URGENSI MEMBANGUN SOFT SKILLS GENERASI ISLAM … · memengaruhi hubungan, komunikasi, dan interaksi...
Transcript of URGENSI MEMBANGUN SOFT SKILLS GENERASI ISLAM … · memengaruhi hubungan, komunikasi, dan interaksi...
URGENSI MEMBANGUN SOFT SKILLS GENERASI ISLAM WASATHIYYAH
MELALUI PENDIDIKAN
Oleh: Izzatul Laila, M.Pd.I
(GPAI SMAN 2 Jombang)
Pendahuluan
Manusia membutuhkan soft skills dan hard skills untuk menjalankan kehidupan.
Sejak lahir, setiap orang sudah memiliki bakatnya masing-masing dan bakat itu sendiri
bisa dikategori seperti hobby yang mengantar bakatnya menjadi suatu hal yang luar biasa,
seperti bakat bermain gitar, sepak bola dan lain sebagainya. Soft skills itu mirip sekali
dengan bakat, hanya saja dalam bentuk yang berbeda. Soft skills, seperti layakya bakat,
akan menunjukkan keterampilan yang dimiliki setiap orang dan harus dikembangkan
untuk menemukan jati diri mereka. Soft skills itu sendiri harus dikembangkan, namun soft
skills juga tidak akan berjalan sempurna apabila tidak di iringi dengan hard skill, begitu
pun sebaliknya. Namun ada juga yang tidak akan mendapatkan soft skills dari dirinya
sendiri apa bila dia tidak ada keinginan untuk berubah yang besar dalam hidupnya dari
pola hidup yang buruk ke pola hidup yang lebih baik dari sebelumnya.
Soft skills merupkan istilah sosiologis yang berkaitan dengan kecerdasan
emosional, sifat kepribadian, keterampilan sosial, komunikasi, berbahasa, kebiasaan
pribadi, keramahan, dan optimisme yang mencirikan kemampuan seseorang dalam
berhubungan dengan orang lain. Soft skills menyangkut karakter pribadi seseorang yang
dapat meningkatkan interaksi individu, kinerja pekerjaan dan prospek karir. Tidak
seperti hard skill yang berkenaan dengan kemampuan menyerap ilmu atau keahlian dan
kemampuan untuk melakukan jenis tugas atau kegiatan tertentu, soft skills berhubungan
dengan kemampuan seseorang untuk berinteraksi secara efektif dengan sesamanya.
Setiap jenis peran dan kedudukan selalu memerlukan sebuah keterampilan
sehingga dapat dikerjakan dengan baik, mencapai target yang ditetapkan dan meraih tujuan
akhir yang diinginkan. Keterampilan ini dikenal dengan keterampilan teknis (Hard Skills)
yang untuk memperolehnya diperlukan belajar dan berlatih dalam program pendidikan
khusus. Selanjutnya dalam perkembangan berbagai jenis pekerjaan yang melibatkan
banyak orang dengan kemampuan dan keterampilan yang berbeda-beda, maka perlu
ditunjang dengan keterampilan lain yang dikenal dengan sebutan Soft skills (Keterampilan
Non Teknis), sebuah keterampilan yang sangat terkait dengan sikap dan perilaku untuk
menghadapi orang lain untuk membantu pekerjaan. Lebih condongnya pengertian soft
skills adalah sikap dan kebiasaan kita dalam berinteraksi dengan orang lain.
Soft skills memang tidak terlihat kasat mata dibandingkan kemampuan teknis, dan
untuk memperolehnya kita tidak serta merta harus mengikuti sebuah kelas pelatihan. Kita
dapat memperoleh soft skills melalui pengalaman di sekolah, pengalaman hidup dan masa
lalu, atau pengalaman dalam dunia kerja yang tengah dilakoni. Pengalaman tersebut
merupakan sebuah pembelajaran sangat berharga sehingga kita dapat menjalani peran
sebagai seorang professional yang tidak hanya hkital dalam urusan teknis, namun sangat
lihai berhubungan dengan orang lain.
Modal soft skills dirasa prospektif mengantarkan seseorang meraih sukses. Tetapi,
membangun pribadi demikian, sungguh tidak gampang. Soft skills tidak cukup
dipidatokan. Apalagi sekadar diberikan dalam bentuk soal-soal ujian. Dibutuhkan latihan
secara berulang-ulang. Tentu saja, yang terpenting ialah keteladanan dari lingkungan.
Tanpa itu, menumbuhkan soft skills hanyalah impian.
Tidak terhitung kisah sukses dari pribadi-pribadi yang memiliki soft skills itu.
Banyak pakar bergelar profesor yang mulanya bukan seorang cerdas. Ketika di sekolah,
dia bahkan bukan tergolong murid berprestasi. Rankingnya di kelas biasa-biasa saja.
Tetapi, dia memiliki keuletan luar biasa. Gairah kencintaanya terhadap ilmu membuncah.
Tiada hari berlalu tanpa aktivitas membaca dan menulis. Juga, sangat disiplin dalam
memanfaatkan waktu. Dia memiliki soft skills.
Tidak sedikit pula jutawan yang bukan keturunan hartawan. Hidupnya sejak kecil,
boleh jadi, selalu dalam kondisi serba kurang. Jangankan gelar formal, bahkan
pendidikannya kalah di banding teman-teman. Tetapi, dia memiliki semangat juang tanpa
kenal patah arang. Hidupnya jauh dari ratapan. Namun selalu menyongsong tantangan.
Saat hendak mengukir harapan, tidak pernah berpikir “Nanti bagaimana?”, tetapi selalu
mantap berucap “Bagaimana nanti!”. Dia memiliki soft skills.
Itulah kedahsyatan soft skills. Wajar jika hakikat agama sendiri tidak terletak pada
aspek seremoni ritual. Ragam ibadah sejatinya sarana untuk mengasah kepribadian.
Karena itu, Allah jelas berkalam, manusia paling mulia adalah yang paling bertakwa.
Takwa merupakan salah satu soft skills yang sangat penting. Letaknya jelas bukan pada
sisi luar diri manusia. Dengan demikian, selendang surban, gelang tasbih, kalung sajadah,
mahkota kopiah, bedak dahi hitam, busana, lisan al-Qur‟an, belum tentu jaminan
ketakwaan.
Soft skills Generasi Islam
Apa itu Soft skills?. Soft skills, sering disebut keterampilan berhubungan dengan
orang atau kecerdasan emosional, merujuk pada kemampuan untuk berinteraksi secara
nyaman dengan orang lain. Pengertian Soft skills adalah atribut pribadi yang dapat
memengaruhi hubungan, komunikasi, dan interaksi dengan orang lain.
Beberapa contoh Soft skills antara lain:
1) Leadership atau kepemimpinan
2) Communication atau komunikasi
3) Negotiation atau negosiasi
4) Management Skill atau keterampilan manajemen
5) Business Skill atau keterampilan bisnis
6) Critical thinking atau berpikir kritis
7) Conflict resolution atau menyelesaikan konflik
8) Problem solving atau penyelesaian masalah
9) Emotional intelligence atau kecerdasan emosi
10) Handing difficult people atau mengatasi orang sulit
11) Delivering performance feedback atau memberikan umpan balik kinerja
12) Working under pressure atau bekerja di bawah tekanan
13) Team work atau kerja sama
14) Managing people atau manajemen orang
15) Time management atau manajemen mengolah waktu
16) Kemampuan menjalin hubungan dengan orang lain
17) Menyelesaikan masalah & berpikir kritis
18) Pendengar yang aktif
19) Giat belajar
20) Kemampuan berorganisasi
21) Profesionalisme
22) Fleksibilitas dan kemampuan beradaptasi
Generasi Islam Wasathiyyah
Dewasa ini pendidikan Islam wasathiyyah menjadi prioritas utama dalam mencegah
tindakan radikalisme dan ekstremisme karena Islam telah dipelajari secara utuh dan kaffah
atau menyeluruh dan komprehensif, yang menampilkan “jalan tengah” sehingga dapat
hidup berdampingan secara damai dengan penganut paham dan agama lain, bukan secara
parsial, terputus-putus atau setengah-setengah, yang bisa membuat ekstrem, eksklusif dan
intoleransi. Moderat berasal dari kata moderation yang berarti menyukasi hal yang sedang-
sedang, menjauhi pkitangan dan tindakan ekstrem atau berlebih-lebihan, suka pada
tindakan yang sangat rasional. Dalam istilah pendidikan Islam disebut wasathiyyah, berarti
keseimbangan di antara dua sisi yang sama tercelanya; “kiri” dan “kanan”, berlebihan
(ghuluw) dan keacuhan (taqshir), literal dan liberal, seperti halnya sifat dermawan yang
berada di antara sifat pelit (taqtir/bakhil) dan boros tidak pada tempatnya (tabdzir). Sikap
“tengahan” (wasath) inilah yang diharapkan dapat menjaga keseimbangan dalam
kehidupan, sesuai dengan sabda Rasulullah “Ilmu (Al-Qur‟an) akan selalu dibawa pada
setiap generasi oleh orang-orang yang moderat („udul), mereka itu yang akan memelihara
Al-Qur‟an dari pena‟wilan mereka yang bodoh, manipulasi mereka yang batil dan
penyelewengan mereka yang berlebihan (ekstrem).
Abu Al-Hasan Ali Al-Bashri Al-Mawardi mengungkapkan ucapan para filosof Sifat
terpuji itu adalah sifat yang berada pada posisi tengah antara dua sifat yang tercela, atau
perbuatan-perbuatan baik adalah kebaikan yang berada pada posisi tengah antara dua
keburukan. Begitu juga ungkapan Lukman Hakim yang paling dikedepankan oleh semua
pihak termasuk pemerintah yaitu moderasi, “Moderasi itu adalah bagaimana setiap umat
beragama itu radikal (memahami ajaran agama secara mengakar atau menyeluruh), kokoh
memegang keyakinannya, tapi keyakinan terkait dengan substansi agama”. Pendapat ini
diperkuat pula Mohammad Abduhzen yang mengatakan pendidikan Agama harus
diarahkan ke upaya “memoderasi” sikap keberagaman, yaitu menjadi orang beriman lebih
bermanfaat dan umat terbaik. Agama harus diformulasikan sebagai solusi dan daya
konstruktif yang membahagiakan kehidupan, bukan sebagai kekuatan destruktif dan beban
yang menyengsarakan.
Pendidikan moderat selalu mengajarkan untuk melakukan tindakan yang sangat
rasional. Rasional diterjemahkan dari kata rational, berarti rasionil, masuk akal, berakal.
Dengan demikian dapat dipahami dalam hal perbuatan atau tingkah laku dilakukan sesuai
atau cocok dengan akal, pikiran yang sehat, dilakukan dengan penuh pertimbangan,
bagaimana untung ruginya, dampak positif dan negatifnya, tidak gegabah atau sembrono.
Seorang rasionalis selalu berpangkal atau berpijak pada yang rasionil, sangat berhati-hati
dalam berbuat, sehingga hasilnya akan membawa keberuntungan bagi dirinya dan orang
lain.
Seorang rasionalis akan selalu bertindak cerdas, berpikir secara cermat dan tepat,
bertindak dengan penuh perhitungan, rasa ingin tahu yang tinggi, berkomunikasi efektif
dan empatik, bergaul secara santun, menjunjung kebenaran dan kebajikan, mencintai
Tuhan dan lingkungan. Di samping rasional ada lagi yang lebih tinggi, yaitu supra
rasional, ialah yang masuk akal sekalipun tidak sesuai dengan hukum alam, yang disebut
dengan logis. Logis ini mencakup yang rasional dan yang supra-rasional. Contoh Nabi
Ibrahim dibakar tidak hangus, ini melanggar hukum alam, berarti tidak logis, tapi itu juga
tidak logis dalam arti supra-rasional. Tuhan membuat api yang terdiri dari dua unsur
apinya dan panasnya. Tuhan bisa mengubah sifat api dari panas menjadi dingin. Masuk
akal dan logis, maka kasus Ibrahim ini adalah kasus yang tidak rasional, tetapi logis dalam
arti logis-supra-rasional. Maka, pendidikan Islam memkitang kebenaran itu bukan dari
akal semata, karena banyak hal lain, yang tidak dapat dijangkau oleh akal, untuk
membedakan kebenaran dan kesalahan.
Islam wasathiyyah mendapat sumbangan penting Mohammad Hashim Kamali dalam
karyanya, The Middle Path of Moderation in Islam: The Qur'anic Principle of Wasatiyyah
(Oxford & New York: Oxford University Press, 2015). Seperti terlihat dalam judul ini,
Kamali tidak menggunakan istilah 'Islam wasathiyyah‟ yang lazim digunakan di Indonesia.
Ia menggunakan istilah 'jalan tengah moderasi Islam' berdasarkan prinsip Al-Quran
tentang wasathiyyah. Di Indonesia istilah 'moderasi Islam' atau 'moderasi dalam Islam'
yang terkait dengan istilah 'Islam moderat' sering dipersoalkan segelintir kalangan umat
Islam sendiri. Bagi mereka, Islam hanyalah Islam; tidak ada moderasi Islam atau Islam
moderat. Karena itulah, istilah 'Islam wasathiyyah' yang Qur'ani bersumber dari ayat Al-
Quran (QS Al-Baqarah/2: 143) lebih diterima dan karena itu lebih lazim digunakan.
“Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil
dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul
(Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu.” (QS. Al-Baqarah/2: 143)
Dalam kajian tentang jalan tengah moderasi dalam Islam, Kamali menggunakan
banyak rujukan ayat Al-Qur'an dan hadis serta penafsiran ulama arus utama (mainstream).
Ia tidak hanya memaparkan pembahasan subjek ini di kalangan ulama dan pemikir Sunni,
tapi juga ulama Syi'i. Bagi Kamali, pengikut Sunni, pembahasan dengan mengikutkan
kedua sayap besar kaum muslimin ini penting dilakukan untuk mengeksplorasi pkitangan
masing-masing sehingga dapat menumbuhkan saling pengertian dan bahkan kesatuan
umat.
Menurut Hashim Kamali, wasathiyyah merupakan aspek penting Islam, yang sayang
agak terlupakan oleh banyak umatnya. Padahal, ajaran Islam tentang wasathiyyah
mengandung banyak ramifikasi dalam berbagai bidang yang menjadi perhatian Islam.
Moderasi diajarkan tidak hanya oleh Islam, tetapi juga agama lain.
Di dalam Al-Qur‟an, istilah wasath disebutkan sebanyak lima kali. Secara umum,
wasat berarti berada di tengah-tengah antara dua hal. Allah berfirman dalam QS. Al-
Baqarah/2: 238
“Peliharalah
semua shalat(mu), dan (peliharalah) shalat wusthaa. Berdirilah untuk Allah (dalam
shalatmu) dengan khusyu'.”
Terdapat banyak riwayat tentang salat wusta‟. Ada yang menyebutkan salat zuhur,
karena kata zuhur biasa digunakan untuk menunjukkan waktu siang, yakni waktu di antara
pagi dan sore. Riwayat lain menyebutkan salat magrib, karena bilangan rakaatnya berada
di tengah, yaitu antara dua dan empat. Sementara riwayat lain menyatakan salat subuh,
karena ia berada di antara waktu malam dan siang. Semua riwayat tersebut benar, jika
merujuk kepada makna dasar kata wasat. Namun, riwayat yang dianggap cukup kuat
adalah salat asar, karena waktu asar berada di tengah-tengah kesibukan manusia dalam
melaksanakan aktivitasnya, berbeda dengan salat-salat yang lain.
Term wasat; juga bisa berarti biasa atau wajar, sebagaimana dalam firman-Nya QS.
Al-Maidah/5: 89
“Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak
dimaksud (untuk bersumpah), tetapi Dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah
yang kamu sengaja, maka kaffarat (melanggar) sumpah itu, ialah memberi makan sepuluh
orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu”
Ayat di atas menjelaskan tentang kafarah bagi pelanggar sumpah, yaitu antara lain
memberi makan sepuluh orang miskin. Makanan yang dimaksudkan adalah makanan yang
wajar dan sudah biasa diberikan kepada keluarganya.
Istilah wasath juga digunakan untuk menunjukkan sesuatu yang berada di antara
dua hal yang buruk, sebagaimana ayat diatas yang menggambarkan sikap dermawan, yakni
sikap yang berada di antara sikap boros dan kikir, dan juga susu yang murni, yakni yang
berada di antara darah dan kotoran. Maka, dari sinilah, kata wasat dimaknai sebagai sikap
moderat (pertengahan), tidak ke kiri dan tidak ke kanan, bainat tafrit wal-ifrat.
Jika demikian, kata wasath juga bisa dipahami sebagai sifat yang lurus, adil, dan
bersih. Atau secara umum, seseorang dikatakan wasath jika ia adalah orang pilihan dan
dianggap paling mulia. Misalnya dalam firman-Nya:
“Berkatalah seorang yang paling baik pikirannya di antara mereka: "Bukankah
aku telah mengatakan kepadamu, hendaklah kamu bertasbih (kepada Tuhanmu)?"” (QS.
Al-Qalam/68: 28)
Sejak awal sejarahnya Islam telah memproklamirkan dirinya sebagai agama yang
sarat dengan muatan atau ajaran moderat (wasata) dalam segala hal. Ajaran yang adil,
berada di tengah. Tidak di pinggir kanan, tidak juga dipinggir kiri. Tidak keras
menakutkan dan tidak lembek tanpa harga diri. Tidak memberatkan sekali sehingga
membuat susah, namun tidak ringan sekali sehingga disepelekan. Islam adalah ajaran
yang Mustaqim, lurus. Karena itulah, umat Islam dikatakan sebagai ummah wasath
sebagaimana firman Allah dalam QS. Al-Baqarah/2: 143.
Kata wasath sendiri biasa digunakan oleh orang-orang Arab untuk menunjukkan
arti khiyar (pilihan atau terpilih). jika dikatakan, ia adalah orang yang wasath berarti
adalah orang yang terpilih di antara kaumnya. Agama Islam dikatakan sebagai agama yang
wasath karena Islam adalah agama yang terpilih di antara agama-agama yang lain. Dengan
demikian, jika umat Islam dikatakan sebagai ummah wasath, maka itu merupakan sebuah
harapan mereka bisa tampil menjadi umat pilihan yang selalu bersikap adil.
Di dalam surah Al-Baqarah ini, istilah wasath dikaitkan dengan syuhada‟, bentuk
tunggalnya syahid, yang berarti menyaksikan atau menjadi saksi. Dengan demikian, jika
istilah wasath dipahami dalam konteks moderasi, menurut Quraish Shihab, menuntut umat
Islam menjadi saksi dan sekaligus disaksikan, guna menjadi teladan bagi umat lain, dan
pada saat yang sama mereka menggunakan Nabi Muhammad sebagai panutan yang
diteladani sebagai saksi pembenaran dari seluruh aktivitasnya.
Banyak sekali teks-teks keagamaan dalam al-Qur‟an dan Sunnah menunjukkan
larangan berbuat ghuluw, tatarruf dan sejenisnya dalam beragama, diantaranya:
1) Dalam QS. Al-Maidah/3: 77
“Katakanlah hai Ahli Kitab, janganlah kamu berlebih-lebihan dengan cara tidak
benar dalam agamamu.”
2) Dalam QS. Al-A‟raf/7: 55
“Berdoalah kepada Tuhanmu dengan berendah diri dan suara yang lembut.
Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.”
3) Dalam Hadits Riwayat Ahmad,
“Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda kepadaku di pagi hari Aqabah,
sedangkan saat itu beliau duduk di atas unta beliau: "Ambilkan kerikil untukku." Maka
aku pun memungutkan kerikil untuk beliau gunakan melempar jumrah. Kemudian beliau
meletakkan kerikil itu di tangannya, lalu beliau bersabda: "Seperti mereka." beliau
mengucapkan dua kali. Ia Yahya mengatakan; Dengan tangannya, lalu Yahya
mengisyaratkan bahwa beliau mengangkatnya. Beliau bersabda: "Janganlah kalian
berlaku ghuluw (sikap berlebih-lebihan), karena sesungguhnya kebinasaan orang-orang
sebelum kalian adalah karena bersikap ghuluw dalam agama."
Perdamaian adalah dambaan setiap manusia, selama perdamaian itu adil, maka
tidak ada halangan bagi kaum muslim untuk menerima perdamaian, bahkan dianjurkan
menawarkan perdamaian selama ada kemaslahatan. Islam juga melarang umatnya saling
bermusuhan, membenci atau berperasangka buruk (QS. Al-Hujurat/49: 11-12). Oleh
karena itu secara metodologis, fundamentalisme agama Islam hanya melihat nash (baik
Al-Qur‟an maupun Hadits) pada tataran harfiyah-nya saja dan memahami ayat secara satu
persatu atau sepotong-sepotong.
Konsep wasathiyyah dalam beberapa literatur keislaman ditafsirkan secara
beragam oleh para ahli. Menurut al-Salabi kata wasathiyyah memiliki banyak arti.
Pertama, dari akar kata wasath, berupa dharaf, yang berarti baina (antara). Kedua, dari
akar kata wasatha, yang mengandung banyak arti, di antaranya: (1) berupa isim (kata
benda) yang mengandung pengertian antara dua ujung; (2) berupa sifat yang bermakna
khiyar (terpilih, terutama, terbaik); (3) wasath yang bermakna al-‟adl atau adil; (4) wasath
juga bisa bermakna sesuatu yang berada di antara yang baik (jayyid) dan yang buruk
(radi‟).
Sama dengan pemaknaan al-Salabi, Kamali menganalisis wasathiyyah sinonim
dengan kata tawassut, i‟tidal, tawazun, iqtisad. Istilah moderasi ini terkait erat dengan
keadilan, dan ini berarti memilih posisi tengah di antara ekstremitas. Kebalikan dari
wasathiyyah adalah tatarruf, yang menunjukkan makna “kecenderungan ke arah
pinggiran”, “radikalisme”, dan “berlebihan”. Sedangkan Qardhawi mengidentifikasi
wasathiyyah ke dalam beberapa makna yang lebih luas, seperti adil, istiqamah, terpilih dan
terbaik, keamanan, kekuatan, dan persatuan.
Makna al-wasathiyyah secara istilah adalah sebuah kondisi terpuji yang menjaga
seseorang dari kecenderungan menuju dua sisi/sikap yang ekstrem, sikap berlebih-lebihan
dan melalaikan. Al-wasathiyyah juga bisa diartikan dengan kondisi seimbang dan setara
antara dua sisi; di mana satu sisi/aspek tidak melampaui aspek yang lain; sehingga tidak
ada yang berlebihan dan tidak pula melalaikan, tidak melampaui batas dan mengurangi.
Namun, makna al-wasathiyyah yang lebih utama adalah sikap mengikuti, lebih
pertengahan, lebih baik dan lebih sempurna.
Secara bahasa, makna dari wasathiyyah itu sendiri berarti sesuatu yang ada di
tengah. Dalam Mufradat Alfazh Al-Qur‟an menyebutkan secara bahasa bahwa kata wasath
ini berarti “Sesuatu yang memiliki dua belah ujung yang ukurannya sebanding.” Istilah
wasathiyyah ini biasanya digunakan dengan dasar dalil dari QS. Al-Baqarah: 143 sebagai
berikut:
“Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan
pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad)
menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. Dan Kami tidak menetapkan kiblat yang menjadi
kiblatmu (sekarang) melainkan agar Kami mengetahui (supaya nyata) siapa yang
mengikuti Rasul dan siapa yang membelot. Dan sungguh (pemindahan kiblat) itu terasa
amat berat, kecuali bagi orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah; dan Allah
tidak akan menyia-nyiakan imanmu. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang kepada manusia.”
Kata wasathiyyah juga diungkapkan dengan istilah tawazun (seimbang) yaitu
bersikap tengah-tengah dan seimbang antara dua aspek yang saling berseberangan; di
mana salah satu aspek tidak mendominasi seluruh pengaruh dan menghilangkan pengaruh
aspek yang lain; di mana salah satu aspek tidak mengambil hak yang berlebihan sehingga
mempersempit hak aspek yang lain.
Contoh aspek-aspek yang saling berseberangan adalah aspek ruhiyah (spiritual)
dan madiyah (materiil); aspek individual dan aspek kepentingan kolektif; aspek realitas
dan idealis; aspek yang sikap konstan (dogmatik) dan aspek yang mungkin berubah-ubah.
Adapun makna seimbang di antara kedua aspek yang berlawanan adalah membuka ruang
masing-masing aspek secara luas; memberikan hak masing-masing secara adil dan
seimbang, tanpa penyimpangan, melampaui batas atau merugikan.
Kata al-wasathiyyah tidak familier dalam kitab-kitab fikih dan buku sastra lama;
namun maknanya terdapat di dalamnya, digantikan dengan istilah al-adlu (sikap adil), al-
i‟tidal (seimbang), al-qisth (adil), al-qasdhu (efisien dan tepat sasaran), dan lain
sebagainya. Terdapat beberapa makna yang satu sama lain saling berdekatan dan saling
melengkapi.
Pertama, wasath berarti adil. Makna ini didasarkan pada ayat-ayat yang semakna,
hadits nabi, dan beberapa penjelasan dari syair Arab mengenai makna ini. Berdasarkan
riwayat Al-Qaffal dari Al-Tsauri dari Abu Sa‟id Al-Khudry dari Nabi Saw. bahwa
ummatan wasathan adalah umat yang adil.
Kedua, wasath berarti pilihan. Makna ini secara bahasa paling dekat dengan
makna wasath dan paling sesuai dengan ayat yang semakna dengannya yaitu QS. Ali-
Imran/3: 110:
“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh
kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah.
Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada
yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.”
Ketiga, wasath berarti yang paling baik.
Keempat, wasath berarti orang-orang yang dalam beragama berada di tengah-
tengah antara ifrath (berlebih-lebihan hingga mengada-adakan yang baru dalam agama)
dan tafrith (mengurang-ngurangi ajaran agama).
Setelah memperhatikan makna ummah al-wasath yang berarti umat yang secara
konsisten berpegang pada petunjuk Allah SWT, dapat kita pahami bahwa makna dari
wasath ini sifatnya sesuatu yang sudah dipatenkan dalam Al-Qur‟an sendiri, bukan makna
yang diberi sifat baru yang bukan berasal dari Al-Qur‟an.
Dalam hal ini, Al-Qur‟an telah menetapkan bahwa ajaran-ajaran Islam yang
bersumber dari Al-Qur‟an dan Al-Sunnah adalah ajaran yang adil, terbaik, terpilih, dan
moderat sehingga umat yang secara konsisten melaksanakannya, maka secara otomatis dia
akan menjadi umat yang sifatnya sama dengan ajaran yang dilaksanakannya.
Urgensi Membangun Soft skills bagi Generasi Islam Wasathiyyah
Takwa letaknya di dalam dada manusia. Takwa merupakan soft skill yang sangat
penting diperhatikan. Begitupula dengan Akhlak juga soft skills. Akhlak juga tidak bisa
diukur dari stkitar-stkitar serba fisik. Seperti busana mahal, rumah megah, kendaraan
mewah, jabatan mentereng, pendidikan tinggi, dan semacamnya. Keluhuran akhlak
tercermin dalam ucap dan sikap yang merupakan pantulan suasana hati dan jiwa manusia
bersangkutan.
Urgensi membangun soft skills antara lain:
1) Tuhan tidak memkitang mulia segala atribut fisik. Tanpa soft skills berupa kedalaman
akhlak, pasti banyak mudharatnya. Rupa menawan hanya sarana untuk
menjerumuskan. Ilmu tinggi hanya sarana untuk mengintimidasi. Jabatan mentereng
hanya sarana untuk mengenyahkan. Harta melimpah ruah hanya sarana untuk menista.
Jaringan luas hanya sarana untuk meruntuhkan.
2) Hard skills kurang efektif tanpa soft skills
Dalam sebagian besar pekerjaan, keterampilan teknis saja tidak cukup untuk
benar-benar efektif. Seorang salesman dengan pengetahuan produk dan pasar yang
hebat tetap sulit berhasil jika tidak memiliki keterampilan interpersonal dan
komunikasi yang diperlukan untuk memenangkan transaksi dan mempertahankan
klien. Seorang pimpinan perlu mahir mendengarkan anak buah, memiliki keterampilan
berbicara yang baik, dan dapat berpikir kreatif. Semua peran dan kedudukan seseorang
memerlukan setidaknya beberapa pengertian apa itu soft skills untuk membuat hard
skills berharga.
3) Soft skills lebih menantang dikuasai dibandingkan hard skills
Hard Skills tidak selalu sulit diperoleh. Hard Skills mudah diajarkan, dapat
dipelajari dan disempurnakan dari waktu ke waktu. Pengertian apa itu Soft skills lebih
menantang untuk dikembangkan, karena tidak ada hubungannya dengan pengetahuan
atau keahlian, tetapi terkait erat dengan karakter seseorang. Dibutuhkan upaya sadar,
latihan yang berkelanjutan, dan komitmen untuk pengembangan diri untuk
meningkatkan soft skills Kita. Hard skills mungkin terlihat mengesankan di biografi
seseorang, tetapi soft skills adalah apa yang akan membedakan kita dari banyak
kandidat yang memiliki keahlian serupa dengan kita.
4) Situasi dan Kondisi kekinian bersifat interpersonal
Keterampilan seperti mendengarkan, berkolaborasi dengan orang lain,
mempresentasi-kan ide dan berkomunikasi dengan anggota tim semuanya sangat
dihargai di tempat kerja kekinian. Penguasaan pengertian Soft skills yang mumpuni
memastikan lingkungan kerja yang produktif, kolaboratif dan sehat, semua atribut
penting bagi organisasi di dunia yang semakin kompetitif.
5) Menangani pelanggan membutuhkan soft skills
Dalam dunia bisnis, pelanggan ditawarkan pilihan tanpa batas melalui
teknologi internet dan telepon pintar. Bagi pelanggan ini, kemudahan dan harga murah
mudah didapat, sehingga layanan pelanggan sering kali berperan penting
memengaruhi pilihan untuk menggunakan bisnis tertentu. Oleh karena itu,
kemampuan untuk berkomunikasi secara efisien dan efektif dengan pelanggan adalah
faktor vital dalam keberhasilan organisasi. Penguasaan pengertian apa itu soft skills
dan mempraktekkannya menjadi penting di sini.
6) Tempat kerja masa depan akan mengkitalkan soft skills
Otomatisasi dan kecerdasan buatan akan menghasilkan proporsi pekerjaan
yang lebih besar dengan mengkitalkan soft skills. Berkat teknologi mutakhir, tugas-
tugas hard skills menurun, menjadikan soft skills sebagai pembeda utama di tempat
kerja. Sebagai contoh, lihat studi yang menarik dari Deloitte Access Economics, yang
memperkirakan bahwa dua pertiga dari semua pekerjaan di Australia akan bergantung
pada penguasaan pengertian apa itu soft skills pada tahun 2030. Tren ini pasti akan
mencerminkan dunia kerja secara global pula.
Penutup
Manusia itu makhluk jasmani dan rohani. Jika demikian, modal hard skill yang
berpadu dengan soft skills, itulah yang mengantarkannya pada puncak kesadaran, bahwa:
kualitas takwa akan teruji ketika sedang sepi dan sendiri. Kualitas iman akan teruji ketika
sedang cemas dan berharap. Kualitas ikhlas akan teruji ketika sedang berjasa dan kecewa.
Kualitas jujur akan teruji ketika sedang susah dan berusaha. Kualitas sabar akan teruji
ketika sedang sakit dan kehilangan. Kualitas peduli akan teruji ketika sedang dalam
kondisi kekurangan. Kualitas juang akan teruji ketika sedang berat dan dinista. Kualitas
sederhana akan teruji ketika sedang kaya dan berjaya. Kualitas ilmu akan teruji ketika
sedang beda dan memutuskan.
Soft skills sangat dibutuhkan oleh generasi Islam wasathiyah. Beberapa
karakteristik penggunaan konsep wasathiyyah/ moderasi dalam konteks Islam di
Indonesia, di antaranya: 1) ideologi tanpa kekerasan dalam menyebarkan ajaran Islam; 2)
mengadopsi cara hidup modern dengan semua turunannya, termasuk sains dan teknologi,
demokrasi, hak asasi manusia dan sejenisnya; 3) penggunaan cara berpikir rasional; 4)
pendekatan kontekstual dalam memahami Islam, dan; 5) penggunaan ijtihad (kerja
intelektual untuk membuattopini hukum jika tidak ada justifikasi eksplisit dari Al-Qur‟an
dan Hadits). Lima karakteristik ini bisa diperluas menjadi beberapa karakteristik yang lain,
seperti toleransi, harmoni, dan kerjasama antar kelompok agama.
Konsep generasi Islam wasathiyyah sebenarnya meminta umat Islam untuk
mempraktikkan Islam secara seimbang dan komprehensif dalam semua aspek kehidupan
masyarakat dengan memusatkan perhatian pada peningkatan kualitas kehidupan manusia
yang terkait dengan pengembangan pengetahuan, pembangunan manusia, sistem ekonomi
dan keuangan, sistem politik, sistem pendidikan, kebangsaan, pertahanan, persatuan,
persamaan antar ras, dan lainnya. Tidak heran jika ummah wasath (muslim moderat)
menjadi model yang akan dipersaksikan di hadapan umat-umat yang lain.
Dalam mengemban amanah sebagai generasi Islam Wasathiyah inilah soft skills
sangat dibutuhkan, terutama dalam mewujudkan toleransi, harmoni, dan kerjasama antar
kelompok agama. Untuk menguasai soft skills butuh ikhtiar. Kita hanya perlu berlatih
berulang kali hingga perilaku kita berubah menjadi kebiasaan yang mencerminkan Soft
skills kita dalam berbagai situasi. Kuncinya adalah konsistensi: Berlatih Soft skills di
berbagai tempat, baik di sekolah, di rumah, di lingkungan masyarakat, serta dalam
kehidupan sehari-hari kita.
DAFTAR PUSTAKA
Abdillah, Junaidi. 2013. Skripsi Radikalisme Agma: Dekonstruktif Tafsir Ayat-Ayat
“Kekerasan” dalam Al-Qur‟an. Lampung: IAIN Raden Intan Lampung.
Al-Ashfahani. Al-Mufradat fi Garibil-Qur‟an. Mesir: al-Maktabah asy-Syamilah. Jilid 10.
At-Tabari. Jami‟ul-Bayan. Al-Maktabah asy-Syamilah. Jilid 5 dan al-Asfahani, al-
Mufrada.
At-Tabari. Jami‟ul Bayan. Jilid 3.
Azra, Azyumardi. 2016. Transformasi Politik Islam: Radikalisme, Khilafatisme, dan
Demokrasi. Jakarta: Prenada Media Group.
Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI. 2012. Moderasi Islam. Jakarta: Lajnah
Pentashihan Mushaf Al-Qur‟an.
Echols, John M. dan Shadily, Hassan. 2005. Kamus Inggris Indonesia: An English –
Indonesian Dictionary. Jakarta: PT Gramedia.
Hanafi, Muchlis M.. 2015. Pengantin Ramadhan. Tangerang: Lentera Hati.
Kamali, Mohammad Hashim. 2015. The Middle Path of Moderation in Islam: The
Qur'anic Principle of Wasatiyyah. New York: Oxford University Press.
Qardhawi, Yusuf. 2011. Al- Kalimat fi al-Wasathiyyah al-Islamiyah wa Ma‟alimaha.
Cairo: Dar al-Shuruq.
Ramayulis. 2004. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Kalam Mulia.
Samani, Muchlas. 2013. Konsep dan Model Pendidikan Karakter. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya.
Tafsir, Ahmad. 2014. Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam. Bandung: Remaja
Rosdakarya.
Ibnu Katsir. Tafsir Al-Qur‟an Al-„Azim. Al-Maktabah asy-Syamilah. Jilid 3.
Ibnu Asyur. At-Tahrir wat-Tanwir. Jilid 2.
al-Salabi, Ali Muhammad. 2001. Al-Wasathiyyah fi al-Qur‟an al-Karim. Kairo: Maktabah
at-Tabi‟in.
http://www.dakwatuna.com/2014/06/20/53476/soft-skill-kunci-sukses-dunia-dan-akhirat/#
ixzz6Mjo9kPwg
http://sriyuliani.staff.fisip.uns.ac.id/kuliah/apa-itu-soft-skills/