vi Afirmasi Vol. 02, Januari 2013 - wri.or.id · PDF fileIngin Tahu Sejarah Seksualitas ......

279
vi Afirmasi Vol. 02, Januari 2013

Transcript of vi Afirmasi Vol. 02, Januari 2013 - wri.or.id · PDF fileIngin Tahu Sejarah Seksualitas ......

vi Afirmasi Vol. 02, Januari 2013

diterbitkan oleh Women Research Institute.Sebagai sebuah jurnal pengembangan pemikiran feminis, Jurnal Afirmasi memuat

tulisan hasil penelitian, esai atau tulisan yang bersifat opini dan resensi bukuyang masih terkait dengan tema jurnal.

Women Research Institute: Jl. Kalibata Utara II No. 78, Jakarta 12740 - INDONESIATel. (62-21) 7918.7149 & 798.7345 Fax. (62-21) 798.7345 Email: [email protected] Website: www.wri.or.id

Tim Redaksi: Edriana Noerdin, Sekar Pireno KS, Sita AripurnamiEditor: Debra H. Yatim - Desain Cover & Tata Letak: Sekar Pireno KS

Sapa RedaksiGerakan Perempuan Bagian Gerakan Demokrasidi Indonesia

FOKUSOrganisasi Perempuan di tengah KeterbukaanPolitikTransformasi Gerakan dan MenguatnyaKepemimpinan Perempuan

TELAAHMembangun Kekuatan Ekonomi dan PolitikPerempuan Akar Rumput di Sumatera UtaraTantangan Organisasi Perempuan di PadangUpaya Membangun PengorganisasianPerempuan di LampungKeragaman Kelembagaan dan MenguatnyaAdvokasi Kebijakan Adil Gender di JakartaJejaring Organisasi Perempuan MembangunGerakan di Lombok-NTB

ESAIJelajah Gerakan Perempuan untuk Demokrasidi IndonesiaMembaca-ulang Politik: Pendekatan Feminismedan Metodologi Penelitian

WAWANCARAKonsep Kepemimpinan dan Representasidalam Gerakan Perempuan

BUKUIngin Tahu Sejarah SeksualitasDekonstruksi Institusi untuk Keadilan Gender

TENTANG PENULIS

Women Research Institute

Edriana Noerdin

Sita Aripurnami

Ayu Anastasia, Aris Arif Mundayat

Rahayuningtyas, Edriana NoerdinIka Wahyu Priaryani, Aris Arif Mundayat

Sita Aripurnami, Ayu A., Frisca A., MyraDiarsi, Rahayuningtyas, Ika W. PriaryaniFrisca Anindhita, Sita Aripurnami

Sita Aripurnami

Chusnul Mar’iyah

Ayu Anastasia

RahayuningtyasIka Wahyu Priaryani

iii1

11

63

105

127151

165

193

209

237

253

263271

277

Vol. 02, Januari 2013

Foto Cover: Nila & Niken Nugroho

ii Afirmasi Vol. 02, Januari 2013

Sapa Redaksi ii

Penelitian tentang kepemimpinan perem-puan, khususnya mengenai kepemim-

pinan feminis di Indonesia setelah 1998 be-lum banyak dikaji. Terlebih lagi, kepemim-pinan feminis dalam kaitannya dengan pro-ses transformasi sosial yang lebih luas.

Hampir selalu muncul tantangan darimasyarakat manakala kelompok atau or-ganisasi perempuan yang mendefinisikan artikata feminisme. Secara garis besar feminis-me hampir selalu diartikan sebagai tindak-an, cara bicara, penulisan dan pembelaanbagi permasalahan serta hak perempuan ju-ga mengidentifikasi ketidakadilan yang di-alami perempuan dalam masyarakat.

Penggambaran kepemimpinan perem-puan (feminis) dalam kaitannya dengan pro-ses transformasi di Indonesia perlu dilihatdalam kaitannya dengan proses penguatanlokal serta pengaruh global. Penguatan lokaldi Indonesia terkait dengan proses desen-tralisasi, sedangkan pengaruh global meru-pakan pengaruh politik dan ekonomi inter-nasional di Indonesia.

Pada akhir abad 19 di Indonesia, perem-puan belum menempati posisi yang samadengan sejawatnya yang laki-laki. Perem-puan lebih diharapkan untuk membatasigeraknya pada lingkup rumah dan keluarga.Perempuan tidak dikuatkan untuk menda-patkan pendidikan formal. Itulah sebabnya,akses pada pendidikan menjadi permasalah-an perempuan yang mengemuka pada masaitu. Kartini, Dewi Sartika adalah beberapanama pioner yang memperjuangkan pen-tingnya pendidikan bagi kaum perempuan.Setelah menikah, perempuan seringkali ti-dak mempunyai hak atas kepemilikan aset.Apabila terjadi perceraian, perempuan ham-pir selalu dirugikan bahkan dipersulit untukmendapatkan santunan bagi pendidikan dankehidupan anaknya. Perjuangan banyak in-dividu perempuan serta organisasi perempu-an di Indonesia mengenai pentingnya Un-dang-Undang Perkawinan berawal sejak1899 dan baru berhasil disetujui pada 1974.Sebuah upaya kerja yang membutuhkan ke-mampuan untuk mempertahankan fokus

Sapa Redaksi

iv Afirmasi Vol. 02, Januari 2013

dan stamina yang luar biasa kuat. Meski pe-rempuan di Indonesia sudah mendapatkanhak pilihnya sejak tahun 1955, partisipasiperempuan di kancah politik masih belummemenuhi harapan batas kuota minimal 30persen.

Upaya mengatasi permasalahan pendi-dikan, hak dalam perkawinan serta politikdapat dikatakan sebagai capaian yang tidakmain-main dari kerja para aktivis dan or-ganisasi perempuan di Indonesia. Bahkan,gerakan perempuan memainkan perananyang penting dalam upaya menurunkan re-zim yang otoritarian pada 1998. Beriringandengan gerakan nasionalisme pada masapenjajahan kolonial Hindia Belanda hinggagerakan pro demokrasi pada 1998, gerakanperempuan selayaknya dipertimbangkan se-bagai salah satu gerakan politik Indonesiayang penting di abad 20. Gerakan perempu-an adalah sebuah gerakan politik denganbentuknya yang khas – gerakan ini memilikimedia, bayangan ideal, visi, pengorganisasi-an bahkan pendanaannya tersendiri.

Kerja aktivis perempuan dan organisasiperempuan ini telah berlangsung sejak tahun1899. Sebuah upaya yang sudah terlaksanadalam masa dua abad serta melibatkan tigagenerasi dan jutaan perempuan di Indone-sia. Setiap generasi aktivis dan organisasiperempuan menjadi saksi dari upaya atauperjuangan yang dilakukan. Para aktivis pe-rempuan generasi masa perlawanan terha-dap penjajahan kolonial Belanda membu-tuhkan waktu 75 tahun untuk mencapai di-loloskannya Undang-Undang Perkawinan.Apakah kemudian situasi yang dihadapiperempuan di Indonesia menjadi berubahlebih sejahtera?

Women Research Institute (WRI) sela-ma April hingga November 2012 melaku-kan sebuah penelitian yang mencoba menja-wab pertanyaan tersebut. Terutama, menge-nai “Kepemimpinan Feminis dalam NegaraPasca Otoritarian Indonesia dalam Mem-pengaruhi Gerakan Sosial dan Korelasinyapada Peningkatan Kesejahteraan Perempu-an”. Penelitian ini dimungkinkan berkat du-kungan dari Hivos.

Tentu saja ambisi untuk menjawab per-tanyaan besar mengenai kesejahteraan pe-rempuan di Indonesia berkat kerja para akti-vis dan organisasi perempuan. Namun, me-lalui pilihan atas lima wilayah (Jakarta, Su-matera Utara, Padang, Lampung dan Lom-bok) sebagai sebuah studi kasus diharapkandapat menjadi cerminan, dan setidaknyamemahami bentuk-bentuk kuasa perempu-an yang muncul dalam gerakan sosial, bu-daya dan politik, baik di tingkat individu,keluarga, kelompok masyarakat sipil mau-pun masyarakat secara umum. Lebih lanjut,bagaimana hal tersebut memberi dampakpada upaya untuk menghadirkan perubahankesejahteraan dan posisi bagi perempuan.

Harapannya, paparan data dan informasidari penelitian WRI ini dapat menjadi se-buah awal dari upaya bersama mencari caraserta strategi untuk memperkuat posisi danmeningkatkan kesejahteraan perempuan diIndonesia.

Hasil penelitian yang tertuang dalamJurnal Afirmasi ini merupakan persembahankami untuk menghargai serta mengakuikerja banyak aktivis juga organisasi perem-puan yang telah mendedikasikan kerja danvisinya untuk pemenuhan hak perempuandi Indonesia.

Women Research Institute

Latar Belakang

Gerakan Perempuan Era Orde Baru

Pada masa Orde Baru, dalam model pe-merintahan Presiden Soeharto, pengen-

dalian yang sangat ketat diberlakukan terha-dap organisasi masyarakat sipil, termasukorganisasi perempuan. Gerakan perempuandihancurkan secara sistematis dengan mem-beri stigma terhadap organisasi perempuanprogresif seperti Gerakan Wanita Indone-sia/Gerwani (Wieringa, 1999). Citra perem-puan dalam wacana rezim Soeharto digam-barkan pasrah dan patuh atas subordinasiyang dialaminya. Organisasi perempuanyang bisa berkembang pada periode peme-rintahan Soeharto adalah organisasi yang di-fasilitasi oleh pemerintah (disebut LembagaSwadaya Masyarakat/LSM) seperti DharmaWanita, Dharma Pertiwi dan PKK (Pem-binaan Kesejahteraan Keluarga), yang dicip-takan untuk mendukung kebijakan peme-rintah.

Pada tahun 1980-an, setelah Perserikat-an Bangsa-Bangsa (PBB) menetapkan dasa-warsa perempuan yang menandai mening-katnya perhatian terhadap masalah-masalahperempuan, muncul bentuk baru dari gerak-an perempuan yaitu organisasi non-peme-rintah (ornop), dalam istilah pemerintah In-donesia juga dikenal sebagai LSM-- sepertiorganisasi perempuan yang tumbuh di Ja-karta, misalnya Kalyanamitra, yang meng-khususkan diri sebagai pusat informasi dankomunikasi perempuan; Solidaritas Perem-puan, dengan fokus kerja sebagai pengor-ganisasi buruh migran; serta berbagai or-ganisasi yang bekerja untuk isu kesehatanreproduksi, baik di Jakarta maupun di luarJakarta, seperti Rifka Annisa di Yogyakarta.Pada periode yang bersamaan, kelompokintelektual di universitas mulai membangunPusat Studi Wanita (PSW) sebagai salah satuelemen gerakan perempuan yang melakukankajian ilmiah terhadap masalah-masalahperempuan. PSW pertama dibangun pada1979 di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Poli-

Gerakan Perempuan Bagian GerakanDemokrasi di IndonesiaStudi Kasus: Jakarta, Lampung, Sumatera Utara, Padangdan Lombok

PENGANTAR

Women Research Institute

2 Afirmasi Vol. 02, Januari 2013

tik Universitas Indonesia atas inisiatif bebe-rapa pengajar.

Berakhirnya pemerintahan rezim mili-ter Orde Baru pada 1998 ditandai dengankekerasan massal dan konflik antar kelom-pok yang menewaskan ratusan orang, danjuga terjadi kekerasan seksual terhadap pe-rempuan. Puluhan perempuan jadi korbanperkosaan dalam kerusuhan Mei tahun itu.Selain kekerasan yang kasat mata, rezimOrde Baru juga mewariskan ketidakpuasanterhadap pembangunan sosial yang terpusatbaik secara geografis dan budaya di Jawa.Kelompok kelas menengah yang berpendi-dikan memiliki potensi menjadi kelompokkepentingan yang kritis, tetapi mereka pu-nya banyak keterbatasan untuk berhubung-an dengan kelas bawah. Rinaldo (2005) me-ngutip Budianta (2002) yang menyatakanbahwa:

“gerakan perempuan selama ini bergan-tung pada kelompok aktivis perempu-an yang relatif kecil dan memiliki afiliasisekaligus dengan beberapa organisasi.Keadaan ini seringkali menggagalkanoptimalisasi hubungan dengan sejumlahbesar kelompok perempuan kelas me-nengah dan kelas bawah, yang bangkit[kesadarannya] karena iklim politik masakrisis dan siap bergerak kalau diorganisirdengan tepat”.1

Gerakan Perempuan Setelah 1998

Kajian yang dilakukan oleh Harris, Stokkedan Tornquist (2004) menunjukkan bahwabanyak gerakan LSM di Indonesia maupun

negara sedang berkembang lainnya, yangpada awalnya kekiri-kirian, lalu kemudianmengambil posisi gerakan di tingkat lokaluntuk meningkatkan kesejahteraan masya-rakatnya. Secara bersamaan, gerakan popu-lis yang didukung oleh World Bank yangmendukung proyek neo-liberal juga me-ngembangkan berbagai strategi politik yangbergerak di tingkat lokal. Mereka bergerakbersamaan dengan momentum desentrali-sasi politik di Indonesia, dengan mengusungnilai-nilai good governance.

Kedua bentuk gerakan tersebut secarabersamaan mempromosikan demokratisasidengan berbagai strategi, masing-masing se-suai dengan agenda yang saling tumpangtindih. Gerakan perempuan yang juga di du-kung oleh kekuatan global atau ekstra-lokaltersebut ikut andil pula mewarnai dinamikapolitik di tingkat lokal, dalam pengertian ditingkat kapubaten, provinsi bahkan nasio-nal.

Di Asia Tenggara secara umum, terma-suk di Indonesia secara khusus, kita temu-kan banyak kelompok LSM yang didanaioleh World Bank yang bekerja dengan men-jalankan agenda neo-liberal seperti ‘goodgovernance’ (Ungpakorn, 2003). AktivitasWorld Bank pada dasarnya bukan hanyabergerak dalam menyuntikkan dana utangkepada pemerintah Indonesia, namun jugaikut aktif dalam mengembangkan proses-proses partisipasi masyarakat sipil untukberpolitik dalam pembangunan (WorldBank, 2000). Dalam konteks ini, WorldBank melihat pentingnya peran LSM dalamproses pembangunan jangka panjang danreformasi ekonomi di tingkat masyarakat,supaya itu tidak berlaku hanya di tingkatinstitusi ekonomi negara saja. Program se-

1 Melani Budianta, Transformasi Gerakan Perempuan diIndonesia , Horisan Esai Indonesia Bunga Rampai, 2002.

Pengantar - Gerakan Perempuan Bagian Gerakan Demokrasi di Indonesia 3

perti Program Nasional Pemberdayaan Ma-syarakat (PNPM), yang melibatkan kelom-pok organisasi Pekka (Perempuan KepalaKeluarga), adalah contoh nyata dari berge-raknya mekanisme ‘ekstra-lokal’ secara po-litik dalam mendorong terjadinya perubah-an pola relasi kuasa di tingkat individual pe-rempuan, keluarga dan masyarakat. Selainitu, World Bank bersama LSM yang ada diIndonesia, juga aktif dalam mempromosi-kan perlunya institusi publik yang menjalan-kan tatakelola pemerintahan yang efektif,transparan dan berakuntabilitas melaluipengawasan publik yang partisipatif.

Di dalam konteks desentralisasi, banyakpemerintahan di tingkat daerah yang masihbertahan dengan karakter tidak demokratisdalam mengelola pemerintahan daerah, baikitu dengan menghadirkan politik komunita-rian, maupun dengan praktik kekuasaanyang sifatnya abusive. Kekuatan LSM jugamengkritisi praktik-praktik tersebut, namunbelum banyak yang berubah — bahkan pe-merintah pusat seringkali membiarkan halitu terjadi. Studi yang dilakukan oleh Rodan,Hewison dan Robison (2006) menunjukkanbahwa keberadaan rezim seperti demikiansangat sulit untuk dilucuti menjadi demo-kratis karena di dalamnya terkait denganpengaturan ekonomi, sosial dan kuasa poli-tik yang mempertahankannya. LSM perem-puan yang berhadapan dengan rezim sepertiitu tentu saja memiliki strategi politik gerak-an yang berbeda dengan yang dilakukan didaerah lainnya, dalam mendorong terjadinyaperubahan ke arah memberi kesempatanbagi perempuan untuk memiliki akses keranah publik secara politis. Dalam kontekstersebut, gerakan sosial perempuan pun ikutandil dalam proses desentralisasi, melalui

gerakan di bidang seperti anggaran partisi-patif, pengarusutamaan perspektif genderdalam anggaran dan politik, gerakan anti-diskriminasi terhadap perempuan, dan ge-rakan sosial yang menaruh perhatian terha-dap kesehatan reproduksi perempuan. Mere-ka terlibat aktif dengan sumber-sumber eks-tra-lokal, baik yang berkarakter mendukungproyek neo-liberal maupun yang mencuri-gainya. Hal ini menunjukkan Indonesia se-bagai ranah dari pertarungan banyak kekuat-an ekstra-lokal yang hendak mempenga-ruhinya, yang tentu saja mempengaruhibentuk-bentuk relasi kuasa dan pola kekua-saan yang dipraktikkan, maupun yang mem-pengaruhi gerakan sosial perempuan terse-but.

Kajian dan penelitian tentang organisasiperempuan di Indonesia sebetulnya sudahcukup banyak dilakukan oleh akademisidan aktivis perempuan, terutama merekayang berasal dari luar Indonesia. Sebut sajaCora Vreede-de Stuers, Susan Blackburndan Saskia Wieringa. De Stuers menitikbe-ratkan diri pada kajian terhadap organisasiperempuan di Indonesia sejak masa kolonialBelanda, atau pada tahun 1920-an. Seiringdengan semangat Kongres Pemuda pada 28Oktober 1928, Kongres Perempuan yangpertama diselenggarakan pada 22 Desember1928 di Yogyakarta. Sementara itu, SusanBlackburn dan Saskia Wieringa melanjutkankajian mengenai gerakan perempuan di In-donesia dengan melihat bagaimana kegiat-an organisasi perempuan sejak kurun 1920-an itu berlanjut pada 1965, dan situasinyapada masa awal Orde Baru.

Belum banyak kajian tentang organisasiperempuan dilakukan oleh pemikir perem-puan Indonesia. Sukanti Soeryocondro, sa-

4 Afirmasi Vol. 02, Januari 2013

lah seorang aktivis dan akademisi perempu-an Indonesia, adalah pionir dalam upayamendata organisasi perempuan yang berki-prah dalam kegiatan mengatasi persoalanperempuan sejak tahun 1920-an. Bukunya,Potret Pergerakan Wanita di Indonesia, meru-pakan terbitan pertama yang menjadi klasikdan rujukan bagi pengetahuan mengenai ge-rakan perempuan di Indonesia. Belum terla-lu banyak jumlah kajian atau penelitianyang diterbitkan, yang dilakukan oleh paraaktivis dan pemikir Indonesia mengenai ge-rakan perempuan di Indonesia. Upaya yangtelah diterbitkan sejauh ini lebih merupakananalisis spesifik mengenai isu tertentu, se-perti program keluarga berencana, kebijakanpembangunan dan wajah gerakan perempu-an pasca masa Orde Baru, atau pasca otori-tarianisme di Indonesia. Hal yang menarikuntuk ditengarai adalah kesepakatan yangdiambil mengenai persoalan perempuanyang harus secara kolektif diatasi pada ma-sa 1920-an, seperti masalah perkawinan, ter-utama poligami dan perceraian, masalahpendidikan, serta penghapusan perdagang-an perempuan dan anak-anak. Masalah-ma-salah ini tampaknya sampai saat ini masihmerupakan isu yang ditangani banyak or-ganisasi perempuan di Indonesia.

Penelitian yang dilakukan Women Re-search Institute (WRI) merupakan upayauntuk memaparkan bukan saja organisasiperempuan dan kerjanya, tetapi juga gam-baran mengenai kepemimpinan perempuanyang dianggap sesuai bagi organisasi perem-puan di Indonesia. WRI memilih lima wila-yah di Indonesia yang mewakili gambarantentang upaya organisasi perempuan dalammengatasi persoalan-persoalan perempuandi seputar kehidupan mereka. Selain itu,

tentunya penelitian ini juga bertujuan untukmendapat gambaran atas isu dan tantanganpersoalan perempuan yang tengah, atauakan, dihadapi oleh organisasi perempuan.

Seperti yang telah disebutkan, studi ten-tang kepemimpinan perempuan, lebih spesi-fik lagi mengenai aspek “kepemimpinan fe-minis” di Indonesia pasca otoritarianisme,belum banyak dikaji dalam konteks peranmereka pada proses transformasi sosial yanglebih luas. Studi Srilata (2010) menawarkananalisis mengenai kepemimpinan perempu-an dengan melihat inti yang terkandung didalam kekuasaan, nilai, politik dan praktik,di mana kekuasaan memiliki sifat yangtampak, tersembunyi dan tidak tampak.Menurutnya, kekuasaan yang tampak meli-batkan siapa yang terlibat dan siapa yangtidak terlibat dalam proses pengambilan ke-putusan publik. Kekuasaan yang tersembu-nyi dapat dilihat dari agenda setting denganmengurai siapa yang mempengaruhi agendatersebut, dan bisa disampaikan ketika agen-da tersebut bekerja di tingkat public mau-pun private. Studi Srilata, yang juga memba-has nilai dari kekuasaan itu, haruslah dile-takkan dalam konteks di mana nilai itu ber-ada. Jika kita meletakkan nilai kuasa itu se-bagai berada dalam lingkungan kekuatan‘ekstra-lokal’ dan lokal, maka nilai itu akanmenuntun tindakan-tindakan yang juga ikutdipengaruhi oleh konteks tersebut. Jika de-mikian, aspek kuasa, yang memiliki dimensi‘politik dan tujuan’ (politics and purpose) da-lam transformasi sosial dari feminist leader-ship, juga akan bersinggungan dengan aspekkonteks global dan lokal.

Proses transformasi sosial di Indonesiapada dasarnya tidak dapat dilihat hanya da-lam konteks yang sempit. Kita perlu meli-

Pengantar - Gerakan Perempuan Bagian Gerakan Demokrasi di Indonesia 5

hatnya dalam konteks transformasi yang ter-kait dengan penguatan lokal dan pengaruhglobal. Penguatan lokal di Indonesia terkaitdengan proses desentralisasi, dan penguatanglobal merupakan pengaruh politik danekonomi internasional di Indonesia. Dalamhal ini, aspek politik dan kultural dari globa-lisasi, maupun penguatan lokal yang terkaitdengan proses ekonomi di satu sisi dan ke-kuasaan di lain pihak, merupakan kenyata-an pasca-reformasi. Kondisi ini merupakansetting yang penting untuk melihat ‘transfor-mational feminist leaderships’ (Srilata, 2010),seperti apa yang muncul dalam gerakan so-sial untuk melakukan perubahan-perubah-an sosial yang bermakna. Lebih lanjut, kitajuga dapat melihat bagaimana kemampuantransformasional tersebut diterapkan dalamproses desentralisasi politik dan ekonomidi setiap kabupaten.

Kekuatan global ekonomi dan politik diIndonesia secara jelas telah memberi dam-pak terhadap desentralisasi kekuasaan Ne-gara, dan tumbuhnya kekuatan non-Negarayang semakin kuat. Goetz (2009) melihatbahwa agenda good governance, yang diterap-kan melalui desentralisasi, diharapkan men-dorong terjadinya perbaikan terhadap pe-mahaman akan kebutuhan dan pemberianlayanan yang baik, termasuk bagi perempu-an. Agenda setting tersebut telah mendorongsejumlah organisasi perempuan non-peme-rintah untuk masuk dalam aras kerja serviceprovider. Selain itu, program seperti PNPMMandiri juga disambut secara partisipatifoleh organisasi basis non-perempuan. Halini menunjukkan bahwa ada peningkatanpartisipasi perempuan baik di tingkat nasio-nal maupun lokal. Dalam konteks tersebut,tampak bahwa kekuatan ekstra-lokal dan

lokal bersinergi memberikan ruang yang ber-makna bagi perempuan untuk berorganisasi.

Pendekatan Srilata (2010) secara kritismenyajikan bagaimana kondisi kontekstualyang ada ikut mempengaruhi keseluruhanproses dan praktik dari kepemimpinan femi-nis yang transformasional. Organisasi pe-rempuan non-pemerintah di lima wilayahpenelitian menunjukkan adanya peran pe-rempuan yang semakin menguat, meskipunkesetaraan gender secara substansi belumtercapai. Apa yang terjadi di lima wilayahpenelitian menunjukkan bahwa peran or-ganisasi perempuan telah mengafirmasi pe-ran perempuan dalam skala tertentu, karenamereka secara institusional memiliki ke-mampuan untuk membangun organisasi ber-basis perempuan. Hal ini penting, meng-ingat Goetz juga memiliki catatan bahwatatakelola pemerintahan yang sensitif gen-der tidaklah dipecahkan melalui representasimaupun aksi afirmasi yang mendorong pe-rempuan dalam politik, namun justru dalamreformasi institusional terhadap sektor pu-blik. Artinya, implementasi kebijakan ke-adilsetaraan gender menuntut perbaikan ka-pasitas sektor publik. Akuntabilitas sektorpublik dalam hal ini menjadi keniscayaanyang harus dilakukan. Jika dilihat dari studiyang dilakukan di lima wilayah, tampaknyaperan perempuan dalam akuntabilitas sek-tor publik belum terjadi secara meluas. Or-ganisasi perempuan non-pemerintah hanyamemiliki akses dan kerjasama dalam penye-lenggaraan kegiatan untuk perempuan. Me-reka belum terlibat dalam proses pengang-garan program pembangunan. Kalaupunmereka terlibat aktif, biasanya hanya dalamMusyawarah Perencanaan Pembangunan(Musrenbang).

6 Afirmasi Vol. 02, Januari 2013

Hasil penelitian di lima wilayah menun-jukkan kesamaan dengan studi di tingkatlokal yang dilakukan oleh Kerkvliet danMojares (1991:11) di Filipina. Kajian terse-but menunjukkan bahwa komunitas lokalpada dasarnya tidak hanya dipengaruhi olehkondisi di tingkat nasional dan perkembang-an dunia, namun juga mereka secara aktifmerekondisikan diri mereka sendiri melaluiketerlibatan sistem ‘ekstra-lokal’ (kekuatan-kekuatan ekonomi dan politik dari luar kabu-paten/kota, seperti ornop) yang muncul da-lam berbagai bentuk gerakan masyarakat si-pil. Organisasi-organisasi seperti Hapsari,Damar, Asosiasi Pendamping PerempuanUsaha Kecil (ASPPUK), Totalitas, JaringanPerempuan Usaha Kecil (Jarpuk), Solidari-tas Perempuan dan lainnya menujukkanadanya interaksi mereka dengan sumber da-na global. Ini adalah bagian dari prosestransformasi sosial dalam gerakan perempu-an di Indonesia. Di Indonesia, kita dapatmelihat peranan organisasi masyarakat sipildalam bentuk LSM perempuan di tingkatkabupaten/kota dengan berbagai kegiatanyang meliputi penelitian, pemberdayaan danadvokasi. Semua LSM tersebut didanai de-ngan uang dari kekuatan ekonomi globalseperti The Ford Foundation, World Bank,The Asia Foundation, Tifa Foundation,Hivos, Partnership for Good Governance,Oxfam, Friedrich Ebert Stiftung, FriedrichNaumann Stiftung, dan sebagainya. Semualembaga itu adalah kekuatan ekstra-lokalyang hadir di tingkat lokal dalam berbagaibentuk transformasi sosial, kultural maupunpolitik.

Dengan demikian, dinamika kuasa lokal,termasuk peran kepemimpinan perempuan,perlu dipahami dalam konteks yang luas me-

libatkan berbagai pihak dalam proses trans-formasi tersebut, sehingga agenda-agendakuasa dan bentuk-bentuk kuasa yang dija-lankannya dapat dipahami secara konteks-tual. Studi dari Hines (2000), Harris, Stokedan Tornquist (2004) dan Abdullah (2005),misalnya, pada dasarnya berangkat dari pe-mahaman yang menjelaskan bahwa globali-sasi akan memberi dorongan terhadap peru-bahan relasi kekuasaan di tingkat politik se-perti demokratisasi di tingkat institusional.Dalam hal ini, perubahan tersebut meng-kondisikan nilai-nilai politik dan kultural(termasuk relasi gender), dan gerakan me-nuju proses-proses politik berubah menjadisemakin transparan. Lebih dari itu, Goetz(2009) juga yakin bahwa globalisasi mem-perluas alternatif kultural dan politikal bagiperempuan yang mendorong terwujudnyaberbagai bentuk ruang partisipasi, yang se-belumnya jarang ditemukan. Hal ini tentupenting untuk dicatat. Namun perlu diingatbahwa hal itu juga ikut mendorong muncul-nya berbagai bentuk ‘respons lokal’. Res-pons tersebut termanifestasi melalui gerakanyang mungkin kontraproduktif terhadapterbukanya ruang bagi perempuan. Misal-nya muncul dan berkembangnya gerakanyang bersifat komunitarian dan kultural se-perti organisasi keagamaan dan berbagaiperaturan daerah yang berbasis agama, se-perti di Kota Padang, maupun kekuatan ula-ma lokal di Lombok.

Tulisan ini merupakan paparan menge-nai kepemimpinan perempuan, bagian dariPenelitian Feminist Leaderships Pasca NegaraOtoritarian Indonesia dalam Mempenga-ruhi Gerakan Sosial dan Korelasinya de-ngan Peningkatan Kesejahteraan Perempu-an - Studi Kasus dari Lima Wilayah: Jakarta,

Pengantar - Gerakan Perempuan Bagian Gerakan Demokrasi di Indonesia 7

Lampung, Sumatera Utara, Padang danLombok.

Penelitian ini mencoba melihat dan me-mahami bentuk-bentuk kuasa perempuanyang muncul dalam gerakan sosial, dan im-plikasi sosial, budaya dan politik, baik ditingkat individu, keluarga, kelompok ma-syarakat sipil maupun masyarakat secaraumum. Serta faktor-faktor seperti ekonomidan politik global maupun lokal, dan keter-libatan kekuatan ‘ekstra-lokal’ dan ‘responslokal’ terhadap feminist leaderships di Indo-nesia pasca otoritarian.

Proses Penelitian

1. Lokasi Penelitian

Penelitian ini kami batasi pada organisasiperempuan yang terlibat dalam pengorgani-sasian kerja untuk kepentingan gender diempat wilayah di Indonesia, serta satu wila-yah yang merepresentasikan tingkat nasio-nal. Adapun lima wilayah penelitian yakni:

Jakarta - kota ini dipilih atas dasar kede-katan dengan sumberdaya ekonomi politikglobal yang banyak diakses oleh gerakan so-sial perempuan. Sekaligus di kota ini terda-pat respons lokal yang bersifat sektarian danberseberangan dengan gerakan sosial perem-puan yang mempromosikan keadilan dankesetaraan relasi gender. Juga penting dilihatupaya aktivis untuk membangun model koa-lisi perempuan sebagai gerakan sosial pe-rempuan yang pertama sesudah KongresPerempuan pada 1928.

Sumatera Utara - dipilih atas dasar upayayang sudah dilakukan oleh Perkumpulan

Hapsari dalam membangun Serikat Perem-puan Sumatera Utara, yang menjadi modelgerakan perempuan akar rumput dalammengorganisasi dirinya guna memperjuang-kan keadilan dan kesetaraan gender.

Padang - kota ini dipilih atas dasar kondisirespons lokal dalam bentuk peraturan dae-rah (perda) Syariah Islam, yang dalam halini berhadapan dengan kekuatan global. Ke-kuatan-kekuatan gerakan sosial perempuanperlu mengembangkan strategi kepemim-pinan yang secara strategis dapat berhadap-an dengan respons lokal yang ada. Padangjuga dipilih untuk melihat bagaimana nilai-nilai matrilineal mempengaruhi gerakanperempuan dalam mewujudkan keadilandan kesetaraan gender.

Lampung - dipilih atas dasar pertimbanganbahwa ada sejumlah organisasi perempuanyang bergerak di wilayah Lampung, yang se-cara kultural sangat didominasi laki-laki.Organisasi perempuan Lampung juga cukuplama berupaya membangun kerjasama de-ngan institusi pemerintah dan masyarakatsipil dalam memperjuangkan keadilan dankesetaraan gender.

Lombok - kota ini dipilih karena cukuptingginya masalah yang berkaitan denganpemenuhan hak dan kesehatan reproduksidi sana. Selain itu, kota ini merupakan kan-tung pengiriman tenaga kerja wanita (TKW)ke luar negeri. Kota ini juga merupakanmarkas banyak organisasi masyarakat sipil(ornop) yang bekerja untuk kesejahteraanmasyarakat, termasuk organisasi-organisasiyang bekerja untuk keadilan gender. Letak-nya yang di daerah timur Indonesia menjadi-

8 Afirmasi Vol. 02, Januari 2013

kannya tempat yang menarik untuk diteliti,terutama untuk melihat interaksi antara ni-lai tradisi Sasak dan interpretasi atas ajaranagama Islam yang menempatkan posisi TuanGuru sebagai pihak yang berpengaruh terha-dap kerja-kerja memperjuangkan keadilangender. Selain itu, Mataram memiliki seja-rah hubungan kerja yang cukup panjang de-ngan Hivos sejak dekade 1980-an. Hivosbanyak memberikan dukungan pada kerjaLSM di Mataram.

2. Teknik Pengumpulan Data

Data primer diperoleh melalui wawancaramendalam dan observasi terhadap ling-kungan politik dari gerakan sosial perempu-an di lima wilayah penelitian. Lebih dari itu,penelitian ini juga memanfaatkan FocusGroup Discussion (FGD), yaitu dengan me-ngumpulkan pengurus gerakan sosial pe-rempuan bersama konstituennya untuk me-lihat pola relasi kuasa dari kedua belah pi-hak.

Narasumber penelitian adalah organisasidan individu yang menyatakan kesediaan-nya untuk membantu mengungkapkan stra-tegi politik dan agenda gerakan mereka,untuk memperlihatkan bagaimana pola ke-pemimpinan gerakan sosial perempuan ituberoperasi di dalam organisasi dan juga padatataran pemberdayaan atau advokasi terha-dap perempuan.

Data sekunder diperoleh melalui studiliteratur atas buku, jurnal, buletin, surat ka-bar dan dokumen-dokumen lain yang terkaitdengan pola pengorganisasian, strategi ge-rakan perempuan dan masalah gender yangmuncul di tingkat nasional maupun di ke-lima wilayah penelitian.

3. Pengolahan dan Analisis Data

Data dianalisis dan diinterpretasikan, dantidak hanya ditafsirkan dengan jalan mene-mukan kategori-kategori, tetapi juga denganmenghubungkan aspek-aspek yang munculdari data yang ada. Untuk memudahkananalisis, data yang dikumpulkan dipilah-pi-lah berdasarkan kategori-kategori tertentulalu dianalisis dengan perspektif feminis.

4. Jangka Waktu

Penelitian ini dilaksanakan dari 1 Maretsampai akhir Agustus 2012 (lima bulan). Ta-hap penulisan dilakukan antara Agustussampai Desember 2012.

5. Tujuan Penelitian

Penelitian ini mencoba mengungkapkanstrategi politik dan agenda gerakan perem-puan untuk melihat bagaimana pola kepe-mimpinan gerakan sosial perempuan itu ber-operasi di dalam organisasi, dan juga padatataran pemberdayaan atau advokasi terha-dap perempuan.

Profil Narasumber

Total jumlah narasumber yang diwawanca-rai mendalam berjumlah 47 orang (tiga laki-laki dan 44 perempuan) dari 36 organisasi.Total jumlah anggota kelompok dan staforganisasi perempuan yang turut dalamFGD berjumlah 92 orang. Dengan demikian,narasumber penelitian terdiri dari 94 persenperempuan dan enam persen laki-laki.

Sebagian besar narasumber mengalamipeningkatan jabatan atau posisi apabila di-

Pengantar - Gerakan Perempuan Bagian Gerakan Demokrasi di Indonesia 9

bandingkan dengan ketika mereka memulaiaktivitasnya di organisasi. Antara lain tam-pak bahwa 24 orang narasumber mendudukijabatan atau posisi sebagai direktur atau ke-tua atau wakil ketua, dibandingkan ketikamereka memulainya, dengan yang menjabatdirektur atau ketua hanya berjumlah delapanorang.

Dalam hal tingkat pendidikan, sebagianbesar adalah individu yang memiliki pendi-dikan tinggi. Sejumlah 25 orang narasumberadalah lulusan S1, 12 orang lulusan S2, danlainnya lulusan S3, atau berpendidikan SD,SMP, SMA, Madrasah Aliyah dan D3.

Sebagian besar narasumber menikah(68 persen), sedangkan 26 persen tidak me-nikah, dan 6 persen berstatus cerai.

Sejumlah 49 persen narasumber adalahaktivis perempuan yang telah bekerja dalamisu perempuan selama 12 tahun. Sementaraitu, 36 persen narasumber telah aktif beker-ja dalam isu perempuan antara 13 sampai22 tahun, dan 15 persen telah bekerja seba-gai aktivis perempuan selama lebih dari 23tahun.***

Daftar Pustaka

Abdullah, Irwan. 2005. Diversitas Budaya,Hak-hak Budaya Daerah dan Politik Lokaldi Indonesia In: Gunawan, Jamil (ed.)Desentralisasi, Globalisasi, dan DemokrasiLokal. LP3ES, Jakarta.

Batliwala, Srilatha. 2010. Feminist Leaderships forSocial Transformation: Clearing the ConceptualCloud. CREA (Creating Resources for Em-powerment in Action), India.

Budianta, Melani. 2002. Transformasi GerakanPerempuan di Indonesia. Horisan Esai Indo-nesia Bunga Rampai.

Goetz, Anne Marie (ed.). 2009. Governing Women,Women’s Political Effectiveness in Contexts ofDemocratization and Governance Reform.Routledge, New York-London.

Harris, John, Kristian Stoke and Olle Tornquist,(eds.). 2004. Politicizing Democracy: The NewLocal Politics of Democratization. PalgraveMacmillan, London.

Hines, Colin. 2000. Localization: A Global Mani-festo. Earthscan Publication, London.

Kerkvielt, Benedict J. and Resil B. Mojares. 1991.Themes in the Transition from Marcos toAquino In: Kerkvielt, Benedict J. and ResilB. Mojares (eds.) From Marcos to Aquino: Lo-cal Perspective on Political Transition in the Phi-lippines. Ateneo de Manila University Press,Quezon City.

Rodan, Garry, Kevin Hewison and RichardRobison (eds.). 2006. Theorizing Markets inSouth-East Asia: Power and Contestation. Ox-ford University Press, Oxford.

Soeryocondro, Sukanti. 1984. Potret PergerakanWanita di Indonesia. Rajawali, Jakarta

The World Bank. 2000. Working Together : TheWorld Bank’s Partnerships with Civil Society.The World Bank, Washington, D.C.

Wieringa, Saskia. 1999. Penghancuran GerakanPerempuan di Indonesia. Edisi terjemahan In-donesia, Garba Budaya dan Yayasan Kalya-namitra, Jakarta.

Organisasi Perempuan di TengahKeterbukaan Politik

Edriana Noerdin

Pendahuluan

Perubahan politik di Indonesia yang ter-jadi karena gerakan menuju demokrati-

sasi memuncak pada 1998. Sejak kondisiekonomi jatuh dalam krisis pada akhir 1997,berbagai tindakan protes — mulai dari dis-kusi publik sampai protes turun ke jalan —dilakukan banyak kelompok, sampai akhir-nya Presiden Soeharto menyatakan diri ber-henti dari jabatannya pada Mei 1998, yangmenandai berakhirnya pemerintahan rezimmiliter Orde Baru.

Pada masa reformasi, proses negosiasiuntuk ruang demokrasi di Indonesia terjaditerus-menerus. Perasaan bebas dari tekananrezim otoriter yang sentralistik membuka

ruang untuk mempertanyakan ulang iden-titas nasional Indonesia. Di saat yang bersa-maan, muncul desakan untuk menyertakanpertimbangan keragaman kepentingan war-ga Indonesia berdasarkan latar belakang bu-daya, kelas, gender dan lingkungan hidup-nya. Terbukanya ruang demokrasi di Indo-nesia sejalan dengan menguatnya nilai-nilailokal dan nilai-nilai agama, yang selama inibanyak mendapat tekanan masyarakat.

Setelah terjadinya peralihan politik pas-ca-1998, gerakan perempuan juga memilikikesadaran baru — sebagai kelompok yangaktif mendefinisikan permasalahan dan po-litiknya sendiri, dan bukan lagi sebagai ke-lompok pendukung agenda politik organi-sasi lain. Gerakan perempuan ternyata men-

FOKUS

Terbukanya ruang demokrasi di Indonesia sejalan dengan menguatnya nilai-nilai lokal dan nilai-nilai agama. Begitu juga dengan gerakan perempuan ternyata menjadi semakin meluas, dari sisi wi-layah kerja maupun persebaran geografisnya, serta semakin beragam jumlah aktornya, bidang kerjanyadan bahkan pendefinisian persoalan gender. Keberagaman dan keluasan bidang garapan ini juga me-nuntut kemampuan dan kemauan dari organisasi perempuan untuk membangun dan mengembangkanjaringan kerja dalam mengatasi persoalan kemampuan pengembangan strategi kerja, pendanaan,maupun dari segi kaderisasi kepemimpinannya. Dalam tulisan ini semuanya dibahas.

12 Afirmasi Vol. 02, Januari 2013

jadi semakin meluas, dari sisi wilayah kerjamaupun persebaran geografisnya, serta ma-kin beragam jumlah aktornya, bidang kerja-nya dan bahkan pendefinisian persoalan gen-der. Keberagaman dan keluasan bidang ga-rapan ini juga menuntut kemampuan dankemauan dari organisasi perempuan untukmembangun dan mengembangkan jaringankerja, demi mengatasi kekurangan — yangharus diakui masih sangat banyak, baik darisegi kemampuan pengembangan strategikerja, pendanaan, maupun dari segi kaderi-sasi kepemimpinannya.

Melihat kembali sejarah gerakan perem-puan di Indonesia, definisi gender yangmendasari kerja berubah seiring perkem-bangan waktu dan tuntutan sosial-politik-budaya yang perempuan hadapi. Karakterorganisasi, strategi kerja maupun kepemim-pinannya mengalami perubahan dari waktuke waktu. Perubahan ini tidak saja meng-akibatkan perbedaan bentuk organisasi, mu-lai dari LSM (Lembaga Swadaya Masyara-kat, perkumpulan sampai pada organisasimassa perempuan), tapi juga pola dan stra-tegi kerja yang dipilih, serta pelibatan aktor-aktor untuk bekerjasama atau berjejaring.Mengingat definisi gender adalah pertemuankepentingan begitu banyak pihak, ruang ge-rak organisasi yang bekerja dalam wilayahini pun meluas dan menyempit, sesuai kon-disi politik.

Definisi dan Masalah GenderOrganisasi Perempuan Pasca-1998

Feminism consistently tries to change thesocio-political, economic and cultural con-texts that bring about systematic harm ordisadvantage to women. Feminism values

an end to the oppression of women andother disadvantaged groups. It valuesmutuality and interdependence, inclusionand cooperation, nurturance and support,participation and self-determination, em-powerment, and personal and collectivetransformation.1

Feminisme, sebagaimana dikemukakanClaire dalam kutipan ini, merupakan nilaidan prinsip yang dapat digunakan untuk me-ngenali dan dijadikan acuan untuk meng-ubah konteks sosial-politik, ekonomi danbudaya, guna mengakhiri kondisi yang me-nindas dan tidak menguntungkan bagi pe-rempuan dan kelompok sosial lain, yang di-rugikan hidupnya di dalam masyarakat. Ni-lai dan prinsip feminisme menghargai kerja-sama, saling mendukung, partisipasi, pe-nguatan dan pendukungan transformasi un-tuk kondisi yang lebih baik, secara personalmaupun kolektif. Nilai dan prinsip inilahyang dijadikan acuan banyak kelompok danorganisasi perempuan untuk bekerja — ber-gerak membantu serta mendampingi kaumperempuan untuk mengatasi persoalannya.

Keterbukaan dalam bidang informasidan politik yang dirasakan sangat berbedapasca-1998 ini membuka ruang bagi berba-gai pertukaran gagasan, termasuk bagaima-na organisasi perempuan memaknai subs-tansi gerakannya. Keterbukaan dan kebe-basan berpendapat dirasakan cukup kondu-sif bagi munculnya pemikiran dan sikap kri-tis terhadap kebijakan publik, dan menye-diakan peluang untuk terlibat dalam proses1 Martin, 1993: 282, dalam tulisan Claire, Fostering Empo-

werment, Building Community: The Challenge for State-FundedFeminist Organizations, dalam jurnal Human Relations, June1994: 685.

Edriana Noerdin - Organisasi Perempuan di Tengah Keterbukaan Politik 13

pembuatan kebijakan yang lebih transparandari sebelumnya. Ini terasa betul pengaruh-nya dalam kehidupan berorganisasi, kebe-basan dalam memilih program, strategi ber-organisasi maupun dalam upaya memba-ngun jaringan untuk mengadvokasi kebijak-an.

Capaian Organisasi Perempuan dalamMengadvokasi Undang-Undang AdilGender

Keberhasilan gerakan perempuan Era Re-formasi ditandai dengan menguatnya polajejaring antara para aktor yang peduli masa-lah keadilan dan kesetaraan gender danmengadvokasi serta mendampingi lahirnyaberbagai Undang-Undang yang responsifgender. Adapun Undang-Undang (UU)tersebut adalah UU No. 23 Tahun 2004 ten-tang Penghapusan Kekerasan Dalam RumahTangga, UU No. 12 Tahun 2006 tentang Ke-warganegaraan serta UU No. 21 Tahun 2007tentang Pemberantasan Tindak Pidana Per-dagangan Orang (TPPO: trafficking). Or-ganisasi perempuan juga turut aktif dalammengadvokasikan perubahan substansiyang berpotensi merugikan perempuan da-lam RUU No. 44 Tahun 2008 tentang Por-nografi dan Pornoaksi, UU No. 8 Tahun2012 tentang Pemilu Anggota DPR-DPRD,dan gerakan perempuan turut aktif meng-advokasikan kuota 30 persen bagi calonanggota DPR-DPD pada UU Pemilu Tahun2008 dan juga 2003.

Keberhasilan gerakan perempuan dalammengawal lahirnya perundang-undanganyang responsif gender tersebut patut men-dapat penghargaan. Perundang-undanganyang berkaitan dengan hidup dan kehidupan

serta kedudukan perempuan di Indonesiamenjadi kunci bagi perlindungan hak-hakperempuan sebagai warga negara. Penga-walan lahirnya perundang-undangan ter-sebut menempuh proses penggodokan yangcukup panjang di kalangan aktivis perem-puan. Tiga di antaranya terkait dengan per-soalan gender di ranah privat sekaligus pu-blik, yakni mengenai status kewarganega-raan anak hasil perkawinan ibu warga negaraIndonesia (WNI) dengan ayah yang warganegara asing (WNA), mengenai tindak keke-rasan di dalam rumah tangga, serta menge-nai pornografi.

Tercatat banyak sekali kasus mengenaistatus kewarganegaraan anak hasil kawincampuran perempuan WNI yang menikahdengan pria WNA. Sang ibu kehilangan hakasuh atas anak mereka setelah perceraiantanpa peduli hukum apa pun yang disandangpada saat mereka menikah. Karena sistemhukum yang dianut Indonesia adalah azasIus Sanguinis, dengan sendirinya hak asuhanak menjadi hak ayahnya, karena hak asuhitu atas dasar kewarganegaraan ayah. Kehi-langan hak asuh pasca perpisahan seringkalimenjadi kasus yang menyengsarakan paraibu tersebut, karena secara hukum, kedu-dukan ibu menjadi nihil mengikuti praktik“anak ikut ayah” tanpa memperdulikan be-rapa pun usia anak. Kelemahan substansihukum ini disikapi dengan mendorong ga-gasan serta disahkannya undang-undangyang mengatur diperbolehkannya dwi-ke-warganegaraan anak hasil kawin campuranwarga negara sesuai dengan kewarganegara-an ibu dan ayahnya. Setelah anak berusia18 tahun, anak kemudian dapat memilih sa-lah satu kewarganegaraan yang diinginkan-nya. Dengan demikian, kedudukan ibu di-

14 Afirmasi Vol. 02, Januari 2013

akui, dan hak asuhnya jadi mungkin untuktetap diembannya sampai anak dinyatakandewasa secara hukum.

Mengenai UU Pornografi, tatkala ran-cangan undang-undang ini mulai dikuman-dangkan ke hadapan publik, substansinyasarat dengan gagasan mengkriminalisasikantubuh dan seksualitas perempuan. Bahkansecara harafiah, RUU ini memperkenalkanterminologi baru: “porno-aksi”, yang dije-laskan sebagai tindakan sengaja memperli-hatkan bagian tubuh di hadapan publik. Pa-sal ini menyasar para pelaku seni dan pang-gung hiburan yang pada penampilannyamenggunakan pakaian yang dianggap me-nonjolkan bagian-bagian tubuh yang “tidaktertutup”. Pemikiran yang dikemukan parapenggagas undang-undang tersebut menga-takan bahwa tubuh perempuan seharusnyatertutup kain atau atribut penutup lainnya,sesuai asas “kesopanan”, dan tidak meman-cing birahi lelaki ketika melihatnya. Selaincukup absurd dan sulit menggunakannyasebagai pegangan hukum, definisi dan ter-minologi tersebut sangat multi-interpretatifdan berposisi menyalahkan (tubuh) perem-puan sebagai biang-keladi pikiran, sikapmaupun tindakan mesum terkait seksuali-tas. Sepanjang 2006, terjadi banyak sekalipertemuan dan konsolidasi di seluruh wila-yah Indonesia untuk menolak RUU terse-but, dan sebagai gantinya, gerakan perempu-an yang telah meluas bergandeng-tangandengan kalangan seniman, budayawan danrohaniwan mengusulkan pengaturan me-ngenai peredaran karya-karya pornografiagar tidak dapat diakses secara bebas olehsemua kalangan. Puncaknya adalah padaOktober 2008, dilakukan parade budayasecara besar-besaran di sejumlah kota di In-

donesia (antara lain Jakarta, Yogyakarta,Solo, Surabaya, Makassar, Denpasar, Mana-do dan Jayapura) menolak RUU tersebut.Organisasi-organisasi perempuan juga giatmelakukan lobi dengan pihak Dewan Per-wakilan Rakyat (DPR) secara intensif, danmembuahkan penghapusan pasal pornoaksidari RUU itu, serta penundaan pengesahan-nya sebagai UU. Tetapi, selama dua tahunberikutnya, ternyata RUU ini dilanjutkankembali oleh DPR secara diam-diam dengantidak lagi menyertakan publik, dan akhirnyadisahkan pada 2009. Pada praktiknya, UUPornografi ini kemudian dipakai untuk men-jerat perilaku seksual (privat) yang diincarpublik, dari para selebritas maupun orangkebanyakan.

Mengenai UU Penghapusan KekerasanDalam Rumah Tangga (PKDRT), atau UUNo. 23 Tahun 2004, suatu rumah tangga,atau lebih tepatnya keluarga, di Indonesiasecara hukum dibatasi oleh sejumlah un-dang-undang. Di antaranya terdapat UUPerkawinan 1974, yang secara jelas menga-tur peran gender yang dilakukan laki-lakisebagai suami dan ayah dan oleh perempu-an sebagai istri dan ibu. Laki-laki dinyata-kan secara hukum berperan sebagai kepalakeluarga dan perempuan sebagai ibu rumahtangga. Secara sosial-budaya, ketentuan hu-kum ini sangat senafas dengan nilai-nilai pa-triarki dan pengutamaan kaum laki-laki da-lam institusi keluarga, yang diperteguh lagioleh ajaran-ajaran agama yang menetapkanlaki-laki sebagai pemimpin. Sebagai pemim-pin, suami harus diagungkan dan dapat me-lakukan apa saja untuk “kepemimpinan”nya. Termasuk ketika di dalam rumah tang-ga, mereka melakukan tindakan dan per-buatan kekerasan. Jika di ranah publik, hal

Edriana Noerdin - Organisasi Perempuan di Tengah Keterbukaan Politik 15

tersebut tidak dapat diterima dan dapat di-perkarakan ke depan hukum, di ranah privatatau domestik, itu tidak dianggap tindakanmelawan hukum. Memukul, menyiksa,menghinakan dan merendahkan perempuandi dalam lingkup rumah tangga dianggapsetara dengan usaha “mendidik”, atau mem-perbaiki perilaku yang tidak diinginkan olehsang kepala keluarga. Sementara itu, perem-puan dinyatakan sebagai ibu rumah tangga,dan tidak diakui sebagai pencari nafkah uta-ma keluarga. Dalam banyak kasus, perem-puan dibayar lebih murah dari laki-laki ke-tika mengerjakan pekerjaan yang sama. UUPKDRT mengatur ulang posisi-posisi ini.

Dengan mengajukan, menggarap isi danmemperjuangkan seluruh proses legislasi-nya, gerakan perempuan di Indonesia akhir-nya berhasil mewujudkan pengesahan UUPKDRT pada masa kepemimpinan PresidenMegawati, presiden perempuan pertama diIndonesia. Terlepas dari kekurangan yangterdapat di dalamnya, dan secara terus-me-nerus butuh perbaikan, disahkannya un-dang-undang ini mencatat beberapa penca-paian isu gender berikut:

1. Relasi gender yang timpang antarasuami dan istri dilihat kembali (revisit-ed) dan diperbaiki (revised), denganadanya peluang hukum bahwa perem-puan dapat memperkarakan ke depanhukum tindakan kekerasan yang dila-kukan oleh suaminya — yang semulatidak dianggap sebagai perbuatanmelawan hukum.

2. Negara menjadi bertanggungjawab,melalui hukum, untuk melindungi se-mua warga negaranya dari tindakanpidana kekerasan, sekali pun terjadi

di ranah domestik atau rumah tangga.Ini berarti kedudukan warga negaraperempuan menjadi lebih “kelihat-an”, dan diperhitungkan.

3. Terlepas dari pelaksanaan dan imple-mentasinya di lapangan, UU ini me-maksa para penegak hukum untukmemperhatikan ranah privat (keluar-ga dan rumah tangga) sebagai wilayahhukum, padahal semula itu diabaikansebagai tempat di mana terjadinya per-buatan pidana.

Pencapaian perjuangan gerakan perem-puan dalam mengadvokasikan lahirnya un-dang-undang tersebut menunjukkan bahwaurusan-urusan di ranah privat, termasukseksualitas, merupakan fokus perjuangangerakan perempuan, dan tak henti-hentinyaakan merupakan garapan organisasi perem-puan. Hal ini adalah penanda perlawananterhadap pemahaman luas, bahwa pemikirandan tindakan politik hanya berlaku dan ter-jadi di ranah publik. Demokratisasi padaakhirnya juga telah sampai ke ranah privat,dan ini adalah sumbangan terbesar dari ge-rakan perempuan pasca rezim otoritarianOrde Baru.

Keberhasilan gerakan perempuan meng-organisasi dirinya dalam melakukan advoka-si kebijakan publik yang responsif genderdilanjutkan dengan memperjuangkan kuota30 persen bagi perempuan sebagai calon jadidalam pemilu. Pada perumusan UU PemiluTahun 2004, organisasi perempuan intensifterlibat dalam ‘fraksi balkon’. Secara bera-mai-ramai, para aktivis dari berbagai organi-sasi perempuan dengan cermat mengamatijalannya sidang pembahasan draft UU Pe-milu, untuk memastikan masuknya keten-

16 Afirmasi Vol. 02, Januari 2013

tuan kuota 30 persen perempuan sebagaicalon anggota legislatif. Ketentuan ituakhirnya bisa lolos, masuk dalam rumus-an UU Pemilu tersebut. Upaya-upayatersebut merupakan capaian yang patut

bitan Mother Jones (1995), bahwa dia tidak mempercayaipemisahan tersebut. Baginya, Feminisme dan Genderberhubungan, karena Feminisme adalah cara pandangyang melihat bahwa di tengah masyarakat ada diskrimi-nasi berdasarkan gender (lihat Pamela Aronson, Feministor “Post-Feminist”? Young Women’s Attitudes toward Feminismand Gender Relations, Michigan State University, 2003.

2 Feminisme dan gender adalah dua konsep yang salingberhubungan, terlepas dari adanya beberapa pandangankalangan feminis yang tidak setuju dua konsep ini dihu-bungkan, sebagaimana Christina Hoff Sommers dalambukunya (1992) Who Stole Feminism?, yang segera diban-tah oleh pionir teori dan gerakan Feminisme, GloriaSteinem, yang mengatakan dalam wawancara dalam ter-

dihargai, dan kita melihat bahwa organi-sasi perempuan sudah bisa memobilisa-si suaranya ketika melakukan gerakan,demi lahirnya undang-undang yang res-ponsif gender.2

Catatan Dalam Pelaksanaan UU Responsif Gender

Ratna Batara Munti dari LBH APIK Jakarta mengatakan, keberhasilan pencapaianUU yang responsif gender bisa ditambahkan UU Perlindungan Saksi dan Korban.UU ini masih hanya memberikan perlindungan untuk kasus-kasus besar sepertikorupsi serta pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM), dan itu pun baru masukdalam klausul penjelasan. UU Trafficking dan Pemberantasan Tindak PidanaPerdagangan Orang (PTPPO) No. 21 Tahun 2007 secara substansif sudah me-lindungi perempuan korban trafficking. Yang terakhir, UU Bantuan Hukum me-mastikan negara memberikan pembagian hukum yang tidak formal, termasuk pen-dampingan, dan memberikan kesempatan kepada paralegal serta mitigasi, sehinggabisa dipastikan bahwa pendampingan hukum bukan hanya diberikan oleh penga-cara formal.

Euforia keberhasilan yang diraih oleh organisasi perempuan juga harus disikapidengan pengawasan, atau pengawalan, terhadap implementasi UU di lapangan.Hal ini menuntut perhatian organisasi perempuan, mengingat instrumen hukumsangat lemah. Dalam kasus Trafficking dan KDRT, memang terdapat banyak ke-majuan dalam merespons kekerasan terhadap perempuan, walaupun masih cukupbanyak kendala dalam implementasinya di lapangan. Terkait UU Trafficking, adabanyak kasus perdagangan manusia di daerah yang tidak bisa menggunakan UUTrafficking, karena pemikiran penegak hukum yang membenturkan UU Traffick-ing dengan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Banyak aparat penegakhukum yang tidak terbuka terhadap UU baru seperti UU Trafficking, sehinggasosialisasi tentang UU baru bagi perangkat hukum sangat diperlukan. Hal ini sa-ngat penting, karena keterbatasan informasi dan sosialisasi kepada para penegak

Edriana Noerdin - Organisasi Perempuan di Tengah Keterbukaan Politik 17

hukum mengakibatkan implementasi dari penegakan hukum yang responsif gen-der jadi terkendala. Contohnya, kasus seorang anak perempuan dari Jawa Baratusia 12-15 tahun yang dijual di Lombok. Karena dianggap tidak ada surat kontrakkerja, maka kasus itu tidak bisa diproses secara hukum. Ini membuktikan bahwapemahaman para penegak hukum masih sangat minim. Juga ada pemahaman umumyang berlaku di kalangan aparat penegak hukum, bahwa kalau sebuah kasus ber-hasil ditangani dengan baik di kepolisian, maka nantinya pasti akan dibenturkandi kejaksaan.

Kendala dalam penerapan UU Trafficking memang karena gugus tugas daripara stakeholder, yang seharusnya bertugas untuk menjaga implementasinya, tidakberjalan dengan baik. Hal ini bukan hanya terjadi pada UU Trafficking saja, namunjuga banyak terjadi pada gugus tugas dari UU lainnya, karena belum ada standaroperasi penegak hukum, terutama di daerah. Maka akan butuh pengawalan ekstrauntuk pelaksanaan penegakan hukum. Seharusnya ada Standard Operating Pro-cedure (SOP) pelaksanaan tiap UU, terutama UU yang baru, sehingga koordinasiantara departemen dengan organisasi perempuan di lapangan sangat dibutuhkan.

Euforia keberhasilan tidak boleh membuat organisasi perempuan lupa bahwamasih banyak pekerjaan yang harus dilaksanakan. Masih ada beberapa masalahyang mengikat tangan perempuan, misalnya UU Perkawinan yang mencerminkanketidakadilan bagi perempuan. UU tersebut menyebutkan bahwa perempuan se-bagai ibu rumah tangga, sedang suami adalah kepala keluarga. Contoh terdapatpada UU Kesehatan, dalam hal aborsi, yang menjadi PR bagi organisasi perempuan.Contoh lain yang tidak kalah pentingnya, yaitu belum ada kebijakan atau UUyang secara khusus menjelaskan tentang kekerasan seksual atau kejahatan seksual,Jika dilihat, kekerasan seksual, dan pelecehan seksual yang ringan pun, belummasuk dalam ranah hukum pidana, tetapi masuk sebagai perbuatan yang tidakmenyenangkan. Memang menjadi sangat penting bahwa Indonesia segera mem-punyai instrumen hukum yang lebih adil bagi perempuan, khususnya dalam isukekerasan seksual. Mempunyai instrumen hukumnya saja tidak cukup.

Selain itu, gerakan perempuan saat inimasih menghadapi banyak persoalan. Ru-ang privat perempuan masih terkendala da-lam pelaksanaan perlindungan hukum. Isu-isu domestik perempuan, seperti otoritasatas tubuh, poligami, perda Syariah yangmewajibkan pengenaan jilbab, seksualitas,isu perkosaan, masih harus terus mendapat

perhatian dalam definisi gender sebagaima-na disebutkan. Ini menjadi catatan pentingbagi organisasi perempuan. Jangan sampaiorganisasi perempuan terjebak memberi ba-nyak perhatian mengadvokasikan perbaik-an kondisi dan posisi perempuan di ruangpublik, sementara ketidakadilan terhadapperempuan di ruang privat masih terjadi.

18 Afirmasi Vol. 02, Januari 2013

3 Wawancara dengan Zulfa Suja, Anggota Dewan Pengu-rus Nasional Hapsari, Deli Serdang 21 Mei 2012.

Saat ini, organisasi dan gerakan perempuankembali disibukkan dengan proses pemba-hasan dan pembentukan UU Keadilan danKesetaraan Gender (KKG) yang sudah ma-suk dalam tahap dengar-pendapat publik diDPR.

Paradigma Gender yang Umumdi Masyarakat

Sungguh pun demikian, kebebasan berpen-dapat dan berorganisasi, serta kemampuanuntuk mengembangkan organisasi tidakmemberikan pengaruh yang signifikan bagikehidupan perempuan secara umum apabilaparadigma gender tidak berubah, yang se-lama ini menempatkan perempuan dalamposisi subordinat.

Hampir seluruh organisasi perempuanmenetapkan visi dan misinya sebagai bertu-juan untuk mewujudkan keadilan dan kese-taraan gender dan mengupayakan terpenuhi-nya hak-hak asasi perempuan. Melihat visidan misi dari organisasi perempuan ini me-mang sesuai dengan apa yang dimaksudkandengan feminisme oleh Martin, itu menun-jukkan bahwa organisasi perempuan yangmemperjuangkan visi dan misi tersebut sejakera Orde Baru merupakan gerakan yangmenjadikan feminisme sebagai pegangandan rambu-rambu dalam berkegiatan.

Paradigma gender yang memberikan ke-setaraan bagi laki-laki dan perempuan men-jadi landasan dalam kehidupan pribadi danberorganisasi, tercermin dalam kemampuanorganisasi menjalankan kerja-kerjanya, ter-masuk kerja dalam mengadvokasikan lahir-nya kebijakan publik yang responsif gender.Dalam kenyataan, masih banyak peraturanperundangan dan kebijakan publik yang ti-

dak berpihak kepada perempuan. Masalahkonstruksi gender menjadi landasan berke-giatan bagi organisasi perempuan di berba-gai tempat dengan mengamati relasi perem-puan dan laki-laki.

“Waktu itu sebetulnya, pada tahun 1990,dimulai dari beberapa perempuan desayang punya keinginan untuk mengubahdirinya. Padahal waktu itu, (berangkat-nya) dari perbincangan kecil di tingkatperempuan desa, misalnya, mengapapendidikan perempuan selalu lebih ren-dah? Mengapa kalau keluar rumah adabatasan-batasan? Mengapa pekerjaanperempuan lebih banyak dibandingkanlaki-laki? Dari perbincangan-perbin-cangan itu, terjadi curhat-curhatan sesamaperempuan. Kemudian mereka pahambahwa ada yang tidak adil. Akhirnya me-reka sepakat. Waktu itu mereka mem-buat kelompok-kelompok yang punyakegiatan mengorganisasi ibu-ibu, danpunya kegiatan sanggar belajar anakpendidikan anak usia dini (PAUD)”.3

Organisasi perempuan di Deli Serdangdan sekitarnya merumuskan konstruksi danmasalah gender berdasarkan kondisi sosialmasyarakat setempat, dalam kehidupan ne-layan dan buruh perkebunan sawit, kopi dankaret. Peran dan posisi perempuan dalammasyarakat itu dibatasi. Organisasi sepertiHapsari dan Pesada melakukan penguatanposisi kaum perempuan melalui kegiatanPendidikan Anak Usia Dini (PAUD) yangmelibatkan kaum perempuan. Melihat ba-nyak perempuan bekerja untuk mencaripenghasilan bagi keluarganya, mereka jugamendorong penguatan aset bagi perempuan,

Edriana Noerdin - Organisasi Perempuan di Tengah Keterbukaan Politik 19

yang bertujuan agar perempuan mampumandiri secara ekonomi. Pada awalnya,pengumpulan para perempuan tersebut ma-sih melalui pendekatan normatif. Misalnya,pendekatan kepada para ibu yang punyaanak, tapi tidak sanggup mereka masukkanke Taman Kanak-kanak (TK) swasta kare-na bayarannya cukup tinggi. Mereka merasabutuh untuk memasukkan anaknya kePAUD yang diselenggarakan oleh kawan-kawan Hapsari dan Pesada. Ketika mulai,banyak ibu-ibu yang memasukkan anaknyake PAUD, kemudian kegiatan dikembang-kan ke arah pengorganisasian perempuan.Mereka mulai mendiskusikan persoalan se-hari-hari yang mereka hadapi sebagai perem-puan nelayan atau pekerja kebun. Seringmereka sebutkan persoalan kesetaraan gen-der, yaitu pertanyaan-pertanyaan sekitar“relasi untuk berbagi peran serta posisi an-tara laki-laki dan perempuan”, sampai padapengembangan aset bagi perempuan mela-lui kegiatan ekonomi produktif.

Selain menjadi buruh tani dan perkebun-an, perempuan desa di Deli Serdang jugabanyak yang menjadi Tenaga Kerja Indo-nesia (TKI) ke Malaysia dan Singapura, de-mi menambah pendapatan agar dapat mem-bangun rumah dan mendukung perekono-mian keluarga. Dalam situasi seperti itu, pe-rempuan memikul beban ganda karena, se-lain bertanggung jawab untuk urusan do-mestik, mereka juga bekerja membantu sua-mi mencari nafkah.

“Hasil pendapatan suamiku sebagai ne-layan sangat tidak mencukupi. Jadilahaku ke seberang menjadi TKI”.4

Di samping PAUD, melihat kenyataandi lapangan, di mana perempuan banyakmenjadi tulang-punggung keluarga, baikHapsari maupun Pesada mengembangkanmodel penguatan ekonomi melalui CreditUnion (CU).

“Saya punya pikiran bahwa untuk kese-taraan gender, pendekatannya lewat pe-rempuan dulu. Ini menjadi kendaraanperempuan. Setelah itu, terserah mau kemana. Jadi Credit Union yang kamikembangkan betul-betul CU perempu-an, tidak sama dengan yang lain. CUadalah tempat kami mendidik banyakpemimpin-pemimpin perempuan. Itubukan hanya untuk menabung, tetapi ju-ga untuk mereka mempertanyakan diri-nya sebagai perempuan, aktif berkegiat-an di organisasi. Dan perannya sebagaipelaku penguatan untuk menguatkanbanyak orang”.5

Di samping permasalahan yang biasamereka hadapi, perempuan yang sudah ber-gabung dalam organisasi mulai menyadaribahwa mereka diperlakukan dengan tidakadil. Dalam pembicaraan FGD, Habibahmengatakan:

“Saya melihat ada ketidakadilan dalammasyarakat. Ketika suami memegang sa-pu dan membersihkan rumah, merekamengolok-olok seolah-olah pekerjaanitu hina bagi laki-laki. Tapi ketika perem-puan memegang cangkul dan carit,mereka diam dan tidak berkomentar...Seharusnya mereka malu bahwa kamijuga bisa mengerjakan pekerjaan mere-ka”.6

4 Wawancara dengan Sarah, Anggota Credit UnionHapsari, Deli Serdang 22 Mei 2012.

5 Wawancara dengan Dina Lumbantobing, Pendiri Pe-sada, Medan 25 Mei 2012.

6 Wawancara dengan Habibah, Anggota SPI Serdang Be-dagai, Serdang Bedagai 23 Mei 2012.

20 Afirmasi Vol. 02, Januari 2013

9 Wawancara dengan Fitriyanti, Direktur LP2M Padang,Padang 14 Mei 2012.

Dalam wawancara dengan perempuananggota Serikat Hapsari, komentar-komen-tar mirip yang dilontarkan Habibah seringkita dengar. Para perempuan juga melihatbahwa mereka terpinggirkan secara sosial.Mereka mengatakan tidak adanya pengaku-an terhadap perempuan dalam musyawarahkeluarga, apalagi musyawarah desa.

“Kami dulu tidak tahu informasi desa,dan juga tidak dilibatkan dalam tiap ke-giatan desa”.7

Jumasni juga menambahkan bahwa de-ngan beraktivitas, dia kini semakin pahamapa yang disebut sebagai ketimpangan anta-ra laki-laki dan perempuan. Dia mengata-kan bahwa dengan aktif berorganisasi, pe-rempuan menjadi mengetahui informasi danbisa aktif dalam kegiatan desa. Para anggotaSerikat Hapsari, yang tergabung dalam Seri-kat Perempuan Independen (SPI) SerdangBedagai, juga merumuskan persoalan yangdihadapi perempuan di daerahnya, untuk ke-mudian menuliskannya dalam tujuan organi-sasi, sbb:

“Terwujudnya masyarakat yang adil dansejahtera, tanpa ada penindasan antaraperempuan dan laki-laki, dengan mem-berikan penghargaan yang sama terha-dap hak-hak yang dimiliki oleh perem-puan dan laki-laki”.8

Sementara di Padang, permasalahan pe-rempuan memiliki wajah yang berbeda.

Yuni Walrif, calon anggota Solidaritas Pe-rempuan di Padang, mengatakan bahwaadat-istiadat yang ada di masyarakat Minangwalau mengacu kepada garis keturunan ibu(matrilineal), dalam praktiknya membiarkanlaki-laki yang mengambil keputusan-kepu-tusan strategis keluarga, apakah itu olehsuami atau saudara laki-laki sang perempu-an. Fitriyanti, direktur Lembaga Pengkajiandan Pemberdayaan Masyarakat (LP2M) Pa-dang, mengatakan:

“Konsep budaya di Padang memangmatrilineal, tapi dalam praktiknya, ba-nyak kasus suami tidak memberi nafkah,suami mengambil keputusan tanpa per-setujuan istri, suami menjual tanah ke-luarga yang secara adat atas nama perem-puan, padahal itu diwarisi oleh keluargaperempuan sesuai dengan konsep matri-lineal”.9

Masyarakat Minang yang hidup dalamSyariat Islam menyatakan bahwa adat men-dasari diri pada cendekia, dan cendekiamendasari diri pada kitab suci (Agama Is-lam). Ini berarti perintah tertinggi adalah pe-rintah agama, yang dianggap menggariskanbahwa laki-lakilah adalah pemimpin dalamrumah tangga. Sebagai pemimpin dalam ru-mah tangga, laki-laki diinterpretasikan da-pat memutuskan segala hal tanpa memintapendapat istrinya.

“Perempuan Padang tidak bisa keluardari budaya patriarki. Hal ini mungkinterjadi karena kesalahan interpretasi

7 Wawancara dengan Jumasni, Anggota SPPN SerdangBedagai, Serdang Bedagai 22 Mei 2012.

8 Catatan FGD Penelitian Feminist Leadership PascaNegara Otoritarian Indonesia dengan SPI Serdang Be-dagai, Serdang Bedagai 23 Mei 2012.

Edriana Noerdin - Organisasi Perempuan di Tengah Keterbukaan Politik 21

“Adat basandi sara, sara basandi kita-bullah”.10

Dengan begitu, perempuan dianggap se-bagai ibu rumah tangga yang harus menjaganama baik keluarga. Terdapat istilah bahwaperempuan adalah “limpapeh rumah gadang”.Limpapeh artinya kupu-kupu, sehingga pe-rempuan dikatakan sebagai hiasan di ru-mah, atau hiasan bagi keluarganya. Hal inimembuat laki-laki merasa bahwa perempu-an bertanggungjawab untuk menjaga mar-tabat keluarga, termasuk bertanggungjawabterhadap semua pekerjaan rumah tangga,sebagaimana yang disampaikan oleh Tya,relawan Women Crisis Centre (WCC) Nura-ni Perempuan Padang.

“Ketimpangan peran laki-laki dan pe-rempuan sangat kentara: di rumah sau-dara laki-laki tidak akan pernah maumenyapu, mencuci piring dan melaku-kan pekerjaan rumah tangga lainnya.Ketika ada acara dengan kawan-kawan,anak laki-laki pasti tidak mau membantumenyapu atau mencuci piring setelahacara selesai, karena memang secara nilaidalam masyarakat, hal ini pantang dila-kukan. Ini dianggap masih menjadi per-soalan”.11

Dalam diskusi dengan kelompok ibu-ibupengusaha kecil anggota ASPPUK Padang,mereka mengatakan bahwa:

“Walau ada juga ibu yang menjadi pen-cari nafkah utama, tetapi bapak yang

merasa kepala keluarga seringkali mela-rang ibu ikut dalam kegiatan-kegiatankelompok. Walau tidak semua begitu,tapi masih sedikit yang bisa menerimakalau istrinya punya kegiatan lain di luarrumah. Ketimpangan antara laki-laki danperempuan itu bukan hanya di rumahtangga, tapi juga dalam contoh lain, se-perti di perbankan. Pengusaha kecil pe-rempuan tidak bisa pinjam uang. Untukmengakses dana pinjaman, nasabah ha-rus menunjukkan jaminan berupa surat-surat tanah, rumah, kendaraan atau hartalainnya, yang notabene atas nama suami,sehingga perempuan sulit, bahkan tidakmungkin bisa mengakses pinjamanbank tanpa persetujuan suami. Begitupun, ketika ada dana bantuan yang dibe-rikan ke desa untuk pengusaha kecil, pe-rempuan tidak dapat mengaksesnya.Mereka tidak diajak duduk dalam kepe-ngurusan desa ketika rapat pemberianbantuan dana untuk pengusaha kecil ter-sebut dilakukan, sehingga mereka tidakmendapat informasi”.12

Ketimpangan tersebut juga terasa sam-pai ke desa-desa, namun perempuan tam-paknya tidak mampu menyuarakan keingin-an mereka.

“Kekuasan masih dipegang oleh laki-la-ki. Banyak kasus KDRT yang tidak dila-porkan oleh perempuan korban karenatakut. Persoalan ini juga terjadi pada pe-rempuan yang bekerja, baik pada pe-rempuan di sektor tani maupun infor-mal, dan kerja lainnya. Mereka tertekan,karena keuangan masih dipegang olehsuami”.13

10 Wawancara dengan Yuni Walrif, calon anggota Solida-ritas Perempuan Padang, Padang 14 Mei 2012.

11 Wawancara dengan Tya, Relawan WCC Nurani Perem-puan, Padang 17 Mei 2012.

12 Catatan FGD Penelitian Feminist Leadership PascaNegara Otoritarian Indonesia dengan ASPPUK Padang,17 Mei 2012.

13 Wawancara dengan Tanty Herida, Sekwil KPI WilayahSumatera Barat, Padang 17 Mei 2012.

22 Afirmasi Vol. 02, Januari 2013

“Keberanian perempuan untuk bersua-ra di publik masih kurang, terlebih dipedesaan. Di keluarga, perempuan di-anggap hanya mengerjakan urusan da-pur, sumur, kasur”.14

“Kita sebagai perempuan dulu sering di-remahkan, dilecehkan. Kita tidak pernahtahu hak perempuan, tidak pernah di-dengar oleh masyarakat... Namun de-ngan berkelompok, kita mulai tahu apayang boleh, dan apa yang tidak boleh”.15

Sementara di Mataram, Lombok, NusaTenggara Barat (NTB), pengaruh agamaIslam juga sangat kuat, membuat kondisidan posisi perempuan tidak jauh berbedadengan rekan-rekannya di wilayah lain In-donesia. Perempuan dalam pernikahan me-miliki posisi tawar yang lebih rendah diban-dingkan laki-laki, menggambarkan kuatnyabudaya patriarki yang dianut oleh masyara-kat NTB. Budaya kawin muda membuat ba-nyak perempuan berhenti sekolah. Akibathambatan keuangan, mereka mengambiljalan pintas untuk menikah pada usia muda.Ternyata tidak sedikit kasus pernikahan usiamuda — karena kemiskinan dan rendahnyapendidikan — sangat merugikan perempu-an, karena penerapan budaya poligami danperceraian yang terlalu mudah dilakukan.

“Yang utama, para perempuan terse-but0 banyak tidak bekerja. Janda-jandaitu adalah buruh. Di awal saya turun kesini, 98 persen buruh tani, buruh angkut,buruh kebun, bekerja saat mereka ber-

keluarga. Tetapi begitu bercerai, ya, me-reka miskin kembali, karena ada budayadi sini yang membuat perempuan, jikabercerai, tidak mendapat harta apa-apa.Begitulah, saya membawa penyadaranmereka tentang ekonomi, penyadaranatas hak harta bersama. Pada saat merekamenikah lagi, mereka tidak miskin, ka-rena sudah dibangun ekonominya. Tapilalu cerai, dan mereka miskin lagi”.16

Hal lain yang memberatkan perempuanadalah tidak adanya kebijakan yang menja-min perempuan dapat memperoleh hak re-produksi. Walaupun di tingkat nasional su-dah ada kebijakan yang menjamin pemba-yaran upah buruh perempuan yang cutimenstruasi dan melahirkan, kebijakan ditingkat lokal tidak sepenuhnya mendukunghal tersebut.

“Banyak kasus buruh tembakau — kare-na di Lombok ini ‘kan banyak perke-bunan tembakau – misalnya, merekamenstruasi atau habis melahirkan ataumau melahirkan, mereka tidak digaji.Kalau tidak bekerja, ‘kan tidak dapat ga-ji. Bagaimana sebetulnya tanggung jawabpabrik? Kalau begitu, ini ‘kan enak aja,terlalu mudah bagi pabrik untuk menge-luarkan buruh perempuan. Mereka me-mecat orang seenaknya aja. Terus soalperbedaan gaji. Begitu pun dengan bu-ruh informal, seperti pembantu rumahtangga, yang samasekali tidak dilindungioleh undang-undang”.17

Selain permasalahan interpretasi agamadan budaya yang meminggirkan perempuan,

14 Wawancara dengan Isnaini, Direktur Yayasan Totalitas,Padang 15 Mei 2012.

15 Catatan FGD Penelitian Feminist Leadership PascaNegara Otoritarian Indonesia dengan Kelompok PekkaMataram, Mataram 15 Mei 2012.

16 Wawancara dengan Siti Zamraini, Koordinator Wila-yah Pekka NTB, Lingsar 15 Mei 2012.

17 Wawancara dengan Beauty Erawati, Direktur LBHAPIK NTB, Mataram 16 Mei 2012.

Edriana Noerdin - Organisasi Perempuan di Tengah Keterbukaan Politik 23

kemiskinan atau permasalahan ekonomi ju-ga membuat perempuan mengalami keti-dakadilan. Ada hal-hal spesifik, seperti ke-biasaan menikah muda, yang dianggap olehmasyarakat Lombok sebagai jalan keluar da-ri kemiskinan. Padahal ini sangat merugikanperempuan, dari segi sosial dan ekonomi,maupun dari segi kesehatan reproduksinya.Situasi ini mengakibatkan para perempuanmakin terbelit di dalam kemiskinan. Selainkemiskinan, budaya poligami dan kawin-ce-rai yang sangat tinggi di NTB (dan juga diwilayah Indonesia lainnya) semakin mem-perparah kondisi yang ada. Penghargaan ter-hadap perempuan begitu rendahnya, saat di-ceraikan oleh suaminya, tidak ada kewajibanbagi suami untuk membiayai istri atau anakhasil perkawinan tersebut. Di Lombok, apa-bila suami sudah mengatakan cerai kepadaistri, maka itu dianggap sah, tidak ada keha-rusan untuk mendapatkan surat cerai resmi.

“Tradisi di sini mengusung praktik men-ceraikan istri. Prosesnya mudah sekali,hanya dengan mengatakan cerai, makaperceraian itu sudah sah. Yang menjadikorban, ya, perempuan lagi, karena ti-dak ada kewajiban yang berlaku di ma-syarakat untuk menghidupi bekas istri,atau anak-anaknya”.18

“Budaya di sini, kalau perempuan cerai,dia tidak dapat harta apa-apa. Penyadar-an atas hak harta bersama di sini harusada, sehingga pada saat mereka menikahlagi, mereka tidak buta sama sekali me-

ngenai harta gono-gini, sehingga waktubercerai, mereka tidak miskin lagi”.19

Di Lampung, sebagian besar pendudukberada di daerah pedesaan agraris dan pesi-sir, dan merupakan masyarakat yang miskin.Di wilayah pesisir pantai, banyak yang ber-mata-pencarian nelayan dan buruh infor-mal:

“Selesai suaminya yang nelayan pulangdari laut, ibu-ibunya menjual hasil tang-kapan suaminya. Tidak ada waktu untukke posyandu. Perempuan disibukkanmencari nafkah dalam keluarga”.20

Permasalahan kemiskinan di Lampungmenimbulkan banyak kasus perkosaan. Pen-duduk yang miskin menempati rumah-ru-mah kecil yang dihuni oleh enam anggotakeluarga. Kondisi ini melahirkan kesempat-an terjadinya incest yang disertai kekerasan.Data statistik untuk kasus incest cukup ting-gi. Tiap tahun tercatat sekitar 10 kasus da-lam kurun 2005-2011. Hal ini menunjukkanbahwa institusi keluarga tidak menjamintempat yang aman bagi perempuan. Kasusincest cenderung terjadi oleh bapak terhadapanak, atau kakak laki-laki terhadap adik pe-rempuan. Ketika kasus tersebut terjadi, ke-luarga cenderung menutupinya, karena di-anggap aib keluarga. Posisi perempuan da-lam hal ini dibiarkan rentan oleh keluarganyasendiri.

18 Wawancara dengan Samsudin, Ketua Div. Pengorgani-sasian Basis Kerakyatan Perkumpulan Panca Karsa,Mataram 17 Mei 2012.

19 Wawancara dengan Siti Zamraini, Koordinator WilayahPekka NTB, Lingsar 15 Mei 2012.

20 Wawancara dengan Selly Fitriani, Damar Lampung,Lampung 11 Mei 2012.

24 Afirmasi Vol. 02, Januari 2013

“Di Lampung, banyak perkosaan yangterjadi oleh bapak terhadap anak, incest,di mana kasus yang dilaporkan rata-rata 10 tiap tahun, sejak tahun 2005”.21

Organisasi Perempuan dan IsuSeksualitas

Beberapa organisasi pernah melakukan dis-kusi tentang seksualitas, namun isu tersebutbelum secara berkesinambungan masuk da-lam kegiatan organisasi. Persoalan seksuali-tas terus terjadi di ruang privat. Hal ini di-sebabkan karena seksualitas dianggap isusensitif, dan kurang populer dibandingkandengan isu sosial, politik dan ekonomi. Yangterjadi adalah, para perempuan lebih memi-lih untuk membatasi atau menghindari mem-bahas masalah yang berhubungan denganseksualitas. Bahkan tidak sedikit perempuanmemilih dengan kesadaran penuh untukmengesampingkan dulu isu ketidakadilan diruang privat, dengan mengatakan sbb:

“Kalau saya akan pergi ke kelompok,atau ada diskusi, pelatihan atau kegiatanapa pun, saya harus menyiapkan semuakebutuhan suami dan anak-anak terlebihdahulu. Saya akan masak makanan un-tuk keluarga selama saya pergi, baju-bajusudah bersih tinggal dipakai, rumah su-dah saya bersihkan dulu, serta kerja-kerjalainnya di rumah”.22

Perhatian terhadap ketimpangan yangterjadi di ruang publik dianggap lebih mu-dah untuk diadvokasikan dibanding ketidak-

adilan yang terjadi di ruang privat. Para pe-rempuan khawatir untuk menimbulkan ke-ributan rumah tangga. Mereka khawatirsuaminya akan melarang mereka untuk keluar rumah guna beraktivitas. Hal ini jugamengakibatkan perempuan takut jika keri-butan akan berakibat buruk bagi perkawi-nannya. Mereka tidak siap diceraikan olehsuaminya.

Walaupun aktivis perempuan banyakyang membahas isu poligami dan pembagianperan gender dalam amandemen UU Perka-winan, isu ini tetap tidak mudah untuk dile-rai, apalagi dengan menguatnya nilai-nilaidan kelompok fundamentalis yang munculdalam tahun-tahun terakhir. Organisasi pe-rempuan perlu memikirkan strategi untukmenghadapi kuatnya arus konservatismedewasa ini. Sementara itu, dalam parlemenmuncul pembahasan tentang pentingnyaUU Keadilan dan Kesetaraan Gender, yangmengakibatkan pembahasan tentang aman-demen UU Perkawinan menjadi tertunda.Pembahasan amandemen UU Perkawinandinilai sangat sensitif, sehingga organisasiharus mengkaji secara teliti tiap aspeknyasebelum memberikan masukan untuk aman-demen UU tersebut.

Perkosaan masuk dalam pembahasanrevisi KUHP. KUHP yang berlaku di Indo-nesia masih menggunakan rumusan yangdibuat pada zaman Belanda. Banyak sekalipersoalan pelecehan atau kekerasan terha-dap perempuan yang diatur secara bias, ka-rena perumusan KUHP itu sudah tidak se-suai dengan perkembangan zaman.

Isu seksualitas sebetulnya sudah lamamenjadi perhatian gerakan perempuan, ter-lihat dengan begitu besarnya respon gerakanterhadap lahirnya UU Anti Pornografi. Ge-

21 Wawancara dengan S.N. Laila, Gerakan PerempuanLampung, Lampung 9 Mei 2012.

22 Wawancara dengan Riani, Ketua Dewan EksekutifHapsari, Deli Serdang 21 Mei 2012.

Edriana Noerdin - Organisasi Perempuan di Tengah Keterbukaan Politik 25

lombang aksi yang sangat besar, kuat danmelibatkan banyak orang ketika pembahas-an UU Anti Ponografi muncul akhirnya di-patahkan oleh kekuatan fundamentalis aga-ma. Negara tampaknya lebih memberikanpeluang kepada kelompok fundamentalisagama untuk berperan dalam mendefinisi-kan UU Anti Pornografi tersebut. MenurutLia dari SP Mataram:

“Kalau di daerah seperti Mataram, bah-kan aktivis sendiri masih belum yakintentang pendapat mereka mengenaiseksualitas. Mereka sendiri masih sangatbias dengan isu seksualitas”.23

Hal ini menarik untuk dianalisis. Aktivisperempuan sangat keras menyuarakan hakperempuan, tapi kalau memasuki ranahseksualitas, terjadi keengganan untuk mem-bicarakannya. Apa yang menyebabkan ituterjadi? Selly dari Damar Lampung menyata-kan:

“Seksualitas belum menjadi fokus kamidi Lampung, karena ternyata isu ini ha-rus dimulai dari adanya orang yang me-nanyakan, mendiskusikan, atau meres-pons isu itu. Ketika tidak ada yang mena-nyakan, maka menjadi hilang isunya dandianggap belum krusial untuk dibicara-kan. Kami lebih fokus pada pembagianperan gender, lingkup perempuan, keke-rasan seksual, tapi tidak menyentuh isuidentitas/orientasi seksualitasnya. Kalaumasalah seksual, pasti hanya kekerasanseksual saja. Di sini saya baru berpikirbahwa isu seksualitas juga penting untukdidiskusikan”.24

Sementara itu, Afank dari ArdhanaryInstitute Jakarta mengatakan:

“Kalau menurut aku, ini salah satu kele-mahan gerakan perempuan, yaitu melu-pakan orientasi seksual sebagai isu or-ganisasi. Kalau di Ardhanary, kami sudahterlepas dari persoalan laki-laki dan pe-rempuan, tapi membahas maskulin danfeminin”.25

Afank mengatakan wajar jika daerah be-lum banyak membahas isu seksualitas, kare-na di Jakarta sendiri masih banyak aktivisatau organisasi perempuan yang tidak beranimengakui seksualitas sebagai isu penting.Perempuan yang lesbian pun masih belummau terbuka kepada lingkungan tentangidentitas seksualnya, karena masih curigadan khawatir jika ia mengungkapkan pilihanorientasi seksualnya kepada khalayak ramai.

“Kadang kalau kita mau diwawancarai,harus oleh orang yang kita kenal, karenabiasanya tidak banyak orang yang beranimengakui dirinya lesbian — karena tidakyakin apa itu lesbian. Ini yang menyebab-kan kita menjadi eksklusif, padahal bisajadi, orang di sekitar kita tidak maumencari tahu lebih banyak tentang isuseksualitas”.26

Sebetulnya secara eksplisit Koalisi Pe-rempuan Indonesia untuk Demokrasi danKeadilan sudah memiliki sektor Lesbian,Gay, Biseksual dan Transgender (LGBT),tapi isu tersebut tidak tersosialisasikan de-ngan baik. Adanya organisasi macam Ar-

23 Baiq Zulhiatina, Badan Eksekutif Solidaritas Perem-puan Mataram, FGD Jakarta 29 Oktober 2012.

24 Selly Fitriani, Damar Lampung, FGD Jakarta 29Oktober 2012.

25 Afank, Ardhanary Institute Jakarta, FGD Jakarta 29Oktober 2012.

26 Ibid.

26 Afirmasi Vol. 02, Januari 2013

dhanary Institute membuat isu itu menjadikhusus dijalankan oleh Ardhanary, dan be-lum menjadi isu bersama organisasi perem-puan.

Desi dari Harmonia Padang, saat acaraFGD berlangsung di sekretariat WRI menga-takan, isu identitas gender dan orientasiseksual bahkan belum selesai dikemukakandi kalangan aktivis perempuan. Masih ba-nyak aktivis perempuan yang justru mema-kai isu itu untuk mengintimidasi dan mele-mahkan individu sesama aktivis perempu-an. Sebagai contoh, pengalaman panjang da-lam kongres Koalisi Perempuan Indonesia2010, yang sampai saat ini tidak ada penye-lesaiannya. Desi mendengar dengan telingasendiri ada yang mengatakan bahwa, “Kalaukita mendukung calon tertentu (disebutkan namacalonnya) berarti kita mendukung lesbian”.Bahkan ada temannya yang mengatakan,“Ngapain, sih, Desi bela orang itu? ‘Kan dialesbian...”

Perkataan tersebut menimbulkan resis-tensi perempuan di wilayah dampingan.Beberapa bahkan menanyakan secara lang-sung kepada Desi tentang status identitasseksualnya. Hal ini menimbulkan muncul-nya penolakan di kalangan masyarakat. Na-mun dengan pendekatan dan penjelasanyang Desi berikan, akhirnya masyarakat bisamenerima Desi, dan menganggap bahwaidentitas sosial adalah pilihan tiap orang.Dapat disimpulkan bahwa, ternyata, ka-langan aktivis perempuan sendiri masih ber-masalah dengan isu seksualitas, apalagi paraperempuan di akar rumput.

Sementara Masni dari JarPUK Mataram,dalam kesempatan yang sama terkait soalorientasi seksualitas menambahkan:

“Saya kira perlu ada diskusi antar-ge-rakan perempuan, di tingkat aktivis, ko-munitas, basis dan kabupaten, tentangbagaimana membangun pemahamanyang sama terkait identitas dan orientasiseksualitas. Di Lombok, kalau kita ber-penampilan tidak sama dengan perem-puan pada umumnya, sampai ditanya-kan: ‘Kamu laki-laki atau perempuan?’Tidak hanya seksualitas, kekerasanseksual juga perlu didiskusikan. Karenakalau di Lombok, apa kata Tuan Guruadalah yang dilakukan. Jadi ketika pe-rempuan sakit dan menolak berhubung-an seks, maka akan langsung dianggapdosa. Pemahaman itu yang perlu kita lu-ruskan di kalangan masyarakat di dae-rah-daerah. Saya sendiri butuh banyakbelajar tentang isu itu, sehingga ketikaharus menyampaikan ke masyarakat,lebih mudah”.27

Juga Halwati dari Panca Karsa Lom-bok, masih dalam acara FGD yang sama,mengatakan:

“Panca Karsa sudah mulai memperma-salahkan di dalam komunitas jika adakekerasan seksual di rumah tangga. Tapimasalahnya, kemudian kita dibenturkandengan pendapat tokoh agama. Sering-kali tokoh agama tidak setuju denganisu yang kita angkat, dan akhirnya merekamemberi cap kepada negatif aktivis pe-rempuan kepada masyarakat. Ini men-jadi masalah bagi kita, karena merekamengatakan aktivis perempuan sudahmenggugat relasi, juga malah menggu-gat urusan seksualitas di rumah tangga.Ini sangat krusial yang kami hadapi dimasyarakat. Akan lebih banyak cap-cap

27 Masni, JarPUK Mataram, FGD Jakarta 29 Oktober2012.

Edriana Noerdin - Organisasi Perempuan di Tengah Keterbukaan Politik 27

negatif bagi kita, perempuan, di masya-rakat”.28

Selain masalah kekerasan dalam rumahtangga, masalah yang banyak dialami olehperempuan adalah kasus kesehatan repro-duksi perempuan terkait KB dan dampaknegatifnya. Di Lombok, alat kontrasepsiyang disosialisasikan hanya yang untuk pe-rempuan. Alat kontrasepsi laki-laki sulit di-perkenalkan, dan sosialisasi tentang vasek-tomi sangat tidak populer.

Yefri, dari WCC Nurani Perempuan Pa-dang, menambahkan contoh kasus perkosa-an, baik yang terjadi di ruang publik maupundomestik:

“Bukan hanya di Jakarta, tetapi di Pa-dang bulan ini saja ada satu kasus per-cobaan perkosaan dalam angkot. Un-tungnya si korban bisa turun, melompatdari angkot, lalu jatuh dan luka-luka.Ada juga kasus perkosaan anak yanghidup di jalanan, dan satu kasus per-kosaan mahasiswa, serta satu lagi kasusperkosaan mahasiswa universitas Islam.Kasus perkosaan terjadi di Minangkabauyang katanya Islami, (di mana) secarabudaya perempuan “dimuliakan”, pe-rempuan dilindungi. Namun ternyatajuga banyak terjadi perkosaan yang kamilaporkan ke kepolisian. Karena WCCbermitra dengan kepolisian, maka kasuscepat ditanggapi. Tapi banyak juga ka-sus perkosaan di mana pelakunya bebas,karena mereka membayar polisi sehing-ga kasus itu hilang. Atau mereka berda-mai dengan perempuan korban, denganjalan memberikan uang kepada korban,sehingga para keluarga perempuan kor-

ban menerima uang tersebut, denganalasan anak atau saudara perempuannyayang diperkosa akan lebih malu lagi ka-lau kasusnya dibawa ke ranah hukum,sehingga uang ganti rugi dianggap cukupuntuk menutupi kasus tersebut”.29

Dalam diskusi dikatakan bahwa laki-lakimenganggap seksualitas dan tubuh perem-puan bisa dikuasai dengan uang. Peserta me-rasa perlu ada upaya besar untuk mencarisolusi, untuk menghentikan penyalahan ke-pada perempuan. Pernah dalam diskusi de-ngan Bundo Kanduang, yang justru disalah-kan adalah pihak yang perempuan. Pernahjuga, ketika ada pembicaraan untuk mencarisolusi atas masalah perkosaan, para pesertamalah menjadikannya sebagai bahan olok-olokan, menganggapnya bahan tertawaan,yang justru merupakan bentuk pelecehanlagi bagi perempuan.

Lia dari SP Mataram menambahkan bah-wa masyarakat menganggap tubuh perem-puan sebagai simbol kehormatan keluarga.Seringkali perkosaan tidak dilaporkan kepolisi karena dianggap akan mempermalu-kan keluarga. Dalam mempertimbangkankehormatan keluarga, seringkali korban jus-tru dinikahkan dengan pelaku.

Sebenarnya, isu perkosaan sudah dikam-panyekan oleh Yayasan Kalyanamitra sejaktahun 1991. Hal yang diperjuangkan, misal-nya, bagaimana korban bisa menjadi agentof change, yang dapat berbagi pengalamandengan rekan yang lain agar kasus yang sa-ma tidak terulang lagi. Ternyata isu dan po-kok pembahasan mengenai masalah ini ma-

28 Baiq Halwati, Panca Karsa Lombok, FGD Jakarta 29Oktober 2012.

29 Yefri Heriani, Direktur WCC Nurani Perempuan, FGDJakarta 29 Oktober 2012.

28 Afirmasi Vol. 02, Januari 2013

sih sangat relevan untuk ditelaah sampai saatini.

Bentuk dan Karakter OrganisasiPerempuan

Suasana politik Indonesia pada masa setelahtumbangnya Orde Baru, yang disebut seba-gai Era Reformasi, menjadi sangat terbuka.Ini berimplikasi luas pada dinamika gerakansosial, khususnya gerakan perempuan diIndonesia— terlebih di Jakarta sebagai pu-sat arena pergulatan politik nasional. Berba-gai organisasi perempuan yang lahir kemu-dian sangat dipengaruhi oleh konteks politikini, dan juga pengaruh pemikiran feminismaupun kebijakan yang ditetapkan peme-rintah. Organisasi perempuan tumbuh suburdi Jakarta, dari yang bercorak keagamaan,developmentalis, maupun yang bersifat kri-tis dan transformatif. Ada yang berbentukormas, NGO/LSM, perkumpulan, koalisi,perserikatan, federasi sampai komisi nasio-nal, seperti Komite Nasional Anti-Kekeras-an Terhadap Perempuan (dikenal dengansebutan Komnas Perempuan). Bidang ga-rapan dan isu yang dikerjakan oleh organisa-si perempuan juga lebih bervariasi.

Dari penelitian yang dilakukan, maka bi-sa dipetakan bahwa beberapa organisasi pe-rempuan yang tumbuh pada era reformasimasih mempertahankan bentuk yayasan, di-kenal sebagai lembaga swadaya masyara-kat, namun mempunyai kegiatan di daerahlain, baik di tingkat provinsi, kabupaten/kota, bahkan sampai pada tingkat desa. Ke-giatan organisasi ini biasanya mendorongpeningkatan kapasitas aktor-aktor lokal,baik dalam bentuk penyelenggaraan pelatih-an atau kegiatan pendidikan dan pengorga-nisasian masayarakat.

Di samping itu, tidak sedikit organisasiyang berubah bentuk menjadi perkumpul-an, dengan mengumpulkan beberapa orangyang dianggap mumpuni di bidangnya untukduduk dalam Dewan Pembina organisasi.Dewan ini secara berkala memberikan ma-sukan untuk arah dan tujuan organisasi, ser-ta turut terlibat dalam evaluasi kegiatan or-ganisasi tersebut. Dewan Eksekutif, atauPengurus Harian diawasi oleh Dewan Peng-urus atau Dewan Pembina. Dengan alasanuntuk menghindari pemusatan kekuasaanpada satu orang seperti dalam bentuk yaya-san, yang dipimpin oleh seorang direktur,maka perkumpulan dianggap lebih bertum-pu pada kepemimpinan kolektif dan diang-gap merupakan bentuk kepemimpinan yangideal oleh organisasi perempuan. Ternyata,kepemimpinan kolektif yang terjadi lebihdalam bentuk bertambahnya jumlah orangyang terlibat dalam menentukan arah dantujuan organisasi, tetapi bukan kepada pem-bagian kekuasaan. Adapun bentuk pengu-rus di dalam perkumpulan juga tidak homo-gen; ada eksekutif, yang bertanggungjawabkepada badan pengurus, dan ada juga yangbertanggungjawab kepada rapat umum ang-gota seperti tuturan Halwati dari Perkum-pulan Panca Karsa Mataram.

“Dulu Panca Karsa itu Yayasan, dan se-karang Perkumpulan, karena kejar-ke-jaran dengan adanya UU Yayasan danPerkumpulan yang baru. Lalu kalau Ya-yasan, ’kan pengambil-keputusan ter-tinggi ada di tangan pendiri, termasukkepemilikan aset, dll. Kalau organisasipailit, maka semua aset Yayasan menjadihak badan pendiri. Kalau Pancakarsa se-bagai perkumpulan, keputusan tertinggiada di Rapat Umum Anggota (RUA)yang dilakukan secara tahunan, yang

Edriana Noerdin - Organisasi Perempuan di Tengah Keterbukaan Politik 29

merupakan koordinasi antar-anggota.Ada mekanisme lain, di mana rapat ang-gota dilakukan tiap tiga tahun, untukmemilih siapa yang akan memimpin danmenjalankan organisasi. Jadi BadanPengurus hanya mengawasi kepemim-pinan Eksekutif. Untuk keputusan subs-tansi, tetap ada di Rapat Umum Anggo-ta. Tanggungjawab pekerjaan tetap diEksekutif, termasuk juga Eksekutif ha-rus menyampaikan pertanggungjawab-an kepada seluruh anggota dalam RapatUmum Anggota. RUA, selain menentu-kan pemimpin dan Badan Eksekutiforganisasi, juga menentukan arah kebi-jakan, termasuk tentang isu yang akandiangkat oleh organisasi”.30

Bentuk perkumpulan lain adalah DamarLampung seperti yang dikemukakan olehSelly di bawah ini:

“Damar juga badan hukumnya sebagaiPerkumpulan, di mana kontrol organisa-si ada di tangan Badan Pengurus, seba-gai pengawasan dan kontrol terhadapjalannya Eksekutif ”.31

Fitriyanti dari LP2M Padang juga me-nambahkan alasan mereka untuk menjadiPerkumpulan adalah:

“Dulu kami Yayasan, sekarang menjadiPerkumpulan. Pemilik keputusan ter-tinggi ada di Badan Pengurus, jadi Ekse-kutif (direktur) dipilih Pengurus. Ketikaakhir tahun, maka direktur akan mem-pertang-gungjawabkan kepada Pengu-rus, dan setelahnya, Pengurus akan me-

nyampaikan kepada Rapat Umum Ang-gota. Jadi Pengurus mengambil perantanggung-jawab kepada Rapat Ang-gota”.32

LP2M merupakan organisasi non-pe-merintah berupa Perkumpulan, dalam manapengurus eksekutif dinamakan sebagai Ba-dan Pelaksana yang dipimpin oleh DirekturEksekutif, dan di atasnya ada Badan Pengu-rus yang ada Ketua, Sekretaris dan Bendaha-ranya. Perkumpulan diyakini lebih terbukadan demokratis, karena kepemimpinan tidakdipegang oleh pendiri yang otomatis menjadibadan eksekutif. Bentuk yayasan dianggaplebih tertutup. Keanggotaan Badan Pengu-rus adalah mantan direktur yang sudah di-gantikan, ditambah dengan beberapa orangyang dianggap mumpuni dalam hal organi-sasi maupun substansi isu yang ditangani.Struktur organisasinya mengharuskan Ba-dan Pelaksana, atau pengurus harian, harusmembuat pertanggungjawaban kepada Ba-dan Pengurus, baik pertanggungjawabanprogram maupun keuangan. Badan Pengu-rus akan menentukan rapat Badan Pengurusguna membahas laporan Badan Pelaksana,sehingga tatakelola organisasi dianggap ter-buka dan demokratis. Dalam kasus LP2M,ketika terjadi konflik, maka tidak jarang Ba-dan Pengurus (atau individu Badan Pengu-rus yang pernah menjadi direktur eksekutifsebelumnya) ikut terlibat untuk menyelesai-kan konflik.

“Utopia kita, ’kan kepemimpinan yangbaik, katanya yang partisipatif. Tapi ke-

30 Baiq Halwati, Panca Karsa Lombok, FGD Jakarta 29Oktober 2012.

31 Selly Fitriani, Direktur Damar Lampung, FGD Jakarta29 Oktober 2012.

32 Fitriyanti, Direktur LP2M, FGD Jakarta 29 Oktober2012.

30 Afirmasi Vol. 02, Januari 2013

nyataannya, pemimpin, ya, satu orangyang bisa manajemen. Bentuk organisasiyayasan tapi partisipatif, ’kan sulit. Kalaudi LP2M, saya lihat dan saya coba untukbelajar dari pengalaman, bagaimanamenjadi LSM yang akuntabel. KalauLP2M dari manajemen berjalan baik.Tetapi, tiba-tiba organisasi harus lang-sung menangani masalah gempa dan ha-rus merekrut staf banyak, sehingga yangterjadi konflik, karena staf banyak, se-mentara manajemen masih dipengaruhioleh orang lama. Terjadi konflik kepen-tingan. Mulai ada kubu dan kepentinganyang masuk, dan melakukan kasak-ku-suk. Akhirnya, organisasi yang sebelum-nya aman-aman saja dengan isu perem-puan lalu tiba-tiba menjadi besar, danabesar, staf membengkak, dengan isu pe-nanganan pasca-bencana. Manajemenorganisasi tidak siap, atau tidak diper-siapkan menangani organisasi yang tiba-tiba besar tersebut. Hal ini membuat or-ganisasi tidak siap dan terjadi konflik,sehingga beberapa staf harus keluar,atau dikeluarkan”.33

Keterlibatan Badan Pengurus dalammengatasi persoalan di tingkat eksekutifmemang bisa menimbulkan dilema. Di satusisi bisa membantu. Namun tidak jarang jus-tru bisa memperkeruh suasana, karena tim-bul anggapan bahwa sosok itu tidak netral.Mantan direktur juga duduk di Badan Peng-urus, sehingga sulit untuk menjaga kenetral-an posisi ketika terjadi konflik. Lebih jauh,dalam kasus LP2M, bahkan Badan Pengu-rus sampai memecat Direktur Eksekutifdan Manajer Program.

“… Pengalaman LP2M sulit memba-ngun kepemimpinan yang partisipatifsecara utuh. Yang terjadi, lembaga besar,dana besar, prinsip di organisasi sangatsulit diterapkan karena banyak kepen-tingan. Sebetulnya, pada awalnya, upayakomunikasi di LP2M terjadi dan berjalandengan baik. Tetapi karena anggota De-wan Pengurus masih terdapat bekas ke-tua lama, sehingga sulit baginya untukbersikap netral. Masih ada kekuasaantersembunyi. Maka model Perkumpul-an seperti ini masih jauh dari nilai-nilaidemokrasi”.34

Struktur organisasi Perkumpulan, apabi-la tidak diikuti dengan penguasaan substansidasar pemikiran feminis, atau solidaritas per-saudaraan perempuan, dalam membangundan menjaga organisasi demi mencapai ke-adilan dan kesetaraan gender, akan tetap sa-ja tidak mejamin terjadinya organisasi yanglebih terbuka dan demokratis.

Perubahan Bentuk OrganisasiPerempuan dan Tantangannya

Bentuk lain yang dipilih oleh organisasi pe-rempuan adalah menjadi organisasi massa.Di tingkat pusat ada yang disebut sebagaiSekretariat Nasional, dan lalu ada cabang-nya, yang dianggap bisa menjadi organisasiindependen di tingkat provinsi, kabupaten/kota, dan mungkin bahkan sampai ke desa,seperti yang dilakukan oleh Koalisi Perem-puan Indonesia untuk Demokrasi dan Ke-adilan.

33 Wawancara dengan Desi, mantan Direktur ProgramLP2M, Padang 15 Mei 2012.

34 Ibid.

Edriana Noerdin - Organisasi Perempuan di Tengah Keterbukaan Politik 31

Momentum Reformasi pada 1998 mem-buka ruang bagi berbagai organisasi pro-de-mokrasi untuk lebih aktif menjalankan pro-gram-program kerja, termasuk organisasiperempuan. Koalisi Perempuan Indonesiauntuk Keadilan dan Demokrasi didirikanmelalui kongres yang diadakan pada 22Desember 1998 di Yogyakarta. Tanggal itusengaja dipilih dalam rangka memperingatiKongres Perempuan yang pertama dilaku-kan pada 22 Desember 1928. Kongres Koa-lisi Perempuan Indonesia pertama tersebutdigagas oleh banyak aktivis perempuanyang ingin mengisi peluang ruang demokrasiyang terbuka, dengan mengumpulkan ak-tivis perempuan dari berbagai daerah, ka-langan, dan isu kerja yang beragam. Dihadirioleh lebih dari 500 aktivis perempuan dariberbagai kalangan dan daerah, kongres itumenunjukkan bahwa isu perempuan cukupkuat diperjuangkan di berbagai daerah de-ngan beragam kepentingan dan bidang ga-rapan. Kongres itu berhasil mengidentifika-sikan dan menyepakati 15 sektor kegiatan,antara lain petani, nelayan, pekerja rumahtangga, buruh migran, pekerja seks komer-sial (yang kemudian diganti nama menjadiperempuan yang dilacurkan), ibu rumahtangga, lansia, buruh anak dan LGBT.

Ratna Batara Munti dari LBH APIK Ja-karta mengatakan:

“Awalnya Koalisi Perempuan Indone-sia juga tidak memaksakan isu dari na-sional. Kalau di daerah banyak isu lokal,ya, silakan saja, walaupun itu isu sensitifdi nasional. Ada KPI masih bertahan dibeberapa daerah karena ada perpaduanisu dengan wilayah. Saya melihat kenapaada KPI di daerah yang tidak aktif, hal

ini lebih karena dinamika organisasinyayang memang sedang tidak aktif ”.35

Yang banyak ditemui adalah organisasiKPI di daerah yang masih aktif menjalankanprogram kerjanya, biasanya karena di daerahtersebut ada kegiatan atau program dari pu-sat atau sekretariat nasional, sehingga adakucuran dana dan penugasan kegiatan.

Menurut salah seorang pengurus, KPImemang beragam dinamikanya. Ada daerahyang cukup aktif programnya, dan tidak se-dikit daerah yang tidak aktif karena kesulit-an mencari dana sendiri, seperti KPI Pa-dang, Palembang, dan beberapa daerah lain.Hal yang sama dihadapi oleh organisasimassa seperti Solidaritas Perempuan danLBH APIK. Sementara itu, KPI Makassartetap aktif, walau tidak ada dana atau pro-gram dari pusat. Fenomena yang menarikadalah kongres Koalisi Perempuan Indone-sia, yang diadakan tiap empat tahun sekali,yang selalu dihadiri secara lengkap oleh ang-gota KPI dari semua wilayah. Tiap kongresKPIselalu dihadiri sekitar 500 orang, walau-pun sebetulnya, banyak daerah KPI yangsecara organisasi tidak aktif malakukan ke-giatan kerja. Maka tampak sekali upaya me-mobilisasi kehadiran dalam kongres tidaksepadan dengan kegiatan di wilayah kerja.Setelah peserta pulang dari kongres, merekakembali ke kondisi non-aktif. Hal ini terjadikarena mesin organisasi yang seharusnya te-tap menjadi dinamika kerja organisasi tidakbekerja dengan baik. Apakah tidak ada ke-sepahaman isu, atau apakah karena kurangpengalaman dan pengetahuan cara kerja or-

35 Wawancara dengan Ratna Bantara Munti, DirekturEksternal LBH APIK Jakarta, 24 Mei 2012.

32 Afirmasi Vol. 02, Januari 2013

ganisasi massa? Atau bahkan karena tidakjalannya sumbangan wajib dan sumbangansuka rela yang diharapkan bisa membantumemperpanjang nafas kerja organisasi?Yang lebih mengemuka dalam wawancaradi daerah faktor pendanaan ternyata men-jadi isu utama. Organisasi tidak bisa menja-lankan aktifitas karena dana untuk itu tidakada, di sini terlihat sekali bahwa ketergan-tungan kepada donor dan selama ini banyakdikucurkan melalui sekretariat nasionalmenjadi faktor utama redupnya aktifitaskerja di banyak kantor KPI di daerah. Situa-si ini bukan hanya dialami oleh KPI sajanamun juga dialami oleh organisasi perem-puan yang berbasis massa seperti SolidaritasPerempuan, LBH APIK dan juga ASPPUK.

Organisasi seperti Koalisi PerempuanIndonesia, Solidaritas Perempuan, LBHAPIK dan ASPPUK dibentuk berdasarkanisu atau sektor yang dikerjakan. Namun adajuga organisasi massa dalam bentuk Serikat,di mana persatuan dilandaskan pada daerahatau teritori tertentu seperti Hapsari di DeliSerdang, Sumatera Utara. Hapsari adalahPerserikatan, yang merupakan gabungansejumlah organisasi perempuan. Selain Hap-sari, di Sumatera Utara juga ada organisasiPesada yang juga berbentuk perserikatan.

“...dengan adanya beberapa Serikat yangdibangun oleh Hapsari lalu kemudiandibentuklah Federasi sebagai payung daribeberapa Serikat tersebut. Adapun mak-sud dipilihnya bentuk organisasi federasitersebut adalah (untuk) menumbuhkankepemimpinan lagi di setiap anggota se-rikat” Karena para pemimpin serikat ter-sebutlah yang nantinya akan duduk da-lam dewan eksekutif Federasi Hapsari.

Dengan begitu serikat selalu menumbuh-kan calon pemimpin baru...36

Lely Zaelani dari Hapsari mengatakan:

“Organisasi dengan bentuk seperti Koa-lisi Perempuan, yang dilandasi oleh kum-pulan isu atau sektor garapan, cenderunglebih rentan dibanding organisasi ber-bentuk Serikat, yang didasari oleh daerahatau teritori tempat organisasi tersebutberada, untuk menjawab kebutuhan lo-kal, apakah itu kebutuhan pengadaanpendidikan usia dini (PAUD), atau isulokal lainnya. Organisasi berdasarkan isu,atau sektor bidang garapan, belum tentumengakomodasi kebutuhan suatu dae-rah, karena selalu berusaha untuk men-cocokkan kebutuhan lokal dengan isuatau bidang garapan yang ada dari koalisiinduknya”.37

Organisasi yang berbasis daerah atauteritori, seperti Perserikatan Hapsari, memi-liki keanggotaan berdasarkan daerah ter-tentu. Dengan begitu, kegiatan dan pro-gramnya lebih hidup, dan dirasakan man-faatnya langsung oleh masyarakat setempatkarena kegiatan dan program sesuai dengankebutuhan lokal, seperti dengan kasus ke-butuhan akan PAUD. Dengan begitu, paraperempuan desa dan masyarakat desa lain-nya melihat manfaat keberadaan organisasiuntuk menjawab kebutuhan langsung me-reka. Apabila kegiatan membutuhkan du-kungan dari para pengambil keputusan desa,maka lebih mudah untuk melibatkan istri

36 Wawancara dengan Zulfa Suja, Anggota Dewan Pengu-rus Nasional Hapsari, Deli Serdang 21 Mei 2012.

37 Wawancara dengan Lely Zaelani, Ketua Dewan Pengu-rus Nasional Hapsari, Jakarta 28 Juni 2012.

Edriana Noerdin - Organisasi Perempuan di Tengah Keterbukaan Politik 33

RT, istri RW, istri Lurah, istri Camat. danseterusnya, karena para pemimpin lokal me-mang dekat dengan penggiat program. Halyang sama juga dilakukan oleh Pekka, yangmerupakan organisasi berbasis wilayah atauteritori, sehingga Pekka di semua wilayahkerjanya aktif berkegiatan sampai saat ini.

Sejarah pendirian KPI dan Hapsari me-mang berbeda. KPI merupakan koalisi daripara aktivis perempuan yang peduli padapersoalan ketidakadilan yang dialami olehperempuan. Sementara Hapsari merupakanorganisasi perempuan grassroot yang kemu-dian membangun organisasi. Serikat Hapsa-ri dengan keanggotaan berbasis daerah lebihmudah berkembang, karena anggotanyaberasal dari daerah tersebut, dan memilikisemangat ingin memajukan perempuan se-tempat.

Hapsari berdiri pada 1990, berupa se-buah kelompok. Pada 1996, Hapsari men-jadi LSM dengan badan hukum Yayasankarena ada kebutuhan untuk mendirikan or-ganisasi ’formal’. Dengan semakin besarnyaorganisasi dan kian banyaknya anggota, ma-ka pada 1999, kelompok tersebut mendiri-kan Serikat Perempuan Independen (SPI).Namun, antara 1999 sampai 2001, mulai adatumpang-tindih kepemimpinan, antara pe-ngurus Hapsari dan dampingannya (SPI),yang menimbulkan kepengurusan ganda.Untuk mengakomodasi membesarnya or-ganisasi dengan lahirnya kepemimpinan pe-rempuan dari berbagai serikat di tingkat ka-bupaten, maka melalui kongres, pada 2001Hapsari memproklamasikan diri menjadiHapsari Federasi Serikat Perempuan Mer-deka, dengan para anggota terdiri dari seri-kat-serikat perempuan tingkat kabupaten,yaitu SPI Labuhan Batu, SPI Sima Lungun,

SPI Deli Serdang, SPI Langkat, dan Perse-rikatan Organisasi Wanita dan Anak (OWA)Palembang.

Pemilihan untuk bentuk federasi ini bu-kanlah pemilihan singkat saat kongres, me-lainkan melewati sebuah proses cukup lamadan penuh pertimbangan. Adapun pertim-bangannya antara lain, karena para perem-puan desa berkeinginan memimpin danmenjabat sebagai ketua dan pengurus or-ganisasi Federasi. Keinginan untuk aktif,memimpin dan berorganisasi membuat me-reka yakin bahwa Federasi adalah pilihanpaling tepat untuk menampung aspirasi me-reka. Kemampuan para anggota untuk me-mimpin dianggap bisa dipelajari sambil ja-lan. Argumennya, Hapsari bukanlah per-kumpulan akademisi, atau ahli organisasi,maka mereka siap untuk belajar berorgani-sasi dan memimpin dengan proses yang me-reka jalani. Serikat atau Federasi selama inihidup dari iuran anggota dan kegiatan ang-gota yang bisa menghasilkan seperti pem-buatan sabun, kopi dll. Namun dengan ke-terbatasan program dari anggota maka or-ganisasi berusaha mengembangkan usahalainnya dengan jalan menggali ide dan po-tensi anggora Serikat. Usaha ini dilakukandengan kesadaran penuh agar mereka tidaktergantung semata-mata dengan lembagadonor. Sementara tantangan dari Serikatatau Federasi Hapsari adalah belum berhasilsepenuhnya membangun kesadaran akankeadilan dan kesetaraan di ranah privat. Isu-isu yang berhubungan dengan relasi kuasagender di ranah privat masih menjadi agen-da utama yang menjadi kendala bagi paraanggota untuk aktif diorganisasi. Secara ke-lembagaan organisasi tetap berusaha mem-bangun kesadaran baru ditengah-tengah

34 Afirmasi Vol. 02, Januari 2013

masyarakat —walau tidak mudah— akanpentingnya penerapan nilai-nilai keadilandan kesetaraan gender dalam kehidupan se-hari-hari. Isu representasi juga menjadi halyang penting untuk mereka kaji, dalam eva-luasi diri yang mereka lakukan muncul ke-gamangan Serikat atau Federasi mewakilisiapa dan isu apakah? Pertanyaan ini selalumereka jadikan sebagai bahan untuk meng-evaluasi diri.

Solidaritas Perempuan (SP) juga meru-pakan Perserikatan. Keanggotaannya indi-vidu, sementara kepemimpinannya beradapada Badan Eksekutif dan lembaga di atas-nya adalah Presidium. Anggota yang hadirdalam Kongres SP mewakili perseorangan,dan hak bicara adalah hak individu. Tiaptahun diadakan Rapat Konsultasi Anggota(RKA), yang dilakukan untuk memverifika-si keaktifan anggota. Anggota yang tidakaktif bisa dikeluarkan dari SP. Namun se-perti yang sudah dibahas di atas Perserikat-an SP juga seperti halnya dengan KPI masihmengandalkan pendanaan dari donor, se-hingga cukup banyak kegiatan di daerahyang juga mati suri.

Dengan banyak bertumbuhnya organi-sasi perempuan berbasiskan massa, makasering bisa ditemui aktivis perempuan diJakarta dan di daerah yang mempunyai ke-anggotaan ganda, misalnya, selain jadi ang-gota KPI, ia juga adalah anggota SP, atauorganisasi lainnya.

Pada kurun 2008, ada geliat menarik da-ri organisasi perempuan di Lampung, yaknikelahiran Gerakan Perempuan Lampung(GPL). GPL dideklarasikan pada Maret2008. GPL sebagai organisasi massa pe-rempuan mulai digagas dan menjadi bahandiskusi pada tahun 2005-an, diawali dengan

kegelisahan alumni peserta pendidikan pe-latihan-pelatihan adil-gender dan anti-keke-rasan. Alumni yang berasal dari enam kabu-paten/kota, pasca pendidikan membentukorganisasi di masing-masing wilayahnya.Kelahiran GPL tidak bisa dilepaskan darikerja advokasi yang telah dilakukan Damar,dan juga ornop lainnya di wilayah Lampung.

“GPL lahir difasilitasi oleh Damar, me-lalui kerja pengorganisasian. Awalnyaadalah penerima manfaat dari programDamar, dari proses pendidikan yang di-lakukan Damar sejak tahun 2000. Selu-ruh anggota GPL sudah pernah me-nempuh pendidikan, 1618 orang. Semuamenjadi anggota GPL. Ke depan, tuju-annya adalah political movement”.38

Menilik sejarahnya, pada awalnya, Da-mar berasal dari bentuk yayasan, yakni Ya-yasan Elsapa. Bentuk yayasan dianggap ti-dak bersifat demokratis. Maka pada tahun2002, Damar menyatakan diri sebagai or-ganisasi berbentuk perkumpulan.

“Perkumpulan sendiri punya mekanis-me perekrutan: ada rekomendasi daridua anggota. Perkumpulan Damar ter-diri dari Lembaga Advokasi Perempu-an Damar, Lembaga Advokasi AnakDamar dan Institut Pengembangan Or-ganisasi Rakyat”.39

Contoh kasus tantangan pengorganisa-sian perempuan di daerah seperti yang di-alami oleh organisasi berbasis massa, sepertiKoalisi Perempuan Indonesia dan Solidari-

38 Wawancara dengan S.N. Laila, Gerakan PerempuanLampung, Lampung 9 Mei 2012.

39 Wawancara dengan Selly Fitriani, Damar Lampung,Lampung 11 Mei 2012.

Edriana Noerdin - Organisasi Perempuan di Tengah Keterbukaan Politik 35

tas Perempuan, sangat nyata dilihat, darimelemahnya semangat berorganisasi di akarrumput. Solidaritas Perempuan dengan se-gala persoalan yang dialaminya sudah tutupdi beberapa daerah, walaupun sekarang su-dah mulai ada individu yang dikader untukkembali mengembangkan cikal-bakal or-ganisasi Solidaritas Perempuan kembali, se-perti di Kota Padang.

“Saat ini SP yang ada di Kota Padangbukan merupakan komunitas. Dulu me-mang sudah ada komunitas SP yang res-mi, namun karena suatu alasan, komuni-tas tersebut dibekukan. Saat ini masihada beberapa anggota yang masih aktifmenjalankan program-program SP”.40

Koalisi Perempuan Indonesia di Padangtidak jauh berbeda, walaupun sekretaris wi-layah (Sekwil) KPI masih cukup aktif meng-hadiri undangan-undangan yang dikirim keorganisasi tersebut. Namun untuk mengor-ganisasi anggotanya dirasakan ada kesulitan.Hal ini dibuktikan dengan sudah mulai sepi-nya balai perempuan, yang dulu merupakankegiatan rutin anggota KPI. Alasan pertamatidak aktifnya balai perempuan adalah kare-na kekurangan dana untuk membiayai perte-muan-pertemuan. Namun jika dikejar, ma-ka terungkap bahwa balai perempuan tidaklagi dirasa mewakili kebutuhan dan kepen-tingan para perempuan lokal. Hal ini harusdianggap serius, karena model organisasiKPI yang berbasis kepada isu dianggap sulituntuk mengembangkan dirinya di wilayah,karena belum tentu wilayah itu punya perha-tian atau kepedulian kepada isu yang dita-

warkan. Dalam wawancara di bawah ini ter-lihat bahwa masalah dana menjadi isu kuncisulitnya organisasi tersebut menjalankan ke-giatannya di daerah:

“…Kegitan tanpa anggaran hampir sulitdilakukan, sekarang susah mencari ka-wan yang betul-betul tidak mengharap-kan uang. Kalau tidak ada anggaranmaka kegiatan tidak bisa jalan”.41

Kembali sehubungan dengan masalahdana ini kemudian Tanti juga menambahkanbahwa:

“Biasanya konflik itu muncul ketika adamasalah keuangan, karena yang seringmembuat pro dan kontra itu kalau su-dah ada uang, contoh kasusnya ketikaada kejadian gempa di Padang. Tahunlalu di sini katanya ada Presidium yangmenyelewengkan dana Rp 21 juta danmenuduh anggota. Akhirnya kita bukabersama, kita tunjukin kwitansi, karenakalau organisasi massa ini, kalau adauang ribut, tapi kalau tidak ada uang ti-dak ada kegiatan”.42

Tanti juga menambahkan masalah pem-bagian kerja dalam organisasi harus juga je-las agar tidak terjadi kerancuan dalam mela-kukan aktifitas di lapangan seperti:

“… Sebenarnya dalam ADRT-nya, ke-pemimpinan KPI berada di tangan Pre-sidium, karena mereka yang memilikiAnggota (atau yang dipilih oleh anggo-ta), dan Sekwil yang menjalankan. Tapi

40 Wawancara dengan Yuni Walrif, Calon anggota Solida-ritas Perempuan Padang, Padang 14 Mei 2012.

41 Wawancara dengan Tanti Herida, Sekwil KPI WilayahSumatera Barat, Padang 17 Mei 2012.

42 Ibid

36 Afirmasi Vol. 02, Januari 2013

di lapangan, Sekwil yang harus aktif me-ngambil alih kepemimpinan. Hal inidisebabkan oleh banyak faktor, karenakesibukan Presidium itu sendiri yang jugapunya kerjaan lainnya, juga permasa-lahan biaya transportasi. Sudah disam-paikan ke pusat juga, itu setiap rapat kitaajukan, karena KPI kesulitan dana, kitadituntut harus bisa mencari dana sendiridengan mengajukan proposal ke daerahjuga”.43

Tantangan untuk organisasi “cabang”dari Jakarta, seperti yang dialami KPI, SPjuga dialami oleh ASPPUK, masalah keter-batasan sumberdaya juga berakibat pada ber-kurangnya kegiatan organisasi. ASPPUKyang banyak memiliki kegiatan untuk pe-rempuan pengusaha kecil merasa juga ba-nyak memiliki kendala pendanaan atau mo-dal, sehingga produktivitas dan pemasaranproduk tidak maksimal. Dari hasil FGD dibawah ini juga terlihat masalah modal kerjamenjadi isu yang paling mengemuka:

“Pemasaran produk masih sulit, masihbanyak saingan. Produk tidak bisa ma-suk ke toko. Tidak diterima karena tidakada label. Modal masih terbatas. Ya, so-lusinya dengan bantuan modal dan ban-tuan pemasaran”.44

Bentuk Organisasi ASPPUK sepertiyang dituturkan di bawah ini adalah:

“ASPPUK itu bentuk awal organisasiadalah forum LSM yang berfokus padaPerempuan Usaha Kecil (PUK), tapi ke-

mudian mengkristal pada tahun 1997menjadi YASPPUK (Yayasan). Karenabentuk yayasan dirasakan kurang de-mokratis, akhirnya berubah menjadiASPPUK (Asosiasi). Ada forum nasio-nal yang merupakan forum tertinggi, dandi wilayah namanya forum wilayah.Yang mengkoordinasikan di pusat na-manya Seknas, dan di wilayah bernamaSekwil”.45

Kemudian ditambahkan oleh Ririn ben-tuk organisasi ASPPUK:

“Kalau ASPPUK strukturnya ‘kan meng-ikuti dari nasional. Kepengurusannya adaKomite Eksekutif Wilayah (KEW), danSekretaris Eksekutif Wilayah (SEW).Kemudian ada (Jaringan PerempuanUsaha Kecil (Jarpuk), sebagain penerimaprogram dari ASPPUK. Jarpuk ini adadi tiap kabupaten/kota yang memba-wahi kelompok-kelompok PUKnya.Salah satu kegiatan anggota Jarpuk itu‘kan simpan-pinjam. Oleh karena itu laludibentuk Koperasi Wanita (Kopwan)yang diketuai Masnim”.46

Model organisasi seperti ASPPUK yangbergerak di masalah simpan pinjam perem-puan ini sebetulnya telah dilakukan terlebihdahulu oleh organisasi perempuan lainnyaseperti Pusat Pemberdayaan Sumber DayaWanita (PPSW). Kemudian kegiatan sertamodel organisasi yang bergerak dalam bi-dang penguatan ekonomi keluarga salah sa-tunya melalui simpan pinjam inipun kemu-dian juga menjadi inspirasi berdirinya or-

43 Ibid.44 Catatan FGD Penelitian Feminist Leadership Pasca

Negara Otoritarian Indonesia dengan ASPPUK Padang,Padang 17 Mei 2012.

45 Wawancara dengan M. Firdaus, Deputi DirekturASPPUK, Jakarta 27 April 2012.

46 Wawancara dengan Ririn, ASPPUK Nusa Tenggara,18 Mei 2012.

Edriana Noerdin - Organisasi Perempuan di Tengah Keterbukaan Politik 37

ganisasi Pekka untuk kelompok perempuanyang berbeda, yaitu Perempuan sebagai Ke-pala Keluarga. Pengurus Pekka pertama ka-linya sebagian besar juga berasal dari PPSW.Kegiatan utama Pekka adalah simpan-pin-jam, yang banyak diminati anggota untukmodal membuka usaha dan biaya sekolahanak. Selain itu, yang menjadi tantanganmereka sama dengan ASPPUK, yakni ba-nyaknya produk kerajinan yang sudah di-buat namun tidak bisa dipasarkan, karenaproduk yang dibuat tidak sesuai dengan ke-butuhan masyarakat setempat. Seperti yangmuncul dalam FGD dengan kelompokPekka di Mataran bahwa masalah modaljuga menjadi isu yang penting sehingga ke-giatan sangat berhubungan dengan modalusaha:

“...dalam kelompok kita selalu memba-has masalah kegiatan anggota, sepertiada produk kerajinan yang mau dijual,tapi belum tahu mau dijual ke mana danapakah laku dijual atau tidak? Baru seba-tas produksi saja. Dulu kita di sini jugapernah studi banding ke Cianjur, melihatpembuatan kerupuk wortel. Tapi di siniharga wortel mahal sekali, modalnya ti-dak ada. Sehingga kegiatan itupun men-jadi tidak cocok di sini”.47

Tabel Bidang Kerja Organisasi Perem-puan menunjukkan bidang kerja dari organi-sasi perempuan di daerah penelitian WRI.Melihat bidang garapan dari berbagai or-ganisasi yang menjadi subyek penelitian, ter-lihat jelas bahwa isu bidang garapan juga

sangat beragam, mulai dari bidang perem-puan dan politik, kekerasan terhadap pe-rempuan, buruh migran, perempuan danekonomi — yang sering disebut denganpenguatan ekonomi perempuan — isu kese-hatan reproduksi perempuan, pendidikankritis, perempuan pekerja rumah tangga,perempuan pekerja seks komersial (disebutjuga dengan terminologi perempuan yangdilacurkan), trafficking, seksualitas — ter-masuk isu orientasi seksual (LBT)—, pene-gakan hukum yang adil- gender sampai padaisu anggaran berkeadilan gender. Namundalam praktiknya tidak terjadi pemisahanyang sangat nyata dalam setiap bidang kerjatersebut. Bagi organisasi yang bergerak da-lam isu perempuan dan politik tidak bisamelepaskan diri dari isu penegakan hukumdan begitupun dengan isu-isu lainnya. Se-hingga perjuangan keadilan dan kesetaraangender memang harus dilakukan dari ber-bagai isu dan bidang kerja yang saling berkaitberkelindan sesuai dengan rumitnya situasiyang dialami oleh perempuan.

Persoalan Kekerasan TerhadapPerempuan

Kerusuhan Mei 1998, yang sering dikenaldengan sebutan Tragedi Mei, mencuatkanisu perkosaan yang dilakukan oleh orang atausekelompok orang terhadap perempuan.Walaupun kasus-kasus tersebut tidak sam-pai diajukan ke meja hijau dengan berbagaipertimbangan, namun rangkaian peristiwaitu telah membuat organisasi perempuanmenguatkan kerja dan jaringan untuk mem-bantu perempuan korban kekerasan. Isu ke-kerasan ini pun menjadi keprihatinan bersa-

47 Catatan FGD Penelitian Feminist Leadership PascaNegara Otoritarian Indonesia dengan Kelompok PekkaPadang, Sijunjung 16 Mei 2012.

38 Afirmasi Vol. 02, Januari 2013

Tabel 1.Bidang Kerja Organisasi Perempuan

Kota Program Kerja OrganisasiBentuk dan NamaOrganisasi

Perkumpulan LembagaPengkajian dan Pemberda-yaan Masyarakat (LP2M)

Padang

Ormas SolidaritasPerempuan

• Peningkatan kapasitas perempuan untuk pengembangan assetlembaga keuangan perempuan (koperasi simpan pinjam)

• Pelatihan manajemen pemasaran produk• Diskusi dengan anggota Jaringan Perempuan Usaha Kecil

(Jarpuk) tentang kewirausahaan hingga penyadaran gender• Training pembukuan manajemen usaha• Advokasi ke pemerintah untuk memudahkan usaha kecil

perempuan (Sertifikat Halal dan Nomor Regristrasi Dinkes)• Membentuk koperasi simpan pinjam• Pemberdayaan ekonomi perempuan untuk meningkatkan asset

ekonomi perempuan• Simpan pinjam dengan dana swadaya masyarakat• Simpan pinjam dan revolving fund untuk perempuan kepala

keluarga• Pemberdayaan ekonomi dengan melakukan pengembangan

usaha/lembaga Kredit Mikro Berbasis Komunitas• Simpan pinjam untuk perempuan buruh migran• Pendidikan penyadaran gender, hak kesehatan reproduksi,

hukum, keadilan, kekerasan terhadap perempuan• Credit Union Pesada• Credit Union Hapsari• Memiliki unit usaha (membuat sabun, kerajinan, menjual batik,

dan usaha kedai kopi)• Livelihood (advokasi penguatan kapasitas perempuan

marjinal, untuk keberlanjutan penghidupan)• Membuat industri rumah tangga (kompos dari limbah rumah

tangga, bunga hias dari limbah plastik, tikar dan sedotan

• Layanan bantuan hukum bagi perempuan• Peningkatan penyadaran hak-hak perempuan• Seminar dan lokakarya memperjuangkan adanya mata kuliah

wanita dan hukum atau gender dan hukum di fakultas hukum• Memberikan bantuan hukum untuk korban kekerasan dalam

bentuk litigasi dan pendampingan pengadilan• Bekerja di jaringan untuk advokasi hukum, menjadi penggerak

jaringan JKP3 (Jaringan Kerja Perempuan Pro-Prolegnas)• Publikasi dan dokumentasi kajian hukum sebagai bahan dasar

melakukan advokasi kebijakan dan kampanye publik• Avokasi untuk melindungi dan memperkuat posisi tawar buruh

migran dan keluarganya terhadap pengambil keputusan

• Mengadvokasikan dan pendampingan kasus-kasus yangdialami oleh perempuan buruh migran

Asosiasi PendampingPerempuan Usaha Kecil(ASPPUK)

JakartaPadangMataram

Yayasan Harmonia Padang

Perkumpulan PerempuanKepala Keluarga (Pekka)

Mataram

Deli Serdang

JakartaPadangMataram

Mataram

Yayasan LBH APIK

JakartaPadangMataram

JakartaPadangMataram

Perkumpulan Panca Karsa(PKK)

Yayasan PesadaFederai Hapsari Deli Serdang

Ormas Jaringan PerempuanRakyat Pesisir (JPRP)

Hukum dan Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (KTP)

MataramPerkumpulan Panca Karsa(PPK)

Edriana Noerdin - Organisasi Perempuan di Tengah Keterbukaan Politik 39

• Layanan konseling kerjasama dengan radio setempat• Membantu Ruang Pelayanan Khusus (institusi Kepolisian),

menyediakan layanan bagi korban kekerasan• Pendampingan hingga pemulihan korban kekerasan seksual,

dan kekerasan berbasis gender• Kampanye di media seperti koran, radio, televisi, dan

facebook untuk memerangi kekerasan terhadap perempuan• Diskusi di masyarakat sesuai dengan tema yang berkembang• Advokasi tertutup korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga

dan Poligami dengan melakukan pendampingan untukmelaporkan ke Polda hingga persidangan berlangsung

• Women Crisis Center (WCC) juga menangani kasusKekerasan Terhadap Perempuan

• Pendidikan penyadaran gender• Dukungan untuk perempuan korban kekerasan• Advokasi penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan• Pendidikan dan promosi demokrasi dan politik bagi perempuan

pedesaan bekerjasama dengan Pemerintah Kabupaten danorganisasi lainnya

• Mengelola Rumah Aman untuk Perempuan dan Anak Korbankekerasan di Labuhanbatu

• Bantuan hukum dan konseling bagi perempuan korbankekerasan

• Advokasi masalah hukum, penyediaan perlindungan danpelayanan bagi perempuan dan anak korban kekerasan

• Pertunjukkan, yaitu pesta rakyat bekerjasama dengan teateruntuk mementaskan kasus Kekerasan Terhadap Perempuan

• Menginisiasi berdirinya GPL (Gerakan Perempuan Lampung)• Advokasi menuntut hak-hak kepemilikan tanah perempuan• Pengorganisasian perempuan berbasis keseharian• Advokasi Undang-Undang Pembantu Rumah Tangga (UU PRT)

• Pencegahan dan penanggulangan terhadap segala bentukKekerasan Terhadap Perempuan (KTP)

• Catatan Tahunan (Catahu) milik Komnas Perempuan tentangViolence Againts Women/VAW (Kekerasan TerhadapPerempuan)

• Memelihara kolaborasi dan membangun sinergitas dengansemua aktor baik di bidang hukum maupun sosial politik lain

• Penanganan bantuan hukum untuk janda dan perempuankorban kekerasan

• Memberikan bantuan pelayanan pengadaan Akte KelahiranAnak, Isbat Nikah dan Surat Cerai, dan pelayanan penasehathukum bagi korban kekerasan

• Peningkatan pastisipasi politik perempuan di Pesisir Selatan• Advokasi jaminan hak-hak perempuan untuk terlibat dalam

proses-proses politik secara maksimal, baik sebagai calegmaupun sebagai pemilih

Padang

JakartaPadang

Deli Serdang

Kota Program Kerja OrganisasiBentuk dan NamaOrganisasi

Yayasan WCCNurani Perempuan

Ormas Koalisi PerempuanIndonesia (KPI)

Yayasan Pesada

Federasi Hapsari Deli Serdang

Perkumpulan Damar Lampung

Ormas Jaringan PerempuanRakyat Pesisir (JPRP)

Lampung

JakartaPerkumpulan InstitutKapal Perempuan

Komnas Perempuan Jakarta

Perkumpulan PerempuanKepala Keluarga (Pekka)

JakartaPadangMataram

Politik

PadangPerkumpulanLembaga Pengkajian danPemberdayaan Masyarakat(LP2M)

40 Afirmasi Vol. 02, Januari 2013

Bentuk dan NamaOrganisasi

Kota Program Kerja Organisasi

JakartaPadang

Jakarta

Mataram

• Pemberdayaan dan pendidikan politik bagi kader organisasi• Advokasi agar kebijakan publik di Sumatera Barat menjadi

lebih adil gender dan demokratis• Balai Perempuan untuk memberi pendidikan dalam rangka

meningkatkan partisipasi politik perempuan• Kampanye rutin dengan tema isu anti kekerasan dan

penyadaran gender untuk perempuan• Kerjasama dengan radio lokal untuk kampanye anti

kekerasan, khususnya terhadap perempuan• Pendidikan kritis untuk perempuan dalam bentuk diskusi

tentang permasalahan perempuan• Kampanye anti kemiskinan perempuan• Partisipasi politik perempuan, advokasi, rumah aman

perempuan, pelatihan, dan pengembangan kapasitas jaringan• Pendidikan politik untuk anggota serikat• Pemberdayaan perempuan untuk partisipasi politik dilakukan

dengan pengerahan warga perempuan dalam prosespengambilan keputusan seperti musrenbang –musyawarahrencana pembangunan desa

• Pengorganisasian perempuan miskin kota dan desa• Mendorong agar mereka mampu berpartisipasi pada proses

pengambilan keputusan publik

• Mitigasi bencana• Kegiatan penghijauan• Sekolah lapang• Pembuatan biofor, pembibitan, dan konservasi lahan• Pemulihan ekonomi pasca bencana• Kegiatan tanggap bencana ketika ada bencana alam terjadi

yaitu bencana angin putting beliung• Fasilitasi pembuatan peta Digitasi untuk lokasi rawan

bencana• Penguatan kapasitas masyarakat terkait tentang isu-isu

perubahan iklim dan penanggulangan bencana• Sosialisasi isu perubahan iklim dan kajian resiko bencana,

pengenalan isu perubahan iklim sejak dini di sekolah

• Diskusi masyarakat tentang malnutrisi anak• Pendekatan positive defiance untuk perbaikan gizi anak• Penguatan kapasitas pengelolaan air bersih• Program Sumatera Healthy School (SHSP)• Pendidikan kesehatan reproduksi perempuan• Pendidikan kesehatan (Gizi, AKI, HIV/AIDS, dll)• Peningkatan pemahaman perempuan untuk mengakses

fasilitas kesehatan• Pengadaan air bersih dan kebersihan lingkungan untuk

wilayah pesisir

Ormas Koalisi PerempuanIndonesia (KPI)

Ormas SolidaritasPerempuan (SP)

JakartaPadangMataram

Yayasan Pesada Deli Serdang

Deli SerdangFederasi Hapsari

Perkumpulan PerempuanKepala Keluarga (Pekka)

JakartaPadangMataram

Yayasan Kalyanamitra

Pencegahan Perubahan Iklim dan Bencana

PerkumpulanLembaga Pengkajian danPemberdayaan Masyarakat(LP2M)

Padang

Federasi Hapsari Deli Serdang

Kesehatan (Perempuan dan Anak) dan Sanitasi

Yayasan Keluarga SehatSejahtera Indonesia(YKSSI)

Mataram

Yayasan Totalitas Padang

Yayasan Keluarga SehatSejahtera Indonesia(YKSSI)

Jaringan PerempuanRakyat Pesisir (JPRP)

Lampung

Edriana Noerdin - Organisasi Perempuan di Tengah Keterbukaan Politik 41

Bentuk dan NamaOrganisasi

Program Kerja Organisasi

• Pendidikan kritis di tingkat masyarakat dan LSM terutamaterkait dengan isu-isu gender (diskusi basis tentang gender)

• Mendirikan enam Taman Bermain dan Belajar Anak (TBBA)sebagai strategi mendekatkan diri dengan masyarakat

• Mendirikan sembilan Taman Bermain dan Belajar Anak (TBBA)sebagai strategi mendekatkan diri dengan masyarakat

• Mengelola sekolah Aliyah dengan tambahan kurikulumpendidikan gender dan HAM

• Training kepada kader dan anggota serikat• Melaksanakan pendidikan kritis untuk perempuan agar mampu

berposisi tawar dalam relasi gendernya• Advokasi kebijakan, penelitian dan publikasi• Pendidikan untuk isu MDGs (Millenium Development Goals).• Memberikan pendidikan penyadaran gender dan wacana

feminisme• Pendidikan gender dan seksualitas, bekerjasama dengan

Ardhanary Institute• Pendidikan dan pengaksaraan perempuan yaitu dengan

penyediaan program kejar Paket A, B, dan C• Program pendidikan untuk anak dalam bentuk PAUD

(Pendidikan Anak Usia Dini)• Pendidikan, training, dan konselor tentang social practice

berfokus pada kelompok Lesbian, Biseksual dan Transgender(LBT)

• Penguatan kelompok dan pendidikan kritis bagi perempuan

• Menerbitkan buletin bagi perempuan di pedesaan denganbahasa lokal

• Mengelola radio komunitas• Pendirian pusat dokumentasi sebagai salah satu penopang

utama penyebaran informasi mengenai isu perempuan• Layanan perpustakaan (on-line dan fisik)• Penerbitan buku (terjemahan dan non-terjemahan)• Menjalin kerjasama dengan media penyiaran (radio) dengan

jalan menampilkan pembicara perempuan dalam talkshow• Mengupayakan adanya perempuan yang menjadi penyumbang

tulisan tetap di koran lokal

• Pemberdayaan dan penguatan hak buruh migran, denganmendorong terbentuknya serikat buruh migran

• Pendidikan kepada buruh migran sebelum berangkat, saat ditempat kerja dan setelah kembali ke tanah air.

• Pelatihan dan advokasi nasional• Membangun dan mengembangkan jejaring di internasional

untuk mengadvokasi lebih luas

Padang

Federasi GerakanPerempuan Lampung (GPL)

Kota

Pendidikan

Yayasan Harmonia

Yayasan Pesada Deli Serdang

Yayasan Hapsari Deli Serdang

Perkumpulan InstitutKapal Perempuan

Jakarta

Yayasan Kalyanamitra Jakarta

Perkumpulan PerempuanKepala Keluarga (Pekka)

YayasanArdhanary Institute

Jakarta

JakartaPadangMataram

Publikasi dan Media (Informasi dan Komunikasi)

Yayasan Pesada

Yayasan HapsariYayasan Kalyanamitra Jakarta

Deli Serdang

Deli Serdang

JakartaPadangMataram

Yayasan LBH APIK

Perlindungan Buruh Migran Indonesia (BMI)

Ormas SolidaritasPerempuan

JakartaPadangMataram

Yayasan Migrant Care Jakarta

Lampung

42 Afirmasi Vol. 02, Januari 2013

ma kalangan aktivis perempuan, yang bera-mai-ramai pergi menghadap B.J. Habibieyang pada saat itu menjadi Presiden RI, danmengusulkan dilahirkannya Komisi Nasio-nal Anti-Kekerasan Terhadap Perempuan.Era Reformasi, yang menjadi momentum or-ganisasi perempuan untuk menguatkan ba-risan menentang berbagai bentuk kekerasantersebut, ditandai dengan lahirnya organisasibaru dan penambahan fungsi organisasi yangbergerak di bidang pendampingan korban ke-kerasan terhadap perempuan. Momentumitu berujung dengan banyaknya organisasiperempuan yang mendirikan Women’s CrisisCenter. Banyak organisasi perempuan yangmelihat isu kekerasan terhadap perempuan

merupakan isu yang tidak bisa ditunda lagipenanganannya, berbagai organisasi perem-puan di daerah menjadikan isu kekerasanterhadap perempuan sebagai sentral darikegiatannya seperti yang diungkapkan olehYefri di bawah ini:

“Dan di dua tahun terakhir ini, kita lebihbanyak menangani kasus korban keke-rasan seksual. Sekarang Mely menanganitiga kasus perkosaan anak-anak sekolah.Dan kebanyakan, si korban tidak menge-nal pelaku. Juga masih ada satu kasusKDRT. Tetapi masih lebih banyak kasuskekerasan seksual. Kekerasan seksual inimerupakan kekerasan yang secara khu-sus korbannya dalah perempuan dari se-

Bentuk dan NamaOrganisasi

Kota Program Kerja Organisasi

Jakarta

Perkumpulan Panca Karsa(PPK)

Mataram

Jakarta

JakartaYayasanArdhanary Institute

Seksualitas

• Bergabung dengan Global Platform on Migrant WorkerConvention di Jenewa karena penting memanfaatkan instru-ment internasional untuk mengadvokasi

• Mengkritisi kebijakan yang terkait dengan perekonomian,kekerasan terhadap perempuan, trafficking yang tidak adilterhadap buruh migran, perempuan dan anak

• Penanganan kasus-kasus yang menimpa buruh migran• Publikasi terkait persoalan buruh migran, perempuan dan anak,

melalui dialog, seminar lintas birokrat, swasta, masyarakatburuh migran, perempuan dan anak

• Pelatihan Pra Pemberangkatan Pekerja Rumah Tangga Migran,bekerjasama dengan organisasi Migrant Care

• Menghimpun perempuan yang berorientasi seksual lesbian,biseksual serta kelompok transgender female-to-male (FTM)agar mampu menggalang kekuatan untuk hidup bermasyarakatyang dirasakan masih sangat diskriminatif terhadapkeberadaannya

• Pemberdayaan individu melalui konseling dan pendidikan bagilesbian, biseksual dan transgender serta keluarganya yangmembutuhkan

• Bekerjasama dengan organisasi serupa di Yogyakarta (RifkaAnnisa) dan pusat konseling remaja Perkumpulan KeluargaBerencana Indonesia (PKBI)

• Membantu pengembangan perspektif lesbian, biseksual dantransgender untuk semua staf/awak shelter dan juga parakonselor.

Yayasan Migrant Care

Perkumpulan InstitutKapal Perempuan

Edriana Noerdin - Organisasi Perempuan di Tengah Keterbukaan Politik 43

kami juga mengadakan diskusi denganmasyarakat tentang hal yang seringdibahas. Tujuannya agar masyarakat pa-ham bahwa masalah kekerasan terhadapperempuan adalah masalah kita bersamadan siapa saja bisa menjadi korban keke-rasan tersebut”.50

Lembaga advokasi perempuan Damardi Lampung, sejak berdirinya telah berusahamewujudkan kegiatan yang mangatasi ma-salah ketidakadilan, diskriminasi, eksploi-tasi dan kekerasan terhadap perempuan. Na-mun harus diakui, permasalahan perempu-an, terutama kekerasan, masih berlangsungdi Lampung. Isu kekerasan terhadap perem-puan ini adalah isu bersama yang harus di-tangani bersama oleh masyarakat.

“Kita bukan Sinterklas, bukan pemadamkebakaran. Pendampingan kasus, baiklitigasi maupun non-litigasi yang telah kitalakukan itu adalah sebuah contoh untukbisa melihat bagaimana karakteristik/modus operandi kekerasan terhadap pe-rempuan. Upaya pentingnya adalah me-lakukan penyadaran masyarakat”.51

Agenda Peningkatan Partisipasi PolitikPerempuan

Berbagai persoalan ketidakadilan terhadapperempuan bukan hanya persoalan individuperempuan tetapi merupakan persoalan ma-syarakat yang harus ditangai secara seriusoleh berbagai unsur masyarakat. Selain pe-nanganan korban yang juga mendesak dila-

gala lapisan masyarakat lintas kelas so-sial, dari berbagai usia, berbagai budayadan berbagai agama”.48

Karena situasi korban kekerasan terha-dap perempuan yang berasal dari berbagailatar belakang tersebut secara umum bisadikatakan sama, selain merusak harga dirikorban dan keluarganya, bukan hanya meru-sak fisik tetapi juga psikis, termasuk meru-sak masa depannya sehingga kegiatan yangdilakukan memang langsung pada penguat-an korban dan keluarganya seperti tuturanSelly Fitriani:

“Penguatan tidak hanya dilakukan kepa-da korban, tetapi juga kepada keluarga.Apa yang terjadi kepada korban bukan-lah salah korban; ini bukan aib. Kekeras-an terhadap perempuan merupakan pe-langgaran hak asasi manusia”.49

Sehingga penanganan isu kekerasan ter-hadap perempuan ini harus juga dilakukanmelalui berbagai pendekatan. Walrif dariPadang mengatakan bahwa:

“selain penanganan korban dan keluargakorban kekerasan seksual, pendidikanmasyarakat baik kepada laki-laki mau-pun perempuan perlu dilakukan. Kamidan kawan-kawan melakukan WeekendCampaign (kampanye anti-kekerasan ter-hadap perempuan) melalui media radio,kami adakan dalam rangka mengadvo-kasikan isu anti kekerasan terhadap pe-rempuan. Selain advokasi melalui radio,

48 Wawancara dengan Yefri Heriani, Direktur WCCNurani Perempuan Padang, 17 Mei 2012.

49 Wawancara dengan Selly Fitriani, Damar Lampung, 11Mei 2012.

50 Wawancara dengan Yuni Walrif, Calon Anggota Soli-daritas Perempuan Padang, Padang 14 Mei 2012.

51 Wawancara dengan Selly Fitriani, Damar Lampung, 11Mei 2012.

44 Afirmasi Vol. 02, Januari 2013

kukan adalah perubahan yang mendasardari kebijakan-kebijakan yang selama inidikenal tidak adil gender.

Kebijakan yang tidak adil gender itu bi-sa kita lihat dari proses pembuatannya sam-pai pada produk kebijakan itu sendiri, baikproses sampai pada produk yang terjadi ditingkat pusat maupun di tingkat daerah.

Hasil studi Komnas Perempuan antara1999 dan 2009, tercatat ada 63 kebijakandaerah yang secara langsung diskriminatifterhadap perempuan. Ada 21 kebijakanmengatur cara perempuan berpakaian, 37kebijakan tentang pemberantasan prostitusidimana justru perempuannya yang dikrimi-nalisasi sehingga tidak adanya kepastian hu-kum dan perlindungan bagi perempuan, satukebijakan tentang Khalwat, empat kebijakantentang pengabaian hak dan perlindunganperempuan buruh migran.52 Hal ini terjadidengan dalih otonomi daerah, dimana ba-nyak sekali daerah yang melahirkan pera-turan daerah (Perda) dengan semangat un-tuk mengatur kehidupan di daerahnya se-suai dengan adat kebiasaan, agama dan kon-disi pemerintahan daerahnya. Namun padapraktiknya banyak sekali peraturan daerahtersebut yang mengakar pada budaya danagama yang merugikan perempuan sepertihasil studi Komnas Perempuan tersebut.

Untuk merespon kebijakan yang diskri-minatif terhadap perempuan tersebut, padaTabel Bidang Kerja Organisasi Perempuanjuga terlihat banyak organisasi perempuanmenjadikan masalah hukum dan politik

sebagai bidang kerja, untuk memperjuang-kan keadilan dan kesetaraan gender. Bah-kan hampir semua organisasi perempuanmengagendakan perubahan kebijakan pu-blik, baik di level UU maupun PeraturanDaerah yang dianggap merugikan hajat hi-dup perempuan. Banyak yang berhasil, na-mun tidak jarang organisasi perempuanmendapat tantangan dari berbagai pihak. Mi-salnya dalam hal masih banyaknya lahir per-aturan daerah, sering dikenal dengan PerdaSyariah, yang melarang perempuan keluarmalam (di atas pukul 18.00 WIB) tanpa di-dampingi oleh muhrim. Ada pula ketentuankewajiban bagi perempuan Muslim untukmengenakan jilbab sebagai dilaporkanKomnas Perempuan dalam laporan tahun-annya tersebut.

Kesadaran akan pentingnya menjagaagar kebijakan publik tidak diskriminatifterhadap perempuan membuat organisasiperempuan juga secara aktif terlibat padakegiatan mendorong keterlibatan para pe-rempuan dalam kancah perebutan posisi se-bagai wakil rakyat di DPR. Organisasi pe-rempuan menganggap sebagai wakil rakyatadalah posisi yang strategis bagi para perem-puan untuk ikut serta dalam perumusan ke-bijakan yang adil gender.

Secara tertulis, masing-masing organi-sasi memang memiliki perbedaan visi danmisi. Namun jika kita lihat, beberapa organi-sasi memiliki kesamaan cita-cita: keadilanuntuk perempuan dan terbukanya aksesyang lebih besar untuk perempuan terlibatdalam pembuatan keputusan yang ber-pengaruh pada perempuan. Melalui kegiatanpenguatan partisipasi politik perempuan, disamping aktif dalam mendorong lahirnyaUU Pemilu yang memasukkan Kuota 30

52 Komnas Perempuan, Atas Nama Otonomi Daerah:Pelembagaan Diskriminasi Dalam Tatanan Negara-Bangsa Indonesia, Laporan Pemantauan Kondisi Peme-nuhan Hak-hak Konstitusional Perempuan di 16Kabupaten/Kota Pada 7 Provinsi, Jakarta 2010.

Edriana Noerdin - Organisasi Perempuan di Tengah Keterbukaan Politik 45

persen bagi calon legislatif, para organisasiperempuan ini juga aktif memberikan pe-nyadaran politik bagi perempuan di daerahkerja masing-masing, mulai dari kesadaranpara pemilih untuk memilih calon anggotalegislatif yang peduli pada persoalan yangdihadapi perempuan, sampai pada kegiatanpeningkatan kapasitas bagi perempuan ca-lon anggota legislatif. Tidak sedikit organi-sasi perempuan juga membantu para pe-rempuan calon tersebut dalam mempersiap-kan perangkat kampanyenya, sampai padamembantu penggalangan dana untuk meri-ngankan beban biaya para perempuan calontersebut. Disamping organisasi perempuanlainnya, KPI juga merupakan organisasiyang secara khusus banyak bergerak dalamisu peningkatan partisipasi politik perempu-an seperti yang diutarakan oleh Tanty, Sek-jen KPI Sumatera Barat di bawah ini:

“ Balai Perempuan di Sumatera Baratberjumlah 58 buah. Untuk perumusanisu dalam kegiatan balai perempuan, kitalakukan melalui diskusi-diskusi. Juga kitaada rapat Presidium sekali tiga bulan.Saat ini sedang banyak membahas isupersiapan Pemilu, mulai dari diskusi de-ngan caleg, memotivasi caleg perempu-an, dan kebutuhan daerah yang harusdiperjuangkan caleg perempuan nanti-nya”.53

Sementara Perkumpulan Solidaritas Pe-rempuan juga sangat aktif mengkampanye-kan isu peningkatan partisipasi politik pe-rempuan, karena masalah perempuan adalahmasalah politik. Moto perempuan adalah

Personal is political, semua kehidupan pribadiadalah masalah politik, sehingga masalahharga sembako murah adalah masalah poli-tik, isu kekerasan terhadap perempuan ada-lah masalah politik, seperti kutipan di bawahini:

“…kegiatan kita juga memberi infor-masi kepada perempuan, bahwa apa sihmasalah perempuan sekarang? Harga-harga mahal, anak nggak bisa sekolah,itu terkait dengan sebuah keputusan na-sional, politik, keputusan politik nasionaldan global. Dan kita mensosialisasikaninformasi lebih lanjut tentang masalah-masalah yang sudah mereka identifikasi.Jadi kita bikin seri diskusi kampus. Seka-rang kami sedang kampanye anti-poverty,judul kampanyenya: ‘Stop kemiskinanperempuan.’ Juga kami diskusi-diskusikampung, di mana perempuan diajakberdiskusi untuk melihat persoalan ter-sebut, keterkaitan masalahnya dengansebuah kebijakan politik global dan na-sional, dan mengaitkan dengan persoal-an keseharian mereka. Kami mengajakmasyarakat bersama-sama melakukankontrol kepada pengambil kebijakanpublik. Ketika mereka sudah sadar, di-harapkan mereka punya kesadaran poli-tik terhadap persoalan yang mereka ha-dapi, khususnya perempuan”.54

Namun tantangan yang dihadapi ketikabidang garapan jadi lebih spesifik, sepertiyang telah kita utarakan, juga menimbulkanpersoalan pengkotak-kotakan, yang seha-rusnya tidak perlu terjadi. Persoalan yangdihadapi oleh perempuan sesungguhnya lin-tas-isu, lintas-wilayah dan juga lintas-kelas

53 Wawancara dengan Tanty Herida, Sekjen KPI WilayahSumatera Barat, Padang 17 Mei 2012.

54 Wawancara dengan Yuni Riawati, Solidaritas Perempu-an, Mataram 18 Mei 2012.

46 Afirmasi Vol. 02, Januari 2013

56 Wawancara dengan Beauty Erawati, Direktur LBHAPIK NTB, Mataram 16 Mei 2012.

57 Catatan FGD Penelitian Feminist Leadership PascaNegara Otoritarian Indonesia dengan Kelompok PekkaMataram, Mataram 15 Mei 2012.

sosial. Walaupun di sisi lain, pengkotakanini juga akan lebih menciptakan organisasidengan keahlian khusus dan menjadi mum-puni di bidangnya.

Bidang Kerja Bantuan Hukum

“Pada perjalanan ke depan ini, LBHAPIK menginginkan terjadinya peru-bahan sistem hukum agar lebih setaradan adil-gender. Dan secara khusus, agarpenanganan bantuan hukum itu dapatlebih berpihak pada korban. Sistem hu-kum yang setara artinya menjamin persa-maan di muka hukum untuk laki-lakidan perempuan. Kalau adil-gendermaksudnya kaum perempuan –khusus-nya para korban—bisa menikmati hak-haknya. Untuk dapat adil- gender me-mang diperlukan affirmative action di da-lam sistem hukum kita”.55

Dengan visi tersebut, sejak rapat kerja2011, yang mengangkat Ratna Batara Muntimenjadi direktur, LBH APIK mempunyaidua program utama, yakni 1) layanan bantu-an hukum dan 2) publikasi dan dokumen-tasi kajian hukum sebagai bahan dasar me-lakukan advokasi kebijakan, maupun kam-panye publik untuk perubahan sistem hu-kum. Seperti yang dilakukan oleh LBHAPIK Mataram di bawah ini:

“Upaya untuk men-gendermainstreaming-kan kurikulum Fakultas Hukum. Jadi kitamembuat seminar dan lokakarya, yangoutput-nya itu adalah mengharapkan su-paya ada mata kuliah wanita dan hukum,atau gender dan hukum, di Fakultas

Hukum. Dan juga dosen-dosen itu se-dapat mungkin mengintegrasikan instru-men-instrumen hukum yang menjaminkeadilan dan kesetaraan di dalam kuliah-nya sendiri-sendiri: Hukum Perburuhan,Hukum Pidana, Hukum Perkawinan..”56

Selain LBH APIK, organisasi perempu-an seperti Pekka juga melakukan kegiatanpenyadaran dan penguatan para perempuandi hadapan hukum. Salah satu kegiatanPekka yang sangat kuat dirasakan manfaat-nya bagi para perempuan diberbagai daerahdan juga menjadi inspirasi bagi banyak ke-giatan organisasi perempuan lainnya adalahmendekatkan akses dan proses hukum ke-pada perempuan seperti yang kita selalu da-patkan dalam setiap FGD dengan kelompokPekka di berbagai daerah:

“Kegiatan yang kita ikuti dari segi hu-kum, mendata masyarakat yang belumpunya buku nikah, buku cerai, akte lahiranak dan perwalian anak. Kami men-dampingi korban, memberikan pema-haman mengenai kebutuhan bagaimanamendapatkan surat cerai, buku nikah,akte lahir anak dan lain-lain. Surat nikahdan surat cerai sangat diperlukan untukmengurus harta gono gini apabila terjadiperceraian. Kami juga membantu pe-rempuan yang bercerai bagaimana men-dapatkan harta gono-gini…”57

Anggota kelompok Pekka mengatakanbahwa kegiatan bantuan hukum tersebut

55 Wawancara dengan Ratna Bantara Munti, DirekturEksternal LBH APIK Jakarta, Jakarta 24 Mei 2012.

Edriana Noerdin - Organisasi Perempuan di Tengah Keterbukaan Politik 47

merupakan kegiatan yang langsung dirasa-kan manfaatnya dan pengurusan surat-surattersebut langsung memberikan kekuatandan kepercayaan diri para perempuan untukterlibat langsung dalam setiap kegiatanPekka.

Bidang Kerja Pendidikan

Kalyanamitra dan Kapal perempuan men-jadikan isu pendidikan kritis perempuan se-bagai kegiatan utama organisainya. Melaluipendidikan kritis terhadap perempuan isukeadilan dan kesetaraan gender menjaditiang utama penyangga isi dari semua ke-giatan kritis tersebut. Kegiatan rutin me-mang diperlukan sebagai wadah dari pe-ngembangan wacana dan penyadaran bagiisu keadilan dan kesetaraan gender.

“Kami tetap melanjutkan pendidikangender, sebagaimana Kalyanamitra dariawal dulu dikenal. Kami mulai lagi tahun2012 ini melakukan pendidikan genderdengan kurikulum tertentu, termasukmembahas isu seksualitas, bekerjasamadengan Ardhanary. Pendidikan ini untukumum, pesertanya biasanya mahasiswa,atau staf baru organisasi perempuan. Ti-dak banyak dulu, paling banyak berjum-lah 15, dan diadakan secara bulanan, se-bulan sekali selama satu hari penuh”.58

Sementara Kapal perempuan sebagaipusat pendidikan perempuan juga melaku-kan penyadaran isu keadilan dan kesetaraangender melalui pendidikan yang disebut pen-didikan kritis bagi perempuan:

“Sesuai dengan nama lembaga, KapalPerempuan memang ingin menjadi pu-sat pendidikan perempuan, dan mem-beri perhatian khusus bagi perempuanmiskin yang sulit mengakses peluangpendidikan. Kapal sekarang menyasarwilayah-wilayah yang mempunyai ke-khasan konflik, seperti NTB, NTT, Sula-wesi Barat dan Kalimantan Selatan. JugaGorontalo, karena merupakan provinsibaru, pelepasan Islam dari dominasiKristen. Kami ingin mempengaruhi pen-cegahan konflik –bukan penanganankonflik—melalui pendidikan kepada pe-rempuan, yang biasanya sangat dirugikandengan adanya konflik, sehingga merekasangat berkepentingan untuk dapatmencegah terjadinya konflik”.59

Mengemban mandat pendidikan kritis,Kapal Perempuan menyasar kelompok-ke-lompok tertentu, seperti buruh migran pe-rempuan, perempun miskin kota, perem-puan di wilayah konflik dan perempuanburuh pabrik. Kaum perempuan pada sek-tor-sektor tersebut dilibatkan dalam kegiat-an pendidikan, baik untuk hal-hal praktisyang dibutuhkan, seperti pelatihan pra-ke-berangkatan PRT migran, maupun untukisu-isu yang lebih strategis, seperti pluralis-me dan keberagaman. Sebagaimana misilembaga, Kapal Perempuan menekankan,bahwa untuk sasaran program pendidikanyang berbeda, harus dibangun strategi ter-sendiri agar upaya mengorganisasikan kaumperempuan melalui pendidikan itu dapattercapai tujuannya.

“Strategi dan metode pendidikannya ha-rus ditemukan sendiri, karena harus

58 Wawancara dengan Rena Herdiyani, Direktur Ekse-kutif Kalyanamitra, Jakarta 21 Mei 2012.

59 Wawancara dengan Misiyah, Ketua Badan EksekutifInstitut Kapal Perempuan, Jakarta 14 Mei 2012.

48 Afirmasi Vol. 02, Januari 2013

dikontekstualisasikan dengan kebutuhandan pengalaman kelompok sasaran pen-didikan kita itu”.60

Bidang Kerja Seksualitas

Akan halnya organisasi Ardhanary Institute,yang menggarap isu “gender and sexual diver-sity”, lembaga ini khusus fokuskan diri padaisu seksualitas sebagai isi program pendidik-an berjangka panjang. Ardhanary bekerjasa-ma dengan sejumlah organisasi perempuanlain, maupun lembaga pendidikan formaltingkat menengah dan sarjana. Sedangkandalam jangka pendek, isu keragaman gen-der dan seksualitas digarap Ardhanary de-ngan melakukan pemberdayaan secara lang-sung, melalui konseling untuk para lesbian,biseksual dan trans-gender (LBT), dan ke-luarganya.

“ Kita menjadikan training dan sesi-sesidiskusi sebagai program tetap Ardha-nary Institute, yang mengetengahkanperspektif LBT untuk menepiskanhomofobia, yang menjadi akar tumbuh-nya tindakan-tindakan diskriminatifuntuk kaum LBT. Misalnya dengan Se-kolah Tinggi Teologia (STT), kerja sa-manya cukup sistematik, karena STT su-dah secara rutin mengirimkan dua sam-pai tiga orang mahasiswanya ke Ardha-nary Institute untuk praktik kerja lapang-an (PKL), selama tiga bulan. Dan selamaitu, mereka aktif mengikuti semua ke-giatan yang diselenggarakan oleh Ar-dhanary Institute”.61

Melalui pendidikan formal dan informaltersebut, perspektif LBT dapat disosialisasi-kan kepada para pendidik, konselor maupunawak shelter, yang pada masa depan dipre-diksi akan banyak didatangi orang denganmasalah keragaman gender dan seksualitas.Isu gender dan seksualitas ini merupakanisu yang belum terlalu banyak di kerjakanoleh organisasi perempuan. Ardhanary me-lihat bahwa isu ini sangat penting karenasebagai kelompok yang rentan kaum LBTjuga berhak mendapatkan bantuan untukmelindungi hak-hak mereka sebagai warganegara. Memang harus diakui isu seksuali-tas masih baru ditangani oleh organisasi pe-rempuan secara masif dan sistematis, walau-pun untuk diskusi-diskusi masalah seksuali-tas sudah lama dilakukan oleh organisasi pe-rempuan. Untuk itu Ardhanary juga bekerja-sama dengan organisasi perempuan yangjuga sudah punya kegiatan penanganan isuseksualitas ini:

“Dengan lembaga service provider sepertiWCC Rifka Anissa, dan juga PusatKonseling Remaja PKBI Yogyakarta,Ardhanary bekerjasama dengan mereka,membantu pengembangan pengetahuanpara konselor mengenai isu LBT danseksualitas. Ini dilakukan dengan caramengintegrasikan isu keragaman genderdan seksualitas ke dalam kurikulum pela-tihan konseling mereka”.62

Sedangkan untuk kalangan yang lebihmuda usia dan tergolong di dalam kelom-pok-kelompok LBT tak terorganisir, Ardha-nary menyebar-luaskan buku saku berisi in-formasi dasar mengenai hak-hak LBT.

60 Ibid.61 Wawancara dengan Agustine, Direktur Ardhanary

Institute, Jakarta 22 Mei 2012.62 Wawancara dengan Agustine, Direktur Ardhanary

Institute, Jakarta 22 Mei 2012.

Edriana Noerdin - Organisasi Perempuan di Tengah Keterbukaan Politik 49

Penguatan Ekonomi Perempuan

Hapsari fokus kepada pendidikan anak usiadini, perlindungan hukum karena KDRT,Credit Union, radio komunitas dan UsahaIndustri Kecil Rumah Tangga, membantulayanan pemerintah desa untuk kaum pe-rempuan. Sementara itu bidang kerja Pesadaada di isu Credit Union, Women’s CrisisCentre, dan advokasi hukum karena KDRT.Hapsari juga mengadakan program kerjalivelihood, dengan strategi advokasi penguat-an kapasitas perempuan marjinal, untuk ke-berlanjutan penghidupan. Melalui programini, Hapsari memperluas teknik-teknik ino-vatif melakukan pengorganisasian dan ad-vokasi, dalam rangka ikut serta mempromo-sikan kerja-kerja penanggulangan kemis-kinan secara lebih efektif dan efisien denganmemakai metode radio komunitas dan per-tunjukan teater.

Sekaitan dengan Radio Komunitas danteater:

“Kami punya Radio Komunitas, yangmerupakan salah satu media belajar bagipara anggota Hapsari untuk menjadi fa-silitator dan narasumber. Selain RadioKomunitas, kami juga sering mengada-kan pentas teater, yang mengangkat temapermasalahan perempuan. Teater di-pentaskan di acara-acara umum sepertikelurahan”.63

Kegiatan penguatan ekonomi perempu-an, yang dilakukan oleh lembaga ASPPUK,yang ada di sebagian besar wilayah peneli-tian, juga diadakan oleh lembaga Hapsaridan Pesada.

“Penguatan ibu-ibu pengusaha kecil, pe-latihan pencatatan pembukuan keuang-an, pemasaran, koperasi simpan-pinjam,dan pengembangan usaha untuk mitradan pasaran produk. Diskusi denganibu-ibu (khususnya Bundo Kanduang)juga menyangkut masalah ketimpangangender yang mereka alami dalam kehi-dupan sehari-harinya”.64

“Penguatan perempuan usaha kecil, pe-nguatan kelembagaan ekonomi perem-puan, advokasi kebijakan dan partisipasipolitik perempuan, program pencegah-an perubahan iklim dan bencana”.65

Bidang Kesehatan Perempuan

Sementara itu, lembaga Totalitas di Padangjuga menangani isu kesehatan perempuan.

“Yang paling besar kegiatannya tentangKesehatan Ibu dan Anak (KIA) tujuan-nya, ibu bisa konsentrasi meningkatkanstatus gizi anak, bisa berdaya denganapa yang ada di lingkungannya, tanpabantuan kita dari luar. Kita memancingmereka untuk menggali dan mengelolapotensi melalui diskusi dengan masya-rakat (ibu-ibu). Ada juga kegiatan posi-tive defiance, yaitu peningkatan gizi darianak miskin. Kami lihat di komunitasini ada yang gizi baik, jadi mereka meng-adopsi apa yang dilakukan si anak gizibaik tersebut, sehingga lebih mudah di-terima. Sehingga tumbuh-kembanganak baik, dan punya kehidupan yang

63 Wawancara dengan Riani, Ketua Dewan EksekutifHapsari, Deli Serdang 21 Mei 2012.

64 Catatan FGD Penelitian Feminist Leadership PascaNegara Otoritarian Indonesia dengan kelompok binaanASPPUK, Padang 17 Mei 2012.

65 Wawancara dengan Fitriyanti, Direktur LP2M, Padang14 Mei 2012.

50 Afirmasi Vol. 02, Januari 2013

baik. Ada juga peningkatan sarana airbersih”.66

Selain itu, JPRP juga berupaya untuk ke-butuhan air bersih yang memang dibutuhkanperempuan warga pesisir untuk kehidupansehari-hari.

“...tentang kendala air bersih, pemerintahtidak menganggarkan. Kemudian kitamengejar CSR dari Bank Lampung.Kita sempat mencak-mencak, menda-tangkan 30 orang ibu-ibu ke walikota.Kita sudah membangun dudukan to-wer, tinggal tower dan airnya datang.Kita ada perwakilan lima orang keBappeda provinsi. Kalau tidak terealisa-si, kita mau ketemu wartawan agar bisadidengar”.67

Isu kesehatan reproduksi perempuan ju-ga banyak menjadi perhatian organisasi pe-rempuan seperti Yayasan Keluarga SehatSejahtera Indonesia (YKSSI). Kesehatanreproduksi perempuan merupakan isu yangsangat penting dan menjadi perhatian dariberbagai organisasi perempuan.

YKSSI menurut Latifa juga menjalan-kan kegiatan yang berhubungan dengankesehatan reproduksi perempuan sepertipendampingan, promosi dan pelatihan ten-tang kesehatan reproduksi di kelompok re-maja, laki-laki dan perempuan, serta ibu-ibu muda dan anak-anak, pemuda agamadan tokoh adat mengenai Keluarga beren-cana dan kesehatan reproduksi remaja danperempuan.68

Strategi Organisasi Perempuan untukBertahan Hidup

Strategi organisasi perempuan dalam mela-kukan aktivitas dan menetapkan programkerja sebagai respons terhadap isu ketidak-adilan berbasis gender adalah berjejaringkerja baik di antara organisasi perempuan,maupun dengan organisasi lain guna mende-sakkan perubahan kebijakan yang lebih adilgender dan berpihak pada perempuan.

Agenda penting yang juga dilakukanoleh organisasi perempuan, yakni mencarimetode mengintegrasikan perempuan dalampembangunan, dengan dilandasi oleh asum-si bahwa keterbelakangan perempuan dika-renakan sikap irasional yang berpegang padakultur tradisional, yang membuat perempu-an tidak mampu berpartisipasi dalam pem-bangunan. Karenanya, program yang dibuatbersifat intervensi, untuk meningkatkantaraf hidup individu dan keluarga melaluipendidikan, keterampilan dan kebijakan-kebijakan lainnya yang dapat meningkatkankemampuan perempuan berpartisipasi da-lam pembangunan.

Namun, dalam perkembangannya, takjarang terdapat organisasi perempuan yangmampu mentransformasikan dirinya keluardari paradigma pembangunan, dan masukdalam kegiatan yang lebih pada analisis ber-hubungan dengan kebutuhan strategis, se-perti kebutuhan akan perjuangan isu yanglebih spesifik, misalnya kekerasan terhadapperempuan, hak seksualitas perempuan,masalah budaya yang tidak adil terhadap pe-rempuan, serta isu tafsir agama yang mem-buat perempuan mengalami ketidakadilankarena jenis kelaminnya, dan isu lainnyayang berhubungan dengan gender.

66 Wawancara dengan Isnaini, Direktur Yayasan Totalitas,Padang 15 Mei 2012.

67 Wawancara dengan Yati, JPRP, Lampung 14 Mei 2012.68 Wawancara dengan Latifa, Direktur YKSSI, Mataram,

15 Mei 2012.

Edriana Noerdin - Organisasi Perempuan di Tengah Keterbukaan Politik 51

Dari paparan tentang strategi organisasiperempuan, dapat kita lihat bahwa organisa-si perempuan di Jakarta bergerak di beragamisu dengan berbagai program, yang dimak-sudkan untuk responsif menjawab kebu-tuhan aktual perempuan sesuai dengan ka-rakteristik struktur budaya, ekonomi, poli-tik dan konteks zaman.

Dalam tulisan-tulisan yang kami papar-kan, terlihat organisasi perempuan telah ber-upaya untuk mempertanyakan relasi kuasaberbasis gender antara laki-laki dan perem-puan. Hal ini tercermin dari program-pro-gram yang bersifat strategis, seperti pemben-tukan wacana, menggugah kesadaran kritismelalui berbagai pendidikan, pelatihan yangbersifat memberdayakan perempuan untukmenyadari dan memperjuangkan hak-hak-nya, baik itu di bidang kesehatan, pendidik-an, ekonomi, hukum maupun politik. Di sisilain, ada pula organisasi yang mengembang-kan program-program praktis, seperti pe-ningkatan keterampilan perempuan di bi-dang-bidang “stereotip”, seperti menjahit,merias pengantin, dsb. Namun tidak jarangkegiatan “stereotip” tersebut bertujuan agarorganisasi itu nantinya bisa mengembang-kan program yang lebih bersifat pemberda-yaan tentang hak-hak perempuan sebagaiwarga negara. Hal ini dapat dilihat pada or-ganisasi yang menangani isu pemberdayaanekonomi perempuan, yang tidak hanyamemberikan bantuan kredit, simpan-pin-jam, dan sejenisnya, tapi juga memberikankesadaran untuk membangun relasi genderyang lebih adil antara laki-laki dan perem-puan.

Jaringan Koalisional antar OrganisasiPerempuan

Strategi organisasi perempuan sangat terkaitdengan pertimbangan-pertimbangan politikdan situasi sosial pada zamannya. Organisasiperempuan yang memilih untuk terlibat da-lam kerja berjaringan, berupaya untuk bela-jar dari pengalaman kerja berjaringan sebe-lumnya, dan lebih cermat memperhatikanmomentum politik serta menghitung faktorpeluang dan hambatan dalam memper-juangkan suatu isu. Faktor lain yang palingmenentukan keberhasilan kerja berjaringanadalah kesadaran bersama untuk menyepa-kati isu yang akan diperjuangkan bersama,dengan menanggalkan kepentingan indi-vidual organisasi.

“Tahun 1999-2006, Nurani Perempuanmasuk jaringan Komnas Perempuanuntuk kegiatan-kegiatan khusus forumbelajar. Dalam forum tersebut, selaluada perwakilan Komnas Perempuanyang datang ke pertemuan. Sejak tahun2007-2010 WCC Nurani Perempuantidak lagi terlibat dalam jaringan forumbelajar ini. Selama terlibat dalam jaringantersebut, kita menjadi kuat dalam advo-kasi. Begitu pun kampanye anti-kekeras-an yang kita lakukan semakin sukses.Artinya jaringan kerja tersebut membuatorganisasi kita menjadi semakin kuat”.69

Kemudian Yefri menambahkan bahwajaringan koalisional tersebut juga semakindiperluas untuk membantu kerja-kerja yangmereka lakukan untuk isu kekerasan terha-dap perempuan:

69 Wawancara dengan Yefri Heriani, Direktur WCCNurani Perempuan, Padang 17 Mei 2012.

52 Afirmasi Vol. 02, Januari 2013

“Sejak 2011, WCC Nurani Perempuandipercaya menjadi koordinator lembagalayanan forum belajar di Sumatera untukkaum perempuan. Tentang kasus, cerita-cerita pengalaman kasus merupakan ba-gian yang kita bangun di forum belajardi Sumatera. Forum belajar ini jugamembangun kerjasama dengan organi-sasi atau lembaga lain, baik lembagaInternasional maupun lembaga nasional.Tahun ini, kami bekerjasama denganPuskapol UI. Mereka mengajari kita un-tuk bicara tentang demokrasi. Kami ter-tarik, karena melalui isu demokrasi, kitajuga bicara nilai-nilai HAM dan Gen-der. Artinya, pertama, keterlibatan kitajelas membangun nilai demokrasi. Yangkedua, kita juga bicara dengan social foun-dation”.70

Dalam membangun jaringan, beberapaorganisasi perempuan memutuskan untukmemperluas daerah kerjanya dengan caramembuka cabang atau koordinasi dengandaerah-daerah di luar Jakarta, seiring dengankebijakan otonomi daerah yang berlaku se-jak 1999.

Kerjasama Kelembagaan

Mengajak aktor yang berbeda dan memper-luas kalangan untuk terlibat merupakan stra-tegi yang tampaknya tak terelakkan, setelahkekuasaan rejim otoriter Soeharto diganti-kan oleh iklim politik yang lebih menjanji-kan demokrasi, dan memungkinkan prosesdemokratisasi mulai berjalan di Indonesia.

Salah satu indikator keberhasilan kerjabersama yang dilakukan oleh para aktivisperempuan adalah dalam mendesakkan

pembentukan Komisi Nasional Anti-Keke-rasan Terhadap Perempuan pasca jatuhnyaOrde Baru. Proses kerja bersama ini me-mang telah dimulai jauh sebelumnya, de-ngan mendirikan gerakan suara Ibu Pedulipada saat krisis ekonomi 1998. Pada saatitu, para aktivis perempuan berkumpul danmelakukan beberapa kali rapat intensif un-tuk merespons krisis ekonomi yang melandaIndonesia, dan perempuan langsung menjadikorban karena tidak mampu menyediakansusu murah buat anak-anaknya. Gerakanperempuan juga terlibat aktif pada masa re-formasi, mendukung gerakan mahasiswa,baik melalui dapur umum, menjadi relawan,maupun aktif dalam melakukan pengga-langan massa dan membangun opini. Sete-lah pengorganisasi dalam gerakan Suara IbuPeduli dan aktif terlibat dalam gerakan re-formasi, lalu gerakan perempuan kembaliberhasil mendesakkan lahirnya Lembaga se-perti Komisi Nasional Anti kekerasan Ter-hadap Perempuan tersebut, yang pemben-tukannya secara hukum dibuat berdasarkanInstruksi Presiden (Oktober 1998), kemu-dian diubah dengan Keputusan Presiden RItahun 2005. Gerakan perempuan sadar bah-wa memang harus mencari dan melibatkanaktor-aktor lain serta memperluas agenperubahan, tidak saja dari masyarakat sipil,tetapi juga di kalangan pemerintah, baikeksekutif maupun legislatif. BerdirinyaKomnas Perempuan merupakan satu indi-kator keberhasilan kerja bersama yang meli-batkan aktor-aktor, yang pada masa OrdeBaru dianggap sebagai kekuatan di luar di-rinya. Bahkan akhirnya, beberapa aktivis pe-rempuan juga menjadi komisioner KomnasPerempuan, sebuah lembaga yang merupa-kan bagian dari pemerintahan.70 Ibid.

Edriana Noerdin - Organisasi Perempuan di Tengah Keterbukaan Politik 53

Corak gerakan perempuan yang berhasilmeluaskan aktor yang terlibat dalam gerak-annya juga terlihat dengan keberhasilannyadalam memperjuangkan lahirnya berbagaiUndang-undang yang responsif gender. Con-tohnya antara lain Undang-Undang Pengha-pusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga(Undang-Undang No. 23 Tahun 2004), UUTrafficking, UU Kewarganegaraan dan UUPemilihan Umum. Keberhasilan demikiantidak mungkin terjadi tanpa memperolehdukungan dari pihak terkait seperti DPRmaupun lembaga pemerintah, seperti Ke-menterian Pemberdayaan Perempuan danAnak (KPPA), serta lembaga pemerintahterkait lainnya.

Dalam menyusun Laporan KekerasanTerhadap Perempuan, yang dipublikasikansetiap tahun sebagai laporan tahunan, dangerakan anti-kekerasan terhadap perempu-an bersamaan dengan peringatan Hari Anti-Kekerasan Terhadap Perempuan Internasio-nal, Komnas Perempuan harus mengambildata dari institusi Kepolisian, Kejaksaan,Pengadilan (Umum dan Agama), dan Ru-mah Sakit dari seluruh Indonesia. Untukproduk Laporan Tahunan ini di belakang-nya ada proses panjang kerja produksi, yangmensyaratkan kesepahaman tujuan, kesa-maan platform dan titik berangkat serta ke-setaraan hubungan kerja dari berbagai aktor.Hal ini tidak mudah.

Kerjasama kelembagaan lainnya juga di-lakukan oleh organisasi perempuan denganlembaga pendidikan formal, seperti mema-sukkan kurikulum anti-kekerasan terhadapperempuan. Begitu pun dengan upaya yangdilakukan Ardhanary Institute untuk mewu-judkan pendidikan pengetahuan LesbianBiseksual Trans-gender, juga memberikan

informasi tentang strategi organisasi me-ngembangkan kerjasama yang sifatnya ke-lembagaan dengan organisasi masyarakatsipil lainnya, termasuk lembaga pendidikanformal setingkat sarjana. Kemauan untukbekerjasama secara melembaga dapat dika-takan merupakan upaya menerjemahkanprinsip inklusifitas di dalam feminismeuntuk mengajak, merangkul pihak dan aktorlain untuk secara bersama-sama melakukanperubahan.

Peluang yang diberikan otonomi dae-rah, dalam mana daerah bisa membuat regu-lasi sendiri, dimanfaatkan dengan baik untukmendampingi dan mengawal PemerintahDaerah (Pemda) mengeluarkan kebijakanyang pro-perempuan. Sejak 2011, di Lam-pung sudah ada Peraturan Daerah (Perda)yang mengatur soal kesetaraan gender, yakniPerda No. 10 Tahun 2011 tentang Pengarus-utamaan Gender dalam Pembangunan.Perda ini mengatur soal kesamaan kesem-patan antara laki-laki dan perempuan dalamkegiatan pembangunan di daerah. Selain itu,terdapat Perda No. 6 Tahun 2006 tentangPelayanan Terhadap Perempuan dan AnakKorban Kekerasan, di Provinsi Lampung,yang merupakan salah satu ‘monumen’ dariDamar.

“Selain pengorganisasian, kita juga mela-kukan advokasi kebijakan. Damar dekatdengan aparat penegak hukum maupunaparat di tingkat daerah. Namun adamobilisasi yang tinggi di mereka, banyakrotasi. Membangun dan menguatkanperspektif para polisi dan jaksa ini tan-tangannya adalah, mereka cepat sekalipindah, naik pangkat, lalu pindah”.71

71 Wawancara dengan Selly Fitriani, Damar, Lampung 11Mei 2012.

54 Afirmasi Vol. 02, Januari 2013

Hanya saja, kerjasama kelembagaan inimasih belum stabil karena meskipun padatingkat pengurus telah terbangun kesepa-katan secara substansial, akan tetapi kegiat-an tersebut masih tergantung pada peluangpembiayaannya juga.

Masalah pembiayaan bukan hanya dira-sakan ketika mencoba membangun hubung-an yang lebih berkesinambungan antar ber-bagai aktor namun juga merupakan persoal-an yang masih dirasakan dalam melakukankegiatan sehari-hari organisasi perempuan.

“Dalam kerangka kerja dengan Hivos,misalnya, kita manfaatkan untuk sung-guh-sungguh ‘menghitung kepala’ be-rapa yang sudah berhasil dilibatkan un-tuk kegiatan-kegiatan, sehingga output-nya jelas. Tetapi juga agak sulit menerus-kan secara jangka panjang karena perio-denya terbatas. Demikian juga denganWPF, program youth selalu ramai danmenyenangkan karena kita belajar ba-nyak sekali dari sana, tapi juga waktunyapendek”.72

Kerjasama Organisasi MasyarakatBasis

Organisasi perempuan dengan garapan khu-sus, seperti pemberdayaan ekonomi perem-puan, baik bagi perempuan kepala keluargaseperti yang dilakukan Pekka maupun pe-rempuan anggota keluarga seperti yang dila-kukan ASPPUK, juga tidak mungkin meng-elak dari kebutuhan bekerjasama denganlembaga pemerintah terkait, maupun aparatpemerintahan, mulai dari tingkat desa sam-

pai ke atasnya. Juga mereka harus bekerjadengan bank rakyat setempat dan lembagapemasaran yang ada. Sasaran penerimamanfaat yang lebih mengarah kepada pe-rempuan grassroot juga memberikan kele-luasaan untuk menjalin kerjasama denganaparat pemerintahan desa secara langsung.

Demikian juga untuk program layananbantuan hukum, seperti pengadaan AkteKelahiran Anak, Isbat Nikah dan Surat Ce-rai, Pekka harus menemukan aparat di ins-tansi terkait yang bersepaham dengan Pekkadalam kepentingan para perempuan kor-ban. Bekerjasama dengan mereka membukaakses dan mempermudah layanan pengada-an surat-surat penting tersebut. Salah satuyang berhasil dilakukan bahkan memper-pendek birokrasi mafia pengurusan suratcerai, yang pada praktiknya membutuhkanketekunan seluruh aspek kerja pengorgani-sasian dan ketangkasan bekerjasama de-ngan instansi pemerintah, tanpa menjadi la-rut dengan sistem yang ada.

Menurut Nani Zulminarni,

“Pada wilayah-wilayah yang kelompokibu-ibunya aktif seperti NTT, Pekka di-tantang untuk senantiasa mampu mera-wat motivasi berorganisasi agar tidakbersifat sementara saja.” Inilah yangmenjadikan Pekka tidak mungkin ‘ber-henti’ atau ‘istirahat’ mengurusnya.73

Ditambahkan oleh Kodar, “Pelajaranberorganisasi sangat dirasakan manfaat-nya oleh ibu-ibu ini, jadi mereka ngototdan tak kenal lelah berjuang sampai Se-rikat Pekka di sana menjadi peserta Mu-

72 Wawancara dengan Agustine, Direktur ArdhanaryInstitute, Jakarta 22 Mei 2012.

73 Wawancara dengan Nani Zulminarni, Seknas PekkaJakarta, Jakarta 15 Mei 2012.

Edriana Noerdin - Organisasi Perempuan di Tengah Keterbukaan Politik 55

srenbang mencapai tingkat kecamatandan selanjutnya. Padahal, lazimnya, kitahanya diikutsertakan untuk musrenbangtingkat desa saja. Mereka bergotong-ro-yong kumpulkan dana transportasi sen-diri, dan hanya minta bantuan Seknasuntuk surat pengantar saja”.74

Untuk keperluan ini, strategi kerjaPekka sebagaimana dituturkan Kodar ada-lah:

“Mendorong agar Koordinator Wila-yah (korwil) melatih diri mengelola pro-gram dan kegiatan secara mandiri, de-ngan sedikit demi sedikit menanggalkanketergantungan pada koordinasi lang-sung dari Seknas. Mereka harus beranimencoba dan learning by doing it”.75

Hapsari juga mengembangkan jaringankerjasama, baik di tingkat basis sampai padatingkat provinsi, dan kemudian meluashingga provinsi lain di Jawa dan Sulawesi.Selain itu, mereka juga mengembangkanprogram yang lebih mengarah pada usahaproduktif yang dapat meningkatkan kondisiekonomi anggota. Anggota Hapsari terlibataktif dalam tiap perkumpulan, termasukikut dalam bermusyawarah dan mengambilkeputusan. Perluasan jaringan tersebut jugamerambah sektor pemerintahan, sehinggaikut aktif dalam menyalurkan layanan asu-ransi dari pemerintah daerah kepada masya-rakatnya. Anggota perserikatan Hapsari ju-ga secara otonom berusaha mencari sumberdana sendiri untuk kegiatan masing-masing.Sementara itu, strategi organisasi Pesada ju-ga mengembangkan organisasi, menjadi ja-

ringan yang meluas di tingkat provinsi de-ngan isu utama credit union (CU) khususuntuk perempuan. Anggota CU merupakananggota Pesada yang aktif mengelola or-ganisasi.

Organisasi Hapsari, setelah kuat danberhasil mendirikan Serikat Perempuan diDeli Serdang, kemudian memperluas jaring-an kerja dengan membangun serikat di wila-yah lain, seperti di Bandung, Kalimantandan Sulawesi. Dengan membangun SerikatPerempuan di berbagai daerah lain, Hapsariberusaha membangun kekuatan perempuanakar rumput agar bisa menjadi kekuatannasional. Pemerintah memandang Hapsarisebagai mitra kerja dalam membangun ke-kuatan perempuan akar rumput yang men-jadi organisasi nasional. Nama Hapsari,singkatan dari Harapan Desa Sukasari, te-tap digunakan untuk mengenang sejarahpembentukannya.

Jaringan Kerjasama Internasional

Strategi mengembangkan jaringan kerja in-ternasional juga dilakukan oleh organisasiperempuan secara dua arah. Apabila Mi-grant Care bekerjasama dengan sejumlah or-ganisasi internasional, yang menggarap isuburuh migran seperti International Organi-zation on Migrant Workers (IOM), ACILdan ICMC, yang semuanya memiliki sekre-tariat atau kantor cabang di Jakarta, sebalik-nya mereka juga mengembangkan kantor ca-bang Migrant Care di Malaysia. Kalyanami-tra mengajukan diri sebagai Sekretariat un-tuk CEDAW Working Group Indonesia(CWGI). Sebagai CWGI, Kalyanamitra ber-tugas mengkoordinasikan penyusunan “sha-dow report”, atau laporan bayangan sebagai

74 Wawancara dengan Kodar, Ketua Divisi Pengembang-an Kelembagaan Seknas Pekka, Jakarta 15 Mei 2012.

75 Ibid.

56 Afirmasi Vol. 02, Januari 2013

pendamping Laporan Resmi Pemerintah In-donesia. Tugas ini membuka kesempatancukup luas bagi Kalyanamitra untuk mem-pererat jalinan kerjanya dengan organisasi-organisasi perempuan, sekaligus menyam-bungkan jalinan kerja berjejaring denganorganisasi pelapor CEDAW lainnya di ka-wasan Asia Pasifik. Kalyanamitra menjadisalah satu focal point untuk Asean Women’sCaucus di aras regional, dan secara lebih luasdi kawasan Asia Pasifik sebagai anggotaaktif International Women’s Rights ActionWatch (IWRAW). Banyak sekali kerjasamainternasional yang sudah dibangun olehorganisasi perempuan, seperti menjadi ba-gian dalam The Asia Pacific Forum on Wo-men, Law and Development (APWLD), dankerjasama lainnya yang lebih insidental,seperti menerbitkan tulisan bersama, mau-pun mengadvokasikan isu bersama.

Strategi Menghadapi Donor

Derasnya arus globalisasi yang membawaserta nilai-nilai budaya asing dan sekuler ti-dak serta-merta membuat organisasi perem-puan untuk tunduk dengan mudah pada ke-pentingan donatur internasional, yang me-miliki andil dalam membiayai kelangsunganhidup suatu organisasi. Ada organisasi yangdengan sengaja menyusun program mengan-tisipasi bahaya globalisasi seperti SolidaritasPerempuan dan KPI. Ada juga organisasiyang justru memilih bergerak di wacana ke-agamaan (Rahima), dan memasukkan pers-pektif gender dengan tujuan untuk mem-berdayakan komunitas pesantren serta men-dorong pemahaman keagamaan yang me-ngembangkan pola relasi setara antara laki-laki dan perempuan.

Awalnya, organisasi perempuan berha-rap agar tidak bergantung pada donor asinguntuk meraih cita-cita jangka panjangnya,yaitu dengan mekanisme independensi daripendanaan. Namun organisasi sulit untukbisa setia pada idealisme awalnya, karenamereka tidak memiliki cukup banyak waktuuntuk mendiskusikan rencana jangka pan-jang. Yang masih menjadi keprihatinan bagihampir semua organisasi perempuan diJakarta, adalah soal strategi menghadapi ke-terbatasan dana, dan bernegosiasi denganlembaga donor sebagai mitra kerjasamanya.Bahkan lembaga seperti Komnas Perem-puan, yang seyogyanya memperoleh penda-naan negara yang memadai, juga mengalamipemotongan yang cukup signifikan untukdapat merencanakan kerja strategis berjang-ka panjang. Jadi lembaga Komnas Perempu-an, yang notabene sebagai lembaga negara jugabersaing dengan lembaga perempuan nonpemerintah lainnya, mengharapkan bantuanpendanaan dari lembaga donor.

Kebutuhan pendanaan organisasi di-antisipasi dengan mencoba mengkompro-mikan antara kepentingan internal organi-sasi dan kepentingan lembaga donor, tanpamengorbankan agenda gender organisasiperempuan. Ada pula organisasi yang men-coba untuk mandiri dalam pendanaan, de-ngan cara mengembangkan unit-unit eko-nomi yang nantinya bisa menyokong kehi-dupan organisasi, seperti mendirikan kope-rasi perempuan (PPSW), menggalang iurananggota (KPI, Solidaritas Perempuan, Fata-yat), dana dari simpatisan (KPI, Kowani).Ini demi tidak bergantung sepenuhnya padadonatur asing. Namun, upaya swadaya da-lam pendanaan ini tidak mampu mencukupipembiayaan organisasi dan program kerja

Edriana Noerdin - Organisasi Perempuan di Tengah Keterbukaan Politik 57

yang sudah dirumuskan oleh organisasi pe-rempuan.

Hal ini mengakibatkan tidak sedikit or-ganisasi perempuan yang pada akhirnya ha-rus berjuang untuk mendapatkan bantuanpendanaan dari donor. Sehingga organisasiperempuan yang masih ‘baru’ atau dianggaptidak cukup ‘besar’ dianggap belum punyapengalaman administrasi untuk mengelolakeuangan sulit untuk mengakses lembagadana, karena lembaga dana lebih tertarikmemberikan dananya kepada lembaga yangsudah ‘besar’ dan dianggap sudah punya ‘na-ma’ dan tentunya sudah berpengalaman me-ngelola dana dari donor. Masalah ketergan-tungan dana ini membatasi kreatifitas akti-vis perempuan untuk cepat tanggap meres-pon isu perempuan di lapangan. Organisasiperempuan yang besarpun pada akhirnya ha-nya sibuk mejalankan kegiatan yang me-mang didanai oleh donor, sehingga merekasulit untuk bersetia pada cita-cita awal pen-dirian organisasi dalam melakukan pengor-ganisasian perempuan di lapangan.

Hal yang positif dari hubungan dengandonor adalah terjaminnya kelancaran pro-gram tanpa khawatir masalah dana, namunjuga ada hal yang harus dicarikan jalan ke-luarnya agar organisasi perempuan tetapmempunyai cukup waktu untuk setia padatujuan awal pendirian organisasinya, yaknimemperjuangkan kepentingan keadilan gen-der perempuan, terutama perempuan di akarrumput. Juga bagaimana agar organisasi pe-rempuan yang ‘besar’ bisa membantu lahir-nya organisasi-organisasi ‘baru’ untuk mem-perjuangkan isu yang sama.

Hubungan dengan donor ternyata jugaberdampak pada model kerja dan pengor-ganisasi lembaga perempuan. Seperti yang

terjadi di Padang, sebelum terjadinya gempabumi pada 2009, organisasi perempuan yangtadinya cukup kuat memperjuangkan masa-lah ketidakadilan gender, akhirnya harusmengikuti isu yang dibawa oleh donor, de-ngan menjalankan isu humanitarian, misal-nya isu pasca gempa. Organisasi yang tadi-nya hanya beranggotakan 10 sampai 14 or-ang seperti LP2M, jadi harus menanganijumlah dana yang cukup besar dibandingkansumberdaya organisasi tersebut. Ketidaksiapan organisasi, baik anggota maupun sis-tem/manajemen, membuat organisasi terse-but mengalami konflik yang cukup serius.

Awalnya organisasi perempuan berharapagar tidak bergantung pada donor asing, un-tuk meraih cita-cita jangka panjang, yaitudengan mekanisme independensi dalam halpendanaan kegiatannya. Hapsari, setelah di-tinggalkan oleh lembaga donor, Hivos, tidakmendapat donor lain. Untuk pendanaan,mereka menarik iuran Rp1.000 per bulandan memproduksi sabun untuk dijual. Seba-gian keuntungannya digunakan untuk men-jalankan organisasi, walaupun memang dira-sa sangat sulit menjalani kegiatan ditengahkelangkaan sumber dana. Sehingga sampaisaat ini kami masih berusaha mencari sum-ber dana dari donor:

“Untuk menyiasati kelangkaan funding,kalau di tingkat Hapsari rajin buka in-ternet untuk kirim beberapa proposal.Walaupun kami masih tetap bertahandengan sumber dana sendiri seperti Cre-dit Union juga masih menjadi harapandalam kegiatan kami, Juga di serikat ma-sing-masing mereka punya usaha sendiriuntuk membantu bertahan hidup”.76

76 Wawancara dengan Zulfa Suja, Anggota Dewan Pengu-rus Nasional Hapsari, Deli Serdang 24 Mei 2012.

58 Afirmasi Vol. 02, Januari 2013

77 Ibid.78 Wawancara dengan Fitriyanti, Direktur LP2M Padang,

Padang 14 Mei 2012.79 Wawancara dengan Isnaini, Direktur Yayasan Totalitas,

Padang 15 Mei 2012.

Kemudian Zulfa menambahkan agarLSM juga bisa menggali sumber dana daripemerintah daerah. Dengan menjalin hu-bungan kerjasama yang baik dengan peme-rintah daerah ternyata banyak organisasi pe-rempuan yang bisa mengakses dana-danadari lembaga pemerintah seperti lembagaHapsari dan Damar di Lampung, juga lem-baga lainnya di daerah lain:

“kami juga mau mendorong agar LSMjangan berpikir kaku, dengan tidak ada-nya funding sekarang ini, maka sebaiknyaLSM juga mulai membangun kerjasamadengan pemerintah untuk mendanai ke-giatan di masyarakat dan kegiatan yangbersama dilakukan dengan pemerintah,Yang penting lembaga kita secara badanhukum administrasi lengkap, jadi mudahmembangun kerjasama dengan kelom-pok lain. Kalau tidak berbadan hukumlengkap, banyak LSM yang bubar”.77

Sementara itu, Fitriyanti dari LP2M Pa-dang mengatakan:

“Kita sudah bermitra dengan Walhi Su-matera Barat, KPMM, Lingkung Der-ma. Kalau donor kita dapat dari Heks,Swiss Solidarity, ASPPUK, Hivos, Glo-bal Fund for Women, BFA. Denganpemerintah kita juga bekerjasama, de-ngan Badan Nasional PenanggulanganBencana (BNPB). Dengan KementerianPemberdayaan Perempuan ada kerja-sama, tapi rendah karena respons darimereka agak lambat, terbentur birokrasidan rumit. Tapi secara personal masihbaik”.78

Lembaga Totalitas di Padang juga men-jalin kerjasama dengan pemerintah setem-pat.

“Kita memiliki kriteria mitra itu yang ti-dak terlalu banyak intervensi atau tun-tutan, dan harus sama visi dan misi. Re-kan kerja kita dengan LBH Padang danbanyak organisasi lainnya. Kalau fundingdengan Project Center Internasional(PCI), HEIVER, New Zealand Aid,Johan Niter (Jerman). Dengan pemerin-tah juga bekerjasama, dengan DinasKesehatan, Kehutanan, dan Pertanian”.79

Penutup

Reformasi politik yang terjadi pada 1998 te-lah membuka ruang demokrasi yang cukupluas kepada masyarakat untuk mengemuka-kan dan memperjuangkan terpenuhinya ke-pentingan mereka. Gerakan perempuan ber-sama-sama dengan gerakan pro demokrasilainnya juga memanfaatkan era keterbuka-an ini untuk memperjuangkan lahirnya ber-bagai perundang-undangan yang responsifgender. Dapat dikatakan bahwa keberha-silan gerakan perempuan pada Era Refor-masi ini ditandai dengan menguatnya polajejaring antara para aktor yang peduli ma-salah keadilan dan kesetaraan gender. Kerjakeras dengan berjejaring dari organisasi pe-rempuan dalam keberhasilannya mengawallahirnya perundang-undangan yang respon-sif gender tersebut patut mendapat penghar-gaan. Perundang-undangan yang berkaitandengan hidup dan kehidupan serta kedu-dukan perempuan di Indonesia menjadi kun-

Edriana Noerdin - Organisasi Perempuan di Tengah Keterbukaan Politik 59

ci bagi perlindungan hak-hak perempuansebagai warga negara.

Pun dalam era reformasi yang juga diikutidengan penerapan sistem desentralisasi me-lahirkan banyaknya Peraturan Daerah yangdiskriminatif terhadap perempuan sepertitertulis dalam Laporan Tahunan KomnasPerempuan. Dalam sistem desentralisasiyang juga memberi ruang kapada daerah un-tuk merumuskan peraturan daerahnya ma-sing-masing yang didasari oleh nilai-nilai ke-daerahan yang bersumber pada nilai-nilaiagama (syariah islam)80 yang diinterpretasi-kan perempuan lebih rendah dari laki-laki.81

Melihat bahwa pengaturan tubuh perempu-an menjadi isu yang juga dianggap pentinguntuk dilakukan. Sehingga disamping ke-berhasilan organisasi perempuan dalammengadvokasi lahirnya Undang-Undangyang responsif gender juga diikuti oleh lahir-nya kurang lebih 63 Perda82 yang diskrimi-natif terhadap perempuan di berbagai dae-rah di Indonesia.

Era keterbukaan politik ini juga me-mungkinkan organisasi-organisasi perempu-an untuk menjadi tanggap terhadap kera-gaman masalah yang muncul di masyarakatsehingga organisasi-organisasi perempuansekarang menangani isu dan program yang

lebih beragam dari sebelumnya. Seperti me-nangani isu dan program tentang penguatanpolitik serta peningkatan partisipasi politikperempuan, penguatan ekonomi, bantuanhukum, kekerasan terhadap perempuan,dan kesehatan reproduksi perempuan, or-ganisasi-organisasi perempuan juga bekerjamenangani isu dan program yang bersing-gungan dengan berbagai masalah yang dulubukan merupakan wilayah gerakan perem-puan, seperti misalnya pluralisme, perem-puan dalam Islam, lingkungan hidup dan ju-ga seksualitas. Organisasi-organisasi perem-puan di Indonesia telah berhasil beradaptasiuntuk menanggapi munculnya keragamankelompok dan kepentingan dan kebersing-gungan mereka.

Selain perluasan isu dan program, ge-rakan perempuan juga meluaskan aktoryang terlibat dalam setiap program kegiatanmereka. Kerjasama dengan kementerianyang terkait mulai secara intensif dilakukan.Kalangan Eksekutif dan Legislatif sudahmerupakan rekan kerja organisasi perempu-an baik di daerah maupun di tingkat nasio-nal untuk mendorong lahirnya kebijakan-kebijakan, alokasi anggaran dan programpemerintah yang responsif gender.

Cakupan daerah kerja organisasi-or-ganisasi perempuan di tingkat nasional jugamengalami perubahan. Banyak organisasiperempuan di Jakarta yang punya kegiatandi daerah lain dan seringkali mereka beker-jasama dengan organisasi di daerah tersebut.Sehingga batasan kerja mereka tidak lagibisa dikatakan bahwa organisasi perempuandi tingkat nasional hanya melakukan kegiat-an di Jakarta. Kotak-kotak wilayah kerjamereka juga sudah membaur.

80 Customary Institution, Syariah Law and The Margi-nalisation of Indonesian Women, Edriana Noerdin, inWomen in Indonesia, Gender, Equity and Develop-ment, Edited by. Kathryn Robinson et all, ISEAS,Singapore, 2002.

81 Feminisme dan Relevansinya, Kamla Bhasin dan NighatSaid Khan, PT Gramedia Pustaka Utama dan Kalya-namitra, Jakarta, 1995.

82 Komnas Perempuan, Atas Nama Otonomi Daerah:Pelembagaan Diskriminasi Dalam Tatanan Negara-Bangsa Indonesia, Laporan Pemantauan KondisiPemenuhan Hak-hak Konstitusional Perempuan di 16Kabupaten/Kota Pada 7 Provinsi, Jakarta 2010.

60 Afirmasi Vol. 02, Januari 2013

Bentuk atau model organisasi-organisasiperempuan juga mulai berubah untuk meng-akomodasi keberagaman kepentingan me-reka. Sebelum era reformasi, pilihan modelorganisasi mereka adalah yayasan. Namundi era pasca reformasi bentuk atau modelorganisasinya sudah sangat beragam. Adayang tetap berbentuk yayasan, tapi banyakyang mengubah diri menjadi perkumpulan,Serikat, Koalisi, Federasi, bahkan sampaimengambil bentuk komisi seperti KomisiNasional Anti Kekerasan terhadap Perem-puan.

Terlepas dari capaian dan perluasan pro-gram dan permasalahan yang dilakukan olehorganisasi perempuan, dapat kita lihat bah-wa organisasi perempuan bergerak di bera-gam isu dengan berbagai program, yangdimaksudkan untuk responsif menjawabkebutuhan aktual perempuan sesuai dengankarakteristik struktur budaya, ekonomi, po-litik dan konteks zaman.

Dari paparan tentang strategi organisasiperempuan, terlihat bahwa organisasi pe-rempuan telah berupaya untuk memperta-nyakan relasi kuasa berbasis gender antaralaki-laki dan perempuan. Hal ini tercermindari program-program yang bersifat strate-gis, seperti pembentukan wacana, menggu-gah kesadaran kritis melalui berbagai pen-didikan, pelatihan yang bersifat memberda-yakan perempuan untuk menyadari danmemperjuangkan hak-haknya, baik itu di bi-dang kesehatan, pendidikan, ekonomi, hu-kum maupun politik. Disamping itu organi-sasi perempuan pada era reformasi ini jugamelihat isu dan masalah seksualitas perem-puan sebagai persoalan yang sangat pentinguntuk ditangani karena isu seksualitas me-rupakan isu yang sentral yang mengatur

hidup dan kehidupan perempuan dalam re-lasi kuasa ditengah-tengah masyarakat yangpatriarki.

Selain itu, ada juga organisasi yang me-ngembangkan program-program praktis,seperti peningkatan keterampilan perempu-an di bidang-bidang “stereotip”, sepertimenjahit, merias pengantin, dsb. Namun ti-dak jarang kegiatan “stereotip” tersebut ber-tujuan agar organisasi itu nantinya bisa me-ngembangkan program yang lebih bersifatpemberdayaan tentang hak-hak perempuansebagai warga negara. Hal ini dapat dilihatpada organisasi yang menangani isu pember-dayaan ekonomi perempuan, yang tidak ha-nya memberikan bantuan kredit, simpan-pinjam, dan sejenisnya, tapi juga memberi-kan kesadaran untuk membangun relasigender yang lebih adil antara laki-laki danperempuan.

Agenda penting yang juga dilakukanoleh organisasi perempuan, yakni mencarimetode mengintegrasikan perempuan dalampembangunan, dengan dilandasi oleh asum-si bahwa keterbelakangan perempuan dika-renakan sikap irasional yang berpegang padakultur tradisional, yang membuat perempu-an tidak mampu berpartisipasi dalam pem-bangunan. Karenanya, program yang dibuatharuslah bersifat intervensi, untuk mening-katkan taraf hidup individu dan keluargamelalui pendidikan, keterampilan dan kebi-jakan-kebijakan lainnya yang dapat mening-katkan kemampuan perempuan berpartisi-pasi dalam pembangunan.

Jalan yang dilalui organisasi perempuantampak sudah cukup jauh dan sudah diakuicukup berhasil memperbaiki kondisi kehi-dupan perempuan di Indonesia, setidaknyayang tercermin dari paparan para pegiat isu

Edriana Noerdin - Organisasi Perempuan di Tengah Keterbukaan Politik 61

perempuan di lima wilayah penelitian, Ja-karta, Lombok, Padang, Lampung dan Su-matera Utara.***

Daftar Pustaka

Anastasia, Ayu dan Aris Arif Mundayat. 2012.Laporan Penelitian Feminist Leaderships PascaNegara Otoritarian Indonesia. Studi kasus diSumatera Utara. Women Research Institute,Jakarta (tidak dipublikasikan).

Anindhita, Frisca dan Sita Aripurnami. 2012.Laporan Penelitian Feminist Leaderships PascaNegara Otoritarian Indonesia. Studi kasus diLombok. Women Research Institute, Jakarta(tidak dipublikasikan).

Aronson, Pamela. 2003. Feminist or “Post-Femi-nist”? Young Women’s Attitudes toward Feminismand Gender Relations. Michigan State Univer-sity, Michigan.

Bhasin, Kamla dan Nighat Said Khan. 1995.Persoalan Pokok Mengenai Feminisme danRelevansinya. PT Gramedia Pustaka Utamabekerjasama dengan Kalyanamitra, Jakarta.

Komnas Perempuan. 2010. Atas Nama OtonomiDaerah: Pelembagaan Diskriminasi Dalam Ta-tanan Negara-Bangsa Indonesia. Laporan Pe-mantauan Kondisi Pemenuhan Hak-hak Konsti-tusional Perempuan di 16 Kabupaten/Kota Pada7 Provinsi. Komnas Perempuan, Jakarta.

Noerdin, Edriana. 2002. Customary Institution,Syariah Law and The Marginalisation ofIndonesian Women, In: Robinson, Kathrynand Sharon Bessell (eds.). Women in Indonesia,Gender, Equity and Development. ISEAS,Singapore.

Priaryani, Ika Wahyu dan Aris Arif Mundayat.2012. Laporan Penelitian Feminist LeadershipsPasca Negara Otoritarian Indonesia. Studi kasusdi Lampung. Women Research Institute,Jakarta (tidak dipublikasikan).

Rahayuningtyas dan Edriana Noerdin. 2012.Laporan Penelitian Feminist Leaderships PascaNegara Otoritarian Indonesia. Studi kasus diKota Padang. Women Research Institute,Jakarta (tidak dipublikasikan).

Reinelt, Claire. 1995. Fostering Empowerment,Building Community: The Challenge for State-Funded Feminist Organizations. Human Rela-tions Journal, Sagepub.

Sommers, Christina Hoff. 1995. Who Stole Femi-nism?: How Women Have Betrayed. Simon &Schuster (first published 1994), New York.

Women Research Institute. 2005. Laporan Pene-litian Perspektif, Pola Strategi dan Agenda Gen-der Organisasi Perempuan. Women ResearchInstitute, Jakarta (tidak dipublikasikan).

Transformasi Gerakan dan MenguatnyaKepemimpinan Perempuan

Sita Aripurnami

Pengantar

Berbicara tentang kepemimpinan (leadership), seringkali dikaitkan dengan upa-

ya penguatan (empowerment) kapasitas diriorang yang memimpin. Sementara penguat-an kapasitas berkaitan dengan upaya mem-bangun kapasitas individu atau kelompok.Kepemimpinan selalu berkaitan denganmembangun kapasitas personal dan percayadiri serta kapasitas memobilisasi pihak lain.1Mempromosikan kepemimpinan perempu-

an memberikan manfaat lebih dari memba-ngun personal perempuan, karena begitu se-orang perempuan memiliki kapasitas diri,maka dirinya akan berusaha untuk memba-gi manfaat yang diperolehnya (yakni penge-tahuan dan keterampilan) kepada anggotakeluarga serta lingkungan terdekatnya.

Perempuan yang memiliki akses padapengetahuan, modal sosial dan modal usa-ha, berdasarkan temuan Women ResearchInstitute (WRI) di wilayah penelitian, me-nunjukkan bahwa mereka lebih mampu ber-partisipasi dalam proses pengambilan kepu-tusan agar dapat mengangkat kepentinganperempuan dalam kehidupan masyarakat.Penelitian WRI mencoba menangkap apa

1 Lihat hal. 8 “Women Leading Change. Experiences Pro-moting Women’s Empowerment, Leadership and Gen-der Justice. Case Studies of Five Asian Organizations”,ed. Joanna Bouma, Pelagia Communications, OxfamNovib, 2011.

Tulisan ini mencoba melihat dan memahami bentuk-bentuk kuasa perempuan yang muncul dalamgerakan sosial, dan implikasi sosial, budaya dan politik, baik di tingkat individu, keluarga, kelompokmasyarakat sipil maupun masyarakat secara umum. Serta faktor-faktor seperti ekonomi dan politikglobal maupun lokal, dan keterlibatan kekuatan ‘ekstra-lokal’ dan ‘respons lokal’ terhadap femi-nist leaderships di Indonesia pasca otoritarian. Dari pembahasan tersebut tergambarkan apa pendapatmereka yang aktif bergerak dan bekerja untuk mengatasi permasalahan perempuan mengenai isukepemimpinan perempuan.

64 Afirmasi Vol. 02, Januari 2013

pendapat mereka yang aktif bergerak danbekerja untuk mengatasi permasalahanperempuan mengenai kepemimpinan pe-rempuan.

Berikut temuan penelitian WRI di limawilayah, yaitu Jakarta, Lampung, SumateraUtara, Padang dan Lombok mengenai as-pek “kepemimpinan feminis.”

Temuan PenelitianOrganisasi Non-Pemerintah danKepemimpinan Perempuan

Tumbuhnya organisasi perempuan non-pe-merintah dari tahun 1990an hingga 2000anmerupakan indikasi penting untuk mema-hami bahwa gerakan perempuan masih terusberupaya menemukan ruang untuk menca-pai keadilan gender. Ini artinya kepemim-pinan perempuan juga masih terus berupa-ya untuk menegakkan nilai-nilai kepemim-pinan tersebut. Dalam masyarakat yang pa-triarkal, kepemimpinan cenderung dilihatsebagai entitas yang lebih maskulin. Kepe-mimpinan perempuan bukanlah masalahsimbolisme seperti itu, namun lebih mene-kankan pada prinsip nilai keadilan dan kese-taraan, serta kebersamaan dalam melaksa-nakan kepemimpinannya. Hambatan utamadalam menegakkan kepemimpinan yangberperspektif feminis adalah dominasi wa-cana ‘normativitas ibu’ dan wacana ‘norma-tivitas bapak’, yang diletakkan secara diko-tomis dengan masing-masing simbolnya.Ibu menunjuk pada simbol pengasuhananak di rumah dan bapak sebagai simbolkepala keluarga pencari nafkah. Dikotomiini menjadi beban bagi kaum perempuanketika menjadi pemimpin, karena mendapattuntutan terlalu banyak akibat dianggap

tidak sesuai dengan normativitas yang ber-laku.

Gerakan perempuan melalui organisasinon-pemerintah merupakan upaya bagi ka-um perempuan untuk menciptakan ruangkepemimpinan sosial yang lebih membe-rikan keadilan dan kesetaraan, dan bukanuntuk mencapai dominasi. Akan tetapi ba-nyak kaum laki-laki yang khawatir akan haltersebut, karena mereka masih terbelengguoleh normativitas baik ibu/perempuanmaupun bapak/laki-laki.

Pandangan Kepemimpinan Ideal

Kepemimpinan adalah konsep abstrak yangberbasis pada proses konstruksi sosial, yangkemudian menjadi nilai untuk pemimpin.Pada dasarnya, pandangan tentang ‘kepe-mimpinan’ sangatlah beragam, dan kera-gaman tersebut terkondisikan oleh penga-laman subjektif tiap individu dalam hidup-nya dan proses sosial yang membentuknya.Secara umum, imajinasi tentang kepemim-pinan ideal seringkali merupakan bentukanstruktural dan kultural. Jika kondisi yangada memiliki karakter yang patriarkis, makasosok laki-laki merupakan figur yang di-idealkan dalam konteks kepemimpinan. De-mikian pula sebaliknya. Artinya, kondisistruktural dan kultural merupakan prosessosial yang dapat berubah. Dalam kontekskekinian, seperti dalam masyarakat di wila-yah penelitian WRI, tampak bahwa gerakanperempuan pun pada akhirnya ikut mem-pengaruhi apa yang masyarakat imajinasikantentang kepemimpinan ideal. Dalam hal ini,transisi dalam memaknai kepemimpinan ju-ga dapat kita rasakan, yaitu dari pergeserannilai-nilai yang patriarkis, menuju penana-

Sita Aripurnami - Transformasi Gerakan dan Menguatnya Kepemimpinan Perempuan 65

man nilai-nilai feminis dalam kepemimpinanyang telah berproses di dalam kehidupanmasyarakat.

Secara teoritis konsep kepemimpinanbanyak menjadi dasar dari idealisasi nilai-nilai untuk bertindak dan berstrategi. Misal-nya, W.A Gerungan (1996)2 menjelaskanbahwa terdapat tiga ciri kepemimpinan, yai-tu persepsi sosial, kemampuan berpikir abs-trak dan keseimbangan emosional. Idealisa-si sosok pemimpin pada dasarnya merupa-kan kombinasi antara persepsi masyarakatdan proses sosial yang membentuknya. Didalam konteks ini juga ada pemahaman danpenghargaan terhadap pemimpin itu sendiridalam proses sosial yang ada. Misalnya dariapa yang disampaikan oleh Kodar dan Miendari Pekka Jakarta, organisasi yang mena-ngani jaringan nasional, sebagai berikut:

“Seorang pemimpin perlu memiliki ke-mampuan untuk mendengar dan ber-bagi di antara tiap orang atau anggota,dan kemampuan merangkumnya men-jadi sesuatu yang disepakati kelompok.Itu adalah modal awal dari kepemim-pinan. Kepemimpinan feminis harusmulai dari diri sendiri, kemudian denganorang lain”.3

Pandangan tersebut menunjukkan per-lunya transformasi kepemimpinan secara di-namis dari diri ke sosial. Ini adalah prosessosial yang menghubungkan ranah privatdan publik sebagai dua entitas yang padadasarnya tidak terpisah. Pandangan ini dile-

takkan pada basis pengalaman perempuankepala keluarga yang berangkat dari penen-tuan posisi diri perempuan dalam kontekssosial dan organisasi. Pandangannya punakan sedikit berbeda jika hanya diletakkandalam konteks keorganisasian, baik yangskalanya daerah tertentu maupun yang ska-lanya nasional. Pandangan Ketua KomnasPerempuan Yuni Chusaifah, yang mengelolaorganisasi berskala nasional misalnya mene-gaskan bahwa:

“Praktik kepemimpinan memerlukanadanya ’co-chairing’ atau ’teaming’, karenasosok perorangan saja tidak mencukupiuntuk mengelola program dan kegiatanyang sifatnya nasional, lintas sektoral,apalagi untuk yang memerlukan kerjasinergis dengan pihak pemerintah. Untukteaming ini, syaratnya adalah kemauanmenciptakan ’chemistry’ di antara individutersebut, dan untuk itu ’sudah saling kenalcukup lama’ merupakan dasar penum-buhan kerja sama”.4

Pandangan ketua Komnas Perempuantersebut menunjukkan bahwa kepemimpin-an organisasi yang besar lebih memfokuskanaspek keorganisasian yang membangun hu-bungan kolegial di dalam tim kerja organi-sasi. Tokoh yang menjadi pemimpin organi-sasi nasional tersebut pada dasarnya memi-liki pengalaman organisasional berskalaluas. Hal ini berbeda dengan perempuan ke-pala keluarga, yang secara sosial termarji-nalkan kemudian terlibat dalam organisasi,sehingga kemampuan untuk memimpin dirisendiri menjadi point penting untuk dapat2 Lihat hal. 135, Psikologi Sosial, Gerungan W.A, Ban-

dung, Refika Aditama, 2002.3 Catatan Focus Group Discussion, Penelitian Feminist

Leadership Pasca Negara Otoritarian Indonesia, Jakarta9 Mei 2012.

4 Wawancara dengan Yuni Chusaifah, Ketua Komnas Pe-rempuan, Jakarta 14 Mei 2012.

66 Afirmasi Vol. 02, Januari 2013

menentukan posisinya dalam ruang publikyang lebih luas.

Dalam konteks kepemimpinan di ting-kat daerah, maka pemimpin organisasi pe-rempuan di Mataram lebih mengembang-kan nilai-nilai kepemimpinan yang berskaladaerah. Misalnya, sosok pemimpin dalampandangan anggota kelompok Jaringan Pe-rempuan Usaha Kecil (JarPUK) bahwa pe-mimpin ideal harus orang yang memiliki si-fat sabar, cukup berpengalaman dalam bi-dang kerjanya, serta memiliki sifat bijaksanadan adil.

“Jadi pemimpin itu harus punya sifat sa-bar, lebih pintar dari masyarakat, punyapengalaman, bijaksana dan adil… Beranimengeluarkan uang dari kantong sendiriuntuk bawahannya, maksudnya tidakpelit mengeluarkan uang untuk anggo-tanya… Lalu lebih mementingkan ke-pentingan perempuan/anggota, loyal”.5

Cakupan nilai kepemimpinan dalamkonteks demikian tampak berbeda dengandua nilai ideal sebelumnya. Keberagamanakan pandangan tersebut menunjukkan bah-wa kepemimpinan merupakan konstruksidan produk sosial yang memiliki kesesuaiandengan konteks yang ada. Berdasarkan pen-dapat narasumber dari Solidaritas Perempu-an di Mataram, kepemimpinan seseorangbukan hanya sekadar pandangan atau per-sepsi ideal, namun perlu untuk dituangkanke dalam aksi dan tindakan yang sesuai de-ngan keadaan sosial di lingkungannya. Iniartinya kepemimpinan memiliki fungsi

agensi yang bertujuan untuk melakukanperubahan.

“Kalau menurut saya, pemimpin itu bisaberjuang untuk kebutuhan orang-orangyang dipimpinnya. Jadi dia tidak egois,melaksanakan sikap kepemimpinan se-suai dengan yang dibutuhkan oleh ma-syarakat”.6

Dua pandangan ini menunjukkan ada-nya keragaman dalam mempersepsikan ke-pemimpinan. Bagi anggota kelompok bina-an Perkumpulan Panca Karsa, ciri-ciri pe-mimpin yang penting dimiliki adalah ke-mampuannya untuk menghargai pendapatorang lain, serta mampu bekerjasama de-ngan semua pihak dan berjejaring untukmembantu mengatasi permasalahan yangdihadapi anggota kelompoknya, yang nota-bene adalah buruh migran dan keluarganya.

“Jujur, tanggungjawab memperjuang-kan hak kaumnya, berani bicara, trans-paran, tidak pilih kasih... Inilah yang kitainginkan sebenarnya. Pemimpin haruspintar dan cerdas, smart — masa orangbodoh jadi pemimpin. Menjadi pemim-pin: Pertama, harus mampu mengun-dang ibu-ibu untuk datang pelatihan,pertemuan dan selalu mampu mengajakibu-ibu untuk memenuhi undangan itu;Kedua, mengikuti apa yang menjadiaturan kelompok dan menghargai pen-dapat orang lain, ditambahin satu: diamampu bekerjasama dengan semua pi-hak, berjejaring, berwibawa”.7

5 Catatan FGD Penelitian Feminist Leadership PascaNegara Otoritarian Indonesia dengan kelompokJarPUK, Lombok Tengah 16 Mei 2012.

6 Wawancara dengan Bq. Zulhiatina, Solidaritas Perem-puan, Mataram 15 Mei 2012.

7 Catatan Focus Group Discussion Penelitian FeministLeadership Pasca Negara Otoritarian Indonesia dengankelompok binaan Perkumpulan Panca Karsa, Mataram17 Mei 2012.

Sita Aripurnami - Transformasi Gerakan dan Menguatnya Kepemimpinan Perempuan 67

Hal senada juga dikemukakan olehMerry dari Nurani Perempuan, Padang:

“Pemimpin itu hendaknya mengerti per-soalan masyarakat. Dia mau mende-ngarkan aspirasi masyarakat, apa yangmereka butuhkan, tidak hanya membuatkebijakan. Sedangkan masyarakatnya ti-dak butuh itu, dan itu hanya akan merugi-kan energi, pikiran, materi. Hendaknyamemimpin itu harus mengerti dengankeadaan yang semestinya kita lakukan,apa yang diinginkan masyarakat”.8

Berkaitan dengan ciri kepemimpinanyang ideal, hal ini berarti bahwa ada suatukarakter dan tindakan yang menonjol dariindividu di dalam kelompok yang berpoten-si untuk dikembangkan. Dalam hal pengor-ganisasian, Kodar dan Mien dari SeknasPekka di Jakarta menggarisbawahi bahwakemampuan untuk mendengar serta berbagidengan tiap orang atau anggota, dan ke-mampuan merangkumnya menjadi sesuatuyang disepakati kelompok adalah hal pen-ting yang diperlukan dalam pengorgani-sasian. Di lain kondisi, sosok ketua secaraindividu lebih diperlukan sebagai “represen-tasi” mewakili institusi dalam pergaulan dankehadiran di forum-forum strategis, sepertiyang ditegaskan oleh pengurus LBH APIK(Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perem-puan Indonesia untuk Keadilan) dan KoalisiPerempuan Indonesia untuk Keadilan danDemokrasi (KPI). Menurut Ratna BataraMunti yang mewakili LBH APIK, juga DianKartikasari dari KPI, kepemimpinan indi-vidual sangat penting, terutama untuk ber-

hadapan dengan institusi pemerintah. Diamenyatakan bahwa “penting sekali bagiLSM perempuan untuk mampu menampil-kan ketua yang kredibel dan kehadirannyabermakna, agar tidak dipandang sebelahmata”. Ini artinya pilihan kepemimpinanyang sifatnya kolektif dan individual me-rupakan strategi bagi perempuan dalammemposisikan diri. Dalam pengambilan-keputusan organisasi, maka kepemimpinankolektif diperlukan. Sementara itu, kepe-mimpinan yang individual mereka tunjuk-kan dalam forum yang berhadapan denganpemerintah untuk menunjukkan ketegasanposisi. Selanjutnya tentu saja diperlukanpembekalan ‘teknis kepemimpinan’, sepertiketangkasan mendengar kebutuhan kelom-pok, kearifan dalam memimpin pengambilankeputusan — yang semuanya dapat diberi-kan melalui latihan khusus, maupun melaluipengelolaan program.

Sementara itu, untuk isu khusus sepertiLesbian, Bisexual, Transgender (LBT) dankelompok sasaran usia tertentu, seperti re-maja-dewasa awal (18 tahun sampai per-tengahan usia 20-an) yang merupakan ke-lompok sasaran Ardhanary Institute di Ja-karta, Agustin menambahkan bahwa pe-mimpin diharapkan jeli menangkap kebu-tuhan dan kesenangan kelompok akan caraberkomunikasi untuk menyampaikan apayang dimaksudkan.

“Dengan perbedaan usia, kita sering lu-pa dan menganggap mereka pasti su-dah mengerti apa yang kita sampaikanpanjang-lebar, saat kita menjelaskan. Pa-dahal ternyata, cara komunikasi kita di-anggap terlalu serius sehingga maksud

8 Wawancara dengan Mery, Relawan WCC Nurani Perem-puan, Padang 17 Mei 2012.

68 Afirmasi Vol. 02, Januari 2013

tidak ditangkap seperti yang diingin-kan”.9

Problem ini diatasi dengan meminta me-reka menilai cara kita dan memberi masuk-an tentang cara yang lebih pas dengan “mo-dus komunikasi” mereka. Agustin juga me-nyepakati bahwa dalam kepemimpinan fe-minis untuk menginisiasi kelompok ataukomunitas, diperlukan sosok sebaya yangkemudian akan menjadi koordinator pe-nyambung komunikasi.

Sementara itu, menurut Latifa dari Ya-yasan Keluarga Sehat Sejahtera Indonesia(YKSSI) di Mataram, pemimpin yang idealadalah orang yang mampu memberi moti-vasi kepada kelompok yang dibinanya.

“Pemimpin adalah seseorang yang da-pat mengetahui dan memahami karak-ter orang-orang yang dipimpinnya. Lalujuga dapat memberikan motivasi, sertabertanggungjawab terhadap lembagaatau kelompok yang dipimpinnya. Keti-ka seseorang sudah bisa memiliki sifatbertanggungjawab, maka sifat-sifat lainseperti jujur, adil dan bijaksana, pasti ju-ga terkandung di dalamnya. Sifat lainyang penting juga, tegas dan loyal terha-dap lembaga atau kelompok”.10

Kepemimpinan perempuan pada dasar-nya tidak dapat dipisahkan dari praktik ke-pemimpinan itu sendiri dalam organisasi pe-rempuan. Kepemimpinan merupakan ben-tuk dari pengelolaan relasi kuasa yang me-ngerucut sebagai kesepakatan di antara ang-

gota masyarakat untuk menentukan siapapemimpin itu dan apa nilai-nilai yang dise-pakati untuk memimpin. Dalam konteksini, kepemimpinan sebagai konsep tentumemiliki nilai ideal untuk menjadi pedomandalam berperilaku, ataupun untuk melaku-kan pengelolaan.

Dina dari Pesada menyebutkan pemim-pin yang berperspektif feminis adalah:

“…Harus perempuan yang bisa me-mimpin dengan cara yang menghormatiperbedaan, termasuk perbedaan strate-gi. Pikiran-pikiran feminis harus menjadiinti. Kita tahu bahwa feminisme berju-ang untuk perempuan. Analisisnya harusbisa jalan ketika dia melakukan analisisterhadap kekuasan, bukan sekadar anali-sis gender. Analisis kekuasaan itu haruskuat, supaya perempuan mengerti un-tuk tidak menindas yang lain. Ide-idemengenai power-sharing penting, di manakekuatan dari dalam akan menjadi satukekuatan. Dan berbicara kepemimpinantidak perlu berorientasi kepada posisi”.11

Sementara itu, ada pandangan yang dike-mukakan oleh salah seorang aktivis di Lam-pung, yang menganggap bahwa sebaiknyagerakan perempuan juga menyentuh isu-isuyang terkait dengan kemiskinan. Persoalankaum perempuan tidak sekadar masalah adilgender. Ketika ada kemiskinan, dan keke-rasan masih marak, gerakan perempuan ti-dak sekadar berjuang hanya di pelatarangender saja, namun juga harus memperha-tikan persoalan kemasyarakatan yang lebihluas, kepemimpinannya harus visioner, je-las mau apa dalam memperjuangkan hak-

11 Wawancara dengan Dina Lumbantobing, Pendiri Pesa-da, Medan 25 Mei 2012.

9 Wawancara dengan Agustin, Direktur Ardhanary Ins-titute, Jakarta 22 Mei 2012.

10 Wawancara dengan Latifa Bay, Direktur YKSSI Mata-ram, Mataram 15 Mei 2012.

Sita Aripurnami - Transformasi Gerakan dan Menguatnya Kepemimpinan Perempuan 69

hak perempuan, dan juga konsisten dan taatmekanisme organisasi.

“Perempuan yang mampu keluar darilokalnya dan punya kemampuan, con-tohnya Sri Mulyani. Mba Laila juga punyakapasitas itu“.12

Salah satu contoh dari ciri kedua, me-ngenai kemampuan berpikir abstrak seorangpemimpin, diungkapkan oleh pengurus Jar-PUK dan Solidaritas Perempuan di Mata-ram. Menurut pandangan mereka, salah sa-tunya adalah, ketika melihat situasi masya-rakat yang variatif, pemimpin bisa menjun-jung tinggi asas demokrasi agar tetap meng-hargai keberagaman. Hal senada juga di-ungkapkan oleh Putri dari WCC Nurani Pe-rempuan di Padang:

“Pemimpin yang ideal itu menerima per-bedaan berpikir masyarakat, perbedaanlatarbelakang masyarakat; dan pemim-pin mampu mengakomodasi, membuatperbedaan itu menjadi bersatu. Banyakpemimpin yang tidak siap dengan per-bedaan; itu bagian dari yang perlu kitagaris-merahi: kita bicara tentang Panca-sila, walaupun berbeda-beda tetapi tetapsatu-itu tidak apa”.13

Bagi Beauty di Mataram, kemampuanuntuk berpikir abstrak, termasuk juga me-miliki pengetahuan tentang gender, akan me-mampukan seorang pemimpin perempuanmenawarkan jalan keluar dari persoalan-persoalan yang dihadapi kaum perempuan.

“Seorang pemimpin juga harus memilikipengetahuan tentang gender, dan pro-perempuan, mengakomodir staf, update ter-hadap perkembangan informasi, memi-liki strategi untuk menghadirkan keadilanbagi perempuan”.14

Isnaini dari Yayasan Totalitas di Padangmemberikan pendapat yang serupa denganBeauty:

“Pemimpin yang baik itu harus pu-nya komitmen terhadap lembaga.Dia juga akuntabel, tanggungjawab, ju-jur, dan — yang paling penting — diaharus berperspektif gender, karena se-mua masalah pasti ada hubungan de-ngan perempuan, kalau banyak inter-vensi ke perempuan, masalah lebih ce-pat, baik pemimpin laki-laki maupunpemimpin perempuan”.15

Ciri terakhir, yaitu keseimbangan emo-sional disebutkan oleh hampir semua nara-sumber dari kelima wilayah penelitian. Ke-matangan emosional diperlukan oleh se-orang pemimpin untuk dapat turut merasa-kan keinginan dan cita-cita anggota kelom-pok dalam rangka melaksanakan tugas ke-pemimpinan dengan sukses. Sebagai contohyang diungkapkan oleh anggota Pekka, se-orang pemimpin harus bisa mendengarkandan siap siaga ketika menangani permasa-lahan dan keluhan dari anggota atau masya-rakat sekitar.

“...Mempunyai kepedulian, tahu kapanharus bertindak darurat. Ada kedarurat-

12 Wawancara dengan Ahmad Yulden Erwin, Koor-dinator Komite Anti Korupsi, Lampung 15 Mei 2012.

13 Wawancara dengan Putri, Relawan WCC Nurani Pe-rempuan, Padang 17 Mei 2012.

14 Wawancara dengan Beauty Erawati, Direktur LBHAPIK NTB, Mataram 16 Mei 2012.

15 Wawancara dengan Isnaini, Direktur Yayasan Totalitas,Padang 15 Mei 2012.

70 Afirmasi Vol. 02, Januari 2013

an harus dibantu; ada korban KDRT,atau ada yang sakit, harus siap siaga”.16

Keseimbangan emosional seseorang da-lam memimpin sebuah lembaga adalah me-ngetahui dengan jelas tujuan dari tindakan-nya.

“Seorang pemimpin yang baik harusmampu memahami apa yang dia laku-kan untuk lembaga. Percuma jika punyanama besar tapi tidak tahu tujuan danrisikonya, karena apa yang dilakukannyaakan menjadi tak terarah dan mudah ter-goyahkan”.17

Hal senada dikemukakan oleh Tya dariWCC Nurani Perempuan, Padang:

“Pemimpin yang ideal itu mesti mengertibagaimana kondisi orang yang dipim-pinnya. Dia tahu apa yang menentukan,mejadi kebutuhan dia dan orang lain,dan kemudian — yang paling penting—tidak bersikap otoriter”.18

Yuni Walrif dari Solidaritas PerempuanPadang menyebutkan bahwa relasi yang se-imbang atau setara antara pemimpin danstafnya adalah ciri penting bagi seorang pe-mimpin:

“ … Sederhana saja, pemimpin yang baikadalah pemimpin yang bisa diterimaanggotanya, dan dia bisa mengerti or-

ganisasi (nilai dan tujuan), dan mema-hami staf-stafnya. Ada pemimpin yangpintar tapi tidak diterima, mungkin adaarogan, cepat puas, dan mudah mene-puk dada. Menurut saya, itu bukan pe-mimpin yang baik, karena pemimpinyang baik adalah yang mampu mem-bangun relasi seimbang”.19

Sementara itu sejumlah, anggota Hap-sari di Deli Serdang yang terlibat dalamFGD memberi rangkuman pengertian kepe-mimpinan perempuan sebagai berikut:

“Pemimpin yang berasal dari basis, danmenjalankan mandat sesuai kebutuhanyang dipimpinnya, dan mampu mem-bangun persaudaraan sesama perempu-an guna melakukan perubahan untukbebas dari berbagai bentuk penindasandan ketidakadilan gender. Lebih dari itu,juga pemimpin yang tahu jalan, menun-jukkan jalan, mengarahkan yang dipim-pin untuk mencapai tujuan, dengan me-numbuhkan kepemimpinan perempuanlokal, mulai dari tingkat desa sampai na-sional untuk membangun gerakan pe-rempuan yang bermartabat”.20

Seluruh organisasi yang dikunjungi dilima wilayah penelitian dipimpin oleh pe-rempuan. Perempuan sebagai pemimpin diorganisasi, baik di tingkat akar rumput mau-pun jaringan, telah dapat mengorganisasilembaga dan anggotanya secara baik. Me-nurut anggota kelompok basis, seperti Jar-PUK di Mataram atau Hapsari di Deli Ser-

16 Catatan Focus Group Discussion Penelitian FeministLeadership Pasca Negara Otoritarian Indonesia dengankelompok binaan Pekka, 15 Mei 2012.

17 Wawancara dengan Beauty Erawati, Direktur LBHAPIK NTB, Mataram 16 Mei 2012.

18 Wawancara dengan Tya, Relawan WCC Nurani Perem-puan, Padang 17 Mei 2012.

19 Wawancara dengan Yuni Walrif, calon anggota Solidari-tas Perempuan Padang, Padang 14 Mei 2012.

20 Catatan Focus Group Discussion Penelitian FeministLeadership Pasca Negara Otoritarian Indonesia dengananggota Serikat Hapsari, 28 Mei 2012.

Sita Aripurnami - Transformasi Gerakan dan Menguatnya Kepemimpinan Perempuan 71

dang, kepemimpinan yang ada sekarangsudah sesuai dengan ciri-ciri kepemimpinanyang ada. Sedangkan bagi anggota binaanPekka di Mataram dan Nurani Perempuandi Padang, sekali pun kepemimpinan masihbelum menyerupai keseluruhan ciri-ciri ke-pemimpinan yang mereka sebutkan, kepe-mimpinan di wilayah mereka sudah cukupmampu mengangkat dan menyelesaikan ma-salah yang dialami anggotanya.

“Sebagai ketua kelompok ... bisa me-motivasi anggota lainnya … bisa menye-lesaikan masalah dengan baik secarabersama-sama”.21

“Pemimpin adalah seseorang yangmampu mendengarkan, transparan,tanggungjawab, bisa menggalang ang-gotanya ... setiap saat meluangkan waktu,begitu ada anggota yang punya masalah,siap mendengarkan masalah anggota-nya”.22

Dari paparan ini, tampak sejumlah per-bedaan dan persamaan pandangan terhadapapa yang mereka idealkan sebagai pemimpindan kepemimpinan. Mereka menyebut ka-rakter yang mereka anggap ideal, adalah“anti penindasan dan ketidakadilan, sertamengembangkan kolektivitas.” Lebih dariitu, semua narasumber menegaskan adanyahubungan pemimpin dengan “basis”, yangmenunjukkan bahwa seorang pemimpin ituperlu muncul dari kader dan terus semakin

matang karena pengalaman berorganisasidan memimpin.

Selain itu, pemimpin juga selalu perluberhubungan dengan masyarakatnya. Hal inimenunjukkan bahwa kepemimpinan meru-pakan proses sosial yang berakar pada pe-ngalaman seseorang dalam pengorganisasi-an. Organisasi merupakan ranah yang pen-ting bagi perempuan untuk mengkonstruk-sikan diri melalui proses belajar untuk men-jadi pemimpin. Pada mulanya dia memim-pin diri sendiri, kemudian memimpin teman-teman, membangun kolektivitas sesama pe-rempuan, dan kemudian memimpin masya-rakat untuk melakukan perubahan — halyang merupakan perjuangan kaum perem-puan dalam melawan penindasan dan keti-dakadilan.

Keterlibatan perempuan dalam organi-sasi bukan saja memperoleh pengalamanmengorganisasi diri, namun juga memper-oleh dan menanamkan nilai-nilai ideal me-ngenai pemimpin dan kepemimpinannya.Nilai inilah yang dalam praktik berorgani-sasi mengalami proses penyemaian, pertum-buhan dan penyebarluasan di antara mere-ka, dan kemudian meluas ke masyarakatserta memberi alternatif nilai baru.

Sekali pun demikian, terdapat pandang-an yang menarik selain konsep anti penin-dasan, ketidakadilan dan mengembangkankolektivitas seperti yang diungkapkan nara-sumber dari Hapsari berikut:

“…Di Hapsari, hirarki sangat dibutuh-kan dalam konsep kepemimpinan, kare-na hirarki adalah sesuatu yang tidak da-pat kita pisahkan dari struktur Hapsariyang federatif. Di tingkat nasional adastrukturnya sendiri yaitu Dewan Pengu-rus Nasional, hirarkinya yaitu kita punya

21 Catatan Focus Group Discussion Penelitian FeministLeadership Pasca Negara Otoritarian Indonesia dengankelompok JarPUK, Mataram 16 Mei 2012.

22 Catatan Focus Group Discussion Penelitian FeministLeadership Pasca Negara Otoritarian Indonesia dengankelompok binaan Pekka NTB, Lingsar 15 Mei 2012.

72 Afirmasi Vol. 02, Januari 2013

ketua. Di anggota Serikat ada mekanis-me yang diatur bagaimana berelasi de-ngan tingkat nasional. Untuk di Serikat,tetap membentuk Ketua... MenurutHapsari, struktur dan hirarki itu pentingdalam sebuah organisasi karena akandibutuhkan dalam pengambilan kepu-tusan”.23

Dengan demikian, bagi organisasi Hap-sari, kepemimpinan yang anti-hirarki belumtepat, karena dengan ada struktur dan hirar-ki lebih jelas dalam pembagian tugas kerjadan tanggungjawab dalam melaksanakanmandatnya.

“Jika kita berbicara tentang anti-hirarki,maka kita perlu pikirkan sungguh-sung-guh. Sebagian besar dari kita ingin de-mokratis, tetapi kadang kita tidak meng-hargai kewenangan-kewenangan yangberbeda untuk dihormati. Kita cende-rung inginnya paguyuban, dalam sehari-hari ada keputusan yang diambil, tapikurang dihargai. Dampaknya menjadi ti-dak baik, karena seolah menjadi konflikyang tidak berkesudahan. Kita cobamenghargai, bukankah kita yang memi-lih kepemimpinan itu? Ya, menghormatikesepakatan yang sudah diambil... Me-nurut saya, sepanjang keputusan tertinggilewat proses rapat dijalankan, seharusnyakita menjalankan hirarki dengan jalan de-mokratis juga”.24

Bagaimana pun, menurut Ratna, sebuahstruktur organisasi pasti memiliki hirarki.Perlu dibedakan antara proses pengambilankeputusan dengan rapat dan keputusan

yang bisa diselesaikan tanpa rapat. Apa gu-nanya ada struktur, padahal kita memilihstruktur tersebut untuk memudahkan kerjakita. Seharusnya dalam sebuah organisasi,kita perlu menghargai juga mekanisme dankepentingan yang coba dijalankan oleh se-orang pemimpin. Seperti yang dikatakanoleh Ratna, istilah hirarki perlu dipahamidengan perspektif yang lebih luas. Hirarkitidak negatif, tapi sebaiknya memanfaatkanstruktur yang ada dan menjalankannya un-tuk menyelesaikan kerja dan permasalahanyang ada.

Berdasarkan uraian ini, tampak bahwaidealisasi kepemimpinan dalam organisasiperempuan sangat beragam. Demikian pulakeberagaman terhadap pemahaman menge-nai feminisme dan kepemimpinan feminis.Pada dasarnya, nilai-nilai kepemimpinan se-perti “anti-hirarki, anti-penindasan, kolekti-vitas, persaudaraan perempuan, berbagi,kompromi, akomodatif ” telah menjadi da-sar dari kepemimpinan yang digunakan padaorganisasi perempuan, dan dalam beberapahal, bahkan disebut di dalam AD/ART me-reka. Pada praktiknya, pemahaman tersebutberagam. Sedikit catatan, menarik untukmenyimak beberapa pendapat yang menya-takan bahwa hirarki tidak bisa lepas daristruktur. Hirarki juga bukan sesuatu yangberkonotasi negatif, karena justru mem-bantu mengatur kerja pemimpin dalam or-ganisasi. Lebih jauh, proses ini tidaklah li-nier, namun memiliki perjalanan yang kom-pleks dan dinamis. Lebih dari itu, dalampraktiknya, ketika mereka gunakan untukmenyelesaikan masalah, pemimpin perem-puan juga menggunakan strategi inklusi,dengan merangkul banyak pihak untuk se-makin menguatkan daya mereka. Pemimpin

23 Rusmawati, Ketua Pengawas Dewan Pengurus Na-sional Hapsari, FGD Jakarta, 29 Oktober 2012.

24 Ratna Batara Munti, Direktur Eksternal LBH APIKJakarta, FGD Jakarta, 29 Oktober 2012.

Sita Aripurnami - Transformasi Gerakan dan Menguatnya Kepemimpinan Perempuan 73

organisasi perempuan seringkali tidak meng-gunakan penamaan bahwa itulah yang di-sebut dengan “kepemimpinan feminis”, na-mun bagi mereka yang penting adalah bagai-mana menjalankan nilai-nilai tersebut da-lam praktik kepemimpinan. Penamaan inijuga menjadi pertanyaan atau diskusi sendiriyang belum usai dan masih dalam prosesperjalanan panjang.

Tantangan yang Dihadapi danStrategi yang Dilakukan olehPemimpin Perempuan

Pada praktik kepemimpinan organisasi pe-rempuan, terdapat beberapa tantangan yangdihadapi oleh para pemimpinnya. Tantang-an-tantangan tersebut berasal dari luar dandari dalam individu pemimpin, yang cende-rung terkait dengan dikotomi ranah privatdan publik. Salah satu contohnya, perempu-an harus selalu berupaya meyakinkan or-ang-orang terdekat di ranah privat, dan jugalingkungan sekitar rumah, untuk memberi-kan pengakuan bahwa aktivitas yang dilaku-kan sebagai pemimpin juga berhak dilaku-kan oleh perempuan. Hal ini tidak terjadipada pemimpin laki-laki. Perempuan sering-kali dianggap sebagai “ketidaklumrahan”,karena hal tersebut di luar konsep “norma-tivitas ibu”. Karena hal ini hanya dialamikaum perempuan, konsekuensi yang tim-bul, seorang pemimpin perempuan harusmengembangkan strategi untuk menyelesai-kan tantangan tersebut. Hal itu kemudianmereka atasi dengan cara bernegosiasi danmenunjukkan eksistensi, yang berdampakpositif baik bagi dirinya, bagi relasi kuasasuami-istri, dan lingkungan sosialnya. Nego-siasi yang paling berat justru datang dari ra-

nah privat, bukan publik. Ini karena di ranahprivat nilai dari normativitas ibu berlaku,dan pemimpin perempuan dianggap ke luardari normativitas.

Hal ini diutarakan oleh narasumber dariSolidaritas Perempuan Mataram:

“Saya melihatnya sejak saya keluar untukbekerja, mereka lebih respect kepada saya,sekarang sudah berbeda. Kalau untukmasyarakat sekitar, mungkin waktu sayasering keluar malam, ibu saya yang me-ngatakannya. Tapi justru tantangannyayang terbesar adalah dari ibu saya, padasaat setelah saya bercerai. Setelah itu sayamemberikan pengertian kepada ibu sa-ya. Butuh waktu lama untuk ibu sayamengerti, karena saat itu ibu saya jugasedang sakit. Biasanya kalau saya pulangmalam, saya pasti memberitahukannya,misalnya membawa undangan atau be-rita-berita di koran kepada ibu saya, se-hingga ibu saya bisa percaya”.25

Pandangan mengenai pentingnya penga-laman sebagai bagian dari proses internali-sasi nilai kepemimpinan untuk bertindak ju-ga ditemukan dalam pemikiran pengurusdan anggota Hapsari di Deli Serdang. Halini penting bagi mereka, karena di dalamnyabanyak sekali tantangan yang kemudianmendorong perempuan untuk menemukanjalan keluar, dalam bentuk strategi mem-bangun relasi kuasa, baik dengan sesama pe-rempuan maupun dengan laki-laki dalamkonteks sosial. Pengurus Hapsari, misalnya,merasa mengajak perempuan masuk ke da-lam organisasi bukanlah hal yang mudah.Terutama jika nilai dalam keluarga perem-

25 Wawancara dengan Bq. Zulhiatina, Solidaritas Perem-puan Mataram, 15 Mei 2012.

74 Afirmasi Vol. 02, Januari 2013

puan yang akan diajak memegang teguh ni-lai bahwa perempuan haruslah di rumah,dan suami yang hanya boleh berorganisasidan ke luar rumah.

“Iya, meskipun kakak itu diizinkan dandidukung oleh suaminya untuk ikut or-ganisasi, tetapi saat kakak mencalonkandiri menjadi caleg, suaminya sangat ma-rah dan menahannya dari tindak men-calonkan diri. Suaminya bilang, “Kau inijangan macam-macam. Nggak enak ka-lau kau juga memimpin, jadi anggotalegislatif. Sekarang saja tetangga sudahmencemoohkan aku karena jauh terting-gal dari kau…”26

Masalah ini bukan tantangan yang se-derhana, karena masalah ini selalu terjadidalam tiap upaya recruitment untuk beror-ganisasi. Strategi yang dikembangkan olehpengurus Hapsari adalah dengan mengguna-kan pendekatan yang persuasif, yaitu dengancara mengenal seluruh anggota keluarga de-ngan baik. Jika mengajak, mereka melaku-kan pada waktu-waktu yang tidak meng-ganggu urusan domestik keluarga, sehinggasuami tidak marah. Hal itu dilakukan terus-menerus, hingga suami pun akhirnya mera-sakan bahwa ketika istri aktif dalam organi-sasi, itu sebenarnya juga memberi manfaatbagi suami dan keluarga. Tantangan lain se-telah istri berorganisasi, adalah cemoohantetangga terhadap suami yang bersedia ber-bagi tugas di rumah. Masalah ini jauh lebihmudah bagi ibu-ibu untuk mengatasinya,yaitu dengan menunjukkannya secara de-monstratif, sehingga membuat ibu-ibu yang

lain justru meminta suaminya untuk mem-bantu ‘kerja perempuan’. Ini adalah prosespenyebaran nilai mengenai berbagi perandalam keluarga, yang kemudian mempenga-ruhi tetangga lainnya.

Seringkali tantangannya adalah nilai-ni-lai yang masih menempatkan perempuan dilingkup domestik. Sehingga, kerap perem-puan dianggap tidak pantas apabila merekaberkiprah di lingkup publik, apalagi bila be-rani bersikap kritis terhadap pengambil ke-putusan, yang kebanyakan adalah kaum le-laki. Dikotomi antara ruang publik dan do-mestik sebagai pengkutuban laki-laki danperempuan, merupakan wacana yang sebe-narnya lebih membebani pemimpin perem-puan daripada pemimpin laki-laki, karenahal ini di luar normativitas ibu. Misalnya,apa yang diungkapkan oleh narasumber dariMataram, Lombok:

“Ketika ada masalah tentang BantuanLangsung Tunai (BLT) itu, saya sempatjadi omongan orang-orang desa, teruta-ma pemerintah desa. Katanya ‘perem-puan kok ngomong seperti itu, menantangkepala desa’. Relasi gender di Lombokini masih belum setara… karena pema-hamannya masih perempuan harus me-ngerjakan tugas-tugas rumah atau do-mestik. Itu juga disebabkan faktor aga-ma, yang mengatakan perempuan harusmembesarkan anak, tidak boleh keluartanpa izin suami, laki-laki tidak mau ker-jakan cuci-mencuci. Hal-hal seperti itudibicarakan juga oleh perempuannyasendiri”.27

26 Wawancara dengan Zulfa Suja, Anggota Dewan Pengu-rus Nasional Hapsari, Deli Serdang 24 Mei 2012.

27 Wawancara dengan Masnim, Kopwan JarPUK Rin-dang, Mataram 18 Mei 2012.

Sita Aripurnami - Transformasi Gerakan dan Menguatnya Kepemimpinan Perempuan 75

Hal senada juga dihadapi oleh para ibudan para pendamping lapangan kelompokbinaan Perkumpulan Panca Karsa.

“Kita melihat, perempuan terkungkungdalam komunitasnya, dan di rumahtangganya. Ada tanggapan dari orang-orang tua, “Nine nine nendek ngurus sakmene mene?” (Mengapa perempuan me-ngurus yang begini-gini?). Mereka dire-mehkan, suara perempuan tidak usahdidengarkan, kurang mendapat dukung-an dari masyarakat lingkungan keluargaburuh migran. Bagi keluarga dan masya-rakat, perempuan harus di rumah saja,mengurus pekerjaan di rumah. Sekarangini kita sudah bisa ‘mengeluarkan’ mere-ka, mereka sudah bisa mewarnai peren-canaan di tingkat desa sampai tingkatkabupaten. Sebenarnya mereka sudahmulai diperhitungkan keberadaannya.Caranya, kami gigih saja terus melakukandampingan dan mengajak para perem-puan beraktivitas”.28

Semua praktik kepemimpinan, denganpendekatan apa pun, pasti mempunyai tan-tangannya tersendiri. Bukan saja karakterpersonal, tetapi tentu kecakapan-kecakap-an tertentu yang justru diperoleh dan dipe-lajari dari lingkungannya selama ini, sertafaktor-faktor sosial budaya yang mampumendorong maupun menghambat kepe-mimpinan. Mengenai tantangan terhadapkarakter gender personal, seperti pelabelanstereotipi feminin pada perempuan pemim-pin. Hal ini biasanya sudah dapat diatasidengan pengalaman berkecimpung di kan-

cah pergerakan sosial. Bermacam-macam‘serangan’ dihadapi dengan berbagai cara ju-ga, dari yang langsung maupun tak langsung.Sebenarnya, menurut sejumlah aktivis pe-rempuan lebih tepat mengabaikan saja dantidak menghiraukan pelabelan apa pun yangmemang tidak berdasar.29

Membicarakan perempuan pemimpindan kepemimpinan perempuan, tentu tidakdapat mengabaikan faktor sosial budaya.Hal ini berkaitan dengan tujuan organisasiperempuan tersebut dalam mewujudkanperubahan sosial yang berkeadilan genderdan keadilan sosial. Mengorganisasikan diri,kelompok atau komunitas untuk mewujud-kan perubahan sosial tentu mengandunglangkah yang tatkala diambil, mempunyairesiko menimbulkan masalah baru, ataumalah pukulan balik.30 Bahkan pada tingkatkegiatan, keikutsertaan perempuan sudahdapat memunculkan tekanan dari tokohmasyarakat atau agama yang tidak bersetujudengan aktivitas perempuan di luar ranahdomestik. Apa saja tantangan yang dihadapioleh perempuan pemimpin, khususnya yangberkaitan dengan soal sosial budaya? Bagai-mana pertentangan publik-privat disikapioleh para perempuan pemimpin?

Pada kesempatan Focus Group Discus-sion (FGD)31 dengan para pemimpin organi-sasi perempuan dan narasumber lainnya diJakarta, lontaran soal mengenai tantangan

28 Catatan Focus Group Discussion Penelitian FeministLeadership Pasca Negara Otoritarian Indonesia dengankelompok binaan Perkumpulan Panca Karsa, Mataram17 Mei 2012.

29 Wawancara dengan Sitti Zamraini, Koordinator Wila-yah Lingsar Pekka NTB, Lingsar 15 Mei 2012.

30 Lihat hal. 44-45 Batliwala, Srilatha. 2010. FeministLeaderships for Social Transformation: Clearing theConceptual Cloud. For CREA (Creating Resources forEmpowerment in Action).

31 Focus Group Discussion Penelitian Feminist LeadershipPasca Negara Otoritarian Indonesia, Jakarta 9 Mei2012.

76 Afirmasi Vol. 02, Januari 2013

kepemimpinan feminis ini dimulai dengansuatu respons menarik dari peserta diskusilaki-laki:

“Menjadi perempuan pemimpin itubeban! Kultur politik kita memberikanbeban yang berat kepada perempuanpemimpin, harus berhasil, tidak bolehkeliru atau tidak hebat”.32

Pandangan tersebut terkait dengan posisiperempuan yang secara sosial tidak bolehmemiliki “cela”, karena perempuan adalahsosok ibu yang dianggap suci secara kultural.Pandangan ini kemudian justru membebanisosok perempuan ketika mereka menjadipemimpin, karena tidak boleh memiliki ce-la. Lain halnya dengan laki-laki pemimpin,yang sesuai dengan normativitas patriarkiyang memposisikannya sebagai pemimpin.Perempuan dengan demikian menjadi diba-tasi oleh belenggu “normativitas perempu-an” yang harus sempurna. Bagaimanapuncara atau pendekatan kepemimpinan laki-laki, tidak ada beban seperti yang ditimpa-kan kepada perempuan. Beban tersebut pa-da dasarnya merupakan upaya pembeban-an bagi kaum perempuan agar tidak menja-di pemimpin, dan ketika menjadi wacanayang dianggap normal, maka resistensi laki-laki terhadap pemimpin perempuan menjadidianggap wajar.

Seorang bapak yang mewakili organisasiPuan Amal Hayati menegaskan adanya ke-engganan dari kaum laki-laki dalam organi-sasi Islam terhadap kepemimpinan perem-puan. Dia mencontohkannya sebagai beri-kut:

“Kultur Nahdlatul Ulama (NU) masihsangat resisten dengan pemimpin ber-jenis kelamin perempuan, kecuali untukkalangannya sendiri sesama perempu-an”.33

Penyataan ini pada dasarnya menunjuk-kan bahwa dalam lingkungan budaya IslamNU, kaum perempuan jika hendak menjadipemimpin, hanya bisa memimpin di kalang-an kaum perempuan saja. Sehingga tidakmasuk ke ranahnya kaum laki-laki. Akibat-nya, jika perempuan itu memimpin masya-rakat di luar dari domainnya, maka harusdiberi atribut yang jauh lebih berat daripadapemimpin laki-laki. Sejalan dengan pemikir-an ini, seorang peserta FGD, perempuanyang cukup senior menambahkan:

“Memang untuk memimpin, perempu-an harus punya keberanian lebih, tidakcukup hanya berani saja”.34

Pandangan tersebut di atas menunjuk-kan adanya asumsi bahwa seorang pemim-pin selalu dipandang sebagai kepemimpinanyang sifatnya indvidual, bukan kolektif. Pa-da sisi lain, sejarah menunjukkan bahwapergerakan sosial tidak selalu membutuh-kan kepemimpinan individu yang kuat dankokoh. Cukup banyak bukti, seperti Pique-teros dan Piqueteras dari Argentina, yangdinilai sangat berhasil memimpin warga desamenuntut penutupan pertambangan, dengangaya kepemimpinan yang dispersed dan non-individualistik, hingga akhirnya menghasil-

33 Wawancara dengan A.W. Maryanto, Sekretaris JendralPuan Amal Hayati, Jakarta 9 Mei 2012.

34 Wawancara dengan Miryam S.V Nainggolan, KetuaDewan Pengurus Yayasan Pulih, Jakarta 9 Mei 2012.

32 Wahyu Susilo, Dewan Pengurus/Policy Analyst MigrantCare, FGD Jakarta, 9 Mei 2012.

Sita Aripurnami - Transformasi Gerakan dan Menguatnya Kepemimpinan Perempuan 77

kan perubahan. Di dalam konteks kepe-mimpinan feminis, Batliwala (2011)35 mene-kankan bahwa:

“Our concern is not merely with capacitatingmore women to play leadership roles, but tolead differently, with feminist values and ideol-ogy, and to advance the agenda of feminist so-cial transformation in a way that other formsof leadership do not and can not”.

Artinya, karena yang diperlukan bukansekadar perempuan yang menjalankan pe-ran sebagai pemimpin, maka tantangan yangdihadapi perempuan pemimpin tidak terba-tas pada tantangan tentang karakter per-orangan dan kapasitas personalnya saja.Tantangan justru muncul dan tumbuh dariseluruh konteks sosial budaya di mana pe-rempuan itu memimpin. Tantangan tersebutadalah mengenai cara menjalankan kepe-mimpinan dan mengelola kekuasaan yanginherent di dalamnya, untuk mengelola kepa-tuhan dan resistensi. Misalnya, tiap pemim-pim memiliki cara yang beragam dalammenghadapi dan mengolah resistensi. Ber-bagai latarbelakang perbedaan, seperti usia,jenis kelamin, sukubangsa dan pengalamanatau senioritas sangat mengkondisikan pi-lihan strateginya. Ratna Batara Munti dariJakarta, misalnya, menyatakan bahwa:

“Semakin perempuan terkungkung ha-nya pada lingkup tertentu, dan tidak ber-gaul luas menghadapi kenyataan per-saingan, sikut-sikutan dan permusuhanyang jamak terjadi pada dunia politik

praktis, semakin minim godokan penga-laman untuk menghadapi berbagai resis-tensi, dari yang main-main sampai yangcukup serius, dan yang tidak mungkindibiarkan begitu saja”.36

Oleh karenanya, aktivis perempuan ha-rus meluaskan jejaring kerjanya, hingga ketingkat birokrat dan politisi.

Kondisi yang dikemukakan Batliwalatersebut dirasakan pula oleh Fatiha, Koor-dinator ASPPUK Padang:

“ … Kondisi sekitarnya membuat tidakbisa. Kalau tegas, akan diprotes orang;kalau lunak, kita melanggar aturan lain-nya. Jadi seperti buah simalakama. Ka-lau kendala pribadi dilarang orang tuaatau suami, saya rasa tidak ada”.37

Pernyataan ini menunjukkan adanyatantangan internal dalam organisasi. Hal initelah menyebabkan ketidakpastian posisirelasi kuasa antara pimpinan dan anggotadalam berorganisasi. Kepemimpinan dalamhal ini perlu memiliki kemampuan untukmenegakkan aturan organisasi, dan dapatmengambil keputusan bagi bergeraknya ro-da organisasi. Strategi memainkan kepe-mimpinan merupakan seni memimpin, se-hingga ketegasan bukan berarti otoriteryang kemudian diprotes anggota. Hal inimerupakan tantangan bagi seorang pemim-pin perempuan. Karena seringkali “ketegas-an” dipandang sebagai hal yang kontradiktifterhadap “nilai-nilai ideal” kepemimpinanperempuan, yang mengutamakan anti-pe-

36 Wawancara dengan Ratna Bantara Munti, DirekturEksternal LBH APIK Jakarta, Jakarta 24 Mei 2012.

37 Wawancara dengan Fatiha Yendreni, KoordinatorASPPUK Padang, Padang 14 Mei 2012.

35 Lihat Hal 13, Batliwala, Srilatha. 2010. Feminist Lea-derships for Social Transformation: Clearing the Con-ceptual Cloud. For CREA (Creating Resources forEmpowerment in Action).

78 Afirmasi Vol. 02, Januari 2013

nindasan, inklusif, anti hirarki, kebersama-an, sisterhood, kolegial, dan kolektif. Di sini-lah pengalaman mengelola organisasi danhubungan antara sesama perempuan men-jadi dasar dalam kepemimpinan perempuan,yang karakternya sangat berbeda.

Dalam kepemimpinannya selama 10 ta-hun, Beauty Erawati mengungkapkan tan-tangan yang paling besar adalah ketika mem-bantu perempuan lain, yang sebelumnyaadalah korban kekerasan. Perempuan yangada di NTB menghadapi berbagai persoalan,dan yang paling khas adalah mereka menjadikorban kekerasan berdasarkan interpretasiagama Islam. Hal ini tercermin dari penaf-siran ayat di dalam kitab suci agama Islam,salah satunya menerangkan tentang diper-bolehkannya berpoligami. Penafsiran terse-but ternyata menghasilkan angka kekerasanfisik terhadap perempuan yang cukup tinggidi NTB. Selama tahun 2010 terdata seba-nyak 1023 kasus kekerasan terhadap perem-puan yang dilaporkan terjadi di NTB.38 Ke-kerasan ini terjadi ketika perempuan me-nuntut hak-hak mereka yang tidak dipenuhioleh suami yang berpoligami, maupun keti-ka perempuan menuntut cerai.

Strategi yang dilakukan oleh Beauty ada-lah dengan melakukan sejumlah pelatihan,antara lain pelatihan pembuatan peraturanyang berperspektif gender, sebagaimanayang disampaikan:

“… Melatih masyarakat buat perdes, ka-tanya tingkat masyarakat yang harus di-

berdayakan. Karena kalau orang yangtidak paham tentang pembuatan perdes,akhirnya perdesnya yang luar biasa ...justru memunculkan kekerasan terhadapperempuan. Ini sebetulnya PR besar un-tuk Lombok...”39

Menyimak pengalaman para narasumberpenelitian ini, tampak bahwa tantangan yangdihadapi pemimpin perempuan banyak ra-gamnya. Upaya mereka melakukan perbaik-an melalui bermacam kegiatan di lima wila-yah penelitian terhadang oleh tantangan darilingkup yang berbeda-beda pula. Ada tan-tangan yang sudah harus dihadapi, mulai da-ri lingkup privat, seperti tentangan dari sua-mi dan juga orang tua atas aktivitas yangdilakukannya. Hampir semua narasumberyang aktif bekerja untuk isu perempuan diMataram, Padang, Jakarta, Lampung danDeli Serdang mengalami tantangan darisuami dan keluarga. Nadanya semua sama:mengingatkan akan tugas-tugas domestikyang dipandang lebih penting ketimbangkerja organisasi atau kelompok untuk meng-atasi masalah perempuan.

“Kalau tiba giliran marahnya keluar, bisatidak diizinkan aku datang ke organisasi;dia bilang buat apa buang-buang waktu?Sudah masak belum? Anak siapa yangmenjaga?”40

Tantangan yang berasal dari luar keluar-ga, seperti dari masyarakat, juga banyak di-hadapi oleh mereka yang aktif bekerja untuk

38 Lihat hal. 8, “Teror dan Kekerasan terhadap Perempuan:Hilangnya Kendali Negara. Catatan Kekerasan terhadapPerempuan Tahun 2010. Catatan Tahunan tentangKekerasan terhadap Perempuan Tahun 2010”, KomisiNasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan, Jakarta,7 Maret 2011.

39 Wawancara dengan Beauty Erawati, Direktur LBHAPIK NTB, Mataram 16 Mei 2012.

40 Wawancara dengan Riani, Ketua Dewan EksekutifHapsari, Deli Serdang 21 Mei 2012.

Sita Aripurnami - Transformasi Gerakan dan Menguatnya Kepemimpinan Perempuan 79

masalah perempuan ini. Sebagian besar na-rasumber merasakan tantangan dalam mem-bangun kelompok atau organisasi untuk be-kerja mengatasi masalah yang dihadapikaum perempuan.

“Tantangan terberat selama memimpin?Aku mulai dari mencari, dari tidak adakader kemudian menjadi ada. Aku me-nemukan anak gadis dari rumah ke ru-mah, kemudian aku menginap di rumahmereka dan bergaul dengan keluargamereka supaya dikasih izin anaknya di-serahkan ke aku. Aku melaluinya dengansenang, dan aku akhirnya mendapat ba-nyak perempuan”.41

Tantangan yang berasal dari luar diri initidak hanya berhenti pada masyarakat ataukomunitas, melainkan juga sikap yang di-tunjukkan pengambil keputusan atau peme-rintah, seperti yang disampaikan oleh LelyZaelani:

“Dulu, sebelum era reformasi, pemerin-tah mengklasifikasikan organisasi masya-rakat menjadi dua: Yang pertama, or-ganisasi masyarakat ‘plat merah’ yangdidirikan oleh pemerintah sendiri, danyang kedua, organisasi masyarakat yangdibentuk swadaya dan organisasi masya-rakat seperti ini, yang diidentikkan olehpemerintah sebagai organisasi masyara-kat yang suka memasukkan proposal un-tuk meminta uang atau dana, dengan ca-ra memeras dan meneror pemerintah.Menghadapi hal tersebut, kami berstra-tegi dengan menjelaskan kepada peme-rintah bahwa organisasi Hapsari bukan-

lah organisasi seperti itu. Kami adalahkumpulan ibu-ibu yang ingin belajar”.42

Pada kesempatan wawancara mendalamdengan para narasumber perempuan pe-mimpin organisasi di lima wilayah, ada ma-sukan yang menarik tentang bagaimana diranah privat para perempuan pemimpin inibertindak. Secara ideal, para narasumbermempercayai bahwa seharusnya apa yangdapat mereka lakukan di ranah publik jugadapat dilakukan di ranah privat. Adapun ta-war-menawar mempraktikkan kepemim-pinan di ranah privat (keluarga) menurut pa-ra narasumber adalah dengan cara inklusi,mengajak anggota keluarga untuk mengikutiacara-acara kegiatan lembaga.

“Jika mereka menyaksikan sendiri bah-wa kegiatan kami positif, mengajak or-ang melihat ke masa depan dan tidakmembahayakan bagi orang lain, sayapercaya mereka akan berubah pandang-annya kepada kami”.43

Berbagai strategi dan upaya telah dilaku-kan oleh para narasumber untuk meresponstantangan yang dihadapi dalam praktik ke-pemimpinan. Upaya yang meliputi pende-katan personal untuk terlibat mengatasi per-soalan perempuan, inklusi untuk kebersa-maan dan menguatkan daya, dan menyebar-luasan gagasan-gagasan tentang kesetaraanperempuan. Upaya-upaya tersebut dalampraktiknya ‘habis’ digunakan untuk mengha-dapi “praktik kuasa yang tampak”, sehingganyaris tidak lagi tersisa untuk mengikis

41 Wawancara dengan Lely Zaelani, Ketua DewanPengurus Nasional Hapsari, Jakarta 28 Juni 2012.

42 Ibid.43 Wawancara dengan Agustin, Direktur Ardhanary Ins-

titute, Jakarta 22 Mei 2012.

80 Afirmasi Vol. 02, Januari 2013

praktik kuasa yang “tidak tampak dan yangtersembunyi”. Mengapa ‘habis’ terpakai?Karena pada tingkat yang tampak, para pe-mimpin perempuan lebih menghadapi tan-tangan sangat masif dan datang dari segalapenjuru arah. Dalam hal ini, pemimpin pe-rempuan aktif mencari celah untuk temu-kan strategi merespons pada ragam tantang-an, sementara agenda kuasa yang tak tam-pak dan tersembunyi nyaris tidak tertangani.Agenda kuasa yang tidak tampak dan ter-sembunyi itu bekerja dalam ranah kulturalyang simbolik, dan praktik kepemimpinanperempuan belum menunjukkan efek yangbermakna sebagai agen di ranah kulturaltersebut.

Analisis Konsep KepemimpinanPerempuan

Pada dasarnya, kepemimpinan selalu ber-kaitan dengan membangun kapasitas per-sonal dan percaya diri, serta kapasitas me-mobilisasi pihak lain. Sejauh mana sese-orang dengan kapasitas pengetahuan dankepribadiannya mampu mendorong pihaklain untuk melakukan sesuatu? Dalam halini, melakukan suatu tindakan untuk meng-atasi persoalan yang dihadapi kaum perem-puan. Seperti apa seorang pemimpin perem-puan menerjemahkan relasi kuasa dalam ke-pemimpinannya? Hal ini dapat dilihat daripengalaman pemimpin perempuan memulaipembentukan kelompok atau organisasinya,kemudian bagaimana pemimpin perempuanberupaya memelihara keberlangsungan ker-ja dan kelompok atau organisasinya. Selan-jutnya, apabila ada ketidaksepahaman atau-pun konflik, bagaimana pemimpin perem-puan meresponnya. Dan apa upaya mereka

dalam hal kaderisasi sebagai upaya untukmelanjutkan kerja menghadirkan kesetara-an dan keadilan?

Pengalaman para narasumber di limawilayah penelitian menunjukkan gambaranyang berbeda-beda. Upaya pemimpin untukmengajak perempuan lain bekerja mema-jukan kesetaraan dan keadilan di wilayah-nya terlihat ada berbagai cara. Riani dariHapsari di Deli Serdang misalnya meng-gambarkan sebagai berikut:

“Mengenai pola kepemimpinan ..., mi-salnya kita ikut membangun organisasiburuh, kita juga memasukan kader pe-rempuan untuk jadi pengurus, yang me-mang konsern pada buruh, supaya ke-pentingan perempuan ketika berurusandengan buruh perempuan terwakilijuga. Persoalan-persoalan buruh perem-puan juga muncul di situ”.44

Sementara Dina Lumbantobing dari Pe-sada mengatakan:

“Jangan pisahkan dari pengalamanmusebagai perempuan, menikah atau tidakmenikah, punya anak atau tidak punyaanak; umur bukan poinnya, walaupunsemua itu bisa dipakai untuk mendis-kriminasi. Tapi pengalamanmu sebagaiperempuan harus selalu bawa di dalamkepemimpinan. Berbagai pengalamantidak perlu malu. Orang tidak berhakmenghakimi kamu...“45

Cara pemimpin perempuan menerjemah-kan pengertian kepemimpinan, yakni ke-

44 Wawancara dengan Riani, Ketua Dewan EksekutifHapsari, Deli Serdang 21 Mei 2012.

45 Wawancara dengan Dina Lumbantobing, PendiriPesada, Medan 25 Mei 2012.

Sita Aripurnami - Transformasi Gerakan dan Menguatnya Kepemimpinan Perempuan 81

mampuan mengajak orang lain untuk mela-kukan kegiatan yang dilakukan, bisa denganmengajak individu yang terlihat memilikiperhatian terhadap permasalahan. Semen-tara pengalaman pemimpin perempuan diLampung agak berbeda. Disebutkan bahwapada waktu pembentukan awal Damar,yang baru lepas dari Yayasan Elsapa, Damarmenggunakan konsultan organisasi untukmembantu pembentukan dirinya. Hal itujuga yang dilakukan ketika Damar memu-tuskan untuk menjadi perkumpulan, akibattuntutan akan keterbukaan dan untuk lebihbanyak melibatkan orang dalam kerja-kerjatransformasi.46

Sementara di Mataram, pengambilan ke-putusan di tingkat serikat, misalnya Soli-daritas Perempuan, cukup otonom sepertipenentuan jenis-jenis program yang akandikembangkan di tingkat serikat. Namunpengambilan keputusan pada tingkat yanglebih besar, dalam hal keputusan strategisorganisasi seperti keputusan apakah pengu-rus atau anggota dapat menjadi kader poli-tik, maka harus ditentukan oleh organisasipayung. Begitu pun yang berhubungan de-ngan arah perjuangan, visi dan misi danAD/ART, harus diputuskan ditingkat or-ganisasi payung yang dihadiri oleh perwa-kilan dari masing-masing serikat.

Perencanaan adalah bagian yang terpen-ting dalam sebuah organisasi. Termasuk da-lam bagian perencanaan di sini adalah pemi-lihan isu, penetapan program organisasi, danperencanaan pendanaan kegiatan, yang ten-tunya disesuaikan dengan misi dan visiorganisasi. Ada berbagai cara yang dapat di-

lakukan untuk membuat perencanaan yangtepat, di antaranya melalui strategic planning.Melalui strategic planning inilah mekanismepengambilan keputusan dalam sebuah or-ganisasi dilakukan, baik itu untuk merumus-kan perubahan visi dan misi, isu, strukturorganisasi, program, maupun strategi or-ganisasi dalam melaksanakan kegiatannya.

Pengambilan keputusan dalam organi-sasi tentang pergantian Ketua, Pengurus,dan Anggota baru dilakukan melalui meka-nisme musyawarah nasional atau kongres,namun ada pula mekanisme pemilihan ke-tuanya ditunjuk, dan tidak ada pemilihanketua secara rutin. Hampir seluruh organi-sasi perempuan yang diwawancarai, baik ituyang berbentuk badan hukum Yayasan atauPerkumpulan, mengemukakan keinginanuntuk menjalankan mekanisme pengambil-an-keputusan organisasi secara demokratisdan terbuka.

“…Kalau Solidaritas Perempuan punyasistem di mana tiap tahun ....namanyarapat dewan nasional, para pengurus wi-layah dan pengurus tingkat nasional ber-temu untuk meresolusikan masalah pe-rempuan di tingkat lokal, nasional mau-pun global”.47

Pengalaman di Hapsari lain lagi, sepertiyang dituturkan oleh Zulja:

“Tiga bulan sekali kita rapat pleno, disitulah fungsi-fungsi pengawasan, pem-buatan kebijakan, pertanggungjawabanharian dilakukan. Ini untuk menjawab

46 Wawancara dengan Selly Fitriani, Direktur Damar,Lampung 11 Mei 2012.

47 Wawancara dengan Yuni Riawati, Solidaritas Perempu-an Mataram, Mataram 18 Mei 2012.

82 Afirmasi Vol. 02, Januari 2013

bagaimana Dewan Perwakilan Nasional(DPN) bekerja”.48

Untuk melembagakan kepemimpinanyang ada, Hapsari menyepakati aturan yangditetapkan melalui Kongres mereka, sebagaibe-rikut:

“Pengalaman kami di Hapsari, kalau jadipemimpin… biasanya kita dipilih hanyabisa dua periode berturut-turut. Hampirsemuanya begini: dalam periode perta-ma dia itu masih belajar bagaimanamenjadi pemimpin. Dalam periode ke-dua harus dipilih lagi. Kalau tidak, sa-yang, dia sudah belajar. Periode keduabarulah mulai mereka menerapkan apayang mereka tahu. Tahun ketiga jadi ti-dak bisa dipilih lagi...”49

Namun, berdasarkan pengalaman berke-giatan, Hapsari kemudian menyepakatiaturan main baru dalam hal durasi kepe-mimpinan.

“Makanya di Hapsari ini periodenya limatahun, sejak tahun 2011 DesemberKongres, sampai tahun 2016. Maksud-nya, supaya ketahuan dulu sebenarnyabisa tidak dia menjadi pemimpin. Sebabsayang sekali kalau berhenti ketika diasudah bisa menjadi pemimpin, dan ter-nyata tidak terpilih lagi. Buat kami itubelum cukup, umur tiga tahun untuk diamemimpin”.50

Mekanisme seperti yang dikemukakanHapsari ini dilakukan untuk memastikanmereka telah memilih orang yang tepat un-tuk menjadi pemimpin, karena dalam waktuselama tiga tahun, yang kemudian disepakatidiubah menjadi lima tahun, seseorang dapatdipastikan kualitas kepemimpinannya.

Hal ini tak pelak berangkat dari usulanLely sebagai pendiri dan pemimpin Hapsari,yang memiliki kepedulian untuk keberlang-sungan kepemimpinan, siapa pun nanti or-ang yang akan memegang jabatan itu.

Upaya untuk menjamin terjadinya kesi-nambungan dalam kepemimpinan sebuahorganisasi atau kelompok perempuan dapatterjadi dengan berbagai cara. Sebagaimanadi Mataram, terdapat juga alternatif meka-nisme pengambilan-keputusan, denganmenggunakan media telepon atau pesansingkat. Hal ini karena padatnya aktivitaspetugas lapangan (PL), sehingga membuatpertemuan rutin tidak bisa dihadiri oleh se-mua anggota. Di YKSSI, seperti yang di-ungkapkan oleh narasumber:

“…Tiap hari Jumat di minggu terakhirtiap bulannya, kami adakan rapat untukmembahas update kegiatan, serta sharing.Di hari itu juga honor atau gaji merekadibagikan. Namun, selain rapat bulananitu, juga kadang ada rapat-rapat yangdiadakan khusus, tergantung dari urgen-sinya. Misalnya, rapat persiapan sebelumada acara, kegiatan di luar Lombok, danlainnya. Biasanya sebulan sekali minimalada rapat, ya, rapat bulanan tersebut. Ka-lau tidak memungkinkan, biasanya kamiberkomunikasi lewat telepon atau SMS.Bisa juga saya berkoordinasi denganbendahara, dan dia yang pergi menyam-

48 Wawancara dengan Zulfa Suja, Ketua Pengawas De-wan Pengurus Nasional Hapsari, Deli Serdang 21 Mei2012.

49 Wawancara dengan Lely Zaelani, Ketua DewanPengurus Nasional Hapsari, Jakarta 28 Juni 2012.

50 loc cit.

Sita Aripurnami - Transformasi Gerakan dan Menguatnya Kepemimpinan Perempuan 83

paikan ke teman-teman Pekerja Lapang-an”.51

Dalam menjalankan kepemimpinannya,misalnya ketika harus menyelesaikan masa-lah di kelompok atau lembaga, cara yangdiambil oleh pemimpin-pemimpin perem-puan ini terlihat bermacam-macam, dan di-pengaruhi oleh bentuk organisasi yang me-reka pimpin.

Fitriyani dari Lembaga Pengkajian danPemberdayaan Masyarakat (LP2M) Padangmenuturkan:

“Kalau ada masalah di staf, diselesaikandi taraf direktur eksekutif, dan saya bia-sa membuka bersama untuk menyele-saikan masalah, karena saya juga tidakmau dzolim. Biasanya saya juga mintapendapat pengurus sebelum saya keluar-kan keputusan final. Saya juga memakaimetode konfirmasi dengan koordina-tor, dan juga staf yang bersangkutan,karena bagaimana pun, kita perlu men-dengar pendapat dia. Baru setelah diper-timbangkan, saya keluarkan keputusanyang terbaik”.52

Sementara pemimpin organisasi yangmempunyai cabang di daerah mengalami ta-rik-menarik pada aspek yang berbeda. Apa-bila terjadi konflik, maka diusahakan pe-nyelesaian dengan mencari orang setempat,dengan menghadirkan orang yang ahli dalamisu yang sedang dikerjakan. Namun padapraktiknya, akhirnya dirasakan paling efek-tif menggunakan kekuasaan pemimpin yang

didatangkan dari pusat. Dian Kartikasari da-ri Seknas KPI di Jakarta kerap merasa ‘ke-walahan’, karena sejumlah cabang selalumenginginkan kehadirannya untuk menye-lesaikan persoalan friksi atau perselisihanyang terjadi di tingkat cabang.

“Ya, aku siap saja dipanggil dan senangmemediasi, tetapi ini kan sangat borosbiaya dan menghabiskan waktu danenergi yang tidak sedikit”.53

Hal yang menarik, perempuan pemim-pin yang diandalkan oleh yang dipimpin jugamengalami ketidak-nyamanan karena mera-sa menciptakan ketergantungan. Sepertiyang dinyatakan Nani Zulminarni dari Sek-nas Pekka di Jakarta:

“Kita sendiri yang harus tegas menya-pih, seperti dahulu menyapih ASI bayikita. Jika dibiarkan terus menyusu, ya,pasti tidak akan mampu mandiri. Caramengatasinya adalah dengan memberikesempatan sekerap mungkin bagi pe-mimpin-pemimpin di tingkat lokal un-tuk tak gentar mempraktikkan. Dan kitasendiri mengurangi permintaan untuktampil di depan, membatasinya hanyapada acara-acara tertentu, dan mengam-bil peran mendukung saja dari bela-kang”.54

Apakah itu karena keterbatasan danaataupun karena bermaksud melatih keman-dirian, organisasi pusat berusaha menyapihorganisasi daerah agar berdiri sendiri tanpa

51 Wawancara dengan Latifa Bay, Direktur YKSSI Mata-ram, Mataram 15 Mei 2012.

52 Wawancara dengan Fitriyanti, Direktur LP2M, Padang14 Mei 2012.

53 Wawancara dengan Dian Kartikasari, Seknas KoalisiPerempuan Indonesia, Jakarta 30 Mei 2012.

54 Wawancara dengan Nani Zulminarni, Seknas PekkaJakarta, Jakarta 15 Mei 2012.

84 Afirmasi Vol. 02, Januari 2013

kepemimpinan langsung dari pusat. Namun,fakta di lapangan menunjukkan bahwa ke-lompok-kelompok binaan di daerah menun-tut untuk tetap dipimpin langsung dari pusat,dengan alasan karena orang pusat lebih di-dengar di daerah.

Namun, ada hal lain yang menarik da-lam rangka kemandirian. Sebagai gambaran,dalam konteks organisasi, Seknas Pekka diJakarta mensosialisasikan untuk memben-tuk Serikat Pekka agar memperoleh pelem-bagaan hukum. Sekali lagi, ini adalah upayapenyeragaman, yang tidak memperhatikanperbedaan kondisi antara kelompok-kelom-pok Pekka yang masih muda (berumur em-pat tahunan), dengan yang telah dewasa(berumur lebih dari delapan tahun). Pada-hal, ada perbedaan yang sangat mendasarantara keduanya. Pembentukan serikat ber-badan hukum ini perlu memperhatikan kon-disi setempat. Artinya, pengimplementasianserikat yang berkarakter seragam merupa-kan hal yang problematis dan berimplikasibagi masing-masing kelompok Pekka.55 Seri-kat Pekka di NTB baru terbentuk pada2009, satu tahun setelah Seknas Pekkamemberikan bantuan dana untuk pemben-tukkannya. Baru pada 2010, Serikat Pekkadi NTB memiliki center di Karang Bayan.

Paparan ini mencoba menggambarkanbagaimana pengertian tentang kepemim-pinan dimaknai dan diterjemahkan dalammemimpin kelompok atau organisasi. Halitu menunjukkan bagaimana kepemimpinandirespons oleh pihak-pihak yang dipimpin-nya.

Bentuk Kepatuhan dalam Organisasiterhadap Kepemimpinan Perempuan

Ada ragam pengalaman yang dihadapi pe-mimpin perempuan dalam menjalankan pe-rannya. Salah satunya adalah tantangan yangjustru dihadapi manakala pemimpin menco-ba mengajak anggota kelompok atau staflembaga yang dipimpinnya.

Wujudnya macam-macam. Sebagai gam-baran, ditemukan kondisi di mana anggotalebih tunduk pada pemimpin lama daripadapemimpin baru, karena pemimpin baru di-anggap oleh bawahannya belum memilikipengalaman yang luas, dan pemimpin lamadianggap lebih berkharisma atau dekat de-ngan sumberdaya. Akibatnya kinerja organi-sasi tidak efektif.

Kondisi seperti ini antara lain pernah di-alami oleh Yuni Chuzaifa, ketua KomnasPerempuan di Jakarta. Ketertundukkanatau lawan dari resistensi, sebut saja begitu,juga kerap muncul berkaitan dengan “ba-yang-bayang pemimpin sebelumnya”, yangsudah terlanjur disukai atau dikenal mum-puni. Sulit menghapus begitu saja harapankawan-kawan bahwa, “Kalau Mbak X dulubegini…”, “Kok lain, ya, tidak seperti BuY…”. Hal ini amat dirasakan oleh para ke-tua baru yang menggantikan ketua lama. Sa-ma sulitnya dengan upaya menampilkan diriapa adanya. Tarik-menarik seperti ini, menu-rut Yuni Chuzaifah, hanya dapat diselesai-kan oleh waktu, dengan memberikan bukti.Sebagai ketua baru, Yuni mencoba mempe-lajari apa yang dapat ia lanjutkan dari pe-mimpin sebelumnya, serta mengidentifikasikekuatan-kekuatan yang dapat digunakan55 Lihat hal. 53, “Executive Summary Impact Assesment Pro-

gram Pekka di Delapan Wilayah”, Women ResearchInstitute 2009.

Sita Aripurnami - Transformasi Gerakan dan Menguatnya Kepemimpinan Perempuan 85

untuk memperbaiki apa yang masih ku-rang.56

Kondisi serupa juga terlihat di Lam-pung. Meskipun staf meragukan kepemim-pinan direktur yang baru, namun karenadirektur yang baru dekat dan dipercaya olehS.N. Laila (direktur lama), staf pun digiringuntuk mengakui dan percaya akan kepe-mimpinan Sely (direktur baru). Dan akhir-nya, seluruh staf mendukung dan memberibantuan penuh pada Sely untuk dapat men-jalankan tugas-tugas kepemimpinannya.

“Mengenai sosok Laila, sudah terlanjurada penokohan. Begitu melihat Damar,ya, Damar itu Laila. Saya jujur, ada rasatidak percaya diri, tidak bisa menyamaikepemimpinan Laila. Bila di pendidikankepemimpinan, kita bisa menularkan keorang lain, tapi ternyata sulit untuk me-nerapkan ke diri sendiri”.57

Kondisi lain, sebagaimana yang terjadidi Padang,58 menunjukkan bahwa anggotatidak tunduk kepada keputusan Direkturdalam mengangkat program manager. Keti-dak-tundukan ini diwujudkan dalam bentuktidak hadir ketika diundang dalam rapat de-ngan donor. Para staf datang setalah perte-muan terjadi, dengan jalan membuat poster-poster protes dan meminta agar direktur di-ganti. Para staf akhirnya meminta DewanPembina untuk turun tangan meminta di-rektur diganti.

Kondisi tersebut menjadi bahan pembe-lajaran oleh organisasi lain di Padang, seper-ti yang dituturkan berikut:

“Pengalaman organisasi sebelumnya(LP2M), sulit membangun partisipasisecara utuh. Yang terjadi, lembaga besar,dana besar, prinsip di organisasi sangatsulit diterapkan karena banyak kepen-tingan. Poin A coba dikaburkan denganisu B. Itu sangat berpengaruh”.59

Dalam hal ketertundukan terhadap organi-sasi, Beauty Erawati,60 Direktur LBH APIKdi Mataram menceritakan pengalamannya:

“Ada staf yang seringkali terlambat da-tang kerja. Ditegur atau diingatkan, ma-lah bicara yang buruk tentang LBHAPIK di luar. Misalnya, menyebarkaninformasi bahwa keputusan di LBHAPIK selalu diambil sendiri oleh Beauty.Kalau tidak suka secara pribadi kepadasaya, kenapa LBH APIK yang jadi kor-ban? Padahal jam kerja di lembaga itumerupakan hasil kesepakatan bersama.Para staf yang lain meminta saya tegas,untuk langsung menegur dan jangandibiarkan saja ....mungkin terlalu longgarya saya?”

Kondisi ini menunjukkan bahwa ketikapimpinan memberikan kelonggaran, justrustaf memanfaatkan dan tidak menunjukkankepatuhan terhadap kesepakatan bersamadari organisasi. Ketegasan dalam hal ini di-perlukan untuk menegakkan disiplin organi-sasi yang telah disepakati.

56 Wawancara dengan Yuni Chuzaifah, Ketua KomnasPerempuan, Jakarta 14 Mei 2012.

57 Wawancara dengan Selly Fitriani, Direktur Damar,Lampung 11 Mei 2012.

58 Wawancara dengan Fitriyanti, Direktur LP2M, Padang14 Mei 2012.

59 Wawancara dengan Desi, Wakil Direktur Harmonia,Padang 15 Mei 2012.

60 Wawancara dengan Beauty Erawati, Direktur LBHAPIK NTB, Mataram 16 Mei 2012.

86 Afirmasi Vol. 02, Januari 2013

Pengalaman di Deli Serdang menunjuk-kan bahwa resistensi justru tidak terjadi.Hal ini karena adanya konsistensi pada atur-an yang disepakati, seperti yang disampai-kan berikut:

“Menurut aku, kami itu kolektifnya kuat,percaya pada kepemimpinan. Kalau diayang memimpin, apa pun kata dia, tidakboleh diperdebatkan, karena kita punyaforum rutin tiga bulan sekali. Di situ ka-lau mau berdebat”.61

Dari gambaran sekilas di atas, tampakada indikasi bahwa konsistensi setia padaaturan yang telah disepakati merupakanlangkah untuk menghindari munculnya re-sistensi dalam menjalankan kepemimpinanlembaga atau kelompok.

Nilai atau Prinsip Feminis dalamMenjalankan Kepemimpinan atauMengatasi Tantangan

Sebelum kita mendiskusikan apakah itu se-betulnya pemimpin yang feminis, ada baik-nya kita juga melihat apa sesungguhnya yangdiartikan sebagai feminis, atau seseorangyang mempercayai feminisme.

Dalam Women’s Thesaurus yang dikutipoleh Jurnal Analisis Sosial edisi 4/Novem-ber 1996, yang diterbitkan AKATIGA (ha-laman 57), disebutkan bahwa feminis, atauseseorang yang mempercayai feminisme,adalah mereka yang memiliki suatu kesa-daran akan penindasan dan pemerasan ter-hadap perempuan dalam masyarakat, di

lingkup publik dan dalam keluarga, sertatindakan atau gerakan sadar oleh perem-puan maupun laki-laki untuk mengubahkeadaan tersebut.

Dengan demikian, seorang pemimpinyang feminis adalah seorang pemimpin yangmampu mengajak anggota kelompok atauorganisasinya untuk memiliki kesadaranakan permasalahan yang dihadapi perempu-an di masyarakat, baik di tataran publikmaupun privat, dan menggerakkan merekauntuk mengubah keadaan tersebut, baik ituperempuan maupun laki-laki. Nilai-nilai ini-lah yang seyogyanya menjadi dasar seorangpemimpin yang feminis.

Dalam sebuah esai yang ditulis denganamat menarik oleh Michele Williams,62 di-katakan bahwa pemimpin dalam kontekspengertian yang tradisional hampir selalumerujuk pada pemahaman bahwa seorangpemimpin adalah seseorang yang memilikiposisi tertinggi, dan memiliki kekuasaan ter-besar dalam sebuah organisasi. Dalam kon-teks yang tradisional, kekuasaan tidak un-tuk dibagi, karena untuk berhasil maka sese-orang harus berlomba-lomba untuk menjadiseseorang yang terbaik. Sebaliknya, disebut-kan oleh Williams dalam organisasi feminis,pemimpin bekerja berdasarkan sebuah visiuntuk berbagi kekuasaan, menyediakan ke-sempatan pada semua anggota organisa-sinya untuk berkembang, dan mengem-bangkan keterampilan kepemimpinannnya.

Berbagi kekuasaan, atau melakukan se-gala sesuatu secara bersama-sama, sebagai-mana yang dilakukan di Hapsari, Deli Ser-dang:

61 Wawancara dengan Zulfa Suja, Ketua Pengawas De-wan Pengurus Nasional Hapsari, Deli Serdang 24 Mei2012.

62 “Principles for Feminist Leadership. Struggling to SharePower”, Michelle Williams, essay by DisAbled Womenin Action (DAWN) of Ontario, October 2008.

Sita Aripurnami - Transformasi Gerakan dan Menguatnya Kepemimpinan Perempuan 87

“Kalau saya pikir, tingkatan dalam artiuntuk menuju sampai cita-cita, kita harusberbagi, artinya siapa yang di partai, ca-leg, kemudian di Hapsari. ‘Kan tidak adasalah satu yang lebih tinggi, kita tetapsama. Itu yang selalu kami diskusikansama-sama. Keberhasilan dia ‘kan ke-berhasilan bersama. Makanya, kalau ke-berhasilan mereka dianggap keberha-silan individu, ya memang gagal. Orangharus ingat sejarah, bagaimana dulu awalasal-muasal sampai sekarang kita jadiseperti ini”.63

Pandangan serupa juga dilihat dan di-simpulkan, oleh para aktivis perempuanAfrika dalam pertemuan bertajuk “BuildingFeminist Leadership – Looking Back, LookingForward” yang diorganisasi oleh CREA diAfrika Selatan pada November 2008, bahwakepemimpinan feminis mengandung:

“A clear, shared decision-making process thatpools strengths of participants, and allows ev-eryone to have some power, and an atmospherethat facilitates every person’s strengths. Eachperson in an organization must have some au-thority, as well as tools, information, responsi-bility and accountability.” (Batliwala, 2011,p.49)

Selain itu, sikap akomodatif, responsifdan sensitif terhadap permasalahan perem-puan juga merupakan hal yang membedakanapakah seseorang atau suatu organisasi me-nerapkan kepemimpinan feminis atau tidak.

“Apa yang membuat berbeda dengankepemimpinan feminis dengan yang

tidak? Problem isu menjadi penting, ka-rena bagi sebagian orang, ada beberapaisu yang penting, dan menurut sebagianlainnya, tidak. Misalnya, Posyandu, ataumisalnya juga, di pasar tidak ada ruangmenyusui menjadi masalah, padahal sejakdulu perempuan juga banyak di pasartersebut”.64

Lebih jauh, secara prinsip, kepemimpin-an feminis harus memberi ruang pada se-mua generasi, memeluk keberagaman danmengutamakan inklusi, ketimbang eksklusi.(ibid, p.50). Dengan demikian, semua anggo-ta organisasi dimudahkan untuk memahamiperannya masing-masing di dalam strukturorganisasi, dan mampu terlibat pada peng-ambilan keputusan tertentu. Semua anggo-ta organisasi dalam kepemimpinan feminisharus memiliki pengetahuan yang utuh me-ngenai agenda dan aturan main organisasi,mampu memilih cara bekerjanya yang ter-baik untuk organisasi.

Dengan perkataan lain, prinsip dan nilaikepemimpinan yang dipegang tidak berjen-jang, atau anti-hirarki, kolektif, menjunjungtinggi rasa persaudaraan, tidak melakukantindakan kekerasan dan berpegang pada eti-ka merawat serta melayani satu sama lain.Sebagaimana yang dinyatakan oleh seorangaktivis perempuan dari Padang:

“Ya, ada nilai yang coba kita legalkandan catatkan, terutama anti-korupsi danketerbukaan, dan anti-kekerasan. Jaditidak boleh dalam rapat kami bertolakpinggang, kasar, dan keras. Caranya, de-ngan membangun sistem yang baik danjelas, ditambah lagi itu semua sudah ter-

63 Wawancara dengan Zulfa Suja, Ketua Pengawas De-wan Pengurus Nasional Hapsari, Deli Serdang 24 Mei2012.

64 Muhammad Firdaus, Deputi Direktur ASPPUK Jakar-ta, FGD Jakarta, 29 Oktober 2012.

88 Afirmasi Vol. 02, Januari 2013

kolektivitas juga dibutuhkan, terutamadi tingkat desa, karena mereka belumpercaya diri menjadi anggota, dan ber-bicara ketua adalah sosok yang ideal. Ja-di kesimpulannya, kalau anti-hirarki inibelum tepat karena dengan ada strukturdan hirarki, jadi lebih jelas untuk kita da-lam pembagian tugas kerja dan tang-gungjawab untuk melaksanakan man-dat”.67

Selain persoalan dalam pengelolaan or-ganisasi, tantangan bagi kepemimpinan fe-minis berkaitan dengan masalah perbedaantingkat pengetahuan anggota, atau mitrakerja pada isu garapan organisasi. Tantang-annya adalah kejituan untuk mengidentifi-kasi semua potensi yang dapat ditumbuh-kembangkan, dan kemudian menyusun ben-tuk dan metode peningkatan kapasitas yangjuga beragam. Ini dapat mengakomodasi ke-beragaman secara optimal. Untuk mengha-dapi tantangan ini, menurut Ratna BataraMunti:

“Individu atau pun kelompok, pemim-pin harus bersikap melayani bagi yangdipimpinnya, yakni melayani denganmemberikan apa yang menjadi expertise-nya”.68

Strategi mengatasi yang dianggap cukupberhasil di antaranya mendiversifikasikansasaran, metode dan pelaksanaan pelatihanatau metode peningkatan kapasitas lainnya.Dan setelah dicobakan dan dievaluasi kele-bihan dan kekurangannya, program pening-katan kapasitas ini diwujudkan dalam kebi-

tulis di SOP, sehingga nilai itu tetap ada,dan kami tidak boleh main-main”.65

Demikian pula yang disebutkan olehBaiq Halwati dari Mataram:

“Panca Karsa menganut sistem keke-luargaan. Bila ada konflik, kita komuni-kasikan secara kekeluargaan, secara ber-sama-sama. Seperti di keuangan, kita sa-tu pintu. Bagi teman-teman yang kebe-tulan terakomodasi di dalam program,pengelolaannya pun satu pintu. Ketikatidak terakomodasi dalam program, se-lalu kita komunikasikan. Selain itu jugaada kesepakatan yang sudah kita bangunbersama dengan menyepakati SOP”.66

Berdasarkan hasil FGD yang berlang-sung di kantor WRI pada 29 Oktober 2012,yang mengundang perwakilan lima wilayahpenelitian, konsep hirarki tetap diperlukandalam struktur suatu organisasi. Hal ini ti-dak lain berfungsi untuk urusan administra-tif dan pertanggungjawaban seorang ang-gota terhadap organisasi. Seperti yang diung-kapkan berikut ini:

“Ciri tentang anti-hirarki, karena kalaubicara lagi tentang bentuk struktur diHapsari, hirarki sangat dibutuhkan dalamkonsep kepemimpinan, karen hirarki…sesuatu yang tidak dapat kita pisahkandari struktur Hapsari yang federasi. Me-nurut Hapsari, struktur dan hirarki itupenting dalam sebuah organisasi karenaakan dibutuhkan dalam pengambilan-keputusan. Kemudian, kaitannya dengan

65 Wawancara dengan Fitriyanti, Direktur LP2M, Padang14 Mei 2012.

66 Wawancara dengan Baiq Halwati, Direktur Perkum-pulan Panca Karsa, Mataram 17 Mei 2012.

67 Rusmawati, Ketua Pengawas Dewan Pengurus Nasio-nal Hapsari, FGD Jakarta, 29 Oktober 2012.

68 Wawancara dengan Ratna Batara Munti, DirekturEksternal LBH APIK Jakarta, Jakarta 24 Mei 2012.

Sita Aripurnami - Transformasi Gerakan dan Menguatnya Kepemimpinan Perempuan 89

jakan organisasi. Budhis dari Kapal Perem-puan menjelaskan:

“Kepemimpinan adalah suatu prosesyang on-going. Jadi perancangan, atau de-sain pembentukannya, juga harus meng-ikuti perubahan, tidak bisa itu-itu saja.Hanya, tidak ada resep untuk itu. Jadimemang harus learning by doing”.69

Agar dapat dirasakan manfaatnya olehsemua, maka lessons learned (pembelajaran)yang diperoleh dari “learning by doing” perludilembagakan dalam bentuk regulasi prose-dur pelaksanaan, yang distandarisasikanbersama dan berlaku bagi semua (atau SOP:Standard Operational Procedures). SOP jugamencerminkan bagaimana prinsip-prinsippengambilan keputusan diberlakukan, dandilakukan untuk keperluan apa saja. DariSOP juga dapat diketahui kewenangan tiap-tiap posisi dalam struktur dan corak relasikerja yang dibangun di lembaga. Inilah yangdimaksud dengan strategi membuat aturanmain bersama.

Untuk aturan main yang disepakati ber-sama, Fitriyanti dari Padang menyatakan se-bagai berikut:

“Dalam SOP, diatur bahwa rekrutmenharus terbuka, dan kami berprinsip disini tidak boleh yang berhubungan se-darah, karena akan menimbulkan conflictof interest. Biasanya, kami OR melaluiwebsite dan mailing list melalui Konsor-sium.Kriteria disesuaikan dengan kebu-tuhan”.70

Selain menyusun aturan main bersamasecara tertulis sebagai salah satu acuan lem-baga, perempuan pemimpin perlu membu-dayakan kebiasaan refleksi dan melihatkembali jalan tempuhan yang telah diambil.Apakah kiranya pilihan mekanisme yangtelah dijalankan sudah mengakomodasi as-pirasi orang per orang, kelompok dan seka-ligus menjawab kebutuhan institusi? Hal iniditegaskan oleh Kodar dari Pekka:

“Mekanisme kerja lembaga, SOP danaturan-aturan lain yang telah dibuat ber-sama-sama dan melibatkan semua itu,harus dibarengi dengan upaya melem-bagakannya, supaya dapat menjadi bu-daya lembaga. Salah satu upaya kamiadalah mengerapkan kebiasaan refleksi,di mana tiap orang berkesempatan me-lihat kembali yang sudah sebagai bekaluntuk melanjutkan nanti”.71

Hal senada juga disampaikan oleh Rianidari Hapsari di Deli Serdang:

“Tidak pernah terjadi konflik. Kalaupunterjadi, kita rembukkan bareng. Misalnyakita mau mengadakan pendidikan, dananggarannya tidak mencukupi sekianorang; Jadi bagaimana anggaran itu di-kelola, misalnya dari Labuanbatu me-reka memperoleh funding dari Hivosdan European Union (EU), siapa yangbisa swadaya, supaya yang lain juga bisaikut? Jadi Labuanbatu, Sistem Perenca-naan Pembangunan Nasional (SPPN),itu mereka selalu kita mintakan swadayakarena mereka punya program yang su-dah ada uangnya. Kalau Serikat PetaniIndonesia (SPI) itu ada, tapi masih sedikit69 Wawancara dengan Budhis Utami, Wakil Ketua Badan

Eksekutif Bidang Internal Institut KAPAL Perem-puan, Jakarta, Jakarta 14 Mei 2012.

70 Wawancara dengan Fitriyanti, Direktur LP2M, Padang14 Mei 2012.

71 Wawancara dengan Kodar, Seknas Pekka Jakarta,Jakarta 15 Mei 2012.

90 Afirmasi Vol. 02, Januari 2013

dibandingkan SPI Labuanbatu danSPPN”.72

Pemahaman terhadap prinsip dan nilaiyang bertujuan untuk mengajak orang lainmaju secara bersama-sama adalah dasar uta-ma dalam memimpin organisasi perempuanuntuk mengatasi tantangan. Seperti yang di-katakan oleh Masnim, ketua Kopwan Ja-ringan Perempuan Usaha Kecil (JarPUK)Rindang di Mataram, bahwa ajakan berga-bung untuk bersama-sama menjadi anggotakoperasi akan mendukung para perempuanmemiliki sumberdaya uang untuk kebutuh-an mereka, berikut ini:

“Masalah-masalah yang dihadapi, con-tohnya pembayaran pinjaman yang ma-cet, anggota yang keluar. Cara menyia-satinya dengan adanya PL tersebut de-ngan cara memberikan pemahaman jikakeluar menjadi anggota, otomatis tidakmendapatkan manfaat dan layanan darikoperasi. Di samping itu, kami jugamengajarkan mereka untuk menabung.Karena di Lombok Tengah, budayamenabung susah diterapkan. Harapankami, dengan bergabung menjadi ang-gota koperasi, mereka terbiasa untukmenyisihkan uangnya untuk ditabungmenjadi simpanan sukarela yang bisadiambil kapan pun mereka butuh”.73

Pendapat serupa juga diungkapkan olehYefri dari WCC Nurani Perempuan, dalamFGD 29 Oktober 2012:

“Tidak harus menjadi anggota DPR RI,baru menjadi pemimpin, tetapi diamampu mendorong seseorang bertang-gung jawab terhadap masyarakat yangada di dekatnya”.74

Selain rasa kebersamaan, atau melaku-kan kegiatan secara kolektif, terdapat nilaiyang unik tertampil pada pengelolaan se-buah organisasi perempuan, yaitu pemimpinorganisasi memiliki nilai persaudaraan pe-rempuan, atau sisterhood. Pada Gerakan Pe-rempuan Lampung (GPL) maupun Damardi Lampung, prinsip atau nilai ini diterje-mahkan dalam kehidupan keseharian pe-mimpin dengan mengupayakan jalan untukmengatasi kesulitan yang dihadapi melaluidiskusi dan proses sharing.

Hal senada juga dikemukakan oleh SittiZamraini, Koordinator Pekka di Lingsar,NTB:

“Melalui pelatihan yang dilakukan Seknasmengenai analisa gender, saya menjaditahu bagaimana melakukan identifikasimasalah yang dihadapi ibu-ibu, dan ber-sama-sama membuat program yang da-pat memenuhi kebutuhan ibu-ibu, se-perti membantu para ibu memahamihak-haknya dalam perkawinan dan per-ceraian”.75

Bagi kelompok atau organisasi perempu-an ini, nilai anti terhadap kekerasan ada-lah nilai yang dipandang penting untukdimiliki seorang pemimpin. Seperti yang di-kemukakan berikut:

72 Wawancara dengan Riani, Ketua Dewan EksekutifHapsari, Deli Serdang, 21 Mei 2012.

73 Wawancara dengan Masnim, Ketua Kopwan JarpukRindang, Mataram 18 Mei 2012.

74 Yefri Heriani, WCC Nurani Perempuan, FGD Jakarta,29 Oktober 2012.

75 Wawancara dengan Sitti Zamraini, Koordinator Wila-yah Lingsar Pekka NTB, Mataram 15 Mei 2012.

Sita Aripurnami - Transformasi Gerakan dan Menguatnya Kepemimpinan Perempuan 91

“Sebenarnya kita mencoba untuk meng-komunikasikan dengan sesama perem-puan, ya, artinya ‘kan namanya kita adaetika, ketika berhadapan dengan rumahtangga orang lain, paling tidak kita cobangobrol dengan istri mereka. Kalau....ada persoalan-persoalan yang terjadi, kitaharapkan mereka sendiri yang bisa meng-komunikasikan dengan pasangannya,misalnya, seperti ada tetangga saya yangmendapatkan kekerasan dari suaminya,kita coba untuk komunikasi apa per-soalannya. Dalam kasus ini, mertuanyaterlalu sering datang ke Lombok, pada-hal semua beban biaya harus di tang-gung suaminya. Jangan sampai ada kasusKDRT karena kedatangan orang tua.Hal seperti ini menjadi masukan ke te-tangga, termasuk juga menjadi masukanpada pengajian, dengan menyisipkan be-berapa isu-isu yang berpihak pada pe-rempuan…..”76

Sebagaimana yang disampaikan oleh sa-lah satu pegiat Jaringan Perempuan Pesisir(JPrP) yang merupakan penyintas kekeras-an. Ia merasakan bisa lepas dari rantai ke-kerasan karena terlibat dalam organisasi.Sebelum berkenalan dengan JPrP, Yati ba-nyak mendapat kekerasan fisik dari suami-nya yang nelayan. Namun, seiring banyakbertemu dan terlibat dalam diskusi dan per-temuan di JPrP, ia mulai menyadari bahwahal tersebut tidak benar dan tidak semes-tinya terjadi. Ia mulai mengajak berbicarasuaminya dan mengajak terlibat dalam ke-giatannya.

“Baik saya, maupun suami, seringmengobrol dan berkomunikasi dengan

Heri. Sepertinya dari Heri itulah, suamisaya mulai sadar dan tidak memukulisaya lagi”.77

Nilai ethic of care juga merupakan isianfeminisme yang harus diuji dalam praktikkepemimpinan. Menurut Mariana dari JurnalPerempuan, proses menjadi feminis pada ak-tivis perempuan salah satunya adalah me-numbuh-suburkankan ethic of care dalam se-luruh aksi perjuangannya, seperti yang ia se-butkan berikut:

“Tidak semua perempuan menjadi fe-minis. Karena menjadi feminis itu ber-proses, cukup sulit dan panjang. Jatuh-bangun, naik-turun, dan tentu perludukungan dari sesama feminis lainnya,agar bisa saling menjaga, saling melin-dungi”.78

Selanjutnya Mariana mengatakan bahwasecara harafiah, ethic of care adalah dasar un-tuk bersikap tidak menghakimi dalam relasikerja antar perempuan. Saling berdebat,bahkan marah-marah pun hal yang biasa,tetapi ethic of care di dalam persaudaraan sis-terhood akan menjaga kita dari menghakimiatau menjelekkan kawan seperjuangan. De-ngan tradisi diskusi, nilai saling “care” inimelatih kita semua untuk mampu berpikirjernih dan juga memaafkan.

Ethic of Care memang harus diembandan diterapkan juga di antara para pemimpinkolektif, agar yang muncul dari mereka se-

77 Nur Hayati, Pegiat Jaringan Perempuan Pesisir (JPrP),Lampung, 14 Mei 2012. (Heri yang diceritakan meru-pakan salah satu pegiat UPC yang mengorganisasi lahir-nya JPrP).

78 Wawancara dengan Mariana Amirudin, Direktur JurnalPerempuan, Jakarta 2 Juli 2012.

76 Wawancara dengan Baiq Halwati, Direktur Perkum-pulan Panca Karsa, Mataram 17 Mei 2012.

92 Afirmasi Vol. 02, Januari 2013

mua menjadi daya sinergis dan bukan kom-petitif. Desti dari Komnas Perempuan me-negaskan bahwa, intensitas bertemu dan sha-ring bisa menjadi sarana untuk membangunkesinambungan dan sinergitas diantara parapemimpin itu. Sebagaimana yang dinyatakanoleh Desti:

“Kami bertiga saja —dengan Yuni danMasruchah—perlu waktu lebih dari tigabulan untuk menemukan cara berkomu-nikasi yang nyaman, dalam mana ma-sing-masing merasakan saling mengisidan melengkapi, dan bukan malah salingbersaingan. Dengan Komisioner lain-nya, malah setelah hampir dua tahun ini.Kolektif leadership itu membutuhkanwaktu”.79

Pernyataan Masnim mengandung pe-ngertian yang serupa. Ia menyebutkan:

“Selain itu juga, pemimpin tidak “meng-kotak-kotakkan” bawahannya, Misalnyatidak membedakan satu dengan yanglain. Mungkin itu yang membuat sayabertahan, karena saya tidak membe-dakan jika ada teman anggota yang me-miliki masalah. Saya mencoba memberi-kan solusi terhadapnya. Pemimpin jugaharus bisa berempati terhadap kondisilingkungan dan bawahannya”.80

Ethic of care adalah prinsip yang men-dasari kerja untuk peduli pada sesama. Me-lalui rasa kepedulian ini, seseorang akanmampu memimpin dan tidak menggunakankekuasaannya untuk membungkam upaya

seseorang menyuarakan pengalamannya.Hapsari di Deli Serdang merupakan gambar-an yang menarik, seperti yang dikemukakanoleh Asriyani:

“Ya, keberagaman karena Hapsari tidakhanya satu organisasi dan anggotanyadari berbagai suku. Jadi hubungan emo-sional itu yang selalu kita bangun, karenaitu jadi sumber kekuatan untuk kita ber-sama-sama melakukan kerja, tidak hanyasebatas program. Jadi, ada wilayah sen-diri selain kita bicara program, tetapi bi-cara mengenai individu”.81

Petikan pendapat dari para narasumberyang dikemukakan menunjukkan bahwa se-mua narasumber di lima wilayah penelitianyang berbeda mempercayai nilai-nilai yangserupa dalam memimpin kelompok atauorganisasinya.

Semua narasumber percaya bahwa un-tuk membantu anggota kelompok atau staf-nya, maka mereka perlu berlaku secara seta-ra dan tidak ada jenjang atau hirarki (anti-hirarki) dalam artian yang sesungguhnya,yaitu dijalankan secara demokratis, meng-hargai satu sama lain dengan mengedepan-kan sikap kekeluargaan antar-perempuan(sisterhood), tidak mempercayai bahwa keke-rasan adalah cara untuk mengatasi persoalan(anti-kekerasan), dan menjunjung etika ke-pedulian di mana mereka sebagai pemimpinakan menghargai perbedaan dan menghin-dari sikap-sikap menghakimi satu sama lain.

Dengan demikian, pemimpin yang me-ngemban nilai-nilai seperti inilah yang dapatmembantu perempuan lain keluar dari masa-

79 Wawancara dengan Desti Murdiana, Wakil Ketua/Sekjen Komnas Perempuan, Jakarta 21 Mei 2012.

80 Wawancara dengan Masnim, Ketua Kopwan JarPUKRindang, Mataram 18 Mei 2012.

81 Wawancara dengan Asriyani, Bendahara Dewan Pengu-rus Nasional Hapsari, Deli Serdang 21 Mei 2012.

Sita Aripurnami - Transformasi Gerakan dan Menguatnya Kepemimpinan Perempuan 93

lahnya, seperti yang telah dilakukan olehsaudara-saudara perempuan kita melaluikegiatan-kegiatannya di lima wilayah pe-nelitian tersebut.

Praktik Kepemimpinan dalamKehidupan Pribadi dan Sosial

Nira Yuval-Davis, dalam bukunya Genderand Nation (1997), menegaskan tentang ada-nya dikotomi peran antara laki-laki dan pe-rempuan. Perempuan ditempatkan dalamfungsi-fungsi reproduksi, yang notabene adadi wilayah domestik, sedangkan laki-lakilebih banyak berperan di ranah publik. Pe-nindasan terhadap perempuan berhubunganerat dengan adanya perbedaan lingkungansosial perempuan dari laki-laki, di mana pe-nempatan perempuan di wilayah privat ataudomestik menjadikannya tidak diperhitung-kan dalam sejarah. Implikasi lebih lanjutadalah perempuan dibedakan dengan laki-laki dalam peraturan negara, dan seringkalihal itu dikonstruksikan sebagai ketergan-tungan kepada laki-laki dan suami (Yuval-Davis, 1997).

Yuval-Davis melanjutkan argumentasi-nya bahwa, pada umumnya, perempuanteropresi dalam hubungan sosial. Hal ini di-pengaruhi oleh faktor distribusi kekuasaandan sumberdaya material dalam masyarakatyang tidak merata. Pengambilan-keputusanpenting dilakukan laki-laki sesuai denganperannya di lingkup publik, yaitu ‘penguasadan pejuang’, sementara perempuan lebihcocok sebagai pembantu penguasa tersebut.Agaknya pendapat ini mewakili realitas yangkerap dihadapi perempuan di dalam masya-rakat Indonesia.

Sebagaimana yang dialami oleh Isnainidari Yayasan Totalitas Padang:

“Saya pernah ditegur oleh ayah, karenaayah ditegur orang kelurahan karena sayapulang jam 11 malam. Akhirnya ayahmenegur saya karena tidak enak terha-dap omongan tetangga. Tapi ayah akhir-nya bilang, kalau sudah kemalaman lebihbaik menginap saja di wilayah mitra, be-sok baru pulang. Daripada pulang ma-lam. Tapi aku tetap pulang malam, dansekarang tidak pernah ada teguran lagi.Aku juga tidak menganggap itu sebagaimasalah...”82

Pandangan yang terbagi antara apa yangbisa dilakukan oleh perempuan dan laki-lakimewarnai cara kita dalam melihat apa yangperlu dilakukan oleh perempuan dan laki-laki. Isnaini menunjukkan bagaimana pem-bagian peran terjadi dalam keluarganya:

“Di keluarga, saya anak kedua dari tigabersaudara, dan perempuan satu-satu-nya. Biasanya, kalau pengambilan kepu-tusan penting dan berhubungan denganpihak luar, itu biasanya ayah. Ibu biasa-nya urusan rumah. Kalau urus surat-suratitu ayah. Ayah eksternal, ibu internal. Initidak dianggap masalah, karena merekasama-sama menginginkan itu. Ibuku ju-ga suka-nya urus masalah internal saja,dan menurut aku, selama tidak ada pak-saan, tidak masalah. Untuk keputusananak-anak, biasanya mereka juga berdis-kusi. Hanya untuk masalah eksternal,ayah biasanya langsung saja, karena ibukujuga menyerahkan kepada ayah”.83

82 Wawancara dengan Isnaini, Direktur Yayasan Totalitas,Padang 15 Mei 2012.

83 Ibid.

94 Afirmasi Vol. 02, Januari 2013

Sementara Fatiha menyebutkan bahwadirinya dapat melakukan kegiatan di luarrumah bahkan sampai di desa lain. Fatihatelah berhasil turut serta dalam kegiatan so-sial dengan mendirikan beberapa koperasidi tempat lain, seperti yang dituturkannya:

“Saya terlibat aktif dengan koperasi ber-basis syariah di lingkungan kelurahan sa-ya. Saya juga terlibat pendirian koperasisyariah di kelurahan lain”.84

Usaha yang dilakukan Fatiha tersebutbukan berarti tidak mendapat tantangan darimasyarakat. Seperti yang telah diungkapkansebelumnya, bahwa budaya patriarki yangada di masyarakat luas membuat para pe-rempuan organisasi sulit untuk melaksana-kan program mereka. Dalam konteks kepe-mimpinan feminis, organisasi perempuantidak terang-terangan mengatakan istilah-istilah feminisme dalam menjalankan pro-gramnya.

“Kalau saya mengamati di lapangan,orang alergi pada istilah feminis, dan se-cara tidak sadar. Padahal mereka sudahmenjadi bagian dari hal tersebut. Di ting-kat lokal, lebih memakai aktivis perem-puan atau aktivis gender. Kalau saya sen-diri lebih suka dibilang memperjuangkankeadilan dan kesetaraan, agar tidak me-nimbulkan resistensi”.85

Kebiasaan berorganisasi dan berkumpuldengan sesama perempuan juga menumbuh-kan kemampuan lain dalam diri perempuan,

di antaranya kemampuan untuk mengutara-kan pendapat.

“Awalnya tidak percaya diri, tapi sayaselalu ingin tahu. Saya selalu menceritakanapa yang saya dapat dari pelatihan. Disitu suami saya memuji, kok sekarangbisa ngomong? Sekarang ini suami su-dah membebaskan saya”.86

Sementara di Teater Satu, Lampung, di-nyatakan oleh Imas, bahwa kesetaraan diorganisasi juga dia rasakan di lingkup ke-luarga. Bagi Imas, yang mengajarkan keseta-raan adalah suaminya, Iswadi. Iswadi pernahmengatakan bahwa kerja domestik, kerjarumah tangga, bukanlah kerja perempuan.Suaminya selalu mencontohkan dirinya sen-diri dalam melakukan kerja rumah tangga.

“Is (suaminya-red) lebih feminis, mung-kin. Anak saya lebih dekat dengan dia,bahkan dia yang lebih jago masak. Sayabanyak mengurus manajemen teater, se-hingga urusan rumah tangga justru ba-nyak ditangani dia”.87

Di Deli Serdang, upaya Hapsari menga-jak kaum perempuan berperan dalam masya-rakat sangat kuat. Bahkan, tidak jarang me-reka dianggap membawa pengaruh kurangbaik, karena membawa istri atau anak pe-rempuan untuk melakukan aktivitas di luarrumah. Apabila suami atau seorang ayahmemberi izin untuk beraktivitas, itu sudahbaik sekali, seperti yang disampaikan Lely:

84 Wawancara dengan Fatiha Yendreni, KoordinatorASPPUK Padang, Padang 14 Mei 2012.

85 Fitriyanti, Direktur LP2M Padang, FGD Jakarta, 29Oktober 2012.

86 Wawancara dengan Murni, Sekretaris Serikat Perempu-an Lampung Selatan, Lampung 14 Mei 2012.

87 Wawancara dengan Imas Sobariah, Pendiri Teater Satu,Lampung 13 Mei 2012.

Sita Aripurnami - Transformasi Gerakan dan Menguatnya Kepemimpinan Perempuan 95

“Buat kami, suami bisa kasih izin adalahprestasi. Meskipun kami tetap melaku-kan kewajiban kami sebagai istri, tetapipara suami sudah paham dan banggaapa yang telah kami kerjakan. Setiap ben-turan yang ada belum pernah kami me-nyerah. Bagi kami, suatu keberhasilan ji-ka kader kami sudah mampu memintaizin untuk ke luar dan berorganisasi, danmemperoleh restu dari keluarga merekasendiri”.88

Bagi anggota masyarakat pun keberada-an Hapsari dirasakan manfaatnya:

“Di masyarakat atau di lingkup desa, da-lam rapat-rapat desa, kami dilibatkan.Tapi tidak hanya kami, anggota-anggotajuga ikut Musrenbang. Misalnya ada ke-bijakan dari atas yang dibuat oleh Pe-merintah desa, kami bisa melakukanpengkritisan. Jadi kesadaran lebih kritisitu telah terbangun. Kami bisa meng-kritisi soal raskin, Jampersal, Jamkesda,Jamkesmas. Lalu perubahan terjadi. Sayaselain dilibatkan dalam Musrenbang, danrapat-rapat di desa juga di kecamatandan di kabupaten. Serikat-serikat anggo-ta juga dilibatkan”.89

Pengaruh kegiatan kelompok tampak-nya membawa dampak positif bagi kemam-puan perempuan untuk berperan di lingkuppublik atau kegiatan sosial, seperti yang di-kemukakan anggota kelompok dampinganPerkumpulan Panca Karsa berikut ini:

“Saya bergabung dengan Panca Karsamulai 2005. Kemudian menjadi CO

(Community Organizer)... kegiatansehari-hari sebelum bergabung di PancaKarsa, saya di kantor desa satu-satunyayang perempuan.Ketika dilantik, dari102 laki-laki yang dilatih saya sendiriyang perempuan di Kecamatan La-buanbatu. Jadi sudah terbiasa di masya-rakat desa saya. Di Desa Mirob, palingujung perbatasan….dari hampir 80 per-sen dulunya memang laki-laki. Kalauseandainya perempuan muncul, diang-gap awam. Sekarang udah ada perubah-an: perempuan maupun laki-laki sa-ma”.90

Pada beberapa wilayah, agaknya pemba-gian kerja publik dan privat sudah tidakmenjadi persoalan. Anggota kelompok su-dah lebih mampu bernegosiasi dengan pa-sangannya apabila kegiatan kelompok atauorganisasi membutuhkan partisipasi mere-ka. Seperti yang disampaikan Masnim:

“Saya sudah 12 tahun sama suami.. tapiAllah belum kasih saya kepercayaanuntuk punya anak dari rahimku sendiri.Anak-anak yang sekarang ada di rumah,saya angkat anak dari orangtua nya yangtidak mampu merawatnya... Suami sayaselalu berpikir, selama pekerjaan masihbisa dikerjakan, ya, harus dikerjakan,walaupun pekerjaan rumah yang harus-nya adalah kewajiban istri, atau perem-puan. Anak saya lebih lengket pada ba-paknya, karena saya sering ada kegiatandi luar... Malah saya terpaksa harus me-ninggalkan dia ketika berusia satu bulan,masih merah betul, karena ada pertemu-an koperasi di Jatinangor”.91

88 Wawancara dengan Lely Zaelani, Ketua Dewan Pengu-rus Nasional Hapsari, Jakarta 28 Juni 2012.

89 Wawancara dengan Zulfa Suja, Anggota DewanPengurus Nasional Hapsari, Deli Serdang 24 Mei 2012.

90 Peserta Kelompok Panca Karsa, FGD Mataram, 17Mei 2012.

91 Wawancara dengan Masnim, Ketua Kopwan JarPUKRindang, Mataram 18 Mei 2012.

96 Afirmasi Vol. 02, Januari 2013

Nada yang serupa juga disampaikan olehSitti Zamraini:

“Iya, kata bapak saya, perempuan harusjadi sarjana semua, justru perempuan ha-rus dikuatkan. Apabila terjadi percerai-an, tidak harus pulang ke rumah orangtua, tapi tetap survive. Mungkin penga-laman bapak. Bapak tidak mau anak pe-rempuan jadi lemah”.92

Meskipun sudah ada yang mampu mela-kukan negosiasi dengan keluarganya untukberaktivitas di luar rumah, namun pada ting-kat lokal masih ditemukan adanya dikotomitersebut, seperti yang ditengarai oleh DianKartika:

“Kalau aku enggak, karena aku punyaotoritas. Yang menentukan ada konflikatau tidak itu aku, baik dalam keluargakumaupun keluarga besar. Karena adasupport system dan juga tidak ada yangmem-bagi kewenangan, karena aku singleparent. Dalam kenyataannya, walaupundi ruang publik berjuang, namun dalamkehidupan privat sebagai istri tetap harusmeminta izin pada suami, terutama ditingkat lokal”.93

Dikotomi publik dan privat ini tampak-nya sekali pun sudah mulai dikikis melaluicontoh-contoh kepemimpinan dari kelom-pok dan organisasi perempuan di ke limawilayah penelitian, masih saja tetap hadirdalam realitas kehidupan perempuan.

Sekalipun demikian, patutlah dicatatbahwa upaya atau tindakan resistensi yang

dikedepankan adalah langkah-langkah kecilmenuju upaya menghadirkan kemampuanperempuan untuk mengatasi persoalan sesu-ai dengan harapannya yang terbaik menge-nai kehidupannya.

Pengaruh Kepemimpinan pada Posisidan Peran Perempuan Secara Politik

Partisipasi mengisyaratkan keterlibatan da-lam bentuk sumbangan pemikiran maupuntindakan, baik itu secara langsung maupuntidak langsung, untuk mencapai tujuan ter-tentu. Adapun posisi dan peran perempuansecara politik adalah peran aktif melakukansesuatu dalam kaitannya dengan kewajibansebagai warga anggota suatu masyarakat.Dalam konteks penelitian WRI, pengertianpolitik tidak hanya dibatasi pada pengertianpolitik formal (dalam tata pemerintahan) te-tapi politik dalam artian yang luas, di manaperempuan sebagai personal memiliki pe-ranan dan bargaining power dalam pengambil-an keputusan di berbagai ruang kehidupan-nya sebagai pribadi dan warga negara. Nyatabetul bahwa the personal is political.

Keberadaan organisasi-organisasi pe-rempuan memiliki andil dalam menyebar-kan nilai-nilai kesetaraan dan keadilan, yangselama ini terbentur oleh interpretasi ajaranagama (Islam) dan budaya, seperti misalnyadi Mataram. Keterlibatan perempuan dalamorganisasi perempuan merupakan loncatandari kungkungan tradisi dan agama. Ini arti-nya, pengenalan terhadap bentuk kepemim-pinan feminis juga merupakan upaya pembe-basan dari tataran nyata bentuk “kuasa yangtampak” (visible power), namun bukan berartimereka terbebaskan dari berbagai pengham-bat psikologis (psychological baggage) yang me-

92 Wawancara dengan Sitti Zamraini, Pekka NTB, Mata-ram 15 Mei 2012.

93 Wawancara dengan Dian Kartikasari, Seknas KoalisiPerempuan Indonesia, Jakarta 30 Mei 2012.

Sita Aripurnami - Transformasi Gerakan dan Menguatnya Kepemimpinan Perempuan 97

rugikan dari bentuk kuasa yang tidak tam-pak dan tersembunyi. Penghambat tersebutmewujud dalam bentuk normativitas ibu se-cara kultural yang tetap mereka praktikkandalam kehidupan sehari-hari. Ini artinya, ta-taran bekerjanya bentuk kuasa yang tersem-bunyi dari wacana patriarkal sebenarnya ma-sih berjalan dan belum terkikis. Meski demi-kian, kondisi perempuan yang bergabung de-ngan organisasi perempuan dikatakan telahmeningkat dan hal itu berfungsi dalam ber-hadapan dengan bentuk kuasa yang tampak(visible). Misalnya, dalam hal ini, perempuanmenjadi lebih mandiri, berdaya dan sadarakan hak-haknya.

“Manfaat yang dirasakan setelah ikutJarPUK itu, perempuan tidak diremeh-kan. Tidak hanya laki-laki saja yang bisaberusaha...”.94

Upaya penyebaran gagasan akan ke-pemimpinan perempuan yang terjadi diASPPUK bergerak dalam program pember-dayaan ekonomi perempuan, yang merupa-kan fokus kerjanya. Dalam konteks pember-dayaan ekonomi perempuan, ASPPUKmemberikan banyak pelatihan dan memfa-silitasi akses permodalan usaha. Kegiatanyang diikuti banyak perempuan membuatmereka merasa terbantu untuk mendapat-kan kepercayaan diri sebagai pengusaha. Halini membuat perempuan di kelompok pe-ngusaha kecil menjadi merasa memiliki pe-ngetahuan dan dapat berusaha sebagaimanapengusaha laki-laki. Nada serupa disampai-kan oleh Murni dari Lampung:

“Dulu, boro-boro bisa ngobrol denganPak Lurah. Sekarang karena ikut organi-sasi, keterlibatan saya di desa mulai di-akui. Dari musyawarah di tingkat wargahingga desa, saya dipilih jadi fasilita-tor”.95

Dari paparan ini terlihat perempuanmendapatkan kepercayaan diri untuk ber-partisipasi di publik ketika ia mempunyaiidentitas lain, seperti dalam hal ini identitaskeorganisasian yang cukup dikenal, sepertiDamar atau GPL. Bagi perempuan, kesem-patan untuk berorganisasi, dan kemudianmenjadi berkemampuan untuk memasukiranah publik, merupakan posisi sebagai ‘pe-nyintas’ dari wacana patriarkal yang menin-dasnya. Keterlibatan tersebut juga merupa-kan proses belajar melalui pengalaman bagisemua anggota organisasi perempuan.

Fungsi pengalaman bagi anggota organi-sasi sangat penting. Damar di Lampung, se-bagai organisasi yang telah cukup lama danberpengalaman sebagai justice provider, telahbanyak mendidik relawan maupun staf, se-perti yang disampaikan Selly:

“Pada awalnya staf dan divisi mengacupada program. Dulu Damar punya divi-si penanganan kasus dan penguatan ja-ringan, pendidikan publik dan pengem-bangan sumber daya organisasi. Penem-patan berdasarkan potensi dan juga di-pilih, mana staf yang lebih nyaman dikerja pengorganisasian, dan mana yangberpotensi di penanganan kasus”.96

94 FGD Penelitian Feminist Leadership Pasca NegaraOtoritarian Indonesia dengan kelompok binaanASPPUK Lombok Tengah, Lombok Tengah 17 Mei2012.

95 Wawancara dengan Murni, Serikat Perempuan Lam-pung Selatan, Lampung 14 Mei 2012.

96 Wawancara dengan Selly Fitriani, Direktur Damar,Lampung 11 Mei 2012.

98 Afirmasi Vol. 02, Januari 2013

Pengalaman terlibat dalam pendidikan,jaringan, dan penanganan kasus pada dasar-nya juga merupakan penguatan bagi bekerja-nya “kepemimpinan feminis” pada diri ang-gota. Hal yang senada dikemukakan olehYefri, Direktur WCC Nurani Perempuan Pa-dang, bahwa relawan dan staf memperolehbimbingan dan arahan, sehingga pada akhir-nya mereka dapat melakukan sendiri pena-nganan kasus di masyarakat tempat merekaberaktivitas:

“Jadi kita modelnya lebih ke situ. Tiaprapat penanganan kasus, dalam kasus itukita belajar, kenapa kasus ini harus kitatangani, karena ini bagian dari relasi. Inistrategi berikut. Untuk kawan-kawanMery dan Tya dan kawan-kawan seang-katannya, kita traning tentang Gender,bicara tentang kerelawanan, bicara ten-tang kasus, tergantung latar belakang”.97

Adalah menarik untuk melihat apa yangdilakukan oleh pemimpin-pemimpin diHapsari, seperti yang disampaikan olehRiani:

“Hapsari wajib memberikan pendidikandan training, termasuk keadilan gender,yang diistilahkan oleh mereka sebagaikonsep pembagian peran kepada selu-ruh anggotanya. Dukungan pendanaan-nya juga dilakukan oleh Hapsari. Pendi-dikan kepemimpinan biasanya diberikankepada anggota yang telah diperhatikandan dinilai layak oleh pengurus Hapsariuntuk menjadi kader. Anggotanya meru-pakan perwakilan dari serikat. Jika adaundangan seminar, workshop, dan trai-

ning, Dewan Eksekutif akan memper-timbangkan dengan adil dan seksamasiapa yang akan diutus. Adapun kriteria-nya adalah kebutuhan, pernah atau tidak-nya mengikuti kegiatan serupa, dan kese-suaian minat anggota”.98

Berkat upaya-upaya yang dilakukan, cu-kup banyak kader Hapsari yang kemudiandi’taksir’ oleh berbagai pihak, baik oleh ka-langan eksekutif maupun kalangan partaipolitik. Seperti yang diutarakan oleh Riani:

“Nah, kalau sekarang ini kader-kader ki-ta yang di desa dilirik untuk jadi kaderpolitik. Kita membuat batasan, bolehbukan yang sudah menjadi ketua kelom-pok yang di desa, boleh anggota yangbiasa menjadi pengurus politik. Ada jugaorang melirik ke kami untuk dimasuk-kan ke Partai, tetapi kesepakatan organi-sasi, kalau mau masuk partai, harus di-musyawarahkan, supaya nanti masuk-nya dia ada timbal-balik bagi organisasiHapsari. Kita mau keberhasilan dia ma-suk ke lembaga tertentu itu karena ke-berhasilan Hapsari mendorong dia, bu-kan keberhasilan individu”.99

Agaknya, pengaruh aktivitas dan kepe-mimpinan yang hadir pada Hapsari mampumembentuk kepercayaan diri anggota, se-lain peningkatan pengetahuannya, sehinggapara anggota dipandang mampu untuk me-nempati posisi pengambil-keputusan di dae-rahnya. Ini adalah titik emansipasi yang bagianggota Hapsari merupakan pengalamanyang luar biasa.

97 Wawancara dengan Yefri Heriyani, Direktur WCCNurani Perempuan, Padang 17 Mei 2012.

98 Wawancara dengan Riani, Ketua Dewan EksekutifHapsari, Deli Serdang, 21 Mei 2012.

99 Wawancara dengan Zulfa Suja, Anggota DewanPengurus Nasional Hapsari, Deli Serdang 24 Mei 2012.

Sita Aripurnami - Transformasi Gerakan dan Menguatnya Kepemimpinan Perempuan 99

Hal yang serupa juga terjadi di Lampung.Pemberangkatan kader ke seminar dan work-shop membuat mereka mencapai pema-haman tertentu, dan mendapat kesempatanuntuk membuka jaringan, bahkan juga di-perbolehkan masuk jadi kader partai politik.Sementara yang belum dapat pendidikan te-tap diberikan pendidikan agar mampu men-capai kapasitas tertentu yang bisa digunakanuntuk mengembangkan dirinya.

“Pertama kali dikirim pelatihan oleh Da-mar, pertama kalinya naik kapal terbang.Dari acara itu, saya mendapat keper-cayaan diri bahwa saya bisa menjadifasilitator dan memberi pengetahuan ke-pada perempuan lain”.100

Di Lampung, para kader didorong untukterlibat dalam pengelolaan PNPM, menca-lonkan diri menjadi kepala desa, sekretarisdesa, caleg, dan seterusnya. Tampak bahwakaderisasi dalam kepemimpinan berhasilmendorong anggota masyarakat untuk lebihbermakna di kehidupannya. Seperti pengala-man anggota Serikat Perempuan BandarLampung (SPBL) dan Fakta Tanggamus,ketika sudah mendapatkan pendidikan, ma-ka mereka bisa berkembang membangunkelompok lain dalam lingkungan yang ber-beda.

“Ada anggota kami yang mencalonkandiri jadi kepala desa. Itu bahkan dari desalain ikut mendukung. Di situ kami tahubahwa masyarakat masih menyangsikankepemimpinan perempuan”.101

Sebagai ajang untuk membuktikan ke-pemimpinan perempuan, di salah satu desadi Tanggamus, anggota Fakta ada yang su-dah berani mencalonkan diri sebagai kepaladesa. Selain itu anggota Fakta juga aktif diKomisi Pemilihan Umum (KPU), PanitiaPengawas (Panwas) dan (Badan HimpunPekon (BHP). Fakta memperjuangkan agartiap BHP di wilayah Tanggamus selalumemperhatikan jumlah anggota perempuanguna keterwakilan perempuan tetap terjaga.Fakta juga mendorong keterwakilan perem-puan hingga staf kelurahan dan desa sertauntuk program PNPM. Keterwakilan pe-rempuan, menurut Fakta, tidak akan diberisendiri, harus ada tuntutan dari perempuanagar perempuan mendapat keterwakilan.Saat ini, kegiatan Fakta swadaya murni,meskipun ada usaha-usaha untuk menjalinkerjasama dengan pemerintah kabupatendan dinas-dinas seperti dinas kesehatan, di-nas sosial, dinas pendidikan. ‘Iuran pekon’digunakan untuk mengadakan pertemuanrutin yang dilakukan secara bergilir dari pe-kon yang satu ke yang lain.

“Di organisasi, kita bertemu denganorang-orang lebih banyak, pengalamanbertambah. Jadi waktu diterapkan dikampung sudah biasa saja”.102

Tampaknya, jalannya kaderisasi kepe-mimpinan di Lampung dan Deli Serdang cu-kup berjalan dengan baik dan mampu men-dorong anggota dan perempuan lain di ling-kungan organisasi, atau kelompok beraktivi-tas, untuk mampu berkegiatan secara publikbahkan politik. Namun, sedikit lain cerita100 Wawancara dengan Desi, Serikat Perempuan Bandar

Lampung, Lampung 14 Mei 2012.101 Wawancara dengan Sri Suharni, Anggota Forum Anti

Kekerasan Tanggamus, Lampung 12 Mei 2012.102 Wawancara dengan Murni, Serikat Perempuan Lam-

pung Selatan, Lampung 14 Mei 2012.

100 Afirmasi Vol. 02, Januari 2013

yang ditemukan di Padang. Tanti dari KPIPadang menyatakan bahwa kaderisasi harusberkesinambungan:

“Kaderisasi harus yang bagus. Kalau ti-dak ada kaderisasi, tidak akan terciptapemimpin yang ideal, karena semua daribawah, dari pengkaderan. Kalau merekamengikuti kaderisasi dari A sampai Z,pasti akan berjalan. Tetapi kalau hanyadi tengah jalan, penyampaiannya akanterputus. Dulu di KPI ada pendidikankader dasar, menengah. Kader lanjut itujuga tidak jalan”.103

Fitriyanti dari LP2M Padang menyebut-kan bahwa undangan-undangan peningkat-an kapasitas yang diberikan sedikit banyakjuga akan memberi manfaat dan mendu-kung kapasitas kerja di tengah masyarakat:

“Pernah mengikuti beberapa training:keuangan, kebencanaan, gerakan pe-rempuan (Yogyakarta), gender budget.Dari Asia Foundation, IDEA, Rifka,KPI. Teman-teman dari staf mendu-kung. Saya lebih baik juga mendukung.Saya juga berusaha agar ilmu yang sayadapat bisa digunakan untuk kebaikanorganisasi, dan sebisa mungkin sayamencoba menularkan ilmu yang saya da-pat dengan teman-teman di sini. Train-ing untuk staf juga ada, biasanya masing-masing mengikuti training sesuai denganpembagian kerja yang ada. Jadi kalauada undangan tema tertentu, sudah jelassiapa yang harus berangkat mengikutipelatihan”.104

Sementara itu, organisasi perempuan diMataram juga telah melakukan berbagai ak-si untuk meningkatkan posisi tawar perem-puan di masyarakat Lombok. Organisasi se-perti Pekka, ASPPUK dan Panca Karsamemberikan peningkatan kapasitas bagi ke-lompok dampingannya, dan secara kolektifmelakukan advokasi dan hearing kepada pe-merintah daerah setempat terhadap penggu-naan kain tenun sebagai seragam pegawainegeri sipil.

“Melakukan hearing dan advokasi diLombok Tengah kami bekerjasama de-ngan ASPPUK/JarPUK, Konsorsium,dan kelompok perempuan lainnya me-ngenai seragam Pegawai Negeri Sipil(PNS) harus menggunakan kain te-nun”.105

Dian dari Seknas KPI di Jakarta menya-takan bahwa sudah mulai terlihat pencapai-an-pencapaian kecil, kelompok-kelompokdi basis sudah mulai dapat mengorganisa-sikan diri dan melakukan upaya advokasi.Ini artinya mereka sudah mulai mampu me-miliki posisi tawar di lingkup publik di tem-patnya berada.

“Kalau sekarang yang dihubungkan de-ngan mandat kita, kawan-kawan mera-sakan bagaimana perempuan di desa itutidak punya peluang berorganisasi. Disisi lain, kawan-kawan yang berorgani-sasi tidak mungkin secara langsung, ka-rena keterlibatan kawan-kawan di sinisifatnya voluntary. Maka perorganisa-siannya dalam Rakernas dicoba agar ka-103 Wawancara dengan Tanti Herida, Sekertaris Wilayah

Koalisi Perempuan Indonesia Sumatera Barat, Padang17 Mei 2012.

104 Wawancara dengan Fitriyanti, Direktur LP2M, Padang14 Mei 2012.

105 Catatan FGD Penelitian Feminist Leadership PascaNegara Otoritarian Indonesia kelompok binaan PancaKarsa, Mataram 17 Mei 2012.

Sita Aripurnami - Transformasi Gerakan dan Menguatnya Kepemimpinan Perempuan 101

wan-kawan di basis dapat mengorgani-sasi sendiri-sendiri. Sekarang sudah adapencapaian-pencapaian kecil, dalam ma-na kawan-kawan merasa diuntungkanoleh pencapaian mereka. Ini mulai terli-hat. Perorganisasian dan advokasi mulaiberjalan. Isunya berbeda-beda di tiaplokal. Sekarang yang belum terpegangstrateginya, misalnya satu kota itu punya50 desa, masing-masing desa punya con-cern yang berbeda-beda di desa itu”.106

Sedikit catatan, pada kelompok atau or-ganisasi tertentu di Padang, disebutkan bah-wa upaya peningkatan kapasitas dan kaderi-sasi kelompok terhenti. Sehingga, disebut-kan bahwa kesinambungan dalam upaya pe-ningkatan kapasitas harus dijaga agar keber-hasilan dalam memperkuat posisi perempu-an di masyarakat lebih terjamin.

Penutup

Pengaruh Kepemimpinan Feminispada Gerakan Sosial dan Korelasinyapada Kesejahteraan Perempuan

Kepemimpinan dari kelompok dan organi-sasi perempuan di lima wilayah menunjuk-kan adanya pengaruh positif, dalam artimemperkuat kapasitas perempuan, baik se-cara individual maupun kelompok.

Dengan menjadi anggota organisasi atauterlibat dalam kegiatan kelompok, perempu-an mulai terbuka dengan pilihan lain di luarlingkup rumah dan keluarganya.

Terlibatnya perempuan dalam kegiatanini meningkatkan kapasitas dan kepercaya-

an diri, karena terpapar dengan kegiatan-kegiatan di lingkup publik. Ini merupakanmodal sosial yang sangat penting bagi pe-rempuan.

Peningkatan kapasitas dan pengalamanperempuan untuk menerapkan nilai-nilaidan prinsip yang diperkenalkan melaluiorganisasi perempuan dan kepemimpinan-nya menjadikan perempuan berdaya di ling-kup sosial maupun publik, serta mampu me-lakukan negosiasi agar kebutuhan dan ke-pentingannya terpenuhi demi peningkatankesejahteraan kehidupan perempuan.

Pengaruh kepemimpinan dan upayauntuk menghadirkan relasi yang lebih setaradi lingkup privat masih memerlukan kerjayang lebih keras agar dampaknya sama terli-hatnya dengan pemberdayaan perempuan dilingkup publik.

Sekali pun dikotomi publik dan privatini sudah mulai dikikis melalui contoh-con-toh kepemimpinan dari kelompok dan or-ganisasi perempuan di lima wilayah peneli-tian, tampaknya masih saja tetap hadir da-lam realitas kehidupan perempuan.

Sekali pun demikian, patut dicatat bah-wa upaya atau tindakan resistensi yang di-kedepankan adalah langkah-langkah kecilmenuju upaya menghadirkan kemampuanperempuan mengatasi persoalan, sesuai de-ngan harapannya yang terbaik mengenai ke-hidupannya.

Dapat dikatakan bahwa kepemimpinandengan memperkenalkan nilai dan prinsipfeminis di lima wilayah telah cukup mening-katkan kapasitas perempuan, terutama da-lam bidang ekonomi dan politik, untuk me-lakukan negosiasi guna pemenuhan kebu-tuhan dan kepentingannya. Meskipun dalampraktik, mereka tidak menggunakan kon-

106 Wawancara dengan Dian Kartikasari, Seknas KoalisiPerempuan Indonesia, Jakarta 17 Mei 2012.

102 Afirmasi Vol. 02, Januari 2013

sep-konsep feminisme itu sendiri, sebabakan memicu timbulnya resistensi dari ma-syarakat.

Sejak masa pasca otoritarian Indonesia,pintu partisipasi di lingkup publik lebih ter-buka, selain juga berkat peningkatan kapa-sitas perempuan yang dilakukan oleh organi-sasi-organisasi perempuan. Jumlah perem-puan yang berperan di lingkup publik sepertidi bidang politik menjadi semakin banyak.Mereka berperan dalam pengambilan kepu-tusan di tingkat desa sampai distrik dan mu-lai mampu menegosiasikan munculnya pera-turan atau kebijakan, bahkan anggaran.

Organisasi dengan kepemimpinan pe-rempuan menunjukkan korelasi yang cukupbesar pada peningkatan kesejahteraan ang-gotanya yang perempuan. Jumlah perempu-an di lima wilayah penelitian terlihat memi-liki kondisi yang lebih baik dibandingkansebelum mereka mengikuti aktivitas organi-sasi perempuan. Selain kapasitas dalam bi-dang politik (mampu bernegosiasi, mem-pengaruhi pengambilan keputusan, misal-nya), kondisi ekonominya juga membaik.Mereka memiliki cara untuk membantu diridan keluarganya untuk bertahan hidup, bah-kan untuk memperoleh kehidupan yang le-bih baik.

Upaya untuk lebih menghadirkan kese-taraan relasi di lingkup privat agaknya masihperlu dilakukan agar kondisi dan posisi pe-rempuan semakin membaik. Pandangan ter-hadap apa yang bisa dilakukan oleh perem-puan juga tidak lagi dibatasi pada jenis-jeniskerja tertentu di lingkup privat, tetapi con-toh-contoh yang berhasil dilakukan perem-puan di lingkup publik diharapkan mampumenggeser pandangan tersebut menjadiyang mengacu pada nilai dan prinsip setara

dan berkeadilan, baik bagi perempuan mau-pun laki-laki.

Kapasitas Perempuan untukMenjalankan Peran Kepemimpinanyang Lebih Baik

Sekali pun kesenjangan gender akibat ada-nya ketidaksetaraan relasi kuasa dalam ma-syarakat sangat terasa kehadirannya, pe-luang untuk memperkecil ketidaksetaraanamat dimungkinkan, karena pengakuan ataspermasalahan gender di tengah komunitasdi tingkat lokal dan komitmen dari pemerin-tahan pasca otoritarian Indonesia juga me-ningkat. Hal ini semakin dimungkinkan ka-rena bertambah dan meningkatnya keterli-batan masyarakat sipil, termasuk kelom-pok-kelompok dan organisasi-organisasi pe-rempuan untuk memastikan intervensi yangberkesinambungan, serta mekanisme kon-trol yang lebih baik serta kelompok sosialpenekan yang lebih banyak.

Kesinambungan dalam upaya pening-katan kapasitas harus dijaga agar keberha-silan dalam memperkuat posisi perempuandi masyarakat lebih terjamin. Oleh karena-nya, peluang untuk arahan upaya di masadatang adalah dengan meningkatkan kon-disi, dan terutama posisi perempuan dengan:

1. Peningkatan kapasitas perempuan mela-lui pelatihan-pelatihan yang berkesinam-bungan, dengan menyiapkan merekamenjadi pelatih untuk peningkatan kapa-sitas tersebut. Jumlah perempuan yangsemakin baik kapasitasnya akan mening-kat, dan pada gilirannya jumlah perempu-an yang menjadi pemimpin juga mening-kat jumlahnya.

Sita Aripurnami - Transformasi Gerakan dan Menguatnya Kepemimpinan Perempuan 103

2. Pemimpin menyiapkan kader dan ang-gota untuk memiliki pemahaman masa-lah perempuan, seperti isu seksualitas danLesbian, Biseksual dan Transgender(LBT), atau isu-isu keagamaan seperti jil-babisasi serta perda syariah.

3. Program intervensi pada sikap komuni-tas, para pengambil-keputusan dan kebi-jakan dari tingkat desa sampai distrik,bahkan nasional, yang didorong oleh pe-rempuan-perempuan yang sudah terkuat-kan kapasitasnya.

4. Mekanisme pertemuan secara berkala danterjaga kontinuitasnya untuk berbagipengalaman kerja di wilayah masing-ma-sing mengenai strategi penyelesaian ma-salah akibat persoalan gender, dan mem-perkuat organisasi dan kelompok perem-puan melalui pembentukan jaringan sesa-ma organisasi dan kelompok per wilayah(Indonesia Timur dan Indonesia Barat),dan pada gilirannya ke seluruh Indone-sia. Ini untuk memperkuat jaringan kerjayang terbagi berdasarkan isu kerjanya, se-perti kesehatan dan hak reproduksi, par-tisipasi politik, kebijakan dan sebagainya.

5. Mengadakan refleksi atas kerja organi-sasi dan kelompok perempuan secara ber-kala, sesuai kesepakatan antar organisasidan kelompok perempuan (misalnya tiaptiga tahun atau lima tahun), baik menge-nai kepemimpinan maupun strategi kerjayang akan diambil. Dikaji apakah efektifmembantu mengatasi permasalahan gen-der di wilayah kerja masing-masing danmemetakan apa saja keberhasilan yang su-dah dicapai oleh organisasi dan kelompokperempuan tersebut.

6. Pendokumentasian dari pelaksanaan atasRekomendasi 1-5 dalam kurun waktu tigatahun atau lima tahun ke depan, sesuaikesepakatan organisasi dan kelompok pe-rempuan, dituliskan dan dibagikan kem-bali kepada organisasi dan kelompok pe-rempuan.

7. Upaya aksi dan refleksi organisasi dan ke-lompok perempuan yang dibuat secarakolektif, kemudian dipublikasikan agardapat menjadi referensi bagi pemerhatidan peminat isu gerakan perempuan.***

Daftar Pustaka

Anastasia, Ayu dan Aris Arif Mundayat. 2012.Laporan Penelitian Feminist Leaderships PascaNegara Otoritarian Indonesia. Studi kasus diSumatera Utara. Women Research Institute,Jakarta (tidak dipublikasikan).

Anindhita, Frisca dan Sita Aripurnami. 2012.Laporan Penelitian Feminist Leaderships PascaNegara Otoritarian Indonesia. Studi kasus diLombok. Women Research Institute, Jakarta(tidak dipublikasikan).

Aripurnami, Sita et. al. 2012. Laporan PenelitianFeminist Leaderships Pasca Negara OtoritarianIndonesia. Studi kasus di Jakarta. Women Re-search Institute, Jakarta (tidak dipublika-sikan).

Batliwala, Srilatha. 2010. Feminist Leaderships forSocial Transformation: Clearing the ConceptualCloud. CREA (Creating Resources for Em-powerment in Action), India, hal. 44-45.

Batliwala, Srilatha. 2010. Feminist Leaderships forSocial Transformation: Clearing the ConceptualCloud. CREA (Creating Resources for Em-powerment in Action), India, hal. 13.

104 Afirmasi Vol. 02, Januari 2013

Bouma, Joanna (ed.). 2011. Case Studies of FiveAsian Organizations, Pelagia Communi-cations. Women Leading Change. ExperiencesPromoting Women’s Empowerment, Leadershipand Gender Justice. Oxfam Novib.

Gerungan, W.A. 2002. Psikologi Sosial. RefikaAditama, Bandung.

Komnas Perempuan. 2011. Teror dan Kekerasanterhadap Perempuan: Hilangnya Kendali Negara.Catatan Kekerasan Terhadap Perempuan Tahun2010. Komnas Perempuan, Jakarta.

Priaryani, Ika Wahyu dan Aris Arif Mundayat.2012. Laporan Penelitian Feminist LeadershipsPasca Negara Otoritarian Indonesia. Studi kasusdi Lampung. Women Research Institute,Jakarta (tidak dipublikasikan).

Rahayuningtyas dan Edriana Noerdin. 2012.Laporan Penelitian Feminist Leaderships PascaNegara Otoritarian Indonesia. Studi kasus diKota Padang. Women Research Institute,Jakarta (tidak dipublikasikan).

Women Research Institute. 2009. Executive Sum-mary Impact Assesment Program Pekka diDelapan Wilayah. Women Research Insti-tute, Jakarta.

Williams, Michelle. 2008. Principles for FeministLeadership. Strug gling to Share Power.DisAbled Women in Action (DAWN),Ontario.

Membangun Kekuatan Ekonomi dan PolitikPerempuan Akar Rumput di Sumatera Utara

Ayu Anastasia & Aris Arif Mundayat

Provinsi Sumatera Utara terdiri dari 25kabupaten dan delapan kotamadya. Wi-

layah ini terdiri dari pusat industri, perke-bunan dan kawasan pesisir, kesemuanyapenting secara ekonomi. Menurut data yangdikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik(BPS), sampai tahun 2010, lebih banyakpenduduk Sumatera Utara menetap di dae-rah pedesaan daripada di perkotaan. Pendu-duk Sumatera Utara yang tinggal di pede-saan sejumlah 6,60 juta jiwa (50,84 persen),sementara penghuni perkotaan sebesar 6,38juta jiwa (49,16 persen). Data ini menunjuk-kan bahwa masyarakat Sumatera Utara ba-nyak menggantungkan kehidupan pada sek-tor perkebunan dan eksploitasi pesisir. Eks-

pansi perkebunan, terutama kelapa sawit,melesat pada masa Orde Baru, khususnyasejak 1980-an ketika pendapatan negara dariminyak dan gas bumi mulai berkurang. Eks-pansi yang dilakukan oleh pemerintah itutidak diimbangi dengan peningkatan kapasi-tas sumberdaya masyarakat secara mema-dai.

Angkatan kerja di Sumatera Utara sam-pai saat ini banyak yang hanya berpendi-dikan SD ke bawah.1 Rendahnya pendidikanangkatan kerja, dan semakin sempitnya la-han akibat ekspansi perkebunan, telah seca-

Kondisi sosial budaya dan konstruksi gender meletakkan perempuan pada posisi lemah dibandingkandengan laki-laki di dalam masyarakat. Ini melahirkan kebutuhan pada perempuan untuk beror-ganisasi. Dalam tulisan ini akan dibahas upaya yang dilakukan oleh beberapa organisasi perempuandi Sumatera Utara dalam membangun model gerakan perempuan akar rumput dengan mengorganisirdirinya guna memperjuangkan keadilan dan kesetaraan gender. Dengan melakukan kegiatan-kegiatanyang mendorong perempuan untuk berorganisasi dan dapat merepresentasikan suara perempuan akarrumput dan melibatkan mereka dalam proses pengambilan keputusan serta penyelenggaraan pember-dayaan ekonomi perempuan.

TELAAH

1 Sumatera Utara Dalam Angka 2011, Badan Pusat Sta-tistik Provinsi Sumatera Utara.

106 Afirmasi Vol. 02, Januari 2013

ra bertahap mengikis kemampuan masyara-kat untuk mencari nafkah. Banyak yangmenjadi buruh harian lepas, atau bekerjapada Perkebunan Inti Rakyat ketika tanahmereka menjadi lahan perkebunan. Pemiliktanah menikmati bagi hasil dengan mereka,seraya memperoleh pula tenaga kerja di la-han-lahan tersebut.

Di daerah pesisir, komunitas nelayanmenghadapi berkurangnya hutan bakau. Se-jak tahun 1980an, penduduk pesisir banyakterlibat dalam usaha pertambakan ikan danudang. Usaha ini menyebabkan hutan bakauterbabat habis. Akibat itu, lahan-lahan pesi-sir yang tersisa rusak dan tandus setelah di-tinggalkan oleh pengelola tambak. Musnah-nya hutan bakau mengakibatkan hasil tang-kapan nelayan mengalami penurunan, se-hingga mereka terpaksa berlayar jauh sam-pai ke perbatasan Malaysia untuk mencariikan. Tak jarang nelayan-nelayan tersebuttertangkap oleh polisi laut negara tetangga,dan dihukum. Setelah itu terjadi, banyak ne-layan terpaksa pulang dengan tangan ham-pa. Suami salah seorang anggota perkum-pulan Hapsari berulang kali tertangkap olehpenjaga perbatasan kerajaan Malaysia. Ma-salah yang dihadapi keluarga nelayan inimenjadi tugas bagi Serikat Perempuan Nela-yan yang berada di bawah payung organisasiHapsari.

Pada 2003, pemerintah Kabupaten DeliSerdang melalui proyek nasional menge-luarkan kebijakan penggunaan kapal trawler,yang diberikan secara kredit kepada nelayan.Tentu saja yang mampu membeli hanya ne-layan bermodal besar. Jika digunakan, jaringtrawler menangkap semua ikan, besar mau-pun kecil. Ini mempunyai dampak besar ba-gi habitat ikan. Ikan-ikan muda dan belum

berkembang biak ikut tertangkap, mem-pengaruhi tangkapan nelayan miskin. Di ka-wasan ini, nelayan mengenal sebuah polahubungan yang disebut sebagai “juragan-Anak Buah Kapal (ABK).” Maksudnya keti-ka sumberdaya nafkah merosot, banyak diantara ABK jadi buka utang pada lintah da-rat — yang dikenal dengan nama ‘bakri’(Batak kredit)2 — karena juragan merekajuga mengalami kebangkrutan modal. Saatpanen (mendapat tangkapan laut), merekasudah terlanjur terjerat utang. Jika gagal pa-nen, artinya tidak mendapat tangkapan, je-rat utang para nelayan kian melilit. Inilahkondisi yang terus-menerus dihadapi kaumtani dan nelayan di kawasan ini.

Masyarakat nelayan tentu saja memilikikarakteristik berbeda dengan petani perke-bunan. Perkampungan nelayan didominasioleh kaum perempuan, karena para suamibiasanya pergi melaut selama satu pekan se-kali berlayar. Perempuan nelayan bekerja diranah domestik — menyediakan panganuntuk anak dan suami, dan mengelola usahapengawetan ikan hasil tangkapan suami jikapara nelayan sudah mendarat kembali. Diperkebunan, baik laki-laki maupun perem-puan bekerja di kebun. Biasanya laki-lakibekerja sampai sore, sementara perempuanpulang ke rumah pada siang harinya untukmengambil peran sebagai ibu rumah tangga,membenahi rumah dan menyiapkan makan-an bagi keluarga. Pola hubungan laki-lakidan perempuan pada masyarakat nelayanmaupun perkebunan sama: tunduk pada pa-triarki. Tapi pada masyarakat nelayan, otori-

2 Mereka menyebut dengan nama tersebut karena banyaketnis Batak yang menjadi pemberi kredit, dan kemudiansebutan tersebut menjadi stereotipe.

Ayu Anastasia & Aris Arif Mundayat - Membangun Kekuatan Ekonomi dan Politik Perempuan Akar Rumput 107

tas perempuan jauh lebih tinggi, karena me-reka biasa mengambil keputusan dalam ke-luarga ketika suami melaut untuk kurunwaktu yang panjang. Tidak ada peluangyang sama bagi perempuan di perkebunan.

Namun kondisi ekonomi kedua masya-rakat sama-sama terbatasnya, terutama ka-rena mereka tidak punya akses ke fasilitasdan infrastruktur sebagaimana penduduk diperkotaan. Dalam situasi seperti ini, perem-puan desa paling rentan, terutama dalammasalah kesehatan dan pendidikan, karenafasilitas untuk kedua bidang ini sedikit, atautidak ada. Keluarga desa cenderung memi-lih untuk menyekolahkan anak laki-laki ke-timbang anak perempuannya Laki-laki di-anggap harus jadi penerus ekonomi keluar-ga dan di masa depan akan merupakan tu-lang punggung masyarakat. Budaya patriar-ki yang sudah berakar-kuat berakibat burukbagi perempuan. Laki-laki dipancangkan se-bagai pemimpin, sementara perempuan,yang memang berpendidikan rendah, diba-tasi aksesnya kepada sumberdaya produk-tif. Akibatnya, perempuan sulit untuk dise-rap dalam lapangan pekerjaan.

Secara sosial dan budaya, penghargaanmasyarakat terhadap perempuan sangat ren-dah. Sikap ini membuat masyarakat meng-anggap pekerjaan yang dilakukan perempu-an di rumah bukan pekerjaan, dan dalamkegiatan di luar rumah, perempuan mengala-mi diskriminasi dalam pengupahan danpemberian status. Perempuan yang bekerjadi perkebunan kebanyakan berstatus buruhharian lepas. Jika mereka bolos satu kali saja,mereka akan langsung tidak dipekerjakankembali. Hal ini tidak terjadi pada laki-laki.Keadaan ini mempunyai dampak besar bagiorganisasi perempuan. Mereka tidak mung-

kin mengajak anggota untuk berkumpul pa-da siang hari. Sementara itu, perempuan su-kar mendapat izin dari suami untuk meng-hadiri pertemuan pada malam hari. Satu-satunya waktu yang tersedia bagi organisasiperempuan adalah mengadakan pertemuanpada sore hari.

“Serikat Perempuan Independen (SPI)Serdang Bedagai sulit mengumpulkananggota untuk rapat pada siang hari ka-rena mereka kebanyakan buruh harianlepas. Sekali saja mereka tidak datangbekerja, maka mereka dipecat. Merekaakan sulit untuk mendapat kesempatanmenjadi buruh harian lepas kembali, ka-rena pasti sudah ada yang mengganti-kan posisinya. Karena itu, jam rapat kitaadalah setelah wirid malam”.3

Pekerjaan sebagai buruh perkebunantidak memberi nafkah yang cukup untuk hi-dup secara layak. Guna menambah penda-patan, untuk dapat membangun rumah sertamendukung perekonomian keluarga, ba-nyak perempuan yang menjadi Tenaga Ker-

3 Wawancara dengan Endang, Pengurus Dewan Pelak-sana Desa Bintat SPI Serdang Bedagai, 23 Mei 2012.

Pendidikan

Tabel 1.Penduduk Deli Serdang Berdasarkan

Pendidikan dan Jenis Kelamin

PerempuanJenis Kelamin Jumlah

Laki-laki

Sumber: BPS, Survei Angkatan Kerja Nasional Agustus2011 diolah Pusdatinaker.

247.852217.387162.382111.336 19.396 29.400

787.753

111.21186.79657.71735.79413.46813.349

318.335

136.641130.591104.665

75.5425.928

16.051469.418

SDSMTPSMTA UmumSMTA KejuruanDiplomaUniversitasJumlah

108 Afirmasi Vol. 02, Januari 2013

ja Indonesia (TKI) di Malaysia dan Singa-pura. Dengan demikian, dapat kita simpul-kan bahwa perempuan di wilayah ini memi-kul beban ganda: selain bertanggungjawabatas urusan rumah tangga, mereka juga be-kerja untuk mencari nafkah.

Kemiskinan yang diderita para perem-puan, serta tidak adanya akses kepada pen-didikan dan informasi, membuat kaum pe-rempuan di kawasan ini tidak memiliki rasapercaya diri. Mereka bahkan hampir tidakpunya pengaruh di dalam keluarga merekasendiri, jangankan memiliki suara di desa.

“Dulu, sebelum masuk organisasi, sayabegitu takutnya masuk ke kantor desa,sampai saya bahkan melepaskan sandalsebelum masuk”.4

Meskipun mereka sibuk mengurus ru-mah tangga dan bekerja di kebun, kebebas-an bergerak perempuan di wilayah ini acapdihambat oleh laki-laki dalam keluarga mere-ka sendiri. Sebelum terjadinya perubahandan perkembangan dalam bidang pendidik-an, ekonomi dan politik, perubahan sosiallebih dulu terjadi akibat hadirnya gerakanperempuan. Beberapa perempuan dalammasyarakat di daerah ini mulai menyadariada yang tidak tepat dengan kondisi mereka.Sekitar tahun 1990an, dua organisasi perem-puan, Hapsari di Deli Serdang dan sekitar,serta Perkumpulan Sada Ahmo (Pesada),mulai aktif bergerak untuk merespon per-masalahan di sana dan mengubah keadaan.Dua organisasi ini memberikan penyadaranatas ketidakadilan gender dan memberikanperspektif feminis kepada para perempuan

di wilayah itu.Pendiri Hapsari, Lely Zailani, merasa-

kan kegelisahan mendalam melihat berbagaimasalah ketidakadilan gender yang dialami-nya di dalam keluarga: beban kerja yang cu-kup berat sebagai anak perempuan, tekananekonomi yang menyebabkan hidupnya ber-sama sang Ibunda (alm.) selalu prihatin, ser-ta kuatnya “garis batas” yang membedakanperlakuan terhadap anak laki-laki dan anakperempuan dalam keluarganya. Hapsari danPesada merupakan organisasi yang berpers-pektif feminis. Anggotanya dididik untukmemahami dan menyadari ketidakadilangender, serta melakukan perjuangan dan pe-layanan untuk mengakhiri ketidakadilantersebut. Kegelisahan yang mirip juga dira-sakan oleh salah satu pendiri Pesada, DinaLumbantobing. Dina mengamati sekian polakebijakan yang tidak sensitif terhadap kebu-tuhan perempuan, seperti kebijakan Keluar-ga Berencana (KB), sistem birokrasi, danbudaya yang berlaku di Sumatera Utara,khususnya di daerah Toba. Dina tadinyamempunyai asumsi bahwa kaum perempu-an mempunyai waktu lebih senggang, kare-na kegiatannya cuma mencari kutu dan du-duk bergosip, dan tidak menyadari bahwahal itu adalah akibat dari relasi kekuasaanyang tidak seimbang.

Organisasi Perempuan,oleh Perempuan untuk Masyarakat

Kondisi sosial budaya dan konstruksi gen-der meletakkan perempuan pada posisi le-mah dibandingkan dengan laki-laki di dalammasyarakat. Ini melahirkan kebutuhan padaperempuan untuk berorganisasi. Hapsari pa-da awalnya merupakan organisasi kaum ibu

4 Wawancara dengan Kurniati, SPPN Serdang Bedagai,22 Mei 2012.

Ayu Anastasia & Aris Arif Mundayat - Membangun Kekuatan Ekonomi dan Politik Perempuan Akar Rumput 109

puan tidak menikmati makanan yang istime-wa, karena mereka menyisihkannya untukpara suaminya. Jam kerja perempuan jauhlebih panjang dibanding laki-laki. Semen-tara itu, kesejahteraan keluarga lebih dinik-mati kaum laki-laki. Apabila perempuan di-tinggal suaminya, mereka tidak memper-oleh warisan, karena warisan jatuh pada ke-luarga laki-laki sepeninggal suami. Perem-puan tidak memiliki aset sumberdaya pro-duktif yang dapat menanggung kehidupanmereka, karena laki-laki yang menguasaiaset tersebut. Pesada berdiri atas kepriha-tinan pihak dari luar masyarakat setempat,bahwa peran dan posisi perempuan tidakdihargai dalam kondisi sosial Dairi yang sa-ngat didominasi oleh laki-laki.

Ada perbedaan yang mendasar atas ke-munculan dua organisasi tersebut. Hapsariberawal dari perempuan penduduk lokalyang mengorganisasi diri, sementara Pesadamuncul dari kekuatan perempuan dari luardesa, yang mengorganisasi perempuan se-tempat untuk menjalankan sebuah program.Kedua organisasi bertahan sejak tahun1990-an sampai sekarang, dengan jaringanyang terus semakin luas. Secara sosial, Hap-sari memiliki lebih banyak anggota sukuMelayu dan campuran Jawa-Melayu, denganbudaya yang relatif bersifat parental. Semen-tara itu, anggota Pesada sebagian besar ada-lah orang Batak, yang memiliki kebudayaanyang bersifat patrilineal. Budaya parentaldari etnik Jawa-Melayu memiliki kecende-rungan untuk memberikan peran kepadasuami maupun istri dalam pengambilan ke-putusan dan kepemilikan aset. Perempuanjuga menjadi pengelola keuangan keluarga,meski laki-laki tetap menjadi pengambil ke-putusan utama sebagai kepala keluarga. Se-

di tingkat desa yang dipelopori oleh seorangperempuan desa biasa. Hapsari, yang mun-cul di masa Orde Baru, mengambil strategitidak berseberangan dengan Pembinaan Ke-sejahteraan Keluarga (PKK), dan menjun-jung “normativitas ibu” sebagai nilai pentingdalam masyarakat. Mereka memutuskanuntuk mendirikan Pendidikan Anak UsiaDini (PAUD) untuk merespon kebutuhanpendidikan anak yang kala itu tidak tersedia.Mereka melibatkan para ibu untuk aktif da-lam mendidik anak secara kolektif. Karenaupaya ini sesuai dengan kebutuhan para ibudi daerah itu, Hapsari kemudian bisa me-ngumpulkan perempuan. Ternyata kebutuh-an akan PAUD mampu memobilisasi kaumibu untuk aktif terlibat dalam menjawab ke-butuhan mereka sendiri.

Pesada yang sebelumnya bernama SadaAhmo pertama kali didirikan di daerah ter-pencil wilayah suku Pakpak di KabupatenDairi. Pesada mengamati kebiasaan kaumlaki-laki suku Pakpak di daerah perkebun-an: setelah bekerja di perkebunan pagi hari,siang sampai sore mereka cenderung du-duk-duduk di lapo (warung) menghabiskankopi. Berlama-lama di lapo merupakan ke-banggaan para laki-laki, karena di tempatitulah mereka mengakses informasi, dan itumerupakan ranah publik bagi mereka. Se-mentara itu, para perempuan bangun dini-hari untuk menyiapkan makanan bagi suamidan anggota keluarga, dan setelah itu mere-ka juga bekerja di perkebunan. Pulang darikerja di perkebunan, para perempuan lang-sung kembali ke rumah untuk menyiapkanmakan siang dan malam. Setelah itu merekabekerja lagi membereskan rumah. Kualitashidup kaum perempuan jauh dari harapanjika dibandingkan dengan laki-laki. Perem-

110 Afirmasi Vol. 02, Januari 2013

mentara itu, dalam budaya Batak, peran la-ki-laki sangatlah sentral: pengambilan ke-putusan ada di tangan laki-laki dan keluargalaki-laki, demikian juga kepemilikan asetdan pengelolaan uang. Situasi ini menun-jukkan bahwa pada awalnya, Hapsari me-rupakan upaya perubahan sosial oleh pe-rempuan dari dalam masyarakat, sementa-ra Pesada merupakan upaya perubahan so-sial oleh perempuan yang dari luar.

Dalam kurun perkembangan yang cu-kup panjang, terutama ketika Hapsari ber-hubungan dengan Hivos dan memperolehdukungan selama 10 tahun, program yangdikembangkan organisasi itu meluas, meskimereka tetap mempertahankan PAUD. Per-luasan kerja organisasi juga melibatkankaum ibu yang telah aktif dalam penyeleng-garaan PAUD. Perluasan kerja sekaligusmenjalankan program yang ditawarkanHivos — yang mencakup pemberdayaanperempuan secara sosial, advokasi meng-atasi Kekerasan Dalam Rumah Tangga(KDRT), ekonomi usaha, pelatihan kepe-mimpinan untuk perempuan, dan pendi-dikan politik untuk perempuan. Sementaraitu, Pesada juga memperoleh dukungan un-tuk program, yang pada tahun 1990-anlebih banyak bergerak pada pemberdayaanmasyarakat di bidang ekonomi, advokasiuntuk perempuan, serta ekonomi usaha.Pesada dan Hapsari sama-sama menjalinkerjasama dengan Lembaga Swadaya Ma-syarakat (LSM) dari Jakarta, seperti Kalya-namitra yang memberikan bekal pengeta-huan melalui pelatihan mengenai relasi kua-sa gender. Sebagai organisasi perempuanyang berbasis massa, dalam perkembangandari tahun 1990-an sampai 2000-an, kedua-nya telah mencapai titik yang relatif sama,

karena kedua organisasi berjalan dalam ko-ridor yang tidak hanya bersifat lokal, tapiterintegrasi dengan organisasi perempuanberskala nasional, dan bekerjasama denganpenyandang dana internasional. Oleh kare-na itu, ada sejumlah agenda kerja keduanyayang memiliki kesesuaian satu sama lain,meski dalam konteks sosial yang berbeda,dan masing-masing memiliki keunggulanyang berbeda.

Jika kita lihat dari kemunculannya yangberbeda dan akhirnya menuju ke perkem-bangan yang relatif sama, yaitu sebagai or-ganisasi perempuan payung, maka Pesadamaupun Hapsari telah memiliki dukunganpolitik dari kaum perempuan di tingkat akarrumput. Keperluan dan kepentingan paraperempuan akar rumput itu terpenuhi mela-lui organisasi. Dengan demikian, organisasitelah menjadi modal kuasa bagi perempuandalam mengaktualisasikan diri di ruang yangbersifat privat maupun di ruang publik. Diruang privat, keberadaan organisasi telahmeningkatkan posisi negosiasi perempuanterhadap suaminya. Misalnya, anggota Hap-sari menjadi memiliki kemampuan untukmengajak suami berbagi peran dalam rumahtangga secara setara. Anggota Pesada jadimampu memiliki aset produktif yang mem-berikan kontribusi bagi keluarga, setara yangdiberikan oleh suami. Kedua hal itu sama-sama meningkatkan kuasa perempuan da-lam relasi gender di domain privat. Semen-tara itu, di tingkat publik, pengalaman me-ngelola organisasi di domain publik membe-rikan para anggota kedua organisasi kemam-puan berartikulasi jika dibandingkan dengansebelum mereka berorganisasi. Melalui or-ganisasi, mereka memperoleh pengetahuansekaligus jaringan sosial perempuan, dan

Ayu Anastasia & Aris Arif Mundayat - Membangun Kekuatan Ekonomi dan Politik Perempuan Akar Rumput 111

ikut andil menguatkan kuasa perempuandalam membangun relasi sosial di ruang pu-blik bersama laki-laki.

Pemetaan Wilayah Kerja dan KegiatanOrganisasi Perempuan

Secara garis besar, visi dan misi serta pro-gram kerja Hapsari dan Pesada di awal kela-hirannya adalah untuk mencoba menjawabpermasalahan ketidakadilan gender dan ke-miskinan. Kedua organisasi yang muncul dimasa Orde Baru tersebut mengalami banyakrintangan, dan pada awalnya mereka cende-rung berkembang secara diam-diam. Hal inidisebabkan kondisi politik masa itu, dalammana pemahaman masyarakat desa menge-nai organisasi adalah hanya organisasi ben-tukan pemerintah yang dianggap resmi, danaman sebagai wadah berkumpulnya masya-rakat. Bagi perempuan desa, organisasi se-macam itu adalah PKK. Perempuan desacenderung lebih suka bergabung denganPKK dibanding dengan organisasi bentukanmasyarakat sendiri, karena mereka berpikirbahwa ikut organisasi lain berbahaya danakan dikaitkan dengan Gerakan Wanita In-donesia (Gerwani) atau Partai Komunis In-donesia (PKI). Dengan kesulitan tersebut,Hapsari dan Pesada menyusun strategic planawal melakukan pendekatan ke masyarakatdengan cara membuat taman bermain bagianak-anak desa.

Program kerja Hapsari dan Pesada di-buat berdasarkan kebutuhan dan permasa-lahan perempuan desa menuju tercipta ke-setaraan gender. Supaya dapat menjawabpermasalah perempuan di daerah serikat,Hapsari selalu menjaring pendapat orang,atau turun langsung menanyakannya ke ang-

gota serikat mereka.Dalam pembuatan program, Hapsari

memiliki empat pedoman dasar layananyang terdapat di AD/ART mereka, yakni:

1. Melibatkan langsung penerima man-faat program.

2. Membuka akses dan meyiapkan pe-ngurus.

3. Memberikan pendampingan bagipengurus serikat.

4. Memberikan pendidikan dan pelatih-an yang bersifat menumbuhkan.

5. Berkomitmen menjalankan tugas-tu-gas organisasi.

Tidak jauh berbeda dengan Hapsari, Pe-sada membangun misi dan program-pro-gramnya lewat pemahaman sosial, ekonomidan politik di Sumatera Utara dan daerah-daerah sekitar, serta dalam tingkatan makro.Sebagaimana ketidaksetaraan gender dankemiskinan adalah utama, Pesada mengem-bangkan program penguatan untuk perem-puan, anak, keluarga miskin dan kelompokmarginal lainnya. Untuk itu, seluruh pro-gram Pesada mengacu kepada lima tingkatpenguatan, yaitu:

1. Pemenuhan kebutuhan-kebutuhandasar.

2. Akses ke sumberdaya (pendidikan,keahlian, informasi, pinjaman, dsb.).

3. Kesadaran kritis.4. Keikutsertaan dalam pembuatan ke-

putusan di rumah tangga, lingkungan,dan ruang publik/politik.

5. Mengontrol sumberdaya, implemen-tasi pembuatan keputusan, serta men-cakup keterwakilan di semua arenapengambilan keputusan.

112 Afirmasi Vol. 02, Januari 2013

Kerangka kerja tersebut digunakan disemua tahap dengan metode partisipasi, mu-lai dari evaluasi perencanaan tahunan sam-pai rencana kerja enam-bulanan dan renca-na strategis tiga-tahunan, disamping mela-kukan usaha-usaha penguatan.

Pesada secara konsisten bekerja secaralangsung melalui penguataan perempuan di11 kabupaten di Sumatera Utara, sebagianbesar di daerah pedesaan termasuk di daerahbencana, seperti di Pulau Nias, dan melaluimembangun jaringan, kapasitas, dan advo-kasi di seantero Sumatera. Selain itu, Pesadamenganggap diri mereka ahli dalam bidangpengarusutamaan-gender dan pemberdaya-an perempuan (terutama di bidang ekono-mi dan politik), serta dalam pengembanganorganisasi di Sumatera dan pada tingkat na-sional.

“Pendekatan Pesada bukan pendekatanfeminis radikal yang menyalahkan laki-laki. Pendekatan kami tidak radikal. Jikaradikal, tidak dalam arti negatif, sepertiyang dipikir orang”.5

a. Penguatan Ekonomi

Walaupun Hapsari kini lebih fokus padapengembangan dan pergerakan, mereka te-tap mempunyai program yang dijalankanoleh tiap serikatnya untuk masyarakat. Un-tuk program kegiatan ekonomi, beberapa ta-hun lalu Hapsari mendirikan Credit Union(CU). Serikat Hapsari memiliki unit usahaguna peningkatan sumberdaya ekonomi danuntuk mendukung kelancaran programpemberdayaan. Unit usaha ini sekaligus me-

nambah penghasilan anggota, antara lainmembuat sabun, kerajinan tangan, menjualbatik, dan menjalankan usaha kedai kopi.Salah satu program pemberdayaan ekonomiHapsari adalah livelihood, dengan menggu-nakan strategi advokasi penguatan kapasitasperempuan marjinal untuk keberlanjutanpenghidupan. Melalui program ini, Hapsarimemperluas teknik-teknik inovatif melaku-kan pengorganisasian dan advokasi, dalamrangka ikut serta mempromosikan kerja-kerja penanggulangan kemiskinan secara le-bih efektif dan efisien. Kegiatan ekonomiproduktif juga dilakukan oleh semua serikatperempuan di bawah payung Hapsari. Mere-ka misalnya membuat sabun cuci dan cairanpembersih lantai. Produk tersebut merekapasarkan di warung-warung di desa masing-masing. Kegiatan ini tidak hanya membantumenambah pendapatan kaum perempuan,tapi juga menambah uang kas organisasi,yang mereka ambil dari keuntungan pen-jualan produk.

Wilayah pengorganisasian difokuskanpada kelompok-kelompok di daerah yangselama ini dianggap belum maju. Penentuandilakukan misalnya dengan menilai bahwaaspirasi kaum perempuan kurang diperhati-kan, atau belum didengar serta jarang turutserta dalam proses pembangunan. Lewatprogram ini, Hapsari memfasilitasi salah sa-tu serikat perempuan anggotanya, yaitu Se-rikat Perempuan Independen (SPI) Kulon-progo, di Daerah Istimewa Yogyakarta, un-tuk menumbuhkan kader-kader baru darikalangan perempuan basis, dengan tipe ke-lompok ‘perempuan miskin desa’. Ini adalahkelompok perempuan marjinal yang selamaini belum memiliki akses kepada pengetahu-an (seperti peningkatan kapasitas diri, pe-

5 Wawancara dengan Dina Lumbantobing, PendiriPesada, Medan, 25 Mei 2012.

Ayu Anastasia & Aris Arif Mundayat - Membangun Kekuatan Ekonomi dan Politik Perempuan Akar Rumput 113

ngembangan keterampilan), teknologi, per-modalan dan jaringan pasar.

Jika dibandingkan dengan Hapsari, Pe-sada telah jauh lebih lama dalam menjalan-kan CU, yaitu pada 1994. CU Hapsari ter-bentuk pada 2010. Pesada membangun ke-lompok simpan-pinjam dengan memilihbentuk CU tersebut. Menjalankan CU padadasarnya memberikan pendidikan kepadapara anggotanya, dan jika diusut, munculnyaberbareng dengan gerakan ekonomi makroberperspektif feminis. Ini berbeda denganmodel yang dikembangkan oleh CreditUnion Coordinator Oganization (CUCO),yang bersifat inklusif dengan memfasilitasiperempuan maupun laki-laki.

Pendiri Pesada berpikiran bahwa, untukkesetaraan gender, organisasi tidak bisa mu-dah langsung masuk dengan gaya inklusif.Karena itu, pendekatan yang mereka laku-kan adalah mengubah pandangan masyara-kat tentang aset yang dikuasai perempuan.Secara kultural, upaya tersebut radikal ber-seberangan dengan budaya patriarki. Untukmengatasinya, Pesada melakukan pendekat-an kepada para perempuan lebih dulu.Kaum laki-laki diharapkan kemudian dapatmenyepakati bahwa perempuan pun perlumenguasai aset dan tidak tergantung padalaki-laki, andaikan ada musibah pada laki-laki, atau terjadi perceraian. Strategi ini tidaksecara instan berhasil dan banyak mendapattentangan. Ada tuduhan bahwa CU tidaksesuai aturan dan bersifat ekslusif karenahanya membidik perempuan. Akan tetapiPesada tetap berusaha, karena mereka ya-kin bahwa perjuangan kesetaraan genderdimulai dari pendekatan yang menguatkanperempuan terlebih dulu sebagai kelompokmasyarakat yang paling tertindas. Ini menja-

di poin penting dalam napak tilas perjalananPesada sebagai organisasi yang berhasil me-mimpin dan mengembangkan usaha CU dikalangan perempuan pedesaan. Pada 2010,jumlah kelompok CU Pesada mencapai 131kelompok dengan 9.040 anggota, dan 104kelompok telah bergabung menjadi dua CUbesar di empat kabupaten (Dairi, PakpakBarat, Nias Selatan dan Nias Induk).

b. Anti Kekerasan TerhadapPerempuan

Hapsari dan Pesada memiliki kepriha-tinan atas isu kekerasan terhadap perempu-an. Salah satu serikat mereka, SPI Labuhan-batu, telah menentukan fokus program kerjayaitu isu kekerasan terhadap perempuan dananak. Daerah perkebunan kelapa sawit sa-ngat rentan terhadap tindakan kekerasan,baik KDRT maupun kekerasan seksual. Se-bagian besar pengurus dan kader-kader SPILabuhanbatu adalah perempuan yang meng-alami kekerasan dalam rumah tangga. Me-reka kemudian mampu mengatasinya danmenjadi pembela bagi perempuan korbanyang lain.

Saat ini, program utama SPI Labuhan-batu berjudul “Penghapusan KekerasanBerbasis Gender”. Program utama ini terdiridari beberapa kegiatan, antara lain, pendi-dikan penyadaran gender, dukungan untukperempuan korban kekerasan, advokasi dankampanye penghapusan kekerasan terhadapperempuan, serta pendidikan dan promosidemokrasi dan politik bagi perempuan pede-saan. Program ini dilaksanakan bekerjasamadengan pemerintah Kabupaten Labuhan-batu, dinas terkait serta organisasi perempu-an tingkat daerah dan nasional.

114 Afirmasi Vol. 02, Januari 2013

SPI juga mengelola Rumah Aman untukPerempuan dan Anak korban kekerasan diLabuhanbatu. Sepanjang 2008-2009, SPILabuhanbatu mengelola tiga rumah tinggalsementara (dikenal juga dengan sebutan Ru-mah Aman) untuk perempuan korban keke-rasan berbasis gender di Kota Rantau Pra-pat, dan mengelola 10 Posko PengaduanKDRT di desa-desa yang dikelola oleh ke-lompok-kelompok anggota SPI.

Tidak jauh berbeda, kelompok damping-an Pesada, yaitu para penyintas Women’sCrisis Center (WCC) Sinceritas, juga me-nangani kasus kekerasan terhadap perempu-an. Pada 2010, WCC Sinceritas menangani80 kasus yang didominasi kasus KDRTsebanyak 61 kasus. Kelompok ini melaksa-nakan diskusi rutin. Sikap dan sifat kepe-mimpinan peserta ternyata berkembang da-lam forum ini, Pesada dan WCC mengguna-kannya untuk menelurkan kader mereka.

c. Program Pendidikan

Karena pada awalnya, Hapsari dan Pesa-da mendirikan taman bermain dan belajaranak (TBBA) sebagai strategi mendekatkandiri dengan masyarakat, sampai kini keduaorganisasi masih mengembangkan programtersebut. Jumlah anak di pra-sekolah Pesadapada enam TBBA ada 148 orang (78 di an-taranya perempuan), dengan persentaseswadaya sekitar 70 persen. Di Nias, limakelompok anak sehat telah dikelola oleh ma-syarakat lokal dan pemerintah (dengan me-kanisme transfer manajemen). Hapsari se-jauh ini memiliki sembilan TBBA yang ter-sebar di daerah-daerah Serikat Hapsari. Se-lain itu, Hapsari juga mengelola sekolah ali-yah dengan tambahan kurikulum pendidik-

an gender dan hak asasi manusia (HAM).

d. Publikasi dan Media

Salah satu program publikasi yang di-kelola Hapsari adalah radio komunitas. Ra-dio komunitas merupakan salah satu mediabelajar bagi para anggota Hapsari untukmenjadi fasilitator dan narasumber. Di wi-layah program kerjanya, yaitu di Nias, Pesa-da mengedarkan 500 eksemplar buletin dwi-bulanan bagi perempuan desa dalam bahasalokal (Fehede Ndraalawe). Sampai akhir2010, mereka telah menerbitkan enam edisi.

e. Kegiatan Lain

Hapsari mengelola beberapa programlain, seperti pengaderan serta pelatihan bagikader dan anggota serikat. Di sisi lain, Pesa-da memiliki program kegiatan disampingpengembangan usaha kecil dan mikro, yaitupartisipasi politik perempuan, advokasi, ru-mah aman perempuan, pelatihan dan pe-ngembangan kapasitas jaringan.

Selain program yang memang telah di-rancang dengan baik ketika rapat umum ta-hunan, Hapsari dan serikatnya melaksana-kan kegiatan-kegiatan yang tidak direncana-kan, sesuai kebutuhan, seperti kegiatantanggap-bencana ketika terjadi angin putingbeliung. Kegiatan ini begitu menyedot per-hatian dan apresiasi masyarakat, anggota se-rikat bertambah secara drastis pada 2011.

Jaringan Organisasi: Perluasan ModalSosial Perempuan

Dari perkembangan Hapsari dan Pesada,muncul keperluan untuk membangun jeja-

Ayu Anastasia & Aris Arif Mundayat - Membangun Kekuatan Ekonomi dan Politik Perempuan Akar Rumput 115

ring di tingkat Provinsi Sumatera Utara.Hapsari mempunyai 10 SPI di SumateraUtara, Sulawesi Tengah, DI. Yogyakarta,Jawa Tengah dan Kalimantan Timur, de-ngan 200 orang anggota. Serikat perempuantersebut ada dalam Federasi Hapsari. Se-mentara itu, Pesada membangun jaringandalam bentuk 131 kelompok CU, dengan9.040 orang anggota di empat kabupatendan satu WCC di Medan. Strategi mobilisasiHapsari adalah membangun “persaudaraanperempuan” guna mencapai kesetaraan re-lasi gender (yang mereka istilahkan sebagaiberbagi peran secara setara). Ini adalah tin-dakan kolektif yang kemudian menjadi mo-dal sosial kaum perempuan untuk menem-bus ruang publik yang selama ini didominasioleh laki-laki. Dalam konteks ini, Hapsari— yang mula pertama masuk melalui ranahdomestik — semakin memiliki kemampuanmembuka akses ke ranah publik bagi anggo-tanya. Hal ini berkontribusi dalam memposi-sikan perempuan dalam kehidupan sosial,serta ikut menentukan urusan berbagi perandalam masyarakat yang harus dimainkanperempuan bersama laki-laki. Ibu Habibah,misalnya, menyatakan bahwa dengan ikutaktif dalam organisasi perempuan, palingtidak ia dapat menunjukkan kepada tetang-ga tentang pembagian peran yang setara didalam rumah tangga.

“Saya melihat ada ketidakadilan di da-lam masyarakat. Ketika suami meme-gang sapu dan membersihkan rumah,para tetangga laki-laki mengolok-olokseolah-olah pekerjaan itu hina bagi laki-laki. Tetapi ketika perempuan meme-gang cangkul dan carit, mereka diamdan tidak berkomentar. Seharusnya me-

reka malu bahwa kami juga mengerja-kan pekerjaan laki-laki”.6

Sebagai organisasi yang berupaya me-ningkatkan kapasitas perempuan untukmampu berbagi peran bersama laki-laki,Hapsari mengembangkan strategi. Strategidirancang dengan tujuan agar menjadi nilaikesetaraan gender yang dipraktikkan olehanggota keluarga aktivis Hapsari, dan ke-mudian menjadi nilai masyarakat. Sebagaidasar dari strategi, Hapsari dan Pesada me-masukkan nilai-nilai mengenai kesetaraangender ke dalam AD/ART mereka. AD/ART Hapsari maupun Pesada lengkap me-ngatur jalannya organisasi, termasuk kodeetik yang harus dipatuhi anggota. Bentukpenyelesaian masalah dan konflik juga di-atur di dalamnya, dan AD/ART itu senan-tiasa diperbaharui.

Dalam konteks jaringan, tiap anggotaberhak untuk memperoleh pendidikan danpelatihan adil gender, yang oleh Hapsari di-istilahkan sebagai konsep “pembagian pe-ran” bagi seluruh anggotanya. Hapsarimengadakan pelatihan dengan tenaga peng-ajar anggota Hapsari yang senior. Kegiatanini mereka sebut sebagai “belajar bersama”.Mereka tidak terlalu sering mengundang te-naga pengajar, dan yang diundang hanyaorang tertentu saja karena keterbatasan da-na, juga guna mendayagunakan sumberdayamanusia yang tersedia. Hapsari, yang didu-kung oleh Hivos sejak 1999-2000, meng-alokasikan dana untuk kegiatan tersebut.Pelatihan untuk para kader bertujuan untukmemperkuat kemampuan anggota dalam

6 Wawancara dengan Habibah, Anggota SPI SerdangBedagai, 23 Mei 2012.

116 Afirmasi Vol. 02, Januari 2013

mengelola dan memimpin Serikat Perempu-an Independen.

Penentuan siapa yang boleh memper-oleh pelatihan didasarkan atas penilaian danpengamatan terhadap anggota. Yang terpilihadalah yang dianggap memiliki kemampuanuntuk memimpin dan berdedikasi sebagaikader, serta berkemauan untuk mengem-bangkan organisasi. Selain pelatihan, Hap-sari menyelenggarakan kegiatan mengikutiseminar dan workshop. Jika mendapat un-dangan seminar, workshop, dan training, De-wan Eksekutif Hapsari akan mempertim-bangkan dengan adil dan seksama siapayang akan diutus. Adapun kriterianya ada-lah kebutuhan, pernah atau tidaknya sanganggota mengikuti kegiatan serupa, dan ke-sesuaian minatnya. Orang yang berhak me-wakili Hapsari cenderung mereka yang telahmengikuti pelatihan tahap akhir, sehinggadapat memberi kontribusi dalam acara terse-but. Kader-kader tersebut harus siap jikadipilih oleh anggota untuk menerima man-dat.

“Kader-kader yang siap, atau pemimpinyang baik, menurut kami adalah yangketika ditugaskan oleh organisasi, tidaklagi akan berkata “tidak”, karena dia su-dah menerima mandat dari organisa-si”.7

Proses transformasi nilai-nilai lembagadiupayakan Hapsari dengan terus mencaridan mendorong tumbuhnya kader dan ang-gota yang mampu mengaplikasikan nilaiyang terkandung di dalam AD/ART mereka

ke masyarakat yang lebih luas — atau seti-daknya dalam kehidupan pribadi mereka.Transformasi nilai tersebut telah berjalanselama 14 tahun, dan oleh Hapsari dikata-kan berhasil. Program dan kegiatan yang me-reka adakan sering berhasil menyedot perha-tian masyarakat, juga pemerintahan kabupa-ten dan desa. Hal ini menunjukkan bahwaHapsari tidak menolak untuk bekerjasamadengan pemerintah, bahkan perkumpulanini mengisi ruang yang belum digarap olehlembaga negara. Strategi berjejaring denganberbagai pihak membuat anggota Hapsarimerasa telah memperoleh manfaat sebagaianggota. Misalnya, mereka sering menjadimitra pemerintah dalam program yang di-jalankan oleh Satuan Kerja Perangkat Dae-rah (SKPD). Dalam beberapa hal, ini mem-buat para anggota menjadi percaya diri seba-gai perempuan yang berpotensi, mandiri,bereksistensi dan memiliki keberanian. Rasapercaya diri tersebut juga semakin kuat ka-rena mereka mengikuti bermacam trainingdan workshop yang bermanfaat untuk me-nambah pengetahuan dan jaringan sosial.Paling penting, mereka sadar akan hak-hakmereka sebagai warganegara, dan pahamakan pentingnya kesetaraan gender danpembagian peran dalam keluarga maupunmasyarakat.

Keberhasilan tersebut bukannya tanpakekurangan, atau tanpa perjuangan terus-menerus. Sejauh ini, nilai-nilai yang merekacoba terapkan ke dalam kehidupan pribadidan masyarakat belum sepenuhnya berhasilbagi anggota baru. Masih banyak suamiyang belum mengizinkan para istrinya un-tuk mengikuti kegiatan organisasi, denganalasan mereka harus menyelesaikan terlebihdulu pekerjaan rumah tangga. Perlu waktu,

7 Wawancara dengan Riani, Ketua Dewan EksekutifHapsari, Deli Serdang, 21 Mei 2012.

Ayu Anastasia & Aris Arif Mundayat - Membangun Kekuatan Ekonomi dan Politik Perempuan Akar Rumput 117

memang, untuk menyelesaikan masalah ini.Anggota senior Hapsari biasanya memberi-kan kiat agar tidak terjadi konfrontasi dalamhubungan suami-istri, dengan teknik istri ha-rus melakukan negosiasi dengan suami, ataumenyiasati dengan memasak masakan terle-bih dulu bagi suami dan anak-anak. Jika be-pergian lama, istri juga perlu untuk mema-sak masakan yang tahan lama, sehingga sua-mi dan anak-anak bisa makan selama di-tinggal ibunya. Untuk situasi yang rumit,para anggota lainnya akan membantu temanmereka dengan mencoba semampu mung-kin melakukan negosiasi dengan suami itu.Hasil yang diperoleh cukup lumayan, bah-kan dalam banyak kasus, ada suami menjadibangga karena istrinya bermanfaat bagi ma-syarakat luas dan tenaga dan pikirannya di-pakai untuk membantu pemerintah. Dalamsituasi seperti ini, sangat terasa bahwa Hap-sari mampu membangun rasa persaudaraandi antara sesama anggota, sekaligus ikut an-dil dalam penguatan konstruksi nilai tentangposisi dan peran perempuan di ranah publik.Anggota merasa telah menimba manfaat,dengan melihatnya sebagai proses pembe-lajaran dan penyadaran, seperti yang dikata-kan oleh Juariah:

“Banyak manfaat yang kami rasakan.Kami mengenal apa itu KDRT, dan apaitu pembagian peran dalam keluarga.Kami juga mendapat tambahan uangsaku dari kegiatan ekonomi yang kamikerjakan, bisa meminjam di koperasiHapsari, sehingga kami tidak lagi mema-kai jasa bakri (Batak kredit), hahaha...”8

Apa yang dikatakan Juariah menunjuk-kan bahwa setelah berorganisasi, perempu-an memiliki kemampuan untuk berdiri sen-diri, dan melalui kegiatan ekonomi kolektif,kaum perempuan mampu keluar dari jerat-an rentenir. Melalui organisasi pula, modalsosial dalam jaringan dimanfaatkan oleh pa-ra anggota untuk berdagang dengan anggotalain, misalnya menjual barang daganganyang berasal dari daerah lain, atau berbisnisketika mengikuti seminar dan workshop diluar kota. Berjejaring juga digunakan olehmereka untuk mengajak calon anggota ba-ru.

Pesada juga memiliki jaringan di wilayahSumatera Utara yang ditopang oleh CreditUnion dan Women Crisis Centre. Dalammemperluas jaringan dan gerakan perempu-an di tingkat masyarakat, Pesada memulaimengkoordinasi sebuah forum yang terdiridari 29 LSM di Sumatera (FBCB), dan kon-sisten bekerja dengan ratusan jaringan akti-vis perempuan di Sumatera Utara, LSM pe-rempuan dan WCC di delapan provinsi pu-lau Sumatera, serta Asosiasi PendampingPerempuan Usaha Kecil (ASPPUK) danKoalisi Perempuan Indonesia (KPI) di ting-kat nasional. Untuk tingkat internasional,Pesada bermitra dengan Just Associates(JASS) dan The Asia South Pacific Asso-ciation for Basic and Adult Education(ASPABAE). Pesada memiliki syarat bagiyang ingin menjadi mitra kerja mereka, yaknibukan Bank Dunia, bukan korporasi yangmerusak lingkungan, dan harus organisasiyang sesuai dengan prinsip dan nilai Pesada.Hingga saat ini Pesada belum pernah terikatkerjasama dengan pemerintah. Ini yangmembuat Pesada berbeda dengan Hapsari.

Kegiatan Hapsari dan Pesada dalam8 Wawancara dengan Juariah, Anggota SPI Deli Serdang,

24 Mei 2012.

118 Afirmasi Vol. 02, Januari 2013

konteks lokal, dan keaktifannya berjejaring-an di tingkat nasional dan internasional me-nunjukkan bahwa proses transformasi so-sial di Indonesia tidak dapat dilihat dalamkonteks sempit semata. Konteks transfor-masi itu berada pada ranah penguatan lokal,pengaruh nasional dan pengaruh global. Pe-nguatan lokal di Indonesia terkait denganproses desentralisasi yang dalam banyak halmemperkuat organisasi perempuan non-pe-merintah karena tidak ada represi terhadappengembangan jaringan organisasi massa.Sementara itu, bermitra dengan lembaga do-nor internasional juga memberi pengaruhpolitik dan ekonomi yang signifikan bagi or-ganisasi perempuan Sumatera Utara untukberkembang dan menjalankan program le-bih luas. Berjejaring dengan warga tapi jugadengan organisasi masyarakat sipil merupa-kan bagian dari strategi untuk melakukantransformasi sosial yang luas.

Strategi Kerja Organisasi

Pasca 1998 setelah rezim Orde Baru tum-bang, Hapsari dan Pesada mulai membukaprogram kerja dan jaringan mereka. Karenakonteks sosial dan politik di Indonesia ber-ubah, maka Hapsari mengubah pola gerak-an. Perubahan pertama yang dilakukan ada-lah menjalin kerjasama dengan pemerintah.Pasca 1999, pemerintah secara terbuka me-nerima kehadiran LSM. Hapsari mulai mem-bangun kemitraan dengan pemerintah dikawasan dimana mereka bekerja. Hal ter-sebut mereka ikuti dengan membuat or-ganisasi tampil lebih formal, antara lain de-ngan mengurus legalitas formal (berbadanhukum dengan akte notaris, mendaftar kekantor Kesbang, dsb.), memasang papan

nama, memasang bendera, dan melakukandialog-dialog formal dengan kalangan pe-merintah setempat, hal-hal mana tidak dila-kukan pada zaman Soeharto berkuasa.

Guna berkembang, Hapsari berjejaring-an dengan KPI. Saat mula pertama KPIberdiri, kebetulan Lely Zailani adalah ang-gota presidium sektor nelayan. Tidak lamakemudian, Lely, yang mewakili Hapsari,mengundurkan diri dari KPI dan memilihSolidaritas Perempuan (SP), yang dirasakanlebih cocok dengan Hapsari. Sempat menja-di pengurus beberapa periode, akhirnya Lelykembali hengkang bekerjasama denganLSM lain karena bentuk organisasi SP dinilai’tanggung’ hanya komunitas dan bukan se-rikat seperti cita-cita Hapsari. Dari pengala-man ini akhirnya Lely, sebagai pendiri Hap-sari, memutuskan untuk membangun jari-ngannya sendiri.

“… Mereka menyebut diri sebagai Ko-munitas SP Deli Serdang, tapi kalau SPIKabupaten Deli Serdang teritorinyaadalah Deli Serdang, kepengurusan ka-bupaten, kecamatan, desa. SP tidak. Se-kelompok orang itu, ya, komunitas. Initidak cocok dengan kami, jadi kami ber-benturan. Kami memang harus memilihsalah satu. Akhirnya kami pilih Hapsaridan memutuskan membangun jaringansendiri, karena ternyata tidak bisa berga-bung di SP. Aku ke Yogyakarta untukmembangun serikat”.9

Berdasarkan pengalaman itu, akhirnyaterjadi perubah bentuk organisasi Hapsaripada 2000 mulai dari pembentukan serikat

9 Wawancara dengan Lely Zailani, Ketua Dewan NasionalHapsari, Jakarta, 28 Juni 2012.

Ayu Anastasia & Aris Arif Mundayat - Membangun Kekuatan Ekonomi dan Politik Perempuan Akar Rumput 119

sampai penggabungan serikat-serikat dalamsatu wadah bersama, yaitu sebagai federasi.Dalam bentuk federasi, jelas bahwa bentukorganisasi yang dibangun Hapsari adalah or-ganisasi massa perempuan. Ini memberikandampak pada keharusan merumuskan pem-bagian peran antara federasi dan para seri-kat yang merupakan anggotanya.

Dengan bentuk federasi, Hapsari mem-buat program membangun dan memperkuatlegitimasi dan wibawa organisasi dan selu-ruh serikat anggotanya di mata publik (ma-syarakat dan pemerintah), memperkuat ke-pemimpinan perempuan basis, melakukankaderisasi kepemimpinan dan mengkampa-nyekan isu-isu gerakan perempuan di ting-kat lokal maupun nasional. Sedangkan da-lam Serikat Hapsari, program yang difokus-kan langsung pada berbagai isu konkrit gunamenjawab kebutuhan individu perempuananggota serikat, mulai dari pendidikan un-tuk anak-anak pra-sekolah, sampai antaralain usaha simpan-pinjam, penghapusanKDRT, konservasi lingkungan.

Tidak hanya perubahan sistem politikskala nasional, perubahan politik dan peme-rintahan di Kabupaten Deli Serdang turutmempengaruhi Hapsari dan serikat-serikat-nya. Pemekaran wilayah Kabupaten DeliSerdang dan Serdang Bedagai ditanggapiHapsari dengan menumbuhkan serikat diwilayah Kabupaten Sergai, Serikat Perem-puan Independen (SPI) Sergai dan SerikatPerempuan Petani dan Nelayan (SPPN) Ser-gai, yang secara otomatis menambah keang-gotaan Hapsari. Momentum ini memberi pe-luang bagi perempuan desa anggota Hap-sari, untuk belajar menjadi pemimpin or-ganisasi di serikatnya masing-masing.

Untuk merambah dunia politik dan ma-

suk pada kepemimpinan desa secara formal,Hapsari secara organisasi juga menanggapiperkembangan politik dengan kehadiranUndang-Undang No. 22 Tahun 1999 ten-tang Pemerintahan Daerah. Dari 2001,Hapsari melakukan berbagai upaya mendo-rong perempuan desa anggotanya untukmenduduki posisi-posisi pengambilan kepu-tusan melalui Badan Perwakilan Desa(BPD). Hal ini sesuai bunyi yang tertuangpada bagian ketiga pasal 104 dan pasal 105(secara khusus mengatur tentang otonomidesa) dari Undang-Undang No. 22 Tahun1999 tersebut. Tidak hanya pegang posisidalam jajaran pemerintah, perwakilan dariHapsari juga mampu berpartisipasi melaku-kan negosiasi serta memberikan pendapat.

Selain masuk dalam posisi-posisi strate-gis dalam pengambilan keputusan, para ang-gota juga berusaha menjalin kerjasama de-ngan pemerintah setempat untuk menda-patkan kepercayaan mengelola program-program yang dibuat oleh pemerintah, se-perti Program Nasional Pemberdayaan Ma-syarakat (PNPM), usaha pembibitan dengandinas kehutanan setempat (SPPN SerdangBedagai), dan Askessos dengan Kemente-rian Sosial RI. Disamping itu, dalam rangkakepentingan strategi jangka panjang, Hap-sari dan serikatnya menjalin hubungan de-ngan aparat birokrasi pemerintah, seperti ke-polisian, rumah sakit dan puskesmas.

Hapsari tidak sekadar membuat pro-gram untuk menjawab permasalahan yangdihadapi perempuan desa, walaupun bebe-rapa programnya masih serupa dengan PKK— membuat kerajinan yang ‘khas perempu-an’, misalnya – Hapsari lalu juga fokus untukmemperjuangkan apa yang hendak merekacapai: komitmen untuk membangun serikat

120 Afirmasi Vol. 02, Januari 2013

di tujuh wilayah lain di luar Sumatera Utara.Pertimbangan adalah jika ingin wilayah ker-ja menjadi luas dan bukan hanya di wilayahSumatera Utara, maka kapasitas pengurusyang merekrut anggota perlu terus diting-katkan. Begitu juga dengan penataan or-ganisasi dan pembangunan jaringan. Merekabanyak menyelenggarakan pembahasan soalarah pergerakan perempuan, sehingga pro-gram-program yang diadakan juga mening-katkan kapasitas pengurus dan pengelolaanorganisasi.

Perkembangan Hapsari setelah 14 tahunmenjadi organisasi non-pemerintah tampaksignifikan dengan terbentuknya 10 serikatperempuan dalam federasi mereka. Perkem-bangan tersebut tidak hanya mencakup Su-matera Utara, tapi sampai Sulawesi Tengah,DI. Yogyakarta, Jawa Tengah dan Kaliman-tan Timur, dengan jumlah anggota sekitar2.000 perempuan. Demi mencapai visi danmisi organisasi, Hapsari memperluas gerak-an ke ranah politik. Rapat internal yang di-hadiri para petinggi organisasi mendiskusi-kan dan membuat strategi pencalonan sosokuntuk maju dalam pemilihan kepala daerah(pilkada) dan pemilihan umum (pemilu). Ke-inginan mereka merupakan bukti dari ko-mitmen untuk mewujudkan perubahan ke-hidupan menuju lebih berkeadilan dan me-ninggikan derajat kaum perempuan yangselama ini direndahkan. Mereka menilai bah-wa kebijakan-kebijakan yang ada saat initidak berpihak terhadap perempuan, danrakyat harus mengetahui hal tersebut.

Pada awal pembentukannya, Pesadaadalah Yayasan Sada Ahmo (YSA), yangmulai menguat pada 1994. Para pendirimendedikasikan YSA bagi penguatan pe-rempuan dan pembangunan organisasi pe-

rempuan. Saat Indonesia mengalami krisismoneter dan perubahan politik, Pesada me-neguhkan programnya dengan menggabung-kan penguatan perempuan melalui pendidik-an politik pada 1998/1999 serta penguatanpartisipasi dan representasi perempuan diarena politik mulai 2003. Agar lebih inde-penden, transparan, demokratis dan partisi-patif, pada Agustus 2003, YSA memutus-kan untuk berubah status menjadi Perkum-pulan Sada Ahmo (Pesada), dan merumus-kan visi dan misi yang baru.

Berbeda dengan Hapsari, ketika terjadiperubahan suasana politik di Indonesia, Pe-sada tidak membuka afiliasi dengan peme-rintah. Kebijakan ini diambil guna menghin-dari berbagai hal yang dapat menganggu po-sisi Pesada sebagai ornop, menghindari kon-flik kepentingan dan kemungkinan terjadikooptasi yang sangat mungkin terjadi dalamproses, dan menjaga kemandirian politik.Bagi Pesada, yang penting adalah tercapai-nya Indonesia yang adil, makmur dan ber-daulat.

Pesada terdiri dari orang-orang yang di-didik untuk memahami secara kritis masa-lah ketidakadilan gender dan makna femi-nisme sebagai perjuangan perempuan untukmemperoleh kesejahteraan secara adil. Mes-kipun organisasi memberikan pelayananekonomi, pada dasarnya, Pesada lebih ba-nyak memberikan pendidikan penyadarandibandingkan menanamkan kesadaran bah-wa perempuan perlu untuk memiliki aset.Melalui analisis gender, Pesada berupayamembangun kesadaran kritis para perempu-an dampingannya dan mereka yang beradadalam jaringan kerjanya. Dengan menggu-nakan analisis dan perspektif gender, Pesa-da mendorong agar tidak lagi ada diskrimi-

Ayu Anastasia & Aris Arif Mundayat - Membangun Kekuatan Ekonomi dan Politik Perempuan Akar Rumput 121

nasi terhadap perempuan, dan para anggotadidorong untuk memiliki posisi tawar me-ngenai aset produktif, misalnya tanah, yangsecara kultural dikuasai laki-laki. Merekamemberi pemahaman agar tanah tidak da-pat dipindahkuasakan ke laki-laki, dan bah-wa hendaknya pihak laki-laki menandata-ngani kesepakatan akan pemilikan aset pe-rempuan. Demikian pula dengan harta ben-da seperti emas, yang dapat disimpan dibrankas Pesada. Upaya ini berfungsi untukmelindungi aset milik perempuan, dan da-lam beberapa hal telah memunculkan kesa-daran akan pentingnya kepemilikan aset.Meskipun demikian, karena faktor kulturalmemposisikan kuasa laki-laki atas perempu-an, banyak upaya curang dari laki-laki, mi-salnya dengan memaksa istri untuk menggu-nakan namanya guna memperoleh pinjamandengan jaminan aset milik perempuan.

Tantangan

Dalam melaksanakan visi dan misi, tampakbahwa kedua organisasi tidak hanya menja-lankan strategi praktis saja, tetapi juga ber-strategi untuk tujuan jangka panjang dan se-lalu menyesuaikan program dengan per-kembangan politik dan permasalahan sosialmasyarakat penerima program. Kendati ke-dua organisasi sudah cukup lama tidak men-dapat bantuan dari lembaga donor asing,mereka tetap hadir karena mempunyai ke-kuatan yang berasal dari anggota organisasisendiri.

Sejak berdirinya, Hapsari memiliki ang-gota yang tersebar di Sumatera Utara. Halini tidak serta-merta mengubah posisi ang-gotanya dalam rumah tangga mereka ma-sing-masing. Banyak anggota Hapsari tidak

bebas berorganisasi karena dihalangi suami-nya, tidak sedikit kader Hapsari juga menga-lami ini. Jangankan untuk jadi pemimpin,kadang hanya sekadar untuk hadir dalamrapat organisasi, banyak anggota yang tidaksaja harus menentang larangan suami, mere-ka juga menghadapi cemoohan masyarakatdan keluarga. Strategi Hapsari menjalin ker-jasama dengan pemerintah sebagai mitrakerja terbukti sangat efektif dalam meleraipersoalan ini. Karena Hapsari dan Serikat-serikatnya mendapat kepercayaan dari pe-merintah untuk mengelola beberapa pro-gram penting, lambat laun masyarakat me-ngetahui manfaat menjadi anggota Hapsari.Hapsari juga mendekatkan diri dengan to-koh adat dan agama. Hal ini berguna untukmemasukkan perspektif gender pada carakerja mereka, hal mana pada akhirnya ber-pengaruh bagi sudut pandang masyarakatluas.

Lewat program dan strategi seperti ini,Hapsari berhasil menunjukkan bahwa orga-nisasi telah memberikan kontribusi atas se-jumlah perubahan di tingkat privat dan pu-blik, sebagai berikut:

1. Pada diri kader sendiri: menumbuh-kan keberanian perempuan.

2. Pada keluarga para anggota: anggotakeluarga menghargai perempuan; Ke-tika terjadi persoalan di rumah tang-ga, para anggota mengaku dapat ber-pikir dan bertindak dengan positifmenghadapi persoalan tersebut.

3. Pada masyarakat: keterlibatan aktifperempuan (khususnya para anggotaorganisasi) meningkat dalam rapat-rapat desa. Anggota Hapsari jugamampu melakukan kritik atas pelak-sanaan beberapa kebijakan publik se-

122 Afirmasi Vol. 02, Januari 2013

perti beras miskin (Raskin), JaminanPersalinan (Jampersal), Jaminan Ke-sehatan Daerah (Jamkesda), JaminanKesehatan Masyarakat (Jamkesmas),karena kesadaran kritis mereka telahterbangun.

Tidak jauh berbeda, Pesada juga meng-alami tantangan dalam berkegiatan. Jumlahanggota organisasi hampir mencapai 10.000orang dan tersebar di berbagai desa dan ka-bupaten. Organisasi telah memberikan paraanggotanya pemahaman akan nilai-nilai fe-minisme. Anggota juga terdidik dengan pro-ses pengambilan kredit. Sesungguhnya, tim-bul pertanyaan: apakah ini berpengaruh ter-hadap lingkungan dalam wilayah kerja Pe-sada? Apakah perempuan kini lebih memili-ki posisi kuat dan bargaining power? DinaLumbantobing ketika diwawancarai menga-takan, mereka memang melihat dampak po-sitif kehadiran organisasi. Masyarakat kinimenjadi tahu bahwa ternyata ada lembagaperempuan yang mengelola uang, dengansistem tidak seperti bank. Kedua, orang ti-dak lagi berani menjual-beli harta seorangperempuan secara semena-mena. Ketiga,sudah muncul kontrol di dalam masyarakatterhadap tindak-tanduk kekerasan terhadapperempuan. Selain itu, masyarakat kini su-dah tahu harus mengadu ke mana jika mun-cul masalah. Sebelumnya, penyelesaian ma-salah dilaksanakan atas nama adat dan aga-ma, dan sering cenderung merugikan kaumperempuan.

Salah satu masalah yang harus ditelaaholeh Pesada adalah konsep kepemilikan da-lam adat. Masalah pewarisan merupakantantangan yang cukup berat yang dihadapiCU. Salah satu strategi yang dikembangkan

CU adalah mendorong kaum perempuanuntuk menyisihkan harta pribadi mereka.Para anggota diberi pemahaman bahwa me-reka mempunyai hak untuk memutuskankepemilikan harta. Selain itu, Pesada men-dorong anggotanya untuk memiliki aset taktampak, misalnya emas dan perhiasan. CUtengah merancang mekanisme untuk mem-bangun savings box untuk kebutuhan paraanggota. Tantangan besar CU lainnya adalahmembangun kepercayaan masyarakat gunaCU dapat memperluas wilayah kerja. Seba-gian masyarakat mempunyai pengalamanburuk dengan lembaga simpan-pinjam pe-merintah di masa lalu terkait dengan bungapinjaman. Yang dilakukan Pesada lebih du-lu adalah memberikan pendidikan kompre-hensif kepada anggota dan pengurus CUagar dapat menyediakan pelayanan primakepada masyarakat.

Pesada ternyata berhasil dengan pro-gram CU yang memberdayakan perempuandi daerah itu, meskipun konsep tersebut ber-seberangan dengan budaya Batak yang men-junjung peran sentral laki-laki. Dalam men-dampingi para anggotanya, CU tidak sematamengurus uang, tapi juga memberikan per-lindungan hukum dan pengetahuan kepadamereka. Tiap bulan, tim Pesada menyeleng-garakan diskusi pendalaman, dan meng-identifikasi calon kader yang kuat dalampraktik dan cara berpikirnya, meski belumterlalu sempurna. Dengan pengaderan se-perti ini, Pesada mereproduksi nilai, sehing-ga prinsip kepemimpinan feminis bergerakdan beroperasi dalam tiap anggotanya. Ni-lai-nilai serupa juga diupayakan untuk ditu-larkan kepada masyarakat perempuan desasecara lebih luas.

Menurut Dina Lumbantobing, strategi

Ayu Anastasia & Aris Arif Mundayat - Membangun Kekuatan Ekonomi dan Politik Perempuan Akar Rumput 123

yang diterapkan Pesada berpedoman padaFeminist Popular Education. Prinsip yang di-pegang Pesada, misalnya, adalah bahwa ma-nusia harus berangkat dari pengalaman hi-dup karena tiap pengalaman hidup adalahpenanaman nilai. Perempuan belajar dari ja-lan hidupnya, dari cerita-cerita hidup ibu danayahnya, dari relasi, dari pengalaman dalamperkawinannya. Jika perempuan terlibat ak-tif dalam CU, dari situlah mereka memper-oleh nilai-nilai berpengalaman aktif dalamranah publik. Mereka ikut mengambil kepu-tusan, memiliki dan mengelola aset. Dalamkonteks budaya Batak, pengalaman sepertiini sedikit sekali kemungkinan dialami pe-rempuan karena budayanya menempatkanlaki-laki di tengah. Strategi CU memberikanperempuan peluang untuk mengelola asetdan menjalankan simpan-pinjam uang. Me-nurut Dina, ini terbukti dapat berjalan de-ngan baik meskipun masyarakat semula me-nentangnya. Tentangan utama dalam prosessimpan-pinjam cenderung muncul dari sua-mi, yang sebelum-sebelumnya memanfaat-kan istrinya untuk mengakses pinjaman de-ngan pola merugikan sang perempuan. Pi-hak Pesada selalu membuat kontrak ketatdalam urusan simpan-pinjam, agar perem-puan tidak dimanfaatkan oleh suaminya se-cara merugikan. CU melindungi akses dankontrol terhadap kepemilikan sang perem-puan. Pesada tengah merancang programagar aset perempuan seperti emas dan surattanah kelak bisa disimpan dalam brankasyang berada dalam pengawasan Pesada. Pe-sada menyiapkan rencana dan strategi ka-lamana metodenya berbenturan dengan adatdan budaya Batak. Dina mengatakan bahwaCU adalah institusi pembelajaran sekaliguskendaraan penguatan ekonomi dan politik

perempuan di mana secara hukum perem-puan dilindungi, sehingga dalam konteksbudaya setempat yang mengedepankan laki-laki, aset perempuan tidak dapat dituntutkepemilikannya sebagai milik sang laki-laki.

Hapsari juga mengembangkan CU, na-mun modal yang dimiliki tidak sebesar CUPesada yang mencapai Rp12.474.261.592,-pada 2010. CU yang dikelola Hapsari jugabergerak untuk pemberdayaan ekonomiusaha anggota. Serikat Hapsari juga memili-ki unit usaha anggota, seperti usaha produk-si sabun, kerajinan tangan, penjualan batikdan usaha kedai kopi, yang memberikanpenghasilan kepada para anggota. Kegiatanini tidak hanya membantu menambah pen-dapatan anggota. Program ini menambahkas organisasi, yang didapati dari pemotong-an hasil keuntungan penjualan produk.

Salah satu program baru pemberdayaanekonomi Hapsari adalah program livelihooddengan strategi advokasi penguatan kapasi-tas perempuan marjinal untuk keberlanjutanpenghidupan. Hapsari memperluas teknik-teknik inovatif melakukan pengorganisasi-an dan advokasi yang mempromosikan ke-giatan penanggulangan kemiskinan secaraefektif dan efisien. Kegiatan ekonomi pro-duktif dilakukan oleh perempuan dalam se-rikat-serikat di bawah payung Hapsari, mi-salnya dengan produksi sabun cuci dan cair-an pembersih lantai. Produk-produk terse-but mereka pasarkan di warung di desa ma-sing-masing. Pengorganisasian difokuskanpada kelompok-kelompok di wilayah yangdianggap sebagai daerah yang belum maju.Penentuan wilayah dilakukan dengan peni-laian atas aspirasi perempuan, apakah masihkurang diperhatikan atau belum didengarserta jarang turut serta dalam proses pemba-

124 Afirmasi Vol. 02, Januari 2013

ngunan. Dalam program ini, Hapsari mem-fasilitasi salah satu serikat perempuan ang-gotanya, yakni SPI Kulonprogo di Yogya-karta untuk menumbuhkan kader-kaderbaru dari tipe kelompok ‘perempuan miskindesa’. Ini disebut merupakan kelompokmarjinal yang belum memiliki akses ke sum-ber-sumber pengetahuan (antara lain pe-ningkatan kapasitas diri, pengembangan ke-terampilan), teknologi, permodalan dan ja-ringan pasar.

Hapsari mengelola radio komunitasyang memberikan pengalaman jadi artikula-tif kepada para perempuan yang dibinanya.Radio komunitas ini berfungsi untuk memo-bilisasi kaum perempuan ke acara-acaraHapsari dan untuk menyuarakan isu yangdihadapi perempuan di wilayah Hapsari. Ra-dio komunitas ini penting karena denganmengelola radio, perempuan jadi menguasiinformasi dan pengetahuan. Di dalam beror-ganisasi, tiap anggota Hapsari maupun Pe-sada harus sama-sama belajar dan memilikipengalaman dalam mempengaruhi kebijak-an organisasi dan mengambil keputusan.

Penutup

Proses transformasi nilai peran setara antaralaki-laki dan perempuan merupakan agendayang terus dijalankan oleh Hapsari dan Pe-sada dalam berbagai program kerjanya. Me-nyadari bahwa kesetaraan gender merupa-kan konsep yang belum tentu mudah dipa-hami masyarakat, mereka lakukan pende-katan kepada kaum perempuan lebih dulu.Strategi ini mirip dengan yang dilakukanHapsari. Jika Hapsari mulai kerja melaluipendidikan bagi anak usia dini yang melibat-kan para ibu dari anak-anak tersebut, Pesa-

da menggunakan strategi menghimpunkaum perempuan untuk menjadi anggotaCU, meskipun Pesada juga menyelenggara-kan PAUD. Tentu saja, taktik-taktik ini me-merlukan waktu yang panjang, dan keduaorganisasi banyak menghadapi tentangandari kaum laki-laki yang dalam kebudayaanBatak dipandang merupakan tulang pung-gung masyarakat. Tantangan tidak hanyadatang dari kaum laki-laki; sejumlah peng-urus CU juga mengkritisi lembaga simpan-pinjam Pesada itu sebagai bersifat eksklusifkarena hanya mau melayani kaum perempu-an, sehingga berseberangan dengan prinsipCU yang inklusif. Pesada bertahan padaprinsip mendahulukan perempuan yangmau masuk CU, karena mereka yakin bahwaperjuangan kesetaraan gender dimulai de-ngan penguatan perempuan sebagai kaumtertindas. Ini prinsip yang penting ditegak-kan sebuah organisasi perempuan yang me-nyelenggarakan usaha CU dengan agendaperempuan pedesaan sebagai penerimamanfaat. Berangkat dari ini, Pesada banyakmendidik calon pemimpin perempuan di-mulai dari CU di tiap daerah. CU ternyatatidak hanya berfungsi sebagai tempat mena-bung, tapi juga merupakan media pendidik-an bagi perempuan untuk berorganisasi danmenyelenggarakan pemberdayaan ekonomiperempuan. Lewat lembaga tersebut, posisidan peran perempuan sebagai penguasa asetekonomi lambat laun bisa diterima secarasosial.

Hapsari memiliki model tatakelola orga-nisasi yang berbasis pada bidang eksekutif,legislatif, dan yudikatif. Masing-masing ele-men kelembagaan memiliki pemimpin yangdipilih dalam kongres yang dihadiri oleh wa-kil dari tiap serikat. Tiga model tatakelola

Ayu Anastasia & Aris Arif Mundayat - Membangun Kekuatan Ekonomi dan Politik Perempuan Akar Rumput 125

organisasi merupakan model kepemimpinankolektif yang berlaku selama lima tahun.Pada mulanya, masa kerja pimpinan ketigalembaga adalah tiga tahun. Karena banyakanggota Hapsari adalah perempuan desayang tidak mengenyam pendidikan yangtinggi, waktu tiga tahun lebih banyak habisuntuk belajar dan beradaptasi dengan tata-cara mengelola organisasi. Waktu sekian di-pandang kurang cukup. Maka itu, sejak2011, periode kepemimpinan di ketiga lem-baga diubah menjadi lima tahun. Prinsippenting dalam model ini adalah, anggota be-lajar dari pengalaman mengelola tiga lemba-ga dalam Hapsari. Mereka yakin bahwa pe-ngalaman tersebut akan mampu mempenga-ruhi pola pikir yang bersangkutan dan mem-berikan kontribusi pada penanaman nilai

10 Lely Zailani, Ketua Dewan Nasional Hapsari, Jakarta,28 Juni 2012.

bahwa perempuan perlu untuk berorganisa-si dan aktif di ranah publik. Lely Zailanimenyatakan fungsi perpanjangan periodedari tiga tahun menjadi lima tahun adalahsebagai berikut:

“Di Hapsari, periode kami ubah menja-di lima tahun sejak 2011 sampai 2016.Maksudnya supaya ketahuan dulu, apa-kah sebenarnya sosok tersebut bisa-tidakmenjadi pemimpin. Sebab sayang sekalikalau berhenti ketika dia sudah bisamenjadi pemimpin dan ternyata tidakterpilih lagi. Buat kami, tiga tahun me-mimpin belum cukup”.10

Tantangan Organisasi Perempuandi Kota Padang

Rahayuningtyas & Edriana Noerdin

Garis klan Minangkabau yang diturun-kan melalui garis ibu (matrilineal)

menjadikan perempuan kawasan ini sebagaipemilik dan penjaga harta serta tanah pusa-ka keluarga. Sementara itu, laki-laki sejakkecil dibiasakan untuk hidup di luar rumah,merantau meninggalkan rumah keluarga,sehingga memiliki kemungkinan yang jauhlebih besar untuk memperoleh pendidikandan kesempatan kerja di luar tanah pertaniankeluarga. Apabila tidak merantau, sesudahperkawinan, laki-laki tinggal di rumah ke-luarga istrinya. Kepercayaan bahwa anak pe-rempuan dewasa yang belum menikah ada-lah aib masih berlangsung hingga sekarang,seperti yang dinyatakan narasumber berikut:

“Sering saya dicemooh. Kata mereka,“Untuk apa saya harus dengar? Dia be-lum bersuami...” Tapi ibu-ibu membelasaya. Ibu-ibu mengatakan, walaupunbelum menikah, saya baik. Tapi saya ti-dak pernah mengambil pusing urusanitu. Bagi saya, itu hanya pandangan ma-syarakat yang umumnya beranggapanbahwa bersuami itu baik; jadi kalau tidakbersuami seolah buruk”.1

Pada keluarga Minangkabau yang ting-gal di perkotaan, anak perempuan disosiali-sasikan untuk mengambil peran kerja do-

1 Wawancara dengan Fitriyanti, Direktur LP2M KotaPadang, 14 Mei 2012.

Organisasi perempuan di Kota Padang, Sumatera Barat memilih untuk bekerja melalui institusipolitik non-tradisional sebagai upaya mengubah tatanan hubungan gender setempat. Pilihan inimenunjukkan harapan bahwa proses pengambilan keputusan dalam keluarga maupun masyarakatbisa lebih banyak melibatkan perempuan. Akan tetapi persoalan adat Minangkabau dan nilai-nilai Islam masih menjadi masalah besar yang menyulitkan perempuan dalam memenuhi hak-hakekonomi, politik, sosial dan budaya mereka. Budaya matrilineal yang seharusnya lebih menguntungkanposisi perempuan ternyata pada praktiknya belum berpihak pada kepentingan perempuan.

128 Afirmasi Vol. 02, Januari 2013

mestik, sementara anak laki-laki tidak. Bu-kan saja pembagian kerja tidak didasarkanpada minat anak, akses anak perempuanuntuk keluar rumah pun relatif lebih terba-tas dibandingkan dengan anak laki-laki.Pengalaman narasumber Lembaga Pengkaji-an dan Pemberdayaan Masyarakat (LP2M)menunjukkan kecenderungan ini:

“Dalam kegiatan, teman-teman laki-lakitidak mau menyapu dan cuci piring ka-rena itu dianggap tugas perempuan. Be-gitu juga ketika di rumah, dengan sau-dara laki-laki. Nilai-nilai di masyarakatsangat patriarkis. Waktu kecil, saudaralaki-lakiku boleh main jauh-jauh. Tapianak perempuan hanya boleh yang de-kat rumah…”2

Hal yang sama terjadi dalam pola relasiantara suami dan istri di dalam keluarga. Se-kali pun misalnya mereka sama-sama beker-ja dengan kedudukan yang sama, tetap sajaada perbedaan ketika sudah di rumah. Per-soalan poligami banyak terjadi di masyara-kat Kota Padang, baik di kota maupun didesa, dan perempuan dan anak-anak selalumenjadi korban permasalahan yang timbul.Seperti yang dijelaskan narasumber berikutini:

“… di lingkungan di mana saya tinggal,walaupun kita sama-sama Pegawai Ne-geri Sipil (PNS), perempuan harus me-ngerjakan pekerjaan rumah tangga nya-ris 24 jam. Sementara itu, suami yangPNS santai sepulang kerja. Hari kridamereka menyalurkan hobi, ada yangmancing, ada yang berburu babi, se-

mentara perempuan menyiapkan ham-pir semua kebutuhan harian”.3

“Di kampung ayah itu, cukup besar per-soalan poligami. Karena aku tinggal dikota, jadi aku tidak terlalu open denganhal yang seperti itu. Tapi kalau di kam-pung Ayah, orang heboh mengenai per-soalan poligami. Awalnya, keluarga be-sar Ayah heboh untuk tidak berpoligami.Akhirnya, beberapa tahun kemudian ke-tika saya kelas 2 SMA, keluarga besarnya memperbaiki hubungan Ayah de-ngan istri keduanya. Setelah itu saya pu-tus hubungan dengan keluarga Baku.Karena, memang, keluarga Baku itu ti-dak berada dalam kondisi bersama akudengan keluarga”.4

Dari segi ekonomi, masyarakat Minang-kabau juga mengeluhkan keterbatasan la-pangan pekerjaan untuk pemuda lulusan se-kolah, baik tingkat SMA sampai lulusan per-guruan tinggi. Satu-satunya harapan untukbekerja dengan layak di Kota Padang adalahdengan menjadi pegawai di Pabrik SemenPadang, namun kesempatan yang ada sangatkecil.5 Hal ini menyebabkan angka pengang-guran yang tinggi di Sumatera Barat, yangpada 2010 mencapai 6,62 persen, atau seki-tar 7.000 jiwa.6 Sebagian perempuan Mi-nangkabau harus ikut membantu ekonomikeluarga, antara lain dengan berdagang.Menjadi pedagang di Kota Padang pun sulitkarena keterbatasan pemasaran dan kurang-nya jaringan dengan banyak pihak.

3 Wawancara dengan Sudartok, Pusat Studi Antar Komu-nitas (Pusaka) Kota Padang, 15 Mei 2012.

4 Wawancara dengan Tya, Relawan WCC Nurani Perem-puan Kota Padang, 17 Mei 2012.

5 Hasil Focus Group Discussion ASPPUK, 17 Mei 2012.6 Data BPS Kota Padang, dalam minangkabaunews.com,

diakses 13 September 2012.

2 Wawancara dengan Tya, Relawan WCC Nurani Perem-puan Kota Padang, 17 Mei 2012.

Rahayuningtyas & Edriana Noerdin - Tantangan Organisasi Perempuan di Kota Padang 129

“… kemiskinan menyebabkan pendi-dikan anak terhambat. Lapangan kerjaterbatas: hanya industri semen yang ada,tapi masuknya susah, banyak tes dan bisagugur. Di sana banyak terjadi sistem ke-keluargaan. Selain itu ada PNS, tapi seka-rang jarang ada lowongan untuk PNS.Kalau pedagang, pemasaran untuk da-gangannya juga tidak banyak peluang.Banyak pengangguran, padahal orang-orang itu tamat kuliah S1 dan D3”.7

Adat Minangkabau sebagai nilai sosialyang dominan di Sumatera Barat disejajar-kan dengan nilai Islam, seperti yang ditun-jukkan oleh kredo adat Minangkabau, “adatbasandi syarak, syarak basandi kitabullah”(Adat bersendi hukum, hukum bersendiagama). Masyarakat Minangkabau sendirimenyadari kemungkinan pertentangan anta-ra adat yang berkultur matrilineal dan aga-ma Islam yang patrilineal. Akan tetapi mere-ka merasa berhasil mendamaikan perten-tangan antara matrilinealitas adat dan patri-linealitas agama Islam dalam praktik kehi-dupan sosial mereka.8

Ketika otonomi daerah pasca 1999membuka kemungkinan untuk mendefinisi-kan kembali identitas daerah, pembahasanmengenai posisi wacana antara adat dan ni-lai-nilai Islam menguat kembali. Dalam wa-wancara dengan para aktivis NGO perem-puan Sumatera Barat, perumusan kembaliwacana adat Minangkabau dan nilai-nilaiIslam ini selalu dibicarakan sebagai salahsatu masalah besar yang menyulitkan pe-rempuan dalam memenuhi hak-hak eko-nomi, politik dan sosial mereka. Misalnya,

menguatnya kecenderungan konservatismeIslam, yang salah satu indikatornya adalahmunculnya keputusan pemerintah lokal un-tuk mengeluarkan peraturan penggunaanjilbab bagi siswa sekolah.9 Di Kota Padangpada khususnya dan di Sumatera Barat padaumumnya, semua murid perempuan sekolahnegeri, dari SD sampai SMA, diwajibkanmemakai jilbab. Selain itu, pemerintah se-tempat juga pernah merancang peraturandaerah untuk menerapkan jam malam bagiperempuan yang keluar dari rumahnya tan-pa ditemani muhrim.10 Kebijakan yang dite-rapkan atas nama Islam menimbulkan kege-lisahan di kalangan organisasi perempuanyang menjadi subjek penelitian ini, karenamereka merasa tidak sepenuhnya setuju de-ngan keputusan tersebut. Akan tetapi da-lam program mereka, organisasi-organisasiperempuan tersebut juga tidak memasukkanadvokasi untuk menentang kecenderunganmenguatnya konservatisme demikian kare-na mereka takut akan dampak baliknya,

7 Hasil Focus Group Discussion ASPPUK, 17 Mei 2012.8 Wieringa. loc. cit.

9 Instruksi Walikota Padang No. 451.422/Binsos-III/2005, 7 Maret 2005. Kebijakan ini dibuat dengan asum-si menurunnya moral kalangan muda dan remaja Padang,disebabkan oleh pakaian mereka yang dianggap kurangIslami. Karena itu, pilihan kebijakannya adalah me-ngembalikan identitas keislaman masyarakat Padangdengan busana muslim. Pembahasan mengenai temaini bisa dilihat di http://islamlib.com/id/index.php?page=article&id=823. Aturan ini menimbulkan kege-lisahan di kalangan umat agama non-Islam di Padang,karena di beberapa sekolah ada kecenderungan pemak-saan terhadap siswi non-Islam untuk menggunakanjilbab. Walikota Padang Fauzi Bahar pernah berbicaradalam wawancara dengan televisi lokal, dan menyatakanbahwa umat non-Islam bisa juga menggunakan jilbabkarena biarawati Katolik menggunakan penutup kepalasemacam jilbab.

10 Pembahasan mengenai peraturan daerah ini, lihatEdriana Noerdin dkk., Representasi Perempuan dalam EraOtonomi Daerah, (Jakarta: Women Research Institute,2004).

130 Afirmasi Vol. 02, Januari 2013

yaitu kemungkinan menjadi target serangankelompok-kelompok agama yang konserva-tif.

Ini sama halnya dengan masalah poli-gami yang menjadi keprihatinan organisasi-organisasi perempuan di Sumatera Barat.Masyarakat salah menginterpretasikan poli-gami dan justru menganggap bahwa “poli-gami itu perintah Tuhan”, dan kalangan adatdan agama masyarakat Minangkabau di-anggap membolehkan praktik ini. Padahalpraktik poligami secara resmi tidak diizin-kan menurut Undang-Undang Perkawinanyang berlaku di Indonesia.11 Akan tetapi, or-ganisasi-organisasi perempuan di SumateraBarat belum ada yang mempunyai programadvokasi anti-poligami. Mereka mengang-gap isu poligami tidak strategis untuk di-angkat karena akan kontraproduktif, sepertimendapat perlawanan dari kelompok-ke-lompok adat dan agama di Sumatera Ba-rat. Ini dinilai akan semakin mempersulitruang gerak mereka.

Dari hasil wawancara dengan para akti-vis organisasi-organisasi perempuan di Su-matera Barat, diketahui bahwa mereka ma-sih menganggap belum strategis untuk seca-ra terbuka berpartisipasi dalam perumusanulang hubungan antara wacana adat Minang-kabau dengan wacana nilai-nilai agama Is-lam. Perumusan hubungan adat dengan aga-ma sebenarnya sangat perlu dilakukan, kare-na sangat menentukan bisa atau tidaknyapemenuhan hak-hak perempuan di provinsitersebut, baik hak ekonomi, politik, dan bu-

daya. Saat ini, organisasi perempuan cende-rung fokus pada menjalankan program-pro-gram pemberdayaan dan pemenuhan hakperempuan, tanpa perlu berpartisipasi aktifdalam membentuk wacana baru tentang hu-bungan antara adat Minangkabau dan nilai-nilai Islam.

Isu yang dominan diangkat oleh organi-sasi perempuan setelah 1998 adalah aksesperempuan pada proses politik, hukum danekonomi, terutama dalam pengambilan ke-bijakan publik.

“Koalisi Perempuan Indonesia lebih fo-kus pada keterampilan perempuan da-lam politik, sehingga muncul perjuanganpada kuota minimal bagi calon anggotalegislatif. Sekarang Koalisi PerempuanIndonesia juga mencoba aktif dalam isutrafficking – perdagangan perempuan. …Kalau di wilayah memang masih sangattergantung dengan isu nasional…”12

Bagi LP2M, Asosiasi Pendamping Pe-rempuan Usaha Kecil (ASPPUK) dan Har-monia, status ekonomi merupakan faktorpenentu kemampuan perempuan untuk me-ngenali persoalannya. Organisasi-organisasiini menempatkan faktor ekonomi tersebutsebagai jalan menuju akses yang lebih besarbagi perempuan untuk berpartisipasi dalampolitik lokalnya. Sementara Lembaga Ban-tuan Hukum (LBH) APIK Padang, KoalisiPerempuan Indonesia (KPI), Solidaritas Pe-rempuan (SP), Women Crisis Centre (WCC)Nurani Perempuan, dan Yayasan Totalitas,misalnya, melihat persoalan hak asasi pe-rempuan dalam hubungannya dengan hu-

11 Wieringa (1995) mengutip hasil sensus nasional yangterbit pada tahun 1930 yang menunjukkan bahwa angkapoligami di Jawa dan Madura adalah 1,9 persen semen-tara di Minangkabau mencapai 8,7 persen.

12 Wawancara dengan Tanti Herida, Sekertaris WilayahKPI Sumatera Barat, 17 Mei 2012.

Rahayuningtyas & Edriana Noerdin - Tantangan Organisasi Perempuan di Kota Padang 131

ting jarang dilakukan. Maka, kegiatan diwilayah Sumatera Barat lebih banyakmenunggu apa yang menjadi kegiatandi nasional. Kita jadi sangat tergantungpada report dari Jakarta. Dan saya juga,selaku sekretaris wilayah, agak sedikit su-sah mengadakan kegiatan sendiri kare-na tergantung dari pendanaannya”.13

Sementara itu, lembaga lokal sepertiWCC Nurani Perempuan didirikan untukmenanggapi persoalan kekerasan terhadapperempuan. Tujuan tersebut sesuai denganpengalaman kerja pendirinya di organisasiseperti Persatuan Keluarga Berencana In-donesia (PKBI). WCC Nurani Perempuanadalah organisasi tanpa badan hukum, danmereka mengandalkan sumbangan tenaga,pikiran dan dana dari kawan-kawan yangmereka kenal untuk menjalankan organisa-sinya. Motivasi pendirian WCC Nurani Pe-rempuan lebih cenderung ke arah kebutuh-an pendiri untuk secara spesifik memberi-kan layanan kepada perempuan korban ke-kerasan, yang berbeda dengan layanan yangsebelumnya dikerjakan di PKBI, yang lebihditujukan bagi remaja dan keluarga. Moti-vasi dan cara pendirian WCC Nurani Perem-puan memperlihatkan keinginan organisasiperempuan untuk masuk ke wilayah yanglebih spesifik untuk perempuan. Tapi, lagi-lagi, para aktivisnya tidak merasa strategisuntuk ikut merekonstruksi ulang wacanaadat Minangkabau dan nilai-nilai Islam. Se-lain melakukan penanganan terhadap kor-ban kasus kekerasan, WCC Nurani Perem-puan juga melakukan kampanye advokasidan diskusi rutin tiga-bulanan. Kegiatan iniditujukan untuk memberikan pendidikan

kum, ekonomi, politik dan hak-hak dasar,seperti kesehatan dan sanitasi.

Kecenderungan menghindari perumus-an ulang wacana adat dan agama tersebutdiperparah dengan adanya hubungan ke-lembagaan antara lembaga daerah sepertiKPI, SP dan LBH APIK, yang merupakanafiliasi lokal dari jaringan atau koalisi nasio-nal. Pendirian KPI, LBH APIK dan SP diSumatera Barat lebih bersifat perluasan ja-ringan yang didorong oleh aktor organisasiKPI, LBH APIK dan SP di Jakarta. Sebagaiafiliasi lokal dari sebuah jaringan atau koalisinasional, mereka cenderung mengikuti isu-isu yang dirumuskan secara nasional olehlembaga afiliasi mereka karena adanya ke-tergantungan dana. Bisa diduga bahwa peru-musan ulang wacana adat dan agama yangbersifat lokal Sumatera Barat tersebut tidakmenjadi agenda utama jaringan dan koalisinasional di tingkat nasional (Jakarta). Kare-na itu, mereka tidak menganggap strategisuntuk merumuskan ulang masalah wacanaadat Minangkabau dan nilai-nilai Islam da-lam upaya mereka melakukan pemberdaya-an perempuan Sumatera Barat.

“…karena dari sisi pendanaan juga sangattergantung kepada Jakarta, sebenarnya.Bukan berarti kita tidak bisa menemukanformat. Kita bisa saja menemukan isudi tingkat lokal, tapi itu tadi, kembali ke-pada ketergantungan dana… KPI ini‘kan strukturnya ada Presidium. Presi-dium sebenarnya sama dengan legislatif.Kemudian ada Sekretaris Wilayah. Pre-sidium fokus kepada kebijakan-kebijak-an, Sekretaris Wilayah lebih pada pelak-sanaan. Persoalan di KPI Padang adalahkarena Presidium juga punya pekerjaanlain. Kemudian koordinasi juga lemahdi tingkat kita, sehingga rapat-rapat pen-

13 Wawancara dengan Mahoni, Padang, 7 Oktober 2005.

132 Afirmasi Vol. 02, Januari 2013

dan penyadaran masyarakat untuk mence-gah terjadinya kekerasan terhadap perempu-an.

“Selain kerja pelayanan, kita juga mela-kukan kampanye advokasi, kegiatan ru-tin diskusi satu bulan sekali, kadang tigabulan sekali. Tapi kita usahakan terus.Artinya, pendidikan itu tetap”.14

Pemetaan Organisasi PerempuanSumatera Barat menurut Visi danMisinya

Bagian tulisan ini merupakan upaya peme-taan organisasi perempuan dengan melihatvisi dan misi organisasi. Melalui pemetaankita akan memahami keragaman sekaliguskeserupaan organisasi perempuan yang di-identifikasi dalam proses penelitian ini. Se-tiap organisasi memiliki pernyataan yangberbeda mengenai visi dan misinya. Persa-maan dalam visi terletak pada cita-citanyatentang keadilan bagi perempuan, dan ter-bukanya akses yang lebih besar bagi perem-puan untuk terlibat dalam pembuatan kepu-tusan lokal, baik dalam bidang politik mau-pun ekonomi.

Bentuk kelembagaan yang dipilih olehdelapan organisasi perempuan ini beragam.LP2M, LBH APIK Padang, Totalitas, Har-monia dan WCC Nurani Perempuan ber-bentuk Yayasan. Sementara kelembagaanKPI dan SP berbentuk perkumpulan.

Organisasi-organisasi perempuan terse-but mempunyai fokus yang berbeda dan adajuga yang serupa, sebagai berikut:

a. Fokus kerja lembaga-lembaga tersebutberagam. LP2M, ASPPUK dan Harmo-nia lebih memilih fokus pada partisipasipolitik perempuan untuk meningkatkanakses perempuan terhadap sumber-sum-ber daya ekonomi. Organisasi yang ber-gerak di bidang ini melakukan pengor-ganisasi kelompok-kelompok perempu-an usaha kecil yang memperjuangkanakses terhadap kredit dan pemasaran,dan mendorong keterlibatan mereka da-lam proses pengambilan keputusan lokalguna membuka ruang bagi perempuanusaha kecil.

“LP2M melihat apakah anggaran yangada sudah menggunakan perspektif gen-der atau belum. Kita melibatkan perwa-kilan partai politik. Namun karena da-lam empat tahun terakhir banyak gempa,kita fokus pada gempa dulu”.15

“Isu utamanya pemberdayaan perempu-an dan isu-isu gender, penguatan berba-sis ekonomi, juga membangun kesadar-an kritis perempuan, dan mendorongperempuan dalam keterlibatan dan par-tisipasi pembuatan kebijakan …”.16

b. WCC Nurani Perempuan dan LBHAPIK memfokuskan perhatian pada ma-salah kekerasan terhadap perempuan.Mereka mengupayakan adanya penegak-an hukum terhadap isu kekerasan terha-dap perempuan, baik yang terjadi dalamrumah tangga, seperti Kekerasan DalamRumah Tangga (KDRT) termasuk poli-gami, maupun di luar rumah, seperti

14 Wawancara dengan Yefri Heriani, Direktur WCC Nu-rani Perempuan Kota Padang, 17 Mei 2012.

15 Wawancara dengan Fatiha, Staf LP2M, 14 Mei 2012.16 Wawancara dengan Wiwi, Staf Harmonia, 15 Mei 2012.

Rahayuningtyas & Edriana Noerdin - Tantangan Organisasi Perempuan di Kota Padang 133

perkosaan dan penyerangan seksual lain-nya. Sementara itu, KPI juga punya pro-gram tentang anti-kekerasan terhadapperempuan di Padang.

“ ... Kegiatannya lebih ke dukungan un-tuk korban, jadi ada layanan konselinguntuk korban”.17

c. KPI dan SP lebih memusatkan perhati-an pada perjuangan untuk memenuhihak-hak asasi perempuan sehubungandengan hak politik mereka. Mereka jugabertujuan memberdayakan perempuandan membuka akses mereka terhadapproses politik di ruang publik. Kegiatanyang dilakukan banyak berfokus padapembentukan kelompok-kelompok pe-rempuan yang mengadvokasikan hakpolitik perempuan, dalam bentuk dis-kusi kelompok, seminar, dialog publikdan pembentukan balai perempuan un-tuk diskusi rutin dengan tujuan mening-katkan kesadaran perempuan akan hak-hak politik mereka.

“… itu saya motivasi mereka untukmencoba mengkomunikasikan ketim-pangan relasi dengan pemerintah desaagar perempuan bisa didengar. Sayaamati, ketimpangan perempuan di ranahpublik sangat jelas terlihat. Mulai 2008,perempuan sudah mulai didengar dalammusrenbang”.18

“Kalau akan ada Pemilihan Umum, kitamelakukan advokasi tentang siapa saja

anggota KPI yang mencalonkan diri un-tuk 2014. Artinya, ada strategi politik,dan dampak pendekatan kita — khusus-nya keperempuannya. Kita dekati kepe-rempuannya”.19

d. Totalitas memfokuskan kegiatannya pa-da pengadaan kebutuhan dasar bagi pe-rempuan, seperti akses terhadap layanankesehatan, air bersih, sanitasi, gizi bu-ruk, dan sebagainya.

“Sekarang kami melakukan kegiatan Po-sitive Defian20 yaitu peningkatan giziuntuk anak miskin. Kami lihat di komu-nitas ini ada yang gizi baik, jadi merekamengadopsi apa yang dilakukan anakgizi baik tersebut sehingga lebih mudahditerima. Sehingga tumbuh-kembanganak baik dan punya kehidupan yangbaik”.21

Secara visi, organisasi-organisasi yangditeliti juga mempunyai persamaan dan per-bedaan.

• Visi organisasi LP2M, Harmonia danASPPUK lebih mengutamakan pen-capaian kesejahteraan dibandingkankeadilan gender. Prioritas ini menun-jukkan bahwa lembaga-lembaga terse-but mengasumsikan bahwa keadilangender hanya akan dapat dicapai jikamasyarakat dapat memenuhi tuntutankesejahteraan mereka. Organisasi ini

17 Wawancara dengan Yefri Heriani, Direktur WCC Nu-rani Perempuan Kota Padang, 17 Mei 2012.

18 Wawancara dengan Yuni Walrif, calon Anggota SPPadang, 14 Mei 2012.

19 Wawancara dengan Tanti Herida, Sekertaris WilayahKPI Sumatera Barat, 17 Mei 2012.

20 Positive Defian adalah pendekatan kepada masyarakatmiskin di wilayah gizi buruk dengan melihat pola kon-sumsi keluarga yang tidak mengalami gizi buruk untukbisa ditiru oleh keluarga yang mengalami gizi buruk.

21 Wawancara dengan Isnaini, Direktur Yayasan Totalitas,15 Mei 2012.

134 Afirmasi Vol. 02, Januari 2013

mengaitkan tujuan mencapai kesejah-teraan dan keadilan gender denganusaha meningkatkan akses dan kontrolperempuan dalam bidang ekonomidan politik. Organisasi ini juga tidakberhenti pada peningkatan akses pe-rempuan saja, akan tetapi juga berusa-ha mengidentifikasi kebutuhan untukmenumbuhkan kesadaran kritis pe-rempuan. LP2M dan Harmonia khu-susnya mengidentifikasi bahwa kesa-daran akan kepentingan perempuandan posisinya dalam masyarakat meru-pakan syarat penting untuk mencapaikeadilan gender dalam masyarakat.Organisasi ini juga memandang bahwakebijakan publik memiliki potensi un-tuk merugikan masyarakat yang tidakmemiliki akses pada pengambilan ke-putusan, sehingga merasa perlu untukmenumbuhkan kesadaran kritis ma-syarakat terhadap kebijakan publik.

• LBH APIK Padang dan WCC NuraniPerempuan mendasarkan kerja mere-ka pada visi untuk mengubah keadaanyang tidak adil dalam relasi kuasa an-tara laki-laki dan perempuan di masya-rakat. Organisasi ini mengidentifikasibahwa ketimpangan terjadi dalam ber-bagai sektor kehidupan: ekonomi, po-litik dan sosial-budaya. Namun organi-sasi tersebut lebih memberi tekanankhusus pada relasi gender yang ber-dampak pada kekerasan terhadap pe-rempuan. KPI, di samping perjuangantentang hak politik, juga mengangkatisu kekerasan terhadap perempuan da-lam kampanye-kampanye mereka.

• Sementara itu, KPI menyatakan ke-inginannya untuk berusaha agar hak-hak perempuan terpenuhi dalam ber-bagai bidang kehidupan. Mirip denganSP, organisasi ini lebih mementingkanetika demokrasi, HAM, kesetaraangender, dan dengan jelas menyebutkanfeminisme sebagai landasan organisa-si. Seperti juga LBH APIK Padang,organisasi KPI dan SP menggunakanlandasan dan tujuan yang sama denganorganisasi nasionalnya, dan tidak me-rumuskan visi-misinya sendiri.

Bidang Garapan dan Strategi KerjaOrganisasi Perempuan

Kegiatan Organisasi Perempuan

a. Fokus pada Akses Perempuanterhadap Ekonomi

LP2M melakukan kegiatan penguatanperempuan usaha kecil dan penguatan ke-lembagaan ekonomi perempuan. Kegiatanini dilakukan dengan melibatkan masyarakatdampingan dengan jalan memberikan pela-tihan kepada perempuan yang memilikiusaha kecil. Tema pelatihan yang diberikanberagam, mulai dari pencatatan keuanganhingga manajemen pemasaran produk usahakecil. Dengan kegiatan ini, perempuan yangselama ini memiliki keterbatasan jaringansudah mampu berjejaring dengan sesamapedagang, yang memudahkan mereka untukmelakukan diskusi dan meluaskan pasarproduk.

“Ford Foundation pernah mendanai pe-ningkatan kapasitas ibu-ibu untuk pe-

Rahayuningtyas & Edriana Noerdin - Tantangan Organisasi Perempuan di Kota Padang 135

ngembangan aset lembaga keuangan pe-rempuan (koperasi simpan-pinjam) danjaringan yang ada di tingkat kota, sertabagaimana menginisiasi hingga pelaksa-naannya. Saat ini, status koperasi simpan-pinjam ingin diubah menjadi koperasiserba usaha agar lebih luas, bisa menjualbahan baku, menjual hasil karya, menjualkebutuhan pokok”.22

Di bidang politik, LP2M juga ikut ambilbagian dalam peningkatan partisipasi politikperempuan di Pesisir Selatan bekerjasamadengan Global Fund for Women. Kegiatan inimenggunakan dua cara yaitu, pertama, me-lakukan advokasi supaya pemerintah men-jamin hak-hak perempuan untuk terlibat da-lam proses-proses politik secara maksimal;Kedua, melakukan advokasi supaya peme-rintah memberikan dukungan kepada pe-rempuan untuk terlibat dalam politik, baiksebagai calon anggota legislatif (caleg) mau-pun sebagai pemilih.

“Penguatan hak politik perempuan be-kerjasama dengan Global Fund forWomen di Pesisir Selatan …”.23

Selain itu, LP2M juga melakukan kegiat-an di bidang pencegahan perubahan iklimdan bencana. Kegiatan mitigasi bencanayang dilakukan bekerjasama dengan BreadFor All (Jerman), dan berupa kegiatan peng-hijauan, sekolah lapang, pembuatan biofor,pembibitan, dan konservasi lahan (sistempenanaman). Upaya mendorong pemulihanekonomi pasca bencana dilakukan denganbekerjasama dalam tiga program dengan

HEKS (Jerman) dan dana dari Swss Soli-darity. Program pertama adalah pengurang-an risiko bencana, yang dilakukan dengancara membentuk komite bencana di kalang-an masyarakat dan memberikan pelatihantanggap bencana serta pertolongan pertamauntuk korban gempa. Program kedua be-rupa kegiatan ekonomi untuk pemulihanmasyarakat korban gempa. Bentuk kegiatanini beragam, dari pendirian koperasi, pe-ningkatan keterampilan sampai bantuan pe-ralatan modal usaha. Program ketiga adalahpengadaan air bersih dan sanitasi. Pada saatbencana, air bersih dan sanitasi yang sehatsulit didapatkan, padahal itu merupakankebutuhan utama korban bencana. Tigakegiatan tersebut mulai dilakukan pascagempa 2009 di Kota Padang.

“… kita juga melakukan kegiatan miti-gasi bencana bekerjasama dengan BreadFor All (Jerman) kegiatan penghijauan,sekolah lapang, pembuatan biofor,pembibitan, dan konservasi lahan (sis-tem penanamannya)”.24

Sebenarnya, empat tahun yang laluLP2M juga melakukan advokasi kepadalembaga pemerintah yaitu dengan melihatanggaran yang dikeluarkan lembaga, apakahsudah menggunakan perspektif gender ataubelum. LP2M akan melakukan advokasi ke-pada organisasi yang belum memiliki ang-garan berperspektif gender, terlebih organi-sasi yang memiliki kaitan langsung denganperempuan, seperti kesehatan. Namun, ka-rena gempa 2009, fokus kerja LP2M untukmasalah advokasi kurang banyak dilakukan

22 Wawancara dengan Fatiha, Staf LP2M, 14 Mei 2012.23 Wawancara dengan Fatiha, Staf LP2M, 14 Mei 2012. 24 Wawancara dengan Fatiha, Staf LP2M, 14 Mei 2012.

136 Afirmasi Vol. 02, Januari 2013

dan empat tahun belakangan belum ada lagiad-vokasi yang dilakukan LP2M.

Penerima program LP2M merupakanmasyarakat terpinggirkan yang tidak tersen-tuh pemerintah. Selain itu, wilayah kerjayang dipilih LP2M merupakan wilayah yangmemiliki potensi lokal dan didukung peme-rintah lokal (Nagari, Jorong, dll). Fokus ker-ja LP2M memang untuk meningkatkan ke-sejahteraan perempuan, maka seluruh pe-nerima manfaat kegiatan LP2M adalah pe-rempuan.

“ … di dalam program LP2M, pertamakriterianya adalah masyarakat marginal,lalu tidak mendapat sentuhan programdari pemerintah, kemudian memiliki po-tensi untuk menyelesaikan masalah…Kita lebih spesifik kepada perempu-an”.25

Selain LP2M, ASPPUK Kota Padangjuga memiliki beberapa kegiatan yang ber-tujuan untuk memajukan kesejahteraan pe-rempuan, khususnya perempuan usaha kecildi Kota Padang. Secara rutin, ASPPUKmengadakan diskusi dengan anggota Ja-ringan Perempuan Usaha Kecil (JarPUK)dengan berbagai tema, mulai dari hal-hal se-putar kewirausahaan sampai ke penyadarangender. Perempuan usaha kecil diberikanpenjelasan sehingga menyadari bahwa kon-disi ketimpangan gender yang ada saat inisangat menyulitkan mereka sebagai pengu-saha, khususnya dalam memperoleh pin-jaman modal. Oleh karenanya, perempuandiharapkan mampu memilah mana yangmenjadi aset pribadinya dan mana aset ke-

luarga, sehingga perempuan pun bisa meng-ambil pinjaman modal dari Bank atau Lem-baga keuangan lain. Selain itu, ASPPUKjuga melakukan training pembukuan sehing-ga manajemen usaha lebih rapi dan kondisikeuangan lebih terkontrol. Kegiatan diskusibersama-sama dengan seluruh anggota Jar-puk membuat jaringan pengusaha kecil se-makin terbuka. Mereka bisa bertukar penga-laman dalam dunia kewirausahaan bahkanbertukar produk untuk memperluas pema-saran produk olahan.

Untuk membantu pengusaha kecil me-ningkatkan penjualan, ASPPUK juga mem-fasilitasi perempuan usaha kecil bertemudengan pihak pemerintah, misalnya denganmelakukan kunjungan bersama dengan ibu-ibu pengusaha ke dinas dan instansi yangmembantu meningkatkan pemasaran, seper-ti untuk mendapat label halal tanpa bayarbagi produk makanan. Dinas Kesehatan(Dinkes) juga memfasilitasi agar pengusahakecil bisa mendapatkan Nomor Izin Dinkesdengan proses yang cepat. Kegiatan lainyang dilakukan adalah membentuk koperasisimpan-pinjam. Dengan iuran masing-ma-sing anggota ASPPUK, mereka dapat me-minjam uang sebagai modal usaha sampaidengan Rp.500.000,- dalam batas waktutertentu. Saat ini, koperasi ini akan diubahmenjadi koperasi serba usaha yang memilikifungsi lebih luas. Selain memberikan fungsisimpan-pinjam, koperasi serba usaha bisamenjadi tempat penjualan produk olahananggota ASPPUK dan semakin memperluaspemasaran.

“Kita kerjasama dengan pemerintah. Se-karang ini kita ajak ibu-ibu kunjunganke dinas untuk diskusi. Sekarang sudah

25 Wawancara dengan Fitriyanti, Direktur LP2M, 14 Mei2012.

Rahayuningtyas & Edriana Noerdin - Tantangan Organisasi Perempuan di Kota Padang 137

mulai terlihat ibu-ibu kita diberi label,karena banyak produk makanan di Pa-dang ini diberikan label halal secara gratis.Untuk industri rumah tangga, kita me-link-kan juga dengan dinas jadi sekarangibu-ibu kalau ada pengumuman dari di-nas langsung ke sana”.26

ASPPUK juga melakukan diskusi dimasyarakat dengan bundo kanduang, tokoh-tokoh perempuan, juga dengan masyarakatumum yang laki-laki dalam beberapa ke-giatan. Harapannya, banyak forum diskusibersama akan meningkatkan pemahamanmasyarakat tentang manfaat kesetaraan an-tara laki-laki dan perempuan. Akan tetapi,upaya mereka tidak sampai pada perumusanulang nilai-nilai adat dan agama yang me-ngekang perempuan.

Banyaknya kegiatan dan diskusi yang di-lakukan ASPPUK membuat para anggota-nya berani mengemukakan pendapat. Ditingkat pribadi, ibu-ibu semakin mengeta-hui bahwa perempuan memiliki hak bersua-ra dan bisa membangun desa pula. Banyakyang aktif dan ikut dalam Musyawarah Pe-rencanaan Pembangunan (Musrenbang),yang merupakan sebuah mekanisme bottomup planning dari tingkat desa sampai kota.Tapi untuk ASPPUK yang masih baru, ke-giatan yang dilakukan masih terbatas padatahap penyadaran kesetaraan gender.

Sementara itu, Harmonia baru didirikanpada 2010 oleh mantan pengurus LP2M.Mereka adalah yang keluar karena konflikinternal yang terjadi di LP2M pasca gempabesar pada 2009 yang melanda kota Padangdan menewaskan lebih dari 6.000 jiwa. Aki-

bat gempa tersebut, banyak sekali lembagadana yang muncul di Padang membawa pro-gram humanitarian relief, dan LP2M adalahlembaga yang dianggap strategis oleh bebe-rapa lembaga dana tersebut. Karena peng-organisasian kelompok-kelompok perem-puan oleh LP2M cukup kuat, lembaga-lem-baga donor langsung menjalin kemitraan danmemberikan banyak dana (sekitar Rp. 8milyar) kepada organisasi tersebut. Dalamwaktu singkat, LP2M harus mengelola danayang sangat besar sementara pengurus or-ganisasinya belum cukup kuat, sehingga me-reka banyak merekrut relawan atau staf ba-ru. Pergesekan antara pengurus lama de-ngan yang baru dan ketidak-siapan organi-sasi dalam merespons perubahan, baik pe-rubahan ukuran organisasi maupun penge-lolaan dana yang sangat besar, memuncul-kan konflik yang serius di dalam organisasi.Dua orang pimpinannya mengundurkan diridan membentuk organisasi baru yang diberinama Harmonia.

“Pasca gempa, lembaga dana mem-berikan banyak bantuan dana padaLP2M. Tiba-tiba banyak sekali orangmasuk, seperti semut mengerubuti gula;sementara bumber daya manusia di da-lam kurang siap me-manage keuangan.Ketika tidak ada dana orang-orang yangbekerja siapa; ketika ada uang, orang-orang tersebut justru dikeluarkan olehmereka yang sudah meninggalkan dankembali lagi”.27

Lembaga Harmonia yang dimotori olehbekas pemimpin LP2M membuat organisasi

26 Wawancara dengan Fatiha, Koordinator ASPPUKPadang, 14 Mei 2012.

27 Wawancara dengan Desy, Direktur Harmonia (mantanDirektur LP2M), 15 Mei 2012.

138 Afirmasi Vol. 02, Januari 2013

cukup cepat beradaptasi dan menjalankanprogram yang hampir sama dengan LP2M.Organisasi ini memulai kerja dari awal de-ngan dana yang terbatas namun dengan se-mangat dan pengalaman yang cukup pan-jang, sehingga dianggap ‘cukup’ berhasil dibidangnya. Harmonia menjalankan bebera-pa program kerja yang bertujuan untuk me-ningkatkan sumberdaya perempuan agarmendapatkan hak-haknya serta menjalan-kan kehidupannya dengan baik. Programkerja yang Harmonia lakukan dimulai de-ngan pendidikan kritis di tingkat masyarakatdan LSM, terutama terkait dengan isu-isugender (diskusi basis gender). Kegiatan inidilakukan agar kesadaran masyarakat me-ningkat tentang peran perempuan di masya-rakat.

“Sumber dana masih swadaya, sedangberusaha cari donor. Tahun pertama per-nah ada bantuan dari gubernur Rp. 5juta, Semen Padang juga menyumbang,jadi mulai ada diskusi”.28

Pengorganisasian masyarakat, terutamaperempuan, dengan membangun jaringangrassroots perempuan adalah kegiatan lanjut-an yang dilakukan Harmonia. Harmoniamembangun jaringan agar perempuan dapatbermitra dengan sesamanya supaya memi-liki kekuatan dan saling mendukung dalamupaya meningkatkan kualitas hidup perem-puan. Kegiatan ini dilanjutkan dengan pem-berdayaan ekonomi perempuan untuk me-ningkatkan aset ekonomi perempuan. Biasa-nya kegiatan ini dilakukan dalam bentuk

simpan pinjam dengan dana swadaya masya-rakat yang dapat digunakan sebagai modalusaha, atau membantu memenuhi kebutuh-an seperti biaya sekolah anak dan kebutuh-an pokok lainnya.

“Bentuk kegiatan konkret kami adalahmelakukan diskusi kelompok basis gen-der, membangun jaringan grassroots pe-rempuan, simpan-pinjam dengan danaswadaya masyarakat”.29

Tidak cukup dengan perjuangan di ma-syarakat, Harmonia juga berusaha mengu-bah kedudukan perempuan di masyarakatdengan melakukan advokasi kebijakan yangadil gender. Selama ini kebijakan yang adabelum memihak pada kepentingan perempu-an. Dengan adanya advokasi ini, pemerintahdapat mempertimbangkan tiap keputusanyang akan diambil dengan menggunakanperspektif gender. Perempuan sebagai warganegara kurang terperhatikan kebutuhannya,padahal mereka memiliki hak dan kewajib-an yang sama sebagai warga negara.

b. Fokus pada Akses Hukum danAnti Kekerasan TerhadapPerempuan

LBH APIK Padang lebih banyak bekerjauntuk menyediakan layanan bantuan hu-kum bagi perempuan. Sebagian besar kasusyang ditangani oleh organisasi ini adalahperceraian dan beberapa klaim atas hak ta-nah ulayat oleh perempuan. Selain itu, or-ganisasi ini juga menjalin kerjasama dengan

28 Wawancara dengan Desy, Direktur Harmonia, 15 Mei2012.

29 Wawancara dengan Desy, Direktur Harmonia, 15 Mei2012.

Rahayuningtyas & Edriana Noerdin - Tantangan Organisasi Perempuan di Kota Padang 139

media penyiaran (radio) dengan jalan me-nampilkan pembicara perempuan dalamtalkshow yang diadakan radio tersebut, danmengupayakan adanya perempuan yangmenjadi penyumbang tulisan tetap di koranlokal. Kegiatan kerjasama dengan media initelah berhenti selama dua tahun terakhir ka-rena terbatasnya jumlah anggota yang be-kerja untuk organisasi ini. Pada akhirnya,karena kekurangan dana, LBH APIK Pa-dang menjadi tidak terlalu aktif. Saat ini parapengurusnya bekerja di tempat lain untukmemenuhi kebutuhan pribadi mereka. Seca-ra kontras dengan LP2M, LBH APIK ter-masuk lembaga yang menjadi mati karenapara lembaga dana banyak yang beralih dariisu hukum dan keadilan gender ke isu hu-manitarian.

Organisasi lain yang juga menyediakanlayanan korban kekerasan terhadap perem-puan adalah WCC Nurani Perempuan, yangkhususnya mendampingi korban kekerasanterhadap perempuan. Selain menyediakanpendampingan langsung terhadap korbankekerasan, organisasi ini juga menyediakanlayanan konseling melalui telepon tiapminggu melalui kerjasama dengan radio se-tempat. WCC Nurani Perempuan melaku-kan kerjasama dengan Komnas Perempuanuntuk menyelenggarakan kampanye selama16 hari mengenai kekerasan terhadap pe-rempuan di Sumatera Barat, dan membantuRuang Pelayanan Khusus (RPK- bagian dariinstitusi Kepolisian) yang menyediakan la-yanan bagi korban kekerasan. WCC NuraniPerempuan bisa bertahan karena banyak di-bantu oleh para relawan. Selain mendapatdana dari kerjasama dengan organisasi lainseperti Komnas Perempuan, organisasi ini

juga mengumpulkan dana dari swadayaatau bantuan individu yang tidak mengikat.

“Makanya terakhir kita lebih mefokus-kan bagaimana membangun kawan-ka-wan yang muda supaya sekurang-ku-rangnya sekarang punya pengetahuan.Tujuan kita adalah membangun hubung-an untuk generasi yang selama ini tidakbersentuhan; terpapar sedikit akan adapula dampaknya. Ini dari kawan-kawanyang muda yang dari bermacam-ma-cam background”.30

WCC Nurani Perempuan memiliki bebe-rapa program kerja pendampingan sampaipemulihan korban kekerasan, korban keke-rasan seksual, dan kekerasan berbasis gen-der. Tujuan awal WCC Nurani Perempuanberdiri memang hanya untuk melakukanpendampingan korban kekerasan berbasisgender, namun ternyata banyak perempuanyang datang dengan beragam kasus lainnya.WCC Nurani Perempuan biasanya memban-tu korban minimal dengan merujuk kepadapihak yang lebih menguasai permasalahanperem-puan tersebut.

WCC Nurani Perempuan juga banyakmelakukan kampanye di media, seperti ko-ran, radio, televisi, dan Facebook untuk me-merangi kekerasan terhadap perempuan,dan guna menyebarkan informasi keberada-an WCC Nurani Perempuan. Sudah dua ta-hun WCC Nurani Perempuan menjalaniprogram ini, dan ternyata efektif mening-katkan pelaporan kasus kekerasan berbasisgender di Kota Padang. Laporan kasus yangditerima WCC Nurani Perempuan mening-

30 Wawancara dengan Yefri Heriani, Direktur WCC Nura-ni Perempuan, 17 September 2012.

140 Afirmasi Vol. 02, Januari 2013

kat dari 54 pada tahun 2010 menjadi 84 ka-sus di tahun 2011.31 Sebenarnya, pada 2005,WCC Nurani Perempuan memiliki hotlinenumber yang bisa dihubungi kapan saja olehkorban kekerasan, namun karena banyak te-ror yang diterima, akhirnya hotline ini diputus.Rencananya dalam waktu dekat kegiatan iniakan dihidupkan kembali guna memudah-kan korban kekerasan melaporkan kasusyang menimpanya.

“Itu sebetulnya kita menang di advoka-si, kampanye kita semakin sukses, artinyakorban semakin ada, kita kampanye diradio, koran lokal, dan Facebook”.32

Diskusi rutin juga dilakukan oleh WCCNurani Perempuan. Diskusi biasanya dise-lenggarakan sebulan atau dua bulan sekali,yang biasa dihadiri oleh 15 orang terdiri darimahasiswa, aktivis perempuan, dan masya-rakat umum. Bahasan diskusi biasanya dise-suaikan dengan tema yang sedang berkem-bang di masyarakat. Harapannya, denganberjalannya diskusi rutin ini, isu-isu perem-puan di Kota Padang dapat dipantau de-ngan baik sehingga dapat ditentukan solusiterbaik untuk permasalahan yang ada.

c. Fokus pada Isu PartisipasiPolitik Perempuan

KPI dan Solidaritas Perempuan menja-lankan kegiatan penguatan partisipasi poli-

tik perempuan melalui serangkaian pertemu-an dan diskusi menjelang Pemilihan Umum1999. KPI mengadakan pemberdayaan danpendidikan politik bagi kader organisasi ser-ta melakukan advokasi agar kebijakan pu-blik di Sumatera Barat menjadi lebih adilgender dan demokratis. Personel organisasiini aktif mengadakan kerjasama dengan me-dia penyiaran maupun media cetak untukmengangkat persoalan gender dalam masya-rakat Sumatera Barat.

Program kerja KPI Kota Padang fokuspada isu-isu korban kekerasan, mulai daripendampingan dengan fokus kerja di wila-yah Solok dengan enam Nagari. Untuk isukekerasan yang bersifat domestik, sepertiKDRT dan poligami, biasanya KPI mela-kukan advokasi tertutup, yaitu dengan me-lakukan pendampingan kepada korban un-tuk melaporkan ke Polda hingga pendam-pingan pada saat persidangan berlangsung.

“Untuk poligami, KPI pernah melaku-kan advokasi. Dengan advokasi tertutup,kita mendampingi sampai Polda, adayang sudah masuk sampai sidang… Ka-lau pasca gempa, sampai hari ini kita ad-vokasi Pasar Raya; kebanyakan anggotakita berjualan sayur, Bantuan Gempa,Jalan, Dana Bantuan Operasional Seko-lah (BOS). … yang terdaftar isunyabanyak, cuma yang terdaftar di KantorPolisi itu. KPI pernah mengadvokasiPekerja Rumah Tangga (PRT) yang di-perkosa oleh majikannya, dan kebetulanmajikannya itu anggota Dewan …”33

Selain itu, KPI juga memiliki kegiatanrutin di masyarakat, yaitu Balai Perempuan

31 http://nasional.kompas.com/read/2011/12/17/01404492/WCC.Temukan.84.Kasus.Kekerasan. terha-dap. Perempuan diakses 11 Juni 2012 Pkl. 15.52 WIB.

32 Wawancara dengan Fatiha, staf LP2M, 14 Mei 2012.Wawancara dengan Tya, relawan WCC Nurani Perem-puan, 17 Mei 2012.

33 Wawancara dengan Tanti Herida, Sekertaris WilayahKPI Sumatera Barat, 17 Mei 2012.

Rahayuningtyas & Edriana Noerdin - Tantangan Organisasi Perempuan di Kota Padang 141

yang saat ini berjumlah 58 dan tersebar diSumatera Barat. Kegiatan di Balai Perempu-an biasanya membahas isu-isu yang sedangbanyak dibincangkan oleh masyarakat. Te-ma tersebut ditentukan setelah Presidiummelakukan rapat koordinasi tiga bulan se-kali untuk membahas isu yang tengah ba-nyak disorot. Setelah ditentukan maka, Pre-sidium memiliki kewajiban menjalankanBalai Perempuan dan membahas isu yangtelah disepakati dalam rapat koordinasi tadi.Saat ini Balai Perempuan banyak membahasisu affirmative action dan mempersiapkan ang-gota KPI yang akan mendaftar sebagai caleg.Isu ini diangkat mengingat sebentar lagidiadakan Pemilu untuk anggota legislatif.Diskusi dilakukan untuk menumbuhkanpemahaman dan semangat kembali untukmemperjuangkan kuota 30 persen bagi calegperempuan. Hal ini dilakukan untuk memo-tivasi anggota KPI untuk maju menjadi ca-leg. Beberapa anggota sudah ada yang me-nyatakan diri akan mendaftar, dan mulai me-lakukan pendekatan ke masyarakat untukmengetahui apa yang menjadi kebutuhanmasyarakat saat ini. Ada juga beberapa caleglain yang bukan anggota KPI, namun beker-jasama dan menjadikan KPI menjadi sema-cam konsultan untuk melakukan kegiatanpenyediaan air bersih.

Untuk pendanaan kegiatan, KPI KotaPadang biasanya menuliskan proposal kepa-da Rakernas (KPI Nasional di Jakarta) un-tuk kegiatan tertentu lengkap dengan peng-hitungan anggaran kebutuhan dana.

Sementara SP di Kota Padang memben-tuk aliansi untuk menjalankan kegiatankampanye rutin yang diberi nama weekendcampaign. Kegiatan ini dilakukan secara ru-tin dengan tim manajemen yang terdiri dari

ketua, staf keuangan, dan tim inti yang me-rumuskan substansi kegiatan. Isu-isu yangdiangkat pada kegiatan kampanye ini, antaralain, isu anti-kekerasan, penyadaran masya-rakat, serta penyadaran gender untuk pe-rempuan. Pendanaan kegiatan weekend cam-paign di daerah dibantu oleh Aliansi Week-end Campaign Indonesia yang dicarikandana oleh SP Nasional dengan dana bersum-ber dari Oxfam. Dengan keterbatasan yangada, tim manajemen harus mampu menyia-sati agar kegiatan dapat berjalan rutin de-ngan menggunakan dana seminimal mung-kin. Oleh karenanya, aliansi banyak melaku-kan kerjasama dengan radio lokal, yaitu de-ngan meminta waktu untuk melakukan sia-ran kampanye anti-kekerasan, khususnyaterhadap perempuan. Kerjasama dibangunsebaik mungkin sehingga aliansi dapat mela-kukan siaran secara cuma-cuma, tanpamembayar kepada pihak radio. Selama inikegiatan kampanye yang dilakukan masihmengangkat isu dan kegiatan bersama saja,belum dilakukan sampai kampanye untukperubahan kebijakan daerah. Selain mela-kukan kampanye melalui media, calon Ko-munitas SP Kota Padang juga melakukankegiatan diskusi langsung dengan masyara-kat. Diskusi ini dilangsungkan sesuai de-ngan tema dan kebutuhan yang ada di ma-syarakat yang sedang menjadi hot issue disana.

Sama dengan KPI, SP juga menganggapisi anti-kekerasan terhadap perempuan jugamerupakan isu yang strategis untuk menariksimpati masyarakat, walau setelah itu isupartisipasi politik perempuan juga menjadiagenda utamanya, terutama menjelang pe-milu langsung.

142 Afirmasi Vol. 02, Januari 2013

“… kita membuat weekend campaign, yai-tu kampanye anti-kekerasan terhadapperempuan. Tiap wilayah ada AliansiWeekend Campaign, sehingga anggotaSP yang terserak bisa melakukan kam-panye yang dilakukan dengan bekerjasa-ma dengan media dan radio untuk me-nyosialisasikan kampanye anti- kekerasanterhadap perempuan”.34

d. Fokus pada Isu Kesehatan danSanitasi Sebagai KebutuhanDasar

Yayasan Totalitas didirikan untuk me-nanggapi isu kebutuhan dasar masyarakatpada umumnya. Dalam perjalanannya, me-reka akhirnya menyadari bahwa dalam ma-syarakat, perempuan adalah kelompok yangpaling rentan dan paling minim aksesnya ter-hadap persoalan dasar, seperti akses padakesehatan dan sanitasi. Relawan Totalitasmulai fokus pada peningkatan gizi ibu dananak, yaitu melakukan diskusi untuk me-ningkatkan pengetahuan ibu tentang gizianak dan keluarga. Mereka juga memberikanbantuan gizi berupa makanan kepada anak,karena masih banyak kasus gizi buruk dangizi kurang (malnutrisi) yang terjadi di wila-yah kerja Totalitas. Yayasan Totalitas meng-gunakan metode Positive Deviance, yaitu me-tode mengambil contoh penduduk dengangizi baik yang tinggal di wilayah rentanmalnutrisi dan mereka memiliki kemam-puan ekonomi dan kebiasaan yang tidakjauh berbeda. Selanjutnya, rumah tangga iniakan dijadikan contoh bagi rumah tanggalainnya agar dengan keterbatasan yang sa-

ma, mereka tetap dapat hidup sehat dan me-miliki gizi yang baik. Kegiatan ini dilakukandi Kabupaten Pesisir Selatan, KabupatenLima Puluh Kota, dam Kabupaten Solok.

“ … ibu bisa konsentrasi meningkatkanstatus gizi anak, bisa berdaya denganapa yang ada di lingkungannya tanpabantuan kita dari luar. Kita memancingmereka untuk menggali dan mengelolapotensi dengan diskusi dengan masya-rakat (ibu-ibu). Untuk peningkatan gizidari anak miskin, kami lihat di komu-nitas ini ada yang gizi baik, jadi merekamengadopsi apa yang dilakukan anakdengan gizi baik tersebut, sehingga lebihmudah diterima dan tumbuh-kembanganak baik dan punya kehidupan yangbaik”.35

Di bidang sanitasi dan air bersih, Ya-yasan Totalitas juga pernah melakukanpemberdayaan masyarakat untuk mengelolasanitasi dan air bersih. Masyarakat yang su-dah memiliki sumber air bersih diberdaya-kan untuk membuat saluran air bersih kerumah tangga di wilayah tersebut sehinggatidak perlu berjalan kaki mengambil air.Sejak 2001, kegiatan ini terus berjalan, danmasyarakat bahkan sudah mandiri danmembentuk LSM Badan Pengelola SaranaAir Bersih dan Sanitasi (BPSABS) yang di-dasarkan pada iuran warga untuk penge-lolaan sarana air bersih. Masyarakat bahkansampai memiliki kantor lengkap dengan fa-silitas komputer.

“Ada daerah intervensi kami yang seka-rang sudah membentuk LSM Badan

34 Wawancara dengan Yuni Walrif, calon anggota SPPadang, 14 Mei 2012.

35 Wawancara dengan Isnaini, Direktur Yayasan TotalitasPadang, 15 Mei 2012.

Rahayuningtyas & Edriana Noerdin - Tantangan Organisasi Perempuan di Kota Padang 143

Pengelola Sarana Air Bersih dan Sanitasi(BPSABS). Mereka mengelola sanitasidan membuat program sejak 2001. Me-reka dapat penghasilan dari sana. Mere-ka mengelola dan memungut kas darimasyarakat, tapi jauh lebih murah dariPerusahaan Daerah Air Minum(PDAM) karena itu air mereka sendiri,hanya bayar pemeliharaan. Kantor me-reka sudah maju, sudah punya kompu-ter dan lengkap”.36

Selain kegiatan di atas, Yayasan Totali-tas juga melakukan kegiatan pelatihan advo-kasi untuk membuat masyarakat pedesaanmampu memperjuangkan hak mereka. Ke-giatan dilakukan di lingkup terkecil, yaitudi lingkungan perempuan petani desa. Me-reka diajarkan administrasi dan ilmu perta-nian yang baik. Kebetulan saat itu, di daerahpersawahan dilakukan galian pertambanganyang akan merusak lahan sawah dan mem-buat padi tidak tumbuh. Perempuan tani ter-sebut diajarkan cara mengadvokasi kepadaNagari agar proyek galian dihentikan. Sete-lah satu tahun pembinaan dan proses advo-kasi, akhirnya perempuan tani ini mampumenghentikan proyek galian tersebut.

“ … ada advokasi juga dibantu LBHPadang, akhirnya perempuan mulai be-rani berbicara dan didengar ninik ma-maknya. Di jorong sebelahnya, yang be-lum menjadi wilayah intervensi, galianmasih ada sampai sekarang dan tanahsawah tidak subur lagi”.37

Yayasan Totalitas memilih empat Ka-bupaten sebagai wilayah kerja mereka. Pe-milihan daerah tersebut didasarkan kepadaempat kriteria masyarakat, yaitu masyarakatmarjinal, sulit akses ke Pemerintah Daerah,ada masalah yang berkembang di masya-rakat, serta masyarakat tersebut memilikipotensi untuk menyelesaikan masalah. De-ngan empat kriteria tersebut, Totalitas mem-bantu daerah yang sering terlupakan olehpemerintah ini supaya mampu memberda-yakan diri mereka sendiri sampai merekamemiliki derajat kehidupan yang lebih baik.

Pengorganisasian Perempuan

Untuk melihat strategi pengorganisasian pe-rempuan, maka LP2M dan ASPPUK me-ngembangkan strategi pengelolaan kelom-pok dampingan guna mendorong tumbuhnyaorganizer lokal. Strategi pengorganisasianperempuan dievaluasi secara berkala olehLP2M dan ASPPUK untuk menentukanarah selanjutnya. Berikut adalah hasil daridiskusi dengan para penerima manfaat da-lam Focus Group Discussion (FGD) yangdiadakan.

“Setelah ikut ASPPUK, cukup berpeng-aruh di dalam kehidupan rumah tanggamasing-masing anggota kelompok pe-rempuan ini — salah satunya pendapat-annya meningkat karena ada pencerah-an tentang produk usaha dan pemasar-an dari produk usaha kami. Lalu adajuga yang menjawab bahwa kami jugameningkat kesadaranya tentang hak kamisebagai seorang perempuan, seorangisteri. Kemudian juga polanya dalammendidik anak, tidak lagi membedakanantara anak perempuan dengan anak la-

36 Wawancara dengan Isnaini, Direktur Yayasan TotalitasPadang, 15 Mei 2012.

37 Wawancara dengan Isnaini, Direktur Yayasan TotalitasPadang, 15 Mei 2012.

144 Afirmasi Vol. 02, Januari 2013

ki-laki, pembagian kerja dalam rumahmisalnya. Terus juga kesadaran bahwasebagai perempuan, kami punya moti-vasi untuk mengembangkan diri, tahubahwa kami sebenarnya bisa memper-juangkan hak kami untuk kepentingankami sebagai perempuan”.38

Serupa dengan ASPPUK, PerempuanKepala Keluarga (Pekka) juga melakukanpengorganisasian perempuan dengan pende-katan pemenuhan kebutuhan domestik ru-mah tangga, khususnya rumah tangga de-ngan kepala keluarga perempuan. Dari hasilFGD dengan kelompok Pekka, dikemuka-kan manfaat yang dirasakan anggotanya. Se-lain peningkatan wawasan, kegiatan Pekkajuga dirasa memberi dorongan dan bantuanekonomi masyarakat.

“…Kalau ada ibu-ibu datang dari PekkaJakarta, kita dapat ilmu: cara urus suratcerai, cara mengatasi KDRT. Kasus disini tidak banyak. Kalau di Ku-nanganbanyak cerai karena kawin siri, tapi mulaiada yang ikut pelatihan juga dari sanasekarang. Di sini ada belajar tulis yangawalnya buta huruf. Jadi tambah ilmu,tambah wawasan, bisa silaturahmi juga.Yang paling disukai adalah simpan-pinjam. Sebelum ada Pekka, tidak adasimpan-pinjam. Dulu cuma ada Yasinanper minggu per dusun/jorong dari Ba-dan Kontak Majelis Taklim (BKMT),sekarang Yasinan dengan ada Pekka se-makin banyak pesertanya”.39

Sementara itu, KPI mengarahkan stra-tegi pengorganisasiannya demi berusahamenumbuhkan politisi dari kelompok dam-pingannya untuk Pemilu.

“Kita bisa mengorganisasi sekian banyakperempuan, tapi sebenarnya kita inginlebih besar dari itu. Inginnya, tidak hanyasejumlah perempuan yang mungkin ha-nya 500 atau 700 orang; kita ingin punyadampak terhadap masyarakat Minang-kabau di Sumatera Barat. Kalau kita ha-nya sekian ratus perempuan, ya, tidakakan signifikan. Nah, di samping itu,apakah kita memang hanya sampai disitu, apakah kita juga ingin mendorongperempuan masuk di dalam pengam-bilan keputusan, seperti nagari, DPRD,kemudian sampai ke Provinsi? Jadi, sebe-narnya, ketika Pemilu kemarin, ketikaada kebijakan affirmative action, itu sebe-narnya peluang besar untuk perempu-an”.40

Ternyata dalam diskusi terungkap bah-wa para perempuan tersebut juga engganuntuk aktif di ruang publik, seperti terung-kap berikut:

“Kami belum berani tampil maju dalampolitik (jadi caleg). Ada satu atau duayang berani, tapi saya melihat belum sig-nifikan. Saya juga sadar pentingnya pe-rempuan yang sudah kita berdayakan ju-ga mau mengambil posisi-posisi strate-gis di dalam politik. Tapi itu yang belumkita temukan dari perempuan-perem-puan yang kita berdayakan dalam ke-lompok ini. Dalam kelompok kita, lebihbanyak diskusi tentang strategi pemasar-an, packaging produk, dan juga bagaima-38 Focus Group Discussion ASPPUK Sumatera Barat, 17

Mei 2012.39 Focus Group Discussion Pekka Sumatera Barat, 16

Mei 2012.40 Wawancara dengan Tanti Herida, KPI Sumatera Barat,

17 Mei 2012.

Rahayuningtyas & Edriana Noerdin - Tantangan Organisasi Perempuan di Kota Padang 145

na cara mendapatkan dana serta sim-pan-pinjam yang bermanfaat untuk ke-butuhan hidup kita sehari-hari”.41

Yayasan Totalitas dan WCC Nurani Pe-rempuan melakukan organisasi massa de-ngan menggunakan pendekatan litigasi ataskasus yang terjadi di masyarakat. Totalitasbanyak bergerak di bidang kesehatan dansanitasi, namun menggunakan perspektifgender untuk tiap kegiatan yang dilakukan.

“Pada kasus gizi buruk, kita melakukankegiatan Positive Defian, yaitu pening-katan gizi dari anak miskin; kami lihatdi komunitas ada yang gizi baik, jadimereka mengadopsi apa yang dilakukananak dengan gizi baik tersebut. Ibu bisakonsentrasi meningkatkan status gizianak, bisa berdaya dengan apa yang adadi lingkungannya, tanpa bantuan kita da-ri luar. Kita memancing mereka untukmenggali dan mengelola potensi dengandiskusi dengan masyarakat (ibu-ibu).Ada juga program ketahanan pangan;setelah program dampingan satu tahun,ibu petani berhasil menghentikan galianpertambangan yang merusak tanah per-tanian dan menghambat pertumbuhanbuah padi. Mereka mampu mempenga-ruhi ninik mamaknya agar menyuruh ke-ponakannya melakukan galian. Adaadvokasi juga, dibantu LBH Padang.Akhirnya perempuan mulai berani ber-bicara dan didengar ninik mamak-nya”.42

WCC Nurani Perempuan banyak mela-kukan kegiatan dampingan terhadap kor-ban.

“… dalam dua tahun terakhir ini, kitalebih banyak menangani kasus korbankekerasan seksual. Sekarang Mely me-nangani tiga kasus perkosaan, anak-anaksekolah. Dan kebanyakan si korban tidakmengenal pelaku. Masih ada satu kasusKDRT, tetapi masih lebih banyak kasuskekerasan seksual”.43

Namun demikian, untuk menjawab per-masalahan yang ada, Yayasan Totalitas danWCC Nurani Perempuan pun melakukanupaya mitigasi untuk mencegah atau punmenekan permasalahan perempuan Mi-nangkabau.

“… sebelumnya pernah ada kegiatan ke-tahanan pangan, untuk kelompok taniperempuan, kami kenalkan denganpengelolaan administrasi kelompok sertakemampuan berpikir kritis terhadaplingkungan”.44

“Selain kerja pelayanan, kita juga mela-kukan kampanye Advokasi, kegiatan ru-tin diskusi satu bulan sekali, kadang tigabulan sekali, tapi kita usahakan terus, arti-nya pendidikan itu tetap”.45

Tantangan

Tantangan pengelola yang dialami oleh or-ganisasi berbasis massa seperti KPI dan SPsangat nyata dilihat dari melemahnya sema-ngat berorganisasi di akar rumput. SP de-ngan segala persoalan yang dialaminya su-dah lebih dahulu tutup di Kota Padang, wa-

41 Wawancara dengan Fatiha, ASPPUK, 14 Mei 2012.42 Wawancara dengan Isnaini, Yayasan Totalitas, 15 Mei

2012.

43 Wawancara dengan Yefri Heriani, Direktur WCC Nu-rani Perempuan Kota Padang, 17 Mei 2012.

44 Wawancara dengan Isnaini, Yayasan Totalitas, 14 Mei2012.

45 Wawancara dengan Yefri Heriani, Direktur WCC Nu-rani Perempuan Kota Padang, 17 Mei 2012.

146 Afirmasi Vol. 02, Januari 2013

laupun sekarang sudah mulai ada individuyang dikader untuk kembali mengembang-kan cikal bakal organisasi SP di Padang.

“Saat ini SP yang ada di Kota Padangbukan merupakan komunitas. Dulu me-mang sudah ada komunitas SP yang res-mi, namun dengan suatu alasan, komu-nitas tersebut dibekukan. Saat ini masihada beberapa anggota yang masih aktifmenjalankan program-program SP”.46

Koalisi Perempuan tidak jauh berbeda,walaupun sekretaris wilayah (Sekwil) KPImasih cukup aktif menghadiri undangan-undangan yang datang ke organisasi. Namununtuk mengorganisir anggotanya, dirasa-kan sangat sulit. Hal ini dibuktikan dengansudah mulai sepinya Balai Perempuan, seba-gai kegiatan rutin anggota KPI. Alasan yangdikemukakan tentang tidak aktifnya BalaiPerempuan adalah karena kekurangan danauntuk membiayai pertemuan-pertemuan.Namun setelah dikejar, maka terungkapbahwa selain masalah dana, Balai Perem-puan tidak lagi dirasa mewakili kebutuhandan kepentingan para perempuan di daerahtersebut. Hal ini dianggap sebagai masalahyang serius karena model organisasi KPIyang berbasis kepada isu dianggap sulit un-tuk mengembangkan dirinya di suatu wila-yah, karena belum tentu wilayah tersebutpunya perhatian atau kepedulian kepada isuyang ditawarkan.

“…Sekarang susah mencari kawanyang betul-betul tidak mengharapkanuang”.47

“Biasanya yang sering membuat pro dankontra itu kalau sudah ada uang. Con-tohnya kasus kejadian gempa tahun lalu.Katanya ada anggota Presidium yangmenyelewengkan dana Rp. 21 juta. Yangmenuduh anggota. Akhirnya kita bukabersama, kita tunjukkan kuitansi. Organi-sasi massa kalau ada uang ribut, tapi ka-lau tidak ada uang tidak ribut”.48

“… sebenarnya dalam AD/ARTnya ituPresidium, karena mereka yang memilikiAnggota, dan Sekwil yang menjalankan.Tapi di lapangan, Sekwil yang meng-ambil semua. Banyak faktor, karena ke-sibukan Presidium itu sendiri, dan adapula permasalahan biaya transportasi.Sudah disampaikan ke pusat, setiap ra-pat kita ajukan, karena KPI kesulitandana. Kita dituntut harus bisa mencaridana sendiri dengan mengajukan pro-posal ke daerah”.49

Permasalahan pembagian kerja diung-kapkan sebagai salah satu penyebab sepinyaBalai Perempuan. Pasalnya, semua kegiatanKPI di Kota Padang seolah-olah hanya men-jadi tanggungjawab Sekwil semata. Presi-dium cenderung pasif menjalankan kegiat-an KPI dengan berbagai alasan. Dengan de-mikian, model organisasi yang lebih meng-utamakan wilayah sebagai basis kerjanya ja-uh lebih bertahan lama, karena masyarakatwilayah tersebutlah yang akan menentukanisu apa yang akan dibahas sesuai dengan ke-butuhan dan kepentingan masyarakat, danistri kepala desa, lurah atau bahkan camatjuga bisa aktif terlibat.

48 Ibid.49 Ibid.

46 Wawancara dengan Yuni Walrif, Calon anggota SPPadang, 14 Mei 2012.

47 Wawancara dengan Tanti Herida, KPI, 17 Mei 2012.

Rahayuningtyas & Edriana Noerdin - Tantangan Organisasi Perempuan di Kota Padang 147

LP2M merupakan organisasi berbentukPerkumpulan dalam mana pengurus ekse-kutif dinamakan sebagai Badan Pelaksanayang dipimpin oleh Direktur Eksekutif. Diatasnya ada Badan Pengurus yang ada Ke-tua, Sekretaris dan Bendahara. Perkumpul-an diyakini lebih terbuka dan demokratiskarena kepemimpinan tidak dipegang olehpendiri yang langsung menjadi badan ekse-kutif. Sebaliknya, Yayasan dianggap lebihtertutup kepemimpinannya. KeanggotaanBadan Pengurus dalam Perkumpulan ada-lah mantan direktur yang sudah digantikan,ditambah dengan beberapa orang yang di-anggap mumpuni dalam hal organisasi mau-pun substansi isu yang ditangani. Strukturorganisasinya mengharuskan Badan Pelak-sana atau pengurus harian membuat per-tanggungjawaban kepada Badan Pengurus,baik pertanggungjawaban program maupunkegiatan. Badan Pengurus akan menentu-kan rapat untuk membahas laporan kepadaBadan Pelaksana, sehingga governance or-ganisasi tampak lebih terbuka dan demokra-tis. Dalam kasus LP2M, ketika terjadi kon-flik, tidak jarang Badang Pengurus (atau in-dividu Badan Pengurus yang pernah menja-di Direktur sebelumnya) mau tidak mau ju-ga terlibat atau dilibatkan di dalam konflik.

“Dalam bayangan Utopia kita, kepe-mimpinan yang baik katanya yang par-tisipatif. Tapi kenyataannya, pemimpinadalah satu orang yang bisa melaksana-kan manajemen. Bentuk organisasi Ya-yasan yang partisipatif itu sulit. Di LP2Msaya lihat dan saya coba untuk belajardari pengalaman. Itu menjadi pelajaranbagaimana menjadi LSM yang akunta-bel. LP2M dari segi manajemen berjalanbaik. Tetapi yang menjadi konflik karena

ada kubu yang masuk dan kasak-kusukpasca bencana”.50

Keterlibatan Badan Pengurus menim-bulkan anggapan bahwa mereka tidak ne-tral. Ada anggapan bahwa mantan direkturyang duduk di Badan Pengurus justru mem-perkeruh konflik yang ada. Lebih jauh, bah-kan Badan Pengurus sampai melakukan pe-mecatan terhadap Direktur Eksekutif danManager Program.

“… pengalaman LP2M sulit memba-ngun partisipatif secara utuh. Yang terja-di, lembaga besar, dana besar, prinsipdi organisasi sangat sulit diterapkan ka-rena banyak kepentingan. Point A cobadikaburkan dengan isu B. Itu sangat ber-pengaruh. Sudah coba diatasi denganmembangun dalam diri dan orang seki-tar bahwa kita harus punya keterbukaanhati, keterbukaan cara pikir. Sebetulnyadi LP2M ini terjadi dan jalan, tetapi su-dah ada yang punya kekuasaan tersem-bunyi di organisasi, maka gaya partisi-patif akan sulit dilakukan”.51

Struktur organisasi Perkumpulan, apa-bila tidak diikuti dengan penguasaan subs-tansi dasar pemikiran feminis, atau adanyasolidaritas persaudaraan perempuan dalammembangun dan menjaga organisasi demimencapai keadilan dan kesetaraan gender,maka hal itu tetap saja tidak mejamin jalan-nya organisasi menjadi lebih terbuka, demo-kratis. Malah sebaliknya, semakin membe-bani organisasi, bahkan sampai pada titikkrusial karena keluarnya Direktur Ekseku-

50 Wawancara dengan Desi, mantan Direktur LP2M, 15Mei 2012.

51 Ibid.

148 Afirmasi Vol. 02, Januari 2013

tif dan Manager Program dan digantikansementara oleh anggota Badan Pengurussebagai Direktur Pelaksana.

“… dalam Mubeslub, dipilih salah satusenior untuk jadi project manager; tapi re-kan-rekan baru belum tahu apa-apa,malah menolak dia untuk dipilih jadi pro-ject manager. Bagaimana mereka menolak,bagaimana mereka tahu orang itu buruk,kalau mereka baru kenal dua minggu?Sangat tidak masuk akal”.52

“Saya berbeda pandangan dengan peng-urus lain. Saya rasa perlu dikonfirmasidan dijelaskan masalahnya. Tapi yang lainmengatakan, sudah tidak ada apa-apadan besok kembali bekerja. Ini tidakmasuk akal. Saya tidak bisa terima kepu-tusan. Mereka rapat lima menit dan lang-sung memberhentikan direktur yang se-dang menjalankan lima program, danmereka mempertahankan teman-temanyang baru kerja tiga bulan. Saya heran,saya diberhentikan sebagai pengurus, pa-dahal saya belum dievaluasi, dan sudahbekerja 14 tahun di sana”.

Dalam hal tantangan untuk organisasi“cabang” dari Jakarta, Pekka dan ASPPUKmenghadapi kendala tersendiri. Keterbatas-an sumberdaya berakibat pada keterbatasankegiatan organisasi. ASPPUK yang banyakmemiliki kegiatan untuk perempuan peng-usaha kecil masih merasa menghadapi ken-dala pendanaan modal sehingga produktivi-tas dan pemasaran produk tidak maksimal.

“Pemasaran produk masih sulit, masihbanyak saingan. Produk tidak bisa ma-

suk ke toko karena tidak diterima akibattidak ada label. Modal masih terbatas.Ya, solusinya dengan bantuan modal danbantuan pemasaran”.53

Pekka di Sumatera Barat sudah memili-ki kegiatan rutin yang cukup baik. Koordi-nasi dengan Pekka Jakarta pun berjalan lan-car, terbukti dengan kunjungan tiga bulansekali dari Jakarta untuk memberikan pendi-dikan kepada ibu-ibu anggota. Namun, un-tuk bantuan pendanaan, memang belum adadari Jakarta. Kegiatan utama Pekka adalahsimpan-pinjam, yang juga banyak diminatikarena bisa memperoleh modal untuk mem-buka usaha dan biaya sekolah anak. Selainitu, yang menjadi tantangan adalah banyak-nya produk kerajinan yang sudah dibuatnamun belum bisa dipasarkan karena pro-duk yang dibuat tidak sesuai dengan kebu-tuhan masyarakat setempat.

“Ada produk kerajinan yang mau dijual,tapi belum tahu mau jual kemana. Baruproduksi saja. Dulu pernah studi ban-ding ke Cianjur bikin krupuk wortel,tapi di sini harga wortel mahal sekali,modalnya tidak ada”.54

Serupa dengan organisasi lain, WCC Nu-rani Perempuan juga memiliki keterbatasandalam hal pendanaan. Hanya saja WCC Nu-rani Perempuan tidak menganggapnya seba-gai kendala untuk bergerak. Beberapa wak-tu lalu, sempat ada upaya bekerjasama de-ngan Pusat Pelayanan Terpadu Perempuandan Anak (P2TPA). Namun karena satu danlain hal, kerjasama tersebut tidak berjalan

52 Ibid.

53 Focus Group Discussion ASPPUK, 17 Mei 2012.54 Focus Group Discussion Pekka, 15 Mei 2012.

Rahayuningtyas & Edriana Noerdin - Tantangan Organisasi Perempuan di Kota Padang 149

dengan baik. Dalam hal pelaksanaan teknis,WCC Nurani Perempuan juga sering menda-pat ancaman atau teror, seperti yang terjadidengan hotline nomor kontak yang WCC Nu-rani Perempuan buat dengan harapan kor-ban dapat menghubungi langsung kapansaja. Ada beberapa pihak yang tidak sukakehadirannya, dan menggunakannya untukmengancam keberadaan WCC Nurani Pe-rempuan.

“Mungkin saya yang pertama kali marahdengan Komnas, yang menyuruh untukberkoordinasi dengan P2PTA pada ta-hun 2003-2004, karena kita waktu ituP2TPA punya dana. Tapi kami menda-pat pengalaman awal yang kurang baikdengan P2PTA. Mereka menyuruh kitamembuat perencanaan dan segala ma-cam. Sebetulnya P2PTA bukan lemba-ga yang mengkoordinasi lembaga Pe-rempuan Pengada Layanan. Merekamemainkan sendiri, yang isinya adalahmantan-mantan istri para pejabat, pe-rempuan dinas”.55

“Kita ingin membicarakan secara khu-sus, karena kawan-kawan kita yang kerjadi lapangan itu, mereka banyak menda-pat ancaman macam-macam. Kita bu-tuh pembelajaran dan strateginya sepertiapa. Kadang kita tiap malam mendapattelepon, tapi tidak ada suaranya”.56

Yayasan Totalitas sudah menjalankankegiatannya dengan baik. Dalam hal sumberdana pun mereka memiliki inisiatif untukmenulis proposal dan mengajukan kepadadonor. Yang masih menjadi kendala adalah

melakukan perubahan sosial di masyarakatdengan menumbuhkan kesadaran masyara-kat. Ketika masa satu atau dua tahun dam-pingan, masyarakat melaksanakan programdengan baik. Namun setelah selesai menda-pat dampingan, mereka mulai melupakandan tidak menjaga keberlangsungan kegiat-an. Kendala dana sering dijadikan alasan,padahal kegiatan yang dilakukan hanyamembutuhkan sedikit dana atau bahkan ti-dak sama sekali.

“Semua kegiatan yang dilakukan me-mang membutuhkan dana. Namun ti-dak besar dan kami juga sudah ajarkanagar mereka bisa kolektif mengumpul-kan dana. Tapi sebenarnya bukan dana.Yang dibutuhkan adalah kesadaran dankeberanian: berani berbicara di rapat-rapat itu tidak membutuhkan dana. Me-mang sejak awal, kami tidak pernahmemberikan intervensi bantuan danauntuk mereka. Ini sangat kita hindari, su-paya mereka tidak tergantung pada uangdan tidak akan berharap terus. Jika adaorganisasi lain datang, nanti kelak merekatidak mau lagi kalau tidak ada dana”.57

Penutup

Ruang untuk mengangkat permasalahangender ke permukaan makin terbuka setelahperubahan politik tahun 1998. Kondisi inimemungkinkan peningkatan sejumlah or-nop perempuan di Sumatera Barat, baikyang didirikan dengan inisiatif lokal mau-pun karena adanya kebutuhan perluasan ja-ringan organisasi perempuan berskala nasio-nal. Ornop perempuan yang berkembang di

55 Wawancara dengan Yefri Heriani, Direktur WCC Nu-rani Perempuan Kota Padang, 17 Mei 2012.

56 Ibid.57 Wawancara dengan Isnaini, Yayasan Totalitas, 15 Mei

2012.

150 Afirmasi Vol. 02, Januari 2013

Sumatera Barat setelah 1998 memilih fokuskerja yang beragam, mulai dari advokasi ke-bijakan, pengorganisasian unit ekonomi pe-rempuan, layanan bantuan hukum sampaikepada layanan untuk korban kekerasanterhadap perempuan.

Pertumbuhan organisasi perempuan inimembutuhkan dukungan sumberdaya ma-nusia, dana dan pengetahuan — yang tam-paknya belum tersedia di Sumatera Barat.Dengan demikian, masing-masing organisa-si berusaha untuk membuka hubungan de-ngan organisasi perempuan atau organisasinon-perempuan yang telah berpengalamanbekerja dalam bidang yang ditekuni organi-sasi. Akibatnya, prioritas pembangunan ja-ringan lebih diarahkan kepada organisasiperempuan di luar wilayah, dan bukan de-ngan organisasi perempuan di Sumatera Ba-rat sendiri.

Dalam usaha mengubah tatanan hu-bungan gender setempat, ornop perempuanmemilih untuk bekerja melalui institusi po-litik non-tradisional, seperti kelompok usa-ha perempuan, kelompok diskusi wargamaupun parlemen lokal. Pilihan ini menun-jukkan harapan bahwa peminggiran perem-puan dari proses pengambilan keputusan da-lam keluarga maupun masyarakat bisa dibe-nahi, dengan lebih banyak melibatkan pe-rempuan dalam institusi pengambilan kepu-tusan yang didominasi laki-laki. Ornop pe-

rempuan menghindari cara kerja yang se-cara tegas berhadapan dengan institusi adatserta agama, meskipun telah mengidentifi-kasi bahwa sumber hambatan akses perem-puan terletak pada proses pendefinisian ke-duanya. Sebagian besar ornop perempuanmengungkapkan kekhawatirannya akanpenolakan masyarakat jika bersikap kon-frontatif dengan institusi adat dan agama.

Agenda organisasi perempuan untukmeningkatkan akses perempuan berperandalam pembuatan keputusan lokal merupa-kan tanggapan yang menjawab persoalangender lokal. Akan tetapi organisasi perem-puan menghadapi kendala baik internal (ke-kurangan sumberdaya), maupun eksternal(resistensi masyarakat terhadap problemgender) dalam melakukan kerjanya. Sum-berdaya organisasi kemudian lebih dialoka-sikan untuk mengangkat permasalahan lainyang lebih mungkin mendapat dukungan da-na untuk kelangsungan organisasi. Kesulit-an untuk memperoleh dukungan untuk me-ngangkat persoalan lokal merupakan ham-batan umum yang ditemui ornop perempu-an dalam bekerja. Keadaan ini akan berlan-jut jika ornop perempuan Sumatera Barattidak menciptakan strategi untuk melibat-kan diri dalam pendefinisian institusi poli-tik adat dan agama, serta tidak menemukandukungan baik dari wilayahnya sendiri mau-pun dari luar untuk melakukannya.***

Ika Wahyu Priaryani & Aris Arif Mundayat

Lampung merupakan wilayah di manaperpaduan antara budaya Melayu dan

Jawa sangat kental. Masyarakat Lampungterdiri dari beragam etnis; ada Jawa, Ban-ten, Sunda, Sumatera Selatan dan Tionghoa.Banyaknya warga etnis Jawa di wilayahLampung akibat gelombang transmigrasiyang dilakukan sejak masa penjajahan Be-landa. Sayogyo (1986) dalam buku SosiologiPedesaan menulis bahwa Lampung merupa-kan basis pertama kolonisasi petani Jawadi luar pulau Jawa. Wajar bila di beberapawilayah Lampung bisa ditemui komunitas-komunitas Jawa. Selain budaya Jawa, Lam-pung juga mempunyai suku dengan budayasendiri yang banyak terpengaruh oleh buda-

ya Melayu dari kerajaan Sriwijaya. Dalamlambang daerahnya, Provinsi Lampungmempunyai motto Sang Bumi Ruwai Jurai.Sang Bumi diartikan sebagai rumah tanggaagung yang berbilik, Ruwai Jurai diartikansebagai dua unsur golongan masyarakatyang mendiami Provinsi Lampung — yangjuga dimaknai sebagai masyarakat asli danpendatang. Data Badan Pusat Statistik(BPS) Lampung tahun 20001 menyebutkan,Lampung memiliki komposisi pendudukberdasarkan suku yang beragam, dalam ma-na suku Jawa menempati porsi terbesar,

Interpretasi atas nilai-nilai agama dan budaya di Lampung merupakan penopang utama bertahandan menguatnya nilai patriarki dalam masyarakat. Hal ini menjadi salah satu tantangan besar da-lam mengembangkan kepemimpinan perempuan di Lampung. Perempuan yang tergabung dalamorganisasi perempuan di Lampung sulit masuk ke ruang publik, meskipun banyak organisasiperempuan yang memiliki potensi untuk lebih aktif di kebijakan publik dan politik lokal. Bagaimanaorganisasi perempuan di Lampung memainkan peran strategis bagi berlangsungnya proses penyadaranakan berbagai bentuk ketidakadilan gender dalam tulisan ini hal itu diungkap.

1 Data diambil dari tahun 2000 sebab setelahnya BPS taklagi mengelompokkan penduduk berdasarkan suku.

Upaya Membangun PengorganisasianPerempuan di Lampung

152 Afirmasi Vol. 02, Januari 2013

yakni 4.113.731 jiwa (61,88 persen). Mere-ka disusul oleh Lampung, 792.312 jiwa(11,92 persen); Sunda, termasuk Banten749.566 jiwa (11,27 persen); Semendo danPalembang 36.292 jiwa (3,55 persen); Sukubangsa lain, antara lain adalah Bengkulu,Batak, Bugis dan Minang yakni 754.989jiwa (11,35 persen).

Dalam Indeks Pembangunan Manusia(IPM) pada 2011, Lampung berada di angka71,42, yang masuk dalam kategori sedang.Penyandang buta aksara di Lampung seba-nyak 41.742 orang, 28.386 di antaranya ada-lah perempuan. Perempuan dalam masyara-kat Lampung, sama halnya dengan perem-puan di masyarakat Jawa yang menjadi ma-yoritas penduduk, terperangkap dalam bu-daya patriarki. Interpretasi atas nilai-nilai da-ri agama dan budaya merupakan penopangutama bertahan dan menguatnya nilai pa-triarki dalam masyarakat. Interpretasi agamaIslam dalam bingkai patriarki diduga menja-di salah satu tantangan besar dalam me-ngembangkan kepemimpinan perempuan.

Masyarakat Lampung yang menetap dipedesaan dan relatif jauh dari pusat pertum-buhan ekonomi merupakan masyarakat mis-kin. Mata pencaharian utama di wilayahmiskin adalah di sektor agraris, dan konsen-trasi perempuan yang rentan terhadap ke-kerasan di Lampung banyak tersebar di de-sa-desa agraris.

Penduduk desa menempati rumah-ru-mah kecil yang dihuni oleh rata-rata enamanggota keluarga, hal mana mengkondisi-kan mudahnya terjadi incest atas dasar ke-kerasan. Data statistik untuk kasus incest tiaptahun cukup tinggi, yaitu sekitar 10 kasusper tahun antara 2005-2011. Hal ini menun-jukkan bahwa institusi keluarga bukan me-

rupakan institusi yang menjamin keamananbagi perempuan. Kasus incest cenderung ter-jadi antara bapak terhadap anak, atau kakaklaki-laki terhadap adik perempuan. Ketikakasus terjadi, keluarga cenderung menutupi-nya, karena dianggap aib keluarga. Posisiperempuan dalam hal ini dibiarkan rentanoleh keluarganya sendiri.

Berangkat dari banyaknya kasus keke-rasan perempuan di wilayah pedesaan diLampung, Perkumpulan Damar yang di-ketuai oleh S.N. Laila hadir sebagai upayauntuk menjawab berbagai persoalan terse-but, dengan fokus kegiatan pada pengor-ganisasian perempuan pedesaan.

Geliat Organisasi Perempuandi Lampung

Isu kekerasan terhadap perempuan pascaTragedi 1998 merupakan latarbelakangPerkumpulan Damar mengukuhkan diri se-bagai bagian dari masyarakat sipil. Sebagaiorganisasi yang baru tumbuh, PerkumpulanDamar cukup spesifik dan khas dalam me-milih isu, yaitu advokasi dan pemberdayaandi bidang hukum bagi perempuan. Tujuan-nya adalah agar kaum perempuan menyadaribahwa ada perlindungan hukum yang dapatdiakses untuk mencegah dan mengatasi ke-kekerasan. Sebelum Perkumpulan Damarterbentuk, terdapat organisasi yang lebih da-hulu memfokuskan kerjanya pada isu pe-rempuan dan anak, yakni Lembaga StudiAdvokasi Perempuan dan Anak (Elsapa).

Perkumpulan Damar bergerak di limakabupaten/kota (Bandar Lampung, Tang-gamus, Lampung Tengah, Lampung Timurdan Lampung Selatan). Salah satu yang di-amanatkan Perkumpulan Damar ialah mandat

Ika Wahyu Priaryani & Aris Arif Mundayat - Upaya Membangun Pengorganisasian Perempuan di Lampung 153

menjadi lembaga advokasi agar perempuanbisa bebas dari diskriminasi, dan hak-haknyaterpenuhi. Hal ini diwujudkan dengan mem-bentuk Lembaga Advokasi Perempuan Da-mar yang mulai aktif pada tahun 2000. Pro-gram yang dijalankan antara lain memberi-kan bantuan hukum dan konseling bagi pe-rempuan korban kekerasan. Lembaga ini ju-ga aktif melakukan advokasi ke pemerintahagar menyediakan perlindungan dan pela-yanan bagi perempuan korban kekerasan.Advokasi ditujukan untuk menyadarkanaparat penegak hukum agar berempati ter-hadap perempuan korban kekerasan yangmelaporkan kasus kekerasan yang dialami-nya. Lembaga Advokasi Perempuan Damarmemulai aktivitasnya berdasarkan kondisibahwa kasus Kekerasan Dalam RumahTangga (KDRT) dan incest dengan modusperkosaan banyak dihadapi oleh perempu-an, dan juga anak di bawah umur. Sebagaibagian dari jaringan masyarakat sipil, dalammelaksanakan kegiatannya, PerkumpulanDamar dan juga Lembaga Advokasi Perem-puan Damar banyak bekerjasama dengankalangan masyarakat sipil lainnya. Sebagaiupaya lebih menyuarakan dan menggaung-kan kegiatan advokasi dan penyadaran adilgender Perkumpulan Damar juga menggu-nakan kesenian sebagai mediumnya. Per-kumpulan Damar hadir di basis-basis komu-nitas pengorganisasian Organisasi Non-Pemerintah (Ornop) lain di Lampung, gunaikut mewarnainya dengan perspektif adilgender. Komunitas yang dilayaninya bera-gam: ada nelayan, kaum miskin kota, petani,buruh, antara lain.

Lembaga Advokasi Perempuan Damarmulai memperkenalkan diri kepada publikmelalui aktivitas tour of survivors. Dalam ak-

tivitas itu, perempuan korban kekerasanmelakukan testimoni ke oditur militer, ke-polisian wilayah, kejaksaan, serta aparat pe-negak hukum dan beberapa pemangku ke-pentingan lain. Dari kegiatan itu, LembagaAdvokasi Perempuan Damar memperolehkepercayaan untuk mendampingi korbankekerasan. Pendampingan yang dilakukanbisa dari rumah sakit, polisi ataupun parakorban datang sendiri ke kantor LembagaAdvokasi Perempuan Damar. Proses pen-dampingan awal adalah konseling berupabimbingan psikologis. Staf Lembaga Advo-kasi Perkumpulan Damar menanyakan kro-nologis kejadian kepada pihak korban.Lembaga Advokasi Perempuan Damar ti-dak dapat memproses semua pengaduankorban secara hukum, karena seringkali kor-ban merasa proses hukum akan membukaaib mereka kepada umum.

“ ....Tidak semua kasus yang diadukanke Damar diproses hukum. Kita jugamenyediakan layanan konseling psiko-logis”.2

Persoalan kekerasan terhadap perempu-an kerap kali dikaitkan dengan nama baikkeluarga, dan hal ini menghambat posisi pe-rempuan itu sendiri secara hukum.

Sehubungan dengan hal itu, LembagaAdvokasi Perempuan Damar memberikanbantuan bimbingan psikologis dan penguat-an akan kesadaran hak kepada pihak ke-luarga. Tujuannya adalah supaya pihak ke-luarga ikut aktif berperan untuk menguat-kan korban, sehingga sang korban memiliki

2 Wawancara dengan Mahmudah, Divisi Jaringan danHukum Lembaga Advokasi Perempuan Damar,Lampung 11 Mei 2012.

154 Afirmasi Vol. 02, Januari 2013

keberanian untuk menggugat pelaku secarahukum.

“ ....Penguatan tidak hanya dilakukankepada korban, tapi juga kepada keluar-ga, karena apa yang terjadi kepada kor-ban kekerasan bukan merupakan kesa-lahan korban. Ini bukan aib”.3

Lembaga Advokasi Perempuan Damarjuga memberikan lokalatih bagi kepolisiandan kejaksaaan untuk terlibat aktif dalampenanganan kasus, atau litigasi terhadap ka-sus kekerasan terhadap perempuan. Konseppendidikan yang dilaksanakan bukan pen-didikan dalam kelas atau ruang, tetapi pro-ses belajar bersama dalam menangani kasusaduan kekerasan terhadap perempuan se-cara langsung. Proses advokasi dan pendam-pingan terhadap korban kekerasan melibat-kan banyak staf, tidak hanya staf litigasi se-mata. Selain pendidikan, ada pula kegiatanmembangun database kasus kekerasan yangberguna untuk memahami fenomena keke-rasan di wilayah dampingan advokasi. Ber-sama dengan Perkumpulan Damar, Lemba-ga advokasi Perempuan Damar juga mela-kukan kampanye ke desa-desa agar masya-rakat memahami masalah kekerasan terha-dap perempuan, supaya masyarakat dapatsecara aktif ikut mencegah dan menanganikasus yang muncul. Pada awalnya, merekamembangun kerjasama dengan kelurahandan desa untuk melibatkan unit organisasipemerintahan terendah, yaitu tingkat RTdan RW. Strategi lain yang dilakukan Per-kumpulan Damar ialah menggunakan per-tunjukan, yaitu mengadakan pesta rakyat di

desa-desa, bekerjasama dengan penyeleng-gara teater yang mementaskan kasus-kasuskekerasan terhadap perempuan. Upaya pe-mentasan ini lebih mendekatkan Perkum-pulan Damar dengan komunitas di pedesa-an. Untuk kegiatan pementasan teater, Per-kumpulan Damar bekerjasama denganTeater Satu Lampung.

Teater Satu Lampung sendiri lahir pada18 Oktober 1996, diinisiasi oleh IswadiPratama dan Imas Sobariah. Iswadi adalahseniman yang banyak menaruh perhatianpada lakon perempuan dan kajian femi-nisme. Sementara itu, Imas adalah pegiatteater yang pada akhirnya juga banyak ber-gulat dengan permasalahan perempuan.Perkumpulan Damar dan Teater Satu ber-kolaborasi dan bekerjasama dengan baik ka-rena melihat bahwa melalui kesenian, ma-syarakat awam dapat memahami dan me-nyadari bahwa kekerasan terhadap perem-puan sangat merugikan masyarakat sendiri.Melalui cara ini, Damar mampu menyam-paikan pesan tentang mengapa kekerasanterhadap perempuan terjadi dan bagaimanamengatasi dan mencegahnya.

Perkumpulan Damar juga menginisiasiGerakan Perempuan Lampung (GPL) yanganggotanya merupakan peserta dari kegiat-an pelatihan adil gender yang diadakanLembaga Advokasi Perempuan Damar. Ke-lahiran GPL banyak didukung oleh laki-laki, seperti Ahmad Yulden Erwin dari Ko-mite Anti Korupsi (KoAK), Ikram dari Uni-versitas Lampung dan (alm.) Imam Ghozali.GPL mulai digagas dan menjadi bahan dis-kusi pada tahun 2005-an, diawali dari kege-lisahan alumni peserta pelatihan adil gen-der dan anti-kekerasan. Alumni yang berasalkegiatan pelatihan tersebut membentuk or-

3 Wawancara dengan Selly Fitriani, Direktur LembagaAdvokasi Perempuan Damar, Lampung 11 Mei 2012.

Ika Wahyu Priaryani & Aris Arif Mundayat - Upaya Membangun Pengorganisasian Perempuan di Lampung 155

rakat yang adil untuk semua, dan terpenuhi-nya hak dasar perempuan melalui kepemim-pinan gerakan perempuan yang progresif.

Misi GPL,4 yakni:1. Membangun dan memperkuat gerak-

an perempuan melalui penguatan ka-pasitas anggota secara kualitatif mau-pun kuantitatif.

2. Membangun mekanisme kerja organi-sasi yang akuntabel dan transparanberdasarkan nilai-nilai dan prinsip-prinsip organisasi.

3. Memperjuangkan pemenuhan hak da-sar perempuan, dengan mendorongpemerintah untuk membuat kebijak-an yang pro-rakyat dan adil gender.

4. Membangun pengembangan ekonomiperempuan dengan mengembangkanekonomi alternatif.

Selain Damar, terdapat beberapa organi-sasi yang bekerja pada isu perempuan, se-perti Koalisi Perempuan Indonesia (KPI)dan Solidaritas Perempuan (SP). AktivisKPI Lampung tersebar di berbagai tempatdan aktif dalam membentuk komunitas,antara lain Jaringan Perempuan Pesisir(JPrP).

JPrP terbentuk dari balai-balai di komu-nitas yang awalnya didirikan oleh UrbanPoor Consortium (UPC). Mulai 2008, pe-rempuan di komunitas-komunitas yang ter-sebar di beberapa kelurahan mulai berga-bung dalam wadah JPrP. Balai-balai tersebutdi antaranya Kesatuan Perempuan Sukaraja(KPS), Forum Masyarakat Kramat (For-

ganisasi masing-masing di wilayah kabupa-ten/kota. Enam organisasi tingkat kabupa-ten/kota kemudian mendeklarasikan GPL.Kegiatan GPL diawali dengan pertemuanorganisasi lintas kabupaten secara rutin.

Kelahiran GPL tidak bisa dilepaskan da-ri kegiatan advokasi yang telah dilakukanLembaga Advokasi Perempuan Damar danornop lainnya di wilayah Lampung. AnggotaGPL merupakan individu-individu yangberjaringan dengan Damar maupun dam-pingan ornop yang merupakan mitra Da-mar. Ornop tersebut adalah Kantor BantuanHukum (KBH), Lembaga Bantuan Hukum(LBH), Komite Anti Korupsi (KoAK), Ya-yasan Lembaga Pembinaan MasyarakatDesa (YLPMD), dan lembaga lokal lainnya.GPL dideklarasikan pada Maret 2008. Da-lam deklarasinya, GPL mencatat anggota-nya ada di 17 kecamatan, 80 desa/kelurah-an, dan beranggotakan 2.118 orang. Kepe-ngurusan GPL ada di tingkat provinsi, ka-bupaten/kota sampai ke tingkat desa.Anggota GPL rata-rata adalah aktivis di ma-syarakat atau komunitasnya. Ada yang men-jadi kader Pembinaan Kesejahteraan keluar-ga (PKK), Program Nasional Pemberdaya-an Masyarakat (PNPM) atau kegiatan seje-nis.

GPL lahir dan melakukan deklarasi men-jelang hiruk-pikuk Pemilihan Umum 2009.Hal ini serta-merta dikaitkan dengan kepen-tingan politik praktis dalam rangka pengum-pulan dan pengerahan massa. Majunya S.N.Laila dan beberapa pegiat Damar sebagaicalon legislatif dari Partai Demokrasi Indo-nesia Perjuangan (PDI-P) banyak mendapatsorotan, baik dari yang mendukung ataupunyang tidak. Dalam deklarasinya, GPL men-canangkan visi terciptanya tatanan masya-

4 Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga, GerakanPerempuan Lampung, 2008.

156 Afirmasi Vol. 02, Januari 2013

mak) dan Permata. Balai atau komunitastersebut tersebar di wilayah pesisir Lam-pung yaitu di Sukaraja, Kramat, Gruntangdan Kangkung. Wilayah ini merupakan tem-pat kaum miskin kota, kawasan yang padatpenduduk. Kawasan pesisir ini dihuni ke-luarga nelayan, dan seperti halnya masya-rakat nelayan pada umumya, para lelaki per-gi melaut dan perempuan lebih aktif dalamkegiatan komunitas. Selain kerja domestik,perempuan juga melakukan kerja produktifuntuk menopang ekonomi keluarga, sepertimengumpulkan sampah untuk diolah men-jadi pupuk dan barang lainnya, juga berda-gang, dll. Meskipun demikian, perempuannelayan rentan mengalami KDRT, teruta-ma saat musim paceklik tiba.

Salah satu pendiri JPrP, Faisal, menya-takan bahwa perempuan bisa menjadi loko-motif perubahan. Bila perempuan bisa ber-daya dalam komunitasnya, kekerasan terha-dap perempuan akan berkurang dan harkatperempuan dapat setara dengan laki-laki.5JPrP sebagai kelompok perempuan mula-nya berkumpul untuk mengambil hak kepe-milikan tanah, karena tanah di wilayahpengorganisasian JPrP masih ilegal. JPrPmulai melakukan demonstrasi ke kantor-kantor pemerintah untuk menuntut hak-hak kepemilikan tanah para anggotanya.Demonstrasi dilakukan karena warga me-ngetahui akan ada Rancangan PeraturanDaerah (Raperda) yang mengatur wilayahpesisir, dalam mana tanah di wilayah ituakan digusur untuk proyek reklamasi pan-tai. Isu yang ditangani JPrP selain kasus ke-seharian masyarakat, juga masalah kepe-

milikan tanah, kelangkaan air bersih danmasalah layanan administrasi kependu-dukan seperti kepemilikan Kartu TandaPenduduk (KTP). Community organizer dariJPrP adalah aktivis KPI yang juga dekatdengan UPC dengan UpLink.

Ranah Kerja Organisasi Perempuandi Lampung

Antara 2000-2008, Lembaga Advokasi Pe-rempuan Damar melakukan advokasi anti-kekerasan terhadap perempuan dan anak.Advokasi ini menghasilkan kesepakatanyang dituangkan dalam Memorandum of Un-derstanding (MoU) antar pemangku kepen-tingan di wilayah Provinsi Lampung danKota Bandar Lampung untuk memberikanpelayanan kepada perempuan korban keke-rasan, termasuk kerjasama dengan kepolisi-an dan rumah sakit untuk membuka pos la-yanan kasus kekerasan terhadap perempu-an dan anak. Meskipun memiliki RumahAman sendiri, Lembaga Advokasi Perempu-an Damar juga bekerjasama dengan RumahAman yang dikelola oleh Dinas Sosial kabu-paten/kota untuk membantu penanganankorban kekerasan. Layanan tersebut sangatnyata dirasakan oleh warga masyarakat. Inimembuat Lembaga Advokasi PerempuanDamar dikenal baik di kalangan pemangkukepentingan dan aparat penegak hukummaupun masyarakat secara luas. LembagaAdvokasi Perempuan Damar juga cukup di-kenal melalui pemberitaan media massa,karena melakukan kegiatan advokasi di bi-dang hukum untuk memberikan perlindung-an terhadap perempuan korban kekerasan.

Sementara itu Perkumpulan Damarmenggerakkan kaum perempuan pedesaan

5 Wawancara dengan Faisal, Pendiri JPrP, Mei 2012,melalui sambungan telepon.

Ika Wahyu Priaryani & Aris Arif Mundayat - Upaya Membangun Pengorganisasian Perempuan di Lampung 157

untuk membentuk organisasi-organisasi pe-rempuan tingkat lokal. Pengorganisasiantersebut berbasis pada keyakinan bahwa pe-rempuan sebagai anggota masyarakat perlulebih berperan aktif berupaya mengakhirikekerasan terhadap kaumnya. Hal ini dila-kukan dengan cara memperkuat pengakuanterhadap hak-hak perempuan. Sejak 2006,Perkumpulan Damar dan Lembaga Advo-kasi Perempuan Damar mulai mengorgani-sasi perempuan di lima kabupaten di Lam-pung. Upaya ini telah menghasilkan Dekla-rasi Gerakan Perempuan Lampung dengananggota sekitar 1.800 perempuan dari Ka-bupaten Bandar Lampung, Lampung Timur,Lampung Selatan, dan Tanggamus padaFebruari 2008.

Kegiatan advokasi terhadap perempuankorban kekerasan tetap menjadi fokus Lem-baga Advokasi Perempuan Damar. Mulai2009, Lembaga Advokasi Perempuan Da-mar meluaskan isu dan program kerjanyadi antaranya Pemenuhan Hak Dasar Pe-rempuan dengan mengadvokasi Hak Kese-hatan Ibu dan Anak, Pendidikan Dasaruntuk Semua yang Gratis dan Berkualitas,Hak Politik Perempuan, anti-kekerasan ter-hadap perempuan, dan anti-pemiskinan.

Kegiatan pengorganisasian yang dilaku-kan Lembaga Advokasi Perempuan Damardan Perkumpulan Damar sebagai berikut:

1. Terbentuk Gerakan Perempuan Lam-pung yang berbasis pada organisasi-organisasi perempuan di enam kabu-paten/kota.

2. Menguat dan meluasnya kelompok-kelompok perempuan di enam kabu-paten/kota, di 17 kecamatan, dan 80desa/pekon/kampung/kelurahan,

dengan jumlah anggota 2.118 orangyang sudah terdidik.

3. Anggota yang telah mengikuti pen-didikan “Adil Gender dan Anti-Keke-rasan” berjumlah 2.118; anggota yangtelah mengikuti pendidikan “AnalisaSosial Berperspektif Feminisme” ber-jumlah 370; anggota yang telah meng-ikuti pendidikan “Advokasi dan Peng-organisasian” berjumlah 100; dan ang-gota yang telah mengikuti pendidikan“Kepemimpinan Perempuan dan TataKelola Organisasi” berjumlah 30.

4. Lahirnya pemimpin perempuan lokalyang terlibat aktif dalam pemerintah-an desa, seperti antara lain menjadikepala desa dan anggota Badan Per-wakilan Desa.

5. Terbangunnya kesadaran kritis pe-rempuan marginal untuk mengorgani-sasi diri dalam rangka memperkuatposisi tawar perempuan untuk terli-bat dalam pengambilan keputusan.

Lembaga Advokasi Perempuan Damarmuncul dengan membawa visi terwujudnyapemenuhan hak dasar perempuan agar ter-cipta tatanan masyarakat yang demokratis,menuju keadilan untuk semua (perempuandan laki-laki).

Adapun misi yang diembannya sebagaiberikut:

1. Meningkatnya pemahaman dan kepe-dulian pemerintah daerah dan masya-rakat tentang hak dasar perempuan.

2. Menguatnya basis dalam melakukanadvokasi hak dasar perempuan seba-gai bagian dari gerakan sosial.

3. Meningkatnya kapasitas organisasidan kelembagaan Lembaga Advokasi

158 Afirmasi Vol. 02, Januari 2013

Perempuan Damar dan PerkumpulanDamar sebagai organisasi yang inde-penden dalam mewujudkan transpa-ransi, akuntabilitas, dan kinerjanya.

Peran strategis Lembaga Advokasi Pe-rempuan Damar sebagai berikut :

1. Melakukan advokasi penguatan hakdasar perempuan.

2. Melakukan penguatan kelompok danpendidikan kritis bagi perempuan.

Sementara itu, JPrP bersama komunitasdan anggotanya melakukan kegiatan yangberagam. Mereka membuat kompos darilimbah rumah tangga. Di Balai Kramat me-reka membuat kompos cair dari buah-buah-an busuk. Di Kramat juga terdapat tim serti-fikat tanah yang sudah berhasil. Kemudianada Balai Melati yang menghasilkan kem-bang-kembangan dari limbah plastik. BalaiCitra Rahayu di Bumi Waras menghasilkantikar dari sedotan. Kendala dari semua pro-duk balai-balai tersebut adalah pemasaran.Kegiatan JPrP banyak bersifat sayang ling-kungan, seperti pengadaan air bersih dan ke-bersihan lingkungan. Karena komunitastempat JPrP beraktivitas banyak mengalamikesulitan dalam kependudukan, JPrP jugamempunyai program agar anggota komuni-tasnya bisa mendapatkan surat tanah (serti-fikat). Di atas itu semua, JPrP yang merupa-kan organisasi perempuan dan diketuai se-orang perempuan, bergerak mempeloporiwarga untuk menuntut hak atas tanah.

“Tanah di sini masih ilegal, tidak berser-tifikat. JPrP bangkit untuk mengambilhak dasar tentang tanah. Kita buktikan

pesisir tidak kumuh dan bisa bersih. Ibu-ibu kita ajak untuk mengolah sampah”.6

Teater Satu sebagai lembaga yang sejakawal fokus di bidang seni teater banyakmengangkat isu-isu perempuan. Salah satulakon yang pernah dipentaskan adalah“Wanci”. Ini merupakan lakon yang berceri-ta mengenai perempuan pekerja seks yangberusaha keluar dari situasi kemiskinan.Karya ini merupakan karya yang dibangga-kan Teater Satu, karena menjadi tonggakawal dalam mengkampanyekan isu-isu pe-rempuan melalui media seni.

Teater menjadi sarana dan media bagiIswadi Pratama dan Imas Sobariah yang me-rupakan pendiri Teater Satu, untuk menye-barluaskan ide-ide kesetaraan ke masyara-kat luas. Ini penting mengingat di Lampungbudaya patriarki cukup kuat. Selain itu,Teater Satu juga mengakomodasi kelom-pok-kelompok Lesbian, Gay, Biseksual danTransgender (LGBT) untuk terlibat aktif da-lam kegiatan teater maupun kegiatan-ke-giatan lainnya. Teater Satu juga bekerjasamadengan organisasi-organisasi yang bergerakdi isu perempuan lainnya.

Organisasi Perempuan dan Kebijakan

Kenyataan bahwa hukum memelihara do-minasi laki-laki membuat para pegiat Lem-baga Advokasi Perempuan Damar secaraorganisasi banyak menggugat eksistensihukum positif, baik yang berupa kebijakandaerah maupun hukum pidana. LembagaAdvokasi Perempuan Damar selalu berusa-

6 Wawancara dengan Nur Hayati, Jaringan PerempuanPesisir (JPrP), Lampung, 14 Mei 2012.

Ika Wahyu Priaryani & Aris Arif Mundayat - Upaya Membangun Pengorganisasian Perempuan di Lampung 159

ha terlibat dalam pembuatan kebijakan ditingkat daerah, terutama berkenaan denganperempuan. Peluang otonomi daerah, dalammana daerah bisa membuat regulasi secaraotonom, dimanfaatkan dengan baik olehLembaga Advokasi Perempuan Damar, de-ngan mendampingi dan mengawal Pemerin-tah Daerah (Pemda) mengeluarkan kebi-jakan-kebijakan yang pro-perempuan. Sejak2011, di Lampung sudah ada peraturan dae-rah (perda) yang mengatur soal kesetaraangender, yakni Perda Nomor 10 Tahun 2011tentang Pengarusutamaan Gender dalamPembangunan. Perda ini mengatur soal ke-samaan kesempatan antara laki-laki dan pe-rempuan dalam kegiatan pembangunan didaerah. Selain itu, terdapat Perda Nomor 6Tahun 2006 tentang Pelayanan TerhadapPerempuan dan Anak Korban Kekerasandi Provinsi Lampung, yang merupakan sa-lah satu keberhasilan Lembaga Advokasi Pe-rempuan Damar. Keberadaan perda terse-but menjamin keberlanjutan pelayanan ter-padu yang telah dilakukan Lembaga Advo-kasi Perempuan Damar untuk perempuankorban kekerasan. Dalam menginisiasi la-hirnya perda tersebut, Lembaga AdvokasiPerempuan Damar mendampingi Pemdamenyusun naskah akademik sejak 2002,yang dilakukan bahkan sebelum adanyaUndang-Undang Nomor 23 Tahun 2004mengenai Penghapusan Kekerasan Terha-dap Perempuan, meskipun pada akhirnya,baru pada 2006 perda ini disahkan melaluidorongan dan kerjasama, antara lain denganBiro Pemberdayaan Perempuan (PP) Lam-pung, Kanwil Hukum dan HAM, akademisidan pemangku lainnya. Lahirnya kebijakandaerah lain dalam proses yang cukup sing-kat, seperti Perda Nomor 4 Tahun 2006 ten-

tang Pencegahan Perdagangan Perempuandan Anak, menjadi buah positif dari kerjaLembaga Advokasi Perempuan Damaryang cukup konsisten.

Beberapa perda digagas dan diusulkanoleh Lembaga Advokasi Perempuan Damarsebagai bagian dari masyarakat sipil dan di-respons positif oleh pemerintah daerah se-tempat. Tidak hanya melakukan advokasiterhadap kebijakan tertulis yang dikeluarkanprovinsi maupun kabupaten, Lembaga Ad-vokasi Perempuan Damar juga mendorongberbagai perjanjian kerjasama, seperti de-ngan aparat penegak hukum (kepolisian, ke-jaksaan), pemerintah daerah dan rumah sa-kit di wilayah Lampung, dalam rangka pela-yanan perempuan korban kekerasan. Hal inidilakukan di antaranya di Provinsi Lam-pung, Kota Metro, Kabupaten Lampung Se-latan dan Kabupaten Lampung Barat.

“Selain pengorganisasian, kita juga mela-kukan advokasi kebijakan. Damar dekatdengan aparat penegak hukum maupunaparat di tingkat daerah. Namun adamobilisasi yang tinggi di mereka, banyakterjadi rotasi. Padahal kerja membangundan menguatkan perspektif para polisidan jaksa ini sudah lama. Namun tan-tangan yang kita hadapi adalah merekacepat sekali berpindah, naik pangkat, lalupindah lokasi kerja”.7

JPrP secara sporadis telah berhasil meng-usahakan identitas kependudukan bagi paraanggotanya. Melalui lembaga di tingkat ke-lurahan hingga melakukan aksi di DPRDdan Gubernuran, JPrP telah berhasil mem-

7 Wawancara dengan Selly Fitriani, Direktur DamarLampung, 11 Mei 2012.

160 Afirmasi Vol. 02, Januari 2013

buat pemerintah daerah setempat menaruhperhatian pada perempuan miskin dan ling-kungannya di wilayah pesisir Bandar Lam-pung.

Karakter Organisasi Perempuandi Lampung

Menilik sejarahnya, pada awalnya Damarberbentuk yayasan, yakni Yayasan Elsapa.Bentuk yayasan dianggap tidak bersifat de-mokratis. Maka pada 2002, Damar menya-takan mengubah bentuk organisasi menjadiPerkumpulan. Sebagai Perkumpulan, Da-mar mempunyai struktur sendiri yang dina-makan Dewan Pengurus Perkumpulan.8

Ketua Dewan Pengurus ini adalah Siti NoorLaila dengan sekretaris Sofyan, sementarayang lainnya merupakan anggota perkum-pulan. Dalam struktur Dewan PengurusNasional ada posisi Eksekutif Perempuan,Eksekutif Anak dan Eksekutif Institute forOrganizational Development and Research(IPOR). Ketiga eksekutif ini merupakanlembaga yang dibentuk perkumpulan untukadvokasi perempuan, advokasi anak danpengembangan organisasi rakyat. Sementaraitu, Gerakan Perempuan Lampung meru-pakan organisasi federasi yang diinisiasi Da-mar, membawahi enam organisasi/serikatperempuan tingkat kabupaten di ProvinsiLampung, yakni Forum Anti-KekerasanTanggamus, Serikat Perempuan BandarLampung, Serikat Perempuan Lampung Se-latan, Kesatuan Perempuan Lampung Uta-

ra, Kesatuan Perempuan Lampung Tengahdan Serikat Perempuan Lampung Timur.Organisasi tingkat kabupaten yang terga-bung di GPL mempertahankan namanyamasing-masing. GPL sebagai organisasi pa-yung menghargai organisasi perempuantingkat kabupaten tersebut. Selain itu, tiapkabupaten bisa mempunyai tujuan yang ber-beda meskipun secara umum, GPL mempu-nyai isu mengenai kemiskinan, kesehatan,pendidikan, politik dan hukum. Di bidangkesehatan, tiap wilayah juga bisa berbeda:di Lampung Utara soal kesehatan lebihmemperhatikan soal akses; di Lampung Uta-ra dan Bandar Lampung isunya peningkatanpelayanan kesehatan.

GPL mempunyai empat tingkatan pen-didikan yakni Adil Gender dan Anti-keke-rasan, Analisis Sosial Berperspektif Femi-nis, Advokasi dan Pengorganisasian, danPolitik dan Kepemimpinan Perempuan.

Awalnya semua pendidikan difasilitasiLembaga Advokasi Perempuan Damar.Belakangan, pendidikan Tahap 1 mulai di-fasilitasi sendiri oleh basis. Basis GPL yangpaling banyak terdapat di Tanggamus, kare-na Tanggamus merupakan wilayah pengor-ganisasian awal Lembaga Advokasi Perem-puan Damar.

Di Lampung Selatan terdapat SerikatPerempuan Lampung Selatan (Sepalas).Sekretaris Sepalas, Murni, bercerita bagai-mana mereka banyak diminta masyarakatuntuk menangani kasus dan akhirnya bisamengadvokasi diri dan keluarga korban.Bergabung dan aktif dalam GPL dirasakanoleh para anggotanya memberikan merekarasa percaya diri dan kemampuan untuk bi-sa berbicara di depan publik dengan lebihkritis. Struktur dan kepengurusan di GPL

8 Dewan Pengurus Perkumpulan, Siti Noor Laila (ketua);Sekretaris: Sofyan; Anggota: Miftahul Huda, QuraisanAlbi, Resa Ariyanti, Y Wibomo; Eksekutif Anak: Dede;Eksekutif Perempuan: Selly; IPOR: (alm) ImamGhozali.

Ika Wahyu Priaryani & Aris Arif Mundayat - Upaya Membangun Pengorganisasian Perempuan di Lampung 161

menggunakan struktur representasi, dalammana anggota harus memunculkan wakildari organisasi di tingkat keenam kabupatenyang berasosiasi. Struktur yang memperha-tikan representasi ini membuat proses ber-organisasi menjadi proses dalam mana parapimpinan bisa saling belajar satu sama lain-nya.

Organisasi Perempuan danKepemimpinan

Norma kepemimpinan yang dilihat dariLembaga Advokasi Perempuan Damarmengacu pada sosok S.N. Laila, sebagai ke-tua dari Gerakan Perempuan Lampung. Halini diakui Selly Fitriyani, sebagai direkturLembaga Advokasi Perempuan Damar.

Kentalnya sosok S.N. Laila sebagai pe-mimpin perempuan di Lampung karenalamanya periode S.N. Laila memimpin Lem-baga Advokasi Perempuan Damar yang su-dah berjalan 10 tahun. Regenerasi kepe-mimpinan dalam organisasi Lembaga Advo-kasi Perempuan Damar baru terjadi pada2011, dan selanjutnya dipegang oleh SellyFitriyani.

Pada awalnya, ketika Selly Fitriyani di-minta memimpin Lembaga Advokasi Pe-rempuan Damar, ada ketakutan. Hampirsemua rekan-rekan yang berafiliasi denganLembaga Advokasi Perempuan Damarmenganggap dia sudah bisa menjadi pemim-pin. Dalam pelatihan kepemimpinan, Lem-baga Advokasi Perempuan Damar, memangmengharapkan para peserta pendidikan bi-sa memimpin dirinya sendiri dan juga bisamemimpin di level keluarga.

“Pendidikan Damar awalnya dianggappendidikan untuk mengajarkan istri me-lawan. Seiring waktu, pendidikan Da-mar berhasil membuktikan bahwa mak-sud dari pendidikan yang diadakan bisabermanfaat, baik bagi laki-laki maupunperempuan”.9

Sebelum anggota Gerakan PerempuanLampung mendapat pendidikan kritis mau-pun adil gender dari Lembaga Advokasi Pe-rempuan Damar, mereka mengakui mempu-nyai ketakutan terhadap proses hukum danaparat penegak hukum.

“Dulu menghadapi polisi saya gemetar-an. Tapi setelah ikut organisasi, saya jadiberani. Awalnya menghadapi polisi, ko-mandannya tahu saya takut. Tapi diajakberpikir wong sama-sama makan nasi ke-napa takut”.10

Anggota Gerakan Perempuan Lampungjuga aktif dalam kegiatan kemasyarakatan,berpartisipasi di pemerintahan desa danprogram-program pemerintah. KegiatanPNPM, Posyandu maupun kegiatan PKKdi tingkat desa menjadi ajang unjuk diri daripara perempuan yang telah bersinggungandengan Perkumpulan Damar.

“Dulu, boro-boro bisa ngobrol denganPak Lurah. Sekarang, karena ikut organi-sasi, keterlibatan di desa mulai diakui.Dari musyawarah di tingkat warga hing-ga desa, saya dipilih menjadi fasilitator”.11

9 Wawancara dengan Selly Fitriani, Direktur DamarLampung, 11 Mei 2012.

10 Wawancara dengan Lilis, Serikat Perempuan BandarLampung, 14 Mei 2012.

11 Wawancara dengan Murni, Sekretaris Serikat Perem-puan Lampung Selatan (Sepalas), 14 Mei 2012.

162 Afirmasi Vol. 02, Januari 2013

Dari paparan ini terlihat perempuanmendapatkan kepercayaan diri untuk ber-partisipasi di publik ketika ia mempunyaiidentitas lain, seperti dalam hal ini identitaskeorgani-sasian yang sudah cukup dikenal,seperti Lembaga Advokasi Perempuan Damaratau GPL.

“Di organisasi, kami bertemu denganorang-orang lebih banyak, pengalamanbertambah. Jadi waktu diterapkan dikampung, sudah biasa saja”.12

Selain itu, kebiasaan berorganisasi danberkumpul dengan sesama perempuan jugamenumbuhkan kemampuan lain dalam diriperempuan, di antaranya kemampuan untukmengutarakan pendapat.

“Awalnya saya tidak percaya diri. Tapisaya selalu ingin tahu. Saya selalu mence-ritakan apa yang saya dapat dari pelatih-an. Di situ suami saya memuji, kok seka-rang punya kemampuan bicara? Karenaitu, sekarang ini suami sudah membebas-kan saya untuk mengikuti aktivitasorganisasi”.13

Sementara di Teater Satu, sebagaimanadinyatakan oleh Imas, kesetaraan selain di-terapkan di organisasi, juga dia rasakan dilingkup keluarga. Bagi Imas, yang mengajar-kan kesetaraan justru adalah suaminya, Is-wadi, yang dianggapnya lebih feminis dari-pada dirinya sendiri. Iswadi pernah menga-takan bahwa kerja domestik, kerja rumahtangga, bukanlah pekerjaan perempuan.

Suaminya selalu mencontohkan dirinya sen-diri dalam melakukan pekerjaan rumahtangga.

Salah satu pegiat JPrP, Nur Hayati meru-pakan penyintas kekerasan. Ia merasa bisalepas dari rantai kekerasan yang dialami da-lam rumah tangganya karena terlibat dalamorganisasi.

“Baik saya maupun suami sering meng-obrol dan berkomunikasi dengan Heri.Sepertinya dari Heri itulah, suami sayamulai sadar, dan tidak memukuli sayalagi”.14

Heri adalah community organiser Konsor-sium Miskin Kota di perkotaan. Sebagaicommunity organiser, ia banyak berkenalan danmeng-ajak kaum perempuan, terutama ibu-ibu, untuk berorganisasi dan memper-juangkan hak-hak warga miskin di tempattinggalnya.

Tantangan Organisasi Perempuandi Lampung

Tantangan Eksternal

Masih maraknya kasus kekerasan terhadapperempuan di Lampung menjadi tantangantersendiri bagi organisasi perempuan diLampung. Dalam kultur patriarki, persoalankekerasan utamanya kekerasan dalam ru-mah tangga sering hanya dipendam dan disi-kapi dengan sabar. Persoalan dalam pene-gakan hukum korban kekerasan banyak me-

12 Wawancara dengan Murni, Sekretaris Serikat Perem-puan Lampung Selatan (Sepalas), 14 Mei 2012.

13 Wawancara dengan Murni, Sekretaris Serikat Perem-puan Lampung Selatan (Sepalas), 14 Mei 2012.

14 Wawancara dengan Nur Hayati, Pegiat Jaringan Perem-puan Pesisir (JPrP), Lampung, 14 Mei 2012. (Heri yangdiceritakan merupakan salah satu pegiat UPC yangmengorganisir lahirnya JPrP.)

Ika Wahyu Priaryani & Aris Arif Mundayat - Upaya Membangun Pengorganisasian Perempuan di Lampung 163

nyita waktu dan energi. Seperti menyiapkanrumah aman bagi korban, pemulangan kor-ban ketika ia berada di luar daerah dan ber-usaha menguatkan korban dari tekanan psi-kis dan juga fisik menjadi pekerjaan harianyang tiada kunjung ada akhirnya. Belum lagibila harus berurusan dengan pemangku ke-pentingan lain seperti rumah sakit, kepoli-sian dan juga kejaksaan. Disisi lain, perem-puan yang bekerja untuk pendampingankorban kekerasan maupun pengorganisasiandi tingkat komunitas dalam banyak kasusjuga mengalami ’kekerasan’ selama melaku-kan kerja pendampingannya. Menumbuh-kan keberanian dan melumpuhkan rasa ta-kut menjadi tantangan bagi organisasi pe-rempuan dalam melakukan kerja-kerjanya.

Kultur patriarki yang kuat di Lampungmembuat banyak perempuan tidak bisa ma-suk ke ruang publik. Damar misalnya yangmemiliki potensi untuk lebih aktif di kebi-jakan publik dan politik lokal, harus diha-dapkan pada kerja-kerja praktis seperti pe-nanganan kasus yang terus mengalir. Per-soalan lainnya adalah konstruksi sosial bu-daya dimana perempuan diwajibkan mela-yani suami membuat kegiatan yang dilaku-kan Damar pun harus mampu bernegosiasidengan hal tersebut. Misalnya ketika mela-kukan pendidikan yang mengharuskan ang-gotanya meninggalkan rumah untuk bebe-rapa hari, Damar harus memintakan ijinkepada keluarga ataupun suaminya.

Tantangan ke depan yang harus dihadapiorganisasi perempuan di Lampung, adalahbagaimana mereka bisa masuk dalam posisi-posisi pengambilan keputusan. Organisasidi Lampung seperti Jaringan Perempuan Pe-sisir, Damar, Gerakan Perempuan Lampungmengharapkan ke depan perempuan bisa

masuk dan menduduki lembaga-lembagapolitik pembuat kebijakan.

Saat ini, anggota Damar sudah banyakterlibat dengan lembaga-lembaga publikseperti Panwas daerah, PNPM dan lainsebagainya. Selain itu juga terlibat dalamkerja-kerja partai politik. Anggota Damardi desa juga berusaha mengajukan salah se-orang anggotanya di daerah Tanggamusuntuk menjadi kepala desa. Namun, infra-struktur dan kelembagaan yang ada belumcukup kuat untuk menunjangnya.

Di tingkat lokal/kabupaten GerakanPerempuan Lampung cukup terseok untukmengikuti proses kebijakan publik di lokalmasing-masing. Upaya yang dilakukan or-ganisasi perempuan di lokal adalah menga-jak kerjasama dengan pemerintah kabupatensetempat untuk mendukung program-pro-gramnya. Sementara itu, organisasi di tingkatkomunitas sudah mampu membangunlinkage dengan pemerintah daerah setempat.

Tantangan selanjutnya sebagai kerjajangka panjang adalah bagaimana memba-ngun ’linkage’ ke negara dan partai politiksecara strategis sehingga tidak mengganggukerja dan independensi organisasi. Negaradan partai politik tak bisa dipungkiri masihmerupakan pengambil kebijakan yang ten-tunya harus dituntut tanggungjawabnya da-lam menciptakan keadilan gender.

Tantangan Internal

Organisasi dampingan Damar yang berhim-pun dalam Gerakan Perempuan Lampung,sesungguhnya mempunyai tantangan ber-beda-beda di tiap wilayahnya. Di LampungUtara misalnya, Kepal Utara, berusaha un-tuk menjadi pelopor dalam advokasi penye-

164 Afirmasi Vol. 02, Januari 2013

diaan sarana kesehatan yang layak terutamauntuk perempuan. Sementara Serikat Pe-rempuan Bandar Lampung (SPBL) yangsecara geografis dekat dengan pusat peme-rintahan harus lebih aktif dalam isu-isu ke-bijakan publik di tingkat provinsi. Semen-tara anggota SPBL sendiri masih banyakyang belum berdaya secara ekonomi. Ba-nyak basis dampingan yang berada di pesisirdan kantong-kantong pemukiman padatpenduduk di Kota Bandar Lampung yangmembutuhkan pemberdayaan ekonomi. Inimerupakan tantangan tersendiri bagi Gerak-an Perempuan Lampung yang mengingin-kan kemajuan bagi seluruh perempuan diLampung.

Pekerjaan praktis seperti pendampingankasus, menyita banyak waktu staf organisa-si perempuan seperti Damar. Ini membuat,kerja-kerja ’besar’ seperti pengembangan isudan pendidikan bagi anggota terabaikanselain juga karena terbatasnya sumber dayamanusia yang ada. Tantangannya adalahbagaimana tetap mengembangkan isu kese-taraan gender dan keadilan perempuan ditengah kerja praktis yang sangat menyitawaktu. Pengkaderan organisasi juga menjadimasalah tersendiri. Gerak dan manajemenorganisasi perempuan yang non-profit danmengandalkan dana ’program’ telah meng-hambat pengkaderan. Proses pengkaderanyang dilakukan Damar adalah menerimamahasiswa-mahasiswa baru yang magang,dan mengikutsertakan mereka terjun ber-sama melakukan kerja advokasi, pendam-pingan ataupun pengorganisasian. Pendi-dikan dilakukan sambil bekerja bersama.

Selain itu, tantangan yang lain adalahmengenai keberlanjutan organisasi. Ketikalembaga dana mulai mengurangi bantuan-nya, sebagai organisasi harus mulai berpikirbagaimana menghidupi dan menggerakkanlaju kerja organisasi. Damar misalnya, sudahmulai membangun konsep credit union se-lain iuran anggota. Meskipun program inimasih kecil dan belum berkembang dan da-pat dikatakan belum mampu menggerakkanroda organisasi, namun sebagai upaya halini sudah dimulai.

Penutup

Organisasi perempuan di Lampung sesung-guhnya telah memainkan peran strategis ba-gi berlangsungnya proses penyadaran akanberbagai bentuk ketidakadilan gender. Per-jalanan organisasi perempuan di Lampungcukup membuktikan bahwa mereka masihbisa bertahan dan membangun kekuatanpolitik perempuan di berbagai desa maupunkomunitas di Lampung. Meskipun denganbantuan dana yang kecil, karena perjalanansejarah dan ikatan keorganisasian yang kuat,pendampingan perempuan tetap bisa berja-lan meskipun terseok. Para perempuan didesa, wilayah pesisir maupun di komunitasteater juga telah mampu bernegosiasi de-ngan kehidupan domestiknya untuk bisamenjalani aktivitas dan menghidupkan or-ganisasi. Jelas, ini bukanlah situasi yang mu-dah mengingat kultur patriarki di Lampungyang cukup kuat.***

Sita Aripurnami, Ayu Anastasia, Frisca Anindhita,Ika Wahyu Priaryani, Myra Diarsi, Rahayuningtyas

Kebanyakan organisasi perempuan non-pemerintah (ornop) Indonesia lahir di

Jakarta, dan menjalani udara sosial politikibu kota sebagai latar belakang penentuanisu garapan dan agenda kerja. Hal ini teruta-ma terjadi pada masa otoritarian Soeharto.Baru setelah jatuhnya pemerintahan Soe-harto mulai bertumbuhan organisasi perem-puan di daerah, juga seiring dengan sema-ngat desentralisasi yang mengupayakan ter-sebarnya gagasan sampai ke daerah-daerah.Beberapa organisasi non-pemerintah perem-puan di Jakarta mulai mengembangkan ‘ca-bang’ (atau perwakilan, atau menggunakannama lain) di provinsi dan atau kabupatenpada paruh akhir 1990-an. Upaya ini men-

capai puncaknya pada 1998 sampai awaltahun 2000-an. Pada masa otoritarian, or-ganisasi perempuan muncul dengan benderafeminisme (baik secara terang-teranganmaupun secara lebih tersamar), dan memfo-kuskan diri pada penyebaran dan pendidik-an gagasan dasar feminisme dan nilai keadil-an. Organisasi yang muncul setelah 1998cenderung lebih spesifik dalam pemilihanisu, seperti kekerasan terhadap perempuan,partisipasi politik, atau pelayanan (women’scrisis center/shelter, bantuan hukum, rekonek-si dan menghubungkan kembali anggotakeluarga yang terpisah selama proses pen-dampingan).

Organisasi perempuan mendasarkan kerjanya pada analisis yang melihat bahwa akar munculnyapersoalan perempuan tidak dapat dipisahkan dari faktor-faktor ideologi, struktural, dan kultural.Hal itu mengukuhkan sebuah situasi yang sangat tidak menguntungkan bagi perempuan. Posisi per-juangan organisasi perempuan dan penampilan isu gender dalam konstelasi politik nasional, kerjaorganisasi perempuan memperlihatkan bagaimana persoalan perempuan di hadapan negara dipilah-pilah menjadi persoalan politik dan masalah perempuan. Organisasi perempuan mencoba menyorotibagaimana sebagai sebuah gerakan bereaksi terhadap kondisi persoalan semacam itu.

Keragaman Kelembagaan dan MenguatnyaAdvokasi Kebijakan Adil Gender di Jakarta

166 Afirmasi Vol. 02, Januari 2013

Solidaritas Perempuan (SP) pada 1989,Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) pada1998, Asosiasi Pendamping PerempuanUsaha Kecil (ASPPUK) pada 1994, adalahcontoh organisasi-organisasi yang digagasuntuk menjawab kebutuhan dan kepenting-an perempuan. Kepentingan tersebut meru-pakan kebutuhan di tingkat nasional, danpada saat yang sama membutuhkan pengi-kut atau anggota sampai ke tingkat provinsi,kabupaten bahkan sampai desa. Itu juga me-merlukan pengelolaan kantor cabang ditempat lokal tersebut. Menjadi penting un-tuk melihat siapa saja dan kalangan manayang direkrut untuk bergabung mengelolakantor cabang lokal tersebut.

Organisasi lainnya seperti Kalyanami-tra, Institut Kapal Perempuan dan Ardha-nary Institute merupakan organisasi yang se-jak awal berdiri memusatkan pengelolaanorganisasi di Jakarta. Mayoritas kegiatan or-ganisasi-organisasi tersebut juga dilakukandi Jakarta, namun mereka berupaya me-luaskan pengaruh isu garapan (pendidikankritis untuk perempuan) dan perhatinnyakepada “kelompok-kelompok binaan” didaerah.

Adapun Komnas Perempuan merupa-kan organisasi yang sejarah kelahirannyalangsung menjawab suatu situasi sosial po-litik skala nasional di Jakarta, atas desakandan dukungan dari hampir semua organisasidan kelompok perempuan masyarakat sipil.Komnas Perempuan tidak membuka ca-bang di daerah, tetapi menetapkan mitrakerja tertentu di wilayah-wilayah di Indone-sia.

Adapun cita-cita Komnas Perempuandibangun bertolak dari sejarah berdirinyaKomnas Perempuan itu sendiri, yaitu:

“Komnas Perempuan dibangun darisejarah korban. Komnas Perempuanbisa memastikan bahwa korban akanmendapatkan hak-hak mereka, hak ataskebenaran, keadilan dan pemulihan. Ituuntuk korban merupakan kendaraanyang lain. Saya merasa kita akhirnyatumbuh menjadi salah satu lembagaHAM nasional, yang tugasnya sebetulnyasederhana: memastikan bahwa seluruhperempuan di Indonesia terlindungi danterpenuhi hak-haknya”.1

Berbeda dari kebanyakan organisasi pe-rempuan, yang enggan bekerja dengan pe-merintah, Komnas Perempuan justru seba-liknya.

“Karena kerja Komnas Perempuan itutidak hanya dengan korban, atau denganperempuan saja, tetapi juga dengan ne-gara”.2

Dalam kasus organisasi Perempuan Ke-pala Keluarga (Pekka), yang terjadi adalahpertemuan berjodoh pada saat yang tepat,antara kebutuhan mereka untuk mengorga-nisasikan para janda dengan program khu-sus Bank Dunia, yang ingin menyalurkandana dalam program “Justice 4 the Poor”.

Terdapat pula organisasi yang memusat-kan kegiatan administrasi di Jakarta, namunharus bergerak dan berkegiatan sampai keluar negeri. Hal ini terjadi karena merekamemiliki isu garapan di wilayah tujuan kerjaburuh migran maupun di daerah pelosokkantung pengirim buruh migran. Karena

1 Wawancara dengan Desti Murdiana, Wakil Ketua me-rangkap Sekretaris Jendral Komnas Perempuan, Jakarta21 Mei 201.

2 Wawancara dengan Masruchah, Wakil Ketua BadanEksekutif Komnas Perempuan, Jakarta 14 Mei 2012.

Sita Aripurnami et.al. - Keragaman Kelembagaan & Menguatnya Advokasi Kebijakan Adil Gender di Jakarta 167

harus berurusan dengan pihak otoritas danpembuat kebijakan setempat, organisasi se-perti ini juga harus membuka kegiatan admi-nistrasi dan manajerial di tempat tersebut.

“Memastikan bahwa ada bantuan hu-kum dari pemerintah melalui KBRI, adalawyer-nya, memastikan pemantauanintensif terhadap kasus oleh KBRI, ter-masuk proses peradilannya. Kita mem-punyai akses, seperti di Malaysia dan Si-ngapore, dan Migrant Care datang lang-sung ke proses persidangannya. Tetapikalau di Arab, sulit”.3

Pemetaan Organisasi PerempuanJakarta menurut Fokus Kerja

Pemetaan organisasi perempuan dilakukanuntuk memahami keragaman, sekaligusmengidentifikasi hasil penelitian ini. Secaratertulis, masing-masing organisasi memangmemiliki perbedaan visi dan misi. Namunjika kita lihat lebih rinci, beberapa organisasimemiliki kesamaan cita-cita untuk keadilanperempuan, dan terbukanya akses yang le-bih besar bagi perempuan terlibat dalampembuatan keputusan yang berpengaruhpada perempuan.

Bagi Institut Kapal Perempuan, bila di-minta untuk bekerja dengan program dariBank Dunia, meskipun sesuai dengan visidan misi organisasi, mereka tidak akan me-nerima.

“Kami anti-Bank Dunia. Pernah adadonor yang sangat menggiurkan, saatKapal Perempuan masih miskin. Mere-

ka berani memberikan dana yang cukupbesar, sampai kita rapat tiga hari untukmenganalisis apakah organisasi ini be-nar-benar tidak punya maksud terselu-bung. Ternyata diketahui organisasi itumendapat intervensi dari Bank Dunia.Maka kami tolak, walaupun masih mis-kin waktu itu”.4

Beberapa program yang sedang danpernah dikerjakan Kapal Perempuan antaralain:

“Program penanggulangan kemiskinan,pendidikan gender, advokasi untuk hu-man leadership, pendidikan kepemimpinanburuh perempuan”.5

Bentuk kelembagaan yang dipilih oleh10 organisasi perempuan yang diteliti bera-gam. Kalyanamitra, Solidaritas Perempuan,LBH APIK, Migrant Care dan Pekka ber-bentuk Yayasan. Sementara itu, InstitutKapal Perempuan, ASPPUK dan Ardha-nary Institute berbentuk Perkumpulan. Se-lain itu, ada Komnas Perempuan, yang ber-bentuk Komisi Nasional bentukan pemerin-tah, dan Koalisi Perempuan Indonesia (KPI)yang berbentuk organisasi massa. LBHAPIK, selain Yayasan, juga menyatakan diriberbentuk Federasi berkaitan dengan organi-sasi APIK di lokal atau di daerah.

“Federasi membantu mengkoordinasi-kan, supporting system, capacity building,mencarikan dana bagi APIK-APIK ba-ru. Tapi rata-rata sudah mandiri”.6

3 Wawancara dengan Anis Hidayah, Direktur EksekutifMigrant Care, Jakarta 3 Juli 2012.

4 Wawancara dengan Misiyah, Ketua Badan EksekutifInstitut Kapal Perempuan, Jakarta 14 Mei 2012.

5 Ibid.6 Wawancara dengan Ratna Batara Munti, Direktur Eks-

ternal LBH APIK Jakarta, Jakarta 24 Mei 2012.

168 Afirmasi Vol. 02, Januari 2013

Beberapa organisasi perempuan tersebutmempunyai fokus yang serupa, sehingga da-pat dikelompokkan sebagai berikut:

1. Pengelolaan Informasi danKomunikasi

Kalyanamitra merupakan organisasi perem-puan berbendera feminis pertama pada masaOrde Baru di bawah rezim Soeharto. Man-datnya menjadi pusat komunikasi dan infor-masi tentang isu perempuan dan feminisme.Fokus kegiatannya adalah upaya pendidikandan penyebaran informasi mengenai isu pe-rempuan, serta mendirikan pusat dokumen-tasi sebagai salah satu penopang utamanya.Pengelolaan informasi dan dokumentasimeliputi penyusunan database, layanan per-pustakaan (on-line dan fisik) dan penerbitanbuku (terjemahan dan non-terjemahan).Kalyanamitra juga membuat website danmembentuk jaringan Facebook Kalyanamitra.

Sebagaimana yang tertulis dalam ulasanmengenai Kalyanamitra pada website Glo-bal Fund for Women:

”Kalyanamitra came to defy the taboo againstspeaking out, and advocated stronger legisla-tion against violence, while conducting publicawareness campaigns. Today Kalyanamitra isan established information and documentationcenter, of which many other women’s rightsgroups take advantage. The center holds gen-der analysis trainings for other women’s groupsand activists”.7

2. Politik

KPI memiliki 28,257 orang anggota yangmewakili 18 Sektor Kepentingan (Masya-rakat Adat; Profesional; Pekerja Sektor In-formal; Miskin Kota; Miskin Desa; Buruh;Ibu Rumah Tangga; Perempuan yang dila-curkan; Pemuda, Pelajar dan Mahasiswa;Janda; Anak Marginal; Nelayan; Petani; Les-bian, Biseksual, dan Transgender; Perempu-an Kepala Rumah Tangga dan Tidak Meni-kah; Lanjut Usia; Difabel; dan Pekerja Ru-mah Tangga) di seluruh Indonesia. Hal inimembuka peluang untuk terbangunnya se-buah gerakan perempuan dengan pengor-ganisasian yang kuat. KPI memilih untukfokus pada partisipasi politik perempuanguna menggantikan kondisi “massa me-ngambang”, yang pada rezim otoriter Soe-harto menjadi ciri massa politik Indonesia.Untuk tujuan ini, KPI mendirikan Balai Pe-rempuan di kota kecamatan, yang dijadikansebagai pusat kegiatan anggota KPI yangtersebar hingga wilayah desa. Balai Perem-puan merupakan indikator berjalan atautidaknya kegiatan anggota di tingkat basis.

“Sekarang sudah ada pencapaian-penca-paian kecil, di mana kawan-kawan sen-diri merasa diuntungkan oleh pencapaianyang mulai terlihat. Pengorganisasian danadvokasi mulai berjalan. Isunya berbeda-beda di setiap lokal. Sekarang yang be-lum terpegang strategi, misalnya, satukota yang punya 50 desa, masing-masingdesa punya concern yang berbeda-beda.Masih ada gap untuk concern menjadi satuvisi yang sama”.8

7 http://www.globalfundforwomen.org/impact/gender-equality-in-asia-and-the-pacific/95.

8 Wawancara dengan Dian Kartikasari, Sekretaris JenderalKoalisi Perempuan Indonesia, Jakarta 30 Mei 2012.

Sita Aripurnami et.al. - Keragaman Kelembagaan & Menguatnya Advokasi Kebijakan Adil Gender di Jakarta 169

(Perda) dan Peraturan Desa (Perdes) yangResponsif Gender.

Dalam banyak kegiatan advokasi kebi-jakan publik, KPI berjaringan dengan pelba-gai organisasi lain. Hal ini dapat dilihat seba-gai kelemahan, karena tercapainya tujuanbukan hasil kerja KPI semata tetapi olehbanyak pihak. Sekali pun demikian, banyakjuga yang melihat bahwa keberhasilan advo-kasi itu berkat adanya kekuatan dan keluas-an jaringan kerja. Dan, KPI memiliki keluas-an dan kekuatan jaringan tersebut. Ditam-bah lagi, besarnya jumlah anggota dan ja-ringan yang sudah terbangun dapat berpe-luang bagi KPI untuk turut serta dalam ge-rakan bersama, mendorong terciptanya ke-bijakan-kebijakan yang responsif gender.Pada gilirannya ini akan dapat menghadir-kan keadilan dan demokrasi bagi perempu-an. Bekerja di tengah ragam kepentingandan minat dari pelbagai kelompok perempu-an akan menjadi tantangan tersendiri untukmembangun sinergi guna terciptanya kebi-jakan yang responsif gender.

Jika KPI memiliki target politik di ting-kat nasional dan regional, Pekka juga memi-liki kegiatan berbasis politik perempuan dilingkup masyarakat kecil. Pemberdayaanperempuan untuk partisipasi politik dilaku-kan dengan pengerahan warga perempuandalam proses pengambilan keputusan, se-perti di dalam Musyawarah Rencana Pem-bangunan Desa (Musrenbang). Harapannya,keputusan lokal yang dibuat masyarakatakan ikut mengatur kebutuhan perempuan,setidaknya tidak merugikan perempuan.

Pekka menamakannya sebagai kegiatannon-ekonomi yang mempunyai tiga tujuan.Pertama, meningkatkan “kesadaran kritis”para anggota maupun masyarakat yang ting-

Pada banyak kasus, hal ini tergantungpada bagaimana kapasitas koordinator mau-pun Sekretaris Wilayah menghimpun paraanggota dan aktif berpartisipasi dalam pro-gram-programnya. Bagaimana pun, KPIturut berjasa dalam memperkenalkan politikdan pendidikan politik bagi perempuan.KPI mendorong perempuan untuk dapatduduk dalam posisi pengambil keputusansebagai anggota legislatif, dan duduk dalamlembaga-lembaga pemerintah. Melalui ad-vokasinya, lembaga ini telah menyadarkanperempuan untuk memiliki hak politik danterlibat dalam proses perencanaan dan ang-garan serta pembuatan kebijakan publik.

Anggota KPI yang besar jumlahnya me-rupakan basis massa yang kuat untuk men-dorong lahirnya kebijakan publik yang res-ponsif terhadap kebutuhan perempuan. Da-lam kurun waktu hampir satu dekade, KPItelah terlibat dalam mensahkan antara lain:Rancangan Undang-Undang (RUU) AntiPerdagangan Manusia (anti-trafficking);Pekerja Migran; Kesehatan; Sistem JaminanSosial Nasional; Kekerasan Terhadap Pe-rempuan; Revisi Kitab Undang-Undang Hu-kum Pidana (KUHP) yang mendiskrimina-sikan perempuan; Amandemen Pasal 65Ayat (1) Tentang Kuota 30 persen, meng-ganti kata “dapat” menjadi “harus” dan adasanksi bagi partai politik yang tidak mengi-kuti; Amandemen Kebijakan Usaha Kecilmenjadi Usaha Kecil dan Menengah; Kebi-jakan Kesetaraan dan Anti-DiskriminasiBerbasis Gender terutama pada pembentuk-an Komisi Penghapusan Diskriminasi terha-dap Perempuan; Amandemen Kependuduk-an dan Kesejahteraan Keluarga; KebijakanAnggaran Responsif Gender; dan Kebijak-an-kebijakan seperti Peraturan Daerah

170 Afirmasi Vol. 02, Januari 2013

gal di daerah kegiatan Pekka. Kedua, me-ningkatkan “partisipasi” para anggota khu-susnya, dan masyarakat sekitar pada umum-nya. Ketiga, meningkatkan kontrol atas pro-ses pengambilan keputusan. Keberhasilankegiatan non-ekonomi di daerah kerjaPekka bervariasi. Seknas Pekka secara na-sional menetapkan program kegiatan yangmeliputi pelatihan di bidang pendidikan,administrasi, pengorganisasian, keorgani-sasian, dan pelatihan untuk meningkatkanketerampilan.

Pekka juga menunjukkan keberhasilandalam program politik. Sebagai ilustrasi, mi-salnya, para perempuan kepala keluarga diAdonara berhasil memperkukuh penguatanhak-hak sipil mereka dengan melakukanadvokasi terhadap budaya yang selama inimenempatkan mereka pada posisi yang su-lit, baik secara adat maupun ekonomi. Pro-gram Pekka di Adonara berhasil mendo-rong aparat desa untuk mengeluarkan Pera-turan Desa tentang penyederhanaan adat.Adanya Peraturan Desa tersebut memudah-kan masyarakat, termasuk perempuan, da-lam melakukan pembayaran sumbangan ke-matian di Adonara. Contoh lain adalah se-perti yang terjadi di Nusa Tenggara Barat.Peraturan Desa setempat menetapkan batasminimal biaya mahar pernikahan yang harusdibayarkan oleh laki-laki demi mengurangitingkat perceraian. Melalui program politik-nya, para anggota Pekka di Adonara ber-juang untuk menduduki posisi sebagai peng-ambil keputusan di tingkat desa, denganikut terlibat dalam rapat-rapat desa. Bahkanada yang kemudian berhasil menjadi kepaladesa.

Sama dengan Pekka, Kalyanamitra jugamelakukan pengorganisasian perempuan

miskin kota dan desa. Untuk kota, Kalyana-mitra melakukan kegiatan di wilayah Prum-pung dan Muara Baru, Jakarta, sedangkanuntuk pedesaan, yang dipilih adalah DesaPasrujambe di Kabupaten Lumajang, JawaTimur. Kalyanamitra menempatkan satuorang staf program di Lumajang.

“Kita menempatkan satu orang staf un-tuk mengurusi diskusi, pegang databasekelompok, membuat profil, mengikutiperkembangan kelompok. Kerja lainnyalebih banyak dilakukan bersama mitralokal”.9

Tujuan kegiatan ini adalah untuk me-ngenalkan hak-hak sipil/kewarganegaraanperempuan dan mendorong agar perempuanmampu berpartisipasi dalam proses peng-ambilan keputusan publik. Sedangkan stafkhusus bekerja untuk memfasilitasi kegiatandi lapangan.

3. Pemberdayaan Ekonomi

Organisasi perempuan yang memiliki fokusterhadap pemberdayaan ekonomi perempu-an adalah Pekka dan ASPPUK. Kedua or-ganisasi ini melakukan kegiatan pemberda-yaan ekonomi perempuan untuk mengang-kat kondisi kesejahteraan perempuan.

“Salah satu alasan Pekka didirikan, kare-na ada kasus ketidakadilan terhadap pe-rempuan kepala keluarga, yang notabenedalam Kepala Keluarga dianggap laki-laki. Padahal, 14 persen Kepala Keluargadalam data BPS adalah perempuan, dantidak diakui keberadaannya. Pekka ada

9 Wawancara dengan Rena Herdiyani, Direktur Ekseku-tif Kalyanamitra, Jakarta 21 Mei 2012.

Sita Aripurnami et.al. - Keragaman Kelembagaan & Menguatnya Advokasi Kebijakan Adil Gender di Jakarta 171

untuk mengangkat keberadaan KepalaKeluarga perempuan, sehingga merekadiakui keberadaannya”.10

“Jadi begini: pada tahun 1994, ada se-jumlah Lembaga Swadaya Masyarakat(LSM) berkumpul di Surabaya. Salah sa-tunya adalah Pusat Pengembangan Sum-berdaya Wanita (PPSW), LSM yang se-lama ini punya pendampingan perem-puan di level basis. Rata-rata merekapunya usaha. Nah, mereka membentuksebuah forum di Surabaya. Akhirnyaterbentuklah. Namanya Forum Pen-dampingan Perempuan Usaha Kecil dibawah, di level grassroots”.11

Sekali pun penerima manfaat kedua or-ganisasi berbeda, yakni perempuan kepalakeluarga dan perempuan pengusaha kecil,namun metode yang digunakan serupa,yaitu memberikan pendidikan dan pelatihanpada LSM pendamping perempuan pengu-saha kecil yang memiliki basis, agar lebihmampu dan lebih produktif secara ekonomi.Pekka mendorong pemberdayaan ekonomidengan melakukan pengembangan usahadan lembaga Kredit Mikro Berbasis Komu-nitas, usaha simpan-pinjam dan penciptaanrevolving fund.

Seknas Pekka menjalankan lima Pro-gram Tematik di wilayah kerjanya, yaituProgram Ekonomi, Hukum, Pendidikan,Politik, Pengorganisasian Komunitas danMedia Komunitas. Program ekonomi adalahyang paling dirasakan langsung manfaatnyaoleh para pihak, baik anggota maupun ma-

syarakat non-anggota di daerah programPekka.

Program Pekka berhasil meningkatkankesejahteraan ekonomi para anggotanya.Kesejahteran ini paling tidak dilihat dari ter-sedianya sumber dana cadangan masyara-kat, yang mampu memberikan rasa amansecara ekonomi. Sumber dana tersebut me-rupakan upaya mereka sendiri dalam bentuksimpan-pinjam, yang kemudian ditopangoleh keberadaan Lembaga Keuangan Mikro(LKM). LKM merupakan organisasi yangmenyediakan bantuan dana bagi kelompokPekka untuk usaha produktif, maupun danatalangan ketika ada kebutuhan mendadakseperti untuk kesehatan atau pendidikan.Sejak adanya Program Pekka, penghasilanpara anggota meningkat dan mereka men-jadi lebih mampu secara ekonomi dalam ke-hidupan sehari-hari. Secara umum, sejakbergabung dengan Program Pekka, kemam-puan usaha individu anggota menjadi lebihmandiri secara ekonomi dan secara sosial.

Dari hasil survei yang pernah dilakukanpada 2009, program simpan-pinjam Pekkatelah berhasil meningkatkan kesejahteraanekonomi dan penghasilan individu anggota.Para anggota di semua daerah program yangdisurvei menyatakan bahwa setelah ikut da-lam simpan-pinjam, penghasilan merekameningkat. Sebagai gambaran, dalam dataSeknas tentang peningkatan jumlah simpan-an dan pinjaman anggota di Flores Timurmisalnya, perkumpulan Pekka yang didiri-kan dalam waktu delapan tahun telah mam-pu mengakumulasi dana sejumlah sekitarRp 200 juta.

Sebagai organisasi yang diinisiasi dari ba-wah, ASPPUK pernah mengalami beberapapenyesuaian dalam manajemen organisasi-

10 Nani Zulminarni, Koordinator Nasional Seknas Pekka,FGD Jakarta, 9 Mei 2012

11 Wawancara dengan M. Firdaus, Sekretaris EksekutifNasional ASPPUK, Jakarta 27 Juni 2012.

172 Afirmasi Vol. 02, Januari 2013

nya. Forum yang dibangun pada 1994 inimengkristal pada 1997 menjadi sebuah or-ganisasi berbentuk Yayasan. Pada 2001,bentuk diubah menjadi Asosiasi karena dira-sakan bentuk tersebut lebih demokratis,dan ini bertahan sampai sekarang. ASPPUKmelakukan penyesuaian berdasarkan mu-syawarah yang digagas oleh LSM anggota-nya, dan membuat perubahan yang ditetap-kan di tingkat nasional dan dijalankan olehseluruh LSM anggota.12

“Berjalan kemudian di tahun 1997. Fo-rum itu mengkristal. Forum sudah adadari tahun 1994, lalu mengkristal menjadijaringan: Jaringan Pendamping Perem-puan Usaha Kecil. Setelah itu, ada fo-rum nasional yang pertama, pada 1997.Kemudian karena kesulitan legalitasnya,itu berubah menjadi yayasan: YayasanPendamping Perempuan Usaha Kecil(YASPPUK). Kemudian kita memilikiforum tertinggi, Fornas. Anggota mera-sa bentuk yayasan itu tidak demokratis… karena yayasan ada Badan Pendiri,seperti layaknya pemilik, begitu. Akhir-nya, kira-kira tahun 2001, yayasan ber-ganti nama menjadi Asosiasi, atau badanhukumnya Perkumpulan. Jadi: AsosiasiPendamping Perempuan Usaha Kecil(ASPPUK). Di situ kata kawan-kawanjadi lebih demokratis dibandingkan da-lam bentuk yayasan”.13

ASPPUK pada periode awal 1998, yangditandai dengan krisis ekonomi Indonesia,kerusuhan Mei ( 13-15 Mei 1998) dan leng-sernya Soeharto (21 Mei 1998) juga membe-rikan dampak pada program dan strategikerjanya. YASPPUK termotivasi untukmemfasilitasi tumbuhnya gerakan kelompokbasis Perempuan Usaha Kecil (PUK). Sam-pai saat ini, telah terbentuk 22 jaringan ke-lompok PUK di 22 wilayah, tersebar di 14provinsi. Saat ini, YASPPUK mengklasifi-kasikan program-programnya sebagai beri-kut:

• Program darurat pemenuhan kebutuhanfisik minimum, yang didanai Terre desHommes (Belanda) dan bekerjasamadengan PPSW, yang memiliki basis ke-lompok masyarakat termiskin Jabode-tabek dengan menjual beras murah(subsidi 50 persen);

• Program kredit mikro;• Advokasi kebijakan berkaitan dengan

kondisi makro sosial, ekonomi dan poli-tik yang bekerjasama dengan The AsiaFoundation, Friedrich Ebert Stiftung,CUSO dan Kelompok Kerja Kemiskin-an Struktural (Kikis), dan kelompok ak-tivis perempuan dengan mengadakan lo-kakarya, diskusi dan hearing ke legislatifseperti undang-undang larangan mono-poli, kebijakan tentang kemiskinan, glo-balisasi, dan sebagainya;

• Pemberdayaan politik rakyat didukungoleh OTI-USAID, dengan melakukanpendidikan politik bagi pemilih (voterseducation). Kegiatan ini memberi warnabagi YASPPUK, karena melibatkan pe-ngembangan modul voters education khu-sus PUK;

12 Pendekatan bottom-up (dari bawah ke atas) adalah yangterbentuk dari grassroots – dari sejumlah orang bekerjabersama, membuat keputusan yang muncul dari ke-bersamaan tersebut. Sebuah keputusan dari bawah keatas menyediakan proses eksperimentasi dan kesesuaiandengan yang dibutuhkan di bawah. (http://en.wikipedia.org/wiki/Top-down_and_bottom-up_design#Management_and_organization, diaksespada 23 September 2012).

13 Wawancara dengan M. Firdaus, Sekretaris EksekutifNasional ASPPUK, Jakarta 27 Juni 2012.

Sita Aripurnami et.al. - Keragaman Kelembagaan & Menguatnya Advokasi Kebijakan Adil Gender di Jakarta 173

• Pengembangan kelembagaan jaringan,mengontrak rumah untuk menjadi se-kretariat YASPPUK di Pondok Kelapa,Jakarta Timur; pembelian properti se-kretariat, perekrutan staf, dan melebar-kan cakupan wilayah jaringan di bebera-pa forum wilayah;

• Pengadaan informasi dengan menerbit-kan buletin yang berkaitan dengan si-tuasi terkini, misalnya bertema Politikdan Jaringan Pengaman Sosial (JPS).

Mulai dari forum hingga terbentuk men-jadi asosiasi, ASPPUK terbagi dalam limawilayah kerja. Untuk memudahkan koordi-nasi, dibentuk forum wilayah sebagai peng-ambilan keputusan tertinggi di wilayah ma-sing-masing. Lima wilayah tersebut adalahSumatera, Jawa, Nusa Tenggara, Kaliman-tan dan Sulawesi. Sampai 2012, terdapat 54LSM anggota di seluruh wilayah, yang terse-bar di 21 provinsi Indonesia.

Proses penyerapan aspirasi yang dilaku-kan ASPPUK, sebagai wadah berjejaringpara LSM pendamping perempuan usahakecil, organisasi memiliki persyaratan untukcalon anggota yang ingin bergabung. Per-syaratan ini ditetapkan dalam forum nasio-nal yang dihadiri oleh perwakilan forum wi-layah yang telah terlebih dulu mengadakanrapat dalam Forum Wilayah. Adapun per-syaratan umumnya adalah lembaga non-profit atau LSM yang melakukan pemberda-yaan PUK mikro dengan menerapkan pers-pektif gender, dan berpengalaman serta ak-tif melakukan pendampingan PUK mikro.Lembaga juga minimal telah mendampingi100 PUK. Lembaga tidak berafiliasi padapartai politik, institusi pemerintah, TNI danPOLRI. Ia juga harus memiliki visi dan misiyang selaras dengan ASPPUK.

“Syarat menjadi anggota ASPPUK ada-lah mereka sudah punya basis. Basisnyaadalah perempuan pengusaha kecil mini-mal 100 orang di masyarakat, bahkanada usulan akan dinaikkan lagi batasnya.Kita punya mekanisme akreditasi tiaptahun. Tiap LSM akan dilihat apakahmasih layak untuk jadi anggota atau ti-dak. Kalau tidak layak lagi untuk pen-dampingan, atau tidak punya basis lagidi masyarakat, maka dengan legowo kitaminta dia untuk mengundurkan diri.Karena dia sudah tidak ada kerja-kerjalain. Di AD/ART kita, syarat anggotabegitu. Jadi sebelum jadi anggota, akandicek di lapangan oleh kawan-kawanForum Wilayahnya”.14

Adapun salah satu motivasi para ang-gota bergabung dengan ASPPUK adalahuntuk mendapatkan fasilitas, atau programpengembangan kapasitas pendampinganperempuan usaha kecil. Misalnya, denganpelatihan pembuatan lembaga setingkat ko-perasi sebagai alternatif perputaran modalperempuan usaha kecil, dan pelatihan-pela-tihan pembukuan yang menunjang lembagakeuangan alternatif tersebut. Selain itu, da-ya tarik untuk bergabung dengan ASPPUKkarena dirasakan kuatnya jaringan yang ter-jalin di seluruh Indonesia. Hal ini memung-kinkan terjadinya pertukaran informasi,yang dapat bermanfaat untuk penguatankapasitas masing-masing anggota.

“Jadi tugas kita di sekretriat ASPPUKmemberikan capacity building bagi anggo-ta, karena mereka sudah membayar iur-an tiap tahun. Tugas kita adalah mengu-atkan LSM anggota itu, salah satunya

14 Wawancara dengan M. Firdaus, Sekretaris EksekutifNasional ASPPUK, Jakarta 27 Juni 2012.

174 Afirmasi Vol. 02, Januari 2013

dengan menguatkan pendampingan,kapasitasnya. Mungkin itulah yang mem-buat mereka tertarik bergabung. Bisa ju-ga karena alasan agar ada teman seja-ringan, jadi masuklah dia ke ASPPUK.Ada teman berjaring yang punya isu yangsama untuk pengembangan jaringan pe-rempuan usaha kecil di level basis tiapkabupaten. Kita juga membuat lembagakeuangan alternatif untuk perempuan,yang membantu pengembangan eko-nomi integratif. Itu juga bisa jadi salahsatu yang membuat mereka tertarik”.15

Keunikan dari ASPPUK adalah anggo-tanya berasal dari LSM pendamping perem-puan usaha kecil, dan tidak berdasarkan in-dividu. Perubahan bentuk organisasi dariYayasan menjadi Perkumpulan, selain lebihmemberikan efek demokratis, juga dirasa-kan lebih cocok untuk ASPPUK. Masing-masing anggota berperan dalam menentu-kan kebijakan yang sesuai untuk wilayahnya,dan juga untuk keberlangsungan perkum-pulan secara nasional. Bentuk perkumpulanmemberikan ruang transformasi kepemim-pinan, karena pergantian kepengurusan di-lakukan tiap dua periode.

“Kalau Yayasan, Badan Pendiri tidakboleh diganti-ganti. Kalau di Perkum-pulan, bisa diganti-ganti pengurusnya,tergantung anggotanya. ASPPUK aso-siasi yang anggotanya lembaga, bukanindividu. Itu yang unik. Tiap Forum Na-sional bisa diganti pengurusnya, dan bisadipilih lagi tiap dua periode”.16

Selain dua organisasi tersebut, Kalyana-mitra, yang dikenal sebagai pusat informasidan komunikasi, ternyata juga melakukankegiatan ekonomi bagi perempuan miskinsejak 2008, dengan mengembangkan ke-lompok di Muara Baru dan Prumpung, Ja-karta, serta Pasrujambe di Lumajang, JawaTimur. Kegiatan tersebut dilakukan denganmemberikan pelatihan untuk meningkatkanketerampilan perempuan dan meningkat-kan kemampuan produktivitas ekonomi me-reka, misalnya dengan mengajarkan caramembuat produk yang bisa dijual, sepertimembuat makanan dan aksesoris.

Mulai 2008, Kalyanamitra mengem-bangkan program kepemimpinan perem-puan melalui pendidikan komunitas. Strate-gi ini dilakukan untuk meningkatkan penge-tahuan, keterampilan dan pengalaman bagikomunitas. Kalyanamitra menyelenggara-kan pendidikan kritis, seperti memperkenal-kan pemahaman mengenai hak dan kesehat-an reproduksi bagi perempuan, dan penting-nya memberikan suara dalam Musrembang.Mereka melakukan penguatan ekonomi me-lalui pelatihan pembuatan produk yangdapat dijual, seperti makanan dan aksesoris,serta pembentukan kelompok keuanganmandiri, seperti kelompok simpan-pinjam.17

Pada 2011, perputaran dana pada ke-lompok-kelompok dampingan ekonomiberkisar sejumlah Rp 20 juta hingga Rp 25juta. Jumlah ini cukup dapat membantu ke-lompok berusaha dan menerima uang tun-jangan hari raya.18 Jumlah anggota kelom-pok yang tercatat hingga akhir tahun 2011

15 Wawancara dengan M. Firdaus, Sekretaris EksekutifNasional ASPPUK, Jakarta 12 Juli 2012.

16 Wawancara dengan M. Firdaus, Sekretaris EksekutifNasional ASPPUK, Jakarta 27 Juni 2012.

17 Lihat hal. 14-28, “Perempuan Memberi Makna padaPerubahan. Laporan Tahunan Periode 1 Januari-31Desember 2011”, Kalyanamitra, Januari 2012, Jakarta.

18 Ibid hal. 27-28.

Sita Aripurnami et.al. - Keragaman Kelembagaan & Menguatnya Advokasi Kebijakan Adil Gender di Jakarta 175

sebagai berikut: di Muara Baru dan Prum-pung, dari total lima kelompok adalah 51orang. Sementara itu, di Pasrujambe, darienam kelompok, terhimpun 221 orang ang-gota.19

4. Pendidikan

Kalyanamitra dan Institut Kapal Perempu-an banyak memfokuskan kegiatan organisa-sinya pada bidang pendidikan untuk perem-puan. Pendidikan yang diberikan secaraumum bertujuan untuk mewujudkan masya-rakat yang adil gender, sekali pun materiyang disampaikan berbeda-beda. InstitutKapal Perempuan menjadikan lembaganyasebagai:

“Pusat pendidikan perempuan, pende-katan pada masyarakat sipil, terutamapada masyarakat miskin yang tingkatfeminisasi kemiskinannya tinggi, tetapmenjadikan perempuan sebagai kor-ban”.20

Kalyanamitra sebagai pusat komunikasidan informasi memberikan pendidikan gen-der awareness and sensitivity, dan seksualitas.

“Kita adakan pendidikan gender tiapbulan, terbuka untuk umum. Pada 2012dua kali, yaitu pada bulan Maret danApril. Kita membuat kurikulum tentanggender, pendidikan tentang seksualitas.Pesertanya siapapun, mahasiswa, umum,dan disebarkan melalui Facebook. Sela-ma setahun tiap bulan, full satu hari. Yangdirekrut maksimal hanya 15 orang pe-serta. Pematerinya bisa dari internal

Kalyanamitra, atau dari luar, misalnyaAgustin dari Ardhanary. Cara seleksi pe-serta, mereka yang menaruh minat padapendidikan diminta untuk membuattulisan tentang perspektifnya mengenaiperempuan. Dari tulisan itu, kalau yangterlihat sangat bertentangan, tidak akankita terima. Umumnya, peserta adalahmahasiswa. Tapi ada juga ibu-ibu, dandua laki-laki relawan dari organisasilain”.21

Institut Kapal Perempuan melaksana-kan pendidikan untuk perempuan agarmampu berposisi-tawar dalam relasi gender-nya, sehingga dapat terbebaskan dari penin-dasan atau kesewenang-wenangan.

“Pendidikan Kapal mengarah padapendidikan perspektif perempuan un-tuk menghindari konflik, minimal tidakmenjadi korban konflik di masyara-kat”.22

Mandat ini diwujudkan ke dalam empat bi-dang fokus kerja, yaitu pendidikan kritis,advokasi kebijakan, penelitian, dan publika-si. Selain pendidikan penyadaran gender,ada pula organisasi yang bergerak di bidangpendidikan, yang menjadi kebutuhan ditingkat domestik perempuan maupun ke-luarganya. Sebagai contoh, apa yang dilaku-kan oleh Pekka, dengan membuat pendidik-an dan pengaksaraan perempuan, yaitu de-ngan menyediakan Program Kejar Paket A,B, dan C. Selain itu, Pekka juga memilikiprogram pendidikan untuk anak dalam ben-tuk Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD).

19 Ibid hal. 31-33.20 Wawancara dengan Misiyah, Ketua Badan Eksekutif

Institut Kapal Perempuan, Jakarta 14 Mei 2012.

21 Wawancara dengan Rena Herdiyani, Direktur Ekse-kutif Kalyanamitra, Jakarta 21 Mei 2012.

22 Wawancara dengan Misiyah, Ketua Badan EksekutifInstitut Kapal Perempuan, Jakarta 14 Mei 2012.

176 Afirmasi Vol. 02, Januari 2013

Dengan PAUD, mereka harapkan para ibumemiliki kesempatan untuk mendapat pen-didikan gender saat mereka mengantarkananaknya ke PAUD. Para ibu, yang biasanyamengajarkan anak di rumah, menjadi ter-bantu tugasnya karena adanya PAUD, apa-lagi sang ibu bisa memperoleh pendidikangender ketika anak-anaknya sedang di dalamkelas.

Pendidikan lain yang disasar adalah pen-didikan untuk isu Millenium DevelopmentGoals (MDGs).

“Peran Kapal Perempuan dalam targetMDGs lebih ke gender mainstreaming me-lalui pendidikan, dan banyak bermitradengan jaringan-jaringan MDGs. Secarakapasitas, kita juga berikan capacity build-ing kepada teman-teman di komunitas,untuk mempercepat penyebaran gendermainstreaming, bagaimana MDGs bisamasuk ke dalam tataran pemerintah lo-kal”.23

“Dalam mainstreaming gender, kendala per-tamanya adalah jaringan. Mainstreaminggender itu masuk ke dalam penganggarandan perencanaan, dan itu yang masih su-sah diterima oleh pemerintah daerah,untuk memasukkan unsur MDGs da-lam penganggaran dan perencanaan”.24

Institut Kapal Perempuan, sebagai or-ganisasi yang banyak bergerak untuk isupendidikan alternatif dan kritis bagi perem-puan, menyatakan hanya bermitra denganorganisasi yang tidak melakukan praktik ke-kerasan.

“Kita bermitra dengan yang konsistendalam pergerakan, walaupun bukan or-ganisasi feminis. Yang penting, tidak me-lakukan praktik kekerasan. Itu yang sela-lu menjadi pagar untuk merumuskanmitra”.25

Selain isu buruh migran, Kapal Perem-puan juga banyak bekerja untuk advokasiundang-undang pembantu rumah tangga.Hal ini dilakukan melalui jaringan Jala PRT.

Tidak jauh berbeda, Ardhanary Institutejuga mempunyai program kerja untuk pen-didikan yang berfokus pada kelompokLBT. Bentuk kegiatan yang dilakukan Ar-dhanary Institute adalah pendidikan, pela-tihan dan konseling tentang social practices.Program kerja ini dianggap sukses karenamampu melakukan pengorganisasian, ter-masuk membuat social-mapping di komunitas.

“Keberhasilan lainnya, komunitas bisamenghasilkan pendanaan secara mandi-ri, jual-jual sesuatu, nanti untungnya untukkegiatan. Dari uang itu, mereka berini-siatif bikin training pendidikan politikseksualitas”.26

Dari pendidikan tersebut, kemudian di-lakukan assessment, setelah mana akan diper-oleh gambaran kebutuhan sasaran kegiatanpendidikan. Misalnya, para beneficiaries (ke-lompok transgender) butuh diakui identitas-nya. Berdasarkan hasil assessment, maka Ar-dhanary Institute akan memikirkan danmembuat program kerja sesuai kebutuhanitu.

23 Wawancara dengan Misiyah, Ketua Badan EksekutifInstitut Kapal Perempuan, Jakarta 14 Mei 2012.

24 Wawancara dengan Misiyah, Ketua Badan EksekutifInstitut Kapal Perempuan, Jakarta 14 Mei 2012.

25 Wawancara dengan Misiyah, Ketua Badan EksekutifInstitut Kapal Perempuan, Jakarta 14 Mei 2012.

26 Wawancara dengan Lily, Wakil Direktur ArdhanaryInstitute, Jakarta 16 Mei 2012.

Sita Aripurnami et.al. - Keragaman Kelembagaan & Menguatnya Advokasi Kebijakan Adil Gender di Jakarta 177

“Misalnya, dalam diskusi terungkap ba-nyak lesbian yang tidak diterima di ma-syarakat. Tapi setelah ada komunitas,masyarakat bisa menerima komunitastersebut”.27

5. Kekerasan Terhadap Perempuan (Violence Againts Women)

Kepedulian untuk memberikan layanan ba-gi perempuan yang mengalami kekerasandiawali dengan berkumpulnya aktivis pe-rempuan dari berbagai organisasi perem-puan. Ada pula para pemerhati masalah pe-rempuan dari berbagai universitas di Jakar-ta, Jawa, Sumatra, Kalimantan dan Papuapada 1991.

Data laporan kepolisian mengenai per-kosaan antara tahun 1986-1989 menunjuk-kan bahwa perkosaan terjadi tiap lima jamsekali di Indonesia. Data ini juga dijadikandasar bagi Yayasan Kalyanamitra untuk me-ngajak organisasi-organisasi perempuan danpemerhati masalah perempuan untuk mela-kukan kampanye bersama, menyerukananti-perkosaan.

Adalah menarik untuk melihat perkem-bangan, atau mungkin dapat dikatakan per-geseran pilihan beraktivitas sebuah organi-sasi. Misalnya saja yang terjadi pada Kalya-namitra. Setelah 15 tahun pemberitaan ke-kerasan seksual di media massa, pada 1991,Kalyanamitra memprakarsai kampanyeAnti-Perkosaan melalui kegiatan LokakaryaNasional, dan membentuk jaringan dari paraNGO/LSM yang berpartisipasi dalam loka-karya tersebut. Kegiatan mengangkat isu ke-

kerasan seksual ini menjadi kegiatan utamaKalyanamitra pada waktu itu, selain mela-kukan kegiatan pendidikan dan pelatihananalisis gender.

Jaringan ini beraktivitas dengan menja-lankan pertemuan reguler tiap minggu, sela-lu diadakan di kantor LBH Jakarta. Dua per-masalahan besar yang dihadapi Jaringan se-bagai identifikasi pembahasan bersama ke-tika Lokakarya Anti-Perkosaan, yaitu refor-masi hukum, terutama hukum pidana danpendefinisan perempuan dan keluarga da-lam hukum pidana, serta penyediaan ke-ahlian dalam pelayanan pendampingan bagikorban kekerasan seksual. Diskusi regulerdari jaringan inilah yang kemudian menjadicikalbakal beberapa organisasi perempuanyang fokus pada salah satu atau kedua iden-tifikasi isu, selepas Lokakarya Anti-Perko-saan.

Pada 1995, Kalyanamitra memperkuatkampanye tentang isu kekerasan terhadapperempuan. Kalyanamitra banyak menerimakasus-kasus perkosaan, dan mulai terlibatsecara langsung dalam penanganan kasuskekerasan terhadap perempuan. Titik kul-minasinya ialah peristiwa Kerusuhan Mei1998. Ketika itu, terjadi perkosaan terhadapperempuan etnis Tionghoa. Kalyanamitrapun menjadi sekretariat Tim Relawan Ke-manusiaan (TRK) untuk korban perkosaandi Jakarta.

Sejak itu, Kalyanamitra membangun ge-rakan perlawanan kekerasan terhadap pe-rempuan, baik akibat ketimpangan gendermaupun oleh negara. Kerja menangani kor-ban ini memerlukan wadah tersendiri. Da-lam kaitan itu, pada 1998, dibentuklah Di-visi Pendampingan Korban di Kalyanami-tra. Kemudian menyusul divisi-divisi pen-

27 Wawancara dengan Lily, Wakil Direktur ArdhanaryInstitute, Jakarta 16 Mei 2012.

178 Afirmasi Vol. 02, Januari 2013

dukung kerja pendampingan korban, sepertiDivisi Pendidikan, Divisi Kampanye, danDivisi Perpustakaan dan Dokumentasi.

Terpaut lebih dari 20 tahun kemudian,masalah kekerasan terhadap perempuantetap banyak terjadi di Jakarta, dan memun-culkan organisasi yang memfokuskan diripada penanganan dan bantuan terhadap pe-rempuan korban kekerasan. Kalyanamitrasejak tahun 2008 memutuskan untuk lebihfokus pada program pendampingan perem-puan miskin, dengan menyelenggarakankegiatan penguatan ekonomi. Hal ini dila-kukan setelah melihat semakin buruknyakondisi ekonomi warga, terutama yang di-alami oleh perempuan di komunitas miskin.Sejak saat itu, Kalyanamitra tidak lagi mela-kukan kegiatan pendampingan korban keke-rasan, tetapi melakukan kegiatan penguat-an ekonomi perempuan, pendidikan dan pe-latihan analisis gender dan seksualitas, sertaaktif terlibat dalam kerja jaringan antar-organisasi perempuan guna melakukanadvokasi kebijakan yang responsif terhadapkepentingan perempuan.

LBH APIK menjalankan fungsinya un-tuk memberikan bantuan hukum untuk kor-ban kekerasan dalam bentuk litigasi, yaitudengan menjadi penasihat hukum bagi kor-ban kekerasan terhadap perempuan.

“Mandatnya melakukan perubahan sis-tem hukum dan sosial yang lebih setaradan adil gender. Jadi tidak hanya undang-undangnya tapi juga institusinya, terma-suk berpihak pada korban”.28

“Dua program utama, pertama mem-berikan bantuan hukum bagi perempu-an kemudian untuk melakukan peru-bahan hukum bagi kita memiliki satudivisi pelayanan hukum dan satu divisiperubahan hukum ditunjang oleh inter-nal”.29

LBH APIK juga melakukan perubahanhukum yang meliputi kegiatan kajian, doku-mentasi-publikasi, kampanye dan advokasikebijakan.

“Melawan wacana tidak mudah, kasusdianggap lebih mudah untuk diangkatkarena memiliki bukti dan data. Fund-ing juga tertarik mendanai kegiatan yangberkaitan dengan kasus”.30

LBH APIK juga banyak bekerja dalamjaringan advokasi hukum. Secara aktif, LBHAPIK menjadi penggerak Jaringan KerjaPerempuan Pro Prolegnas (JKP3).

Ketika terjadi tragedi nasional penye-rangan seksual dan perkosaan dalam Keru-suhan Mei 1998, banyak pihak dalam ma-syarakat disentakkan oleh kenyataan bahwakekerasan terhadap perempuan itu nyataada. Sebagai respons atas peristiwa itu, ber-bagai pihak dalam masyarakat, seperti ke-lompok-kelompok yang berafiliasi denganorganisasi keagamaan, mulai menggalangbarisan, memberikan upaya layanan bagi pe-rempuan korban.

Negara mulai menunjukkan perhatian-nya pada persoalan kekerasan terhadap pe-rempuan. Pemerintah menunjukkan sikap

29 Wawancara dengan Ratna Batara Munti, DirekturEksternal LBH APIK Jakarta, Jakarta 24 Mei 2012.

30 Wawancara dengan Ratna Batara Munti, DirekturEksternal LBH APIK Jakarta, Jakarta 24 Mei 2012.

28 Wawancara dengan Ratna Batara Munti, DirekturEksternal LBH APIK Jakarta, Jakarta 24 Mei 2012.

Sita Aripurnami et.al. - Keragaman Kelembagaan & Menguatnya Advokasi Kebijakan Adil Gender di Jakarta 179

pro-aktif dalam penghapusan segala bentukkekerasan terhadap perempuan di seluruhIndonesia. Sebagai wujud tanggungjawab-nya, negara kemudian membentuk sebuahtim pencari fakta independen atas Kerusuh-an Mei dan perkosaan yang terjadi, sertamendirikan sebuah lembaga, Komisi Nasio-nal Anti-Kekerasan Terhadap Perempuan,berdasarkan Keppres No. 181/1998.

Perangkat hukum yang mendasari kerjaini adalah Undang-Undang No. 7 Tahun1984, yang merupakan ratifikasi KonvensiPenghapusan Segala Bentuk DiskriminasiTerhadap Perempuan, yang ditetapkan pada1979 oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa. Be-rangkat dari pengalaman bekerja para akti-vis perempuan dan hak asasi manusia meng-gunakan atau mengacu pada konvensi itu,dihasilkan sebuah Deklarasi PenghapusanKekerasan Terhadap Perempuan pada 20Desember 1993. Secara nyata, dalam pasal4 Deklarasi itu, negara dituntut perannyauntuk menghapuskan kekerasan terhadapperempuan. Kedua perangkat hukum danaturan ini juga menjadi dasar kerja pemerin-tah Indonesia dalam mengupayakan pengha-pusan kekerasan terhadap perempuan.

Pada 1999, negara mengeluarkan ko-mitmen yang diwujudkan melalui penanda-tanganan deklarasi bersama untuk menetap-kan Zero Tolerance Policy. Yakni, sebuah pen-dekatan yang tidak mentoleransi segala ben-tuk kekerasan, sekecil apapun, terhadap pe-rempuan, melainkan menjadikan keselamat-an dan keamanan perempuan sebagai priori-tas bagi semua pihak.

Pendekatan ini kemudian dijadikan da-sar Implementasi Rencana Aksi NasionalPenghapusan Kekerasan Terhadap Perem-

puan, yang dimotori oleh Kantor MenteriNegara Pemberdayaan Perempuan.

Komisi Nasional Anti Kekerasan Terha-dap Perempuan (dikenal sebagai KomnasPerempuan) memiliki fokus kerja untuk me-ngurangi angka kekerasan terhadap perem-puan. Komnas Perempuan mempunyai se-jarah pendirian yang unik, karena merupa-kan lembaga negara yang lahir sebagai tun-tutan masyarakat sipil kepada pemerintahIndonesia untuk menyikapi tindak kekeras-an penyerangan seksual terhadap perempu-an. Meletusnya kekerasan terhadap pe-rem-puan terjadi di Jakarta pada Kerusuhan Mei1998, pada saat memanasnya suhu politikIndonesia terkait lengsernya Presiden Soe-harto setelah berkuasa selama 32 tahun le-bih.

Prinsip kerja Komnas Perempuan seba-gai Lembaga Nasional HAM (National Hu-man Rights Institution) adalah menjaga kon-tinuitas pekerjaan para perintis dengan prin-sip dasar pembentukannya dalam upayapencegahan, penanggulangan, penuntasan,penindaklanjutan dan pengembangan secaraindependen segala pemikiran sekitar Keke-rasan Terhadap Perempuan. Komnas Perem-puan mempertanggungjawabkan pelaksa-naan mandatnya kepada Presiden RI danpublik setiap tahun pada akhir periode kerjaKomisi Komnas Perempuan.

Sebagaimana dilaporkan dalam CatatanTahunan tentang Kekerasan Terhadap Pe-rempuan (KTP) 2011, sepanjang 2010, ka-sus KTP berjumlah 105.103. Ratusan ribukasus terlapor ini kebanyakan terjadi di ra-nah personal, yakni sejumlah 101.128 (96persen), sebanyak 3.530 kasus di ranah pu-blik. Sisanya, sebanyak 445, di ranah nega-

180 Afirmasi Vol. 02, Januari 2013

ra. KTP di ranah personal, 97 persen, terjaditerhadap istri (KDRT sebanyak 98.577 ka-sus), sedangkan separuh kasus KTP di ranahpublik berbentuk tindak perkosaan, perco-baan perkosaan, pencabulan dan pelecehanseksual. Adapun kasus KTP di ranah negaraberwujud penggusuran warga perempuan,tindak kekerasan atas nama agama dan mo-ralitas, serta perdagangan manusia.

Catatan Tahunan (Catahu) milik Kom-nas Perempuan tentang Violence Againts Wo-men (VAW) merupakan program kerja ung-gulan milik Komnas Perempuan. Catahudibuat dari hasil kerja keras menghimpundata VAW yang dilaporkan (ke WCC/LSM,kantor Polisi, Rumah Sakit, dan Pengadilan)semua mitra kerja Komnas Perempuan diseluruh Indonesia. Catahu diterbitkan ru-tin setiap 8 Maret melalui konferensi pers.Selain memanfaatkan Women’s Interna-tional Day (8 Maret), Komnas Perempuanjuga mensosialisasikan 16 Days Anti-ViolenceAgainst Women Campaign (25 November - 10Desember), yang biasa diperingati di seluruhdunia, dan berhasil menjadikannya tradisiuntuk menggelar berbagai peristiwa kul-tural-politikal guna mengajak masyarakatluas bersikap anti kekerasan terhadap pe-rempuan.

“Banyak instrumen nasional yang sudahdibuat, seolah-olah Negara sudah ber-buat banyak untuk peningkatan kesejah-teraan perempuan. Padahal nyatanya,nasib perempuan tidak banyak beru-bah”.31

Program kerja Komnas Perempuan dija-lankan melalui sejumlah divisi, yaitu: Refor-masi Hukum dan Kebijakan (RHK), Pendi-dikan, Pemulihan, Pemantauan, dan Partisi-pasi Masyarakat (Parmas). Dalam perjalan-an kerjanya, Komnas Perempuan meres-pons kebutuhan penanganan khusus untukbeberapa isu tertentu yang tidak termasuktugas divisi, dengan membentuk GugusKerja (Task Force). Komnas Perempuan me-miliki tiga Gugus Kerja (GK), yakni GKPapua, GK Pekerja Migran dan GK Perem-puan dalam Konstitusi Hukum Nasional(PKHN).

Tantangan bagi Komnas Perempuanadalah memastikan semua kegiatan untukmempromosikan, melindungi dan menjaminterpenuhinya HAM di Indonesia, menginte-grasikan kepentingan perempuan dan sadargender. Hal ini berarti Komnas Perempuanjuga harus memelihara kolaborasi dan mem-bangun sinergi dengan semua aktor, baik dibidang hukum maupun sosial politik lain,apa itu di kalangan pemerintah eksekutif,legislatif pada semua aras (nasional hinggalokal), maupun kalangan swasta dan masya-rakat pada umumnya.

Salah satu kontribusi Komnas Perempu-an adalah upaya lembaga tersebut untukmenawarkan alternatif layanan pendam-pingan bagi korban kekerasan terhadap pe-rempuan, yang telah menjadi rujukan bagiorganisasi perempuan bantuan hukum, ter-masuk juga penegak hukum di Indonesia.Secara ringkas, tawaran alternatif layananyang diusulkan oleh Komnas Perempuan di-ringkaskan dalam boks berikut.

31 Niniek Rahayu, Komisioner Komnas Perempuan, FGDJakarta 9 Mei 2012

Sita Aripurnami et.al. - Keragaman Kelembagaan & Menguatnya Advokasi Kebijakan Adil Gender di Jakarta 181

Ragam Layanan dan Upaya Terpadu32

Layanan yang Disediakan oleh MasyarakatCrisis Center, Shelter dan Hotlines

Organisasi pengada layanan crisis center sebagai tempat yang dapat menerima penga-duan dan melayani kebutuhan korban untuk memperoleh dampingan psikologis,atau jasa mendampingi, atau menemani, manakala korban perlu ke rumah sakituntuk mendapatkan perawatan medik, atau ke kantor polisi untuk melaporkan ke-jadian yang dialaminya. Bisa juga menyediakan layanan hukum yang dapat diman-faatkan seorang korban, apabila dirinya ingin menyelesaikan secara hukum kekeras-an yang dialaminya.

Layanan shelter atau rumah aman, yaitu sebuah tempat yang dirahasiakan, ma-nakala dibutuhkan, guna menampung sementara waktu para korban dan anak-anak-nya selama kasusnya ditangani. Tempat penampungan ini dibutuhkan apabila korbandan anak-anaknya merasa tidak aman lagi tinggal di tempat tinggalnya.

Layanan hotlines adalah menyediakan kemudahan bagi korban, yang meski sudahingin memaparkan persoalan kekerasan yang dihadapinya, tetapi belum mampubertatap muka untuk membicarakan persoalannya dengan orang lain.

Kendala yang dialami dalam perjalanan kegiatan menyediakan layanan crisiscenter, shelter dan hotlines di tingkat kota besar maupun kota kecil atau tingkat kabu-paten pada dua lingkup, yaitu:

1. Lingkup Eksternal • Nilai budaya patriarkhi yang masih mempengaruhi cara berpikir sebagian

besar masyarakat, termasuk para korban, keluarga korban, bahkan jugatermasuk para penyedia layanan, seperti kalangan profesional, baik dari la-tar belakang medik, hukum maupun psikologi.

• Materi hukum yang belum berpihak kepada korban. • Sikap aparat hukum, seperti polisi, hakim dan jaksa, yang masih terjerat

pada sistem hukum yang tersedia, yang masih kurang berpihak kepadakorban.

2. Lingkup Internal• Jumlah pekerja pendampingan yang masih sedikit akan menyebabkan kasus-

kasus kekerasan kurang dapat segera ditanggapi.

32 Lihat “Layanan Yang Berpihak: Buku Rujukan untuk Menyelenggarakan Layanan bagi Perempuan Korban Ke-kerasan”, Adinda, et.al, Komnas Perempuan, cetakan ke dua, 2005, Jakarta.

182 Afirmasi Vol. 02, Januari 2013

• Jumlah pekerja yang sedikit tidak sebanding dengan kebutuhan penanganankasus kekerasan yang ada, menyebabkan munculnya perasaan akan bebankerja yang berat.

• Terbatasnya jumlah lembaga atau individu yang mempunyai keahlian atauketerampilan tertentu dalam melakukan pendampingan bagi korban.

Upaya yang mereka lakukan adalah dengan mengadakan kegiatan mendatangikorban ke tempat tinggalnya, serta membangun kegiatan kelompok dukungandi tengah masyarakat, guna membantu mereka yang menjadi korban di komu-nitas itu.

Layanan Berbasis Komunitas

Adalah layanan yang dilakukan oleh individu atau organisasi secara langsung didalam komunitas, disebut juga outreach dan support group.

Pengada layanan di tingkat komunitas ini mengedepankan pemberdayaan ke-kuatan lokal dalam masyarakat itu sendiri. Para individu atau organisasi perempuanyang berperan sebagai pelopor pengada layanan di tingkat komunitas memberikanpelatihan kepada perempuan-perempuan dalam komunitas, untuk dapat melakukankegiatan konseling bagi perempuan korban, serta memberikan dukungan bagi merekayang menjadi korban.

Kegiatan awalnya, penyuluhan tentang kekerasan terhadap perempuan, memfa-silitasi terbentuknya kelompok pendamping kepada perempuan korban, juga meng-ikutsertakan aparat pemerintah lokal setempat.

Keterlibatan lembaga adat dan lembaga agama dalam pengadaan layanan dikomunitas adalah salah satu upaya untuk menjawab tantangan itu.

Kekuatan dari layanan berbasis komunitas ini, selain berupaya untuk memper-kuat posisi korban, juga untuk mencoba membangun kekuatan komunitas untukdapat menangani perkara kekerasan terhadap perempuan. Karena layanan bersifatpro-aktif, maka dia lebih fleksibel.

Kekuatan itu berupa:• Memperkuat posisi korban, sekaligus komunitas, untuk memahami kekerasan

terhadap perempuan.• Pro-aktif mengunjungi korban di mana pun mereka berada.• Fleksibel dan tidak dibatasi oleh ruang konsultasi yang formal.

Sita Aripurnami et.al. - Keragaman Kelembagaan & Menguatnya Advokasi Kebijakan Adil Gender di Jakarta 183

Kendala yang dirasakan oleh pengada layanan yang berbasis komunitas:• Tempat yang sulit dijangkau• Belum dikenalnya kekerasan terhadap perempuan oleh sebagian besar ma-

syarakat• Masih banyaknya anggota komunitas yang buta huruf• Kurangnya akses masyarakat pada layanan hukum dan medik

Kegiatan Advokasi atau Kampanye

Adalah kegiatan yang dapat dilakukan untuk membantu komunitas atau masyarakatagar memahami kekerasan terhadap perempuan, termasuk cara-cara penanggulang-annya.

Pendataan atau Pendokumentasian

Sifatnya amat mendukung keefektifan pendampingan, atau kerja layanan.

LAYANAN berbasis RUMAH SAKITRuang Pelayanan Khusus

Merupakan suatu tempat pelayanan bagi perempuan korban kekerasan yang beradadalam organisasi kepolisian. Berupa ruangan khusus yang tertutup dan nyaman diKesatuan Polri di mana perempuan dan anak korban kekerasan dalam rumah tangga,atau pelecehan seksual, dapat melaporkan kasusnya dengan aman kepada Polwanyang empati, penuh perhatian dan profesional.

Prosedur atau hubungan tata cara kerja:a. Penerimaan laporan/pengaduan (korban kekerasan) ditangani oleh Polwan

Yanmas di Rung Pelayanan Khusus (RPK) dan lalu dibuatkan laporan polisi.b. Kasus yang tidak memenuhi unsur pidana diberikan upaya konseling, atau

kerjasama dengan fungsi lain di lingkungan Polri, instansi terkait dan mitrakerja/LSM.

c. Kasus memenuhi unsur pidana digunakan jalur tugas Serse sesuai KUHAP.d. Diperlukan koordinasi yang harmonis antara pembina kedua fungsi (Serse

dan Yanmas).e. Penanganan ditarik dari Polsek ke RPK Polres apabila jarak masih dapat

dijangkau.f. Tetap berpedoman pada hubungan tata cara kerja yang berlaku di lingkungan

Polri.

184 Afirmasi Vol. 02, Januari 2013

g. Apabila memerlukan perlindungan dan pendampingan lebih lanjut, RPK dapatbekerjasama dengan mitra kerja/LSM/organisasi lain yang memiliki fasilitasbantuan sesuai dengan kebutuhan korban.

Perbandingan Pelayanan Terpadu Model Rifka Annisa dan RSUPN CiptoMangunkusumo

Rifka Annisa, Yogyakarta RSUPN Cipto Mangunkusumo

Yaitu jaringan kerja bersama antar lembaga-lembaga/organisasi yang otonom dalammemberikan layanan kepada perempuankorban kekerasan

Yaitu sistem layanan terpadu berbasis ru-mah sakit yang memberikan layanan multi-disipliner (medik, psikoligis, sosial masyara-kat, hukum) dalam satu atap.

Unsur:1. Rumah sakit: dokter spesialis, dokter

umum, psikiater, perawat2. Kepolisian3. Lembaga Bantuan Hukum4. Women Crisis Center/Organisasi advo-

kasi hak perempuan/shelter5. Lembaga konseling: psikolog6. Akademisi/lembaga pendidikan: pekerja

sosial

Unsur:1. Medik: dokter spesialis, dokter umum,

psikiater, perawat2. Psikologik-sosial masyarakat; Psikolog,

pekerja sosial, konselor, pengelola shel-ter

3. Hukum: pengacara, polisi

Kekuatan dan Tantangan Layanan Terpadu Antar Lembaga

Kekuatan TantanganLayanan Klien Klien relatif terbuka

terhadap pilihan1. Perlu waktu dan biaya be-

sar untuk mendapat layan-an terpadu.

2. Perlu energi untuk menja-wab pertanyaan yang samayang diajukan oleh pihakyang berbeda.

Kelembagaan/Institusi Masing-masing pihak menge-lola dana secara mandiri

Sita Aripurnami et.al. - Keragaman Kelembagaan & Menguatnya Advokasi Kebijakan Adil Gender di Jakarta 185

Pekka yang dikenal sebagai organisasipemberdayaan ekonomi, ternyata memilikikegiatan penanganan bantuan hukum untukjanda dan perempuan korban kekerasan.Pada praktiknya, Pekka memberikan bantu-an pelayanan pengadaan Akte KelahiranAnak, Isbat Nikah dan Surat Cerai, dan pe-layanan penasihat hukum bagi korban keke-rasan yang memerlukan bantuan hukum.

6. Perlindungan Buruh Migran

Seperti yang dijelaskan, ada organisasi pe-rempuan yang bekerja untuk pendampinganpermasalahan buruh migran Indonesia yang

Kekuatan TantanganLayanan Klien 1. Klien memperoleh

layanan terpadu yangmemakan waktu relatifsingkat

2. Penanganan klien gawatdarurat lebih cepat

1. Tidak selalu terjangkauoleh klien yang jauh daripusat kota

2. Inefisiensi layanan karenaterbentur birokrasipenanganan klien

Kelembagaan/Institusi 1. Potensi kuat untukmempererat jaringankerja dengan beragaminstitusi multidisiplin

2. Langsung adapemrosesan lesson learneduntuk koordinasi dankerjasama antar disiplin

Kekuatan dan Tantangan Layanan Satu Atap

Advokasi

1. Hubungan kemitraanantar profesi dapattimpang karena posisidominan salah satu pihak

2. Harus ada SOP danmekanisme kerja yangpasti kuat

3. Membutuhkan danayang cukup besar

Tuntutan kerja bersamasangat tinggi

Realisasi pelaksanaan VAWsebagai public health concern(kebutuhan advokasi)

mayoritas perempuan. Sebagai contoh. Mi-grant Care dan Solidaritas Perempuan mela-kukan pendampingan, dan pemberian pen-didikan kepada buruh migran sebelum, sa-at, dan setelah kembali ke tanah air, terlebihuntuk buruh migran yang bermasalah di ne-gara tempat ia bekerja. Untuk membantumenyelesaikan permasalahan buruh mi-gran, organisasi harus banyak berjejaringdengan organisasi lain, termasuk organisasidi luar negeri.

“Migrant Care bukan organisasi feminis,tetapi hanya untuk kedaulatan buruh mi-gran secara umum. Namun wajah bu-

186 Afirmasi Vol. 02, Januari 2013

ruh migran Indonesia adalah perempu-an”.33

“Dibahas pula isu apa yang akan di-angkat dalam program yang akan dila-kukan selanjutnya oleh seluruh anggotaSP. Isu awal berdirinya, SP fokus padaburuh migran pada tahun 1990-an. Un-tuk isu buruh migran, SP bekerjasamadengan LBH Jakarta, LBH APIK, Mi-grant Care, karena banyak Litigasi. Bebe-rapa juga langsung ke kantong-kantongburuh migran di daerah”.34

“Migrant Care memiliki perpanjangantangan di Malaysia, yang dijalankan olehMalaysia dengan bentuk kerjasama seba-gai cabang dari Migrant Care Indone-sia, karena di Malaysia sulit membangunLSM akibat Malaysia adalah negara oto-riter”.35

Institut Kapal Perempuan, yang me-ngemban mandat pendidikan kritis, jugamenyasar kelompok-kelompok tertentu se-perti buruh migran perempuan. Untuk kebu-tuhan yang lebih praktis, Kapal Perempuanmenyiapkan Pelatihan Pra-PemberangkatanPRT Migran, bekerja-sama dengan organi-sasi Migrant Care untuk membekali paraPRT Migran dengan keterampilan-keteram-pilan pokok serta pengetahuan hukum dasaryang dibutuhkan. Selain itu, Kapal Perem-puan mengambil peran membantu mengem-bangkan jaringan di mana para keluarga da-pat dimudahkan untuk mengakses informasi

tentang anak/istri di negara tempat merekabekerja.

“Negara tidak punya satu pun programpersiapan dan penguatan untuk buruhmigran perempuan, khususnya di TimurTengah. PRT dianggap pekerjaan ren-dah dan mudah, bisa dilakukan tanpapersiapan khusus”.36

Usaha yang dilakukan oleh Migrant Caretidak hanya pada pelatihan dan advokasinasional, tetapi juga pada cara membangundan mengembangkan jejaring internasionaluntuk mengadvokasi lebih luas masalah ter-kait, karena permasalahan buruh migranadalah masalah transnasional, bahkan glo-bal. Tidak cukup advokasi hanya dilakukandi ranah nasional. Langkah awal berdirinyaMigrant Care adalah untuk membangun ja-ringan buruh migran di Asia (Migrant Forumin Asia). Di ranah internasional, MigrantCare juga bergabung dengan Global Plat-form on Migrant Worker Convention diJenewa, karena penting memanfaatkan ins-trumen internasional untuk mengadvokasi.Usaha lain yang ditempuh oleh MigrantCare adalah aktif memantau kasus buruhmigran yang terjadi:

“Memastikan bahwa ada bantuan hu-kum dari pemerintah melalui KBRI, adapengacaranya, memastikan pemantauanintensif terhadap kasus oleh KBRI, ter-masuk proses peradilannya”.37

33 Wahyu Susilo, Dewan Pengurus/Policy Analyst MigrantCare, FGD Jakarta 9 Mei 2012.

34 Wawancara dengan Wahidah Rustam, Direktur Ekse-kutif Solidaritas Perempuan, Jakarta 19 Juli 2012.

35 Wawancara dengan Anis Hidayah, Direktur EksekutifMigrant Care, Jakarta 4 Juli 2012.

36 Budhis Utami, Wakil Ketua Badan Eksekutif InstitutKapal Perempuan, FGD Jakarta 9 Mei 2012.

37 Wawancara dengan Anis Hidayah, Direktur EksekutifMigrant Care, Jakarta 17 Juli 2012.

Sita Aripurnami et.al. - Keragaman Kelembagaan & Menguatnya Advokasi Kebijakan Adil Gender di Jakarta 187

Isu Seksualitas

Seksualitas adalah pengalaman mendasaryang berhubungan dengan kondisi fisik,emosi dan spiritual. Seksualitas seringkalidipahami sebagai sebuah persoalan personal,namun dapat memberikan implikasi politis.

Terkait pemahaman mengenai seksuali-tas, kita dapat mengenali ragam identitasseksual dan gender, seperti lesbian, gay,bisexual, transgender, intersex dan queer(LGBTIQ). Selain itu, ada bentuk lain darihubungan seksual, seperti perempuan yangmelakukan hubungan seksual dengan pe-rempuan tanpa menjadi lesbian, atau laki-laki melakukan hubungan seks dengan laki-laki tanpa menjadi gay.

Beberapa individu tidak dapat menerimabahwa mereka terlahir dengan organ seksualtertentu. Sehingga, mereka menolak identi-tas gendernya. Situasi ini muncul akibat ada-nya kontradiksi antara apa yang selama iniselalu diajarkan, dengan apa yang tubuhindividu itu, baik laki-laki maupun perem-puan, alami. Tubuh dan apa yang biasa kitalakukan dikendalikan oleh masyarakat me-lalui pranata-pranata sosial yang ada. Perta-nyaan yang seringkali muncul adalah, bagai-mana seorang yang secara biologis laki-lakiingin menjadi perempuan secara sosial, atausebaliknya, jika seseorang secara biologisadalah perempuan tetapi ingin menjadi laki-laki? Jawabannya adalah tubuh kita kadang-kala berbicara secara berbeda dengan baha-sa yang dikonstruksikan oleh masyarakatdan ideologinya. Hal inilah yang dialamioleh LGBTIQ di Indonesia.

Berdasarkan wawancara dengan Agus-tine dari Ardhanary Institute, terlihat bahwa

norma dan nilai-nilai masyarakat telah mele-katkan stigma kepada para LGBTIQ. Ma-syarakat maupun keluarga cenderung meno-lak mereka. Kebanyakan kasus menunjuk-kan bahwa mereka harus lari dari rumahdan keluarganya, karena mereka mengalamikekerasan, baik yang dilakukan oleh ayahatau anggota keluarganya yang laki-laki.Mereka juga akan ditutup akses dana untukpendidikannya dari orang tuanya. Keba-nyakan dari mereka yang telah bekerja akanmenutup situasinya, karena takut kehilang-an pekerjaanya.

Implikasi yang dialami oleh merekayang lesbian atau gay, juga berpengaruh padasituasi lain yang berhubungan dengan aksesmereka pada pelayanan kesehatan repro-duksi. Banyak kasus menunjukkan bahwamereka segan untuk datang ke pusat-pusatpelayanan kesehatan reproduksi. Berdasar-kan pengalaman Ardhanary Institute, misal-nya, untuk menghindari pertanyaan yang ter-lalu banyak dari penyelenggara layanan ke-sehatan, mereka cenderung mencari caraalternatif untuk pemeliharaan kesehatan re-produksinya, atau bahkan sama sekali tidakmengaksesnya. Mereka menghindari perta-nyaan-pertanyaan seperti, “Apakah kamubetul-betul perempuan? Mengapa kamu ingin testpap-smear?”

Ardhanary Institute berdiri pada 2005di Jakarta dan memfokuskan kerjanya padapenelitian, publikasi dan advokasi untuk pe-rempuan lesbian, bisexual and transgender(LBT). Sejak awal berdirinya, organisasi inibertujuan mengikis homofobia sehingga ke-giatan pendidikan, pelatihan dan sesi-sesidiskusi yang dilakukan bertema kebebasanseksualitas sebagai hak setiap manusia.

188 Afirmasi Vol. 02, Januari 2013

“Ardhanary memperjuangkan ketidak-adilan yang dialami teman-teman LBT,yang tidak mendapatkan haknya. Yangdimasalahkan bukan hanya ekspresiseksual, tapi juga identitas gendernya.Ardhanary mengkritisi konsep genderyang dipakai selama ini, konsep binersehingga tidak mengakui adanya gen-der ketiga”.38

Perhimpunan Ardhanary Institute berci-ta-cita membangun masyarakat yang meng-hargai dan melindungi hak serta pilihanseksualitas kaum lesbian, biseksual dantransgender. Visi tersebut diwujudkan de-ngan cara menghimpun para perempuanyang berorientasi seksual lesbian, biseksualserta kelompok transgender female-to-male(FTM), agar mampu menggalang kekuatandemi menghadapi hidup bermasyarakatyang dirasakan masih sangat diskriminatifterhadap keberadaan LBT.

Program pemberdayaan individu dilaku-kan secara langsung melalui konseling dansecara lebih berjangka panjang melalui pen-didikan. Program konseling bagi para perem-puan LBT dan keluarganya yang membu-tuhkan, selain di Jakarta, juga disusun da-lam rangka kerjasama antar lembaga. Salahsatunya, dengan dua lembaga pengada la-yanan (service provider) di Yogyakarta, yaituWomen Crisis Centre (WCC) Rifka Anissa,dan pusat konseling remaja PerkumpulanKeluarga Berencana Indonesia (PKBI).Ardhanary diminta untuk membantu pe-ngembangan perspektif LBT untuk semuastaf dan awak shelter, serta para konselor.

“Iya, organisasi LGBT itu banyak. CumaArdhanary Institute ingin menjadi pu-sat informasi dan lembaga pendidikan.Jadi dari daerah banyak komunitas kitadiberi penguatan kapasitas. Kita dorongmereka menjadi pemimpin daerah danbikin organisasi, dan membangun ke-lompok. Dalam tiga tahun kerja, Ar-dhanary Institute sudah bangun enambuah organisasi”.39

Ada beberapa lembaga atau organisasiyang bekerja untuk isu seksualitas di Jakar-ta. Salah satunya adalah Kalyanamitra, danmulai 2012, Kalyanamitra melaksanakanpendidikan bagi masyarakat umum menge-nai isu seksualitas bekerjasama dengan Ar-dhanary Institute.

KPI, melalui advokasinya mengenai isuseksualitas, juga bekerja untuk mengangkatpermasalahan atau isu yang tabu dibicara-kan di masyarakat, seperti isu LBT ini, sertahak seksualitas. Hal ini tampak kuat di wila-yah Jakarta. Menurut sebuah evaluasi pro-gram KPI pada 2009, kerja KPI dalam isuseksualitas ini cukup tampil di wilayah Ma-kassar dan Yogyakarta. Namun, advokasimengenai isu seksualitas di wilayah sepertiSurabaya lebih pada pembahasan hak kese-hatan reproduksi, misalnya HIV yang di-alami oleh perempuan.

Tantangan

Secara kelembagaan, organisasi perempuandi Jakarta terbagi dalam bentuk organisasiyang berbeda-beda. KPI, SP dan ASPPUKmerupakan organisasi massa perempuan

38 Lily, Wakil Direktur Ardhanary Institute, FGD Jakarta9 Mei 2012.

39 Wawancara dengan Agustine, Direktur ArdhanaryInstitute, Jakarta 22 Mei 2012.

Sita Aripurnami et.al. - Keragaman Kelembagaan & Menguatnya Advokasi Kebijakan Adil Gender di Jakarta 189

yang memiliki kekuatan yang signifikan, de-ngan struktur mulai dari pusat, wilayah, ca-bang. Bahkan untuk KPI dengan Balai Pe-rempuan mencoba bekerja untuk memper-juangkan hak perempuan dari tingkat nasio-nal hingga daerah. Kalyanamitra, KapalPerempuan dan Ardhanary memusatkan ke-giatan utamanya di Jakarta, dan mencobamenularkan pentingnya pendidikan kritisseperti analisis gender dan seksualitas sam-pai ke daerah-daerah di luar Jakarta. Semen-tara itu, Migrant Care memfokuskan kegiat-annya untuk bekerja membantu permasa-lahan yang dihadapi buruh migran, baik dikantung-kantung pengiriman buruh migran,serta di negara-negara tujuan tempat buruhmigran tersebut bekerja. Akan halnyaPekka, sebuah organisasi yang lahir sejalandengan kepentingan Program Dunia menge-nai Justice 4 the Poor, membuat program ban-tuan bagi janda miskin di delapan wilayahyang dikoordinasi oleh sebuah SekretariatNasional berkedudukan di Jakarta. Sedang-kan Komnas Perempuan adalah sebuahorganisasi yang dibentuk berkat desakan ke-lompok-kelompok perempuan untuk meres-pons peristiwa kekerasan terhadap perem-puan yang terjadi pada 1998.

Secara tersendiri, kesembilan organisasiperempuan ini menunjukkan kerja yang luarbiasa untuk membantu perempuan mene-mukan “titik emansipasi”, istilah yang di-ungkapkan Ratna Bantara Munti dari LBHAPIK, Jakarta, agar perempuan menjadi le-bih berdaya, mandiri dan sadar akan hak-haknya. Sebagian besar organisasi-organi-sasi perempuan, secara tersendiri sudah cu-kup mendorong perempuan untuk sadarakan hak-haknya, sebagaimana telah dipa-parkan.

Namun, beberapa organisasi mengakuibahwa secara kelembagaan, mereka masihmenghadapi tantangan dalam menjalankankerjanya menghadirkan hak-hak perempu-an. Salah satunya adalah Seknas KPI. Or-ganisasi yang berpotensi untuk menggerak-kan massa perempuan ini, masih merasaadanya gap untuk menjadikan satu kepriha-tinan supaya masing-masing daerah memi-liki visi dan misi yang sama. Misalnya, satuwilayah bisa saja terdiri dari 50 desa, danmasing-masing desa mempunyai perhatian-nya sendiri-sendiri.40 Ada kecenderunganuntuk ‘jalan’ sendiri, kurang koordinasi dankomunikasi. Hingga saat ini kegiatan danpenyelesaian masalah masih bergantungpada Sekretariat Nasional KPI. Akibatnya,yang sering terjadi adalah anggota masihsangat bergantung pada Seknas di Jakarta.KPI juga tidak dapat bekerja secara opti-mal, apalagi dengan sekretariat yang lebihbanyak mengandalkan relawan, sehinggakegiatan tidak berjalan optimal.

Demikian pula dengan Pekka, yang me-lihat bahwa tantangan terbesarnya adalahpada kaderisasi. Pengurus di tingkat daerahmasih saja mengharapkan pihak dari Sekre-tariat Nasional untuk datang ketika merekamenghadapi masalah. Seperti yang disebut-kan oleh Nani Zulminarni, “Kita sendiriyang harus tegas menyapih, seperti dahulumenyapih ASI bayi kita. Jika dibiarkan terusmenyusu ya pasti tidak akan mampu mandi-ri”. Cara mengatasinya adalah dengan mem-beri kesempatan sekerap mungkin pada ang-gota di daerah untuk mengatasi permasalah-an yang dihadapi dan mencoba menyelesai-

40 Wawancara dengan Dian Kartikasari, Sekretaris JendralKPI, Jakarta 30 Mei 2012.

190 Afirmasi Vol. 02, Januari 2013

kannya sendiri. Hal ini masih dirasakansebagai tantangan utama hingga saat ini.

Sementara, organisasi seperti Kalyana-mitra pada 2008 menggeser fokus kegiatan-nya dari lembaga penyedia informasi menge-nai perempuan, melalui layanan dokumen-tasi dan informasinya, serta kegiatan layan-an dampingan perempuan korban kekeras-an pada layanan penguatan ekonomi bagiperempuan miskin dan pendidikan seksuali-tas. Hal yang menarik dari Kalyanamitraadalah, mulai awal 2012, mereka bekerja-sama dengan Ardhanary Institute untuk me-lakukan pendidikan tentang seksualitas.Disinilah sebetulnya letak inti dari tantang-an terbesar dari gerakan perempuan. Yakni,kerja memperkuat dan memberdayakan pe-rempuan akan hak-hak perempuan di wila-yah domestik. Ruang-ruang dibuka untukmendiskusikan secara terbuka dan kritis me-ngenai relasi gender dan konstruksi seksuali-tas perempuan dan laki-laki. Agaknya, ke-giatan atau kerja untuk mengedepankanseksualitas merupakan tantangan cukup be-sar bagi organisasi perempuan. Dan inilahkerja keras yang dihadapi Kalyanamitra danArdhanary Institute.

Adapun Komnas Perempuan berkiprahdalam kerja membantu perempuan korbankekerasan, dan upaya menawarkan ragamcara penanganan korban. Tantangan terbe-sar yang tampak adalah memperkuat tautankerja yang sudah ada dengan organisasi yangjuga bekerja membantu perempuan korbankekerasan dengan tawaran ragam penangan-an serta langkah dan mekanisme dari Kom-nas Perempuan. Efektifitas atau impact pena-nganan menjadi lebih terasa bukan saja bagimereka yang dibantu, tetapi juga masyara-kat pada umumnya.

Penutup

Pembahasan mengenai persoalan perempu-an harus diletakkan dalam konteks tertentuuntuk memahami esensinya, dan sebab-se-bab munculnya persoalan. Dalam hal ini,konteks yang paling relevan adalah mema-hami penyelenggaraan negara serta dampak-nya pada kehidupan perempuan dan struktursosial masyarakat. Berbagai kegiatan yangdilakukan oleh organisasi perempuan di Ja-karta mengenai perempuan menyimpulkanbahwa penyelenggaraan negara membawadampak yang tidak menguntungkan bagiperempuan.

Organisasi perempuan mendasarkankerjanya pada analisis yang melihat bahwaakar munculnya persoalan perempuan tidakdapat dipisahkan dari faktor-faktor ideologi,struktural, dan kultural. Ketiganya secarasaling berkait mengukuhkan sebuah situasiyang sangat tidak menguntungkan bagi pe-rempuan. Ideologi patriarki bergandengandengan ideologi gender telah mempengaruhistruktur dan sistem sosiokultural masyara-kat yang menempatkan perempuan di posisipinggiran. Internalisasi nilai-nilai patriarkiyang mengunggulkan peran dan status ma-nusia lelaki telah mendukung terciptanyaperan dan status manusia perempuan yangbersifat sekunder. Kondisi semacam itu padadasarnya merupakan manifestasi dari diskri-minasi sosial, politik, eknomi, dan budaya,juga hukum dan agama terhadap perempu-an. Akibat diskriminasi tersebut, munculberbagai persoalan lain yang dapat dikatego-rikan spesifik perempuan, seperti kekerasanseksual maupun non-seksual, serta dampakkemiskinan pada perempuan. Pada intinya,

Sita Aripurnami et.al. - Keragaman Kelembagaan & Menguatnya Advokasi Kebijakan Adil Gender di Jakarta 191

dapat dikatakan bahwa persoalan-persoalanperempuan merupakan suatu manifestasidari suatu bentuk hubungan yang timpangantar jenis kelamin, kelas dan ras.

Sebenarnya, kesadaran akan persoalanyang dihadapi perempuan ini sudah adasejak dekade 1970-an, ketika persoalan ke-tertinggalan perempuan mulai disadari danprogram-program pengintegrasian perempu-an mulai disebarluaskan. Muncul kritik ter-hadap asumsi dasar program tersebut yangmenganggap bahwa ketertinggalan perem-puan bukan berasal dari sistem, melainkandari perempuan itu sendiri. Berkaitan de-ngan itu, kemudian muncul ide bahwa da-lam melihat persoalan perempuan - yangakan dijadikan dasar penyusunan berbagaikebijakan dan program untuk perempuan -diperlukan cara pandang baru yang lebihobjektif dan terlepas dari nilai-nilai yang me-ngandung bias. Alternatif tersebut adalahpenggunaan kerangka analisis gender, daninilah yang juga menjadi tolok ukur dasarpijakan para organisasi perempuan bekerjapada era 1998 hingga sekarang.

Namun, tampaknya secara umum, ma-sih juga ada yang belum menyadari dan me-mahami bahwa perempuan menghadapipersoalan yang gender specific, artinya per-soalan yang hanya muncul karena seseorangatau satu kelompok orang menyandang gen-der perempuan. Tidak saja di kalangan kaumlaki-laki, tetapi kaum perempuan sendirimasih banyak yang tidak mempunyai kesa-daran tersebut. Banyak indikator yang da-pat menunjukkan keadaan kurang menya-dari dalam pergaulan sehari-hari. Masih ba-nyak yang tidak bisa mengerti mengapa per-soalan perempuan harus dibahas dan diper-hatikan secara khusus. Hal ini terjadi akibat

kentalnya penanaman nilai-nilai mengenaiperan laki-laki dan perempuan. Bahwa pe-rempuan sudah kodratnya adalah pengen-dali urusan domestik menjadi nilai yangbegitu dominan dalam masyarakat kita, se-hingga pikiran-pikiran mengenai kesempat-an beraktivitas di luar domain rumah tanggadianggap sebagai sesuatu yang mengada-ada. Jargon pembangunan tentang persama-an perlakuan dan kesempatan kepada laki-laki dan perempuan justru menjadi penyum-bang bagi ketidakmengertian orang terha-dap ide dan gerakan yang memperjuangkanperbaikan posisi dan status perempuan.Ungkapan yang terlontar, baik oleh laki-lakimaupun perempuan, tampak dalam berba-gai forum ilmiah: selalu ada yang memperta-nyakan mengenai diangkatnya topik perma-salahan spesifik perempuan, dengan argu-mentasi bahwa kini kesempatan sudah samauntuk laki-laki dan perempuan, perempuansudah banyak yang berpendidikan tinggidan berkarir di luar rumah, dan sebagainya.Ini memberikan pertanda yang jelas bagai-mana ketimpangan pengetahuan masyarakatmengenai persoalan perempuan itu masihberkutat dan merebak.

Terkait ide mengenai posisi perjuangankelompok perempuan dan penampilan isugender dalam konstelasi politik nasional,kerja organisasi perempuan memperlihatkanbagaimana persoalan perempuan di hadap-an negara dipilah-pilah menjadi persoalanpolitik dan masalah perempuan. Melaluimasalah-masalah kemiskinan, buruh migrandan masalah kekerasan seksual ditunjukkanpula bagaimana isu gender memudar ketikapersoalan terangkat menjadi konsumsi pu-blik. Organisasi perempuan ini mencobamenyoroti bagaimana kelompok perempuan

192 Afirmasi Vol. 02, Januari 2013

sebagai sebuah gerakan bereaksi terhadapkondisi persoalan semacam itu.

Tampaknya, apa yang sudah dimulaioleh organisasi perempuan di Jakarta masihperlu mengalami perjalanan yang panjanguntuk terpenuhinya hak-hak perempuan se-cara utuh.***

Frisca Anindhita & Sita Aripurnami

Gender Construction di Nusa TenggaraBarat

Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB)merupakan wilayah kerja berbagai or-

ganisasi non-pemerintah. Wilayah ini jugadikenal sebagai salah satu wilayah pemberisumbangan devisa terbesar kepada negaradengan adanya jumlah besar buruh migranperempuan, atau sebanyak 25.000 buruhmigran perempuan yang ke Timur Tengahtiap tahun.1 Dari data Bank Indonesia, jum-lah remittance yang dihasilkan buruh migranperempuan asal NTB di seluruh negara

tujuan kerja sepanjang 2010 mencapaiRp195,68 milyar.2 Tetapi, selama sekian la-ma, persoalan kemiskinan dan kesejahteraanmasyarakat di wilayah ini juga menjadi pem-beritaan media nasional.

Penggambaran kemiskinan di NTB ter-cermin pada Kabupaten Lombok Tengah.Daerah ini merupakan kabupaten denganranking Human Development Index (HDI)terendah dari semua kabupaten/kota di pro-vinsi NTB, yaitu 338. Kabupaten ini jugamemiliki ranking Human Poverty Index (HPI)kedua paling bawah dari semua kabupaten/kota di provinsi NTB, dengan angka 298.

Organisasi perempuan di Nusa Tenggara Barat (NTB) bergerak dalam kelompok sasaran yangberbeda-beda sesuai karakteristik dan isu yang dipilihnya, dalam upaya memberikan kontribusibagi gerakan perempuan. Pilihan isu yang dijalankan organisasi tergantung pada situasi politikserta kondisi sosial dan budaya masyarakat setempat. Kuatnya jaringan antar organisasi perempuandi NTB merupakan modal utama pendorong penegakan hak asasi manusia, kesetaraan dan keadilangender dalam berbagai aspek kehidupan. Dalam tulisan ini hal tersebut dibahas, bagaimana pemilihanisu dan kekuatan jaringan menentukan arah organisasi perempuan di NTB.

Jejaring Organisasi Perempuan MembangunGerakan di Lombok-NTB

1 “Dewan Akan Surati Presiden”, Lombok Pos, 6 Juli2010 (www.lombokpos.co.id). 2 op.cit.

194 Afirmasi Vol. 02, Januari 2013

Di luar gambaran umum tersebut, NTBadalah wilayah yang memiliki nilai-nilai bu-daya yang kental diwarnai ajaran Islam, yangdiinterpretasikan secara seksis oleh penga-nutnya. Salah satu contoh dapat kita lihatpada fenomena pengambilan-keputusan da-lam rumah tangga, yang berada di tangansuami. Ini merupakan perwujudan dari pe-mahaman dan interpretasi atas salah satuayat dalam Al-Quran, yang menyatakanbahwa laki-laki adalah pemimpin bagi pe-rempuan, maka dengan demikian laki-lakiadalah kepala keluarga dan perempuan yangharus mengelola rumah tangga. Seperti cu-plikan wawancara berikut:

“…di dalam Al-Qur’an juga dijelaskanbahwa laki-laki itu merupakan pimpinandalam suatu rumah tangga…”.3

Cuplikan wawancara tersebut menun-jukkan bagaimana pemahaman gender ken-tal dipengaruhi oleh nilai-nilai agama, yangmengembangkan anggapan bahwa laki-lakibertanggungjawab mencari nafkah (ataubergerak di ranah publik) dan menjadi ke-wajiban perempuan untuk mengurus anakdan rumah tangga (atau berada di ranah do-mestik). Kalaupun perempuan bekerja, iatetap harus bertanggungjawab atas urusanrumah tangga. Pemikiran ini meluas untukmerangkul pendapat bahwa perempuan ti-dak boleh keluar rumah kecuali denganmuhrimnya. Interpretasi atas ayat-ayat Al-Quran seperti ini telah membatasi gerak-gerik perempuan di ruang publik.

Relasi antara perempuan dengan laki-laki dalam masyarakat NTB dapat dikate-gorikan sebagai hubungan yang tidak seim-bang, dengan laki-laki menikmati posisi le-bih tinggi dibandingkan perempuan. Ke-timpangan gender tersebut terlihat dalambeberapa aspek kehidupan, antara lain da-lam kehidupan pernikahan, di ranah peker-jaan dan dalam tatacara pewarisan keluarga.

“Kita sebagai perempuan dulu seringdiremahkan, dilecehkan. Kita tidak per-nah tahu hak perempuan; tidak pernahdidengar oleh masyarakat....”.4

Salah satu persoalan yang dihadapi pe-rempuan di NTB adalah soal pernikahan pa-da usia dini, yang berujung pada perceraiandi usia dini. Upacara pernikahan, yang seha-rusnya menjadi suatu peristiwa sakral dalamkehidupan seseorang, tidak demikian ada-nya bagi sebagian masyarakat desa di NTB.Secara umum, masyarakat NTB memilikiadat pernikahan yang dinamakan adat SorongSerah Aji Krama. Dalam tatacara adat ini,sebelum acara ijab kabul pernikahan, ke-luarga perempuan terlebih dulu menentu-kan besar jumlah mahar yang harus dibe-rikan oleh keluarga laki-laki. Apabila besar-nya mahar bisa dipenuhi, maka keluarga pe-rempuan akan ‘memberikan’ anak perem-puan tersebut kepada mempelai laki-lakiuntuk dinikahkan. Sebaliknya, jika keluar-ga laki-laki tidak dapat memenuhi harga ma-harnya, keluarga perempuan tidak akanmengizinkan anak perempuannya dinikahi.Harga mahar seorang anak perempuan se-

3 Laporan Penelitian Perspektif, Pola Strategi dan AgendaGender Organisasi Perempuan, Women Research Ins-titute, Oktober 2005.

4 Catatan FGD Penelitian Feminist Leadership PascaNegara Otoritarian Indonesia dengan Kelompok Pekka,Mataram, 15 Mei 2012.

Frisca Anindhita & Sita Aripurnami - Jejaring Organisasi Perempuan Membangun Gerakan di Lombok 195

makin tinggi jika ia berasal dari keluarganingrat.

“Perempuan yang drop-out dari sekolahdi desa, dan di bawah umur, biasanyacepat sekali menikah. Ketika merekamenikah, mereka tidak siap mental, alatreproduksinya juga tidak siap”.5

Adat Sorong Serah Aji Krama tidak ber-laku seragam di seluruh daerah NTB. Adadaerah yang masih memberlakukannya, adajuga yang tidak. Di sebagian pedesaan, adattersebut tidak lagi secara utuh diberlakukan.Tujuan semula dari adat ini adalah untukmengangkat nilai perempuan sebagai ber-harga. Dalam realita, di beberapa bagianNTB, pernikahan adalah masalah yang pe-lik, karena prosesnya begitu mudah dan nilaimahar untuk perempuan begitu rendah. Adacontoh di beberapa daerah di mana laki-lakicukup membayar mahar Rp50.000,- danmenyediakan beberapa gelas teh tawar sertakacang rebus untuk memperoleh istri. Per-nikahan seperti itu hanya disaksikan olehkeluarga dan tetangga, dan dianggap sah de-ngan kedatangan penghulu yang melakukanupacara ijab kabul. Latar belakang dari me-rebaknya pernikahan seperti ini adalah ke-miskinan, atau kehamilan di luar nikah.

Pernikahan yang begitu mudah dan mu-rah, ditambah dengan tidak adanya kekuat-an hukum pernikahan akibat ketiadaan su-rat nikah, berdampak buruk bagi perempuandi NTB. Kondisi perkawinan semacam inimembuat para lelaki mudah sekali member-lakukan perceraian. Karena ketika dinikahi

harga perempuan tersebut murah, disertaitidak adanya keterikatan hukum melalui su-rat nikah, maka sebagian perempuan denganmudah dijatuhi talak cerai oleh suaminya.Masyarakat setempat juga memegang nilaitersendiri mengenai perceraian. Bagi masya-rakat, laki-laki adalah pihak yang berhak un-tuk mengajukan talak. Apabila perempuanyang mengajukan perceraian, maka akanada stigma buruk yang melekat padanya, ka-rena masyarakat akan menganggapnya seba-gai perempuan yang tidak patuh pada suami.Ini kondisi lingkaran tak berujung: apabilasuami memberi talak cerai sang istri, ia tetapmenyandang stigma buruk karena dianggaptidak mampu memenuhi kebutuhan suami.Stigma buruk yang melekat kepada perem-puan yang janda adalah salah satu hal yangmempengaruhi rendahnya keinginan pe-rempuan untuk mengajukan talak cerai.Pandangan buruk terhadap janda, serta pan-dangan masyarakat bahwa hanya laki-lakisemata yang berhak mentalak cerai, meru-pakan salah satu bukti adanya ketimpangandalam relasi laki-laki dan perempuan diNTB.

“Tradisi di sini juga suka menceraikanistri; yang menjadi korban pun perem-puan lagi”.6

Karena perceraian kerap tidak melaluiproses persidangan hukum yang sah, yangterjadi bukan hanya pembagian harta gono-gini yang tidak adil, namun juga hak tang-gung jawab perwalian anak yang juga tidakadil. Dalam penentuan harta gono-gini, ke-luarga laki-laki dan sang suami memiliki po-

5 Wawancara dengan Samsudin, Ka.Div. Pengorgani-sasian Basis Kerakyatan, Perkumpulan Panca Karsa,Mataram, 17 Mei 2012. 6 Ibid.

196 Afirmasi Vol. 02, Januari 2013

sisi tawar lebih tinggi. Demikian juga dalampenentuan hak perwalian anak. Ada keja-dian di mana secara sepihak, keluarga suamiatau sang suami sendiri mengambil anak tan-pa izin sang istri, bahkan melarang terjadi-nya pertemuan antara sang ibu dengan anak-nya. Ada pula kondisi dalam mana sangayah menelantarkan anaknya. Banyak laki-laki yang menyerahkan si anak kepada ibu-nya, tetapi tidak memberikan nafkah untukmembesarkan anak-anak tersebut. Dengandemikian, perempuanlah yang memilikitanggungjawab untuk membesarkan danmenghidupi anak-anak.

“Kalau menurut saya, terutama para bu-ruh migran perempuan mengalami ba-nyak kekerasan dalam rumah tangganya;misalnya, suaminya kawin lagi, dia tidakbisa berbuat apa-apa, sehingga kadang-kadang ketika dia coba mengubah se-suatu, barangkali dia mendapat perlaku-an kekerasan. Di Lombok, jika suamikawin lagi, atau sudah bilang cerai, wa-laupun tidak ada saksi, maka kita sudahcerai. Menurut negara ‘kan harus adasurat cerai. Di sini perempuan seringmerasa dirugikan, sehingga mereka ha-rus mencari nafkah di luar negeri. Kalausudah cerai, tidak ada nafkah, biasanyaanaknya dibawa”.7

Penjelasan tentang kedudukan perem-puan dalam pernikahan menggambarkankuatnya budaya patriarki yang dianut ma-syarakat NTB. Patriarki yang melekat kentaljuga dapat dideteksi dari banyaknya tindakkekerasan suami terhadap istrinya. Terkaitdengan perilaku kekerasan, pengamat meli-

hat bahwa sebagian masyarakat NTB gemarbermabuk-mabukan dan bermain judi de-ngan menyabung ayam, hal mana ditengaraimerupakan beberapa faktor yang ikut mem-pengaruhi perilaku kekerasan suami terha-dap istri. Kekerasan yang terjadi di dalamkeluarga juga dilakukan orangtua terhadapanaknya.

Kekerasan yang dilakukan suami terha-dap istri acap menjadi beban si istri seorangdiri. Para perempuan jarang mengadukankejadian kekerasan kepada orang lain, ter-masuk kepada keluarganya sendiri. Keluar-ga perempuan secara garis besar bersikapdiam apabila ada masalah dalam hubungansuami istri anak perempuan mereka, karenamereka merasa telah sepenuhnya menyerah-kan anak putrinya kepada sang suami. Anakperempuan bahkan akan ditolak oleh ke-luarganya jika ia ingin kembali ke rumahkeluarga, meskipun ia menjadi korban keke-rasan sang suami. Keluarga perempuan baruakan menerima kembali putrinya apabilapasangan tersebut sudah bercerai.

Besarnya kebutuhan ekonomi para jandakarena harus menanggung kehidupan ke-luarga tidak sejalan dengan kemampuanmereka untuk berusaha. Pembagian hartagono-gini yang tidak adil tentu berpengaruhpada ekonomi perempuan janda. Seringkaliharta-benda yang dibeli selama perkawinan,yang merupakan hasil kerja perempuan, di-anggap sebagai bagian dari gono-gini yangboleh diambilalih secara penuh menjadi mi-lik si suami. Sebagian para janda cerai tidakdapat mengakses kembali harta yang ia him-pun semasa pernikahannya. Hal ini menye-babkan kehidupan para janda, yang sebelummenikah sudah miskin, kian terjerembab didalam kemiskinan.

7 Catatan FGD Penelitian Feminist Leadership PascaNegara Otoritarian Indonesia dengan Kelompok PancaKarsa, Mataram, 17 Mei 2012.

Frisca Anindhita & Sita Aripurnami - Jejaring Organisasi Perempuan Membangun Gerakan di Lombok 197

pembayaran upah buruh perempuan yangcuti menstruasi dan melahirkan, di tingkatlokal kebijakan tidak sepenuhnya mendu-kung itu.

“Kita banyak kasus buruh tembakau. DiLombok ini banyak tembakau. Jika mi-salnya mereka menstruasi, atau habismelahirkan, atau mau melahirkan pun,mereka tidak digaji. Kalau tidak bekerjamemang tidak dapat gaji. Bagaimana se-betulnya tanggungjawab pabrik? Kalaubegitu, ini sebetulnya enak saja. Menge-nai soal perbedaan gaji, mereka memecatorang seenaknya saja, tergantung maji-kan. Dalam undang-undang tidak ter-cantum soal buruh informal, soal pem-bantu rumah tangga”.9

Ketimpangan hak perempuan dan laki-laki tampak pula dalam hal pembagian wariskeluarga. Terdapat perbedaan hak yang sig-nifikan antara laki-laki dan perempuan. Ber-dasarkan adat mengenai warisan yang ber-kembang dalam masyarakat NTB, laki-lakimendapatkan satu bagian harta, sementaraperempuan mendapatkan sepertiga warisantersebut. Ada juga kasus di mana masyara-kat menerapkan sistem pembagian warisanberupa lahan kebun, sawah atau tambakyang hanya diberikan kepada kaum pria, se-mentara perempuan hanya memperolehpembagian dari hasil panen lahan-lahan ter-sebut. Hal ini menunjukkan bahwa aksesekonomi perempuan sangat rendah, dan se-cara pasti di dalam itu, janda menjadi bagianyang juga dirugikan.

“Yang utama, mereka banyak tidak be-kerja. Janda-janda itu adalah buruh. Diawal pertama saya turun ke sini, 98 per-sen mereka adalah buruh tani, buruhangkut, buruh kebun. Pada saat berke-luarga, mereka bekerja. Begitu bercerai,ya, mereka miskin kembali, karena disini ada budaya, perempuan kalau berce-rai tidak mendapat harta apa-apa. Sayacoba membawa kesadaran tentang eko-nomi kepada mereka, penyadaran atashak harta bersama. Pada saat merekamenikah lagi, mereka tidak miskin kare-na sudah dibangun ekonominya. Tapimereka menjadi miskin lagi”.8

Di samping itu, tantangan perempuandi dalam dunia kerja lebih berat dibanding-kan laki-laki. Dalam berbagai bidang peker-jaan, ternyata upah yang diberikan berbedaantara laki-laki dan perempuan. Untuk pe-kerjaan yang sama, laki-laki mendapat upahlebih tinggi. Sebagai contoh, upah bagi bu-ruh bangunan laki-laki dihargai Rp20.000,-sementara upah buruh bangunan perempu-an Rp15.000,- kendati mereka melakukanbeban kerja untuk waktu kerja yang sama.Perbedaan upah tersebut menggambarkanhimpitan beban yang dirasakan perempuan,yang kadang mempunyai tanggungan biayahidup keluarga, tetapi penghasilannya ter-batas.

Selain terdapat perbedaan dalam standarupah, hal lain yang memberatkan perempu-an adalah tidak adanya kebijakan yangmenjamin perempuan dapat memperolehhak terkait reproduksinya. Walaupun di ting-kat nasional ada kebijakan yang menjamin

8 Wawancara dengan Sitti Zamraini, Koordinator Wila-yah Pekka NTB, Lingsar, 15 Mei 2012.

9 Wawancara dengan Beauty Erawati, Direktur EksekutifLBH APIK NTB, Mataram, 16 Mei 2012.

198 Afirmasi Vol. 02, Januari 2013

Latar Belakang OrganisasiPerempuan Non-Pemerintah di NTB

Organisasi perempuan di NTB mulai ber-munculan pada akhir 1980-an, didorongkeinginan untuk menjawab permasalahan-permasalahan yang dihadapi perempuan didaerah ini. Pada 1989, masih terang dalamingatan para narasumber bahwa di Mataramdiselenggarakan seminar “Perempuan Sa-sak”. Seminar ini membahas berbagai per-soalan yang dihadapi oleh perempuan diNTB, dan mendorong lahirnya organisasi-organisasi perempuan, antara lain YayasanPanca Karsa, dan program studi wanita diperguruan tinggi di Mataram.

Isu-isu yang ditangani oleh organisasi-organisasi perempuan di NTB adalah yangberkaitan dengan pendampingan ekonomidan urusan simpan-pinjam. Hal ini berkaitdengan situasi kemiskinan di NTB yang me-nempatkan perempuan pada posisi diru-gikan.

Yayasan Panca Karsa (YPK), Perempu-an Kepala Keluarga (Pekka) dan AsosiasiPendamping Perempuan Usaha Kecil(ASPPUK) adalah organisasi perempuan diNTB yang banyak melakukan program pen-dampingan bagi perempuan. YPK memulaiaktivitasnya pada 1988 dan disahkan secaraformal dengan akta notaris pada 1989. Or-ganisasi ini banyak melakukan pendamping-an terhadap mantan buruh migran perempu-an dan keluarga buruh migran.

Pekka merupakan organisasi cabang dariPekka di Jakarta. Pekka NTB mulai melaku-kan aktivitas pada 2003. Pada 2010, PekkaNTB memiliki center, tempat atau rumah un-tuk melakukan kegiatan pemberdayaan eko-nomi dengan membuat program simpan-

pinjam bagi para janda, yang nota bene adalahkepala keluarga. Perempuan kepala keluar-ga, terutama yang berstatus janda, sering-kali menghadapi tantangan yang sangat be-rat dari masyarakat, mereka dianggap tidakada dan tidak memiliki hak suara. Statussosial mereka pun dipandang negatif akibatpenstereotipian atas janda yang ada dalammasyarakat. Lagipula, para perempuan inisering menerima kekerasan dan ancaman.Karena alasan-alasan ini, Pekka berkeingin-an memperjuangkan hak mereka sebagaimanusia yang setara.

Sementara itu, ASPPUK berdiri pada2000 sebagai respons terhadap persoalankemiskinan yang dihadapi perempuan. Me-reka melakukan pendampingan ekonomidan membangun usaha simpan-pinjam un-tuk para perempuan yang melakukan ke-giatan usaha kecil.

“ASPPUK bentuk organisasi awalnyaadalah forum LSM yang berfokus padaPerempuan Usaha Kecil (PUK), tapikemudian mengkristal pada 1997 men-jadi YASPPUK. Karena bentuk yayasandirasakan kurang demokratis, akhirnyaberubah menjadi ASPPUK. Ada ForumNasional yang merupakan forum terting-gi, dan di wilayah namanya Forum Wi-layah. Yang mengkoordinasikan di pusatnamanya Seknas, dan di wilayah berna-ma Sekwil”.10

Dalam perjalanannya, YPK berpikir un-tuk mengadvokasi bagi buruh migran pe-rempuan yang banyak mengalami kekeras-an. Pilihan isu atau program ini berdasarkan

10 Wawancara dengan M. Firdaus, Deputi SekretarisEksekutif Nasional ASPPUK, Jakarta, 27 April 2012.

Frisca Anindhita & Sita Aripurnami - Jejaring Organisasi Perempuan Membangun Gerakan di Lombok 199

kejadian yang diamati langsung. Sementaraitu, menurut undang-undang, sebuah or-ganisasi berbentuk yayasan dilarang mela-kukan advokasi. Maka pada 2002, YPKberubah dari Yayasan menjadi Perkumpul-an supaya dapat melakukan kegiatan advo-kasi kasus-kasus buruh migran perempuan.Namanya berubah menjadi PerkumpulanPanca Karsa atau PPK.

“Banyak teman yang rumahnya di Lom-bok Timur dan Lombok Utara, memi-liki anggota keluarga yang mengalamikasus. Dari situlah, dari cerita-cerita dikoran-koran, kami bergerak. Tapi isuekonomi tidak kita tinggalkan. Dalamadvokasi untuk buruh migran itu adapengorganisasian, ekonomi kerakyatan,dan advokasi kebijakan”.11

Bagi PPK, dengan melakukan pendam-pingan ekonomi dan program simpan-pin-jam, mereka dapat membantu perempuanuntuk lebih berdaya secara ekonomi. De-ngan berdaya secara ekonomi, maka perem-puan dapat bertahan, dan akhirnya dapatpula mulai melihat hal-hal lain dalam hi-dupnya. PPK lalu memperkenalkan pemba-hasan-pembahasan mengenai hak-hak pe-rempuan dan pentingnya memperjuangkanhak individu sebagai perempuan. Kini paraperempuan mantan buruh migran dan ke-luarganya sudah mampu melakukan lobbykepada pihak pengambil-keputusan danmengorganisasikan diri untuk membuat de-monstrasi menyuarakan kasus-kasus pelang-garan hak-hak buruh migran perempuan.

“Kami melakukan hearing ke anggotaDPR, tentang Perlindungan TKI, bagai-mana agar dewan pro-aktif mengenaikasus; mungkin dengan meningkatkananggaran untuk bantu mereka melaku-kan advokasi; bagaimana agar Dewanpeka terhadap urusan buruh migran”.12

Selain PPK, organisasi perempuan diNTB yang bekerja untuk isu buruh migranadalah Solidaritas Perempuan (SP). SP me-nyebut dirinya sebagai komunitas. Merekaberdiri pada 2001 dan bekerja untuk mela-kukan advokasi untuk pelanggaran hak-hakburuh migran perempuan. SP aktif bergerakdalam upaya penyadaran hak-hak perempu-an dan memperkuat kapasitas masyarakatuntuk melakukan analisis feminis atas per-masalahan-permasalahan sosial yang ber-dampak bagi perempuan. SP percaya bahwadengan melakukan pendidikan — yang me-reka sebut sebagai pendidikan feminis —mereka akan mampu membuat banyak pe-rempuan, terutama para anggotanya, diper-kuat kapasitasnya. Dengan demikian, pe-rempuan lalu akan lebih mampu mendapatakses kepada proses pembuatan keputusanguna mencapai hak-haknya.

“Inti utama fokus SP adalah bagaimanaperempuan bisa menemukan poten-sinya, dan mereka bisa berdaya. Jadi kitaingin dorong bagaimana perempuanbisa membangun dan memberdayakandirinya untuk memperjuangkan hak-hakperempuan”.13

11 Wawancara dengan Endang, Ka.Div. Advokasi Kebi-jakan, Perkumpulan Panca Karsa, Mataram, 17 Mei2012.

12 Catatan FGD Penelitian Feminist Leadership PascaNegara Otoritarian Indonesia dengan Kelompok PancaKarsa, Mataram, 17 Mei 2012.

13 Wawancara dengan Yuni Riawati, Anggota DewanPengawas Komunitas Solidaritas Perempuan, Mataram,18 Mei 2012.

200 Afirmasi Vol. 02, Januari 2013

“Kalau di perempuan dan pangan, me-reka sudah punya inisiatif sendiri untukmembuat kelompok berdiskusi. Kitahanya menjadi pendamping, setelah me-reka mendapatkan pendidikan dan pela-tihan feminisme. Sekarang teman-temansedang advokasi tentang awik-awik tataruang desa; awik-awik itu sejenis perdes,kearifan lokal”.14

Beranjak dari kenyataan maraknya ka-sus-kasus pelanggaran hak buruh migran,organisasi-organisasi perempuan di NTBjuga menyadari pentingnya untuk bekerjamerespons kasus-kasus kekerasan terhadapperempuan. Hal ini berkaitan erat pula de-ngan munculnya Undang-Undang No. 23Tahun 2003 mengenai Penghapusan Keke-rasan Dalam Rumah Tangga. Organisasi-organisasi tersebut melakukan sosialisasimengenai pentingnya menyikapi persoalankekerasan terhadap perempuan dan melaku-kan pendampingan kasus-kasus kekerasanyang dihadapi para anggota kelompok-ke-lompok dampingannya. Dengan demikian,upaya mereka tidak hanya berhenti pada me-lakukan pendampingan ekonomi dan pro-gram simpan-pinjam, tapi juga memperkuatkemampuan kelompok dampingannya un-tuk mengorganisasikan diri melakukan lobbydan advokasi atas kasus-kasus pelanggaranhak mereka sebagai perempuan.

“Kalau untuk menjawab semuanya, ma-sih belum. Kita butuh jalan yang panjanguntuk itu. Paling tidak, sejauh ini pen-dampingan salah satu cara kaderisasianggota. Menurut saya, sudah tercapai

banyak, karena kita melakukan pendi-dikan. Jika mereka migrasi, mereka su-dah bisa mengadvokasi masalahnya sen-diri, karena sudah diberikan pendidikan.Jadi memang fokus kita adalah pendi-dikan politik perempuan, dan jalan ma-suknya adalah dengan program-pro-gram yang kita buat”.15

Dalam hal ini, para organisasi perempu-an di NTB bekerjasama dengan organisasiyang bergerak dalam pendampingan hukum,dan menghadirkan akses keadilan bagi pe-rempuan, yaitu dengan LBH APIK. Meskibaru berdiri secara formal pada 2010, lem-baga ini sudah aktif bekerja dan mendukungkegiatan organisasi-organisasi perempuanlainnya sejak 1998. LBH APIK memberikanpelayanan edukasi terkait hak asasi dan gen-der, serta melakukan kajian gender terhadapagama Islam sebagai agama mayoritas diNTB. LBH APIK juga mencoba mengiden-tifikasi para pemuka agama, yang kerap di-sebut sebagai Tuan Guru, yang terbuka padapemikiran perspektif gender. Posisi TuanGuru dipandang sangat strategis untukmembantu upaya penegakan hak-hak pe-rempuan. Hal ini karena konteks budaya diNTB yang sangat banyak dipengaruhi olehnilai-nilai interpretasi ajaran agama Islam.Oleh masyarakat, Tuan Guru adalah pihakyang dirujuk dan dianggap paling mema-hami ayat, serta adalah pemegang kebenar-an. LBH APIK melakukan kegiatan sosiali-sasi dan pelatihan bagi para Tuan Guru, da-lam upaya mereka memperoleh pemaham-an tentang hak-hak perempuan. Dengan pe-mahaman ini, para Tuan Guru dapat me-

14 Wawancara dengan Baiq Zulhiatina, Ketua BadanEksekutif Komunitas Solidaritas Perempuan, Mata-ram, 15 Mei 2012. 15 Ibid.

Frisca Anindhita & Sita Aripurnami - Jejaring Organisasi Perempuan Membangun Gerakan di Lombok 201

nunjukkan bahwa nilai-nilai yang selama iniberlaku di masyarakat telah sangat merugi-kan kaum perempuan.

“Ada empat divisi bantuan hukum: ban-tuan hukum terhadap perempuan dananak, menyangkut KDRT, trafficking danburuh migran, dan kesehatan terhadapperempuan lainnya. Kedua, sebetulnyaada divisi kajian Gender dan Islam. Iniagak sensitif, dan akhirnya berubah na-ma menjadi Divisi Pendidikan, tetapiada unsur gender dan Islam. Genderdan Islam ruhnya itu adalah bagaimanakita melatih tokoh agama sehingga me-reka menjadi paralegal kita. Kini sudahratusan orang, dan kita sudah punya net-work dengan 36 pondok pesantren diLombok. Dalam kaitannya dengan di-visi kajian Gender dan Islam, kita mi-salnya membuat buku untuk mereka,para tokoh agama, ustadz maupun TuanGuru itu, 27 orang. Selama satu tahunmenggodok, bagaimana perempuan,tentang sunat perempuan, soal poligami;Tapi yang jelas, ustadz-ustadznya kinisudah sensitif gender, dan bukunya dija-dikan bahan kurikulum pada UIN Ma-taram”.16

Sementara itu, Yayasan Kesehatan Se-hat Sejahtera Indonesia (YKSSI), yang berdi-ri pada 1989 bekerja pada upaya kesehatanuntuk ibu dan anak, dengan tujuan menca-pai keadilan gender. Organisasi ini bekerjauntuk beragam isu. Salah satu contoh upayamereka adalah melakukan pendampinganbagi perempuan yang punya anak di luar ni-kah, untuk mendapatkan akta lahir dengan

menggunakan nama ibunya. Dari sisi pera-turan, hal ini dimungkinkan sebagaimanatertuang dalam Undang-Undang Kewarga-negaraan No. 12 Tahun 2006 Pasal 4. Na-mun, nilai-nilai yang berlaku, yang menem-patkan perempuan dalam posisi yang ku-rang diuntungkan, ditambah kurangnya in-formasi serta pengetahuan para pengambilkeputusan NTB, sering muncul masalah ke-tika anak dengan status di luar nikah akanmasuk sekolah. Banyak sekolah mensya-ratkan adanya akta lahir saat pendaftaran.Sementara itu, berdasarkan peraturan lama,anak yang lahir di luar nikah akan disebut-kan di dalam akta sebagai terlahir di luarnikah. Akibatnya, banyak perempuan yangtidak mengurus akta lahir jika memang de-mikian kondisi anaknya. Dalam peraturanbaru, anak dapat disebutkan sebagai anakyang terlahir dari seorang ibu saja. YKSSIbanyak membantu perempuan dan anak da-lam situasi ini. Organisasi ini juga berjejaringdengan organisasi-organisasi perempuan laindi NTB untuk mensosialisasikan isu-isu ke-sehatan reproduksi, dan mengadvokasi me-ngenai pentingnya mengakses layanan kese-hatan reproduksi demi tujuan menurunkanAngka Kematian Ibu di NTB.

Pemetaan Organisasi Perempuan NusaTenggara Barat Menurut Visi dan Misi-nya

Secara umum, dapat disebutkan bahwa visiorganisasi-organisasi perempuan yang adamengacu pada hal yang sama. Yaitu, berke-giatan untuk memberdayakan perempuandalam rangka membangun tatanan masya-rakat yang sejahtera, adil gender, dan ber-martabat.

16 Wawancara dengan Beauty Erawati, Direktur Ekseku-tif LBH APIK NTB, Mataram, 16 Mei 2012.

202 Afirmasi Vol. 02, Januari 2013

Secara spesifik, organisasi-organisasi inimenerjemahkan visi melalui misinya yangdiwujudkan dalam berbagai cara. Perwu-judan misi organisasi-organisasi perempuanini dapat dilihat melalui pengelompokanfokus kegiatan sebagai berikut:

A. Fokus pada PemberdayaanEkonomi

Organisasi yang bergerak di isu pemberda-yaan ekonomi adalah Pekka, ASPPUK,PPK. Adapun alasan dari pemilihan isu iniadalah kondisi ekonomi perempuan yangburuk yang menimbulkan berbagai masalah,misalnya sulitnya mendapatkan hak atas ke-pemilikan tanah, sulitnya menjangkau aksespublik seperti sarana pendidikan, kesehatan,karena keterbatasan ekonomi. Perempuanadalah pihak yang paling banyak menjadikorban dalam situasi demikian. Karenanya,isu pemberdayaan ekonomi penting untukditangani, sebagai upaya meningkatkan ke-berdayaan ekonomi perempuan agar kelakdapat menjangkau fasilitas publik, danakhirnya dapat mengubah posisinya di ma-syarakat. PPK, Pekka dan ASPPUK meru-pakan organisasi yang bekerja untuk pem-berdayaan ekonomi perempuan dengan me-nyelenggarakan kegiatan simpan-pinjam.

Kesamaan dari ketiga organisasi ini ada-lah pada cara mereka mengelompokkan pe-rempuan dalam kelompok-kelompok sim-pan-pinjam. Kelompok-kelompok perem-puan ini didampingi agar mampu mengaksesmodal atau kapital, untuk mereka melaku-kan usaha kredit mikro. Usaha ini dapat me-nambah kepercayaan diri mereka, karenamereka dapat menghidupi diri dan keluarga-nya. Melalui kegiatan simpan-pinjam, para

perempuan juga disosialisasikan denganpengetahuan mengenai hak-hak perempuanterkait kesehatan reproduksi, hukum dankeadilan, kekerasan terhadap perempuandan sekaligus memiliki perspektif gender.

Kelompok perempuan yang disasar un-tuk bekerjasama berbeda-beda. PPK bekerjauntuk perempuan buruh migran dan keluar-ganya; Pekka bekerja untuk perempuan ke-pala keluarga; dan ASPPUK bekerja untukperempuan pengusaha kecil.

“Kegiatan yang kita ikuti dari segi hu-kum, mendata masyarakat yang belumpunya buku nikah, mendampingi kor-ban, memberikan pemahaman menge-nai kebutuhan mendapatkan surat cerai,buku nikah dan surat nikah,... bagaimanamendapatkan harta gono gini”.17

B. Fokus pada Kekekerasan TerhadapPerempuan dan Keadilan Gender(Bantuan Hukum)

PPK, LBH APIK dan Solidaritas Perempu-an. Ketiga organisasi ini memiliki kesamaandalam upaya mereka menghadirkan keadilangender bagi perempuan, baik melalui kegiat-an advokasi maupun peningkatan pengeta-huan melalui pelatihan dan pendidikan pe-nyadaran akan hak-hak perempuan. LBHAPIK berkeinginan mengubah pola pikirsampai pada tingkat perubahan perilaku ma-syarakat, agar tercipta sistem hukum dan ke-bijakan yang adil dan berperspektif gender.

Solidaritas Perempuan melakukan ad-vokasi untuk melindungi dan memperkuat

17 Catatan FGD Penelitian Feminist Leadership PascaNegara Otoritarian Indonesia dengan Kelompok Pekka,Mataram, 15 Mei 2012.

Frisca Anindhita & Sita Aripurnami - Jejaring Organisasi Perempuan Membangun Gerakan di Lombok 203

posisi tawar buruh migran dan keluarganyaterhadap pihak pengambil-keputusan. Ad-vokasi tersebut dilakukan dengan tujuanmembangun kerangka perlindungan danpemberdayaan buruh migran Indonesia, danpenguatan hak-hak buruh dengan mendo-rong terbentuknya organisasi serikat buruhmigran dan keluarganya. Sedangkan PPKbekerja untuk mengadvokasikan dan mem-berikan pendampingan pada kasus-kasusyang dialami oleh perempuan buruh migran.

“Untuk memajukan perempuan, kita ti-dak hanya melakukan pendekatan ke pe-rempuannya saja, tetapi juga laki-laki.Oleh karena itu, kita pernah melakukantraining bagi pasangan suami-istri; kitamengundang kedua-duanya. Mengapa?Karena kalau hanya istri saja yang kitabangun kesadarannya, dia sadar tapi sua-minya tidak sadar, maka akan sama saja.Tapi kalau kedua-duanya didekati, ke-duanya terbangun kesadaran, dan me-reka akan sama-sama mengerti. Pende-katan-pendekatan seperti itulah yang saatini kita lakukan”.18

Kondisi berkegiatan semakin kondusifpasca Orde Baru, khususnya setelah lahir-nya Undang-Undang No. 23 Tahun 2003.Ada kecenderungan perubahan dan bahkanpenambahan fokus pada penanganan isu dikalangan organisasi perempuan, yang sebe-lumnya tidak secara spesifik bergerak di isutersebut. Contohnya, misalnya SolidaritasPerempuan dan PPK. Dalam upaya pena-nganan isu kekerasan terhadap perempuan,masing-masing organisasi memiliki program

tersendiri sesuai dengan apa yang menjadifokus kerja organisasi. Pekka, misalnya,lebih menekankan pembentukan wacanakesadaran masyarakat untuk memahamipentingnya upaya penghapusan kekerasanmelalui pelatihan anggota yang hidup dalamkemiskinan di daerah pedesaan. SolidaritasPerempuan dan PPK fokus pada buruhmigran yang menjadi korban kekerasanseksual dan menjalankan proses peradilan.Adapun LBH APIK memfokuskan perha-tiannya pada kekerasan yang dialami olehperempuan dan anak secara umum.

Dalam melakukan kegiatan untuk pena-nganan kekerasan terhadap perempuan danbantuan hukum, hal yang juga dilakukanadalah kegiatan mendorong terciptanya per-ubahan wacana. Wacana pendidikan yangdibangun adalah konsep yang berpihak ke-pada perempuan, termasuk di dalamnyapendidikan politik, pemahaman tentang ke-setaraan gender, maupun perubahan polapikir perempuan agar lebih kritis dan sadartentang hak-haknya sebagai manusia yangdilindungi oleh negara, setara dengan kaumpria. Organisasi perempuan berharap paraperempuan akan mampu memperjuangkanapa yang menjadi haknya dan terlibat dalamproses pengambilan-keputusan di segalatingkatan di dalam masyarakat.

Pemilihan isu perempuan dan hukumberangkat dari kenyataan masih banyakperaturan hukum dan perundangan yang ti-dak berpihak kepada perempuan. Organi-sasi yang bergerak di isu ini adalah LBHAPIK.

“Kami upayakan gender mainstreaming da-lam kurikulum di Fakultas Hukum. Ka-mi membuat seminar dan lokakarya

18 Wawancara dengan Samsudin, Ka.Div. Pengorganisa-sian Basis Kerakyatan, Perkumpulan Panca Karsa, Mata-ram, 17 Mei 2012.

204 Afirmasi Vol. 02, Januari 2013

yang output-nya kami harapkan adalahmata kuliah Wanita dan Hukum, atauGender dan Hukum di Fakultas Hu-kum. Dosen-dosen itu sedapat mungkinmengintegrasikan instrumen-instrumenhukum yang menjamin keadilan dan ke-setaraan di dalam kuliahnya, seperti Hu-kum Perburuhan, Hukum Pidana, Hu-kum Perkawinan..”19

Organisasi yang bergerak di isu ini anta-ra lain Solidaritas Perempuan, ASPPUK,Pekka, (yang tidak hanya memberdayakanekonomi perempuan, tetapi juga memberi-kan pendidikan politik guna perempuansadar akan hak-haknya), dan PerkumpulanPanca Karsa serta LBH APIK.

Ada pula beberapa organisasi yang de-ngan sadar melihat dan menelaah adanyapengaruh dari nilai-nilai globalisasi dalamkehidupan masyarakat, sehingga merusakpola pikir masyarakat menjadi lebih meng-hargai budaya asing dibandingkan budayasendiri. Di sisi lain, fokus juga ada pada pe-nguatan lokalisme dalam bentuk PeraturanDaerah (Perda) yang mensubordinasi pe-rempuan dan mereduksinya menjadi simbolidentitas daerah melalui peraturan. Hal inibanyak merugikan perempuan.

Lebih lanjut, narasumber dari LBHAPIK menengarai perlunya pemahamangender yang lebih adil dan setara, serta pe-mahaman yang utuh tentang kebutuhan so-lusi permasalahan dalam masyarakat, supa-ya tidak muncul bias-bias pemikiran yangbersifat negatif dalam mempengaruhi pemi-lihan agenda gender organisasi perempuan.

“Banyak persoalan yang terjadi. Secaraumum itu karena belum adanya peng-hormatan terhadap hak asasi perempu-an, dan berdampak pada banyaknya ka-sus-kasus kekerasan terhadap perempu-an. Karena itu LBH APIK mendasarkandiri pada gerakan melakukan bantuanhukum bagi masyarakat perempuanyang selama ini dimarginalkan”.20

Organisasi Solidaritas Perempuan me-negaskan pentingnya pendidikan politik bagiperempuan. Dalam hal ini, politik tidak ha-nya diartikan sebagai politik formal, namunjuga secara luas mencakup kemampuan pe-rempuan untuk memperjuangkan apa yangmenjadi haknya.

“…Memberi informasi kepada perem-puan mengenai masalah perempuan saatini, apa yang menjadi masalah perem-puan sekarang. Seperti harga-harga ma-hal, anak tidak bisa sekolah; itu terkaitdengan sebuah keputusan nasional, poli-tik, keputusan politik nasional dan glo-bal, dan karena itu mereka mesti tahudan mesti melawan. Kita bikin seri dis-kusi-diskusi kampus. Saat ini kami se-dang kampanye anti-poverty, judul kam-panyenya “Stop Kemiskinan Perempu-an”, tapi inti dari pekerjaan itu adalah,bikin diskusi-diskusi kampung di manapara perempuan diajak berdiskusi untukmelihat keterkaitan masalahnya dengansebuah kebijakan politik global dan na-sional, dan bersama-sama melakukankontrol terhadap para pengambil-kebi-jakan publik, untuk melawannya. Misal-nya, kalau di tingkat lokal seperti ini, de-

19 Wawancara dengan Beauty Erawati, Direktur EksekutifLBH APIK NTB, Mataram, 16 Mei 2012.

20 Wawancara dengan Beauty Erawati, Direktur EksekutifLBH APIK NTB, Mataram, 16 Mei 2012.

Frisca Anindhita & Sita Aripurnami - Jejaring Organisasi Perempuan Membangun Gerakan di Lombok 205

ngan mereka sadar, ternyata masalahnyaseperti itu…”21

C. Fokus pada Kesehatan Perempuandan Anak

YKSSI adalah organisasi yang fokus padakesehatan perempuan dan anak, bekerja de-ngan tujuan untuk mencapai keadilan gen-der. YKSSI memilih fokus kesehatan repro-duksi perempuan dengan pertimbanganperempuan sebagai pihak yang potensial me-ngalami masalah kesehatan karena peranreproduksi dan beban tanggungjawab yangbesar dalam keluarga.

Di sisi lain, kemiskinan dan keterbatas-an pengetahuan perempuan membuat pe-rempuan sulit mengakses fasilitas kesehatan,dan mereka tidak memiliki pengetahuanyang memadai tentang tubuhnya, apalagikesehatan reproduksinya. Hal ini menim-bulkan berbagai masalah, di antaranya ada-lah gizi ibu hamil yang buruk, Angka Kema-tian Ibu (AKI) yang tinggi, serta aborsi yangtidak aman, yang juga menyumbang ter-hadap peningkatan AKI.

Bahaya HIV dan AIDS juga seringkalibelum dipahami dengan benar oleh kaumperempuan, terutama mereka yang berisikotinggi, seperti perempuan pekerja seks danburuh migran, sehingga mereka denganberbagai keterbatasannya sulit mendapat-kan pertolongan dari tenaga medis secaramemadai. Karenanya, YKSSI memilih fokussasarannya perempuan remaja dan dewasa,terutama perempuan yang miskin dan ter-

marginalkan. Organisasi ini banyak bekerjauntuk sosialisasi isu kesehatan reproduksi,dan melakukan advokasi pentingnya perem-puan mendapatkan akses pelayanan kese-hatan reproduksi untuk mengurangi AKI diNTB. YKSSI juga aktif bekerja agar perem-puan dan anak terpenuhi hak-haknya seba-gai warga negara. Misalnya, untuk memper-oleh akta nikah atau akta lahir anak.

Pengorganisasian Perempuan

Perencanaan adalah bagian yang terpentingdalam sebuah organisasi. Termasuk dalambagian perencanaan adalah pemilihan isu,penetapan program organisasi, dan peren-canaan pendanaan kegiatan, yang tentunyadisesuaikan dengan misi dan visi organisasi.Ada berbagai cara yang dilakukan untukmembuat perencanaan yang tepat, antaralain dengan menyusun strategic planning. Stra-tegic plan adalah mekanisme pengambilan-keputusan dalam sebuah organisasi, baik ituuntuk merumuskan perubahan visi danmisi, isu yang diseleksi, struktur organisasi,program mau pun strategi organisasi dalamberkegiatan.

Proses Pemilihan Isu

Proses pemilihan isu sebuah organisasi bu-kan hal yang sederhana. Beberapa faktordapat mempengaruhi keputusan pemilihanisu gender, antara lain situasi politik, seba-gaimana sudah dipaparkan. Kehadiran lem-baga donor yang dapat membiayai sebuahprogram juga berpengaruh. Organisasi se-perti Pekka lahir guna merespons kebutuh-an Komnas Perempuan dan lembaga donorasing, yang ingin memperoleh informasi dan

21 Wawancara dengan Yuni Riawati, Anggota DewanPengawas Komunitas Solidaritas Perempuan, Mataram,18 Mei 2012

206 Afirmasi Vol. 02, Januari 2013

dokumentasi tentang kondisi janda di dae-rah-daerah konflik. Dalam perkembangan-nya, Pekka tidak hanya mampu memenuhikebutuhan dokumentasi, namun juga dapatbergerak dalam isu pemberdayaan perempu-an kepala keluarga di bidang ekonomi maupun peningkatan pemahaman gender.

Adapun proses penetapan isu dan agen-da gender dalam sebuah organisasi dapat di-lakukan melalui musyawarah nasional yangdihadiri oleh perwakilan organisasi di dae-rah. Selanjutnya, secara bersama merekamengidentifikasi permasalahan yang palingaktual yang terjadi di daerahnya. Kemudianmereka seleksi isu berdasarkan skala priori-tas dan kebijaksanaan organisasi yang ber-sangkutan. Penetapan isu juga dipengaruhioleh sumber pendanaan organisasi, baik ituberasal dari pusat atau dari lembaga donor.

“Persoalan-persoalan yang timbul di lo-kal itulah yang kemudian yang sama yangdijadikan kampanye di tingkat nasional.Dan lalu kita bergabung mencari mitradi tingkat internasional untuk bekerjabersama dalam isu-isu tertentu”.22

“Alasan mengapa ada program-pro-gram itu, pertama karena sesuai dengankonteks lokal. Kedua, kita juga melihatkemampuan SDM kita. Ketiga, karenahal itu bisa disetujui dan dibiayai olehnasional”.23

Perubahan Isu

Di dalam perjalanannya, tidak jarang suatuorganisasi mengalami perubahan dalam pe-milihan isu yang diperjuangkannya. Hal inidapat terjadi karena pengaruh situasi dankondisi politik-budaya, juga permasalahanyang terjadi dalam masyarakat. Sebagaima-na telah disebutkan, perubahan situasi eko-nomi pada akhir 1990-an, yang memperbu-ruk kondisi kerja di NTB, memicu terjadi-nya peningkatan jumlah perempuan yangbekerja sebagai buruh migran ke luar negeri.Ini telah mempengaruhi beberapa organisasiuntuk memasukkan advokasi dan isu keke-rasan terhadap perempuan di dalam agenda-nya, termasuk yang berkaitan dengan pe-langgaran hak sebagai buruh migran yangperempuan. Sebetulnya, situasi hasil Pemi-lihan Umum (Pemilu), dalam mana keterwa-kilan perempuan sangat rendah menjadimasalah yang serius di seluruh daerah di In-donesia, termasuk di NTB.

Sebagai contoh, beberapa aktivis perem-puan di NTB yang bergabung dalam Solida-ritas Perempuan di tingkat nasional, yangmulai resah terkait dengan munculnya ber-bagai persoalan yang menimpa kaum pe-rempuan buruh migran dan perempuan lain,secara umum. Berangkat dari komitmen un-tuk membangun gerakan perempuan di dae-rah, maka para anggota Solidaritas Perem-puan di NTB bersepakat untuk membentukkomunitas daerah, yang kemudian dinama-kan Komunitas Solidaritas Perempuan Ma-taram. SP Mataram dibentuk pada 6 De-sember 2000, dan dikukuhkan dalam Kong-res Nasional SP ke-3, yang dilaksanakanpada 23-28 Juni 2001, di Mataram, NTB.

22 Wawancara dengan Yuni Riawati, Anggota DewanPengawas Komunitas Solidaritas Perempuan, Mataram,18 Mei 2012.

23 Wawancara dengan Baiq Zulhiatina, Ketua BadanEksekutif Komunitas Solidaritas Perempuan, Mata-ram, 15 Mei 2012.

Frisca Anindhita & Sita Aripurnami - Jejaring Organisasi Perempuan Membangun Gerakan di Lombok 207

“Awalnya, ketika SP berdiri, itu hanyadiberi mandat oleh anggotanya untukmelakukan advokasi bagi buruh migransaja, terutama dari tahun 1995. Lalu pa-da 1998, itu ditambah dengan isu keke-rasan terhadap perempuan. Pada 2001,kita mulai melihat isu-isu globalisasi seba-gai salah satu musuh utama perempuan.Sekarang kami melihat musuh perempu-an itu ada lima: Pertama, pasti patriarki;kedua, globalisasi dengan seluruh turu-nannya; ketiga, militerisme; keempat,fundamentalisme; dan yang kelima,otoriterisme. Itu sebetulnya musuh uta-ma perempuan, yang dianalisis SP”.24

YKSSI, yang awalnya mengusung pro-gram kesehatan bagi sebuah lembaga dana,berkembang menjadi sebuah organisasi yangbekerja untuk kesehatan ibu dan anak. Da-lam perkembangannya, YKSSI tidak lagihanya bekerja untuk masalah kesehatan ibudan anak. Organisasi itu mencoba menja-wab kebutuhan-kebutuhan perempuan yangmenjadi orang tua tunggal untuk mengurusakta lahir anak-anaknya supaya dapat meng-gunakan nama ibu, sebagaimana tertuangdalam Undang-Undang KewarganegaraanNo. 12 Tahun 2006 Pasal 4. Saat ini, YKSSIberjejaring dengan organisasi-organisasi pe-rempuan di Lombok dan NTB untuk men-sosialisasikan isu-isu kesehatan reproduk-si, serta mengadvokasi mengenai penting-nya mengakses layanan kesehatan reproduk-si guna menurunkan AKI di Lombok danNTB. YKSSI juga turut memperjuangkanakses perempuan terhadap pemanfaatanmodal usaha ekonomi mikro, dengan berga-

bung di dalam ASPPUK wilayah Nusa Teng-gara.

“YKSSI itu berdiri pada 1989, denganbantuan dari USAID Jakarta, dalamsub-kontrak PATH di bawah programStrengthening Institutional Development(SID) di Nusa Tenggara. Program inidisasarkan pada lembaga-lembaga yangfokus pada kesehatan perempuan. Olehkarena itu terbentuklah YKSSI di Lom-bok. PKBI sebenarnya bisa menjaditarget, tapi kelembagaannya di bawahBKKBN. Badan pendiri YKSSI ada tigaorang, yaitu Latifa, dr. Didi Sumarsididan Karim Sahidu. PATH bersamaYKSSI bekerja sebagai mitra lokal danlead agency dalam menjalankan beberapaproyek yang didanai USAID tersebut,seperti survei, sub-kontrak funder lokalterhadap LSM lokal”.25

Dalam perkembangannya, YKSSI mele-barkan isu kerjanya, walau tetap dikaitkandengan kesehatan. Mengandalkan isu kese-hatan sebagai pintu masuk itu telah menying-kapkan berbagai permasalahan. YKSSImencoba merespons kebutuhan lain yangmuncul di masyarakat, misalnya isu-isu se-perti sumber daya alam, mitigasi bencana,pendidikan, perekonomian dan ketahananpangan.

“YKSSI dulu pernah melakukan surveikesehatan pada 2003, pada waktu itubekerjasama dengan World Neighbour(WN). Lalu ternyata muncul masalah-masalah kesehatan lain, yaitu adanya ka-sus gizi buruk, terutama di desa yangberbatasan langsung dengan hutan lin-

24 Wawancara dengan Yuni Riawati, Anggota DewanPengawas Komunitas Solidaritas Perempuan, Mataram,18 Mei 2012.

25 Wawancara dengan Latifa Bay Westhoff, DirekturEksekutif YKSSI, Mataram, 15 Mei 2012.

208 Afirmasi Vol. 02, Januari 2013

dung taman nasional, khususnya di DesaLantan; tidak tersedia petugas kesehat-an yang cukup di desa-desa; minimnyakader kesehatan di posyandu di dusun-dusun. Kemudian WN memberikan ke-percayaan kepada YKSSI untuk mem-berikan pendampingan selama 2004-2005. Selama pendampingan itu, DesaLantan khususnya telah menghasilkanRenstrades dalam jangka waktu lima ta-hun, yang mencakup berbagai perma-salahan perempuan, yaitu di bidang per-tanian, infrastruktur, perikanan, kesehat-an, dan pendidikan”.26

Penutup

Pemetaan dan uraian yang telah dipaparkanmemberikan kesimpulan bahwa organisasiperempuan yang berada di NTB bergerakdi beberapa isu, antara lain Kekerasan Ter-hadap Perempuan (termasuk KDRT), Bu-ruh Migran, Membangun Kesadaran Politik,mendorong pemahaman tentang pentingnyaKeadilan dan Kesetaraan Gender, Kesehat-an Reproduksi Perempuan dan Kemiskinan,Pemberdayaan Ekonomi Perempuan sertaPenegakan Hukum yang lebih adil, atauHukum Berperspektif Perempuan.

Secara umum, visi dan misi para or-ganisasi memberikan gambaran adanya ke-mauan kuat dari sebagian besar organisasiperempuan untuk mengupayakan penegak-an HAM, mewujudkan kesetaraan gender,serta menciptakan relasi kuasa yang lebihadil dan setara antara laki-laki dan perempu-an dalam berbagai aspek kehidupan. Berda-

sarkan karakteristiknya, organisasi perem-puan yang ada di NTB tergolong sebagaiOrnop, dalam bentuk Yayasan atau Per-kumpulan, dan mereka bergerak dalam ke-lompok sasaran yang berbeda-beda sesuaikarakteristik dan isu yang dipilihnya, dalamupaya memberikan kontribusi bagi gerakanperempuan.

Situasi politik serta kondisi sosial danbudaya masyarakat memberikan pengaruhyang sangat besar bagi pilihan isu yang dija-lankan organisasi perempuan. Namun, takdapat dipungkiri, peranan donor, yang men-jadi penyedia dana, juga menjadi bagian daripertimbangan organisasi perempuan dalammenetapkan isu.

Harus diakui, ada berbagai keterbatasandan kendala untuk memperjuangkan isuyang dipilih organisasi, antara lain keterba-tasan dana, keterbatasan SDM dan kemam-puan pengelolaannya. Hal ini terjadi mung-kin karena kurangnya sensitivitas organisasidalam merespons permasalahan setempat,keterbatasan SDM mereka, dan juga posisiorganisasi yang donor-driven, yang mem-pengaruhi organisasi perempuan dalam me-nentukan wilayah kerja serta sasaran pro-gramnya. Karena hal-hal ini, perlu dipikirkancara-cara serta strategi tertentu demi merekadapat mengatasi berbagai kendala dan ke-terbatasan tersebut. Di antara berbagai carayang sudah ditempuh oleh organisasi perem-puan adalah cara mereka menjalin kerjasa-ma, dan berjejaring erat dengan organisasi-organisasi lain.***

26 Wawancara dengan Kardaeni, Koordinator PetugasLapangan YKSSI, Mataram, 16 Mei 2012.

Sita Aripurnami

Pada 25 Mei 1899,1 Kartini menuliskankeprihatinannya atas persoalan yang

membelit kaum perempuan di seputar kehi-dupannya kepada Stella Zeehandelaar. Le-bih lanjut, Kartini menyebutkan bahwa be-lenggu adat dan kebiasaan masyarakat sertahukum yang membuat dirinya dan banyakperempuan di Indonesia (pada saat itu diJepara, Jawa) tidak mampu lari dari per-soalan yang dihadapinya. Persoalan perem-puan yang dihadapi rupanya terus berlanjut,menjadi perhatian dan dasar gerak kelom-

pok serta organisasi perempuan di banyakwilayah di Indonesia. Inilah yang kemudianmendorong mereka untuk berhimpun dalamsebuah Kongres Perempuan yang pertamadiadakan pada 22 Desember 1928. Pada ta-hun 1928 itu para anggota kelompok danorganisasi perempuan mengidentifikasi bah-wa persoalan yang dialami oleh perempuanadalah seputar perkawinan dan keluarga, da-lam hal ini poligami serta pendidikan bagikaum perempuan. Sekalipun 29 tahun ber-selang dari apa yang diungkapkan Kartini,persoalan perempuan yang dibahas padatahun 1928 itu tidak banyak berbeda de-ngan persoalan perempuan yang diidentifi-kasi Kartini. Adalah menarik untuk menca-

“Tradisi lama, yang tidak dapat diruntuhkan dengan mudah, memenjara kita dalam tangan-tangannya yang kokoh. Suatu hari, memang benar, tangan-tangan itu harus melepaskan kita

tetapi hari ini masih jauh, sangat jauh! Bahwa hari itu akan tiba, aku yakin, tetapi hanya setelahtiga atau empat generasi setelahku”

ESAI

Jelajah Gerakan Perempuan untuk Demokrasidi Indonesia

2 Lihat hal. 2, “Aku Mau…Feminisme dan Nasionalisme.Surat-surat Kartini kepada Stella Zeehandelaar 1899-1903”, Vissia Ita Yulianto, Penerbit Buku Kompas, April2004.

210 Afirmasi Vol. 02, Januari 2013

tat teropong dan kajian yang dilakukan dandipublikasikan beberapa puluh tahun kemu-dian, bahkan lebih dari seabad kemudianoleh banyak akademisi mancanegara me-ngenai gerak dan kerja kelompok serta or-ganisasi perempuan di Indonesia. Sebut saja,Cora Vreede-de Stuers (1960),2 Saskia Eleo-nora Wieringa (1994),3 Susan Blackburn(2004)4 dan Wardah Hafidz dan TatiKrisnawaty (1990).5

Para akademisi dan aktivis perempuanini mengungkapkan sebuah kenyataan se-jarah yang kerap tidak diketahui oleh ba-nyak pihak tentang kerja keras dan buah pi-kir cemerlang dari para pioner gerakan pe-rempuan di Indonesia. Cora mencoba me-maparkan permasalahan perempuan yangcoba diatasi oleh kerja organisasi perempu-an pada masa penjajahan kolonial Belanda.Saskia, sekalipun fokusnya pada aktivitasorganisasi perempuan bernama GerakanWanita Indonesia (Gerwani), juga mencobamemaparkan kronologi gerakan perempuandari masa kolonial hingga 1965, saat Ger-

wani dihancurkan. Susan mencoba meng-ungkapkan gerakan perempuan pada masaOrde Baru. Wardah dan Tati agak berbedadengan Susan, sekalipun juga memaparkankerja organisasi perempuan pada masa OrdeBaru. Hal ini karena paparan Wardah danTati lebih banyak melihat kerja organisasiperempuan dalam kaitannya dengan pro-gram-program pembangunan pada masaOrde Baru.

Penelitian-penelitian yang diterbitkanmengenai gerakan perempuan di Indonesialebih banyak memaparkan gambaran gerak-an perempuan tersebut dengan membagi-nya dalam periode-periode perjalanan seja-rah dan perkembangan gerakan perempuandi Indonesia. Pembagian dalam periodisasiini memang bukan suatu cara penggambar-an yang terbaik karena ada kecenderunganmelakukan generalisasi. Padahal dalam ke-nyataannya, proses perubahan berjalan lam-bat dan melewati batas-batas waktu yangada. Tulisan ini juga menggunakan pemba-gian periodik untuk memudahkan pemba-hasan. Pembagian dan batasan tahun lebihsebagai perkiraan dalam penggambaranyang dikaitkan dengan situasi sosial, eko-nomi dan politik yang terjadi dalam kurunwaktu tersebut.

Tulisan ini ingin memaparkan secararingkas dan mencoba merefleksikan peng-gambaran kecenderungan umum yang ter-jadi mengenai fokus kerja dan gerakan or-ganisasi perempuan dari masa kolonial hing-ga masa pasca runtuhnya rezim Suharto diIndonesia. Harapannya, refleksi ini dapatmelengkapi informasi terhadap penelitian-penelitian yang telah dilakukan mengenaigerakan organisasi perempuan di Indonesia.

2 Lihat “Sejarah Perempuan Indonesia. Gerakan dan Pen-capaian”, Cora Vreede-de Stuers, edisi terjemahan kedalam bahasa Indonesia diterbitkan oleh KomunitasBambu, Jakarta, April 2008.

3 Lihat “Penghancuran Gerakan Perempuan di Indonesia”,Saskia Eleonora Wieringa, edisi terjemahan ke dalambahasa Indonesia diterbitkan oleh Garba Budaya danYayasan Kalyanamitra, Agustus 1999.

4 Lihat “Perempuan dan Negara dalam Era IndonesiaModern”, Susan Blackburn, edisi terjemahan ke dalambahasa Indonesia diterbitkan Yayasan Kalyanamitra,Maret 2009.

5 Lihat “Perempuan dan Pembangunan. Studi Kebijakantentang Kedudukan Perempuan dalam proses Pemba-ngunan di Indonesia”, Wardah Hafidz dan Tati Krisna-waty, tulisan ini dipresentasikan dan diseminasikan padaPertemuan Mitra Hivos pada April 1990 di LombokTimur, NTB.

Sita Aripurnami - Jelajah Gerakan Perempuan untuk Demokrasi di Indonesia 211

Masa Pemerintahan Kolonial Belanda:Tumbuhnya Gerakan Perempuandi Indonesia

Mulai tumbuhnya gerakan perempuan di In-donesia bisa dirunut sejak akhir abad 19atau seputar tahun 1890-an. Pada masa itu,gerakan perempuan mulai dapat di-ukurkarena gerakan tersebut sudah mulai mela-kukan perjuangannya melalui organisasimodern6 dan pada masa tersebut kesadaranperempuan mulai tercatat.

Catatan diawali oleh Kartini (1879-1904) di Jepara dan kemudian Rembang,Jawa Tengah, yang mempertanyakan ba-nyak hal melalui tulisan-tulisannya dangerak atau upayanya mendirikan sekolahuntuk anak perempuan. Upaya serupa jugadiikuti oleh Dewi Sartika (1884-1947) diJawa Barat, Maria Walanda Maramis (1827-1924) di Sulawesi Utara, Rahmah elYunusiah (1901-1969) dan Rasuna Said(1910-1965) di Sumatera Barat.7 Pada masapemerintahan kolonial, di mana feodalismesangat kental, perempuan dipingit dalamlingkup rumah dan ditekankan untuk berpe-ran melakukan masak, manak, macak ataukerja domestik, menjadikan perempuan ti-

dak tahu dunia pengetahuan. Permasalahanperempuan yang diidentifikasi adalah diskri-minasi dalam hal pendidikan. Akses padapendidikan tertutup bagi perempuan setelahakil balik — bahkan sama sekali tertutupbagi anak-anak Indonesia yang bukan ber-asal dari kalangan bangsawan.

Itulah sebabnya pada masa itu, gerakanperempuan melakukan kerja untuk menga-dakan pendidikan bagi anak perempuan.Upaya ini dilakukan untuk menjawab kebu-tuhan yang diidentifikasi pada saat itu. Ba-nyak anak perempuan yang tidak memilikiakses pada pengetahuan dan dunia luar. Ka-laupun anak perempuan pada masa itu bisakeluar rumah, itu karena mereka harus be-kerja membantu orang tua, atau dinikahkanmanakala usia dirasa cukup. Akibatnya,anak perempuan bukan saja buta huruf dantidak bisa baca tulis, tetapi juga sama sekalitidak memiliki pengetahuan. Karena de-ngan pengetahuan, seseorang baik perem-puan dan laki-laki bisa membaca situasi danmasalah. Oleh karena itu, gerakan perem-puan di Indonesia dimulai dengan melaku-kan proses pendidikan bagi perempuan.

Faktor lain yang memunculkan gerakanperempuan pada masa ini adalah krisis eko-nomi-politik yang disebabkan oleh kolo-nialisme. Kolonialisme atau penjajahanmengakibatkan penghisapan, eksploitasisumber daya alam dan tenaga kerja manusia.Problem ekonomi-politik yang dihadapilangsung oleh masyarakat, khususnya pe-rempuan, menjadi pendorong lahirnya ge-rakan perempuan. Konstruksi peran perem-puan dalam masyarakat adalah melakukanreproduksi biologis sekaligus sosial untukmempersiapkan tenaga baru. Dan, padaawal masa Pergerakan Nasional, tenaga ini

6 Organisasi modern diartikan dalam dalam konteks per-kumpulan dengan peraturan-peraturan tertulis sepertiAnggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga yangmencantumkan pembagian kerja antar anggota pengurus,hak dan kewajibannya dan sebagainya.

7 Data menarik menunjukkan pada tahun 1910, jumlahmurid perempuan di Jawa adalah 280 orang, sedangkandi luar Jawa termasuk Madura jumlahnya mencapai12,276 orang. Dari jumlah tersebut, 6,056 orang adalahjumlah perempuan yang bersekolah di Menado, (hal.49, “Perempuan dan Pembangunan. Studi Kebijakantentang Kedudukan Perempuan dalam proses Pemba-ngunan di Indonesia”, Wardah Hafidz dan Tati Krisna-waty, 1990)

212 Afirmasi Vol. 02, Januari 2013

digunakan oleh kapitalisme kolonial untukmenjadi buruh di perkebunan bahkan jugamenjadi comfort women, atau perempuanpenghibur.

Tampak bahwa pada masa PergerakanNasional, perempuan menghadapi dua per-masalahan. Pertama, feodalisme, yang me-reka jawab dengan pendidikan. Tindakanpolitik yang diambil organisasi perempuanpada masa ini adalah mengajukan persa-maan perempuan dalam perkawinan melaluiregulasi kolonial. Hal itu terjadi pada sekitar1913-an, organisasi perempuan menuntutagar perempuan boleh mengajukan cerai,pembatasan terhadap perkawinan dini dantidak ada pemaksaan kawin dari orang tuapada usia muda.

Kedua, masalah krisis ekonomi-politikakibat penjajahan, ternyata tidak cukup di-selesaikan hanya dengan kebijakan-kebi-jakan perbaikan kondisi masyarakat sepertikebijakan pendidikan bagi bangsa bumipu-tera yang dikenal dengan Politik Etis8 peme-rintahan kolonial Belanda. Kebijakan terse-but ternyata tidak menyelesaikan masalahpenjajahan. Untuk menjawabnya, disadari

bahwa masalah penjajahan harus dilaluidengan proses revolusi mengusir kolonial.Maka gerakan perempuan atau organisasiperempuan pada waktu itu muncul sebagaibagian dari organisasi-organisasi nasionalis.Seperti, Puteri Mardika (1912) sebagai bagi-an dari Budi Utomo, Aisyiah (1917) sebagaibagian dari Muhammadiyah, dan beberapalagi. Dibayangkan pembebasan perempuanakan terwujud bila mereka merdeka atau be-bas dari penjajahan kolonial Belanda.

Setelah Sumpah Pemuda pada tanggal28 Oktober 1928, diadakan Kongres Pe-rempuan pada 22 Desember 1928. Kongresini merupakan deklarasi para perempuanuntuk menyatukan gerakan perempuan da-lam revolusi mengusir penjajah. Meskipunideologi organisasi perempuan pada waktuitu beragam, semua dipersatukan oleh satukeinginan mencapai kemerdekaan, bebasdari penjajahan kolonial Belanda.

Gerakan perempuan pada masa itu sa-ngat dipengaruhi oleh kebangkitan rasanasionalisme di kalangan terpelajar. Hal initampak dari permasalahan yang dijadikanbahasan dalam Kongres Perempuan Indo-nesia yang pertama. Kongres ini diadakandua bulan setelah diadakannya Kongres Pe-muda yang menghasilkan Sumpah Pemuda.Dipengaruhi oleh semangat yang sama or-ganisasi dan kelompok perempuan meng-adakan Kongres Perempuan yang dihadirioleh 30 organisasi perempuan. Selain meng-identifikasi permasalahan perempuan, an-tara lain kedudukan perempuan dalam per-kawinan, poligami dan pendidikan, Kongresini juga menghasilkan tiga buah mosi yangditujukan kepada pemerintah kolonial Be-landa. Yaitu, perlunya menambah sekolahuntuk anak-anak perempuan, wajib menye-

8 Politik Etis adalah kebijakan yang diterapkan olehpemerintah kolonial Belanda pada akhir abad 19 yangmemperluas kesempatan pendidikan bagi perempuanpribumi. Sebenarnya dibalik kebijakan politik etisini, pemerintah kolonial sedang menerapkan kebijak-an desentralisasi serta ekspansi pasar. Pendidikan ting-kat rendah dan menengah diperlukan untuk meng-hasilkan tenaga kerja untuk menduduki posisi-posisidalam birokrasi tingkat rendah pemerintah kolonialBelanda. Selain itu juga meningkatnya pendidikanjuga akan meningkatkan kebutuhan dan konsumsimasyarakat. Disadari atau tidak, peningkatan pendi-dikan dengan model Barat ini memperkuat statusquo dan menunjang kepentingan penjajah (hal. 49-50, Perempuan dan Pembangunan. Studi Kebijakantentang kedudukan Perempuan dalam Proses Pem-bangunan di Indonesia, Wardah Hafidz dan Tati Kris-nawaty, 1990).

Sita Aripurnami - Jelajah Gerakan Perempuan untuk Demokrasi di Indonesia 213

ka permasalahan yang dihadapi perempuanakan dapat diatasi. Hal yang menyatukanberagam organisasi perempuan ini adalahkeinginan mereka yang sama untuk merun-tuhkan feodalisme yang mewujud pada ma-sih maraknya praktik poligami pada masaitu.

Sementara organisasi perempuan sepertiIstri Sedar11 (berdiri sejak 1930) mengang-gap meskipun Indonesia telah merdeka se-cara politik, tapi sebenarnya belum benar-benar merdeka. Organisasi semacam IstriSedar turut aktif terlibat dalam kegiatan-kegiatan politik, dan giat memberikan pen-didikan kesadaran politik bagi perempuan.Istri Sedar berjuang untuk kemerdekaan In-donesia dan memperjuangkan kedudukanperempuan yang harus sejajar dengan laki-laki. Organisasi ini juga berposisi kritis ter-hadap norma-norma adat dan tradisi, jugaagama yang merugikan perempuan. Merekasangat pedas menyerang kolonialisme. Per-masalahan politik yang muncul bisa dilihatdari banyaknya perjanjian kesepakatan,seperti Konperensi Meja Bundar (KMB),Linggar Jati, Renville yang sangat meru-gikan Indonesia. Perjanjian KMB misalnyamembebankan pampasan perang kepada

butkan ta’lik pada saat akad nikah dan di-adakan peraturan untuk tunjangan bagi jan-da dan anak piatu pegawai pemerintah ko-lonial Belanda.9

Perjuangan Gerakan PerempuanMasa Kemerdekaan Hingga Orde Baru

Perjuangan kemerdekaan pada akhirnya ter-capai, dengan diproklamirkannya Indone-sia menjadi republik pada 17Agustus 1945.Namun, apakah kemerdekaan dari penjajahjuga berarti perempuan bebas dari permasa-lahan yang membelenggunya?

Di kalangan organisasi-organisasi ataukelompok perempuan, ada perbedaan pen-dapat apakah perjuangan perempuan sudahterwujud atau belum. Ada kelompok yangmenganggap negara sudah memberikanpengakuan persamaan seperti tercantumdalam UUD 1945. Mereka merasa bahwadengan merdekanya Indonesia, persamaanperempuan cukup diatur dalam hukum dankebijakan. Kelompok yang mempercayaihal ini adalah Persatuan Wanita RepublikIndonesia (Perwari) yang didukung olehorganisasi dan kelompok yang lain. Tahun1946, diselenggarakan Kongres Wanita In-donesia (Kowani), meski juga diikuti olehor-ganisasi dan kelompok perempuan yangbekerja melawan kolonialisme, lebih ba-nyak diikuti oleh kelompok seperti Per-wari10 yang merasa dengan kebijakan yangmenjamin kesetaraan bagi semua warga ne-gara, baik laki-laki maupun perempuan, ma-

nasional mempertahankan kemerdekaan. Organisasiperempuan secara sadar turut serta dalam perjuangannasional ini. Setelah revolusi usai (merdeka) organisasiperempuan kembali memperjuangkan perlindunganhukum dan perkawinan. Perwari terkenal dengan upayamenentang poligami melalui demonstrasi perempuan,dalam rangka memperingati ulang tahun sewindu Per-wari, pada 17 Desember 1953 menolak PP 19/1952yang melegalkan poligami dan menuntut disahkannyaUndang Undang Perkawinan (lihat “Demonstrasi Wanita17 Desember 1953 Sikap Perwari Menolak PP 19 Th.1952”, skripsi Umi Lasmina, Jurusan Sejarah, FakultasSastra UI, 1996, http://lontar.ui.ac.id/opac/themes/libri2/detail.jsp?id=20156863 &lokasi=lokal.

11 Ibid.

9 Potret gerakan Wanita di Indonesia, Sukanti Suryo-chondro, Rajawali, Jakarta 1984.

10 Perwari (Persatuan Wanita Republik Indonesia) didiri-kan 1945. Pada masa revolusi tahun 1945-1949, gerak-an perempuan diarahkan untuk mendukung perjuangan

214 Afirmasi Vol. 02, Januari 2013

Indonesia, yang kemudian menjadi hutangIndonesia. Belanda yang menjajah, Indone-sia yang harus memberi pampasan perang.

Belanda masih berusaha untuk men-du-duki Indonesia agar pemerintahan kolonialHindia Belanda tidak pergi. Proses per-alihan perkebunan kolonial atau tanah-ta-nah rakyat yang diambil pada masa cultur-stelsel atau tanam paksa, juga tidak sepenuh-nya dikembalikan. Perusahaan-perusahaankolonial dan bahkan konsorsium negarapemerintahan kolonial, terutama perusaha-an migas atau minyak, juga belum ingin me-ninggalkan Indonesia.

Situasi inilah yang memberikan kesa-daran bagi gerakan progresif pada masa itu,termasuk organisasi perempuan seperti Iste-ri Sedar, bahwa Indonesia belum merdeka,karena secara ekonomi sumber-sumber ke-kayaan utama masih dikuasai kolonial. Ini-lah yang membangkitkan kembali perlawan-an terhadap mereka.

Selain Isteri Sedar, pada masa ini lahirorganisasi perempuan bernama GerakanWanita Indonesia Sedar (Gerwis)12 yanganggotanya para perempuan yang betul-betul melawan fasisme Jepang dan juga ko-lonialisme. Gerwis melihat bahwa isu feo-dalisme belum hilang setelah kemerdekaan,bahkan kembali membelenggu perempuan.Salah satu yang mereka identifikasi adalahbanyaknya kaum elit yang melakukan poli-gami dan lebih memberikan kesempatanpendidikan bagi anak laki-laki daripada pe-rempuan.

Pada 1954, Gerwis menggelar kongresdan mengubah nama menjadi Gerwani.Selain Gerwani, Partai Nasional Indonesia(PNI) juga mempunyai organisasi perem-puan, yaitu Wanita Marhaen yang kemu-dian berubah menjadi Wanita Demokrat.13

Wanita Marhaen pecah dua, antara kelom-pok yang didukung oleh para elit partai yangpro-feodalisme, dengan kelompok yang pro-rakyat.

Gerwani dan Wanita Marhaen yang mun-cul antara tahun 1950-1960 merupakan or-ganisasi massa. Organisasi massa artinyamemiliki basis massa perempuan yang kuat.Organisasi seperti Fatayat atau Aisiyah jugamerupakan organisasi perempuan yangmempunyai basis massa. Fatayat14 adalahorganisasi perempuan yang berafiliasi de-ngan organisasi massa Islam Nahdatul Ula-ma (NU). NU memang dikenal sebagaiorganisasi Muslim tradisional dan sejak awalanggotanya adalah laki-laki. Namun demi-kian, pemimpin NU merespon isu-isu pe-rempuan secara progresif. KH. Wahid Ha-syim, yang merupakan putera KH. HasyimAsy’ari, misalnya pernah membolehkanperempuan menjadi seorang hakim. Isu pe-rempuan semakin mendapatkan perhatianketika Kiai Dahlan mengusulkan berdirinyaorganisasi perempuan NU di Kongres NUke XIII di Menes, Banten pada 11-16 Juni1938. Kongres ini sangat penting, karenamulai membicarakan tentang perlunya pe-

12 Gerwis berdiri pada Juli 1950, sebagai bagian dari PartaiKomunis Indonesia. Akhirnya nama ini diubah menjadiGerwani, (lihat hal 63-64, “Perempuan dan Pemba-ngunan. Studi Kebijakan tentang Kedudukan Perempu-an dalam proses Pembangunan di Indonesia”, WardahHafidz dan Tati Krisnawaty, 1990).

13 Wanita Demokrat Indonesia berdiri Januari 1951 meru-pakan afiliasi dari Partai Nasional Indonesia (PNI).Pada tahun 1964 organisasi ini berubah namanya menjadiGerakan Wanita Marhaenis.

14 Diambil dari “Sejarah Kelahiran Fatayat NU”, http://fatayat-nu.blogspot.com/2011/05/sejarah-kelahiran-fatayat-nu.html, 28 Mei 2011.

Sita Aripurnami - Jelajah Gerakan Perempuan untuk Demokrasi di Indonesia 215

rempuan mendapatkan kesamaan hak da-lam memperoleh pendidikan agama melaluiNU. Ketika itu, kongres baru menyetujuiperempuan untuk menjadi anggota NU,dengan hanya bisa menjadi pendengar danpengikut serta tidak boleh duduk dalamkepengurusan.

Perkembangan penting kembali ter-jadipada kongres NU ke XV di Surabaya pada5-9 Desember 1940. Ketika itu, terjadi per-debatan sengit merespon usulan agar ang-gota perempuan NU mempunyai strukturpengurusnya sendiri di dalam NU. KiaiDahlan termasuk mereka yang gigih mem-perjuangkan agar usulan tersebut diterima.Sampai pada hari sebelum kongres berakhir,peserta tidak mampu memutuskan, hinggadisepakati untuk menyerahkan keputusanakhirnya pada Pengurus Besar Syuriah NU.Kesempatan ini dimanfaatkan oleh KiaiDahlan untuk mendapatkan persetujuansecara tertulis dari KH. Hasyim Asy’ari danKH. Wahab Hasbullah. Setelah didapatkan,maka peserta kongres pun dengan mudahmenyetujui perlunya anggota perempuanNU untuk memiliki struktur kepengurus-annya sendiri di dalam NU. Pada KongresNU ke-XVI di Purwokerto tanggal 29 Maret1946, struktur kepengurusan anggota pe-rempuan NU disahkan dan diresmikan seba-gai bagian dari NU. Namanya ketika itu ada-lah Nahdhlatul Ulama Muslimat (NUM).Ketua pertama terpilih adalah ChadidjahDahlan dari Pasuruan yang tak lain adalahisteri Kiai Dahlan.

Kebangkitan perempuan NU juga mem-bakar semangat kalangan perempuan mudaNU yang dipelopori oleh tiga serangkai, yai-tu Murthasiyah (Surabaya), KhuzaimahMansur (Gresik), dan Aminah (Sidoarjo).

Pada Kongres NU ke XV tahun 1940 di Su-rabaya, juga hadir puteri-puteri NU dari ber-bagai cabang yang mengadakan pertemuansendiri, yang menyepakati dibentuknyaPuteri Nahdlatul Ulama Muslimat (PuteriNUM). Mereka sebetulnya sudah menga-jukan kepada Kongres NU agar disahkansebagai organisasi yang berdiri sendiri didalam NU, namun Kongres hanya menye-tujui Puteri NUM sebagai bagian dari NUM.Dalam dua tahun, Puteri NUM memintaagar mempunyai Pimpinan Pusatnya sendiriyang terpisah dari NUM karena organisasiPuteri NUM di tingkat Cabang terus ber-tambah.

Pengurus Besar Nahdlatul Ulama(PBNU) kemudian menyetujui pemben-tukan Pengurus Pusat Puteri NUM yang di-beri nama Dewan Pimpinan Fatayat NU pa-da 26 Rabiul Akhir 1939, 14 Februari 1950.Selanjutnya Kongres NU ke-XVIII pada 20April-3 Mei 1950 di Jakarta secara resmimengesahkan Fatayat NU menjadi salah sa-tu badan otonom NU. Namun berdasarkanproses yang berlangsung selama perintisanhingga ditetapkan, FNU menyatakan diri-nya didirikan di Surabaya 24 April 1950,bertepatan dengan 7 Rajab 1317 H. PucukPimpinan Fatayat NU pertama adalahNihayah Bakri (Surabaya) sebagai Ketua Idan Aminah Mansur (Sidoarjo) sebagai Ke-tua II. Kepengurusan pada waktu itu ha-nya mempunyai dua bagian, yaitu bagianpenerangan danpendidikan.

Sementara itu, Aisyiah15 berafiliasi de-ngan organisasi massa Islam Muhammadi-yah. Sebelum Aisyiyah secara kongkrit ter-

15 Diambil dari “Aisyiyah”, http://www.muhammadiyah.or.id/content-199-det-aisyiyah.html, 6 Februari 2013.

216 Afirmasi Vol. 02, Januari 2013

bentuk, sifat gerakan pembinaan terhadapperempuan baru merupakan kelompokanak-anak perempuan yang senang berkum-pul, kemudian diberi bimbingan olehK.H.A. Dahlan dan Nyai Ahmad Dahlandengan pelajaran agama. Kelompok anak-anak ini belum merupakan suatu organisasi,tetapi lebih merupakan kelompok anak-anak yang diberi pengajian. Pendidikan danpembinaan terhadap perempuan yang usia-nya sudah tua pun dilakukan oleh KiaiDahlan dan Nyai Dahlan. Ajaran agama Is-lam tidak memperkenankan mengabaikanterhadap perempuan. Mengingat pentingnyaperanan perempuan yang harus mendapattempat yang layak, pasangan suami-istri ter-sebut mendirikan kelompok pengajian pe-rempuan yang anggotanya terdiri para gadis-gadis dan perempuan yang sudah tua. Da-lam perkembangannya, kelompok penga-jian wanita itu diberi nama Sapa Tresna.

Sapa Tresna belum merupakan organi-sasi, hanya suatu gerakan pengajian saja.Oleh karena itu, untuk memberikan namakongkrit menjadi suatu perkumpulan, K.H.Mokhtar mengadakan pertemuan denganK.H.A. Dahlan, yang juga dihadiri oleh H.Fakhrudin dan Ki Bagus Hadikusumo sertapengurus Muhammadiyah lainnya, di rumahNyai Ahmad Dahlan. Awalnya diusulkannama Fatimah, untuk organisasi perkum-pulan kaum perempuan Muhammadiyah itu,tetapi nama itu tidak diterima oleh rapat.

Haji Fakhrudin kemudian mengusulkannama Aisyiyah, yang diterima oleh rapat ter-sebut. Nama Aisyiyah dipandang lebih tepatbagi gerakan perempuan karena didasari pertimbangan bahwa perjuangan perem-puan yang digulirkan diharapkan dapat me-niru perjuangan Aisyah, isteri Nabi Muham-

mad, yang selalu membantu Rasulullah da-lam berdakwah. Peresmian Aisyiyah dilaksa-nakan bersamaan peringatan Isra’ Mi’rajNabi Muhammad pada 27 Rajab 1335 H,atau pada 19 Mei 1917. Peringatan Isra’Mi’raj tersebut merupakan peringatan perta-ma yang diadakan Muhammadiyah. Selan-jutnya, K.H. Mukhtar memberi bimbinganadministrasi dan organisasi, sedangkan un-tuk jiwa keagamaan dibimbing langsung olehK.H.A. Dahlan.

Gerakan pemberantasan kebodohanyang menjadi salah satu pilar perjuanganAisyiyah dicanangkan dengan mengadakanpemberantasan buta huruf pertama kali,baik buta huruf Arab maupun Latin pada1923. Dalam kegiatan ini, para peserta yangterdiri dari para gadis dan ibu-ibu rumahtangga, belajar bersama dengan tujuan me-ningkatkan pengetahuan dan partisipasi pe-rempuan di dunia publik. Selain itu, pada1926, Aisyiyah mulai menerbitkan majalahorganisasi yang diberi nama Suara Aisyiyah,yang awal berdirinya menggunakan BahasaJawa. Melalui majalah bulanan inilah Aisyi-yah antara lain mengkomunikasikan semuaprogram dan kegiatannya termasuk kon-solidasi internal organisasi.

Aisyiyah juga termasuk organisasi yangturut memprakarsai dan membidani terben-tuknya organisasi perempuan pada 1928.Dalam hal ini, Aisyiyah bersama dengan or-ganisasi perempuan lain bangkit berjuanguntuk membebaskan bangsa Indonesia daribelenggu penjajahan dan kebodohan. Badanfederasi yang terbentuk diberi nama KongresPerempuan Indonesia, yang sekarang mejadiKowani. Lewat federasi, berbagai usaha danbentuk perjuangan bangsa dilakukan secaraterpadu.

Sita Aripurnami - Jelajah Gerakan Perempuan untuk Demokrasi di Indonesia 217

Hal yang membedakan Gerwani danWanita Marhaen dengan Fatayat dan Aisyi-yah adalah, Fatayat dan Aisyiyah tidak me-miliki kesadaran melawan kolonialisme dankonsorsium negara kolonial. Meskipun be-gitu, baik Perwari, Aisiyah, Muslimat, Ger-wani dan Wanita Marhaen bisa bersatu da-lam Kowani untuk satu tujuan, yakni persa-maan perempuan untuk menjawab persoal-an feodalisme, atau dengan kata lain berpe-rang melawan kebodohan.

Perwari, Fatayat dan Aisiyah mengang-gap kolonialisme sudah tidak ada, sementa-ra Wanita Marhaen, Gerakan Wanita Sosialis(GWS) menganggap permasalahan kolo-nialisme masih nyata di Indonesia, bahkanGerwani mengatakan hal tersebut merupa-kan bahaya laten.

Untuk menghadapi kembalinya kolo-nialisme, Gerwani bersatu dengan gerakantani dan buruh mengambil alih perkebun-an kolonial atau dikenal dengan nasionali-sasi perkebunan16 untuk diberikan kepada Ne-gara. Sayang, gerakan pengambilalihan inibelum tuntas karena sumber-sumber eko-nomi seperti minyak dan gas belum berhasildiambil alih untuk dikembalikan ke Indo-nesia.

“Saya sempat berbicara dengan salah se-orang perempuan yang bekerja di pabrikpemintalan Belanda di Garut, Jawa Ba-rat. Ibu ini bercerita, ia dibantu Gerwani

ketika melakukan aksi mogok untukmenuntut upah dan fasilitas yang layak.Gerwani juga membantu untuk menun-tut kesejahteraan buruh pabrik. Ibu inijuga bilang mereka [buruh pabrik] me-ngerti persoalan perburuhan karenapendidikan yang diberikan Gerwani”.17

Pengambilalihan perkebunan dan ke-giatan-kegiatan serupa inilah yang merupa-kan tindakan politik yang dilakukan Ger-wani dalam rangka menghentikan kolo-nialisme. Inilah yang membedakan Ger-wani dengan organisasi perempuan lain.

Pada 1950-an dua organisasi perempu-an, Gerwani18 yang mendukung Partai Ko-munis Indonesia (PKI) dan Wanita Marhaenyang nasionalis, menempati kedudukanpenting dalam masyarakat. Gerwani berasaldari Gerwis yang didirikan pada 1950 de-ngan anggota awal berjumlah 500 orang pe-rempuan. Para anggotanya pada umumnyaberpendidikan tinggi dan berkesadaran poli-tik. Dari segi ideologi, organisasi ini meru-

16 Untuk memastikan manfaat bagi bangsa Indonesia, na-sionalisasi atau pengambilalihan kepemilikan perke-bunan besar dari negara asing kepada pemerintah Indo-nesia dilakukan berkali-kali. Pertama, sebagai konse-kuensi dari kemenangan Indonesia dalam KonferensiMeja Bundar 1949. Kedua, sebagai perwujudan deklarasiekonomi untuk kemandirian bangsa pada 10 Desember1957. Ketiga, dalam rangka konfrontasi dengan Malay-

sia pada 1964. Perkebunan-perkebunan besar milikBelanda dinasionalisasi menjadi milik pemerintah Re-publik Indonesia. Dalam proses nasionalisasi perke-bunan, terlihat nyata jiwa patriorisme dan nasionalismeyang kuat yang menginginkan kedaulatan ekonomi harusberada di tangan bangsa sendiri. Inilah sebuah tonggaksejarah yang menunjukkan kemampuan bangsa ini untukmengelola perusahaan perkebunan tanpa tergantung pa-da keahlian bangsa Belanda. Lihat “Perkebunan DalamLintas Zaman”, http://ditjenbun.deptan.go.id/index.php/inventaris-berita/87-lintas-zaman-perke-bunan.html, 6 Februari 2013.

17 Lihat wawancara Ruth Indiyah Rahayu, “OrganisasiPerempuan Harus Mengubah Strategi Gerakan, http://www.komnasperempuan.or.id/2010/05/ruth-indiyah-rahayu-organisasi-perempuan-harus-mengubah-strategi-gerakan.

18 Lihat “Sejarah Gerwani”, http://indication-dawam.blogspot.com/2012/04/sejarah-gerwani.html, 11 April2012.

218 Afirmasi Vol. 02, Januari 2013

pakan kelanjutan dari Isteri Sedar. Kaumperempuan dalam Gerwis umumnya darigenerasi yang lebih muda, tetapi merekamempunyai hubungan dengan perempuanyang bergabung dalam Isteri Sedar.

Pada 1954, ketika anggotanya menca-pai 80.000 orang, sejalan dengan politikPKI saat itu, Gerwis memutuskan untuk le-bih menarik kaum perempuan dari kalanganmassa. Sebagai simbol untuk keputusannyaini, nama organisasi diubah menjadi Ger-wani. Dalam kurun waktu itu, Gerwanimengambil peranan sangat aktif dalamkampanye-kampanye untuk pemilihanumum parlementer. Bahkan, empat oranganggotanya terpilih dalam pemilihan umum1955.

Pada 1956, keanggotaan Gerwani men-capai lebih dari setengah juta. Namun terle-pas dari massa anggota yang terus mening-kat (pada 1960 dikatakan telah mencapaisekitar 700.000), jumlah kader perempuanmasih tetap agak kecil (tiga di pimpinan pu-sat, dan bahkan tidak satu orang pun di se-tiap cabang– sementara jumlah cabang pada1957 tercatat 183 cabang). Dalam tahun-tahun ini, usaha pertama-tama diarahkanuntuk mencapai pulau-pulau luar Jawa.Kader-kader dari Jawa dikirim ke berbagaipenjuru Nusantara untuk mendirikan ca-bang-cabang organisasi.

Kampanye Gerwani tertuju pada bebe-rapa masalah perkosaan di Jawa Barat danBali. Organisasi ini juga memberikan du-kungan kepada lurah-lurah perempuan. Be-berapa orang perempuan telah terpilih men-jadi lurah, tetapi tidak bisa menjalankanjabatan karena hukum kolonial melarangkaum perempuan menduduki jabatan sema-cam ini.

Tahun 1961 anggota organisasi men-capai lebih dari satu juta orang. Cabang-ca-bang didirikan di seluruh penjuru negeri.Kaum perempuan tertarik pada organisasiini karena kegiatannya yang menyangkutkebutuhan sehari-hari mereka. Warung ko-perasi dan koperasi simpan-pinjam kecil-ke-cilan didirikan. Perempuan tani dan buruhdisokong dalam sengketa mereka dengantuan tanah atau majikan pabrik tempat me-reka bekerja. Taman kanak-kanak diseleng-garakan di pasar-pasar, perkebunan-perke-bunan, kampung-kampung. Kaum perempu-an dididik untuk menjadi guru pada seko-lah-sekolah ini. Dibuka pula badan-badanpenyuluh perkawinan untuk membantukaum perempuan yang menghadapi masa-lah perkawinan. Kursus-kursus kader dibu-ka pada berbagai tingkat organisasi. Padakesempatan ini juga diajarkan keterampilanteknis, misalnya tata buku dan manajemen.Hal penting lain yang diajarkan adalah se-jarah gerakan perempuan Indonesia.

Sejak awal, Gerwani sangat giat dalammembantu peningkatan kesadaran perem-puan tani, bekerja-sama dengan bagian pe-rempuan Barisan Tani Indonesia (BTI).Pada 1961 diselenggarakan seminar khususuntuk membahas persoalan mereka. Bela-kangan Gerwani juga membantu aksi-aksipendudukan tanah yang dilancarkan olehBTI, dan menuntut agar hak atas tanah jugadiberikan kepada kaum perempuan.

Di samping kegiatannya di tengah-te-ngah perempuan tani, Gerwani juga me-lakukan serangkaian kegiatan lain. Di anta-ranya kampanye pemberantasan buta hurufyang dimulai pada 1955, perubahan un-dang-undang perkawinan yang lebih demo-kratis, menuntut hukuman yang berat untuk

Sita Aripurnami - Jelajah Gerakan Perempuan untuk Demokrasi di Indonesia 219

perkosaan dan penculikan, dan kegiatan-kegiatan sosial-ekonomi untuk kaum tanidan buruh perempuan. Para aktivis Gerwanimelakukan kegiatan besar-besaran pembe-rantasan buta huruf di kalangan perempuan,sekaligus mendidik para peserta mengenaimasalah-masalah politik yang hangat padamasanya, termasuk masalah-masalah pe-rempuan. Bersama dengan kaum perempundari organisasi-organisasi lain, mereka salingmembantu menyelenggarakan berbagai ma-cam kegiatan, baik di tingkat kampung, kota,maupun provinsi, mengenai hal yang ber-kaitan dengan kesejahteraan keluarga, kese-hatan, kebersihan, dan juga soal-soal sepertipelacuran, perkawinan anak-anak, dan per-dagangan perempuan. Mereka sediakan pulabantuan hukum, juga bantuan untuk korbanbanjir dan bencana alam lainnya.

Secara kelembagaan, Gerwani sebenar-nya belum membahas secara terbuka masa-lah-masalah seperti pembagian kerja seksualtradisional,19 walaupun sejumlah kader telahberjuang menentang ketidakadilan yang cu-kup nyata pada tingkat perorangan. Bebera-pa kader dengan tegas menyebutkan usahamereka untuk mendidik anak-anak laki-lakiagar mau mengerjakan tugas-tugas rumah-tangga bersama-sama, dan suami juga diha-rapkan mengerjakan pekerjaan rumah-tang-ga yang umumnya nyaris dipandang sebagaitugas perempuan saja.

Setelah peristiwa politik pada Oktober1965, massa luas digerakkan untuk berde-monstrasi melawan semua organisasi yangdianggap kiri. Mereka menuntut agar semuaorganisasi yang dianggap kiri dinyatakan

terlarang. Kampanye menjatuhkan Gerwaniberhasil dilakukan. Ingatan pada Gerwanibenar-benar telah dihilangkan dari sejarahresmi gerakan perempuan Indonesia, dan or-ang-orang yang pernah menjadi anggotanyamasih menghadapi masalah bila terang-terangan mengakui pernah terlibat Gerwanidalam bentuk apapun. Berakhirnya riwayatorganisasi perempuan Indonesia yang terbe-sar ini sungguh mendadak, cepat, dan tidakterduga-duga.

Pada akhir Oktober 1965 Gerwani se-cara resmi dikeluarkan dari Kowani dan pa-da 1966 Gerwani secara resmi dinyatakanterlarang. Dalam proses pembentukan pe-merintah “Orde Baru”, Kowani dan semuaorganisasi perempuan yang lain harus “me-nyesuaikan diri.” Secara berangsur-angsurhampir semua program sosial dan ekonomimereka yang mengabdi kepentingan perem-puan miskin dan perempuan desa dihapus-kan.

Dari sisi perjuangan organisasi perem-puan, Gerwani juga mengalami pergeserandalam giat kerja pembelaannya. Hal ini tera-sa mulai pada 1960-an hingga akhirnyaGerwani dilarang. Sebagaimana yang dilihatoleh Wieringa:20

“...Gerwani bergeser ke arah suatu pen-dirian yang menyatakan masalah kelasdan bukan seks yang paling penting; dan,bahwa bukan patriarki tetapi perjuangankelas yang harus menjadi perhatian pe-rempuan”

20 Hal. 461, “Penghancuran Gerakan Perempuan di Indo-nesia”, Saskia Eleonora Wieringa, Garba Budaya danKalyanamitra, Agustus 1999, Jakarta.19 Loc.cit

220 Afirmasi Vol. 02, Januari 2013

Gerakan Perempuan Pasca Oktober1965 atau Masa Orde Baru

Dilarangnya seluruh gerakan kerakyatan,termasuk Gerwani, pada Oktober 1965 me-nandai masuknya masa yang dikenal dengansebutan Orde Baru. Kepemimpinan padamasa ini berhasil menggunakan Gerwani se-bagai bahan propaganda untuk menghan-curkan gerakan perempuan.21 Mereka me-nyebarkan propaganda bahwa semua pe-rempuan yang berani melawan adalah bu-ruk, bahkan jahat. Gerakan perempuan di-jinakkan. Gerakan Perempuan menjadi ha-nya Kowani, sementara Serikat Buruh men-jadi Serikat Pekerja, serikat petani menjadiHimpunan Kerukunan Tani Indonesia(HKTI), organisasi nelayan menjadi HSMI.Semua organisasi ini diciptakan dan bekerjauntuk rezim Orde Baru. Sebagaimana yangdisampaikan pula oleh I Gusti Agung AyuRatih22 dalam Pidato Kebudayaan yang di-sampaikan pada 2008:

“Dalam sejarah Indonesia proses pe-nanaman model pemusnahan perempu-an ala abad pertengahan ini berlangsungseiring dengan terbangunnya kediktator-an Suharto pada akhir 1965. Dengancerdas (sekaligus mengerikan) penguasamiliter menggunakan imaji seksual ke-liaran dan kebuasan perempuan-perem-puan ‘komunis’ yang menari-nari telan-jang di Lubang Buaya untuk menum-buhkan kebencian terhadap perempuanyang berpolitik. Propaganda hitam ini

dengan segera memicu serangan fisikterhadap semua perempuan yang diang-gap anggota Gerwani, serta anggotaPKI dan organisasi-organisasi massalainnya yang dianggap sealiran. Pesannyajelas: perempuan ‘komunis’, perempuanyang berpolitik membahayakan kesela-matan dan integritas bangsa ini. Oleh se-bab itu, menjadi sah untuk melakukanpembasmian terhadap siapa pun yangdianggap ‘komunis’ sampai ke akar-akarnya”.23

Organisasi-organisasi pada masa OrdeLama, seperti Gerakan Wanita Sosialis(GWS) dan Wanita Marhaen bisa diterimaKowani asal berganti nama menjadi Gerak-an Wanita Sejahtera dan Wanita Demokrat.Anggota Gerwani ditangkap dan dipenjaratanpa ada proses pengadilan.24 Akhirnya, ni-lai-nilai yang dipandang ideal mengenai pe-rempuan untuk menjadi konco wingking kem-bali disosialisasikan dalam gerakan perem-puan dan membentuk pemikiran banyak pi-hak sepanjang masa Orde Baru. Kampanyeini dilakukan antara lain melalui majalah-majalah perempuan. Muncul konsepsi ten-tang “peran ganda” perempuan. Perempuanbisa bekerja, namun tidak boleh melupakantanggung jawabnya pada keluarga sebagaiibu dan istri.

Pada 1980-an, kondisi pembangunanyang dilaksanakan semakin terasa timpangdan menimbulkan krisis ekonomi politik

21 Ibid.22 Lihat “Kita, Sejarah dan Kebhinekaan: Merumuskan

Kembali Keindonesiaan”, disampaikan Anak AgungAyu Ratih pada Pidato Kebudayaan pada 10 November2008, Taman Ismail Marzuki, Jakarta.

23 Untuk gambaran lebih jauh tentang penggunaan imajiseksual dalam propaganda anti komunis dan politikseksualitas Orde Baru secara umum, lihat Saskia E.Wieringa, Penghancuran Gerakan Perempuan di Indonesia.

24 Lihat “Gerwani. Kisah Tapol Wanita di Kamp Plan-tungan,” Amurwani Dwi Lestariningsih, PT KompasMedia Nusantara, September 2011, Jakarta.

Sita Aripurnami - Jelajah Gerakan Perempuan untuk Demokrasi di Indonesia 221

yang kemudian menumbuhkan gerakan-gerakan protes yang dimotori LSM dan ge-rakan mahasiswa. Tahun 1980 juga di ting-kat internasional terjadi krisis dunia. Tuju-annya tentu menata dunia dengan intervensiterhadap regulasi suatu negara, debirokrati-sasi dan deregulasi, sekali lagi untuk inves-tasi dan perdagangan bebas termasuk peng-aturan keuangan secara bebas.

Pada saat itu, gerakan perempuan me-mang menyadari ada problem pembangunanyang berdampak pada perempuan. Seperti-nya gerakan prempuan tidak menyadari bah-wa jauh di luar problem pembangunan itu,ada problem yang lebih besar dan mengakar,yakni kapitalisme. Oleh gerakan perempu-an, upaya yang dilakukan adalah melakukanpengorganisasian pengentasan kemiskinankorban pembangunan di pedesaan melaluimikro kredit.

Beberapa LSM melihat problem tersebutdijawab dengan pendampingan perempuanmiskin. Namun ada pula LSM yang melihatproblem Indonesia tidak sekedar kemiskin-an, tapi ada permasalahan seputar seksuali-tas perempuan. Karena ada kekerasan terha-dap perempuan, perkosaan, pelecehan danlain-lain, mereka melakukan kampanye me-lawan segala bentuk kekerasan terhadap pe-rempuan.

Diawali oleh Yasanti di Yogyakarta pa-da 1983, yang mendorong untuk memper-kuat hak-hak buruh perempuan dan perem-puan yang bekerja di industri batik serta se-bagai penjaga toko. Kemudian bermunculanorganisasi-organisasi perempuan di kota-kota lain, seperti Kalyanamitra (1984) di Ja-karta dan lainnya. Penjelasan yang rinci danmendalam mengenai upaya organisasi dankelompok perempuan pada masa Orde baru

ini dapat dilihat pada artikel lain dalam jur-nal ini. Namun, apa yang sebenarnya terjadiadalah sebagaimana yang dituturkan olehAyu Ratih (2008):

“Pemerintah Orde Baru tidak hanyamenghancurkan Gerwani tetapi juga me-rebut otoritas organisasi-organisasi pe-rempuan lainnya dalam menentukangerak mereka. Ide-ide emansipatoristentang kemandirian perempuan yangbelum selesai diperbincangkan sejak de-kade ke-2 abad ke-20 dikooptasi dandiberi bentuk yang paling konservatif:‘peran ganda wanita’. Pemerintah kemu-dian membentuk organisasi-organisasiistri pegawai yang strukturnya mengikutibirokrasi pemerintahan sipil dan militerdan kepemimpinannya sejalan denganjabatan suami. Sementara itu kekerasanmiliter secara massal terhadap perempu-an berlanjut di Aceh, Papua Barat danTimor Leste. Di masa inilah nilai-nilaipatriarkal dari jaman feodal dan kolonialmenemukan peneguhan dari prinsipkerja militeristik yang menuntut hirarkidan loyalitas tak berbatas dan meng-agungkan kekerasan”.25

Sementara itu, di sisi lain, apabila kitamelihat gerakan mahasiswa, sekalipun ge-rakan mahasiswa sudah diberangus dengankebijakan, menarik untuk disimak tumbuh-nya kelompok-kelompok studi mahasiswapada masa Orde Baru. Mereka belajar per-kembangan teori-teori yang kritis untuk me-mahami dan mencari solusi atas persoalan-persoalan sosial, ekonomi, politik dan bu-

25 Lihat “Kita, Sejarah dan Kebhinekaan: MerumuskanKembali Keindonesiaan”, disampaikan pada Pidato Ke-budayaan Anak Agung Ayu Ratih pada 10 November2008, Taman Ismail Marzuki, Jakarta.

222 Afirmasi Vol. 02, Januari 2013

daya seperti mempelajari feminisme, jugaantara lain marxisme. Namun, upaya untukmemahami feminisme, misalnya di kalangangerakan mahasiswa dan aktivis LSM, masihterbatas sebagai pengetahuan dan belummenjadi praktik sosial. Mereka belum sam-pai pada bagaimana mengangkat problemperempuan yang tersembunyi menjadi tam-pak, bagaimana hak perempuan menjadiwacana di masyarakat.

Pada 1997, kondisi ekonomi Indonesiasangat kritis. Pada masa itu, cukup banyakbermunculan kelompok-kelompok, baik da-ri kalangan mahasiswa, pekerja profesional,akademisi serta kelompok atau organisasiperempuan, untuk mencari jalan keluar darikrisis ekonomi, terutama untuk mencari ca-ra atas dampak krisis ekonomi itu pada kehi-dupan sehari-hari masyarakat, terutama pe-rempuan.

Kondisi Indonesia pada masa tersebutmelorot ke titik terendah, bukan saja dalamhal ekonomi tetapi juga dalam hal sosial danpolitik. Masyarakat kehilangan kepercayaanpada pemerintah, oleh karena situasi yangsemakin tidak dapat memberikan kesejahte-raan kepada masyarakat. Daya beli masyara-kat terhadap kebutuhan sehari-hari semakinkecil. Harga-harga melambung tinggi. Seper-ti yang ditulis oleh Mahfirlana Mashadi:26

“Ketika harga susu meningkat hinggahampir 400 persen, keluarga-keluargamiskin jelas tidak mampu membelinya.Para ibu dalam situasi Indonesia saat inimulai memberikan teh manis kepada

bayi dan anak-anak kecil mereka, meski-pun mereka tahu betul hal ini tidak me-menuhi kandungan gizi dalam susu”

Dalam suasana tersebut, patut dicermatiupaya beberapa kelompok dan organisasiperempuan untuk menjawab kondisi yangdihadapi masyarakat.

Gerakan Perempuan 1998

Menjawab krisis ekonomi yang mulai terasapengaruhnya pada kehidupan sehari-harimasyarakat pada 1997 dengan perwujudanmelambungnya harga bahan pokok, munculpelbagai upaya. Beberapa organisasi, terma-suk kelompok perempuan, bergabung untukmengadakan kegiatan penyediaan bahan po-kok bagi kelompok masyarakat miskin. Me-reka mencoba menjawab kondisi krisis eko-nomi yang demikian menghimpit masyara-kat. Kondisi tersebut berdampak pada kon-disi para suami kehilangan pekerjaan, kebu-tuhan sehari-hari naik berlipat-lipat, dananak-anak terancam putus sekolah.

Pada tahun tersebut, Indonesia beradapada situasi ekonomi yang amat buruk. Si-tuasi ekonomi yang buruk itu memberi pe-ngaruh yang amat besar pada perempuan.Semua barang kebutuhan dasar atau bahanpangan sangat tinggi, khususnya susu. Nilaitukar rupiah ke dollar Amerika didevaluasidari Rp 4.850 per dollar Amerika turunmenjadi Rp 17.000 per dollar Amerika pa-da 22 Januari 1998. Akibatnya, harga semuabarang yang mengandung produk bahanimpor juga menjadi sangat mahal, atau naikharganya. Keadaan itu secara jelas ber-pengaruh terhadap kehidupan para ibu yangharus memenuhi kebutuhan sehari-hari ke-

26 Mahfirlana Mashadi dalam artikel “When MothersSpeak, Milk Prices Come Down - And So Does aGovernment”, www.mercycorps.org/countries/indonesia/10172.

Sita Aripurnami - Jelajah Gerakan Perempuan untuk Demokrasi di Indonesia 223

luarganya. Hampir tiap hari sejak saat itu,berita di media cetak selalu memberitakantingginya harga susu dan obat-obatan.

Situasi ekonomi ini mendorong kelom-pok dan organisasi perempuan untuk mem-perjuangkan keprihatinan mereka. Demiki-an pula dengan mahasiswa di seluruh kam-pus di Indonesia. Mereka melakukan pe-ngumpulan massa dan demonstrasi di kam-pus-kampus mereka menuntut perubahan

Suara Ibu Peduli (SIP)27

Pada 23 Februari 1998, pada saat situasipolitik sangat panas dan keamanan nasionaldiperketat, Sidang Umum Majelis Permu-syawaratan Perwakilan (MPR) diadakan un-tuk melantik Soeharto sebagai presidenkembali. Sementara itu, Panglima AngkatanBersenjata mendapat perintah untuk mela-rang demonstrasi dan pengumpulan massa,baik selama Sidang Umum MPR maupunsetelah Sidang tersebut diselenggarakan.Adalah Suara Ibu Peduli (SIP) yang beranipada saat itu mengambil inisiatif untuk me-nyuarakan keprihatinan kaum perempuanmengenai tingginya harga kebutuhan pokok.Tuntutannya sederhana: pemerintah harusmemberikan perhatian pada permasalahanyang dihadapi kaum ibu, yaitu tingginya har-ga susu dan kebutuhan pokok. Pada saatitu, SIP belum menjadi sebuah organisasi,tetapi baru sebuah nama untuk satu aksibersama.

Suara Ibu Peduli adalah sebuah namayang dipilih oleh para aktivis kelompok pe-rempuan pada awal Februari 1998 untuk

membangun aksi bersama mengenai kepri-hatinan perempuan. Karena situasi politiksaat itu, disepakati oleh para aktivis yangberkumpul untuk menggunakan kata ’ibu’,karena ibu bukan sebuah kata yang dianggapmengancam, dan dimaknai sebagai sesuatuyang aman. Oleh karenanya, banyak perem-puan mau terlibat untuk membantu aksi ini,aksi pertama dari SIP.

Aksi SIP adalah menyediakan susu de-ngan harga murah bagi ibu-ibu yang miskin.Sumber dana untuk membeli susu dikum-pulkan dari sumbangan masyarakat sertadonasi para pengusaha perempuan dan pe-rusahaan-perusahaan lokal.

Pada 23 Februari 1998, pasukan polisi,yang awalnya hanya mengamati aksi de-monstrasi yang diadakan di Bundaran Ho-tel Indonesia, menangkap dua pimpinan SIP,Karlina Leksono-Supelli dan Gadis Arivia,keduanya akademisi pengajar di Universi-tas Indonesia, dan Wilasih, seorang pengu-saha perempuan. Peristiwa ini menarik per-hatian masyarakat dan tercatat sebagai salahsatu titik sejarah bagaimana perempuan me-respons persoalan sosial ekonomi di Indo-nesia.

Di mata publik, sikap polisi menangkappara ibu dan memasukkan mereka ke atastruk dipandang sebagai tindakan yang sa-ngat tidak baik. Sebagaimana disampaikanKarlina, seorang doktor dalam bidang astro-nomi dan filsafat, dirinya sebagai seorangibu merasa sangat prihatin dengan kondisinutrisi generasi mendatang. Bagaimanaanak Indonesia bisa memiliki otak yang pan-dai apabila harga susu sangat tinggi?, tanya-nya.

Penangkapan ketiga ibu dalam demons-trasi SIP mendorong para aktivis perem-

27 Catatan Perjalanan Suara Ibu Peduli, Nur Iman Subono(ed.), Yayasan Jurnal Perempuan, Jakarta, 1999.

224 Afirmasi Vol. 02, Januari 2013

puan dan pro-demokrasi untuk berkumpulbersama, sekaligus menuntut tanggung ja-wab pemerintah atas kondisi yang terjadidi Indonesia. Demonstrasi mahasiswa ter-jadi pula di pelbagai kota. Di Jakarta, ke-lompok-kelompok perempuan menjadi pen-dukung aksi-aksi mahasiswa tersebut. Parapendukung SIP menyalurkan sumbanganuntuk aksi mahasiswa, sehingga SIP kemu-dian juga mengatur distribusi sumbangan-sumbangan tersebut untuk diserahkan kepa-da para mahasiswa. Inilah kegiatan utamaSIP sampai akhir 1998.

Kerja Logistik adalah Kerja Politik

Hal yang menarik untuk dicermati dari kerjayang dilakukan oleh SIP adalah kekuatanlogistik yang ditunjukkan perempuan, yangsesungguhnya merupakan kekuatan politik.Selama ini, sejak masa gerakan melawanpenjajahan dan pergantian orde-orde peme-rintahan yang terdahulu, gerakan perem-puan selalu dianggap hanya sebagai pendu-kung upaya gerakan sosial. Namun, melaluiupaya yang dilakukan SIP kekuatan logisitiktidak dapat dianggap hanya merupakankegiatan domestik semata.

Sebenarnya, secara logis dalam sebuahupaya perubahan sosial logisitik merupakanhal penting. Pada kurun waktu 1998, bukanhanya SIP tetapi juga beberapa organisasidan kelompok perempuan, seperti Kalyana-mitra dalam kaitannya dengan kerja TimRelawan untuk Kemanusiaan (Truk) jugamelakukan kegiatan logistik ini. Dari ke-kuatan logistik tampak bahwa sebuah ke-lompok atau organisasi perempuan bisamemobilisasi ratusan ibu-ibu untuk melaku-kan kekuatan logistik agar bisa melawan

kekerasan yang dilakukan pemerintah padamasa itu.

Gerakan SIP juga menjawab secara sim-bolis krisis ekonomi yang terjadi pada waktuitu. Sebenarnya apa yang dilakukan oleh SIPdengan kekuatan logistik berpeluang untukmenghadirkan definisi baru mengenai pe-ran ibu dan kekuatan logistik sebagai ke-kuatan politik yang luar biasa.

Sebagaimana dikatakan Yuni Chuzaifahdari Komisi Nasional Anti Kekerasan Ter-hadap Perempuan:28

“SIP merupakan sebuah pertautan anta-ra dunia akademisi dan aktivis ke dalamkerja kongkrit aktivisme. Waktu itu de-ngan isu-isu yang humanis, kita tidakmemakai kata wanita atau perempuan,tapi menggunakan istilah Ibu untuk me-nyatukan semua. Dulu, gerakan perem-puan di kalangan gerakan demokrasi-pun masih menjadi bahan debat. Kitabisa duduk bareng, sudah mulai ngomongisu perempuan. Apa yang terjadi dulu,bahwa untuk kepentingan nasionalisme,isu perempuan kerap terpinggirkan.

Kita berefleksi, geliat reformasisemakin kencang, SIP membagi nasibungkus. Ada yang berpendapat, nantiakan dicatat sejarah bahwa kontribusiperempuan tidak ada sisi politiknya, ka-rena pendekatannya domestik denganmelakukan pembagian nasi bungkus.Namun, ada debat bahwa sesuatu yangdomestik juga merupakan sesuatu yangpolitis. Masyarakat akan melihat kegiatandomestik adalah politik, sehingga kitaharus bermain di wilayah ini, sekaligus

28 Lihat wawancara Yuniyanti Chuzaifah,“GerakanPerempuan Perlu Meredifinisi Strategi, Membuat PolaBaru”, http:/www.komnas perempuan.or.id/2010/05/yuniyanti-chuzaifah-gerakan-perempuan-perlu-meredifinisi-strategi-membuat-pola-baru.

Sita Aripurnami - Jelajah Gerakan Perempuan untuk Demokrasi di Indonesia 225

kita harus membuat strategi baru. Dalamforum-forum di SIP, terus didiskusikansoal itu oleh beberapa kawan, sepertiNursyahbani, Karlina dan sebagainya:kita mencoba membuat dua wajah un-tuk strategi. Kita ikut turun ke jalan,menjadi bagian dari gerakan reformasi,membangkitkan suara “adili Soehartodan kroninya.” Kalimat anti-Soehartodan kroninya itu muncul dari gerakanperempuan. Kelompok perempuanmembuat draftnya di LBH Jakarta, danmemunculkan pertama kali di DPR.Kerja yang dilakukan oleh SIP dan paraaktivis perempuan berkontribusi danmendorong orang agar nuraninya ter-gerak”.

Apa yang terjadi memperlihatkan betapaOrde Baru sebetulnya abai terhadap kepen-tingan perempuan dan anak. Kegiatan yangdimotori oleh para aktivis dan kelompok pe-rempuan menunjukkan betapa mudahnyamengumpulkan ibu-ibu dan perempuan lainuntuk menjadi relawan baik untuk kekuatanlogisitik maupun investigasi. Padahal sebe-lumnya para perempuan ini takut denganpolitik

Tim Relawan untuk Kemanusiaan(TruK)

Bersamaan dengan upaya yang dilakukanoleh kelompok-kelompok dan aktivis pe-rempuan pada masa itu, masyarakat dihen-takkan oleh fakta kekerasan seksual yangterjadi pada Mei 1998. Kejadian tersebutkemudian dikenal dengan nama Tragedi Mei1998.

Tragedi Mei merupakan periode kritisdalam kancah pemerintahan dan rakyat In-donesia. Tragedi Mei yang diawali dengan

peristiwa Trisakti yang terjadi di Jakarta,selain dipicu oleh Krisis Finansial Asia jugadipicu oleh aksi penembakan empat maha-siswa Trisakti yang sedang melakukan de-monstrasi pada 12 Mei 1998 yang menuntutSoeharto turun dari jabatannya. Aksi damaidan long march (turun ke jalan) mahasiswauntuk menyampaikan aspirasinya kepadawakil DPR/MPR saat itu.

Terjadinya kekerasan seksual juga diba-rengi dengan aksi kerusuhan yang menya-sar sampai sentra-bisnis dan membakar ba-ngunan juga penjarahan. Kerusuhan menye-bar secara cepat di tempat-tempat lain diJakarta, khususnya di wilayah yang banyakdihuni oleh warga etnis Tionghoa. Tim Rela-wan untuk Kemanusiaan (TRuK)29 dalamlaporan menyebutkan bahwa kelompokprovokator itu punya ciri serupa, yaitu: laki-laki dewasa, akan tetapi berpakaian SMA.Ketika kerusuhan terjadi, aparat keamanantidak tampak atau kalaupun ada, tidak me-ngambil tindakan apapun. Padahal selamaaksi-aksi demonstrasi berlangsung, aparatselalu disiagakan penuh.

Aksi kerusuhan juga menyasar sampaike Yogya Plaza, Klender. Warga dari per-kampungan plaza sekitar yang menontonperusakan plaza kemudian didorong untukmasuk dan mengambil barang-barang di da-lam plaza. Sebagian warga, kebanyakananak-anak kecil dan remaja, terpancing ma-suk ke dalam gedung. Dalam situasi ada ba-nyak warga di dalam, gedung tersebut diba-kar oleh orang tak dikenal.

29 Tim Relawan untuk Kemanusiaan (The VolunteersTeam for Humanity) Early Documentation No. 3. TheRapes in the Series of Riots: The Climax of an Unci-vilized Act of the Nation Life, 1998.

226 Afirmasi Vol. 02, Januari 2013

Tim Relawan untuk Kemanusiaan me-nemukan bahwa di tengah semua itu, terjadiaksi kekerasan seksual terhadap puluhanperempuan Tionghoa. Sejumlah lembagaswadaya masyarakat, sebenarnya diam-diam telah mengupayakan gerakan pen-dampingan terhadap para korban ini. Me-reka menyadari, sampai saat ini sebagian be-sar korban belum tertangani. Juga belum adaadvokasi yang terorganisasi untuk memban-tu para perempuan yang menjadi korbanpelecehan dan perkosaan. Akhirnya berba-gai organisasi dan individu dengan latarbelakang dan kalangan yang beragam, se-pakat membentuk Tim Relawan Kemanu-siaan Divisi Perempuan.30 Tim ini siap mem-berikan bantuan dari penanganan medis,pendampingan, shelter, terapi psikologis, ja-minan keamanan, sampai bantuan hukum.Data yang dikumpulkan Tim Relawan Ke-manusiaan Divisi Perempuan makin me-nunjukkan, betapa hak dan harkat perem-puan, bahkan juga nyawa, menjadi tak ber-harga begitu kerusuhan melanda. Tim Re-lawan Kemanusiaan Divisi Perempuan(TRuK) menjadikan Kalyanamitra sebagaisekretariat untuk pendampingan korbanperkosaan di Jakarta.

Kalyanamitra dijadikan sekretariat ka-rena merupakan bagian dari Tim Relawanuntuk Kemanusiaan yang diketuai RomoSandi. Tim ini melakukan pekerjaan untukmengungkap fakta, jumlah korban, siapapelaku, modus, pola, dan berbagai hal di ba-lik peristiwa Mei 1998.

Tindak kekerasan yang terjadi pada 13-14 Mei 1998 itu membuat banyak orang ter-kejut dan prihatin. Setelah Soeharto tum-bang, pada 15 Juli, 22 tokoh perempuanmendatangi istana negara untuk memintapertanggung-jawaban negara. Atas tuntutanpara pejuang hak perempuan akan pertang-gungjawaban negara atas kejadian ini, ter-capai kesepakatan dengan Presiden RI un-tuk mendirikan sebuah komisi independendi tingkat nasional yang bertugas mencipta-kan kondisi yang kondusif bagi penghapus-an segala bentuk kekerasan terhadap pe-rempuan dan penegakan HAM perempuandi Indonesia.

Presiden Habibie akhirnya mengeluar-kan pernyataan penyesalan atas terjadinyatindak kekerasan tersebut. Ia kemudian jugamendorong pembentukan Tim GabunganPencari Fakta (TGPF) dan mengeluarkankeputusan presiden untuk mendirikan Kom-nas Perempuan.

TGPF Peristiwa Kerusuhan Mei 1998yang dibentuk oleh Presiden Habibie untukmenginvestigasi kasus kerusuhan dan per-kosaan, setelah mengklarifikasi hasil inves-tigasi TRuK, menyimpulkan bahwa ada 52perempuan yang diperkosa secara berke-lompok, 14 perempuan mengalami perkosa-an dan penganiayaan sekaligus, 10 perem-puan mengalami penganiayaan seksual, dan9 orang mengalami pelecehan seksual. Tra-gedi tersebut telah menyebabkan banyakwarga negara Indonesia yang beretnisTionghoa eksodus ke negara-negara yang di-anggap lebih mampu memberikan perlin-dungan dan rasa aman.

TGPF menegaskan bahwa ada indikasiketerlibatan aparat keamanan dalam peren-canaan dan pelaksanaan kerusuhan. Militer

30 “Mereka Telah Kehilangan Segalanya”, wawancaradengan Ita Fatia Nadia, www.oocities.org/capitolhill/4120/mi.html.

Sita Aripurnami - Jelajah Gerakan Perempuan untuk Demokrasi di Indonesia 227

dan polisi juga dianggap bertanggung jawabmembiarkan kerusuhan dan tindak kekeras-an itu terjadi. Sampai saat ini, rekomendasiTGPF tidak pernah ditindaklanjuti peme-rintah.

Kerja Penguatan Perempuan Pasca1998

Upaya-upaya yang dilakukan hingga terja-dinya pergantian pemerintahan di Indone-sia, mempengaruhi pula pada kerja-kerjayang dilakukan oleh organisasi-organisasiserta aktivis perempuan. Kerja dampinganpada para korban kekerasan Peristiwa Ke-rusuhan Mei 1998 kemudian lebih meng-aktifkan fokus kerja banyak kelompok, or-ganisasi dan aktivis perempuan untuk mela-kukan pendampingan akibat adanya tindakkekerasan yang dialami perempuan. Di Ja-karta organisasi yang sangat aktif melaku-kan pendampingan korban kekerasan antaralain adalah Mitra Perempuan, Serikat Pe-rempuan Anti Kekerasan (Speak), LBHAPIK, Puan Amal Hayati, LBH Jakarta,Kalyanamitra, Solidaritas Aksi untuk Pe-rempuan dan Anak Korban Kekerasan(SIKAP), Pulih, Rumah Ibu dan lainnya. Je-jaring ini kemudian berkembang bukan sajaterdiri dari organisasi dan aktivis perempu-an, tetapi juga mengajak mereka yang me-miliki perhatian dari pihak Kepolisian, se-perti para purnawirawan petinggi polisi pe-rempuan serta istri para pejabat tinggi po-lisi, dan para profesional seperti para dokterahli kandungan. Demikian pula dengan or-ganisasi dan aktivis perempuan di pelbagaidaerah juga aktif melakukan kerja pendam-pingan, seperti di Yogyakarta ada RifkaAnnisa, di Bengkulu terdapat Cahaya Pe-

rempuan, di Padang dikenal Nurani Perem-puan, di Surabaya ada Savy Amira dan diPalembang terdapat WCC Palembang.

Komnas Perempuan menyadari akanfungsinya kemudian dengan dukungan daribeberapa lembaga dana memfasilitasi ter-jadinya perjalanan anggota jejaring ini untukmempelajari sebuah kerja pendampingankorban kekerasan yang lebih efisien dan me-lindungi korban. Kemudian diadakan se-buah kunjungan studi program pendam-pingan korban ke Manila, Kuala lumpur danKolombo pada 2000. Ke tiga kota besar initelah berhasil mendirikan sebuah programpendampingan yang disebut dengan “OneStop Crisis Centre”. Sebuah program yangmemberikan pelayanan pendampingan agarkorban kekerasan dengan satu kali datangsudah dapat mendapatkan penanganan se-cara lengkap. Program ini mensyaratkan ker-ja sama dengan Rumah Sakit yang menye-diakan satu tempat bagi berlangsungnya se-buah pelayanan segera dari dokter ahli kan-dungan, psikolog, polisi perempuan dan ahlihukum. Sehingga, korban kekerasan tidakperlu cerita berulang-ulang mengenai tindakkekerasan yang dialaminya. Kunjungan stu-di inilah kemudian yang dikembangkan olehKomnas Perempuan untuk diterapkan di Ja-karta sebagai kegiatan percontohan. Maka,kemudian pada tahun 2001 berdiri PusatKrisis Terpadu untuk Perempuan dan Anakyang dikenal dengan sebutan PKT RSCMdi RSU Cipto Mangunkusumo, Jakarta.PKT RSCM ini berdiri dengan subsidi daripemerintah daerah DKI Jakarta dan bebe-rapa lembaga dana. Pada masanya PKTRSCM memberi angin segar bagi programkerja pendampingan korban kekerasan dibeberapa daerah. Antara lain, RSU di Bandar

228 Afirmasi Vol. 02, Januari 2013

Lampung dan RSU Dr. Soetomo kemudianjuga mengikuti jejak mendirikan Pusat Kri-sis Terpadu ini. Namun, sangat disayangkansaat ini PKT tidak dapat memberikan pela-yanan sebagaimana dahulu.

Para purnawirawan petinggi polisi pe-rempuan dan istri pejabat tinggi polisi yangtergabung dalam Derap Warapsari kemu-dian pada tahun 2000 juga mendirikanRuang Pelayanan Khusus (RPK). Hal inidibuat untuk menghindari para korban ke-kerasan dan pendampingnya mengalamiperlakuan yang kurang baik dan bahkancenderung melecehkan dari para pemeriksadi kantor kepolisian manakala akan mela-porkan tindak kekerasan yang dialami. RPKdiadakan agar para korban kekerasan danpendampingnya bisa dilayani dengan baikdalam sebuah ruangan tersendiri dan diteri-ma oleh para polisi perempuan. RPK ini ke-mudian ditetapkan oleh Kapolri31 kepadaKabareskrim Polri dan para Kapolda No.Pol.: B/2070/VIII/2007 tanggal 22 Agus-tus 2007 tentang Pengawalan Unit Pelayan-an Perempuan dan Anak. Untuk itu perludidirikan setidaknya pada setiap kantor ke-polisian di tingkat Propinsi, Kota atau Ka-bupaten. Hingga saat ini, RPK sudah cukupbanyak membantu para korban kekerasanbaik perempuan maupun anak.

Organisasi-organisasi dan para aktivisperempuan yang sudah sejak beberapa wak-tu berjejaring bekerja melakukan saling du-kung kerja pendampingan, kemudian de-ngan dimotori oleh LBH APIK secara bersa-

ma-sama membuat draf awal RancanganUndang-Undang Penghapusan KekerasanDalam Rumah Tangga. Draft RancanganUndang-Undang Penghapusan KekerasanDalam Rumah Tangga ini kemudian dibuatnaskah akademiknya oleh para aktivis danakademisi perempuan dari Universitas Bra-wijaya Malang untuk kemudian disosialisasi-kan ke seluruh pelosok Indonesia oleh jeja-ring organisasi dan aktivis perempuan yangaktif bekerja untuk isu kekerasan terhadapperempuan. Buah dari kerja keras ini dipetikpada tahun 2004, manakala buah pikir ko-lektif para aktivis dan organisasi perempuanini disahkan menjadi UU PKDRT No. 23/2004.

Tidak lama setelah pergantian pemerin-tahan dari masa pemerintahan Orde Baruke masa yang dikenal dengan pemerintahanmasa Reformasi. Pada awal masa Reformasiberdiri sebuah Komisi Nasional Anti Keke-rasan terhadap Perempuan. Secara organi-sasional penjelasannya dapat dibaca padatulisan lain dalam jurnal ini.

Sebagaimana yang dituntut oleh paraaktivis perempuan atas pertanggungjawab-an pada peristiwa kekerasan terhadap pe-rempuan. Komisi ini bekerja untuk menelitiragam bentuk kekerasan terhadap perem-puan serta mencatat jumlah kekerasan ter-hadap perempuan yang dilaporkan di Indo-nesia. Komisi ini juga menjalankan fungsiuntuk memberi masukan kepada pemerintahseputar undang-undang dan peraturan sertakebijakan yang mendiskriminasi perempuanhingga memonitor pelaksanaan penangananperistiwa kekerasan terhadap perempuan diberbagai tempat di Indonesia. Lebih jauhlagi, komisi ini memberikan penguatan ka-pasitas baik bagi lembaga dan organisasi pe-

31 Peraturan Kepala Kepolisian Negara RI No. 3 Tahun2008 tentang Pembentukan Ruang Pelayanan Khususdan Tata Cara Pemeriksaan Saksi dan/atau KorbanTindak Pidana.

Sita Aripurnami - Jelajah Gerakan Perempuan untuk Demokrasi di Indonesia 229

rempuan yang melakukan penanganan kor-ban kekerasan juga kepada lembaga dan ins-titusi pemerintah dalam menjalankan fungsipenanganan korban kekerasan baik di ting-kat nasional maupun daerah.

Masa pemerintahan yang baru ini me-nebarkan semangat untuk mengkaji kembalikerja untuk menghadirkan perbaikan kehi-dupan masyarakat, termasuk yang dilaku-kan oleh berbagai organisasi dan aktivis pe-rempuan. Pada Desember 1998 denganmenggunakan momentum peringatan Kong-res Perempuan pertama, di Yogyakarta di-sepakati oleh aktivis perempuan yang datangdari seluruh penjuru Indonesia untuk men-dirikan Koalisi Perempuan Indonesia (KPI).

Organisasi ini lebih memilih untuk be-kerja pada isu partisipasi politik perempuandi tingkat nasional dan regional. KPI meru-pakan salah satu organisasi yang secara gi-gih memperkenalkan politik atau pendidik-an politik bagi perempuan. KPI mendorongperempuan untuk dapat duduk pada posisipengambil keputusan sebagai anggota legis-latif atau duduk dalam lembaga-lembagapemerintah. Melalui advokasinya, KPI telahmenyadarkan perempuan untuk memilikihak politik dan dapat terlibat dalam prosesperencanaan dan anggaran serta pembuatankebijakan publik.

KPI memiliki keluasan dan kekuatan ja-ringan yang merupakan dasar dari banyakkeberhasilan kerja advokasi. Ditambah lagi,besarnya jumlah anggota dan jaringan yangsudah terbangun dapat berpeluang bagi KPIuntuk turut serta dalam gerakan bersamamendorong terciptanya kebijakan-kebijakanyang responsif gender dan pada gilirannyadapat menghadirkan keadilan dan demo-krasi bagi perempuan.

Pemerintahan baru ini juga mendorongmunculnya pendekatan dalam mengelola ja-lannya pemerintahan di Indonesia, sehinggamasa pemerintahan baru ini juga dikenal de-ngan nama masa Desentralisasi atau Oto-nomi Daerah. Sebagai respon dari keingin-an untuk memperbaiki jalannya pemerintah-an, salah satunya adalah keinginan untukmenghadirkan tata pemerintahan yang lebihbaik. Namun, pengertian tata pemerintahanyang baik seolah dipandang sudah mewakilikepentingan semua golongan. Kenyataan-nya, keadilan dan kesetaraan gender tidaksecara eksplisit disebutkan sebagai sebuahprinsip dalam tata pemerintahan yang baik,sehingga suara dan kepentingan perempuantidak terwakili dalam konsep tata pemerin-tahan. Atas dasar inilah kemudian padamasa pasca 1998, tepatnya tahun 2002 se-kelompok aktivis perempuan mendirikansebuah lembaga yang memfokuskan kerja-nya pada kerja penelitian mengenai dampakdesentralisasi terhadap kehidupan perempu-an. Lembaga ini bernama Women ResearchInstitute (WRI).

Dalam penilaian WRI ada tiga hal yangmembuat perempuan terpinggirkan dalamkancah tata pemerintahan. Pertama, sem-pitnya akses perempuan terhadap sumber-daya dan pengambilan keputusan; kedua,rendahnya keterwakilan perempuan dalampengambilan keputusan; ketiga, rendahnyakapasitas wakil perempuan dalam mem-pengaruhi kebijakan formal dan informal.ketiga hal tersebut merupakan hambatanutama perempuan untuk bisa berkiprah da-lam kancah tata pemerintahan. Untuk itu,WRI melakukan penelitian dan pengkajianyang berhubungan dengan upaya untukmemperluas akses perempuan terhadap

230 Afirmasi Vol. 02, Januari 2013

sumber daya dan pengambilan keputusan,meningkatkan keterwakilan perempuan da-lam pengambilan keputusan, dan member-dayakan para wakil perempuan untuk mem-pengaruhi pengambilan keputusan. Pene-litian dan pengkajian WRI menggunakanmetodologi feminis. Metode feminis diang-gap dapat melihat dan menyuarakan kepen-tingan perempuan karena berangkat daripengalaman perempuan.

Berbagai penelitian tentang posisi dankondisi perempuan yang ada menunjukkanbahwa metodologi dan analisa yang diguna-kan belum berperspektif gender. Akibatnyaperempuan sering dipinggirkan dalam upayamewujudkan tata pemerintahan yang baik.Oleh karenanya WRI bekerja dalam mem-perjuangkan kesadaran kritis perempuandan laki-laki, bahwa persoalan privat samapentingnya dengan persoalan publik (per-sonal is political). WRI juga mengkaji danmengangkat pentingnya peningkatan akses,jumlah dan kapasitas perempuan untuk ber-partisipasi dalam proses pengambilan kepu-tusan, agar kebutuhan dan kepentingan pe-rempuan dapat disuarakan. WRI juga meli-hat pentingnya mengkaji dan mendorongpartisipasi politik perempuan dengan mem-perhatikan capaian kuota partisipasi politikperempuan. Selain itu, fokus dengan isu ke-sehatan reproduksi terkait efektifitas pela-yanan kesehatan reproduksi perempuan se-bagai upaya penurunan Angka KematianIbu (AKI).

Sebagai lembaga penelitian, WRI ber-upaya menyebarluaskan perlunya penggu-naan metodologi penelitian feminis agar ke-hidupan yang lebih baik bagi perempuan da-pat terwujud di Indonesia.

Penguatan Ekonomi Perempuansebagai Penyadaran Hak Perempuan

Ketika krisis ekonomi merebak pada 1998,kelompok perempuan melakukan konsoli-dasi dengan berbagai LSM lain untuk mem-bantu para keluarga yang terlibas krisisekonomi. Mereka mencari bantuan denganmenggalang dana dari berbagai donatur, agarbisa membantu memenuhi kebutuhan hidupsehari-hari. Kelompok ini mendorong pe-rempuan untuk bangkit dari problem eko-nomi-politik yang langsung mereka alami.Hal ini dilakukan karena bisa membangunsatu kesadaran untuk melawan. Para perem-puan aktivis melakukan proses pendidikanbagi para perempuan dalam arti penyadaranakan ketertindasan perempuan. Seperti mi-salnya, Pusat Pemberdayaan Sumber DayaWanita (PPSW) dan Asosiasi PerempuanPengusaha Usaha Kecil (ASPPUK), yangmendirikan Usaha Bersama dan Koperasiuntuk menyediakan kebutuhan bahan po-kok, dan beranggotakan perempuan yangmemiliki kesulitan ekonomi. Ketika krisisekonomi pada 1998 terjadi, organisasi se-perti Suara Ibu Peduli dan Kalyanamitra ju-ga melakukan kegiatan serupa untuk mem-bantu perempuan miskin mampu meng-akses kebutuhan pokok untuk kehidupansehari-hari. Suara Ibu Peduli hingga seka-rang masih melanjutkan kegiatannya untukmemberdayakan para ibu agar memilikiakses pada pembelian bahan pokok. Kegiat-annya sekarang sudah bertambah denganmemberdayakan para ibu untuk menyuara-kan kebutuhan-kebutuhannya melalui fo-rum-forum umum di tingkat komunitasmaupun publik, serta memiliki kesadaran

Sita Aripurnami - Jelajah Gerakan Perempuan untuk Demokrasi di Indonesia 231

akan isu-isu seperti kekerasan terhadap pe-rempuan dan partisipasi politik perempu-an.32

Kalyanamitra pada 1998 mendirikankoperasi, bergabung dengan beberapa or-ganisasi seperti Yayasan Lembaga Konsu-men Indonesia (YLKI)), Jaringan Kerja Bu-daya, dan Institut Sosial Jakarta. Koperasimemang bertujuan untuk membuka aksesbagi perempuan dan keluarganya yang sudahtidak mampu lagi membeli kebutuhan po-kok seperti beras, minyak goreng, gula.Sekarang koperasi ini sudah tidak ada lagi,dan kegiatan penguatan ekonomi Kalyana-mitra lebih ditujukan untuk dukungan bagikeluarga korban kekerasan terhadap perem-puan, serta perempuan yang berada di wila-yah miskin. Untuk penjelasan lebih lanjutmengenai Kalyanamitra dapat membaca tu-lisan lain pada jurnal ini.

Ada pandangan bahwa kegiatan sepertiini dianggap kembali ke sektor domestik,dan tidak sejalan dengan konsep-konsepkesetaraan yang selama ini diperjuangkan.Kegiatan yang lebih bersifat kemanusiaanini, kenyataannya terasa lebih merangkulbanyak pihak dari berbagai kalangan, jugapara aktivis yang selama ini lebih banyakbergerak di bidang sosial. Dalam situasi yangpenuh ketidakpastian seperti yang terjadipada masa krisis ekonomi, amatlah pentinguntuk bersinergi dan bekerja sama serta sa-ling menguatkan.

Akan tetapi benarkah upaya pemberda-yaan ekonomi (baca: domestik) yang saatini banyak dilakukan oleh para feminis ha-

nya semata-mata berurusan dengan per-soalan perut?33

PPSW dan ASPPUK menggunakan ke-giatan penguatan ekonomi sebagai pintumasuk membahas persoalan-persoalan lainyang dihadapi kaum perempuan. Para pe-rempuan yang kurang beruntung secaraekonomi juga mendapatkan pendidikanmengenai hak-hak perempuan, seperti pen-jelasan mengenai kekerasan terhadap pe-rempuan dan pentingnya untuk mampu me-ngelola keuangan keluarga. Kesangsian ba-nyak aktivis dan organisasi perempuan ter-hadap kegiatan penguatan ekonomi perem-puan, segera patah manakala krisis ekonomimenunjukkan bahwa imbasnya juga terkenalangsung pada para laki-laki kepala rumahtangga. Mereka kehilangan pekerjaan danpendapatannya, sedangkan para perempuanyang terlibat dalam kegiatan organisasi se-perti PPSW dan ASPPUK mampu bertahandan menyelamatkan keluarganya dari dera-an krisis ekonomi. Di sini terlihat bahwaperempuan terlatih menjadi mandiri berkatalternatif sumber ekonomi yang dipelajari-nya dari kedua organisasi tersebut. Mem-bantu perempuan untuk mempunyai hakekonomi tentunya merupakan salah satucapaian yang diperjuangkan oleh para femi-nis. Gambaran mengenai PPSW danASPPUK dijelaskan lebih lengkap pada ba-gian lain dalam jurnal ini.

Penutup

Menelusuri kerja para aktivis dan organisasiperempuan di Indonesia, dari kurun waktu

32 Catatan Perjalanan Suara Ibu Peduli, Nur Iman Subono(ed.), Yayasan Jurnal Perempuan, Jakarta, 1999.

33 Lihat “Fajar Baru Gerakan Kaum Ibu”, artikel, MariaHartiningsih, KOMPAS, 20 Desember 1998.

232 Afirmasi Vol. 02, Januari 2013

mulai masa penjajahan baik oleh kolonialBelanda dan Jepang, pada waktu era kemer-dekaan, hingga Orde Baru sampai 1998,tampak bahwa sudah amat banyak yang di-lakukan oleh kaum perempuan di Indone-sia.

Tulisan ini mencoba memahami apayang terjadi dengan menggunakan cara pan-dang yang dalam wilayah teori sosial dikenaldengan perspektif feminisme. Sebuah pers-pektif yang mempertimbangkan perempuandan relasi gender dalam tatanan sosial ma-syarakat. Kaum feminis menganggap ham-pir seluruh persoalan sosial seperti ide-idetentang negara atau politik semata-matamerupakan representasi kekuasaan patriar-ki.

Agung Ayu dalam pidato kebudayaan-nya menyebutkan:34

“Ketika menimbang tatanan patriarkalkolonialisme dan patriarkhi yang diper-baharui di masa kemerdekaan, kita se-benarnya berurusan dengan soal-soalyang sangat tua. Hampir setiap upayapenataan kehidupan masyarakat bertum-pu pada kendali atas tubuh dan seksuali-tas perempuan. Bentuk penindasan ter-hadap perempuan berubah-ubah dari ja-man ke jaman dan berbeda sifat antarakelompok masyarakat satu dan lainnya.Namun, yang mencengangkan adalahbetapa setiap kekuasaan yang menindasmelihat gairah seksual perempuan dankemampuannya mengandung serta me-lahirkan manusia baru sebagai kekuatansekaligus ancaman bagi kemapanan sua-tu sistem sosial dan ekonomi”.

Kerja-kerja yang dilakukan oleh paraaktivis dan kelompok perempuan pada tiapkurun waktu tersebut merupakan upaya un-tuk menjawab permasalahan yang dihadapioleh perempuan. Pada masa penjajahan ko-lonial Belanda, para aktivis dan kelompokatau organisasi perempuan melihat bahwapenjajahan melahirkan situasi yang membo-dohkan. Pada masa itu, sekolah hanya ter-sedia untuk kaum bangsawan. Namun, anakperempuan secara khusus harus berhentisekolah ketika sudah mengalami mens-truasi. Perempuan dipingit dan lebih diper-siapkan untuk menjadi isteri dan ibu yangbaik, dengan dilatih di dalam rumah menge-nai semua yang berkaitan dengan kerumah-tanggaan. Perempuan yang bukan dari ka-langan bangsawan tidak mendapatkan aksespendidikan dan harus bekerja membantukeluarganya agar dapat bertahan hidup.

Oleh karenanya, para aktivis dan organi-sasi perempuan mengidentifikasi bahwapendidikan, peraturan yang melindungi pe-rempuan dan anak dalam perkawinan sertapenjajahan adalah hal-hal yang harus di-adakan dan dihadapi untuk mengatasi per-masalahan yang dihadapi perempuan. Keba-nyakan organisasi perempuan kemudianmelakukan kegiatan pendidikan denganmendirikan sekolah-sekolah bagi perempu-an, seperti yang diawali oleh Kartini. Karenamaraknya poligami pada saat itu (dan hing-ga hari ini), aktivis dan organisasi perempu-an memperjuangkan disebutkannya ta’lik(janji nikah) pada waktu akad nikah, sertatunjangan untuk janda dan anak piatu daripegawai kolonial Belanda.

Pada masa penjajahan kolonial Belanda,muncul pula fenomena Nyai dan co-habitants(pasangan untuk tinggal bersama) sebagai

34 Lihat “Kita, Sejarah dan Kebhinekaan: MerumuskanKembali Keindonesiaan”, disampaikan pada PidatoKebudayaan Anak Agung Ayu Ratih pada 10 November2008, Taman Ismail Marzuki, Jakarta.

Sita Aripurnami - Jelajah Gerakan Perempuan untuk Demokrasi di Indonesia 233

langkah penguasa kolonial menata pola hu-bungan antar gender, termasuk hubunganseksual dan perkawinan. Di masa penjajah-an kolonial, kendali terhadap hubunganseksual erat hubungannya dengan kebutuh-an mereka memaksimalkan keuntungan de-ngan menghemat pengeluaran bagi kesejah-teraan mereka yang didatangkan dari Be-landa untuk bekerja bagi pemerintahan ko-lonial. Dengan sengaja pemerintah kolonialmendorong praktik pernyaian, karena hidupbersama nyai jauh lebih murah daripadamendatangkan istri dari Belanda. Para nyaimampu memberikan layanan seksual sekali-gus layanan kerumahtanggaan lainnya diluar tanggungan perusahaan.35

Pada masa penjajahan Jepang, fenomenaNyai dan co-habitants ini muncul dalam ben-tuknya yang lain, yaitu jugun ianfu atau com-fort women, sebuah kondisi dalam mana pe-rempuan dijadikan penghibur bagi para ser-dadu penjajah Jepang. Para jugun ianfu meng-alami kekerasan. Hal ini diperjuangkan agarpemerintah Jepang mengganti rugi atas apayang dialami para perempuan Indonesiayang menjadi jugun ianfu. Namun, hinggasaat ini upaya itu masih belum berhasil.

Fenomena ini, baik Nyai, co-habitants, ju-gun ianfu, kemudian juga dilihat sebagai aki-bat dari rendahnya pendidikan bagi perem-puan dan penjajahan. Itulah sebabnya paraaktivis dan organisasi perempuan juga turutserta dalam banyak kerja perjuangan mengu-sir penjajah dari Indonesia. Mereka juga ter-libat dalam gerakan nasionalis, mengangkatpermasalahan betapa pentingnya pendidik-an bagi perempuan.

Setelah merdeka dari penjajahan baikBelanda maupun Jepang, muncul pertanya-an: Apakah setelah bebas dari penjajahan,perempuan juga akan terbebaskan dari per-masalahan yang dihadapinya? Ternyata,permasalahan yang dihadapi perempuanmasih tetap saja ada. Meskipun perempuansekarang sudah memiliki akses pada pendi-dikan, perempuan masih menghadapi per-masalahan lain. Posisi perempuan di matahukum dan kebijakan masih perlu diper-juangkan. Itulah sebabnya, terutama dalamhubungannya dengan perkawinan, para ak-tivis dan organisasi perempuan bekerja un-tuk dilahirkannya Undang-Undang Perka-winan. Meskipun kerja untuk hukum yangmelindungi perempuan dalam perkawinanini sudah diawali dari tahun 1899, Undang-Undang tersebut baru disahkan pada tahun1979. Membutuhkan waktu memperjuang-kan selama 75 tahun dari kerja berkesinam-bungan yang diturunkan lintas generasi akti-vis dan organisasi perempuan.

Pada awal pemerintahan Republik In-donesia, pada masa 1950-an hingga 1960-an, organisasi perempuan Gerwani mencobamenjawab permasalahan perempuan lebihluas dari soal perkawinan dan pendidikan.Gerwani mencoba menjawab permasalahanperempuan dan kerja, termasuk perempuanyang bekerja sebagai petani, partisipasi po-litik perempuan, kekerasan terhadap perem-puan hingga pendirian koperasi sebagai upa-ya menghadirkan hak ekonomi perempuan.Namun, dengan bergantinya kekuasaan pa-da 1965, Gerwani dilarang. Dan, sejak ituhingga kurun waktu 1980-an aktivis dan or-ganisasi perempuan termakan oleh propa-ganda negatif mengenai betapa buruk danjahatnya perempuan yang aktif dan bicara

35 Ibid dan juga lihat”In the Company’s Shadow: A Historyof Plantation Women and Labor Policy in NorthSumatra, hal. 43 Working Paper, Ann Stoler, 1979.

234 Afirmasi Vol. 02, Januari 2013

politik seperti Gerwani. Agung Ayu36 secaratepat menunjukkan hal itu sebagai berikut:

“Pemerintah Orde Baru tidak hanyamenghancurkan Gerwani tetapi jugamerebut otoritas organisasi-organisasiperempuan lainnya dalam menentukangerak mereka. Ide-ide emansipatoristentang kemandirian perempuan yangbelum selesai diperbincangkan sejak de-kade ke-2 abad ke-20 dikooptasi dandiberi bentuk yang paling konservatif:‘peran ganda wanita’. Pemerintah kemu-dian membentuk organisasi-organisasiistri pegawai yang strukturnya mengikutibirokrasi pemerintahan sipil dan militerdan kepemimpinannya sejalan denganjabatan suami.”

Organisasi-organisasi perempuan padamasa pasca Reformasi menambahkan war-na dari kerja keras para pendahulunya. Or-ganisasi tersebut bergerak pada berbagai isudari mengurusi persoalan domestik danseksualitas, terutama dalam kaitannya de-ngan penanganan kekerasan terhadap pe-rempuan, penguatan ekonomi perempuanhingga melakukan advokasi pentingnya per-soalan representasi politik perempuan.

Apabila kita cermati, perjalanan kerjakeras aktivis dan organisasi perempuan diIndonesia sudah berlangsung sejak abad ke19. Tanpa henti dan lelah, para aktivis pe-rempuan telah bekerja untuk mengatasi per-masalahan yang dihadapi kaum perempuan.200 tahun, bukanlah waktu yang main-main. Perempuan berjuang untuk memper-oleh pengakuan baik atas kerjanya di wila-

yah domestik maupun publik. Meskipun,manakala kerja di lingkup domestik ranahpersoalan perempuan yang terkait denganseksualitas terutama dalam kaitannya isupilihan orientasi seksual juga ketimpanganrelasi gender di ranah privat seperti maritalrape dan kekerasan dalam hubungan pacaranmasih saja meninggalkan ruang yang belumbetul-betul bisa diatasi. Agaknya, apa yangdisampaikan Kartini memang benar adanya“..bahwa belenggu terhadap perempuan,baru akan sirna tiga atau empat generasi se-telahnya.”

Dari kilas balik cerita perempuan ber-aktivitas ini jelas terlihat bahwa perempuanselalu punya cara untuk bertahan, melawandan mencari celah-celah pembebasan bagipermasalahan yang mengungkung diri-nya.***

Daftar Pustaka

Aisyiyah, http://www.muhammadiyah.or.id /content-199-det-aisyiyah.html, 6 Februari2013.

Ayu Ratih, Anak Agung. 2008. “Kita, Sejarahdan Kebhinekaan: Merumuskan KembaliKeindonesiaan”. Pidato Kebudayaan 10November 2008. Taman Ismail Marzuki,Jakarta.

Blackburn, Susan. Maret 2009. “Perempuan danNegara Dalam Era Indonesia Modern”,edisi terjemahan ke dalam bahasa Indone-sia. Yayasan Kalyanamitra, Jakarta.

Dwi Lestariningsih, Amurwani. September2011. “Gerwani. Kisah Tapol Wanita diKamp Plantungan”. PT Kompas MediaNusantara, Jakarta.

36 Lihat “Kita, Sejarah dan Kebhinekaan: MerumuskanKembali Keindonesiaan”, disampaikan pada PidatoKebudayaan Anak Agung Ayu Ratih pada 10 November2008, Taman Ismail Marzuki, Jakarta.

Sita Aripurnami - Jelajah Gerakan Perempuan untuk Demokrasi di Indonesia 235

“Gerakan Perempuan Perlu Meredifinisi Strategi,Membuat Pola Baru”, http:/www.komnasperempuan.or.id/2010/05/yuniyanti-chuzaifah-gerakan-perempuan-perlu-meredifinisi-strategi-membuat-pola-baru.

Hafidz, Wardah dan Tati Krisnawaty. 1990.“Perempuan dan Pembangunan. Studi Ke-bijakan tentang Kedudukan Perempuandalam Proses Pembangunan di Indonesia”.tulisan ini dipresentasikan dan didisemina-sikan pada Pertemuan Mitra Hivos padaApril 1990 di Lombok Timur, NTB.

Hartiningsih, Maria. 1998. “Fajar Baru GerakanKaum Ibu”. KOMPAS, 20 Desember1998.

Lasmina, Umi. 1996. “Demonstrasi Wanita 17Desember 1953 Sikap Perwari MenolakPP 19 Th. 1952”, (Skripsi S1) JurusanSejarah, Fakultas Sastra Universitas Indo-nesia, http://lontar.ui.ac.id/opac/themes/libri2/detail.jsp?id=20156863 &lokasi=lokal.

Mashadi, Mahfirlana, “When Mothers Speak,Milk Prices Come Down - And So Doesa Government”, http://www.mercycorps.org/ countries/indonesia/10172

“Mereka Telah Kehilangan Segalanya”, wawan-cara dengan Ita Fatia Nadia, www.oocities.org/capitolhill/4120/mi.html.

“Organisasi Perempuan Harus Mengubah Stra-tegi Gerakan”, http://www.komnasperempuan.or.id/2010/05/ruth-indiyah-rahayu-organisasi-perempuan-harus-mengubah-strategi-gerakan.

Peraturan Kepala Kepolisian Negara RI No. 3Tahun 2008 tentang Pembentukan RuangPelayanan Khusus dan Tata Cara Pemerik-saan Saksi dan/atau Korban Tindak Pi-dana.

“Perkebunan Dalam Lintas Zaman”, http://ditjenbun.deptan.go.id/index.php/

inventaris-berita/87-l intas-zaman-perkebunan.html, 6 Februari 2013.

“Sejarah Gerwani”, http://indication-dawam.blogspot.com/2012/04/sejarah-gerwani.html, 11 April 2012.

“Sejarah Kelahiran Fatayat NU”, dalam http://fatayat-nu.blogspot.com/2011/05/sejarah-kelahiran-fatayat-nu.html, 28 Mei2011.

Stoler, Ann. 1979. In the Company’s Shadow:A History of Plantation Women and La-bor Policy in North Sumatera, hal. 43Working Paper.

Stuers, Cora Vreede-de. April 2008. “SejarahPerempuan Indonesia. Gerakan dan Pen-capaian”, edisi terjemahan ke dalam bahasaIndonesia, Komunitas Bambu, Jakarta.

Subono, Nur Iman (ed.) 1999. Catatan Perja-lanan Suara Ibu Peduli. Yayasan JurnalPerempuan, Jakarta.

Suryochondro, Sukanti. 1984. “Potret GerakanWanita di Indonesia”. Rajawali, Jakarta.

Tim Relawan untuk Kemanusiaan (The Volun-teers Team for Humanity) Early Docu-mentation No. 3. The Rapes in the Seriesof Riots: The Climax of an UncivilizedAct of the Nation Life, 1998.

Wieringa, Saskia. Agustus 1999. “PenghancuranGerakan Perempuan di Indonesia”, edisiterjemahan ke dalam bahasa Indonesia.Garba Budaya dan Yayasan Kalyanamitra,Jakarta.

Yulianto, Vissia Ita. 2004. “Aku Mau… Feminis-me dan Nasionalisme. Surat-surat Kartinikepada Stella Zeehandelaar 1899-1903”.Kompas, April 2004.

Chusnul Mar’iyah

Pendahuluan

Pada awal reformasi menjelang Pemilu1999, Penulis bersama dengan para akti-

vis perempuan terus-menerus berkampanyetentang kuota perempuan. Studi survei un-tuk melihat persoalan perempuan sebagai-mana dihadapi oleh negara mengatakan bah-wa hanya satu persen responden yang me-ngatakan masalah perempuan lebih pentingdibandingkan dengan masalah negara. Me-ngapa? Instrumen survei yang dipergunakan

masih sangat dipengaruhi oleh patriarki. Se-telah proses diskusi terjadi, ternyata surveiyang menggunakan instrumen daftar perta-nyaan yang bersifat probing menanyakan se-cara langsung: “Lebih penting manakah,urusan negara dibandingkan urusan perem-puan?” Tentu saja para responden lebih ba-nyak menjawab bahwa masalah negara lebihpenting dibandingkan dengan masalah pe-rempuan. Merumuskan instrumen pertanya-an untuk penelitian mengenai masalah pe-rempuan membutuhkan pemahaman khu-

Perubahan politik 1998 di Indonesia dari rezim otoriter ke rezim demokratis memberikan ruangbaru bagi para scholars feminist dan activist untuk membangun data-data ilmiah tentang partisipasiperempuan. Banyak penelitian dilakukan, namun belum banyak perdebatan konsep, metodologi da-lam melakukan penelitian yang sarat dengan bias gender. Tulisan ini ingin melihat bagaimana secarakonsep para peneliti feminis dan aktivis berargumentasi untuk membaca kembali pemikiran-pemikiranpolitik mainstream atau lebih tepatnya politik male-stream mempengaruhi cara pandang dalamperkembangan Ilmu Politik. Sejauh mana pilihan metodologi yang tepat untuk menjelaskan fenomenamarginalisasi perempuan? Metodologi menjadi bagian terpenting dalam bangunan Ilmu Pengetahuan.Penjelasan metodologi yang tepat dapat memberikan gambaran dan analisis persoalan secara tepatdengan validitas data yang dapat dipertanggungjawabkan.

Membaca-ulang Politik: PendekatanFeminisme dan Metodologi Penelitian

238 Afirmasi Vol. 02, Januari 2013

sus. Misalnya, apa indikator definisi masalahperempuan? Apabila pertanyaannya dipecahke dalam indikator atau variabel yang men-definisikan konsep masalah perempuan,maka hasilnya akan berbeda. Di antara in-dikator pertanyaan masalah perempuan ada-lah: Apakah responden menganggap pen-ting kalau harga beras, cabai, dan daging sapimurah? Apakah jika anak sakit, membawaanak ke Rumah Sakit dan mendapat pela-yanan gratis adalah hal yang penting bagiresponden? Apakah pendidikan gratis untukanak penting? Pertanyaan-pertanyaan de-ngan indikator semacam itu akan lebihmenjelaskan kepentingan perempuan dalammasalah pendidikan, kesehatan dan hargabahan pokok, yang juga merupakan bagianpenting di dalam deretan masalah negara.Dengan demikian, hasil survei yang menga-takan hanya satu persen responden menya-takan bahwa masalah negara lebih pentingdibandingkan dengan masalah perempuantidak dapat diekstrapolasi dan diambil ke-simpulan bahwa masalah perempuan tidakpenting.

Dari pengalaman tersebut, melakukanpenelitian mengenai topik perempuan mem-butuhkan pemahaman konsep-konsep yangtidak konvensional. Dengan kata lain, do-minasi ideologi patriarki menentukan fungsiperan perempuan dan peran laki-laki danmemberikan privilese kepada laki-laki, disamping menghadirkan konstruksi budayayang menentukan peran perempuan di ranahdomestik dan peran laki-laki di ranah publik.Oleh karena itu, memahami studi tentangperempuan membutuhkan pemahamanideologi yang ramah gender.

Perkembangan polling dan survei men-jadi bagian penting dan diyakini dalam pem-

buatan kebijakan. Hal ini merupakan per-kembangan positif, namun kita tetap harusmemperhatikan isu kesensitifan terhadapmasalah, misalnya gender. Tulisan ini meru-pakan usaha untuk pembacaan-kembali ter-hadap cara memahami politik dengan meng-gunakan perspektif perempuan, dan penelu-suran sejauh mana adanya pendekatan fe-minisme dalam memahami peran perempu-an dalam politik. Lebih jauh lagi, perlu adakajian terhadap bagaimana penelitian dila-kukan untuk memahami politik, negara danperempuan, terutama dalam hal metodolo-ginya. Adakah persoalan tentang pemaham-an masalah politik dan perempuan disebab-kan oleh instrumen survei yang tidak memi-liki perspektif perempuan? Pertanyaan-per-tanyaan tersebut akan kami telusuri dalamartikel ini.

‘Re-reading Political Theory’ dariPerspektif Feminis

Dekade terakhir abad ke-20 ditandai de-ngan demokratisasi di berbagai negara danperubahan rezim politik dari otoritarian kedemokrasi. Demikian pula gelombang ge-rakan feminisme dalam politik kontemporerterjadi pada 1970-an. Para ahli politik yangsekaligus feminis, terlibat dalam gerakanuntuk menuliskan-kembali sejarah politikperempuan dan warisan budayanya denganperspektif baru yang ramah gender. Dalampemikiran politiknya, para feminis menemu-kan kembali pemikiran-pemikiran yangmuncul pada abad 17 yang memperhatikanhubungan sosial dan masalah gender. Misal-nya, Mary Wollstonecraft (1759-1797),yang menulis tentang sejarah kerangka ge-

Chusnul Mar’iyah - Membaca-ulang Politik: Pendekatan Feminisme dan Metodologi Penelitian 239

rakan liberalisme dengan memperhatikancara pandang perempuan.1

Dalam tradisi Ilmu Politik, para pemikirpolitik telah banyak menulis tentang masa-lah perempuan, namun dengan perspektifmemberikan legitimasi tentang peran do-mestik perempuan, memberikan justifikasiterhadap subordinasi perempuan, serta ke-tidaktampakan mereka di ranah publik (pu-blic invisibility). Politik secara konsistendapat dikatakan merupakan ranah laki-laki(male preserve). Dengan demikian itu mem-berikan legitimasi terhadap peminggiranperempuan, dengan alasan ketidakmam-puan perempuan, atau tidak adanya kapa-sitas yang dimiliki oleh perempuan di bidangpolitik, misalnya dengan kalimat-kalimatseperti: their lack of reason, autonomy, stamina,time (kekurangan penalaran, kemandirian,keuletan, waktu di kalangan kaum perem-puan) karena kodratnya sebagai istri dan iburumah tangga. Dengan demikian, pemi-sahan tugas antara ranah domestik dan ra-nah publik berakibat terhadap dipercayainyabahwa perempuan tidak mendapatkan po-sisi di politik, dan bahkan dianggap tidakmungkin bisa bekerja di ranah publik. Mem-perhatikan teks-teks atau tradisi pemikiran-pemikiran politik tersebut menyebabkan pe-rempuan tidak memiliki posisi dan kekua-saan di masyarakat.

Dalam perdebatan tulisan yang dikemu-kakan oleh para feminis untuk merespons

persoalan tradisi penulisan pemikiran-pe-mikiran politik yang bias gender tersebut,di satu sisi, ada sikap untuk secara radikalmenolak dan meninggalkan tulisan-tulisanatau pemikiran-pemikiran politik yang pa-triarkis, dan mencari pemikiran baru sebagaialternatif. Di sisi lain, mereka menemukanbahwa tradisi tulisan tersebut mengandungbias laki-laki, bahkan memiliki prasangka(prejudice) yang sangat kuat. Dengan demi-kian, para feminis mengambil kesimpulanbahwa dikarenakan tulisan-tulisan tersebutbias dan penuh prejudice terhadap perem-puan, maka tidak dapat dibiarkan saja. Un-tuk memahami konsep-konsep politik, yangdiperlukan pertama-tama adalah tetap mem-pergunakan konsep-konsep atau termino-logi yang ada dalam kerangka pemikiran pe-rempuan. Liberalisasi, antara lain, merupa-kan wacana (discourse) penting dalam konseppolitik. Konsep-konsep lainnya yang sangatberhubungan dengan perjuangan feminis da-lam memahami partisipasi perempuan diranah politik serta hak-haknya sebagai warganegara terutama dalam kerangka pemikiranpolitik kontemporer adalah kebebasan, ke-setaraan, keadilan, pemberian izin untukterlibat, emansipasi, solidaritas, kekuasaan,dan ketertindasan. Konsep-konsep tersebutmenjadi konsep utama dalam tradisi penu-lisan politik selama berabad-abad. Maka,semua teori yang dibangun oleh feminis, ter-utama dalam kerangka politik, tidak dapatdipisahkan dari konsep-konsep tersebut.

Pemikiran alternatif yang dikemukakanoleh para feminis menjadi wacana yang me-narik apabila dihadapkan dengan politikarus-utama(atau yang disebut sebagai male-stream = arus laki-laki), seperti organisasiyang hirarkis dan birokratis. Dalam konteks

1 Mary Wollstonecraft, “Of the Pernicious Which Arisefrom Unnatural Distinctions Established in Society,”dalam Ann E. Cuud and Robin O. Andreasen, FeministTheory: A Philoshophical Anthology, Madden, MA, USA:Blackwell Publishing Ltd, 2005. Juga lihat MaryWollstonecraft, A Vindication of the Rights of Women,Penguin, 1975. Lihat analisis Diana Coole, “Re-readingPolitical Theory from a Women’s Perspective”, PoliticalStudies, 1986, XXXIV, halaman 129-148.

240 Afirmasi Vol. 02, Januari 2013

tersebut, kekuasaan hanya dapat diaksesoleh kelompok elit. Di samping itu, teoripolitik tidak dapat dipisahkan dari masalahkelembagaan yang menjadi manifestasi darikekuasaan. Pendekatan tradisional dalamIlmu Politik adalah pendekatan kelemba-gaan. Posisi perempuan sangat marginal da-lam kelembagaan politik. Kritik feminismeterhadap persoalan kelembagaan dan pema-haman terhadap asumsi yang dibangun sa-ngatlah tegas. Susan Okin menyatakan:

It is important to realize from the outset thatthe analysis and criticism of the thoughts ofpolitical theorists of the past is not an arcaneacademic pursuit, but an important means ofcomprehending and laying bare the assumptionsbehind deeply rooted modes of thought that con-tinues to affect people’s lives in major ways.2

(Sangat penting untuk disadari sejak awalbahwa analisis dan kritikan atas pemikiranteoritisi politik dari masa lalu bukanlah suatupenelusuran akademis sia-sia semata, namunmerupakan sarana penting untuk memahamidan menelanjangi asumsi-asumsi di balik caraberpikir yang sudah berakar kuat yang masihterus mempengaruhi kehidupan masyarakatsecara besar-besaran).

Dengan memperhatikan berbagai perde-batan yang dilakukan oleh para akademisiatau pengkaji feminisme (feminist scholars),memiliki relasi yang positif dengan pemikir-an politik arus-utama (yang male-stream) un-tuk dipergunakan, memberikan alternatifpemikiran yang lebih ramah gender. Semen-tara itu, pada saat yang sama, itu bisa diper-gunakan untuk mengkritisi gender bias yang

ada dalam tradisi pemikiran politik dan ke-lembagaan politik yang ada. Melakukan kri-tik atas bias gender terhadap konsep-konseppolitik yang ada memungkinkan untuk me-munculkan ideologi baru tentang subordi-nasi perempuan. Lebih jauh lagi, para femi-nis menemukan pemahaman yang baik se-cara lebih dalam tentang pelecehan seksualyang ada dalam masyarakat patriarkis.

Studi-studi yang dilakukan oleh parafeminist scholars telah memberikan kontri-busi terhadap bangunan teori-teori baru,atau kritik terhadap teori male-stream dalamperkembangan pemahaman fenomena poli-tik. Para pemikir politik fenomenal, dariPlato sampai J.S. Mills, dapat kemudian di-baca kembali untuk memperbaiki distorsidalam pengkajian ilmiah yang konven-sional.3 Pemikir feminis yang melakukanpembacaan-kembali ikut menyumbang ter-hadap inkonsistensi dalam khasanah penu-lisan pemikiran politik, karena tidak mem-perhatikan posisi perempuan, terutamayang berhubungan dengan asumsi dan kon-tradiksi di dalam doktrin patriaki. Oleh ka-rena itu, pemikiran-pemikiran politik yangsudah berkembang sesungguhnya masih te-rus terbuka dan memberikan inspirasi bagigerakan sosial baru dan berbagai permasa-lahannya, serta terbuka untuk pengembang-an lebih lanjut dengan perspektif yang plu-ralis. Feminisme memberikan konstribusikepada pemahaman kita terhadap pemikir-an politik masa lalu.

Dalam beberapa dekade terakhir, parateoritisi politik membuat subyek untuk

2 Susan Moller Okin, Women in Western Political Thought,London: Vigaro, 1980, halaman 3.

3 Diana Coole, “Re-reading Political Theory From a Wo-men’s Perspective”, Political Studies, 1986, XXXIV,halaman 131.

Chusnul Mar’iyah - Membaca-ulang Politik: Pendekatan Feminisme dan Metodologi Penelitian 241

lulus sekolah. Persoalannya adalah perde-batan mengenai apakah pembangunan terse-but ramah gender dan apakah perempuanmendapat posisi yang penting dalam prosesmenjadi warga negara? Di ranah internasio-nal, fokus yang diberikan kepada kesejah-teraan perempuan sebagai konsep ideologiliberal tentang hak asasi manusia4 terbuktiantara lain dengan dirumuskannya kon-vensi-konvensi PBB seperti Konvensi Peng-hentian Perdagangan Manusia dan Eks-ploitasi Prostitusi Pihak-pihak Lain (1949);Konvensi Imbalan Setara bagi Pekerja Laki-laki dan Perempuan untuk Pekerjaan Setara(1951); dan Konvensi Hak-hak Politik Pe-rempuan (1952).5 Dalam perdebatan pem-bangunan di Indonesia, yang menarik dandianggap cukup berhasil adalah diskursustentang kebijakan Keluarga Berencana. Pe-rempuan, tentu saja, menjadi target dari ke-bijakan tersebut.

Bahkan dalam perkembangan diskursuspembangunan yang dicanangkan oleh PBB,kebijakan dasawarsa pembangunan PBByang pertama melakukan identifikasi ten-tang tidak adanya prinsip egalitarian dalampolitik dan ekonomi. Dalam kebijakan ter-sebut, tampak bahwa tidak ada penyebutantentang perempuan secara khusus. Pada1962, Sidang Umum PBB meminta agarKomisi Untuk Status Perempuan membuatlaporan tentang peran perempuan dalampembangunan. Baru pada 1974 muncul la-poran, dan kemudian beberapa penelitian,seperti yang dilakukan oleh Boserup (1989)

membaca-kembali teks dari perspektif pe-rempuan. Di antaranya, ada Susan MollerOkin yang menulis tentang Women in West-ern Political Thought (1980), Jean BethkeElstain yang menulis Public Man, PrivateWomen (1981), dan Martha Lee Osbornepenulis Women in Western Thought (1979).Konsep demokrasi itu sendiri diyakini seba-gai tuntutan agar terdapat keterwakilan pe-rempuan, seperti yang dikatakan oleh AnnePhillips; kehadiran politik (political presence);kesamaan keterwakilan antara laki-laki danperempuan; serta tuntutan agar masyarakatmemperhatikan kepentingan kelompok et-nik yang membangun masyarakat negara ter-sebut. Penjelasan menarik yang dikemuka-kan oleh Anne Phillips adalah bahwa politikgagasan (the politics of ideas) bagi warga nega-ra perempuan dapat dilakukan oleh siapasaja, dan dalam konteks ideologi patriarkidapat dilakukan oleh laki-laki dalam mem-perjuangkan kepentingan perempuan. Na-mun demikian, konsep demokrasi dalampembahasan tentang politik kehadiran (thepolitics of presence) menjadi tantangan bagiIlmuwan Politik untuk menjelaskan sejauhmana keterwakilan perempuan harus dilaku-kan oleh wakil-wakil perempuan itu sendiri.

‘Women in Development’ vs ‘Genderand Development’

Di masa Orde Baru, pembangunan menjadimodal politik yang sangat penting di Indo-nesia. Soeharto sebagai presiden mendapatpenyematan sebagai “Bapak Pembangun-an”. Paling tidak, peningkatan pendidikansebagai kebijakan politik Orde Baru padatahun 1985 memberikan hasil yang cukupsignifikan sekitar jumlah perempuan yang

4 Shirin M. Rai, Gender and the Political Economy of Develop-ment, Cambridge, UK: Polity Press, 2002, halaman 51.

5 Ibid, lihat juga Wallace with March, 1991 halaman 1.

242 Afirmasi Vol. 02, Januari 2013

dan Tinker (1997), tentang Peran Perempu-an Dalam Pembangunan Ekonomi.6

Studi Boserup mengkritisi istilah pem-bangunan, yang diartikan sebagai moderni-sasi. Lebih lanjut Boserup mempertanyakanpersoalan kenyataan bahwa sebagian besarperempuan bekerja di pertanian, yang me-nyebabkan marginalisasi status perempuan.

Boserup argued that women’s status varies withthe nature of productive activity and their in-volvement in it. She argued that women aremarginalized in the economy because they gainless than men in their roles as wage workers,farmers and traders.7

(Boserup mengajukan argumentasi bahwa sta-tus perempuan bergeser sesuai dengan sifat ke-giatan produksi dan keterlibatan perempuandi dalam kegiatan tersebut. Ia berkilah bahwaperempuan termarginalkan di dalam perekono-mian karena perempuan menerima imbalanlebih sedikit dibandingkan laki-laki dalamperannya sebagai pencari nafkah, petani danpedagang.)

Kritik terhadap pandangan Boserup me-ngamati asumsi di dalam pandangan Bose-rup, yang kurang memperhatikan bahwaproses akumulasi kapital sudah terjadi sejakperiode kolonisasi di negara-negara duniaketiga, yang memiliki dampak marginalisasiterhadap perempuan yang secara sosial ber-beda kelas. Meskipun demikian, sumbanganBoserup penting untuk dilihat bahwa untuk

meningkatkan kompetisi perempuan, perlumeningkatkan pendidikan dan keterampilanperempuan.8 Persoalan konsep “Perempuandalam Pembangunan” (Women in Develop-ment) adalah bahwa pemikirannya lebih me-ngarah kepada pemahaman meningkatkanperempuan secara individu, dan bukannyamencari akar dari persoalan perempuanakibat relasi sosial yang tidak seimbang, atauposisi perempuan sebagai subordinat.

Perkembangan berikutnya adalah pen-dekatan melalui kebutuhan pokok, yang di-artikulasikan pada tahun 1970-an. Dalamkonteks ini, indikator pertumbuhan danpendapatan merupakan isu utama. Secarametodologi, hal tersebut dapat menjelaskantentang dikotomi hubungan antara saranadan tujuan (means dan ends).9 Salah satu argu-mennya menyatakan bahwa kemiskinan bu-kan “suatu akhir” karena dapat dihilangkandengan cara meningkatkan pendapatan.10

Perdebatan beralih kepada pemahaman ten-tang pembangunan berkelanjutan lewat ke-lompok eco-feminisme yang vocal menyuara-kan peran perempuan dalam hubungan ma-nusia dengan alam. Kebijakan pembangun-an modernisasi dan modernisme mendapatbanyak kritik dari wacana eco-feminisme.Kelompok ini memfokuskan kepada the costof progress, the limits of growth, the deficienciesof technological decision making and the urgencyof conservation (harga yang harus dibayar un-tuk kemajuan, keterbatasan pertumbuhan,kekurangan di dalam pengambilan-kepu-

6 Ibid, lihat juga di Easter Boserup, Women’s Role in Eco-nomic Development, London: Easthscan, 1989. Juga dapatlihat Catherine Tinker, “The Making of a Field:Advocates, Practioner and Scholars”, dalam NaliniVisvanthan dkk. (eds.) The Women, Gender, and Develop-ment Reader, London: Zed Book, 1997, halaman 34.

7 Rai, op.cit. halaman 60.

8 Boserup, op.cit, lihat Rai, Ibid, halaman 62.9 Naila Kabeer, Reversed Realities: Gender Hierarhies in

Development Though, London: Verso, 1994 halaman 138-140.

10 Ibid.

Chusnul Mar’iyah - Membaca-ulang Politik: Pendekatan Feminisme dan Metodologi Penelitian 243

11 Carol Merchan, The Death of Nature: Women Ecology andThe Scientific Revolution, New York: Harper and Row,1980, halaman xix. 12 Shirin M. Rai, op.cit., halaman 72.

TabelMembandingkan Pendekatan Women in Development dan Gender and Development12

Sumber: Berdasarkan Parpart, Connolly and Barriteau, 2000, halaman 141; lihat dalam Shirin M, Rai, Gender and the PoliticalEconomy of Development, halaman 72.

Perempuan dalam Pembangunan Gender dan Pembangunan

Bersudut-pandang bahwa relasi sosial tidaksetara antara laki-laki dan perempuan dan“pewajaran” hal tersebut merupakan isuutama

Relasi antara laki-laki dan perempuan yangdikonstruksi, diridhoi dan dipertahankansecara sosial, dengan penekanan khususterhadap subordinasi atas perempuan

Relasi kekuasaan tidak seimbang, yangmenghambat pembangunan yang adil dansetara serta partisipasi utuh perempuandi dalamnya

Pembangunan yang setara dengan kehadir-an baik perempuan maupun laki-laki sebagaipartisipan penuh di dalam pengambilan-keputusan

Memberdayakan kaum perempuan yangmengalami ketimpangan, dan mengubahrelasi yang tidak setara dan seimbang

• Menata kembali konsep-konsep prosespembangunan, dengan memasukkanketidakadilan gender serta ketidaksetaraanglobal di dalam perhitungan

• Mengidentifikasi dan memperhatikan kebu-tuhan-kebutuhan praktis, sebagaimanaditentukan oleh perempuan maupun laki-laki,guna memperbaiki keadaan mereka; danpada saat yang sama memperhatikankepentingan strategis kaum perempuan

• Memperhatikan kebutuhan strategis kaummiskin lewat pembangunan yangmenitikberatkan kemanusiaan (people-centered development)

Pendekatan Bersudut-pandang bahwa ketidakhadiranperempuan dalam perencanaan dan kebijakanpembangunan merupakan permasalahan utama

Perempuan

Pengucilan perempuan dari prosespembangunan – suatu pendekatan efisiensiyang menitikberatkan kerugian tidak didayagu-nakannya separuh dari sumberdaya pemba-ngunan sebagai akibat dari pengucilan ini

Pembangunan yang lebih efisien dan efektifyang mengikutsertakan perempuan

Mengintegrasikan perempuan di dalam prosespembangunan yang tengah berjalan

• Menitikberatkan fokus pada proyek-proyekperempuan, komponen perempuan di dalamproyek, dan pada proyek-proyek integrasi

• Meningkatkan produktivitas dan pemasukanperempuan

• Meningkatkan kemampuan perempuan untukmerawat rumahtangga

Titik Focus

Permasalahan

Tujuan

Solusi

Strategi

tusan berdasarkan teknologi serta mende-saknya dilakukannya konservasi alam)”.11

Perkembangan pendekatan dalam pem-bangunan beralih dari women ke gender. Parafeminist scholars dan aktivis terus mencari danmengembangkan pemikiran untuk mening-katan posisi perempuan, yang secara kon-

septual masih termarginalkan. Pada 1980-an, Gender and Development memfokuskanperhatian masyarakat kepada hubungan po-sisi perempuan di dalam masyarakat sebagaiinti dari kegiatan politik. Dalam konteks ini,terdapat perbedaan yang sangat mendasartentang pemahaman konsep Women in De-velopment — yang hanya besikap “tambah-kan saja perempuan” (just add women) dalam

244 Afirmasi Vol. 02, Januari 2013

pembangunan, dan konsep Gender and De-velopment – yang lebih mengubah cara pan-dang persoalan marginalisasi perempuan dariperspektif relasi sosial. Ini kami jelaskan se-cara lengkap dalam Tabel MembandingkanPendekatan Women in Development danGender and Development:

Dengan penjelasan berbagai pendekatantersebut, dapat dilihat bahwa diperlukan ke-tepatan dalam menggunakan pendekatanteoritis ataupun metodologi untuk meng-analisis persoalan marginalisasi perempuan.Kritik utama yang ditujukan kepada paraakademisi feminis adalah tidak adanya satuteori pamungkas untuk menjelaskan per-soalan marginalisasi perempuan di dalammasyarakat. Namun, dalam ilmu-ilmu sosialmemang tidak dapat ditemukan hanya satuteori untuk menjelaskan seluruh persoalansosial dan politik. Varian dan konsep demo-krasi dari masa Yunani Kuno sampai seka-rang terus berkembang. Di dalam konsepdemokrasi pada masa Yunani Kuno, perem-puan dan budak bukanlah warganegara. Pe-rempuan baru memperoleh hak pilih seba-gai warganegara di Australia dan SelandiaBaru pada tahun 1893. Dalam konsep de-mokrasi mutakhir, partisipasi penuh warga-negara harus mengikutsertakan perempuan.Perempuan merupakan warga mayoritas, se-mentara kekuasaan mayoritas (majority rule)dan kesetaraan politik (political equality) me-rupakan indikator penting dalam demokrasimodern. Oleh karena itu, meneliti persoalanperempuan membutuhkan pemahamanideologi yang tepat dengan menjelaskan ke-pentingan perempuan. Dalam pemahamanteori, dibutuhkan pembacaan-kembali teori-teori politik dengan menggunakan perspek-tif perempuan. Teori-teori politik arus-uta-

ma dibangun dalam konteks dan posisiideologi patriarki yang kuat, disebut denganteori politik male-stream, istilah mana banyakpenulis gunakan dalam tulisan ini. Melaku-kan survei tentang isu gender sarat denganideologi.

Isu Metodologi dalam PenelitianFeminis: Redefinisi Politik

Studi yang dilakukan di 43 negara tentangpartisipasi politik perempuan menunjukkanbahwa diperlukan definisi baru, atau peru-bahan dalam definisi politik. Dalam konteksini, muncul kembali pertanyaan cara terbaikmembuat studi lebih tepat secara metodolo-gis dengan memperhatikan relasi sosial yangmemang tidak seimbang antara laki-laki danperempuan. Pendekatan dalam metodologidan penelitian yang lebih memperhatikanideologi feminisme membutuhkan pema-haman terminologi politik, dengan mengi-ngat bahwa pemahaman dalam teori-teoripolitik tersebut dibangun berdasarkan ideo-logi patriarki. Sebagai contoh, Carole Pate-man melihat bahwa konsep kontrak sosialyang kita pahami sebagai konsep politik ne-tral ternyata memiliki akar persoalan yangsangat ideologis. Para warganegara laki-lakimemiliki hak untuk menjadi warganegarasecara penuh, sementara perempuan bukanmenjadi warganegara. Salah satu indikator-nya adalah perempuan tidak memiliki hakuntuk memilih. Cukup banyak studi tentangpartisipasi politik perempuan dijelaskan de-ngan sikap buta gender (sex blind). Dalamkonteks ini, sangat perlu dilihat kembalikonsep politik dan pilihan metodologinya.

Studi yang dilakukan Chowdhury dankawan-kawan di 43 negara tentang status

Chusnul Mar’iyah - Membaca-ulang Politik: Pendekatan Feminisme dan Metodologi Penelitian 245

politik perempuan memberikan konstribusiterhadap penelitian politik perempuan. Te-muan studi tersebut mempertegas bahwastatus perempuan dalam politik di semuanegara masih termarginalkan.

…in no country do women have political sta-tus, access, or influence equal to men’s. The sweepof women’s political subordination encompassesthe great variety of cultures, economic arrange-ments and regimes in which they live.13

(… tidak ada satu negara pun di mana perem-puan memiliki status, akses terhadap, ataupunpengaruh politik setara dengan laki-laki.Sapuan besar subordinasi politik perempuanmeliputi berbagai ragam kebudayaan, tatacaraperekonomian, serta rezim-rezim dimanaperempuan itu hidup).

Pandangan tersebut bukan berarti bah-wa perempuan tidak pernah memiliki ke-kuasaan yang cukup. Perempuan juga dapatmenggunakan kekuasaannya. Namun, hasilstudi tersebut menunjukkan bahwa laki-lakimemiliki privileges dalam politik, sehinggalaki-laki dapat lebih aktif di politik diban-dingkan perempuan. Dengan demikian hasilstudi tersebut sangatlah penting untuk per-kembangan bagaimana partisipasi politikperempuan.

Metodologi Pencarian IlmuPengetahuan: Perspektif Feminisme

Banyak jalan untuk mendapatkan Ilmu Pe-ngetahuan dengan perspektif feminis. Patut

dicatat, tidak semua metode penelitian da-pat dikatakan sesuai dengan pandangan fe-minisme. Misalnya, bagaimana menjelaskanmasalah survei kuantitatif tentang jumlahperkosaan jika hasil survei dari ribuan res-ponden hanya memperoleh beberapa puluhkasus perkosaan. Bagi aktivis feminis, kasussatu orang perempuan saja diperkosa sudahmenjadi isu sangat penting yang patut diper-juangkan. Dengan demikian, jumlah kasustidak signifikan. Oleh karena itu, yang di-perlukan adalah pemahaman atas pengala-man hidup perempuan dan aktivitasnya, ka-rena di dalam masyarakat, perempuan ada-lah kelompok yang dimarginalkan dan me-rupakan subordinat laki-laki.

Signifikansi dari peneliti feminis dalamhubungannya dengan metode penelitian me-narik untuk dikaji. Pada tahun 1980-an, pe-neliti feminis menganggap bahwa prinsip-prinsip dan praktik penelitian yang menggu-nakan metode kuantitatif tidak kompatibeldengan penelitian tentang perempuan. Se-perti pandangan Oakley berikut:14

…quantitative research was bound up withmale values of control that can be seen in thegeneral orientation of the research strategy –control of the research subject/respondent andcontrol of the research context and situation.

(… penelitian kuantitatif terkait erat dengannilai-nilai pengendalian yang sangat maskulin,yang dapat dilihat dalam orientasi umum stra-tegi penelitian tersebut – pengendalian atassubyek/responden penelitian serta pengendalianatas konteks dan situasi penelitian itu.

13 Najma Chowdhury dkk., “Redefining Politics: Patternsof Women’s Political Engagements from GlobalPerspective”, dalam Barbara J. Nelson dan NajmaChowdhury, Women and Politics Worldwide, New Haven:Yale University Press, 1994.

14 A. Oakley, “Interviewing Women: A Contradictions inTerms”, dalam H. Roberts, Doing Feminist Research,London: Routledge & Keagan Paul, 1981.

246 Afirmasi Vol. 02, Januari 2013

Lebih jauh lagi, proses penelitian dapatdikatakan bersifat satu arah. Itu sangat ber-tentangan dengan prinsip-prinsip feminis-me, antara lain solidaritas perempuan (sis-terhood) dan hubungan non-hirarkis antar pe-rempuan.15

Etnografi yang Feminis

Hal ini sesuai dengan pandangan Reinharz(1992), yang melihat bahwa etnografi yangfeminis merupakan hal yang signifikan didalam feminisme. Menarik dikemukakandisini pandangan Reinharz bahwa etnografifeminis memiliki kekuatan, sebagai beri-kut:16

• Etnografi feminis mendokumentasikehidupan dan kegiatan perempuan,yang sebelumnya secara umum dipan-dang sebagai marginal dan tidak se-penting kehidupan laki-laki;

• Etnografi feminis memahami perem-puan dari perspektif perempuan itusendiri, sehingga kecenderungan un-tuk “meremehkan kaum perempuan”serta pemikiran-pemikirannya, ataumenerjemahkan pemikiran tersebutdari sudutpandang laki-laki di dalammasyarakat atau sang peneliti yanglaki-laki (Reinharz, 1992, hal. 52) di-tentang; dan

• Etnografi feminis memahami perem-puan di dalam konteksnya.

Lebih jauh, Skeggs (2001:430) melihatbahwa etnografi yang menitikberatkan pe-ngalaman dan “perkataan, suara serta kehi-dupan para partisipan” (the words, voice andlives of the participants), dipandang oleh parapeneliti feminis sebagai sangat tepat gunamelihat tujuan dari feminisme.17 Dalamkonteks ini, studi etnografi memberikanruang untuk artikulasi dan pengalaman darikelompok yang termarginalkan. Dengan de-mikian, metode etnografi dapat mengamatipengalaman-pengalaman perempuan dalamstruktur di masyarakat, seperti misalnya po-sisi kelas dan posisi gender, juga pengala-man perempuan dalam konteks kelemba-gaan, misalnya dalam bingkai pendidikandan bingkai media yang berpengaruh terha-dap konstruksi perempuan sebagai subyek.18

Dalam pandangan Reinharz, ini merupakanrefleksi dan komitmen untuk menuliskanpengalaman hidup perempuan guna lebihjauh memahami perempuan dalam konteksyang disebutkan oleh Reinharz.

‘Focus Group’ sebagai MetodeFeminis

Perkembangan menarik dalam sekian deka-de terakhir adalah kecenderungan menggu-nakan kelompok fokus (focus group) oleh parapeneliti feminis. Menurut Wilkinson (1998,199b),19 ada tiga aspek penting dalam meto-de focus group yang berhubungan denganetika dan politik feminisme.

17 Bryman, Alan, Social Reaserch Methods, Oxford: OxfordUniversity Press, 2008. Lihat juga Wilkinson.

18 Ibid. Lihat juga Skeeggs, 1994 halaman 74.19 S. Wilkinson, “Focus Groups in Femnist Research: Po-

wer, Interaction and the Co Production of Maning,”Women’s Studies International Forum, 1998, 21: 111-125.

15 Ibid. Lihat Juga Brian, halaman 26.16 Reinharz, Feminist Method in Social Research, New York:

Oxford University Press, 1992.

Chusnul Mar’iyah - Membaca-ulang Politik: Pendekatan Feminisme dan Metodologi Penelitian 247

1. Penelitian dengan pola focus group da-pat dikatakan tidak seartifisial diban-ding dengan metode yang lain. Hal itukarena proses dalam metode ini me-nekankan interaksi kelompok, yangdianggap merupakan biasa, atau wajardalam kehidupan sosial. Lebih jauh,penelitian semacam in tidak menda-pat tekanan atau pergeseran maknaketika berupaya memetik informasidalam situasi yang tidak biasa/wajartersebut. Dalam focus group discussion(FGD), peneliti cenderung dapat me-ngorek informasi sampai ke jenjangpaling bawah para partisipan betapapun artifisialnya metode ini. Dengandemikian, ada kesempatan bagi pene-liti untuk memperoleh pemahamanmengenai pengalaman hidup perem-puan.

2. Para peneliti feminis menyatakan pre-ferensi terhadap metodologi ini, kare-na studi tersebut dapat menjelaskanindividu dalam konteks sosial, teruta-ma posisi perempuan.

3. Dalam focus group discussion, risiko da-pat dikurangi. Partisipan dapat meng-ungkapkan pandangannya dibanding-kan dengan jika menggunakan modelwawancara tradisional.

Feminisme dan Pendekatan Kualitatif20

Peneliti feminis cenderung menggunakanpendekatan kualitatif, dengan tidak menu-tup diri terhadap kemungkinan muncul

perubahan pandangan. Ini melulu bertolakdari nilai yang diyakini oleh peneliti feminis.Nilai (values) yang dianut merefleksikan ke-yakinan maupun perasaan sang peneliti, ken-dati dalam melakukan penelitian, penelitiharus memiliki obyektifitas, dalam mana se-mua dan prakonsepsi harus dihilangkan.Muncul perdebatan mengenai nilai yang di-anut peneliti dalam penyelenggaraan peneli-tian tentang perempuan, yang mengajukanagar “pokok pendirian bahwa penelitian ha-rus bebas-nilai, netral dan tunduk kepadaobyek penelitian, harus ditukar dengan ke-sadaran keberpihakan, yang dapat diperolehlewat identifikasi dengan para obyek peneli-tian”.21

Wawancara tidak terstruktur dan semi-terstruktur menjadi model penting dalamkerangka metode penelitian bagi para pene-liti feminis. Hal itu merupakan refleksi daripreferensi menggunakan penelitian kualita-tif di kalangan peneliti feminis, sebagaimanadikemukakan oleh Kelly dkk.(1994, hal.34):

Whilst several brave women in the 1980s de-fended quantitative methods, it is nonethelessstill the case that not just qualitative methods,but the depth face to face interview has becomethe paradigmatic “feminist method”.

(Sementara beberapa perempuan pemberanipada 1980-an membela penggunaan metodolo-gi kuantitatif, namun demikian telah berta-han kenyataan bahwa, tidak saja metodologikualitatif, tapi juga wawancara mendalam de-ngan cara tatap muka yang telah menjadi pa-radigma “metodologi feminis”.)

20 Alan Bryman, op.cit. halaman 463.

21 Ibid, halaman 25. Lihat juga argumen M. Mies, “To-wards Methodology of Feminist Research”, dalam M.Hammersley, Social Researh, Philosophy, Politics and Prac-tice, London: Sage, 1993, halaman 68.

248 Afirmasi Vol. 02, Januari 2013

Wawancara survei yang lazim menurutOakley22 adalah sebagai berikut:

• Prosesnya berjalan satu arah – pewa-wancara menggali informasi atau su-dut-pandang dari yang diwawancarai.

• Sang pewawancara tidak menawarkanapa-apa sebagai imbalan atas pengga-lian informasi tersebut. Secara lazim,memang, mereka disarankan untuk ti-dak melakukan hal-hal semacam itukarena adanya kekhawatiran terjadikontaminasi atas jawaban-jawabanresponden.

• Hubungan pewawancara-respondenmerupakan suatu bentuk relasi hirar-kis, atau hubungan kekuasaan.

• Pewawancara menyematkan atas diri-nya hak untuk mengajukan pertanya-an, yang secara implisit menempatkanresponden dalam posisi subordinatatau inferior.

• Terdapat unsur kekuasaan di dalamproses ini juga tampak dari kenyataanbahwa wawancara terstruktur meng-gali informasi dari perspektif sang pe-neliti.

• Karena hal-hal ini, wawancara surveiyang lazim tidak konsisten dengan fe-minisme kalamana perempuan mewa-wancarai sesama perempuan. Sudut-pandang ini muncul karena lahir ang-gapan bahwa sama sekali tidak bisaditerima jika seorang perempuan “me-nyalahgunakan” perempuan lain de-ngan cara-cara semacam ini.

Seorang peneliti feminis akan memper-hatikan hal-hal berikut:

• Tingkat keakraban yang tinggi antarapewawancara dengan responden

• Keinginan tinggi untuk bersikap tim-bal-balik dari pihak pewawancara

• Perspektif dari perempuan yang diwa-wancarai

• Membangun hubungan tanpa hirarki

Menarik di sini untuk mengutip bagai-mana para peneliti melihat pengaruh femi-nisme dalam membangun pertanyaan pene-litian. Pandangan Sarah Hanson sangat jelasdipengaruhi oleh feminisme dalam memba-ngun pertanyaan penelitiannya:

My research project focused on the representa-tion of women through the front covers of fivewomen’s magazines, combining the applicationof feminist theory with decoding practices ofcontent analysis. Throughout the project Iwanted to understand the nature of women’smagazines, the influences they have on women’ssense of self and identity and the role the maga-zines play. I asked: do women’s magazinessupport or destroy women’s identity and theyencourage self-respect or self scrutiny? I wantedto combine theory with fact, focusing on themeanings behind the presentation of image andtext.

(Proyek penelitianku mengamati representasiperempuan pada halaman sampul lima maja-lah wanita, dengan menggabungkan pengguna-an teori feminisme dengan praktik-praktikpenelusuran kodifikasi analisis kontent. Didalam proyek, saya ingin memahami sifat darimajalah-majalah wanita, pengaruhnya terha-dap kesadaran diri dan jatidiri kaum perempu-an, serta peran yang dimainkan majalah-maja-lah tersebut. Saya bertanya: apakah majalah

22 Oakley, op.cit.

Chusnul Mar’iyah - Membaca-ulang Politik: Pendekatan Feminisme dan Metodologi Penelitian 249

wanita mendukung atau menghancurkan jati-diri perempuan, dan apakah majalah wanitamendorong terciptanya harga-diri dan pengka-jian-diri perempuan? Saya ingin menggabung-kan teori dengan fakta, dengan memfokuskanperhatian pada makna-makna di balik pres-entasi citra dan teks)

Hal serupa dikemukakan oleh ErinSanders, yang mengatakan bahwa metodo-logi feminisme dibutuhkan untuk mengu-rangi kekuasaan tidak seimbang dalam hu-bungan antara peneliti dengan yang diteliti.Erin meneliti persoalan NGO dan PekerjaSeks di Thailand. Secara sengaja, Erin meng-gunakan metodologi feminisme.23

Ada pula studi-studi yang dilakukan un-tuk melihat kekuasaan politik perempuan,yang biasanya dengan mudah hanya menga-takan bahwa perempuan tidak memiliki po-sisi kekuasaan. Carole Patemen dan Loven-duski berpendapat bahwa ideologi patriarkisangat mempengaruhi pandangan dalambangunan teori politik.

“The power of men over women is excludedfrom scrutiny and deemed irrelevant to politicallife and democracy by the patriarchal construc-tion of the categories with which political theorieswork” (Pateman)24

The dominant conception of political studies isbound to exclude women, “largely because wo-men usually do not dispose of public power,belong to political elites or hold influential posi-tion in government institutions” (Lovenduski)25

(Kekuasaan laki-laki atas perempuan disisih-kan dari pengamatan dan dianggap tidak rele-van bagi kehidupan politik dan demokrasioleh konstruksi kategori-kategori yang patriar-kal di mana teori-teori politik berlangsung.”(Pateman)

(Konsepsi dominan kajian politik sudah ba-rang tentu mengucilkan perempuan, “terutamakarena perempuan pada umumnya tidak ter-libat di dalam kekuasaan publik, tidak meru-pakan bagian dari elit politik, dan tidak me-megang posisi-posisi berpengaruh di dalamlembaga-lembaga pemerintah.” (Lovenduski).

Dengan demikian, saat menyusun per-tanyaan penelitian, peneliti harus memper-hatikan sejauh mana konsep politik yangakan digunakan, metode yang dipilih sertacara melakukan penelitian, supaya upayamembangun konstruksi feminisme menjadibagian yang tidak terpisahkan dalam pene-litian feminisme. Misalnya saja penelitianyang dilakukan dalam peningkatan jumlahperempuan di parlemen. Fakta di lapanganmemang menunjukkan jumlah perempuandalam posisi pengambilan keputusan sangatkurang. Oleh karena itu, harus ada pemba-hasan lebih dulu yang sangat rinci agar te-muan survei tidak kontraproduktif terha-dap perjuangan perempuan. Jangan sampaikesimpulan yang diperoleh misalnya sbb:Karena legislator yang perempuan dinilaitidak produktif, maka bisa dianggap bahwajumlah perempuan anggota legislatif tidakperlu ditingkatkan. Contoh pertanyaan dariInggris adalah: “Apakah politisi perempuandinilai secara berbeda dibanding rekan-re-kannya yang pria?” dan dari Kenya: “Apa-kah melakukan penilaian atas kinerja legis-

23 Alan Bryman, halaman 25-26.24 Pateman, Carole, Participation and Democratic Theory,

Cambridge: Cambridge University Pers, 1970.25 Joni Lovenduski, Women and European Politics: Contem-

porary Feminism and Public Policy, Wheatheaf, 1986.

250 Afirmasi Vol. 02, Januari 2013

lator perempuan terpilih kontraproduktifterhadap kaum perempuan?”26

Penutup

Ilmu Pengetahuan Sosial dibangun dari pe-ngalaman kehidupan sosial manusia. Penulisingin mengemukakan pengalaman kalamanamembimbing mahasiswa saat menulis tesistentang partisipasi politik perempuan. Se-ringkali argumen yang dikemukakan oleh pa-ra ilmuwan politik laki-laki tidak berdasar-kan pada Ilmu tersebut dengan pilihan meto-de penelitian yang tepat, namun lebih meng-kritisi penulis buku yang memiliki pan-dangan feminis dengan mengatakan: “Sayatahu penulis buku itu telah bercerai.” Perta-nyaan disini adalah cara membangun argu-men ilmiah, dan bukannya melihat apakahsang penulis buku tersebut belum menikah,menikah atau sudah bercerai. Ilmu Pengeta-huan harus dibangun dengan metodologiyang dapat dipertanggungjawabkan, se-hingga posisi metodologi menjadi sangatpenting. Dengan ketepatan metodologi, va-liditas data yang dikumpulkan dapat diper-tanggungjawabkan secara ilmiah.

Dalam kasus yang tadi dikemukakan,pertanyaannya adalah jika partisipasi politikperempuan sangat signifikan dalam perkem-bangan Ilmu Politik, mengapa pengalamanperempuan tidak dianggap ilmiah? Adapandangan yang menyatakan bahwa pilihanmetode kuantitatif sangat berpengaruh un-tuk memperkuat kesenjangan antar genderkarena asumsi yang ada memang dirasukibias gender. Dasar ini adalah karena masya-

rakat masih memegang teguh nilai-nilai pa-triarki. Dalam masyarakat yang patriarkis,dapat dikatakan bahwa ‘masyarakat menilailaki-laki berdasarkan keberhasilan dan ke-mampuannya secara individu, sementaraperempuan dinilai atas keberhasilan yangdiasumsikan dimilikinya karena ia seorangperempuan.’ Dengan bahasa yang sederha-na, konsep ini dapat dijabarkan sbb: ‘Jikaada seorang laki-laki yang “bodoh”, makayang bodoh hanya laki-laki itu saja seorang.Hal itu karena kemampuan individu laki-laki tersebut. Namun, bila ada seorang pe-rempuan yang dianggap tidak mampu da-lam kehidupan politik, maka semua perem-puan dianggap tidak mampu pula.’

Konsep politik dan pemikiran-pemikir-an politik kontemporer perlu diredefinisiuntuk lebih memperhatikan keadilan gen-der. Pembahasan metodologi yang memper-hatikan keadilan gender menjadi kunci uta-ma untuk memahami penelitian dan peneli-tian tentang kehidupan perempuan. Meto-dologi yang tepat sangat penting untukmembangun kesimpulan yang valid darirealitas kehidupan politik perempuan.***

Daftar Pustaka

Benhabib, Seyla dan Cornell Drucilla (eds.). 1987.Feminism as Critique. Polity.

Blaugh, Ricardo dan John Schwarzmantel. 2000.Democracy: A Reader. Edinburgh Univer-sity Pers, Edinburgh.

Bronner, Stephen Eric (ed.). 1997. Twentieth Cen-tury Political Theory: A Reader. Routledge,London.

Boserup, Easter. 1989. Women’s Role in EconomicDevelopment. Easthscan, London.

26 Pandangan Reni Suwarso dalam membahas tentang sur-vei keterwakilan perempuan di Indonesia.

Chusnul Mar’iyah - Membaca-ulang Politik: Pendekatan Feminisme dan Metodologi Penelitian 251

Bryman, Alan. 2008. Social Research Methods.Oxford University Press, Oxford.

Clayton, Susan D., dan Faye J. Crosby. 1992.Justice, Gender, and Affirmative Action. TheUniversity of Michigan Press, Ann Ar-bor.

Cuud, Ann E. and Robin O. Andreasen. 2005.Feminist Theory: A Philoshophical Anthology.Blackwell Publishing Ltd, Madden, MA,USA.

Coole, Diana. 1986. Re-reading Political Theoryfrom a Women’s Perspective In: PoliticalStudies. University of Leeds, Leeds.

__________. 1988. Women in Political Theory:From Ancient Misogyny to Contemporary Femi-nism. Wheatheaf.

Hay, Colin. 2002. Political Analysis: A Critical In-troduction. Plgrave, New York.

Karam, Azza et. al. 1998. Women in ParliamentBeyond Numbers. IDEA.

Kabeer, Naila. 1994. Reversed Realities: GenderHierarhies in Development Though. Verso,London.

Lovenduski, Joni dan Pippa Norris. 1993. Gen-der and Party Politics. Sage, London.

Lovenduski, Joni. 1986. Women and European Poli-tics: Contemporary Feminism and Public Policy.Wheatheaf.

Merchan, Carol. 1980. The Death of Nature:Women Ecology and The Scientific Revolution.Harper and Row, New York.

Mies, M. 1993. Towards a Methodology ofFeminist Research In: Hammersley, M.Social Researh, Philosophy, Politics and Prac-tice. Sage, London.

Nelson, Barbara J, and Najma Chowdhury.1994. Women and Politics Worldwide. YaleUniversity Press, New Haven.

Okin, Susan Moller. 1979. Women in Western Po-litical Thought. Vigaro, London.

—————. 1989. Gender, Justice and the Family.Basic Book, New York.

Pennings, Paul, Hans Keman, and JanKleinnijenhuis. 1999. Doing Research in Po-litical Science: An Introduction to ComparativeMethods and Strategies. Sage Publication,London.

Pateman, Carole. 1970. Participation and Demo-cratic Theory. Cambridge University Pers,Cambridge.

—————. 1988. The Sexual Contract. PolityPerss, Cambridge.

—————. 1988. The Disorder of Women: De-mocracy, Feminism and Political Theory. Po-lity Press, Cambridge.

Phillips, Anne. 1991. Engendering Democracy. Po-lity Press, Cambridge.

————— (ed.). 1987. Feminism and Equality.New York University Pers, New York.

—————. 1993. Democracy and Difference.Polity Perss, Cambridge.

—————. 1995. The Politics of Presence.Clarendon Press, Oxford.

Rai, Shirin M. 2002. Gender and the PoliticalEconomy of Development. UK: Polity Press,Cambridge.

Reinharz, S. 1992. Feminist Method in Social Re-search. Oxford University Press, NewYork.

Squires, Judith. 1999. Gender in Political Theory.Polity Pers, Cambridge.

Skeggs, B. 1994. Situating the Production ofFeminist Ethnography In: Maynard, M.and J. Purvis (eds.), Researching Women’sLives From Feminist Perspective. Taylor &Francis, London.

—————. 2001. Feminist Ethnography In:Atkinson, P. et.al. (eds.). Handbook of Eth-nography. Sage, London.

252 Afirmasi Vol. 02, Januari 2013

Tinker, Catherine. 1997. The Making of a Field:Advocates, Practioner and Scholars In:Visvanthan, Nalini et.al. (eds.). The Women,Gender, and Development Reader. Zed Book,London.

UNDP Report. 2004. Human Development Report2004. UNDP, New York.

Wilkinson, S. 1998. Focus Groups in FeministResearch: Power, Interaction and the Co-Production of Maning In: Women’s Stu-dies International Forum. 21: halaman 111-125.

—————, Focus Groups: A Feminist Me-thod”. Psychology of Women Quarterly, 23:halaman 221-224.

Wollstonecraft, Mary. 1975. Vindication of theRights of Women. Penguin. first published1972.

Lely Zailani:

Konsep Kepemimpinan dan Representasidalam Gerakan Perempuan

Bagaimana awal mula Anda tertarik padaisu perempun, dan mengapa?Saya mengalami perlakuan diskriminatifdalam keluarga karena saya anak perempu-an. Kami sembilan bersaudara dengan em-pat orang perempuan, dan dengan latar bela-kang ekonomi pas-pasan. Paradigma Bapak

tentang pendidikan bagus: anak-anaknyaharus sekolah, harus kuliah dan menjadisarjana. Namun, secara ekonomi, tidakmampu membiayai sembilan anak. Kakakperempuan, sebagai anak pertama, menjadiprioritas untuk sekolah. Kakak laki-laki di-korbankan, tidak kuliah; tetapi dirinya be-

Lely Zailani adalah tokoh utama yang mendirikan Hapsari pada 1990 dan menjadi direktur1997 ketika Hapsari berubah menjadi yayasan. Lely kemudian menjadi Ketua Dewan Ekse-kutif pada periode 2001-2004. Lely banyak mengikuti berbagai pendidikan, pelatihan,lokakarya, semiloka serta studi banding. Sejak 1997, Lely sering menjadi narasumber danfasilitator pada beragam kegiatan organisasi non-pemerintah, terutama untuk organisasi pe-rempuan. Pada 1999, ia menjadi anggota Presidium Koalisi Perempuan Indonesia (KPI).Pada 2001-2005, ia menjabat sebagai anggota Dewan Pengurus Nasional Solidaritas Perem-puan Jakarta. Pada 2007, menjadi anggota Pokja Akuntabilitas dan Transparansi OrganisasiMasyarakat Sipil di Jakarta, Kelompok Kerja Jaringan Demokrasi (KKJD) Sumatera Utara.Antara 2004 sampai 2007, ia anggota Presidium Sekretariat Bersama Organisasi RakyatIndependen (Sekber ORI). Selain itu, Lely rajin menulis mengenai isu-isu perempuan. Sampaisaat ini, Lely masih aktif mengembangkan Federasi Hapsari dengan menumbuhkan serikatdi beberapa desa di Indonesia.

Berikut cuplikan wawancara Ayu Anastasia dari Women Research Institute dengan LelyZailani.

WAWANCARA

254 Afirmasi Vol. 02, Januari 2013

bas dari pekerjaan rumah dan tidak perlumengurus adik-adik. Sayalah yang harusberperan mengurus adik-adik. Semua energihabis untuk mengurus rumah, sehingga sa-ya kehilangan masa remaja. Berbeda dengansaudara laki-laki saya, walaupun dia tidakdiberi kesempatan bersekolah, dia tetapmempunyai kebebasan sebagai anak laki-laki: boleh sesuka hati pulang malam. Darisanalah saya mencari jawaban, mengapa sa-ya mengalami ini? Akhirnya saya menemu-kan jawaban sendiri ketika tamat SMA danmulai berorganisasi.

Selepas SMA, saya mendirikan TK Ha-rapan Suka Sari (cikal bakal Hapsari) untukmencari kebebasan. Saya bertemu denganibu-ibu yang bercerita bahwa mereka dipu-kuli suami, suami kawin lagi, suami mainperempuan, dan lain sebagainya. Jadi kesim-pulannya, ada banyak masalah yang dihadapioleh perempuan. Selain itu, saya sering me-lihat Ibu berhadapan dengan Bapak yang pa-triarkis. Kalau mereka berkelahi, Bapak se-ring mengatakan, “Apa kau minta dipulangkanke rumah orang tuamu? Kupulangkan kau…!”Dan Ibu hanya bisa menangis dan kemudianmasuk ke kamar. Itulah jawabannya me-ngapa saya tertarik pada isu perempuan. Te-tapi saya dulu tidak mengetahui kesetaraandan keadilan gender, atau apa itu patriarki.Saya baru mengetahui itu kira-kira 10 tahunyang lalu. Saya baru menyadari, seorang pe-rempuan mengalami hidup yang pahit ka-rena dia harus tunduk pada patriarki.

Sebelum membangun dan memimpinorganisasi, apa pengalaman organisasiAnda?Saya pernah bergabung dalam Remaja Mas-jid, Karang Taruna, PKK, dan sebagainya.

Sebetulnya itu hanya bentuk pemberon-takan untuk bebas dari rumah. Saya kemu-dian diajak bergabung dengan PKBI, dalamprojek kepemudaan PKBI bernama Kelom-pok Remaja Bertanggungjawab (KLBJ). Disana saya menguasai organisasi sebagai ke-tua dan koordinator. Masuk KLBJ membuatsaya makin banyak mengenal orang. Banyaktutor di KLBJ yang bertugas menyosialisa-sikan penundaan usia nikah: 25 tahun bagilaki-laki, dan 20 tahun bagi perempuan. Sa-ya sendiri bertugas memberikan penyuluhankepada masyarakat, mengingatkan agaranak menunda usia nikah, juga memperke-nalkan tentang isu kesehatan alat reproduk-si. Setelah itu, saya masuk dalam pergaulanLSM di Sumatera Utara dan berkenalan de-ngan Kalyanamitra. Dari situ saya diundanguntuk mengikuti Training Gender dan ma-gang di Kalyanamitra pada tahun 1997. Jadisaya mulai mengenal konsep gender padatahun tersebut.

Sudah berapa lama Anda meninggalkanHapsari untuk kemudian membangun ja-ringan?Kami mencatat tahun 1990 sebagai mulaikeberadaan Hapsari, dan tahun 2004 sayameninggalkan Hapsari untuk memperluasjaringan. Jadi setelah 14 tahun saya mening-galkannya.

Apakah perbedaan yang Anda rasakan se-lama memimpin dan aktif dalam gerakanperempuan ketika terjadi perubahan so-sial dan politik, seperti reformasi? Ada-kah perbedaan dalam konteks masalahpersoalan perempuan?Masalahnya, sama saja; bedanya hanya da-lam strategi menghadapi masalah tersebut.

Konsep Kepemimpinan dan Representasi dalam Gerakan Perempuan 255

Perbedaannya adalah ketika awal terben-tuknya Hapsari dengan setelah reformasi,dengan semakin terbukanya komunikasi ki-ta dengan pemerintah. Dulu, sebelum EraReformasi, pemerintah mengklasifikasikanorganisasi masyarakat menjadi dua: yangpertama, organisasi masyarakat plat merahyang didirikan oleh pemerintah sendiri; danyang kedua adalah organisasi masyarakatyang dibentuk swadaya. Organisasi masya-rakat seperti ini diidentikkan oleh pemerin-tah sebagai organisasi masyarakat yang sukamemasukkan proposal guna meminta uangdengan cara memeras dan meneror pemerin-tah. Menghadapi hal tersebut, kami berstra-tegi dengan menjelaskan kepada pemerintahbahwa Hapsari bukanlah organisasi sepertiitu. Bedanya memang, sekarang sudah ter-buka. Jika dulu kami sembunyi-sembunyi,sekarang kami berani terang-terangan ber-aktivitas, dan malah melibatkan pemerin-tah.

Bagaimana hubungan Anda dengan ang-gota-anggota Serikat Hapsari?Secara organisasi saya hanya bertemu de-ngan pimpinan organisasi tingkat kabupa-ten. Itulah yang dinamakan oleh Hapsarisebagai usaha strategis untuk menumbuh-kan kepemimpinan lokal. Kita berjenjang.Saya Ketua Umum Dewan Pengurus Nasio-nal (DPN) yang membawahi 12 anggota,yang terdiri dari wakil-wakil pimpinan Se-rikat. Oleh karena itu saya kurang populerdibanding dengan mereka, dan jika sayamencalonkan diri sebagai calon legislatifdan harus bersaing dengan mereka, pasti sa-ya kalah.

Yang juga membuat saya bangga ada-lah, meskipun mereka telah keluar dari

Hapsari, para anggota itu tetap terus berju-ang. Kami akan merasa sedih dan paling ga-gal jika anggota kami kembali ke rumah.Tapi hal tersebut belum pernah terjadi.

Bagaimana konteks kepemimpinan sete-lah Anda meninggalkan Hapsari?Kami percaya pada kepemimpinan yang se-dang berlangsung. Siapa pun yang sedangmemimpin, apa pun yang dikatakannya, ti-dak boleh diperdebatkan, karena kita punyaforum rutin tiga bulan sekali. Dalam forumtersebut, semua dapat bercerita tentang or-ganisasi, dan di situlah tempat untuk berde-bat. Ada kelemahan dalam hal mengguna-kan e-mail, dalam tata bahasa, maupun da-lam berargumen, karena memang pada da-sarnya anggota Hapsari terdiri dari ibu ru-mah tangga biasa, dan dalam hal pendidikanformal, di antara mereka ada yang tidak ta-mat SD, sedangkan yang paling tinggi ta-matan SMA. Sekarang kami merasa pendi-dikan dan ijazah sangat penting, dan kamimendorong anggota kami untuk mengambilPaket Belajar. Kami juga mendorong kaderkami yang masih muda untuk melanjutkanpendidikan ke universitas. Saya dulu adalahguru, mempunyai pengalaman intelektualyang berbeda, dan saya juga rajin menulisartikel.

Tahun 2002, Hapsari berubah bentukmenjadi federasi. Di situ saya digugat. Jikaseluruh pendiri yayasan setuju sesuatu, kitatidak bisa mengatakan apa-apa. Itu salah sa-tu kelemahan yayasan, itu yang kita tolakmakanya kita merubah bentuk. Saat kitaberubah menjadi federasi, staf semua kelu-ar, dan tujuh orang pendiri Hapsari mem-buat empat LSM perempuan dan merekamasing-masing menjadi direktur. LSM-nya

256 Afirmasi Vol. 02, Januari 2013

tingkat Sumatera Utara. Namun sekarangsemuanya sudah bubar, seperti SolidaritasPerempuan Pekerja Seks, Institut Pemba-haruan Desa dan Yaperi yang kemudianberganti menjadi Nageci, dan Hapsari sen-diri.

Salah satu teman berjejaring Hapsariadalah Koalisi Perempuan Indonesia (KPI).Ketika pertama kali KPI berdiri, secarakebetulan saya adalah anggota PresidiumSektor Nelayan. Karena kami cuma berduadalam utusan Sektor Nelayan, kami tinggalsuwit saja siapa yang mewakili. Setelah mun-dur dari KPI, saya bergabung dengan Solida-ritas Perempuan (SP) karena saya merasabentuk SP lebih cocok dengan Hapsari. Sa-ya sempat menjadi pengurus di SP untukbeberapa periode. Tapi dalam perjalanan-nya, akhirnya saya merasa tidak cocok lagi,karena bentuk organisasi itu ‘tanggung’, da-lam arti, mereka menyebut diri KomunitasSolidaritas Perempuan Deli Serdang, tapiyang mereka maksudkan dengan istilah ‘ko-munitas’ itu hanya sekelompok orang saja.Ini berbeda dengan Serikat Perempuan Inde-penden Kabupaten Deli Serdang (SPI DeliSerdang), dalam mana teritorinya adalahDeli Serdang, dan kepengurusannya daritingkat kabupaten, kecamatan, sampai ting-kat desa. Akhirnya kami pilih Hapsari, danmemutuskan untuk membangun jaringankami sendiri. Kami putuskan bukan mencarijaringan, tapi membangunnya sendiri. Dansaya ke Yogyakarta untuk membangun se-buah serikat.

Hapsari diputuskan akan berbentuk fe-derasi dengan para anggotanya para serikat.Ketika yayasan membuat serikat SPI Suma-tera Utara, tidak pernah terpikirkan oleh ka-

mi untuk membentuk organisasi di mana-mana. Kala memutuskan untuk memben-tuk federasi, baru terpikirkan bahwa anggotafederasi kami cuma tiga lembaga. SetelahSumatera Utara, lalu kami putuskan untukmenentukan lokasi mana saja yang mudahuntuk Hapsari membangun sebuah serikat.Dalam mendirikan serikat-serikat tersebut,kami mulai dengan ketentuan pengurus ka-bupaten minimal harus 13 orang, penguruskecamatan sembilan orang. Semakin ke ba-wah tingkatnya, pengurusnya boleh berjum-lah sama atau makin sedikit orangnya.

Menurut Anda, seperti apa bentuk ataukonsep kepemimpinan yang ideal ?Kepemimpinan itu adalah kemampuan kitamenggerakkan, mempengaruhi, dan mem-punyai pengikut untuk menjadi seperti yangkita inginkan. Hapsari menentukan pemim-pinnya menggunakan kriteria seperti itu.Kalau bukan Riani (Ketua Dewan Ekseku-tif Hapsari saat ini), tetap saja profilnya se-perti Riani begitupun latar belakangnya. Ki-ta sudah punya sistem yang berjalan untukpemilihan pemimpin Hapsari adalah daripara pimpinan serikat atau utusan wilayah.Wilayah adalah daerah yang memiliki mini-mum dua serikat. Lokasi yang serikatnyamasih satu tidak dapat mengutus orang se-bagai utusan wilayah. Masing-masing ang-gota ikut memutuskan siapa yang menjadipengurus Hapsari, jadi mereka tidak hanyasekadar tunduk pada struktur organisasiyang telah dibuat. Yang paling penting ada-lah bahwa kami berikrar untuk menangkapspirit juang bahwa ini adalah jalan hidupkami.

Konsep Kepemimpinan dan Representasi dalam Gerakan Perempuan 257

Apa tantangan terberat selama Anda me-mimpin?Saya mulai mencari kader dari belum adamenjadi ada. Saya pergi dari rumah ke ru-mah untuk menemukan anak gadis. Kemu-dian saya menginap di rumah itu dan bergauldengan keluarganya, agar mereka memberi-kan izin untuk anaknya menjadi kader. Sayamelalui upaya ini dengan senang hati, danakhirnya saya mendapat banyak perempuanyang bersedia bergabung dan ikut memben-tuk organisasi kala itu.

Setelah 2004, kami berjuang menemu-kan bentuk dan pola organisasi. Akhirnyakami memilih bentuk federasi, dengan ha-rapan agar ada kekuatan melawan. Kamimembentuk citra Hapsari yang baik di matapublik, pejabat pemerintah, dan politisi,bahwa kami adalah organisasi nasional gunamemiliki pengaruh yang kuat, terutama dikampung-kampung. Oleh karena itu, sayatidak boleh terlalu sering beredar demi men-jaga citra tersebut. Tapi faktor negatifnya,justru membuat beberapa kader Hapsarimenjadi arogan.

Apa yang membedakan kepemimpinanbiasa dengan kepemimpinan feminis?Pertama, sebagai pemimpin kita harusmengajak, bukan sekadar memberi perintah.Kedua, pembebasan itu harus bersama danperjuangan itu harus bersama. Maksudnyamengajak adalah bukan memerintah, tapijuga selalu berusaha untuk menghadirkanisu baru, informasi baru, ide baru, gagasanbaru, atau apa pun yang baru agar selalumenarik bagi mereka.

Kepemimpinan feminis menurut sayaakan menjadi sesuatu yang baik, karenakonsepnya memberikan penghormatan dan

penghargaan kepada perempuan sesuai de-ngan haknya untuk dihargai. Kalau saya me-nempatkan seorang kader di suatu lokasi,tempat itu menjadi berbeda dengan feminis-me sebagai konsep gerakan, dengan adanyaseorang pemimpin yang feminis. Feminismeitu mengandung teori perubahan. Jika hanyaberhenti sebagai teori, dan perubahan tidakmasuk dalam semangat gerakan perubahanitu sendiri, maka tidak ada bedanya apakahpemimpinnya feminis atau bukan. Dalamimplementasi, feminismenya sekadar seba-gai ruh.

Kalau mau bicara feminisme, kita belumbisa langsung bicara mengenai perlawananterhadap ketidakadilan gender. Bicara kepe-mimpinan, saya butuh 20 tahun untuk mem-bangun Hapsari baru kemudian bisa mele-paskan Hapsari tanpa saya. Untuk sampaike sana, prosesnya harus dibangun terus-menerus. Hari ini, kita bicara konsep femi-nisme seolah konsepnya di atas meja, adadi dalam kepala, tapi kita tidak bisa meng-implementasikan semuanya. Setelah berpro-ses dan mencapai kemajuan ke arah itu, barukita bisa bangun fase-fasenya. Kami me-mang membangun Hapsari begitu dan mela-kukannya dengan sadar. Tetapi kami tidakmembangun Hapsari dengan menyiapkankonsep dan desain terlebih dulu baru laluberjalan. Dalam fase pertama, tema kamiadalah perempuan bicara; kami tahu adakelompok-kelompok perempuan di tempatlain, membicarakan diri sendiri belum mam-pu. Kami tahu ada kelompok-kelompok la-ki-laki gagah perkasa di luar sana, tapi kamitidak berelasi dengan mereka. Jika kami su-dah mampu berbicara, baru kami akan ber-temu dan berdiskusi untuk menyampaikanapa yang kami inginkan dengan cara yang

258 Afirmasi Vol. 02, Januari 2013

tidak emosional dan tidak dengan sikappermusuhan.

Bagaimana permasalahan perempuan saatini menurut Anda?Patriarki sejatinya tidak bisa dibunuh, jaditinggal bagaimana kita menjinakkannya.Memenangkan tanpa mengalahkan. Saya ki-ra kita jangan terlalu ributkan, tetapi kitabuktikan bagaimana kita bisa mengalahkan-nya, karena itu akan selalu ada, dan tak adahabisnya. Di satu level, kepemimpinanHapsari masih mengalami relasi patriarkitersebut. Buat kami, suami bisa memberiizin istrinya untuk giat adalah prestasi. Didalam rapat, kami juga membicarakan ma-salah-masalah keluarga dan mencari penye-lesaiannya, karena permasalahan perempu-an dimulai di keluarga. Kami menyelesaikankewajiban sebagai istri, dan para suami su-dah paham dan bangga apa yang telah kamikerjakan. Kami belum pernah menyerahmenghadapi perbenturan yang ada. Bagikami adalah suatu keberhasilan jika kaderkami sudah mampu meminta izin dari ke-luarga sendiri untuk keluar berorganisasi.

Bagaimana perjalanan Federasi Hapsarisampai sekarang, menurut Anda sebagaipendirinya?Hapsari sampai menjadi Federasi melewatibeberapa fase. Fase pertama adalah antara1990-1997 ketika Hapsari berdiri dan ke-mudian menjadi Yayasan. Ini adalah fasesaat perempuan berbicara, dan dalam faseini selalu muncul jargon “memecahkan ke-bisuan” dan “mari berbicara”. Fase keduaadalah ketika Hapsari sudah menjadi Yaya-san dan kita mulai masuk ke tahap Perem-puan Berorganisasi. Perempuan Berorgani-

sasi itu kami maknai sebagai perempuanyang memimpin dan sudah berani bicara.Asal sudah berani berbicara saja, dia sudahbisa menjadi ketua kelompok. Fase ketigaadalah, di dalam perempuan berorganisasiitu muncul isu perempuan memimpin danmelakukan perubahan. Jadi secara ringkas:Fase Pertama perempuan berani berbicara,berani bilang tidak; Fase Kedua kita ber-kelompok dan berkumpul dan di dalam sinikita dapat bersuara dan bicara. Kedua faseini muncul sendiri momennya di mana kitamerespons masalah yang dihadapi oleh pe-rempuan desa, yang saat itu untuk kumpul-kumpul saja kita tidak boleh, perempuantidak mempunyai ruang. Jangankan gerakan

Lely Zailani la-hir di Desa SukaSari, KecamatanPegajahan, Ka-bupaten SerdangBedagai pada 14Maret 1970. Lelymengenyam pen-

didikan formal di Madrasah AliyahSKB 3 Menteri Perbaungan pada 1989.Ia melanjutkan pendidikan ke SekolahTinggi Agama Islam Serdang di LubukPakam, namun tidak sampai selesai.

Selain aktif dalam gerakan perempuanbasis maupun gerakan perempuan na-sional, Lely pernah bersama teman-te-mannya mendirikan Partai PersatuanRakyat (PPR) pada 2008, yang tidaklolos verifikasi.

Konsep Kepemimpinan dan Representasi dalam Gerakan Perempuan 259

perempuan, serikat petani saja tidak bisaberkumpul; Baru Fase Ketiga adalah kalaperempuan masuk politik, memasuki ranahformal, yakni dari tahun 2004 sampai seka-rang.

Lalu sekarang?Sekarang saat kami bertemu, setiap kali dis-kusi, ada kritik di antara kami sendiri di da-lam gerakan, kita mengkritisi diri denganbertanya, “Kita mewakili siapa?” Itu adalahpertanyaan kritis. Hapsari disebut sebagaiorganisasi gerakan perempuan basis sampaimasuk pada satu konsep. Setelah fase Pe-rempuan dan Politik, kami menemukan fasesekarang, yaitu membangun “RepresentasiGerakan Perempuan Basis”. Kamilah pe-rempuan basis itu. Kami membangun gerak-an dan kami merepresentasikan kami sendi-ri. Namun itu tidak sederhana. Makanya ka-mi harus dengan jelas bisa mendefinisikansekaligus mewujudkan seperti apa gerakanyang merepresentasikan gerakan perempu-an basis. Inilah fase kami sekarang. Bebera-pa waktu lalu, kami melakukan evaluasiinternal. Kongres terakhir yang dilakukanoleh Hapsari pada 2011 hanya memancang-kan tonggak Hapsari sebagai organisasi na-sional. Sekarang kami pada fase memba-ngun representasi gerakan perempuan ba-sis, kami menggambarkan diri kami dalamtiga blok: Blok pertama, 50 persen adalahdiri kami dan bergerak berjuang sebagai pe-rempuan basis yang membebaskan dirinyadan berjuang menuju keadilan yang hakiki;Blok kedua, 25 persen Hapsari juga harusmenjadi representasi gerakan nasional, kamiharus kontribusi untuk memperkuat ge-rakan perempuan Indonesia, memperkuatWRI, Kalyanamitra, KPI. Jadi pada tiap ge-

rakan perempuan yang dibangun, Hapsariharus kontribusi untuk misalnya memper-kuat isu nasional, atau mengkampanyekanisu lokal yang kami perjuangkan ke tingkatnasional; Blok ketiga, 25 persen adalah ba-gaimana gerakan perempuan punya kontri-busi untuk memperkuat pelaku-pelaku eko-nomi perempuan basis yang bergabung da-lam Hapsari, karena gerakan yang kamiisyaratkan tidak bisa bersandar kepada ke-kuatan donor. Kami harus bisa hidup man-diri dengan potensi yang ada pada kami. Inibukan kita sedang bekerja di mana, tapi, pe-kerjaan kita ini sedikit atau banyak, besaratau kecil, cepat atau lambat akan memper-kuat ekonomi pelaku dari gerakan perem-puan basis tadi. Sebab itu, lewat cara kamimengelola produk-produk yang dihasilkananggota, produk ini menjadi sumberdayaekonomi kami. Itulah mengapa kami mengu-rus teh, kopi, ikan asin, ikan teri, sapu lidi,minyak goreng dan 20 produk lainnya, ane-ka makanan olahan, beras, sabun. Ini komu-nitas buat sendiri yang kami kelola. Saat inikami baru fokus kepada kopi dan teh. Tiapproduk merupakan hasil dari Serikat Hap-sari. Untuk penjualannya, kami sudah punyaempat jenis pasar: pasar individu, pasarumum atau masyarakat umum, pasar komu-nitas dan pasar rakyat (pasar Serikat Tani,Serikat Perempuan, pasar kelompok lain).

Selama 20 tahun berjuang, adakah peru-bahan arah perjuangan, cita-cita, atau per-geseran ke arah yang lebih baik? Ataujustru mundur?Kalau melihat Hapsari yang dimulai dari ke-lompok kerja perempuan desa yang tidakmemiliki identitas sampai menjadi federasinasional, menurut saya ada perubahan yang

260 Afirmasi Vol. 02, Januari 2013

baik, paling tidak dari lingkungan gerakan.Kongres Serikat Perempuan seperti hariulang tahun kemerdekaan bagi kami, sebabpara suami mengantar istri-istrinya mengha-diri kongres, anak-anak dengan baju baruikut berkongres, dan buat saya itu perubah-an luar biasa. Kesadaran bahwa ini hariibunya sedang memperjuangkan organisasi-nya, adalah hari di mana anak-anak menjadikader di organisasi. Hari di mana suaminyamengambil peran domestik ketika istrinyaberorganisasi, buat saya itu adalah kema-juan.

Satu mimpi kami yang belum terwujudadalah membangun serikat di tempatnyaIbu Kartini, yaitu di Jepara. Ini masih cita-cita. Di dekat sana ada Pekalongan yangakan menjadi pintu masuk kami, sebab bia-sanya kami membangun dari serikat terde-kat. Di tempat Nyi Ageng Serang di KulonProgo, kami juga membangun Serikat Inde-penden Perempuan Kulon Progo. Kamimengadakan Kongres Nasional di GedungPelestarian Sejarah dan Nilai-nilai BudayaIndonesia, tempat di mana diadakannyaKongres Perempuan Indonesia 1928. Tuju-an kami mengadakan kegiatan di sana agaranggota Hapsari memiliki satu pemahaman,dan juga mengerti bahwa kami tidak sekadarmembentuk organisasi, tapi juga ada aspek-aspek perlawanan dan nilai-nilai yang perlukami hayati.

Setelah menempuh perjalanan panjangmencapai Fase Representasi, menurut Andabagaimana karakter Hapsari sebagai ge-rakan nasional?Menurut saya, konsep dan ideologi feminissebagai ideologi gerakan itu adalah sama.Semua mau mengarah ke sana, tetapi proses

membangunnya itulah yang berbeda-beda.Muncul pertanyaan, “Sebenarnya, di antarasekian banyak organisasi yang menyebut dirisebagai kelompok gerakan perempuan, se-benarnya yang direpresentasikan itu siapa?”Jika merepresentasikan feminisme, itu ideo-loginya siapa? Ideologi di dalam kepalanyasendiri, atau ideologi perempuan basis yangbanyak? Disinilah letak perbedaannya. Se-hingga kalau misalnya, kita berbicara de-ngan organisasi perempuan yang sangat be-sar, sesungguhnya yang besar itu pemaham-an ideologi yang dibawa oleh pemimpinnya,atau ideologi organisasi itu sendiri?

Yang mau dibangun oleh Hapsari adalahgerakan yang membawa ideologi bersama,dibangun bersama, dijalankan bersama de-ngan konsep dan budaya, bahasa, tindakan,perilaku yang sama. Oleh sebab itulah per-soalan karakter dan persoalan gaya penam-pilan pun kami bahas. Kami saling mengi-ngatkan, karena kami punya panduan bersa-ma yang juga dievaluasi bersama-sama.

Bagaimana konsep representasi dikelolaoleh Hapsari untuk jadi strategi dalam me-wakili gerakan perempuan basis?Yang pertama, bentuknya yang federasi arti-nya sangat jelas: Hapsari merepresentasikanserikat-serikat perempuan. Oleh karena itu,semua pengurus yang duduk di federasi ada-lah representatif. Yang kedua, struktur pim-pinan Hapsari terdiri dari pengurus yang me-rupakan perwakilan dari individu anggotaserikat dan berasal dari berbagai desa. Jadiyang kita maksudkan dengan membangunrepresentasi gerakan itu adalah dari opera-sional programatik, kami bagi dalam tiga as-pek: aspek representasi gerakan perempuanbasis, aspek kontribusi memperkuat gerak-

Konsep Kepemimpinan dan Representasi dalam Gerakan Perempuan 261

an perempuan nasional, dan aspek kontri-busi memperkuat ekonomi pelaku-pelakugerakan perempuan basis. Tiap kegiatanHapsari harus memenuhi tiga aspek ini.

Saat ini Hapsari sudah dalam Fase Re-presentasi, tetapi bukan berarti akan me-ninggalkan perjuangan melawan patriarki,yang sejak dulu diperjuangkan. Justru ketikakami merepresentasikan perempuan basis,itu melawan patriarki, membangun duniayang adil dan setara, dan di dalam dunia ituada jenis kelamin yang berbeda, ada peran-peran gender yang berbeda. Tetapi dunia initetap menjadi dunia yang menyenangkan,karena adil dan setara. Justru kami mau te-tap mengatakan visi dan misi Hapsari se-sungguhnya, yaitu satu komunitas perem-puan basis yang merepresentasikan perem-puan basis itu sendiri, bukan orang lain. De-ngan konsep ini, kami menemukan metodebaru dimana semua orang berkontribusiuntuk gerakan, karena dia bisa merepresen-tasikan Hapsari.

Sebagai aktivis gerakan perempuan, apayang belum tercapai dan masih menjadiharapan Anda? Apakah Anda tidak terta-rik untuk mencalonkan diri sebagai perwa-kilan perempuan basis dalam wilayahpolitik formal?Saya ingin konsisten antara mimpi, kenya-taan dengan konsep yang mau di perjuang-kan. Mimpi saya adalah kesetaraan dan kea-dilan untuk perempuan, laki-laki, anak-anakdan orang tua. Mimpi itu harus terwujudkonsisten antara harapan dan kenyataan.Keluarga saya juga harus menjadi pelakugerakan, dan saya tidak membayangkan jikasaya akan berhadapan dengan keluarga sayasendiri, yaitu pegiat gerakan perempuan.Untuk mencalonkan diri, saya rasa tidak,karena saya lebih ingin menyiapkan kadercalon anggota legislatif dari Hapsari, jikadiberi kepercayaan oleh Tuhan.***

La Volonte de Savoir Historie de Sexialite:Ingin Tahu Sejarah Seksualitas

Pada abad ke-17, konon, segala hal yangberkaitan dengan seks dapat dibahas

dengan bebas. Semua orang bisa mendisku-sikan seksualitas kapan pun, dimana pun,dan dengan siapa pun. Namun sejak munculera Victoria (ratu angkuh) dalam gambaranborjuis Inggris, semua hal tentang seks ber-alih menjadi kebungkaman, diam, represifdan semua sepakat untuk menahan diri dantidak membicarakannya. Siapa pun yangmembahasnya secara terang-terangan se-olah-olah menjadi tersangka yang melang-gar hukum. Andai pun seksualitas boleh di-bahas terang-terangan, itu pasti karena ber-kaitan — atau dikait-kaitkan — dengan ko-moditas dan nilai ekonomi yang tinggi, mi-

Judul : La Volonte de Savoir Historie de Sexialite: Ingin Tahu Sejarah SeksualitasEditor : Michel FoucaultPenerbit : Yayasan OBOR bekerjasama dengan FIB Universitas Indonesia

dan Forum Jakarta - Paris, 2008Halaman : 208 HalamanISBN : 978-979-461-669-7

BUKU

264 Afirmasi Vol. 02, Januari 2013

salnya di rumah pelacuran dan di rumah sa-kit jiwa. Hanya pelacur, pelanggan, dan mu-cikari yang bisa membahas seks secara te-rang-terangan, atau hanya psikiater dan pa-sien rumah sakit jiwa yang dapat memba-hasnya tanpa batasan.

Saat ini wacana seksualitas menjadi se-makin simpang-siur, terbukti dengan pende-finisian seksualitas yang banyak dipengaruhinilai-nilai tradisi dan budaya, agama, bahkanpolitik. Hal ini membuat penulis tertarik un-tuk menelusuri sejarah seksualitas dengansegala bentuk tranformasinya.

Buku karangan Michel Foucault, berju-dul La Volonte de Savoir (Ingin Tahu SejarahSeksualitas), nampaknya dapat menjawabkebutuhan penulis. Pada buku ini, Foucaultmengungkapkan analisisnya dalam mencarihal-hal yang berkaitan dengan berbagai wa-cana seksualitas (termasuk wacana bung-kam), dengan kekuasaan (termasuk kesa-lahan dan kekeliruan yang disebarkan olehpengetahuan).

Terkhusus di buku ini, Foucault ber-asumsi bahwa kuasa tidak selalu bersifat ne-gatif dan represif, tapi juga beroperasi seca-ra positif dan produktif. Baginya, kuasa se-cara berkesinambungan melahirkan penge-tahuan, dan pengetahuan juga terus-mene-rus menghadirkan efek-efek kuasa. Penda-pat Foucault ini bertentangan dengan keba-nyakan teori modern, yang menganggap pe-ngetahuan sebagai sesuatu yang netral danobjektif (aliran positivis), atau emansipa-toris (Marxian). Dengan bermaksud bukuini sebagai “kritik bagi era modern”, Fou-cault ingin menunjukkan sejumlah produkpengetahuan modern yang terkesan wajar,padahal sangat bergantung pada kuasa.Kuasa, menurut Foucault, tidak selalu dido-

minasi struktur makro atau kelas tertentu,seperti diyakini pemikir semacam Weberdan Marx.

Resume buku ini disampaikan dalam ti-ga bagian. Pertama, Hipotesis Repsesi, yangberisi bahasan tentang rangsangan wacanaseksualitas hingga munculnya penyimpang-an seksual; Kedua, Sistem Seksualitas, yangberisi scientia sexualis, perbedaan pandanganBarat dan Timur tentang seksualitas sertasistem seksual itu sendiri; Ketiga, Hak Me-nentukan Ajal dan Menguasai Hidup, berisitentang perbedaan pandangan dahulu dansekarang.

Pembahasan yang disampaikan Fou-cault dalam bukunya pada tahun 1976 ter-nyata memiliki kesamaan dengan apa yangmenjadi pola gerakan organisasi perempuandi Indonesia. Sejak tahun 1990, organisasiperempuan memasukkan isu seksualitas se-bagai salah satu agenda pergerakannya. Ke-hidupan sosial budaya yang berkembang dimasyarakat dianggap telah mengambil ke-bebasan seksual yang dimiliki tiap individu,yaitu dengan mengelompokkannya ke da-lam normal dan tak normal, serta mengang-gapnya sebagai hal tabu untuk dibicarakandi ruang publik. Hingga kini, organisasi pe-rempuan masih terus memperjuangkan agartiap individu memiliki kebebasan dalam me-nentukan orientasi dan perilaku seksualnya.

Hipotesis Represi

Tidak seperti awalnya yang dapat dilakukansecara terang-terangan, pembahasan seksua-litas memasuki masa represi dengan pemba-tasan bahasa, dan menjadikannya sebagaihal tabu sejak kemunculan kaum borjuis.Seksualitas boleh dibicarakan, namun de-

Rahayuningtyas - La Volonte de Savoir Historie de Sexialite: Ingin Tahu Sejarah Seksualitas 265

ngan menggunakan alias dalam menyebut-kan alat reproduksi, dan adanya aturan ten-tang dengan siapa, di mana, dan dengan kas-ta apa kita membahas. Evolusi Pastoral Ka-tolik juga ikut mengadopsi sikap represifterhadap seksualitas. Pengakuan dosa (ter-kait seksualitas) yang sebelumnya harus di-jelaskan secara detail untuk menentukantingkat nafsu pendosa, berubah menjadiproses yang singkat dan padat. Selain karenadianggap tabu, membicarakan masalahseksualitas dianggap hanya membicarakandosa yang sebaiknya tidak dibahas berpan-jang-panjang.

Di akhir abad ke-19, muncul buku MySecret Life, yang ditulis oleh seorang yangmenjalankan sebagian masa hidupnya untukmelakukan aktivitas seksual. Ia menjelaskansecara rinci setiap proses kegiatan seksual-nya, untuk memberikan pendidikan danpengetahuan bagi pembacanya. Sayangnya,dalam tulisannya yang dianggap berani me-lawan “viktorianisme”, ternyata ia banyakmenggunakan kata “maaf ” karena meng-anggap apa yang ada dalam bukunya adalahhal tabu.

Seiring berjalannya waktu, ditemukanbeberapa hal yang menjadi rangsangan mun-culnya wacana seksualitas. Seperti halnyadi abad 18, muncul masalah penambahanjumlah penduduk yang erat kaitannya de-ngan seks. Untuk menekan penambahanjumlah penduduk, pemerintah, melalui ke-kuasaannya, mengatur agar masyarakatmenggunakan seksualitas hanya sebatasmencari kesenangan dan kepuasan hidupsaja, bukan untuk mendapatkan keturunan.Foucault menyimpulkan bahwa intervensikekuasaan ke dalam seksualitas terjadimelalui politik populasi yang meregulasi

kelahiran. Di bidang kedokteran umum,seksualitas mulai dibahas terkait denganmasalah syaraf, psikiatri, bahkan penyakit“over-seks”, yang dianggap sebagai kelain-an jiwa. Peradilan pidana juga mulai menyi-dangkan kasus-kasus pelanggaran seksual.Bahkan pada abad 19, mereka mulai menyi-dangkan perbuatan tak senonoh di depanumum, kekurangajaran, dan sejenisnya, se-hingga mereka berpikir untuk meningkatkankontrol sosial. Tanpa disadari hal-hal ini me-nimbulkan dorongan wacana seksualitas.Yang awalnya direpresikan justru semakinbanyak diperbincangkan masyarakat.

Banyaknya wacana seksualitas memun-culkan pandangan seks normal dan abnor-mal — yang menyimpang. Seksualitas masihterbatas pada pandangan monogami suami-istri. Para pelaku sodomi, onani, nekrofilia,homoseksual, masokis, sadistis, ditetapkansebagai orang berperilaku menyimpang.Pandangan ini sesungguhnya diciptakanoleh pemilik kuasa. Contohnya, dalampengakuan dosa agama Kristen, psikiater se-bagai pendengar adalah pihak yang memilikikuasa: ia bebas menentukan apa yang diang-gap normal dan apa yang dipandang sebagaipatologis (penyakit atau kelainan). MenurutFoucault, kekuasaan bukan alat yang digu-nakan untuk mengekang, melarang, danmemberi hukuman, melainkan untuk me-ngendalikan berbagai bentuk penyimpanganyang ada di masyarakat.

Homoseksualitas muncul sebagai ben-tuk baru dari sodomi, yang sebelumnya, baikoleh hukum maupun agama, dianggap seba-gai sebuah penyimpangan. Seksualitas yangpada abad 19 dipercaya hanya milik pasang-an heteroseksual, ternyata memiliki bentuklain seperti homoseksual, bertukar pasang-

266 Afirmasi Vol. 02, Januari 2013

an, dan onani atau masturbasi, yang dilaku-kan seorang diri. Menurut Kamus Besar Ba-hasa Indonesia (KBBI) istilah onani diarti-kan sebagai upaya mengeluarkan mani atausperma tanpa melakukan senggama. Tuju-an onani adalah untuk mendapatkan ke-nikmatan seksualitas tanpa berhubunganseksual. Onani juga bisa dilakukan oleh pe-rempuan, dikenal dengan istilah masturbasi.

Semua bentuk lain dari seksualitas inimembuat kaum Victorian merasa perlumembuat batasan baru untuk menjaga mo-ralitas masyarakat.

Sistem Seksualitas

Perbedaan pandangan antara masyarakatBarat dan Timur sudah terjadi sejak berabadlalu, termasuk dalam hal seksualitas. Lan-dasan seksualitas masyarakat Barat adalahpengakuan, yaitu dorongan untuk membica-rakannya. Ada fiksasi untuk mendapatkan“kebenaran” tentang seksualitas, sekan-akan seksualitas itu tidak ada bila tidak di-ungkapkan. Cara pandang ini bertentangandengan masyarakat Timur, yang mengang-gap seksualitas sebagai seni dan pengalamankhusus, yang bila dibicarakan akan kehi-langan keefektivitasannya (kenikmatan-nya). Foucault menyebut cara masyarakatBarat ini sebagai scientia sexualis – pengeta-huan tentang seks. Sedangkan cara masyara-kat Timur disebut sebagai ars erotica – senikenikmatan.

Sejak dulu pengakuan dianggap sakraldalam agama Kristen, namun pergeseranmulai terjadi ketika abad 18 muncul Protes-tanisme, dan pada abad 19 muncul kedok-teran. Menyebarnya wacana baru seksuali-tas mulai terkumpul dalam arsip tentang ke-

nikmatan dan penyimpangan seksual. Bebe-rapa cara mengubah sistem paksaan tentangpengakuan menjadi catatan ilmiah, yaitu:

1. Menjadikan “menyuruh bicara” seba-gai prosedur baku. Wajar jika dilaku-kan beberapa cara seperti interogasi,mengisahkan pengalaman, kuesioner,hipnosis, dan lain-lain.

2. Ilmu kedokteran menjadikan seksu-alitas sebagai penyebab munculnyaberbagai penyakit, termasuk penyakitparu-paru, sehingga membuat mere-ka menuliskannya sebagai temuan.

3. Menganggap seksualitas sebagai se-suatu yang bersifat laten. Dengan de-mikian, pengakuan seksualitas akanmuncul tanpa paksaan, meskipun ma-sih dengan cara sedikit demi sedikit.

4. Interpretasi: Ilmuan harus mengum-pulkan data-data yang tercecer untukmenilai kebenaran, dan menarik ke-simpulan untuk kemudian menyebar-luaskan nilai kebenaran tersebut.

5. Medikalisasi dampak pengakuan:Wacana bahwa seksualitas menyim-pang menyebabkan berbagai penyakitterbukti dilakukan hanya untuk men-jaga ketabuan seksualitas di masyara-kat. Wacana ini bisa diluruskan kem-bali jika pihak medis yang menjelas-kannya, karena merekalah yang ber-tanggung-jawab terhadap pandangankeliru ini.

Beberapa abad terakhir, muncul pertanyaan-pertanyaan terkait seksualitas yang menjadiawal dilakukannya penelitian seputarseksualitas. Foucault bahkan menegaskanbahwa dalam menentukan pertanyaan, pe-nelitian harus melepaskan segala bentuk re-

Rahayuningtyas - La Volonte de Savoir Historie de Sexialite: Ingin Tahu Sejarah Seksualitas 267

presi. Represi yang dimaksud, hadir sebagaiakibat adanya kekuasaan. Tidak dapat di-pungkiri, seks memiliki hubungan erat de-ngan kekuasaan.

Berikut ini beberapa ciri pokoknya, yaitu:1. Hubungan negatif: Kekuasaan dan

seks saling meniadakan, di mana ke-kuasaan berusaha memisahkan sek-sualitas dalam kehidupan. Sebaliknya,seksualitas membungkam kekuasaandengan kenikmatan, sehingga kekua-saan tidak mampu berbuat apa punkecuali menolaknya.

2. Lembaga aturan: Seks ditentukanoleh kekuasaan; Pertama, seks dilihatdalam sistem biner (halal-haram, bo-leh-terlarang); Kedua, seks diberi ba-tasan hukum; Ketiga, seks diwujud-kan melalui bahasa (lebih tepatnyawacana), sehingga seks disebut bersi-fat yuridis-kewacanaan.

3. Siklus larangan: Kekuasaan menggu-nakan hukum larangan agar seks me-nyangkal dirinya sendiri. Caranya de-ngan membuat larangan dan ancamanbagi yang melanggarnya.

4. Logika sensor: Logika kekuasaan atasseks merupakan logika paradoksaldari suatu hukum yang dapat diujar-kan sebagai perintah untuk tidak ha-dir, tidak berwujud dan bungkam.

5. Kesatuan perangkat: Kekuasaan atasseks seolah dibuat menyeluruh. Pene-rapannya bukan hanya dilakukan olehnegara (raja), tapi sampai ke rumah(ayah). Kekuasaan menjadi subjekpembuat aturan, sedangkan yang lain(rakyat, anak) sebagai subjek patuh.

Dalam konteks negara, kekuasaan bukanhanya milik raja, tetapi juga milik rakyatyang seharusnya disamaratakan sehinggasistem dapat berjalan dengan baik. Foucaultberpendapat perlu membalik rumusan ke-kuasaan tersebut agar sesuai (atau mende-kati) dengan sebagaimana mestinya. Bebe-rapa proposisi (atau rancangan usulan) yangdapat dikemukakan, antara lain, denganmengungkapkan bahwa kekuasaan bukansesuatu yang diperoleh, dirampas dan diba-gi, melainkan berfungsi berdasarkan unsuryang tak terhitung jumlahnya dalam hubung-an yang tak sederajat dan bergerak. Kekua-saan dianggap sama seperti hubungan lain-nya, seperti perdagangan, pertemanan, yaitusejajar dan saling menguatkan, sehingga ti-dak ada bentuk oposisi biner antara mendo-minasi dan yang didominasi.

Melihat kekuasaan yang sering disalah-artikan, kita harus mampu meluruskan defi-nisi kekuasaan tersebut dalam konteks sek-sualitas. Ada empat kaidah yang harus di-perhatikan, yaitu:

a. Imanensi. Imanen, atau imanensi,adalah paham yang menekankan ber-pikir dengan diri sendiri atau subyek-tif.1 Istilah imanensi berasal dari baha-sa Latin immanere, yang berarti “ting-gal di dalam”. Imanen adalah lawankata dari transenden. Pertama kali is-tilah ini diajukan oleh Aristoteles, danmemiliki arti “batin” dari suatu objek,fenomena atau gejala. Kemudian di-kembangkan oleh Immanuel Kant(filsuf Jerman 22 April, 1794 – 12Februari, 1804) dan berlaku sampai

1 Lorens Bagus, Kamus Filsafat, Jakarta: Gramedia PustakaUtama, 1996.

268 Afirmasi Vol. 02, Januari 2013

sekarang. Dalam istilah Filsafat Ketu-hanan, Tuhan yang imanen berartiTuhan berada di dalam struktur alamsemesta serta turut serta mengambilbagian dalam proses-proses kehidup-an manusia.2 Berbeda dengan transen-den, yang sangat mengagungkan Tu-han yang begitu jauh sehingga merekasangat hormat. Imanensi lebih dekatdan terbatas pada pengalaman manu-sia, seperti dikemukakan Hume da-lam teori fenomenalisme empiris danKanti dalam Crtitique of Pure Reason.Dalam teologi Kristen, imanen dapatdilihat dalam ajaran Trinitas, yaituAllah yang memiliki pribadi begitunyata, Allah menjadi begitu dekat de-ngan umat-Nya.3 Sifat Allah yangimanen terkadang akan membuat ma-nusia hanya berpikir bahwa Allah de-kat, hal ini kurang tepat, maka dibu-tuhkan sifat transenden juga. Allahyang transenden adalah Allah yangmelampaui segala yang ada. Allahyang tidak terbatas untuk memimpindunia.4 Harus dipahami bahwa sek-sualitas merupakan bagian yang takterpisahkan dengan kehidupan manu-sia, sehingga mustahil membuat hu-kum yang membatasinya.

b. Perubahan berkelanjutan. Akan lebihbaik jika kita mulai mencari formulayang tepat untuk modifikasi bentukkekuasaan terhadap seksualitas.

c. Kaidah pengkondisian ganda. Kekeli-ruan kondisi kekuasaan terhadap sek-sualitas membutuhkan pengondisianganda. Ayah bukanlah perwakilan rajayang melarang anak-anaknya, dan rajabukanlah penguasa dan pembuat hu-kum atau larangan untuk masyarakat-nya.

d. Taktik polivalen dalam berbagai wa-cana. Secara bahasa, polivalen memi-liki makna kombinasi, yaitu mengan-dung banyak unsur sehingga tidakterbatas pada dua kondisi yang adadan tiada. Taktik polivalen digunakandalam kekuasaan seksualitas untukmenghindari adanya penilaian hitamdan putih saja. Wacana seksualitas ti-dak bisa dikelompokkan antara waca-na yang diterima dan yang ditolak,atau di antara wacana yang mendomi-nasi dan yang didominasi, tetapi harusdibayangkan wacana sebagai unsur-unsur nalar dengan beragam strategi.

Seksualitas bukanlah bentuk perlawananterhadap kekuasaan, namun jangan pulaberusaha menundukkan seksualitas, karenasewajarnya ia ada dan terus ada. Seksualitaslebih menyerupai saluran yang padat bagihubungan kekuasaan, orang tua dan anak,guru dan murid, dokter dan pasien. Sejakabad 18, ada empat strategi besar yang ber-kaitan dengan pengembangan seksualitasterhadap kekuasaan.

1. Histerisasi tubuh perempuan. Tubuhperempuan dianalisis dan diintegrasi-kan dalam sistem medis sebagai suatupatologi, kemudian dihubungkan se-cara organik dengan tubuh sosial. Da-ri strategi inilah jenis kelamin ditentu-

2 Ibid. 1996.3 Celia Deane-Drummond, Teologi dan Ekologi, Jakarta:

BPK Gunung Mulia, 2006.4 Konferensi Waligereja Indonesia, Iman Katolik: Buku

Informasi dan Referensi, Yogyakarta: Kanisius, 2000.

Rahayuningtyas - La Volonte de Savoir Historie de Sexialite: Ingin Tahu Sejarah Seksualitas 269

kan nilai fungsionalnya secara biologisdan sosial. Ironisnya, sasaran untukmenjadi korban dari strategi ini selaluperempuan.

2. Pedagogisasi seks anak-anak. Terda-pat asumsi bahwa anak-anak poten-sial untuk melakukan kegiatan sek-sual. Pedagogisasi muncul dalam kon-teks perang dunia Barat terhadaponanisme anak. Sejak masa perangdunia, orang tua menganggap bahwaonani merupakan hal berbahaya,yang dikhawatirkan dapat menda-tangkan kerusakan fisik dan moral,kolektif dan individual bagi anak. Halini menyebabkan orang tua, guru,dokter, dan psikolog mengatakanbahwa onani adalah tindakan berba-haya dan menentang alam.

3. Sosialisasi perilaku prokreatif (ke-mampuan reproduksi). Strategi inibekerja melalui kebijakan ekonomi,sosial dan politik, dengan menormal-kan monogami heteroseksual. Sek-sualitas semata diarahkan pada unsurprokreatifnya.

4. Psikiatrisasi kenikmatan menyim-pang. Perilaku seksual menyimpangdianggap sebagai patologi dan anoma-li. Klaim ini dilandasi analisis naluribiologis dan psikis, bahwa perilakuseksual semacam onani, masturbasi,dan homoseksualitas dapat memper-lemah tubuh dan menjadikannya ra-wan penyakit. Seks untuk kesenang-an menjadi sesuatu yang dikutuk.

Sejarah seksualitas, jika dipusatkan padamekanisme represi, dapat dikategorikan da-lam dua periodisasi; Abad 17 adalah masapertama pelarangan seksualitas dan peng-unggulan satu-satunya seksualitas, yaitu pa-da orang dewasa dan suami– istri; Abad ke-20, saat mulai muncul kelonggaran represi.Mulai muncul toleransi terhadap pelarang-an seksualitas, khususnya untuk hubungandi luar pernikahan, dan menghilangkan se-bagian besar ketabuan yang sebelumnyamembebani seksualitas.

Hak Menentukan Ajal dan MenguasaiHidup

Berbicara tentang hak dalam menentukanajal dan menguasai hidup, Foucault melihatbahwa sejak abad ke-17, kekuasaan telahmengendalikan kehidupan dalam dua ben-tuk, yaitu politik-anatomi terhadap tubuhmanusia dan bio-politik terhadap kontrolpopulasi. Seks menjadi tema sentral karenaberkaitan langsung dengan berbagai disiplinmengenai tubuh dan sekaligus manjadi bagi-an dari regulasi populasi. Dengan begitu, ke-kuasaan secara politis dan ekonomis sangatberkaitan dengan seks. Jika dulu hidup-matiseseorang ada di tangan raja, kini sudah ber-transformasi menjadi wujud analisis penge-tahuan, dan, tentu saja, sebagai sebuah fe-nomena bahwa setiap orang memiliki hakyang sama untuk menentukan ajal dan me-nguasai hidupnya masing-masing.*

Rahayuningtyas

Dekonstruksi Institusi untukKeadilan Gender

Buku ini secara keseluruhan berusahamelihat kembali karakter gender dalam

pembangunanorganisasi, baik di tingkat ne-gara maupun di tingkat masyarakat sipil danlingkungan institusinya. Buku ini sendiri ba-nyak menaruh perhatian pada organisasi dimana gender dikonstitusikan, dan bagaima-na ketika organisasi tersebut bekerja di ru-ang publik. Pasar dan institusi yang bersifatdomestik, seperti rumah tangga, tidak diso-rot secara langsung tapi mendapat tempatbahasan.

Dalam buku ini terdapat 13 tulisan yangmenyoal institusi dan perempuan. Bagianpembuka oleh Anne Marie Goetz memberi-kan pembuka pentingnya institusi dalam

Judul : Getting Institutions Right for Women in DevelopmentEditor : Anne Marie GoetzPenerbit : Zed Books Ltd., 1997Halaman : iv + 248 HalamanISBN : 1-85649-525-6

272 Afirmasi Vol. 02, Januari 2013

mengatur dan mengkordinasikan masyara-kat, mengalokasikan sumberdaya dan mem-buat kebutuhan diinterpretasikan oleh pem-buat kebijakan.

Buku ini terdiri dari lima bagian. Bagianpertama mengeksplorasi perspektif teoritisdari akuntabilitas untuk perempuan. Bagianini menyediakan kerangka untuk mengingat-kan mengenai pentingnya konteks dalammemahami akuntabilitas bagi perempuan.Konteks tersebut adalah politik, organisasidan kognitif yang saling mempengaruhistruktur dalam interaksi agen pembangun-an.1 Buku ini ditulis pada era pembangunandiarahkan untuk melibatkan perempuan da-lam pembangunan, atau yang dikenal de-ngan Gender and Development (GAD).

“The key to GAD is challenging the po-wer relation within the system or thesociety and leveling the playing field bychanging institutional rules. In the pro-cess, it aims at reconstructing the socialrelations between men and women andthus, involving not only women, but al-so men.” (Goetz: 1997, p:3).

Bagian kedua adalah tulisan-tulisan yangmenyoal institusionalisasi keadilan genderdalam birokrasi negara. Dalam studi di nega-raChile dan Filipina, penulis bagian inimenganalisis kehadiran perempuan dalambirokrasi negara. Ia mengatakan bahwa re-zim yang transisional dari dictatorship ke popu-lar democracy telah memberi kesempatan pe-rempuan untuk ada dalam birokrasi negara.Namun di Chile, aktivisme di kalangan akarrumput hanya bisa efektif di level politik

lokal, dan tidak bisa bertransisi menjadi ke-kuatan partisipasi politik yang lebih luaslagi. Masalah yang menarik dari bagian iniadalah, tersegregasinya perempuan yang adadi birokrasi negara dengan gerakan perem-puan, karena belum ada kerjasama ataupunkolaborasi yang saling mendukung antarasesama perempuan.

Bagian ketiga membahas institusionali-sasi keadilan gender di Non-Governmental Or-ganization (NGO). Bagian ini mempertanya-kan dan menantang asumsi umum bahwaNGO adalah institusi yang paling menerimadan mempraktikkan keadilan gender, dida-sarkan pada prinsip egalitarian yang selaludiusung oleh NGO. Bagian ini menunjuk-kan bagaimana agenda-agenda pemberdaya-an perempuan bisa menjadi bumerang. Stu-di di Bangladesh, misalnya, banyak menun-jukkan itu, di mana akses perempuan kepa-da peluang ekonomi pada akhirnya telahmenimbulkan kecemburuan laki-laki. Halini disebabkan program ini ada dalam ling-kungan sosial, politik, nilai ekonomi dan tra-disi yang malah membahayakan hidup pe-rempuan. Di Bangladesh, perempuan sangattergantung pada laki-laki dalam keluarganyauntuk akses mereka ke pasar dan untukeksistensi diri mereka. Padahal, awalnyaprogram kredit ada karena hadirnya asumsibahwa perempuan lebih bisa mendapat ke-percayaan dalam pengembalian utang diban-ding laki-laki. Asumsi ini justru banyak di-manfaatkan oleh para suami mereka untukmemaksa perempuan berutang.

Bagian keempat menyorot peran dariindividu sebagai agen. Di bagian ini, ulasanbanyak menyoal organisasi dibandingkaninstitusi sendiri. Dua tulisan dalam bagianini adalah studi kasus pekerja lapangan dari

1 Halaman 25.

Ika Wahyu Priaryani - Dekonstruksi Institusi untuk Keadilan Gender 273

NGO dalam mempromosikan keadilan gen-der dengan penerima manfaat.

Bagian kelima dan terakhir membahaspengorganisasian perempuan untuk perem-puan, dan mengamati bagaimana pengorga-nisasian perempuan dilakukan.

Anne Marie Goetz adalah ilmuwan poli-tik feminis yang banyak melakukan peneli-tian di negara berkembang, seperti India,Bangladesh dan negara-negara Afrika.Goetz memahami institusi sebagai kerangkayang telah dikonstruksikan sejarah untukaturan perilaku. Pemahaman institusi inimemberikan sumbangan untuk mengertimengapa ketika ada agen baru masuk dalaminstitusi, meski dengan perspektif yang kuatsekali pun, output perubahan yang dihasilkanrelatif kecil. Hadirnya dan meningkatnyaperempuan secara kuantitas dalam institusipublik tidak selalu berkontribusi positif dansecara linear terhadap meningkatnya kebi-jakan-kebijakan yang feminis.

Meski pun dalam institusi yang sama,tidak semua orang yang diatur itu memilikiidentitas yang sama. Untuk hal ini diamengatakan:

“All institutions have privileged partici-pants, included and excluded groups,superior and subordinate. Identificationof the gender of winners and losers inthe market or of decision-makers versusdecision takers in the organization, is im-portant in determining which group’sinterests are served by the particular insti-tution.”2(p:19)

Goetz memperkaya Pitkin dan Phillips de-ngan teori representasinya. Bila Pitkin ha-nya melihat pada agensi, Goetz menambah-kan bahwa struktur — dalam hal ini institusi— juga mempunyai andil besar dalam me-wujudkan representasi perempuan.

Pentingnya institusi ini karena Goetzmelihat bahwa entitas perempuan sendiribukanlah entitas tunggal, melainkan terbagiberdasarkan kelas sosial-ekonomi, etnis —bahkan kasta, bila didasarkan pada peneliti-annya di India.

Teori-teori feminis mengakui adanyapembedaan sosial yang berasal dari pengala-man hidup perempuan dan yang juga akanberpengaruh pada perspektif politiknya. Pe-rempuan juga bisa menjadi agen, namun se-kali lagi, institusi dan lingkungannya akansangat mempengaruhi bagaimana tindakandan kerja yang dilakukan. Untuk itu diperlu-kan upaya untuk membuktikan bahwa pe-rempuan bisa menjadi agen yang otonom.

Dalam melihat institusi publik yang di-masuki perempuan, Goetz juga melihat bah-wa semua institusi di luar rumah tangga(atau ruang domestik) akan dianggap mem-punyai nilai publik, atau nilai ekonomi. Da-lam kaitannya dengan representasi perempu-an, Goetz menjelaskan bahwa kapabilitassosial dan fisik dari yang mendominasi insti-tusi akan terefleksikan dari posisi di organi-sasi kerja. Kapasitas sosial laki-laki yang be-bas dari tanggungjawab pengasuhan anakdan urusan domestik membuat laki-laki le-bih memiliki banyak waktu untuk bekerjadan berorganisasi di luar rumah. Institusipublik di luar institusi keluarga diasumsikansebagai netral-gender, sementara pembagi-an kerja secara gender selalu hadir dalamins titusi keluarga. Goetz banyak menaruh

2 Goetz, Anne Marie. Getting Institutions Right for Womenin Development. Zed Books. New York. 1997.

274 Afirmasi Vol. 02, Januari 2013

perhatian dan kritik pada institusi publik ini,terutama kalangan masyarakat sipil dan danlembaga perwakilan/representasi. Goetzmenyatakan bahwa institusi di luar rumahtangga banyak dipengaruhi oleh bias laki-laki, dan gagal dalam mengakomodasi kerja-kerja reproduktif, atau melakukan feminisasiterhadap partisipasi perempuan seperti seba-gai fungsi pembantu atau pengasuh.

Laki-laki dianggap memiliki kapasitaslebih logis untuk memerintah dan mempu-nyai pertimbangan moral; sebaliknya, pe-rempuan dianggap tidak memiliki kapasitastersebut. Hal ini juga didukung oleh norma-norma adat dan agama serta nilai-nilai. Po-kok-pokok ini yang membangun hubunganantara laki-laki dan perempuan (dalam dandi luar rumah tangga), yang tercermin padapembagian antara “publik” dan “domestik”,atau “pribadi”, antara yang bernilai “pro-duktif ” dan “tidak produktif ”.

Shirin M. Rai, dalam buku yang disun-ting oleh Goetz,3 juga mengemukakan buktiempiris menarik tentang representasi perem-puan di India. Rai menganalisis hubunganantara pertumbuhan gerakan perempuandan representasi politik perempuan di In-dia. Dia melihat ketika perempuan kecilrepresentasinya di legislatif, gerakan perem-puan justru mampu menempatkan agendagender dalam partai politik. Selain itu, terli-hat juga bahwa legislatif perempuan yangtidak pernah menjadi bagian dari gerakanperempuan akan lebih terikat pada sistempartai, dan kurang memperjuangkan isu gen-der. Rai melakukan tracking record perempuananggota parlemen di India, dan menjabar-

kan kelas sosial dan track record dari MPstersebut. Dari data tersebut dianalisis bahwaperempuan dari kelas menengah dan atas,juga dari kelas sosial yang mapan, lebihmampu untuk berkontribusi di kehidupanpublik.

Goetz secara tegas menyatakan bahwamembawa perspektif keadilan gender da-lam politik dan kebijakan publik, denganmensyaratkan hadirnya tubuh perempuanadalah salah kaprah. Terkecuali, kehadirantersebut juga didukung dengan usaha keraslainnya untuk membawa isu gender keruang lain, di mana kepentingan politik ber-main. Hal ini sangat senada dengan pemeofeminisme yang sangat terkenal, yakni, “Thepersonal is political”.

Terbukanya ruang partisipasi politik sa-ngat penting bagi perempuan, dan bukanhanya karena hal tersebut bisa eksis dan adakarena perjuangan, advokasi dan mobilisasidalam kebijakan publik. Ruang tersebut jugamenawarkan pola pembelajaran bagi perem-puan, yang memungkinkan perempuan me-nyadari dan mengartikulasikan kepenting-annya, membangun aliansi strategis, danmempelajari pola kerjasama serta memba-ngun konsensus dalam ruang politik. Pem-belajaran ini akan menjadi pengalaman ber-harga, dan bisa direplikasi bagi perempuanlain yang akan masuk dalam arena politikformal, sebuah arena pertarungan untukmempertahankan argumen dan debat secaraefektif.

Alternatif yang ditawarkan Goetz agarperempuan terepresentasikan adalah de-ngan membentuk apa yang ia namakan“forms of institutions and organizations”. Dalamhal ini Goetz menganggap organisasi perem-puan bisa menjadi salah satu jawabannya.

3 Goetz, Anne-Marie (ed). Getting institutions Right for Wo-men in Development. Taylor and Francis. 1997, p.107.

Ika Wahyu Priaryani - Dekonstruksi Institusi untuk Keadilan Gender 275

Dengan mengesampingkan pluralnya orga-nisasi perempuan, diharapkan organisasi pe-rempuan bisa menjadi ‘kawah candradimu-ka’ dan sebagai inkubator untuk lahirnya pe-mimpin perempuan, atau pembuat kebijak-an publik yang bisa bersuara.

Kemunculan dan meluasnya institusidemokrasi seperti partai politik, serikat bu-ruh, media massa maupun gerakan masya-rakat sipil telah memampukan warga negarauntuk berpartisipasi dalam politik, baiklangsung melalui pemilihan umum, atau ti-dak langsung dalam advokasi kebijakan.Dalam konteks demokrasi modern (bila ti-dak mau dikatakan liberal), partai politik,misalnya, menjadi institusi yang bisa menja-di arena di mana warga negara dapat berpar-tisipasi aktif dan mempunyai akses langsungterhadap pengambil keputusan yang meru-pakan representasi partai. Partai politik se-harusnya bisa menjadi mediator antara ka-langan masyarakat sipil dengan pemerintah.Namun di sisi lain, partai politik juga dilihatsebagai patron politik, yang ditujukan untukkepentingan elektoral semata. Dengan de-mikian resistensi terhadap partai politik darikalangan masyarakat sipil juga masih sangatkental.

Namun melihat lagi perjalanan perempu-an masuk dalam politik, sebenarnya tidakada jalan pintas dan baku, yang menyatakanbahwa perempuan harus masuk dalam akti-vitas komunitas atau masyarakat sipil. Per-tanyaan yang bisa diajukan kemudian ada-lah mengapa sangat sedikit sekali pemimpinperempuan atau aktivis feminis, yang ma-suk dalam ranah politik dan bisa mempeng-aruhi kebijakan publik secara langsung?Inkubator tradisional untuk menggodok pe-mimpin politik di antaranya adalah serikat

buruh, kampus dan partai politik. Arena-arena tersebut mempertajam insting politik,tapi sangat besar kemungkinan arena terse-but tidak membuat perempuan bisa ‘bicara’.

Pertanyaan menarik datang dari TaheraYasmin (p:199),4 “Do women manage differ-ently from men?” Dan bagaimana perempuanberhadapan dengan hirarki dan pembuatankeputusan? Dalam studinya di Bangladesh,pandangan laki-laki lebih mendeterminasi,bahkan di isu-isu pembangunan yang ber-kaitan dengan perempuan sekali pun. Pan-dangan tersebut karena antara lain, perem-puan tidak berpikir tentang jenjang karir se-perti laki-laki, perempuan mendapat cutilebih banyak, perempuan tidak menyukaikerja berpindah-pindah, dan lainnya. Kon-sekuensinya, perempuan amat jarang di-tempatkan pada posisi manajerial.

Beberapa isu dan pertanyaan yang mun-cul untuk menjawab dan melengkapi pemi-kiran Goetz dalam isu representasi politikantara lain: Bagaimana perempuan mema-suki dunia politik? Apa jalur yang ditempuhperempuan untuk bisa menduduki posisi diranah politik? Bagaimana dan di mana pe-rempuan belajar seni dan aktivitas politik?Bagaimana pembelajaran politik dilakukan?Bagimana ragam dari institusi publik dimana perempuan berpartisipasi? Pertanyaanpenting yang juga harus diajukan adalah,dalam kapasitas seperti apa demokrasi me-nyediakan ruang untuk mengajukan isu kea-dilan gender?

Sebagai penutup, membuat institusi be-kerja untuk perempuan dalam pembangun-an membutuhkan aktivisme politik para fe-

4 Goetz, Anne Marie. Getting Institutions Right for Womenin Development. Zed Books. New York. 1997.

276 Afirmasi Vol. 02, Januari 2013

minis dari semua institusi maupun individuyang memberikan perhatian terhadap kese-taraan dan keadilan. Partisipasi perempuandalam institusi publik, baik organisasi pe-rempuan atau pun organisasi publik lainnya,hanya bisa bermakna dan berarti bila dituju-

kan dalam konteks untuk melanjutkan ne-gosiasi dan perjuangan mencapai keseta-raan dan keadilan bagi laki-laki dan perem-puan. In the end, it’s a matter of political struggle.*

Ika Wahyu Priaryani

Tentang Penulis

Ayu Anastasia, sejakmahasiswa tertarik de-ngan penelitian yangberkaitan dengan pe-rempuan dan anak-anak. Beberapa peneli-tian yang dilakukannya

adalah dengan Pusat Kajian dan Perlindung-an Anak (PUSKA PA) FISIP UI. Ayu jugaterlibat sebagai asisten peneliti dalam pe-nelitian “Mewujudkan Rutan dan Lapasyang Sensitif pada Pengalaman dan Kebu-tuhan Khusus Perempuan yang Beragam”.

Setelah menyelesaikan S1 di Departe-men Kriminologi FISIP UI pada Septem-ber 2011, Ayu terlibat dalam proyek peneli-tian PUSKA PA dan Kementerian Sosial RImengenai “Monitoring dan Evaluasi Pro-gram Kesejahteraan Sosial Anak”. Kecinta-annya terhadap dunia penelitian dan isu pe-rempuan membuat Ayu bergabung menjadipeneliti di Women Research Institute, se-buah lembaga penelitian yang menaruh per-hatian terhadap perempuan dengan basis fe-minisme.

Chusnul Mar’iyahmenyelesaikan pendi-dikan doktor di Uni-versity of Sydney, Aus-tralia. Chusnul dikenalsebagai seorang aktivissejak kuliah di jurusan

ilmu politik, Fakultas Ilmu Sosial dan IlmuPolitik, Universitas Indonesia. KemudianChusnul menjadi dosen di almamaternyasampai saat ini.

Selain mengajar, Chusnul Mar’iyah ter-catat pernah menjadi peneliti dan turutmendirikan Koalisi Perempuan Indonesiauntuk Keadilan dan Demokrasi, mendirikanPerempuan untuk Perdamaian dan KeadilanGender, yang menggagas Kongres Perem-puan Aceh (Duek Pakat Inong Aceh). Se-lain itu dia juga melibatkan diri dengan Ge-rakan Perempuan Sadar Pemilu, Transpa-rancy International Indonesia. ChusnulMar’iyah juga tercatat pernah menjadi ang-gota Komisi Pemilihan Umum Periode2002-2007.

278 Afirmasi Vol. 02, Januari 2013

Edriana Noerdin ak-tif dalam gerakan pe-rempuan di Indonesiasejak 1986. Kuatnyaminat terhadap isu-isuperempuan membuat-nya menempuh pendi-

dikan S2 dalam Women and Developmentdi Institute of Social Studies, The Hague,Belanda. Bersama sejumlah rekan, EdrianaNoerdin mendirikan WRI, pada saat inimenjabat sebagai Direktur Program.

Sebagai akademisi dan aktivis, Edrianatelah menulis artikel dan makalah terkaitisu-isu perempuan di beberapa media. Ia ju-ga aktif sebagai pembicara dalam berbagaiforum di dalam dan luar negeri serta pro-duktif dalam menulis dan menyunting be-berapa buku yang diterbitkan oleh WRI.

Frisca Anindhita ter-tarik pada bidang pe-nelitian semasa maha-siswa. Pada 2008 dan2009 Frisca bergabungdengan project WorldBank “The Violent

Conflict in Indonesia Study (ViCIS)” seba-gai tim pengolah data digital. Sarjana Kese-hatan Masyarakat Universitas Indonesia lu-lusan 2010 ini, beberapa kali terlibat dalampenelitian bertemakan kesehatan, di antara-nya Kesehatan Dasar (Riskesdas), 2010 se-bagai validator dan sebagai enumerator pa-da penelitian Biaya Operasional Kesehatan(BOK) yang diselenggarakan oleh Kemen-terian Kesehatan RI. Frisca juga pernah ber-gabung dengan Pusat Kesehatan Haji Ke-menterian Kesehatan RI sebagai tim Ope-rasional Siskohatkes (Sistem Surveilance

Kesehatan Haji Terpadu) Oktober-Desem-ber 2011. Pada Januari 2012, Frisca berga-bung dengan WRI sebagai peneliti.

Ika Wahyu Priaryanimenyelesaikan pendi-dikan S1 di bidang so-siologi pada FakultasIlmu Sosial dan IlmuPolitik, Universitas In-donesia dan diploma

di bidang teknik grafika dan penerbitan dariPoliteknik Universitas Indonesia.

Sebelum bergabung sebagai peneliti diWRI 2011-2013, Ika bekerja sebagai penelitidi lembaga penelitian seperti Yayasan Aka-tiga, Lembaga Studi Pers dan Pembangunan(LSPP) serta Institute of Democracy and Elec-toral Assistance (IDEA). Ika terlibat dalamberbagai penelitian tentang buruh, pemilih-an umum dan perempuan seperti “PerananPerempuan dalam Kerukunan Antar UmatBeragama”, ‘Legislative Political Tracking”.Tracking the Politician for Voter Education”, Po-tential Women for Legislative” serta “Identitasdan Pengorganisasian Buruh di Komuniti,2008”.

Myra Diarsi menye-lesaikan pendidikansarjana di FakultasPsikologi UniversitasIndonesia, 1984 danmeraih gelar MA, dariInstitute of Social Stu-

dies (ISS) The Hague, Netherlands, 1991.Pada 1985, Myra Diarsi mendirikan Kal-

yanamitra dan bergiat dalam isu gender hing-ga kini. Sebagai perempuan aktivis, MyraDiarsi juga dikenal sebagai pendidik dalam

Tentang Penulis 279

berbagai pelatihan analisis gender dan sosial,sebagai (gender expert). Myra juga menekunikonseling bagi perempuan korban kekeras-an di berbagai organisasi di Indonesia. MyraDiarsi tercatat sebagai komisioner KomnasPerempuan periode 1998-2006. Selain ituMyra merupakan salah satu pendiri WRI.

Aris Arif Mundayatmenyelesaikan pendi-dikan doktor di Swin-burne University ofTechnology, Australia.Tahun 2005-2010 men-jabat sebagai direktur

di Pusat Studi Sosial Asia Tenggara Univer-sitas Gadjah Mada, dan sejak tahun 2011menjabat sebagai wakil direktur di lembagatersebut. Sebagai antropolog, Aris Arif Mun-dayat telah mempublikasikan berbagai kaji-annya dengan perspektif antropologi poli-tik. Kajiannya meliputi budaya politik dalammasyarakat Indonesia, relasi kuasa genderdan politik seksualitas, politik konsumeris-me, Islam dan perubahan sosial politik, ge-rakan petani dan militerisme, HAM dan de-mokrasi.

R a h a y u n i n g t y a ssudah aktif dalam or-ganisasi mahasiswa pa-da masa kuliah. Tyasjuga menjadi staf ahliMajelis Wali AmanahUniversitas Indonesia

(MWA UI) Unsur Mahasiswa 2009 bidangKebijakan Publik. Selama menjadi staf ahli

MWA UI Tyas banyak melakukan kajian tatakelola pendidikan yang baik sehingga kebi-jakan Universitas Indonesia memudahkanmahasiswa memperoleh pendidikan tinggi.Tyas menjadi volunteer Spanish SpeakingWoman Association (SSWA) pada 2009-2010.

Setelah menyelesaikan studinya 2010,Tyas terlibat dalam proyek penelitian Ke-menterian Kesehatan RI. Tahun 2011 Tyasbergabung menjadi Peneliti di Pusat KajianBiostatistika dan Informatika Kesehatan(PKBIK) Fakultas Kesehatan MasyarakatUI. Dan pada awal Januari 2012 Tyas ber-gabung menjadi Peneliti Women ResearchInstitute.

Sita Aripurnami me-namatkan pendidikansarjana di FakultasPsikologi UniversitasIndonesia, dan pro-gram S2 di bidang gen-der di London School

of Economics and Political Science, Lon-don, Inggris. Sita Aripurnami adalah salahsatu pendiri organisasi perempuan Kalya-namitra pada 1985. Saat ini, Sita Aripurnamimenjabat sebagai Direktur Eksekutif WRI,dan aktif berperan sebagai advisor dan fasi-litator untuk berbagai program terkait isugender serta menjadi pembicara dan parti-sipan dalam berbagai forum baik di tingkatnasional maupun internasional.

Bersama rekan peneliti di WRI, Sita ter-libat dalam penulisan berbagai hasil pene-litian WRI yang dipublikasikan.***

ii Afirmasi Vol. 02, Januari 2013