V HASIL DAN PEMBAHASAN - repository.ipb.ac.id V... · Hal ini dapat dilihat ... mendapatkan...

64
V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Karakteristik Sosial, Ekonomi dan Budaya Komunitas Masyarakat di Kawasan Hutan Produksi Terusan Sialang Komunitas masyarakat di dalam Kawasan Hutan Produksi Terusan Sialang mulai terbentuk sejak tahun 1997 sebagai akibat adanya perambahan di kawasan tersebut. Proses perambahan kawasan hutan produksi tersebut pada awalnya dilakukan oleh warga sekitar kawasan. Sekitar 36 kepala keluarga melakukan perambahan pada kawasan hutan produksi tersebut bersamaan dengan adanya kegiatan land clearing yang dilakukan oleh PT Inhutani V bekerjasama dengan PT Sama Jaya Nugraha. Jumlah perambah tersebut semakin bertambah terus dengan tidak adanya tindakan dari berbagai pihak baik pemegang konsesi maupun pemerintah hingga pada tahun 2000 kawasan tersebut telah penuh dengan masyarakat perambah. Jumlah masyarakat di kawasan tersebut sampai tahun 2009 mencapai 2.837 KK dengan jumlah penduduk 12.956 jiwa dengan latar belakang etnis didominasi oleh suku Jawa dan Bali serta sebagian kecil suku Komering, Sunda, Batak dan Padang (Dishut OKI, 2009). Pada awalnya penduduk sekitar kawasan melakukan perambahan hanya sekedar untuk ikut “numpang usaha” setelah melihat adanya kegiatan penanaman yang dilakukan oleh PT Sama Jaya Nugraha. Hal ini dapat dilihat dari pola pengelolaan hasil yang mereka dapatkan dari usaha di dalam kawasan tersebut yang sebagian besar digunakan untuk membeli aset dan juga memulai usaha diluar kawasan, sedangkan di dalam kawasan mereka membuat bangunan yang bersifat darurat untuk berjaga-jaga jika mereka diusir dari kawasan tersebut. Namun dengan tidak adanya respon dan tindakan dari pihak pemegang konsesi dan pemerintah serta semakin banyaknya masyarakat yang masuk dan juga semakin beragamnya latar belakang sosial dan budaya masyarakat menjadikan hal tersebut kemudian bergeser, mereka mulai membangun pemukiman semi permanen dan bahkan beberapa diantaranya sudah mulai membangun bangunan permanen. Keyakinan mereka untuk bermukim secara permanen semakin kuat ketika pada tahun 2008 mereka mendapatkan janji dari bupati di daerah tersebut bahwa akan ada penyelesaian

Transcript of V HASIL DAN PEMBAHASAN - repository.ipb.ac.id V... · Hal ini dapat dilihat ... mendapatkan...

43  

V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Karakteristik Sosial, Ekonomi dan Budaya Komunitas Masyarakat di

Kawasan Hutan Produksi Terusan Sialang

Komunitas masyarakat di dalam Kawasan Hutan Produksi Terusan Sialang

mulai terbentuk sejak tahun 1997 sebagai akibat adanya perambahan di

kawasan tersebut. Proses perambahan kawasan hutan produksi tersebut pada

awalnya dilakukan oleh warga sekitar kawasan. Sekitar 36 kepala keluarga

melakukan perambahan pada kawasan hutan produksi tersebut bersamaan

dengan adanya kegiatan land clearing yang dilakukan oleh PT Inhutani V

bekerjasama dengan PT Sama Jaya Nugraha. Jumlah perambah tersebut

semakin bertambah terus dengan tidak adanya tindakan dari berbagai pihak baik

pemegang konsesi maupun pemerintah hingga pada tahun 2000 kawasan

tersebut telah penuh dengan masyarakat perambah. Jumlah masyarakat di

kawasan tersebut sampai tahun 2009 mencapai 2.837 KK dengan jumlah

penduduk 12.956 jiwa dengan latar belakang etnis didominasi oleh suku Jawa

dan Bali serta sebagian kecil suku Komering, Sunda, Batak dan Padang (Dishut

OKI, 2009).

Pada awalnya penduduk sekitar kawasan melakukan perambahan hanya

sekedar untuk ikut “numpang usaha” setelah melihat adanya kegiatan

penanaman yang dilakukan oleh PT Sama Jaya Nugraha. Hal ini dapat dilihat

dari pola pengelolaan hasil yang mereka dapatkan dari usaha di dalam kawasan

tersebut yang sebagian besar digunakan untuk membeli aset dan juga memulai

usaha diluar kawasan, sedangkan di dalam kawasan mereka membuat

bangunan yang bersifat darurat untuk berjaga-jaga jika mereka diusir dari

kawasan tersebut. Namun dengan tidak adanya respon dan tindakan dari pihak

pemegang konsesi dan pemerintah serta semakin banyaknya masyarakat yang

masuk dan juga semakin beragamnya latar belakang sosial dan budaya

masyarakat menjadikan hal tersebut kemudian bergeser, mereka mulai

membangun pemukiman semi permanen dan bahkan beberapa diantaranya

sudah mulai membangun bangunan permanen. Keyakinan mereka untuk

bermukim secara permanen semakin kuat ketika pada tahun 2008 mereka

mendapatkan janji dari bupati di daerah tersebut bahwa akan ada penyelesaian

44  

masalah kawasan tersebut dan juga diperbolehkan untuk ikut dalam pemilukada

yang diadakan pada waktu itu.

Mata pencaharian utama dari masyarakat dikawasan tersebut adalah

petani baik petani padi maupun petani karet. Mereka menggarap lahan kawasan

yang mereka kuasai yang didapatkan dari “membeli” lahan tersebut dari

koordinator perambah. Karena adanya proses jual beli tersebut pada akhirnya

ada beberapa perambah yang memiliki lahan sangat luas. Selain bertani,

aktivitas masyarakat yang lain untuk mencari nafkah adalah berdagang, menjadi

buruh tani, dan wiraswasta.

Akses ke kawasan tersebut sangat mudah karena berada di tepi jalan trans

nasional Lintas Timur Sumatera. Jarak terjauh kawasan tersebut dengan kota

kecamatan sekitar 18 km sedangkan jarak terdekat cuma 1 km. Untuk mencapai

bagian terdalam kawasan tersebut tidak terlalu sulit karena hampir semua jalan

yang ada di dalam kawasan tersebut sudah diperkeras oleh masyarakat

sehingga dapat dilewati dengan kendaraan roda empat. Jalan tersebut bekas

jalan hutan yang dibuat oleh PT Inhutani V sewaktu melakukan pembukaan

wilayah hutan. Selain itu pemeliharaan jalan juga secara swadaya rutin dilakukan

oleh masyarakat setempat. Beberapa jembatan permanen juga sudah secara

swadaya dibangun oleh masyarakat. Kondisi tersebut menjadi salah satu

penyebab pesatnya perkembangan ekonomi masyarakat di dalam kawasan

tersebut dan juga naiknya “harga jual” tanah di daerah tersebut yang mencapai

100 juta rupiah per hektar bila sudah ditanami dengan tanaman karet.

Fasilitas kantor pos, sarana kesehatan, sarana ekonomi (pasar dan

lembaga perkreditan) berada di luar komunitas walaupun letaknya tidak terlalu

jauh (± 1 km). Kendati demikian akses mereka terhadap pelayanan di bidang

tersebut sangat mudah. Hal disebabkan perkembangan perekonomian di dalam

kawasan yang sangat pesat menyebabkan penyedia pelayanan kesehatan,

ekonomi, komunikasi dan yang lainnya melakukan ekspansi pemasaran kedalam

kawasan tersebut (jemput bola).

Lembaga pendidikan yang terdapat didalam kawasan tersebut adalah

Sekolah Dasar sebanyak 4 unit dan Madrasah Ibtidaiyah sebanyak 3 unit.

Sarana pendidikan non formal yaitu pondok pesantren 2 unit dan TPA 2 unit.

Untuk melanjutkan pendidikan ketingkat yang lebih tinggi masyarakat harus

keluar dari kawasan dengan jarak ± 2 km (Desa Muara Burnai II dan Desa Lubuk

45  

Seberuk). Dalam tiga tahun terakhir masyarakat di Kawasan tersebut merasakan

membaiknya mutu pelayanan pendidikan.

Akses masyarakat terhadap informasi dan komunikasi semakin membaik

dalam tiga tahun terakhir. Hampir semua media komunikasi dapat diakses oleh

masyarakat. Media yang paling sering digunakan masyarakat dalam

mendapatkan informasi adalah televisi yang hampir setiap hari ditonton.

Sedangkan yang jarang di gunakan adalah surat kabar dan internet. Akses

terhadap internet sebenarnya bisa dilakukan oleh masyarakat melalui jaringan

selular yang telah tersedia di dalam kawasan tersebut namun hanya masyarakat

yang masih berusia muda dengan latar belakang pendidikan yang cukup tinggi

yang mulai memanfaatkannya.

Kondisi perekonomian masyarakat dalam tiga tahun terakhir meningkat

pesat seiring semakin meningkatnya harga komoditas karet yang merupakan

komoditas utama di dalam kawasan tersebut. Pendapatan rata-rata masyarakat

setiap bulannya adalah Rp1.500.000 - Rp2.000.000 (hasil FGD dengan tokoh

masyarakat). lapangan pekerjaan juga sangat mudah untuk didapatkan bahkan

beberapa masyarakat merasakan kekurangan tenaga kerja untuk mengolah

lahan yang mereka kuasai.

Sarana dan prasarana produksi pertanian seperti lahan, alat-alat pertanian,

bibit, dan pupuk relatif mudah untuk didapatkan. Permasalahan yang dalam

sarana dan prasarana pertanian ini adalah masalah lahan dan pupuk. Lahan

yang mereka kerjakan pada saat ini merupakan kawasan hutan produksi milik

negara. Karena permasalahan kepemilikan tersebut maka saat ini masyarakat

kesulitan untuk memperoleh tambahan lahan walaupun masih terdapat lahan

kosong (± 300 ha) di dalam kawasan tersebut namun mereka belum berani

menggarap lahan tersebut dikarenakan lahan tersebut dijaga ketat oleh aparat

kehutanan. Untuk membeli lahan di kawasan tersebut sudah diluar jangkauan

masyarakat karena harganya sudah sangat mahal. Sedangkan permasalahan

pupuk terletak pada masalah distribusi pupuk anorganik yang kurang merata dan

tidak tepat waktu. Pada saat masyarakat memerlukan pupuk dalam jumlah

banyak terkadang pupuk tersebut tiba-tiba menghilang dari pasaran sehingga

harganya menjadi naik.

Dalam tiga tahun terakhir ini masyarakat merasakan perbaikan dalam

fasilitas penerangan. Mereka mulai dapat menikmati pelayanan fasilitas listrik

negara (PLN) walaupun pada saat-saat tertentu masih terjadi pengurangan arus

46  

saat jam puncak pemakaian (18.00 – 21.00 WIB). Untuk memenuhi kebutuhan

air bersih masyarakat menggunakan sumur. Kualitas dan kuantitas air sumur

dalam tiga tahun terakhir ini tetap. Masyarakat tidak dilayani oleh sistem

pengumpulan sampah. Mereka membuang sampah dengan cara membakar atau

menimbun di dalam tanah. Fasilitas rekreasi yang dimiliki oleh masyarakat hanya

lapangan olah raga. Untuk rekreasi mereka biasanya harus keluar dari

lingkungan komunitas dan ini pun jarang dilakukan.

Masalah lingkungan yang ada di dalam komunitas adalah banjir dan

kualitas air sumur. Banjir setiap tahun pasti terjadi terutama di bagian Utara

kawasan yang juga merupakan daerah rawa pasang surut. Untuk mengurangi

dampak banjir tersebut masyarakat tidak menebangi pohon-pohon yang terletak

dipinggir-pinggir sungai supaya arus banjir tidak terlalu kuat dan secara swadaya

mereka juga membuat tanggul-tanggul penahan banjir dari karung pasir.

Sedangkan kualitas air sumur yang sedikit berminyak dan keruh pada waktu

musim hujan terdapat di daerah-daerah lebak (bekas lahan rawa) yang terdapat

di bagian Utara kawasan. Untuk daerah-daerah talang (lahan kering) kualitas air

sumur biasanya masih bagus.

Budaya masyarakat yang berkembang di dalam kawasan adalah budaya

masyarakat agraris yang menggantungkan hidupnya dari lahan pertanian baik

sawah maupun pertanian lahan kering. Di dalam kawasan terdapat tiga bentuk

pengelolaan lahan sebagai bentuk budaya masyarakat agraris yaitu:

a Sawah

Berupa pertanian lahan basah yang dilakukan tanpa melakukan

pergiliran tanaman. Tanaman utama yang dibudidayakan adalah padi dengan

mengandalkan sumber air yang berasal dari hujan (tadah hujan) yang disalurkan

melalui jaringan iriigasi sederhana yang dibuat secara swadaya oleh petani.

Dalam melakukan budidaya padi ini terdapat tahapan-tahapan yang dilakukan

oleh petani yaitu penyiapan lahan (mencangkul, ngluku, nggaru), pembenihan,

penanaman, pemupukan, pendangiran, dan pemanenan.

b Sawah Pasang Surut/Lebak

Berupa pertanian lahan basah yang dilakukan di areal rawa. Tanaman

utama yang dibudidayakan adalah padi yang ditanam pada musim kemarau

ketika lahan rawa tersebut mulai surut dan kering. Dalam pengolahan tanah di

lahan ini tidak dikenal mencangkul, nggaru dan ngluku namun yang ada adalah

nebas atau pembersihan lahan dari ganggang dan tanaman air yang biasanya

47  

dilakukan pada saat areal tersebut masiih berair tetapi sudah mulai mendangkal.

Pemupukan juga tidak dilakukan pada tanaman padi demikian juga penyiangan

hanya dilakukan sesekali.

c Kebun

Kebun yang diusahakan adalah pertanian lahan kering dengan tanaman

utama adalah karet. Tahapan pengolahan lahan kebun dimulai dari penyiapan

lahan, pembuatan lobang tanam, penanaman, pemupukan, penyiangan dan

pemanenan (penyadapan getah dan penebangan kayu).

Dalam beberapa tahun terakhir terjadi pergeseran yang cukup besar di

dalam pola pemanfaatan lahan tersebut. Pada awal perambahan masyarakat

cenderung untuk bersawah namun seiring dengan perubahan dalam harga

komoditas dan juga ketersediaan tenaga kerja mereka mulai berkebun karet.

Perubahan tersebut dapat terlihat dalam Tabel 8.

Tabel 8 Perubahan penggunaan lahan Kawasan Hutan Produksi Terusan Sialang

No Penggunaan lahan Tahun 2001 Tahun 2009 Luas (ha) Luas (ha) 1 Pemukiman 396 3962 Lahan garapan tanaman

berkayu (karet) 250 5.204

3 Lahan garapan tanaman semusim (padi)

5.049 2.400

4 Lainnya 2.305 0 8.000 8.000

Sumber : Kantor Transmigrasi Kabupaten OKI (2001) dan Dinas Kehutanan Kabupaten OKI (2009)

Kebanyakan masyarakat yang mendiami Kawasan Hutan Produksi

Terusan Sialang mempunyai hubungan kekerabatan yang dekat seperti saudara,

anak, menantu dan teman dekat. Pada umumnya mereka merupakan keturunan

para transmigran yang ditempatkan di daerah yang sekitar Kabupaten Ogan

Komering Ilir, Kabupaten Ogan Komering Ulu dan Propinsi Lampung. Kedekatan

hubungan kekerabatan tersebut menjadikan suasana kekeluargaan yang kental

sangat terasa di dalam komunitas masyarakat tersebut.

Secara umum norma yang berlaku di dalam kawasan tersebut adalah

norma-norma budaya bali yang ditandai dengan diberlakukannya denda pada

setiap pelanggaran norma. Hal ini dilatarbelakangi oleh keberhasilan

kepemimpinan orang-orang bali dalam proses penguasaan lahan tersebut.

Dalam perjalanan proses penjarahan kawasan tersebut beberapa kali masuk

48  

pihak-pihak yang akan mengkoordinir kegiatan di kawasan tersebut. Namun

dalam kenyataannya mereka hanya berusaha untuk mengambil keuntungan

setelah itu meninggalkan para petani tersebut sampai akhirnya di tahun 2002

sempat terjadi gejolak yang cukup besar yang terjadi karena masyarakat yang

sudah tidak tahan ditekan oleh pihak-pihak tersebut melakukan perlawanan yang

dikoordinir oleh masyarakat bali. Sejak saat itu masyarakat bali menjadi

pemimpin di dalam komunitas tersebut.

Beberapa karakteristik budaya yang terlihat dalam kebiasaan dan

pergaulan masyarakat di kawasan tersebut diantaranya:

a Aturan yang ketat terhadap pelanggaran larangan seperti yang berlaku di

bali. Pelanggaran seperti pencurian, berzina, merampok dan perbuatan

yang meresahkan masyarakat dapat menyebabkan mereka diusir dari

kawasan tersebut dan lahannya dirampas oleh komunitas.

b Toleransi yang tinggi. Walaupun berlaku “hukum bali” namun mereka tidak

mencampuradukkan masalah agama. Komunitas masyarakat muslim yang

merupakan mayoritas mempunyai kegiatan pengajian Yasinan yang rutin

dilaksanakan setiap malam Jumat dan dihadiri juga oleh tokoh masyarakat

bali. Dalam melaksanakan hajatan orang bali juga mengundang orang

yang beragama lain namun pada hari yang berbeda karena masakan yang

disajikan juga berbeda.

c Sikap saling menghormati yang tinggi. Mayoritas penduduk yang ada

adalah masyarakat jawa namun mereka menghormati kepemimpinan

masyarakat bali dalam komunitas yang jumlahnya lebih kecil. Dalam

kehidupan sehari-hari adat istiadat jawa yang dilaksanakan oleh orang

jawa juga sangat didukung oleh orang bali. Beberapa suku minoritas yang

ada di dalam kawasan juga merasakan bahwa mereka dapat dengan

bebas melaksanakan adat masing-masing tanpa ada gangguan selama

mereka tidak mengganggu orang lain.

d Tingkat solidaritas yang tinggi. Budaya sambatan (gotong royong) sangat

mudah dijumpai dalam komunitas. Dalam mendirikan rumah, memelihara

jalan, membangun jembatan dan kegiatan lainnya mereka selalu

melakukan sambatan. Bahkan untuk kegiatan-kegiatan yang sifatnya

untuk kepentingan bersama yang tidak mengikuti kegiatan sambatan ini

akan dikenakan denda sepuluh ribu rupiah perhari.

49  

5.2 Karakteristik Individu Masyarakat di Kawasan Hutan Produksi Terusan Sialang

Karakteristik individu masyarakat didalam Kawasan Hutan Produksi

Terusan Sialang yang diidentifikasi meliputi: umur, pendidikan formal, pendidikan

non formal, pendapatan, tingkat kesehatan, luas lahan, lama tinggal, status

sosial, suku bangsa dan asal domisili.

5.2.1 umur Salah satu faktor yang mempengaruhi produktifitas seseorang dalam

melaksanakan pekerjaannya adalah umur. Dari 119 responden rumah tangga

yang diwawancarai sebagian besar berada pada tahap umur yang sangat

produktif sebagaimana dapat dilihat dalam Tabel 9.

Tabel 9 Sebaran kelompok umur responden

No. Kelompok umur (tahun)

Kategori Skor Jumlah (orang)

Persentase (%)

1 2 3

Kurang dari 30 30 s/d 50 Lebih dari 50

Rendah Sedang Tinggi

1 2 3

33 62 24

27,7452,1020,16

Jumlah 119 100,00

Tabel 9 menunjukkan bahwa sebagian besar masyarakat berada pada

umur yang produktif yang merupakan salah satu faktor pendorong dalam

perkembangan perekonomian di kawasan tersebut.

5.2.2 Tingkat Pendidikan Formal Pendidikan merupakan suatu proses yang berpengaruh pada

pembentukan sikap dan perilaku, karena pendidikan meletakkan dasar

pengetahuan dan konsep moral dalam diri individu. Konsep moral akan

menentukan sikap dan perilaku seseorang (Saefudin 1988). Tingkat pendidikan

formal masyarakat di dalam kawasan tersebut berdasarkan hasil survey terhadap

responden menunjukkan bahwa mayoritas masyarakat mempunyai tingkat

pendidikan yang rendah. Mayoritas responden (56,30%) tidak sekolah atau

hanya tamat SD dan hanya sedikit (13,44%) yang tamat SMA, akademi atau

perguruan tinggi (Tabel 10).

50  

Tabel 10 Sebaran tingkat pendidikan formal responden

No. Pendidikan formal Kategori Skor Jumlah (orang)

Persentase (%)

1 2 3

Tidak sekolah atau tamat SD Tamat SLTP atau sederajat Tamat SLTA, akademi atau perguruan tinggi

Rendah Sedang Tinggi

1 2 3

673616

56,30 30,25 13,45

Jumlah 119 100,00

Rendahnya tingkat pendidikan formal di dalam kawasan ini disebabkan

oleh kurangnya kesadaran masyarakat akan fungsi dan tujuan pendidikan.

Padahal Sidu (2006) menyatakan bahwa hasil dari pendidikan yang baik akan

meningkatkan produktivitas dan kemungkinan untuk mendapatkan penghasilan

yang lebih baik. Namun hal tersebut belum disadari oleh masyarakat dan pola

pikir masyarakat masih tertumpu pada bagaimana mereka dapat bertahan dalam

bidang perekonomian, walaupun sebenarnya tingkat pendidikan masyarakat ini

sudah jauh berkembang dibandingkan dengan data yang ada pada tahun 2001

(Tabel 11) seiring dengan semakin membaiknya tingkat perekonomian

masyarakat. Suharto (2007) menyatakan bahwa peningkatan kemampuan

intelektual, spiritual dan emosional yang didapatkan melalui pendidikan

merupakan faktor kunci dalam peningkatan modal manusia dan berkorelasi

positif dengan kemajuan pembangunan sektor makronya.

Tabel 11 Tingkat pendidikan formal masyarakat di Kawasan Hutan Produksi terusan Sialang tahun 2001

No. Tingkat Pendidikan Persentase (%)

1 2 3

Tidak sekolah atau tamat SD Tamat SLTP atau sederajat Tamat SLTA, akademi atau perguruan tinggi

96,98 2,82 0,20

Jumlah 100,00 Sumber: Kantor Transmigrasi Kabupaten OKI (2001)

5.2.3 Tingkat Pendidikan Non formal Tingkat pendidikan non formal masyarakat responden pada umumnya

masih rendah (Tabel 12). Pendidikan non formal masyarakat diperoleh dari

kegiatan kursus, pelatihan dan bimbingan teknis yang pernah diikuti.

51  

Tabel 12 Sebaran tingkat pendidikan non formal responden

No.

Pendidikan non formal (kali)

Kategori Skor Jumlah (orang)

Persentase (%)

1 2 3

Tidak pernah 1 s/d 3 Lebih dari 3

Rendah Sedang Tinggi

1 2 3

105 12

2

88,2410,08

1,68 Jumlah 119 100,00

Tujuan pendidikan baik formal dan non formal adalah untuk memberikan

tambahan pengetahuan, ketrampilan dan juga sikap masyarakat. Sidu (2006)

menyatakan bahwa untuk memperkuat pemberdayaan masyarakat sangat

diperlukan usaha-usaha untuk menambah pengetahuan dan ketrampilan

masyarakat dan hal itu dapat dilakukan melalui pendiidikan baik formal maupun

non formal.

5.2.4 Tingkat Pendapatan Tingkat pendapatan masyarakat pada rata-rata berada pada tingkat yang

sedang (Tabel 13). Tingkat pendapatan masyarakat di dalam kawasan tersebut

secara umum masih berada di atas upah minimum provinsi sebesar Rp1.195.220

dan juga kebutuhan hidup minimum provinsi sebesar Rp1.311.000. Berdasarkan

hal tersebut dapat diketahui bahwa masyarakat yang berada di dalam kawasan

tersebut mempunyai tingkat penghasilan yang cukup memadai. Hal ini

dikarenakan dalam beberapa tahun terakhir ini mereka mulai membudidayakan

tanaman karet yang harganya cukup baik. Secara umum dari 1 hektar lahan

tanaman karet yang sudah berproduksi secara optimal mampu menghasilkan 2,5

juta s/d 3, juta rupiah per bulan. Sedangkan masyarakat yang masih

membudidayakan padi mempunyai tingkat penghasilan yang lebih rendah yaitu

antara 3,9 juta s/d 12,3 juta rupiah per tahun tergantung kondisi sawah. Kondisi

tersebut menyebabkan saat ini banyak areal sawah yang mulai ditanami dengan

tanaman karet.

Tabel 13 Sebaran tingkat pendapatan responden

No.

Tingkat pendapatan (Rp)/bulan

Kategori Skor Jumlah (orang)

Persentase (%)

1 2 3

<1.000.000 1.000.000 – 2.000.000 >2.000.000

Rendah Sedang Tinggi

1 2 3

28 51 40

23,5247,8733,61

Jumlah 119 100,00

52  

Masyarakat dengan penghasilan tinggi merupakan kelompok masyarakat

yang membudidayakan tanaman karet. Mereka pada umumnya adalah para

pemilik lahan dengan luas lebih dari 2 ha. Sedangkan masyarakat yang

mempunyai penghasilan rendah adalah masyarakat yang tinggal di daerah lebak

yang membudidayakan padi di lahan mereka. Namun dari pengamatan di

lapangan didapati bahwa masyarakat saat ini sudah mulai menanami lahan padi

tersebut dengan tanaman karet. Beberapa masyarakat mempunyai penghasilan

yang sangat tinggi (lebih dari 10 juta/bulan) dikarenakan mereka mempunyai

kebun karet yang luas ( lebih dari 10 ha).

5.2.5 Tingkat Kesehatan Mayoritas masyarakat berada dalam kondisi kesehatan yang baik. Dari 119

responden hanya 2 responden atau 1,68% yang sedang mengalami sakit yang

berat dan menyebabkan mereka harus rutin berobat sedangkan mayoritas

(73,95%) berada dalam kondisi kesehatan yang tinggi (tidak pernah sakit atau

sakit ringan kurang dari 3 kali dalam setahun) (Tabel 14).

Tingkat kesehatan yang tinggi akan meningkatkan produktivitas

masyarakat karena akan menambah jam kerja dan kemampuan fisik masyarakat.

Seperti yang dikemukakan oleh Todaro dan Smith (2003) dalam Sidu (2006)

bahwa pendidikan dan kesehatan merupakan tujuan pembangunan yang

mendasar yang keduanya merupakan bentuk dari modal manusia (human

capital) yang menjadi fundamental untuk membentuk kapabilitas manusia yang

lebih luas yang berada pada inti makna pembangunan. Kesehatan merupakan

inti dari kesejahteraan dan pendidikan adalah hal yang pokok untuk menggapai

kehidupan yang memuaskan dan berharga.

Tabel 14 Sebaran tingkat kesehatan responden

No.

Tingkat kesehatan

Kategori Skor Jumlah (orang)

Persentase (%)

1

2

3

> 6 kali sakit/tahun/menderita penyakit menahun/sakit parah Sakit ringan 3 – 6 kali dalam setahun Tidak pernah sakit atau sakit ringan < 3 kali dalam setahun

Rendah Sedang Tinggi

1

2

3

2

9

88

1,68

24,37

73,95

Jumlah 119 100,00

53  

5.2.6 Luas Lahan Garapan Pada awal terbentuknya komunitas masyarakat di dalam kawasan hutan

rata-rata masyarakat mendapatkan 2 ha lahan untuk digarap. Kemudian terjadi

proses jual beli antar masyarakat sehingga sekarang luasan lahan garapan

menjadi beragam. Terdapat anggota masyarakat yang mempunyai luas lahan

garapan sampai dengan 24 ha dan juga ada masyarakat yang hanya mempunyai

0,5 ha. Masyarakat yang mepunyai lahan yang luas biasanya adalah para

pemukim lama yang bertahan dan membeli lahan-lahan yang ditinggalkan/dijual

oleh masyarakat lain. Sedangkan yang mempunyai lahan yang sempit adalah

masyarakat yang datang belakangan atau mereka yang mendapatkan lahan

pembagian (warisan) dari orang tua mereka. Hampir semua masyarakat

menggarap lahannya sendiri. Namun di beberapa areal terdapat lahan-lahan

yang dimiliki oleh orang diluar kawasan. Biasanya mereka mengupah orang

untuk menggarap dan menunggu lahan tersebut.

Tabel 15 Sebaran luas lahan garapan responden

No.

Luas lahan (ha)

Kategori Skor Jumlah (orang)

Persentase (%)

1 2 3

< 1 1 s/d 2 >2

Rendah Sedang Tinggi

1 2 3

41 50 28

34,4542,0223,53

Jumlah 119 100,00

Status lahan mempengaruhi konsep diri seseorang terutama dalam

menentukan jenis produksi dan pendapatan yang diperoleh dari usaha di lahan

tersebut (Susiatik 1998). Masyarakat menyadari bahwa lahan yang selama ini

mereka tempati adalah kawasan hutan negara. Selama ini mereka telah

berusaha beberpa kali untuk melegalkan keberadaan mereka di dalam kawasan

tersebut melalui beberapa LSM/LBH diantaranya LBH Arwan (1999), LBH Andi

Amir (2002), BL Citra (2004) dan Forum Masyarakat (2006). Namun hampir

semua usaha tersebut tidak berhasil dan bahkan pada tahun 2002 terjadi

kerusuhan yang mengakibatkan jatuhnya korban jiwa. Usaha masyarakat

tersebut akhirnya difasilitasi oleh pemerintah daerah Kabupaten OKI dengan

mengusulkan areal tersebut menjadi areal pencadangan HTR.

Program pembangunan HTR ini mendapatkan sambutan positif oleh

masyarakat yang ditandai dengan pengajuan usulan mereka pada tahun 2009

54  

melalui Koperasi karyawan Inhutani V namun usulan tersebut tidak lolos verifikasi

oleh BPPHP Wilayah V Palembang. Usaha lanjutan masih tetap dilakukan

dengan membentuk Koperasi baru yaitu Koperasi Masyarakat Pemberdayaan

Hutan (Komasperhut) dan juga Kelompok Tani Hutan Jelutung, Karet, Rengas,

Gelam dan Wana Krida namun sampai saat ini belum ada kejelasan tentang

usulan tersebut.

Masyarakat di kawasan tersebut sebenarnya tidak terlalu risau dengan

status kawasan karena mereka sudah lama bermukim dan tidak mendapatkan

permasalahan selama ini. Kejelasan status lahan garapan mereka perlukan

untuk beberapa alasan yaitu menaikkan tingkat perekonomian di kawasan

tersebut (harga tanah dan komoditas), memperoleh hak-hak kependudukan dan

mendapatkan akses pelayanan umum yang lebih baik.

5.2.7 Lama Tinggal Sebagian besar responden tinggal di kawasan tersebut lebih dari 10

tahun (58,,82%) yaitu antara tahun 1997 sampai dengan tahun 2002 pada saat

muali dilakukannya perambahan secara besar-besaran di kawsan tersebut.

Hanya sebagian kecil saja yang tinggal dikawasan tersebut kurang dari lima

tahun (11,77%). Sebaran responden berdasarkan lama tinggal dapat dilihat

dalam Tabel 16.

Tabel 16 Sebaran lama tinggal responden

No.

Lama tinggal (tahun)

Kategori Skor Jumlah (orang)

Persentase (%)

1 2 3

< 5 5 s/d 10

>10

Rendah Sedang Tinggi

1 2 3

143570

58,82 29,41 11,77

Jumlah 119 100,00

5.2.8 Status Sosial Status sosial menunjukkan tingkat penghargaan masyarakat kepada

individu yang bersangkutan dalam kelompok masyarakat. Status sosial

responden dapat dilihat dalam Tabel 17.

55  

Tabel 17 Sebaran status sosial responden

No.

Status Sosial

Kategori Skor Jumlah (orang)

Persentase (%)

1

2

3

Masyarakat miskin/jika pendapatan dibawah rata-rata dan atau memiliki lahan yang sempit dan tau bukan tokoh masyarakat/adat/ agama/pegawai pemerintah. Masyarakat kebanyakan/jika pendapatan dan atau lahan diantara rata-rata dan atau tokoh masyarakat/adat/agama/pegawai pemerintah tingkat rendah Orang kaya/jika pendapatannya diatas rata-rata dan atau memiliki lahan yang luas dan atau tokoh masyarakat/adat/agama/pegawai pemerintah tingkat tinggi

Rendah

Sedang

Tinggi

1

2

3

23

67

29

19,33

56,30

24,37

Jumlah 119 100,00

Status sosial ini umumnya ditentukan oleh kedudukan seseorang dalam

masyarakat. Untuk menjaga keutuhan sosial orang wajib bertindak sesuai status

masing-masing karena nilai keharmonisan, keselarasan dan keseimbangan

dalam struktur sosial berguna untuk kelangsungan hidup bersama (Lawang

2005).

5.2.9 Suku Bangsa Mayoritas responden merupakan suku Jawa dan Bali yang memang

paling banyak terdapat di dalam kawasan tersebut (89,08%). Sedangkan suku

minoritas adalah suku-suku diluar suku Jawa, Bali dan Komering yang terdiri dari

suku Sunda, Batak dan Padang/Minang sebesar 4,2%. Sebaran responden

berdasarkan suku bangsa dapat dilihat pada Tabel 18.

Tabel 18 Sebaran suku bangsa responden

No.

Suku Bangsa

Kategori Skor Jumlah (orang)

Persentase (%)

1 2 3

Minoritas (lainnya) Setempat (Komering) Mayoritas (Jawa dan Bali)

Rendah Sedang Tinggi

1 2 3

5 8

106

4,206,72

89,08 Jumlah 119 100,00

56  

Karakteristik individu dalam hal suku bangsa ini menjadi penting

dikarenakan adanya kecenderungan kepercayaan yang lebih besar apabila

anggota masyarakat tersebut berasal dari suku bangsa yang sama. Keinginan

untuk bekerjasama dan saling membantu juga lebih besar pada anggota

masyarakat dengan suku bangsa yang sama (Suandi 2007)

5.2.10 Asal Domisili

Asal domisili responden didominasi oleh pemukim yang perasal dari luar

kabupaten karena (55,46%) memang letak kawasan tersebut lebih dekat dengan

kota Belitang Kabupaten OKUT yang merupakan daerah transmigrasi yang

berhasil dibandingkan dengan jarak dari kota Kayu Agung (ibukota Kabupaten

OKI). Sedangkan pemukim yang berasal dari daerah setempat hanya 14,28%.

Sebaran asal domisili pemukim tersebut dapat dilihat pada Tabel 19.

Tabel 19 Sebaran asal domisili responden

No.

Asal domisili

Kategori Skor Jumlah (orang)

Persentase (%)

1 2 3

Luar propinsi Luar kabupaten Setempat (dalam kabupaten)

Rendah Sedang Tinggi

1 2 3

366617

30,25 55,46 14,29

Jumlah 119 100,00 5.3 Penilaian Karakteristik Individu Untuk mengetahui kelemahan dan kekuatan dalam karakteristik individu

maka dilakukan penilaian karakteristik individu responden. Karakteristik individu

yang berada pada kategori tinggi menandakan adanya kekuatan sedangkan

yang termasuk dalam kategori rendah menandakan adanya kelemahan dalam

karakteristik individu tersebut. Hasil penilaian karakteristik individu responden

dapat dilihat pada Tabel 20.

Dari penilaian tersebut dapat diketahui bahwa karakteristik individu yang

berada pada kategori rendah adalah pendidikan non formal, yang berada pada

kategori sedang adalah umur, pendidikan formal, luas lahan, pendapatan, lama

tinggal, status sosial dan asal domisili, sedangkan yang berada pada kategori

tinggi adalah suku bangsa. Berdasarkan persamaan selang nilai dari 119 responden dengan Xmax =

30 dan Xmin = 10 dan jumlah kelas 3 (rendah, sedang dan tinggi) didapatkan

57  

lebar kelas adalah 6,67. Maka skala penilaian karakteristik individu untuk

masyarakat Kawasan Hutan Produksi Terusan Sialang adalah

1. Karakteristik individu rendah bila jumlah skor ≤ 16,67

2. Karakteristik individu sedang bila jumlah skor 16,67 – 23,33

3. Karakteristik individu tinggi bila jumlah skor ≥ 23,33

Tabel 20 Penilaian karakteristik individu responden No. Karakteristik Individu Skor Rata-rata

skor Keterangan Skor

1 Umur 247 2,07≈ 2 1 : usia muda 2 : usia sedang 3 : usia tua

2 Pendidikan formal 187 1,57≈ 2 1 : pendidikan rendah 2 : pendidikan sedang 3 : pendidikan tinggi

3 Pendidikan Non formal 135 1,13≈ 1 1 : pendidikan rendah 2 : pendidikan sedang 3 : pendidikan tinggi

4 Pendapatan 250 2,10≈ 2 1 : pendapatan rendah 2 : pendapatan sedang 3 : pendapatan tinggi

5 Tingkat kesehatan 324 2,72≈ 3 1 : kesehatan rendah 2 : kesehatan sedang 3 : kesehatan tinggi

6 Luas lahan 225 1,89≈ 2 1 : lahan sempit 2 : lahan sedang 3 : lahan luas

7 Lama tinggal 294 2,47≈ 2 1: lama tinggal rendah 2: lama tinggal sedang 3: lama tinggal tinggi

8 Status sosial 244 2,05≈ 2 1: status sosial rendah 2: status sosial sedang 3: status sosial tinggi

9 Suku bangsa 339 2,85≈ 3 1: suku mayoritas 2: suku setempat 3: suku minoritas

10 Asal Domisili 219 1,84≈ 2 1: asal luar propinsi 2: asal luar kabupaten 3: asal setempat

Jumlah 2.464 20,70

Karakteristik individu berdasarkan penilaian pada Tabel 20 adalah 20,70

berarti termasuk dalam kategori sedang. Sebaran tingkat karakteristik individu

masyarakat dapat dilihat pada Tabel 25. Data tingkat karakteristik individu

responden dapat dilihat dalam Lampiran 3.

58  

Tabel 21 Sebaran karakteristik individu responden

No. Kategori karakteristik individu Selang nilai Jumlah (orang)

Persentase (%)

1 2 3

Rendah Sedang Tinggi

< 17 17 – 23

>23

108326

9,09 75,45 23,64

Jumlah 119 100,00

Penilaian karakteristik individu ini menjadi penting karena tingkat

karakteristik individu sangat berpengaruh terhadap tingkat modal manusia.

Sementara saat ini diketahui bahwasanya modal manusia merupakan salah satu

faktor utama yang menunjang keberhasilan pembangunan (Sidu 2006). Hal

senada juga dinyatakan oleh Fukuyama (2007) dan Coleman (1998) yang

menyatakan bahwa modal manusia dalam bentuk pendidikan dan ketrampilan

justru lebih mendominasi dalam menentukan keberhasilan pembangunan

dibandingkan modal yang berwujud fisik seperti teknologi, tanah, bangunan,

mesin-mesin dan sebagainya.

5.4 Unsur-Unsur Pembentuk Modal Sosial Unsur-unsur modal sosial yang diukur dalam komunitas masyarakat di

Kawasan Hutan Produksi Terusan Sialang terdiri dari kepercayaan, norma sosial,

jaringan sosial, tindakan proaktif dan kepedulian. Untuk tingkatan unsur modal

sosial menggunakan 4 tingkatan modal sosial Uphoff (2000) yaitu minimum,

rendah, sedang dan tinggi.

5.4.1 Kepercayaan Fukuyama (2007) menyatakan bahwa kepercayaan adalah sikap saling mempercayai masyarakat sedangkan Sidu (2006) mendifinisikan Kepercayaan antar sesama adalah suatu keyakinan yang dimiliki seseorang untuk mempersepsikan seseorang atau suatu keadaan berdasarkan perasaan dan kondisi yang dialami. Grotaert et al (2004) menyatakan bahwa kepercayaaan merupakan unsur modal sosial yang sulit untuk diukur karena mempunyai arti yang sangat luas dan berbeda bagi setiap individu oleh karenanya diperlukan croscek dan juga memperluas cakupan kepercayaan yaitu kepercayaan terhadap individu, institusi dan bisnis. Penilaian Kepercayaan masyarakat di Kawasan Hutan Produksi Terusan Sialang meliputi tingkat kepercayaan terhadap orang sekitar di dalam komunitas, orang dengan etnis yang sama tetapi di luar komunitas, orang dengan etnis yang berbeda baik di dalam maupun di luar

59  

komunitas, aparat pemerintah, kepolisian, tokoh masyarakat/adat, tokoh agama, pihak luar (LSM/swasta, instansi-instansi terkait dengan pelaksanaan program pembangunan HTR) serta tingkat kepercayaan masyarakat dalam hal pinjam-meminjam uang/barang. Tingkat kepercayaan masyarakat berdasarkan kuisioner dapat dilihat dalam Tabel 21. Selang nilai kepercayaan dengan Xmax=36, Xmin=12 dan n=4 adalah 6 sehingga tingkat kepercayaan masyarakat dapat dibagi menjadi: a tingkat kepercayaan minimum jika skor ≤ 18 b tingkat kepercayaan rendah jika skor 19 s/d 24 c tingkat kepercayaan sedang jika skor 25 s/d 30 d tingkat kepercayaan tinggi jika skor ≥ 30 Berdasarkan Tabel 21 di dapatkan bahwa skor rata-rata masyarakat adalah 32,28 sehingga termasuk dalam kategori tinggi. Masyarakat mempunyai tingkat kepercayaan yang tinggi terhadap komunitas di sekitarnya. Dalam hal pinjam-meminjam mereka mempunyai kepercayaan yang tinggi bahkan terhadap pihak luar (tengkulak karet). Kepercayaan masyarakat agak rendah terhadap pihak luar terutama LSM dikarenakan pengalaman mereka yang kurang baik dengan keberadaan LSM di daerah tersebut. Tingginya tingkat kepercaaan tersebut merupakan potensi yang besar dalam menunjang kemajuan masyarakat.

Tingginya tingkat kepercayaan antar masyarakat ini tidak terlepas dari status mereka di dalam kawasan tersebut. Untuk menghadapi tekanan pihak luar yang ingin mengusir mereka dari dalam kawasan tersebut mereka harus membangun kepercayaan diantara mereka. Berbagai gejolak pernah terjadi di dalam kawasan itu dan puncaknya adalah peristiwa yang diakibatkan oleh LBH Andi Amir pada tahun 2002 yang menelan 4 korban jiwa menyebabkan mereka mulai membangun kepercayaan yang tinggi diantara mereka supaya tidak terulang kembali. Tingginya tingkat kepercayaan masyarakat ini juga tidak terlepas dari ketatnya penerapan norma yang tegas didalam pergaulan sehari-hari juga perasaan senasib sepenanggungan yang mereka hadapi.

Dalam hal pinjam meminjam sebagian besar masyarakat meminjam uang kepada para tengkulak karet/kelompok timbang karet (73,11%), kemudian kepada saudara (14,29%) dan terakhir kepada tetangga (12,60%). Dari Tabel 26, diketahui bahwa masyarakat masih percaya kepada lingkungan sekitarnya untuk melakukan pinjam-meminjam barang dan uang (79,83%) dan hanya 20,17% masyarakat yang kurang percaya. Artinya bahwa masyarakat selama ini tidak pernah mengalami kesulitan untuk melakukan pinjam-meminjam uang atau barang dengan komunitas di lingkungannya.

60  

Tabel 22 Sebaran tingkat kepercayaan masyarakat

No. Sub unsur kepercayaan Tingkat Jumlah (orang)

Persentase (%)

Skor

1 Kepercayaan terhadap orang sekitar (komunitas)

Tidak percaya Kurang percaya Percaya

110

108

0,84 8,40

90,76

1 20

324

Jumlah 119 100,00 345

2 Kepercayaan terhadap orang dengan etnis yang sama

Tidak percaya Kurang percaya Percaya

114

104

0,84 11,76 87,40

1 28

312 Jumlah 119 100,00 341 3 Kepercayaan terhadap orang

dengan etnis yang berbeda Tidak percaya Kurang percaya Percaya

51599

4,20 12,61 83,19

5 30

297 jumlah 119 100,00 332 4 Kepercayaan terhadap aparat

pemerintah Tidak percaya Kurang percaya Percaya

22097

1,68 16,81 81,51

2 40

291 Jumlah 119 100,00 332 5 Kepercayaan terhadap aparat

kehutanan (polhut) Tidak percaya Kurang percaya Percaya

24374

1,68 36,13 62,19

2 86

222 jumlah 119 100,00 310 6 Kepercayaan terhadap aparat

kepolisian Tidak percaya Kurang percaya Percaya

12296

0,84 18,49 80,67

1 44

288 Jumlah 119 100,00 333 7 Kepercayaan terhadap tokoh

masyarakat/adat Tidak percaya Kurang percaya Percaya

112

106

0,84 10,08 89,08

1 24

318 jumlah 119 100,00 343 8 Kepercayaan terhadap tokoh

agama Tidak percaya Kurang percaya Percaya

16

112

0,84 5,04

94,12

1 12

336 Jumlah 119 100,00 349 9 Kepercayaan terhadap pihak

luar (LSM/swasta) Tidak percaya Kurang percaya Percaya

336521

27,73 54,62 17,65

33 130

63 Jumlah 119 100,00 226 10 Kepercayaan terhadap dinas

kehutanan kabupaten OKI Tidak percaya Kurang percaya Percaya

24473

1,68 36,97 61,35

2 88

219 Jumlah 119 100,00 309 11 Kepercayaan terhadap

BPPHP Wilayah V Palembang Tidak percaya Kurang percaya Percaya

25463

1,68 45,38 52,94

2 108 189

Jumlah 119 100,00 299 12 Kepercayaan dalam hal

pinjam-meminjam barang/uang

Tidak percaya Kurang percaya Percaya

02495

0 20,17 79,83

0 48

285 Jumlah 119 100,00 333 Jumlah skor = 3853 dan rata-rata skor = 32,38 Ket. skor tidak percaya=1, kurang percaya=2 dan percaya=3

61  

Kepercayaan masyarakat terhadap pihak luar terutama dari instansi

pemerintahan cenderung masih baik. Hal ini dapat menjadi modal yang penting

bagi instansi kehutanan dalam mensukseskan program pembangunan HTR di

kawasan tersebut. Namun perlu juga diperhatikan bahwa tingkat kepercayaan ini

harus dipertahankan mengingat dalam beberapa kesempatan masyarakat sudah

mulai menunjukkan ketidakpercayaan terhadap instansi kehutanan terkait

dengan proses pengajuan ijin HTR yang belum jelas. Sebaran tingkat

kepercayaan masyarakat dapat dilihat dalam Tabel 23.

Tabel 23 Sebaran tingkat kepercayaan responden

No. Kategori tingkat kepercayaan Selang Jumlah (orang)

Persentase (%)

1 2 3 4

Minimum Rendah Sedang Tinggi

≤ 18 19 – 24 25 – 30 ≥ 31

0 4

21 94

03,36

17,6578,99

Jumlah 119 100,00

5.4.2 Jaringan Sosial Sidu (2006) mendefinisikan jaringan sosial sebagai suatu hubungan yang

tersusun dalam suatu interaksi yang melibatkan orang, kelompok, masyarakat,

informasi dan beragam pelayanan sosial di dalamnya. Selanjutnya dinyatakan

bahwa dari hasil studi Putnam di Italia menyimpulkan bahwa jaringan sosial

berkaitan erat dengan konsep modal sosial. Meskipun konsep modal sosial

bersifat multidimensi tetapi secara operasional modal sosial menunjuk pada

norma-norma dan jaringan-jaringan yang memungkinkan terjadinya aksi kolektif.

Tingkat jaringan sosial masyarakat di Kawasan Hutan Produksi Terusan Sialang

dapat dilihat dalam Tabel 24.

Selang nilai untuk tingkat jaringan sosial dengan Xmax=21 dan Xmin=7

dengan n=4 adalah 3,5, sehingga tingkat jaringan sosial dapat dibagi menjadi

a Minimum bila skor jaringan sosial < 10

b Rendah bila skor jaringan sosial 11 s/d 14

c Sedang bila skor jaringan sosial 15 s/d 18

d Tinggi bila skor jaringan sosial > 18

Dari Tabel 24 diketahui bahwa skor rata-rata jaringan sosial masyarakat

di kawasan Hutah Produksi Terusan Sialang adalah 17,74 yang masuk dalam

kategori sedang. Sebaran responden berdasarkan tingkat jaringan sosial dapat

dilihat dalam Tabel 25.

62  

Tabel 24 Tingkat jaringan sosial responden

No. Sub unsur jaringan sosial

Kategori Jumlah (orang)

Persentase (%)

Skor

1 Kepadatan organisasi (jumlah anggota Keluarga yang terlibat)

Rendah Sedang Tinggi

0 114

5

0,00 95,80

4,20

0 228

15 Jumlah 119 100,00 243 2 Keragaman

keanggotaan organisasi Rendah Sedang Tinggi

5 101

15

4,20 84,87 10,93

5 202

45 Jumlah 119 100,00 252 3 Partisipasi dalam kelompok Rendah

Sedang Tinggi

0 47 72

0,00 39,50 60,50

0 94

216 Jumlah 119 100,00 310 4 Kerelaan dalam membangun

jaringan Tidak rela Kurang rela Rela

0 16

103

0,00 13,45 86,55

0 32

309 Jumlah 119 100,00 341 5 Kerjasama kelompok dengan

kelompok lain di dalam komunitas

Tidak pernah Jarang Sering

3 32 84

2,5 26,89 70,59

3 64

252 Jumlah 119 100,00 319 6 Kerjasama kelompok dengan

kelompok lain di luar komunitas Tidak pernah Jarang Sering

2 25 92

1,68 21,01 77,31

2 50

276 Jumlah 119 100,00 328 7 Kebersamaan (inisiatif

anggota menjadi ketua sementara)

Rendah Sedang Tinggi

0 33 86

0,00 27,73 72,27

0 66

258 Jumlah 119 100,00 324 Jumlah skor = 2.111, rata-rata skor = 17,74

Tabel 25 Sebaran tingkat jaringan sosial responden

No. Kategori tingkat jaringan sosial

Selang Jumlah (orang)

Persentase (%)

1 2 3 4

Minimum Rendah Sedang Tinggi

≤ 10 11 – 14 15 – 18

> 18

03

6551

0,00 2,52

54,62 42,86

Jumlah 119 100,00 Organisasi di Dalam Kawasan Di dalam Kawasan Hutan Produksi Terusan Sialang terdapat beberapa

organisasi yang didirikan oleh masyarakat dan pada umumnya bersifat informal.

Organisasi tersebut berdiri karena memang dibutuhkan oleh masyarakat

sehingga kegiatan organisasi tersebut sangat aktif. Organisasi yang ada tersebut

adalah.

63  

a Kelompok timbang karet

Kelompok timbang karet adalah organisasi informal yang beranggotakan

petani karet di dalam kawasan tersebut. Kelompok tersebut melaksanakan

kegiatannya setiap 2 minggu dengan melakukan penimbangan karet. Setiap

kelompok timbang karet dikoordinir oleh seorang toke (tengkulak) karet.

Kelompok ini sangat berguna dalam mengumpulkan sumber dana karena dalam

setiap penjualan karet dikeluarkan iuran yang digunakan untuk pembangunan

dan pemeliharaan sarana dan prasarana di komunitas tersebut. Selain itu

pengenaan denda dan sanksi apabila ada pelanggaran dalam komunitas

tersebut biasanya dilaksanakan pada waktu timbang karet tersebut. Kelompok

ini memiliki keanggotaan yang beragam dan hanya memiliki satu keseragaman

yaitu profesi sebagai petani karet.

b kelompok yasinan/pengajian

Kelompok yasinan merupakan organisasi yang dilatarbelakangi

keagamaan. Kelompok ini rutin melaksanakan kegiatan setiap minggu ditempat

yang telah dijadwalkan. Organisasi ini diketuai oleh pemuka agama dan pemuka

lingkungan. Organisasi ini sangat penting dalam membahas permasalahan-

permasalahan lingkungan yang berkembang setiap minggunya. Walaupun

dengan latar belakang agama yang sama namun pada saat ada isu-isu

lingkungan yang perlu untuk dibahas, masyarakat lain yang tidak beragama islam

pun datang ke acara yang diselenggarakan oleh kelompok ini.

c Kelompok tani

Organisasi kelompok tani didirikan dalam rangka untuk mendapatkan ijin

HTR. Sehingga organisasi ini belum mempunyai kedudukan dan juga

sumbangan yang berarti di dalam komunitas ini. Pada saat ini terdapat lima

kelompok tani di dalam kawasan tersebut yaitu kelompok tani Jelutung, kelompok

tani karet, kelompok tani Gelam, kelompok tani Rengas dan kelompok tani Wna

Krida.

d Koperasi Masyarakat Pemberdayaan Hutan (Komasperhut)

Koperasi ini juga diidirikan dalam rangka untuk mendapatkan ijin HTR.

Proses pendirian koperasi ini dukung oleh beberapa tokoh masyarakat yang

sangat berpengaruh di daerah tersebut. Koperasi ini sudah memfasilitasi

masyarakat dalam melaksanakan dan memenuhi beberapa persyaratan dalam

pengajuan ijin HTR yang dirasakan memberatkan oleh masyarakat diantaranya

kegaiatan pengukuran lahan dan pengurusan administrasi kependudukan.

64  

5.4.3 Norma Sosial Norma adalah sekumpulan aturan yang diharapkan dipatuhi dan diikuti

oleh anggota masyarakat pada suatu entitas sosial tertentu (Hasbullah 2006).

Norma ini biasanya mengandung sanksi sosial dan menentukan pola tingkah

laku dalam masyarakat dalam konteks hubungan sosial. Tingkatan norma sosial

yang ada di dalam masyarakat di Kawasan Hutan Produksi Terusan Sialang

sebagaimana dapat dilihat dalam Tabel 26.

Tabel 26 Tingkatan norma sosial masyarakat Kawasan Hutan Produksi Terusan Sialang

No. Sub unsur norma sosial Kategori Jumlah (orang)

Persentase (%)

Skor

1 Ketaatan terhadap aturan tidak tertulis (norma/adat istiadat)

Rendah Sedang Tinggi

1 6

112

0,84 5,04

94,12

1 12

336 Jumlah 119 100,00 349 2 Ketaatan terhadap aturan

pemerintah Rendah Sedang Tinggi

1 5

113

0,84 4,20

94,96

1 10

339 Jumlah 119 100,00 350 3 Ketaatan terhadap aturan

agama Rendah Sedang Tinggi

0 3

116

0,00 2,52

97,48

0 6

348 Jumlah 119 100,00 354 4 Kejujuran dalam pergaulan

sehari-hari Rendah Sedang Tinggi

0 5

114

0,00 4,20

95,80

0 10

342 Jumlah 119 100,00 352 5 Kesopanan dalam pergaulan

sehari-hari Rendah Sedang Tinggi

0 21 98

0,00 17,65 82,35

0 42

294 Jumlah 119 100,00 336 6 Kerukunan dalam pergaulan

sehari-hari Rendah Sedang Tinggi

0 19

100

0,00 15,97 84,03

0 38

300 Jumlah 119 100,00 338 Jumlah skor = 2.079, rata-rata skor = 17,47

Selang nilai tingkat norma sosial dengan Xmax=18 dan Xmin=6 serta n=4

adalah 3 sehingga tingkat norma sosial tersebut dapat dikelompokan menjadi:

a tingkat norma sosial minimum bila skor ≤ 9

b tingkat norma sosial rendah bila skor 10 s/d 12

c tingkat normas sosial sedang bila skor 13 s/d 15

d tingkat norma sosial tinggi bila skor ≥ 16

Dari Tabel 26 dapat diketahui bahwa nilai rata-rata skor norma sosial

masyarakat adalah 17,47 yang berarti masuk dalam kategori tinggi. Mayoritas

65  

masyarakat mempunyai tingkat ketaatan yang sangat tinggi terhadap norma-

norma agama, adat, aturan pemerintah juga dalam hal kejujuran, kesopanan dan

kerukunan. Tingginya norma sosial ini tidak terlepas dari tegasnya sanksi dan

denda yang diterapkan bila terjadi pelanggaran norma. Adaptasi sistem adat bali

di dalam kawasan ini sangat mendorong terciptanya suasana ketertiban di dalam

kawasan tersebut. Gangguan dalam kehidupan sosial biasanya berasal dari luar

kawasan. Akses transportasi yang sangat mudah ke kawasan tersebut

menyebabkan faktor-faktor eksternal dengan mudah masuk kedalam kawasan

tersebut. Namun dengan adanya penerapan norma sosial yang ketat sampai

saat ini kondisi kehidupan sosial di dalam kawasan tersebut masih tertib.

Sebaran tingkatan norma sosial masyarakat berdasarkan kontinuum uphoff

(2000) dapat dilihat dalam Tabel 27.

Tabel 27 Sebaran tingkatan norma sosial responden

No. Kategori tingkat jaringan sosial

Selang Jumlah (orang)

Persentase (%)

1 2 3 4

Minimum Rendah Sedang Tinggi

≤ 9 10 – 12 13 – 15 ≥ 16

0 0 6

113

0,000,005,04

94,96 Jumlah 119 100,00

5.4.4 Tindakan Proaktif Salah satu unsur modal sosial yang penting adalah tindakan proaktif yang

terwujud dalam keinginan untuk tidak saja berpartisipasi tetapi selalu mencari

jalan bagi keterlibatan mereka dalam suatu kegiatan sosial masyarakat

(Hasbullah 2006). Tingkat tindakan proaktif masyarakat Kawasan Hutan Produksi

Terusan Sialang dapat dilihat dalam Tabel 28.

Selang nilai tingkat kepercayaan tindakan proaktif dengan Xmax=24 dan

Xmin=8 serat n=4 adalah 4 sehingga tingkatan tindakan proaktif dapat dibagi

menjadi:

a Minimum apabila skor tingkatan tindakan proaktif ≤ 12

b Rendah apabila skor tindakan proaktif 13 s/d 16

c Sedang apabila skor tindakan proaktif 17 s/d 20

d Tinggi apabila skor tindakan proaktif ≥ 21

Tingkatan tindakan proaktif masyarakat sebagaimana tercantum dalam

Tabel 29 rata-rata termasuk dalam kategori sedang/baik. Hal ini ditunjukan

66  

dengan tingginya tingkat keinginan berbagi informasi (87,39%), keinginan

berbagai pengetahuan dan pengalaman (85,71%), keinginan membersihkan

tempat tinggal (81,51%), dan keinginan saling mengunjungi untuk berbagi

informasi (81,10%). Sedangkan tindakan proaktif yang lain berada pada tingkat

yang sedang.

Tabel 28 Tingkat tindakan proaktif masyarakat Kawasan Hutan Produksi Terusan Sialang

No. Sub unsur norma sosial Kategori Jumlah (orang)

Persentase (%)

Skor

1 Keinginan berbagi informasi Rendah Sedang Tinggi

0 15

104

0,00 12,61 87,39

0 30

312 Jumlah 119 100,00 342 2 Keinginan berbagi pengetahuan

dan pengalaman Rendah Sedang Tinggi

0 17

102

0,00 14,29 85,71

0 34

306 Jumlah 119 100,00 340 3 Keinginan memungut sampah

di tempat umum Rendah Sedang Tinggi

43 63 13

36,14 52,94 10,92

43 126

39 Jumlah 119 100,00 208 4 Keinginan membersihkan

lingkungan tempat tinggal Rendah Sedang Tinggi

2 20 97

1,68 16,81 81,51

0 10

342 Jumlah 119 100,00 352 5 Keinginan menjaga keamanan

bersama Rendah Sedang Tinggi

8 47 64

6,72 39,50 53,78

0 42

294 Jumlah 119 100,00 336 6 Partisipasi warga mendukung

pembangunan untuk kepentingan bersama

Rendah Sedang Tinggi

1 11

107

0,84 89,92

9,24

1 22

321 Jumlah 119 100,00 344 7 Keinginan saling mengunjungi

dalam rangka berbagi informasi Rendah Sedang Tinggi

0 22 97

0,00 18,49

81,1

0 44

291 Jumlah 119 100,00 335 8 Keaktifan dalam

menyelesaikan konflik Rendah Sedang Tinggi

5 64 60

4,20 53,78 42,02

5 128 180

Jumlah 119 100,00 313 Jumlah skor = 2.479, rata-rata skor = 20,83

67  

Tabel 29 Sebaran tingkat tindakan proaktif responden

No. Kategori tingkat jaringan sosial

Selang Jumlah (orang)

Persentase (%)

1 2 3 4

Minimum Rendah Sedang Tinggi

≤ 12 13 – 16 17 – 20 ≥ 21

0 3

43 73

0,002,52

36,1461,34

Jumlah 119 100,00

5.4.5 Kepedulian Kepedulian merupakan pola pertukaran yang tidak dilakukan secara

resiprocal seketika, melainkan suatu kombinasi jangka pendek dan jangka

panjang dalam semangat untuk membantu dan mementingkan kepentingan

orang lain (altruism) (Rinawati 2012). Kelompok masyarakat yang mempunyai

tingkat kepedulain yang tinggi akan mempunyai modal sosial yang kuat dan lebih

memungkinkan untuk mengatasi berbagaimasalah sosial seperti kemiskinan

(Hasbullah 2006). Tingkat kepedulian masyarakat di Kawasan Hutan Produksi

Terusan Sialang berdasarkan SCAT dapat dilihat dalam Tabel 30.

Tabel 30 Tingkat kepedulian masyarakat di Kawasan Hutan Produksi Terusan

Sialang No. Sub unsur norma sosial Kategori Jumlah

(orang)Persentase

(%) Skor

1 Kepedulian terhadap Sesama

Minimum Rendah Sedang Tinggi

02

3384

0,00 1,68

27,73 70,59

04

99336

Jumlah 119 100 4292 Kepedulian terhadap

Lingkungan Minimum Rendah Sedang Tinggi

02

4176

0,00 1,68

34,45 63,87

04

82304

Jumlah 119 100 390 Jumlah skor = 870, rata-rata skor = 7,31

Selang tingkat kepedulian masyarakat dengan Xmax=8 dan Xmin=2

dengan n=4 adalah 1,5 sehingga tingkat kepedulian masyarakat dapat dibagi

menjadi:

a Minimum bila skor tingkat kepedulian masyarakat ≤ 3,5

b Rendah bila skor tingkat kepedulian masyarakat 3,6 s/d 5

c Sedang bial skor tingkat kepedulan masyarakat 5,1 s/d 6,5

d Tinggi bila skor tingkat kepedulian masyarakat > 6,5

68  

Dari Tabel 30 diketahui bahwa rata-rata skor kepedulian masyarakat

adalah 7,31 sehingga masuk dalam kategori tinggi. Tingginya tingkat kepedulian

masyarakat ini menjadi modal yang sangat baik dalam mengatasi masalah sosial

yang ada di dalam masyarakat. Namun suatu kelompok masyarakat dengan

tingkat kepedulian yang tinggi belum tentu memiliki dampak positif yang besar

terhadap kelompok masyarakat yang lain. Hal ini tergantung pada sifat dan

orientasi nilai kepedulian tersebut. Masyarakat dengan tipologi tertutup akan

memberikan nilai poisitip bagi komunitas setempat tetapi belum tentu

memberikan nilai positif bagi kelompok lain. Sebaliknya masyarakat yang bersifat

terbuka yang akan mampu memberikan nilai positif yang lebih luas ke lingkungan

sekitarnya (Hasbullah 2006). Sebaran tingkat kepedulian responden dapat dilihat

dalam Tabel 31.

Tabel 31 Sebaran tingkat kepedulian responden

No. Kategori tingkat kepedulian Selang Jumlah (orang)

Persentase (%)

1 2 3 4

Minimum Rendah Sedang Tinggi

≤ 3,5 3,6 – 5

5,1 – 6,5 >6,5

03

4373

0 2,52

36,14 61,34

Jumlah 119 100,00

5.5 Modal Sosial Masyarakat di Kawasan Hutan Produksi Terusan Sialang Berdasarkan skor unsur-unsur modal sosial masyarakat maka didapatkan

skor modal sosial seperti terlihat dalam Tabel 32.

Tabel 32 Skor modal sosial masyarakat di Kawasan Hutan Produksi Terusan Sialang

No Unsur Modal Sosial Skor Rata-rata Nilai maksimum-minimum

1 2 3 4 5

Kepercayaan Jaringan sosial Norma sosial Tindakan yang proaktif Kepedulian

3.8532.1112.0792.479

870

32,3817,7417,4720,83

7,32

36 - 12 21 - 7 18 - 6 24 - 8 8 - 2

Jumlah 11.392 95,74 107 – 35

Berdasarkan persamaan selang nilai, yaitu:

Selang = Xmax – Xmin = 107 – 35 = 18 N 4

69  

Skala penilaian yang diperoleh untuk tingkatan modal sosial pada masyarakat di

Kawasan Hutan Produksi Terusan Sialang adalah sebagai berikut:

a Modal sosial masyarakat minimum apabila jumlah skor ≤ 53, dalam konteks

pembangunan hutan tanaman rakyat maka sangat sulit untuk dikembangkan

jika dilihat dari modal sosial yang dimiliki.

b Modal sosial masyarakat rendah apabila jumlah skor antara 54 – 71, dalam

konteks pembangunan hutan tanaman rakyat maka sulit untuk dikembangkan

jika dilihat dari modal sosial yang dimiliki.

c Modal sosial masyarakat sedang apabila jumlah skor antara 72 – 90, dalam

konteks pembangunan hutan tanaman rakyat maka mudah untuk

dikembangkan jika dilihat dari modal sosial yang dimiliki.

d Modal sosial masyarakat tinggi apabila jumlah skor ≥ 91, dalam konteks

pembangunan hutan tanaman rakyat maka sangat mudah untuk

dikembangkan jika dilihat dari modal sosial yang dimiliki.

Dari Tabel 32 diketahui bahwa modal sosial masyarakat di Kawasan

Hutan Produksi Terusan Sialang berada pada tingkat yang tinggi (skor 95,74).

Sebaran tingkat modal sosial responden dapat dilihat dalam Tabel 33.

Tabel 33 Sebaran tingkat modal sosial masyarakat Kawasan Hutan Produksi Terusan Sialang

No. Kategori tingkat kepedulian Selang Jumlah (orang)

Persentase (%)

1 2 3 4

Minimum Rendah Sedang Tinggi

≤ 53 54 – 71 71 – 90 ≥6,5

0 0

27 92

00

22,6977,31

Jumlah 119 100,00

Sebagaian besar masyarakat memiliki modal sosial pada tingkat yang

tinggi (77,31%) dan sebagian lainnya pada tingkat yang sedang (22,69%). Dari

pola-pola interelasi sosial yang terjadi dalam masyarakat di Kawasan Hutan

Produksi Terusan Sialang tipe modal sosial yang terdapat di dalam masyarakat

cenderung sebagai tipe modal sosial yang mengikat (bonding) dan bukan tipe

yang menjembatani (bridging). Hal ini dapat diamati dari sikap mereka terhadap

komunitas lain yang akan masuk kedalam lingkungan komunitas yang cenderung

untuk disikapi sangat berhati-hati. Kelemahan dari modal sosial tipe terikat ini

antara lain perbedaan yang kuat antara “orang dalam” dengan “orang luar”, sulit

70  

menerima arus perubahan, kurang akomodatif terhadap pihak luar,

mengutamakan kepentingan dan solidaritas kelompok (Hasbullah 2006).

Keberadaan modal sosial yang kuat sangat berpengaruh dalam

keberhasilan sebuah program pembangunan. Tingginya modal sosial masyarakat

di Kawasan Hutan Produksi Terusan Sialang ini menjadi modal yang sangat

berharga dalam pembangunan HTR di daerah tersebut. Secara de facto

sebenarnya hutan di dalam Kawasan Hutan Produksi Terusan Sialang telah

terbangun secara swadaya oleh masyarakat dalam bentuk kebun karet.

Sehingga program pembangunan HTR dapat dipandang hanya bersifat

melegalkan sekaligus untuk “membagi manfaat” keberadaan hutan tersebut bagi

komunitas lain diluar kawasan tersebut. Selain itu tinggi collective action di

kawasan telah menjadi salah satu faktor pendorong bagi kemajuan yang telah

dicapai kawasan tersebut selama ini yang bahkan telah mengalahkan kemajuan

desa-desa definitif yang berada di sekitar kawasan tersebut. Hal ini senada

dengan penelitian tentang hubungan modal sosial dan pembangunan hutan

rakyat di Sukabumi juga menemukan hubungan yang positif antara tingkat modal

sosial dengan partisipasi masyarakat dalam pembangunan hutan rakyat

(Rinawati 2012).

5.6 Persepsi Masyarakat di Kawasan Hutan Produksi Terusan Sialang Terhadap Pembangunan HTR

Persepsi terkait dengan pembangunan HTR di terusan sialang yang

diukur adalah persepsi terhadap alokasi lahan HTR, pemanfaatan hasil HTR,

pola pembangunan HTR, jenis tanaman HTR, persyaratan Perijinan HTR, proses

perijinan HTR, jangka waktu dan luas pengusahaan HTR, pewarisan ijin HTR,

hak dan kewajiban HTR, pasar hasil HTR, kelembagaan HTR, kegiatan

sosialisasi HTR dan kegiatan pendampingan dan penyuluhan HTR.

5.6.1 Persepsi Masyarakat Terhadap Alokasi Lahan HTR Pasal 2 ayat 1 Peraturan Menteri Kehutanan nomor P.55/Menhut-II/2001

menyebutkan bahwa areal yang dicadangkan untuk pembangunan HTR adalah

hutan produksi yang tidak produktif dan tidak dibebani izin/hak lain. Ketentuan

alokasi lahan yang ditanyakan kepada responden adalah ketentuan umum

tentang lahan yang ditunjuk sebagai areal pencadangan HTR yaitu apakah lahan

71  

tersebut sudah tepat untuk dijadikan sebagai lahan HTR dari segi aksesibilitas,

kepemilikan (bebas konflik) maupun kondisi lahan.

Dari hasil wawancara diketahui bahwa sebagian besar responden

mempunyai persepsi yang tinggi terhadap alokasi lahan HTR (84,87%),

sedangakan sebagain lainnya memliki persepsi yang sedang (9,25%) dan rendah

(5,88%) (Tabel 34).

Tabel 34 Sebaran tingkat persepsi responden terhadap alokasi lahan HTR

No. Kategori tingkat persepsi Selang Skor persepsi

Jumlah (orang)

Persentase (%)

1 2 3

Rendah Sedang Tinggi

<5 5 – 7 >7

7 11

111

5,889,25

84,87 Jumlah 119 100,00

Akses masyarakat ke lahan calon lokasi HTR sangat mudah karena pada

umumnya mereka tinggal di lahan tersebut. Akses ke kawasan tersebut juga

sangat mudah karena kawasan tersebut terletak di jalur perlintasan jalan lintas

timur sumatera yang merupakan jalan trans nasional. Jaringan jalan di dalam

kawasan juga sudah teratur dan pada umumnya sudah mengalami perkerasan

sehingga dapat dilalui oleh kendaraan roda 4 walaupun pada musim penghujan.

Pengaturan pembagian lahan juga sudah jelas. Walaupun tidak

mempunyai surat tanah resmi namun batas-batas tanah mereka sudah jelas dan

tidak ada lagi tumpang tindih kepemilikan diantara mereka. Bahkan mereka

sudah memperjualbelikan lahan mereka dan kuitansi yang diketahui oleh

koordinator masyarakat perambah tersebut diakui sebagai tanda bukti

kepemilikan tanah di dalam komunitas tersebut.

5.6.2 Persepsi Masyarakat Terhadap Pola Pembangunan HTR Pola pembangunan HTR menurut Peraturan Menteri Kehutanan terdiri

dari tiga pola yaitu perorangan, kemitraan dan developer. Dalam penelitian ini

persepsi terhadap pola pengelolaan HTR didasarkan pada bagaimana pilihan

masyarakat dalam mengelola HTR, pandangan terhadap program kemitraan dan

juga pandangan terhadap asal usul mitra. Berdasarkan hasil penelitian,

masyarakat cenderung untuk memilih untuk mengajukan ijin secara perorangan

(67,23%) dibandingkan dengan dengan pengajuan ijin melalui koperasi (21,01%)

dan sisanya masih ragu-ragu (11,76%). Pilihan masyarakat yang memilih untuk

72  

mengajukan ijin secara perorangan dilatar belakangi oleh keinginan mereka

untuk mendapatkan status lahan atas nama mereka sendiri. Dalam pandangan

mereka dengan memiliki ijin atas nama mereka sendiri mereka memiliki

kebebasan dalam menentukan komoditas, melakukan jual beli lahan dan

mengatur penggunaan lahan. Selain itu mereka juga memiliki pengalaman

mengajukan ijin melalui koperasi Kopkarinhut V yang akhirnya gagal dan

menimbulkan sedikit kesalahpahaman diantara masyarakat.

Sedangkan pandangan terhadap mitra sebanyak 70,59% masyarakat

tidak memerlukan mitra, 26,89% memerlukan mitra dan sisanya 2,52%

menjawab ragu-ragu. Sikap masyarakat terhadap mitra ini dilatarbelakangi

kondisi perekonomian mereka yang memang relatif sudah mantap. Dengan

harga komoditas karet yang semakin membaik, mereka merasa sudah cukup

berhasil dalam mengelola lahan mereka dan tidak memerlukan mitra yang belum

mereka kenal. Kalaupun memerlukan mitra mereka cenderung memilih mitra

yang telah mereka kenal (warga sekitar). Tingkat persepsi masyarakat terhadap

pola pembangunan HTR dapat dilihat dalam Tabel 35.

Tabel 35 Sebaran tingkat persepsi masyarakat terhadap pola pembangunan HTR

No. Kategori tingkat persepsi Selang Skor persepsi

Jumlah (orang)

Persentase (%)

1 2 3

Rendah Sedang Tinggi

<12 12 – 17

>17

03683

0 30,25 69,75

Jumlah 119 100,00

5.6.3 Persepsi Masyarakat Terhadap kegiatan Pemanfaatan HTR Kegiatan pemanfaatan HTR yang dimaksudkan dalam penelitian ini

adalah tahapan kegiatan yang dilakukan dalam pembangunan HTR, tujuan

pemanfaatan HTR dan juga tentang pemanfaatan hasil sampingan (HHBK). Dari

hasil survey didapatkan bahwa sebagian besar masyarakat setuju dengan

tahapan dalam kegiatan pemanfaatan HTR (85,71%) dan hanya sebagaian kecil

saja yang tidak atau kurang setuju (14,29%). Sedangkan terhadap tujuan

pemanfaatan HTR untuk produksi kayu saja sebanyak 47,06% responden setuju,

3,36% kurang setuju dan 49,58% tidak setuju. Tingginya tingkat ketidaksetujuan

masyarakat terhadap tujuan pemanfaatan HTR ini dikarenakan selama ini

mereka terbiasa dengan komoditas karet yang lebih menekankan pada produksi

getah (HHBK) dibandingkan dengan produksi kayu. Selain itu mereka juga belum

73  

melihat adanya contoh nyata keberhasilan budidaya kayu di daerah mereka.

Hasil ini sejalan dengan persepsi mereka tentang HHBK yaitu sebagian besar

masyarakat tidak setuju apabila HHBK tidak boleh dimanfaatkan dalam

pemanfaatan HTR (94,96%) dan sisanya setuju dan kurang setuju/ragu-ragu

(5,04%). Sebaran tingkat persepsi masyarakat terhadap kegiatan pemanfaatan

HTR dapat dilihat pada Tabel 36.

Tabel 36 Sebaran tingkat persepsi responden terhadap kegiatan pemanfaatan HTR

No. Kategori tingkat persepsi Selang Skor persepsi

Jumlah (orang)

Persentase (%)

1 2 3

Rendah Sedang Tinggi

<5 5 – 7 >7

62 54

3

2,1045,38

2,52 Jumlah 119 100

5.6.4 Persepsi Masyarakat Terhadap Jenis Tanaman HTR Jenis tanaman yang dikembangkan dapat dikembangkan di areal HTR

adalah kayu pertukangan berdasarkan peraturan Direktur Bina Produksi

Kehutanan No. P.06/VI-BPHT/2007 tentang petunjuk teknis pembangunan HTR

Jenis tersebut adalah tanaman hutan berkayu yang terdiri dari: (1) kayu

pertukangan (meranti, keruing, non dipterocarpaceae: jati, sengon, sonokeling,

mahoni, kayu hitam, akasia, rajumas, sungkai dan kayu serat) dan (2) tanaman

budidaya tahunan berkayu (karet, durian, nangka, mangga, duku, rambutan,

kemiri, pala). Tanaman tersebut dapat ditanam secara monokultur atau

campuran dengan komposisi 60% tanaman hutan berkayu dan 40% tanaman

budidaya tahunan berkayu.

Budidaya tanaman berkayu kehutanan tidak dikenal oleh masyarakat di

dalam kawasan. Mereka saat ini merasa jenis tanaman karet yang sudah mereka

budidayakan sangat sesuai dengan keinginan mereka (94,12%). Ketentuan

tentang tanaman pokok yang harus tanaman kehutanan masih belum diterima

oleh masyarakat dan mereka masih menginginkan tanaman karet untuk wilayah

mereka sedangkan sisanya merasa tanaman mereka kurang/tidak sesuai

(5,88%). Mayoritas masyarakat juga tidak menginginkan jenis tanaman yang

boleh mereka tanam ditentukan oleh Menteri Kehutanan (95,80%), sedangkan

yang setuju dengan ketentuan tersebut 3,36% dan sisanya ragu-ragu (0,84%).

Sebaran tingkat persepsi masyarakat terhadap jenis tanaman HTR dapat dilihat

pada Tabel 37.

74  

Tabel 37 Sebaran tingkat persepsi responden terhadap jenis tanaman HTR

No. Kategori tingkat persepsi Selang Skor persepsi

Jumlah (orang)

Persentase (%)

1 2 3

Rendah Sedang Tinggi

<5 5 – 7 >7

9820

1

82,35 16,81

0,84 Jumlah 119 100,00

5.6.5 Persepsi Masyarakat Terhadap Persyaratan Perijinan HTR Tingkat persepsi masyarakat terhadap persyaratan perijinan HTR yang berada pada level tinggi sebesar 48,74%, level sedang 48,74% dan level rendah 2,52 (Tabel 38). Sebagian masyarakat merasa kesulitan untuk mendapatkan salah satu persyaratan dalam perijinan HTR berupa KTP, surat keterangan domisili dan sketsa (50,42%) sedangkan sisanya merasa tidak mendapatkan kesulitan dalam mendapatkan persyaratan tersebut (49,58%). Tabel 38 Sebaran tingkat persepsi responden terhadap persyaratan perijinan

HTR No. Kategori tingkat persepsi Selang

Skor persepsi Jumlah (orang)

Persentase (%)

1 2 3

Rendah Sedang Tinggi

<5 5 – 7 >7

35858

2,52 48,74 48,74

Jumlah 119 100,00

Kesulitan masyarakat dalam mendapatkan KTP dan surat keterangan domisili karena status kependudukan mereka yang belum diakui sepenuhnya oleh desa di sekitar mereka. Baru dalam beberapa tahun terakhir ini mereka mulai mendapatkan pelayanan administrasi kependudukan. Dalam pembuatan sketsa atau peta mayoritas masyarakat juga mengalami kesulitan. Namun kesulitan tersebut dapat diatasi dengan adanya pendamping HTR dan juga asistensi yang dilakukan oleh koperasi walaupun masyarakat harus mengeluarkan biaya untuk membuat sketsa/peta tersebut. 5.6.6 Persepsi Masyarakat Terhadap Proses Perijinan HTR Persepsi masyarakat masyarakat terhadap proses perijinan pada

umumnya berada pada tingkat rendah (57,98%). Hal ini tidak terlepas dari

pengalaman mereka dalam mengajukan ijin HTR. Masyarakat pernah

memproses untuk mengajukan ijin pada tahun 2010 dengan difasilitasi oleh

Kopkarinhut V. Namun proses tersebut mengalami kegagalan pada tahapan

verifikasi oleh BPPHP wilayah V Palembang. Dalam melaksanakan verifikasi,

75  

BPPHP Wilayah V Palembang menggunakan kebijakan kawasan hijau dan

kawasan putih. Kawasan hijau artinya kawasan tersebut telah ditanami dengan

tanaman berkayu (karet) sedangkan kawasan putih adalah kawasan yang belum

ditanami dengan tanaman berkayu. Dalam verifikasi hanya kawasan hijau yang

diloloskan sedangkan kawasan putih tidak diloloskan. Akibat dari kebijakan

tersebut dari sekitar 400-an masyarakat yang mengajukan ijin hanya 88 orang

yang lolos verifikasi. Hasil verifikasi tersebut tidak ditindaklanjuti oleh Dinas

Kehutanan Kabupaten OKI karena dikhawatirkan akan menimbulkan gejolak di

dalam kawasan tersebut.

Tabel 39 Sebaran tingkat persepsi masyarakat terhadap proses perijinan HTR

No. Kategori tingkat persepsi Selang Skor persepsi

Jumlah (orang)

Persentase (%)

1 2 3

Rendah Sedang Tinggi

<5 5 – 7 >7

69 45

5

57,9837,82

4,20 Jumlah 119 100,00

Pada tahun 2011 Masyarakat dengan difasilitasi oleh tenaga pendamping

HTR berusaha mengajukan lagi ijin HTR. Untuk mempermudah dibentuklah lima

kelompok tani (KTH) hutan yaitu KTH Jelutung, KTH Gelam, KTH Karet, KTH

Rengas dan KTH Wana Krida. Pengukuran dan pembuatan sketsa juga sudah

dilakukan. Pemenuhan syarat administrratif juga sudah dilaksanakan. Namun

ketika diajukan ke BPPHP Wilayah V untuk diverifikasi berkas tersebut

dikembalikan dengan keterangan bahwa syarat administrsi belum lengkap.

Selain itu Kopkarinhut V memfasilittasi lagi untuk pengajuan ijin HTR atas nama

koperasi. Namun dalam proses pengajuan keluar ketentuan bahwa luas lahan

maksimal untuk koperasi adalah 700 ha sehingga menyebabkan kopkarinhut

mundur.

Pada tahun 2012 masyarakat mencoba mengajukan kembali ijin HTR

melalui 4 kelompok tani tersebut dan membentuk satu koperasi baru yaitu

Koperasi Masyarakat Pemberdayaan Hutan (Komasperhut). Berkas pengajuan

dari 4 kelompok tani dan koperasi tersebut pada bulan Mei sudah disampaikan

ke BPPHP Wilayah V namun sampai sekarang belum ada kejelasan untuk

verifikasi.

Pengalaman tersebut menyebabkan persepsi masyarakat terhadap

proses pengajuan ijin rendah. Selain itu kepercayaan masyarakat terhadap

76  

BPPHP Wilayah V dan dinas kehutanan Kabupaten OKI mengalami penurunan.

Apabila pada proses pengajuan yang terakhir ini kembali mengalami kegagalan

maka dikhawatirkan masyarakat tidak antusias lagi dalam melaksanakan

program pembangunan HTR.

5.6.7 Persepsi Masyarakat Terhadap Jangka waktu dan Luasan Usaha HTR Jangka waktu ijin usaha HTR diberikan selama 60 tahun dan dapat

diperpanjang satu kali selama 35 tahun. Luas pengusahaan yang diberikan untuk

ijin perorangan adalah seluas maksimal 15 ha. Persepsi masyarakat terhadap

jangka waktu ijin dan luasan ijin usaha berapa pada level tinggi (84,03%) dan

sedang (115,97%) (Tabel 40).

Tabel 40 Sebaran tingkat persepsi masyarakat terhadap jangka waktu dan luasan ijin HTR

No. Kategori tingkat persepsi Selang Skor persepsi

Jumlah (orang)

Persentase (%)

1 2 3

Rendah Sedang Tinggi

<5 5 – 7 >7

019

100

0,00 15,97 84,03

Jumlah 119 100,00

Tingginya tingkat persepsi masyarakat terhadap jangka waktu dan luasan ijin ini

dikarenakan masyarakat merasa cukup dengan jangka waktu 60 tahun dan dapat

diperpanjang sampai 35 tahun apalagi dalam ketentuan yang baru terdapat

klausul pengutamaan ahli waris untuk melanjutkan ijin tersebut.

Pemilikan lahan di kawasan ini sudah tidak merata dikarenakan telah

terjadinya proses jual beli diantara masyarakat sehingga beberapa masyarakat

mempunyai lahan lebih dari 15 ha. Hal ini telah menjadi perhatian dari Dinas

Kehutanan Kabupaten OKI dikarenakan dalam proses verifikasi terhadap usulan

ijin HTR Kopkarinhut V, pemilikan lahan yang melebihi 15 ha oleh seorang petani

menjadi salah satu penyebab tidak diloloskannya usulan tersebut. Ketentuan

perijinan HTR dalam Peraturan Menteri Kehutanan tidak menyebutkan batasan

pemilikan lahan perorangan apabila usulan ijin disampaikan melalui koperasi. Hal

ini menyebabkan sejumlah responden tidak setuju dengan ketentuan

pembatasan lahan tersebut (12,60%).

77  

5.6.8 Persepsi Masyarakat Terhadap Pewarisan Ijin HTR Ketentuan dalam peraturan Menteri Kehutanan tentang perijinan HTR

menyatakan bahwa HTR tidak dapat diwariskan. Hal ini tidak disetujui oleh

masyarakat walaupun terdapat klausul bahwa ahli waris diutamakan untuk

mendapatkan ijin di lahan tersebut (Tabel 41). Klausul ini dinilai masyarakat tidak

cukup.

Tabel 41 Sebaran tingkat persepsi responden terhadap pewarisan ijin HTR

No. Kategori tingkat persepsi Selang Skor persepsi

Jumlah (orang)

Persentase (%)

1 2 3

Rendah Sedang Tinggi

≤ 3 4 – 5 > 5

112 5 2

94,124,201,68

Jumlah 119 100,00

Ketentuan tentang hak pewarisan ini dikeluarkan oleh pemerintah untuk

menegaskan bahwa kawasan tersebut bukanlah hak milik dari petani HTR tetapi

merupakan lahan milik negara yang pengelolaannya dipercayakan kepada petani

penggarap. Secara hukum hal tersebut dipandang logis namun permasalahan

yang dikhawatirkan muncul adalah kemungkinan adanya pihak yang akan

mencoba mengambil keuntungan dari celah tersebut. Permasalahan tersebut

dapat digambarkan sebagai berikut: misalnya petani HTR berumur 30 tahun

mulai menanam karet pada lahan usahanya. Maka dengan asumsi rotasi karet

25 tahun dan umur petani tersebut 65 tahun maka pada saat dia meninggal akan

ada tanaman karet berumur 10 tahun di lahan tersebut dan masih ada sisa

jangka waktu ijin 25 tahun lagi. Bila ketentuan bahwa lahan tersebut harus

dikembalikan kepada negara apabila pemiliknya meninggal diberlakukan maka

akan banyak pihak yang berebut untuk mendapatkan ijin di lahan tersebut. Tentu

hal ini tidak adil bagi ahli waris pemegang ijin.

Untuk itu diperlukan jalan keluar untuk menghindari hal tersebut. Misalnya

dibuat ketentuan bahwa apabila pemegang ijin meninggal maka ahli waris yang

ditunjuk oleh pemegang ijin secara otomatis akan melanjutkan ijin tersebut

sampai habis jangka waktunya. Kemudian apabila sudah habis jangka waktunya

dilakukan evaluasi lagi untuk menerbitkan ijin baru atas nama ahli waris tersebut.

Ketentuan-ketentuan kompromistis seperti ini perlu dilakukan karena tidak ada

gunanya pemerintah membuat ketentuan yang tidak akan ditaati oleh

masyarakat.

78  

5.6.9 Persepsi Masyarakat Terhadap Hak dan Kewajiban Hak dan kewajiban yang dimaksud dalam penelitian ini adalah hal-hal

yang berhubungan dengan hak mendapatkan pinjaman, hak mendapatkan

pendampingan dan kewajiban menyusun rencana kerja baik Rencana Kerja

Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu HTR (RKUPHHK-HTR) maupun Rencana

Kerja Tahunan Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada HTR (RKTUPHHK-

HTR). Ketentuan dalam perijinan HTR memberikan masyarakat pemegang ijin

hak untuk mendapatkan bantuan berupa pinjaman lunak untuk pembangunan

HTR yang dalam persyaratan pencairannya mewajibkan pemegang ijin untuk

membuat RKUPHHK-HTR dan RTKUPHHK-HTR. Pembuatan RKTUPHHK-HTR

dan RKUPHHK-HTR difasilitasi oleh BPPHP setempat.

Persepsi masyarakat terhadap hak dan kewajiban tersebut sebagain

besar berada pada level yang tinggi (Tabel 42). Tingginya persepsi masyarakat

terhadap hak dan kewajiban HTR tersebut dikarenakan mereka merasa mampu

untuk memenuhi kewajiban sebagai pemegang ijin yaitu menyusun RKUPHHK-

HTR dan RKTUPHHK-HTR dan memandang hak mereka untuk mendapatkan

pinjaman HTR bukanlah sebagai faktor utama yang mendorong mereka untuk

mendapatkan ijin HTR. Keyakinan tersebut tidak terlepas dari kondisi

perekonomian mereka yang sudah membaik. Apalagi dengan adanya fasilitasi

oleh BPPHP dalam pembuatan RKU dan RKT HTR

Tabel 42 Sebaran tingkat persepsi responden terhadap hak dan kewajiban

No. Kategori tingkat persepsi Selang Skor persepsi

Jumlah (orang)

Persentase (%)

1 2 3

Rendah Sedang Tinggi

≤ 6 7 – 9 ≥ 10

38

108

2,52 6,72

90,76 Jumlah 119 100,00

5.6.10 Persepsi Masyarakat Terhadap Pasar Kayu Hasil HTR Yang dimaksud dengan pasar kayu hasil HTR disini adalah industri kayu,

kejelasan pemasaran hasil kayu dan juga mekanisme penentuan harga kayu.

Persepsi masyarakat terhadap pasar kayu hasil HTR pada umumnya berada

pada level sedang dan rendah (Tabel 43).

79  

Tabel 43 Sebaran tingkat persepsi responden terhadap pasar kayu hasil HTR

No. Kategori tingkat persepsi Selang Skor persepsi

Jumlah (orang)

Persentase (%)

1 2 3

Rendah Sedang Tinggi

<5 5 – 7 >7

47 67

5

39,5056,30

4,20 Jumlah 119 100,00

Persepsi masyarakat terhadap pasar kayu hasil HTR yang relatif rendah

ini disebabkan pengetahuan mereka tentang pasar hasil hutan kayu yang kurang.

Selama ini mereka tidak terbiasa dengan budidaya tanaman yang bertujuan

untuk menghasilkan kayu. Sedangkan dalam hal penentuan harga jual komoditas

baik kayu maupun non kayu mereka pada umumnya tidak setuju apabila harga

jual ditentukan oleh Menteri Kehutanan. Mereka menginginkan harga jual

komoditas ditentukan oleh mekanisme pasar yang adil.

5.6.11 Persepsi Masyarakat Terhadap Kelembagaan HTR Kelembagaan yang ada di masyarakat dalam pengurusan ijin HTR ini

adalah KTH dan koperasi. Terdapat 5 (lima) KTH dan 1 (satu) koperasi yang

didirikan untuk mempermudah pengurusan ijin HTR. Persepsi masyarakat

terhadap kelembagaan KTH dan koperasi untuk mempermudah pengurusan

HTR sangat tinggi (Tabel 44). Mereka menaruh harapan yang besar terhadap

KTH dan koperasi tersebut dalam mempermudah pengurusan ijin HTR mereka.

Tabel 44 Sebaran tingkat perepsi responden terhadap kelembagaan HTR

No. Kategori tingkat persepsi Selang Skor persepsi

Jumlah (orang)

Persentase (%)

1 2 3

Rendah Sedang Tinggi

<5 5 – 7 >7

2 7

110

1,685,88

92,44 Jumlah 119 100,00

Tidak semua masyarakat yang terdapat di dalam Kawasan merupakan

anggota KTH atau koperasi tersebut. Namun mereka tetap merasa bahwa

keberadaan KTH dan koperasi penting dalam pengurusan HTR. Mereka yang

tidak menjadi anggota KTH dan koperasi saat ini dalam posisi wait and see.

Mereka menunggu dan mengamati proses pengajuan ijin HTR oleh KTH dan

koperasi yang sedang berjalan. Apabila proses tersebut berhasil dan ijin HTR

keluar meraka akan segera ikut mendirikan KTH atau koperasi di tempat mereka.

80  

Peran KTH dan koperasi sampai saat ini baru sampai pada tahap

pengajuan ijin. Mereka belum berperan dalam peningkatan pengetahuan dan

ketrampilan petani HTR. Hal ini terjadi karena memang mereka baru dibentuk

dalam rangka untuk mempermudah pengajuan ijin HTR. Untuk selanjutnya

diharapkan mereka dapat lebih berperan banyak dalam meningkatkan

pengetahuan dan ketrampilan petani HTR sehingga dapat menjadi katalisator

dalam peningkatan kesejahteraan petani HTR.

5.6.11 Persepsi Masyarakat Terhadap Kegiatan Sosialisasi HTR Kegiatan sosialisasi HTR dikawasan tersebut dilakukan sejak tahun 2008

oleh BPPHP Wilayah V Palembang sejak kawasan tersebut masuk dalam peta

indikatif calon lokasi pencadangan HTR. Sosialisasi dilaksanakan hanya sekali

dalam setahun dan hanya menjangkau tokoh masyarakat dan instansi terkait.

Namun sejak tahun 2011 dengan adanya kegiatan fasilitasi yang dilakukan

pendamping HTR kegiatan sosialisasi intens dilakukan oleh pendamping HTR

dengan pendekatan lebih interpersonal. Akan tetapi terbatasnya jumlah tenaga

pendamping HTR menyebabkan kegiatan sosialisasi tidak dapat menjangkau

masyarakat secara optimal. Hal ini yang menyebabkan persepsi masyarakat

terhadap kegiatan sosialisasi HTR rendah (Tabel 45).

Tabel 45 Sebaran tingkat persepsi responden terhadap kegiatan sosialisasi HTR

No.

Kategori tingkat persepsi Selang Skor persepsi

Jumlah (orang)

Persentase (%)

1 2 3

Rendah Sedang Tinggi

<8 9 – 12 >12

8534

0

71,43 28,57

0,00 Jumlah 119 100,00

Kendala utama yang dihadapi oleh instansi pemerintah baik di BPPHP

Wilayah V, Dinas Kehutanan OKI ataupun aparat pemerintahan setempat dalam

melaksanakan sosialisasi HTR adalah masalah anggaran. Alokasi anggaran

untuk program HTR ini termasuk didalamnya kegiatan sosialisasi HTR di Dinas

Kehutanan OKI baru dianggarkan pada tahun 2011 dengan jumlah yang sangat

terbatas yaitu Rp75.000.000 sedangkan di BPPHP anggaran yang dialokasikan

untuk pembangunan HTR lebih besar yaitu Rp.960.000.000 untuk 4 wilayah di 2

Propinsi. Namun mulai tahun 2011 ini terdapat perubahan dalam pola sosialisasi

81  

yang mulai dilakukan sampai pada tingkat tapak, artinya sosialisasi dilakukan

langsung kepada calon-calon petani HTR.

Peran pendamping dalam sosialisasi selama ini juga sangat terbatas

dikarenakan jumlah mereka yang juga terbatas (3 orang). Dengan luas areal

8.000 ha dan jumlah penduduk 2.837 KK, 3 orang pendamping ini tidak akan

cukup untuk memfasilitasi mereka dalam pembangunan HTR. Selain itu latar

belakang pendidikan pendamping yang bukan berasal dari bidang kehutanan

menyebabkan mereka mengalami kesulitan ketika masyarakat mulai

menanyakan dan meminta bimbingan teknis kepada pendamping.

Faktor lain yang menghambat dalam sosialisasi ini adalah kurangnya

peran LSM. Hal ini dikarenakan kepercayaan masyarakat terhadap LSM rendah

yang tidak terlepas dari pengalaman masyarakat dalam berhubungan dengan

LSM yang pada akhirnya hanya merugikan mereka. Oleh karena itu diperlukan

adanya peran aktif LSM yang benar-benar berusaha untuk membantu

masyarakat dalam membangun HTR di wilayah tersebut.

5.6.13 Persepsi Masyarakat Terhadap Kegiatan Penyuluhan dan Pendampingan HTR

Untuk menunjang kegiatan HTR maka dibutuhkan kegiatan untuk

meningkatkan kapasitas masyarakat berupa pendampingan. Pendampingan

merupakan hak yang diperoleh setiap pemegang ijin HTR (Peraturan Menteri

Kehutanan Nomor P.55/Menhut-II/2011 Pasal 20). Pendamping HTR bertugas

memfasilitasi pengembangan organisasi pemegang izin HTR, transfer

pengetahuan dan keterampilan kehutanan, perencanaan dan pelaksanaan HTR,

peluang kerja dan peluang berusaha, partisipasi dan sikap dalam pelaksanaan

pembangunan Hutan Tanaman Rakyat

Pendampingan HTR dapat bersifat teknis dan bersifat penguatan

kelembagaan. Pendampingan yang bersifat teknis dilakukan oleh penyuluh

kehutanan dan teknisi kehutanan lainnya sedangkan pendampingan yang

bersifat penguatan kelembagaan dilakukan oleh LSM, tenaga kerja sarjana

terdidik, tenaga kerja sosial, tenaga kerja sarjana kehutanan dan pertanian,

organisasi peduli lingkungan (kelompok pecinta alam, kader konservasi alam),

penyuluh kehutanan lapangan dan organisasi lain yang dipandang perlu

dilibatkan dalam pendampingan, dimana yang bersangkutan telah

berpengalaman atau telah mendapatkan pelatihan pemberdayaan masyarakat.

82  

Persepsi masyarakat terhadap kegiatan penyuluhan dan pendampingan

HTR berapa pada tingkat yang sedang (Tabel 46). Tingkat persepsi masyarakat

yang cenderung kurang baik pada kegiatan penyuluhan ini tidak terlepas dari

kurangnya dukungan terhadap kegiatan tersebut dari pihak pemerintah (Dinas

kehutanan, BPPHP V dan aparat pemerintah) dan pihak LSM. Selain itu

kekurangan jumlah tenaga pendamping juga menyebabkan tidak semua

masyarakat mendapatkan pendampingan dan penyuluhan yang memadai.

Tabel 46 Sebaran tingkat persepsi masyarakat terhadap kegiatan penyuluhan dan pendampingan HTR

No. Kategori tingkat persepsi Selang Skor persepsi

Jumlah (orang)

Persentase (%)

1 2 3

Rendah Sedang Tinggi

<15 16 – 21

>21

9109

1

7,56 91,60 0,,84

Jumlah 119 100,00

Pendampingan merupakan kegiatan yang penting dan menentukan

terhadap keberhasilan pembangunan HTR. Pendampingan memberikan kepada

masyarakat bekal teknis dan penguatan kelembagaan masyarakat. Tanpa kedua

hal tersebut keberhasilan pembangunan HTR akan rendah. Penguatan

kelembagaan merupakan faktor penting dalam menyiapkan masyarakat untuk

mengelola HTR (Hakim 2009). Penguatan kelembagaan berperan dalam

membangun kesadaran masyarakat untuk ikut serta dalam kegiatan HTR (Emila

& Suwito 2007). Pengembangan kapasitas masyarakat juga sangat berperan

dalam partisipasi mereka (Iqbal 2007). Ini menunjukkan bahwa perhatian

pemerintah masih difokuskan pada teknis dan prosedur administrasi, belum pada

membangun masyarakat yang mandiri dalam mengelola hutan.

Permasalahan khusus yang terkait dengan tenaga pendamping adalah

terkait dengan status mereka. Dalam pengadaan tenaga pendamping seleksi dan

penunjukan dilakukan oleh bupati serta dinas kehutanan setempat namun

honorarium dan pelatihan bagi tenaga pendamping dilakukan oleh BPPHP.

Ketentuan ini membuat tenaga pendamping cenderung untuk lebih banyak

berkoordinasi dengan BPPHP dibandingkan dengan dinas kehutanan setempat.

Hal ini di lapangan membuat beberapa kali terjadi kesalahpahaman antara

pendamping dengan dinas kehutanan karena kurangnya koordinasi.

83  

5.6.14 Penilaian persepsi Masyarakat Terhadap Pembangunan HTR Kegiatan pembangunan HTR telah diketahui oleh sebagian besar

masyarakat dalam kawasan tersebut walaupun sampai dengan saat ini belum

ada ijin yang dikeluarkan atas nama masyarakat. Sehingga dalam penelitian ini,

persepsi yang dilihat lebih pada ekspetasi masyarakat terhadap program

pembangunan HTR. Manfaat yang terbesar yang diharapkan masyarakat adalah

pada aspek legalitas keberadaan mereka di dalam kawasan tersebut yaitu

tentang kepastian status lahan. Dengan kepastian status lahan tersebut mereka

mengharapkan adanya peningkatan terhadap harga jual komoditas dan lahan

mereka. Skor persepsi masyarakat terhadap ketentuan-ketentuan dalam

pembangunan HTR dapat dilihat dalam Tabel 47.

Tabel 47 Skor persepsi masyarakat dalam pembangunan HTR

No Persepsi masyarakat Skor Rata-rata Nilai maksimum-minimum

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13

Alokasi lahan HTR Pola pembangunan HTR Manfaat HTR Jenis tanaman HTR Persyaratan Perijinan HTR Proses perijinan HTR Jangka waktu dan luas ijin HTR Pewarisan ijin HTR Hak dan kewajiban HTR Pasar hasil HTR Kelembagaan HTR Sosialisasi HTR Pendampingan dan Penyuluhan

1.020 2.098

688 632 936 641 982 256

1.194 574

1.045 913

2.156

8,57 17,63

5,78 5,31 7,87 5,39 8,25 2,15

10,03 4,82 8,78 7,67

18,12

9 – 3 21 – 7 9 – 3 9 – 3 9 – 3 9 – 3 9 – 3 6 – 2 12 – 4 9 – 3 9 – 3 15 – 5 27 – 9

Jumlah 13.135 110,38 153 – 51

Berdasarkan persamaan selang dengan Xmax = 153 dan Xmin = 51

didapatkan selang nilai untuk persepsi masyarakat adalah :

153 – 51 = 34

3

Sehingga skala penilaian yang diperoleh untuk tingkatan modal sosial pada

masyarakat di Kawasan Hutan Produksi Terusan Sialang adalah sebagai berikut:

a Persepsi masyarakat rendah apabila jumlah skor ≤ 85

b Persepsi masyarakat sedang apabila jumlah skor antara 86 – 119

c Persepsi masyarakat tinggi apabila jumlah skor antara ≥ 119

84  

Dari Tabel 48 dapat dilihat secara umum mayarakat mempunyai persepsi

yang sedang terhadap program HTR ini (98,32%) dan sisanya mempunyai

persepsi yang tinggi (1,68%). Tingkat persepsi yang berada pada level sedang ini

dikarenakan mereka belum melihat manfaat program HTR yang dirasakan petani

secara langsung. Walaupun pada umumnya mereka menanggapi secara baik

namun mereka masih berhati-hati karena belum ada contoh langsung yang

mereka lihat. Tingkat persepsi masyarakat pada level sedang ini memberikan

harapan yang cukup baik terhadap keberhasilan program pembangunan HTR ini

asalkan ada dukungan kebijakan dan tindakan yang cukup dari stakeholders lain

yang berkepentingan.

Tabel 48 Sebaran tingkat persepsi responden terhadap HTR

No. Kategori tingkat persepsi Selang Skor persepsi

Jumlah (orang)

Persentase (%)

1 2 3

Rendah Sedang Tinggi

≤ 85 86 – 119

>119

0117

2

0,00 98,32

1,68 Jumlah 119 100,00

Poin-poin kebijakan HTR yang masih menjadi kendala dan keberatan

masyarakat adalah masalah pewarisan ijin dan jenis tanaman. Masyarakat

hampir semuanya menginginkan adanya hak pewarisan ijin secara langsung.

Walaupun dalam ketentuan perijinan HTR dalam peraturan Menteri Kehutanan

nomor P.55/Menhut-II/2011 tanggal 06 Juli 2011 mengutamakan ijin diberikan

kepada ahli waris namun masyarakat menginginkan ijin tersebut langsung

diberikan kepada ahli waris sampai ijin tersebut habis dan tidak harus melalui

proses pengurusan perijinan lagi. Mereka mengkhawatirkan apabila tidak

langsung diberikan ahli waris nantinya ada pihak-pihak yang memanfaatkan

celah tersebut untuk mengambil lahan dan tanaman hasil budidaya mereka.

Sedangkan untuk jenis tanaman, mereka pada umumnya menginginkan tanaman

karet di seluruh areal mereka. Ketentuan dari peraturan menteri menyebutkan

bahwa tanaman pokok (tanaman kehutanan) seluas 60% dan tanaman budidaya

tahunan (karet, buah-buahan dll) seluas 40%. Hal ini masih menjadi salah satu

ganjalan bagi mereka dalam menentukan untuk ikut atau tidak program HTR.

85  

5.7 Hubungan Karakteristik Individu Dengan Unsur-Unsur Modal Sosial Masyarakat

Karakteristik Individu merupakan unsur pembentuk modal manusia.

Semakin tinggi karakteristik individu seseorang maka akan semakin tinggi modal

manusia. Modal manusia tinggi akan mampu mendorong peningkatan kesadaran

diri, pengaturan diri dan motivasi. Sehingga semakin tinggi modal manusia

semakin besar peluang untuk membentuk kapital sosial (Lawang 2005). Untuk

mengetahui ada tidaknya hubungan antar karakteristik individu digunakan

korelasi Spearman (Tabel 49). Sedangkan nilai korelasi sprearman secara

lengkap tersaji pada Lampiran 4.

Tabel 49 Hubungan antar komponen pada karakteristik individu Karakteristik Individu

Umur Pend. formal

Pend. Non formal

Penda- patan

Tk. Kese-hatan

Luas lahan

Lama tinggal

Status Sosial

Suku Asal

Umur - -0,275** -0,049 0,023 0,168 0,208* 0,040 0,313** 0,145 -0,060

Pend. Formal

-0,275** - 0,398** 0,175 -0,012 0,088 -0,088 0,229* 0,070 0,111

Pend. non formal

-0.049 0,398** - 0,064 0,044 0,201* 0,029 0,257** 0,128 0,089

Pendapatan 0,023 0,175 0,064 - -0,051 0,639** 0,354** 0,540** 0,006 -0,048

Tingkat kesehatan

0,168 -0,012 0,044 -0,051 - 0,098 -0,050 0,148 0,261** 0,060

Luas lahan 0,208* 0,088 0,201* 0,639** 0,098 - 0,256** 0,605** 0,044 -0,091

Lama tinggal 0,040 -0,088 0,029 0,354** -0,050 0,256** - 0,411** 0,124 -0,051

Status sosial 0,313** 0,229* 0,257** 0,540** 0,148 0,605** 0,411** - 0,265** -0,140

Suku 0,145 0,070 0,128 0,006 0,261** 0,044 0,124 0,265** - -0,044

Asal -0,060 0,111 0,089 -0,048 0,060 -0,091 -0,051 -0,140 -0,044 -

Karakteristik individu

0,346** 0,331** 0,365** 0,648** 0,302** 0,708** 0,452** 0,803** 0,365** 0,194*

Keterangan

** Korelasi nyata pada taraf 0.01

* Korelasi nyata pada taraf 0.05

Dari Tabel 49 diketahui bahwa umur berkorelasi negatif dengan

pendidikan formal artinya bahwa semakin tinggi umur semakin rendah

pendidikan formal yang dipunyai. Umur berkorelasi positif dengan luas lahan dan

status sosial. artinya semakin besar umur semakin luas lahan dan semakin

tinggi status sosial masyarakat. Pendidikan formal berkorelasi positif dengan

pendidikan non formal dan juga status sosial. Pendidikan non formal berkorelasi

positif dengan luas lahan dan status sosial. Luas lahan berkorelasi positif dengan

pendapatan, lama tinggal dan status sosial. Lama tinggal berkorelasi positif

dengan status sosial dan suku berkorelasi positif dengan status sosial.

86  

Hubungan antara modal karakteristik individu dengan unsur modal sosial

dapat dilihat dalam Tabel 50. Nilai korelasi peringkat Spearman antara

karakteristik individu dan unsur modal sosial dapat dilihat dalam Lampiran 5.

Tabel 50 Hubungan antara karakteristik individu dengan unsur-unsur modal sosial

No Karakteristik Individu Unsur-unsur modal sosial

Kepercayaan Jaringan Norma Proaktif Kepedulian

1 Umur 0.245** 0.388** 0.046 0.389** 0.369** 2 Pendidikan formal -0.107 0.038 0.307** 0.095 -0.120

3 Pendidikan non formal -0.070 0.159 0.145 0.233* 0.037

4 Pendapatan -0.007 0.183* 0.009 0.144 0.196* 5 Tingkat kesehatan 0.039 0.305** 0.175 0.187* 0.333** 6 Luas lahan 0.108 0.422** 0.072 0.150 0.285** 7 Lama tinggal 0.107 0.172 0.167 0.147 0.179

8 Status sosial 0.284** 0.499** 0.172 0.455** 0.490** 9 Suku 0.133 0.252** 0.192* 0.255** 0.372**

x10 Asal Domisili 0.040 -0.034 -0.073 -0.099 -0.077

Keterangan

** Korelasi nyata pada taraf 0.01

* Korelasi nyata pada taraf 0.05

Dari Tabel 50 diketahui bahwa faktor umur berkorelasi positif dengan

kepercayaan, jaringan, proaktif dan kepedulian. Artinya bahwa semakin

bertambah umur masyarakat maka semakin tinggi tingkat kepercayaan, jaringan

sosial, proaktif dan kepedulian mereka. Dalam kenyataan di kehidupan

masyarakat Kawasan Hutan Produksi Terusan Sialang didapati bahwa

pemimpin informal, penggerak dan motivator dalam kehidupan bermasyarakat

adalah para koordinator pemukiman yang dipilih masyarakat dan berumur lebih

tua dari rata-rata pemukim yang lain. Adat-istiadat bali dan jawa yang

mendominasi sistem masyarakat juga memberikan penghormatan kepada orang

yang berumur lebih tua. Demikian juga dalam pelaksanaan ibadah keagamaan

mereka yang selalu menempatkan orang yang lebih tua sebagai imam dan

pemimpin dalam ritual peribadatan. Hal tersebut menyebabkan Keluarga muda

yang ada di dalam komunitas tersebut belum banyak yang memiliki kedudukan

sosial yang mantap. Sehingga tingkat kepercayaan, jaringan, proaktif dan

kepedulian masih berada pada tingkat yang sedang atau rendah.

Faktor pendidikan formal sebagai salah satu unsur modal manusia utama

ternyata hanya berpengaruh pada norma. Semakin tinggi pendidikan seseorang

87  

maka akan semakin tinggi pula ketaatan orang tersebut terhadap norma sosial

yang berlaku di dalam komunitas tersebut. Sedangkan pendidikan non formal

berpengaruh pada tindakan proaktif masyarakat. dengan peningkatan

ketrampilan dan pengetahuan mereka dalam bidang tertentu mendorong mereka

untuk lebih proaktif dalam pergaulan masyarakat untuk mempraktekkan

ketrampilan dan pengetahuan tersebut.

Tingkat pendapatan masyarakat berkorelasi positif dengan jaringan dan

kepedulian. Semakin tinggi pendapatan semakin tinggi pula jaringan dan

kepedulian sosial. Kepedulian ini terutama dalam membantu sesama baik dari

segi konsumsi, sarana produksi maupun hubungan sosial. Masyarakat juga tidak

segan untuk memberikan sumbangan baik uang maupun tenaga guna

memperbaiki kondisi lingkungan. Kondisi ini sesuai dengan pendapat Siswiyanti

(2006), bahwa pendapatan yang tinggi cenderung membuat orang berpartisipasi

lebih dibandingkan dengan masyarakat berpendapatan rendah yang cenderung

memiliki kesempatan yang terbatas. Demikian juga dengan jaringan untuk

membentuk ataupun ikut dalam jaringan memerlukan biaya tertentu sehingga

kesempatan orang dengan pendapatan yang lebih baik untuk membentuk/ikut

jaringan sosial akan lebih baik.

Tingkat kesehatan masyarakat berkorelasi positif dengan jaringan proaktif

dan kepedulian. Dengan tingkat kesehatan yang baik memberikan kesempatan

bagi masyarakat untuk melakukan kegiatan lebih banyak dibandingkan dengan

masyarakat dengan tingkat kesehatan yang kurang baik. Kesehatan yang baik

memberikan mereka kemampuan fisik untuk ikut bergotong royong, melakukan

kegiatan untuk membangun jaringan sosial dan juga menolong orang lain yang

membutuhkan.

Luas lahan berkorelasi positif terhadap jaringan sosial dan kepedulian,

semakin luas lahan maka tingkat jaringan sosial dan kepedulian semakin tinggi.

Hal ini menunjukkan bahwa modal fisik (lahan) berperan dalam modal sosial

terutama dalam tingkat jaringan sosial sehingga seseorang mau berpartisipasi

pada organisasi yang dianggap berperan penting dalam kehidupan keluarganya.

Seseorang mau berhubungan atau berinteraksi sosial dalam rangka mengelola

sumberdaya yang dimilikinya, sebab berbeda dengan bentuk modal sosial

lainnya, membangun jaringan ini memang memerlukan investasi yang cukup

banyak (waktu, uang, informasi dan gengsi) sampai dia dapat mengalirkan

manfaat/keuntungan (Uphoff 2000).

88  

Lama tinggal tidak berkorelasi dengan unsur-unsur modal sosial di dalam

masyarakat di Kawasan Hutan Produksi Terusan Sialang. Sedangkan status

sosial berkorelasi positif dengan kepercayaan, jaringan, tindakan proaktif dan

kepedulian. Penelitian Setyowati (2010) menunjukkan tidak adanya hubungan

antara lama tinggal dengan tingkat partisipasi masyarakat. Lain halnya dengan

status sosial yang berkorelasi positif dengan kepercayaan, jaringan sosial,

tindakan yang proaktif dan kepedulian. Masyarakat dengan status sosial tinggi

biasanya mampu berinteraksi dan berelasi sosial lebih baik sehingga dapat

memiliki tingkat jaringan yang lebih tinggi. Status sosial juga menunjukkan

tindakan yang proaktif. Jika status adalah unsur statis maka peran adalah unsur

dinamis, sehingga berlaku di mana ada status di situ ada peran atau peran selalu

mengacu pada status yang dimilikinya, sehingga keduanya saling mengimplisit,

artinya orang hidup dengan dasar status (Lawang 2005).

Asal suku bangsa masyarakat yang bermukim di dalam Kawasan Hutan

Produksi Terusan Sialang berpengaruh terhadap norma sosial, jaringan sosial,

tindakan proaktif dan kepedulian. Suatu suku biasanya mempunyai nilai-nilai

tertentu yang dianggap penting. Nilai tersebut akan menentukan pola tingkah

laku dan kebiasaaan yang ada di dalam masyarakat (Hasbullah 2006). Sehingga

latar belakang suku seseorang akan memberikan ciri pada pola tingkah laku

seseorang tersebut di dalam masyarakat. Masyarakat di dalam Kawasan Hutan

Produksi Terusan Sialang terdiri dari beberapa suku bangsa dan pada umumnya

ciri-ciri pola kultural mereka masih terlihat di dalam pergaulan sehari-hari.

Sedangkan asal domisili masyarakat tidak mempunyai korelasi yang nyata

dengan unsur modal sosial.

5.8 Hubungan Modal Sosial Dengan Unsur-Unsur Pembentuk Modal Sosial

Dari hasil analisis korelasi peringkan spearman didapatkan bahwa modal

sosial berkorelasi nyata dengan unsur-unsur modal sosial (Tabel 51).

Berdasarkan nilai korelasi maka didaptkan bahwa korelasi terbesar adalah antara

modal sosial dengan tindakan yang proaktif (0,766), kepercayaan (0,745),

jaringan (0,735), kepedulian (0,695) dan norma (0,195). Semakin besar nilai

korelasi menunjukkan semakin tinggi tingkat hubungan atau pengaruh unsur

modal sosial dengan modal sosial. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian

Oktadiyani (2010) yang menyatakan bahwa unsur kepercayaan, jaringan, norma,

89  

tindakan proaktif dan kepedulian berpengaruh nyata terhadap modal sosial

masyarakat Kutai dalam pengembangan ekowisata.

Tabel 51 korelasi antara modal sosial dengan unsur-unsur modal sosial

No Karakteristik Individu Unsur-unsur modal sosial

Kepercayaan Jaringan Norma Proaktif Kepedulian

1 Kepercayaan - 0,306** -0,131 0,406** 0,367** 2 Jaringan 0,306** - 0,237** 0,532** 0,677** 3 Norma -0,131 0,237** - 0,052 0,111

4 Proaktif 0,406** 0,532** 0,052 - 0,547** 5 Kepedulian 0,367** 0,677** 0,111 0,547** - 6 Modal Sosial 0,745** 0,735** 0,195* 0,766** 0,695**

Keterangan

** Korelasi nyata pada taraf 0.01

* Korelasi nyata pada taraf 0.05 5.9 Hubungan Karakteristik Individu Dengan Persepsi Masyarakat

Terhadap Pembangunan HTR Beberapa penelitian yang telah dilakukan menyatakan bahwa

karakteristik individu berhubungan dengan persepsi masyarakat terhadap

program pembangunan (Pujiastuti, 2012). Hubungan antara karakteristik individu

masyarakat di Kawasan Hutan Produksi Terusan Sialang dengan persepsi

masyarakat dalam pembangunan HTR dapat dilihat dalam Tabel 52.

Dari Tabel 52 tersebut dapat diketahui bahwa tingkat pendidikan formal

(X2) berkorelasi nyata dengan persepsi terhadap alokasi lahan HTR (Y2.1).

artinya bahwa semakin tinggi pendidikan masyarakat semakin tinggi pula

persepsi mereka terhadap alokasi lahan HTR. Tingkat pendidikan yang semakin

tinggi menyebabkan semakin banyak informasi dan pengetahuan yang dimiliki

oleh masyarakat sehingga kemampuan mereka untuk memahami kondisi

lingkungan sekitar juga semakin meningkat. Hal ini lebih mempermudah

masyarakat untuk menerima informasi tentang program pembangunan HTR

sehingga mereka akhirnya memahami tentang alokasi lahan tempat mereka

sebagai calon lokasi HTR.

Tingkat pendapatan masyarakat di Kawasan Hutan Produksi Terusan

Sialang (X4) ternyata berhubungan positif dengan persepsi mereka terhadap

alokasi lahan HTR (Y2.1), pasar hasil HTR dan kegiatan penyuluhan dan

pendampingan HTR serta berkorelasi negatif dengan kegiatan pemanfaatan

90  

HTR (Y2.3) dan persyaratan Perijinan HTR (Y2.5). Semakin tinggi pendapatan

masyarakat yang diperoleh dari kawasan tersebut akan semakin meningkatkan

keterkaitan mereka dengan pembangunan HTR. Sehingga mereka akan

berusaha untuk dapat ikut dalam program HTR untuk menjamin pendapatan

yang selama ini mereka dapatkan dari kawasan tersebut tetap akan mereka

terima. Dalam hal pola pembangunan HTR dan persyaratan HTR, semakin

rendahnya persepsi masyarakat yang berpendapatan lebih tinggi tidak terlepas

dari latar belakang mereka telah mempunyai kemapanan dalam perekonomian

dengan mengusahakan komoditas non kehutanan (non kayu) sehingga dalam

pembangunan HTR persepsi mereka terhadap ketentuan bahwa tanaman HTR

harus didominasi dengan tanaman kehutanan (60%) kurang mereka terima.

Sedangkan terkait masalah persyaratan perijinan pengalaman mereka yang telah

berusaha untuk mendapatkan ijin HTR dan mengalami kesulitan dalam

memperoleh persyaratan ijin tersebut menyebabkan semakin menurunnya

tingkat persepsi mereka.

Luas lahan masyarakat berkorelasi positif dengan persepsi masyarakat

terhadap alokasi lahan HTR, kegiatan sosialisai HTR dan kegiatan penyuluhan

dan pendampingan HTR serta berkorelasi negatif dengan kegiatan pemanfaatan

hasil HTR. Hal ini berarti bahwa semakin luas kepemilikan lahan di dalam

kawasan maka semakin tinggi pula kesadaran masyarakat terhadap alokasi

lahan HTR dilokasi tersebut juga bahwa semakin banyak pula mereka terlibat

dalam kegiatan sosialisasi, penyuluhan dan pendampinga HTR. Namun semakin

luas lahan kepemilikan menyebabkan mereka semakin tidak menyetujui

ketentuan bahwa pengusahaan HTR hanya untuk menghasilkan kayu hal ini

dikarenakan selama ini mereka menggantungkan perekonomian mereka pada

hasil komoditas non kayu (karet dan padi).

Status sosial masyarakat berkorelasi positif dengan persepsi masyarakat

terhadap alokasi lahan HTR, hak dan kewajiban pembangunan HTR, pasar

komoditas hasil HTR, kegiatan sosialisasi HTR dan kegiatan pendampingan dan

penyuluhan HTR serta berkorelasi negatif dengan kegiatan pemanfaatan hasil

HTR. Sedangkan Asal domilisi masyarakat berkorelasi positif dengan jangka

waktu dan luas pengusahaan HTR. Artinya bahwa semakin dekat asal domisili

masyarakat dengan lokasi mereka semakin tinggi persepsi mereka terhadap

ketentuan jangka wantu dan luas pengusahaan HTR.

91  

Tabel 52 Korelasi karakteristik individu dengan persepsi masyarakat terhadap pembangunan HTR

Persepsi masyarakat

Karakteristik individu X1 X2 X3 X4 X5 X6 X7 X8 X9 X10

Y2.1 0.135 0.315** 0.153 0.200* 0.128 0.249** 0.106 0.355** 0.013 0.153

Y2.2 -0.048 0.144 0.066 -0.013 0.103 0.020 -0.147 -0.109 -0.086 0.042

Y2.3 0.091 -0.135 -0.101 -0.358** -0.065 -0.223* -0.175 -0.203* -0.002 -0.064

Y2.4 0.056 0.011 0.010 -0.010 0.110 -0.021 0.056 0.033 0.170 -0.158

Y2.5 0.007 0.147 0.121 -0.206* 0.150 -0.066 -0.061 -0.029 0.110 0.101

Y2.6 0.112 0.083 0.169 -0.019 0.110 0.114 -0.067 0.163 0.022 -0.030

Y2.7 -0.092 -0.004 0.134 0.001 -0.027 0.046 -0.136 -0.134 -0.034 0.231*

Y2.8 -0.074 -0.091 0.123 -0.037 -0.087 -0.059 -0.134 -0.021 0.087 -0.054

Y2.9 0.042 0.158 0.018 0.156 -0.056 0.092 0.099 0.285** 0.126 -0.019

Y2.10 0.033 0.108 0.071 0.290** -0.076 0.137 0.135 0.188* -0.072 -0.078

Y2.11 0.127 -0.100 0.104 -0.121 0.085 0.002 -0.011 -0.020 -0.100 -0.111

Y2.12 0.111  0.096 0.167 0.101 0.095 0.218* 0.044 0.307** 0.086 -0.006

Y2.13 0.111  0.132 0.125 0.267** 0.083 0.278** 0.088 0.231* -0.001 0.074

keterangan ** Korelasi nyata pada taraf 0.01 * Korelasi nyata pada taraf 0.05 X1 : Umur Y2.1 : Alokasi lahan HTR X2 : Pendidikan formal Y2.2 : Pola pembangunan HTR X3 : Pendidikan non formal Y2.3 : Kegiatan pemanfaatan hasil HTR X4 : Tingkat pendapatan Y2.4 : Jenis tanaman HTR X5 : Tingkat kesehatan Y2.5 : Persyaratan perijinan HTR X6 : Luas lahan Y2.6 : Proses perijinan HTR X7 : Lama tinggal Y2.7 : Jangka waktu dan luasan usaha HTR X8 : Status sosial Y2.8 : Pewarisan ijin HTR X9 : Suku Y2.9 : Hak dan kewajiban HTR X10 : Asal domisili Y2.10 : Pasar komoditas hasil HTR Y2.11 : Kelembagaan HTR Y2.12 : Kegiatan sosialisasi HTR Y2.13 : Penyuluhan dan Pendampingan HTR

5.10 Hubungan Antara Modal Sosial Masyarakat Dengan Persepsi Masyarakat Terhadap pembangunan HTR Salah satu faktor yang menentukan keberhasilan program pembangunan

kehutanan termasuk pembangunan HTR adalah faktor kultural masyarakat yang

bermanifestasi dalam bentuk modal sosial. Selain itu penelitian tentang program

pengelolaan hutan serupa yang melibatkan masyarakat menyebutkan perlunya

mengetahui pandangan masyarakat terhadap program yang akan dilaksanakan

terutama jika program tersebut merupakan program baru (Mehta & Kellert 1998).

Penelitian Robertson dan Lawes (2005) menyimpulkan bahwa sikap dan

pandangan masyarakat sangat mempengaruhi keputusan mereka untuk ikut

serta dalam beberapa skema pengelolaan hutan yang ditawarkan di Afrika

Selatan. Dengan demikian untuk mengetahui kebijakan yang sesuai dengan

kebutuhan masyarakat, maka diperlukan pandangan atau kajian terhadap

92  

ketentuan-ketentuan pelaksanaan HTR dari perspektif masyarakat sebagai

pelaku utama. Dari hasil analisis korelasi peringkat spearman diperoleh hasil

bahwa modal sosial masyarakat di Kawasan Hutan Produksi Terusan Sialang

berkorelasi positif dengan persepsi masyarakat terhadap pembangunan HTR di

daerah tersebut. Hubungan antara karakteristik individu, tingkat modal sosial

masyarakat di Kawasan Hutan Produksi Terusan Sialang dan persepsi

masyarakat terhadap pembangunan HTR di wilayah tersebut dapat dilihat dalam

Tabel 53.

Tabel 53 Hubungan antara karakteristik individu, modal sosial dan persepsi responden terhadap pembangunan HTR

Karakteristik Individu

Modal Sosial Persepsi Terhadap HTR

Karakteristik Individu - 0,683** 0,230* Modal Sosial 0,683** - 0,233* Persepsi terhadap HTR

0,230* 0,233* -

Keterangan ** Korelasi nyata pada taraf 0.01

* Korelasi nyata pada taraf 0.05

Korelasi posistif tersebut berarti bahwa semakin tinggi karakteristik

individu masyarakat maka akan semakin tinggi pula modal sosial dan persepsi

masyarakat terhadap pembangunan HTR di Kawasan Hutan Produksi Terusan

Sialang. Semakin tinggi modal sosial yang dimiliki masyarakat maka akan

semakin tinggi pula persepsi masyarakat terhadap pembangunan HTR. Hal ini

sesuai dengan pendapat Putnam (1993) yang menyebutkan bahwa modal sosial

sangat berkaitan dengan masyarakat sipil (civil society) sehingga modal sosial

yang tinggi akan membawa dampak pada tingginya partisipasi masyarakat sipil

dalam berbagai bentuknya.

Tingkat modal sosial masyarakat yang tinggi di kawasan tersebut

merupakan modal yang berharga. Dalam perencanaan dan pelaksanaan

pembangunan HTR seharusnya masyarakat lebih dilibatkan untuk meningkatkan

keberhasilannya. Proses pembangunan HTR yang terkesan tidak mengalami

kemajuan di daerah tersebut lebih disebabkan kurangnya pengetahuan

pengambil kebijakan tentang kondisi sosial budaya masyarakat di dalam

kawasan tersebut. Hal ini dapat diketahui dari tidak adanya pengetahuan dan

93  

informasi tentang kondisi sosial budaya masyarakat di instansi-instansi yang

mengambil kebijakan dalam pembangunan HTR di wilayah tersebut.

Kebijakan kawasan hijau dan kawasan putih yang diambil dalam melakukan verifikasi oleh BPPHP V diakibatkan tidak adanya pengetahuan tentang kondisi sosial budaya tersebut. Dengan alasan untuk menghindari konflik di kawasan tersebut areal yang termasuk dalam kawasan putih tidak diloloskan dalam verifikasi. Padahal dalam kenyataan di lapangan konflik kepemilikan lahan sudah tidak ada lagi. Semua lahan di kawasan tersebut sudah habis dibagi oleh masyarakat dengan batas-batas yang sudah jelas dan diakui oleh masyarakat setempat. Sebagai akibat dari kesalahan dalam pengambilan kebijakan tersebut, masyarakat yang tadinya mempunyai harapan dan keinginan ynag cukup besar untuk dapat berperan aktif dalam pembangunan HTR mengambil sikap menunggu. Mayoritas mereka masih mempunyai harapan namun tidak lagi terlibat secara aktif. Untuk saat ini masyarakat yang masih terlibat secara aktif adalah kelompok masyarakat yang secara karakteristik individu mempunyai kelebihan baik dalam hal modal manusia, modal fisik dan modal sosial. Adanya beberapa pihak yang ingin menjadi free rider dalam pelaksanaan pembangunan HTR juga telah menyebabkan terhambatnya program HTR tersebut. Di dalam kawasan tersebut terdapat ± 300 ha lahan yang masih kosong (bekas areal proyek PHPL kerjasama dengan JICA) yang dijaga ketat oleh aparat kehutanan. Kawasan tersebut diperebutkan oleh beberapa pihak yang ingin menjadi free rider dalam pembangunan HTR. Masyarakat sekitar yang berhak untuk mengelola kawasan tersebut dalam skema HTR akhirnya malah terpinggirkan. Para pembonceng yang dekat dengan instansi pengambil keputusan berhasil memaksakan kehendak dan menyebabkan usulan masyarakat untuk mengelola kawasan tersebut dalam skema pembangunan HTR terhambat. Karena status yang belum jelas dari kawasan tersebut mengakibatkan terhambatnya seluruh proses pembangunan HTR di Kawasan Hutan Produksi Terusan Sialang. 5.11 Dukungan Infrastruktur

Dukungan infrastruktur dalam pembangunan HTR merupakan modal fisik masyarakat dalam mendukung keberhasilan pembangunan HTR disamping dukungan modal manusia dan modal sosial. Penilaian terhadap dukungan infrastruktur dalam pembangunan HTR ini tidak hanya pada ketersediaannya namun juga pada kualitas pelayanan dalam 3 tahun terakhir ( Tabel 58).

Dari Tabel 54 diketahui bahwa pada umumnya sarana/prasarana pendukung masyarakat dirasakan tersedia dan pelayanan yang diberikan bertambah baik oleh masyarakat kecuali untuk sarana pelatihan, penyuluhan dan

94  

bimbingan teknis serta sarana penyedia modal. Hal ini tidak terlepas dari status tempat tinggal masyarakat yang berada dalam kawasan hutan produksi sehingga permasalahan-permasalahan yang menyangkut dengan formalitas administrasi pemerintahan tidak dilayani. Kegiatan penyuluhan pertanian tidak pernah dilakukan di kawasan tersebut dan juga lembaga-lembaga penyalur kredit untuk petani juga tidak melayani mereka dikarenakan hal tersebut. Kejelasan status lahan mereka dengan adanya pembangunan HTR di daerah tersebut diharapkan mampu meningkatkan ketersediaan dan pelayanan kedua prasarana tersebut. Dengan meningkatnya infrastruktur pendukung diharapkan kesejahteraan masyarakat juga akan meningkat. Tabel 54 Ketersediaan dan pelayanan infrastruktur pendukung pembangunan No Sarana/prasarana Ketersediaan/

pelayanan Jumlah (orang)

Persentase (%)

1 Produksi a lahan b bibit c pupuk d alat pertanian

1 sulit 2 mudah 1 sulit 2 mudah 1 sulit 2 mudah 1 sulit 2 mudah

21 98 20 99 29 90 18

101

17,65 82,35 16,81 83,19 24,37 75,63 15,13 84,87

2 Sarana Transportasi Pelayanan 3 tahun terakhir

1 sulit 2 mudah 1 tidak semakin baik 2 semakin baik

5 114

4 115

4,20 95,80

3,36 96,84

3 Sarana Komunikasi Pelayanan 3 tahun terakhir

1 sulit 2 mudah 1 tidak semakin baik 2 semakin baik

2 117

4 115

1,68 98,32

3,36 96,64

4 Sarana informasi Pelayanan 3 tahun terakhir

1 sulit 2 mudah 1 tidak semakin baik 2 semakin baik

4 115

2 117

3,36 96,64

1,68 98,32

5 Sarana kesehatan Pelayanan 3 tahun terakhir

1 sulit 2 mudah 1 tidak semakin baik 2 semakin baik

2 117

4 115

1,68 98,32

3,36 96,64

6 Sarana pendidikan Pelayanan 3 tahun terakhir

1 sulit 2 mudah 1 tidak semakin baik 2 semakin baik

6 113

3 116

5,04 94,96

2,52 97,48

7 Sarana pelatihan, penyuluhan dan bimbingan teknis Pelayanan 3 tahun terakhir

1 sulit 2 mudah 1 tidak semakin baik 2 semakin baik

116 3

116

3

97,48 2,52

97,48

2,528 Sarana penyedia modal

Pelayanan 3 tahun terakhir

1 sulit 2 mudah 1 tidak semakin baik 2 semakin baik

114 5

116 3

95,80 4,20

97,48 2,52

95  

5.12 Strategi Pembangunan HTR di Kawasan Hutan Produksi Terusan Sialang Pembangunan HTR merupakan program pembangunan di bidang

kehutanan yang memberikan kesempatan kepada masyarakat sekitar hutan untuk ikut mengelola kawasan hutan. Program ini diluncurkan sebagai salah satu bentuk implementasi dari kebijakan nasional dalam pembangunan yaitu pro poor, pro job dan pro growth yang dicanangkan oleh pemerintah.

Untuk mempercepat proses pembangunan HTR ini pemerintah mendelegasikan pemberian ijin kepada bupati (pemerintah daerah) dengan tujuan untuk lebih mendekatkan dan mempercepat pelayanan perijinan HTR kepada masyarakat. Namun dalam kenyataannya realisasi pembangunan HTR tidak sesuai dengan target pemerintah bahkan sangat jauh dari target tersebut.

Proses pembangunan HTR di kabupaten OKI sudah dimulai sejak tahun 2009 dengan ditunjuknya Kawasan Hutan Produksi Terusan Sialang sebagai areal pencadangan untuk pembangunan HTR. Penunjukan ini dilatarbelakangi oleh usulan dari Bupati OKI. Usulan Bupati OKI untuk membangun HTR di Kawasan Hutan Produksi Terusan Sialang tidak terlepas dari kondisi kawasan yang sudah sejak tahun 1997 dirambah dan digarap oleh masyarakat sekitar. Sehingga untuk menyelesaikan permasalahan perambahan dan juga untuk memberikan manfaat sosial lebih luas maka bupati OKI mengusulkan untuk pembangunan HTR di daerah tersebut. Namun sejak dicadangkan dari tahun 2009 sampai dengan saat ini baru terdapat satu ijin HTR yang dikeluarkan oleh bupati OKI yaitu atas nama Koperasi karyawan Inhutani (Kopkarinhut) V seluas 301 ha. Pengelolaan hutan termasuk di dalamnya pembangunan hutan tanaman rakyat membutuhkan keputusan yang berdasarkan pada pengetahuan tentang hutan dan nilai manusia yang dapat dijabarkan melalui perencanaan hutan baik secara formal maupun informal. Perencanaan pengelolaan hutan meliputi perpaduan sistem ekologi, ekonomi dan sosial yang masing-masing bersifat kompleks. Keputusan yang diambil harus mempertimbangkan nilai-nilai ekologi, ekonomi dan sosial sehingga mampu memberikan kelestarian hasil dengan ciri utama adanya kewajiban bagi pemilik lahan dan masyarakat membuat komitmen jangka panjang untuk mengelola hutannya bagi generasi mendatang (Davis et al 2001). Untuk meningkatkan keberhasilan dalam pembangunan hutan tanaman rakyat di kabupaten OKI maka diperlukan strategi pembangunan HTR yang tidak hanya berdasarkan pada sumberdaya alam, sumberdaya fisik dan sumberdaya manusia saja, tetapi membutuhkan penguatan modal sosial masyarakat sasaran

96  

program pembangunan. Strategi pembangunan hutan tanaman rakyat seharusnya melibatkan unsur-unsur sosial, ekonomi dan budaya setempat, sehingga tidak menimbulkan ketergantungan masyarakat kepada pemerintah dan dapat berkelanjutan sehingga akan memberikan manfaat nyata bagi masyarakat dan lingkungan sekitar serta menjadi stimulus bagi perkembangan ekonomi yang lebih luas di daerah tersebut. Perumusan strategi pembangunan HTR di kabupaten OKI menggunakan analisis kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman atau analisis SWOT. Perumusan strategi pembangunan/pengelolaan hutan skala kecil dengan menggunakan analisi SWOT ini sudah dilakukan pada pembangunan hutan rakyat di Tana Toraja (Patabang et al 2008) dan di Sub DAS Cisedane Hulu (Rinawati 2012). Untuk pemilihan strategi pembangunan HTR digunakan analisis matrik perencanaan strategis kuantitatif (QSPM). Analisis SWOT dan QSPM ini dilaksanakan melalui 3 tahapan yaitu pengumpulan data, analisis dan pengambilan keputusan. 5.12.1 Faktor SWOT

Dari hasil pengumpalan data dan wawancara terhadap stakeholders dalam pembangunan HTR di Kabupaten OKI ini didapatkan faktor-faktor yang mempengaruhi pembangunan HTR tersebut. Faktor-faktor tersebut dikelompokkan menjadi dua yaitu faktor internal dan faktor eksternal.

Faktor Internal

Pembangunan HTR sangat dipengaruhi oleh faktor internal yang berasal dari dalam masyarakat berupa kekutan dan kelemahan. Faktor internal tersebut dievaluasi untuk menentukan faktor apa saja yang paling berpengaruh dalam pembangunan HTR di wilayah tersebut. a Kekuatan

1. Masyarakat memiliki karakteristik individu yang cukup baik dalam hal umur produktif, tingkan kesehatan dan tingkat penghasilan. Karakteristik individu ini merupakan modal manusia yang baik untuk pembangunan HTR.

2. Kepercayaan masyarakat yang cukup tinggi pada tokoh masyarakat, agama dan aparat pemerintahan.

3. Kepercayaan masyarakat yang masih cukup baik terhadap instansi kehutanan

4. Tingkat partisipasi masyarakat dalam jaringan sosial yang cukup baik

97  

5. Kepatuhan masyarakat terhadap norma-norma yang berlaku dalam masyarakat tinggi

6. Tingkat proaktif masyarakat yang cukup tinggi 7. Tingkat kepedulian masyarakat yang cukup tinggi 8. Persepsi masyarakat terhadap sebagian besar ketentuan dalam

perijianan pembangunan HTR yang cukup baik 9. Motivasi masyarakat untuk mendapatkan legalitas atas lahan mereka

yang tinggi b Kelemahan

1. Tingkat pendidikan masyarakat yang rendah 2. Kepercayaan masyarakat yang rendah terhadap LSM dan pihak/mitra dari

luar 3. Persepsi masyarakat terhadap ketentuan pewarisan, jenis tanaman HTR

yang rendah, pemanfaatan hasil HTR dan proses peijinan HTR 4. Kelembagaan HTR yang belum berfungsi secara optimal di dalam

masyarakat 5. Tidak adanya lembaga permodalan yang membantu masyarakat 6. Pengetahuan masyarakat yang rendah dalam pembangunan HTR

Matrik evaluasi faktor internal atau internal factor evaluation (IFE) dapat dilihat pada Tabel 55

Dari Tabel 55 diketahui bahwa peubah pada faktor kekuatan yang mempunyai nilai pengaruh yang sangat besar adalah kepercayaan masyarakat yang tinggi terhadap tokoh masyarakat, tokoh agama, aparat pemerintahan dan cukup baik pada instansi kehutanan (0,310). Kepercayaan masyarakat yang tinggi ini menjadi pertanda yang positif karena masyarakat yang kuat hanya dapat dicapai oleh komunitas yang memiliki tingkat kepercayaan yang tinggi (Suharto 2007). Kepercayaan ini menjadi modal yang penting karena akan meningkatkan berbagai tindakan kolektif di dalam masyarakat untuk kemajuan bersama (Hasbullah 2006). Sedangkan nilai pengaruh yang terkecil adalah tingkat kepedulian masyarakat yang cukup baik (0,150). Tingkat kepedulian masyarakat dalam pembangunan HTR dinilai tidak memberikan pengaruh yang cukup banyak dalam keberhasilan pembangunan HTR.

98  

Tabel 55 Matrik IFE dalam pembangunan HTR di Kabupaten OKI No Faktor Internal Rata-rata

bobot Rata-rata

rating Nilai

Pengaruh

A Kekuatan 1 Karakteristik individu yang cukup baik

(usia produktif, tingkat kesehatan, penghasilan)

0,080 3,600 0,288

2 Tingkat kepercayaan masyarakat yang tinggi terhadap tokoh masyarakat, agama, aparat pemerintahan dan cukup baik pada instansi kehutanan

0,086 3,600 0,310

3 Tingkat partisipasi masyarakat dalam jaringan sosial yang cukup baik

0,080 3,600 0,288

4 Kepatuhan masyarakat terhadap norma-norma yang berlaku dalam masyarakat tinggi

0,056 3,800 0,213

5 Tingkat prokatif masyarakat yang tinggi 0,052 3,000 0,156

6 Tingkat kepedulian masyarakat yang cukup baik

0,050 3,000 0,150

7 Persepsi masyarakat terhadap pembangunan HTR yang cukup baik

0,082 3,200 0,262

8 Motivasi masyarakat untuk mendapatkan legalitas atas lahan mereka yang tinggi

0,082 3,600 0,292

Total 0,568 1,962

B Kelemahan

1 Tingkat pendidikan masyarakat yang rendah

0,074 2,600 0,192

2 Kepercayaan masyarakat yang rendah terhadap LSM dan pihak/mitra dari luar

0,060 2,600 0,156

3 Persepsi masyarakat terhadap ketentuan pewarisan, jenis tanaman HTR yang rendah, pemanfataan hasil HTR dan proses perijinan HTR

0,050 2,600 0,130

4 Kelembagaan HTR yang belum berfungsi secara optimal di dalam masyarakat

0,104 2,800 0,291

5 Tidak adanya lembaga permodalan yang membantu masyarakat

0,056 2,600 0,146

6 Pengetahuan masyarakat yang rendah dalam pembangunan HTR

0,088 2,400 0,211

Total 0,432 1,126

Kecenderungan terhadap faktor internal 1,000 0,836

Faktor kelemahan yang mempunyai nilai pengaruh yang paling besar

adalah kelembagaan HTR yang belum berfungsi secara optimal di dalam

masyarakat (0.291). Kelembagaan dalam pembangunan HTR merupakan

sebuah prasyarat yang penting dalam keberhasilan pembagunan HTR

(Noordwijk et al. 2007). Permasalahan-permasalahan yang sering dijumpai

99  

dalam pembangunan kehutanan di Indonesia salah satunya disebabkan oleh

kurang memadainya kelembagaan dalam pembangunan kehutanan

(Kartodihardjo 2007). Sedangkan nilai terendah untuk faktor kelemahan adalah

pada persepsi masyarakat terhadap ketentuan pewarisan, jenis tanaman HTR

yang rendah, pemanfataan hasil HTR dan proses perijinan HTR (0.130).

Rendahnya persepsi masyarakat ini dikarenakan akumulasi dari pengalaman

mereka dalam memanfaatkan lahan dan mengikuti kegiatan yang terkait dengan

perijinan HTR. Persepsi ini dapat ditingkatkan apabila masyarakat diberikan

pengetahuan dan pengalaman untuk mengelola lahan mereka dengan tanaman

budidaya kehutanan serta instansi kehutanan terkait dengan perijinan HTR ini

memperbaiki kinerja mereka dalam memproses usulan perijinan HTR dengan

mengedepankan dialog dan keterbukaan.

Faktor Eksternal Faktor eksternal adalah faktor-faktor yang berpengaruh dalam

pembangunan HTR di kabupaten OKI yang berasal dari luar terdiri dari peluang

dan ancaman. Evaluasi terhadap faktor eksternal juga dilakukan oleh

stakeholders seperti pada evaluasi faktor internal.

a Peluang

1. Dukungan kebijakan, dana dan infrastruktur HTR dari instansi terkait

2. Dukungan dari aparat pemerintahan lokal

3. Adanya kegiatan pendampingan untuk meningkatkan kapasitas

kelembagaan dan teknis masyarakat terkait dengan pembangunan HTR

4. Harga komoditas hasil hutan (kayu dan non kayu) yang semakin tinggi.

b Ancaman

1. Adanya free rider dalam proses pembangunan HTR di Kab OKI

2. Kebijakan verifikasi yang membagi areal kawasan hijau dan kawasan

putih

3. Jumlah dan Kemampuan pendamping yang belum memadai

4. Persyaratan perijinan HTR yang masih menyulitkan masyarakat

5. Belum jelasnya pasar kayu yang akan menampung hasil HTR

6. Kegiatan sosialisas, pendampingan dan penyuluhan tentang HTR yang

belum menjangkau sampai masyarakat di tingkat tapak

7. Kurangnya koordinasi antar instansi dalam pembangunan HTR

100  

8. Tidak adanya keterbukaan dalam proses perijinan HTR

9. Matrik evaluasi faktor eksternal atau external factor evaluation (EFE)

dapat dilihat pada Tabel 56.

Tabel 56 Matrik EFE dalam pembangunan HTR di Kabupaten OKI

No Faktor Internal Rata-rata bobot

Rata-rata rating

Nilai Pengaruh

A Peluang 1 Dukungan kebijakan, dana dan

infrastruktur HTR dari instansi terkait 0,114 3,600 0,410

2 Dukungan dari aparat pemerintahan lokal 0,110 3,600 0,396

3 Adanya kegiatan pendampingan 0,100 2,600 0,260

4 Harga komoditas hasil hutan (kayu dan non kayu) membaik

0,068 2,800 0,190

Total 0,392 1,256

B Kelemahan

1 Adanya free rider dalam proses pembangunan HTR di Kab OKI

0,086 3,400 0,292

2 Kebijakan verifikasi yang membagi areal kawasan hijau dan kawasan putih

0,086 2,800 0,241

3 Jumlah dan Kemampuan pendamping yang belum memadai

0,054 1,800 0,097

4 Persyaratan perijinan HTR yang masih menyulitkan masyarakat

0,102 1,600 0,163

5 Belum adanya pasar kayu yang akan menampung hasil HTR

0,056 2,000 0,112

6 Kegiatan sosialisas, pendampingan dan penyuluhan tentang HTR yang belum menjangkau sampai masyarakat di tingkat tapak

0,056 2,400 0,134

7 Kurangnya koordinasi antar instansi dalam pembangunan HTR

0,072 2,000 0,144

8 Tidak adanya keterbukaan dalam proses perijinan HTR

0,096 3,000 0,288

Total 0,608 1,472

Kecenderungan terhadap faktor internal 1,000 -0,215

Dari Tabel 56 diketahui bahwa faktor peluang dengan nilai pengaruh terbesar adalah dukungan kebijakan, dana dan infrastruktur HTR dari instansi terkait (0,410). Dukungan kebijakan pembangunan HTR dari instansi terkait ini merupakan faktor yang sangat penting dalam menunjang keberhasilan pembangunan HTR karena adanya dukungan dan bantuan tersebut dapat membantu menutupi kekurangmampuan masyarakat dalam beberapa aspek

101  

terkait dengan pembangunan HTR di wilayah tersebut. Sedangkan nilai pengaruh terendah ada pada faktor harga komoditas hasil hutan (kayu dan non kayu) yang semakin tinggi (0,190). Faktor ancaman dengan nilai pengaruh paling tinggi adalah Adanya free rider dalam proses pembangunan HTR di Kab OKI (0,292). Adanya free rider dalam proses pembangunan HTR di Kabupaten OKI ini yang menyebabkan terhambatnya proses perijinan. Masyarakat dan aparat pemerintah lokal melihat bahwa free rider yang ingin menumpang dalam pembangunan HTR berasal dari BPPHP V dan Dinas Kehutanan Kabupaten OKI sehingga aparat pemerintah lokal cenderung berhati-hati dalam mengeluarkan rekomendasi untuk perijinan. Sedangkan Dinas Kehutanan Kabupaten memandang bahwa free rider ini berasal dari masyarakat dan BPPHP V sehingga mereka membentuk tim konsolidasi di dalam kawasan HTR tersebut untuk mengkondisikan masyarakat dalam proses perijinan HTR. Sedangkan BPPHP V melihat bahwa free rider ini berasal dari Dinas Kehutanan Kabupaten OKI dan masyarakat sehingga mereka membuat kebijakan verifikasi dengan membagikan areal dalam kawasan hijau dan kawasan putih. Sebagai akibat dari berbagai tindakan tersebut, proses perijinan HTR di kabupaten OKI tidak berjalan sebagaimana mestinya. Sedangkan faktor ancaman dengan nilai pengaruh terkecil adalah jumlah dan kemampuan pendamping yang belum memadai (0,097). Peran pendamping dalam pembangunan HTR sangat strategis. Pendamping merupakan pihak yang bertugas untuk membakeli masyarakat dalam hal pengetahuan teknis dan pemberdayaan kelembagaan pembangunan HTR. 5.12.2 Tahapan Analisis Tahapan analisis dilakukan dengan memadukan faktor internal dan faktor eksternal dalam dengan menggunakan matrik SWOT. Dari matrik SWOT yang dihasilkan pada tahapan analisis ini (Tabel 60) dihasilkan Sembilan alternatif strategi pembangunan HTR yang merupakan perpaduan unsur kekuatan dan peluang, Kekuatan dan ancaman, kelemahan dan peluang serta kelemahan dan ancaman. Strategi dalam pembangunan HTR di Kabupaten OKI tersebut adalah: a Strategi S – O (strength – opportunity/kekuatan – ancaman) Strategi S – O merupakan strategi agresif yang memanfaatkan kekuatan untuk menggunakan semua peluang yang ada sehingga diperoleh hasil yang maksimal. Strategi S – O tersebut adalah : 1. Mengaktifkan dan mengefektifkan lembaga non formal dalam ikut

mendukung pembangunan HTR.

102  

2. Membangun komunikasi dan koordinasi yang baik antara pemerintah dan masyarakat dalam pembangunan HTR.

b Strategi W – O (weakness – opportunity/kelemahan – ancaman) Strategi W – O merupakan strategi konservatif yang menggunakan peluang yang ada untuk mengatasi kelemahan. Alternatif strategi W – O tersebut adalah: 1. Pemberdayaan petani dalam bidang iptek, kelembagaan, dan pemasaran

sesuai karekteristik sosial budaya setempat. 2. Peningkatan akses petani terhadap informasi, lembaga permodalan,

pendidikan dan penyuluhan serta pasar hasil hutan. c Strategi S – T (strength – threat/kekuatan – ancaman) Strategi S –T adalah strategi kompetitif yang memanfaatkan faktor kekuatan internal untuk mengurangi ancaman eksternal. Alternatif strategi S – T tersebut adalah: 1. Peningkatan kapasitas petani dan pendamping HTR dalam kelembagaan,

pengetahuan teknis kehutanan dan pemasaran dalam pembangunan HTR. 2. Membentuk forum komunikasi, koordinasi dan layanan informasi antar

stakeholders dalam pembangunan HTR sebagai sarana untuk mencari solusi permasalahan pembangunan HTR, pengembangan peluang kemitraan dan pemasaran, serta pusat informasi pembangunan HTR.

3. Memfasilitasi masyarakat dalam pemenuhan persyaratan dan proses perijinan serta verifikasi HTR

d Strategi W – T (weakness – threat/kelemahan – ancaman) Strategi W – T adalah strategi defensif yang berusaha meminimalkan kelemahan untuk mengatasi ancaman eksternal. Alternatif strategi W – T tersebut adalah: 1. Perlu campur tangan pemerintah dan mitra strategis dalam meningkatkan

kapabilitas petani. 2. Membuka dialog antara masyarakat, LSM dan pemerintah dalam

pembangunan HTR. Strategi pembangunan HTR di Kabupaten OKI terpilih yang

memungkinkan untuk diimplementasikan adalah hasil pertemuan sumbu x (faktor internal) dan sumbu y (faktor eksternal). Berdasarkan selisih jumlah nilai pengaruh unsur internal yaitu antara kekuatan dan kelemahan (1,962 - 1,126 = 0,836) dan selisih total nilai pengaruh unsur eksternal yaitu peluang dan ancaman (1,257 – 1,472 = -0,215). Sehingga kedudukan pembangunan HTR di Kabupaten OKI berada pada sel atau kuadran II yaitu pada titik 0,836;-0,215 (Gambar 5).

103  

Posisi ini mendukung strategi kompetitif (S – T) yang didasarkan pada pemanfaatan seluruh kekuatan internal (strength) pada komunitas untuk menghindari atau mengurangi dampak ancaman eksternal (threats). Strategi kompetitif yang dilakukan antara lain berupa integrasi horizontal serta melakukan pengembangan produk melalui diversifikasi baik produk ataupun pasar (David 2009). Strategi alternatif pembangunan HTR di Kabupaten OKI yang memungkinkan untuk diimplementasikan berdasarkan posisi pada kuadran II adalah: 1. Peningkatan kapasitas petani dan pendamping HTR dalam hal

kelembagaan, pengetahuan teknis kehutanan dan pemasaran dalam pembangunan HTR.

2. Membentuk forum komunikasi, koordinasi dan layanan informasi antar stakeholders dalam pembangunan HTR sebagai sarana untuk mencari solusi permasalahan pembangunan HTR, pengembangan peluang kemitraan dan pemasaran, serta pusat informasi pembangunan HTR.

3. Memfasilitasi masyarakat dalam pemenuhan persyaratan dan proses perijinan serta verifikasi HTR

Gambar 5 Kedudukan strategi pembangunan HTR di Kabupaten OKI berdasarkan analisis SWOT

Opportunities (O) 

Kuadran I Strategi Agreasif

Strength (S) Weakness (W) 

Threat (T) 

Kuadran II Strategi Kompetitif

Kuadran IV Strategi Defensif

Kuadran III Merubah Strategi

0.836, -0.215

-0.6

-0.4

-0.2

-6E-16

0.2

0.4

0.6

-1 -0.8 -0.6 -0.4 -0.2 1E-16 0.2 0.4 0.6 0.8 1

104  

Tabel 57 Matrik SWOT Pembangunan HTR di Kabupaten OKI

Internal Eksternal

Kekuatan (S) 1. Karakteristik individu yang cukup

baik (usia produktif, tingkat kesehatan, penghasilan)

2. Kepercayaan masyarakat yang cukup tinggi pada tokoh masyarakat, agama dan aparat pemerintahan.

3. Kepercayaan masyarakat yang masih cukup baik terhadap instansi kehutanan

4. Tingkat partisipasi masyarakat dalam jaringan sosial yang cukup baik

5. Kepatuhan masyarakat terhadap norma-norma yang berlaku dalam masyarakat tinggi

6. Tingkat proaktif masyarakat yang cukup tinggi

7. Tingkat kepedulian masyarakat yang cukup tinggi

8. Persepsi masyarakat terhadap sebagian besar ketentuan dalam perijianan pembangunan HTR yang cukup baik

9. Motivasi masyarakat untuk mendapatkan legalitas atas lahan mereka yang tinggi

Kelemahan (W) 1. Tingkat pendidikan masyarakat

yang rendah 2. Kepercayaan masyarakat yang

rendah terhadap LSM dan pihak/mitra dari luar

3. Persepsi masyarakat terhadap ketentuan pewarisan, jenis tanaman HTR yang rendah, pemanfaatan hasil HTR dan proses peijinan HTR

4. Kelembagaan HTR yang belum berfungsi secara optimal di dalam masyarakat

5. Tidak adanya lembaga permodalan yang membantu masyarakat

6. Pengetahuan masyarakat yang rendah dalam pembangunan HTR

Peluang (O) 1. Dukungan kebijakan, dana dan

infrastruktur HTR dari instansi terkait

2. Dukungan dari aparat pemerintahan lokal

3. Adanya kegiatan pendampingan untuk meningkatkan kapasitas kelembagaan dan teknis masyarakat terkait dengan pembangunan HTR

4. Harga komoditas hasil hutan (kayu dan non kayu) yang semakin tinggi

Strategi S-O 1. Mengaktifkan dan mengefektifkan

lembaga non formal dalam ikut mendukung pembangunan HTR (S2, S3, S4, S5 S6,S7,S8, O1,O2,O3)

2. Membangun komunikasi dan koordinasi yang baik antara pemerintah dan masyarakat dalam pembangunan HTR (S1,S2,S3,S4,S5, S6, S7, S8,S9, O1,O2,O3,O4)

Strategi W-O 1. Pemberdayaan petani dalam

bidang iptek, kelembagaan, dan pemasaran sesuai karekteristik sosial budaya setempat. (W1,W3,W4,W6,O1,O2,O3)

2. Peningkatan akses petani terhadap informasi, lembaga permodalan, pendidikan dan penyuluhan serta pasar hasil hutan (W1, W2, W3,W4,W,W6, O1,O2,O3,O4)

Ancaman (T) 1. Adanya free rider dalam proses

pembangunan HTR di Kab OKI 2. Kebijakan verifikasi yang membagi

areal kawasan hijau dan kawasan putih

3. Jumlah dan Kemampuan pendamping yang belum memadai

4. Persyaratan perijinan HTR yang masih menyulitkan mayarakat

5. Belum jelasnya pasar kayu yang akan menampung hasil HTR

6. Kegiatan sosialisas, pendampingan dan penyuluhan tentang HTR yang belum menjangkau sampai masyarakat di tingkat tapak

7. Kurangnya koordinasi antar instansi dalam pembangunan HTR

8. Tidak adanya keterbukaan dalam proses perijinan HTR

Strategi S-T 1. Peningkatan kapasitas petani dan

pendamping HTR dalam kelembagaan, pengetahuan teknis kehutanan dan pemasaran dalam pembangunan HTR(S1, S2, S3, S4, S5, S6, S7, S8, S9, T3, T4, T5, T6)

2. Membentuk forum komunikasi, koordinasi dan layanan informasi antar stakeholders dalam pembangunan HTR (S1, S2, S3, S4, S5, S6, S7, S8, S9, T1, T2, T4, T5, T6, T7, T8)

3. Memfasilitasi masyarakat dalam pemenuhan persyaratan dan proses perijinan serta verifikasi HTR (S1, S2, S3, S4, S5, S6, S7, S8, S9, T2, T3, T4)

Strategi W-T 1. Perlu campur tangan

pemerintah dan mitra strategis dalam meningkatkan kapabilitas petani (W1, W2, W4,W5,W6.T4, T5, T6,)

2. Membuka dialog antara masyarakat, LSM dan pemerintah dalam pembangunan HTR (W2, W3, W6, T1, T2, T4, T6, T7, T8)

105  

5.12.2 Tahap Pengambilan Keputusan Pengambilan keputusan terhadap alternatif strategi kebijakan dalam

pembangunan HTR di Kabupaten OKI menggunakan matriks QSPM (David

2009). Pengambilan keputusan dengan menggunanakan matriks QSPM

menggunakan skor ketertarikan atau attractiveness score (AS) dari stake holders

terhadap alternatif strategi kebijakan yang diperoleh dengan menggunakan

analisis SWOT. Stake holders yang dilibatkan dalam QSPM ini adalah tokoh

masyarakat, aparat pemerintahan lokal, Dinas Kehutanan Kabupaten OKI,

BPPHP Wilayah V dan Pendamping HTR. Dari hasil penilaian AS pada alternatif

strategi dalam pembangunan HTR di Kabupaten OKI ini dapat dilihat dalam

Tabel 58.

Tabel 58 Rekapitulasi matriks QSPM pada pembangunan HTR di Kabupaten OKI

Faktor Strategis bobot Skor Ketertarikan

Strategi I Strategi II Strategi III AS TAS AS TAS AS TAS

Faktor strategi internal Kekuatan Kelemahan

0,568 0,432

3,175 3,033

1,803 1,310

3,355 3,167

1,903 1,368

2,775 3,000

1,576 1,296

Total 1,000 6,208 3,113 6,522 3,271 5,775 2,872Faktor strategi eksternal Peluang Ancaman

0,392 0,608

2,400 2,325

0,941 1,414

2,950 2,850

1,156 1,733

2,600 2,875

1,019 1,748

Total 1,000 4,725 2,355 6,400 2,889 5,475 2,767Total skor ketertarikan 5,468 6,160 5,639Strategi terpilih III I II

Dari matriks QSPM seperti terlihat pada Tabel 62, strategi alternatif yang

terpilih adalah strategi II yaitu membentuk forum komunikasi, koordinasi dan

layanan informasi antar stakeholders dalam pembangunan HTR sebagai sarana

untuk mencari solusi permasalahan pembangunan HTR, pengembangan peluang

kemitraan dan pemasaran, serta pusat informasi pembangunan HTR dengan

nilai TAS 6,160 lebih baik dari strategi Memfasilitasi masyarakat dalam

pemenuhan persyaratan dan proses perijinan serta verifikasi HTR dengan nilai

TAS 5,639 dan strategi Peningkatan kapasitas petani dan pendamping HTR

dalam hal kelembagaan, pengetahuan teknis kehutanan dan pemasaran dalam

pembangunan HTR dengan nilai TAS 5,465.

Pembentukan forum komunikasi, koordinasi dan layanan informasi antar

stakeholders dalam pembangunan HTR sebagai sarana untuk mencari solusi

permasalahan pembangunan HTR, pengembangan peluang kemitraan dan

pemasaran, serta pusat informasi pembangunan HTR di Kabupaten OKI ini

dipilih sebagai alternatif strategi dengan nilai TAS tertinggi oleh tokoh

106  

masyarakat, aparat pemerintahan desa dan Dinas Kehutanan kabupaten OKI

(gambar 6). Pembentukan forum multi stakeholders dalam pembangunan HTR di

Kabupaten OKI ini diharapkan mampu menjadi sarana bagi bertemunya dan

berdialogya berbagai kepentingan dari berbagai pihak dalam pembangunan

HTR. Sehingga isu-isu seperti adanya free rider, keterbukaan proses perijinan,

kesulitan persyaratan, peluang pemasaran, keterbatasan kapasitas masyarakat,

masalah pendanaan dan lain-lain dapat dibicarakan dan dicarikan jalan keluar

dalam forum tersebut.

Gambar 6 Perbandingan nilai TAS stakeholders terhadap alaternatif kebijakan

dalam pembangunan HTR di Kabupaten OKI

Alternatif kebijakan yang lain dalam pembangunan HTR di Kabupaten

OKI (penguatan kapasistas masyarakat dan fasilitasi masyarakat) juga perlu

dilaksanakan apalagi beberapa instansi pemerintah sudah menganggarkan

untuk melaksakan kegiatan tersebut. Namun pelaksanaan dari kebijakan

tersebut akan kurang maksimal apabila masih terdapat isu-isu keterbukaan dan

free rider yang belum dicarikan jalan keluar. Dan yang lebih penting adalah

dukungan dari masyarakat terhadap kebijakan-kebijakan tersebut karena tanpa

dukungan dari masyarakat maka hasil dari kebijakan tersebut akan kurang

maksimal. Hal ini disebabkan karena salah satu faktor penentu keberhasilan

pembangunan adalah collective action yang tinggi (Kartodihardjo 2006). Karena

alasan tersebut maka pembentukan forum komunikasi, koordinasi dan layanan

informasi dalam pembangunan HTR di Kabupaten OKI ini menjadi penting untuk

segera diwujudkan guna menunjang keberhasilan pembangunan HTR di

Kabupaten OKI.

0

1

2

3

4

5

6

7

8

Alternatif kebijakan I

Alternatif kebijakan II

Alternatif kebijakan III