Wewenang

14
Wewenang & tanggung-jawab dokter pada tindakan bedah kulit kosmetik Pada dasarnya suatu profesi memiliki tiga syarat utama, yaitu diperoleh melalui pelatihan yang ekstensif, memiliki komponen intelektual yang bermakna dalam melakukan tugasnya, dan memberikan pelayanan yang penting kepada masyarakat. Selain itu juga memiliki tiga syarat umum, yaitu sertifikasi, organisasi profesi, dan otonomi dalam bekerja. Pemberian sertifikasi dilakukan tidak sekali untuk selamanya, melainkan harus selalu memperoleh validasi melalui proficiency check. Otonomi mengakibatkan kelompok profesi ini menjadi “eksklusif” dan memerlukan self regulation dalam rangka menjaga tanggung-jawab moral dan tanggung-jawab profesinya kepada masyarakat. Mereka umumnya memiliki etika profesi dan standar profesi serta berbagai tatanan yang menunjang upaya self regulation tersebut 1 . Profesi Kedokteran adalah contoh utama profesi dengan ciri-ciri tersebut di atas. Profesi kedokteran pula yang memulai mempromosikan dirinya sebagai profesi yang memiliki etika profesi dengan mengumandangkan sumpah pada awal kariernya. Profesi kedokteran juga profesi pertama yang bersumpah untuk mengabdikan dirinya bagi kemanusiaan 2,3,4 . Jenis hubungan dokter-pasien sangat dipengaruhi oleh etika profesi kedokteran, sebagai konsekuensi kewajiban profesi yang memberikan batasan atau rambu-rambu hubungan tersebut. Kewajiban tersebut tertuang di dalam prinsip moral profesi, yaitu autonomy (menghormati hak-hak pasien), beneficence (berorientasi kepada kebaikan pasien), non maleficence (tidak mencelakakan atau memperburuk keadaan pasien) dan justice (keadilan distribusi, meniadakan diskriminasi) yang disebut sebagai prinsip utama. Prinsip turunannya adalah veracity (kebenaran = truthfull information), fidelity (kesetiaan), privacy, dan confidentiality (menjaga kerahasiaan) 1,2,3,4 . Sebagaimana layaknya hubungan antara profesional dengan klien pada umumnya, maka hubungan antara dokter dengan pasien juga mengikuti alternatif jenis hubungan yang sama. Pada awalnya hubungan dokter – pasien adalah hubungan yang bersifat paternalistik, dengan prinsip moral utama adalah beneficence. Sifat hubungan paternalistik ini kemudian dinilai telah mengabaikan nilai otonomi pasien, dan dianggap tidak sesuai dengan perkembangan moral (orang Barat) saat ini, sehingga berkembanglah teori hubungan kontraktual (sekitar tahun 1972-1975). Konsep ini muncul dengan merujuk kepada teori social contract di bidang politik. Veatch 5 mengatakan bahwa dokter dan pasien adalah pihak-pihak yang bebas, yang meskipun memiliki perbedaan kapasitas dalam membuat

description

wewenang

Transcript of Wewenang

Page 1: Wewenang

Wewenang & tanggung-jawab dokter pada tindakan bedah kulit kosmetik

Pada dasarnya suatu profesi memiliki tiga syarat utama, yaitu diperoleh melalui pelatihan yang ekstensif, memiliki komponen intelektual yang bermakna dalam melakukan tugasnya, dan memberikan pelayanan yang penting kepada masyarakat. Selain itu juga memiliki tiga syarat umum, yaitu sertifikasi, organisasi profesi, dan otonomi dalam bekerja. Pemberian sertifikasi dilakukan tidak sekali untuk selamanya, melainkan harus selalu memperoleh validasi melalui proficiency check. Otonomi mengakibatkan kelompok profesi ini menjadi “eksklusif” dan memerlukan self regulation dalam rangka menjaga tanggung-jawab moral dan tanggung-jawab profesinya kepada masyarakat. Mereka umumnya memiliki etika profesi dan standar profesi serta berbagai tatanan yang menunjang upaya self regulation tersebut 1.

Profesi Kedokteran adalah contoh utama profesi dengan ciri-ciri tersebut di atas. Profesi kedokteran pula yang memulai mempromosikan dirinya sebagai profesi yang memiliki etika profesi dengan mengumandangkan sumpah pada awal kariernya. Profesi kedokteran juga profesi pertama yang bersumpah untuk mengabdikan dirinya bagi kemanusiaan 2,3,4.

Jenis hubungan dokter-pasien sangat dipengaruhi oleh etika profesi kedokteran, sebagai konsekuensi kewajiban profesi yang memberikan batasan atau rambu-rambu hubungan tersebut. Kewajiban tersebut tertuang di dalam prinsip moral profesi, yaitu autonomy (menghormati hak-hak pasien), beneficence (berorientasi kepada kebaikan pasien), non maleficence (tidak mencelakakan atau memperburuk keadaan pasien) dan justice (keadilan distribusi, meniadakan diskriminasi) yang disebut sebagai prinsip utama. Prinsip turunannya adalah veracity (kebenaran = truthfull information), fidelity (kesetiaan), privacy, dan confidentiality (menjaga kerahasiaan) 1,2,3,4.

            Sebagaimana layaknya hubungan antara profesional dengan klien pada umumnya, maka hubungan antara   dokter   dengan   pasien   juga  mengikuti   alternatif   jenis   hubungan   yang   sama.   Pada   awalnya hubungan dokter  –  pasien adalah hubungan yang bersifat  paternalistik,  dengan prinsip moral  utama adalah beneficence.  Sifat hubungan paternalistik ini kemudian dinilai telah mengabaikan nilai otonomi pasien,   dan   dianggap   tidak   sesuai   dengan   perkembangan   moral   (orang   Barat)   saat   ini,   sehingga berkembanglah   teori   hubungan   kontraktual   (sekitar   tahun   1972-1975).   Konsep   ini   muncul   dengan merujuk kepada teori social contract di bidang politik. Veatch 5  mengatakan bahwa dokter dan pasien adalah   pihak-pihak   yang   bebas,   yang   meskipun   memiliki   perbedaan   kapasitas   dalam   membuat keputusan,  tetapi  saling menghargai.  Dokter  akan mengemban tanggungjawab atas segala keputusan teknis, sedangkan pasien tetap memegang kendali keputusan penting, terutama yang terkait dengan nilai moral  dan gaya hidup pasien.  Hubungan kontrak mengharuskan terjadinya pertukaran  informasi  dan negosiasi   sebelum   terjadinya   kesepakatan,   namun   juga  memberikan   peluang   kepada   pasien   untuk menyerahkan pengambilan keputusan kepada dokter.

            Walaupun hubungan dokter-pasien ini bersifat kontraktual, namun mengingat sifat

praktek kedokteran yang berdasarkan ilmu empiris, maka prestasi kontrak tersebut bukanlah

hasil yang akan dicapai (resultaat verbintennis) melainkan upaya yang sungguh-sungguh

(inspannings-verbintennis). Profesi dokter yang menggeluti bidang kosmetik seringkali terjebak

untuk “memperjanjikan” hasil seperti pada resultaat verbintennis. Hal itu berbahaya oleh karena

Page 2: Wewenang

hasil dari tindakan dokter umumnya tidak dapat dipastikan 100%. Hubungan kontrak semacam

itu harus dijaga dengan peraturan perundang-undangan dan mengacu kepada suatu standar

atau benchmark tertentu. Leenen mengatakan bahwa standar profesi kedokteran tersebut

memiliki 5 unsur, yaitu (1) teliti,  seksama, berhati-hati; (2) sesuai dengan ukuran medik; (3)

kemampuan rata-rata; (4) situasi dan kondisi yang sama; dan (5) upaya yang proporsional

dengan tujuan 6.

Dalam  menjaga   hubungan   dokter-pasien   tersebut   maka   sejak   sebelum  Masehi   telah   ada Code of Hammurabi yang memberikan ancaman pidana bagi dokter yang karena salahnya telah mengakibatkan cedera atau matinya pasiennya, dan Code of Hittites yang mewajibkan dokter untuk membayar ganti rugi kepada pasiennya yang terbukti telah dirugikan karena kesalahannya / kelalaiannya 7,8.

            Dengan menganggap bahwa teori kontrak telah terlalu menyederhanakan nilai hubungan dokter dengan   pasien,   maka   Smith   dan   Newton   (1984) 1  lebih   memilih   hubungan   yang   berdasar atas virtue sebagai   hubungan   yang   paling   cocok   bagi   hubungan   dokter-pasien,   dengan   tanpa mengabaikan   bentuk   hubungan   kontraktual.   Hubungan   kontrak  mereduksi   hubungan   dokter-pasien menjadi   “peraturan”  dan   “kewajiban”   saja,   sehingga   seseorang  dokter  dianggap   “baik”  bila   ia   telah melakukan  kewajiban  dan  peraturan   (followed the rules)   sehingga  biasa  disebut   sebagai bottom line ethics.   Hubungan   kontrak   tidak   lagi   mengindahkan empathy, compassion,   perhatian,   keramahan, kemanusiaan,   sikap   saling   mempercayai,   itikad   baik,   dll   yang   merupakan   bagian   dari virtue-based ethics (etika   berdasar   nilai   kebajikan/keutamaan).   Pada   hubungan   dokter-pasien   yang virtue-based dirumuskan bahwa hubungan itu bertumbuh dan berkembang sedemikian rupa sehingga tidak ada satu   ketentuan   pun   yang   ditentukan   pada   permulaan   yang   berlaku   untuk   seterusnya.   Baik   dokter maupun pasien harus tetap berdialog untuk menjaga berjalannya komunikasi dalam rangka mencapai tujuan bersama, yaitu kesejahteraan pasien. Tentu saja komunikasi  yang baik tersebut membutuhkan prinsip-prinsip moral di atas,  termasuk informed consent  yang berasal dari prinsip autonomy.Informed consent bukanlah sekedar upaya memperoleh persetujuan tindakan medis, melainkan merupakan upaya menjelaskan segala sesuatu kepada pasien dan menyerahkan kepada pasien yang telah “mengerti dan mampu  membuat   keputusan   yang   tepat”  untuk  menentukan   sendiri   apa  yang  akan  dilakukan  pada dirinya 3,4,5,6,7,8.

Kemampuan atau competency diperoleh seseorang profesional dari pendidikan atau pelatihannya, sedangkan kewenangan atau authority diperoleh dari penguasa atau pemegang otoritas di bidang tersebut melalui pemberian ijin. Kewenangan memang hanya diberikan kepada mereka yang memiliki kemampuan, namun adanya kemampuan tidak berarti dengan sendirinya memiliki kewenangan. Selain itu, oleh karena suatu kemampuan didapat secara berjenjang, maka kewenangan yang diberikan pun juga berjenjang. Kemampuan “temuan baru” baru diakui sebagai kemampuan di bidang profesi (kedokteran) apabila kemampuan tersebut berlandaskan kepada teori dan metodologi ilmiah yang telah teruji serta diterima oleh peer review (golden standard). Hal itu sesuai dengan salah satu prinsip perilaku standar American Medical Association, yaitu :physician should practice a method of healing founded upon a scientific basis 6,8,9,10.

Page 3: Wewenang

Dalam profesi kedokteran hanya kewenangan yang bersifat umum saja yang diatur oleh Departemen

Kesehatan sebagai penguasa segala keprofesian di bidang kesehatan dan kedokteran, sedangkan

kewenangan yang bersifat khusus, dalam arti tindakan kedokteran atau kesehatan tertentu,

diserahkan pengaturannya pada profesi masing-masing. Hal itu nyata dalam Permenkes No

916/1997 tentang ijin praktek tenaga medis yang mensyaratkan rekomendasi IDI/PDGI dalam bidang

kompetensi, kesehatan fisik dan mental serta etika.  Departemen Kesehatan mengatur tentang ijin

praktek dokter umum atau dokter spesialis, akan tetapi batas kewenangan masing-masing dokter

umum dan dokter spesialis tersebut diatur lebih jauh oleh organisasi profesinya, yaitu IDI beserta

Perhimpunan Dokter Spesialis di dalam jajaran IDI. Prinsip tersebut dikenal sebagai prinsip

subsidiaritas atau desentralisasi fungsional. Hal fungsional yang dapat diselesaikan organisasi

dibawahnya tak lagi "dikangkangi" pemerintah. Pemerintah dalam konsepreinventing

government hanya akan menjadi sekadar steering and rowing. Pertimbangan yang digunakan adalah

kelayakan dan kepatutan profesi, kepentingan pasien atau masyarakat pada umumnya, serta waktu

dan tempat.  Penilaian kelayakan dan kepatutan profesi dapat dilaksanakan dengan mengacu

kepada landasan ilmiah atau keahlian yang menjadi dasarnya atau mengacu kepada profesi yang

bersangkutan di negara lain pada umumnya. Hal itu juga telah diantisipasi oleh pemerintah ketika

saat ini tengah menggodok RUU praktek kedokteran yang didalamnya terdapat pembentukan

lembaga baru: Konsil Kedokteran Indonesia, sebagai lembaga atribusian. Waktu dan tempat sangat

mempengaruhi tingkat kemampuan yang diperlukan untuk memperoleh suatu kewenangan

tertentu 8,9,10.

Di dalam hal terdapat kompetensi  (dan kewenangan sebagai konsekuensinya) yang tumpang tindih di antara  beberapa  cabang   spesialis,  maka  dicarilah  kesepakatan  diantara  mereka  yang   terlibat  untuk  membagi kewenangan secara adil. Kesepakatan ini sebaiknya terjadi pada tingkat nasional diantara para pengurus organisasi profesi terkait dan dipatuhi oleh seluruh anggota profesi yang bersangkutan. Bentuk hukum keluarannya adalah dokumen konsensus (suatu telaah hukum administrasi negara/profesi) yang bersifat mengikat ke dalam (beberapa waktu  kemudian  akan  mengikat  ke   luar   setelah  pihak  pemerintah  mengakuinya).  Apabila  oleh  karena  alasan tertentu hal itu tidak atau sukar terjadi, maka kesepakatan tersebut setidaknya harus diambil pada tingkat institusi kesehatan, misalnya pada tingkat rumah sakit atau klinik. Hal tersebut merupakan produk hospital bylaws yang dibuat   dan   ditegakkan   oleh   direksi   RS/klinik,   dengan   atau   tanpa   Komite   Medik   atau   lembaga   pembantu lainnya. Hospital bylaws mengikuti   perkembangan   iptekdok   dan   senantiasa   diaudit,   antara   lain   melalui peer review 7,8.

Page 4: Wewenang

Tanggung-jawab dalam arti responsibility adalah sikap moral untuk melaksanakan kewajibannya, sedang tanggung-jawab dalam arti liability adalah sikap hukum untuk mempertanggungjawabkan pelanggaran atas kewajibannya atau pelanggaran atas hak pihak lain. Joling 11 memberikan pengertian responsibility sebagai "Responsibility  refers to the quality of being morally, legally or mentally accountable", sedangkan Black's Law Dictionary mengartikan responsibility sebagai "the state of being answerable for an obligation, include judgment, skill and capacity" dan liability sebagai "condition of being actually or potentially subject to an obligation; condition of being responsible for a possible or actual loss, penalty, evil expenses or burden; condition with create a duty to perform act immediately or in the future".

Dalam dunia kedokteran terdapat dua pihak yang bisa menjadi penanggungjawab, yaitu institusi penyelenggara pelayanan kedokteran dan profesional pelaksana pelayanan kedokteran.

Institusi berkewajiban untuk menyediakan semua sumber daya yang dibutuhkan dengan kualitas yang memadai, menyediakan fasilitas dan instrumentasi kedokteran yang berfungsi baik, menyediakan bylaws dan prosedur standar yang harus diikuti oleh seluruh profesional, serta melakukan pengawasan atas semua penyelenggaraan pelayanan kedokteran di institusi tersebut. Institusi bertanggungjawab sendiri sebagai korporasi, baik yang bersifat public liability maupun medical liability.  Di bidang hukum perdata institusi juga bertanggungjawab atas perbuatan orang-orang yang berada dalam tanggungannya (respondeat superior, pasal 1367 KUH Perdata) 12.

Profesional bertanggungjawab atas hal-hal yang menjadi kewajibannya, yaitu yang berada di dalam domain medical liability. Dalam hal ini umumnya dikenal tanggungjawab etik dan tanggungjawab hukum. Tanggungjawab etik umumnya meliputi tanggungjawab disiplin profesi, sedangkan ke dalam tanggung-jawab hukum termasuk tanggungjawab hukum pidana, perdata dan administratif. Dalam kaitannya dengan medical liability inilah kita mengenal istilah malpraktek medis.

Malpraktek medis  adalah: "mistreatment of a disease  or  injury through ignorance, carelessness or criminal intent",  atau  "improper treatment of patient by medical attendant; illegal  action for one's own benefit while in position of trust". 1

Pengertian malpraktek medis di atas merupakan pengertian sejak awal diperkenalkannya istilah tersebut, yang meliputi malpraktek pidana (criminal malpractice), malpraktek perdata (civil malpractice), dan malpraktek etik (ethical malpractice). Kemudian banyak ahli berpendapat bahwa malpraktek pidana tidak  perlu   lagi  disebut  malpraktek,  melainkan cukup disebut  sebagai  tindak  pidana;  demikian  pula dengan  malpraktek   etik   yang   lebih   biasa  disebut   sebagai   pelanggaran   etik.   Pada  akhirnya   sebutan malpraktek medis hanya digunakan pada jenis malpraktek medis perdata saja. 7,8

World  Medical   Association   (1992)  memberikan  definisi   :   "medical  malpractice   involves   the physician's failure to conform to the standard of care for treatment of the patient’s condition, or lack of skill,   or  negligence   in  providing   care   to   the  patient,  which   is   the  direct   cause  of   an   injury   to   the patient."14

Page 5: Wewenang

Dalam UU Kompensasi Asuransi dan Rehabilitasi Kecelakaan 1992 di New Zealand dikenal istilah "medical  error"  yang diartikan sebagai  "the  failure of  a  registered health  professional   to  observe a standard of care and skill reasonably to be expected in the circumstances". 7,13

            WMA mengingatkan bahwa tidak semua kegagalan medis adalah akibat malpraktek medis. Suatu peristiwa   buruk   yang   tidak   dapat   diduga   sebelumnya   (unforeseeable)   yang   terjadi   saat   dilakukan tindakan medis yang sesuai standar tetapi mengakibatkan cedera pada pasien tidak termasuk ke dalam pengertian malpraktek.  "An injury occurring  in the course of medical  treatment which could not be foreseen and was not the result of the lack of skill or knowledge on the part of the treating physician is untoward result, for which the physician should not bear any liability". 14

UU New Zealand menyebutkan pula istilah medical mishap yang berarti an adverse consequence of treatment by a registered health professional,  properly given,  if  (a) the  likelihood of the adverse consequence of the treatment occurring is rare; and (b) the adverse consequence of the treatment is severe. 7,13

Pertanggung-jawaban suatu malpraktek medis (perdata) biasanya berdasarkan kepada hubungan hukum yang timbul:

1. Wanprestasi atas kontrak antara dokter (langsung atau melalui rumah sakit atau institusi kesehatan lainnya) dengan pasien. Sebagaimana biasanya, hubungan kontraktual ini biasa disebut sebagai inspanningsverbinntenis, yang berarti kontrak yang tidak menjanjikan hasilnya melainkan menjanjikan upayanya. Dalam hal itu, secara eksplisit ataupun implisit, dianggap dokter (dan atau institusi kesehatannya) berjanji akan melakukan upaya yang memadai atau sesuai standar profesi dalam menangani pasien (reasonable care) 8,12. Dengan demikian apabila dokter tidak menepati "janjinya" untuk memberikan upaya yang layak atau memadai dapat dianggap sebagai tindakan wanprestasi (tidak menepati janji). Dasar hukum gugatan wanprestasi adalah Pasal 1338 KUH Perdata.12 "Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya". Dalam praktek, pembuktian janji yang implisit seringkali sukar dilakukan, sehingga pembuktian wanprestasi juga mengalami hambatan.

2. Perbuatan melanggar hukum (PMH) yang umumnya bersifat kelalaian (tort of negligence), yaitu suatu pelanggaran atas kewajiban untuk memberikan perawatan medis sehingga mengakibatkan cedera atau kerugian bagi pasien. Kadang-kadang juga terjadi suatu perbuatan melawan hukum yang bersifat kesengajaan (intentional tort or battery), yaitu misalnya melakukan tindakan medis tanpa adanya consent, meskipun untuk tujuan menyelamatkan pasien. Dasar hukum gugatan perbuatan melanggar hukum adalah Pasal 1365 KUH Perdata12. "Tiap perbuatan melanggar hukum yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajjibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian tersebut, mengganti kerugian tersebut". Tanggung-jawab tersebut juga bagi kerugian akibat kelalaian atau kekurang hati-hatian (pasal 1366) dan akibat perbuatan orang-orang yang menjadi tanggungannya (pasal 1367).

3. Pelanggaran wajib simpan rahasia pekerjaan/kedokteran. Pelanggaran ini dapat berkonsekuensi tanggungjawab pidana berdasarkan pasal 322 KUHP, perdata berdasarkan perbuatan melanggar hukum, dan administratif. 15,16

Page 6: Wewenang

Dengan berdasarkan pengertian di atas, maka terdapat empat kriteria untuk mengatakan bahwa sesuatu peristiwa adalah suatu malpraktek medis (kelalaian medis), yaitu :

1. Adanya duty (kewajiban) yang harus dilaksanakan.2. Adanya dereliction/breach of that duty (penyimpangan kewajiban).3. Terjadinya damage (kerugian)4. Terbuktinya direct causal relationship (hubungan kausal langsung) antara pelanggaran

kewajiban dengan kerugian.

Perlu diingat pula bahwa suatu kelalaian juga dapat merupakan tindak pidana, yaitu apabila kelalaian tersebut adalah kelalaian yang "besar" atau gross negligence atau culpa lata (pasal 359, 360 dan 361 KUHP). 15,16

Kewajiban di atas adalah kewajiban untuk melakukan upaya perawatan yang memadai (reasonable care), berupa kewajiban kepada pasien akibat hubungan kontraktual diantara keduanya (dokter - pasien).

Dalam hal hubungan kontrak yang terjadi adalah antara dokter dengan pihak lain (perusahaan atau asuransi) dan pasien adalah “hanya” subyek yang akan diperiksa dan ditangani, maka berlaku pula kewajiban kepada pihak ketiga (pasien). Dasarnya adalah bahwa dokter melakukan pemeriksaan dan tindakan medis kepada pasien sehingga kewajiban melakukan upaya yang reasonable tersebut juga kepada pasien, meskipun bukan ia yang membayar atau mengikat kontrak dengan dokter tersebut.8,9,13

Pada  dasarnya,  malpraktek medik  adalah  pelanggaran  atas kewajiban profesional, baik sengaja mengabaikannya maupun  karena lalai melakukannya. Dengan demikian penilaiannyapun  haruslah dengan cara membandingkan tindakan tersebut dengan standar  perilaku  profesional yang berlaku dan standar prosedur pelayanan medis yang  sesuai  dengan  tingkat keahlian dan sarana kesehatan setempat. Standar perilaku  profesional  sendiri merupakan gabungan dari nilai-nilai etik,  moral, hukum, dan standar prosedur tindakan. 8,9,13

IDI telah menerbitkan standar profesi yang  bersifat  umum dan berbagai standar tindakan atau prosedur medik  tertentu,  yang meskipun belum sempurna namun sudah cukup memadai. Selain itu berbagai perhimpunan dokter spesialis juga telah menerbitkan standar prosedur medis di bidang spesialisasi masing-masing. Sementara itu, UU Kesehatan tahun 1992 pasal 53 menyebutkan bahwa  ketentuan mengenai standar profesi akan diatur kemudian melalui Peraturan Pemerintah yang hingga saat ini belum diundangkan. Yang perlu diingat adalah bahwa standar tindakan medis tersebut pasti ada, meskipun kadang-kadang belum dituangkan di dalam bentuk suatu tulisan resmi. Oleh karena itu tidak adanya standar yang tertulis tidak mengakibatkan kesulitan dalam menilai suatu perbuatan telah mentaati atau melanggar suatu standar. Standar juga tidak merupakan sesuatu yang baku untuk selamanya, melainkan merupakan sesuatu aturan yang siap untuk berubah mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran. Selain itu, suatu standar umumnya juga hanya memuat prosedur yang bersifat umum, sehingga apabila akan diterapkan ke dalam

Page 7: Wewenang

suatu keadaan atau situasi tertentu akan memerlukan "judgment" tertentu pula. Dengan demikian, peranan peer-group untuk memberikan suatu pertimbangan, atau bahkan membuat standar tindakan medis pada suatu keadaan atau situasi tertentu tetap diperlukan. Sebagai contoh adalah bahwa standar tindakan medis sectio caesaria secara umum telah dibuat dan tercantum di dalam standar tindakan medis yang dipublikasikan. Namun prosedur tindakan sectio caesaria pada ibu hamil dengan usia lanjut, memiliki riwayat sectio caesaria sebelumnya, berpenyakit DM dan dengan perdarahan per-vaginam akibat solutio placentae tidaklah sama dengan prosedur standar di atas.

Pelanggaran atas kewajiban di atas dapat terjadi karena ketidaktahuan, kelalaian, kecerobohan atau dapat pula akibat kesengajaan. Ketidaktahuan dapat terjadi akibat kurangnya materi pendidikan atau tidak tepatnya metode pendidikan, akibat lupa karena tidak adanya pelatihan pasca pendidikan, atau akibat perkembangan iptekdok yang belum sempat dipelajarinya. Kelalaian dan kecerobohan dapat terjadi sebagai akibat dari ketidakdisiplinan, kelelahan atau kekurang hati-hatian, atau dapat pula sebagai akibat dari tekanan waktu atau tekanan lingkungan yang lain. Kesengajaan merusak kesehatan pasien boleh dianggap tidak pernah terjadi mengingat terbiasanya dokter pada prinsip non maleficen (do no harm), namun kesengajaan mengambil risiko mungkin saja dilakukan oleh dokter. Risiko medis seringkali diambil akibat suatu keuntungan (benefit driven) atau suatu keterpaksaan akibat tidak tersedianya cara atau tindakan lain yang lebih baik.

Kerugian dapat berupa kerugian materiel dan immateriel. Kerugian materiel adalah biaya yang telah dikeluarkan (real cost) dan yang akan dikeluarkan (future ex

Perkembangan pengetahuan dan teknologi kedokteran seringkali tidak terduga kecepatannya dan arahnya, baik sebagai akibat penemuan di bidang teknologi peralatan (instrumentasi kedokteran) maupun akibat penemuan di bidang teknologi molekuler. Konsekuensinya bermunculanlah berbagai keahlian baru untuk menyelenggarakan pelayanan kedokteran khusus yang menggunakan iptekdok baru tersebut, termasuk bedah kulit (dermatosurgery). Bedah kulit bukanlah suatu spesialisasi baru, setidaknya hingga saat ini; melainkan hanyalah salah satu kelompok studi dari spesialisasi kulit dan kelamin.  Pengembangan spesialisasi kulit dan kelamin ke arah bedah kulit secara nalar memang masih dapat dibenarkan dengan mengambil analogi “bedah mata” atau “bedah THT”, tentu saja sepanjang lahannya masih berupa kulit.  Perlu diperhatikan adalah bahwa apapun dan kearah manapun pengembangan keahlian apabila berdasarkan perkembangan iptekdok dan berorientasi untuk kepentingan pasien dapat dibenarkan. Akan tetapi dengan “masuknya” bedah kulit ke lapangan kosmetik mengakibatkan benturan dengan spesialisasi bedah plastik yang sebelumnya telah menggeluti lapangan kerja tersebut, meskipun tidak sama benar.

Dalam profesi kedokteran, adanya tumpang-tindih kompetensi di antara berbagai bidang spesialis sangat wajar sebagai hasil dari perbedaan dasar atau alasan pembentukan spesialisasi. Sebagian spesialisasi dibentuk berdasarkan sistem organ (misalnya saraf, mata, kardiovaskuler, obstetri-ginekologi, dll), sebagian lagi berdasarkan letak (THT, penyakit dalam dll), berdasarkan cara kerja (ilmu bedah, radiologi), berdasar kekhususan umur (pediatri), berdasarkan fungsinya

Page 8: Wewenang

(forensik); sehingga tidak mustahil suatu fungsi tertentu ditangani oleh lebih dari satu spesialisasi. Bukanlah rahasia bahwa hipertensi dapat ditangani oleh SpPD (nefrolog) ataupun SpJP; kanker ditangani oleh SpBOnk, SpR, SpPD; HNP ditangani SpS, SpBO dan SpBS; atau head and neck sebagai lahan bersama beberapa spesialis. Akhir-akhir ini Penyakit Dalam juga “dibagi” sesuai dengan sistem organ, seperti gastroenterologi, endokrinologi, dll

Dari segi medikolegal, harus dikaji kompetensi, kewenangan,  dan tanggung-jawabnya. Pertama-tama perlu dikaji, apakah bedah kulit merupakan suatu kompetensi baru yang membutuhkan kewenangan khusus ataukah hanya pemanfaatan teknologi?  Demikian pula, apakah kata “bedah” pada bedah kulit memberikan arti bahwa kompetensi bedah kulit harus pula memiliki kompetensi bedah dasar sebagaimana diajarkan di PPDS-I ilmu bedah?  Pertanyaan kedua ini harus dianggap inheren dengan pertanyaan pertama. Pertanyaan berikutnya adalah berkenaan dengan bidang kosmetika, yaitu apakah dokter memperjanjikan hasil?

Apabila benar bahwa bedah kulit adalah merupakan kompetensi yang membutuhkan kewenangan khusus, maka harus disepakati untuk membentuk program pendidikan atau pelatihan dan menerbitkan sertifikasi khusus untuk itu. Program dan sertifikasi tersebut harus diperkenalkan dan sebaiknya “diakreditasi” oleh Majelis Kolegium Kedokteran Indonesia PB IDI, sehingga dengan demikian sah sebagai suatu keahlian baru. Atau dalam arti kata lain bahwa kompetensi dan kewenangan keahlian tersebut telah sah dan diakui oleh dunia kedokteran sebagai peer-group. Selanjutnya, tanggung-jawab yang terkait dalam setiap tindakan bedah kulit mengikuti semua aturan umum tentang tanggung-jawab sebagaimana telah diuraikan di atas.

Apabila benar dokter menperjanjikan hasil kosmetis tertentu, baik implisit maupun eksplisit, maka berarti dokter juga liable atas kegagalan pengobatan yang dilakukan. Komunikasi pra-tindakan yang baik, jujur, jelas dan lengkap sangat diperlukan untuk dapat menghindari adanya tuntutan malpraktek.

Akhirnya, pemahaman akan tanggungjawab dokter di bidang hukum ini janganlah dijadikan hambatan dalam melaksanakan dan mengembangkan profesi, melainkan digunakan sebagai pemicu untuk selalu berupaya mencapai standar yang tertinggi dan menjaga mutu layanan.

Profesi kedokteran adalah profesi yang otonom dan memiliki aturan sendiri (self regulation), namun juga harus memiliki akuntabilitas kepada masyarakat. Setiap keputusan dan tindakan di bidang kedokteran haruslah memiliki pertimbangan ilmiah,  demi kebaikan pasien dan selalu memperhatikan hak pasien.

 

“Any profession is defined by its ability to regulize, to criticize, to restrain vagaries,

to set a standard of workmanship and to compel others to conform to it”

Page 9: Wewenang

 

 

Kepustakaan

 

1.     Bayles MD. Professional Ethics. Belmont: Wadsworth Inc, 1981.

2.     Alton WG. Malpractice, a trial Lawyer’s advice for physicians (how to avoid, how to win), Boston: Little Brown and Company, 1977.

3.     Beauchamp TL and Childress JF. Principles of Biomedical Ethics. 3rd ed. New York: Oxford University Press, 1989.

4.     Jackson JP (ed). A Practical Guide to Medicine and the Law. London: Springer-Verlag, 1991.

5.     Veatch RM. Medical Ethics. 2nd ed. Boston: Jones and Bartlett Publ, 1997.

6.     Leenen H, Gevers S, Pinet G. The rights of patients in Europe. Deventer: WHO and Kluwer Law and Taxation Publisher, 1993.

7.     Plueckhahn VD, Cordner SM. Ethics, Legal Medicine & Forensic Pathology. Melbourne: Melbourne University Press, 1991.

8.     Sanbar SS, Gibofsky A, Firestone MH, LeBlang TR. Legal Medicine. 4th ed. St Louis: American College of Legal Medicine, 1998.

9.     Mann A. Medical Negligence Litigation. Medical assessment of claims. Redfern: Legal books, 1989.

10.  Schutte JE, Belli M. Preventing Medical Malpractice Suits.  Seattle: Hogrefe & Huber Publ, 1995

11.  Joling RJ. Problems of Freedom and Responsibility in the Forensic Sciences. J Foren Sci 1976; 4: 743-747

12.  Subekti.   R,   Tjitrosudibio   R.   Kitab  Undang-Undang  Hukum  Perdata.   Edisi   revisi.   Cetakan   ke   27. Jakarta: Pradnya Paramita, 1995.

13.  Jones MA. Medical Negligence. London: Sweet & Maxwell, 1996

14.  Ethical   Codes   and  Declarations   Relevant   to   the  Health   Professions,   An   Amnesty   International compilation of selected ethics and human rights texts, 4Th revised edition, 2000

Page 10: Wewenang

15.  Soenarto Soerodibroto.  KUHP dan KUHAP, dilengkapi Yurisprudensi  Mahkamah Agung dan Hoge Raad. Edisi keempat. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994.

16.  Sianturi   SR.   Asas-asas   hukum  pidana  di   Indonesia   dan   penerapannya.   Jakarta:   Alumni  Ahaem-petehaem, 1986