V. GAMBARAN UMUM STRUKTUR, PERILAKU DAN KINERJA … · perkembangan perbankan Islam yang dikenal...
Transcript of V. GAMBARAN UMUM STRUKTUR, PERILAKU DAN KINERJA … · perkembangan perbankan Islam yang dikenal...
65
V. GAMBARAN UMUM STRUKTUR, PERILAKU DAN KINERJA INDUSTRI PERBANKAN SYARIAH INDONESIA
Walaupun konsep Ekonomi Islam secara umum telah dirumuskan dan
dipraktekkan sejak awal agama Islam dikembangkan, perwujudannya dalam
bentuk kelembagaan Bank yang didasarkan pada syariat Islam baru dirintis di
Mesir tahun 1960an. Bermula dari sana, perbankan Islam berkembang ke
berbagai belahan dunia sejalan dengan dinamika kebutuhan masyarakat,
khususnya muslim, akan alternatif dari sistem perbankan konvensional. Banyak
kelompok umat Islam yang telah lama meyakini bahwa sistem perbankan
konvensional dengan sistem bunganya dianggap dan telah difatwakan tidak
sesuai dengan syariah. Pada sisi lain, sistem perbankan konvensional juga dari
waktu ke waktu memicu berbagai krisis yang bersumber dari kelemahan sistem
yang melekat dengan sistem yang digunakan sehingga industri perbankan
menjadi salah satu industri yang paling diatur (highly regulated) di dunia untuk
meminimumkan dampak negatifnya. Dengan demikian, diperkenalkannya
perbankan Islam tidak hanya ditunggu oleh mereka yang secara idiologis
memang telah meyakini ketidaksesuaian sistem pebankan konvensional dengan
syariah, tetapi juga menjadi harapan bagi mereka yang merasa tidak puas
dengan sistem perbankan konvensional selama ini.
Pada Bab ini akan diuraikan terlebih dahulu secara deskriptif sejarah
perkembangan perbankan Islam yang dikenal dengan istilah perbankan syariah
di Indonesia. Sejarah perkembangan peraturan dan perundang-undangan yang
mempengaruhi pertumbuhan industri perbankan syariah juga akan disajikan
dalam satu sub-bab tersendiri. Setelah itu barulah diulas secara berturut-turut
dinamika struktur pasar, perilaku persaingan dan terakhir kinerja industri
perbankan syariah di Indonesia. Keseluruhan informasi pada Bab ini akan
66
menjadi latar belakang informasi untuk memahami berbagai hasil kajian empiris
yang akan dilakukan pada Bab-bab selanjutnya.
5.1. Sejarah Perkembangan Industri Perbankan Syariah di Indonesia
Mulainya perbankan syariah di Indonesia dapat dikatakan relatif terlambat
dibandingkan dengan perkembangan pada berbagai negara berpenduduk
muslim lainnya. Negara-negara seperti Mesir, Pakistan, Kuwait, Bahrain, UEA,
Malaysia, Iran dan Turki, misalnya, telah memulai industri perbankan syariah
sejak akhir tahun 70-an dan awal tahun 80-an yang berarti satu dekade lebih
awal dari Indonesia. Perkembangan pada berbagai negara berpenduduk muslim
tersebut terakselerasi sejak didirikannya Islamic Development Bank (IDB) pada
tahun 1975 oleh Organisasi Konferensi Islam (OKI). Salah satu tugas IDB, selain
memenuhi berbagai kebutuhan negara Islam untuk pembangunan, juga
membantu mendirikan bank-bank Islam di berbagai negara anggotanya dengan
menyiapkan panduan tentang pendirian, peraturan dan pengawasan bank
syariah. Untuk pengembangan sistem Ekonomi Syariah secara umum baik dalam
bidang perbankan maupun sektor keuangan secara umum, IDB membangun
Islamic Research and Training Institute (IRTI) yang juga berkedudukan di Jeddah
(Antonio, 2001).
Sejarah perbankan syariah di Indonesia dimulai pada tahun 1992 dengan
didirikannya Bank Muámalat Indonesia (BMI). Berdirinya BMI ini merupakan buah
dari rangkaian diskusi yang dilakukan oleh beberapa cendekiawan muslim yang
diikuti oleh prakarsa dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) membentuk kelompok
kerja untuk mendirikan bank Islam di Indonesia pada tahun 1990. Dari kelompok
kerja inilah akhirnya lahir bank Muámalat Indonesia sebagai bank syariah
pertama di Indonesia.
67
Sampai tahun 1999 perkembangan perbankan syariah cenderung
stagnan karena pada dasarnya BMI belum mempunyai mitra untuk
mengembangkan diri selain beberapa BPRS yang sudah mulai banyak berdiri
pada periode tersebut. Baru setelah berdirinya Bank Syariah Mandiri pada tahun
1999 dengan suntikan modal yang besar dari Bank Mandiri sebagai bank
konvensional terbesar di Indonesia, perkembangan industri perbankan syariah
terlihat lebih hidup. Bank Umum Syariah (BUS) memang masih relatif lambat
perkembangannya pada saat itu, tetapi Unit Usaha Syariah (UUS) dan Bank
Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS) berkembang lebih cepat. Jumlah BUS tidak
bergerak dari jumlah 2 bank sampai tahun 2003 dan hanya bertambah satu lagi
menjadi 3 (Bank Mega Syariah Indonesia) pada tahun 2004 yang bertahan
sampai tahun 2007. Setelah tahun 2007 baru berkembang relatif pesat sampai
mencapai 11 bank pada akhir tahun 2010 (lihat Tabel 5).
Sementara itu, bank BUMN dan swasta nasional maupun asing satu per
satu membuka bank syariah tetapi kebanyakan dimulai dengan bentuk UUS
pada awal berdirinya. Perkembangan UUS pada masa-masa awal berdirinya
sangat terbantu dengan menempel kepada citra, jaringan dan fasilitas induknya
seperti office channeling dan jaringan ATM. Namun UUS bukanlah bentuk ideal
bank syariah yang diharapkan karena ia hanya menjadi agen perluasan bisnis
bank konvensional. Bank syariah ideal yang diharapkan adalah BUS yang
mandiri terlepas dari bank konvensional. Pada akhirnya karena perkembangan
atau tuntutan peraturan, UUS seharusnya dikonversi menjadi BUS sehingga
pada tahun tertentu dapat saja ditemukan jumlah UUS berkurang dibandingkan
tahun sebelumnya. Bank BRI Syariah (2009), BNI Syariah (2000), Syariah
Bukopin (2008) dan BCA Syariah (2010) merupakan contoh-contoh bank yang
berawal dari UUS yang pada akhirnya berubah menjadi BUS beberapa tahun
68
kemudian. Jumlah UUS sempat mencapai jumlah tertinggi sebanyak 27 bank
pada akhir tahun 2008.
5.2. Perkembangan Regulasi Industri Perbankan Syariah
Perkembangan perbankan syariah di Indonesia lebih dipelopori oleh pihak
masyarakat dan dunia usaha dibandingkan inisiatif pemerintah. Oleh karena itu,
regulasi dan intervensi pemerintah biasanya datang belakangan setelah
mendapat masukan dan tekanan dari pihak pelaku usaha. Secara umum, bank
syariah di Indonesia berdiri berdasarkan landasan legal yang sangat sederhana
pada tahun 1992. Industri perbankan syariah baru mendapatkan landasan
sebuah Undang-undang yang utuh 16 tahun kemudian. Akibatnya dapat
dipahami kenapa pertumbuhan pangsa pasar perbankan syariah di Indonesia
sampai tahun 2008 bergerak lambat. Berdasarkan pengalaman negara-negara
lain, peranan keberpihakan pemerintah dalam pertumbuhan industri perbankan
syariah sngat besar, terutama pada saat awal-awal pertumbuhan. Oleh karena
itu, perkembangan jumlah dan aset bank syariah di Indonesia juga diduga
sejalan dengan perkembangan peraturan perundang-undangan yang
mendukung.
Pada awal BMI berdiri, keberadaan bank syariah hanya didukung oleh
dibolehkannya bank beroperasi dengan sistem bagi hasil pada UU No. 7 Tahun
1992. Dalam UU ini, istilah bank syariah atau bank Islam sama sekali belum
disebutkan secara eksplisit di dalam batang tubuh. Kesimpulan bahwa bank yang
beroperasi berdasarkan sistem bagi hasil baru mendapatkan penjelasan yang
mengarahkan kepada Bank Syariah pada PP No.2 Tahun 1992 dengan
menyatakan bahwa yang dimaksud dengan prinsip bagi hasil adalah prinsip
muamalat berdasarkan syariat dalam melakukan kegiatan usaha bank. Dengan
69
demikian, pada tahapan ini, penjelasan tentang perbankan dengan sistem bagi
hasil terkesan hanya berupa sisipan dan hanya diuraikan secara sepintas
(Antonio, 2001). Penyebutan secara spesifik sebagai bank dengan prinsip bagi
hasil tanpa menyebut bank syariah menyebabkan kemampuan operasi bank
syariah pada saat itu menjadi sangat terbatas karena prinsip bagi hasil hanya
merupakan salah satu sistem yang dapat digunakan sebuah bank syariah.
Eksistensi kebaradaan perbankan syariah baru secara eksplisit
dikukuhkan pada UU No.10 Tahun 1998 tentang Perbankan Perbankan yang
merupakan perubahan UU tentang perbankan yang sebelumnya (UU
No.7/1992). Di dalam UU ini entitas perbankan Islam secara tegas disebutkan
sebagai Bank Syariah atau Bank Berdasarkan Prinsip Syariah. Walaupun masih
menjadi satu dengan UU Perbankan secara umum, landasan hukum serta jenis-
jenis usaha yang dapat dijalankan oleh bank syariah dijelaskan dengan rinci.
Namun demikian, sebagai bagian dari UU perbankan secara keseluruhan, tentu
saja keluasaan untuk menjelaskan berbagai aspek perbankan syariah secara
menyeluruh dan terintegrasi menjadi terbatas.
Tahun 2008 menjadi tahun yang bersejarah bagi industri perbankan
syariah karena akhirnya UU yang khusus mengatur Perbankan Syariah, yaitu UU
No. 21 Tahun 2008 disahkan pada bulan Juli. Secara rinci, batang tubuh UU ini
dapat dibaca pada Lampiran 6, namun untuk menghemat tempat pada Lampiran
tersebut tidak disertakan penjelasan pasal per pasal yang merupakan bagian
yang tidak terpisahkan dari UU. Untuk melihat sejauhmana pengaruh kebijakan
yang telah lama ditunggu oleh industri perbankan syariah ini terhadap kinerja
industri secara keseluruhan, maka pada penelitian ini akan diuji pengaruh
kebijakan tersebut terhadap pertumbuhan industri di dalam model pertumbuhan
industri.
70
Keluarnya UU No.42 /2009 tentang Amandemen UU PPN yang efektif
berlaku mulai 1 April 2010 semakin melengkapi kondusifnya peraturan yang
mendukung pertumbuhan industri perbankan syariah (Rohilina dan Wibisono,
2011). Sebelumnya bank syariah selalu terbebani dengan pajak berganda yang
dikenakan dalam transaksi murabahah, sehingga mempunyai dayasaing yang
lebih rendah dibandingkan dengan bank konvensional untuk transaksi yang
mereka lakukan. Mulai 1 April 2010, level of playing field antara perbankan
syariah dan perbankan konvensional menjadi setara. Hanya saja industri
perbankan syariah dengan pangsa yang sangat kecil tentu saja bukan tandingan
bagi bank konvensional yang sudah demikian besar dan mempunyai sejarah
jauh lebih panjang. Perlakuan pemerintah kepada industri perbankan syariah
sebagai infant industry masih banyak terdengar diharapkan oleh beberapa
pelaku bank syariah.
5.3. Dinamika Struktur Pasar Perbankan Syariah Indonesia
Karena umur industri yang masih relatif muda, maka struktur pasar pada
industri perbankan syariah masih sangat dinamis. Sejak dimulai tahun 1992,
industri perbankan syariah pada dasarnya dikuasai oleh hanya satu bank, yaitu
BMI sampai berdirinya BSM pada tahun 1999. Keberadaan BPRS pada periode
tersebut dapat diabaikan karena kecilnya pangsa pasar yang mereka kuasai dan
BPRS memang mempunyai karakteristik yang berbeda. Tabel 5 memperlihatkan
perkembangan jumlah bank syariah dari tahun 2000 sampai tahun 2010.
Dari segi jumlah, terlihat dari bahwa BUS secara stabil dikuasai oleh hanya dua
bank sampai tahun 2003 dan tiga bank sampai tahun 2007. Ketiga bank tersebut
adalah BMI, BSM dan Bank Syariah Mega Indonesia (BSMI). Namun
dibandingkan dengan BMI dan BSM, pangsa BSMI sangat tertinggal jauh dengan
71
pangsa pasar hanya sekitar 5 persen, dibandingkan BSM dan BMI dengan
pangsa masing-masing di atas 30 dan 20 persen. Karena umumnya BUS
berukuran jauh lebih besar daripada UUS dan BPRS, maka dapat dinyatakan
bahwa struktur pasar industri perbankan syariah sangat terkonsentrasi, paling
tidak sampai tahun 2007. Trend pada Gambar 5 memperlihatkan bahwa memang
rasio konsentrasi dua bank terbesar (CR2) cenderung menurun dalam lima tahun
terakhir, akan tetapi kedua bank BSM dan BMI masih tetap mendominasi pangsa
pasar pada industri perbankan syariah Indonesia.
Tabel 5. Perkembangan Jumlah Bank dan Kantor Perbankan Syariah di Indonesia Periode 2000-2010
Indikator 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
BUS (unit)
2 2 2 2 3 3 3 3 5 6 11
UUS (unit)
3 3 6 8 15 19 20 25 27 25 23
BPRS (unit)
79 81 83 84 88 92 105 114 131 138 150
Kantor (unit)
146 182 229 337 443 550 567 683 951 1223 1763
Sumber: Statistik Perbankan Syariah, BI.
Penurunan CR2 merupakan konsekuensi logis dari semakin
bertambahnya bank syariah baik BUS maupun UUS, terutama pada tiga tahun
terakhir. Penurunan tingkat konsentrasi akibat semakin banyaknya jumlah bank
syariah mengindikasikan potensi terjadinya peningkatan persaingan dalam
industri perbankan syariah Indonesia. Trend ini semakin diperkuat jika dilihat dari
sisi konsumen. Pada saat awal periode bank syariah didirikan, kemungkinan
besar mayoritas nasabah adalah termasuk kategori nasabah syariah loyalist
yang berarti hanya mau berinteraksi dengan bank syariah. Pada periode awal ini,
bank syariah berarti diuntungkan oleh dua hal, yaitu masih sedikitnya pesaing
72
sesama bank syariah dan tidak perlu khawatir nasabah akan berpindah ke bank
konvensional. Namun dengan berjalannya waktu, segmen nasabah kategori ini
yang diperkirakan tidak lebih dari 25 persen dari seluruh jumlah nasabah (Fahmi
2010) akan semakin habis digarap oleh bank syariah yang ada. Bank syariah
harus memperluas target pasarnya kepada kelompok nasabah yang tidak lagi
loyal hanya kepada bank syariah. Berubahnya karakter nasabah ini
menyebabkan batas persaingan bank syariah tidak hanya dengan sesama bank
syariah yang jumlahnya semakin banyak, tetapi juga dengan bank konvensional
yang secara relatif mempunyai berbagai keuntungan dari segi jangkauan
layanan, ukuran, dan pengalaman.
Sumber: Statistik Perbankan Syariah, berbagai tahun, diolah.
Gambar 5. Kecenderungan Perubahan CR2 dan Pangsa Pasar Dua Bank Terbesar BSM dan BMI Periode 2005-2010
5.4. Dinamika Perilaku Bank Syariah Indonesia
Dinamika pada struktur pasar secara konseptual juga akan menyebabkan
dinamika pada perilaku bank. Namun untuk perilaku bank ini agak sulit diamati
73
dengan hanya melihat data sekunder. Diperlukan pendalaman dengan
mengolahnya lebih jauh dan dukungan data primer untuk mendapatkan indikasi
perilaku bank yang berlangsung. Secara prinsip bank syariah seharusnya tetap
bersaing secara sempurna terlepas dari struktur pasar yang terjadi. Namun
sampai sekarang belum tersedia prosedur dan belum muncul urgency dari pihak
pengawas untuk secara efektif memperhatikan tingkat kepatuhan terhadap
prinsip bersaing secara islami tersebut. Akibatnya dapat terjadi baik disadari
atau tidak bank syariah menerapkan perilaku bersaing yang tidak islami,
terutama oleh bank dominan yang secara riil mempunyai kekuatan pasar.
Oleh karena itu beberapa indikasi awal dapat merujuk kepada beberapa
studi terdahulu, walaupun belum tentu masih menggambarkan kondisi terkini
yang mungkin sudah berubah. Sebagaimana diungkapkan pada Bab III, kajian
Amalia dan Nasution (2007) mengindikasikan bahwa bank syariah bersaing
dengan mengandalkan efisiensi bukan perilaku kolutif, terutama dari bank-bank
dominan, walaupun hasil estimasinya tidak sepenuhnya meyakinkan. Hasil studi
Weill (2009) berdasarkan data cross-country, walaupun tidak spesifik untuk
kasus Indonesia, sejalan dengan hasil yang diperoleh oleh Amalia dan Nasution
(2007) dengan menyimpulkan bahwa dalam industri perbankan syariah
ditemukan struktur pasar persaingan monopolistik seperti halnya pada industri
perbankan konvensional. Padahal pada awalnya Weill (2009) menduga
perbankan syariah akan mengindikasikan kekuatan pasar yang relatif lebih tinggi
dibandingkan dengan perbankan konvensional karena tingkat loyalitas
nasabahnya. Temuan ini sebenarnya malah memberikan bukti awal akan prinsip
persaingan yang islami, yaitu terlepas dari struktur pasar yang terbentuk, bank
syariah harus menunjukkan tingkat persaingan tinggi.
74
Salah satu indikator perilaku yang diduga menunjukkan tekanan
persaingan baik sesama bank syariah maupun dengan bank konvensional
adalah perilaku bank syariah dalam menetapkan tingkat bagi hasil. Hasil studi
Kasri (2007) menunjukkan terjadinya co-movement antara tingkat bagi hasil (rate
of return) dengan tingkat bunga bank konvensional. Hal ini ternyata juga
ditemukan oleh Chong dan Liu (2009) dan Zainol dan Kassim (2010) di Malaysia.
Kecenderungan ini berarti bank syariah selalu memperhatikan tingkat bunga
dalam menetapkan tingkat bagi hasil. Gambar 6 mengkonfirmasi kecenderungan
tersebut walaupun terlihat volatilitas tingkat bagi hasil relatif lebih kecil
dibandingkan dengan volatilitas tingkat bunga di perbankan konvensional.
Gambar 6. Perbandingan Pergerakan Rate of Return Perbankan Syariah dengan Pergerakan Tingkat Bunga Perbankan Konvensional Periode Tahun 2005-2010
Hal lain yang dapat dibaca dari Gambar 6 adalah strategi bank syariah
yang cenderung segera ikut menaikkan RR pada saat IR naik, namun tidak
mengikuti dengan kecepatan dan ketajaman yang sama pada saat IR menurun.
75
Strategi ini diperkirakan harus dilakukan oleh bank syariah untuk menjaga agar
nasabahnya yang bukan syariah loyalist tidak memindahkan dana mereka ke
bank konvensional. Tentu saja strategi bank syariah untuk selalu mengikuti
pergerakan IR ini walaupun efektif juga beresiko merusak pencitraan perbankan
syariah yang terkesan menjadi tidak berbeda dengan bank konvensional. Jika
strategi ini hendak terus dilakukan diperlukan proses edukasi secara terus
menerus kepada masyarakat untuk menjelaskan bahwa itu hanya sekedar
strategi bersaing tanpa mengganggu kesyariahan akad yang telah disepakati.
Kecenderungan co-movement antara tingkat bagi hasil dengan tingkat
bunga bank konvensional diduga terkait dengan struktur pembiayaan industri
perbankan syariah yang masih didominasi skema murabahah yang merupakan
skema jual beli dengan marjin yang tetap. Untuk skema jenis ini, memang bank
syariah harus selalu memperhatikan tingkat bunga yang berlaku pada perbankan
konvensional untuk tetap kompetitif. Data pada Gambar 7 memperlihatkan
bahwa skema pembiayaan murabahah masih mendominasi dengan porsi di atas
55 persen sampai akhir tahun 2010, walaupun cenderung menurun dari tahun ke
tahun. Sayangnya kecenderungan penurunan murabahah tidak diikuti oleh
kenaikan porsi mudharabah/musyarakah yang hanya fluktuatif di sekitar angka
30-an persen.
Persistennya proporsi yang rendah pada skema pembiayaan yang
berdasarkan bagi hasil bukan hanya terjadi di Indonesia. Hal ini merupakan
gejala umum pada bank Islam di berbagai negara lain. Jika dibandingkan dengan
proporsi pembiayaan berbasis bagi hasil di negara lain seperti Malaysia, Pakistan
dan negara-negara Timur Tengah, sebenarnya proporsi yang dicapai Indonesia
sudah lebih baik (Ascarya, 2011). Dalam kajiannya menggunakan metode ANP
76
dengan responden 20 praktisi dan 15 ahli perbankan syariah, Ascarya
menemukan bahwa masalah utama yang menyebabkan persistensi rendahnya
skema pembiayaan berbasis bagi hasil adalah:
1. kurangnya pengetahuan nasabah tentang skema pembiayaan berbasis bagi
hasil,
2. kurangnya komitmen dari pihak otoritas untuk menerapkan skema pembiayaan
berbasis bagi hasil,
3. sistem nilai yang kurang mendukung penerapan skema pembiayaan berbasis
bagi hasil,
4. orientasi bisnis atau keuntungan dari manajemen puncak perbankan syariah,
dan
5. kurangnya dukungan dari pihak pemerintah.
Sumber: Bank Indonesia, Berbagai Tahun, Diolah
Gambar 7. Kecenderungan Persentase Pembiayaan Berdasarkan Skema Tahun 2005-2010
77
Untuk mengatasi masalah utama di atas, beberapa solusi dirumuskan
oleh Ascarya (2011), yaitu edukasi tentang skema pembiayaan berbasis bagi
hasil kepada nasabah, meningkatkan komitmen manajemen puncak perbankan,
merumuskan protokal dan grand strategy, mengeluarkan regulasi yang
mendukung dan meningkatkan komitmen, kemauan serta serta keberanian politik
pemerintah. Agar solusi tersebut dapat terwujud diperlukan strategi
pengembangan produk, peningkatan pelayanan, dan pemetaan pasar serta
kebijakan perlakuan yang adil dan profesionalisme pelaku perbankan syariah.
5.5. Kinerja Industri Perbankan Syariah Indonesia
Pada Bab I telah disajikan beberapa indikator kinerja industri perbankan
syariah (lihat Tabel 1). Secara ringkas dapat dikatakan bahwa industri perbankan
syariah sudah tumbuh secara konsisten dengan laju pertumbuhan yang jauh
lebih tinggi daripada laju pertumbuhan perbankan konvensional. Tabel 5 juga
menyajikan kinerja dalam bentuk jumlah bank baik BUS, UUS, BPRS maupun
jumlah kantor. Kesemua indikator kembali menunjukkan pertumbuhan yang
mengesankan seperti halnya pertumbuhan nilai aset, khususnya dalam hal
jumlah kantor yang meningkat lebih dari sepuluh kali lipat dalam satu dekade.
Tabel 6 menyajikan data lain yang merupakan salah satu keunggulan
perbankan syariah yang belum pernah mampu ditandingi oleh perbankan
konvensional, yaitu tingginya rasio pembiayaan dibandingkan dengan jumlah
dana yang dikumpulkan dari masyarakat. Angka yang pada beberapa tahun
tertentu bahkan melebihi 100 persen menunjukkan bahwa perbankan syariah
berpotensi besar sebagi agen pertumbuhan ekonomi dengan tingginya
persentase dana yang dikembalikan kepada masyarakat. Satu masalah yang
masih menjadi kritik terhadap tingginya jumlah pembiayaan ini adalah pada
78
aspek komposisi pembiayaan yang masih didominasi jenis murabahah (lebih dari
50% pembiayaan), bukan mudharabah dan musyarakah yang akan berhubungan
langsung dengan pertumbuhan sektor riil.
Tabel 6. Perkembangan Nilai Deposit, Pembiayaan dan Rasio Finance to
Deposit (FDR) Perbankan Syariah Periode 2000-2010
Indikator 00 01 02 03 04 05 06 07 08 09 10
Pembiayaan (Rp. T)
1.3 2.1 3.3 5.5 11.5 15.2 19.5 27.9 38.2 46.9 68.2
Deposit (Rp. T)
1.0 1.8 2.9 5.7 11.9 15.6 20.7 25.7 36.9 52.3 76.0
FDR (%) 123 113 112 97 97 98 95 109 104 90 90 Sumber: Statistik Perbankan Syariah Indonesia, BI
Terlepas dari berbagai indikator kinerja perbankan syariah yang sangat
mengesankan, laju pertumbuhannya ternyata tidak cukup tinggi untuk
meningkatkan pangsa pasar perbankan syariah secara signifikan. Akibatnya
target pencapaian pangsa pasar yang telah ditetapkan tidak pernah tercapai.
Tidak heran kalau muncul pertanyaan apakah pertumbuhan industri perbankan
syariah yang tinggi hanya karena fenomena umum dari sebuah industri yang
masih muda dan mempunyai pangsa yang masih kecil. Dalam kasus Indonesia,
hal ini menimbulkan pertanyaan serius mengingat besarnya potensi yang dimiliki
oleh pasar Indonesia untuk pertumbuhan perankan syariah.
Beberapa indikator kinerja perbankan syariah yang harus mendapatkan
perhatian serius adalah tingkat Non Performing Financing (NPF) yang relatif lebih
tinggi jika dibandingkan dengan rata-rata Non Performing Loan (NPL) perbankan
konvensional, walaupun persentasenya masih di bawah ambang batas yang
ditetapkan Bank Indonesia dan memperlihatkan kecenderungan yang semakin
membaik. Lebih tingginya NPF dibandingkan dengan NPL mengindikasikan
79
bahwa tingkat eksposur perbankan syariah terhadap resiko relatif tinggi dan atau
kemampuan bank syariah mengelola resiko relatif lebih rendah dibandingkan
dengan perbankan konvensional (Rohilina dan Wibisono, 2011). Jika hal ini tidak
diperhatikan, maka dikhawatirkan akan dapat mengganggu dayasaing perbankan
syariah terhadap perbankan konvensional sehingga semakin memperberat
upaya meningkatkan pangsa pasar secara signifikan.
Selain masalah NPF, rasio BOPO yang sering dugunakan untuk
menggambarkan kualitas manajemen perbankan syariah juga relatif masih stabil
berada pada tingkat antara 75 sampai 85 persen seperti terlihat pada Gambar 8.
Gambar 8. Rasio BOPO Dua Bank Syariah Terbesar dan Rata-rata Industri Periode 2005-2010
Aspek kualitas manajemen ini berpotensi untuk lebih ditekan lagi dalam rangka
meningkatkan dayasaing dan akhirnya pangsa pasar perbankan syariah.
Gambar 8 memperlihatkan bahwa bahkan untuk bank syariah yang besar dan
paling berpengalaman (BMI dan BSM), tingkat BOPOnya masih di atas rata-rata
BOPO industri perbankan syariah. Namun demikian, di tengah terbatasnya
ketersediaan SDM perbankan syariah, upaya ini memang tidak mudah. Tekanan
kepentingan bisnis dan keuntungan serta pertumbuhan dalam waktu cepat,
80
menyebabkan banyak bank syariah yang lebih senang membajak SDM yang
sudah jadi dari bank syariah lain daripada mengembangkannya sendiri. Jalan
pintas dengan merekrut tenaga profesional dari perbankan konvensional juga
tidak terhindarkan, walaupun tenaga profesional tersebut tidak sepenuhnya yakin
akan keunggulan perbankan syariah.