Wali Nanggroe Untuk Aceh Bukan PA

24
NO. 27/TH. X/EDISI 5 - 11 NOVEMBER 2012 Rp 5.000,- (Luar Aceh Rp 6.000,-)

description

majalah modus

Transcript of Wali Nanggroe Untuk Aceh Bukan PA

Page 1: Wali Nanggroe Untuk Aceh Bukan PA

NO. 27/TH. X/EDISI 5 - 11 NOVEMBER 2012 Rp 5.000,- (Luar Aceh Rp 6.000,-)

Page 2: Wali Nanggroe Untuk Aceh Bukan PA

Penanggungjawab/Pimpinan Redaksi Muhammad Saleh

Direktur UsahaAgusniar

Sekretaris Redaksi Rizki Adhar

Kordinator LiputanJuli Saidi

Pemasaran/SirkulasiFirdaus

Hasrul Rizal

Desain GrafisRasnadi Nasry

LayouterMiswar

Sekretariat/ADM Dewi Fitriana

PJ Kepala Bagian KeuanganAgusniar

IklanBoy Hakki

Wartawan Banda Aceh Muhammad Saleh

Fitri JulianaJuli Saidi

Rizki AdharMasrizal

BireuenSuryadi, Ikhwati, Hamdani

Lhokseumawe/Aceh UtaraHasnul Yunus

KorespondenSabang

TakengonAceh SelatanAceh Besar

Aceh Tenggara Gayo Lues

Kuala Simpang Pidie

Langsa Bener Meriah

Simeulue

Alamat: Redaksi Jl. T. Panglima Nyak Makam

No. 4 Banda Aceh. Telp (0651) 635322 Fax. (0651) 635316,

email: [email protected]

www.modusaceh.com.

DALAM MENJALANKAN TUGAS JURNALISTIK, WARTAWAN MODUS ACEH DIBEKALI KARTU PERS. TIDAK DIBENARKAN MENERIMA ATAU MEMINTA APAPUN DALAM BENTUK APAPUN DAN DARI SIAPAPUN.

MODUS ACEHTabloid Berita Mingguan

Bijak Tanpa Memihak

SUARA ANDA

2 RedaksiEDISI 5 - 11 NOVEMBER 2012

Redaksi menerima sumbangan tulisan yang sesuai dengan misi tabloid ini. Tulisan diketik dua spasi, maksimal lima halaman kuarto. Redaksi berhak merubah isi tulisan tanpa menghilangkan makna, arti dan substansi dari tulisan tersebut. Setiap tulisan yang dikirim, harus disertai photo diri.

Warga negara Irak dan Iran yang dikirim Pemerintah Australia ke Pulau Nauru di Pasifik, kini telah kembali ke negara asal mereka atas keinginan sendiri.

Empat warga Irak dan dua warga Iran, semuanya pria, memutuskan untuk tidak melanjutkan klaim suaka mereka atau pun terus menunggu di pusat pemrosesan kawasan di Nauru.

Mereka yang tiba di Australia dengan perahu dikirim ke Nauru dan Papua Nugini di bawah kebijakan pemrosesan kawasan baru yang keras dari Pemerintah Australia. “Keenam pria tersebut telah memutuskan untuk kembali

Pencari Suaka Irak dan Iran Kembali

ke negara asal atas keinginan mereka sendiri,” ujar juru bicara Departemen Imigrasi dan Kewarganegaraan Australia. “Transfer dari Nauru, serta seluruh jaringan detensi Australia akan dilanjutkan.

Hingga saat ini, 82 orang telah kembali ke negara asal atas keinginan mereka sendiri. Ini termasuk 13 orang yang telah meninggalkan Nauru, 54 orang yang menjalani pemrosesan luar negeri. Namun memilih untuk kembali ke negara asal dari pada dikirim ke Nauru dan 15 orang yang tidak menjalani pemrosesan di luar negeri, tapi kemudian memutuskan kembali ke negara asal daripada tetap di Australia menunggu

pemrosesan.Mereka yang berada di

tempat detensi imigrasi dapat meminta untuk dipindahkan dari Australia kapan pun. Mereka yang memilih untuk kembali ke negara asal atas keinginan sendiri akan diberi dukungan reintegrasi secara individu, guna membantu keberkelanjutan kepulangan me-reka, melalui Organisasi Migrasi Internasional.

Paket-paket reintegrasi diten-tukan berdasarkan kasus per kasus tergantung pada kebutuhan dan hak mereka. Demikian siaran pers dari Kedutaan Besar Australia di Jakarta.***

n RADIO AUSTRALIA

Page 3: Wali Nanggroe Untuk Aceh Bukan PA

3Bireuen EDISI 5 - 11 NOVEMBER 2012

n MODUS ACEH/Suryadi

n Laporan Suryadi

GEDUNG itu terlihat indah dan mentereng. Dengan balutan cat warna-warni yang cerah. Di atasnya dihiasi kubah. Letaknya juga sangat strategis, di Jalan Medan-Banda

Aceh, Desa Blangbladeh, Kecamatan Jeumpa, Kabupaten Bireuen.

Inilah Kampus Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi (STIE) Kebangsaan. Salah satu PTS baru di Bireuen yang sedang berkembang dan nyaman sebagai tem-pat aktivitas belajar mengajar, karena lokasi kampusnya agak jauh dari perko-taan.

Namun, suasana adem ayem yang selama ini terbina, sontak berubah pada Selasa, 23 Oktober lalu. Gaduh dan membisingkan. Masalahnya, bukan ka-rena deru kendaraan di jalan atau sebab lain di luar kampus. Sebaliknya, suasana tak nyaman itu berasal dari dalam kam-pus sendiri.

Hari itu sekitar pukul 12.00 WIB, mendadak hamparan halaman kampus yang luas tersebut, dijadikan sebagai tempat aksi unjuk rasa mahasiswa. Tapi, jangan salah. Demontrasi itu, bukan di-gelar mahasiswa STIE Kebangsaan. Tapi, para mahasiswa Sekolah Tinggi Manaje-men Informatika dan Komputer (STMIK) Bina Bangsa Lhokseumawe, Program

Studi Teknik Informatika (S-1) dan Mana-jemen Informatika (D-3) kelas Bireuen yang kuliah di kampus tersebut.

Jumlah mahasiswa dan mahasiswi yang berunjukrasa ada sekitar dua ratu-san orang. Pendemo menuntut kejelasan status kedua program studi di STMIK Bina bangsa yang belum terakreditasi. Selain itu, juga masalah data Evaluasi Program Studi Berbasis Evaluasi Diri (EPSBED) yang mereka terima sebagai mahasiswa tidak tercantum di Direktorat Pendidikan Tinggi (Dikti).

Sebagian mereka mengusung kar-ton bertuliskan sejumlah tuntutan. Um-umnya, berisi kejelasan akreditasi pro-gram studi kuliah mereka di STMIK Bina Bangsa. Setelah membakar beberapa ban bekas, kemudian seorang dari mereka membakar jas almamaternya di halaman kampus. “Mana data aktif kuliah kami di Dikti! Kapan terakreditasi pro-gram studi kami! Beri pelayanan yang sama dan jangan kami dijadikan anak tiri di sini!,” teriak para mahasiswa.

Koordinator aksi, Sudirman kepada wartawan mengatakan, status program studi mereka di STMIK Bina Bangsa Lhokseumawe, tidak jelas akreditasinya. Begitu juga EPSBED mahasiswa, tak ter-cantum di database Dikti. Hanya angka-tan pertama, 2008 yang lengkap, itu pun sampai 2010. Setelah itu tidak ada data lagi. “Karena tidak terdata, kami kha-watir nanti ijazahnya tak keluar dan sta-tus ijazahnya juga tidak diakui,” ungkap

Sudirman. Beberapa saat kemudian, perwaki-

lan mahasiswa bertemu pimpinan kam-pus. Sedangkan rekan mereka yang lain terus berorasi, meminta penjelasan dari manajemen kampus. Setelah berorasi hampir dua jam, Wakil Ketua II STMIK Bina Bangsa, Muhammad, melalui mik-rofon memberikan penjelasan beberapa hal yang ditanyakan mahasiswa.

Namun penjelasan Muhammad, tidak memuaskan mereka. Sebab, dia berasalan, persoalan akreditasi bidang studi itu sudah diajukan pihaknya. Tapi, hingga kini belum turun. Begitu juga penjelasan dari Agus Irwanto, Wakil Ketua II STIE Kebangsaan Bireuen, tidak menjawab persoalan. Malah, terkesan saling menyalahkan antara pihak STMIK Bina Bangsa dengan STIE Kebangsaan. Meski tidak ada hasil, para mahasiswa membubarkan diri sekitar pukul 14.30 WIB dengan tertib.

Entah disengaja atau cuma kebetu-lan belaka. Di hari yang sama, sejumlah mahasiswa program studi tersebut yang kuliah di Universitas Almuslim (Umus-lim), Peusangan, Bireuen, juga beraksi. Tapi, mereka bukan berdemo. Para ma-hasiswa ini lebih memilih mengadukan persoalan yang mereka hadapi ke Lem-baga Bantuan Hukum (LBH) Pos Lhokseu-mawe.

Yang berbeda dan lebih ekstrim, para mahasiswa tadi mengadukan kasus penipuan yang diduga dilakukan pihak Umuslim terhadap mereka. Masalahnya, mereka mengaku, dulu tahun 2007 saat mendaftar, tercatat sebagai mahasiswa di Fakultas Ilmu Komputer (Fikom) Pro-gram Bidang Studi Teknik Informatika dan Manajemen Informatika.

Akreditasi Masih Teka-TekiMahasiswa dari perguruan tinggi di bawah Yayasan Bina Bangsa mengelar aksi demo. Ini puncak dari ketidakjelasan status dan akreditasi bagi mahasiswa.

Namun, setelah kuliah sampai se-mester tiga, tiba-tiba dialihkan begitu saja secara sepihak menjadi mahasiswa STMIK Bina Bangsa Lhokseumawe. Tanpa pemberitahuan dan persetujuan terlebih dahulu dari mahasiswa bersangkutan.

Belakangan diketahui, ternyata ke-beradaan mereka di STMIK Bina Bangsa, juga tidak terakreditasi untuk kedua pro-gram studi tersebut. “LBH Pos Lhokseu-mawe telah meminta kami menyiapkan bahannya secara lengkap untuk dibawa ke ranah hukum,” ungkap seorang ma-hasiswa kepada MODUS ACEH, Kamis malam pekan lalu.

Sebelumnya, mahasiswa STMIK Bina Bangsa yang yang kuliah di Kampus Umuslim Peusangan, Bireuen, juga sudah pernah menggelar demo. Berbeda den-gan unjuk rasa para mahasiswa STMIK Bina Bangsa kelas Bireuen yang kuliah di STIE Kebangsaan tadi. Para maha-siswa STMIK Bina Bangsa yang kuliah di Umuslim, memilih tempat unjuk rasa di kawasan waduk Mon Geudong, Lhokse-umawe, Kamis, 11 Oktober lalu. Sebab, saat itu tidak ada pimpinan perguruan tinggi tersebut untuk beraudiensi den-gan mahasiswa tersebut di kampus induk STMIK Bina Bangsa Lhokseumawe.

Meski jumlah yang berdemo hanya beberapa orang. Tapi, tak menyurut-kan semangat para mahasiswa ini dalam menyampaikan tuntutan mereka di depan umum. Demo ini, juga diwarnai dengan aksi pembakaran jas almamater mereka.

Selain berorasi menyampaikan per-soalan dugaan penipuan, mereka juga menuntut akreditasi bidang studi. Para mahasiswa juga membawa sejumlah poster yang di antaranya bertuliskan:

Page 4: Wali Nanggroe Untuk Aceh Bukan PA

4 BireuenEDISI 5 - 11 NOVEMBER 2012

“Kampus Bodet, mereka hanya mementingkan isi perut, harga dirinya sama yang dikeluar-kan dalam perut” , “TI (Teknik Informatika-red)Umuslim 2007, Fakultas Siluman” dan “TI Umus-lim Ilegal, STMIK Tipu Maha-siswa”.

Sebenarnya, menurut se-jumlah mahasiswa, mereka tidak ingin berdemo dan lebih suka beraudiensi dengan pihak terkait dalam membahas perso-alan yang sedang berkembang. Tapi, selalu saja audiensi yang sudah diagendakan, tak pernah terlaksana. Alasannya, tidak ada waktu dan berhalangan dari pihak rektorat, yayasan serta pihak terkait lainnya.

Selain itu, ada kendala yang datangnya dari kalangan maha-siswa sendiri. Sehingga, waktu beraudiensi selalu terulur-ulur dan akibatnya memicu aksi demo.

Setelah aksi demo di dua tempat terpisah dan pelaporan ke LBH tadi, baru ada tanggapan dari pihak terkait untuk berau-diensi. Maka, dilaksanakanlah audiensi di Aula Akademi Ke-bidanan (Akbid) Umuslim, Se-lasa, 30 Oktober lalu. Dihadiri sekitar tiga ratusan mahasiswa. Mereka bergabung dalam tiga perguruan tinggi swasta yang saling berkaitan. Yakni, maha-siswa Program Studi Teknik In-

formatika dan Manajemen Infor-matika STMIK Bina Bangsa kelas jauh yang kuliah di Kampus Umuslim dan STIE Kebangsaan Bireuen serta STMIK Bina Bangsa Lhokseumawe.

STMIK Bina Bangsa dihadiri Ketua Pembina Yayasan Bina Bangsa, Dr. H. Amiruddin Idris, SE, M.Si, beserta segenap unsur yayasan dan pimpinan pergu-ruan tinggi tersebut.

Dalam audiensi yang ber-langsung cukup alot itu, maha-siswa menanyakan banyak hal terkait persoalan yang mereka hadapi kepada pihak yayasan dan pimpinan STMIK Bina Bang-sa. Namun, secara umum pene-kanannya lebih kepada belum kunjung terakreditasi kedua program studi tersebut di STMIK Bina Bangsa hingga kini. Seh-ingga, sangat merugikan para mahasiswa. Baik yang kuliah kelas jauh di Umuslim dan STIE Kebangsaan Bireuen, maupun di kampus induk STMIK Bina Bang-sa Lhokseumawe.

Dalam audiensi itu diputus-kan: Yayasan Bina Bangsa beser-ta pimpinan STMIK Bina Bangsa Lhokseumawe menyatakan akan merealisasikan akreditasi Pro-gram Studi Teknik Informatika (S-1) dan Manajemen Informa-tika (D-3) pada 31 Januari 2013. Dalam surat pernyataan itu juga ditegaskan, jika pada 31 Januari

2013, program studi tersebut belum juga terakreditasi, maka organ Yayasan Bina Bangsa beserta Pimpinan STMIK Bina Bangsa Lhokseumawe, siap me-nerima sanksi dan tuntutan dari mahasiswa.

Surat pernyataan tersebut ditandatangani Amiruddin Idris, selaku Ketua Pembina Yayasan Bina Bangsa serta mereka dari unsur yayasan lainnya dan pimpinan STMIK Bina Bangsa Lhokseumawe.

Menurut Ketua Forum Ko-munikasi Penyelesaian Masalah STMIK Bina Bangsa, Yaziz Haiqal, ada yang belum terjawab dalam pertemuan hari itu, karena sudah habis waktu audiensi. Yakni, menyangkut persoalan penipuan yang diduga dilaku-kan pihak Umuslim Peusangan terhadap mahasiswa angkatan 2007 yang dulu saat mendaf-tar tercatat sebagai mahasiswa Fakultas Ilmu Komputer Bidang Studi Teknik Informatika (S-1)

dan Manajemen Informatika (D-3) di universitas tersebut. Tapi, kemudian dialihkan secara sepi-hak ke STMIK Bina Bangsa Lhok-seumawe.

“Karena hal itulah audiensi yang khusus membahas masalah tersebut dijadwalkan kembali akan digelar pada 19 November mendatang,” jelas Haiqal yang menemui MODUS ACEH bersa-ma sejumlah rekannya di Kantor PWI Perwakilan Bireuen, Kamis malam pekan lalu.***

n MODUS ACEH/SuryadiMahasiswa menggelar aksi terkait status dan akreditasi kampus.

Page 5: Wali Nanggroe Untuk Aceh Bukan PA

5Iklan EDISI 5 - 11 NOVEMBER 2012

Page 6: Wali Nanggroe Untuk Aceh Bukan PA

PADUKA TAK WAJIB BACA ALQURANPADUKA TAK WAJIB BACA ALQURAN

6 EDISI 5 - 11 NOVEMBER 2012

" n RAQAN LEMBAGA WALI NANGGROE DISAHKAN

Tiga dari empat fraksi di DPR Aceh meminta penambahan persyaratan calon Wali Nanggroe. Mampu membaca Alquran dan menjadi Imam serta Khatib Sha-lat Jumat. Tapi, Fraksi Partai Aceh keberatan. Kenapa?

n Laporan Muhammad Saleh & Juli Saidi

RAPAT kita skor se-mentara,” ujar Wakil Pimpinan DPR Aceh, Sulaiman Abda, begitu azan shalat Jumat berku-mandang. Saat itu juga, Ketua DPD Partai Golkar

ini, keluar dari ruang Badan Musyawarah (Banmus) DPR Aceh, Jalan Tengku Daud Beureueh, Banda Aceh, Jumat siang pe-kan lalu.

Lantas, satu persatu anggota DPR Aceh mengikuti jejaknya. Maklum, mereka bergegas menuju masjid, menu-aikan kewajibannya, menghadap Allah SWT. “Setelah shalat Jumat kita lanjutkan lagi,” jelas Sulaiman Abda, didampinggi Amir Helmi. Kedua pimpinan dewan tersebut, didapuk untuk memimpin Si-dang Paripurna Pengesahan Empat Ran-cangan Qanun (Raqan) antara lain raqan perkebunan, raqan RPJP Aceh, raqan dana abadi pengembangan SDM, dan raqan lembaga Wali Nanggroe.

Penghentian sementara rapat terse-but, sekaligus mereda debat alot yang sedang terjadi, terkait pembahasan Ran-cangan Qanun (Raqan) Lembaga Wali Nanggroe (WN) yang memasuki tahap akhir di DPR Aceh.

Bermula dari saran dan usul Fraksi Partai Demokrat (F-PD) yang disampai-kan jurubicaranya Jalamuddin T. Muku. Partai nasional berlambang “bintang segitiga” itu mengusulkan penambahan persyaratan pada BAB V Bagian Kesatu Paragraf 1 Pasal 69 dengan tiga huruf. Yaitu, calon Wali Nanggroe tidak pernah melakukan perbuatan tercela. Kedua, mampu membaca Kitab Suci Alquran dengan tartil dan ketiga mampu menjadi Imam dan Khatib pada Shalat Jumat.

Syarat yang sama juga diusulkan politisi peraih sepuluh kursi di DPR Aceh itu untuk persyaratan kepada calon Waliyul’ahdi. Penambahan ini di BAB V Bagian Kedua Paragraf I Pasal 72. “Kami mengusulkan untuk menambah tiga huruf, setelah huruf j, yaitu k,I dan m,” pinta Fraksi Demokrat yang dibacakan Jamaluddin T Muku.

Yang menarik, usulan Fraksi Partai Demokrat diamini Fraksi Partai Golon-gan Karya (Golkar) dan Fraksi PPP-PKS. Dua fraksi partai nasional itu, juga minta penyempurnaan persyaratan yaitu, beri-man dan bertaqwa serta kalimat mampu membaca Alquran dengan baik dan be-nar.

Nah, persyaratan itulah yang kemu-dian menjadi dasar perdebatan antar anggota Banmus DPR Aceh. Jamaluddin T Muku misalnya, tetap bersikeras agar persyaratan baca Alquran tetap diber-lakukan kepada calon Wali Nanggroe.

Menurut Jamaluddin, syarat baca Al-Qur’an bukan tidak ada alasan dan mengada-ada. Dasarnya adalah, Aceh telah memberlakukan syariat Islam, sesuai dengan Undang-Undang Nomor : 11 tahun 2006. “Apalagi, dalam misi dan visi Pemerintah Aceh, Doto Zaini Abdul-lah-Muzakir Manaf lebih mendalam lagi, yaitu berdasarkan Dinul Islam,” katanya kepada media ini, usai pembahasaan.

Bagi Jamaluddin Muku, begitu dia akrab disapa, syarat baca Alquran, juga berlaku bagi calon keuchik hingga ang-gota DRPK, DPRA serta Gubernur dan Wakil Gubernur Aceh. “Saya pikir ini berlaku semua pemimpin, sampai kepa-la desa tes baca Alquran,” kata Jamalud-din T Muku, kecewa.

Tak hanya itu, sebut Jamaluddin Muku, manusia bersifat bahru. Nah, kare-na sifat yang berubah-ubah itulah, maka manusia maksum. Sebab, bukan wakil Nabi. Begitupun, Jamaluddin T Muku mengaku dapat menerima perbedaan tersebut. Dia menyerahkan sepenuhnya kepada rakyat Aceh unutk menilai, khu-susnya kalangan pesantren dan ulama.

“Manusia tidak maksum, kita ini bu-

n MODUS ACEH/Juli Saidi

Massa Gayo Merdeka berdemonstrasi di DPRA.

Page 7: Wali Nanggroe Untuk Aceh Bukan PA

7EDISI 5 - 11 NOVEMBER 2012

kan wakil Nabi. Karena itu, sepenuhnya kami serahkan kepada rakyat Aceh un-tuk menilai, apakah syarat yang diajukan Partai Demokrat pantas dan wajar atau tidak,” kritiknya, usai penutupan sidang paripurna empat qanun, Jumat pekan lalu.

Sementara itu, Ketua Fraksi Partai Aceh (PA) Tgk. M. Harun dan Ketua Pan-sus Raqan Wali Nanggroe Tgk. Ramli Sulaiman menolak keras usulan per-syaratan yang disampaikan Fraksi Par-tai Demokrat serta dua fraksi lainnya. Alasannya, Wali Nanggroe merupakan orang terhormat dan lebih tinggi. Kare-na itu, syarat baca Alquran tidak diako-modir. “Wali ini orang yang terhormat, orang yang muliakan lebih tinggi,” kata Tgk. Ramli Sulaiman.

Usai menunaikan shalat Jumat, seki-tar pukul 14.30 WIB, DPR Aceh kembali melanjutkan rapat Banmus. Agendanya, membahas kembali usulan tiga fraksi tadi, salah satunya tentang persyara-tan calon Wali Nanggroe dalam BAB V. Hasilnya, tetap saja mentah di tangan para politisi Partai Aceh.

Nah, pada saat penyampaian pen-dapat akhir fraksi, dari luar Gedung DPR Aceh, puluhan orang yang men-gatasnamakan Massa Gayo Merdeka melakukan aksi demontrasi. Mereka

berorasi di jalan dan meminta DPR Aceh perhatikan suku Gayo, Aneuk Jamee, Singkil, Kluet, Aceh Tamiang, Simeulue, dan suku Alas.

Menurut Massa Gayo Merdeka, dalam draft raqan lembaga Wali Nang-groe terdapat banyak pasal yang sangat kontroversial dan cenderung memihak pada kelompok mayoritas tertentu. Aki-batnya, menumpas budaya, adat dan ba-hasa kaum minoritas.

Itu sebabnya, Massa Gayo Merdeka yang dipimpin Budiman dalam aksinya menuntut empat hal yang perlu disahuti DPR Aceh. Pertama, menolak secara te-gas Qanun Lembaga Wali Nanggroe, jika klausul Bahasa Aceh yang fasih dan baik serta keturunan Aceh menjadi syarat Wali Nanggroe. Kedua, DPR Aceh ber-sama Gubernur Aceh harus benar-benar memperhatikan, mempertimbangkan dan menghargai bahwa Aceh adalah satu kesatuan wilayah yang terdiri dari beberapa suku.

Ketiga, jika masalah itu tidak rubah, maka Wali Nanggroe bukanlah milik rakyat Aceh. Dan keempat, massa juga mengancam, bila tuntutan mereka tidak ditampung, maka akan mengajak suku-suku minoritas lainnya untuk memisah-kan diri dari Provinsi Aceh.

Mantan juru bicara Panglima Koman-

do Pusat Gerakan Aceh Merdeka (GAM) Sofyan Daud menilai. Usulan Wali Nang-groe merupakan amanah MoU Damai Helsinki. “Di sana jelas tertera. Jika tidak dilakukan, maka bisa dinilai melanggar MoU,” ujar Sofyan Dawood.

Hanya saja sebut salah seorang pengagas lahirnya Partai Nasional Aceh (PNA) ini, Wali Nanggroe yang ada saat ini harus jelas batasannya. Untuk rakyat Aceh atau personal. “Bisa dimulai dari 1873 atau 1976. Kalau 1976, itu hak al-marhum Tgk Hasan Tiro dan garis ketu-runannya. Tapi, kalau patokannya, 15 Agustus 2005 lalu, maka siapapun bisa jadi Wali Nanggroe, tak harus Malik Mahmud,” ungkap Sofyan Dawood.

Begitupun, Sofyan mengaku sangat menghargai keputusan yang kini telah diambil Partai Aceh (PA) melalui fraksin-ya di DPR Aceh. Namun, Sofyan Dawood tetap menginggatkan, qanun yang di-lahirkan nantinya, lebih mementingkan persoalan Aceh masa depan, bukan un-tuk kelompok atau personal.

“Apa ada jaminan Partai Aceh terus berkuasa. Jika berganti rezim, apakah qanun itu dirubah kembali. Saya kira ter-lalu banyak energi yang terkuras untuk hal-hal yang menurut saya belum priori-tas saat ini,” kritik Sofyan Dawood.

Sementara itu, mantan anggota

DPRK Banda Aceh, Basyaruddin atau akrab disapa Abu Sara mengaku paham betul tujuan dibentuknya Lembaga Wali Nanggroe (WN) saat ini. Maklum, man-tan Wakil Ketua Majelis Ulama Nanggroe Aceh (MUNA) Wilayah Aceh Besar ini, merupakan mantan anggota Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dibawah pimpi-nan Tgk Daud Panuek.

Menurut Abu Sara, lembaga Wali Nanggroe yang dimaksudkan dalam perjuangan GAM dahulu adalah Wali Negara, bukan Wali Nanggroe. Itu sebabnya, Abu Sara menduga pemben-tukan Lembaga Wali Nanggroe bukan untuk kepentingan masyarakat, namun muaranya lebih pada kepentingan Par-tai Aceh (PA) di masa datang. Selain itu, lembaga Wali Nanggroe yang ada saat ini, bertujuan untuk bagi-bagi kekua-saan.

Sekali lagi, benarkah? Biarlah waktu yang menjawabnya. Sebab, walau qanun tersebut sudah mendapat pengesahan di DPR Aceh, namun tak serta merta diamini oleh Jakarta. “Pengalaman memang sep-erti itu. Saat kami bentuk Partai GAM, saya orang yang tidak setuju dengan nama itu. Ada kawan yang marah. Eeeh, setelah heboh luar biasa, yang lahir justeru Partai Aceh,” ungkap Sofyan Da-wood, tersenyum.***

“Hendaknya kami dari Bahasa Alas, Kluet, Aneuek Jame, Aceh Tamiang, Simeulue dan Singkil jangan dianak-tirikan,” begitu sepenggal kalimat pembuka yang diucapkan Drs. Aminuddin, M. Kes dari atas mimbar utama, ruang Rapat Sidang Paripurna Empat Rancangan Qanun Aceh yang diparipurnakan sejak, 30 Oktober sampai 2 November 2012, pekan lalu. Salah satunya Raqan Lembaga Wali Nanggroe.

Bila ada rancangan qanun yang berpredikat grand qanun, maka qanun Wali Nanggroe ini membedakan Aceh dengan wilayah lainnya di republik ini. Bentuk anatomi Pemerintah Aceh akan semakin spesifik, kita bukan kerajaan tapi mempunyai jabatan setara yang di pertuan agung, seperti di Malaysia tentu hal ini dapat menjadi kebanggaan Aceh ke depan.

Pada bagian lain dari tampilan

qanun Wali Nanggroe ini adalah, dapat dijadikan simbul kejayaan masa lalu. Dan kini, tentu peluang pada Aceh sendiri untuk dikenal di seluruh nusantara dan secepatnya akan mendunia sudah terbuka lebar. Tinggal bagaimana kita memoles lembaga Wali Nanggroe sebagai lembaga yang berwibawa, disayang, disanjung, dicintai sekaligus dihormati.

Terhadap rancangan qanun ini, Fraksi Partai Golkar setelah membaca secara keseluruhan rancangannya, maka perlu dipertimbangkan kembali beberapa hal sebagai berikut :

Pada pasal dan ayat yang berkenaan dengan persyaratan pada semua tingkatan struktural dengan kekhususan dapat berbahasa Aceh dengan fasih dan baik. Bila saja berbahasa Aceh merupakan persyaratan mutlak, maka perlu diperjelas bahasa Aceh yang mana? Sebab Bahasa Aceh terdiri dari Bahasa Aceh pesisir, Gayo, Alas, Singkil, Aneuk Jame dan Simeulue, semuanya adalah bahasa Aceh.

Jadi, untuk tidak menjadi jerat permanen bagi calon Wali Nanggroe atau calon turunan struktural lainnya, maka kalimat dapat berbahasa Aceh harus dicantumkan juga bahasa etnis dalam lingkup Aceh.

Hal lain yang menurut kami perlu disempurnakan yaitu persyaratan beriman dan bertaqwa. Perlu ditambahkan kalimat mampu membaca alqur’an dengan baik dan benar.

Pada bagian lain perlu juga dipertimbangkan bahwa pertanda kita masih bagian integral dari Republik Indonesia, maka persyaratan menjadi Wali Nanggroe dan turunannya perlu ditambah yaitu mampu berbahasa Indonesia dengan baik dan benar.***

Inilah Pendapat Akhir Fraksi di DPRAFraksi Golkar Disampaikan Drs. Aminuddin M. Kes.

Fraksi PPP-PKS menyampaikan beberapa saran dan pendapat, diantaranya wajib mampu baca Alquran. Wajib dan mampu versi Fraksi PPP-PKS, diuji sebagaimana layaknya, dilakukan kepada calon kepala daerah dan legislatif Aceh.

Difinisi Aceh dalam pasal 1 ke-tentuan umum, diminta agar men-gacu kepada difinisi Aceh sesuai dengan subtansi yang terkandung dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh.

Pada pasal 70 rancangan qanun disebutkan, pimpinan ada anggota pemilihan Wali Nanggroe ditetap-kan dengan keputusan Wali Nang-groe. Hal ini sangat tidak mungkin dilaksanakan, mengingat untuk saat ini lembaga Wali Nanggroe belum terbentuk. Untuk itu, Fraksi PPP-PKS mengusulkan agar untuk pertama sekali, pimpinan dan anggota pe-milihan Wali Nanggroe ditetapkan dengan keputusan DPRA.

Dalam rancangan qanun ini disyaratkan bahwa, setiap calon Wali Nanggroe dan struktur jabatan lain dibawah Lembaga Wali Nang-groe, wajib mampu dan fasih berba-hasa Aceh. Sebagaimana diketahui, bahwa keberagaman bahasa yang ada, tumbuh dan berkembang di Aceh telah menyebabkan banyakn-ya bahasa yang ada di Aceh.

Yang menjadi pertanyaan, ke-mampuan dan fasih bahasa Aceh bagi setiap calon Wali Nanggroe dan struktur jabatan dibawah Lem-baga Wali Nanggroe, harus diten-tukan bahasa Aceh yang mana akan

Fraksi PPP-PKS Disampaikan Drs. H Anwar Idris

digunakan?Dalam rancangan qanun ini telah

diatur mengenai penyebutan kehor-matan terhadap Wali Nanggroe den-gan sebutan “Paduka Yang Mulia.” Sementara subtansi qanun ini, belum mengatur penyebutan kehormatan terhadap pendamping Wali Nang-groe atau istrinya.

Dalam rancangan qanun ini, pasal 130 menyebutkan kedudukan keuangan Lembaga Wali Nanggroe. Menurut pemahaman kami, sistem pengaturan kedudukan keuangan ini bertentangan dengan sistem akun-tansi dan penata laksanaan keuangan daerah. Karena itu, Fraksi PPP-PKS menyarankan agar penetapan regu-lasi mengenai kedudukan keuangan tetap mengacu pada ketentuan pera-turan perundang-undangan yang berlaku.***

n HUMAS DPRA

n HUMAS DPRA

Page 8: Wali Nanggroe Untuk Aceh Bukan PA

8 EDISI 5 - 11 NOVEMBER 2012

Fraksi Partai Aceh (F-PA) ber-pendapat. Setelah mencermati Rancangan Qanun Aceh Tentang Lembaga Wali Nanggroe, kami men-gusulkan agar dilakukan penamba-han pada Majelis Khazanah Lembaga Wali Nanggroe yaitu: Bidang Langet dan Bidang Laot dan Pulo.***

Fraksi Partai Aceh Disampaikan Tgk. M. Harun, S.Sos

Fraksi Partai Demokrat mengu-sulkan tiga syarat bagi calon Wali Nanggroe: tidak pernah melakukan perbuatan tercela, mampu membaca Alquran dengan tartil; dan mampu menjadi Imam dan Khatib pada Shalat Jumat.

Qanun Aceh tentang Lembaga Wali Nanggroe merupakan salah satu Qanun perioritas yang telah dimas-ukkan ke dalam Prolega tahun 2012. Sesuai amanah Undang-Undang No. 11 tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh.

Qanun ini sudah harus disahkan pada dua atau tiga tahun yang lalu. Namun karena substansi permasala-han yang dikandung oleh qanun itu sangat kompleks, maka baru dalam masa persidangan ini qanun tersebut dapat dibahas untuk disahkan.

Pada dasarnya, F-PD sangat sependapat dengan draft hasil ran-cangan Pansus I. Namun, setelah dic-ermati kembali draft qanun maupun pendapat Gubernur Aceh terhadap rancangan qanun tersebut beserta jawaban Pansus I terhadap pendapat gubernur, masih ada beberapa hal yang ingin disampaikankan pada si-dang paripurna pendapat akhir fraksi DPR Aceh, hal ini untuk melengkapi dan mengoreksi draft tersebut.

Mengenai pengertian Aceh dalam Bab I Pasal 1 angka (1) Ketentuan Umum, F-PD sepakat dengan pendapat Guber-nur Aceh, yaitu disesuaikan kembali dengan defenisi Aceh yang tercantum dalam Undang-undang No. 11 tentang Pemerintahan Aceh.

Kedua, soal usulan Gubernur Aceh untuk menghapus angka (13), angka (14), dan angka (18) dalam Pasal 1, yang ternyata juga disetujui oleh Pansus I DPRA tahun 2012, Fraksi Partai Demokrat juga dapat menyepakatinya.

Lalu, mengenai Pasal 5 ayat (3) F-PD tidak sepakat dengan rumusan draft Ran-cangan Qanun Aceh tentang Lembaga Wali Nanggroe yang telah disiapkan Pansus I DPRA tahun 2012 ataupun den-gan rumusan seperti yang diusulkan Gu-bernur Aceh. Untuk itu, terhadap Pasal 5 ayat (3) Fraksi Partai Demokrat (F-PD) mengusulkan rumusan sebagai berikut : “Anggota Majelis Tuha Peuet Wali Nang-groe sebagaimana dimaksud pada ayat (2), secara berimbang dan proporsional, haruslah orang-orang yang memiliki ker-iteria sebagai berikut: Orang-orang yang Ahli Tauhid; Orang-orang yang Ahli Fi-qih; Orang-orang yang Ahli Tasawuf; dan Orang-orang yang Ahli Mantik”.

Kemudian, saran Gubernur yang juga telah disetujui Pansus I DPRA pada Pasal 16 ayat (1) huruf (a) yaitu Kepala Sekt-retariat dan/atau nama lainnya diganti dengan istilah “Katibul Wali”, dapat me-nyepakatinya.

Khusus mengenai istilah laqab atau gelar ‘Al Mukarram Maulana Al Mudabir Al Malik’ yang tercantum dalam Pasal 17 ayat (2), F-PD mengusulkan untuk dise-butkan arti dari laqab tersebut, sehingga masyarakat yang membaca qanun ini akan dapat memahaminya.

Selanjutnya, mengenai saran-saran lainnya dari saudara Gubernur Aceh yang telah disetujui oleh Pansus I DPRA seperti pada Pasal 17 ayat (3); Pasal 20 ayat (3); Pasal 22 ayat (2); Pasal 28 ayat (1) dan ayat (2), semuanya dapat sepakati.

Frasa mengurus dan melindungi dalam Pasal 29 huruf (g) kami usulkan untuk diganti menjadi frasa mengawasi pengelolaan sehingga ketentuan terse-but lengkapnya berbunyi sebagai beri-kut: “mengawasi pengelolaan khazanah Aceh di dalam dan di luar Aceh”; de-

mikian pula dengan Pasal 30 huruf (j), Frasa pengurusan dan perlindungan diganti menjadi frasa pengawasan pen-gelolaan sehingga lengkapnya berbunyi sebagai berikut : “penyelenggaran pen-gawasan pengelolaan khazanah Aceh di dalam dan di luar Aceh”.

Frasa pengelolaan dan perlindun-gan dalam Pasal 32 huruf (e) F-PD men-gusulkan untuk diganti menjadi frasa pengawasan pengelolaan, sehingga ke-tentuan tersebut lengkapnya berbunyi sebagai berikut: “menyiapkan bahan kebijakan dalam hal pengawasan pen-gelolaan khazanah Aceh di dalam dan di luar Aceh”; demikian juga dengan Pasal 33 huruf (e), Frasa pengelolaan dan perlindungan juga diganti menjadi frasa pengawasan pengelolaan sehingga leng-kapnya berbunyi sebagai berikut : “pe-nyiapan bahan kebijakan dalam hal pen-gawasan pengelolaan khazanah Aceh di dalam dan di luar Aceh”; selanjutnya Pasal 34 huruf (e) Frasa pengelolaan dan perlindungan pun diganti menjadi frasa pengawasan pengelolaan sehingga lengkapnya berbunyi sebagai berikut : “mempesiapkan bahan kebijakan dalam hal pengawasan pengelolaan khazanah Aceh di dalam dan di luar Aceh”;

Mengenai persyaratan Calon Wali Nanggroe dalam BAB V Bagian Ke-satu Paragraf 1 Pasal 69, Fraksi Partai Demokrat mengusulkan untuk menam-bah tiga huruf setelah huruf j, yaitu hu-ruf k; l; dan m, sebagai berikut: k. tidak pernah melakukan perbuatan tercela; l. mampu membaca Kitab Suci Alquran dengan tartil; dan m. mampu menjadi Imam dan Khatib pada Shalat Jumat.

Demikian pula mengenai persyaratan calon Waliyul’ahdi dalam BAB V Bagian Kedua Paragraf 1 Pasal 72,F-PD mengu-sulkan untuk menambah tiga huruf sete-lah huruf j, yaitu huruf k; l; dan m, seba-gai berikut: k. tidak pernah melakukan perbuatan tercela; l. mampu membaca Kitab Suci Alquran dengan tartil; dan m. mampu menjadi Imam dan Khatib pada Shalat Jumat.

Mengenai persyaratan calon Anggota Majelis Tuha Peuet, Majelis Fatwa, dan Majelis Tuha Lapan di dalam BAB V Ba-gian Ketiga; Keempat; dan Kelima; Para-graf 1 Pasal 75; 78; dan 81, masing-mas-ing F-PD mengusulkan untuk menambah

Fraksi Partai Demokrat Disampaikan Jamaluddin T. Muku

tiga-tiga huruf setelah huruf j, yaitu hu-ruf k; l; dan m, sebagai berikut: k. tidak pernah melakukan perbuatan tercela; l. mampu membaca Kitab Suci Alquran dengan tartil; dan m. mampu menjadi Imam dan Khatib pada Shalat Jumat

Terkait usulan itu terhadap penam-bahan persyaratan calon Wali Nang-groe, calon Waliyul’ahdi dan calon Anggota Majelis Tuha Peuet, Majelis Fatwa, dan Majelis Tuha Lapan, seba-gaimana seorang calon Gubernur dan calon Anggota DPRA, DPRA, Bupati dan Walikota yang diuji kemampuan membaca Alquran dengan baik. Selan-jutnya hal ini juga sesuai dengan pasal 3 huruf (b) yaitu tujuan pembentukan Lembaga Wali Nanggroe adalah men-inggikan Dinul Islam. Menyangkut bunyi rujukan Pasal 104 ayat (2) yang diusulkan oleh Gubernur dan sudah disetujui oleh Pansus I DPRA tahun 2012, F-PD dapat menyepakatinya.***

n D

OK

n H

UM

AS

DP

RA

Page 9: Wali Nanggroe Untuk Aceh Bukan PA

9EDISI 5 - 11 NOVEMBER 2012

Fraksi Partai Demokrat mengusulkan syarat baca Alquran bagi Wali Nang-groe. Pendapat Anda?

Jadi begini, semua itu memerlukan pengertian dari tiga fraksi. Tadi sudah kami beri pengertian dan mereka sudah menerimanya.Apa isi pengertian itu?

Alasan-alasan yang tidak kita can-tumkan yaitu, mampu membaca Quran bagi Wali Nanggroe.Alasannya?

Wali itu orang terhormat, yang dim-uliakan dan lebih tinggi. Tidak mung-kin kita buat sayembara Wali tes baca

Usai rapat Badan Musyawarah (Banmus) DPR Aceh, media ini meminta pendapat singkat kepada tiga anggota DPR Aceh. Mereka adalah, Ketua Fraksi Partai Aceh (F-PA) Tgk. M. Harun, S.Sos, Ketua Pansus I Raqan Wali Nanggroe Tgk. Ramli Sulaiman dan Bendahara Fraksi Partai Demokrat Jamaluddin T Muku. Berikut wawancaranya dengan Juli Saidi di DPR Aceh, Jumat pekan lalu.

Terkait persyaratan baca Alquran yang diusulkan Frak-si Partai Demokrat. Pendapat Anda?

Untuk Wali Nanggroe tidak diakomodir.Kenapa?

Karena orang yang dipilih Wali Nanggroe itu memang su-dah muktamar, mereka tidak bisa disamakan dengan seka-rang, kalau istilah sekarang harus bisa baca Alquran.Maksudnya?

Kalau dalam istilah rakyat Aceh, Wali Nanggroe itu orang yang menguasai ilmu, baik ilmu dunia maupun ilmu akhi-rat. Jadi tidak perlu lagi kita tes

Untuk Wali Nanggroe Tak Diakomodir

Quran. Itu suatu penghinaan bagi orang yang ingin kita naikkan untuk pemimpin.Kenapa?

Jika tidak bisa ngaji pakiban hi? (bagaimana jadinya---red). Padahal, se-mua kita sudah memikirkan sebelum naik ke situ.Jadi, syarat baca Alquran tidak dimas-ukkan?

Tidak dimasukkan, begitu juga dibawahnya.Soal bahasa?

Sudah sepakat ini bukan etnik, ba-hasa di Aceh harus kita buat bahasa yang besar dan mana yang mayoritas? Yang

Perlu Pengertian Tiga Fraksi

dikenal di dunia yang mana?.Bagaimana dengan bahasa Jamee, Gayo dan Alas?

Sah-sah saja, asal cukup syarat pandai bahasa Aceh. Tahu ilmu-ilmu dan kreteria, bukan berarti dilarang.Jadi, apa bahasa yang sebenarnya?

Bahasa yang kita bicarakan seka-rang (bahasa Aceh---red)Bagaimana dengan nama istri Wali Nanggroe?

Soal nama itu kecil sekali, karena itu kita mengikuti resam yang menen-tukan.***

Ketua Pansus I DPR Aceh, Tgk. Ramli Sulaiman

Ketua Fraksi PA Tgk. M. Harun

Fraksi Partai Demokrat men-gusulkan syarat bagi Wali Nanggroe bisa baca Alquran. Alasannya?

Kami kira ini normatif dan wajar.Kenapa?

Karena, semua level kepemimpinan di Aceh di-wajibkan baca Quran. Mulai dari keuchik hingga Gubernur dan Wakil Gubernur. Ingat ya, kita ini berlaku syariat Islam. Bahkan, dalam visi dan misi Gubernur Aceh saat ini, lebih mendalam lagi, Dinul Islam.Apakah usulan itu diterima?

Tidak, sudah bebas se-mua. Artinya, usulan kami di-tolak dan syarat baca Alquran ditiadakan.

Kenapa ditolak?Karena kami sedikit, mere-

ka banyak.Apa pertimbangan Fraksi Par-tai Demokrat mengusulkan syarat baca Alquran?

Pelaksanaan Syariat Islam secara kaffah dan Undang-Un-dang Nomor: 11 Tahun 2006.Lalu?

Aceh juga daerah istimewa, daerah syariat Islam, jadi provin-si itu harus menguasai dan men-jalankan secara benar.Apa kaitannya?

Baca Alquran itu juga salah satu syarat. Saya pikir ini ber-laku semua pemimpin, sampai kepala desa tes baca Alquran.Anda kecewa?

Tidak, ini demokrasi. Bagi

Biarlah Rakyat MenilaiJurubicara Fraksi Partai Demokrat Drs. Jamaluddin T Muku

baca Alquran. Mungkin akan ditertawakan orang kalau ting-kat Wali Negara diperlukan tes baca Alquran.Apa tolak ukur Wali Nanggroe itu serba bisa?

Saya rasa Wali Nanggroe itu orang bisa mempersatukan ummat, terutama sekali bisa membawa rakyat Aceh dari du-nia sampai akhirat.Bagaimana terkait bahasa?

Semua bahasa yang ada di Aceh, itulah namanya kekayaan bahasa Aceh. Ada bahasa Ta-miang, Simeulue, Gayo, Jamee dan Alas. Semua kita akomodir dan itulah Bahasa Aceh.***

kami Fraksi Partai Demokrat paham betul dengan situasi yang ada.Kalau begitu, mengapa Anda usulkan?

Kami juga menampung aspirasi dari masyarakat, khu-susnya pesantren dan ulama. Karena itulah kami suarakan. Kalau kemudian ditolak, sepe-nuhnya kami serahkan kepa-da rakyat untuk menilainya.Tapi kader PA mengatakan Wali Nanggroe itu orang yang dimuliakan?

Bagi saya semua manusia itu ada sifat baharu, manusia tidak maksum. Kita ini bukan wakil Nabi. Semua manusia minta dimuliakan.***

n D

OK

Page 10: Wali Nanggroe Untuk Aceh Bukan PA

10 EDISI 5 - 11 NOVEMBER 2012

n HUMAS DPRA

n M

OD

US

AC

EH

/Mas

rizal

n Laporan Juli Saidi

ENGGUNAKAN alat pengeras suara, ka-ta-kata Ketua Panitia Khusus (Pansus I), Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA)

Tgk. Ramli Sulaiman, terdengar begitu jelas saat menyampaikan laporan.

“Kami persilahkan juru-bicara Pansus Lembaga Wali Nanggroe (WN) membacakan laporannya,” ucap Amir Helmi, pimpinan rapat Sidang Paripur-na Empat Rancangan Qanun, Se-lasa 30 Oktober lalu di Gedung Utama DPR Aceh, Jalan Tengku Daud Beureueh, Banda Aceh.

Saat itu juga, Tgk. Ramli Sulaiman menyampaikan lapo-rannya. Anggota DPRA dari Fraksi Partai Aceh (PA) ini menguraikan. Lembaga Wali Nanggroe merupakan lembaga baru dalam sistem Pemerinta-han Rakyat Aceh. Itu sebabnya, lembaga kepemimpinan adat

ini kata Tgk. Ramli Sulaiman, kedudukannya lebih tinggi dari lembaga eksekutif dan leg-islatif. “Kedudukannya lebih tinggi dari lembaga eksekutif dan legislatif,” baca Tgk. Ramli Sulaiman.

Pembentukan lembaga WN papar Tgk Ramli, merujuk pada point 1.1.7 MoU Helsinki yang ditanda tangani, 15 Agustus 2005 silam di Finlandia. Selain MoU, Pansus I DPR Aceh men-gaku, lembaga itu berpedoman pada tradisi sejarah Aceh.

Diuraikan, pada masa ke-sultanan Aceh, pemerintahan dikenal dengan sistem kesul-tanan. Namun, pembentukan lembaga WN versi Pansus I DPR Aceh saat ini, berpedoman pada konteks kekinian. Karena itu, untuk jabatan Wali Nang-groe tak merujuk pada silsilah keturunan.

Sumber media ini di DPR Aceh mengaku, pembentukan lembaga WN melalui qanun Aceh tidak konsisten. Sebab, jika Pansus I DPR Aceh mengacu

n Lembaga Wali Nanggroe

Isyarat Dini Pemerintah Bayangan?

pada kekinian, maka sejarah Wali Nanggroe berpedoman pada tahun 1976. Artinya, Wali Nanggroe pertama adalah al-marhum Hasan di Tiro.

Kemudian, dalam lembaga adat ini, Wali Nanggroe mem-punyai 12 tugas, salah satunya mengukuhkan parlemen dan

kepala Pemerintah Aceh secara adat dan menyampaikan sa-ran dan pertimbangan kepada pemerintah.

Untuk memperkuat lem-baga itu, dewan juga mengatur susunan kelembagaan lainnya. Misal, Waliyul’ahdi, Majelis Tinggi, Majelis Fungsional dan Majelis/Lembaga Struktural. Majelis tinggi dimaksud adalah Majelis Tuha Peuet, Majelis Fat-wa dan Majelis Tuha Lapan.

Agar lembaga itu lengkap, dewan bersepakat mengatur tentang majelis fungsional yang terdiri dari Majelis Ulama Nang-groe Aceh (MUNA), Majelis Adat Aceh (MAA), Majelis Pen-didikan (MPA), Majelis Ekonomi Aceh, Majelis Baitul Mal Aceh, Bentara, Majelis Hutan Aceh, Majelis Khazanah dan Kekayaan Aceh, Majelis Pertambangan dan Energi, Majelis Kesejahter-aan Sosial dan Kesehatan serta Majelis Perempuan.

Banyak majelis di dalam lembaga WN itu, menurut sum-ber media ini lebih untuk mem-bagikan kekuasaan. Alasannya, beberapa majelis pada prin-sipnya tidak diperlukan lagi.

Sebut saja Majelis Ulama Nang-groe Aceh (MUNA), tentu sudah ada Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh,

Entah itu pula alasan-nya, mantan kader Partai Aceh Basyaruddin alias Abu Sara mengungkapkan. Tujuan pem-bentukan lembaga WN itu sebe-narnya untuk membesarkan PA saja. Kata dia, PA tidak mau ke-menangan yang diperoleh saat ini akan sirna di masa menda-tang. “Sebenarnya untuk mem-besarkan Partai Aceh saja,” kri-tik Abu Sara, yang juga mantan Wakil Ketua MUNA Aceh Besar.

Makanya, mantan DPR Kota Banda Aceh itu menyarankan, politik balas jasa yang kini se-dang dimainkan Partai Aceh, sebaiknya tidak menggunakan uang rakyat. “Kalau ingin mem-balas jasa, jangan gunakan uang rakyat-lah,” kata Basyaruddin.

Begitupun, pada Sidang Paripurna Jumat pekan lalu, em-pat fraksi di DPR Aceh bersepa-kat mengesahkan rancangan qanun lembaga Wali Nanggroe-menjadi Qanun Aceh. Walau sempat bergulir adanya syarat baca Qur’an, dalam perjalanan-nya tetap tak mendapat per-setujuan dari Fraksi PA. “Kami kalah, mereka lebih banyak. Begitupun, rakyat bisa menilai apa yang telah kami lakukan terhadap qanun ini,” ungkap Jamaluddin T. Muku, jurubicara Fraksi Partai Demokrat di DPR Aceh.

Selain Qanun Lembaga Wali Nanggroe, DPR Aceh juga mengesahkan rancangan qanun Aceh tentang perkebunan, Ran-cangan Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) Aceh, dan raqan dana abadi pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM) Aceh.

Nah, sesuai draft qanun lembaga Wali Nanggroe dis-ebutkan, almarhum Dr. Tengku Hasan Muhammad di Tiro Wali Nanggroe VIII, Waliyul’ahdi pada masa Wali Nanggroe VIII, Dr. Tengku Hasan Muhammad di Tiro sebagaimana dimaksud pada ayat (4) adalah Tengku Malik Mahmud Al-Haytar.

Kemudian, sejak berpu-langnya ke Rahmatullah Wali Nanggroe Dr. Tengku Hasan Muhammad di Tiro, maka Waliyul’ahdi Tengku Malik Mahmud Al-Haytar ditetap-kan sebagai Wali Nanggroe. Masih menurut qanun itu, masa jabatan Wali Nanggroe selama tujuh tahun. Selanjutnya?***

Laporan Panitia Khusus (Pansus) I DPR Aceh menyebutkan, kedudukan Lem-baga Wali Nanggroe lebih tinggi dari eksekutif dan legislatif. Sementara dalam UUPA Nomor: 11/ 2006, lembaga WN merupakan kepemimpinan adat. Isyarat dini menuju pemerintah bayangan?

M

Page 11: Wali Nanggroe Untuk Aceh Bukan PA

11EDISI 5 - 11 NOVEMBER 2012

Bagaimana pendapat Anda ter-kait Qanun Wali Nanggroe?

Prinsip saya yang dise-butkan Wali Nanggroe itu ber-dasarkan tahun 1873, 1976 atau setelah MoU Damai Helsinki.Kenapa begitu?

Sebab, kajiannya tentu ber-beda.Wali Nanggroe atau Wali Neu-gara?

Wali Neugara!Bukan Wali Nanggroe?

Lebih kurang begitu ba-hasanya. Kalau bahasa Aceh “Wali Nanggroe” jika Bahasa Indonesia “Wali Neugara”. Semua bertitik tolak untuk ke-merdekaan Aceh saat perang melawan Belanda. Jika perger-akannya, 4 Desember 1976, bukan berarti dimulai per-ang, tapi kesinambungan dari pergerakan tahun 1873 (saat melawan Belanda). Wafatnya Tengku Ma’at Chik di Tiro (cu-cunya Tengku Chik di Tiro Mu-hammad Saman---red) sebagai Wali Nanggroe, kemudian dis-ambungkan oleh Tgk Hasan di Tiro. Itu berarti, kalau kita dibi-carakan masalah tersebut, den-gan demikian tidak berkaitan dengan yang terjadi hari ini.Dimana perbedaannya?

Kalau berdasarkan 1873 dan saat Belanda masuk ke Aceh, maka Wali Neugara itu ada pada Tengku Chik Tiro Mu-hammad Saman. Dari sanalah awal adanya Wali Nanggroe. Jika berpedoman kepada 1976, maka Tgk Hasan di Tiro dan ahli warisnya yang berhak me-mangku Wali Nanggroe. Tapi, jika sandaranya 15 Agustus 2005, maka siapa saja berhak menjadi Wali Nanggroe. Ter-masuk Malik Mahmud atau Anda juga bisa.Tidak berkaitannya dimana?

Perbedaannya jauh. Karena Wali Nanggroe pada masa itu beda semuanya. Bendera beda,

negara beda, semuanya beda. Kemudian yang digunakan un-dang-undang bukan qanun.Bagaimana dengan saat ini?

Jika dalam pertimbangan MoU Damai, 15 Agustus 2005, maka harus ada Wali Nanggroe di Aceh, seperti yang dituang-kan MoU dan turunannya adalah qanun. Jika tidak dilaksanakan, berarti melanggar MoU. Per-tanyaanya sekarang adalah, apa tugas Wali Nanggroe dan apa tugas pemerintah? Itu saya kira yang harus menjadi pemikiran kita bersama.Bisa jadi mirip dengan Malay-sia dan Jogjakarta?

Jelas beda! Aceh diberi-kan satu keistimewaan dalam undang-undang, tetapi secara nyata, justeru Jogjakarta lebih istimewa dari Aceh. Dimana kelebihannya?

Jogja Gubernurnya sendiri dari Sultan kerajaan, dan itu be-lum berubah sejak zaman dulu hingga kini. Di Malaysia juga begitu. Jadi, kalau kita adopsi dari Jogja dan Malaysia, rancu menurut saya.Di sektor apa rancu?

Malaysia misalnya, ten-tara berada di tangan kerajaan. Makanya disebut Tentara Diraja. Begitu juga di Jogja, Gubernur tidak dipilih. Lalu, bandingkan dengan Aceh. Perbedaannya jauh sekali.

Maka, kalau disebutkan sekarang ada perumusan Qa-nun Wali Nanggroe, pertanyaan saya, apa yang akan dirumus-kan? Saya ada membaca buku YUM MERDEKA (Harga Ke-merdekaan—red) yang ditulis oleh Hasan Tiro. Di sana jelas disebutkan, Wali Nanggroe mempunyai syarat. Pertama, keturunan. Kedua, kebolehan dan bisa menguasai beberapa bahasa, dan kalau di Aceh bisa agama. Buku itu dikarang Hasan Tiro semenjak tahun 1976 sam-

n Sofyan Dawood

WALI NANGGROE UNTUK ACEH BUKAN PA

AMA tak tampil di media, mantan jurubicara Komando Pusat GAM, Sofyan Dawood, akhirnya memenuhi per-mintaan wawancara khusus, terkait pengesahan Raqan Lembaga Wali Nanggroe.

Ditemui MODUS ACEH, Sabtu pekan lalu, mantan kombantan GAM ini masih tetap lantang dan visioner dalam memberi pendapat. Walau mengaku sudah kurang mengikuti perkembangan perpolitikan Aceh, namun ada kesan Sofyan Da-wood masih menguasai berbagai isu sentral. Salah satunya, soal nasib masa depan Qanun Wali Nanggroe. “Jangan pikir untuk sesaat dan kelompok. Pikirlah untuk masa depan Aceh,” begitu tegasnya.

Nah, apa saja pendapat Sofyan Dawood, terkait pengesa-han Raqan Wali Nanggroe? Berikut penuturannya kepada Mu-hammad Saleh dan Masrizal. Ini dia penuturannya.

L

pai tahun 1982 dalam bentuk diarynya. Bahkan disebut disitu, Wali Nanggroe ada semenjak negara perang. Kalau negara sudah merdeka atau aman tidak ada lagi posisi Wali Nanggroe, sudah habis dan diserahkan ke-pada rakyat. Lalu?

Selanjutnya terserah ke-pada rakyat mau apa? Apa mau kerajaan, republik semua terserah kepada rakyat. Karena waktu itu Hasan Tiro menye-butkan, adanya Wali Neugara karena negara dalam keadaan perang. Jadi, tidak nyambung jika pergerakan angkatan ta-hun 1976, disandingkan den-gan 2005. Hubungannya putus. Karena itu, jangan kait-kaitkan. Akui saja bahwa Wali Nanggroe saat ini adalah hasil dari proses yang baru, yaitu 15 Agustus 2005.Jika benar, Anda setuju?

Setuju saja. Siapapun bisa jadi Wali Nanggroe. Sebab itu

milik rakyat Aceh, bukan Partai Aceh (PA) atau Malik Mahmud. Tapi, kalau disebutkan Malik Mahmud berjasa setelah Wali Hasan Tiro wafat, itu sah saja dan nyambung. Sandarannya, setelah MoU Damai, bukan 1873 atau 1976, ingat itu!Anda sendiri menilai, pantas-kah Malik Mahmud dijadikan Wali Nanggroe?

Saya kira pantas karena beliau tahu masalah Aceh dan sebagainya. Tapi, ingat, Qanun Wali Nanggroe yang dibuat saat ini, harusnya bukan untuk Malik Mahmud, untuk Aceh ke depan. Untuk rakyat Aceh masa datang.Kenapa?

Kembali lagi apa yang di-katakan Wali Negara, Hasan Tiro saat itu. Menurut beliau, Wali Nangroe Aceh adalah ke-turunan ulama dan sebagainya. Banyak kemampuan yang ha-rus dimiliki. Lalu, kenapa Hasan Tiro dijadikan Wali Nanggroe? Dia adalah cucu dari seorang

ulama. Dan, Sultan Tengku Mu-hammad Saman Chik di Tiro itu salah satu panglima perang yang juga ulama.

Nah, kalau sekarang yang mengangkat Wali Nanggroe itu siapa? Nggak mungkin anak-anak jadi Wali Nanggroe. Jadi harus ada seseorang yang memposisikan seorang diri jadi Wali Nanggroe. Dan, itu dipilih oleh salah satu unsurnya adalah ulama.Kalau hari ini dipilih DPRA?

Ya, karena DPRA itu wakil rakyat? Seharusnya, mereka melibatkan beberapa elemen masyarakat secara terbuka. Se-bab, dari DPRA saja tidak cu-kup. Alasannya, karena Wali Nanggroe sebagai simbol adat dan semua kekhasan Aceh, bu-kan khas Indonesia.Kalau begitu kreteria dan syarat yang dibuat DPRA men-dua?

Mungkin. Makanya, jika diambil setelah MoU lebih ba-gus, biar ada perubahan. Arti-nya, posisi Malik Mahmud bisa masuk. Silakan ambil setelah MoU. Tapi, jika diambil sebe-lum MoU, pasti bermasalah. Sebab, belum tentu masyarakat Aceh dan ulama bisa menerima. Masih banyak keturunan Sultan Aceh belum kita ketahui. Belum lagi masalah lambang, logo, dan nama itukan ada perbedaan dari dulu dengan sekarang.

Jadi dibedakan dari 15 Agustus 2005, 1976 dengan ta-hun 1873. Sebab, bedanya jauh. Maka kalau mau dibahas soal Wali Nanggroe, apanya yang akan dibahas?Kalau menurut Anda, bentukan Wali Nanggroe saat ini seperti apa?

Saya kira pembentukan Lembaga Wali Nanggroe) itu wajar-wajar saja, asalkan dibuat dan rumuskan sesuai dengan undang-undang negara ini. Dan,

n MODUS ACEH/Masrizal

n MODUS ACEH/Masrizal

Page 12: Wali Nanggroe Untuk Aceh Bukan PA

12 EDISI 5 - 11 NOVEMBER 2012

semua telah mengaku Aceh bagian dari Wilayah Republik Indonesia dalam MoU. Telah menerima otonomi khusus, ya wajar saja bila dibahas oleh DPRA. Tapi, masalahnya, su-dahkah sepaham dengan DPR RI atau pusat. Dan, bagaimana dan masyarakat Aceh? Ini ha-rus disesuaikan. Maka, pemba-hasan Wali Nanggroe itu bukan dilakukan oleh semua orang. Kalau tidak mengerti sejarah dan substansi. Bukan dengan anak-anak yang tidak mengerti masalah walaupun mereka itu anggota dewan.

Wali Naggroe ini persoalan Aceh bukan masalah antar DPRA atau beberapa orang. Katakan-lah saat ini qanun tersebut ma-sih sesuai, bagaimana dengan berapa tahun mendatang, apa masih bisa terjangkau? Apakah lembaga itu untuk sementara atau selamanya? Kalau untuk selamanya, menurut saya jan-gan terburu-buru, harus pelan-pelan.Ada keinginan untuk Malik Mahmud?

Saya kira prosedurnya salah. Berarti Lembaga Wali Nanggroe saat ini dibuat hanya untuk Malik Mahmud bukan un-tuk masa depan Aceh. Jika Malik Mahmud suatu saat berhalan-gan tetap, siapa yang jalankan? Ok untuk sementara beliau dija-dikan Wali Nanggroe dan diteri-ma. Kalau dia tidak ada lagi, sia-pa yang nyambung? Apa harus dirombak lagi qanun itu? Inikan lucu. Harusnya yang diimbangi dengan visi masa depan Aceh, bukan sesaat dan personal.

Jadi menurut saya harus ditegaskan, bagaimana cara pemilihan calon, pengangka-tan. Dan, jika Wali Nanggroe melakukan kesalahan, apakah dia bebas dari kesalahan dan tak bisa dihukum? Ada kesan PA terlalu memak-sakan diri untuk meramu dan memilih figur Wali Nanggroe. Pendapat Anda?

Itulah yang jadi soal. Menu-rut saya belum terlalu mende-sak membahas hal tersebut. Karena PA bukan satu wadah yang permanen sampai 10 atau 20 tahun ke depan. Semua bisa berubah, bisa hilang dan bisa apapun. Tapi kalau Aceh hilang. Nah, ini yang harus kita dipikir-kan bersama.

Kalau kemudian Jakarta menginginkan harus begini dan begitu, bisa atau tidak mer-eka (PA---red) diterima. Sebab Aceh ini terdiri dari beberapa suku. Jangan sampai gara-gara Qanun Wali Nanggroe, kita habis energi untuk membahas Ala-Abas atau apa pun itu. Co-balah berpandang luas. Bagaimana dengan anggaran yang bersumber dari APBA?

Itu jelas sudah mengu-rangi hak rakyat yang mayori-tas. Karena itu, apa yang harus dilakukan Gubernur Aceh? Ini yang harus kita pikirkan dari sekarang. Sumber dananya dari mana? APBN atau APBA. Kalau APBN bagaimana cara melobin-ya. Jika APBA sampai kapan kita sanggup membantunya.

Hari ini yang harus dipikir-kan persoalan anggaran. Bera-pa triliun anggaran Aceh habis karena kebijakkan-kebijakan

seperti itu. Sedangkan pem-bangunan Aceh masih nol. Ma-syarakat masih lapar.

Jika memang kita bercer-min kepada Sultan di Malaysia, dia mempunyai hak sendiri dan itu sudah ada sejak dijajah Ing-gris. Kerajaan mereka belum bubar hingga saat ini. Semen-tara kita, sudah pernah bubar saat dijajah Belanda. Jadi, jan-gan disamakan Wali Nanggroe di Malaysia dengan Aceh. Jauh sekali perbedannya.Baik, apa pendapat Anda ten-tang kriteria yang dibuat Fraksi Partai De-mokrat di DPRA, Wali Nanggroe harus bisa baca alquran dengan fasih?

Inikan wa-jar, jangankan Wali Nanggroe, bupati, guber-nur bahkan geu-chik pun harus begitu, apalagi Wali Nanggroe. Wali Nanggroe itu pimpinan, imam, jadi ha-rus mengerti hal tersebut. Nah, kalau syarat itu diminta untuk di-masukkan oleh Fraksi Demokrat atau yang lain, saya kira itu wa-jar-wajar saja. Karena Aceh memberlakukan syariat Islam. Jadi, ditegaskan harus bisa baca Al-Qur’an, khat-ib, imam shalat, itu hal yang pal-ing kecil. Masih ada agenda lain yang lebih besar dan penting untuk rakyat Aceh.Tapi Fraksi PA menolak untuk memasukkannya?

Ngapain ditolak hal yang kecil. Itu hal yang kecil sekali. Ya, sudah kalau memang itu aturannya, ya dilanjutkan. Menurut Anda, pantaskah Malik Mahmud menjadi Wali nanggroe setelah Hasan Tiro?

Wajar, memang beliau dalam barisan Tengku Hasan di Tiro yang masih ada saat ini. Ka-lau Doto Zaini sudah jadi guber-nur. Jadi, nggak ada lagi orang yang dulu sebarisan dengan Hasan Tiro. Tapi ingat, kalau

sandarannya hasil MoU, 2005.Wali Nanggroe dalam MoU di sebutkan sebagai pemangku adat. Tapi, dalam praktiknya ada struktural?

Saya kira kalau ada aturan-nya, ya diterima saja. Tapi per-syaratannya harus diikuti juga. Dalam sebuah tulisannya, Hasan Tiro tidak menyebut dirinya Wali. Apa benar?

Tidak seperti itu. Yang dia sebut, saya Wali Nanggroe sela-ma negara masih perang. Kalau

negara tidak lagi perang, sudah aman atau merdeka, itu terserah kepada rakyat. Apa yang akan dibentuk oleh rakyat. Itu harus dipelajari. Jadi, Tengku Hasan di Tiro sangat menyerahkan persoalan dan kedaulatan kepa-da rakyat. Apa kemauan rakyat. Tapi dijelaskan, persyaratan Wali Nanggroe ada beberapa hal, termasuk keturunan, ulama, bisa menguasai bahasa, dan bisa diterima rakyat Aceh. Tapi yang diajukan Fraksi Partai De-mokrat soal masalah khatib, itu masalah sangat kecil. Karena itu wajar, tidak usah diperdebat-kan lagi.Ada yang menyebutkan, Hasan Tiro sendiri sangat jarang me-nyebutkan dirinya Paduka Yang Mulia. Pendapat Anda?

Mungkin, karena saya be-

lum mendengar itu. Saya ber-temu beliau hanya berjabat tangan, tidak pernah ngomong langsung. Tapi saya melihat beliau tidak mau disanjung. Itu saja. Misalnya, saat kami ke bandara dan kembali, beliau yang langsung antar. Dia orang-nya tidak mau disanjungkan.

Begitu juga dalam hal makanan, dia tidak pilih-pilih. Bahkan kalau makan beliau yang terakhir bila ada yang be-lum kenyang. Itu menunjukkan

sikap keadi-lan. Jadi, ma-salah sebutan Paduka itu mungkin satu gelar. Tapi kalau dise-butkan seka-rang wajar-wajar saja, diakan (Malik M a h m u d ---red) ada haknya juga.

M e n u r u t Tengku Ram-li, posisi Wali N a n g g r o e untuk Ma-lik Mahmud s e b u a h p e n g h a r -gaan politik. Pandangan Anda?

Itu keliru menurut saya. B a g a i m a n a

dengan orang lain nantinya, apakah bisa disebut sebagai penghargaan politik? Bagaima-na jika ke depan orang lain yang berkuasa, apakah akan di-beri penghargaan juga? Peng-hargaan politik itu menurut saya bukan di situ tempatnya, bukan melibatkan di qanun. Tapi di tempat lain. Kalau penghargaan politik itu pribadi dan kalau penghargaan politik tadi untuk Wali Nanggroe saat ini, ya ru-sak.Masih butuhkah Wali Nang-groe disaat suasana damai seperti ini?

Ini bukan soal penting atau tidak, tapi amanah MoU. Dan, itu harus dibuat. Karena poin-poin dalam MoU harus dilakukan semua. Kalau tidak dijalankan, menjadi salah satu pelanggaran

nantinya.Tapi dari sekian banyak am-anat MoU, apakah sangat pent-ing membicarakan Wali Nang-groe?

Sebenarnya itulah yang harus dibicarakan. Hal-hal yang paling penting dan perlu untuk Aceh. Misal, pengembangan ekonomi dan kesejahteraan ma-syarakat. Masalah pembagian dana Migas saja belum jelas. Nah, berapa serapan anggaran nantinya untuk Wali Nanggroe? Bisa puluhan atau ratusan miliar. Lantas, apa yang harus dilaku-kan?

DPRA jangan semata-mata harus merumuskan anggaran untuk Lembaga Wali Nanggroe dari APBA. Coba cari celah dan bisa masuk dari APBN. Kalau bisa, itu baru hebat!. Kalau yang diandalkan dari APBA, siapa-pun bisa. Karena itu, lembaga Wali Nanggroe terbentuk jan-gan menjadi beban bagi rakyat Aceh. Apa untung untuk rakyat? Bahkan mengurangi hak-hak rakyat. Tapi coba lobi angga-ran dari pusat untuk menambah anggaran Wali Nanggroe per tahunnya. Itu baru hebat.Harapan Anda ?

Aceh sekarang sudah me-masukki tahun ke tujuh paska perdamaian. Salah satu pesan saya adalah, apa yang telah di-lakukan Wali Nanggroe dahulu, harus yang sesuai dengan yang beliau lakukan saat paska MoU Damai. Tujuannya untuk Aceh apa? Semua itu harus tampak dan berjalan.

Kedua, siapa saja yang jadi Wali Nanggroe. Saya bukan sia-pa-siapa. Saya hanya seorang mantan kombatan. Karena kondisi itu, jangan buat rakyat jadi bingung. Apa janji yang sudah dilontarkan ya lakukan-lah. Harapan saya, jangan gara-gara lembaga Wali Nanggroe, masalah menjadi besar bagi rakyat Aceh.

Ketiga, jangan difokuskan anggaran kepada Lembaga Wali Nanggroe dari APBA saja. Sayang rakyat dan itu sangat rugi. Siapapun Wali Nanggroe apakah itu Malik Mahmud atau siapa pun dia, harus dibuat satu peraturan khusus dalam pemili-han, pengangkatan serta harus dilibatkan ulama dalam pemili-hannya. Itu saja.***

Page 13: Wali Nanggroe Untuk Aceh Bukan PA

13EDISI 5 - 11 NOVEMBER 2012

B

n DOK

ITU WALI NANGGROE PA!ASYARUDDIN atau akrab disapa Abu Sara, men-gaku paham betul tujuan dibentuknya Lembaga Wali Nanggroe (WN) saat

ini. Maklum, mantan Wakil Ket-ua Majelis Ulama Nanggroe Aceh (MUNA) Wilayah Aceh Besar ini, merupakan mantan anggota Gera-kan Aceh Merdeka (GAM) di bawah pimpinan Tgk Daud Paneuk.

Menurut Abu Sara, Lembaga Wali Nanggroe yang dimaksud-kan dalam perjuangan GAM da-hulu adalah Wali Negara, bukan Wali Nanggroe. Itu sebabnya, Abu Sara menduga pembentukan Lem-baga Wali Nanggroe bukan untuk kepentingan masyarakat, namun muaranya lebih pada kepentingan Partai Aceh (PA) di masa datang. Selain itu, Lembaga Wali Nang-groe yang ada saat ini, bertujuan untuk bagi-bagi kekuasaan.

Nah, apa saja kata mantan ang-gota DPR Kota Banda Aceh yang telah diberhentikan PA tersebut? Berikut wawancara Juli Saidi dari MODUS Aceh, di Banda Aceh, be-berapa waktu lalu.

Sebagai mantan GAM, apa pendapat Anda soal Lembaga Wali Nanggroe yang kini sedang dibahas di DPRA?

Dalam istilah perjuangan GAM, se-benarnya tidak ada Wali Nanggroe, yang ada Wali Negara.Dalam UUPA ada disebut sebagai pim-pinan lembaga adat?

Ya, tapi sebenarnya Wali Nanggroe itu harus terpisah dari PA, kalau saya amati Lembaga Wali Nanggroe itu tidak terpisah dengan PA.Alasan Anda?

Karena Pemangku Wali Nanggroe itu milik seluruh rakyat Aceh. Tak ada perbedaan suku, bahasa dan agama.Faktanya?

Ya, Pemangku Wali Nanggroe yang diusulkan PA yaitu Malik Mahmud.Bukankah sudah tepat?

Bagi PA benar, tapi belum tentu bagi rakyat Aceh.Alasan Anda?

Coba lakukan jejak pendapat, apa-kah rakyat Aceh sudah sangat membu-tuhkan adanya sosok Wali Nanggroe? Kedua, apakah figur Malek Mahmud su-dah pantas?Kenapa?

Karena PA memposisikan Malek Mahmud hanya tokoh sentral di PA, bu-kan rakyat Aceh.Buktinya?

Malek Mahmud ikut mengkampa-nyekan partai tertentu. Nama dan foto-fotonya hanya di partai tertentu. Pertan-yaanya adalah, Wali Nanggroe Aceh atau hanya milik Partai Aceh? Sebenarnya dia hanya Wali Nanggroe PA, bukan Wali Nanggroe rakyat Aceh.Bukankah melalui Fraksi PA di DPRA sudah memutuskan itu?

Tentu, secara legitimasi politik par-lemen benar. Tapi, legitimasi rakyat se-cara umum, apa sudah setuju? Buktinya, di DPRA masih ada fraksi yang memper-tanyakan banyak hal. Misalnya, soal ke-mampuan baca qur’an dengan fasih dan mampu menjadi khatib shalat Jumat. Ter-

masuk, mahir berbahasa Aceh. Bahasa Aceh itu banyak, ada Gayo, Aneuk Jame, Alas, Melayu Tamiang atau pesisir. Nah, mana yang akan digunakan?Menurut Anda apa tujuan dibentuk Lembaga WN?

Sebenarnya untuk membesarkan Partai Aceh saja. PA tidak mau keme-nangan yang diperoleh saat ini suatu saat kalah dan mereka (pimpinan PA---red) tidak mau orang-orang yang sudah berkuasa kehilangan kekuasaan.Itu saja?

Kalau ingin membalas jasa, jangan gunakan uang rakyat-lah. Apalagi kata Abdullah Saleh, ulama MUNA merupa-kan pendukung perjuangan GAM masa lalu. Sebenarnya dalam MUNA PA itu banyak tengku-tengku muda. Yang ter-libat dalam MUNA PA itu, dulunya pakai celana jeans juga tapi sekarang sudah pakai kain sarung.Maksud Anda?

MUNA yang akan diformalitaskan menjadi perangkat Wali Nanggroe. Sia-pa yang melahirkan, siapa yang mem-programkan, siapa yang merekrut? Itu sebenarnya yang perlu kita pertanya-kan. Jadi, siapa aktor dan sutradaranya? Masyarakat sudah bisa menilai. Makan-ya, setelah GAM dibubarkan oleh Malik Mahmud Cs, Lembaga Wali Nanggroe itu hanya institusi yang disyarakatkan dalam MoU Helsinki. Padahal, itu merupakan sebuah elemen GAM. Perjanjian antara institusi dengan intitusi adalah GAM, itu disebut dalam perdamaian dan kemudi-an dileburkan. Sebenarnya, lahan medan perjuangan mantan GAM dulu. Tapi bagi saya tidak ada istilah mantan, GAM tidak pernah bubar, yang bubar TNA.Kenapa?

Karena perdamaian antara RI den-gan GAM belum selesai, para pihak tidak bisa dileburkan. Kemudian?

Bila GAM itu dibubarkan, PA men-jadi institusi bagi mantan-mantan GAM. PA itu hanya simbolik saja yaitu sebuah

partai politik yang legal. Sebenarnya mereka mau menjadikan sebuah institusi saja. Apakah itu MUNA atau Lembaga Wali Nanggroe, semua itu elemen yang berdiri di bawah institusi PA.Menurut Anda apakah semua itu mer-upakan bentuk dari pemerintah ba-yangan?

Ya, rencana Pansus DPRA mem-bentuk MUNA dalam Lembaga Wali Nanggroe, sama seperti Walikota Lhok-seumawe Suady Yahya membentuk tim pendamping gampong. Makanya, sudah menjadi dualisme dan sangat bahaya.Wawancara media ini dengan Abdullah Saleh mengaku, MUNA dalam Lemba-ga WN bukan MUNA di PA?

Ha...ha....ha. Abdullah Saleh itu bu-kan kader PA. Dia kader PPP yang loncat ke PA. Dia datang sebagai pejuang ke-siangan. Saya baca, bahasanya di media seakan-akan pejuang PA, walau pun dia sekolah hukum, dia harus membayar kebenaran dengan penipuan-penipuan-nya.Contohnya?

Seperti MUNA, katanya bukan MUNA PA tapi MUNA dalam Lembaga Wali Nanggroe. Itu kebohongan publik namanya. Saya mau bertanya kepada Abdullah Saleh, mungkinkah anak anjing melahirkan anak kambing? Dan saya bertanya, siapa yang merekrut MUNA nantinya? Kalau hatinya jujur, kalau per-juangannya ikhlas untuk membangun provinsi ini, kenapa dia tidak bicara den-gan Lillahita’ala. Untuk apa dilahirkan MUNA, kalau bukan untuk wadah politik? Karena MPU tidak bisa dilibatkan dalam wadah politikkan!Apa alasan Anda menyebutkan itu?

Karena saya lihat, ada tiga kelompok yang tidak bisa menyatu dengan pem-impinan GAM.Siapa saja mereka?

Malik Mahmud, Zaini Abdullah, dan satu lagi Zakaria Saman.Kelompok mana yang tidak bisa me-nyatu?

Pertama, ulama-ulama pesantren. Kedua para ahli dari kampus atau akad-emisi. Ketiga, cuwak (mata-mata---red). Bagi mereka, tiga kelompok ini sama, tidak bisa duduk satu meja.Maksud Anda?

Demi Allah, seperti almarhum Prof. Tgk. Muhibbudin Waly. Sebelum be-liau meninggal sempat katakan kepada saya. Pemimpin-pemimpin kita ini sudah zalim, tidak bisa lagi kita jadikan panutan dan ikuti. Dia tambah satu lagi, mereka telah sepakat untuk tidak sepakat yang benar-benar itu benar, itu bahasanya.Tapi almarhum juga MUNA?

Benar, tapi saat pengajian di Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh saya da-tang, tapi beliau mengatakan yang be-nar dan tidak mau digiring untuk kepent-ingan partai atau corong partai.Menurut Anda apa permasalahan ke depan jika Lembaga WN tetap ada?

Pertama, apa hak Wali Nanggroe? Begitu juga majelis dalam lembaga seperti ada MUNA. Jadi apa hak dan kewenangan MPU nantinya? Akhirn-ya, keinginan untuk mempersatukan masyarakat Aceh yang tertumpu pada ulama justeru menjadi pecah. Begitu juga soal anggaran, kalau ingin balas jasa politik jangan untuk kelompok ter-tentu.Maksud Anda?

Pemerintah Aceh saat ini ada dua provinsi yang harus dikelola. Pertama, rakyat Aceh secara keseluruhan. Kedua kelompok mereka sendiri yang sudah terlanjur berjanji pada Pilkada lalu.Terakhir dapat Anda jelaskan sejarah MUNA di PA?

Ide MUNA ini berasal dari Muzakir Manaf atau Mualem. Ketuanya Tgk Ali. Beliau diberi mobil dan anggaran oleh Mualem. Intinya, Mualem berada di garis depan. Lalu, Muzakir Manaf mengeluar-kan instruksi kepada panglima-pangli-ma wilayah untuk membentuk MUNA di wilayah masing-masing.***

n Basyaruddin (Abu Sara)

Page 14: Wali Nanggroe Untuk Aceh Bukan PA

14 HukumEDISI 5 - 11 NOVEMBER 2012

n MODUS ACEH/Hasnul Yunus

n Laporan Hasnul Yunus

T IGA unit kendaraan roda empat terlihat memasuki peka-rangan Pengadilan Negeri Lhoksukon,

Aceh Utara dengan cepat, Kamis pekan lalu.

Penjagaan terlihat cukup ketat. Hampir diseluruh jalan dan persimpangan masuk ke pengadilan, dijaga oleh aparat keamanan. Anggota kepoli-sian setempat yang bertugas mengamankan lokasi hari itu terlihat ekstra sibuk. Maklum, yang hadir ke persidangan itu bukan sembarang orang. Dia adalah Fikram alias Ayah Banta, terdakwa kasus terorisme Aceh yang menewas warga suku Jawa di Aceh.

Dengan langkah cepat, be-berapa pria dengan menyan-dang senjata laras panjang ber-seragam kepolisian lengkap, turun dari kendaraan tersebut. Dibalik penutup wajah, tatapan mata mereka mengawasi den-gan seksama setiap orang yang hadir di sana hari itu.

Salah seorang wartawan yang hadir menyebutkan, aparat yang tertutup wajah itu adalah anggota Detasemen Khu-sus (Densus) 88 Mabes Polri. Tu-gasnya, mengawal kedatangan seorang saksi penting untuk agenda persidangan terdakwa M Jhoni, pada Kamis pekan lalu.

Tanpa menunggu lama, pintu samping Toyota Innova warna hitam berplat BL 558 NA dibuka. Seorang pria menggu-nakan baju tahanan berwarna orange bertulis nomor 25 keluar dari kendaraan dengan tangan terborgol. “Tolong minggir kes-amping,” kata seorang petugas.

Lelaki itu langsung dikawal pihak kepolisian dan memasuki pengadilan. Dia adalah Fikram alias Ayah Banta yang diboyong dari Jakarta untuk memberi kes-aksian pada M. Jhoni yang juga sahabatnya.

Tak seperti sidang sebel-umnya, hari itu setiap pengun-jung yang memasuki gedung pengadilan tersebut diperiksa dengan ketat. Beberapa petu-gas keamanan pengadilan den-gan menggunakan metal de-tector memeriksa satu persatu orang yang datang ke persidan-gan.

Bukan itu saja, mereka juga memotret setiap lembar identi-tas dan tanda pengenal orang-orang yang masuk serta diminta untuk menandatangani daftar kunjungan yang telah disiapkan di meja petugas pengadilan.

Sidang hari itu dimulai seki-ra pukul 10.00 WIB. Persidangan tersebut dipimpin majelis hakim Abdul Azis, SH,M.Hum, (ketua),

didampingi Teuku Almadyan, SH,MH dan Whisnu Suryadi, SH (anggota). Sementara Jaksa Pe-nuntut Umum (JPU) adalah An-toni Mustaqbal, SH dan Dahnir, SH dari Kejaksaan Negeri Lhok-sukon. Sedangkan terdakwa M Jhoni didampingi penasehat hu-kum Faisal Putra, SH.

Sesaat setelah membuka persidangan, majelis hakim memanggil Ayah Banta untuk masuk ke ruang sidang. Dalam kesaksiannya Ayah Banta men-gaku mengenal Jhoni. “Saya kenal sama dia (Jhoni---red) karena dia tim sukses Irwandi dulu,” kata Ayah Banta di depan majelis hakim.

Kemudian, Jaksa Penuntut Umum (JPU) mengajukan per-tanyaan. “Apakah saksi pernah diperiksa di Polda NAD?” Ayah Banta menjawab: tidak pernah. Lalu JPU Dahnir, SH kembali membacakan keterangannya. “Bahwa pada hari Jumat tanggal 15 Juni 2012 pukul 20.00 WIB, penyidik Polda Aceh atas nama Rahmat (…..beberapa kata ter-dengar tidak jelas……) telah memeriksa saksi atas nama Fikram bin Almarhum Hasbi alias Ayah Banta,” kata Dahnir dalam keterangannya.

Lalu, dia mendekati Ayah Banta dan menunjukkan berkas BAP tersebut kepada saksi. Ayah Banta tetap mengatakan bahwa dirinya tidak diperiksa di Polda tetapi di Mabes Polri. “Terhadap apa yang telah sau-dara beri keterangan di BAP ini di Mabes Polri, apakah itu be-nar?” Tanya JPU.

“Kalau saya hubungan dengan Jhoni, saya cuma minta nomor Hp Pak Bukhari,” jawab Ayah Banta. ”Bukan itu dulu Pak, kami perjelas dulu komentar BAP, nanti isi BAP tetap kita baca sama-sama,” jelas JPU.

Dijawab Ayah Banta. “Itu-lah, saya sudah bilang sama Pak Rahmat, saya itu hubungan sama Jhoni saya minta no Hp Pak Bukhari, bilang (kata---red) Pak Rahmat Jhoni sudah mengaku, dia (Jhoni----red) ada bilang begini ada bilang begitu,” kata Ayah Banta menerangkan kem-bali keterangan penyidik waktu itu.

“Yang Bapak berikan di Mabes Polri itu benar atau tidak?” Tanya JPU. “Tidak be-nar,” Jawab Fikram. “Tetapi Bapak membubuhkan tanda tangan?” Tanya Jaksa. ‘Ya” jawabnya singkat.

“Terhadap pembubuhan tanda tangan, itu maksudnya apa? Membenarkan BAP atau apa maksudnya?” Tanya JPU. “Karena sudah ditulis Pak, disu-ruh tanda tangan, saya tanda tangan,” jawab saksi.

“Dibaca sebelum ditanda-tangan?” tanyanya. “Sebagian

dibaca, Pak,” jawab Ayah Banta. “Apa pokok BAP yang bapak berikan di depan penyidik?” tanya JPU lagi. “Saya bilang sama Pak Rahmat bahwa saya hubungan dengan Jhoni hanya minta nomor Hp Pak Bukhari, kemudian Pak Rahmat bilang Jhoninya sudah mengaku be-gini, ini semua yang di BAP, jadi kamu kenapa enggak men-gaku-mengaku?” terangnya mengulang kembali perkataan penyidik ketika itu.

“Bapak, mengatakan men-genal saudara Jhoni itu, sebatas Pilkada yang lalu semasa Irwan-di naik gubernur sebelumnya, sebatas apa pertemanannya dengan Jhoni?” tanya JPU. Ayah Banta mengatakan bahwa Jhoni bukan bawahannya tapi tim pemenangan Irwandi-Nazar un-tuk wilayah Pantonlabu ketika itu.

Tak hanya itu, Ayah Banta juga menerangkan bahwa sebe-lum menjadi Tim Pemenangan Irwandi-Nazar dirinya tidak me-miliki hubungan apa-apa den-gan Jhoni. Dia juga mengaku tidak mengenal Jhoni sebagai kombatan. Tapi dia membenar-kan bahwa Jhoni adalah anggota GAM semasa konflik dulu. Tapi ia mengetahui itu setelah Pilka-da, “Sebelum Pilkada saya tidak tahu,” jawabnya.

Hal lain, Ayah Banta men-gaku tidak ingat lagi proses perkenalannya dengan Jhoni. Dia mengatakan, dirinya pernah beberapa kali bertemu dengan Jhoni. Terakhir ia menjelaskan, dirinya bertemu dengan Jhoni waktu pembuatan stiker pada Pilkada lalu di Banda Aceh.

Ayah Banta mengaku kare-na pernah mendukung Irwandi, dirinya tidak dipakai lagi oleh KPA . “Sama Irwandi juga tidak dipakai,” katanya dipersidan-gan.

Dalam keterangannya ia mengaku ada memberi dana kepada Mayor, terkait dengan

serangkaian aksi penembakan warga suku Jawa, menjelang Pemilukada lalu. Begitu juga dengan logistik dan persen-jataan. Setelah menceritakan hal tersebut, kemudian Hakim Ket-ua Abdul Azis, SH,M.Hum, me-minta JPU untuk memperjelas keterkaitan antara saksi Ayah Banta dengan terdakwa Jhoni.

“Kapan terjadi hubungan komunikasi sehingga menda-patkan tempat persembunyian atau tempat untuk di tampung,” tanya Abdul Aziz. Lalu, JPU ber-tanya kepada Ayah Banta apa-kah dirinya melarikan diri sete-lah kejadian itu. “Setelah tahu bahwa Bapak dicari-cari pihak kepolisian sehubungan dengan tindakan Anda, apa tujuan Ba-pak, apa terus Bapak melarikan diri?” tanya Dahnir.

Dijawab Ayah Banta: Ya. Kemudian JPU menanyakan di-mana Ayah Banta pernah mengi-nap. Dijawab, terakhir di rumah Bukhari. Ayah Banta selanjutnya diminta untuk menceritakan kronologis sehingga ia memilih rumah Bukhari sebagai tempat peristirahatannya.

Diceritakan Ayah Banta, ia datang dari Bireuen dengan menumpang kendaraan umum. Lalu di tengah perjalanannya, dirinya menghubungi Jhoni dan meminta dikirimkan nomor tel-pon seluler Bukhari. Kepada JPU, ia mengaku kenal Bukhari saat Pilkada.

Mengenai alasannya me-milih rumah Bukhari, menurut Ayah Banta karena ia yakin Bukhari tidak mengetahui di-rinya sedang bermasalah atau dicari pihak kepolisian.

Nah, selain itu, menurut JPU, berdasarkan keterangan di BAP menyebutkan, Ayah Banta meminta Jhoni mencarikan tem-pat. “Bukan untuk ke (rumah-red) Bukhari,” jelas Jaksa. Ayah Banta mengatakan, menurut pe-nyidik yang bernama Rahmat ketika ia diperiksa, Jhoni men-

n Sidang Terdakwa M. Jhoni

Saksi Untuk Sahabat

gatakan seperti itu. “Ya udah saya tanda tangan,”. Fikram juga mengatakan bahwa kena-pa dirinya menandatangani.

Berdasarkan keterangan-nya menurut kata Rahmat ke-tika itu terdakwa Jhoni sudah mengatakan semua itu. “Ini si Jhoni yang bilang, kamu tinggal tandatangan saja, ya udah saya tanda tangan,” kata Ayah Banta dipersidangan, menirukan ket-erangan penyidik waktu itu.

Selanjutnya, dalam keter-angannya di pengadilan, saksi Ayah Banta mengatakan dirinya menelpon Jhoni dan meminta nomor telpon seluler Bukhari. “Bukan tempat persembunyian, kalau di BAP tempat persembu-nyian?” tanya JPU. “Saya sama Jhoni minta nomor Pak Bukhari, sama Pak Rahmat itu saya bi-lang,” kata Ayah Banta beru-lang-ulang, menjawab pertan-yaan yang diajukan JPU.

Lalu, JPU mengatakan, pernyataan Ayah Banta su-dah sesuai dengan BAP. Tapi menurut JPU ada sedikit per-bedaan. “ Bapak duluan meng-hubungi Jhoni mencari tempat persembunyian, bukan untuk Hp Bukhari dulu, setelah di iya-kan oleh Jhoni pada Bapak baru dikirim nomor Bukhari” terang JPU panjang lebar. Ayah Banta tetap mengatakan bahwa ia me-minta nomor Hp Bukhari pada terdakwa Jhoni.

Saksi Ayah Banta mengaku tidak tahu ketika JPU menan-yakan apakah anak buah Ayah Banta pernah menceritakan kegiatannya kepada Jhoni. Se-lanjutnya, menurut keterangan Ayah Banta setelah minta nomor Hp Bukhari, ia berangkat den-gan menggunakan ojek menuju rumah, tempat dia kemudian di tangkap pihak kepolisian. Dalam persidangan tersebut, saksi Fikram mengaku banyak lupa dan tidak ingat dengan se-jumlah pertanyaan yang diaju-kan JPU.***

Terdakwa kasus terorisme Ayah Banta dihadirkan ke PN Lhoksukon. Mantan kombantan GAM terse-but, menjadi saksi pada persidangan M Jhoni.

Ayah Banta saat memberikan kesaksian di Pengadilan Negeri Lhoksukon

Page 15: Wali Nanggroe Untuk Aceh Bukan PA

15Politik EDISI 5 - 11 NOVEMBER 2012

Sn Laporan Masrizal

n MODUS ACEH/Masrizal

KIP Aceh menyatakan, tiga partai lokal (Parlok) lolos verifikasi faktual tingkat pusat. Siap bertarung pada Pemilu Legeslatif 2014.

ATU unit mobil Kijang Inova war-na hitam, ber-henti di depan Kantor Partai Nasional Aceh (PNA), yang be-

ralamat Jalan T. Iskandar, Ulee Kareng Banda Aceh, Rabu pagi pekan lalu.

Dari dalam mobil tersebut, keluar lima orang berseragam rapi. Diketahui kemudian, utu-san dari Komisi Independen Pemilihan (KIP) Aceh yang dip-impin Ilham Syahputra.

Hari itu, utusan KIP tersebut akan melakukan verifikasi faktu-al terhadap sejumlah partai lokal (Parlok) di Aceh. Partai Nasional Aceh (PNA) merupakan tujuan utama mereka sebelum bertamu ke Kantor Partai Aceh (PA) dan Kantor Partai Damai Aceh (PDA).

Namun, kedatangan mere-ka ke Kantor PNA hanya dis-ambut beberapa orang yang sedang santai di teras kantor, tanpa ada satupun pengurus inti partai. Sontak, salah seorang dari mereka langsung menel-pon pengurus inti. “Tadi ketua sudah datang sekali, karena jan-ji jam sepuluh. Sekarang beliau sudah pergi ngopi sebentar,” je-las salah seorang kepada Ilham Syahputra yang datang lebih awal dari jadwal yang diren-canakan yakni pukul 10.00 WIB.

Sejurus kemudian, satu per-satu pengurus inti Partai Nasion-al Aceh berdatangan. “Assala-mualaikum,” sapa Irwansyah atau akrab disapa Tgk Mak-salmina kepada rombongan KIP Aceh yang sudah menunggu di

ruang tamu. “Sudah lama,” kata Ketua PNA itu ramah. “Nggak, baru juga,” timpal Ilham. Sua-sana langsung cair ketika semua pengurus inti partai besutan mantan Gubernur Aceh Irwandi Yusuf itu tiba, termasuk dari per-wakilan perempuan.

“Karena kami tamu, jadi alangkah baiknya tuan rumah yang membuka acaranya,” kata Ilham Syahputra kepada Irwan-syah yang mangut-mangut. Tan-pa bantahan, Irwansyah mem-buka acara verifikasi faktual partainya yang dilakukan KIP Aceh. “Kami sangat berterimak-sih KIP Aceh telah datang. Kami sangat berharap dalam verifika-si ini, KIP Aceh netral dan men-erapkan aturan yang baik dalam melakukan verifikasi,” ujar Ir-wansyah dalam pembukaannya yang berlangsung tiga menit itu.

Sementara, KIP Aceh yang diwakili Ilham Syahputra dan Yarwin Adi Dharma menjamin proses ini berjalan dengan baik. “Kami akan membantu teman-teman partai untuk di verifikasi, begitu juga kami juga meminta bantuan dari teman-teman par-tai dalam verifikasi ini agar ber-jalan dengan baik,” kata Ilham di depan pengurus PNA.

Hari itu, kepada PNA di-lakukan uji petik syarat seperti, surat kantor partai, KTA pengu-rus, serta keterwakilan perem-puan dalam partai dengan men-unjukkan KTA atau KTP. “Setelah kita cocokan data-data yang kita punya dengan yang diberikan oleh mereka hampir semua co-cok. Terutama keberadaan kan-tor, kepengurusan, begitupun domisili kantornya juga sama dengan yang mereka berikan kepada kita,” kata Ilham kepada

MODUS ACEH. Jadi pada prin-sipnya, verifikasi terhadap PNA provinsi atau pusat tidak ada masalah. “Karena kami hanya mencocokan data pengurus inti, domisili kantor dan keberadaan kantornya,” ujar ilham.

Begitupun, yang paling penting dipersiapkan oleh partai nasional dan partai lokal provinsi saat diverifikasi lapangan adalah, adanya ke-beradaan pengurus partai di ka-bupaten dan kecamatan ketika KIP Kabupaten/Kota hadir untuk memverifikasi. Sehingga tidak menyulitkan pihak KIP Kabu-paten/Kota pada saat verifikasi. “Nanti apabila tidak ada pengu-rus partai pada saat diverifikasi, maka akan diberitahu kepada DPD atau DPP partai yang ber-sangkutan untuk menghadirkan orang partai yang mau diket-emui ke kantor KIP Kabupaten/Kota setempat,” terang Ilham.

Selain itu, terkait adanya kekhawatiran partai terhadap intimidasi pada saat dilakukan verifikasi oleh KIP Aceh, Ilham menegaskan bahwa KIP Aceh menyerahkan sepenuhnya ke-pada pihak keamanan. “Kalau kami hanya menjalankan kebi-jakan sesuai aturan,” kata Wakil Ketua KIP Aceh itu.

Sementara itu, Ketua Partai Nasional Aceh (PNA), Irwansyah mengatakan pihaknya mengu-capkan terimakasih kepada tim dilapangan yang telah berkerja dengan ikhlas dan partisipasi penuh hingga suksesnya pen-daftaran pertama PNA di Ke-menterian Hukum dan HAM (Ke-menkum HAM) Provinsi Aceh beberapa waktu lalu. Hingga, PNA dinyatakan lulus verifikasi secara administrasi hingga veri-

fikasi faktual oleh KIP Aceh. “Ini satu penghargaan ke-

pada tim dan juga kepada in-stansi pemerintah, lembaga pe-nyelenggara Pemilu (KIP Aceh) serta sesama parlok yang telah mendukung hidupnya ruang demokrasi di Aceh, sehingga tidak membeda-bedakan par-tai lama dengan partai baru,” ujar Irwansyah kepada media ini setelah dilakukan verifikasi faktual oleh KIP Aceh terhadap partainya pada Rabu pekan lalu.

Menurut Irwansyah, pihak-nya akan mengedepankan cara-cara berpolitik santun dan cerdas dalam menampung as-pirasi rakyat ketika partainya dipercaya oleh masyarakat un-tuk mengikuti pesta demokrasi Pemilu Legeslatif 2014. “Den-gan amanat dan kepercayaan masyarakat, Insya Allah, (PNA) akan menjalankan dengan baik dan benar,” janji Irwansyah.

Begitupun terkait verifikasi, PNA telah mempersiapkan ke-tentuan-ketentuan yang ditetap-kan KIP Aceh. “Malah kami dari PNA telah memenuhi sekitar 90 syarat dari ketentuan yang ada,” akunya. Kata dia, dari 23 kabu-paten yang ada di Aceh, PNA telah mempersiapkan pengurus di 21 kabupaten/kota dan siap diverifikasi oleh KIP setempat.

“Sedangkan dari pengurus kecamatan diminta 70 persen, kami siapkan 100 persen. Se-mentara kabupaten/kota yang tidak didaftar hanya Kabupaten Aceh Tamiang dan Kabupaten Aceh Singkil, selebihnya sudah terdaftar,” rincinya.

Selain itu, dalam menga-hadapi pesta demokrasi 2014, PNA juga membuka diri bagi kader-kader terbaik untuk bisa

maju melalui PNA. “PNA sendi-ri sangat terbuka. Ini sebagai himbauan kepada kaum intele-ktual Aceh yang punya kapa-sitas menurut kemampuan dan bidang masing-masing untuk mendaftarkan diri sebagai caleg PNA. Syaratnya, yang bisa men-gelola dan dipercaya dalam menjalankan amanah rakyat,” kata Irwansyah mengajak.

Menurut dia, aturan dalam PNA, pengurus provinsi tidak akan mengintervensi apapun terkait kebijakan yang ditera-pkan pengurus di tingkat dua, baik terhadap pencalonan DPRK maupan DPRA. “Jadi merekalah yang ajukan kepada tingkat dua,”serunya.

Namun, pengurus di provin-si hanya melakukan survei ter-hadap calon yang diajukan. “Apabila calon itu tidak layak, maka akan dilakukan pencore-tan,” tegasnya. Adapun syarat yang ditetapkan PNA terhadap kriteria kader yang akan maju pada pesta demokrasi 2014 dili-hat dari sistim rangking dan ke-tokohan kader itu sendiri. “Itu semua tergantung aturan yang dibuat di tingkat dua sendiri,” terangnya.

Nah, karena itulah partai yang dibidani Irwandi Yusuf ini akan terus melakukan satu gebrakan dan proses pemb-elajaran demokrasi di Aceh. “Kami selalu mengedepankan kepentingan rakyat. Ketika kami mengedepankan kepentingan rakyat, sudah pasti kepentingan partai juga ikut, tapi jika dik-edepankan kepentingan partai maka akan membelakangi ke-inginan rakyat,” kata Irwansyah memberi penjelasan.

Untuk menjaga itu semua, Irwansyah berharap kepada KIP Aceh dan kabupaten/kota, agar menjunjung tinggi azas netrali-tas dalam melakukan verifikasi terhadap partai. Ini dikarena-kan, masih adanya keraguan terhadap lembaga dan penegak hukum terhadap berbagai ke-jadian dan aksi kriminal yang muncul sebelum pemilihan Gu-bernur Aceh lalu.

“Kita bisa melihat sendiri bagaimana pesta demokrasi yang lalu telah dinodai dengan pelangaran-pelangaran. Kenapa hidupnya pelangaran? Karena hukum tidak ditegakkan oleh pihak yang menjalankan hukum yaitu kepolisian,” kata Irwan-syah.

Dia berharap. “Kepada pihak keamanan harus lebih mengutamakan keamanan ke-pada masyarakat. Tegakkanlah aturan-aturan menurut bidang masing-masing di lembaga pemerintah, supaya masyarakat aman dalam beraktifitas seh-ingga tidak terancam oleh ke-mauan-kemauan politik sesaat dan oleh kelompok tertentu,” demikian harapnya.

Sementara itu, KIP Aceh juga telah melakukan hal yang sama terhadap 16 partai poli-tik berbasis nasional (parnas). “Secara keseluruhan verifikasi berjalan lancar, tanpa ada ken-dala signifikan. Hanya saja ada satu dua partai berbasis na-sional yang belum melengkapi persyaratan soal keterwakilan 30 persen perempuan dan be-berapa persyaratan lainnya,” sebut Zainal Abidin SH M Hum, yang juga anggota tim verifikasi KIP Aceh. ***

ATURAN DIJALANKAN NETRALITAS DIHARAP

n Verifikasi Parlok Aceh

Page 16: Wali Nanggroe Untuk Aceh Bukan PA

16 Dibalik BeritaEDISI 5 - 11 NOVEMBER 2012

n LaporanMasrizal

n DOKPenyerahan Pataka.

BISA jadi, inilah nasib paling apes yang di-alami H. Firmandez. Bayangkan, Ketua Kadin Aceh itu, ter-paksa berjalan den-

gan kepala tertunduk, setelah gagal meraih jabatan Ketua Pe-muda Pancasila (PP) Aceh untuk lima tahun mendatang.

Kondisi tersebut, berband-ing terbalik dengan sejumlah perhelatan akbar yang pernah dilalui Firmandez. Pemilik Hotel Sultan Banda Aceh, bisa meraih sukses story. Termasuk menjadi Ketua Umum Pengurus Provinsi Persatuan Olahraga Dayung Se-luruh Indonesia, Aceh, dua peri-ode.

Nah, anggota DPR Aceh itu rupanya harus mengakui ke-unggulan Teuku Juliansyah Dar-win atau akrab disapa Ampon Puteh. Putra almarhum Teuku Darwin (mantan Ketua PP Aceh dan anggota DPRA Fraksi Par-tai Golkar---red) ini, ternyata masih memiliki akar dan basis yang kuat pada Ormas yang la-hir 28 Oktober 1959 tersebut.

Hasilnya, Musyawarah Wilayah (Muswil) VII Pemuda Pancasila Provinsi Aceh yang digelar di Gedung Chik Di Tiro, Banda Aceh, Jumat malam, 19-20 Oktober lalu, sekaligus me-mupuskan keinginan Firmandez untuk menjadi orang nomor satu pada organisasi massa terbesar ini.

“Inilah proses demokrasi. Semua harus dilalui dan diakui dengan jiwa besar,” ucap Dar-wis SH, salah seorang senior PP Aceh, pekan lalu.

Memang, Muswil VII PP Aceh berhasil memunculkan dua kandidat untuk menganti-

Ketua PP Aceh Ditangan Ampon Puteh

kan ketua lama, H. Zainuddin Hamid atau akrab disapa Let Bugeh. Mereka adalah, Teuku Juliansyah Darwin dan H. Fir-mandez. “Awalnya kami kha-watir juga bila Firmandez bisa unggul. Namun, berkat kerja keras dan kekompokkan tim serta dukungan dari para senior dan sesepuh PP, Ampon Puteh unggul secara telak,” urai Dar-wis, sumingrah.

Muswil VII PP Aceh, di-hadiri, dibuka dan ditutup Ketua Umum PP Pusat, Yapto Sorjo-soemarmo. Kehadiran Yapto ke Aceh, didampingi Sekretaris Jenderal PP Pusat, Teuku Nurlif serta sejumlah pengurus lain-nya dari beberapa daerah. Ter-masuk Ketua PP Sumatera Utara Anuar Shah.

Tak seperti Muswil PP se-belumnya, posisi ketua selalu dipilih secara aklamasi. Tapi kali ini, sempat terjadi perebu-tan seru antara kubu Ampon Puteh yang didukung kader dan mayoritas senior PP Aceh dengan kubu Firmandez, yang didukung beberapa pengu-saha dari kalangan Kadin Aceh serta enam kabupaten/kota (MPC---red). “Memang, kalo kita melihat malam sebelumn-ya, terkesan Firmandez telah didukung 16 MPC. Faktanya, mereka akhirnya memilih untuk mendukung Puteh,” kata Darwis buka kartu.

Pendapat advokat sen-ior ini ada benarnya. Sebab, saat pencalonan, Puteh meraih 17 suara, sementara Firman-dez hanya 6 suara. Sementara, syarat sah calon sesuai AD/ART dan Pedoman Organisasi PP, harus didukung 30 persen dari jumlah suara. “Dari 25 jumlah suara, satu suara batal dan satu abstain. Sehingga ada 23 suara yang diperebutkan. Hasilnya ya

seperti itu,” ungkap Darwis SH.Ketua PP Aceh terpilih Teu-

ku Juliansyah atau akrab disapa Ampon Puteh kepada MODUS ACEH mengatakan. Dirinya bersama kawan-kawan dan kader PP Aceh, siap mengibar-kan kembali bendera PP di Aceh. Caranya, dengan mem-perkuat konsolidasi hingga ke anak ranting.

“Sebelumnya, situasi dan kondisi Aceh memang kurang bersahabat. Yakni, konflik berkepanjangan serta tragedi tsunami. Kini, sudah damai. Kami siap bermitra dengan sia-pa saja, termasuk Pemerintah Aceh untuk memberikan yang terbaik bagi daerah ini,” kata Ampon Puteh.

Itu sebabnya, Ampon Puteh berikhtiar untuk turun ke daerah-daerah serta mengagas program kerja yang sesuai dan mampu dilakukan. “Untuk saat ini target kami melakukan kon-solidasi di tingkat provinsi atau MPW. Lalu, dilanjutkan hingga tingkat dua atau MPC yang su-dah terbentuk di 23 kabupaten/kota,” kata Puteh pada media ini, Jumat pekan lalu di Kantor MPW PP Provinsi Aceh, Jalan, Chik Di Tiro, Peunitie, Banda Aceh.

Puteh bertekad, Pemuda Pancasila Aceh dapat memberi-kan konstribusi besar kepada masyarakat Aceh. “Saat ini kita tidak target 100 persen namun paling tidak apa yang pernah dicapai Pemuda Pancasila se-belumnya dalam membangun kebersamaan dapat kembali terbentuk,” ujarnya.

Selain itu, alasan Puteh membangun konsolidasi PP ka-rena tujuan untuk mempersatu-kan visi dan misi PP dalam pem-bangunan Aceh. Sebab, ketika Aceh mengalami masa konflik

Ketua Ormas Pemuda Pancasila (PP) Aceh, kini dipegang Teuku Juliansyah. Putra almarhum Teuku Darwin ini berhasil mengalahkan rivalnya, Firmandez dengan angka telak sekali putaran. Saatnya pembenahaan dan konsolidasi.

yang cukup panjang, sadar atau tidak, PP Aceh sempat vakum. “Itu yang akan kita kembalikan walaupun tidak mencapai 100 persen. Itu akan dilaksanakan di tahun pertama,” janji Puteh.

Kecuali itu kata Puteh. “Mungkin tahap awal, setelah selesai membangun konsoli-dasi ke tingkat kabupaten/kota, kami akan melakukan banyak hal yang mendatangkan man-faat bagi masyarakat. Contohn-ya, penghijauan, gotong royong masal, bahkan menjadi relawan seperti dalam bencana (tsuna-mi) yang lalu,” cerita Puteh.

Untuk tahun kedua sam-bung Puteh, PP Aceh akan mem-bangun mitra dengan pemerin-tah. Caranya, selalu mengawasi setiap kebijakan yang dikelu-arkan Gubernur Aceh. Bahkan, menjalin hubungan dengan Ormas lain yang se-ide. “Meski memposisikan diri sebagai mi-tra pemerintah, tidak berarti PP Aceh akan terima apa adanya. Kami akan cukup kritis terhadap perkembangan pemerintah. Apalagi dengan banyak tokoh muda yang menjadi pengurus,” urainya. Karena, menurut Puteh, tokoh-tokoh muda biasanya cukup kritis.

Sebaliknya, Puteh mene-pis cara-cara yang tidak sehat. “Yang kami maksud dengan mitra pemerintah adalah, mem-posisikan diri dengan cara-cara tidak anarkis. Apabila program pemerintah layak kami dukung, maka 100 persen akan kami dukung. Namun, jika sebalikn-ya, maka kami juga akan bersi-kap tegas,” terangnya.

Diakui Puteh, Pengurus PP Aceh mendatang, banyak did-ominasi anak muda. Porsinya mencapai 60 sampai 70 persen. Sayang, selama ini kurang ter-bina. Padahal, jumlah pemuda yang terhimpun dalam PP Aceh lima belas tahun lalu, mencapai 120 ribu hingga 3000 pemuda. “Otomatis dengan jumlah begi-ni bisa kita bisa manfaatkan un-

tuk kepentingan daerah,” ujar Ketua MPW PP Aceh itu.

Diakui Puteh, kini bukan saatnya lagi untuk diam. Setelah terwujudnya perdamaian antara GAM dan RI. Pihaknya justeru berpikir, bagaimana mengem-balikan kebersamaan dan keke-luargaan yang ada di PP Aceh.

“Siapapun yang dulu per-nah menjadi anggota PP Aceh, kami akan terima kembali. Ke-cuali sudah dicoret dari kepen-gurusan karena terlibat krimi-nal, hukum atau telah dipecat. Itu mungkin tidak kami terima lagi,” tegas Puteh.

Lantas, bagaimana penda-pat Puteh terkait kesan PP yang identik dengan preman? “Itu pola 80-an. Tapi di Aceh image preman mungkin kurang. Kami tidak terlibat dalam penagihan hutang, rebutan lahan parkir dan pola pemusatan bisnis. Karena memang kami tidak membuat repot masyarakat,” terangnya.

Ditanya apakah dirinya akan mengembangkan sayap PP ke partai politik tertentu. Dengan tegas dijawab. “Tidak, tidak!. Puteh justeru berharap, PP di Aceh dan nasional tetap menjadi Ormas pemuda yang tidak mudah terkotak-kotak ka-rena kepentingan politik terten-tu. “Ini bukan berarti kader PP tidak berpolitik. Kader PP ada di parpol manapun dan itu kami dukung, selama tidak mem-bawa misi politiknya ke tubuh PP. Inilah kebesaran PP,” ucap Puteh.

Terkait internal PP Aceh, Puteh mengajak seluruh ka-der, anggota dan sesepuh serta senior untuk dapat memban-gun kembali kebersamaan dan kekeluargaan. “Saya rasa ini juga ibadah, dengan membuat semua orang berhimpun dan menuju ke arah yang lebih baik. Dan itu merupakan hal-hal yang dicita-citakan MPW PP Aceh,” demikian jelas Puteh. Semo-ga.***

Teuku Juliansyah Darwin n MODUS ACEH/Masrizal

Page 17: Wali Nanggroe Untuk Aceh Bukan PA

17EDISI 5 - 11 NOVEMBER 2012

erkembangan informasi dan teknologi saat ini, menuntut setiap guru pengajar dapat menguasai perkembangan tersebut. Ketentuan ini

ditegaskan dalam Undang-Undang No-mor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.

“Undang-undang tersebut menga-matkan profesi guru merupakan bidang pekerjaan khusus yang dilaksanakan bersadarkan standar kompetensi sesuai dengan tugasnya dan bidang pelak-sanaan pengembangan keprofesian berkelanjutan sepanjang hayat,” kata Iskandar Mahmud, SH, anggota DPRK

Setiap guru pengajar diwajibkan menguasai perkembangan informasi dan teknologi (IT) dalam mendidik muridnya. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen mengamanatkan hal tersebut.

Banda Aceh, Rabu pekan lalu.Menurut dia, kompetensi merupa-

kan seperangkat pengetahuan dan ket-rampilan yang harus dimiliki, dihayati dan diakulisasikan oleh guru dalam mel-aksanakan tugasnya sehari-hari. Inilah dasar pemerintah mengeluarkan satu aturan bahwa guru harus dididik secara berkelanjutan. “Faktanya, masih ada guru kita yang masih sangat tertinggal dibidang penguasaan IT,” ungkap dia.

Karena itu, ada program Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) ten-tang peningkatan sumber daya guru. Menurut Ketua Fraksi Daulat Aceh In-dependen ini, tahun 2013, semua guru harus meningkatkan sumber daya sesuai dengan bidang dan ahlinya. Sebab, apa-bila pada tahun 2014 guru-guru tidak

memperoleh gelar strata 1 (S1), maka guru tersebut tidak dibolehkan lagi un-tuk mengajar.

“Dan ini berlaku untuk seluruh guru. Selain itu, disaat guru mengajar juga tidak lagi memakai papan tulis, na-mun harus mengandalkan IT. Guru kita harus kita didik betul kalau kita tidak mau ketinggalan dari daerah lain,” tegas praktisi Partai Golkar ini.

Disisi lain, Iskandar menambahkan, sebanyak 6.700 guru yang mengikuti pendidikan dan latihan profesi guru di Provinsi Aceh, hanya 1.800 guru dinya-takan lulus. Sedangkan 4.900 guru diny-atakan gagal atau tidak lulus.

“Ini sangat kita sayangkan. Dan merupakan wujud dari pembinaan guru yang selama ini mungkin tidak maksi-mal. Saya melihat kepala sekolah lebih meningkatkan infrastruktur sekolah. Pa-dahal sumber daya guru menjadi sesuatu landasan yang sangat penting,” ujarnya sedikit kecewa.

Tak hanya itu, menurut Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidi-kan (FKIP) Universitas Syiah Kuala (Unsyiah), Prof, M. Yusuf Aziz, MPd, Aceh menduduki peringkat ke 32 dari 33 provinsi di Indonesia dalam hal pen-didikan. “Hal ini disampaikan pada pertemuan antara jajaran Rektorat Un-syiah dengan Gubernur Aceh, Jumat 24 Agustus 2012 lalu,” sebut Iskandar Mah-mud yang berasal dari daerah pemilihan (dapil IV) Kecamatan Baiturrahman dan Kecamatan Lhung Bata, Banda Aceh.

Padahal, bidang pendidikan telah mendapat jatah anggaran dari APBA sebesar 20 persen sesuai dengan amanah undang-undang. “Selama ini kita meli-hat dana pendidikan di Aceh luar biasa, tapi inilah wujud dari yang kita peroleh selama ini,” ungkapnya pasrah.

Begitupun, disisi lain Iskandar Mahmud menjelaskan terkait pendis-tribusian guru ke sekolah sebagaimana yang disampaikan Dekan FKIP Unsyiah. Selama ini Unsyiah hanya menyuplai

40 persen guru pengajar sedangkan 60 persen lagi merupakan produk universi-tas swasta. “Apakah yang 40 persen ini masuk ke dalam 1.800 guru yang lulus kompetensi yang didik oleh Unsyiah, ataupun memang adanya mixing antara yang diproduk oleh swasta dan Unsyiah, inipun tidak ada data yang akurat,” aku Iskandar.

Menurutnya, yang terpenting ada-lah guru pengajar harus ditempatkan pada bidang atau ahlinya, dan pendistri-busian guru-guru ke sekolah juga begitu penting sehingga DPRK Banda Aceh bisa menghitung beban kerja. “Selama ini saya mendengar ada guru yang san-tai-santai saja dan juga beban kerjanya lebih berat,” ujar dia.

Karena itu, DPRK Banda Aceh menyarankan kepada Dinas Pendidi-kan Kota Banda Aceh, supaya berbenah diri sehingga guru-guru sekarang harus menguasai teknologi informasi, tentun-ya bisa mengakses internet. “Sebab guru sekarang dituntut untuk membuat lapo-ran-laporan ataupun sistim pelajaran sekolah melalui IT,” demikian harapnya. Semoga.***

Perlunya Penguasaan IT Bagi Guru

Pn Laporan Masrizal

Iskandar Mahmud, SH

PARLEMENTARIA BANDA ACEH

Page 18: Wali Nanggroe Untuk Aceh Bukan PA

n Laporan Juli Saidi

Pelantikan Gubernur dan Wakil Gubernur Aceh oleh Menteri Dalam Negeri, Gamawan Fauzi n DOK

18 ParlementariaEDISI 5 - 11 NOVEMBER 2012

LAT pengeras suara di atas meja itu dibunyikan cepat-cepat oleh anggota Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA), Jamaluddin T.

Muku, Selasa pekan lalu. Maklum, hari itu ada rapat paripurna empat rancangan qanun (raqan) di ruang Gedung Utama DPR Aceh, Jalan Tengku Daud Beureueh, Banda Aceh. “Izin pimpinan,” interupsi Jamaluddin T. Muku kepada pimpinan rapat paripurna, Amir Helmi.

Saat itu juga, Amir Helmi memberi kesempatan kepada anggotanya dan Jamaluddin T. Muku langsung menyampaikan dua saran kepada Pemerintah Aceh dan DPRA.

Menurut wakil rakyat Aceh dari Daerah Pemilihan (Dapil) Kabupaten Aceh Timur, Kota Langsa dan Aceh Tamiang, meminta DPR Aceh dan eksekutif, agar dapat menjalankan tugas pengesahan Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh (APBA) 2013, tepat waktu. Alasan kader Partai Demokrat (PD) ini adalah, masyarakat Aceh sangat menantikan program kepala Pemerintah Aceh yang baru, Doto Zaini Abdullah-Muzakir Manaf. “Masyarakat Aceh sangat mengharapkan program Pemerintah Aceh,” ucap mantan anggota Komisi B DPR Aceh ini.

Pendapat Jamaluddin T. Muku ada benarnya, karena perolehan suara mantan petinggi Gerakan Aceh Merdeka (GAM) Zaini Abdullah-Muzakir Manaf,

pada Pilkada 9 April 2012 lalu adalah 1. 327. 695 atau 55,78 persen. Itu sebabnya, pasangan nomor urut lima yang diusung Partai Aceh (PA) ini, berhasil menguasai posisi Gubernur dan Wakil Gubernur Aceh. Selain itu PA juga berhasil menempati posisi Bupati dan Walikota di 14 Kabupaten-Kota dari 23 Kabupaten-Kota yang ada di Aceh.

Karena itu, perubahan negeri Serambi Mekah ini sangat diharapkan masyarakat. “Kepada gubernur baru, masyarakat Aceh sangat menantikan perubahan,” ujar Jamaluddin T. Muku, saat diminta penjelasan lebih lanjut, usai rapat paripurna DPR Aceh, Selasa lalu.

Karena itulah, anggota Fraksi Partai Demokrat (F-PD) tadi menyarankan, pengesahan APBA 2013 paling lambat, 20 Desember 2012. Limit waktu yang disebutkan Jamaluddin T. Muku sangat mungkin dijalankan. Alasannya, antara DPR Aceh dengan Gubernur Aceh saat ini kompak. “Ini sangat mungkin kita laksanakan, karena DPR Aceh kompak,” ujarnya.

Tak hanya itu, jika Pemerintah Aceh dapat mengesahkan APBA 2013 tepat waktu, maka dampaknya besar kepada masyarakat, karena realisasi anggaran tepat sasaran dan tidak terburu-buru dilakukan eksekutif dalam menjalankan tugas rakyat tersebut. “Dampak positifnya besar sekali kalau APBA 2013 disahkan tepat waktu,” saran Jamaluddin

Tak hanya soal percepatan pengesahan APBA 2013. Dalam interupsinya Jamaluddin T. Muku juga menyarakan, soal kebijakan mutasi

Jangan Ada Tim Mutasi Ilegaln Jamaluddin T. Muku

Satuan Kerja Pemerintah Aceh (SKPA) jangan ada tim ilegal. “Kebiasaan kepala pemerintah baru ada mutasi, maka jangan ada tim ilegal,” saran Jamaluddin T. Muku.

Bila ada tim ilegal, Jamaluddin khawatir akan ada peluang besar munculnya dugaan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN). Jamaluddin mencontohkan, jika ada tim ilegal dalam mutasi, maka bisa saja terjadi penguasaan daerah-daerah tertentu. “Kalau ada tim ilegal, bisa saja kepala dinas orang Pidie semua,” kritik Jamaluddin T. Muku.

Makanya, menurut Jamal T. Muku, begitu dia akrab disapa, Gubernur dan Wakil Gubernur Aceh Zaini Abdullah-Muzakir Manaf dalam melakukan kebijakan mutasi, berpedoman pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor: 100 Tahun 2000. Isinya, pada BAB V tentang Penilaian dan Pertimbangan Pengangkatan Dalam Jabatan, pasal 14 ayat (1) disebutkan, untuk menjamin kualitas dan obyektifitas dalam pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian Pegawai Negeri Sipil (PNS) dalam dan dari jabatan struktural Eselon II ke bawah di setiap instansi dibentuk Badan Pertimbangan Jabatan dan Kepangkatan, selanjutnya disebut Baperjakat.

Lalu, dalam pasal sama ayat (5) menjelaskan, disamping tugas pokok sebagaimana dimaksud dalam ayat (4), Baperjakat bertugas pula memberikan pertimbangan kepada pejabat yang berwenang dalam pemberian kenaikan pangkat bagi yang menduduki jabatan struktural, menunjukkan prestasi kerja luar biasa baiknya, menemukan penemuan baru yang bermanfaat bagi negara, dana pertimbangan perpanjangan

batas usia pensiun Pegawai Negeri Sipil yang menduduki jabatan struktural Eselon I dan Eselon II.

Tak hanya PP Nomor: 100 tadi, dalam kebijakan mutasi, Jamaluddin T. Muku juga menyarankan kepala Pemerintah Aceh untuk berpedoman pada PP Nomor: 102 tentang Pendidikan dan Pelatihan Jabatan Pegawai Negeri Sipil (PNS). “Saya menyarakan, dalam melakukan mutasi Gubernur berpedoman pada PP 100 dan PP 101,” kata Jamaluddin T. Muku. Semoga.***

Anggota DPR Aceh menyarankan kepada Pemerintah Aceh agar dapat mempercepat pengesahan APBA 2013. Dan, jangan ada tim mutasi ilegal dalam kebijkan mutasi kepala SKPA.

A

Page 19: Wali Nanggroe Untuk Aceh Bukan PA

EDISI 5 - 11 NOVEMBER 2012 19

PASCA penetapan hukuman pidana enam tahun penjara dan denda Rp 500 juta subsidair 6 bulan kepada mantan anggota Badan Anggaran (Banggar) DPR-RI, Wa Ode Nurhayati. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengaku akan terus mengembangkan kasus korupsi, terkait

pengurusan alokasi Dana Penyesuaian Infrastruktur Daerah (DPID).

Wakil Ketua KPK, Bambang Widjojanto dalam jumpa pers di Gedung KPK, Jalan HR Rasuna Said, Kuningan, Jakarta Selatan, Kamis (25/10/2012) menegaskan. KPK tidak akan berhenti sampai di Wa Ode Nurhayati, yang juga politisi Partai Amanat Nasional (PAN). Katanya, siapa pun yang diduga terlibat akan diusut.

“Terdakwa menemui Haris Andi Surahman di Gedung Sekretariat DPP Golkar di Slipi Jakarta Barat untuk mencarikan anggota Badan Anggaran RI yang dapat mengusahakan supaya Aceh Besar, Pidie Jaya, dan Kabupaten Bener Meriah sebagai penerima DPID tahun 2011,” begitu ulas Jaksa Rini Triningsih, saat membacakan surat dakwaan terhadap Wa Ode di Pengadilan Tipikor, Jaksel, Jumat (11/10/2012) silam.

Nah, entah karena terkait tiga kabupaten di Aceh itulah,

nama anggota DPR RI asal Aceh dari Partai Demokrat Mirwan Amir, ikut terseret. Disebut-sebut, ada peran Mirwan Amir dalam kebijakan tadi. Itu sebabnya, Selasa, 11 September 2012, KPK memanggil mantan Wakil Ketua Badan Anggaran DPR Mirwan Amir. Menurut Wakil KPK Busyro Muqqadas, dalam pemeriksaan yang telah dilakukan, ada kemungkinan penyidik ikut mengkonfirmasi transaksi mencurigakan milik Mirwan sesuai dengan temuan PPATK. Namun, Busyro mengaku tidak mengetahui isi transaksi mencurigakan milik Mirwan tersebut.

Benarkah Mirwan Amir terlibat? Inilah yang jadi soal. Wartawan MODUS ACEH, Muhammad Saleh, tiga kali berupaya melakukan lawatan ke Jakarta, untuk menemui langsung mantan Ketua DPD Partai Demokrat Aceh ini. Upaya konfirmasi itu lebih dipicu setelah adanya pengakuan Mirwan Amir bahwa dirinya bukan Ucok seperti yang disebutkan Wa Ode, Angelina Sondaks, Fahd El Fouz serta Rosalina Manulang, staf di perusahaan Nazaruddin.

Sayang, hasilnya nihil. Surat permohonan wawancara khusus yang dikirim media ini, dua bulan lalu, juga tak mendapat balasan hingga Sabtu pekan lalu. Berikut, penelusuran media ini yang tulis dalam Laporan Khusus. Sumber informasi, dihimpun Masrizal dari berbagai sumber dan media.

n GOOGLE IMAGES

Page 20: Wali Nanggroe Untuk Aceh Bukan PA

20 EDISI 5 - 11 NOVEMBER 2012

ARUM jam su-dah bergerak ke angka sembilan lebih sepuluh menit, saat pesa-wat Lion Air yang

saya tumpangi dari Banda Aceh melalui Polonia Medan, men-darat mulus di Bandara Interna-sional Soekarno-Hatta, Jakarta, pertengahan September 2012 lalu.

Tanpa buang waktu, saya memesan taksi. Sasarannya, lantai 10, Gedung DPR-RI, Se-nayan. Maklum, di lantai itu-lah, anggota DPR RI dari Partai Demokrat “bermarkas”. Ter-masuk, Mirwan Amir, anggota DPR RI asal Aceh, yang lebih setahun lalu namanya mencuat tinggi karena dugaan terlibat berbagai praktik korupsi.

Syukur, pagi menjelang siang hari itu jalanan Kota Ja-karta tidak macet. Dan, persis pukul 11.10 Wib, taksi yang saya tumpangi berhenti di depan pintu masuk gedung wakil rakyat tersebut. Agar tak butuh waktu lama untuk meme-san kembali, saya minta sopir taksi tadi menunggunya hingga saya selesai. Sementara, saya melapor kepada petugas Satuan Pengamanan (Satpam) di pintu depan gedung tersebut. “Mau bertemu Pak Mirwan Amir,” jawab saya ketika salah seorang petugas bertanya.

“Sebentar Pak, kami cek dulu, apakah Pak Mirwan ada di ruangan. Soalnya, dia sudah lama ngak kelihatan,” jawab seorang perempuan yang ber-tugas mencatat dan memberi tanda pengenal kepada setiap tamu yang datang. “Telponnya ndak ada yang angkat Pak,” je-las perempuan tadi.

Seketika, otak saya berpu-tar. Kalau begitu, saya mau ber-temu Pak Riefky Harsya,” timpa saya lagi. Kembali, petugas tersebut menghubungi sosok yang saya tuju. “Ok, silahkan saja,” begitu terdengar suara di ujung telpon.

Tak lama kemudian, pe-rempuan tersebut meminta tan-da pengenal. Saat itu, saya tak mengaku sebagai wartawan. Urusan bisa lebih repot dan panjang. Sebaliknya, Sekretaris Umum KONI Aceh. Dan, saya menyerahkan tanda pengenal KONI Aceh. Ini untuk memu-dahkan dan memperkecil mun-culnya berbagai pertanyaan susulan. Maklum, memasuki Gedung DPR-RI tak semudah dulu, ketika saya masih menjadi wartawan di salah satu majalah nasional, Jakarta. Kini, aturann-ya ekstra ketat dan setiap warta-wan yang bertugas di sana, di-beri tanda pengenal khusus.

***SELAMAT siang, mau ber-

temu Pak Riefky, sapa saya ke-pada seorang petugas Satpam di Lantai 10, Gedung DPR RI. “Silahkan Pak,” jawab petugas tadi dengan ramah. Kemudi-an, kaki saya ayunkan menuju kamar nomor 1011. Sasaran-nya adalah, ruang kerja Mirwan Amir atau di Aceh orang banyak memanggilnya dengan sapaan Bang Ucok.

Tapi apa lacur, ruang yang saya tuju ternyata terkunci ra-pat. Untuk memastikan, saya

coba sedikit mendorong, tapi tidak terbuka juga. “Sudah ja-rang masukkan Pak,” jelas se-orang pria yang melintas. “Oh ya, Anda dari mana,” tanya pria tadi. “Saya dari Aceh dan ingin bertemu Bang Ucok,” jawab saya. “Ndak masuk Pak, sering tutup,” jelas pria itu lagi.

Agar tak canggung, kemu-dian saya menuju ruang kerja Teuku Riefly Harsya di 1017. Lokasinya tak jauh, hanya ber-selang tiga ruang kerja atau ber-sebelahan dengan ruang Ali Ya-cob, anggota DPR RI yang juga berasal dari Aceh. Hari itu, Ali Yacob juga sedang tidak masuk kantor alias bertugas. “Kabarn-ya beliau sedang di Aceh,” jelas seorang petugas yang lain.

Lalu, Anton Hartono, sek-retaris Riefky Harsya yang juga mantan Ketua Komisi VII Bidang Energi dan Migas, mempersi-lahkan saya masuk ke ruangan. Di sana, ada kursi tamu yang di-tata seperti meja rapat. “Seben-tar ya, Pak Riefky baru selesai sidang dan sedang menuju ke-mari,” jelan Anton.

Benar saja, lima menit ke-mudian, Teuku Riefky sudah ada di ruangan. “Apa kabar, kapan sampai,” tegur putra pa-sangan almarhum Teuku Syah-rul dan Pocut Haslinda ini. “Baru saja, dari bandara langsung kemari,” jawab saya. Tanpa di-tanya, kepada Riefky saya men-jelaskan maksud dan tujuan ke-datangan ke Jakarta.

“Ada beberapa agenda. In-gin bertemu Bang Ucok. Kedua, meliput sidang Ayah Banta di PN Jakarta Pusat dan bertemu Anda, untuk berdiskusi menge-nai Blok Pase yang dikelola Tri-angle,” kata saya menjelaskan.

Selanjutnya, kamipun terli-bat diskusi panjang mengenai Blok Pase yang sempat men-emui berbagai masalah. “Ya sudahlah, kalau boleh saya minta, jangan diungkit-ungkit lagi. Bagaimana pun Bang Ucok abang dan senior kita,” pinta Riefky.

Lalu, Riefky kembali ber-tanya. “Sudah janjian dengan Bang Ucok”. “Janjian lisan ndak ada, sulit menghubunginya. Tapi, kalau pesan singkat (SMS) ke nomor yang ada pada saya

sudah kami kirim. Surat mohon konfirmasi juga sudah kami sampaikan melalui email. Tapi, tak ada jawaban,” kata saya. Mendapat jawaban tersebut, Riefky diam dan tak berkomen-tar.

Entah tak mau terkesan ikut campur, Teuku Riefky akhirnya mengalihkan pembicaraan. “Oh ya, gimana perkembangan MODUS,” tanya dia. Ada kesan, dia menghindar dari berba-gai pertanyaan yang mungkin saja saya ajukan, terkait ke-beradaan dan kiprah Mirwan Amir alias Bang Ucok, yang kini ikut terseret dengan berbagai dugaan praktik korupsi. Mulai dari kasus yang menjerat Naza-ruddin, Wisma Atlet hingga kasus bantuan dana daerah tert-inggal yang telah menjebloskan Wa Ode Nurhayati ke hotel pre-deo, Pondok Bambu, Jakarta.

Dan, tanpa sadar, jarum jam sudah bergerak ke pukul enam sore. Sayup-sayup, terdengar suara azan dari menara masjid di Komplek Gedung DPR-RI Se-nayan. Itu pertanda, telah tiba waktu shalat magrib. Setelah, menikmati sepiring mie bakso dan shalat magrib, saya pun mohon izin, selanjutnya menuju hotel. “Baik, sampai ketemu ya,” kata Teuku Riefky, sambil

berjabat tangan.***

JAKARTA macet, tentu bu-kan cerita baru. Akibatnya, jad-wal saya masuk kamar hotel, molor hingga dua jam. Kondisi ini jauh berbeda saat saya dari bandara menuju Gedung DPR RI di Senayan. Setelah mandi, saya memesan teh panas dan makanan ringan ke kamar.

Laptop saya buka, sambil melihat surat elektronik (email) yang masuk. Kecuali itu, mel-akukan riset media (data) terki-ni, seputar kasus yang telah me-nyeret nama Mirwan Amir alias Bang Ucok. “Coba aja datang ke Second Floor Jalan Kemang Raya No. 43 A. Mungkin dia ada di sana,” tulis satu pesan singkat yang masuk ke telpon seluler saya saat itu.

Informasi ini disampaikan seorang sahabat, yang juga salah seorang wartawan media cetak nasional di Jakarta. Dia mengaku ngepos (bertugas) di DPR-RI dan kenal dekat dengan Bang Ucok.

Second Floor merupakan salah satu tempat hiburan di Ka-wasan Kemang, Jakarta Selatan. Di sana ada musik dengan sajian minuman ringan hingga keras. Pelakonnya anak muda dari berbagai kalangan. Utamanya para eksekutif muda, didam-pinggi para remaja putri muda nan cantik. Tak jarang, para ek-spatriat dari berbagai negara, juga ikut menghabiskan gemer-lapnya malam Jakarta. Dan, bis-nis ini sudah lama dilakonkan Bang Ucok, jauh sebelum dia menjadi anggota DPR-RI dari Aceh.

Malam itu, tanpa sadar jarum jam sudah bergerak ke pukul 23.00 Wib. Namun, mata saya belum juga ngantuk. Otak saya terus berputar dan pe-nasaran, karena tak berhasil bertemu langsung dengan Mir-wan Amir atau saya sering me-manggilnya Bang Ucok.

Saya berpikir, laporan khu-sus yang akan saya turunkan di media ini akan kering dan sepihak, bila saya tak menda-pat penjelasan yang berimbang dari Bang Ucok.

Tak hanya itu, otak saya juga membuka kembali memo-

ri saat bertemu Bang Ucok di Hermes Hotel, Banda Aceh, Jumat (9/12/2011). Ketika itu, ada perhelatan akbar, Musya-warah Daerah (Musda) Partai Demokrat Aceh. Nah, bersama Ketua Umum PD, Anas Urbanin-grum, Bang Ucok ikut pulang ke Aceh. “Kamu tulis aku. Macam-macam aku gebuk kamu nanti,” kata Ucok setengah bercanda ketika itu.

“Ya, saya sudah mencoba menghubungi Anda, tapi sulit benar tersambung,” balas saya saat itu. Lalu, Ucok meminta saya menyebutkan nomor tel-pon selulernya. “Oh, nomor itu tidak aktif lagi. Ini nomor baru,” kata dia, sambil saya catat di telpon seluler. Hasilnya, nomor yang diberikan saat di Banda Aceh itupun, ternyata sulit di-hubungi. “Aku pun nyaris putus kontak dengan dia selama ini,” begitu kata salah seorang sohib dekat Ucok kepada saya, pekan lalu di Banda Aceh.

***MALAM semakin larut. Ja-

karta disirami hujan rintik-rintik. Di luar kamar hotel, udara di-ngin menusuk tulang. Maklum, jarum jam di tangan saya sudah bergerak ke pukul 01.00 dini hari.

Tanpa pikir panjang, saya putuskan saat itu juga meluncur ke Second Floor di Kemang, Ja-karta Selatan. Tujuannya hanya satu, bisa bertemu dengan Mir-wan Amir alias Bang Ucok. Saya ingin mendapatkan penjelasan langsung dari dia tentang ber-bagai isu dan rumor yang telah melandanya. Sebab, selain se-bagai, saya juga merasa sudah berteman dekat dengan dia se-lama ini.

Hasilnya benar saja. Hala-man parkir di sana nyaris penuh dengan kenderaan roda empat bermerek. Beberapa taksi juga manggal di sisi kiri jalan utama. “Malam Mas, silahkan,” sapa seorang pria berbagai tegap. Agar tak menaruh curiga, saya-pun membalas berbagai sapaan tadi dengan penuh percaya diri.

Sejurus kemudian, seorang perempuan berparas luma-yan cantik mendekat. “Sendiri aja Mas,” tanya dia. “Ya, ada kelihatan Bang Ucok, saya te-mannya,” balas saya, sebelum perempuan tadi bertanya lebih jauh. “Wah, sudah lama dia tidak kemari. Mungkin sibuk di DPR,” ujar perempuan tersebut.

Selanjutnya, saya melirik kiri dan kanan dan memesan segelas Red Wain. Lalu, entah merasa yakin saya benar-benar sahabat dekat Bang Ucok, per-empuan dan petugas Satpam tadi, kemudian berlalu dari meja saya duduk.

Dan, tiga puluh menit ke-mudian, saya pun pamitan, men-inggalkan Second Floor, diiringi alunan musik yang dimainkan seorang Diskjokie (DJ) sambil mengantar larutnya malam, di-hiasi canda dan tawa para tamu, sambil mengayungkan badan di lantai.

Selanjutnya, tujuan saya untuk bertemu dengan Mirwan Amir alias Bang Ucok, anggota DPR RI asal Aceh dari Partai Demokrat (PD) tak menuai hasil. Nasib...nasib.***

Coba aja datang ke Second Floor Jalan Kemang Raya No.

43 A. Mungkin dia ada di

sana,

J

n GOOGLE IMAGESSecond Floor, Kemang, Jakarta Selatan.

Page 21: Wali Nanggroe Untuk Aceh Bukan PA

21EDISI 5 - 11 NOVEMBER 2012

A ODE bisa jadi tak mau menang-gung sendiri den-gan menghabiskan hari-harinya di hotel prodoe. Makanya,

dalam persidangan, dia mem-inta KPK untuk menjerat rekann-ya yang lain di Badan Anggaran (Banggar) DPR RI.

Alasannya, banyak saksi dalam sidang yang menyebut-kan keterlibatan empat ang-gota pimpinan Banggar saat itu. Mereka adalah, Tamsil Linrung, Melchias Marcus Mekeng, Olly Dondokambey, dan Mirwan Amir, dalam penentuan daerah penerima alokasi DPID. Nyat-anya, mereka masih bebas ter-tawa.

Tapi apa lacur, majelis hakim yang membacakan putu-san Wa Ode tak menyinggung dugaan keterlibatan pimpinan DPR maupun Badan Anggaran itu. Mereka lebih banyak mem-pertimbangkan unsur korupsi dan pencucian uang yang di-lakukan Wa Ode. Namun Kadek Wiradana, Ketua Tim Jaksa Pe-nuntut Umum, akan menelaah alasan hakim tak menyinggung peran para pemimpin DPR itu.

Itu sebabnya, pegiat an-tikorupsi dari Indonesia Corrup-tion Watch ICW), Ade Irawan, meminta KPK cepat bertindak menyeret pimpinan Badan Ang-garan. Apalagi KPK sudah men-dapatkan dukungan penuh dari rakyat. “Mestinya segera ditin-daklanjuti,” ucap Ade. Ia men-gatakan, KPK belum bertindak ada kemungkinan karena buk-tinya belum cukup.

Alkisah, terdapat 18 lapo-ran hasil temuan PPATK yang disampaikan kepada KPK. Te-muan tersebut terdiri atas re-kening mencurigakan milik seseorang dan perusahaan den-gan transaksi antara ratusan juta sampai miliaran rupiah.

Situs TEMPO.CO me-wartakan. Menurut sumber yang dipercaya menyebut-kan laporan PPATK tersebut di dalamnya terdiri atas transaksi mencurigakan milik sepuluh anggota Badan Anggaran DPR. Satu nama di antaranya adalah mantan pimpinan Badan Ang-garan dari Partai Demokrat, Mirwan Amir. Diduga transaksi mencurigakan pada rekening milik Mirwan tersebut terkait dengan kasus Angie. Begitu-pun, Busyro tidak membantah adanya temuan PPATK terkait dengan Mirwan Amir. “Akan ditentukan pada ekspose selan-

Satu Mirwan Dua TerbilangKomisi Pemberantasan Korupsi akan menelisik peran pimpinan Badan Anggaran Dewan Perwakilan Rakyat dalam kasus korupsi Dana Penyesuaian Infrastruktur Daerah (DPID) yang menyeret politikus PAN, Wa Ode Nurhayati. “Keterangan saksi dan tersangka kami validasi dengan bukti. Kalau ada kebe-narannya, tentu kami mulai penyelidikan baru,” kata juru bicara KPK, Johan Budi S.P., Kamis 18 Okto-ber 2012 lalu.

jutnya,” kata Busyro.Namun, mantan Wakil Ket-

ua Badan Anggaran (Banggar) DPR Mirwan Amir membantah tudingan yang mengarah ke di-rinya terkait temuan dari Pusat Pelaporan Analisis dan Tran-saksi Keuangan (PPATK). Dalam temuan PPATK tersebut, dikata-kan bahwa Mirwan Amir telah beberapa kali menerima uang dari seseorang yang bernama Dina dengan alamat surat kan-tor CV Kayu Mas di Pontianak, Kalimantan Barat.

“Saya mau klarifikasi. Itu memang ada bisnis. Ibu Dina rekan bisnis adik saya. Dia me-nawarkan bisnis retailer batu bara. Jadi saya mencoba ikut, hanya sekadar ikut kecil-keci-lan,” kata Mirwan saat dimintai keterangan oleh wartawan di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Selasa 4 September lalu.

Begitupun, menurut sum-ber terpercaya, pada Maret 2010, Dina mengirim Rp 150 juta. Selama April-Mei tahun lalu, pengirim dengan nama yang sama mentransfer seki-tar Rp 3 miliar dalam balasan transaksi, masing-masing Rp 214 juta. Belum jelas maksud pengiriman uang tersebut. Transaksi ini, menurut sumber yang sama, dicurigai Pusat Pe-laporan dan Analisis Transaksi Keuangan, yang kemudian me-laporkannya ke Komisi Pember-antasan Korupsi.

Lalu lintas dana di rekening Mirwan tak cuma melibatkan Dina. Di rekeningnya tercatat nama seorang pengusaha ho-tel. Ada juga setoran melalui dua stafnya di DPR. Kemudian ada transaksi dengan koleg-anya di Badan Anggaran. Pada Juni 2011, seorang pengusaha periklanan juga menyetor Rp 500 juta.

Syahdan, Mirwan juga ter-deteksi berbelanja tiga mobil

mewah. Namun semuanya dia-tasnamakan orang lain. Pada Januari 2011, ia membeli Range Rover senilai Rp 2,1 miliar se-cara kredit lewat perusahaan di Jalan Fatmawati, Jakarta. Setelah membayar uang muka, Mirwan langsung melunasi pembelian pada pembayaran kedua atau ketiga. Mobil buatan Inggris itu tercatat atas nama adiknya, Am-rinur Okta Jaya.

Demikian pula ketika ia membeli Mercedes-Bens C-Class 200 seharga Rp 575 juta pada Oktober 2010 dan BMW X3 senilai Rp 570 juta pada 2009. Kedua mobil itu dibeli lewat kredit. Dalam surat-surat Mercy tertera nama Amrinur Okta sebagai pemilik. Adapun BMW memakai nama seorang pengusaha.

Menariknya, Mirwan tak menyangkal telah membeli tiga mobil itu. “Itu mobil adik saya. Adik sama abang salahya apa, sih? Itu adik saya minta tolong,” ujarnya. Menurut Mirwan, uang yang dipakai buat membeli mo-bil pun berasal sumber yang halal. Amrinur Okta, seperti di-kutip Detik.com, mengatakan mobil-mobil itu dibeli dengan uangnya.

Entah takut menimbulkan kecurigaan yang lebih jauh, Mirwan Amir lantas membe-berkan rincian bisnis yang di-lakukannya dengan Dina, yang hingga kini juga belum dapat diketahui siapa sebenarnya orang tersebut. “Misalnya saya hanya kasih duit Rp 200 juta, itu hasilnya Rp 14 juta perminggu, itu ada keuntungannya kalau di-hitung-hitung dalam sebulan Rp 56 juta. Jadi hanya begitu bisnis-nya,” sebut Amir.

Politikus Partai Demokrat ini menegaskan, awal perkena-lan antara dirinya dengan Dina hanyalah sebuah peristiwa yang kebetulan dan tidak disengaja.

“Jadi kebetulan saya itu diken-alin sama adik saya, ditawari pekerjaan ini. Jadi itu saja sebe-narnya,” tutup Mirwan Amir.

Seakan berbalas pantun, Wakil Ketua Komisi Pemberan-tasan Korupsi, Busyro Muqod-das, memastikan kalau semua nama anggota DPR yang di-laporkan Pusat Pelaporan dan Analisa Transaksi Keuangan (PPATK) akan diperiksa oleh lembaganya satu persatu. “Sia-pa pun juga yang terkait dengan laporan PPATK pasti dipanggil,” kata Busyro di sela acara loka-karya internasional lembaga pemberantasan korupsi di Asia Tenggara, di Hotel Sheraton, Yogyakarta, Senin, 10 Septem-ber 2012.

Meskipun demikian, Busyro mengatakan temuan PPATK tersebut tidak dapat be-gitu saja dijadikan sebagai bukti hukum dengan menjerat nama yang tersebutkan di dalamnya. “Setelah diuji menjadi bukti hu-kum, itu baru (dapat) dijadikan dasar,” kata Busyro.

Nah, Selasa, 11 September 2012, KPK memanggil mantan Wakil Ketua Badan Anggaran DPR Mirwan Amir. Busyro men-gatakan dalam pemeriksaan tersebut ada kemungkinan pe-nyidik akan ikut mengkonfir-masi transaksi mencurigakan milik Mirwan sesuai dengan temuan PPATK. Namun, Busyro mengaku tidak mengetahui isi transaksi mencurigakan milik Mirwan tersebut.

Juru bicara KPK, Johan Budi S.P., mengatakan penyidik akan memeriksa Mirwan sebagai saksi dalam kasus Dana Pe-nyesuaian Infrastruktur Daerah (DPID) dengan tersangka Fahd El Fouz, kader Partai Golkar. Kasus suap ini juga menjadikan Wa Ode Nurhayati, anggota Badan Anggaran DPR dari Par-tai Amanat Nasional, sebagai

tersangka dan telah dijatuhkan enam tahun penjara oleh Pen-gadilan Tirpikor Jakarta.

Sebelumnya, pada 5 Sep-tember 2012 Mirwan Amir, mengakui adanya aliran dana miliaran rupiah di rekeningnya. “Semuanya murni bisnis,” ujar Mirwan. Menururt dia, Aliran dana itu dari sejumlah orang terkait dengan bisnis batu bara yang digelutinya.

Mirwan mengatakan, aliran Rp 3 miliar dari Dina--yang dis-ebutnya rekan bisnis--adalah keuntungan dari bisnis batu bara. Dina, menurut dia, men-janjikan keuntungan sekitar Rp 15 juta per pekan dengan modal Rp 200 juta. Walhasil, dia men-transfer Rp 200 juta, lalu kemba-li Rp 215 juta, begitu seterusnya. “Sehingga totalnya Rp 3 miliar,” kata Mirwan.

Mirwan Amir bukan kali ini menjadi sorotan. Nama dia se-belumnya pernah disebut-sebut dalam sejumlah kasus korupsi yang melibatkan koleganya di DPR. Dugaan keterlibatan Mirwan pernah diungkapkan Mindo Rosalina Manulang, ter-pidana kasus suap Wisma At-let SEA Games. Mindo adalah bekas pegawai M. Nazaruddin, terpidana kasus yang sama, yang juga kolega Mirwan di Par-tai Demokrat.

Dalam sidang Nazaruddin, Mindo mengungkapkan bahwa Angelina Sondakh—dalam per-cakapan melalui pesan Black-Berry—menyebut adanya istilah Ketua Besar dan Bos Besar. Min-do mengungkapkan, istilah itu salah satunya merujuk pada Mir-wan. Nama Mirwan juga muncul dalam kasus Dana Penyesuaian Infrastruktur Daerah dengan terdakwa Wa Ode Nurhayati. Mirwan disebut-sebut berperan menentukan alokasi dana untuk dua daerah kabupaten di Aceh.

Tapi, tak lama kemudian, dalam wawancara khusus den-gan TEMPO. CO dan Kompas, Mirwan Amir membantah se-mua itu. Katanya, dia tak pernah membantu Aceh dalam bentuk apapun, termasuk proyek.

Mungkin karena terjerat berbagai kasus korupsi, akh-irnya, politikus Partai Demokrat, Ruhut Sitompul, meminta agar koleganya, Mirwan Amir, ber-besar hati dan berinisiatif keluar dari partai. “Inisiatif lah, undur-kan diri saja dari partai,” kata Ruhut.

Menurut Ruhut, jika Mir-wan resmi menjadi tersangka, ia harus segera berinisiatif mundur. “Tak perlu menunggu keputusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap,” ka-tanya.

Kasus transaksi mencuriga-kan yang membelit Mirwan ber-dampak buruk bagi populari-tas partai. Apalagi sebelumnya sejumlah berita korupsi yang membelit Partai Demokrat su-dah muncul secara bertubi-tubi. Mulai dari kasus Nazaruddin, kasus Hambalang yang meny-eret nama Anas Urbaningrum, dan kasus Wisma Atlet yang melibatkan Angelina Sondakh. “Sebelum kasus Mirwan, ada kasus Bupati Buol yang meli-batkan mantan anggota De-wan Pembina Partai Demokrat Hartati Murdaya Poo. Populari-tas kami di berbagai polling tersendat-sendat,” kata Ruhut. Alamak***

W

n Laporan Muhammad Saleh & Masrizal/dbs

Ruhut Sitompul Busyro Muqoddas

n G

OO

GLE

IMA

GE

S

Page 22: Wali Nanggroe Untuk Aceh Bukan PA

22 EDISI 5 - 11 NOVEMBER 2012

SEMUA sudah muncul di fakta sidang, khususnya keterangan soal adanya kode khusus untuk dae-

rah penerima alokasi DPID,” kata Nurhayati saat ditemui di Pengadilan Tindak Pidana Ko-rupsi Jakarta, Selasa, 11 Septem-ber 2012.

Dalam kasus ini Nurhay-ati didakwa mendapat duit Rp 6,25 miliar dari Fahd El Fouz, Saul Paulus David Nelwan alias Paul Nelwan, dan Abram Noch Mambu, lewat Haris Surahman. Fahd disebut menyetor Rp 5,25 miliar, Paul Nelwan Rp 350 juta, dan Abram Rp 400 juta. Duit itu untuk mengurus anggaran dana

Fakta Sidang Mirwan Terlibat

infrastruktur di empat kabupat-en, yakni Aceh Besar, Pidie Jaya, Minahasa, dan Bener Meriah.

Saat bersaksi untuk Nurhay-ati, Fahd menyebut pernah di-hubungi seorang pejabat dae-rah asal Aceh. Menurut Fahd, pejabat itu mengatakan kabu-paten incarannya sudah diplot untuk politikus lain. “Fahd bi-lang daerah itu sudah jatahnya Mirwan Amir dan Tamsil Lin-rung (Wakil Ketua Banggar dari Partai Keadilan Sejahtera),” ujar Nurhayati.

Pengakuan staf Banggar bernama Nando juga dipan-dang Nurhayati sudah men-unjukkan peran bos Banggar

DPR, termasuk Mirwan. Saat diperiksa beberapa waktu lalu, Nando tak memungkiri dirinya pernah membuat daftar pen-erima DPID, sesuai permintaan empat pemimpin Badan Angga-ran, yakni Mirwan, Tamsil, Olly Dondokambey, dan Melchias Markus Mekeng.

Nando menjelaskan, dalam dokumen alokasi DPID yang diketik, ada kode-kode yang di-gunakan. Di antaranya kode P1, P2, P3, P4, kode 1-9, PIM, K, dan A. P1 merujuk pada Mekeng, P2 Mirwan, P3 Olly, dan P4 Tamsil, K pada koordinator kelompok fraksi, PIM adalah pimpinan, dan A merupakan anggota.

Terdakwa kasus suap dana penyesuaian infrastruktur daerah, Wa Ode Nurhayati, menganggap fakta yang terungkap dalam persidangannya sudah menjelaskan peran bekas Wakil Ketua Badan Anggaran Dewan Perwakilan Rakyat, Mirwan Amir.

n Wa Ode Nurhayati

Adapun kode 1-9 diguna-kan untuk menyederhanakan sembilan fraksi, yakni Partai Demokrat, Partai Golongan Kar-ya, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Partai Keadilan Se-jahtera, Partai Amanat Nasional, Partai Amanat Nasional, Partai Persatuan Pembangunan, Par-

tai Kebangkitan Bangsa, Partai Gerakan Indonesia Raya, dan Partai Hati Nurani Rakyat.

Nurhayati menjelaskan, dalam dokumen itu, Minahasa dan Bener Meriah ditandai den-gan stabilo kuning dan tulisan merah muda. Adapun Pidie Jaya dan Aceh Besar ditandai den-gan stabilo kuning dan tulisan biru. “Warna merah muda itu merujuk pada Partai Keadilan Sejahtera, sedangkan biru mer-ujuk pada Partai Demokrat,” ujarnya.

Komisi Pemberantasan Ko-rupsi hari ini memeriksa Mir-wan dan Olly untuk berkas ter-sangka Fahd. Namun keduanya membantah disebut mengatur plot daftar penerima dana in-frastuktur. Mirwan juga men-yangkal kenal dengan Fahd.***

n Sumber: TEMPO.CO

SAYA memang punya kewajiban moral untuk Aceh, tetapi saya tidak pernah memperjuangan kepentingan orang

Aceh di pusat,” kata Mirwan Amir atau di Aceh akrab disapa Ucok Kuala Tripa, saat bersaksi dalam sidang perkara korupsi dugaan penerimaan hadiah pengurusan Dana Penyesuaian Infrastruktur Daerah (DPID) dengan terdakwa Wa Ode Nuryati, Selasa malam, 7 Agustus 2012.

Menurut anggota DPR RI asal Aceh dari Partai Demokrat ini, dalam kasus dana DPID untuk tiga kabupaten di Aceh yaitu Aceh Be-sar, Pidie Jaya dan Bener Meriah, dia sama sekali tidak mendapat jatah apapun.

Dimulai sejak pukul 14.00 siang hari itu, Mirwan Amir baru diperiksa setelah sidang diskor setengah jam untuk buka puasa dan salat magrib. Mirwan dihad-irkan sebagai saksi dalam kapa-sitas sebagai mantan Wakil Ketua Badan Anggaran DPR RI dari Fraksi Partai Demokrat. Selain itu, ikut diperiksa Tamsil Linrung, Wakil Ketua Banggar dari Partai Keadilan Sejahtera.

Bantahan Mirwan disang-gah Penasehat Hukum Wa Ode Zainab. Dia pun meminta Mirwan berkata jujur. “Dalam sidang se-belumnya sudah terbukti klien saya bukan yang mengurus tiga kabupaten penerima DPID di Aceh, melainkan jatah dua pimpi-nan Banggar yaitu Tamsil dan Mirwan,” kata Zainab yang me-nilai pernyataan Mirwan berbeda dengan keterangan sebelumnya.

“Terkait DPID saya tidak per-

nah dimintai bantuan oleh Dapil saya di Aceh untuk penyaluran bantuan DPID,” kata Mirwan lagi.

Menurut Mirwan, ia men-gaku mengenal terdakwa Wa Ode Nurhayati, tetapi tidak terkait dengan alokasi dana DPID. “Kare-na urusan saya lebih kepada ang-garan pusat, tidak di daerah-dae-rah. Saya anggota Banggar tahun 2010-2011,” kata Mirwan. Mirwan menambahkan, setahunya dana DPID sebesar Rp 7,7 triliun untuk bidang kesehatan, pengairan dan infrastruktur lain.

Majelis hakim sempat marah karena selama persidangan Mir-wan banyak bilang “lupa” dan “tidak ingat”. Padahal kata hakim, ada banyak wartawan yang bisa mencatat semua pernyatan Mir-wan. “Anda masih 51 tahun, tapi kenapa banyak lupa. Anda kan dari Partai Demokrat, katanya ko-rupsi No! Keterangan Anda hari ini sangat penting, menyangkut kasus ini”.

Hanya itukah? Tunggu dulu. Seperti diwartakan Harian Kompas, anggota Komisi I DPR RI Mirwan Amir juga membantah tudingan yang menyebut dirinya adalah “Bang Ucok” yang dise-but-sebut di dalam persidangan terdakwa kasus dugaan korupsi wisma atlet Kemenpora, Angelina Sondakh.

Yang tak kalah mengelitik adalah, politisi Partai Demokrat yang merupakan mantan Wakil Ketua Badan Anggaran (Bang-gar) ini mengaku, dirinya tidak tahu siapa sosok Bang Ucok. “Bu-kan. Saya enggak kenal siapa itu. Nama saya Mirwan Amir,” ujar Mirwan, Rabu 17 Oktober 2012, di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta.

Mirwan menjelasan, dirinya

sama sekali tidak kenal dengan Mindo Rosalina Manulang, ter-pidana kasus suap wisma atlet. “Saya sama sekali enggak kenal Rosa. Tidak berhubungan, tidak pernah tahu, siapa itu manusia,” tukas pria berkacamata ini.

Sebelumnya, panggilan “Bang Ucok” dilontarkan man-tan staf pemasaran Grup Per-mai, Mindo Rosalina Manulang, di dalam persidangan terdakwa Angelina Sondakh beberapa waktu lalu. Rosa mengungkapkan bahwa “Ketua Besar” alias pimpi-nan Banggar yang tertulis dalam percakapan BlackBerry Messen-ger antara dirinya dan Angie ada-lah “Bang Ucok”.

Dalam percakapan itu, “Bang Ucok” meminta “Apel Malang” yang merupakan istilah untuk ru-piah. Mirwan berkilah bahwa di-rinya bukan Ketua Banggar. “Saya itu bukan Ketua Banggar. Saya itu kan wakil (dulu),” kata Mirwan. Saat ditekankan bahwa wakil juga termasuk pimpinan Banggar, Mir-wan kembali mengulang pernyat-aannya bahwa ia tidak mengenal

Rosa. “Tanya saja Rosa siapa itu,” ujarnya.

Mirwan yang selalu meman-tau perkembangan kasus korupsi wisma atlet ini mengaku tergang-gu dengan adanya pemberitaan yang menyudutkannya. Meski terganggu, Mirwan tidak akan melakukan upaya hukum lantaran merasa tidak memiliki kaitan atau masalah apa pun dengan kasus Angelina Sondakh. “Ngapainlah, kita enggak ada masalah apa-apa, kenapa harus digubris itu. Saya terganggu dengan omongan kayak gitu,” katanya lagi.

Sebelumnya, panggilan “Bang Ucok” yang merujuk pada Mirwan Amir diungkapkan Wakil Ketua Banggar DPR, Tamsil Lin-rung. Tamsil menuturkan bahwa teman-teman di Banggar kerap memanggil Mirwan dengan “Bang Ucok”. “Ee... Iya, benar memang dia suka dipanggil be-gitu,” ujar Tamsil.

Politisi PKS yang namanya sempat dikait-kaitkan dalam kasus dugaan korupsi alokasi dana Percepatan Pembangunan Infrastruktur Daerah (PPID) itu menuturkan, panggilan “Bang Ucok” untuk Mirwan paling ser-ing dilontarkan oleh rekan sesa-ma Partai Demokrat. “Teman-temannya dia benar yang suka panggil begitu. Enggak tahu kenapa dipanggil itu, yang lain ikut-ikut saja,” katanya.

Menurut transkrip percaka-pan BlackBerry Messenger (BBM) antara Angelina dan Rosa, ada permintaan dari Angelina kepada Rosa mengenai jatah “apel ma-lang” untuk “Ketua Besar”.

Berikut isi percakapannya: “Itu kan beda, hihihi, soalnya aku diminta ketua besar, lagi kepengin makan apel malang,” demikian bunyi percakapan tersebut.

Kemudian, ada juga BBM dari Angelina yang mengata-kan, “Tugas aku kalo diminta ketua besar harus menyediakan, soalnya apelnya beda rasanya,

asli malang jadi ga ada duanya. Huahaaaa, jadi kalo boleh dise-diakan apel malang yang seger ya, kalo ketua besar kenyang kita khan enak”.

Dari Banda Aceh dilaporkan. Sejumlah aktivis mahasiswa dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) serta politisi dari be-berapa partai lokal dan nasional hanya bisa tersenyum saat dit-anya masalah ini. “Ah, sudah ga-haru cendana pula. Sudah tahu tanya pula,” sebut salah seorang anggota DPR Aceh dari Partai Demokrat, Jumat pekan lalu.

Tak hanya itu, seorang man-tan aktivis yang kini aktif di salah satu partai lokal Aceh berkata. “Bisa jadi, secara hukum dia be-nar, sebab tak ada akte kelahiran yang menyatakan dirinya Ucok. Yang ada hanya Mirwan Amir. Tapi, secara etika dan politis, se-mua anak muda dan politisi di Aceh tahu kalau Mirwan Amir itu adalah Bang Ucok,” ungkap dia.

Mengenai pengakuan dirin-ya tak terlibat dalam lobi bantuan anggaran untuk Aceh. Pertan-yaaan ini pun mendapat cercaan dari banyak pihak. “Wah, kalau itu benar, ngapain pula dia duduk sebagai wakil rakyat Aceh sudah dua periode. Ke depan jangan pilih lagi politisi seperti dia,” celetuk seorang pengusaha di Banda Aceh.

Begitupun, pengusaha yang mengaku akrab dan sangat den-gan dengan Mirwan Amir terse-but dapat memahami, pernyataan dan pengakuan Ucok semata-mata untuk menghindar dari jera-tan hukum. “Dia itu sudah panik. Siapa sih ndak kenal kiprahnya. Hampir semua Bupati dan Waliko-ta di Aceh berurusan dengan dia soal anggaran di DPR RI,” ungkap sumber ini.

Nah, akankah Mirwan Amir alias Bang Ucok terjerat hukum dengan berbagai tuduhan yang kini melilit dirinya? Hanya waktu yang bisa menjawabnya. ***

Meski duduk di DPR RI dari Daerah Pemilihan Aceh, mantan Ketua Partai Demokrat Aceh Mirwan Amir – sering disapa Ucok Kuala Tripa- mengaku tidak pernah memper-juangkan alokasi anggaran untuk Aceh di pusat. Dia pun tak mengaku dengan pang-gilan Bang Ucok. Alamak!

Bukan Bang Ucok dan tak Ada Anggaran Untuk Aceh

n Laporan Masrizal/dbs

Wa Ode Nurhayati

Mirwan Amir

Page 23: Wali Nanggroe Untuk Aceh Bukan PA

23Kabar Dunia EDISI 5 - 11 NOVEMBER 2012

INI seakan mereka membunuh sebagi-an dari hidup kami, seolah-olah kami kehilangan seba-

gian diri kami, karena di tempat ini, leluhur kami mengekalkan ingatan mereka, perjuangan mereka,” ujar Garapira Pataxó, anggota kelompok adat Pataxó, dalam sebuah wawancara ke-pada IPS setelah pemerintah ne-gara bagian Rio de Janeiro men-etapkan keputusan untuk mem-bongkar puing bangunan yang berdiri di seberang stadion.

Otoritas menyatakan bekas Museu do Indiao yang arkaik ini mesti lenyap demi memudah-kan akses ke Estádio Jornalista Mário Filho, atau dikenal den-gan Stadion Maracaná, yang untuk kali kedua dalam sejarah bakal jadi tuan rumah final Piala Dunia 2014.

Bangunan yang akan diru-buhkan ini dibangun 147 tahun lalu. Pada 1953, ia menjadi kan-tor pusat pertama Museum do Indiao, dibuat antropolog Darcy Ribeiro. Namun pada 1978 mu-seum dipindahkan ke sebuah rumah tua milik bangsawan di sekitar Botafogo di selatan kota.

Bangunan tua itu juga men-

Salah satu korban dari renovasi stadion sepakbola Maracaná di Brazil untuk Piala Dunia adalah Museum Indian kuno, tempat orang-orang dari beragam kelompok adat berusaha mempertahankan kebudayaan mereka tetap hidup di jantung kota Rio de Janeiro.

jadi tempat Dinas Perlindungan Indian saat kali pertama diben-tuk sebuah badan yang kemu-dian digantikan FUNAI, Yayasan Indian Nasional.

Sejak museum pindah, bangunan awal menjadi rusak dan terabaikan. Pekarangan di sekitarnya diduduki sekitar dua lusin orang dari kelompok adat yang berbeda pada 2006, sebagai “simbol perlawanan budaya,” ujar pemimpin adat Doitiró Tukano dari suku Tuka-no dari hutan Amazon.

“Kami di sini untuk menun-jukkan perbedaan kebudayaan kami, yang bukan tiruan, tapi asli milik kami sendiri. Saat ini, menurut Badan Statistik Brazil, ada 305 kelompok adat den-gan 186 bahasa di Brazil dan itulah yang ingin kami tunjuk-kan. Inilah perlawanan kami,” ujarnya.

Ada sekitar 600.000 ang-gota masyarakat adat di negara dengan jumlah penduduk 192 juta jiwa ini.

Menurut laporan yang be-lum dikonfirmasikan, bangu-nan tua itu akan diubah jadi pusat olahraga khusus dan la-han parkir di seberang stadion yang pernah jadi tuan rumah final Piala Dunia 1950, di mana tim nasional Uruguay secara mengejutkan memenangi laga

melawan tim tuan rumah.

Sepakbola jadi alasanSergio Cabralg, Gubernur

negara bagian Rio de Janeiro, menyatakan pembongkaran Museum do Indiao tua diminta oleh FIFA. Tapi, asosiasi sepak-bola dunia itu membantah.

Renato Cosentino, juru bi-cara untuk Komite Rakyat Piala Dunia 2014 dan Olimpiade 2016, berkata pernyataan Cabral han-yalah dalih.

“Olahraga sering dipakai sebagai alasan untuk mengusir orang-orang dari dearah yang nilai propertinya tinggi,” ka-tanya pada IPS, merujuk peng-gusuran paksa warga dari ka-wasan miskin di Rio de Janeiro dan 11 kota Brazil lainnya, tem-pat pertandingan Piala Dunia akan dihelat.

Sekitar 170.000 orang telah diusir di seluruh negeri, termas-uk 30.000 orang di Rio de Janei-ro, yang juga bakal menggelar Olimpiade 2016. Dua dari kam-pung kumuh atau kota gubuk, di mana penduduknya telah diu-sir, adalah untuk Stadion Marac-aná, yang menjadi “simbol dari proses pelanggaran HAM yang kami alami di Brazil,” kata wakil dari Komite Rakyat, yang meny-atukan penduduk lokal yang terkena dampak pergelaran

olahraga akbar itu. “Sangat se-dih melihat impian kami bakal berakhir,” tutur Tukano.

“Ini adalah tempat berpijak yang ingin kami tinggalkan un-tuk generasi berikutnya,” ujarn-ya sembari menjelaskan bahwa dia tak “menentang warga Bra-zil yang cinta sepakbola… Tapi Piala Dunia tak memberikan apa-apa kepada kami. Tentu ia mendatangkan keuntungan bagi perusahaan besar yang bertindak sebagai sponsor.”

Penduduk asli yang ting-gal di reruntuhan dan lahan museum kuno bersiap melawan pembongkaran, sementara kan-tor Ombudsman siap melawan keputusan itu di pengadilan dengan alasan bangunan itu memiliki nilai sejarah.

Tempat suciPara penghuni liar mendi-

rikan rumah dengan bahan-bahan sederhana seperti tanah liat, sebagai upaya membangun sebuah desa adat yang khas, yang mereka sebut Kampung Maracaná. Di sini mereka men-jalankan ritual adat dan menco-ba menjaga tradisi mereka tetap hidup di tengah kepadatan kota yang mengepung mereka.

Di antara tangga berkarat dan belitan akar pepohonan di reruntuhan tembok, mereka menghelat kegiatan budaya seperti tarian dan upacara tradi-sional, pameran foto, bahkan pertunjukan fashion yang me-mamerkan pakaian adat.

Sebelum berita pembong-karan ditetapkan, orang-orang

Demi Piala Dunia, Simbol Budaya Adat Dibongkar

n Laporan Fabiana Frayssinet

n GOOGLE IMAGEMuseum Indian Kuno di Brazil.

Naskah ini dipublikasikan atas kerjasama Yayasan Pantau dan IPS Asia-Pasifik dengan Tabloid

Berita Mingguan MODUS ACEH.

di Kampung Maracaná sedang mempersiapkan upacara tradi-sional menyambut masa akil balik untuk anak perempuan, yang akan dihadiri remaja-remaja dari beberapa desa di seluruh negeri. “Anda bisa li-hat bagaimana masyarakat adat suka makan singkong,” ujar Afonso, bercanda.

Chamakiri dari masyarakat adat Apuriná, salah satu suku Amazon, mengatakan dia dan keluarga barunya makan siang dengan ikan bakar yang disaji-kan dengan tepung singkong.

Chamakiri punya cerita menarik. Dia datang ke Rio de Janeiro dengan impian menjadi seorang aktor. “Ibu saya da-tang sekali ke kota dan terke-san oleh ‘sebuah kotak dengan orang-orang di dalamnya yang berbicara’,” tuturnya. Ini adalah kali pertama dia meninggalkan kampungnya di Amazon, dan dia belum pernah melihat tel-evisi.

Impiannya terwujud. Dia muncul dalam beberapa film, yang terakhir Vermelho Brasil, produksi gabungan antara Bra-zil, Kanada, dan Prancis.

Di balik tembok yang di-bangun perusahaan untuk mer-enovasi Stadion Maracaná, para pekerja mengintip upacara yang diadakan untuk menyam-but IPS. Penduduk asli yang tinggal di lahan museum kuno berdoa kepada para leluhur agar pemerintah “mendapat pencerahan” dan menghormati “tempat suci” mereka.

“Kami tak melawan mere-ka,” ujar Chamakiri tentang para pekerja di stadion. “Mere-ka juga kebanyakan suku In-dian seperti kami. Yang lainnya berkulit hitam, mereka seperti kami.”

Chamakiri suka bercerita beberapa orang ingat bahasa ibu yang diucapkan kali perta-ma untuk menyebut nama sun-gai setempat, kemudian tetang-ga, dan kemudian stadion.

Maracaná adalah spesies burung lokal yang masih “data-ng untuk makan buah di pohon itu,” ujarnya, menunjuk salah satu dari banyak spesies pohon yang masih tumbuh di tengah kota berpenduduk sekitar 13 juta jiwa ini.

“Burung itu hidup lebih lama dari peradaban, sementa-ra masyarakat adat Maracaná kuno, yang menguasai wilayah ini, telah punah,” jelas Chama-kiri. Itulah mengapa sangat penting menyelamatkan pusat kebudayaan ini, yang mewakili catatan dari semua budaya le-luhur yang berkembang di sini dan dihancurkan di sini.

“Kami ingin ini menjadi tempat suci masyarakat adat,” tambahnya.***

Page 24: Wali Nanggroe Untuk Aceh Bukan PA