Strategi Diplomasi Asean Terhadap Jepang Untuk Mengurangi ...
STRATEGI DIPLOMASI INDONESIA DALAM PEMBEBASAN 10 …
Transcript of STRATEGI DIPLOMASI INDONESIA DALAM PEMBEBASAN 10 …
STRATEGI DIPLOMASI INDONESIA DALAM PEMBEBASAN 10 ABK WNI DARI
KELOMPOK ABU SAYYAF TAHUN 2016
Oleh : Putu Ratih Kumala Dewi
Abstrak : Indonesia kembali dikejutkan oleh peristiwa pembajakan kapal dan
penyanderaan 10 awak kapal berkewarganegaraan Indonesia oleh kelompok
separatis Abu Sayyaf di Filipina Selatan. Ini memang bukan pertama kalinya bagi
Indonesia dimana warga negaranya disandera oleh kelompok separatis, namun
keberhasilan pemerintah Indonesia dalam membebaskan sandera dari kelompok
Abu sayyaf ini menarik untuk dibahas dikarenakan 10 ABK WNI yang menjadi
sandera mampu dibebaskan kurang dari 3 bulan sejak kejadian pembajakan kapal,
tanpa tebusan dan tanpa kontak senjata. Sehingga timbul pertanyaan bagimanakah
strategi diplomasi Indonesia dalam pembebasan 10 ABK WNI dari kelompok
Abu Sayyaf? Dalam menjawab pertanyaan diatas, penulis menggunakan konsep
diplomasi, multi-track diplomacy dan peace making. Hasil dari penelitian ini
adalah strategi diplomasi yang digunakan oleh Indonesia adalah Total Diplomasi
dimana selain menjalankan first track diplomacy juga menjalankan second track
diplomacy yang melibatkan track dua (aktor non pemerintah dan profesional) dan
track empat (penduduk sipil).
Kata kunci : Diplomasi Indonesia, Abu Sayyaf, Multi Track Diplomacy, Total
Diplomasi,
PENDAHULUAN
Indonesia kembali dikejutkan oleh peristiwa pembajakan kapal dan penyanderaan awak
kapal berkewarganegaraan Indonesia. Pada tanggal 26 Maret 2016 , dua kapal berbendera
Indonesia dibajak oleh kelompok Abu Sayyaf saat sedang berlayar dari Sungai Puting,
Kalimantan Selatan menuju ke Batangas, Filipina selatan. Dua kapal yang dibajak itu adalah
kapal Brahma 12 dan kapal tongkang Anand 12 yang membawa 10 orang awak kapal
berkewarganegaraan Indonesia. Dalam Penyanderaan 10 ABK WNI ini, Pihak pembajak yakni
kelompok Abu Sayyaf menyampaikan tuntutan dalam membebaskan 10 WNI dengan syarat
uang tebusan sebesar 50 juta peso dengan tenggat waktu hingga 31 Maret 2016 (Simanjuntak,
2016).
Keberadaan kelompok gerakan separatis Abu Sayyaf merupakan pecahan dari kelompok
pejuang Moro yang berkonflik di Filipina Selatan. Filipina Selatan adalah sebuah daerah yang
tidak henti-hentinya mengalami konflik. Konflik di Filipima berkaitan erat dengan persaingan
misi agama Islam dan Kristen/ pasca abad ke-13. Diskriminasi negara terhadap kelompok
minoritas Muslim menjadi lebih kentara ketika menyebut mereka sebagai Moro, artinya identik
dengan kelompok Islam yang dulu menduduki Spanyol. Bermula dari inilah konflik terus
berkecamuk. Agama dan identitas etnik bahkan menempati bagian penting dari konflik itu.
Pemberontakan oleh kelompok Muslim Minoritas di Mindanao, Filipina Selatan, misalnya, lebih
karena diperlakukan tidak adil dalam kehidupan ekonomi dan politik, walaupun ada unsur agama
yang cukup berperan.
Orang-orang dalam kelompok Abu Sayyaf merupakan mantan anggota Front
Pembebasan Muslim Moro (MNLF) yang merasa tidak puas dengan cara-cara yang diambil
seniornya di MNLF, sehingga dalam kelompok kecil mereka yang muda-muda membentuk
kelompok baru dan mendapat simpati dari para pendukungnya. Tujuan kelompok Abu Sayyaf
jelas memperjuangkan kelompok minoritas di Filipina dengan menggunakan aksi kekerasan.
Tindakan separatis ini mendapat perlawanan dari pemerintah Filipina. Pemerintah dan militer
negara itu seringkali menurunkan pasukan dengan mesin perang lengkap untuk menekan
pergerakan kelomok ini sehingga menimbulkan kontrak senjata.
Walaupun bermula dari konflik domestik di Filipina namun beberapa waktu terakhir
kelompok ini semakin memperlebar jaringan hingga ke Malaysia dan Indonesia. Kelompok Abu
Sayyaf diduga bertanggung jawab atas serangkaian aksi penyanderaan, kekerasan serta
pembunuhan terutamanya warga negara asing dan sederet aksi kriminal terorisme dan tindak
pidana lainya. Nama kelompok Abu Sayyaf yang telah digolongkan dalam Organisasi Teror
Asing (Foreign Terorist Organizations) kembali mencuat setelah baru baru ini, melakukan
pembajakan terhadap dua kapal dengan 10 ABK WNI yang membawa 7.000 ton batubara
bertolak dari Banjarmasin, Kalimantan Selatan, menuju Filipina pada 15 Maret (Satria Hadi,
2016).
Pemerintah Indonesia dalam mengupayakan pembebasan 10 ABK WNI ini
mengutamakan pendekatan kemanusiaan, kedekatan religius menjadi prioritas melalui upaya
persuasif, negosiasi, diplomasi, sebelum memutuskan mengambil langkah operasi militer sebagai
pilihan terakhir. Hingga pada tanggal 12 Mei 2016 10 ABK WNI dibebaskan tanpa tebusan
atapun kontak senjata.
Ini memang bukan pertama kalinya bagi Indonesia dimana warga negaranya disandera
oleh kelompok separatis, namun keberhasilan pemerintah Indonesia dalam membebaskan
sandera dari kelompok Abu sayyaf ini menarik untuk dibahas dikarenakan 10 ABK WNI yang
menjadi sandera mampu dibebaskan kurang dari 3 bulan sejak kejadian pembajakan kapal, tanpa
tebusan dan tanpa kontak senjata. Sehingga timbul pertanyaan bagimanakah strategi diplomasi
Indonesia dalam pembebasan 10 ABK WNI dari kelompok Abu Sayyaf?
METODE PENELITIAN
Artikel ilmiah ini menggunakan metode penulisan deskriptif atau studi kepustakaan
(library research). Pengumpulan data lebih difokuskan pada informasi-informasi atau kajian
yang diperoleh dari buku, surat kabar elektronik, dan publikasi dari instansi-instansi terkait yang
relevan dengan peristiwa dalam artikel ilmiah ini seperti Kementrian Luar Negeri Indonesia dan
pemerintah Filipina. Selain itu, data-data yang diperoleh berasal dari media internet sebagai
penunjang informasi untuk keperluan analisis.
Adapun kerangka pemikiran yang digunakan untuk menganalisa permasalahan dalam
artikel ilmiah ini adalah konsep diplomasi, multi-track diplomacy dan peace making,. Di dalam
konsep-konsep ini dijabarkan bahwa negara dalam mencapai kepentingan nasionalnya dengan
melalui diplomasi.
Diplomasi merupakan aktivitas politik yang penting dan membutuhkan sumber daya dan
keahlian yang baik. Tujuannya adalah untuk memungkinkan Negara mengamankan kebijakan
luar negerinya tanpa menggunakan kekerasan , perang, propaganda atau hukum (Berridge. 2002:
1). Diplomasi secara teori yaitu praktek pelaksanaan hubungan antar negara melalui perwakilan
resmi. Diplomasi menurut R. P. Barston adalah manajemen hubungan antar negara atau
hubungan antar negara dengan aktor-aktor hubungan internasional lainnya. Adapun sebuah
definisi yang terkait dengan metode yaitu diplomasi mewakili tekanan politik, ekonomi dan
militer kepada negara-negara yang terlibat dalam aktivitas diplomasi, yang diformulasikan dalam
pertukaran permintaan dan konsesi antara para pelaku negosiasi.
Diplomasi juga merupakan teknik operasional untuk mencapai kepentingan nasional di
luar wilayah jurisdiksi sebuah Negara (Olton dan Plano, 1999: 201). Sedangkan pengertian lain
mengatakan diplomasi sangat erat dihubungkan dengan hubungan antar negara, adalah seni
mengedepankan kepentingan suatu negara melalui negosiasi dengan cara-cara damai apabila
mungkin dalam berhubungan dengan negara lain (Roy, 1991: 5). Azeta Cungu dan Tanya
Alfredson mendefinisikan strategi diplomasi sebagai sebuah rencana atau metode yang
digunakan untuk mencapai kebijakan luar negeri (Cungu dan Alfredson, 2008: 6).
Bagi negara manapun, tujuan diplomasi adalah pengamanan kebebasan politik dan
integritas teritorialnya. Ini bisa dicapai dengan memperkuat hubungan dengan negara sahabat,
memelihara hubungan erat dengan negara yang sehaluan dan menetralisir negara yang memusuhi
(Roy, 1991: 5). Beberapa ahli menyimpulkan, unsur diplomasi yaitu negosiasi yang dilakukan
untuk mencapai kepentingan nasional dengan tindakan-tindakan diplomatik yang diambil untuk
menjaga dan memajukan kepentingan nasional sejauh mungkin bisa dilaksanakan dengan sarana
damai, pemeliharaan perdamaian tanpa merusak kepentingan nasional adalah tujuan diplomasi.
Untuk mencapai tujuan kepentingan nasional, diplomasi tidak hanya dilakukan antar
Negara tetapi juga antara Negara dengan subyek hubungan Internasional lainnya, tidak hanya
dilakukan oleh Negara tetapi juga semua subyek hubungan Internasional. Hal ini tercermin
dalam konsep multi track diplomacy. Konsep multi track diplomacy muncul sebagai sebuah
sistem peacemaking (Diamond dan McDonald.1996:12)
Dalam multi track diplomacy, pelaksanaan diplomasi dilakukan melalui beberapa jalur,
diantaranya:
1) Track one: government
Track one atau First Track Diplomacy, yaitu upaya-upaya diplomasi yang dilakukan
berdasarkan interaksi pemerintah secara resmi, (Diamond dan McDonald. 1996: 26)
2) Track two: nongovernment/ professional
Dimana pada jalur ini, seorang professional non-pemerintah mampu mewujudkan perdamaian
melalui resolusi konflik untuk menganalisa, mencegah, menyelesaikan, serta mengakomodasi
konflik internasional dengan cara komunikasi, pemahaman, dan membangun hubungan baik
dalam menghadapi masalah secara bersama-sama. Aktor-aktor disini tentu memiliki potensi
yang besar untuk menciptakan perdamaian dengan caranya tanpa adanya intervensi dari
pemerintah (Diamond dan McDonald. 1996: 52)
3) Track three: business
Dimana dalam menciptakan perdamaian, pada jalur ini menggunakan perdagangan yang juga
dapat membawa keuntungan. Bisnis menjadi lahan yang potensial untuk pencapaian
peacebuilding melalui aspek ekonomi. Tidak hanya itu, hubungan persahabatan dan
pemahaman internasional melalui komunikasi informal juga dapat mendukung berbagai
kegiatan dalam mewujudkan perdamaian. Sebagai contoh ialah kerjasama antara Indonesia
dengan Cina dalam kesepakatan perdagangan bebas. Melalui kesepakatan tersebut, tentu saja
dapat menciptakan simbiosis mutualisme di antara kedua negara sehingga potensi untuk
terjadinya konflik di kedua negara tersebut dapat terhindarkan melalui kerjasama yang
dilakukan. (Diamond dan McDonald. 1996: 52)
4) Track four :private citizen
Track keempat ialah warga negara privat. Dalam jalur ini, pencapaian perdamaian dilakukan
oleh warga negara privat atau personal yang berkontribusi dalam kegiatan pembangunan dan
perdamaian. Pada jalur ini biasanya dilakukan dengan diplomasi yang dilakukan oleh seorang
warga negara melalui program pertukaran, organisasi voluntary privat, NGOs dan berbagai
kelompok kepentingan. Biasanya aktivitas pada jalur ini tidak terlihat oleh mata publik dan
hanya melalui pemahaman saja pencapaian perdamaian dapat dilakukan. Sebagai contoh
program pertukaran pelajar yang ditawarkan institusi tertentu dengan misi menyelesaikan satu
proyek sosial yang bermanfaat tidak hanya bagi negaranya saja akan tetapi juga bagi negara
yang dituju (Diamond dan McDonald. 1996: 60)
5) Track five : research, training and education
Pada jalur ini, menekankan pada proses pembelajaran sebagai wujud terciptanya perdamaian.
Kajiannya meliputi penelitian yang berhubungan dengan institusi pendidikan baik sekolah
maupun universitas dan think tanks yakni penelitian, analisis, dan program studi, serta pusat
penelitian kelompok yang berkepentingan khusus. Think tanks dalam hal ini memiliki banyak
akivitas seperti penelitian dan analisis mengenai situasi dan beberapa konflik yang
berhubungan dengan studi kasus. Selain itu, kegiatan yang dilakukan melalui seminar dan
workshop dimanfaatkan sebagai sarana untuk mengeksplor sebuah masalah. Isu-isu yang ada
dalam komunitas pendidikan juga mengenai bagaimana mendapatkan sebuah keadilan tanpa
harus terjadi kekerasarn. Sebagai contoh ialah program beasiswa yang ditawarkan oleh
institusi tertentu sebagai pelatihan untuk meningkatkan pemikiran yang kritis tergantung
dengan program yang diambil sesuai minat dan bakatnya (Diamond dan McDonald. 1996: 70)
6) Track six : activism
ada jalur ini menekankan pada aktivisme dalam hal HAM, lingkungan hidup, keadilan sosial
dan ekonomi, serta advokasi terhadap kepentingan khusus mengenai kebijakan tertentu yang
diambil pemerintah. Aktivisme tersebut diwujudkan dalam bentuk protes, pendidikan,
advokasi, aturan, dukungan, dan pengawasan (Diamond dan McDonald. 1996: 87)
7) Track seven: religion
Pada jalur ini, kegiatan yang dilakukan berorientasi pada perdamaian oleh komunitas-
komunitas spiritual dan religius dan anti kekerasan. Biasanya gerakan-gerakan tersebut
merujuk pada pacifisme yakni adanya kepercayaan bahwa resolusi konflik dengan jalan damai
adalah yang paling benar dan sanctuary yakni tempat yang dianggap suci dan mampu
melindungi seseorang. Sebagai contoh ialah tindakan sosial berupa kampanye atau diskusi
yang dilakukan komunitas religius (Diamond dan McDonald. 1996: 97)
8) Track eight : funding
Hal ini terkait dengan perwujudan perdamaian melalui pendanaan oleh komunitas tertentu
yang mampu menyediakan dukungan finansial untuk berbagai kegiatan yang dilaksanakan
oleh jalur-jalur lain. Sebagai contoh ialah yayasan Ford Foundation, yakni yayasan yang
bergerak dalam bidang pendidikan dan penelitian dimana berkonsentrasi pada isu-isu
keamanan dan kebijakan publik (Diamond dan McDonald. 1996: 108)
9) Track nine : communication and the media
Pada jalur ini, pelaksanaan perdamaian dilakukan melalui informasi dimana memanfaatkan
media yang ada baik melalui media cetak, elektronik dan lain-lain. Penyebaran informasi yang
dilakukan melalui media tertentu dapat menjadi sarana edukasi misalnya melalui film
dokumenter sejarah atau kebutuhan akan informasi yang dapat diakses dengan cepat melalui
media cetak atau internet (Diamond dan McDonald. 1996: 120)
Kedelapan track mulai dari track 2-9 dapat disebut sebagai Second Track Diplomacy,
yaitu upaya-upaya diplomasi yang dilakukan oleh elemen-elemen non pemerintah secara tidak
resmi. Upaya ini harus melancarkan jalan bagi negosiasi dan persetujuan dalam rangka first track
diplomacy dengan memanfaatkan informasi penting dari para pelaku second track diplomacy.
Hal ini dibutuhkan dalam rangka mencapai kesuksesan dalam menjalankan misi politik luar
negeri. Second-track diplomacy di dalam pelaksanannya melibatkan berbagai aktor dengan latar
belakang yang berbeda-beda, sesuai dengan bidangnya masing-masing, contohnya kaum bisnis
atau profesional, warga negara biasa, kaum akademisi (peneliti, pendidik),NGO, lembaga-
lembaga keagamaan dan keuangan, dan jalur kesembilan yakni media massa. Media massa
dinilai memiliki fungsi yang sangat strategis karena memainkan peran sebagai pemersatu seluruh
aktor diplomasi publik melalui aktivitas komunikasi yang dibuat olehnya. Second Track
Diplomacy dilakukan dengan melibatkan People-to-People Diplomacy untuk melancarkan jalan
bagi negosiasi dan persetujuan dalam rangka menunjangfirst track diplomacy.
Tabel 1. Track I dan Track II Diplomacy
Track I Track II
Aktor
Perwakilan resmi,
pemerintah, organisasi
Multinasional, Elit,
pemimpin lawan
Perwakilan tidak resmi, NGO,
pemimpin lokal dan regional,
kelompok Grassroots
Metode
Insentif positif dan
negative, mediasi,
dukungan politik dan
ekonomi
Diskusi dua-arah, workshop
pendidikan, rekonsiliasi
Grassroots
Arena Konflik Hadir dalam semua arena
akan tetapi lebih
Hadir di semua arena tetapi
lebih berperan dalam
menekankan pada
Peacemaking dan
Peacekeeping ketika aktor
resmi memutuskan untuk
menghentikan-pertikaian,
kedamaian dimungkinkan
dan adanya langkah untuk
bernegosiasi dalam
perjanjian.
pencegahan konflik dan
Peacebuilding ketika aktor
lokal dan regional mendeteksi
adanya tanda bahaya terkait
dengan kekerasan dan dengan
segera dapat mendukung
teknik rekonsiliasi personal
antara pihak yang berlawanan.
Multi track diplomacy merupakan bagian dari peace making, sehingga patut dijelaskan
makna peace making disini. Peace making dalam kaitannya dengan multi-track diplomacy
mempunyai arti yang lebih umum. Peace making memiliki arti tidak hanya serangakaian
tindakan untuk mewujudkan perdamaian diantara pihak yang berlawanan tetapi juga merupakan
serangkaian tindakan untuk mencegah, memanajemen,dan resolusi konflik; untuk rekonsiliasi;
untuk eksplorasi berbagai isu terkait perdamaian umum maupun berbagai tipe konflik yang lebih
khusus; untuk mendidik dan meneliti berbagai isu tersebut; untuk membangun teori dan praktek
langsung; untuk mempengaruhi kebijakan; untuk menyediakan informasi; untuk memfasilitasi
dialog; negosiasi dan mediasi;dan semua tindakan itu didasari dan ditujukan untuk membangun
hubungan yang lebih baik antara Negara maupun masyarakat ((Diamond dan McDonald. 1996:
13). Konsep peace making dalam tulisan ini adalah untuk melihat bagaimana strategi diplomasi
yang dipilih Indonesia dalam usaha pembebasan 10 ABK WNI yang menjadi tahanan ditujukan
untuk mewujudkan peace making yakni mencapai resolusi konflik, memfasilitasi
dialog,negosiasi dan mediasi dalam mencapai tujuan akhir yakni pembebasan sandera tanpa
menggunakan kekerasan.
Konsep diplomasi, multi track diplomacy dan peace making inilah yang akan digunakan
untuk menganalisis bagaimana strategi diplomasi yang digunakan oleh Indonesia dalam
mencapai kepentingan nasionalnya, dalam hal ini adalah untuk menyelamatkan 10 ABK WNI
yang menjadi tawanan.
PEMBAHASAN
Kelompok Abu Sayyaf Dalam Hubungan Internasional
Kelompok Abu Sayyaf merupakan sebuah kelompok militan yang berdiri pada awal tahun
1990-an (Sholahuddin, 2011: 25) dan beroperasi di Filipina Selatan. Kelompok militant berbasis
agama ini mengupayakan berdirinya sebuah negara Islam yang merdeka di Mindanao bagian
Barat dan daerah Sulu, dimana daerah Filipina Selatan merupakan daerah dengan populasi umat
Muslim tertinggi (Manalo, 2004 :32).
Filipina Selatan adalah sebuah daerah yang tidak henti-hentinya mengalami konflik.
Konflik bermula dari persaingan misi agama Islam dan Kristen/ pasca abad ke-13. Diskriminasi
negara terhadap kelompok minoritas Muslim menjadi lebih kentara ketika menyebut mereka
sebagai Moro, artinya identik dengan kelompok Islam yang dulu menduduki Spanyol. Dari
sinilah konflik terus berkecamuk. Agama dan identitas etnik bahkan menempati bagian penting
dari konflik itu. Pemberontakan oleh kelompok Muslim Minoritas di Mindanao, Filipina Selatan,
misalnya, lebih karena diperlakukan tidak adil dalam kehidupan ekonomi dan politik, walaupun
hal yang paling krusial adalah menyangkut agama.
Konflik di Filipina terus berlanjut, setelah Spanyol berkuasa maka beralih kekuasaan
kepada Amerika, Jepang dan sampai Filipina memproklamasikan dirinya sebagai negara yang
merdeka pada tanggal 4 Juli 1946. Konflik di Filipina dimulai dengan kolonisasi yang dilakukan
oleh orang arab dan kemudian oleh Kristen, yangmana keberbedaan kedua agama tersebut,
hingga sekarang masih berkompetisi untuk memperebutkan perhatian penduduk pribumi. Orang-
orang Arab Islam bergeser ke Selatan Filipina ketika orang-orang Kristen menduduki Utara
Filipina. Daerah Selatan yang pada awalnya didominasi oleh Muslim telah terusik dengan
kehadiran agama Kristen sampai ke daerah ini. Pada masa pemerintahan Marcus, konflik awal
terjadi akibat suatu peristiwa pembunuhan di Corregidor. Para sukarelawan Muslim Filipina,
yang dilatih dalam taktik geriliya oleh suatu pasukan resmi, dibunuh atas perintah komandan
pasukan. Mereka menolak di kirim ke Sabah guna melakukan inflirtasi Militer. Karena peristiwa
ini terbentuklah Moro National Liberation Front (MNLF), MNLF adalah sebuah gerakan yang
sangat berpengaruh dalam memperjangkan kebebasan Muslim Moro. Dua kelompok lainnya
adalah Front Pembebasan Islam Moro (MILF) dan yang paling belakangan adalah Abu Sayyaf
yang terbentuk pada tahun 1989 (Anonim, 2016). Ketiga kelompok gerakan ini memiliki tujuan
yang sama yakni ingin mendirikan sebuah Negara teokrasi Islam di Mindanao Filipina Selatan
dan pembangunan ekonomi di wilayah mereka.
Kelompok Abu Sayyaf pertama muncul pada tahun 1989 dibawah kepemimpinan
Abdurajak Janjalani. Abdurrajak Janjalani merupakan mantan anggota MNLF yang tidak
menyetujui dilakukannya proses perdamaian antara MNLF dan Pemerintah Republik Filipina
melalui Tripoli Agreement (Wahjudi, 2003: 85). Dalam Tripoli Agreement, bukan menyepakati
tentang kemerdekaan tetapi disepakati adanya daerah otonomi khusus bagi penduduk Moro di
Filipina Selatan (Atkinson, 2012:6). Ini menyebabkan tujuan dibentuknya negara Islam menjadi
dikorbankan oleh MNLF. Hal ini menyebabkan Abdurrajak Janjalani beserta pengikutnya keluar
dari keanggotaan MNLF.
Sebelum keluar dari MNLF, Abdurrajak Janjalani dan para pengikutnya telah membentuk
Mujaheeden Commando Freedom Fighters (MCFF) pada tahun 1989 dan pada tahun 1991 secara
resmi memisahkan diri dari MNLF. MCFF atau dikenal sebagai Kelompok Janjalani, kelompok
ini berkembang menjadi apa yang kita kenal sebagai kelompok Abu Sayyaf Abdurrajak
Janjalani menggunakan julukan “Abu Sayyaf” untuk menghormati pemimpin pasukan Mujahidin
Afghanistan, Abdul Rasul Sayyaf dimana ia pernah tergabung dalam pasukan mujahidin
pimpinan Abdul Rasul Sayyaf di Afghanistan ketika melawan Uni Soviet (Atkinson, 2012:7).
Kelompok dibawah pimpinan Janjalani menjalankan sebuah pembentukan negara yakni
Islamic Theocratic State of Mindanao (MIS), dan memasukan kepercayaan agama yang
meneriakan intoleransi dengan tujuan untuk menyebarkan Islam melalui Jihad (Hasbullah, 2003 :
242), dimana yang menjadi target sasarannya adalah semua umat Kristen Filipina. Dalam
pencarian objeknya, Kelompok ini telah menetapkan ideologinya dengan tegas dan agenda
operasional yang terikat pada sebuah maksud usaha pengabungan yang memaksa dominasi Islam
di dunia melalui perlawanan bersenjata (Manalo,2004 : 32).
Kelompok Janjalani, atau MCFF kemudian dikenal sebagai kelompok Abu Sayyaf pada
bulan Agustus 1991 ketika mereka melakukan pengeboman terhadap “M/V Doulos”, sebuah
kapal misionaris Kristen yang berlabuh di Zamboanga, Filipina Selatan (Atkinson, 2012 : 7).
Antara tahun 1991 dan 1998, kelompok militant ini mulai memperluas dan mengembangkan
kemampuannya, dilihat dari pergerakannya kelompok ini rapi dalam melancarkan serangkaian
serangan kecil terhadap warganegara asing. Pada tahun-tahun pertama, kelompok Abu Sayyaf
banyak melakukan penculikan penduduk local, dan level kemampuan mereka meningkat
disebabkan oleh banyaknya angota mereka adalah direkrut dari kelompok-kelompok yang tidak
sejalan dengan perjuangan MNLF ataupun MILF (Manalo,2004 : 35).
Saat ini Kelompok Abu Sayyaf dipimpin oleh Khadafi Janjalani, dikenal kelompok
separatis Islam yang sangat radikal di Filipina Selatan. Mereka melakukan berbagai tindak
kekerasan, seperti pemboman, penculikan, pembunuhan, dan pemerasan dalam mengupayakan
berdirinya sebuah negara Islam (Council of Foreign Relations, 2009). Kelompok Abu Sayyaf di
Filipina ini telah sangat meresahkan warga Filipina dengan aksi-aksi pengeboman, penculikan
dan pengeksekusian terhadap sandera. Kelompok Abu Sayyaf ini digolongkan dalam Organisasi
Teror Asing (Foreign Terorist Organizations) oleh pemerintah Amerika serikat.1
Menurut Charles W Kigley Jr dan Eugene R Wirtkopf, terorisme adalah suatu
penggunaan ancaman kekerasan, suatu metode pertempuran atau strategi untuk meraih tujuan
tertentu, yang ditujukan untuk menimbulkan keadaan takut di pihak korban (Kegley dan
Wittkopf, 2001: 222). Ranstop berpendapat bahwa fanatisme agama adalah sebuah motif utama
dari terorisme, dan dinyatakan dengan tegas oleh keberagaman keyakinan, seperti Islam, Yahudi,
Kristen, dan keyakinan lain, acapkali menempuh aksi terorisme. Ia berpendapat bahwa terorisme
agama adalah suatu tipe kekerasan politik yang dimotivasi oleh rasa krisis spiritual dan sebuah
reaksi terhadap perubahan sosial dan politik (Manalo, 2004:31).
Menurut Ronald Gottersman, terdapat dua jenis organisasi teroris yaitu domestik dan
internasional. Teroris dari organisasi berjenis domestik melakukan aktifitasnya hanya di dalam
negeri tempat ia berdomisili. Sedangkan teroris dari organisasi berjenis internasional menyerang
musuh mereka dimana saja dan kapan saja. Sedangkan Atif M Mir membedakan lingkup gerakan
dalam dua bagian yaitu domestic terorism dan International Terorism. Domestic Terorism yaitu
gerakan terorisme yang dilakukan didalam batas teritorial suatu negara dan dilakukan oleh
perseorangan atau kelompok dengan tujuan-tujuan khusus politik, ekonomi atau
agama. Internasional terorism yaitu gerakan terorisme yang dihubungkan dengan penyerangan-
penyerangan terhadap susunan-susunan pihak ketiga (Third Party Target) di wilayah atau
teritorial asing dan dapat pula di dukung serta disponsori oleh suatu Negara (Wahjudi, 2003:81).
Jadi, pada domestic terrorism tidak dijumpai unsur asing baik korban maupun dan pada
1 Organisasi Teroris Asing ( FTOs ) adalah organisasi asing yang disebut oleh Menteri Luar Negeri sesuai dengan Pasal 219 Undang- Undang Imigrasi dan Kewarganegaraan ( INA ) , sebagaimana telah diubah . Sebutan FTO memainkan peran penting dalam perjuangan melawan terorisme dan merupakan cara yang efektif untuk membatasi dukungan untuk kegiatan teroris dan menekan kelompok untuk keluar dari bisnis terorisme . Dikutip dari Departemen Luar Negeri AS, "Patterns of Global Terorism 2003 pada http://www.state.gov/j/ct/rls/other/des/123085.htm
terorisme yang bersifat trans-nasional atau yang disebut dengan internasional terrorism
didalamnya melibatkan unsur asing, baik yang menyangkut (sebagian) pelaku dan atau
(sebagian) korban, walaupun kejadian itu berada diwilayah territorial negara tertentu. Terorisme
Domestik dan Terorisme Internasional hanya dapat dibedakan, tetapi seringkali keduanya tidak
dapat dipisahkan.
Kelompok Abu Sayyaf merupakan teroris yang berbasis di Filipina dan beroperasi
didalam batas teritorial Negara Filipina, namun dalam melakukan aksinya kelompok ini
seringkali melibatkan unsur asing. Dalam kasus pembajakan kapal Brahma 12 dan kapal
tongkang Anand 12 di perairan territorial Filipina terdapat unsur asing yakni korbannya adalah
10 ABK berkewarganegaraan Indonesia yang menjadi sandera.Sehingga Kelompok Abu Sayyaf
dapat dikategorikan sebagai kelompok terorisme internasional.
Dalam perkembangan studi Hubungan Internasional kelompok teroris merupakan aktor
HI yang termasuk dalam non-state actor. Pada umumnya kehadiran terorisme internasional
dilator belakangi oleh tujuan-tujuan yang bersifat etnis, politis, agama, dan ras. Menurut Kegley
(1997), terdapat non-state actor lain yang berperang dalam hubungan internasional: kelompok
etno-nasional, pergerakan keagamaan, dan teroris. Kelompok etno-nasional adalah perkumpulan
manusia yang menempatkan identitas kebangsaan mereka lebih dahulu dibandingkan identitas
kenegaraan. Kelompok etno-nasional merasa persamaan etnis, daerah, suku, dan bahasa amatlah
penting, dan mereka sangat berpotensi untuk memiliki sifat etnosentrisme. Dengan begitu,
kelompok etno-nasional sangat memungkinkan untuk melakukan pemberontakan separatis
karena negara dianggap tidak lagi penting bagi mereka.
Pergerakan keagamaan menganggap bahwa kepercayaan atau agama mereka harus dianut
oleh seluruh dunia (Kegley & Wittkopf, 1997). Pergerakan keagamaan menganggap bahwa
identitas agama mereka jauh lebih penting daripada yang lain, maka mereka akan tetap
mempertahankan identitas mereka sebisa mungkin agar tidak disaingi oleh yang lain, termasuk
negara. Apabila negara dianggap berpotensi untuk merusak identitas keagamaan mereka, maka
pergerakan keagamaan dapat melakukan gerakan separatis guna menyelamatkan identitas
keagamaan mereka.
Kelompok teroris adalah salah satu aktor selain pemerintah yang aktivitasnya meresahkan
dunia internasional dan membuat kekacauan di negara (Kegley & Wittkopf 1997). Kelompok
teroris memiliki satu ciri khas, yaitu seringkali menggunakan aksi kekerasan dan ancaman-
ancaman guna menyampaikan niatnya. Kelompok teroris seringkali bersebrangan sikap dengan
negara.
Bila melihat pada non-state actor tersebut maka kelompok Abu Sayyaf termasuk
kelompok teroris yang berbasis gerakan keagamaan. Hingga saat ini keberadaan Kelompok Abu
Sayyaf tetap ada di Filipina, berusaha mendirikan negara Islam adalah cita-cita mereka.
Banyaknya orang-orang Kristen yang tinggal di pulau Mindanao Selatan dan mengakibatkan
tersingkirnya orang-orang Muslim dari pulau ini ke daerah-daerah pesisir dari pulau ini. Karena
merasa tersingkirkan Kelompok Abu sayyaf berusaha untuk membebaskan daerah ini dengan
memusuhi orang-orang Kristen dengan cara meneror mereka dengan melakukan kekerasan.
Organisasi terorisme internasional tidak bertujuan atau bercita-cita membentuk suatu
negara baru/pemerintahan baru melainkan bagaimana menciptakan keadaan khaos dan tidak
terkontrol suatu pemerintahan yang menjadi sasarannya sehingga pemerintahan itu tunduk dan
menyerah terhadap idealismenya. Untuk mencapai cita-citanya mendirikan sebuah negara Islam
di Filipina Selatan, kelompok Abu Sayyaf melakukan perlawanan dengan cara kekerasan.
Kelompok Abu Sayyaf melakukan pemboman, penculikan, dan pengeksekusian terhadap
sandera. Kelompok ini melakukan aksi terror dengan melakukan pengeboman-pengeboman di
daerah-daerah Filipina, melakukan pembajakan terhadap kapal asing, penculikan dan
penyanderaan warga negara asing termasuk juga pada WNI.
Strategi Diplomasi Indonesia
Keterampilan dalam berdiplomasi merupakan syarat utama seorang diplomat yang
terlibat dalam politik internasional, yang pada dasarnya dipergunakan untuk mencapai
kesepakatan, kompromi, dan penyelesaian masalah dimana tujuan-tujuan pemerintah yangsaling
bertentangan. Berbicara mengenai kegiatan diplomasi pasti akan menuju ke diplomat dan
depatemen luar negeri. Karena Negara menciptakan departemen ini untuk mengurusi urusan
yang berkaitan dengan Negara lain. Tapi seiring dengan perkembangan zaman, cakupan isu,
aktor, dan agenda diplomasi dalam hubungan internasional semakin kompleks dan berkembang.
Tugas diplomasi bukan lagi tugas dari pemerintah melainkan dapat dilakukan oleh swasta/ non
pemerintah.
Diplomasi tradisional yang hanya melibatkan peran pemerintah (first track diplomacy)
dalam menjalankan misi diplomasi, tidak akan efektif dalam rangka menyampaikan pesan-pesan
diplomasi terhadap suatu negara. Oleh karena itu, aktivitas diplomasi publik yang melibatkan
peran serta publik sangat dibutuhkan dalam rangka melengkapi aktivitas diplomasi
tradisional. Ide menuju open diplomacy dan total diplomacy menjadi alternatif yang digunakan
untuk menjawab tantangan dan peluang dalam kerjasama bilateral dan multilateral yang
menyokong politik luar negeri Indonesia saat ini. Pelibatan peran aktor non Negara dalam
kegiatan diplomasi yang dijalankan dan dikembangkan oleh unsur non-pemerintah biasa disebut
sebagai second track diplomacy yang melibatkan masyarakat nonpemerintah sebagai pelaku
diplomasi adalah lembaga swadaya masyarakat (LSM), tokoh-tokoh pendidik, lembaga-lembaga
Universitas, tokoh agama, para kalangan pebisnis dan individu-individu.
Dalam mencapai kepentingan nasionalnya Indonesia telah memiliki sebuah Grand
Strategy dalam diplomasi melalui program operasional yang berwujud kebijakan Total
Diplomacy. Total diplomasi adalah alat dan cara yang digunakan dalam diplomasi dengan
melibatkan semua stakeholders. Dari sudut pelaksanaan diplomasi, maka kemampuan antisipasi
menghadapi kemungkinan ancaman, tantangan, dan gangguan serta memanfaatkan semua
peluang sebagai bagian dari perjuangan mencapai sasaran Kepentingan Nasional, yang disebut
sebagai Diplomasi Total. Diplomasi Total mempunyai tujuan ganda, yaitu pertama: untuk
menggalang seluruh kekuatan nasional dan kedua : bahwa pelaksanaan diplomasi harus
mencerminkan aspirasi masyarakat sebagai bagian dari Kepentingan Nasional (Emilia, 2013:
284).
Kelompok Abu Sayyaf merupakan non state actor dan diplomasi dapat digunakan tidak
hanya antar sesama Negara tetapi juga dengan aktor non Negara. Hasil analisa yang dilakukan
penulis menunjukkan bahwa strategi diplomasi Indonesia dalam pembebasan 10 ABK WNI dari
kelompok Abu Sayyaf adalah dengan menggunakan multi-track diplomacy atau yang disebut
juga dengan diplomasi total yang dilakukan di bawah pemerintah Indonesia, namun melibatkan
semua unsur anak bangsa.
Gambar 1.
3 Jalur negosiasi dalam diplomasi pembebasan 10 ABK WNI dari kelompok Abu Sayyaf
Sumber : (Tempo.2016: 31)
Adapun strategi diplomasi yang dilakukan oleh Indonesia tersebut yakni :
First track diplomacy
Dalam track pertama ini dilakukan oleh pemerintah. Walaupun dalam pelaksanaan
strategi diplomasi total melibatkan banyak pihak namun tetap dipimpin oleh pemerintah. Dalam
track one ini, jajaran yang terlibat dari pemerintah yakni Kemenlu, TNI dan Polri dimana petugas
Polri ada di Filipina dan selama ini berkoordinasi.
Sejak kelompok Abu Sayyaf mengumumkan bahwa pihaknya bertanggung jawab atas
pembajakan kapal dan penyanderaan awak kapal dimana 10 orangnya merupakan WNI, Menteri
Luar Negeri Indonesia Retno Marsuri kemudian terbang menuju Filipina pada 1-2 April 2016
dan berkoordinasi dengan pihak Filipina. Dari pertemuan dengan pihak-pihak penting di Manila,
ada 4 poin yang dibawa pulang yaitu: Pertama, mengintensifkan komunikasi dan koordinasi
dengan pemerintah Filipina dalam upaya pembebasan sandera WNI. Kedua, menekankan
kembali mengenai pentingnya keselamatan ke-10 WNI kita tersebut. Ketiga, menyampaikan
apresiasi atas kerjasama yang sejauh ini telah diberikan oleh otoritas Filipina dalam rangka
koordinasi pelepasan sandera. Dan keempat, melakukan komunikasi dengan pihak-pihak terkait
lainnya.
Dalam usaha pembebasan para sandera, TNI juga melakukan operasi intelijen di bawah
koordinasi dari Kementerian Luar Negeri. Tim ini dipimpin Mayor Jendral Purnawirawan Kivlan
Zen. Tim ini beranggatakan 7 orang dan merupakan bagian dari oeprasi intelijen Badan Intelijen
Strategis tentara Indonesia. Tim ini menggandeng Intelijen Filipina dan menyertakan PT. Patria
Maritim Lines perusahaan pemilik Kapal. Menurut Kivlan pada tanggal 27 Maret 2016
Perusahaan pemilik kapal mengirim sejumlah tim untuk bernegosiasi. Kivlan turun ke Filipina
karena punya kontak dengan sejumlah tokoh Moro. Ia pernah menjadi anggota pasukan
perdamaian untuk menjaga genjatan senjata antara pemerintah Filipina dan pembrontak MNLF
yang dipimpin oleh Nur Misuari pada 1995-1996 (Tempo, 2016:31).
Kesiagaan TNI, bisa semakin memperkuat peran-peran diplomasi yang dilaksanakan oleh
Kemlu. Selama proses negosiasi dilakukan, desakan menggunakan kekuatan militer juga terus
menggema. Pasukan TNI juga telah disiapkan di sekitar wilayah Kalimantan menunggu perintah
melaksanakan kekuatan militer. Indonesia juga sempat menawarkan pihak Filipina untuk
meminta izin menggunakan kekuatan milter dalam upaya pembebasan 10 WNI. Tawaran itu
dilontarkan oleh Menteri Pertahanan RI Ryamizard Ryacudu. Namun permintaan itu ditolak oleh
pihak Filipina karena dalam konstitusi Filipina, tidak diizinkan kekuatan militer (negara lain) di
Filipina tanpa perjanjian. Namun Menteri Luar Negeri Filipina dan panglima angkatan bersenjata
Filipina tampak jelas komitmen untuk menyelesaikan masalah ini dan terus berkomunikasi
dengan pihak Luar Negeri Indonesia.
Second track diplomacy
Menteri Luar Negeri, Retno Marsudi menyatakan bahwa upaya pembebasan 10 WNI yang
disandera kelompok Abu Sayyaf melibatkan banyak pihak, tidak hanya pemerintah ke
pemerintah, tapi juga jaringan-jaringan informal lainnya (Shemi, 2016)
Selain tim pada track one, juga terdapat tim lain yang bergerak dalam usaha pembebasan sepuluh
abk WNI yang disandera, yakni :
1. Yayasan sukma bentukan Surya Paloh
Yayasan sukma menurunkan tim yang tediri atas mayor jendral purnawirawan
Supriadin, Ahmad Baedowi, Samsu Rizal Panggabean, dan Desi Fitriani jurnalis Metro
TV. Supriadin merupakan bekas panglima komando daerah militer iskandar muda aceh
dan kini menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat dari fraksi Partai Nasdem. Ahmad
Baedowi merupakan direktur pendidikan sukma. Sedangkan Samsu Rizal merupakan
pengajar di jurusan Hubungan Internasional serta Magister perdamaian dan resolusi
konflik Universitas Gajah Mada. (Tempo, 2016:30) Dalam pergerakannya melakukan
diplomasi dengan kelompok Abu Sayyaf, tim sukma juga melibatkan 2 LSM yang
merupakan LSM pemberdayaan masyarakat dan anti kekerasan di Mindanau Filipina
Selatan.Tim Sukma juga tetap berkoordinasi dengan pemerintah Indonesia melalui Edi
Mulya yang merupakan Minister Konselor Kedutaan Besar di Filipina.
Tim sukma melakukan diplomasi dengan menggunakan pendekatan pendidikan,
budaya dan agama kepada orang-orang kunci informal di Filipina. Dengan menggandeng
tokoh informa Filipina tim yayasan sukma membuat peta negosiasi dengan cara
kekerabatan di 3 titik yaitu: Sulu, Zamboanga dan Manila. Sejumlah informa dan
penghubung mereka libatkan. Dalam usahanya melakukan negosiasi Baedowi menerima
panggialan telepon pertama kali dan berbicara dengan Al- Habsi. Al-Habsi memberikan
teleponnya kepada Julian Philips anak buah kapal Brahma 12. Dalam pembicaraan
tersebut, Julian mengatakan uang tebusan 50 juta peso harus sudah diterima pada senin
18 April 2016. Jika uang tidak diserahkan, Al-Habsi akan mengeksekusi 1 dari 10
sandera. Tim Sukma terus bergerak ke Filipina dan bertemu dengan tokoh Informal di
Sulu. Berkat dibantu beberapa tokoh informal tersebut, Al-Habsi pun berkompromi
dengan tenggat yang disampaikannya. Baedowi dan Desi menemui tokoh ini di selatan
kota Jolo, Sulu.
2. Tim yang dibentuk oleh Wakil Presiden Jusuf Kalla
Jusuf Kalla menugaskan Hamid Awaludin untuk mengurus sandera. Hamid adalah Ketua
Bidang Hubungan Luar Negeri Palang Merah Indonesia Pusat. Hamid menggunakan
jaringan palang Merah Internasional dan palang merah Filipina. Diluar jalur formal,
hamid mengirim utusan Informal. Ia menunjuk sesorang yang mempunyai jaringan
dengan kelompok Moro. Tim bentukan Jusuf Kalla memantau pergerakan sandera
termasuk juga kondisi kesehatannya. Menurut hamid, sungguh penting untuk memastikan
kondisi dan posisi sandera ketika masih di tangan penyandera. (Tempo, 2016:32)
Diplomasi yang dijalankan oleh tim sukma dan tim bentukan Jusuf Kalla ini
menunjukkan adanya pelibatan aktor non pemerintah sebagai bagian dari total diplomasi.
Dimana kedua tim ini melibatkan pihak non pemerintah dan orang-orang professional yang ahli
di bidangnya yang merupakan representasi dari track 2 dan pelibatan private citizen yang
merupakan representasi dari track four. Tidak hanya melibatkan kaum professional, diplomasi
yang dilakukan oleh seorang warga negara melalui organisasi voluntary privat, NGOs dan
berbagai kelompok kepentingan. Aktor-aktor disini memiliki potensi besar untuk menciptakan
perdamaian dengan caranya tanpa adanya intervensi dari pemerintah.
Kelebihan pada jalur ini ialah dapat menunjukkan isu yang dihadapi dengan jelas serta
mampu mencari jalan alternatif dan improvisasi dalam pemecahan masalah yang mungkin saja
tidak terjangkau oleh pemerintah (Diamond dan McDonald. 1996: 52) dan adanya kebebasan
untuk mengadakan kegiatan positif apapun dengan tujuan perdamaian tanpa adanya intervensi
dari pemerintah (Diamond dan McDonald. 1996: 60).
Namun kekurangannya ialah pencapaian konsensus membutuhkan waktu yang lama dan
tidak terikat oleh hukum karena terbatasnya legitimasi yang dimiliki oleh seorang aktor non-
pemerintah (Diamond dan McDonald. 1996: 52) dan kecenderung individualis dan subjektif
dalam menyikapi sesuatu karena hanya melihat pada sisi pribadi saja, bukan dari hasil diskusi
ataupun kesepakatan bersama (Diamond dan McDonald. 1996: 60) dikarenakan kedua tim ini
bergerak secara sendiri-sendiri walaupun tetap berkoordinasi dengan pemerintah demi
tercapainya tujuan peace making.
Aktivitas pada kedua jalur ini tidak terlihat oleh mata publik dan hanya melalui
pemahaman saja pencapaian perdamaian dapat dilakukan. Hal ini menunjukkan diplomasi yang
dilakukan dengan kelompok Abu Sayyaf juga dilaksanakan dengan metode diplomasi tertutup.
Diplomasi tertutup dilakukan untuk mencegah agar upaya diplomatik tidak mengalami kegagalan
pada tahap awal alis prematur mengingat kemungkinan penolakan oleh berbagai pihak di luar
pemerintah, atau bahkan keberatan oleh negara lain. Apabila nanti hasilnya sudah siap dilakukan,
hasil diplomasi ini akan diumumkan terbuka.
First track diplomacy dan second track diplomacy menunjukkan upaya pembebasan ini
melibatkan banyak pihak, semua anak bangsa. diplomasi total yang tidak saja hanya terfokus
pada diplomasi government to government, tapi juga melibatkan jaringan-jaringan informal
seperti professional non pemerintah maupun private citizen yang semuanya dibuka untuk satu
tujuan. Dalam strategi ditplomasi total, dua acuan dipakai pemerintah yaitu, keselamatan sandera
dan membuka simpul komunikasi dengan sebanyak pihak. Keselamatan WNI menjadi prioritas
utama dan pihak pemerintah Indonesia membuka komunikasi dengan banyak pihak. Proses
pembebasan sandera tersebut melalui proses panjang dengan Situasi di lapangan yang sangat
dinamis dengan tingkat komplilasi yang sangat tinggi.
KESIMPULAN
Dalam usaha pembebasan 10 ABK WNI yang disandera kelompok Abu Sayyaf,
pemerintah Indonesia menggunakan jalur diplomasi dan bukan jalur kekerasan. Strategi yang
dipilih adalah Total Diplomasi yang merupakan perwujudan dari multi track diplomacy. First
track diplomacy dan second track diplomacy menunjukkan upaya pembebasan ini melibatkan
banyak pihak, semua anak bangsa. Diplomasi total yang tidak saja hanya terfokus pada
diplomasi government to government (track one) yakni Kemenlu, TNI dan Polri tapi juga
melibatkan jaringan-jaringan informal seperti professional non pemerintah (track two) maupun
private citizen (track four) seperti yayasan sukma yang tediri atas mayor jendral purnawirawan
Supriadin, Ahmad Baedowi, Samsu Rizal Panggabean, dan Desi Fitriani jurnalis Metro TV juga
melibatkan 2 LSM yang merupakan LSM pemberdayaan masyarakat dan anti kekerasan di
Mindanau Filipina Selatan; serta tim yang dibentuk oleh Wakil Presiden Jusuf Kalla yang
menugaskan Hamid Awaludin.
. Dalam pelaksanaannya berbagai pihak dalam second track diplomacy tetap
berkoordinasi dengan pemerintah, dan pemerintah tetap menjadi pemimpin dalam diplomasi ini
yang semuanya dilakukan untuk satu tujuan peace making yakni memulangkan sandera dalam
keadaan selamat.
DAFTAR PUSTAKA
Alfredson, Tanya dan Cungu, Azeta.2008.Negotiation Theory and Practice.Food and
Arigulture Organization of The United Nation
Anonim.2016. Bapak Pedang Lupa Indonesia. Diakses pada Mei 2016 dari
http://www.republika.co.id/berita/koran/teraju/16/04/18/o5u41p1-bapak-pedang-lupa-
indonesia
Atkinson, Garrett. 2012. Abu Sayyaf: The Father of the Swordsman”, A review of the rise of
Islamic insurgency in the southern Philippines
Berridge, G.R.2002. Diplomacy Theory and Practice.New York : Palgrave.
Council of Foreign Relations. (2009. ) Abu Sayyaf Group (Philippines, Islamist
separatists).Diakses pada April 2016 dari http://www.cfr.org/philippines/abu-
sayyafgroup-philippines-islamist-separatists/p9235
Diamond, Louise and John McDonald.1996. Multi Track Diplomacy, A System Approach to
Peace. USA: Kumarian Press
Emilia, Ranny. 2013. Praktek Diplomasi. Jakarta: Baduose Media
Hasbullah, Moeflich. (2003)“ Asia Tenggara konsentrasi Baru Kebangkitan Islam. Bandung:
Fokusmedia
Kegley, Jr., Charles and Eugene R. Wittkopf,. 2001. World Politics: Trend and
Transformation. Bedford: St. Martins,
Manalo, Eusoquito P. (2004). The Philippine Response To Terorism: The Abu Sayyaf
Group,” Thesis: Noval Postgraduate School
Olton Roy dan Jack C. Plano. Kamus Hubungan Internasional. Diterjemahkan oleh Wawan
Juanda. Jakarta: Putra A. Bardhin CV. Cetakan Kedua, 1999
Roy, S.L. 1991. Diplomasi. Jakarta: Rajawali Pers.
Satria Hadi, Mahardika et.al. (2016) Markas Abu Sayyaf Diserbu, 18 Tewas, Bagaimana
Nasib 10 WNI? . .Diakses pada April 2016 dari
https://m.tempo.co/read/news/2016/04/11/078761438/markas-abu-sayyaf-diserbu-18-
tewas-bagaimana-nasib-10-wni
Shemi, Helmi . 2016 Tetap Pakai Diplomasi Total, Pemerintah Kembali Fokus pada 4
Sandera diakses pada April 2016 dari http://www.arah.com/article/2768/menlu-retno-
pembebasan-sandera-gunakan-dua-acuan-utama.html
Sholahuddin, “NII sampai JI, Salafy Jihadisme di Indonesia”. (, 2011), Jakarta: Komunitas
Bambu
Simanjuntak, Rico Afrido. (2016). Bajak Kapal RI, Kelompok Abu Sayyaf Kesulitan Dana.
Diakses pada April 2016 dari http://nasional.sindonews.com/read/1096507/14/bajak-
kapal-ri-kelompok-abu-sayyaf-kesulitan-dana-1459225888
Tempo. 2016. Berebut Panggung Pembebasan Sandera. 9-16 Mei 2016. Jakarta : Tempo
Wahjudi, Garnijanto Bambang. 2003 “Kerjasama Regional ASEAN Menghadapi Isu
Terorisme Internasional (Penaganan Aksi Teroisme Internasional di Filipinai Bagian
Selatan Oleh ASEAN Tahun 2000 dan 2001)”, Jakarta: Universitas Indonesia