windi

5
2. Tenaga Kependidikan Sebagai Asset Nasional UU sisdiknas menyatakan bahwa tenaga kependidikan pada tingkat pendidikan dasar dan mencegah merupakan aset nasional yang bekerja secara lintas-daerah. Penegasan ini tampaknya merupakan jawaban terhadap kecendrungan yang terjadi sejak dimulainya otonomi daerah pada tahun 2001, yaitu sulitnya mutasi guru antar- daerah baik untuk tujuan pemerataan maupun promosi jabatan. Selain itu, pengembangan karier guru pun “terpenjara” dalam lingkup wilayah kabupaten/kota. Pemkab/ pemkotcendrung resisten untuk menerima mutasi guru ke dalam wilayahnya karena khawatir akan membebani anggaran untuk membayar gajinya yang bersumber dari Dana Alokasi Umum (DAU). Untuk dapat pindah lintas-daerah, seakan-akan guru harus membawa sendiri (jaminan) gajinya dari daerah yang ditinggalkannya. Lebih ironis lagi, desentralisaasi pendidikan telah menciptakan “sentralisasi” baru di tingkat kabupaten/kota, termasuk dalam manajemen tenaga kependidikan. Lebih mudah pemkab/pemkot melepas guru yang ingin pindah ke kabupaten/kota lain meskipun tetap sulit diterima oleh daerah/sekolah yang ditujunya. Akibatnya, tingkat stress guru sekarang lebih tinggi dibandingkan dengan masa lalu. Mereka makin pesimistik menghadapi masa depan. Bahkan guru yang prestasinya hebat sekalipun (seperti Guru Teladan/Berprestasi, Guru Inti, Guru pemandu) merasakan demikian. Semua fakta itu adalah fakta yang terbukti makin memperburuk kinerja pendidikan nasional. Dapat dipahami bila studi di beberapa negara melapor kan bahwa desentralisasi pendidikan tidak terbukti efektif meningkatkan angka partisipasi dan mutu pendidikan (Fisike, 1996). Tenaga kependidikan sebagai asset nasional berarti bahwa pengangkatan, penempatan dan promosi mereka tidak berhubungan dengan factor derah asal kelahiran, kelompok, agama atau etnis tertentu. Jadi, guru dari manapun dan etnis serta agama apapun di Indonesia dapat ditempatkan di mana saja di wilayah Negara RI. Hal ini sangat baik terutama untuk memelihara ikatan persatuan

description

grsgfsdfs

Transcript of windi

2. Tenaga Kependidikan Sebagai Asset NasionalUU sisdiknas menyatakan bahwa tenaga kependidikan pada tingkat pendidikan dasar dan mencegah merupakan aset nasional yang bekerja secara lintas-daerah. Penegasan ini tampaknya merupakan jawaban terhadap kecendrungan yang terjadi sejak dimulainya otonomi daerah pada tahun 2001, yaitu sulitnya mutasi guru antar-daerah baik untuk tujuan pemerataan maupun promosi jabatan. Selain itu, pengembangan karier guru pun terpenjara dalam lingkup wilayah kabupaten/kota. Pemkab/ pemkotcendrung resisten untuk menerima mutasi guru ke dalam wilayahnya karena khawatir akan membebani anggaran untuk membayar gajinya yang bersumber dari Dana Alokasi Umum (DAU). Untuk dapat pindah lintas-daerah, seakan-akan guru harus membawa sendiri (jaminan) gajinya dari daerah yang ditinggalkannya. Lebih ironis lagi, desentralisaasi pendidikan telah menciptakan sentralisasi baru di tingkat kabupaten/kota, termasuk dalam manajemen tenaga kependidikan.Lebih mudah pemkab/pemkot melepas guru yang ingin pindah ke kabupaten/kota lain meskipun tetap sulit diterima oleh daerah/sekolah yang ditujunya. Akibatnya, tingkat stress guru sekarang lebih tinggi dibandingkan dengan masa lalu. Mereka makin pesimistik menghadapi masa depan. Bahkan guru yang prestasinya hebat sekalipun (seperti Guru Teladan/Berprestasi, Guru Inti, Guru pemandu) merasakan demikian. Semua fakta itu adalah fakta yang terbukti makin memperburuk kinerja pendidikan nasional. Dapat dipahami bila studi di beberapa negara melapor kan bahwa desentralisasi pendidikan tidak terbukti efektif meningkatkan angka partisipasi dan mutu pendidikan (Fisike, 1996).Tenaga kependidikan sebagai asset nasional berarti bahwa pengangkatan, penempatan dan promosi mereka tidak berhubungan dengan factor derah asal kelahiran, kelompok, agama atau etnis tertentu. Jadi, guru dari manapun dan etnis serta agama apapun di Indonesia dapat ditempatkan di mana saja di wilayah Negara RI. Hal ini sangat baik terutama untuk memelihara ikatan persatuan bangsa yang juga menjadi tanggung jawab pendidikan. Akan tetapi, penempatan guru tanpa memperhatikan latar belakangannya dapat menjadi pangkal dari tetap sulitnya memecahkan masalah ketidakmerataan penyebaran guru akibat rendahnya tingkat retensi guru sejak penempatan pertama. Dari berbagai studi diketahui bahwa asal tempat kelahiran, misalnya, menjadi penyebab para guru untuk meminta mutasi ke daerah asalnya, apakah itu dalam lingkup provinsi, kabupaten/kota, atau kecamatan. Kalau sekarang guru terpenjara dalam wilayah kabupaten/kota, maka mutasi terjadi antar-sekolah, antar-kecamatan dan atar-desa untuk mendekati tempat kelahiran yang sering didefinisikan sebagai tempat ari-ari dikubur (Jalal & Supriadi, 2001). Studi-studi serupa menghasilkan rekomendasi mengenai perlunya factor asal daerah guru diperhitungkan dalampenempatan mereka di sekolah-sekolah (IIES, 1990; Somerset, 1990b; Supriadi, 1998; lihat juga Bab 11, 12 dan 18 buku ini).Selain menekankan bahwa tenaga kependidikan merupakan asset masional, UUsisdiknas menyatakan bahwa pemerintah pusat dan daerah wajib memfasilitasi satuan pendidikan dengan tenaga kependidikan yang diperlukan untuk menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu. Fasilitas dilakukan dengan cara menyediakan tenaga kependidikan, baik dengan mengangkat guru berstatus PNS maupun guru kontrak (guru bantu). Fasilitasi pemerintahan melalui pengangkatan, penempatan dan penyebaran tenaga kependidikan itu didasarkan atas kebutuhan dan permintaan satuan pendidikan yang didukung dengan rekomendasi Komite Sekolah. Dengan mekanisme yang berasal dari bawah itu, maka penempatan guru diharapkan akan benar-benar berdasarkan kebutuhan sekolah. Masalahnya adalah, dapatkah pemerintah memenuhi kewajibannya terhadap permintaan sekolah? Juga, apakah hal yang sama berlaku untuk sekolah swasta?Apa dikemukakan tersebut merupakan kondisi ideal yang dalam pelaksanaannya diperkirakan akan menghadapi banyak kesulitan. Kesulitan itu mungkin bersumber dari soal alokasi tenaga kependidikan oleh pusat, rekrutmen oleh pemerintah daerah, sampai pada masalah teknis seperti prosedur pengusulan kebutuhan guru oleh sekolah. Begitu juga kuatnya peran Komite Sekolah dalam memberikan rekomendasi justru bisa menjadi sumber masalah bila kewenangan itu tidak digunakan sesuai dengan tujuannya. Sekarang saja mulai terdengar keluhan dari para guru dan kepala sekolah mengenai Komite Sekolah yang terlalu jauh ikut campur dalam urusan yang bukan kewennangannya. Oleh orang tua siswa, Komite Sekolah juga dianggap pihak paling bertanggung jawabterhadap makin meningkatnya iuran dan pungutan kepada siswa dengan mengatasnamakan manajemen berbasis sekolah. Suatu desain yang ideal memang tidak menjamin praktik yang benar di lapangan. 3. Kualifikasi Pendidikan GuruDalam UU Sisdiknas, kualifikasi minimum pendidikan gurur ditingkatkan. Bila saat ini guru TK dan SD harus berkualifikasi D-II, guru SMP dituntut untuk berkualifikasi D-III dan S-I dan guru SLTA mesti berkualifikasi S-I maka dalam UU itu menjadi sebagai berikut: D-II untuk guru TK dan S-I untuk SD sampai SLTA. Persyaratan baru tersebut cepat atau lambat akan menuntut para guru yang kualifikasinya masih dibawah standar untuk melanjutkan lagi pendidikannya. Guru- guru SD sampai SLTP yang jumlahnya mencapi sekitar 1,7 juta orang dan sebagian besar baru saja menyelesaikan program D-II dan D-III penyetaraan harus kembali menempuh studi lanjutan ke S-I. Dapat dibayangkan, betapa akan sangat raksasanya pekerjaan ini, dan setiap tahun puluhan ribu guru harus mendaki kembali tebing yang terjal. Bila dihitung secara jujur dari segi beban pemerintah dan para guru sendiri, nilai financial dan harga psikologis dari penyetaraan guru sungguh sangat mahal, yang semua itu belum tergantikan . belum lagi harga yang tak terhitung dari segi kepentingan peserta didik. Akibat ratusan guru mereka pergi mngikuti program pendidikan penyetaraan, sejak tahun 1990/1991 jutaan jam pelajaran dikelas terbuang percuma setiap tahun. Keadaan kelas centang perenang karena para gurunya menghadiri kegiatan tutorial atau tatap muka. Kalaupun para guru itu tetap berada disekolah, perhatian mereka tersita untuk mengerjakan modul- modul kuliahnya. Dari segi gagasan, peningkatan kualifikasi minimum guru tesebut sangat baik sebagai upaya untuk meningkatkan mutu pendidikan, akan tetapi pelaksanaannya diperkirakan akan banyak menghadapi kesulitan. Memang pelaksanaan ketentuan tersebut tidak mesti sekaligus, melainkan bertahap. Namun karena telah tercantum dalam UU, maka ia bersifat mengikat dan mesti ada komitmen nasional untuk melaksanakannya. Akan lebih baik bila kualifikasi minimum itu kelak tidak langsung diterapkan pada guru-guru yang telah bertugas di sekolah (melalui program penyetaraan), melainkan kepada para guru baru yang diangkat dari lulusan pendidikan prajabatan. Untuk guru SD, perguruan tinggi kependidikan sekarang telah mulai membuka program S-I PGSD. Untuk tingkat SLTP (juga SLTA), rekrutmen guru dengan kualifikasi S-I telah mulai sejak tahun 1996.Khusus untuk Sekolah Mengah Kejuruan (SMK), UU Sisdiknas menetapkan bahwa guru mata pelajaran kejuaruan dituntut untuk memiliki pengalaman industry selama dua tahun, selain harus berkualifikasi minimum S-I. Hal ini dimaksudkan untuk mengatasi masalah tentang miskinnya pengalaman industri para guru SMK. Selama ini, mereka umumnya direkrut langsung dari lulusan perguruan tinggi kependidikan tanpa dibekali pengalaman industry. Kalaupun mereka memiliki pengalaman tersebut, maka hal itu terbatas diperoleh ketika mereka menjalani praktik kerja/ lapangan sebagai mahasiswa atau saat menulis skripsi. Logikanya adalah bagaimana bisa para guru itu menyiapkan siswanya untuk akrabdengan dunia industry bila mereka sendiri tidak memiliki pengalaman industry. Jadi, ibarat guru yang mengajar berenang tetapi tidak pernah berenang. Masalah ini telah lama dirasakan di SMK dan telah banyak pula usaha dari Direktorat Dikmenjur untuk mengatasinya, baik dengan mengirimkan para guru untuk magang di industry atau menyediakan fasilitas praktik dan bengkel (workshop) yang menyerupai keadaan di industri. Akan tetapi karena gawatnya kesenjangan pengalaman itu, pemecahan