USING JANARO AND ALTSHULER CONCEPT TO...
Transcript of USING JANARO AND ALTSHULER CONCEPT TO...
USING JANARO AND ALTSHULER CONCEPT TO
ANALYZE
DICKINSON FANTASY OF DEATH IN HER POETRY
SKRIPSI
BY
EKO BUDI KRISTIANTO
NPM 10181001
UNIVERSITAS WIJAYA PUTRA
FACULTY OF LANGUAGE AND LITERATURE
ENGLISH DEPARTMENT
2014
USING JANARO AND ALTSHULER CONCEPT TO
ANALYZE
DICKINSON FANTASY OF DEATH IN HER POETRY
SKRIPSI
Submitted in apartial fulfillment of the requirements for the Sarjana
Degree in English Department
BY
EKO BUDI KRISTIANTO
NPM 10181001
UNIVERSITAS WIJAYA PUTRA
FACULTY OF LANGUAGE AND LITERATURE
ENGLISH DEPARTMENT
2014
PERSEMBAHAN
Skripsi ini saya persembahkan kepada :
1) Ibu Djatiningsih dan Bapak Soeprapto selaku orang tua saya tercinta
dan adik yang saya banggakan (Yauri Teguh Prasetio) yang setia
menemani, memberi doa, motivasi serta dukungan moral selama
proses penyusunan skripsi ini.
2) Bpk Drs. Mas Moeljono sebagai pembimbing yang senantiasa
memberi masukan serta ide baru guna melengkapi terwujudnya skripsi
ini.
3) Ibu Dra.Arjunani, MM selaku dekan fakultas bahasa dan sastra Inggris
yang selalu memberi semangat untuk menjadi lebih baik di masa –
masa datang.
4) Ibu Yeni Probowati, S.Pd yang menjadi ketua jurusan bahasa Inggris
tidak bosan mengingatkan kepada mahasiswa agar dapat menyelesaikan
perkuliahan tepat waktu dengan jalan lebih rajin.
5) Ibu Yulis Setyowati, S.Pd, MM selaku dosen yang selalu mengajak
mahasiswa supaya dapat mengambil manfaat dari setiap ilmu yang
diajarkan para dosen guna bekal masa depan yang besar dimiliki.
6) Bapak serta Ibu dosen yang tidak dapat disebutkan satu per satu dalam
memberikan ilmu yang bermanfaat kepada penulis sehingga penulis
mendapatkan wawasan baru serta dorongan untuk semakin maju dan
berkembang dan bermanfaat bagi kehidupan setelah selesai menjalani
perkuliahan.
7) Teman – teman satu angkatan baik kelas pagi maupun malam,
kebersamaan, pengertian serta kerjasama yang selama ini terjalin
semoga dapat berlangsung setelah selesai perkuliahan ini, saya
berharap kalian dapat menerapkan bekal ilmu yang telah didapat di
masyarakat yang luas.
8) Adindaku Eni Rahmawati yang paling saya sayangi selalu senantiasa
memberikan motivasi dan doa di saat saya kehilangan harapan, timbul
perasaan ingin putus asa, engkau selalu menginginkan supaya tetap
bersemangat dan sabar dengan keadaan yang sedang saya hadapi.
9) Teman – teman satu kantor saya, mereka juga sering memberikan
dorongan supaya saya dapat menyelesaikan perkuliahan dengan baik
dan dapat berguna bagi agama serta masyarakat luas.
MOTTO
Berbuat baiklah di manapun engkau berada serta junjunglah segala
kebenaran yang berlaku, niscaya engkau akan disegani dan kemudahan
selalu menyertaimu. Kesabaran serta keikhlasan yang tulus dapat
membawa seseorang mampu menjalani kehidupan ini dengan lebih
indah dan nikmat tanpa adanya keangkuhan dan ketamaan hati yang
senantiasa hadir tanpa di perintah. Tetaplah bersama TuhanMU dan
bersegeralah meraih kasih sayangNYA yang snagat luas tanpa
seorangpun mengetahui rahasia yang akan diberikan olehNYA.
Tetapkanlah tujuan hidupmu dari sekarang, jika mendamba
kesuksesan, kesejahteraan disertai ketenangan maka kerjakanlah hal
tersebut.Setidaknya dapat memberi pedoman yang harus diambil oleh
setiap insan amin.
APPROVAL SHEET
This thesis entitled Using Janaro Altshuler Concept To Analyze
Dickinson Fantasy Of Death In Her Poetry by Eko Budi Kristianto,
NPM 10181001 has been approved to be presented in thesis examination.
Suprvisor,
Date: 05 Juli 2014
Drs.Mas Moeljono
NIDN.0720063502
Acknoledged by
The Head of Language and Literature Study Program
Yeni Probowati, S.Pd
NIDN.071807701
APPROVAL SHEET
This thesis entitled USING JANARO ALTSHULER CONCEPT
TO ANALYZE DICKINSON FANTASY OF DEATH IN HER
POETRY by Eko Budi Kristianto, NPM 10181001 has been examined in front
of the board of examiners on August 13th 2014.
Board of Examiners Signature Occupation
Dra. Arjunani, MM …………... First Examiner
NIDN.0715065202
Yulis Setyowati, M.Pd ……………. Second Examiner
NIDN.0714077502
Acknowledged by
The Dean of Faculty of Language and Literature
Dra.Arjunani, MM
NIDN.0715065202
ABSTRAK
Budi, Eko Kristianto.2014. Using Janaro Altshuler Concept To Analyze
Dickinson Fanatsy Of Death In Her Poetry. Skripsi, English Department,
Faculty of Language and Literature. Universitas Wijaya Putra. Advisor:Drs. Mas
Moeljono
Keyword: Janaro and Altshuler Concept Of Death, Dickinson Fantasy Of Death.
Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari gambaran kematian dalam puisi Emily
Dickinson. Penelitian ini difokuskan pada gambaran kematian yang muncul dari
puisi-puisinya. Puisi-puisi yang juga dianalisis untuk melihat perkembangan
gambaran kematian dari tahun-tahun awal untuk tahun akhir tulisannya. Serta hal-
hal yang memberi pengaruh Dickinson dalam penciptaan puisi tentang kematian.
Dalam penelitian ini saya mengambil sebanyak 10 dari puisi Dickinson yang
bertemakan kematian sebagai hal utama. Pertama, kesepuluh puisi tersebut
dikategorikan menurut konsep yang dimiliki oleh Janaro dan Altshuler tentang
kematian. Konsep kematian yang di dapatkan dalam pemikiran Janaro dan
Altshuler memiliki empat kategori. Yang pertama yakni kematian sebagai musuh
setiap orang. Dalam konsep yang pertama saya mengambil tiga buah puisi. Kedua,
kematian sebagai peristiwa penyama rataan kedudukan setiap manusia yang telah
meninggal. Saya menggunakan dua buah puisi. Ketiga kematian sebagai hadiah
ataupun balasan terhadap setiap amalan manusia di akherat kelak. Dalam konsep
ini saya menggunakan tiga buah puisi. Yang terakhir kematian sebagai nasib atau
takdir yang telah ditentukan Tuhan yang harus diterima setiap manusia. Serta
mengetahui perkembangan pemikiran Dickinson dalam beberapa tahun awal
pembuatan hingga di akhir hidupnya. Adanya pendapat serta penelitian dari para
peneliti yang berusaha mengungkap makna dari kumpulan puisi Dickinson
tentang kematian.
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr.Wb
Alhamdullillahirrabil’ alamin, puji syukur kehadirat Allah SWT atas
rahmat dan hidayah yang diberikan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi
yang berjudul “USING JANARO ALTSHULER CONCEPT TO ANALYISIS
FANTASY DICKINSON OF DEATH IN HER POETRY” dengan baik. Sholawat
serta salam tetap tercurahkan kepada junjungan Nabi Besar Muhammad SAW,
para kerabat, sahabat dan pengikut beliau yang telah menuntun manusia menuju
jalan kebenaran.
Dalam kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada
semua pihak yang telah membantu, mendukung dan memberi masukan sehingga
skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik.
Penulis menyadari bahwa kesempurnaan hanyalah milih Allah semata,
tetapi manusia harus berusaha dan berdoa untuk mencapai hasil yang terbaik.
Allah akan mengangkat derajat orang-orang berilmu, maka dari itu teruslah
berkarya untuk kemajuan umat. Penulis meminta kritik dan saran yang konstruktif
untuk mendapatkan hasil yang terbaik.
Akhir kata, Wassalamualaikum wr.wb
Surabaya, 13 Agustus 2014
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman Judul……………………………………………………………........ i
Halaman Persembahan……………………………………………………........ ii
Halaman Motto………………………………………………………………… iii
Halaman Persetujuan Skripsi………………………………………………….. iv
Abstrak……………………………………………………………………......... vi
Kata Pengantar…………………………………………………………………. vii
Daftar Isi……………………………………………………………………….. viii
BAB I
PENDAHULUAN…………………………………………. 1
1. Latar Belakang Penelitian ………………………… 1
2. Rumusan Penelitian………………………………. 4
3. Tujuan Penelitian…………………………………. 4
4. Manfaat Penelitian………………………………… 4
5. Batasan Penelitian……………………….............. 5
6. Definisi Istilah………………………........................ 6
BAB II LANDASAN TEORI DAN
TINJAUAN PUSTAKA …………………………………... 7
1. Konsep – konsep Janaro dan Altshuler
tentang kematian ………………………………………. 7
2. Fantasi Dickinson tentang Kematian ………………….. 12
3. Tinjauan beberapa peneliti yang berkaitan dengan
penelitian ini ………………………………………….. 15
BAB III METODE PENELITIAN …………………………...20
1. Model Penelitian ……………………………………… 20
2. Jenis Data ……………………………………………... 20
3. Sumber Data …………………………………………... 20
4. Data …………………………………………………….20
5. Teknik Pengumpulan Data ……………………………. 21
6. Prosedur Analisis Data …………………………………22
BAB IV TEMUAN DAN HASIL PEMBAHASAN ……………… 23
1. Penerapan Konsep Janaro dan Alsthuler
tentang kematian ………………………………………. 23
2. Perkembangan Fantasi Dickinson tentang kematian
dalam puisinya ………………………………………… 42
BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI ……………. 54
DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR LAMPIRAN
BAB 1
PENDAHULUAN
Latar Belakang penelitian
Kematian adalah fenomena gaib yang pasti terjadi dan akan mendatangi
jiwa setiap makhluk di seluruh dunia. Kematian merupakan fenomena alamiah
yang terjadi pada siklus hidup manusia. Walaupun diketahui bahwa kematian
merupakan masa tunggu menuju kehidupan berikutnya, mereka masih
menganggap kematian merupakan seseuatu yang kejam dan kurang
menyenangkan bagi kebanyakan orang. Orang takut akan kematian karena
kematian dapat memisahkan mereka dari kelompoknya ataupun kerabat serta
kawan yang di sayanginya. Karena kematian adalah kejadian yang tidak
dikehendaki serta tak dapat dihindari, kematian secara berulang kali di
perbincangkan. Keingintahuan orang tentang kematian utamanya meliputi
kemungkinan datangnya kematian sewaktu-waktu. Frank dan Judith McMahon
menyatakan bahwa “We may have seen death, read about death, or even come
close to death, but We have never died. Thus, we face the ultimate unknown, and
the fact that our society refuses to admit that death is a natural
process.”Psychology: The Hybrid science.5th ed. (413). Berdasarkan alasan
tersebut, orang lebih cenderung menunjukkan berbagai sikap dan pengalaman
mereka guna mendapatkan petunjuk ataupun pedoman tentang kematian.
Beberapa di antara petunjuk tersebut menampilkan maksud negatif sementara yang
lain menunjukkan sisi positif tentang kematian. Pokok pembahasan tentang kematian
sudah sering ditunjukkan dalam karya – karya sastra. Penulis menggunakan kumpulan
novel, cerita dongeng maupun berbagai cerita pendek sebagai media utama dalam
puisi/prosa tentang kematian. Dalam salah satu karya terbaik dan terkenal di awal
perkembangan sastra seperti Epic of Gilgamesh, menceritakan kematian dan kerinduan
akan keabadian menjadi tema utama. Pokok pembahasan tentang kematian telah
dibicarakan berulang kali dalam bentuk puisi. Para penulis puisi hanya menggunakan
beberapa kata dalam menyampaikan berbagai macam gambaran atau kesan kematian,
sementara pembaca menggunakan berbagai macam pengalaman dan pengetahuan
untuk memperkaya diri mereka sendiri dalam menterjemahkan maksud dari puisi
tersebut. Dikarenakan sebagian besar puisi berhubungan dengan peristiwa nyata dalam
kehidupan dan manusia yang alami . Maka dari itu, dari puisi yang ada tersebut
pembaca jangan hanya mengupas menurut pandangan penulis saja, tetapi mereka
juga memperoleh pandangan baru untuk menambah beberapa pengalaman mereka
setelah membaca puisi.
Salah satu penulis yang membuat puisi tentang kematian adalah Dickinson.
Emily Dickinson adalah penulis dari Amerika yang menyumbangkan sebuah karya besar
yang berharga dalam bidang sastra. George dan Barbara Perkins menulis bahwa
Dickinson adalah “Incomparable because her originality sets her apart from all others,
but her poems shed the unmistakable light of greatness” The American Tradition in
Literature. 9th ed.(972). Dengan kebesaran karya – karya sastra Dickinson dapat
dikatakan, bahwa puisi Dickinson mempunyai keunikan yang luar biasa di bidang sastra
dalam sejarah perkembangan sastra di Amerika.
Dalam karyanya, Dickinson menempatkan berbagai tema meliputi
percintaan, alam, Tuhan, bahasa, persahabatan, kegagalan dan kematian. Dan, sebagian
besar dari karyanya khusus bertema tentang kematian. Menurut McMichael George, “The
Major theme of Dickinson’s poetry is concerned with death. She tends to personify it
differently such as a lord, a monarch or a lover. The tone of every poem is varied. Some
reflect joy while others deal with grief” Concise Anthology of American Literature. 5th
ed.(1124). Niscaya, model tersebut berperan penting dalam mempertimbangkan seberapa
menarik hubungan puisi – puisi Dickinson dengan kematian yang sesungguhnya. Conrad
Aiken menyatakan bahwa “ kematian, dan permasalahan berkaitan dengan akherat
diterangkan dalam puisi Dickinson. Dari pernyataan Conrad Aiken tersebut puisi – puisi
Dickinson tentang kematian dan akherat sungguh bervariasi dan besar.
Berkaitan dengan berbagai alasan yang dijelaskan di atas, penelitian ini
diadakan untuk menyelidiki kumpulan puisi Dickinson yang berhubungan dengan
kematian. Guna mendapatkan pemahaman yang jelas tentang berbagai pengertian
kematian menurut pemikiran Dickinson dan pada umumnya. Penelitian ini berfokus
tentang gambaran - gambaran kematian yang Dickinson tampilkan dalam puisinya. Puisi
– puisi tersebut telah diteliti dengan cermat untuk mendapatkan fantasi Dickinson. Serta
bagaimana Dickinson menampilkan fantasi kematian tersebut dalam karyanya. Janaro
dan Altshuler mengkategorikan sikap terhadap kematian dalam “The attitudes toward
death in order to present different concepts of death and to find the ways for people to
overcome to fear of death” The Art of being Human. 4th ed .(385-6). Mereka
mengelompokkan data dari berbagai sumber antara lain pandangan para filosof, ide – ide
para penulis terkenal dan kepercayaan – kepercayaan keagamaan.
Rumusan Penelitian
Penelitian ini memfokuskan pada pernyataan – pernyataan sebagai berikut:
1. Penggunaan konsep Janaro dan Altshuler dalam mengupas serta mengungkap makna
yang terkandung sebagai fantasi Emily Dickinson dalam kumpulan puisi tentang
kematian yang disajikan.
2. Fantasy Dickinson tentang kematian.
Tujuan penelitian
1. Mendeskripsikan penggunaan konsep kematian dari Janaro dan Alsthuler guna
memberikan informasi yang berguna bagi masyarakat dari fantasi Emily Dickinson
tentang kematian.
2. Memperkaya pengetahuan para pembaca tentang fantasy Dickinson tentang kematian
Manfaat Penelitian
Bagi Penulis
1. Menambah wawasan tentang konsep yang dimilki Janaro dan Altshuler dalam
pengungkapan makna yang terkandung dalam kumpulan puisi Dickinson tentang
kematian.
2. Mengetahui biografi dan latar belakang dari Emily Dickinson hingga tercipta karya puisi
yang sangat fenomenal.
Bagi Pembaca
Memperkaya wawasan tentang berbagai karya puisi dari Emily Dickinson
mulai dari awal penulisan hingga akhir pembuatan berdasarkan latar belakang yang
mempengaruhi dalam kehidupannya.
Batasan Penelitian
Sepuluh puisi Dickinson tentang kematian menjadi objek dalam penelitian
ini. Setiap puisi itu telah diteliti untuk mendapatkan bagaimana setiap gambaran
kematian dilukiskan. Kemudian, timbul berbagai macam fantasi tentang kematian yang
dikelompokkan menurut pemikiran Janaro dan Altshuler tentang kematian. Kumpulan
puisi tersebut juga telah diselidiki untuk mendapatkan makna pada setiap puisi Dickinson
yang bertemakan kematian. Judul setiap puisi tersebut telah disusun berdasarkan urutan
kronologis seperti berikut ini :
1. A Clock stopped (1861)
2. There is a Languor of the Life (1862)
3. Death is like the insect (1862)
4. I am alive-I guess (1862)
5. The color of the Grave is Green (1862)
6. They dropped like Flakes (1862)
7. Death is potential to that Man (1862)
8. Because I could not stop for Death (1863)
9. I heard, as if I had no Ear (1865)
10. After a hundred years (1869)
Definition Istilah
“Janaro and Altshuler Concept Of Death”
“Dickinson Fantasy Of Death”
BAB II
LANDASAN TEORI DAN TINJAUAN PUSTAKA
Bab ini, penyaji memberikan ulasan lebih rinci dari sumber kepustakaan
yang berkaitan dengan penelitian ini. Pertama, konsep ajaran Kristen tentang
kematian yang ditampilkan berdasaran sudut pandang yang berbeda–beda. Kedua,
sekilas penjelasan tentang perjalanan hidup Emily Dickinson.
1. Konsep – konsep Janaro dan Altshuler tentang kematian
Kematian selalu menjadi salah satu topik yang menarik bagi orang dalam
setiap periode. Karena topik tersebut memungkinkan seseorang berbagi
pengalaman, bahwa seseorang pasti menghadapi kematian di akhir masa hidupnya
di dunia. Dalam karya Anajiel Villanueva yang berjudul Death in Ancient Greece
dikatakan bahwa bangsa Yunani memiliki kepercayaan yang kuat tentang
kehidupan akhirat, tempat bagi mereka yang telah meninggal dunia. Kepercayaan
bangsa Yunani tentang kematian sering mereka tuliskan dan gambarkan dalam
kegiatan-kegiatan dan upacara keagamaan.
Sekelompok peneliti dari The University of Pennsylvania Museum of
Archaeology and Anthropology menulis topic yang mirip yakni: The Greek View
of Death yang menggambarkan bahwa ketika seseorang meninggal dunia jiwa
mereka menjadi sebuah bayangan menakutkan yang meninggalkan raga mereka
menuju alam barzah, bertemu malaikat kematian, Tuhan serta surga.Ketika agama
Kristen datang di negara-negara barat, secara berangsur orang mulai menerima ajaran
agama Kristen. Dan mereka menerapkan dalam kehidupan sehari-hari. Dante Alighieri
menjelaskan kepercayaan tentang pembalasan di negeri akherat seperti dalam cerita the
Divine Comedy (Wikipedia) “The story dealt with the torment or agony that sinner
received in their afterlife. The main character Dante and Virgil journeyed to the circles
of Hell and they observed how each sinner was subjected to a punishment that resulted
from his or her sin. Dante also drew on medieval Christian Philosophy to present how
the soul journeyed toward God”. Kiasan tadi memperlihatkan bahwa negeri akherat dan
kematian menjadi menakutkan. Mereka belum dapat menerima kenyataan tentang
datangnya kematian, serta adanya balasan yang akan diterima masing-masing individu
sebagai akibat perilaku yang dikerjakan selama hidup di dunia.
Niti Sithijarinyaporn menulis tentang berbagai konsep tentang kematian
menurut ajaran agama Kristen. Kematian mengandung tiga konsep dalam ajaran
agama Kristen. Konsep yang pertama adalah “sleep” Death is considered as a
short sleep and after that people would become reincarnated once again in the
image of Jesus Christ. Second, Death means “time to take a rest”. Third, death
means “moving” Christians believe that to die is to move from their humam world
to another place that is more calm and peaceful. Dying people would hopefully
stay together in God’s kingdom in their after life.
Janaro dan Altshuler mengelompokkan “the attitudes towards death in
order to present different concepts of death and to find the ways for people to
overcome the fear of death” (1993 4th;385-6). Mereka mengumpulkan data dari
beberapa sumber yang berbeda-beda seperti dari pandangan para filosof, para
penulis terkenal serta kepercayaa dari ajaran agama. Hasil-hasil yang mereka
peroleh disusun kedalam enam kelompok. Yang pertama menetapkan “that death
is the enemy of all human beings”. Kematian adalah musuh yang secara
keseluruhan tidak menyenangkan dan kurang menguntungkan. Konsep kedua
tentang kematian adalah “that death without self-interest is when dying people
assign an empty value to their lives, and then they may view death as an escape
from this personal void (1993 4th;387-8). Pada konsep ini, gambaran dari reaksi
orang-orang terhadap kematian, konsep ini tidak hanya focus pada gambaran
kematian, tetapi juga untuk mengetahui reaksi dari orang-orang yang akan
mengalami kematian. Ketiga, “death is considered as a leveler that makes every
human being equal. Every life finally ends and turns into dust and this makes life
means nothing. No matter who they are, death is the final destination for all of
them (1993 4th;388-91).
Keempat, “death is as reward or punishment in the afterlife” (1993 4th;392-
3). Kematian dapat bermakna pembalasan terhadap perbuatan yang telah mereka
kerjakan selama hidup di dunia. Balasan tersebut sebagai penghargaan yang
berupa surga serta hukuman yang berupa neraka.
Kelima, “death is seen as predetermined end or fatalism” (1993 4th;393-6).
Kematian sebagai takdir dan nasib pokok bagi seluruh makhluk di dunia.
Keenam, “death is taken as self-punishment” (1993 4th;396-8). Bagi
sebagian orang, menghukum dirinya sendiri dengan kematian adalah cara yang
lebih baik dibandingkan harus berhadapan dengan kekejaman yang secara nyata
terjadi pada kehidupan mereka. Parson menyatakan bahwa seseorang melakukan
tindakan bunuh diri dikarenakan empat alasan yang utama: “to show bereavement,
to preserve honor, to avoid pain and shame, and for the benefit of the state.”
(qtd.in Janaro and Altshuler 1993 4th;396). Dari pendapat tersebut, menunjukkan
bahwa kematian adalah sebagai jalan keluar untuk menghindari rasa malu. Serta
sebagai jalan pintas guna menjauhi kenyataan yang menyakitkan. Akhirnya, ada
empat pemikiran yang utama terhadap kematian yang digunakan dalam penelitian
ini adalah sebagai berikut:
1. Death as Personal Enemy: Kematian merupakan sebuah sumber
ketakutan besar, oleh karena itu, tidak ada seorang pun yang ingin
mengatakan tentang kematian. Lebih lanjut kematian membawa
sesuatu yang perasaan sakit serta kejam bagi seseorang yang
mengalami kematian secara luas. Dengan alasan tersebut, konsep
tentang kematian dapat membantu mengetahui ketakutan dalam diri
seseorang karena kematian merupakan suatu hal yang tak dapat
dihindari dan diluar kendali mereka. Serta kematian memisahkan
mereka dengan orang-orang yang dikasihi dan memberikan
kesempatan bagi mereka agar dapat hidup bahagia dalam kehidupan
nanti serta memenuhi tujuan hidupnya. Maka akhirnya, kematian
selalu mengingatkan kepada mereka sebagai suatu kenyataan yang
tidak pernah diinginkan bagi kebanyakan orang.
2. Death the Leveler: Kematian adalah sebuah penentu bagi setiap
makhluk akan mengalami kematian. Tidak menjadi suatu masalah bagi
mereka jika suatu saat meninggal karena kematian merupakan tujuan
akhir yang pasti datang kepada mereka. Ketakutan akan kematian
membuat seseorang lebih sadar terhadap perbuatan dan kewajiban
yang harus mereka kerjakan selama hidup dalam kehidupan saat ini.
Akibatnya, setiap makhluk akan menjalankan perbuatan baik setiap
saat dalam kehidupannya.
3. Death as Reward or Punishment: The Afterlife: Akherat dipercaya
bahwa ada tahapan kehidupan lain yang memang ada ketika seseorang
dibangkitkan setelah meninggal. Orang percaya bahwa mereka akan
ditempatkan di sisi Tuhan di suatu tempat di mana mereka semua
dikumpulkan guna menunggu saat keputusan peradilan Tuhan datang
kepada mereka. Mereka kemudian percaya bahwa tindakan serta
perilaku seseorang selama dalam kehidupannya memberi penentuan
bagi mereka ketika di akherat kelak. Bagi siapa saja yang melakukan
perbuatan baik dalam kehidupannya maka mereka akan mendapatkan
balasan berupa surga, sedangkan bagi mereka yang dalam
kehidupannya selalu melakukan perbuatan jelek maka mereka akan
mendapat balasan berupa neraka.
4. Death as Predetermined End: Fatalism: Tuhan memainkan peran
penting dalam hal ini karena mereka percaya bahwa masalah kematian
sudah ditetapkan bagi setiap makhluk oleh Tuhan ketika mereka
dilahirkan. Hanya Tuhan sendiri yang mengetahui siapa saja yang akan
ditempatkan di neraka atau di surga. Tuhan mempunyai kekuasaan dan
berhak menetapkan kematian bagi setiap orang yang hidup. Karena
kematian adalah takdir, kematian merupakan sesuatu yang tidak dapat
diubah ataupun disesuaikan oleh siapapun serta setiap kekuasaan.
2. Fantasi Dickinson tentang kematian dalam Puisinya
In, "He fumbles at your soul,' kematian digambarkan sangat menakutkan.
Dickinson menggambarkan bentuk kematian sebagai musuh yang berasal dari
mahakuasa yang menyerang orang mati tanpa belas kasihan. Bahwa pembunuh itu
sendiri saja yang mengambil kontrol saat kematia, hal itu menandakan bahwa
kematian memiliki kewenangan untuk mengelola waktu kematian setiap makhluk.
He fumbles at your Soul
As Player at the Keys
Before they drop full Music on -
He stuns you by degrees –
"Dia" dipersonifikasikan sebagai pembunuh yang menyerang jiwa orang mati.
Kata Pria digambrkan sebagai a "Player at the Keys" yang menunjukkan kekuatan
dan kesiapan dalam menjemput kematian. Dengan kata lain, pria siap dan
bersemangat untuk mengambil setiap jiwa yang hidup. Dalam agama Kristen jiwa
dianggap dasar manusia. Selain itu, kata kerja yang digunakan dalam bait ini
berupa kata "fumbles" dan "Stun", yang mencirikan agresivitas dari sang
pembunuh.
Prepares your brittle Nature
For the Ethereal Blow
By fainter Hammers redup – further heard -
The nearer – Then so slow
Your Breath has time to strainghten -
Your Brain – to bubble Cool -
Deals - One - Imperial - Thunderbolt
That scalps your aked Soul –
When Winds take Forests in their Paws -
The Universe – is still –
Citra orang sekarat yang sedang mendapati kematian sangat menakutkan. Pilihan
kata yang digunakan penyair menunjukkan gambaran yang menakutkan, seperti:
"fainter", "to bubble cool", "Thunderbolt", "scalps". Kata "Naked Soul"
memunculkan gambaran orang yang disiksa dan menghadapi kematian karena ia
tampaknya menjadi korban yang tidak bisa membela diri atau lepas terhadap
kematian yang sangat kejam yang pasti akan datang. Hal ini sangat menarik untuk
diteliti, bahwa Dickinson menggunakan kata "blow" yang mungkin berarti bahwa
kematian hanya menggunakan energi minimal untuk menghentikan hidup
seseorang. Oleh karena itu, kekuatan yang dapat menjalankan proses ini haruslah
sesuatu di mana dia adalah ahli. Hal ini membuat kematian menjadi musuh yang
mengerikan yang membawa ketakutan yang besar kepada orang sedang mendapati
proses kematian atau bahkan bagi pembaca puisi Dickinson.
Popularitas Dickinson awal mulanya berasal dari kemampuannya menghadirkan
pemikiran-pemikiran yang berbeda dengan yang lain. Taggard (qtd. In Somrak
2002;3) menyatakan bahwa “the attitude toward death of Dickinson might be
different from other became she was one of the witnesses in the American Civil
War”. Hal ini membuka betapa kejamnya kenyataan saat perang sipil di Amerika
ketika itu, setelah sebelumnya Dickinson hidup penuh perlindungan serta
kehidupan yang tertutup di dalam rumahnya bersama keluarga yang dicintainya
sehingga membentuk pandangan tentang kematian. Seperti para korban yang
meninggal pada saat perang sipil tersebut Dickinson mengetahuinya dari Amherst
dan lingkungan sekitar yang diketahuinya melalui surat kabar pada kolom berita
tentang kematian, hal ini yang terus membayangi Dickinson dalam melihat
kematian bahkan menjadi hal penting dalam hidupnya.
Another important factor that obviously had an impact on Dickinson was
the death of her 15 year old friend and neighbor, Sophia Holland. At that time
Dickinson was very young and outwardly, she seemed to be unaffected by this
incident. Her diary however, tells a different story. In “Emily Dickinson: An
Interpretive Biography” revealed her feeling that she left totally sorrow for her
friend. On her friend’s dying date, she looked at Holland’s faces as long as she
could because she knew that her friend would not be ale to come back again
(Johnson, 1960;205). Data tersebut dapat menjadi suatu hal utama yang
mempengaruhi secara luas dalam puisi-puisi Dickinson yang memiliki berbagai
pemikiran yang berbeda terhadap kematian. Dickinson berfantasi dengan
kematian serta menyimpan perasaan ketakutan terhadap kematian dalam dirinya
sendiri. Akhirnya, ketika Dickinson mengungkapkan perasaan dan
pengalamannya terhadap kematian kedalam berbagai puisinya, puisi tersebut
cukup indah dan memiliki arti yang mendalam. Johnson sering memberi kritik
pada berbagai puisi Dickinson tentang kematian. Ia menyatakan bahwa “she
views death from every possible angle” (1960;203). Pernyataan ini menyarankan
bahwa dengan adanya pandangan dari berbagai aspek yang ada dalam puisi
Dickinson maka akan lebih menarik untuk mempelajari berbagai puisi Dickinson
tentang kematian. Para pembaca tidak hanya mengungkap gaya penulisan
Dickinson yang mengagumkan tetapi juga memahami pemikiran-pemikiran besar
dari Dickinson tentang tema pada topik bahasan ini.
3. Tinjauan beberapa peneliti yang berkaitan dengan penelitian ini.
Beberapa peneliti yang memiliki pandangan bahwa dalam puisi Dickinson
mengandung ungkapan-ungkapan khusus, sesuai keadaan phsycologi Dickinson
saat itu. George dan Barbara memuji Dickinson bahwa “She remains
incomparable because her originality sets her apart from all others, but her poems
shed the unmistakable light of greatness” (1999 9th;972). Robert DiYanni
mengungkapkan bagaimana cara memahami kebesaran berbagai puisi Dickinson
bahwa “it requires repeated and careful reading because Dickinson uses indirect
language and special patterns in her poems. She leaves a “gap”, or unfinished
story in each of her poems, allowing the reader to interpret the conveyed
massage” (1994;203). DiYanni lebih lanjut menambahkan bahwa “Dickinson uses
irregular rhytms, inexact rhyme and free grammar. She uses punctuation and
capitalization in order to emphasize emotional and psychological impact”
(1994;203). Carey Garey menunjukkan bahwa “Dickinson’s fame is totally from
her genius styles of writing. To read and understand her poem, one may need to
concentrate and re-read averse because she employs unconventional grammar in
her writing. She uses different diction and different figures of speech than other
poets. Her themes are always about the questions of life and especially death for
which she uses varied tones in her compositions “ (1982;12). Alice fulton
(1999;141) menyatakan bahwa “there are only a small number of poems by
Dickinson that can be read easily. She employs a great deal of metaphor in her
poetry such as household stuff, plants or animal. To compare her poems with
other popular poets, Dickinson alone is the one who can play with the language
interestingly. It is like “ …. All other poems are tress and her poems are birds”.
Dari pernyataan ketiga peneliti tersebut secara tidak langsung memberi gambaran
bahwa dalam puisi-puisi Dickinson berisi ungkapan-ungkapan khusus, sehingga
para pembaca memerlukan kemampuan lebih serta memiliki kepekaan yang tinggi
untuk mendapatkan makna yang tersirat dalam puisi tersebut. Sehingga secara
khusus puisi-puisi sangat sulit untuk dipahami dan diterjemahkan.
Damrosch David menulis bahwa “Dickinson used simple hymnbook
meters. Her poetry was accomplished with good rhyming and was created to leave
the gaps for flexibility. Her use of dashes and peculiar punctuation was also to
create a feeling of uncertainty in her poem” (2004;811). Pendapat tersebut
menyatakan bahwa Dickinson menggunakan gaya penulisan yang unik, sehingga
setiap pembaca dapat menterjemahkan puisi tersebut menurut kemampuan
berbahasa yang dimiliki.
Pendapat yang sama tentang gaya penulisan puisi yang unik juga di tulis
oleh Niti Somrak yang meneliti sebanyak tiga belas puisi Dickinson tentang
kematian dalam penelitiannya A Critical Study of Emily Dickinson’s Literary
Works: Poetic Elements in Poems of Death.” They normally contain both sense
and sound devices which include: simile, metaphor, symbol, personification,
inversion, ellipsis, repetition, rhyme, alliteration and assonance. Most notably,
imagery and alliteration are essential parts in Dickinson’s poems and the theme of
each poem portrays how kind and friendly death is The use of capitalization and
dashes in Dickinson’s writing are to make the poems unique and to catch readers’
attention. Dapat dikatakan bahwa Dickinson menggunakan majas serta rima yang
beraneka ragam, agar terlihat lebih menarik dan berbeda dengan penulis puisi lain.
George Perkins menambahkan bahwa “Dickinson constructs her own
world when she writes. She uses her imagination to portray her ideas and
thoughts” (1999 9th; 971). Maka dengan demikian, gambaran tersebut
menunjukkan bahwa Dickinson menggunakan akalnya dan berbagai gambaran
dari berbagai pengalamannya dalam menulis puisi-puisinya yang unik. Melalui
gambaran berbagai peristiwa, akal serta pengalaman dari kehidupan pribadinya,
Dickinson menghadirkan ke dalam puisi-puisinya.
Menurut McMichael, “Dickinson intends to personify death into various
figures such as a lord, a monarch or a kind lover. Her use of the tone in each poem
is also varied. Some poems reflect joy, while some present the grief of the dying
person” (1993 5th ;1124). Aiken lebih lanjut mengemukakan bahwa “…. It will be
noted;….Deal with death; and it must be observed that the number of poems by
Miss Dickinson on the subject of death is one of the most remarkable things about
her. Death and the problem of life after death obsessed her” (1945;1924). Dalam
puisi-puisi Dickinson dan salah satu karya terakhirnya menerangkan bahwa topic
kematian dan kehidupan akherat selalu ada dalam puisi.
David Lehman memuji Dickinson bahwa “From Dickinson poems, you
might almost suppose that she has died and written them posthumously” (2008;3).
Karya-karya Dickinson dapat menyentuh berbagai aspek tentang kematian.
Dengan alasan tersebut, berbagai aspek tentang kematian yang tersirat
menunjukkan bahwa Dickinson mampu menciptakan gambaran kematian. Hampir
sebagian dari karya itu mempunyai topik tentang kematian. Johnson berpendapat
bahwa “there have been many poets who had written poems about detah, but
Dickinson was different because she did so in unusual manner” (1960;203).
Ditambahkan, “the contents of Dickinson’s poems on death are mainly about the
suffering of the body, the moment when one is dying and also emotional violence.
Each idea is influenced by Dickinson’s personal perception, past experiences and
religious belief” (1960;347). Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa gambaran
kematian selalu dihadirkan dalam sebagian besar puisi yang dimiliki Dickinson. Ia
lebih banyak mencurahkan perhatiannya pada kekejaman serta kesakitan dalam
kematian.
Ren Xiao-chuan meneliti dalam artikelnya “Death and Immortality:the
Everlasting Themes” and concluded that the topics of death and eternity occupies
most of Dickinson’s poems. The survival of the soul after death is another one
crucial question that she deals with in her writing. Dickinson also usually shows
her early doubt about the existence of God and her realization about the afterlife
in her poetry (2011;96-9). Pernyataan tersebut memberikan penjelasan kepada
masyarakat pada saat itu bahwa kematian adalah sesuatu yang pasti terjadi dan
harus dihadapi oleh setiap indiviu.
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Model Penelitian
Penelitian ini deskriptif kualitatif dalam pengumpulan data.
3.2. Jenis Data
Data yang dikumpulkan diungkapkan dengan kata-kata atau kalimat yang
berhubungan dengan fantasi, karakter, sifat, fenomena, atau gejala sesuatu.
3.3 Sumber Data
Sumber data dalam penelitian ini adalah kumpulan puisi Emily Dickinson
tahun 1961, 1962, 1963, 1965 dan 1969, yang mana telah dikumpulkan dari
berbagai sumber yaitu; buku, internet.
3.4 Data
1) Puisi – puisi Dickinson tentang kematian diperoleh dari The Complete
Poems of Emily Dickinson, yang ditulis oleh Thomas H. Johnson yang
diterbitkan pada tahun 1960. Buku ini diterima sebagai kebenaran pada
keaslian karya puisi Dickinson. Dari karya – karya Dickinson tersebut
sekitar 1,000 puisi yang telah ditulis Dickinson, sekitar 100 puisi
Dickinson berhubungan dengn kematian. Akhirnya, penelitian ini
memfokuskan pada 10 puisi yang akan diteliti menggunakan kriteria
kematian dari Janaro dan Altshuler. Yang mana dikelompokkan dalam 4
kelompok, yang pertama tentang kematian sebagai musuh terdiri dari 3
puisi antara lain: Death is like the insect, A clock stopped, There is a
Languor of the Life. Kedua Kematian sebagai sesuatu yang
menyamaratakan setiap orang yang mati berikut puisi yang termasuk
diantaranya: The Color of the Grave is Green, After a hundred years.
Ketiga Kematian sebagai Hadiah atau Hukuman: di Akhirat terdapat 2
puisi yang diambil antara lain: They dropped like Flakes -. Yang terakhir
Kematian telah ditentukan sebagai takdir: Nasib yang terdiri dari 3 puisi
antara lain: I heard, as if I had no Ear, I am alive –I guess, Because I could
not stop for Death.
3.5 Teknik Pengumpulan Data
Penulis menggunakan pengumpulan data yaitu dengan teknik observasi
(pengamatan) dan teknik dokumentasi. Secara rinci teknik observasi dilakukan
dengan cara mengadakan pengamatan terhadap obyek secara tidak langsung
(Indirect Observation), yaitu pengamatan yang dilakukan melalui perantara suatu
alat atau cara, misalnya dengan membaca dan memahami isi yang ada didalam
kumpulan puisi Emily Dickinson khususnya puisi tahun 1861, 1862, 1863, 1865
dan 1869. Sehingga diperoleh gambaran yang jelas mengenai apa yang menjadi
fokus penelitan. Teknik dokumentasi suatu cara pengumpulan data melalui
dokumen-dokumen. Dalam pelaksanaan teknik dokumen ini, penulis
mengumpulkan dokumen-dokumen berupa pengumpulan puisi Emily Dickinson
yang telah beredar dipasaran terutama yang bertemakan tentang kematian.
kematian dari Janaro dan Altshuler. Yang mana dikelompokkan dalam 4
kelompok, yang pertama tentang kematian sebagai musuh terdiri dari 3
puisi antara lain: Death is like the insect, A clock stopped, There is a
Languor of the Life. Kedua Kematian sebagai sesuatu yang
menyamaratakan setiap orang yang mati berikut puisi yang termasuk
diantaranya: The Color of the Grave is Green, After a hundred years.
Ketiga Kematian sebagai Hadiah atau Hukuman: di Akhirat terdapat 2
puisi yang diambil antara lain: They dropped like Flakes -. Yang terakhir
Kematian telah ditentukan sebagai takdir: Nasib yang terdiri dari 3 puisi
antara lain: I heard, as if I had no Ear, I am alive –I guess, Because I could
not stop for Death.
3.5 Teknik Pengumpulan Data
Penulis menggunakan pengumpulan data yaitu dengan teknik observasi
(pengamatan) dan teknik dokumentasi. Secara rinci teknik observasi dilakukan
dengan cara mengadakan pengamatan terhadap obyek secara tidak langsung
(Indirect Observation), yaitu pengamatan yang dilakukan melalui perantara suatu
alat atau cara, misalnya dengan membaca dan memahami isi yang ada didalam
kumpulan puisi Emily Dickinson khususnya puisi tahun 1861, 1862, 1863, 1865
dan 1869. Sehingga diperoleh gambaran yang jelas mengenai apa yang menjadi
fokus penelitan. Teknik dokumentasi suatu cara pengumpulan data melalui
dokumen-dokumen. Dalam pelaksanaan teknik dokumen ini, penulis
mengumpulkan dokumen-dokumen berupa pengumpulan puisi Emily Dickinson
yang telah beredar dipasaran terutama yang bertemakan tentang kematian.
BAB IV
TEMUAN DAN HASIL DISKUSI HASIL PENELITIAN
1. Penerapan konsep Janaro dan Alsthuler dalam mengupas dan
mengungkap makna yang terkandung sebagai fantasi Dickinson dalam puisi
kematiannya.
Dalam bab ini, fantasi kematian yang ditemukan dalam puisi Dickinson ini
ditunjukkan mengingat oleh gagasan kematian disajikan oleh Janaro dan
Altshuler. Bab ini membahas isi dari setiap puisi dan menunjukkan bagaimana
fantasi-fantasi kematian disajikan kepada pembaca.
1.1. Kematian sebagai Musuh Setiap Orang
Menurut Janaro dan Altshuler, death is considered as a personal enemy. It
is placed on the other side of human being because it is dreadful and
unpredictable; therefore, no one wants to encounter it or wants to be its
companion. Death normally causes pain for dying people; thus, it is compared as
the enemy that is totally cruel. Furthermore, death is something that takes away
human beings’ loved ones and the opportunity to live their lives and fulfill their
goals. Then, the matter of death impacts the great fear in human’ minds because it
is both fearful and undesirable (385-6).
Dalam 'Death is like the insect', (puisi no.1 tahun 1862) penyair
menggunakan pemandangan alam menyiratkan bahwa kematian datang ke
manusia secara alami, seperti halnya serangga yang tertarik di pohon-pohon.
Fantasi kematian yang dituliskan Dickinson dalam puisi ini adalah musuh yang
bermaksud untuk mengeksplorasi dan menghancurkan kehidupan. Serangga
adalah sebuah perubahan menuju kematian sementara pohon sebagai tempat
bernaung dan hidup setiap manusia.
Death is like the insect
Menacing the tree,
Competent to kill it,
But decoyed may be .
Bait it with the balsam,
Seek it with the saw,
Baffle, if it cost you
Everything you are.
Dickinson menggambarkan hidup dan mati pada sisi yang berbeda, dengan
demikian, jelas bahwa penyair menggunakan kata pohon untuk dibandingkan
dengan kehidupan untuk menunjukkan ketidak mampuannya untuk melarikan diri
dari kematian atau melawan kematian. Serangga tersebut merupakan sesuatu yang
selalu menyebabkan pembusukan dan kerusakan pohon. Ini menunjukkan
gambaran tentang kematian selalu mendatangi sesuatu yang hidup. Ini
menciptakan gambaran bahwa kematian seperti perusak serta akan meruntuhan
makhluk hidup lainnya di bumi. Puisi ini menunjukkan bagaimana kematian bisa
menjadi musuh kehidupan yang destruktif dan tidak menguntungkan.
Dalam 'A Clock stopped', (puisi no.2 tahun 1861) penyair menunjukkan
bagaimana subjek dia menderita pada saat sekarat. Kematian dalam puisi ini
adalah musuh yang kuat yang menyerang korban lemah dan membawanya sakit
parah.
A Clock stopped -
Not the Mantel’s -
Geneva’s farthest skill
Can’t put the puppet bowing -
That just now dangled still –
An awe came on the Trinket!
The figures hunched, with pain -
Then quivered out of Decimals -
Into Degreeless Noon –
Kematian dapat diartikan sabagai hati yang telah berhenti berdetak.
Dickinson menggunakan kata jam sebagai penunjuk waktu dan dapat digunakan
mewakili jantung manusia. Setiap gerakan dari jam digambarkan sebagai detak
jantung. Kemudian, untuk menggunakan jam yang berhenti mewakili jantung
memungkinkan pembaca untuk melihat gambaran yang jelas tentang ketika
jantung telah berhenti berdetak dan kematian itu terjadi. Ini menandakan ketika
fungsi tubuh manusia yang menjadi lambat atau mulai mereda. Ini merupakan
proses kematian dalam tubuh manusia.
Derajat nyeri meningkat dengan berlalunya waktu. Gambar kematian ini
menakutkan karena secara bertahap menyiksa orang yang akan mati dari yang
rendah ke derajat yang lebih tinggi dari rasa sakit. Hal ini disampaikan kepada
pembaca bahwa kematian tidak akan menghentikan serangan menyakitkan sampai
orang sekarat dan kehilangan napas terakhirnya. Kemudian, ini tampaknya
menjadi salah satu alasan mengapa kematian telah menjadi realitas yang tidak
menyenangkan yang ditakuti kebanyakan orang.
Wayang dalam puisi ini digunakan untuk mewakili orang sekarat yang
tidak mampu bergerak atau perasaan. Wayang menciptakan citra kematian negatif
karena menghancurkan seseorang yang kemampuan dan indera. Wayang tidak
hanya menyajikan kelemahan orang sekarat tetapi juga membuat gambar kematian
benar-benar menyedihkan karena wayang itu sendiri dapat dipindahkan hanya
dengan bantuan orang lain. Pembaca sekarang menyadari bahwa kematian sendiri
memiliki kontrol atas sekarat orang lewat, apakah ingin membuat acara yang
menyakitkan, atau membiarkan dia mati dengan damai.
Dalam, 'There is a Languor of the Life' (puisi no.3 tahun 1862) Dickinson
sekali lagi menggambarkan rasa sakit terhadap fisik orang yang sekarat pada saat
kematian. Narator menyatakan bahwa orang yang sekarat selalu menderita dengan
siksaan pedih. Gambaran kematian itu sangat keji karena memiliki kekuatan untuk
menyiksa orang yang sekarat sampai ia secara bertahap kehilangan kesadaran.
There is a Languor of the Life
More imminent than Pain -
'Tis Pain Successor – When the Soul
Has suffered all it can –
A Drowsiness - diffuses -
A Dimness like a Fog
Envelops Consciousness –
As Mists – obliterate a Crag.
Jiwa yang "Has suffered all it can" menunjukkan sakit parah yang harus kita
terima di saat kematian. Puisi tersebut menggambarkan orang yang sekarat saat
berbaring di ruangan gelap yang memiliki banyak kabut yang menghalangi
sensasi orang yang sekarat itu.
Ruangan ini menunjukkan depresi dan frustrasi bahwa orang sekarat terasa
pada saat kematiannya. "Kabut" dan "awan" digunakan sebagai simbol
kemalangan yang menunjukkan momen menyakitkan ketika orang sekarat.
Mereka tampaknya meningkatkan derajat ketakutan dan frustrasi terhadap
kematian karena mereka memberi kemungkinan serta kesempatan pembaca untuk
membayangkan badai besar, reruntuhan dan kerugian. Penggunaan awan dalam
puisi ini melambangkan kematian yang akan datang, dan ini dapat meningkatkan
ketegangan yang sangat tinggi bagi pembaca. Ketika orang-orang sekarat melihat
awan mendekat, mereka merasa bahwa mereka secara bertahap semakin dekat
dengan kematian mereka.
1.2.Kematian sebagai sesuatu yang menyamaratakan setiap orang yang mati
Menurut Janaro dan Altshuler, death is the life event that makes every
living thing equal. People are born on earth differently. Their lives, conditions and
struggles are not the same. However, death is the final destination of all lives and
no one can ever make an escape. Everyone finally will become the dust. Death
further makes balance for nature otherwise there would be no space for the new
born on earth (388-91). Bagi Dickinson, puisinya tentang topik ini menyatakan
bahwa kematian adalah akhir yang umum terjadi untuk semua makhluk hidup, dan
bahwa hal itu adalah hak mereka yang semua pasti memiliki. Sangat menarik
bahwa sejumlah puisi menggunakan hewan untuk memperjelas kesetaraan hidup.
Dalam 'The Color of Grave is Green -', (puisi no.1 tahun 1862) kumpulan
warna yaitu hijau dan putih digunakan untuk menunjukkan suasana hati baik
menyenangkan atau tidak menyenangkan, yang mengelilingi seseorang yang
sedang berhadapan dengan kematian . Warna hijau diperoleh dari sumber hijau
rumput atau ladang di dekatnya, sedangkan sumber putih berupa salju.
Penggunaan warna-warna ini berfungsi untuk mempengaruhi persepsi masing-
masing pembaca yang berbeda-beda terhadap gambaran kematian. Di satu sisi,
hijau mengaktifkan gambaran kematian sebagai hal yang menyenangkan. Penyair
berniat menggunakan hijau, dari rumput untuk melambangkan keaktifan atau
penyegaran kehidupan setelah kematian. Akibatnya, gambaran kematian terbentuk
nilai dalam warna hijau untuk mengajak pembaca tentang konsep kematian yang
damai.
Di sisi lain, bila menggunakan simbol putih salju penyair bermaksud
mengajak pembaca untuk melihat suasana dingin bersama-sama dengan kesepian.
Oleh karena itu, puisinya yang menggunakan simbol putih, untuk
menggambarkan emosi suram dan menyedihkan.
The Color of Grave is Hijau -
The Outer Grave – I mean -
You would not know it from the Field -
Except it own stone –
To help the fond – to find it -
To infinite asleep
To stop and tell them where it is -
But just a Daisy – deep -
The Color of Grave is White -
The outer Grave – I mean -
You would not know it from Drifts -
In Winter – till the Sun –
Has furrowed out the Aisles -
Then – higher than the Land
The little Dwelling House rise
Where each – has left a friend –
Orang-orang biasanya dapat mengidentifikasi kuburan dengan tanda dan nama
masing-masing pemilik, oleh karena itu bagi mereka yang diluar mungkin
memiliki berbagai perspektif terhadap kematian karena mereka tidak pernah
mengalaminya sendiri. Penekanan penyair tampaknya pada pandangan "outsider"
karena penyair menyatakan, "The outer Grave – I mean -" dua kali. Pada bait
kedua, kata "To" dan "Too" digunakan untuk merangsang emosi pembaca agar
timbul perasaan ingin tahu di mana melihat kuburan secara nyata. Selanjutnya di
bait ketiga dan keempat, gambar kuburan masih belum jelas terlihat bagi pembaca
karena tertutup oleh salju sebab saat itu musim dingin.
Hal ini sekali lagi menekankan pada penampilan yang pasti dari kuburan
bagi orang-orang yang mengamati kuburan, karena pandangan mereka bervariasi
bergantung subjek serta perubahan cuaca atau musimyang terjadi. Selain itu,
penyair menguraikan lebih lanjut tentang warna makam di musim yang berbeda.
The color of the Grave within -
The Duplicate – I mean -
Not all the snows could make it white -
Not all the Summers - Green –
You’ve seen the Color - maybe -
Upon a Bonnet bound -
When that you met it with before-
The Ferret – cannot find –
Penyair menyimpulkan dalam bait kelima bahwa warna dalam setiap kuburan
serupa. Ini menyiratkan bahwa kematian adalah menyamaratakan untuk setiap
orang mati karena mereka semua akhirnya sama di dalam makam mereka. Pada
akhirnya Puisi tersebut menyajikan bahwa kematian adalah satu-satunya hal
tunggal yang menunjukkan tidak ada perbedaan antara orang satu dengan yang
lain.
Dalam 'After a hundred years,’ (puisi no.2 tahun 1869) kematian disajikan
sebagai sesuatu yang banyak dialami orang beberapa kali dalam hidup mereka.
Bila waktu telah datang pada seseorang, maka kematian pada akhirnya hanya
menjadi memori bagi semua orang.
After a hundred years
Nobody knows the Place
Agony that enacted there
Motionless as Peace
Weeds triumphant ranged
Strangers strolled and spelled
At the lone Orthography
Of the Elder Dead
Winds of Summer Fields
Recollect the way -
Instincts picking up the Key
Dropped by memory –
Puisi diatas menjelaskan bahwa "agony"(penderitaan) menghilang dengan
berjalannya waktu pada saat tanaman tumbuh. Kata "place"(tempat) mengacu
pada kuburan karena narator menyatakan bahwa penderitaan berada di sana.
Penyair selanjutnya menggunakan kata "Peace"(Perdamaian) yang berhubungan
dengan kata "Place"( tempat). Hal ini menunjukkan bahwa "Place"(Tempat) yang
menjadi "Peace"(Perdamaian) adalah tanda konotatif yang menyampaikan
perasaan positif terhadap kematian.
Akibatnya, perjalanan kematian digambarkan dalam puisi ini tidak untuk
dijauhi karena disajikan sebagai sebuah insiden yang secara bertahap akan hilang
dari ingatan orang-orang. Frase 'Strangers strolled and spelled' menunjukkan
jumlah orang yang pada akhirnya akan berkumpul dalam tempat. Mereka datang
untuk mengunjungi makam di kuburan itu. Ini menandakan bahwa orang bisa
mempertimbangkan kematian sebagai menyamaratakan, yang membawa mereka
ke tempat yang sama pada makam mereka. Akhirnya, orang-orang pasti
mengalami mati dan berbaring, berkumpul bersama di posisi yang sama dan
kuburan yang sama.
Sebagian besar gambar kematian pada kategori kedua tidak mengerikan
atau sulit. Sekarang disajikan sebagai penentu yang membawa kesetaraan bagi
semua makhluk hidup tanpa pengecualian atau kondisi. Nuansa setiap puisi yang
menggambarkan ketenangan dan kedamaian, ini membuat pembaca menyadari
bahwa kematian hanyalah sifat manusia atau kenyataan hidup bahwa setiap orang
harus menerimanya.
1.3. Kematian sebagai Hadiah atau Hukuman: di Akhirat
Richard dan Janaro mengatakan bahwa “death as a reward or punishment
in the afterlife”(393-6). Ajaran kristen percaya bahwa akan ada dunia spiritual
dalam kehidupan setelah kematian di mana orang yang sekarat dan akhirnya
meninggal dunia pada saatnya nanti akan tinggal bersama-sama dengan yang lain
hingga menunggu hari penghakiman. Di sana, tindakan orang semasa mereka
masih hidup adalah penentu sebab tempat di mana orang-orang telah sekarat dan
pada akhirnya meninggal, mereka akan tinggal di akhirat. Orang yang melakukan
perbuatan baik akan masuk surga sebagai hadiah sementara orang yang
melakukan perbuatan buruk akan pergi ke neraka sebagai hukuman.
Beberapa puisi Dickinson menyajikan kematian sebagai hadiah untuk
orang-orang telah meninggal karena mereka ada di suatu tempat yang damai di
akhirat sementara beberapa puisi menunjukkan kematian sebagai hukuman karena
orang yang meninggal hanya mengalami kebosanan atau kutukan setelah
kematian. Dalam kebanyakan puisi, orang yang sekarat mengalami momen selama
transisi antara hidup dan mati tanpa rasa sakit fisik atau emosional. Setelah
melewati saat itu, mereka tampaknya sekali lagi ada pada tingkat baru kesadaran.
Dalam I heard, as if I had no Ear', ( puisi no.1 tahun 1865) narator menunjukkan
saat ini jiwanya terpisah dari tubuhnya.
Dickinson menggunakan orang pertama sebagai narator untuk menjelaskan
proses transisi dan ini membantu pembaca memahami perasaan sebenarnya
subjek.
I heard, as if I had no Ear
Until a Vital Word
Came all the way from Life to me
And than I knew I heard.
I saw, as if my Eye were on
Another, till a Thing
And now I know ' twas Light, because
It fitted them, came in
"light" yang digunakan sebagai simbol kehidupan atau kelahiran kembali jiwa. "I"
adalah sebagai suara orang yang sekarat, yang sekarang mendapatkan kembali
kesadaran dan fungsi tubuh, setelah kematiannya dan dia menyatakan bahwa
"And now I know 'twas Light”, because / It fitted them, came in" Dia
menyebutkan tentang cahaya sebagai sensasi yang diaktifkan kembali guna
menunjukkan, bahwa cahaya adalah sinyal pemisahan jiwanya dari tubuh tak
bernyawa itu, kelahiran kembali ke hidup baru setelah dia kematian.
I dwelt, as if Myself were out,
My Body but within
Until a Might detected me
And set my kernel in
And Spirit turned onto the Dust
"Old Friends, thou knowest me,
And Time went out to tel the News
And met Eternity
Narator menyatakan bahwa jiwanya berubah menjadi debu menandakan bahwa
kehidupan fisiknya pasti akhirnya akan berakhir. The "Might" melambangkan
"God", karena ia akhirnya memiliki kuasa atas kematian seseorang. Selain itu,
makna di balik baris tersebut, narator menyatakan bahwa Tuhan menunjukkan
keakrabannya dengan orang yang meninggal karena Tuhan adalah temannya, "Old
Friends" yang "knowest, me." narator percaya bahwa dia telah menjalani
kehidupan yang baik bersama Tuhan, dan telah lama mengetahui dan menerima
kebenaran bahwa Tuhan tahu dia. Dan dia mengetahui bahwa Tuhan adalah orang
yang mengendalikan hidup dan kematian. Penyair akhirnya menggunakan
"eternity" untuk menunjukkan bahwa tugasny. Penyair menggambarkan citra
damai kematian di puisi ini dan dalam puisi ini, kematian digambarkan sebagai
hadiah.
In, "I am alive – I guess -", (puisi no.2 tahun 1862) kematian disajikan
sebagai kebebasan dari komplikasi hidup. Narator bebas dari tanggung jawab,
keputusan, dan kekacauan yang menyulitkan dia dalam kehidupan sehari-hari. Dia
menyebutkan "Morning Glory", sebuah bunga yang indah yang mekar setiap pagi
dan menutup setiap malam, untuk memberikan pembaca perasaan positif tentang
kematian, sebagai awal baru dan karena "glory" biasanya berarti kepuasan bagi
penerimanya.
Selain itu, narator tidak menunjukkan keputusasaan dalam puisi itu, ini
berarti bahwa ia tampaknya senang dengan tempat dia sekarang tinggal.
I am alive - because
I do not own a House -
Entitled to myself - precise -
And fining no one else –
And marked my Girlhood’s name –
So Visitors may know
Which Door is mine – and not
Bait di atas menyajikan adegan dari sebuah makam yang mana sang pembicara
masuk ke dalam, Dia tidak menemui adanya diskusi tentang "fear" atau "teror"
maupun bukti ketidaksenangan. Subjek sekali lagi menyatakan kepuasan dengan
mengatakan bahwa "I am alive" yang menyiratkan bahwa kematian dengan cara
seperti ini mungkin lebih inda. Lain dari hidupnya saat ia masih berada di dunia
dan sekali lagi sangat itu berbeda dari siklus kehidupan sebelumnya. Kematian
dalam puisi ini seperti hadiah untuk orang yang sekarat.
Dalam 'Because I could not stop for Death-', (puisi no.3 tahun 1863)
kematian dipersonifikasikan sebagai seorang pria yang membutuhkan Wanita dan
keabadian dengan dia di keretanya. Penyair menciptakan situasi perjalanan
kemudian mempresentasikan idenya tentang perjalanan ke alam baka. Dia
melambangkan kematian sebagai seorang pria yang murah hati mengambil
seorang wanita dalam perjalanan hidupnya. Gambar kematian di sini disajikan
dengan baik, sopan, dan manusia yang handal.
Because I could not stop for Death -
He kindly stopped for me -
The Carriage held but just Ourselves -
And immortality.
We slowly drove – He knew no haste
And I had put away
My labor and my leisure too,
For His civility –
Bait pertama menunjukkan kesibukan seorang wanita. Dia menyatakan bahwa
"Because I could not stop for Death -/He kindly stopped for me - "Hal ini
menunjukkan bahwa orang-orang sibuk dengan kehidupan, dan bahwa mereka
tidak tahu kapan kematian mendekat.
Meskipun orang tidak memiliki waktu untuk menatap kematian itu, namun
kematian tidak dipersilahkan berhenti untuk membawa mereka tanpa undangan.
Dalam bait berikutnya, narator membuat jeda puisi dengan memberikan
kesempatan, guna melakukan pengaturan yang berbeda untuk mengaktifkan
pembaca ' mempersepsikan pesan yang disampaikan.
We pased the School, where Children strove
At Recess – in the Ring –
We passed the Fields of Gazing Grain -
We passed the Setting Sun –
Or rather – He passed Us -
The Dews drew quivering and chill -
For only Gossamer, my Gown -
My Tippet - only Tulle –
Pria dan wanita melakukan perjalanan ke banyak tempat. "Children", "Gazing
Grain" dan "Setting Sun "melambangkan perkembangan siklus hidup manusia
dari masa kanak-kanak, melalui dewasa dan kemudian kematian.
Wanita itu lebih lanjut menyatakan bahwa sikapnya yang dingin
disebabkan oleh embun. Ini menggambarkan perasaan dan refleksi dari orang
yang sekarat ketika dia mengalami proses kematian. Penyair menggunakan kata
"passed" untuk menekankan refleksi pada situasi masa lalu yang pernah dialami
dalam hidup mereka.
We paused before a House that seemed
A Swelling of the Ground -
The Roof was scarcely visible -
The Gornice – in the Ground –
Since than - ' tis centuries – and yet
Feels shorter than the Day
I first surmised the Horses' Heads
Were toward Eternity –
Ketika kematian dan wanita berhenti di rumah, perjalanan lebih lambat. Rumah
ini metafora untuk makam wanita. Kematian membawanya untuk beristirahat di
rumah ini. Ini berarti bahwa mereka sekarang mencapai akhir perjalanan karena
penyair menyatakan tidak ada daerah lebih lanjut. Bahwa wanita mengungkapkan
fantasi-nya untuk keabadian, menandakan bahwa jiwanya akan tinggal selamanya
di akhirat untuk selamanya.
Dalam puisi ini, penyair menunjukkan persetujuan bagi wanita untuk pergi
dengan kematian dengan membuat citra kematian menjadi positif. Ini berarti
bahwa jika manusia memahami kebenaran hidup dan berani menghadapi kematian
tanpa rasa takut, mereka tidak akan mengalami depresi yang besar atau ketakutan
pada saat kematian mereka.
Selain itu, bahwa penyair mengungkapkan makam, dimana tubuh fisik
abadi akan berada di lingkungan yang tenang dan damai, untuk orang yang
sekarat, membuat gambaran kematian lebih nyaman. Ini berarti bahwa orang
yang sekarat hanya bergerak dari tempatnya di bumi untuk keberadaan baru di
akhirat yang damai. Kemudian, ini adalah hadiah dari orang yang akan mati di
akhirat bagi dia nantinya, karena orang mati adalah puas dengan tempat baru yang
ia temukan.
1.4.Kematian telah ditentukan sebagai takdir: Nasib
Richard dan Janaro menunjukkan bahwa death is can be viewed as
predetermined end or fatalism. Death is the flexible destiny that is unavoidable.
Human beings cannot determine their own fate because God alone can manage
date and human beings can do nothing to change this fate. God has powerful
strength to control life and death. People comfort themselves that because of the
love of God, they all die. In their afterlife, they will be able to reside with God in
the his kingdom. This makes the matter of death become predetermined and
fatalistic for many people(393-6).
Dalam 'They dropped like Flakes -', ( puisi no.1 tahun 1862) kematian
digambarkan dengan cara yang positif. Kematian dipandang sebagai materi biasa
tapi tetap saja di bawah kendali Tuhan. Kata "they" menunjukkan jumlah orang
sekarat, jadi ini menyiratkan bahwa kematian tidak hanya terkait dengan satu
orang, tetapi itu adalah untuk banyak atau semua.
They dropped like Flakes -
They dropped like Stars -
Like petals from a Rose -
When suddenly across the June
A wind with fingers - goes –
Puisi ini menjelaskan karakter kematian yang berubah seperti serpih, bintang-
bintang, dan bunga. Semua bahan-bahan dari alam ini disajikan untuk menandai
kehidupan yang rapuh dan halus dari seluruh makhluk termasuk manusia.
Dickinson menggunakan unsur-unsur alami untuk mengundang rasa citra bagi
pembaca dan menekankan bahwa kematian secara alamiah merupakan masalah
umum dan dapat diterima. Rumput dan bunga aster digunakan sebagai
perumpamaan kematian.
Dua tanaman ini digunakan dengan harapan dapat membantu untuk
memungkinkan pembaca untuk melihat kematian sebagai hal yang positif. Karena
warna mereka mengundang perasaan damai sementara penampilan mereka
membuat soal kematian biasa dan indah. Rumput dan bunga aster yang digunakan
dalam Puisi Dickinson dalam rangka untuk menandakan bahwa kedua tanaman
tersebut biasanya dapat ditemukan di mana saja. Dan dapat diartikan bahwa
kematian dapat terjadi pada semua orang.
Dengan alasan ini, dua tanaman ini digunakan sebagai dua sumber alami
yang membuat gambar kematian dalam puisi ini umum dan mudah dimengerti.
Kedatangan dua tanaman ini pada bulan Juni yang berarti masa pertumbuhan yang
indah baru, maka akan menggantikan musim gugur. Hal ini menunjukkan
pembaca bahwa kesedihan, kematian akan diganti sekali lagi dengan memulai hal
yang baru. Bait dari puisi berikut yang lebih lanjut berkaitan dengan kepercayaan
Dickinson pada Tuhan.
They perished in the Seamless Grass -
No eye could find the place -
But God can summon every face
On hisRepealless - List.
Tidak ada yang seorang pun yang mengetahui apa yang akan terjadi di akhirat
setelah kematian seseorang kecuali Tuhan. Karena hanya Dia yang memiliki
daftar nama setiap orang yang akan sekarat. Sekali lagi Dickinson menggunakan
pemandangan alam untuk menggambarkan kematian dalam hal yang positif. Hal
ini memungkinkan pembaca untuk melihat adegan kematian, dan tidak ditemukan
adanya rasa takut atau ngeri. Karena kematian dibingkai dalam konteks tatanan
hal alam, dan menjadi bagian dari kehidupan, sehingga lebih mudah untuk
diterima bagi pembaca.
Dalam 'Death is potential to that Man' (puisi no.2 tahun 1862) puisi ini
mencerminkan tentang kematian pasti mendatangi dan dialami oleh semua orang
kecuali Tuhan. Penyair berbicara tentang persahabatan antara dua laki-laki yang
akhirnya terpisah oleh kematian.
That is potential to that Man
Who dies – and to his friend -
Beyond that - unconspicuous
To Anyone but God –
Of these two – God remembers
The longest – for the friend -
Is integral – and therefore
Itself dissolved – of God –
Keakraban antara dua laki-laki dan Tuhan serta menunjukkan kuasa Tuhan yang
mengetahui nasib setiap manusia. Puisi berikut 'Tie the Strings to my Life, My
Lord’, menggambarkan kesediaan dari orang yang sedang sekarat untuk
meninggalkan hidupnya dan bersiap menuju ke akherat, dimana Tuhan akan
datang untuk memberi keadilan kepada setiap orang. Narator menyadari bahwa
kematian bukanlah hal yang ditakuti, dan dia tidak menunjukkan rasa takut atau
ragu-ragu untuk menjalani perjalanan hidup ini.
Tie the Strings to my Life, My Lord,
Then, I am ready to go!
Just a look at the horses -
Rapid! That will do!
Put me in on the firmest side -
So I shall never fall -
For we must ride to the judgment -
And it’s partly, down Hill –
Ini adalah saat ketika "My Lord" mengambil orang sekarat menuju akhirat, karena
narator menyatakan bahwa keduanya menuju ke "Judgment".
Tuhan di sini dapat menjadi berfungsi sebagai malaikat kematian dan
sebagai Tuhan. Karena narator percaya bahwa Tuhan memiliki kesanggupan
untuk memberi kepad mereka Penghakiman. Ini menegaskan "Lord" memiliki
kekuatan untuk membawa seseorang ke tujuan terakhirnya. Kata "Tie"
menunjukkan kesanggupan seseorang untuk menjalani perjalanan hidup ini
dengan Tuhan, dan dia sekali lagi ingin menunjukkan kesediaan di bait kedua,
ketika dia ingin ditempatkan "on the firmest side". "horse" adalah simbol untuk
kecepatan saat transisi antara hidup dan mati, karena hal tersebut berjalan cepat,
dan narator percaya bahwa hari kiamat adalah "partly, down Hill".
But never I mind the steeper -
And nevr I mind the Sea -
Held fast in Everlasting Race -
By my own Choice, and Thee –
Goodbye to the Life I used to live -
And the World I used to know -
And kiss the Hills, for me, just once -
Then – I am ready to go!
Akhirnya, narator akan menerima bahwa dia akan dipisahkan dari kehidupan
sebelumnya, karena dia mengatakan "Goodbye" untuk itu. Hal ini menunjukkan
bahwa manusia pasti terlepas dari semua hubungan dengan manusia yang lain dan
kewajibannya pada saat kematian mendatangi mereka. Puisi terakhir ini
menggambarkan kematian sebagai nasib bahwa orang-orang tidak punya hak
untuk menolak. Hal ini secara alami dikombinasikan pada Manusia ' takdir sejak
mereka lahir.
2.Perkembangan Puisi Dickinson tentang kematian
Selama masa hidupnya, Dickinson mencurahkan banyak perhatian pada
tema kematian dan akhirat. Sejak kematian teman-temannya di masa kecil, orang
tuanya, yang keponakan tercinta, dan orang-orang dalam Perang Sipil. Dickinson
berusaha melibatkan dirinya dalam usaha untuk memahami kematian dan hal-hal
apa saja yang memengaruhi. Pertanyaan tentang keabadian, dan kekuasaan Tuhan
sepertinya mengobsesi dirinya untuk menuangkan fantasinya melalui puisi. Puisi-
puisi yang ditulis Dickinson dimaksudkan untuk mencerminkan perasaannya,
pengalaman dan keyakinan secara tertulis dan ini membuat gambaran kematian
memiliki banyak tahapan. Bagian ini, puisi kematian Dickinson dianalisis secara
kronologis mengikuti perkembangan puisinya.
Pada periode pertama antara 1860 dan 1861, Dickinson mulai mengupas
permukaan tentang topik kematian. Dia memulai dengan rasa ingin tahu tentang
apa itu kematian dan ini menandakan bahwa kematian masih berupa hal biasa,
bukan sesuatu yang berdampak serius bagi banyak orang. Hal ini tampaknya yang
menjadi penyebab, karena selama bertahun-tahun hidupnya belum mengalami
kematian. Dalam 'Dust is the only secret', tahun 1860 misalnya. Kematian
digambarkan dengan debu yang menandakan bahwa itu berarti bukan berarti apa-
apa. Hal ini jarang dibahas oleh Dickinson dan tampaknya tidak menyebabkan
ketakutan dan bagi warga kota.
Dust is the only secret -
Death, the only One
You cannot find out all about
In his "native town"
Nobody knew "his father"
Never was a Boy -
Hadn’t any playmates,
Or "Early history -"
Industrious! Laconic!
Punctual! Sedate
Bold as a Brigand!
Stiller than a fleet!
Hal ini jelas bahwa penyair menunjukkan perkataan yang membingungkan
tentang kematian. Tidak ada yang tahu siapa dia, dari mana dia atau sejarahnya.
Dengan alasan ini, kematian, dari tulisan-tulisan awal Dickinson, dianggap
sebagai tidak penting dan tidak berharga.
Dickinson menuangkan ide-idenya tentang kematian dalam banyak puisi
dan gambaran kematian pada puisinya tidak mengerikan atau menakutkan.
Sebagian dari fantasi tersebut digambarkan melalui penglihatannya sendiri
terhadap temannya saat sekarat di ranjang dan mendekati kematian, ternyata
proses kematian tidak sangat menyakitkan, seperti di ‘To die-takes just a little
while’ pada tahun 1861. Hanya dibutuhkan beberapa waktu yang singkat untuk
proses sekarat. Penyair juga menunjukkan optimismenya pada akhir puisi itu,
mengungkapkan bahwa waktu yang akan membuat pelayat lupa kesedihan
mereka. Dalam puisi lain yang ditulis pada tahun yang sama, 'Looking at Death, is
Dying', mati itu berarti hanya melepaskan hidup dan menghentikan nafas
kemudian beristirahat untuk selama-lamanya. Demikian pula, dengan 'Tie the
string to my Life, my Lord’, tahun 1861, korban bersedia untuk meninggalkan
barang-barangnya didunia dan melanjutkan perjalanan kematiannya menuju
keabadian bersama Tuhan. Semua puisi ini menunjukkan kematian sebagai
kejadian yang menyenangkan karena disajikan sebagai hal seperti; tidur, istirahat,
atau perjalanan.
Pada tahun-tahun awal, Dickinson menggunakan bahasa yang sederhana.
Dia bermaksud untuk memilih satu atau dua kiasan dalam puisinya seperti
metafora atau simile untuk menampilkan gambaran kematian. Sering
menggunakan sedikit kepintarannya, seperti yang terlihat seperti dalam puisi
berikut;
To die – takes just a little while -
They say it doesn’t hurt -
It’s only fainter - by degrees -
And then – it’s out of sight –
Ia menggunakan sedikit kepintarannya untuk menunjukkan sinyal bagi pembaca,
ketika satu ide selesai dan ketika ide baru dimulai. Selain itu, Dickinson sering
memilih kata-kata yang menyampaikan makna positif dalam puisinya, seperti:
"gay", "pretty sunshine" atau "holiday." Dengan penggunaan kiasan yang rumit
dan struktur kalimat yang sederhana, membuat nyaman bagi pembaca untuk
menafsirkan dan memahami puisi Dickinson tentang kematian menjadi mudah
pada tahun awal penulisannya.
Kemudian, pada tahun 1862, kematian telah menjadi lebih penting untuk
Dickinson karena topik puisi ini sangat kuat. Ada insiden yang menyebabkan
Dickinson menulis banyak puisi tentang kematian pada tahun ini, di antaranya
adalah: kematian gurunya, penderitaannya dari kelumpuhan, dan korban Perang
Saudara yang terjadi selama waktu itu. Dari beberapa insiden tersebut, Dickinson
tidak hanya harus menahan rasa sakit fisik pada dirinya sendiri, tetapi juga
menghadapi penyakit jiwa saat itu. Kemudian, dapat diasumsikan bahwa dia
disibukkan oleh takut sakit dan kesedihan yang berkaitan dengan hal itu. Dengan
alasan ini, semua perasaan ini mengaktifkan kreativitas menulisnya untuk
menghasilkan banyak puisi tentang kematian selama tahun ini.
Beberapa puisi menunjukkan penerimaan bahwa kematian adalah benar
untuk setiap makhluk hidup, dan bahwa itu adalah bagian dari sifat manusia
seperti dalam 'They dropped like Flakes" bahwa mati adalah berakhirnya
kehidupan, karena beberapa tanaman yang memiliki siklus hidup yang pendek.
Kematian disajikan sebagai keharusan atau takdir bagi semua makhluk hidup yang
telah ditetapkan sejak mereka lahir dalam 'A Toad can die of Light." Lebih lanjut
di 'Doom is the House without the Door' penyair menunjukkan ide positif
terhadap makam, bahwa itu adalah seperti rumah lain untuk orang yang mati
dalam kehidupan setelah kematian. Semua puisi ini mengkomunikasikan kepada
pembaca bahwa kematian adalah normal, karena secara alamiah pasti terjadi
dalam siklus hidup manusia. Dan kehidupan setelah kematian adalah tidak sulit
dan menakutkan karena orang yang sekarat tahu penempatan jenazahnya ke
tempat yang damai dan terhormat. Kediamannya sendiri mirip dengan ketika ia
masih hidup.
Pada tahun 1862, Dickinson mengungkapkan ide-ide lain yang lebih segar
tentang kematian, yang memberi kesempatan untuk hidup dari orang yang sekarat.
Ini menandakan bahwa dia tidak hanya menerima nasib kematian tetapi juga
memahami tentang sisi negatif itu. Dalam For death-or rather" kematian
mengambil orang yang sekarat untuk kekekalan. Dalam I’m sorry for the Dead-
Today -' Dickinson berbagi tentang kesedihan dari orang yang sekarat dan
bersimpati bahwa orang tersebut harus menghidupi orang yang dicintai dan
mengisi gairah ketika hidupnya. Pada salah satu puisinya yang terdahulu, dan
yang terakhir disebutkan disana. Puisi-puisi tersebut mengingatkan bagi pembaca
untuk menyadari fakta tentang kehidupan dan memotivasi mereka untuk lebih
peduli tentang tugas dan tanggung jawab.
Selain itu, sangat menarik bahwa Dickinson mulai meratapi hilangnya
kekasihnya yang berhubungan dengan hilangannya gurunya dan orang-orang yang
kehilangan nyawa mereka atau orang-orang yang kehilangan anggota badan saat
berpartisipasi dalam Perang Saudara pada waktu itu. Dalam ‘I knew that He
exists', narator mencoba untuk berpikir positif bahwa perpisahannya dengan orang
dicintai tidak hilang tapi masih ada di suatu tempat tidak dapat dijangkau selama
hidupnya. Demikian juga, dalam 'Death sets a Thing significant', narator berpikir
tentang kenangan bersama temannya, di waktu dan kepentingan ketika mereka
berbagi bersama-sama.
Nada puisi ini benar-benar sedih dan menyedihkan. Selain itu Dickinson
menerima dalam 'Death is potential to that man ' kematian terjadi pada semua
orang kecuali Allah. Ini adalah tahun pertama bahwa penyair menyatakan
keyakinannya pada Allah dalam puisinya, dan ia tampaknya percaya bahwa
kekuasaannya menempatkan Dia di posisi Utama. Baginya, hanya Allah sendiri
yang mengontrol siklus hidup dan proses kematian.
Puisi Dickinson tentang kematian pada tahun 1862 telah menjadi lebih
sulit karena teknik penulisannya yang lebih beragam dan rumit. Pesan kematian
juga lebih kompleks karena penyair tidak hanya menyajikan luaran idenya tentang
kematian. Dia sengaja membuat sesuatu yang lebih dalam dan memaksa pembaca
harus menggunakan pemikiran kritis mereka untuk menganalisis puisi. Puisi
berikut adalah yang paling luar biasa yang juga mencirikan sebagian besar Puisi
Dickinson di tahun ini.
I’m sorry for the Dead - Today -
It’s such congenial times
Old Neighbors have at fences -
It’s time o’ year for Hay.
And Broad - Sunburned Acquaintance
Discourse between the Toil
And laugh, a homely species
That makes the fences smile –
It seems so straight to lie away
From all the noise of Fields -
The Busy Carts – the fragnat Cocks -
The Mower’s Metre - Steals
A Trouble lest they’re homesick -
Those Farmers – and their wives -
Set separates from the Farming -
And all the neighbor’s lives –
A Wonder if the Sepulchre
Don’t feel a lonesome way
When Men - and Boys - dan Carts - and June,
Go down the Fields to "Hay" –
Hal ini jelas bahwa Dickinson menggunakan berbagai kiasan seperti
personifikasi, simbolisme dan metafora yang masing-masing membuat topik
kematian menjadi lebih kompleks dari yang dibayangkan. Dengan menggunakan
struktur gramatikal yang rumit, seperti penggunaan huruf kapital di antara
kalimat, penggunaan tanda baca yang tidak biasa dan jarang, serta pemberian
subjek-kata kerja, itu akan sulit bagi pembaca untuk memahami puisi. Dickinson
lanjut memakai beberapa kata yang dapat ditafsirkan dengan berbagai makna
seperti "the field" yang berarti penyegaran dan remaja, atau "hay" yang berarti
kematian atau usia tua. Dari titik ini, interpretasi akan tergantung banyak pada
pengalaman hidup dan latar belakang pengetahuan pembaca.
Dari antara 1863-1864, Dickinson memberi perhatiannya pada saat transisi
antara hidup dan mati. Ini berarti bahwa penyair menyajikan gambaran ketika
orang sekarat adalah di antara hidup dan mati. Gambar yang disajikan adalah
bahwa orang sekarat perlahan-lahan kehilangan kesadaran dan sekali lagi
merasakan fungsi tubuh reaktif dalam kehidupan setelah kematian. Beberapa puisi
menggambarkan momen transisi sebagai perjalanan seperti di '’Because I could
not stop for Death’ tahun 1863, kematian dipersonifikasikan sebagai seorang pria
yang mengambil perjalanan dan ditakdirkan untuk keabadian dan kekekalan.
Perjalanan ini adalah sebagai perjalanan yang membawa orang sekarat di seluruh
saat transisi antara hidup dan mati. Perjalanan disajikan sebagai hal yang lembut
dan menenangkan perjalanan. Ini menandakan bahwa konsep kematian telah
menjadi lebih nyaman dan menenangkan untuk penyair.
Selama 1863-1864, Dickinson menyebutkan sedikit rasa sakit saat
kematian selama proses sekarat, tapi dia menjadi tertarik pada wilayah dan
karakteristik akhirat sebagai gantinya. Dia menunjukkan keyakinannya bahwa ada
kerajaan lain di akhirat bagi jiwa-jiwa orang-orang mati untuk tinggal di dalamnya
dan dia menyajikan menggunakan adegan yang berbeda. Beberapa tempat yang
menyenangkan bagi orang mati tidak diketahui kecuali menunggu Hari
Penghakiman. Sementara cerita lain tidak menyatakan seperti itu karena orang
sekarat sedang dikendalikan oleh Allah, dan ia tidak memiliki hak untuk
melarikan diri. Dickinson menulis banyak puisi tentang topik ini dan ini
menegaskan keyakinannya tentang tingkat lain dari keberadaan di akhirat.
Berikutnya antara tahun 1865 dan 1866; puisi Dickinson tidak jauh
berbeda dari tahun-tahun sebelumnya. Dickinson menyusun beberapa puisi untuk
mengulangi keyakinannya tentang kelangsungan kehidupan setelah kematian
seperti dalam "I’ve dropped my Brain-My soul is numb-‘or’ I heard, as if I had no
Ear.' Tampaknya bahwa orang mati hidup lagi setelah kematiannya. Dickinson
tidak menyebutkan banyak tentang rasa sakit dan penderitaan bagi orang yang
sekarat. Dalam beberapa puisinya, kematian disajikan sebagai bagian dari takdir
manusia karena memang benar dan tidak dapat dihindari sementara beberapa
gambaran kematian diumpamakan sebagai waktu istirahat bagi manusia.
Daripada mengeluh tentang rasa sakit kematian, penyair cenderung untuk
mengeksplorasi lebih lanjut tentang akhirat. Beberapa puisi Dickinson
menyatakan tentang kematian sangat jauh dan tidak terjangkau oleh seseorang,
sementara beberapa orang percaya bahwa kematian itu dekat dan tersembunyi.
Tidak peduli seberapa jauh atau dekat kematian, itu masih sesuatu yang tidak
sepenuhnya dipahami, dan tentu tak terduga. Oleh karena itu, jelas bahwa selama
periode ini, sebagian besar konsentrasi Dickinson adalah tentang mekanisme
kematian dan akhirat. Ketakutan akan kematian menjadi kurang untuk
memengaruhi dia.
Di hampir fase terakhir dari Dickinson menulis yang antara tahun 1867-
1872, yang mana gambaran kematian menjadi kurang menakutkan. Penyair
menyatakan bahwa kesedihan bagi para pelayat karena merasa orang yang dicintai
berpisah dengan mereka bisa berubah dari waktu ke waktu. Ini berarti bahwa
seiring berjalannya waktu secara bertahap dapat membantu pelayat melupakan
kesedihan mereka tentang kematian. Ini menimbulkan perasaan positif karena
kesedihan bisa disembuhkan. Kemudian, mereka mungkin bisa memulihkan
kehidupan dan kebahagiaan mereka sendiri.
Dalam ‘The last night that she Lived’, saat-saat kematian dijelaskan oleh
narator dalam puisi menjadi tidak mengerikan karena orang sekarat diibaratkan
dengan buluh yang pasti diijinkan mati -. Demikian juga 'After a hundred years’ di
tahun 1869, Dickinson menunjukkan idenya bahwa waktu pasti bisa
menyembuhkan hati yang sakit dari para pelayat setelah kematian mengambil
teman-teman yang mereka cintai pergi. Puisi ini adalah seperti sinyal optimis
sikap penyair terhadap kematian karena ia menyatakan tidak ada lagi rasa sakit
tentang kematian proses dalam tahun ini atau tahun-tahun berikut.
Tahun-tahun setelah 1873, Dickinson masih menulis banyak tentang
akhirat. Pada titik ini, Allah tampaknya dihubungkan langsung dengan masalah
kematian, karena Dia sendirilah yang bisa menentukan kematian dan kehidupan.
Kemudian, Tuhan dan keyakinan agama yang sengaja digabungkan dalam banyak
puisinya. Selama bertahun-tahun, untuk menunjukkan kuasa Allah dan hal yang
memengaruhi apa yang bisa dia miliki agar kehidupan mereka lebih berarti.
Wilayah akhirat juga digambarkan dalam berbagai cara seperti pada tahun-tahun
sebelumnya. Itu puisi 'Mereka tidak hidup belum', pada tahun 1879 menunjukkan
penerimaan penyair kematian dan keyakinannya bahwa tidak benar-benar
mengerikan.
Kadang-kadang, kematian mungkin menjadi awal baru bagi sebagian
orang, untuk siapa, saat masih hidup dan saat berduka, mereka akan sembuh. Pada
periode akhir ini, Dickinson tidak berbicara tentang rasa sakit dari proses sekarat
atau kesedihan kematian lagi. Nada sebagian besar puisinya yang lembut, tenang
dan mengundang pemahaman dan penerimaan menuju kematian. Dickinson
menulis tentang topik kematian dan akhirat sampai kematian akhirnya datang
untuk mengambil hidupnya pada tahun 1886.
Kemudian, dapat disimpulkan bahwa fantasi Dickinson tentang kematian
tidak konsisten, karena mereka digambarkan berbeda dari tahun-tahun awal
hingga tahun-tahun terakhir tulisannya. Namun, pembaca dapat melihat sedikit
perubahan, seperti tema dan nada puisi dalam periode yang berbeda dari
tulisannya. Pertama, kematian tampaknya bukan menjadi hal yang menarik untuk
Dickinson, karena kematian ditampilkan di bagian pertama sebagai hal yang tidak
mengganggu dan jarang dibahas serta tidak memiliki dampak negatif pada
kehidupan. Selain itu, penggunaan kata-kata dalam puisi selama tahun-tahun awal
tampaknya membawa perasaan nyaman terhadap kematian seperti "morning",
"free", "holiday" atau "sleep". Semua kata-kata ini membuat gambaran kematian
benar-benar biasa.
Kemudian dalam kehidupan tengah penyair, gambaran kematian terlihat
lebih produktif dan bervariasi. Subyek kematian selama tahun-tahun ini
diperlakukan cukup berbeda, karena beberapa puisinya menyajikan sikap positif
terhadap kematian, sementara beberapa menunjukkan sisi negatif dari kematian.
Oleh karena itu, foto-foto kematian kadang-kadang berhubungan dengan manfaat
kematian yang membawa vitalitas untuk hidup, sementara kadang-kadang
kematian memberikan kesulitan kepada orang sekarat.
Namun, dapat diasumsikan bahwa penyair adalah di tengah-tengah antara
mengetahui rasa sakit dan kekejaman pada proses sekarat, dan menerima bahwa
kematian dan siksaan yang merupakan bagian dari sifat yang akan diterima
manusia. Selama fase ini, Dickinson menulis menjadi lebih rumit. Ia
menggunakan beberapa alat sastra dan tata bahasa yang tidak biasa untuk
menyajikan sikap ke arah kematian. Hal ini membuat puisinya sedikit lebih keras
untuk dipahami dan ditafsirkan.
Dalam tahun-tahun terakhir Dickinson menulis, ia menghentikan tema
kematian atau rasa sakit yang terkait dengan puisinya. Sebaliknya, ia
berkonsentrasi pada akhirat dan Allah yang memiliki kontrol atas kematian. Nada
setiap puisi cenderung lambat dan tenang dan ini membuat masalah kematian
kurang mengerikan atau takut. Tampaknya Dickinson memandang kematian
sebagai sesuatu yang normal seperti pasti akan terjadi pada setiap kehidupan. Hal
ini tentu menunjukkan bahwa saat kematian mendatanginya, dia akan mendapat
keuntungan, lebih memahami secara menyeluruh dan menerima kematian pada
akhir hidupnya.
BAB V
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan pada bab IV maka diperoleh
kesimpulan berkaitan dengan konsep Janaro dan Altshuler tentang kematian
yakni:
Pertama, Janaro dan Altshuler memberikan citra kematian sebagai musuh
pribadi, konsep pertama dapat ditemukan pada puisi Dickinson. Dalam puisinya,
kematian digambarkan sebagai pembunuh kejam yang menyerang setiap manusia
(korban) tanpa ampun. Puisi yang dianalisis dalam kategori ini adalah "Death is
like the inset"," A Clock stopped - "," There is a Languor of the Life "
Definisi kedua kematian disajikan sebagai hal yang menyamaratakan bagi
semua orang, dan dapat ditemukan di beberapa puisi Dickinson. Rasanya seperti
penentu yang membuat setiap makhluk hidup mengalami hal yang sama yakni
mengalami kematian. Penyair menggunakan kematian sebagai kendaraan Allah
untuk membawa semua kehidupan termasuk manusia ke surga. Kumpulan puisi
yang sesuai dengan ide ini adalah "The Color of the Grave is Green -" and "After
a hundred years."
Selanjutnya, Janaro dan Altshuler memberikan pandangannya tentang
kematian sebagai akhir yang telah ditentukan atau takdir dan tercermin dalam
beberapa puisi Dickinson. Itu adalah nasib bahwa tidak ada satu manusia pun
yang pernah untuk merubah. Dickinson mengungkapkan keyakinannya tentang
kekuasaan tertinggi dari Tuhan dan bahwa hanya Dialah yang dapat menentukan
kehidupan semua orang. Kematian adalah akhir dari semua makhluk termasuk
manusia kecuali Allah, bahwa hanya dari Dia semua hal tentang kelahiran dan
kematian ditetapkan. Beberapa puisi dalam kategori ini adalah "I heard, as if I had
no Ear- "," I am alive – I guess "," Because I could not stop for Death. "
kategori keempat menjelaskan kematian sebagai hadiah atau hukuman dari
Tuhan, dijelaskan bahwa ada tempat lain sebagai keberadaan manusia setelah
kematiannya, di mana orang yang mati dikumpulkan bersama-sama hingga
menunggu hari penghakiman. Keyakinan ini disajikan dalam beberapa puisi
berikut, "They dropped likes Flakes "," Death is potential to that Man -."
Saya mendapat sedikit ada perubahan yang penting dalam pengungkapan
makna yang ada pada puisi Dickinson. Persepsi dan penggambaran tentang
kematian dalam puisinya berdasarkan urutan perkembangan kronologis. Dalam
Periode pertama dari tulisannya, Dickinson menunjukkan rasa ingin tahunya
terhadap kematian sebagai suatu hal yang tampak serta dari mana asalnya.
Namun, pada tahap kedua, konsentrasinya pada topik kematian jelas dan
pandangannya tentang kematian jelas mulai berubah berdasarkan
pengumpulannya tentang kematian dan kehancuran akibat perang sipil, yang
berdampak pada teman-temannya, keluarga, dan tetangga di masyarakat sekitar.
Dengan alasan ini, puisinya di fase ini terutama mengungkapkan keadaan
ketika seseorang sekarat disiksa oleh proses sekarat. Pada tahun yang sama,
Dickinson tidak hanya menggambarkan sisi negatif dari kematian tetapi juga
aspek-aspek positif itu. Dia menyajikan secara penuh tentang kematian serta
beberapa tulisan puisinya yang menganggap kematian sebagai kejadian alam.
Akibatnya, gambaran kematian selama fase ini bervariasi karena Dickinson
menyajikan baik sebagai hal yang menyenangkan dalam beberapa puisi,
berdasarkan fakta-fakta yang diterima dari kehidupan orang lain.
Menjelang akhir hidupnya, Dickinson kurang memberikan perhatiannya
terhadap orang saat sekarat atau rasa sakit menjelang kematian. Dia menjadi lebih
tertarik pada saat transisi antara hidup dan mati, dan terlebih lagi berkonsentrasi
pada jiwa dan eksistensinya dalam akhirat. Selain itu, dia menyentuh pada topik
surga dan neraka yang merupakan nasib yang ia percaya ditunggu semua orang
meninggal yang pasti mereka dapatkan. Oleh karena itu, gambaran kematian
dalam fase terakhir menghadirkan sesuatu yang tenang dan damai.
Rekomendasi untuk Studi lanjut
1. Penelitian lebih lanjut dapat dilakukan untuk mempelajari puisi Dickinson
pada topik lain seperti cinta, persahabatan, alam, bahasa, Tuhan atau keabadian.
2. Penelitian lebih lanjut dapat dilakukan untuk mempelajari puisi Dickinson
membandingkan pekerjaannya untuk penulis yang berbeda lainnya, yang
pendekatan untuk menulis puisi bervariasi, atau yang menggunakan perangkat
sastra yang berbeda, gaya penulisan, citra atau tema
\
DAFTAR PUSTAKA
Aiken, Conrad. An Anthology of Famous English and American Poetry.
New York: Random House, 1945. Print.
Benoit, Raymond. Dickinson’s I Died for Beauty and Shakespeare’s The
Phoenix and Turtle ANQ. 19.4 (2006): 31-3. H.W. Wilson. Web.
20 May 2008.
Carey, Gary. Emily Dickinson; Selected Poem. Nebraska: Cliffs Notes,
1982.Print.
Damrosch, David. The Longman Anthology of World Literature. New York:
Pearson Education, 2004. Print.
Di Yanni, Robert. Modern American Poet:Their Voices and Visions.New
York: McGraw, 1994. Print.
Fulton, Alice. The Good Strangeness of Poetry. Minnesota: Graywolf, 1999.
Print.
Janaro, Paul. Richard, and Thelma C. Altshuler. The Art of Being Human.
4th ed. New York: Harper Collins College, 1993. Print.
Johnson, H. Thomas. The Complete Poems of Emily Dickinson.
Toronto: Little Brown, 1960.Print.
Johnson, H. Thomas. Emily Dickinson: An Interpretive biography.
Massachussets: The Belknap, 1955. Print.
Khaangku, Piyakun. Thesis of The Images of Death in Emily Dickinson’s
Poetry.Srinakharinwirot University, October 2011.
McMahon, Frank, and Judith McMahon. Psychology: The Hybrid Science.
5th ed. Chicago: The Dorsey Press, 1986. Print.
McMichael, George. Anthology of American Literature. 5th ed.
New York: Macmillan, 1993. Print.
McMichael, George, et al. Concise Anthology of American Literature.
5th ed. New Jersey: Prentice-Hall, 2001. Print.
Perkins, George, and Barbara Perkins. The American Tradition in Literature.
9th ed. Boston: McGraw, 1999. Print.
Pollak, R. Vivian. Ed. A Historical Guide to Emily Dickinson. New York:
Oxford University Press, 2004. Print.
Sithijarinyaporn, Niti. “Christian Views of Death.” Death and Human Beings.
CCMA, 2006. Web. 28 May 2011.
Somrak, Niti. “A Critical Study of Emily Dickinson’s Literary Works: Poetic
Elements in Poems of Death.” KhonKaen University, 2002. Print.
The University Of Pennsylvania Museum Of Archaeology and Anthropology.
“Religion and Death.” The Ancient Greek World. Pen Press, 2002.
Web. 28 May 2011.
Villanueva, Anajiel. “Death in Ancient Greece.” Darkness Embraced, 3 Jan.
2010. Web. 28 may 2011.
Xiao-Chuan, Ren. “Death and Immortality:The Everlasting Themes.”
Canadian Social Science. 5.5 (2009): 96-9. Proquests. Web. 27 May
2011.
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1
Coding Poems
Group 1: Death as Personal Enemy
1) Death is like the insect
Menacing the tree,
Competent to kill it,
But decoyed may be.
Bait it with the balsam,
Seek it with the saw,
Baffle, if it cost you
Everthing you are.
Then, if it have burrowed,
Out of reach of skill-
Wring the tree and leave it,
‘Tis the vermin’s will.
1862
2) A clock stopped-
Not the Mantel’s-
Geneva’s farthest skill
Can’t put the puppet bowing-
That just now dangled still-
An awe came on the Trinket!
The figures huncled , with pain-
Then quivered out of Decimals-
Into Degreeless Noun.
1861
3) There is a Languor of the Life
More Imminent than Pain-
‘Tis Pain’s Successor-When the Soul
Has suffered all it can-
A Drowsiness-diffuses-
A Dimness like a Fog
Envelops Conciousness-
As Mists-Obliterate a Crag.
1862
Group 2: Death as Leveler
1) The Color of the Grave is Green-
The Outer Grave- I mean-
You would not know it from the Field-
Except it own stone-
To help the fond-to find it-
To infinite asleep
To stop and tell them where it is-
But just a Daisy-deep-
The Color of the Grave is White-
The Outer Grave- I mean-
You would not know it from the Drifts-
In Winter- Till the Sun-
Has furrowed out the Aisles-
Then-higher than the Land-
The Little Dwelling House rise.
Where each-has left a friend-
The color of the Grave is within-
Duplicates-I mean-
Not all the Snows-could make it white-
Not all the Summers-Green-
You’ve seen the Color-maybe-
Upon a Bonnet bound-
When that you met it with before-
The Ferret-cannot find-
1862
2) After a hundred years
No body knows the Place
Agony that enacted there
Motionless as Peace
Weeds triumphant ranged
Strangers strolled and spelled
At the lone Orthography
Of the Elder Death
Winds of Summer Fields
Recollect the way-
Instincts picking up the key
Dropped by memory
1869
Group 3: Death as Predetermined End: Fatalism
1) I heard, as if I had no Ear
Until a Vital Word
Came all the way from Life to me
And than I knew I heard.
I saw, as if my Eye were on
Another, till a thing
And now I know’ twas Light, because
It fitted them, came in.
I dwelt, as if Myself were out,
My Body but within
Until a Might detected me
And set my kernel in.
And Spirit turned onto the Dust
“Old friends, thou knowest me,
And time went out to tell the News
And met Eternity.
1865
2) I am alive –I guess
The Branches on my Hand
Are full of Morning Glory-
And at my finger’s end-
The Carmine-Tingles Warm-
And if I Hold a Glass-
Across my Mouth-it blurs it-
Physician’s-proof of Breath-
I am alive-because
I am not in a Room-
The Parlor-Commonly-it is-
So Visitors may come-
And lean-and view it sidewise-
And add “How cold- it grew”-
And “was it conscious-when it stepped
In Immortality?”
I am alive-because
I do not own a House-
Entilled to myself-precise-
And fitting no one else-
And marked my Girlhood’s name-
So Visitors may know
3) Because I could not stop for Death-
He kindly stopped for me-
The Carriage held but just Ourselves-
And Immortality.
We slowly drove-He know no haste
And I had put away
My Labour and my Leisure too,
For His Civility-
We passed the school, Where Children strove
At recess-in the Ring-
We passed the Fields of gazing Grain-
We passed the Setting Sun-
Or rather-He passed Us-
The Dews drew quivering and chill-
For only Gossamer, My Gown-
My Tipped-only Tulle-
We paused before a House that seemed
A swelling of the Ground-
The Roof was scarcely visible-
The Gornice-in the Ground-
Since then-‘tis Centuries-and yet-
Feels shorter than the Day-
I first surmised the Horses’ Heads
We toward Eternity-
The Word-feels Dusty
When we stop to Die-
We want the Dew- than-
Hornors-taste dry-
Flags-vex a Dying face-
But the lest Fan
Strired by a friend’s Hand-
Cools-like the Rain-
Mine be the Ministry
When thy thirst comes-
Dews of Thessaly, to fetch-
And Hybla Balms-
1863
Group 4: Death as Reward or Punishment; The Afterlife
1) They dropped like Flakes-
They dropped like Stars-
Like Petals from a Rose-
When suddenly across the June
A wind with fingers-goes-
They Perished in the Seamless Grass-
No eye could find the place-
But God can summon every face
On his Repealless-List.
1862
2) Death is Potential to that Man
Who dies-and to his friend-
Beyond that-unconpicuous
To anyone but God-
Of these Two-God remember
The longest-for the friend-
Is integral-and therefore
Itself dissolved-of God-
1862
Lampiran 2
Biografi Emily Dickinson
Dickinson was born in Amherst, Massachusetts, on December 10, 1830.
Her family was revered and even admired in the town, because her grandfather
was one of the founders of Amherst College. Furthermore, her father, Edward
Dickinson was a member of the United States Congress. Her mother’s name was
Emily Narcross Dickinson. Dickinson had one brother, Austin and one sister,
Lavinia. Throughout her lifetime, her siblings were good companions for her and
they were the link between Dickinson and the outside world (Bradley & Beatty,
1965;148).
Dickinson lived a reclusive and private life. She once stated that, “I don’t
go from home, unless emergency leads me by hand and then I do it obstinately,
and drew back if I can” (Vivian Pollak, 2004; 23). Dengan alsan tersebut,
Dickinson hanya berkunjung ke beberapa kota seperti Boston, Washington dan
Philadelpia. Walaupun Dickinson membatasi dirinya sendiri berhubungan dengan
komunitas di luar, ia masih sering berkirim surat dengan banyak teman dan lebih
sering membaca di rumah. In 1862, Dickinson wrote to Thomas wentworth
Higginson, a famous scholar/writer and enclosed four poems with her letter
because she wanted to attain Higginson’s opinions about her verse. Since then,
they continually corresponded and Higginson became her close friend. Although
Higginson accepted that Dickinson’s poetry was witty and qualified, only seven of
Dickinson’s poems were published during her lifetime (Bradley & Beatty,
1965;149).
After Dickinson’s death from Bright’s decease in 1886, Lavinia her sister
found a tremendous amount o Dickinson’s writings and manuscripts in her room.
Lavinia contacted some scholars including Higginson asking them to collect and
edited her sister’s work. After that, Dickinson’s poems and letters were printed
and her work became well-known widely in the 20th Century (Bradley & Beatty,
1965;149).