VII. PENANGANAN LIMBAH PROSES PENGOLAHAN KOPI … · limbah cair perlakuan ... kandungan bahan...
Transcript of VII. PENANGANAN LIMBAH PROSES PENGOLAHAN KOPI … · limbah cair perlakuan ... kandungan bahan...
161
VII. PENANGANAN LIMBAH PROSES PENGOLAHAN
KOPI RAKYAT BERBASIS PRODUKSI BERSIH
7.1. Pendahuluan
Modifikasi proses pengolahan basah dengan perlakuan minimisasi air pada
taraf tertentu mampu meningkatkan mutu kopi rakyat. Berdasarkan hasil analisis
mutu fisik dan cita rasa diketahui bahwa perlakuan minimisasi air proses sebesar
67% dengan volume air rata-rata 3,012 m3/ton pada rentang 2,987 - 3,345 m
3/ton
menjadi pilihan yang dapat diterapkan oleh agroindustri rakyat. Akan tetapi
perlakuan minimisasi air diperkirakan mempengaruhi konsentrasi limbah cair dan
padat yang dihasilkan. Limbah cair adalah air yang telah dimanfaatkan dan harus
diolah sebelum dibuang ke badan air, sehingga tidak menyebabkan pencemaran
sumber air. Berdasarkan KepMen LH No. 51 Tahun 1995 tentang Baku Mutu
Limbah Cair bagi Kegiatan Industri, limbah cair adalah limbah dalam wujud cair
yang dihasilkan oleh kegiatan industri atau kegiatan usaha lainnya yang dibuang
ke lingkungan yang diduga dapat menurunkan kualitas lingkungan.
Meskipun telah dilakukan upaya untuk mengurangi air proses pengolahan
kopi, tetapi limbah cair dan limbah padat masih dihasilkan. Upaya penanganan
limbah cair dan limbah padat dibutuhkan agar aktivitas agroindustri kopi rakyat
tidak menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan dan masyarakat. Tujuan
penelitian ini adalah untuk menentukan teknologi penanganan limbah cair dan
limbah padat yang mampu mengurangi dampak negatif proses pengolahan kopi
dan mendesain sistem penanganan limbah yang sesuai dengan kemampuan dan
memberikan nilai tambah bagi peningkatan pendapatan masyarakat desa.
Teknologi penanganan limbah yang tepat diharapkan dapat meningkatkan
keberlanjutan agroindustri kopi rakyat dalam dimensi lingkungan, ekonomi, sosial
dan kelembagaan.
7.2. Metode Penelitian
7.2.1. Sumber dan Teknik Pengumpulan Data
Jenis data yang digunakan adalah data primer dan sekunder. Data primer
berasal dari hasil pengamatan dan perhitungan di lokasi penelitian. Data sekunder
162
berasal dari literatur dan hasil-hasil penelitian yang berkaitan dengan limbah
proses pengolahan kopi.
7.2.2. Variabel yang diamati
Variabel yang diamati meliputi volume dan konsentrasi limbah cair dan
limbah padat yang dihasilkan, konsentrasi limbah cair setelah penanganan,
karakteristik unit penanganan limbah cair (metode fisika-kimia dan biologi) dan
metode penanganan limbah padat, kebutuhan bahan dan alat unit penanganan
limbah cair dan limbah padat.
7.2.3. Metode Analisis Data
1. Melakukan inventarisasi data-data yang diperoleh dari neraca massa proses
pengolahan kopi modifikasi olah basah.
2. Melakukan inventarisasi karakteristik limbah cair dan padat yang dihasilkan
dari perlakuan minimisasi air pengolahan kopi olah basah dan literatur.
3. Analisis degradabilitas limbah cair sebagai studi pendukung karakteristik
limbah cair perlakuan minimisasi proses pengolahan kopi.
4. Analisis efluen unit penanganan limbah cair yang menggunakan metode
filtrasi, koagulasi flokulasi dan anaerobik.
5. Analisis alternatif pemanfaaatan limbah padat proses pengolahan kopi
berdasarkan literatur yang ada.
6. Karakterisasi tahapan penanganan limbah cair dalam sistem pengolahan kopi
rakyat.
7.3. Hasil dan Pembahasan
7.3.1. Analisis Limbah Cair Proses Pengolahan Kopi Modifikasi Olah Basah
Proses pengolahan yang mengubah buah kopi menjadi biji kopi disebut
pengolahan kopi primer. Output yang dihasilkan dari proses pengolahan primer
yang menggunakan modifikasi teknologi olah basah adalah biji kopi HS bersih
dengan kadar air 12%, limbah cair dan limbah padat. Perlakuan minimisasi air
pada proses pengolahan kopi dengan modifikasi olah basah terbukti mampu
meningkatkan mutu biji sekaligus meminimumkan volume limbah cair yang
dihasilkan. Rentang minimum air proses pengolahan yang dapat diterapkan adalah
163
2,987 - 3,345 m3/ton buah kopi yang meliputi ± 0,731 – 0,784 m
3/ton untuk proses
pengupasan dan ± 2,256 – 2,561 m3/ton buah kopi untuk proses pencucian. Nilai
ini mampu mengurangi limbah cair ke lingkungan hingga 67% dari total volume
air proses yang biasa dilakukan.
Rendemen hasil pengolahan kopi untuk mendapatkan biji kopi siap ekspor
rata-rata sebesar 18 – 19%. Nilai ini tidak jauh berbeda dengan hasil penelitian
Braham dan Bressani (1979), biji kopi yang diperoleh dari proses pengolahan
basah sebesar 191 gram dari 1000 gram buah kopi. Mulato et al. (2006),
menyatakan rendemen hasil pengolahan kopi Arabika berkisar antara 16 – 20%
sedangkan kopi Robusta dapat mencapai 20 – 22%.
Pada pengolahan basah, proses pengupasan dapat dilakukan dengan minimal
air terutama karena dilakukan pada buah kopi merah. Bagian-bagian yang
membentuk buah kopi terutama adalah kulit buah (skin), daging buah (pulp), kulit
tanduk (parchment), kulit ari (silverskin) dan biji (bean) (Gambar 63). Daging
buah kopi merah yang telah masak mengandung lendir dan senyawa gula yang
rasanya manis. Lapisan lendir ini pada buah muda sangat sedikit dan bertambah
hingga buah masak kemudian berkurang apabila buah telah lewat masak
(Yusianto dan Mulato, 2002). Komposisi kimia daging buah kopi masak
disajikan pada Tabel 19.
(Kulit luar)
(Daging buah)
(Cangkang)
(Biji kopi)
(Kulit ari)
(Kulit tanduk)
(Tangkai buah)
Gambar 63 Penampang membujur buah kopi
Buah kopi merah merupakan buah masak, mengandung air buah dan lendir
yang cukup untuk berlangsungnya proses pengupasan. Air pada proses
pengupasan terutama dibutuhkan sebagai pembawa buah kopi menuju silinder
mesin pengupas. Limbah cair proses pengupasan diperkirakan mengandung
komponen-komponen kimia yang berasal dari kulit, daging buah dan lendir.
164
Meskipun tidak seluruh lendir dapat dilepas dan masih melekat pada lapisan kulit
biji kopi. Proses pencucian menghilangkan lendir yang telah terdegradasi selama
fermentasi dan menghasilkan biji kopi yang masih berkulit tanduk (parchment
coffee = biji kopi HS).
Tabel 19 Komposisi kimia daging buah kopi masak
No Komponen Jumlah (%)
1. Air 42,66
2. Serat 27,44
3. Gula 9,46
4. Tannin 8,56
5. Mineral 3,77
6. Lemak dan resin 1,18
7. Minyak volatil 0,11
8. Lain-lain 6,82 Sumber: Yusianto dan Mulato (2002)
Perlakuan minimisasi air pada proses pengolahan kopi bertujuan untuk
meminimumkan volume limbah cair yang dihasilkan. Akan tetapi diperkirakan
mempengaruhi tingkat konsentrasi limbah cair yang dihasilkan. Analisis kualitas
limbah cair hasil perlakuan minimisasi air diperlukan untuk menentukan
penanganan yang tepat agar limbah tidak mencemari lingkungan. Limbah cair
proses pengolahan kopi terutama dihasilkan dari proses pengupasan dan
pencucian. Adapun aliran limbah cair kopi tersebut tidak konstan dengan beban
pencemaran cenderung seragam. Proses pengolahan kopi yang kontinyu
tergantung pada aliran air proses pengupasan (pulping) dan pencucian (washing).
Hasil analisis parameter limbah cair disajikan pada Tabel 20.
Tabel 20 Hasil analisis limbah cair perlakuan minimisasi air pengolahan kopi
No Parameter Proses Pengupasan Proses Pencucian Satuan
1 pH 4,00 - 5,50 3,84 - 4,28 -
2 BOD 6000 - 13000 4000 - 11000 mg/L O2
3 COD 14000 - 26000 7000 - 21000 mg/L O2
4 BOD/COD 0,5 – 0,6 0,4 – 0,6
5 TSS 400 - 23000 8600 - 25000 mg/L
6 TDS 1200 - 1500 800 - 2100 mg/L
7 Fosfat 17 - 33 14 - 24 mg/L PO4-P
8 Nitrat 55 - 64 3,82 - 88,35 mg/L NO3-N
79 Total N 300 - 400 170 - 630 mg/L NH3-N
10 Total Karbon 8000 - 10000 4000 - 10000 mg/L
11 Total VSS 13000 - 17000 6400 - 18000 mg/L
165
Limbah cair proses pengupasan dan pencucian memiliki karakteristik yang
tidak jauh berbeda, terutama mengandung padatan tersuspensi yang berasal dari
komponen organik dan anorganik. Limbah cair proses pengupasan terutama
mengandung gula fermentasi, sedangkan limbah cair proses pencucian lebih
kental karena kandungan lendir. Kandungan lendir yang terdegradasi selama
fermentasi ini menyebabkan nilai pH limbah cair pencucian lebih asam
dibandingkan tahap pengupasan.
Karakteristik limbah cair proses pengolahan kopi di berbagai tempat
menunjukkan hasil yang tidak jauh berbeda meskipun berasal dari proses
pengolahan basah maupun semi basah (Tabel 21 dan Tabel 22). Air limbah yang
cenderung asam, kandungan bahan organik tinggi serta tingkat padatan yang besar
berasal dari kandungan lendir dan pulpa kopi selama proses pengupasan dan
pencucian. Karakteristik inilah yang akan menentukan upaya penanganan yang
dapat diterapkan.
Tabel 21 Perbandingan hasil analisis limbah cair pengolahan kopi di India
No Parameter Pulper (a) Washer (semi
washed) (a)
Pulper (b) Washer (semi
washed) (b)
1 pH 4 - 7 4 - 6 3,9 – 6,9 4 – 6,3
2 Total Solid (mg/L) 4000 – 10000 1200 – 44000 3100 - 30800 16400 – 70000
3 COD (mg/L) 1500 - 9000 1200 – 41700 2600 - 25800 15500 – 65000
4 BOD/COD 0,5 – 0,86 0,5 – 0,9 0,37 – 0,97 0,5 – 0,9
5 Total gula (mg/L) 800 - 6000 1000 - 36700 2300 - 23000 14300 – 53000
6 Gula pereduksi
(mg/L)
50 - 1800 200 - 22200 800 - 6000 5300 – 30000
7 Asiditas (mg/L) 100 - 800 70 - 1300 100 - 1600 200 - 1900
Sumber: Astra 2002 diacu dalam Chanakya dan de Alwis 2004
a: perkebunan dengan penanganan anaerobik parsial dan pengontrolan penggunaan air
b: perkebunan dengan bioreaktor dan pengontrolan air dalam pengolahan basah
Menurut Mburu et al. (1994); Von Enden dan Calvert (2002), limbah cair
proses pengupasan mengandung konsentrasi pencemar yang tinggi karena
kandungan bahan-bahan organik hasil proses pengupasan daging buah (saat
mesocarp dikupas) dan lendir. Pulpa dan lendir ini terdiri atas sejumlah protein,
gula dan lendir dalam bentuk pektin seperti karbohidrat polisakarida.
Selvamurugan et al. (2010), menjelaskan kandungan gula yang tinggi ini
menyebabkan air proses pengupasan akan cepat terfermentasi oleh kerja enzim
166
bakteri yang terdapat pada buah kopi. Adapun komponen lain dari air proses
pengupasan adalah asam dan kimia toksik seperti polifenol (tannin dan kafein).
Tabel 22 Perbandingan karakteristik limbah cair proses pengolahan kopi
No Parameter Mendoza &
Rivera (1998)
(semi wet)
Bruno & Oliveira
(2008)
(wet process)
Selvamurugan et
al., (2010)
(wet process)
1 pH 5,4 4,2 3,88 – 4,21
2 BOD 1443 mg/L 3100 – 14340 mg/L 3800 – 4780 mg/L
3 COD 2480 mg/L 5000 – 35000 mg/L 6420 - 8480 mg/L
4 TSS -- 2978 – 3590 mg/L 2390 – 2820 mg/L
5 TDS 50-90% -- 1130 – 1380 mg/L
6 Fosfat -- -- --
7 Total N -- -- 125,8 – 173,2 mg/L
8 Total VSS -- 1488 mg/L --
Penghilangan lendir pada biji kopi dilakukan sepanjang proses fermentasi
selama 14 – 18 jam hingga lendir terdegradasi dan dapat dihilangkan dengan
mudah oleh air melalui proses pencucian. Air limbah yang berasal dari perlakuan
minimisasi air cenderung kental karena tingginya kandungan pektin yang berasal
dari lendir, protein dan gula yang terlarut. Proses fermentasi gula menjadi etanol
dan CO2 menyebabkan kondisi asam pada air. Hal ini dikarenakan etanol
dikonversi menjadi asam asetat saat bereaksi dengan oksigen. Proses asidifikasi
ini menyebabkan pH larutan menjadi asam, mencapai nilai 4 bahkan kurang.
C6H12O6 2 CH3CH2OH + 2 CO2
Gula etanol karbondioksida
2 CH3CH2OH + O2 2 CH3COOH
Etanol oksigen asam asetat
Keasaman yang tinggi akan mempengaruhi efisiensi penanganan limbah cair
dan merusak kehidupan akuatik jika dibuang ke badan air. Lendir yang
terkonversi setelah proses pencucian (Tabel 23) akan membentuk lapisan tebal
(padatan tersuspensi) pada permukaan limbah cair, hitam di atas dan jingga coklat
di dasar (Gambar 64). Lapisan tebal ini akan menutup jalan air pada saluran dan
menyebabkan kondisi anaerobik saat dibuang ke badan air.
Substansi lain yang dapat ditemukan pada limbah cair kopi adalah bahan
kimia toksik seperti tannin, alkaloid (kafein), dan polifenol. Komponen-
167
komponen ini apabila dibuang ke lingkungan akan menyebabkan proses degradasi
bahan organik sulit didegradasi secara biologis (Selvamurugan et al. 2010).
Tabel 23 Beberapa perbandingan komposisi lendir
Komponen Komposisi (%)
Murthy et al.(2004) Braham & Bressani (1979)
Air 84,20
Protein 8,00
Gula
- Glukosa (pereduksi)
- Sukrosa (non pereduksi
2,50
1,60
30,0
20,0
Pektin 1,00 35,8
Abu 0,70 17,0
Limbah cair proses pengolahan kopi berwarna coklat terutama berasal dari
komponen flavonoid kulit buah pada saat pengupasan (Lampiran 1.). Limbah
cair kopi selain berbau tidak sedap, juga akan berubah warna menjadi hitam
beberapa saat kemudian. Flavonoid umum ditemui pada buah-buahan berwarna
lainnya seperti anggur. Menurut Selvamurugan et al. (2010), warna buah ini
sebenarnya merupakan prekursor bagi terbentuknya warna coklat humus seperti
air rawa yang tidak berbahaya bagi spesies akuatik karena tidak menyebabkan
peningkatan nilai BOD ataupun COD. Akan tetapi warna coklat yang gelap ini
dapat berdampak negatif terhadap proses fotosintesis dan transformasi nutrien
pada tanaman air selain menurunkan nilai estetika.
Gambar 64 Lapisan padatan limbah cair pengolahan kopi
Tingginya nilai COD dan BOD pada limbah cair pengolahan kopi terutama
pada limbah cair perlakuan minimisasi menunjukkan besarnya jumlah oksigen
yang dibutuhkan untuk menguraikan bahan organik pada kondisi aerobik,
temperatur dan waktu inkubasi yang terstandar. Pengaruh perlakuan minimisasi
168
air pada proses pengolahan kopi disajikan pada Gambar 65, Gambar 66, dan
Gambar 67.
Gambar 65 Hubungan minimisasi air pengupasan dengan bahan organik dan pH
pada limbah cair
Gambar 66 Hubungan minimisasi air pencucian dengan bahan organik dan pH
pada limbah cair
Konsentrasi bahan organik limbah cair (BOD, COD dan TSS) menunjukkan
kecenderungan menurun seiring bertambahnya volume air yang digunakan pada
tahap pengupasan dan pencucian buah kopi. Nilai pH limbah cair proses
pengolahan kopi secara umum berkisar antara 3,80 – 5.50. Tidak ada perbedaan
yang signifikan antara perlakuan minimisasi air terhadap pH. Nilai padatan
tersuspensi (TSS) pada proses pencucian cenderung lebih tinggi daripada proses
pengupasan. Hal ini disebabkan karena bagian terbesar bahan organik berupa
lendir setelah proses fermentasi terbawa air proses pencucian.
169
Gambar 67 Zone segitiga untuk BOD/COD
Rasio BOD/COD pada limbah cair proses pengolahan kopi berada di antara
0,4 – 0,6 yang menunjukkan tingkat biodegradabilitas bahan organik untuk
dilepas ke lingkungan. Menurut Samudro dan Mangkoedihardjo (2010), apabila
rasio BOD/COD berada di antara 0,1 dan 1,0 maka limbah cair termasuk kategori
biodegradable. Rasio BOD/COD biodegradable menunjukkan kemampuan
substansi bahan organik dalam limbah cair untuk diuraikan menjadi komponen
yang lebih sederhana oleh bakteri atau mikroorganisme. Batasan tersebut dapat
digunakan sebagai tolak ukur untuk menentukan sistem penanganan yang sesuai
bagi limbah cair.
Analisis total padatan dan total karbon pada limbah cair proses pengolahan
kopi membantu menentukan upaya penanganan limbah yang sesuai (Gambar 67).
Parameter total padatan (TDS, TSS dan VSS) dan total karbon menunjukkan
penurunan konsentrasi seiring kenaikan volume air. Pola ini serupa dengan
penurunan konsentrasi BOD maupun COD pada Gambar 66. Secara umum
padatan tersuspensi merupakan indikator besarnya kandungan bahan organik
dalam limbah yang menyumbang 60% nilai BOD. Padatan tersuspensi yang
mudah menguap (VSS) merupakan pendekatan jumlah kandungan bahan organik.
Bahan organik tersebut dapat terdekomposisi menjadi air, karbondioksida dan
amonia yang bersifat mudah menguap saat dianalisis pada suhu 550oC.
170
Gambar 68 Hubungan minimisasi air pencucian dengan total padatan dan karbon
pada limbah cair
Analisis total karbon menunjukkan jumlah karbon yang terikat dalam
komponen organik dan anorganik. Melalui analisis VSS dapat diketahui potensi
bahan organik (komponen karbon) yang teroksidasi menjadi komponen lebih
sederhana dan mudah menguap. Nilai VSS yang lebih tinggi daripada nilai total
karbon merupakan indikator bahwa komponen karbon yang ada pada limbah cair
adalah komponen organik (Droste 1997).
Beban pencemaran limbah cair proses pengolahan kopi mencapai 75%
dengan kandungan organik tinggi dan padatan terpresipitasi sebagai lendir yang
dapat meningkatkan COD dan menurunkan nilai pH. Kombinasi keasaman yang
tinggi, BOD dan COD yang tinggi akan menurunkan kemampuan suplai oksigen
jika dibuang ke badan air, sehingga dapat menimbulkan permasalahan lingkungan
yang harus ditangani. Akan tetapi limbah cair kopi yang kaya akan kandungan
gula dan pektin dapat cepat terdegradasi. Didukung oleh rasio BOD/COD yang
tinggi menunjukkan kelayakannya untuk ditangani melalui proses biologi. Untuk
mengoptimalkan proses penanganan limbah cair, pH sebaiknya diusahakan berada
pada kisaran netral (6,5 – 7,5).
7.3.2. Analisis Limbah Padat Proses Pengolahan Kopi Olah Basah
Perlakuan minimisasi air proses pengupasan dan pencucian memiliki
dampak signifikan terhadap volume limbah cair tetapi tidak signifikan terhadap
jumlah biji serta pulpa yang dihasilkan. Meskipun demikian proses pengupasan
171
kulit tanduk dan kulit ari lebih mudah dilakukan pada biji kopi yang mendapat
perlakuan air banyak. Limbah padat maupun limbah cair dari proses pengupasan
dan pencucian merupakan hasil samping yang akan menimbulkan masalah apabila
tidak diolah. Pulpa, kulit tanduk dan kulit ari merupakan limbah padat yang dapat
diubah menjadi produk samping bernilai ekonomis, sehingga dapat meningkatkan
penghasilan petani.
Proses pengupasan menghasilkan limbah padat yang cukup besar berupa
kulit dan daging buah kopi (Lampiran 1). Berdasarkan analisis neraca massa,
persentase limbah padat yang dihasilkan dari proses pengupasan dapat mencapai
kisaran 40-60%. Nilai ini menunjukkan potensi pencemaran yang besar dari
limbah padat jika tidak dimanfaatkan. Pulpa kopi jika tidak diolah akan
menimbulkan bau yang tidak sedap dan mengundang lalat maupun serangga
lainnya. Selama masa pengolahan biji kopi, limbah pulpa kopi ini akan
menumpuk, menyebabkan gangguan lingkungan seperti bau yang tidak sedap,
mengundang lalat maupun serangga lainnya. Pulpa kopi juga dapat menjadi
vektor agen penyakit ketika dibuang ke badan air dan menyebabkan pencemaran
air tanah. Selain itu drainase dari timbunan pulpa dapat mencemari sumber air di
sekitarnya (Gambar 69).
Gambar 69 Timbunan pulpa kopi
Menurut Kebede et al. (2010), komposisi pulpa kopi terutama merupakan
bahan organik yang terdiri atas karbohidrat, protein, serat, lemak, kafein,
polifenol, dan pektin. Oleh karena itu dekomposisi pulpa kopi ini bersama-sama
limbah cair saat dibuang ke badan air akan menyebabkan kerusakan ekosistem
dan air sungai tidak sesuai lagi dimanfaatkan untuk berbagai keperluan.
Meskipun demikian, sebagai limbah padat industri kopi, kulit kopi yang
172
mengandung bahan organik tinggi berpotensi untuk dimanfaatkan kembali.
Melalui hasil analisis limbah padat dapat diketahui potensi pemanfaatan limbah
padat proses pengolahan kopi. Hasil analisis komposisi limbah padat kopi dan
beberapa hasil analisis yang mendukung disajikan pada Tabel 24 dan Tabel 25.
Tabel 24 Komposisi limbah padat proses pengolahan kopi
a) Rubiyo et al. (2006)
Tabel 25 Perbandingan komposisi kimia pulpa kopi dari berbagai sumber Komponen Komposisi (%)
Murthy et
al. (2004)
Londra&
Andri (2008)
Braham & Bressani (1979)
Segar Kering Kering dan
terfermentasi
Ekstrak eter 0,48 0,48 2,50 2,60
Serat kasar 21,4 21,4 3,40 21,0 20,8
Protein kasar 10,1 6,67 2,10 11,2 10,7
Abu 1,5 1,50 8,30 8,80
BETN 31,3 15,8 44,4 49,2
Tannin 7,8 1,80 – 8,56
Pektin 6,5 6,50
Gula non pereduksi 2,0 2,00
Gula pereduksi 12,4 12,4
Asam khlorogenik 2,6 2,60
Kafein 2,3 1,30
Total asam kafeat 1,6 % 1,60
Lemak 1,04 Keterangan: BETN (Bahan ekstrak tanpa nitrogen)
Analisis komponen organik pada limbah padat kopi membantu menentukan
proses daur ulang (recycle) sebagai bahan dasar pakan ternak, kompos, pupuk,
briket, produksi biogas maupun alternatif pemanfaatan lainnya. Rata-rata
kandungan serat kasar pada kulit kopi maupun kulit tanduk cukup tinggi demikian
pula dengan kandungan C-organik memiliki potensi dimanfaatkan sebagai
kompos ataupun pupuk. Nilai kalori kulit tanduk kopi adalah sebesar 4600
kkal/kg sedangkan pulpa kopi pada kandungan air 5% memiliki nilai kalori 3300
kkal/kg (Adams dan Dougan 1989) berpotensi sebagai sumber bahan bakar.
Meskipun agak sulit diterapkan pada pulpa kopi yang diperoleh dari pengolahan
basah karena masih mengandung kadar air bahan yang tinggi (84%).
Bahan Komposisi (%)
Minyak
& Lemak
Serat
kasar
C-
organik
Total
N
Abu Protein
kasar a)
Ca a)
P a)
Pulpa 1,06 20,42 45,15 4,55 5,51 7,80 0,23 0,02
Kulit tanduk 0,51 39,68 42,71 2,65 23,12
173
7.3.3. Desain Penanganan Limbah Cair
Upaya minimisasi air proses pengolahan kopi masih menghasilkan limbah
cair yang dapat menimbulkan pencemaran lingkungan. Karakteristik limbah cair
dalam bentuk suspensi komponen organik dan anorganik yang kaya akan gula
terfermentasi dan cairan kental dari tahap pencucian lendir (mucilage). Tingginya
nilai BOD dapat mencapai 13.000 mg/l, COD mencapai 26.000 mg/l serta
rendahnya tingkat keasaman dari limbah cair hasil minimisasi air akan
menimbulkan beban pencemaran yang tinggi terhadap lingkungan. Baku mutu
limbah cair yang dapat dibuang adalah 100 mg/l untuk BOD dan 250 mg/L untuk
COD berdasarkan KepMen LH No. 51 Tahun 1995 tentang Baku Mutu Limbah
Cair bagi Kegiatan Industri. Keputusan Gubernur Jawa Timur No. 45 Tahun 2002
tentang baku mutu limbah cair bagi industri atau kegiatan usaha lainnya di Jawa
Timur memberikan batasan lebih ketat khusus untuk industri pengupasan biji
kopi/coklat yaitu maksimum 75 mg/L untuk BOD dan 200 mg/L untuk COD
dengan volume limbah cair maksimum adalah 40 m3/ton produk.
Oleh karena itu dibutuhkan upaya penanganan yang sesuai untuk diterapkan
pada unit pengolahan kopi rakyat. Berdasarkan tahapan pencegahan polusi
menurut Theodore dan Mc. Guinn (1992), maka tahapan berikut yang dapat
dilakukan adalah upaya daur ulang atau penggunaan kembali limbah dan upaya
pengolahan limbah. Daur ulang limbah dapat dilakukan dengan memperbaharui
bahan baku yang masih dapat digunakan. Pengolahan limbah dapat dilakukan
melalui penerapan metode fisika, kimia maupun biologi untuk mengurangi beban
pencemaran dan mempermudah tahap pembuangan akhir.
Kebede et al. (2010), menyatakan upaya pemanfaatan limbah proses
pengolahan kopi merupakan pilihan potensial lain untuk mengontrol pencemaran.
Beberapa pilihan yang dapat dilakukan untuk menangani limbah cair adalah
melakukan pembuangan di lahan pertanian dengan limbah cair, aplikasi kolam
anaerobik, aerasi buatan, reaktor biogas dan pemanfaatan lahan terancang untuk
pembuangan limbah cair telah dicoba di berbagai negara produsen kopi. Metode
yang murah dan dapat membantu menyuburkan tanah pernah dicobakan di Brazil
dengan membuang limbah cair di lahan dan memanfaatkannya langsung untuk
mengairi kopi (Ribeiro et al. 2009 diacu dalam Kebede et al. 2010). Akan tetapi,
174
teknik ini dapat menyebabkan asidifikasi tanah, genangan air, dan menyebabkan
metabolisme tanah dalam kondisi anaerobiosis.
Penanganan secara anaerobik yang dioperasionalkan pada suatu reactor
merupakan pilihan yang menarik karena mampu menghasilkan biogas yang dapat
dimanfaatkan sebagai bahan bakar (Murthy et al. 2004; Von Enden dan Calvert
2002). Meskipun dalam penanganannya membutuhkan stabilitas proses yang baik
agar efisiensi penanganan tercapai (Mendoza dan Rivera 1998).
Menurut Mendoza dan Rivera (1998), bioteknologi anaerobik secara umum
merupakan penanganan yang sesuai untuk limbah kegiatan agroindustri terutama
di negara-negara berkembang karena biaya yang lebih terjangkau, menghasilkan
energi, kebutuhan pengawasan operasional yang rendah dan kemampuannya
untuk menangani limbah yang diproduksi musiman. Karakteristik limbah cair
kopi yang memiliki kandungan karbohidrat tinggi membuatnya sesuai untuk
ditangani dengan metode biologi anaerobik. Limbah cair proses pengolahan kopi
dihasilkan hanya pada saat panen kopi yaitu kurang lebih selama 3 hingga 5 bulan
setiap tahunnya. Oleh karena itu perlu dipertimbangkan variabilitas konsentrasi
dan volume limbah cair yang cukup tinggi pada panen puncak dan menurun
setelah periode panen.
7.3.4. Simulasi Biodegradabilitas Limbah Cair Proses Pengolahan Kopi
Kandungan bahan organik yang tinggi dalam limbah cair pengolahan kopi
memiliki potensi untuk dimanfaatkan sebagai sumber energi terbarukan melalui
proses anaerobik. Menurut Angelidaki et al. (2007), proses metabolisme
anaerobik merupakan proses biokimia kompleks yang saling berkaitan antara grup
mikrobial. Oleh karena itu perlu dilakukan penilaian tingkat biodegradabilitas
limbah cair proses pengolahan kopi melalui potensi pembentukan metana (biogas)
menggunakan komposit mikroorganisme yang berasal dari reaktor anaerobik.
Gunaseelan (1997) menyatakan analisis biochemical methane assay (BMP) dapat
dilakukan untuk menentukan output CH4 (metana) dari substrat organik dan untuk
memantau tingkat toksisitas anaerobik. BMP merupakan metode yang berharga,
cepat dan tidak mahal untuk menentukan potensi dan laju pengembangan konversi
biomassa dan limbah menjadi CH4.
175
Studi simulasi biodegradabilitas pada penelitian ini dilakukan untuk
mengetahui potensi konversi limbah cair kopi pada konsentrasi bahan organik
tinggi yang diperoleh dari perlakuan minimisasi air proses pengolahan menjadi
biogas dalam suasana anaerobik. Simulasi dilakukan pada berbagai tingkat
konsentrasi limbah cair dan jenis konsorsium mikroorganisme dalam vessel
berukuran 100 ml (Gambar 70).
Fluktuasi konsentrasi limbah cair kopi pada saat proses pengolahan dan
masa panen kopi yang terbatas menyebabkan masa untuk mendapatkan limbah
cair dengan konsentrasi tertentu juga terbatas. Sebagai pendekatan, penelitian ini
menggunakan larutan kopi instan sebagai limbah cair kopi sintetik dengan
mempertimbangkan karakteristik yang berbeda antara keduanya. Daoming dan
Forster (1994) juga pernah menggunakan kopi instan sebagai bahan simulasi
limbah cair kopi untuk menentukan pengaruh faktor penghambat dalam
penanganan anaerobik termofilik.
Gambar 70 Contoh vessel untuk uji biodegradabilitas anaerobik
Limbah cair kopi sintetik dibuat dari larutan kopi instan dengan
pertimbangan ketersediaan bahan pada saat pelaksanaan penelitian dan
kemudahan untuk membuat larutan limbah cair pada rentang konsentrasi COD
tertentu. Pembuatan konsentrasi larutan disesuaikan dengan rentang konsentrasi
COD terlarut yang diperoleh dari hasil perlakuan minimisasi air. Suhu dan pH
proses dijaga pada kondisi optimum proses yaitu pada suhu 37oC dan pH netral
(6,5 – 7,0) kecuali pada batch 1. Adapun komposisi limbah cair sintetik pada
berbagai tingkat konsentrasi COD disajikan pada Tabel 27.
Komposisi kimia limbah cair kopi ditentukan oleh kandungan organik pada
pulpa kopi dan biji kopi. Limbah cair kopi yang berasal dari proses pengolahan
buah umumnya mengandung polisakarida cukup tinggi, sedangkan pada kopi
176
instan telah menurun hingga 50%. Degradasi pada kopi instan diduga terutama
pada polifenol, mineral, protein dan gula-gula pereduksi yang ada.
Tabel 26 Rancangan simulasi biodegradabilitas (BMP test) kopi instan
Batch COD (g/L) Inokulum pH
1 a. 10
b. 20
c. 30
Campuran
granular dan
floccular sludge
Tanpa penyesuaian pH
2 a. 10
b. 15
c. 20
d. 30
Granular sludge
6,5 – 7,0
Tabel 27 Komposisi larutan limbah cair sintetik dari kopi instan
Komposisi
(gr)
Larutan kopi dengan tingkat COD
10 g/L 20 g/L 30 g/L
Protein 0,077 0,115 0,153
Karbohidrat 0,459 0,688 0,918
Gula 0,076 0,114 0,153
Serat 0,382 0,574 0,765
Polifenol&melanoidin 0,275 0,413 0,551
Kafein 0,053 0,080 0,107
pH larutan 5,28 5,15 5,03
Granular sludge yang digunakan berasal dari komposit mikroorganisme
(lumpur aktif) reactor Upflow Anaerobic Sludge Blanket (UASB). Sedangkan
floccular sludge merupakan komposit mikrooganisme heterogen dalam bentuk
lumpur tersuspensi yang berasal dari lumpur aktif reaktor anaerobik Continuous
Stirred Tank Reactor (CSTR).
Liu et al. (2002), menyatakan UASB dan CSTR merupakan bagian dari
sistem anaerobik yang dapat digunakan untuk menangani limbah. UASB
merupakan teknologi yang dikembangkan berdasarkan pemahaman terhadap
aktifitas bakteri metanogenesis pada laju alir cepat. Adanya aliran ke atas yang
cepat dalam reaktor UASB serta pola aktifitas bakteri metanogenesis untuk
membentuk lapisan tersuspensi memacu perkembangan konsorsium metanogenik
membentuk diri sendiri menjadi granule yang lebih kental daripada air melalui
aliran limbah cair menuju bagian atas reactor. UASB dikembangkan terutama
untuk menangani limbah cair yang berkonsentrasi tinggi. Densitas
mikroorganisme granular yang tinggi memudahkan proses pemisahan efluen
177
limbah cair yang telah terpurifikasi dengan biomassa. Kelemahan UASB adalah
padatan partikulat dalam limbah cair yang cenderung dapat menganggu sistem.
Reaktor CSTR diadaptasi dari reaktor aerobik untuk mengolah limbah
organik yaitu menggunakan lumpur aktif hasil penanganan sekunder untuk
mengolah langsung limbah cair. Adanya agitasi (pemutaran) mekanis pada tangki
aerobik bertujuan untuk menjadi partikulat agar tetap dalam bentuk tersuspensi
dan memudahkan memasukkan oksigen ke dalam larutan. Pemutaran mekanis
pada tangki anaerobik mempengaruhi laju pertumbuhan konsorsium bakteri
terhadap lingkungan pada kondisi asidogenesis dan metanogenesis. Dinamika
bakteri cenderung tidak seragam pada reaktor CSTR.
Gambar 71 Komposit mikroorganisme (a) Flokular, (b) Granular
a. Uji Biodegradabilitas Batch 1.
Analisis biodegradabilitas batch 1 (Gambar 72) dilakukan pada tingkat
konsentrasi COD 10 g/L, 20 g/L dan 30 g/L limbah cair untuk mengetahui
kemampuan mikroorganisme. Pengujian dilakukan secara triplikat dengan uji
biodegradabilitas selulosa sebagai bagian dari komponen karbohidrat dilakukan
sebagai kontrol perlakuan. Pengujian dilakukan tanpa penyesuaian pH untuk
mengetahui kemampuan komposit mikroorganisme gabungan dalam
mendegradasi limbah cair.
Kemampuan komposit gabungan mikroorganisme flokular dan granular
dalam mendegradasi limbah cair sangat baik pada konsentrasi COD 10 g/L dan
cenderung menurun seiring peningkatan konsentrasi COD. Kemampuan adaptasi
komposit mikroorganisme cukup baik dimana proses degradabilitas dapat
berlangsung meskipun pada konsentrasi COD tinggi. Aktifitas metanogenik yang
A B
178
tinggi dari lumpur granular dan bakteri asetogenik dari lumpur flokular
berkontribusi menjaga keberlangsungan proses degradasi pada konsentrasi COD
tinggi (30 g/L). Meskipun pada awal proses, reaksi pembentukan metana sangat
dipengaruhi oleh tingginya kandungan bahan organik dalam suasana asam
(kandungan gas hidrogen).
Gambar 72 Komposisi gas yang dihasilkan proses anaerobik batch 1.
Kestabilan proses pembentukan gas metana tergantung pada konsentrasi
COD. Semakin tinggi konsentrasi COD menunjukkan semakin lama waktu yang
dibutuhkan untuk mencapai kestabilan. Pada sampel dengan konsentrasi 10 g/L,
20 g/L dan 30 g/L membutuhkan waktu berturut-turut 10 hari, 15 hari dan 25 hari
179
untuk mencapai kesetimbangan pembentukan gas metana. Fase awal dari proses
anaerobik adalah hidrolisis yang terjadi pemecahan molekul berukuran besar dan
kompleks menjadi molekul yang berukuran lebih kecil. Kandungan bahan
organik yang tinggi pada sampel dengan konsentrasi COD tinggi serta
transformasi komponen selulosa dan hemiselulosa tentu membutuhkan waktu
lebih lama dibandingkan sampel dengan konsentrasi bahan organik lebih rendah.
Hal ini juga menyebabkan kumulatif pembentukan gas metana pada konsentrasi
COD tinggi lebih besar dibandingkan pada konsentrasi COD rendah.
Pada awal proses anaerobik, sampel dengan konsentrasi tinggi (30 g/L)
mengalami suasana asam yang mempengaruhi stabilitas proses. Tingginya
persentase hidrogen hingga hari ke-10 diperkirakan terjadi pada fase bakteri
asetogenesis dan formasi asam (asidogenesis). Pada fase ini terjadi oksidasi
anaerobik yang merupakan penentu keberlanjutan proses anaerobik hingga fase
metanogenesis. Apabila gas hidrogen yang dihasilkan terlalu tinggi dan
mikroorganisme yang ada dalam reaktor tidak dapat bertahan, maka tidak akan
terjadi fase berikutnya karena mikroorganisme yang ada mati. Meskipun tidak
ada proses netralisasi limbah cair sebelum proses anaerobik, komposit
mikroorganisme granular dan flokular dalam reaktor ternyata mampu bertahan
menghadapi suasana asam. Setelah hari ke-10, proses pembentukan gas metan
pada fase metanogenesis dapat berlangsung lancar dan menghasilkan komposisi
biogas atau gas metan hingga 70%.
Berdasarkan hasil perlakuan, diperoleh komposisi rata-rata gas metana dan
karbondioksida berturut-turut adalah 60 – 70% dan 30 - 40%. Menurut Borjesson
dan Berglund (2006), komposisi biogas terutama terdiri atas CH4 (60 – 70%) dan
CO2 (30 – 40%), dengan kandungan uap air dan beberapa gas-gas nitrogen,
hidrogen sulfida dan ammonia.
Uji biodegradabilitas secara umum berlangsung baik pada batch 1 meskipun
tanpa perlakuan netralisasi. Hal ini sesuai dengan penelitian Dinsdale et al.
(1997) yang menggunakan reactor UASB dengan tahapan pre-asidifikasi.
Netralisasi dengan NaOH pada pH 6,0 dan HRT (hydraulic retention time) 24 jam
tidak dibutuhkan untuk efisiensi proses asidogenesis. Efluen dari tahapan
asidogenik dengan pH 5,2 tidak membutuhkan netralisasi dengan NaOH sebelum
180
memasuki tahapan metanogenik. Tidak adanya netralisasi pada kisaran pH
tersebut ternyata membantu meningkatkan performa reaktor UASB termofilik.
Proses UASB 2 tahap (asidogenik dan metanogenik) memberikan peningkatan
performa secara konsisten dibandingkan sistem 1 tahap. Tahap asidifikasi
berperan dalam kemampuan reactor menerima laju beban tinggi.
Penelitian oleh Chen et al. (2008), menjelaskan bahwa meskipun sebagian
besar mikroorganisme bekerja pada rentang pH netral yaitu pada rentang pH 7,0 –
7,5 tetapi beberapa mikroorganisme tetap aktif pada pH rendah ataupun pH tinggi.
Pada saat fermentasi, mikroorganisme penghasil asam (floccular sludge)
mengelola hidupnya untuk hidup dalam suasana asam hingga pH 5,0. Sebaliknya,
mikroorganisme penghasil metana (granular sludge) berkembang baik pada pH
netral.
b. Uji Biodegradabilitas Batch 2.
Uji biodegradabilitas batch 1 yang menggunakan 2 jenis komposit
mikroorganisme mampu mendegradasi limbah cair sintetik. Uji biodegradabilitas
batch 2 hanya menggunakan komposit bakteri granular yang berasal dari reaktor
UASB. Waktu degradabilitas batch 2 pada konsentrasi yang sama lebih singkat
dibandingkan batch 1. Sludge granular yang telah mengandung bakteri
metanogenesis memungkinkan kandungan metana berada dalam vessel sejak awal
proses anaerobik.
Komposit bakteri granular tanpa komposit flokular ternyata tidak mampu
untuk mendegradasi limbah cair pada konsentrasi 30 g/L. Proses anaerobik tidak
berlangsung optimum dimana komposisi gas karbondioksida lebih besar (40-50%)
daripada komposisi gas metana (20-30%). Komposisi gas metana mencapai
puncaknya pada hari ke-2 kemudian cenderung stabil hingga 40 hari. Meskipun
demikian komposit bakteri granular masih menunjukkan kemampuannya untuk
mendegradasi komponen kompleks selulosa pada konsentrasi 1 g/L. Pereira
(2009), waktu degradasi anaerobik untuk mencapai konversi COD bahan organik
menjadi gas metana dipengaruhi oleh kualitas komposit bakteri dan kualitas
lingkungan. Bakteri metanogenik yang dominan pada sludge granular
diperkirakan tidak bekerja optimum pada kondisi asam fase asidogenesis.
181
Gambar 73 Komposisi gas yang dihasilkan dari proses anaerobik batch 2
Fase asidogenesis yang terjadi setelah fase hidrolisis diperkirakan tidak
dapat berlangsung sempurna pada sampel dengan konsentrasi COD tinggi (30
g/L). Pada fase ini, selain substrat, aneka mikroorganisme turut mempengaruhi
kelancaran proses degradasi. Semakin banyak organisme yang aktif, semakin
baik proses fermentasi hasil fase hidrolisis menjadi karbon organik, komponen
molekul sederhana, hidrogen dan karbondioksida. Semakin tinggi konsentrasi
COD, semakin besar pula dihasilkan hidrogen yang cenderung menyebabkan
suasana asam.
182
Netralisasi pH limbah cair di awal proses ternyata tidak selalu mampu
menjaga keseimbangan reaksi asam basa pada fase formasi asam (asidogenesis).
Konsentrasi gas hidrogen dan pembentukan asam yang tinggi sebagai akibat
dekomposisi bahan organik serta karakteristik bakteri granular yang hanya bekerja
optimal pada fase metanogenesis, menyebabkan oksidasi anaerobik berhenti.
Pada kondisi ini, mikroorganisme diperkirakan tidak memiliki lagi energi yang
cukup untuk tumbuh dan akhirnya mati (Droste 1997). Sebagai akibatnya proses
metanogenesis tidak dapat berlangsung sempurna dan sebagian besar komponen
organik tidak dapat dikonversi menjadi metana. Produksi metana hanya dapat
terjadi pada kondisi pH netral.
Metabolisme anaerobik merupakan proses konversi komponen organik
dalam kondisi tidak adanya oksigen menjadi komponen karbon sederhana,
karbondioksida dan intermediate lainnya. Ketiga tahapan penting dalam proses
anaerobik adalah hidrolisis, asidogenesis dan metanogenesis. Stabilitas proses
anaerobik tergantung pada komposisi mikroorganisme metabolik yang
membentuk asam dan hidrogen, pH dan suhu lingkungan. Meskipun bakteri
metanogenik memainkan peran penting dalam keseluruhan proses degradasi
karena kemampuannya menghasilkan gas metan sebagai biogas. Akan tetapi grup
metabolit lainnya seperti bakteri pembentuk asam pada proses hidrolisis, bakteri
obligat yang menghasilkan asetogen pada fase asidogenesis juga berperan
mempercepat proses metanogenesis. Pertumbuhan mikroorganisme yang berbeda
di berbagai rentang pH menjadikan gabungan komposit mikroorganisme granular
dan flokular pada batch 1 lebih baik daripada batch 2.
Pada konsentrasi COD tinggi (30 g/L), gas metana terutama mulai
diproduksi hari ke 23 pada batch 1 dan hari ke-3 pada batch 2. Setelah hari ke 23,
hidrogen cenderung menghilang dengan meningkatnya persentase gas metana
hingga masa stabilisasi yaitu pada hari ke-61 dimana persentase metana mencapai
70%. Sebaliknya pada batch 2, gas metana hanya mampu mencapai persentase
tertinggi pada hari ke-3. Bakteri metanogenik yang merupakan komponen
terbesar dalam komposit bakteri granular bekerja optimum selama masa itu dan
terstabilkan hingga hari ke-40.
183
Proses degradasi konsentrasi bahan organic yang tinggi serta menghasilkan
hidrogen dengan persentase besar menyebabkan bakteri granular tidak bekerja
optimal karena suasana asam. Komposisi VFA (volatile fatty acids) menunjukkan
kondisi lingkungan di dalam vessel (reaktor anaerobik sederhana). Tingginya
komposisi VFA dapat menyebabkan proses degradasi organik hingga
metanogenesis gagal (Tabel 28). Kombinasi inokulum dibutuhkan untuk
mendegradasi limbah cair kopi sintetik berkonsentrasi tinggi meskipun
membutuhkan waktu yang lebih lama dibandingkan inokulum yang bersifat
spesifik. Kemampuan adaptasi dan rentang tropis dari komposisi mikroorganisme
dalam inokulum mampu mengatasi suasana asam dan organik kompleks dalam
limbah cair kopi sintetik.
Tabel 28 Rata-rata komposisi biogas dan VFA pada konsentrasi COD 30 g/L
Komponen Satuan Batch 1 Batch 2
CH4 % 57,01 27,38
CO2 % 40,85 46,96
H2 % 0,00 8,54
acetic acid ppm 389,92 756,46
propionic acid ppm 80,84 117,98
iso-butyric acid ppm 27,89 31,40
butyric acid ppm 688,33 987,97
iso-valeric acid ppm 42,79 51,17
valeric acid ppm 21,24 24,67
hexanoic acid ppm 22,98 43,83
Limbah cair proses pengolahan kopi memiliki kandungan bahan organik
tinggi terutama yang dihasilkan dari perlakuan minimisasi limbah cair. Akan
tetapi kandungan bahan organik yang tinggi menunjukkan potensi besar untuk
menghasilkan biogas selama proses metabolisme anaerobik berjalan optimal. Hal
ini didukung oleh Wilkie et al. (2004), bahwa produksi gas pada proses fermentasi
besarnya proporsional dengan laju pemanfaatan substrat, formasi produk dan
pertumbuhan microbial. Oleh karena itu agar proses degradasi anaerobik dapat
berjalan optimal, kondisi lingkungan seperti pH dan suhu proses, serta komposit
bakteri yang beragam perlu dijaga.
184
7.3.5. Proses Penanganan Anaerobik Limbah Cair
Penanganan anaerobik merupakan proses biologi yang mampu
menghasilkan energi (biogas) dengan teknologi yang sederhana dan biaya relative
murah. Selain itu tidak membutuhkan lahan yang luas dan tidak menghasilkan
lumpur dalam jumlah besar, jika dibandingkan penanganan aerobik. Penanganan
anaerobik mampu mengurangi pencemaran dari proses pengolahan kopi sekaligus
menghasilkan bahan bakar. Selama ini proses anaerobik telah banyak diterapkan
untuk menangani limbah cair organik dari industri termasuk limbah pengolahan
sayuran dan buah serta limbah pertanian. Penanganan anaerobik yang
menghasilkan biogas membutuhkan digester untuk menangkap gas metana yang
dihasilkan sehingga tidak terbuang ke lingkungan dan menyebabkan dampak
rumah kaca. Gas metana (CH4) memiliki dampak 21 kali lebih tinggi
dibandingkan gas karbondioksida (CO2). Menurut Wahyuni (2010), prinsip
bangunan digester adalah menciptakan suatu ruangan kedap udara (anaerob) yang
menyatu dengan saluran pemasukan serta saluran atau bak pengeluaran. Bak
pemasukan dapat berfungsi untuk melakukan homogenisasi ataupun melakukan
netralisasi dari bahan baku limbah cair dan padat. Bak pengeluaran ataupun bak
penampungan dapat berfungsi sebagai tempat bahan sisa (sludge) hasil
perombakan bahan organik dari digester yang telah terurai. Beberapa aplikasi
penanganan anaerobik yang telah diterapkan pada limbah cair pengolahan kopi
disajikan pada Tabel 29.
Floating Biogas Doom
Mansory Outer Wall
Mansory Inner Wall
Scrapper
Agitator Axle
OUTLET
Slurry PumpPowered by Biogas
Biogas Outlet Valve
FEED STOCKS INLET
Overflow Gate
SLURRY = 30 m3
GAS HOLDER = 28 m3
Water Seal Channel
Gambar 74 Gambar skematik digester tipe sirkular Sumber: Seijin Unit Pasca Panen Puslitkoka (2011)
185
Digester yang digunakan pada aplikasi anaerobik pengolahan limbah cair
pengolahan kopi di Puslitkoka merupakan digester bertipe sirkular tipe terapung
sistem campuran dengan konstruksi bata di dalam tanah berukuran 30 m3.
Penangkap gas dibuat dari lapisan baja mengambang berukuran 28 m3 yang
diinstalasi pada bagian atas digester (Gambar 74.)
Tabel 29 Perbandingan berbagai karakteristik digester anaerobik
Sumber Jenis Digester Karakteristik
Proses
Efisiensi
Mendoza dan
Rivera (1998)
UAHR HRT : 22 jam
OLR = 1,89 kg
COD/m3.hari
BOD : 1483 mg/L
COD : 2480 mg/L
COD eff: 77,2%
Von Enden dan
Calvert (2002)
Kolam asam &
netralisasi.
UASB
HRT: 4 – 6 jam BOD in: 20000 mg/L
BOD eff : 90%
Houbron et al.
(2003)
Mixed reactors
2 tahap
HRT : 10 hari COD asidifikasi : 85%
COD total : 95%
CH4 : 80%, 0,381 g/L COD
Dari proses 23 ton buah kopi
menghasilkan 1,886 CH4
m3/hari
Chanakya dan
de Alwis (2004)
1. Lagoon
2. Plug flow
system dengan
variasi
biomassa
HRT : 21 hari
OLR : 0,05 – 0,2 kg/
m3.hari
OLR : 2 kg/m3.hari
COD
HRT : 7 -10 hari
COD eff: 60%
COD > 25 g/L
COD eff : 90%
Gas: 0,5 m3/kg.hari
Bruno dan
Oliveira (2008)
UASB (upflow
anaerobic
sludge blanket)
2 tahap
Tahap 1:
HRT 5,2 hari pada
OLR: 2,6 g/L COD
Tahap 2:
HRT 2,6 hari pada
OLR: 0,5 g/L COD
COD in: 15440 – 23040
mg/L, COD out 1: 1100 –
11500 mg/L
COD out 2: 420 – 9000 mg/L
COD eff: 66 – 98%
TSS eff : 93 – 97%
CH4 (1): 69 – 89%
CH4 (2): 52 – 73%
Selvamurugan
M et al. (2010)
UAHR (uplow
anaerobic
hybrid reactor) :
kombinasi
UASB dan UAF
HRT: 18 jam
OLR: 9,55
kg/m3.hari
BOD in: 3800 – 4780 mg/L
COD in: 6420 – 8480 mg/L
TOC in: 0,36 – 0,48
TSS in: 2390 – 2820 mg/L
TDS in: 1130-1380 mg/L
COD eff: 61 %
BOD eff : 66 %
TS eff : 58 %
Biogas : 60,7 %
Produksi biogas: 430 L/kg
COD
186
Perlakuan minimisasi air terpilih adalah pada rata-rata volume air proses
3,012 m3/ton buah kopi dengan volume air proses pencucian rata-rata 0,754
m3/ton buah kopi dan proses pencucian 2,258 m
3/ton buah kopi (Tabel 30.). Pada
perlakuan ini mutu biji kopi telah meningkat dibandingkan proses olah kering dan
tidak menunjukkan perbedaan dengan perlakuan minimisasi pada volume air yang
lebih besar. Karakteristik limbah cair pengolahan kopi menunjukkan kesesuaian
penanganan menggunakan proses anaerobik dalam digester untuk menghasilkan
biogas sebagai produk samping yang diinginkan. Semakin sedikit volume air
yang digunakan semakin tinggi konsentrasi bahan organik dan semakin besar
potensi menghasilkan biogas.
Tabel 30 Neraca massa proses pengolahan kopi perlakuan minimisasi air terpilih
Komponen Input Output
Biji Kopi Limbah
Buah kopi, kg
Air pengolahan, liter
1000
3012
Total, kg 4012
Biji kopi, kg
Kulit buah dan pulpa pengupasan, kg
Pulpa pencucian
Kulit tanduk
Limbah cair + lendir (mucilage), kg
Penguapan dan kehilangan air, kg
185
565
24,6
53
2937,4
247
Total, kg 4012
a. Netralisasi Limbah Cair
Limbah cair kopi pengolahan kopi yang memiliki pH rendah (4,0) sebelum
dialirkan ke digester anaerobik sebaiknya dinetralkan terlebih dahulu dengan
penambahan batu kapur (CaCO3 = 1g/L) hingga mencapai pH minimal 5,0 atau pH
netral (6,5 – 7,0). Ketika CaCO3 dilarutkan dalam air akan menyebabkan CaCO3
terurai berdasarkan reaksi:
CaCO3 + 2H2O H2CO3 + Ca(OH)2
H2CO3 H2O + CO2 (langsung bereaksi)
Alternatif lain untuk meningkatkan alkalinitas limbah cair adalah CaO. Akan
tetapi kelarutannya yang rendah dan presipitasi dari Ca sebagai garam karbonat
dapat menimbulkan permasalahan operasional pada unit pengolahan. Hubungan
kenaikan pH dan penambahan CaO dan CaCO3 disajikan pada Gambar 75.
187
(a)
(b)
Gambar 75 Penambahan alkali dan kenaikan pH limbah cair kopi
(a) CaCO3, (b) CaO
Menurut Bello dan Rivera (1998), pemilihan alkali sangat penting.
Penggunaan alkali NaOH untuk limbah cair sebagaimana Na2CO3 dan MgO akan
bereaksi dengan CO2 untuk membentuk bikarbonat. Penambahan bahan kimia
untuk netralisasi haruslah sesuai kebutuhan agar tidak terjadi peningkatan pH
yang drastis yang dapat menjadi inhibitor proses berikutnya. Pada penanganan
limbah cair, reaksi netralisasi yang mengikat karbondioksida membantu
mengurangi gas CO2 dalam proses anaerobik.
Bello dan Rivera (1998), menganjurkan penggunaan bahan kimia lain yang
dapat digunakan untuk netralisasi limbah cair dan mudah diperoleh di kalangan
petani yaitu urea. Komponen nitrogen organik ini memiliki kemampuan
188
biodegradasi pada proses anaerobik yang menghasilkan peningkatan alkalinitas
seiring lepasnya ammonium. Metabolisme urea yang dibangun membiarkan
sumber alkalinitas untuk menjaga ketersediaan tingkat alkalinitas bikarbonat
dalam sistem dan menyediakan mikroorganisme dengan nitrogen yang penting
untuk mendukung sintesa dari biomassa baru. Urea dipergunakan secara luas di
pertanian, lebih murah harganya sehingga akan banyak tersedia di kawasan
perkebunan kopi rakyat. Reaksi netralisasi yang dapat terjadi pada limbah cair
oleh urea adalah sebagai berikut:
Amoniak cenderung bersifat toksik sedangkan ammonium kurang toksik.
Konsentrasi ammonia dalam air tergantung pada pH dan temperature. Semakin
tinggi pH dan temperature air, semakin tinggi juga konsentrasi ammonia.
b. Operasional Digester Anaerobik
Dekomposisi bahan organik menghasilkan biogas merupakan proses yang
terjadi alami, seperti yang terjadi pada lahan basah, lahan sawah, perut ruminansia
dan lainnya. Rumen sapi pada prinsipnya bekerja seperti digester biogas mini
dengan komposisi mikroorganisme yang lengkap. Oleh karena itu digester biogas
buatan umumnya menggunakan kotoran sapi yang dapat berperan sebagai
inokulan untuk memulai proses biogas. Suhu yang tinggi pada rumen sapi (±
39°C) dan mikroorganisme di dalamnya telah teradaptasi pada temperatur yang
sesuai untuk menghasilkan biogas pada digester anaerobik.
Digester anaerobik untuk penanganan limbah cair kopi dapat dioperasikan
sebelum musim panen kopi dengan input larutan kotoran sapi (1:1). Proses
terbentuknya biogas terjadi setelah 21 hari dengan produksi 2 – 6 m3/hari
(Gambar 76). Total produksi biogas mencapai 16 – 18 m3/hari hingga tiba saat
panen kopi. Masa panen kopi umumnya berlangsung sejak bulan Juni hingga
bulan September. Pada saat panen kopi, input larutan kotoran ternak digantikan
oleh limbah cair proses pengolahan kopi. Komposisi gas metan (CH4) dalam
biogas mencapai nilai 55 - 60%. Pengukuran komposisi gas metan dilakukan
selama siklus produksi sebanyak 3 kali di awal panen, saat panen dan setelah
189
panen kopi. Laju produksi biogas meningkat setelah 20 hari setelah pemberian
input limbah cair proses pengolahan kopi hingga 40 m3/hari. Berdasarkan
perhitungan dari konsentrasi input dan output digester (Tabel 31), perkiraan
produksi biogas perhari adalah 38,7 m3 . Nilai tersebut tidak jauh berbeda dengan
pengukuran di lapangan pada saat panen puncak. Berdasarkan pengamatan, rata-
rata produksi biogas dari limbah cair pengolahan kopi lebih tinggi dibandingkan
penggunaan larutan kotoran ternak (Gambar 77).
Gambar 76 Laju produksi biogas selama 1 siklus produksi kopi
Gambar 77 Profil produksi biogas harian dengan 2 jenis input berbeda
190
Digester beroperasi pada rentang temperatur antara 28 – 32oC yang
menunjukkan temperature optimum bagi bakteri mesofilik untuk menghasilkan
biogas. Waktu tinggal padatan atau yang disebut dengan Solid Retention Time
(SRT) dari digester dengan kapasitas 30 m3 adalah 13 hari. Laju alir limbah
optimum adalah 2,33 m3/hari. Menurut Alatiqi et al., (1998), SRT pada digester
campuran sama dengan HRT (hydraulic retention time). HRT merupakan salah
satu parameter proses anaerobik yang dapat mempengaruhi performa
mikroorganisme. HRT menentukan kemampuan mikroorganisme untuk
melakukan proses hidrolisis bahan organik partikulat dan melakukan tahapan
asidifikasi dari komponen organik terlarut. Karakteristik limbah cair berdasarkan
perlakuan minimisasi dan keluaran digester ditampilkan dalam Tabel 31.
Tabel 31. Karakteristik air dan limbah cair pengolahan anaerobik
Jenis air pH BOD
(mg/L)
COD
(mg/L)
BOD/
COD
TSS
(mg/l)
VSS
(mg/L)
Air awal proses 7,15 35 80 32
Air rambang 5,19 229 418 0,55 139
Limbah cair proses
(pengupasan + pencucian)
4,79 6665 15203,8 0,44 11828,98 16218,58
Efluen anaerobik 6,57 821 2160 0,38 920 2584
Penurunan (%) 89,38 87,74 91,60 84,07
Menurut Anonim (2003), karbon dan nitrogen merupakan komponen
penting untuk pembentukan sel dan metabolisme anaerobik. Rasio karbon dan
nitrogen dari limbah cair proses pengolahan kopi dapat mempengaruhi proses
metabolisme. Rasio karbon dan nitrogen optimum antara 25 : 1 hingga 30 :1.
Unsur karbon C dimanfaatkan sebagai sumber energi di dalam proses
metabolisme dan perbanyakan sel oleh bakteri. Sementara unsur nitrogen (N),
digunakan untuk sintesis protein atau pembentukan protoplasma. Selama proses
metabolisme, karbon dimanfaatkan untuk menghasilkan CO2 dan CH4, sehingga
karbon akan tereduksi dan menurunkan rasio C/N di akhir proses. Di sisi lain,
akan meningkatkan konsentrasi nitrogen.
Bahan organik yang mempunyai kandungan C terlalu tinggi menyebabkan
proses penguraian berjalan lambat. Sebaliknya jika C terlalu rendah maka sisa
nitrogen akan berlebihan sehingga terbentuk amonia (NH3). Kandungan amoniak
yang berlebihan dapat meracuni bakteri. Nilai C/N rata-rata limbah cair
191
pengolahan kopi yang berasal dari proses pengupasan dan pencucian berturut-
turut adalah 28 : 1 dan 20 : 1. Untuk meningkatkan proses metabolisme
anaerobik dapat ditambahkan bahan organik lain yang memiliki nilai C/N tinggi.
Penelitian Raphael dan Velmourougane (2011) menunjukkan nilai C/N kulit buah
kopi (pulpa) rata-rata 35,5 : 1. Penambahan kulit buah kopi yang dihasilkan dari
proses pengupasan ke dalam reaktor anaerobik dapat membantu meningkatkan
C/N hingga proses metabolisme optimum untuk meningkatkan produksi biogas.
Akan tetapi ukuran kulit buah kopi yang masih berukuran besar dapat
menyebabkan proses hidrolisis terhambat. Oleh karena itu dibutuhkan
penanganan pendahuluan untuk memperkecil ukuran kulit buah kopi. University
of Southampton and Greenfinch Ltd (2003), pengurangan ukuran partikel dapat
memberikan luasan permukaan yang lebih besar untuk melancarkan proses
hidrolisis oleh bakteri pada digester.
Proses hidrolisis dari kulit buah dan limbah cair kopi menghasilkan asam
amino dan gula sederhana yang digunakan oleh mikroorganisme untuk
menghasilkan sel dan produk intermediet seperti asam propionat, asam butirat,
asam lemak rantai panjang dan alkohol. Komponen-komponen tersebut
merupakan substrat bagi bakteri metanogenik untuk menghasilkan metana.
Digester anaerobik yang menggunakan input tambahan limbah padat kulit
buah kopi sebagai bahan baku untuk mengoptimalkan produksi biogas dapat
menurunkan beban penanganan limbah padat. Terutama karena limbah padat
kulit buah kopi dapat mencapai 60% dari output yang dihasilkan dalam proses
pengolahan buah kopi. Proses anaerobik yang memanfaatkan kulit buah kopi
sebagai campuran input limbah cair pengolahan kopi harus dijaga pada kondisi
volume padatan sebesar 12-13%.
Melalui proses hidrolisis, asidogenesis dan metanogenesis yang terjadi
dalam digester anaerobik, konsentrasi limbah cair pengolahan kopi dapat turun
hingga 90% sekaligus menghasilkan biogas yang mengandung gas-gas metan,
karbondioksida, hidrogen, nitrogen dan asam-asam volatil lainnya. Efluen
anaerobik ini dapat dimanfaatkan sebagai pupuk cair organik. Metan memiliki
daya bakar sehingga dapat digunakan sebagai sumber energi. Biogas merupakan
salah satu alternatif pemanfaatan produk samping yang memberikan andil untuk
192
memenuhi kebutuhan bahan bakar atau energi. Biogas dapat digunakan dalam
berbagai keperluan untuk memasak, penerangan, pompa air, boiler, dsb. Adapun
komposisi efluen proses anaerobik disajikan pada Tabel 32.
Tabel 32 Komposisi efluen proses anaerobik
Slurry Value
C/N 15,5
pH 6,6 – 7,5
N (mg/L) 1,83
P (mg/L) 1,225
Proses fermentasi anaerobik pada prinsipnya dapat dibagi menjadi 2 fase
utama yaitu fase fermentasi asam dan fermentasi metana. Fase pertama adalah
fermentasi asam yang menghasilkan produk-produk intermediet yang terutama
didominasi olah asam-asam volatile (VFA). Fase fermentasi metana
mengkonversi produk intermediet menjadi produk yang lebih stabil terutama
metana dan karbondioksida. Karakteristik mikroorganisme, kebutuhan
lingkungan seperti pH dan suhu optimum dapat berbeda pada kedua fase tersebut.
Kedua fase fermentasi yang terjadi dalam satu reaktor disebut digester anaerobik
konvensional. Penanganan limbah cair pengolahan kopi secara anaerobik
konvensional relatif mudah untuk diterapkan selain menghasilkan biogas sebagai
sumber energi. Lumpur proses anaerobik yang dihasilkan cenderung lebih stabil
sehingga memudahkan pemanfaatannya.
7.3.6. Proses Fisika Kimia Penanganan Limbah Cair
Proses penanganan limbah cair kopi yang memiliki konsentrasi bahan
organik tinggi dengan digester anaerobik sistem campuran belum sepenuhnya
menghasilkan efluen penanganan yang dapat dibuang ke badan air (BOD
maksimum 100 mg/L dan COD maksimum 250 mg/L). Alternatif upaya
penanganan limbah cair proses pengolahan kopi adalah proses kimia dan fisika.
Proses kimia melalui koagulasi flokulasi merupakan salah satu proses yang dikaji
untuk menangani limbah cair pengolahan kopi karena dianggap efektif, murah dan
mudah dalam penanganan limbah cair (Edzwald 1993), sepanjang dilakukan pada
kondisi optimum proses. Proses penanganan fisika melalui penyaringan
merupakan proses penanganan limbah cair yang sejak dahulu telah diterapkan
193
untuk penanganan limbah cair proses pengolahan kopi di perkebunan besar
Indonesia.
Alternatif penanganan limbah cair proses pengolahan kopi dengan proses
fisika dan kimia dilakukan untuk mengetahui efisiensi kedua proses tersebut jika
diterapkan pada sistem penanganan limbah cair proses pengolahan kopi.
Perlakuan proses kimia dilakukan pada beberapa konsentrasi limbah cair kopi
yang berasal dari efluen proses anaerobik dan limbah cair yang berasal dari UPK
Desa Sidomulyo.
Koagulan yang digunakan merupakan jenis koagulan yang umum digunakan
yaitu Al2(SO4)3, yang dikenal dengan nama alum, FeCl3 dan PAC
(Polyaluminimum chloride). Efektifitas proses koagulasi hanya dapat terjadi pada
kondisi optimum proses. Kondisi optimum proses diantaranya adalah pH larutan
dan dosis koagulan yang menentukan keberhasilan penurunan konsentrasi limbah
cair. Penggunaan dosis yang berlebih akan menyebabkan restabilisasi kompleks
partikel koloid pada limbah cair. Pada pra perlakuan telah ditentukan pH dan
dosis optimum yang dapat diaplikasikan pada limbah cair kopi. Penggunaan
koagulan pada pH dan dosis optimum akan menunjukkan penurunan konsentrasi
polutan koloid maksimum. Larutan Ca(OH)2 ataupun CaCO3 dapat digunakan
untuk meningkatkan pH sekaligus berfungsi sebagai koagulan pendukung.
Tabel 33 Efisiensi proses pengolahan kimia dan fisika limbah cair kopi Penanganan pH
awal
pH
akhir
COD awal
(mg/L)
pH:dosis
optimum
COD akhir
(mg/L)
ΔCOD
(%)
ΔWarna
(%)
Kimia:
a. Alum
b. FeCl3
c. Alum + Ca
d. FeCl3 + Ca
e. Alum
f. PAC
4,5
4,5
4,5
4,5
7,12
7,12
5,5
4,3
6,0
5,5
6,0
6,5
5000a)
5000 a)
5000 a)
5000 a)
1960b)
1960b)
6,0:5g/L
5,0:7,5g/L
6,0:5g/L
6,0:7,5g/L
6,0:5g/L
7,0:5g/L
2453
1404
2121
1448,9
191,01
137,49
50,93
71,91
57,58
71,02
90,25
92,98
89,15
97,84
88,47
96,36
70,48
88,25
Fisika d)
4,64
7,12
4,80
7,50
1520 c)
1960 b)
618,08
622,33
59,34
68,25
45,08
40,15 a) limbah cair kopi
b) efluen proses anaerobik limbah cair di Puslitkoka, Kab. Jember
c) limbah cair proses pengolahan kopi di KUPK Sidomulyo, Kab. Jember
d) kombinasi ijuk, silica, karbon aktif & zeolit
Penentuan koagulan berpengaruh nyata terhadap penurunan warna, TSS dan
COD. Pada penelitian yang pernah dilakukan untuk limbah cair yang
mengandung melanoidin, penggunaan feri klorida ataupun garam-garam besi lebih
194
efektif dibandingkan alum. Akan tetapi efluen yang dihasilkan cenderung di
bawah pH netral sehingga membutuhkan penanganan lanjutan (Novita 2001).
Penggunaan koagulan FeCl3 pada penelitian ini juga menunjukkan
persentase penurunan yang lebih besar pada limbah cair proses pengolahan kopi
dibandingkan penggunaan alum (Gambar 78). Akan tetapi lumpur besi yang
dihasilkan cukup besar serta pH larutan akhir yang cenderung asam akan
menimbulkan permasalahan pada saat penanganan akhir. Kombinasi Ca pada
perlakuan koagulasi dimaksudkan untuk menggantikan NaOH yang lebih mahal
harganya sehingga mencapai pH optimum proses. Akan tetapi lumpur akhir
cukup besar sehingga membutuhkan penanganan khusus setelah proses selesai.
Lumpur proses koagulasi flokulasi dalam jumlah besar di beberapa industri telah
banyak dimanfaatkan untuk pembuatan coneblock ataupun batako. Membutuhkan
kajian lebih lanjut apabila akan dilakukan pemanfaatan lumpur proses koagulasi
flokulasi.
Penurunan warna lebih signifikan terjadi pada limbah cair proses
pengolahan kopi dibandingkan penurunan COD. Hal ini diperkirakan karena
proses koagulasi tidak mampu menggoyahkan partikel-partikel bahan organik
kompleks limbah cair kopi. Akan tetapi proses koagulasi flokulasi cukup efektif
dilakukan pada efluen proses anaerobik, karena bahan organik kompleks telah
diurai oleh mikroorganisme anaerobik. Dengan demikian, penurunan konsentrasi
bahan organik dapat terjadi seiring penurunan warna efluen anaerobik.
Gambar 78 Grafik penurunan COD dan warna pada limbah cair kopi
195
Menurut Stumm dan O’Melia (tanpa tahun) diacu dalam Benefield et al.
(1982), untuk merangsang partikel koloid bergabung membentuk gumpalan pada
proses koagulasi dibutuhkan cara penggoyahan partikel yang dapat dicapai
melalui penekanan lapisan ganda listrik dan penyerapan untuk netralisasi.
Penekanan lapisan ganda listrik dicapai melalui penambahan elektrolit bermuatan
yang berlawanan dengan muatan partikel koloid. Selanjutnya penggoyahan
partikel koloid juga akan terjadi apabila elektrolit yang ditambahkan dapat diserap
oleh partikel koloid sehingga muatan partikel menjadi netral. Penyerapan
elektrolit ini hanya mungkin terjadi jika muatan partikel mempunyai konsentrasi
cukup kuat mengadakan gaya tarik menarik antara partikel koloid dengan
koagulan (Koenig 1987).
Reaksi alum dan feri klorida dalam air dapat berbeda sehingga kekuatan
penggoyahan partikel koloid limbah cair juga berbeda. Menurut Eckenfelder
(1986), reaksi alum dan feri klorida adalah sebagai berikut;
Al2(SO4)3 + 6HCO3- 2 Al(OH)3 + 3 SO4
-2 + 6CO2
FeCl3 + 3 H2O Fe(OH)3 + 3H+ + 3Cl
-
Alum lebih stabil dalam penggunaannya dan flok aluminium hidroksida
yang terbentuk bersifat gelatin sehingga akan mengabsorpsi partikel koloid.
Sementara feri klorida bekerja dengan dua mekanisme, yaitu sebagian ion Fe3+
akan menetralkan muatan koloid dan sebagian ion Fe3+
mengalami hidrolisis.
Reaksi hidrolisis feri klorida mirip dengan reaksi hidrolisis alum pada persamaan
reaksi sebelumnya.
Proses koagulasi dan flokulasi dapat dilakukan pada limbah cair kopi instan.
Menurut Ean (2008), feri klorida menunjukkan kemampuan lebih baik
dibandingkan aluminium sulfat untuk mengolah limbah cair kopi instan. Tingkat
penurunan turbiditas dan TSS mencapai 95,38% dan 91,43% menggunakan feri
klorida. Sedangkan aluminium sulfat menurunkan turbiditas dan TSS sebesar
87,65% dan 88,57%. Feri klorida juga mampu menurunkan warna dan COD
sebesar 95% dan 66,45%. Aluminium sulfat mampu menurunkan warna dan
COD sebesar 90% dan 66,45%.
Proses fisika dengan prinsip filtrasi dan adsorpsi dapat digunakan untuk
menangani limbah cair kopi dan efluen anaerobik meskipun dengan efisiensi
196
rendah. Penanganan filtrasi pada penelitian ini menggunakan pasir halus silica,
karbon aktif dan zeolit untuk proses adsorpsi dan penyaringan. Penggunaan ijuk
pada awal proses dimaksudkan untuk menyaring polutan yang berukuran besar.
Efisiensi penurunan polutan lebih besar pada efluen anerobik dibandingkan pada
limbah cair kopi. Dengan demikian penanganan fisika lebih sesuai untuk
penanganan sekunder daripada untuk penanganan primer limbah cair kopi.
Karbon aktif yang digunakan pada penelitian ini merupakan jenis karbon
aktif granular yang umum digunakan pada proses adsorpsi limbah cair dan air
minum. Karbon aktif digunakan untuk mengadsorpsi padatan terlarut hingga
padatan tersuspensi/koloid. Meskipun dalam pemanfaatannya akan dipengaruhi
oleh konsentrasi polutan, waktu kontak, pH dan dosis karbon aktif. Menurut
Chaudhuri dan Khairi (2011), permukaan karbon aktif granular yang luas dengan
mikro pori, mikro volume dan diameter rata-rata pori cenderung seragam cukup
efektif menangani limbah cair yang terkontaminasi logam berat. Ukuran pori
yang kecil akan memberikan waktu kontak lebih lama pada limbah cair sehingga
mampu mengoptimalkan proses adsorpsi.
Gambar 79 Perbandingan efisiensi pengolahan fisika pada limbah cair kopi
Karbon aktif dapat dibuat dari limbah pertanian dengan karakteristik yang
tidak jauh berbeda dengan karbon aktif berbasis batubara. Salah satu contoh
sumber karbon aktif adalah sabut kelapa yang merupakan residu pengolahan
kelapa yang mudah diperoleh dan murah. Sabut kelapa kaya akan lignin (16–
45%), hemiselulosa (24–47%), dan pektin (2%) (Han dan Rowell 1996; Conrad
dan Hansen 2007). Grup karboksilat dan fenolat dari lignin, hemiselulosa dan
197
pektin merupakan bagian penting dalam pengikatan logam-logam berat Conrad
dan Hansen 2007).
Selain karbon aktif, zeolit juga umum digunakan dalam proses adsorpsi dan
penyaringan. Zeolit memiliki kemampuan untuk tukar kation. Zeolit adalah
aluminosilikat dengan rasio Si/Al yang memiliki kemampuan untuk adsorpsi
selektif air, limbah cair, karbondioksida, hidrogen sulfida dan polutan lain.
Adsorpsi sejauh ini merupakan metode yang cukup baik, efektif, murah dan
mudah diterapkan untuk menurunkan konsentrasi polutan.
Pasir silica selain dapat menyaring padatan tersuspensi juga mampu
mendekomposisi polutan terlarut. Dengan demikian pasir silica membantu
mengurangi padatan tersuspensi pada limbah cair. Menurut El Taweel dan Ali
(2000), penyaringan air menggunakan pasir silica juga dapat menurunkan total
coliform, penurunan kekeruhan terutama bila dilakukan secara bertahap.
Meskipun demikian secara estetika air yang terfilter tidak ada perbedaan
berdasarkan parameter fisika dan kimia.
7.3.6. Desain Penanganan Limbah Padat Proses Pengolahan Kopi
Limbah padat proses pengolahan basah kopi berupa kulit, daging buah
(pulp) dan kulit tanduk apabila tidak ditangani akan menimbulkan bau tidak sedap
dan menarik serangga dan lalat. Limbah padat akhirnya dapat menimbulkan
masalah kesehatan lingkungan dan estetika. Apabila limbah tersebut tidak
dimanfaatkan secara optimal dan ditumpuk di sekitar lokasi pengolahan selama
beberapa bulan, akan menimbulkan bau busuk dan cairan yang mencemari
lingkungan. Menurut Rathinavelu dan Graziosi (2005), upaya pemanfaatan
limbah padat kopi telah dilakukan berpuluh-puluh tahun yang lalu terutama
pemanfaatan pulpa kopi menjadi pakan ternak, asam cuka, biogas, ekstrak kafein,
pektin, enzim pektat, protein, dan kompos. Salah satu upaya untuk mendukung
pertanian berkelanjutan melalui perbaikan tanah adalah pemanfaatan secara
maksimal limbah proses produksi kopi. Limbah pulpa kopi memiliki kadar bahan
organik dan unsur hara yang memungkinkan untuk memperbaiki tanah. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa kadar C-organik pulpa kopi adalah 45,3 %, kadar
nitrogen 2,98 %, fosfor 0,18 %, dan kalium 2,26 %. Selain itu pulpa kopi juga
198
mengandung unsur Ca, Mg, Mn, Fe, Cu, dan Zn. Pulpa kopi kaya akan serat,
karbohidrat, protein, mineral dan sejumlah pektin.
Pulp Kopi
Pembuatan pakan Silase dari pulp kopi Pakan ternak
Tepung pulp kopi Pakan ternakPengeringan
Bagas-pulp kopiPengepresan
Penambahan
air (juice)
Proses
mikrobial
Produk kaya
protein
Pakan ternak
Pulp kopiEkstraksi
Caffein
Pulp kopiEkstraksi
Protein
Fermentasi
alamiPupuk organik + energi (gas)
Lain
Cuka
Enzim pektinase
Ekstrak konsentrasi pulp kopi
Gambar 80 Beberapa alternatif pemanfaatan pulpa kopi (Braham dan Bressani 1979)
Kulit tanduk kopi
(hull)
Pakan ternak
Ekstraksi pelarut Residu
Wax (lilin)
Bahan bakar
Arang + asam asetat
Lendir (mucilage)
Enzim pektinase
Proses mikrobial (kaya protein)
Pektin
Gambar 81 Beberapa alternatif pemanfaatan kulit tanduk dan lendir kopi (Braham dan Bressani 1979)
Produk lain yang menarik dimanfaatkan adalah lendir (mucilage) yang
terletak di antara daging buah dan kulit kopi dan merupakan 5% berat kering dari
buah kopi (Bressani et al. 1972). Lendir terdiri atas lapisan kental 0,5 – 2 mm
yang kuat melekat pada kulit buah. Lendir merupakan lapisan koloid dan bersifat
hidrogel (lyophilic). Lendir mengandung air, pektin, gula, dan asam organik.
Selama fase pematangan buah kopi, kalsium pektat yang berada di tengah lamella
dan protopektin dari dinding selular dikonversi menjadi pektin. Transformasi atau
proses hidrolisis protopektin ini menyebabkan disintegrasi dari dinding sel,
199
meninggalkan plasma sel. Selain pektin, plasma ini mengandung gula dan asam
organik yang diturunkan dari proses konversi dan metabolisme tepung menjadi
gula (Carbonell dan Vilanova 1974 diacu dalam Braham dan Bressani 1979).
Lendir umumnya sulit untuk diperoleh karena mekanisme proses
pengupasan dan pencucian pada pengolahan basah. Lendir akan terbawa bersama
air dan akan terolah seterusnya melalui fermentasi. Oleh karena itu apabila
diinginkan substansi pektat, maka perlu dilakukan daur ulang air atau
menggunakan pulpa kopi sebagai bahan baku.
Berdasarkan studi literature dan pengamatan di lapangan, beberapa
alternative pemanfaatan limbah padat proses pengolahan basah kopi rakyat adalah
sebagai berikut;
1. Briket. Limbah padat kopi dapat dijadikan briket, terutama untuk kulit kopi
yang berasal dari pengolahan kering. Dari 1 kilogram kulit kopi yang
dihasilkan dalam proses pengolahan biji kopi dapat dihasilkan 4 ons briket.
Pengolahan itu dilakukan dengan mengambil kulit kopi. Pada kulit kopi hasil
pengolahan basah, perlu dilakukan pengeringan terlebih dahulu. Selanjutnya,
limbah dijadikan arang dan kemudian dicetak. Briket dari limbah kopi itu siap
dipakai dalam bentuk cetakan bulat, sebesar buah kemiri. Cara
memanfaatkannya sama dengan briket batu bara.
Gambar 82 Contoh briket kulit kopi pengolahan kering
2. Limbah kopi untuk pakan ternak. Daging buah kopi (pulpa) dapat
dimanfaatkan sebagai pakan ternak dengan konsentrasi maksimum 20% dan
mampu menghemat hingga 30% biaya pakan ternak. Komposisi pulpa kopi
mengandung protein 75-150 g/kg, lemak 20-70 g/kg dan karbohidrat 210-320
g/kg (Rojas et al. 2003). Menurut Beltran et al. (2011), pulpa kopi yang kaya
akan pektin dan karbohidrat terlarut berpotensi sebagai sumber campuran
pakan ternak. Akan tetapi kandungan faktor antinutrisi seperti kafein,
200
polifenol dan tannin membatasi campuran pulpa kopi tidak dapat melebihi
20%. Bressani et al. (1972) menyatakan kandungan lignin, pentosa dan
heksosa yang tinggi pada kulit kopi membutuhkan penanganan khusus.
Pemanfaatan yang mungkin dan telah dikembangkan untuk kulit kopi adalah
sebagai sumber energi bagi proses pengeringan kopi.
3. Papan partikel. Kulit tanduk kering dari pengolahan kopi mengandung air
7,8%, serat kasar 77%, abu 0,5%, ekstrak nitrogen 18,9% (Elias 1979 diacu
dalam Yusianto et al. 1999). Serat kasar terdiri dari selulosa, pentosa, lignin
serta bahan berlignoselulosa yang berpeluang digunakan sebagai bahan baku
papan partikel. Pulpa kopi berserat kasar agak rendah, namun masih
memungkinkan sebagai bahan pengisi papan partikel. Bahan baku papan
partikel dapat berasal dari kulit buah proses pengolahan kering dan kulit
tanduk pengolahan basah. Papan partikel dari kulit tanduk hasil pengolahan
basah tidak mudah ditumbuhi kapang, karena sudah tidak mengandung gula
dari proses pengupasan dan pencucian. Sebaliknya papan partikel dari kulit
kopi pengolahan kering mudah ditumbuhi kapang dan memiliki kandungan
serat rendah. Dengan demikian kulit tanduk hasil pengolahan basah
menunjukkan potensi besar pembuatan papan partikel. Menurut Bekalo dan
Reinhardt (2010), kandungan selulosa dan hemiselulosa yang besar pada kulit
kopi dan kulit tanduk kopi dapat menggantikan kayu hingga 50% dalam
pembuatan papan partikel. Pembuatan papan partikel berbahan baku kulit
kopi dengan penggunaan dan jumlah resin yang sesuai bahkan sanggup
memenuhi standar Eropa (Gambar 83).
4. Biogas. Daging dan kulit buah kopi hasil proses pengupasan masih
mengandung gula yang cukup besar, sehingga potensial bagi pembentukan
biogas bersama-sama limbah cair proses pengolahan basah. Menurut Calle
(1955) diacu dalam Braham dan Bressani (1979), 30 kg pulpa kopi yang
dicampur dengan kotoran sapi mampu menghasilkan 670 liter metan setelah
72 hari. Residu proses ini juga kaya akan nitrogen dan sesuai digunakan
sebagai pupuk organik.
201
Gambar 83 Papan partikel berbahan baku liimbah padat kopi Sumber: Bekalo dan Reinhardt (2010)
5. Kompos. Menurut Calvert (1998), pulpa kopi hanya mengandung 1/5 nutrien
yang berasal dari tanah, dimana 4/5 nutrien terbawa oleh biji siap ekspor.
Meskipun demikian, daging buah kopi merupakan sumber yang baik untuk
humus dan karbon organik. Rathinavelu dan Graziosi (2005), kompos
merupakan sumber hara tanaman, bahan pembenah kesuburan fisik dan
biologi tanah. Kecepatan suatu bahan menjadi kompos terutama dipengaruhi
oleh C/N bahan. Semakin mendekati C/N tanah, maka bahan akan lebih cepat
menjadi kompos. Tanah pertanian yang baik mengandung perbandingan
unsur C dan N yang seimbang. Keseimbangan yang baik ialah C/N = 10/12
atau C : N = 10 : 12. Bahan-bahan organik yang memiliki C/N tinggi harus
dikomposkan terlebih dahulu sebelum digunakan. Menurut Baon et al.
(2005), pulpa kopi menghasilkan kompos bermutu lebih baik. Kandungan
hara kompos pulpa kopi jauh lebih tinggi dibandingkan kompos kulit kopi.
Selain itu rasio C/N pulpa kopi lebih sesuai untuk proses pengomposan (Tabel
34).
Tabel 34 Perbandingan kandungan hara pada limbah padat kopi.
Perlakuan C/N C/P N/P pH
Bahan :
Pulpa (pulp)
15,4 a
277 b
16 a
6,7 a
Kulit tanduk 67,2 a 972 a 16 a 6,6 a
Campuran 29,7 b 514 b 17 a 7,0 a Sumber: Baon et al. (2005).
Untuk menghasilkan kompos dengan nisbah C/N > 15, pulpa kopi
membutuhkan waktu 4 minggu sedangkan kulit tanduk lebih dari 8 minggu.
Erwiyono et al. (2001), kompos kulit buah kopi memberikan pengaruh
202
tertinggi pada produksi kopi Robusta dibandingkan kompos dari sumber lain
seperti belotong, kotoran sapi, kotoran kambing dan daun tanaman penaung.
6. Media Jamur. Limbah padat kopi menurut Fan dan Soccol (2005),
merupakan media yang sesuai untuk pertumbuhan jamur. Berikut
perbandingan komposisi nutrisi pada limbah padat kopi untuk pertumbuhan
jamur (Tabel 35.). Menurut Bermudez et al. (2001), efisiensi pulpa kopi
menunjukkan potensi biologi pertumbuhan jamur tiram tertinggi (168,5 –
179,4%) dibandingkan kulit kelapa (90%) dan kulit kakao (84,5%). Fan et al.
(2000) diacu dalam Fan dan Soccol (2005) efisiensi produksi jamur shitake
dapat mencapai 90%, meskipun aplikasinya di petani baru mencapai 50%.
Tabel 35 Perbandingan komposisi nutrisi kulit kopi dan pulpa kopi
Komponen Kulit Kopi Pulpa Kopi
Protein (%) 9,2 – 11,3 8,5 – 12,1
Lipid (%) 2,0 – 2,3 1,5 – 2,0
Selulosa (%) 13,2 – 27,6 15,1 – 20,3
Abu (%) 3,3 – 4,1 5,5 – 6,8
Ekstrak non-nitrogen 57,8 – 66,1 45,5 – 54,3
Tanin 4,5 – 5,4 1,6 – 2,4
Kafein 0,8 – 1,1 0,5 – 0,7 Sumber; Fan dan Soccol (2005).
7.3.7. Rekomendasi Penanganan Limbah Proses Pengolahan Kopi
Buah kopi harus melalui proses panjang untuk dikonsumsi. Proses tersebut
sering membutuhkan sejumlah besar air dan menghasilkan limbah padat dan cair.
Minimisasi air pada proses pengolahan kopi metode olah basah belum sepenuhnya
dapat memecahkan permasalahan yang timbul pada unit pengolahan kopi rakyat,
karena masih ada limbah yang dihasilkan. Limbah tersebut dapat diubah menjadi
produk bernilai ekonomis untuk menambah pendapatan petani kopi. Penerapan
teknologi yang tepat untuk mengolah limbah cair serta pemanfaatan produk
samping (by products) pengolahan kopi sangat dibutuhkan. Produk samping
adalah sesuatu yang turut dihasilkan pada saat mengolah suatu produk atau hasil
sekunder/hasil samping dari suatu proses produksi.
Mburu (2010), minimisasi air proses pengolahan dapat dilakukan dengan
mendaurulang air proses dengan beberapa batasan. Air proses sortasi rambang
dapat digunakan untuk air proses pengupasan. Air proses pengupasan tidak dapat
digunakan kembali untuk keperluan lain melainkan hanya untuk proses
203
pengupasan sebanyak 2-3 kali. Modifikasi peralatan akan membantu mengurangi
kebutuhan air, meskipun dalam penerapannya membutuhkan penilaian lanjut yang
disesuaikan dengan kondisi setempat.
Menurut Calvert (1998), keuntungan resirkulasi air proses pengupasan
untuk proses pengupasan kembali adalah mempercepat aksi bakteri mendegradasi
komponen lendir pada proses fermentasi. Apabila air bersih berlebih yang
digunakan untuk proses pengupasan, maka akan banyak gula terlarut yang dapat
tercuci sebelum proses fermentasi. Kondisi demikian akan mengurangi kerja
bakteri pembusuk yang menguntungkan dan menambah bakteri ataupun kapang
yang menghasilkan asam-asam tingkat tinggi seperti propionat dan butirat yang
dapat menyebabkan onion flavor pada biji kopi. Meskipun demikian dibutuhkan
pengawasan terhadap kondisi air proses pengupasan terutama tingkat gula dan
enzim yang terlarut. Oleh karena itu, pada saat air daur ulang yang digunakan
untuk proses pengupasan mulai mengental dan pekat, air ini harus dibuang. Lebih
lanjut Calvert (1998) menjelaskan proses fermentasi yang berfungsi mendegradasi
lendir dari daging buah kopi tidak dapat digantikan dengan proses mekanis jika
kualitas akhir biji kopi yang diinginkan.
Berdasarkan hasil penelitian terhadap kualitas limbah cair, limbah padat
serta upaya penanganannya pada proses pengolahan kopi, maka dapat diterapkan
sistem tertutup penanganan limbah (Gambar 84). Sistem tertutup penanganan
limbah merupakan bagian penerapan konsep ekoteknologi untuk meningkatkan
kualitas lingkungan terutama kualitas badan air dan tanah. Jacobi (2004),
memberikan contoh penerapan ekoteknologi pada pertanian kopi di Matagalpa,
Nicaragua untuk meningkatkan kualitas air. Pertanian kopi di Matagalpa
memanfaatkan kombinasi teknologi UASB, penggunaan bio-filter (kolam dengan
tanaman air) untuk mengolah limbah cair proses pengolahan. Adapun air setelah
penanganan (efluen) dialirkan ke areal pertanian melalui irigasi sprinkler.
Desain sistem tertutup proses pengolahan kopi dan alternatif penanganan
limbah pengolahan kopi merupakan desain integrasi pengolahan kopi dan
penanganan limbah pengolahan yang berbasis produksi bersih. Pengolahan kopi
rakyat berdasarkan prinsip minimisasi air optimum yang mampu meningkatkan
mutu biji kopi sekaligus menurunkan volume limbah cair yang dihasilkan.
204
Desain terintegrasi penanganan limbah meliputi upaya penanganan limbah cair
dan limbah padat yang bernilai ekonomis dan menerapkan konsep 3R (reduce,
reuse, and recycle).
Desain penanganan limbah cair dapat dibagi menjadi beberapa tahap,
meliputi (1) pra penanganan, (2) penanganan primer, (3) penanganan sekunder
dan (4) penanganan tersier.
1. Proses netralisasi limbah cair dalam tahap pra penanganan akan dibutuhkan
apabila limbah cair yang dihasilkan memiliki nilai pH di bawah 5,0.
2. Penanganan primer dilakukan dengan menerapkan teknologi pembangkitan
biogas. Digester anaerobik yang mampu menghasilkan biogas dapat
disesuaikan dengan kapasitas pengolahan kopi KUPK Sidomulyo. Adapun
biogas yang dihasilkan dapat dialirkan kembali ke sentra pengolahan kopi
sebagai bahan bakar proses pengeringan ataupun dimanfaatkan oleh
masyarakat sebagai alternatif pengganti kayu bakar dan LPG untuk memasak.
3. Penanganan sekunder dapat diterapkan dengan tujuan mendapatkan kembali
air hasil pengolahan limbah untuk dimanfaatkan kembali pada proses sortasi
dan pengupasan buah kopi (pulping). Alternatif tahap penanganan sekunder
meliputi; (1) proses sedimentasi, (2) proses koagulasi flokulasi, dan (3)
pembuatan pupuk cair dari air limbah keluaran (efluen) digester anaerobik.
4. Penanganan tersier meliputi beberapa alternatif yaitu; (1) filtrasi atau
penyaringan efluen proses sedimentasi, (2) filtrasi atau penyaringan efluen
proses koagulasi flokulasi, (3) penanganan lumpur atau limbah padat dari
penanganan limbah cair.
Sebagaimana penanganan limbah cair, upaya penanganan limbah padat
proses pengolahan kopi juga dilakukan berdasarkan beberapa alternatif
penanganan yang meliputi;
1. Pemanfaatan pulpa kopi dari proses pulping untuk pembuatan pakan ternak,
kompos dan media produksi jamur.
2. Pemanfaatan pulpa dan kulit tanduk kopi untuk pembuatan briket, kompos,
papan partikel ataupun bahan baku reaktor anaerobik.
3. Pemanfaatan limbah padat hasil penanganan limbah cair untuk pembuatan
kompos ataupun papan partikel.
205
7.4. Kesimpulan
Limbah cair proses pengupasan dan pencucian buah kopi kaya akan bahan
organic dan kandungan padatan terlarut. Rasio BOD/COD yang termasuk
kategori biodegradable dan proporsi kandungan padatan yang mudah menguap
(VSS) menunjukkan kesesuaian penanganan secara biologi anaerobik.
Penanganan limbah cair pengolahan kopi dengan digester anaerobik konvensional
relatif mudah untuk diterapkan selain menghasilkan biogas sebagai sumber energi.
Lumpur proses anaerobik yang dihasilkan cenderung lebih stabil sehingga
memudahkan pemanfaatannya. Kandungan makronutrien yang masih cukup
tinggi dari efluen proses anaerobik memiliki potensi untuk dimanfaatkan kembali.
Penanganan sekunder dan tersier dapat dilakukan terhadap efluen anaerobik
yang disesuaikan dengan tujuan akhir pengolahan. Proses koagulasi dan flokulasi
telah terbukti efektif untuk menurunkan warna limbah cair. Proses sedimentasi
dan filtrasi lebih sesuai untuk menurunkan padatan terendapkan pada penanganan
tersier. Upaya memanfaatkan kembali efluen penanganan limbah cair
membutuhkan kajian lanjut untuk mengetahui pengaruhnya terhadap proses
fermentasi dan mutu kopi akhir.
Penanganan limbah padat pengolahan kopi diarahkan kepada pembuatan
produk yang bernilai ekonomis dan mampu untuk dilakukan masyarakat di KUPK
Sidomulyo. Beberapa alternatif pembuatan produk ekonomis dari limbah padat
pengolahan kopi adalah pembuatan briket, pakan ternak, papan partikel, kompos,
bahan baku reaktor biogas dan media produksi jamur. Kajian lanjut mengenai
ketersediaan bahan baku, sumberdaya manusia dan kemampuan teknologi serta
pasar yang tersedia akan membantu keberlanjutan penanganan limbah padat
proses pengolahan kopi sebagai bagian dari sistem keberlanjutan agroindustri kopi
di KUPK Sidomulyo. Agroindustri kopi rakyat yang menerapkan prinsip
produksi bersih diterapkan melalui integrasi sistem tertutup proses pengolahan
kopi berbasis meminimalkan air, upaya penanganan limbah cair dan limbah padat
yang menerapkan konsep 3R (reduce, reuse and, recycle).
206
Gambar 84 Sistem tertutup proses pengolahan dan alternatif penanganan limbah pengolahan kopi rakyat