat menghasilkan berbagai jenis HBK.

Kata kunci: kayu, hasil hutan bukan kayu, hutan rakyat, sengon, Pati

1. Pendahuluan

1.1 Latar Belakang

Merupakan tantangan bagi pemerintah Indonesia di mana 55 juta penduduknya (23% dari populasi) hidup diantara hutan dan bergantung pada hutan. Diantara mereka mendapat manfaat dari penggunaan kawasan hutan dan lahan untuk mata pencaharian tradisional, pertanian subsisten, pemanenan, pengolahan dan ekspor kayu. Banyak masyarakat pedesaan di Indonesia yang hidup dikelilingi hutan yang seringkali menjadi satu-satunya 'jaminan sosial' yang mereka miliki.

Kini Kehutanan Komersial Berbasis Masyarakat (CBCF) menjadi strategi untuk mencapai beberapa tujuan, seperti untuk mengurangi deforestasi, membangun hutan tanaman untuk memasok industri kayu, dan untuk mengurangi kemiskinan di pedesaan. Strategi pelibatan masyarakat dalam kehutanan komersial di Indonesia antara lain diluncurkan dalam Program Hutan Tanaman Rakyat (HTR), Hutan Kemasyarakatan (HKm), dan Hutan Rakyat (HR).

Sementara penanaman hutan diharapkan dapat memenuhi kebutuhan bahan baku industri skala besar, sebaliknya ketersediaan hutan yang sesuai untuk memenuhi kebutuhan mata pencaharian masyarakat pedesaan menjadi kurang pasti. Karenanya terdapat beberapa pertanyaan yang kemudian muncul terkait dengan CBCF ini. (1) Apakah CBCF dapat memperbaiki mata pencaharian penduduk lokal?, (2) Apakah CBCF dapat memenuhi pasokan kayu bagi industri?, (3) Bagaimanakah model CBCF yang baik?

Dalam beberapa tingkatan pemerintahan di Indonesia sangat ingin memastikan bahwa CBCF menjadi strategi kebijakan dan manajemen yang efektif. Makalah ini menyajikan gambaran kemajuan kegiatan Kerjasama Penelitian antara ACIAR dan

Overcoming Constraints to Community-Based Commercial Forestry in IndonesiaProject Overview: ACIAR- FST/2008/030 16

Dengan pertimbangan tersebut, pada wilayah-wilayah di mana pemilikan lahan oleh petani relatif sempit maka pembangunan Hutan Rakyat (HR), Hutan Tanaman Rakyat (HTR), atau Hutan Kemasyarakatan (HKm), direkomendasikan menggunakan teknik agroforestri dengan berbagai jenis tanaman semusim, empon-empon, tanaman hijauan pakan ternak, tanaman perkebunan, dan tanaman buah-buahan yang dapat menghasilkan berbagai jenis HBK.

Kata kunci: kayu, hasil hutan bukan kayu, hutan rakyat, sengon, Pati

1. Pendahuluan

1.1 Latar Belakang

Merupakan tantangan bagi pemerintah Indonesia di mana 55 juta penduduknya (23% dari populasi) hidup diantara hutan dan bergantung pada hutan. Diantara mereka mendapat manfaat dari penggunaan kawasan hutan dan lahan untuk mata pencaharian tradisional, pertanian subsisten, pemanenan, pengolahan dan ekspor kayu. Banyak masyarakat pedesaan di Indonesia yang hidup dikelilingi hutan yang seringkali menjadi satu-satunya 'jaminan sosial' yang mereka miliki.

Kini Kehutanan Komersial Berbasis Masyarakat (CBCF) menjadi strategi untuk mencapai beberapa tujuan, seperti untuk mengurangi deforestasi, membangun hutan tanaman untuk memasok industri kayu, dan untuk mengurangi kemiskinan di pedesaan. Strategi pelibatan masyarakat dalam kehutanan komersial di Indonesia antara lain diluncurkan dalam Program Hutan Tanaman Rakyat (HTR), Hutan Kemasyarakatan (HKm), dan Hutan Rakyat (HR).

Sementara penanaman hutan diharapkan dapat memenuhi kebutuhan bahan baku industri skala besar, sebaliknya ketersediaan hutan yang sesuai untuk memenuhi kebutuhan mata pencaharian masyarakat pedesaan menjadi kurang pasti. Karenanya terdapat beberapa pertanyaan yang kemudian muncul terkait dengan CBCF ini. (1) Apakah CBCF dapat memperbaiki mata pencaharian penduduk lokal?, (2) Apakah CBCF dapat memenuhi pasokan kayu bagi industri?, (3) Bagaimanakah model CBCF yang baik?

Dalam beberapa tingkatan pemerintahan di Indonesia sangat ingin memastikan bahwa CBCF menjadi strategi kebijakan dan manajemen yang efektif. Makalah ini menyajikan gambaran kemajuan kegiatan Kerjasama Penelitian antara ACIAR dan

Overcoming Constraints to Community-Based Commercial Forestry in IndonesiaProject Overview: ACIAR- FST/2008/030 16

FORDA Bogor tentang “Overcoming Constraints to Community-Based Commercial Forestry in Indonesia” (ACIAR, FST/2008/030). Jangka waktu kerjasama ini adalah 4½ tahun yaitu antara April 2011 sampai dengan September 2015. Tujuan yang ingin dicapai oleh kerjasama penelitian ini adalah sebagai berikut.

1. Melakukan analisis dimensi sosial CBCF, termasuk mengembangkan kerangka kerja ‘mata pencaharian dari sektor kehutanan’.

2. Melakukan evaluasi ‘rantai nilai’ dari model bisnis CBCF yang dominan.

3. Meningkatkan kapasitas partisipasi petani untuk membuat keputusan investasi yang lebih baik.

4. Mempengaruhi pemangku kepentingan (pembuat kebijakan, ketuan program, staf lapangan, kepala desa / tokoh masyarakat) untuk mengoptimalkan CBCF.

1.2 Tugas Penelitian

Model CBCF yang dikembangkan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.

Individual growers

Group of growers

2

Processors

Market brokers

1

3

Ada empat Tugas Penelitian dalam kerjasama penelitian ini, sebagai berikut.

1. Tugas Penelitian 1: Analisis dimensi sosial (sampai dengan Juni 2012)

Indonesia memiliki masyarakat yang beragam, dimana masyarakat di pedesaan sering kali memiliki budaya yang beragam dan mengalami perubahan-perubahan sosial yang besar seperti melakukan migrasi ke dalam dan keluar, perubahan dalam pekerjaan.

17ProsidingWorkshop Kerjasama Internasional

Mengingat pentingnya memahami dimensi sosial yang berbasis masyarakat kehutanan, penelitian ini melakukan analisis dimensi sosial dari isu-isu kunci sosial dan masyarakat yang terkait dengan empat model CBCF. Analisis dimensi sosial meliputi:

a. Mempersiapkan sebuah pro� l sosial dari masyarakat yang terlibat dengan masing-masing model CBCF (misalnya menggambarkan keragaman budaya dan etnis, struktur pengambilan keputusan lokal).

b. Menggambarkan sejarah serta tantangan dan peluang mata pencaharian saat ini bagi segmen masyarakat yang berbeda (misalnya masalah gender: kesehatan-kesejahteraan khusus, keamanan pangan untuk berbagai anggota komunitas, peluang usaha bagi gender tertentu).

c. Menggambarkan pengelolaan hutan tradisional dan saat ini untuk berbagai segmen masyarakat (misal pengetahuan dan peran spesi� k gender, peran dan pengetahuan spesi� k umur).

d. Menganalisis bagaimana segmen masyarakat yang berbeda yang terlibat dan terpengaruh oleh model CBCF individual (misalnya sifat, skala biaya dan manfaat, bagaimana kemungkinan risiko dipahami dan dikelola oleh keluarga).

2. Tugas Penelitian 2: Kerangka kerja mata pencaharian sektor kehutanan (sampai dengan Juni 2013)

Analisis dimensi sosial akan memberikan petunjuk berharga bagi tim peneliti yang kemudian akan mengembangkan sebuah kerangka komprehensif untuk menilai dampak mata pencaharian dari CBCF, misalnya dengan kerangka kerja mata pencaharian kehutanan. Analisis ini mencakup diagram livelihood asset, informasi kontribusi hutan rakyat dalam penghidupan petani, dan sistem informasi modal/asset masyarakat berbasis geogra� s.

3. Tugas Penelitian 3: Analisis rantai nilai (sampai dengan Juni 2013)

Rantai nilai terdiri dari serangkaian kegiatan yang menciptakan dan membangun nilai dalam suatu barang atau jasa. Konsep rantai nilai kehutanan dapat diterapkan untuk mencari beberapa tahap rantai yang biasa digunakan oleh pemilik hutan rakyat di Indonesia. Secara sederhana, prinsip rantai nilai adalah bahwa setiap tahap rantai harus menghasilkan keuntungan untuk memastikan bahwa industri ini berkelanjutan.Menganalisis rantai nilai dari empat model CBCF akan memberikan informasi penting kepada semua stakeholder tentang cara dihasilkan dan didistribusikannya

Overcoming Constraints to Community-Based Commercial Forestry in IndonesiaProject Overview: ACIAR- FST/2008/030 18

keuntungan sepanjang rantai nilai, sehingga membantu pengembangan strategi untuk menegosiasikan kontrak dan harga hasil hutan.

4. Tugas Penelitian 4: Pendekatan pembelajaran petani (sampai dengan Desember 2012)

Strategi penting untuk mencapai manfaat berupa dampak dari kegiatan penelitian adalah merancang dan mengembangkan pendekatan efektif untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan petani pemilik HR, yaitu mengembangkan 'pendekatan pembelajaran' efektif bagi petani HR agar mereka dapat membuat keputusan tentang investasi di sektor kehutanan komersial dalam konteks pasar yang cepat berubah. Cara yang praktis untuk CBCF di Indonesia adalah melalui jaringan luas kelompok petani hutan.Program Master Tree Grower (MTG) telah efektif digunakan untuk meningkatkan keterampilan dan pengetahuan petani tentang kehutanan sejak akhir 1990-an. Langkah pertama adalah menganalisis kapasitas kelembagaan dan sosial kelompok petani hutan yang berpartisipasi dalam empat model CBCF. Konsultan yang ditunjuk kemudian akan merancang sebuah program pendekatan belajar efektif capacity building untuk meningkatkan kemampuan kelompok petani hutan dalam mengoptimalkan keterlibatan mereka dalam CBCF. Setelah periode pelaksanaan belajar (misalnya 12-18 bulan), keefektifan pendekatan 'belajar' akan dievaluasi agar dapat direkomendasikan kemungkinannya untuk dilaksanakan dalam skala luas di seluruh Indonesia melalui jaringan kelompok petani hutan. Selain itu, kerjasama penelitian ini memiliki strategi capaian substansial terpadu yang mencakup penerbitan Brief Info bilingual, melakukan pertemuan terbuka secara teratur dengan petani, instansi dan staf perusahaan, menghasilkan video tentang petani hutan, dan mengembangkan sebuah proyek website. Pemimpin Proyek juga akan mengkoordinasikan publikasi dari artikel ilmiah dan co-host simposium internasional serta menyediakan peer-reviewer kritis untuk tim peneliti selama 5 tahun.

1.3 Lokasi Penelitian

Kerjasama penelitian antara ACIAR dan FORDA Bogor dilakukan di Kabupaten Pati. Kabupaten Pati dipilih sebagai lokasi penelitian karena memiliki potensi hutan rakyat sengon. Hutan rakyat disini meliputi tegalan dan pekarangan rakyat yang ditanami kayu-kayuan dengan teknik agroforestri. Analisis dimensi sosial difokuskan di tiga desa, yakni Desa Giling Kecamatan Gunungwungkal, Desa Gunungsari Kecamatan Tlogowungu, dan Desa Payak Kecamatan Cluwak.

19ProsidingWorkshop Kerjasama Internasional

Mengingat pentingnya memahami dimensi sosial yang berbasis masyarakat kehutanan, penelitian ini melakukan analisis dimensi sosial dari isu-isu kunci sosial dan masyarakat yang terkait dengan empat model CBCF. Analisis dimensi sosial meliputi:

a. Mempersiapkan sebuah pro� l sosial dari masyarakat yang terlibat dengan masing-masing model CBCF (misalnya menggambarkan keragaman budaya dan etnis, struktur pengambilan keputusan lokal).

b. Menggambarkan sejarah serta tantangan dan peluang mata pencaharian saat ini bagi segmen masyarakat yang berbeda (misalnya masalah gender: kesehatan-kesejahteraan khusus, keamanan pangan untuk berbagai anggota komunitas, peluang usaha bagi gender tertentu).

c. Menggambarkan pengelolaan hutan tradisional dan saat ini untuk berbagai segmen masyarakat (misal pengetahuan dan peran spesi� k gender, peran dan pengetahuan spesi� k umur).

d. Menganalisis bagaimana segmen masyarakat yang berbeda yang terlibat dan terpengaruh oleh model CBCF individual (misalnya sifat, skala biaya dan manfaat, bagaimana kemungkinan risiko dipahami dan dikelola oleh keluarga).

2. Tugas Penelitian 2: Kerangka kerja mata pencaharian sektor kehutanan (sampai dengan Juni 2013)

Analisis dimensi sosial akan memberikan petunjuk berharga bagi tim peneliti yang kemudian akan mengembangkan sebuah kerangka komprehensif untuk menilai dampak mata pencaharian dari CBCF, misalnya dengan kerangka kerja mata pencaharian kehutanan. Analisis ini mencakup diagram livelihood asset, informasi kontribusi hutan rakyat dalam penghidupan petani, dan sistem informasi modal/asset masyarakat berbasis geogra� s.

3. Tugas Penelitian 3: Analisis rantai nilai (sampai dengan Juni 2013)

Rantai nilai terdiri dari serangkaian kegiatan yang menciptakan dan membangun nilai dalam suatu barang atau jasa. Konsep rantai nilai kehutanan dapat diterapkan untuk mencari beberapa tahap rantai yang biasa digunakan oleh pemilik hutan rakyat di Indonesia. Secara sederhana, prinsip rantai nilai adalah bahwa setiap tahap rantai harus menghasilkan keuntungan untuk memastikan bahwa industri ini berkelanjutan.Menganalisis rantai nilai dari empat model CBCF akan memberikan informasi penting kepada semua stakeholder tentang cara dihasilkan dan didistribusikannya

Overcoming Constraints to Community-Based Commercial Forestry in IndonesiaProject Overview: ACIAR- FST/2008/030 18

keuntungan sepanjang rantai nilai, sehingga membantu pengembangan strategi untuk menegosiasikan kontrak dan harga hasil hutan.

4. Tugas Penelitian 4: Pendekatan pembelajaran petani (sampai dengan Desember 2012)

Strategi penting untuk mencapai manfaat berupa dampak dari kegiatan penelitian adalah merancang dan mengembangkan pendekatan efektif untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan petani pemilik HR, yaitu mengembangkan 'pendekatan pembelajaran' efektif bagi petani HR agar mereka dapat membuat keputusan tentang investasi di sektor kehutanan komersial dalam konteks pasar yang cepat berubah. Cara yang praktis untuk CBCF di Indonesia adalah melalui jaringan luas kelompok petani hutan.Program Master Tree Grower (MTG) telah efektif digunakan untuk meningkatkan keterampilan dan pengetahuan petani tentang kehutanan sejak akhir 1990-an. Langkah pertama adalah menganalisis kapasitas kelembagaan dan sosial kelompok petani hutan yang berpartisipasi dalam empat model CBCF. Konsultan yang ditunjuk kemudian akan merancang sebuah program pendekatan belajar efektif capacity building untuk meningkatkan kemampuan kelompok petani hutan dalam mengoptimalkan keterlibatan mereka dalam CBCF. Setelah periode pelaksanaan belajar (misalnya 12-18 bulan), keefektifan pendekatan 'belajar' akan dievaluasi agar dapat direkomendasikan kemungkinannya untuk dilaksanakan dalam skala luas di seluruh Indonesia melalui jaringan kelompok petani hutan. Selain itu, kerjasama penelitian ini memiliki strategi capaian substansial terpadu yang mencakup penerbitan Brief Info bilingual, melakukan pertemuan terbuka secara teratur dengan petani, instansi dan staf perusahaan, menghasilkan video tentang petani hutan, dan mengembangkan sebuah proyek website. Pemimpin Proyek juga akan mengkoordinasikan publikasi dari artikel ilmiah dan co-host simposium internasional serta menyediakan peer-reviewer kritis untuk tim peneliti selama 5 tahun.

1.3 Lokasi Penelitian

Kerjasama penelitian antara ACIAR dan FORDA Bogor dilakukan di Kabupaten Pati. Kabupaten Pati dipilih sebagai lokasi penelitian karena memiliki potensi hutan rakyat sengon. Hutan rakyat disini meliputi tegalan dan pekarangan rakyat yang ditanami kayu-kayuan dengan teknik agroforestri. Analisis dimensi sosial difokuskan di tiga desa, yakni Desa Giling Kecamatan Gunungwungkal, Desa Gunungsari Kecamatan Tlogowungu, dan Desa Payak Kecamatan Cluwak.

19ProsidingWorkshop Kerjasama Internasional

Unit analisis pada tingkat individu adalah rumahtangga petani dan pada tingkat sosial adalah dusun. Pengumpulan data menggunakan metode wawancara, pencatanan data sekunder, diskusi kelompok terarah, dan penelusuran wilayah. Contoh penelitian rumah tangga sebanyak 15 KK/dusun, peserta diskusi kelompok terarah untuk laki-laki tani dan perempuan tani masing-masing sebanyak 10-15 orang/dusun. Analisis data menggunakan metode deskriptif kuantitatif.

2. Hasil Tugas 1: Analisis Dimensi Sosial

2.1 Pemanfaatan Lahan Petani

Usaha hutan rakyat sengon di wilayah Kabupaten Pati dikembangkan di lahan tegalan dan pekarangan milik petani. Penanaman dan pemeliharaan tanaman dilakukan sendiri-sendiri oleh masing-masing petani. Jumlah pemilikan pohon dan umur tanaman sangat beragam antar petani satu dengan yang lain. Pemanenan kayu dilakukan oleh masing-masing petani sesuai umur tanaman dan kebutuhan masing-masing.

Berdasarkan diskusi kelompok dan wawancara rumah tangga petani diketahui bahwa pada lahan pekarangan dan tegalan rata-rata dipraktekan sistem tumpangsari antara jenis tanaman kehutanan, perkebunan, buah-buahan, dan dibawahnya dikembangkan tanaman semusim, empon-empon, atau rumput pakan ternak sehingga berbentuk agroforestri. Hamparan tanaman sengon rata-rata ditanam di tegalan dimana selama 3 tahun pertama ditumpangsari dengan ubi kayu, jagung dan pisang, namun setelah berumur 4 tahun saat tajuknya sudah menutup seluruh ruang lahan maka dibiarkan tanpa campuran atau dicampur dengan empon-empon dan rumput pakan ternak. Tanaman buah-buahan rata-rata ditanam di lahan pekarangan sekitar rumah, sedangkan tanaman kehutanan dan perkebunan di tanam di lahan tegalan dan garapan hutan yang jauh dari rumah. Kepemilikan lahan oleh petani dapat diikuti dalam tabel berikut:

Tabel 2. Pemilikan Lahan oleh Petani (ha), 2012

No Desa Sawah Pekarangan Tegalan Jumlah Rata-

rata

ha % ha % ha % ha % ha

1 Giling 1,350 10,0 0,949 7,1 11,163 82,9 13,462 100 0,897

2 Gunungsari 1,000 6,2 3,962 24,8 11,030 69,0 15,992 100 1,066

3 Payak 5,510 13,9 3,698 9,4 30,315 76,7 39,523 100 2,635

Jumlah 7,860 11,4 8,809 12,5 52,508 76,1 68,977 100 4,598

Sumber: Diolah dari data primer, 2012

Overcoming Constraints to Community-Based Commercial Forestry in IndonesiaProject Overview: ACIAR- FST/2008/030 20

Tabel 1 memperlihatkan bahwa rata-rata pemilikan lahan oleh petani antara 0,897 ha s/d 2,635 ha, berupa sawah, tegalan dan pekarangan di mana terluas berupa tegalan (76,1%), disusul pekarangan (12,5%), dan sawah (11,4%). Dengan demikian rata-rata lahan rakyat yang diusahakan sebagai hutan rakyat dengan teknik agroforestri adalah 88,6%, sehingga pendapatan dari hutan rakyat diduga menjadi sumber pendapatan utama.

Berdasarkan hasil wawancara rumah tangga petani diketahui bahwa lahan milik penduduk di desa-desa lokasi studi rata-rata 91% dilengkapi bukti kepemilikan SPPT (Surat Pembayaran Pajak Tanah) dan 9% dilengkapi bukti kepemilikan girik tanah. Secara � sik, batas kepemilikan lahan berupa tanaman hidup seperti tanaman jati, mahoni, randu, pohon kudo, mojo, cepiring, gliricideae (rosidi), salam, kenari, beluntas, andong, tanaman girang, serta berupa saluran air, parit, dan patok cor. Jarak lahan dari rumah tinggal antara 0 s/d 4 km. Status kepemilikan lahan yang kuat dan batas � sik yang jelas menyebabkan tidak adanya kon� ik kepemilikan lahan.

2.2 Program Pemerintah Terkait Hutan Rakyat

Di wilayah Kabupaten Pati terdapat beberapa program pemerintah yang mendukung pengembangan hutan rakyat, yaitu Kebun Bibit Rakyat (KBR) dari Pemerintah Pusat, Bantuan Langsung Masyarakat untuk Pengembangan Perhutanan Masyarakat Pedesaan Berbasis Konservasi (BLM-PPMBK) dari Pemerintah Pusat, serta Kebun Bibit Desa (KBD) dari Pemerintah Kabupaten.

2.2.1 Kebun Bibit Rakyat (KBR)

KBR merupakan program pemerintah untuk menyediakan bibit tanaman kehutanan dan MPTS (Multi Purpose Tree Species) yang dilaksanakan secara swakelola oleh kelompok masyarakat, terutama di pedesaan yang berbasis pemberdayaan masyarakat. Bibit dari KBR digunakan untuk merehabilitasi hutan dan lahan kritis serta kegiatan penghijauan lingkungan. KBR disalurkan melalui BPDAS, besarnya Rp 50 juta per unit berupa 50.000 bibit tanaman kayu. Pada tahun 2011 Kabupaten Pati menerima 45 unit KBR. Dalam KBR ada pendampingan yang dilakukan oleh Penyuluh Kehutanan setempat serta ada pelatihan petani tentang teknik pembuatan persemaian. Dasar hukum KBR adalah Permenhut P24/Menhut-II/2010 tanggal 3 Juni 2010 tentang Pedoman Penyelenggaraan KBR, Permenhut P23/Menhut-II/2011 tanggal 8 April 2011 tentang Pedoman Teknis KBR. Program KBR baru diselenggarakan selama 2 tahun terkhir yaitu 2010 dan 2011. Contoh bibit jenis tanaman KBR tahun 2011 di beberapa desa di Kabupaten Pati sebagai berikut.

21ProsidingWorkshop Kerjasama Internasional

Tabel 1 memperlihatkan bahwa rata-rata pemilikan lahan oleh petani antara 0,897 ha s/d 2,635 ha, berupa sawah, tegalan dan pekarangan di mana terluas berupa tegalan (76,1%), disusul pekarangan (12,5%), dan sawah (11,4%). Dengan demikian rata-rata lahan rakyat yang diusahakan sebagai hutan rakyat dengan teknik agroforestri adalah 88,6%, sehingga pendapatan dari hutan rakyat diduga menjadi sumber pendapatan utama.

Berdasarkan hasil wawancara rumah tangga petani diketahui bahwa lahan milik penduduk di desa-desa lokasi studi rata-rata 91% dilengkapi bukti kepemilikan SPPT (Surat Pembayaran Pajak Tanah) dan 9% dilengkapi bukti kepemilikan girik tanah. Secara � sik, batas kepemilikan lahan berupa tanaman hidup seperti tanaman jati, mahoni, randu, pohon kudo, mojo, cepiring, gliricideae (rosidi), salam, kenari, beluntas, andong, tanaman girang, serta berupa saluran air, parit, dan patok cor. Jarak lahan dari rumah tinggal antara 0 s/d 4 km. Status kepemilikan lahan yang kuat dan batas � sik yang jelas menyebabkan tidak adanya kon� ik kepemilikan lahan.

2.2 Program Pemerintah Terkait Hutan Rakyat

Di wilayah Kabupaten Pati terdapat beberapa program pemerintah yang mendukung pengembangan hutan rakyat, yaitu Kebun Bibit Rakyat (KBR) dari Pemerintah Pusat, Bantuan Langsung Masyarakat untuk Pengembangan Perhutanan Masyarakat Pedesaan Berbasis Konservasi (BLM-PPMBK) dari Pemerintah Pusat, serta Kebun Bibit Desa (KBD) dari Pemerintah Kabupaten.

2.2.1 Kebun Bibit Rakyat (KBR)

KBR merupakan program pemerintah untuk menyediakan bibit tanaman kehutanan dan MPTS (Multi Purpose Tree Species) yang dilaksanakan secara swakelola oleh kelompok masyarakat, terutama di pedesaan yang berbasis pemberdayaan masyarakat. Bibit dari KBR digunakan untuk merehabilitasi hutan dan lahan kritis serta kegiatan penghijauan lingkungan. KBR disalurkan melalui BPDAS, besarnya Rp 50 juta per unit berupa 50.000 bibit tanaman kayu. Pada tahun 2011 Kabupaten Pati menerima 45 unit KBR. Dalam KBR ada pendampingan yang dilakukan oleh Penyuluh Kehutanan setempat serta ada pelatihan petani tentang teknik pembuatan persemaian. Dasar hukum KBR adalah Permenhut P24/Menhut-II/2010 tanggal 3 Juni 2010 tentang Pedoman Penyelenggaraan KBR, Permenhut P23/Menhut-II/2011 tanggal 8 April 2011 tentang Pedoman Teknis KBR. Program KBR baru diselenggarakan selama 2 tahun terkhir yaitu 2010 dan 2011. Contoh bibit jenis tanaman KBR tahun 2011 di beberapa desa di Kabupaten Pati sebagai berikut.

21ProsidingWorkshop Kerjasama Internasional

Tabel 3. Contoh Bibit Kayu KBR di Beberapa Desa di Kabupaten Pati, 2011

No Jenis Bibit Kecamatan Keterangan

1 Avicenia sp, Rhizopora sp Dukuhseti Mangrove2 Jati, Mahoni, Randu Winong Pati Selatan, lahan kritis3 Sengon, Kopi Tlogowungu Pati Utara4 Sengon, Jati, Pete Gembong5 Sengon, Kakao Gunungwungkal6 Jati, Mahoni, Gmelina, Randu Gabus7 Jati, Nangka Pucukwangi8 Sengon, Kakao Cluwak Pati Utara9 Jati, Mete, Randu Sukolilo

10 Jati, Mente, Kluweh Kayen Pati Selatan11 Jati, Sengon, Sirsak Tlogowungu Pati Utara12 Jati, Jabon, Randu Sukolilo Pati Selatan13 Sengon, Kakao, Kemiri Cluwak14 Jati, Sengon, Petai Margorejo

Sumber: Diolah dari Laporan Akhir KBR di Kabupaten Pati, Dishutbun Kab Pati, 2011.

Berdasarkan Tabel 2 terlihat bahwa Program KBR menyediakan bibit jenis-jenis tanaman kehutanan, tanaman perkebunan, dan tanaman buah-buahan.

2.2.2 Kebun Bibit Desa (KBD)

Program KBD dibiayai dari Dana Alokasi Khusus (DAK) Bidang Kehutanan yang disalurkan ke Pemerintah Kabupaten. Program ini dimaksudkan untuk mendukung OBIT, ada setiap tahun dan telah diselenggarakan mulai tahun 2009 setelah GERHAN berakhir. Pada tahun 2011, jenis tanaman KBD disesuaikan dengan keinginan masyarakat. Distribusi bibit KBD 2011 yang disalurkan melalui Kelompok Tani berupa bibit tanaman kehutanan sebagai berikut.

Tabel 4. Bibit KBD Tahun 2011 Kabupaten Pati

No Desa KecamatanJenis Bibit (batang)

Sengon Jati Mahoni

1 Jrahi Gunungwungkal 5 000 2 000 1 0002 Kedungbulus Gembong 1 000 1 500 -3 Bageng Gembong 30 000 - -4 Karangawen Tambakromo - 3 000 4 0005 Pakis Tambakromo 1 000 - 1 0006 Maitan Tambakromo - 3 500 4 000

10 000 10 000 10 000Sumber: Diolah dari Dishutbun Kabupaten Pati, 2012

Overcoming Constraints to Community-Based Commercial Forestry in IndonesiaProject Overview: ACIAR- FST/2008/030 22

Penanaman bibit KBD dilakukan di turus-turus jalan, lapangan, pekarangan, sekolahan, kantor PKK, kantor Dharma Wanita, dan lain-lain, serta jenis tanamannya disesuaikan dengan jenis yang tersedia dalam KBD.

2.2.3 BANSOS PPMBK dan Bangunan Konservasi

Pada tahun 2011 Kabupaten Pati menerima bantuan pemerintah pusat berupa dua bangunan dam penahan, lima bangunan sumur resapan, dan empat bangunan embung yang ditujukan untuk konservasi tanah. Selain itu ada 22 Kelompok Tani yang menerima BANSOS PPMBK dimana dananya 85% digunakan untuk membuat tanaman kayu-kayuan dan 15% untuk pemberdayaan masyarakat dari sektor lain seperti untuk membeli ternak, menanam tanaman semusim, atau tanaman hijauan pakan ternak. Melalui Program BANSOS PPMBK, pemerintah mendukung pengembangan tanaman kehutanan, tanaman semusim, dan hijauan pakan ternak yang dapat dikembangkan dengan teknik agroforestri dan diintegrasikan dengan usaha peternakan.

Berbagai Program Pemerintah tersebut sedikitnya telah berhasil mempengaruhi perilaku masyarakat dalam memanfaatkan lahan. Pada tahun 1970-an para petani belum bersedia menanam kayu-kayuan, namun sekarang mereka sangat senang kalau diberi bibit tanaman perkebunan, tanaman buah-buahan, dan tanaman kayu-kayuan. Program-program pemerintah tersebut telah memperkaya lahan petani dengan tanaman penghasil kayu dan HBK serta mendorong peningkatan produksinya.

2.3 Pendapatan Dari Seluruh Lahan

Pendapatan dalam hal ini berasal dari semua kegiatan petani yang terkait dengan pemanfaatan lahan, baik dari lahan milik berupa sawah, pekarangan dan tegalan, lahan sewa, lahan garapan dalam hutan negara khususnya penduduk Desa Gunungsari, serta dari usaha budidaya ternak. Pendapatan petani dari kegiatan terkait lahan berasal dari tiga sumber yakni (1) pendapatan dari kayu, (2) pendapatan dari HBK, dan (3) pendapatan dari ternak. Kontribusi nilai jual kayu, HBK, dan ternak di tiga desa lokasi studi adalah sebagai berikut.

Tabel 5. Nilai Jual Kayu, HBK, dan Ternak (Rp/KK/tahun), 2012

No Desa Kayu % HBK % Ternak % Jumlah %

1 Giling 2.669.667 19 10.197.128 73 1.152.000 8 14.018.795 1002 Gunungsari 1.513.333 6 19.543.133 82 2.920.667 12 23.977.133 100

3 Payak 7.171.111 22 22.203.357 68 3.366.333 10 32. 740.801 100Rata-rata 3.784.703 17.314.539 2.479.666 23.578.909

Sumber: Diolah dari data primer hasil wawancara rumah tangga, 2012

23ProsidingWorkshop Kerjasama Internasional

Penanaman bibit KBD dilakukan di turus-turus jalan, lapangan, pekarangan, sekolahan, kantor PKK, kantor Dharma Wanita, dan lain-lain, serta jenis tanamannya disesuaikan dengan jenis yang tersedia dalam KBD.

2.2.3 BANSOS PPMBK dan Bangunan Konservasi

Pada tahun 2011 Kabupaten Pati menerima bantuan pemerintah pusat berupa dua bangunan dam penahan, lima bangunan sumur resapan, dan empat bangunan embung yang ditujukan untuk konservasi tanah. Selain itu ada 22 Kelompok Tani yang menerima BANSOS PPMBK dimana dananya 85% digunakan untuk membuat tanaman kayu-kayuan dan 15% untuk pemberdayaan masyarakat dari sektor lain seperti untuk membeli ternak, menanam tanaman semusim, atau tanaman hijauan pakan ternak. Melalui Program BANSOS PPMBK, pemerintah mendukung pengembangan tanaman kehutanan, tanaman semusim, dan hijauan pakan ternak yang dapat dikembangkan dengan teknik agroforestri dan diintegrasikan dengan usaha peternakan.

Berbagai Program Pemerintah tersebut sedikitnya telah berhasil mempengaruhi perilaku masyarakat dalam memanfaatkan lahan. Pada tahun 1970-an para petani belum bersedia menanam kayu-kayuan, namun sekarang mereka sangat senang kalau diberi bibit tanaman perkebunan, tanaman buah-buahan, dan tanaman kayu-kayuan. Program-program pemerintah tersebut telah memperkaya lahan petani dengan tanaman penghasil kayu dan HBK serta mendorong peningkatan produksinya.

2.3 Pendapatan Dari Seluruh Lahan

Pendapatan dalam hal ini berasal dari semua kegiatan petani yang terkait dengan pemanfaatan lahan, baik dari lahan milik berupa sawah, pekarangan dan tegalan, lahan sewa, lahan garapan dalam hutan negara khususnya penduduk Desa Gunungsari, serta dari usaha budidaya ternak. Pendapatan petani dari kegiatan terkait lahan berasal dari tiga sumber yakni (1) pendapatan dari kayu, (2) pendapatan dari HBK, dan (3) pendapatan dari ternak. Kontribusi nilai jual kayu, HBK, dan ternak di tiga desa lokasi studi adalah sebagai berikut.

Tabel 5. Nilai Jual Kayu, HBK, dan Ternak (Rp/KK/tahun), 2012

No Desa Kayu % HBK % Ternak % Jumlah %

1 Giling 2.669.667 19 10.197.128 73 1.152.000 8 14.018.795 1002 Gunungsari 1.513.333 6 19.543.133 82 2.920.667 12 23.977.133 100

3 Payak 7.171.111 22 22.203.357 68 3.366.333 10 32. 740.801 100Rata-rata 3.784.703 17.314.539 2.479.666 23.578.909

Sumber: Diolah dari data primer hasil wawancara rumah tangga, 2012

23ProsidingWorkshop Kerjasama Internasional

Pendapatan dari kayu dihitung berdasarkan nilai penjualan kayu dalam 3 tahun terkhir yang dipanen dari lahan pekarangan dan tegalan baik lahan milik maupun sewa, karena lahan sawah dan garapan di kawasan hutan tidak menghasilkan kayu. Nilai tersebut selanjutnya digunakan untuk menghitung rata-rata pendapatan petani dari kayu. Rata-rata pendapatan petani adalah Rp 3.784.704/KK/tahun dari penjualan kayu, Rp 17.314.539/KK/tahun dari penjualan HBK, dan Rp 2.479.666/KK/tahun dari penjualan ternak.

Jenis ternak yang umumnya dipelihara oleh penduduk desa lokasi studi adalah ayam, kambing dan sapi. Di Desa Payak ada pula yang memelihara bebek dan kambing etawa. Budidaya ternak dan hutan rakyat dapat dipandang sebagai usaha komplementer, saling melengkapi atau menghidupi, karena ternak menghasilkan pupuk kandang untuk menyuburkan lahan dan tanaman hutan rakyat sebaliknya hutan rakyat menghasilkan hijauan pakan ternak untuk pakan kambing dan sapi. Selain memelihara ternak milik sendiri, petani dapat pula melakukan gaduh sapi penggemukan. Bagi hasil gaduh sapi saat dijual adalah 2 bagian menjadi hak petani dan 5 bagian menjadi hak pemilik sapi. Dalam usaha pembesaran ayam juga ada sistem gaduh dari pengusaha ayam ke petani. Petani menyiapkan kandang dan memelihara ayam, sedangkan pengusaha menyediakan bibit dan pakan. Ketika ayam dijual kepada pengusaha, petani menerima upah gaduh sekitar Rp. 12.000 sampai dengan Rp. 14.000 per kg ayam.

2.4 Pendapatan Dari Hutan Rakyat

Rata-rata 88,6% dari lahan rakyat diusahakan sebagai hutan rakyat sehingga pendapatan dari hutan rakyat memiliki peran besar dalam ekonomi rumah tangga petani di desa-desa lokasi studi. Untuk mengetahui kontribusi pendapatan dari kayu dan HBK yang diperoleh dari hutan rakyat, analisis dibatasi pada lahan tegalan dan pekarangan yang diusahakan dengan teknik agroforestri. Kontribusi nilai jual kayu dan HBK dari lahan pekarangan dan tegalan yang diusahakan sebagai hutan rakyat dengan teknik agroforestri adalah sebagai berikut.

Tabel 6. Tabel 5. Rata-rata Nilai Jual Kayu dan HBK dari Lahan Agroforestri, 2012

Jenis hasil

Giling Gunungsari Payak Kisaran

Rp/KK/tahun

% Rp/KK/tahun % Rp/KK/tahun % %

Kayu 2.669.667 29 1.513.333 13 7.171.111 67 13 – 67

Bukan kayu 6.424.400 71 9.851.467 87 3.483.133 33 33 - 87

Jumlah 9.094.067 100 11.364.800 100 10.654.244 100

Sumber: Diolah dari data primer, 2012

Overcoming Constraints to Community-Based Commercial Forestry in IndonesiaProject Overview: ACIAR- FST/2008/030 24

Berdasarkan Tabel 5 terlihat bahwa rata-rata kontribusi pendapatan dari kayu paling tinggi adalah 67% yaitu di Desa Payak. Hal ini sejalan dengan informasi dari Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Pati bahwa permintaan dokumen SKAU di Desa Payak adalah tertinggi dibandingkan dengan desa-desa lain di Kabupaten Pati. Sementara itu rata-rata kontribusi pendapatan tertinggi dari kelompok jenis HBK adalah 87% yaitu di Desa Gunungsari.

2.4.1 Peranan kayu dalam usaha hutan rakyat

Petani pada umumnya menanam kayu-kayuan dengan sistem kebun campuran atau agroforestri. Jenis kayu-kayuan yang ditanam di lahan hutan rakyat dapat dikelompokan dalam tanaman perkebunan (kakao, kopi, cengkeh, kelapa, randu), tanaman penghasil buah-buahan (jengkol, manggis, petai, sukun, durian, rambutan), dan tanaman kehutanan (sengon, mahoni, jati). Pemeliharaan intensif untuk tanaman sengon dilakukan sampai umur 3 tahun, sedangkan pemanenan dan penjualan kayu dilakukan pada umur 5 - 6 tahun.

Petani menjual kayu sengon dalam bentuk pohon berdiri dimana seluruh biaya penebangan menjadi beban pembeli dalam hal ini pedagang kayu. Kegiatan penebangan oleh pedagang dilakukan secara borongan menggunakan gergaji rantai (chainsaw). Dalam perdagangan kayu rakyat sengon, peran blantik cukup penting karena dapat mempertemukan petani yang akan menjual kayu dengan calon pembeli kayu yaitu pedagang kayu tingkat desa. Kayu sengon dibeli oleh pedagang untuk selanjutnya dijual ke pabrik pengolahannya, sedangkan kayu lainnya seperti jati dan mahoni umumnya dijual ke penduduk atau pedagang desa sebagai bahan bangunan atau bahan pembuatan mebeler.

Sejauh ini penjualan kayu sengon oleh petani masih dilakukan per pohon atau bahkan per hamparan lahan dengan sistem tebas. Penjualan per pohon umumnya dilakukan dengan sistem tebang pilih saat butuh atau tebang pilih rakyat, di mana pohon yang diameternya sudah besar (meski umur baru 4 tahun) atau yang kira-kira nilai uang hasil jualnya sesuai dengan kebutuhan keuangan petani, akan ditebang terlebih dahulu. Sementara itu pada penjualan per hamparan dengan sistem tebas, volume dan harga kayu ditaksir oleh pedagang kayu, sehingga nilai uang hasil penjualan kayu diduga lebih kecil daripada nilai ekonomi kayu. Petani langsung menerima uang tunai tanpa menebang, mengukur dan menghitung volume kayunya sendiri.

Supaya tidak dirugikan maka petani sebaiknya menjual kayu dalam bentuk sortimen dalam satuan m3. Hal ini dapat dilakukan apabila para grader dari pabrik pengolahan atau depo kayu melakukan grading langsung di lahan petani setelah batang pohon sengon dipotong-potong sendiri oleh petani menjadi sortimen.

25ProsidingWorkshop Kerjasama Internasional

Berdasarkan Tabel 5 terlihat bahwa rata-rata kontribusi pendapatan dari kayu paling tinggi adalah 67% yaitu di Desa Payak. Hal ini sejalan dengan informasi dari Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Pati bahwa permintaan dokumen SKAU di Desa Payak adalah tertinggi dibandingkan dengan desa-desa lain di Kabupaten Pati. Sementara itu rata-rata kontribusi pendapatan tertinggi dari kelompok jenis HBK adalah 87% yaitu di Desa Gunungsari.

2.4.1 Peranan kayu dalam usaha hutan rakyat

Petani pada umumnya menanam kayu-kayuan dengan sistem kebun campuran atau agroforestri. Jenis kayu-kayuan yang ditanam di lahan hutan rakyat dapat dikelompokan dalam tanaman perkebunan (kakao, kopi, cengkeh, kelapa, randu), tanaman penghasil buah-buahan (jengkol, manggis, petai, sukun, durian, rambutan), dan tanaman kehutanan (sengon, mahoni, jati). Pemeliharaan intensif untuk tanaman sengon dilakukan sampai umur 3 tahun, sedangkan pemanenan dan penjualan kayu dilakukan pada umur 5 - 6 tahun.

Petani menjual kayu sengon dalam bentuk pohon berdiri dimana seluruh biaya penebangan menjadi beban pembeli dalam hal ini pedagang kayu. Kegiatan penebangan oleh pedagang dilakukan secara borongan menggunakan gergaji rantai (chainsaw). Dalam perdagangan kayu rakyat sengon, peran blantik cukup penting karena dapat mempertemukan petani yang akan menjual kayu dengan calon pembeli kayu yaitu pedagang kayu tingkat desa. Kayu sengon dibeli oleh pedagang untuk selanjutnya dijual ke pabrik pengolahannya, sedangkan kayu lainnya seperti jati dan mahoni umumnya dijual ke penduduk atau pedagang desa sebagai bahan bangunan atau bahan pembuatan mebeler.

Sejauh ini penjualan kayu sengon oleh petani masih dilakukan per pohon atau bahkan per hamparan lahan dengan sistem tebas. Penjualan per pohon umumnya dilakukan dengan sistem tebang pilih saat butuh atau tebang pilih rakyat, di mana pohon yang diameternya sudah besar (meski umur baru 4 tahun) atau yang kira-kira nilai uang hasil jualnya sesuai dengan kebutuhan keuangan petani, akan ditebang terlebih dahulu. Sementara itu pada penjualan per hamparan dengan sistem tebas, volume dan harga kayu ditaksir oleh pedagang kayu, sehingga nilai uang hasil penjualan kayu diduga lebih kecil daripada nilai ekonomi kayu. Petani langsung menerima uang tunai tanpa menebang, mengukur dan menghitung volume kayunya sendiri.

Supaya tidak dirugikan maka petani sebaiknya menjual kayu dalam bentuk sortimen dalam satuan m3. Hal ini dapat dilakukan apabila para grader dari pabrik pengolahan atau depo kayu melakukan grading langsung di lahan petani setelah batang pohon sengon dipotong-potong sendiri oleh petani menjadi sortimen.

25ProsidingWorkshop Kerjasama Internasional

Namun cara demikian menghadapi beberapa kendala seperti beban biaya tebang harus

ditanggung oleh petani, petani belum menguasai teknik memotong sortimen, serta

belum bisa mengukur dan menghitung volume kayu sendiri. Nilai jual kayu yang

dipanen dari lahan pekarangan dan tegalan (selengkapnya lihat Lampiran 2) dalam

3 tahun terakhir dan jenis-jenisnya, adalah sebagai berikut:

Tabel 7. Nilai Jual Kayu Dalam 3 Tahun Terakhir, 2012

No Desa Jenis Kayu Jumlah Nilai (Rp) % Jenis Kayu

1 Giling Sengon 112.135.000 93,4

Jengkol 3.000.000 2,5

Mahoni 5.000.000 4,1

Jumlah Giling 120.135.000 100,0

2 Gunungsari Sengon 62.600.000 91,9

Mahoni 5.500.000 8,1

Jumlah Gunungsari 68.100.000 100,0

3 Payak Sengon 316.500.000 98,1

Mahoni 6.200.000 1,9

Jumlah Payak 322.700.000 100,0

Jumlah 510.935.000

Sumber: Diolah dari data primer, 2012

Berdasarkan Tabel 6 diketahui bahwa jenis kayu-kayuan dari lahan hutan rakyat

yang telah diperdagangkan termasuk ke dalam kelompok jenis tanaman kehutanan

(sengon, mahoni) dan jenis tanaman penghasil buah-buahan (jengkol). Jenis sengon

dapat dipandang sebagai tanaman hutan rakyat yang komersial, karena dapat memberi

kontribusi lebih dari 90% terhadap pendapatan rumah tangga petani. Selain itu,

penjarangan tanaman sengon dilakukan dengan teknik tebang pilih rakyat dimana

tanaman yang pertumbuhannya baik akan ditebang lebih dahulu untuk mengatasi

kebutuhan keuangan rumah tangga. Berdasarkan hasil wawancara rumah tangga

diketahui bahwa rata-rata 58,5% petani memanen kayu disesuaikan dengan kebutuhan

uang rumah tangga, 4,9% memanen sesuai rotasi tanaman, 2,4% menanen karena

ada penawaran harga tinggi, sedangkan lainnya tidak memanen kayu dalam 3 tahun

terakhir. Petani juga menganggap bahwa tanaman sengon merupakan tabungan

keluarga yang dapat dipanen sewaktu-waktu bila dibutuhkan.

Overcoming Constraints to Community-Based Commercial Forestry in IndonesiaProject Overview: ACIAR- FST/2008/030 26

2.4.2 Peranan HBK dalam usaha hutan rakyat

Jenis HBK yang ditanam di lahan hutan rakyat terdiri dari 3 jenis tanaman semusim (ubi kayu, jangung, ketela), 2 jenis tanaman empon-empon (kapulaga, jahe), tanaman rumput pakan ternak, 7 jenis tanaman perkebunan (kakao, kopi, cengkeh, kelapa, randu, lada, panili), dan 7 jenis tanaman buah-buahan (jengkol, manggis, petai, pisang, sukun, durian, rambutan). Pedagang atau pembeli HBK umumnya mendatangi rumah-rumah petani.

Hasil tanaman semusim biasanya dipanen sendiri oleh petani. Buah jagung dikeringkan terlebih dahulu lalu disimpan untuk selanjutnya dapat dikonsumsi sendiri atau dijual. Ubi kayu dipanen sendiri lalu dijual ke pabrik tapioka, atau dijual tebas kepada pedagang yang akan memanennya di lahan. Hasil tanaman empon-empon kapulaga dan jahe dipanen sendiri dan hasilnya dapat langsung dijual, tetapi untuk kapulaga dapat pula dikeringkan dan disimpan terlebih dahulu sehingga dapat dijual sewaktu membutuhkan uang. Rumput pakan ternak jenis rumput gajah atau kalanjana juga dibudidayakan untuk dijual kepada pemilik kambing atau sapi yang tidak memiliki tanaman pakan ternak.

Hasil tanaman perkebunan seperti kopi, cengkeh, kakao, randu, lada, dan fanili dipanen satu kali dalam setahun, dan memanennya dapat dilakukan sedikit-sedikit sehingga dapat dikerjakan sendiri. Hasilnya dapat langsung dijual dalam bentuk basah atau disimpan dulu dalam bentuk kering karena penanganan paska panennya juga mudah. Buah kelapa juga dapat dipanen sendiri, dapat dikonsumsi sendiri namun bila membutuhkan uang juga mudah untuk dijual. Untuk buah randu dapat dijual dengan sistem tebas, namun dapat pula dipanen sendiri lalu disimpan dalam bentuk kering sehingga dapat dijual sewaktu harga tinggi atau saat membutuhkan uang.

Sementara itu tanaman buah-buahan seperti durian, jengkol, langsep, manggis, duku, petai, sukun, mangga, rambutan, pisang, umumnya panen satu kali dalam setahun kecuali buah pisang. Musim berbuah dari berbagai jenis buah-buahan tidak bersamaan sehingga musim panennya dapat terjadi secara bergilir. Cara memanennya juga dilakukan sedikit-sedikit sehingga dapat dikerjakan sendiri, dan hasilnya mudah dijual. Petani hutan rakyat di wilayah Pati telah menguasai seluruh teknik budidaya, pemanenan, penanganan paska panen, dan pemasaran berbagai jenis HBK dari hasil tanaman semusim, empon-empon, rumput pakan ternak, tanaman perkebunan, dan tanaman buah-buahan. Jenis-jenis HBK yang berasal dari hutan rakyat yang dibangun diatas lahan pekarangan dan tegalan (selengkapnya lihat Lampiran 1), adalah sebagai berikut:

27ProsidingWorkshop Kerjasama Internasional

2.4.2 Peranan HBK dalam usaha hutan rakyat

Jenis HBK yang ditanam di lahan hutan rakyat terdiri dari 3 jenis tanaman semusim (ubi kayu, jangung, ketela), 2 jenis tanaman empon-empon (kapulaga, jahe), tanaman rumput pakan ternak, 7 jenis tanaman perkebunan (kakao, kopi, cengkeh, kelapa, randu, lada, panili), dan 7 jenis tanaman buah-buahan (jengkol, manggis, petai, pisang, sukun, durian, rambutan). Pedagang atau pembeli HBK umumnya mendatangi rumah-rumah petani.

Hasil tanaman semusim biasanya dipanen sendiri oleh petani. Buah jagung dikeringkan terlebih dahulu lalu disimpan untuk selanjutnya dapat dikonsumsi sendiri atau dijual. Ubi kayu dipanen sendiri lalu dijual ke pabrik tapioka, atau dijual tebas kepada pedagang yang akan memanennya di lahan. Hasil tanaman empon-empon kapulaga dan jahe dipanen sendiri dan hasilnya dapat langsung dijual, tetapi untuk kapulaga dapat pula dikeringkan dan disimpan terlebih dahulu sehingga dapat dijual sewaktu membutuhkan uang. Rumput pakan ternak jenis rumput gajah atau kalanjana juga dibudidayakan untuk dijual kepada pemilik kambing atau sapi yang tidak memiliki tanaman pakan ternak.

Hasil tanaman perkebunan seperti kopi, cengkeh, kakao, randu, lada, dan fanili dipanen satu kali dalam setahun, dan memanennya dapat dilakukan sedikit-sedikit sehingga dapat dikerjakan sendiri. Hasilnya dapat langsung dijual dalam bentuk basah atau disimpan dulu dalam bentuk kering karena penanganan paska panennya juga mudah. Buah kelapa juga dapat dipanen sendiri, dapat dikonsumsi sendiri namun bila membutuhkan uang juga mudah untuk dijual. Untuk buah randu dapat dijual dengan sistem tebas, namun dapat pula dipanen sendiri lalu disimpan dalam bentuk kering sehingga dapat dijual sewaktu harga tinggi atau saat membutuhkan uang.

Sementara itu tanaman buah-buahan seperti durian, jengkol, langsep, manggis, duku, petai, sukun, mangga, rambutan, pisang, umumnya panen satu kali dalam setahun kecuali buah pisang. Musim berbuah dari berbagai jenis buah-buahan tidak bersamaan sehingga musim panennya dapat terjadi secara bergilir. Cara memanennya juga dilakukan sedikit-sedikit sehingga dapat dikerjakan sendiri, dan hasilnya mudah dijual. Petani hutan rakyat di wilayah Pati telah menguasai seluruh teknik budidaya, pemanenan, penanganan paska panen, dan pemasaran berbagai jenis HBK dari hasil tanaman semusim, empon-empon, rumput pakan ternak, tanaman perkebunan, dan tanaman buah-buahan. Jenis-jenis HBK yang berasal dari hutan rakyat yang dibangun diatas lahan pekarangan dan tegalan (selengkapnya lihat Lampiran 1), adalah sebagai berikut:

27ProsidingWorkshop Kerjasama Internasional

Tabel 8. Jenis dan Nilai Jual HBK dari Hutan Rakyat, 2012

No Desa Jenis Tanaman Nilai Jual (Rp/KK/Th) %

1 Giling Pangan 2.650.000 2,75

Empon-empon 5.000 0,01

Perkebunan 21.331.000 22,13

Buah-buahan 72.380.000 75,11

Jumlah 96.366.000 100

2 Gunungsari Pangan 13.200.000 8,93

Empon-empon 2.295.000 1,55

Perkebunan 81.870.000 55,41

Buah-buahan 50.407.000 34,11

Jumlah Gunungsari 147.772.000 100

3 Payak Pangan 13.000.000 24,88

Pakan ternak 3.000.000 5,75

Perkebunan 19.747.000 37,79

Buah-buahan 16.500.000 31,58

Jumlah Payak 52,247,000 100

Berdasarkan Tabel 7 diketahui bahwa jenis HBK dari lahan hutan rakyat yang rata-rata kontribusi pendapatannya besar di tiga desa lokasi studi adalah kelompok jenis buah-buahan (31,58% - 75,11%) dan kelompok jenis hasil perkebunan (22,13% - 55,41%). Khusus di Desa Payak, rata-rata kontribusi pendapatan dari kelompok tanaman semusim relatif tinggi serta terdapat tanaman rumput pakan ternak yang telah diperjualbelikan.

Berdasarkan diskusi kelompok terarah diketahui bahwa hasil berbagai jenis tanaman yang dibudidayakan oleh petani dapat dipanen secara bergilir. Tanaman semusim, empon-empon, dan rumput pakan ternak dapat dipanen secara begilir dalam jangka harian, mingguan dan bulanan. Tanaman buah-buahan dan tanaman perkebunan dapat dipanen secara bergilir dalam jangka tahunan. Tanaman kayu dapat dipanen secara bergilir dalam jangka lebih dari 5 tahunan. Dari lahannya, penduduk desa dapat memperoleh uang tunai dalam jangka harian, mingguan, bulanan, tahunan, dan lebih dari lima tahunan. Dengan cara menanam berbagai jenis tanaman tersebut, petani dapat memenuhi seluruh kebutuhan jangka pendek, jangka menengah dan jangka panjang, namun kecukupannya sangat dipengaruhi oleh luasan lahannya.

Jangka waktu panen HBK yang lebih singkat sangat besar peranannya dalam mempertahankan eksistensi hutan rakyat terutama pada pemilikan lahan sempit

Overcoming Constraints to Community-Based Commercial Forestry in IndonesiaProject Overview: ACIAR- FST/2008/030 28

karena petani tetap mempunyai sumber pendapatan dari lahan hutan rakyat meskipun tanaman kayunya belum dapat dipanen. Berbagai jenis HBK dapat dipanen oleh petani secara bergilir sehingga dapat memenuhi kebutuhan keuangan harian, jangka pendek, menengah, dan jangka panjang. Sebagian jenis HBK juga dapat disimpan dalam bentuk kering sehingga menyerupai tabungan yang dengan mudah digunakan apabila sewaktu-waktu dibutuhkan. Meskipun pemilikan lahan petani relatif sempit namun mereka masih dapat menanam tanaman kayu-kayuan karena ada sumber pendapatan dari HBK yang diterima selama menunggu saat panen kayu hasil hutan rakyat.

2.5 Hambatan dan Peluang Pada Usaha Hutan Rakyat

2.5.1 Hambatan pada usaha hutan rakyat

2.5.1.1 Keterbatasan teknis silvikultur petani

Di desa-desa lokasi studi, pertumbuhan tanaman sengon seringkali tidak seragam walaupun ditanam pada lahan dengan waktu dan perlakukan yang sama. Hal ini diduga karena kondisi tanah yang tidak sama dan kualitas bibit yang tidak seragam. Para petani mendapatkan bibit dari Dishutbun Kabupaten dan pedagang setempat. Pembagian bibit dari Dishutbun seringkali dilakukan pada bulan-bulan terakhir musim penghujan, dan ukuran bibitnya seringkali terlalu kecil sehingga banyak yang mati saat ditanam. Petani juga belum menguasai teknik pembibitan sengon dengan baik.

Selain itu, umur panen sengon sekitar 6 tahun dipandang terlalu lama dalam kaitannya dengan kesinambungan pendapatan petani. Karena itu petani menerapkan pola tumpangsari sengon dengan tanaman semusim ubi kayu sampai umur sengon tiga tahun. Memasuki tahun ke empat, tumpangsari dilakukan dengan tanaman empon-empon (kapulaga, temulawak, dsb) atau dengan tanaman kopi/kakao. Namun ketika sengon dipanen, tanaman kopi/kakao bisa rusak tertimpa pohon, padahal umur panen sengon bersamaan dengan awal produksi tanaman kopi, sehingga banyak petani yang tidak menerapkan pola tersebut. Beberapa petani tetap memilih tumpangsari sengon dengan ubi kayu, tanaman pisang, empon-empon, dan hijauan pakan ternak.

2.5.1.2 Serangan penyakit karat puru

Permasalahan yang sangat mengganggu budidaya sengon di ketiga lokasi studi adalah penyakit karat tumor atau karat puru karena dapat mematikan sengon di tingkat semai sampai tegakan. Selama ini petani setempat menganggap penyakit ini disebabkan karena serangan virus atau akibat penanaman dengan pola monokultur.

29ProsidingWorkshop Kerjasama Internasional

karena petani tetap mempunyai sumber pendapatan dari lahan hutan rakyat meskipun tanaman kayunya belum dapat dipanen. Berbagai jenis HBK dapat dipanen oleh petani secara bergilir sehingga dapat memenuhi kebutuhan keuangan harian, jangka pendek, menengah, dan jangka panjang. Sebagian jenis HBK juga dapat disimpan dalam bentuk kering sehingga menyerupai tabungan yang dengan mudah digunakan apabila sewaktu-waktu dibutuhkan. Meskipun pemilikan lahan petani relatif sempit namun mereka masih dapat menanam tanaman kayu-kayuan karena ada sumber pendapatan dari HBK yang diterima selama menunggu saat panen kayu hasil hutan rakyat.

2.5 Hambatan dan Peluang Pada Usaha Hutan Rakyat

2.5.1 Hambatan pada usaha hutan rakyat

2.5.1.1 Keterbatasan teknis silvikultur petani

Di desa-desa lokasi studi, pertumbuhan tanaman sengon seringkali tidak seragam walaupun ditanam pada lahan dengan waktu dan perlakukan yang sama. Hal ini diduga karena kondisi tanah yang tidak sama dan kualitas bibit yang tidak seragam. Para petani mendapatkan bibit dari Dishutbun Kabupaten dan pedagang setempat. Pembagian bibit dari Dishutbun seringkali dilakukan pada bulan-bulan terakhir musim penghujan, dan ukuran bibitnya seringkali terlalu kecil sehingga banyak yang mati saat ditanam. Petani juga belum menguasai teknik pembibitan sengon dengan baik.

Selain itu, umur panen sengon sekitar 6 tahun dipandang terlalu lama dalam kaitannya dengan kesinambungan pendapatan petani. Karena itu petani menerapkan pola tumpangsari sengon dengan tanaman semusim ubi kayu sampai umur sengon tiga tahun. Memasuki tahun ke empat, tumpangsari dilakukan dengan tanaman empon-empon (kapulaga, temulawak, dsb) atau dengan tanaman kopi/kakao. Namun ketika sengon dipanen, tanaman kopi/kakao bisa rusak tertimpa pohon, padahal umur panen sengon bersamaan dengan awal produksi tanaman kopi, sehingga banyak petani yang tidak menerapkan pola tersebut. Beberapa petani tetap memilih tumpangsari sengon dengan ubi kayu, tanaman pisang, empon-empon, dan hijauan pakan ternak.

2.5.1.2 Serangan penyakit karat puru

Permasalahan yang sangat mengganggu budidaya sengon di ketiga lokasi studi adalah penyakit karat tumor atau karat puru karena dapat mematikan sengon di tingkat semai sampai tegakan. Selama ini petani setempat menganggap penyakit ini disebabkan karena serangan virus atau akibat penanaman dengan pola monokultur.

29ProsidingWorkshop Kerjasama Internasional

Menurut Anggraeni (2008), penyebab penyakit karat tumor (gall rust) adalah jenis fungi Uromycladium tepperianum. Gejala penyakit diawali dengan adanya pembengkakan lokal (tumefaksi) di bagian tanaman yang terserang (daun, cabang, dan batang), lama kelamaan pembengkakkan berubah menjadi benjolan-benjolan yang kemudian menjadi bintil-bintil kecil atau disebut tumor. Pengendalian penyakit karat puru dapat dilakukan dengan cara mekanik, yaitu menghilangkan puru pada tanaman sengon yang terserang, puru dikumpulkan dan dikubur dalam tanah agar tidak menular. Setelah puru dihilangkan lalu batang dilabur dan disemprot dengan belerang.

2.5.1.3 Pemangkasan liar untuk pakan ternak

Ternak kambing merupakan ternak andalan di ketiga desa lokasi studi karena ternak kambing lebih cepat berproduksi, mudah pemeliharaannya dan mudah dipasarkan. Kegiatan pemangkasan dahan sengon di daerah ini bertujuan ganda, yaitu untuk membentuk pertumbuhan kayu sengon dan untuk penyediaan hijauan pakan ternak. Kegiatan pengumpulan hijauan pakan ternak dari pepohonan dan daun-daunan biasa disebut rambanan (pemangkasan dahan sengon, dadap, lamtoro, randu dll). Kegiatan pengumpulan hijauan pakan ternak dari rerumputan biasa (rumput setaria, rumput kalanjana) disebut ngarit. Berkembangnya ternak kambing di daerah ini menimbulan permasalahan dalam budidaya sengon, karena petani sering melakukan pemangkasan dahan sengon tanpa seijin pemiliknya. Sebagian besar petani (± 80 %) memelihara ternak, tetapi sebagian peternak tersebut (± 30 %) tidak mempunyai lahan. Pemangkasan liar seringkali merusak dan mengganggu pertumbuhan tanaman sengon. Di beberapa desa sudah dilakukan himbauan melalui pertemuan kelompok/desa dan beberapa petani melakukan injeksi pestisida pada tanaman sengonnya, namun injeksi pestisida dapat menyebabkan kematian ternak yang memakannya sehingga jarang dilakukan oleh petani. Karena itu pemangkasan liar masih terjadi.

2.5.1.4 Tebang pilih saat butuh

Sejauh ini petani hutan rakyat Pati belum paham tentang teknik penjarangan tanaman yaitu menebang tanaman yang tidak bagus dengan tujuan untuk meningkatkan kualitas tegakan tinggal. Tindakan yang sering dilakukan oleh petani saat ini justru sebaliknya, tanaman yang tumbuh bagus, capaian diameternya lebih besar dari tanaman yang lain akan ditebang lebih dulu. Sebaliknya tanaman yang jelek tetap dipelihara karena tanaman yang tumbuhnya lambat bila dibiarkan hidup juga dapat membesar. Hal ini dilakukan karena tanaman sengon dapat dijual per pohon, dijual pada saat

Overcoming Constraints to Community-Based Commercial Forestry in IndonesiaProject Overview: ACIAR- FST/2008/030 30

belum masak tebang bila ada kebutuhan keuangan mendesak atau yang kira-kira nilai uang hasil jualnya sesuai dengan kebutuhan keuangan petani.

2.5.1.5 Ketidaksediaan petani untuk memanen kayu sendiri

Selama ini petani menjual kayu per pohon atau bahkan per hamparan lahan dengan sistem tebas, langsung menerima uang tunai tanpa menebang, mengukur, dan menghitung volume sendiri. Teknik penjualan demikian dipandang belum dapat memaksimalkan nilai uang hasil jual kayu yang diterima oleh petani. Supaya petani tidak dirugikan dalam perhitungan harga kayu, sebaiknya grader dari pabrik pengolahan kayu atau depo kayu melakukan grading kayu di lahan petani setelah batang pohon sengon dipotong-potong menjadi sortimen. Dengan demikian petani diharapkan dapat menjual kayu dalam bentuk sortimen, dalam satuan m3, bukan per batang pohon atau per hamparan lahan dengan sistem tebas.

Namun penjualan kayu oleh petani dalam bentuk sortimen akan memiliki konsekuensi berupa beban biaya tebang yang ditanggung oleh petani. Kendala lain adalah petani umumnya tidak bisa membaca Daftar Grade yang dibuat oleh pabrik, tidak bisa melakukan grading kayu sendiri, dan tidak tahu cara mengukur volume kayu. Para petani kayu di desa-desa lokasi studi umumnya tidak sabar dan telaten untuk mengerjakan pekerjaan pemanenan kayu sendiri karena dinilai sebagai pekerjaan yang merepotkan.

2.5.2 Peluang pada usaha hutan rakyat

2.5.2.1 Konversi pemanfaatan lahan

Di desa-desa lokasi studi terjadi konversi lahan sawah menjadi tegal dan pekarangan karena pasokan air untuk pertanian sawah tidak dapat berlangsung sepanjang tahun. Apabila budidaya padi sawah tidak dapat dilakukan maka lahannya ditanami tanaman semusim lainnya. Namun banyak petani yang mengkonversi lahan sawahnya menjadi tegal dan pekarangan untuk ditanami sengon karena kayu sengon cepat tumbuh dan mulai umur empat tahun sudah dapat dipanen.

Selain itu terjadi konversi jenis tanaman dari tanaman tradisional ubi kayu ke tanaman komersial sengon. Hal ini karena sebagian laki-laki pergi meninggalkan desa untuk mencari nafkah di luar Jawa, sehingga mereka memilih jenis tanaman yang perawatannya mudah agar dapat dikerjakan oleh isteri atau anaknya. Biaya pembangunan tanaman sengon juga dinilai relatif murah, sebaliknya tanaman ubi kayu setidaknya memerlukan 5 kali biaya besar yaitu biaya-biaya mencangkul lahan, menyiangi pertama, pemupukan pertama, menyiangi kedua, dan pemupukan kedua. Kondisi demikian menjadi peluang untuk berkembangnya usaha hutan rakyat sengon.

31ProsidingWorkshop Kerjasama Internasional

belum masak tebang bila ada kebutuhan keuangan mendesak atau yang kira-kira nilai uang hasil jualnya sesuai dengan kebutuhan keuangan petani.

2.5.1.5 Ketidaksediaan petani untuk memanen kayu sendiri

Selama ini petani menjual kayu per pohon atau bahkan per hamparan lahan dengan sistem tebas, langsung menerima uang tunai tanpa menebang, mengukur, dan menghitung volume sendiri. Teknik penjualan demikian dipandang belum dapat memaksimalkan nilai uang hasil jual kayu yang diterima oleh petani. Supaya petani tidak dirugikan dalam perhitungan harga kayu, sebaiknya grader dari pabrik pengolahan kayu atau depo kayu melakukan grading kayu di lahan petani setelah batang pohon sengon dipotong-potong menjadi sortimen. Dengan demikian petani diharapkan dapat menjual kayu dalam bentuk sortimen, dalam satuan m3, bukan per batang pohon atau per hamparan lahan dengan sistem tebas.

Namun penjualan kayu oleh petani dalam bentuk sortimen akan memiliki konsekuensi berupa beban biaya tebang yang ditanggung oleh petani. Kendala lain adalah petani umumnya tidak bisa membaca Daftar Grade yang dibuat oleh pabrik, tidak bisa melakukan grading kayu sendiri, dan tidak tahu cara mengukur volume kayu. Para petani kayu di desa-desa lokasi studi umumnya tidak sabar dan telaten untuk mengerjakan pekerjaan pemanenan kayu sendiri karena dinilai sebagai pekerjaan yang merepotkan.

2.5.2 Peluang pada usaha hutan rakyat

2.5.2.1 Konversi pemanfaatan lahan

Di desa-desa lokasi studi terjadi konversi lahan sawah menjadi tegal dan pekarangan karena pasokan air untuk pertanian sawah tidak dapat berlangsung sepanjang tahun. Apabila budidaya padi sawah tidak dapat dilakukan maka lahannya ditanami tanaman semusim lainnya. Namun banyak petani yang mengkonversi lahan sawahnya menjadi tegal dan pekarangan untuk ditanami sengon karena kayu sengon cepat tumbuh dan mulai umur empat tahun sudah dapat dipanen.

Selain itu terjadi konversi jenis tanaman dari tanaman tradisional ubi kayu ke tanaman komersial sengon. Hal ini karena sebagian laki-laki pergi meninggalkan desa untuk mencari nafkah di luar Jawa, sehingga mereka memilih jenis tanaman yang perawatannya mudah agar dapat dikerjakan oleh isteri atau anaknya. Biaya pembangunan tanaman sengon juga dinilai relatif murah, sebaliknya tanaman ubi kayu setidaknya memerlukan 5 kali biaya besar yaitu biaya-biaya mencangkul lahan, menyiangi pertama, pemupukan pertama, menyiangi kedua, dan pemupukan kedua. Kondisi demikian menjadi peluang untuk berkembangnya usaha hutan rakyat sengon.

31ProsidingWorkshop Kerjasama Internasional

2.5.2.2 Dukungan program pemerintah

Di wilayah Kabupaten Pati terdapat beberapa program pemerintah antara lain KBR, BLM-PPMBK, serta KBD. Program-program tersebut sedikitnya telah mampu mempengaruhi perilaku masyarakat dalam memanfaatkan lahan. Program KBR menyediakan jenis bibit tanaman kehutanan, perkebunan, dan buah-buahan, dan Program BANSOS PPMBK menyediakan bibit tanaman kehutanan, tanaman semusim, hijauan pakan ternak, dan pembelian ternak. Hal ini telah mendorong berkembangnya hutan rakyat sengon yang dikembangkan dengan teknik agroforestri dan diintegrasikan dengan usaha peternakan.

2.5.2.3 Tanah subur

Lima kecamatan dari bagian utara wilayah Pati yaitu Kecamatan Margorejo, Gunungwungkal, Tlogowungu, Cluwak, dan Sidomulyo, terletak di kawasan perbukitan kaki gunung Muria yang tanahnya subur sehingga potensial dengan tanaman kayu-kayuan. Pilihan jenis tanaman kayu-kayuan mempunyai peluang besar di wilayah ini karena topogra� nya curam sehingga selain memberi manfaat ekonomi juga untuk tujuan konservasi tanah dan air. Beragam jenis tanaman kayu-kayuan, tanaman perkebunan dan tanaman semusim tumbuh bersama-sama di wilayah ini sehingga membentuk agroforestri. Hal ini merupakan peluang untuk memajukan usaha hutan rakyat sengon di wilayah tersebut.

2.5.2.4 Permintaan kayu sengon tinggi

Di Jawa Tengah banyak terdapat industri kayu yang mengolah kayu sengon menjadi berbagai bentuk produk seperti kayu lapis, papan sambung, bilah sambung, papan blok, dan lain-lain. Lokasi pabriknya tersebar di berbagai kota. Untuk menjamin kesinambungan bahan baku, pabrik-pabrik ini ada yang memiliki pelanggan depo kayu, tetapi ada pula yang memiliki ratusan pemasok kayu yaitu para pedagang kayu. Untuk memperlancar pasokan kayu, pabrik-pabrik tersebut mengirim grader dan tenaga pengumpul kayu ke sentra-sentra produksi kayu hampir di seluruh Jawa. Grader pabrik dapat bekerja di lahan petani, di pedagang desa, atau di depo desa.

Hal ini memberi gambaran tentang makin tingginya persaingan antar pabrik dalam memperebutkan kayu rakyat untuk memenuhi kebutuhan bahan baku pabriknya. Hal ini berdampak pada makin ketatnya persaingan antar depo dan antar pedagang karena makin tingginya permintaan kayu rakyat khususnya jenis sengon. Dalam kaitan ini petani relatif memiliki kebebasan dalam menentukan kepada siapa kayunya

Overcoming Constraints to Community-Based Commercial Forestry in IndonesiaProject Overview: ACIAR- FST/2008/030 32

akan dijual karena relatif banyaknya pedagang kayu maupun blantik (perantara) yang datang ke desa-desa penghasil kayu rakyat.

2.5.2.5 Peluang untuk dikembangkan industri pengolahan

Di wilayah Kabupaten Pati tersedia pasar HBK yang merupakan hasil lahan penduduk desa-desa di lokasi studi, seperti beberapa unit pabrik tepung tapioka. Selain itu di Perhutani KPH Pati BKPH Regaloh yang kawasannya berbatasan dengan Desa Gunungsari terdapat pabrik pengolahan ubi kayu menjadi tepung mocaf (modi� er casava) yang digunakan sebagai pencampur tepung terigu, dan limbah pengolahannya diproses lebih lanjut menjadi bioethanol. Selain itu terdapat pabrik tepung jagung yang merupakan pakan ternak, serta industri terpadu yang mengolah kapuk randu menjadi serat yang diekspor dan dipasarkan di dalam negeri, industri pengolahan biji randu menjadi Crude Kelenteng Oil (CKO) pengganti minyak goreng bebas kolesterol, serta industri pengemasan madu bunga randu dan pengolahan madu menjadi minuman sehat.

Namun di wilayah ini belum ada industri pengolahan kayu rakyat, sehingga kayu dari Pati dijual ke industri di kabupaten lain seperti Semarang, Temanggung, Kebumen, dan bahkan ke Jawa Timur. Dalam hal ini masih terbuka peluang untuk dikembangkan industri pengolahan kayu sengon di wilayah kabupaten Pati agar lokasi pabrik makin dekat dengan lokasi pemasok bahan bakunya sehingga akses petani ke pasar produknya makin terbuka lebar.

3. Kesimpulan Dan Rekomendasi

3.1 Kesimpulan

1. Di tiga desa lokasi studi, hutan rakyat sengon dibangun di lahan tegalan dan pekarangan secara tumpangsari dengan berbagai jenis tanaman semusim, empon-empon, rumput pakan ternak, tanaman perkebunan, tanaman penghasil buah-buahan, dan tanaman kehutanan, sehingga dapat menghasilkan kayu dan HBK.

2. Program pemerintah KBR, BLM-PPMBK, dan KBD berperan memperkaya lahan rakyat dengan tanaman kayu dan mendorong peningkatan produksi kayu dan HBK.

3. Pendapatan petani dari kegiatan terkait lahan berasal dari 3 sumber yakni dari kayu, HBK, dan ternak, di mana rata-rata kontribusi pendapatan tertinggi dari kayu 22%, dari HHK 82% dan dari ternak 12%.

33ProsidingWorkshop Kerjasama Internasional

akan dijual karena relatif banyaknya pedagang kayu maupun blantik (perantara) yang datang ke desa-desa penghasil kayu rakyat.

2.5.2.5 Peluang untuk dikembangkan industri pengolahan

Di wilayah Kabupaten Pati tersedia pasar HBK yang merupakan hasil lahan penduduk desa-desa di lokasi studi, seperti beberapa unit pabrik tepung tapioka. Selain itu di Perhutani KPH Pati BKPH Regaloh yang kawasannya berbatasan dengan Desa Gunungsari terdapat pabrik pengolahan ubi kayu menjadi tepung mocaf (modi� er casava) yang digunakan sebagai pencampur tepung terigu, dan limbah pengolahannya diproses lebih lanjut menjadi bioethanol. Selain itu terdapat pabrik tepung jagung yang merupakan pakan ternak, serta industri terpadu yang mengolah kapuk randu menjadi serat yang diekspor dan dipasarkan di dalam negeri, industri pengolahan biji randu menjadi Crude Kelenteng Oil (CKO) pengganti minyak goreng bebas kolesterol, serta industri pengemasan madu bunga randu dan pengolahan madu menjadi minuman sehat.

Namun di wilayah ini belum ada industri pengolahan kayu rakyat, sehingga kayu dari Pati dijual ke industri di kabupaten lain seperti Semarang, Temanggung, Kebumen, dan bahkan ke Jawa Timur. Dalam hal ini masih terbuka peluang untuk dikembangkan industri pengolahan kayu sengon di wilayah kabupaten Pati agar lokasi pabrik makin dekat dengan lokasi pemasok bahan bakunya sehingga akses petani ke pasar produknya makin terbuka lebar.

3. Kesimpulan Dan Rekomendasi

3.1 Kesimpulan

1. Di tiga desa lokasi studi, hutan rakyat sengon dibangun di lahan tegalan dan pekarangan secara tumpangsari dengan berbagai jenis tanaman semusim, empon-empon, rumput pakan ternak, tanaman perkebunan, tanaman penghasil buah-buahan, dan tanaman kehutanan, sehingga dapat menghasilkan kayu dan HBK.

2. Program pemerintah KBR, BLM-PPMBK, dan KBD berperan memperkaya lahan rakyat dengan tanaman kayu dan mendorong peningkatan produksi kayu dan HBK.

3. Pendapatan petani dari kegiatan terkait lahan berasal dari 3 sumber yakni dari kayu, HBK, dan ternak, di mana rata-rata kontribusi pendapatan tertinggi dari kayu 22%, dari HHK 82% dan dari ternak 12%.

33ProsidingWorkshop Kerjasama Internasional

4. Pendapatan petani dari hutan rakyat berasal dari 2 sumber yakni kayu dan HBK, di mana rata-rata kontribusi pendapatan tertinggi dari kayu adalah 67% yaitu di Desa Payak dan dari HBK adalah 87% yaitu di Desa Gunungsari.

5. Kelompok jenis HBK yang mempunyai kontribusi pendapatan besar yakni tanaman buah-buahan (31,58% - 75,11%) dan tanaman perkebunan (22,13% - 55,41%).

6. HBK berperan penting dalam mempertahankan eksistensi hutan rakyat pada pemilikan lahan yang sempit karena dapat dipanen secara bergilir dan memberi pendapatan pada petani selama menunggu tanaman kayu dipanen.

3.2 Rekomendasi

Hutan rakyat sengon perlu dipromosikan atau didukung pengembangannya dengan mempertimbangkan kebutuhan untuk mengatasi kendalanya seperti, (1) diperlukan pelatihan petani untuk mengatasi serangan penyakit karat puru yang menghambat produksi kayu sengon, (2) pelatihan petani agar menguasai teknik mengukur dan menghitung volume kayu untuk meningkatkan posisi tawar dan nilai jual kayu petani, (3) mempermudah akses petani ke pasar kayu atau mendekatkannya ke industri pengolahan kayu, (4) membangun DEMPLOT hutan rakyat sengon melalui dukungan program pemerintah sebagai tempat pembelajaran petani.

Jangka waktu panen HBK relatif lebih singkat dibadingkan dengan panen kayu, karena panen tanaman semusim hanya dalam beberapa bulan serta panen tanaman perkebunan dan buah-buahan adalah setahun sekali. Peran HBK sangat besar dalam mempertahankan eksistensi dan mendorong perkembangan usaha hutan rakyat terutama di wilayah-wilayah di mana pemilikan lahan oleh petani sangat sempit seperti halnya di Kabupaten Pati, karena selama menunggu saat panen kayu petani mempunyai sumber pendapatan dari HBK. Selain itu, bila tanaman kayu dicampur dengan berbagai jenis tanaman penghasil HBK maka petani dapat memperoleh pendapatan secara berkesinambungan karena panen HBK terjadi secara bergilir. Dengan pertimbangan tersebut, pada wilayah-wilayah di mana pemilikan lahan oleh petani relatif sempit maka pembangunan Hutan Rakyat, Hutan Tanaman Rakyat, atau Hutan Kemasyarakatan, direkomendasikan menggunakan teknik agroforestri atau campuran dengan berbagai jenis tanaman semusim, empon-empon, tanaman hijauan pakan ternak, tanaman perkebunan, dan tanaman buah-buahan yang dapat menghasilkan berbagai jenis HBK.

Overcoming Constraints to Community-Based Commercial Forestry in IndonesiaProject Overview: ACIAR- FST/2008/030 34

Daftar Pustaka

Anggraeni. 2008. Makalah Workshop Penanggulangan Serangan Karat Puru pada Tanaman Sengon, 19 Nop 2008. Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan.

Anonim. 2010, Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P24/Menhut-II/2010 Tanggal 3 Juni 2010 tentang Pedoman Penyelenggaraan Kebun Bibit Rakyat, Jakarta.

Anonim. 2011, Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P23/Menhut-II/2011 Tanggal 8 April 2011 tentang Pedoman Teknis Kebun Bibit Rakyat, Jakarta.

Anonim. 2011. Gambaran Umum Kondisi Desa Gunungsari, Gunungsari.Anonim. 2011. Data Monogra� Desa dan Kelurahan, Desa Gunungsari, Pemerintah

Daerah Kabupaten Pati, Gunungsari.Anonim. 2011, Data Monogra� Desa Giling Tahun 2011, Pemerintah Desa Giling,

Giling.Anonim. 2011, Dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJM-

Desa) dan Rencana Kerja Pembangunan Desa (RKP-Desa) Tahun 2009-2010 (Hasil Review Tahun 2011), Pemerintah Desa Payak, Payak.

BPS Kabupaten Pati, 2010, Pati Dalam Angka 2010, Badan Pusat Statistik Kabupaten Pati, Pati.

Dishutbun Kabupaten Pati. 2010, Laporan Tahunan 2010, Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Pati, Pati.

Dishutbun Kabupaten Pati. 2011, Laporan Akhir Kebun Bibit Rakyat di Kabupaten Pati, Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Pati, Pati.

35ProsidingWorkshop Kerjasama Internasional

Daftar Pustaka

Anggraeni. 2008. Makalah Workshop Penanggulangan Serangan Karat Puru pada Tanaman Sengon, 19 Nop 2008. Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan.

Anonim. 2010, Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P24/Menhut-II/2010 Tanggal 3 Juni 2010 tentang Pedoman Penyelenggaraan Kebun Bibit Rakyat, Jakarta.

Anonim. 2011, Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P23/Menhut-II/2011 Tanggal 8 April 2011 tentang Pedoman Teknis Kebun Bibit Rakyat, Jakarta.

Anonim. 2011. Gambaran Umum Kondisi Desa Gunungsari, Gunungsari.Anonim. 2011. Data Monogra� Desa dan Kelurahan, Desa Gunungsari, Pemerintah

Daerah Kabupaten Pati, Gunungsari.Anonim. 2011, Data Monogra� Desa Giling Tahun 2011, Pemerintah Desa Giling,

Giling.Anonim. 2011, Dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJM-

Desa) dan Rencana Kerja Pembangunan Desa (RKP-Desa) Tahun 2009-2010 (Hasil Review Tahun 2011), Pemerintah Desa Payak, Payak.

BPS Kabupaten Pati, 2010, Pati Dalam Angka 2010, Badan Pusat Statistik Kabupaten Pati, Pati.

Dishutbun Kabupaten Pati. 2010, Laporan Tahunan 2010, Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Pati, Pati.

Dishutbun Kabupaten Pati. 2011, Laporan Akhir Kebun Bibit Rakyat di Kabupaten Pati, Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Pati, Pati.

35ProsidingWorkshop Kerjasama Internasional

Lampiran 1. Nilai HBK dari Lahan Pekarangan dan Tegalan, 2012

No. Desa Jenis Tanaman Jenis HBK

Frekuensi Panen

(panen/th)

Nilai Jual(Rp/KK/

th)%

1 Giling Pangan Ubi kayu 1 2,650,000 2,75

Empon-empon

Kapulaga 1 5,000 0,01

Perkebunan Kakao 6-12 2,061,000 22,13

(21,331,000) Kopi 2 8,000,000

Cengkeh 1 50,000

Kelapa 8 120,000

Randu 1 11,100,000

Buah-buahan

Jengkol 1-2 72,380,000 75,11

Jumlah Giling 96,366,000 100

2 Gunungsari Pangan Ubi kayu 1 13,175,000 8,93

(13,200,000) Jagung 2 25,000

Empon-empon

Kapulaga 2-3 1,295,000 1,55

(2,295,000) Jahe 1 1,000,000

Perkebunan Kopi 1 29,000,000 55,41

(81,870,000) Cengkeh 1 47,500,000

Randu 1 1,340,000

Kelapa 10 1,860,000

Lada 1 300,000

Kakao - 1,800,000

Panili 1 70,000

Buah-buahan

Manggis 1 29,875,000 34,11

(50,407,000) Jengkol 1 3,150,000

Petai 1 4,390,000

Pisang 1-10 7,892,000

Sukun 4 3,200,000

Durian 1 1,500,000

Rambutan 1 400,000

Overcoming Constraints to Community-Based Commercial Forestry in IndonesiaProject Overview: ACIAR- FST/2008/030 36

No. Desa Jenis Tanaman Jenis HBK

Frekuensi Panen

(panen/th)

Nilai Jual(Rp/KK/

th)%

Jumlah Gunungsari 147,772,000 100

3 Payak Pangan Ubi kayu 1 6,000,000 24,88

(13,000,000) Ketela 1 4,000,000

Jagung 1 3,000,000

Pakan ternak Rumput 6 3,000,000 5,75

Perkebunan Cengkeh 1 8,000,000 37,79

(19,747,000) Kakao 6 3,777,000

Kopi 1 4,050,000

Randu 1 2,000,000

Kelapa 8 1,920,000

Buah-buahan

Jengkol 1 5,650,000 31,58

(16,500,000) Pisang 10,350,000

Durian 1 350,000

Rambutan 1 50,000

Petai 1 100,000

Jumlah Payak 52,247,000 100Sumber: Diolah dari data primer, 2012

37ProsidingWorkshop Kerjasama Internasional

Lampiran 1. Nilai HBK dari Lahan Pekarangan dan Tegalan, 2012

No. Desa Jenis Tanaman Jenis HBK

Frekuensi Panen

(panen/th)

Nilai Jual(Rp/KK/

th)%

1 Giling Pangan Ubi kayu 1 2,650,000 2,75

Empon-empon

Kapulaga 1 5,000 0,01

Perkebunan Kakao 6-12 2,061,000 22,13

(21,331,000) Kopi 2 8,000,000

Cengkeh 1 50,000

Kelapa 8 120,000

Randu 1 11,100,000

Buah-buahan

Jengkol 1-2 72,380,000 75,11

Jumlah Giling 96,366,000 100

2 Gunungsari Pangan Ubi kayu 1 13,175,000 8,93

(13,200,000) Jagung 2 25,000

Empon-empon

Kapulaga 2-3 1,295,000 1,55

(2,295,000) Jahe 1 1,000,000

Perkebunan Kopi 1 29,000,000 55,41

(81,870,000) Cengkeh 1 47,500,000

Randu 1 1,340,000

Kelapa 10 1,860,000

Lada 1 300,000

Kakao - 1,800,000

Panili 1 70,000

Buah-buahan

Manggis 1 29,875,000 34,11

(50,407,000) Jengkol 1 3,150,000

Petai 1 4,390,000

Pisang 1-10 7,892,000

Sukun 4 3,200,000

Durian 1 1,500,000

Rambutan 1 400,000

Overcoming Constraints to Community-Based Commercial Forestry in IndonesiaProject Overview: ACIAR- FST/2008/030 36

No. Desa Jenis Tanaman Jenis HBK

Frekuensi Panen

(panen/th)

Nilai Jual(Rp/KK/

th)%

Jumlah Gunungsari 147,772,000 100

3 Payak Pangan Ubi kayu 1 6,000,000 24,88

(13,000,000) Ketela 1 4,000,000

Jagung 1 3,000,000

Pakan ternak Rumput 6 3,000,000 5,75

Perkebunan Cengkeh 1 8,000,000 37,79

(19,747,000) Kakao 6 3,777,000

Kopi 1 4,050,000

Randu 1 2,000,000

Kelapa 8 1,920,000

Buah-buahan

Jengkol 1 5,650,000 31,58

(16,500,000) Pisang 10,350,000

Durian 1 350,000

Rambutan 1 50,000

Petai 1 100,000

Jumlah Payak 52,247,000 100Sumber: Diolah dari data primer, 2012

37ProsidingWorkshop Kerjasama Internasional

Lampiran 2. Nilai Jual Kayu Dalam 3 Tahun Terakhir, 2012

No. DesaPernah Menjual

Jenis Kayu Jumlah Nilai(Rp)Ya Tidak

1 Giling Tidak -

2 Giling Ya Sengon, Jengkol 20.000.000

3 Giling Ya Sengon, Mahoni 27.000.000

4 Giling Ya Sengon 6.700.000

5 Giling Tidak - -

6 Giling Ya Sengon 435.000

7 Giling Tidak - -

8 Giling Ya Sengon 31.000.000

9 Giling Ya Sengon 19.500.000

10 Giling Tidak - -

11 Giling Tidak - -

12 Giling Ya Sengon 13.500.000

13 Giling Tidak - -

14 Giling Ya Sengon 2.000.000

15 Giling Tidak - -

16 Gunungsari Ya Mahoni 5.500.000

17 Gunungsari Tidak - -

18 Gunungsari Tidak - -

19 Gunungsari Ya Sengon 3.000.000

20 Gunungsari Tidak - -

21 Gunungsari Ya Sengon 20.000.000

22 Gunungsari Tidak - -

23 Gunungsari Tidak - -

24 Gunungsari Ya Sengon 32.500.000

Overcoming Constraints to Community-Based Commercial Forestry in IndonesiaProject Overview: ACIAR- FST/2008/030 38

No. DesaPernah Menjual

Jenis Kayu Jumlah Nilai(Rp)Ya Tidak

25 Gunungsari Tidak - -

26 Gunungsari Tidak - -

27 Gunungsari Ya Sengon 4.000.000

28 Gunungsari Ya Sengon 700.000

29 Gunungsari Ya Sengon 2.400.000

30 Gunungsari Tidak - -

31 Payak Ya Sengon 58.000.000

32 Payak Ya Sengon 5.500.000

33 Payak Ya Sengon, Mahoni 24.000.000

34 Payak Ya Sengon 36.000.000

35 Payak Tidak - -

36 Payak Ya Sengon 21.000.000

37 Payak Ya Sengon 66.000.000

38 Payak Ya Sengon 40.000.000

39 Payak Tidak - -

40 Payak Ya Sengon, Mahoni 5.900.000

41 Payak Tidak - -

42 Payak Ya Sengon 15.800.000

43 Payak Ya Sengon 8.000.000

44 Payak Ya Sengon 14.000.000

45 Payak Ya Sengon 28.500.000

Total nilai jual 3 tahun terakhir 510.935.000

Rata2 nilai jual per tahun 170.311.667

Rata2 nilai jual per KK per tahun 3.784.704

Sumber: Diolah dari data primer, 2012

39ProsidingWorkshop Kerjasama Internasional

No. DesaPernah Menjual

Jenis Kayu Jumlah Nilai(Rp)Ya Tidak

25 Gunungsari Tidak - -

26 Gunungsari Tidak - -

27 Gunungsari Ya Sengon 4.000.000

28 Gunungsari Ya Sengon 700.000

29 Gunungsari Ya Sengon 2.400.000

30 Gunungsari Tidak - -

31 Payak Ya Sengon 58.000.000

32 Payak Ya Sengon 5.500.000

33 Payak Ya Sengon, Mahoni 24.000.000

34 Payak Ya Sengon 36.000.000

35 Payak Tidak - -

36 Payak Ya Sengon 21.000.000

37 Payak Ya Sengon 66.000.000

38 Payak Ya Sengon 40.000.000

39 Payak Tidak - -

40 Payak Ya Sengon, Mahoni 5.900.000

41 Payak Tidak - -

42 Payak Ya Sengon 15.800.000

43 Payak Ya Sengon 8.000.000

44 Payak Ya Sengon 14.000.000

45 Payak Ya Sengon 28.500.000

Total nilai jual 3 tahun terakhir 510.935.000

Rata2 nilai jual per tahun 170.311.667

Rata2 nilai jual per KK per tahun 3.784.704

Sumber: Diolah dari data primer, 2012

39ProsidingWorkshop Kerjasama Internasional

Perbaikan Tata Kelola, Kebijakan dan Kelembagaan Kehutanan untuk Mengurangi Emisi

dari Deforestasi dan Kerusakan Hutan (REDD+):

Belajar dari proyek kerjasamaACIAR-Kementerian Kehutanan

FST/2007/052

Zahrul Muttaqin, Subarudi dan Fitri Nurfatriani

Perbaikan Tata Kelola, Kebijakan dan Kelembagaan Kehutanan untuk Mengurangi Emisi

dari Deforestasi dan Kerusakan Hutan (REDD+):

Belajar dari proyek kerjasamaACIAR-Kementerian Kehutanan

FST/2007/052

Zahrul Muttaqin, Subarudi dan Fitri Nurfatriani

1. Pendahuluan

Deforestasi dipercaya menjadi salah satu penyumbang emisi gas rumah kaca di dunia. Dengan demikian pengurangan emisi dari deforestasi dan kerusakan hutan memainkan peranan yang sangat penting dalam rangka merespon perubahan iklim. Dengan luas hutan tropis yang sangat besar, Indonesia dapat memainkan peranan yang sangat penting dalam mengurangi emisi dari deforestasi melalui skema Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation and the Enhancement of Forest Carbon Stock in Developing countries (REDD+). Saat ini Indonesia merupakan salah satu negara yang termasuk paling maju dalam persiapan pelaksanaan REDD+. Pembentukan Satgas REDD+, kebijakan moratorium penerbitan izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu di hutan alam, penyusunan srategi nasional REDD+, persiapan-persiapan MRV dan safeguards, merupakan bukti-bukti kesiapan Indonesia melaksanakan REDD+.

Sejak tahun 2008, setelah dilaksanakannya COP 13 di Bali, Kementerian Kehutanan, melalui Badan Litbang Kehutanan menjalin kerjasama penelitian dengan Australian Centre for International Agricultural Research (ACIAR) terkait dengan perbaikan tatakelola, kebijakan dan kelembagaan kehutanan untuk mendukung pelaksanaan skema REDD+ di Indonesia. Tujuan utama pelaksanaan proyek penelitian ini adalah mendukung pengembangan kebijakan dan kelembagaan REDD+ di tingkat provinsi dan kabupaten untuk memfasilitasi pelaksanaan REDD+ dan mendesain distribusi manfaat � nansial REDD+ dari pendanaan internasional.

Secara khusus, proyek penelitian ini memiliki empat tujuan. Tujuan khusus pertama adalah untuk mengidenti� kasi penyebab deforestasi di tingkat provinsi sehingga diharapkan pemerintah provinsi lebih memahami penyebab-penyebab tersebut. Tujuan khusus kedua adalah menduga manfaat dan biaya deforestatsi dan REDD+ baik berupa analisis biaya dan manfaat ekonomi maupun pandangan para pihak (stakeholders) berkaitan dengan biaya dan manfaat REDD+. Tujuan khusus ketiga adalah analisis perbaikan tata kelola hutan untuk memberikan masukan kepada Kementerian Kehutanan mengenai alokasi lahan hutan dan praktik-praktik pengelolaan hutan yang lebih baik. Tujuan khusus keempat adalah mengembangan sistem tatakelola REDD+ yang terdesentralisasi. Dalam hal ini sistem yang dikembangkan adalah bagaimana pendanaan REDD+ dapat didesain dengan menggunakan sistem penganggaran nasional serta bagaimana sistem distribusi manfaat REDD+ dapat dikembangkan di tingkat masyarakat lokal.

43ProsidingWorkshop Kerjasama Internasional

1. Pendahuluan

Deforestasi dipercaya menjadi salah satu penyumbang emisi gas rumah kaca di dunia. Dengan demikian pengurangan emisi dari deforestasi dan kerusakan hutan memainkan peranan yang sangat penting dalam rangka merespon perubahan iklim. Dengan luas hutan tropis yang sangat besar, Indonesia dapat memainkan peranan yang sangat penting dalam mengurangi emisi dari deforestasi melalui skema Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation and the Enhancement of Forest Carbon Stock in Developing countries (REDD+). Saat ini Indonesia merupakan salah satu negara yang termasuk paling maju dalam persiapan pelaksanaan REDD+. Pembentukan Satgas REDD+, kebijakan moratorium penerbitan izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu di hutan alam, penyusunan srategi nasional REDD+, persiapan-persiapan MRV dan safeguards, merupakan bukti-bukti kesiapan Indonesia melaksanakan REDD+.

Sejak tahun 2008, setelah dilaksanakannya COP 13 di Bali, Kementerian Kehutanan, melalui Badan Litbang Kehutanan menjalin kerjasama penelitian dengan Australian Centre for International Agricultural Research (ACIAR) terkait dengan perbaikan tatakelola, kebijakan dan kelembagaan kehutanan untuk mendukung pelaksanaan skema REDD+ di Indonesia. Tujuan utama pelaksanaan proyek penelitian ini adalah mendukung pengembangan kebijakan dan kelembagaan REDD+ di tingkat provinsi dan kabupaten untuk memfasilitasi pelaksanaan REDD+ dan mendesain distribusi manfaat � nansial REDD+ dari pendanaan internasional.

Secara khusus, proyek penelitian ini memiliki empat tujuan. Tujuan khusus pertama adalah untuk mengidenti� kasi penyebab deforestasi di tingkat provinsi sehingga diharapkan pemerintah provinsi lebih memahami penyebab-penyebab tersebut. Tujuan khusus kedua adalah menduga manfaat dan biaya deforestatsi dan REDD+ baik berupa analisis biaya dan manfaat ekonomi maupun pandangan para pihak (stakeholders) berkaitan dengan biaya dan manfaat REDD+. Tujuan khusus ketiga adalah analisis perbaikan tata kelola hutan untuk memberikan masukan kepada Kementerian Kehutanan mengenai alokasi lahan hutan dan praktik-praktik pengelolaan hutan yang lebih baik. Tujuan khusus keempat adalah mengembangan sistem tatakelola REDD+ yang terdesentralisasi. Dalam hal ini sistem yang dikembangkan adalah bagaimana pendanaan REDD+ dapat didesain dengan menggunakan sistem penganggaran nasional serta bagaimana sistem distribusi manfaat REDD+ dapat dikembangkan di tingkat masyarakat lokal.

43ProsidingWorkshop Kerjasama Internasional

Tulisan ini bertujuan untuk mensintesakan hasil-hasil penelitian yang telah

dilaksanakan, terutama mengenai perbaikan tatakelola hutan dan pembangunan

kelembagaan untuk mendukung pelaksanaan REDD+. Dalam hal ini, tujuan khusus

ketiga dan keempat akan dielaborasi lebih lanjut dalam tulisan ini karena merupakan

ultimate goal dari beberapa tujuan khusus penelitian ini. Disamping itu, tujuan ketiga

dan keempat penelitian ini dapat memberikan masukan konkret bagi perumusan dan

perbaikan kebijakan kehutanan nasional untuk mendukung pelaksanaan REDD+ di

Indonesia. Secara khusus, tulisan ini akan membahas: (1) analisis para pihak yang

terlibat dalam rantai pasokan kayu dari hutan produksi serta permasalannya; (2)

mekanisme distribusi manfaat REDD+ melalui kebijakan desentralisasi � skal; dan

(3) desain sistem distribusi manfaat REDD+ di tingkat masyarakat.

2. Kerangka Teori dan Analisis

REDD+ dikonseptaulisasikan sebagai mekanisme untuk memberikan kompensasi

pada upaya pengurangan deforestasi dan kerusakan hutan yang terveri� kasi atau upaya

peningkatan stok karbon yang terveri� kasi (Viana et al., 2012). Dengan demikian

REDD+ merupakan sistem pembayaran berbasis kinerja (Wertz-Kanounnikof and

Angelsen, 2009). Kerangka utama REDD+ terdiri dari: (1) cakupan (scope); (2)

reference level; (3) distribusi (distribution); dan (4) pendanaan (� nancing) (Parker et

al., 2008). Cakupan REDD+ terkait dengan jenis-jenis kegiatan yang dapat dianggap

sebagai kegiatan REDD+(Parker et al., 2008). REDD+ dalah sebuah inisiatif untuk

menciptakan nilai � nansial atas karbon yang disimpan di dalam hutan, dengan cara

menawarkan insentif pada negara-negara berkembang untuk mengurangi emisi dari

hutan, dan meningkatkan stok karbon hutan melalui investasi dalam pembangunan

rendah karbon (UN-REDD Programme, n.d.).

Reference level REDD+ terkait dengan bagaimana stok karbon diukur dan

atas dasar apa stok karbon berubah (Parker et al., 2008). Dengan demikian baselines

di tingkat nasional, sebagai elemen penting dari skema REDD+, perlu dibangun.

Perdebatan tentang penentuan baselines saat ini difokuskan pada dua hal: (1)

prediksi deforestasi dan kerusakan hutan dalam skenario Business As Usual (BAU);

(2) bagaimana kredit diberikan berdasarkan baseline, termasuk seberapa kuat suatu

negara dalam negosiasi internasional (Angelsen, 2008). Distribusi REDD+ berkaitan

dengan alokasi manfaat yang dihasilkan dari pengurangan emisi pada pihak-pihak

Perbaikan Tata Kelola, Kebijakan dan Kelembagaan Kehutanan untuk Mengurangi Emisi dari Deforestasi dan Kerusakan Hutan (REDD+): Belajar dari proyek kerjasama ACIAR-Kementerian Kehutanan FST/2007/052

44

terkait, sementara mekanisme pendanaan REDD+ berkaitan dengan bagaimana dana REDD+ dimobilisasi (Parker et al., 2008).

Dunia internasional telah menunjukkan keinginan yang kuat untuk melakukan transaksi REDD+, beberapa negara berkembang menunjukkan kemauan yang kuat untuk mengatasi permasalahan deforestasi dan kerusakan hutan dan perubahan iklim secara umum (Seymour and Angelsen, 2009). Hal ini menunjukkan bahwa terdapay beberapa perkembangan positif dan prospektif terhadap REDD+, meskipun masa depan REDD+ sebagai mekanisme global masih tetap belum jelas (Seymour and Angelsen, 2012). Dengan demikian REDD+ masih merupakan inisiatif yang berguna untuk tetap didiskusikan (Seymour and Angelsen, 2012). Namun demikian ada beberapa elemen REDD+ yang masih perlu direalisasikan, yaitu: (1) kebutuhan untuk menyediakan pendanaan yang memadai dari negara maju, baik untuk mengkompensasikan biaya korbanan (opportunity costs) maupun untuk peningkatan kapasitas negara berkembang; (2) pentingnya peningkatan kapasitas teknis dan kelembagaan; (3) pentingnya baselines nasional; (4) perlunya menangani masalah permanence dan leakage; dan (5) peran kunci dari manfaat pendamping (co-bene� ts) seperti keragaman hayati dan hak-hak serta mata pencaharian masyarakat sekitar hutan (Blaustein et al., 2007).

Dari beberapa elemen tersebut, pentingnya peningkatan kapasitas teknis dan kelembagaan, serta perlunya menangani masalah permanence dan leakage berkaitan langsung dengan perbaikan tatakelola kehutanan. Beberapa aktivitas produktif diizinkan oleh peraturan perundang-undangan untuk mengeksploitasi hutan dan seringkali menyebabkan kerusakan hutan dan berakhir pada alih fungsi lahan hutan. Pembalakan hutan biasanya merupakan awal dari pembukaan hutan alam secara legal berdasarkan petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis dari Kementerian Kehutanan (Kartodihardjo and Supriono, 2000). Selama 4 dasawarsa terakhir, pemegang izin usaha pemanfaatan kayu dari hutan alam telah gagal mengimplementasikan pengelolaan hutan lestari (Kartodihardjo and Supriono, 2000). Dengan demikian, perbaikan tatakelola kehutanan merupakan upaya yang harus diprioritaskan untuk mengurangi kerusakan hutan yang mengarah deforestasi di kawasan hutan, terutama di kawasan hutan produksi.

Dalam mempersiapkan pelaksanaan REDD+, selain perbaikan tata kelola kehutanan, distribusi manfaat REDD+ juga merupakan salah satu elemen yang perlu diperhatikan. Salah satu mekanisme mendistribusikan manfaat REDD+ adalah melalui dana perimbangan pusat dan daerah. Alokasi dana perimbangan pusat dan daerah merupakan salah satu bentuk transfer � skal antarpemerintah (intergovernmental � scal transfers/IFTs). Kriteria sebuah IFT yang baik antara lain adalah: (1) Keobyektifan,

45ProsidingWorkshop Kerjasama Internasional

terkait, sementara mekanisme pendanaan REDD+ berkaitan dengan bagaimana dana REDD+ dimobilisasi (Parker et al., 2008).

Dunia internasional telah menunjukkan keinginan yang kuat untuk melakukan transaksi REDD+, beberapa negara berkembang menunjukkan kemauan yang kuat untuk mengatasi permasalahan deforestasi dan kerusakan hutan dan perubahan iklim secara umum (Seymour and Angelsen, 2009). Hal ini menunjukkan bahwa terdapay beberapa perkembangan positif dan prospektif terhadap REDD+, meskipun masa depan REDD+ sebagai mekanisme global masih tetap belum jelas (Seymour and Angelsen, 2012). Dengan demikian REDD+ masih merupakan inisiatif yang berguna untuk tetap didiskusikan (Seymour and Angelsen, 2012). Namun demikian ada beberapa elemen REDD+ yang masih perlu direalisasikan, yaitu: (1) kebutuhan untuk menyediakan pendanaan yang memadai dari negara maju, baik untuk mengkompensasikan biaya korbanan (opportunity costs) maupun untuk peningkatan kapasitas negara berkembang; (2) pentingnya peningkatan kapasitas teknis dan kelembagaan; (3) pentingnya baselines nasional; (4) perlunya menangani masalah permanence dan leakage; dan (5) peran kunci dari manfaat pendamping (co-bene� ts) seperti keragaman hayati dan hak-hak serta mata pencaharian masyarakat sekitar hutan (Blaustein et al., 2007).

Dari beberapa elemen tersebut, pentingnya peningkatan kapasitas teknis dan kelembagaan, serta perlunya menangani masalah permanence dan leakage berkaitan langsung dengan perbaikan tatakelola kehutanan. Beberapa aktivitas produktif diizinkan oleh peraturan perundang-undangan untuk mengeksploitasi hutan dan seringkali menyebabkan kerusakan hutan dan berakhir pada alih fungsi lahan hutan. Pembalakan hutan biasanya merupakan awal dari pembukaan hutan alam secara legal berdasarkan petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis dari Kementerian Kehutanan (Kartodihardjo and Supriono, 2000). Selama 4 dasawarsa terakhir, pemegang izin usaha pemanfaatan kayu dari hutan alam telah gagal mengimplementasikan pengelolaan hutan lestari (Kartodihardjo and Supriono, 2000). Dengan demikian, perbaikan tatakelola kehutanan merupakan upaya yang harus diprioritaskan untuk mengurangi kerusakan hutan yang mengarah deforestasi di kawasan hutan, terutama di kawasan hutan produksi.

Dalam mempersiapkan pelaksanaan REDD+, selain perbaikan tata kelola kehutanan, distribusi manfaat REDD+ juga merupakan salah satu elemen yang perlu diperhatikan. Salah satu mekanisme mendistribusikan manfaat REDD+ adalah melalui dana perimbangan pusat dan daerah. Alokasi dana perimbangan pusat dan daerah merupakan salah satu bentuk transfer � skal antarpemerintah (intergovernmental � scal transfers/IFTs). Kriteria sebuah IFT yang baik antara lain adalah: (1) Keobyektifan,

45ProsidingWorkshop Kerjasama Internasional

untuk menjamin e� siensi layanan publik pada tingkat lokal; (2) Kenetralan, formula distribusi transfer harus dapat mempengaruhi pemerintah daerah memodi� kasi belanja atau pajak daerahnya; (3) Otonomi, pemerintah daerah harus memiliki tingkat otonomi yang memadai; (4) Akuntabilitas, agar pemerintah daerah harus bertanggung jawab kepada pemberi transfer; dan (5) Kesederhanaan, agar mekanisme transfer tidak rumit sehingga mengurangi biaya transaksi (Bird, 2001, p.25).

Pada tingkat masyarakat lokal, sistem distribusi manfaat REDD+ dapat dirancang dengan menggunakan konsep pembayaran atas jasa lingkungan atau lebih dikenal sebagai payments for environmental/ecosystem services (PES). Bond et al. (2009) menyatakan bahwa PES memiliki peran yang penting dalam mengurangi alih fungsi dan kerusakan hutan. Dengan demikian, PES juga berpotensi untuk dapat menyukseskan pelaksanaan REDD+ di tingkat nasional, sub-nasional, maupun masyarakat. Hasil penelitian di Vietnam menunjukkan bahwa PES dapat dikombinasikan dengan program konservasi terpadu dimana pendapatan dari kehutanan dan agroforestri untuk menunjang ketahanan pangan/ekonomi dalam jangka pendek dan manfaat kelestarian lingkungan dalam jangka panjang (Hoang et al., 2012).

PES dapat dide� niskan sebagai sebuah sistem yang transparan untuk penyediaan jasa lingkungan melalui pembayaran bersyarat pada penyedia jasa secara sukarela (Tacconi, 2012). Dengan demikian sebuah sistem imbal jasa lingkungan dapat disebut sebagai sebuah PES jika memenuhi syarat: (1) transparansi; (2) tambahan manfaat (additionality); (3) bersyarat (conditionality); dan (4) kesukarelaan. Agar dapat terjadi transaksi antara penyedia jasa dan penerima manfaat, nilai pembayaran dalam kerangka PES harus melebihi tambahan manfaat yang biasa diterima oleh para penyedia jasa jika memanfaatkan lahan untuk kepentingan lain (atau para penyedia jasa tidak akan bersedia untuk mengubah perilaku mereka) dan juga harus lebih rendah daripada nilai manfaat yang diterima oleh para pembeli jasa tersebut (atau mereka akan enggan untuk membayar jasa lingkungan tersebut) (Pagiola and Platais, 2002, p.22).

Pendekatan PES untuk REDD+ mensyaratkan adanya sistem dan kerangka tata kelola yang efektif dan adil yang antara lain dicerminkan oleh kokohnya sistem hak atas lahan dan berfungsinya sistem pemantauan (monitoring) karbon hutan sebagai dasar pelaksanaan pembayaran (Bond et al., 2009). Dengan demikian, sistem tenurial dan tata kelola hutan di tingkat masyarakat merupakan salah satu syarat utama dalam perancangan PES untuk REDD+ yang melibatkan masyarakat sekitar hutan.

Agrawal dan Angelsen (2009) merekomendasikan bahwa pengelolaan hutan oleh masyarakat (community forest management) merupakan kendaraan yang baik untuk melaksanakan program-program REDD+ di tingkat masyarakat.

Perbaikan Tata Kelola, Kebijakan dan Kelembagaan Kehutanan untuk Mengurangi Emisi dari Deforestasi dan Kerusakan Hutan (REDD+): Belajar dari proyek kerjasama ACIAR-Kementerian Kehutanan FST/2007/052

46

Lebih jauh Agrawal dan Angelsen (2009) menyarankan bahwa pelaksanaan REDD+

harus memerhatikan beberapa faktor yang memengaruhi tingkat keberhasilan

pelaksanaan REDD+, yaitu: (1) luas dan tata batas hutan; (2) aliran manfaat yang

mudah diprediksi; (3) kelembagaan hak atas lahan hutan; dan (4) tingkat otonomi

lokal. Berkaitan dengan hal ini, Ostrom (1990) menyatakan bahwa kelembagaan

lokal memegang peranan sangat penting dalam membangun pengelolaan hutan

berbasis masyarakat (PHBM). Akan tetapi, jika kelembagaan lokal belum secara

formal diakui, maka perlu dilakukan pembenahan kebijakan kehutanan nasional untuk

mengintegrasikan REDD+ dan PHBM (Agrawal, 2007).

3. Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan untuk penelitian permasalahan dan para

pihak yang terlibat sepanjang rantai pasokan kayu hutan adalah analisis kebijakan

dengan tahapan: (1) Evaluasi kebijakan terkait dengan LULUCF; dan (2) Formulasi

kebijakan untuk mendukung pengelolaan hutan lestari (Nurrochmat et al., 2011).

Pengambilan data dilakukan dengan teknik wawancara mendalam dalam kerangka

snowball sampling (Nurrochmat et al., 2011).

Penelitian mengenai desain mekanisme distribusi manfaat REDD+ melalui

kebijakan desentralisasi � skal dilaksanakan dengan metode campuran antara kualitatif

dan kuantitatif. Metode kuantitatif yang digunakan adalah analisis biaya dan manfaat

konservasi sumberdaya hutan bagi pemerintah daerah. Biaya yang dihitung adalah

biaya korbanan atas penggunaan lahan untuk kegiatan ekonomi selain konservasi

hutan (Irawan et al., 2011). Analisis kualitatif digunakan untuk mengetahui hubungan

sebab-akibat dalam pengurangan deforestasi di daerah (Irawan et al., 2011).

Untuk penelitian desain sistem distribusi manfaat REDD+ di tingkat

masyarakat, metode penelitian yang dipakai adalah metode penelitian kualitatif sengan

menggunakan analisis para pemangku (stakeholder analysis), analisis klaim tenurial

(tenure claim analysis), serta analisis politik ekonomi REDD+ (Muttaqin, 2012).

Pengambilan data dilakukan dengan cara wawancara, focus groups dan lokakarya

(Muttaqin, 2012).

47ProsidingWorkshop Kerjasama Internasional

Lebih jauh Agrawal dan Angelsen (2009) menyarankan bahwa pelaksanaan REDD+

harus memerhatikan beberapa faktor yang memengaruhi tingkat keberhasilan

pelaksanaan REDD+, yaitu: (1) luas dan tata batas hutan; (2) aliran manfaat yang

mudah diprediksi; (3) kelembagaan hak atas lahan hutan; dan (4) tingkat otonomi

lokal. Berkaitan dengan hal ini, Ostrom (1990) menyatakan bahwa kelembagaan

lokal memegang peranan sangat penting dalam membangun pengelolaan hutan

berbasis masyarakat (PHBM). Akan tetapi, jika kelembagaan lokal belum secara

formal diakui, maka perlu dilakukan pembenahan kebijakan kehutanan nasional untuk

mengintegrasikan REDD+ dan PHBM (Agrawal, 2007).

3. Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan untuk penelitian permasalahan dan para

pihak yang terlibat sepanjang rantai pasokan kayu hutan adalah analisis kebijakan

dengan tahapan: (1) Evaluasi kebijakan terkait dengan LULUCF; dan (2) Formulasi

kebijakan untuk mendukung pengelolaan hutan lestari (Nurrochmat et al., 2011).

Pengambilan data dilakukan dengan teknik wawancara mendalam dalam kerangka

snowball sampling (Nurrochmat et al., 2011).

Penelitian mengenai desain mekanisme distribusi manfaat REDD+ melalui

kebijakan desentralisasi � skal dilaksanakan dengan metode campuran antara kualitatif

dan kuantitatif. Metode kuantitatif yang digunakan adalah analisis biaya dan manfaat

konservasi sumberdaya hutan bagi pemerintah daerah. Biaya yang dihitung adalah

biaya korbanan atas penggunaan lahan untuk kegiatan ekonomi selain konservasi

hutan (Irawan et al., 2011). Analisis kualitatif digunakan untuk mengetahui hubungan

sebab-akibat dalam pengurangan deforestasi di daerah (Irawan et al., 2011).

Untuk penelitian desain sistem distribusi manfaat REDD+ di tingkat

masyarakat, metode penelitian yang dipakai adalah metode penelitian kualitatif sengan

menggunakan analisis para pemangku (stakeholder analysis), analisis klaim tenurial

(tenure claim analysis), serta analisis politik ekonomi REDD+ (Muttaqin, 2012).

Pengambilan data dilakukan dengan cara wawancara, focus groups dan lokakarya

(Muttaqin, 2012).

47ProsidingWorkshop Kerjasama Internasional

4. Ringkasan Hasil Penelitian

Hasil penelitian rantai pasokan kayu menunjukkan bahwa terdapat tiga permasalahan utama yang harus diperhatikan untuk memperbaiki tata kelola kehutanan di Indonesia, yaitu: (1) permasalahan sistem legalitas sehubungan dengan ketidakkonsistenan peraturan, ketidaklengkapan peraturan, dan legitimasi peraturan yang rendah; (2) permasalahan pengorganisasian pengelolaan hutan; dan (3) permasalahan berkaitan dengan kebijakan � skal (Nurrochmat et al., 2011). Permasalahan ketidakkonsistenan peraturan perundang-undangan dapat dilihat dari pnde� nisian hutan yang berbeda-beda antara UU Kehutanan, UU Tata Ruang dan UU Otonomi Daerah (Nurrochmat et al., 2011). Ketidaklengakapan peraturan dapat dilihat dari belum adanya peraturan mengenai karbon hutan, sedangkan rendahnya legitimasi peraturan dapat dilihat dari peraturan mengenai SKSKB dan SKAU (Nurrochmat et al., 2011).

Hasil penelitian distribusi manfaat REDD+ di tingkat pemerintahan menunjukkan bahwa dana perimbangan pusat dan daerah perlu ditujukan untuk mengkompensai pengelolaan dan biaya korbanan kegiatan konservasi; khusus untuk kompensasi biaya korbanan, dan perimbangan perlu didesain lebih � eksibel sesuai kebutuhan daerah (Irawan et al., 2011). Meskipun menyarankan penggunaan transfer anggaran dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah, Irawan et al. (2011) menyaratkan adanya penganggaran berdasarkan kinerja pemerintah daerah dalam konservasi sumberdaya hutan, termasuk di dalamnya adalah pengurangan emisi karbon.

Hasil penelitian desain sistem distribusi manfaat REDD+ di tingkat masyarakat menunjukkan bahwa desain PES untuk REDD+ di tingkat masyarakat dapat dilakukan melalui dua tahapan dimana tahap pertama adalah perbaikan sistem tenurial, dan tahapan kedua adalah mekanisme PES murni (Muttaqin, 2012). Pembangunan kelembagaan pengelolaan hutan berbagis masyarakat (PHBM) itu nantinya dapat diklaim sebagai bagian dari biaya pelaksaan REDD+ sehingga layak untuk mendapatkan kompensasi dari dana REDD+ (Muttaqin, 2012).

Perbaikan Tata Kelola, Kebijakan dan Kelembagaan Kehutanan untuk Mengurangi Emisi dari Deforestasi dan Kerusakan Hutan (REDD+): Belajar dari proyek kerjasama ACIAR-Kementerian Kehutanan FST/2007/052

48

5. Pelajaran yang Dapat Diambil

Meskipun tingkat persiapan pelaksanaan REDD+ di Indonesia termasuk yang paling maju di dunia, masih banyak persoalah kelembagaan yang perlu dibenahi oleh berbagai pihak agar skema REDD+ dapat dijalankan dengan prinsip-prinsip e� siensi, efekti� tas, berkeadilan, dan berkelanjutan. Perbaikan system peraturan perundang-undangan merupakan salah satu basis dalam membangun kelembagaan REDD+ di Indonesia. Jika peraturan perundang-undangan sudah mampu mendukung kelembagaan REDD+, maka sistem distribusi manfaat REDD+ dapat dikembangkan sesuai dengan kondisi yang ada di lapangan. Secara implicit, hasil penelitian menunjukkan bahwa peran Kementerian Kehutanan dan Kementrerian Keuangan dalam membangun sistem distribusi insentif REDD+ sangat besar sehingga perlu didorong untuk segera menyelesaikan hambatan struktural dalam perumusan kebijakan dan penyusuan peraturan perundang-undangan.

49ProsidingWorkshop Kerjasama Internasional

5. Pelajaran yang Dapat Diambil

Meskipun tingkat persiapan pelaksanaan REDD+ di Indonesia termasuk yang paling maju di dunia, masih banyak persoalah kelembagaan yang perlu dibenahi oleh berbagai pihak agar skema REDD+ dapat dijalankan dengan prinsip-prinsip e� siensi, efekti� tas, berkeadilan, dan berkelanjutan. Perbaikan system peraturan perundang-undangan merupakan salah satu basis dalam membangun kelembagaan REDD+ di Indonesia. Jika peraturan perundang-undangan sudah mampu mendukung kelembagaan REDD+, maka sistem distribusi manfaat REDD+ dapat dikembangkan sesuai dengan kondisi yang ada di lapangan. Secara implicit, hasil penelitian menunjukkan bahwa peran Kementerian Kehutanan dan Kementrerian Keuangan dalam membangun sistem distribusi insentif REDD+ sangat besar sehingga perlu didorong untuk segera menyelesaikan hambatan struktural dalam perumusan kebijakan dan penyusuan peraturan perundang-undangan.

49ProsidingWorkshop Kerjasama Internasional

Daftar Pustaka

AGRAWAL, A. 2007. Forests, Governance, and Sustainability: Common property

theory and its contributions, International Journal of the Commons, 1, 111-136.

AGRAWAL, A. & ANGELSEN, A. 2009. Using Community Forest Management

to Achieve REDD+ Goals, In: ANGELSEN, A., WITH BROCKHAUS,

M., KANNINEN, M., SILLS, E, SUNDERLIN, W.D., AND WERTZ-

KANOUNNIKOFF, S. (ed.) Realising REDD+: National strategy and policy

options. Bogor: CIFOR.

ANGELSEN, A. 2008. How do we set the reference levels for REDD payments?, In:

ANGELSEN, A. (ed.) Moving Ahead with REDD: Issues, options and implications.

Bogor: CIFOR.

BIRD, R. 2001. Intergovernmental Fiscal Relations in Latin America: Policy Design

and Policy Outcomes. Washington, DC: Inter-American Development Bank.

BLAUSTEIN, R., ETTLINGER, R. B., BOUCHER, D., MACEY, K., RYAN, F.

& SCHWARTZMAN, S. 2007. Reducing Emissions from Deforestation and

Forest Degradation (REDD). Available: http://www.ucsusa.org/assets/documents/

global_warming/can_redd_discussion_paper.pdf.

BOND, I., GRIEG-GRAN, M., WERTZ-KANOUNNIKOFF, S., HAZLEWOOD,

P., WUNDER, S. & ANGELSEN, A. 2009. Incentives to Sustain Forest Ecosystem

Services: A review and lessons for REDD. London, Bogor and Washington, D.C.:

International Institute for Environment and Development, London, UK, with

CIFOR, Bogor, Indonesia, and World Resources Institute, Washington D.C.,

USA.

HOANG, M. H., DO, T. H., PHAM, M. T., NOORDWIJK, M. V. & MINANG,

P. A. 2012. Benefit Distribution Across Scales to Reduce Emissions from

Deforestation and Forest Degradation (REDD+) in Vietnam, Land Use Policy,

In Press.

IRAWAN, S., TACCONI, L. & RING, I. 2011. Designing Intergovernmental Fiscal

Transfers for Conservation: The case of REDD+ revenue distribution to local

governments in Indonesia Working Paper #3. Canberra: Asia Paci� c Network

for Environmental Governance, The Australian National University.

Daftar Pustaka50

Daftar Pustaka

AGRAWAL, A. 2007. Forests, Governance, and Sustainability: Common property

theory and its contributions, International Journal of the Commons, 1, 111-136.

AGRAWAL, A. & ANGELSEN, A. 2009. Using Community Forest Management

to Achieve REDD+ Goals, In: ANGELSEN, A., WITH BROCKHAUS,

M., KANNINEN, M., SILLS, E, SUNDERLIN, W.D., AND WERTZ-

KANOUNNIKOFF, S. (ed.) Realising REDD+: National strategy and policy

options. Bogor: CIFOR.

ANGELSEN, A. 2008. How do we set the reference levels for REDD payments?, In:

ANGELSEN, A. (ed.) Moving Ahead with REDD: Issues, options and implications.

Bogor: CIFOR.

BIRD, R. 2001. Intergovernmental Fiscal Relations in Latin America: Policy Design

and Policy Outcomes. Washington, DC: Inter-American Development Bank.

BLAUSTEIN, R., ETTLINGER, R. B., BOUCHER, D., MACEY, K., RYAN, F.

& SCHWARTZMAN, S. 2007. Reducing Emissions from Deforestation and

Forest Degradation (REDD). Available: http://www.ucsusa.org/assets/documents/

global_warming/can_redd_discussion_paper.pdf.

BOND, I., GRIEG-GRAN, M., WERTZ-KANOUNNIKOFF, S., HAZLEWOOD,

P., WUNDER, S. & ANGELSEN, A. 2009. Incentives to Sustain Forest Ecosystem

Services: A review and lessons for REDD. London, Bogor and Washington, D.C.:

International Institute for Environment and Development, London, UK, with

CIFOR, Bogor, Indonesia, and World Resources Institute, Washington D.C.,

USA.

HOANG, M. H., DO, T. H., PHAM, M. T., NOORDWIJK, M. V. & MINANG,

P. A. 2012. Benefit Distribution Across Scales to Reduce Emissions from

Deforestation and Forest Degradation (REDD+) in Vietnam, Land Use Policy,

In Press.

IRAWAN, S., TACCONI, L. & RING, I. 2011. Designing Intergovernmental Fiscal

Transfers for Conservation: The case of REDD+ revenue distribution to local

governments in Indonesia Working Paper #3. Canberra: Asia Paci� c Network

for Environmental Governance, The Australian National University.

Daftar Pustaka50

KARTODIHARDJO, H. & SUPRIONO, A. 2000. Dampak Pembangunan Sektoral

terhadap Konversi dan Degradasi Hutan Alam: Kasus Pembangunan HTI dan

Perkebunan di Indonesia. Bogor, Center for International Forestry Research

(CIFOR). Bogor: Center for International Forestry Research (CIFOR).

MUTTAQIN, M. Z. 2012. Designing Payments for Environmental Services (PES) to

Reduce Emissions from Deforestation and Forest Degradation (REDD+) in Indonesia

PhD Thesis Submitted for Examination, The Australian National University.

NURROCHMAT, D. R., KOSMARYADI, N. & HADIANTO, A. 2011. Analysis

of Problems & Stakeholders In� uencing the Timber Supply Chain in Production

Forests & Land Clearing Permits. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan

Perubahan Iklim dan Kebijakan.

OSTROM, E. 1990. Governing the Commons: The evolution of institutions for collective

action. Cambridge; New York: Cambridge University Press.

PAGIOLA, S. & PLATAIS, G. 2002. Payments for Environmental Services

Environment Strategy Notes [Online], May 2002. Available: http://www-wds.

worldbank.org/external/default/WDSContentServer/WDSP/IB/2004/08/26/0001

12742_20040826104114/Rendered/PDF/296710English0EnvStrategyNote302002.

pdf [Accessed 13/11/2008].

PARKER, C., MITCHELL, A., TRIVEDI, M. & MARDAS, N. 2008. The Little

REDD Book: A guide to governmental and non-governmental proposals for reducing

emissions from deforestation and degradation. Oxford: Global Canopy Foundation.

SEYMOUR, F. & ANGELSEN, A. 2009. Summary and Conclusions: REDD wine in

old wineskins?, In: ANGELSEN, A., WITH BROCKHAUS, M., KANNINEN,

M., SILLS, E, SUNDERLIN, W.D., AND WERTZ-KANOUNNIKOFF, S.

(ed.) Realising REDD+: National strategy and policy options. Bogor: CIFOR.

SEYMOUR, F. & ANGELSEN, A. 2012. Summary and Conclusions: REDD+

without regrets, In: ANGELSEN, A., BROCKHAUS, M., SUNDERLIN,

W. D. & VERCHOT, L. V. (eds.) Analysing REDD+: Challenges and choices.

Bogor: CIFOR.

TACCONI, L. 2012. Rede� ning Payments for Environmental Services, Ecological

Economics, 73, 29-36.

51ProsidingWorkshop Kerjasama Internasional

UN-REDD PROGRAMME. n.d. About REDD+. UN-REDD Programme. Available:

http://www.un-redd.org/AboutREDD/tabid/582/Default.aspx [Accessed 20/06/

2012].

VIANA, V. M., AQUINO, A. R., PINTO, T. M., LIMA, L. M. T., MARTINET,

A., BUSSON, F. & SAMYE, J. M. 2012. REDD+ and Community Forestry:

Lessons learned from an exchange of Brazilian experiences with Africa. Manaus,

Brazil: The World Bank/Amazonas Sustainable Foundation.

WERTZ-KANOUNNIKOF, S. & ANGELSEN, A. 2009. Global and National

REDD+ Architecture: Linking institutions and actions, In: ANGELSEN, A.,

WITH BROCKHAUS, M., KANNINEN, M., SILLS, E, SUNDERLIN,

W.D., AND WERTZ-KANOUNNIKOFF, S. (ed.) Realising REDD+: National

strategy and policy options. Bogor: CIFOR.

Daftar Pustaka52

REDD+ Readiness Preparation TF99721 ID (FCPF/World Bank) Forest

Carbon Partnership Facility

Niken Sakuntaladewi Novi Widyaningtyas

REDD+ Readiness Preparation TF99721 ID (FCPF/World Bank) Forest

Carbon Partnership Facility

Niken Sakuntaladewi Novi Widyaningtyas

1. Pendahuluan

1.1 Latar Belakang

Kawasan Hutan di Indonesia meliputi areal kurang lebih seluas 136,88 juta hektar, termasuk kawasan konservasi perairan. Sebagai negara yang terletak pada kawasan tropis dunia, hutan Indonesia terdiri dari 15 formasi hutan dimana sebagian besar didominasi oleh tipe hutan hujan tropis. Hutan tropis Indonesia dikenal sebagai tempat megadiversity baik di daratan maupun perairan (Kemenhut, 2010).

Kelestarian hutan adalah prioritas untuk Indonesia. Permasalahan deforestasi yang tidak terencana, pembalakan liar, kebakaran hutan , dan degradasi lahan gambut merupakan masalah nasional dan internasional karena menyebabkan peningkatan emisi gas rumah kaca (GHG). Masalah lingkungan ini juga menimbulkan dampak lingkungan, sosial dan ekonomi, baik lokal, regional, maupun global. Fasilitas Kemitraan Karbon Hutan (Forest Carbon Partnership Facility/FCPF) membantu negara-negara berkembang dalam upaya mitigasi emisi dari deforestasi dan degradasi huta, meningkatkan serapan karbon, konservasi, dan pengelolaan hutan lestari. Indonesia merupakan salah satu lembaga pertama yang mendapat pendanaan FCPF untuk meningkatkan kapasitas dalam menyiapkan kerangka infrastruktur untuk implementasi REDD+ (PUSPIJAK, 2011:1).

Grant Funding yang diberikan untuk FCPF Indonesia adalah sebesar US$3,6 juta. Dana tersebut diberikan untuk melaksanakan R-PP (Readiness Preparation Plan-Proposal-Persiapan Kesiapan Indonesia) dengan mekanisme pengelolaan on budget-on treasury. Sebagai koordinator dalam FCPF Indonesia adalah Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan cq Pusat Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim dan Kebijakan.

1.2 Tujuan

Tujuan kerjasama ini adalah untuk membantu pengembangan kapasitas institusi penerima dalam merancang strategi nasional REDD+ membangun skenario acuan tingkat nasional dan sub nasional, dan membangun sistem perhitungan karbon dan monitoring sesuai dengan kondisi lokal, regional dan nasional.

Dengan demikian, tujuan pengembangan akan dipantau melalui indikator berikut ini:

55ProsidingWorkshop Kerjasama Internasional

1. SESA dipersiapkan dan disetujui oleh para pemangku kepentingan nasional

termasuk lembaga-lembaga pemerintah yang kompeten;

2. Situasi dan kondisi yang berdampak pada Skenario Acuan Nasional (dasar) diukur

dan dibahas bersama para pemangku kepentingan yang relevan, dan

3. Kajian tentang penyebab deforestasi, opsi bagi hasil dan opsi intervensi yang

semakin memperkuat Strategi REDD+ nasional disusun dan disetujui oleh

Pemerintah setelah dibahas dan disahkan oleh para pemangku kepentingan.

1.3 Cakupan Kegiatan

Program FCPF mempunyai empat komponen utama:

1. Kegiatan analisis yang mencakup kaijian tentang penyebab deforestasi dan tentang

investasi serta intervensi lain yang dibutuhkan untuk mengurangi deforestasi dan

emisi gas rumah kaca;

2. Dukungan bagi proses kesiapan. Komponen ini mencakup: kajian terhadap

peraturan-peraturan baru yang relevan dengan REDD+; peningkatan kapasitas

lembaga dan pemangku kepentingann; kajian cepat terhadap opsi bagi hasil;

sub komponen besar konsultasi dan sosialisasi yang mencakup semua pelaku

termasuk Masyarakat Adat; dan penyelesaian Kajian Lingkungan Hidup dan

Sosial Strategis (SESA) serta penyusunan Kerangka Pengelolaan Lingkungan

Hidup dan Sosial (ESMF)

3. Kajian dan pengukuran dampak perubahan tata guna lahan terhadap emisi gas

rumah kaca. Komponen ini akan mengkaji dan mengukur dampak dari perubahan

tata guna lahan terhadap stok karbon, mengembangkan deret waktu perubahan

lahan dan mendukung sistem pemantauan stok karbon, mengembangkan deret

waktu perubahan lahan dan mendukung sistem pemantauan stok karbon di tingkat

lapangan. Penilaian dan pementauan Stok karbon terutama akan dibiayai oleh

FAO (UN-REDD) dan AusAid;

4. Pengumpulan data dan peningkatan Kapasitas Daerah. Komponen proyek yang

keempat ini akan memfasilitasi kegiatan REDD+ yang relevan di tingkat sub-

nasional (daerah) dengan mengumpulkan data sosial ekonomi dan sumber daya

hayati serta parameter-parameter lain yang dibutuhkan.

REDD+ Readiness Preparation TF99721 ID (FCPF/World Bank) Forest Carbon Partnership Facility 56

1.4 Hasil-Hasil Utama

1. Pemahaman dan pengetahuan tentang penyebab deforestasi dan degradasi hutan serta tentang strategi untuk mengatasi deforestasi dan degradasi hutan meningkat; hasil kajian tentang opsi-opsi investasi prioritas untuk mengurangi deforestasi dan degradasi hutan tersedia; kegiatan di Indonesia yang berhasil mengurangi emisi dan meningkatkan penyerapan karbon, serta stabilisasi stok karbon hutan dikaji; dan pemahaman tentang status, kesenjangan dan kebutuhan peningkatan kapasitas untuk melaksanakan kerangka REDD+ nasional meningkat;

2. Peraturan-peraturan yang ada tentang REDD+ dikaji; kapasitas lembaga yang berkaitan dengan REDD+ meningkat; kesadaran dan rasa memiliki terhadap proses kesiapan meningkat melalui konsultasi dan sosialisasi; kapasitas pemangku kepentingan, termasuk masyarakat adat, untuk ikut dalam proses pengembangan kebijakan diperkuat; dan Kerangka Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Sosial yang berfokus pada kegiatan Demonstrasi REDD+ yang akan datang tersedia.

3. Pemahaman tentang siklus karbon terestrialdari berbagai bentuk penggunaan lahan meningkat; hasil analisis deret waktu terhadap aspek sosial eonomi dan kebijakan utama dari perubahan tata guna lahan tersedia; dan Patok Sample Permanen (PSP) meningkatkan kepastian pada perkiraan GRK dari REDD+ di berbagai jenis hutan di kawasan-kawasan terpilih.

4. Data terbaru tentang potensi REDD+ di Propinsi terpilih dihasilkan; kapasitas untuk menyusun kerangka REDD+ dan melaksanakan program-program REDD+ di lokasi sub nasional terpilih (lokasi: Kalimantan Selatan, Papua Barat, Sulawesi Selatan, Kabupaten Musi Rawas-Sumatera Selatan, NAD).

2. Perkembangan Hingga Saat Ini (2011-2012)

Kegiatan Hasil

A. WB: Sosialisasi awal SESA Pemahaman awal SESA

B. PUSTANLING

1. Workshop on DD From Development perspective, LU & demand, demographic, development & identi� cation of activities that result in RE & increased removals & stabilization of forest C stocks

Prosiding

57ProsidingWorkshop Kerjasama Internasional

Kegiatan Hasil

2. Outrech on management of data & lessons on readiness activities/DA

Prosiding

3. Stakeholder process to review existing regulatory framework and formulate an integrated REDD regulation

Prosiding

C. PUSPIJAK

1. Launcing FCPF

2. Penyusunan TOR TOR

3. Pembuatan Flyer Draft Flyer (3 buah)

4. Penyelesaian Reksus &Peraturan Dirjen Perbendaharaan

Reksus dan Perdirjen

5. Penyusunan manual Draft manual FCPF

6. Stakeholder coordination workshop “Comprehensive Mitigation Action for REDD+”

Gambaran tentang pemahaman stakeholder tenteng REDD+ & saran terhadap program FCPF

7. Training Need Assesment workshop Modul pelatihan

8. Stakeholder Coordination workshop for sharing & learning on methods, techniques and institutional of demonstration activities (DA) to support forestry GHG emission reduction target

Progress dan pemetaan DA

9. Shared learning Through Printed Publication and website

Flyer, warta, buku laporan kegiatan

10. Workshop on MRV (Pusat dan sub nasional)

11. Establishment of PSP for ground based monitoring

12. Identify activities within the country that result in reduced emission and increased removals and stabilization of forest carbon stocks

13. Development time series analysis of the primary social economic and policy aspect of land use change

14. Development of social economic and biophysics baseline data for evaluating the readiness of REDD+ implementation

15. Training of trainer on carbon accounting and monitoring at national level

REDD+ Readiness Preparation TF99721 ID (FCPF/World Bank) Forest Carbon Partnership Facility 58

Kegiatan Hasil

D. Dewan Kehutanan Nasional (DKN)

1. Develop guidance for effective engagement of IP and local Comunitya. Pengembangan panduan konsultasi publik

untuk REDD+b. Pengembangan panduan keterlibatan

masyarakat secara efektif di tataran lapangan untuk REDD

2. Workshop to develop Guidance for effective engagement of IP and local communitiesa. Konsultasi publik untuk penyempurnaan

pedoman konsultasi publik untuk REDD+b. Konsultasi publik panduan keterlibatan

masyarakat untuk REDD+

3. Development of SESAa. Review instrumen SESA untuk REDD+b. Konsultasi publik SESA untuk REDD+c. Penyempurnaan sistem info pengaman untuk

sosial dan lingkungan untuk REDD+d. Pendokumentasian � nal-sistem informasi

SESA untuk REDD+

59ProsidingWorkshop Kerjasama Internasional

Project number: PD 73/89 (F,M,I) Phase II Feasibility Study on REDD+

in Central Kalimantan, Indonesia

Sulistyo A. Siran

Project number: PD 73/89 (F,M,I) Phase II Feasibility Study on REDD+

in Central Kalimantan, Indonesia

Sulistyo A. Siran

1. Background

As the follow up of Pre Feasibility Study on Investment Scheme For Japanese Private Sector in a REDD+ Project in Indonesia held from August 2010-March 2011, it is recommended to conduct full Feasibility Study (FS) which aims to develop a complete REDD+ MRV Methodology for the bilateral offset scheme.

The scheme will be developed in the absence of mechanism in addressing green house gas emission due to deforestation in developing countries, though negotiations on REDD+ implementation has been intensively discussed in the Conference of the UN Framework Convention on Climate Change in Durban, South Africa.

Within the Indonesian context, The Government has a commitment to reduce 26% (with the government budget), or 41% (with additional funding) from international communities) of GHG emission (business as usual) by 2020. For this commitment the Central Government has established Climate Change National Body (DNPI), Working Unit to Supervise and Control Implementation of Development (UKP4), Set up National Action Planning of GHG reduction (RAN GRK) as well as regulation for the basis of REDD+ Implementation.

Indonesia and many other developing countries experienced rapid deforestation and forest degradation, due to several factors among others are: forest � re, illegal logging, encroachment and conversion of forest land to other purposes such as agriculture and resettlement. This activities will lead to high contribution to GHG emission where the highest contributor for emmision coming from peat land.

2. Project Objectives and Implementation Strategy

1. In response to the above matter, one of the promising solution agreed upon by countries under the UN CCC is the mechanism called REDD+. This mechanism offers incentive to the country in reducing emission from deforestation and forest degradation. Though negotiation on REDD+ still continue in the next several Conference of the UN Framework Convention on Climate Change, it seems that the � nal agreement on REDD+ implementation could be far from en end.

2. Due to the likelihood of the matter could be solved immediately, one of the potential scheme could be developed is bilateral offset scheme.

63ProsidingWorkshop Kerjasama Internasional

This Feasibility Study is therefore aims to develop a complete REDD+ Methodology for the bilateral offset scheme. Through the FS, several objectives will be achieved which are: MRV applicable methodologies to measure the volume of GHG emission reduction, methodology to have social and environment safeguard, methodology design document and consideration of bilateral offset scheme through scrutinizing various possible schemes for credit transfer.

3. Activities of the FS was carried out by The Ministry of Forestry Indonesia, in cooperation with ITTO, University of Hokkaido, Starling Resources PT. Rimba Makmur Utama and Terra Global Capital Inc.,

3. Project Activities

The FS on REDD+ in Central Kalimantan consist of seven activities/sub activities. Result of each activity implementation is as follows:

3.1 Review of the current Voluntary Carbon standard (VCS) and SOP on Katingan Peat Restoration and Conservation Project

3.1.1 Specific Objective(s)

Speci� c objective of this activity is to review draft on: (1) Overview of the current Voluntary Carbon standard (VCS) and SOP on Katingan Peat Restoration and Conservation Project provided by Terra Global Capital (TGC).

3.1.2 Outputs and Detailed activities

Output of this activity is a report on: (1) Draft of SOP on Allometric Equation (2) Draft of SOP on Field Measurement (3) Draft Review of the current Voluntary Carbon Standard (VCS) provided by Terra Global Capital (TGC).

Implementation of this activity in detailed steps are as follows:

1. MOF/FORDA together with Starling Resources (SR) review: (1) Draft of SOP on Allometric Equation and (2) Draft of SOP on Field Measuremen provided by Terra Global Capital (TGC).

2. Draft reviewed then was sent back to TGC for further improvement including additional information from � eld survey (forest biomass inventory and destructive sampling).

Project number: PD 73/89 (F,M,I) Phase II Feasibility Study on REDD+ in Central Kalimantan, Indonesia 64

This Feasibility Study is therefore aims to develop a complete REDD+ Methodology for the bilateral offset scheme. Through the FS, several objectives will be achieved which are: MRV applicable methodologies to measure the volume of GHG emission reduction, methodology to have social and environment safeguard, methodology design document and consideration of bilateral offset scheme through scrutinizing various possible schemes for credit transfer.

3. Activities of the FS was carried out by The Ministry of Forestry Indonesia, in cooperation with ITTO, University of Hokkaido, Starling Resources PT. Rimba Makmur Utama and Terra Global Capital Inc.,

3. Project Activities

The FS on REDD+ in Central Kalimantan consist of seven activities/sub activities. Result of each activity implementation is as follows:

3.1 Review of the current Voluntary Carbon standard (VCS) and SOP on Katingan Peat Restoration and Conservation Project

3.1.1 Specific Objective(s)

Speci� c objective of this activity is to review draft on: (1) Overview of the current Voluntary Carbon standard (VCS) and SOP on Katingan Peat Restoration and Conservation Project provided by Terra Global Capital (TGC).

3.1.2 Outputs and Detailed activities

Output of this activity is a report on: (1) Draft of SOP on Allometric Equation (2) Draft of SOP on Field Measurement (3) Draft Review of the current Voluntary Carbon Standard (VCS) provided by Terra Global Capital (TGC).

Implementation of this activity in detailed steps are as follows:

1. MOF/FORDA together with Starling Resources (SR) review: (1) Draft of SOP on Allometric Equation and (2) Draft of SOP on Field Measuremen provided by Terra Global Capital (TGC).

2. Draft reviewed then was sent back to TGC for further improvement including additional information from � eld survey (forest biomass inventory and destructive sampling).

Project number: PD 73/89 (F,M,I) Phase II Feasibility Study on REDD+ in Central Kalimantan, Indonesia 64

3. TGC incorporated all comment both from MOF/FORDA and the University of Hokkaido to � nalize the Draft.

4. With regard to Review of the current Voluntary Carbon Standard (VCS), MOF/FORDA has yet received the draft from Terra Global Capital (TGC), therefore it could not be reviewed.

Conclusion

From the review, MOF/FORDA Team suggest to develop new local Allometric Equation rather than to verify that equation since the existing allometric equation was not developed based on peat forest parameter. Otherwise the equation is considered not valid and not credible.

3.2 Development and Testing of a Carbon MRV Methodology and Monitoring Plan

3.2.1 Specific Objective(s)

Speci� c objective of this activity is to design and test the applicability and scienti� c thoroughness of the carbon MRV methodology through the measurement and monitoring of peat, water level, and forest biomass at each permanent sampling plot.

3.2.2 Outputs and detailed activities

Output of this activity is a report on the development of carbon MRV methodology to measure the volume of GHG emission reduction and monitoring plan.

Implementation of this activity in detailed steps are as follows:The scienti� c and thoroughness of carbon MRV methodology is developed

through the measurement and monitoring of peat, water level and forest biomass at each permanent sampling plot.

3.2.2.1 Peat

1. Prepare planning to determine the point in which the sampling will be taken

2. Measure peat depth in the � eld (primary forest, burn forest, logged over forest) by taking peat soil sample directly from the auger as much as 30 cm long at the centre of auger.

65ProsidingWorkshop Kerjasama Internasional

3. Weigh the sample using digital balance and put into the labeled plastic bag. Take the next peat soil sample every 50 cm peat depth.

4. Test peat maturity to see the level of peat maturity

5. Describe peat color by using munsell soil-color chart

6. Integrate all data (including data from previous measurement) and information to determine the peat dept level.

3.2.2.2 Water level

1. Prepare planning to put Automatic Water Level Recording (AWLR) in the � eld

(burn forest or logged over forest)

2. Set up the AWLR by preparing and inserting HOBO into the iron pipe.

3. Record the coordinate of the location where AWLR was put in place.

4. Monitor water level periodically

5. Measure water level based on the data recorded in the AWLR

3.3 Forest Biomass

3.3.1 Development of allometric equation

1. Establishment of plot in the � eld, followed by measurement and calculation of

carbon stock

2. Formulation of allometric equation based on the relationship between total dry

weight of each part of trees and other parameter, such as diameter, total tree high

and wood density

3. Calculation of biomass deviation between local allometric equation (result of this

research) Chave equation and Kettering equation

3.3.2 Estimation of a below ground biomass (peat soil)

1. Measurement of peat depth by inserting the drill peat or Eidjelkamp gradually

2. Physical and chemical analysis of peat samples

3. Develop peat pro� ling in the � eld

Project number: PD 73/89 (F,M,I) Phase II Feasibility Study on REDD+ in Central Kalimantan, Indonesia 66

3.3.3 Forest Biomass estimation using remote sensing

1. Pre Processing of satellite image, trough geometric correction and image enhancement

2. Development of vegetation index

3. Regression analysis

Conclusion

1. Peat depth at each plot vary from one plot to another. The variation starts from 1.0 meter depth (mostly in the burnt forest) to over 8 meter depth (mostly in log over forest.

2. Test on automatic water level recording shows that the water table level pattern is highly varied (from 0 cm until 23 cm)so as a longer time series data is needed.

3. Total carbon stock of both above ground biomass in primary forest, logged-over forest and ex-burnt forest amounting to 3,424.36 ton/ha; 3,180.93 ton/ha, and 654.36 ton/ha respectively.

4. Based on the result of the analysis of deviation between the local equation of biomass with biomass equation of Ketterings ad Chave, it can be concluded that local allometric equation can reduce up to 35.72% over estimation of Chave’s biomass estimation and reduce up to 22.54% over estimation of Kettering’s biomass estimation. Thus, Kettering equation has the lowest deviation than the Chave’s.

Recommendation

It is suggested that in the absence of local allometric equation, Kettering equation can be used since this equation is relatively low over estimation rather than Chave’s Equaion.

4. Implementing Social Safeguard

4.1 Specific Objective(s)

Objectives of this project is to implements social safeguard through engagement of Local communities.

67ProsidingWorkshop Kerjasama Internasional

4.2 Output and detailed activities

Output of this activity is a report on the implementing social safeguard through engagement of local communities.

Implementation of this activity in detailed steps are as follows:

1. Conduct dialogue with communities from 4 villages such as: Hanau Village, Bapinang Hulu, Terentang Hilir, and Terentang.

2. Conduct a stakeholder analysis

3. Identify agent of deforestation in relation to the drivers of deforestation

4. Develop a comprehensive IEC methodology from content developmment to dissimination

5. Identify target audience and assess propper ways to implement FPIC process

6. Identify a traditional means to dissiminate information at the local level

7. Identify existing pattern of resources use and livelihood activities

8. Identify market opportunities for value added forest and non forest products

9. Analyze incentive structure and assess the feasibility of bene� ts distribution mechanism that correspond to stake holder's rights and responsibility

10. Monitor and evaluate socio-economic impacts of the project

Conclusion

From the dialogue with communities several villages, namely: Hanau Village, Bapinang Hulu, Terentang Hilir, and Terentang, data and information collected in the previous study, it is concluded that: (1). Communities more and more understand about the conservation of forest (2). Propose to be involve in the forest protection, although they expect to get material from forest to build a house (3). They expect more favorable policy on regulating non wood timber forest product, such as rattan, so that their income will not decrease. (4) Expect to get training on certain aspect such as culture of fungi to increase income.

Recommendation

In response to community’s expectation speci� cally on rattan trade regulation, it is recommended for stakeholders such as Local Government, Local Non Government Organization (NGO) and Company to provide alternative source of income due to the possibility of low rattan price so that they will not return to forest to illegally log trees.

Project number: PD 73/89 (F,M,I) Phase II Feasibility Study on REDD+ in Central Kalimantan, Indonesia 68

1. Duration: November 2011- February 2012

2. Budget: Japan Yen 1,250,000,-

5. Implementing Environmental Safeguards

5.1 Specific Objective(s)

Objectives of this project is to implement environmental safeguard through biodiversity conservation

5.2 Output and detailed activities

Output of this activity is a report on the implementing environmental safeguard through biodiversity conservation

Implementation of the activities in detailed is as follows: 1. Undertake biodiversity assessment including endangered and threatened � oral

and faunal species.2. Indentify HCV areas3. Develop biodiversity management strategies and methodologies linked to the

project's zonation plan and HCV priorities4. Assess the anticipated impacts of an ecosystem restoration plan including replanting

native species and restoring hydrological function 5. Design an integrated data base and GIG system to manage, record and analyze

the outcome of he FS6. Assess the feasibility of local capacity building to support biodiversity and he

project's objective7. Assess the existing or the need to establish new feedback mechanism to incorporate

biodiversity data and analysis into project's longterm research agenda and plans.

Based on the � eld survey, the assessment has been made for the followings: (1) delineation of High Conservation Values including peat hydrology relevant to areas to be planted with native species. (2) Assessment the impact of forest restoration activities and landscape level in Katingan district (3). Determine areas to be operated by SR/villages, without jeopardizing ability to maintain HCV across the FMU, including peat land hydrology, (4) Develop strategies of Environmental Safeguard for HCV areas in the Katingan Project area.

69ProsidingWorkshop Kerjasama Internasional

6. Methodology Design Document

6.1 Specific Objective(s)

Objectives of this activity is to review methodology design document provided

by the Starling Resources.

6.2 Output and detailed activities

Output of this activity is a review draft methodology design document.

Implementation of this activity in detailed steps are as follows:

Review draft of Methodology Design Document (MDD) has been made. MDD is

the product of Feasibility Study containing 3 parts. Part One outlines the Background,

Objectives, Study site, Study methods, and outputs. Part Two consist of three sections.

Section One discusses about Carbon MRV methodology, Section Two discusses about

Social Safeguards, while Section Three discusses about Environmental Safeguard.

Part Three contains several annexes namely: SOP for Field Measurements, SOP for

Allometric Development and Veri� cation, Local Allometric Equation, Aboveground

and Belowground Carbon Stock Estimation,

Based on the review, MOF propose to make additional recommendation on

the following aspects: (1) Full carbon stock analysis using advanced remote sensing

technology (eg. LIDAR), (2) Measurement of Emission Factors for the Katingan

Projject Area (3) Development of early warning system for peat � re.

7. Various Possible Schemes for Credit Transfer

7.1 Specific Objective(s)

Objectives of this activity is to identify possible schemes for credit Transfer ad

institutional arrangement under bilateral offset scheme.

Project number: PD 73/89 (F,M,I) Phase II Feasibility Study on REDD+ in Central Kalimantan, Indonesia 70

7.2 Output and detailed activities

Output of this activity is a report on the identi� cation of possible schemes for credit transfer and institutional arrangement under bilateral offset scheme.

Implementation of this activity in detailed steps are as follows:

1. Preparation and collection of secondary data

2. Review on current schemes for credit transfer and institutional arrangement under bilateral offset scheme.

3. Write a report on the identi� cation schemes for credit transfer and institutional arrangement under bilateral offset scheme.

Conclusion and Recommendation on the identi� cation of possible schemes for credit transfer and institutional arrangement under bilateral offset scheme are as follows:

Conclusion

1. There are many existing credit transfer scheme in many countries with various method, approach, number of parties, scheme and activities

2. In general. All credit transfer have effective and ef� cient institution arrangement. Therefore it can achieve their objective to conserve forest resources.

3. Credible credit transfer could be gained through the payment of environmental services (PES) approach, since it is believed that it will compensate the community fair enough with the bene� t from their effort.

4. Credit transfer institution should considered effective, ef� cient and equity principle, so that every stakeholders will play their role in balance manner.

Recommendation

Base on the existing credit transfer scheme in several countries and consider ef� cient and effective institutional arrangement, it is recommended to (1) set up pre condition enabling the scheme can be applicable such as rule and regulation, (2) develop the scheme which is appropriate with Indonesian condition.

71ProsidingWorkshop Kerjasama Internasional

8. Consideration of REDD+ Juridictional and Nested (sub nasional) Approach

8.1 Specific Objective(s)

Objectives of this activity is to review and comment on the draft report of the FS.

8.2 Output and detailed activities

Output of this activity is a review on the draft report which contain the assessment of the FS of implementing bilateral offset scheme beyond project level and the potential of expanding the offset mechanism to the sub national level.

Implementation of this activity in detailed steps are as follows:

II.2. Input Applied

4. Project Outcome, Target Bene� ciaries Involvement.

(i) As stated in the project document, the objective of the project is to develop a complete MRV methodology for bilateral offset scheme. In order to develop credible MRV methodology specially in the peat land, many aspects in the development of MRV should be considered in order that thoroughness and scienti� cally MRV methodology will be achieved. Since MRV methodology in peat land is still far from enough in Indonesia, it is therefore MRV methodology resulted from this Feasibility Study is incredibly important and could be a model for other peat land in Central Kalimantan with the same characteristic.

(ii) Besides the above, � eldwork and analysis of data and information from many sources to develop MRV methodology involves scientist from many institutions such as MOF/FORDA, University of Hokkaido, Starling Resources and Terra Global Capital. The Involvement of those institutions certainly demonstrate their commitment to present credible MRV methodology as one of the instrument to measure carbon emission reduction in peat land.

(iii) Completion of the project produces a set of reports that present data and information about outputs of the project consist of report from each of activity:

1. Report 1.1: Draft of SOP on Allometric Equation

2. Report 1.2: Draft of SOP on Field Measurement

Project number: PD 73/89 (F,M,I) Phase II Feasibility Study on REDD+ in Central Kalimantan, Indonesia 72

8. Consideration of REDD+ Juridictional and Nested (sub nasional) Approach

8.1 Specific Objective(s)

Objectives of this activity is to review and comment on the draft report of the FS.

8.2 Output and detailed activities

Output of this activity is a review on the draft report which contain the assessment of the FS of implementing bilateral offset scheme beyond project level and the potential of expanding the offset mechanism to the sub national level.

Implementation of this activity in detailed steps are as follows:

II.2. Input Applied

4. Project Outcome, Target Bene� ciaries Involvement.

(i) As stated in the project document, the objective of the project is to develop a complete MRV methodology for bilateral offset scheme. In order to develop credible MRV methodology specially in the peat land, many aspects in the development of MRV should be considered in order that thoroughness and scienti� cally MRV methodology will be achieved. Since MRV methodology in peat land is still far from enough in Indonesia, it is therefore MRV methodology resulted from this Feasibility Study is incredibly important and could be a model for other peat land in Central Kalimantan with the same characteristic.

(ii) Besides the above, � eldwork and analysis of data and information from many sources to develop MRV methodology involves scientist from many institutions such as MOF/FORDA, University of Hokkaido, Starling Resources and Terra Global Capital. The Involvement of those institutions certainly demonstrate their commitment to present credible MRV methodology as one of the instrument to measure carbon emission reduction in peat land.

(iii) Completion of the project produces a set of reports that present data and information about outputs of the project consist of report from each of activity:

1. Report 1.1: Draft of SOP on Allometric Equation

2. Report 1.2: Draft of SOP on Field Measurement

Project number: PD 73/89 (F,M,I) Phase II Feasibility Study on REDD+ in Central Kalimantan, Indonesia 72

3. Report 1.3: Draft Review of the current Voluntary Carbon Standard (VCS)

4. Report 1.2: Development and Testing of a carbon MRV methodology and monitoring plan

5. Report 1.3: The Implementation of Social Safeguard through Engagement of Local Communities.

6. Report 1.4: The implementation of Environmental Safeguard through Biodiversity Conservation

7. Report 1.5: Review draft Methodology Design Document

8. Report 1.6: The Identi� cation of Possible Schemes for Credit Transfer and Institutional Arrangement under Bilateral Offset Scheme.

9. Report1.7: The Assessment of the FS of Implementing Bilateral Offset Scheme Beyond Project.

Several tools and of� ce equipment have been procured through this project, namely: Automatic Water Level Recording (AWLR), Eidjelkamp (Peat Sampler), IPAD, printer, hard-disks. All these tools and equipment are intended to help increase capacity in the execution of the project.

5. Assessment and Analysis

(i) The Feasibility Study on REDD+ in Central Kalimantan is a short term project (6 month), This FS is a follow- up of Pre FS which was undertaken in the previous year. Although all activities were carried out as described in the project document, but some � ndings from previous Pre FS are used in the implementation of FS.

(ii) In general, all activities are carried out according to schedule in the work plan, and no major problem were encountered during implementation. However since the project is carried out by consortium, several activities can only be done if such activities have been completed by those member of consortium.

(iii) Time and input for the project implementation can be summarized as follows:

Time

The project was implemented within the time frame. Based on the MOU, the duration of the project was 6 month, starting from September 2011 until February 2012. in fact, the works just started in October 2011 and intensively implemented in December 2012 and should � nish at the end of February 2012. Before the project started, an administrative arrangement should be completed such as a bank account, project team, coordination, executing agency. In fact, it was required some time to be done.

73ProsidingWorkshop Kerjasama Internasional

Project inputs

From seven activities of the project, four activities are carried out by four teams, thus one team is responsible to one activity involving researcher or experts in related � eld with one member as a coordinator. From the observation , all team showing a good performance both in terms of work quality and team work building. It is therefore each team will diliver a report of their activity in due course.

In relation with equipment , there is no major problem to support � eld work because all equipment needed are available in the � eld, either provided by Starling Resources or purchased by the project. These most important equipment include Automatic Water Level Recording (AWLR) to measure water table and Eidjelkamp, for measuring peat depth.

There was no problem with � nancial resources, since they already know how to spend money for the activity according to rule and regulation provided by ITTO and Marubeni Corporation. The experience of handling activity from previous Pre Feasibility Study is also very supportive in such circumstances.

(iv). The Feasibility Study project involves seven institutions:

Centre for International Cooperation-MOF RI

Research Center for Climate Change and Policy

International Tropical Timber Organization

Marubeni Corporation

University of Hokkaido

Starling Resources

Terra Global Capital

PT. Rimba Makmur Utama

Cooperation and coordination are running smoothly both during planning until the execution of the project. Each institution perform according to its task and obligation.

6. Lessons learned

Lessons learned from the project can be outlined as follows:

Project design and identi� cation is well set up. This will lead to each party involved to play role and contribute to the success of the project.

Coordination among seven institutions during project arrangement, planning and implementation is a key success in achieving goal and objectives of the project

Monitoring and evaluation were carried out through intensive meeting, both internal meeting as well as technical meeting.

The creation of millist as a medium for group to communicate about the progress of the projects is very helpful.

Project number: PD 73/89 (F,M,I) Phase II Feasibility Study on REDD+ in Central Kalimantan, Indonesia 74

Project inputs

From seven activities of the project, four activities are carried out by four teams, thus one team is responsible to one activity involving researcher or experts in related � eld with one member as a coordinator. From the observation , all team showing a good performance both in terms of work quality and team work building. It is therefore each team will diliver a report of their activity in due course.

In relation with equipment , there is no major problem to support � eld work because all equipment needed are available in the � eld, either provided by Starling Resources or purchased by the project. These most important equipment include Automatic Water Level Recording (AWLR) to measure water table and Eidjelkamp, for measuring peat depth.

There was no problem with � nancial resources, since they already know how to spend money for the activity according to rule and regulation provided by ITTO and Marubeni Corporation. The experience of handling activity from previous Pre Feasibility Study is also very supportive in such circumstances.

(iv). The Feasibility Study project involves seven institutions:

Centre for International Cooperation-MOF RI

Research Center for Climate Change and Policy

International Tropical Timber Organization

Marubeni Corporation

University of Hokkaido

Starling Resources

Terra Global Capital

PT. Rimba Makmur Utama

Cooperation and coordination are running smoothly both during planning until the execution of the project. Each institution perform according to its task and obligation.

6. Lessons learned

Lessons learned from the project can be outlined as follows:

Project design and identi� cation is well set up. This will lead to each party involved to play role and contribute to the success of the project.

Coordination among seven institutions during project arrangement, planning and implementation is a key success in achieving goal and objectives of the project

Monitoring and evaluation were carried out through intensive meeting, both internal meeting as well as technical meeting.

The creation of millist as a medium for group to communicate about the progress of the projects is very helpful.

Project number: PD 73/89 (F,M,I) Phase II Feasibility Study on REDD+ in Central Kalimantan, Indonesia 74

7. Conclusion and Recommendation

The FS on REDD+ in Central Kalimantan, Indonesia achieved objectives and deliver outputs as planned in the project document. Although the FS was a short terms project, it could be executed smoothly in the � eld according to schedule. Good coordination and cooperation among institutions involveld was most rewarding and make it possible to pursue the target.

Since the FS has provided a good result and � nding in relation with carbon emission, it is recommended to get bilateral offset scheme become materialized in the � eld, so that both countries (Indonesia and Japan) can share offset credit as agreed upon.

75ProsidingWorkshop Kerjasama Internasional

Notulensi

Workshop Kerjasama Internasional di Puspijak 2012Ruang Meeting E , Botani Square

Bogor 5 Nopember 20121. Workshop dipimpin oleh Kepala Pusat Litbang Perubahan Iklim dan Kebijakan

(Puspijak) dan dihadiri oleh 75 (tujuh puluh lima) orang peserta. Para peserta mewakili instansi pemerintah, perguruan tinggi negeri/swasta, LSM, serta praktisi kehutanan.

2. Pusat Litbang Perubahan Iklim dan Kebijakan (Puspijak) saat ini memiliki 4 (empat ) proyek kerjasama internasional, yaitu :

a. Tropical Forest Conservation For Reducing Emission From Deforestation and Forest Degradation And Enchancing Carbon Stock In Meru Betiri National Park, Indonesia-ITTO

b. Overcoming Constrains to Community Based Comercial Forestry in Indonesia-Aciar

c. Improving Governance, Policy and Institutional Arrangements to Reduce Emissions from Deforestation and Forest Degradation (REDD)-ACIAR

d. REDD+ Readiness Preparation TF 99721 id (FCPF/World Bank)

3. Dalam sambutannya Kepala Pusat Litbang Perubahan Iklim dan Kebijakan (Puspijak) menyampaikan posisi strategis kerjasama litbang bagi suatu institusi riset, disampaikan pula bahwa melalui forum workshop ini dapat diperoleh masukan, saran dan kritik membangun untuk mempertajam program dan optimalisasi capaian serta pemanfaatan hasil litbang hasil keerjasama di Puspijak.

1. Presentasi

1.1 Presentasi 1

Pelibatan Masyarakat dalam DA-REDD (Tropical Forest Conservation for Reducing Emission from Deforestation and Forest Degradation and Enchancing Carbon Stock in Meru Betiri National Park, Indonesia)Oleh : Ir. Ari Wibowo, Msc.Moderator : Dr. Fauzi Masud

Notulensi76

1. Kegiatan DA REDD di TN Meru Betiri bertujuan untuk mengurangi emisi sebagai kegiatan mitigasi perubahan iklim dan bersifat voluntary. Indonesia mendukung sekma REDD karena sesuai dengan pengelolaan hutan lestari.

2. Banyak kegiatan yang berpotensi untuk dikembangkan menjadi proyek REDD+ Indonesia, Kemenhut dapat mengakomodir dengan memantau kegiatan REDD dan mendorong perannya dalam kegiatan penurunan emisi.

3. REDD+ di Merubetiri karena TN Meru Betiri merupakan kawasan konservasi yang memperoleh ancaman (threats).

4. Pro� l Kegiatan DA REDD di TN Meru Betiri :

a. Pelaksana : Balitbanghut

b. Proponen : Puspijak, TNMB, Latin

c. Periode kegiatan : 2010-2013 (4 tahun)

d. Luas : 58 ha

e. Lokasi kegiatan : di selatan TN Merubetiri

5. Tujuan kegiatan berkaitan dengan masyarakat dan penurunan emisi yang credible, luaran yang diharapkan berupa networking (terjadi kolabarisasi antara Pemda, NGO, Perguruan Tinggi, Pemerintah/swasta) serta diseminasi dan publikasi, kegiatan pelatihan masyarakat (MRV, inventarisasi berbasis sumberdaya), 40 permanen plot untuk mengetahui stok carbon dan perkembangan deforestasi.

6. Dampak kegiatan yang diharapkan dari DA Meru Betiri ini adalah hadirnya kegiatan percontohan sebagai pembelajaran dalam mendukukung kegiatan pengelolaan hutan lestari.

7. Merupakan DA yang mewakili konservasi serta merupakan proses belajar terutama yang terkait dengan masyarakat, salah satu bentuk konkrit kegiatan tersebut adalah adanya perjanjian antara masyarakat dengan pihak TN terkait zona pemanfaatan dan zona rehabilitasi yang dilakukan dengan menanaman jenis tanaman yang mengandung carbon tinggi.

8. Tantangan yang dihadapi adalah masalah keberlanjutan pendanaan pasca kegiatan DA. Mekanisme REDD masih dalam tahap perkembangan, salah satu peluang perolehan pendanaan pasca kegiatan DA adalah masuk ke skema voluntary market. Walaupan pasarnya kecil, namun voluntary market membuka peluang untuk pasar yang lain

9. Tantangan lain dari kegiatan ini adalah upaya Scaling up agar dapat dilakukan di tempat lainnya.

77ProsidingWorkshop Kerjasama Internasional

1.2 Presentasi 2

Hutan Rakyat di Pati (Overcoming Constrains to Community Based Comercial Forestry in Indonesia-ACIAR) Oleh : Dra. setiasih Irawanti, Msi.Moderator : Dr. Fauzi Masud

1. Pro� l Kegiatan

a. Judul kegiatan : FST /2008/030

b. Periode pelaksanaan dari April 2011 – september 2015 (4,5 tahun)

c. Lokasi kegiatan dan jenis tanaman : Kabupaten Pati (sengon), Kabupaten Gunung Kidul (jati), Kabupaten Bulukumba Sulsel dan Sulawesi Tenggara (biti dan jati), Sumbawa(jati)

d. Tujuan kegiatan adalah untuk untuk mengurangi deforestasi dan membangun hutan tanaman

e. Lokasi penelitian kegiatan ini berlokasi di lereng Gunung Muria

2. Kegiatan ini memiliki empat tugas riset (reseach task), yaitu :

a. analisis dimensi sosial

b. kerangka kerja mata pencaharian

c. analisis rantai nilai

d. pendekatan pembelajaran petani

3. Tujuan penelitian yaitu melakukan dimensi analisis sosial, evaluasi rantai nilai, meningkatkan kapasitas petani, mempengaruhi pemangku kepentingan.

4. Kegiatan memiliki 4 (empat) Communication tasks yaitu pembuatan brief info, website, partner lokal/setempat. Di pati kegiatan bermitra dengan LSM Trees for Trees. Hasil penelitian akan disampaikan dalam international conference.

5. Kabupapaten Pati merupakan lokasi kegiatan hutan rakyat. Hasil dari budi daya kayu di hutan rakyat dipasrkan ke Kabupaten Semarang, Salatiga, dan Temanggung. Petani di kabupaten Pati berfokus pada kayu sengon karena memiliki nilai komersial, juga dibudidayakan mahoni dan jati.

6. Hasil research analisis dimensi sosial sementara adalah identi� kasi lahan hutan rakyat yaitu tegalan dan lahan milik rakyat, batas � sik kepemilikan lahan berupa tanaman hidup, pemanfaatan lahan dengan tumpangsari, hasil lahan yaitu kayu dan HHBK, serta ternak. Dapat diperoleh kesimpulan sementara bahwa hutan rakyat merupakan pendapatan utama petani setempat.

Notulensi78

7. Rekomendasi dari kegiatan ini adalah pembangunan HR, HTR, HKm dengan menggunkan teknik agroforestry

1.3 Presentasi 3

Governance dan Skema Pendanaaan REDD+ (Improving Governance, Policy and Institutional Arrangements to Reduce Emissions From Deforestation and Forest Degradation (REDD)-ACIAR)Oleh : Zahrul Mutaqin, S.Hut., MSc.Moderator : Dr. Fauzi Masud

1. Pro� l kegiatan

a. Latar belakang proyek: mengurangi emisi dari deforestasi dan kerusakan hutan dalam rangka merespon perubahan iklim

b. Tujuan proyek: mendukung pengembangan kebijakan dan kelembagan REDD+ di tingkat propinsi dan kabupaten

c. Jenis aktivitas: studi literatur, lokakarya, FGD, penelitian lapangan, peningkatan kapasitas peneliti dan pihak terkait dan diseminasi hasil penelitian

d. Lokasi penelitian: Prop. Riau (Kab. Siak dan Rokan Hilir) dan Provinsi Papua (Kab. Sarmi dan Merauke).

2. Identi� kasi penyebab deforestasi menunjukan adanya penurunan luas dan tutupan hutan terutama di Siak dan Rokan Hilir, di Papua perlu dikontekstualisasikan dengan prioritas nasional, agenda pembangunan perbatasan dan otonomi khusus.

3. Tata kelola hutan masih belum baik ditandai dengan adanya inkonsistensi peraturan, ketidaklengkapan peraturan, dan legitimasi peraturan yang rendah. Perbaikannya dilakukan dengan dengan memperbaiki rantai pasokan kayu memperbaiki pengelolaan hutan melalui KPH dan menyusun kebijakan � skal yang lebih baik.

1.4 Presentasi 4

REDD+ Readiness Preparation TFf 99721 id (FCPF / World Bank)oleh : Dr. Niken Sakuntaladewi, MSC (Puspijak) dan Novi Widyaningtyas, SHut,. MSc. (Pustanling)Moderator : DR. Tigor Butarbutar, MSc.

1. Pro� l Kegiatan :

79ProsidingWorkshop Kerjasama Internasional

a. Tujuan kegiatan adalah mendukung kapasitas Indonesia dalam mempersiapkan

implementasi REDD+

b. MoU ditandatangani pada 14 Juni 2011

c. Waktu pelaksanaan 3,5 tahun ( Juni 2011 – Desember 2014)

d. Grant funding US$ 3,6 juta

e. Mekanisme pengelolaan on budget – on treasury

f. Koordinator FORDA cq. Puspijak dan berkoordinasi dengan Pustanling,

DKN dan World Bank

2. Realisasi kegiatan World Bank menyelenggarakan sosialisai awal SESA.

3. Kontribusi FCPF-yang dikelola pustanling adalah :

a. Peningkatan pengetahuan dan kapasitas stakeholder di daerah;

b. Mendorong dan membantu daerah dalam pembentukan kelembagaan REDD+;

c. Mendukung sub-nasional dalam menyusun strategi daerah REDD+ dan

RAD-GRK;

d. Memberikan landasan awal kepada pembentukan Pokja REDD+;

e. Memfasilitasi stakeholders di daerah

f. Workshop penyebab deforestasi dan degradasi hutan dan identi� kasi kegiatan

yang dapat menghasilkan penurunan emisi dan meningkatkan serapan serta

stabilisasi stok karbon hutan di Balikpapan dan Riau,

g. Pertemuan sosialisasi (outreach) di Jember dan Padang

h. Pertemuan stakeholder dalam rangka kajian kebijakan dan formulasi regulasi

REDD+ yang terintegrasi terkait isu penyebab deforestasi di Jakarta

4. Puspijak menyelenggarakan Launching FCPF, penyusunan TOR, pembuatan

� yer dll.

5. DKN menyelenggarakan sosialisasi awal SESA.

1.5 Presentasi 5

Feasibility Study on REDD+ in Central Kalimantan-ITTO/MarubeniOleh : Ir. Sulistyo A. Siran, MAgr.

moderator : Ir. Tigor Butarbutar, MSc.

1. Waktu pelaksanaan kegiatan yaitu Sept 2011 – Februari 2012

Notulensi80

2. Pelaksana kegiatan terdiri dari Puspijak, Setjen, Ditjen Palnologi serta Ditjen Bina Usaha Kehutanan

3. Mitra terdiri dari METI, ITTO, Marubeni, Hokaido University, dll.

4. Tujuan kegiatan membangun REDD+ dan metodologi MRV untuk Bilateral Offset Carbon antara Jepang dan Indonesia

5. Output yang diharapkan adalah membuat SOP pengukuran lapangan; menyusun metodologi MRV: kajian implementasi perlindungan sosial dan lingkungan; membuat MDD; dan skema transfer kredit

6. Lokasi proyek di Katingan-Kalimantan Tengah

2. Diskusi

2.1 Pertanyaan

1. Sentot (BP DAS-PS)

Bagaimana mengelola hutan dalam rangka mengelola emisi?

2. Ombo (UNB)

a. komentar untuk bu Asih :

i. manfaat hutan rakyat selain kayu juga HHBK

ii. penelitian hutan rakyat sebaiknya juga dilaksanakan di luar Jawa seperti Sulawesi karena hutan rakyat di Jawa sudah cukup bagus.

b. komentar untuk pak Ari : bagaimana skema REDD dalam kegiatan di Meru Betiri

c. komentar untuk pak Zahrul : pembangunan di Riau karena deforestasi dan degradation.

d. saran untuk pak Zahrul : melanjutkan penelitian di Riau.

e. apakah informasi mengenai REDD ini sampai pada pemda setempat karena dorongan pemda setempat sangat penting.

3. Asep (Ditjen PHKA)

a. bagaimana apresiasi mekanisme DA REDD terhadap pihak-pihak TN? karena kelihatannya mekanisme belum ada.

81ProsidingWorkshop Kerjasama Internasional

b. apakah sudah ada prosedur atau cara untuk memastikan komitmen pemerintah kuat terhadap pelaksanaan REDD+?

4. Mulyaningrum (IPB)

Di Papua berkaitan dengan kepastian lahan, bukti kepemilikan yang sah seperti apa karena di Papua cukup sulit. mohon penjelasannya?.

5. Diah (BDK Rumpin Bogor)

komentar : keprihatinan ada pergeseran kesadaran akan menjaga kerusakan hutan yang pada awalnya mereka sadar, sekarang setelah banyak program masyarakat malah mengharapkan bayaran.

6. Iwan (Fahutan IPB)

a. Apa yang bisa diklim dalam draft implementasi untuk deforestasi karbon.

b. Apakah boleh diklaim penanaman pohon jenis eksotik? pada tahap implementasi karbon TN Meru Betiri betiri kelihatannya tidak banyak menghasilkan.

7. Rahman Effendi (Puspijak)

a. Tertarik dalam pelibatan masyarakat dalam DA REDD dalam arah yang terukur. Agar lebih terukur indicator-indikator apa saja yang perlu dikembangkan apa saja dalam pelibatan masyarakat?

b. HBK lebih besar daripada kayu sendiri. tetapi HBK bukan komoditi kehutanan. bagaimana meningkatkan produktivitas komoditi kehutanan. Apabila diterapkan, apa saja yang perlu disiapkan untuk masyarakat?

c. Penaksiran volume kayu sering menjadi masalah, selain itu sebetulnya bagaimana sosialisasi agar petani dapat mengukur. yang menjadi masalah adalah karena petani tidak mengetahui TUK (Tata Usaha Kayu).

d. Komentar : implementasi REDD sangat sulit, karena proyek ini sekarang masih ada yang mendanai, tetapi kedepannya bagaimana upaya untuk memperoleh serti� kasi REDD.

e. Berkaitan dengan TUK, keterangan dari pemda seharusnya dari bupati bukan lurah. untuk memperoleh rekomendasi sangat sulit. Pemda punya peran yang sangat penting daripada Litbang, karena pemda yang melaksanakan dan mengetahui implikasi TUK di daerah.

8. Yayasan Kehati

a. Berkenaan dengan deforestasi yang rendah, mengapa kegiatannya diarahkan pada deforestasi saja bukan konservasi?. mengapa tidak digunakan modelling approach?

Notulensi82

b. apakah sudah ada prosedur atau cara untuk memastikan komitmen pemerintah kuat terhadap pelaksanaan REDD+?

4. Mulyaningrum (IPB)

Di Papua berkaitan dengan kepastian lahan, bukti kepemilikan yang sah seperti apa karena di Papua cukup sulit. mohon penjelasannya?.

5. Diah (BDK Rumpin Bogor)

komentar : keprihatinan ada pergeseran kesadaran akan menjaga kerusakan hutan yang pada awalnya mereka sadar, sekarang setelah banyak program masyarakat malah mengharapkan bayaran.

6. Iwan (Fahutan IPB)

a. Apa yang bisa diklim dalam draft implementasi untuk deforestasi karbon.

b. Apakah boleh diklaim penanaman pohon jenis eksotik? pada tahap implementasi karbon TN Meru Betiri betiri kelihatannya tidak banyak menghasilkan.

7. Rahman Effendi (Puspijak)

a. Tertarik dalam pelibatan masyarakat dalam DA REDD dalam arah yang terukur. Agar lebih terukur indicator-indikator apa saja yang perlu dikembangkan apa saja dalam pelibatan masyarakat?

b. HBK lebih besar daripada kayu sendiri. tetapi HBK bukan komoditi kehutanan. bagaimana meningkatkan produktivitas komoditi kehutanan. Apabila diterapkan, apa saja yang perlu disiapkan untuk masyarakat?

c. Penaksiran volume kayu sering menjadi masalah, selain itu sebetulnya bagaimana sosialisasi agar petani dapat mengukur. yang menjadi masalah adalah karena petani tidak mengetahui TUK (Tata Usaha Kayu).

d. Komentar : implementasi REDD sangat sulit, karena proyek ini sekarang masih ada yang mendanai, tetapi kedepannya bagaimana upaya untuk memperoleh serti� kasi REDD.

e. Berkaitan dengan TUK, keterangan dari pemda seharusnya dari bupati bukan lurah. untuk memperoleh rekomendasi sangat sulit. Pemda punya peran yang sangat penting daripada Litbang, karena pemda yang melaksanakan dan mengetahui implikasi TUK di daerah.

8. Yayasan Kehati

a. Berkenaan dengan deforestasi yang rendah, mengapa kegiatannya diarahkan pada deforestasi saja bukan konservasi?. mengapa tidak digunakan modelling approach?

Notulensi82

b. Dalam konteks REDD+, yang harus dilihat biodiversity atau jasa lingkungan?

yang dihargai adalah upaya-upaya untuk konservasi.

c. Bagaimana proses FCPF, dan bagaimana safeguardnya?

d. Bagaimana kepastian tenurial di Papua, bagaimana terjadinya tumpang tindih

kebijakan di daerah?

9. Mahfud (UN REDD)

a. Dilihat dari beberapa kegiatan FCPF, bila ada kegiatan di level nasional terkait

dengan REDD+ lebih baik disenergikan.

b. Berkaitan dengan university forum untuk universitas-universitas bagian

timur,akan lebih bagus tempatnya di Ambon karena banyak sekali manfaat

karena disana banyak penelitian tentang REDD.

10. Bu Novi (Pustekolah)

a. Bagaimana mekanisme FCPF untuk mengevaluasi apa yang dilakukan oleh

FCPF telah berhasil?

b. Apakah didalam proyek marubeni diidenti� kasi pengolahan HHBK di Kalteng?

11. Asep (Dit. Pengelolaan Jasa Lingkungan)

a. Stakeholder mana saja yang paling lemah dalam memahami REDD+?,

terkait dengan peran pemda setempat berkenaan dengan rencana pelaksanaan

REDD+?

b. Ketidaksiapan yang abagimana sehingga kita perlu memperpanjang waktu

untuk persiapan itu, faktor dan kendala utamanya apa? perpanjangan

membutuhkan waktu berapa lama?

c. Ingin penjelasan lebih lanjut tentang MRV metodologi, komponennya apa saja?

d. Apakah tidak ada metodologi lain dengan tidak harus melakukan penebangan?

12. Pak Ombo

Ada kecenderungan karena adanya proyek REDD, beberapa negara ingin tenaga

ahlinya masuk ke Indonesia. bidang apa di Indonesia yang kita perlukan tenaga

ahli asing? apakah memang kita perlu tenaga ahli asing?

83ProsidingWorkshop Kerjasama Internasional

13. Bu Juniarti (CIFOR)

a. Bagaimana mengevaluasi kegiatan-kegiatan yang telah dilakukan FCPF?

b. PES akan menjadi favorit dalam bene� t sharing proyek REDD yang ada di indonesia. akan tetapi sudah banyak publikasi tentang PES, apakah ada yang dapat membedakan kegiatan PES di negara lain yang sudah dievaluasi?

2.2 Jawaban

1. Ir. Ari Wibowo, Msi.

a. REDD+ ada unsur plusnya sebagai bagian dari REDD, yang awalnya hanya mencakup degradasi dan deforestasi. Mekanisme REDD+ masih tahap negoisasi

b. Peran balai TN sangat vital terutama di dalam pengamanan kawasan. Untuk kegiatan DA REDD tuan rumah tetap TN. Pemerintah harus memberikan alokasi untuk segala resources. Masyarakat dan LSM dapat bersatu padu untuk menjaga stok karbon di kawasan konservasi. Masyarakat merasa semangat karena mereka ikut dalam kegiatan menyelamatkan dunia.

c. Terkait TN Meru Batieri yang menjadi lokasi penelitian, masyarakat sejak awal sudah dilibatkan. Ada interksi antara masyarakat dengan TN. Hubungan antara kawasan konservasi dengan masyarakat belum diatur. antara dua pihak ada “win-win solution”, pelibatan masyarakat sejak awal sudah berjalan.

d. Memang ada local wisdom, masyarakat sudah punya kebiasan-kebiasaan baik akan tetapi karena kebutuhan masyarakat meningkat, maka kedua belah pihak perlu dicarikan jalan keluar yang menguntungkan kedua belah pihak.

e. Historical emission pun rendah sehingga aditionalitynya rendah. Perjuanagan di tingkat internasional harus memasukan unsur konservasi, sambil menunggu hasil negosiasi di tingkat internasional berbagai celah perlu diupayakan, dalam hal memanfaatkan zona rehabilitasi memang menimbulkan potensi ancaman terhadap TN.

f. bagaimana peningkatan pemahaman, kesadaran dan pendapatan masyarakat sedang dilakukan sedang disusun oleh Latin.

g. ancaman/tantangan bukan historical deforestasi rendah. tetapi redd+ adalah mekanisme insentif yangmana ada persyaratan yang harus dipenuhi. tantangan dari kita sendiri sebagai negara yang mempunyai kawasan konservasi yang cukup luas.

Notulensi84

13. Bu Juniarti (CIFOR)

a. Bagaimana mengevaluasi kegiatan-kegiatan yang telah dilakukan FCPF?

b. PES akan menjadi favorit dalam bene� t sharing proyek REDD yang ada di indonesia. akan tetapi sudah banyak publikasi tentang PES, apakah ada yang dapat membedakan kegiatan PES di negara lain yang sudah dievaluasi?

2.2 Jawaban

1. Ir. Ari Wibowo, Msi.

a. REDD+ ada unsur plusnya sebagai bagian dari REDD, yang awalnya hanya mencakup degradasi dan deforestasi. Mekanisme REDD+ masih tahap negoisasi

b. Peran balai TN sangat vital terutama di dalam pengamanan kawasan. Untuk kegiatan DA REDD tuan rumah tetap TN. Pemerintah harus memberikan alokasi untuk segala resources. Masyarakat dan LSM dapat bersatu padu untuk menjaga stok karbon di kawasan konservasi. Masyarakat merasa semangat karena mereka ikut dalam kegiatan menyelamatkan dunia.

c. Terkait TN Meru Batieri yang menjadi lokasi penelitian, masyarakat sejak awal sudah dilibatkan. Ada interksi antara masyarakat dengan TN. Hubungan antara kawasan konservasi dengan masyarakat belum diatur. antara dua pihak ada “win-win solution”, pelibatan masyarakat sejak awal sudah berjalan.

d. Memang ada local wisdom, masyarakat sudah punya kebiasan-kebiasaan baik akan tetapi karena kebutuhan masyarakat meningkat, maka kedua belah pihak perlu dicarikan jalan keluar yang menguntungkan kedua belah pihak.

e. Historical emission pun rendah sehingga aditionalitynya rendah. Perjuanagan di tingkat internasional harus memasukan unsur konservasi, sambil menunggu hasil negosiasi di tingkat internasional berbagai celah perlu diupayakan, dalam hal memanfaatkan zona rehabilitasi memang menimbulkan potensi ancaman terhadap TN.

f. bagaimana peningkatan pemahaman, kesadaran dan pendapatan masyarakat sedang dilakukan sedang disusun oleh Latin.

g. ancaman/tantangan bukan historical deforestasi rendah. tetapi redd+ adalah mekanisme insentif yangmana ada persyaratan yang harus dipenuhi. tantangan dari kita sendiri sebagai negara yang mempunyai kawasan konservasi yang cukup luas.

Notulensi84

h. kembali ke demonstration activity, untuk memenuhi kaidah2 dalam kegiatan redd harus mengetahui potensi lima karbon yang ada disana. ad tipe hutan lain selain hutan primer maka akan mempengaruhi stok karbon kedepan. mrv harus mengetahui stok karbon kedepan.

2. Dra. Setiasih Irawanti, Msi.

a. Hutan rakyat dapat berperan sebagai lumbung bagi petani, tidak hanya kayu tetapi HBK juga hasilnya besar terhadap pendapat petani karena tambahan pendapatannya dapat diperoleh sebelum kayu ditebang.

b. Sudah dilakukan penelitian hutan rakyat di Bulukumba Prop. Sulawesi Selatan.

c. Dari tiga desa lokasi penelitian, HBKnya memang tinggi tetapi bukan HBK kehuaatanan, karena HBK kehutanan merupakan hasil dari hutan alam. Di desa studi merupakan HBK dari hutan rakyat. Pilihan untuk menentukan jenis kayu sepenuhnya merupakan pertimbangan petani karena petani rasional untuk memilih jenis tanaman yang akan ditanam di lahan miliknya.

d. Value change analysis memang belum dilihat secara jauh baru menyentuh pada peraturan dan kebijakan. Analisis tersebut baru akan dikerjakan. Budi daya sengon harus mengikuti kebijakan pemerintah tentang SKAU. Perdagangan mahoni dan jati masih terhambat karena pengambilan dokumen yang lokasinya jauh dan harus diambil sendiri.

e. Penaksiran volume kayu merupakan tugas litbang. Petani memiliki keterbatasan dan malas dalam mengukur volume kayu. Maka nilai uang yang mereka lebih rendah terhadap nilai kayu yang mereka hasilkan. merupakan pertimbangan untuk melaksanaan pelatihan untuk mengukur volume kayu dan hama puru kayu.

3. Zahrul Mutaqin, SHut.

a. HTI dan kelapa sawit maka terjadi deforestasi, bahkan bagi sebagian besar orang HTI juga dianggap deforestasi.

b. Respon dinas kehutanan Prop. Riau kurang baik, terutama apabila dari Australia datang kesana (2009) namun kondisi tersebut berubah ketika proyek ini masuk dan ada pelatihan mengenai REDD, ada semacam institution low impact. sekarang pihak pemda merasa antusias dengan proyek ini. Saat ini di Pemda Prop. Riau sudah terbentuk pokja REDD.

c. Kalau di Papua masyarakat sudah mengetahui, tetapi mereka menanyakan kapan mereka akan dibayar. Kepala dinas sangat mendukung dan sudah ada

85ProsidingWorkshop Kerjasama Internasional

sosialisasi dari Pemda bahwa mereka akan ada kompensasi karena mereka

sudah menjaga hutan.

d. Belum ada prosedur kompensasi. Sudah disampaikan kepada Kementerian

keuangan bahwa akan ada semacam dana Dak DR atau dana bagi hasil.

Mekanisme ini sedang dipelajari oleh Kementerian Keuangan. Saat ini para

pihak sedang fokus pada bagaimana distribusi mekanisme REDD disusun.

e. Apa yang harus dilakukan dengan legalitas, terkait dengan tiga hal. Perbaikan

legalitas dengan memperbaiki inkonsistensi, aturan yang belum ada harus

disusun. Hutan dianggap milik adat sehingga untuk pelepasan hutan perlu

membayar kepada masyarakat adat. Halsemacam itu yang membuat Papua

lebih spesi� k.

f. Pengalaman di TN Wasur, karena faktor tekanan ekonomi yang sangat tinggi

membuat masyarakat semakin transaksional. Maka insentif-insentif ekonomi

merupakan alat untuk changing behaviour.

g. prinsip REDD yang harus dipakai adalah voluntarily. Untuk bisa mencapai

skala besar harus ada koordinasi yang perlu didorong upaya untuk menjaga

stok karbon.

4. Novi Widyaningtyas, SHut., MSc:

a. Sangat betul komentar dari pak mahfud, kami lebih meningkatkan capaian

kinerja yang sekarang. Perlu ditingkatkan koordinasi dengan satker dan satgas.

b. Mengenai forum universitas, bahwa di Sulawesi Tengah perlu dilakukan upaya

seperti yang telah sukses dilaksanakan kan di Maluku. Kalau sudah ada forum

bisa jadi mitra kerja FCPF.

c. Di level internasional tidak mengikat kesiapan di tahun 2012, dilihat dari

perangkat implementasi REDD+ ada empat yaitu Stranas maupun Strada,

REL, MRV System. Dari empat elemen itu kita dapat melihat kesiapan di

daerah. Belum ada satupun yang sudah sempurna dimana tingkat kesiapan

daerah berbeda-beda. Yang sudah agak siap yaitu Prop. Kaltim.

d. FCPF tidak memerlukan tenaga ahli asing karena tujuannya adalah untuk

membantu Indonesia.

5. Dr. Niken Sakuntaladewi, MSc.

a. Terkait mekanisme untuk evaluasi karena skema FCPF bersifat on budget-on treasury maka dalam pelaksanaannya kegiatan mengikuti peraturan kita. World

Notulensi86

bank tidak serumit yang dikira. Setelah 20 bulan melaksanakan kegiatan ada kegiatan review kegiatan FCPF di Indonesia.

b. terkait pemahaman stakeholder, di level masyarakat cukup lemah hal ini dapat terlihat pada kegiatan-kegiatan workshop.

c. Banyak tenaga ahli dari dalam sehingga tidak perlu tenaga ahli dari luar.

6. Ir. Sulistyo A. Siran, MAgr.

a. Akan ada proyek lanjutan Fase 3 karena Fase 2 telah menghasilkan temuan.

b. Agroforestry menyangkut beberapa komoditi. Akan dibuat model termasuk beberapa HHBK yang potensial untuk dikembangkan juga akan diperkenalkan teknik pengolahan limbah secara sederhana oleh Hokaido University.

c. Untuk menngkatkan dukungan masyarakat sebagai bagian dari social safegurads, masyarakat akan diberikan pelatihan untuk meningkatkan keterampilan.

d. Kegiatan berlokasi di hutan produksi, bisa dibedakan hutan primer, bekas tebangan dan bekas kebakaran.

e. Untuk areal konservasi yang berdekatan penghitungan karbon tidak perlu dilakukan destruktif.

f. Untuk REDD+ kita cukup punya ahli di Puspijak dan Puskonser hanya kuantitas dan volume pekerjaan tidak seimbang. Dari MITI dan Marubeni kita harus bekerjasama. Untuk emisi, karbon stok expert dari Indonesia sudah mampu, terutama terkait masalah sosial karena orang Indonesia lebih mengetahui budaya lokal Indonesia.

g. Bene� t sharing baru yang terkait penggunaan air yang kaitannya dengan karbon sedang dilakukan bene� t sharing dengan beberapa topik penelitian yang akan dilakukan oleh Puspijak.

87ProsidingWorkshop Kerjasama Internasional

Daftar Hadir

Hari/Tanggal : Senin, 5 November 2012Pukul : 08.00 s/d selesaiAcara : Workshop Kerjasama Internasional Tahun 2012Tempat : Gedung IPB International Convention Center, Jalan Pajajaran – Bogor

No. Nama Instansi/Bagian

1 Joko Purhopuspbo Cifor

2 Yosude Oki Moto Cifor

3 Fahmi Komaeni Puskonse

4 Lukas R W Puspijak

5 Ombo Scapradja UNB

6 Karyano ESDH

7 Machtide UNRIDA

8 Setiasih Irawanti Puspijak

9 Duterwati Puspijak

10 Ari Sulistyo BPDAS. PS

11 Sylnam Puspijak

12 Kuncoro Ariawan Puspijak

13 Ari Wibowo Puspijak

14 Januarti S.T Cifor

15 Sri Harteti Pusdik

16 Sentot Subagyo Dit BPTH BPDAS PS

17 Wawan Kurniawan Pusat KLN

18 Elvida Y.S Puspijak

19 Novitri Hastuti Pustekolah

20 Andri Setiadi K Puspijak

21 Magdalena Puspijak

22 Sulistya Ekawati Puspijak

23 Iwan Hilwan Falutan IPB

24 Rachman E Puspijak

25 Yoppy Hidayanto Burung Indonesia

26 Asep Sugiharti PJLKKAL

Daftar Hadir88

No. Nama Instansi/Bagian

27 Deazy R Dt.wp3h

28 M. Zahrul Muttazin Puspijak

29 Dewi Ratna K.S Puspijak

30 Diah Zuhriana BDK Bogor

31 Agus Asthop BPTPTH Bogor

32 Fentie Salaka Puspijak

33 Efrian M Kehati

34 Nyoman Dundun Marubeni Corp

35 Asep Mulyana Yayasan Pusat

36 Retno Maryani Puspijak

37 Siti Nurjanah Proyek FS

38 Yanto Puspijak

39 Wahyuningsih Puspijak

40 Niken S Puspijak

41 Epi S Puspijak

42 RM.Mulyadin Puspijak

43 Mulyaningrum SITH-ITB

44 Jusmy Punhena PSL-IPB

45 Aneka PS Puspijak

46 Lis Alviya Puspijak

47 Jajang Puspijak

48 Ratna W Puspijak

49 Virni Budi A Puspijak

50 Leni Wulandari Puspijak

51 R. Su Puspijak

52 Rieka Ayu W RCPF

53 Gamma Galudva ICRAF

54 Putra Agung ICRAF

55 Endang Savini Puspijak

56 Jerman Puspijak

57 Tigor B Puspijak

58 Mega L Puspijak

89ProsidingWorkshop Kerjasama Internasional

No. Nama Instansi/Bagian

59 Yuli R Puspijak

60 Untung Firdaus Puspijak

61 Al� ddin Puspijak

62 Bayu Subekti Puspijak

63 Deden Puspijak

64 Fitri Nurfatriani Puspijak

65 Gentini Puspijak

66 Ellis Zuasi

67 Surati Puspijak

68 Kus Puspijak

69 Galih K.S Puspijak

70 Ismatul H Puspijak

71 Novia Widyaningtyas Pustanling

72 Sulistya AS Puspijak

73 Agus Mahdar Puspijak

74 Budi Puspijak

75 Fullki Hendrawan Puspijak

Daftar Hadir90

KEMENTERIAN KEHUTANANBADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KEHUTANAN

PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN

PERUBAHAN IKLIM DAN KEBIJAKANJl. Gunung Batu No. 5, Bogor 16610, Indonesia

Telp/Fax: +62-251 8633944/+62-251 8634924

Email: [email protected]; website: http://www.puspijak.org

Jakarta, November 2012

W o r k s h o p

W o r k s h o p

Ari WibowoSetiasih IrawantiZahrul MuttaqinSubarudiFitri NurfatrianiNiken SakuntaladewiNovi WidyaningtyasSulistyo A. Siran

9 786027 672130

ISBN: 978-602-7672-13-0