USULAN MODEL PENGELOLAAN SUMBERDAYA BUDAYA: …

25
Naditira Widya Vol. 6 No. 2/2012- Balai Arkeologi Banjarmasin 170 Usulan Model Pengelolaan Sumberdaya Budaya: Pemikiran Berdasarkan Kasus-kasus di Kalimantan 170-194 USULAN MODEL PENGELOLAAN SUMBERDAYA BUDAYA: PEMIKIRAN BERDASARKAN KASUS-KASUS DI KALIMANTAN Wasita* Artikel masuk pada 11 Mei 2012 Artikel selesai disunting pada 23 September 2012 Abstrak. Tulisan ini membahas sejumlah kasus pengelolaan sumber daya budaya di Kalimantan yang tidak sesuai dengan Undang-Undang Cagar Budaya dan menyusun gagasan tentang sebuah model pelestarian cagar budaya berbasis pemanfaatan. Upaya tersebut dilakukan dengan mengidentifkasi dan mengevaluasi implemantasi peraturan dan kegiatan pelestarian yang telah dilakukan oleh para pemangku kepentingan kebudayaan di Kalimantan. Hasil evaluasi menunjukkan adanya standar ganda penerapan peraturan pelestarian cagar budaya di Kalimantan. Selain itu, persepsi subyektif-afektif dan kepentingan stakholders ternyata juga mempengaruhi tujuan dan aktivitas pengelolaan cagar budaya. Dengan demikian, model pelestarian yang diajukan adalah menginduksikan perspektif pemanfaatan cagar budaya dalam konteks sistem, yang melibatkan masyarakat secara aktif dalam aktivitas pelestariannya, serta memposisikan instansi arkeologi sebagai fasilitator, mediator, dan pengawas pelestarian cagar budaya. Kata kunci: cagar budaya, pelestarian, undang-undang, evaluasi, sumber daya budaya, model pengelolaan, konteks sistem Abstract. CULTURAL RESOURCES MANAGEMENT MODEL: (CASE STUDY IN KALIMANTAN). This paper discusses a number of cases of cultural resources management in Kalimantan, which did not comply with the Heritage Act and formulate ideas of a benefitting-based model of cultural heritage preservation. Such efforts were conducted by identifying and evaluating implemented rules and conservation activities, which have been undertaken by the stakeholders of culture in Kalimantan. The evaluation shows that a double-standard regulation implementation of cultural heritage conservation in Kalimantan have had occurred. Furthermore, apparently, subjective-affective perceptions and interests of stakholders have had also affected the objectives and activities of cultural heritage management. Thus, the proposed preservation model is built by inducing cultural heritage benefitting-perspective in the system-context, which actively involving communities in conservation activities, as well as positioning archaeological offices as facilitators, mediators, and cultural heritage preservation supervisors. Keywords: cultural preservation, conservation, legislation, evaluation, cultural resources, model management, system context Balai Arkeologi Banjarmasin, Jalan Gotong Royong II, RT 03/06, Banjarbaru 70711, Kalimantan Selatan; Telepon (0511) 4781716; Facsimile (0511) 4781716 * Penulis adalah Peneliti Madya pada Balai Arkeologi Banjarmasin, email: [email protected].

Transcript of USULAN MODEL PENGELOLAAN SUMBERDAYA BUDAYA: …

Page 1: USULAN MODEL PENGELOLAAN SUMBERDAYA BUDAYA: …

Naditira Widya Vol. 6 No. 2/2012- Balai Arkeologi Banjarmasin170

Usulan Model Pengelolaan Sumberdaya Budaya:Pemikiran Berdasarkan Kasus-kasus di Kalimantan 170-194

USULAN MODEL PENGELOLAAN SUMBERDAYA BUDAYA: PEMIKIRANBERDASARKAN KASUS-KASUS DI KALIMANTAN

Wasita*

Artikel masuk pada 11 Mei 2012 Artikel selesai disunting pada 23 September 2012

Abstrak. Tulisan ini membahas sejumlah kasus pengelolaan sumber daya budaya di Kalimantan yang tidak sesuai

dengan Undang-Undang Cagar Budaya dan menyusun gagasan tentang sebuah model pelestarian cagar budaya

berbasis pemanfaatan. Upaya tersebut dilakukan dengan mengidentifkasi dan mengevaluasi implemantasi peraturan

dan kegiatan pelestarian yang telah dilakukan oleh para pemangku kepentingan kebudayaan di Kalimantan. Hasil

evaluasi menunjukkan adanya standar ganda penerapan peraturan pelestarian cagar budaya di Kalimantan.

Selain itu, persepsi subyektif-afektif dan kepentingan stakholders ternyata juga mempengaruhi tujuan dan aktivitas

pengelolaan cagar budaya. Dengan demikian, model pelestarian yang diajukan adalah menginduksikan perspektif

pemanfaatan cagar budaya dalam konteks sistem, yang melibatkan masyarakat secara aktif dalam aktivitas

pelestariannya, serta memposisikan instansi arkeologi sebagai fasilitator, mediator, dan pengawas pelestarian

cagar budaya.

Kata kunci: cagar budaya, pelestarian, undang-undang, evaluasi, sumber daya budaya, model pengelolaan,

konteks sistem

Abstract. CULTURAL RESOURCES MANAGEMENT MODEL: (CASE STUDY IN KALIMANTAN). This

paper discusses a number of cases of cultural resources management in Kalimantan, which did not comply with

the Heritage Act and formulate ideas of a benefitting-based model of cultural heritage preservation. Such efforts

were conducted by identifying and evaluating implemented rules and conservation activities, which have been

undertaken by the stakeholders of culture in Kalimantan. The evaluation shows that a double-standard regulation

implementation of cultural heritage conservation in Kalimantan have had occurred. Furthermore, apparently,

subjective-affective perceptions and interests of stakholders have had also affected the objectives and activities of

cultural heritage management. Thus, the proposed preservation model is built by inducing cultural heritage

benefitting-perspective in the system-context, which actively involving communities in conservation activities, as

well as positioning archaeological offices as facilitators, mediators, and cultural heritage preservation supervisors.

Keywords: cultural preservation, conservation, legislation, evaluation, cultural resources, model management,

system context

Balai Arkeologi Banjarmasin, Jalan Gotong Royong II, RT 03/06, Banjarbaru 70711, Kalimantan Selatan;Telepon (0511) 4781716; Facsimile (0511) 4781716

* Penulis adalah Peneliti Madya pada Balai Arkeologi Banjarmasin, email: [email protected].

Page 2: USULAN MODEL PENGELOLAAN SUMBERDAYA BUDAYA: …

Naditira Widya Vol. 6 No. 2/2012- Balai Arkeologi Banjarmasin 171

Usulan Model Pengelolaan Sumberdaya Budaya:Pemikiran Berdasarkan Kasus-kasus di Kalimantan 170-194

Keberadaan sumberdaya budaya (SDB)yang ada di Indonesia telah diatur sejak zaman

pemerintah kolonial Belanda, yaitu denganMonumenten Ordonantie Stb. 238 Tahun1931. Monumenten tersebut memuat aturantentang perlindungan dan pengamanan.Menurut Ida Bagus Sapta Jaya (2011, 4)

pengertian pengamanan dalam Monumententersebut tidak dapat dipisahkan denganpendokumentasian, penelitian, pemugaran,pemeliharaan, dan perlindungan.

Di sisi lain, pemugaran, pemeliharaan,

dan perlindungan tidak ubahnya merupakanpelestarian. Sementara itu, dalam UU No. 5

tahun 1992 dan No. 11 Tahun 2010,pelestarian disebut dengan jelas. Inimengindikasikan bahwa pengelolaan warisan

purbakala untuk memperoleh pencapaianmaksimal merupakan tujuan yang ditargetkan.

Dalam hal ini, Undang-undang No 11 tahun2010 merupakan perubahan terhadapUndang-undang No 5 tahun 1992. Perubahan

dimaksudkan sebagai upayapenyempurnaan. Saya kira ini merupakantindakan untuk lebih memaksimalkan

perolehan atas penerapan undang-undangbaru tersebut.

Di samping itu, secara akademis sudahbanyak tulisan yang membahas pengelolaanSDB. Tulisan tersebut antara lain

mengandung pemikiran untukpenyempurnaan atau evaluasi dalam bentukterapan (implementasi). Sampai di sini terlihatbahwa aturan pengelolaan SDB telah ada danevaluasi telah dilakukan. Oleh karena itu,

pemikiran yang tertuang dalam tulisan inimerupakan evaluasi terutama pada celah-celah yang masih menyisakan bagian yang

masih berlubang dan belum tergarap.Maksudnya, ikut memberikan evaluasi dengan

mencoba menembus ke bagian-bagian kecilyang belum disentuh pada evaluasisebelumnya, tetapi merupakan bagian yangkurang dan jika diperbaiki bisa dirasakanmanfaatnya untuk diimplementasikan dalam

praktek pelestarian di lapangan.

Mengapa itu diperlukan, sebabkenyataan di lapangan menunjukkan masihada permasalahan dalam implementasi

pelestarian di Kalimantan. Hal ini ditunjukkanoleh adanya situs dan SDB yang tidak kenadalam sasaran pelestariannya. Buktinya,

dapat dilihat di Sanga Sanga terutama di situskolonial dengan temuan arsitektur rumah yangbanyak dan penting bagi sejarah bangsa ini.

Ironisnya, sebagian besar temuan tersebutbelum terdaftar sebagai cagar budaya. Ini

sedikit banyak berdampak pada programpelestariannya.

Di tempat lain, misalnya di KalimantanSelatan, antara lain terdapat makam SultanSuriansyah (Banjarmasin), Datu Sanggul(Tapin), serta Candi Agung. Ketiga situs

tersebut telah masuk sebagai cagar budaya.Namun dalam prakteknya, pengelolaanterhadap ketiganya kurang maksimal atau

paling tidak, pengelolaan dilakukan denganprinsip-prinsip yang kurang mengena dalamkaidah kepurbakalaan. Misalnya, pengelolaan

Candi Agung lebih menekankan urusankeindahan daripada sejarahnya. Demikianjuga di kedua makam tersebut, lebih kentalmistiknya daripada historisnya.

Di Kalimantan Barat antara lain terdapatbangunan yang diduga sebagai candi yangada di Negeri Baru, Ketapang. Temuantersebut masih merupakan dugaan karena

A. Pendahuluan1. Latar Belakang dan Permasalahan

Page 3: USULAN MODEL PENGELOLAAN SUMBERDAYA BUDAYA: …

Naditira Widya Vol. 6 No. 2/2012- Balai Arkeologi Banjarmasin172

Usulan Model Pengelolaan Sumberdaya Budaya:Pemikiran Berdasarkan Kasus-kasus di Kalimantan 170-194

sejauh ini atribut kunci untuk bisa disebutsebagai candi, belum ditemukan. Namun

demikian, temuan ini merupakan hal yangmonumental untuk wilayah Kalimantan Baratsehingga penting sekali untuk diungkap lebihlanjut. Guna kepentingan tersebut, pemiliktanah tempat situs berada meminta kepada

Dinas Kebudayaan, Pariwisata, Pemuda, danOlahraga Kabupaten untuk segeramembebaskan lahan tersebut, sehinggamereka tidak mengalami banyak kerugian jikapenelitian terus berlangsung setiap tahunnya.

Aspirasi ini ditanggapi oleh pihak Dinas yang

kemudian mengajukan permohonanpembebasan tanah. Ternyata upaya ini

dialihkan dalam pengambilan keputusan diDPRD Tingkat II. Anggaran pembebasantanah tetap ada dan dilakukan untuk anggaran

dinas yang sama tetapi untuk bidang yangberbeda, yaitu untuk pembebasan tanah guna

pembangunan gedung olah raga. Inimerupakan visualitas bahwa urusankepurbakalaan menempati urutan

kepentingan yang rendah dengan prioritasbagian bawah.

Semua pembicaraan di atas adalahfenomena yang terjadi dan terkait denganpemahaman Undang-undang Cagar Budaya.

Di sisi lain, masih ada juga evaluasi-evaluasidalam bidang pelestarian yang dilakukan olehpara ahli. Evaluasi tersebut berada dalam

tataran implementasi agar pelestarian lebihtepat sasaran. Namun, pada beberapa situsdi Kalimantan (seperti di atas), tampak masihada yang salah dalam pengelolaannya. Olehkarena itu, dalam kesempatan ini akandilakukan evaluasi di tingkat implementasiyang diharapkan dapat memberi kontribusi

terhadap pengelolaan SDB, terutama diKalimantan. Menindaklanjuti maksud di atas,

maka permasalahan yang diangkat dalamtulisan ini adalah bagaimanakah model

pengelolaan yang diperlukan agar diperolehhasil pelestarian yang maksimal?

Tulisan ini dimaksudkan untuk

mendapatkan model pelestarian yang tepatdengan perolehan yang maksimal. Gunameraih hal tersebut maka kegiatan yangdilakukan adalah mencoba melihat aturandan evaluasi yang pernah dilakukan yang

sejauh ini diketahui penulis. Selanjutnya,

model ideal tersebut dicoba dilihatkesesuaiannya dengan implementasi yangtelah dilakukan terhadap cagar budaya yang

ada di Kalimantan. Jika misalnya tidakberjalan, maka hal tersebut harus dilihat pada

bagian mana masalahnya. Dengan demikian,akan dicoba diterapkan model pengelolaanyang ada dengan kenyataan di lapangan. Cara

ini diharapkan akan diperoleh pengetahuanletak permasalahan dan dicoba dilakukan

evaluasi untuk melakukan perbaikan.Sementara itu, metode yang digunakanadalah observasi dan wawancara.

Sejauh ini implementasi pengelolaansumberdaya budaya masih sering menemui

pemasalahan. Bukti di lapangan yangmemang menunjukkan adanya konflik

tersebut. Biasanya konflik terjadi antaramasyarakat sebagai pemangku kepentingandengan pihak kepurbakalaan yang diwakili

oleh pemerintah dengan aparat yangmengurusi bidang tersebut. Jika diperhatikan,permasalahan tersebut bersumber pada tigahal, yaitu persepsi dan kepentinganstakeholder, tujuan pengelolaan (rambu-

2. Tujuan dan Metode

3. Tinjauan Pustaka

Page 4: USULAN MODEL PENGELOLAAN SUMBERDAYA BUDAYA: …

Naditira Widya Vol. 6 No. 2/2012- Balai Arkeologi Banjarmasin 173

Usulan Model Pengelolaan Sumberdaya Budaya:Pemikiran Berdasarkan Kasus-kasus di Kalimantan 170-194

rambu) arkeologi, dan konteks sistem. Dengandemikian, sebenarnya yang harus dikelola

adalah tiga komponen tersebut. Dalam hal ini,pengelolaan perlu konteks sistem yangmendukung pelestarian, namunmenguntungkan para pemangku kepentingandan tidak melanggar rambu-rambu

pengelolaan.

Seperti inikah pemikiran beberapa ahliyang pernah melakukan evaluasi atas modelpelaksanaan pelestarian untuk diterapkan

dalam beberapa situs kita. Mendasarkan padakonsep pemanfaatan, Donald G. Macleoddengan konsep peddle or perish kurang lebih

menyebutkan bahwa perlindungan tinggalanarkeologi yang efektif adalah yangberdasarkan pemanfaatan (Riyanto 2008, 49).

Dalam upaya pemanfaatan oleh masyarakat,hendaknya arkeolog tidak menjadi legislator

ataupun fasilitator. Dalam tulisannya yangberjudul Reposisi Arkeologi dalam Era Global,

Daud Aris Tanudirdjo (2000, 19)

mengharapkan agar arkeolog mengubahposisinya dari fasilitator menjadi mediator,yaitu menjadi perantara masa lampau dan

masa kini. Dalam tulisannya yang lain, DaudAris Tanudirdjo (2004, 6) menyebutkan bahwa

perlindungan yang berazaskan pemanfaatandilakukan dengan cara memasukkantinggalan-tinggalan arkeologi ke dalam

konteks sistem. Konteks sistem adalahlingkungan budaya yang masih berlangsungdalam suatu tata kehidupan masyarakat. Olehkarena itu, dalam konteks ini sumberdayabudaya masih berperan aktif dan

dipergunakan oleh masyarakat (Schiffer 1976dalam Noerwidi 2007, 87). Tampaknya polapemikiran ini didasarkan pada logika bahwabenda arkeologi yang dimanfaatkan olehmasyarakat, dalam prakteknya akan dilindungi

oleh penggunanya, yaitu masyarakat itusendiri.

Bambang Sulistyanto (2011a) dalam

tulisannya, Konflik dalam PengelolaanSumberdaya Budaya menyebutkan adanyarealitas konflik tersebut. Pada akhir tulisannya,ia menyimpulkan bahwa untuk menghindariterjadinya konflik yang terus-menerus, yang

perlu dilakukan adalah penanggungjawabpelestarian benda cagar budaya bertindaksebagai steward. Maksudnya, mereka harusmenyadari kedudukannya hanya sebagai

penjaga dan pengelola yang sebenarnyabukan miliknya. Secara profesional, parapengelola harus bertanggung jawab terhadap

pemanfaatan dan pelestarian, namun dalampelaksanaannya harus selalu ingat bahwa

aset yang dikelola itu bukan miliknya. Merekadituntut lebih banyak melihat, mendengar danmerasakan kemauan, kepentingan pemilik

sumberdaya itu sendiri.

Tulisan di atas tampaknya menekankan

adanya keterlibatan aktif masyarakat. Agar

masyarakat dapat terl ibat aktif, dalamkesempatan yang berbeda Bambang

Sulistyanto (2011b) mengusulkan agardilakukan pemberdayaan terhadap mereka.Menurutnya, pemberdayaan masyarakat padahakekatnya adalah upaya untuk melestarikan

situs. Pemberdayaan dapat dilakukan denganmempedulikan masyarakat di sekitar situs,untuk dapat terlibat secara penuh dalampengelolaan warisan budaya. Pemberdayaanmasyarakat di sekitar situs, mempunyai

keuntungan bagi kedua belah pihak, yaitupengelola dan masyarakat itu sendiri. Pihakpengelola, yakni pemerintah (pusat) ataupunpemerintah daerah (otonom) dalam upayapelestarian memperoleh dukungan dari

masyarakat, karena masyarakat dibutuhkan

Page 5: USULAN MODEL PENGELOLAAN SUMBERDAYA BUDAYA: …

Naditira Widya Vol. 6 No. 2/2012- Balai Arkeologi Banjarmasin174

Usulan Model Pengelolaan Sumberdaya Budaya:Pemikiran Berdasarkan Kasus-kasus di Kalimantan 170-194

Dari tulisan yang berbeda, BambangSulistyanto (2009) tentang Warisan DuniaSitus Sangiran: Persepsi Menurut Penduduk

Sangiran, berhasil ditunjukkan bahwa terdapatperbedaan persepsi antara penduduk

Sangiran dengan pemerintah. Bagipemerintah, Situs Sangiran merupakanwilayah cagar budaya penghasil fosil yang

keberadaannya sangat langka di duniasehingga perlu dijaga dan dil indungi

kelestariannya. Sementara bagi penduduk,daerah perbukitan Sangiran dengan seluruh

isinya adalah tanah warisan leluhurnya, dimana anak-cucunya berhak

mendayagunakannya untuk berbagaikepentingan hidupnya. Bagi penduduk,

pemaknaan tersebut lebih bersifat praktis.

Berdasarkan atas persepsi yang demikian,Bambang Sulistyanto kemudian

menyimpulkan untuk urusan pelestarian situs,yang harus dilakukan pemerintah adalahmelibatkan masyarakat, khususnya penduduk

setempat mulai dari perencanaan program,pelaksanaan, hingga pengevaluasiannya.

peran sertanya dalam pengelolaan warisanbudaya. Sebaliknya, masyarakat juga

memperoleh keuntungan, baik moril maupunmaterii l, karena warisan budaya dapatmemberikan kontribusi yang dapatmeningkatkan taraf perekonomiannya.Apabila masyarakat sudah dapat bertindak

sebagai “pelindung” dan “penjaga” situs yangmuncul dari kesadaran sendiri, hal tersebutmerupakan upaya perl indungan danpelestarian yang paling efektif dan efisien.

Dalam tulisan tersebut Wasita jugamenambahkan bahwa untuk urusanpemanfaatan yang berwawasan pelestarian,arkeolog hendaknya tidak mengambil sikappasif dengan hanya bertindak sebagaifasilitator dan mediator. Sikap ini dianggappasif karena hanya bersifat melayani. Sebagaipelayan ia tidak akan mengambil tanggungjawab. Posisi tidak mengambil tanggungjawab jika dikaitkan dengan sikap ilmuwandalam melakukan kerjanya justru akandianggap bertentangan. Sebab jika dikaitkandengan hasil kerja arkeolog, wujudnya adalahinterpretasi. Interpretasi arkeologi adalahproduk sosial masyarakat. Sebagai produsen(interpretasi), sudah selayaknya jika arkeologtidak lepas tangan atas hasil kerjanya. Justruinterpretif yang tidak bisa dilepaskan darisubjektivitas arkeolog itulah yang merupakantanggung jawab kita.

Sementara itu, Wasita (2011a, 17)mengusulkan agar pelestarian tidak hanyaberhenti pada upaya memasukkan tinggalanarkeologi dalam konteks sistem, tetapi juga

dilanjutkan dengan upaya-upaya untukmendukung terjadinya konteks sistem yang

mendukung pelestarian. Untuk tujuan tersebutdiusulkan adanya perspektif dalampemanfaatan yang tidak sekedarmemasukkan situs ke dalam konteks sistemdan selesai, tetapi juga perlu dibentuk konteks

sistem yang tepat. Hal ini perlu dilakukan jikamasyarakatnya tidak memiliki hubunganfungsional dengan situs, maka kontekssistemnya harus disertai dengan penciptaankondisi-kondisi tertentu yang mendukung

pemanfaatan dan pelestarian.

Ketika dikaitkan dengan posisi sebagai

ilmuwan tersebut, tulisan Wasita diakhiridengan kesimpulan bahwa, arkeolog harusmengambil sikap yang fleksibel. Arkeolog bisa

menjadi fasil itator atau mediator j ikapemanfaatan masyarakat terhadap situs tidakmenyesatkan. Akan tetapi, j ika

Page 6: USULAN MODEL PENGELOLAAN SUMBERDAYA BUDAYA: …

Naditira Widya Vol. 6 No. 2/2012- Balai Arkeologi Banjarmasin 175

Usulan Model Pengelolaan Sumberdaya Budaya:Pemikiran Berdasarkan Kasus-kasus di Kalimantan 170-194

Seperti yang disebutkan di depan,implementasi pelestarian SDB di Kalimantandipandang masih ada yang belum tepat/mengena. Bahkan itu terjadi pada banyaksitus. Satu dengan yang lainpermasalahannya bisa berbeda. Namundemikian, jika dikelompokkan tampaknya adatiga jenis permasalahan pelestarian. Ketigajenis permasalahan tersebut adalah standardganda, persepsi afektif dalam memandangSDB, dan memperjuangkan kepentingansendiri (kelompok) yang kadang-kadangdisertai dengan pengatasnamakan SDB.Namun demikian, disadari juga di antaraadanya permasalahan-permasalahan

Adanya standard ganda dapat dilihatdalam pengelolaan bangunan purbakala diSanga Sanga, utamanya terhadap bangunankolonial. Dalam hal ini, standard ganda terjadidalam pelaksanaan pengelolaan. Maksudnya,adanya bangunan cagar budaya yangdemikian banyak, dalam pengelolaan/pelestariannya dilakukan dengan cara dipilih.Jadi ada yang dirawat, tetapi ada juga yangdibiarkan. Standard ganda dalampelaksanaan pengelolaan yang demikiandilakukan oleh pemerintah dan sebagianpengguna bangunan. Pemerintah dianggapbertindak dengan standard ganda karenasebagian objek tidak atau belum di-BCB-kandan bangunan yang dihuni masyarakat tidakatau belum disosialisikan statusnya sebagaiBCB kepada yang bersangkutan. Buktinya adasebagian penghuni bangunan kolonial yangtidak tahu bahwa rumah yang ditempatinyaadalah cagar budaya. Dalam hal ini, diakuibahwa ada masyarakat yang memperlakukanbangunan purbakala yang ditempatinyadengan baik dan mendukung pelestarian,tetapi sebagian juga ada yangmemperlakukan dengan cara kurangmendukung prinsip pelestarian. Dalam hal ini,yang diperlukan adalah menyamakan tujuanakhir , yaitu terlestarikannya bangunan kolonialdi Sanga Sanga.

Memperhatikan gagasan-gagasan yang

tertuang dalam telaah kepustakaan di atas,tampak bahwa ide pemanfaatan danpelestarian SDB sudah banyak dan bahkan

menukik ke arah teknis untukimplementasinya. Berdasarkan hal tersebut,

dapat kita lihat bagaimana implementasipelestarian dan pemanfaatan SDB di

Kalimantan.

B. Implementasi Pengelolaan SDB diKalimantan

tersebut, juga terdapat pelestarian yangmengena. Hanya saja jika diperhatikan belumsemuanya lepas dari masalah.

1. Standard Ganda

pemanfaatannya menyesatkan, arkeologharus mengambil sikap sebagai pengontrol.

Sikap sebagai pengontrol dilakukan ketikamelihat adanya ketidaktepatan pemanfaatanberdasarkan pengetahuan kita. Sikap sebagaipengontrol inilah yang pada saatnya akanmenempatkan arkeolog sebagai ilmuwan

yang dibutuhkan. Dalam posisi ini, arkeologdan arkeologi dapat memperlihatkankemampuannya tidak hanya sekedar sebagaipenyedia salah satu kebutuhan masyarakat,tetapi sebagai penunjuk jalan menuju

kehidupan umat yang lebih baik.

Adanya stakeholder yang tidakmendukung pelestarian dan adanya jumlahbangunan purbakala yang banyak,menyebabkan kekhawatiran karena adanyakemungkinan bangunan-bangunan kolonial

di Kecamatan Sanga Sanga terancam

Page 7: USULAN MODEL PENGELOLAAN SUMBERDAYA BUDAYA: …

Naditira Widya Vol. 6 No. 2/2012- Balai Arkeologi Banjarmasin176

Usulan Model Pengelolaan Sumberdaya Budaya:Pemikiran Berdasarkan Kasus-kasus di Kalimantan 170-194

Tabel 1. Situs-situs di Kecamatan Sanga Sanga, Kutai Kertanegara, Kalimantan Timur

1 Penjara

2 Klinik

3 Masjid kuna

4 Klenteng

5 Monumen

Merah Putih

6 Bekas markas

KNIL

6 Bekas markas

KNIL

7 Mess

MEDCO

8 Sumur Minyak

321

9 Sumur minyak

935

10 Power Plant

11 Pompa kayu

12 Lokasi 5 sumur

kayu

13 Pasar

14 Tangki besar

15 Bekas kantor

BPM

16 Koramil

17 Bangsal 4

18 Gedung

Sandisa

19 Instalasi air

minum

20 Bangsal B30

21 Perbengkelan

22 Gedung

Bioskop

23 Wisma Ria dan

kantor pos

24 Tangki minyak

25 MOS

26 Pemanas

minyak

27 Bangsal 21-24

28 Gua (bunker)

29 Warehouse

30 Gua

31 Bekas kolam

renang

32 Sembat

33 Sumur Louis I-

II

34 Sumur minyak

35 Pengumpul

minyak

36 Gudang lodging

37 Hiltop housing

38 Bangsal B10-15, B8-9,

B3-5, Bangsal Tinggi

39 Museum Perjuangan

40 Makam Keramat,

Makam Pahlawan

41 Bekas Rumah Sakit,

Poliklinik MEDCO

42 Sumur Noni, sumur

gas, sumur 943

43 Sumur tertua di Noni

44 Kuburan Cina

Naniek Harkatiningsih melakukanpenelitian tentang Pemukiman dan IndustriPertambangan: Pengaruh Kolonial diKalimantan Timur. Laporan penelitian tersebutditulis secara tim (2008, 38-55) antara lainmenyebutkan hasil penelitian di Sanga Sanga.Analisis terhadap situs-situs di Sanga Sangameliputi 57 nama situs (Tabel 1).

keselamatannya. Jumlah bangunan danprosentase yang telah terurus dapat dilihat

pada uraian di bawah ini. Nugroho NurSusanto (2005, 13-27) menyebut bahwabangunan kolonial di Sanga Sanga meliputiprasarana kota, sarana pendukung kota, dantempat aktivitas pertambangan. Prasarana

kota meliputi pelabuhan (11 buah), komplekspemukiman pekerja (10 buah), pengolahanair bersih, pembangkit listrik, rumah sakit, danpasar. Bangunan sarana pendukung kotanyaberupa sarana ibadah (masjid, klenteng,

gereja), makam, sekolahan, kantor pos, rumah

penjara, tempat olah raga, dan sarana

penunjang keamanan, yaitu barak tentaraJepang. Sementara itu, tempat aktivitas

pertambangan berupa sumur minyak,perkantoran, pengumpul utama, stationpengumpul minyak, pemanas minyak,bengkel perusahaan, dan sarana komunikasi(radio).

Page 8: USULAN MODEL PENGELOLAAN SUMBERDAYA BUDAYA: …

Naditira Widya Vol. 6 No. 2/2012- Balai Arkeologi Banjarmasin 177

Usulan Model Pengelolaan Sumberdaya Budaya:Pemikiran Berdasarkan Kasus-kasus di Kalimantan 170-194

Berdasarkan hasil penelitian tahun 2012,masih terdapat situs lain yang belum

disebutkan dalam penelitian Nugroho NurSusanto maupun Tim Penelit i PusatPenelitian Arkeologi Nasional. Situs-situstersebut adalah station pengumpul minyak diDistrik V, Gua Jepang di Jalan Habibah Km 3,

Kubu Pertahanan Pejuang Merah Putih(menurut informasi ada sembilan lokasi, tetapidalam penelitian tersebut hanya ditemukandi enam lokasi), dan rumah Belanda yangdibeli dari keturunan Belanda langsung yang

ada di Kelurahan Jawa (dahulu ada empat

rumah, sekarang yang masih ada tinggal saturumah).

Dari jumlah situs yang disebutkan di atas,

yang telah memiliki juru pelihara adalahMuseum Perjuangan dan Sandisa (di bawahDinas Sosial Kukar), Monumen RIS, Kubu

Pertahanan Pejuang Merah Putih, TuguPembantaian (Dinas Budparpora). Kemudian

ada limpahan karyawan honorer yang digajioleh Balai Pelestarian Peninggalan PurbakalaSamarinda dan Dinas Kebudayaan,

Pariwisata, Pemuda, dan OlahragaKabupaten Kutai Kertanegara berjumlah tiga

orang. Pada saat itu, oleh Balai PelestarianPeninggalan Purbakala Samarinda merekamendapat tugas menjadi juru pelihara di

Momumen Perjuangan, Palagan Merah Putih.Setelah diangkat menjadi Pegawai Negeri

Sipil melalui Dinas Kebudayaan, Pariwisata,Pemuda, dan Olahraga Kabupaten KutaiKertanegara, maka mereka menjadi pegawaidinas tersebut.

Salah seorang staf dinas tersebutmenyatakan bahwa mereka bertugasmenjaga dan merawat semua situs di SangaSanga. Akan tetapi, setelah dikejar dengan

pertanyaan berapa situs yang sudah terdaftar

sebagai cagar budaya ternyata tidak bisamemberikan keterangan yang pasti. Terlebih

lagi ketika ditunjukkan bahwa secara historisada bangunan yang dahulu berkaitan dengansejarah kolonial Belanda di Sanga Sanga dansekarang ini ditempati penduduk, belumterdaftar sebagai cagar budaya. Ternyata yang

tinggal di rumah tersebut juga tidakmengetahui j ika rumah yang ditempatitermasuk cagar budaya. Oleh karena itu, akanmenjadi masalah jika para juru pelihara tiba-tiba datang dan melakukan aksi pemeliharaan

rumah tersebut. Kenyataan di lapangan, para

juru pelihara dari dinas lebih memfokuskanpemeliharaan di situs-situs yang telah

dipasang papan nama sebagai cagar budaya.Hal ini dilakukan sebagai upaya untukmenghindari salah paham dengan orang yang

tinggal di rumah atau barak milik BataviaPetroleum Maatschappij (BPM) dulu.

Di sisi lain, ternyata hingga saat ini pihakBalai Pelestarian Peninggalan Purbakala

(BP3) Samarinda baru menerbitkan SuratKeterangan Benda Cagar Budaya/Situs di

Kecamatan Sanga Sanga sebanyak 19 situs.Menurut buku laporan kegiatan yang

dilakukan oleh Dinas Kebudayaan danPariwisata Kabupaten Kutai Kertanegara yangbekerja sama dengan BP3 Samarinda

disebutkan bahwa pendataan benda/situspurbakala tersebut dilakukan sebagai langkahawal dari kegiatan pelestarian (Tim Penelitian

2010, 1). Hasil tersebut masih merupakansurat keterangan. Jadi hasil pekerjaan tersebutbelum merupakan sebuah ketetapan sebagaibenda cagar budaya (BCB). Oleh karena itu,wajar jika ada penghuni rumah bekas barak

BPM tidak mengetahui jika rumah yangditempati merupakan BCB. Dalam hal ini,terlihat bahwa laporan kegiatan untuk

Page 9: USULAN MODEL PENGELOLAAN SUMBERDAYA BUDAYA: …

Naditira Widya Vol. 6 No. 2/2012- Balai Arkeologi Banjarmasin178

Usulan Model Pengelolaan Sumberdaya Budaya:Pemikiran Berdasarkan Kasus-kasus di Kalimantan 170-194

menerbitkan surat keterangan BCB tersebutdilakukan dengan cara memilih, dan hanya

sebagian kecil yang terpilih.

Padahal, bekas kantor BPM di SangaSanga dan bangunan-banguan lainnya

merupakan tinggalan purbakala. Keyakinanini diperoleh dari buku laporan inventarisasiyang menunjuk beberapa bangunan tinggalandari BPM dulu. Jika kemudian inventarisasiyang dilakukan tidak menyentuh semuabangunan eks BPM, maka pemilihan yang

dilakukan kelihatan tidak adil. Inimembuktikan bahwa langkah pelestarian daripemangku kepentingan pihak kepurbakalaan

sendiri dilakukan dengan cara memilih,tampaknya ada standard ganda dalam hal ini.

Hal ini baru dilihat dari sisi stakeholderpemerintah. Padahal pemangku kepentinganjuga berasal dari masyarakat dan instansipengguna bangunan tersebut. Bangunanbekas gedung dan barak BPM sekarang inidikuasai oleh pihak Pertamina EP sebagaipihak pemegang konsesi negara. Pihakhumas pertamina mengatakan bahwapertamina hanya menyewa dan sementarapemiliknya adalah negara. Sebagaipemegang konsesi, Pertamina bertanggungjawab atas keutuhan aset yang mereka sewa.Aset yang disewa Pertamina adalah lahantambang minyak di Sanga Sanga danbangunan yang berdiri di atasnya yang dahulumerupakan bangunan yang didirikan olehperusahaan BPM. Dalam hal ini Pertaminatahu bahwa aset yang berupa bangunanmerupakan tinggalan purbakala.

Anggapan bahwa mereka tahu asetnyamerupakan bangunan purbakaladiindikasikan dari pemahaman mereka (stafhumas) di mana pihak Pertamina di SangaSanga tidak boleh melakukan rehab danrenovasi gedung lama tanpa persetujuan dari

Pertamina Pusat. Sementara itu, untuk urusanrenovasi kecil-kecilan Pertamina SangaSanga boleh melakukannya tanpa memintapersetujuan pusat. Namun demikian, mereka(Sanga Sanga) telah dipesan agar renovasikecil yang kemungkinan dilakukan, tidak akanmengubah bentuk. Hal yang demikian ini telahdipahami oleh staf Pertamina di Sanga Sangabaik di unit kantor pusatnya, Elektra(wawancara salah seorang pekerja bengkel)dan di kl iniknya (wawancara denganperawat).

Lantas bangunan purbakala yang berasaldari masa pengeboran minyak Belanda danJepang dulu, kini keberadaannya ada yangdimanfaatkan oleh Pertamina, tetapi ada jugayang dimanfaatkan oleh masyarakat daninstansi lain, misalnya kepolisian, KomandoRayon Mil iter (Koramil), dan yayasansekolahan YPTH di Sanga Sanga. Dalammenanggapi adanya dua pihak yang berstatussebagai pemakai, yaitu mereka sendiri(Pertamina) dan pihak lain di luar mereka(kepolisian, Koramil, yayasan, dan masyarakatumum), Pertamina menggunakan standartganda. Terkait dengan diri mereka sendiri,intruksi bahwa renovasi tidak boleh merubahbentuk, diimplementasikan dalammerenovasi bangunan-bangunan dengantetap mempertahankan bentuk walaupunbahannya beda. Hal ini dilakukan untukbangunan-bangunan yang digunakan olehPertamina.

Sementara itu, aset mereka yang sejauhini dipinjamkan kepada anggota KepolisianSektor (Polsek) Sanga Sanga, Koramil,yayasan, dan perorangan, strategi Pertaminalebih ditekankan pada substansi agar tanahtempat berdirinya bangunan tidak hilang.Maksudnya, Pertamina lebih menitikberatkanpada upaya kepemilikan tanahnya. Strategi inidilakukan karena dalam pandangan mereka

Page 10: USULAN MODEL PENGELOLAAN SUMBERDAYA BUDAYA: …

Naditira Widya Vol. 6 No. 2/2012- Balai Arkeologi Banjarmasin 179

Usulan Model Pengelolaan Sumberdaya Budaya:Pemikiran Berdasarkan Kasus-kasus di Kalimantan 170-194

bangunan tersebut sudah tidak bisadimanfaatkan. Mereka beranggapan jikabangunan seperti barak hutan misalnya,digunakan bagi karyawan Pertamina dinilaitidak layak dan tidak manusiawi. Tidaksepantasnya karyawan Pertamina menempatirumah yang demikian (Foto 1). Namun di sisilain, mereka tidak ingin kehilangan tanah yangdigunakan sebagai tempat berdirinyabangunan. Upaya tersebut kemudiandilakukan dengan meminjamkan bangunantersebut kepada pihak lain. MenurutPertamina, barak yang tidak ditempati rawanhilang mulai dari kayu-kayunya hinggatanahnya.

Sementara itu, kepada para peminjam,pihak Pertamina memesankan cara yangsama yang ia terima dari pimpinan mereka diPusat, agar tidak merubah bentuk bangunan.Selain memberikan pesan tersebut, pihakPertamina juga secara rutin melakukankontrol kepada para peminjam. Kontroltersebut dilakukan dengan cara mengecekkeberadaan rumah dan memberikantempelan stiker yang menunjukkan bahwabangunan tersebut merupakan rumah dinaskaryawan Pertamina yang dimiliki negara(Foto 2). Tampaknya apa yang dilakukanPertamina dimaksudkan sebagai upayamengontrol keberadaan rumah yang iapinjamkan. Jadi, mengontrol rutin danmenempel stiker adalah salah satu cara untukmenunjukkan kepada pihak lain bahwanegara dan melalui merekalah (Pertamina),aset tersebut harus dikuasai.

Namun demikian, pihak Pertamina jugahanya sekedar memastikan bahwa merekalahyang berhak menguasai bangunan dantanahnya. Buktinya, Pertamina tidak peduliapa yang sebenarnya terjadi pada bangunan

tersebut dan bagaimana pihak peminjam

memperlakukannya. Hal itu dapat ditunjukkandari tidak ada upaya membantu pemakai

dalam perawatan bangunan dan pemberianfasil itasnya. Tindakan tidak membantuperawatan terlihat dari adanya kondisibangunan yang rusak dan sudah seharusnyadirenovasi tetapi Pertamina tidak melakukan

apa-apa. Oleh karena itu, banyak pemakaiyang kemudian melakukan inisiatifmerenovasi bangunan yang ia tempati. Alhasil,ada beberapa bangunan yang sudahmengalami perubahan (Foto 3 dan 4). Di

samping itu, berkaitan dengan fasilitas rumah

juga kurang diperhatikan, bahkan mengenaihal yang terkait dengan status kepemilikan

pun kurang diperhatikan. Contohnya, rumahmemerlukan listrik untuk penerangan, tetapipihak pertamina sebagai pemilik konsesi dan

pemilik konsesi sebelumnya (Medco,misalnya) tidak mengusahakan hal tersebut.

Akibatnya, semua pengguna bangunantersebut listriknya sudah tidak dari PTL(Pembangkit Tenaga Listrik) lagi. Padahal

dahulu semua gedung dan barak karyawandifasilitasi listrik dari PTL. Oleh karena

sekarang tidak lagi difasilitasi, maka merekamenyambung listrik dari PLN (perusahaanlistrik Negara).

Ironisnya, jika hak milik dan penguasaanselalu ditegaskan adalah oleh Pertamina,

untuk urusan yang mengeluarkan biaya danberkaitan dengan wajarnya sebuah

kepemilikan, hal itu masih dibebankan kepadapara peminjam. Dalam hal ini rekening listrik.Dalam upaya mengurus adanya penerangan

di rumah tinggalnya, para peminjam barakmengurus listrik ke PLN dan untukadministrasi digunakan namanya sendiri,bukan nama pemilik yang sebenarnya(negara, melalui Pertamina). Di sini

Page 11: USULAN MODEL PENGELOLAAN SUMBERDAYA BUDAYA: …

Naditira Widya Vol. 6 No. 2/2012- Balai Arkeologi Banjarmasin180

Usulan Model Pengelolaan Sumberdaya Budaya:Pemikiran Berdasarkan Kasus-kasus di Kalimantan 170-194

Foto 1. Bangsal Jepang, salah satu tinggalankolonial di Sanga Sanga yang saat ini dihuni

oleh orang angkatan darat yang bekerja diKoramil

Foto 3 dan 4. Perubahan barak hasil renovasi penghuni

Foto 2. Stiker yang ditempel oleh Pertamina

Pertamina menggunakan standard gandadalam menangani aset mereka. Pertaminahanya mau melakukan perawatan terhadapbangunan yang ditempati, sementara yangdihuni peminjam tidak dibantu. Kedua,

terhadap rumah yang dipinjamkan. Secaraaset, pertamina selalu memutakhirkankepemilikan, tetapi tiba gil irannyamengeluarkan biaya untuk lebih menegaskanakan haknya (biaya pemasangan saluran

listrik) hal itu tidak mereka lakukan. Bahkandari yang sudah ada listrik PTL di putus.Tampaknya, standard ganda tersebut

dilakukan sebagai upaya untuk mengurangibiaya, namun tetap ingin mempertahankanhak miliknya. Akibatnya, terkait dengan

tanggung jawab dalam beberapa haldilimpahkan kepada pihak lain (peminjam).

Dengan demikian, penggunaan standardganda berdampak pada kegiatan pelestarian,karena ada cagar budaya yang terpilih untuk

dikelola dan ada yang tidak.

Page 12: USULAN MODEL PENGELOLAAN SUMBERDAYA BUDAYA: …

Naditira Widya Vol. 6 No. 2/2012- Balai Arkeologi Banjarmasin 181

Usulan Model Pengelolaan Sumberdaya Budaya:Pemikiran Berdasarkan Kasus-kasus di Kalimantan 170-194

2. Perpsektif Subjektif dan Afektif

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia,subjektif dimaknai menurut pandangan(perasaan) sendiri. Dalam Ensiklopedi Umum,afektif didefinisikan sebagai suasanaperasaan yang menyertai suatu ide, pikiran

atau peristiwa mental. Berkaitan dengan haltersebut John S. Nimpoeno (1980, 29-30)menyatakan bahwa:

“….jika warisan budaya dipersepsikan

dengan cara afektif, maka warisan budaya

tersebut akan mendapat makna yang bias

dari yang semestinya dan bahkan makna

tersebut serasa dibesar-besarkan.”

Dengan demikian, warisan budaya padaumumnya dapat dipersepsikan dengan cara

yang berbeda antara orang yang satu denganlainnya.

Namun yang terjadi pada sebagian SDBdi Kalimantan hal tersebut dibenarkan oleh

pengelola itu sendiri. Maksudnya, pengelola

cenderung tidak peduli dengan pemahamanpengunjung yang melakukan ziarah, misal di

Candi Agung, makam Sultan Suriansyah, danDatu Sanggul. Memang benar, sebagianpengunjung menganggap bahwa Candi

Agung sebagai tempat ziarah. Wasita (2011b,75; 121) menyebutkan bahwa pengunjung

yang melakukan ziarah mendatangi candiuntuk berdoa, memohon kepada “oranghalus” yang menjaga candi. Maksudpermohonannya antara lain untukmendapatkan berkah (sembuh dari sakit,

mendapatkan kemudahan hidup, dan lainsebagainya), menuntaskan nazar (telahmendapatkan sesuatu yang diinginkan, telahsembuh dari sakit, dan lain sebagainya), danbailang (datang untuk bertemu “orang halus”,

dalam hal ini berarti terus-menerus berusahamenjalin hubungan dengannya).

Adanya sinyalemen bahwa parapengelola membenarkan ditunjukkan oleh

pemberian fasilitas untuk keperluan tersebutdengan cara membiayai pembangunangedung dan kamar mandi untuk kenyamananpeziarah. Oleh karena dalam berdoa merekamemerlukan tempat, maka dibangunkan

pendopo untuk kegiatan melakukan doa.Sebagian dari mereka, ziarahnya dengan lakumandi di Tiang Sembilan, maka pengelolamembangun ruangan ganti baju dan kamarmandi.

Di makam Datu Sanggul dan Sultan

Suriansyah juga ada fasilitas ruang di cungkup

makam. Ruang tersebut dimaksudkansebagai lokasi mangkalnya para pemanduritual dalam menunggu peziarah yang datang

meminta bantuan memimpin doa dalamziarahnya dan kadang ada juga yang datang

meminta air untuk pengobatan. Perilakupengelola yang demikian ini sama denganmengamini persepsi peziarah. Padahal dari

segi historis dan religi antara orang yangmelakukan ziarah dan objek yang diziarahitidak ada kaitan sama sekali. Mereka yangmelakukan ziarah adalah orang Islam dan

yang diziarahi adalah candi. Sementara itu,yang dianggap sebagai penunggunya adalah

Suryanata yang dalam riwayatnya merupakanraja Kerajaan Negaradipa dan berkeyakinanHindhu.

Ironisnya, apa yang dilakukan pengelola

Candi Agung sebenarnya tidak mutlakmengakibatkan peziarah akan selalu datangke tempat tersebut. Ada faktor lain yangmenjadikan peziarah mengunjungi candi,yaitu sikapnya yang percaya bahwa “orang

halus” masih tinggal di sana. Dalam hal inipeziarah memiliki mindset bahwa orang halustinggalnya selalu di tempat yang ia senangi.

Page 13: USULAN MODEL PENGELOLAAN SUMBERDAYA BUDAYA: …

Naditira Widya Vol. 6 No. 2/2012- Balai Arkeologi Banjarmasin182

Usulan Model Pengelolaan Sumberdaya Budaya:Pemikiran Berdasarkan Kasus-kasus di Kalimantan 170-194

Menurut peziarah, tempat-tempat yangdisenangi orang halus adalah yang tidak

terlalu bising dan tidak terlalu terang. Dengandemikian dalam persepsi peziarah,membangun fasilitas ziarah bukan satu-satunya cara untuk mempertahankan agarpengunjung/peziarah tetap banyak. Sebab jika

peziarah kemudian meyakini bahwa “oranghalus” sudah tidak senang lagi tinggal di CandiAgung, maka mereka tidak lagi ke candi.Sebab yang mereka datangi sebenarnyaadalah “orang halus”. Jadi masalah agar

pengunjung selalu datang ke candi terletak

pada mind set pengunjung.Hal yang mirip juga terjadi di situs makam

Sultan Suriansyah (Banjarmasin) dan DatuSanggul (Kabupaten Tapin), KalimantanSelatan. Para pengunjung di kedua makamtersebut rata-rata juga untuk melakukanziarah. Ada model berpikir yang umum dikalangan peziarah, bahwa sebagian tokoh-tokoh besar, utamanya dari kraton, tidakmengalami kematian, tetapi yang terjadiadalah wapat. Menurut Alfani Daud (1997,406) wapat dialami oleh orang yang kembalike asal atau menjadi gaib. Oleh karenamenjadi gaib maka ia tetap hidup tetapimenjalani kehidupannya di alam sebelah(alam gaib).

Selain peziarah Candi Agung, yangmempercayai hal demikian ini juga parapeziarah di kedua makam tersebut. Disinyalir,mempercayai yang demikian ini dapatmenimbulkan kerugian di kedua belah pihak,yaitu pengelola kepurbakalaan danpengunjung yang bersangkutan. Kerugianbagi pengelola terletak pada upaya untukmemberikan pemahaman sejarah dan

kebudayaan tentang objek yang ditampilkantidak mengena sehingga gagal dalammentransfer pengetahuannya kepada parapengunjung/peziarah. Kedua, peziarah itusendiri t idak berhasil mendapatkanpencerahan yang sebenarnya. Sebaliknya, iahanya mendapatkan pencerahan semu, yangkadang-kadang secara logika tidak bisadiyakini kebenarannya.

Melihat kenyataan yang demikian ini,perlu adanya upaya-upaya dari pihakpengelola agar SDB yang ada dilingkungannya dapat memberikan manfaatyang sebesar-besarnya, baik dari segi materialmaupun imaterial. Upaya tersebut antara laindapat dilakukan dengan penyebaraninformasi yang benar kepada masyarakat luas.Setelah program penyebaran informasiseharusnya juga ada tindak lanjut untukmengetahui hasil penyebaran tersebut. Sebab,sangat mungkin yang telah dilakukan ternyatatidak mengenai sasaran atau tepat sasaran,tetapi tidak memberi dampak apapun.

Berkaitan dengan hal tersebut Wasita(2010) pernah mencoba melihat hal tersebutterhadap pengelola dan masyarakatpengunjung Candi Agung. Dalampandangannya, penyebaran informasikepurbakalaan terhadap instansi yang terkaitdengan Candi Agung tidak membawa dampakdalam cara mengelola BCB. Ternyata setelahdikonfirmasi kepada pengelolanya, justru yangbersangkutan tidak mengetahui kalau adatulisan-tulisan terkait Candi Agung yangdimiliki oleh kantor induknya. Ironisnya, sejauhini yang menjadi pemikiran adalah meraihtarget yang dibebankan oleh atasannya, yaitujumlah pemasukan melalui penjualan tiketmasuk candi.

Page 14: USULAN MODEL PENGELOLAAN SUMBERDAYA BUDAYA: …

Naditira Widya Vol. 6 No. 2/2012- Balai Arkeologi Banjarmasin 183

Usulan Model Pengelolaan Sumberdaya Budaya:Pemikiran Berdasarkan Kasus-kasus di Kalimantan 170-194

Seperti ungkapan umum yang abadidalam kehidupan manusia adalahkepentingan. Hal ini pula yang antara lainmewarnai pengelolaan SDB di Kalimantan.Kepentingan yang diperjuangkan oleh yangbersangkutan adalah untuk mendapatkankeuntungan. Dalam hal ini kepentinganseseorang akan sangat dipengaruhi olehkebutuhan atau tujuan hidup, aturan-aturanyang mengikatnya, dan pengetahuan-pengetahuan yang membentuk persepsiseseorang. Ketiga hal tersebut jalin-menjalinmembentuk peri laku manusia dalammemperjuangkan kepentingannya. Dalamrelasi ini pula situs/bangunan purbakala hadirdalam sistem kehidupan manusia danmendapat perlakuan.

3. Memperjuangkan KepentinganSendiri

Kepentingan tersebut tidak mutlakberasal dari masyarakat. Pihak pengelola punatau stakeholder dari pemerintah, ada yangberada dalam kategori ini. Masyarakat mapunpengelola bisa berada dalam kategori inikarena mereka kurang memahami maknadan esensi tinggalan purbakala. Akibatnyapersepsi mereka tidak mengarahkan padaperilaku dan penempatan SDB dalam kontekssistem yang tidak mendukung pelestarian.

Berkaitan dengan masalah yangdemikian ini, Pemerintah KabupatenKetapang (Kalimantan Barat) dan KutaiKertanegara (Kalimantan Timur) melaluidinas yang mengurusi kebudayaan masing-masing mencoba menindaklanjutirekomendasi penelit ian arkeologi yangdilakukan Balai Arkeologi Banjarmasin bahwaperlu pembebasan tanah di lokasi temuanCandi di Negeri Baru, Ketapang dan KuburTajau Sanga Sanga, Kutai Kertanegara agardata-data terselamatkan dan penelitian dapat

dilakukan dengan lebih leluasa. Alhasil, keduaupaya tersebut gagal. Pembebasan tanahuntuk Candi di Negeri Baru gagal di tingkatpembahasan DPRD. DPRD Ketapangsebenarnya menyetujui pembebasan tanahyang diajukan Dinas Budparpora, tetapi lokasidan peruntukannya berbeda. Oleh karenadinas tersebut juga mengurusi olah raga,pembebasan tanah tersebut dialihkan tempatdan peruntukkannya, yaitu untuk lapanganolah raga. Kabar dari Kutai Kertanegara justrulebih kacau lagi. Tidak diketahui alasannya,yang jelas dicoret dan tidak disetujui.

Hal yang demikian ini menunjukkanbahwa sebagian tokoh di tingkat DPRD belum

dapat melihat nilai penting tinggalanpurbakala. Menjadi tidak aneh jika ada usulan-

usulan yang terkait dengan kepurbakalaandapat dikalahkan dan dialihkan untuk hal yanglain. Atau bisa jadi justru pihak dinas yang

kurang mampu meyakinkan bahwausulannya sangat logis dan bermanfaat untuk

bangsa.

Fenomena yang demikian ini (kebijakanSDB di tingkat daerah) bisa berbeda jikaberada di tangan seorang bupati. Hasilpenelit ian Balai Arkeologi Banjarmasintentang Benteng Pengaron tahun 2005 tidakada gemanya sama sekali di tingkat birokratKabupaten Banjar. Tetapi setelah tahun 2012ini ramai dibicarakan di media massasetempat tentang sisa pertambanganbatubara pada masa kolonial Belanda, makatanggapan muncul dari berbagai elemenmasyarakat. Dari sini Bupati Banjar mulaimenaruh perhatian. Sebagai upaya untukmemperjelas keberadaan tinggalanpertambangan masa Belanda di wilayahKabupaten Banjar, akhirnya dilakukankerjasama dengan Balai Arkeologi

Page 15: USULAN MODEL PENGELOLAAN SUMBERDAYA BUDAYA: …

Naditira Widya Vol. 6 No. 2/2012- Balai Arkeologi Banjarmasin184

Usulan Model Pengelolaan Sumberdaya Budaya:Pemikiran Berdasarkan Kasus-kasus di Kalimantan 170-194

Dalam hal ini terlihat bahwa di tangansiapa rencana itu berada, akan menentukanjalan atau tidaknya program. Jika rencana adadi tangan orang atau pejabat kecil maka adakemungkinan tidak terlaksana. Akan tetapi, jikaberada di pucuk pimpinan, sangat besarkemungkinan program tersebut berlangsung.

Banjarmasin untuk melakukan penelitian.Kerjasama juga dilakukan untuk studikelayakan atas tinggalan rumah Banjar diKecamatan Karangintan, Martapura Barat,dan Martapura Kota yang menjadi identitasurang banua untuk dipastikan layak tidaknyamenjadi cagar budaya.

Rencana ini mendapat apresiasi dariBalai Arkeologi Banjarmasin denganmenyelenggarakan seminar sehari yangdilaksanakan di Pendopo Kabupaten HuluSungai Utara, dengan Bupati sebagai

Foto 6. Benteng Tabanio diterjangpembangunan jalan

Foto 5. Hasil pemugaran Candi Agung yangdimaksudkan untuk memperindah dilakukandengan memasang paving blok di sekeliling

candi

Foto 7. Temuan kayu di Patih Muhur diangkatdengan krain

Candi Agung pun pernah mengalami hal yangkurang lebih demikian. Bupati saat itumenginginkan Kabupaten Hulus Sungai Utaramemiliki sumber devisa antara lain dari sektorpariwisata kunjungan candi. Agar merangsangpengunjung lebih banyak lagi, digagas olehbupati agar Candi Agung dipugar hinggabentuknya mirip dengan candi-candi di Jawa.Bahkan berita di media massa yang bisadiunduh di internet (http://www2.kompas.com/gayahidup/news/0407/27/120515.htm)menyebutkan bahwa guna mewujudkannya,direncanakan bekerjasama dengan “orangpintar” untuk mengetahui bentuk asli candidan nantinya akan diwujudkan dalampemugaran.

Page 16: USULAN MODEL PENGELOLAAN SUMBERDAYA BUDAYA: …

Naditira Widya Vol. 6 No. 2/2012- Balai Arkeologi Banjarmasin 185

Usulan Model Pengelolaan Sumberdaya Budaya:Pemikiran Berdasarkan Kasus-kasus di Kalimantan 170-194

pembuka acara dan mengundang DPRDsetempat, dinas-dinas terkait, cendekiawan,dan tokoh-tokoh masyarakat. Hasil diskusijelas bahwa pemugaran dengan target yangdirencanakan tersebut tidak mungkindilakukan (Gunadi 2005), pembangunanfasilitas baru di kawasan candi hanya mungkindilakukan di zona penyangga (Ismiyono 2005).Namun demikian, hasil seminar tersebut tidakmutlak mempengaruhi rencana yangtampaknya tinggal dijalankan karenaanggarannya telah tersedia. Buktinya,memugar candi agar seperti candi-candi diJawa tidak jadi dilakukan, tetapi rencanamembangun fasilitas baru yang dimaksudkanuntuk “memperindah” candi, tetap jalan.Memang ada pengurangan-pengurangan,tetapi masih ada yang menyalahi prinsip-prinsip pemugaran (Foto 5).

Demikian ini gagasan dan rencana yangmenyangkut pucuk pimpinan. Rencana daripucuk pimpinan Dinas Pekerjaan UmunKabupaten Tanah Laut, Kalimantan Selatanpun tetap jalan jika yang kena dampaknyaadalah pemangku kepentingan dari DinasKebudayaan dan Pariwisata yang eselon ataukedudukannya setara dengannya, serta BP3Samarinda dan Balai Arkeologi Banjarmasinyang merupakan UPT yang berbeda gariskoordinasinya. Hasilnya, rencanapembangunan jalan yang melintas di atasbekas bangunan Benteng Tabanio pun tetapjalan (Foto 6).

Sementara itu kasus-kasus yangmenyangkut orang kecil dan rakyat biasa,ceritanya akan lain. Tahun 2007, seorangpengusaha penggergajian kayu diBanjarmasin, melihat adanya tonggak-tonggak kayu di Patihmuhur, Kabupaten BaritoKuala dan kemudian membeli tanah tempat

tonggak-tonggak kayu tersebut berdiri.Sebagai pengusaha, ia kemudian inginmemanfaatkan kayu tersebut dengan caramenjadikannya sebagai bahan bangunanataupun bahan meubel. Oleh karena ukurankayu yang besar dan jumlahnya banyak, makapengangkatan yang dilakukan menjadiperhatian banyak warga (Foto 7). Berita darimulut ke mulut pun tersebar luas. Wartawanjuga berdatangan. Akhirnya hal tersebutmenjadi pemberitaan media lokal dannasional, misal Kompas dan Metro TV.

C. Usul Model Pengelolaan

Memperhatikan permasalahan-permasalahan yang muncul dalampengelolaan SDB seperti yang disebutkan diatas, tampaknya perlu dilakukan dua hal, yaitulangkah pengelolaan dengan jalurkonvensional dan media massa. Dalammodel yang disebutkan tadi sebenarnya duajalur di atas hanya merupakan pintu masuk.Sebagai sebuah pintu masuk keduanya hanyaberfungsi mengantarkan pada langkah aksipengelolaan. Maksudnya, melalui pintu manaakan masuk menuju pengelolaan SDBmerupakan pilihan pertama yang perlu kitatentukan agar diperoleh hasil yang maksimal.

Dalam hal ini yang lebih penting adalahpengaruhnya setelah menemukan pintumasuk yang tepat. Jika tidak memperhatikansituasi dan akhirnya memilih pintu masuk yangsalah, dampaknya langkah ke depan dalamimplementasi pengelolaan bisa menemuikendala. Ini semua bisa terjadi karenamenyangkut kekuasaan atau persepsiseseorang yang didukung oleh tujuan-tujuanhidupnya (upaya memperjuangkankepentingannya).

Page 17: USULAN MODEL PENGELOLAAN SUMBERDAYA BUDAYA: …

Naditira Widya Vol. 6 No. 2/2012- Balai Arkeologi Banjarmasin186

Usulan Model Pengelolaan Sumberdaya Budaya:Pemikiran Berdasarkan Kasus-kasus di Kalimantan 170-194

Jika menemui kendala denganpemegang kekuasaan (legislatif dan yudikatif),maka rencana-rencana terkait denganpengelolaan bisa mental (tidak berjalan

dengan mulus). Hal ini sudah bisa kita lihatcontohnya dalam kasus Situs Negeri Baru,Ketapang, Kalimantan Barat dan Situs KuburTajau Sanga Sanga, Kutai Kertanegara,Kalimantan Timur. Permasalahan karena

menemui persepsi seseorang yangmenjadikan langkah pelaksanaanpengelolaan berbenturan kepentingannyadengan stakeholder bisa berakibat

pengelolaan tidak terlaksana.

Sebagai pintu masuk, keduanya hanyamerupakan pilihan. Kita bisa memilih yangmana dan itu ditentukan oleh kondisi yangmelatarbelakangi obyek kepurbakalaan yangkita kelola dalam pelestarian. Jika kondisinormal dan tidak ada masalah, jalurkonvensional bisa dipilih. Jalur konvensionaljuga masih dapat dipilih jika terhadap obyekada masalah, tetapi relatif mudahdiselesaikan. Ketika masalah yang menimpaterasa berat dan tidak mampu ditembusdengan jalur konvensional, saat itu dapatditempuh jalur media massa.

Langkah yang ditempuh dalam jalur iniadalah melontarkan isu mengenaipermasalahan pengelolaan kepurbakalaan dimedia massa. Hal ini dapat dilakukan dengancara mengundang wartawan atau arkeologsendiri yang harus menulis permasalahantersebut di media massa. Tentu saja masalahdilontarkan berkaitan dengan upayapelestarian yang menemui kendala danakibat-akibat yang mungkin terjadi ataskeadaan yang demikian. Diharapkan denganlontaran isu tersebut akan mendapattanggapan baik dari cendekiawan,budayawan, aparat hukum, pemegang

kekuasaan, masyarakat luas, dan juga elemenlain yang peduli dengan kepurbakalaan.

Harapannya melalui ini akan diperolehdukungan kepada pihak kepurbakalaan. Padatitik ini akan segera masuk ke implementasipengelolaan, yang dalam situasi yang normallangkah pengelolaan akan langsung mulaidari sini. Jika melibatkan media massa,diupayakan untuk terus dipertahankan.Maksudnya, langkah-langkah berikutnya yangditempuh dan dilakukan dalam kaitannyadengan pengelolaan kepurbakalaan perludisebarluaskan ke media massa.

Ada dua hal yang diperoleh dari upayamempertahankan media massa di sini.Pertama, kita berkesempatan menunjukkankepada masyarakat luas niat baik atau upayaserius yang dilakukan dalam pengelolaankepurbakalaan. Dalam kesempatan ini kitajuga dapat mengupayakan untuk memperolehsimpati dari masyarakat luas. Simpati dapatkita rebut dengan cara memberdayakanmasyarakat (Sulistyanto), menempatkan dirisebagai fasilitator dan mediator (Tanudirjo2000, 19), dan juga sebagai pengontrol(Wasita 2011a, 15). Kedua, langkah-langkahselanjutnya dalam pengelolaaan masih akanterus dikontrol baik oleh media, masyarakatumum dan juga berbagai elemen masyarakatyang peduli dengan kepurbakalaan. Situasitersebut akan menjadi sistem pengawasanumum yang dapat mendorong untuk terusdalam melanjutkan program pelestarian.

Jika pintu masuk yang kita pilih tepat,semua akan tampak menjadi mudah untukdilaksanakan. Contohnya, ketika pemerintahDaerah Kabupaten Banjar, KalimantanSelatan mulai menunjukkan niatnya untukmelakukan pengelolaan warisan purbakalasetelah media massa setempat mewartakankeadaan Bekas Pertambangan Belanda di

Page 18: USULAN MODEL PENGELOLAAN SUMBERDAYA BUDAYA: …

Naditira Widya Vol. 6 No. 2/2012- Balai Arkeologi Banjarmasin 187

Usulan Model Pengelolaan Sumberdaya Budaya:Pemikiran Berdasarkan Kasus-kasus di Kalimantan 170-194

Dalam hal ini pihak pemerintah daerahmenargetkan bahwa hasil penelitian tersebutnantinya akan dapat dijadikan sebagai bukti,karena juga akan didirikan monumenperjuangan urang banua (masyarakatKalimantan Selatan) dalam mengusirpenjajah dari tanah kelahiran mereka.Tampaknya tinggalan sejarah dan monumenyang akan mereka dirikan nantinya akandijadikan sebagai kebanggaan sejarah peranmereka dalam mendirikan Negara KesatuanRepublik Indonesia. Ini semua terjadi karenapintu masuknya tepat, sehingga sekali masukrentetannya panjang.

Pengaron, Kabupaten Banjar, maka setelahitu banyak ide bermunculan untuk menggarapsitus dan banguan purbakala. Bermula darirencana penyelamatan bangunan bekaspertambangan, kini melalui Anggaran BiayaTambahan (ABT) tahun 2012 Pemerintahdaerah Kabupaten Banjar (langsung dibawah pengawasan Bupati) bekerja samadengan Balai Arkeologi Banjarmasin akanmengadakan penelitian Benteng Pengarondan lokasi pertambangannya.

Buktinya masih di tahun yang sama, 2012ini nanti, Dinas Kebudayaan dan PariwisataKabupaten Banjar juga meminta BalaiArkeologi Banjarmasin untuk melakukan studikelayakan atas rumah Banjar (rumahbubungan tinggi, yaitu rumah khas masyarakatKalimantan Selatan) beberapa makam Islam.Hasil studi kelayakan ini nantinya akandijadikan sebagai dasar dalam menguruspenetapan obyek tersebut sebagai BCB.Tampaknya pihak dinas akan memasukkanobyek-obyek tersebut menjadi bagian daripaket wisata budaya yang selama ini telah ada,namun bangunan khas masyarakat Banjar danwisata ziarah tersebut belum menjadibagiannya.

Hal ini terjadi karena pintu masuk yangsudah terbuka dan kemudian ditindaklanjuti.Setelah terbukanya pintu masuk diyakini akanada kemudahan-kemudahan dan dukungandari pemerintah setempat untuk urusanpelestarian kepurbakalaaan. Oleh karena itu,perlu segera dimanfaatkan semua peluanguntuk mengelola kepurbakalaan demipemanfaatan yang baik dan berguna untukbangsa dan negara serta, kehidupan yanglebih baik.

Dalam implementasi pengelolaan, yangdilakukan adalah mengelola persepsi dankepentingan, penerapan aturan yangberkaitan dengan rambu-rambu pengelolaan,dan penciptaan konteks sistem yangmendukung pelestarian. Persepsi merupakanlandasan stakeholder/pemangkukepentingan situs, terutama dari masyarakatdalam keikutsertannya menjalankanpengelolaan. Penerapan aturan dalampengelolaan merupakan dasar bagipemangku kepentingan dari pihak pemerintahdalam mengelola kepurbakalaan. Kontekssistem sebenarnya merupakan situsasi yangterjadi dengan sendirinya karena sistem yangdikembangkan masyarakat memangmelibatkan situs/bangunan purbakala yangada di lingkungan mereka.

Persepsi yang selaras dengan aturanpengelolaan merupakan modal yang sangatbaik dari masyarakat terkait denganketerlibatannya dalam pengelolaankepurbakalaan. Sementara itu, persepsi yangtidak mendukung upaya pelestarian adalahhal yang harus dikelola lebih jauh agarberubah dan menjadi selaras denganperaturan dan bersifat melestarikan.Kenyataan di lapangan, aturan yang menjadiacuan aparat pemerintah dalam mengelolaSDB belum tentu jika diterapkan tanpa

Page 19: USULAN MODEL PENGELOLAAN SUMBERDAYA BUDAYA: …

Naditira Widya Vol. 6 No. 2/2012- Balai Arkeologi Banjarmasin188

Usulan Model Pengelolaan Sumberdaya Budaya:Pemikiran Berdasarkan Kasus-kasus di Kalimantan 170-194

Berkaitan dengan konteks sistem,sebenarnya bisa terjadi karena bentukan atauasli. Baik bentukan maupun asli, keduanyabisa ada yang bersifat mendukung dan yangtidak mendukung pelestarian. Dalam hal iniyang perlu dilakukan adalah mengarahkankonteks sistem yang belum/tidak mendukungpelestarian agar menjadi/menuju padakonteks sistem yang mendukung pelestarian.Sementara itu, yang belum berada dalamkonteks sistem perlu dibentuk konteks sistemyang mendukung pelestarian. Dengandemikian membentuk konteks sistemmerupakan salah satu pengelolaan SDB.

masalah. Dalam hal ini biasanya masalahakan muncul jika aturan tidak diterapkandengan ketat.

Contohnya, persepsi Pertamina SangaSanga yang mendapat instruksi dari pusat(Jakarta) agar perlakuan terhadap bangunanyang mereka sewa (Pertamina sebagaipemegang konsesi dari negara), yaitubangunan tinggalan BPM, tidak dilakukanperubahan bentuk jika terpaksa melakukanrenovasi. Instruksi ini kemudian dikaitkandengan tujuan bisnis Pertamina cabangSanga Sanga dengan mempersepsikannyasebagai upaya mempertahankan aset (tanahdan bangunan) dan melepas tanggung jawabpelestarian dengan membebankan kepadapemakai (masyarkat dan instansi yangdipinjami). Ini semua terjadi karena instruksiyang ada memang hanya sebatas itu. Sampaidi sini kita dapat memastikan bahwa sejauhini persepsi mereka bukan atau tidak terkaitdengan bangunan purbakala. Oleh karenatidak mendapat perhatian, wajar jika salahdalam pemeliharaan, terutama yang terkaitdengan prinsip-prinsip kepurbakalaan.

Bagaimana dengan model konvensionalyang kita lakukan sejauh ini? Bisa jalan, tetapijika tidak ada gayung bersambut, makakekuatan menjadi timpang dan jalannyamenjadi lambat, bahkan menjadi macet. Halini tercermin dari pengelolaan Situs KuburTajau dan bangunan kolonial di SangaSanga, Gua prasejarah di KabupatenTabalong, dan Situs Patih Muhur, BaritoKuala, Kalimantan Selatan. Situs Kubur Tajaudan bangunan kolonial di Sanga Sanga, upayapengelolaannya dimulai dengan rencanapembebasan tanah dan registrasi, awalnyaberjalan lancar. Akan tetapi, dalamperkembangannya keduanya menemuihambatannya masing-masing. Pembebasantanah untuk Situs Kubur Tajau gagal. PihakDinas Kebudayaan dan Pariwisata KabupatenKutai Kertanegara yang mengusulkan merasatidak tahu apa penyebab kegagalan tersebut.BP3 Samarinda sejauh ini hanya mampumenyelesaikan masalah dengan caramengangkat salah seorang anak pemiliklahan untuk dijadikan sebagai juru peliharaSitus Kubur Tajau. Sementara itu, BP3Samarinda yang bekerja sama dengan DinasKebudayaan dan Pariwisata KutaiKertanegara untuk urusan registrasi bendacagar budaya, hanya berhenti sampai di situ.Belum ada tindak lanjut usulan untukmenjadikan BCB. Padahal itu yangmerupakan langkah awal sebagai pijakandalam melakukan koordinasi dalampengelolaan.

Pengelolaan dalam rangka pemeliharaanterhadap situs gua prasejarah di KabupatenTabalong dan Situs Patih Muhur di KabupatenBarito Kuala, Kalimantan Selatan dalampengelolaan yang awalnya dilakukan melalui

Page 20: USULAN MODEL PENGELOLAAN SUMBERDAYA BUDAYA: …

Naditira Widya Vol. 6 No. 2/2012- Balai Arkeologi Banjarmasin 189

Usulan Model Pengelolaan Sumberdaya Budaya:Pemikiran Berdasarkan Kasus-kasus di Kalimantan 170-194

jalur konvensional pun mengalami hal yangserupa. BKSDA Kalimantan Selatan tidakberhasil dalam upaya menghentikanmasyarakat dalam menambang batu-batu disekitar Situs Gua Babi di Tabalong. BalaiArkeologi Banjarmasin yang mencobamenggandeng Dinas Kebudayaan danPariwisata setempat pun hanya sepertiseremonial dan setelah itu tidak ada pengaruhyang berarti untuk bisa menghentikankegiatan pertambangan batu tersebut. Sejauhini untuk Tabalong belum pernah masuk kepemberitaan media massa.

Sementara itu, untuk Situs Patih Muhurdi Barito Kuala sebenarnya telah diawalidengan pemberitaan media masa, bahkantingkat nasional. Akan tetapi, tidak ada tindaklanjut yang nyata untuk urusan pelestarian situs

tersebut. Baik yang bersifat pemberdayaanmasyarakat, aksi langsung terhadappelestarian situs, maupun upaya pembebasantanahnya. Ketiadaan tindak lanjut danketiadaan kontrol dari media massamenjadikan kegiatan kepurbakalaan di situstersebut berhenti dan tidak ada arah yang jelashingga kini. Dalam hal ini tampaknyakesinambungan pelestarian itu sendiri kurangtergarap.

Gambar 1. Alur pengelolaan dan pelestarian SDB

Secara teknis, dalam implementasipelestarian, betul seperti yang dikatakan DaudAris Tanudirjo, yaitu memberi peluang akanadanya pemaknaan baru oleh masyarakat.Adanya pemaknaan baru bisa terjadi jika situsberada dalam konteks sistem masyarakat.Dengan demikian, salah satu cara untukpelestarian adalah mengkontekssistemkan

Page 21: USULAN MODEL PENGELOLAAN SUMBERDAYA BUDAYA: …

Naditira Widya Vol. 6 No. 2/2012- Balai Arkeologi Banjarmasin190

Usulan Model Pengelolaan Sumberdaya Budaya:Pemikiran Berdasarkan Kasus-kasus di Kalimantan 170-194

Gambar 2. Skema upaya memasukkan situs kedalam konteks sistem masyarakat

situs. Namun setelah sampai di sini penulismemiliki pendapat yang sedikit beda, dalamhal ini arkeolog jangan hanya menempatiposisi sebagai fasilitator dan juga mediator,tetapi arkeolog hendaknya bersikap fleksibel(Gambar 1). Pada saat tertentu bolehmenempatkan diri sebagai fasilitator danmediator, tetapi pada saat dibutuhkanarkeolog harus bisa bersikap sebagaipengontrol (Wasita 2011a).

Konteks sistem suatu situs memiliki duasifat, yaitu mendukung dan tidak mendukungpelestarian. Bagi situs yang memiliki/menempati keterkaitan yang sedikit dengansistem kehidupan masyarakat, maka jikakonteks sistemnya mendukung pelestarian,berarti sifat terlestarikannya situs juga tidakterlalu besar, sebab konteks dan peran situsdengan kehidupan masyarakat tidak besar.Berbeda halnya jika situs menempatiketerkaitan yang besar dengan sistemkehidupan masyarakat dan bersifatmelestarikan, maka situs akan terlestarikan

dengan baik oleh masyarakat.

Sebaliknya, jika suatu situs kontekssistemnya tidak terlalu besar dan bersifat tidakmendukung pelestarian, maka situs akanlebih lestari karena tidak mendapat gangguandari aktivitas masyarakat, sedangkan padasitus dengan keterkaitan dengan masyarakatyang begitu besar tetapi bersifat tidakmendukung pelestarian maka akan lebihcepat terjadi kerusakan karena aktivitasmanusia. Oleh karena itu, cagar budayadalam posisi yang kurang terlestarikan perlucampur tangan arkeolog. Cara yang dilakukanadalah dengan mengkontekssistemkan danmembentuk kondisi-kondisi yang mendukung.Lebih jauh alur pemikiran tersebut bisa dilihatpada gambar berikut (gambar 2).

Maksud dari gambar tersebut adalah jikaterdapat situs yang belum berada dalamkonteks sistem, maka diupayakan agar masukdalam konteks sistem masyarakat. Setelah halitu terjadi upayakan agar tidak sekedar masuk,tetapi menjadi bagian terbesar dalam sistemkehidupan mereka. Tujuan dari itu semuaadalah agar situs menjadi bagian yang tidakterpisahkan dalam kehidupan dan menempatiposisi yang penting dan mereka merasa tidakmungkin akan merusaknya.

Namun demikian, diakui juga bahwapemanfaatan situs oleh masyarakat juga adayang bersifat tidak baik dalam kaitannyadengan pelestarian. Dalam posisi ini, makayang diperlukan adalah peran arkeolog untukmembentuk konteks sistem yang mendukungpelestarian. Dalam hal ini, arkeolog sebagai

Page 22: USULAN MODEL PENGELOLAAN SUMBERDAYA BUDAYA: …

Naditira Widya Vol. 6 No. 2/2012- Balai Arkeologi Banjarmasin 191

Usulan Model Pengelolaan Sumberdaya Budaya:Pemikiran Berdasarkan Kasus-kasus di Kalimantan 170-194

Gambar 3. Alur pikir pengelolaan situs, warna pink, model yang diusulkan penulis

profesi hendaknya bersikap mengambiltanggung jawab atas hasil kerjanya. Ia janganterus-menerus memfasili tatori j ikapemanfaatan situs oleh masyarakat kurangmendukung pelestarian. Sebaliknya, denganmengambil tanggung jawab keprofesiaannya,dalam kondisi situs kurang terlestarikan, iaharus berani menempatkan diri sebagaipengontrol. Tujuannya selain untukmenciptakan kondisi terlestarikannya situsmaka dalam kesempatan tertentu juga untukmemberikan pencerahan kepada masyarakat.Dalam hal ini interpretasi sebagai produkarkeolog yang juga dipengaruhi olehkehidupan sosialnya perlupertanggungjawaban. Jika demikian sikapyang diambil oleh arkeolog, mudah-mudahanmasyarakat akan merasa mendapat manfaatatas keberadaan kita. Jika mereka bisa

merasakan yang demikian ini diyakiniarkeolog dan arkeologi akan lebih diperlukanlagi kehadirannya di masyarakat (gambar 3).

Dalam prakteknya, arkeolog harus bisamengambil peluang yang ada untukmemaksimalkan upaya pelestarian situs.Dimulai dari aturan main dalam pengelolaan,penyuluhan untuk membekali pengetahuankepurbakalaan, kemudian masuk kepemberdayaan seperti yang disampaikanBambang Sulistyanto, dari sini diharapkanpelan-pelan akan mengarahkan persepsipara pemangku kepentingan dari yang tidakmendukung pelestarian menjadi mendukung,dan akhirnya jika mereka sudah siap makaterakhir situs bisa dikonteksistemkan dalamkehidupan mereka, misal sebagai KotaWisata Juang untuk tinggalan kolonial SangaSanga.

Page 23: USULAN MODEL PENGELOLAAN SUMBERDAYA BUDAYA: …

Naditira Widya Vol. 6 No. 2/2012- Balai Arkeologi Banjarmasin192

Usulan Model Pengelolaan Sumberdaya Budaya:Pemikiran Berdasarkan Kasus-kasus di Kalimantan 170-194

Dalam hal ini urutan pelaksanaannyatidak harus sama, yang penting isi dari semuaitu terpenuhi. Tampaknya benang merah darisemua itu adalah memahamkan aturantentang pelestarian, sehingga mengarahkanpersepsi para stakeholder agar mendukungpelestarian, dan setelah semuanya siap, makasitus dapat segera dikontekssistemkan dalamkehidupan mereka.

D. Penutup

Di sini usulan penulis tentangpengelolaan SDB lebih ditekankan padastrategi untuk menentukan pintu masuk dalampelaksanaan pengelolaan. Strategi pemilihanpintu masuk tersebut dianggap perlu sebagailangkah awal pengelolaan yang sejauh inikurang mendapat perhatian. Padahal bagiantersebut merupakan penentu untukkelancaran langkah-langkah berikutnya.

Dalam hal ini pil ihan kepada jalurkonvensional atau media massa ditentukanoleh kondisi lapangan. Sebenarnya, pilihanterhadap jalur yang manapun akan sampaipada jalur konvensional. Di tingkatimplementasi, hasil evaluasinya diketahuibahwa pengeloaan SDB dilakukan melaluipengelolaan persepsi dan kepentinganstakeholder, penerapan aturan yang terkaitdengan rambu-rambu pengelolaan, danpenciptaan konteks sistem yang mendukungpelestarian. Dalam hal ini persepsimerupakan landasan stakeholder/pemangkukepentingan situs dalam keikutsertaannyamenjalankan pengelolaan. Penerapan aturandalam pengelolaan merupakan dasar bagipemangku kepentingan dari pihak pemerintah

sebagai pengelola kepurbakalaan, kontekssistem sendiri merupakan situsasi yang terjadidengan sendirinya atau bentukan yangdiharapkan masuk ke dalam sistem yangdikembangkan masyarakat yang melibatkansitus/bangunan purbakala dan bersifatmelestarikan.

Dalam implementasi pelestarian tersebut,penulis sepakat dengan yang dilontarkan olehpenulis-penulis sebelumnya, yaitu agar lestaridan murah dalam pembiayaannya situs harusdimasukkan ke dalam konteks sistemmasyarakat. Agar bisa mengambil manfaatyang sebesar-besarnya, masyarakat perludiberdayakan. Dan supaya sesuai dengandinamika kehidupan, maka masyarakatberkesempatan memberi makna baru atassitus yang ada di lingkungannya. Dalam posisiini, arkeolog harus bisa menjadi fasilitator danmediator. Namun jangan hanya berhenti disitu. Akan lebih baik jika arkeolog mengambilsikap fleksibel, yaitu bisa sebagai fasilitatordan mediator, tetapi bisa juga sebagaipengontrol.

Posisi ini diperankan semata-matauntuk memperjuangkan arkeolog dan ilmunyaagar bermanfaat untuk masyarakat dalammeraih kehidupan yang lebih baik. Upayatersebut perlu diperjuangkan karena dalamposisi tersebut arkeolog tidak hanya melayanimasyarakat dan menyediakan SDB sebagaiobyek untuk kepentingan mereka, tetapiarkeologi dan arkeolognya harus bisaberperan sebagai pengontrol agarmasyarakat dapat memanfaatkannya dengancara benar. Di sinilah arkeolog tidak hanyamelayani, tetapi juga menjadi penunjuk jalanyang dibutuhkan masyarakat.

Page 24: USULAN MODEL PENGELOLAAN SUMBERDAYA BUDAYA: …

Naditira Widya Vol. 6 No. 2/2012- Balai Arkeologi Banjarmasin 193

Usulan Model Pengelolaan Sumberdaya Budaya:Pemikiran Berdasarkan Kasus-kasus di Kalimantan 170-194

Referensi

Daud, Alfani. 1997. Islam dan masyarakatBanjar deskripsi dan analisa

kebudayaan Banjar. Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada.

Gunadi. 2005. Situs Candi Agung danpermasalahannya. DalamSeminar sehari, Candi Agung

dan Penangannya. Amuntai, 18april 2005. Tidak terbit.

Ismiyono. 2005. Prinsip-prinsip pelestariankawasan benda cagar budaya.

Nimpoeno, S. J. 1980. Fungsi warisansebagai pembentuk sikap

terhadap pembangunan. DalamAnalisis Kebudayaan I (1): 26-31.

Noerwidi, Sofwan. 2007. Pemberdayaanmasyarakat pada pelestarianSitus Bangkai Kapal “USSLiberty”, Tulamen, Bali. BerkalaArkeologi. Yogyakarta: BalaiArkeologi Yogyakarta.

Riyanto, S. 2008. Kerangka pengembanganSitus Candi Losari: kajian awaluntuk pengembanganpenelit ian, pendidikan, dankepariwisataan. BerkalaArkeologi XXVIII (1): 46-56.

Tanudirjo, Daud Aris. 2000. “Reposisi arkeologidalam era global. DalamBulletin Cagar Budaya 1 (2): 11-26.

___________. 2004. Pengelolaansumberdaya arkeologi: sebuahpengantar. Dalam PelatihanSumberdaya Arkeologi di

Trowulan, 27 Agustus – 1September 2004. Tidak terbit.

Tim Penelitian. 2008. “Permukiman danindustri pertambangan:pengaruh Kolonial diKalimantan Timur. LaporanPenelitian Arkeologi. Jakarta:Pusat Penelit ian danPengembangan ArkeologiNasional. Belum terbit.

Tim Penelitian. 2010. Laporan inventarisasitinggalan Kolonial di KabupatenKutai Kertanegara, KalimantanTimur. Samarinda: DinasKebudayaan dan PariwisataKabupaten Kutai Kertanegaradan Balai PelestarianPeninggalan Purbakala.

Sulistyanto, Bambang. 2009. Warisan duniaSitus Sangiran: persepsimenurut penduduk Sangiran.Wacana. Jakarta: UniversitasIndonesia. Hlm. 57-80.

Susanto, Nugroho Nur. 2009. 2005. Penelitianaspek keruangan pola tatakotaKolonial Sanga Sanga diKabupaten Kutai Kertanegara,Provinsi Kalimantan Timur.Laporan Penelitian Arkeologi.Banjarbaru: Balai ArkeologiBanjarmasin. Belum terbit.

Wasita. 2010. Perbedaan persepsi tentangCandi Agung: indikasipemasyarakatan arkeologibelum diadopsi. Jejak-JejakArkeologi. Manado: Balai

Arkeologi Manado.

Page 25: USULAN MODEL PENGELOLAAN SUMBERDAYA BUDAYA: …

Naditira Widya Vol. 6 No. 2/2012- Balai Arkeologi Banjarmasin194

Usulan Model Pengelolaan Sumberdaya Budaya:Pemikiran Berdasarkan Kasus-kasus di Kalimantan 170-194

___________. 2011a. Penambahan(bub)perspekif untuk

mengefektifkan pemanfaatantinggalan arkeologi. PertemuanIlmiah Arkeologi, Surabaya, 1-3November 2011. Belum terbit.

___________. 2011b. Persepsi peziarah

Muslim dalam pemanfaatanSitus Candi Agung di Amuntai,Kalimantan Selatan. Tesis.Yogyakarta: Program StudiAntropologi Universitas Gadjah

Mada.

Sulistyanto, Bambang. 2011a. Konflik dalam

pengelolaan sumberdaya

arkeologi. Diakses dari http://

hurahura.wordpress.com/2011/

0 7 / 0 5 / k o n f l i k - d a l a m -

pengelo laan-sumberdaya-

arkeologi/

Sulistyanto, Bambang. 2011. Pemberdayaanmasyarakat di lingkungan situsarkeologi.Diakses dari http://hurahura.wordpress.com/2011/

0 7 / 0 8 / p e m b e r d a y a a n -

masyarakat-di-lingkungan-situs-arkeologi/