V HASIL DAN PEMBAHASAN - repository.ipb.ac.id V... · Hal ini dapat dilihat ... mendapatkan...
-
Upload
nguyenthuy -
Category
Documents
-
view
219 -
download
0
Transcript of V HASIL DAN PEMBAHASAN - repository.ipb.ac.id V... · Hal ini dapat dilihat ... mendapatkan...
43
V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Karakteristik Sosial, Ekonomi dan Budaya Komunitas Masyarakat di
Kawasan Hutan Produksi Terusan Sialang
Komunitas masyarakat di dalam Kawasan Hutan Produksi Terusan Sialang
mulai terbentuk sejak tahun 1997 sebagai akibat adanya perambahan di
kawasan tersebut. Proses perambahan kawasan hutan produksi tersebut pada
awalnya dilakukan oleh warga sekitar kawasan. Sekitar 36 kepala keluarga
melakukan perambahan pada kawasan hutan produksi tersebut bersamaan
dengan adanya kegiatan land clearing yang dilakukan oleh PT Inhutani V
bekerjasama dengan PT Sama Jaya Nugraha. Jumlah perambah tersebut
semakin bertambah terus dengan tidak adanya tindakan dari berbagai pihak baik
pemegang konsesi maupun pemerintah hingga pada tahun 2000 kawasan
tersebut telah penuh dengan masyarakat perambah. Jumlah masyarakat di
kawasan tersebut sampai tahun 2009 mencapai 2.837 KK dengan jumlah
penduduk 12.956 jiwa dengan latar belakang etnis didominasi oleh suku Jawa
dan Bali serta sebagian kecil suku Komering, Sunda, Batak dan Padang (Dishut
OKI, 2009).
Pada awalnya penduduk sekitar kawasan melakukan perambahan hanya
sekedar untuk ikut “numpang usaha” setelah melihat adanya kegiatan
penanaman yang dilakukan oleh PT Sama Jaya Nugraha. Hal ini dapat dilihat
dari pola pengelolaan hasil yang mereka dapatkan dari usaha di dalam kawasan
tersebut yang sebagian besar digunakan untuk membeli aset dan juga memulai
usaha diluar kawasan, sedangkan di dalam kawasan mereka membuat
bangunan yang bersifat darurat untuk berjaga-jaga jika mereka diusir dari
kawasan tersebut. Namun dengan tidak adanya respon dan tindakan dari pihak
pemegang konsesi dan pemerintah serta semakin banyaknya masyarakat yang
masuk dan juga semakin beragamnya latar belakang sosial dan budaya
masyarakat menjadikan hal tersebut kemudian bergeser, mereka mulai
membangun pemukiman semi permanen dan bahkan beberapa diantaranya
sudah mulai membangun bangunan permanen. Keyakinan mereka untuk
bermukim secara permanen semakin kuat ketika pada tahun 2008 mereka
mendapatkan janji dari bupati di daerah tersebut bahwa akan ada penyelesaian
44
masalah kawasan tersebut dan juga diperbolehkan untuk ikut dalam pemilukada
yang diadakan pada waktu itu.
Mata pencaharian utama dari masyarakat dikawasan tersebut adalah
petani baik petani padi maupun petani karet. Mereka menggarap lahan kawasan
yang mereka kuasai yang didapatkan dari “membeli” lahan tersebut dari
koordinator perambah. Karena adanya proses jual beli tersebut pada akhirnya
ada beberapa perambah yang memiliki lahan sangat luas. Selain bertani,
aktivitas masyarakat yang lain untuk mencari nafkah adalah berdagang, menjadi
buruh tani, dan wiraswasta.
Akses ke kawasan tersebut sangat mudah karena berada di tepi jalan trans
nasional Lintas Timur Sumatera. Jarak terjauh kawasan tersebut dengan kota
kecamatan sekitar 18 km sedangkan jarak terdekat cuma 1 km. Untuk mencapai
bagian terdalam kawasan tersebut tidak terlalu sulit karena hampir semua jalan
yang ada di dalam kawasan tersebut sudah diperkeras oleh masyarakat
sehingga dapat dilewati dengan kendaraan roda empat. Jalan tersebut bekas
jalan hutan yang dibuat oleh PT Inhutani V sewaktu melakukan pembukaan
wilayah hutan. Selain itu pemeliharaan jalan juga secara swadaya rutin dilakukan
oleh masyarakat setempat. Beberapa jembatan permanen juga sudah secara
swadaya dibangun oleh masyarakat. Kondisi tersebut menjadi salah satu
penyebab pesatnya perkembangan ekonomi masyarakat di dalam kawasan
tersebut dan juga naiknya “harga jual” tanah di daerah tersebut yang mencapai
100 juta rupiah per hektar bila sudah ditanami dengan tanaman karet.
Fasilitas kantor pos, sarana kesehatan, sarana ekonomi (pasar dan
lembaga perkreditan) berada di luar komunitas walaupun letaknya tidak terlalu
jauh (± 1 km). Kendati demikian akses mereka terhadap pelayanan di bidang
tersebut sangat mudah. Hal disebabkan perkembangan perekonomian di dalam
kawasan yang sangat pesat menyebabkan penyedia pelayanan kesehatan,
ekonomi, komunikasi dan yang lainnya melakukan ekspansi pemasaran kedalam
kawasan tersebut (jemput bola).
Lembaga pendidikan yang terdapat didalam kawasan tersebut adalah
Sekolah Dasar sebanyak 4 unit dan Madrasah Ibtidaiyah sebanyak 3 unit.
Sarana pendidikan non formal yaitu pondok pesantren 2 unit dan TPA 2 unit.
Untuk melanjutkan pendidikan ketingkat yang lebih tinggi masyarakat harus
keluar dari kawasan dengan jarak ± 2 km (Desa Muara Burnai II dan Desa Lubuk
45
Seberuk). Dalam tiga tahun terakhir masyarakat di Kawasan tersebut merasakan
membaiknya mutu pelayanan pendidikan.
Akses masyarakat terhadap informasi dan komunikasi semakin membaik
dalam tiga tahun terakhir. Hampir semua media komunikasi dapat diakses oleh
masyarakat. Media yang paling sering digunakan masyarakat dalam
mendapatkan informasi adalah televisi yang hampir setiap hari ditonton.
Sedangkan yang jarang di gunakan adalah surat kabar dan internet. Akses
terhadap internet sebenarnya bisa dilakukan oleh masyarakat melalui jaringan
selular yang telah tersedia di dalam kawasan tersebut namun hanya masyarakat
yang masih berusia muda dengan latar belakang pendidikan yang cukup tinggi
yang mulai memanfaatkannya.
Kondisi perekonomian masyarakat dalam tiga tahun terakhir meningkat
pesat seiring semakin meningkatnya harga komoditas karet yang merupakan
komoditas utama di dalam kawasan tersebut. Pendapatan rata-rata masyarakat
setiap bulannya adalah Rp1.500.000 - Rp2.000.000 (hasil FGD dengan tokoh
masyarakat). lapangan pekerjaan juga sangat mudah untuk didapatkan bahkan
beberapa masyarakat merasakan kekurangan tenaga kerja untuk mengolah
lahan yang mereka kuasai.
Sarana dan prasarana produksi pertanian seperti lahan, alat-alat pertanian,
bibit, dan pupuk relatif mudah untuk didapatkan. Permasalahan yang dalam
sarana dan prasarana pertanian ini adalah masalah lahan dan pupuk. Lahan
yang mereka kerjakan pada saat ini merupakan kawasan hutan produksi milik
negara. Karena permasalahan kepemilikan tersebut maka saat ini masyarakat
kesulitan untuk memperoleh tambahan lahan walaupun masih terdapat lahan
kosong (± 300 ha) di dalam kawasan tersebut namun mereka belum berani
menggarap lahan tersebut dikarenakan lahan tersebut dijaga ketat oleh aparat
kehutanan. Untuk membeli lahan di kawasan tersebut sudah diluar jangkauan
masyarakat karena harganya sudah sangat mahal. Sedangkan permasalahan
pupuk terletak pada masalah distribusi pupuk anorganik yang kurang merata dan
tidak tepat waktu. Pada saat masyarakat memerlukan pupuk dalam jumlah
banyak terkadang pupuk tersebut tiba-tiba menghilang dari pasaran sehingga
harganya menjadi naik.
Dalam tiga tahun terakhir ini masyarakat merasakan perbaikan dalam
fasilitas penerangan. Mereka mulai dapat menikmati pelayanan fasilitas listrik
negara (PLN) walaupun pada saat-saat tertentu masih terjadi pengurangan arus
46
saat jam puncak pemakaian (18.00 – 21.00 WIB). Untuk memenuhi kebutuhan
air bersih masyarakat menggunakan sumur. Kualitas dan kuantitas air sumur
dalam tiga tahun terakhir ini tetap. Masyarakat tidak dilayani oleh sistem
pengumpulan sampah. Mereka membuang sampah dengan cara membakar atau
menimbun di dalam tanah. Fasilitas rekreasi yang dimiliki oleh masyarakat hanya
lapangan olah raga. Untuk rekreasi mereka biasanya harus keluar dari
lingkungan komunitas dan ini pun jarang dilakukan.
Masalah lingkungan yang ada di dalam komunitas adalah banjir dan
kualitas air sumur. Banjir setiap tahun pasti terjadi terutama di bagian Utara
kawasan yang juga merupakan daerah rawa pasang surut. Untuk mengurangi
dampak banjir tersebut masyarakat tidak menebangi pohon-pohon yang terletak
dipinggir-pinggir sungai supaya arus banjir tidak terlalu kuat dan secara swadaya
mereka juga membuat tanggul-tanggul penahan banjir dari karung pasir.
Sedangkan kualitas air sumur yang sedikit berminyak dan keruh pada waktu
musim hujan terdapat di daerah-daerah lebak (bekas lahan rawa) yang terdapat
di bagian Utara kawasan. Untuk daerah-daerah talang (lahan kering) kualitas air
sumur biasanya masih bagus.
Budaya masyarakat yang berkembang di dalam kawasan adalah budaya
masyarakat agraris yang menggantungkan hidupnya dari lahan pertanian baik
sawah maupun pertanian lahan kering. Di dalam kawasan terdapat tiga bentuk
pengelolaan lahan sebagai bentuk budaya masyarakat agraris yaitu:
a Sawah
Berupa pertanian lahan basah yang dilakukan tanpa melakukan
pergiliran tanaman. Tanaman utama yang dibudidayakan adalah padi dengan
mengandalkan sumber air yang berasal dari hujan (tadah hujan) yang disalurkan
melalui jaringan iriigasi sederhana yang dibuat secara swadaya oleh petani.
Dalam melakukan budidaya padi ini terdapat tahapan-tahapan yang dilakukan
oleh petani yaitu penyiapan lahan (mencangkul, ngluku, nggaru), pembenihan,
penanaman, pemupukan, pendangiran, dan pemanenan.
b Sawah Pasang Surut/Lebak
Berupa pertanian lahan basah yang dilakukan di areal rawa. Tanaman
utama yang dibudidayakan adalah padi yang ditanam pada musim kemarau
ketika lahan rawa tersebut mulai surut dan kering. Dalam pengolahan tanah di
lahan ini tidak dikenal mencangkul, nggaru dan ngluku namun yang ada adalah
nebas atau pembersihan lahan dari ganggang dan tanaman air yang biasanya
47
dilakukan pada saat areal tersebut masiih berair tetapi sudah mulai mendangkal.
Pemupukan juga tidak dilakukan pada tanaman padi demikian juga penyiangan
hanya dilakukan sesekali.
c Kebun
Kebun yang diusahakan adalah pertanian lahan kering dengan tanaman
utama adalah karet. Tahapan pengolahan lahan kebun dimulai dari penyiapan
lahan, pembuatan lobang tanam, penanaman, pemupukan, penyiangan dan
pemanenan (penyadapan getah dan penebangan kayu).
Dalam beberapa tahun terakhir terjadi pergeseran yang cukup besar di
dalam pola pemanfaatan lahan tersebut. Pada awal perambahan masyarakat
cenderung untuk bersawah namun seiring dengan perubahan dalam harga
komoditas dan juga ketersediaan tenaga kerja mereka mulai berkebun karet.
Perubahan tersebut dapat terlihat dalam Tabel 8.
Tabel 8 Perubahan penggunaan lahan Kawasan Hutan Produksi Terusan Sialang
No Penggunaan lahan Tahun 2001 Tahun 2009 Luas (ha) Luas (ha) 1 Pemukiman 396 3962 Lahan garapan tanaman
berkayu (karet) 250 5.204
3 Lahan garapan tanaman semusim (padi)
5.049 2.400
4 Lainnya 2.305 0 8.000 8.000
Sumber : Kantor Transmigrasi Kabupaten OKI (2001) dan Dinas Kehutanan Kabupaten OKI (2009)
Kebanyakan masyarakat yang mendiami Kawasan Hutan Produksi
Terusan Sialang mempunyai hubungan kekerabatan yang dekat seperti saudara,
anak, menantu dan teman dekat. Pada umumnya mereka merupakan keturunan
para transmigran yang ditempatkan di daerah yang sekitar Kabupaten Ogan
Komering Ilir, Kabupaten Ogan Komering Ulu dan Propinsi Lampung. Kedekatan
hubungan kekerabatan tersebut menjadikan suasana kekeluargaan yang kental
sangat terasa di dalam komunitas masyarakat tersebut.
Secara umum norma yang berlaku di dalam kawasan tersebut adalah
norma-norma budaya bali yang ditandai dengan diberlakukannya denda pada
setiap pelanggaran norma. Hal ini dilatarbelakangi oleh keberhasilan
kepemimpinan orang-orang bali dalam proses penguasaan lahan tersebut.
Dalam perjalanan proses penjarahan kawasan tersebut beberapa kali masuk
48
pihak-pihak yang akan mengkoordinir kegiatan di kawasan tersebut. Namun
dalam kenyataannya mereka hanya berusaha untuk mengambil keuntungan
setelah itu meninggalkan para petani tersebut sampai akhirnya di tahun 2002
sempat terjadi gejolak yang cukup besar yang terjadi karena masyarakat yang
sudah tidak tahan ditekan oleh pihak-pihak tersebut melakukan perlawanan yang
dikoordinir oleh masyarakat bali. Sejak saat itu masyarakat bali menjadi
pemimpin di dalam komunitas tersebut.
Beberapa karakteristik budaya yang terlihat dalam kebiasaan dan
pergaulan masyarakat di kawasan tersebut diantaranya:
a Aturan yang ketat terhadap pelanggaran larangan seperti yang berlaku di
bali. Pelanggaran seperti pencurian, berzina, merampok dan perbuatan
yang meresahkan masyarakat dapat menyebabkan mereka diusir dari
kawasan tersebut dan lahannya dirampas oleh komunitas.
b Toleransi yang tinggi. Walaupun berlaku “hukum bali” namun mereka tidak
mencampuradukkan masalah agama. Komunitas masyarakat muslim yang
merupakan mayoritas mempunyai kegiatan pengajian Yasinan yang rutin
dilaksanakan setiap malam Jumat dan dihadiri juga oleh tokoh masyarakat
bali. Dalam melaksanakan hajatan orang bali juga mengundang orang
yang beragama lain namun pada hari yang berbeda karena masakan yang
disajikan juga berbeda.
c Sikap saling menghormati yang tinggi. Mayoritas penduduk yang ada
adalah masyarakat jawa namun mereka menghormati kepemimpinan
masyarakat bali dalam komunitas yang jumlahnya lebih kecil. Dalam
kehidupan sehari-hari adat istiadat jawa yang dilaksanakan oleh orang
jawa juga sangat didukung oleh orang bali. Beberapa suku minoritas yang
ada di dalam kawasan juga merasakan bahwa mereka dapat dengan
bebas melaksanakan adat masing-masing tanpa ada gangguan selama
mereka tidak mengganggu orang lain.
d Tingkat solidaritas yang tinggi. Budaya sambatan (gotong royong) sangat
mudah dijumpai dalam komunitas. Dalam mendirikan rumah, memelihara
jalan, membangun jembatan dan kegiatan lainnya mereka selalu
melakukan sambatan. Bahkan untuk kegiatan-kegiatan yang sifatnya
untuk kepentingan bersama yang tidak mengikuti kegiatan sambatan ini
akan dikenakan denda sepuluh ribu rupiah perhari.
49
5.2 Karakteristik Individu Masyarakat di Kawasan Hutan Produksi Terusan Sialang
Karakteristik individu masyarakat didalam Kawasan Hutan Produksi
Terusan Sialang yang diidentifikasi meliputi: umur, pendidikan formal, pendidikan
non formal, pendapatan, tingkat kesehatan, luas lahan, lama tinggal, status
sosial, suku bangsa dan asal domisili.
5.2.1 umur Salah satu faktor yang mempengaruhi produktifitas seseorang dalam
melaksanakan pekerjaannya adalah umur. Dari 119 responden rumah tangga
yang diwawancarai sebagian besar berada pada tahap umur yang sangat
produktif sebagaimana dapat dilihat dalam Tabel 9.
Tabel 9 Sebaran kelompok umur responden
No. Kelompok umur (tahun)
Kategori Skor Jumlah (orang)
Persentase (%)
1 2 3
Kurang dari 30 30 s/d 50 Lebih dari 50
Rendah Sedang Tinggi
1 2 3
33 62 24
27,7452,1020,16
Jumlah 119 100,00
Tabel 9 menunjukkan bahwa sebagian besar masyarakat berada pada
umur yang produktif yang merupakan salah satu faktor pendorong dalam
perkembangan perekonomian di kawasan tersebut.
5.2.2 Tingkat Pendidikan Formal Pendidikan merupakan suatu proses yang berpengaruh pada
pembentukan sikap dan perilaku, karena pendidikan meletakkan dasar
pengetahuan dan konsep moral dalam diri individu. Konsep moral akan
menentukan sikap dan perilaku seseorang (Saefudin 1988). Tingkat pendidikan
formal masyarakat di dalam kawasan tersebut berdasarkan hasil survey terhadap
responden menunjukkan bahwa mayoritas masyarakat mempunyai tingkat
pendidikan yang rendah. Mayoritas responden (56,30%) tidak sekolah atau
hanya tamat SD dan hanya sedikit (13,44%) yang tamat SMA, akademi atau
perguruan tinggi (Tabel 10).
50
Tabel 10 Sebaran tingkat pendidikan formal responden
No. Pendidikan formal Kategori Skor Jumlah (orang)
Persentase (%)
1 2 3
Tidak sekolah atau tamat SD Tamat SLTP atau sederajat Tamat SLTA, akademi atau perguruan tinggi
Rendah Sedang Tinggi
1 2 3
673616
56,30 30,25 13,45
Jumlah 119 100,00
Rendahnya tingkat pendidikan formal di dalam kawasan ini disebabkan
oleh kurangnya kesadaran masyarakat akan fungsi dan tujuan pendidikan.
Padahal Sidu (2006) menyatakan bahwa hasil dari pendidikan yang baik akan
meningkatkan produktivitas dan kemungkinan untuk mendapatkan penghasilan
yang lebih baik. Namun hal tersebut belum disadari oleh masyarakat dan pola
pikir masyarakat masih tertumpu pada bagaimana mereka dapat bertahan dalam
bidang perekonomian, walaupun sebenarnya tingkat pendidikan masyarakat ini
sudah jauh berkembang dibandingkan dengan data yang ada pada tahun 2001
(Tabel 11) seiring dengan semakin membaiknya tingkat perekonomian
masyarakat. Suharto (2007) menyatakan bahwa peningkatan kemampuan
intelektual, spiritual dan emosional yang didapatkan melalui pendidikan
merupakan faktor kunci dalam peningkatan modal manusia dan berkorelasi
positif dengan kemajuan pembangunan sektor makronya.
Tabel 11 Tingkat pendidikan formal masyarakat di Kawasan Hutan Produksi terusan Sialang tahun 2001
No. Tingkat Pendidikan Persentase (%)
1 2 3
Tidak sekolah atau tamat SD Tamat SLTP atau sederajat Tamat SLTA, akademi atau perguruan tinggi
96,98 2,82 0,20
Jumlah 100,00 Sumber: Kantor Transmigrasi Kabupaten OKI (2001)
5.2.3 Tingkat Pendidikan Non formal Tingkat pendidikan non formal masyarakat responden pada umumnya
masih rendah (Tabel 12). Pendidikan non formal masyarakat diperoleh dari
kegiatan kursus, pelatihan dan bimbingan teknis yang pernah diikuti.
51
Tabel 12 Sebaran tingkat pendidikan non formal responden
No.
Pendidikan non formal (kali)
Kategori Skor Jumlah (orang)
Persentase (%)
1 2 3
Tidak pernah 1 s/d 3 Lebih dari 3
Rendah Sedang Tinggi
1 2 3
105 12
2
88,2410,08
1,68 Jumlah 119 100,00
Tujuan pendidikan baik formal dan non formal adalah untuk memberikan
tambahan pengetahuan, ketrampilan dan juga sikap masyarakat. Sidu (2006)
menyatakan bahwa untuk memperkuat pemberdayaan masyarakat sangat
diperlukan usaha-usaha untuk menambah pengetahuan dan ketrampilan
masyarakat dan hal itu dapat dilakukan melalui pendiidikan baik formal maupun
non formal.
5.2.4 Tingkat Pendapatan Tingkat pendapatan masyarakat pada rata-rata berada pada tingkat yang
sedang (Tabel 13). Tingkat pendapatan masyarakat di dalam kawasan tersebut
secara umum masih berada di atas upah minimum provinsi sebesar Rp1.195.220
dan juga kebutuhan hidup minimum provinsi sebesar Rp1.311.000. Berdasarkan
hal tersebut dapat diketahui bahwa masyarakat yang berada di dalam kawasan
tersebut mempunyai tingkat penghasilan yang cukup memadai. Hal ini
dikarenakan dalam beberapa tahun terakhir ini mereka mulai membudidayakan
tanaman karet yang harganya cukup baik. Secara umum dari 1 hektar lahan
tanaman karet yang sudah berproduksi secara optimal mampu menghasilkan 2,5
juta s/d 3, juta rupiah per bulan. Sedangkan masyarakat yang masih
membudidayakan padi mempunyai tingkat penghasilan yang lebih rendah yaitu
antara 3,9 juta s/d 12,3 juta rupiah per tahun tergantung kondisi sawah. Kondisi
tersebut menyebabkan saat ini banyak areal sawah yang mulai ditanami dengan
tanaman karet.
Tabel 13 Sebaran tingkat pendapatan responden
No.
Tingkat pendapatan (Rp)/bulan
Kategori Skor Jumlah (orang)
Persentase (%)
1 2 3
<1.000.000 1.000.000 – 2.000.000 >2.000.000
Rendah Sedang Tinggi
1 2 3
28 51 40
23,5247,8733,61
Jumlah 119 100,00
52
Masyarakat dengan penghasilan tinggi merupakan kelompok masyarakat
yang membudidayakan tanaman karet. Mereka pada umumnya adalah para
pemilik lahan dengan luas lebih dari 2 ha. Sedangkan masyarakat yang
mempunyai penghasilan rendah adalah masyarakat yang tinggal di daerah lebak
yang membudidayakan padi di lahan mereka. Namun dari pengamatan di
lapangan didapati bahwa masyarakat saat ini sudah mulai menanami lahan padi
tersebut dengan tanaman karet. Beberapa masyarakat mempunyai penghasilan
yang sangat tinggi (lebih dari 10 juta/bulan) dikarenakan mereka mempunyai
kebun karet yang luas ( lebih dari 10 ha).
5.2.5 Tingkat Kesehatan Mayoritas masyarakat berada dalam kondisi kesehatan yang baik. Dari 119
responden hanya 2 responden atau 1,68% yang sedang mengalami sakit yang
berat dan menyebabkan mereka harus rutin berobat sedangkan mayoritas
(73,95%) berada dalam kondisi kesehatan yang tinggi (tidak pernah sakit atau
sakit ringan kurang dari 3 kali dalam setahun) (Tabel 14).
Tingkat kesehatan yang tinggi akan meningkatkan produktivitas
masyarakat karena akan menambah jam kerja dan kemampuan fisik masyarakat.
Seperti yang dikemukakan oleh Todaro dan Smith (2003) dalam Sidu (2006)
bahwa pendidikan dan kesehatan merupakan tujuan pembangunan yang
mendasar yang keduanya merupakan bentuk dari modal manusia (human
capital) yang menjadi fundamental untuk membentuk kapabilitas manusia yang
lebih luas yang berada pada inti makna pembangunan. Kesehatan merupakan
inti dari kesejahteraan dan pendidikan adalah hal yang pokok untuk menggapai
kehidupan yang memuaskan dan berharga.
Tabel 14 Sebaran tingkat kesehatan responden
No.
Tingkat kesehatan
Kategori Skor Jumlah (orang)
Persentase (%)
1
2
3
> 6 kali sakit/tahun/menderita penyakit menahun/sakit parah Sakit ringan 3 – 6 kali dalam setahun Tidak pernah sakit atau sakit ringan < 3 kali dalam setahun
Rendah Sedang Tinggi
1
2
3
2
9
88
1,68
24,37
73,95
Jumlah 119 100,00
53
5.2.6 Luas Lahan Garapan Pada awal terbentuknya komunitas masyarakat di dalam kawasan hutan
rata-rata masyarakat mendapatkan 2 ha lahan untuk digarap. Kemudian terjadi
proses jual beli antar masyarakat sehingga sekarang luasan lahan garapan
menjadi beragam. Terdapat anggota masyarakat yang mempunyai luas lahan
garapan sampai dengan 24 ha dan juga ada masyarakat yang hanya mempunyai
0,5 ha. Masyarakat yang mepunyai lahan yang luas biasanya adalah para
pemukim lama yang bertahan dan membeli lahan-lahan yang ditinggalkan/dijual
oleh masyarakat lain. Sedangkan yang mempunyai lahan yang sempit adalah
masyarakat yang datang belakangan atau mereka yang mendapatkan lahan
pembagian (warisan) dari orang tua mereka. Hampir semua masyarakat
menggarap lahannya sendiri. Namun di beberapa areal terdapat lahan-lahan
yang dimiliki oleh orang diluar kawasan. Biasanya mereka mengupah orang
untuk menggarap dan menunggu lahan tersebut.
Tabel 15 Sebaran luas lahan garapan responden
No.
Luas lahan (ha)
Kategori Skor Jumlah (orang)
Persentase (%)
1 2 3
< 1 1 s/d 2 >2
Rendah Sedang Tinggi
1 2 3
41 50 28
34,4542,0223,53
Jumlah 119 100,00
Status lahan mempengaruhi konsep diri seseorang terutama dalam
menentukan jenis produksi dan pendapatan yang diperoleh dari usaha di lahan
tersebut (Susiatik 1998). Masyarakat menyadari bahwa lahan yang selama ini
mereka tempati adalah kawasan hutan negara. Selama ini mereka telah
berusaha beberpa kali untuk melegalkan keberadaan mereka di dalam kawasan
tersebut melalui beberapa LSM/LBH diantaranya LBH Arwan (1999), LBH Andi
Amir (2002), BL Citra (2004) dan Forum Masyarakat (2006). Namun hampir
semua usaha tersebut tidak berhasil dan bahkan pada tahun 2002 terjadi
kerusuhan yang mengakibatkan jatuhnya korban jiwa. Usaha masyarakat
tersebut akhirnya difasilitasi oleh pemerintah daerah Kabupaten OKI dengan
mengusulkan areal tersebut menjadi areal pencadangan HTR.
Program pembangunan HTR ini mendapatkan sambutan positif oleh
masyarakat yang ditandai dengan pengajuan usulan mereka pada tahun 2009
54
melalui Koperasi karyawan Inhutani V namun usulan tersebut tidak lolos verifikasi
oleh BPPHP Wilayah V Palembang. Usaha lanjutan masih tetap dilakukan
dengan membentuk Koperasi baru yaitu Koperasi Masyarakat Pemberdayaan
Hutan (Komasperhut) dan juga Kelompok Tani Hutan Jelutung, Karet, Rengas,
Gelam dan Wana Krida namun sampai saat ini belum ada kejelasan tentang
usulan tersebut.
Masyarakat di kawasan tersebut sebenarnya tidak terlalu risau dengan
status kawasan karena mereka sudah lama bermukim dan tidak mendapatkan
permasalahan selama ini. Kejelasan status lahan garapan mereka perlukan
untuk beberapa alasan yaitu menaikkan tingkat perekonomian di kawasan
tersebut (harga tanah dan komoditas), memperoleh hak-hak kependudukan dan
mendapatkan akses pelayanan umum yang lebih baik.
5.2.7 Lama Tinggal Sebagian besar responden tinggal di kawasan tersebut lebih dari 10
tahun (58,,82%) yaitu antara tahun 1997 sampai dengan tahun 2002 pada saat
muali dilakukannya perambahan secara besar-besaran di kawsan tersebut.
Hanya sebagian kecil saja yang tinggal dikawasan tersebut kurang dari lima
tahun (11,77%). Sebaran responden berdasarkan lama tinggal dapat dilihat
dalam Tabel 16.
Tabel 16 Sebaran lama tinggal responden
No.
Lama tinggal (tahun)
Kategori Skor Jumlah (orang)
Persentase (%)
1 2 3
< 5 5 s/d 10
>10
Rendah Sedang Tinggi
1 2 3
143570
58,82 29,41 11,77
Jumlah 119 100,00
5.2.8 Status Sosial Status sosial menunjukkan tingkat penghargaan masyarakat kepada
individu yang bersangkutan dalam kelompok masyarakat. Status sosial
responden dapat dilihat dalam Tabel 17.
55
Tabel 17 Sebaran status sosial responden
No.
Status Sosial
Kategori Skor Jumlah (orang)
Persentase (%)
1
2
3
Masyarakat miskin/jika pendapatan dibawah rata-rata dan atau memiliki lahan yang sempit dan tau bukan tokoh masyarakat/adat/ agama/pegawai pemerintah. Masyarakat kebanyakan/jika pendapatan dan atau lahan diantara rata-rata dan atau tokoh masyarakat/adat/agama/pegawai pemerintah tingkat rendah Orang kaya/jika pendapatannya diatas rata-rata dan atau memiliki lahan yang luas dan atau tokoh masyarakat/adat/agama/pegawai pemerintah tingkat tinggi
Rendah
Sedang
Tinggi
1
2
3
23
67
29
19,33
56,30
24,37
Jumlah 119 100,00
Status sosial ini umumnya ditentukan oleh kedudukan seseorang dalam
masyarakat. Untuk menjaga keutuhan sosial orang wajib bertindak sesuai status
masing-masing karena nilai keharmonisan, keselarasan dan keseimbangan
dalam struktur sosial berguna untuk kelangsungan hidup bersama (Lawang
2005).
5.2.9 Suku Bangsa Mayoritas responden merupakan suku Jawa dan Bali yang memang
paling banyak terdapat di dalam kawasan tersebut (89,08%). Sedangkan suku
minoritas adalah suku-suku diluar suku Jawa, Bali dan Komering yang terdiri dari
suku Sunda, Batak dan Padang/Minang sebesar 4,2%. Sebaran responden
berdasarkan suku bangsa dapat dilihat pada Tabel 18.
Tabel 18 Sebaran suku bangsa responden
No.
Suku Bangsa
Kategori Skor Jumlah (orang)
Persentase (%)
1 2 3
Minoritas (lainnya) Setempat (Komering) Mayoritas (Jawa dan Bali)
Rendah Sedang Tinggi
1 2 3
5 8
106
4,206,72
89,08 Jumlah 119 100,00
56
Karakteristik individu dalam hal suku bangsa ini menjadi penting
dikarenakan adanya kecenderungan kepercayaan yang lebih besar apabila
anggota masyarakat tersebut berasal dari suku bangsa yang sama. Keinginan
untuk bekerjasama dan saling membantu juga lebih besar pada anggota
masyarakat dengan suku bangsa yang sama (Suandi 2007)
5.2.10 Asal Domisili
Asal domisili responden didominasi oleh pemukim yang perasal dari luar
kabupaten karena (55,46%) memang letak kawasan tersebut lebih dekat dengan
kota Belitang Kabupaten OKUT yang merupakan daerah transmigrasi yang
berhasil dibandingkan dengan jarak dari kota Kayu Agung (ibukota Kabupaten
OKI). Sedangkan pemukim yang berasal dari daerah setempat hanya 14,28%.
Sebaran asal domisili pemukim tersebut dapat dilihat pada Tabel 19.
Tabel 19 Sebaran asal domisili responden
No.
Asal domisili
Kategori Skor Jumlah (orang)
Persentase (%)
1 2 3
Luar propinsi Luar kabupaten Setempat (dalam kabupaten)
Rendah Sedang Tinggi
1 2 3
366617
30,25 55,46 14,29
Jumlah 119 100,00 5.3 Penilaian Karakteristik Individu Untuk mengetahui kelemahan dan kekuatan dalam karakteristik individu
maka dilakukan penilaian karakteristik individu responden. Karakteristik individu
yang berada pada kategori tinggi menandakan adanya kekuatan sedangkan
yang termasuk dalam kategori rendah menandakan adanya kelemahan dalam
karakteristik individu tersebut. Hasil penilaian karakteristik individu responden
dapat dilihat pada Tabel 20.
Dari penilaian tersebut dapat diketahui bahwa karakteristik individu yang
berada pada kategori rendah adalah pendidikan non formal, yang berada pada
kategori sedang adalah umur, pendidikan formal, luas lahan, pendapatan, lama
tinggal, status sosial dan asal domisili, sedangkan yang berada pada kategori
tinggi adalah suku bangsa. Berdasarkan persamaan selang nilai dari 119 responden dengan Xmax =
30 dan Xmin = 10 dan jumlah kelas 3 (rendah, sedang dan tinggi) didapatkan
57
lebar kelas adalah 6,67. Maka skala penilaian karakteristik individu untuk
masyarakat Kawasan Hutan Produksi Terusan Sialang adalah
1. Karakteristik individu rendah bila jumlah skor ≤ 16,67
2. Karakteristik individu sedang bila jumlah skor 16,67 – 23,33
3. Karakteristik individu tinggi bila jumlah skor ≥ 23,33
Tabel 20 Penilaian karakteristik individu responden No. Karakteristik Individu Skor Rata-rata
skor Keterangan Skor
1 Umur 247 2,07≈ 2 1 : usia muda 2 : usia sedang 3 : usia tua
2 Pendidikan formal 187 1,57≈ 2 1 : pendidikan rendah 2 : pendidikan sedang 3 : pendidikan tinggi
3 Pendidikan Non formal 135 1,13≈ 1 1 : pendidikan rendah 2 : pendidikan sedang 3 : pendidikan tinggi
4 Pendapatan 250 2,10≈ 2 1 : pendapatan rendah 2 : pendapatan sedang 3 : pendapatan tinggi
5 Tingkat kesehatan 324 2,72≈ 3 1 : kesehatan rendah 2 : kesehatan sedang 3 : kesehatan tinggi
6 Luas lahan 225 1,89≈ 2 1 : lahan sempit 2 : lahan sedang 3 : lahan luas
7 Lama tinggal 294 2,47≈ 2 1: lama tinggal rendah 2: lama tinggal sedang 3: lama tinggal tinggi
8 Status sosial 244 2,05≈ 2 1: status sosial rendah 2: status sosial sedang 3: status sosial tinggi
9 Suku bangsa 339 2,85≈ 3 1: suku mayoritas 2: suku setempat 3: suku minoritas
10 Asal Domisili 219 1,84≈ 2 1: asal luar propinsi 2: asal luar kabupaten 3: asal setempat
Jumlah 2.464 20,70
Karakteristik individu berdasarkan penilaian pada Tabel 20 adalah 20,70
berarti termasuk dalam kategori sedang. Sebaran tingkat karakteristik individu
masyarakat dapat dilihat pada Tabel 25. Data tingkat karakteristik individu
responden dapat dilihat dalam Lampiran 3.
58
Tabel 21 Sebaran karakteristik individu responden
No. Kategori karakteristik individu Selang nilai Jumlah (orang)
Persentase (%)
1 2 3
Rendah Sedang Tinggi
< 17 17 – 23
>23
108326
9,09 75,45 23,64
Jumlah 119 100,00
Penilaian karakteristik individu ini menjadi penting karena tingkat
karakteristik individu sangat berpengaruh terhadap tingkat modal manusia.
Sementara saat ini diketahui bahwasanya modal manusia merupakan salah satu
faktor utama yang menunjang keberhasilan pembangunan (Sidu 2006). Hal
senada juga dinyatakan oleh Fukuyama (2007) dan Coleman (1998) yang
menyatakan bahwa modal manusia dalam bentuk pendidikan dan ketrampilan
justru lebih mendominasi dalam menentukan keberhasilan pembangunan
dibandingkan modal yang berwujud fisik seperti teknologi, tanah, bangunan,
mesin-mesin dan sebagainya.
5.4 Unsur-Unsur Pembentuk Modal Sosial Unsur-unsur modal sosial yang diukur dalam komunitas masyarakat di
Kawasan Hutan Produksi Terusan Sialang terdiri dari kepercayaan, norma sosial,
jaringan sosial, tindakan proaktif dan kepedulian. Untuk tingkatan unsur modal
sosial menggunakan 4 tingkatan modal sosial Uphoff (2000) yaitu minimum,
rendah, sedang dan tinggi.
5.4.1 Kepercayaan Fukuyama (2007) menyatakan bahwa kepercayaan adalah sikap saling mempercayai masyarakat sedangkan Sidu (2006) mendifinisikan Kepercayaan antar sesama adalah suatu keyakinan yang dimiliki seseorang untuk mempersepsikan seseorang atau suatu keadaan berdasarkan perasaan dan kondisi yang dialami. Grotaert et al (2004) menyatakan bahwa kepercayaaan merupakan unsur modal sosial yang sulit untuk diukur karena mempunyai arti yang sangat luas dan berbeda bagi setiap individu oleh karenanya diperlukan croscek dan juga memperluas cakupan kepercayaan yaitu kepercayaan terhadap individu, institusi dan bisnis. Penilaian Kepercayaan masyarakat di Kawasan Hutan Produksi Terusan Sialang meliputi tingkat kepercayaan terhadap orang sekitar di dalam komunitas, orang dengan etnis yang sama tetapi di luar komunitas, orang dengan etnis yang berbeda baik di dalam maupun di luar
59
komunitas, aparat pemerintah, kepolisian, tokoh masyarakat/adat, tokoh agama, pihak luar (LSM/swasta, instansi-instansi terkait dengan pelaksanaan program pembangunan HTR) serta tingkat kepercayaan masyarakat dalam hal pinjam-meminjam uang/barang. Tingkat kepercayaan masyarakat berdasarkan kuisioner dapat dilihat dalam Tabel 21. Selang nilai kepercayaan dengan Xmax=36, Xmin=12 dan n=4 adalah 6 sehingga tingkat kepercayaan masyarakat dapat dibagi menjadi: a tingkat kepercayaan minimum jika skor ≤ 18 b tingkat kepercayaan rendah jika skor 19 s/d 24 c tingkat kepercayaan sedang jika skor 25 s/d 30 d tingkat kepercayaan tinggi jika skor ≥ 30 Berdasarkan Tabel 21 di dapatkan bahwa skor rata-rata masyarakat adalah 32,28 sehingga termasuk dalam kategori tinggi. Masyarakat mempunyai tingkat kepercayaan yang tinggi terhadap komunitas di sekitarnya. Dalam hal pinjam-meminjam mereka mempunyai kepercayaan yang tinggi bahkan terhadap pihak luar (tengkulak karet). Kepercayaan masyarakat agak rendah terhadap pihak luar terutama LSM dikarenakan pengalaman mereka yang kurang baik dengan keberadaan LSM di daerah tersebut. Tingginya tingkat kepercaaan tersebut merupakan potensi yang besar dalam menunjang kemajuan masyarakat.
Tingginya tingkat kepercayaan antar masyarakat ini tidak terlepas dari status mereka di dalam kawasan tersebut. Untuk menghadapi tekanan pihak luar yang ingin mengusir mereka dari dalam kawasan tersebut mereka harus membangun kepercayaan diantara mereka. Berbagai gejolak pernah terjadi di dalam kawasan itu dan puncaknya adalah peristiwa yang diakibatkan oleh LBH Andi Amir pada tahun 2002 yang menelan 4 korban jiwa menyebabkan mereka mulai membangun kepercayaan yang tinggi diantara mereka supaya tidak terulang kembali. Tingginya tingkat kepercayaan masyarakat ini juga tidak terlepas dari ketatnya penerapan norma yang tegas didalam pergaulan sehari-hari juga perasaan senasib sepenanggungan yang mereka hadapi.
Dalam hal pinjam meminjam sebagian besar masyarakat meminjam uang kepada para tengkulak karet/kelompok timbang karet (73,11%), kemudian kepada saudara (14,29%) dan terakhir kepada tetangga (12,60%). Dari Tabel 26, diketahui bahwa masyarakat masih percaya kepada lingkungan sekitarnya untuk melakukan pinjam-meminjam barang dan uang (79,83%) dan hanya 20,17% masyarakat yang kurang percaya. Artinya bahwa masyarakat selama ini tidak pernah mengalami kesulitan untuk melakukan pinjam-meminjam uang atau barang dengan komunitas di lingkungannya.
60
Tabel 22 Sebaran tingkat kepercayaan masyarakat
No. Sub unsur kepercayaan Tingkat Jumlah (orang)
Persentase (%)
Skor
1 Kepercayaan terhadap orang sekitar (komunitas)
Tidak percaya Kurang percaya Percaya
110
108
0,84 8,40
90,76
1 20
324
Jumlah 119 100,00 345
2 Kepercayaan terhadap orang dengan etnis yang sama
Tidak percaya Kurang percaya Percaya
114
104
0,84 11,76 87,40
1 28
312 Jumlah 119 100,00 341 3 Kepercayaan terhadap orang
dengan etnis yang berbeda Tidak percaya Kurang percaya Percaya
51599
4,20 12,61 83,19
5 30
297 jumlah 119 100,00 332 4 Kepercayaan terhadap aparat
pemerintah Tidak percaya Kurang percaya Percaya
22097
1,68 16,81 81,51
2 40
291 Jumlah 119 100,00 332 5 Kepercayaan terhadap aparat
kehutanan (polhut) Tidak percaya Kurang percaya Percaya
24374
1,68 36,13 62,19
2 86
222 jumlah 119 100,00 310 6 Kepercayaan terhadap aparat
kepolisian Tidak percaya Kurang percaya Percaya
12296
0,84 18,49 80,67
1 44
288 Jumlah 119 100,00 333 7 Kepercayaan terhadap tokoh
masyarakat/adat Tidak percaya Kurang percaya Percaya
112
106
0,84 10,08 89,08
1 24
318 jumlah 119 100,00 343 8 Kepercayaan terhadap tokoh
agama Tidak percaya Kurang percaya Percaya
16
112
0,84 5,04
94,12
1 12
336 Jumlah 119 100,00 349 9 Kepercayaan terhadap pihak
luar (LSM/swasta) Tidak percaya Kurang percaya Percaya
336521
27,73 54,62 17,65
33 130
63 Jumlah 119 100,00 226 10 Kepercayaan terhadap dinas
kehutanan kabupaten OKI Tidak percaya Kurang percaya Percaya
24473
1,68 36,97 61,35
2 88
219 Jumlah 119 100,00 309 11 Kepercayaan terhadap
BPPHP Wilayah V Palembang Tidak percaya Kurang percaya Percaya
25463
1,68 45,38 52,94
2 108 189
Jumlah 119 100,00 299 12 Kepercayaan dalam hal
pinjam-meminjam barang/uang
Tidak percaya Kurang percaya Percaya
02495
0 20,17 79,83
0 48
285 Jumlah 119 100,00 333 Jumlah skor = 3853 dan rata-rata skor = 32,38 Ket. skor tidak percaya=1, kurang percaya=2 dan percaya=3
61
Kepercayaan masyarakat terhadap pihak luar terutama dari instansi
pemerintahan cenderung masih baik. Hal ini dapat menjadi modal yang penting
bagi instansi kehutanan dalam mensukseskan program pembangunan HTR di
kawasan tersebut. Namun perlu juga diperhatikan bahwa tingkat kepercayaan ini
harus dipertahankan mengingat dalam beberapa kesempatan masyarakat sudah
mulai menunjukkan ketidakpercayaan terhadap instansi kehutanan terkait
dengan proses pengajuan ijin HTR yang belum jelas. Sebaran tingkat
kepercayaan masyarakat dapat dilihat dalam Tabel 23.
Tabel 23 Sebaran tingkat kepercayaan responden
No. Kategori tingkat kepercayaan Selang Jumlah (orang)
Persentase (%)
1 2 3 4
Minimum Rendah Sedang Tinggi
≤ 18 19 – 24 25 – 30 ≥ 31
0 4
21 94
03,36
17,6578,99
Jumlah 119 100,00
5.4.2 Jaringan Sosial Sidu (2006) mendefinisikan jaringan sosial sebagai suatu hubungan yang
tersusun dalam suatu interaksi yang melibatkan orang, kelompok, masyarakat,
informasi dan beragam pelayanan sosial di dalamnya. Selanjutnya dinyatakan
bahwa dari hasil studi Putnam di Italia menyimpulkan bahwa jaringan sosial
berkaitan erat dengan konsep modal sosial. Meskipun konsep modal sosial
bersifat multidimensi tetapi secara operasional modal sosial menunjuk pada
norma-norma dan jaringan-jaringan yang memungkinkan terjadinya aksi kolektif.
Tingkat jaringan sosial masyarakat di Kawasan Hutan Produksi Terusan Sialang
dapat dilihat dalam Tabel 24.
Selang nilai untuk tingkat jaringan sosial dengan Xmax=21 dan Xmin=7
dengan n=4 adalah 3,5, sehingga tingkat jaringan sosial dapat dibagi menjadi
a Minimum bila skor jaringan sosial < 10
b Rendah bila skor jaringan sosial 11 s/d 14
c Sedang bila skor jaringan sosial 15 s/d 18
d Tinggi bila skor jaringan sosial > 18
Dari Tabel 24 diketahui bahwa skor rata-rata jaringan sosial masyarakat
di kawasan Hutah Produksi Terusan Sialang adalah 17,74 yang masuk dalam
kategori sedang. Sebaran responden berdasarkan tingkat jaringan sosial dapat
dilihat dalam Tabel 25.
62
Tabel 24 Tingkat jaringan sosial responden
No. Sub unsur jaringan sosial
Kategori Jumlah (orang)
Persentase (%)
Skor
1 Kepadatan organisasi (jumlah anggota Keluarga yang terlibat)
Rendah Sedang Tinggi
0 114
5
0,00 95,80
4,20
0 228
15 Jumlah 119 100,00 243 2 Keragaman
keanggotaan organisasi Rendah Sedang Tinggi
5 101
15
4,20 84,87 10,93
5 202
45 Jumlah 119 100,00 252 3 Partisipasi dalam kelompok Rendah
Sedang Tinggi
0 47 72
0,00 39,50 60,50
0 94
216 Jumlah 119 100,00 310 4 Kerelaan dalam membangun
jaringan Tidak rela Kurang rela Rela
0 16
103
0,00 13,45 86,55
0 32
309 Jumlah 119 100,00 341 5 Kerjasama kelompok dengan
kelompok lain di dalam komunitas
Tidak pernah Jarang Sering
3 32 84
2,5 26,89 70,59
3 64
252 Jumlah 119 100,00 319 6 Kerjasama kelompok dengan
kelompok lain di luar komunitas Tidak pernah Jarang Sering
2 25 92
1,68 21,01 77,31
2 50
276 Jumlah 119 100,00 328 7 Kebersamaan (inisiatif
anggota menjadi ketua sementara)
Rendah Sedang Tinggi
0 33 86
0,00 27,73 72,27
0 66
258 Jumlah 119 100,00 324 Jumlah skor = 2.111, rata-rata skor = 17,74
Tabel 25 Sebaran tingkat jaringan sosial responden
No. Kategori tingkat jaringan sosial
Selang Jumlah (orang)
Persentase (%)
1 2 3 4
Minimum Rendah Sedang Tinggi
≤ 10 11 – 14 15 – 18
> 18
03
6551
0,00 2,52
54,62 42,86
Jumlah 119 100,00 Organisasi di Dalam Kawasan Di dalam Kawasan Hutan Produksi Terusan Sialang terdapat beberapa
organisasi yang didirikan oleh masyarakat dan pada umumnya bersifat informal.
Organisasi tersebut berdiri karena memang dibutuhkan oleh masyarakat
sehingga kegiatan organisasi tersebut sangat aktif. Organisasi yang ada tersebut
adalah.
63
a Kelompok timbang karet
Kelompok timbang karet adalah organisasi informal yang beranggotakan
petani karet di dalam kawasan tersebut. Kelompok tersebut melaksanakan
kegiatannya setiap 2 minggu dengan melakukan penimbangan karet. Setiap
kelompok timbang karet dikoordinir oleh seorang toke (tengkulak) karet.
Kelompok ini sangat berguna dalam mengumpulkan sumber dana karena dalam
setiap penjualan karet dikeluarkan iuran yang digunakan untuk pembangunan
dan pemeliharaan sarana dan prasarana di komunitas tersebut. Selain itu
pengenaan denda dan sanksi apabila ada pelanggaran dalam komunitas
tersebut biasanya dilaksanakan pada waktu timbang karet tersebut. Kelompok
ini memiliki keanggotaan yang beragam dan hanya memiliki satu keseragaman
yaitu profesi sebagai petani karet.
b kelompok yasinan/pengajian
Kelompok yasinan merupakan organisasi yang dilatarbelakangi
keagamaan. Kelompok ini rutin melaksanakan kegiatan setiap minggu ditempat
yang telah dijadwalkan. Organisasi ini diketuai oleh pemuka agama dan pemuka
lingkungan. Organisasi ini sangat penting dalam membahas permasalahan-
permasalahan lingkungan yang berkembang setiap minggunya. Walaupun
dengan latar belakang agama yang sama namun pada saat ada isu-isu
lingkungan yang perlu untuk dibahas, masyarakat lain yang tidak beragama islam
pun datang ke acara yang diselenggarakan oleh kelompok ini.
c Kelompok tani
Organisasi kelompok tani didirikan dalam rangka untuk mendapatkan ijin
HTR. Sehingga organisasi ini belum mempunyai kedudukan dan juga
sumbangan yang berarti di dalam komunitas ini. Pada saat ini terdapat lima
kelompok tani di dalam kawasan tersebut yaitu kelompok tani Jelutung, kelompok
tani karet, kelompok tani Gelam, kelompok tani Rengas dan kelompok tani Wna
Krida.
d Koperasi Masyarakat Pemberdayaan Hutan (Komasperhut)
Koperasi ini juga diidirikan dalam rangka untuk mendapatkan ijin HTR.
Proses pendirian koperasi ini dukung oleh beberapa tokoh masyarakat yang
sangat berpengaruh di daerah tersebut. Koperasi ini sudah memfasilitasi
masyarakat dalam melaksanakan dan memenuhi beberapa persyaratan dalam
pengajuan ijin HTR yang dirasakan memberatkan oleh masyarakat diantaranya
kegaiatan pengukuran lahan dan pengurusan administrasi kependudukan.
64
5.4.3 Norma Sosial Norma adalah sekumpulan aturan yang diharapkan dipatuhi dan diikuti
oleh anggota masyarakat pada suatu entitas sosial tertentu (Hasbullah 2006).
Norma ini biasanya mengandung sanksi sosial dan menentukan pola tingkah
laku dalam masyarakat dalam konteks hubungan sosial. Tingkatan norma sosial
yang ada di dalam masyarakat di Kawasan Hutan Produksi Terusan Sialang
sebagaimana dapat dilihat dalam Tabel 26.
Tabel 26 Tingkatan norma sosial masyarakat Kawasan Hutan Produksi Terusan Sialang
No. Sub unsur norma sosial Kategori Jumlah (orang)
Persentase (%)
Skor
1 Ketaatan terhadap aturan tidak tertulis (norma/adat istiadat)
Rendah Sedang Tinggi
1 6
112
0,84 5,04
94,12
1 12
336 Jumlah 119 100,00 349 2 Ketaatan terhadap aturan
pemerintah Rendah Sedang Tinggi
1 5
113
0,84 4,20
94,96
1 10
339 Jumlah 119 100,00 350 3 Ketaatan terhadap aturan
agama Rendah Sedang Tinggi
0 3
116
0,00 2,52
97,48
0 6
348 Jumlah 119 100,00 354 4 Kejujuran dalam pergaulan
sehari-hari Rendah Sedang Tinggi
0 5
114
0,00 4,20
95,80
0 10
342 Jumlah 119 100,00 352 5 Kesopanan dalam pergaulan
sehari-hari Rendah Sedang Tinggi
0 21 98
0,00 17,65 82,35
0 42
294 Jumlah 119 100,00 336 6 Kerukunan dalam pergaulan
sehari-hari Rendah Sedang Tinggi
0 19
100
0,00 15,97 84,03
0 38
300 Jumlah 119 100,00 338 Jumlah skor = 2.079, rata-rata skor = 17,47
Selang nilai tingkat norma sosial dengan Xmax=18 dan Xmin=6 serta n=4
adalah 3 sehingga tingkat norma sosial tersebut dapat dikelompokan menjadi:
a tingkat norma sosial minimum bila skor ≤ 9
b tingkat norma sosial rendah bila skor 10 s/d 12
c tingkat normas sosial sedang bila skor 13 s/d 15
d tingkat norma sosial tinggi bila skor ≥ 16
Dari Tabel 26 dapat diketahui bahwa nilai rata-rata skor norma sosial
masyarakat adalah 17,47 yang berarti masuk dalam kategori tinggi. Mayoritas
65
masyarakat mempunyai tingkat ketaatan yang sangat tinggi terhadap norma-
norma agama, adat, aturan pemerintah juga dalam hal kejujuran, kesopanan dan
kerukunan. Tingginya norma sosial ini tidak terlepas dari tegasnya sanksi dan
denda yang diterapkan bila terjadi pelanggaran norma. Adaptasi sistem adat bali
di dalam kawasan ini sangat mendorong terciptanya suasana ketertiban di dalam
kawasan tersebut. Gangguan dalam kehidupan sosial biasanya berasal dari luar
kawasan. Akses transportasi yang sangat mudah ke kawasan tersebut
menyebabkan faktor-faktor eksternal dengan mudah masuk kedalam kawasan
tersebut. Namun dengan adanya penerapan norma sosial yang ketat sampai
saat ini kondisi kehidupan sosial di dalam kawasan tersebut masih tertib.
Sebaran tingkatan norma sosial masyarakat berdasarkan kontinuum uphoff
(2000) dapat dilihat dalam Tabel 27.
Tabel 27 Sebaran tingkatan norma sosial responden
No. Kategori tingkat jaringan sosial
Selang Jumlah (orang)
Persentase (%)
1 2 3 4
Minimum Rendah Sedang Tinggi
≤ 9 10 – 12 13 – 15 ≥ 16
0 0 6
113
0,000,005,04
94,96 Jumlah 119 100,00
5.4.4 Tindakan Proaktif Salah satu unsur modal sosial yang penting adalah tindakan proaktif yang
terwujud dalam keinginan untuk tidak saja berpartisipasi tetapi selalu mencari
jalan bagi keterlibatan mereka dalam suatu kegiatan sosial masyarakat
(Hasbullah 2006). Tingkat tindakan proaktif masyarakat Kawasan Hutan Produksi
Terusan Sialang dapat dilihat dalam Tabel 28.
Selang nilai tingkat kepercayaan tindakan proaktif dengan Xmax=24 dan
Xmin=8 serat n=4 adalah 4 sehingga tingkatan tindakan proaktif dapat dibagi
menjadi:
a Minimum apabila skor tingkatan tindakan proaktif ≤ 12
b Rendah apabila skor tindakan proaktif 13 s/d 16
c Sedang apabila skor tindakan proaktif 17 s/d 20
d Tinggi apabila skor tindakan proaktif ≥ 21
Tingkatan tindakan proaktif masyarakat sebagaimana tercantum dalam
Tabel 29 rata-rata termasuk dalam kategori sedang/baik. Hal ini ditunjukan
66
dengan tingginya tingkat keinginan berbagi informasi (87,39%), keinginan
berbagai pengetahuan dan pengalaman (85,71%), keinginan membersihkan
tempat tinggal (81,51%), dan keinginan saling mengunjungi untuk berbagi
informasi (81,10%). Sedangkan tindakan proaktif yang lain berada pada tingkat
yang sedang.
Tabel 28 Tingkat tindakan proaktif masyarakat Kawasan Hutan Produksi Terusan Sialang
No. Sub unsur norma sosial Kategori Jumlah (orang)
Persentase (%)
Skor
1 Keinginan berbagi informasi Rendah Sedang Tinggi
0 15
104
0,00 12,61 87,39
0 30
312 Jumlah 119 100,00 342 2 Keinginan berbagi pengetahuan
dan pengalaman Rendah Sedang Tinggi
0 17
102
0,00 14,29 85,71
0 34
306 Jumlah 119 100,00 340 3 Keinginan memungut sampah
di tempat umum Rendah Sedang Tinggi
43 63 13
36,14 52,94 10,92
43 126
39 Jumlah 119 100,00 208 4 Keinginan membersihkan
lingkungan tempat tinggal Rendah Sedang Tinggi
2 20 97
1,68 16,81 81,51
0 10
342 Jumlah 119 100,00 352 5 Keinginan menjaga keamanan
bersama Rendah Sedang Tinggi
8 47 64
6,72 39,50 53,78
0 42
294 Jumlah 119 100,00 336 6 Partisipasi warga mendukung
pembangunan untuk kepentingan bersama
Rendah Sedang Tinggi
1 11
107
0,84 89,92
9,24
1 22
321 Jumlah 119 100,00 344 7 Keinginan saling mengunjungi
dalam rangka berbagi informasi Rendah Sedang Tinggi
0 22 97
0,00 18,49
81,1
0 44
291 Jumlah 119 100,00 335 8 Keaktifan dalam
menyelesaikan konflik Rendah Sedang Tinggi
5 64 60
4,20 53,78 42,02
5 128 180
Jumlah 119 100,00 313 Jumlah skor = 2.479, rata-rata skor = 20,83
67
Tabel 29 Sebaran tingkat tindakan proaktif responden
No. Kategori tingkat jaringan sosial
Selang Jumlah (orang)
Persentase (%)
1 2 3 4
Minimum Rendah Sedang Tinggi
≤ 12 13 – 16 17 – 20 ≥ 21
0 3
43 73
0,002,52
36,1461,34
Jumlah 119 100,00
5.4.5 Kepedulian Kepedulian merupakan pola pertukaran yang tidak dilakukan secara
resiprocal seketika, melainkan suatu kombinasi jangka pendek dan jangka
panjang dalam semangat untuk membantu dan mementingkan kepentingan
orang lain (altruism) (Rinawati 2012). Kelompok masyarakat yang mempunyai
tingkat kepedulain yang tinggi akan mempunyai modal sosial yang kuat dan lebih
memungkinkan untuk mengatasi berbagaimasalah sosial seperti kemiskinan
(Hasbullah 2006). Tingkat kepedulian masyarakat di Kawasan Hutan Produksi
Terusan Sialang berdasarkan SCAT dapat dilihat dalam Tabel 30.
Tabel 30 Tingkat kepedulian masyarakat di Kawasan Hutan Produksi Terusan
Sialang No. Sub unsur norma sosial Kategori Jumlah
(orang)Persentase
(%) Skor
1 Kepedulian terhadap Sesama
Minimum Rendah Sedang Tinggi
02
3384
0,00 1,68
27,73 70,59
04
99336
Jumlah 119 100 4292 Kepedulian terhadap
Lingkungan Minimum Rendah Sedang Tinggi
02
4176
0,00 1,68
34,45 63,87
04
82304
Jumlah 119 100 390 Jumlah skor = 870, rata-rata skor = 7,31
Selang tingkat kepedulian masyarakat dengan Xmax=8 dan Xmin=2
dengan n=4 adalah 1,5 sehingga tingkat kepedulian masyarakat dapat dibagi
menjadi:
a Minimum bila skor tingkat kepedulian masyarakat ≤ 3,5
b Rendah bila skor tingkat kepedulian masyarakat 3,6 s/d 5
c Sedang bial skor tingkat kepedulan masyarakat 5,1 s/d 6,5
d Tinggi bila skor tingkat kepedulian masyarakat > 6,5
68
Dari Tabel 30 diketahui bahwa rata-rata skor kepedulian masyarakat
adalah 7,31 sehingga masuk dalam kategori tinggi. Tingginya tingkat kepedulian
masyarakat ini menjadi modal yang sangat baik dalam mengatasi masalah sosial
yang ada di dalam masyarakat. Namun suatu kelompok masyarakat dengan
tingkat kepedulian yang tinggi belum tentu memiliki dampak positif yang besar
terhadap kelompok masyarakat yang lain. Hal ini tergantung pada sifat dan
orientasi nilai kepedulian tersebut. Masyarakat dengan tipologi tertutup akan
memberikan nilai poisitip bagi komunitas setempat tetapi belum tentu
memberikan nilai positif bagi kelompok lain. Sebaliknya masyarakat yang bersifat
terbuka yang akan mampu memberikan nilai positif yang lebih luas ke lingkungan
sekitarnya (Hasbullah 2006). Sebaran tingkat kepedulian responden dapat dilihat
dalam Tabel 31.
Tabel 31 Sebaran tingkat kepedulian responden
No. Kategori tingkat kepedulian Selang Jumlah (orang)
Persentase (%)
1 2 3 4
Minimum Rendah Sedang Tinggi
≤ 3,5 3,6 – 5
5,1 – 6,5 >6,5
03
4373
0 2,52
36,14 61,34
Jumlah 119 100,00
5.5 Modal Sosial Masyarakat di Kawasan Hutan Produksi Terusan Sialang Berdasarkan skor unsur-unsur modal sosial masyarakat maka didapatkan
skor modal sosial seperti terlihat dalam Tabel 32.
Tabel 32 Skor modal sosial masyarakat di Kawasan Hutan Produksi Terusan Sialang
No Unsur Modal Sosial Skor Rata-rata Nilai maksimum-minimum
1 2 3 4 5
Kepercayaan Jaringan sosial Norma sosial Tindakan yang proaktif Kepedulian
3.8532.1112.0792.479
870
32,3817,7417,4720,83
7,32
36 - 12 21 - 7 18 - 6 24 - 8 8 - 2
Jumlah 11.392 95,74 107 – 35
Berdasarkan persamaan selang nilai, yaitu:
Selang = Xmax – Xmin = 107 – 35 = 18 N 4
69
Skala penilaian yang diperoleh untuk tingkatan modal sosial pada masyarakat di
Kawasan Hutan Produksi Terusan Sialang adalah sebagai berikut:
a Modal sosial masyarakat minimum apabila jumlah skor ≤ 53, dalam konteks
pembangunan hutan tanaman rakyat maka sangat sulit untuk dikembangkan
jika dilihat dari modal sosial yang dimiliki.
b Modal sosial masyarakat rendah apabila jumlah skor antara 54 – 71, dalam
konteks pembangunan hutan tanaman rakyat maka sulit untuk dikembangkan
jika dilihat dari modal sosial yang dimiliki.
c Modal sosial masyarakat sedang apabila jumlah skor antara 72 – 90, dalam
konteks pembangunan hutan tanaman rakyat maka mudah untuk
dikembangkan jika dilihat dari modal sosial yang dimiliki.
d Modal sosial masyarakat tinggi apabila jumlah skor ≥ 91, dalam konteks
pembangunan hutan tanaman rakyat maka sangat mudah untuk
dikembangkan jika dilihat dari modal sosial yang dimiliki.
Dari Tabel 32 diketahui bahwa modal sosial masyarakat di Kawasan
Hutan Produksi Terusan Sialang berada pada tingkat yang tinggi (skor 95,74).
Sebaran tingkat modal sosial responden dapat dilihat dalam Tabel 33.
Tabel 33 Sebaran tingkat modal sosial masyarakat Kawasan Hutan Produksi Terusan Sialang
No. Kategori tingkat kepedulian Selang Jumlah (orang)
Persentase (%)
1 2 3 4
Minimum Rendah Sedang Tinggi
≤ 53 54 – 71 71 – 90 ≥6,5
0 0
27 92
00
22,6977,31
Jumlah 119 100,00
Sebagaian besar masyarakat memiliki modal sosial pada tingkat yang
tinggi (77,31%) dan sebagian lainnya pada tingkat yang sedang (22,69%). Dari
pola-pola interelasi sosial yang terjadi dalam masyarakat di Kawasan Hutan
Produksi Terusan Sialang tipe modal sosial yang terdapat di dalam masyarakat
cenderung sebagai tipe modal sosial yang mengikat (bonding) dan bukan tipe
yang menjembatani (bridging). Hal ini dapat diamati dari sikap mereka terhadap
komunitas lain yang akan masuk kedalam lingkungan komunitas yang cenderung
untuk disikapi sangat berhati-hati. Kelemahan dari modal sosial tipe terikat ini
antara lain perbedaan yang kuat antara “orang dalam” dengan “orang luar”, sulit
70
menerima arus perubahan, kurang akomodatif terhadap pihak luar,
mengutamakan kepentingan dan solidaritas kelompok (Hasbullah 2006).
Keberadaan modal sosial yang kuat sangat berpengaruh dalam
keberhasilan sebuah program pembangunan. Tingginya modal sosial masyarakat
di Kawasan Hutan Produksi Terusan Sialang ini menjadi modal yang sangat
berharga dalam pembangunan HTR di daerah tersebut. Secara de facto
sebenarnya hutan di dalam Kawasan Hutan Produksi Terusan Sialang telah
terbangun secara swadaya oleh masyarakat dalam bentuk kebun karet.
Sehingga program pembangunan HTR dapat dipandang hanya bersifat
melegalkan sekaligus untuk “membagi manfaat” keberadaan hutan tersebut bagi
komunitas lain diluar kawasan tersebut. Selain itu tinggi collective action di
kawasan telah menjadi salah satu faktor pendorong bagi kemajuan yang telah
dicapai kawasan tersebut selama ini yang bahkan telah mengalahkan kemajuan
desa-desa definitif yang berada di sekitar kawasan tersebut. Hal ini senada
dengan penelitian tentang hubungan modal sosial dan pembangunan hutan
rakyat di Sukabumi juga menemukan hubungan yang positif antara tingkat modal
sosial dengan partisipasi masyarakat dalam pembangunan hutan rakyat
(Rinawati 2012).
5.6 Persepsi Masyarakat di Kawasan Hutan Produksi Terusan Sialang Terhadap Pembangunan HTR
Persepsi terkait dengan pembangunan HTR di terusan sialang yang
diukur adalah persepsi terhadap alokasi lahan HTR, pemanfaatan hasil HTR,
pola pembangunan HTR, jenis tanaman HTR, persyaratan Perijinan HTR, proses
perijinan HTR, jangka waktu dan luas pengusahaan HTR, pewarisan ijin HTR,
hak dan kewajiban HTR, pasar hasil HTR, kelembagaan HTR, kegiatan
sosialisasi HTR dan kegiatan pendampingan dan penyuluhan HTR.
5.6.1 Persepsi Masyarakat Terhadap Alokasi Lahan HTR Pasal 2 ayat 1 Peraturan Menteri Kehutanan nomor P.55/Menhut-II/2001
menyebutkan bahwa areal yang dicadangkan untuk pembangunan HTR adalah
hutan produksi yang tidak produktif dan tidak dibebani izin/hak lain. Ketentuan
alokasi lahan yang ditanyakan kepada responden adalah ketentuan umum
tentang lahan yang ditunjuk sebagai areal pencadangan HTR yaitu apakah lahan
71
tersebut sudah tepat untuk dijadikan sebagai lahan HTR dari segi aksesibilitas,
kepemilikan (bebas konflik) maupun kondisi lahan.
Dari hasil wawancara diketahui bahwa sebagian besar responden
mempunyai persepsi yang tinggi terhadap alokasi lahan HTR (84,87%),
sedangakan sebagain lainnya memliki persepsi yang sedang (9,25%) dan rendah
(5,88%) (Tabel 34).
Tabel 34 Sebaran tingkat persepsi responden terhadap alokasi lahan HTR
No. Kategori tingkat persepsi Selang Skor persepsi
Jumlah (orang)
Persentase (%)
1 2 3
Rendah Sedang Tinggi
<5 5 – 7 >7
7 11
111
5,889,25
84,87 Jumlah 119 100,00
Akses masyarakat ke lahan calon lokasi HTR sangat mudah karena pada
umumnya mereka tinggal di lahan tersebut. Akses ke kawasan tersebut juga
sangat mudah karena kawasan tersebut terletak di jalur perlintasan jalan lintas
timur sumatera yang merupakan jalan trans nasional. Jaringan jalan di dalam
kawasan juga sudah teratur dan pada umumnya sudah mengalami perkerasan
sehingga dapat dilalui oleh kendaraan roda 4 walaupun pada musim penghujan.
Pengaturan pembagian lahan juga sudah jelas. Walaupun tidak
mempunyai surat tanah resmi namun batas-batas tanah mereka sudah jelas dan
tidak ada lagi tumpang tindih kepemilikan diantara mereka. Bahkan mereka
sudah memperjualbelikan lahan mereka dan kuitansi yang diketahui oleh
koordinator masyarakat perambah tersebut diakui sebagai tanda bukti
kepemilikan tanah di dalam komunitas tersebut.
5.6.2 Persepsi Masyarakat Terhadap Pola Pembangunan HTR Pola pembangunan HTR menurut Peraturan Menteri Kehutanan terdiri
dari tiga pola yaitu perorangan, kemitraan dan developer. Dalam penelitian ini
persepsi terhadap pola pengelolaan HTR didasarkan pada bagaimana pilihan
masyarakat dalam mengelola HTR, pandangan terhadap program kemitraan dan
juga pandangan terhadap asal usul mitra. Berdasarkan hasil penelitian,
masyarakat cenderung untuk memilih untuk mengajukan ijin secara perorangan
(67,23%) dibandingkan dengan dengan pengajuan ijin melalui koperasi (21,01%)
dan sisanya masih ragu-ragu (11,76%). Pilihan masyarakat yang memilih untuk
72
mengajukan ijin secara perorangan dilatar belakangi oleh keinginan mereka
untuk mendapatkan status lahan atas nama mereka sendiri. Dalam pandangan
mereka dengan memiliki ijin atas nama mereka sendiri mereka memiliki
kebebasan dalam menentukan komoditas, melakukan jual beli lahan dan
mengatur penggunaan lahan. Selain itu mereka juga memiliki pengalaman
mengajukan ijin melalui koperasi Kopkarinhut V yang akhirnya gagal dan
menimbulkan sedikit kesalahpahaman diantara masyarakat.
Sedangkan pandangan terhadap mitra sebanyak 70,59% masyarakat
tidak memerlukan mitra, 26,89% memerlukan mitra dan sisanya 2,52%
menjawab ragu-ragu. Sikap masyarakat terhadap mitra ini dilatarbelakangi
kondisi perekonomian mereka yang memang relatif sudah mantap. Dengan
harga komoditas karet yang semakin membaik, mereka merasa sudah cukup
berhasil dalam mengelola lahan mereka dan tidak memerlukan mitra yang belum
mereka kenal. Kalaupun memerlukan mitra mereka cenderung memilih mitra
yang telah mereka kenal (warga sekitar). Tingkat persepsi masyarakat terhadap
pola pembangunan HTR dapat dilihat dalam Tabel 35.
Tabel 35 Sebaran tingkat persepsi masyarakat terhadap pola pembangunan HTR
No. Kategori tingkat persepsi Selang Skor persepsi
Jumlah (orang)
Persentase (%)
1 2 3
Rendah Sedang Tinggi
<12 12 – 17
>17
03683
0 30,25 69,75
Jumlah 119 100,00
5.6.3 Persepsi Masyarakat Terhadap kegiatan Pemanfaatan HTR Kegiatan pemanfaatan HTR yang dimaksudkan dalam penelitian ini
adalah tahapan kegiatan yang dilakukan dalam pembangunan HTR, tujuan
pemanfaatan HTR dan juga tentang pemanfaatan hasil sampingan (HHBK). Dari
hasil survey didapatkan bahwa sebagian besar masyarakat setuju dengan
tahapan dalam kegiatan pemanfaatan HTR (85,71%) dan hanya sebagaian kecil
saja yang tidak atau kurang setuju (14,29%). Sedangkan terhadap tujuan
pemanfaatan HTR untuk produksi kayu saja sebanyak 47,06% responden setuju,
3,36% kurang setuju dan 49,58% tidak setuju. Tingginya tingkat ketidaksetujuan
masyarakat terhadap tujuan pemanfaatan HTR ini dikarenakan selama ini
mereka terbiasa dengan komoditas karet yang lebih menekankan pada produksi
getah (HHBK) dibandingkan dengan produksi kayu. Selain itu mereka juga belum
73
melihat adanya contoh nyata keberhasilan budidaya kayu di daerah mereka.
Hasil ini sejalan dengan persepsi mereka tentang HHBK yaitu sebagian besar
masyarakat tidak setuju apabila HHBK tidak boleh dimanfaatkan dalam
pemanfaatan HTR (94,96%) dan sisanya setuju dan kurang setuju/ragu-ragu
(5,04%). Sebaran tingkat persepsi masyarakat terhadap kegiatan pemanfaatan
HTR dapat dilihat pada Tabel 36.
Tabel 36 Sebaran tingkat persepsi responden terhadap kegiatan pemanfaatan HTR
No. Kategori tingkat persepsi Selang Skor persepsi
Jumlah (orang)
Persentase (%)
1 2 3
Rendah Sedang Tinggi
<5 5 – 7 >7
62 54
3
2,1045,38
2,52 Jumlah 119 100
5.6.4 Persepsi Masyarakat Terhadap Jenis Tanaman HTR Jenis tanaman yang dikembangkan dapat dikembangkan di areal HTR
adalah kayu pertukangan berdasarkan peraturan Direktur Bina Produksi
Kehutanan No. P.06/VI-BPHT/2007 tentang petunjuk teknis pembangunan HTR
Jenis tersebut adalah tanaman hutan berkayu yang terdiri dari: (1) kayu
pertukangan (meranti, keruing, non dipterocarpaceae: jati, sengon, sonokeling,
mahoni, kayu hitam, akasia, rajumas, sungkai dan kayu serat) dan (2) tanaman
budidaya tahunan berkayu (karet, durian, nangka, mangga, duku, rambutan,
kemiri, pala). Tanaman tersebut dapat ditanam secara monokultur atau
campuran dengan komposisi 60% tanaman hutan berkayu dan 40% tanaman
budidaya tahunan berkayu.
Budidaya tanaman berkayu kehutanan tidak dikenal oleh masyarakat di
dalam kawasan. Mereka saat ini merasa jenis tanaman karet yang sudah mereka
budidayakan sangat sesuai dengan keinginan mereka (94,12%). Ketentuan
tentang tanaman pokok yang harus tanaman kehutanan masih belum diterima
oleh masyarakat dan mereka masih menginginkan tanaman karet untuk wilayah
mereka sedangkan sisanya merasa tanaman mereka kurang/tidak sesuai
(5,88%). Mayoritas masyarakat juga tidak menginginkan jenis tanaman yang
boleh mereka tanam ditentukan oleh Menteri Kehutanan (95,80%), sedangkan
yang setuju dengan ketentuan tersebut 3,36% dan sisanya ragu-ragu (0,84%).
Sebaran tingkat persepsi masyarakat terhadap jenis tanaman HTR dapat dilihat
pada Tabel 37.
74
Tabel 37 Sebaran tingkat persepsi responden terhadap jenis tanaman HTR
No. Kategori tingkat persepsi Selang Skor persepsi
Jumlah (orang)
Persentase (%)
1 2 3
Rendah Sedang Tinggi
<5 5 – 7 >7
9820
1
82,35 16,81
0,84 Jumlah 119 100,00
5.6.5 Persepsi Masyarakat Terhadap Persyaratan Perijinan HTR Tingkat persepsi masyarakat terhadap persyaratan perijinan HTR yang berada pada level tinggi sebesar 48,74%, level sedang 48,74% dan level rendah 2,52 (Tabel 38). Sebagian masyarakat merasa kesulitan untuk mendapatkan salah satu persyaratan dalam perijinan HTR berupa KTP, surat keterangan domisili dan sketsa (50,42%) sedangkan sisanya merasa tidak mendapatkan kesulitan dalam mendapatkan persyaratan tersebut (49,58%). Tabel 38 Sebaran tingkat persepsi responden terhadap persyaratan perijinan
HTR No. Kategori tingkat persepsi Selang
Skor persepsi Jumlah (orang)
Persentase (%)
1 2 3
Rendah Sedang Tinggi
<5 5 – 7 >7
35858
2,52 48,74 48,74
Jumlah 119 100,00
Kesulitan masyarakat dalam mendapatkan KTP dan surat keterangan domisili karena status kependudukan mereka yang belum diakui sepenuhnya oleh desa di sekitar mereka. Baru dalam beberapa tahun terakhir ini mereka mulai mendapatkan pelayanan administrasi kependudukan. Dalam pembuatan sketsa atau peta mayoritas masyarakat juga mengalami kesulitan. Namun kesulitan tersebut dapat diatasi dengan adanya pendamping HTR dan juga asistensi yang dilakukan oleh koperasi walaupun masyarakat harus mengeluarkan biaya untuk membuat sketsa/peta tersebut. 5.6.6 Persepsi Masyarakat Terhadap Proses Perijinan HTR Persepsi masyarakat masyarakat terhadap proses perijinan pada
umumnya berada pada tingkat rendah (57,98%). Hal ini tidak terlepas dari
pengalaman mereka dalam mengajukan ijin HTR. Masyarakat pernah
memproses untuk mengajukan ijin pada tahun 2010 dengan difasilitasi oleh
Kopkarinhut V. Namun proses tersebut mengalami kegagalan pada tahapan
verifikasi oleh BPPHP wilayah V Palembang. Dalam melaksanakan verifikasi,
75
BPPHP Wilayah V Palembang menggunakan kebijakan kawasan hijau dan
kawasan putih. Kawasan hijau artinya kawasan tersebut telah ditanami dengan
tanaman berkayu (karet) sedangkan kawasan putih adalah kawasan yang belum
ditanami dengan tanaman berkayu. Dalam verifikasi hanya kawasan hijau yang
diloloskan sedangkan kawasan putih tidak diloloskan. Akibat dari kebijakan
tersebut dari sekitar 400-an masyarakat yang mengajukan ijin hanya 88 orang
yang lolos verifikasi. Hasil verifikasi tersebut tidak ditindaklanjuti oleh Dinas
Kehutanan Kabupaten OKI karena dikhawatirkan akan menimbulkan gejolak di
dalam kawasan tersebut.
Tabel 39 Sebaran tingkat persepsi masyarakat terhadap proses perijinan HTR
No. Kategori tingkat persepsi Selang Skor persepsi
Jumlah (orang)
Persentase (%)
1 2 3
Rendah Sedang Tinggi
<5 5 – 7 >7
69 45
5
57,9837,82
4,20 Jumlah 119 100,00
Pada tahun 2011 Masyarakat dengan difasilitasi oleh tenaga pendamping
HTR berusaha mengajukan lagi ijin HTR. Untuk mempermudah dibentuklah lima
kelompok tani (KTH) hutan yaitu KTH Jelutung, KTH Gelam, KTH Karet, KTH
Rengas dan KTH Wana Krida. Pengukuran dan pembuatan sketsa juga sudah
dilakukan. Pemenuhan syarat administrratif juga sudah dilaksanakan. Namun
ketika diajukan ke BPPHP Wilayah V untuk diverifikasi berkas tersebut
dikembalikan dengan keterangan bahwa syarat administrsi belum lengkap.
Selain itu Kopkarinhut V memfasilittasi lagi untuk pengajuan ijin HTR atas nama
koperasi. Namun dalam proses pengajuan keluar ketentuan bahwa luas lahan
maksimal untuk koperasi adalah 700 ha sehingga menyebabkan kopkarinhut
mundur.
Pada tahun 2012 masyarakat mencoba mengajukan kembali ijin HTR
melalui 4 kelompok tani tersebut dan membentuk satu koperasi baru yaitu
Koperasi Masyarakat Pemberdayaan Hutan (Komasperhut). Berkas pengajuan
dari 4 kelompok tani dan koperasi tersebut pada bulan Mei sudah disampaikan
ke BPPHP Wilayah V namun sampai sekarang belum ada kejelasan untuk
verifikasi.
Pengalaman tersebut menyebabkan persepsi masyarakat terhadap
proses pengajuan ijin rendah. Selain itu kepercayaan masyarakat terhadap
76
BPPHP Wilayah V dan dinas kehutanan Kabupaten OKI mengalami penurunan.
Apabila pada proses pengajuan yang terakhir ini kembali mengalami kegagalan
maka dikhawatirkan masyarakat tidak antusias lagi dalam melaksanakan
program pembangunan HTR.
5.6.7 Persepsi Masyarakat Terhadap Jangka waktu dan Luasan Usaha HTR Jangka waktu ijin usaha HTR diberikan selama 60 tahun dan dapat
diperpanjang satu kali selama 35 tahun. Luas pengusahaan yang diberikan untuk
ijin perorangan adalah seluas maksimal 15 ha. Persepsi masyarakat terhadap
jangka waktu ijin dan luasan ijin usaha berapa pada level tinggi (84,03%) dan
sedang (115,97%) (Tabel 40).
Tabel 40 Sebaran tingkat persepsi masyarakat terhadap jangka waktu dan luasan ijin HTR
No. Kategori tingkat persepsi Selang Skor persepsi
Jumlah (orang)
Persentase (%)
1 2 3
Rendah Sedang Tinggi
<5 5 – 7 >7
019
100
0,00 15,97 84,03
Jumlah 119 100,00
Tingginya tingkat persepsi masyarakat terhadap jangka waktu dan luasan ijin ini
dikarenakan masyarakat merasa cukup dengan jangka waktu 60 tahun dan dapat
diperpanjang sampai 35 tahun apalagi dalam ketentuan yang baru terdapat
klausul pengutamaan ahli waris untuk melanjutkan ijin tersebut.
Pemilikan lahan di kawasan ini sudah tidak merata dikarenakan telah
terjadinya proses jual beli diantara masyarakat sehingga beberapa masyarakat
mempunyai lahan lebih dari 15 ha. Hal ini telah menjadi perhatian dari Dinas
Kehutanan Kabupaten OKI dikarenakan dalam proses verifikasi terhadap usulan
ijin HTR Kopkarinhut V, pemilikan lahan yang melebihi 15 ha oleh seorang petani
menjadi salah satu penyebab tidak diloloskannya usulan tersebut. Ketentuan
perijinan HTR dalam Peraturan Menteri Kehutanan tidak menyebutkan batasan
pemilikan lahan perorangan apabila usulan ijin disampaikan melalui koperasi. Hal
ini menyebabkan sejumlah responden tidak setuju dengan ketentuan
pembatasan lahan tersebut (12,60%).
77
5.6.8 Persepsi Masyarakat Terhadap Pewarisan Ijin HTR Ketentuan dalam peraturan Menteri Kehutanan tentang perijinan HTR
menyatakan bahwa HTR tidak dapat diwariskan. Hal ini tidak disetujui oleh
masyarakat walaupun terdapat klausul bahwa ahli waris diutamakan untuk
mendapatkan ijin di lahan tersebut (Tabel 41). Klausul ini dinilai masyarakat tidak
cukup.
Tabel 41 Sebaran tingkat persepsi responden terhadap pewarisan ijin HTR
No. Kategori tingkat persepsi Selang Skor persepsi
Jumlah (orang)
Persentase (%)
1 2 3
Rendah Sedang Tinggi
≤ 3 4 – 5 > 5
112 5 2
94,124,201,68
Jumlah 119 100,00
Ketentuan tentang hak pewarisan ini dikeluarkan oleh pemerintah untuk
menegaskan bahwa kawasan tersebut bukanlah hak milik dari petani HTR tetapi
merupakan lahan milik negara yang pengelolaannya dipercayakan kepada petani
penggarap. Secara hukum hal tersebut dipandang logis namun permasalahan
yang dikhawatirkan muncul adalah kemungkinan adanya pihak yang akan
mencoba mengambil keuntungan dari celah tersebut. Permasalahan tersebut
dapat digambarkan sebagai berikut: misalnya petani HTR berumur 30 tahun
mulai menanam karet pada lahan usahanya. Maka dengan asumsi rotasi karet
25 tahun dan umur petani tersebut 65 tahun maka pada saat dia meninggal akan
ada tanaman karet berumur 10 tahun di lahan tersebut dan masih ada sisa
jangka waktu ijin 25 tahun lagi. Bila ketentuan bahwa lahan tersebut harus
dikembalikan kepada negara apabila pemiliknya meninggal diberlakukan maka
akan banyak pihak yang berebut untuk mendapatkan ijin di lahan tersebut. Tentu
hal ini tidak adil bagi ahli waris pemegang ijin.
Untuk itu diperlukan jalan keluar untuk menghindari hal tersebut. Misalnya
dibuat ketentuan bahwa apabila pemegang ijin meninggal maka ahli waris yang
ditunjuk oleh pemegang ijin secara otomatis akan melanjutkan ijin tersebut
sampai habis jangka waktunya. Kemudian apabila sudah habis jangka waktunya
dilakukan evaluasi lagi untuk menerbitkan ijin baru atas nama ahli waris tersebut.
Ketentuan-ketentuan kompromistis seperti ini perlu dilakukan karena tidak ada
gunanya pemerintah membuat ketentuan yang tidak akan ditaati oleh
masyarakat.
78
5.6.9 Persepsi Masyarakat Terhadap Hak dan Kewajiban Hak dan kewajiban yang dimaksud dalam penelitian ini adalah hal-hal
yang berhubungan dengan hak mendapatkan pinjaman, hak mendapatkan
pendampingan dan kewajiban menyusun rencana kerja baik Rencana Kerja
Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu HTR (RKUPHHK-HTR) maupun Rencana
Kerja Tahunan Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada HTR (RKTUPHHK-
HTR). Ketentuan dalam perijinan HTR memberikan masyarakat pemegang ijin
hak untuk mendapatkan bantuan berupa pinjaman lunak untuk pembangunan
HTR yang dalam persyaratan pencairannya mewajibkan pemegang ijin untuk
membuat RKUPHHK-HTR dan RTKUPHHK-HTR. Pembuatan RKTUPHHK-HTR
dan RKUPHHK-HTR difasilitasi oleh BPPHP setempat.
Persepsi masyarakat terhadap hak dan kewajiban tersebut sebagain
besar berada pada level yang tinggi (Tabel 42). Tingginya persepsi masyarakat
terhadap hak dan kewajiban HTR tersebut dikarenakan mereka merasa mampu
untuk memenuhi kewajiban sebagai pemegang ijin yaitu menyusun RKUPHHK-
HTR dan RKTUPHHK-HTR dan memandang hak mereka untuk mendapatkan
pinjaman HTR bukanlah sebagai faktor utama yang mendorong mereka untuk
mendapatkan ijin HTR. Keyakinan tersebut tidak terlepas dari kondisi
perekonomian mereka yang sudah membaik. Apalagi dengan adanya fasilitasi
oleh BPPHP dalam pembuatan RKU dan RKT HTR
Tabel 42 Sebaran tingkat persepsi responden terhadap hak dan kewajiban
No. Kategori tingkat persepsi Selang Skor persepsi
Jumlah (orang)
Persentase (%)
1 2 3
Rendah Sedang Tinggi
≤ 6 7 – 9 ≥ 10
38
108
2,52 6,72
90,76 Jumlah 119 100,00
5.6.10 Persepsi Masyarakat Terhadap Pasar Kayu Hasil HTR Yang dimaksud dengan pasar kayu hasil HTR disini adalah industri kayu,
kejelasan pemasaran hasil kayu dan juga mekanisme penentuan harga kayu.
Persepsi masyarakat terhadap pasar kayu hasil HTR pada umumnya berada
pada level sedang dan rendah (Tabel 43).
79
Tabel 43 Sebaran tingkat persepsi responden terhadap pasar kayu hasil HTR
No. Kategori tingkat persepsi Selang Skor persepsi
Jumlah (orang)
Persentase (%)
1 2 3
Rendah Sedang Tinggi
<5 5 – 7 >7
47 67
5
39,5056,30
4,20 Jumlah 119 100,00
Persepsi masyarakat terhadap pasar kayu hasil HTR yang relatif rendah
ini disebabkan pengetahuan mereka tentang pasar hasil hutan kayu yang kurang.
Selama ini mereka tidak terbiasa dengan budidaya tanaman yang bertujuan
untuk menghasilkan kayu. Sedangkan dalam hal penentuan harga jual komoditas
baik kayu maupun non kayu mereka pada umumnya tidak setuju apabila harga
jual ditentukan oleh Menteri Kehutanan. Mereka menginginkan harga jual
komoditas ditentukan oleh mekanisme pasar yang adil.
5.6.11 Persepsi Masyarakat Terhadap Kelembagaan HTR Kelembagaan yang ada di masyarakat dalam pengurusan ijin HTR ini
adalah KTH dan koperasi. Terdapat 5 (lima) KTH dan 1 (satu) koperasi yang
didirikan untuk mempermudah pengurusan ijin HTR. Persepsi masyarakat
terhadap kelembagaan KTH dan koperasi untuk mempermudah pengurusan
HTR sangat tinggi (Tabel 44). Mereka menaruh harapan yang besar terhadap
KTH dan koperasi tersebut dalam mempermudah pengurusan ijin HTR mereka.
Tabel 44 Sebaran tingkat perepsi responden terhadap kelembagaan HTR
No. Kategori tingkat persepsi Selang Skor persepsi
Jumlah (orang)
Persentase (%)
1 2 3
Rendah Sedang Tinggi
<5 5 – 7 >7
2 7
110
1,685,88
92,44 Jumlah 119 100,00
Tidak semua masyarakat yang terdapat di dalam Kawasan merupakan
anggota KTH atau koperasi tersebut. Namun mereka tetap merasa bahwa
keberadaan KTH dan koperasi penting dalam pengurusan HTR. Mereka yang
tidak menjadi anggota KTH dan koperasi saat ini dalam posisi wait and see.
Mereka menunggu dan mengamati proses pengajuan ijin HTR oleh KTH dan
koperasi yang sedang berjalan. Apabila proses tersebut berhasil dan ijin HTR
keluar meraka akan segera ikut mendirikan KTH atau koperasi di tempat mereka.
80
Peran KTH dan koperasi sampai saat ini baru sampai pada tahap
pengajuan ijin. Mereka belum berperan dalam peningkatan pengetahuan dan
ketrampilan petani HTR. Hal ini terjadi karena memang mereka baru dibentuk
dalam rangka untuk mempermudah pengajuan ijin HTR. Untuk selanjutnya
diharapkan mereka dapat lebih berperan banyak dalam meningkatkan
pengetahuan dan ketrampilan petani HTR sehingga dapat menjadi katalisator
dalam peningkatan kesejahteraan petani HTR.
5.6.11 Persepsi Masyarakat Terhadap Kegiatan Sosialisasi HTR Kegiatan sosialisasi HTR dikawasan tersebut dilakukan sejak tahun 2008
oleh BPPHP Wilayah V Palembang sejak kawasan tersebut masuk dalam peta
indikatif calon lokasi pencadangan HTR. Sosialisasi dilaksanakan hanya sekali
dalam setahun dan hanya menjangkau tokoh masyarakat dan instansi terkait.
Namun sejak tahun 2011 dengan adanya kegiatan fasilitasi yang dilakukan
pendamping HTR kegiatan sosialisasi intens dilakukan oleh pendamping HTR
dengan pendekatan lebih interpersonal. Akan tetapi terbatasnya jumlah tenaga
pendamping HTR menyebabkan kegiatan sosialisasi tidak dapat menjangkau
masyarakat secara optimal. Hal ini yang menyebabkan persepsi masyarakat
terhadap kegiatan sosialisasi HTR rendah (Tabel 45).
Tabel 45 Sebaran tingkat persepsi responden terhadap kegiatan sosialisasi HTR
No.
Kategori tingkat persepsi Selang Skor persepsi
Jumlah (orang)
Persentase (%)
1 2 3
Rendah Sedang Tinggi
<8 9 – 12 >12
8534
0
71,43 28,57
0,00 Jumlah 119 100,00
Kendala utama yang dihadapi oleh instansi pemerintah baik di BPPHP
Wilayah V, Dinas Kehutanan OKI ataupun aparat pemerintahan setempat dalam
melaksanakan sosialisasi HTR adalah masalah anggaran. Alokasi anggaran
untuk program HTR ini termasuk didalamnya kegiatan sosialisasi HTR di Dinas
Kehutanan OKI baru dianggarkan pada tahun 2011 dengan jumlah yang sangat
terbatas yaitu Rp75.000.000 sedangkan di BPPHP anggaran yang dialokasikan
untuk pembangunan HTR lebih besar yaitu Rp.960.000.000 untuk 4 wilayah di 2
Propinsi. Namun mulai tahun 2011 ini terdapat perubahan dalam pola sosialisasi
81
yang mulai dilakukan sampai pada tingkat tapak, artinya sosialisasi dilakukan
langsung kepada calon-calon petani HTR.
Peran pendamping dalam sosialisasi selama ini juga sangat terbatas
dikarenakan jumlah mereka yang juga terbatas (3 orang). Dengan luas areal
8.000 ha dan jumlah penduduk 2.837 KK, 3 orang pendamping ini tidak akan
cukup untuk memfasilitasi mereka dalam pembangunan HTR. Selain itu latar
belakang pendidikan pendamping yang bukan berasal dari bidang kehutanan
menyebabkan mereka mengalami kesulitan ketika masyarakat mulai
menanyakan dan meminta bimbingan teknis kepada pendamping.
Faktor lain yang menghambat dalam sosialisasi ini adalah kurangnya
peran LSM. Hal ini dikarenakan kepercayaan masyarakat terhadap LSM rendah
yang tidak terlepas dari pengalaman masyarakat dalam berhubungan dengan
LSM yang pada akhirnya hanya merugikan mereka. Oleh karena itu diperlukan
adanya peran aktif LSM yang benar-benar berusaha untuk membantu
masyarakat dalam membangun HTR di wilayah tersebut.
5.6.13 Persepsi Masyarakat Terhadap Kegiatan Penyuluhan dan Pendampingan HTR
Untuk menunjang kegiatan HTR maka dibutuhkan kegiatan untuk
meningkatkan kapasitas masyarakat berupa pendampingan. Pendampingan
merupakan hak yang diperoleh setiap pemegang ijin HTR (Peraturan Menteri
Kehutanan Nomor P.55/Menhut-II/2011 Pasal 20). Pendamping HTR bertugas
memfasilitasi pengembangan organisasi pemegang izin HTR, transfer
pengetahuan dan keterampilan kehutanan, perencanaan dan pelaksanaan HTR,
peluang kerja dan peluang berusaha, partisipasi dan sikap dalam pelaksanaan
pembangunan Hutan Tanaman Rakyat
Pendampingan HTR dapat bersifat teknis dan bersifat penguatan
kelembagaan. Pendampingan yang bersifat teknis dilakukan oleh penyuluh
kehutanan dan teknisi kehutanan lainnya sedangkan pendampingan yang
bersifat penguatan kelembagaan dilakukan oleh LSM, tenaga kerja sarjana
terdidik, tenaga kerja sosial, tenaga kerja sarjana kehutanan dan pertanian,
organisasi peduli lingkungan (kelompok pecinta alam, kader konservasi alam),
penyuluh kehutanan lapangan dan organisasi lain yang dipandang perlu
dilibatkan dalam pendampingan, dimana yang bersangkutan telah
berpengalaman atau telah mendapatkan pelatihan pemberdayaan masyarakat.
82
Persepsi masyarakat terhadap kegiatan penyuluhan dan pendampingan
HTR berapa pada tingkat yang sedang (Tabel 46). Tingkat persepsi masyarakat
yang cenderung kurang baik pada kegiatan penyuluhan ini tidak terlepas dari
kurangnya dukungan terhadap kegiatan tersebut dari pihak pemerintah (Dinas
kehutanan, BPPHP V dan aparat pemerintah) dan pihak LSM. Selain itu
kekurangan jumlah tenaga pendamping juga menyebabkan tidak semua
masyarakat mendapatkan pendampingan dan penyuluhan yang memadai.
Tabel 46 Sebaran tingkat persepsi masyarakat terhadap kegiatan penyuluhan dan pendampingan HTR
No. Kategori tingkat persepsi Selang Skor persepsi
Jumlah (orang)
Persentase (%)
1 2 3
Rendah Sedang Tinggi
<15 16 – 21
>21
9109
1
7,56 91,60 0,,84
Jumlah 119 100,00
Pendampingan merupakan kegiatan yang penting dan menentukan
terhadap keberhasilan pembangunan HTR. Pendampingan memberikan kepada
masyarakat bekal teknis dan penguatan kelembagaan masyarakat. Tanpa kedua
hal tersebut keberhasilan pembangunan HTR akan rendah. Penguatan
kelembagaan merupakan faktor penting dalam menyiapkan masyarakat untuk
mengelola HTR (Hakim 2009). Penguatan kelembagaan berperan dalam
membangun kesadaran masyarakat untuk ikut serta dalam kegiatan HTR (Emila
& Suwito 2007). Pengembangan kapasitas masyarakat juga sangat berperan
dalam partisipasi mereka (Iqbal 2007). Ini menunjukkan bahwa perhatian
pemerintah masih difokuskan pada teknis dan prosedur administrasi, belum pada
membangun masyarakat yang mandiri dalam mengelola hutan.
Permasalahan khusus yang terkait dengan tenaga pendamping adalah
terkait dengan status mereka. Dalam pengadaan tenaga pendamping seleksi dan
penunjukan dilakukan oleh bupati serta dinas kehutanan setempat namun
honorarium dan pelatihan bagi tenaga pendamping dilakukan oleh BPPHP.
Ketentuan ini membuat tenaga pendamping cenderung untuk lebih banyak
berkoordinasi dengan BPPHP dibandingkan dengan dinas kehutanan setempat.
Hal ini di lapangan membuat beberapa kali terjadi kesalahpahaman antara
pendamping dengan dinas kehutanan karena kurangnya koordinasi.
83
5.6.14 Penilaian persepsi Masyarakat Terhadap Pembangunan HTR Kegiatan pembangunan HTR telah diketahui oleh sebagian besar
masyarakat dalam kawasan tersebut walaupun sampai dengan saat ini belum
ada ijin yang dikeluarkan atas nama masyarakat. Sehingga dalam penelitian ini,
persepsi yang dilihat lebih pada ekspetasi masyarakat terhadap program
pembangunan HTR. Manfaat yang terbesar yang diharapkan masyarakat adalah
pada aspek legalitas keberadaan mereka di dalam kawasan tersebut yaitu
tentang kepastian status lahan. Dengan kepastian status lahan tersebut mereka
mengharapkan adanya peningkatan terhadap harga jual komoditas dan lahan
mereka. Skor persepsi masyarakat terhadap ketentuan-ketentuan dalam
pembangunan HTR dapat dilihat dalam Tabel 47.
Tabel 47 Skor persepsi masyarakat dalam pembangunan HTR
No Persepsi masyarakat Skor Rata-rata Nilai maksimum-minimum
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
Alokasi lahan HTR Pola pembangunan HTR Manfaat HTR Jenis tanaman HTR Persyaratan Perijinan HTR Proses perijinan HTR Jangka waktu dan luas ijin HTR Pewarisan ijin HTR Hak dan kewajiban HTR Pasar hasil HTR Kelembagaan HTR Sosialisasi HTR Pendampingan dan Penyuluhan
1.020 2.098
688 632 936 641 982 256
1.194 574
1.045 913
2.156
8,57 17,63
5,78 5,31 7,87 5,39 8,25 2,15
10,03 4,82 8,78 7,67
18,12
9 – 3 21 – 7 9 – 3 9 – 3 9 – 3 9 – 3 9 – 3 6 – 2 12 – 4 9 – 3 9 – 3 15 – 5 27 – 9
Jumlah 13.135 110,38 153 – 51
Berdasarkan persamaan selang dengan Xmax = 153 dan Xmin = 51
didapatkan selang nilai untuk persepsi masyarakat adalah :
153 – 51 = 34
3
Sehingga skala penilaian yang diperoleh untuk tingkatan modal sosial pada
masyarakat di Kawasan Hutan Produksi Terusan Sialang adalah sebagai berikut:
a Persepsi masyarakat rendah apabila jumlah skor ≤ 85
b Persepsi masyarakat sedang apabila jumlah skor antara 86 – 119
c Persepsi masyarakat tinggi apabila jumlah skor antara ≥ 119
84
Dari Tabel 48 dapat dilihat secara umum mayarakat mempunyai persepsi
yang sedang terhadap program HTR ini (98,32%) dan sisanya mempunyai
persepsi yang tinggi (1,68%). Tingkat persepsi yang berada pada level sedang ini
dikarenakan mereka belum melihat manfaat program HTR yang dirasakan petani
secara langsung. Walaupun pada umumnya mereka menanggapi secara baik
namun mereka masih berhati-hati karena belum ada contoh langsung yang
mereka lihat. Tingkat persepsi masyarakat pada level sedang ini memberikan
harapan yang cukup baik terhadap keberhasilan program pembangunan HTR ini
asalkan ada dukungan kebijakan dan tindakan yang cukup dari stakeholders lain
yang berkepentingan.
Tabel 48 Sebaran tingkat persepsi responden terhadap HTR
No. Kategori tingkat persepsi Selang Skor persepsi
Jumlah (orang)
Persentase (%)
1 2 3
Rendah Sedang Tinggi
≤ 85 86 – 119
>119
0117
2
0,00 98,32
1,68 Jumlah 119 100,00
Poin-poin kebijakan HTR yang masih menjadi kendala dan keberatan
masyarakat adalah masalah pewarisan ijin dan jenis tanaman. Masyarakat
hampir semuanya menginginkan adanya hak pewarisan ijin secara langsung.
Walaupun dalam ketentuan perijinan HTR dalam peraturan Menteri Kehutanan
nomor P.55/Menhut-II/2011 tanggal 06 Juli 2011 mengutamakan ijin diberikan
kepada ahli waris namun masyarakat menginginkan ijin tersebut langsung
diberikan kepada ahli waris sampai ijin tersebut habis dan tidak harus melalui
proses pengurusan perijinan lagi. Mereka mengkhawatirkan apabila tidak
langsung diberikan ahli waris nantinya ada pihak-pihak yang memanfaatkan
celah tersebut untuk mengambil lahan dan tanaman hasil budidaya mereka.
Sedangkan untuk jenis tanaman, mereka pada umumnya menginginkan tanaman
karet di seluruh areal mereka. Ketentuan dari peraturan menteri menyebutkan
bahwa tanaman pokok (tanaman kehutanan) seluas 60% dan tanaman budidaya
tahunan (karet, buah-buahan dll) seluas 40%. Hal ini masih menjadi salah satu
ganjalan bagi mereka dalam menentukan untuk ikut atau tidak program HTR.
85
5.7 Hubungan Karakteristik Individu Dengan Unsur-Unsur Modal Sosial Masyarakat
Karakteristik Individu merupakan unsur pembentuk modal manusia.
Semakin tinggi karakteristik individu seseorang maka akan semakin tinggi modal
manusia. Modal manusia tinggi akan mampu mendorong peningkatan kesadaran
diri, pengaturan diri dan motivasi. Sehingga semakin tinggi modal manusia
semakin besar peluang untuk membentuk kapital sosial (Lawang 2005). Untuk
mengetahui ada tidaknya hubungan antar karakteristik individu digunakan
korelasi Spearman (Tabel 49). Sedangkan nilai korelasi sprearman secara
lengkap tersaji pada Lampiran 4.
Tabel 49 Hubungan antar komponen pada karakteristik individu Karakteristik Individu
Umur Pend. formal
Pend. Non formal
Penda- patan
Tk. Kese-hatan
Luas lahan
Lama tinggal
Status Sosial
Suku Asal
Umur - -0,275** -0,049 0,023 0,168 0,208* 0,040 0,313** 0,145 -0,060
Pend. Formal
-0,275** - 0,398** 0,175 -0,012 0,088 -0,088 0,229* 0,070 0,111
Pend. non formal
-0.049 0,398** - 0,064 0,044 0,201* 0,029 0,257** 0,128 0,089
Pendapatan 0,023 0,175 0,064 - -0,051 0,639** 0,354** 0,540** 0,006 -0,048
Tingkat kesehatan
0,168 -0,012 0,044 -0,051 - 0,098 -0,050 0,148 0,261** 0,060
Luas lahan 0,208* 0,088 0,201* 0,639** 0,098 - 0,256** 0,605** 0,044 -0,091
Lama tinggal 0,040 -0,088 0,029 0,354** -0,050 0,256** - 0,411** 0,124 -0,051
Status sosial 0,313** 0,229* 0,257** 0,540** 0,148 0,605** 0,411** - 0,265** -0,140
Suku 0,145 0,070 0,128 0,006 0,261** 0,044 0,124 0,265** - -0,044
Asal -0,060 0,111 0,089 -0,048 0,060 -0,091 -0,051 -0,140 -0,044 -
Karakteristik individu
0,346** 0,331** 0,365** 0,648** 0,302** 0,708** 0,452** 0,803** 0,365** 0,194*
Keterangan
** Korelasi nyata pada taraf 0.01
* Korelasi nyata pada taraf 0.05
Dari Tabel 49 diketahui bahwa umur berkorelasi negatif dengan
pendidikan formal artinya bahwa semakin tinggi umur semakin rendah
pendidikan formal yang dipunyai. Umur berkorelasi positif dengan luas lahan dan
status sosial. artinya semakin besar umur semakin luas lahan dan semakin
tinggi status sosial masyarakat. Pendidikan formal berkorelasi positif dengan
pendidikan non formal dan juga status sosial. Pendidikan non formal berkorelasi
positif dengan luas lahan dan status sosial. Luas lahan berkorelasi positif dengan
pendapatan, lama tinggal dan status sosial. Lama tinggal berkorelasi positif
dengan status sosial dan suku berkorelasi positif dengan status sosial.
86
Hubungan antara modal karakteristik individu dengan unsur modal sosial
dapat dilihat dalam Tabel 50. Nilai korelasi peringkat Spearman antara
karakteristik individu dan unsur modal sosial dapat dilihat dalam Lampiran 5.
Tabel 50 Hubungan antara karakteristik individu dengan unsur-unsur modal sosial
No Karakteristik Individu Unsur-unsur modal sosial
Kepercayaan Jaringan Norma Proaktif Kepedulian
1 Umur 0.245** 0.388** 0.046 0.389** 0.369** 2 Pendidikan formal -0.107 0.038 0.307** 0.095 -0.120
3 Pendidikan non formal -0.070 0.159 0.145 0.233* 0.037
4 Pendapatan -0.007 0.183* 0.009 0.144 0.196* 5 Tingkat kesehatan 0.039 0.305** 0.175 0.187* 0.333** 6 Luas lahan 0.108 0.422** 0.072 0.150 0.285** 7 Lama tinggal 0.107 0.172 0.167 0.147 0.179
8 Status sosial 0.284** 0.499** 0.172 0.455** 0.490** 9 Suku 0.133 0.252** 0.192* 0.255** 0.372**
x10 Asal Domisili 0.040 -0.034 -0.073 -0.099 -0.077
Keterangan
** Korelasi nyata pada taraf 0.01
* Korelasi nyata pada taraf 0.05
Dari Tabel 50 diketahui bahwa faktor umur berkorelasi positif dengan
kepercayaan, jaringan, proaktif dan kepedulian. Artinya bahwa semakin
bertambah umur masyarakat maka semakin tinggi tingkat kepercayaan, jaringan
sosial, proaktif dan kepedulian mereka. Dalam kenyataan di kehidupan
masyarakat Kawasan Hutan Produksi Terusan Sialang didapati bahwa
pemimpin informal, penggerak dan motivator dalam kehidupan bermasyarakat
adalah para koordinator pemukiman yang dipilih masyarakat dan berumur lebih
tua dari rata-rata pemukim yang lain. Adat-istiadat bali dan jawa yang
mendominasi sistem masyarakat juga memberikan penghormatan kepada orang
yang berumur lebih tua. Demikian juga dalam pelaksanaan ibadah keagamaan
mereka yang selalu menempatkan orang yang lebih tua sebagai imam dan
pemimpin dalam ritual peribadatan. Hal tersebut menyebabkan Keluarga muda
yang ada di dalam komunitas tersebut belum banyak yang memiliki kedudukan
sosial yang mantap. Sehingga tingkat kepercayaan, jaringan, proaktif dan
kepedulian masih berada pada tingkat yang sedang atau rendah.
Faktor pendidikan formal sebagai salah satu unsur modal manusia utama
ternyata hanya berpengaruh pada norma. Semakin tinggi pendidikan seseorang
87
maka akan semakin tinggi pula ketaatan orang tersebut terhadap norma sosial
yang berlaku di dalam komunitas tersebut. Sedangkan pendidikan non formal
berpengaruh pada tindakan proaktif masyarakat. dengan peningkatan
ketrampilan dan pengetahuan mereka dalam bidang tertentu mendorong mereka
untuk lebih proaktif dalam pergaulan masyarakat untuk mempraktekkan
ketrampilan dan pengetahuan tersebut.
Tingkat pendapatan masyarakat berkorelasi positif dengan jaringan dan
kepedulian. Semakin tinggi pendapatan semakin tinggi pula jaringan dan
kepedulian sosial. Kepedulian ini terutama dalam membantu sesama baik dari
segi konsumsi, sarana produksi maupun hubungan sosial. Masyarakat juga tidak
segan untuk memberikan sumbangan baik uang maupun tenaga guna
memperbaiki kondisi lingkungan. Kondisi ini sesuai dengan pendapat Siswiyanti
(2006), bahwa pendapatan yang tinggi cenderung membuat orang berpartisipasi
lebih dibandingkan dengan masyarakat berpendapatan rendah yang cenderung
memiliki kesempatan yang terbatas. Demikian juga dengan jaringan untuk
membentuk ataupun ikut dalam jaringan memerlukan biaya tertentu sehingga
kesempatan orang dengan pendapatan yang lebih baik untuk membentuk/ikut
jaringan sosial akan lebih baik.
Tingkat kesehatan masyarakat berkorelasi positif dengan jaringan proaktif
dan kepedulian. Dengan tingkat kesehatan yang baik memberikan kesempatan
bagi masyarakat untuk melakukan kegiatan lebih banyak dibandingkan dengan
masyarakat dengan tingkat kesehatan yang kurang baik. Kesehatan yang baik
memberikan mereka kemampuan fisik untuk ikut bergotong royong, melakukan
kegiatan untuk membangun jaringan sosial dan juga menolong orang lain yang
membutuhkan.
Luas lahan berkorelasi positif terhadap jaringan sosial dan kepedulian,
semakin luas lahan maka tingkat jaringan sosial dan kepedulian semakin tinggi.
Hal ini menunjukkan bahwa modal fisik (lahan) berperan dalam modal sosial
terutama dalam tingkat jaringan sosial sehingga seseorang mau berpartisipasi
pada organisasi yang dianggap berperan penting dalam kehidupan keluarganya.
Seseorang mau berhubungan atau berinteraksi sosial dalam rangka mengelola
sumberdaya yang dimilikinya, sebab berbeda dengan bentuk modal sosial
lainnya, membangun jaringan ini memang memerlukan investasi yang cukup
banyak (waktu, uang, informasi dan gengsi) sampai dia dapat mengalirkan
manfaat/keuntungan (Uphoff 2000).
88
Lama tinggal tidak berkorelasi dengan unsur-unsur modal sosial di dalam
masyarakat di Kawasan Hutan Produksi Terusan Sialang. Sedangkan status
sosial berkorelasi positif dengan kepercayaan, jaringan, tindakan proaktif dan
kepedulian. Penelitian Setyowati (2010) menunjukkan tidak adanya hubungan
antara lama tinggal dengan tingkat partisipasi masyarakat. Lain halnya dengan
status sosial yang berkorelasi positif dengan kepercayaan, jaringan sosial,
tindakan yang proaktif dan kepedulian. Masyarakat dengan status sosial tinggi
biasanya mampu berinteraksi dan berelasi sosial lebih baik sehingga dapat
memiliki tingkat jaringan yang lebih tinggi. Status sosial juga menunjukkan
tindakan yang proaktif. Jika status adalah unsur statis maka peran adalah unsur
dinamis, sehingga berlaku di mana ada status di situ ada peran atau peran selalu
mengacu pada status yang dimilikinya, sehingga keduanya saling mengimplisit,
artinya orang hidup dengan dasar status (Lawang 2005).
Asal suku bangsa masyarakat yang bermukim di dalam Kawasan Hutan
Produksi Terusan Sialang berpengaruh terhadap norma sosial, jaringan sosial,
tindakan proaktif dan kepedulian. Suatu suku biasanya mempunyai nilai-nilai
tertentu yang dianggap penting. Nilai tersebut akan menentukan pola tingkah
laku dan kebiasaaan yang ada di dalam masyarakat (Hasbullah 2006). Sehingga
latar belakang suku seseorang akan memberikan ciri pada pola tingkah laku
seseorang tersebut di dalam masyarakat. Masyarakat di dalam Kawasan Hutan
Produksi Terusan Sialang terdiri dari beberapa suku bangsa dan pada umumnya
ciri-ciri pola kultural mereka masih terlihat di dalam pergaulan sehari-hari.
Sedangkan asal domisili masyarakat tidak mempunyai korelasi yang nyata
dengan unsur modal sosial.
5.8 Hubungan Modal Sosial Dengan Unsur-Unsur Pembentuk Modal Sosial
Dari hasil analisis korelasi peringkan spearman didapatkan bahwa modal
sosial berkorelasi nyata dengan unsur-unsur modal sosial (Tabel 51).
Berdasarkan nilai korelasi maka didaptkan bahwa korelasi terbesar adalah antara
modal sosial dengan tindakan yang proaktif (0,766), kepercayaan (0,745),
jaringan (0,735), kepedulian (0,695) dan norma (0,195). Semakin besar nilai
korelasi menunjukkan semakin tinggi tingkat hubungan atau pengaruh unsur
modal sosial dengan modal sosial. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian
Oktadiyani (2010) yang menyatakan bahwa unsur kepercayaan, jaringan, norma,
89
tindakan proaktif dan kepedulian berpengaruh nyata terhadap modal sosial
masyarakat Kutai dalam pengembangan ekowisata.
Tabel 51 korelasi antara modal sosial dengan unsur-unsur modal sosial
No Karakteristik Individu Unsur-unsur modal sosial
Kepercayaan Jaringan Norma Proaktif Kepedulian
1 Kepercayaan - 0,306** -0,131 0,406** 0,367** 2 Jaringan 0,306** - 0,237** 0,532** 0,677** 3 Norma -0,131 0,237** - 0,052 0,111
4 Proaktif 0,406** 0,532** 0,052 - 0,547** 5 Kepedulian 0,367** 0,677** 0,111 0,547** - 6 Modal Sosial 0,745** 0,735** 0,195* 0,766** 0,695**
Keterangan
** Korelasi nyata pada taraf 0.01
* Korelasi nyata pada taraf 0.05 5.9 Hubungan Karakteristik Individu Dengan Persepsi Masyarakat
Terhadap Pembangunan HTR Beberapa penelitian yang telah dilakukan menyatakan bahwa
karakteristik individu berhubungan dengan persepsi masyarakat terhadap
program pembangunan (Pujiastuti, 2012). Hubungan antara karakteristik individu
masyarakat di Kawasan Hutan Produksi Terusan Sialang dengan persepsi
masyarakat dalam pembangunan HTR dapat dilihat dalam Tabel 52.
Dari Tabel 52 tersebut dapat diketahui bahwa tingkat pendidikan formal
(X2) berkorelasi nyata dengan persepsi terhadap alokasi lahan HTR (Y2.1).
artinya bahwa semakin tinggi pendidikan masyarakat semakin tinggi pula
persepsi mereka terhadap alokasi lahan HTR. Tingkat pendidikan yang semakin
tinggi menyebabkan semakin banyak informasi dan pengetahuan yang dimiliki
oleh masyarakat sehingga kemampuan mereka untuk memahami kondisi
lingkungan sekitar juga semakin meningkat. Hal ini lebih mempermudah
masyarakat untuk menerima informasi tentang program pembangunan HTR
sehingga mereka akhirnya memahami tentang alokasi lahan tempat mereka
sebagai calon lokasi HTR.
Tingkat pendapatan masyarakat di Kawasan Hutan Produksi Terusan
Sialang (X4) ternyata berhubungan positif dengan persepsi mereka terhadap
alokasi lahan HTR (Y2.1), pasar hasil HTR dan kegiatan penyuluhan dan
pendampingan HTR serta berkorelasi negatif dengan kegiatan pemanfaatan
90
HTR (Y2.3) dan persyaratan Perijinan HTR (Y2.5). Semakin tinggi pendapatan
masyarakat yang diperoleh dari kawasan tersebut akan semakin meningkatkan
keterkaitan mereka dengan pembangunan HTR. Sehingga mereka akan
berusaha untuk dapat ikut dalam program HTR untuk menjamin pendapatan
yang selama ini mereka dapatkan dari kawasan tersebut tetap akan mereka
terima. Dalam hal pola pembangunan HTR dan persyaratan HTR, semakin
rendahnya persepsi masyarakat yang berpendapatan lebih tinggi tidak terlepas
dari latar belakang mereka telah mempunyai kemapanan dalam perekonomian
dengan mengusahakan komoditas non kehutanan (non kayu) sehingga dalam
pembangunan HTR persepsi mereka terhadap ketentuan bahwa tanaman HTR
harus didominasi dengan tanaman kehutanan (60%) kurang mereka terima.
Sedangkan terkait masalah persyaratan perijinan pengalaman mereka yang telah
berusaha untuk mendapatkan ijin HTR dan mengalami kesulitan dalam
memperoleh persyaratan ijin tersebut menyebabkan semakin menurunnya
tingkat persepsi mereka.
Luas lahan masyarakat berkorelasi positif dengan persepsi masyarakat
terhadap alokasi lahan HTR, kegiatan sosialisai HTR dan kegiatan penyuluhan
dan pendampingan HTR serta berkorelasi negatif dengan kegiatan pemanfaatan
hasil HTR. Hal ini berarti bahwa semakin luas kepemilikan lahan di dalam
kawasan maka semakin tinggi pula kesadaran masyarakat terhadap alokasi
lahan HTR dilokasi tersebut juga bahwa semakin banyak pula mereka terlibat
dalam kegiatan sosialisasi, penyuluhan dan pendampinga HTR. Namun semakin
luas lahan kepemilikan menyebabkan mereka semakin tidak menyetujui
ketentuan bahwa pengusahaan HTR hanya untuk menghasilkan kayu hal ini
dikarenakan selama ini mereka menggantungkan perekonomian mereka pada
hasil komoditas non kayu (karet dan padi).
Status sosial masyarakat berkorelasi positif dengan persepsi masyarakat
terhadap alokasi lahan HTR, hak dan kewajiban pembangunan HTR, pasar
komoditas hasil HTR, kegiatan sosialisasi HTR dan kegiatan pendampingan dan
penyuluhan HTR serta berkorelasi negatif dengan kegiatan pemanfaatan hasil
HTR. Sedangkan Asal domilisi masyarakat berkorelasi positif dengan jangka
waktu dan luas pengusahaan HTR. Artinya bahwa semakin dekat asal domisili
masyarakat dengan lokasi mereka semakin tinggi persepsi mereka terhadap
ketentuan jangka wantu dan luas pengusahaan HTR.
91
Tabel 52 Korelasi karakteristik individu dengan persepsi masyarakat terhadap pembangunan HTR
Persepsi masyarakat
Karakteristik individu X1 X2 X3 X4 X5 X6 X7 X8 X9 X10
Y2.1 0.135 0.315** 0.153 0.200* 0.128 0.249** 0.106 0.355** 0.013 0.153
Y2.2 -0.048 0.144 0.066 -0.013 0.103 0.020 -0.147 -0.109 -0.086 0.042
Y2.3 0.091 -0.135 -0.101 -0.358** -0.065 -0.223* -0.175 -0.203* -0.002 -0.064
Y2.4 0.056 0.011 0.010 -0.010 0.110 -0.021 0.056 0.033 0.170 -0.158
Y2.5 0.007 0.147 0.121 -0.206* 0.150 -0.066 -0.061 -0.029 0.110 0.101
Y2.6 0.112 0.083 0.169 -0.019 0.110 0.114 -0.067 0.163 0.022 -0.030
Y2.7 -0.092 -0.004 0.134 0.001 -0.027 0.046 -0.136 -0.134 -0.034 0.231*
Y2.8 -0.074 -0.091 0.123 -0.037 -0.087 -0.059 -0.134 -0.021 0.087 -0.054
Y2.9 0.042 0.158 0.018 0.156 -0.056 0.092 0.099 0.285** 0.126 -0.019
Y2.10 0.033 0.108 0.071 0.290** -0.076 0.137 0.135 0.188* -0.072 -0.078
Y2.11 0.127 -0.100 0.104 -0.121 0.085 0.002 -0.011 -0.020 -0.100 -0.111
Y2.12 0.111 0.096 0.167 0.101 0.095 0.218* 0.044 0.307** 0.086 -0.006
Y2.13 0.111 0.132 0.125 0.267** 0.083 0.278** 0.088 0.231* -0.001 0.074
keterangan ** Korelasi nyata pada taraf 0.01 * Korelasi nyata pada taraf 0.05 X1 : Umur Y2.1 : Alokasi lahan HTR X2 : Pendidikan formal Y2.2 : Pola pembangunan HTR X3 : Pendidikan non formal Y2.3 : Kegiatan pemanfaatan hasil HTR X4 : Tingkat pendapatan Y2.4 : Jenis tanaman HTR X5 : Tingkat kesehatan Y2.5 : Persyaratan perijinan HTR X6 : Luas lahan Y2.6 : Proses perijinan HTR X7 : Lama tinggal Y2.7 : Jangka waktu dan luasan usaha HTR X8 : Status sosial Y2.8 : Pewarisan ijin HTR X9 : Suku Y2.9 : Hak dan kewajiban HTR X10 : Asal domisili Y2.10 : Pasar komoditas hasil HTR Y2.11 : Kelembagaan HTR Y2.12 : Kegiatan sosialisasi HTR Y2.13 : Penyuluhan dan Pendampingan HTR
5.10 Hubungan Antara Modal Sosial Masyarakat Dengan Persepsi Masyarakat Terhadap pembangunan HTR Salah satu faktor yang menentukan keberhasilan program pembangunan
kehutanan termasuk pembangunan HTR adalah faktor kultural masyarakat yang
bermanifestasi dalam bentuk modal sosial. Selain itu penelitian tentang program
pengelolaan hutan serupa yang melibatkan masyarakat menyebutkan perlunya
mengetahui pandangan masyarakat terhadap program yang akan dilaksanakan
terutama jika program tersebut merupakan program baru (Mehta & Kellert 1998).
Penelitian Robertson dan Lawes (2005) menyimpulkan bahwa sikap dan
pandangan masyarakat sangat mempengaruhi keputusan mereka untuk ikut
serta dalam beberapa skema pengelolaan hutan yang ditawarkan di Afrika
Selatan. Dengan demikian untuk mengetahui kebijakan yang sesuai dengan
kebutuhan masyarakat, maka diperlukan pandangan atau kajian terhadap
92
ketentuan-ketentuan pelaksanaan HTR dari perspektif masyarakat sebagai
pelaku utama. Dari hasil analisis korelasi peringkat spearman diperoleh hasil
bahwa modal sosial masyarakat di Kawasan Hutan Produksi Terusan Sialang
berkorelasi positif dengan persepsi masyarakat terhadap pembangunan HTR di
daerah tersebut. Hubungan antara karakteristik individu, tingkat modal sosial
masyarakat di Kawasan Hutan Produksi Terusan Sialang dan persepsi
masyarakat terhadap pembangunan HTR di wilayah tersebut dapat dilihat dalam
Tabel 53.
Tabel 53 Hubungan antara karakteristik individu, modal sosial dan persepsi responden terhadap pembangunan HTR
Karakteristik Individu
Modal Sosial Persepsi Terhadap HTR
Karakteristik Individu - 0,683** 0,230* Modal Sosial 0,683** - 0,233* Persepsi terhadap HTR
0,230* 0,233* -
Keterangan ** Korelasi nyata pada taraf 0.01
* Korelasi nyata pada taraf 0.05
Korelasi posistif tersebut berarti bahwa semakin tinggi karakteristik
individu masyarakat maka akan semakin tinggi pula modal sosial dan persepsi
masyarakat terhadap pembangunan HTR di Kawasan Hutan Produksi Terusan
Sialang. Semakin tinggi modal sosial yang dimiliki masyarakat maka akan
semakin tinggi pula persepsi masyarakat terhadap pembangunan HTR. Hal ini
sesuai dengan pendapat Putnam (1993) yang menyebutkan bahwa modal sosial
sangat berkaitan dengan masyarakat sipil (civil society) sehingga modal sosial
yang tinggi akan membawa dampak pada tingginya partisipasi masyarakat sipil
dalam berbagai bentuknya.
Tingkat modal sosial masyarakat yang tinggi di kawasan tersebut
merupakan modal yang berharga. Dalam perencanaan dan pelaksanaan
pembangunan HTR seharusnya masyarakat lebih dilibatkan untuk meningkatkan
keberhasilannya. Proses pembangunan HTR yang terkesan tidak mengalami
kemajuan di daerah tersebut lebih disebabkan kurangnya pengetahuan
pengambil kebijakan tentang kondisi sosial budaya masyarakat di dalam
kawasan tersebut. Hal ini dapat diketahui dari tidak adanya pengetahuan dan
93
informasi tentang kondisi sosial budaya masyarakat di instansi-instansi yang
mengambil kebijakan dalam pembangunan HTR di wilayah tersebut.
Kebijakan kawasan hijau dan kawasan putih yang diambil dalam melakukan verifikasi oleh BPPHP V diakibatkan tidak adanya pengetahuan tentang kondisi sosial budaya tersebut. Dengan alasan untuk menghindari konflik di kawasan tersebut areal yang termasuk dalam kawasan putih tidak diloloskan dalam verifikasi. Padahal dalam kenyataan di lapangan konflik kepemilikan lahan sudah tidak ada lagi. Semua lahan di kawasan tersebut sudah habis dibagi oleh masyarakat dengan batas-batas yang sudah jelas dan diakui oleh masyarakat setempat. Sebagai akibat dari kesalahan dalam pengambilan kebijakan tersebut, masyarakat yang tadinya mempunyai harapan dan keinginan ynag cukup besar untuk dapat berperan aktif dalam pembangunan HTR mengambil sikap menunggu. Mayoritas mereka masih mempunyai harapan namun tidak lagi terlibat secara aktif. Untuk saat ini masyarakat yang masih terlibat secara aktif adalah kelompok masyarakat yang secara karakteristik individu mempunyai kelebihan baik dalam hal modal manusia, modal fisik dan modal sosial. Adanya beberapa pihak yang ingin menjadi free rider dalam pelaksanaan pembangunan HTR juga telah menyebabkan terhambatnya program HTR tersebut. Di dalam kawasan tersebut terdapat ± 300 ha lahan yang masih kosong (bekas areal proyek PHPL kerjasama dengan JICA) yang dijaga ketat oleh aparat kehutanan. Kawasan tersebut diperebutkan oleh beberapa pihak yang ingin menjadi free rider dalam pembangunan HTR. Masyarakat sekitar yang berhak untuk mengelola kawasan tersebut dalam skema HTR akhirnya malah terpinggirkan. Para pembonceng yang dekat dengan instansi pengambil keputusan berhasil memaksakan kehendak dan menyebabkan usulan masyarakat untuk mengelola kawasan tersebut dalam skema pembangunan HTR terhambat. Karena status yang belum jelas dari kawasan tersebut mengakibatkan terhambatnya seluruh proses pembangunan HTR di Kawasan Hutan Produksi Terusan Sialang. 5.11 Dukungan Infrastruktur
Dukungan infrastruktur dalam pembangunan HTR merupakan modal fisik masyarakat dalam mendukung keberhasilan pembangunan HTR disamping dukungan modal manusia dan modal sosial. Penilaian terhadap dukungan infrastruktur dalam pembangunan HTR ini tidak hanya pada ketersediaannya namun juga pada kualitas pelayanan dalam 3 tahun terakhir ( Tabel 58).
Dari Tabel 54 diketahui bahwa pada umumnya sarana/prasarana pendukung masyarakat dirasakan tersedia dan pelayanan yang diberikan bertambah baik oleh masyarakat kecuali untuk sarana pelatihan, penyuluhan dan
94
bimbingan teknis serta sarana penyedia modal. Hal ini tidak terlepas dari status tempat tinggal masyarakat yang berada dalam kawasan hutan produksi sehingga permasalahan-permasalahan yang menyangkut dengan formalitas administrasi pemerintahan tidak dilayani. Kegiatan penyuluhan pertanian tidak pernah dilakukan di kawasan tersebut dan juga lembaga-lembaga penyalur kredit untuk petani juga tidak melayani mereka dikarenakan hal tersebut. Kejelasan status lahan mereka dengan adanya pembangunan HTR di daerah tersebut diharapkan mampu meningkatkan ketersediaan dan pelayanan kedua prasarana tersebut. Dengan meningkatnya infrastruktur pendukung diharapkan kesejahteraan masyarakat juga akan meningkat. Tabel 54 Ketersediaan dan pelayanan infrastruktur pendukung pembangunan No Sarana/prasarana Ketersediaan/
pelayanan Jumlah (orang)
Persentase (%)
1 Produksi a lahan b bibit c pupuk d alat pertanian
1 sulit 2 mudah 1 sulit 2 mudah 1 sulit 2 mudah 1 sulit 2 mudah
21 98 20 99 29 90 18
101
17,65 82,35 16,81 83,19 24,37 75,63 15,13 84,87
2 Sarana Transportasi Pelayanan 3 tahun terakhir
1 sulit 2 mudah 1 tidak semakin baik 2 semakin baik
5 114
4 115
4,20 95,80
3,36 96,84
3 Sarana Komunikasi Pelayanan 3 tahun terakhir
1 sulit 2 mudah 1 tidak semakin baik 2 semakin baik
2 117
4 115
1,68 98,32
3,36 96,64
4 Sarana informasi Pelayanan 3 tahun terakhir
1 sulit 2 mudah 1 tidak semakin baik 2 semakin baik
4 115
2 117
3,36 96,64
1,68 98,32
5 Sarana kesehatan Pelayanan 3 tahun terakhir
1 sulit 2 mudah 1 tidak semakin baik 2 semakin baik
2 117
4 115
1,68 98,32
3,36 96,64
6 Sarana pendidikan Pelayanan 3 tahun terakhir
1 sulit 2 mudah 1 tidak semakin baik 2 semakin baik
6 113
3 116
5,04 94,96
2,52 97,48
7 Sarana pelatihan, penyuluhan dan bimbingan teknis Pelayanan 3 tahun terakhir
1 sulit 2 mudah 1 tidak semakin baik 2 semakin baik
116 3
116
3
97,48 2,52
97,48
2,528 Sarana penyedia modal
Pelayanan 3 tahun terakhir
1 sulit 2 mudah 1 tidak semakin baik 2 semakin baik
114 5
116 3
95,80 4,20
97,48 2,52
95
5.12 Strategi Pembangunan HTR di Kawasan Hutan Produksi Terusan Sialang Pembangunan HTR merupakan program pembangunan di bidang
kehutanan yang memberikan kesempatan kepada masyarakat sekitar hutan untuk ikut mengelola kawasan hutan. Program ini diluncurkan sebagai salah satu bentuk implementasi dari kebijakan nasional dalam pembangunan yaitu pro poor, pro job dan pro growth yang dicanangkan oleh pemerintah.
Untuk mempercepat proses pembangunan HTR ini pemerintah mendelegasikan pemberian ijin kepada bupati (pemerintah daerah) dengan tujuan untuk lebih mendekatkan dan mempercepat pelayanan perijinan HTR kepada masyarakat. Namun dalam kenyataannya realisasi pembangunan HTR tidak sesuai dengan target pemerintah bahkan sangat jauh dari target tersebut.
Proses pembangunan HTR di kabupaten OKI sudah dimulai sejak tahun 2009 dengan ditunjuknya Kawasan Hutan Produksi Terusan Sialang sebagai areal pencadangan untuk pembangunan HTR. Penunjukan ini dilatarbelakangi oleh usulan dari Bupati OKI. Usulan Bupati OKI untuk membangun HTR di Kawasan Hutan Produksi Terusan Sialang tidak terlepas dari kondisi kawasan yang sudah sejak tahun 1997 dirambah dan digarap oleh masyarakat sekitar. Sehingga untuk menyelesaikan permasalahan perambahan dan juga untuk memberikan manfaat sosial lebih luas maka bupati OKI mengusulkan untuk pembangunan HTR di daerah tersebut. Namun sejak dicadangkan dari tahun 2009 sampai dengan saat ini baru terdapat satu ijin HTR yang dikeluarkan oleh bupati OKI yaitu atas nama Koperasi karyawan Inhutani (Kopkarinhut) V seluas 301 ha. Pengelolaan hutan termasuk di dalamnya pembangunan hutan tanaman rakyat membutuhkan keputusan yang berdasarkan pada pengetahuan tentang hutan dan nilai manusia yang dapat dijabarkan melalui perencanaan hutan baik secara formal maupun informal. Perencanaan pengelolaan hutan meliputi perpaduan sistem ekologi, ekonomi dan sosial yang masing-masing bersifat kompleks. Keputusan yang diambil harus mempertimbangkan nilai-nilai ekologi, ekonomi dan sosial sehingga mampu memberikan kelestarian hasil dengan ciri utama adanya kewajiban bagi pemilik lahan dan masyarakat membuat komitmen jangka panjang untuk mengelola hutannya bagi generasi mendatang (Davis et al 2001). Untuk meningkatkan keberhasilan dalam pembangunan hutan tanaman rakyat di kabupaten OKI maka diperlukan strategi pembangunan HTR yang tidak hanya berdasarkan pada sumberdaya alam, sumberdaya fisik dan sumberdaya manusia saja, tetapi membutuhkan penguatan modal sosial masyarakat sasaran
96
program pembangunan. Strategi pembangunan hutan tanaman rakyat seharusnya melibatkan unsur-unsur sosial, ekonomi dan budaya setempat, sehingga tidak menimbulkan ketergantungan masyarakat kepada pemerintah dan dapat berkelanjutan sehingga akan memberikan manfaat nyata bagi masyarakat dan lingkungan sekitar serta menjadi stimulus bagi perkembangan ekonomi yang lebih luas di daerah tersebut. Perumusan strategi pembangunan HTR di kabupaten OKI menggunakan analisis kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman atau analisis SWOT. Perumusan strategi pembangunan/pengelolaan hutan skala kecil dengan menggunakan analisi SWOT ini sudah dilakukan pada pembangunan hutan rakyat di Tana Toraja (Patabang et al 2008) dan di Sub DAS Cisedane Hulu (Rinawati 2012). Untuk pemilihan strategi pembangunan HTR digunakan analisis matrik perencanaan strategis kuantitatif (QSPM). Analisis SWOT dan QSPM ini dilaksanakan melalui 3 tahapan yaitu pengumpulan data, analisis dan pengambilan keputusan. 5.12.1 Faktor SWOT
Dari hasil pengumpalan data dan wawancara terhadap stakeholders dalam pembangunan HTR di Kabupaten OKI ini didapatkan faktor-faktor yang mempengaruhi pembangunan HTR tersebut. Faktor-faktor tersebut dikelompokkan menjadi dua yaitu faktor internal dan faktor eksternal.
Faktor Internal
Pembangunan HTR sangat dipengaruhi oleh faktor internal yang berasal dari dalam masyarakat berupa kekutan dan kelemahan. Faktor internal tersebut dievaluasi untuk menentukan faktor apa saja yang paling berpengaruh dalam pembangunan HTR di wilayah tersebut. a Kekuatan
1. Masyarakat memiliki karakteristik individu yang cukup baik dalam hal umur produktif, tingkan kesehatan dan tingkat penghasilan. Karakteristik individu ini merupakan modal manusia yang baik untuk pembangunan HTR.
2. Kepercayaan masyarakat yang cukup tinggi pada tokoh masyarakat, agama dan aparat pemerintahan.
3. Kepercayaan masyarakat yang masih cukup baik terhadap instansi kehutanan
4. Tingkat partisipasi masyarakat dalam jaringan sosial yang cukup baik
97
5. Kepatuhan masyarakat terhadap norma-norma yang berlaku dalam masyarakat tinggi
6. Tingkat proaktif masyarakat yang cukup tinggi 7. Tingkat kepedulian masyarakat yang cukup tinggi 8. Persepsi masyarakat terhadap sebagian besar ketentuan dalam
perijianan pembangunan HTR yang cukup baik 9. Motivasi masyarakat untuk mendapatkan legalitas atas lahan mereka
yang tinggi b Kelemahan
1. Tingkat pendidikan masyarakat yang rendah 2. Kepercayaan masyarakat yang rendah terhadap LSM dan pihak/mitra dari
luar 3. Persepsi masyarakat terhadap ketentuan pewarisan, jenis tanaman HTR
yang rendah, pemanfaatan hasil HTR dan proses peijinan HTR 4. Kelembagaan HTR yang belum berfungsi secara optimal di dalam
masyarakat 5. Tidak adanya lembaga permodalan yang membantu masyarakat 6. Pengetahuan masyarakat yang rendah dalam pembangunan HTR
Matrik evaluasi faktor internal atau internal factor evaluation (IFE) dapat dilihat pada Tabel 55
Dari Tabel 55 diketahui bahwa peubah pada faktor kekuatan yang mempunyai nilai pengaruh yang sangat besar adalah kepercayaan masyarakat yang tinggi terhadap tokoh masyarakat, tokoh agama, aparat pemerintahan dan cukup baik pada instansi kehutanan (0,310). Kepercayaan masyarakat yang tinggi ini menjadi pertanda yang positif karena masyarakat yang kuat hanya dapat dicapai oleh komunitas yang memiliki tingkat kepercayaan yang tinggi (Suharto 2007). Kepercayaan ini menjadi modal yang penting karena akan meningkatkan berbagai tindakan kolektif di dalam masyarakat untuk kemajuan bersama (Hasbullah 2006). Sedangkan nilai pengaruh yang terkecil adalah tingkat kepedulian masyarakat yang cukup baik (0,150). Tingkat kepedulian masyarakat dalam pembangunan HTR dinilai tidak memberikan pengaruh yang cukup banyak dalam keberhasilan pembangunan HTR.
98
Tabel 55 Matrik IFE dalam pembangunan HTR di Kabupaten OKI No Faktor Internal Rata-rata
bobot Rata-rata
rating Nilai
Pengaruh
A Kekuatan 1 Karakteristik individu yang cukup baik
(usia produktif, tingkat kesehatan, penghasilan)
0,080 3,600 0,288
2 Tingkat kepercayaan masyarakat yang tinggi terhadap tokoh masyarakat, agama, aparat pemerintahan dan cukup baik pada instansi kehutanan
0,086 3,600 0,310
3 Tingkat partisipasi masyarakat dalam jaringan sosial yang cukup baik
0,080 3,600 0,288
4 Kepatuhan masyarakat terhadap norma-norma yang berlaku dalam masyarakat tinggi
0,056 3,800 0,213
5 Tingkat prokatif masyarakat yang tinggi 0,052 3,000 0,156
6 Tingkat kepedulian masyarakat yang cukup baik
0,050 3,000 0,150
7 Persepsi masyarakat terhadap pembangunan HTR yang cukup baik
0,082 3,200 0,262
8 Motivasi masyarakat untuk mendapatkan legalitas atas lahan mereka yang tinggi
0,082 3,600 0,292
Total 0,568 1,962
B Kelemahan
1 Tingkat pendidikan masyarakat yang rendah
0,074 2,600 0,192
2 Kepercayaan masyarakat yang rendah terhadap LSM dan pihak/mitra dari luar
0,060 2,600 0,156
3 Persepsi masyarakat terhadap ketentuan pewarisan, jenis tanaman HTR yang rendah, pemanfataan hasil HTR dan proses perijinan HTR
0,050 2,600 0,130
4 Kelembagaan HTR yang belum berfungsi secara optimal di dalam masyarakat
0,104 2,800 0,291
5 Tidak adanya lembaga permodalan yang membantu masyarakat
0,056 2,600 0,146
6 Pengetahuan masyarakat yang rendah dalam pembangunan HTR
0,088 2,400 0,211
Total 0,432 1,126
Kecenderungan terhadap faktor internal 1,000 0,836
Faktor kelemahan yang mempunyai nilai pengaruh yang paling besar
adalah kelembagaan HTR yang belum berfungsi secara optimal di dalam
masyarakat (0.291). Kelembagaan dalam pembangunan HTR merupakan
sebuah prasyarat yang penting dalam keberhasilan pembagunan HTR
(Noordwijk et al. 2007). Permasalahan-permasalahan yang sering dijumpai
99
dalam pembangunan kehutanan di Indonesia salah satunya disebabkan oleh
kurang memadainya kelembagaan dalam pembangunan kehutanan
(Kartodihardjo 2007). Sedangkan nilai terendah untuk faktor kelemahan adalah
pada persepsi masyarakat terhadap ketentuan pewarisan, jenis tanaman HTR
yang rendah, pemanfataan hasil HTR dan proses perijinan HTR (0.130).
Rendahnya persepsi masyarakat ini dikarenakan akumulasi dari pengalaman
mereka dalam memanfaatkan lahan dan mengikuti kegiatan yang terkait dengan
perijinan HTR. Persepsi ini dapat ditingkatkan apabila masyarakat diberikan
pengetahuan dan pengalaman untuk mengelola lahan mereka dengan tanaman
budidaya kehutanan serta instansi kehutanan terkait dengan perijinan HTR ini
memperbaiki kinerja mereka dalam memproses usulan perijinan HTR dengan
mengedepankan dialog dan keterbukaan.
Faktor Eksternal Faktor eksternal adalah faktor-faktor yang berpengaruh dalam
pembangunan HTR di kabupaten OKI yang berasal dari luar terdiri dari peluang
dan ancaman. Evaluasi terhadap faktor eksternal juga dilakukan oleh
stakeholders seperti pada evaluasi faktor internal.
a Peluang
1. Dukungan kebijakan, dana dan infrastruktur HTR dari instansi terkait
2. Dukungan dari aparat pemerintahan lokal
3. Adanya kegiatan pendampingan untuk meningkatkan kapasitas
kelembagaan dan teknis masyarakat terkait dengan pembangunan HTR
4. Harga komoditas hasil hutan (kayu dan non kayu) yang semakin tinggi.
b Ancaman
1. Adanya free rider dalam proses pembangunan HTR di Kab OKI
2. Kebijakan verifikasi yang membagi areal kawasan hijau dan kawasan
putih
3. Jumlah dan Kemampuan pendamping yang belum memadai
4. Persyaratan perijinan HTR yang masih menyulitkan masyarakat
5. Belum jelasnya pasar kayu yang akan menampung hasil HTR
6. Kegiatan sosialisas, pendampingan dan penyuluhan tentang HTR yang
belum menjangkau sampai masyarakat di tingkat tapak
7. Kurangnya koordinasi antar instansi dalam pembangunan HTR
100
8. Tidak adanya keterbukaan dalam proses perijinan HTR
9. Matrik evaluasi faktor eksternal atau external factor evaluation (EFE)
dapat dilihat pada Tabel 56.
Tabel 56 Matrik EFE dalam pembangunan HTR di Kabupaten OKI
No Faktor Internal Rata-rata bobot
Rata-rata rating
Nilai Pengaruh
A Peluang 1 Dukungan kebijakan, dana dan
infrastruktur HTR dari instansi terkait 0,114 3,600 0,410
2 Dukungan dari aparat pemerintahan lokal 0,110 3,600 0,396
3 Adanya kegiatan pendampingan 0,100 2,600 0,260
4 Harga komoditas hasil hutan (kayu dan non kayu) membaik
0,068 2,800 0,190
Total 0,392 1,256
B Kelemahan
1 Adanya free rider dalam proses pembangunan HTR di Kab OKI
0,086 3,400 0,292
2 Kebijakan verifikasi yang membagi areal kawasan hijau dan kawasan putih
0,086 2,800 0,241
3 Jumlah dan Kemampuan pendamping yang belum memadai
0,054 1,800 0,097
4 Persyaratan perijinan HTR yang masih menyulitkan masyarakat
0,102 1,600 0,163
5 Belum adanya pasar kayu yang akan menampung hasil HTR
0,056 2,000 0,112
6 Kegiatan sosialisas, pendampingan dan penyuluhan tentang HTR yang belum menjangkau sampai masyarakat di tingkat tapak
0,056 2,400 0,134
7 Kurangnya koordinasi antar instansi dalam pembangunan HTR
0,072 2,000 0,144
8 Tidak adanya keterbukaan dalam proses perijinan HTR
0,096 3,000 0,288
Total 0,608 1,472
Kecenderungan terhadap faktor internal 1,000 -0,215
Dari Tabel 56 diketahui bahwa faktor peluang dengan nilai pengaruh terbesar adalah dukungan kebijakan, dana dan infrastruktur HTR dari instansi terkait (0,410). Dukungan kebijakan pembangunan HTR dari instansi terkait ini merupakan faktor yang sangat penting dalam menunjang keberhasilan pembangunan HTR karena adanya dukungan dan bantuan tersebut dapat membantu menutupi kekurangmampuan masyarakat dalam beberapa aspek
101
terkait dengan pembangunan HTR di wilayah tersebut. Sedangkan nilai pengaruh terendah ada pada faktor harga komoditas hasil hutan (kayu dan non kayu) yang semakin tinggi (0,190). Faktor ancaman dengan nilai pengaruh paling tinggi adalah Adanya free rider dalam proses pembangunan HTR di Kab OKI (0,292). Adanya free rider dalam proses pembangunan HTR di Kabupaten OKI ini yang menyebabkan terhambatnya proses perijinan. Masyarakat dan aparat pemerintah lokal melihat bahwa free rider yang ingin menumpang dalam pembangunan HTR berasal dari BPPHP V dan Dinas Kehutanan Kabupaten OKI sehingga aparat pemerintah lokal cenderung berhati-hati dalam mengeluarkan rekomendasi untuk perijinan. Sedangkan Dinas Kehutanan Kabupaten memandang bahwa free rider ini berasal dari masyarakat dan BPPHP V sehingga mereka membentuk tim konsolidasi di dalam kawasan HTR tersebut untuk mengkondisikan masyarakat dalam proses perijinan HTR. Sedangkan BPPHP V melihat bahwa free rider ini berasal dari Dinas Kehutanan Kabupaten OKI dan masyarakat sehingga mereka membuat kebijakan verifikasi dengan membagikan areal dalam kawasan hijau dan kawasan putih. Sebagai akibat dari berbagai tindakan tersebut, proses perijinan HTR di kabupaten OKI tidak berjalan sebagaimana mestinya. Sedangkan faktor ancaman dengan nilai pengaruh terkecil adalah jumlah dan kemampuan pendamping yang belum memadai (0,097). Peran pendamping dalam pembangunan HTR sangat strategis. Pendamping merupakan pihak yang bertugas untuk membakeli masyarakat dalam hal pengetahuan teknis dan pemberdayaan kelembagaan pembangunan HTR. 5.12.2 Tahapan Analisis Tahapan analisis dilakukan dengan memadukan faktor internal dan faktor eksternal dalam dengan menggunakan matrik SWOT. Dari matrik SWOT yang dihasilkan pada tahapan analisis ini (Tabel 60) dihasilkan Sembilan alternatif strategi pembangunan HTR yang merupakan perpaduan unsur kekuatan dan peluang, Kekuatan dan ancaman, kelemahan dan peluang serta kelemahan dan ancaman. Strategi dalam pembangunan HTR di Kabupaten OKI tersebut adalah: a Strategi S – O (strength – opportunity/kekuatan – ancaman) Strategi S – O merupakan strategi agresif yang memanfaatkan kekuatan untuk menggunakan semua peluang yang ada sehingga diperoleh hasil yang maksimal. Strategi S – O tersebut adalah : 1. Mengaktifkan dan mengefektifkan lembaga non formal dalam ikut
mendukung pembangunan HTR.
102
2. Membangun komunikasi dan koordinasi yang baik antara pemerintah dan masyarakat dalam pembangunan HTR.
b Strategi W – O (weakness – opportunity/kelemahan – ancaman) Strategi W – O merupakan strategi konservatif yang menggunakan peluang yang ada untuk mengatasi kelemahan. Alternatif strategi W – O tersebut adalah: 1. Pemberdayaan petani dalam bidang iptek, kelembagaan, dan pemasaran
sesuai karekteristik sosial budaya setempat. 2. Peningkatan akses petani terhadap informasi, lembaga permodalan,
pendidikan dan penyuluhan serta pasar hasil hutan. c Strategi S – T (strength – threat/kekuatan – ancaman) Strategi S –T adalah strategi kompetitif yang memanfaatkan faktor kekuatan internal untuk mengurangi ancaman eksternal. Alternatif strategi S – T tersebut adalah: 1. Peningkatan kapasitas petani dan pendamping HTR dalam kelembagaan,
pengetahuan teknis kehutanan dan pemasaran dalam pembangunan HTR. 2. Membentuk forum komunikasi, koordinasi dan layanan informasi antar
stakeholders dalam pembangunan HTR sebagai sarana untuk mencari solusi permasalahan pembangunan HTR, pengembangan peluang kemitraan dan pemasaran, serta pusat informasi pembangunan HTR.
3. Memfasilitasi masyarakat dalam pemenuhan persyaratan dan proses perijinan serta verifikasi HTR
d Strategi W – T (weakness – threat/kelemahan – ancaman) Strategi W – T adalah strategi defensif yang berusaha meminimalkan kelemahan untuk mengatasi ancaman eksternal. Alternatif strategi W – T tersebut adalah: 1. Perlu campur tangan pemerintah dan mitra strategis dalam meningkatkan
kapabilitas petani. 2. Membuka dialog antara masyarakat, LSM dan pemerintah dalam
pembangunan HTR. Strategi pembangunan HTR di Kabupaten OKI terpilih yang
memungkinkan untuk diimplementasikan adalah hasil pertemuan sumbu x (faktor internal) dan sumbu y (faktor eksternal). Berdasarkan selisih jumlah nilai pengaruh unsur internal yaitu antara kekuatan dan kelemahan (1,962 - 1,126 = 0,836) dan selisih total nilai pengaruh unsur eksternal yaitu peluang dan ancaman (1,257 – 1,472 = -0,215). Sehingga kedudukan pembangunan HTR di Kabupaten OKI berada pada sel atau kuadran II yaitu pada titik 0,836;-0,215 (Gambar 5).
103
Posisi ini mendukung strategi kompetitif (S – T) yang didasarkan pada pemanfaatan seluruh kekuatan internal (strength) pada komunitas untuk menghindari atau mengurangi dampak ancaman eksternal (threats). Strategi kompetitif yang dilakukan antara lain berupa integrasi horizontal serta melakukan pengembangan produk melalui diversifikasi baik produk ataupun pasar (David 2009). Strategi alternatif pembangunan HTR di Kabupaten OKI yang memungkinkan untuk diimplementasikan berdasarkan posisi pada kuadran II adalah: 1. Peningkatan kapasitas petani dan pendamping HTR dalam hal
kelembagaan, pengetahuan teknis kehutanan dan pemasaran dalam pembangunan HTR.
2. Membentuk forum komunikasi, koordinasi dan layanan informasi antar stakeholders dalam pembangunan HTR sebagai sarana untuk mencari solusi permasalahan pembangunan HTR, pengembangan peluang kemitraan dan pemasaran, serta pusat informasi pembangunan HTR.
3. Memfasilitasi masyarakat dalam pemenuhan persyaratan dan proses perijinan serta verifikasi HTR
Gambar 5 Kedudukan strategi pembangunan HTR di Kabupaten OKI berdasarkan analisis SWOT
Opportunities (O)
Kuadran I Strategi Agreasif
Strength (S) Weakness (W)
Threat (T)
Kuadran II Strategi Kompetitif
Kuadran IV Strategi Defensif
Kuadran III Merubah Strategi
0.836, -0.215
-0.6
-0.4
-0.2
-6E-16
0.2
0.4
0.6
-1 -0.8 -0.6 -0.4 -0.2 1E-16 0.2 0.4 0.6 0.8 1
104
Tabel 57 Matrik SWOT Pembangunan HTR di Kabupaten OKI
Internal Eksternal
Kekuatan (S) 1. Karakteristik individu yang cukup
baik (usia produktif, tingkat kesehatan, penghasilan)
2. Kepercayaan masyarakat yang cukup tinggi pada tokoh masyarakat, agama dan aparat pemerintahan.
3. Kepercayaan masyarakat yang masih cukup baik terhadap instansi kehutanan
4. Tingkat partisipasi masyarakat dalam jaringan sosial yang cukup baik
5. Kepatuhan masyarakat terhadap norma-norma yang berlaku dalam masyarakat tinggi
6. Tingkat proaktif masyarakat yang cukup tinggi
7. Tingkat kepedulian masyarakat yang cukup tinggi
8. Persepsi masyarakat terhadap sebagian besar ketentuan dalam perijianan pembangunan HTR yang cukup baik
9. Motivasi masyarakat untuk mendapatkan legalitas atas lahan mereka yang tinggi
Kelemahan (W) 1. Tingkat pendidikan masyarakat
yang rendah 2. Kepercayaan masyarakat yang
rendah terhadap LSM dan pihak/mitra dari luar
3. Persepsi masyarakat terhadap ketentuan pewarisan, jenis tanaman HTR yang rendah, pemanfaatan hasil HTR dan proses peijinan HTR
4. Kelembagaan HTR yang belum berfungsi secara optimal di dalam masyarakat
5. Tidak adanya lembaga permodalan yang membantu masyarakat
6. Pengetahuan masyarakat yang rendah dalam pembangunan HTR
Peluang (O) 1. Dukungan kebijakan, dana dan
infrastruktur HTR dari instansi terkait
2. Dukungan dari aparat pemerintahan lokal
3. Adanya kegiatan pendampingan untuk meningkatkan kapasitas kelembagaan dan teknis masyarakat terkait dengan pembangunan HTR
4. Harga komoditas hasil hutan (kayu dan non kayu) yang semakin tinggi
Strategi S-O 1. Mengaktifkan dan mengefektifkan
lembaga non formal dalam ikut mendukung pembangunan HTR (S2, S3, S4, S5 S6,S7,S8, O1,O2,O3)
2. Membangun komunikasi dan koordinasi yang baik antara pemerintah dan masyarakat dalam pembangunan HTR (S1,S2,S3,S4,S5, S6, S7, S8,S9, O1,O2,O3,O4)
Strategi W-O 1. Pemberdayaan petani dalam
bidang iptek, kelembagaan, dan pemasaran sesuai karekteristik sosial budaya setempat. (W1,W3,W4,W6,O1,O2,O3)
2. Peningkatan akses petani terhadap informasi, lembaga permodalan, pendidikan dan penyuluhan serta pasar hasil hutan (W1, W2, W3,W4,W,W6, O1,O2,O3,O4)
Ancaman (T) 1. Adanya free rider dalam proses
pembangunan HTR di Kab OKI 2. Kebijakan verifikasi yang membagi
areal kawasan hijau dan kawasan putih
3. Jumlah dan Kemampuan pendamping yang belum memadai
4. Persyaratan perijinan HTR yang masih menyulitkan mayarakat
5. Belum jelasnya pasar kayu yang akan menampung hasil HTR
6. Kegiatan sosialisas, pendampingan dan penyuluhan tentang HTR yang belum menjangkau sampai masyarakat di tingkat tapak
7. Kurangnya koordinasi antar instansi dalam pembangunan HTR
8. Tidak adanya keterbukaan dalam proses perijinan HTR
Strategi S-T 1. Peningkatan kapasitas petani dan
pendamping HTR dalam kelembagaan, pengetahuan teknis kehutanan dan pemasaran dalam pembangunan HTR(S1, S2, S3, S4, S5, S6, S7, S8, S9, T3, T4, T5, T6)
2. Membentuk forum komunikasi, koordinasi dan layanan informasi antar stakeholders dalam pembangunan HTR (S1, S2, S3, S4, S5, S6, S7, S8, S9, T1, T2, T4, T5, T6, T7, T8)
3. Memfasilitasi masyarakat dalam pemenuhan persyaratan dan proses perijinan serta verifikasi HTR (S1, S2, S3, S4, S5, S6, S7, S8, S9, T2, T3, T4)
Strategi W-T 1. Perlu campur tangan
pemerintah dan mitra strategis dalam meningkatkan kapabilitas petani (W1, W2, W4,W5,W6.T4, T5, T6,)
2. Membuka dialog antara masyarakat, LSM dan pemerintah dalam pembangunan HTR (W2, W3, W6, T1, T2, T4, T6, T7, T8)
105
5.12.2 Tahap Pengambilan Keputusan Pengambilan keputusan terhadap alternatif strategi kebijakan dalam
pembangunan HTR di Kabupaten OKI menggunakan matriks QSPM (David
2009). Pengambilan keputusan dengan menggunanakan matriks QSPM
menggunakan skor ketertarikan atau attractiveness score (AS) dari stake holders
terhadap alternatif strategi kebijakan yang diperoleh dengan menggunakan
analisis SWOT. Stake holders yang dilibatkan dalam QSPM ini adalah tokoh
masyarakat, aparat pemerintahan lokal, Dinas Kehutanan Kabupaten OKI,
BPPHP Wilayah V dan Pendamping HTR. Dari hasil penilaian AS pada alternatif
strategi dalam pembangunan HTR di Kabupaten OKI ini dapat dilihat dalam
Tabel 58.
Tabel 58 Rekapitulasi matriks QSPM pada pembangunan HTR di Kabupaten OKI
Faktor Strategis bobot Skor Ketertarikan
Strategi I Strategi II Strategi III AS TAS AS TAS AS TAS
Faktor strategi internal Kekuatan Kelemahan
0,568 0,432
3,175 3,033
1,803 1,310
3,355 3,167
1,903 1,368
2,775 3,000
1,576 1,296
Total 1,000 6,208 3,113 6,522 3,271 5,775 2,872Faktor strategi eksternal Peluang Ancaman
0,392 0,608
2,400 2,325
0,941 1,414
2,950 2,850
1,156 1,733
2,600 2,875
1,019 1,748
Total 1,000 4,725 2,355 6,400 2,889 5,475 2,767Total skor ketertarikan 5,468 6,160 5,639Strategi terpilih III I II
Dari matriks QSPM seperti terlihat pada Tabel 62, strategi alternatif yang
terpilih adalah strategi II yaitu membentuk forum komunikasi, koordinasi dan
layanan informasi antar stakeholders dalam pembangunan HTR sebagai sarana
untuk mencari solusi permasalahan pembangunan HTR, pengembangan peluang
kemitraan dan pemasaran, serta pusat informasi pembangunan HTR dengan
nilai TAS 6,160 lebih baik dari strategi Memfasilitasi masyarakat dalam
pemenuhan persyaratan dan proses perijinan serta verifikasi HTR dengan nilai
TAS 5,639 dan strategi Peningkatan kapasitas petani dan pendamping HTR
dalam hal kelembagaan, pengetahuan teknis kehutanan dan pemasaran dalam
pembangunan HTR dengan nilai TAS 5,465.
Pembentukan forum komunikasi, koordinasi dan layanan informasi antar
stakeholders dalam pembangunan HTR sebagai sarana untuk mencari solusi
permasalahan pembangunan HTR, pengembangan peluang kemitraan dan
pemasaran, serta pusat informasi pembangunan HTR di Kabupaten OKI ini
dipilih sebagai alternatif strategi dengan nilai TAS tertinggi oleh tokoh
106
masyarakat, aparat pemerintahan desa dan Dinas Kehutanan kabupaten OKI
(gambar 6). Pembentukan forum multi stakeholders dalam pembangunan HTR di
Kabupaten OKI ini diharapkan mampu menjadi sarana bagi bertemunya dan
berdialogya berbagai kepentingan dari berbagai pihak dalam pembangunan
HTR. Sehingga isu-isu seperti adanya free rider, keterbukaan proses perijinan,
kesulitan persyaratan, peluang pemasaran, keterbatasan kapasitas masyarakat,
masalah pendanaan dan lain-lain dapat dibicarakan dan dicarikan jalan keluar
dalam forum tersebut.
Gambar 6 Perbandingan nilai TAS stakeholders terhadap alaternatif kebijakan
dalam pembangunan HTR di Kabupaten OKI
Alternatif kebijakan yang lain dalam pembangunan HTR di Kabupaten
OKI (penguatan kapasistas masyarakat dan fasilitasi masyarakat) juga perlu
dilaksanakan apalagi beberapa instansi pemerintah sudah menganggarkan
untuk melaksakan kegiatan tersebut. Namun pelaksanaan dari kebijakan
tersebut akan kurang maksimal apabila masih terdapat isu-isu keterbukaan dan
free rider yang belum dicarikan jalan keluar. Dan yang lebih penting adalah
dukungan dari masyarakat terhadap kebijakan-kebijakan tersebut karena tanpa
dukungan dari masyarakat maka hasil dari kebijakan tersebut akan kurang
maksimal. Hal ini disebabkan karena salah satu faktor penentu keberhasilan
pembangunan adalah collective action yang tinggi (Kartodihardjo 2006). Karena
alasan tersebut maka pembentukan forum komunikasi, koordinasi dan layanan
informasi dalam pembangunan HTR di Kabupaten OKI ini menjadi penting untuk
segera diwujudkan guna menunjang keberhasilan pembangunan HTR di
Kabupaten OKI.
0
1
2
3
4
5
6
7
8
Alternatif kebijakan I
Alternatif kebijakan II
Alternatif kebijakan III