WACANA PEMBEBASAN SATINAH DARI HUKUMAN MATI … PEMBEBASAN SATINAH DARI … · 3 tetapi yang...

21
1 WACANA PEMBEBASAN SATINAH DARI HUKUMAN MATI DALAM PEMBERITAAN DI SURAT KABAR (Analisis Wacana Pemberitaan Pembebasan Satinah dari Hukuman Mati pada Harian Kompas dan Media Indonesia Periode 1 Maret 30 April 2014) Nur Fitriana Sholikhah Mursito BM Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret Surakarta Abstract The phenomenon of repeated violence and death threats affecting migrant workers became phenomenon for the people of Indonesia as well as a lot of media attention because of the news has a high news value. Moreover, not long ago melancholy fate Satinah bint Jumadi, residents Ungaran, Central Java, facing the death penalty in Saudi Arabia re-sticking. She was convicted for the murder of her employer and the theft of money in June 2007. Satinah news about facing the death penalty become a hot topic for several weeks in the media and presented in a variety of viewpoints. However, according to the Observer TKI Noryati Solapri, so far only the mass media proclaim migrant workers in terms of the problems they face, but the achievement is less reported. Meanwhile, according to the Employment Observer Shobichatul Aminah, news of the death penalty as the case reported as cases of abuse rather than legal process. Kompas as one of segmented national newspapers have different writing styles with other media. The language used tends neat and not bubbling. News published are the result of the formulation of balanced effort. While Media Indonesia is known as a newspaper critical, be firm and clear challenging the government. For two months, found 3 news on Kompas and 9 related news on Media Indonesia Satinah case. Therefore, this study aims to determine the discourse of what is presented and see how the Kompas and Media Indonesia construct and proclaim release Satinah of the death penalty. The study was focused on text related news Satinah liberation of the death penalty period 1 March to 30 April, 2014. This study is a qualitative study using the method of discourse analysis Teun van Dijk. With discourse analysis, researchers will look at how the discourse of liberation Satinah of the death penalty is constructed and presented in the text of news in Kompas and Media Indonesia through dimensional analysis of the text. This study led to the conclusion that both the Kompas and Media Indonesia to proclaim the liberation of the death penalty Satinah reported as cases of abuse and criticism of the government rather than a legal process. Satinah was made the object of exploitation. Although in its message, the language used is more subtle Kompas and Media Indonesia bolder. Kompas explicitly supportive of the government, but implicitly also showed a sharp criticism of the government and Media Indonesia clearly shows his criticism of the government's position by presenting it in the news more intensive when compared Kompas or other national newspapers. Keywords: discourse analysis, news, construction of reality, migrant workers, the death penalty

Transcript of WACANA PEMBEBASAN SATINAH DARI HUKUMAN MATI … PEMBEBASAN SATINAH DARI … · 3 tetapi yang...

1

WACANA PEMBEBASAN SATINAH DARI HUKUMAN MATI DALAM

PEMBERITAAN DI SURAT KABAR

(Analisis Wacana Pemberitaan Pembebasan Satinah dari Hukuman Mati pada Harian

Kompas dan Media Indonesia Periode 1 Maret – 30 April 2014)

Nur Fitriana Sholikhah

Mursito BM

Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Sebelas Maret Surakarta

Abstract The phenomenon of repeated violence and death threats affecting migrant workers

became phenomenon for the people of Indonesia as well as a lot of media attention because of

the news has a high news value. Moreover, not long ago melancholy fate Satinah bint Jumadi,

residents Ungaran, Central Java, facing the death penalty in Saudi Arabia re-sticking. She was

convicted for the murder of her employer and the theft of money in June 2007.

Satinah news about facing the death penalty become a hot topic for several weeks in

the media and presented in a variety of viewpoints. However, according to the Observer TKI

Noryati Solapri, so far only the mass media proclaim migrant workers in terms of the problems

they face, but the achievement is less reported. Meanwhile, according to the Employment

Observer Shobichatul Aminah, news of the death penalty as the case reported as cases of abuse

rather than legal process.

Kompas as one of segmented national newspapers have different writing styles with

other media. The language used tends neat and not bubbling. News published are the result of

the formulation of balanced effort. While Media Indonesia is known as a newspaper critical, be

firm and clear challenging the government. For two months, found 3 news on Kompas and 9

related news on Media Indonesia Satinah case.

Therefore, this study aims to determine the discourse of what is presented and see how

the Kompas and Media Indonesia construct and proclaim release Satinah of the death penalty.

The study was focused on text related news Satinah liberation of the death penalty period 1

March to 30 April, 2014.

This study is a qualitative study using the method of discourse analysis Teun van Dijk.

With discourse analysis, researchers will look at how the discourse of liberation Satinah of the

death penalty is constructed and presented in the text of news in Kompas and Media Indonesia

through dimensional analysis of the text.

This study led to the conclusion that both the Kompas and Media Indonesia to proclaim

the liberation of the death penalty Satinah reported as cases of abuse and criticism of the

government rather than a legal process. Satinah was made the object of exploitation. Although

in its message, the language used is more subtle Kompas and Media Indonesia bolder. Kompas

explicitly supportive of the government, but implicitly also showed a sharp criticism of the

government and Media Indonesia clearly shows his criticism of the government's position by

presenting it in the news more intensive when compared Kompas or other national newspapers. Keywords: discourse analysis, news, construction of reality, migrant workers, the death penalty

2

Pendahuluan

Fenomena kekerasan yang terus berulang dan bahkan hingga ancaman

hukuman mati yang menimpa TKI menjadi fenomena tersendiri bagi masyarakat

Indonesia serta banyak menarik perhatian media karena dari sisi berita hal tersebut

memiliki nilai berita yang tinggi. Hal tersebut bukan tanpa alasan. Menurut

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, jika ada WNI yang dijatuhi hukuman di

luar negeri, itu jadi isu yang sensitif bagi masyarakat kita, apalagi kalau hukuman

itu hukuman mati.1

Belum lama berselang nasib pilu Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang

bekerja di Arab Saudi kembali mencuat. Kali ini menimpa Satinah binti Jumadi,

warga Ungaran, Jawa Tengah yang terancam hukuman mati oleh perintah Arab

Saudi. Ia dinyatakan bersalah atas pembunuhan majikannya, Nura Al Gharib dan

pencurian uang sebesar SR 37.970 atau setara Rp 119 juta pada Juni 2007.

Kasus Satinah kemudian menjadi fenomenal. Terlebih setelah kasus TKI

Ruyati yang berakhir dengan eksekusi hukuman mati pada tahun 2011 silam dan

dianggap telah mencoreng martabat bangsa. Oleh karena itu, dalam kasus Satinah

kali ini pemberitaan media sangat intensif. Pemberitaan mengenai Satinah yang

terancam hukuman mati menjadi topik hangat selama beberapa minggu di

berbagai media massa, baik cetak, televisi, radio maupun online.

Media pun secara bersamaan memberitakan kasus tersebut dari berbagai

sudut pandang. Meskipun kasus yang diliput sama, namun suatu peristiwa bisa

diberitakan dengan sudut pandang, perspektif atau angle tertentu. Oleh karena itu,

suatu peristiwa yang sama bisa dipandang berbeda oleh dua media.2 Bahkan

perbedaannya bisa menjadi sangat signifikan. Begitu pula dengan penafsiran

media terhadap suatu realitas, antara media satu dengan yang lainnya berbeda.

Akan tetapi, menurut Pemerhati TKI Noryati Solapri, selama ini media

massa hanya memberitakan TKI dari segi permasalahan yang mereka hadapi saja,

1 Aries Setiawan & Nila Chrisna Yulika,”Bahas Nasib TKI Satinah, SBY Gelar Rapat Terbatas”.

http://www.vivanews.com. 01/09/2014/05.29 2 Mursito BM, Jurnalistik Komprehensif (Jakarta: Literate, 2013) hlm. 171

3

tetapi yang berprestasi kurang diberitakan.3 Sedangkan menurut Pemerhati

Ketenagakerjaan Shobichatul Aminah, berita tentang kasus hukuman mati seolah

diberitakan sebagai sebuah kasus penganiayaan daripada sebuah proses hukum.4

Selain itu, menurut Duta Besar Arab Saudi untuk Indonesia Mustafa Bin Ibrahim

al Mubarak, media massa di Indonesia dinilai terlalu sering membesar-besarkan

permasalahan TKI yang terkena kasus hukum di Arab Saudi.5

Harian Kompas dan Media Indonesia sebagai harian bersegementasi

nasional tentunya juga turut memberitakan fenomena pembebasan Satinah dari

hukuman mati. Kompas dikenal sebagai salah satu barometer surat kabar di

Indonesia yang memiliki gaya penulisan berbeda dengan media lain. Bahasa yang

digunakan cenderung rapi dan tidak meletup-letup, meskipun jika dicermati isinya

mengandung kritikan dan sindiran-sindiran tajam.6. Berita yang dimuat

merupakan hasil penggodokan matang dan diupayakan berimbang. Sedangkan

Media Indonesia dikenal sebagai surat kabar yang kritis, bersikap tegas dan jelas

menantang pemerintah.7 Selain itu, pada Media Indonesia ditemukan pemberitaan

terkait kasus Satinah yang lebih intensif jika dibandingkan dengan surat kabar

lainnya. Selama dua bulan, terhitung sejak bulan Maret hingga April 2014,

ditemukan 3 berita pada Kompas dan 9 berita pada Media Indonesia.

Oleh karena itu, untuk mengetahui wacana apa saja yang disajikan dan

melihat bagaimana Kompas dan Media Indonesia mengkonstruksi serta

memberitakan pembebasan Satinah dari hukuman mati akan digunakan analisis

wacana. Analisis wacana merupakan metode untuk mengkaji wacana yang

terdapat pada pesan komunikasi. Isi pesan komunikasi yang dapat dikaji

menggunakan metode ini sebagian diantaranya berupa analisis teks, termasuk

dalam berita.

3 “Pemberitaan Tentang TKI di Media Belum Berimbang” http://www.bnp2tki.go.id/berita-main

menu-231/4366-pemberitaan-tentang-tki-di-media-belum-berimbang-.html. 24/09/2014/01.08 4 KJRI Jeddah, Suara Indonesia (Jeddah: KJRI Jeddah, 2012) hlm. 6

5 Daryono. “Dubes Arab Saudi: Pemberitaan Kasus TKI Terlalu Dibesar-besarkan” http://www.

timlo.net/baca/68784/soal-tki-dubes-arab-saudi-pemberitaan-tki-terlalu-dibesar-besarkan/.24/09/

2014/01.44 6 Nor Islafatun, Jakob Oetama: Bekerja Dengan Hati (Yogyakarta: Buku Pintar, 2013) hlm. 77

7 David T. Hill. Pers di Masa Orde Baru (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2011) hlm.

116

4

Rumusan Masalah

Rumusan masalah pada penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Wacana apa saja yang disajikan dalam pemberitaan pembebasan Satinah dari

hukuman mati di Harian Kompas dan Media Indonesia periode 1 Maret – 30

April 2014?

2. Bagaimanakah Harian Kompas dan Media Indonesia mengkonstruksi

pemberitaan pembebasan Satinah dari hukuman mati?

Telaah Pustaka

1. Komunikasi sebagai Produksi dan Pertukaran Makna

Istilah komunikasi atau dalam bahasa Inggris communication berasal

dari kata Latin communication, dan bersumber dari kata communis yang

berarti sama, yang maksudnya adalah sama makna.8 Istilah ini memiliki arti

bahwa komunikasi akan berlangsung apabila ada kesamaan mengenai apa

yang dipercakapkan. Namun pengertian tersebut masih terlalu umum untuk

menjelaskan apa itu komunikasi.

Gerald R. Miller menjelaskan bahwa “komunikasi terjadi ketika suatu

gambar menyampaikan suatu pesan kepada penerima dengan niat yang

disadari untuk mempengaruhi perilaku penerima”.9 Everett M. Rogers juga

menjelaskan bahwa “komunikasi adalah proses dimana suatu ide dialihkan

dari sumber kepada suatu penerima atau lebih, dengan maksud untuk

mengubah perilaku mereka”.

Sedangkan John Fiske melihat komunikasi sebagai produksi dan

pertukaran makna. Bagaimana pesan atau teks berinteraksi dengan orang-

orang dalam rangka menghasilkan makna, yaitu berkenaan dengan peran teks

dalam kebudayaan. Dimana pesan merupakan suatu konstruksi tanda yang

melalui interaksinya dengan penerima, menghasilkan makna. Disini yang

tekankan adalah teks dan bagaimana teks tersebut “dibaca”.

8 Deddy Mulyana, Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar (Bandung : Rosda Karya, 2008) hlm. 9

9 Ibid. hlm. 62

5

2. Surat Kabar

Media massa secara sederhana didefinisikan media yang digunakan

dalam komunikasi massa, terdiri dari media cetak – surat kabar, majalah dan

tabloid, media elektronik – televisi dan radio serta new media – internet.

Surat kabar, meski tergolong media konvensional namun

penggunaannya masih bertahan hingga kini di tengah gempuran media yang

lebih modern seperti televisi dan internet. Hal tersebut dikarenakan surat kabar

merupakan media massa yang mudah didapat, murah dan menjangkau lapisan

masyarakat secara luas.

Harimurti Kridalaksana mendefinisikan surat kabar sebagai terbitan

berkala yang memuat berita, risalah, karangan, iklan, dan lain sebagainya.10

Surat kabar terdiri dari fakta dan opini. Fakta meliputi berita dan

feature, sementara opini terdiri dari antara lain tajuk rencana, pojok, karikatur,

surat (dari) pembaca dan artikel.11

Sebagai media komunikasi, surat kabar memiliki beberapa fungsi

mendasar, yaitu memberikan informasi yang objektif kepada pembaca

mengenai apa yang terjadi dalam lingkungannya dan mengulas berita-berita

dalam tajuk rencana dan membawa perkembangannya menjadi sorotan.12

3. Berita

Jakob Oetama mendefinisikan berita sebagai laporan tentang kejadian

yang aktual, bermakna dan menarik. Begitu pula Charnley yang

mendefinisikan berita sebagai laporan yang hangat, padat dan cermat

mengenai suatu kejadian, bukan kejadian itu sendiri.13

Assegaf memberi definisi berita sebagai laporan mengenai fakta atau

ide yang termasa, yang dipilih oleh staf redaksi suatu harian untuk disiarkan,

entah karena pentingnya atau akibatnya, entah pula karena ia mencakup segi-

segi human interest seperti humor, emosi, dan ketegangan.14

10

Muchlis Yahya, Komunikasi Politik dan Media Massa (Semarang: Gunung Jati, 2000) hlm. 102 11

Ibid. hlm. 229 12

Ibid. hlm. 102 13

Op.Cit. hlm. 82 14

Dja’far H Assegaf, Jurnalisme Masa Kini (Jakarta : PT Ghalia Indonesia, 19820) hlm. 24

6

Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa berita

adalah laporan fakta atau kejadian atau peristiwa yang terjadi di masyarakat

yang aktual, menarik, penting bagi sebagian besar khalayak dan disiarkan

melalui media berkala seperti surat kabar, radio, televisi atau internet.

Daging berita adalah fakta, demikian selalu dinyatakan setiap kali kita

berbicara soal hubungan antara berita dengan fakta. Semua unsur peristiwa,

yang terdiri dari kejadian, opini orang, situasi, dan kondisi, dipersepsi dan

direkam wartawan. Di kantor redaksi, di depan komputer, wartawan

melakukan identifikasi menyeleksi, mensistematisasi, memberi struktur pada

fakta-fakta hasil observasi tersebut. Fakta-kata hasil persepsi dan observasi,

berupa “rekaman” peristiwa ini merupakan realitas yang akan ditulis menjadi

berita. Dengan demikian berita merupakan realitas hasil konstruksi

wartawan.15

Sehingga laporan fakta atau berita yang disiarkan dan dibaca oleh

masyarakat merupakan realitas simbolik hasil bentukan media.

Dalam surat kabar terdapat dua format penulisan berita yang sering

digunakan, yaitu straight news dan feature. Berita lugas (straight news)

merupakan berita yang mengutamakan penyampaian informasi dengan segera,

lugas, to the point, ringkas, dan tidak memerlukan kedalaman. Dimana fakta

disusun secara sekuensial, diurutkan mulai dari yang paling penting.16

Sebagian besar halaman depan surat kabar berisi berita lugas. Sedangkan

berita kisah (feature news) merupakan berita atau informasi ringan yang

sifatnya “menghibur” dan mengandung “human interest”. Feature news

mencoba menemukan “realitas lain” dari realitas yang dipaparkan berita lugas

dengan tidak menghilangkan seluruh unsur 5W+1H. Sama-sama menjawab

pertanyaan 5W+1H, realitas straight news lebih ditekankan pada informasi

yang aktual, sentuhannya kognitif; sementara realitas feature news tidak

terikat pada aktualitas, tetapi lebih menyentuh perasaan.17

Singkatnya, feature

news merupakan pendalaman dari straight news.

15

Mursito BM, Jurnalisme Komprehensif (Jakarta : Literate, 2013) hlm. 70-71 16

Ibid. hlm. 160 17

Ibid. hlm. 190

7

4. Teks sebagai Wacana

Berbicara mengenai wacana tentu tidak bisa lepas dari bahasa sebagai

akar dari wacana itu sendiri. Eriyanto menjelaskan bahwa teks bukanlah

sesuatu yang datang dari langit, juga suatu ruang hampa yang mandiri. Akan

tetapi, teks dibentuk dalam suatu praktek diskursus, suatu praktek wacana.

Teks hadir sebagai bagian yang menggambarkan representasi masyarakat.

Dimana terdapat dua bagian, yaitu teks yang mikro dan elemen besar berupa

struktur sosial yang saling mempengaruhi. Maka untuk melihat teks dibentuk

dalam suatu praktek wacana, van Dijk membuat suatu jembatan yang

menghubungkan elemen besar berupa struktur sosial tersebut dengan elemen

wacana yang mikro dengan sebuah dimensi yang dinamakan kognisi sosial.18

Sementara, peristiwa komunikasi selalu identik dengan kehidupan

manusian karena merupakan proses dimana manusia mengungkapkan isi

pikiran, ide, gagasan, maksud dan sebagainya. Sehingga teks merupakan

satuan bahasa yang menjadi sarana vital untuk mendukung suatu peristiwa

komunikasi.

Kemudian, perlu dipahami bahwa teks merupakan satuan makna

sehingga teks dalam media yang terdiri dari satuan bahasa harus dipandang

dari dua sudut bersamaan, baik sebagai hasil maupun sebagai produk.. Selain

itu, teks juga dapat dipahami sebagai suatu sistem bahasa yang bersifat

semantik dan sekaligus fungsional.

Bahasa dalam media massa dapat dipahami tidak semata-mata hanya

sebagai alat komunikasi untuk menggambarkan realitas. Akan tetapi, dibalik

penggambaran realitas terkandung makna apa yang ingin disampaikan oleh

media. Dimana media juga dapat memberikan pengaruh kepada khalayak.

Van Dijk melihat suatu teks terdiri atas beberapa struktur atau

tingkatan yang masing-masing saling mendukung. Ia membaginya ke dalam

tiga tingkatan, yaitu struktur makro, superstruktur dan struktur mikro.19

Menurut Van Dijk, meskipun terdiri dari berbagai elemen, semua elemen

18

Eriyanto, Analisis Wacana. (Yogyakarta: LKis Group, 2012) hlm. 222 19

Ibid. hlm. 225-226

8

tersebut merupakan suatu kesatuan, saling berhubungan dan mendukung satu

sama lainnya. Makna global dari suatu teks (tema) didukung oleh kerangka

teks dan pada akhirnya pilihan kata dan kalimat yang dipakai. Pernyataan atau

tema pada level umum didukung oleh pilihan kata, kalimat atau retorika

tertentu. Prinsip ini membantu peneliti untuk mengamati bagaimana suatu teks

terbangun lewat elemen-elemen yang lebih kecil.20

5. Konstruksi Realitas

Istilah konstruksi realitas menjadi dikenal sejak dipublikasikan oleh

Peter L.Berger dan Thomas Luckman melalui bukunya The Social

Construction of Reality yang didalamnya digambarkan proses sosial melalui

tindakan dan interaksinya dimana individu secara intens menciptakan suatu

realitas yang dimiliki dan dialami bersama secara subjektif. Oleh karena itu,

pemahaman terhadap sesuatu bisa terjadi akibat kita berkomunikasi dengan

orang lain. Realitas sosial sesungguhnya tidak lebih dari sekedar hasil

konstruksi sosial dalam komunikasi tertentu.21

Mursito BM dalam bukunya Jurnalisme Komprehensif mengutip

pendapat dari Van Peursen tentang realitas:22

Realitas bukan suatu objek. Karena bukan suatu objek melainkan

aturan, ia merupakan semacam norma, semacam kriteria untuk

mencapai pengetahuan yang benar dan pengamatan yang bermakna.

Dalam arti itu dapat dikatakan bahwa istilah realitas menunjukan

syarat bagi pengetahuan objektif, atau dalam bahasa filsafat realitas

bersifat transendental.

Karena realitas merupakan suatu aturan atau norma, maka akan

dijumpai beberapa bentuk realitas, yakni realitas subjektif, realitas simbolik,

realitas objektif, dan realitas media.

Realitas didefinisikan secara terus menerus melalui praktik bahasa,

yang bermakna sebagai pendefinisian selektif terhadap realitas yang

ditampilkan. Hal ini mengakibatkan suatu persoalan atau peristiwa di dunia

nyata tidak mengandung atau menunjukkan makna integral, tunggal dan

20

Ibid. hlm. 226-227 21

Alex Sobur, Analisis Teks Media (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2009) hlm. 91 22

Mursito BM, Jurnalisme Komprehensif (Jakarta : Literate, 2013) hlm. 72

9

intrinsik. Makna yang muncul hanyalah makna yang ditunjukkan melalui

bahasa. Bahasa dan simbolisasi adalah perangkat yang memproduksi makna.

Tom Wolf menjelaskan tentang konstruksi realitas yang dikutip

Nurudin, tulisan harus merupakan konstruksi dari adegan per adegan. Dengan

kata lain tulisan merupakan gaya bertutur dengan susunan mirip skenario film.

Dalam jurnalisme baru, penciptaan adegan diperkirakan bisa membuat

pembaca memahami perubahan cerita dengan sendirinya, tanpa harus

dijelaskan.23

6. Konsep Analisis Wacana

Analisis wacana adalah salah satu alternatif dari analisis isi, selain

analisis isi kuantitatif yang dominan dan banyak dipakai. Jika analisis isi

kuantitatif lebih menekankan pada pertanyaan “apa” (what), analisis wacana

lebih melihat pada “bagaimana” (how) dari pesan atau teks komunikasi. Bukan

hanya mengetahui bagaimana isi teks berita, analisis wacana juga melihat

bagaimana pesan disampaikan. Lewat analisis wacana kita bisa melihat makna

yang tersembunyi dari suatu teks.

Banyak model analisis wacana yang diperkenalkan dan dikembangkan

oleh para ahli, diantaranya model analisis wacana Roger Fowler (1979), Theo

Van Leeuwen (1986), Sara Mills (1992), Norman Fairclough (1998) dan Teun

A. Van Dijk (1998). Dari beberapa model analisis wacana tersebut, van Dijk

adalah model yang paling banyak dipakai karena van Dijk mengkolaborasikan

elemen-elemen wacana yang bisa diaplikasikan secara praktis.

Model yang dipakai van Dijk kerap disebut sebagai “kognisi sosial”.

Istilah yang diadopsi dari pendekatan psikologi sosial, terutama untuk

menjelaskan struktur dan proses terbentuknya suatu teks. Menurut Van Dijk,

penelitian atas wacana tidak cukup hanya didasarkan pada analisis atas teks

semata, karena teks hanya hasil dari suatu praktek produksi yang harus juga

diamati. Disini harus dilihat juga bagaimana bagaiman suatu teks diproduksi,

sehingga kita memperoleh pengetahuan mengapa teks bisa semacam itu.24

23

Nurudin, Jurnalisme Masa Kini (Jakarta: Rajawali Pers, 2009) hlm.185 24

Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media (Yogyakarta: LkiS, 2001) hlm. 221

10

Lebih lanjut, Encarnacion Hidalgo Tenorio dalam tulisannya

menjelaskan analisis Van Dijk sebagai berikut:25

Van Dijk‟s Socio-Cognitive Discourse Analysis is an approach

characterised by the interaction between cognition, discourse and

society. It began in formal text linguistics and subsequently

incorporated elements of the standard psychological model of memory,

together with the idea of “frame” taken from cognitive science. A

large part of van Dijk’s practical investigation deals with stereotypes,

the reproduction of ethnic prejudice, and power abuse by elites and

resistance by dominated groups.

Suatu teks yang cenderung memarjinalkan posisi wanita, misalnya,

lahir karena kognisi atau kesadaran mental di antara wartawan bahkan

kesadaran dari masyarakat yang memandang wanita secara rendah. Sehingga

teks disini hanya bagian kecil saja dari praktek wacana yang merendahkan

wanita. Oleh karena itu, penelitian mengenai wacana tidak bisa

mengeksklusifkan seakan-akan teks adalah bidang yang kosong, sebaliknya ia

adalah bagaian kecil dari struktur besar masyarakat. Pendekatan kognisi sosial

membantu memetakan bagaimana produksi teks yang melibatkan proses yang

kompleks tersebut dapat dipelajari dan dijelaskan.

Selain melalui koginisi sosial, ada konteks sosial yang mempengaruhi

proses produksi teks. Dimana konteks sosial secara sederhana dipahami

sebagai wacana yang berkembang dalam masyarakat, sehingga untuk meneliti

teks perlu dilakukan analisis intertekstual dengan meneliti bagaimana wacana

tentang suatu hal diproduksi dan dikonstruksi dalam masyarakat.26

Sajian dan Analisis Data

Dalam pemberitaan mengenai pembebasan Satinah dari hukuman mati di

surat kabar, peneliti menemukan enam judul berita tentang proses pembebasan

Satinah yang muncul selama periode 1 Maret – 30 April 2014 dengan perincian

dua judul di Harian Kompas dan empat judul di Harian Media Indonesia sebagai

berikut:

25

Encarnacion Hidalgo Tenorio, “Critical Discourse Analysis, An Overview”, Journal University

of Granada (2011) hlm. 190 26

Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media (Yogyakarta: LkiS, 2001) hlm. 271

11

1. Lobi Kasus Satinah Terus Dilakukan (Kompas/ Selasa, 25 Maret 2014)

2. “Diyat” Satinah Ditawar (Kompas/ Rabu, 26 Maret 2014)

3. Pemerintah Hanya Mau Bayar Rp 12,4 Miliar (Media Indonesia/ Selasa, 25

Maret 2014)

4. Negara Jangan Gamang Bela Satinah (Media Indonesia/ Kamis, 27 Maret 2014)

5. Rakyat Siap Bebasakan Satinah (Media Indonesia/ Jumat, 28 Maret 2014)

6. Pemerintah Tolak Bayar Uang Diat terlalu Tinggi buat Satinah (Media

Indonesia/ Sabtu, 29 Maret 2014)

Dalam menganalisis ke enam berita tersebut, peneliti akan menggunakan

metode analisis wacana yang dikembangkan oleh Teun van Dijk. Menurut Van

Dijk, analisis wacana dapat dilihat dari dimensi teks, kognisi sosial, dan konteks

sosial. Akan tetapi, dalam penelitian ini analisis data dibatasi hanya pada dimensi

teks saja. Berikut adalah analisis data dari salah satu teks berita di atas.

Analisis Data

Lobi Kasus Satinah Terus Dilakukan

1. Tematik

Tema utama yang dikembangkan dalam berita tersebut adalah upaya

pemerintah dalam melakukan pendekatan dan lobi terhadap keluarga korban

Al Gharib untuk membebaskan Satinah dari hukuman mati. Dalam sub topik

dijelaskan bahwa pemerintah sudah beberapa kali melobi dan berhasil

menurunkan besaran uang diyat hingga turun menjadi 7 juta riyal, setara 21,25

miliar. Selain itu pemerintah juga meminta tambahan waktu terkait keluarga

korban yang tetap meminta uang diyat sebesar 7 juta riyal.

2. Skematik

Wacana bahwa upaya pemerintah melakukan pendekatan dan lobi

terhadap keluarga korban Al Gharib untuk membebaskan Satinah dari

hukuman mati didukung oleh cara penceritaan (skematik) tertentu, yaitu

melalui penjalinan fakta maupun opini antara satu dengan yang lainnya dalam

teks berita tersebut.

12

Penggunaan judul “Lobi Kasus Satinah Terus Dilakukan” pada teks

berita menunjukkan bahwa pendekatan dan lobi untuk membebaskan Satinah

dari hukuman mati terus diupayakan oleh pemerintah hingga berkali-kali

dengan ditandai penggunaan kata “terus” yang bersifat kontinyu dan berulang.

Pada paragraf 1 dan 2 dalam pemberitaan ini wartawan ingin

menjelaskan bahwa pemerintah terus mengupayakan pendekatan dan lobi

terhadap keluarga korban. Dimana lobi dilakukan agar keluarga korban mau

menerima uang diyat yang telah disetorkan pemerintah ke pengadilan Arab

Saudi sebesar 4 juta riyal, setara 12 miliar. Setelah sebelumnya pemerintah

berhasil beberapa kali berhasil menurunkan besaran uang diyat hingga 7 juta

riyal, setara 21,25 miliar. Seperti yang terdapat pada kalimat berikut:

Pemerintah terus mengupayakan pendekatan dan lobi terhadap

keluarga majikan Satinah, tenaga kerja Indonesia yang divonis

hukuman mati. Lobi dilakukan agar keluarga menerima uang darah

(diyat) yang telah disetorkan ke pengadilan Arab Saudi sebesar 4 juta

riyal, setara Rp 12 miliar. (paragraf 1)

“Kami sudah beberapa kali melobi dan berhasil menurunkan besaran

uang diyat dari awalnya 15 juta riyal, 10 juta riyal, dan turun menjadi 7

juta riyal,” ujar Tatang. (paragraf 2)

Paragraf 3 dan 4 menjelaskan bahwa pemerintah meminta tambahan

waktu karena keluarga korban bersikeras meminta uang diyat sebesar 7 juta

riyal. Dijelaskan pula bahwa tambahan waktu diperlukan untuk

mengumpulkan lebih banyak uang sumbangan dana dari masyarakat. Seperti

yang terdapat pada kalimat berikut:

Dengan begitu, jika keluarga korban tetap meminta bayaran 7 juta

riyal, mereka harus memberi tambahan waktu (paragraf 3)

Tambahan waktu tersebut diperlukan untuk mengumpulkan lebih

banyak sumbangan dari masyarakat. Tatang mengatakan, saat ini

Pemerintah Provinsi Jawa Tengah sudah membuka nomor rekening

khusus untuk itu. (paragraf 4)

Paragraf 5 wartawan ingin menegaskan bahwa penanganan pemerintah

terkait lobi kasus Satinah jauh lebih maju jika dibandingkan dengan negara

lain yang juga memiliki banyak pekerja migran. Selain itu, pada paragraf 5

juga dijelaskan bahwa pembayaran uang diyat bukan berarti pemerintah

13

mengambil alih tanggung jawab pidana seseorang, termasuk dalam hal ini

Satinah. Seperti yang terdapat pada kalimat berikut:

Tatang mengingatkan, penanganan yang dilakukan pemerintah jauh

lebih maju dibandikan dengan negara lain, bahka Filipina, yang juga

menjadi negara asal pekerja migran. Hanya Indonesia yang

mengalokasikan pembayaran diyat diambil dari alokasi Anggaran

Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). “Namun perlu diingat,

pembayaran uang diyat bukan berarti pemerintah mengambil alih

tanggung jawab pidana seseorang,” ujarnya. (paragraf 5)

Paragraf 6, 7 dan 8 menjelaskan kronologis kasus Satinah hingga ia

dijatuhi hukuman mati. Dalam paragraf 7 dijelaskan bahwa Satinah mengaku

membunuh untuk membela diri. Akan tetapi saat menyerahkan diri ke kantor

polisi Arab Saudi upaya membela diri tersebut tidak dilaporkan. Seperti yang

terdapat pada kalimat berikut:

Satinah diancam hukuman mati di Arab Saudi karena mengaku

membunuh dan mengambil uang majikannya sekitar Rp 119 juta.

Majikan Satinah tewas setelah koma akibat dipukul perkakas pengadon

roti dalam perkelahian. (paragraf 6)

Berdasarkan catatan lembaga swadaya masyarakat Migrant Care,

Satinah mengaku membunuh untuk membela diri. Namun, upaya

membela diri itu tak dilaporkan saat menyerahkan diri ke kantor polisi

Arab Saudi. (paragraf 7)

Akibatnya, pengadilan Arab Saudi menetapkan hukum pancung.

(paragraf 8)

Paragraf 9 menjelaskan bahwa sejumlah LSM prihatin dengan nasib

Satinah dan membuka rekening untuk menggalang sumbangan masyarakat.

Selain itu, juga dijelaskan bahwa LSM menyayangkan selama proses

pengadilan awal Satinah tidak mendapat bantuan hukum semestinya.

Sementara paragraf 10 menjelaskan bahwa banyak pekerja migran asal

Indonesia yang tidak memiliki pengetahuan cukup terkait prosedur dan

penuntutan hak jika terjadi masalah. Seperti pada kalimat berikut:

Sementara itu, Karsiwen dari Asosiasi Buruh Migran Indonesia

mengatakan, banyak pekerja migran asal Indonesia tak memiliki

pengetahuan cukup terkait prosedur pengaduan dan penuntutan hak

jika terjadi masalah. Kebanyakan dari mereka bekerja di sektor

domestik sehingga komunikasi dan interaksi dengan dunia luar,

terutama dengan sesama pekerja migran di sana, sangat dibatasi.

(paragraf 10)

14

Dari uraian penjelasan masing-masing paragaraf di atas, dapat dilihat

bahwa upaya pemerintah untuk melobi besaran uang diyat dan meminta

tambahan waktu terkait pembebasan Satinah dari hukuman mati di tempatkan

pada awal berita, yaitu paragraf 1, 2, 3, 4 dan 5. Sedangkan kronologis kasus

Satinah ditempatkan pada paragraf selanjutnya, yaitu 6, 7 dan 8. Dengan

penyusunan yang demikian, yang tergambar adalah pemerintah telah dan terus

berupaya untuk membebaskan Satinah dari hukuman mati. Hal tersebut

dipertegas dengan pernyataan Direktur Perlindungan Warga Negara Indonesia

dan Badan Hukum Indonesia Kementerian Luar Negeri Tatang Budi Razak

yang mengatakan pemerintah sudah beberapa kali melobi dan berhasil

menurunkan besaran uang diyat pada paragraf 2. Selain itu, ia juga

mengatakan bahwa penanganan yang dilakukan pemerintah saat ini jauh lebih

maju dibandingan negara lain yang memiliki pekerja migran pada paragraf 5.

Sementara kronologis kasus Satinah, kekecewaan LSM terkait proses

pengadilan awal Satinah yang tidak mendapat bantuan hukum semestinya dan

minimnya pengetahuan pekerja migran Indonesia terkait prosedur pengaduan

serta penuntutan hak jika terjadi masalah hanya menjadi informasi pendukung,

bukan sebagai penjelas utama dan di tempatkan di akhir berita.

3. Semantik

Elemen latar yang ditampilkan pada berita tersebut adalah pendekatan

dan lobi yang terus dilakukan oleh pemerintah untuk membebaskan Satinah

dari hukuman mati. Secara umum elemen latar terdapat dalam paragraf 1, 2, 3

dan 4. Dalam penulisannya, wartawan menjelaskan bahwa pendekatan dan

lobi masih terus diupayakan oleh pemerintah untuk membebaskan Satinah dari

hukuman mati, termasuk menurunkan besaran uang diyat dan tambahan

waktu. Secara implisit, teks berita tersebut menunjukkan keberpihakan

wartawan dan dukungan terhadap langkah pemerintah dalam mengupayakan

pembebasan Satinah.

Elemen detail yang menunjang latar berita, secara umum terdapat pada

paragraf 2, 3, 4 dan 5. Dalam penulisannya, ditampilkan secara detail dan

panjang lebar upaya yang telah dilakukan pemerintah dalam membebaskan

15

Satinah dari hukuman mati, termasuk keberhasilan pemerintah yang telah

beberapa kali menurunkan besaran uang diyat. Sementara detail kronologis

ancaman hukuman mati yang menimpa Satinah ditempatkan pada paragraf 6,

7 dan 8 yang ditampilkan dengan porsi lebih sedikit jika dibandingkan detail

upaya yang telah dilakukan pemerintah.

Sedangkan elemen maksud pada berita tersebut secara umum terdapat

pada paragraf 2, 5 dan 9. Dimana pada paragraf 2 dan 5 secara jelas informasi

yang mendukung upaya pendekatan dan lobi yang terus dilakukan oleh

pemerintah untuk membebaskan Satinah disampaikan melalui pendapat

Direktur Perlindungan Warga Negara Indonesia dan Badan Hukum Indonesia

Kementerian Luar Negeri Tatang Budi Razak. Sementara paragraf 9 yang

menunjukan “kekecewaan” terhadap upaya yang dilakukan pemerintah karena

dinilai terlambat dan paragraf 10 yang menunjukkan kritik terhadap kinerja

pemerintah dalam menyalurkan pekerja migran Indonesia disampaikan secara

tersamar, implisit dan tersembunyi.

4. Sintaksis

Melalui struktur sintaksis, wartawan dapat mengimplikasikan ideologi.

Sehingga melalui struktur sintaksis tertentu, suatu peristiwa maupun aktor

dapat digambarkan secara negatif maupun positif. Terdapat tiga elemen dalam

sintaksis, yaitu elemen koherensi, bentuk kalimat dan kata ganti.

Pada teks berita “Lobi Kasus Satinah Terus Dilakukan” bentuk

koherensi pertama terdapat pada kalimat “Lobi dilakukan agar keluarga

menerima uang darah (diyat) yang telah disetorkan ke pengadilan Arab Saudi

sebesar 4 juta riyal, setara Rp 12 miliar.” (paragraf 1). Sedangkan pada

paragraf 5, terdapat pada kalimat “Tatang mengingatkan, penanganan yang

dilakukan pemerintah jauh lebih maju dibandingkan dengan negara lain,

bahkan Filipina, yang juga menjadi negara asal pekerja migran.” Konjungsi

“yang” pada kalimat teks berita tersebut berfungsi sebagai penjelas inti

kalimat, yang sebenarnya bukan informasi yang begitu penting. Sehingga jika

kata “yang” dihilangkan tidak akan mengurangi inti dari berita itu sendiri.

Sebagai contoh, jika “yang telah disetorkan ke pengadilan Arab Saudi” pada

16

kalimat kedua paragraf 1 dihilangkan, maka tidak akan mengurangi inti berita

dari kalimat tersebut bahwa lobi dilakukan agar keluarga korban mau

menerima uang diyat sebesar 4 juta riyal, setara Rp 12 miliar.

Dalam teks berita tersebut koherensi sebab-akibat ditunjukkan dengan

penggunaan kata “jika” seperti pada kalimat “Tatang mengingatkan, tenggat 3

April tidak berarti Satinah akan langsung dieksekusi jika uang diyat tak bisa

dibayarkan sebelum tanggal itu.” (paragraf 3). Penggunaan kata “akibat” pada

kalimat “Namun, upaya membela diri itu tak dilaporkan saat menyerahkan diri

ke kantor polisi Arab Saudi. Akibatnya, pengadilan Arab Saudi menetapkan

hukum pancung.” (paragraf 7 dan 8). Penggunaan kata “sehingga” pada

kalimat “Kebanyakan dari mereka bekerja di sektor domestik sehingga

komunikasi dan interaksi dengan dunia luar, terutama dengan sesama pekerja

migran di sana, sangat dibatasi.” (paragraf 10). Penggunaan koherensi sebab-

akibat digunakan untuk menjelaskan suatu fakta atau peristiwa memiliki

hubungan kausal (satu fakta atau peristiwa merupakan penyebab dan akibat

bagi peristiwa yang lainnya). Sebagai contoh penggunaan kata “akibatnya”

pada paragraf 8 memiliki keterkaitan dengan paragraf 7 yang menjelaskan

bahwa Satinah dijatuhi hukuman pancung karena tidak melaporkan upaya

pembelaan dirinya saat menyerahkan diri ke kantor polisi Arab Saudi.

Penggunaan koherensi pembeda dalam teks berita tersebut ditunjukkan

dengan penggunaan kata “dibandingkan” pada kalimat “Tatang mengingatkan,

penanganan yang dilakukan pemerintah jauh lebih maju dibandingkan

dengan negara lain, bahkan Filipina, yang juga menjadi negara asal pekerja

migran.” (paragraf 5). Penggunaan kata “dibandingkan” untuk membedakan

dua peristiwa atau fakta. Dua peristiwa atau fakta dapat dibuat seolah-olah

saling bertentangan dan bersebrangan. Seperti penggunaan kata

“dibandingkan” pada kalimat di atas yang menegaskan bahwa penanganan

pemerintah Indonesia tekait kasus TKI serupa jauh lebih maju jika

dibandingkan negara lain, Filipina. Apa yang dilakukan pemerintah Indonesia

dibuat seolah-olah bersebrangan dengan apa yang dilakukan oleh Filipina.

17

Pemilihan Filipina sebagai pembanding pemerintahan Indonesia pun

dikarenakan sama-sama memiliki banyak pekerja migran di Arab Saudi.

Sedangkan koherensi pengingkaran dalam teks berita tersebut

ditunjukkan dengan penggunaan kata “namun” dalam kalimat “Namun perlu

diingat, pembayaran uang diyat bukan berarti pemerintah mengambil alih

tanggung jawab pidana seseorang,” ujarnya.” (paragraf 5). Penggunaan kata

“namun” dalam petikan kalimat wawancara dengan Tatang Budi Razak

menggambarkan bahwa wartawan ingin menyampaikan maksud secara

implisit (tersembunyi) bahwa ia setuju dengan pernyataan pembayaran diyat

oleh pemerintah, bukan berarti pemerintah juga turut mengambil alih

tanggung jawab pidana seseorang. Karena bagaimana pun suatu hukuman

pidana yang telah dijatuhkan kepada seseorang, maka menjadi suatu tanggung

jawab bagi seseorang yang terbukti bersalah.

Selain elemen koherensi, terdapat elemen bentuk kalimat pada struktur

sintaksis. Dimana dalam teks berita tersebut secara umum menggunakan

bentuk kalimat berstruktur aktif, seseorang menjadi subjek pernyataannya,

seperti contoh pada paragraf 1 berikut ini:

Aktif Pemerintah terus mengupayakan pendekatan dan lobi terhadap

keluarga majikan Satinah, tenaga kerja Indonesia yang divonis

hukuman mati.

Pasif Pendekatan dan lobi terus diupayakan oleh pemerintah terhadap

keluarga majikan Satinah, tenaga kerja Indonesia yang divonis

hukuman mati.

Bentuk lain penggunaan elemen bentuk kalimat dalam teks berita ini

adalah penempatan posisi proposisi dalam kalimat. Secara umum posisi

proposisi dalam kalimat teks berita tersebut menempatkan pemerintah di awal

kalimat sebagai pihak yang ditonjolkan, seperti pada paragraf 5 berikut ini:

Awal Tatang mengingatkan, penanganan yang dilakukan pemerintah

jauh lebih maju dibandingkan dengan negara lain, bahkan

Filipina, yang juga menjadi negara asal pekerja migran.

Akhir Dibandingkan Filipina, negara yang juga menjadi asal pekerja

migran, penanganan yang dilakukan pemerintah jauh lebih maju.

18

Dengan menempatkan pemerintah di awal kalimat, maka kesan kontras

pemerintah Indonesia yang lebih maju dalam menangani kasus TKI akan lebih

terasa dan menonjol dibandingan dengan peletakan di akhir kalimat.

Selain itu, secara umum teks berita tersebut juga menggunakan pola

pengembangan deduktif (kalimat umum-kalimat khusus). Dimana inti kalimat

(umum) di tempatkan di awal paragraf, disusul dengan keterangan tambahan

(khusus) sebagai kalimat penjelas kemudian. Dalam bentuk kalimat deduktif,

aspek penonjolannya lebih kentara, sementara dalam bentuk induktif inti dari

kalimat ditempatkan tersamar atau sembunyi.

Elemen kata ganti dalam teks berita tersebut terdapat pada paragraf 2,

yaitu “kami” dalam kalimat “Kami sudah beberapa kali melobi dan berhasil

menurunkan besaran uang diyat dari awalnya 15 juta riyal, 10 juta riyal, dan

turun menjadi 7 juta riyat,” ujar Tatang.” dan “mereka” pada paragraf 3 dalam

kalimat “Dengan begitu, jika keluarga korban tetap meminta bayaran 7 juta

riyal, mereka harus memberi tambahan waktu.” Penggunaan “kami” sebagai

kata ganti pemerintah dan “mereka” sebagai kata ganti keluarga korban Al

Gharib menciptakan jarak dan memisahkan antara pihak “kami” dengan

“mereka”. Untuk yang sependapat dengan wartawan atau komunikator

menggunakan kata ganti “kami” sedangkan dengan pihak yang tidak

sependapat digunakan kata ganti “mereka”. Selain itu, penggunaan kata ganti

“kami” mempunyai implikasi menumbuhkan solidaritas, aliansi, perhatian

khalayak serta mengurangi kritik dan oposisi terhadap pemerintah.

5. Stilistik

Elemen stilistik berkaitan dengan leksikon atau pemilihan kata maupun

frase atas berbagai kemungkinan kata yang tersedia untuk menyatakan

maksud. Pilihan kata yang dipakai dapat menunjukkan bagaimana pemaknaan

seseorang terhadap fakta atau realitas.

Dalam teks berita tersebut terdapat beberapa kata yang menunjukkan

dan memperkuat tema utama, diataranya adalah kata “lobi” pada paragraf 1

dan 2; pekerja migran pada paragraf 5 dan 10; hukum pancung pada paragraf 8

19

dan “tewas” pada paragraf 6. Berikut salah satu contoh penggunaan kata

dalam penulisan kalimat teks berita:

Majikan Satinah tewas setelah koma akibat dipukul perkakas pengadon roti

dalam perkelahian.

Majikan Satinah meninggal setelah koma akibat dipukul perkakas

pengadon roti dalam perkelahian.

Majikan Satinah terbunuh setelah koma akibat dipukul perkakas pengadon

roti dalam perkelahian.

Penggunaan kata “tewas” yang artinya meninggal dunia atau mati lebih

dipilih daripada kata meninggal atau terbunuh. Penggunaan kata tewas dalam

berita di atas memberikan pemaknaan dan penekanan kepada khalayak bahwa

majikan Satinah meninggal setelah terjadi perkelahian yang hebat dengan

Satinah. Kata tewas biasanya digunakan untuk menggambarkan kematian

yang berkaitan dengan kejadian perang dan bencana. Kata meninggal biasanya

digunakan untuk memperhalus kematian seseorang dan menggambarkan

kematian seseorang yang dikarenakan sakit. Sedangkan kata terbunuh

biasanya digunakan untuk menggambarkan kematian yang diakibatkan

kejadian penganiayaan.

6. Retoris

Elemen retoris terkait fungsi persuasif dengan menggunakan wacana

praanggapan, grafis dan metafora. Berikut penggunaan retoris dalam teks

berita tersebut yang dapat diamati.

Praanggapan merupakan fakta yang belum terbukti kebenarannya,

tetapi dijadikan dasar untuk mendukung gagasan tertentu. Contoh wacana

praanggapan dalam teks berita terdapat pada paragraf 3 dalam kalimat

“Tanggal tersebut adalah kesepakatan pihak keluarga terkait batas waktu

tanggal pembayaran. Dengan begitu, jika keluarga korban tetap meminta

bayaran 7 juta riyal, mereka harus memberi tambahan waktu.” Anggapan

pemberian tambahan waktu dari pihak keluarga Al Gharib masih belum

sepenuhnya pasti terkait permintaan besarnya uang diyat yang diminta dan

batas waktu pembayaran. Pasalnya sudah beberapa kali keluarga Al Gharib

memberikan tambahan waktu, akan tetapi besaran uang diyat yang diminta

20

belum juga dibayarkan sepenuhnya. Akan tetapi praanggapan tersebut

didasarkan pada praanggapan yang masuk akal dan logis sehingga meskipun

kenyataannya belum terjadi tidak dipertanyakan kebenarannya. Dimana

semakin banyak uang diyat yang diminta, maka semakin banyak pula waktu

yang dibutuhkan untuk mengumpulkan uang diyat.

Grafis merupakan penekanan atau penonjolan bagian yang dianggap

penting dalam teks berita. Contoh penggunaan grafis dalam kalimat teks berita

adalah huruf cetak miring untuk kata “diyat” yang terdapat pada paragraf 1, 2,

3 dan 5. Kata diyat yang berarti uang pengganti atau uang darah dicetak huruf

miring karena bukan kata atau istilah yang umum bagi masyarakat Indonesia.

Kesimpulan

Setelah menjelaskan dan menganalisa bahasan-bahasan yang telah

dipaparkan sebelumnya, maka diperoleh kesimpulan bahwa baik Kompas maupun

Media Indonesia dalam memberitakan pembebasan Satinah dari hukuman mati

diberitakan sebagai sebuah kasus penganiayaan dan kritik terhadap kinerja

pemerintah daripada sebuah proses hukum. Satinah pun dijadikan objek eksplotasi

karena baik ia maupun keluarganya tidak ditempatkan sebagai subjek pencerita

dan tidak diberi ruang untuk menceritakan dirinya atau peristiwa tersebut.

Kronologis kasus yang menimpa Satinah pun diceritakan oleh pihak lain, seperti

Migrant Care Anis Hidayah. Meskipun dalam pemberitaannya, bahasa yang

digunakan Kompas lebih halus dan Media Indonesia lebih berani. Selain itu,

Kompas secara eksplisit menunjukkan keberpihakannya kepada pemerintah, akan

tetapi secara implisit juga menunjukkan kritik yang tajam terhadap pemerintah

dan Media Indonesia secara jelas menunjukkan kritiknya terhadap sikap

pemerintah dalam mengupayakan pembebasan Satinah dengan menghadirkan hal

tersebut dalam berita yang lebih intensif jika dibandingkan Kompas ataupun surat

kabar bersegementasi nasional lainnya.

21

Saran

1. Untuk penelitian selanjutnya yang ingin melakukan penelitian mengenai teks

berita, penelitian ini dapat dijadikan refernsi meskipun menggunakan

pendekatan dan metode yang berbeda dengan penelitian ini. Hal tersebut

semata-mata hanya untuk memperoleh pemahaman yang lebih luas lagi dalam

menganalisi teks.

2. Bagi penelitian selanjutnya yang ingin melakukan penelitian mengenai teks

berita menggunakan metode analisis Teun van Dijk, hendaknya menggunakan

berbagai dimensi untuk mengalisis, tidak hanya dimensi teks tetapi juga

dimensi kognisi sosial dan konteks sosial.

Daftar Pustaka

Assegaf, Dja’far. (1982). Jurnalisme Masa Kini. Jakarta : PT Ghalia Indonesia. Eriyanto. (2008). Analisis Wacana, Pengantar Analisis Teks Media. Yogyakarta:

LKiS.

Hill, David T. (2011). Pers di Masa Orde Baru. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor

Indonesia.

Islafatun, Nor. (2013). Jakob Oetama: Bekerja dengan Hati. Yogyakarta: Buku

Pintar.

Mulyana, Deddy. (2008). Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar. Bandung: Remaja

Rosdakarya.

Mursito BM. (2013). Jurnalisme Komprehensif. Jakarta: Literate.

__________. (2012). Realitas Media. Solo: Smart Media.

Nurudin. (2009). Jurnalisme Masa Kini. Jakarta: Rajawali Pers.

Sobur, Alex. (2009). Analisis Teks Media. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Tenorio, Encarnacion Hidalgo. (2011). Critical Discourse Analysis, An overview.

Journal University of Granada.

Yahya, Muchlis. (2000). Komunikasi Politik dan Media Massa. Semarang: Gunung

Jati.

Aries Setiawan & Nila Chrisna Yulika. (2014) Bahas Nasib TKI Satinah, SBY Gelar

Rapat Terbatas. Jakarta: Vivanews. Tersedia dalam: <http://www.

vivanews.com> [Diakses 1 September 2014].

Daryono. (2014) Dubes Arab Saudi: Pemberitaan Kasus TKI Terlalu Dibesar-

besarkan. Surakarta: Timlo. Tersedian dalam: <http://www.timlo.net/baca

/68784/soal-tki-dubes-arab-saudi-pemberitaan-tki-terlalu-dibesar-besarkan/>

[Diakses 24 September 2014].

BNP2TKI. (2013) Pemberitaan Tentang TKI di Media Belum Berimbang. Jakarta:

BNP2TKI. Tersedian dalam: <http://www.bnp2tki.go.id/berita-main-menu-

231/4366-pemberitaan-tentang-tki-di-media-belum-berimbang-.html.>

[Diakses 24 September 2014].