Wewenang Pemailitan Lembaga Keuangan-ekonomi Syariah

21
By Timur Abimanyu, SH.MH WEWENANG PEMAILITAN LEMBAGA KEUANGAN-EKONOMI SYARIAH Oleh: Prof. Dr. H. Muchsin, S.H. Abstrak Dalam penjelasan umum Undang-undang Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan kewajiban Pembayaran Utang disebutkan bahwa pembangunan hukum nasional diarahkan pada terwujudnya sistem hukum nasional, yang dilakukan dengan pembentukan hukum barn. Salah satu hukum baru yang dibentuk pada tahun 2008 adalah Undang-undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.Krisis keuangan yang melanda Amerika khususnya dan negara-negara di dunia pada umumnya telah menimbulkan kesulitan yang besar terhadap perekonomian dan perdagangan nasional. Kemampuan dunia usaha dalam mengembangkan usahanya sangat terganggu, bahkan tidak mudah bagi dunia usaha untuk mempertahankan usahanya, dan hal tersebut sangat mempengaruhi kemampuan untuk memenuhi kewajiban pembayaran utang. Keadaan tersebut melanda pula perbankan syariah dan/atau unit usaha syariah dan nasabahnya sehingga masalahnya dibawa ke lembaga peradilan agama untuk diselesaikan. Apabila ternyata, pelaku usaha (baca: Bank Syariah atau Unit Usaha Syariah) mengalami kepailitan, lembaga peradilan manakah yang berkompetensi menetapkannya? Pasal 1 ayat (7) menyebutkan bahwa pengadilan yang dimaksud dalam undang-undang ini adalah Pengadilan Niaga dalam Iingkungan peradilan umum. Dan menurut ketentuan Pasal 6 ayat (1) undang- undang ini, pengajuan permohonan disampaikan kepada Ketua Pengadilan dengan kewenangannya sebagaimana pada Pasal 3 tersebut di atas. Sedangkan Pasal 55 ayat (1) Undang undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah menyebutkan bahwa "Penyelesaian sengketa perbankan syariah dilakukan oleh Pengadilan dalam

Transcript of Wewenang Pemailitan Lembaga Keuangan-ekonomi Syariah

Page 1: Wewenang Pemailitan Lembaga Keuangan-ekonomi Syariah

By Timur Abimanyu, SH.MH

WEWENANG PEMAILITAN LEMBAGA KEUANGAN-EKONOMI SYARIAH

Oleh: Prof. Dr. H. Muchsin, S.H.Abstrak

Dalam penjelasan umum Undang-undang Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan kewajiban Pembayaran Utang disebutkan bahwa pembangunan hukum nasional diarahkan pada terwujudnya sistem hukum nasional, yang dilakukan dengan pembentukan hukum barn. Salah satu hukum baru yang dibentuk pada tahun 2008 adalah Undang-undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.Krisis keuangan yang melanda Amerika khususnya dan negara-negara di dunia pada umumnya telah menimbulkan kesulitan yang besar terhadap perekonomian dan perdagangan nasional. Kemampuan dunia usaha dalam mengembangkan usahanya sangat terganggu, bahkan tidak mudah bagi dunia usaha untuk mempertahankan usahanya, dan hal tersebut sangat mempengaruhi kemampuan untuk memenuhi kewajiban pembayaran utang. Keadaan tersebut melanda pula perbankan syariah dan/atau unit usaha syariah dan nasabahnya sehingga masalahnya dibawa ke lembaga peradilan agama untuk diselesaikan. Apabila ternyata, pelaku usaha (baca: Bank Syariah atau Unit Usaha Syariah) mengalami kepailitan, lembaga peradilan manakah yang berkompetensi menetapkannya? Pasal 1 ayat (7) menyebutkan bahwa pengadilan yang dimaksud dalam undang-undang ini adalah Pengadilan Niaga dalam Iingkungan peradilan umum. Dan menurut ketentuan Pasal 6 ayat (1) undang-undang ini, pengajuan permohonan disampaikan kepada Ketua Pengadilan dengan kewenangannya sebagaimana pada Pasal 3 tersebut di atas. Sedangkan Pasal 55 ayat (1) Undang undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah menyebutkan bahwa "Penyelesaian sengketa perbankan syariah dilakukan oleh Pengadilan dalam Iingkungan Peradilan Agama." Ketentuan ayat dalam pasal tersebut di atas sejalan dengan bunyi Pasal 49 huruf i Undang -undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, yang berbunyi "Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang a s.d. h, dan i, ekonomi syariah. Selain itu, ketentuan tersebut memberikan peluang untuk dibentuknya Pengadilan Niaga Syariah dalam Iingkungan Peradilan Agama. Sebagaimana diketahui KHES tersebut didasarkan pada Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor: 02 Tahun 2008, tanggal 10 September 2008. Dan kelahiran Perma tersebut pada pertimbangan keberadaan Pasal 49 huruf i UU Nomor 3 Tahun 2006 berikut penjelasannya, UU Nomor 19 Tentang Surat Berharga Syariah Negara, Pasal 55 UU Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, untuk dijadikan pedoman bagi hakim mengenai hukum ekonomi menurut prinsip syariah, sebagaimana tersebut pula dalam Pasal 1 ayat (2) Perma ini.

Page 2: Wewenang Pemailitan Lembaga Keuangan-ekonomi Syariah

Dengan demikian, secara sekilas ada persinggungan kewenangan antara Peradilan Agama dan Pengadilan Niaga dalam Iingkungan Peradilan Umum, dalam mengadili permohonan pernyataan pailit Bank Syariah atau Unit Usaha Syariah. Bagaimana tinjauan undang-undang tentang hal tersebut? Bagaimana tinjauan asas-asas umum peraturan perundang-undangan? Bagaimana pandangan ilmu hukum dan ilmu hukum Islam tentang hal tersebut? Dan bagaimana pandangan Mahkamah Agung tentang hal tersebut? (Sumber data : Asadurahman)

Pendahuluan, Dalam penjelasan umum Undang-undang Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan kewajiban Pembayaran Utang disebutkan bahwa pembangunan hukum nasional diarahkan pada terwujudnya sistem hukum nasional, yang dilakukan dengan pembentukan hukum baru. Salah satu hukum baru yang dibentuk pada tahun 2008 adalah Undang-undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.

Produk hukum nasional yang menjamin kepastian, ketertiban, penegakan, dan perlindungan hukum yang berintikan keadilan dan kebenaran diharapkanmampu mendukung pertumbuhan dan perkembangan perekonomian nasional, serta mengamankan dan mendukung hasil pembangunan nasional. Salah satu sarana hukum penunjangnya adalah peraturan-peraturan perundang-undangan tentang kepailitan.

Perkembangan perekonomian dan perdagangan serta pengaruh globalisasi yang melanda dunia dewasa ini, dan mengingat modal yang dimiliki oleh para pengusaha pada umumnya sebagian besar merupakan pinjaman yang berasal dari berbagai sumber, balk dari bank, penanaman modal, penerbitan obligasi maupun cara lain yang diperbolehkan, telah menimbulkan banyak permasalahan penyelesaian utang-piutang dalam masyarakat.

Krisis keuangan yang melanda Amerika khususnya dan negara-negara di dunia pada umumnya telah menimbulkan kesulitan yang besar terhadap perekonomian dan perdagangan nasional. Kemampuan dunia usaha dalam mengembangkan usahanya sangat terganggu, bahkan tidak mudah bagi dunia usaha untuk mempertahankan usahanya, dan hal tersebut sangat mempengaruhi kemampuan untuk memenuhi kewajiban pembayaran utang.

Keadaan tersebut melanda pula perbankan syariah dan/atau unit usaha syariah dan nasabahnya sehingga masalahnya dibawa ke lembaga peradilan agama untuk diselesaikan. Apabila ternyata, pelaku usaha (baca: Bank Syariah atau Unit Usaha Syariah) mengalami kepailitan, lembaga peradilan manakah yang berkompetensi menetapkannya?

Pembahasa, Sentosa Sembiring menyebutkan bahwa terminologi kepailitan digunakan sesuai dengan sistem hukum yang dianut. Sistem hukum anglo sakson mengartikan kepailitan dengan "bankruptcy" yang berarti ketidak mampuan untuk membayar utang, sehingga istilah tersebut dilatarbelakangi oleh suatu perikatan. Oleh karena itu, atas dasar sudut pandang ini, ketidak mampuan membayar utang ditujukan kepada:

(1) para pebisnis.

(2) debitor yang betul-betul mengalami kesulitan keuangan. Sedangkan dalam sistem hukum Eropa Kontinental, istilah yang digunakan untuk kepailitan adalah Faillisement, dan ditujukan kepada pebisnis dan non pebisnis, yang bertujuan agar debitor tidak disandera dan debitor dapat kesempatan membela diri. Istilah lainnya

Page 3: Wewenang Pemailitan Lembaga Keuangan-ekonomi Syariah

adalah insolvency, yang mempunyai makna yang hampir sama dengan kedua istilah sebelumnya.

Fockema Andreae mengartikan Faillisement, yaitu kepailitan seorang debitor adalah keadaan yang ditetapkan oleh pengadilan bahwa debitor telah berhenti membayar utang-utangnya yang berakibat penyitaan umum atas harta kekayaan dan pendapatannya demi kepentingan semua kreditor di bawah pengawasan pengadilan. R. Subekti dan R. Tjitrosudibjo mengartikannya senada dengan Fockema Andreae, yaitu keadaan seorang debitor apabila ia menghentikan pembayaran utangnya. Suatu keadaan yang menghendaki campur tangan hakim guna menjamin kepentingan bersama dari para kreditornya. Martias gelar lman Radjo Mulano mengemukakan bahwa pailit merupakan penyitaan umum atas seluruh kekayaan debitor untuk kepentingan kreditor secara bersama-sama.

IPM Rahuhandoko menyebut Bankruptcy dengan keadaan tidak mampu membayar utang dalam mana (sehingga, pen.) harta yang berutang diambil oleh penagih atau pesero -pesero (status seseorang yang secara hukum dinyatakan tidak mampu membayar utang-utangnya. Kartono mengemukakan bahwa kepailitan adalah suatu sitaan umum dan eksekusi atas seluruh kekayaan debitor untuk kepentingan seluruh kreditornya. Siti Soemarti Hartono menyederhanakan arti kepailitan dengan mogok melakukan pembayaran. Kamus Besar Bahasa Indonesia menyebutkan bahwa pailit berarti bangkrut, jatuh untuk perusahaan." Pasal 1 ayat (1) Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 menyebutkan bahwa kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan debitor pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh kurator di bawah pengawasan hakim pengawas sebagaimana diatur dalam undang -undang ini. Pasal 1 ayat (7) menyebutkan bahwa pengadilan dimaksud adalah Pengadilan Niaga dalam lingkungan peradilan umum.

Gunawan widjaja mengatakan bahwa masalah kepailitan selalu menjadi hal yang hangat untuk dibicarakan sesudah 10 tahun berlakunya revisi Faillesements Verordening – Peraturan Kepailitan – dengan UU No. 4 Tahun1998, yang diubah dengan Perppu No. 1 Tahun 1998, dan dengan UU No. 37 Tahun 2008. Menurutnya, pada masa-masa awal hingga dilakukannya revisi atas Faillesements Verordening, urusan kepailitan merupakan suatu yang jarang muncul ke permukaan. Kekurang-populeran masalah kepailitan ini terjadi karena selama masa tersebut banyak pihak yang kurang puas terhadap pelaksanaan putusan pernyataan pailit." Dikatakan pula, banyaknya urusan kepailitan yang tidak tuntas, lamanya waktu persidangan yang diperlukan, tidak adanya kepastian hukum, merupakan beberapa dari sekian banyak alasan yang ada. Secara psikologis mungkin hal ini dapat diterima karena setiap pernyataan kepailitan (hampir) selalu diartikan dengan hilangnya hak-hak kreditor, atau hilangnya nilai piutang, karena kekayaan debitor yang dinyatakan pailit itu tidak mencukupi untuk menutupi semua kewajibannya kepada kreditor. Akibatnya, tidak semua krditor setuju, dan bahkan keras menentangnya.

Dalam banyak hal, fakta menunjukkan bahwa banyak debitor nakal telah dinyatakan pailit namun tidak memberikan efek apa pun bagi kreditor tersebut. Kepailitan dianggap sebagai cara untuk lepas dari utang. Putusan pernyataan pailit oleh Pengadilan sering dianggap tidak ada sama sekali. Selain itu, debitor pailit masih leluasa melakukan kegiatan usahanya dan melakukan segala tindakan yang dilakukan melalui dua atau lebih perusahaan yang berbeda yang dalam dan/atau secara yuridis kepailitan merupakan tindakan yang dilarang oleh hukum.

Selama kurun waktu 1,5 dasa warsa ini telah terjadi 2 kali krisis besar, yaitu krisis ekonomi yang berawal pada tahun 1997, dan krisis keuangan yang terjadi pada tahun 2008 yang lalu. Dan dalam menghadapi krisis keuangan, masalah penting yang harus diperhatikan adalah

Page 4: Wewenang Pemailitan Lembaga Keuangan-ekonomi Syariah

perlindungan nasabah, baik sebagai konsumen produk industri keuangan dan sebagai penyimpan dana. Menurutnya, apabila UU Perlindungan Konsumen mensyaratkan suatu produk yang ditawarkan kepada masyarakat aman untuk dikonsumsi atau dipergunakan, apakah hal tersebut menjadi keharusan pula untuk produk yang ditawarkan oleh industri keuangan. Krisis keuangan pada tahun 2008 yang lalu memerosotkan lebih dari separoh nilai investasi pada sektor keuangan.

Selanjutnya dikatakan bahwa suatu produk sebelum dipasarkan harus diuji keamanannya oleh suatu lembaga pemerintah atau lembaga yang didirikan pemerintah. Bila dicermati kehancuran lembaga keuangan yang terjadi saat ini salah satunya dipicu oleh produk derivatif rumit dan tidak dimengerti oleh nasabah bahkan sering tidak dimengerti oleh nasabah dan industri yang menerbitkannya. Dan berpendapat "Mungkinkah diperlukan lembaga khusus yang berfungsi mencermati dan mengkaji produk keuangan untuk melihat risiko yang terkandung pada produk tersebut terutama produk dengan fitur rumit yang sulit dipahami. Lembaga khusus ini harus mampu menguji keamanan suatu produk keuangan sebelum ditwarkan kepada masyarakat, agar mereka memahami bahaya produk yang bakal dikonsumsi, atau yang ditawarkan oleh indusri keuangan, dengan tujuan agar nasabah mendapatkan perlindungan dari produk keuangan berisiko tinggi yang ditaawarkan kepada mereka. Bila lembaga khusus menemukan adanya risiko atau biaya yang disembunyikan dalam suatu produk, maka lembaga akan meminta agar produk tersebut diperbaiki sehingga intervensi pemerintah tentang larangan pemasaran produk tersebut dapat diminimalkan.

Untuk nasabah bank, Bank Indonesia telah menerbitkan Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor: 7/6/PBI/2005 tentang Transparansi Informasi Produk Bank dan Penggunaan Data Pribadi Nasabah, yang bertujuan memberikan perlindungan yang lebih kuat kepada nasabah dengan menjamin hak-hak nasabah dalam bertransaksi dengan bank sehingga dapat digunakan sebagai sarana untuk melindungi nasabah bank. Transparansi dimaksud sangat diperlukan untuk memberikan kejelasan kepada nasabah mengenai manfaat dan risiko yang melekat pada produk tersebut, karena selama ini nasabah, khususnya nasabah kecil, selalu saja berada di pihak yang dirugikan bila berhadapan dengan bank. PBI tersebut dapat dijadikan langkah awal dalam menyusun standar keamanan produk lembaga keuangan sehingga aman dikonsumsi oleh konsumen. PBI memang hanya mengatur persyaratan minimal yang harus ditetapkan bank. Persyaratan yang lebih rinci diserahkan kepada masing-masing bank.

Sebagai penyedia liikuiditas, bank harus mampu menyediakan dana bagi nasabah penyimpan setiap saat, dengan catatan penarikan dana tidak dilakukan oleh nasabah penyimpan secara bersama-sama, yang akibatnya bank mencairkan aset tidak likuid mereka dengan harga di bawah pasar, dan akhirnya menyebabkan kebangkrutan bank. Rush merupakan suatu hal yang sangat menakutkan, dan pada umumnya ditandai dengan antrian panjang para nasabah yang sedang marah di depan pintu bank yang tertutup, sehingga lebih penting pengatasannya termasuk daripada mencegah dan menghukum kejahatan perbankan. Dan untuk menjaga kepercayaan masyarakat, kehadiran Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) bertujuan untuk meminimalkan kemungkinan rush terjadi. Undang-undang Nomor 24 Tahun 2004 menyebutkan penjaminan diberikan untuk tabungan hingga Rp 100.000.000,- (seratus juta rupiah). Dengan Perppu No. 3 Tahun 2008, besar penjaminan kepada nasabah ditingkatkan menjadi simpanan dengan nilai maksimal sebesar Rp 2.000.000.000,- (dua milyar rupiah).

Perjalanan waktu merembeskan krisis keuangan ke krisis ekonomi, yang ditandai dengan meningkatnya jumlah kredit bermasalah. Bankir pun harus berhati-hati dalam menangani kredit bermasalah, seperti yang terjadi pada Bank Mandiri, yang berakibat para bankirnya menjadi

Page 5: Wewenang Pemailitan Lembaga Keuangan-ekonomi Syariah

terpidana oleh putusan Mahkamah Agung yang terkait dengan kredit macet dimaksud. Pada dasarnya profesi bankir menuntut kehati-hatian yang tinggi dalam mengelola bank, karena kegiatan (utamanya, pen.) adalah menghimpun dana masyarakat dan menyalurkannya kembali kepada mereka dalam bentuk kredit atau pembiayaan. Sedangkan masalah paling berat yang dihadapi industri perbankan dan otoritas pengawas bank adalah kelalaian pengurus bank serta penipuan dan penggelapan yang mereka lakukan, seperti besarnya kredit yang disalurkan kepada kelompok usahanya sendiri tanpa analisis pemberian kredit yang sehat, yang dapat dikategorikan penipuan.

Di samping peraturan yang dikeluarkan oleh otoritas pengawas, bankir juga diwajibkan untuk berhati-hati (duty of care) dalam menjalankan perusahaan, yang ditimbulkan oleh adanya hubungan kepercayaan (fiducia relationship) antara pengurus dan bank. Dan pengurus dianggap telah menjalankan duty of care apabila telah memenuhi 3 syarat berikut: (1) membuat keputusan bisnis yang tidak ada unsur kepentingan pribadi, (2) berdasarkan informasi yang mereka percaya didasari oleh keadaan yang tepat, dan (3) secara rasional mempercayai bahwa keputusan bisnis tersebut dibuat untuk kepentingan terbaik bagi perusahaan.

Konsep dasar pengelolaan perusahaan di atas sangat penting dipedomani oleh para bankir dalam mengelola industri perbankan agar tidak mengalami kekhawatiran likuiditas sehingga memperlambat penyaluran kredit. Dan krisis keuangan yang terjadi saat ini menyebabkan sulitnya likuiditas, yang pada gilirannya akan menyulitkan pengusaha mendapatkan sumber dana, yang ditambah dengan lesunya perekonomian, akan meningkatkan potensi terjadinya kredit bermasalah. Oleh karena itu, bankir harus berhati-hati, (dan bila perlu super ekstra hati-hati, pen.) agar tidak berurusan dengan penegak hukum. Zulkarnain akhirnya memberikan resep sejumlah pertanyaan yang dapat digunakan untuk melakukan due diligence terhadap perusahaan penerima kredit, yaitu: (1) bagaimana gambaran umum perusahaan, (2) ke mana perginya uang tunai perusahaan, (3) apakah bisnis perusahaan masih layak dipertahankan, (4) apakah manajemen memiliki kemampuan menyelesaikan permasalahan perusahaan, (5) apakah terjadi konflik manajemen, (6) apakah pemilik/manajemen tindakan berbahaya, (7) bagaimana menyelesaikan masalah perusahaan, (8) dari mana sumber pembiayaan jangka pendek, (9) apakah perusahaan telah membuat kesepakatan dengan pemberi pinjaman dan kreditor Iainnya secara terbuka, dan (10) bagaimana perusahaan menghindari dari kepailitan.

Ada dua hal yang menyebabkan bankir berurusan dengan penegak hukum, yaitu hal-hal yang terkait dengan ketidak-hati-hatian bankir, dan hal-hal yang terkait dengan perusahaan itu sendiri. Untuk yang kedua ini, Pasal 2 ayat (1) UU No. 37 Tahun 2004 menyebutkan "Debitor yang mempunyai dua atau lebih kreditor dan tidak membayar tunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit oleh putusan Pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih kreditornya," atau oleh kejaksaan untuk kepentingan umum sebagaimana tersebut dalam ayat (2) pasal dari undang-undang yang sama.

Selanjutnya disebutkan dalam ayat (3) pasal tersebut di atas bahwa apabila debitornya adalah bank, maka permohonan pernyataan pailit hanya dapat diajukan oleh Bank Indonesia. Dan apabila debitornya adalah perusahaan efek, bursa efek, lembaga kliring dan penjaminan, lembaga penyimpanan dan penyelesaian, permohonan pernyataan pailit hanya dapat diajukan oleh Badan Pengawas Pasar Modal. Menteri Keuangan merupakan satu-satunya institusi pemerintah yang dapat mengajukan permohonan pernyataan pailit terhadap debitor yang berbentuk perusahaan asuransi, perusahaan reasuransi, dana pensiun, atau badan usaha milik negara yang bergerak di

Page 6: Wewenang Pemailitan Lembaga Keuangan-ekonomi Syariah

bidang kepentingan publik. Hak khusus untuk mengajukan permohonan pernyataan pailit oleh kedua institusi pemerintah terhadap masing-masing debitor tersebut di atas tersebut dalam Pasal 2 ayat (4) dan ayat (5).

Pengadilan manakah yang berwenang memutus permohonan pernyataan pailit? Pasal 3 undang-undang ini merinci kewenangan dimaksud, yaitu: (1) pengadilan yang daerah hukumnya meliputi daerah tempat kedudukan hukum debitor, (2) pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan hukum terakhir debitor untuk debitor yang meninggalkan wilayah negara Republik Indonesia, (3) pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan hukum hukum tersebut untuk debitor yang berbentuk pesero suatu firma, (4) pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan atau kantor pusat debitor menjalankan profesi atau usahanya di wilayah negara Republik Indonesia untuk debitor yang tidak berkedudukan diwilayah negara Republik Indonesia tetapi untuk menjalankan profesi atau usahanya di wilayah negara Republik Indonesia Pasal 1 ayat (7) menyebutkan bahwa pengadilan yang dimaksud dalam undang-undang ini adalah Pengadilan Niaga dalam lingkungan peradilan umum. Dan menurut ketentuan Pasal 6 ayat (1) undang-undang ini, pengajuan permohonan disampaikan kepada Ketua Pengadilan dengan kewenangannya sebagaimana pada Pasal 3 tersebut di atas.

Permasalahan kepailitan dan/atau kesulitan tidak hanya berhubungan dengan usaha non-syariah tetapi dapat menyentuh pula usaha-usaha syariah, yang salah satu penyebabnya adalah kesalahan investasi, padahal usaha-usaha perekonomian syariah didasarkan pada kepercayaan masyarakat, baik sebagai investor maupun nasabah. Sehubungan dengan hal tersebut, Undang-undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah (LNRI Tahun 2008 Nomor 94) menyebutkan sebagai berikut:

1. Dalam hal Bank Syariah mengalami kesulitan yang membahayakan kelangsungan usahanya, Bank Indonesia berwenang melakukan tindakan dalam rangka tindak lanjut pengawasan antara lain: a.Membatasi kewenangan RUPS, komisaris, direksi, dan pemegang saham, b. Meminta pemegang saham menambah modal,c. Meminta pemegang saham mengganti anggota dewan komisaris dan/atau direksi Bank Syariah, d. Meminta Bank Syariah menghapus bukukan penyaluran dana yang macet dan memperhitungkan kerugian Bank Syariah dengan modalnya, e. Meminta Bank Syariah melakukan penggabungan atau peleburan dengan Bank Syariah lain, f. Meminta Bank Syariah dijual kepada pembeli yang bersedia mengambil alih seluruh kewajibannya,g. Meminta Bank Syariah menyerahkan pengelolaan seluruh atau sebagian kegiatan Bank Syariah kepada pihak lain) dan/atau h. Meminta Bank Syariah menjual sebagian atau seluruh harta dan/atau kewajiban Bank Syariah kepada pihak lain.

2. Apabila tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum cukup untuk mengatasi kesulitan yang dialami Bank Syariah, Bank Indonesia menyatakan Bank Syariah tidak dapat disehatkan dan menyerahkan penanganannya ke Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) untuk diselamatkan atau tidak diselamatkan.

3. Dalam hal LPS menyatakan Bank Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak diselamatkan, Bank Indonesia atas permintaan LPS mencabut izin usaha Bank Syariah dan penanganan lebih lanjut dilakukan oleh LPS sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

4. Atas permintaan Bank Syariah, Bank Indonesia dapat mencabut izin usaha Bank Syariah setelah Bank Syariah dimaksud menyelesaikan seluruh kewajibannya.

Page 7: Wewenang Pemailitan Lembaga Keuangan-ekonomi Syariah

5. Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara pencabutan izin usaha Bank Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur dengan Peraturan Bank indonesia.

Penjelasan Pasal 54 ayat (1) berbunyi "Keadaan suatu bank dikatakan mengalami kesulitan yang membahayakan kelangsungan usahanya apabila berdasarkan penilaian Bank Indonesia, kondisi usaha bank semakin memburuk, antara lain, ditandai dengan menurunnya permodalan, kualitas aset, likuiditas, dan rentabilitas, serta pengelolaan bank yang tidak dilakukan berdasarkan prinsip kehati-hatian dan asas perbankan yang sehat."

Apabila persoalan yang dialami oleh perusahaan konvensional dialami pula oleh perbankan syariah khususnya dan/atau ekonomi syariah pada umumnya, bagaimana penyelesaian akhirnya, dalam arti pemailitan perbankan syariah dan/atau lembaga keuangan/usaha syariah tersebut.

Pasal 55 ayat (1) Undang-undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah menyebutkan bahwa "Penyelesaian sengketa perbankan syariah dilakukan oleh Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama." Ketentuan ayat dalam pasal tersebut di atas sejalan dengan bunyi Pasal 49 huruf i Undang undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, yang berbunyi "Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkaraperkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang a s.d. h, dan i, ekonomi syariah. Selain itu, ketentuan tersebut memberikan peluang untuk dibentuknya Pengadilan Niaga Syariah dalam lingkungan Peradilan Agama.

Penjelasan terhadap huruf dalam pasal tersebut menyatakan bahwa yang dimaksud dengan ekonomi syariah adalah perbuatan atau kegiatan usaha untuk dilaksanakan menurut prinsip syariah, antara lain meliputi:

a. Bank syariah,

b. Lembaga keuangan mikro syariah,

c. Asuransi syariah,

d. Reasuransi syariah,

e. Reksa dana syariah,

f Obligasi syariah dan surat berharga berjangka menengah syariah,

g. Sekuritas syariah,

h. Pembiayaan syariah,

i. Pegadaian syariah,

j. Dana pensiun lembaga keuangan syariah,

i. Bisnis syariah.

Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (selanjutnya disebut KHES) menyebutkan dalam Buku I (Subyek Hukum dan Amwal), Bab I (Ketentuan Umum), Pasal 1, bahwa ekonomi syariah adalah usaha atau kegiatan yang dilakukan oleh orang perorang, kelompok orang, badan usaha yang

Page 8: Wewenang Pemailitan Lembaga Keuangan-ekonomi Syariah

berbadan hukum atau tidak berbadan hukum dalam rangka memenuhi kebutuhan yang bersifat komersial dan tidak komersial menurut prinsip syariah.

Sebagaimana diketahui KHES tersebut didasarkan pada Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor: 02 Tahun 2008, tanggal 10 September 2008. Dan kelahiran Perma tersebut pada pertimbangan keberadaan Pasal 49 huruf i UU Nomor 3 Tahun 2006 berikut penjelasannya, UU Nomor 19 Tentang Surat Berharga Syariah Negara, Pasal 55 UU Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, untuk dijadikan pedoman bagi hakim mengenai hukum ekonomi menurut prinsip syariah, sebagaimana tersebut pula dalam Pasal 1 ayat (2) Perma ini.

Pasal 1 ayat (1) Perma ini menyebut bahwa hakim dimaksud adalah hakim dalam lingkungan Peradilan Agama. Sedangkan Pasal 2 Perma yang sama berbunyi "KHES sebagaimana dimaksud dalam Pasal I adalah KHES yang menjadi lampiran dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Perma ini. Selanjutnya disebutkan dalam Pasal 1 ayat 8 Buku I bahwa yang dimaksud dengan pengadilan dalam KHES ini adalah pengadilan/mahkamah syariah dalam lingkungan peradilan agama. Oleh karena itu, sebutan pengadilan yang antara lain terdapat dalam Pasal 2 ayat (2), Pasal 5 ayat (2) Buku I, Pasal 88 ayat (1), Pasal 89 ayat (1), dan Pasal 350 Buku II (tentang Akad), adalah untuk pengadilan agama/mahkamah syar`iah.

Bunyi ketentuan Pasal 2 ayat (2) Buku I adalah "Badan usaha yang berbadan hukum atau tidak berbadan hukum, dapat melakukan perbuatan hukum dalam hal tidak dinyatakan taflis/pailit berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap." Sedangkan bunyi Pasal 5 ayat (2) Buku yang sama adalah "Dalam hal badan hukum terbukti tidak mampu lagi berprestasi sehingga menghadapi kepailitan, atau tidak mampu membayar utang dan meminta permohonan penundaan kewajiban pembayaran utang, maka pengadilan dapat menetapkan kurator atau pengurus bagi badan hukum tersebut atas permohonan pihak yang berkepentingan."

Pasal 88 ayat (1) Buku II KHES berbunyi "Jika pembeli jatuh pailit setelah menerima barang yang dibelinya, kemudian meninggal dunia, namun belum membayarnya, maka penjual boleh menuntut pembeli untuk mengembalikan barang yang telah dijualnya." Sedangkan Pasal 89 ayat (I) Buku yang sama bnerbunyi "Jika penjual jatuh pailit setelah menerima pembayaran tetapi belum menyerahkan barang yang dijual kepada pembeli, barang tersebut dianggap barang titipan kepunyaan pembeli yang ada di tangan penjual." Dan dalam Pasal 350 ayat (1) Buku II KHES disebutkan "Apabila pemberi gadai meninggal dunia dalam keadaan pailit, pinjaman tersebut tetap berada dalam status harta gadai."

Pasal-pasal KHES yang dikutip di atas adalah pasal-pasal tentang: 1) kewenangan pengadilan agama (Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 5 ayat (2), dan – menurut penulis – kewenangan tersebut merupakan kewenangan khusus dalam perkara ekonomi syariah, 2) perkara-perkara yang menjadi bagian dari kompetensi absolut khususnya itu.

Dengan demikian, secara sekilas ada persinggungan kewenangan antara Peradilan Agama dan Pengadilan Niaga dalam lingkungan Peradilan Umum, dalam mengadili permohonan pernyataan pailit Bank Syariah atau Unit Usaha Syariah. Bagaimana tinjauan undang-undang tentang hal tersebut? Bagaimana tinjauan asas-asas umum peraturan perundang-undangan? Bagaimana pandangan ilmu hukum dan ilmu hukum Islam tentang hal tersebut? Dan bagaimana pandangan Mahkamah Agung tentang hal tersebut?

Page 9: Wewenang Pemailitan Lembaga Keuangan-ekonomi Syariah

Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan kewajiban Pembayaran Utang, bukan merupakan undang-undang tentang kewenangan, tetapi di dalamnya diatur tentang kewenangan mengadili perkara kepailitan, yaitu berada pada Pengadilan Niaga dalam lingkungan Peradilan Umum. Sedangkan UU Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang telah diubah (ditambah) dengan UU Nomor 3 Tahun 2006, merupakan undang-undang tentang kewenangan, tetapi masalah kepailitan tidak disebutkan secara eksplisit dalam undang-undang tersebut.

Penjelasan Pasal 54 ayat (1) UU Nomor 21 Tahun 2008 yang berbunyi "Keadaan suatu bank dikatakan mengalami kesulitan yang membahayakan kelangsungan usahanya apabila berdasarkan penilaian Bank Indonesia, kondisi usaha bank semakin memburuk, antara lain, ditandai dengan menurunnya permodalan, kualitas aset, likuiditas, dan rentabilitas, serta pengelolaan bank yang tidak dilakukan berdasarkan prinsip kehati-hatian dan asas perbankan yang sehat," juga tidak menyebutkan kata pengadilan dalam hubungannya dengan keadaan Bank yang mengalami kesulitan. Akan tetapi KHES yang didasarkan pada Perma Nomor 2 Tahun 2008, menyebutkan masalah kata pengadilan dalam hubungannya dengan kepailitan dalam pasal-pasal tentang kewenangan sebagaimana disebutkan dalam beberapa uraian sebelumnya. Mungkin muncul pertanyaan, dapatkah Peraturan Mahkamah Agung Nomor 02 Tahun 2008 menjadi peraturan pelaksanaan atas UU Nomor 21 Tahun 2008, sementara Perma tersebut tidak untuk undang-undang tersebut, tetapi untuk KHES?

Pasal 7 ayat (4) Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan berbunyi "Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi." Dan bunyi penjelasan atas ayat dari pasal tersebut adalah "Jenis Peraturan Perundang-undangan selain dalam ketentuan ini, antara lain, peraturan yang dikeluarkan oleh MPR dan DPR, DPD, MA. MK, BPK, BI, Menteri, kepala badan, lembaga,atau komisi yang setingkat yang dibentuk oleh undang-undang atau pemerintah alas perintah undang-undang, DPRD Provinsi, Gubernur, DPRD Kabupaten/Kota/Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat." Akan tetapi,Pasal 79 UU Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 5 Tahun 2004 dan UU Nomor 3 Tahun 2009, menyebutkan "Mahkamah Agung dapat mengatur lebih lanjut hal-hal yang diperlukan bagi kelancaran penyelenggaraan peradilan apabila terdapat hal-hal yang belum cukup diatur dalam Undang-undang ini."

Selanjutnya disebutkan dalam bagian pertama penjelasan pasal tersebut "Apabila dalam jalannya peradilan terdapat kukurangan atau kekosongan hukum dalam suatu hal, Mahkamah Agung berwenang membuat peraturan sebagai pelengkap untuk mengisi kekurangan atau kekosongan tadi. Dengan undang-undang ini Mahkamah Agung berwenang menentukan pengtaturan tentang cara penyelesaian suatu soal yang belum atau tidak diatur dalam undang-undang ini. Dalam hal ini peraturan yang dikeluarkan oleh Mahkamah Agung dibedakan dengan peraturan yang disusun oleh pembentuk undang-undang. Penyelenggaraan peradilan yang dimaksudkan undang-undang ini hanya merupakan bagian dari hukum acara secara keseluruhan".

Berdasarkan uraian di atas, Perma Nomor 02 Tahun 2008 dibuat tidak berdasarkan undang-undang dan tidak pula atas perintah undang-undang, sehingga keberadaannya tidak dipayungi oleh undang-undang terkait, tetapi berdasarkan UU tentang Mahkamah Agung sebagaimana tersebut di atas.

Page 10: Wewenang Pemailitan Lembaga Keuangan-ekonomi Syariah

Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto – sebagaimana dikutip oleh B. Hestu Cipto Handoyo – memperkenalkan enam asas undang-undang, yaitu: I. Undang-undang tidak berlaku surut. 2. Undang-undang yang dibuat oleh penguasa yang lebih tinggi mempunyai kedudukan yang lebih tinggi pula. 3. Undang-undang yang bersifat khusus menyampingkan undang-undang yang bersifat umum. 4. Undang-undang yang berlaku belakangan membatalkan undang-undang yang berlaku terdahulu. 5. Undang-undang tidak dapat diganggu gugat, dan 6. Undang-undang sebagai sarana untuk semaksimal mungkin dapat mencapai kesejahteraan spiritual dan materiil bagi masyarakat maupun individu, melalui pembaharuan atau pelestarian.

Dari keenam asas tersebut, menurut penulis, hanya asas ketiga yang dapat digunakan, yaitu asas "undang-undang yang bersifat khusus menyampingkan undang-undang yang bersifat umum." Dan sebagaimana diketahui, Undang undang Nomor 7 Tahun 1989 adalah undang-undang khusus untuk menyelesaikan sengketa antara orang-orang yang beragama Islam, dan setelah diubah dengan UU Nomor 3 Tahun 2006, kewenangan khusus tersebut ditambahkan pula dengan kewenangan mengadili perkara ekonomi syariah, sebagaimana tersebut dalam Pasal 49 huruf i berikut penjelasannya. Dengan demikian, undang-undang ini merupakan undang-undang khusus dengan kewenangan tambahan mengadili perkara sengketa ekonomi syariah, termasuk di dalamnya hal-hal yang terkait dengan kepailitan Bank Syariah dan/atau Unit Usaha Syariah, serta lembaga keuangan syariah lainnya. Pemahaman tersebut merupakan penafsiran atas keumuman tambahan kewenangan atas UU Nomor 7 Tahun 1989 sebagaimana tersebut dalam UU Nomor 3 Tahun 2006. Artinya, untuk perkara ekonomi syariah, ketentuan dalam undang-undang yang bersifat umum, dalam hal ini UU Nomor 37 Tahun 2004, dikesampingkan, dan ketentuan tersebut dikembalikan dalam menyelesaikan sengketa ekonomi non syariah.

Kekhususan sebagaimana dimaksud di atas disebutkan pula dalam konsideran Menimbang huruf c dan d UU Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, yang masing-masing berbunyi: "Bahwa perbankan syariah memiliki kekhususan dibandingkan dengan perbankan konvensional" (huruf c), dan "Bahwa penyusunan mengenai perbankan syariah di dalam UU Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 10 Tahun 1998 belum spesifik sehingga perlu diatur secara khusus dalam suatu undang- undang tersendiri." (huruf d).

Dalam tinjauan Ilmu Hukum Islam (Usul Fikih), UU Nomor 37 Tahun 2004 bersifat umum, sedangkan UU Nomor 3 Tahun 2006 yang diundangkan beberapa tahun sesudahnya, tidak dianggap membatalkan UU Nomor 37 Tahun 2004, tetapi mentakhsis keumuman kewenangan pemailitan pada Pengadilan Niaga dalam lingkungan Peradilan Umum, hanya pada perkara ekonomi syariah. Sedangkan perkara ekonomi non-syariah, tidak termasuk yang ditakhsiskan sehingga kewenangan pemailitannya tetap berada pada Pengadilan Niaga dalam lingkungan Peradilan Umum.

Pemahaman lainnya adalah dengan memasukkan masalah kepailitan Perbankan Syariah dengan sejumlah kewenangan Peradilan Agama sebagaimana tersebut dalam Pasal 49 huruf I berikut penjelasannya, dengan pemahaman bahwa masalah kepailitan perbankan syariah termasuk bagian kecil dari perbankan syariah, dan menurut kaidah, Indira al-ashghar fi al-'akbar, atau yang kecil dimasukkan pada yang besar.

Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan di atas, penulis berpendapat bahwa kewenangan pemailitan perbankan syariah atau unit usaha syariah berada pada Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama. Namun, berbagai pendapat akan muncul mengenai kewenangan pemailitan

Page 11: Wewenang Pemailitan Lembaga Keuangan-ekonomi Syariah

perbankan syariah atau unit usaha syariah, dengan berbagai pemahaman dan sudut pandang yang beragam, yang menuntut Pimpinan Mahkamah Agung untuk menyelesaikannya.

Dalam upaya menyelesaikan berbagai sudut pandang kewenangan pemailitan Lembaga Keuangan-Ekonomi Syariah mperlu diupayakan penyusunan Rancangan Undang-undang tentang Kepailitan dan Penundaan kewajiban Pembayaran Utang Lembaga Keuangan-Ekonomi Syariah, atau melakukan perubahan atas Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan kewajiban Pembayaran Utang perlu dilakukan perubahan dengan menambahkan penjelasan tentang: 1) hal-hal yang terkait dengan ekonomi Syariah dan 2) yang dimaksud dengan Pengadilan dalam menyelesaikan perkara ekonomi Syariah adalah Pengadilan Agama / Mahkamah Syar`iyah setelah Perma Khusus tentang Pedoman Pemailitan Bank Syariah dan/atau Unit Usaha Syariah setelah pengundangan Undang-undang Nomor 21 Tahun 2008,

Kesimpulan :

berdasarkan uraian di atas, dapat ditarik berkesimpulan sebagai berikut:

a.kewenangan memailitkan Bank Syariah atau Unit Usaha Syariah pada Bank Umum dapat menjadi titik singgung antara Pengadilan Niaga dalam lingkungan Peradilan Umum dan Peradilan Agama.

b. berbagai pemahaman dan sudut pandang yang beragam akan muncul mengenai kewenangan perbankan syariah atau unit usaha syariah.

Saran :

untuk menyelesaikan berbagai sudut pandang – jika ada – penulis menyampaikan saran sebagai berikut:

a. perlu dibuat Undang-undang yang mengatur wewenang pemailitan Bank Syariah, Unit Usaha Syariah, dan/atau LembagaKeuangan-Ekonomi Syariah.

b. setelah pengundangan Undang-undang Nomor 21 Tahun 2008, Undang undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan kewajiban Pembayaran Utang perlu dilakukan perubahan dengan menambahkan penjelasan tentang: 1) hal-hal yang terkait dengan ekonomi Syariah dan 2) yang dimaksud dengan Pengadilan dalam menyelesaikan perkara ekonomi Syariah adalah Pengadilan Agama / Mahkamah Syar`iyah setelah Perma Khusus tentang Pedoman Pemailitan Bank Syariah dan/atau Unit Usaha Syariah.

c. Selama undang-undang sebagaimana dimaksud angka 2 di atas belum ada, Perma Nomor 02 Tahun 2008 merupakan regulasi dalam melakukan pemailitan Bank Syariah, Unit Usaha Syariah, dan atau Lembaga Keuangan-Ekonomi Syariah.

http://www.timoer.infomediailmiah.blogspot.com/

http://www.yahoo.com/

http://www.google.com/

http://www.cnn.com/

http://www.detik.com

Page 12: Wewenang Pemailitan Lembaga Keuangan-ekonomi Syariah

Dafatar Pustaka

Al-Ahwani, Ahmad Fuad 1995: Filsafat Islam, (cetakan 7), Jakarta, Pustaka Firdaus (terjemahan Pustaka Firdaus).

Ary Ginanjar Agustian, 2003: Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosi dan Spiritual ESQ, Berdasarkan 6 Rukun Iman dan 5 Rukun Islam, (edisi XIII), Jakarta, Penerbit Arga Wijaya Persada.

----------2003: ESQ Power Sebuah Inner Journey Melalui Al Ihsan, (Jilid II), Jakarta, Penerbit ArgaWijaya Persada.

Avey, Albert E. 1961: Handbook in the History of Philosophy, New York, Barnas & Noble, Inc.

-----------Bertens.Dr.K. Sejarah Filsafat Yunani, Yogyakarta, 1975.

-----------Bertens. Dr.K Ringkasan Sejarah Filsafat, Yogyakarta , 1976.

----------- Beerling,Dr.R.F.Filsafat dewasa ini, Jilid I, II, Jakarta, 1958.

Bochenski, J.M.Contemporary European Philosophy, translated bay D. Nichol and K. Aschenbrenner, London and Berkeley, 1956.

B. Hestu Cipto Handoyo, Prinstp-prinsip Legal Drafting & Desain Naskah Akademis. (Yogyakarta: Universitas Atma Jaya, 2008), h. 73, mengutip Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto, da la m: Rosjidi Ranggawijaya, Pengantar Ilmu Perundang-undangan Indonesia..Center for Civic Education (CCE) 1994: Civitas National Standards For Civics and Government, Calabasas, California, U.S Departement of Education.

-----------Collins,J.A .History of Modern Eurapean Philosophy, Milwaukee, 1954.

-----------Copleston,F.A. Historys of Philosophy, London.

Vol. I. Greece and Rome 1946.

Vol II. Mediaevl Phalosophy, Augustine to Scotus, 1950.

Vol III . Ockham to Snarez, 1953.

Vol IV. Descartes to Leibniz, 1958.

Vol V . Hobbes to home, 1959.

Vol VI. The French Englightenment to Kent, 1960.

Vol VII. Fichte to Nietzsche, 1963.

Vol VIII. Britis Empirism and the Idealist Movement in Great Britain and Idealisme in Amirica, The Pragmatist movement, The Revolt against Idealisme, 1967.

-----------Dirjarkara, Prof.Dr.N.Pertjikan Filsafat, Jakarta, 1966.

-----------Durant Wil, The Story of Philosophy, NewYork, 1952.

Page 13: Wewenang Pemailitan Lembaga Keuangan-ekonomi Syariah

Friedman, W.”Teori Dan Filsafat Hukum (Judul Asli : “LegalTheory”).Penerjemah Muhammad Arifin, Jakarta : CV.Rajawali. 1990.

Fadjar, ”beraneka ragam itu semua berasal dari materi atau benda yaitu sesuatu yang berbentuk dan menempati ruang serta kedudukan nilai benda/badan/materi adalah lebih tinggi daripada roh/sukma/jiwa/spirit”, 2007: 1-2.

-----------Fuller, B.A.G (Ph.D) History of Greek Philosophy, New York, 1923.

----------- Gilson Etiene, History of Christian Philosophy in the Middie Ages, New York, 1954.

Gunawan Widjaja, Refleksi Sepuluh Tahun UU Kepailitan dan Antisipasi Dampak Krisis Moneter Global: Kapasitas dan Efektivitas Pengadilan Niaga. (Jakarta: Jurnal Hukum Bisnis, 2009), volume 28 No. 1 Tahun 2009.

Harold H. Titus. Living Issues in Philosophya, New York : Amirika Book Company, Thirdd Edition 1959.

Hirschaberger,J.The History of Philosophy, translated by in Nineteenth Century, New York, 1967.Kartohadiprodjo, Soediman, 1983: Beberapa Pikiran Sekitar Pancasila, cetakan ke-4, Bandung, Penerbit Alumni.

Kelsen, Hans 1973: General Theory of Law and State, New York, Russell & Russell.Loewith,K.From hegel to Nietzsche, The revolution in Nineteenth Century, New York, 1967.

Mertokusumo, ”Dengan kaidah sosial hendak dicegah gangguan-gangguan maupun konflik kepentingan manusia, sehingga diharap manusia dapat terlindungi kepentingan-kepentingannya”, 1999- 10, 1999-12, 1999: 167.

Mohammad Noor Syam, ” Pembudayaan Nilai Pancasila Sebagai Sistim Filsafat Dan Idiologi Nasional”Laboratorium Pancasila,Universitas Negeri Malang (UM), Malang, 30 November 2007

Masruri dan Rosidy dalam Fadjar, ”Epistemologi adalah yang terkait dengan cara ilmu memperoleh dan menyusun tubuh pengetahuan”, 2007: 4.

McCoubrey & Nigel D White 1996: Textbook on Jurisprudence (second edition), Glasgow, Bell & Bain Ltd.

Mohammad Noor Syam 2007: Penjabaran Fislafat Pancasila dalam Filsafat Hukum (sebagai Landasan Pembinaan Sistem Hukum Nasional), disertasi edisi III, Malang, Laboratorium Pancasila.

Murphy, Jeffrie G & Jules L. Coleman 1990: Philosophy of Law An Introduction to Jurisprudence, San Francisco, Westview Press.

Nawiasky, Hans 1948: Allgemeine Rechtslehre als System der rechtlichen Grundbegriffe, Zurich/Koln Verlagsanstalt Benziger & Co. AC.

Notonagoro, 1984: Pancasila Dasar Filsafat Negara, Jakarta, PT Bina Aksara, cetakan ke-6.

Page 14: Wewenang Pemailitan Lembaga Keuangan-ekonomi Syariah

Punadi Purbacaraka, Ridwan Halim.Filsafat Hukum Pidana.Jakarta :CV.Rajawali 1982.Pound, roscoe.Pengantar Filsafat Hukum.Penerjemah : Muhammad Rajab. Jakarta : Bhratara, 1972.

---------- Poedjowijatno, I.R, Pembimbing kearah Ilmu Filsafat, Jakarta, 1963.

---------Peraturan Mahkamah Agung Nomor 02 Tahun 2008 tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah.

Radhakrishnan, Sarpavalli, et. al 1953: History of Philosophy Eastern and Western, London, George Allen and Unwind Ltd.

Rasyid, ”yang meliputi peraturan yang mengatur seluruh aspek kehidupan manusia secara komprehensif, melainkan sebatas hukum Islam yang menyangkut aspek keperdataan tertentu saja. Itulah yang menjadi hukum yang hidup (living law) dan selebihnya seperti aturan-aturan yang menyangkut aspek peribadatan dan lain sebagainya masih belum menjadi hukum yang hidup dimasyarakat”, 1991 : 6.

--------- Rudi T.Erwin. Tanya jawab Filsafat Hukum.Jakarta : Aksara Baru, 1982.

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang tentang Kepailitan dan Penundaan kewajiban Pembayaran Utang.

Republik Indonesia, Undang-undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.

Republik Indonesia, Pancasila Dasar Negara Republik Indonesia (Wawasan Sosio-Kultural, Filosofis dan Konstitusional), edisi II, Malang Laboratorium Pancasila, 2000.

---------- Sutikno.Filsafat Hukum.Jakarta :CV.Prima,1973.

Sentosa Sembiring, Hukum Kepailitan dan peraturan Perundang-undangan yang Terkait dengan Kepailitan, (Bandung: Nuansa Aulia, 2006), cet. I, h. 11, mengutip Sutan Remy Syandeni, Hukum Kepailitan, (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 2002).

Suriasumantri, ”Hukum barat yang bercorak kapitalistik dan individualistik memiliki dasar ontologis monisme yaitu materialisme,bahwa hakekat dari kenyataan yang ada, 1990: 93.

Sumardjono, ”siklus ilmu pengetahuan sebagaimana digambarkan oleh L. Wallace di dalam bukunya The Logic of Science in Sociology”, 1989: 3.

---------- Rupert, Lodge,F.R.S.The Great Thinkers, Boston, 1951.

----------Russel, Bertrant. A. History of Western Philosophy, London, 1947.

Sumardjono, ”siklus ilmu pengetahuan sebagaimana digambarkan oleh L. Wallace di dalam bukunya The Logic of Science in Sociology”, 1989: 3.

Saptariani, N. Potret Perspektif Keadilan Gender dalam Pengelolaan SDA di Indonesia. Jurnal Perdikan.

Soejono Soekanto, Mengenai Sosiologi Hukum, Bandung, PT. Citra Bakti, 1989.Teguh Pudjo Mulyono, “Anlisis Laporan Keuangan untuk Perbankan”, Penerbit Djambatan ,

Page 15: Wewenang Pemailitan Lembaga Keuangan-ekonomi Syariah

Jakarta, 1999. UNO 1988: HUMAN RIGHTS, Universal Declaration of Human Rights, New York, UNO

Republik Indonesia, UUD 1945, UUD 1945 Amandemen, Tap MPRS – MPR RI dan UU yang berlaku. (1966; 2001, 2003)

---------- Wright,W.K, A history of modern European Philosophy, New York, 1941.

Wiliam Zelernyer. Internasional to Bussines Law The Macmillan Company, New York. London : Collier-Macmillan Limited, 1964.

Wilk, Kurt (editor) 1950: The Legal Philosophies of Lask, Radbruch, and Dabin, New York, Harvard College, University Press.

Zainuddi Ali, MA, Sosiologi Hukum. Penerbit : Yayasan Mayarakat Indonesia Baru. Palu,

Zulkarnain Sitompul, Antisipasi Krisis Perbankan Jilid Dua: Sudah Siapkah Pranata Hukum Melindungi Nasabah dan Memperkuat Industri Perbankan?, (Jakarta: Jurnal Hukum Bisnis, 2009), volume 28 No. 1 Tahun 2009.

Republik Indonesia, Pancasila Dasar Negara Republik Indonesia (Wawasan Sosio-Kultural, Filosofis dan Konstitusional), edisi II, Malang Laboratorium Pancasila, 2000.