WATANPADAKLIENYANGMENGALAMIREAKSIHIPERSENSITIVITAS

14
REAKSI HIPERSENSITIVITAS Pendahuluan Imunitas spesifik merupakan mekanisme yang ampuh untuk menyingkirkan patogen dan antigen asing. Mekanisme efekytor sistem imun, sperti komplemen, fagosit, sitokin dan lain-lain tidak spesifik untuk antigen asing. Karena itu respon imun dan reaksi inflamasi yang menyertai respon imun kadang-kadang disertai kerusakan jaringan tubuh sendiri, baik lokal maupun sistemik. Pada umumnya efek samping demikian dapat dikendalikan dan membatasi diri (self-limited) dan berhenti sendiri dengan hilangnya antigen asing. Disamping itu, dalam keadaan normal ada toleransi terhadap antigen self sehingga tidak terjadi respon imun terhadap jaringan tubuh sendiri. Namun ada kalanya respon atau reaksi imun itu berlebihan atau tidak terkontrol dan reaksi demikian disebut REAKSI HIPERSENTIFITAS. Reaksi hipersentifitas dapat terjadi bila jumlah antigen yang masuk relatif banyak atau bila status imunologik seseorang baik selular maupun humoral meningkat. Reaksi itu tidak pernah timbul pada pemaparan pertama dan merupakan ciri khas individu bersangkutan. Reaksi hipersensitifitas menimbulkan manifestasi klinik dan patologik yang sangat heterogen, dan heterogenitas itu ditentukan oleh : 1. jenis respon imun yang mengakibatkan kerusakan jaringan. 2. Sifat dan lokasi antigen yang menginduksi atau merupakan sasaran dari respon imun tersebut.

Transcript of WATANPADAKLIENYANGMENGALAMIREAKSIHIPERSENSITIVITAS

Page 1: WATANPADAKLIENYANGMENGALAMIREAKSIHIPERSENSITIVITAS

REAKSI HIPERSENSITIVITAS

Pendahuluan

Imunitas spesifik merupakan mekanisme yang ampuh untuk menyingkirkan patogen dan antigen

asing. Mekanisme efekytor sistem imun, sperti komplemen, fagosit, sitokin dan lain-lain tidak

spesifik untuk antigen asing. Karena itu respon imun dan reaksi inflamasi yang menyertai respon

imun kadang-kadang disertai kerusakan jaringan tubuh sendiri, baik lokal maupun sistemik. Pada

umumnya efek samping demikian dapat dikendalikan dan membatasi diri (self-limited) dan berhenti

sendiri dengan hilangnya antigen asing. Disamping itu, dalam keadaan normal ada toleransi

terhadap antigen self sehingga tidak terjadi respon imun terhadap jaringan tubuh sendiri. Namun

ada kalanya respon atau reaksi imun itu berlebihan atau tidak terkontrol dan reaksi demikian

disebut REAKSI HIPERSENTIFITAS.

Reaksi hipersentifitas dapat terjadi bila jumlah antigen yang masuk relatif banyak atau bila status

imunologik seseorang baik selular maupun humoral meningkat. Reaksi itu tidak pernah timbul pada

pemaparan pertama dan merupakan ciri khas individu bersangkutan.

Reaksi hipersensitifitas menimbulkan manifestasi klinik dan patologik yang sangat heterogen, dan

heterogenitas itu ditentukan oleh :

1. jenis respon imun yang mengakibatkan kerusakan jaringan.

2. Sifat dan lokasi antigen yang menginduksi atau merupakan sasaran dari respon imun

tersebut.

Berdasarkan mekanisme reaksi imunologik yang terjadi, secara umum reaksi hipersentifitas

dibagi menjadi 4 golongan, yaitu reaksi hipersentifitas tipe I, II, III dan IV. Klasifikasi itu

didasarkan pada mekanisme patologik utama yang bertanggung jawab atas kerusakan sel

atau jaringan. Reaksi Tipe I, II, dan III terjadi karena interaksi antara antigen dengan antibodi

sehingga termasuk reaksi humoral, sedangkan reaksi Tipe IV terjadi karena interaksi antara antigen

dengan reseptor yang terdapat pada limfosit T dan mengaktifkan limfosit sehingga termasuk reaksi

selular.

Faktor predisposisi

Kejadian dan intensitas respon hipersentifitas bergantung pada beberapa faktor :

1. Pertahanan host.

2. Sifat dari allergen

Page 2: WATANPADAKLIENYANGMENGALAMIREAKSIHIPERSENSITIVITAS

3. Konsentrasi allergen

4. Perjalanan allergen masuk kedalam tubuh.

5. Pemaparan allergen.

Beberapa klien sangat mudah mengalami alergi dari pada orang lain, namun alasannya tidak jelas

mengapa seperti itu.

Kira-kira satu dari 4 orang Amerika mengalami alergi yang serius. Tingginya konsentrasi biasanya

menyebabkan respon hipersentifitas intensitasnya tinggi. Perjalannnya dapat melalui inhalasi,

injeksi, melalui pencernaan, atau kontak langsung. Lebih banyak allergen karena inhalasi/dihirup.

Respon hipersentifitas terjadi setelah terpapar. Kontak pertama dengan subtansi menyebabkan repon

imun primer, lebih perlahan-lahan dan lebih ringan dibanding dengan respon imun sekunder.

Tipe reaksi hipersentifitas

Reaksi hipersentifitas diklasifikasikan berdasarkan sumber antigen, waktu terjadinya (immediate

atau delayed), atau mekanisme dasar imunologik yang menyebabkan injury. Pada dsarnya ada 4

reaksi hipersentifitas yang nampak. Tipe I, II, dan III adalah berupa immediate, dan Tipe IV adalah

delayed respon hipersentifitas

Tipe I-Anafilaktik TipeII—

Cytotoxic

Tipe III—immune-

complex mediated

Tipe IV- delayed

Hypersentivity

Antigen

Terkait

dg.antibodi

Melibatkan

dg.komplemen

Injury pada

mediator

Serbuk, mkn, obat,

debu.

IgE

Tidak

Histamin, SRS-A

Permukaan sel

pada eritrosit,

dasar membran

IgG,IgM

Ya

Komplemen

menjadi lisis,

neutrofil

Ekstrasel :jamur,

virus, bakteri

IgG,IgM

Ya

Neutrofil

Komplemen

menjadi lisis

Intrasel atau ekstrasel

Tidak ada

Tidak

Limfokinin, T-

selsitotoksik,

monosit/makropag,enzim

lisosom.

Page 3: WATANPADAKLIENYANGMENGALAMIREAKSIHIPERSENSITIVITAS

Contoh Rhinitis alergi,

Asthma

Reaksi transfusi Serum sickness,

SLE, Rh.arthritis

Dermatitis

kontak,penolakan

jar.transplantasi

Tipe I : reaksi anafilaktik

Salah satu mekanisme efektor sistem imun yang paling kuat adalah reaksi yang terjadi akibat

stimulasi mastosit jaringan dan basofil yang diperantarai IgE. Bila antigen, khususnya allergen,

berikatan dengan molekul IgE yang sebelumnya telah melekat pada permukaan mastosit atau

basofil, maka hal itu akan menyebabkan dilepaskannya berbagai mediator oleh mastosit dan basofil

yang secara kolektif mengakibatkan peningkatan permeabilitas kapiler, vasodilatasi, konstriksi otot

polos bronkus dan saluran cerna serta inflamasi lokal. Reaksi ini disebut reaksi hipersentifitas segera

(immediate) karena terjadi sangat cepat, yaitu hanya beberapa menit setetlah papasan. Dalam bentuk

sistemik ekstrim, yang dikernal sebagai reaksi anafilaksis, mediator yang dihasilkan oleh mastosit

dan basofil dapat meyebabkan penyempitan saluran nafas hingga asfiksia atau menyebabkan kolaps

kardiovaskuler dasn berakibat kematian. Individu yang menunjukan kecenderungan untuk reaksi

hipersentifitas segera disebut individu atopik dan biasanya menunjukkan reaksi alergi segera setelah

terpapar pada antigen lingkungan.

Antigen yang membangkitkan reaksi hipersentifitasadalah protein atau zat kimia

Yang terikat protein terhadap mana individu atopik bersangkutan terpapar secara kronik. Secara

umum paparan ulang terhadap antigen tertentu diperlukan untuk menghasilkan reaksi atopik

terhadap antigen bersangkutan.

Antigen yang membangkitkan reaksi hipersentifitas tipe segera disebut allergen. Belum diketahui

mengapa antigen tertentu menimbulkan reaksi alergi kuat dan atigen lain tidak.

Tipe II : : Sitolitik atau hipersentifitas sitotoksik.

Baik reaksi Tipe II maupun Tipe III melibatkan IgG dan IgM. Perbedaannnya adalah bahwa reaksi

Tipe II ditujukan kepada antigen yang terdapat pada permukaan sel atau jaringan tertentu,

sedangkan pada reaksi Tipe III antibodi ditujukan kepada antigen yang terlarut dalam serum. Jadi

pada rekasi Tipe II, antibodi dalam serum bereaksi dengan antigen yang berada pada permukaan

suatu sel atau yang merupakan komponen membran sel tertentu yang mernampilkan antigen yang

bersangkutan. Seringkali suatu substansi merupakan berupa mikroba dan molekul-nolekul kecil lain,

Page 4: WATANPADAKLIENYANGMENGALAMIREAKSIHIPERSENSITIVITAS

melekat pada permukaan sel dan bersifat sebagai antigen. Pada umumnya antibodi yang ditujukan

kepada antigen permukaan sel bersifat patogenik, karena kompleks antigen-antibodi pada

permukaan sel sasaran akan dihancurkan oleh sel efektor, misalnya oleh makropag maupun oleh

neutrofil dan monsit, atau limfosit T-sitotoksik dan sel NK sehingga ada kemungkinan

menyebabkan kerusakan sel itu sendiri. Pada keadaan ini sulit membedakan antara reaksi imun yang

normal dengan reaksi hipersentifitas.

Beberapa contoh reaksi hipersentifitas Tipe II adalah kerusakan eritrosit seperti pada reaksi

transfusi, penyakit hemolitik pada anak baru lahir akibat ketidaksesuaian faktor Rhesus, anamei

hemolitik akibat obat serta kerusakan jaringan pada penolakan jaringan transplantasi diperakut

akibat interaksi dengan atibodi yang telah ada sebelumnya pada resipien. Reaksi terhadap trombosit

dapat menyebabkan trombositopenia, sedangkan reaksi terhadap neutrofil dan limfosit dihubungkan

dengan lupus eritematosus sistemik (SLE).

Tipe III : Hipersentifitas Kompleks Imun.

Kompleks imun sebenarnya terbentuk setiap kali antibodi bertemu dengan antigen, tetapi dalam

keadaan normal pada umumnya kompleks ini segera tersingkir secara efektif oleh jaringan

retikuloendotel, tetapi ada kalanya pembentukan kompleks imun menyebabkan reaksi

hipersentifitas. Keadan imunopatologik akibat pembentukan kompleks imun dalam garis besar dapat

digolongkan dalam 3 golongan, yaitu :

1. Dampak kombinasi infeksi kronis yang ringan dengan respon antibodi yang lermah,

menimbulkan pembentukan kompleks imun kronis yang dapat mengendap diberbagai

jaringan.

2. Komplikasi dari peyakit autoimun dengan pembentukan autoantibodi secara terus menerus

yang berikatan denganb jaringan self.

3. Kompleks imun terbentuk pada permukaan tubuh, misalnya dalam paru-paru, akibat

terhirupnya antigen secara berulang kali.

Mekanisme reaksi :

Pemaparan pada antigen dalam jangka panjang dapat merangsang pembentukan natibodi yang

umumnya tergolong IgG dan bukan IgE seperti hanlnya pada reaksi hipersentifitas Tipe I. Antibodi

bereaksi dengan antigen bersangkutan membentuk kompleks antigen-antibodi yang kemudian dapat

mengendap[ pada salah satu tempat dalam jaringan tubuh. Pembentukan kompleks antigen-antibodi

(kompleks imun) itu akan menimbulkan reaksi inflamasi. Aktifitas sistem komplemen,

Page 5: WATANPADAKLIENYANGMENGALAMIREAKSIHIPERSENSITIVITAS

menyebabkan pelepasan anafilatoksin yang kemudian merangsang penglepasan berbagai mediator

oleh mastosit. Kompleks imun dapat menyulut berbagai jenis proses inflamasi, karena :

1. kompleks imun berinteraksi dengan sistem komplemen. Fragmen komplemen merangsang

penglepasan vasoactive amine (termasuk histamin) dan faktor kemotaksis yang berasal dari

mastosit dan basofil.

2. Makropag distimulasi untuk melepaskan sitokin yang mempunyai peran penting pada

inflamasi.

3. Kompleks imun sebera berinteraksi dengan basofil dan trombosit dan menghasilkan

vasoactive amine.

Tipe IV : Reaksi hipersentifitas tipe lambat.

Reaksi Tipe IV berbeda dengan reaksi-reaksi Tipe I,II, dan III karena reaksi ini tidak melibatkan

antibodi tetapi melibatkan sel-sel limfosit T. Limfosit adalah sel yang imunospesifik dan pada

permukaanya mempunyai berbagai reseptor antigen, baik untuk antigen jaringan maupun untuk

molekul-molekul kecil yang melekat pada membran sel dan kemudian bersifat sebagai antigen.

Reaksi Tipe IV yang juga disebut reaksi tipe Lambat pada umumnya timbul lebih dari dari 12 jam

setelah pemaparan pada antigen.

Dikenal beberapa jenis reaksi hipersentifitas tipe lambat yaitu reaksi kontak, reaksi tuberkulin dan

reaksi granuloma. Ketiga jenis reaksi seringkali timbul secara berurutan atau tumpang tindih,

sehingga seringkali reaksi yang terjadi tidak khas untuk jenis tertentu.

Reaksi kontak : Ditandai dengan reaksi eksim pada tempat terjadinya kontak dengan alergen yang

dapat berupa hapten(molekul kecil seperti peptida yang jika bergabung dengan sebuah protein tubuh

akan memiliki sifat antigenik, dan jika sendirian hapten tidak dapat menimbulkan respon

imunologis) misalnya logam, zat warna maupun kimia. Reaksi kontak terjadi dalam lapisan

epidermis (berbeda dengan reaksi tuberkulin yang terjadi dalam lapisan dermis).Respon terjadi

bergantung pada dosis hapten yang masuk. Dosisi yang rendah tidak dapat menimbulkan respon

tetapi sebaliknya dosis yang melebihi dosis tertentu tidak meningkatkan respon. Gejala pertama

reaksi dapat terlihat setelah 4-8 jam dan mencapai puncaknya dalam 48-72 jam. Gejala awal

menunjukkan sel-sel mononuklear sekitar kelenjar keringat, sebasea, folikel dan pembuluh darah

yang mulai menginfiltrasi epidermis. Dalam waktu 48-72 jam jumlah sel yang menginfiltrasi

epidermis bertambah banyak dan terjadi edema.

Page 6: WATANPADAKLIENYANGMENGALAMIREAKSIHIPERSENSITIVITAS

Reaksi tuberkulin : Seperti halnya reaksi kontak, reaksi mencapai puncaknya 48-72 jam setelah

pemaparan. Reaksi ini dapat diikuti dengan reaksi yang lebih lambat yang ditandai dengan agregasi

dan proliferasi makropag membentuk granuloma yang menetap selamam beberapa minggu. Ditinjau

dari segi klinik jenis reaksi granuloma merupakan jenis reaksi imunologik selular yang paling

patologik. Sebagian dari poipulasi limfosit yang teraktivasi mengeluarkan berbagai mediator yang

menarik makropag ketempat bersangkutan.

Gambaran histologik yang tampak pada awal reaksi adalah akumulasi makropag didaerah

perivaskular dalam waktu 12-72 jam, disusul oleh eksudasi sel mononuklear dan PMN.

Reaksi granuloma : Merupakan bentuk reaksi hipersentifitas jenis lambat yang paling penting

karena dapat menyebabkan berbagai keadaan patologis pada penyakit-penyakit yang melibatkan

respon imun selular. Biasanya reaksi ini terjadi karena makropag tidak mampu menyingkirkan

makroorganisme atau paretikel yang ada didalamnya, sehingga partikel itu menetap. Kadang-kadang

reaksi ini juga terjadi akibat kompleks imun yang persisten. Proses ini menimbulkan pembentukan

granuloma. Gambaran histologik reaksi granuloma berbada dengan tuberkulin, walaupun

adakalanya kedfua jenis reaksi disebabkan sensitisasi mikroorganisme yang sama, misalnya

mikobakterium tuberkulosis dan mikobakterium leprae. Reaksi granuloma dapat juga disebabkan

benda asing misalnya talk, silikon dan partikel lain, dan jenis reaksi granuloma non-imunologik ini

dapat dibedakan karena tidak melibatkan limfosit. Sel yang khas pada reaksi granuloma adalah sel

epiteloid, yang diduga berasal dari sel makropag teraktivasi tetapi tidak memiliki fagosom. Pada

reaksi ini juga dijumpai sel-sel raksasa (giant cell). Sel ini memiliki beberapa nukleus, sedangkan

mitokondria dan lisosom mengalami degradasi.

Contoh klasik reaksi tipe IV adalah reaksi tuberkulin positif pada uji Mantoux, dermatitis kontak

dan reaksi penolakan jaringan transplantasi jenis lambat. Selain itu jenis penyakit kronik yaitu

tuberkulosis, lepra, kandidiasis, dermatomikosis, dan lain-lain. Penyakit ini disebabkan rangsangan

kuman patogen secara terus menerus dan berkelanjutan. Pada tuberkulosis misalnya, terjadi

pembentukan granuloma dalam paru dan reaksi granuloma ini menyebabkan kerusakan jaringan dan

pembentukan kavitasi.

ALERGI

Page 7: WATANPADAKLIENYANGMENGALAMIREAKSIHIPERSENSITIVITAS

Walaupun gangguan dari sistem imun dimanisfestasikan dalam berbagai cara, alergi atau Tipe I

reaksi hipersentifitas merupakan hal yang sering ditemukan.

Pengkajian :

Melalui pengkajian pasien dengan alergi, diperlukan data dasar yang lengkap. Termasuk riwayat

pasien yang lengkap, pemeriksaan fisik, diagnostik test dan skin test terhadap allergen.

Riwayat Kesehatan :

Riwayat kesehatan yang menyeluruh yang mencakup keluarga yang mengalami alergi, alergi pada

masa lu dan saat ini,, faktor sosial dan lingkungan. Informasi dapat diperoleh dari pasien atau pada

tempat pelayanan kesehatan.

Riwayat keluarga, termasuk informasi tentang reaksi atopik yang berhubungan, terutama penting

mengidentifikasi faktor risiko pada pasien. Gangguan tertentu, manifestasi klinik, dan

penanganannya harus dikaji.

Riwayat alergi pada masa lalu dan saat ini harus dicatat. Mengidentifikasi alergen yang mungkin

dapat memicu reaksi adalah penting untuk mengontrol reaksi alergi. Menentukan waktu untuk

beberapa tahun yang lalu tentang alergi yang diderita pada masa lalu dapat membantu menentukan

jenis alergen. Informasi juga dapat diperoleh dengan menanyakan obat yang pernah digunakan

untuk pengobatan alergi.

Juga diperlukan manifestasi klinik akibat reaksi alergi, misalnya jika pasien wanita kaji gejala

selama hamil, menstruasi, atau menopause.

Faktor sosial dan lingkungan terutama lingkungan fisik. Pertanyaan yang berhubungan dengan

binatang kesayangan, pepohonan, dan tanaman; polusi udara dalam rumah atau ditempat pekerjaan

dapat memberikan informasi yang bernilai tentang jenis alergen. Juga makanan, dan obat-obatan.

Dan akhirnya pertanyaan yang berhubungan dengan pola hidup dan tingkat stres dapat dipandang

berhubungan dengan timbulnya gejala alergi.

Pemeriksaan fisik

Pemeriksaan secara menyeluruh head-to-toe pada pasien alergi, terutama berikan perhatian pada

lokasi manifestasi alergi. Pengkajian menyeluruh meliputi data subjektif dan objektif, misalnya

masaslah gangguan pernafasan yang berulang-ulang : batuk, sesak nafas, sputum kental, stridor,

wheezing, reaksi pengobatan, intoleransi makanan , muntah, diare, gatal, kemerahan pada kulit,

Page 8: WATANPADAKLIENYANGMENGALAMIREAKSIHIPERSENSITIVITAS

adanya papula/vesikel/bulla, iritasi. Konjuntivitis, lakrimasi, pendengaran berkurang, infeksi telinga

yang berulang, suara hidung, rhinitis, pilek, dan lain-lain.

Diagnostik test

Deteksi ketidaknormalan dari limfosit, eosinofil, dan imunoglobulin. Juga pemeriksaan

darahlengkap dan test serologis. Jumlah eosinofil meningkat pada Tipe I termasuk IgE, test

allergen, Pada asthma misalnya test kapasitas vital paru, volume pernafasan.

Test kulit : biasanya dilakukan terutama sensitiftas pasien dengan penyakit atopik.

Penatalaksanaan medik

Alergi adalah masalah yang bersifat kronik dengan pengobatan yang lama atau berbgai

penanganannya. Disamping pengobatan juga menghindari/menjauhi alergen yang telah diketahui

dengan mengontrol lingkungan serta terapi imunitas. Menghindari allergin bila sudah diketahui akan

gampang, tetapi mengetahui jenis allergen kadang-kadang sangat sulit.

Pengobatan antihistamin adalah sering diguakan dalam pengoibatan guna menghilangkan

gejala,dekongestan mengurangi kongesti hidung, kortikosteroid, antiinflamasi lainnya, dan

pengobatan imunosupresi dapat digunakan pada berbagai gejala yang bewrhubungan dengan alergi.

Topikal steroid digunakan pada dermatitis dan berbagai manifestasi kulit lainnya. Pengobatan

asthma atau rhinitis dengan penggunaan aerosol

Sebaiknya perawat mengkaji reaksi alergi dalam 20 menit setelah penyuntikan.

Bila terjadi reaksi anafilaktik secara tiba-tiba yang mungkin terjadi setelah pemberian suntikan

(terutama antibiotik), atau pemberian transfusi, Prinsip utama dalam penganganannya, secara cepat

melakukan :

1. Kenali tanda dan gejala reaksi anafilaktik.

2. Pertahankan jalan nafas bebas

3. Cegah penyebaran alergen dengan menggunakan tourniquet.

4. berikan pengobatan

5. Tangani syok.

Misalnya terjadi pruritus dan urtikaria dapat dikontrol dengan pemberian epineprin 0,2 sampai 0,5

ml, yang diencerkan 1 : 1000, berikan secara subkutan setiap 20 menit atau sesuai dengan petunjuk

dokter/sesuai protocol.

Bila terjadi hipoksia dapat dipertimbangkan pemberian oksigen, atau pemasangan ETT atau

tracheostomi guna memenuhi kebutuhan oksigen.

Page 9: WATANPADAKLIENYANGMENGALAMIREAKSIHIPERSENSITIVITAS

Juga diberikan antihistamin dapat secara intravena atau intramuskuler pada urtikaria atau

angioedema.

Bila terjadi hipovolumia syok dapat diberikan cairan intravena /infus

Kortikosteroid spray sangat efektif mengurangi gejala rhinitis alergi

Epineprin(adrenalin), adalah obat pilihan untuk menangani reaksi anafilaktik. Epineprin adalah

hormon yang diproduksi oleh medula adrenal yang menstimulasi reseptor alpha dan beta adrenergik

menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah perifer, dan reseptor beta menstimulasi merelaksasi

otot polos bronkial akibat spasme.

Obat topikal sangat efektif untuk kulit yang mengalami pruritus (antipruritus). Obat ini akan

melindungi kulit dan mengurangi gatal.

Pengobatan imunoterapi diberikan untuk menangani gejala alergi yang dengan pengobatan lain yang

tidak efektif.

BAHAN BACAAN1. Polaski & Tatro (1996), Core Principles and Practice of Medical-Surgical Nursing,

Philadelphia : W.b.Saunders Company.2. ewis, Hettkemper & Dirksen (2000), medical-surgical nursing : Assessment and mangement

od clinical problems (6th.ed), St.Louis : Mosby.3. Siti Boedina Kresno (2001), imunologi : Diagnosis dan prosedur laboratorium (edisi

keempat), Jakarta : Balai penerbit Fakultas Kedokteran inversitas Indonesia.