Wewenang

download Wewenang

of 10

Transcript of Wewenang

Wewenang & tanggung-jawab dokter pada tindakan bedah kulit kosmetikPada dasarnya suatu profesi memiliki tiga syarat utama, yaitu diperoleh melalui pelatihan yang ekstensif, memiliki komponen intelektual yang bermakna dalam melakukan tugasnya, dan memberikan pelayanan yang penting kepada masyarakat. Selain itu juga memiliki tiga syarat umum, yaitu sertifikasi, organisasi profesi, dan otonomi dalam bekerja. Pemberian sertifikasi dilakukan tidak sekali untuk selamanya, melainkan harus selalu memperoleh validasi melaluiproficiency check. Otonomi mengakibatkan kelompok profesi ini menjadi eksklusif dan memerlukanself regulationdalam rangka menjaga tanggung-jawab moral dan tanggung-jawab profesinya kepada masyarakat. Mereka umumnya memiliki etika profesi dan standar profesi serta berbagai tatanan yang menunjang upayaself regulationtersebut1.Profesi Kedokteran adalah contoh utama profesi dengan ciri-ciri tersebut di atas. Profesi kedokteran pula yang memulai mempromosikan dirinya sebagai profesi yang memiliki etika profesi dengan mengumandangkan sumpah pada awal kariernya. Profesi kedokteran juga profesi pertama yang bersumpah untuk mengabdikan dirinya bagi kemanusiaan2,3,4.

Jenis hubungan dokter-pasien sangat dipengaruhi oleh etika profesi kedokteran, sebagai konsekuensi kewajiban profesi yang memberikan batasan atau rambu-rambu hubungan tersebut. Kewajiban tersebut tertuang di dalam prinsip moral profesi, yaituautonomy(menghormati hak-hak pasien),beneficence(berorientasi kepada kebaikan pasien),non maleficence(tidak mencelakakan atau memperburuk keadaan pasien) danjustice(keadilan distribusi, meniadakan diskriminasi) yang disebut sebagai prinsip utama. Prinsip turunannya adalahveracity(kebenaran =truthfull information),fidelity(kesetiaan),privacy, danconfidentiality(menjaga kerahasiaan)1,2,3,4.Sebagaimana layaknya hubungan antara profesional dengan klien pada umumnya, maka hubungan antara dokter dengan pasien juga mengikuti alternatif jenis hubungan yang sama. Pada awalnya hubungan dokter pasien adalah hubungan yang bersifat paternalistik, dengan prinsip moral utama adalahbeneficence. Sifat hubungan paternalistik ini kemudian dinilai telah mengabaikan nilai otonomi pasien, dan dianggap tidak sesuai dengan perkembangan moral (orang Barat) saat ini, sehingga berkembanglah teori hubungan kontraktual (sekitar tahun 1972-1975). Konsep ini muncul dengan merujuk kepada teorisocial contractdi bidang politik. Veatch5mengatakan bahwa dokter dan pasien adalah pihak-pihak yang bebas, yang meskipun memiliki perbedaan kapasitas dalam membuat keputusan, tetapi saling menghargai. Dokter akan mengemban tanggungjawab atas segala keputusan teknis, sedangkan pasien tetap memegang kendali keputusan penting, terutama yang terkait dengan nilai moral dan gaya hidup pasien. Hubungan kontrak mengharuskan terjadinya pertukaran informasi dan negosiasi sebelum terjadinya kesepakatan, namun juga memberikan peluang kepada pasien untuk menyerahkan pengambilan keputusan kepada dokter.Walaupun hubungan dokter-pasien ini bersifat kontraktual, namun mengingat sifat praktek kedokteran yang berdasarkan ilmu empiris, maka prestasi kontrak tersebut bukanlah hasil yang akan dicapai (resultaat verbintennis) melainkan upaya yang sungguh-sungguh (inspannings-verbintennis). Profesi dokter yang menggeluti bidang kosmetik seringkali terjebak untuk memperjanjikan hasil seperti padaresultaat verbintennis. Hal itu berbahaya oleh karena hasil dari tindakan dokter umumnya tidak dapat dipastikan 100%. Hubungan kontrak semacam itu harus dijaga dengan peraturan perundang-undangan dan mengacu kepada suatu standar ataubenchmarktertentu. Leenen mengatakan bahwa standar profesi kedokteran tersebut memiliki 5 unsur, yaitu (1) teliti,seksama, berhati-hati; (2) sesuai dengan ukuran medik; (3) kemampuan rata-rata; (4) situasi dan kondisi yang sama; dan (5) upaya yang proporsional dengan tujuan6.Dalam menjaga hubungan dokter-pasien tersebut maka sejak sebelum Masehi telah adaCode of Hammurabiyang memberikan ancaman pidana bagi dokter yang karena salahnya telah mengakibatkan cedera atau matinya pasiennya, danCode of Hittitesyang mewajibkan dokter untuk membayar ganti rugi kepada pasiennya yang terbukti telah dirugikan karena kesalahannya / kelalaiannya7,8.Dengan menganggap bahwa teori kontrak telah terlalu menyederhanakan nilai hubungan dokter dengan pasien, maka Smith dan Newton (1984)1lebih memilih hubungan yang berdasar atasvirtuesebagai hubungan yang paling cocok bagi hubungan dokter-pasien, dengan tanpa mengabaikan bentuk hubungan kontraktual. Hubungan kontrak mereduksi hubungan dokter-pasien menjadi peraturan dan kewajiban saja, sehingga seseorang dokter dianggap baik bila ia telah melakukan kewajiban dan peraturan (followed the rules) sehingga biasa disebut sebagaibottom line ethics. Hubungan kontrak tidak lagi mengindahkanempathy, compassion, perhatian, keramahan, kemanusiaan, sikap saling mempercayai, itikad baik, dll yang merupakan bagian darivirtue-based ethics(etika berdasar nilai kebajikan/keutamaan). Pada hubungan dokter-pasien yangvirtue-baseddirumuskan bahwa hubungan itu bertumbuh dan berkembang sedemikian rupa sehingga tidak ada satu ketentuan pun yang ditentukan pada permulaan yang berlaku untuk seterusnya. Baik dokter maupun pasien harus tetap berdialog untuk menjaga berjalannya komunikasi dalam rangka mencapai tujuan bersama, yaitu kesejahteraan pasien. Tentu saja komunikasi yang baik tersebut membutuhkan prinsip-prinsip moral di atas, termasukinformed consentyang berasal dari prinsipautonomy.Informed consentbukanlah sekedar upaya memperoleh persetujuan tindakan medis, melainkan merupakan upaya menjelaskan segala sesuatu kepada pasien dan menyerahkan kepada pasien yang telah mengerti dan mampu membuat keputusan yang tepat untuk menentukan sendiri apa yang akan dilakukan pada dirinya3,4,5,6,7,8.

Kemampuan ataucompetencydiperoleh seseorang profesional dari pendidikan atau pelatihannya, sedangkan kewenangan atauauthoritydiperoleh dari penguasa atau pemegang otoritas di bidang tersebut melalui pemberian ijin. Kewenangan memang hanya diberikan kepada mereka yang memiliki kemampuan, namun adanya kemampuan tidak berarti dengan sendirinya memiliki kewenangan. Selain itu, oleh karena suatu kemampuan didapat secara berjenjang, maka kewenangan yang diberikan pun juga berjenjang. Kemampuan temuan baru baru diakui sebagai kemampuan di bidang profesi (kedokteran) apabila kemampuan tersebut berlandaskan kepada teori dan metodologi ilmiah yang telah teruji serta diterima olehpeer review (golden standard). Hal itu sesuai dengan salah satu prinsip perilaku standar American Medical Association, yaitu :physician should practice a method of healing founded upon a scientific basis6,8,9,10.Dalam profesi kedokteran hanya kewenangan yang bersifat umum saja yang diatur oleh Departemen Kesehatan sebagai penguasa segala keprofesian di bidang kesehatan dan kedokteran, sedangkan kewenangan yang bersifat khusus, dalam arti tindakan kedokteran atau kesehatan tertentu, diserahkan pengaturannya pada profesi masing-masing. Hal itu nyata dalam Permenkes No 916/1997 tentang ijin praktek tenaga medis yang mensyaratkan rekomendasi IDI/PDGI dalam bidang kompetensi, kesehatan fisik dan mental serta etika.Departemen Kesehatan mengatur tentang ijin praktek dokter umum atau dokter spesialis, akan tetapi batas kewenangan masing-masing dokter umum dan dokter spesialis tersebut diatur lebih jauh oleh organisasi profesinya, yaitu IDI beserta Perhimpunan Dokter Spesialis di dalam jajaran IDI. Prinsip tersebut dikenal sebagai prinsip subsidiaritas atau desentralisasi fungsional. Hal fungsional yang dapat diselesaikan organisasi dibawahnya tak lagi "dikangkangi" pemerintah. Pemerintah dalam konsepreinventing governmenthanya akan menjadi sekadarsteering and rowing.Pertimbangan yang digunakan adalah kelayakan dan kepatutan profesi, kepentingan pasien atau masyarakat pada umumnya, serta waktu dan tempat.Penilaian kelayakan dan kepatutan profesi dapat dilaksanakan dengan mengacu kepada landasan ilmiah atau keahlian yang menjadi dasarnya atau mengacu kepada profesi yang bersangkutan di negara lain pada umumnya. Hal itu juga telah diantisipasi oleh pemerintah ketika saat ini tengah menggodok RUU praktek kedokteran yang didalamnya terdapat pembentukan lembaga baru: Konsil Kedokteran Indonesia, sebagai lembaga atribusian. Waktu dan tempat sangat mempengaruhi tingkat kemampuan yang diperlukan untuk memperoleh suatu kewenangan tertentu8,9,10.Di dalam hal terdapat kompetensi (dan kewenangan sebagai konsekuensinya) yang tumpang tindih di antara beberapa cabang spesialis, maka dicarilah kesepakatan diantara mereka yang terlibat untuk membagi kewenangan secara adil. Kesepakatan ini sebaiknya terjadi pada tingkat nasional diantara para pengurus organisasi profesi terkait dan dipatuhi oleh seluruh anggota profesi yang bersangkutan. Bentuk hukum keluarannya adalah dokumen konsensus (suatu telaah hukum administrasi negara/profesi) yang bersifat mengikat ke dalam (beberapa waktu kemudian akan mengikat ke luar setelah pihak pemerintah mengakuinya). Apabila oleh karena alasan tertentu hal itu tidak atau sukar terjadi, maka kesepakatan tersebut setidaknya harus diambil pada tingkat institusi kesehatan, misalnya pada tingkat rumah sakit atau klinik. Hal tersebut merupakan produkhospital bylawsyang dibuat dan ditegakkan oleh direksi RS/klinik, dengan atau tanpa Komite Medik atau lembaga pembantu lainnya.Hospital bylawsmengikuti perkembangan iptekdok dan senantiasa diaudit, antara lain melaluipeer review7,8.Tanggung-jawab dalam arti responsibility adalah sikap moral untuk melaksanakan kewajibannya, sedang tanggung-jawab dalam arti liability adalah sikap hukum untuk mempertanggungjawabkan pelanggaran atas kewajibannya atau pelanggaran atas hak pihak lain. Joling 11 memberikan pengertian responsibility sebagai "Responsibility refers to the quality of being morally, legally or mentally accountable", sedangkan Black's Law Dictionary mengartikan responsibility sebagai "the state of being answerable for an obligation, include judgment, skill and capacity" dan liability sebagai "condition of being actually or potentially subject to an obligation; condition of being responsible for a possible or actual loss, penalty, evil expenses or burden; condition with create a duty to perform act immediately or in the future".Dalam dunia kedokteran terdapat dua pihak yang bisa menjadi penanggungjawab, yaitu institusi penyelenggara pelayanan kedokteran dan profesional pelaksana pelayanan kedokteran.Institusi berkewajiban untuk menyediakan semua sumber daya yang dibutuhkan dengan kualitas yang memadai, menyediakan fasilitas dan instrumentasi kedokteran yang berfungsi baik, menyediakan bylaws dan prosedur standar yang harus diikuti oleh seluruh profesional, serta melakukan pengawasan atas semua penyelenggaraan pelayanan kedokteran di institusi tersebut. Institusi bertanggungjawab sendiri sebagai korporasi, baik yang bersifat public liability maupun medical liability. Di bidang hukum perdata institusi juga bertanggungjawab atas perbuatan orang-orang yang berada dalam tanggungannya (respondeat superior, pasal 1367 KUH Perdata) 12.Profesional bertanggungjawab atas hal-hal yang menjadi kewajibannya, yaitu yang berada di dalam domain medical liability. Dalam hal ini umumnya dikenal tanggungjawab etik dan tanggungjawab hukum. Tanggungjawab etik umumnya meliputi tanggungjawab disiplin profesi, sedangkan ke dalam tanggung-jawab hukum termasuk tanggungjawab hukum pidana, perdata dan administratif. Dalam kaitannya dengan medical liability inilah kita mengenal istilah malpraktek medis.Malpraktek medis adalah: "mistreatment of a disease or injury through ignorance, carelessness or criminal intent", atau "improper treatment of patient by medical attendant; illegal action for one's own benefit while in position of trust". 1Pengertian malpraktek medis di atas merupakan pengertian sejak awal diperkenalkannya istilah tersebut, yang meliputi malpraktek pidana (criminal malpractice), malpraktek perdata (civil malpractice), dan malpraktek etik (ethical malpractice). Kemudian banyak ahli berpendapat bahwa malpraktek pidana tidak perlu lagi disebut malpraktek, melainkan cukup disebut sebagai tindak pidana; demikian pula dengan malpraktek etik yang lebih biasa disebut sebagai pelanggaran etik. Pada akhirnya sebutan malpraktek medis hanya digunakan pada jenis malpraktek medis perdata saja. 7,8World Medical Association (1992) memberikan definisi : "medical malpractice involves the physician's failure to conform to the standard of care for treatment of the patients condition, or lack of skill, or negligence in providing care to the patient, which is the direct cause of an injury to the patient."14Dalam UU Kompensasi Asuransi dan Rehabilitasi Kecelakaan 1992 di New Zealand dikenal istilah "medical error" yang diartikan sebagai "the failure of a registered health professional to observe a standard of care and skill reasonably to be expected in the circumstances". 7,13 WMA mengingatkan bahwa tidak semua kegagalan medis adalah akibat malpraktek medis. Suatu peristiwa buruk yang tidak dapat diduga sebelumnya (unforeseeable) yang terjadi saat dilakukan tindakan medis yang sesuai standar tetapi mengakibatkan cedera pada pasien tidak termasuk ke dalam pengertian malpraktek. "An injury occurring in the course of medical treatment which could not be foreseen and was not the result of the lack of skill or knowledge on the part of the treating physician is untoward result, for which the physician should not bear any liability". 14UU New Zealand menyebutkan pula istilah medical mishap yang berarti an adverse consequence of treatment by a registered health professional, properly given, if (a) the likelihood of the adverse consequence of the treatment occurring is rare; and (b) the adverse consequence of the treatment is severe. 7,13Pertanggung-jawaban suatu malpraktek medis (perdata) biasanya berdasarkan kepada hubungan hukum yang timbul:1. Wanprestasi atas kontrak antara dokter (langsung atau melalui rumah sakit atau institusi kesehatan lainnya) dengan pasien. Sebagaimana biasanya, hubungan kontraktual ini biasa disebut sebagai inspanningsverbinntenis, yang berarti kontrak yang tidak menjanjikan hasilnya melainkan menjanjikan upayanya. Dalam hal itu, secara eksplisit ataupun implisit, dianggap dokter (dan atau institusi kesehatannya) berjanji akan melakukan upaya yang memadai atau sesuai standar profesi dalam menangani pasien (reasonable care) 8,12. Dengan demikian apabila dokter tidak menepati "janjinya" untuk memberikan upaya yang layak atau memadai dapat dianggap sebagai tindakan wanprestasi (tidak menepati janji). Dasar hukum gugatan wanprestasi adalah Pasal 1338 KUH Perdata.12 "Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya". Dalam praktek, pembuktian janji yang implisit seringkali sukar dilakukan, sehingga pembuktian wanprestasi juga mengalami hambatan.2. Perbuatan melanggar hukum (PMH) yang umumnya bersifat kelalaian (tort of negligence), yaitu suatu pelanggaran atas kewajiban untuk memberikan perawatan medis sehingga mengakibatkan cedera atau kerugian bagi pasien. Kadang-kadang juga terjadi suatu perbuatan melawan hukum yang bersifat kesengajaan (intentional tort or battery), yaitu misalnya melakukan tindakan medis tanpa adanya consent, meskipun untuk tujuan menyelamatkan pasien. Dasar hukum gugatan perbuatan melanggar hukum adalah Pasal 1365 KUH Perdata12. "Tiap perbuatan melanggar hukum yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajjibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian tersebut, mengganti kerugian tersebut". Tanggung-jawab tersebut juga bagi kerugian akibat kelalaian atau kekurang hati-hatian (pasal 1366) dan akibat perbuatan orang-orang yang menjadi tanggungannya (pasal 1367).3. Pelanggaran wajib simpan rahasia pekerjaan/kedokteran. Pelanggaran ini dapat berkonsekuensi tanggungjawab pidana berdasarkan pasal 322 KUHP, perdata berdasarkan perbuatan melanggar hukum, dan administratif. 15,16Dengan berdasarkan pengertian di atas, maka terdapat empat kriteria untuk mengatakan bahwa sesuatu peristiwa adalah suatu malpraktek medis (kelalaian medis), yaitu :1. Adanya duty (kewajiban) yang harus dilaksanakan.2. Adanya dereliction/breach of that duty (penyimpangan kewajiban).3. Terjadinya damage (kerugian)4. Terbuktinya direct causal relationship (hubungan kausal langsung) antara pelanggaran kewajiban dengan kerugian.Perlu diingat pula bahwa suatu kelalaian juga dapat merupakan tindak pidana, yaitu apabila kelalaian tersebut adalah kelalaian yang "besar" atau gross negligence atau culpa lata (pasal 359, 360 dan 361 KUHP). 15,16Kewajiban di atas adalah kewajiban untuk melakukan upaya perawatan yang memadai (reasonable care), berupa kewajiban kepada pasien akibat hubungan kontraktual diantara keduanya (dokter - pasien).Dalam hal hubungan kontrak yang terjadi adalah antara dokter dengan pihak lain (perusahaan atau asuransi) dan pasien adalah hanya subyek yang akan diperiksa dan ditangani, maka berlaku pula kewajiban kepada pihak ketiga (pasien). Dasarnya adalah bahwa dokter melakukan pemeriksaan dan tindakan medis kepada pasien sehingga kewajiban melakukan upaya yang reasonable tersebut juga kepada pasien, meskipun bukan ia yang membayar atau mengikat kontrak dengan dokter tersebut.8,9,13Pada dasarnya, malpraktek medik adalah pelanggaran atas kewajiban profesional, baik sengaja mengabaikannya maupun karena lalai melakukannya. Dengan demikian penilaiannyapun haruslah dengan cara membandingkan tindakan tersebut dengan standar perilaku profesional yang berlaku dan standar prosedur pelayanan medis yang sesuai dengan tingkat keahlian dan sarana kesehatan setempat. Standar perilaku profesional sendiri merupakan gabungan dari nilai-nilai etik, moral, hukum, dan standar prosedur tindakan. 8,9,13IDI telah menerbitkan standar profesi yang bersifat umum dan berbagai standar tindakan atau prosedur medik tertentu, yang meskipun belum sempurna namun sudah cukup memadai. Selain itu berbagai perhimpunan dokter spesialis juga telah menerbitkan standar prosedur medis di bidang spesialisasi masing-masing. Sementara itu, UU Kesehatan tahun 1992 pasal 53 menyebutkan bahwa ketentuan mengenai standar profesi akan diatur kemudian melalui Peraturan Pemerintah yang hingga saat ini belum diundangkan. Yang perlu diingat adalah bahwa standar tindakan medis tersebut pasti ada, meskipun kadang-kadang belum dituangkan di dalam bentuk suatu tulisan resmi. Oleh karena itu tidak adanya standar yang tertulis tidak mengakibatkan kesulitan dalam menilai suatu perbuatan telah mentaati atau melanggar suatu standar. Standar juga tidak merupakan sesuatu yang baku untuk selamanya, melainkan merupakan sesuatu aturan yang siap untuk berubah mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran. Selain itu, suatu standar umumnya juga hanya memuat prosedur yang bersifat umum, sehingga apabila akan diterapkan ke dalam suatu keadaan atau situasi tertentu akan memerlukan "judgment" tertentu pula. Dengan demikian, peranan peer-group untuk memberikan suatu pertimbangan, atau bahkan membuat standar tindakan medis pada suatu keadaan atau situasi tertentu tetap diperlukan. Sebagai contoh adalah bahwa standar tindakan medis sectio caesaria secara umum telah dibuat dan tercantum di dalam standar tindakan medis yang dipublikasikan. Namun prosedur tindakan sectio caesaria pada ibu hamil dengan usia lanjut, memiliki riwayat sectio caesaria sebelumnya, berpenyakit DM dan dengan perdarahan per-vaginam akibat solutio placentae tidaklah sama dengan prosedur standar di atas.Pelanggaran atas kewajiban di atas dapat terjadi karena ketidaktahuan, kelalaian, kecerobohan atau dapat pula akibat kesengajaan. Ketidaktahuan dapat terjadi akibat kurangnya materi pendidikan atau tidak tepatnya metode pendidikan, akibat lupa karena tidak adanya pelatihan pasca pendidikan, atau akibat perkembangan iptekdok yang belum sempat dipelajarinya. Kelalaian dan kecerobohan dapat terjadi sebagai akibat dari ketidakdisiplinan, kelelahan atau kekurang hati-hatian, atau dapat pula sebagai akibat dari tekanan waktu atau tekanan lingkungan yang lain. Kesengajaan merusak kesehatan pasien boleh dianggap tidak pernah terjadi mengingat terbiasanya dokter pada prinsip non maleficen (do no harm), namun kesengajaan mengambil risiko mungkin saja dilakukan oleh dokter. Risiko medis seringkali diambil akibat suatu keuntungan (benefit driven) atau suatu keterpaksaan akibat tidak tersedianya cara atau tindakan lain yang lebih baik.Kerugian dapat berupa kerugian materiel dan immateriel. Kerugian materiel adalah biaya yang telah dikeluarkan (real cost) dan yang akan dikeluarkan (future exPerkembangan pengetahuan dan teknologi kedokteran seringkali tidak terduga kecepatannya dan arahnya, baik sebagai akibat penemuan di bidang teknologi peralatan (instrumentasi kedokteran) maupun akibat penemuan di bidang teknologi molekuler. Konsekuensinya bermunculanlah berbagai keahlian baru untuk menyelenggarakan pelayanan kedokteran khusus yang menggunakan iptekdok baru tersebut, termasuk bedah kulit (dermatosurgery). Bedah kulit bukanlah suatu spesialisasi baru, setidaknya hingga saat ini; melainkan hanyalah salah satu kelompok studi dari spesialisasi kulit dan kelamin. Pengembangan spesialisasi kulit dan kelamin ke arah bedah kulit secara nalar memang masih dapat dibenarkan dengan mengambil analogi bedah mata atau bedah THT, tentu saja sepanjang lahannya masih berupa kulit. Perlu diperhatikan adalah bahwa apapun dan kearah manapun pengembangan keahlian apabila berdasarkan perkembangan iptekdok dan berorientasi untuk kepentingan pasien dapat dibenarkan. Akan tetapi dengan masuknya bedah kulit ke lapangan kosmetik mengakibatkan benturan dengan spesialisasi bedah plastik yang sebelumnya telah menggeluti lapangan kerja tersebut, meskipun tidak sama benar.Dalam profesi kedokteran, adanya tumpang-tindih kompetensi di antara berbagai bidang spesialis sangat wajar sebagai hasil dari perbedaan dasar atau alasan pembentukan spesialisasi. Sebagian spesialisasi dibentuk berdasarkan sistem organ (misalnya saraf, mata, kardiovaskuler, obstetri-ginekologi, dll), sebagian lagi berdasarkan letak (THT, penyakit dalam dll), berdasarkan cara kerja (ilmu bedah, radiologi), berdasar kekhususan umur (pediatri), berdasarkan fungsinya (forensik); sehingga tidak mustahil suatu fungsi tertentu ditangani oleh lebih dari satu spesialisasi. Bukanlah rahasia bahwa hipertensi dapat ditangani oleh SpPD (nefrolog) ataupun SpJP; kanker ditangani oleh SpBOnk, SpR, SpPD; HNP ditangani SpS, SpBO dan SpBS; atau head and neck sebagai lahan bersama beberapa spesialis. Akhir-akhir ini Penyakit Dalam juga dibagi sesuai dengan sistem organ, seperti gastroenterologi, endokrinologi, dllDari segi medikolegal, harus dikaji kompetensi, kewenangan, dan tanggung-jawabnya. Pertama-tama perlu dikaji, apakah bedah kulit merupakan suatu kompetensi baru yang membutuhkan kewenangan khusus ataukah hanya pemanfaatan teknologi? Demikian pula, apakah kata bedah pada bedah kulit memberikan arti bahwa kompetensi bedah kulit harus pula memiliki kompetensi bedah dasar sebagaimana diajarkan di PPDS-I ilmu bedah? Pertanyaan kedua ini harus dianggap inheren dengan pertanyaan pertama. Pertanyaan berikutnya adalah berkenaan dengan bidang kosmetika, yaitu apakah dokter memperjanjikan hasil?Apabila benar bahwa bedah kulit adalah merupakan kompetensi yang membutuhkan kewenangan khusus, maka harus disepakati untuk membentuk program pendidikan atau pelatihan dan menerbitkan sertifikasi khusus untuk itu. Program dan sertifikasi tersebut harus diperkenalkan dan sebaiknya diakreditasi oleh Majelis Kolegium Kedokteran Indonesia PB IDI, sehingga dengan demikian sah sebagai suatu keahlian baru. Atau dalam arti kata lain bahwa kompetensi dan kewenangan keahlian tersebut telah sah dan diakui oleh dunia kedokteran sebagai peer-group. Selanjutnya, tanggung-jawab yang terkait dalam setiap tindakan bedah kulit mengikuti semua aturan umum tentang tanggung-jawab sebagaimana telah diuraikan di atas.Apabila benar dokter menperjanjikan hasil kosmetis tertentu, baik implisit maupun eksplisit, maka berarti dokter juga liable atas kegagalan pengobatan yang dilakukan. Komunikasi pra-tindakan yang baik, jujur, jelas dan lengkap sangat diperlukan untuk dapat menghindari adanya tuntutan malpraktek.Akhirnya, pemahaman akan tanggungjawab dokter di bidang hukum ini janganlah dijadikan hambatan dalam melaksanakan dan mengembangkan profesi, melainkan digunakan sebagai pemicu untuk selalu berupaya mencapai standar yang tertinggi dan menjaga mutu layanan.

Profesi kedokteran adalah profesi yang otonom dan memiliki aturan sendiri (self regulation), namun juga harus memiliki akuntabilitas kepada masyarakat. Setiap keputusan dan tindakan di bidang kedokteran haruslah memiliki pertimbangan ilmiah, demi kebaikan pasien dan selalu memperhatikan hak pasien.Any profession is defined by its ability to regulize, to criticize, to restrain vagaries,to set a standard of workmanship and to compel others to conform to itKepustakaan1.Bayles MD. Professional Ethics. Belmont: Wadsworth Inc, 1981.2.Alton WG. Malpractice, a trial Lawyers advice for physicians (how to avoid, how to win), Boston: Little Brown and Company, 1977.3.Beauchamp TL and Childress JF. Principles of Biomedical Ethics. 3rd ed. New York: Oxford University Press, 1989.4.Jackson JP (ed). A Practical Guide to Medicine and the Law. London: Springer-Verlag, 1991.5.Veatch RM. Medical Ethics. 2nd ed. Boston: Jones and Bartlett Publ, 1997.6.Leenen H, Gevers S, Pinet G. The rights of patients in Europe. Deventer: WHO and Kluwer Law and Taxation Publisher, 1993.7.Plueckhahn VD, Cordner SM. Ethics, Legal Medicine & Forensic Pathology. Melbourne: Melbourne University Press, 1991.8.Sanbar SS, Gibofsky A, Firestone MH, LeBlang TR. Legal Medicine. 4th ed. St Louis: American College of Legal Medicine, 1998.9.Mann A. Medical Negligence Litigation. Medical assessment of claims. Redfern: Legal books, 1989.10.Schutte JE, Belli M. Preventing Medical Malpractice Suits. Seattle: Hogrefe & Huber Publ, 199511.Joling RJ. Problems of Freedom and Responsibility in the Forensic Sciences. J Foren Sci 1976; 4: 743-74712.Subekti. R, Tjitrosudibio R. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Edisi revisi. Cetakan ke 27. Jakarta: Pradnya Paramita, 1995.13.Jones MA. Medical Negligence. London: Sweet & Maxwell, 199614.Ethical Codes and Declarations Relevant to the Health Professions, An Amnesty International compilation of selected ethics and human rights texts, 4Th revised edition, 200015.Soenarto Soerodibroto. KUHP dan KUHAP, dilengkapi Yurisprudensi Mahkamah Agung dan Hoge Raad. Edisi keempat. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994.16.Sianturi SR. Asas-asas hukum pidana di Indonesia dan penerapannya. Jakarta: Alumni Ahaem-petehaem, 1986