WARTA BURUH MIGRAN NOMOR XI EDISI JANUARI 2012

16
Halaman 1 | Warta Buruh Migran | Januari 2012 Warta Buruh Migran | Edisi XI | Januari 2012 Klik www.buruhmigran.or.id Keterbatasan informasi bagi Buruh Migran Indonesia (BMI) menjadi salah satu akar carut-marutnya layanan dan perlindungan BMI. BMI, calon, mantan, dan keluarga pada dasarnya memiliki hak penuh atas informasi. Mereka berhak mengetahui apa saja rincian dari biaya yang mereka keluarkan untuk mengurus kerja ke luar negeri?, bagaimana cara mengurus klaim asuransi?, apa saja layanan yang disediakan perwakilan Pemerintah Indonesia di luar negeri?, serta pelbagai kebutuhan informasi yang berhak mereka tanyakan pada lembaga pemerintah dan PPTKIS. Keberadaan Undang-undang (UU) Nomor 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP) cukup memberi harapan bagi upaya perbaikan layanan BMI. Sayang, masih jarang BMI, organisasi serikat, paguyuban, dan organisasi masyarakat sipil di isu perlindungan buruh migran yang sudah mempergunakan secara maksimal UU tersebut. Pada edisi ini redaksi akan membahas beberapa hal tentang keterbukaan informasi publik bagi buruh migran. Semoga menjadi wacana dan bahan diskusi bagi kelompok buruh migran di Indonesia Seluruh tulisan dan foto dalam buletin ini dilisensikan dalam bendera Creative Common (CC). Siapapun bisa mengutip, menyalin, dan menyebarluaskan sebagian atau keseluruhan tulisan dengan menyebutkan sumber tulisan dan jenis lisensi yang sama, kecuali untuk kepentingan komersil. Salam Redaksi Hong-kong Penanggung Jawab Yossy Suparyo Muhammad Irsyadul Ibad Pimpinan Redaksi Fika Murdiana Tim Redaksi Muhammad Khayat Fathulloh Sindy Nur Fitri Kontributor Muhammad Irsyadul Ibad Muhammad Ali Usman Tata Letak Wahyu Widayat N Ilustrator Irvan Muhammad Alamat Redaksi Jl.Veteran Gg.Janur Kuning No.11A Pandean Umbulharjo Yogyakarta, Telp/Fax:0274-372378 E-mail:[email protected] Twitter: @infoburuhmigran Facebook: buruh migran Portal: http://buruhmigran.or.id Penerbitan buletin ini atas dukungan: Kamis(12/1) di depan gedung Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI) Hong Kong Front Perjuangan Rakyat Cabang Hong Kong (FPR-HK) kembali menggelar aksi solidaritas. Mereka menyerukan dukungan terhadap perjuangan rakyat Indonesia yang melawan perampasan tanah. Sekitar 32 orang yang berkumpul di depan gedung meneriakan yel-yel “SBY-Budiono boneka Amerika Rejim anti rakyat, SBY-Budiono Perampas tanah rakyat”. Aksi kali ini bukan hanya serentak dilakukan di 27 provinsi di Indonesia, namun juga digelar di Hong Kong sejak pukul 11.30 sampai 12.30 siang waktu Hong Kong. Eni lestari, juru bicara FPR-HK menyatakan perampasan tanah tidak hanya terjadi di desa, dia menjelaskan rakyat miskin di kota banyak yang kehilangan rumah karena digusur atas nama pembersihan kota. Perampasan tanah juga dilakukan saat penyelenggaraan SEA GAME tahun lalu, sehingga banyak mereka terpaksa ke luar negeri menjadi BMI. Sring Atin, salah satu peserta aksi menambahkan, solusi kemisikinan dan melonjaknya jumlah BMI yang berkasus hanya bisa di atasi apabila pemerintah segera mengembalikan tanah ke tangan rakyat dan menciptakan lapangan pekerjaan dengan upah yang layak. [ ] Aksi BMI Hong Kong, Kritisi Konflik Agraria di Indonesia Oleh: Ganika Diristiani Tim Redaksi (Dok.BMI Hong Kong)

description

Keterbatasan informasi bagi Buruh Migran Indonesia (BMI) menjadi salah satu akar caru-marutnya layanan dan perlindungan BMI. Kondisi semacam ini membuat pemerintah dan industri swasta dalam hal ini perusahaan agen (PPTKIS) rentan untuk melakukan pelbagai pelanggaran dari pungutan liar, tindak pemerasan, korupsi, hingga perdagangan manusia. Keberadaan Undang-undang (UU) Nomor 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP) cukup memberi harapan bagi upaya perbaikan layanan BMI. Sayang, masih jarang BMI, organisasi serikat, paguyuban, dan organisasi masyarakat sipil di isu perlindungan buruh migran yang sudah mempergunakan secara maksimal UU tersebut. Pada edisi ini redaksi akan membahas beberapa hal tentang keterbukaan informasi publik bagi buruh migran. Semoga menjadi wacana dan bahan diskusi bagi kelompok buruh migran di Indonesia.

Transcript of WARTA BURUH MIGRAN NOMOR XI EDISI JANUARI 2012

Page 1: WARTA BURUH MIGRAN NOMOR XI EDISI JANUARI 2012

Halaman 1 | Warta Buruh Migran | Januari 2012

Warta Buruh Migran| Edisi XI | Januari 2012

Klik www.buruhmigran.or.id

Keterbatasan informasi bagi Buruh Migran Indonesia (BMI) menjadi salah satu akar carut-marutnya layanan dan perlindungan BMI. BMI, calon, mantan, dan keluarga pada dasarnya memiliki hak penuh atas informasi.

Mereka berhak mengetahui apa saja rincian dari biaya yang mereka keluarkan untuk mengurus kerja ke luar negeri?, bagaimana cara mengurus klaim asuransi?, apa saja layanan yang disediakan perwakilan Pemerintah Indonesia di luar negeri?, serta pelbagai kebutuhan informasi yang berhak mereka tanyakan pada lembaga pemerintah dan PPTKIS.

Keberadaan Undang-undang (UU) Nomor 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP) cukup memberi harapan bagi upaya perbaikan layanan BMI. Sayang, masih jarang BMI, organisasi serikat, paguyuban, dan organisasi masyarakat sipil di isu perlindungan buruh migran yang sudah mempergunakan secara maksimal UU tersebut. Pada edisi ini redaksi akan membahas beberapa hal tentang keterbukaan informasi publik bagi buruh migran. Semoga menjadi wacana dan bahan diskusi bagi kelompok buruh migran di Indonesia

Seluruh tulisan dan foto dalam buletin ini dilisensikan dalam bendera Creative Common

(CC). Siapapun bisa mengutip, menyalin, dan menyebarluaskan sebagian atau

keseluruhan tulisan dengan menyebutkan sumber tulisan dan jenis lisensi yang sama,

kecuali untuk kepentingan komersil.

Salam Redaksi Hong-kong

Penanggung JawabYossy Suparyo Muhammad Irsyadul Ibad Pimpinan Redaksi Fika MurdianaTim Redaksi Muhammad Khayat Fathulloh Sindy Nur FitriKontributorMuhammad Irsyadul IbadMuhammad Ali Usman Tata LetakWahyu Widayat NIlustratorIrvan Muhammad

Alamat Redaksi Jl.Veteran Gg.Janur Kuning No.11A Pandean Umbulharjo Yogyakarta, Telp/Fax:0274-372378 E-mail:[email protected] Twitter: @infoburuhmigranFacebook: buruh migranPortal: http://buruhmigran.or.id Penerbitan buletin ini atas dukungan:

Kamis(12/1) di depan gedung Konsulat Jenderal Republik

Indonesia (KJRI) Hong Kong Front Perjuangan Rakyat Cabang

Hong Kong (FPR-HK) kembali menggelar aksi solidaritas. Mereka

menyerukan dukungan terhadap perjuangan rakyat Indonesia

yang melawan perampasan tanah. Sekitar 32 orang yang

berkumpul di depan gedung meneriakan yel-yel “SBY-Budiono

boneka Amerika Rejim anti rakyat, SBY-Budiono Perampas tanah

rakyat”. Aksi kali ini bukan hanya serentak dilakukan di 27

provinsi di Indonesia, namun juga digelar di Hong Kong sejak

pukul 11.30 sampai 12.30 siang waktu Hong Kong.

Eni lestari, juru bicara FPR-HK menyatakan perampasan tanah tidak hanya terjadi di desa, dia menjelaskan rakyat miskin di kota banyak yang kehilangan rumah karena digusur atas nama pembersihan kota. Perampasan tanah juga dilakukan saat penyelenggaraan SEA GAME tahun lalu, sehingga banyak mereka terpaksa ke luar negeri menjadi BMI.

Sring Atin, salah satu peserta aksi menambahkan, solusi kemisikinan dan melonjaknya jumlah BMI yang berkasus hanya bisa di atasi apabila pemerintah segera mengembalikan tanah ke tangan rakyat dan menciptakan lapangan pekerjaan dengan upah yang layak. [ ]

Aksi BMI Hong Kong,Kritisi Konflik Agraria di Indonesia

Oleh: Ganika Diristiani

Tim Redaksi

(Dok.BMI Hong Kong)

Page 2: WARTA BURUH MIGRAN NOMOR XI EDISI JANUARI 2012

Halaman 2 | Warta Buruh Migran | Januari 2012

Kondisi Johra sangat memprihatinkan akibat serangan stroke,

posisi kaki tertekuk tak bisa diluruskan, sementara seluruh

anggota badannya tak bisa digerakkan lagi. Tubuh Johra hanya

terbaring kaku hingga buang air kecil dan air besar

dilakukannya dari tempat tidur.

Sebelumnya, Johra adalah TKI legal, namun karena beberapa

hal Johra nekat kabur dari rumah majikannya dan menjadi

pekerja serabutan di Jeddah, Arab Saudi. Tahun 2011

kesehatan Johra mulai menurun, tekanan darah tinggi dan

penyakit gula mulaimnyerangnya. Hingga tahun 2012, Johra

terserang stroke.

Kabar duka yang menimpa Johra segera tersebar dengan

cepat dikalangan TKI Arab Saudi. Jamil Lee dan teman-teman

TKI di Arab Saudi berinisiatif menggalang dana peduli TKI

untuk membantu Johra. Karena kondisi kerja di Arab Saudi

yang tidak memberikan kebebasan dan aturan pasti tentang

jam kerja membuat proses penggalangan dana sedikit

terkendala.

Saat ini koordinasi beberapa TKI Jeddah banyak dilakukan

melalui internet dan jejaring media sosial. Kesempatan

memperoleh akses internet tidak disia-siakan oleh beberapa

TKI untuk berkoordinasi dan menggalang dana peduli.

Beberapa TKI Jeddah sepakat menggalang dana peduli untuk

Johra dari sesama TKI di Arab Saudi dalam bentuk uang tunai

dan voucer pulsa.

Sumbangan dalam bentuk voucer pulsa merupakan ide agar

TKI yang tidak bisa memberikan sumbangan secara langsung

juga bisa berpartisipasi. Hingga 26 Januari 2012 bantuan yang

digalang telah mencapai 1290 SAR atau sekitar Rp.3.144.400.

TKI Arab Saudi Galang Dana

untuk Johraoleh: Nafis Abdulrahman

Saudi Arabia

Kepedulian dari sesama TKI di Arab Saudi membuat

Munjinah, istri Johra merasa terharu. “Saya bersukur

sekali teman teman masih peduli dan mau membantu

kami, saat ini saya tidak tahu lagi harus berbuat apa,

karena saya hanya seorang wanita,” tutur Munjinah

sambil mengusap air mata. [ ]

02 | Sekilas Peristiwa

Johra bin Sueb merupakan salah satu Tenaga Kerja

Indonesia (TKI) asal Kampung Begor Pasar, Kecamatan

Pontang, Provinsi Banten yang terkena stroke di Arab Saudi.

Lombok Utara Optimalkan

Pembinaan Terhadap Calon TKIOleh: Rasidi Bragi

LOMBOK UTARA - Antisipasi terhadap praktik

penipuan pengiriman tenaga kerja oleh

Pelaksana Penempatak Tenaga Kerja Indonesia

Swasta (PPTKIS) illegal penting dilakukan.

Dinas Kependudukan, Catatan Sipil, Sosial dan

Ketenagakerjaan (Dukcapilsosnaker) Kabupaten Lombok

Utara saat ini menguatkan pengawasan terhadap

keberadaan PPTKIS yang masuk di Lombok Utara. Hal

lain yang terus dilakukan Dukcapilsosnaker Lombok

Utara adalah pembinaan langsung kepada masyarakat.

Lombok Utara

Kondisi Johra (tengah), BMI Arab Saudi asal Banten yang

mengalami lumpuh akibat stroke ingin segera dipulangkan.

(Dok

.BM

I A

rab

Sau

di)

Page 3: WARTA BURUH MIGRAN NOMOR XI EDISI JANUARI 2012

Halaman 3 | Warta Buruh Migran | Januari 2012

Kepala Dinas DukcapilSosnaker Kabupaten Lombok Utara,

Alwi mengatakan, dari 164 PPTKIS yang resmi di Provinsi

Nusa Tenggara Barat (NTB), hanya 10 PPTKIS yang terdaftar

dan mengantongi ijin operasi, termasuk mereka yang

memiliki kantor cabang di Lombok Utara. Beberapa PPTKIS

yang lain tidak terdaftar dan diperkirakan masih banyak

PPTKIS illegal yang bereaktivitas di Lombok Utara.

Hal tersebut semakin didukung dengan kecenderungan

masyarakat (calon TKI) yang lebih memilih menggunakan

jalur tidak resmi yang memang praktis.

Alwi menegaskan banyak tindak penipuan yang dialami

para calon TKI Lombok Utara oleh PPTKIS yang tidak

mengantongi ijin oprerasi. Pemerintah akan lebih selektif

dalam memberikan perizinan administrasi kepada calon

TKI dan PPTKIS, terlebih setelah moratorium pemerintah

dengan negara Arab Saudi dicabut.

Selain itu pihaknya bersama beberapa pemegang kebijakan

lain, juga membentuk tim khusus yang memantau kegiatan

perekrutan tenaga kerja. Tim tersebut, selain melakukan

pemantauan, juga melakukan pembinaan dan sosialisasi

mekanisme menjadi tenaga kerja migran. (rasidibragi/ari).

03 | Sekilas Peristiwa

Perda Ketenagakerjaan Kabupaten

Cirebon Belum Akomodir

Buruh Migran

oleh: Ahmad Rovahan

Setelah 5 tahun berjuang untuk merealisasikan adanya

peraturan daerah (PERDA) anti trafficking di Kabupaten

Cirebon, kini ada sedikit angin segar yang mengarah untuk

bisa memperjuangkan perlindungan bagi buruh migran.

Perlindungan terhadap buruh migran tersebut diharapkan

bisa didapatkan dengan adanya Perda Ketenagakerjaan.

Jumlah buruh migran asal Cirebon sebanyak 127 ribu orang

membuat Cirebon harus memberikan pelayanan

ekstra untuk rakyatnya. Bahkan beberapa bulan kemarin,

Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Muhaimin

Iskandar sengaja “ngantor” (berkantor) di Cirebon

untuk membicarakan Buruh Mingan Indonesia (BMI) asal

Cirebon. Mungkin adanya pembahasan Perda

Ketenagakerjaan di Kab.Cirebon merupakan salah satu

dampak dari “ngantor”-nya pak mentri saat itu.

Walaupun Perda Ketenagakerjaan sudah mulai dibahas

oleh DPRD maupun instansi yang terkait, namun

beberapa pihak masih menyangsikan efektifitas dan

juga keterwakilan dari perda tersebut terhadap buruh

migran.

Erlinus Thahar, aktivis asal padang yang saat ini bekerja di Fahmina Institute menghawatirkan hal yang serupa. Menurut Yunus, begitu biasa dia dipanggil, pembuatan Perda ini terlihat terburu-buru dan bahkan seperti mengejar target. Pembahasan Perda hanya melibatkan beberapa lembaga, padahal di Cirebon cukup banyak lembaga yang konsen terhadap ketenagakerjaan, sehingga lebih banyak pembahasan dalam Perda adalah bukan keinginan dari perwakilan masyarakat, bahkan ada yang terlihat hasil salin tempel dari perturan pemerintah.

“Saat pembahasan paling ada 4 lembaga yang diundang, apakah ini sudah terwakili?, selanjutnya pembahasan dalam perda terlihat bias, kita sebenarnya sudah menyiapkan perda anti trafficking dengan pembahasan yang cukup lama dan kita maksimalkan dalam hal perlindungan ketenagakerjaan. Dalam perda ini masih belum begitu jelas juga. Saya khawatir ini hanya menjadi kejar target DPRD untuk menyelesaikan Perda dalam masa periodenya.”, ungkap Yunus. [ ]

Cirebon

Page 4: WARTA BURUH MIGRAN NOMOR XI EDISI JANUARI 2012

Halaman 4 | Warta Buruh Migran | Januari 2012

04 | Sekilas Peristiwa

BANYUMAS. Sebanyak 24 mantan BMI di wilayah Banyumas berkumpul di gedung Gurinda Sarwa Mandala milik Kantor Dinas Pendidikan Kabupaten Banyumas(12/2/2012). Mereka berkumpul untuk dilatih menjadi pemijat. Bukan sembarang pemijat, tetapi pemijat yang menguasai ilmu akupuntur dan refleksi.

Suswanti merupakan salah satu peserta pelatihan, sebelumnya ia pernah bekerja di Singapura antara tahun 1996-1998. Setelah tinggal cukup lama di kampung halaman, ia ingin merantau ke luar negeri lagi. Namun karena ada larangan dari pemerintah untuk negara-negara tertentu, ahirnya ia mengurungkan niatnya.

“Kami berlatih selama 1,5 bulan dan mendapat ijazah,”

tuturnya bangga. Karena sudah mempunyai kemampuan

ketrampilan, ia bertekad untuk meninggalkan impiannya

bekerja di luar negeri. “Dengan bekal ketrampilan ini,

saya ingin membuka praktek sendiri,” lanjutnya.

Kepala Bidang Pendidikan Non Formal Dinas Pendidikan

Banyumas, Siswoyo, mengatakan bahwa program

kecakapan hidup dampak moratorium pengiriman TKI

ternyata sangat membantu masyarakat, khususnya yang

terkena dampak dari moratorium maupun yang masih

menganggur. [ ]

Latihan Pijat Refleksi Bagi Mantan BMIoleh: Suswoyo

Banyumas

Cilacap

Supariah (54) tampak berkaca ketika menuturkan kisah anaknya Mustika Ningsih (28), anaknya yang tiga tahun tak ada kabar di Malaysia.

Mustika Ningsih adalah warga Desa Jenang, Kecamatan Majenang. Ia anak tunggal dari Supariah. "Saya bingung harus berbuat bagaimana lagi. Sponsor yang memberangkatkan dia, Aris, mengatakan kalau Nining kabur dari majikan. Dia sendiri juga tidak bisa berbuat apa-apa," Ujar Supariah.

Nining, begitulah keluarga memanggil Mustika Ningsih. Sudah tiga tahun sejak keberangkatannya, tak ada kabar yang diterima keluarga tentang Nining. Menurut penuturan Supariah, Mustika Ningsih berangkat melalui PT. Maharani. Ia langsung ke Jakarta bersama sponsor ketika niat keluar negeri sudah bulat dan disetujui keluarga. Setelah 4 bulan di penampungan, ia berangkat ke Malaysia, tepatnya 25 Mei 2009.

Setelah 1 tahun tidak ada kabar, Supariah menanyakan kepada sponsor perihal anaknya. Supariah sangat terkejut ketika sponsor mengatakan Ningsih, anak semata wayangnya telah kabur dari majikan. Supariah bertambah sedih ketika sponsor mengatakan Mustika Ningsih bukan lagi tanggungjawabnya, tapi tetap akan dibantu.

Cerita Supariah:

Ingin Anaknya Pulang dari Malaysia

Kabid Binapenta Dinsosnakertrans Kabupaten Cilacap, Sutiknyo ketika dihubungi mengatakan kasus Mustika Ningsih akan sangat susah untuk dilacak, karena ia terbukti kabur dari majikan. "Pada prinsipnya kami bersedia membantu setiap kasus TKI yang ada termasuk kasus Mustika Ningsih, tapi tetap sesuai kewenangan kami," jelas Sutiknyo. [ ]

Supariah (54) terus berharap agar kembali terhubung

dengan anak perempuannya yang bekerja di Malaysia

Page 5: WARTA BURUH MIGRAN NOMOR XI EDISI JANUARI 2012

Halaman 5 | Warta Buruh Migran | Januari 2012

Buruh Migran Indonesia (BMI) hingga saat ini belum

benar-benar diposisikan dalam konteks individu yang

bekerja atau pekerja. Hal semacam ini tampak dari

bagaimana cara negara menyebut dan mendefinisikan

mereka. Masyarakat Indonesia tentunya lebih memahami

istilah Tenaga Kerja Indonesia (TKI) dari pada kata Buruh

Migran Indonesia. Padahal kedua kata tersebut jika dilihat

secara kritis memiliki pemaknaan dan konsekuensi

berbeda.

Kata “buruh” berbeda dengan “tenaga kerja”,

penggunaan kata “buruh” akan diikuti sekian

konsekuensi, dari regulasi nasional, internasional, hak

dasar, perlindungan, hingga semangat solidaritas

berserikat. Lantas apakah hal ini yang membuat

pemerintah (pada konteks BMI) lebih memilih

menggunakan kata “tenaga kerja”, sehingga bisa lepas

atau tidak terlampau terikat oleh konsekuensi yang

menempel pada penggunaan kata “buruh”?.

Lebih parah, kata “tenaga kerja” pada praktik

operasionalnya banyak melihat pekerja sebatas

“tenaga” untuk bekerja saja, bukan melihat pekerja

sebagai manusia utuh (memiliki tubuh atau tenaga,

pikiran, dan perasaan). Tidak heran jika muncul beragam

istilah turunan dari kata “tenaga kerja” seperti, pasar

tenaga kerja, produksi tenaga kerja, sektor ternaga kerja,

dan industri tenaga kerja. Semua kosa kata tersebut

melihat individu sebagai komoditas.

Tulisan ini tidak akan menelisik aspek pemaknaan

bahasa antara istilah TKI dan BMI, namun sekadar

wacana pembuka sebelum memperbincangkan hak atas

layanan publik bagi BMI. Sekali lagi, penting diketahui

sejak awal, BMI adalah individu pekerja yang harus

dilihat utuh sebagai manusia (dengan tubuh, pikiran, dan

perasaan) bukan tenaga dan komoditas semata.

05 |Kajian

Menjadi Pelayan Buruh Migran(Memisah Kepentingan Ekonomi Pada Layanan Publik BMI)

Oleh: Fathulloh

Kata “buruh” berbeda dengan

“tenaga kerja”, penggunaan kata

“buruh” akan diikuti sekian

konsekuensi, dari regulasi nasional,

internasional, hak dasar,

perlindungan, hingga semangat

solidaritas berserikat.

Page 6: WARTA BURUH MIGRAN NOMOR XI EDISI JANUARI 2012

Halaman 6 | Warta Buruh Migran | Januari 2012

06 |Kajian

Lebih parah, kata “tenaga kerja” pada praktik

operasionalnya banyak melihat pekerja sebatas

“tenaga” untuk bekerja saja, bukan melihat pekerja

sebagai manusia utuh (memiliki tubuh atau tenaga,

pikiran, dan perasaan). Tidak heran jika muncul beragam

istilah turunan dari kata “tenaga kerja” seperti, pasar

tenaga kerja, produksi tenaga kerja, sektor ternaga kerja,

dan industri tenaga kerja. Semua kosa kata tersebut

melihat individu sebagai komoditas.

Tulisan ini tidak akan menelisik aspek pemaknaan bahasa

antara istilah TKI dan BMI, namun sekadar wacana

pembuka sebelum memperbincangkan hak atas layanan

publik bagi BMI. Sekali lagi, penting diketahui sejak awal,

BMI adalah individu pekerja yang harus dilihat utuh

sebagai manusia (dengan tubuh, pikiran, dan perasaan)

bukan tenaga dan komoditas semata.

Seperti halnya memahami BMI, memahami pelayanan

publik juga harus dilihat dari prinsip dan konsekuensi yang

menempel pada istilah layanan. Pelayanan Publik (Public

Services) jika merujuk pada Keputusan Menteri

Pendayagunaan Aparatur Negara (MenPAN) Nomor

63/KEP/M.PAN/7/2003, didefinisikan sebagai segala

kegiatan pelayanan yang dilaksanakan oleh penyelenggara

pelayanan publik sebagai upaya pemenuhan kebutuhan

penerima pelayanan maupun pelaksanaan ketentuan

peraturan perundang-undangan.

Kata kunci dari pengertian di atas adalah upaya

pemenuhan kebutuhan. Kata kunci yang sama juga

muncul pada UU Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan

Publik. Posisi pemerintah sejatinya adalah pelayan publik,

mengakomodir, merumuskan, dan mendistribusikan

pelayanan atas warga atau publik yang dinaunginya. Jika

merujuk pada kata kunci semacam ini, maka tampak betul

betapa mulia tugas individu yang bekerja di pemerintahan

(Pegawai Negeri Sipil/PNS). Betapa sebuah kehormatan

bagi individu yang bisa bekerja melayani masyarakat.

Sayang, kemuliaan dan kehormatan semacam ini menjadi

kabur karena banyak pelayan publik lebih mengandalkan

kewenangan dari pada kebutuhan penerima layanan.

Akuntabilitas pada banyak kegiatan pemerintahan

termasuk tata kelola layanan BMI juga kian “abu-

abu”. Cara pandang pelayanan masih didominasi

pandangan diri sendiri, bukan sudut pandang publik

yang dilayaninya.

Proses migrasi (dari perekrutan, penempatan, hingga

kepulangan dari luar negeri) membuat BMI

berhadapan dengan beragam praktik pelayanan publik.

Ibarat praktik pasar, BMI dapat diposisikan sebagai

konsumen. Praktik pelayanan melibatkan BMI sebagai

penerima layanan dan pemerintah bersama industri

swasta sebagai penyedia layanan. Beragam dokumen

yang harus diurus calon BMI, beragam pembiayaan

(proses transaksi) yang dibayarkan, serta interaksi

antara BMI dan penyedia layanan yang berjenjang dari

desa hingga negara penempatan dan kembali ke desa.

Secara teknis hal ini menunjukkan

betapa proses migrasi menjadi buruh

di luar negeri seharusnya

memposisikan individu sebagai subjek

atau pelaku, bukan objek. Secara

prinsip hal ini akan berbeda.

Jika BMI diposisikan sebagai objek layanan publik maka

ia akan cenderung pasif dengan informasi yang sangat

minim. Berbeda jika BMI sebagai subjek, ia harus dan

selayaknya menjadi pelaku penerima layanan publik

yang memiliki hak atas informasi dan pelayanan.

Terlebih jika BMI terlibat praktik transaksi yang

mewajibkan membayar sejumlah uang.

Pada posisi ini kita harus memeriksa kembali praktik

pelayanan publik bagi BMI yang telah berlangsung

selama ini. Apakah BMI menjadi obyek atau subyek?,

dilayani atau diperas?, dilindungi atau tidak?. Semua

akan terjawab dari bagaimana pemerintah dan industri

swasta yang menangani BMI menyajikan pelayanannya.

Page 7: WARTA BURUH MIGRAN NOMOR XI EDISI JANUARI 2012

Halaman 7 | Warta Buruh Migran | Januari 2012

Fakta atas BMI hingga saat ini masih didominasi dengan

pelbagai persoalan dan carut marut penanganan.

Pelayanan publik bagi BMI masih berada pada kinerja

terburuk para penyedia layanan. Hal ini sebanding lurus

dengan tingginya kasus dan persoalan yang menimpa BMI.

Persoalan Standardisasi dan Kejelasan Wewenang

Pelayanan publik yang mengacu Pasal 4 UU Nomor 25

Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik memiliki 14 asas

atau prinsip dasar, antara lain kepentingan umum,

kepastian hukum, kesamaan hak, keseimbangan hak dan

kewajiban, keprofesionalan, partisipatif, persamaan

perlakukan atau tidak diskriminatif, keterbukaan,

akuntabilitas, fasilitas dan perlakuan khusus bagi kelompok

rentan, ketepatan waktu, kecepatan, kemudahan, dan

keterjangkauan. Prinsip dasar ini sekaligus menjadi alat

ukur sebuah pelayanan publik berjalan dengan baik atau

tidak.

Pada kasus pelayanan BMI

pelbagai jenis layanan publik yang

disediakan masih carut marut.

Biaya penempatan simpang siur,

tidak ada sistem atau standar

yang mengatur keberadaan

PPTKIS,perbedaan standar antar PPTKIS,

ketidakjelasandan tidak adanya kontrak kerja

standar, konflik wewenang penempatan, standar penangan

BMI bermasalah, unit pelayanan yang terpencar, standar

pelayanan oleh perwakilan pemerintah di luar negeri, dan

setumpuk persoalan lainnya.

Tidak adanya upaya cepat dan strategis untuk menata

kembali mekanisme penanganan BMI (tata kelola BMI)

akan menjadikan persoalan makin hari makin rumit dan

bertumpuk. Lebih parah lagi, hal semacam ini semakin

membuka peluang besar maraknya praktik penempatan

BMI yang cenderung mengarah pada perdagangan

manusia.

Persoalan standar pelayanan penempatan dan

perlindungan BMI harus benar-benar mengacu pada 14

prinsip dasar di atas. Pelayanan untuk BMI butuh dibangun

menjadi lebih sederhana, mudah, dan terpercaya.

Keterlibatan setiap pihak baik pemerintah maupun swasta

harus diperjelas, baik wewenang maupun standar

operasionalnya melalui undang-undang.

Keterlibatan industri swasta (PPTKIS) dengan mandat

dan keleluasaan akses operasional pada penempatan

dan perlindungan, membuat persoalan BMI semakin

rumit. Bagaimana tidak, keleluasan lebih membuat

pelaku bisnis PPTKIS meningkat drastis hingga tak

terkendali jumlahnya. Tanpa prosedur rumit,

perusahaan berstatus Perseroan Terbatas (PT) dapat

berdiri di desa-desa dengan menjadi sub dari

perusahaan agen atau PPTKIS yang lebih besar di

perkotaan atau ibu kota.

Tidak aneh, jika kemudian menjumpai PPTKIS hadir

hingga pelosok desa dan menjadi kepanjangan tangan

PPTKIS lain yang lebih besar. Hanya bermodal beberapa

puluh juta uang yang dijaminkan pada agen di kota

besar, 1 unit komputer, telepon, fax, dan beberapa

petugas berpenampilan nonformal, maka sebuah PT

atau PPTKIS di desa

dapat beroperasi. Hal

ini jelas menunjukkan

PPTKIS merupakan

rantai bisnis yang panjang

dan menekankan

pendapatan diri komisi

praktik makelar.

Lantas jika sebuah PPTKIS tidak memiliki produk selain

jasa makelar, pada siapa biaya operasional mereka akan

dibebankan, secara tidak langsung semua biaya

operasional dibebankan kepada BMI yang mereka

berangkatkan. Pembebanan biaya kepada BMI

dilakukan melalui sistem biaya penempatan, pungutan-

pungutan, potongan gaji, beban hutang, dan lain-lain.

Akan berkelit seperti apapun pemerintah, fakta tetap

menunjukkan tidak adanya standardisasi pelayanan dari

operasi bisnis PPTKIS. Inilah mengapa perbaikan

pelayanan publik bagi BMI harus di mulai dari

keberanian pemerintah. Pemerintah harus berani

memisahkan dengan tegas kepentingan bisnis pada

wilayah pelayanan penempatan dan perlindungan BMI.

Dibutuhkan ketegasan membuat “garis api” (memilah

aspek bisnis dan non bisnis) untuk memangkas wilayah

“abu-abu” pada pelayanan buruh migran.

07 |Kajian

Keterlibatan industri swasta (PPTKIS)

dengan mandat dan keleluasaan akses

operasional pada penempatan dan

perlindungan, membuat persoalan BMI

semakin rumit.

Page 8: WARTA BURUH MIGRAN NOMOR XI EDISI JANUARI 2012

Halaman 8 | Warta Buruh Migran | Januari 2012

08 | Kajian

Komitmen tersebut juga berlaku pada lembaga

pemerintah yang memberikan pelayanan untuk BMI.

Terlebih pada konteks BMI, terdapat BNP2TKI yang

menjalankan praktik serupa kerja PPTKIS, yakni

penempatan pekerja di Korea Selatan dan Jepang. Harus

jelas mana wilayah bisnis yang menjadi pemasukan

negara dan mana tanggungjawab sebagai lembaga

pemerintah yang melayani publik.

Wewenang pelayanan publik bagi BMI yang tersebar dan

belum maksimalnya koordinasi antar sektor dan instansi

pemerintahan membuat pelayanan bagi BMI terkesan

rumit. Jika merujuk BNP2TKI, maka kita akan menjumpai

14 tahap sekaligus sebaran wewenang dalam prosedur

pelayanan dan penempatan BMI (sesuai gambar poster).

Antara lain:

1. Ketersediaan lowongan kerja di luar negeri (job

order, recruitment agreement, demand letter),

visa makalah, dan draft perjanjian kerja melalui

persetujuan KBRI/KJRI

2. Surat Izin Pengerahan (SIP), informasi perekrutan

ke tingkat Provinsi, Kabupaten, Kota oleh

Kemenakertrans atau BNP2TKI

3. Sosialisasi, pendaftaran Calon BMI, seleksi dan

perjanjian penempatan dilakukan melalui kerja

sama Pemda, Disnaker, PPTKIS

4. Pemeriksaan kesehatan dan psikologi oleh PPTKIS

dan Dinas Kesehatan di daerah.

5. Pelatihan, uji kompetensi, asuransi,

penampungan oleh Kemenakertrans atau

BNP2TKI dan PPTKIS

6. Penerbitan paspor oleh Kementerian Hukum dan

HAM

7. Dana pembinaan, penempatan, dan perlindungan

BMI (PP/92/2000) 15 U$D (PNBP) oleh

Kementerian Keuangan dan PPTKIS

8. Visa kerja dari perwakilan negara penempatan

oleh PPTKIS

9. Pembekalan akhir pemberangkatan, perjanjian

kerja, KTKLN oleh Kemenakertrans dan BNP2TKI

10. Keberangkatan BMI melalui layanan satu atap

yang melibatkan PPTKIS, Kemenakertrans atau

BNP2TKI, Kementerian Hukum dan HAM,

Kementerian Keuangan, dan Polri

11. Tiba di negara penempatan oleh PPTKIS atau agensi,

KBRI/KJRI, Pengguna/majikan

12. Masa penempatan di luar negeri oleh PPTKIS atau

agensi, KBRI/KJRI, Pengguna/majikan

13. Pelayanan kepulangan BMI dari negara penempatan

ke Indonesia oleh PPTKIS, Kemenakertrans/BNP2TKI,

Kementerian Perhubungan, BIN, Polri, Kementerian

Kesehatan, Kementerian Dalam Negeri.

14. Pembinaan Pemberdayaan BMI Purna oleh

Kemenakertrans/BNP2TKI, Menegkop dan UKM,

Kementerian Perindustrian, Perbankan, dan

Pemerintah Daerah.

Mengamati pembagian wewenang dan koordinasi di

atas, maka kita akan melihat sebuah proses yang rumit,

panjang, dan tumpang tindih. Terlampau banyak

instansi yang terlibat, terlampau banyak wewenang yang

diberikan pada sektor bisnis PPTKIS, dualisme

wewenang BNP2TKI dan Kemenakertrans, serta

minimnya layanan satu atap yang mampu menghemat

biaya yang akan dikeluarkan BMI.

Jika komitmen pemerintah memperbaiki pelayanan

penempatan dan perlindungan BMI dijadikan agenda

serius, maka pekerjaan rumah terbesar adalah

memisahkan unsur bisnis dari pelayanan perlindungan

BMI. Akan lebih mempermudah pemerintah dalam

menyusun tata kelola penempatan dan perlindungan

BMI, jika ada mekanisme yang membuat penempatan

BMI menjadi bisnis yang tidak menguntungkan.

Hal ini dapat dilakukan jika regulasi, perizinan, dan standar industri PPTKIS diperketat. Monopoli bisnis jasa dan makelar penempatan pekerja di luar negeri akan runtuh jika aturan main diperketat dan proses penegakan hukum berjalan dengan baik.

Mekanisme membuat bisnis PPTKIS menjadi bisnis tidak menguntungkan merupakan salah satu wacana mengurai persoalan pelayanan publik bagi BMI. Fakta pelaku bisnis PPTKIS mendapat ruang dan mandat sedemikian besarnya dalam UU 39 Tahun 2004 tentang PPTKILN tidak dapat dipungkiri. Pertanyaan kunci selanjutnya apakah pemerintah berani bersikap tegas mengutamakan pelayanan untuk rakyat, atau justru tergiur kepentingan lingkaran bisnis penempatan BMI yang menjanjikan? [Fath]

Page 9: WARTA BURUH MIGRAN NOMOR XI EDISI JANUARI 2012

Halaman 9 | Warta Buruh Migran | Januari 2012

Salah satu persoalan terbesar dalam pelayanan penempatan dan perlindungan buruh migran Indonesia (BMI) adalah keterbatasan informasi. Minimnya informasi menempatkan BMI, yang lebih dikenal dengan sebutan tenaga erja Indonesia (TKI), pada posisi yang tidak berdaya atau lemah secara struktural. BMI yang tidak mengetahui informasi secara tepat dapat salah mengambil keputusan dalam migrasi, tidak bisa mengambil tindakan-tindakan penting dalam keadaan darurat dan dapat dengan mudah disesatkan oleh pihak-pihak yang berkepentinan lain.

Lahirnya  Undang-undang (UU) Nomor 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP)  turut memberikan harapan baru perbaikan pelayanan kepada buruh migran Indonesia (BMI).   Sayangnya, masih jarang kelompok, organisasi atau organisasi masyarakat sipil yang bergerak pada buruh migran sudah mempergunakan secara maksimal UU 14 2008. Keberadaan UU ini berpeluang untuk membuka ruang-ruang gelap pelayanan BMI oleh lembaga pemerintah dan pelaksana penempatan lainnya.

Informasi  dalam UU No 14 2008 didefinisikan sebagai  keterangan, pernyataan, gagasan,  dan tanda-tanda yang mengandung nilai, makna, dan  pesan, baik data, fakta

09 | Kajian

maupun penjelasannya yang  dapat dilihat, didengar,

dan dibaca yang disajikan  dalam berbagai kemasan dan

format sesuai dengan  perkembangan teknologi

informasi dan komunikasi  secara elektronik ataupun

nonelektronik.  Informasi Publik    didefinisikan sebagai

informasi yang dihasilkan,  disimpan, dikelola, dikirim,

dan/atau diterima oleh  suatu badan publik yang

berkaitan dengan  penyelenggara dan penyelenggaraan

negara dan/atau  penyelenggara dan penyelenggaraan

badan publik  lainnya yang sesuai dengan Undang-

Undang ini serta  informasi lain yang berkaitan dengan

kepentingan  publik.

Definisi tersebut mengandung aspek luas, termasuk

menyangkut persoalan penempatan, perlindungan dan

penanganan BMI. Informasi berkaitan dengan

penempatan, perlindungan dan penanganan BMI,

karena berkaitan dengan kepentinan publik masuk

dalam kategori informasi publik. Informasi kunci seperti

biaya penempatan; prosedur penempatan, penanganan

dan perlindungan; pengawasan terhadap perusahaan

penempatan tenaga kerja Indonesia swasta (PPTKIS)

adalah sebagian kecil dari informasi publik yang dapat

ditanyakan.

Keterbukaan Informasi Publik,Peluang Perbaikan Pelayanan Buruh MigranOleh: Muhammad Irsyadul Ibad

Page 10: WARTA BURUH MIGRAN NOMOR XI EDISI JANUARI 2012

Halaman 10 | Warta Buruh Migran | Januari 2012

Undang-undang No 14 juga mengamanati lembaga publik

untuk secara terbuka melayani permintaan informasi dari

kelompok masyarakat. Tindakan pemberian informasi

adalah kewajiban lembaga publik. Permintaan informasi

adalah hak warga negara. Lembaga publik dalam UU No

14 2008 adalah  lembaga eksekutif, legislatif,  yudikatif,

dan badan lain yang fungsi dan tugas  pokoknya berkaitan

dengan penyelenggaraan negara,  yang sebagian atau

seluruh dananya bersumber dari  Anggaran Pendapatan

dan Belanja Negara dan/atau  Anggaran Pendapatan dan 

Belanja Daerah, atau  organisasi nonpemerintah

sepanjang sebagian atau   seluruh  dananya  bersumber 

dari  Anggaran  Pendapatan dan Belanja Negara dan/atau

Anggaran  Pendapatan dan  Belanja Daerah, sumbangan 

masyarakat, dan/atau luar negeri.

10 | Kajian

Mengacu pada definisi Lembaga Publik dalam UU No 14,

Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi

(Kemnakertrans) dan Badan Nasional Penempatan dan

Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) masuk

dalam kategori lembaga negara yang berkewajiban

memberikan informasi publik. Lain kata, pengelolaan

penempatan, perlindungan dan penanganan BMI adalah

ranah publik yang terbuka. Masyarakat berhak tahu dan

kedua lembaga tersebut berkewajiban menyajikan

informasi publik dalam pelayanan pulik kepada BMI.[ ]

10 | Kajian

Informasi Tak Ada, Alat Pun Tak Punya

Oleh : M. Ali Usman

Keterbelakangan informasi adalah salah satu sebab

ketidakberdayaan buruh migran Indonesia (BMI).

Keterbatasan informasi mempersulit BMI mengambil

keputusan penting saat menentukan proses migrasi dan

menangani persoalan yang dihadapi.

Keterbatasan pengetahuan akibat

terbatasnya informasi menyebabkan

BMI menjadi kelompok yang lemah.

Ketersediaan informasi migrasi tidak hanya terbatas pada soal ketersediaan teknologi, tetapi juga kemampuan pengelolaan informasi dan kehendak politik lembaga-lembaga negara yang bertanggungjawab atas proses migrasi. Ketersediaan website resmi lembaga publik tidak selalu berbanding lurus dengan ketersediaan informasi publik.

Nihilnya informasi standar biaya penempatan BMI di luar negeri membuka peluang perusahaan Pelaksana Penempatan Tenaga Kerja Indonesia Swasta (PPTKIS) untuk menentukan beban biaya penempatan secara tidak proporsional, menekan BMI selama proses pra pemberangkatan, dan kepulangan.

Page 11: WARTA BURUH MIGRAN NOMOR XI EDISI JANUARI 2012

Halaman 11 | Warta Buruh Migran | Januari 2012

11 | Kajian

Informasi dan Hak Buruh MigranLahirnya UU No 04 Tahun 2008 tentang Keterbukaan informasi publik membuka peluang kelompok buruh migrant untuk menuntut keterbukaan informasi pengelolaan migrasi. Ketersediaan informasi tersebut, diyakini dapat menjadi keran perbaikan tata kelola pelayanan publik migrasi ketenagakerjaan. Informasi publik yang diatur dalam UU No 04 Tahun 2008 diefinisikan keterangan, pernyataan, gagasan, dan tanda-tanda yang mengandung nilai, makna, dan pesan, baik data, fakta maupun penjelasannya yang dapat dilihat, didengar, dan dibaca yang disajikan dalam berbagai kemasan dan format sesuai dengan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi secara elektronik ataupun nonelektronik.

Informasi Publik didefinisikan sebagai informasi yang dihasilkan, disimpan, dikelola, dikirim, dan/atau diterima oleh suatu badan publik yang berkaitan dengan penyelenggara dan penyelenggaraan negara dan/atau penyelenggara dan penyelenggaraan badan publik lainnya yang sesuai dengan Undang-Undang ini serta informasi lain yang berkaitan dengan kepentingan publik. Definisi Badan Publik yang berkewajiban memberikan informasi publik adalah lembaga eksekutif, legislatif, yudikatif, dan badan lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara, yang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara dan/ atau anggaran pendapatan dan belanja daerah, atau organisasi nonpemerintah sepanjang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara dan/ atau anggaran pendapatan dan belanja daerah, sumbangan masyarakat , dan/ atau luar negeri.

Keharusan untuk menyediakan informasi publik di beberapa lembaga negara yang bertanggungjawab dengan penempatan BMI di luar negeri, seperti BNP2TKI, BP3TKI, Kementrian Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Kemnakertrans) diatur dalam pasal satu karena memenuhi 2 prasyarat kewajiban penyediaan informasi. Lembaga-lembaga negara tersebut menerima pembiayaan dari negara dan terkait dengan penyelenggaraan negara.

Mengacu pada pasal tersebut, BNP2TKI, Kemnakertrans dan BP3TKI, termasuk jajaran Kedutaan Besar atau Konsulat Jendral Indonesia (KJRI/KBRI) berkewajiban untuk menyediakan informasi kepada publik, termasuk kelompok buruh migran selaku penerima manfaat pelayanan.

Fasil itas Akses Informasi yang tetap TerbatasKetersediaan informasi bagi lembaga publik, apalagi yang dikelola oleh negara, terkait dengan keinginan politik dan bukan semata ketidaktahuan atau keterbatasan penyediaan.

Hal paling sederhana dalam penyediaan informasi publik adalah penyediaan alat yang memungkinkan informasi ditelusuri dengan mudah, seperti portal resmi. Melalui portal, setiap orang yang memiliki akses internet dapat secara terbuka mengakses dan mencari informasi yang dibutuhkan dari lembaga negara.

Penelusuran atas ketersediaan portal sejumlah Balai Pelayanan Penempatan Dan Perlindungan TKI (BP3TKI) di beberapa provinsi menunjukkan hanya 3 dari 17 BP3TKI yang memiliki portal resmi. BP3TKI Makasar, Mataram dan Surabaya yang memiliki portal publik pun hanya menggunakan fasilitas blog gratis, baik wordpress maupun blogspot. Ketersediaan informasi yang dapat diperoleh melalui portal ketiga BP3TKI tersebut pun sangat jauh dari memadai. Informasi yang ditampilkan umumnya hanya berkenaan dengan kegiatan seremonial yang tidak sepenuhnya dibutuhkan oleh kelompok buruh migran. Tinngat pembaruan konten informasinya pun cukup menyedihkan. Nihilnya informasi tersebut menyulitkan banyak BMI dalam kepengurusan pelbagai keperluan migrasi, seperti Kartu Tanda Kerja Luar Negeri (KTKLN).

Menurut Fera Nur Aini, BMI Hongkong asal Ponorogo, pengurusan KTKLN di UPT Pelayanan Penempatan dan Perlindungan TKI (UP P3TKI) Jawa Timur di Surabaya masih menyulitkan BMI. Pengalaman Fera yang berupaya mengurus KTKLN di PU P3TKI Surabaya buntu karena rumitnya pengurusan dan nihilnya informasi keperluan pendaftaran KTKLN. Beberapa BMI yang datang dari beberapa kabupaten gagal mengurus KTKLN saat sudah berada di di Surabaya. Beberapa BMI gagal mengurus KTKLN karenatidak membawa persyaratan yang mencukupi.

“Saya ahkirnya gagal memilih tidak meneruskan pembuatan KTKLN di Surabaya. Ada juga TKI yang mengurus ke sana tapi gagal karena syaratnya kurang,” tegas Fera.

Idealnya, BMI dapat mengakses informasi terkait dengan migrasi dengan gamblang dan mudah. Ketersediaan website setidaknya memberikan peluang keteraksesan informasi. Contoh kasus Fera Nur Aini menunjukkan bahwa BMI di luar Surabaya harus mengulangi pengurusan KTKLN hanya karena tidak mengetahui informasi persyaratan yang seharusnya disiapkan.

Situasi keterbatasan alat informasi tersebut mengindikasikan buruk dan karut-marutnya tata laksana penempatan BMI selama ini. Pengetahuan dan informasi yang menjadi hak buruh migran dibatasi menjadi informasi terbatas. Selama karut-marut penyediaan informasi ini masih terjadi, pengelolaan proses migrasi secara transparan sulit akan diwujudkan. [ ]

Page 12: WARTA BURUH MIGRAN NOMOR XI EDISI JANUARI 2012

Halaman 12 | Warta Buruh Migran | Januari 2012

12 | Kajian

Menengok Layanan Online untuk BMIOleh : Fika Murdiana R.

Saat ini, persoalan pokok yang dihadapi Buruh migran Indonesia (BMI) adalah keterbatasan informasi. Sehingga para BMI kita seringkali tertipu dan tanpa disadari mengalami ekploitasi karena minimnya informasi yang didapat. Tak jarang pula, banyak BMI yang harus menghabiskan waktu dan tenaga untuk mengurus satu dokumen.

Menurut undang-undang nomor 14 tentang KIP dan Peraturan Komisi Informasi nomor 1 tahun 2010, Badan Negara atau lembaga publik wajib mengumumkan informasi yang wajib disediakan dan diumumkan secara berkala sekurang-kurangnya melalui situs resmi dan papan pengumuman dengan cara yang mudah diakses oleh masyarakat. Lembaga publik yang dimaksud di sini adalah lembaga negara yang dibiayai oleh dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Pada konteks BMI lembaga seperti Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, BNP2TKI, BP3TKI, Kementrian Luar Negeri, dan lembaga pemerintah lainnya termasuk dalam kategori lembaga publik yang harus mengumumkan dan menyediakan informasi.

Sayangnya, tidak semua lembaga publik menyediakan informasi maupun layanan berbasis dalam jaringan (daring/online). Padahal layanan informasi online merupakan media yang paling efektif dan murah karena bisa diakses di mana saja dan kapan saja. Layanan informasi online melalui situs internet tidak seperti kantor yang hanya membuka layanan pada jam kerja.

BNP2TKI dan jajaran BP3TKI merupakan salah satu lembaga negara yang bertugas sebagai pelaksana perlindungan dan penempatan BMI. Konsekuensinya, BNP2TKI dan BP3TKI di daerah-daerah harus menyediakan media saluran informasi terkait penempatan dan perlindungan BMI untuk masyarakat, termasuk dalam bentuk situs internet. Kenyataannya BNP2TKI dan BP3TKI belum mampu menyediakan media informasi tersebut, padahal keberadaannya memiliki fungsi penting dalam pelayanan penempatan dan perlindungan BMI. Satu-satunya layanan informasi terkait BMI yang tersedia ada di situs BNP2TKI (www.bnp2tki.go.id), itu pun dengan tampilan halaman yang tidak “ramah” pengunjung, tidak sistematis, dan minim informasi. Sedangkan dari 17 BP3TKI yang ada hanya ada 3 BP3TKI yang mempunya media online, itu pun tidak menggunakan nama domain standar pemerintah sehingga akurasinya kurang terpercaya.

layanan pengaduan online di KJRI Hong-kong tidak

dapat diakses (galat atau error)

Media Online Departemen Luar Negeri

Lembaga pemerintah lainnya yang memiliki fungsi penting dalam perlindungan BMI dan warga negara Indonesia pada umumnya adalah Departemen Luar Negeri (Deplu) dan jajaran Konsulat Besar Republik Indonesia (KBRI) dan bentuk perwakilan lainnya yang ada di luar negeri.

Sekilas, menejemen konten di situs resmi Kemenlu tampak tertata rapi, namun masih tidak ramah terhadap pengunjung.

Kekurangan Web Kemenlu:1. Halaman situs tidak nyaman dilihat karena berkedip setiap 3 detik.2. Banyak navigasi gambar yang tidak mengarah ke informasi yang dimaksud, melainkan langsung mengunduh file tanpa pesan konfirmasi atau hanya gambar pajangan.3. Menu arsip berupa naskah pidato, siaran pers, dan publikasi kosong, tidak bisa diakses.4. Menu layanan pengaduan online, lapor diri, tidak bisa digunakan, selalu ada yang "eror"5. Belum ada informasi seputar standar pelayanan

Page 13: WARTA BURUH MIGRAN NOMOR XI EDISI JANUARI 2012

Halaman 13 | Warta Buruh Migran | Januari 2012

tidak dapat menangkap sinyal. Hal yang aneh terjadi

ketika terakhir keluarga menelpon namun ia tampak

sangat sibuk dan tidak jenak saat berbincang melalui

telepon dan ada suara laki-laki sedang teriak dalam

bahasa Taiwan dan wahyuningrum menanggapinya

dengan bahasa Taiwan juga, lalu memutuskan hubunga

komunikasi yang sedang dilakukan. Sejak saat itulah

komunikasi terputus dan Wahyuningrum tidak dapat

dihubungi hingga saai ini (Januari 2012).Beberapa minggu

kemudian, keluarga mendapatkan surat dari Taiwan

beserta paket berisi barang-barang dari Taiwan yang

dititipkan melalui temannya di Taiwan yang sedang

pulang ke Indonesia menggambil cuti perrpanjangan

kontrak dan diantarkan oleh adik temannya tersebut.

(karena sebelumnya adiknya tersebut sudah pernah

datang ke rumah deefonalia untuk mengantarkan titipan

buat anak wahyuningrum)

Hal yang sangat disayangkan keluarga, adik dari

temannya Wahyuningrum tersebut tidak banyak memberi

keterangan dan menolak saat diminta meninggalkan

nomor telepon dan alamat, dirinya ataupun kakaknya

yang bekerja sebagai BMI ditaiwan. Dalam surat yang

diantarkan oleh adik temannya, wahyuningrum

mengatakan bahwa akong yang dirawatnya telah

meninggal dan itu berarti tidak sampai 3 tahun, karena

itu wahyuningrum akan masuk konseling untuk mencari

majikan baru. Jika terlalu lama maka dia akan pulang.

Tapi sampai saat ini wahyuningrum tidak kunjung datang

dan tidak memberi kabar apakah dia telah dapat kerjaan

baru atau tidak.

Melacak Keberadaan

Wahyuningrum di TaiwanOleh: Fathulloh

Bapak/Ibu di redaksi Pusat Sumber Daya Buruh Migran, adakah yang

mengetahui informasi mengenai perhimpunan tenaga kerja nonformal

di Taiwan?, saat ini saya sedang mencari sepupu saya yang bekerja di

Taiwan, tetapi sudah 1 tahun lebih tidak ada kabar, mohon

informasinya.” tutur pemilik akun bernama Dee Fonalia pada kotak

surat Facebook Buruh Migran (10/01/12).

Pesan di atas kemudian dijawab oleh redaksi Pusat Sumber Daya Buruh Migran (PSD-BM) dengan menyarankan pertemanan virtual Dee Fonalia dengan Atin Safitri, Ketua Asosiasi Tenaga Kerja Indonesia (ATKI) Taiwan di jejaring sosial Facebook. Perbincangan di jejaring sosial tersebut berlanjut dengan penggalian informasi lebih lanjut pada kasus hilang kontak yang disampaikan Dee Fonalia di Bekasi.

L. Wahyuningrum Retnaningtyas, kelahiran 1973 merupakan sepupu Dee Fonalia (pelapor) yang menjadi Buruh Migran Indonesia (BMI) di Taiwan. Tanpa diketahui kapan ia berangkat dan di perusahaan agen mana yang memberangkatkan, setelah satu tahun berlalu, Dee Fonalia kemudian hanya mendapati sebuah surat yang menerangkan Wahyuningrum sudah berada di Taiwan untuk bekerja sebagai BMI. Berdasarkan surat tersebut didapat keterangan Wahyuningrum berangkat tanggal 9 Desember 2007 dan tinggal di alamat No. 17, Lane 261, Szu We 3 Rd, Lin ya District, Kaoshiung City, Prov R.O.C, Taiwan sebagai perawat orangtua majikannya yang berusia 93 tahun. Karena dalam amplop tertulis wahyuningrum d/a Lai Chiu Hsiang, maka Dee fonalia (pelapor) memperkirakan mungkin itu nama majikan dari sepupunya .

Sejak saat itu komunikasi ke Taiwan dapat dilakukan

keluarga melalui sambungan telepon. Sangat disayangkan

keluarga, komunikasi kembali terputus setelah bencana

angin Topan Morakot yang melanda Taiwan di tahun 2009.

Tidak lama kemudian di awal tahun 2010 keluarga berhasil

menghubungi Wahyuningrum, saat itu wahyuningrum

mengatakan karena bencana tersebut majikannya pulang ke

kampung halamanya,disana handphone yang dibawanya

13 | Jejak Kasus

(Dok.Dee Fonalia)

Foto Wahyuningrum yang diambil dari telepon genggam

yang dikirim bersama sebuah surat untuk anaknya

Page 14: WARTA BURUH MIGRAN NOMOR XI EDISI JANUARI 2012

Halaman 14 | Warta Buruh Migran | Januari 2012

Dee Fonalia pada 10 Januari 2012 juga sudah menghubungi

KDEI Taiwan melalui sambungan telepon, sayang petugas

penerima telepon menyampaikan bagian tenaga kerja

sedang tidak ada di tempat. Pada 15 Januari 2012, Dee

Fonalia menghubungi call center BNP2TKI, karena

minimnya informasi CS BNP2TKI mengatakan tidak bisa

membantu proses pelaporan.

Kolaborasi Penanganan Dengan Pegiat ATKI

Taiwan

Setelah mendapatkan beberapa keterangan dari pihak

keluarga tentang kasus hilang kontak dengan

Wahyuningrum di Taiwan, Redaksi PSDBM segera

menghubungi Atin Safitri, Ketua ATKI Taiwan (10/01/12).

Atin Safitri sendiri baru beberapa minggu tiba di Taiwan,

setelah beberapa bulan sejak November 2011 mengambil

cuti dan kembali ke tanah air. Mendapat cerita dari redaksi

PSDBM terkait kasus hilang kontak Wahyuningrum, Atin

Safitri dan pegiat ATKI Taiwan akan bersedia sebisa

mungkin terlibat dan berkolaborasi membantu melacak

keberadaan Wahyuningrum.

Atin Safitri juga menyampaikan salah satu kebutuhan bagi

pegiat serikat BMI di Taiwan untuk memproses kasus ini

adalah dokumen berupa paspor. Redaksi PSDBM

diharapkan mampu menjembatani upaya di tanah air agar

keluarga mampu melacak data paspor korban.

“Kami membutuhkan nomor paspor agar bisa melacak

siapa PJTKI yang memberangkatkannya, jika berhasil, maka

bisa dilanjutkan dengan menanyakan data BMI pada

PJTKI , karena jika data yang kita pegang hanya nama saja,

maka ada kemungkinan banyak nama yang sama.” tutur

Atin Safitri.

Tentang data alamat terakhir yang dimiliki keluarga dari

surat yang dikirim Wahyuningrum, Atin Safitri

menyampaikan cukup kecil kemungkinan jika hanya

melacak alamat tersebut. Hal ini disebabkan banyak buruh

migran di Taiwan yang kemudian pindah majikan,

termasuk kemungkian yang terjadi pada Wahyuningrum.

Berdasarkan penjelasan Atin Safitri, radaksi PSDBM

berencana mengirim surat pengaduan ke KDEI untuk

mencari keberadaan nama Wahyuningrum di lumbung

data milik KDEI.

Penanganan persoalan hilang kontak memang

membutuhkan proses dan keterlibatan banyak pihak

termasuk pemerintah yang bertanggung jawab atas

keamanan warga negaranya yang sedang bekerja di luar

negeri. Saat ini berkas pengaduan akan dikirim ke Kantor

Dagang dan Ekonomi Indonesia di Taiwan sebagai

perwakilan pemerintah Indonesia. [ ]

14 | Jejak Kasus

Salah satu petunjuk berupa alamat majikan yang

ditulis Wahyuningrum pada amplop sebuah surat

untuk keluarga

Page 15: WARTA BURUH MIGRAN NOMOR XI EDISI JANUARI 2012

Halaman 15 | Warta Buruh Migran | Januari 2012

15 | Panduan

Tata CaraMeminta Informasi(Upaya Memanfaatkan UU KIP No. 14

Tahun 2008 untuk Perjuangan Buruh

Migran)

Informasi adalah hak, prisip ini harus tertanam pada

pegiat Buruh Migran Indonesia (BMI) yang akan meminta

informasi pada lembaga penyedia layanan publik. Jangan

ragu dan takut untuk menanyakan informasi yang menjadi

hak Anda. Banyak informasi terkait pelayanan bagi buruh

migran yang bisa kita minta pada badan publik penyedia

layanan BMI.

Biaya penempatan (cost structure) BMI, prosedur

pelatihan BMI, daftar PPTKIS bermasalah, biaya paspor,

dan pelbagai informasi lain yang dirasa belum jelas bagi

BMI berhak untuk ditanyakan.

Pada kasus biaya penempatan (cost structure), kita seolah

melihat ketiadaan informasi yang pasti dari pemerintah.

BMI sendiri acapkali dirugikan oleh agen karena harus

membayar biaya penempatan yang lumayan besar

nilainya.

Sebenarnya UU nomor 39 tahun 2004 sudah mengatur

biaya penempatan melalui wewenang Menakertrans agar

tidak melebihi batas, tapi kenyataannya aturan pasti

terkait biaya penempatan tidak pernah dipublikasikan

oleh Menakertrans. BMI dan para pegiat BMI sudah

berulang kali melaksanakan aksi protes dan mengajukan

tuntutan terkait biaya penempatan yang merugikan BMI,

namun tidak ada hasil yang memuaskan.

Banyak jalan menuju Roma” begitu kata pepatah, dan

ternyata masih ada celah untuk memperoleh informasi

terkait biaya penempatan BMI menggunakan landasan UU

nomor 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi“

Publik (KIP). Dengan UU KIP, BMI bisa memperoleh

informasi yang diinginkan. BMI juga bisa mengajukan-

tuntutan sampai pengadilan jika informasi yang diinginkan

tidak disediakan atau sengaja disembunyikan. Melalui UU

KIP ini pula, badan publik negara yang tidak menyediakan

atau sengaja menyembunyikan informasi akan terkena

sangsi.

Berikut ini adalah alur dan langkah untuk

mendapatkan informasi pada Pejabat Pengelola

Informasi dan Dokumentasi (PPID) di lembaga

pemerintahan penyedia layanan publik bagi BMI:

1. Tentukan informasi apa yang akan anda minta, lembaga

mana yang berwenang memberikan informasi tersebut,

dan media apa yang anda pilih untuk meminta informasi.

Catatan: Pastikan anda menyampaikan permintaan

informasi pada lembaga yang sesuai dengan jenis

informasi yang anda minta. Setiap lembaga badan publik

terkait BMI seperti Imigrasi, BNP2TKI, Kemenakertrans,

KBRI, KJRI, Dinsosnakertrans, BP3TKI, dan lain-lain wajib

memiliki PPID. Berdasarkan Bab I pasal 9 UU KIP No. 14

tahun 2008 disebutkan “Pejabat Pengelola Informasi dan

Dokumentasi adalah pejabat yang bertanggung jawab di

bidang penyimpanan, pendokumentasian, penyediaan,

dan/atau pelayanan informasi di badan publik”.

2. Pemohon informasi mengajukan permintaan informasi

kepada PPID di lembaga badan publik. Pengajuan

informasi ini dapat disampaikan melalui lisan maupun

melalui surat pos, surat elektronik (surel/email),

sambungan telepon, dan sistem online yang tersedia.

3. Anda sebagai pemohon informasi harus menyebutkan

nama, alamat, jenis informasi yang diminta (Misalnya,

rincian biaya penempatan BMI ke Hong Kong, daftar

Page 16: WARTA BURUH MIGRAN NOMOR XI EDISI JANUARI 2012

Halaman 16 | Warta Buruh Migran | Januari 2012

prosedur mengurus klaim asuransi, layanan BMI

bermasalah, dan informasi sesuai yang Anda butuhkan),

bentuk informasi yang diminta, dan cara penyampaian

informasi yang diminta. Sebagai legalitas sertakan salinan

Kartu Tanda Penduduk (KTP) Anda.

4. Petugas PPID pada badan publik akan mencatat semua

yang disebutkan oleh pemohon informasi.

5. Tunggu balasan dari lembaga badan publik tempat Anda

meminta informasi. Berdasarkan ketentuan standardisasi

layanan informasi publik dibutuhkan waktu 10+7 hari kerja

untuk memperoleh kepastian apakah permintaan informasi

yang Anda ajukan diterima atau ditolak.

6. Petugas menyerahkan jawaban berupa informasi sesuai

dengan permintaan. Anda sebagai pemohon informasi

akan diberikan tanda bukti oleh PPID sebagai bukti telah

melakukan pengajuan informasi. Apabila yang terjadi

sebaliknya (permintaan informasi anda ditolak atau tidak

ditanggapi), Anda dapat mengajukan keberatan secara

tertulis pada Pejabat Pengelola Informasi dan

Dokumentasi, kemudian menunggu paling lambat 30 hari

untuk mendapatkan jawaban.

Jika Anda sebagai pengaju sengketa tidak puas, maka

dapat melajutkan pengaduan ke Komisi Informasi di

tingkat Kabupaten dan Kota, Provinsi, atau pusat sesuai

wilayah kerja badan publik tempat Anda meminta

informasi. [ ]

Mintalah Informasi yang Menjadi Hak Anda.

Mari memanfaatkan UU Nomor 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP) dengan menanyakan pelbagai informasi yang Anda butuhkan terkait penempatan dan perlindungan buruh migran pada badan publik terkait.

Pemanfaatan UU nomor 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP) merupakan upaya agar pemerintah lebih terbuka dalam menyelenggarakan pelbagai layanan publik bagi buruh migran dan keluarga.

-Pesan ini dipersebahkan oleh: redaksi www.buruhmigran.or.id-

Redaksi PSD-BM,

Disarikan dari panduan

di portal Komisi

Informasi

16 | Panduan