Volume 9, No. 2 Edisi Agustus 2017 Jurnal Ilmiah ...

60
Volume 9, No. 2 Edisi Agustus 2017 Jurnal Ilmiah Kebahasaan dan Kesusastraan KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN BADAN PENGEMBANGAN DAN PEMBINAAN BAHASA BALAI BAHASA SULAWESI UTARA Volume 9 Nomor 2 Halaman 65—114 Manado Agustus 2017 ISSN 2088-4850 KADERA BAHASA

Transcript of Volume 9, No. 2 Edisi Agustus 2017 Jurnal Ilmiah ...

i

Volume 9, No. 2 Edisi Agustus 2017 Jurnal Ilmiah Kebahasaan dan Kesusastraan

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAANBADAN PENGEMBANGAN DAN PEMBINAAN BAHASA

BALAI BAHASA SULAWESI UTARA

Volume9

Nomor2

Halaman65—114

ManadoAgustus 2017

ISSN2088-4850

KADERABAHASA

ii

Kadera Bahasa hingga saat ini, tahun 2017 telah mencapai volume 9. Pada Volume 9, Nomor 2Edisi Agustus ini Kadera Bahasa menyajikan lima artikel yang terdiri atas satu artikel tentang bahasadan empat artikel tantang sastra. Artikel bahasa diisi oleh hasil kajian tentang aspek supragsementalsebagai pendukung konstruksi tema-rema dalam bahasa Jawa dialek Banyumas, sedangkan artikel-artikel sastra diisi oleh kajian sastra tentang bentuk dan fungsi teks mantra, bahasa kiasan, karaktertokoh Haluoleo, dan penggambaran alam dalam karya sastra.

Bila dibandingkan dengan volume-volume sebelumnya, dari jumlah artikel yang dimuat KaderaBahasa mengalami penyusutan. Hal ini terjadi karena jumlah artikel yang masuk dan benar-benarlayak untuk dimuat juga mengalami penurunan. Penyusutan jumlah artikel ini ditempuh karena redaksitetap berkomitmen bahwa artikel yang dimuat dalam Kadera Bahasa adalah artikel yang memang benar-benar sudah dinyatakan layak oleh mitra bestari. Di samping itu, redaksi juga tetap berkomitmenmenjaga mutu terbitannya.

Akhirnya, redaksi menyampaikan terima kasih kepada para peneliti yang telah mengirimkan artikelguna mengomunikasikan gagasannya melalui Kadera Bahasa. Kami masih menunggu artikel-artikelberikutnya. Ucapan terima kasih juga kami sampaikan kepada mitra bestari yang telah bersediameluangkan waktunya untuk memeriksa artikel-artikel yang masuk. Semoga apa yang telah dilakukandan tersaji dalam Kadera Bahasa ini bermanfaat bagi pembaca.

REDAKSI

PENGANTAR REDAKSI

iii

ASPEK SUPRAGSEMENTAL SEBAGAI PENDUKUNG KONSTRUKSI TEMA-REMADALAM BAHASA JAWA BANYUMAS

SUPRAGSEMENTAL ASPECT AS SUPPORTING THE THEME-RHEMECONSTRUCTION IN JAVA BANYUMAS LANGUAGESRestu Sukesti .................................................................................................................................................... 65

BENTUK DAN FUNGSI TEKS MANTRA

THE FORM AND FUNCTION OF MANTRA TEXTMulyanto, Edi Suwatno .................................................................................................................................. 75

BAHASA KIASAN DALAM CERPEN “SURABAYA” KARYA TOTILAWATITJITRAWASITA

FIGURATIVE LANGUAGE OF SHORT STORY “SURABAYA” BY TOTILAWATITJITRAWASITAYulitin Sungkowati .......................................................................................................................................... 89

NILAI-NILAI POSITIF TOKOH HALUOLEO BAGI PENGEMBANGAN KARAKTER

POSITIVE VALUES OF HALUOLEO FOR CHARACTER DEVELOPMENTHeksa Biopsi Puji Hastuti.............................................................................................................................. 97

PENGGAMBARAN ALAM DALAM SASTRA JAWA KUNO DAN JAWA MODERNSEBAGAI PROMOSI WISATA

THE DESCRIPTIONS OF NATURE IN ANCIENT JAVANESE LITERATURE ANDMODERN JAVANESE AS A TOURISM PROMOTIONRatun Untoro .................................................................................................................................................107

DAFTAR ISI

iv

v

KADERA BAHASA

ISSN 9772088485024 Kadera Bahasa Volume 9, No. 2 Edisi Agustus 2017

Kata kunci berasal dari artikel. Lembar abstrak ini dapat digandakan tanpa izin dan biaya

Restu SukestiSupragsemental Aspect as Supporting The Theme-rheme Construction in Java Banyumas Languages

Kadera Bahasa Volume 9, No. 2 Edisi Agustus 2017, Halaman 65—74

Theme-rheme construction is a part of the universality language in the world. The most important aspect as thesupporter of theme-rheme construction is suprasegmental aspect, which is intonation role. With that intonation role,theme-rheme unsure and variation can be determined. In a theme-rheme construction research in Javanese-Banyumas,based on intonation role research, found that there is unique characteristic of theme, rheme, and supplement unsure. It isfound that there are six theme-rheme construction roles in Javanese-Banyumas, based on the intonation role as well.Moreover, five of those six roles can change into another role because of intonation role changing. Thus, suprasegmentalaspect has huge influence to the theme-rheme construction.

Keywords: suprasegmental, intonation, theme, rheme, suplemen

Mulyanto, Edi SuwatnoThe Form and Function of Mantra Text

Kadera Bahasa Volume 9, No. 2 Edisi Agustus 2017, Halaman 75—88

Mantra has a special form of language that is considered can connect people with things that are not concrete. The spelllanguage has poetic elements, such as rhyme and rhythm, and is considered to contain supernatural powers. The distinctivelanguage of the mantra needs to be studied in terms of form and function to be known by the people so that they will nothave wrong assumption on mantra. Data are obtained from various oral literary texts. This study uses the theory ofstructuralism of Jean Peager. The results show that the mantra language can be in the form of pantun, poetry, lyricprose, repetition of sound, and chant. Mantra has functions for kinship, treatment, pest eradication, immunity, games,health, love (compassion), and livelihood.

Keywords: spell form, poetry, occult, function

vi

KADERA BAHASA

ISSN 9772088485024 Kadera Bahasa Volume 9, No. 2 Edisi Agustus 2017

Kata kunci berasal dari artikel. Lembar abstrak ini dapat digandakan tanpa izin dan biaya

Yulitin SungkowatiFigurative Language of Short Story “Surabaya” by Totilawati TjitrawasitaKadera Bahasa Volume 9, No. 2 Edisi Agustus 2017, Halaman 89—96

This research is aimed to describe the figurative language of short story “Surabaya” of Totilawati Tjitrawasita. Theproblems of research focus are what are the figurative language in short story and how are its effects? The research usedqualitative method by using read and noted techniques. The research has results that figurative language of the shortstory are personification, simile, and methapore All of them dominated narration of the short story and they get effectof imaginative creation of a suffering village and violent city.

Keywords: story, figurative, effect

Heksa Biopsi Puji HastutiPositive Values of Haluoleo for Character DevelopmentKadera Bahasa Volume 9, No. 2 Edisi Agustus 2017, Halaman 97—106

The great name of a character immortalized into the title of some vital objects in a regionconsequently carries the purposeof giving role models for character development, at least for local residents. This article raises the issue of positive valuesin character of Haluoleo figure for character development. The data are descriptions of Haluoleo character taken fromHaluoleo story of Tolaki folklore which has been published, as primary data source. The data analysis is done in twosteps, namely first level semiotic readings and second level semiotic readings. From the analysis results obtained theextraction of moral values in character Haluoleo figure as follows: (1) harmonization between softness and firmness; (2)accuracy in mapping needs and self-empowering to fulfill them as well; (3) put forward the equation for the sake oftogetherness and brotherhood; (4) sincerity; (5) respect for birth; (6) humble attitude; and (7) respect and honor friendsand enemies proportionally

Keywords: Haluoleo figure, positive values, character development

vii

Ratun UntoroThe Descriptions of Nature in Ancient Javanese Literature and Modern Javanese As a Tourism PromotionKadera Bahasa Volume 9, No. 2 Edisi Agustus 2017, Halaman 107—114

Tourism promotion is performed in purpose. It can be natural event to stimulate interest for tourists who are passing,watching, listening, or reading and feeling not in purpose. It is associated to the natural portrayal in literary works. Thenature was portrayed by the poets or writers with personal feeling and they do not tend to refer to tourism purpose. Even,sometimes the poets hide the beautiful nature illustration from public. They just want to express their feeling and do notwant people to do agree for the beauty of nature they portrayed. Those problem is formulated in this research. Naturalcondition appeared in literary works and it never be addressed for tourism promotion. The date of this research is oldand modern Javanese literature to reveal how the poets portrayed nature through ages. This research was initiated fromassumption that poets or writers performed observation about nature and circumstance, then they were expressed in theirliterary works. This research proved that nature is still used by poets or writers to assist, complete, and give storysituation.

Keywords: nature, circumstance, literature, poets/writers.

KADERA BAHASA

ISSN 9772088485024 Kadera Bahasa Volume 9, No. 2 Edisi Agustus 2017

Kata kunci berasal dari artikel. Lembar abstrak ini dapat digandakan tanpa izin dan biaya

viii

KADERA BAHASA

ISSN 9772088485024 Kadera Bahasa Volume 9, No. 2 Edisi Agustus 2017

Kata kunci berasal dari artikel. Lembar abstrak ini dapat digandakan tanpa izin dan biaya

Restu SukestiAspek Supragsemental Sebagai Pendukung Konstruksi Tema-rema dalam Bahasa Jawa Banyumas

Kadera Bahasa Volume 9, No. 2 Edisi Agustus 2017, Halaman 65—74

Konstruksi tema-rema merupakan salah satu ciri keuniversalan bahasa-bahasa di dunia. Aspek yangterpenting sebagai pendukung konstruksi tema-rema ialah aspek suprasegmental, yaitu pola intonasi.Dengan pola intonasi tersebut, unsur-unsur dan variasi konstruksi tema-rema dapat ditentukan. Dalamkajian konstruksi tema-rema dalam bahasa Jawa Banyumas, berdasarkan kajian pola intonasinya,ditemukan kekhasan unsur tema, rema, dan suplemen. Berdasarkan pola intonasi itu pula, dalambahasa Jawa Banyumas ditemukan enam pola konstruksi tema-rema. Lima di antara enam pola tersebutdapat berubah menjadi pola lain karena perubahan pola intonasinya. Dengan demikian, aspeksuprasegmental sangat berpengaruh terhadap konstruksi tema-rema.

Kata kunci: suprasegmental, intonasi, tema, rema, suplemen

Mulyanto, Edi SuwatnoBentuk dan Fungsi Teks Mantra

Kadera Bahasa Volume 9, No. 2 Edisi Agustus 2017, Halaman 75—88

Mantra memiliki bentuk bahasa khusus yang dianggap dapat menghubungkan manusia dengan halyang tidak konkret. Bahasa mantra berunsur puisi, seperti rima dan irama, dan dianggap mengandungkekuatan gaib. Bahasa yang khas pada mantra perlu dikaji bentuk dan fungsinya agar dapat diketahuioleh masyarakat sehingga mereka terhindar dari anggapan yang tidak benar terhadap mantra. Datadiperoleh dari berbagai teks sastra lisan. Penelitian ini menggunakan teori strukturalisme Jean Peager.Hasil penelitian menunjukkan bahwa bahasa mantra dapat berbentuk pantun, puisi, prosa lirik,pengulangan bunyi, dan kidung. Mantra memiliki fungsi untuk kekeluargaan, pengobatan, membasmihama, kekebalan, permainan, kesehatan, cinta kasih (berkasih-kasihan), dan mata pencaharian.

Kata kunci: bentuk mantra, puisi, gaib, fungsi

ix

KADERA BAHASA

ISSN 9772088485024 Kadera Bahasa Volume 9, No. 2 Edisi Agustus 2017

Kata kunci berasal dari artikel. Lembar abstrak ini dapat digandakan tanpa izin dan biaya

Yulitin SungkowatiBahasa Kiasan dalam Cerpen “Surabaya” Karya Totilawati TjitrawasitaKadera Bahasa Volume 9, No. 2 Edisi Agustus 2017, Halaman 89—96

Penelitian ini bertujuan mengungkap bahasa kiasan yang ada dalam cerpen “Surabaya” karya TotilawatiTjitrawasita. Masalah yang menjadi fokus penelitian, yakni bahasa kiasan apa sajakah yang ada dalamcerpen “Surabaya” karya Totilawati Tjitrawasita dan bagaimanakah efeknya. Metode yang digunakanadalah metode kualitatif dengan teknik baca dan catat. Penelitian ini menghasilkan temuan bahwabahasa kiasan yang banyak digunakan dalam cerpen “Surabaya” adalah personifikasi, simile, dan metafora.Ketiga bahasa kiasan itu mendominasi narasi cerpen dan menimbulkan efek terciptanya gambaranangan tentang sebuah dusun yang merana dan sebuah kota yang kejam.

Kata kunci: cerpen, kiasan, efek

Heksa Biopsi Puji HastutiNilai-Nilai Positif Tokoh Haluoleo Bagi Pengembangan KarakterKadera Bahasa Volume 9, No. 2 Edisi Agustus 2017, Halaman 97—106

Nama besar seorang tokoh yang diabadikan menjadi nama beberapa objek vital di suatu wilayahtentu mengemban maksud pemberian teladan bagi pengembangan karakter, setidaknya bagi wargasetempat. Artikel ini mengangkat permasalahan nilai positif dalam karakter tokoh Haluoleo bagipengembangan karakter. Data berupa deskripsi karakter tokoh Haluoleo yang diambil dari sumberdata berupa kisah Haluoleo versi cerita rakyat Tolaki yang sudah diterbitkan. Analisis data dilakukandalam dua tahap, yaitu pembacaan semiotik tingkat pertama dan pembacaan semiotik tingkat kedua.Dari hasil analisis diperoleh ekstraksi nilai positif dalam karakter tokoh Haluoleo sebagai berikut (1)harmonisasi antara kelembutan dan ketegasan; (2) ketepatan dalam memetakan kebutuhan sekaligusmemberdayakan dirinya untuk memenuhinya; (3) mengedepankan persamaan demi kebersamaandan persaudaraan; (4) ketulusan; (5) menghargai kelahiran; (6) sikap rendah hati; dan (7) menghargaidan menghormati kawan maupun lawan secara proporsional.

Kata kunci: tokoh Haluoleo, nilai-nilai positif, pengembangan karakter

x

Ratun UntoroPenggambaran Alam dalam Sastra Jawa Kuno dan Jawa Modern Sebagai Promosi WisataKadera Bahasa Volume 9, No. 2 Edisi Agustus 2017, Halaman 107—114

Promosi wisata tidak selalu dalam bentuk kesengajaan. Ia bisa berupa keadaan alamiah yang tidaksengaja bisa menimbulkan daya tarik bagi wisatawan yang kebetulan melihat, mendengar, atau membacaserta merasakan. Demikian halnya dengan pengambaran alam yang terdapat dalam karya sastra. Iadilukiskan oleh penyair atau pengarang dengan perasaan personal yang tidak harus selalu ingin ditujukanuntuk tujuan wisata. Bahkan, kadangkala penyair ingin menyembunyikan keadaan alam yang dirasakanindah memesona itu dari masyarakat luas. Ia hanya ingin menuliskan perasaannya dan tidak perluorang lain mencari kebenaran keadaan alam yang dilukiskannya. Hal-hal seperti itulah yang diungkappada penelitian ini. Keadaan alam yang muncul dalam karya sastra dan tidak pernah ditujukan untuktujuan promosi wisata. Data penelitian ini ialah karya sastra Jawa Kuno dan Jawa Modern untukmengetahui bagaimana penyair atau pengarang melukiskan alam pada masing-masing zaman. Penelitianini berawal dari asumsi bahwa penyair atau pengarang melakukan observasi terhadap alam danlingkungannya kemudian muncul dalam karya-karyanya. Penelitian ini membuktikan bahwa alam seringdigunakan oleh penyair atau pengarang untuk mengiringi, melengkapi, dan menambah suasana cerita.

Kata kunci: alam, lingkungan, sastra, penyair/pengarang.

KADERA BAHASA

ISSN 9772088485024 Kadera Bahasa Volume 9, No. 2 Edisi Agustus 2017

Kata kunci berasal dari artikel. Lembar abstrak ini dapat digandakan tanpa izin dan biaya

65

Restu SukestiAspek Supragsemental Sebagai Pendukung Konstruksi Tema-rema dalam Bahasa Jawa Banyumas

1. PENDAHULUANKonstruksi tema-rema ialah bentuk sintaktik

yang dibangun atas pementingan dan kebaruaninformasi. Unsur tema dianggap sebagai informasilama dan kurang penting; unsur rema diangap infor-masi baru dan paling penting. Konstruksi temarema ditandai dengan intonasi (Halliday 2004: 37).Oleh karena itu, Halim (1984: 121) menyebutkanbahwa fenomena topik (dianalogikan sebagai tema)dan sebutan (dianalogikan sebagai rema) dalambahasa Indonesia dapat dijelaskan hanya dalam

ASPEK SUPRAGSEMENTAL SEBAGAI PENDUKUNG KONSTRUKSITEMA-REMA DALAM BAHASA JAWA BANYUMAS

SUPRAGSEMENTAL ASPECT AS SUPPORTING THE THEME-RHEMECONSTRUCTION IN JAVA BANYUMAS LANGUAGES

Restu SukestiBalai Bahasa Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta

Pos-el: [email protected], Telepon: 08121557130

AbstractTheme-rheme construction is a part of the universality language in the world. The most important aspect as thesupporter of theme-rheme construction is suprasegmental aspect, which is intonation role. With that intonation role,theme-rheme unsure and variation can be determined. In a theme-rheme construction research in Javanese-Banyumas,based on intonation role research, found that there is unique characteristic of theme, rheme, and supplement unsure. It isfound that there are six theme-rheme construction roles in Javanese-Banyumas, based on the intonation role as well.Moreover, five of those six roles can change into another role because of intonation role changing. Thus, suprasegmentalaspect has huge influence to the theme-rheme construction.

Keywords: suprasegmental, intonation, theme, rheme, suplemen

AbstrakKonstruksi tema-rema merupakan salah satu ciri keuniversalan bahasa-bahasa di dunia. Aspek yangterpenting sebagai pendukung konstruksi tema-rema ialah aspek suprasegmental, yaitu pola intonasi.Dengan pola intonasi tersebut, unsur-unsur dan variasi konstruksi tema-rema dapat ditentukan. Dalamkajian konstruksi tema-rema dalam bahasa Jawa Banyumas, berdasarkan kajian pola intonasinya,ditemukan kekhasan unsur tema, rema, dan suplemen. Berdasarkan pola intonasi itu pula, dalambahasa Jawa Banyumas ditemukan enam pola konstruksi tema-rema. Lima di antara enam pola tersebutdapat berubah menjadi pola lain karena perubahan pola intonasinya. Dengan demikian, aspeksuprasegmental sangat berpengaruh terhadap konstruksi tema-rema.

Kata kunci: suprasegmental, intonasi, tema, rema, suplemen

hal intonasi (prosodi). Ciri intonasi itu pada polatopik-sebutan (tema-rema) bersifat stabil. Olehkarena itu, Suparno (1993) telah melakukan pene-litian tema-rema dalam bahasa Indonesia lisan diKotamadya Malang dengan berpijak pada ciriintonasi.

Konstruksi tema-rema dalam suatu bahasa ber-hubungan dengan ciri intonasi (Halim 1984: 115—121; Suparno 1993: 28). Sementara itu, telah di-ketahui bahwa bahasa, pada umumnya memilikidua aspek, yaitu suprasegmental dan segmental

66

Kadera Bahasa, Volume 9, Nomor 2, Edisi Agustus 2017

merupakan ciri universal pada sebagian besarbahasa-bahasa manusia di dunia. Oleh karena itu,konstruksi tema-rema juga merupakan ciri uni-versal pada bahasa-bahasa yang ada, termasukdalam bahasa Jawa Banyumas.

2. LANDASAN TEORIKalimat berkonstruksi tema-rema sangat

umum terdapat dalam bahasa Jawa (sesuai denganhasil kajian Gloria-Poedjosoedarmo (1974); Arifin(1985); dan Poedjosoedarmo (1998)). Hal itu ter-jadi karena bahasa Jawa lebih mengutamakan pe-nopikan kalimat dan urgensi informasi. Pernyata-an itu bersesuaian dengan pendapat Poedjosoedarmo(1974, Verhaar (1970), dan Subroto (1991). Bahkan,Baryadi (2002:88—98) telah memaparkannya se-cara teoretis tentang urgensi informasi dan statusinformasi dalam wacana dan dalam kalimat (jugakalimat yang berkonstruksi tema-rema). Dalammasalah urgensi informasi, unsur yang terpentingdi dalam konstruksi tema-rema ialah remanya. Halitu disebabkan bahwa pola intonasi pada rema ter-sebut hanya ada satu, yaitu /231t/ dan merupakanunsur yang terpenting karena sebagai informasiterbaru. Pandangan tersebut sesuai denganPoedjosoedarmo (1998:13), seperti berikut.

“Karena bahasa Jawa memiliki sistemintonasi kalimat yang berpola secara ’ajek’maka pola-pola intonasi itu pun dapatmembawakan makna. Yang perpola 231tentu mengandung informasi baru danyang ada di depannya (maksudnya ialahtema) tentu merupakan informasi pen-dahulu yang menghubungkan informasiterbaru itu dengan sesuatu yang ada dalamwacana.”

Dengan itu, di mana pun posisi rema, polaintonasinya tidak berubah, lain halnya dengan polaintonasi tema dan pola intonasi suplemen (ekor)dapat berubah karena posisi, pernyataan itu sesuaidengan Halim (1984) dan Suparno (1993). Dengan

itu, dalam penelitian ini akan dilihat apakah kons-truksi tema-rema dalam bahasa Jawa Banyumaslisan sama dengan konstruksi tema-rema dalambahasa Jawa secara umum (standar), yaitu meng-utamakan penopikan kalimat dan urgensi infor-masi.

Dalam konstruksi tema-rema, intonasi tam-paknya menjadi aspek yang sangat penting dalampenentuan konstruksi tema-rema, seperti apa yangdiungkapkan oleh Halim (1984) dan Suparno(1993) dan seperti yang telah dilakukan dalam pe-nelitian Gloria-Poedjosoedarmo (1974), Wedhawati,dkk. (1979), dan Poedjoesoedarmo (1998), tetapibelum dilakukan pada Soemarno (1971).

3. PEMBAHASANBerdasarkan data bahasa Jawa Banyumas yang

diperoleh terdapat enam tipe variasi konstruksitema-rema. Penipean itu berdasarkan atas jumlahkontur yang masing-masing kontur berisi unsur(konstituen) yang berbeda, yaitu unsur tema, rema,dan suplemen. Penentuan unsur itu berdasarkanpola intonasi, informasi, dan posisi. Dalam pe-nipean tersebut dihasilkan bahwa setiap kons-truksi pasti memiliki unsur rema, dan unsur ituhanya satu. Unsur lain, tema dan suplemen dapathadir atau tidak, dan kehadirannya dapat dalamsatu kontur atau lebih. Tema terletak pada awalkonstruksi dan suplemen pada akhir konstruksiatau pada tengah konstruksi. Berikut enam tipekonstruksi tema-rema dalam bahasa Jawa Banyu-mas: (i) R (tipe 1);(ii) T R (tipe 2); (iii) (T) T R(tipe 3); (iv) R Sup (tipe 4);(v) R Sup (Sup) (tipe5); dan (vi) T Sup R (tipe 6).

3.1 Intonasi pada Tiap-Tiap Unsur

3.1.1 Intonasi Tema dan Penentuan TemaTema terletak pada awal kontruksi atau ter-

letak sebelum rema dengan berintonasi 2-23n atau2-33n. Contohnya dalam bahasa Jawa Banyumasialah sebagai berikut.

67

Restu SukestiAspek Supragsemental Sebagai Pendukung Konstruksi Tema-rema dalam Bahasa Jawa Banyumas

(1) # Agi dhong pating prengut ya / enyong bingung//kaya kuwe #/agi dòoK patiK preKut ya êñoK biKuKkaya kuwé/# 2- 23n // 231t // 221t #

T R SupSaat sedang semua bermuka masam ya//sayabingung// seperti itu’Saat semua sedang bermuka masam ya sayabingung begitu’.

(1a) # Enyong bingung// agi dhong pating prengut //kaya kuwe #/êñoK biKuK agi dòoK patiK prêKut kayakuwé/# 231t // 222 // 221t #

R Sup SupSaya bingung// saat sedang semua bermukamasam // seperti itu’Saya bingung, saat semua sedang bermukamasam, begitu.’

Berdasarkan data yang diperoleh, konstruksitema-rema dalam bahasa Jawa Banyumas dapatmemiliki unsur satu tema atau lebih, seperti padacontoh berikut.(2) #Kali Logawa kiye// miline// maring ngidul#

/kali logawa kiyé miliné mariK Kidul/# 2- 23n// 2- 33n// 231t #

T T RSungai Logawa ini// alirannya// ke selatankiye/ miline/ tekan’Sungai Logawa ini, alirannya ke selatan.’kiye/ miline/ tekan

Konstruksi (3.3) memiliki dua tema, yaitu (1)Kali Logawa kiye dan (2) miline yang masing-masingberupa satu kontur dengan dipisahkan oleh jedapendek. Kedua tema tersebut berintonasi 2-33natau 2-23n.

3.1.2 Intonasi Rema dan Penentuan RemaDalam konstruksi tema-rema, rema merupa-

kan unsur yang paling utama dan paling stabil.Yang dimaksud dengan rema paling utama ialahunsur itu tidak dapat dilesapkan dan yang dimak-sud paling stabil ialah unsur itu di mana pun posisi-nya tetap berintonasi 231t. Hal itu berbeda denganunsur yang lain, yaitu unsur tema dan suplemen.Tema terletak pada sebelum rema dan dapat ber-pindah posisi pada sesudah rema. Perpindahan itumenyebabkan perubahan intonasi 2-33n menjadi222 atau 221t dan status tema berubah menjadisuplemen. Selain itu, baik tema maupun suplemendapat dilesapkan sehingga rema dapat berposisisesudah tema atau awal konstruksi. Dengandemikian, pembahasan berikut ialah intonasi remayang berkaitan dengan posisi rema pada sesudahtema dan pada awal konstruksi.

3.1.3 Intonasi Suplemen dan PenentuanSuplemen

Suplemen pada konstruksi tema-rema me-rupakan konstituen tambahan. Artinya, wajib hadir-nya bertingkat rendah, informasinya berstatus se-bagai informasi lama, dan pementingan informasi-nya bertingkat kurang penting atau tidak penting.Oleh karena itu, intonasi pada konstituen suple-men berbentuk 222 atau 221t. Berintonasi 222jika konstituen itu terletak pada tengah konstruksidan berintonasi 221t jika konstiten itu terletakpada akhir konstruksi. Hal yang juga pentingadalah konstituen suplemen tidak mungkin ter-letak pada awal konstruksi, yang dengan itu awalkonstruksi tema-rema tidak mungkin berintonasi222 apalagi 221t. Dengan demikian, konstituensuplemen hanya terletak pada tengah atau akhirkonstruksi.

3.2 Pola Intonasi Konstruksi Tema-Remadalam Bahasa Jawa BanyumasBerdasarkan data yang diperoleh, dalam ba-

hasa Jawa Banyumas ngoko di Kabupaten Banyu-

68

Kadera Bahasa, Volume 9, Nomor 2, Edisi Agustus 2017

mas terdapat enam tipe pola dasar intonasi. Pe-nipenan itu berpijak pada bentuk pola intonasipada keseluruhan konstruksi, yaitu (1) pola dasardengan hanya satu kontur intonasi 231t; (2) poladasar dengan dua kontur intonasi 2-23n / 221t;(3) pola dasar dengan tiga kontur intonasi 2-23n/2-23n/ 231t, dengan catatan bahwa kontur 2-23ndapat lebih dari dua; (4) pola dasar dengan duakontur intonasi 231t/221t; (5) pola dasar dengantiga kontur intonasi 231t/ 222/ 221t, dengancatatan bahwa kontur 222 dapat lebih dari satu;dan (6) pola dasar dengan tiga kontur intonasi 2-23n/ 222/ 231t. Keenam tipe pola intonasi kons-truksi tema-rema dalam bahasa Jawa Banyumasngoko di Kabupaten Banyumas akan dijelaskanpada uraian berikut.

3.2.1 Pola Intonasi Tipe 1Bahasa Jawa Banyumas merupakan bahasa

komunikasi lisan yang digunakan oleh masyarakatBanyumas di kabupaten Banyumas, terutamadalam situasi tidak resmi. Dalam penggunaan itumuncul pola-pola konstruksi tema-rema, yangmasing-masing sekurang-kurangnya terdiri atassatu konstituen rema. Bahkan, dalam komunikasidua arah (dialog) bermunculan konstruksi denganpola yang berbentuk rema saja, yaitu dengan polaintonasi 231t. Meskipun demikian, komunikasiinformasi sudah terbangun dan sudah terjadi salingkesepahaman antara penutur dan pendengar.

Contoh konstruksi tema-rema yang berisihanya rema dengan pola intonasi 231t ialah se-bagai berikut.(3) # Ya iya #

/ya iya/#231t # RYa iya’Ya iya.’

Tampak bahwa konstruksi tema-rema yanghanya memiliki satu kontur intonasi 231t sudahdapat mewakili informasi yang akan disampaikanoleh penutur karena informasi itulah hal yang ter-penting dan terbaru dan informasi itu disebut rema.Dengan itu, meskipun hanya satu kontur intonasi,komunikasi tetap berjalan dengan lancar, dengansyarat hal itu berlangsung dalam situasi dialog.Dengan itu pula, konstruksi tema-rema dalambahasa Jawa Banyumas banyak yang terdiri atassatu konstituen, yaitu konstituen rema.

3.2.2 Pola Intonasi Tipe 2Pola intonasi tipe 2 termasuk yang banyak di-

temukan dalam bahasa Jawa ngoko dialek Banyu-mas. Hal itu disebabkan oleh pola intonasi 2-23n/231t berhubungan secara signifikan dengan polainformasi dan status informasi. Pola itu termasukpola yang standar dalam bahasa Jawa, yaitu polatema-rema. Berikut adalah contohnya.(4) # Anake enyong// sing mbarep// wis mentas #

/anaké êñoK siK mbarêp wis mêntas/ T1 T2 RAnaknya saya// yang sulung// sudah mentas’Anak saya, yang sulung sudah berumahtangga.’

Dari contoh tersebut diperlihatkan bahwabentuk segmental pengisi kontur intonasi tematidak harus berbentuk nomina atau frasa nomina(yang secara struktural menduduki fungsi subjekkalimat), tetapi berbentuk apa saja. Yang terpen-ting ialah pola intonasi pada tema 2-23n.

3.2.3 Pola Intonasi Tipe 3Pola intonasi tipe 3 ialah konstruksi tema-

rema dengan tema lebih dari satu. Artinya, temadapat terdiri atas dua konstituen, tiga konstituen,atau lebih dari itu. Hal itu sangat mungkin terjadidalam bahasa Jawa standar maupun dalam bahasaJawa Banyumas meskipun secara struktural adaperbedaan. Namun, secara suprasegmental me-

69

Restu SukestiAspek Supragsemental Sebagai Pendukung Konstruksi Tema-rema dalam Bahasa Jawa Banyumas

miliki kemiripan pola intonasinya. Berikut adalahcontoh pola intonasi konstruksi tema-rema tipe 3.(5) # Anake enyong// sing mbarep// wis mentas #

/anaké êñoK siK mbarêp wis mêntas/ T1 T2 RAnaknya saya// yang sulung// sudah mentas’Anak saya, yang sulung sudah berumahtangga.’

Meskipun konstruksi itu memiliki tema lebihdari satu, konstituen rema tetap satu. Seandainyaada konstituen rema yang lain, berarti rema yanglain itu merupakan konstruksi tema-rema ter-sendiri.

3.2.4 Pola Intonasi Tipe 4Pola intonasi konstruksi tema-rema Tipe 4

ditandai dengan adanya satu konstituen suplemenyang berintonasi 221t. Konstituen itu terdapatpada sesudah rema dan akhir konstruksi. Berikutadalah contohnya.(6) # Ratum wis merad// jere #

/ratum wis mérad jéré/R Sup

Ratum sudah minggat// katanya’Ratum sudah pergi tanpa pamit katanya.’

3.2.5 Pola Intonasi Tipe 5Pola intonasi Tipe 5 menampilkan adanya dua

intonasi pada dua konstituen suplemen di belakangrema, dengan yang satu berada pada tengah kons-truksi dan yang satu lainnya berada pada akhirkonstruksi. Suplemen yang berada pada tengahkonstruksi berintonasi 222 dan yang berada padaakhir konstrukis berintonasi 221t. Berikut adalahcontohnya.(7) #Cokan bebeh// angger mikir kaya kuwe//

enyong #/cokan bêbêh aKgêr mikir kaya kuwé êñoK/

# 231t // 222 // 221t #R Sup1 Sup2

Kadang tidak mau// kalau memikirkanseperti itu// saya’Kadang tidak mau kalau memikirkan sepertiitu, saya.’

(8) # Seneng banget// munggah kaji maning// kayakuwe #/sênêK baKêt muKgah kaji maniK kayakuwé/# 231t // 222 // 221t #

R Sup1 Sup2Senang sekali// naik haji lagi// seperti itu’Senang sekali menunaikan ibadah haji lagibegitu.’

3.2.6 Pola Intonasi Tipe 6Pola intonasi konstruksi tema-rema Tipe 6

memperlihatkan adanya suplemen pada tengahkonstruksi sebelum rema. Konstituen itu berinto-nasi 222, sama seperti intonasi suplemen padatengah kalimat sesudah rema. Contoh konstruksiyang memperlihatkan Tipe 6 dengan intonasisuplemen pada tengah kalimat sebelum rema ialahsebagai berikut.(9) # Inyong ngomong basa mlepes// maen-maen//

malah ora ngerti #/iñoK KomoK basa mlêpês maèn maènmalah ora Kêrti/# 2- 23 n // 222 // 231t #

T Sup RSaya berbicara bahasa halus// bagus-bagus// malah tidak tahu’Saya berbicara dengan bahasa halus, bagus-bagus, malah tidak dimengerti.’

70

Kadera Bahasa, Volume 9, Nomor 2, Edisi Agustus 2017

3.3 Perubahan Pola Intonasi Konstruksi Tema-Rema dalam Bahasa Jawa BanyumasPada bagian ini akan dibahas perubahan pola

intonasi konstruksi tema-rema dalam bahasa JawaBanyumas ngoko di Kabupaten Banyumas. Per-ubahan pola intonasi itu meliputi perubahan darisudut pandang pada masing-masing unsur dalamsebuah konstruksi tema-rema dan perubahan darisudut pandang pada keseluruhan pola konstruksi.Artinya, pembahasan pertama meliputi perubahanpola intonasi pada unsur-unsur yang mungkindapat berubah dan pembahasan kedua meliputiperubahan pola intonasi pada keseluruhan polakonstruksi, yang sebenarnya juga disebabkan olehperubahan unsur-unsurnya. Urutan kedua per-ubahan pola intonasi itu dilakukan untuk menjagakejelasan pembahasan.

3.3.1 Perubahan Pola Intonasi pada Tiap-Tiap Unsur

Unsur-unsur yang ada pada konstruksi tema-rema ialah tema, rema, dan suplemen. Sementaraitu, yang dapat berubah posisi dan berubah pola into-nasinya ialah unsur tema dan suplemen. Dengandemikian, pembahasan berikut ialah perubahanintonasi pada tema dan suplemen.

3.3.2 Perubahan Pola Intonasi pada Tiap-Tiap Tipe Konstruksi Tema-Rema

Telah diungkapkan sebelumnya bahwa adaenam tipe konstruksi tema-rema dalam bahasaJawa Banyumas ngoko di Kabupaten Banyumas.Dari keenam tipe tersebut ada tipe yang berisihanya satu unsur, yaitu Tipe 1 yang hanya berisisatu unsur rema. Telah diterangkan sebelumnyabahwa unsur rema tidak dapat berubah menjadiunsur lain meskipun posisinya dalam konstruksiberubah. Dengan itu, perubahan itu tidak menye-babkan perubahan intonasi. Oleh karenanya, Tipe1 yang hanya berisi unsur rema tidak masuk dalampembahasan perubahan pola intonasi konstruksitema-rema.

3.3.2.1 Perubahan Pola Intonasi Tipe 2Pola intonasi konstruksi tema-rema dalam

bahasa Jawa Banyumas ngoko Tipe 2 ialah yangberbentuk 2-23n/ 231t dengan unsur tema—rema(T R). Pola itu sangat sederhana dan standar se-bagai pola konstruksi tema-rema. Oleh karena itu,perubahan pola intonasi pada konstruksi itu punhanya ada satu variasi, yaitu perubahan dari 2-23n/ 231t menjadi 231t/ 221t dengan konstituentema-rema (T R) menjadi rema –suplemen (R Sup),seperti pada contoh berikut.(10) # Janen// maen banget #

/janèn maèn baKêt/# 2- 23n// 231t #

T RSebenarnya// bagus sekali’Sebenarnya bagus sekali.’

(10a)# Maen banget// janen #/maèn baKêt janèn/# 231t // 221t # R SupBagus sekali// sebenarnya’Bagus sekali sebenarnya.’

Perubahan pola intonasi konstruksi tema-rema Tipe 2 hanya satu variasi, yaitu menjadi polaintonasi 231t/ 221t dengan isi konstituen rema—suplemen (R Sup).

3.3.2.2 Perubahan Pola Intonasi Tipe 3Pola intoasi konstruksi tema-rema dalam

bahasa Jawa Banyumas ngoko Tipe 3 ialah ber-bentuk 2-23n/ 2-23n/ 231t dengan konstituentema—tema—rema ((T) T R) (tanda kurung yangmengapit T1 mengartikan bahwa tema itu dapatlebih dari satu konstituen). Dengan kata lain, polakonstruksi Tipe 3 memiliki dua tema atau lebih.Karena memiliki dua tema atau lebih, perubahanpola intonasinya pun memiliki dua variasi ataulebih, seperti pada contoh berikut.

71

Restu SukestiAspek Supragsemental Sebagai Pendukung Konstruksi Tema-rema dalam Bahasa Jawa Banyumas

(11) # Kae jen// angger pidhato be// tetep nganggobasa Banyumasan #/kaé jên aKgêr pidòato bé têtêp KaKgo basabañumasan/# 2- 23// 2- 23n // 231t #

T1 T2 RItu kan/ kalau pidato saja// tetap mengguna-kan bahasa Banyumas’Dia kan kalau berpidato saja tetap meng-gunakan bahasa Banyumas’

(11a)# Kae jen// tetep nganggo basa Banyumasan //angger pidhato #/kaé jên têtêp KaKgo basa bañumasan aKgêrpidòato /#2- 23n// 231t // 221t #

T R SupItu kan// tetap menggunakan bahasa Banyu-mas// kalau pidato’Dia kan tetap menggunakan bahasa Banyu-mas kalau berpidato.’

(11b)# Tetep nganggo basa Banyumasan // kae jen //angger pidhato #/têtêp KaKgo basa bañumasan kaé jênaKgêr pidòato /# 231t // 222 // 221t # R Sup1 Sup2Tetap menggunakan bahasa Banyumas// itukan// kalau pidato’Tetap menggunakan bahasa Banyumas, diaitu kalau berpidato.’

Konstruksi (11) yang memiliki dua temadengan pola konstruksi intonasi 2-23n/2-23n/231t dapat mengalami perubahan pola konstruksiintonasi dalam dua variasi. Variasi pertama ialahpola intonasi 2-23n/231t/221t dan variasi keduaialah pola intonasi 231t/222/231t.

3.3.2.3 Perubahan Pola Intonasi Tipe 4Konstruksi tema-rema Tipe 4 ialah pola rema—

suplemen (R Sup). Artinya, pola itu mensyaratkanhadirnya konstituen rema dan satu suplemensesudah rema. Namun, konstituen tema bolehhadir dalam tipe itu. Konstruksi ini berpola into-nasi 231t/ 221t . Pola intonasi itu dapat mengalamiperubahan menjadi satu variasi, yaitu 2-23n/231t, seperti pada contoh berikut.(12) # Aja// kudune #

/aja kuduné/# 231t// 221t#

R SupJangan// harusnya’Tidak boleh sebenarnya.’

(12a)# Kudune// aja #/ kuduné aja/#2- 23n// 231t #

T RHarusnya// jangan’Tidak boleh sebenarnya.’

Pada konstruksi berikut menggambarkan ada-nya unsur tema yang bukan syarat hadirnya kons-tituen wajib pada Tipe 4. Oleh karena itu, per-ubahan yang dibahas difokuskan pada konstituenrema dan suplemen yang berpola intonasi 231t/221t. Pada prinsipnya, perubahan pola intonasiTipe 4 itu ialah intonasi pada konstituen suplemen221t yang dapat berubah menjadi konstituen tema2-23n. Dengan itu pula ditunjukkan bahwa into-nasi pada rema, di mana pun posisinya, tetap tidakberubah. Hal itu menunjukkan keintian atau ke-utamaan rema.

3.3.2.4 Perubahan Pola Intonasi Tipe 5Pola intonasi konstruksi tema-rema Tipe 5

ialah 231t/ 222/ 221t. Dengan catatan bahwa tipeini mensyaratkan hadirnya konstituen rema, dandua suplemen atau lebih. Dengan demikian, tidak

72

Kadera Bahasa, Volume 9, Nomor 2, Edisi Agustus 2017

mewajibkan kehadiran konstituen tema. Olehkarena itu, perubahan pola intonasi Tipe 5 hanyaterfokus pada konstituen rema dan suplemen(suplemen setelah rema). Berikut adalah contohkonstruksi Tipe 5 beserta pola intonasinya, yangselanjutnya diikuti dengan perubahan pola into-nasinya.(13) # Gedhe// manfaate// nggo inyong rika padha#

/gêdòé manfaaté Kgo iñoK rika padòa/ R Sup1 Sup2Besar// manfaatnya// untuk saya kamusemua’Besar manfaatnya untuk kita semua.’

(13a)# Manfaate// gedhe// nggo inyong rika padha#/ manfaaté gêdòé Kgo iñoK rika padòa/

T R SupManfaatnya// besar// untuk saya kamusemua’Manfaatnya besar untuk kita semua.’

(13b)# Nggo inyong rika padha// manfaate// gedhe#/ Kgo iñoK rika padòa manfaaté gêdòé /

T1 T2 RUntuk saya kamu semua// manfaatnya//besar’Untuk kita semua, manfaatnya besar.’

Konstruksi tema-rema (3.60) berpola #231t//222//221t# dengan dua suplemen, yangmasing-masing merupakan suplemen lepas yangtidak terikat pada konstituen lain dan bersifatmobil. Oleh karena itu, kedua suplemen itu dapatberubah posisi di depan rema dan menimbulkanvariasi pola intonasi yang baru. Variasi itu ada dua,yaitu #2-23n// 231t// 221t# dan #2-23n// 2-23n// 231t#.

3.3.2.5 Perubahan Pola Intonasi Tipe 6Pola intonasi Tipe 6 ialah adanya kontur into-

nasi //222// yang terletak pada tengah kons-

truksi sebelum rema. Kontur itu menandai kons-tituen suplemen. Konstruksi seperti itu jarang di-temukan dalam bahasa Jawa dialek Banyumasngoko di Kabupaten Banyumas karena pada umum-nya suplemen terletak pada sesudah rema. Suple-men yang terletak pada tengah konstruksi sebelumrema itu dapat berupa suplemen aposisi atau suple-men biasa yang bersifat bebas. Seandainya suple-men itu bersifat bebas (bukan aposisi), konstituenitu dapat pada posisi sesudah rema. Namun, se-andainya suplemen itu bersifat terikat (sebagaiaposisi), konstituen itu tidak dapat berubah posisi.

Berikut adalah contoh konstruksi tema-remaTipe 6 yang berpola intonasi #2-23n//2-23n//222//231t# dengan pola urut konstituen tema—tema—suplemen—rema (T T Sup R).(3.62)# Senajan mengko// banyu kuwe// jere// kon

mbayar #/sênajan mêKko bañu kuwé jéré konmbayar/#2- 23n//2- 23n//222 // 231t #

T1 T2 Sup RMeskipun nanti/ /air itu// katanya//disuruh membayar

3. PENUTUP1. Intonasi menjadi salah satu unsur utama (se-

lain bentuk strukturalnya) dalam komunikasilisan verbal. Dalam komunikasi itu terdapatpenyampaian informasi dari pihak 1 ke pihak2 (dan sebaliknya). Dalam penyampaian infor-masi tersebut, intonasi berperan menentukanmana informasi utama dan mana informasitambahan, yang secara linguistis dapat ditesdengan pelesapan, permutasi, dan parafrasa.Satuan informasi dalam bentuk kalimat ituberkonstruksi tema-rema. Dengan demikian,konstruksi tema-rema tidak dapat dilepaskandari analisis intonasi.

73

Restu SukestiAspek Supragsemental Sebagai Pendukung Konstruksi Tema-rema dalam Bahasa Jawa Banyumas

2. Intonasi pada konstruksi tema-rema dalambahasa Jawa Banyumas bersifat stabil danteratur. Kestabilan dan keteraturan itu di-tandai dengan konsistensi intonasi pada unsurrema. Di mana pun posisi rema dalam sebuahkonstruksi tema-rema, intonasinya tetap,yaitu //231t// dan tidak dapat dilesapkan. Halitu menandai bahwa rema adalah unsur ter-penting. Hal itu juga dapat diperlihatkandengan dapatnya unsur tema berubah men-jadi unsur suplemen (dengan perubahan po-sisi dan intonasi), dan sebaliknya, suplemendapat berubah menjadi tema (dengan per-ubahan posisi dan intonasi). Kemampuan ber-ubahnya unsur tema dan suplemen tersebutsemakin memperkuat bahwa unsur remaadalah unsur yang terpenting/utama.

3. Berdasarkan kajian yang telah dilakukan ter-dapat enam tipe pola intonasi konstruksitema-rema dalam bahasa Jawa Banyumas.Tiap-tiap pola itu (kecuali pola 1) dapat ber-ubah menjadi tipe lain. Dalam perubahan itujuga disertai perubahan pola intonasi. Dengandemikian, perubahan pola urut (word order)pada masing-masing tipe konstruksi tema-rema dapat memengaruhi perubahan polaintonasi.

* Tulisan ini merupakan bagian dari disertasi yangdikemas ulang menjadi bentuk makalah dan belumpernah dipublikasikan. Disertasi yang dimaksudialah: Sukesti, Restu. 2012. “Konstruksi Tema-Rema dalam Bahasa Jawa Banyumas Lisan” Yogya-karta: Program Pascasarjana, Fakultas Ilmu Budaya,Universitas Gadjah Mada.

DAFTAR PUSTAKAArifin, Syamsul; Dirgo Sabariyanto; dan Sri

Nardiati. 1985. “Tipe-Tipe Kalimat dalamBahasa Jawa”. Yogyakarta: Proyek Penelitian

Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah,DIY.

Baryadi, I Praptomo. 2000. “Konstruksi PerurutanWaktu pada Tataran dalam Wacana BahasaIndonesia: Suatu Kajian tentang IkonisitasDiagramatik” (Disertasi Doktor). Yogya-karta: Program Pascasarjana UniversitasGadjah Mada Yogyakarta.

Halim, Amran. 1984. Intonasi dalam Hubungannyadengan Sintaksis Bahasa Indonesia. Jakarta:Djambatan.

Halliday, M.A.K.2004. An Introduct ional toFunctional Grammar (third edition). London,Melbourne, Auckland: Edward Arnold.

Nurlina, Erni Siti; Edi Suwatno; dan Sumadi.2008. Tema Rema dalam Bahasa Jawa. Yogya-karta: Proyek Penelitian Bahasa dan SastraIndonesia dan Daerah, DIY.

Poedjoesoedarmo, Gloria. 1974. “Role Structurein Javanese”. (Disertasi Universitas Cornel,USA).

Poedjoesoedarmo, Gloria; Wedhawati; danLaginem. 1981. Beberapa Masalah SintaksisBahasa Jawa. Jakarta: Pusat Pembinaan danPengembangan Bahasa, DepartemenPendidikan dan Kebudayaan.

Poedjosoedarmo, Gloria. 1983. “PengantarStruktur Wacana”. Makalah dalam Ceramahdi Balai Penelitian Bahasa Yogyakarta.

Poedjosoedarmo, Soepomo. 1998/1999. “Be-berapa masalah Sintaksis pada Bahasa Jawa”(makalah pada Lokakarya Penyusunan BahanPenyuluhan Bahasa Jawa di Balai BahasaYogyakarta).

Subroto, D. Edi; Sunardji; dan Sugiri. Tata BahasaDeskriptif Bahasa Jawa. Jakarta: DepartemenPendidikan dan Kebudayaan.

Sudaryanto. 1993. Metode dan Teknik AnalisisBahasa. Yogyakarta: Duta Wacana UniversityPress.

74

Kadera Bahasa, Volume 9, Nomor 2, Edisi Agustus 2017

Sugiyono. 2003. “Bahasa Melayu Kutai: KajianFonetik Eksperimental dan Psikoakustik”(Disertasi Doktor). Jakarta: Program StudiLinguistik, Program Pascasarjana, FakultasIlmu Budaya, Universitas Indonesia.

Suparno. 1993. Konstruksi Tema Rema dalam BahasaIndonesia Lisan Tidak Resmi MasyarakatKotamadya Malang. Jakarta: Proyek Penelitiandan Pembinaan Bahasa dan Sastra Indonesiadan Daerah Jakarta.

Soemarmo. 1971. “Subject –Predicate, Focus-Presupposition, and Topic-Comment inBahasa Indonesia and Javanese”. DisertasiUniversitas California, Los Angles.

Vachek, Josef. 1966. The Linguistics School of Prague.Blomington & London: Indiana UniversityPress.

Verhaar, J.W.M. 1970. Teori Linguistik dan BahasaIndonesia. Yogyakarta: Yayasan Kanisius.

——————————. 1982. Pengantar Linguis-tik. Yogyakarta: Gadjah Mada UniversityPress.

Wedhawati; Gloria Soepomo; dan Laginem. 1979.Wacana Bahasa Jawa. Jakarta: Pusat Pembina-an dan Pengembangan Bahasa, DepartemenPendidikan dan Kebudayaan.

Mulyanto, Edi SuwatnoBentuk dan Fungsi Teks Mantra

75

1. PENDAHULUANMantra digunakan dalam berbagai bahasa dan

kesastraan daerah di seluruh Indonesia, sepertidalam bahasa Banjar, Jawa, Lampung, Minang-kabau, Palembang, Sunda, dan sebagainya. Mantramerupakan perkataan atau ucapan yang memilikikekuatan gaib, misalnya dapat menyembuhkanpenyakit, mendatangkan kecelakaan, dan sebagai-nya; atau susunan kata berunsur puisi, (seperti rima,irama) yang dianggap mengandung kekuatan gaib,biasanya diucapkan oleh dukun atau pawang untukmenandingi kekuatan gaib yang lain (KBBI, 2014:

BENTUK DAN FUNGSI TEKS MANTRA

THE FORM AND FUNCTION OF MANTRA TEXT

Mulyanto, Edi SuwatnoBalai Bahasa Daerah Istimewa YogyakartaJalan I Dewa Nyoman Oka 34, Yogyakarta

[email protected]

AbstractMantra has a special form of language that is considered can connect people with things that are not concrete. The spelllanguage has poetic elements, such as rhyme and rhythm, and is considered to contain supernatural powers. The distinctivelanguage of the mantra needs to be studied in terms of form and function to be known by the people so that they will nothave wrong assumption on mantra. Data are obtained from various oral literary texts. This study uses the theory ofstructuralism of Jean Peager. The results show that the mantra language can be in the form of pantun, poetry, lyricprose, repetition of sound, and chant. Mantra has functions for kinship, treatment, pest eradication, immunity, games,health, love (compassion), and livelihood.

Keywords: spell form, poetry, occult, function

AbstrakMantra memiliki bentuk bahasa khusus yang dianggap dapat menghubungkan manusia dengan halyang tidak konkret. Bahasa mantra berunsur puisi, seperti rima dan irama, dan dianggap mengandungkekuatan gaib. Bahasa yang khas pada mantra perlu dikaji bentuk dan fungsinya agar dapat diketahuioleh masyarakat sehingga mereka terhindar dari anggapan yang tidak benar terhadap mantra. Datadiperoleh dari berbagai teks sastra lisan. Penelitian ini menggunakan teori strukturalisme Jean Peager.Hasil penelitian menunjukkan bahwa bahasa mantra dapat berbentuk pantun, puisi, prosa lirik, peng-ulangan bunyi, dan kidung. Mantra memiliki fungsi untuk kekeluargaan, pengobatan, membasmi hama,kekebalan, permainan, kesehatan, cinta kasih (berkasih-kasihan), dan mata pencaharian.

Kata kunci: bentuk mantra, puisi, gaib, fungsi

876). Mantra berhubungan dengan sikap religiusmanusia. Untuk memohon sesuatu kepada Tuhandiperlukan kata-kata pilihan yang berkekuatan gaibyang oleh penciptanya dipandang mempermudahhubungan dengan Tuhan.

Mantra bersifat sakral. Oleh karena itu, mantraseringkali tidak boleh diucapkan oleh setiap (sem-barang) orang. Biasanya hanya seorang pawang ataudukun yang berhak dan boleh mengucapkan mantra.Pengucapan mantra pun harus disertai dengan upa-cara ritual atau magis. Dengan suasana yang ritualatau magis itulah mantra akan menimbulkan ke-

76

Kadera Bahasa, Volume 9, Nomor 2, Edisi Agustus 2017

kuatan gaib. Mantra tidak hanya terdapat di dalambuku-buku suci agama Hindu dan Budha, dalamlontar, benda tanah liat, dan dalam sastra JawaKuno (Zoetmuder,1983: 13), tetapi juga terdapatdalam sastra Melayu Lama. Dalam membicarakanpuisi kuna, Hooykas (1951: 20, 46—47) memasuk-kan pembicaraan mantra atau serapah. Mantradiucapkan oleh pawang dan digunakan pada saat-saat panen, menangkap ikan, berburu, mengum-pulkan hasil hutan, dan digunakan untuk mengusirhantu-hantu jahat atau membujuk hantu-hantuyang baik.

Alisjahbana (1975:95) menggolongkan mantrake dalam golongan bahasa berirama. Bahasa ber-irama ini termasuk jenis puisi lama. Dalam bahasaberirama itu, irama bahasa sangat dipentingkan,terutama dalam mantra irama yang kuat dan ter-atur dengan maksud untuk berhubungan dengankekuatan gaib. Mantra dibacakan (dilafalkan) olehdukun sesuai dengan maksud dan tujuan yangingin dicapai.

Di dalam mantra, sebuah kata tidak hanyamengantarkan pengertian tertentu (yang sesuaidengan kata itu), tetapi sekaligus mengantarkanpengertian dan keadaan yang lebih luas. Sering se-buah kata tertentu, selain mewakili pengertian ter-tentu, juga ada yang langsung mewakili “benda-nya” atau “hal keadaannya” (Medan, 1975:21). Haltersebut menunjukkan bahwa mantra hidup suburdalam kepercayaan animisme atau dengan tote-misme. Namun, masuknya ajaran Islam berpeng-aruh dalam asimilasi budaya. Ajaran Islam memeng-aruhi semakin berkurangnya mantra-mantra jahat(hitam) karena mantra jenis itu dianggap tidakcocok. Sementara itu, mantra-mantra yang ber-tujuan baik tetap hidup dan dikaitkan dengan ke-percayaan dan ajaran Islam.

Sebagai jenis sastra, mantra menjadi unik danmenarik sebagai bentuk puisi yang sangat ekspre-sif. Sebuah mantra tidak akan ada artinya apabilaproses pemusatan dan pendalaman tidak mencapai

titik maksimal. Hal inilah yang disebut di dalammantra sebagai tingkat penyerahan diri kepadaTuhan, yang naik setingkat demi setingkat se-hingga sampai ke tingkat keyakinan yang kuat atau“makrifat”. Hal ini pula tampaknya yang menarikperhatian para penyair modern (seperti SutardjiCalzoum Bachri) untuk lebih banyak berorientasiterhadap puisi mantra.

Mantra merupakan salah satu jenis sastra lisanyang berkaitan dengan tradisi masyarakat daerahsetempat. Sebagai sastra lisan, mantra merupakansalah satu bentuk kebudayaan daerah yang diwaris-kan sebagai tradisi lisan. Oleh karena itu, perlu di-usahakan penggalian, inventarisasi, dan dokumen-tasi yang cermat. Di samping itu, mantra masih di-fungsikan sebagai syair oleh para penyair modernyang berorientasi kepada mantra karena lebih co-cok dan relevan dengan suasana yang diperlukanpuisi modern.

Berdasarkan latar belakang permasalahan diatas, persoalan yang akan dibicarakan dalam tulis-an ini dibatasi pada mantra berdasarkan bentuk danfungsinya. Bentuk mantra di dalamnya sudah men-cakupi isinya. Dengan demikian, setiap bentukmantra itu sekaligus di dalamnya adalah isi mantraitu sendiri dan masing-masing bentuk mantra mem-punyai fungsi. Tujuan penelitian ini adalah untukmemperoleh deskripsi bentuk-bentuk/isi danfungsi mantra dalam masyarakat yang terdapatpada sastra lisan di daerah wilayah Indonesia

Mantra sebagai salah satu sastra lisan merupa-kan hasil kebudayaan dalam masyarakat tradi-sional yang isinya dapat disejajarkan dengan sastratulis modern dan mantra merupakan salah satusastra lisan yang diwariskan secara lisan, sepertipantun, nyanyian rakyat, dan cerita rakyat. Mantrasebagai salah satu jenis sastra lisan memiliki man-faat, yaitu sebagai dokumentasi dan sebagai sum-ber informasi yang luas dan sangat penting. Mantrayang tersebar di seluruh Indonesia itu bila isinyadipahami maknanya akan bermanfaat dan mampu

Mulyanto, Edi SuwatnoBentuk dan Fungsi Teks Mantra

77

menjadi sumbangan dalam mengukuhkan jati diribangsa.

2. METODEMetode yang digunakan dalam penelitian ini

adalah metode deskriptif analisis dan studi pus-taka. Deskripsi dilakukan dengan analisis konsep-konsep yang terdapat dalam teori yang diperolehdari studi pustaka, selanjutnya dilakukan identi-fikasi berdasarkan bentuk/isi dan fungsi mantra.Populasi dalam penelitian ini ialah wilayah per-sebaran mantra di Indonesia atau sejumlah wilayah,seperti Sastra lisan Sunda, Jawa Barat, Sastra LisanJawa, Sastra Lisan Sumatera Barat, Sastra LisanKalimantan, dan sebagainya. Sampel dalam pene-litian bila ditilik dari letak geografis adalah sebagaiberikut. Pulau Sumatera, seperti Sastra Lisan Minang-kabau (1981); Sastra Lisan Sumende Sumsel (2000);Sastra Lisan Ogan (1994); Sastra Lisan Bahasa MelayuBelitung (1992), Sastra Lisan Musi (1991); PulauJawa Barat, seperti Sastra Lisan Sunda (1982);Sastra Lisan Jawa tahun tersebar; Kalimantan, se-perti Sastra Lisan Banjar (1994). Data penelitiansebagaimana yang disebutkan di atas penulisanggap mewakili di samping data tertulis yangberupa buku-buku hasil penelitian sebagai doku-men atau pustaka.

3. LANDASAN TEORIPenelitian ini dilakukan dengan menerapkan

prinsip-prinsip strukturalisme dan fungsionalismedalam kajian mantra. Jean Peager (1978) dalambukunya Strukturalisme and Semiotics menyatakanbahwa pengertian struktur dapat dipahami lewatsusunan keseluruhan, meliputi tiga gagasan funda-mental yang mencakup ide keutuhan (the idea ofwholemess), ide transformasi (the idea of transfor-mation), dan ide adanya aturan sendiri (the idea ofself-regulation).

Adapun yang dimaksud dengan keutuhanialah koherensi internal. Susunan dari suatu ke-utuhan lengkap dengan sendirinya dan bukan me-rupakan gabungan yang dibentuk oleh elemen-elemen independen yang berbeda-beda. Bagian-bagian unsurnya membentuk seperangkat aturaninstrinsik yang menentukan hakikatnya. Aturaninstrinsik ini lebih banyak menjadikan bagian-bagian unsur memiliki sifat-sifat keseluruhanstruktur daripada sifat-sifat individual yang di-milikinya di luar struktur. Demikianlah sebuahstruktur sangat berbeda dan suatu himpunan(aggregate) karena bagian-bagian unsurnya tidakmemiliki eksistensi yang independen di luarstruktur.

Struktur itu memiliki aturan sendiri, dalam artibahwa struktur tidak menunjuk pada pertim-bangan-pertimbangan di luar dirinya dalam rangkamengesahkan prosedur transformasionalnya.Demikianlah gagasan mengenai struktur merupa-kan dasar bagi suatu hukum yang mandiri (self-sufficent ruler) (Hawkes, 1978 dalam Soedjijono,1987). Gagasan struktur merupakan suatu kons-truksi konkret, yang bagian-bagiannya sanggupmengubah dimensi dan kualitasnya, dan tidak adabagian dari keseluruhan yang dapat dihilangkantanpa merusak keutuhannya. Semua bagian darisuatu struktur secara potensial efektif. Fungsi dariberaneka ragam bagian struktur tergantung padakonteks dan perangkat struktur (Fokkema danKunne-Ibach, 1977: 21—22). Dengan demikian,gagasan struktur semua bagian atau unsur verbalyang membangun keutuhan komposisi mantramemiliki fungsi sesuai dengan konteknya sehinggaefektif dalam mewujudkan ciri estetika pengung-kapan mantra.

Tentang isi mantra, pengkajian tentang sastradengan metode dikotomi memisahkan karya sastramenjadi dua bagian, yaitu bentuk dan isi. ReneWellek dan Austin Warren dalam bukunya Theoryof Literature (1976) menyatakan bahwa jika kita

78

Kadera Bahasa, Volume 9, Nomor 2, Edisi Agustus 2017

menganggap isi adalah ide-ide atau emosi yangdiungkapkan isi (Wellek dan Warren, 1976: 140).Mereka menyadari bahwa pembagian secara tegasdalam bentuk dan isi mengandung banyak keberat-an. Masalahnya adalah antara bentuk dan isi dapatdiakhiri. Struktur adalah suatu konsep yang me-masukkan, baik isi maupun bentuk sejauh kedua-nya diorganisasikan untuk tujuan estetik (Wellekdan Warren, 1976: 141). Namun, tanpa mengu-rangi kecurigaan Wellek dan Warren atas pem-bagian bentuk dan isi, dimaksudkan sebagaimakna yang dibangkitkan oleh bunyi, kata, frasa,kalimat, bahkan keseluruhan wujud komposisiverbal mantra.

Berbagai macam makna yang dapat diung-kapkan lewat elemen-elemen linguistik yang di-gunakan dalam mantra, di antaranya adalah maknadenotatif, emotif, dan kognitif. Makna denotatifberkaitan dengan definisi kamus atau dapat jugasebagai makna kata yang wajar dan konkret, yangbebas dari segala makna tautan atau pun nilai rasa(Keraf, 2008: 54). Makna konotatif adalah maknayang timbul dari sugesti dan asosiasi. Makna emotifmerupakan muatan emosi yang dirasakan timbulsebagai akibat dari konotasi kata. Makna kognitifdisebut juga makna referensial atau deskriptif,yaitu makna yang menegaskan, menonjolkan, ataumengutamakan realitas. Pertanyaan kognitif tidakmengungkapkan sikap atau emosi pembicara dankarena itu merupakan lawan dari makna emotif.

Di dalam mantra; makna denotatif, konotatif,emotif, dan kognitif dapat dijumpai, tentu sajatidak dikaitkan dengan individualitas pengarangkarena mantra bersifat anonim dan merupakanwarisan yang turun-temurun. Referensi mantra me-nunjuk pada sistem kepercayaan, religi, dan duniagaib. Hal tersebut menunjukkan bahwa eksistensimantra hanya dapat dipahami secara lengkap denganmengembalikannya pada kenyataan, emosi, danasosiasi yang tumbuh dari penghayatan dan peng-alaman dunia spiritual dan magis itu.

4. PEMBAHASAN

4.1 Bentuk dan Fungsi MantraPengkajian bentuk dan di dalamnya isi dengan

metode dikotomi memisahkan karya sastra men-jadi dua bagian, yaitu bentuk dan isi. Rene Wellekdan Austin Warren dalam bukunya Theory of Lite-rature (1976) menyatakan bahwa jika kita meng-anggap isi adalah ide-ide atau emosi yang diung-kapkan bentuk sastra, sedangkan bentuk adalahsemua elemen linguistik yang mengungkapkan isi(Wellek dan Warren, 1976: 140). Mereka menya-dari bahwa pembagian secara tegas dalam bentukdan isi tidak dapat ditarik garis yang tegas. Denganmengambil konsep struktur; pembedaan antarabentuk dan isi dapat diakhiri. Isi atau bentuk dalamkonsep struktur diorganisasikan untuk tujuanestetis (Wellek dan Werren, 1976: 141).

Terlepas oleh kecurigaan mereka atas pem-bagian bentuk dan isi dalam penelitian ini, isi di-maksudkan sebagai makna yang dibangkitkan olehbunyi, kata, irama, kalimat, bahkan terjadi dari ke-seluruhan wujud komposisi verbal mantra. Mantradapat digolongkan menjadi beberapa bentuk, antaralain: (1) mantra bentuk pantun, (2) mantra bentukpuisi, (3) mantra bentuk prosa lirik, (4) mantrabentuk pengulangan bunyi, dan (5) mantra bentukkidung.

4.1.2 Mantra Bentuk PantunPantun adalah jenis puisi lama yang terdiri atas

empat larik bersajak silang a-b-a-b; tiap larik biasa-nya berjumlah empat kata. Dua larik pertama yanglazim disebut sampiran, menjadi petunjuk rima; dualarik berikutnya yang mengandung inti artinya; di-sebut isi pantun. Ada juga pantun yang terjadi darienam atau delapan larik (talibun). Menilik ragamisinya pantun dibedakan menjadi: pantun kanak-kanak, pantun adat, pantun agama, pantun teka-teki,dan sebagainya (Sudjiman, 1984: 55). Perhatikancontoh mantra bentuk pantun berikut.

Mulyanto, Edi SuwatnoBentuk dan Fungsi Teks Mantra

79

(1) BismillaahirrahmaanirrahimMinyak si tuang-tuangdituang dalam kualibukan aku togak surangsarato bulan jo matoari(Sastra Lisan Minangkabau, 1981: 119)

BismillahirrahmanirrahimMinyakku si tuang-tuangdituang dalam kualibukan aku tegak seorangbeserta bulan dengan matahari

Mantra bentuk pantun empat larik bersajaka-b-a-b- (1) berkaitan dengan minyak Sinyonyongyang berfungsi untuk mengasihi seorang gadis ataumantra berkasihan. Selanjutnya, perhatikan con-toh pantun yang terdiri atas delapan larik berikut.

(2) BimillahirahmanirrahimAda angin kada anginAda guntur kada gunturAda langit kada langitAda awan kada awanHayu naik ka awan-awanCiruki walaikalaAda nang waniAda angin Sir AllahSir angin sir MuhammadBarakat La ilahaillah(Sastra Lisan Banjar,1996:38)

Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagiMaha PenyayangAda angin tidak anginAda guntur tidak gunturAda langit tidak langitAda awan tidak awanAyo naik ke awan-awanTidaklah kalau mau

Ada yang beraniAda angin milik AllahAyo angin dipegang Muhammad sebagai musimAllahBerkat tiada Tuhan, melainkan AllahMuhammad utusan Allah

Mantra di atas terdiri atas delapan larik, yangberfungsi untuk mengalahkan lawan dalam per-mainan layang-layang ini dalam bahasa Banjardisebut “Main Kaleyangan” (dalam bahasa Indo-nesia ‘Main layang-layang’).

4.1.3 Mantra Bentuk PuisiJenis mantra berbentuk puisi adalah ragam

sastra yang bahasanya terikat oleh irama, matra,rima, serta penyusunan larik dan bait (Sudjijono,1984:61), sedangkan pengulangan dapat diterap-kan bunyi, suku kata, frasa, bait, pola matra, gagas-an, kilatan, dan bentuk (Sudjiman, 1984:78). Peng-ulangan merupakan unsur penyatu yang sangatpenting hampir semua ragam puisi. Tutur dalampuisi sering diulang-ulang. Mantra jenis puisi karenabentuknya yang tetap dan bersajak. Puisi mantraadalah puisi yang mengikuti pola mantra; yang di-populerkan oleh Sutardji Calzoum Bachri. Perhati-kan contoh jenis mantra bentuk puisi atau puisimantra berikut.

(3) SEPI SAUPI

sepisau luka sepisau durisepikul dosa sepukau sepisepisau duku sepisau dirisepisau sepi sepisau nyanyi

sepisaupa sepisaupisepisapanya sepikau sepisepisaupa sepisaupisepikul dari keranjang durisepisaupa sepisaupisepisaup sepisaupi

80

Kadera Bahasa, Volume 9, Nomor 2, Edisi Agustus 2017

sepisaupa sepisaupisampai pisaunyaNya ke dalam nyanyi(Sutardji Calzoum Bachri dalam Eddy, NyomanTusthi, 1991: 177)

(4) Roh mari, rahan mari,Semangat mari, marilah engkau semuanya.Mari jangan engkau jauh semangat,Tegar besi, tegar semangat,Jangan kau singgah di rumah tangga orang.Jangan kau singgah di bulan,Jangan kau singgah di lautan.Jangan kau singgah di kayu besar.Jangan kau singgah di tempat penjuru.Tetap kau tinggal di anggotaku.(Sastra Lisan Melayu Timur, 1992: 23)

Mantra (4) ini dibaca agar berlagu dengan bunyiyang lirih, pengulangan kata-kata puisi mantra ter-sebut dapat kita lihat pengulangan kara mari se-banyak 5 kali, engkau 2 kali, semangat 4 kali, katajangan 7 kali, kau sebanyak 8 kali, dan singgah 5 kali.Di samping pengulangan kata depan menandai tem-pat seperti di rumah, di hutan, di kayu, di anggota-ku. Bunyi vokal a semuanya, orang, lautan, besar,u pada semangatku, tujuh, daku, penjuru, anggotaku.

4.1.4 Mantra Bentuk Prosa LirikProsa lirik adalah karya sastra yang ditulis dalam

ragam prosa, tetapi dicirikan oleh unsur-unsurpuisi, seperti irama yang teratur, majas, rima, aso-nansi, konsonansi, dan citraan (Sudjiman, 1984:61). Nyoman Tusthi Eddy (1991:168) menyatakanbahwa prosa lirik adalah karya sastra yang ditulisdalam bentuk prosa, tetapi sangat kaya denganunsur-unsur puisi, terutama ritme (irama) dan diksi(gaya ucap). Ia membedakan dua macam lirik, yaituprosa lirik yang diadaptasi dari kesastraan klasikdan prosa lirik modern. Perbedaan antara prosalirik dan prosa lirik modern terletak pada tata

korespondensinya (lirik modern) yang keprosaan-nya memiliki gaya ungkapan yang bebas.

Kita ketahui bahwa lirik dalam sastra Yunaniadalah sebuah syair yang diiringi dengan petikanalat lira. Lirik secara spontan melahirkan dan me-wujudkan perasaan batin seseorang. Sifat-sifat li-riknya mengutamakan nada dan irama, abstraksiterhadap waktu dan tempat tertentu, serta gayayang langsung menyapa perasaan pembaca ataupendengar.

Pada tulisan ini dicontohkan tentang mantrabentuk prosa lirik dari Sastra Lisan Banjar (Sunarti,et al., 1996:72). Ceritanya di sebuah desa tinggalseorang janda miskin berputra seekor ikan Baung(jenis ikan air tawar). Si Baung ingin melamar putriraja. Raja bertransaksi mau menerima si Baungasalkan syarat yang beliau (Raja) minta dipenuhi.Dengan berbekal mantra, lamaran si Baung di-terima oleh Raja.

Dalam mantra tersebut; Yang Maha Kuasamengabulkan si Baung. Permintaan emas dan uanglangsung sampai di rumahnya. Uang kemudian di-sampaikan kepada raja sehingga perkawinan di-tetapkan, dan Si Baung dikawinkan dengan anakraja. Bentuk mantranya tampak berikut.

(5) Riang-riang ari pukulunRiang-riang ari bujanggaAsal aku anak raja, asal aku anak ratuAku ini hendak babiniDipinta pengikatnya amas sabakiMun pacah riak di muntungMun pacah riak di bibirSudah ada amas sacipirSudah ada duit segantang(Sastra Lisan Banjar, 1976: 72)

Riang-riang ari pakulunRiang-riang ari bujanggaAsal aku anak raja, asal aku anak ratuAku ini hendak berbini

Mulyanto, Edi SuwatnoBentuk dan Fungsi Teks Mantra

81

Diminta pengikatnya emas sebakiLamun pecah riak di mulutLamun pecah riak di bibirSudah ada emas sebakiSudah ada duit sepantang

Selanjutnya, contoh lain dalam mantra bentukprosa lirik yang mengisahkan tentang Nini Yaksasebagai berikut. Pada zaman dahulu ada dua oranganak raja yang dibuang di hutan. Kedua orang anakraja itu disingkirkan oleh pamannya yang merebuttahta raja ayahnya, sedangkan anak raja itu yangtua laki-laki bernama si Utuh dan adiknya perem-puan bernama si Galuh. Nini Yaksa ingin makanhati anak itu. Setiap Nini Yaksa datang, si Galuhmengatakan bahwa hatinya masih kecil. Lain hariNini Yaksa datang lagi dan si Galuh ditangkap dandimakan. Si Utuh kakaknya marah ingin meng-hidupkan lagi si Galuh dengan melecutkan lididaun kelapa gading. Adiknya ditutup kain putihdan si Utuh mengucapkan mantra seperti berikut.

(6) Pat kupati, babadan adingku cara mulanyaPat kupati, babatis batangan adingku cara mulanyaPat kupati, bakapala, bamata, bahidung, bakaning,babuntungadingku cara nulanyaPat kupati, bahinak adingku cara mulanya(Sastra Lisan Banjar, 1976: 55)

‘Dengan mengucapkan kepada Tuhan YangMahakuasa; kembalilah seperti semula: Kamimohon agar; berkepala, bermata, berhidung,berkening, bermulut, mohon kami agar adik-ku dapat berbicara seperti semula.’

Dengan demikian, sesudah dibacakan mantraoleh si Utuh, adiknya yang bernama si Galuh hidupkembali seperti sediakala. Kemudian si Galuh men-ceritakan kejadiannya kepada kakaknya. Selanjut-

nya, mereka berencana akan membalas dendamterhadap Nini Yaksa.

Mantra dalam prosa lirik bagi seorang peng-arang novel atau cerita pendek, yaitu untuk mem-perkaya seorang pengarang cerpen atau novel, se-perti irama, simbolik bunyi, metafora, itu tidak lainadalah untuk menyampaikan perasaan batin peng-arang.

4.1.5 Bentuk Puisi Mantra PengulanganBunyi

Puisi adalah ragam sastra yang bahasanya ter-ikat oleh irama, matra, serta penyusunan larik danbait (Sudjiman, 1984: 61), sedangkan pengulangan(Sudjiman, 1984: 78) dapat diterapkan pada bunyi,suku kata, kata, frasa, bait, pola matra, gagasan,kilatan, dan bentuk. Ulangan dapat juga terjadi padareferen, asonansi, rima, purwakanti, dan tiruanbunyi. Pengulangan merupakan unsur penyatuyang sangat penting di dalam hampir semua ragampuisi dan prosa, sedangkan prosa adalah ragamsastra yang dibedakan dengan puisi karena tidakterlalu terikat oleh irama, rima, dan kemerduanbunyi (Sudjiman, 1984: 60; Dick Hartoko danRahmanto, 1998: 111). Tutur (kata) dalam puisisering diulang-ulang, tetapi membujur. Oleh karenaitu, dalam sastra modern perbedaan antara puisidan prosa sering kabur. Perhatikan bentuk puisimantra pengulangan bunyi dalam Mantra MelayuSumatra Timur berikut.

(7) Roh mari, rahan mari,Semangat mari, marilah engkau semuanya.Mari, jangan engkau jauh semangat,Tegar besi, tegar semangatku.Pulang kau semangat tujuh ke tujuh.Jangan kau pergi dari daku.Jangan kau singgah di rumah tangga orang.Jangan kau singgah di hutan.Jangan kau singgah di lautan.Jangan kau singgah di kayu besar.

82

Kadera Bahasa, Volume 9, Nomor 2, Edisi Agustus 2017

Jangan kau singgah di tempat penjuru.Tetap kau tinggal di anggotaku.(Sastra Lisan Banjar, 1976)

Mantra di atas dibaca agar berlagu denganbunyi yang pelan-pelan, merdu. Pengulangan kata-kata puisi mantra tersebut dapat diperhatikan peng-ulangan kata mari 5 kali, engkau 2 kali, semangat 4kali, kata jangan 7 kali, kau 8 kali, singgah 5 kali,dan sebagainya. Di samping pengulangan katadepan di yang menandai tempat seperti di rumah,di hutan, di lautan, di kayu, di anggotaku. Bunyi vokala semuanya, orang, lautan, besar, u semangatku,tujuh, daku, penjuru, anggotaku.

Kata-kata atau ayat yang dibaca oleh dukunatau pawang, mantra itu dapat menimbulkan kuasagaib; kata-kata dianggap berisi kesaktian atau ke-kuatan mengutuk. Hal itu terjadi karena mantrayang semula berisi semangat “hilang” sesudah di-mantrai dalam atau oleh waktu yang singkat danakan pulih (sembuh) bagi si sakit.

4.1.6 Mantra Bentuk KidungKidung ialah nyanyian, lagu atau syair yang

dinyanyikan, disebut juga puisi Jawa (tembang Jawa;atau sanjak Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI,2014:510). Menurut Zoetmulder dalam bukunyaKalangwan Sastra Jawa Kuno Selayang Pandang (1984:142) menjelaskan bahwa kidung adalah sejenispuisi Jawa Pertengahan yang mempergunakanmetrum-metrum asli Jawa. Metrum kidung disebutmetrum tengahan dan prinsip dasarnya samadengan metrum dalam puisi Jawa modern yangdinamakan macapat. Kidung memiliki ciri-ciri se-bagai berikut. 2) Jumlah baris dalam satu bait tetapsama selama metrumnya tidak diganti. Keanekaanterjadi karena metrum tertentu yang dipakai.Semua metrum tengahan mempunyai lebih dariempat baris, berlainan dengan kakawin. 2) Jumlahsuku kata dalam setiap baris tetap, tetapi panjangbaris itu dapat berubah menurut kedudukannya

dalam bait. 3) Sifat sebuah vokal dalam suku katayang menutup setiap baris juga ditentukan olehmetrum. Dengan demikian, persajakan dalamkidung memperlihatkan semacam rima yang samasekali tidak dikenal dalam metrum di India. Berikutcontoh mantra Kidung tembang macapat (tambangcilik), penolak bala, setan, dhemit, dan sebagainyadengan tembang Asmaradana berikut.

(8) Aja turu sore Kaki 8 (i)Ana dewa nganglang jagad 8 (a)Nyangking bokor kencanane 8 (e)Isine donga tetolak 8 (a)Sandhang kalawan pangan 7 (a)Yaiku bageyanipun 8 (u)Wong melek sabar narima 8 (a)

‘Janganlah tidur (masih) sore Kaki, ada dewamengelilingi jagad, membawa bokor emaskuningan, isinya mantra penolak bala, pakai-an dan makanan, yaitu pembagiannya, orangselalu terjaga sabar menerima (pembagian-nya)’

Kidung cengkok tembang Asmaradana ituditembangkan oleh nenek kita sejak zaman dahuluuntuk uran-uran yang berfungsi untuk menolakbala. Sekarang setiap ada acara macapatan masihdialunkan. Dalam Wilujengan Nagari dan Ruwat-an oleh paranormal di Surakarta pada Minggu 18Agustus 2002, yaitu Ruwatan Anak Nagari Pa-dhepokan Bumi Langit gelar ruwatan Nagari di-buka dengan mantra penolak bala.

4.2 Fungsi Mantra dalam MasyarakatFungsi mantra berkaitan dengan jenis mantra,

yakni fungsi sosial. Fungsi sosial mantra adalahkegunaan mantra itu bagi kehidupan dalam masya-rakat setempat. Mantra itu banyak jenisnya dansetiap jenis mantra mempunyai fungsi (kegunaan)atau khasiat (manfaat). Khasiat adalah faedah yangbersifat khas; kekuatan (kegunaan, faedah) yang

Mulyanto, Edi SuwatnoBentuk dan Fungsi Teks Mantra

83

istimewa tentang obat, azimat, dan sebagainya.Khasiat atau manfaat itulah yang disebut fungsimantra. Dalam makalah ini, mantra secara umumberfungsi (1) untuk kekeluargaan, (2) untuk peng-obatan, (3) untuk membasmi hama, (4) untuk ke-kebalan, (5) untuk permainan, (6) untuk kesehat-an, (7) untuk cinta kasih (percintaan), (8) untukmenjinakkan harimau, (9) untuk mata pencahari-an, dan sebagainya.

4.2.1 Fungsi Mantra untuk KekeluargaanKekeluargaan adalah perihal yang bersifat,

berciri keluarga. Keluarga ibu bapak dengan anak-anaknya, seisi rumah. Keluarga orang seisi rumahyang menjadi tanggungan, batih, bahkan keluargasanak saudara, dan kaum kerabat. Mantra sakithendak melahirkan atau beranak. Berikut adalahcontohnya.

(9) BismillahirahmanirrahimNun kalamun walayar turunInsya Allah inya ilang ingatanInya turunBarakat La ilahailallahMuhammadarasulallah(Sastra Lisan Banjar, 1966: 28)

Dengan nama Allah Tuhan Yang Maha Peng-asih lagi Maha PenyayangTuhan yang mengetahui sebenarnyaDemi pena apa yang mereka tuliskanKalau diizinkan Allah ia hilang rasa sakitIa turunBerkat tiada Tuhan, melainkan AllahMuhammad pesuruh Allah

Fungsi mantra (9) agar seorang ibu atau calonibu mudah atau cepat melahirkan tidak merasasakit. Insyaallah bayi yang dilahirkan selamat se-suai keinginan sang ibu atau keluarga.

Mantra itu dibaca oleh bidan yang membantumelahirkan. Tugas bidan mengawasi dan memberinasihat kepada sang ibu atau calon ibu selamamengandung sang bayi. Ini penting karena peng-awasan atau nasihat selama usia hamil perlu per-hatian sungguh.

4.2.2 Fungsi Mantra untuk PengobatanMantra yang berkaitan dengan pengobatan

sangat banyak dan bervariasi, misalnya untukmengobati penyakit panas, sakit syaraf, sakit gigi,sakit bengkak, sakit kepala, masuk angin, dan se-bagainya. Perhatikan contoh berikut.

(10) Tut dan dalihBuang kentuttinggal tahiBarakat La ilaha ilallahMuhammadararasulallah(Sastra Lisan Banjar, 1996: 54)

Bunyi kentut yang keluar dari duburMembuang kentuttinggal tahiBerkat tiada Tuhan, melainkan AllahMuhammad pesuruh Allah

4.2.3 Fungsi Mantra untuk Membasmi HamaJenis hama itu bermacam-macam, yaitu hama

ulat buku, hama tanaman umbi-umbian, hamaperusak tanaman padi, dan sebagainya. Mantradalam bahasa Melayu Sumende, Bengkulu disebutjampi. Mantra atau jampi merupakan puisi yangberisi perkataan atau kalimat yang memiliki ke-kuatan gaib. Kekuatan gaib yang ditimbulkan olehmantra ini merupakan permainan bunyi dalamkata yang digunakan oleh kata-kata itu yang tidakdiketahui secara jelas artinya. Bandingkan denganpuisi mantra Sutardji Calzoum Backri pada subbab4.3 nomor (3). Perhatikan contoh fungsi mantrauntuk membasmi hama ulat buku atau ruas-ruasbatang padi berikut.

84

Kadera Bahasa, Volume 9, Nomor 2, Edisi Agustus 2017

(11) Allahumma shalli alaSayyidina MuhammadHuuAku tau asal ulatUlat gading, ulat semulingJangan engkau mencube menyikseKalau engkau mencoba menyikseEngkau dihukum TuhankuSubhanallah(Sastra Lisan Sumende, 2000:37)

‘Allahumma shalli alasayyidina MuhammadHuuAku tahu asal ulatUlat gading, ulat semulingJangan engkau mencoba menyiksaJika engkau mencoba menyiksaEngkau dihukum TuhankuSubhanallah’

4.2.4 Fungsi Mantra untuk KekebalanKekebalan adalah keadaan sifat atau hal kebal,

daya tahan. Kebal adalah tidak mempan senjata;tidak dapat terlukai oleh senjata; 2 tidak dapatterkena sakit; tahan terhadap penyakit. Mantrauntuk kekebalan, yakni mengebalkan dari segalatusukan senjata tajam, tamparan keras atau berat,untuk menghilang, bahkan kekebalan dari gigitanular, sengatan lebah, kebal untuk melemahkanbanteng, dan sebagainya. Perhatikan contoh berikut.

(12) BismillahirahmanirrahimNaga ulit naga umbangTaguh ka kulit sampai ka tulangBarakat La ilahailallahMuhammadarasulullah(Sastra Lisan Banjar, 1996: 126)

Dengan nama Allah Tuhan Yang MahaPengasih lagi Maha PenyayangNaga yang gigihKebal dari kulit sampai ke tulangBerkat tiada Tuhan, melainkan AllahMuhammad pesuruh Allah

Fungsi mantra (12) di atas adalah untuk meng-hindarkan diri dari luka atau tembus dari tusukanatau bahkan tembakan senjata api. Perlu diketahuibahwa dalam kehidupan masyarakat Banjar ke-tahanan diri dari senjata memang sangat diminatidi kalangan generasi muda. Hal itu perlu diketahuibahwa para leluhur masyarakat Banjar, tahan diriterhadap senjata hanya untuk keperluan keadaanterdesak atau terjepit. Dalam bahasa Banjar “AgarTaguh lawan Senjata”.

4.2.5 Fungsi Mantra untuk PermainanPermainan mengadu jangkrik adalah permain-

an anak-anak, baik yang tinggal di desa atau dikota. Permainan Jangrik umumnya dilakukan padamusim hujan menjelang musim panas. Pada musimhujan rumput tumuh subur sehingga jangkrikhidup dengan makan rumput. Jangkrik sering jugamakan cabai rawit yang pedas. Jangkrik jantanyang akan diadu diberi makan cabai supaya beranidan perkasa. Fungsi mantra mengadu jangkrikadalah sebagai berikut.

(13) Mang gulimang-limangUndang galah undang sapitAmun mamang aku timangAmun kalah aku picik(Sastra Lisan Banjar, 1996: 43)

Mang kutimang-timangUdang besar udang daraKalau menang aku timangKalau kalah aku pencet

Mulyanto, Edi SuwatnoBentuk dan Fungsi Teks Mantra

85

Mantra (13) di atas diucapkan tiga kali sambilmenimang. Setelah dibacakan mantra jangkriksemakin hebat berani. Umumnya mantra ini dibacasambil menimang-nimang jangkrik, dan jangkrikyang ditimang-timang mampu berkelai selamabeberapa menit. Sebaliknya, jangkrik lawan yangtidak ditimang-timang akan loyo dan lari ke-takutan.

4.2.6 Fungsi Mantra untuk KesehatanFungsi atau jenis mantra untuk kesehatan

yaitu untuk mengobati sakit perut. Perlu diketahuibahwa masyarakat tradisional pada waktu itubelum ada balai pengobatan atau Puskesmasseperti zaman sekarang. Perhatikan contoh mantrauntuk mengobati sakit perut.

(14) BismillahirrahmanirrahimBakaliha ka bakalaillaikasama kuuna kahakalikaperbuatan deso sakaliankumbali kepada desodikembalikan Allahdikembalikan Muhammadbarokat Laailaahaillah(bacaan zikiz lima puluh kali)(Sastra Lisan Minangkabau, 19981: 135)

BismillahirrahmanirrahimBakaliha ka kakalihasama kunna kabalihaperbuatan deso sekaliankembali kepada desodikembalikan Allahdikembalikan Muhammadberkat Laailaahailallah(bacaan zikir lima puluh kali)

4.2.7 Fungsi Mantra untuk Cinta Kasih(Mantra Pengasihan)

Dalam pergaulan muda-mudi akan menum-buhkan saling cinta kasih. Cinta kasih sering terjadimelalui baca mantra terutama laki-laki terhadapperempuan. Adapun mantra tampak sebagaiberikut.

(15) Sirku sirmuInilah kanasehan yang seningking sekaliKur SemangaineAti (si anu yang dituju)(Sastra Lisan Ogan, 1984: 16)

Sirku sirmuInilah mantra yang paling mujarabKur semangatnyaHati (si anu gadis/laki-laki)

Mantra untuk cinta kasih umumnya meng-gunakan makanan, minuman, dan rokok. Hal inidilakukan hampir di seluruh wilayah Nusantara.

4.2.8 Fungsi Mantra untuk MenjinakkanHarimau

Masyarakat kita masih banyak yang menjinak-kan binatang buas, salah satunya harimau denganmengucapkan mantra. Adapun mantranya tampaksebagai berikut.

(15) BismillahirahmanirrahimSima ula sima maungsinungkem sima manusacep bungkem roh bungkem(Sastra Lisan Sunda, 1978: 91)

Bismillahirrahmanirrahimharimau ular harimau macandibungkam harimau oleh manusiadiam bungkam roh bungkam

86

Kadera Bahasa, Volume 9, Nomor 2, Edisi Agustus 2017

Mantra di atas berfungsi untuk menjinakkanharimau (macan) supaya harimau menjadi jinakdan tidak menyerang orang.

4.2.9 Fungsi Mantra Berkaitan dengan MataPencaharian

Mantra yang berfungsi untuk mata pencahari-an adalah pekerjaan atau pencaharian utama (yangdikerjakan untuk biaya sehari-hari), seperti per-tanian, perkebunan, dan sebagainya. Mantra ber-fungsi untuk melebatkan buah pisang. Selain buahrambutan, buah pisang juga merupakan buah yangsangat disukai oleh masyarakat Banjar. Adapunmantra untuk melebatkan buah pisang (bahasaBanjar: “Malabatakan Buah Pisang”) adalah se-bagai berikut.

(17) BismillahirahnirrahimUma ditanamAnak dihambinBarakat La ilahailallahMuhammadarasulullah

Dengan nama Allah Tuhan Yang MahaPengasih lagi Maha PenyayangInduk ditanamAnak berbuah tumbuh berlimpahBerkat tiadaTuhan, melainkan AllahMuhammad pesuruh Allah

Fungsi mantra di atas agar pohon pisang yangditanam menghasilkan buah yang banyak, melim-pah, dan berisi sehingga produksi buah pisang me-ningkat. (Sastra Lisan Banjar, hlm.142)

5. SIMPULANMantra berdasarkan bentuknya dapat ditemu-

kan, antara lain mantra bentuk pantun, mantrabentuk puisi, mantra bentuk prosa lirik, mantrabentuk pengulangan bunyi, dan mantra bentukkidung. Fungsi mantra sangat bervariasi berdasar-

kan wilayah persebarannya. Fungsi mantra itu, antaralain, (1) mantra untuk kekeluargaan, (2) mantrauntuk pengobatan, (3) mantra untuk membasmihama, (4) mantra untuk kekebalan, (5) mantrauntuk permainan, (6) mantra untuk kesehatan, (7)mantra untuk cinta kasih (berkasih-kasihan), (8)mantra untuk mata pencaharian, dan sebagainya.

DAFTAR PUSTAKAAlisjahbana, Takdir, S. 1975. Puisi Lama. Jakarta:

Dian Rakyat.Bakar, Jamil, dkk. 1981. Sastra Lisan Minangkabau,

Pepatah, Pantun, dan Mantra. Jakarta: PusatPembinaan dan Pengembangan Bahasa,Depdikbud.

Calzoum Bachri, Sutardji. 1998. “Air Mata SetelahMantra”, dalam Majalah Gatra, Jakarta.Tanggal 28 Maret 1998, hlm.60.

Eddy, Nyoman Tusthi. 1991. Kamus Istilah SastraIndonesia. Ende-Flores: Nusa Indah.

Fachruddin A.E., dkk. 1981. Sastra Lisan Bugis.Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebu-dayaan, Pusat Bahasa.

Hartoko, Dick dan Rahmanto. 1998. Kamus IstilahSastra. Yogyakrta: Kanisius.

Ismali, Abdulrachman, dkk. 1996. Mantra dalamMasyarakat Banjar. Jakarta: Departemen Pen-didikan dan Kebudayaan, Pusat Pembinaandan Pengembangan Bahasa.

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), 2014.Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.Jakarta: Balai Pustaka.

Kemp, Gillian. 2002. Kitab Mantra: Daya TarikCinta, Penyembuhan Magis, dan Praktek Sihirlainnya. Jakarta: Penerbit Abdi Tandur.

Sudjiman, Panuti. 1984. Kamus Istilah Sastra.Jakarta: Gramedia.

Tansin, Medan. 1975. “Mantra dalam Kesusastra-an Minangkau”. Dalam Bahasa dan Sastra.

Mulyanto, Edi SuwatnoBentuk dan Fungsi Teks Mantra

87

Tahun I, No. 2. Penerbit Angkasa RayaPadang 1988.

Wellek, Rene, dan Austin Warren. 1976. Theoryof Literature. New York: Harcourt, Bruce &World.Inc.

Zoetmulder, P.J. 1983. Kalangwan Sastra Jawa KunoSelayang Pandang. (Terjemakan Dick Hartoko).Jakarta: Djambatan.

88

Kadera Bahasa, Volume 9, Nomor 2, Edisi Agustus 2017

Yulitin SungkowatiBahasa Kiasan dalam Cerpen “Surabaya” Karya Totilawati Tjitrawasita

89

PENDAHULUANTotilawati Tjitrawasita adalah salah satu

pengarang perempuan dari Jawa Timur yangkepengarangannya di Surabaya dikelompokkandalam periode 1970-1980 oleh Suripan SadiHutomo (1995) dalam buku Wajah Sastra Indonesiadi Surabaya. Hutomo (1995) mengatakan bahwadi antara pengarang perempuan yang aktif ber-karya pada periode tersebut, yaitu Sri AmirantiSastrohoetomo, Titik Danumihardja, Siti Rohani,Denok Rachmawati, Soraya, Dwiarti Mardjono,Regina Bimadona, Lila Ratih Komala, Peggy Laoh,dan Ida Rosyad, nama Totilawati Tjitrawasitapaling menonjol. Hal itu tidak hanya dikarenakan

BAHASA KIASAN DALAM CERPEN “SURABAYA”KARYA TOTILAWATI TJITRAWASITA

FIGURATIVE LANGUAGE OF SHORT STORY “SURABAYA”BY TOTILAWATI TJITRAWASITA

Yulitin SungkowatiBalai Bahasa Jawa Timur, Jalan Siwalanpanji, Buduran, Sidoarjo, Indonesia 61252, Telepon/

Faksimile (031) 8051752, Pos-el: [email protected]

AbstractThis research is aimed to describe the figurative language of short story “Surabaya” of Totilawati Tjitrawasita. Theproblems of research focus are what are the figurative language in short story and how are its effects? The research usedqualitative method by using read and noted techniques. The research has results that figurative language of the shortstory are personification, simile, and methapore All of them dominated narration of the short story and they get effectof imaginative creation of a suffering village and violent city.

Keywords: story, figurative, effect

AbstrakPenelitian ini bertujuan mengungkap bahasa kiasan yang ada dalam cerpen “Surabaya” karya TotilawatiTjitrawasita. Masalah yang menjadi fokus penelitian, yakni bahasa kiasan apa sajakah yang ada dalamcerpen “Surabaya” karya Totilawati Tjitrawasita dan bagaimanakah efeknya. Metode yang digunakanadalah metode kualitatif dengan teknik baca dan catat. Penelitian ini menghasilkan temuan bahwabahasa kiasan yang banyak digunakan dalam cerpen “Surabaya” adalah personifikasi, simile, dan metafora.Ketiga bahasa kiasan itu mendominasi narasi cerpen dan menimbulkan efek terciptanya gambaranangan tentang sebuah dusun yang merana dan sebuah kota yang kejam.

Kata kunci: cerpen, kiasan, efek

oleh nafas kepengarangannya yang cukup panjang,tetapi juga karena karya-karyanya dinilai berkuali-tas. Pengarang kelahiran Kediri pada tanggal 1 Juni1945 ini lahir dari keluarga jurnalis dan menempuhpendidikan jurnalisnya di Akademi WartawanSurabaya. Selanjutnya, ia bekerja sebagai warta-wan di majalah berbahasa Jawa/Indonesia Jayabayadi Surabaya.

Totilawati Tjitrawasita dikenal sebagai peng-arang dwibahasa: bahasa Jawa dan bahasa Indo-nesia. Cerpennya masuk dalam berbagai antologidan bukunya yang telah terbit adalah Sebuah CintaSekolah Rakyat, Hadiah Ulang Tahun, Sinta Susanti,dan Boneka Mimi. Pengakuan atas kualitas karya-

90

Kadera Bahasa, Volume 9, Nomor 2, Edisi Agustus 2017

nya dapat ditelusuri dari tulisan HB. Jassin dalambuku Langit Biru Laut Biru yang membahas cerpen“Jakarta”. Cerpen “Jakarta” masuk dan menjadijudul kumpulan cerpen terbitan Dewan Bahasadan Pustaka Malaysia serta masuk dalam bukuCerita Pendek Indonesia (1987) yang disunting olehSatyagraha Hoerip. Cerpen “Jakarta” menjadi contohanalisis cerita rekaan yang dilakukan PanutiSudjiman dalam buku Memahami Cerita Rekaan(1991) dan menjadi buku pedoman mahasiswa untukmenganalisis karya sastra.

Pena dan bahasa merupakan senjata andalanseorang wartawan. Karya-karya Totilawati Tjitra-wasita tidak hanya dikenal menghadirkan tokoh-tokoh perempuan yang tegar dan tabah meng-hadapi perubahan zaman (Sungkowati, 2013: 63),tetapi juga dinilai piawai dalam merangkai pe-ristiwa-peristiwa di dalam cerita dengan memanfaat-kan segenap potensi bahasa yang ada. Kepiawai-annya dalam memanfaatkan potensi bahasa dapatdilihat pada tulisan Panuti Sudjiman berjudul “Be-berapa Pilihan Leksikal dalam Cerita Pendek‘Jakarta’ dan Efek yang Ditimbulkannya” (1993:22-33) dalam buku Bunga Rampai Stilistika (1993).Sayangnya, pembicaraan tentang karya-karyaTotilawati Tjitrawasita lebih banyak pada cerpenyang berjudul “Jakarta”. Hal itu kemungkinan besardikarenakan cerpen itu yang telah lebih dahuludibicarakan oleh HB. Jassin yang dikenal sebagaikritikus andal, bahkan dijuluki Paus Sastra Indo-nesia sehingga kritikus lain berbaris di belakang-nya. Padahal, cerpen Totilawati Tjitrawasita yanglain tidak kalah kualitasnya, khususnya cerpen“Surabaya”.

Sangatlah tepat jika pada akhirnya SenoGumira Ajidarma dan penerbit Kompas memilihcerpen “Surabaya” menjadi salah satu cerpen ter-baik yang diterbitkan dalam antologi Cerpen Kom-pas Pilihan 1970—1980: Dua Kelamin bagi Midin(2003). Dalam cerpen “Surabaya”, TotilawatiTjitrawasita banyak sekali menggunakan bahasa

kiasan untuk “menghidupkan” suasana sebuahtempat, baik desa maupun kota sebagai settingcerita sehingga tempat tersebut tidak semata-matamenjadi “tempat” terjadinya sebuah peristiwa, te-tapi juga mewakili gambaran perasaan manusiayang hidup di dalamnya. Aspek nonhuman digam-barkan sebagai human.

Berdasarkan latar belakang tersebut, masalahyang menjadi fokus penelitian ini adalah bagai-manakah penggunaan bahasa kiasan dalam cerpen“Surabaya” dan efek yang ditimbulkannya? Tujuan-nya adalah untuk mengungkap dan mendeskripsi-kan penggunaan bahasa kiasan dan efeknya dalamcerpen “Surabaya” agar dapat meluaskan pene-litian terhadap karya-karya pengarang perempuanJawa Timur umumnya dan khususnya karya-karyaTotilawati Tjitrawasita. Untuk membahas masalahdan mencapai tujuan tersebut, penulis mengguna-kan pendekatan stilistika. Kiasan merupakan salahsatu jenis gaya bahasa atau style (Keraf, 1985:Sudjiman, 1995:7). Oleh karena itu, untuk meng-ungkap dan mendeskripsikan penggunaan kiasandi dalam cerpen “Surabaya”, penulis mengguna-kan pendekatan stilistika.

Sarana utama penulisan karya sastra adalahbahasa, ia seperti kanvas dan cat bagi seorang pe-lukis. Indah atau tidaknya sebuah lukisan tergan-tung pada kemampuan pelukis memilih dan me-madukan warna serta bagaimana menggoreskan-nya ke dalam kanvas. Indah atau tidaknya sebuahkarya sastra tergantung pada kemampuan peng-arang memilih dan menggunakan bahasanya.Karya sastra, sebagaimana lukisan bagi pelukis,adalah alat komunikasi seorang pengarang kepadapara pembacanya. Keberhasilan komunikasi itusangat ditentukan oleh kemampuan pengarangmemanfaatkan segala potensi dan kemungkinanyang ada dalam bahasa (Sudjiman 1993: 6-7).Karya fiksi merupakan sebuah dunia dalam ke-mungkinan karena dunia yang berisi gagasan, pe-rasaan, dan angan-angan pengarangnya itu di-

Yulitin SungkowatiBahasa Kiasan dalam Cerpen “Surabaya” Karya Totilawati Tjitrawasita

91

bangun dengan sarana bahasa. Bahasa dapat di-manfaatkan untuk menciptakan sebuah realitasatau dunia baru yang tidak hanya dapat beruparekonstruksi dari realitas yang sudah ada sebelum-nya, tetapi juga sebuah realitas yang “mungkin”ada. Gambaran dunia yang dibangun oleh peng-arang akan tercipta dalam pikiran dengan saranabahasa sebagai jembatannya. Oleh karena itu,bahasa menjadi salah satu faktor yang sangat pen-ting bagi seorang pengarang (Nurgiyantoro1995:272).

Studi yang berusaha mengungkap penggunaanbahasa atau gaya bahasa seorang pengarang di-kenal dengan nama stilistika. Gaya yang dimaksudmengacu pada bagaimana seorang pengarang me-lakukan pilihan bahasa untuk mengungkapkanpikirannya dalam karya sastra (Aminuddin, 1995:v). Stilistika merupakan bagian ilmu bahasa yangmengkaji secara khusus penggunaan bahasa dalamkarya sastra. Bahasa dalam karya sastra memerlu-kan pengkajian khusus karena bahasa dalam karyasastra berbeda dengan bahasa yang digunakandalam komunikasi sehari-hari, yang digunakan se-cara spontan dan aktivitas bahasanya terasa se-bagai “bahasa normal” (Turner, 1973:7—8). Salahsatu pendekatan yang penting dalam studi stilistikadidasarkan pada analisis makna ke dalam elemenmakna denotatif dan makna konotatif. Hal itudalam stilistika disebut juga elemen makna pikirandan sebuah ekspresi atau afektif. Analisis secaraobjektif ini analisis refleks sebuah konsep tertuadari bahasa dan sastra (Turner, 1973:27).

Ada dua pandangan dalam menyikapi peng-kajian bahasa di dalam teks sastra, yaitu pandang-an yang melihat bahasa dalam teks sastra sebagaikode estetik dan pandangan yang melihat bahasadalam teks sastra sebagaimana bahasa yang men-jadi objek kajian linguistik (Aminuddin,1995).Dalam penelitian ini, bahasa dalam teks sastra di-pandang sebagai kode estetik.

METODEPenelitian ini menggunakan metode kualitatif

deskriptif, yaitu bertujuan membuat deskripsimengenai fakta-fakta, sifat-sifat, dan hubungan-hubungan antarfenomena yang diteliti (Nazir,1999:63). Data yang digunakan merupakan datakualitatif, yaitu bersifat ideografis berupa paparan-paparan kebahasaan (Bogdan dan Taylor dlm.Moloeng, 2002:3).

Sumber data penelitian ini adalah cerpenberjudul “Surabaya” karya Totilawati Tjitrawasitayang terbit dalam buku Cerpen Kompas Pilihan1970—1980: Dua Kelamin bagi Midin (ed. SenoGumira Ajidarma). Buku tersebut diterbitkan olehpenerbit Kompas, Jakarta, pada tahun 2003.Pengumpulan data dilakukan dengan teknik bacadan catat. Peneliti membaca cerpen “Surabaya”karya Totilawati Tjitrawasita secara berulang-ulang dan mencatat pada kartu data kutipan-kutip-an yang menunjukkan fenomena pemakaian ba-hasa kiasan sebagai data. Pengumpulan data denganteknik baca juga digunakan untuk menjaring datadari sumber sekunder terkait dengan informasitambahan mengenai Totilawati Tjitrawasita dankarya-karyanya serta pembicaraan para tokoh se-belumnya. Setelah data terkumpul, selanjutnya pe-neliti memilah dan memilih data-data tersebut ber-dasarkan kesamaan informasi untuk dikelompok-kan berdasarkan jenis bahasa kiasan yang diguna-kan. Setelah tabulasi data selesai, berikutnya di-lakukan analisis dan interpretasi terhadap data ter-sebut dengan menggunakan teknik analisis bolakbalik dari teks ke konteks dan sebaliknya.

HASIL DAN PEMBAHASANPenelitian ini menghasilkan temuan bahwa

ada tiga bahasa kiasan yang paling banyak diguna-kan oleh Totilawati Tjitrawasita dalam cerpen“Surabaya”, yaitu simile, metafora, dan personi-fikasi. Ketiga bahasa kiasan itu, mendominasi

92

Kadera Bahasa, Volume 9, Nomor 2, Edisi Agustus 2017

pilihan bahasa yang digunakan Totilawati Tjitra-wasita. Hal itu berefek pada gambaran tentang“merananya” sebuah dusun di pegunungan kapurdan “kejamnya” Kota Surabaya.

Penggunaan Personifikasi, Simile, Meta-fora, dan EfeknyaPersonifikasi, simile, dan metafora seringkali

digunakan secara bersama dalam satu narasi. Olehkarena itu, kesan bayangan angan tentang objekatau hal yang digambarkan menjadi semakin kuatdan jelas. Personifikasi atau penginsanan adalahkiasan yang menggambarkan benda-benda matiatau benda-benda yang tidak bernyawa seakan-akan mempunyai sifat-sifat kemanusiaan. Benda-benda mati yang diperbandingkan bertindak danberbuat seperti manusia, misalnya dalam tindaktanduk, perasaan, dan perwatakannya (Keraf,1985:141—142). Simile atau persamaan adalahperbandingan yang bersifat eksplisit, yaitu secaralangsung menyatakan sesuatu hal sama dengan hallainnya dengan menggunakan kata-kata pemban-ding: seperti, sama, sebagai, bagaikan, laksana, dansebagainya (Keraf, 1985:138). Metafora memban-dingkan dua hal secara langsung, tanpa mengguna-kan kata-kata pembanding: seperti, bak, bagaikan,bagai, dan sebagainya. Bentuknya mirip dengansimile, hanya saja simile tidak secara langsung karenamenggunakan kata-kata pembanding. Karenatidak menggunakan kata-kata pembanding, meta-fora juga lebih singkat bentuknya. Pokok pertamalangsung dihubungkan dengan pokok kedua sertadapat menduduki fungsi apa saja sehingga dapatberdiri sendiri sebagai kata, tidak tergantung padakonteks. Akan tetapi, simile sangat bergantung padakonteks untuk memahami maknanya (Keraf,1985:139).

Cerpen “Surabaya” dibuka dengan gabunganbahasa kiasan simile, metafora, dan personifikasisebagaimana tampak pada kutipan data berikutini: “Setiap subuh, bedug dipukul bertalu-talu, dan

bunyi azan yang mirip rintihan itu menyobek udaragersang pedusunan miskin di bukit kapur.”(Tjitrawasita, 2003:249). Pilihan bahasa kiasansimile “bunyi azan yang mirip rintihan” dan meta-fora “menyobek udara”, serta personifikasi “bunyiazan yang mirip rintihan itu menyobek udaragersang...” itu mampu membangkitkan bayanganangan akan penderitaan penduduk di sebuahpedusunan kapur yang diceritakan dalam cerpen“Surabaya”. Bunyi azan mirip rintihan dikarena-kan pengeras suaranya tidak berfungsi dengan baikatau yang mengumandangkan azan adalah orangyang sudah sangat tua sehingga suaranya tidak lan-tang lagi. “Menyobek udara” merupakan sebuahmetafora karena kata kerja/tindakan “menyobek”disandingkan dengan udara, suatu yang tidakdapat disobek. Hal itu menggambarkan “rusak-nya” suasana subuh/pagi karena bunyi azan yangmirip rintihan. Dalam konteks yang lebih panjang:“bunyi azan yang mirip rintihan itu menyobekudara gersang pedusunan miskin di bukit kapur”menunjukkan suatu penginsanan karena tindakan“menyobek” lazimnya dilakukan oleh manusia,bukan oleh bunyi. Dengan pilihan bahasa yangdemikian untuk mengawali cerpen “Surabaya”,Totilawati Tjitrawasita sudah membangun suasana“muram” dan tidak menyenangkan. Narasi-narasicerpen itu selanjutnya dipenuhi pilihan bahasakiasan yang berefek “muram”, “suram”, “sedih”,“ngeri”, dan “merana” untuk mendukung danmenghidupkan suasana kemiskinan dan kekalahanmanusia oleh alam atau kekuatan yang lebih besardi luar dirinya.

Sebagaimana fungsi bahasa kiasan, yaitu untukmendapatkan gambaran angan yang jelas dengancara menyatakan suatu hal dengan hal yang lain,personifikasi, simile, dan metafora dalam cerpen“Surabaya” juga menunjukkan fungsi yang sama.Gaya bahasa personifikasi narasi cerpen ini me-neguhkan bagaimana pengarang menyejajarkanaspek nonhuman dan human.

Yulitin SungkowatiBahasa Kiasan dalam Cerpen “Surabaya” Karya Totilawati Tjitrawasita

93

Tonggak-tonggak jati mencuat tajam me-raih langit, nampak seperti serdadu-serdaduyang siap menusuk punggung penduduk didusun itu. Mereka pun lantas bergumam pan-jang pendek, memandang masam pada tong-gak-tonggak yang bisu. Gambaran kengerianterbayang di wajah mereka yang pucat lesu,seolah tonggak itu menjelma kembali menjadipedang-pedang tajam, yang menyembelihhabis orang-orang muda di dusun itu, hampirlima belas tahun yang silam, tatkala dusun itudibakar habis oleh api kecurigaan zaman PKI.

(Tjitrawasita, 2003:249—250)

Dalam kutipan data tersebut terlihat bahwaalam direpresentasikan sebagai human melaluipenggunaan bahasa kiasan metafora, personi-fikasi, dan simile: “Tonggak-tonggak jati mencuattajam meraih langit, nampak seperti serdadu-serdadu yang siap menusuk punggung pendudukdusun itu”, “tonggak-tonggak membisu”, dan“seolah tonggak itu menjelma kembali menjadipedang-pedang tajam yang menyembelih habisorang-orang muda di dusun itu”. Ada tiga katapenginsanan yang dilekatkan pada subjek non-human “tonggak-tonggak jati”, yaitu “meraih”,“bisu”, dan “menyembelih”. Ada metafora “me-raih langit” yang menggambarkan runcingnyatonggak-tonggak jati untuk membangun kesanmengerikan dan “api kecurigaan” zaman PKI yangjuga menggambarkan suasana kengerian zaman ituyang diwarnai rasa saling curiga. Kondisi alamdusun Kalidami tempat Mbok Soma tinggaldigambarkan sangat menakutkan dan mengerikandengan cara “dihidupkannya” dan “dibandingkan-nya” benda-benda mati berupa tonggak-tonggakjati dengan manusia yang mengingatkannya padaperistiwa politik berdarah yang telah “melenyap-kan” rasa kemanusiaan manusia kala itu. Petikandata itu juga menegaskan kondisi dusun yang lebihbanyak dihuni oleh manusia lanjut usia karenakaum mudanya justru telah menjadi korban

pembantaian PKI. Oleh karena itu, “bunyi azanyang mirip rintihan” keluar dari mulut orang yangsudah tua.

Gambaran kekeringan dan kegersangan ling-kungan alam fisik Dusun Kalidami itu selanjutnyaberulang-ulang dikemukakan dalam narasi denganpersonifikasi dan metafora, seperti berikut: “disana, masih tertinggal di gundukan bukit kapuryang gersang, di antara cuatan tonggak jati yangmerana”, “gambaran wajah kita sekeluarga, yangdipahat dan diukir matahari bukit kapur yang ger-sang, di antara cuatan tonggak jati yang menusuklangit di tanah kelahiran kau” untuk memberikankesan yang kuat terhadap faktor alam yang secaraalamiah tidak mendukung kehidupan dan me-maksa penghuninya untuk meninggalkan dusunitu.

Gambaran sendu masa silamnya, nampakterpahat pada wajah oroknya yang pulas dipembaringan. Ia pun terpanggil untuk meng-abarkan kecerahan hidupnya pada emboknya,di sana, masih tertinggal di gundukan bukitkapur yang gersang, di antara cuatan tonggakjati yang merana.

(Tjitrawasita, 2003:250)...Betapapun, ia tetap merupakan gam-

baran wajah kita sekeluarga, yang dipahat dandiukir matahari bukit kapur yang gersang, diantara cuatan tonggak jati yang menusuklangit di tanah kelahiran kau.

(Tjitrawasita, 2003:250)

Mbok Soma terpaksa meninggalkan dusunnyadi Pegunungan Kapur untuk menyusul Juminten,anaknya, yang telah lebih dahulu merantau keSurabaya karena tidak tahan dengan kemiskinandan kengerian dusunnya. Sekali lagi, keteranganbahwa anak Mbok Soma yang bernama Jumintentelah meninggalkan Dusun Kalidami menjelaskanbahwa yang tertinggal di dusun itu memang hanyaorang-orang tua dengan kondisi alam yang gersang

94

Kadera Bahasa, Volume 9, Nomor 2, Edisi Agustus 2017

(“cuatan tonggak jati yang merana”, kiasan yangmenggambarkan kondisi alam yang gersang) dansuasana mengerikan (“cuatan tonggak jati yangmenusuk langit”, kiasan yang menggambarkantajam/runcingnya tonggak-tonggak jati itu).Mbok Soma tidak pernah tahu bagaimana nasibJuminten di Surabaya, tetapi ia semakin yakinuntuk hijrah ke Surabaya setelah mendapat suratdari Juminten yang mengabarkan kelahirananaknya. Juminten tidak pernah memberi tahuMboknya di dusun tentang kondisi kehidupannyadi Surabaya. Metafora “kecerahan hidupnya” meng-gambarkan lahirnya anak Juminten, bukan ke-hidupan sehari-harinya.

Gambaran kemiskinan dan kekalahan manusia(Mbok Soma) oleh kekuatan yang lebih besar diluar dirinya tidak hanya terlihat di dusunnya, tetapijuga sepanjang perjalanannya untuk hijrah ke KotaSurabaya. Kereta api barang yang ditumpanginyaberjalan terseok-seok di pegunungan kapur dansetiap saat harus mengalah pada kereta api darikelas yang lebih baik. Beratnya perjalanan untukhijrah ke Surabaya “dihidupkan” dengan pilihanbahasa kiasan personifikasi kereta tua yang digam-barkan sebagai human “yang menjerit-jerit” dan“terbatuk-batuk” karena berat memikul beban “diatas punggungnya”.

Kereta barang yang ditumpanginya, ber-gerak lambat di atas rel yang melilit sepanjangpantai utara Laut Jawa. Peluitnya menjerit-jerit seperti ringkik kuda. Lantas loko yang tuaitu terbatuk-batuk mengepulkan asap ke udara.Dengan berat, kereta itu menjalankan tugas-nya, menarik beban yang terpikul di atas pung-gungnya, berderak-derak memecah tamasyabisu di gunung kapur. Sebentar-sebentar loktua itu berhenti, mengambil dan menurunkanmuatan. (Tjitrawasita, 2003:251—252)

Dusun Kalidami yang disejajarkan denganhuman melalui pemakaian personifikasi dalam

narasinya menunjukan “watak”nya yang kejamdan tidak bersahabat dengan para penghuninya,memaksa Mbok Soma hijrah ke Surabaya sebagaikota harapan. Akan tetapi, Surabaya tidak seramahdan sebaik yang diharapkannya, kota itu bahkanlebih kejam dari dusunnya yang miskin dan me-rana. Gambaran “kekalahan” Mbok Soma sudahtampak dalam perjalanan kereta yang membawa-nya, yaitu kereta api barang dengan lokomotif tuayang jalannya sudah terseok-seok terkalahkan olehkereta api cepat: “Hatinya pun ikut bergoyang-goyang, teriris oleh hukum alam yang disaksikan-nya, dalam secuil kejadian yang tergambar di de-pan matanya.” Baru dalam perjalanan kereta apike Surabaya, Mbok Soma sudah merasakan jurangperbedaan yang akan ditemuinya. Perasaan MbokSoma itu digambarkan dengan pilihan bahasa kias-an metafora berikut: “Aneh, tonggak jati yang se-lama ini dirasa menusuk-nusuk perasaannya, nampaklebih dekat ke dalam hatinya.” Kekejaman kotabesar bernama Surabaya itu sudah dirasakan MboSoma saat masih dalam perjalanan.

Surabaya yang dibayangkan sebagai kotaharapan yang akan memberinya kehidupan lebihbaik, ternyata lebih kejam dari dusunnya di pe-gunungan kapur. Pilihan bahasa kiasan personi-fikasi dan metafora mendominasi narasi penggam-baran Kota Surabaya sehingga kesan “kejam”sangat tampak. Berikut petikan datanya.

Surabaya yang cerah ceria, acuh tak acuhsaja menyambut kedatangan tamunya. Waktukereta berhenti di Stasiun Pasar Turi, ia taksadar bahwa telah sampai di akhir perjalanan-nya. Lautan manusia yang lalu lalang di perutstasiun, tak satu pun yang dikenalnya, dan taksatu pun yang memperhatikannya.

(Tjitrawasita, 2003:252)

Mbok Soma menjadi pusing oleh jawabanyang berbeda-beda, ia pun semakin larut ter-sesat di rimba raya ketakacuhan Kota Surabaya.

(Tjitrawasita, 2003:252)

Yulitin SungkowatiBahasa Kiasan dalam Cerpen “Surabaya” Karya Totilawati Tjitrawasita

95

Dan, Surabaya tetap berdiri dengan pongah-nya, tak peduli oleh tangis perempuan tuayang membasahi buminya. Lalu lintas yangsibuk, tak satu pun yang mau menoleh pada-nya, dan gedung-gedung megah yang me-magarinya, membisu saja pada kenyataan yangterjadi di depan matanya.

(Tjitrawasita, 2003:253)

Surabaya, kota yang mirip mulut raksasa,menyedot ribuan urbanisasi ke dalam perut-nya, dan memuntahkannya kembali ke kakilima, emperan cina, kolong jembatan, dan got-got mesum yang merajah tubuh kota. MbokSoma dituntun tangan sang nasib ke tepijurang tak berdasar yang menganga di depan-nya.

(Tjitrawasita, 2003:253)

Kota Surabaya digambarkan berwatak kejamdengan pilihan bahasa kiasan personifikasi (“Sura-baya yang cerah ceria, acuh tak acuh saja menyam-but kedatangan tamunya”, “ketakacuhan KotaSurabaya”, “Surabaya yang pongah dan tak peduli”,“lalu lintas yang sibuk dan tak mau menoleh”,“gedung-gedung megah membisu”, “menyedotribuan urbanisasi ke dalam perutnya, dan me-muntahkannya kembali”), metafora (“perut stasiun”,“lautan manusia”, “larut tersesat”, “rimba raya”,“tangan sang nasib”), dan simile (“Surabaya, kotayang mirip mulut raksasa”). Pilihan-pilihan bahasaitu mampu membangun gambaran angan tentangKota Surabaya yang kejam, yang tidak ramah ke-pada para pendatang. Apalagi para pendatang yangtidak bermodal, seperti Mbok Soma, Juminten, danSamino.

Juminten yang lebih dahulu datang ke Sura-baya tidak memiliki pendidikan dan keterampilanyang cukup, apalagi modal uang sehingga sepertipendatang lainnya, menjadi bagian dari kaummarginal yang bekerja di sektor-sektor informaltanpa kepastian pendapatan, apalagi kepastian masadepan. Mereka terpaksa bekerja sebagai buruh

harian, tukang becak, pengais sampah atau pe-mulung dan karena tidak mampu membeli rumahmereka pun mendirikan gubuk-gubuk liar dankumuh di sudut-sudut kota.

Dengan menggunakan bahasa kiasan yangdipilih dengan baik, Totilawati Tjitrawasita dapatmenggambarkan dan menyampaikan pesan bahwa“alam itu” bukan benda mati yang dapat ditunduk-kan dengan mudah oleh manusia. Manusia me-rupakan bagian yang kecil saja dari alam danbukan tidak mungkin manusia juga dapat dikalah-kan oleh alam. Alam atau kekuatan di luar manusiamenggambarkan makrokosmos dan manusiasebagai perwujudan mikrokosmos merupakanbagian kecil saja di dalam makrokosmos. Sebagai-mana Juminten dan Samino yang terpaksa me-ninggalkan kampungnya untuk memperbaiki nasibdi Surabaya, Mbok Soma juga dipenuhi harapanyang sama. Akan tetapi, ketiganya mengalami nasibyang sama dikalahkan oleh alam, menjadi kaumurban yang tragis. Kehidupan Juminten dan Saminodi Surabaya tidak lebih baik dari Mbok Soma diDusun Kalidami. Potret kriminalitas dan ke-miskinan menyelimuti keluarga Juminten: “..MbokSoma menebarkan pandangannya menelusurigubug anaknya, bolong-bolong pada gedegnya, taktegak lagi berdirinya, sinar matahari menusuklantai, menerobos masuk lewat genteng yang pe-cah-pecah sebesar kepala.” (Tjitrawasita, 2003:254). Pilihan bahasa kiasan yang digunakan dalamkutipan tersebut dapat membawa pembaca padagambaran manusia yang terkalahkan dan ter-pinggirkan oleh alam.

Sebagai manusia Jawa, Mbok Soma meng-gunakan dasar falsafah Jawanya untuk mengatasikebimbangan antara pilihan dusunnya yang miskindan merana atau Kota Surabaya yang megah tapikejam. Pilihan Mbok Soma tetap bertahan diSurabaya karena di sanalah ia dapat berkumpuldengan anak, menantu, dan cucunya. TotilawatiTjitrawasita menggambarkan ketetapan hidup

96

Kadera Bahasa, Volume 9, Nomor 2, Edisi Agustus 2017

Mbok Soma dengan pilihan bahasa kiasan personi-fikasi berikut. “Biarlah gunung kapur meneruskansejarahnya tanpa aku. Di sini kita mulai babakyang baru, di antara kamu, suamimu, dan orokyang kecil ini.” (Tjitrawasita, 2003:255).

SIMPULANSalah satu keberhasilan seorang pengarang

agar dapat menyampaikan dan mengkomuni-kasikan gagasan, pikiran, dan perasaannya kepadapembaca melalui karya sastra adalah pada ketepatan-nya dalam memilih dan menggunakan bahasa.Apalagi jika gagasan, pikiran, dan perasaannya itudituangkan dalam cerita pendek yang memerlukankepadatan bahasa. Pilihan menggunakan bahasakiasan yang tepat, seperti personifikasi, metafora,dan simile sebagaimana tampak dalam cerpen“Surabaya” akan membuat gagasan, pikiran, danperasaan dapat disampaikan dengan efektif. Me-lalui pemilihan dan pemakaian bahasa kiasan yangtepat, Totilawati Tjitrawasita berhasil membangunsuasana dalam cerpennya yang dapat mendukunggagasan, pikiran, dan perasaan tentang perjuanganhidup manusia di tengah alam, baik desa maupunkota, yang tidak berpihak kepadanya.

DAFTAR PUSTAKAAminuddin. (1995). Stilistika: Pengantar Memahami

Bahasa dalam Karya Sastra. Semarang: IKIPSemarang Press.

Hutomo, S. S.(1995). Wajah Sastra Indonesia diSurabaya. Surabaya: Pusat DokumentasiSuripan Sadi Hutomo.

Hoerip, S. (1979). Cerita Pendek Indonesia 4. Jakarta:Pusat Pembinaan dan PengembanganBahasa.

Keraf, G. (1985). Diksi dan Goya Bahasa. Jakarta:Gramedia. Kridalaksana, Harimurti. 1982.Kamus Istilah Linguistik. Jakarta: Gramedia.

Moleong, L.J. (2002). Metodologi Penelitian Kualitatif.Cet. XVII. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Nazir, M.(1999). Metode Penelitian. Jakarta: GhaliaIndonesia.

Nurgiyantoro, B. (1995). Teori Pengkajian Fiksi.Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Pradopo, R. D. (1995). Beberapa Teori Sastra, MetodeKritik, dan Penerapannya. Yogyakarta: PustakaPelajar.

Sudjiman, P. (1983). Kamus Istilah Sastra. Jakarta:Gramedia.

______. (1995). Bunga Rampai Stilistika. Jakarta:Grafiti Press.

Sungkowati, Y. (2013). “Perempuan-PerempuanPengarang Jawa Timur”: Kajian Feminis.Atavisme, 16 (1), 57-69.

Tim Penyusunan Kamus. (1994). Kamus BesarBahasa Indonesia. Edisi Ke-2. Jakarta: BalaiPustaka.

Tjitrawasita, T. (2003). “Surabaya”. Dalam CerpenKompas Pilihan 1970—1980: Dua KelaminBagi Midin. (ed. Seno Gumiro Ajidarma).Jakarta: Kompas.

Turner, G.W.(1997). Stylistics. Middlesex: PengguinBook.

Heksa Biopsi Puji HastutiNilai-nilai Positif Tokoh Haluoleo bagi Pengembangan Karakter

97

I. PENDAHULUANSebelum dibukanya bandar udara di Pomalaa

untuk memasuki wilayah Sulawesi Tenggara me-lalui jalur udara pastilah kita akan mendengar namaHaluoleo di dalam penyampaian informasi se-

NILAI-NILAI POSITIF TOKOH HALUOLEO BAGIPENGEMBANGAN KARAKTER

POSITIVE VALUES OF HALUOLEO FOR CHARACTERDEVELOPMENT

Heksa Biopsi Puji HastutiKantor Bahasa Sulawesi Tenggara

Kompleks Bumi PrajaJalan Haluoleo, Anduonohu, Kendari, Indonesia

Pos-el: [email protected]

AbstractThe great name of a character immortalized into the title of some vital objects in a regionconsequently carries the purposeof giving role models for character development, at least for local residents. This article raises the issue of positive valuesin character of Haluoleo figure for character development. The data are descriptions of Haluoleo character taken fromHaluoleo story of Tolaki folklore which has been published, as primary data source. The data analysis is done in twosteps, namely first level semiotic readings and second level semiotic readings. From the analysis results obtained theextraction of moral values in character Haluoleo figure as follows: (1) harmonization between softness and firmness; (2)accuracy in mapping needs and self-empowering to fulfill them as well; (3) put forward the equation for the sake oftogetherness and brotherhood; (4) sincerity; (5) respect for birth; (6) humble attitude; and (7) respect and honor friendsand enemies proportionally

Keywords: Haluoleo figure, positive values, character development

AbstrakNama besar seorang tokoh yang diabadikan menjadi nama beberapa objek vital di suatu wilayahtentu mengemban maksud pemberian teladan bagi pengembangan karakter, setidaknya bagi wargasetempat. Artikel ini mengangkat permasalahan nilai positif dalam karakter tokoh Haluoleo bagipengembangan karakter. Data berupa deskripsi karakter tokoh Haluoleo yang diambil dari sumberdata berupa kisah Haluoleo versi cerita rakyat Tolaki yang sudah diterbitkan. Analisis data dilakukandalam dua tahap, yaitu pembacaan semiotik tingkat pertama dan pembacaan semiotik tingkat kedua.Dari hasil analisis diperoleh ekstraksi nilai positif dalam karakter tokoh Haluoleo sebagai berikut (1)harmonisasi antara kelembutan dan ketegasan; (2) ketepatan dalam memetakan kebutuhan sekaligusmemberdayakan dirinya untuk memenuhinya; (3) mengedepankan persamaan demi kebersamaandan persaudaraan; (4) ketulusan; (5) menghargai kelahiran; (6) sikap rendah hati; dan (7) menghargaidan menghormati kawan maupun lawan secara proporsional.

Kata kunci: tokoh Haluoleo, nilai-nilai positif, pengembangan karakter

belum pesawat mendarat. Bandar udara di KotaKendari yang semula bernama Bandara RobertWolter Monginsidi, sejak tahun 2010 diganti nama-nya menjadi Bandara Haluoleo. Nama Haluoleolebih dekat dengan lokalitas Sulawesi Tenggara

98

Kadera Bahasa, Volume 9, Nomor 2, Edisi Agustus 2017

dibanding Robert Wolter Monginsidi, pahlawanyang berasal dari Sulawesi Utara. Selain menjadinama bandar udara, Haluoleo juga diabadikanmenjadi nama universitas negeri di Kota Kendari,Universitas Halu Oleo1 dan sebagai nama markasKomando Resor Militer (Korem) 143 Haluoleo.

Menilik nama Haluoleo yang dijadikan nama-nama lembaga penting dan vital, tentunya penyan-dang nama ini memiliki arti yang cukup besar bagiSulawesi Tenggara. Dari penelusuran awal dike-tahui bahwa nama Haluoleo adalah nama orangyang pernah menjadi raja di beberapa daerah diSulawesi Tenggara. Dengan demikian, Haluoleosecara umum dikenal oleh masyarakat di provinsiini. Selain karena dikenal luas, dalam menetapkansosok yang patut dijadikan ikon untuk satu daerahtentunya juga harus mempertimbangkan secaramendalam nilai positif yang patut diteladani daritokoh tersebut. Pendalaman nilai positif yang di-miliki seorang tokoh dapat dilakukan melalui pe-nelusuran kisah ketokohannya. Dari hasil pen-dalaman ini, dapat tergali nilai-nilai positif untukpengembangan karakter bangsa.

Pengembangan karakter menjadi hal yangsering dibicarakan akhir-akhir ini. pengembangankarakter mengacu kepada perbaikan dan penguat-an terhadap karakter baik yang sudah terbentuksebelumnya. Pada makalahnya, Muji (2014) me-ngemukakan alasan pentingnya penguatan pen-didikan karakter, di antaranya karena adanya pe-nurunan kualitas moral dalam masyarakat di manaperilaku yang menunjukkan akhlak tercela lebihmengemuka di banding akhlak terpuji. Apa yangdikemukakan oleh Muji tidaklah berlebihan.Demoralisasi dewasa ini seolah melibas masya-rakat tanpa memandang usia dan jabatan, tua-muda, pejabat-orang kebanyakan, silih bergantimuncul dalam pemberitaan media massa. Berbagaitindakan yang tidak semestinya terjadi, seperti pe-

ngeroyokan, pencurian, penggelapan uang negara,dan lain-lain dilakukan demi memenuhi nafsumanusia. Padahal, sebagai bangsa yang besar,negeri ini memiliki banyak sekali tokoh yang dapatdijadikan teladan dalam pembentukan dan pengem-bangan karakter, misalnya Haluoleo.

Nama Haluoleo tidak pernah sepi diper-bincangkan di kalangan budayawan, sejarawan,dan akademisi Sulawesi Tenggara. Beragam versicerita beredar di masyarakat. Pro dan kontra ter-kait deskripsi detail ketokohannya mewarnai per-bincangan-perbincangan tersebut. Nama Haluoleodisebut-sebut sebagai nama lain dari beberapanama yang dikenal sebagai raja di beberapa daerah(Murhum di Wolio, La Kilaponto di Muna, danLa Tolaki di Tolaki). Pada Simposium InternasionalPernaskahan Nusantara Tahun 2005, dalam pre-sentasi makalah berjudul Sultan Murhum: TokohPemersatu Kerajaan-Kerajaan Tradisional diSulawesi Tenggara” diungkapkan bahwa penama-an Haluoleo sebagai nama lain dari La Kilaponto,Murhum, dan La Tolaki pada dasarnya barudikenalkan dan mengemuka setelah ada publikasihasil penelitian Rustam Tamburaka, dkk yang ter-himpun dalam publikasi berjudul Sejarah SulawesiTenggara. Di dalam publikasi penelitian ini terdapatcerita Haluoleo dalam versi Tolaki, Hamundu(2005). Sementara itu, Jerniati I. (2011) dalamartikelnya yang mendeskripsikan struktur alurcerita Haluoleo, menyebutkan bahwa selaindikenal sebagai pemimpin yang bijak, Haluoleojuga diyakini sebagai pribadi yang ksatria yanggigih membela tanah airnya. Menilai karakter ber-arti menilai kepribadian, yaitu ciri-ciri watak se-orang individu yang konsisten dan sudah melekatmenjadi identitas khusus bagi dirinya, Wuryansari(2005).

Munculnya kisah yang seolah berada di per-batasan antara mitos dan kenyataan menimbulkan

1 Haluoleo pada penulisan nama universitas yang semula ditulis serangkai ini (Universitas Haluoleo, disingkat Unhalu), sejaktahun 2013 diubah menjadi ditulis terpisah (Universitas Halu Oleo, disingkat UHO).

Heksa Biopsi Puji HastutiNilai-nilai Positif Tokoh Haluoleo bagi Pengembangan Karakter

99

persepsi yang berbeda-beda. Terkait mitos, Levi-Strauss menyatakan bahwa ciri apa pun dapatmuncul pada diri tokoh dalam sebuah mitos. Relasiapa pun dapat mengada di antara mereka sehinggaseringkali dirasa sama sekali tidak ada logika didalam mitos, Ahimsa-Putra (2006). Upaya me-mahami arah pemunculan sebuah cerita, terlebihcerita yang masih banyak diperdebatkan kebenar-annya, dapat dilakukan dengan merunut dari ceritaitu sendiri. Tentu saja penautan kepada aspek-aspek di luar cerita perlu dilakukan agar simpulanyang diperoleh memiliki argumentasi yang dapatditerima. Mendamaikan persepsi yang berbedadapat diupayakan dengan menghadirkan alasanlogis mengapa hal tersebut perlu ada.

Terlepas dari permasalahan mitos atau bukanmitos, kisah Haluoleo terekam juga dalam kha-zanah sastra daerah Sulawesi Tenggara. Beberapabuku tercatat memuat cerita ini sebagai salah satuisinya, di antaranya adalah buku Prosa dalam SastraTolaki yang ditulis oleh Nasruddin dan Haruddin,penerbit Departemen Pendidikan dan Kebudaya-an, Jakarta (1998) dan buku Perahu Kaca di TanahTolaki yang ditulis oleh Hidayatullah Maranay,penerbit PT Pratama Mitra Aksara, Surakarta(2009). Pada dasarnya, kisah yang dimuat dalamkedua buku ini sama. Alur cerita dan alur konfliktidak berbeda satu dengan lainnya.

Kisah Haluoleo yang pada akhirnya tercetakdan tersebar ini adalah kisah dalam versi Tolaki.Dalam cerita ini termuat kisah perjalanan hidupHaluoleo sejak masih dalam kandungan dan kisahpengembaraannya dari Mekongga hingga ke tanahWolio. Kisah ini diramu dari cerita lisan, yang me-nurut Vansina (2014) dapat dijadikan sebagai salahsatu sumber sejarah. Dari kisah ini tentunya dapatdigali nilai-nilai positif karakter Haluoleo yangberguna bagi pengembangan karakter bangsa, ter-utama bagi generasi muda. Amir (2013) berpen-dapat bahwa selain sebagai alat pemersatu kelom-pok, fungsi sastra lisan sebagai media penyimpan

kearifan lokal, kecendikiaan tradisional, pesan-pesan moral, dan nilai sosial budaya. Sementaraitu, Rahmawati (2015) menyatakan pendapat se-nada, bahwa sebagai kekayaan sastra yang masihhidup dalam masyarakat, cerita rakyat mengan-dung kearifan lokal yang dapat dimanfaatkan se-bagai nilai-nilai dasar pengembangan karakter.

Metode yang digunakan dalam penelitian inipada dasarnya adalah metode kualitatif. Dalamanalisis data digunakan pembacaan dengan pen-dekatan semiotika yang berusaha membaca maknanilai positif dalam diri tokoh Haluoleo sebagaitanda yang dapat dimanfaatkan bagi pengembang-an karakter. Analisis terbagi menjadi dua bagian.Pertama, analisis semiotika tingkat pertama. Dalamtahap ini cerita Haluoleo dianalisis dengan peng-khususan pembacaan pada aspek tokoh. Peng-khususan ini dianggap relevan dengan permasalah-an penelitian yang bertumpu pada nilai positiftokoh. Pada tahap ini dilakukan juga pembacaanterhadap tokoh bawahan yang berada di dalamlingkaran kehidupan tokoh utama (Haluoleo)demi memperoleh nilai positif pada diri tokohutama secara utuh. Kedua, berdasarkan pembaca-an karakter tokoh, dilakukan analisis semiotikatingkat kedua dengan pembacaan makna. Dalamtahap ini, karakter tokoh Haluoleo dimaknaidengan mengedepankan teladan positif yang dapatdimanfaatkan untuk pengembangan karakter.

II. PEMBACAAN DAN PEMAKNAANKARAKTER TOKOH HALUOLEO

A. Cerita Haluoleo: Analisis TokohDengan memahami karakter tokoh Haluoleo,

dapat diungkap nilai positif yang dapat digunakansebagai landasan pengembangan karakter. Untukmempermudah analisis, cerita Haluoleo yang ter-diri atas beberapa segmen dibagi per episode. Epi-sode pertama kisahnya dimulai sebelum melaku-kan pengembaraan. Episode kedua berisi perjalan-

100

Kadera Bahasa, Volume 9, Nomor 2, Edisi Agustus 2017

an pengembaraannya sebelum ke tanah tujuan,yaitu tanah Muna. Episode ketiga merupakankisahnya setelah tiba di tanah Muna dan meng-gantikan ayahnya sebagai raja di sana. Berikutadalah sinopsis cerita Haluoleo dari buku Prosadalam Sastra Tolaki memuat kisah kelahiran danpengembaraan tokoh Haluoleo.

Episode 1. Kehamilan ibunda Haluoleoketika mengandungnya sangat berat. Iwealanda,ibunda Haluoleo, selama hamilnya hanya maumakan satu kali, yaitu hati anjing hitam. Pada awalmasa hamilnya, dia bertabiat keras dan menyukaihal-hal yang kasar. Namun, ketika menginjakhamil tua, ibu Haluoleo menyukai seni, sepertimendengarkan dongeng dan nyanyian. Proseskelahiran didahului oleh rasa sakit selama delapanhari delapan malam. Nama Haluoleo terciptakarena proses kelahirannya itu (haluoleo artinyadelapan hari). Haluoleo terlahir dengan menggeng-gam sebilah ta’awu(keris) yang dibawa dari dalamkandungan ibunya. Ketika remaja, Haluoleo mulaimenunjukkan karakter kepemimpinannya dalamsetiap permainan.

Episode 2. Di Mekongga, tempat pengem-baraannya yang pertama, Haluoleo membuat pe-rahu dari kayu ndaumo lalu berlayar ke Towari.Perahu ini dinamai iwasilomata yang artinya “perahuyang sangat cepat”, lalu menyusuri Konawe’ehahingga tiba di Olo-oloho (tanah Konawe). Ditanah Konawe, Haluoleo sangat berkuasa. Suatuketika Haluoleo melakukan perjalanan ke Moro-nene. Dalam perjalanan, perahunya terbalik dananak perempuannya tenggelam. Ketika dia ber-usaha menyelamatkan, Raja I’Puritahi mencegah-nya. Raja I’Puritahi menahan putri Haluoleo karenamenghendaki berkah dari Haluoleo di bumiKonawe. Haluoleo pun melanjutkan perjalananke Moronene. Di bumi Moronene Haluoleo me-nikah dan memiliki putra. Haluoleo pergi ke ToMokole (Kabaena), untuk selanjutnya kembalibertualang menuju tanah Muna.

Episode 3. Haluoleo bermaksud menemuiayahnya di Muna. Setelah empat tahun tinggal diMuna, Haluoleo pun menggantikan posisi ayahnyasebagai raja Muna. Saat itulah terdengar beritabahwa Raja Wolio mengadakan sayembara untukmembunuh seorang penjahat pemberontak ber-nama Labolondio dengan hadiah mempersuntingputerinya. Haluoleo menuju Wolio dan mengikutisayembara raja Wolio. Dengan taawu-nya, Haluoleoberhasil mengalahkan Labolondio. Haluoleo me-motong kemaluan Labolondio dan menyimpannyasebagai bukti dan menunjukkan kepada RajaWolio. Beberapa raja lain datang di tempat per-tarungan Haluoleo melawan Labolondio. Masing-masing mereka mengambil bagian-bagian tubuhLabolondio yang sudah tidak bernyawa dan me-nunjukkannya kepada Raja Wolio seraya mengata-kan bahwa merekalah yang berhasil membunuhLabolondio. Akan tetapi, raja Wolio lebih percayaHaluoleo yang membunuh Labolondio karenaHaluoleo membawa kemaluan Labolondio sebagaibuktinya. Haluoleo pun menikah dengan puteriraja Wolio, lalu menjadi raja Wolio.

Di dalam cerita ini, ada tiga tokoh yang di-gambarkan bersentuhan langsung dengan Haluoleosebagai tokoh utama. Jadi, ada empat tokoh dalamcerita ini, yaitu Haluoleo. I Wealanda (ibundaHaluoleo), Raja I’Puritahi, dan raja-raja pesertasayembara.

1. I WealandaI Wealanda, ibunda Haluoleo, mengandung

Haluoleo dengan berat dan payah, baik lahir mau-pun batin. Secara lahir I Wealanda tersiksa karenaselama kehamilannya dia hanya bisa makan satukali, yaitu makan hati anjing hitam yang sangatdiidamkan sejak awal mengandung. Itu pun diper-oleh setelah mengerahkan rakyat untuk mencari-nya. Tubuh I Wealanda menjadi kurus kering, te-tapi kondisi ini tidak mengurangi ketegasan pri-badinya. Pada masa awal kehamilan, karakter keras

Heksa Biopsi Puji HastutiNilai-nilai Positif Tokoh Haluoleo bagi Pengembangan Karakter

101

menjadi ciri khas I Wealanda. Karakternya me-lunak menjelang kelahiran Haluoleo. Kegemaranakan seni mengimbangi karakter keras yang mun-cul sebelumnya. Perjuangan berat kembali harusdihadapi ketika akan melahirkan. Delapan haridelapan malam rasa sakit mendera. Kerja samayang baik ditunjukkan oleh suaminya yang relamendampingi. Akhirnya, lahirlah jabang bayi yangselama ini ditunggu-tunggu sebagai buah maniskesabaran dan perjuangannya.

2. Raja I’PuritahiI’Puritahi adalah nama Sangia (dewa) penguasa

dasar lautan (dunia air) yang dikenal dalam sistemkepercayaan orang Tolaki, Tarimana (1993). RajaI’Puritahi diyakini menguasai laut, ombak, dangelombang. Raja I’Puritahi hanya muncul dalamsatu segmen kecil dalam cerita Haluoleo, tetapimenunjang deskripsi karakter Haluoleo sebagaitokoh utama. Raja I’Puritahi menahan putriHaluoleo yang tercebur ke dalam air ketika perahumereka terbalik dalam perjalanan dari Konawemenuju Moronene. Dalam publikasi Musdalifa(2016) disebutkan bahwa tempat jatuhnya putriHaluoleo ini di sebuah sanua (air terjun bersusuntujuh). Raja I’Puritahi melakukannya karena meng-akui dan meyakini keberkahan yang terdapatdalam diri Haluoleo. Dia menginginkan ada jugaberkah Haluoleo di kerajaannya, di perairan wi-layah Konawe. Raja I’Puritahi pun dihormati olehHaluoleo sebagai salah satu dewa penguasa alamdasar laut sehingga Haluoleo mengikhlaskan putri-nya tinggal di kerajaan I’Puritahi.

3. Raja-Raja Peserta SayembaraSebagai tokoh dalam cerita, raja-raja peserta

sayembara dapat dianggap sebagai satu kesatuanmeskipun pada detailnya mereka terdiri atasbeberapa orang. Raja-raja tersebut mewakili satusikap dan karakter yang sama. Tanpa segan, raja-raja ini mengakui hasil kerja Haluoleo (memenang-kan sayembara Raja Wolio, yaitu membunuh

Labolondio) sebagai prestasinya. Bahkan, untukmenguatkan pengakuan ini mereka mengambilbagian-bagian tubuh Labolondio yang sudah tidakbernyawa. Ada raja yang mengambil kepala, adayang mengambil bagian tangan, dan bagian tubuhLabolondio lainnya. Mereka menunjukkan bagiantubuh yang mereka potong dari jasad Labolondioitu kepada Raja Wolio sebagai bukti bahwa me-rekalah yang berhasil memenangkan sayembaratersebut dan berharap memperoleh hadiahnya. Sikapraja-raja ini menunjukkan karakter yang tidak ter-puji.

4. HaluoleoMembaca karakter Haluoleo tidak dapat di-

lepaskan dari karakter tokoh-tokoh yang telahdijelaskan di atas dan dari sepak terjang selamapengembaraannya. Haluoleo adalah seorang pe-mimpin yang bijaksana, Musdalifa (2016). Tokohitu menjelaskan bagaimana usaha dan pengorban-an yang harus dikeluarkan, sebagai modal dalammempersiapkan satu sosok berkualitas sepertiHaluoleo. Haluoleo lahir dan tumbuh dalam ling-kungan yang memberikan dukungan bagi pengem-bangan kapasitas dirinya.

Berhadapan dengan Raja I’Puritahi yang me-rupakan Sangia dalam kepercayaan suku Tolaki,Haluoleo tetap mengedepankan sikap hormat danmenghargai. Padahal, Haluoleo berhak untuktetap menuntut putrinya kembali. Dari segmen inijuga terbaca bagaimana Haluoleo dikenal tidakhanya di lingkungannya, tetapi juga hingga diKerajaan Dasar Laut atau kerajaan air yang di-kuasai oleh Raja I’Puritahi. Alasan yang dikemuka-kan Raja I’Puritahi menahan I Wesambara, putriHaluoleo, adalah menginginkan negeri Konawejuga beroleh berkah Haluoleo, karena diyakiniHaluoleo memiliki kelebihan berupa karunia yangmendatangkan kebaikan bagi kehidupan manusia.Dengan menahan keturunan Haluoleo, RajaI’Puritahi berharap seluruh negeri Konawe ter-

102

Kadera Bahasa, Volume 9, Nomor 2, Edisi Agustus 2017

berkati. Melalui bagian ini, terbaca karakter Haluoleoyang menghormati orang yang lebih senior (RajaI’Puritahi). Selain karena berkah yang melekatpada dirinya, Haluoleo juga dicintai karena ke-baikannya.

Ketika mengikuti sayembara Raja Wolio,Haluoleo harus berhadapan dengan Labolondio,seorang penjahat pemberontak yang sangat ganasdan ditakuti saat itu. Untuk mengalahkan Labo-londio, selain ilmu bela diri dan kesaktian, ke-beranian juga mutlak harus ada dalam diri Haluoleo.Tentunya pertarungan Haluoleo melawan Labo-londio berlangsung dengan sengit. KemenanganHaluoleo melawan Labolondio tidak membuatnyamenjadi sombong. Bahkan, Haluoleo tetap bijakketika menghadapi raja-raja yang bermaksudcurang dalam sayembara. Haluoleo tidak mem-permalukan raja-raja ini karena kecurangannya.Haluoleo memiliki keyakinan bahwa kebenarantidak akan dikalahkan oleh kejahatan dan ke-curangan. Keyakinannya ini terbukti dengankenyataan bahwa Raja Wolio lebih mempercayaiHaluoleo. Walaupun Haluoleo tidak berusahamenyangkal pengakuan raja-raja lainnya yang telahlebih dahulu menghadap, Raja Wolio percaya dia-lah yang telah memenangkan sayembara mem-bunuh Labolondio. Berdasarkan uraian dalam seg-men ini diketahui bahwa Haluoleo memilikikarakter pemberani, ramah, bijaksana, dan yakinakan kebenaran.

B. Nilai Positif dalam Karakter TokohHaluoleoAnalisis nilai positif sebagai pembacaan tingat

kedua, dilakukan berdasarkan episode-episodecerita. Dalam sinopsis cerita ada tiga episode yangdiklasifikasikan berdasarkan segmentasi, yaknimasa sebelum Haluoleo mengembara, masa pe-ngembaraan Haluoleo sebelum memasuki Muna,

dan masa setelah Haluoleo di Muna menggantikanayahnya sebagai raja di Muna.

1. Episode 1Episode 1 berkisah tentang bagaimana

Haluoleo sejak dalam kandungan, saat kelahiran,dan masa sebelum usia dewasa. Nilai positif yangditunjukkan pada episode ini adalah bahwa pribadiyang berkarakter baik dan berkualitas tidak hanyaterbentuk dari hal-hal yang indah belaka. Perluadanya pengalaman dan prinsip keras serta teguhuntuk menempa karakter agar mampu bertahandan berkembang di dalam kehidupannya. Aspekkekerasan dan ketegasan yang terepresentasi dariproses kehamilan ibunda Haluoleo pada bulan-bulan pertama. Sementara itu, aspek kelembutandan keindahan tercermin dalam kehamilan padabulan-bulan akhir menjelang kelahiran Haluoleo.Perpaduan antara dua aspek ini akan menjadimodal pembentuk karakter yang baik, terlihat darikarakter kepemimpinan Haluoleo yang menonjoldibandingkan teman-teman sepermainannya.

Setiap manusia sebagai individu pada hakikat-nya adalah pemimpin, setidaknya memimpin dirisendiri agar tetap berada pada lintasan kebenaran.Karakter untuk memimpin inilah yang perlu di-kembangkan agar setiap kita menjadi pribadi yanglebih baik. Di dalam diri seorang pemimpin yangbaik seyogianya terintegrasi antara seni dan kapa-sitas diri. Memimpin adalah seni menjalin hu-bungan dan kecakapan untuk merawatnya. Selainitu, tentu saja kapasitas melakukan pekerjaan danstrategi dengan baik dan profesional juga mutlakdiperlukan. Kapasitas ini pun teramu dengan baikdari perpaduan ketegasan dan kelembutan. Nilaipositif dalam diri tokoh Haluoleo pada Episode1 ialah harmoni kelembutan dan ketegasan di-perlukan dalam mengembangkan sikap kepemim-pinan.

2. Episode 2Dalam episode ini dikisahkan pengembaraan

Haluoleo. Di Mekongga Haluoleo membuat perahu

Heksa Biopsi Puji HastutiNilai-nilai Positif Tokoh Haluoleo bagi Pengembangan Karakter

103

yang diberinya nama Iwasilomata artinya perahuyang sangat cepat). Haluoleo menyadari bahwauntuk menunjang kepentingannya sebagai pemim-pin, sekaligus sarana mewujudkan tujuan pengem-baraannya hingga ke tanah Muna, dirinya memerlu-kan sarana transportasi yang istimewa sehinggadia memutuskan untuk membuatnya. PerahuIwasilomata dianggap tepat untuk kepentingannyaitu. Dari sini terlihat bahwa Haluoleo dapat dengantepat memetakan kebutuhannya demi mencapaitujuan sekaligus memberdayakan dirinya untukmembikin apa yang dibutuhkannya itu.

Dalam perjalanan menuju Moronene, perahu-nya sempat terbalik sehingga putrinya yang turutserta di dalam pengembaraan tercebur dan teng-gelam ke dasar laut. Haluoleo menyelam dan ber-usaha menyelamatkan putrinya. Namun, ternyataRaja I’Putitahi, sangia penguasa lautan mencegah-nya. Dia menginginkan putri Haluoleo tetap ting-gal di kerajaannya agar berkah Haluoleo menetapjuga di Konawe. Haluoleo pun melanjutkan per-jalanan ke Moronene, lalu ke To Mokole (Kabaena)untuk selanjutnya menyeberang ke Muna men-jumpai ayahnya.

Di setiap tempat yang disinggahi, Haluoleomengambil seorang perempuan untuk dijadikanistri. Hal ini merupakan strategi yang lazim dilaku-kan oleh raja-raja dari kerajaan kuno untuk mem-bangun hubungan diplomatis dengan kerajaan lain,Hamundu (2005). Faktor pertalian kekeluargaankarena perkawinan ini menjadi faktor penting,selain karisma Haluoleo, yang membuatnya di-terima dan selalu diposisikan sebagai pemimpindi kerajaan-kerajaan, khususnya di SulawesiTenggara. Masyarakat di tempat pengembaraannyamemercayai Haluoleo sehingga mengangkatnyamenjadi raja.

Rangkaian cerita yang termuat dalam Episode2 memberikan informasi tentang bagaimanakarakter Haluoleo sehingga dapat diterima dengansangat baik di setiap tempat yang didatanginya.

Haluoleo meramu karisma dan kemampuan yangsudah melekat dalam dirinya sehingga padu denganseni menjalin dan merawat hubungan baik denganstrategi ikatan kekeluargaan. Haluoleo tidak me-nonjolkan perbedaan yang mungkin ada di antaradirinya dan masyarakat setempat, melainkan me-rangkul semua kalangan sehingga mereka dapatmerasa menyatu. Nilai positif dari sikap yang me-ngedepankan persamaan ini sudah sepatutnya di-teladani dalam pengembangan karakter.

3. Episode 3:Episode 3 cerita Haluoleo memuat kisahnya

ketika sudah berada di negeri Muna. Tujuan utamaHaluoleo mendatangi Muna untuk menjumpaiayahnya, raja di Kerajaan Muna. Ketika Haluoleobaru saja dinobatkan menjadi raja di Muna, tersiarkabar adanya sayembara yang dikeluarkan olehRaja Wolio di Pulau Buton. Sayembara itu me-ngatakan bahwa siapa saja yang dapat mengalah-kan penjahat pemberontak Labolondio akan di-nikahkan dengan putri Raja Wolio dan menjadiraja Wolio. Haluoleo maju menghadapi Labo-londio dengan gagah berani. Tujuan utamanyabukanlah untuk memenangkan sayembara, me-lainkan menyelamatkan negerinya, negeri Muna,dari rencana serangan Labolondio yang terkenalganas, Hamundu (2000). Haluoleo menggunakansenjata ta’awu sehingga dengan mudah mengalah-kan Labolondio. Ta’awu ini adalah ta’awu yang di-bawa sejak terlahir dari rahim ibunya. Ini dapatdimaknai bahwa sejauh apa pun seorang anakmelangkah, serta setinggi apa pun pencapaiannya,dia tidak bisa sekalipun melepaskan diri darikekuatan yang diberikan oleh ibunya, yaitu ke-lahirannya. Dari sini dapat dipetik nilai positif,yaitu ketulusan dan menghargai kehidupan, meng-hargai kelahiran sebagai modal awal untuk dapatberbuat baik.

Dalam segmen sayembara, muncul raja-rajayang bermaksud mengakui bahwa merekalahpemenang sayembara yang berhasil membunuh

104

Kadera Bahasa, Volume 9, Nomor 2, Edisi Agustus 2017

Labolondio. Namun, Haluoleo lebih memilihmembiarkan pengakuan mereka kepada RajaWolio. Dia tidak mempermalukan raja-raja itudengan mengatakan kepada Raja Wolio bahwamereka berbuat curang. Haluoleo yakin bahwa ke-benaran tidak akan kalah oleh kebohongan. Ibaratpepatah, langit tidak perlu berkata bahwa dirinyatinggi. Demikian pula Haluoleo, dengan kerendah-an hatinya untuk tidak menonjolkan diri, justrumenarik perhatian Raja Wolio sehingga akhirnyadiketahui bahwa sebenarnya Labolondio terbunuhdi tangan Haluoleo. Sebagai pemenang sayembara,Haluoleo berhak menikahi putri Raja Wolio danmenjadi raja di Kerajaan Wolio setelah Raja LaMulae wafat. Dalam Episode 3 ini, Haluoleo men-capai prestasi yang tidak kecil. MengalahkanLabolondio yang sangat ditakuti tidaklah mudah.Penghargaan layak baginya berupa pernikahandengan putri Raja Wolio berikut tahta kerajaan.Akan tetapi, dengan pencapaian ini Haluoleo tidaklantas membusungkan dada. Nilai positif yangdapat dipetik di sini adalah sikap rendah hatidengan tetap menghargai dan menghormati kawanmaupun lawan secara proporsional.

III. PENUTUPNama besar Haluoleo melekat pada tiga insti-

tusi penting di Provinsi Sulawesi Tenggara. Darikisahnya, terangkum beberapa nilai positif yangpatut untuk diteladani dalam pengembangankarakter. Sesuai dengan kemunculannya dalamcerita, berikut nilai positif yang dapat dipetik darikarakter Haluoelo untuk pengembangan karakter:(1) harmonisasi antara kelembutan dan ketegasan;(2) ketepatan dalam memetakan kebutuhan se-kaligus memberdayakan dirinya untuk memenuhi-nya; (3) mengedepankan persamaan demi keber-samaan dan persaudaraan; (4) ketulusan; (5) meng-hargai kelahiran; (6) sikap rendah hati; dan (7)menghargai dan menghormati kawan maupunlawan secara proporsional. Ekstraksi nilai positif

dalam karakter tokoh Haluoleo ini diperlukandalam mengembangkan karakter yang baik, ter-utama karakter kepemimpinan yang wajib dimilikioleh setiap individu karena fitrah manusia dilahir-kan sebagai khalifah di bumi ini.

DAFTAR PUSTAKAAhimsa-Putra, H. S., 2006. Strukturalisme Levi-

Strauss, Mitos, dan Karya Sastra. Yogyakarta:Kepel Press.

Amir, A., 2013. Sastra Lisan Indonesia. Yogyakarta:Penerbit Andi.

Hamundu, M., 2005. “Sultan Murhum: TokohPemersatu Kerajaan-Kerajaan Tradisional diSulawesi Tenggara”. Makalah disajikan dalamSimposium Internasional Pernaskahan Nusan-tara di Baruga Keraton Buton SulawesiTenggara, 5—8 Agustus 2005.

Jerniati I., 2011. “Struktur Alur dan UnsurInformasi dalam Wacana Halu Oleo”. DalamKandai 7(2):172-185.

Maranay, H., 2009. Perahu Kaca di Tanah Tolaki.Surakarta: Penerbit PT Pratama Mitra Aksara.

Muji, 2014. “Menggali Pendidikan Karakter dalamTembang. Kumpulan Makalah”. DalamKumpulan makalah Bahasa Ibu: Pelestarian danPesona Sastra dan Budayanya. 325-331. DalamM. Abdul Khak (editor). Bandung: Unpad Press.

Musdalifa, A., 2016. Nilai Budaya dalam TigaCerita Rakyat Tolaki (“Pendekatan SosiologiSastra”) Jurnal Humanika (I):16, Maret 2016/ISSN 1979-8296.

Nasruddin dan Haruddin, 1998. Prosa dalam SastraTolaki. Jakarta: Departemen Pendidikan danKebudayaan.

Rahmawati, 2015. “Cerita Rakyat Makassarsebagai Media Pembentukan Karakter”.Dalam Jantra Jurnal Sejarah dan Budaya,Volume 10, Nomor 2, Desember 2015.(BPNB Yogyakarta, 2015). Hlm. 153-162.

Heksa Biopsi Puji HastutiNilai-nilai Positif Tokoh Haluoleo bagi Pengembangan Karakter

105

Tarimana, A., 1993. Kebudayaan Tolaki. Jakarta:Balai Pustaka.

Vansina, J., 2014. Tradisi Lisan sebagai Sejarah.Yogyakarta: Penerbit Ombak.

Wuryansari, Th. E., 2015. “Nilai-Nilai Moraldalam Dongeng Kacamata Sang Singa (lesLunettes du Lion)”. Dalam Jantra JurnalSejarah dan Budaya, Volume 10, Nomor 2,Desember 2015. (BPNB Yogyakarta, 2015).Hlm 201-210.

106

Kadera Bahasa, Volume 9, Nomor 2, Edisi Agustus 2017

Ratun UntoroPenggambaran Alam dalam Sastra Jawa Kuno dan Jawa Modern sebagai Promosi Wisata

107

1. PENDAHULUANJenis promosi wisata menggunakan media

visual cukup menarik perhatian dan relatif efektif

PENGGAMBARAN ALAM DALAM SASTRA JAWA KUNODAN JAWA MODERN SEBAGAI PROMOSI WISATA

THE DESCRIPTIONS OF NATURE IN ANCIENTJAVANESE LITERATURE AND MODERN JAVANESE

AS A TOURISM PROMOTION

Ratun UntoroBalai Bahasa Daerah Istimewa Yogyakarta

Pos-el: [email protected]

AbstractTourism promotion is performed in purpose. It can be natural event to stimulate interest for tourists who are passing,watching, listening, or reading and feeling not in purpose. It is associated to the natural portrayal in literary works. Thenature was portrayed by the poets or writers with personal feeling and they do not tend to refer to tourism purpose. Even,sometimes the poets hide the beautiful nature illustration from public. They just want to express their feeling and do notwant people to do agree for the beauty of nature they portrayed. Those problem is formulated in this research. Naturalcondition appeared in literary works and it never be addressed for tourism promotion. The date of this research is oldand modern Javanese literature to reveal how the poets portrayed nature through ages. This research was initiated fromassumption that poets or writers performed observation about nature and circumstance, then they were expressed in theirliterary works. This research proved that nature is still used by poets or writers to assist, complete, and give storysituation.

Keywords: nature, circumstance, literature, poets/writers.

AbstrakPromosi wisata tidak selalu dalam bentuk kesengajaan. Ia bisa berupa keadaan alamiah yang tidaksengaja bisa menimbulkan daya tarik bagi wisatawan yang kebetulan melihat, mendengar, atau membacaserta merasakan. Demikian halnya dengan pengambaran alam yang terdapat dalam karya sastra. Iadilukiskan oleh penyair atau pengarang dengan perasaan personal yang tidak harus selalu ingin ditujukanuntuk tujuan wisata. Bahkan, kadangkala penyair ingin menyembunyikan keadaan alam yang dirasakanindah memesona itu dari masyarakat luas. Ia hanya ingin menuliskan perasaannya dan tidak perluorang lain mencari kebenaran keadaan alam yang dilukiskannya. Hal-hal seperti itulah yang diungkappada penelitian ini. Keadaan alam yang muncul dalam karya sastra dan tidak pernah ditujukan untuktujuan promosi wisata. Data penelitian ini ialah karya sastra Jawa Kuno dan Jawa Modern untukmengetahui bagaimana penyair atau pengarang melukiskan alam pada masing-masing zaman. Penelitianini berawal dari asumsi bahwa penyair atau pengarang melakukan observasi terhadap alam danlingkungannya kemudian muncul dalam karya-karyanya. Penelitian ini membuktikan bahwa alam seringdigunakan oleh penyair atau pengarang untuk mengiringi, melengkapi, dan menambah suasana cerita.

Kata kunci: alam, lingkungan, sastra, penyair/pengarang.

terutama untuk wisata alam dan budaya. Hal itutidak dipungkiri mengingat media visual mampumenghadirkan wujud visual daerah tujuan wisata

108

Kadera Bahasa, Volume 9, Nomor 2, Edisi Agustus 2017

meskipun visualisasi tersebut terbatas pada subjek-tivitas penyaji. Subjektivitas penyaji visual ter-sebut diharapkan mampu menarik perhatian calonpengunjung dengan cara menyajikan bahan-bahanatau materi visual yang menarik. Tentu saja, sajianvisual tersebut dibuat oleh profesional yang ahlidi bidang visual dan paham mengenai materi yangberkaitan dengan promosi wisata. Dengan demi-kian, keindahan alam atau materi objek wisatayang akan divisualkan mengandung unsur subjek-tiv yang telah disesuaikan dengan keinginan calonwisatawan. Subjektivitas tersebut telah digradasioleh keinginan calon wisatawan. Hal itu berbedadengan penggambaran keindahan alam yangtertuang dalam karya sastra. Santosa (1998:203)menyatakan bahwa ragam bahasa yang ditulis olehahli bidang pariwisata berbeda dengan bahasa sastra-wan yang bukan ahli pariwisata. Bahasa sastrawanlebih bersifat personal, konotatif, menyatakan se-cara tidak langsung, dan menyimpang dari tatabahasa normatif. Namun, dalam makalahnya,Santosa (1998) menemukan beberapa puisi yangsengaja dibuat untuk kepentingan pariwisata ataupuisi yang memuat informasi tentang objek-objekwisata di Indonesia, yaitu Potret Pariwisata Indonesiadalam Puisi (editor Lazuardi Adi Sage, 1991), PotretPanjang Seorang Pengunjung Pantai Sanur (Abdul HadiW.M., 1975), Nyanyian Tanah Air, Ramadhan K.H.(1958), sajak Di Banjar Tunjuk Tabanan (SapardiDjoko Damono, 1982), Piknik (Isma Sawitri,1983), “Ziarah ke Slarong” (Abdul Rivai, 1934),dan Ulat dan Borobudur (Slamet Muljana, 1951).

Selain Santosa (1998), beberapa makalah yangberkaitan dengan sastra dan pariwisata pernah di-tulis oleh beberapa pakar dalam Seminar NasionalVIII Bahasa dan Sastra Indonesia yang diselenggara-kan oleh Himpunan Pembina Bahasa Indonesia.Semarang: 21—23 Juli 1998. Setidaknya, adatujuh makalah yang berkaitan dengan sastra danpariwisata dari 33 makalah yang ada. Dua daritujuh makalah tersebut, yaitu “Pemakaian Majas

dalam Puisi Pariwisata” (Ovi Soviaty Rivay) dan“Promosi Kepariwisataan Indonesia dalam Puisi”(Puji Santosa) membahas puisi yang memangsengaja dibuat dalam rangka pariwisata.Dua ma-kalah lainnya, “Budaya Daerah dalam Sastra Indo-nesia” (Imam Budi Utomo) dan “Sastra, Peng-arang, dan Budaya” (Herry Mardianto) membahasbudaya yang menjadi bahan inspirasi karya sastra.Satu makalah lain, “Kaba Minangkabau danWisata Budaya” (B.Trisman) menyarankan KabaMinangkabau untuk dijadikan salah satu atraksidi objek wisata. Sementara itu, terdapat satu bukumenarik berjudul Puisi Promosi Kepariwisataanditulis oleh Puji Santosa, dkk. (2013) membahasberbagai puisi di tanah air yang dikaitkan denganpromosi wisata daerah.

Buku dan beberapa makalah mengenai puisidan pariwisata tersebut diciptakan mirip dengansaat profesional visual membuat visualisasi untukmempromosikan objek wisata. Bedanya, penyairmenggunakan kekuatan kata-kata. Namun, adayang dilewatkan oleh para peneliti dan penulis ma-kalah di atas, yaitu bahwa alam Indonesia dalamkurun waktu tertentu telah mengalami perubahan.Buku dan beberapa makalah di atas tidak menye-butkan adanya perubahan dan perbedaan keadaanalam (dan) budaya. Hal itu telah disadari oleh pro-fesional promosi wisata melalui media visual yangsenantiasa membuat visual terkini mengenai alam(dan budaya) Indonesia.

Berdasar pada latar belakang tersebut, per-tanyaan penelitian pada makalah ini ialah bagai-mana penggambaran alam dalam karya sastra dariwaktu ke waktu? Untuk menjawab pertanyaan ituperlu dibatasi rentang waktu perubahan tersebut.Perubahan alam tentu tidak berlangsung cepat se-hingga waktu yang ideal untuk mengetahui per-ubahan penggambaran alam dalam karya sastraJawa berdasarkan genre sastra Kakawin (JawaKuno) dan Jawa Modern. Jawa Pertengahan se-ngaja tidak dijadikan sumber data karena lebih

Ratun UntoroPenggambaran Alam dalam Sastra Jawa Kuno dan Jawa Modern sebagai Promosi Wisata

109

banyak memuat alam Bali (bandingkan Zoetmulder,1985:33).

2. PENGERTIAN ISTILAH DANMETODE PENELITIAN

2.1 Pengertian Istilah dan DataPembagian sastra Jawa Kuno, sastra Jawa Per-

tengahan, dan sastra Jawa Modern pada penelitianini mengikuti Zoetmulder (1985:28—40). SastraJawa Kuno menggunakan metrum-metrum Indiayang disebut kakawin dan sastra Jawa Pertengahandisebut kidung dengan menggunakan metrum asliJawa. Keduanya dapat dianggap sebagai sastra Jawazaman dahulu yang berbeda dengan sastra padaJawa Modern yang muncul awal abad ke-19 denganpengaruh Islam-Arab. Pada dasarnya, Zoetmulder(1985) membedakan sastra Jawa Kuno-Pertengah-an dengan sastra Jawa Modern adalah adanyapengaruh Islam atau bahasa Arab dengan yangtidak. Berdasar pada pembagian tersebut, pene-litian ini membedakan sastra Jawa Kuno dan sastraJawa Modern berdasarkan pada ada tidaknya peng-aruh Islam atau bahasa Arab.

2.2 Metode PenelitianMetode ialah cara sedangkan penelitian ialah

kegiatan pengumpulan data. Dengan demikian,metode penelitian ialah cara-cara yang digunakanuntuk mengumpulkan data (Ahimsa-Putra, 2004).Metode penelitian yang digunakan pada penelitianini ialah metode kualitatif dengan tujuan mencaridata kualitatif yang berasal dari studi pustaka. Datakualitatif tersebut dideskripsikan atau kemudianlazim disebut jenis penelitian deskriptif kualitatif.Deskripsi data mengenai keadaan alam dalam karyasastra (sastra Jawa Kuno dan sastra Jawa Modern)itu kemudian disandingkan dan dicari perbedaan-nya.

Agar data keduanya bisa dibandingkan/di-komparasikan, pengambilan data pada masing-

masing karya sastra sebaiknya mempunyai relasiyang sejajar. Penelitian seperti ini mempunyai para-digma komparatif-korelasional (Ahimsa-Putra,2004). Agar pengambilan data tidak menyebar ter-lalu jauh dan tidak berkorelasi sehingga akhirnyasulit dikomparasikan, penelitian ini hanya akanmengambil data berupa penggambaran suasanalereng gunung, suasana pagi hari, dan suasana sorehari pada dua masa karya sastra (sastra Jawa Kunodan sastra Jawa Modern). Sastra Jawa Kuno di-wakili oleh beberapa teks yang telah dimuat dalambukunya Zoetmulder (1985), sedangkan sastraJawa Modern diambil dari naskah Kabar Anginkarya Ki Padmasusastra (1843-1926) yang men-dapat julukan Bapak Sastra Jawa Modern dan SeratSasana Sastra(Jasawidagda, 1954).

3. HASIL DAN PEMBAHASANPenelitian ini merupakan pemikiran awal me-

ngenai perubahan atau lebih tepatnya mem-bandingan gambaran alam pada sastra Jawa Kunodan sastra Jawa Modern. Teks mengenai alam yangtercantum di dalam karya sastra dianggap bisamemberi gambaran alam pada kenyataannya. Halini berdasar pada asumsi bahwa penggambaranalam pada karya sastra merupakan hasil observasipengarang atas dunianya (bandingkan Zoetmulder,1985:239). Meskipun demikian, selalu ada dialek-tika dan ketegangan antara kenyataan dalam karyasastra dan realitas dalam dunia nyata (bandingkanWachid, 2005:73 dan Toer, 1984 tentang ke-benaran hulu dan hilir).

3.1 Penggambaran Alam pada Teks JawaKunoPenggambaran alam dalam sastra Jawa Kuno

berikut diambil dari Zoetmulder (1985:238—274).

3.1.1 Lereng Gunung/JurangDi sebelah barat terdapat punggung-pung-

gung bukit yang penuh dengan sawah-sawah, pe-

110

Kadera Bahasa, Volume 9, Nomor 2, Edisi Agustus 2017

matangnya kelihatan jelas dan tajam. Halaman-halaman saling berdekatan, rapi berderet, pohon-pohon nyiur semuanya diselimuti kabut. Sayap-sayap burung kuntul berkilauan ketika merekaterbang di atas, samar-samar kelihatan dari jauhdi tengah-tengah awan, kemudian mereka lenyap,terlebur dalam kabut dan tidak kelihatan lagi(Siwaratrikalpa).

Perjalanan membawanya ke arah timur laut,tempat jurang-jurang memaparkan suatu peman-dangan yang indah sekali bila kita melihat kebawah; taman-taman pesanggrahan-pesanggrahanyang melingkar, candi-candi dan pertapaan se-seorang, itu semua menimbulkan rasa kagumnya.Ladang-ladang luas terhampar, tersebar pada lerenggunung; sebatang sungai besar turun dari bukitdan mengairi tanaman itu (Siwaratrikalpa).

3.1.2 Suasana Sore/SenjaTistis hyang surya pinten ghatita pitu, sirem akmu-kan sanghub awra “Saat itu kira-kira pukul tu-juh1; hawa mulai menjadi sejuk dan matahariyang terselubung oleh kabut, kehilangan te-rangnya (Nagarakertagama).

Sesudah pukul tujuh (16.30) udara mulaimenjadi sejuk. Inilah waktunya matahari yang se-dang ngaso di atas sebuah punggung bukit atauyang menjelang menceburkan diri ke laut, telahkehilangan panasnya. Rupanya sinar-sinar me-lambaikan ucapan “selamat tinggal” yang terakhir.Segala suara mulai lenyap dan alam raya merasabimbang, takut karena malam akan datang. BungaPadma yang pagi hari mekar, menutup daun-daunnya agar tepung sarinya terlindung baik-baiksambil menyediakan tempat tidur bagi kumbang-kumbang. Awan-awan gelap berputar-putar ber-sama gemuruhnya guntur, memperingatkan manu-sia akan bahaya yang mungkin mengancam, supayaia berjaga-jaga. Tetapi segala rasa takut lenyap,

bilamana rembulan terbit dan mengusir kegelapan(Hariwangsa).

3.1.3 Suasana PagiPukul tujuh sebelum matahari terbit, saat yang

penuh nikmat, ketika kegelapan mulai lenyap danudara masih segar, ketika angin sepoi-sepoi mem-bawa keharuman bunga-bunga dan burung-bu-rung mulai berkicau. Ia membayangkan, panghwabi sekar nikabab awangi/ milu tang asokapada lawanpangulyat i sirir nikang alon.(bagaimana alam ter-bangun bersama dengan bunga-bunga yang mekarsemerbak, sedangkan cabang asoka merentangkandiri terayun oleh angin semilir (Bhomantaka)).

Bila para wanita ke luar dari rumah dan berdiridi pelataran, rambut mereka basah oleh embun,dan angin, bagaikan pelamar-pelamar yang cem-buru, menarik perhatian mereka kepada bungaasana untuk hiasan sanggul, dan dengan demikianmembunuh bunga itu saingan bagi sang angin.Pohon-pohon tidak lagi nampak seperti wayang,dan pohon cemara yang malam hari hanya ber-keluh kesah, kini mulai kelihatan (Bharatayuddha).

3.2 Penggambaran Suasana Alam dalamSastra Jawa Modern

3.2.1 Lereng GunungDewi Angin-Angin, murang marga nusup angayamalas, kandheg wonten ing ereng-ereng lelengkehing rediAmbambi, ing ngriku wonten kajengipun bendhadhoyong pinulet ing mandira, suluripun nutupi padhascuri ingkang rembes angetuk saking sukuning redi,suluring mandira pating krencang sami tumali ing sela,pucukipun sami marentul tetes toyanipun dhawah ingsela tala ngantos anglumut, kalempaking toyakumriwik mili mangandhap anjog ing sumberantoyanipun katingal wening, kathah minanipun alit-alit pating sliri, Sang Retna kacaryan ningali kendellenggah ing pepongoling padhas, sukunipun kekoboktoya sarwi kapijet-pijet wentis karaos sayah, dangu SangRetna kendel wonten ing ngriku, anggagas lelam-

1 Dalam naskah Jawa Kuno, pukul tujuh kira-kira pukul 17.45 (Zoetmulder,1985:241)

Ratun UntoroPenggambaran Alam dalam Sastra Jawa Kuno dan Jawa Modern sebagai Promosi Wisata

111

pahaning sariranipun (Kabar Angin, Padmasusastra,2011).

Dewi Angin-Angin berjalan seperti ayamhutan, terhenti di lereng gunung Ambambi, di sanaterdapat kayu bendha yang tumbuh miring terlilitpohon beringin, sulur pohon beringin itu menutupicadas yang mengeluarkan mata air yang merembesdari kaki gunung. Sulur itu menjulai membelit batucadas hingga pucuknya meneteskan air yang akhir-nya turun ke bawah menjadi kolam kecil denganair jernih. Banyak ikan kecil berseliweran di sana,Sang Dewi duduk di tonjolan cadas sambil kakinyadiayun-ayunkan bermain air sambil dipijit-pijitnyabetisnya yang terasa lelah. Lama Sang Dewi ber-henti di sana memikirkan perjalanan hidupnya (ter-jemahan oleh Ratun Untoro).

3.2.2 Suasana Sore/SenjaIng nalika samanten wanci asar andhap langit sisihkilen katingal endah, sunaring surya amujudakenrerupen mawarni-warni: abrit, jene, ijem, wungu maya-maya, tempur-tumempur asambet-sumambet. sakedhapgantos rerupen, boten kirang anggawokaken, sorotingsurya sumamburat minggah lan pencar ing sakiwatengenipun, amargi pancer prenahing surya kalinganing mega pethak. Sakedhap malih surya sampun botenkatingal, ing semu sampun dumugi tanceping cakrawala,kasembuh saya mindhak kandeling mega, sanalikaing jagad pindha padhang tanpa surya.Wonten kontulmabur ijen, dipun tilar kancanipun, kleper-kleper tanpaswanten; damel tumawunge manah. Angin midid alon,dangu-dangu saya mindhak sumribitipun nrajang taneming sabinipun kaki tani, ebah alembak-lembak pindhatoya seganten katempuh ing angin.Ing sadangunipun,Pak Guru namung tansah kendel ngadeg jegreg kebekaning raos ayem tentrem, kepranan dhateng gumelaringjagad raya (Serat Sasana Sastra, Jasawidagda,1954).

Ketika saat azan salat Asar di bawah langitsebelah barat terlihat indah, sinar mentari meman-carkan berbagai warna: merah, kuning, hijau, ungusaling bertemu bersahutan. Tidak lama kemudianberganti rupa sungguh menakjubkan. Sinar mentari

semburat naik memancarkan cahaya ke selilingnyatertutup oleh mega yang semakin tebal sehinggadunia sepertinya terang meski tanpa mentari. Adaburung kuntul terbang sendirian ditinggal ke-lompoknya, terbang tanpa suara melangutkan hati.Angin semilir perlahan, lama-kelamaan tiupannyasemakin kencang menabrak tanaman di per-sawahan petani hingga bergerak seperti ombak dilautan terkena angin. Selama itu, Pak Guru hanyatermenung berdiri penuh rasa tenteram terpesonaoleh indahnya jagad raya (terjemahan Ratun Untoro).

3.2.3 Suasana PagiEstunipun tangi gregah dandan sawatawis, nyangkingteken medal; ing jawi taksih remeng-remeng. ing tembingwetan, langit ingkang celak watesing bumi, ketingalanjrebabak abrit tandha yen surya badhe mlethek.Wit-witan ing pakampungan dereng katingal warnining ronlan sekaripun kajawi namung ngregemeng cemengtumemplek ing langit sampun sumorot abrit warninipun,katingal cetha kados gambar wewangunan.Wonten witkilapa munggul blarakipun tumlosor sengkleh tumelung,pangraos boten kawawa nyanggi janjangan ingkangmbiyet wohipun. Ewodene ing tengah-tengah wontenblarak ngadeg jejeg, patutipun janur wiwit megar,mangling methukaken pletheking surya, kadosmangayubagya unduripun sang sitaresmi kadheseksang bagaskara. (Serat Sasana Sastra, Jasawidagda,1954).

Akhirnya terbangun dan merias diri sebentar,membawa tongkat keluar. Di luar masih remang-remang. Di sisi timur, langit di ufuk timur terlihatmemerah pertanda mentari hendak muncul. Pe-pohonan di perkampungan belum terlihat warnadaunnya, terlihat seperti lukisan. Ada pohon ke-lapa dengan pelepah turun berayun-ayun di ba-tangnya, seperti tidak kuasa menahan buah kelapayang menggerombol. Sementara itu, di tengah-tengahnya terdapat dahan yang berdiri tegak, rupa-nya janur yang baru mulai mekar, menyambut men-tari, seperti bahagia menyambut datangnya men-tari yang menggeser malam(terjemahan RatunUntoro).

112

Kadera Bahasa, Volume 9, Nomor 2, Edisi Agustus 2017

Suasana pegunungan pada teks sastra JawaKuno dan Jawa Modern di atas terlihat bahwa ke-adaan alam Nusantara khas daerah tropis yang di-deskripsikan secara detil sehingga seolah-olahpembaca bisa melihat suasana tersebut. Suasanapegunungan pada teks Jawa Kuno di atas melukis-kan keadaan secara umum seperti potret dariangkasa sedangkan pada teks Jawa modern di atasdilukiskan secara detil bahkan hanya menceritakantetesan air dari sulur pohon beringin yang melilitsebuah batang kayu bendha. Penggambaran sua-sana gunung secara umum pada teks Jawa Kunodan menjadi gambaran khusus pada teks Jawamodern tersebut layaknya potret dari kamera droneyang kemudian di-zoom. Kedua teks saling men-dukung suasana dan penggambarannya tidak ber-tentangan. Padahal, kedua teks di atas berselisihwaktu lebih dari 7 abad. Hal itu berbeda denganpenggambaran suasana senja pada kedua teks diatas sama-sama menggambarkan suasana awandan langit di senja hari. Keduanya mengagumi sinarmentari sore yang tidak jauh berbeda keadaannyameski kedua teks ini “tidak saling mengenal”. Tekspenggambaran sore hari pada Jawa Modern me-muat burung kuntul yang juga digambarkan padateks Jawa Kuno di lereng gunung. Burung ini me-rupakan khas Jawa (setidaknya pada penyebutankuntul) yang rupanya menjadi daya pikat para pe-nyair sejak Jawa Kuno hingga Jawa Modern ber-samaan dengan penggambaran yang sama padasawah dan ladang. Demikian halnya suasana pagihari yang digambarkan pada teks Jawa Kuno danteks Jawa Modern tidak begitu berbeda. Keduateks mempunyai daya imaji yang sama saat meng-gambarkan keremangan. Pada teks Jawa Kunokeremangan diibaratkan seperti wayang yang di-ketahui sebagai bayangan hitam di balik kelir,sedangkan pada teks Jawa Modern keremangandiibaratkan seperti lukisan yang belum terlihatwarnanya (siluet).

Kemiripan penggambaran alam pada dua teksyang mempunyai rentang waktu beradad-abad itumenunjukkan bahwa keadaan alam Nusantaraatau Indonesia tidak banyak berubah. Setidaknya,sejak Jawa Kuno hingga Jawa Modern, pengarangmempunyai konsep lukisan alam Indonesia sepertiitu. Hal ini menjadi menarik tatkala disandingkandengan teks yang memuat penggambaran alam dibelahan dunia di luar Nusantara yang bukan ber-iklim tropis.

4. SIMPULANPengarang teks-teks sastra Jawa, baik Jawa

Kuno maupun Jawa Modern, mengungkap alamNusantara sebagai bagian menegaskan suasanacerita yang berpijak pada kebenaran hulu. Dengandemikian, meskipun isi cerita berupa fiksi, ke-adaan alam yang digambarkan bisa dipercaya ke-benarannya. Penggambaran itu memang khas alamtropis dan khas Nusantara meskipun tidak semuacerita asli Nusantara. Penggambaran alam yangdemikian detail dan indah secara tidak langsungturut menawarkan kecantikan alam tropis Indo-nesia sebagai daerah tujuan wisata yang layak di-kunjungi dan dinikmati di antara tawaran hirukpikuk dunia modern lainnya. Bahkan sebenarnya,membaca karya sastra Jawa merupakan bentukwisata alam dengan cara yang berbeda.

DAFTAR PUSTAKAAhimsa-Putra, H. S. 2004. “Paradigma, Teori, dan

Metode”. Makalah. Padang: FISIPUniversitas Andalas.

Jasawidadga. 1954. Sasana Sastra. Yogyakarta:Dwidaja.

Mardianto, Herry. 1998. “Sastra, Pengarang, danBudaya”makalah Seminar Nasional VIIIBahasa dan Sastra Indonesia yangdiselenggarakan oleh Himpunan Pembina

Ratun UntoroPenggambaran Alam dalam Sastra Jawa Kuno dan Jawa Modern sebagai Promosi Wisata

113

Bahasa Indonesia. Semarang: 21—23 Juli1998.

Padmasusastra, Ki. 2011. SeratKabar Angin.Terjemahan Riyadi Djaka Lelono, dkk.Surakarta: Yayasan Sastra Lestari.

Rivay, Ovi Soviaty. 1998 “Pemakaian Majasdalam Puisi Pariwisata” makalah SeminarNasional VIII Bahasa dan Sastra Indonesiayang diselenggarakan oleh Himpunan Pem-bina Bahasa Indonesia. Semarang: 21—23Juli 1998.

Santosa, Puji. 1998. “Promosi KepariwisataanIndonesia dalam Puisi” makalah SeminarNasional VIII Bahasa dan Sastra Indonesiayang diselenggarakan oleh HimpunanPembina Bahasa Indonesia. Semarang: 21—23 Juli 1998hlm. 203—220.

Santosa, Puji, dkk. 2013. Puisi Promosi Kepariwisata-an. Yogyakarta: Elmatera Publishing.

Toer, Pramoedya Ananta. 1984. “Perburuan danGerilja” dalam Proses Kreatif, Mengapa danBagaimana Saya Mengarang, jilid II, ed.Pamusuk Eneste. Jakarta: Gramedia:51—70.

Trisman, B. 1998. “Kaba Minangkabau dan WisataBudaya” makalah Seminar Nasional VIIIBahasa dan Sastra Indonesia yang diselenggara-kanoleh Himpunan Pembina Bahasa Indonesia.Semarang: 21—23 Juli 1998.

Utomo, Imam Budi. 1998. “Budaya Daerah dalamSastra Indonesia”makalah Seminar NasionalVIII Bahasa dan Sastra Indonesia yangdiselenggarakan oleh Himpunan PembinaBahasa Indonesia. Semarang: 21—23 Juli1998.

Wachid, Abdul. 2005. Sastra Pencerahan.Yogyakarta: Penerbit Saka.

Zoetmulder. 1985. Kalangwan Sastra Jawa KunoSelayang Pandang. Terjemahan Dick Hartokocetakan kedua. Jakarta: Penerbit Djambatan.

114

Kadera Bahasa, Volume 9, Nomor 2, Edisi Agustus 2017