WATANPADAKLIENYANGMENGALAMIREAKSIHIPERSENSITIVITAS
-
Upload
reza-fitra-kusuma-negara -
Category
Documents
-
view
94 -
download
0
Transcript of WATANPADAKLIENYANGMENGALAMIREAKSIHIPERSENSITIVITAS
REAKSI HIPERSENSITIVITAS
Pendahuluan
Imunitas spesifik merupakan mekanisme yang ampuh untuk menyingkirkan patogen dan antigen
asing. Mekanisme efekytor sistem imun, sperti komplemen, fagosit, sitokin dan lain-lain tidak
spesifik untuk antigen asing. Karena itu respon imun dan reaksi inflamasi yang menyertai respon
imun kadang-kadang disertai kerusakan jaringan tubuh sendiri, baik lokal maupun sistemik. Pada
umumnya efek samping demikian dapat dikendalikan dan membatasi diri (self-limited) dan berhenti
sendiri dengan hilangnya antigen asing. Disamping itu, dalam keadaan normal ada toleransi
terhadap antigen self sehingga tidak terjadi respon imun terhadap jaringan tubuh sendiri. Namun
ada kalanya respon atau reaksi imun itu berlebihan atau tidak terkontrol dan reaksi demikian
disebut REAKSI HIPERSENTIFITAS.
Reaksi hipersentifitas dapat terjadi bila jumlah antigen yang masuk relatif banyak atau bila status
imunologik seseorang baik selular maupun humoral meningkat. Reaksi itu tidak pernah timbul pada
pemaparan pertama dan merupakan ciri khas individu bersangkutan.
Reaksi hipersensitifitas menimbulkan manifestasi klinik dan patologik yang sangat heterogen, dan
heterogenitas itu ditentukan oleh :
1. jenis respon imun yang mengakibatkan kerusakan jaringan.
2. Sifat dan lokasi antigen yang menginduksi atau merupakan sasaran dari respon imun
tersebut.
Berdasarkan mekanisme reaksi imunologik yang terjadi, secara umum reaksi hipersentifitas
dibagi menjadi 4 golongan, yaitu reaksi hipersentifitas tipe I, II, III dan IV. Klasifikasi itu
didasarkan pada mekanisme patologik utama yang bertanggung jawab atas kerusakan sel
atau jaringan. Reaksi Tipe I, II, dan III terjadi karena interaksi antara antigen dengan antibodi
sehingga termasuk reaksi humoral, sedangkan reaksi Tipe IV terjadi karena interaksi antara antigen
dengan reseptor yang terdapat pada limfosit T dan mengaktifkan limfosit sehingga termasuk reaksi
selular.
Faktor predisposisi
Kejadian dan intensitas respon hipersentifitas bergantung pada beberapa faktor :
1. Pertahanan host.
2. Sifat dari allergen
3. Konsentrasi allergen
4. Perjalanan allergen masuk kedalam tubuh.
5. Pemaparan allergen.
Beberapa klien sangat mudah mengalami alergi dari pada orang lain, namun alasannya tidak jelas
mengapa seperti itu.
Kira-kira satu dari 4 orang Amerika mengalami alergi yang serius. Tingginya konsentrasi biasanya
menyebabkan respon hipersentifitas intensitasnya tinggi. Perjalannnya dapat melalui inhalasi,
injeksi, melalui pencernaan, atau kontak langsung. Lebih banyak allergen karena inhalasi/dihirup.
Respon hipersentifitas terjadi setelah terpapar. Kontak pertama dengan subtansi menyebabkan repon
imun primer, lebih perlahan-lahan dan lebih ringan dibanding dengan respon imun sekunder.
Tipe reaksi hipersentifitas
Reaksi hipersentifitas diklasifikasikan berdasarkan sumber antigen, waktu terjadinya (immediate
atau delayed), atau mekanisme dasar imunologik yang menyebabkan injury. Pada dsarnya ada 4
reaksi hipersentifitas yang nampak. Tipe I, II, dan III adalah berupa immediate, dan Tipe IV adalah
delayed respon hipersentifitas
Tipe I-Anafilaktik TipeII—
Cytotoxic
Tipe III—immune-
complex mediated
Tipe IV- delayed
Hypersentivity
Antigen
Terkait
dg.antibodi
Melibatkan
dg.komplemen
Injury pada
mediator
Serbuk, mkn, obat,
debu.
IgE
Tidak
Histamin, SRS-A
Permukaan sel
pada eritrosit,
dasar membran
IgG,IgM
Ya
Komplemen
menjadi lisis,
neutrofil
Ekstrasel :jamur,
virus, bakteri
IgG,IgM
Ya
Neutrofil
Komplemen
menjadi lisis
Intrasel atau ekstrasel
Tidak ada
Tidak
Limfokinin, T-
selsitotoksik,
monosit/makropag,enzim
lisosom.
Contoh Rhinitis alergi,
Asthma
Reaksi transfusi Serum sickness,
SLE, Rh.arthritis
Dermatitis
kontak,penolakan
jar.transplantasi
Tipe I : reaksi anafilaktik
Salah satu mekanisme efektor sistem imun yang paling kuat adalah reaksi yang terjadi akibat
stimulasi mastosit jaringan dan basofil yang diperantarai IgE. Bila antigen, khususnya allergen,
berikatan dengan molekul IgE yang sebelumnya telah melekat pada permukaan mastosit atau
basofil, maka hal itu akan menyebabkan dilepaskannya berbagai mediator oleh mastosit dan basofil
yang secara kolektif mengakibatkan peningkatan permeabilitas kapiler, vasodilatasi, konstriksi otot
polos bronkus dan saluran cerna serta inflamasi lokal. Reaksi ini disebut reaksi hipersentifitas segera
(immediate) karena terjadi sangat cepat, yaitu hanya beberapa menit setetlah papasan. Dalam bentuk
sistemik ekstrim, yang dikernal sebagai reaksi anafilaksis, mediator yang dihasilkan oleh mastosit
dan basofil dapat meyebabkan penyempitan saluran nafas hingga asfiksia atau menyebabkan kolaps
kardiovaskuler dasn berakibat kematian. Individu yang menunjukan kecenderungan untuk reaksi
hipersentifitas segera disebut individu atopik dan biasanya menunjukkan reaksi alergi segera setelah
terpapar pada antigen lingkungan.
Antigen yang membangkitkan reaksi hipersentifitasadalah protein atau zat kimia
Yang terikat protein terhadap mana individu atopik bersangkutan terpapar secara kronik. Secara
umum paparan ulang terhadap antigen tertentu diperlukan untuk menghasilkan reaksi atopik
terhadap antigen bersangkutan.
Antigen yang membangkitkan reaksi hipersentifitas tipe segera disebut allergen. Belum diketahui
mengapa antigen tertentu menimbulkan reaksi alergi kuat dan atigen lain tidak.
Tipe II : : Sitolitik atau hipersentifitas sitotoksik.
Baik reaksi Tipe II maupun Tipe III melibatkan IgG dan IgM. Perbedaannnya adalah bahwa reaksi
Tipe II ditujukan kepada antigen yang terdapat pada permukaan sel atau jaringan tertentu,
sedangkan pada reaksi Tipe III antibodi ditujukan kepada antigen yang terlarut dalam serum. Jadi
pada rekasi Tipe II, antibodi dalam serum bereaksi dengan antigen yang berada pada permukaan
suatu sel atau yang merupakan komponen membran sel tertentu yang mernampilkan antigen yang
bersangkutan. Seringkali suatu substansi merupakan berupa mikroba dan molekul-nolekul kecil lain,
melekat pada permukaan sel dan bersifat sebagai antigen. Pada umumnya antibodi yang ditujukan
kepada antigen permukaan sel bersifat patogenik, karena kompleks antigen-antibodi pada
permukaan sel sasaran akan dihancurkan oleh sel efektor, misalnya oleh makropag maupun oleh
neutrofil dan monsit, atau limfosit T-sitotoksik dan sel NK sehingga ada kemungkinan
menyebabkan kerusakan sel itu sendiri. Pada keadaan ini sulit membedakan antara reaksi imun yang
normal dengan reaksi hipersentifitas.
Beberapa contoh reaksi hipersentifitas Tipe II adalah kerusakan eritrosit seperti pada reaksi
transfusi, penyakit hemolitik pada anak baru lahir akibat ketidaksesuaian faktor Rhesus, anamei
hemolitik akibat obat serta kerusakan jaringan pada penolakan jaringan transplantasi diperakut
akibat interaksi dengan atibodi yang telah ada sebelumnya pada resipien. Reaksi terhadap trombosit
dapat menyebabkan trombositopenia, sedangkan reaksi terhadap neutrofil dan limfosit dihubungkan
dengan lupus eritematosus sistemik (SLE).
Tipe III : Hipersentifitas Kompleks Imun.
Kompleks imun sebenarnya terbentuk setiap kali antibodi bertemu dengan antigen, tetapi dalam
keadaan normal pada umumnya kompleks ini segera tersingkir secara efektif oleh jaringan
retikuloendotel, tetapi ada kalanya pembentukan kompleks imun menyebabkan reaksi
hipersentifitas. Keadan imunopatologik akibat pembentukan kompleks imun dalam garis besar dapat
digolongkan dalam 3 golongan, yaitu :
1. Dampak kombinasi infeksi kronis yang ringan dengan respon antibodi yang lermah,
menimbulkan pembentukan kompleks imun kronis yang dapat mengendap diberbagai
jaringan.
2. Komplikasi dari peyakit autoimun dengan pembentukan autoantibodi secara terus menerus
yang berikatan denganb jaringan self.
3. Kompleks imun terbentuk pada permukaan tubuh, misalnya dalam paru-paru, akibat
terhirupnya antigen secara berulang kali.
Mekanisme reaksi :
Pemaparan pada antigen dalam jangka panjang dapat merangsang pembentukan natibodi yang
umumnya tergolong IgG dan bukan IgE seperti hanlnya pada reaksi hipersentifitas Tipe I. Antibodi
bereaksi dengan antigen bersangkutan membentuk kompleks antigen-antibodi yang kemudian dapat
mengendap[ pada salah satu tempat dalam jaringan tubuh. Pembentukan kompleks antigen-antibodi
(kompleks imun) itu akan menimbulkan reaksi inflamasi. Aktifitas sistem komplemen,
menyebabkan pelepasan anafilatoksin yang kemudian merangsang penglepasan berbagai mediator
oleh mastosit. Kompleks imun dapat menyulut berbagai jenis proses inflamasi, karena :
1. kompleks imun berinteraksi dengan sistem komplemen. Fragmen komplemen merangsang
penglepasan vasoactive amine (termasuk histamin) dan faktor kemotaksis yang berasal dari
mastosit dan basofil.
2. Makropag distimulasi untuk melepaskan sitokin yang mempunyai peran penting pada
inflamasi.
3. Kompleks imun sebera berinteraksi dengan basofil dan trombosit dan menghasilkan
vasoactive amine.
Tipe IV : Reaksi hipersentifitas tipe lambat.
Reaksi Tipe IV berbeda dengan reaksi-reaksi Tipe I,II, dan III karena reaksi ini tidak melibatkan
antibodi tetapi melibatkan sel-sel limfosit T. Limfosit adalah sel yang imunospesifik dan pada
permukaanya mempunyai berbagai reseptor antigen, baik untuk antigen jaringan maupun untuk
molekul-molekul kecil yang melekat pada membran sel dan kemudian bersifat sebagai antigen.
Reaksi Tipe IV yang juga disebut reaksi tipe Lambat pada umumnya timbul lebih dari dari 12 jam
setelah pemaparan pada antigen.
Dikenal beberapa jenis reaksi hipersentifitas tipe lambat yaitu reaksi kontak, reaksi tuberkulin dan
reaksi granuloma. Ketiga jenis reaksi seringkali timbul secara berurutan atau tumpang tindih,
sehingga seringkali reaksi yang terjadi tidak khas untuk jenis tertentu.
Reaksi kontak : Ditandai dengan reaksi eksim pada tempat terjadinya kontak dengan alergen yang
dapat berupa hapten(molekul kecil seperti peptida yang jika bergabung dengan sebuah protein tubuh
akan memiliki sifat antigenik, dan jika sendirian hapten tidak dapat menimbulkan respon
imunologis) misalnya logam, zat warna maupun kimia. Reaksi kontak terjadi dalam lapisan
epidermis (berbeda dengan reaksi tuberkulin yang terjadi dalam lapisan dermis).Respon terjadi
bergantung pada dosis hapten yang masuk. Dosisi yang rendah tidak dapat menimbulkan respon
tetapi sebaliknya dosis yang melebihi dosis tertentu tidak meningkatkan respon. Gejala pertama
reaksi dapat terlihat setelah 4-8 jam dan mencapai puncaknya dalam 48-72 jam. Gejala awal
menunjukkan sel-sel mononuklear sekitar kelenjar keringat, sebasea, folikel dan pembuluh darah
yang mulai menginfiltrasi epidermis. Dalam waktu 48-72 jam jumlah sel yang menginfiltrasi
epidermis bertambah banyak dan terjadi edema.
Reaksi tuberkulin : Seperti halnya reaksi kontak, reaksi mencapai puncaknya 48-72 jam setelah
pemaparan. Reaksi ini dapat diikuti dengan reaksi yang lebih lambat yang ditandai dengan agregasi
dan proliferasi makropag membentuk granuloma yang menetap selamam beberapa minggu. Ditinjau
dari segi klinik jenis reaksi granuloma merupakan jenis reaksi imunologik selular yang paling
patologik. Sebagian dari poipulasi limfosit yang teraktivasi mengeluarkan berbagai mediator yang
menarik makropag ketempat bersangkutan.
Gambaran histologik yang tampak pada awal reaksi adalah akumulasi makropag didaerah
perivaskular dalam waktu 12-72 jam, disusul oleh eksudasi sel mononuklear dan PMN.
Reaksi granuloma : Merupakan bentuk reaksi hipersentifitas jenis lambat yang paling penting
karena dapat menyebabkan berbagai keadaan patologis pada penyakit-penyakit yang melibatkan
respon imun selular. Biasanya reaksi ini terjadi karena makropag tidak mampu menyingkirkan
makroorganisme atau paretikel yang ada didalamnya, sehingga partikel itu menetap. Kadang-kadang
reaksi ini juga terjadi akibat kompleks imun yang persisten. Proses ini menimbulkan pembentukan
granuloma. Gambaran histologik reaksi granuloma berbada dengan tuberkulin, walaupun
adakalanya kedfua jenis reaksi disebabkan sensitisasi mikroorganisme yang sama, misalnya
mikobakterium tuberkulosis dan mikobakterium leprae. Reaksi granuloma dapat juga disebabkan
benda asing misalnya talk, silikon dan partikel lain, dan jenis reaksi granuloma non-imunologik ini
dapat dibedakan karena tidak melibatkan limfosit. Sel yang khas pada reaksi granuloma adalah sel
epiteloid, yang diduga berasal dari sel makropag teraktivasi tetapi tidak memiliki fagosom. Pada
reaksi ini juga dijumpai sel-sel raksasa (giant cell). Sel ini memiliki beberapa nukleus, sedangkan
mitokondria dan lisosom mengalami degradasi.
Contoh klasik reaksi tipe IV adalah reaksi tuberkulin positif pada uji Mantoux, dermatitis kontak
dan reaksi penolakan jaringan transplantasi jenis lambat. Selain itu jenis penyakit kronik yaitu
tuberkulosis, lepra, kandidiasis, dermatomikosis, dan lain-lain. Penyakit ini disebabkan rangsangan
kuman patogen secara terus menerus dan berkelanjutan. Pada tuberkulosis misalnya, terjadi
pembentukan granuloma dalam paru dan reaksi granuloma ini menyebabkan kerusakan jaringan dan
pembentukan kavitasi.
ALERGI
Walaupun gangguan dari sistem imun dimanisfestasikan dalam berbagai cara, alergi atau Tipe I
reaksi hipersentifitas merupakan hal yang sering ditemukan.
Pengkajian :
Melalui pengkajian pasien dengan alergi, diperlukan data dasar yang lengkap. Termasuk riwayat
pasien yang lengkap, pemeriksaan fisik, diagnostik test dan skin test terhadap allergen.
Riwayat Kesehatan :
Riwayat kesehatan yang menyeluruh yang mencakup keluarga yang mengalami alergi, alergi pada
masa lu dan saat ini,, faktor sosial dan lingkungan. Informasi dapat diperoleh dari pasien atau pada
tempat pelayanan kesehatan.
Riwayat keluarga, termasuk informasi tentang reaksi atopik yang berhubungan, terutama penting
mengidentifikasi faktor risiko pada pasien. Gangguan tertentu, manifestasi klinik, dan
penanganannya harus dikaji.
Riwayat alergi pada masa lalu dan saat ini harus dicatat. Mengidentifikasi alergen yang mungkin
dapat memicu reaksi adalah penting untuk mengontrol reaksi alergi. Menentukan waktu untuk
beberapa tahun yang lalu tentang alergi yang diderita pada masa lalu dapat membantu menentukan
jenis alergen. Informasi juga dapat diperoleh dengan menanyakan obat yang pernah digunakan
untuk pengobatan alergi.
Juga diperlukan manifestasi klinik akibat reaksi alergi, misalnya jika pasien wanita kaji gejala
selama hamil, menstruasi, atau menopause.
Faktor sosial dan lingkungan terutama lingkungan fisik. Pertanyaan yang berhubungan dengan
binatang kesayangan, pepohonan, dan tanaman; polusi udara dalam rumah atau ditempat pekerjaan
dapat memberikan informasi yang bernilai tentang jenis alergen. Juga makanan, dan obat-obatan.
Dan akhirnya pertanyaan yang berhubungan dengan pola hidup dan tingkat stres dapat dipandang
berhubungan dengan timbulnya gejala alergi.
Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan secara menyeluruh head-to-toe pada pasien alergi, terutama berikan perhatian pada
lokasi manifestasi alergi. Pengkajian menyeluruh meliputi data subjektif dan objektif, misalnya
masaslah gangguan pernafasan yang berulang-ulang : batuk, sesak nafas, sputum kental, stridor,
wheezing, reaksi pengobatan, intoleransi makanan , muntah, diare, gatal, kemerahan pada kulit,
adanya papula/vesikel/bulla, iritasi. Konjuntivitis, lakrimasi, pendengaran berkurang, infeksi telinga
yang berulang, suara hidung, rhinitis, pilek, dan lain-lain.
Diagnostik test
Deteksi ketidaknormalan dari limfosit, eosinofil, dan imunoglobulin. Juga pemeriksaan
darahlengkap dan test serologis. Jumlah eosinofil meningkat pada Tipe I termasuk IgE, test
allergen, Pada asthma misalnya test kapasitas vital paru, volume pernafasan.
Test kulit : biasanya dilakukan terutama sensitiftas pasien dengan penyakit atopik.
Penatalaksanaan medik
Alergi adalah masalah yang bersifat kronik dengan pengobatan yang lama atau berbgai
penanganannya. Disamping pengobatan juga menghindari/menjauhi alergen yang telah diketahui
dengan mengontrol lingkungan serta terapi imunitas. Menghindari allergin bila sudah diketahui akan
gampang, tetapi mengetahui jenis allergen kadang-kadang sangat sulit.
Pengobatan antihistamin adalah sering diguakan dalam pengoibatan guna menghilangkan
gejala,dekongestan mengurangi kongesti hidung, kortikosteroid, antiinflamasi lainnya, dan
pengobatan imunosupresi dapat digunakan pada berbagai gejala yang bewrhubungan dengan alergi.
Topikal steroid digunakan pada dermatitis dan berbagai manifestasi kulit lainnya. Pengobatan
asthma atau rhinitis dengan penggunaan aerosol
Sebaiknya perawat mengkaji reaksi alergi dalam 20 menit setelah penyuntikan.
Bila terjadi reaksi anafilaktik secara tiba-tiba yang mungkin terjadi setelah pemberian suntikan
(terutama antibiotik), atau pemberian transfusi, Prinsip utama dalam penganganannya, secara cepat
melakukan :
1. Kenali tanda dan gejala reaksi anafilaktik.
2. Pertahankan jalan nafas bebas
3. Cegah penyebaran alergen dengan menggunakan tourniquet.
4. berikan pengobatan
5. Tangani syok.
Misalnya terjadi pruritus dan urtikaria dapat dikontrol dengan pemberian epineprin 0,2 sampai 0,5
ml, yang diencerkan 1 : 1000, berikan secara subkutan setiap 20 menit atau sesuai dengan petunjuk
dokter/sesuai protocol.
Bila terjadi hipoksia dapat dipertimbangkan pemberian oksigen, atau pemasangan ETT atau
tracheostomi guna memenuhi kebutuhan oksigen.
Juga diberikan antihistamin dapat secara intravena atau intramuskuler pada urtikaria atau
angioedema.
Bila terjadi hipovolumia syok dapat diberikan cairan intravena /infus
Kortikosteroid spray sangat efektif mengurangi gejala rhinitis alergi
Epineprin(adrenalin), adalah obat pilihan untuk menangani reaksi anafilaktik. Epineprin adalah
hormon yang diproduksi oleh medula adrenal yang menstimulasi reseptor alpha dan beta adrenergik
menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah perifer, dan reseptor beta menstimulasi merelaksasi
otot polos bronkial akibat spasme.
Obat topikal sangat efektif untuk kulit yang mengalami pruritus (antipruritus). Obat ini akan
melindungi kulit dan mengurangi gatal.
Pengobatan imunoterapi diberikan untuk menangani gejala alergi yang dengan pengobatan lain yang
tidak efektif.
BAHAN BACAAN1. Polaski & Tatro (1996), Core Principles and Practice of Medical-Surgical Nursing,
Philadelphia : W.b.Saunders Company.2. ewis, Hettkemper & Dirksen (2000), medical-surgical nursing : Assessment and mangement
od clinical problems (6th.ed), St.Louis : Mosby.3. Siti Boedina Kresno (2001), imunologi : Diagnosis dan prosedur laboratorium (edisi
keempat), Jakarta : Balai penerbit Fakultas Kedokteran inversitas Indonesia.