Volk.XI

download Volk.XI

of 28

Transcript of Volk.XI

  • 7/27/2019 Volk.XI

    1/28

    XI PENANGGULANGAN BENCANA GUNUNGAPI

    Setelah diuraikan berbagai macam bahaya gunungapi di dalam bab 10, maka di

    dalam bab 11 ini dipaparkan usaha-usaha penanggulangan bencana gunungapi agar

    korban jiwa dan kehilangan/kerusakan harta benda dapat diperkecil, atau lebih baik

    lagi jika dapat dihindari. Penanggulangan bencana dilakukan secara terpadu antara

    usaha penanggulangan fisik dan penanggulangan non-fisik, baik sebelum terjadi

    bencana, pada saat kejadian bencana maupun setelah terjadi bencana. Dalam hal ini

    kualitas sumber daya manusia, baik sebagai pelaku penanggulangan bencana maupun

    sebagai obyek bencana, harus selalu ditingkatkan. Sementara itu pemahaman

    terhadap karakter potensi bahaya dan daerah rawan bencana juga harus dicermati.

    Untuk itu sistematika uraian di dalam bab ini akan dimulai dari manajemen

    penanggulangan bencana, organisasi penanggulangan bencana, penilaian potensi

    bahaya, pemetaan kawasan rawan bencana, pemantauan gunungapi, sistem

    peringatan dini, ringkasan dan latihan soal.

    11.1 Manajemen Penanggulangan Bencana

    Erupsi gunungapi merupakan salah satu jenis bencana alam geologi yang harus

    ditanggulangi dalam rangka menyelamatkan jiwa manusia, harta benda serta

    lingkungan hidup. Pengertian bencana gunungapi bersama-sama dengan bahaya dan

    risikonya sudah diterangkan pada bab 10 sehingga dalam uraian ini akan dilanjutkan

    dengan penjelasan tentang manajemen penanggulangan bencana. Menurut Carter

    (1992) manajemen penanggulangan bencana (disaster management) adalah an

    applied science wich seeks, by the systematic observation and analysis of disasters,to improve measures relating to prevention, mitigation, preparedness, emergency

    response, recovery and development (suatu ilmu terapan yang berupaya untuk

    meningkatkan usaha penanggulangan melalui pengamatan secara sistematis dan

    analisis berbagai macam bencana berupa tindakan pencegahan, mitigasi, kesiap-

    siagaan, tanggap darurat, rehabilitasi dan rekonstruksi/pengembangan). Manajemen

    penanggulangan bencana ini sangat penting difahami dan dilaksanakan supaya

    penanggulangan bencana dapat diorganisir dengan baik, rapi, tertib dan lancar.

    Gambar 11.1 memperlihatkan siklus manajemen penanggulangan bencana.

    10- 1

  • 7/27/2019 Volk.XI

    2/28

    Gambar 11.1 Siklus manajemen penanggulangan bencana menurut Carter (1992).

    Berdasar siklus manajemen penanggulangan bencana itu maka kegiatan

    penanggulangan bencana dapat dibagi menjadi 6 kelompok, yaitu 1. pada saat terjadi

    bencana dan tindakan segera atau tanggap darurat (disaster impact quick response),

    2. rehabilitasi (recovery), 3. rekonstruksi (development), 4. pencegahan (prevention),

    5. mitigasi dan kesiapsiagaan (preparedness). Penanggulangan pada tahap tanggap

    darurat dilaksanakan pada saat terjadi bencana atau segera setelah bencana berlalu.

    Pelaksanaan penanggulangan bencana itu dilakukan oleh petugas SAR (Search and

    Resque), instansi lain yang berhubungan, organisasi sosial serta anggota masyarakat

    lainnya untuk menyelamatkan jiwa penduduk dan harta benda yang terlanda bencana.

    Usaha penanggulangan pada tahap tanggap darurat ini misalnya:

    -mengangkut korban yang luka-luka ke puskesmas/rumah sakit

    - mencari korban yang hilang

    - menguburkan korban yang meningal dunia

    - menyelamatkan harta benda yang ditinggal mengungsi

    - membantu melakukan pengungsian

    - menyediakan bahan makanan, bahan pakaian, barak pengungsian dan bantuan

    obat-obatan

    10- 2

  • 7/27/2019 Volk.XI

    3/28

    Khusus untuk para petugas Volkanologi mereka harus selalu memantau

    perkembangan kegiatan/letusan, baik intensitasnya maupun arah dan jenis ancaman

    bahaya. Hasil pemantauan kegiatan gunungapi itu secara berkala selalu

    dikomunikasikan kepada Pemerintah daerah dan masyarakat umum, disertai saran-

    saran teknis, cepat dan praktis untuk penanggulangan bencana kegiatan gunungapi

    secara jangka pendek.

    Tahap rehabilitasi dilakukan setelah bencana benar-benar berlalu, yaitu

    membangun kembali secara darurat sarana dan prasarana, seperti jalan, pasar, barak-

    barak pengungsian, saluran air, tanggul-tanggul pengaman dan lain-lain agar

    kehidupan berangsur kembali normal. Tahap berikutnya adalah rekonstruksi atau

    pengembangan yang berupa pembangunan sarana dan prasarana kehidupan yang

    permanen setelah melalui pertimbangan tata guna lahan serta usaha penanggulangan

    bencana di masa mendatang. Berdasarkan pengalaman menghadapi bencana yang

    telah berlalu itu pada tahap pengembangan ini juga dilakukan penelitian-penelitian

    serta pengembangan program-program penanggulangan bencana pada masa

    mendatang.

    Untuk mencegah terulangnya bencana serupa di waktu yang akan datang

    diperlukan usaha pencegahan, mitigasi dan kesiapsiagaan. Usaha-usaha

    penanggulangan bencana pada tahap pencegahan antara lain:

    - pembangunan sabodam untuk mengendalikan aliran lahar dan banjir

    - penyusunan peraturan tata guna lahan agar masyarakat tidak mengembangkan

    pemukiman di daerah rawan bencana

    Pengertian mitigasi bencana alam gunungapi adalah tindakan untuk

    mengurangi dampak bencana pada masyarakat, seperti:

    - penerapan bangunan standar (building codes), antara lain untuk mengantispasi

    gempa bumi, hujan abu dan banjir.

    - Penerapan peraturan tata guna lahan

    - Penerapan peraturan keamanan terhadap sistem transportasi, baik di darat, udara

    maupun di laut

    - Mengelola pertanian agar dapat mengurangi dampak bahaya terhadap hasil-hasil

    pertanian, perkebunan dan kehutanan

    10- 3

  • 7/27/2019 Volk.XI

    4/28

    - Pengamanan sistem instalasi strategis dan vital seperti pusat pembangkit tenaga

    listrik, air minum dan komunikasi (radio dan televisi)

    - Pengembangan infrastruktur seperti pembuatan jalan raya baru yang menjauhi

    daerah rawan bencana.

    Tahap kesiap-siagaan merupakan tindakan-tindakan yang memungkinkan

    pemerintah, organisasi sosial, masyarakat dan perorangan mampu mengantisipasi

    sesegera mungkin dan seefektif mungkin terhadap situasi kejadian bencana. Kegiatan

    ini misalnya:

    - mensiap-siagakan peralatan penanggulangan bencana untuk dapat digunakan

    sewaktu-waktu diperlukan

    - mensiap-siagakan pelaksanaan evakuasi/ pengungsian

    - mensiap-siagakan sistem peringatan dini atau komunikasi darurat

    - melakukan penyuluhan/ pemberian informasi tentang kebencanaan kepada

    masyarakat

    - memberdayakan masyarakat untuk melakukan penanggulangan bencana secara

    mandiri (Paripurno, 1999)

    - melakukan latihan penanggulangan bencana

    Di dalam lingkup volkanologi pengertian mitigasi dapat diperluas mencakup

    pencegahan hingga kesiapsiagaan, yaitu usaha untuk mengurangi atau meringankan

    penderitaan yang mungkin dialami sebagai akibat kegiatan/letusan gunungapi (safe

    loss of life and damages caused by volcanic disaster).

    Usaha mitigasi bencana alam letusan gunungapi ini dapat dilakukan secara

    fisik dan non fisik. Usaha secara fisik antara lain :

    1. Pembangunan dam/tanggul pengendali aliran lahar serta pembuatan kantong-

    kantong lahar.

    2. Pembuatan terowongan air untuk mengurangi volume air di danau kawah

    sehingga pada masa mendatang letusan gunungapi tidak menimbulkan lahar

    letusan, contohnya di G. Kelut Jawa Timur dan G. Galunggung di Jawa Barat.

    3. Pembangunan barak-barak pengungsian, petunjuk arah pengungsian dan papan-

    papan informasi tentang kebencanaan di daerah rawan bencana.

    10- 4

  • 7/27/2019 Volk.XI

    5/28

    4. Pemasangan alat peringatan dini (sirene, kentongan dll.) di kawasan rawan

    bencana.

    5. Pembuatan rumah beratap seng dengan kemiringan tajam untuk menghindari

    menumpuknya endapan jatuhan abu yang dapat berakibat ambruknya atap rumah.

    6. Pembuatan rumah bawah tanah (rumah pendam atau bunker) untuk

    menyelamatkan diri dari hujan abu dan lontaran batu (Bronto, 1997c, 1998,

    2001e).

    7. Latihan penanggulangan bencana secara berkala oleh anggota masyarakat di

    kawasan rawan bencana.

    Sedangkan usaha penanggulangan bencana non fisik antara lain :

    1. Penelitian bencana gunungapi untuk menilai potensi bahaya yang akan datang

    (volcanic hazard assesment, Bronto, Bronto, 2000b, 2000c, 2001a).

    2. Pembuatan peta kawasan rawan bencana gunungapi.

    3. Pemantauan (pengamatan/ monitoring) kegiatan gunungapi.

    4. Pembakuan dan pemberlakuan prosedur tetap sistem peringatan dini.

    5. Penyuluhan terhadap masyarakat di kawasan rawan bencana, secara langsung,

    melalui media cetak maupun elektronika.

    11.2 Organisasi Penanggulangan Bencana

    Penanganan tentang Penanggulangan Bencana mengacu pada Undang-Undang

    Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2007. Sebagai tindak lanjut dari undang-

    undang tersebut disusun Peraturan Presiden Republik Indonesia nomor 8 Tahun 2008

    tentang Badan Nasional Penanggulangan Bencana. Oleh sebab itu peraturan

    pengelolaan manajemen bencana yang ada sebelumnya, yakni Keputusan Presidennomor 106 tahun 1999 tentang Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana

    sudah tidak berlaku lagi.

    Pada tingkat propinsi organisasi penanggulangan bencana disebut Badan

    Penanggulangan Bencana Daerah (dulu disebut Satkorlak PB) yang diketuai oleh

    Gubernur (Bakornas PB, 1997a). Sebagai anggota adalah instansi/ dinas pemerintah

    propinsi, komando teritorial dan organisasi sosial kemasyarakatan di propinsi itu

    (Gb. 11.3). Pada tingkat kabupaten atau kota organisasi penanggulangan bencana

    10- 5

  • 7/27/2019 Volk.XI

    6/28

    dinamakan Satuan Pelaksana Penanggulangan Bencana (Satlak PB) yang diketuai

    oleh Bupati atau Walikota (Gb. 11.4, Bakornas PB, 1997b). Sebagai anggota adalah

    dinas pemerintah daerah, komando teritorial dan organisasi sosial-kemasyarakatan di

    daerah tersebut. Pada tingkat kecamatan dan desa organisasi penanggulangan

    bencana dinamakan Satuan Tugas Penanggulangan Bencana (Satgas PB). Dalam

    kondisi kritis atau menjelang terjadinya bencana dimana harus dilakukan kesiap-

    siagaan sampai dengan tahap perbaikan secara darurat (rehabilitasi) baik Satlak PB

    maupun Satgas PB diharuskan untuk membentuk Tim Gerak Cepat penanggulangan

    bencana (Bakornas PB, 1997c).

    BAGAN ORGANISASI BAKORNASPENANGGULANGAN BENCANA(KEPRES NO. 106/TAHUN 1999)

    KETUA BAKORNAS P.B.MENKO KESRA DAN TASKIN

    AN G GO T A

    1. Menteri Dalam Negeri

    2. Menteri Sosial

    3. Menteri Kesehatan

    4. Menteri Pekerjaan Umum

    5. Menteri Perhubungan

    6. Panglima Angkatan Bersenjata

    7. Menteri Pertahanan dan Keamanan

    8. Menteri Pertambangan dan Energi

    9. Menteri Pertanian

    10. Menteri Kehutanan dan Perkebunan

    11. Menteri KLH

    12. Menteri Negara Riset dan Teknologi

    13. Menteri Penerangan

    14. Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPENAS)

    15. Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Yang Daerahnya Terkena Bencana

    Ketua Sekretaris

    10- 6

  • 7/27/2019 Volk.XI

    7/28

    Kelompok Kerja Direktur Jenderal

    Bina Bantuan Sosial

    Gambar 11.2 Susunan organisasi Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan

    Bencana (Bakornas PB, 1997a).

    BAGAN ORGANISASI SATKORLAK P.B.

    (ORGANISASI PB DI DAERAH TK. I)

    Ketua : Gub. KDH TK IWaka I : PANGDAM/DANREMWaka II : KAPOLDA/KAPOLWILLAKHAR : WAGUB/SEKWILDA

    SEKRETARIS

    KAMAWIL HANSIP

    RUPUSKORDALOPS

    ANGGOTA : - PMI- PRAMUKA

    - INSTANSI VERTIKAL - ORGANISASI- DINAS DATI I KEMASYARAKATAN- KOMANDO TERITORIAL - DUNIA USAHA

    10- 7

  • 7/27/2019 Volk.XI

    8/28

    SATLAK SATLAK SATLAK

    P.B P.B P.B

    Gambar 11.3 Bagan organisasi Satkorlak PB di tingkat propinsi (Bakornas PB,

    1997a).

    BAGAN ORGANISASI SATLAK P.B.

    (ORGANISASI PB DI DAERAH TK. II)

    Ketua : Bupati KDH /Walikota TK IWaka I : DANDIMWaka II : KAPOLRESLAKHAR : KAMAWIL HANSIP

    SEKRETARIS

    ASISTEN SEKWILDA

    RUPUSKORDALOPS

    ANGGOTA : - PMI- PRAMUKA

    - INSTANSI VERTIKAL - ORGANISASI

    - DINAS DATI II KEMASYARAKATAN- KOMANDO TERITORIAL - DUNIA USAHA

    SATGAS SATGAS SATGASP.B P.B P.B

    10- 8

  • 7/27/2019 Volk.XI

    9/28

    Gambar 11.4 Bagan organisasi Satlak PB di tingkat kabupaten/kota (Bakornas PB,

    1997b).

    11.3. Penilaian Potensi Bahaya

    Penilaian atau perkiraan terhadap potensi bahaya gunungapi (volcanic hazard

    assessments) merupakan suatu studi secara terpadu untuk mengetahui berbagai jenis

    bahaya gunungapi, besar/ tingkat bahaya, arah, luas sebaran, jarak jangkauan, dan

    jika mungkin waktu kejadian, serta saran usaha penanggulangannya. Informasi

    tersebut sangat penting dalam rangka melakukan persiapan menjelang akan

    terjadinya bencana. Untuk menilai potensi bahaya dengan tepat maka harus diketahui

    sifat atau kelakuan dari gunungapi itu karena setiap gunungapi mempunyai sifat

    sendiri-sendiri. Untuk mengetahui sifat setiap gunungapi diperlukan penelitian dan

    pemantauan kegiatan gunungapi yang mencakup disiplin ilmu geologi gunungapi,

    geofisika gunungapi dan geokimia gunungapi. Penelitian, terutama penelitian

    geologi, lebih ditekankan terhadap analisis data masa lalu sedangkan data

    pemantauan akan mengetahui perkembangan kegiatan yang sedang berlangsung saat

    ini. Perpaduan analisis data masa lalu dengan analisis data kegiatan gunungapi yang

    berlangsung saat ini akan menjadi kunci untuk memperkirakan kegiatan yang akan

    terjadi pada masa mendatang. Hal ini sesuai dengan prinsip the past and the present

    are keys to the future.

    Untuk melaksanakan prinsip tersebut di atas maka diperlukan data volkanologi

    selengkap-lengkapnya, meliputi data hasil penelitian dan pemantauan secara geologi,

    geofisika, geokimia, klimatologi, dan data sosial-kependudukan. Data geomorfologi

    yang mencakup bentuk bentang alam dan pola aliran sangat menunjang dalam

    memperkirakan arah gerakan bahan aliran gravitasi, seperti halnya awan panas,

    aliran lava dan banjir lahar. Bahan hasil kegiatan gunungapi tersebut sangat dikontrol

    oleh gaya beratnya sehingga pada umumnya bergerak mengalir menjauhi kawah

    mengikuti lembah-lembah sungai yang berhulu di sekeliling kawah. Data stratigrafi,

    sedimentologi dan petrologi sangat berperanan untuk mengetahui evolusi dan

    karakter kegiatan gunungapi. Data struktur geologi berguna untuk mengetahui

    daerah-daerah yang lemah yang mungkin terjadi deformasi muka tanah, kemunculan

    gas beracun, terjadi lubang letusan baru dan sebagainya. Data geofisika, geokimia

    10- 9

  • 7/27/2019 Volk.XI

    10/28

    dan pemantauan sangat bermanfaat untuk mengetahui tingkat kegiatan magma di

    bawah gunungapi dan memperkirakan besarnya letusan yang akan terjadi. Data

    klimatologi sangat bermanfaat antara lain dalam mendukung analisis letusan freatik,

    freatomagmatik dan penanggulangan banjir lahar hujan. Data sosial-penduduk sangat

    diperlukan dalam rangka pemberdayaan masyarakat di daerah bencana untuk

    bersama-sama dengan pemerintah dan masyarakat lainnya melakukan usaha

    penanggulangan bencana. Bahkan dalam beberapa hal studi penilaian potensi bahaya

    gunungapi juga diperlukan dalam rangka melakukan usaha sekala besar dan

    berjangka lama, seperti pemanfaatan energi panas bumi (Bronto & Hadisantono,

    2001), pembangunan industri, pengembangan wilayah dan tata guna lahan lainnya di

    kawasan gunungapi. Studi terpadu untuk menganalisis potensi bahaya gunungapi

    antara lain sudah dilakukan di G. Muria (Wirakusumah dkk., 2000), G. Batur

    (Bronto, 2000b), G. Krakatau (Bronto, 2000c) dan G. Galunggung (Bronto, 2001a).

    Analisis potensi bahaya ini akan semakin tajam apabila selalu diperbarui dengan data

    pemantauan gunungapi.

    11.4 Pemetaan Kawasan Rawan Bencana

    Untuk mengetahui daerah yang mempunyai potensi terancam bahaya bila

    terjadi kegiatan/letusan gunungapi maka diperlukan peta kawasan rawan bencana

    (potential volcanic hazard maps, Bronto, 1992). Peta kawasan rawan bencana adalah

    peta petunjuk tingkat kerawanan bencana suatu daerah apabila terjadi letusan/

    kegiatan gunungapi. Sebelumnya peta ini disebut peta daerah bahaya gunungapi.

    Peta ini menjelaskan tentang jenis dan sifat bahaya gunungapi, daerah rawan

    bencana, arah/jalur penyelamatan diri, lokasi pengungsian dan pos penanggulanganbencana. Peta kawasan rawan bencana gunungapi ini sebenarnya merupakan salah

    satu hasil tindak lanjut dari studi penilaian potensi bahaya gunungapi.

    Secara garis besar kawasan rawan bencana gunungapi dibagi menjadi kawasan

    rawan bencana I, kawasan rawan bencana II dan kawasan rawan bencana III.

    Kawasan rawan bencana I adalah kawasan yang berpotensi terlanda lahar/ banjir dan

    hujan abu, serta tidak menutup kemungkinan dapat terkena perluasan awan panas,

    aliran lava dan lontaran batu (pijar) apabila letusan membesar. Kawasan rawan

    bencana I ini dibedakan menjadi dua berdasar sifat bahayanya, yaitu :

    10- 10

  • 7/27/2019 Volk.XI

    11/28

    a. Kawasan rawan bencana terhadap aliran massa, berupa lahar/ banjir, dan

    kemungkinan perluasan awan panas dan aliran lava. Kawasan ini terletak di

    sepanjang sungai/ di dekat lembah sungai atau di bagian hilir sungai yang

    berhulu di daerah puncak gunungapi.

    b. Kawasan rawan bencana terhadap hujan abu tanpa memperhatikan arah tiupan

    angin dan kemungkinan perluasan lontaran batu (pijar).

    Di kawasan rawan bencana I ini masyarakat perlu meningkatkan kewaspadaan

    jika terjadi erupsi/ letusan gunungapi dan atau hujan lebat, melaporkan kejadian

    bahaya yang mengancam keselamatan jiwa dan kerusakan harta benda sambil

    menunggu instruksi dari pemerintah daerah sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

    Kawasan rawan bencana II adalah kawasan yang berpotensi terlanda awan

    panas, aliran lava, lontaran atau guguran batu (pijar), aliran lahar dan gas beracun.

    Kawasan II ini juga dibedakan menjadi dua, yaitu :

    a. Kawasan rawan bencana terhadap aliran massa berupa awan panas, aliran lava,

    guguran batu (pijar), aliran lahar dan gas beracun.

    b. Kawasan rawan bencana terhadap bahan lontaran batu (pijar), hujan abu lebat,

    dan hujan lumpur (panas).

    Pada kawasan rawan bencana II ini masyarakat diharuskan mengungsi jika

    terjadi peningkatan kegiatan gunungapi yang mengancam keselamatan jiwa dan akan

    melanda daerah pemukiman mereka. Penduduk dapat kembali apabila daerah

    bencana sudah dinyatakan aman kembali.

    Kawasan rawan bencana III adalah kawasan yang sering terlanda awan panas,

    aliran lava, lontaran atau guguran batu (pijar), dan gas beracun. Kawasan ini hanya

    diberlakukan pada gunungapi yang sangat giat atau sering meletus, seperti G.Merapi, G. Semeru dan G. Batur. Pada kawasan rawan bencana III tidak

    direkomendasikan untuk pemukiman tetap dan pada saat kegiatan gunungapi

    meningkat maka masyarakat umum dilarang untuk melakukan kegiatan apapun yang

    akan mengancam keselamatan jiwa mereka. Gambar 11.5, 11.6 dan 11.7

    memperlihatkan contoh bentuk peta kawasan rawan bencana.

    Peta kawasan rawan bencana gunungapi tersebut hanya berlaku untuk kegiatan

    kegiatan bersekala kecil sampai menengah. Nilai indeks letusan gunungapi (VEI)

    lebih kecil atau sama dengan 3 dengan tipe letusan sebesar-besarnya adalah Tipe

    10- 11

  • 7/27/2019 Volk.XI

    12/28

    Vulkano. Kegiatan hanya terjadi secara normal di kawah yang sudah ada seperti

    selama ini telah terjadi. Peta tersebut tidak berlaku apabila terjadi penyimpangan dari

    ketentuan tersebut, misalnya letusan membesar mengarah ke pembentukan kaldera,

    atau titik letusan berpindah atau membentuk lubang letusan baru. Untuk

    mengantisipasi penyimpangan kegiatan itu maka penyusunan peta kawasan rawan

    bencana harus lebih dari satu, umpamanya peta kawasan rawan bencana untuk

    kegiatan sekala kecil (VEI 3), sekala menengah (VEI : 4 5), dan sekala besar

    (VEI 6; Bronto, 1989). Penggunaan peta kawasan rawan bencana itu sangat

    tergantung dari hasil pemantauan dan perkiraan besarnya letusan yang akan datang.

    10- 12

  • 7/27/2019 Volk.XI

    13/28

    Gambar1

    1.5PetakawasanrawanbencanaG.Papandayan,JawaBarat.Sumber:DirektoratVulkanologi.

    10- 13

  • 7/27/2019 Volk.XI

    14/28

    Gambar11.6PetakawasanrawanbencanaG.KieBesi,P.Makian,MalukuUtara.Sumber:DirektoratVulkanologi.

    10- 14

  • 7/27/2019 Volk.XI

    15/28

    Gambar 11.7 Peta kawasan rawan bencana G. Kawah Timbang, Dieng Jawa Tengah.

    Sumber: Direktorat Vulkanologi.

    11.5 Pemantauan gunungapi

    Tujuan utama pemantauan kegiatan gunungapi adalah untuk memperkirakan

    besaran letusan yang akan terjadi melalui model atau skenario erupsi gunungapi.

    Perkiraan tersebut mencakup :

    10- 15

  • 7/27/2019 Volk.XI

    16/28

    1. Mendeteksi adanya peningkatan kegiatan atauprecursor.

    2. Memperkirakan waktu dan besaran letusan awal.

    3. Memperkirakan waktu dan besaran letusan berikutnya, terutama letusan puncak

    atau paroksisma.

    4. Memperkirakan lama letusan dan mengidentifikasi penurunan kegiatan.

    5. Memperkirakan luasan daerah yang akan terlanda, jenis ancaman bahaya yang

    akan terjadi, apakah awan panas, lontaran batu, hujan abu, aliran lava, aliran

    lahar dan sebagainya.

    Model erupsi yang diputuskan berdasar data pemantauan akan menjadi acuan

    untuk memberlakukan peta kawasan rawan bencana yang sesuai.

    Pemantauan gunungapi dilaksanakan melalui pos-pos pengamatan yang

    didirikan di kawasan gunungapi aktif di bawah Pusat Vulkanologi dan Mitigasi

    Bencana Geologi, Badan Geologi, Kementerian Energi dan Sumberdaya Mineral.

    Pemantauan gunungapi itu dilaksanakan secara visual dan instrumental. Pemantauan

    secara visual adalah mengamati langsung dengan mata kepala terhadap perilaku

    kegiatan gunungapi dari waktu ke waktu, misalnya perubahan fisik dari gas meliputi

    warna asap, tinggi kolom asap, arah sebaran asap atau abu gunungapi dan lain-lain.

    Apabila kawah gunungapi berupa danau maka perubahan-perubahan yang terjadi di

    dalam danau juga diamati. Pemantauan secara visual juga dilengkapi dengan

    peralatan sederhana seperti teropong (binokuler), termometer, alat penakar curah

    hujan dan alat komunikasi. Termometer untuk mengukur temperatur gas (fumarol

    dan solfatara), air danau kawah, mata air panas dan suhu udara. Gambar 11.8

    memperlihatkan data ketinggian kolom erupsi letusan G. Galunggung dari April

    1982 sampai dengan Januari 1983.Pemantauan secara instrumental adalah monitoring dengan menggunakan

    berbagai macam peralatan berdasarkan disiplin ilmu geologi, geofisika dan geokimia.

    Berdasarkan ilmu geologi maka obyek yang diamati antara lain perkembangan

    volume kubah lava, aliran lava, intensitas perekahan/ sesar, komposisi bahan padat.

    Disini diperlukan peralatan seperti teodolit, ekstensiometer, peralatan kerja lapangan

    geologi dan analisis laboratorium geologi.

    10- 16

  • 7/27/2019 Volk.XI

    17/28

    10- 17

    Gambar11.8DataketinggiankolomerupsiletusanG.galunggungdariApril1982sam

    paidenganJanuari1983(Katili&

    Sudrajat,198

    4)

  • 7/27/2019 Volk.XI

    18/28

    Pemantauan secara geofisika berupa pemantauan kegempaan, deformasi,

    kemagnetan, gaya berat dan lain-lain. Kegiatan magma baik yang masih di bawah

    permukaan maupun yang sudah keluar sebagai erupsi gunungapi menimbulkan

    getaran atau gempa gunungapi (volcanic earthquakes). Kegempaan itu dipantau

    dengan alat seismometer dan data direkam di dalam seismograf. Gambar 11.9

    11.13 memperlihatkan data kegempaan dari G. Colo, G. Merapi dan Mt. Pinatubo.

    Gambar 11. 9 Hubungan jumlah gempa tektonik dengan letusan G. Colo pada tahun

    1983 (sumber data : Direktorat Vulkanologi, Bandung).

    Gambar 11.10 Data gempa guguran kubah lava G. Merapi mulai Januari 1992 Juni

    1993 (Sumber data : Seksi Penyelidikan G. Merapi, Yogyakarta).

    10- 18

  • 7/27/2019 Volk.XI

    19/28

    Gambar 11.11 Data seismograf letusan G. Pinatubo 1991. Garis kolom vertikal

    menunjukkan spasi waktu selama satu menit (Harlow et al., 1996).A. Seismogram 9-10 Mei memperlihatkan banyak kejadian gempa bumi perioda

    pendek yang diinterepretasikan sebagai tahap peretakan/perekahan batuan akibat

    tekanan dari magma dari bawah.

    B. Seismogram 14 Juni menunjukkan banyak gempa bumi perioda panjang yang

    dipercayai sebagai fase peningkatan tekanan gas yang berasal dari magma yang

    sedang naik ke atas.

    C. Seismogram 17 Juni menunjukkan gempa perioda pendek yang sangat sering

    terjadi dan muncul setelah letusan paroksisma pada 15 Juni yang

    diinterpretasikan sebagai tahap pengkerutan kembali kekedudukan batuan seperti

    sebelum erupsi (structural adjustment of the volcano and underlying crust)

    setelah terjadi pengeluaran bahan magma dalam jumlah yang besar.

    10- 19

  • 7/27/2019 Volk.XI

    20/28

    Gambar 11.12 Distribusi pusat gempa bumi (episenter) dan penampang yang

    menunjukkan hiposenter kedalaman sumber gempa. A : Data 6 Mei

    12 Juni; B : Data 29 Juni 16 Agustus. Anak panah menunjukkan

    posisi puncak di penampang (Mori et al., 1996).

    10- 20

  • 7/27/2019 Volk.XI

    21/28

    Gambar 11.13 Data RSAM (real-time seismic-amplitude measurement) dari 12-22

    Juni 1991 di G. Pinatubo, Filipina. Tidak ada data pada akhir 15 awal

    16 Juni 1991 (Hoblit et al., 1996).

    Magma yang sedang naik ke permukaan juga menimbulkan perubahan atau

    deformasi terhadap tubuh gunungapinya. Tekanan magma akan mengakibatkan

    pembengkakan pada lereng dan puncak gunungapi yang disebut inflasi. Sebaliknyabila kegiatan magma kembali menurun maka akan terjadi pengkerutan atau deflasi.

    Proses inflasi dan deflasi tersebut dapat dijadikan analisis perkembangan kegiatan

    gunungapi. Metode pemantauan kemagnetan dengan menggunakan magnetometer

    juga akan memberikan perilaku magma di bawah permukaan. Sedangkan

    pemantauan gravitasi dengan alat gravimeter lebih ditekankan untuk mengetahui

    struktur geologi bawah permukaan berupa sesar dan kekar yang mungkin akan

    menjadi jalan pergerakan atau jalan keluar magma ke permukaan bumi.

    Pemantauan dengan metoda geokimia untuk mengetahui perilaku unsur-unsur

    kimia di dalam magma yang sedang bergerak ke permukaan. Contoh yang dianalisis

    dapat berupa gas di udara dan di dalam tanah, air dari danau kawah, mata air panas,

    mata air dingin, air sungai berhulu di daerah puncak, dan lain-lain. Analisis kimia

    dapat meliputi unsur mayor, unsur minor atau jarang tanah serta isotop. Gambar

    10.14 menunjukkan grafik data kandungan HCl dan SO2 di dalam gas solfatara di

    kawah Gendol, G. Merapi. Salah satu alat untuk mendeteksi gas SO 2 di udara adalah

    COSPEC (Correlation Spectrometer) (Gambar 11.15).

    10- 21

  • 7/27/2019 Volk.XI

    22/28

    Gambar11.14GrafikkadarHCldanSO2didalamgas

    SolfatarakawahGendol,G.M

    erapidanhubungannyadengan

    krisis/

    pembentukanaw

    anpanas(Brontoetal.,1997).

    10- 22

  • 7/27/2019 Volk.XI

    23/28

    Gambar11.15DataemisiSO2diG.Merapipadatahun1994(Brontoetal.,1997).

    10- 23

  • 7/27/2019 Volk.XI

    24/28

    Perpaduan antara data geologi, geokimia dan geofisika, baik dari kegiatan masa

    lalu maupun yang sedang berjalan diharapkan dapat menjawab perkiraan bahaya

    yang akan datang (Gb. 11.16), mulai dari :

    a. Kapan mulai terjadi peningkatan kegiatan (precursor)

    b. Kapan dan berapa besar akan terjadi letusan pertama/ letusan awal

    c. Kapan dan berapa besar letusan puncak (paroksisma) akan terjadi.

    d. Akan berapa lama erupsi atau letusan gunungapi itu akan berlangsung

    e. Kapan akan mulai terjadi penurunan kegiatan sehingga akhirnya kembali ke aktif

    normal.

    Jawaban atas masalah tersebut nantinya akan menjadi dasar untuk menentukan

    pemberlakuan prosedur tetap sistem peringatan dini.

    Gb. 11.16 Skema hubungan antara waktu dan intensitas kegiatan, mulai dari aktif

    normal, terjadi peningkatan kegiatan sampai dengan penurunan kegiatan

    hingga kembali ke aktif normal kembali.

    10- 24

  • 7/27/2019 Volk.XI

    25/28

    Untuk mengetahui lamanya suatu kegiatan erupsi berlangsung secara pasti

    berdasar data pemantauan sangat sulit. Untuk itu Simkin (1993) telah mengumpulkan

    data dari 3.069 erupsi yang menunjukkan bahwa sebagian besar erupsi gunungapi

    berlangsung antara 10 100 hari dan antara 100 1000 hari (Gb. 11.17). Informasi

    perkiraan lamanya terjadi letusan sangat penting antara lain untuk memperkirakan

    penyediaan sarana dan kebutuhan pokok para pengungsi dan anggaran biaya

    penanggulangan bencana secara keseluruhan.

    Gb. 11.17 Histogram lama erupsi berdasar 3.069 erupsi yang waktu mulai dan

    berakhir dapat diketahui.

    11.5 Sistem Peringatan Dini

    Untuk memberikan peringatan dini dan usaha penyelamatan diri kepada

    anggota masyarakat yang berada di kawasan rawan bencana gunungapi maka dibuat

    kriteria tingkat kegiatan gunungapi di Indonesia (Tabel 11.1).

    10- 25

  • 7/27/2019 Volk.XI

    26/28

    Tabel 11.1 Kriteria tingkat kegiatan gunungapi dan kewaspadaan masyarakat.

    Tingkat kegiatan gunungapi Tingkat kewaspadaan masyarakat

    Aktif normal (Tingkat I)

    Kegiatan gunungapi berdasarkan

    pengamatan dari visual, kegempaan dan

    gejala gunungapi lainnya tidak

    memperlihatkan adanya kelainan atau

    berlangsung normal

    Keadaan aman sehingga masyarakat yang

    berada di kawasan rawan bencana dapat

    melakukan kegiatan sehari-hari dengan

    tenang, tidak ada kekhawatiran bahwa

    gunungapi itu membahayakan.

    Waspada (Tingkat II)

    Terjadi peningkatan kegiatan berupakelainan yang tampak secara visual atau

    hasil pemeriksaan kawah, kegempaan dan

    gejala gunungapi lainnya.

    Masyarakat yang berada di kawasan rawan

    bencana harus meningkatkan kewaspadaanterhadap kemungkinan terjadinya bencana

    sambil menunggu perintah lebih lanjut dari

    pimpinan pemerintah daerah setempat.

    Kewaspadaan masyarakat tersebut berupa

    peningkatan penjagaan (ronda/ siskamling),

    perbaikan pos jaga, perbaikan jalan/ rute

    pengungsian, penyediaan alat peringatan

    (kentongan, loadspeaker, bedug, sirine) dll.

    Pemerintah daerah dan instansi terkait

    mulai memberikan penyuluhan,

    merencanakan pengadaan bahan/ peralatan

    dan fasilitas lain yang diperlukan untuk

    usaha penyelamatan dan pengungsian.

    Siaga (Tingkat III)

    Peningkatan kegiatan semakin nyata, hasil

    pengamatan visual/ pemeriksaan kawah,

    kegempaan dan metoda lain saling

    mendukung. Berdasarkan analisis,

    perubahan kegiatan cenderung diikuti

    letusan.

    Masyarakat di kawasan bencana harus

    mensiagakan diri secara lebih intensif,

    misalnya penjagaan diperketat, tidak

    bekerja di dalam lembah sungai atau

    puncak gunung yang mungkin akan terlanda

    bahaya gunungapi, serta mensiagakan

    barang-barang keperluan pribadi yang

    mudah dibawa lari menyelamatkan diri atau

    mengungsi. Pemerintah daerah dan instansiterkait mensiagakan sarana dan prasarana

    untuk penyelamatan dan pengungsian,

    misalnya alat transportasi, sirine/ alarm,

    barak pengungsia, tenda, alat masal dll.

    Penyuluhan masalah bencana kepada

    masyarakat agar ditingkatkan.

    Awas (Tingkat IV)

    Menjelang letusan utama/ puncak, letusan

    awal berupa abu/asap mulai terjadi.

    Berdasarkan analisis data pengamatan akan

    diikuti letusan utama atau letusan yang

    akan melanda daerah pemukiman /

    lingkungan hidup di kawasan rawan

    Sesuai perintah pimpinan pemerintah

    daerah masyarakat di kawasan rawan

    bencana harus mengungsi. Aparat

    pemerintah daerah dan instansi terkait

    membantu memperlancar dan mempercepatpengungsian menuju barak-barak yang

    10- 26

  • 7/27/2019 Volk.XI

    27/28

    bencana. disediakan sesuai rute yang sudah

    ditentukan.

    11.7 Ringkasan

    Bencana gunungapi adalah suatu keadaan dimana telah terjadi penderitaan

    manusia berupa jatuh korban jiwa dan atau luka parah, serta kehilangan harta benda

    dan kerusakan tata lingkungan hidup yang disebabkan oleh kegiatan/letusan

    gunungapi. Untuk melakukan penanggulangan bencana diperlukan manajemen

    penanggulangan bencana, mulai sebelum terjadi bencana hingga setelah bencana

    berlalu. Organisasi penanggulangan bencana di tingkat nasional adalah Bakornas

    PB, di propinsi ialah Satkorlak PB dan di Kota/ Kabupaten adalah Satlak PB.

    Penanggulangan pada saat terjadi bencana berupa tindakan tanggap darurat,

    sedangkan setelah bencana berlalu adalah usaha rehabilitasi dan pengembangan.

    Penanggulangan sebelum terjadi bencana meliputi tindakan pencegahan, mitigasi

    dan kesiap-siagaan yang terdiri dari penanggulangan secara non fisik dan

    penanggulangan secara fisik. Penanggulangan bencana secara non fisik terdiri dari

    studi penilaian potensi bahaya gunungapi, pemetaan kawasan rawan bencana,

    pemantauan kegiatan gunungapi, pengaturan tata guna lahan, pemberlakuan sistem

    peringatan dini, penyuluhan/ bimbingan dan informasi, serta pemberdayaan

    masyarakat. Penanggulangan bencana secara fisik antara lain pembuatan sabodam,

    pembuatan rumah pendam, pembangunan rumah beratap miring terjal, tidak

    membangun rumah di bantaran sungai/ dataran banjir yang hulu sungainya terletak

    di sekitar puncak gunungapi, atau yang tidak sesuai dengan peraturan tata guna

    lahan, serta melakukan pelatihan penanggulangan bencana secara berkala.

    11.8. Latihan Soal

    1. Jelaskan pengertian mitigasi bencana gunungapi!

    2. Uraikan peranan geomorfologi, stratigrafi dan petrologi batuan gunungapi, serta

    struktur geologi dalam menunjang usaha penanggulangan bencana gunungapi!

    3. Mengapa perlu dilakukan pemetaan kawasan rawan bencana gunungapi?

    4. Terangkan pengertian pemantauan gunungapi secara instrumental! Apa yang

    menjadi tujuan utama pemantauan gunungapi?

    10- 27

  • 7/27/2019 Volk.XI

    28/28

    5. Bagaimana pendapat saudara terhadap kebijaksanaan tentang daerah tidak layak

    huni tetapi ternyata penduduknya masih banyak dan tidak mau pindah tempat?

    6. Pada sistem peringatan dini tingkat awas apa yang harus dilakukan oleh

    masyarakat dan pemerintah daerah di kawasan rawan bencana?

    7. Apa yang menjadi kendala untuk melakukan pemantauan gunungapi secara

    menyeluruh dan terpadu di Indonesia?

    8. Apa nama organisasi penanggulangan bencana mulai dari pusat, propinsi dan

    kota/kabupaten? Bagaimana hubungan dan pembagian kerja ketiganya?

    9. Mungkinkah pada saat terjadi letusan dilakukan penanggulangan bencana di

    kawasan rawan bencana III?

    10. Apa yang harus dilakukan oleh masyarakat pada saat terjadi hujan abu lebat?

    10 28