Web viewBahkan, jenis binatang yang kepalang tanggung, ... tak pernah Menteri Mashuri berkesimpulan...

10
Dinamisasi via Binatang Mulanya saya kira cuma Hippy, Beatnik, The New Left saja yang dijuluki orang “subkultur”. Belakangan saya diberitahu lewat tulisan Abdurrahman Wahid Hasyim (Kompas, 11 Maret 72) bahwa pesantren juga suatu profil subkultur. Terserah bagaimana baiknya sajalah. Subkultur yang namanya pesantren ini sekarang sedang jadi bulan-bulanan Menteri Agama Profesor Doktor Mukti Ali. Segera sesudah Menteri Agama membabat eksponen-eksponen penting di departemennya dan menggantinya dengan orang-orang yang diduga lebih cocok, kerlingan mata bergeser ke pesantren. Apakah gerangan salah pesantren? Salah sih tidak, cuma “kurang”. Sebagai muslim modernisator, apalagi sekaligus kedudukan Menteri Agama, Mukti Ali tentu tidak ingin modern sendirian, karena toh tidak akan banyak faedahnya. Menjadi modern bukan tugan avonturir. Maka, dengan mekanisme Departemen yang ada padanya, pilihan jatuh pada pesantren. Pesantren harus modern, dinamik, supaya tidak tercecer meningkapi kiprahnya pembangunan. Lebih dari itu: Pesantren jangan jadi penghambat, jangan jadi seteru pembangunan yang naik darah, jangan malas, lamban atau pun kikuk. Bagaimana caranya? Modernisasi adalah urusa yang hampir-hampir tak ada ujungnya. Sebab, apa saja sebetulnya terbuka untuk dimodernisasi. Mulai dari struktur politik, hukum, penagihan pajak, menakut-nakuti maling atau cara merekat prangko. Begitu pula halnya tentu dengan pesantren. Asal ongkos cukup, pintu perubahan menganga lebar. Mau pasang diesel, pakai kursi puter, sirene, apa saja bisa. Kurikulum pun bisa diatur. Berani bertaruh, tak seorang pun akan menyongsong gagasan modernisasi itu sambil mengacungkan golok. Asal paham lubang- lubangnya, tak ada yang perlu dikhawatirkan. Kiai-kiai yang seangker apa pun adalah manusia seperti kita-kita, tak kecuali redaktur majalah berita ini. Jangan dibilang lagi santri- santrinya. Sifat manusiawinya fleksibel. Naga-naganya, pintu masuk yang dipilih Mukti Ali dalam rangka menjelmakan cita-citanya yang agung adalah peternakan. Untuk tingkat permulaan, tentu digunakan binatang piaraan yang sudah

Transcript of Web viewBahkan, jenis binatang yang kepalang tanggung, ... tak pernah Menteri Mashuri berkesimpulan...

Page 1: Web viewBahkan, jenis binatang yang kepalang tanggung, ... tak pernah Menteri Mashuri berkesimpulan sebaiknya dikirim anak-anak ayam atau kambing ke pekarangan

Dinamisasi via BinatangMulanya saya kira cuma Hippy, Beatnik, The New Left saja yang dijuluki orang “subkultur”. Belakangan saya diberitahu lewat tulisan Abdurrahman Wahid Hasyim (Kompas, 11 Maret 72) bahwa pesantren juga suatu profil subkultur. Terserah bagaimana baiknya sajalah.

Subkultur yang namanya pesantren ini sekarang sedang jadi bulan-bulanan Menteri Agama Profesor Doktor Mukti Ali. Segera sesudah Menteri Agama membabat eksponen-eksponen penting di departemennya dan menggantinya dengan orang-orang yang diduga lebih cocok, kerlingan mata bergeser ke pesantren. Apakah gerangan salah pesantren?

Salah sih tidak, cuma “kurang”. Sebagai muslim modernisator, apalagi sekaligus kedudukan Menteri Agama, Mukti Ali tentu tidak ingin modern sendirian, karena toh tidak akan banyak faedahnya. Menjadi modern bukan tugan avonturir. Maka, dengan mekanisme Departemen yang ada padanya, pilihan jatuh pada pesantren. Pesantren harus modern, dinamik, supaya tidak tercecer meningkapi kiprahnya pembangunan. Lebih dari itu: Pesantren jangan jadi penghambat, jangan jadi seteru pembangunan yang naik darah, jangan malas, lamban atau pun kikuk.

Bagaimana caranya? Modernisasi adalah urusa yang hampir-hampir tak ada ujungnya. Sebab, apa saja sebetulnya terbuka untuk dimodernisasi. Mulai dari struktur politik, hukum, penagihan pajak, menakut-nakuti maling atau cara merekat prangko. Begitu pula halnya tentu dengan pesantren. Asal ongkos cukup, pintu perubahan menganga lebar. Mau pasang diesel, pakai kursi puter, sirene, apa saja bisa. Kurikulum pun bisa diatur. Berani bertaruh, tak seorang pun akan menyongsong gagasan modernisasi itu sambil mengacungkan golok. Asal paham lubang-lubangnya, tak ada yang perlu dikhawatirkan. Kiai-kiai yang seangker apa pun adalah manusia seperti kita-kita, tak kecuali redaktur majalah berita ini. Jangan dibilang lagi santri-santrinya. Sifat manusiawinya fleksibel.

Naga-naganya, pintu masuk yang dipilih Mukti Ali dalam rangka menjelmakan cita-citanya yang agung adalah peternakan. Untuk tingkat permulaan, tentu digunakan binatang piaraan yang sudah popular, semisal ayam negeri, entah jenis Leghorn, Minorca, Barnevelder, Orpington, atau Sussex, pokoknya ayam. Di beberapa pesantren, berdasarkan situasi-kondisi (disingkat sikon) mungkin para ayam piaraan itu ditemani keluarga unggas lainnya, seperti bebek. Bukan mustahil, pada tahap berikutnya terjadi peningkatan kualitatif dengan peternakan binatang berkaki empat, atau yang tak berkaki sama sekali, misalnya ikan. Asal prinsip-prinsipnya sudah diletakkan, variasinya soal gampang. Bahkan, jenis binatang yang kepalang tanggung, ayam bukan burung pun bukan, seperti puyuh, bisa juga dijadikan ancer-ancer jangka agak panjangan.

Apa sebab para santri itu diperkenalkan dengan pergaulan binatang ternak? Mereka tentu sudah pernah melihat ayam, atau memegangnya, bahkan memakannya sekali. Bahkan juga mungkin pernah memeliharanya satu dua ekor. Soalnya bukan itu. Soalnya adalah menggiring mereka untuk berproduksi. Selama ini, rata-rata orang, khususnya Menteri Agama, memandang pesantren itu ibarat gugusan besar para konsumen. Pemakan protein hewani maupun nabati, sonder ikut menghasilkan. Status begini tidak dikehendaki. Bukan cuma mulut yang mesti bekerja, tapi juga tangan. Kerja mesti dikuduskan. Mereka akan disulap dari konsumen menjadi produsen. Tanpa harus mengubah sifat pesantren sebagai balai rohani, binatang piaraan dimasukkan ke sana sebagai sarana dinamisasi.

Page 2: Web viewBahkan, jenis binatang yang kepalang tanggung, ... tak pernah Menteri Mashuri berkesimpulan sebaiknya dikirim anak-anak ayam atau kambing ke pekarangan

Kalau mau lebih tenang sedikit, sebenarnya patut ditanyakan, kenapa para siswa santri saja yang dicap sebagai konsumen murni, sedangkan siswa-siswa perguruan umum, termasuk mahasiswa, tidak. Belum pernah terdengar, mereka itu disindir sebagai pihak yang kerjanya cuma tidur-bangun-makan-berak. Kalau asal konsumen-konsumenan, apalah bedanya. Mereka adalah peludes yang cekatan dari hasil mata pencarian bapaknya. Mereka bukan produsen dalam arti yang sebenar-benarnya. Namun, tak pernah Menteri Mashuri berkesimpulan sebaiknya dikirim anak-anak ayam atau kambing ke pekarangan sekolah, untuk memperoleh perawatan dan pengembangbiakan, yang hasilnya bisa dilego ke pasar oleh dewan guru di bawah pengawasan orang tua murid.

Umpama saja Mukti Ali seorang ekonom berkualitas penuh, di samping keahliannya yang langka di bidang urusan banding-membanding agama di dunia ini, pastilah dia telah melihat kehidupan kita ini secara terbalik sungsang dengan John Kenneth Galbraith, orang Harvard yang pernah ditunjuk Presiden Kennedy jadi dubes AS di India, penulis buku-laris The Affluent Society. Kalau Galbraith merangssang kalangan ekonomi makmur untuk mencampurkan kegiatan-kegiatannya dengan aspirasi sosial, moral dan aspek-aspek aestetika, Mukti Ali sedang merangsang kalangan rohaniah untuk mencemplungkan juga sebelah kakinya ke urusan ekonomi-produksi. Kalau John Kenneth Galbraith menuding ekonom Inggris John Maynard Keynes karena yang belakangan ini terlalu gila-pajak dan gila-moneter, Mukti Ali lebih aman karena tidak seorang pun yang merasa ditentangnya. Biarpun boleh jadi ada satu dua orang yang tersenyum-senyum mendengar usulnya menerjunkan binatang piaraan ke pekarangan pesantren, namun tidak ada orang yang mengritiknya terang-terangan. Soalnya memang tidak ada urgensinya. Sepanjang menyangkut pesantren, orang harus banyak memahami.

Sebenarnya, mengajak pesantren untuk tercebur ke dalam soal-soal duniawi tidaklah sesusah yang diduga orang. Mereka itu sebetulnya orang-orang praktis belaka pada dasarnya, lebih-lebih pengasuhnya. Di mana saja, kapan saja, pesantren perlu ongkos hidup, tak bedanya dengan balai pertemuan atau rumah sakit. Bukan saja perlu, tapi kalau bisa jumlahnya terus meningkat. Itu sebabnya, tak pernah kedengaran ada pesantren yang menolak pemberian Presiden Soeharto. Yang kedengaran malahan sebaliknya: yang kelupaan berusaha tidak kelupaan lagi pada fase berikutnya.

Satu-satunya kesulitan yang mungkin dihadapi Mukti Ali adalah: menderasnya permintaan-permintaan akan bibit ayam, atau anak bebek, atau mesin penetas, atau Sulphamezathine untuk memberantas penyakit Coccidiosis pada ayam, atau ongkos-ongkos operasi produksi. Cara mengatasinya sudah tentu dengan memperbanyak dana, sebab modernisasi pun perlu ongkos. Jadi, bukannya kesulitan menghadapi mereka yang menolak pembangunan atau menghardik modernisasi, atau tukang-tukang pukul tradisi yang kepala batu, yang tidak mau menerima perubahan apa pun. Insya Allah mereka itu tidak akan muncul. Sebab, memang tak akan pernah ada semuanya itu.

Tempo, 26 Maret 1972

Page 3: Web viewBahkan, jenis binatang yang kepalang tanggung, ... tak pernah Menteri Mashuri berkesimpulan sebaiknya dikirim anak-anak ayam atau kambing ke pekarangan

Demokrasi: Martabat dan OngkosnyaPertama-tama, DPR perlu dihargai. Kedua, perlu ongkos. Sebab, baik sistem diktatorial maupun demokrasi, kesemuanya butuh anggaran. Itu sebabnya mengapa dalam tempo reses ini, dari 460 anggota, 23 diantaranya tetap tinggal di Jakarta. Sisanya pulang ke rumah masing-masing, atau ke mana saja yang mereka kehendaki, pokoknya istirahat.

UU No. 16 tahun 1969 tentang Susunan dan Kedudukan MPR/DPR/DPRD punya peluang yang tidak boleh disia-siakan. Pasal 35-nya mempersilakan lembaga yang bersangkutan untuk mengatur kedudukan protokoler mereka masing-masing. Aturan-aturan itu tentu saja harus dibikin bersama-sama pemerintah. Pasal 36-nya memungkinkan mereka menyusun anggarannya sendiri, supaya sifat dan martabatnya mantap. Jadi, di dalam Anggaran Belanja dan Pendapatan Negara bisa terpampang mata anggaran khusus untuk lembaga-lembaga itu.

Supaya peluang yang tersedia itu tidak percuma, dibentuklah Panitia Khusus yang 23 anggota DPR-nya berapat nonstop sampai tanggal 16 Agustus 72. Menyusun aturan-aturan protokoler dan anggaran keuangan. Kali ini bukan untuk kemaslahatan para pencoblos, atau siapa pun, melainkan buat diri mereka sendiri. Kali ini harap publik memaklumi. Sebab, kalau bukan mereka sendiri, siapa pula yang sempat memikirkan martabat dan nafkah mereka? Pemerintah tentu kurang tempo, repot dengan urusannya. Apalagi rakyat. Tanpa Panitia Khusus semacam itu, bisa kapiran.

Kira-kira yang dimaui Panitia Khusus itu begini. Demi martabat, aturan protokol untuk anggota DPR berikut pimpinannya harus jelas. Tak peduli yang dipilih atau diangkat, pukul rata semua wakil rakyat. Kalau terhadap rakyat kebanyakan saja tidak boleh sembarangan, apalagi wakilnya. Dalam resepsi, harus tegas kursinya. Di mana presiden, di mana menteri, di mana gubernur, di mana beliau-beliau anggota itu. Jangan sampai dibiarkan jongkok. Bukannya jongkok membahayakan jiwa, tapi hanya gelandangan dan yang berminat hajat besar saja yang biasa dalam posisi itu. Atau, umpama atas tarikan takdir ada seorang anggota DPR dan seorang menteri, padahal kursi cuma satu: siapa gerangan yang mustahak mendudukinya? Pilihan harus cepat dan tegas, karena mustahil mempersilahkan keduanya duduk bertumpuk seperti keong. Inilah bidang protokol, tata-budaya meletakkan seorang manusia pada proporsinya, supaya martabatnya tidak terombang ambing tapi persis terpaut pada skala pangkat dan gaji yang diperolehnya.

Kemudian soal anggaran khusus. Martabat akan bisa lebih tegak berdiri kalau ditunjang oleh ongkos-ongkos yang cukup. Untuk tahun 1972-1973, tersedia anggaran DPR Rp 987.038.900,00. Ini buat segala-galanya, buat secretariat maupun anggota. Tampaknya belum memadai. Katanya, umpama 2,6 milyar bolehlah. Dengan anggaran seperti sekarang, urusan jadi agak seret. Mau cicill Volkswagen Rp 50.000,00 sebulan hampir mustahil, karena honorarium akan habis ditelan mobil. Juga tak cukup bikin poliklinik khusus anggota yang lumayan. Yang ada sekarang terlampau sederhana, khusus persediaan obat-obatnya. Untuk sakit pusing kepala dan mules yang enteng bolehlah. Sakit gigi tidak bisa. Padahal, melihat umur rata-rata anggota DPR gigi mereka perlu perawatan intensif. Sebab, secara profesi, mereka perlu bicara banyak-banyak. Peranan gigi sangatlah menentukan. Juga tak perlu lagi menggendong karung beras dan gula pasir dalam kantong plastik tiap bulan seperti tempo hari. Ini bisa bertautan dengan martabat. Sukar dibayangkan apabila seorang senator seperti McGovern menggendong 2 kg gula pasir jatah bulanannya ke rumah.

Page 4: Web viewBahkan, jenis binatang yang kepalang tanggung, ... tak pernah Menteri Mashuri berkesimpulan sebaiknya dikirim anak-anak ayam atau kambing ke pekarangan

Jadi, Panitia Khusus akan membikin rancangan aturan supaya secara protokoler pimpiman DPR sama martabat dengan presiden, dan anggota DPR sama dengan menteri, begitu pula gaji untuk nafkah rumah tangganya?

Soal gaji sama mustahil, kata anggota DPR Amin Iskandar, yang juga jadi angota panitia. Presiden AS gajinya $ 100.000. wakilnya $ 30.000. Ketua Kongres AS $ 30.000. Menteri $ 22.000.  Senator atau anggota Kongres $ 12.000. Jadi, mana bisa disamakan, katanya. Bahkan kalau perkara pension, di sini lebih lumayan daripada AS. Menurut Civil Act 1930, senator AS sukarela memilih mau dapat pensiun atau tidak. Kalau mau, dipotong 6%. Pensiunnya baru bisa diterima kalau umur sang senator sudah 62 tahun. Di sini, begitu sudah tidak jadi anggota DPR tak peduli tua bangka atau muda belia, otomatis menerima pensiun.

Timbul soal, apa sih sulitnya buat DPR menyodorkan anggaran untuk diri sendiri seberapa dia perlu, bukankah Pasal 23 UUD 1945 menjamin baginya Hak Bujet yang bertuah itu? Kalau DPR bisa “memberi” anggaran untuk pemerintah ratusan milyar, kenapa dia tidak bisa menyisihkan untuk diri sendiri di dalam jumlah yang cukup di daftar APBN?

Di atas kertas memang jelas tuahnya. Pemerintah toh tidak bisa berbuat apa-apa kalau DPR menolak anggaran tahunan. Tapi, berhubung DPR tidak pernah menolak, bahkan mengurangi angka sepeser pun tidak, tuah Hak Bujet itu kurang bergigi. Makanya, anggaran pemerintah gampang diakuri DPR, tapi belum tentu anggaran DPR gampang diakuri pemerintah. Ini berabenya bagi Panitia Khusus. Entahlah kalau pemerintah menjadi sedikit royal menjelang sidang MPR bulan Maret 1973 nanti. Royal atau tidak royal, coba sajalah.

Tempo, 29 Juli 1972

Page 5: Web viewBahkan, jenis binatang yang kepalang tanggung, ... tak pernah Menteri Mashuri berkesimpulan sebaiknya dikirim anak-anak ayam atau kambing ke pekarangan

Per-“kapling”-an Parpol1

Ibarat daerah yang tertimpa planologi sehingga perumahan di atasnya perlu dipindah ke perkaplingan baru, begitulah layaknya keadaan Parpol akhir-akhir ini. Supaya tidak salah paham, rencana pengaplingan Parpol-parpol itu bukan baru muncul sekarang, lagi pula bukan rencana yang disembunyikan. Terhitung sejak Bung Karno berhasrat membubarkan Parpol-parpol, sejak saat itu Parpol kehilangan masa nyamannya, untuk mulai menjalani hidup yang kaget-kaget. Akibatnya, jadi gugup, latah atau maniak.

Di mana pun juga, Parpol itu bukan kumpulan orang tolol semua. Semisal perusahaan cari kekuasaan, atas nama ideologi atau yang sebangsa dengan itu, Parpol diayomi direktur-direktur yang kuat syaraf dan punya bakat memimpin seolah dibawa sejak rahim ibu, lagi  pula tajam penciuman. Organisasinya dibagi atas provinsi, sama saja dengan tentara, kecuali tak punya asrama. Mereka kadang bergaul rapat dengan pemerintah, malah menjadi bagian daripadanya, kadang di luar sama sekali, menjadi kumpulan orang-orang pemarah dan was-was. Semuanya ini tergantung dari keperluan. Tak usah diingkari, beberapa dari pimpinannya menjelma jadi genius di dalam hal menstimulir naluri-naluri primitif publik, sehingga bisa menjadi kesetanan layaknya, dan ujung-ujungnya mampu melahirkan keajaiban kekuasaan politik, entah di gedung pemerintah atau Dewan Perwakilan. Itulah sport nasional mereka.

Sebaliknya, eksekutif pun lebih-lebih lagi tidak bodoh. Mereka umumnya arif betul apa arti kekuasaan, dan cara bagaimana supaya tahan lama. Seperti halnya makanan kaleng lebih awet daripada makanan bungkus, segala usaha pengawetan ditinjau dan dicoba. Orang-orang eksekutif ini tahu, seperti rumusan Clinton Rossiter, bahwa Parpol punya dalih untuk mengontrol dan mengarahkan percaturan cari kekuasaan. Maka orang-orang eksekutif menyimpan pula kegemaran sport untuk jaga kondisi badan, dengan cara bergegas menyempitkan ruang langkah Parpol.

Supaya tidak ngelantur, baiklah diingat saja dulu Tap no. XXII/MPRS/1996, sebuah Tap yang pasti paling pendek di dunia, karena terdiri cuma satu pasal, yang bunyinya: Pemerintah bersama-sama DPRGR segera membuat undang-undang yang mengatur Kepartaian, Keormasan dan Kekaryaan, yang menuju pada penyederhanaan.

Apa itu “penyederhanaan”? Bisa rupa-rupa tafsiran. Yang tangannya sudah gatal, mungkin berpikiran bubarkan saja habis perkara. Yang alon-alon asal kelakon, fusi saja. Yang separo mau separo tidak, federasi sajalah. Sepanjang ingatan saya, satu-satunya Parpol yang belum apa-apa sudah mau bubarkan diri adalah Katolik. Dengan catatan, kalau Parpol-parpol lain berbarengan berbuat serupa. Hal ini mengingatkan saya akan cerita orang yang rela gantung diri, asal saja semua tetangganya begitu juga. Mana bisa didapat tetangga semacam itu.

Dari kepala siapa mula-mula keluar rencana “penyederhanaan” itu tidak jelas lagi. Dan itu tidak penting. Yang dipersoalkan, dalam bentuk bagaimana “penyederhanaan” itu harus dijelmakan. Dapat dipahami, eksekutif tak pernah ayal dalam urusan ini. Jauh-jauh hari Presiden Soeharto sudah membayangkan bahwa kelak kemudian hari, tatkala penduduk dewasa menyelinap di gubuk kotak suara pada pemilu berikut, maka cuma 3 tanda gambar yang bisa dicoblos. Tidak empat atau berapa saja. Artinya, Parpol yang 9 sekarang ini mesti diringkas jadi dua gabungan. Difusikan, begitulah kata Mendagri Amirmachmud.

Page 6: Web viewBahkan, jenis binatang yang kepalang tanggung, ... tak pernah Menteri Mashuri berkesimpulan sebaiknya dikirim anak-anak ayam atau kambing ke pekarangan

Sebutan “fusi” ini sedikit menimbulkan keributan, karena ada yang berpandangan bahwa itu bukannya penjelasan resmi dari Tap MPRS. Mungkin benar itu kemauan Presiden, tapi itu Presiden. Dan Presiden bukan undang-undang. Sedangkan, undang-undangnya belum lagi disahkan DPR. Kalau sudah, baru jelas bagaimana cara “penyederhanaan” itu berjalan. Apa melalui penurunan kualitatif: disunat, dikebiri, didevaluir. Yang kelihatannya ingin tetap utuh, artinya tidak akan menjadi sederhana sama sekali, cuma Golkar. Keinginan ini tidak sulit dicapai, cukup kalau semua telunjuk kelompok Karya Pembangunan di DPR diacungkan ke langit. Undang-undang yang bagaimana saja bisa jadi. Karena itu, tak usah taajub kalau Mendagri Amirmachmud menjamin segala sesuatunya akan konstitusional, tidak main paksa.

Sebenarnya, kalangan DPR sudah menyederhanakan dirinya sendiri tanpa menunggu undang-undang, dengan cara melenyapkan arti formal Fraksi sambil membentuk kelompok-kelompok. Katakanlah ini sekedar alasan praktis saja, tapi kalau dipikir-pikir, mengingatkan saya akan bait nyanyian Ambon “belum ditanya sudah mau”. Mereka sudah mengatur letak dirinya begitu rupa rapinya, sejauh sebelum Undang-undang Kepartaian, Keormasan dan Kekaryaan dibicarakan, apalagi disahkan.

Di luar gedung DPR, Parpol-parpol Islam membentuk federasi. Entah ini federasi yang keberapa, tapi yang satu ini tampaknya akan digunakan sebagai proyek percontohan, etalase benda-benda politik, beginilah sebaiknya wujud “penyederhanaan” itu. Dianggap lebih baik daripada Parpol-parpol Islam itu dikeluarkan dari botolnya masing-masing dan dituang ke dalam ember besar: strukturnya bisa sederhana, tapi buntutnya bisa tidak karu-karuan.

Apa pun jadinya, mesin politik baru sedang digerakkan. Kalau di AS “politik baru” lazim dimaksud tergesernya peranan aparat partai dalam kampanye oleh peranan radio dan televise (dimulai dari Roosevelt dan mencapai puncaknya pada Nixon yang menghabiskan biaya advertensi televisi $12.129.082, hampir mendekati biaya advertensi pabrik bir), di negeri ini akan dijelmakan dalam bentuk pengaplingan Parpol-parpol. Dalam rangka pengaplingan ini sudah dipikirkan juga batas-batas pekarangannya, yang cukup sempit dan terbatas, atau sonder pekarangan sama sekali. Lazimnya dikenal dengan istilah “floating-mass”.

Sesudahnya pengaplingan, apa yang terjadi? Hanya Tuhan yang tahu. Mungkin dilakukan pembagian kekuatan untuk mereka, mungkin tidak. Konstitusi tak bicara apa-apa, dan gelagatnya Konstitusi sekarang ini jalan terus. Jadikan mereka ibarat “Permissive Society”-nya John Selwyn Gummer, bagian masyarakat yang ada dalam daftar tapi tak ikut bergiat apa-apa, kecuali terlibat perihal tetek-bengek aborsi, rajasinga, murtad dan kekerasan? Mana pula saya tahu.

Akhirnya timbul pertanyaan detail: bagaimana kaum pedagang, birokrat, seniman, jurnalis, tentara, cerdik-pandai, dan rupa-rupa kalangan lain yang nonpolitik, nonideologik, non-segala macam? Kenakah mereka bongkaran “jalur hijau” dari planologi yang menggetarkan itu? Sebagian mungkin tidak, karena atas petunjuk nasib kebetulan sudah mapan di jalan-jalan protokol. Selebihnya saya kurang tahu, karena bagi mereka belum ada aturannya.

Tempo, 22 April 1972