versi 2

download versi 2

of 29

description

tugas

Transcript of versi 2

Akurasi Skor Stadium Klinis dalam Memprediksi Ekspresi Vascular Endothelial Growth Factor pada Karsinoma Nasofaring

Syabriansyah**Bagian Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok, Bedah Kepala dan LeherFakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya Palembang

Abstrak: Latar Belakang. Penderita karsinoma nasofaring (KNF) setelah di terapi masih terdapat angka kekambuhan dan metastasis yang cukup tinggi karena penderita berobat sudah pada stadium lanjut. Untuk itu diperlukan penanda molekuler yang berkorelasi dengan keadaan klinis pasien sebenarnya dan dapat digunakan sebagai panduan terapi target. VEGF merupakan faktor proangiogenik yang berperan dalam angiogenesis untuk pertumbuhan, invasi dan metastasis tumor yang berkorelasi dengan stadium klinik KNF. Tujuan. Penelitian dilakukan untuk melihat korelasi ekspresi VEGF dengan stadium klinik penderita KNF di RSUP dr. Moehammad Hoesin (RSMH) Palembang. Ekspresi VEGF dapat digunakan sebagai acuan tambahan untuk terapi target penderita karsinoma nasofaring, khususnya di RSMH Palembang. Metode. Penelitian ini adalah studi observasional, deskriptif analitik dengan pendekatan potong lintang yang dilakukan di poliklinik dan ruang rawat inap Departemen Ilmu Penyakit Dalam, Departemen Kesehatan THT-KL dan Sentra Diagnostik Patologi Anatomi RSMH Palembang dari bulan Februari Desember 2012. Hasil. Sampel penelitian yang memenuhi kriteria penerimaan adalah 38 orang yaitu 29 orang laki-laki dan 9 perempuan dengan perbandingan 3,2:1. Kelompok usia terbanyak adalah 40-49 tahun (31,6%) dengan gejala klinis yang paling banyak benjolan di leher (52,6%). Tipe histopatologi karsinoma nasofaring berdasarkan WHO 2005 yang terbanyak adalah karsinoma sel skuamosa tidak berkeratin tidak berdiferensiasi yaitu 79,9%. Pada penelitian ini KNF banyak ditemukan pada stadium lanjut (81,6%) dan ekspresi VEGF yang positif (overekspresi) sebesar (84,2%). Korelasi antara ekspresi VEGF dan stadium klinik KNF memperoleh hasil yang bermakna (p = 0,03).Kesimpulan: Terdapat korelasi antara ekspresi VEGF dan stadium klinik karsinoma nasofaring (p = 0,03).Kata kunci : karsinoma nasofaring, ekspresi VEGF

Abstract. Background. Patients of nasopharyngeal carcinoma (NPC) in advanced stage after the treatment, there were still recurrence and metastasis rate. It was necessary for molecular markers that correlated with the clinical stage of patient and could be used as a guide to targeted therapies. VEGF as proangiogenic factors played a role in angiogenesis for the growth, invasion and metastasis of tumor were correlated with clinical stage of NPC. Purpose. The aim of this study was to determine correlation of VEGF expression with clinical stage NPC patients at Dr. Moehammad Hoesin (RSMH) Palembang. VEGF expression can be used as an additional reference for targeted therapy of patients with nasopharyngeal carcinoma, especially in RSMH Palembang. Method. Analytic observational study with cross sectional approach in the Departement of Internal Medicine, Department Health of Otolaryngology Head and Neck, and Health Centers Diagnostic Pathology RSMH Palembang from February December 2012. Results. There were 38 patients NPC, 29 men and 9 women with a ratio of 3,2:1. Highest age group was 40-49 years (31,6%) with clinical symptoms of the most lumps in the neck (52,6%). Histopatology types of nasopharyngeal carcinoma by WHO in 2005 the vast majority were not keratinizing squamous cell carcinoma undifferentiated 79,9%. In this study of NPC are found at an advanced stage (81,6%) and positive VEGF expression (overexpression) 84,2%. Correlation between VEGF expression and clinical stage of NPC to obtain meaningfull results (p = 0,03).Conclusion: There is a correlation between VEGF expression and clinical stage of nasopharyngeal carcinoma (p = 0,03).Keywords: Nasopharyngeal Carcinoma, VEGF Expression

PENDAHULUAN1.1 Latar BelakangKarsinoma nasofaring (KNF) adalah keganasan epitel yang tumbuh di daerah nasofaring yang merupakan daerah perbatasan epitel nasofaring dimana epitel kuboid berubah menjadi epitel skuamosa dengan predileksi di fossa Rossenmuller dan atap nasofaring. Tumor primer dapat kecil, tetapi dapat menimbulkan metastasis pada kelenjar limfe regional, biasanya pada leher.1-4 KNF merupakan salah satu bentuk keganasan (squmaous cell carcinoma of the head and neck ) yang mempunyai sifat unik, karena karsinoma ini menunjukkan predileksi dan prevalensi ras yang lebih jelas.1,3 KNF paling sering ditemukan di Asia, di provinsi Cina Selatan dan Asia tenggara yang merupakan tumor ganas regio kepala dan leher.2,4,5 Hampir 60% tumor ganas kepala dan leher merupakan KNF kemudian dikuti oleh tumor ganas lainnya. Kelompok yang berisiko tinggi menderita KNF adalah kelompok usia diatas 30 tahun dengan puncaknya pada usia 40-60 tahun dan sebagian kecil pada masa kanak-kanak. 6-8. Diagnosis karsinoma nasofaring ini sering terlambat. Hal ini disebabkan gejala dini yang tidak khas dan letak nasofaring yang tersembunyi, sehingga metastasis ke kelenjar getah bening leher lebih sering ditemukan sebagai gejala pertama. Penderita KNF sering datang dalam stadium lanjut sehingga sulit dalam penatalaksanaannya dan memperburuk faktor prognosis. Prognosis karsinoma nasofaring sangat ditentukan oleh diagnosis yang cepat dan tepat. Dari berberapa penelitian, kasus dini hanya ditemukan sebanyak 3,8%-13,9%, sedangkan temuan penderita pada stadium lanjut sebanyak 88,1%-96,2%. 1,4,5,9,10 Radioterapi dan kemoterapi masih merupakan modalitas terapi karsinoma nasofaring. Penderita KNF stadium dini dengan radioterapi saja memiliki prognosis dan angka kesembuhan yang lebih baik daripada stadium lanjut. Penatalaksanaan karsinoma nasofaring dengan radioterapi yang dikombinasi dengan kemoterapi menjadi standar terapi pada stadium lanjut. Kemoterapi digunakan bersamaan dengan radiasi dapat meningkatkan kontrol loco-regional dan dapat mengurangi metastasis jauh.4,6,7,11Penatalaksanaan keganasan bersifat heterogen dan berbeda setiap individu, sehingga sangat diperlukan adanya penanda biologi molekuler yang berkorelasi dengan keadaan klinis pasien dan dapat digunakan sebagai panduan terapi dengan target molekuler pada penderita KNF. Beberapa target molekuler berhasil diidentifikasi dalam spesimen massa penderita KNF. Ekspresi bahkan overekspresi reseptor yang berhasil didapat pada SCCHN terutama pada KNF antara lain: epidermal growth factor receptor (EGFR), cyclooxygenase (Cox-2) dan vascular endothel growth factor (VEGF). 1,3,9,10,11 VEGF merupakan faktor proangiogenik yang berperan dalam angiogenesis untuk pertumbuhan, invasi dan metastasis tumor.3,5,8,12 Ekspresi VEGF dalam sel tumor distimulasi oleh hipoksia, onkogen (ras) dan inaktivasi gen supresor tumor (p53) serta oleh berbagai sitokin. Aktivasi VEGF/VEGF reseptor (VEGFR) memicu jaringan sinyal multipel yang menghasilkan sel endotel vaskuler baru yang tetap survival, mitogenesis, migrasi, proliferasi, diferensiasi dan mempertahankan permeabilitas vaskular serta mobilisasi sel progenitor endotel dari sumsum tulang ke sirkulasi perifer.4-7.10,11,13Prilaku biologi KNF yang berbeda dari SCCHN memberikan peluang pemberian terapi yang lebih bersifat individu. Salah satu sifat biologi KNF adalah kemampuannya menghantarkan sinyal dari ekstraseluler ke intraseluler yang memicu proses proliferasi, diferensiasi, hambatan apoptosis dan meningkatkan proses angiogenesis.2,3,5,9 Pada permukaan sel KNF dapat dijumpai peningkatan jutaan ekspresi faktor pertumbuhan pembuluh darah baru (VEGF). Overekspresi VEGF berhubungan dengan transformasi keganasan dan diferensiasi sel kanker. Ekspresi yang tinggi membuat sel kanker cenderung menjadi bentuk tidak berdiferensiasi dengan angka ketahanan hidup yang rendah. VEGF merupakan salah satu faktor pertumbuhan yang dianjurkan sebagai terapi target pada kanker termasuk KNF. Beberapa studi mengkombinasikan anti-VEGF dengan radiasi atau kemoterapi pada SCCHN loco-regional atau sudah mengalami metastasis, memberikan hasil lebih baik dan meningkatkan kelangsungan hidup.3,5,7,13,14 Penelitian mengenai VEGF telah banyak dilakukan baik di Indonesia maupun di luar negeri. Penelitian Guang Wu14 tahun 2000 membandingkan ekspresi VEGF antara sampel jaringan dari nasofaring normal, tumor jinak nasofaring dan KNF, dengan nilai ekspresi VEGF 10%, 40%, dan 80%. Ekspresi VEGF meningkat pada KNF stadium lanjut. Penelitian Hui dkk15 tahun 2002 didapatkan 54 dari 90 kasus KNF (60%) menunjukkan overekspresi VEGF umumnya terdapat pada KNF yang mungkin diakibatkan oleh hipoksia melalui jalur tergantung pada HIF. Penelitian Soo R16 tahun 2005 mengevaluasi hubungan antara ekspresi VEGF, status EBV dan rekurensi pada KNF, didapatkan overekspresi VEGF 67% dari 103 penderita KNF. Hasil penelitian menunjukkan adanya potensi pola ekspresi VEGF dapat dijadikan sebagai marker tumor untuk diagnosis dini metastasis KNF dan adanya EBV berkaitan dengan peningkatan regulasi VEGF. Penelitian di Cina oleh Sha D17 tahun 2006 yang meneliti hubungan antara ekspresi VEGF dengan gambaran klinis dan prognosis penderita KNF, didapatkan dari 127 spesimen KNF yang diperiksa imunohistokimia, nilai positif VEGF sebesar 66,9% sehingga disimpulkan VEGF terekspresi secara luas pada jaringan KNF dan berhubungan dengan gambaran klinis dan prognosis penderita KNF.Penelitian Li dkk18 tahun 2008 di Cina mendapatkan hasil overekspresi VEGF dijumpai pada 86 dari 188 kasus KNF (45,7%), sementara ekspresi rendah VEGF dijumpai pada 102 kasus (54,3%). Dari penelitian ini disimpulkan terdapat hubungan antara ekspresi VEGF dengan stadium TNM pada KNF dan overekspresi VEGF merupakan faktor prognostik independen pada pasien KNF. Penelitian Pan J dkk19 tahun 2008 di Cina mendapatkan overekspresi VEGF 52 (65%) dan nilai ekspresi VEGF 28 (35%) dari 80 penderita KNF, menilai hubungan antara ekspresi VEGF dan stadium TNM KNF didapatkan hubungan yang bermakna antara ekspresi VEGF dan klasifikasi stadium baik T, N dan M (p= 0,005, 0,003, dan 0,000). Sedangkan Pahala20 tahun 2009 di Medan mendapatkan overekspresi VEGF 35,7% dari 28 kasus KNF. Dari penelitian ini disimpulkan bahwa tidak terdapat hubungan yang bermakna antara stadium tumor, jenis histopatologi dengan ekspresi VEGF pada KNF. Syahriana E21 tahun 2012 di RSMH Palembang bagian Penyakit Dalam mendapatkan hasil overekspresi VEGF dijumpai pada 32 dari 38 kasus KNF (84,2%), sementara ekspresi rendah VEGF dijumpai pada 2 kasus (15,8%). Dengan menilai korelasi ekspresi VEGF dengan stadium klinis penderita KNF, secara statistik hasil uji korelasi antara ekspresi VEGF pada stadium T didapatkan bermakna dengan kekuatan korelasi lemah (p= 0,012 dan r=0,241). Sedangkan korelasi antara ekspresi VEGF dan stadium N tidak bermakna (p=0,497) dengan kekuatan korelasi sangat lemah (r=0,074) dan tidak terdapat korelasi antara ekspresi VEGF dan stadium M (p=0,260 r=0,188) Dari data-data tersebut di atas menunjukkan bahwa ekspresi VEGF yang meningkat berhubungan dengan angiogenesis, pembesaran tumor dan metastasis kelenjar limfe. Berdasarkan hasil dari penelitian sebelumnya, maka peneliti tertarik untuk mengidentifikasi akurasi skor stadium klinis dalam memprediksi ekspresi VEGF pada KNF sehingga dapat digunakan dalam menentukan prognosis dan sebagai acuan dalam penatalaksanaan KNF khususnya pada terapi target VEGF penderita KNF di RSMH Palembang. Sepengetahuan peneliti belum ada penelitian dan data tentang hal ini di Departemen KTHT-KL RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang.1.2 Rumusan MasalahDengan memperhatikan latar belakang masalah diatas, dirumuskan masalah penelitian sebagai berikut: Apakah skor stadium klinis dapat memprediksi ekspresi VEGF pada penderita KNF secara akurat?1.3 Hipotesis PenelitianBerdasarkan rumusan masalah di atas, maka hipotesis penelitian ini adalah sebagai berikut : Skor stadium klinis merupakan metode yang akurat dalam memprediksi ekspresi VEGF pada penderita KNF.1.4 Tujuan Penelitian1.4.1 Tujuan UmumUntuk mendapatkan tingkat akurasi dari skor stadium klinis dalam memprediksi ekspresi VEGF pada penderita KNF. 1.4.2 Tujuan Khusus1. Mendapatkan titik potong sensitivitas dan spesifisitas dari skor stadium klinis dalam memprediksi ekspresi VEGF pada penderita KNF dengan menggunakan analisis receiver operator curve (ROC).2. Menentukan validitas (sensitivitas, spesifisitas, nilai duga positif, nilai duga negatif, rasio kemungkinan positif, rasio kemungkinan negatif dan akurasi) skor stadium klinis dalam memprediksi ekspresi VEGF pada penderita KNF.1.5 Manfaat Penelitian1.5.1 Manfaat KlinisHasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangsih bagi ilmu pengetahuan tentang ekspresi VEGF pada KNF, dengan skor stadium klinis dalam memprediksi ekspresi VEGF pada KNF. Penelitian ini juga diharapkan dapat membantu menilai prognosis penderita KNF, sehingga dengan menentukan prediktor ekspresi VEGF dapat digunakan sebagai acuan terapi target dan sebagai alternatif atau tambahan terapi dalam manajemen penderita KNF, khususnya di RSMH Palembang.

1.5.2. Manfaat IlmiahPenelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan pengetahuan dan menjadi dasar penelitian lebih lanjut tentang ekspresi VEGF pada penderita KNF.

I.6 Keaslian PenelitianPenelitian mengenai VEGF telah banyak dilakukan baik di luar negeri yang terbanyak di Cina dan sudah pernah di Indonesia. Pemeriksaan imunohistokimia VEGF yang masih sulit didapatkan karena keterbatasan antibodi primer VEGF dan terapi anti VEGF yang biayanya masih mahal.Tabel 1. Daftar penelitian yang terkait : PENELITI (tahun)METODEEkspresi VEGFHASIL

Guang Wu 2000 CinaMembandingkan ekspresi VEGF antara sampel jaringan dari nasofaring normal, tumor jinak nasofaring dan KNFNilai ekspresi VEGF 10%, 40%, dan 80%.

Ekspresi VEGF meningkat pada KNF stadium lanjut.

Hui dkk tahun 2002 CinaHubungan antara ekspresi VEGF, KNF pada keadaan hipoksiaOverekspresi54 (60%) Ekspresi 36 (40%) dari 90 kasus KNF Overekspresi VEGF umumnya terdapat pada KNF yang mungkin diakibatkan oleh hipoksia melalui jalur HIF

Soo R tahun 2005 CinaHubungan antara ekspresi VEGF, status EBV dan rekurensi pada KNFOverekspresi69 (67%) Ekspresi 34 (33%) dari 103 kasus KNF

Ekspresi VEGF dapat dijadikan sebagai marker tumor untuk diagnosis dini metastasis KNF dan adanya EBV berkaitan dengan peningkatan regulasi VEGF

Sha D tahun 2006 CinaHubungan antara ekspresi VEGF dengan gambaran klinis dan prognosis penderita KNFOverekspresi85 (66,9%) Ekspresi 42 (33,1%) dari 127 kasus KNF

VEGF terekspresi secara luas pada jaringan KNF dan berhubungan dengan gambaran klinis dan prognosis.

Li dkk tahun 2008 CinaHubungan antara ekspresi VEGF dengan stadium TNMOverekspresi86 (45,7%) Ekspresi 102 (54,3%) dari 188 kasus KNF

Terdapat hubungan antara ekspresi VEGF dengan stadium TNM pada KNF dan overekspresi VEGF merupakan faktor prognostik independen pada pasien KNF.

Pan J dkk tahun 2008CinaHubungan antara ekspresi VEGF dan stadium TNM KNFOverekspresi52 (65%) Ekspresi 28 (35%) dari 80 kasus KNF

Hubungan yang bermakna antara ekspresi VEGF dan klasifikasi stadium baik T, N dan M (p= 0,005, 0,003, dan 0,000)

Pahala tahun 2009 di MedanHubungan antara stadium tumor, jenis histopatologi dengan ekspresi VEGF pada KNFOverekspresi10 (35,7%) Ekspresi 18 (64,3%) dari 28 kasus KNF

Tidak terdapat hubungan yang bermakna antara stadium tumor, jenis histopatologi dengan ekspresi VEGF pada KNF

Syahriana E tahun 2013 di PalembangKorelasi ekspresi VEGF dengan stadium klinis penderita KNFOverekspresi32 (84,2%) Ekspresi 2 (15,8%) dari 38 kasus KNF

Bermakna antara korelasi ekspresi VEGF dengan stadium klinis penderita KNF dengan kekuatan korelasi yang lemah

TINJAUAN PUSTAKA2.1 Anatomi NasofaringNasofaring merupakan suatu rongga dengan dinding kaku di atas, belakang dan lateral yang secara anatomi termasuk bagian faring. Nasofaring juga suatu ruang sempit berbentuk trafezoid yang terdapat di belakang rongga hidung. Bagian atap dan dinding belakang dibentuk oleh basis sphenoid, basis occiput dan ruas pertama tulang belakang. Pada atap nasofaring sering terlihat lipatan-lipatan mukosa yang dibentuk oleh jaringan lunak submukosa, dimana pada usia muda dinding posterosuperior nasofaring umumnya tidak rata. Hal ini disebabkan karena adanya jaringan adenoid. Bagian depan berhubungan dengan rongga hidung melalui koana dan tepi belakang septum nasi, sehingga bila terdapat tumor sering terjadi sumbatan hidung. Pada dinding lateral nasofaring terdapat orifisium tuba Eustachius berbentuk seperti koma dimana orifisium ini dibatasi superior dan posterior oleh torus tubarius, sehingga penyebaran tumor ke lateral akan menyebabkan sumbatan orifisium tuba Eustachius dan akan mengganggu pendengaran. Ke arah posterosuperior dari torus tubarius terdapat fosa Rosenmuller merupakan tempat perubahan atau pergantian epitel dari epitel kolumnar/kuboid menjadi epitel pipih yang merupakan lokasi tersering KNF, sedangkan bagian belakang nasofaring berbatasan dengan ruang retrofaring, fasia prevertebralis dan otot-otot dinding faring. Nasofaring berhubungan dengan orofaring pada bagian soft palatum dan terdapat banyak saluran getah bening yang terutama mengalir ke lateral bermuara di kelenjar retrofaring Krause. 7,8,11,15

Gambar 1. Anatomi nasofaring72.2 Histologi NasofaringMukosa atau selaput lendir nasofaring terdiri dari epitel yang bermacam-macam, yaitu epitel kolumnar simpleks bersilia, epitel kolumnar berlapis, epitel kolumnar berlapis bersilia, dan epitel kolumnar berlapis semu bersilia. Pada tahun 1954, Ackerman dan Del Regato berpendapat bahwa epitel semu berlapis pada nasofaring ke arah mulut akan berubah mejadi epitel pipih berlapis. Demikian juga epitel yang ke arah palatum molle, batasnya akan tajam dan jelas sekali. Yang terpenting di sini adalah pendapat umum bahwa asal tumor ganas nasofaring itu adalah tempat-tempat peralihan atau celah-celah epitel yang masuk ke jaringan limfe di bawahnya.1-5,7,12,14,18Mukosa nasofaring dilapisi oleh epitel bersilia tipe respiratorik. Setelah 10 tahun kehidupan, epitel secara lambat laun bertransformasi menjadi epitel nonkeratinizing squamous, kecuali pada beberapa area (transition zone). Mukosa membentuk invaginasi membentuk kripta. Stroma kaya akan jaringan limfoid dan terkadang dijumpai jaringan limfoid yang reaktif. Epitel permukaan dan kripta sering diinfiltrasi dengan sel radang limfosit dan terkadang merusak epitel membentuk reticulated pattern. Kelenjar seromucinous dapat juga dijumpai, tetapi tidak sebanyak yang terdapat pada rongga hidung.3,5,9,17 Walaupun fosa Rosenmulleri atau dinding lateral nasofaring merupakan lokasi keganasan tersering, tapi kenyataannya keganasan dapat juga terjadi di tempat-tempat lain di nasofaring. Moch. Zaman mengemukakan bahwa keganasan nasofaring dapat juga terjadi pada: 1.) Dinding atas nasofaring atau basis kranii dan tempat di mana terdapat adenoid, 2.) Di bagian depan nasofaring yaitu terdapat di pinggir atau di luar koana dan 3.) Dinding lateral nasofaring mulai dari fosa Rosenmulleri sampai dinding faring dan palatum molle.1,3,7,12,192.3 Epidemiologi KNF KNF merupakan penyebab kematian terbanyak pada sebagian besar populasi di Asia Tenggara dan hanya sedikit pada Afrika Utara. Walaupun KNF jarang dijumpai pada anak-anak, insiden meningkat setelah usia 30 tahun dan usia puncak pada 40-60 tahun. Apabila di lihat dari distribusi penyakit ini di seluruh dunia, maka KNF paling banyak dijumpai pada ras Mongol, di samping Mediteranian.1-3,7-10,13 Meskipun KNF banyak ditemukan di negara dengan penduduk non-Mongoloid, namun demikian di daerah Cina bagian selatan masih menduduki tempat tertinggi, yaitu mencapai 2500 kasus baru per tahun atau prevalensi 39,84 per 100.000 penduduk untuk Propinsi Guangdong. Di negara Eropa dan Amerika kejadian KNF jarang dengan insiden sekitar 0,5/100.000 penduduk dengan angka 1-2% dari seluruh kanker kepala dan leher. Perbedaan ini berhubungan dengan subtipe patologis, di Amerika Utara terdapat 68% kasus KNF jenis WHO subtipe 1, sementara di Timur Jauh lebih dari 98% merupakan KNF Jenis WHO tipe 2-3. Insidensi WHO tipe 3 juga tinggi di Eskimo dan Alaska diduga penyebabnya karena memakan makanan yang diawetkan dengan nitrosamin pada musim dingin, dan meningkat di Malaysia, Afrika Utara dan Eropa Selatan.2,3,5,6,8,9,13Ras Mongoloid merupakan faktor dominan timbulnya KNF, sehingga sering terjadi pada penduduk Cina bagian selatan, Hongkong, Vietnam, Thailand, Malaysia, Singapura, dan Indonesia. Angka kejadian KNF di Indonesia cukup tinggi, yakni 4,7 kasus baru per tahun per 100.000 penduduk. Catatan dari berbagai rumah sakit menunjukkan bahwa KNF menduduki urutan ke empat setelah kanker leher rahim, kanker payudara dan kanker kulit. Secara umum KNF ditemukan pada populasi yang lebih muda dari keganasan kepala dan leher lain. Pada daerah endemik insiden meningkat pada usia 20 tahun dan mencapai puncak pada dekade IV dan V. KNF dijumpai lebih banyak pada pria daripada wanita dengan perbandingan 2-3:1. Di RSCM Jakarta saja ditemukan lebih dari 100 kasus per tahun. Di RS Hasan Sadikin Bandung rata-rata 60 kasus per tahun, Makassar 25 kasus per tahun, Palembang 25 kasus per tahun, Denpasar 15 kasus per tahun, dan di Padang sebanyak 11 kasus per tahun. Frekuensi yang tidak jauh berbeda juga ditemukan di Medan, Semarang, Surabaya dan kota-kota lain di Indonesia. Hal ini menunjukkan bahwa kejadian tumor ganas ini merata di seluruh Indonesia. 8,9,12,132.4 Kekerapan KNFKNF merupakan keganasan yang sering ditemukan di Asia Tenggara, termasuk daerah Cina Selatan, Hongkong, Singapura, Malaysia dan Thailan. Insiden KNF di negara tersebut berkisar dari 10-53 per 100.000 penduduk. Insiden ini juga tinggi pada orang-orang Eskimo di Alaska dan Greenland dan pada orang Tunisia, yang berkisar dari 15-20 per 100.000 penduduk. KNF di negara barat merupakan kasus yang jarang, yaitu kurang dari 1 per 100.000 penduduk. Insiden tertinggi ditemukan di provinsi Guangdong dimana insiden laki-laki dapat mencapai 20-50 per 100.000 penduduk, dan insiden perempuan 15-20 per 100.000 penduduk. Insiden KNF lebih tinggi pada laki-laki dari pada perempuan dengan rasio 2-3:1.3,4,6,10, 17,21 Penelitian Fachiroh4 di Yogyakarta menyatakan insiden penderita KNF sebanyak 3,9 orang per 100.000 penduduk. Di RSUP H. Adam Malik Medan dari 1 Juli 2005 sampai 30 Juni 2006 ditemukan 79 penderita baru KNF.5 Berdasarkan arsip rekam medik di Sentra Diagnostik Patologik Anatomik tahun 2008 sampai 2010 kasus KNF di RSUP dr. Mohammad Hoesin Palembang menunjukkan adanya peningkatan menjadi 40 kasus per tahun dari kasus sebelumnya 25 kasus per tahun. Di Departemen THT-KL RSMH Palembang didapatkan sebanyak 66 kasus penderita KNF dari bulan Januari 2011 sampai Agustus 2012. 212.5 Etiologi Beberapa literatur menyebutkan bahwa penyebab KNF adalah Virus Epstein-Barr, karena pada hampir semua pasien dengan KNF didapatkan titer anti-virus EB yang cukup tinggi, sedangkan pada penderita karsinoma lain di saluran pernapasan bagian atas tidak ditemukan titer antibodi terhadap kapsid virus EB ini. Banyak penelitian mengenai perilaku virus ini dikemukakan, tetapi virus ini bukan merupakan satu-satunya faktor, karena banyak faktor lain yang sangat mempengaruhi munculnya tumor ganas ini seperti letak geografis, ras, jenis kelamin, genetik, pekerjaan, lingkungan, kebiasaan hidup, kebudayaan, sosial ekonomi, infeksi bakteri atau parasit.2-5,9,22-24 2.5.1.Genetik Faktor genetik berperan pada penyebab timbulnya KNF dan resiko tinggi terdapat pada orang Cina. Analisa genetik pada populasi endemik berhubungan dengan HLA-A2, HLA-B17 dan HLA-Bw46. Orang yang memiliki gen ini memiliki risiko dua kali lebih besar menderita KNF.6,8,15 Hubungan antara HLA dan KNF ditemukan pada pasien KNF di berbagai Negara. Studi pada etnik Cina dengan keluarga menderita KNF dihubungkan dengan ditemukan adanya kelemahan lokus pada regio HLA-A2 dan Bw46.6,8 Penelitian di Medan menemukan alel gen paling tinggi pada penderita KNF suku batak adalah gen HLA-DRB1*12 dan HLA-DRB*0301 di mana alel gen yang potensial sebagai penyebab kerentanan timbulnya KNF pada suku Batak adalah alel gen HLA-DRB1*08.9,15,19,20,22Tumor ganas ini sering ditemukan pada laki-laki dan sebabnya belum dapat diungkapkan dengan pasti, mungkin ada hubungannya dengan faktor genetik, hormonal, kebiasaan hidup, pekerjaan dan lain-lain. Dari beberapa penelitian dijumpai perbandingan penderita laki-laki dan perempuan adalah 4 : 1. Namun ada penelitian yang menemukan perbandingan laki-laki dan perempuan hanya 2 : 1. Pada penelitian yang dilakukan di Medan (2008), ditemukan perbandingan penderita laki-laki dan perempuan 3 : 2. Hormon testosteron yang dominan pada laki-laki dicurigai mengakibatkan penurunan respon imun dan surviellance tumor sehingga laki-laki lebih rentan terhadap infeksi VEB dan kanker.1,7,20-222.5.2 Lingkungan Selama beberapa tahun, penyebab KNF dilaporkan lebih berhubungan dengan faktor lingkungan dibandingkan dengan virus Epstein-Barr. Faktor lingkungan dan kebiasaan hidup yaitu sering memakan ikan asin merupakan salah satu faktor resiko terjadi KNF. Hal ini didukung dengan penelitian pada tikus yang diberikan diet ikan asin dengan dosis tertentu ternyata menderita karsinoma pada rongga hidung. Beberapa penelitian epidemiologi dan laboratorium menyokong hipotesa yang menyebutkan bahwa konsumsi ikan asin sejak muda menyebabkan KNF di Cina Selatan dan Hongkong. Suatu studi kasus kontrol menunjukkan konsumsi ikan asin yang sering sebelum usia 10 tahun berhubungan dengan peningkatan resiko terjadinya KNF.4,9,16,22,24 Sering terpapar asap sejenis kayu tertentu yang digunakan untuk memasak, asap dupa, dan sering kontak dengan zat karsinogen seperti benzopyrene, gas kimia, asap industri, asap obat nyamuk, asap rokok, alkohol dan infeksi jamur pada kavum nasi merupakan hal-hal yang diduga berperan penting dalam terjadinya KNF. Penelitian menunjukkan adanya paparan jangka panjang dari bahan-bahan polusi seperti formaldehid pada udara juga memegang peranan dalam patogenesis KNF. 6,20-222.5.3 Virus Epstein Barr Virus ini pertama kali ditemukan oleh Epstein, Barr dan Achong pada tahun 1964 yang merupakan virus yang menginfeksi human B lymphocyte yang berhubungan dengan infeksi mononukleosis, limfoma burkitt's dan KNF. Infeksi VEB kemungkinan merupakan kejadian awal dalam perkembangan KNF. Virus Epstein Barr (VEB) merupakan large gamma herpes virus, DNAnya double stranded dan panjangnya sekitar 172 kilobase (kb). Epstein Barr Virus Nuklear Antigen (EBNA), Latent Membran Protein-1 (LMP-1), LMP-2 dan Epstein Barr virus Encoded small RNAs (EBER) pada sel-sel KNF dijumpai pada infeksi sel-sel tumor oleh VEB. Ekspresi Epstein Barr Virus Early Antigen (EA) berhubungan positif dengan konsumsi makanan bergaram dan makanan yang diawetkan.4,8,9,12,16,22 Mekanisme masuknya VEB ke dalam sel epitel nasofaring belum dapat dijelaskan dengan pasti. Ada dua reseptor yang diduga berperan dalam masuknya VEB ke dalam epitel nasofaring yaitu CR2 dan PIGR (Polimeric Immunoglobulin Receptor). Sel yang terinfeksi dapat menimbulkan beberapa kemungkinan yaitu: sel yang terinfeksi akan mati, atau VEB dapat mati sehingga sel kembali menjadi normal atau dapat terjadi interaksi antara sel dan virus sehingga terjadi transformasi sel menjadi ganas dan terbentuk sel kanker. Berdasarkan klasifikasi WHO 1978 KNF tidak berkeratin (tipe II) dan KNF tidak berdifferensiasi (tipe III) secara konsisten terkait dengan VEB tanpa memperhatikan distribusi geografis dan etnis, sedangkan karsinoma skuamous berkeratin (tipe I) sangat kecil berkaitan dengan VEB terutama untuk kasus pada daerah non endemik.2-4,13,21,22,242.6 Patogenesis Banyak faktor yang diduga menyebabkan terjadinya perubahan sel daerah nasofaring menjadi maligna. Seperti yang disebutkan sebelumnya tiga faktor yang diduga berperan penting adalah infeksi VEB, faktor lingkungan dan genetik. Berdasarkan penelitan yang dilakukan Lo dan kawan-kawan tahun 2004, faktor lingkungan, genetik, dan infeksi virus, baik secara sendiri atau secara bersama-sama, akan menyebabkan perubahan genetik dan epigenetik pada sel normal di daerah nasofaring. Perkembangan KNF merupakan akumulasi beberapa perubahan genetik dan epigenetik yang menyebabkan perubahan sel klonal yang memiliki kemampuan tumbuh lebih besar dibandingkan sel-sel yang normal (gambar 2).1,3,5,7,10,11,22-24

Gambar 2. Patogenesis KNF5,11

2.6.1 Vascular Endothelial Growth Factor (VEGF)2.6.1.1 Reseptor dan sinyal VEGF VEGF adalah komponen penting pada pertumbuhan dan perkembangan sel tumor. Banyak penelitian-penelitian yang dipusatkan pada target ini untuk mengembangkan terapi kanker. Famili VEGF secara genetik berfungsi untuk angiogenesis dan limfangiogenesis. VEGF terdiri dari 6 glikoprotein yaitu VEGF-A (disebut VEGF), VEGF-B, VEGF-C, VEGF-D, VEGF-E dan placenta growth factor (PIGF). Mediator utama untuk angiogenesis tumor adalah VEGF. 6,14,15,19 (Gambar 3).

Gambar 3. Reseptor dan Jalur Signal VEGF14Dalam keadaan normal, suatu ikatan akan merangsang aktivasi enzim tirosin kinase (TK) di VEGF, dan kemudian mengaktivasi sejumlah molekul dalam sel, sehingga akan mengendalikan pertumbuhan sel. Meskipun demikian pada beragam tumor padat, sinyal VEGF dapat meningkat dengan cepat. Hal ini terjadi karena ekspresi VEGF yang berlebihan atau transduksi sinyal yang dipicu oleh ikatan growth factor dan VEGF. Oleh karena itu, transduksi sinyal VEGF berperan penting pada perkembangan dan pertumbuhan sel kanker. Karakteristik aktifitas yang khas dari VEGF adalah kemampuannya dalam memicu pertumbuhan sel endotel pembuluh darah yang berasal dari arteri, vena, dan bahkan limfatik. Pada penelitian in vivo VEGF menginduksi respon angiogenik yang potensial. VEGF sangat penting untuk proses vaskulogenesis dan angiogenesis serta mencegah apoptosis endotel secara invitro yang dimediasi oleh PI3 kinase/jalur Akt. VEGF juga menginduksi ekspresi protein anti-apoptosis Bcl-2 dan A1 pada sel endotel dan meningkatkan permeabilitas pembuluh darah sehingga hal inilah yang mendasari peran pentingnya dalam kondisi inflamasi dan patologis lainnya.6,14-17,20,21Reseptor VEGF terdiri dari dua reseptor tirosin kinase (RTKs), yaitu Flt-1, yang dikenal juga sebagai VEGFR-1 dan KDR/Flk-1(VEGFR-2). VEGFR-2 adalah mediator utama dari mitogenik, angiogenik, dan mempunyai efek peningkatan permeabilitas dari VEGF. 6,14-17,21 Mutasi onkogenik dapat menyebabkan peningkatan regulasi VEGF. Mutan tergantung ekspresi VEGF, meskipun tidak mencukupi untuk pertumbuhan progresivitas tumor. VEGF-A mengikat VEGFR-1 (Flt-1) dan VEGFR-2 (KDR/Flk-1). VEGFR-2 muncul untuk menengahi respon seluler dari VEGF. Fungsi VEGFR-1 kurang diketahui, meskipun diperkirakan berfungsi memodulasi sinyal VEGFR-2 dan sangat penting bagi perkembangan fisiologis dan angiogenesis. VEGF-C dan VEGF-D mengatur limphangiogenesis (gambar 3). Kadar VEGF dalam jaringan tumor primer atau dalam serum dapat dijadikan sebagai penanda yang berguna untuk memprediksi prognosis pasien kanker termasuk KNF.14,18,22 2.6.2 AngiogenesisAngiogenesis adalah pembentukan pembuluh darah baru yang berasal dari pembuluh darah yang telah ada. Angiogenesis sangat dibutuhkan dalam pembentukan organ baru serta untuk diferensiasi saat embriogenesis, penyembuhan luka dan fungsi reproduksi wanita. Suatu tumor avaskular untuk suplai oksigen dan makanan serta pembuangan produk sisa bergantung pada difusi pasif. Hal ini membatasi ukuran tumor sampai 2 mm, yang disebut keadaan dorman. Sel-sel tumor yang hipoksia akan memproduksi faktor-faktor pertumbuhan termasuk VEGF. Tumor juga memproduksi inhibitor endogen angiogenesis seperti TGF. Pada awalnya inhibitor melebihi faktor pertumbuhan dan sel endotel tetap diam. Tetapi saat tumor memproduksi cukup faktor pertumbuhan dan/atau menekan ekspresi inhibitor akan terjadi angiogenic switch yang menuju proses angiogenesis. Angiogenic switch merupakan pertanda proses malignansi.15,16,25,26 Tumor membutuhkan angiogenesis untuk tumbuh di atas ukuran 2 mm. Angiogenesis diperlukan untuk pasokan oksigen, nutrisi, faktor pertumbuhan dan hormon, enzim proteolitik. Angiogenesis juga mempengaruhi faktor hemostatik yang mengontrol koagulasi dan sistem fibrinolitik dan penyebaran sel-sel tumor ke tempat jauh.14,16,23,25,26Proses angiogenesis melibatkan tumbuhnya tunas pembuluh dari pembuluh darah yang ada dan menyatunya progenitor endotel menjadi pembuluh vaskular baru. Proses ini meliputi proliferasi, migrasi dan invasi sel-sel endotel menjadi struktur tubular fungsional, maturasi dan regresi pembuluh darah. Pada jaringan normal, stabilnya vaskular dipertahankan oleh pengaruh dominan inhibitor angiogenesis endogen terhadap stimulus angiogenik. Sebaliknya angiogenesis tumor diinduksi oleh peningkatan sekresi faktor angiogenik dan/atau penurunan regulasi inhibitor angiogenesis.14,16,23,25 Pada awal angiogenesis stimulus yang diterima menyebabkan sel endotel kapiler sekitar tumor teraktivasi, kontak yang erat dengan sel sekitar akan menghilang dan mensekresi enzim proteolitik (protease) yang mempunyai efek mendegradasi jaringan ekstraseluler. Target awal protease adalah membran dasar kapiler. Setelah terdegradasi, sel endotel akan bergerak melalui gap pada membran dasar kapiler menuju matriks ekstraseluler. Sel-sel endotel sekitar akan bergerak mengisi gap pada membran dasar dan mengikuti sel-sel endotel sebelumnya menuju matriks ekstraseluler. Oleh karena itulah fungsi pertama faktor pertumbuhan angiogenik adalah menstimulasi produksi protease oleh sel-sel endotel. Produksi protease merupakan faktor kunci rangkaian angiogenesis, karena tanpa adanya aktivitas proteolitik, sel-sel endotel akan dihambat oleh membran dasar kapiler sehingga tidak dapat keluar dari kapiler. 16,25,26Setelah ekstravasasi, sel endotel terus mensekresi enzim proteolitik yang akan mendegradasi matriks ekstraseluler. Sel endotel terus bergerak menjauhi pembuluh induk menuju tumor, membentuk tunas kecil. Sel endotel akan bertambah dari pembuluh induk hingga tunas memanjang. Awalnya tunas-tunas ini bergerak paralel satu sama lain, tetapi pada jarak tertentu dari pembuluh induk mulai condong menuju tunas lainnya. Kemudian akan membentuk loop tertutup (anastomose) yang akan dimulainya sirkulasi pembuluh darah baru (Gambar 4). Hal ini merupakan peristiwa penting dalam pembentukan jaringan vaskular fungsional, tetapi stimulus yang pasti terhadap perubahan arah tunas dan anastomosis masih belum diketahui.14,16,23,24

Gambar 4. Ekspresi VEGF sepanjang hidup siklus tumor23 VEGF adalah regulator utama angiogenesis tumor sehingga dapat mempengaruhi pembuluh darah tumor. Pada awal perkembangan tumor, VEGF dapat membantu membentuk pembuluh darah baru. Secara khusus, VEGF bekerja untuk merangsang pertumbuhan tumor pada dua lokasi, baik primer pada tumor maupun proses metastasis melalui perekrutan sel-sel progenitor derivat sumsum tulang yang membentuk suatu daerah dari jaringan pembuluh darah baru. Sebagai jaringan yang berkembang, VEGF dapat terus membantu pembuluh darah baru tumbuh, menyediakan suplai darah yang diperlukan untuk mendorong pertumbuhan tumor lebih lanjut dan bermetastasis. Sepanjang perkembangan tumor, VEGF juga dapat membantu pembuluh darah untuk bertahan hidup, yang memungkinkan tumor untuk mempertahankan kebutuhan metabolisme tumor (gambar 4).23,25,26 VEGF secara terus-menerus diekspresikan dan stabil secara genetik sehingga selalu ada di seluruh siklus hidup sel tumor (Gambar 4). Tumor yang tumbuh dan berkembang, mulai mengaktifkan jalur angiogenik sekunder, seperti basic fibroblast growth factor (bFGF), transforming growth factor- (TGF-), placenta growth factor (PlGF), dan platelet derivide growth factor (PD-ECGF).14,23,26,27 Meskipun jumlah VEGF yang diproduksi dan dikeluarkan dapat berubah dalam menanggapi rangsangan tertentu dalam lingkungan tumor, VEGF dianggap protein genetik yang stabil yang mungkin relatif unsusceptible untuk terjadi mutasi. Karena memiliki stabilitas genetik maka dikembangkan strategi antitumor yang rasional berdasarkan target ligan VEGF. VEGFR bersama ligand spesifiknya seperti EGF, bFGF (basic fibroblast growth factor), VEGF dan TGF- berperan penting dalam pertumbuhan dan survival KNF. Ekspresi VEGFR pada KNF berhubungan dengan agresivitas penyakit dan prognosis yang buruk. Aktivasi VEGFR menstimulasi pertumbuhan dan progresifitas tumor melalui beberapa mekanisme yaitu memacu proliferasi, angiogenesis, invasi, metastasis dan menghambat apoptosis, adhesi dan differensiasi. Terdapat variabilitas ekspresi atau disregulasi VEGF pada keganasan.14,16,19,26-282.6.3 Peran VEGF pada angiogenesis KNFVEGF merupakan regulator vaskulogenesis dan angiogenesis yang penting. Beberapa jenis sel diantaranya fibroblas, endotel, dan keratinosit memproduksi VEGF dalam jumlah kecil selama hidupnya. Peningkatan kadar VEGF terjadi bila diperlukan angiogenesis seperti pada penyembuhan luka. Sebagian besar jenis sel kanker pada manusia mengekspresikan VEGF dengan kadar tinggi. Hal ini sejalan dengan bukti yang menyatakan bahwa VEGF mudah mengalami perubahan genetik dan epigenetik. Salah satu penginduksi VEGF yang penting adalah hipoksia, yang efeknya dimediasi oleh hypoxia-inducible transcription factor (HIF) 1 dan 2, pH rendah, sitokin proinflamasi, FGF, hormon seks (androgen dan estrogen) dan kemokin. Peningkatan ekspresi VEGF, khususnya VEGF-A121 dan VEGF-A165 dapat diinduksi juga oleh berbagai faktor lingkungan mikro atau faktor epigenetic lain, misalnya faktor pertumbuhan, maupun kelainan genetik misalnya mutasi p53 dan aktivasi onkogen (diantaranya ras, EGFR dan Her2).15,16,23,28,29VEGF khususnya isoform VEGF 121 dan isoform VEGF 165 yang bersirkulasi, memberikan sinyal melalui VEGFR-2, reseptor VEGF utama yang memediasi angiogenesis. Reseptor VEGF biasanya terdapat pada permukaan sel, tetapi reseptor intraseluler juga ada yaitu VEGFR-2. Pengikatan VEGF pada VEGFR mengakibatkan aktivasi kaskade sinyal melalui berbagai jalur pensinyalan. Pengikatan VEGF pada VEGFR mengaktifkan kaskade sinyal intraseluler yang berakibat peningkatan permeabilitas vaskuler, proliferasi, survival, migrasi dan mobilisasi sel-sel progenitor endotel. 14,-16,27,29 VEGF165 dapat berikatan dengan reseptor neuropilin (NRP) yang dapat bertindak sebagai ko-reseptor bagi VEGFR-2 untuk mengatur angiogenesis. Adanya temuan bahwa banyak jenis kanker, termasuk kanker hematologi, mengekspresikan VEGFR (khususnya VEGFR-1) dan sekaligus memproduksi VEGF sehingga VEGF dapat bertindak sebagai faktor pertumbuhan autokrin bagi sel tumor.19,29,30

Gambar 5. Karakteristik tumor dan lingkungan yang memicu ekspresi VEGF27Peningkatan ekspresi VEGF pada kondisi hipoksia terjadi melalui mekanisme yang melibatkan HIF-1, yaitu protein yang dilepaskan selama stress oksigen. HIP merupakan suatu faktor transkripsi heterodimer yang tersusun atas sub-unit HIF-1 yang diekspresikan secara terus menerus, dan HIF-1 yang sensitif terhadap oksigen. Respon terhadap iskemia yang berfungsi memantau konsentrasi oksigen. Sel tumor meningkatkan ekspresi gen yang menyandi faktor pertumbuhan vaskuler bila terdapat penurunan konsentrasi oksigen. Walaupun HIF-1 juga diekspresikan terus menerus, dalam keadaan oksigenasi dan perfusi jaringan yang adekuat HIF-1 dirombak tetapi bila jaringan kekurangan oksigen, perombakan HIF-1 dihambat. Ekspresi HIF-1 akan meningkat dan membentuk dimer dengan HIF-1, kemudian kompleks ini berikatan dengan DNA, merekrut ko-aktivator lalu mentranskripsi gen sasaran. Sistem ini menginduksi ekspresi respon terhadap hypoxia.26-28Namun demikian HIF-1 bukan satu-satunya faktor yang mengatur ekspresi VEGF tanpa bergantung pad HIF-1 (HIF-1 independent) dan juga faktor transkripsi NF-kB yang dapat diaktifkan pada keadaan hipoksia melalui pembentukan ROS dalam mitokondria yang dapat mengatur ekspresi VEGF. Sedangkan faktor transkripsi yang dapat mengatur ekspresi gen sasaran pada sel endotel yang mempromosikan terbentuknya fenotif angiogenik, termasuk peningkatan VEGF-R (VEGFR-1 dan VEGFR-2, urokinase dan berbagai matrix metaloproteinase (MMP). Fungsi HIF yang menyimpang juga dapat mengakibatkan overekspresi VEGF dan angiogenesis bahkan tanpa adanya hipoksia.15,24,30,31 VEGF disajikan dalam sebagian besar jenis kanker manusia, dan peningkatan ekspresi pada tumor sering dikaitkan dengan prognosis kurang baik. Induksi atau peningkatan ekspresi VEGF pada tumor dapat disebabkan oleh berbagai lingkungan (epigenetik) faktor-faktor seperti hipoksia, pH rendah, sitokin inflamasi (misalnya, interleukin-6), faktor pertumbuhan (misalnya, faktor pertumbuhan fibroblas dasar), hormon seks (baik androgen dan estrogen), dan kemokin. Penyebab lain termasuk perubahan induktif genetik seperti aktivasi berbeda dari berbagai onkogen atau mutasi inaktivasi dari berbagai tumor supresor gen.15,26,27,31,322.6.4. VEGF pada KNF Seperti halnya pada tumor skuamous kepala leher, overekspresi VEGF pada KNF cukup sering dan telah dilaporkan setinggi 83% dari biopsi tumor primer. Demikian pula, studi klinis telah menunjukkan bahwa VEGF berlebih merupakan faktor prognostik negatif untuk KNF. Ekspresi VEGF (serta EGFR dan COX-2 pada sitoplasma) menurut AJCC telah terbukti berkorelasi dengan stadium tumor pada pasien dengan KNF stadium III-IV, dengan ekspresi yang lebih tinggi ditemukan pada tumor stadium lanjut.15,20,21,27 Ekspresi VEGF juga terbukti menjadi faktor prognostik yang independen pada hasil pengobatan pada pasien dengan KNF lokoregional stadium lanjut. Dalam sebuah studi prospektif di Prince of Wales Hospital di Hong Kong pada 78 pasien KNF yang diobati dengan terapi radiasi definitif, ekspresi VEGF yang kuat pada tumor primer dengan pewarnaan imunohistokimia (IHC) sebelum pengobatan secara bermakna terkait dengan lamanya waktu kemajuan terapi dan kelangsungan hidup keseluruhan yang lebih pendek. Temuan ini juga telah dibuktikan dalam beberapa penelitian lain.20,21,27Pan J dkk19 tahun 2008 melaporkan hubungan antara ekspresi VEGF dan kelangsungan hidup penyakit spesifik, kelangsungan hidup bebas kambuh, bebas-kambuh daerah lokoregional, dan metastasis jauh pada 54 pasien dengan KNF stadium III-IV diobati dengan induksi kemoterapi dan terapi radiasi: rata-rata masing-masing pasien dengan VEGF luasnya >25% adalah 45%, 38%, 63%, dan 55%. Bila dibandingkan dengan tingkat VEGF 6 cm dan/atau fossa supraklavikula.N3a : Diameter terbesar lebih dari 6 cmN3b : Meluas ke fossa supraklavikulaCatatan: * garis tengah nodul terbatas pada daerah ipsilateral.Metastasis Jauh (M)M0: Tanpa metastasis jauhM1: Metastasis jauhKelompok Stadium0TisN0M0IT1N0M0IIT1N1M0T2N0M0T2N1M0IIIT1N2M0T2N2M0T3N0M0T3N1M0T3N2M0IVAT4N0M0T4N1M0T4N2M0IVBSetiap T N3M0IVCSetiap TSetiap NM1

2.9 Penatalaksanaan Radioterapi masih tetap merupakan modalitas terapi primer KNF dengan pembesaran kelenjar getah bening regional dengan angka ketahanan hidup sekitar 50-70%, tetapi beberapa peneliti menganjurkan untuk mengkombinasikan dengan kemoterapi pada stadium lanjut.1,2,4 Hal ini disebabkan lokasi nasofaring berdekatan dengan struktur penting, serta sifat infiltrasi KNF, sehingga pembedahan sulit dilakukan. Selain itu KNF memiliki sensitivitas tinggi terhadap radiasi maupun kemoterapi dibandingkan kanker kepala dan leher lainnya.1,7,10 KNF masih kemosensitif, terutama pada kasus-kasus KNF yang sudah mengalami metastasis jauh sehingga kemoterapi merupakan pilihan terapi yang utama. Pada pasien KNF stadium dini (stadium I dan II), terapi pilihan adalah radioterapi definitive sedangkan stadium lanjut (stadium III dan IV) pemberian kemoterapi dikombinasikan dengan radioterapi merupakan pilihan, walau masih ada kontroversi yang dilaporkan pada beberapa penelitian. Pembedahan hanya sedikit berperan dalam penatalaksanaan KNF. Terbatas pada reseksi leher radikal untuk mengontrol kelenjar yang radioresisten dan metastasis leher setelah radioterapi. Pada pasien tertentu pembedahan penyelamatan (salvage treatment) dilakukan pada kasus rekurensi di nasofaring atau kelenjar leher tanpa metastasis jauh.2,4,7,17,32-35Pada penderita KNF stadium I radioterapi diberikan dengan dosis 66-70 Gy (setiap 5 hari dalam 1 minggu) selama 7 minggu. Dengan pemberian radioterapi telah berhasil mengontrol tumor T1 dan T2 pada 75-90% kasus dan tumor T3 dan T4 pada 50-75% kasus. Kontrol terhadap kelenjar leher mencapai 90% pada kasus N0 dan N1, tapi tingkat kontrol berkurang menjadi 70% pada kasus N2 dan N3. Pada penderita KNF stadium II sampai IVB dilakukan kemoradiasi concurrent, diikuti kemoterapi adjuvant. Regimen yang digunakan adalah cisplatin 100 mg/m2 iv pada hari 1, 22 dan 43 ditambah radiasi, dilanjutkan cisplatin 80 mg/m2 iv pada hari ke 1 ditambah fluorourasil (5-FU) 1000 mg/m2/hari dengan infuse iv pada hari 1-4 setiap 4 minggu selama 3 siklus. Dosis radioterapi adalah 70 Gy. Sedangkan pada stadium IVC atau KNF yang berulang diberikan kemoterapi berbasis platinum. 4,9,28,35-40 Pemberian kemoterapi pada KNF diindikasikan pada kasus penyebaran ke kelenjar getah bening leher, metastasis jauh dan kasus-kasus residif. Sampai saat ini regimen dengan dasar platinum merupakan standar kemoterapi pada penderita KNF dengan metastasis, dan terapi lini pertama yang paling banyak digunakan adalah kombinasi cisplatin dan 5-FU, yang mencapai rasio respon 66%-76%.1,4,7,32,34,35 2.9.1 Terapi target molekulerPengobatan kanker secara sistemik mengalami perkembangan pesat sepanjang paruh kedua abad kedua puluh. Kemajuan pengobatan memasuki era baru yang menarik, ditandai dengan pilihan terapi target pada kanker melalui pengembangan obat pada target yang spesifik. Menurut definisi, terapi target molekuler adalah setiap strategi pengobatan spesifik yang diarahkan pada target molekul yang dianggap terlibat dalam proses transformasi neoplastik. Setiap molekul obat dengan sifat khusus dan unik terhadap target molekul yang terlibat dalam proses karsinogenesis dapat dianggap sebagai agen target molekul.15-17,36,37 Terapi target molekuler bertujuan untuk meningkatkan harapan hidup jangka panjang pada pasien KNF yang rekuren atau dengan metastasis jauh, terapi target diperlukan untuk meningkatkan respon komplit. Dengan potensi indeks terapetik yang lebih tinggi, bahan-bahan target molekuler menampilkan senyawa-senyawa yang dapat melengkapi penggunaan kemoterapi konvensial. Beberapa target molekuler telah diidentifikasi dalam spesimen tumor penderita KNF. Ekspresi atau overekspresi reseptor-reseptor berikut telah dievaluasi pada KNF yaitu: EGFR, COX-2 dan VEGF yang merupakan faktor proangigenik, yang berperan dalam angiogenesis untuk perkembangan tumor, invasi dan metastasis tumor. 38,39 2.9.1.1 Terapi target VEGF pada pengobatan KNF VEGF mempunyai peran yang penting pada angiogenesis tumor sehingga jalur VEGF telah menjadi fokus utama riset dasar dan pengembangan obat-obatan di bidang onkologi. Dari beberapa penelitian telah disimpulkan bahwa kombinasi anti VEGF dengan kemoterapi atau radioterapi menghasilkan efek antitumor yang lebih baik daripada pemberian kemoterapi/ radioterapi sendiri.15,17,38,40 Monoklonal antibodi anti-VEGF Bevacizumab adalah rekombinan monoklonal antibodi IgG1 yang selektif mengikat dan menetralisir aktivitas biologi dari faktor pertumbuhan endotel vaskuler (VEGF). Netralisasi aktifitas biologi VEGF berasal dari pengurangan vaskularisasi tumor dan pertumbuhan tumor berikutnya. 37,39,40 Penghambatan VEGF, terutama pada tahap awal pengobatan menghasilkan normalisasi aliran darah pada tumor. Ketika diberikan dengan kemoterapi kombinasi dapat meningkatkan penyebaran agen sitotoksik pada tumor yang mengakibatkan kematian sel tumor dan kerusakan sel endotel yang berkembang biak. Sebagai terapi antiangiogenik berkelanjutan berfungsi menghambat pertumbuhan pembuluh darah tumor baru sehingga menyebabkan sel tumor mengalami kekurangan nutrisi dan terjadi kematian sel. 14-17,32,39-43Mekanisme aksi Bevacizumab adalah dengan cara: 1). Penghambatan jalur sinyal VEGF yang diperlukan untuk proliferasi dan kelangsungan hidup sel endotel dalam pembuluh darah tumor. Hal ini dapat meningkatkan efek toksik langsung dari kemoterapi pada sel endotel tumor, 2). Penghambatan permeabilitas pembuluh darah dan penurunan tekanan interstisial pada tumor (proses normalisasi dari pembuluh darah), 3). Pencegahan neoangiogenesis antara siklus kemoterapi dan menghambat pertumbuhan tumor, 4). Penghambatan pengambilan proangiogenik sel derivat sumsum tulang (termasuk prekursor endotel dan monosit) yang beredar ke pembuluh darah tumor, 5). Menghambat langsung efek potensial VEGF pada tumor untuk mengekspresikan VEGFR2, misalnya sel-sel kanker usus besar dan pankreas dan 6). Meningkatkan aktivitas penghambatan VEGF pada sel-sel dendritik sehingga meningkatkan imunitas antitumor.37-40

Gambar 6. Mekanisme inhibisi angiogenesis38Beberapa studi telah dilakukan untuk mengevaluasi keamanan dan efek Bevacizumab yang dikombinasi dengan kemoradiasi pada pasien kanker kepala dan leher stadium lanjut dan rekuren. Studi fase II yang mengkombinasikan Bevacizumab dengan Erlotinib telah dilakukan Vokes dkk39 tahun 2005 yang memberikan hasil overall survival 226 hari. Penelitian oleh Argiris dkk36 tahun 2011 pada fase II dari 46 penderita kanker kepala dan leher yang rekuren atau metastasis diberikan kombinasi Cetuximab dan Bevacizumab 15 mg/kgBB iv setiap 21 hari didapatkan overall survival 7,5 bulan.Penelitian oleh Mount zios G dkk38 tahun 2009 pada fase II sebanyak 48 penderita yang tidak diterapi diberikan induksi 2-3 mg Bevacizuman 15 mg/kgBB + Paclitaxel 200 mg/m2 + Carboplatin AUC 6.0 + Fluorourasil 200 mg/m2. Dilanjutkan Bevacizumab 15 mg/kgBB pada minggu ke 1 dan 4 + Erlotinib 150 mg/hr selama 7 mg + Paclitaxel 50 mg/m2/minggu selama 6 mg + radioterapi didapatkan hasil overall survival selama 18 bulan adalah 87%.2.10 Prognosis Angka ketahanan hidup dipengaruhi oleh usia (lebih baik pada pasien usia muda), skor stadium klinisdan lokasi dari metatasis regional (lebih baik pada yang homolateral dibandingkan pada metastasis kontralateral dan metastasis yang terbatas pada leher atas dibandingkan dari leher bawah). Studi terakhir dengan menggunakan TNM Staging System menunjukkan 5 years survival rate untuk stadium I 98%, stadium II A-B 95%, stadium III 86%, dan stadium IV A-B 73%. Secara mikroskopis, prognosis lebih buruk pada karsinoma sel skuamosa berkeratin dibandingkan dengan tipe yang lainnya. 3,17,44-46 Prognosis KNF secara umum tergantung pada pertumbuhan lokal dan kecenderungan metastasisnya. Karsinoma sel skuamosa berkeratin pertumbuhan lokal tumornya cenderung agresif daripada karsinoma sel skuamosa tidak berkeratin berdiferensiasi dan tidak berdiferensiasi. Akan tetapi karsinoma sel skuamosa tidak berkeratin berdiferensiasi dan tidak berdiferensiasi lebih sering mempunyai metastasis limfatik dan hematogen.3,32,47,48 Pada tipe karsinoma sel skuamosa berkeratin kematian biasanya disebabkan oleh progresifitas lokal tumor. Pada KNF tidak berdifferensiasi, kematian lebih sering disebabkan oleh metastasis jauh. Relaps lokal mempunyai faktor risiko yang bermakna dengan perkembangan metastasis, khususnya pada 2 tahun pertama setelah terapi.35,49-512.11. Kerangka Teori dan Kerangka Konsep2.11.1. Kerangka Teori

Gambar 8. Kerangka konsepMETODE PENELITIAN3.1 Rancangan PenelitianPenelitian ini merupakan uji diagnostik untuk menilai akurasi dari skor stadium klinis dalam mendiagnosis ekspresi VEGF pada penderita KNF di RsMH Palembang.

3.2 Tempat dan Waktu PenelitianPenelitian akan dilakukan di Departemen THT-KL dan Sentra Diagnostik Patologi Anatomik RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang pada bulan April 2014 sampai jumlah sampel terpenuhi.

3.3 Populasi PenelitianPopulasi target penelitian ini adalah seluruh penderita dugaan KNF berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik.Populasi terjangkau penelitian ini adalah seluruh penderita dugaan KNF berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang datang ke poliklinis THT-KL RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang.

3.4 Sampel, Besar Sampel dan Teknik Pengambilan Sampel3.4.1 SampelSampel penelitian adalah seluruh penderita KNF berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang dan hasil biopsi histopatologi yang memenuhi kriteria penerimaan dan penolakan.3.4.1.1 Kriteria Inklusi1. Penderita KNF, baik laki-laki maupun perempuan pada semua kelompok usia, yang ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan hasil biopsi histopatologi nasofaring yang mendukung suatu karsinoma.2. Bersedia diikutsertakan dalam penelitian.

3.4.1.2 Kriteria Eksklusi1. Penderita dugaan KNF yang dari hasil biopsi histopatologi nasofaring bukan suatu karsinoma.2. Penderita dugaan KNF yang sedang hamil.

3.4.2 Besar SampelPerhitungan besar sampel penelitian berdasarkan rumus untuk uji diagnostik dengan menggunakan rumus : n = (Z)2 Sen(1-Sen) d2P n = (1,96)2 x 0,8 (1-0,2) (0,1)2 x 0,8 n = 73,6 74Keterangan : N = besar sampel ( 74 )Z= deviat baku alfa/ tingkat kemaknaan 95% (1,96)Sen= sensitivitas yang diinginkan dari alat yang diuji ( 80% )P= prevalensi penyakit ( prevalensi pasien yang diduga KNF dengan ekspresi VEGF positif pada penelitian sebelumnya di poliklinis THT Februari Desember 2012 : 80% )d = presisi/ tingkat ketepatan absolut ( 10% )

3.4.3 Teknik Pengambilan SampelPengambilan subjek penelitian secara berurutan (nonprobability consecutive sampling), dimana setiap pasien yang datang ke poliklinik THT RSUD Dr. Moh. Hoesin Palembang memenuhi kriteria penerimaan dimasukkan dalam penelitian secara berurutan dijadikan sampel sampai tercapai jumlah yang diperlukan.3.5 Variabel PenelitianVariabel penelitian ini adalah:Variabel efek : Ekspresi VEGF yang diperiksa melalui pemeriksaan Imunohistokimia. Variabel prediktor : Skor stadium klinis KNF, Umur, Jenis kelamin, gejala klinis, jenis KNF berdasarkan WHO, intensitas pulasan IHK, luas pulasan IHK.

3.6 Batasan OperasionalBerikut ini diuraikan batasan operasional beberapa parameter yang diteliti dan terminologi yang berkaitan dengan parameter tersebut.1. KNF: Tumor ganas yang berasal dari epitel yang melapisi nasofaring.2. Dugaan KNF: didapatkan dari anamnesis berupa gejala dan tanda yang mengarah ke KNF, dilakukan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan spesifik menggunakan tele-endoskopi.3. Klinis KNF: terdiri dari gejala hidung: perdarahan hidung yang ringan hingga berat, atau sumbatan pada hidung; gejala telinga: telinga nyeri, telinga berdenging, rasa tidak nyaman; pembesaran KGB leher; gejala pada mata dan neurologis: diplopia, rasa baal didaerah wajah, kelumpuhan lidah, trismus, kaku leher, gangguan pendengaran, gangguan penciuman, sakit kepala hebat. 4. Tipe histopatologi KNF: berdasarkan histopatologi biopsi tumor menurut kriteria WHO 2005:1. Karsinoma sel skuamosa berkeratin 2. Karsinoma sel skuamosa tidak berkeratin, dibagi 2: Karsinoma sel skuamosa tidak berkeratin berdiferensiasi Karsinoma sel skuamosa tidak berkeratin tidak berdiferensiasi3. Karsinoma sel skuamosa basaloid 5. Biopsi nasofaring: tindakan biopsi massa di nasofaring melalui kavum nasi dengan menggunakan Blakesley nasal forcep lurus/bengkok, dengan tuntunan endoskopi kaku, 4 mm.6. Diagnosis KNF: ditegakkan dari gejala klinis, CT-Scan Nasofaring (massa daerah nasofaring dengan/tanpa pembesaran KGB leher) dan pemeriksaan histopatologi KNF sesuai dengan kriteria WHO 2005.7. Skor stadium klinis KNF: penentuan stadium berdasarkan AJCC/UICC 2010Nilai T dan N berdasarkan hasil CT-Scan. Penentuan adanya metastase KGB berdasarkan hasil FNAC. Nilai M dilihat dari hasil pemeriksaan laboratorium, foto thorak, USG abdomen dan bone survey (bila klinis menunjukkan adanya metastase tulang). Dengan penilain skor stadium klinis : T ( perluasan tumor ) dengan skor 1-14 yang diurutkan dari stadium 1-4, N ( pembesaran KGB leher ) dengan skor 1-4, M0-M1 dengan skor 1 dan setiap N dengan skor 4.8. Pemeriksaan immunohistokimia VEGF: pemeriksaan khusus menggunakan antibodi VEGF untuk mengenali antigen VEGF. 9. Ekspresi VEGF : Nilai VEGF dalam sitoplasma sel dan /atau membran sel sesuai hasil pemeriksaan imunohistokimia. 10. Usia : Angka yang menunjukkan dalm tahun yang dihitung sejak waktu lahir. Diketahui saat dilakukan anamnesis. Batasan usia untuk penelitian ini 20-70 tahun. 11. Jenis kelamin : Jenis kelamin sampel dibedakan menjadi laki-laki dan perempuan.12. Luas pulasan VEGF adalah proporsi jumlah sel yang terpulas VEGFPembacaan hasil berdasarkan penelitian Soo dkk (2008) adalah:0 = negatif ( tidak ada sel yang terpulas VEGF)1+= lemah (50% sel yang terpulas VEGF, >50% ekspresi pada sel-sel tumor)Dikatakan ekspresi VEGF(+) = bila luas pulasan 2+ atau luas pulasan VEGF 10%. Inilah yang disebut overekspresi. Sedangkan ekspresi VEGF (-) bila luas pulasan < 2+.Intensitas pulasan imunohistokimia (DACO, gambar pada lampiran )0= negatif (tidak ada sel yang terpulas dengan warna kuning)1+= lemah (apabila sitoplasma dan membran terpulas dengan warna kuning yang samar)2+= sedang (apabila sitoplasma dan membran terpulas dengan warna kuning/coklat tua)3+= Kuat (apabila sitoplasma dan membran terpulas dengan warna kuning tua/coklat tua dengan distribusi merata)13. Penilaian hasil pulasan imunohistokimiaPenilaian semikuantitatif immunostaining VEGF berdasarkan penelitian Ross Soo dkk (2008). a) Untuk menentukan ekspresi VEGF pertama kali dilakukan dengan menilai perluasan tumor yaitu menentukan persentase luas pulasan dengan menghitung jumlah sel-sel yang terpulas dalam 500-1000 sel/10 lapang pandang besar (40x10). b) Kemudian dicari nilai imunoreaktifitas dengan cara perkalian antara luas pulasan VEGF dengan intensitas pulasan (DACO) VEGF maka didapatkan nilai imunoreaktifitas. Dikatakan negatif bila hasil perkalian < 4, dan positif bila hasil perkalian > 4.3.7 Bahan PenelitianBahan yang digunakan dalam penelitian adalah jaringan dari nasofaring penderita KNF yang diambil dengan cara biopsi.3.8 Instrumen PenelitianPenelitian ini membutuhkan beberapa bahan, reagen dan peralatan yaitu:a. Bahan untuk pemeriksaan histopatologiFormalin 10%, blok paraffin, aqua destillata, hematoxyllin-eosin.b. Bahan untuk pemeriksaan imunohistokimiaXylol, alkohol absolute, alkohol 95%, alkohol 80%, alkohol 70%, H2O2 0,5% dalam methanol, phosphate buffer saline (PBS), antibody VEGF, antibodi sekunder, envision, chromogen diamino benzidine (DAB), lithium carbonat jenuh, tris EDTA, hematoxyllin, aqua destillata.

3.9Peralatan dan Bahan yang Digunakan pada Pemeriksaan Imunohistokimia3.9.1 Peralatan untuk proses dan pemulasan jaringan Peralatan yang digunakan untuk pemerosesan dan pemulasan jaringan adalah: a. HistoembeddingHistoblok b. Mikrotomc. Waterbathd. Hot plate e. Autostaining f. Mikroskop g. Slide jar dan basketh. Pinseti. Timer

: Histocentre 2, : merk : Shandon: merk Leica: merk Leica (RM \2025):Barnstead International (model no26104): merk Leica (HI 1220): Leica:merk Olympus tipe BX51

3.9.2 Peralatan pemulasan immunohistokimiaPeralatan yang digunakan untuk pemulasan immunohistokimia adalah:1.Microwave:Sharp

2.Laminar Air flow:Sigma

3.Neraca analitik:Obaus

4.pH meter:Hanna tipe 216

5.Clinipad dan Pit eppendorf:Eppendorf

6.Gelas ukur:Pyrex

7.Gelas arloji:Pyrex

8.Erlenmeyer:Schott-Duran

9.Pap pen:Biogenic

10.Mixer ver talc:Labinco L-46

11.Magnetic styr:Labinco

12.Pipet volume:Pyrex

13.Pipet tetes:Pyrex

14.Polyprep slides:Sigma-Aldrich

15.Lemari es penyimpan antibodi:Sharp

3.9.3 Antibodi primer Penelitian ini menggunakan antibodi primer VEGF (Polyclonal Rabbit Human recombinant VEGF165 (Biogenex Super Sensitive Detection Systems), Ready to use (RTU).

3.9.4 Proses pulasan imunohistokimia: 1) Preparat berisi jaringan yang belum diwarnai dipanaskan pada hot-plate dengan suhu 56-60 selama 10 menit.2) Biarkan selama 10 menit dalam suhu ruangan3) Deparafinisasi dalam xylol sebanyak 2x (xylol I,II) masing-masing selama 5 menit.4) Rehidrasi dalam alkohol bertingkat (ethanol sebanyak 2x, masing-masing selama 5 menit, kemudian alkohol 96% selama 5 menit).5) Bilas dalam air sebanyak 10x celup.6) Rendam di larutan 0,5% H2O2 dalam methanol selama 30 menit.7) Cuci dengan air mengalir selama 5 menit.8) Panaskan dalam microwave menggunakan larutan penarik antigen (antigen retrieval) TRS (Target Retrieval Solution). Pemanasan pertama menggunakan tingkat kekuatan tinggi (power level 8) sampai mendidih, dilanjutkan pemanasan kedua menggunakan tingkat kekuatan rendah (power level 1) selama 5 menit9) Biarkan selama 15 menit dalam suhu ruangan.10) Cuci dengan larutan PBS (Phosphat Buffer Saline) pH 7,2-7,4 sebanyak 3x, masing-masing selama 5 menit.11) Lingkari daerah yang akan diwarnai dengan pena PAP.12) Teteskan larutan Background sniper pada daerah yang telah dilingkari, biarkan selama 5 menit.13) Teteskan antibodi primer VEGF dan inkubasi selama satu jam dalam Humidity chamber pada suhu ruangan.14) Cuci dalam larutan PBS pH 7,2-7,4 sebanyak 3x, masing-masing selama 5 menit15) Teteskan larutan Trakkie Universal Link, biarkan selama 15 menit.16) Cuci dalam larutan PBS pH 7,2-7,4 sebanyak 3x, masing-masing selama 5 menit.17) Teteskan larutan Trekavidin-HRP, biarkan selama 15 menit.18) Cuci dalam larutan PBS pH 7,2-7,4 sebanyak 3x, masing-masing selama 5 menit.19) Teteskan larutan Betazoid DAB substrate buffer, biarkan selama 2 - 10 menit.20) Cuci dalam air mengalir.21) Counterstain jaringan dengan zat warna Mayers Hematoksilin selama 1 menit.22) Cuci dalam air mengalir.23) Bilas dengan larutan Lithium carbonate (LiCO3) sebanyak 2-3x celup.24) Cuci dalam air mengalir.25) Rehidrasi dalam alkohol bertingkat (alkohol 96% selama 5 menit, kemudian etanol sebanyak 2x, masing-masing selama 5 menit)26) Mounting dan beri kaca penutup.27) Beri label. Kontrol positif dan kontrol negatif hasil pemulasan imunohistokimia didapatkan dari pemeriksaan biopsi penderita sebelumnya yang sudah ada di Bagian Patologi Anatomi.

3.10. Pengumpulan Data3.10.1. Persiapan a. Tenaga - Pemeriksaan THT lengkap dan pemeriksaan penunjang. Penjadwalan biopsi nasofaring- Personalia pemeriksaan imunohistokimia di bagian Patologi Anatomi. b. Perlengkapan penelitian - Alat-alat pemeriksaan THT seperti lampu kepala, spekulum hidung, spatel lidah dan otoskop. -Alat-alat biopsi nasofaring baik dengan narkose lokal maupun umum.

3.10.2. Pengumpulan Data Dan Cara KerjaPenderita yang diduga karsinoma nasofaring yang akan diikutsertakan sebagai sampel penelitian akan menjalani pemeriksaan dan tindakan sebagai berikut:1) Anamnesis dan pencatatan data dasar penderita.2) Dilakukan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan THT.3) Dilakukan biopsi nasofaring dengan panduan teleendoskopi di Departemen KTHT-KL RSMH Palembang dan jaringan nasofaring dikirim ke bagian Patologi Anatomi RSMH Palembang untuk pemeriksaan histopatologi.4) Hasil histopatologi yang menyokong suatu karsinoma nasofaring dicatat tipenya sesuai WHO 2005.5) Penentuan stadium karsinoma nasofaring sesuai dengan AJCC 2010, termasuk penentuan perluasan tumor (T), pembesaran kelenjar getah bening leher (N) dan metastasis (M).6) Dilakukan pemeriksaan imunohistokimia ekspresi VEGF.7) Penentuan ekspresi VEGF.8) Hasil data ekspresi VEGF dicatat dan dimasukkan ke dalam tabel untuk dianalisis.

3.11 Rencana Pengolahan Dan Analisis Data1. Data-data yang diperoleh dicatat dalam formulir penelitian dalam bentuk tabel. Data yang diperoleh diolah serta dianalisis secara statistik dengan menggunakan program pengolahan data statistik SPSS 21.0 for windows. 2. Pada analisis univariat, data yang berskala kategorik akan disajikan dalam distribusi frekuensi/proporsi atau persentase, sedangkan data yang berskala kontinyu akan disajikan sebagai rerata dan standar deviasi. 3. Untuk mendapatkan validitas nilai diagnostik berupa sensitivitas, spesifisitas, nilai duga positif, nilai duga negatif, rasio kemungkinan positif dan rasio kemungkinan negatif; untuk mendapatkan validitas dilakukan analisis tabel 2 x 2 untuk skor stadium klinis dan ekspresi VEGF. Selain itu dilakukan analisis receiver operating curve (ROC) untuk mendapatkan titik potong sensitivitas dan spesifisitas paling optimal dari skor stadium klinis pada KNF.4. Pada metode ROC akan diperoleh area under the curve (AUC) serta titik potong yang direkomendasikan. Dengan memakai titik potong terebut akan diperoleh keluaran seperti yang terdapat dengan menggunakan table 2x2 dibawah ini:Ekspresi VEGF

Perhitungan dengan formula :

5. Analisis multivariat dilakukan untuk melihat besarnya pengaruh variabel efek terhadap kemungkinan terjadinya variabel prediktor, kemudian dilakukan analisis logistik regresi dengan menggunakan rumus :y = + x1 + x2 + x3 + + xi

Tabel 2. Skor Stadium Klinis KNF

2.12 Kerangka Operasional

Gambar 9. Alur Penelitian

3.10Justifikasi EtikPenilaian etik (ethical clearance) dilaksanakan sesuai prosedur dan kaidah yang berlaku. Informed consent dibuat dan ditandatangani oleh penderita yang bersedia ikut penelitian setelah dijelaskan tujuan dan manfaat serta prosedur penelitian. Penilaian etik penelitian ini telah disetujui oleh Unit Bioetika dan Humaniora Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya (Lampiran 1)

3.11 Personalia Pemeriksaan Imunohistokimia Pulasan imunohistokimia dilakukan oleh teknisi Sentra Diagnostik Patologik Anatomik RSMH Palembang. Interpretasi hasil imunohistokimia dilakukan oleh 2 orang patolog dari Sentra Diagnostik Patologi Anatomik RSMH Palembang, yaitu Dr. Mezfi Unita, SpPA(K) dan Dr.Wresnindyatsih, SpPA.

3.12Persyaratan Etik Etik penelitian (ethical clearence) diperoleh dari Komite Etik tempat penelitian dilakukan yaitu FK Unsri/RSMH Palembang (persetujuan kelayakan etik terlampir). Peneliti menjelaskan apa yang dilakukan kepada pasien dan pemeriksaan apa saja yang dilakukan. Peneliti juga menjelaskan manfaat penelitian, baik dan buruk penelitian. Penderita yang bersedia berpartisipasi menandatangani informed consent. Biaya penelitian ditanggung peneliti. Pasien yang tidak masuk dalam kriteria penerimaan, tetap dilakukan pemeriksaan lebih lanjut dan diberikan penatalaksanaan sesuai penyakitnya.Pada penelitian ini dilakukan tindakan invasif berupa biopsi nasofaring melalui mulut atau hidung subjek penelitian. Biopsi dilakukan diruang steril dengan tindakan aseptik dan antiseptik di Departemen Kesehatan THT-KL RSMH Palembang. Apapun hasil yang didapatkan akan dijelaskan kepada subjek penelitian.

3.13 Analisis StatistikSemua data dianalisis dengan menggunakan program SPSS 20.0 for window untuk menilai distribusi frekuensi data umum, tipe histopatologi, stadium klinik, ekspresi EGFR. Uji normalitas Shapiro-Wilk (sampel kurang dari 50) dilakukan untuk melihat distribusi dan karakteristik subjek penelitian yang mempunyai variabel numerik. Data dengan distribusi normal ditampilkan dalam nilai rerata dan standar baku (SB).50 Korelasi antara ekspresi EGFR dan stadium klinik T, N, M, tipe histopatologi serta stadium klinik menggunakan uji korelasi Spearman dan Somersd dengan nilai terdapat korelasi bila p < 0,05. Koefisien korelasi juga dinilai untuk melihat kekuatan korelasi. Data ditampilkan secara deskriptif dalam bentuk narasi, tabel prevalensi dan persentase.