Urgensi Predicate Crime Dalam Uu Tppu

43
“Urgensi Predicate Crime Dalam Tindak Pidana Pencucian Uang di Indonesia” BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang. Money laundering atau pencucian uang atau dalam terminologi hukum pidana Indonesia disebut dengan tindak pidana pencucian uang, relatif baru dikenal dalam dunia hukum pidana kita. Indonesia baru menerbitkan regulasi berkaitan dengan tindak pidana pencucian uang pada Tahun 2002, yaitu dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, yang diundangkan dan mulai berlaku sejak tanggal 17 April 2002. Dalam Undang-undang ini tidak ada pengertian atau definisi atau batasan mengenai apa yang dimaksud dengan pencucian uang atau pun tindak pidana pencucian uang. Yang ada ialah rumusan perbuatan yang diancam pidana karena tindak pidana pencucian uang, sebagaimana dirumuskan dalam pasal 3 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002. Kemudian dalam penjelasan umum undang- undang tersebut dijelaskan bahwa upaya untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul harta kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini, dikenal sebagai pencucian uang (money laundering).[1] 1

description

tindak pidana pencucian uang

Transcript of Urgensi Predicate Crime Dalam Uu Tppu

Page 1: Urgensi Predicate Crime Dalam Uu Tppu

“Urgensi Predicate Crime Dalam Tindak Pidana Pencucian Uang di

Indonesia”

BAB I

PENDAHULUAN

 A.    Latar Belakang.

Money laundering atau pencucian uang atau dalam terminologi hukum

pidana Indonesia disebut dengan tindak pidana pencucian uang, relatif baru

dikenal dalam dunia hukum pidana kita. Indonesia baru menerbitkan

regulasi berkaitan dengan tindak pidana pencucian uang pada Tahun 2002,

yaitu dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana

Pencucian Uang, yang diundangkan dan mulai berlaku sejak tanggal 17

April 2002. Dalam Undang-undang ini tidak ada pengertian atau definisi atau

batasan mengenai apa yang dimaksud dengan pencucian uang atau pun

tindak pidana pencucian uang. Yang ada ialah rumusan perbuatan yang

diancam pidana karena tindak pidana pencucian uang, sebagaimana

dirumuskan dalam pasal 3 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 15

Tahun 2002. Kemudian dalam penjelasan umum undang-undang tersebut

dijelaskan bahwa upaya untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal-

usul harta kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana sebagaimana

dimaksud dalam undang-undang ini, dikenal sebagai pencucian uang

(money laundering).[1]

  Setahun kemudian Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang

Tindak Pidana Pencucian Uang tersebut diubah dengan Undang-undang

Nomor 25 Tahun 2003 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 15

Tahun 2002 tentang Tindak Pidana pencucian Uang, dengan dasar

pertimbangan sebagaimana disebutkan dalam konsiderannya, bahwa agar

upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang

dapat berjalan secara efektif, maka Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002

tentan Tindak Pidana Pencucian Uang perlu disesuaikan dengan

perkembangan hukum pidana tentang pencucian uang dan standar

1

Page 2: Urgensi Predicate Crime Dalam Uu Tppu

internasional.[2] Undang-undang ini diundangkan dan mulai berlaku sejak

tanggal 13 Oktober 2003.

Dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 ini disebutkan secara

eksplisit apa yang dimaksud dengan pencucian uang, yaitu sebagaimana

bunyi pasal 1 angka 1 undang-undang dimaksud, bahwa pencucian uang

adalah perbuatan menempatkan, mentransfer, membayarkan,

membelanjakan, menghibahkan, menyumbangkan, menitipkan, membawa

ke luar negeri, menukarkan, atau perbuatan lainnya atas harta kekayaan

yang diketahuinya atau patut diduga merupakan hasil tindak pidana, dengan

maksud untuk menyembunyikan, atau menyamarkan asal-usul harta

kekayaan sehingga seolah-olah menjadi harta kekayaan yang sah.

Dalam pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 tersebut

dirinci apa yang dimaksud dengan “hasil tindak pidana” yang dimaksud

dalam pengertian pencucian uang dalam pasal 1 angka 1 tersebut diatas,

yaitu adalah harta kekayaan yang diperoleh dari 26 (dua puluh enam) jenis

tindak pidana, yang masing-masing adalah tindak pidana : korupsi,

penyuapan, penyelundupan barang, penyelundupan tenaga kerja,

penyelundupan migran, di bidang perbankan, di bidang pasar modal, di

bidang asuransi, narkotika, psikotropika, perdagangan manusia,

perdagangan senjata gelap, penculikan, terorisme, pencurian, penggelapan,

penipuan, pemalsuan uang, perjudian, prostitusi, di bidang perpajakan, di

bidang kehutanan, di bidang lingkungan hidup, di bidang kelautan, atau

tindak pidana lainnya yang diancam dengan pidana penjara 4 (empat) tahun

atau lebih.

Kemudian, dengan dasar pertimbangan Undang-Undang Nomor 15

Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana telah

diubah dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 perlu disesuaikan

dengan perkembangan kebutuhan penegakan hukum, praktik, dan standar

internasional, maka Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 sebagaimana

telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 tersebut

diganti dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan

2

Page 3: Urgensi Predicate Crime Dalam Uu Tppu

dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, yang diundangkan

pada tanggal 22 Oktober 2010 dan mulai berlaku sejak tanggal

diundangkannya tersebut.

Dalam pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang

Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang itu

disebutkan bahwa pencucian uang adalah segala perbuatan yang

memenuhi unsur-unsur tindak pidana sesuai dengan ketentuan dalam

Undang-Undang ini.          Ketentuan dalam Undang-Undang ini (Undang-

Undang Nomor 8 Tahun 2010)  yang dimaksud oleh pasal 1 angka 1

tersebut ialah ketentuan pasal 3 dan ketentuan pasal 4, yang menyebutkan

bahwa setiap orang yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana dalam pasal-

pasal 3 atau 4 tersebut, dipidana karena tindak pidana pencucian uang.

Lengkapnya bunyi pasal 3 dan pasal 4 dimaksud adalah sebagai berikut :

Pasal 3 : Setiap orang yang menempatkan, mentransfer, mengalihkan,

membelanjakan, membayarkan, menghibahkan, menitipkan, membawa ke

luar negeri, mengubah bentuk, menukarkan dengan mata uang atau surat

berharga atau perbuatan lain atas harta kekayaan yang diketahuinya atau

patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud

dalam pasal 2 ayat (1) dengan tujuan menyembunyikan atau menyamarkan

asal usul harta kekayaan dipidana karena tindak pidana pencucian uang

dengan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling

banyak Rp 10.000.000.000,oo (sepuluh miliar rupiah).

Pasal 4 : Setiap orang yang menyembunyikan atau menyamarkan asal usul,

sumber, lokasi, peruntukan, pengalihan hak, atau kepemilikan yang

sebenarnya atas harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya

merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat

(1) dipidana karena tindak pidana pencucian uang dengan pidana penjara

paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling banyak Rp

5.000.000.000,oo (lima miliar rupiah).

Dalam pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang

Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang ini, juga

dirinci jenis-jenis tindak pidana yang menghasilkan harta kekayaan sebagai

3

Page 4: Urgensi Predicate Crime Dalam Uu Tppu

hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 3 atau pasal 4

undang-undang dimaksud, yang rinciannya hampir sama dengan rincian

yang terdapat dalam pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 25 Tahun

2003, dengan penambahan tindak pidana kepabeanan dan tindak pidana

cukai, serta perubahan tindak pidana kelautan dalam pasal 2 ayat (1)

Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 menjadi tindak pidana kelautan dan

perikanan, sementara tindak pidana penyelundupan barang yang semula

terdapat dalam pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003,

tidak terdapat lagi dalam pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun

2010 tersebut.

Jenis-jenis tindak pidana yang menghasilkan harta kekayaan yang

disebut sebagai hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 2

ayat (1) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 mau pun dalam pasal 2

ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 itu, dikenal dengan sebutan :

“tindak pidana asal” (predicate crime). Pencucian uang adalah tindak pidana

ikutan (underlying crime) dari tindak pidana asal (predicate crime).Tindak

pidana asal akan menjadi dasar apakah suatu transaksi dapat dijerat

dengan undang-undang anti pencucian uang.[3]  Menurut Prof. Barda

Nawawi Arie, predicate crime atau predicate offence adalah delik-delik yang

menghasilkan criminal proceedsatau hasil kejahatan yang kemudian dicuci.

[4]

Menurut Prof. Giavanoli, pencucian uang diartikan suatu proses dengan

mana aset-aset pelaku, terutama aset tunai yang diperoleh dari suatu tindak

pidana, dimanipulasi sedemikian rupa sehingga aset-aset tersebut seolah-

olah berasal dari sumber yang sah. Kemudian menurut Neil Jensen,

pencucian uang diartikan sebagai proses perubahan keuntungan dari

kegiatan-kegiatan yang melawan hukum menjadi aset keuangan, dan

terlihat seolah-olah diperoleh dari sumber-sumber yang bersifat legal.

Sedangkan menurut Dr. Pande Silalahi, pencucian uang adalah perbuatan

dengan sengaja melakukan penyetoran atau pemindahan kekayaan (uang)

yang berasal dari kejahatan atau dari suatu tindak pidana dengan maksud

menyembunyikan atau mengaburkan asal-usul dari kekayaan tersebut.[5]

4

Page 5: Urgensi Predicate Crime Dalam Uu Tppu

Dengan demikian, dari pengertian pencucian uang atau tindak pidana

pencucian uang sebagaimana dipaparkan diatas, termasuk pengertian

menurut Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 mau pun menurut Undang-

Undang Nomor 8 Tahun 2010 tersebut diatas, sesungguhnya tindak pidana

pencucian uang adalah tindak pidana yang keberadaannya baru terjadi

setelah adanya tindak pidana yang mendahuluinya, yang disebut tindak

pidana asal itu. Dari tindak pidana asal (predicate crime) ini diperoleh harta

kekayaan yang oleh Undang-Undang Nomor 25 tahun 2003 mau pun oleh

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010, disebut sebagai “hasil tindak pidana”

atau yang oleh Prof. Badar nawawi Arief disebut sebagai hasil

kejahatan (criminal proceeds). Hasil tindak pidana atau hasil

kejahatan (criminal proceeds) inilah yang kemudian “dicuci” seolah-olah

merupakan harta kekayaan yang diperoleh secara sah, sehingga terjadilah

tindak pidana pencucian uang (money laundering). Sebagai tindak pidana

ikutan (underlying crime), tindak pidana pencucian uang baru ada kalau

sebelumnya ada tindak pidana asal (predicate crime).Namun, dalam konteks

ini, menurut Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 mau pun Undang-

Undang Nomor 8 Tahun 2010, dengan diketahui atau patut diduga saja

bahwa hasil tindak pidana diperoleh dari tindak pidana asal (predicate

crime), sudah cukup untuk memenuhi rumusan tindak pidana pencucian

uang.  

Dengan latar belakang seperti yang telah diuraikan diatas itulah,

makalah ini akan mencoba untuk melihat urgensi tindak pidana

asal (predicate crime) untuk terjadinya suatu tindak pidana pencucian uang

sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010, in

casu sebagai tindak pidana ikutan (underlying crime).      

B.     Rumusan Masalah.

Bertitik tolak dari uraian latar belakang sebagaimana telah dipaparkan di

atas, bahwa tindak pidana pencucian uang (money laundering) merupakan

tindak pidana ikutan(underlying crime) dari tindak pidana asal (predicate

crime), namun dalam rumusan pengertian tindak pidana pencucian

5

Page 6: Urgensi Predicate Crime Dalam Uu Tppu

uang (money laundering) dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010,

cukup dengan patut diduga saja hasil tindak pidana diperoleh dari tindak

asal (predicate crime), maka itu sudah cukup untuk memenuhi rumusan

tindak pidana pencucian uang. Dalam kaitan itulah, makalah ini akan

mengkaji lebih jauh masalah-masalah sebagai berikut :      

1.      Apakah tindak pidana asal (predicate crime) merupakan syarat untuk

terjadinya tindak pidana pencucian uang menurut Undang-Undang Nomor 8

Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana

pencucian Uang ?

2.      Apa urgensi tindak pidana asal (predicate crime) dalam tindak pidana

pencucian uang menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 ?

3.      Apa implikasinya jika tindak pidana asal (predicate crime) tidak terbukti

adanya, namun tindak pidana pencucian uang dinyatakan terbukti telah

terjadi ?

C.    Metode Pendekatan.

Tulisan ini ingin melihat urgensi tindak pidana asal (predicate

crime) dalam tindak pidana pencucian uang (money laundering) di

Indonesia, yaitu sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-Undang

Nomor 8 Tahun 2010, sehingga metode pendekatan yang relevan

dipergunakan dalam penulisan makalah ini ialah pendekatan undang-

undang(statute approach), pendekatan konseptual (conceptual

approach), dan pendekatan analitis (analytical approach).

a.       Pendekatan undang-undang (Statute Approach).

       Pendekatan undang-undang (statute approach) dilakukan dengan

menelaah semua undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut

dengan isu hukum yang sedang ditangani. Bagi penelitian untuk kegiatan

akademis, peneliti perlu mencari ratio legis dan dasar ontologis lahirnya

undang-undang tersebut. Dengan mempelajari ratio legis dan dasar

ontologis suatu undang-undang, peneliti sebenarnya mampu menangkap

kandungan filosofi yang ada di belakang undang-undang itu. Memahami

kandungan filosofi yang ada di belakang undang-undang itu, peneliti

tersebut akan dapat menyimpulkan mengenai ada tidaknya benturan

6

Page 7: Urgensi Predicate Crime Dalam Uu Tppu

filosofis antara undang-undang dengan isu yang dihadapi.[6]Pendekatan ini

digunakan in casu terhadap Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang

Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana telah diubah dengan Undang-

Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Perubahan Atas Undang-Undang

Nomor 15 Tahun 2002 tentang Pencucian Uang, dan Undang-Undang

Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan pemberantasan Tindak

Pidana Pencucian Uang.

b.      Pendekatan Konseptual (Conseptual Approach).

Pendekatan konseptual beranjak dari pandangan-pandangan dan

doktrin-doktrin yang berkembang di dalam ilmu hukum. Dengan mempelajari

pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin di dalam ilmu hukum, peneliti

akan menemukan ide-ide yang melahirkan pengertian-pengertian hukum,

konsep-konsep hukum, dan asas-asas hukum yang relevan dengan isu

yang dihadapi. Pemahaman akan pandangan-pandangan dan doktrin-

doktrin tersebut merupakan sandaran bagi peneliti dalam membangun suatu

argumentasi hukum dalam memecahkan isu yang dihadapi.[7]  

c.       Pendekatan Analitis (Analitical Approach).

       Pendekatan analitis (analitical approach) ini diperlukan terutama

dikarenakan penulisan makalah ini merupakan penelitian hukum normatif,

yaitu dengan menggunakan data sekunder yang berwujud bahan hukum

primer berupa undang-undang yang mengatur mengenai tindak pidana

pencucian uang tersebut diatas, dan bahan hukum sekunder yang diperoleh

dari penelitian kepustakaan dengan memanfaatkan berbagai literatur, buku-

buku teks, mau pun bahan hukum tersier berupa tulisan-tulisan hukum

dalam website,sehingga timbul kebutuhan untuk menganalisis bahan-bahan

hukum tersebut.

D.    Kerangka Teoritik.

Kerangka teoritik atau landasan teori yang akan digunakan untuk

menganalisis permasalahan dalam makalah ini adalah Teori Kausalitas atau

teori sebab-akibat.  Yang pertama kali mencetuskan adanya teori kausalitas

7

Page 8: Urgensi Predicate Crime Dalam Uu Tppu

adalah Von Buri dengan Teori Conditio Sine Qua Non yang pertama kali

dicetuskan pada Tahun 1873.[8]

Menurut Von Buri, bahwa semua faktor, yaitu semua syarat yang turut

serta menyebabkan suatu akibat dan yang tidak

dapat weggedacht (dihilangkan) dari rangkaian faktor-faktor yang

bersangkutan harus dianggap causa (sebab) akibat itu. Tiap faktor yang

dapat dihilangkan (weggedacht) dari rangkaian faktor-faktor yang adanya

tidak perlu untuk terjadinya akibat yang bersangkutan, tidak diberi nilai.

Demikian sebaliknya, tiap faktor yang tidak dapat dihilangkan (niet

weggedacht) dari rangkaian faktor-faktor tersebut, yaitu yang adanya perlu

untuk terjadinya akibat yang bersangkutan, harus diberi nilai yang sama.

Semua faktor tersebut adalah sama dan sederajat. Karena adanya faktor-

faktor yang tidak dapat dihilangkan itu perlu untuk terjadinya akibat yang

bersangkutan, maka teori Von Buri disebut pula dengan teori condition sine

qua non. Karena menurut Von Buri semua faktor yang tidak dapat

dihilangkan itu harus diberi nilai sama, maka teorinya juga dikenal dengan

teori ekivalensi (aequivalentie-leer). Dengan demikian teori Von Buri

menerima beberapa causa (meervoudige causa). Disamping itu teori Von

Buri dapat juga disebut dengan Bedingungstheorie, oleh karena menurut

Von Buri antarabedingung (syarat) dengan causa (sebab) itu tidak ada

perbedaan.[9]

Dalam perkembangannya banyak bermunculan teori-teori baru yang

berusaha untuk memperbaiki serta menyempurnakan kekurangan di dalam

teori Von Buri, diantaranya adalah teori

mengindividualisasikan (individualiserende theorien) yang dipelopori oleh

Birkmeyer. Pendapat Birkmeyer berpangkal pada dalil ursache ist die

wirksamste bedingung, yang menjadi causa adalah faktor (bedingung,

kejadian) yang paling berpengaruh (atas terjadinya delik yang

bersangkutan). Teori ini ternyata juga tidak dapat menyelesaikan masalah

terutama apabila diantara semua faktor itu sama berpengaruh atau apabila

sifat dan coraknya dalam rangkaian faktor-faktor itu tidak sama. Di dalam

teori mengindividualisasi ini termasuk juga Teori Uebergewicht yang

8

Page 9: Urgensi Predicate Crime Dalam Uu Tppu

dikemukakan oleh Binding yang dianut juga oleh Schepper. Kemudian

Ortmann dengan teorinya yang disebut dengan theorie des letzten

Bedingung, yang mengajarkan bahwa faktor yang terakhir yang

mematahkan keseimbanganlah yang merupakan faktor. Kesulitannya ialah

bagaimana menentukan faktor yang terakhir yang mematahkan

keseimbangan itu ?[10] 

       Dari ketidakpuasan terhadap teori yang mengindividualisasi,

menimbulkan teori baru yang menggeneralisasi (generaliserende

theorie). Pada prinsipnya teori tersebut menjelaskan bahwa teori Von Buri

terlalu luas sehingga harus dipilih satu faktor saja, yaitu yang menurut

pengalaman manusia pada umumnya dipandang sebagai causa.[11]

       Yang paling terkenal dalam golongan ini adalah Teori Adequat yang

diajukan oleh J. Von Kris. Menurut teori ini, musabab dari suatu kejadian

adalah syarat yang pada umumnya menurut jalannya kejadian yang normal,

dapat atau mampu menimbulkan akibat atau kejadian tersebut (Simon, 6e

druk hlm. 144 no. 4).[12] Adequaat artinya adalah sebanding, seimbang,

sepadan. Teori Von Kries dapat juga disebut sebagai teori generalisasi yang

subyektif adequaat, oleh karena menurut Von Kries yang menjadi sebab dari

rangkaian faktor-faktor yang berhubungan dengan terwujudnya delik, hanya

satu sebab saja yang dapat diterima, yaitu yang sebelumnya telah dapat

diketahui oleh si pembuat.[13]

       Prof. Simons yang pandangannya mengenai hubungan kausal

digolongkan disini, berpendapat bahwa musabab adalah tiap-tiap kelakuan

yang menurut garis-garis umum mengenai pengalaman manusia (naar de

algemene regeien der menselijke ervaring) patut diadakan kemungkinan

bahwa karena kelakuan itu sendiri dapat ditimbulkan akibat.[14]

       Menurut Rumelin, faktor-faktor yang layak untuk disebut sebagai

penyebab dari sesuatu peristiwa yang terjadi itu adalah keadaan-keadaan

yang pada umumnya dapat diketahui oleh setiap manusia normal pada saat

9

Page 10: Urgensi Predicate Crime Dalam Uu Tppu

sesuatu tindakan itu dilakukan, bahwa tindakan tersebut dapat menimbulkan

sesuatu akibat tertentu.[15]

       Dr. L. Trager yang bereaksi atas teori Von Buri tersebut diatas, dalam

bukunya yang berjudul Der Kausalbegriff im Straff und Zivilrecht, Marburg,

1904, mengutarakanindividualiseerde theorie dan generaliseerde theorie. Di

dalam teori ini, orang berusaha untuk menyelidiki semua syarat yang kiranya

ada di dalam post factum untuk menemukan satu syarat yang dapat

dianggap paling menentukan atau paling berperan atas timbulnya suatu

akibat. Di dalam generaliseerde theorie itu, orang berusaha untuk membuat

pemisahan antara syarat yang satu dengan syarat yang lain untuk kemudian

kepada masing-masing syarat tersebut diberikan suatu penilaian sesuai

dengan pengertiannya yang umum dan layak dipandang sebagai penyebab

dari suatu peristiwa yang terjadi. Di dalam teori ini orang berusaha untuk

melihat ke dalam ante factum atau berusaha untuk melihat pada saat suatu

tindakan itu telah dilakukan untuk menemukan faktor-faktor tertentu yang

kiranya dapat dipandang sebagai faktor yang layak atau faktor yang adekuat

untuk dapat disebut sebagai penyebab dari suatu peristiwa yang terjadi.[16] 

BAB II

TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DAN PERKEMBANGANNYA

a.      Sejarah Terjadinya Tindak Pidana Pencucian Uang (Money

Laundering).

       Apa yang disebut sebagai pencucian uang (money laundering) ini

sesungguhnya sudah cukup lama dikenal, yang bermula di Amerika Serikat.

Dari banyak literatur diperoleh pemahaman bahwa sejarah pencucian uang

telah berkembang sejak dekade 1920-an. Pencucian  uang telah menjadi

mata rantai penting dalam kejahatan. Pelaku kejahatan menyembunyikan

hasil kejahatannya dalam sistem keuangan atau dalam berbagai bentuk

upaya lainnya. Tindakan menyembunyikan hasil kejahatan atau dana-dana

10

Page 11: Urgensi Predicate Crime Dalam Uu Tppu

yang diperoleh dari tindak pidana dimaksudkan untuk untuk mengaburkan

asal-usul harta kekayaan.[17]

            Money laundering sebagai salah satu jenis kejahatan kerah putih

(white collar crime) sebenarnya sudah ada sejak tahun 1967. Pada saat itu,

seorang perompak di laut, Henry Every, dalam perompakannya terakhir

merompak kapal Portugis berupa berlian senilai £325.000 poundsterling

(setara Rp 5.671.250.000,oo). Harta rampokan tersebut kemudian dibagi

bersama anak buahnya, dan bagian Henry Every ditanamkan pada transaksi

perdagangan berlian dimana ternyata perusahaan berlian tersebut juga

merupakan perusahaan pencucian uang milik perompak lain di darat.

Namun istilah money laundering sudah muncul ketika Al Capone, salah

satu mafia besar di Amerika Serikat, pada tahun 1920-an, memulai

bisnis Laundromats (tempat cuci otomatis). Bisnis ini dipilih karena

menggunakan uang tunai yang mempercepat proses pencucian uang agar

uang yang mereka peroleh dari hasil pemerasan, pelacuran, perjudian, dan

penyelundupan minuman keras terlihat sebagai uang yang halal. Walau

demikian, Al Capone tidak dituntut dan dihukum dengan pidana penjara atas

kejahatan tersebut, akan tetapi lebih karena telah melakukan penggelapan

pajak. Selain Al Capone, terdapat juga Meyer Lansky, mafia yang

menghasilkan uang dari kegiatan perjudian dan menutupi bisnis ilegalnya itu

dengan mendirikan bisnis hotel, lapangan golf dan perusahaan pengemasan

daging. Uang hasil bisnis illegal ini dikirimkan ke beberapa bank-bank di

Swiss yang sangat mengutamakan kerahasian nasabah, untuk

didepositokan. Deposito ini kemudian diagunkan untuk mendapatkan

pinjaman yang dipergunakan untuk membangun bisnis legalnya. Berbeda

dengan Al Capone, Meyer Lansky justru terbebas dari tuntutan melakukan

penggelapan pajak, tindak pidana termasuk tindak pidana pencucian uang

yang dilakukannya.[18]

  

Pada perkembangannya ternyata uang-uang dalam golongan ini juga

berasal dari hasil kegiatan haram yang semakin marak pula, seperti

perdagangan obat bius, karena itu kemudian muncul istilah narco

dollar atau drug money. Perkembangan selanjutnya, metode pencucian

11

Page 12: Urgensi Predicate Crime Dalam Uu Tppu

uang ini dilakukan dengan cara menggunakan institusi perbankan atau pihak

perantara fiansial lainnya. Uang haram tersebut dimasukkan ke dalam

sistem perbankan atau sistem penanaman modal lainnya sehingga uang

tersebut bercampur dengan uang lainnya. Dengan demikian eksistensinya

semakin sulit dilacak.[19]     

       Eksistensi pencucian uang dapat dibuktikan dengan kenyataan bahwa

kejahatan (besar) tetap hidup. Kejahatan dan tindak pidana pencucian uang

bagaikan dua sisi mata uang, selalu berdampingan, saling membutuhkan,

dan tidak mungkin dilepaskan satu sama lainnya. Pncucian uang mungkin

sama tuanya dengan eksistensi uang itu sendiri.[20] Walau pun demikian,

pencucian uang tidak serta merta dinyatakan sebagai tindak pidana. Adalah

Amerika Serikat yang pertama kali menyatakan pencucian uang sebagai

suatu kejahatan. Pada dekade 1920-an sampai 1930-an, pada saat mana

kelompok penjahat yang dipimpin Al Capone melakukan pencucian uang

dari kegiatan ilegalnya seperti penjualan alkohol yang saat itu dilarang,

pengelakan pembayaran pajak. Al Capone pun dijebloskan ke dalam

penjara berdasarkan pelanggaran terhadap Volsted Act.[21] 

       Sedangkan dalam konteks pengadilan atau hukum, penggunaan

istilah money laundering muncul pertama kali pada Tahun 1982 dalam suatu

perkara US $ 4,255,625.39 (1982) 551 F Supp.314. Sejak itu, istilah tersebut

telah diterima dan digunakan secara luas di seluruh dunia.[22] Kemudian

istilah ini populer pada Tahun 1984 ketika Interpol mengusut pemutihan

uang mafia Amerika Serikat yang terkenal dengan pizza connection. Kasus

ini menyangkut dana sekitar US $ 600 juta, yang ditransfer ke sejumlah

bank di Swiss dan Italia. Cara pencucian uang ini dilakukan dengan

menggunakan restoran-restoran pizza yang berada di Amerika Serikat

sebagai sarana usaha untuk menyamarkan sumber-sumber dana tersebut.

[23]

b.      Pengertian Tindak Pidana Pencucian Uang (Money Laundering).

Tidak ada definisi yang seragam dan komperehensif mengenai

pencucian uang ataumoney laundering. Masing-masing negara memiliki

12

Page 13: Urgensi Predicate Crime Dalam Uu Tppu

definisi mengenai pencucian uang sesuai dengan terminologi kejahatan

menurut hukum negara yang bersangkutan. Pihak penuntut dan lembaga

penyidikan kejahatan, kalangan pengusaha dan perusahaan, negara-negara

yang telah maju dan negara-negara dari dunia ke-tiga, masing-masing

mempunyai definisi sendiri berdasarkan prioritas dan persepektif yang

berbeda.[24]

       Pencucian uang (money laundering) adalah suatu upaya untuk

menyembunyikan asal usul uang atau kekayaan hasil kejahatan melalui

berbagai transaksi keuangan agar uang atau harta tersebut tampak seolah-

olah berasal dari kegiatan yang legal.[25]

       Secara populer money laundering (pencucian uang) didefinisikan

sebagai perbuatan memindahkan, menggunakan atau melakukan perbuatan

lainnya atas hasil dari suatu tindak pidana yang seringkali dilakukan

oleh organization crime maupun individu yang melakukan tindakan korupsi,

perdagangan narkotika, kejahatan di bidang perbankan, pasar modal dan

tindak pidana lainnya dengan tujuan menyembunyikan atau mengaburkan

asal-usul uang yang berasal dari hasil tindak pidana tersebut, sehingga

dapat digunakan seolah-olah sebagai uang yang sah tanpa terdeteksi

bahwa aset tersebut dari hasil kegiatan yang ilegal.[26]        

       Black’s Law Dictionary memberikan pengertian pencucian uang

sebagai term used to describe investmentor other transfer of money flowing

from racketeeting, drug transaction, and other illegal sourcesinto legitimate

channels so that is original source cannot be traced (pencucian uang adalah

istilah untuk menggambarkan investasi di bidang-bidang yang illegal melalui

jalur yang sah, sehingga uang tersebut tidak dapat diketahui lagi asal-

usulnya).[27]   

       Menurut Prof. Giavanoli, pencucian uang diartikan suatu proses dengan

mana aset-aset pelaku, terutama asset uang tunai yang diperoleh dari suatu

tindak pidana dimanipulasi sedemikian rupa sehingga asset-aset tersebut

seolah-olah berasal dari sumber yang sah. Kemudian menurut Neil Jensen,

13

Page 14: Urgensi Predicate Crime Dalam Uu Tppu

pencucian uang diartikan sebagai proses perubahan keuntungan dari

kegiatan-kegiatan yang melawan hokum menjadi asset keuangan, dan

terlihat seolah-olah diperoleh dari sumber-sumber yang bersifat legal.

Sedangkan menurut Dr. Pande Silalahi, pencucian uang adalah perbuatan

dengan sengaja melakukan penyetoran atau pemindahan kekayaan (uang)

yang berasal dari kejahatan atau dari suatu tindak pidana dengan maksud

menyembunyikan atau mengaburkan asal-usul dari kekayaan tersebut.

Dengan kata lain, pencucian uang adalah suatu proses mentransformasikan

uang haram menjadi uang halal.[28]

      

       Dari berbagai sudut pandang mengenai pengertian pencucian

uang (money laundering) tersebut diatas, kiranya dapat dipahami bahwa

pencucian uang (money laundering) adalah serangkaian kegiatan atau

upaya untuk mengaburkan atau menghilangkan jejak harta kekayaan yang

diperoleh sebagai hasil dari suatu tindak pidana dengan cara memasukkan

atau mencampurkan harta kekayaan tersebut ke dalam suatu sistem

keuangan atau investasi yang sah, dengan tujuan agar harta kekayaan

tersebut menjadi seolah-olah harta kekayaan yang diperoleh secara sah.

c.       Tahap-Tahap Tindak Pidana Pencucian Uang.

Untuk dapat mengaburkan atau menghilangkan jejak harta kekayaan

yang diperoleh dari suatu kejahatan atau tindak pidana agar menjelma

menjadi seolah-olah harta kekayaan yang sah, pencucian uang mengenal

pola yang umumnya dilakukan dengan suatu proses yang memiliki 3 (tiga)

rangkaian, yaitu apa yang dikenal dengan :

penempatan (placement), pengaburan (layering) dan integrasi (integration).

Penempatan (placement) merupakan langkah pertama, yaitu uang hasil

kejahatan diubah ke dalam bentuk yang kurang atau tidak menimbulkan

kecurigaan melalui penempatan kepada sistem keuangan dengan berbagai

cara.[29] Atau dengan kata lain penempatan (placement) adalah upaya

menempatkan uang tunai yang berasal dari tindak pidana ke dalam sistem

keuangan (financial system) atau upaya menempatkan uang giral (cek,

wesel bank, serifikat deposito, dan lain-lain) kembali ke dalam sistem

14

Page 15: Urgensi Predicate Crime Dalam Uu Tppu

keuangan, terutama perbankan, baik di dalam mau pun di luar

negeri. Placement dapat pula dilakukan dengan pergerakan fisik dari uang

tunai, baik melalui penyelundupan uang tunai dari suatu negara ke negara

lain, mau pun menggabungkan uang tunai yang berasal dari kejahatan

dengan uang yang diperoleh dari kegiatan yang sah. Proses placement ini

merupakan tahap yang paling lemah dan paling mudah untuk dilakukan

pendeteksian terhadap upaya pencucian uang.[30]

Langkah kedua adalah apa yang disebut dengan pelapisan (layering) ,

yaitu melakukan transaksi keuangan yang kompleks, berlapis

dan anonim ke berbagai rekening sehingga sulit untuk dilacak asal muasal

dana tersebut.[31] Layering adalah upaya untuk mentransfer harta kekayaan

yang berasal dari tindak pidana (dirty money) yang telah berhasil

ditempatkan pada penyedia jasa keuangan (terutama bank) sebagai hasil

upaya penempatan (placement), ke penyedia jasa keuangan lain. Pada

tahap ini pelaku pencucian uang bermaksud memperpanjang rangkaian dan

memperumit transaksi, sehingga asal-usul uang menjadi sukar untuk

ditemukan pangkalnya.[32]

Langkah ketiga disebut dengan integrasi (integration), yaitu merupakan

tahapan dimana pelaku memasukkan kembali dana yang sudah kabur asal-

usulnya ke dalam transaksi yang sah. Ini merupakan tahap akhir dalam

tindak pidana pencucian uang, yaitu menggunakan harta kekayaan yang

berasal dari tindak pidana yang telah masuk ke dalam sistem keuangan

melalui penempatan atau transfer, sehingga menjadi harta kekayaan

halal (clean money) untuk kegiatan bisnis yang halal atau untuk membiayai

kembali kegiatan kejahatan.[33]

     

       Meski pun dikatakan ketiga jenis upaya tersebut merupakan tahap-

tahap pencucian uang, namun dengan salah satu tahap saja, misalnya

tahap penempatan (placement),upaya tidak pidana pencucian uang telah

terjadi, namun pendeteksiannya menjadi lebih mudah daripada kedua tahap

berikutnya, yaitu pelapisan (layering) atau integrasi(integration).

15

Page 16: Urgensi Predicate Crime Dalam Uu Tppu

BAB III

TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DI INDONESIA

       Tindak pidana pencucian uang baru dikenal di Indonesia sejak

diundangkannya Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak

Pidana Pencucian Uang, yang diundangkan dan mulai berlaku sejak tanggal

17 April 2002.

       Munculnya regulasi pertama mengenai tindak pidana pencucian uang di

Indonesia tidak lepas dari lahirnya rezim hukum internasional anti pencucian

uang, yang ditandai dengan dikeluarkannya United Nations Convention

Against Illicit Traffic in Narcotic Drugs and Psychotropic Substance

1988 (Konvensi Wina 1988) yang dipandang sebagai tonggak sejarah dan

titik puncak dari perhatian masyarakat internasional terhadap pencucian

uang.[34] Kemudian pada Tahun 2000 dikeluarkan pula Konvensi

Palermo(The International Convention Against Transnational Organized

Crimes) di Palermo, Italia. Sehubungan dengan pencucian uang, Konvensi

Palermo mewajibkan negara yang sudah meratifikasinya untuk : (i)

mengkriminalisasi pencucian uang yang meliputi seluruh tindak pidana

berat (serious crime) yang dilakukan baik di dalam mau pun di luar negeri,

dimana tindak pidana berat (serious crime) diartikan dengan tindak pidana

yang diancam hukuman minimal empat tahun; (ii) membentuk rezim di

bidang pengaturan dan pengawasan untuk mencegah dan mendeteksi

pencucian uang, antara lain melalui penerapan prinsip mengenal nasabah,

kewajiban memelihara arsip transaksi keuangan, dan kewajiban melaporkan

transaksi keuangan mencurigakan; (iii) mengatur kerjasama dan pertukaran

16

Page 17: Urgensi Predicate Crime Dalam Uu Tppu

informasi antar berbagai instansi, baik di dalam mau pun di luar negeri, dan

mendirikan financial intelligent unit (FIU) yang menerima laporan,

menganalisis dan meneruskannya kepada penegak hukum; dan (iv)

mendorong kerjasama internasional.[35]

      

a.      Tindak Pidana Pencucian Uang Menurut Undang-Undang Nomor 15

Tahun 2002.

Dalam konsideran Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang

Tindak Pidana Pencucian Uang, disebutkan dasar pertimbangan

diterbitkannya undang-undang tersebut, yaitu antara lain bahwa kejahatan

yang menghasilkan harta kekayaan dalam jumlah besar semakin meningkat,

baik kejahatan yang dilakukan dalam batas wilayah Negara Republik

Indonesia mau pun yang melintasi batas wilayah negara. Asal-usul harta

kekayaan yang merupakan hasil dari kejahatan tersebut, disembunyikan

atau disamarkan dengan berbagai cara yang dikenal sebagai pencucian

uang. Disebutkan pula bahwa pencucian uang bukan saja merupakan

kejahatan nasional, tetapi juga kejahatan internasional, oleh karena itu harus

diberantas, antara lain dengan melakukan kerjasama regional atau

internasional melalui forum bilateral atau multilateral.[36]

Meski pun diterbitkan sebagai Undang-Undang tentang Tindak Pidana

Pencucian Uang, namun Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tidak

memberikan pengertian atau batasan atau definisi mengenai apa yang

dimaksud dengan tindak pidana pencucian uang dimaksud. Hanya

disebutkan dalam konsideran undang-undang dimaksud, seperti telah

diuraikan diatas, bahwa upaya menyembunyikan atau menyamarkan

dengan berbagai cara asal-usul harta kekayaan yang merupakan hasil

kejahatan tersebut, dikenal sebagai pencucian uang. Kemudian dalam

penjelasan umum undang-undang tersebut dijelaskan bahwa asal usul harta

kekayaan tersebut diharapkan tidak dapat dilacak oleh para penegak

hukum. Upaya untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta

kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam

Undang-undang ini, dikenal sebagai pencucian uang (money laundering).

17

Page 18: Urgensi Predicate Crime Dalam Uu Tppu

Kemudian dalam pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Nomor 15 Tahun

2002 tersebut dinyatakan bahwa setiap orang yang dengan sengaja :

a.       menempatkan harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya

merupakan hasil tindak pidana ke dalam Penyedia Jasa Keuangan, baik

atas nama sendiri atau atas nama pihak lain;

b.      mentransfer harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya

merupakan hasil tindak pidana dari suatu Penyedia Jasa Keuangan ke

Penyedia Jasa Keuangan yang lain, baik atas nama sendiri maupun atas

nama pihak lain;

c.       membayarkan atau membelanjakan harta kekayaan yang diketahuinya

atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana, baik perbuatan itu atas

namanya sendiri maupun atas nama pihak lain;

d.      menghibahkan atau menyumbangkan harta kekayaan yang diketahuinya

atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana, baik atas namanya

sendiri maupun atas nama pihak lain;

e.       menitipkan harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya

merupakan hasil tindak pidana, baik atas namanya sendiri maupun atas

nama pihak lain;

f.       membawa ke luar negeri harta kekayaan yang diketahuinya atau patut

diduganya merupakan hasil tindak pidana;

g.      menukarkan harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya

merupakan hasil tindak pidana dengan mata uang atau surat berharga

lainnya; atau

h.      menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul harta kekayaan yang

diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana ;

dipidana karena tindak pidana pencucian uang dengan pidana penjara

paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan

denda paling sedikit Rp 5.000.000.000,oo (lima miliar rupiah) dan paling

banyak Rp 15.000.000.000,oo (lima belas miliar rupiah).

b.      Tindak Pidana Pencucian Uang Menurut Undang-Undang Nomor 25

Tahun 2003.

Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 ini merupakan undang-undang

perubahan atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tersebut diatas.

18

Page 19: Urgensi Predicate Crime Dalam Uu Tppu

Dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 ini diberikan batasan secara

eksplisit apa yang dimaksud dengan pencucian uang, yaitu sebagaimana

disebutkan dalam pasal 1 angka 1 undang-undang dimaksud, yang

menyatakan bahwa pencucian uang adalah perbuatan menempatkan,

mentransfer, membayarkan, membelanjakan, menghibahkan,

menyumbangkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, menukarkan, atau

perbuatan lainnya atas harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduga

merupakan hasil tindak pidana, dengan maksud untuk menyembunyikan

atau menyamarkan asal-usul harta kekayaan sehingga seolah-olah menjadi

harta kekayaan yang sah.

Kemudian dalam pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Nomor 25 Tahun

2003 dirumuskan perbuatan-perbuatan yang dapat dipidana karena tindak

pidana pencucian uang, yang merupakan perubahan atas rumusan pasal 3

ayat (1) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002. Pasal 3 ayat (1) tersebut

menyatakan bahwa setiap orang yang dengan sengaja :

a.    menempatkan harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya

merupakan hasil tindak pidana ke dalam penyedia jasa keuangan, baik atas

nama sendiri atau atas nama pihak lain;

b.   mentransfer harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya

merupakan hasil tindak pidana dari suatu penyedia jasa keuangan ke

penyedia jasa keuangan yang lain, baik atas nama sendiri maupun atas

nama pihak lain;

c.    membayarkan atau membelanjakan harta kekayaan yang diketahuinya

atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana, baik perbuatan itu atas

namanya sendiri maupun atas nama pihak lain;

d.   menghibahkan atau menyumbangkan harta kekayaan yang diketahuinya

atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana, baik atas namanya

sendiri maupun atas nama pihak lain;

e.    menitipkan harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya

merupakan hasil tindak pidana, baik atas namanya sendiri maupun atas

nama pihak lain;

f.    membawa ke luar negeri harta kekayaan yang diketahuinya atau patut

diduganya merupakan hasil tindak pidana; atau

19

Page 20: Urgensi Predicate Crime Dalam Uu Tppu

g.   menukarkan atau perbuatan lainnya atas harta kekayaan yang

diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana dengan

mata uang atau surat berharga lainnya;

dengan maksud menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta

kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak

pidana, dipidana karena tindak pidana pencucian uang dengan pidana

penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun

dan denda paling sedikit Rp 100.000.000,oo (seratus juta rupiah) dan paling

banyak Rp 15.000.000.000,oo (lima belas miliar rupiah).

c.       Tindak Pidana Pencucian Uang Menurut Undang-Undang Nomor 8

Tahun 2010.

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang pencegahan dan

Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang ini diterbitkan untuk

menggantikan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 sebagaimana telah

diubah dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 tersebut diatas.

Pasal 1 angka 1 Undang-Undang ini memberi pengertian mengenai tindak

pidana pencucian uang, bahwa pencucian uang adalah segala perbuatan

yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana sesuai dengan ketentuan dalam

Undang-Undang ini. Yang dimaksud ketentuan dalam undang-undang ini

(Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010), adalah ketentuan pasal 3 dan

pasal 4 undang-undang dimaksud, yang masing-masing berbunyi :

Pasal 3 : Setiap orang yang menempatkan, mentransfer, mengalihkan,

membelanjakan, membayarkan, menghibahkan, menitipkan, membawa ke

luar negeri, mengubah bentuk, menukarkan dengan mata uang atau surat

berharga atau perbuatan lain atas harta kekayaan yang diketahuinya atau

patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud

dalam pasal 2 ayat (1) dengan tujuan menyembunyikan atau menyamarkan

asal usul harta kekayaan dipidana karena tindak pidana pencucian uang

dengan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling

banyak Rp 10.000.000.000,oo (sepuluh miliar rupiah).

Pasal 4 : Setiap orang yang menyembunyikan atau menyamarkan asal usul,

sumber, lokasi, peruntukan, pengalihan hak, atau kepemilikan yang

sebenarnya atas harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya

20

Page 21: Urgensi Predicate Crime Dalam Uu Tppu

merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat

(1) dipidana karena tindak pidana pencucian uang dengan pidana penjara

paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling banyak Rp

5.000.000.000,oo (lima miliar rupiah).

       Dari pengertian tindak pidana pencucian uang atau pun rumusan

perbuatan yang dinyatakan sebagai tindak pidana pencucian uang yang

terdapat dalam ketiga undang-undang tersebut diatas, terdapat frasa yang

tidak pernah berubah, yaitu frasa yang berbunyi : “…. harta kekayaan yang

diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana ….. “.  

BAB IV

PREDICATE CRIME DALAM TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DI

INDONESIA

a.      Pengertian Predicate Crime.

Tindak pidana pencucian uang selalu terkait dengan suatu tindak pidana

lain yang terjadi sebelumnya. Tindak pidana sebelumnya ini menghasilkan

harta kekayaan yang disebut sebagai hasil tindak pidana. Hasil tindak

pidana inilah yang kemudian disamarkan atau disembunyikan, ditempatkan,

ditransfer, dan lain sebagainya itu, sehingga terjadi tindak pidana baru yang

dinamakan tindak pidana pencucian uang dimaksud. Tindak pidana yang

terjadi sebelumnya itu dinamakan tindak pidana asal atau predicate crime.

Sedangkan tindak pidana pencucian uang atas hasil tindak pidana

asal (predicate crime)tersebut merupakan tindak pidana ikutan (underlying

crime).

Menurut Prof. Barda Nawawi Arief, seperti telah disebutkan pada bagian

latar belakang makalah ini, bahwa predicate crime atau predicate

offence adalah delik-delik yang menghasilkan criminal proceeds atau hasil

kejahatan yang kemudian dicuci. Dengan demikian, tindak pidana pencucian

21

Page 22: Urgensi Predicate Crime Dalam Uu Tppu

uang adalah tindak pidana ikutan (underlying crime)dari tindak pidana

asal (predicate crime).

Reuter and Truman (2004) berdasarkan hasil penelitiannya memasukkan

lima macam kejahatan asal (predicate offence) dari pencucian uang,

yaitu drug distribution, other blue collar crime, white collar crime, bribery and

corruption, and terrorism.[37]

b.    Jenis-jenis Predicate Crime Dalam Tindak Pidana Pencucian Uang Di

Indonesia.

Dalam pasal 2 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 dicantumkan

adnya 10 (sepuluh) jenis tindak pidana asal (predicate crime), yaitu masing-

masing tindak pidana : korupsi, penyuapan, penyelundupan barang,

penyelundupan tenaga kerja,  penyelundupan imigran, perbankan,

narkotika, psikotropika, perdagangan budak, wanita, dan anak, perdagangan

senjata gelap, penculikan, terorisme, pencurian,  penggelapan, dan

penipuan.

Setelah Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 diubah dengan Undang-

Undang Nomor 25 Tahun 2003, cakupan tindak pidana asal (predicate

crime) diperluas menjadi 26 (dua puluh enam) jenis, yaitu masing-masing

tindak pidana :  korupsi, penyuapan, penyelundupan barang, penyelundupan

tenaga kerja, penyelundupan migran, di bidang perbankan, di bidang pasar

modal, di bidang asuransi, narkotika, psikotropika, perdagangan manusia,

perdagangan senjata gelap, penculikan, terorisme, pencurian, penggelapan,

penipuan, pemalsuan uang, perjudian, prostitusi, di bidang perpajakan, di

bidang kehutanan, di bidang lingkungan hidup, di bidang kelautan, atau

tindak pidana lainnya yang diancam dengan pidana penjara 4 (empat) tahun

atau lebih.

       Kemudian, dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 yang

menggantikan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 sebagaimana telah

ddiubah dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003, cakupan tindak

22

Page 23: Urgensi Predicate Crime Dalam Uu Tppu

pidana asal diperluas lagi menjadi 27 jenis, yang rinciannya hampir sama

dengan rincian yang terdapat dalam pasal 2 ayat (1) Undang-Undang

Nomor 25 Tahun 2003, dengan penambahan tindak pidana kepabeanan dan

tindak pidana cukai, serta perubahan tindak pidana kelautan dalam pasal 2

ayat (1) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 menjadi tindak pidana

kelautan dan perikanan, dan penyebutan tindak pidana perdagangan

manusia pada pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003

diubah menjadi tindak pidana perdagangan orang, sementara tindak pidana

penyelundupan barang yang semula terdapat dalam pasal 2 ayat (1)

Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003, tidak terdapat lagi dalam pasal 2

ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tersebut.

c.       Kedudukan Predicate Crime Dalam Tindak Pidana Pencucian Uang

di Indonesia.

Sebagaimana telah disinggung sebelumnya dari bab ini, bahwa tindak

pidana pencucian uang merupakan tindak pidana ikutan (underlying

crime) dari suatu tindak pidana asal (predicate crime), sehingga keberadaan

tindak pidana pencucian uang tidak bisa dilepaskan dari tindak pidana

asalnya. Tindak pidana asal (predicate crime) adalah cikal bakal terjadinya

tindak pidana pencucian uang. Misalnya, dalam suatu tindak pidana

peredaran narkotika (drug distribution),  dari hasil peredaran/penjualan

narkotika  tersebut, akan diperoleh uang atau harta kekayaan sebagai hasil

tindak pidana penjualan narkotika dimaksud (criminal proceeds), yang

kemudian “dicuci” dalam suatu transaksi keuangan atau diinvestasikan

dalam suatu bisnis yang legal, sehingga uang hasil tindak pidana dari

peredaran narkotika yang semula adalah dirty money, kemudian

menjadiclean money. Dengan demikian telah terjadi tindak pidana

pencucian uang. Dari rangkaian kegiatan tersebut, dapat dilihat bahwa

keberadaan tindak pidana peredaran narkotika sebagai tindak pidana

asal (predicate crime) adalah menjadi penyebab terjadinya tindak pidana

pencucian uang dimaksud. Kalau tidak ada tindak pidana peredaran

narkotika (predicate crime)  tersebut, tidak akan diperoleh uang atau harta

kekayaan sebagai hasil tindak pidana (criminal proceeds). Kalau tidak ada

diperoleh uang sebagai hasil tindak pidana, maka tidak ada pula uang yang

23

Page 24: Urgensi Predicate Crime Dalam Uu Tppu

“dicuci” dalam transaksi keuangan atau diinvestasikan dalam suatu bisnis

yang legal. Kalau sudah demikian, maka tidak akan ada tindak pidana

pencucian uang dimaksud. Sehingga kedudukan tindak pidana

asal (predicate crime) sangat penting dan merupakan causa (sebab)

yang adequaatuntuk terjadinya akibat berupa tindak pidana pencucian uang

dari hasil tindak pidana asal(predicate crime) yang bersangkutan. Tindak

pidana asal (predicate crime) tetap dapat terjadi meski pun tidak diikuti oleh

tindak pidana pencucian uang, akan tetapi tindak pidana pencucian uang

tidak akan terjadi jika tidak didahului oleh suatu tindak pidana

asal (predicate crime).

Namun, seperti telah diuraikan dalam bab sebelumnya, bahwa undang-

undang tentang pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian

uang di Indonesia, yaitu Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 mau pun

Undang-Undang yang berlaku sebelumnya, yaitu Undang-Undang Nomor 15

Tahun 2002 yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun

2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, merumuskan tindak pidana

pencucian uang sudah cukup terjadi dengan “diketahuinya atau patut

diduganya” saja harta kekayaan yang menjadi obyek tindak pidana

pencucian uang adalah merupakan hasil tindak pidana asal (predicate

crime). Dengan rumusan tindak pidana pencucian uang seperti itu, maka

tindak pidana asal (predicate crime) tidak benar-benar harus ada, cukup

dengan patut diduga saja bahwa sebelumnya telah terjadi tindak pidana

asal (predicate crime) yang menghasilkan harta kekayaan yang kemudian

“dicuci”, maka tindak pidana pencucian telah terbukti terjadi. Tindak pidana

asal(predicate crime) tidak benar-benar harus menjadi causa (sebab)

terjadinya tindak pidana pencucian uang. Ia (predicate crime) boleh ada atau

boleh juga tidak ada, cukup patut diduga saja keberadaannya.

Sehingga, tindak pidana asal (predicate crime) adalah merupakan syarat

untuk terjadinya suatu tindak pidana pencucian uang menurut undang-

undang pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang di

Indonesia, namun bukan merupakan syarat mutlak. Kalau tindak pidana

asal (predicate crime) ada, maka berlakulah ketentuan alternatif pertama,

yaitu “diketahuinya” harta kekayaan yang menjadi obyek pencucian tersebut

24

Page 25: Urgensi Predicate Crime Dalam Uu Tppu

tersebut berasal dari suatu tindak pidana asal (predicate crime). Sebaliknya,

jika tindak pidana asal (predicate crime) tidak ada atau belum diketahui

keberadaannya, maka berlakulah alternatif ke-dua, yaitu bahwa harta

kekayaan dimaksud “patut diduga” merupakan hasil dari suatu tindak pidana

asal (predicate crime).   

Dengan demikian, apakah urgen keberadaan tindak pidana

asal (predicate crime)dalam tindak pidana pencucian uang menurut hukum

positif di Indonesia ? Jawabannya, adalah tidak urgen ! Dikatakan demikian,

oleh karena ia boleh ada atau boleh juga tidak ada, cukup dengan patut

diduga saja. Sehingga urgensi predicate crime dalam tindak pidana

pencucian uang menurut undang-undang tentang pencegahan dan

pemberantasan tindak pidana pencucian uang di Indonesia, hanya

merupakan alternatif pilihan untuk dapat dikatakan menjadi penyebab

atau causa dari suatu tindak pidana pencucian uang.

Namun, rumusan tindak pidana pencucian uang yang terdapat dalam

undang-undang tentang pencegahan dan tindak pidana pencucian uang di

Indonesia yang sedemikian itu, kiranya dapat dipahami, sebab tindak pidana

pencucian uang adalah kejahatan transnasional yang melintasi batas-batas

yurisdiksi suatu negara, sehingga apabila tindak pidana asal (predicate

crime)-nya dilakukan di luar wilayah yurisdiksi negara Indonesia, sedangkan

tindak pidana pencucian uangnya dilakukan di Indonesia, maka tentu sangat

sulit  mempersyaratkan untuk dibuktikan terlebih dahulu terjadinya predicate

crimedimaksud, sebagai syarat terjadinya tindak pidana pencucian uangnya.

Sehingga undang-undang kita merumuskan dengan alternatif, yaitu

“diketahui” atau “patut diduga” saja mengenai tindak pidana asal (predicate

crime) tersebut.  

Kendati pun demikian, tetap akan ada permasalahan hukum yang

muncul dengan rumusan tindak pidana pencucian uang sedemikian itu, yaitu

dalam hal dengan unsur “patut diduga” saja bahwa harta kekayaan yang

“dicuci” adalah merupakan hasil tindak pidana dari tindak pidana

asal (predicate crime), kemudian dinyatakan telah terbukti terjadi tindak

pidana pencucian uang yang bersangkutan, padahal dikemudian hari

diputuskan oleh pengadilan bahwa tindak pidana asal (predicate

crime) dimaksud tidak terbukti menurut hukum. Kalau sudah demikian

25

Page 26: Urgensi Predicate Crime Dalam Uu Tppu

halnya, bagaimana dengan tindak pidana pencucian uangnya yang

dinyatakan telah terbukti itu ? Menurut hemat penulis, putusan pengadilan

yang menyatakan telah terbukti tindak pidana pencucian uang dimaksud,

dapat dibatalkan melalui upaya hukum luar biasa peninjauan kembali.

Logika hukumnya sebagai berikut : apabila tindak pidana asal (predicate

crime) tidak terbukti, maka tidak terbukti pula atau tidak ada harta kekayaan

yang disebut sebagai hasil tindak pidana yang menjadi obyek tindak pidana

pencucian uang itu, sebab dengan tidak terbuktinya tindak pidana

asal (predicate crime), maka tidak ada tindak pidana, sehingga harta

kekayaan yang diperoleh daripadanya bukan merupakan hasil tindak

pidana, melainkan merupakan harta kekayaan yang sah, sehingga dapat

diinvestasikan atau ditransaksikan secara legal dan tidak dikategorikan

sebagai tindak pidana pencucian uang.

Untuk mencegah terjadinya permasalahan hukum seperti tersebut diatas,

seharusnya tindak pidana asal (predicate crime)-nya yang harus diproses

hukum terlebih dahulu, disidik, dilakukan penuntutan, dan disidangkan

terlebih dahulu, baru kemudian apabila dinyatakan tindak pidana

asal (predicate crime) terbukti, dilakukan proses hukum terhadap tindak

pidana pencucian uangnya. Sebaliknya pula, dalam hal predicate

crimedinyatakan tidak terbukti oleh pengadilan, maka tidak perlu dilanjutkan

dengan melakukan proses hukum penyidikan, apalagi penuntutan atau

persidangan di depan pengadilan atas tindak pidana pencucian uangnya.

Dengan langkah seperti ini, logika hukum kita tidak akan dibuat terbalik,

akibat dapat dibuktikan tanpa adanya causa(sebab).

Di bidang legislasi, timbulnya permasalahan hukum sebagaimana

dimaksud diatas kiranya dapat dicegah dengan melakukan perubahan atas

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan Dan

Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang tersebut, yaitu dengan

mengubah pengertian mau pun rumusan tindak pidana pencucian uang

sebagaimana terdapat dalam pasal 3 dan pasal 4 Undang-Undang Nomor 8

Tahun 2010 itu, yaitu dengan mengubah frasa : “…. atas harta kekayaan

yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana ……

dst.” menjadi : “…. atas harta kekayaan yang diketahuinya merupakan hasil

tindak pidana ….. dst.” Jadi, kata-kata “patut diduganya” dihilangkan saja.

26

Page 27: Urgensi Predicate Crime Dalam Uu Tppu

Dengan demikian, rumusan tersebut akan lebih menjamin adanya kepastian

dalam penegakan hukum, bahwa tindak pidana pencucian uang tidak

didasarkan atas adanya dugaan, melainkan didasarkan pada pengetahuan

pelaku bahwa harta kekayaan yang dijadikan obyek pencucian uang adalah

hasil tindak pidana dari suatu tindak pidana asal (predicate crime).  

BAB V

K E S I M P U L A N

       Berdasarkan seluruh uraian dan pembahasan serta analisis yang

tergambar dalam keseluruhan bab makalah ini, maka kiranya dapat

disimpulkan hal-hal sebagai berikut :

1.      Tindak pidana asal (predicate crime) dalam undang-undang tentang

pencegahan dan pemberantasan pencucian uang di Indonesia ditempatkan

sebagai syarat untuk dapat terjadinya suatu tindak pidana pencucian uang,

namun keberadaannya bukan sebagai syarat yang mutlak harus ada.

Sebab, menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan

Dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, harta kekayaan yang

menjadi obyek tindak pidana pencucian uang, cukup “diketahui” atau “patut

diduga” merupakan hasil dari suatu tindak pidana asal (predicate

crime).“Diketahui” atau “patut diduga” itu merupakan alternatif, cukup dipilih

salah satu saja, yaitu : “diketahui”  atau “patut diduga”. Pilihan “diketahui”

diterapkan manakala tindak pidana asal (predicate crime) diketahui telah

terjadi dan terbukti menurut hukum. Sedangkan pilihan “patut diduga”

diterapkan apabila tindak pidana asal(predicate crime) tidak atau belum

dapat dibuktikan.

2.      Dengan demikian, urgensi tindak pidana asal (predicate crime) dalam

tindak pidana pencucian uang menurut hukum positif mau pun rezim hukum

27

Page 28: Urgensi Predicate Crime Dalam Uu Tppu

yang berlaku sebelumnya, adalah relatif-alternatif. Keberadaannya tidak

urgen. Tanpa ada dan terbukti tindak pidana asal (predicate crime) pun,

tindak pidana pencucian uang tetap dapat terjadi, yaitu dengan “patut

diduga” saja.     

3.      Dengan pengertian dan formulasi hukum mengenai tindak pidana

pencucian uang yang sedemikian itu, maka langsung atau tidak langsung

hal tersebut telah membuka ruang untuk terjadinya permasalahan atau

persoalan hukum, yaitu dalam hal tindak pidana pencucian uang dinyatakan

terbukti dengan menerapkan unsur patut diduga bahwa harta kekayaan

yang “dicuci” (yang menjadi obyek tindak pidana pencucian uang) itu

merupakan hasil tindak pidana dari suatu tindak pidana asal (predicate

crime), padahal dikemudian hari tindak pidana asal (predicate

crime) dimaksud dinyatakan tidak terbukti oleh pengadilan. Kalau tindak

pidana asal (predicate crime)-nya diputuskan oleh pengadilan tidak terbukti,

maka tidak terbukti pula adanya harta kekayaan sebagai hasil tindak pidana.

Dengan demikian harta kekayaan tersebut adalah harta kekayaan yang

legal, sehingga dapat ditransaksikan mau pun diinvestasikan dalam suatu

transaksi keuangan atau transaksi investasi yang legal, dan hal tersebut

tidak merupakan tindak pidana pencucian uang.

Dari kesimpulan sebagaimana diuraikan diatas, nampaknya diperlukan

perubahan pengertian atau rumusan tindak pidana pencucian uang

sebagaimana dimaksud Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang

Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, supaya

ada kepastian hukum bahwa tindak pidana pencucian uang tidak didasarkan

pada adanya dugaan, melainkan pada pengetahuan pelaku bahwa harta

kekayaan yang dijadikan obyek pencucian uang adalah merupakan hasil

tindak pidana dari suatu tindak pidana asal (predicate crime). Karena

bagaimana pun tindak pidana pencucian uang sebagai tindak pidana

ikutan (underlying crime) tidak dapat dilepaskan dari tindak pidana

asal (predicate crime)-nya. Tindak pidana asal (predicate crime)adalah

merupakan penyebab (causa) yang adequaat dari suatu tindak pidana

pencucian uang. Sehingga pengertian atau rumusan tindak pidana

28

Page 29: Urgensi Predicate Crime Dalam Uu Tppu

pencucian uang dalam undang-undang tentang pencegahan dan

pemberantasan tindak pidana pencucian uang, seyogyanya menempatkan

tindak pidana asal (predicate crime) sebagai tindak pidana yang

keberadaannya harus dibuktikan terlebih dahulu sebelum membuktikan

terjadinya tindak pidana pencucian uangnya.

29